Pencarian

Pendekar Elang Salju 2

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 2


"Ada hubungannya dengan pertanyaanku tadi" Jelaskan padaku, apa maksud semua ini?" ganti balik bertanya Ki Ageng Singaranu.
"Dimas Ragil, darimana Dimas mengetahui nama si Elang Berjubah Perak?" kali ini Jalu Lampang yang bertanya, menyusul pertanyaan ayahnya.
Ki Ragil Kuniran menceritakan serangkaian kejadian yang dialaminya tentang proses kelahiran Paksi Jaladara yang aneh dan unik, juga tentang segala kejadian yang berhubungan dengan mimpi yang pernah diterimanya, yang dianggap sebagai sasmita.
"Saya hanya mendengar suaranya saja, sedangkan wujudnya tidak kelihatan. Dia mengaku berjuluk si Elang Berjubah Perak dan memilih anakku sebagai pewaris Tahta Angin dan mengaku pula bahwa dirinya adalah Sang Angin! Kemudian tokoh gaib itu juga mengatakan bahwa Penunggang Angin akan menjadi pertanda kelahiran anakku tepat di bulan ke tiga belas. Kemunculan diiringi dengan suara deru angin membadai dan gelegar petir. Nama anakku pun, beliau pula yang memberi, bukan saya sebagai ayahnya."
"Apakah dalam mimpimu, dia berjubah bulu burung keperakan?" tanya Ki Ageng Singaranu, menegaskan.
"Betul, Ayah."
"Siapa si Penunggang Angin itu" Apa Dimas sudah mengetahuinya?" tanya Jalu Lampang.
"Sudah, Kakang! Bahkan sekarang pun ada disini. Ternyata yang dimaksud si Penunggang Angin adalah burung elang itu," jawab Ki Ragil Kuniran, sembari telunjuk kanannya menuding ke arah Paksi dan elang kesayangannya bermain.
Ayah dan anak itu memandang ke jurusan barat. Pada awalnya Ki Ageng Singaranu hanya menganggap sebagai elang biasa, hewan peliharaan menantunya dan juga teman bermain anaknya supaya tidak nakal. Mata tua itu memandang tajam ke arah Si Perak, seakan sedang menerka-nerka. Sedang yang diperhatikan, masih asyik dengan si majikan muda. Sambil bermain berkejar-kejaran, Paksi menirukan gerakan-gerakan elang putih itu.
Ki Ageng Singaranu kaget melihatnya.
"Mustahil!" ucap Ki Ageng Singaranu. "Bagaimana mungkin bocah sekecil itu bisa menirukan gerakan hewan sehingga nyaris sama dengan gerakan hewan itu sendiri?"
"Itulah sebabnya saya berkunjung ke sini untuk mencari keterangan siapa adanya si Elang Berjubah Perak." kata anak mantunya.
Sejenak Ki Ageng Singaranu terdiam, seolah sedang mengingat-ingat sesuatu.
Keningnya berkerut.
Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran memperhatikan Ketua Padepokan Singa Lodaya dengan raut muka sedikit tegang, terutama Ki Ragil Kuniran, karena dirinyalah yang bersangkutan dengan masalah ini.
Lalu, Ki Ageng Singaranu berkata, "Kalau mengetahui betul, aku juga tidak yakin. Dari cerita mendiang Guru yang pernah kudengar, ratusan tahun silam muncul seorang pendekar yang berjuluk Si Elang Berjubah Perak. Dia seorang pendekar pilih tanding di rimba persilatan. Tidak ada yang tahu dari mana asal-usulnya. Dia seperti orang kabur kanginan, tidak diketahui siapa orang tuanya, gurunya, semua serba misterius. Waktu itu guruku baru berumur lima belasan tahun. Yang mengetahui secara pasti hanyalah Eyang Guru. Guru pernah berjumpa dengan si Elang Berjubah Perak beberapa kali. Terakhir kali yang kudengar, Eyang Guru bertemu di Gunung Tambak Petir. Saat itu guruku sudah berusia hampir tiga puluh tahun ketika bertemu dengan si Elang Berjubah Perak ... "
"Gunung Tambak Petir" Dimana letak gunung itu?" gumam Jalu Lampang, seolah-olah memotong pembicaraan.
"Ya, Gunung Tambak Petir! Aku sendiri juga tidak tahu dimana letak gunung itu. Ketika akan berpisah, laki-laki berjubah bulu burung itu menepuk punggung Guru sekali, dan mengatakan dirinya menitipkan sesuatu untuk diberikan ke seseorang. Entah siapa, Guru juga tidak mengatakannya. Bahkan bentuk titipannya seperti apa, Guru juga tidak tahu. Mungkin hanya Eyang Guru yang tahu, tapi Eyang Guru juga tidak mengatakan sesuatu pada muridnya," kata Ki Ageng Singaranu lebih lanjut.
"Aneh, yang dititipi juga tidak tahu apa bentuknya dan kepada siapa titipan itu akan diberikan," kata Ki Ragil Kuniran, dengan pelan. "Lalu, lanjutnya bagaimana, Ayah?"
Setelah berhenti sejenak dan meminum air jahe yang ada di cawan tanah itu, Ki Ageng Singaranu melanjutkan ceritanya.
"Sampai Guru menjelang ajal, beliau pun juga menepuk punggungku sekali, dan mengatakan bahwa diriku sebagai pengemban titipan itu dan harus memberikan titipan itu pada orang yang berhak. Aku pun bingung, pada siapa titipan itu harus kuberikan, sedangkan bentuk titipan itu pun aku tidak tahu. Bahkan saat almarhum adik seperguruanku ingin melihat bentuk titipan itu di punggungku, tidak terlihat apa-apa dan dia tidak menemukan apa-apa di punggungku. Aneh, bukan?" jelas Ki Ageng Singaranu.
"Jadi, almarhum paman Gagak Sempana juga tidak melihat apa-apa di punggung Ayah" Hemmm, betul-betul membingungkan," kata Jalu Lampang sambil menghela napas.
"Apa paman Rangga Jembangan juga tidak mengetahui, Ayah?"
"Tidak ... Rangga Jembangan bahkan menggunakan ilmu "Netra Benggala" untuk menembusnya, juga tidak melihat apa-apa. Gagal total."
Ki Ragil Kuniran terdiam. Semua keterangan yang didengarnya masih samar-samar.
Lalu berkata, "Apa Ayah juga tahu tujuan pertemuan antara Eyang Guru dengan si Elang Berjubah Perak" Mungkin pernah menyinggung nama tempat" Atau tokoh-tokoh tertentu?"
Ki Ageng Singaranu terdiam sejenak, alisnya berkerut-kerut seakan mengingat sesuatu. Laki-laki tua itu memeras otaknya. Keringat sampai bercucuran dalam mengingat sebuah tempat yang sudah puluhan tahun dilupakannya.
"Kalau tidak salah, beliau pernah membicarakan tentang sebuah perkumpulan pendekar aliran putih yang berpusat di Istana Elang. Ya ... Istana Elang!" kata Ki Ageng Singaranu dengan yakin.
"Istana Elang?" Ki Ragil Kuniran bergumam.
"Dimana letak Istana Elang itu, ayah?" tanya Jalu Lampang, yang sedari tadi diam sambil mendengarkan keterangan ayahnya. Semua perkataan ayahnya dicerna dengan sebaik-baiknya. Namun, selama melanglang buana di rimba persilatan belum pernah mendengar tentang si Elang Berjubah Perak dan Istana Elang.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Hanya itu yang kudengar dari mendiang guruku," katanya.
Lagi-lagi mereka menemui jalan buntu!
Ki Ragil Kuniran mencerna keterangan itu dengan seksama. Ada dua tempat penting dalam keterangan ayah mertuanya, yaitu sebuah gunung yang bernama Gunung Tambak Petir dan Istana Elang!
"Bagaimana dengan Kakang Jalu" Bukankah selama ini Kakang telah malang melintang di rimba persilatan, mungkin saja pernah mendengar slentingan tentang tokoh misterius itu?" tanya Ki lurah desa Watu Belah.
"Entahlah ... aku sendiri tidak tahu, Dimas Ragil," jawab Jalu Lampang, dengan nafas terhmbus pelan, " ... Andaikata sahabatku ada disini, mungkin bisa mendapatkan keterangan yang lain dari dirinya tentang Istana Elang dan si Elang Berjubah Perak itu."
"Siapakah nama sahabat Kakang itu?"
"Orang persilatan sering menyebutnya si Kutu Buku Berbambu Ungu," jawab Jalu Lampang.
"Hemm, si Kutu Buku Berbambu Ungu" Aku pernah mendengar tentangnya. Kabar yang berhasil kusirap, si Kutu Buku Berbambu Ungu memiliki ilmu yang dinamakan "Terawang Gaib Masa Lalu", ilmu yang bisa melihat kejadian-kejadian yang telah terjadi di masa lampau, bahkan kudengar bisa mengetahui kejadian yang akan terjadi di masa datang. Apa benar begitu, Kakang Jalu?"
"Benar, Dimas Ragil. Ilmu itulah yang dimilikinya."
"Lalu, apakah Kakang Jalu juga tahu dimana adanya orang itu sekarang?" tanya Ki Ragil Kuniran pada kakak iparnya.
"Kabar terakhir yang kudengar, di sedang berada di Perguruan Gerbang Bumi, atas undangan Ketua lama Perguruan Gerbang Bumi untuk menyaksikan pemilihan sekaligus pengangkatan ketua baru untuk menggantikan kedudukan Ketua lama. Tapi, sekarang apa masih ada di Perguruan Gerbang Bumi ataukah sudah pergi melanglang buana mengikuti langkah kakinya, aku pun tidak tahu dimana dia berada," jawab Jalu Lampang.
Tiga orang itu kembali terdiam.
Ki Ragil Kuniran kembali duduk tercenung menganalisa keterangan ayahnya, sedangkan Jalu Lampang juga tidak berbeda dengan adik iparnya. Otaknya memilah-milah hal-hal yang mungkin saja terlewat untuk diceritakan, namun sampai kepalanya pening, tidak ada yang bisa dibicarakan lagi.
Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Singaranu menghela napas sambil berkata, "Sudahlah, mungkin suatu saat rahasia itu akan terkuak, siapa tahu malah Paksi sendiri yang bisa memecahkan misteri yang menyangkut dirinya itu."
Kemudian kakek tua Ketua Padepokan Singa Lodaya itu bangkit berdiri dan masuk ke ruang dalam, sehingga tinggal Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran yang berada di pendapa. Mereka pun berbicara panjang lebar sampai hari menjelang senja. Tentu saja pembicaraan yang sifatnya ringan dan sedikit menyerempet-nyerempet rimba persilatan saat ini.
Ketika senja telah berganti dengan malam, dan bulan sabit telah keluar dari peraduan, dibuncahi malam cerah penuh bintang, mereka sekeluarga berbincang-bincang di ruang dalam. Semua duduk melingkari meja besar yang di tengahnya tertata rapi makanan dan buah-buahan segar.
Ki Ragil Kuniran duduk bersebelahan dengan Jalu Lampang, sedangkan Salindri berdampingan dengan Srinilam, istri Jalu Lampang. Paksi Jaladara malah enak-enakan duduk di pangkuan kakeknya sambil menggerogoti jambu biji. Sesekali terdengar suara tawa saat mendengar celoteh bocah kecil itu. Tentu saja Ki Ageng Singaranu yang paling senang, bisa melihat cucu satu-satunya dan bahkan sedang duduk di pangkuan.
Sedangkan Gineng, duduk di tangga pendapa, sambil melihat-lihat ratusan murid padepokan yang sedang berlatih silat di tanah lapang yang cukup luas. Pemuda remaja itu masih mengenakan baju buntung tanpa lengan kesukaannya dan sebilah pisau panjang terselip di pinggang.
Semua murid memakai baju biru, hijau, dan ungu, kecuali dua orang yang berbaju hitam, sedang mengawasi mereka yang sedang berlatih. Ada yang bertangan kosong, memainkan jurus-jurus golok, tombak, pedang dan juga trisula berpasangan. Dua orang yang berbaju hitam itu adalah murid padepokan yang paling lama menimba ilmu di padepokan, sehingga oleh Ki Ageng Singaranu dipercaya melatih Ilmu Silat "Singa Gunung", ilmu khas Padepokan Singa Lodaya. Tataran ilmu mereka berdua hanya terpaut dua tiga tingkat saja dari Jalu Lampang, sehingga bisa dikatakan cukup mumpuni dalam hal olah kanuragan dan jaya kawijayan.
"Heeeaaa ... Haaattt ... Ciatttt ... "
Murid-murid yang berlatih itu memiliki gerakan mantap dan teratur. Pergeseran kaki, liukan tubuh, kelebatan tangan dan tendangan serta sorot mata tajam mereka, mengingatkan Gineng pada seekor singa jantan yang sedang mengintai dan siap mencabik-cabik mangsa.
"Jurus yang hebat, aku yakin jika dilambari tenaga dalam yang tinggi, pasti akan menghasilkan daya hancur yang dahsyat. Apa ini yang dinamakan Ilmu Silat "Singa Gunung" yang pernah dikatakan oleh Ki lurah padaku," bathin Gineng, sambil matanya memandang jurus-jurus silat yang sedang dilatih para murid Padepokan Singa Lodaya.
Gineng kemudian memperhatikan jurus silat yang menggunakan pedang, karena jurus itu mengingatkan pada dirinya pada jurus pisau yang dimilikinya. Hampir sama persis dengan apa yang pernah dipelajarinya dari Ki Ragil Kuniran.
"Jurus pedang itu mirip sekali dengan jurus pisauku," gumamnya.
Namun, malam yang cerah itu, tiba-tiba dibuncah suara ledakan keras.
Brakk! Dhuuarrr ... !!
Pintu gerbang padepokan yang terbuat dari kayu jati tebal itu, hancur berantakan diiringi suara benturan keras memekakan telinga. Benturan keras itu menimbulkan kepulan asap pekat dan bau hangus terbakar.
Seluruh murid padepokan terlonjak kaget, bahkan ada yang terjerembab saking kagetnya. Mereka cepat berlarian menyingkir dan ada yang sebagian berdiri di belakang dua murid utama itu. Dua murid utama juga kaget, namun segera menguasai diri dengan baik.
"Siapa kalian" Berani sekali membuat onar di Padepokan Singa Lodaya!?" bentak salah seorang murid berbaju hitam yang kanan.
Murid berbaju hitam yang sebelah kiri memutar tubuh, kemudian tangan kanannya mengibas ke depan dengan cepat. Selarik cahaya hijau terang melesat cepat dan menerjang kepulan asap yang masih mengepul. Dari balik kepulan asap, selarik cahaya merah pekat memapaki sinar hijau dan bertemu di udara kosong.
Bhummm! Terdengar ledakan keras, bumi serasa diguncang gempa kecil. Murid yang melontarkan pukulan tenaga dalam warna hijau terang sampai terjajar beberapa langkah, dan akhirnya jatuh terduduk.
Brugh! Dari sudut bibirnya menetaskan darah segar. Dadanya sedikit terguncang karena akibat dari lontaran tenaga dalam yang dilepaskannya membentur seleret pukulan tenaga dalam warna merah pekat yang dilepaskan dari balik kepulan asap.
"Pulanggeni, kau tidak apa-apa?" tanya kawannya, sambil membantu laki-laki yang bernama Pulanggeni, berusaha bangkit berdiri.
"Aku tidak apa-apa, Galang Seta! Uuhh, hebat juga mereka! Dadaku sampai terguncang begini," kata laki-laki yang bernama Pulanggeni.
Laki-laki yang bernama Galang Seta itu membantu Pulanggeni berdiri, dengan mata tetap menatap ke arah pintu gerbang padepokan yang hancur. Semua mata memandang ke arah kepulan asap. Sedikit demi sedikit asap menipis dan akhirnya, tampaklah beberapa sosok bayangan yang membentuk sosok manusia!
Terlihat tiga sosok bermuka bengis, pertanda bahwa diri mereka bertiga bukan orang baik-baik atau setidaknya datang dengan tujuan yang tidak baik. Dibelakangnya berdiri puluhan orang bertampang sangar dengan berbagai macam golok, pedang, trisula dan segala macam senjata berada di tangan. Bisa dipastikan mereka gerombolan brandal kecu yang kejam, berteriak-teriak keras sambil mengeluarkan kata-kata kotor!
Orang pertama adalah laki-laki berbadan gempal, bahkan cenderung gemuk dengan tinggi badan sedang. Seluruh tubuhnya penuh bulu-bulu lebat, muka lebar berminyak dengan satu biji mata yang selalu melotot liar. Badannya tidak berbaju, sehingga kekekaran otot nampak terpampang jelas, menandakan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi atau setidaknya akrab dengan kekerasan. "Tenaga Sakti Serigala Iblis"-nya sudah cukup tinggi, terutama di antara dua saudaranya yang lain. Dialah Ketua Serigala Iblis, yang oleh kalangan sesat dijuluki Serigala Hitam Bermata Tunggal!
Yang kedua adalah seorang laki-laki bermuka lancip seperti tikus mengenakan baju besar kedodoran yang tidak dikancingkan, sehingga tampak tulang dadanya yang menonjol seperti penggilasan padi. Di pundak kiri kanannya terselip semacam pisau-pisau panjang berjajar masing-masing berjumlah tiga dengan panjang hampir mencapai satu tombak, Cakar Serigala namanya. Sekilas memang tampak seperti bentuk clurit panjang berwarna hitam kemerah-merahan, mengeluarkan bau busuk menyengat. "Tenaga Sakti Serigala Iblis" yang dimilikinya hanya terpaut satu tingkat saja dari Serigala Hitam Bermata Tunggal. Laki-laki bermuka tikus itu sering dipanggil dengan nama Cakar Iblis Taring Serigala.
Yang paling akhir adalah seorang laki-laki berbadan kurus seperti cecak kering. Tubuh yang tinggi menjulai dibalut kain hijau tua. Tubuhnya lebih kurus dari Cakar Iblis Taring Serigala, dengan tinggi badannya mencapai dua tombak lebih. Bicaranya selalu gagap, sehingga selalu dicemooh oleh ke dua saudaranya. Diantara mereka bertiga, dialah yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling tinggi, karena "Tenaga Sakti Serigala Iblis" yang dikuasainya selalu dipusatkan pada sepasang kakinya yang panjang, sehingga ilmu ringan tubuhnya melampaui dua saudara tertuanya. Meski ilmu silatnya biasa-biasa saja, namun dia pulalah yang paling jago dalam melempar senjata rahasia. Tangan Kilat Kaki Bayangan itulah julukan yang pas untuknya!
Murid-murid Padepokan Singa Lodaya segera bersikap waspada melihat kedatangan tamu-tamu tidak diundang itu. Beberapa orang berlarian ke dalam barak senjata, kemudian beberapa saat kemudian sudah kembali dengan senjata terhunus.
Sementara itu, di saat mendengar ledakan keras membahana, Ki Ageng Singaranu, Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran segera bergegas keluar dari dalam pondok menuju ke arah suara berasal, sedangkan Nyi Salindri dan Srinilam menyusul di belakangnya. Paksi pun berlari-lari kecil mengikuti sang bunda. Pada mulanya ibu muda itu menyuruh Paksi sembunyi di dalam kamar, tapi karena rasa ingin tahu seorang bocah, membuat Paksi mengikuti dengan sembunyi-sembunyi.
"Siapa kalian" Untuk apa berbuat onar di tempat kami?" bentak Galang Seta, matanya memancarkan kemarahan karena sahabatnya terluka meski pun tidak begitu parah.
"Ha-ha-ha ... kau mau tahu siapa kami" Apa kalian pernah mendengar nama Gerombolan Serigala Iblis"! Kalau kalian belum pernah mendengarnya, sekarang kalian bisa melihatnya disini," jawab laki-laki bermata satu itu dengan pongah.
"Apa tujuan kisanak datang kemari?" kali ini Ki Ragil Kuniran yang bertanya.
"Hemm, tujuanku kemari adalah ... Kau!"
Laki-laki tak berbaju dengan celana hitam kelam itu menuding ke arah Ki Ageng Singaranu!
Sedangkan yang dituding melengak kaget.
"Aku!" Untuk apa kisanak mencariku?" tanya Ki Ageng Singaranu, heran.
"Singaranu! Yang kubutuhkan bukan tua rongsokan seperti kau, tapi sebuah benda pusaka yang diberikan oleh gurumu, si Ki Dirgatama yang berjuluk Singa Putih Berhati Iblis kepadamu!" sambung laki-laki bermata satu itu. "Serahkan benda pusaka itu padaku atau padepokanmu ini akan kujadikan karang abang, kuratakan dengan tanah!"
"Benda pusaka apa" Guruku tidak pernah memberikan benda pusaka apapun padaku!" jawab Ketua Padepokan Singa Lodaya, dengan tegas.
"Bohong!" bentak laki-laki bertampang lancip seperti tikus. "Aku yakin kau memiliki benda pusaka yang diinginkan kakangku! Lekas serahkan pada kami!"
"Kak ... ka ... kang ... buub ... buuattt ... appp ... appa ban ... banyak omm ... oomong ... sikk ... sikaatt ... saj ... ja ... " kata orang ketiga yang sejak tadi hanya diam.
"Diam! Kalau tidak bisa ngomong, jangan banyak ngomong!" bentak Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Si cecak kering itu langsung terdiam dengan kepalanya ditundukkan.
"Singaranu, apa kau memang menginginkan padepokanmu ini aku ratakan dengan tanah"! Baik, kalau itu maumu!" bentak Cakar Iblis Taring Serigala, dengan mata melotot beringas.
Terdengar suara gigi gemeletuk mengisyaratkan kemarahan. Sifatnya memang mudah marah dan tanpa banyak pikir panjang.
"Huh, kalian kira kami takut dengan gertak sambal kalian?" bentak Jalu Lampang. "Begundal-begundal tengik seperti kalian memang seharusnya dienyahkan dari muka bumi!"
"Bangsat! Anak-anak, seraaang ... !"
Tanpa diberi aba-aba untuk kedua kalinya, pengikut Gerombolan Serigala Iblis langsung menerjang maju. Mereka berteriak-teriak seperti kesetanan dengan senjata-senjata telanjang yang saling beradu cepat mencari mangsa.
"Hyyyaaa ... Ciatttt ... "
Murid Padepokan Singa Lodaya juga langsung masuk ke gelanggang pertarungan yang setiap saat bisa merenggut nyawa. Namun, dengan mengandalkan ilmu kebal ajian "Kulit Singa" yang mereka kuasai, tanpa kenal takut memapaki serbuan pengikut Gerombolan Serigala Iblis dengan berani. Dalam waktu singkat, halaman padepokan yang biasanya tenang itu berubah drastis menjadi ajang pertarungan hidup mati antara murid Padepokan Singa Lodaya dengan para pengikut Gerombolan Serigala Iblis yang beringas.
"Lebih baik Ayah menonton saja di beranda! Biar saya dan Dimas Ragil yang menangani. Tolong jaga Srinilam dan Salindri," kata anaknya, Jalu Lampang.
"Hemmm, ya sudah, tapi hati-hati dengan laki-laki tinggi besar itu."
"Baik, Ayah!"
Jalu Lampang segera berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang langsung dikerahkan dengan lambaran hawa tenaga dalam yang kuat. Dan langsung menuju ke satu sasaran, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal!
Dari atas, tubuh kekar itu langsung menghantam dengan pukulan jarak jauh ke arah lawan!
Debb! Debb!! Weess!!
Serangkum cahaya hijau pupus yang berasal dari hawa tenaga dalam itu melesat cepat ke arah laki-laki bermata satu itu. Laki-laki itu mendengus keras, lalu tubuhnya bergeser setengah tombak ke kiri, diikuti dengan berputarnya tubuh besar itu sambil tangan kanannya di dorong ke depan. Serangkum cahaya hitam kelam membentuk bayangan kepala serigala dengan mulut terbuka lebar, memapaki serangan tenaga dalam berwarna hijau pupus milik Jalu Lampang.
Blaaammm!! Ledakan keras mengiringi bertemunya dua tenaga dalam yang beda warna sehingga di sekitar tempat itu bagai diguncang prahara kecil. Jalu Lampang terpental ke belakang, namun masih bisa berjumpalitan dan jatuh ke tanah dengan kaki terlebih dahulu, sedangkan Serigala Hitam Bermata Tunggal juga terpental ke belakang dan lalu mendarat dengan kaki terlebih dahulu.
Jleg! Dua lawan saling bertemu pandang, saling menilai seberapa kuat lawan yang dihadapinya, saling mencari letak kelemahan dan kelengahan masing-masing. Beberapa saat kemudian, seolah dikomando, keduanya langsung serang dan saling terjang.
Perkelahian pun berlangsung dengan sengit.
Jalu Lampang mengerahkan kekuatan hawa tenaga dalam yang memancarkan cahaya hijau pupus dan seolah-olah membentuk bayangan singa raksasa. Semakin lama, seluruh tubuh memancarkan cahaya hijau pupus menyilaukan, di samping juga memainkan Ilmu Silat "Singa Gunung", sehingga gerakannya mirip seekor singa jantan yang cukat trengginas berusaha menggencet lawan.
"Heaaa ... ! Hiaaa ... !"
Serigala Hitam Bermata Tunggal juga tidak mau kalah mengerahkan hawa "Tenaga Sakti Serigala Iblis". Perlahan namun pasti, tenaga dalam itu membentuk bayangan khayal serigala yang seolah-olah membayangi gerak Serigala Hitam Bermata Tunggal. Mereka bertarung dengan gerak cepat, laksana seekor singa dan serigala yang saling berebut mangsa. Pertarungan itu makin seru karena masing-masing telah mengeluarkan ilmu andalannya.
Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah menghadapi si Cakar Iblis Taring Serigala yang sudah siap dengan senjata andalannya, Cakar Serigala. Cakar besi itu terus menerus mengeluarkan bau busuk karena mengandung racun ganas, kini telah terselip di kedua tangan, bagaikan sepasang taring-taring hewan pemangsa itu. Tubuh kurusnya mengimbangi gerakan lawan dengan kecepatan kilat. Ketika jarak tinggal dua tiga tombak, Si Cakar Iblis Taring Serigala menerjang maju dengan mengibaskan ke dua tangan bersilangan dengan cepat, mengerahkan jurus "Cakar Maut Membelah Angin" sehingga membentuk kibasan rapat membelah udara berwarna abu-abu memanjang, melaju cepat ke arah Ki Ragil Kuniran.
Ki Ragil Kuniran tetap tenang. Tangan kana kiri yang bersenjatakan sepasang pisau panjang bergerak mengibas ke depan dengan bersilangan sambil tubuh berputar ke kiri, mengerahkan jurus "Kelebat Guntur Menari". Seleret udara mampat berbentuk kilatan bunga api berloncatan bergerak cepat, menyongsong serangan lawan.
Dhaarr! Dharr! -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam
Terdengar letusan keras saat jurus "Kelebat Guntur Menari"-nya Ki Ragil Kuniran beradu dengan jurus "Cakar Maut Membelah Angin"-nya Si Cakar Iblis Taring Serigala. Keduanya terjajar beberapa langkah ke belakang, kemudian diam terpaku beberapa saat untuk menenangkan guncangan yang mendera di dalam dada.
"Bangsat!" Cakar Iblis Taring Serigala memaki keras, karena baru kali ini ada orang yang bisa menahan jurus "Cakar Maut Membelah Angin" miliknya.
"Baru kali ini ada orang yang menahan jurus "Cakar Maut Membelah Angin"-ku, biasanya meski ditahan dengan cara apapun, jurus ini akan tetap bisa menerjang lawan, bahkan mencacah-cacah seperti daging cincang. Benar-benar keparat orang itu. Aku harus lebih berhati-hati padanya," pikirnya.
Sedangkan Ki Ragil Kuniran hanya tersenyum mengejek lawan, "Huh, cuma jurus picisan saja, sudah besar mulut!"
"Setan! Kalau aku tidak bisa menghabisi nyawa busukmu itu, jangan sebut namaku Cakar Iblis Taring Serigala!" bentaknya.
"He-he-he-he, kau memang lebih pantas disebut Si Cakar Tikus," ucap Ki Ragil Kuniran berusaha memancing kemarahan lawan.
Laki-laki itu menggertakkan gigi sebagai tanda kemarahan, kemudian laki-laki bermuka lancip seperti tikus itu menerjang maju.
"Heaaa ... !"
Gerakannya lebih cepat berbahaya daripada sebelumnya, lebih cepat dan lebih banyak tipu-tipu silatnya. Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah pula menerjang lawan, dengan mengandalkan sepasang pisau panjang di tangan dan menerapkan jurus "Pisau Lidah Naga" dipadu dengan Ilmu Silat "Tangan Seribu Depa" yang dimilikinya.
Di lain tempat, Galang Seta dan Pulanggeni berdua menghadapi si cecak kering Tangan Kilat Kaki Bayangan yang tak kalah serunya. Kedua murid utama Padepokan Singa Lodaya ini memiliki kepandaian yang setingkat satu sama lain. Dengan mengandalkan ilmu kebal ajian "Kulit Singa", mereka berdua merangsek maju.
"Heeeaa ... "
Keduanya bahu membahu dalam menghadapi lawan. Galang Seta menyerang bagian bawah sedang Pulanggeni menyerang bagian atas. Dua saudara seperguruan itu selalu mengisi kekosongan, sehingga bisa menekan lawan setangguh apa pun.
Dari pendapa padepokan, Ki Ageng Singaranu mengangguk-anggukkan kepala melihat kerjasama dua murid utamanya. Tidak menyangka, bahwa Ilmu Silat "Singa Gunung" bisa dimainkan dengan cara berpasangan.
"Bagus sekali! Galang Seta dan Pulanggeni memang hebat dalam memadukan Ilmu Silat "Singa Gunung" menjadi jurus silat berpasangan. Saling mengisi kekosongan dan menutupi kelemahan. Hemm, mereka berdua patut diacungi jempol. Mungkin sudah saatnya aku menurunkan pukulan "Telapak Singa Murka" pada mereka berdua," pikir Ki Ageng Singaranu.
Meski dikeroyok dua orang, Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak pantang menyerah. Puluhan paku-paku beracun yang dilontarkan ke arah lawan, selalu tepat pada sasaran.
Seett! Sett! Wirr!! Wirr! Crapp! Crapp! Crap!
Pikirnya, dengan senjata paku beracunnya bisa membereskan dua orang lawan tangguh itu dengan cepat. Namun dia kecele. Bukannya lawan yang mati, tapi justru anak buahnya yang banyak berkelojotan meregang nyawa, karena saat paku-paku beracun itu mengenai tubuh lawan, langsung terpental balik dan mengenai orang-orang yang berada di sekitar mereka, karena sebenarnya dua pemuda berbaju hitam itu telah melindungi diri dengan ilmu kebal. Semakin keras tenaga serangan yang mengenai pemilik ajian "Kulit Singa" maka semakin keras pula tenaga pantul yang dihasilkan.
"Kurr ... kurang ... ajjj ... jarr!"
Tangan Kilat Kaki Bayangan menghentikan serangan paku beracun, lalu beralih dengan mengerahkan Ilmu Silat "Serigala Iblis". Gerakannya berubah semakin cepat dan ganas, terutama sekali jurus tendangan yang secepat kilat. Gerakan tendangan itu digabung dengan ilmu meringankan tubuh, membuat tubuhnya berkelebat cepat kesana kemari dalam menyerang lawan.
Werrs! Galang Seta dan Pulanggeni pun melenting mundur, lalu mengubah cara bertarung.
"Galang Seta, kita gunakan jurus "Sepasang Singa Membantai Iblis"!" ucap Pulanggeni.
"Baik!"
Keduanya pun berkelebat cepat ke kanan dan ke kiri hingga membuat Tangan Kilat Kaki Bayangan terkepung di tengah-tengah. Kembali pertarungan pecah antara dua murid Ki Ageng Singaranu dengan salah seorang pemimpin dari Gerombolan Serigala Iblis, yaitu Tangan Kilat Kaki Bayangan. Mereka bertiga kembali berkutatan untuk berusaha saling menjatuhkan lawan.
"Hyahh!"
Sementara itu, Gineng pun tidak mau tinggal diam sudah terlibat dalam kancah pertarungan. Pemuda remaja itu berkelebat cepat ke arah lawan dengan sepasang pisau panjangnya. Ilmu silat yang dipelajari dari Ki Ragil Kuniran yaitu Ilmu Silat "Tangan Seribu Depa" sangat membantunya dalam pertarungan yang baru pertama kali dialami pemuda tanggung itu. Meski belum menguasai sepenuhnya jurus "Pisau Lidah Naga", namun Ilmu Silat "Tangan Seribu Depa" yang merupakan dasarnya sudah sangat dikuasai dengan baik.
Wutt! Wushh! Dua orang anggota gerombolan menyerang pemuda remaja itu dengan gada berduri dan tombak bercagak dari arah depan. Gineng pun melenting ke atas sambil mengibaskan sepasang pisau panjangnya ke arah lawan.
Crass! Cratt! "Aaakhh! Uuggh!"
Dua orang itu terpental dengan dada terbelah. Satu terbelah menyilang dari kiri ke kanan dan satunya terbelah memanjang sampai ke perut. Keduanya ambruk berkelojotan meregang nyawa beberapa saat, lalu mati.
Gineng tercenung, bergantian memandang kedua tangan dan orang yang telah dibunuhnya. Rasa menyesal, bersalah dan bingung campur aduk menjadi satu karena memang baru pertama kali dalam hidupnya dia membunuh orang dalam suatu pertarungan. Namun, rasa penyesalan itu harus dibayar dengan mahal. Salah seorang anggota perampok berperut buncit sambil berjalan mengendap-indap di belakangnya, berusaha untuk membokong. Setelah berada dalam jarak jangkauan, tangan kekar sebesar kayu jati itu merangkul Gineng dari belakang dengan gerakan cepat.
Krapp! "Hegh!"
Gineng merasakan dadanya terasa nyeri, lalu diikuti dengan napas tersengal-sengal. Rangkulan itu begitu kuat, bagaikan rangkulan seekor kera hutan. Beberapa injakan dan sepakan kaki yang dilakukan oleh Gineng pun tiada artinya, seolah-olah membentur tumpukan kapas.
"Mampus kau! Heh-heh-heh, akan kuremukkan tulang belulangmu!"
Pelukan laki-laki buncit itu makin kencang, sehingga Gineng semakin sulit bernapas, bahkan napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya mulai melemah dengan sendirinya, hingga sepasang pisau panjangnya terjatuh ke tanah.
Klontang! Pemuda remaja itu merasakan tubuhnya seperti dijepit batu karang. Tulang-tulangnya berkerotokan, seakan mau patah. Pada saat kesadarannya sudah hampir hilang, dan bayangan kematian sudah tepat berada di pelupuk mata, sesosok bayangan berkelebat.
"Kakang Gineng, merunduk!"
Bayangan itu bergerak cepat, diikuti sekelebatan bayangan putih keperakan di belakangnya. Bayangan itu lalu melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu kaki kanannya menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah ke arah muka si perut buncit!
Wessshh! Duugghh!
Tubuh buncit itu terjengkang ke belakang karena terkena hantaman keras di bagian wajah. Kepalanya pusing dan dunia serasa berputar. Saat berusaha berdiri, jalannya menggeloyor seperti orang mabuk. Setelah menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali, rasa pusing itu sedikit berkurang.
Pandangan mata belok melotot ke arah sosok tubuh kecil berikat kepala merah!
"Bangsat kecil!" Perlu apa kau turut campur?" bentak si perut buncit.
Lalu tubuh kecil itu melenting ke atas dan berdiri tegak di samping Gineng. Bayangan itu tak lain adalah Paksi Jaladara, sedangkan bayangan putih keperakan yang mengiringinya adalah elang kesayangannya, Si Perak!
Jurus "Kelebat Ekor Elang" yang dilancarkan Paksi Jaladara seharusnya bisa membuat kepala pecah atau paling tidak retak parah, namun ternyata hanya membuat kepala si perut buncit menjadi pusing dan pandangan berkunang-kunang, itu dikarenakan kepala laki-laki bertubuh boros itu terlindungi hawa tenaga dalam yang cukup kuat sehingga bisa menahan serangan lawan.
"Kakang, kau tidak apa-apa?" tanya Paksi, tanpa menoleh ke arah pemuda di sampingnya.
Tatapan mata bocah itu setajam elang, tepat menghunjam ke arah bola mata lawan. Laki-laki berperut buncit itu tergetar hatinya, hingga tanpa disadarinya mundur beberapa tindak ke belakang.
Gineng hanya menganggukkan kepala, lalu tanpa bersuara meraih sepasang pisau panjang yang ada di tanah diteruskan berguling satu kali ke depan, lalu menerjang laki-laki berperut buncit yang hampir saja membunuhnya.
Weess! Anggota Gerombolan Serigala Iblis itu menghindar ke samping, sambil kaki kanannya menendang ke depan dengan bertumpu pada kaki kirinya yang kokoh.
Wukk! Sambaran angin keras mengiringi tendangan itu ke arah pinggang. Gineng mengegos badan ke kiri menghindari tendangan, sambil tubuhnya menyelinap diantara tendangan lawan dengan cepat.
Weett! Laki-laki itu tersentak kaget, tidak ada waktu bagi dirinya untuk menghindari serangan lawan. Pisau panjang di tangan pemuda berbaju coklat itu berkelebat cepat dengan mengerahkan jurus "Ular Sawah Menelan Kodok" dan sasarannya adalah tepat di jantung!
Crapp! "Hekhh!" Mata melotot dengan mulut ternganga lebar. Darah segar muncrat saat pisau panjang itu dicabut oleh Gineng.
Brugh! Tubuh itu berdebam ke tanah, sambil berkelojotan meregang nyawa, lalu diam tak bergerak. Mati!
Pemuda itu membalikkan badan, seperti seorang senopati perang yang telah selesai menjalankan tugas menumpas musuh.
"Terima kasih, Den Paksi! Lebih baik Den Paksi kembali ke pendapa saja, biar saya yang membantu disini," tutur Gineng, dengan nada rendah.
"Baiklah, tapi Kakang Gineng hati-hati."
"Jangan khawatir, tidak akan terulang untuk kedua kalinya," kata Gineng meyakinkan sang majikan muda.
Semua kejadian itu tidak lepas dari mata tua Ki Ageng Singaranu!
Sedangkan Nyi Salindri sudah kebat-kebit melihat anaknya malah ikut-ikutan berkelahi. Mulanya Ki Ageng Singaranu akan membantu Gineng dengan melontarkan pukulan jarak jauh, namun keburu didahului Paksi Jaladara yang turun tangan sedangkan Nyi Salindri juga berniat untuk menolong anaknya. Namun dicegah oleh Ki Ageng Singaranu.
"Tidak usah cemas, aku yakin anakmu tidak apa-apa." ucap Ki Ageng Singaranu, berusaha menenangkan putrinya.
Meski begitu, ibu muda itu masih tetap gelisah, sampai akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Gineng, dan anaknya sudah jalan lenggang kangkung ke arah pendapa.
"Paksi, kemari! Jangan berbuat yang macam-macam," seru sang ibu.
Bocah berikat kepala merah itu malah cengar-cengir, sambil bergegas menghampiri sang ibu, sedangkan Si Perak sudah terlebih dahulu terbang dan kini hinggap di atas palang kayu, tempat biasanya di mana kuda ditambatkan di depan pendapa padepokan.
Sementara itu, pertarungan semakin memanas. Teriakan dan pekikan kesakitan terdengar dimana-mana. Pelataran yang semula adem ayem itu berubah menjadi ajang pembantaian. Saling bunuh, saling terjang, saling tendang, bahkan ada yang menyabung nyawa sambil memaki-maki, korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Murid-murid Padepokan Singa Lodaya yang masih rendah ilmu kebal dan kekuatan tenaga dalam yang dikuasai belum memadai, banyak mengalami luka di sekujur tubuhnya. Namun, semangat tarung yang dimilikinya tetap berkobar-kobar laksana api ketemu minyak. Para murid Padepokan Singa Lodaya yang menguasai ilmu kebal ajian "Kulit Singa" lumayan tinggi, melindungi saudara seperguruan mereka yang masih lemah. Sehingga tampak kerja sama yang kompak. Saling bahu membahu dan tolong menolong serta saling menutupi kelemahan kawannya.
Pengikut Gerombolan Serigala Iblis juga tidak kalah ganasnya. Mereka yang terbiasa berkutat dengan darah dan kematian, menyerang membabi buta. Lawan mendekat, sikat!
Akan tetapi di dalam hati mereka, tersimpan rasa gentar menghadapi lawan yang sebagian besar menguasai ilmu kebal itu. Pedang, golok, tombak dan setiap senjata yang kena sasaran di tubuh lawan, selalu terpental dan bahkan nyaris mengenai dirinya sendiri?
"Heeaa! Hyahh!"
Crass! Crakk! Crook!!
Sedikit demi sedikit, jumlah penyerang makin berkurang. Banyak diantara mereka yang tewas atau sekarat, menunggu ajal menjemput. Melihat jumlah penyerang makin berkurang, semangat tarung para murid padepokan makin meninggi.
Di sudut pelataran, Jalu Lampang masih berkutat seru dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal. "Tenaga Sakti Serigala Iblis" makin menebal, demikian juga "Tenaga Sakti Singa Gunung"-nya Jalu Lampang, semakin memancarkan cahaya terang, seolah berusaha menerangi malam.
"Hyaaa ... !"
Si mata satu menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menyerang ke arah jantung, sambil tubuhnya melesat ke depan. Tangan kirinya menyusul dengan gerakan tangan membabat ke arah leher. Disusul dengan dengan tendangan tajam ke arah kemaluan. Si mata satu itu menamakan jurus "Tiga Jalan Darah Kematian". Praktis, Jalu Lampang diserang dari tiga arah yang mematikan.
Jantung, leher dan kemaluan!
Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang di rimba persilatan, pernah mencicipi asam garamnya pertarungan dan sakitnya luka, tidak membuat Jalu Lampang gugup menghadapi serangan mematikan itu.
Plaakk! Kepalan tangan kanan ditepiskan ke arah luar, sedangkan tendangan ke arah kemaluan dihadang dengan kaki di tekuk di depan. Terdengar suara keras, seperti besi diadu dengan besi.
Draakk! Susulan tangan kiri lawan di tahan dengan siku kanan untuk melindungi jantungnya yang terancam, namun serangan tangan kiri itu agak melenceng ke kiri, dan tepat mengenai dada Jalu Lampang yang tidak terlindungi.
Bukk! Dhess!! Kedua jagoan itu terpental ke belakang sehabis beradu jurus dan juga beradu tenaga. Jalu Lampang merasakan dadanya terasa sesak dengan napas tersengal-sengal. Darah merah merembes keluar dari sudut bibirnya. Setelah mengalirkan hawa penyembuh luka serta mengatur napas beberapa saat, dadanya sudah agak longgar.
"Untung ada ajian "Kulit Singa", kalau tidak mungkin dadaku sudah hancur berantakan saat kepalan si mata satu itu mengenai dadaku! Uh ... aku harus lebih hati-hati menghadapinya," kata hati Jalu Lampang, sambil mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
"Setan alas! Kuntilanak bunting! Kadal bengkak! Bocah itu cukup hebat! Tangan dan kakiku seperti tersengat bara panas dan rasa ngilu menusuk tulang. Ilmu apa yang dipakai bocah itu" Seharusnya dadanya jebol terkena "Tiga Jalan Darah Kematian"! Kadal bengkak," gumam Serigala Hitam Bermata Tunggal, sedang matanya mencorong tajam, seperti mata serigala yang ingin menelan mangsa mentah-mentah.
"Bocah, kuakui kau cukup hebat! Jarang ada manusia yang bisa menahan "Tiga Jalan Darah Kematian"-ku dengan selamat! Aku yakin si tua bangka itu sudah menurunkan seluruh ilmunya padamu," kata Serigala Hitam Bermata Tunggal.
"Hem, kau pun juga hebat, orang tua!" sahut Jalu Lampang. "Ilmu yang kau pakai barusan mengingatkanku pada seorang tokoh kosen golongan hitam yang bergelar Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Ada hubungan apa kau dengannya?"
"Ha-ha-ha-ha, tidak percuma kau mengangkat nama sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai. Otakmu memang seencer bubur, anak muda! Benar, aku dan dua saudaraku adalah murid si Ratu Sesat Tanpa Bayangan! Beliau pula pemimpin tertinggi Gerombolan Serigala Iblis. Dan, guruku pula yang menyuruhku kemari untuk menagih harta pusaka yang dibawa ayahmu. Aku yakin, kau sebagai anaknya pasti juga telah menerima warisan pusaka itu. Nah, serahkan benda itu padaku daripada kau mati sia-sia, anak muda," jawab Serigala Hitam Bermata Tunggal.
"Huh, lagi-lagi harta pusaka! Melihat bentuknya pun belum pernah, apalagi kau malah menuduh aku yang memilikinya. Andaikata harta pusaka itu ada padaku, tak mungkin kuserahkan pada manusia sesat macam kalian," sentak Jalu Lampang, yang ternyata di rimba persilatan digelari Singa Jantan Bertangan Lihai.
"Keparat busuk! Babi bunting! Makan tinju mautku ini!"
Setelah memaki keras, Serigala Hitam Bermata Tunggal menghentakkan kaki ke tanah, lalu tubuh tinggi besar itu mencelat ke atas. Dari atas, kedua belah tangannya yang mengepal saling dibenturkan satu sama lain, sehingga terdengar benturan keras beberapa kali, lalu kedua tangan mengepal itu berubah menjadi merah membara seperti bara api yang menyala-nyala. Saat itu pula, Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mengerahkan ilmu tertingginya yang bernama "Tinju Serigala Meraung"!
Dhuarr! Dhuarr! Dhuarr!
Terdengar suara ledakan keras berkali-kali mengiringi meluncurnya tubuh Serigala Hitam Bermata Tunggal. Setelah itu, tampak sepasang tinju itu didorongkan ke depan saling bergantian susul-susul diikuti dengan tubuh besarnya menerjang ke arah Singa Jantan Bertangan Lihai. Mulutnya meraung keras seperti suara serigala lapar.
"Auunnggg!"
Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai tidak mau mati konyol begitu saja. Tubuhnya sedikit merendah dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda kokoh, seperti singa yang sedang mendekam menanti mangsa. Kemudian tangan kiri dan kanan saling bergesekan sehingga menimbulkan suara menyayat yang berkepanjangan.
Sreett! Srett! Setelah itu kedua belah tangan itu memendarkan cahaya hijau pupus, yang makin lama makin menebal diikuti hawa dingin yang menyengat. Lalu kedua tangan itu diputar sedemikian rupa membentuk gumpalan bola cahaya hijau pupus yang makin lama makin membesar. Itulah ilmu sakti khas Padepokan Singa Lodaya.
Ilmu "Telapak Singa Murka"!
Saat itu, "Tinju Serigala Meraung" yang dilancarkan Serigala Hitam Bermata Tunggal hanya berjarak satu setengah tombak dari Jalu Lampang, namun hawa panasnya terasa menyengat kulit dan memedihkan mata. Jalu Lampang segera menghentakkan kedua belah tangannya ke atas, ke arah serangan yang membersitkan hawa panas tersebut berasal. Bola cahaya hijau pupus itu terlontar ke atas.
Plakk! Plakk! Bhlarr ... ! Bhlarr ... ! Dharr ... !!!
Sekitar tempat itu bagai diguncang prahara disertai luapan hawa panas dan dingin silih berganti di saat "Tinju Serigala Meraung" bertemu dengan "Telapak Singa Murka". Semua orang yang berada di tempat itu terpelanting sambil merasakan sengatan hawa panas dan dingin yang silih berganti karena pengaruh dari benturan keras itu. Debu beterbangan menutupi pandangan mata hingga pertarungan berhenti untuk sesaat lamanya.
Mereka semua merasakan tanah tempat berpijak berguncang keras seperti terkena gempa dahsyat. Ki Ageng Singaranu melesat ke luar sambil menyambar Salindri dan Srinilam karena pendapa tempatnya menonton pertarungan, berderak-derak keras dan kemudian runtuh.
Drakk! Drakk! Drakk! Brroolll! Brumm ... !!!
Saat Ki Ageng Singaranu berhenti di tempat yang aman, barulah Salindri teringat sesuatu. Matanya mencari-cari sesuatu, namun yang dicari tidak ada. Yaitu anaknya, Paksi Jaladara!
"Paksi"! Paksi dimana, Ayah" Dimana Paksi"!"
"Aduuuhh, aku sampai lupa! Dia masih di pendapa!" kata Ki Ageng Singaranu, sambil menepak jidatnya keras-keras. Kakek itu segera melesat kembali ke pendapa, lalu tangan kurusnya bergerak lincah membongkar reruntuhan pendapa sambil mulutnya berteriak-teriak memanggil cucunya. Rasa panik terpancar jelas di wajahnya.
"Paksi, kau dimana Nak" Jawab! Ini kakek!"
Tiba-tiba terdengar suara dari atas ...
"Kek, Paksi disini! Disini! Lihat ke atas!"
Ki Ageng Singaranu segera menghentikan kegiatannya. Kepala mendongak ke atas, mencari tempat dimana suara itu berasal. Matanya melotot melihat kejadian yang menurutnya sangat tidak masuk akal!
"Jagat Dewa Bathara!"
Paksi tampak menggerakkan tangan ke atas ke bawah, seperti sayap burung! Tubuh kecilnya tampak mengambang di angkasa, lalu berputar-putar kesana kemari sambil tertawa terkekeh-kekeh. Di sampingnya tampak elang putih keperakan terbang mengiringi sang majikan muda. Bocah berikat kepala merah itu melayang-layang seperti layaknya seekor elang!
"Mustahil! Tidak mungkin ini terjadi!"
Kakek itu mengucal-ucal mata tuanya, namun yang dilihat tetap sama. Saat itu pula, Gineng juga menoleh, di saat mendengar Nyi Salindri memanggil-manggil nama si bocah. Matanya jelalatan mencari sosok bocah berikat kepala merah. Setelah ketemu, matanya terpana melihat kejadian ganjil yang terpampang di depan mata.
"Den Paksi ternyata tidak bohong! Dia ternyata bisa melayang dia udara, seperti yang dikatakannya tempo hari," gumam Gineng, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Paksi Jaladara lalu berputaran di udara beberapa kali, dan mendarat di tanah dengan selamat!
Pada saat itu pula, setelah guncangan dahsyat itu berhenti, tampak dari kepulan debu yang mulai menipis, dua sosok tubuh manusia berdiri tegak. Pertarungan antara Singa Jantan Bertangan Lihai dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mendekati detik-detik terakhir. Benturan keras tadi secara langsung menerpa mereka berdua, karena dari merekalah asal ledakan keras itu terjadi. Keduanya masih berdiri tegak dengan sikap saling serang. Kepalan tangan Serigala Hitam Bermata Tunggal yang tadi melancarkan "Tinju Serigala Meraung" memberikan jejak luka biru lebam kehitaman di dada Singa Jantan Bertangan Lihai, membentuk lekukan yang cukup dalam. Dari sudut bibir Jalu Lampang menetaskan darah kental kehitaman, pertanda luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang mendera.
"Hoekkh!"
Darah kental berwarna hitam akhirnya termuntahkan keluar dari dalam mulut. Beberapa saat kemudian, tubuhnya limbung dan ...
Brughh! Tubuh kekar itu akhirnya jatuh pingsan akibat jejak luka yang dibuat lawan. Darah masih terus menetes keluar diiringi dengan sentakan-sentakan kecil tubuhnya, meskipun laki-laki itu dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, keadaan Serigala Hitam Bermata Tunggal tidak kalah parahnya dengan Jalu Lampang. Di dada sebelah kiri, terlihat jejak luka merah kehitaman akibat terkena pukulan "Telapak Singa Murka" yang dilancarkan oleh Singa Jantan Bertangan Lihai. Luka itu membentuk lekukan telapak tangan yang cukup dalam di dada kiri. Langkah kakinya sempoyongan mendekati tubuh pingsan sang lawan. Darah pun menetas dari sudut bibirnya.
"He-he-he, aku men ... me ... nang! Kau kalah ... an ... nak mud ... da ... "
Tubuh si mata satu itu akhirnya juga limbung dan akhirnya ...
Bruugh! Serigala Hitam Bermata Tunggal juga akhirnya menyusul ambruk, berseberangan dengan Singa Jantan Bertangan Lihai. Dari lima lobang di wajahnya, darah memancar keluar seperti air mengalir. Tubuh kekar itu berkelojotan meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, diam tak bergerak sama sekali.
Mati! Rupanya pukulan "Telapak Singa Murka" tepat bersarang di bagian jantung, membuat jantung hancur dari dalam tanpa disadari yang bersangkutan. Sedangkan Jalu Lampang masih bernapas, walau satu-satu dan agak tersengal-sengal. Darah kental menetes terus dari sudut bibirnya.
Semua mata memandang dua sosok tubuh yang tergeletak itu dengan terpana. Bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Dua sosok manusia yang semula saling cakar-cakaran dan berusaha saling menjatuhkan, kini diam tak bergerak. Suasana kembali lengang disebabkan pertarungan berhenti, namun tidak berhenti sepenuhnya.
Beberapa murid Padepokan Singa Lodaya mendekati Singa Jantan Bertangan Lihai, lalu mengangkat tubuh pingsan itu ke samping beranda, di mana ketua Padepokan Singa Lodaya, Salindri dan Srinilam berada. Setelah sampai, laki-laki tua itu segera menyambut tubuh anaknya, menotok jalan darah untuk menghentikan pendarahan dan melakukan proses pengobatan untuk memulihkan kondisi Jalu Lampang atau yang dikenal sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai.
Di lain tempat, kancah sabung nyawa terpecah menjadi dua bagian. Yaitu pertarungan sengit antara Tangan Kilat Kaki Bayangan dengan dua murid utama Padepokan Singa Lodaya, sedangkan di sisi lain, Ki Ragil Kuniran masih berkutat seru dengan Cakar Iblis Taring Serigala.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti di komando, dua golongan yang pada mulanya berseteru, kini menepi ke sisi yang berlainan. Sisa pengikut Gerombolan Serigala Iblis yang kini berjumlah puluhan orang tampak menepi ke arah pintu gerbang, seakan siap mengambil langkah seribu jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan atau pun melawan. Tidak ada sorak sorai seperti ketika tadi mereka datang dengan menjebol pintu gerbang. Ada yang terluka parah, ada pula yang luka ringan, tapi jumlah yang tewas lebih banyak lagi. Mereka yang biasanya selalu mengantongi kemenangan jika berkelahi atau menyerang padepokan atau perguruan silat lainnya, sekarang ketemu batunya.
Jika biasanya lawan sekali tebas langsung tewas, tapi kini dengan sekali tebas, lawan bukannya tewas atau terluka, tapi balik balas menebas dengan beringas, karena para murid itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan dan juga mengandalkan ilmu kebal.
Sementara itu, pertarungan di sisi lain ternyata masih kedot.
Pulanggeni menyerang bagian bawah dengan cakar terkembang diikuti dengan sepakan kaki bertenaga kuat, sedangkan Galang Seta menyerang bagian atas tinju tergenggam diiringi dengan tendangan berputar yang saling susul-susul menggempur lawan. Pertarungan pamungkas akan segera terjadi karena ke dua belah pihak telah mengeluarkan jurus atau ilmu andalan mereka.
Jdhar! Dharr! Dharr ... !
Terdengar ledakan keras berturut-turut yang menggetarkan jantung, ketika Tangan Kilat Kaki Bayangan yang menggelar "Tendangan Berantai Serigala Meraung" bertemu langsung jurus "Sepasang Singa Menggencet Tebing" salah bagian Ilmu Silat "Singa Gunung" yang dikembangkan secara berpasangan oleh dua murid utama Padepokan Singa Lodaya yang digunakan untuk menyerang dari atas dan bawah.
"Aaahhh ... !"
Tangan Kilat Kaki Bayangan terpental dengan jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh kurus menjulai itu terlempar dan membentur tembok dengan keras.
Drugghh! Brugghh!
Tubuh kurus itu tersandar di tembok dengan napas tersengal-sengal. Darah kental menetes dari sudut bibir dan akhirnya mengalir membasahi baju hijau tua di bagian dada. Kaki kanannya tampak gembung merah kebiruan, karena tersambar jurus lawan. "Tendangan Serigala Meraung" yang dikerahkan serta dilambari dengan "Tenaga Sakti Serigala Iblis" kalah telak!
Pulanggeni yang menyerang bagian bawah lawan dengan cakar terkembang, juga ikut terpental karena daya ledak yang begitu keras menyambar tubuhnya. Tubuh pemuda berbaju hitam itu terbanting ke tanah dengan keras sambil bergulingan beberapa tombak jauhnya dan langsung memuntahkan darah segar.
"Hoekhh ... "
Kedua tangannya bengkak kebiruan, karena "Tendangan Serigala Meraung" yang dilepaskan lawan, memang berbenturan langsung dengan tangannya saat jurus "Sepasang Singa Menggencet Tebing" dikerahkan dengan pengerahan hawa "Tenaga Sakti Singa Gunung" secara maksimal. Akan halnya Galang Seta, dia hanya terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri dengan cara jungkir balik beberapa kali dan bisa berdiri dengan tegak di tanah. Tangan kirinya sedikit bengkak kehitaman, karena berbenturan keras dengan tulang kaki lawan yang dilambari "Tenaga Sakti Serigala Iblis".
Galang Seta langsung memburu kawannya yang terkapar sambil muntah darah.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tujuh
"Pulanggeni, bagaimana keadaanmu?" tanya Galang Seta, dengan khawatir.
Tangannya segera menyangga kepala Pulanggeni, lalu jari-jari tangannya dengan lincah menotok beberapa jalan darah di dada dan beberapa bagian tubuh Pulanggeni. Beberapa saat kemudian, Pulanggeni membuka mata, lalu berkedip-kedip.
Galang Seta hanya tertawa melihat tingkah sahabat karibnya.
"Aku tidak apa-apa, sobat! Cuma sedikit terluka," gurau Pulanggeni, untuk menenangkan hati Galang Seta.
"Tidak apa-apa kepalamu soak! Terkapar begini dibilang tidak apa-apa ... " maki Galang Seta.
Sementara itu, keadaan lawan pun lebih parah dari mereka berdua, karena darah terus saja mengalir seperti anak sungai.
"Kurang ajar! Kalian berdua telah mempermalukan si Tangan Kilat Kaki Bayangan! Rasakan pembalasanku!" pikir si cecak kering.
Sebuah pikiran licik melintas di benaknya, cara yang biasa dimiliki orang-orang golongan sesat saat dalam keadaan terdesak. Tangan Kilat Kaki Bayangan meraba pinggang, dimana terselip dua bilah pisau terbang yang sengaja disembunyikan jika dalam keadaan terdesak oleh lawan. Matanya yang cekung memandang lawan dengan beringas, untuk melihat kelengahan lawan.
Perbuatan curang Tangan Kilat Kaki Bayangan yang ingin membokong, tidak lepas dari penglihatan Gineng. Mata pemuda remaja berbaju buntung itu melihat gerak-gerik orang ketiga dari Gerombolan Serigala Iblis yang mencurigakan. Matanya bergantian memandang tokoh sesat itu dengan dua murid utama Padepokan Singa Lodaya.
"Pasti dia mau melakukan sesuatu yang licik. Lebih baik, aku awasi saja dia!" pikir Gineng.
Ketika tangan kanan yang memegang dua bilah pisau terbang itu terangkat ke atas siap disambitkan ke arah Galang Seta dan Pulanggeni, Gineng pun melakukan gerakan yang sama. Pemuda remaja itu juga menyambitkan pisau panjangnya, dengan jurus "Pisau Lepas Dari Tangan" ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan, diiringi bentakan keras, "Dasar manusia licik!"
Wuttt!! Syutt! Pisau panjang itu melesat membelah udara, mengeluarkan desingan keras yang membuncah karena dilandasi dengan kekuatan tenaga dalam pemuda remaja itu.
Terlambat! Bersamaan dengan itu, pisau terbang di tangan orang ketiga dari Gerombolan Serigala Iblis itu juga telah melesat, ke arah Galang Seta dan Pulanggeni dengan kecepatan kilat!
Wushh! Weessh!!
Crapp! Trakk! Trakk ... !
"Ugh!"
Terdengar lenguhan pendek, bukan dari mulut Galang Seta atau Pulanggeni, tapi dari mulut si Tangan Kilat Kaki Bayangan!
Di bagian leher laki-laki kurus itu, tertancap pisau panjang yang dilemparkan Gineng, hingga amblas sampai ke gagangnya. Bahkan saking kerasnya tenaga sambitan jurus "Pisau Lepas Dari Tangan", membuat tubuh Tangan Kilat Kaki Bayangan ikut terseret beberapa tombak, lalu menancap di balok kayu tempat dimana biasanya mengikatkan kuda.
"Khu ... khu ... eghhh ... "
Tangan kurus itu berusaha mencabut pisau panjang yang menembus leher, hingga terdengar seperti suara orang mengorok keras. Beberapa saat kemudian, diam tanpa bergerak sedikit pun dengan mata melotot liar!
Si Tangan Kilat Kaki Bayangan rupanya melupakan salah satu kelebihan murid-murid Padepokan Singa Lodaya, yaitu ilmu kebal ajian "Kulit Singa", yang juga dikuasai oleh Galang Seta dan Pulanggeni. Ajian "Kulit Singa" adalah ilmu kebal dari segala macam senjata tajam mau pun tumpul, juga bisa memantulkan hawa tenaga dalam lawan. Selama lawan memiliki tenaga dalam lebih rendah dari pemilik ajian "Kulit Singa" atau setidaknya setara dengan lawan, ajian "Kulit Singa" akan tetap berfungsi dan selama lawan tidak menggunakan senjata pusaka, maka ajian "Kulit Singa" akan bisa melindungi sang pemilik.
Karena Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak menggunakan senjata pusaka, meski hawa tenaga dalam yang dmilikinya setara dengan yang dimiliki dua lawannya, namun lemparan pisau terbang itu terpental, seperti membentur tembok tebal saat mengenai punggung dan pinggang dua pemuda lawannya. Apalagi sudah dalam keadaan terluka dalam yang parah, membuat tenaga lemparan pisau terbangnya tidak sekuat kalau dalam keadaan sehat.
"Terima kasih, kawan!"
"Sama-sama!" sahut Gineng dari kejauhan.
Pemuda remaja itu melentingkan tubuh berjumpalitan di udara beberapa kali mendekati mayat si Tangan Kilat Kaki Bayangan.
Jleg! "Heh, orang jahat sepertimu sudah sepantasnya di kirim ke neraka!" ucap Gineng.
Tangan kanannya terulur menangkap gagang pisaunya, lalu ditarik dengan satu sentakan cepat.
Sett! Brugh! Saat pisau panjang itu tercabut dari leher, bersamaan itu pula tubuh Tangan Kilat Kaki Bayangan terperosot jatuh ke tanah. Mata orang ke tiga dari Gerombolan Serigala Iblis itu melotot besar, seakan tidak terima dengan kematian yang dihadapi.
Kemudian Gineng membersihkan pisau panjangnya dan menyelipkan di pinggang kiri sambil melangkah menghampiri Galang Seta dan Pulanggeni. Galang Seta dan Gineng lalu memapah Pulanggeni ke tepi kancah pertarungan, dimana Ki Ageng Singaranu sedang mengobati Singa Jantan Bertangan Lihai yang juga terluka parah akibat bertempur dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Praktis, hanya pertarungan Ki Ragil Kuniran dengan si Cakar Iblis Taring Serigala yang tersisa. Kedua orang itu masih ingkel-ingkelan dengan alot. Tendangan dan pukulan datang silih berganti. Cakar Iblis Taring Serigala menerjang cepat dengan senjata Cakar Serigala diiringi dengan teriakan keras memekakkan telinga.
"Hyaaa ... heyyyaa ... !"
Trang! Tring! Crangg!
Terdengar dentingan besi beradu saat sepasang pisau panjang di tangan lurah desa Watu Belah itu menahan serangan kilat lawan. Kaki kiri Ki Ragil Kuniran berputar ke depan dan ...
Buuukk! Sebuah tendangan berputar tepat mengenai pelipis kanan Cakar Iblis Taring Serigala, yang langsung terjajar ke samping. Di saat tubuhnya terpelanting, Cakar Iblis Taring Serigala masih sempat mengibaskan senjata Cakar Serigala di tangan kanannya ke arah lengan lawan.
Cratt! Darah kental kehitaman mengucur dari bekas sambaran senjata berbentuk cakar itu. Laki-laki itu mengernyitkan alis, menahan rasa ngilu yang tiba-tiba menjalar lewat jalan darah di bekas luka cakaran, terus menjalar naik sampai bagian bahu.
"Racun ganas ... " gumamnya. " ... cepat sekali menjalarnya ... "
Ki Ragil Kuniran segera meloncat mundur, lalu menotok jalan darah di lengan dan bahunya untuk menghentikan jalannya racun menuju jantung.
Cakar Iblis Taring Serigala sempat melirik ke arah samping. Pandang matanya melihat Serigala Hitam Bermata Tunggal tergeletak diam entah hidup entah mati dan Tangan Kilat Kaki Bayangan yang terbujur kaku dengan jejak luka berdarah di bagian leher.
"Kurang ajar! Dua saudaraku telah tewas, sedangkan anak buahku pun kocar kacir tak karuan! Keadaan ini tidak menguntungkan bagiku. Kalau aku tetap di sini, kemungkinan tewas lebih besar. Lebih baik aku mundur dulu. Padepokan Singa Lodaya benar-benar kuat. Kalian harus membayar penghinaan ini suatu saat nanti!" bathin laki-laki kurus bermuka tikus itu. "Guru yang katanya akan ikut membantu, sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya. Brengsek! Lebih baik aku lari saja dari sini. Persetan dengan mereka semua!"
Dua bola mata laki-laki itu bergerak lincah persis mata pencuri yang tertangkap basah. Lirik sana lirik sini, berusaha mencari celah yang bisa diterobos keluar. Belum sempat murid ke dua si Ratu Sesat Tanpa Bayangan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar laksana petir di siang hari yang memecah kesunyian.
"Singaranu! Berani sekali kau mengusik murid-muridku! Siapa pun yang berani mengusik tiga murid kesayanganku, harus berhadapan dengan Ratu Sesat Tanpa Bayangan!"
Entah dari mana datangnya, sesosok perempuan tua bertubuh bongkok berbaju batik kembang-kembang sudah berdiri di atas genting. Rambut putih riap-riapan berkibar-kibar tertiup angin. Di tangan kiri tergenggam tongkat hitam melengkung dari bangkai ular kobra, yang panjangnya sama tinggi dengan tubuh nenek bongkok itu. Tubuhnya kurus kering, seakan hanya tulang terbalut kulit saja, sedang daging yang ada hanya ala kadarnya saja. Matanya bersinar-sinar menyorotkan kekejaman tiada tara. Nenek bongkok bertongkat ular itu dulunya seorang perempuan jelita meskipun umurnya sudah tidak muda lagi, juga merupakan salah datuk hitam berilmu tinggi dari Pulau Nusa Kambangan. Kehebatan ilmunya bisa disejajarkan dengan Ki Ki Dirgatama, seorang tokoh golongan putih yang juga sekaligus guru dari Ki Ageng Singaranu.
Pada masa itu, wanita yang bergelar Ratu Sesat Tanpa Bayangan merupakan momok menakutkan bagi dunia persilatan. Hanya dengan menyebut namanya saja, sama artinya dengan mengantar nyawa. Belum lagi dengan Serikat Ular Iblisnya, yang sering berbuat kejahatan dimana-mana, bahkan kejahatan dan kekejiannya sampai terdengar menyeberang ke Pulau Andalas mau pun ke Pulau Borneo yang letaknya di seberang lautan. Membunuh, merampok, bahkan melakukan hal-hal biadab sudah merupakan kebiasaan yang menyenangkan bagi Serikat Ular Iblis dan juga Ratu Sesat Tanpa Bayangan.
Selain terkenal dengan kekejamannya, nenek itu juga memiliki ilmu awet muda sehingga tubuhnya tetap singset dan menggiurkan bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Jika ditanya, dukun teluh terhebat di rimba persilatan, maka akan menunjuk tokoh ini sebagai ahlinya. Dengan ilmu "Teluh Ireng" yang sangat diandalkannya, jarang ada tokoh persilatan yang bisa hidup jika sudah terserang ilmu teluh itu, belum lagi dengan ilmu "Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa" dan "Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan" juga merupakan salah satu ilmu sakti di rimba persilatan, dimana setiap kibasan mau pun sambaran anginnya yang mengeluarkan racun maut bisa mendatangkan maut bagi siapa saja, apalagi kalau terkena telak, pasti nyawa akan merat saat itu juga. "Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan" dilatih dengan merendam diri dalam gentong besi yang didalamnya penuh berisi ribuan racun tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan berbisa. Tak jarang pula beberapa binatang langka yang berbisa digunakan untuk berlatih ilmu ini. Bisa dikatakan bahwa ilmu "Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan" adalah rajanya pukulan beracun.
Apalagi ditambah hawa "Tenaga Sakti Serigala Iblis" yang dimilikinya juga sudah mencapai tataran tak tertandingi oleh siapa pun di dunia persilatan saat itu. Itulah yang menjadikannya menggelari diri sebagai Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sehingga kepongahan dan kesombongan semakin menjadi-jadi.
Namun, setinggi-tingginya ilmu seseorang, masih ada yang bisa melebihinya. Seperti kata pepatah "diatas langit masih ada langit", Ratu Sesat Tanpa Bayangan akhirnya kena batunya juga. Saat dia berjumpa dengan tokoh sakti yang berjuluk si Elang Berjubah Perak yang waktu itu sedang berjalan bersama sahabatnya Ki Dirgatama yang menyandang gelar Singa Putih Berhati Iblis, berada di sebelah utara pulau Nusa Kambangan, setelah mengunjungi salah satu tokoh golongan putih dari pulau Nusa Laut.
Merasa dirinya hebat dan tanpa tanding di kolong langit, wanita iblis itu menantang dua tokoh golongan putih itu dan akhirnya terjadi perkelahian yang berlangsung ratusan jurus dan berakhir dengan kekalahan Ratu Sesat Tanpa Bayangan di tangan si Elang Berjubah Perak. Seluruh ilmu silat, ilmu sihir dan juga hawa "Tenaga Sakti Serigala Iblis"-nya dikeluarkan sampai tahap terakhir, tetap tidak bisa menggoyahkan posisi lawan.
Bahkan Singa Putih Berhati Iblis dengan berani mendatangi seorang diri sarang Serikat Ular Iblis di Nusa Kambangan saat terjadi duel antara si Elang Berjubah Perak dan Ratu Sesat Tanpa Bayangan, akhirnya perserikatan pembawa bencana itu tumpas tapis tanpa sisa di tangan Singa Putih Berhati Iblis yang saat itu masih senang-senangnya menambah pengalaman pertarungan dan tentu saja karena masih berjiwa muda. Setengah harian dia membantai orang-orang Serikat Ular Iblis, saat dia kembali ke pertarungan si Elang Berjubah Perak dan Ratu Sesat Tanpa Bayangan, nampak olehnya tokoh sesat itu mengiba-iba minta dibiarkan hidup!
Oleh si Elang Berjubah Perak, Ratu Sesat Tanpa Bayangan diampuni asal mau bertobat dan tidak mau mengulangi perbuatan jahatnya lagi. Namun, hal itu ditentang oleh Ki Dirgatama yang selalu berpedoman bahwa mencabut rumput harus sampai ke akar-akarnya. Pemuda itu berkeyakinan, bahwa setiap tokoh hitam pasti lain di mulut lain pula di hatinya.
Setelah berpikir sejenak, si Elang Berjubah Perak berketetapan bahwa dia tetap ingin mengampuni Ratu Sesat Tanpa Bayangan, namun seluruh ilmu yang dimilikinya harus dimusnahkan agar tidak disalahgunakan lagi.
Mendengar hal itu, Ratu Sesat kaget bukan alang kepalang! Mati dalam pertarungan bagi seorang pendekar bukan suatu masalah, tapi terlunta-lunta di dunia persilatan tanpa ilmu yang disandangnya, merupakan aib dan momok menakutkan bagi para pendekar. Wanita cantik itu melolong-lolong minta dibunuh daripada jadi orang cacat tanpa ilmu.
Namun apa yang diucapkan Elang Berjubah Perak pantang ditarik kembali. Seluruh ilmu Ratu Sesat itu akhirnya dimusnahkan semua dan berubahlah ia menjadi orang biasa tanpa ilmu. Namun itu tidak memuaskan Ki Dirgatama, masih ditambahi dengan dipotongnya daun telinga kiri dan ruas tulang leher bagian belakang Ratu Sesat ditarik satu jengkal ke atas sehingga tubuhnya menjadi bongkok, sehingga mirip orang lanjut usia. Kecantikan yang dibangga-banggakan, luntur seiring dengan berjalannya waktu. Hinaan dan cercaan setiap orang diterimanya dengan hati penuh dendam. Hingga sampai di tempat tinggalnya, di pulau Nusa Kambangan. Ia melihat seluruh anak buahnya mati bergelimpangan di dalam sarangnya, tak satu pun yang masih bernapas sama sekali. Hatinya makin pedih dan membuatnya berteriak-teriak seperti orang gila, dendamnya pun semakin menjulang tinggi, kalau perlu sampai tembus ke langit!
Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang kini telah cacat dan berubah menjadi nenek tua renta, dendam setengah mati pada Elang Berjubah Perak dan terutama sekali pada Ki Dirgatama yang telah membuatnya cacat seumur hidup, menjadi manusia bongkok untuk selamanya. Dia bersumpah akan membalas sakit hatinya suatu saat nanti. Dendamnya sedalam lautan setinggi gunung dan memuncak sampai ke ubun-ubun. Nenek bongkok itu pun kembali menggembleng diri, meski dengan susah payah karena setiap melatih ilmunya yang sudah musnah, tulang punggungnya terasa nyeri sekali.
Tanpa terasa, empat puluh tahun telah berlalu tanpa terasa. Ilmu sakti yang dulu musnah, kini dimilikinya kembali meski hanya separo saja. Namun itu sudah cukup menggegerkan dunia persilatan karena seluruh sepak terjangnya yang ngedap-edapi dilandasi dengan dendam membara. Dan ia kembali membentuk perkumpulan baru yang lebih jahat dari Serikat Ular Iblis, disebutnya sebagai Gerombolan Serigala Iblis.
Kini, tokoh hitam pada masa puluhan tahun silam itu hadir di Padepokan Singa Lodaya. Pesona maut menebar kemana-mana, siap mengantar siapa saja menuju ke neraka. Matanya jelalatan mencari-cari sesuatu. Pandang mata liar itu bersirobok dengan dua orang yang tergeletak agak berjauhan letaknya.
"Guru!" seru Cakar Iblis Taring Serigala, saat melihat perempuan tua itu adanya.
"Murid goblok! Menghadapi singa ompong saja sudah keok! Cepat urus kedua saudaramu!"
"Baik, Guru!"
Cakar Iblis Taring Serigala segera beringsut ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan dan mengangkat lalu meletakkan di pundak kiri, seperti meletakkan seonggok karung beras. Setelah itu berjalan ke arah Serigala Hitam Bermata Tunggal dan dengan cara yang sama, tapi diletakkan ke pundak kanan. Kemudian laki-laki itu berjalan keluar, diikuti para anak buah yang kini tinggal beberapa puluh orang saja.
"Ratu Sesat Tanpa Bayangan," gumam Ki Ageng Singaranu, saat mengetahui siapa adanya nenek rambut putih riap-riapan itu.
Orang pertama dari Padepokan Singa Lodaya itu beringsut maju ke depan, sedangkan Salindri dan Srinilam dibantu beberapa orang murid, menggotong tubuh Jalu Lampang atau yang berjuluk Singa Jantan Bertangan Lihai menyingkir dari situ. Meski sudah lolos dari maut, namun tenaga sakti laki-laki kekar itu sudah terkuras habis saat bertarung dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Ki Ragil Kuniran yang sebelumnya terkena racun, kini sudah mempersiapkan diri di belakang Ki Ageng Singaranu. Kepala Desa Watu Belah itu berjaga-jaga jika Ratu Sesat Tanpa Bayangan tidak hanya datang sendirian, tapi membawa bala bantuan yang mungkin saat ini bersembunyi entah dimana.
Matanya tajam mengitari sekitarnya.
"Ratu Sesat ... aku tidak mengusik muridmu, tapi merekalah yang memulai terlebih dahulu. Aku dan murid-muridku hanya membela diri ... "
"Aaaahh ... sama saja! Siapa yang memulai, aku tidak peduli! Tua bangka macam kau ini memang harus dihajar agar tahu adat, bicara dengan orang yang lebih tua harus lebih sopan!" potong nenek berambut putih riap-riapan dengan cepat itu.
"Nenek rambut putih, yang tidak sopan itu siapa" Kau atau ayahku" Berbicara dengan orang harus duduk sama rendah berdiri sama tinggi! Tidak seperti kau! Petantang-petenteng seperti orang gila!" bentak Ki Ragil Kuniran.
"Bangsat kudisan! Siapa kau, hah ... " Berani sekali menasehati aku!"! Memangnya aku ini siapamu" Aku ini apamu!?" balas bentak Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sambil berkata, tangan kanannya bergerak pelan melambai ke depan.
Dalam pada itu, serangkum angin tanpa wujud melesat cepat ke arah Ki Ragil Kuniran. Ketajaman rasa Ki Ageng Singaranu merasakan datangnya desiran angin tajam yang mendekat cepat, lalu segera mengibaskan telapak tangan ke depan dengan cepat.
Deb! Deb! Bluuub!
Terdengar suara letupan saat dua serangan tanpa wujud bertemu di udara. Meski letupan itu tidak begitu keras, namun telinga semua yang ada di situ terasa seperti ditusuk-tusuk jarum, bahkan beberapa orang sampai berdiri tergontai-gontai menjaga keseimbangan tubuhnya. Ketua Padepokan Singa Lodaya hanya bergeser setengah tindak dari tempatnya berdiri.
"Hi-hi-hi-hik ... tua bangka! Ternyata kau masih kedot juga. Coba terima seranganku berikut ini ... "
Selesai berkata, nenek itu memutar-mutar tongkat ular kobra di atas kepala, sehingga menimbulkan suara dengungan yang semakin lama semakin keras. Putaran tongkat itu mengakibatkan udara di sekitar tempat menjadi mampat dan terasa semakin panas, seperti adanya himpitan kekuatan raksasa. Beberapa saat kemudian, secara perlahan namun pasti, udara seolah-olah semakin menipis, membuat orang-orang yang sejarak delapan tombak dari tempat Ratu Sesat Tanpa Bayangan berdiri, kesulitan bernapas. Andai ilmu yang dimiliki nenek sakti itu setara empat puluh tahun silam, kemungkinan jarak jangkauan udara mampat dan panas bisa mencapai puluhan tombak jauhnya dan hawa panas yang ditebarkan bisa puluhan kali lebih panas.
"Nilam, singkirkan suamimu dari sini! Salindri, suruh anak-anak mundur sejauh mungkin ... "
Ki Ageng Singaranu segera mempersiapkan diri mengetahui lawan langsung mengerahkan ilmu kesaktian tingkat tinggi. Ke dua belah tangannya terentang lurus ke kanan kiri tubuhnya. Kemudian diputar bersilangan satu sama lain, hingga membentuk semacam gerakan memutar bola di depan dada. Kedua belah tangan itu saling berkutatan seakan-akan sedang memutar-mutar sesuatu. hawa tenaga dalam bernuansa dingin membeku tercipta bersamaan dengan munculnya cahaya putih kebiru-biruan membentuk gumpalan bola padat yang semakin lama semakin membesar. hawa panas pun saling tindih dengan hawa dingin.
Gumpalan bola itu ditarik ke samping ke kanan, lalu dengan diiringi hentakan kaki kiri serta teriakan membahana, si Dewa Singa Tangan Maut melontarkan gumpalan bola putih kebiru-biruan itu ke arah nenek yang sedang memutar-mutar tongkat ular kobra.
Weeeshh! Weeeshh ... !
"Jurus "Salju Menggulung Badai"!" seru nenek iblis itu.
Nenek sakti yang berjuluk Ratu Sesat Tanpa Bayangan sangat mengenali jurus yang dikeluarkan oleh lawan. Karena jurus "Salju Menggulung Badai" adalah salah satu jurus andalan Ki Dirgatama, musuh besarnya. Dengan ilmu itu pulalah, seluruh anggota Serikat Ular Iblis tewas mengenaskan dengan tubuh beku terbungkus serbuk-serbuk putih akibat lontaran jurus "Salju Menggulung Badai"-nya Singa Putih Berhati Iblis. Kini, jurus itu kembali digelar di hadapannya, kali ini oleh salah satu murid si Singa Putih Berhati Iblis.
Ratu Sesat Tanpa Bayangan semakin gencar meningkatkan tenaga dalamnya. Saat gumpalan putih kebiru-biruan itu semakin mendekat, tongkat ular kobra itu segera memutar dengan cepat, mengerahkan jurus "Ular Kobra Menyergap Mangsa", salah satu bagian dari "Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa"!
Crett!! Cratt!!
Dari kepala tongkat, keluar cahaya merah berkelok-kelok seperti ular merayap memapaki serangan Ki Ageng Singaranu.
Breesshh! Bushh ... !
Terdengar suara letupan seperti bertemunya air dan api. Masing-masing pihak merasakan betapa dahsyatnya serangan lawan. Sengatan hawa panas dan dingin saling menerpa satu sama lain. Ki Ageng Singaranu merasakan hawa panas menyengat di sekujur tubuh hingga dari luar tampak merah membara, sedangkan Ratu Sesat Tanpa Bayangan dikungkung hawa sedingin salju hingga di sekujur tubuhnya tampak tertutup serbuk-serbuk putih.
"Heeeaaaa ... "
Ki Ageng Singaranu yang tidak ingin mati terpanggang, segera mengalirkan kembali tenaga dalam yang didasarkan pada jurus "Salju Menggulung Badai" untuk mengenyahkan rasa panas yang seperti membakar tubuh. Kepulan asap putih tampak keluar dari atas kepalanya, kemudian lenyap diterpa angin. Beberapa saat kemudian, tubuh laki-laki renta berpakaian abu-abu itu sudah kembali seperti sedia kala.
Dalam pada itu, nenek bongkok yang masih bertengger di atas pintu gerbang, melakukan hal yang sama, karen tidak ingin mati membeku seperti ratusan anak buahnya puluhan tahun yang silam, segera mengerahkan hawa "Ilmu Sakti Api Iblis Membara" untuk mengenyahkan hawa membeku yang membungkus tubuh.
"Kurang ajar! Bangsat busuk! Murid dan guru sama saja!" umpat Ratu Sesat Tanpa Bayangan, " ... Singaranu! Hari ini kau beruntung, karena aku sedang malas mencabut nyawa busukmu! Suatu saat nanti, kau harus menerima pembalasan dariku atas perlakuanmu terhadap dua orang muridku, hi-hi-hi-hik ... "
Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Ratu Sesat segera balik badan dan ngeblas ke arah utara, diiringi suara tawa menyeramkan.
Blasss! Tubuh renta itu berkelebat cepat, secepat gerakan burung srikatan.
"Setan alas, jurus itu ternyata masih hebat juga, meski tidak sehebat puluhan tahun yang lalu. Singa Putih Berhati Iblis benar-benar keparat, rupanya dia sudah bisa memperkirakan bahwa kelak aku akan menuntut balas atas perbuatannya padaku, hingga menurunkan ilmu setan itu pada muridnya. Uhhh, bagian dalam tubuhku terasa diselimuti hawa dingin membeku. Jika tidak segera kuenyahkan, mungkin nyawaku akan segera merat ke akhirat! Singaranu keparat, tunggu pembalasanku," batin Ratu Sesat sambil tangan kiri yang dialiri hawa "Ilmu Sakti Api Iblis Membara" menekan dada agar hawa dingin itu tidak menjalar ke mana-mana.
Rupanya, akibat dari pukulan berhawa sedingin salju dari jurus "Salju Menggulung Badai" masih bersarang di dalam tubuh nenek sakti dari Nusa Kambangan itu. Dalam pertarungan sesaat adu ilmu dengan ketua Padepokan Singa Lodaya tadi, nenek itu mengalami luka dalam yang cukup membahayakan jiwanya.
Melihat ketua mereka kabur, seluruh anggota Gerombolan Serigala Iblis pun langsung angkat kaki dari situ. Mereka lari salang tunjang, menabrak-nabrak pepohonan yang ada di sekitar padepokan. Galang Seta dan Pulanggeni berniat mengejar, namun sebentuk suara berwibawa mencegah langkah mereka.
"Jangan dikejar, biarkan mereka pergi!"
"Tapi, Guru ... "
"Tenaga kalian masih dibutuhkan disini! Bantu teman-teman kalian yang terluka!" potong laki-laki tua itu.
"Baik, Guru!" sahut Galang Seta dan Pulanggeni bersamaan.
Ki Ageng Singaranu hanya menganggukkan kepala. Bersamaan dengan anggukan kepala itu, dari sudut bibir kakek renta itu meneteskan darah kental kehitam-hitaman, lalu tubuh itu limbung ke kiri dan ambruk ke tanah.
Brughh! "Guru!"
Galang Seta dan Pulanggeni yang baru akan beranjak dari tempat itu, membatalkan langkah dan dengan sigap menolong sang guru, sedang Ki Ragil Kuniran dengan cermat segera mengurut bagian simpul-simpul syaraf tertentu di dada dan punggung dan menotoknya, lalu mendudukkannya dalam posisi bersila.
"Ayah ... Ayah terluka" Parahkah?"
"Aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan diriku. Cepat kalian bantu teman-teman kalian. Biar Ragil saja yang membantuku disini ... " ucap Ki Ageng Singaranu dengan lirih.
Dua murid utama Padepokan Singa Lodaya itu saling pandang. Lalu sorot pandang mata mereka mengarah ke arah Ki Ragil Kuniran, seakan meminta persetujuan.
Kepala Desa Watu Belah itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Baiklah, Guru! Kakang Ragil, jika butuh bantuan, panggil saja kami berdua."
"Tentu, jangan khawatir," jawab Ki Ragil Kuniran.
Dua bersaudara seperguruan itu segera beranjak dari situ. Mereka segera bergabung dengan teman-temannya yang sedang mengobati luka-luka akibat serbuan Gerombolan Serigala Iblis.
"Ragil, papah aku ke pendapa. Aku ingin mengobati lukaku di sana."
"Baik, Ayah."
Di sisi kanan padepokan yang rindang, Gineng dan Paksi sibuk hilir mudik membantu murid-murid padepokan yang terluka, ada yang patah tulang, namun ada juga yang hanya tergores parang atau pedang lawan. Dalam serbuan mendadak ini, tidak ada murid yang tewas.
Paksi Jaladara mondar mandir membawa tempayan berisi ramu-ramuan obat yang dibuat ibunya dan juga Srinilam. Bocah berikat kepala merah itu dengan enteng menggotong tempayan yang lumayan besar. Untuk bocah sepantarannya, membawa tempayan sepelukan orang dewasa merupakan pekerjaan yang berat. Tapi bagi Paksi, membawa tempayan itu seperti orang mengangkat kendil tanah liat saja.
Sementara si Perak juga tidak mau tinggal diam. Melihat tuan mudanya ikut menyingsingkan lengan baju, entah dari mana datangnya, elang putih keperakan itu terbang rendah dan kedua kaki kiri kanan mencengkeram beberapa benda bulat, lalu menjatuhkan ke dalam tempayan obat yang dibawa kemana-mana oleh Paksi.
Plunng! Paksi melongokkan kepalanya sebentar ke dalam tempayan, lalu bibir mungil itu menyunggingkan senyuman.
"Terima kasih, Perak! Ambil dari tempat kakek tabib, ya?"
Krakk! Krreekk!
"Oh, begitu!" kata Paksi, setelah mendengar "penjelasan" dari sahabatnya.
Tidak ada yang memperhatikan percakapan "aneh" antara bocah berikat kepala merah itu dengan elangnya karena semua sibuk mengobati luka-luka, kecuali mata seorang pemuda tanggung berbaju buntung warna coklat, yaitu Gineng!
"Apa yang dimasukkan elang itu ke dalam tempayan obat" Sepertinya bulatan berwarna putih bercahaya. Anak itu selalu saja diliputi keanehan. Hmmm, lebih baik aku tanya saja padanya," bathin Gineng, seraya beranjak mendekati Paksi.
Dalam pada itu, Singa Jantan Bertangan Lihai siuman dari pingsannya. Seluruh tubuh dan sendi-sendi tulang masih terasa nyeri dan kaku. Tatapan matanya sedikit buram, karena rasa pusing yang mendera akibat banyak darah yang keluar dari dalam tubuh. Luka biru lebam kehitaman akibat terkena serangan "Tinju Serigala Meraung" masih terlihat jelas di dada Singa Jantan Bertangan Lihai. Luka itulah yang membuat seluruh jalan darah di sekujur tubuhnya berserabutan tak tentu arah, bahkan ada sebentuk tenaga liar yang berusaha keluar dengan bebas dari dalam tubuh Singa Jantan Bertangan Lihai.
"Hoekkh ... "
Kembali darah kental kehitaman tersembur keluar. Srinilam segera menghambur ke arah sang suami. Dipeluknya laki-laki yang kini menjadi belahan jiwa dengan segenap perasaan.
"Kakang Jalu, bagaimana lukamu" Sakitkah?"
"Uhh, seluruh tubuhku rasanya tidak karuan, Nyi. Jalan darahku seperti berbalik. tenaga dalamku rasanya berdesak-desakan ini ingin tumpah keluar. Sesak sekali. Uhhh ... !" keluh Jalu Lampang.
Mukanya mengkernyit menahan sakit yang kembali mendera.
Srinilam kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong suaminya. Yang bisa dilakukan hanya memeluk tubuh kekar itu sambil menahan tangis yang menggumpal di dada. Air mata akhirnya tumpah ruah membasahi dada kekar yang terbaring tak berdaya. Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai ingin sekali menyentuh istrinya, tapi tangan itu tak mau bergerak sedikit, yang tinggal hanyalah rasa gamang dan keinginan yang menggumpal di dalam hati.
Sebentuk tangan kecil menyentuh pundak wanita itu yang langsung menoleh dan melihat seraut wajah bocah tampan berikat kepala merah. Bocah yang kesana-kemari membawa tempayan obat itu hanya tersenyum kecil, "Bibi Nilam ... "
Wanita itu menyusut air mata yang meleleh di kanan kiri pipinya. Mata sembab memerah karena tangis, "Ada apa, Paksi?"
Paksi trenyuh sekali melihat keadaan sang paman.
"Bibi Nilam, jangan khawatir, Paman Jalu pasti sembuh," hibur bocah itu.
Srinilam hanya tersenyum getir, "Ya, semoga saja pamanmu lekas sembuh. Doakan ya, Nak."
Paksi menganggukkan kepala, lalu tangan kanan merogoh ke dalam tempayan, dan mengambil sebuah benda bulat sebesar kelereng yang memendarkan cahaya putih. Bentuknya hampir mirip buah kelengkeng tapi bukan buah kelengkeng pada umumnya yang sering dijumpai atau dijual di pasar-pasar, jika sedikit ditekan akan mengeluarkan cairan berbau harum semerbak menyegarkan dan cairan itu terasa lengket seperti gula aren, tapi sedikit lebih kental.
Ditimang-timangnya sebentar benda bulat itu, lalu diangsurkan ke arah Srinilam, sambil berkata, "Bibi Nilam, tolong bibi berikan pada Paman Jalu."
"Apa ini?" tanya Srinilam, sembari menerimanya dari tangan Paksi.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Delapan
Paksi hanya tersenyum kecil. Matanya berkedip-kedip lucu, "Pokoknya berikan saja pada Paman Jalu, nanti bibi akan tahu sendiri. Sudah dulu Bi, saya mau membantu paman-paman yang lain."
"Baiklah, terima kasih, Paksi."
"Sama-sama."
Lalu Paksi Jaladara pergi ke tempat dimana para murid Padepokan Singa Lodaya sedang dirawat. Kali ini yang diberikan Paksi adalah air obat rendaman dari benda bulat putih, yang lagi-lagi digunakan oleh bocah berikat kepala merah itu. Karena yang memberikan obat adalah cucu guru mereka, tidak ada yang bertanya atau pun memprotes tindakan Paksi yang menurut mereka aneh, karena yakin tidak mungkin seorang bocah kecil, apalagi cucu dari guru mereka berniat mencelakai orang yang sedang terluka. Bahkan mereka berterima kasih karena bocah itu dengan sukarela membantu kerepotan mereka, tidak manja atau rewel seperti bocah pada umumnya.
Paksi kemudian menuju ke tempat dimana ayah dan kakeknya juga sedang menyembuhkan diri karena luka masing-masing. Setelah memberikan benda bulat putih kepada ayah dan kakeknya, benda bulat yang sama dengan yang diberikan pada Srinilam untuk mengobati Jalu Lampang, bukan hasil rendaman dari benda bulat putih itu. Entah apa maksudnya, hanya Paksi Jaladara yang tahu!
Beberapa saat kemudian, luka-luka yang diderita, baik luka dalam maupun luka ringan sembuh dan hilang tanpa meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya. Bahkan rasa lelah akibat perkelahian dengan anak buah Gerombolan Serigala Iblis juga ikut lenyap. Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin besar dari sebelumnya.
"Galang Seta, kau merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Pulanggeni, pada kawannya.
"Aneh ... " Aneh bagaimana maksudmu?"
"Apa kau tidak merasa aneh pada dirimu" Pada lukamu" Coba teliti seluruh tubuhmu," tanya Pulanggeni lagi.
Galang Seta memeriksa seluruh tubuhnya. Dilihatnya luka memar akibat serangan lawan yang semula bengkak biru lebam, kini hilang tak berbekas, seolah tidak pernah mengalami luka sebelumnya. Bahkan saat disentuh, tidak terasa nyeri atau pun pedih.
"Betul kawan! Seluruh luka di badan kulenyap tak berbekas. Bahkan rasa sakitnya juga hilang sama sekali. Aneh sekali."
"Coba alirkan tenaga dalammu."
Galang Seta cepat tanggap, lalu disalurkannya hawa tenaga dalam ke arah tangan kiri dan tangan kanan, sehingga terasa aliran energi menjalar cepat ke arah tangan terus berkumpul di telapak tangan. Semua tidak ada masalah, tidak ada hambatan pada umumnya orang yang sedang terluka dalam, mengalir dengan lancar, malah lebih lancar dari sebelumnya.
"Aliran tenaga dalamku juga tidak terhambat, bahkan ... terasa lebih lancar dari biasanya."
"Aku merasakan hal yang sama seperti dirimu. Entah apa yang diberikan cucu guru kepada kita. Semua kawan-kawan juga mengalami hal yang sama, tidak berbeda jauh dengan kita."
Setelah semua pulih kembali seperti sediakala, Galang Seta dan Pulanggeni beserta murid-murid yang lain berkumpul di pendapa padepokan sisi kiri, karena pendapa utama sudah hancur akibat terjadinya pertarungan malam itu. Galang Seta melihat bahwa semua yang terluka telah pulih kembali, baik yang terluka dalam mau pun luka luar.
Pemuda murid utama Padepokan Singa Lodaya itu memberikan instruksi untuk sebagian murid untuk menguburkan mayat-mayat di pemakaman belakang padepokan. Setelah selesai memakamkan mayat-mayat itu, seluruh murid diminta untuk kembali ke barak masing-masing, tapi besoknya diminta berkumpul kembali di pendapa sisi kiri. Dengan patuh mereka segera membubarkan diri, ada yang langsung menuju ke barak, ada yang langsung rebahan beralaskan rumput tebal, dan ada pula yang langsung menuju pancuran sekedar untuk mencuci muka. Pembicaraan pun tak jauh-jauh dari pertempuran yang baru saja mereka alami. Bahkan murid-murid yang mendapat tugas untuk menguburkan mayat-mayat anggota Gerombolan Serigala Iblis, saat kembali juga ikut nimbrung dengan kawan-kawannya.
Malam hari berikutnya ...
Jalu Lampang telah sehat kembali, sembuh total dari luka dalam yang nyaris merenggut nyawanya, seluruh luka hilang lenyap tak berbekas. Ki Ageng Singaranu yang juga terluka akibat terkena hempasan jurus "Ular Kobra Menyergap Mangsa" yang mengandung "Ilmu Sakti Api Iblis Membara" juga telah sehat wal afiat. Benda bulat berpendar cahaya putih pemberian Paksi Jaladara-lah yang membantu menetralisir hawa panas menyengat dalam tubuh bahkan membantu meningkatkan hawa sakti yang dimilikinya.
Semua anggota keluarga Ketua Padepokan Singa Lodaya berkumpul di ruang tengah. Mereka semua duduk melingkari sebuah meja berbentuk bundar dari kayu jati alas dan diatasnya tersedia beberapa jenis sayur lengkap dengan buah-buahan. Dari kiri ke kanan duduk berturut Ki Ageng Singaranu, Jalu Lampang duduk bersebelahan dengan Srinilam, Salindri dengan Ki Ragil Kuniran duduk berdekatan sedangkan Paksi Jaladara duduk bersebelahan dengan kakeknya sambil asyik menggerogoti apel merah yang ada di hadapannya. Si Perak, burung elang kesayangan Paksi, pergi entah kemana, hanya majikan mudanya saja yang tahu kemana burung elang itu pergi.
Sementara Gineng malah asyik ngobrol kesana kemari dengan Galang Seta dan Pulanggeni. Terdengar derai tawa riuh rendah mereka di pintu gerbang sebelah selatan. Gerbang itu masih terbengkalai rusak karena pertarungan waktu itu. Hanya sebuah kursi panjang dan sebuah meja berukuran kecil dengan kaki yang sedikit somplak terkena ayunan pedang, namun masih cukup kokoh di tempati beberapa piring pisang goreng lengkap dengan kopi gula aren serta sedikit jahe merah hangat.
Di ruang tengah, mereka masih asyik membicarakan pertempuran kemarin malam. Pembicaraan hangat mengalir bagai air, tanpa sela dan tanpa hambatan.
"Tapi Ayah, apa Ayah tahu benda bulat putih sebesar kelereng yang diberikan pada Paksi padaku?" tanya Jalu Lampang, beberapa saat kemudian.
Ki Ageng Singaranu yang ditanya menggelengkan kepala, "Heh, aku tidak tahu! Baru pertama kali aku melihatnya. Dari sekian jenis ramuan obat yang pernah kutemui, belum pernah kujumpai obat semanjur itu daya kerjanya. Mungkin itu buah langka yang hanya berada di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini. Aku yakin Paksi tidak mencari sendirinya. Bisa jadi ada orang sakti yang memberikan pada Paksi."
"Jika memang ada orang sakti atau setidaknya tokoh rimba persilatan, menurut Ayah ... siapakah kiranya yang bisa atau memiliki benda mujarab itu?" tanya Srinilam.
"Entahlah ... cuma satu orang yang tahu!" jawab Ki Ageng Singaranu, diplomatis.
"Siapa, Ayah?"
"Dia!"
Kakek berbaju abu-abu itu mengarahkan jari telunjuk ke satu arah, yaitu ke arah ...
Paksi Jaladara!
Ki Ragil Kuniran segera menggeser duduknya ke arah Paksi. Dielusnya kepala bocah berikat kepala merah dengan lembut.
"Paksi, boleh Ayah bertanya?"
"Ayah ingin bertanya apa pada Paksi?"
"Darimana Paksi mendapatkan benda itu?"
"Benda apa, Ayah" Apa yang Paksi berikan pada ayah dan kakek waktu itu?"
"Betul, yang Paksi berikan waktu itu. Paksi dapat darimana?" tanya Ki Ragil Kuniran.
Bocah yang didahinya terdapat rajah kepala elang dan tertutup ikat kepala merah itu diam sejenak. Matanya yang tajam mengawasi semua yang ada disitu, seakan untuk meyakinkan diri apakah harus memberitahu darimana benda itu berasal. Ki Ageng Singaranu berdesir saat beradu pandang dengan cucunya itu. Jantungnya pun berdegup kencang.
"Tatapan mata anak itu seperti mengandung tenaga gaib. Heran, dari mana bocah sekecil ini bisa memiliki kekuatan sehebat ini. Pasti ada apa-apanya dengan cucuku ini," kata hati laki-laki tua itu.
"Kakek tabib yang memberikannya, ayah," jawab Paksi dengan tenang.
"Kakek tabib" Kakek tabib yang mana" Apa bukan Nyi Cendani, Paksi?" tanya Salindri yang sejak tadi hanya diam.
"Bukan, Bunda. Bukan dari Nenek Cendani, malah Paksi memberikan sebutir padanya untuk campuran obat. Paksi cuma dipesan oleh kakek tabib, kalau buah itu hanya boleh diberikan pada orang baik dan juga berilmu tinggi. Kalau cuma orang berilmu biasa hanya boleh diberikan rendaman buahnya saja. Itu pesan kakek tabib pada saya," sahut Paksi panjang lebar.
"Kalau Paman Jalu boleh tahu, siapa nama kakek tabib itu?"
Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala, "Paksi tidak tahu Paman, hanya Paksi sering memanggil kakek tabib saja."
"Darimana Paksi tahu, kalau kakek itu seorang tabib?" tanya ayahnya, Ki Ragil Kuniran.
"Sebab kakek kemana-mana selalu membawa keranjang ramuan obat, Ayah."
"Lalu, apa Paksi tahu nama obat yang diberikan pada bibi tempo hari?" tanya Srinilam sambil tersenyum manis.
"Eng ... anu ... ee ... namanya ... anu ... "
Ki Ageng Singaranu segera mengangkat cucunya dan di pondong di depan dada.
"Coba katakan pada kakek, apa nama obat itu" Sebab kakek mau berterima kasih pada kakek tabib karena sekarang kakek sudah sembuh berkat obat pemberian kakek tabib?" tanya Ki Ageng Singaranu, membujuk Paksi Jaladara yang kini berada di pondongannya.
Bocah itu hanya diam saja, seakan-akan ada sesuatu yang membebaninya. Keraguan itu dilihat dengan jelas dilihat oleh Ki Ragil Kuniran, Jalu Lampang dan Ki Ageng Singaranu. Sebagai seorang pendekar waskita, Ketua Padepokan Singa Lodaya tahu arti keraguan cucunya. Laki-laki tua bijaksana itu hanya tersenyum.
"Anu ... kek ... eeee ... itu namanya ... emm ... "
"Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ... "
Sebuah suara berwibawa menggema di seluruh ruangan, diikuti dengan melesatnya sesosok bayangan putih keperakan masuk ke dalam ruangan tengah. Setelah berputaran beberapa kali diiringi suara pekik nyaring, lalu sosok itu hinggap diatas langkan.
Aawwwkk! Kraaggghh!!
Bersamaan dengan itu, dari arah pintu melangkah masuk seorang kakek berjubah hijau muda dengan sebatang tongkat panjang dari akar kayu cendana di tangan kiri. Di punggung tersampir sekeranjang daun-daunan obat yang menguarkan bau semriwing menyegarkan. Seulas senyum ramah terpampang di bibir.
Melihat kedatangan kakek itu, Paksi segera merosot dari pondongan kakeknya dan berlari-lari kecil menyambut kakek berjubah hijau itu. Bocah itu segera meraih tangan kanan kakek itu dan menciumnya dengan takzim. Sebuah penghormatan yang luar biasa dari seorang bocah yang belum genap berumur enam tahun.
"Kakek tabib, tadi kakekku ingin bertemu dengan kakek ... "
"Oh, ya" Wah ... suatu kehormatan besar bagi kakek tabib kalau begitu ... " ucap orang tua yang dipanggil kakek tabib dengan lembut.
"Mari kek, saya antar ... "
Paksi meraih tangan kanan kakek itu, setengah menyeret ke arah Ki Ageng Singaranu berada.
Ki Ageng Singaranu yang tidak mengetahui kedatangan kakek berjubah hijau itu ke tempat kediamannya, merasa yakin bahwa laki-laki berjubah hijau yang usianya mungkin sepantaran dengan bukanlah tokoh biasa, setidaknya tokoh persilatan yang memiliki nama besar. Langkah kakek berjenggot putih dan mengenakan jubah hijau itu begitu ringan seolah-olah mengambang tidak menyentuh lantai, bahkan suara langkah kaki pun tidak terdengar sama sekali.
Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang segera saja berdiri, untuk menyambut kedatangan orang yang dipanggil sebagai kakek tabib oleh Paksi Jaladara.
Kepala Desa Watu Belah itu mengkernyitkan dahi dan berkata dalam hati, "Rasa-rasanya aku pernah melihat kakek berjubah hijau ini di desa Watu Belah, tapi kapan, ya?"
"Mohon dimaafkan kelakuan cucu saya yang kurang sopan pada Kisanak."
"Justru saya yang harus meminta maaf karena sudah datang ke padepokan ini tanpa diundang," sahut laki-laki tua berjubah hijau, " ... dan sudah mengganggu ketenangan saudara-saudara sekalian. Sekali lagi maafkan saya."
"Tidak apa-apa, kami malah senang mendapat kunjungan istimewa ini, silahkan duduk, Kisanak."
"Terima kasih."
Ki Ageng Singaranu menyambut uluran tangan si jubah hijau, kemudian berturut-turut Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang, sedangkan Paksi Jaladara masih menempel di sisi kanan kakek tabib itu. Akan halnya Salindri dan Srinilam, segera beringsut masuk ke dalam.
"Jika diperkenankan, sudilah kiranya saya bisa mengetahui siapa nama dan gelar kakek di rimba persilatan, karena saya yakin kakek pasti memiliki nama besar," tanya si Singa Jantan Bertangan Lihai, karena sedari tadi berusaha memeras otaknya, namun apa yang dicarinya tidak ketemu.
"Orang-orang sering memanggil saya Jati Kluwih, dan tempat tinggal saya jauh di timur pulau Jawa ini, di sekitar Blambangan," jawab kakek itu memperkenalkan diri bernama Jati Kluwih.
"Jati Kluwih ... " bathin Ki Ragil Kuniran, seraya mengelus-elus dagu, "Betul, waktu itu, saat Paksi berumur hampir satu tahun, kakek itu datang ke rumah dan meminta sedikit bekal untuk perjalanannya. I ya ... kenapa aku bisa lupa, ya?"
Jalu Lampang yang manggut-manggut itu tanpa sengaja melihat tangan kiri kakek berjubah hijau itu dan langsung tersentak kaget, "Jadi ... kakek adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan itu?"
"Ha-ha-ha-ha, nama buruk begitu jangan dibesar-besarkan, aku kok jadi malu padamu, anak muda! Mana sanggup nama burukku menyaingi nama besarmu, si Singa Jantan Bertangan Lihai," seloroh Ki Gedhe Jati Kluwih.
"Ha-ha-ha-ha ... " Jalu Lampang tertawa lebar. Sebagai sesama pesilat golongan lurus, berjumpa dengan orang yang lebih tua adalah suatu kehormatan yang tidak ternilai, apalagi bisa berada dalam satu meja dan satu ruangan pula.
Kemudian tanpa diminta terlebih dahulu, Ki Gedhe Jati Kluwih menceritakan tentang "Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka" yang diberikan kepada Paksi. Tabib Sakti Berjari Sebelas menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Tanpa tedeng aling-aling, tidak ada yang disembunyikan atau pun ditambah, apalagi dikurangi. Dan memang, Ki Gedhe Jati Kluwih pernah singgah di desa Watu Belah, sesuai dengan dugaan Ki Ragil Kuniran. Namun, sebenarnya kedatangan laki-laki tua itu memiliki maksud lain, yaitu mengemban tugas dari tokoh persilatan golongan putih yang tersohor dengan budi pekertinya, untuk mencari penerus atau pewaris dari segala ilmu yang dimilikinya. Juga pewaris pembasmi keangkaramurkaan di rimba persilatan yang kini kembali merajalela.
Bocah berikat kepala merah itu mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh kakek berjubah itu. Kepalanya sebentar-bentar mengangguk-angguk membenarkan ucapan Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan.
"Rupanya Paksi memang sangat mengenal siapa adanya tokoh tua ini. Beruntunglah anakku, andaikata Tabib Sakti Berjari Sebelas bersedia mengangkatnya menjadi murid," kata hati Nyi Salindri, setelah meletakkan minuman jahe hangat dan kini duduk di samping suaminya.
"Ooo ... begitu rupanya ... " sahut Ki Ageng Singaranu, sambil mengelus-elus jenggot kelabunya.
"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ki Ragil Kuniran karena apa yang saya lakukan tanpa sepengetahuan Ki Ragil sebagai orang tua dari Nakmas Paksi. Saya memang sudah berpesan kepada Nakmas Paksi agar merahasiakan semua yang dia ketahui tentang diri saya, termasuk juga ramuan obat "Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka" pun juga harus dirahasiakan keberadaannya," urai Tabib Sakti Berjari Sebelas panjang lebar.
"Jika boleh saya tahu, keperluan apa yang membuat Ki Gedhe sampai jauh-jauh keluar dari Pulau Kayangan datang ke gubuk saya yang reyot ini" Itu pun jika Ki Gedhe berkenan," ucap Ki Ageng Singaranu, dengan nada bersahabat.
"Baiklah! Sebenarnya kedatangan saya menemui Ki Ageng Singaranu adalah dengan mengemban amanat dari mendiang guru, yaitu Malaikat Sepuh Pulau Kayangan ... "
"Malaikat Sepuh Pulau Kayangan?" potong Jalu Lampang.
"Benar, Nakmas Jalu. Beliau berpesan agar saya bisa mencari dan menemukan murid kinasih dari pendekar aliran lurus yang bergelar si Singa Putih Berhati Iblis. Saya sudah mencari ke seantero Jawadwipa, dan pada akhirnya saya bisa menemukan siapa adanya murid dari sahabat guru saya itu, yang ternyata adalah anda sendiri, Ki Ageng Singaranu," terang Ki Gedhe Jati Kluwih, lalu sambungnya, " ... dan karena amanat yang saya pegang ini berhubungan erat dengan rimba persilatan, mohon sudilah kiranya Ki Ageng Singaranu berkenan menerima amanat dari guru saya."
Ki Ageng Singaranu terhenyak dari duduknya, "Amanat apa yang harus saya terima, Ki Gedhe?"
Ki Gedhe Jati Kluwih mengambil sesuatu dari balik jubah hijaunya, lalu mengangsurkan benda yang terbungkus dari kain kuning yang sudah lusuh kepada ketua Padepokan Singa Lodaya, Ki Ageng Singaranu.
Kakek berambut abu-abu itu menerima bungkusan itu dengan hati bertanya-tanya, sebab hari ini sudah dua kejadian yang membuat dirinya terancam maut. Pertama adalah bencana yang dibawa oleh Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang menuntut benda pusaka peninggalan Ketua Istana Elang yang entah apa bentuknya dan sekarang datang Ki Gedhe Jati Kluwih yang mendapat amanat dari Malaikat Sepuh Pulau Kayangan untuk menyampaikan sesuatu, yang kini berada didalam genggamannya.
Dengan hati-hati dibukanya bungkusan itu. Hanya terdapat potongan kulit kambing dengan sederet tulisan yang cukup rapi diatasnya. Kakek itu membolak-balikkan kulit kambing itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin masih tertinggal. Bahkan kain pembungkus itu pun tidak luput dari pencarian.
Seolah kurang yakin, dia bertanya, "Hanya ini?"
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukan kepala.
"Apakah aku boleh membacanya?"
"Silahkan, Ki. Itu sudah menjadi hak Ki Ageng Singaranu sepenuhnya, aku pun juga tidak tahu isi dari bungkusan itu meski aku membawanya selama puluhan tahun. Jika diperkenankan aku pun ingin mengetahui apa isinya." jawab kakek berjubah itu.
Mata tua itu menatap semua yang hadir disitu, yang dikuti dengan anggukan mengiyakan. Laki-laki itu membaca dengan lirih, "Carilah pewaris tunggal Istana Elang dan berikan hak milik yang seharusnya dia terima."
Semua mendengarkan dengan kening berkernyit, tak terkecuali Ki Ragil Kuniran dan istrinya.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagi-lagi Istana Elang! Sebenarnya ada apa ini" Kenapa semua yang datang ke sini selalu berhubungan dengan Istana Elang yang tidak kuketahui arah juntrungannya. Baru saja nenek kapiran itu datang kemari dan mbarang amuk di tempat ini. Ah ... pusing aku ... " keluh Ki Ageng Singaranu sambil terhenyak di tempat duduk, " ... dan siapa sebenarnya Si Pewaris itu" Apa yang harus kuserahkan, jika yang harus kuserahkan pun tidak aku ketahui bentuk dan asal usulnya" Apa aku harus berkelana seperti halnya dirimu, Ki Gedhe" Kesana kemari hanya untuk mencari satu orang yang tidak kuketahui?"
Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan masalah yang datang silih berganti.
Ki Gedhe Jati Kluwih maklum dengan keadaan tuan rumah. Sebagai orang yang sudah banyak malang melintang di rimba persilatan, dia tahu betapa pelik dan rumitnya masalah yang dihadapi ketua Padepokan Singa Lodaya itu, suatu masalah yang tidak diketahui ujung pangkalnya, dan apalagi yang dihadapi juga menyangkut nasib orang banyak.
Dengan senyum arif bijaksana, Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan berkata, "Ki Ageng Singaranu tidak perlu khawatir, sambil berkelana aku juga mencari sisik melik siapa adanya pewaris itu. Dan akhirnya aku berhasil menemukan siapa adanya pewaris yang kau maksud itu."
"Benarkah?" tanya Ki Ageng Singaranu seraya bangkit dari duduknya, tapi mendadak kakek itu merasa curiga, "Tunggu ... tunggu dulu! Tadi Ki Gedhe mengatakan bahwa Ki Gedhe belum pernah sedikit pun membuka atau pun melihat isi bungkusan ini. Tapi Ki Gedhe mengatakan bahwa telah menemukan siapa adanya pewaris itu" Jangan-jangan ... "
"Guruku yang memberi tahu saya, Ki Ageng. Beliau mengatakan ciri-ciri dari pewaris Istana Elang tersebut padaku. Saat itu bersamaan dengan aku menerima amanat yang harus kuberikan pada murid kinasih si Singa Putih Berhati Iblis yaitu bungkusan kuning yang kini telah Ki Ageng terima. Jadi, Ki Ageng tidak perlu curiga bahwa saya telah mencuri lihat isi dari amanat itu."
Iblis Dan Bidadari 2 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 11
^