Pencarian

Pendekar Elang Salju 3

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 3


Ki Ageng Singaranu alias Dewa Singa Tangan Maut manggut-manggut. Malu hati dia. Sakit kepala yang menderanya, tiba-tiba lenyap mendadak.
Aneh bukan"
"Oh ... kalau begitu maafkan saya, Ki Gedhe. Saya sudah berpikir yang bukan-bukan."
Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya menganggukkan kepalanya saja pertanda maklum.
"Lalu, siapa pewaris itu, Ki Gedhe?" tanya Jalu Lampang dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
"Ciri khusus yang dimiliki oleh pewaris pilihan dari Istana Elang adalah dia memiliki tanda-tanda tertentu yang dimulai sejak dalam kandungan, yang misalnya tidak lahir seperti orang pada umumnya. Mungkin bisa sepuluh bulan, sebelas bulan atau bahkan lebih. Kudengar, mendiang Ketua Istana Elang juga lahir pada waktu yang tidak semestinya, beliau lahir pada bulan ke tujuh belas. Ciri lain yang pasti dimiliki sejak lahir adalah salah satu anggota tubuhnya memiliki semacam rajah berbentuk kepala elang yang memendarkan cahaya perak dan bisa menguasai bahasa segala jenis binatang terutama satwa yang menguasai angin di seluruh muka bumi ini tanpa terkecuali ... " Ki Gedhe Jati Kluwih menghentikan sejenak ucapannya. Matanya berkeliling memandang semua yang ada di situ dengan tatapan meneduhkan namun menyiratkan ketajaman hati nan bijak.
Semua mendengarkan dengan antusias dan ingin tahu kelanjutannya. Namun tidak demikian dengan Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri. Keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas tadi tanpa sadar telah membuat jantung mereka berdegup kencang. Rajah kepala elang, itulah yang membuat jantung pasangan suami-istri itu berdegup, karena tanda khusus itu dimiliki oleh anak mereka, Paksi Jaladara yang juga lahir pada bulan yang tidak semestinya.
Bulan ke tiga belas!
Kemudian, Ki Gedhe Jati Kluwih melanjutkan keterangannya, " ... sedang ciri yang lain adalah setiap calon pewaris Istana Elang akan dijemput oleh utusan yang akan menyertainya kemana saja ia pergi. Utusan ini bisa menjelma dalam berbagai bentuk, bisa berwujud binatang, benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Bahkan bisa menjelma menjadi dua bentuk yang berbeda. Karena wujud asli dari utusan itu adalah roh suci yang berasal dari Nirwana Ke Sembilan. Mendiang ketua Istana Elang generasi ke 30 memiliki roh utusan berwujud seekor naga kecil bersisik putih keperakan dan sebuah pusaka berbentuk cambuk lentur, yang dinamakan Cambuk Naga Rembulan Perak. Jadi, setiap generasi Istana Elang memiliki utusan dan senjata pusaka yang berbeda-beda atau bahkan bisa sama dengan generasi sebelumnya ..." tutur Ki Gedhe Jati Kluwih.
"Istana Elang memang penuh misteri dan teka-teki yang sulit dijawab ... "
"Begitulah kehidupan, Nakmas Jalu, tidak bisa ditebak kemana dan dari mana dia berasal. Termasuk juga tiap generasi ketua Istana Elang, tidak tahu kapan dan bagaimana cara memilih calon pewaris. Hanya Hyang Bathara Agung yang tahu semua jawabnya," kata kakek berjubah hijau dengan bijak.
"Jadi yang diburu oleh tokoh-tokoh persilatan adalah senjata pusaka yang bernama Cambuk Naga Rembulan Perak dari Istana Elang itu, Ki Gedhe?" tanya Ki Ageng Singaranu.
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukkan kepala, "Betul Ki Ageng. Tapi tepatnya adalah Pusaka Rembulan Perak."
Hati kakek berbaju abu-abu itu terasa lega mendengar kilas balik dari perkumpulan aliran putih yang bernama Istana Elang yang pernah berjaya ratusan tahun silam, dan kini berusaha dibangkitkan kembali melalui seorang pewaris Tahta Angin yang keberadaannya entah tidak diketahui siapa adanya. Lengkap sudah tanda tanya di hatinya, mengapa Ratu Sesat Tanpa Bayangan memburu dirinya dan memperebutkan benda yang tidak diketahuinya dengan pasti.
"Nah, Ki Gedhe, kepada siapa benda pusaka itu harus aku serahkan" Dan bagaimana cara mengetahui bahwa pusaka itu ada pada diri saya" Bisakah Ki Gedhe memberikan petunjuk pada saya?"
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya tersenyum bijak. Mata tua itu memandang tajam ke arah Paksi Jaladara. Ki Ragil Kuniran yang sudah menduga sebelumnya, tetap berdebar-debar juga.
"Ki Ageng tidak perlu bersusah payah lagi, karena pewaris itu sudah ada disini. Dia berada diantara kita."
"Sudah ada disini" Siapa dia?" potong Ki Ageng Singaranu dengan cepat, "Apa salah satu dari murid-muridku"!"
"Bukan Ki Ageng, tapi dia adalah cucumu sendiri, Paksi Jaladara itulah orangnya. Bocah itu ketiban pulung sebagai pewaris Ketua Istana Elang generasi ke 33."
"Hahh!?" Ki Ageng Singaranu atau yang bergelar Dewa Singa Tangan Maut terlonjak kaget. Tatapan matanya langsung beralih ke arah Paksi Jaladara.
Bocah berikat kepala merah itu malah kebingungan dipandangi oleh kakeknya seperti itu. Tengok sana tengok sini, bahkan matanya ikut menjelajahi tubuhnya, seolah mencari sesuatu yang salah pada dirinya.
"Ada apa, kek" Kok kakek melihat Paksi seperti itu" Ada yang salah pada diri Paksi, kek?" tanya bocah berikat kepala merah itu, sambil clingak-clinguk.
"Ha-ha-ha-ha ... "
Ki Gedhe Jati Kluwih terlonjak kaget, saat mendengar tawa berderai keras. Bukan dari mulut Dewa Singa Tangan Maut, tapi dari Ki Ragil Kuniran!
"Kini terjawab sudah! Rupanya apa yang kucari selama ini terjawab disini! Teka-teki telah terpecahkan! Tak perlu lagi kiranya aku mencari jawaban atas keanehan yang dimiliki Paksi! Terima kasih Ki Gedhe, terima kasih ... ! Aku sangat bahagia sekali mendengar keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas ungkapkan."
Mendung di hati pasangan suami-istri itu seperti langit tersapu angin, berganti menjadi langit cerah, secerah sinar matahari yang bersinar di pagi hari. Nyi Salindri pun tidak kuasa meneteskan air mata. Kebahagiaan yang dialami seiring dengan tawa penuh gembira itu. Dipeluknya bocah itu dengan hangat. Meski ia tahu, di pundak anaknya kini terdapat tanggung jawab yang besar pada dunia kependekaran untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kebatilan yang ada di muka bumi. Di saat semua orang sedang serius memandangnya, Paksi Jaladara malah merem melek dipeluk ibunya.
Benar-benar bocah aneh!
"Ki Ragil, jika kau berkenan, aku ingin mengajak Paksi untuk mengembara, sekalian mengajarinya untuk hidup mandiri ... "
"Terserah Ki Gedhe bagaimana baiknya, saya hanya manut saja, bukankah begitu Nyi?" tanya Ki Ragil Kuniran.
Nyi Salindri menganggukkan kepala pertanda setuju, meski dalam hati kecilnya ada rasa tidak rela kehilangan anak semata wayangnya. Namun ibu muda itu sadar betul, bahwa kepergian anaknya bukan untuk bermain, tetapi kepergian yang menyandang tugas mulia.
"Betul, Ki Gedhe! Saya titip anak saya agar Ki Gedhe bisa nggulowentah Paksi. Kira-kira kapan Ki Gedhe dan paksi akan berangkat?"
"Dua hari dari sekarang," jawab laki-laki tua berjubah hijau dari Pulau Kayangan itu.
-o0o- Pagi itu ... Setelah matahari naik setinggi tombak, dua orang beda usia berangkat dari Padepokan Singa Lodaya, diiringi seluruh anak murid padepokan, Ki Ageng Singaranu dan juga orang tua si bocah yang kini harus berpisah dari ke dua orang tuanya. Nun jauh diatas, seekor elang berbulu perak sedang terbang melayang dengan ringan, membayangi perjalanan dua anak manusia itu.
Pagi itu, Paksi Jaladara masih mengenakan baju biru tanpa lengan dengan celana pangsi setinggi lutut. Ikat kepala merah masih mengikat di tempatnya. Selain berfungsi untuk merapikan rambut, juga untuk menyembunyikan rajah kepala elang, sebagai bentuk anugerah dari Yang Kuasa sejak ia lahir dan juga sebagai tetenger bahwa dialah ahli waris tunggal dari Istana Elang.
Sedangkan Pusaka Rembulan Perak juga telah berpindah tangan, setelah sekian lama berada di dalam genggaman kakeknya tanpa diketahui bentuk atau pun wujudnya. Atas saran Ki Gedhe Jati Kluwih, untuk sementara waktu Pusaka Rembulan Perak harus diamankan dahulu, agar tidak menjadi incaran para tokoh rimba persilatan, apalagi ilmu olah kanuragan dan jaya kawijayan yang dimiliki Paksi belum cukup untuk menjaga benda pusaka tersebut. Pusaka Rembulan Perak kini berada di dalam tubuh elang berbulu putih keperakan, yang saat ini sedang melayang-layang di angkasa. Akan halnya bentuk Pusaka Rembulan Perak adalah sebentuk benda bulat yang memancarkan cahaya putih terang yang tersimpan secara gaib dalam tubuh elang itu, sama halnya saat disimpankan ke dalam tubuh Ki Dirgatama kemudian diturunkan ke Ki Singaranu.
Muka Paksi bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari. Langkah kecilnya terlihat ringan seakan tanpa beban. Sedangkan Ki Gedhe Jati Kluwih masih mengenakan jubah hijau dengan beban keranjang obat berada di punggung. Ketika hari menginjak siang, mereka berdua duduk beristirahat di bawah pohon mangga hutan yang cukup rindang. Pohon mangga itu sedang berbuah dengan lebat dan tampak ranum, sehingga menerbitkan selera makan Paksi.
Bocah itu hanya termangu-mangu memandang ke atas. Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, kakek berjubah hijau itu mahfum dengan keinginan seorang bocah.
"Paksi ingin makan mangga?"
"He"eh, tapi biar Paksi ambil sendiri saja. Apa kakek juga mau?"
"Emm, boleh ... boleh juga ... "
Paksi kembali mendongak ke atas. Setelah mengatur napas lalu mengedarkan segenap kekuatannya ke seluruh tubuh, kedua kaki kecil itu menjejak tanah dengan mantap.
Tapp! Wuttt! Tubuh kecil itu melenting ke atas, lalu hinggap di dahan yang cukup besar, terus beringsut dari dahan ke dahan seperti kera. Bahkan kadang jungkir balik dengan kepala berada dibawah dengan kaki mengait dahan diatasnya. Tangannya dengan cekatan memetik buah mangga yang masih ranum. Tak lama kemudian didalam pondongannya sudah terdapat sekitar 8 butir buah mangga ranum dan ada juga yang sudah matang di pohon. Kemudian dengan tangkas, badan kecil itu meloncat ke bawah diikuti dengan salto beberapa kali dan turun ke bawah dengan indahnya.
Plok! Plok! Plok!
"Bagus ... bagus sekali ... ! Ilmu ringan tubuhmu sudah lumayan, Paksi! Apa si Perak juga yang mengajarinya?" tanya Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil menerima mangga dari Paksi.
"Iya, kek," jawab Paksi.
Di tangan kanan si kakek sudah tergenggam sebilah belati kecil untuk mengupas mangga dan dengan cekatan, tangan tua itu mengupas mangga itu hingga terkupas bersih, lalu diserahkan pada Paksi. Bocah berikat kepala merah itu masih terpana dengan kecepatan tangan kakek tabib dalam mengupas mangga.
"Kok kakek bisa cepat sekali mengupasnya" Ayah saja kalau mengupas mangga tidak secepat kakek."
"Nanti ... kalau Paksi sudah besar, juga bisa melakukan hal ini. Sudah ... sekarang Paksi makan mangganya dulu. Nah, ini juga sudah selesai."
Tanpa basa-basi, bocah itu langsung menggerogoti mangga ditangannya. Memang terasa cukup manis, karena masih tersisa sedikit rasa asam.
"Kakek tabib ... kakek bisa menceritakan sedikit tentang Istana Elang itu?"
Kakek berjubah hijau itu mengubah posisi duduknya.
"Yang kakek tahu, sepak terjang Istana Elang memang sama umumnya dengan orang-orang golongan lurus. Yang kakek maksud golongan lurus adalah orang-orang yang rela berkorban dengan sepenuh hati tanpa mengharap imbalan atau pamrih dari siapapun, misalnya meski bisa disebut pendekar golongan putih atau lurus, ada kalanya mereka menginginkan sesuatu dari orang yang pernah ditolongnya. Misalnya berharap ilmu sakti tertentu, kitab-kitab pusaka bahkan senjata-senjata sakti milik orang lain. Namun ada juga orang-orang dari golongan hitam yang tidak semuanya kejam dan jahat, bahkan cenderung bersikap satria. Dari yang kakek ketahui, pendekar-pendekar dari Istana Elang termasuk orang-orang yang betul-betul berhati lurus dalam arti yang sesungguhnya. Tapi untuk mengetahui detailnya, mungkin kau harus bertanya pada si Kura-Kura Tua."
"Si Kura-Kura Tua" Siapa dia kek!?"
"Kura-Kura Tua adalah salah satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama dari Istana Elang. Dia adalah Sang Air, Pengawal Gerbang Selatan sedang julukannya adalah Si Kura-kura Dewa dari Selatan yang sangat menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan air, baik danau, rawa, sungai maupun lautan. Konon ... kabar yang berhembus di rimba persilatan, usianya sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahun, karena si Kura-Kura Tua sudah ada sejak Ketua Istana Elang generasi ke 29. Saat ini, kurasa hanya dialah yang menjaga Istana Elang untuk sementara waktu, sampai orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul."
"Wah ... kalau begitu tua sekali, ya kek. Kok bisa ada orang yang bisa bertahan hidup sampai ratusan tahun" Terus apa yang dimaksud dengan "orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul?""
"Setiap generasi Aliran Istana Elang akan menentukan sendiri siapa yang akan menggantikannya jika kelak ia telah tiada ... "
"Jadi semacam titisan atau reinkarnasi, begitu ya kek?" potong Paksi.
"Ya, bisa juga dikatakan begitu."
"Kek, biasanya setiap aliran atau perguruan memiliki urutan orang-orang yang berkuasa dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Apakah Aliran Istana Elang juga mempunyai urutan-urutan jabatan seperti itu?" tanya Paksi sambil tangan kanannya memasukkan potongan mangga ke dalam mulut.
"Hemm, cerdas juga anak ini," batin kakek berjubah hijau itu.
"Benar! Aliran Istana Elang juga memiliki seperti apa yang kau katakan itu. Istana Elang memiliki seorang Ketua dan Empat Pengawal Gerbang Utama yang ahli dalam bidangnya masing-masing."
"Siapa saja mereka itu, kek?"
"Yang pertama, tentu saja Ketua Istana Elang dengan sebutan Sang Angin, yang saat ini menjadi gurumu secara gaib yaitu Elang Berjubah Perak. Kemudian Pengawal Gerbang Timur " Sang Api yang digelari Si Naga Bara Merah, lalu Pengawal Gerbang Selatan " Sang Air yang bergelar Si Kura-kura Dewa dari Selatan, Pengawal Gerbang Barat " Sang Bumi yang dijuluki Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara " Sang Batu dengan sebutan Si Kapak Batu Sembilan Langit."
"Apakah sekarang ini, beliau-beliau itu sudah meninggal terkecuali Sang Air, kek?" tanya Paksi.
"Benar! Semua yang kakek ceritakan padamu memang sudah menghadap Yang Kuasa. Yang tertinggal dari mereka adalah ruh suci, yang kini sedang mencari titisan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Setiap titisan akan memiliki ilmu dan kekuatan yang sama dengan pemilik aslinya kecuali Sang Angin, karena mendiang guruku mengatakan bahwa setiap titisan Sang Angin akan memiliki kelebihan dibanding pendahulunya dimana kelebihan itu bisa sama dan bisa juga berbeda dengan pendahulunya."
"Lalu, bagaimana caranya untuk membedakan tiap titisan itu, kek?" tanya Paksi kembali.
"Pertanyaan yang bagus!" ucap Tabib Sakti Berjari Sebelas, lanjutnya, " ... untuk membedakannya adalah hal mudah. Bedanya terletak pada rajah yang melekat pada tubuh mereka."
"Rajah?"
"Benar! Rajah itulah yang membedakan mereka itu titisan siapa. Seperti halnya dirimu yang memiliki Rajah Elang Putih di kening, menandakan bahwa kau adalah titisan Sang Angin. Rajah itu bisa berada di mana saja. Bisa di tangan, di dada, di kening seperti yang kau miliki. Bahkan si Kura-Kura Tua itu memiliki "Rajah Kura-Kura Hijau" yang letaknya di bagian punggung."
Seolah tanpa sadar, Paksi Jaladara meraba keningnya. Terasa sekali tanda rajah yang dimilikinya sejak lahir itu saat diraba. Rajah yang disembunyikan di balik kain merah yang melingkar di kepala.
Seolah bisa membaca pikiran anak itu, Tabib Sakti Berjari Sebelas berucap, "Tidak hanya pada dirimu saja yang memiliki tanda seperti itu. Namun yang perlu kau waspadai adalah orang-orang yang memiliki tanda lahir dari Penerus Iblis ... "
"Tanda lahir Penerus Iblis?"
"Benar, Nak! Sebenarnya saat ini sedang terjadi suatu pergolakan dari aliran sesat yang sedang membangkitkan kembali ajaran Tantrayana Kuno yang sudah punah ratusan tahun lalu ... "
"Ajaran Tantrayana Kuno" Apa itu kek?" tanya Paksi dengan rasa ingin tahu.
Tabib Sakti Berjari Sebelas atau Ki Gedhe Jati Kluwih menggeser tempat duduknya, dan bersandar pada pohon mangga di belakangnya, diikuti oleh Paksi yang juga beringsut mendekat. Kepalanya sedikit mendongak ke atas, seolah sedang mengumpulkan ingatannya tentang aliran sesat itu. Ingatannya kembali pada pengalamannya saat berkelana ke negeri seberang, baik Negeri Tiongkok maupun Negeri Hindustan, dimana dia pernah melihat ajaran sesat yang kini sedang dibangkitkan oleh golongan hitam di tanah Jawadwipa ini.
"Saat ini ... ajaran sesat itu masih terpusat di suatu tempat di wilayah bekas Kerajaan Kediri. Akan tetapi Kakek tidak tahu dimana tepatnya. Tapi tidak menutup kemungkinan ajaran itu akan meluas ke daerah lain. Ajaran ini oleh penganut tantra dinamakan sebagai ajaran Bhirawa Tantra," kata Ki Gedhe Jati Kluwih.
Bocah kecil itu mengangguk-anggukan kepala. Otak cerdasnya mencerna setiap keterangan yang keluar dari mulut kakek berjubah hijau itu.
"Dalam ajaran ini, seseorang bisa meraih atau mempertahankan kekuasaan, kekuatan, dan kesaktian dengan tumbal darah para musuhnya. Jika dalam perang mereka unggul maka darah segar para lawannya akan segera diminum sebagai ritual yang wajib dilakukan. Lebih sadis, pada tataran yang lebih tinggi, penganut Bhirawa Tantra tidak hanya minum darah korban, tapi juga memakannya, baik sebagian atau pun seluruhnya."
"Gila! Keji sekali perbuatan mereka!" potong Paksi mengomentari ulasan itu. "Lalu ... lanjutnya bagaimana kek?"
"Dalam cerita pewayangan pun dikisahkan, beberapa tokoh raksasa yang suka minum darah lawan yang sudah tewas atau pun langsung menghisapnya. Diantaranya adalah Raja Alengka, Prabu Dasamuka alias Rahwana. Meski seorang raja, ia tak segan untuk menggigit dan menghisap darah musuhnya di medan pertempuran. Juga Raja Purwacarita, Prabu Baka yang suka minum darah dan makan daging manusia ... "
"Tapi kek, saya pernah baca dalam kitab "Mahabharata", minum darah juga dilakukan oleh Raden Bima alias Raden Werkudara. Dalam Perang Barathayuda ia minum darah Raden Dursasana yang telah tewas hanya untuk memenuhi sumpah dan janjinya, padahal ia seorang ksatria dan bukan golongan denawa atau raksasa," kata Paksi kemudian.
"Betul! Saat itu Raden Werkudara sedang memenuhi sumpahnya atas perbuatan Raden Dursasana yang menodai kesucian seorang istri dan juga Permaisuri Agung, yaitu Dewi Drupadi, istri dari Raja Amarta yang bernama Prabu Puntadewa," jawab kakek berjubah hijau yang memiliki pengetahuan luas itu melanjutkan kembali ceritanya.
Penganut ajaran Tantrayana aliran Bhirawa atau bisa disebut Bhirawa Tantra digambarkan lebih hebat kemampuan ilmu gaibnya karena dikenal sebagai pemuja Dewa Syiwa. Sesuai dengan pujaannya, penganut ajaran ini suka mengumbar hawa nafsu sebagai perwujudan kepercayaan untuk menguasai ilmu kekebalan, bahkan bisa "Mancala Putra Mancala Putri" (berubah wujud).
Tantrayana merupakan aliran yang berdasarkan ajaran Tantra. Dalam bahasa Sansekerta, Tantra berarti aturan ritual atau upacara. Ajaran-ajaran ini lahir dari ajaran yang beraliran magis (ilmu gaib) yang diperoleh dari Kitab Purana. Naskah-naskah Tantra itu berkembang dari ajaran yang konsep utamanya mengagungkan dan menyembah kekuatan Yoni. Sasaran penyembahan yang berciri kekuatan Yoni itu berasal dari personifikasi sebagai istri (Sakti) Vishnu (Wisnu) yaitu Radha. Pada sebagian aliran Tantra juga menyembah Devi, Sakti Siva (Syiwa). Sakti (istri) Dewa yang disembah itu dalam bentuk yang lembut dan anggun digambarkan sebagai Uma dan Gauri. Sedangkan dalam bentuk yang garang dan sadis digambarkan sebagai Durga atau Dewi Kali. Karena itu, tokoh dalam cerita Nyai Calon Arang atau Mahendradatta sebagai pemuja Durga, dewi kejahatan sering dimunculkan. Mahendradatta juga juga menganut ilmu gaib (sihir) aliran Tantrisme yang memuja Bhirawa Mahakali yang tak lain adalah Bathari Durga adanya.
Terdapatnya hubungan antara ajaran tantra itu dengan sejarah Kerajaan Kediri. Sesungguhnya nama Kediri berasal dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), Khadiri atau Dhaha, identik dengan nama Panjalu yang berarti tegak (mengacu pada makna negatif Lingga). Karena itu ajaran yang berkembang banyak menganut nilai-nilai budaya yang mengakar pada pemujaan kaum laki-laki dalam segala aspek, yang diperdangkal pada kekuasaan nafsu syahwatnya. Dimana laki-laki identik dengan kegagahan, kekerasan, keberanian, kemenangan, kebangsaan, kekuasaan, kekejian dan kebengisan. Lebih dangkal lagi, kejantanan dimitoskan sebagai kemampuan syahwat laki-laki. Adapun konsep ajaran yang menggegerkan dunia persilatan ini bersumber pada Kitab Tantrayana, Nilatantra, Sang Hyang Kamahanan Mantrayana dan juga Mahanirwanatantra.
Dijelaskan bahwa para penganut Tantra akan mempunyai tubuh kebal dari senjata tajam bila telah berhasil melakukan upacara Panca Makara, yaitu laki-laki perempuan dalam keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi "Mukara" (tumpeng selamatan) yang dipimpin seorang Cakra Iswara. Mukara ini berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan arak. Urutan upacara terdiri atas "Modsa" (makan daging), "Modsia" (makan ikan), "Modya" (minum arak sampai mabuk), "Mautuna" (bersenggama) dan "Mudra" (bersemadi) setelah nafsu perut dan syahwat terpenuhi.
"Begitulah ... inti ajaran Tantrayana yang pada puncaknya, orang yang menjadi penganutnya akan punya kedigdayaan atau kesaktian yang luar biasa. Diantaranya adalah kebal berbagai macam senjata tajam ... "
"Huh, perbuatan yang hina sekali, kek. Hanya karena ingin menjadi sakti harus melakukan hal-hal yang melanggar hukum alam. Semoga saja mereka di laknat oleh penguasa alam raya ini," kata Paksi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Tabib Sakti Berjari Sebelas. "Kek, bukankah minum darah hewan tidak bisa dibenarkan, apalagi darah manusia sebab ketika seseorang terbiasa minum darah, maka jiwanya akan seperti binatang buas sehingga jadi ganas dan buas?"
"Benar! Manusia semacam ini bertentangan dengan fitrahnya sendiri. Fitrah manusia itu selalu menjaga keluhuran akhlaknya. Dan ... ini berbeda dengan binatang buas dan ganas. Jika manusia terbiasa minum darah sehingga ia menyerupai binatang, maka manusia yang seperti ini telah kehilangan sifat kemanusiaannya," terang kakek berjubah hijau mengomentari perkataan bocah berikat kepala merah itu.
"Kehilangan ... sifat kemanusiaan?"
"Ya! Kalau ada manusia yang suka memakan atau meminum darah maka akan jadi buas seperti bintang. Segi ruhaninya yang luhur akan kalah. Sekali lagi, kalau orang suka minum darah yang banyak, berarti ia sudah terbiasa. Kebiasaan ini akan menyebabkan dia jadi buas. Dan setelah buas, maka hilanglah sifat kemanusiaannya."
Panjang lebar kakek berjubah hijau itu mengemukakan pendapat tentang segala hal yang berhubungan dengan aliran sesat Bhirawa Tantra.
Dalam pada itu, waktu terus berjalan tanpa terasa. Terik matahari kini berubah redup seiring dengan hembusan angin yang sore yang segar. Setelah membersihkan diri di tepi sungai yang jernih airnya, dekat dimana mereka semula berhenti, di bawah pohon mangga.
Melihat banyaknya ikan-ikan liar yang bebas lalu lalang di dalam air, membuat Paksi berkeinginan menangkap beberapa ekor untuk santap malam. Sambil tertawa-tawa, bocah itu berlarian kesana kemari menggiring ikan-ikan yang cukup gemuk. Dari sudut matanya, terlihar seekor ikan lele yang cukup besar dan gemuk.
"Hemmm, lumayan untuk mengganjal perut," batinnya.
Dengan perlahan-lahan dia menggeser kaki sedikit merentang dengan badan sedikit doyong ke depan. Tangan kiri terkepal di pinggang, sedang tangan kanan membuka lurus. Ditariknya napas perlahan-lahan, lalu ...
Byukk! Byarr!! Air didepannya dihantam, sehingga air muncrat ke atas membentuk pilar air dan terlihat beberapa ikan termasuk ikan lele yang gemuk ikut terperangkap didalamnya.
"Kek, terima ini!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Paksi dengan cekatan meloncat ke udara, lalu melakukan tendangan samping ke arah pilar air, tepat di samping kiri pilar air mana beberapa ekor ikan lele itu berada.
Byarr! Dalam waktu sepersekian detik, pilar air yang semula menjulang beberapa tombak, kini hancur bercerai berai terkena hantaman tendangan yang cukup kuat.
Wutt! Ikan lele itu meluncur cepat, dan tepat ke arah si kakek tua berjubah hijau berada.
Tap! Dengan masih duduk santai, tangan kanan kakek itu menangkap ikan dengan cekatan, dirasakannya getaran kuat pada ikan yang ditangkapnya.
"Hebat! Tenaga dalam yang dimilikinya sudah sejajar dengan pendekar tingkat tiga. Tanganku masih bisa merasakan getaran tenaga dalamnya." bathinnya.
"Paksi, tangkap beberapa ekor lagi! Kalau ada, ikan bader juga boleh. Sebentar lagi si Perak pulang," serunya.
Paksi menganggukkan kepala sambil mengacungkan ibu jari kanannya.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Sembilan
Pada keesokan harinya ...
Pagi itu, ketika matahari masih mengintip di ufuk timur, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan pekikan suara burung yang silih berganti. Ternyata, Paksi sedang melatih jurus-jurus silat yang dikuasainya, ditemani oleh si Perak yang juga berkelebat kesana-kemari menyerangnya. Gerakan Paksi cukup lincah, cukat trengginas dalam menghadapi serangan. Latihan silat di pagi itu cukup membuat tubuh bocah berkeringat, sehingga tubuh yang telanjang dada itu tampak berkilauan terkena sinar matahari.
Awwkk! Awwkk!! Polah tingkah dua makluk berbeda jenis itu, tidak luput dari pandangan mata kagum Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang sedari tadi menonton latihan silat itu. Laki-laki tua berjubah hijau itu mengangguk-anggukkan kepala melihat jurus-jurus yang dikerahkan oleh Paksi.
"Hmmm, meski gerak jurus yang digunakan masih terlalu mentah, namun sudah cukup bagus untuk anak seusianya. Daya tangkapnya betul-betul luar biasa. Hanya dengan melihat sekali saja gerakan si Perak, sudah bisa menterjemahkan dalam sebuah jurus silat. Ck, ck, ck ... bukan main! Pilihan si Elang Berjubah Perak memang tidak salah." gumamnya. "Lebih baik, aku jajal saja anak itu. Yah ... hitung-hitung melemaskan otot tuaku ini."
Ki Gedhe Jati Kluwih yang juga bergelar sebagai Tabib Sakti Berjari Sebelas langsung menerjang ke arah Paksi, yang saat itu sedang menghindar dari sambaran cakar si Perak, saat mana Paksi menggulingkan badan ke bawah, lalu diikuti dengan sambaran tangan kanannya yang membentuk cakar kokoh ke arah dada si Perak, dengan jurus "Elang Pemburu Mencuri Hati"!
Sett! Plakk!! Si Perak yang tahu bagian diserang, segera menangkis dengan sayap kiri diikuti dengan gerakan mematuk ke arah tenggorokan.
Wett! Paksi yang tidak mau lehernya terkena patukan sang elang, segera membuang diri ke belakang dan bersamaan dengan itu pula, sekelebat bayangan hijau menerjang dengan pukulan ke arah lambung kirinya.
Wutt ... !! Melihat datangnya serangan yang tidak diduganya sama sekali, membuat Paksi tidak panik atau pun gugup. Sambil bergulingan di tanah, ke dua tangan menepak tanah, lalu tubuh kecil itu melenting ke atas.
Tapp! Wuss!! Kemudian dari atas, tubuhnya berputar seperti gasing dengan kaki kiri terjulur ke arah bayangan hijau yang baru saja menyerangnya. Bayangan hijau yang tak lain adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, terkejut melihat serangan balik yang dilakukan Paksi.
Sebagai seorang pendekar ternama yang sudah malang melintang di rimba hijau, serangan balik tidak membuatnya gentar. Kedua tangan segera disilangkan di atas kepala untuk menghadang datangnya serangan dari atas yang dilancarkan Paksi, sedang kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh. Aliran "Tenaga Sakti Pulau Khayangan" dikerahkan sepertiganya untuk menahan gempuran Paksi Jaladara.
Dukk!! Deshh!! Terdengar benturan keras saat jurus "Tendangan Berpusar Menyapu Angin" Paksi Jaladara bertemu dengan hadangan sepasang tangan bersilang dari jurus "Menahan Samudera Menepis Gelombang" yang dilakukan Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang merupakan salah satu jurus benteng pertahanan yang seringkali digunakan kakek itu bisa menghadapi serangan dari atas ataupun serangan dari segala penjuru.
Duasshh ... ! Hasilnya, kakek tua itu terjajar beberapa langkah, sedangkan Paksi terpental balik!
"Hebat, tendangannya mengandung hawa beku yang cukup menyengat. Kedua tanganku sampai terasa kebas. Betul-betul anak yang tangguh! Dari mana bocah itu mempelajari hawa tenaga dalam pembeku seperti ini" Apa mungkin ini merupakan tenaga bawaan yang dimilikinya sejak lahir!?" batin kakek berjubah hijau itu sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menetralisir hawa beku itu.
Di saat tubuhnya melayang di udara, Paksi segera menggerakkan ke dua tangan memeluk lutut lalu bersalto beberapa kali, dan dengan manis mendarat di tanah tanpa kurang suatu apa!
Kemudian bocah itu membuat gerakan yang cukup aneh, badan Paksi Jaladara membungkuk dengan kedua tangan membentuk cakar terkembang sedikit bergeser ke belakang, kaki kanan sedikit menjulur ke depan sejajar kepala sedang kaki satunya menekuk ke dalam. Mata sedikit menyipit mengawasi dengan tatapan tajam, mirip gerakan seekor elang yang siap menyerang mangsa!
Tenaga sakti berhawa dingin mulai dibangkitkan dari pusarnya. Dari pusar, tenaga itu merambat naik melewati nadi-nadi jalan darah, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Setelah tenaga itu tersalur semua, Paksi Jaladara menghentakkan kaki kiri ke tanah, lalu tubuhnya melesat cepat ke arah kakek didepannya.
Kini, latih tanding pecah di pagi yang cerah itu!
Paksi Jaladara menyerang dengan gerakan-gerakan mirip elang yang lincah dan tangkas, sedangkan Tabib Sakti Berjari Sebelas lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Jurus "Menahan Samudera Menepis Gelombang" kembali digunakan untuk menahan serangan Paksi yang datang bertubi-tubi. Kadangkala kakek itu menyerang dengan jurus-jurus silat tangan kosong yang dmilikinya, baik berupa pukulan mau pun tangkisan. Tak henti-hentinya dia mengagumi anak laki-laki Ki Ragil Kuniran itu.
"Heaa ... heaa ... !!"
Sementara itu, cakaran, tendangan bahkan patukan tangan Paksi Jaladara datang silih berganti menerjang ke arah Tabib Sakti Berjari Sebelas bagaikan ombak di laut yang menghantam batu karang. Selama ini, Paksi hanya latih tanding dengan si Perak dan baru kemarin ia merasakan pertarungan sesungguhnya saat Gerombolan Serigala Iblis yang dipimpin Ratu Sesat Tanpa Bayangan menyerang Padepokan Singa Lodaya. Sekarang, disaat sedang latih tanding dengan si Perak, Tabib Sakti Berjari Sebelas malah masuk ke gelanggang. Tentu saja Paksi Jaladara senang sekali, karena inilah kesempatan emas untuk mengeluarkan semua ilmu silat dan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Paksi Jaladara menyerang dengan sungguh-sungguh. Bahkan jurus "Kelebat Ekor Elang", jurus yang terakhir kali dikuasainya, sudah siap-siap dikerahkan. Tubuh Paksi Jaladara melenting tinggi ke atas, kemudian badannya berbalik memunggungi, lalui turun ke bawah dengan kaki kiri dijulurkan terlebih dahulu. Terasa kesiuran angin dingin yang menyertai serangan kilat Paksi Jaladara. Tenaga dingin membeku mengiringi serangan jurus "Kelebat Ekor Elang" ke arah kakek tabib itu.
Whuss ...!! "Bagus! Jurus yang luar biasa!" seru Ki Gedhe Jati Kluwih.
Kembali jurus "Menahan Samudera Menepis Gelombang" yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam mendekati separuh tenaga dari yang dimilikinya. Terlihat cahaya putih samar-samar melingkupi sepasang tangan yang bersilangan untuk menghadang jurus "Kelebat Ekor Elang"!
Dughh!! Desshh!! Dharr ... !!
Terdengar benturan cukup nyaring saat dua serangan itu beradu. Paksi pun terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri. Bocah berikat kepala merah itu berjumpalitan beberapa kali untuk mengurangi daya lontarannya, setelah beberapa kali jumpalitan, Paksi Jaladara berhenti dengan kaki tegap di tanah dengan senyum tersungging puas!
Akan halnya Ki Gedhe Jati Kluwih, hanya terhuyung-huyung ke beberapa empat lima tindak ke belakang. Di seluruh tubuh terasa diselimuti hawa dingin membeku, terutama sekali pada sepasang tangannya yang tadi menahan benturan. Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan segera saja mengalirkan tenaga dalam berhawa panas untuk menetralisir hawa dingin tersebut. Beberapa saat kemudian, kakek itu sudah terbebas dari kungkungan hawa dingin itu.
"Cukup, Paksi! Cukup!" teriak kakek itu, saat Paksi siap-siap untuk menyerangnya, sedang dalam hati ia berkata, "Mmm ... bocah ini makin lama makin kuat saja."
Paksi langsung mengendurkan posisinya, lalu berjalan menghampiri kakek itu, lalu mencium tangan kanan si kakek.
"Maaf ... kalau Paksi tadi menyerang kakek terlalu keras," kata bocah itu.
"Ha-ha-ha-ha ... kau ini ada-ada saja! Justru kakek sangat bangga padamu. Ilmu silat dan tenaga dalam yang kau miliki sudah cukup bagus. Kau perlu latihan yang lebih keras lagi, agar ilmu yang kau miliki semakin matang."
"Baik, kek! Nasehat kakek akan Paksi perhatikan!"
"Oh ya, berapa jurus silat yang sudah kau kuasai sekarang ini, jurus silat yang kau pelajari dari si Perak itu?" tanya Tabib Sakti.
"Emm ... sekitar delapan jurus kek, memangnya ada apa?"
"Hemm, baru delapan jurus" Apa kau sudah menguasainya dengan sempurna?" tanya kakek itu lagi.
"Entahlah kek, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, saya sudah merasa cocok dengan jurus-jurus silat tersebut," tutur Paksi Jaladara. "Menurut kakek guru Elang Berjubah Perak, ilmu yang saya pelajari adalah Ilmu Silat "Elang Salju"."
"Dari mendiang guruku, jurus-jurus silat dari Istana Elang sangat beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Baik berupa pukulan, tendangan, totokan maupun ilmu-ilmu sakti lainnya. Salah satunya adalah Ilmu Silat "Elang Salju" yang saat ini sedang kau pelajari," kata Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil mengelus-elus jenggotnya, " ... setahuku, Ilmu Silat "Elang Salju" terakhir kali kudengar terdiri dari tujuh belas jurus. Jurus ini dulunya hanya delapan jurus inti saja. Hanya ilmu silat ini saja yang jurus serangan selalu bertambah dan berbeda-beda."
"Tujuh belas jurus yang selalu bertambah dan berbeda-beda?"
"Benar, karena setiap generasi dari Ketua Istana Elang yang pernah menguasai ilmu silat ini, menambahkan satu jurus lagi sebagai jurus pamungkas. Sampai si Elang Berjubah Perak menambahkannya menjadi jurus ke enam belas dan jurus tujuh belas. Mungkin saja nanti kau akan menemukan jurus yang ke delapan belas atau mungkin malah lebih."
"Ooo, begitu."
Sambil berjalan ke arah batu besar, kakek itu menggandeng Paksi sambil memberikan tahu dimana letak kelemahan dari ilmu silat yang dimilikinya. Paksi pun mendengarkan dengan seksama, kadangkala bertanya jika ada hal-hal yang sulit dimengerti.
Pagi itu pula, Tabib Sakti itu mengajarkan salah ilmu yang pernah dipelajarinya dari Kuil Shaolin dari Negeri Tiongkok, yaitu jurus silat "Ribuan Li Selaksa Ombak", yang merupakan pecahan dari Ilmu Silat "Sembilan Serangkai Elang Sakti" aliran Kuil Shaolin. Jurus ini jarang sekali dipakai, karena pada intinya hampir sama dengan ilmu ringan tubuh, akan tapi digabung dengan penggunaan ketangkasan cakar tangan dan kaki sebagai bentuk jurus serangan berantai. Namun, karena kurang leluasa dalam menggunakan ilmu ini, kakek itu jarang sekali menggunakannya.
Jurus ini didapatnya saat dia berkelana ke Negeri Tiongkok, waktu berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, tanpa sengaja menolong seorang biksu tua yang sedang terluka karena dikeroyok perampok. Terjadilah pertarungan seru antara Jati Kluwih dengan para perampok tersebut, dan akhirnya para perampok itu bisa dipukul mundur. Oleh Jati Kluwih, biksu tua itu diantar ke Kuil Shaolin, dan sebagai tanda terima kasih, Jati Kluwih mendapatkan kehormatan untuk mengunjungi Gedung Pustaka Kuil Shaolin dan diijinkan membaca serta mempelajari kitab-kitab yang ada.
Pada mulanya, Jati Kluwih menolak, karena tujuan menolongnya memang benar-benar tanpa pamrih. Tapi biksu tua itu, yang ternyata Biksu Kepala Gedung Pustaka tetap memaksanya. Akhirnya dengan diantar sendiri oleh Biksu Kepala Gedung Pustaka, yang tentu saja dengan seijin Ketua Biksu Kuil Shaolin, Jati Kluwih berkeliling Gedung Pustaka Kuil Shaolin. Di Gedung Pustaka Kuil Shaolin terdapat bermacam ilmu-ilmu dunia persilatan yang aneh dan langka, berbagai macam karya sastra dan segala macam pengetahuan seolah-olah tertumpuk di Gedung Pustaka Kuil Shaolin.
Hingga sampailah Jati kluwih di "Ruang Dewa Obat", di mana terdapat berbagai macam teknik pengobatan yang langka dan unik. Pemuda itu begitu antusias sekali melihat kitab-kitab pengobatan yang berjajar rapi di atas rak buku. Akhirnya, Jati Kluwih memohon diri ingin mempelajari ilmu pengobatan, karena dia sendiri sebenarnya juga seorang tabib yang tentu saja sangat tertarik dengan ilmu pengobatan yang sangat asing bagi dirinya.
Ketua Biksu Kuil Shaolin bersedia meminjamkan "Ruang Dewa Obat" selama 1 tahun untuk digunakan Jati Kluwih dalam mempelajari ilmu-ilmu pengobatan aliran Kuil Shaolin, bahkan Ketua Biksu sendiri berkenan mengajarkan salah satu ilmu unik, yaitu jurus silat "Ribuan Li Selaksa Ombak", yang merupakan salah satu rangkaian dari ilmu silat "Sembilan Serangkai Elang Sakti" aliran Kuil Shaolin.
Maka, Paksi Jaladara yang pada dasarnya sudah menguasai dasar-dasar silat "Elang Salju", mulai mempelajari jurus itu. Atas petunjuk Tabib Sakti Berjari Sebelas, Paksi mengikuti langkah-langkah kaki dengan diimbangi peringan tubuh dan penggunaan tenaga dalam digabung dengan serangan berantai. Bocah berikat kepala merah itu dengan cepat bisa menangkap inti dari jurus silat yang dipelajarinya.
Tak sampai siang, Paksi sudah lancar dan bisa dibilang menguasai secara sempurna jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" yang diajarkan kakek berjubah hijau itu, karena memang pada dasarnya bocah itu memang sangat berbakat dalam mempelajari ilmu silat.
"Paksi ... coba ulangi jurusmu dan ingat, penggunaan tenaga dalam jangan terlalu dipusatkan pada kaki, tapi juga bagian tanganmu yang mencengkeram," kata kakek itu saat Paksi sudah selesai dengan jurusnya.
"Baik, kek!"
Mulailah Paksi Jaladara memperagakan kembali jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" yang baru saja dikuasainya. Tubuhnya menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan cepat, diikuti dengan sepasang tangannya yang yang menerbitkan suara cuitan tajam seolah mencengkeram udara dengan tak tentu arah, sedang ke dua kaki dengan ringan bergerak ke sana kemari mengikuti jalur angin yang berhembus. Tampak gerakan Paksi laksana elang muda yang menyambar-nyambar yang diiringi kesiuran angin berhawa dingin. Setiap sambaran tangannya menerbitkan angin tajam yang bisa merobek kulit. Pedih dan perih.
Ki Gedhe Jati Kluwih juga merasakan perubahan itu.
"Tak kukira jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" bisa sehebat ini! Pantas saja Ketua Biksu berpesan agar aku berhati-hati bila menggunakan jurus ini. Bocah itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa ... " katanya lirih, lalu lanjutnya, " ... namun sayang, guru berpesan aku hanya boleh mengajarkan ilmu-ilmu pengobatan padanya, tidak boleh mengajarkan Ilmu Silat "Aliran Pulau Khayangan" pada pewaris Istana Elang ini. Sayang sekali! Tapi ... tak apalah, meski cuma satu jurus saja, aku sudah cukup puas."
Memang, Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, guru dari Tabib Sakti Berjari Sebelas, berpesan tidak boleh menurunkan Ilmu Silat "Aliran Pulau Khayangan" kepada orang-orang yang berhubungan dengan titisan ilmu Ketua Istana Elang, karena pada intinya ilmu mereka sangat bertolak belakang, andaikata nekad dipelajari, akan terjadi bentrokan tenaga di dalam tubuh, sehingga orang yang mempelajarinya bisa tewas seketika karena tubuhnya meledak hancur atau paling tidak bisa cacat seumur hidup.
Hal ini pernah terjadi, di saat kakek gurunya Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, mengajarkan salah satu Ilmu Sakti "Aliran Pulau Khayangan" pada Ketua Istana Elang generasi ke 27, yang mengakibatkan sang ketua hilang ingatan dan akhirnya pada satu purnama kemudian, tubuhnya meledak tercerai-berai karena terjadi pertentangan tenaga dalam yang bertolak belakang.
Semenjak peristiwa itu, seluruh pendekar-pendekar Aliran Pulau Khayangan dilarang keras untuk mengajarkan ilmu-ilmu asli Pulau Khayangan kepada ketua atau calon ketua Istana Elang, akan tetapi bila pada orang lain yang bukan ketua atau calon ketua Istana Elang dan atau pada anggota-anggota Istana Elang, tidak menjadi masalah. Andaikata memiliki ilmu silat atau ilmu-ilmu tertentu yang tidak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu Aliran Pulau Khayangan, juga tidak menjadi masalah, seperti yang diturunkan Malaikat Sepuh Pulau Khayangan sendiri pada si Elang Berjubah Perak, yang mengajarkan jurus silat "Tombak Pengacau Langit", yang merupakan salah satu ilmu pamungkas dari Perguruan Tombak Halilintar.
Seperti halnya Tabib Sakti Berjari Sebelas yang mengajarkan jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" dan berniat menurunkan pula ilmu pengobatan yang berasal dari Kuil Shaolin, sedang ilmu pengobatan Aliran Pulau Khayangan tidak diajarkan sama sekali.
"Paksi, muntahkan tenaga dalammu ke sungai itu!"
Paksi yang saat itu sedang mendekati babak akhir dari jurus silat "Ribuan Li Selaksa Ombak", mengarahkan sambaran cakarnya sambil memutar tubuh dengan cepat.
Whirr ... ! Whirr ... !! Whuss ... !!
Terdengar kesiuran angin dengan tajam, bahkan daun-daun kering ikut terbawa pusaran angin.
Dhar!! Dharrr! Dhar!! Dharrr! Dhar ... !! Dharrr ... !
Terdengar rentetan ledakan berturut-turut saat cakar elang itu menerjang air sungai. Air sungai semburat tercerai berai saat terkena muntahan tenaga dalam dari jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" yang dilancarkan bocah berikat kepala merah itu. Setelah melakukan lontaran tenaga tadi, Paksi melakukan gerakan jungkir balik dan mendaratkan kaki di tanah dengan mantap!
Plok! Plok! Plok!
"Bagaimana, kek" Apa ada yang salah dari jurus tadi?"
"Bukan main, tak kukira hasilnya bisa seperti itu! Tidak ada yang salah. Bisa dibilang cukup sempurna. Sungguh luar biasa ... " puji Tabib Sakti itu. " ... lebih baik, kau segera berkemas, kita akan melanjutkan perjalanan."
"Baik, kek."
Paksi pun segera menuju ke tepi sungai, lalu mandi. Setelah selesai dan badan terasa segar kembali, kemudian menyantap ikan bakar yang lumayan besar, Ki Gedhe Jati Kluwih, Paksi Jaladara dan elang perak itu melanjutkan perjalanan kembali. Tanpa terasa perjalanan mereka berdua sudah memakan waktu hampir satu setengah tahun lebih dan tujuan mereka pun semakin dekat saja.
Tujuan mereka adalah menuju ke Lembah Badai!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Sepuluh
Di lereng Gunung Tambak Petir, terdapat sebuah lembah yang sangat liar. Ditumbuhi rumput-rumput aneh berwarna putih salju namun dikelilingi oleh hutan lebat lengkap dengan binatang-binatang buas, dan jarang didatangi manusia, karena lembah itu terkenal sebagai tempat yang sangat berbahaya, seperti ungkapan jalma moro jalma mati, sato moro sato mati. Bahkan binatang yang paling liar dan ganas sekali pun tidak ada yang berani menginjakkan kaki di disana, terutama di bagian selatan lembah. Karena semakin ke selatan, angin terasa semakin keras dan dingin membekukan tulang belulang serta daerahnya yang berbatu-batu, tiba-tiba saja terjadi badai datang mengamuk.
Pada mulanya, angin datang dari arah barat dan utara, nampak seperti gulungan awan putih dan debu tertiup angin lalu tiba-tiba berhenti mendadak, namun tak lama kemudian, gulungan awan putih dan debu tadi yang tak lain adalah angin puting beliung yang datang dengan diiringi gelegar suara halilintar yang menyambar-nyambar, tanpa peduli itu musim kemarau atau pun hujan, datang tak terduga. Belum lagi jika datang badai salju yang membuat udara bergulung-gulung butiran-butiran es yang berhamburan dan kadang berombak seperti riak air laut, menelan apa saja yang menghalang di depan.
Tapi anehnya, hanya pada daerah lembah saja yang terjadi badai salju dan halilintar yang mengamuk dan bukan berarti daerah yang berhutan merupakan tempat yang aman, bahkan imbasnya juga mencapai beberapa puluh tombak dari tepi luar hutan lebat tersebut, apalagi jika ditingkahi dengan suara gelegar halilintar, bisa terdengar hingga ratusan tombak jauhnya. Itulah sebabnya mengapa daerah di lereng selatan Gunung Tampak Petir itu dinamakan sebagai Lembah Badai, karena segala macam gelaja alam seakan tumpah ruah disitu semua.
Sementara itu, jauh di bawah kaki lembah membentang daerah berumput nan luas dan karena situasi padang rumput itulah yang membuat orang semakin segan untuk mendekati Lembah Badai.
Tempat itu dinamakan orang sebagai Ladang Pembantaian!
Di sekitarnya penuh dengan kerangka manusia dan binatang yang membeku, bahkan ada bagian berlumpur yang berisi mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang terjebak dan mati beku hingga tidak bisa membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terpendam dan terbungkus lumpur.
Jalan menuju ke Lembah Badai hanya ada satu, yaitu dari jalur selatan, jika melalui arah lain tidak mungkin dilakukan sebab lembah itu kelilingi oleh jurang-jurang yang dalam, kecuali kalau orang itu bisa terbang, suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Dari arah selatan pun juga bukan jalan yang mudah, hanya saja jalan dari selatan kelihatan lebih mungkin dilalui manusia, walaupun jalan yang kelihatannya mudah, meski penuh dengan maut yang mengerikan.
Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Ladang Pembantaian!
Padang rumput yang luas namun sangat berbahaya itu hingga banyak binatang yang terperangkap dan mati di sekitar tempat itu, sehingga yang nampak hanya tulang belulangnya saja dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat lalu menjadi korban keganasan alam, sehingga bangkai binatang dan mayat berserakan dimana-mana di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Ladang Pembantaian, neraka bagi yang tersesat dan juga kematian yang mengerikan!
Bahkan ada yang kelihatannya seperti tempat berumput biasa saja dengan rumput-rumputnya yang hijau dan pendek-pendek, tapi tempat itu merupakan tempat pembawa maut. Banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat dan lalu mengira bahwa tempat itu adalah tempat aman, akhirnya terperangkap dan sekali kaki mereka terperosok, sulit untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau itu seolah-olah memiliki tangan-tangan yang terpendam. Jika terinjak kaki, di bawah tebalnya rumput itu ternyata berisi lumpur hisap yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan hisap yang tidak terukur besarnya. Lumpur itu sangat dalam dan sekali kaki menginjak, sulit sekali ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu terhisap habis ke sampai dasarnya!
Bahkan bagi yang belum ditelan habis oleh lumpur hisap dan masih dapat berpegangan pada rumput-rumput dan tubuhnya terhisap hanya sampai separuh, tetap saja akan mati karena bagian tubuh yang terhisap ke bawah lumpur, darahnya akan dihisap sampai habis dan dagingnya digerogoti oleh Lintah Penghisap Darah dan satwa lain-lain yang hidup di dalam lumpur maut itu.
Pada bagian lain juga ada yang rumputnya berwarna biru pekat karena rumput ini mengandung racun ganas. Andaikata kaki atau bagian tubuh lain sampai menyentuh bahkan sampai terluka akibat getah rumput ini, yang bersangkutan akan jatuh terguling dengan muka pucat dan tak berapa kemudian akan mati dengan tubuh kering. Bahkan di sisi paling timur dari Ladang Pembantaian, terdapat rumput ilalang setinggi orang dewasa dan bisa menyesatkan karena luasnya, belum lagi jika terjebak atau terperosok ke dalam lubang-lubang kecil sarang ular kobra hitam yang beracun, dan banyak lagi binatang liar dan buas yang menghuni disitu, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu.
Jadi, jalan menuju ke Lembah Badai hanya satu, yaitu dengan melalui padang rumput beracun yang dinamakan sebagai Ladang Pembantaian!
Namun, andai dilihat dari atas ketinggian, terutama jika dari pertengahan atau pun puncak Gunung Tambak Petir, semua hal yang mengerikan dan membuat bulu kuduk merinding itu tidak terlihat sama sekali, yang nampak hanyalah keindahan alam yang menakjubkan. Gemuruh badai salju dan kilatan petir nampak indah dari atas sana. Belum lagi jika rumput-rumput yang bergoyang tertiup angin, semakin tampak indah dan menawan saja. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah.
Akan tetapi, di sore yang cerah itu, dimana sinar keemasan memancar terang dengan indahnya, tampak sesosok tubuh seorang kakek sedang berdiri mematung di tepi luar Ladang Pembantaian. Kakek yang sudah kelihatan uzur itu mengenakan baju hijau lengan panjang dengan celana komprang yang hijau pula, di pinggangnya terlilit sebentuk sabuk dari kulit ular sanca kembang yang diawetkan.
Tidak ada yang aneh dengan penampilan kakek itu. Mukanya sudah kerut merut pertanda dirinya sudah tidak muda lagi, diperkirakan usianya sudah mendekati delapan puluh tahunan, namun tubuhnya masih gagah tegap, tidak bongkok seperti kakek-kakek pada umumnya. Tinggi tubuh dan bentuk badannya juga biasa-biasa saja seperti layaknya orang-orang kebanyakan. Tapi, ada satu yang aneh pada kakek berbaju hijau itu. Dia menggunakan sebuah caping lebar yang jarang atau malah tidak ada orang mau meletakkannya di atas kepala sekalipun, sebab caping itu bukan dari anyaman bambu atau rotan tapi caping yang terbuat dari tempurung kura-kura!
Mulutnya lincah bergerak kesana kemari seakan mengunyah sesuatu sedang matanya mencorong tajam mengawasi sekelilingnya. Tangan kirinya asyik memutar-mutar rumput yang dimasukkan ke dalam telinganya.
"Hemm, kemana perginya bocah tengik itu" Sudah menjelang malam begini belum pulang juga," gumamnya sambil terus mengawasi keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba, matanya yang tajam menangkap suatu gerakan di semak-semak sebelah selatan, dan tak lama kemudian muncullah seorang anak laki-laki berbadan gemuk berbaju sama hijau dengan baju si kakek, yang sedang tersenyum-senyum cengengesan sambil berjalan ke arah kakek aneh itu. Di tangan kanannya tertenteng empat ekor kelinci yang masih hidup dan tubuhnya cukup gemuk, mungkin ditangkapnya saat ia menuju ke tmpat itu. Kalau seorang bocah seperti dia menangkap kelinci dengan mudah, bisa diperkirakan seberapa hebat ilmu peringan tubuhnya.
"Bocah brengsek, kemana saja kau?" bentaknya marah.
Anak laki-laki yang disebut "bocah brengsek" oleh kakek itu hanya tersenyum saja. Tubuhnya yang gemuk berjalan dengan ringan seolah berat badan itu tidak berpengaruh sama sekali dengan dirinya. Bocah itu berusia kurang lebih sepuluh tahunan dengan muka bulat bundar, kulit hitam kecoklatan karena seringnya tertimpa sinar matahari. Meski badannya gemuk, namun gerakannya nampak gesit dan lincah. Bocah itu mengenakan baju dan celana yang sama dengan kakek itu yaitu berwarna hijau tua. Bahkan sabuk kulit ular pun juga sama persis, bedanya hanya sedikit lebih kecil ukurannya.
Demikian juga dengan tempurung kura-kura yang dimilikinya, sama persis dengan milik si kakek, hanya sedikit lebih besar, posisinya dilekatkan di punggung dengan seutas tali dari kulit binatang yang liat dan lentur. Jika dilihat dari kejauhan, persis kura-kura gemuk yang berjalan dengan dua kaki!
"Hei, ditanya malah cengar-cengir tak karuan!" bentak kakek itu lagi.
"Heh-he-he ... tenang kek! Tenang! Sabar ... sabar!" timpal si bocah, masih tetap dengan senyum yang sama.
"Bocah, darimana saja kau?"
"Dari ... dari sana kek." kata si bocah berbaju hijau dengan bagian dada tidak dikancingkan itu menunjuk ke suatu arah, tepatnya ke arah selatan.
"O, jadi kau habis main-main sampai ke tepi jurang sana. Hei, bocah, apa kau tidak tahu berbahayanya tempat itu. Sekali kau terjatuh, pasti nyawamu segera berangkat ke neraka, apa kau tidak takut, hah!" semprot si kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
"Aduuhh, kakek ini gimana sih"! Bukankah kakek sendiri yang menyuruh Arjuna untuk menyusuri tepi jurang sana itu, untuk memastikan bahwa orang yang sedang kita tunggu sudah datang atau belum?"
Mendengar ucapan bocah gemuk yang bernama Arjuna itu, si kakek melengak kaget. Dengan muka sedikit ditekuk, kakek itu mendegus kesal, "Apa benar begitu, aku yang menyuruhmu?"
"Ya, jelas benar dong. Kakek sendiri yang menyuruh Arjuna tadi pagi."
"O, begitu ya, he-he-he. Aku kok lupa."
"Ya ... gitu dech!" sahut si bocah gemuk sekenanya, "Lupa lagi ... "
"Lalu, bagaimana hasilnya" Apa kau sudah melihat mereka?" tanya si kakek.
"Mungkin besok sore orang yang kita tunggu akan sampai disini, kek." kata Arjuna kemudian, "kecuali ... "
"Kecuali apa?"
"Kalau mereka berlari cepat atau setidaknya menggunakan ilmu peringan tubuh, mungkin sebentar lagi akan sampai disini."
Kakek bercaping itu manggut-manggut, sambil bergumam, "Semoga saja orang yang kita tunggu-tunggu itu memang benar."
"Maksudnya apa kek?"
"Maksudnya benar itu ya ... tidak salah. Tidak salah orang alias tidak keliru. Bodoh benar kau ini!"
Arjuna hanya cengar-cengir saja. Sudah jadi makanan sehari-hari kalau dirinya sering dikatakan bodoh oleh kakek itu. Sebenarnya, siapakah adanya kakek bercaping tempurung kura-kura dan bocah bernama Arjuna itu"
Kakek bercaping aneh dengan baju lengan panjang dan celana komprang warna hijau dan di pinggangnya terlilit sebentuk sabuk dari kulit ular sanca kembang itu adalah salah satu dari empat pengawal Istana Elang yang saat ini masih hidup yang bergelar Si Kura-kura Dewa dari Selatan. Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya, bahkan Elang Berjubah Perak pun tidak pernah tahu siapa nama dari bawahannya itu. Meski usianya sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahun, namun masih tampak seperti orang berusia delapan puluhan tahun saja. Saat ini dirinya sedang menunggu kedatangan sang pewaris Tahta Angin yang dikawal oleh salah seorang murid Malaikat Sepuh Pulau Khayangan yang bernama Tabib Sakti Berjari Sebelas. Berita telah ditemukannya calon ketua Istana Elang disampaikan oleh elang berbulu perak yang selama ini mengikuti kemana saja Paksi Jaladara pergi.
Tentu saja Si Kura-kura Dewa dari Selatan paham benar dengan bahasa isyarat hewan dan juga akrab dengan si penguasa angkasa itu, karena dirinya sendiri juga memiliki tunggangan satwa langka kura-kura raksasa yang selalu setia menemani majikannya. Kura-kura tunggangannya itu bukan hewan sembarangan, karena selain langka, juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk sejenisnya.
Sedangkan bocah gemuk bernama Arjuna, tepatnya Arjuna Sasrabahu adalah murid tunggalnya. Aslinya ia bernama Joko Keling, namun karena ingin namanya lebih gagah dan mentereng, diganti sendiri dengan nama Arjuna Sasrabahu. Biar kelihatan hebat, katanya!
Si Kura-kura Dewa dari Selatan menemukan bocah gemuk itu secara tidak sengaja. Di saat dirinya sedang berjalan-jalan di sisi timur Lembah Badai, dia melihat bocah gemuk berusia kurang lebih delapan tahunan itu sedang bergulat dengan seekor ular sanca kembang yang besarnya sepaha orang dewasa. Bocah itu cukup kuat dan bisa menahan belitan ular yang cukup besar itu. Jarang-jarang ada bocah memiliki tenaga sebegitu kuat.
Sebenarnya kakek itu tidak tertarik dan cenderung masa bodoh saja ketika menolong bocah itu. Kepala ular sanca kembang itu disentil dengan jarinya, sehingga kepala ular pecah berhamburan. Darah merah dan otak berceceran mengotori baju dan wajah bocah itu. Setelah lolos dari maut, bocah itu melepas baju dan mengusap wajah yang belepotan darah dengan bajunya. Mata kakek itu terbelalak lebar saat melihat sesuatu di dada kiri bocah itu. Sesuatu yang sedang dicari-carinya sehingga membuat dirinya kembali blusukan ke rimba persilatan dan kini tanpa sengaja terpampang di depan batang hidungnya!
Rajah kura-kura hijau!
Rajah Kura-Kura Hijau adalah pertanda bahwa bocah gemuk itu merupakan salah satu calon pewaris dari ilmu-ilmu silat, kesaktian dan juga pengemban amanat sebagai salah satu Empat Pengawal Gerbang Selatan dari Istana Elang.
Setelah menanyakan asal-usul dan diri pribadi bocah yang mengaku bernama Joko Keling tapi bocah itu lebih suka dipanggil dengan nama Arjuna, mengambil tokoh tampan dari ksatria panengah Pandawa, dengan maksud agar bisa meniru sifat ksatria itu, katanya. Sejak itulah, Joko Keling atau Arjuna diambil sebagai murid oleh Kura-kura Dewa dari Selatan.
Namun, yang membuat kakek bangkotan itu jengkel bukanlah nama bocah itu, tapi syarat yang diajukan si bocah. Selama dirinya malang melintang di rimba persilatan, banyak tokoh-tokoh sakti bahkan para pendekar baik golongan putih maupun golongan hitam yang mengemis-ngemis agar bisa mewarisi sedikit saja ilmunya, ditolaknya mentah-mentah meski diiming-imingi dengan segala macam hata benda. Tapi giliran dia ingin mendapat murid, malah calon muridnya itu yang mengajukan persyaratan yang membuatnya geleng-geleng kepala.
"Aku yang butuh atau dia yang butuh, sih" Masak tokoh sakti macam aku harus memenuhi syarat seorang bocah yang ingin kujadikan murid. Seribu tokoh sakti atau seribu putra pendekar terkenal saja kutolak saat mereka menawarkan diri menjadi muridku, eh ... giliran aku yang butuh murid dan ingin mengajarinya ilmu silat, malah sekarang aku yang harus memenuhi syarat calon muridku" Benar-benar kapiran bocah itu!?" batin kakek itu, waktu dia menawarkan diri sebagai guru si bocah.
"Baik, apa syarat yang kau ajukan itu?"
"Pertama, dalam satu purnama penuh, aku minta satu hari penuh untuk bermain kemana saja, terserah aku. Kedua, ilmu yang ingin kakek ajarkan haruslah ilmu-ilmu yang terbaik dan yang paling sakti bukan ilmu-ilmu kacangan. Dan ketiga, saya tidak mau menyebut guru pada kakek. Bagaimana, kakek setuju?" kata Arjuna mengajukan syarat.
"Tidak mau menyebut guru" Kok bisa begitu?" tanya si kakek heran.
"Sebab, sebelumnya saya adalah murid Perguruan Silat Harimau Putih, tapi karena disuruh jadi kacung terus-menerus, saya bosan." kata Arjuna dengan polos.
"Perguruan Silat Harimau Putih" Maksudmu, perguruan silat yang berada di sisi utara tempat ini?"
"Betul." sahut Arjuna sambil menganggukkan kepala.
"Memangnya, kau sudah berapa lama menjadi murid Perguruan Silat Harimau Putih?"
"Baru ... tiga bulan, kek."


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, kau kesini dengan perlu apa?" selidik si Kura-kura Dewa dari Selatan.
"Saya dikeluarkan dari perguruan, karena saya bermain diluar tanpa sepengetahuan guru."
"O, begitu rupanya. Baiklah, syaratmu kuterima. Tapi kau harus belajar dengan tekun!"
"Baik!"
Maka, sejak saat ini, Arjuna menjadi murid tunggal dari Kura-kura Dewa dari Selatan. Tidak percuma kakek itu mengangkat si bocah menjadi muridnya, meski baru diajarkan jurus-jurus dasar, sudah cukup membanggakan kakek itu. Lalu ditingkatkan dengan latihan menghimpun hawa tenaga dalam, dan hasilnya pun cukup bagus untuk bocah seukurannya.
Tanpa terasa, dua tahun berlalu.
Di saat itu pula, di saat Arjuna bermain-main kemana saja, kakek itu memerintahkan pula untuk mencari keterangan tentang adanya orang yang memiliki Rajah Elang Putih, yang merupakan perlambang dari ketua Istana Elang.
Tanpa terasa, malam pun telah menjelang. Sang matahari telah kembali ke peraduannya dan kini digantikan oleh cahaya bintang dan bulan yang menyinari dengan anggun. Saat itu memang sedang bulan purnama, bulan sedang bulat-bulatnya bertahta di angkasa.
Si kakek membuat api unggun di bawah pohon yang cukup rindang, sedang Arjuna sibuk menguliti empat ekor kelinci yang gemuk yang tadi siang dibawanya. Setelah selesai, daging kelinci yang sudah bersih itu diberi bumbu merica, bawang dan garam yang diambil dari saku kirinya, lalu ditusuk dengan sebilah bambu yang cukup panjang dan diserahkan kepada kakek bangkotan yang juga gurunya, sedang hati kelinci disatukan Arjuna dalam satu bilah bambu yang lain. Memang anak ini paling senang makan hati kelinci bakar. Tak lama kemudian, terciumlah bau harum dan gurih dari daging serta hati kelinci yang dibakar guru dan murid itu, sehingga menerbitkan air liur keduanya.
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah makan dengan nikmatnya. Sepenanakan nasi kemudian, semua daging kelinci bakar sudah tandas habis dan kini menghuni perut mereka berdua. Lalu tangan kanan murid si Kura-kura Dewa dari Selatan merogoh ke dalam tempurung yang selalu dibawanya, dan mengeluarkan sebuah guci kecil, melepas tutup guci dan menenggaknya dengan nikmat.
Glukk! Glukk! Glukk!
Terasa air dingin membasahi kerongkongan, lalu masuk ke dalam perut gendut si bocah.
"Murid kurang ajar! Perisai Kura-kura Sakti kau jadikan tempat menaruh makanan! Murid macam apa kau ini"! Dikasih senjata pusaka malah dibuat mainan! Dasar bocah gemblung!" semprot si kakek sambil menepak kepala sang murid.
"Uh, kakek ini, cuma untuk meletakkan guci kecil saja, masak tidak boleh!?" elak si bocah bersungut-sungut.
Si kakek memelototkan mata mendengar alasan murid tunggalnya.
"Dasar murid geblek!" gerutu si kakek, lalu tangannya menyambar ke arah guci dan sekejab kemudian guci sudah berpindah tangan dan isinya sudah pindah ke dalam perut.
Arjuna hanya melirik saja melihat perbuatan gurunya, tak berani menegur, takut nantinya kalau kena semprot lagi. Kena semprotnya memang tidak masalah, tapi ludah yang menyertainya itu yang bermasalah.
"Kalau kena semprot lagi, lama-lama mukaku bisa jadi ladang banjir," pikir Arjuna.
"Juna, sebentar lagi, orang yang kita tunggu-tunggu akan segera datang. Kau siap-siaplah."
Arjuna Sasrabahu hanya mengangguk saja.
Tak lama kemudian, tampaklah dua sosok bayangan yang berjalan dengan santai ke arah mereka. Bayangan sebelah kiri tinggi tegak sedang bayangan sebelah kanan agak pendek, seperti anak usia tujuh tahunan. Makin lama makin dekat ke arah dua orang yang sedang duduk menanti sejak tadi siang.
Beberapa saat kemudian, bayangan itu membentuk dua sosok manusia. Yang satu seorang kakek berjubah hijau panjang dipadu celana panjang hitam dan memegang tongkat di tangan kiri. Di punggung kakek bertongkat akar kayu cendana itu tersampir keranjang yang entah apa isinya. Satunya adalah seorang bocah yang memakai ikat kepala merah, dengan baju dalam lengan panjang dan celana pangsi berwarna biru yang diikat sehelai sabuk kain yang berwarna merah. Diluarnya mengenakan jubah putih tanpa lengan yang panjangnya pas dengan tinggi tubuhnya. Jubah putih itu berkibar-kibar saat terkena tiupan angin malam. Mereka berdua adalah Ki Gedhe Jati Kluwih yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dan Paksi Jaladara, bocah yang memiliki Rajah Elang Putih yang berada dibalik ikat kepala merahnya!
Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa tindak, kakek tua bercaping tempurung kura-kura itu menghujaninya dengan teguran, "Tabib tua, lama sekali kau berjalan" Apa kau menginginkan tulang tua ini menjadi kaku kedinginan di tempat terbuka seperti ini?"
"Maaf, kalau Sesepuh lama menunggu kami," sahut Tabib Sakti Berjari Sebelas dengan sopan, setelah itu duduk bersila di depan api unggun, menghadap ke kakek tua itu, diikuti Paksi Jaladara yang duduk di samping kirinya.
"Sudahlah, jangan banyak peradatan, sebut aku seperti biasanya, tidak perlu menghormat seperti itu, aku malah jadi malu mendengarnya." ujar si Kura-kura Dewa.
"Baiklah. Kura-kura tua, bagaimana kabarmu" Apa kau sehat-sehat saja?"
"Seperti yang kau lihat, aku sehat-sehat saja. Dan bagaimana dengan dirimu?"
"Seperti yang kau lihat."
"Hei, Siapa bocah itu" Muridmu?"
"Bukan. Dia adalah pemilik Rajah Elang Putih, orang yang selama ini kita cari-cari." kata kakek tabib itu.
"Hmmm ... " Si Kura-kura Dewa dari Selatan bergumam.
Sinar matanya semakin tajam memandang ke arah Paksi, seolah-olah sinar mata itu hendak menembus sesuatu yang berada di balik ikat kepala merah itu. Paksi Jaladara merasakan bahwa tatapan mata yang mencorong tajam itu laksana serangan kasat mata yang menuju ke arahnya. Kepalanya terasa diaduk-aduk, pening sekali. Akan tetapi, Paksi merasakan sesuatu yang mementalkan serangan pandangan mata dari si kakek di depannya.
Hasilnya, kepala Si Kura-kura Dewa dari Selatan seakan disentakkan oleh suatu kekuatan gaib yang berasal dari balik ikat kepala merah itu. Sentakan itu begitu kuat bahkan teramat kuat, meski sudah mengeluarkan tenaga dalam hampir 3 bagian untuk menahan sentakan gaib itu, tetap saja tubuhnya ikut terjengkang ke belakang dan menabrak pohon di belakangnya.
Brukk!! Dhurr!!
Daun-daun berguguran saat tubuh kakek itu menabrak pohon. Saat itu seperti terjadi hujan daun saja layaknya.
"Kau ini kenapa, kek" Latihan nungging ya?" ucap Arjuna keheranan melihat tingkah polah gurunya yang aneh. "Atau bisul di pantat kakek mau meletus?"
"Diam kau!" bentak Pengawal Gerbang Selatan bangkit berdiri seraya menata kembali nafasnya yang kembang kempis.
Arjuna pun langsung diam seribu bahasa.
"Hebat! Bocah itu mermiliki hawa tenaga dalam yang kuat, tenaga dalam dingin beku yang sama persis dengan yang dimiliki oleh mendiang Ketua Istana Elang terdahulu. Saat kuterawang tadi, terlihat Rajah Elang Putih memancarkan sinar berpendar-pendar keperakan yang berkilauan. Tapi harus kubuktikan terlebih dahulu, apa benar dia Orang Yang Dipilih itu atau bukan, supaya tidak terjadi kesalahan." pikir si kakek.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Sebelas
"Bocah, siapa namamu?"
"Paksi ... " sahut Paksi. "Lengkapnya Paksi Jaladara."
"Hemm, Paksi"! Nama yang bagus," namun di hatinya ia berkata, "Sama persis dengan pesan dari Ketua Elang Berjubah Perak yang kuterima beberapa tahun yang silam atau mungkin cuma kebetulan saja?"
"Bocah, ceritakan bagaimana kau bisa memiliki Rajah Elang Putih yang tercetak di dahimu. Ceritakan dengan singkat saja."
Paksi Jaladara hanya menjungkitkan alisnya sambil membatin, "Kakek bercaping aneh ini hebat juga, mungkin tadi waktu melihatku dengan sorot mata tajam hanya untuk melihat rajah di dahiku ini. Jangan-jangan ... kakek ini juga melihat perabotku yang lain."
"Bocah, jangan berpikir yang macam-macam. Mana mungkin aku melihat segala macam perabot yang kau sembunyikan itu. Macam-macam saja pikiran anak sekarang ini," gerutu si kakek, seolah bisa membaca isi hati Paksi Jaladara.
Paksi Jaladara hanya nyengir kuda mengetahui apa yang dipikirkannya tertebak oleh si kakek.
"Wah, berarti kakek ini tinggi juga ilmunya, bahkan sampai bisa membaca pikiran orang," pikir Paksi.
Kemudian Paksi menceritakan semua hal yang berhubungan dengan dirinya semenjak dia dilahirkan, itu pun sesuai dengan apa yang didengarnya dari penuturan ibunya, Nyi Salindri. Semua diceritakan secara singkat dan jelas, tidak ada yang ditambah atau pun dikurangi, bahkan saat Tabib Sakti Berjari Sebelas mengajarkan sebuah jurus silat kepadanya juga diceritakan kepada kakek aneh itu. Kakek sakti yang berjuluk Si Kura-kura Dewa dari Selatan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Paksi Jaladara, pemilik Rajah Elang Putih.
"Hemm, begitu rupanya. Jadi si Perak juga telah mengajarkan padamu beberapa jurus silat padamu. Dan aku yakin, jurus silat itu bernama Ilmu Silat "Elang Salju", betul?" ucap si kakek.
"Menurut kakek tabib, jurus itu benar adanya bernama Ilmu Silat "Elang Salju". Tapi tidak hanya Si Perak saja, bahkan seorang kakek berjubah perak juga mengajarkannya lewat mimpi."
Kura-kura Dewa dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya manggut-manggut saja. Tidak ada bantahan dari mulut dua tokoh tua itu. Sudah tidak aneh lagi jika mendengar hal yang mustahil terjadi itu, namun begitulah kenyataan yang terjadi.
Sejak tadi Arjuna Sasrabahu hanya mendengarkan saja, tidak terdengar sedikit pun suara terucap dari mulutnya. Matanya hanya berkejap-kejap jenaka memandang Paksi Jaladara dari ujung rambut hingga ujung kaki, bahkan tadi sempat berdecak kagum saat mendengar bocah berikat kepala merah menceritakan tentang jati dirinya.
"Hei, bagaimana menurutmu?" kata si kakek aneh sambil siku kirinya menyenggol muridnya.
"Apanya yang bagaimana kek?"
"Bodoh! Jadi apa yang kau kerjakan sejak tadi?" sentak gurunya.
"Lho, bukankah kakek tadi menyuruhku diam, ya ... aku diam saja." balas Arjuna dengan santai.
"Kura-kura tua, boleh kutahu siapa bocah itu?" tanya Tabib Sakti Berjari Sebelas yang dengan heran memandang seorang bocah yang memakai tempurung kura-kura di punggungnya, bahkan dengan santai sekali menjawab pertanyaan si kakek bercaping.
"Dia" Bocah menyebalkan itu" Dia ... dia adalah muridku." sahut si Kura-kura Dewa dari Selatan dengan bersungut-sungut.
"Muridmu?" tanya Ki Gedhe Jati Kluwih, "Bocah, siapa namamu?"
"Kakek berkeranjang obat, saya adalah Arjuna," ucap si bocah gemuk dengan mantap.
"Ha-ha-ha-ha ... " Paksi Jaladara langsung tertawa terbahak-bahak mendengar nama bocah gemuk itu.
"Kenapa tertawa" Menghina ya?" bentak Arjuna Sasrabahu dengan mata melotot, "Ada yang aneh dengan namaku?"
"Tidak ... ha-ha-hi-hi, tidak, aku tidak menghinamu, hanya merasa lucu dan aneh saja, hi-hi."
"Apanya yang aneh dan lucu?" bentak Arjuna, masih dengan mata melotot.
Melihat mata yang melotot lebar itu, tak urung si Kura-kura Dewa dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas tersenyum juga dan pada akhirnya malah meledak menjadi tawa yang berderai-derai.
"Bocah, tak perlu melotot begitu, mukamu bukannya menyeramkan malah makin lucu. Matamu itu ... ha-ha-ha ... seperti bisul yang mau pecah, ha-ha-ha!" ucap gurunya, si Kura-kura Dewa dari Selatan tertawa terkial-kial sambil memegangi perutnya.
Bocah bertempurung kura-kura di punggung itu hanya manyun berat. Sudah seringkali gurunya itu menggodanya dengan "kata-kata semanis" seperti itu.
"Sudahlah! Arjuna, coba kau uji dia!"
"Uji apa kek?"
"Tolol, tentu saja uji ilmu silatnya! Memang kau mau uji nyali!?"
Arjuna tidak menyahut, hatinya masih dongkol sekali karena ditertawakan oleh bocah yang umurnya masih dibawahnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya juga seorang bocah!
"Kesempatan baik! Akan kuhajar dia sampai sungsang sumbel!" pikirnya. "Baru kutahu ... betapa manisnya balas dendam itu."
"Arjuna, gunakan "Ilmu Silat Pulau Kura-Kura"! Ingat, jangan mengecewakan aku sebagai gurumu!" seru kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
Bocah berbadan boros itu hanya mengacungkan jempol kanannya saja.
Tanpa persiapan terlebih dahulu, bocah yang mengenakan tempurung kura-kura di punggungnya itu menerjang Paksi yang saat itu sudah pasang kuda-kuda siap tarung. Badan besar tidak menghalangi kecepatan geraknya. "Ilmu Silat Pulau Kura-Kura" yang dikuasainya memang merupakan salah satu ilmu silat langka di rimba persilatan. Gerakannya yang kadang selamban kura-kura berjalan dan kadang secepat kura-kura berenang, diiringi dengan kibasan tangan dan kaki dengan mantap.
Akan halnya Paksi, bocah berikat kepala merah itu dengan lincah menghindar kesana-kemari. Gerakannya ringan laksana elang muda yang sedang mengecoh mangsanya. Ilmu Silat "Elang Salju" yang dimilikinya juga merupakan salah satu ilmu langka yang ada di rimba persilatan selain "Ilmu Silat Pulau Kura-Kura" yang dimiliki oleh Arjuna, murid Kura-kura Dewa dari Selatan!
Sebentar saja, dua bocah murid tokoh-tokoh sakti rimba persilatan sudah baku hantam dengan seru. Kadang lambat, kadang cepat. Saat ini mereka berdua masih menggunakan ilmu silat dan kegesitan ilmu ringan tubuh yang mereka terima dari guru masing-masing.
"Tabib Tua, apakah kau sudah pernah mencoba ilmunya" Seberapa hebat dia?"
"Untuk bocah seukuran dia, aku cukup kaget karena dia bisa menahan sepertiga dari tenagaku!"
"Heh!?" kaget sekali kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
Kembali kakek bangkotan yang usianya sudah ratusan tahun itu kembali terdiam. Otaknya yang sudah karatan itu kembali berputar-putar, mencoba mengingat sepenggal demi sepenggal tentang si Elang Berjubah Perak tentang segala macam kehebatan ilmu kesaktiannya.
"Kalau bocah bernama Paksi itu sampai bisa menahan gempuran tabib tua ini, aku yakin sekali bahwa bocah itu sudah menguasai atau setidaknya mempelajari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" pada tahap "Temaram Sinar Rembulan"." kata hati kakek bercaping tempurung kura-kura. "Hemm, bocah itu makin lama makin menarik saja."
Pada saat itu, Paksi Jaladara menghadapi situasi yang sulit. Tangan kirinya melanjutkan serangan menukik menghindari tangkisan tinju kanan Arjuna Sasrabahu dan melewati bawah lengan. Sekarang ujung jemari tangan yang membentuk paruh elang menyerang ke arah titik kelemahan di leher.
Wutt!! Sementara jurus "Tinju Kura-kura Berantai" dari Arjuna Sasrabahu mencoba ditangkisnya dengan tangan kanan, lewat jurus "Paruh Elang Memercik Air"!
Arjuna Sasrabahu tidak menghindar dari serangan paruh elang di lehernya, tapi ia meneruskan terjangan pukulan lurusnya ke empat titik di tubuh Paksi Jaladara. Percaya penuh dengan kekebalan kulitnya yang terangkum dalam "Jubah Kura-Kura Sakti", Arjuna membiarkan saja serangan lawan.
Dugh! Dugh! Dakk ... !
Tiga dari pukulan Arjuna berhasil ditangkis oleh Paksi Jaladara, bersamaan dengan ujung paruh elang Paksi Jaladara menyentuh kulit Arjuna Sasrabahu, bersamaan itu pula sebuah pukulan Arjuna Sasrabahu yang tak tertangkis menerobos masuk. Sedapat mungkin Paksi Jaladara menghindar. Namun tetap saja, pukulan Arjuna Sasrabahu masuk mengenai bahu Paksi Jaladara.
Bugh! Dess!! Jdduukkk!!
Sungguh perhitungan yang matang dari Arjuna Sasrabahu. Seolah ia rela mengorbankan titik lemah di lehernya terkena paruh elang, sementara tinjunya berhasil masuk.
Paksi Jaladara bersalto beberapa kali ke belakang untuk mengurangi daya serang pukulan dari Arjuna Sasrabahu. Ketika ia melihat bahunya, tampak bajunya gosong seolah habis terbakar dan tampak warna hitam bekas pukulan di bahunya. Tinju Arjuna Sasrabahu masih mengejar Paksi Jaladara, sementara sudah sekian puluh jurus Paksi Jaladara tidak membalas sama sekali melainkan hanya menghindar saja dengan menggunakan jurus yang bernama "Elang Menggulung Angin dan Awan". Ia tak menemukan celah sedikitpun untuk menyerang Arjuna Sasrabahu.
Di saat itu, terdengar seruan keras dari Kura-Kura Tua, "Bocah, gunakan "Tinju Dewa Api"-mu. Gunakan tenaga sepuluh bagian!"
Arjuna tidak menyahut, karena pada saat itu serangan Paksi yang kini ganti menyergapnya dengan jurus "Elang Menggulung Angin dan Awan", jurus ini tidak hanya untuk menghindar saja, tapi juga memiliki jurus serangan balik yang dahsyat.
Wutt! Bocah bongsor itu segera bersalto menjauhkan diri dari serangan lawan. Arjuna segera mengambil posisi seperti kura-kura merangkak, sedang kepala, kedua tangan dan kaki di tarik ke dalam, masuk ke dalam tempurung kura-kura. Tempurung kura-kura yang disebut sebagai Perisai Kura-kura Sakti itu bukan benda sembarangan. Semua jenis senjata dan pukulan maut tidak akan dapat menembus atau bahkan menghancurkannya dengan mudah, karena tempurung itu berasal dari turunan binatang langka, kura-kura hijau raksasa yang sudah mati.
Melihat reaksi lawan, Paksi segera melentingkan tubuh ke atas dengan gerakan kilat.
Wuttt!! Dari atas, Paksi Jaladara melancarkan jurus "Kelebat Ekor Elang", sebuah jurus yang mengandalkan gabungan kecepatan serangan dan ilmu meringankan tubuh dimana setiap serangan dilambari dengan hawa tenaga dalam yang bisa menghancurkan tebing. Bahkan desiran angin tajam yang timbul akibat kecepatan serangan yang menggesek udara kosong bisa merobek kulit.
Dughh! Dharr ... !!
Terdengar benturan keras saat serangan dari jurus "Kelebat Ekor Elang" yang dilancarkan Paksi Jaladara saat membentur Perisai Kura-kura Sakti yang berada di punggung Arjuna. Bocah gemuk yang menyembunyikan diri di dalam senjatanya yang unik itu, merasakan getaran yang cukup kuat dan rambatan hawa dingin yang menyusup-nyusup sampai tulang sumsum.
"Kurang ajar, ilmu apa yang dipakai bocah berikat kepala merah itu. Uhhh, dinginnya minta ampun. Brrrr ... !" gerutu Arjuna, sambil menggigil kedinginan. "Harus kukerahkan "Tenaga Inti Api" nih. Dasar sialan!"
Tak lama kemudian, dia menangkupkan dua tapak tangan ke pusar, lalu menariknya ke atas dengan pelan. Napasnya menghela dengan teratur. Sebentar saja, terasa hawa hangat yang berputar-putar di pusarnya kemudian dialirkan ke seluruh pembuluh darah di tubuh untuk mengenyahkan hawa dingin akibat serangan dari Paksi Jaladara. Lalu perlahan tapi pasti, Arjuna Sasrabahu menjulurkan seluruh anggota tubuhnya yang tadi disembunyikan di dalam tempurung kura-kura sambil terus menghimpun Ilmu Sakti "Tinju Dewa Api"!
Sementara itu, bocah berikat kepala merah itu kini membentangkan kedua tangannya seperti membentangkan sayap-sayapnya dan membentukkan jari-jarinya seperti sebuah cakar elang. Jurus "Elang Menyambar Ikan di Lautan" yang merupakan bagian dari Ilmu Silat "Elang Salju" akan dikeluarkan. Sebuah jurus yang paling akhir dikuasai, bahkan Tabib Sakti pun belum pernah melihat jurus ini sebelumnya, dimana untuk menyerang titik terlemah dari si lawan. Dan yang menjadi sasaran adalah jantung atau ulu hati. Paksi Jaladara melentik tinggi dan kemudian dari ketinggian ia bergerak turun sangat cepat menuju satu titik.
Ulu hati lawan!
Arjuna Sasrabahu tampak bersiap dengan "Tinju Dewa Api". Ia tidak berniat menghindar dari serangan Paksi Jaladara. Tetesan air keringat di tubuh Arjuna Sasrabahu sekejap berubah menjadi uap yang mengepul di sekitar tubuhnya. Bocah gemuk itu kembali mengambil sikap berjongkok seperti kura-kura merangkak, meletakkan kedua kepalan tinjunya di atas tanah.
Paksi Jaladara masih melayang di atas, dengan kedua lengannya dibentangkan membentuk sayap elang, kedua tangannya membentuk cakar turun dengan cepat menuju ke arah Arjuna Sasrabahu. Jarak sekitar dua tombak ketika Paksi Jaladara menggerakkan perlahan tangan kanannya menuju muka Arjuna Sasrabahu dengan jurus "Elang Menyambar Ikan di Lautan"-nya.
Whuss!! Whus!! Dan Arjuna Sasrabahu menghentakkan tinjunya di tanah dan melompat menerjang Paksi Jaladara di udara.
Duaassss ... ! Duarr ... !!!
Di tanah keras, tampak bekas "Tinju Dewa Api" Arjuna Sasrabahu yang barusan dihantamkan mengepulkan uap panas. Beberapa puluh pukulan tinju mengarah ke titik-titik lemah di tubuh Paksi Jaladara. Mengarah ke jidat antara dua mata, ke arah sebelah kiri dan kanan mata, ke arah titik leher bawah dagu kanan dan kiri, ke arah ulu hati, ke arah limpa, ke arah titik pusat, ke arah lutut dan pergelangan kaki.
Wusss ... Wuss ... !!!
Detik-detik terakhir sebelum benturan dua tenaga dan jurus terjadi, kaki kanan Paksi Jaladara menginjak kaki kirinya di udara, sebagai tumpuan loncatan. Tubuhnya meliuk berputar bersalto melewati kepala Arjuna Sasrabahu dan kini dalam gerak yang sangat cepat, dua cakarnya bergantian menyerang belakang kepala Arjuna Sasrabahu!
Sett! Settt!! Hanya selisih hitungan detik saja ketika puluhan "Tinju Dewa Api" Arjuna Sasrabahu mengenai tempat kosong dan kini ia terancam oleh jurus "Elang Menyambar Ikan di Lautan" Paksi Jaladara.
Arjuna Sasrabahu menekuk kepalanya menghindari serangan ke arah belakang kepala. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melengkung membentuk bulatan, meski ia tak bisa lolos dari cakar elang, ia masih dapat menyelamatkan ulu hatinya.
Dduuueessss ... !!!!! Drakkkk ... !!!
Jurus "Elang Menyambar Ikan di Lautan" bergeser sasarannya, mengenai punggung Arjuna Sasrabahu, menghantam tepat pada tempurung kura-kura yang ada di punggungnya. Terdengar suara keras.
Brrakkk!! Arjuna Sasrabahu terpelanting dan tulang ekornya terasa nyeri saat menghantam tanah. Sambil berputar turun dari udara, Paksi Jaladara masih sempat menjejakkan kakinya, meluncurkan tendangan ke arah ulu hati Arjuna Sasrabahu. Posisi tak memungkinkan mengenai sasaran, kembali terdengar suara keras.
Bughhh!! Krrakkkk ... !!
Ketika tendangan Paksi Jaladara mengenai tengah-tengah tempurung kura-kura itu. Arjuna Sasrabahu semakin terjerembab, nyungsep dengan tubuh telungkup sampai beberapa tombak.
"Cukup! Cukup!"
Terdengar bentakan keras dari mulut Kura-kura Dewa dari Selatan. Kakek bercaping itu segera menghampiri muridnya yang nyungsep di tanah. Bocah bertubuh gemuk hanya menggeleng-gelengkan kepala karena pusing yang teramat sangat. Tidak ada luka pada tubuhnya, akan tetapi andaikata tidak terhalang oleh Perisai Kura-kura Sakti, mungkin akan terluka dalam lumayan parah.
Pengawal Gerbang Selatan Istana Elang memeriksa keadaan muridnya. Tidak ada luka yang serius, hanya terasa hawa dingin saat ia menyentuh Perisai Kura-kura Sakti yang dikenakan muridnya.
"He-he-he, jangan sedih kek, aku tidak apa-apa kok," ujar Arjuna seperti tahu apa yang dipikirkan gurunya, "Santai saja."
"Sedih kepalamu pitak! Aku hanya mengkhawatirkan Perisai Kura-kura Sakti saja. Buat apa khawatir dengan bocah dogol macam kau!" sentak Kura-kura Dewa.
Arjuna hanya menjebikkan bibir saja, lalu bangkit berdiri setelah merasa bahwa hawa dingin itu sudah hilang saat kakek itu menyentuh tempurung kura-kura yang dipakainya. Sedangkan Paksi Jaladara, masih duduk bersila untuk menetralisir hawa panas yang sempat menyengat bahunya. Beberapa saat kemudian, keluarlah uap putih yang membungkus seluruh tubuhnya.
"Gila! Bukankah itu tahap awal dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" bagian kedua yang bernama "Bayangan Rembulan?"" Kura-kura Dewa dari Selatan berseru dengan kaget, "Bocah macam apa yang dipilih oleh sang Ketua" Sungguh luar biasa!"
Tabib Sakti Berjari Sebelas juga kaget saat mendengar perkataan kakek bercaping aneh itu.
"Benarkah?"
"Ya, aku tahu dengan pasti bahwa bocah itu sedang mengerahkan bagian kedua dari kitab itu," jelas si kakek sambil mengamati gerak-gerik bocah berikat kepala merah. "Setahuku, ilmu "Tinju Dewa Api" tingkat menengah sebanding dengan tingkat ke dua dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" yang bernama "Bayangan Rembulan"."
Ki Gedhe Jati Kluwih manggut-manggut. Tiba-tiba terlintas dibenaknya suatu hal dikepalanya.
"Sebenarnya, ada berapa tingkat yang ada di kitab itu?" Tabib Sakti Berjari Sebelas bertanya.
"Ada 4 tingkat. Yang pertama adalah "Temaram Sinar Rembulan", kedua adalah "Bayangan Rembulan", yang ketiga adalah "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" dan yang terakhir adalah "Tapak Rembulan Perak" yang merupakan bentuk gabungan 3 tingkat sebelumnya. Yang terakhir inilah yang paling sulit dikuasai. Ketua terdahulu hanya menguasai sampai tahap menengah saja," sahut kakek bercaping aneh itu sambil mengamat-amati gerak-gerik Paksi Jaladara. "Kurasa bocah itu sudah menguasai tahap kedua meski belum sempurna betul."
Sepenanakan nasi telah berlalu, bocah pilihan dari Elang Berjubah Perak telah selesai menetralisir hawa panas yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Bocah, bagaimana keadaanmu?"
"Seperti yang kakek lihat, saya baik-baik saja."
"Ayo, kita duduk disana," kata kakek bertempurung kura-kura itu sambil berjalan menuju ke bawah pohon rindang dimana Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu dan Ki Gedhe Jati Kluwih asyik ngobrol.
Paksi Jaladara mengiyakan saja, lalu berjalan mengikuti kakek itu.
Mereka berempat duduk melingkari api unggun sambil bercakap-cakap. Tabib Sakti Berjari Sebelas dan Kura-kura Dewa Dari Selatan duduk berjajar sedangkan dihadapannya duduk berdua Arjuna dan Paksi. Dua bocah yang tadi sudah saling gebrak itu, kini sudah ngobrol ngalor ngidul tak karuan juntrungannya. Maklum, namanya juga bocah, yang diberikan sekitar dunia mereka.
Kakek bertongkat kayu cendana mengeluarkan dendeng menjangan kering, dibumbui dengan merica, bawang putih dan garam yang sudah dilumatkan, lalu ditusuk dengan bilahan bambu kecil dan dibakar diatas api unggun. Lalu dikeluarkannya sebentuk kantong air dan 4 potongan gelas bambu, dibukanya tutup kantong itu dan air yang mengeluarkan bau semriwing telah tertampung di gelas bambu.
"Ha-ha-ha, dasar tabib! Kemana-mana selalu saja membawa air jahe, he-he-he," seloroh kakek bercaping aneh itu, " ... tapi bagus juga. Panggang dendeng menjangan diselingi dengan minum air jahe."
Begitulah, sambil berbicara panjang lebar tentang pengalaman masing-masing, mereka menikmati makanan yang ada didepan mereka. Bahkan diselingi oleh gerak tawa dari mereka berempat jika ada cerita yang lucu dan menarik.
Tak terasa, tengah malam telah datang, kemudian Kura-kura Dewa mengajak mereka ke pondokan mereka dan mempersilahkan tamunya untuk istirahat di kamar sebelah kiri, sedang guru dan murid itu lebih memilih tidur dengan cara yang tidak lazim.
Tidur diatas tali yang digantung disisi kiri dan kanan!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Belas
Matahari bersinar cerah pagi itu.
Sinarnya mengintip malu-malu di balik Gunung Tambak Petir. Angin pun berhembus dengan lambat-lambat, seolah takut kehilangan pagi yang menyejukkan itu.
Sedang nun jauh disana, di kaki gunung paling ujung, di suatu tempat yang bernama Ladang Pembantaian terlihat begitu menghijau kebiru-biruan. Rumput yang menari-nari terkena tiupan angin, bagai lambaian tangan seorang gadis perawan. Meski terlihat indah menghijau, namun didalamnya menyimpan sejuta kengerian yang bisa merenggut nyawa siapa pun yang berani lewat tempat tersebut.
Selewat dari Ladang Pembantaian, terdapatlah sebuah lembah yang merupakan tempat lebih mengerikan dari pada Ladang Pembantaian. Suatu lembah yang kelihatannya aman-aman saja, bahkan amat indah jika dilihat dari kejauhan, akan tetapi menyimpan laksaan kengerian. Tempat yang kadangkala melontarkan kilatan petir dan gemuruh halilintar yang terjadi setiap saat, meski tidak pada musim penghujan, bahkan pula diselingi dengan hempasan salju dan tiupan angin menggila yang datangnya tidak terduga. Sampai-sampai pendekar-pendekar dunia persilatan yang merasa dirinya sakti, dugdeng, digjaya akan berpikir seribu kali jika ingin mencoba-coba menginjakkan kakinya di lembah tersebut. Bisa jadi orang lolos dari Ladang Pembantaian, tapi belum tentu bisa lolos dari lembah maut itu. Lembah itulah yang bernama ...
Lembah Badai! Di perbatasan antara Ladang Pembantaian dan Lembah Badai, terdapat suatu tanah datar yang cukup luas, dimana tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan tumbuh dengan suburnya, segala macam binatang hidup dengan tenang, bahkan orang pun bisa tidur dengan nyaman. Salah satunya adalah seorang bocah bertubuh bongsor yang di punggungnya selalu membawa tempurung kura-kura besar. Bocah yang juga murid tunggal tokoh sakti dari Istana Elang yang bergelar Kura-kura Dewa dari Selatan.
Siapa lagi jika bukan Joko Keling atau dengan nama kerennya, Arjuna Sasrabahu!
Selain tinggal disitu, secara tidak langsung bocah itu juga bertugas sebagai mata-mata jika ada orang yang bisa melintasi Ladang Pembantaian dengan selamat. Namun selama ini, hanya empat orang yang berhasil lolos dari ladang maut tersebut, lolos dengan tubuh utuh dan nyawa melekat di badan, sebab kebanyakan yang bisa menerobos tempat tersebut kadangkala bisa sampai tanah datar tersebut, namun dalam keadaan yang sudah terluka parah, tubuh berwarna biru kehijauan karena keracunan, atau orang yang anggota tubuhnya sudah tidak lengkap karena terperosok dalam lumpur maut, dan kebanyakan tewas di tempat tersebut. Sehingga di ujung sebelah utara terdapat puluhan kuburan bagi mereka-mereka yang bisa sampai di tempat itu akan tetapi nyawanya tidak tertolong karena luka yang teramat parah.
Empat orang yang bisa lolos dengan selamat, selain Paksi Jaladara dan Tabib Sakti Berjari Sebelas yang memang sudah hafal dengan liku-liku Ladang Pembantaian adalah Pemburu Naga dari Pulau Kosong dan Ular Iblis dari Utara. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi di jajaran Serikat Serigala Iblis, pula keduanya berani menerobos ke Ladang Pembantaian pun atas perintah Ratu Sesat Tanpa Bayangan, yang bertujuan untuk mencari Istana Elang yang mana kabar santer di rimba persilatan, bahwa tempat itu berada di sekitar ladang maut tersebut. Meski bisa melewati Ladang Pembantaian dengan selamat, tapi akhirnya tewas juga saat bertarung setengah harian dengan Kura-kura Dewa dari Selatan.
Sedangkan Kaki Hantu Kipas Terbang bisa menerobos ke tempat tersebut karena mengandalkan ilmu ringan tubuh "Kaki Hantu"-nya dan juga kipas raksasa, senjata andalannya. Dengan menggunakan ilmu "Kaki Hantu" itu, dia naik ke atas kipas, dan melayang melntasi Ladang Pembantaian, sehingga dengan leluasa bisa menghindari jebakan-jebakan maut yang ada di tempat itu. Hal ini berbeda dengan Pemburu Naga dari Pulau Kosong dan Ular Iblis dari Utara yang harus berjuang mati-matian untuk "menaklukkan" tempat.
Namun, Kaki Hantu Kipas Terbang harus tewas juga saat berusaha menerobos ke Lembah Badai. Saat itu, Joko Keling sudah memperingatkan adanya bahaya sambaran petir dan badai salju, namun sebagai seorang tokoh muda yang sedang naik daun, si Kaki Hantu Kipas Terbang merasa tertantang. Dalam pandangannya, Lembah Badai sama saja dengan Ladang Pembantaian, tentu bisa ditaklukkan juga dengan menggunakan kesaktian ilmunya dan kehebatan Kipas Terbangnya.
Benar juga, baru berjalan beberapa langkah menginjak lembah badai, si Kaki Hantu Kipas Terbang sudah disambut desiran angin dingin membeku. Dengan cepat, ia mengerahkan tenaga DALAM berunsur panas, namun baru saja dikerahkan tujuh bagian, mendadak sambaran kilat menyambar dengan cepat.
Srakkk!! Dharr!!
Satu sambaran petir bisa dihindari dengan menggunakan ilmu "Kaki Hantu"-nya, namun sambaran kedua yang lebih menggila lagi, ia berusaha menangkis dengan Kipas raksasanya yang dilintangkan di depan tubuhnya, sedang kekuatan tenaga dalam sudah dihamburkan keluar untuk menahan lajunya desiran angin yang juga mulai mengganas.
Srakkk!! Dharr!! Dharr!!
Tubuhnya kontan terpental hingga keluar dari Lembah Badai dengan tubuh hancur berantakan hingga membentuk serpihan-serpihan daging hangus terbakar. Kipas Terbangnya pun hancur luluh saat terkena benturan petir lagi. Bagaimana pun juga, kekuatan alam tidak bisa disejajarkan dengan kekuatan manusia, namun karena keangkuhan dan kesombongan merasa memiliki ilmu tinggi, si Kaki Hantu Kipas Terbang melupakan falsafah itu, akibatnya, tubuhnya hancur berantakan karena kesombongannya sendiri.
Andaikata saat itu ia mendengarkan apa kata Joko Keling, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu.
Akan halnya Pelukis Buta datang dengan tidak suatu kesengajaan. Saat itu dia sedang dalam pengejaran tokoh hitam dari Partai Raga Bumi karena suatu masalah yang ia sendiri tidak mengetahui apa sebabnya. Pelukis Buta bukanlah seorang tokoh berilmu silat rendah, dengan sekuat tenaga berusaha melawan, namun kekuatan dan jumlah lawan jauh diatasnya, karena rata-rata orang-orang Partai Raga Bumi memiliki ilmu yang cukup tinggi. Dengan sangat terpaksa, kakek tua bermata buta itu harus melarikan diri dari kancah pertarungan. Tanpa sengaja, justru arahnya malah ke jurang yang lebarnya puluhan tombak jauhnya, dan tanpa ampun lagi langsung terjatuh ke jurang tersebut.
Untunglah bahwa pada saat itu, dibawah jurang yang dalam itu terdapat kolam alam raksasa yang bersuhu sedingin es.
Byurr!! Pelukis Buta terselamatkan dengan terjatuhnya ke dalam kolam raksasa. Mata lahirnya memang buta, tapi mata hatinya setajam pedang. Sesaat kemudian, dia sudah muncul di permukaan air, dan meraih sesuatu benda yang berada di samping kanan. Benda yang dipegangnya terasa kasar, berlendir dan sedikit licin.
"Jangan-jangan, yang kupegang ini batang tubuh ular raksasa. Mati aku!" gumamnya.
Benda yang dipegangnya itu mendadak mengibas ke samping.
Bess ... !! Tubuh Pelukis Buta kontan terpelanting, di saat tubuhnya sedang mengapung di udara, kakek itu mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya dari serangan susulan yang disadarinya berasal dari kolam itu.
Bluk! Tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras!
"Tenaganya besar sekali, makhluk apa itu?" kata Pelukis Buta lirih, karena menahan sakit akibat dibanting oleh makhluk dari kolam raksasa tadi.
"Kamandanu, yang sopan sedikit terhadap tamu!"
Sebuah suara terdengar oleh Pelukis Buta, suara yang bisa menggetarkan dada dan jantungnya. Suara itu meski pelan, namun dilambari dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup besar. Pelukis Buta menyadari adanya tokoh sakti yang berada di tempat itu, sebab dirinya tidak mengetahui ada orang di sekitarnya, bisa diartikan bahwa orang yang berada di tempat itu adalah tokoh kosen yang mungkin sedang mengasingkan diri. Begitulah, Pelukis Buta akhirnya mengetahui bahwa tokoh itu adalah Si Kura-kura Dewa dari Selatan, yang merupakan salah satu Pengawal Gerbang Selatan dari Istana Elang, sedang yang disebut "kamandanu" ternyata seekor kura-kura raksasa yang memiliki sepasang sayap di atas tempurung tubuhnya, yang bernama Tirta Kamandanu.
Tirta Kamandanu merupakan salah satu satwa langka yang ada di dunia ini, hewan air langka ini mendiami kolam raksasa itu sudah ratusan tahun lamanya. Pada mulanya ada sepasang kura-kura raksasa di kolam raksasa itu, saat Kura-kura Dewa dari Selatan tanpa sengaja menemukan tempat itu, itu pun tanpa suatu kesengajaan, karena mendengar raungan yang menggetarkan lereng sebelah selatan dari Gunung Tambak Petir. Kemudian dicarinya sumber suara dan menemukan kolam alam yang luar biasa luasnya, di dalamnya terdapat sepasang kura-kura raksasa, namun kura-kura betina sedang sekarat. Rupanya kura-kura betina itu berusaha mengeluarkan telur-telurnya, sedang kura-kura jantan gelisah menunggu di sampingnya. Melihat kedatangan manusia yang ia tahu dari nalurinya bahwa orang itu memiliki budi pekerti yang tinggi, kura-kura jantan memperlihatkan wajah memelas, seolah memohon pertolongan.
Kura-kura Dewa dari Selatan mahfum dengan hal itu, dengan kesaktiannya ia berhasil mengeluarkan dua butir telur yang ukurannya cukup besar, tingginya mencapai lehernya. Namun nyawa kura-kura betina tidak tertolong, akhirnya tewas setelah mengeluarkan telurnya yang kedua.
Kura-kura jantan meraung keras meratapi kepergian pasangannya.
Grooakkkhh! Grooakkkhh! Groakkkh ... !
Tempat itu serasa dilanda gempa bumi dahsyat, Kura-kura Dewa dari Selatan sampai mengkhawatirkan keselamatan telur-telur itu, takutnya pecah sebelum menetas, dengan sigap bertindak, segera saja ilmu "Jubah Kura-kura Sakti" dikerahkan untuk melindungi diri dan telur kura-kura raksasa dari reruntuhan gua alam yang ada diatasnya.
Grakk! Dharr! Pyarrr ... !!
Runtuhan itu terpental balik saat membentur ilmu "Jubah Kura-kura Sakti". Bersamaan dengan itu, jasad kura-kura betina memancarkan cahaya warna-warni yang berkilauan. Laki-laki itu sampai memicingkan mata saking silaunya. Menyusul surutnya cahaya kemilau itu, tampak di atas kolam itu melayang dua buah benda aneh.
Tempurung kura-kura berwarna hijau lumut!
Satu tempurung berbentuk kecil dan satunya berukuran besar, sedang melayang-layang diudara.
-o0o- Saat ini, para pendekar golongan hitam mulai melakukan gerakan persatuan antar sesama golongan. Beberapa tokoh hitam mulai menyebarkan undangan yang isinya mengundang sesama tokoh-tokoh aliran hitam untuk berkumpul di suatu tempat yang bernama Benteng Tebing Hitam. Roda Sakti Tujuh Putaran-lah yang menjadikan Benteng Tebing Hitam sebagai tempat berkumpulnya para tokoh hitam yang diundang tersebut. Sebagai majikan benteng yang berilmu tinggi, serta telah diakui di seantero jagat hitam maupun putih, membuat Roda Sakti Tujuh Putaran menganggap dirinya sebagai tokoh hitam pilih tanding, tokoh nomor satu di kolong langit.
Tentu saja pengakuan ini mendapat tentangan keras dari sesama tokoh persilatan aliran hitam. Mereka satu persatu datang ke Benteng Tebing Hitam dan mengadakan perang tanding ilmu kesaktian, namun pada akhirnya harus terjungkal juga dibawah "Ilmu Silat Tujuh Putaran Atas Bumi" majikan Benteng Tebing Hitam. Dan pada akhirnya, kekuatan Benteng Tebing Hitam semakin lama semakin membesar seiring dengan semakin banyaknya tokoh persilatan yang takluk dan bergabung dengan Benteng Tebing Hitam.
Si Roda Sakti Tujuh Putaran menyadari, bahwa orang-orang taklukan yang mendekam di dalam bentengnya, bagaikan memelihara harimau liar yang setiap saat bisa memangsa tuannya. Mereka masih menyimpan dendam sedalam lautan dan mungkin suatu saat bersatu padu untuk menjatuhkan dirinya dari dalam. Maka setiap pendekar golongan hitam yang telah kalah dan takluk, mau tidak mau dan suka tidak suka harus menelan racun "Sekerat Daging Seonggok Darah" yang akan kumat setiap tiga purnama. Racun ini akan menggerogoti tubuh dari dalam dimulai dari kaki kiri dan kanan, kemudian naik terus ke atas hingga akhirnya tubuh akan luluh lantak meninggalkan seonggok darah yang kental. Sedang penawar racunnya, hanya Roda Sakti Tujuh Putaran saja yang memiliki.
Bagi yang tidak mau, hanya kematian yang bisa diterima!
Sementara itu, tokoh-tokoh aliran putih yang melihat gerakan Benteng Tebing Hitam mulai bersiap-siap diri. Beberapa tokoh persilatan kenamaan mulai menghubungi kerabat dan kenalan sesama pendekar, dan kemudian berunding menetapkan tempat perkumpulan aliran putih, diputuskan berpusat di Benteng Dua Belas Rajawali, suatu tempat berkumpulnya para pendekar setelah aliran Istana Elang menghilang dari kancah rimba persilatan.
Benteng Dua Belas Rajawali diketuai seorang tokoh yang berjuluk Rajawali Alis Merah, seorang tokoh yang begitu disegani oleh kalangan rimba hijau. Belum lagi dengan saudara seperguruannya yang bergelar Naga Sakti Berkait, yang sudah malang melintang di delapan penjuru angin. Bahkan konon katanya pernah berguru kepada seorang tokoh sakti di kepulauan Borneo dan mendapatkan senjata pusaka Mandau Kait Sembilan dari tokoh sakti yang kini telah mangkat. Ketua perguruan silat, padepokan, serikat pendekar dan pendekar-pendekar sealiran menerima undangan dari Benteng Dua Belas Rajawali dan menyatakan kesanggupannya untuk bergabung dalam satu wadah pendekar.
Begitulah, dua bentuk kekuatan besar di rimba persilatan sedang menghimpun diri untuk memperkuat posisi masing-masing. Disatu posisi untuk mencari siapa yang terkuat dan bisa menguasai rimba persilatan, sedang di posisi satunya untuk mencegah kekuatan hitam yang berkuasa dan merajalela.
Dua kekuatan besar itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak ubahnya sedang mengumpankan diri ke dalam mulut harimau, karena tanpa sepengetahuan mereka terdapat suatu kekuatan bawah tanah yang bisa mengancam kekuatan besar itu.
Kekuatan iblis!
Kekuatan ini akan memangsa siapa saja, tidak peduli dari golongan hitam mau pun dari golongan putih, bahkan jika dari rakyat jelata sekalipun, akan dilibas tak tersisa. Kekuatan yang kadang diluar jangkauan akal sehat manusia pada umumnya, kekuatan iblis yang sudah menitis pada orang-orang tertentu, dimana orang-orang yang memiliki kekuatan itu ditandai dengan adanya rajah berwarna hitam berbentuk kepala setan bertanduk. Itulah yang dinamakan ...
Rajah Penerus Iblis!
Setiap orang yang memiliki Rajah Penerus Iblis, akan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Andaikata seorang bocah biasa jika memiliki tanda Rajah Penerus Iblis di salah satu anggota tubuhnya, bisa dipastikan akan memiliki kekuatan iblis yang luar biasa, bahkan dikeroyok oleh beberapa tokoh sakti berilmu tinggi sekalipun belum tentu bisa mengalahkannya.
Rajah Penerus Iblis itu ternyata dimiliki oleh seorang pemuda gagah dan tampan, berusia kurang lebih sembilan belas tahun dengan postur tubuh tinggi tegap. Dan saat ini pemuda itu sedang digembleng oleh suatu kekuatan sesat yang bermukim di dasar perut bumi. Kekuatan siluman, setan, iblis dan segala macam makhluk gaib menggemblengnya dengan sedemikian rupa. Bahkan raja diraja mereka pun turut andil didalamnya.
Kini, anak muda itu sedang mempelajari ajaran sesat dari kitab kuno yang bernama "Kitab Hitam Bhirawa Tantra" dari suatu istana alam gaib, tepatnya ...
Jaka Lola 13 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Istana Pulau Es 14
^