Pencarian

Pendekar Lembah Naga 23

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung, bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.
Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si" Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!
Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya, "Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkan pada dirinya. Maka diapun cepat membalas penghormatan itu dan berkata, "Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, "Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."
Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak dan memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.
"Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara halus namun seketika wajah hwesio itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu" Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu.
"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."
Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.
Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!
Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.
Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar.
Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba" Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.
Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga" Ataukah hanya kebetulan saja"
Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, "Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian merasa terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.
Han Houw juga mengerti akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai" Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya."
Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka "locianpwe", sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka "losuhu" saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin membingungkan dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat" Melihat sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sangat boleh jadi.
Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."
"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio" Ke manakah beliau pergi"
Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran" Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.
"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurusnya dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti paduka sampai datang mencari suhu"
Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak perduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."
Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.
Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri, "Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke Siauw-lim-si kami"
Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama"
Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.
"Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai"
Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi" Siauw-lim-pai amat luas dan memiliki ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya."
"Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang terpandai di sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang. Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, "Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar..."
Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah, locianpwe!"
Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua orang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. "Baik, marilah kita ke lian-bu-thia, pangeran."
Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.
Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang demikian besar dan ternama.
Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir dan mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suhengnya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.
Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cukup jangkung tegap, nampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.
"Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat" tanyanya dengan suara nyaring akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.
"Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari."
Han Houw tersenyum, "Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau locianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan tantangan, biarpun nadanya minta diberi pelajaran.
Thian Bi Hwesio masih tersenyum. "Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat..."
"Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe."
Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!
"Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!"
Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja" Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai"
Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar!
"Pangeran," katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, "hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan dimaksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!"
Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji kepandaian atau pibu"
Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke depan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar.
"Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!"
Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati" Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.
"Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul," kata Thian Bi Hwesio sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.
Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Pangeran, hambalah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata demikian, hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.
"Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kauterimalah ini!"
Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!
Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai.
"Tukkk!" Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Plakk!" Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol. Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.
"Sute, waspada..." bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.
"Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain"
"Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, akupun tidak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia" Akibatnya akan hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini!
Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lalu berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan siapapun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."
"Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!" Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya.
Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka.
"Silakan, pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.
Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah!
"Hiaaattt...!"
"Wuuuuttt... ah!" Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.
"Wuuuuutttt...!"
"Ehhh...!" Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.
Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar.
KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!
Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikitpun untuk dapat memasukkan serangannya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, mengerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya!
Bukan main kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya, yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh.
Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan ilmunya yang hebat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung mempergunakan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. "Ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!"
Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka, bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.
"Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami." Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!"
Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya. "Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini" Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu."
"Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe," Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.
"Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw.
"Uhhh...!" Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana!
"Omitohud...!" Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu.
Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.
"Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka."
Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai. Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru merekapun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.
"Siapakah locianpwe"
"Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka."
"Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku."
"Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang" Pendeta-pendeta tua yang bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang" Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat" Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang."
"Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai" Aku telah menguji kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku."
"Pinceng tidak berani."
"Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!"
"Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani" Sebaiknya kelak kalau suhu sudah pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur"
"Thian Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!"
"Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan."
"Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan itu!" Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum puas kalau dia belum mengalahkan hwesio ini.
Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu. "Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai." Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar dan semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut berputaran seperti terbawa angin puyuh dan semua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat "menyapu" lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini!
"Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!" tantangnya dan dia sudah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda.
Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi," jawab pendeta itu.
Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding.
"Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!" Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tahgan di depan dada.
Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi kalahkan oleh Han Houw berkata, "Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!"
Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Pangeran itu benar-benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau kira dia takut" Kauperiksa sapu itu baik-baik."
Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio itu terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke belakang.
"Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silatnya" tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya.
Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran. "Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu," kata Thian Bi Hwesio.
"Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu," sambung Thian Bun Hwesio. "Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat."
Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguhpun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan kekhawatiran.
Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat! Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar! Mereka lebih baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan akibat yang amat hebat sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum!
*** Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan saputangannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk berteduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk.
"Aihhh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!" keluhnya dan dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri sedangkan lengan kanannya memegangi golok pada gagangnya, golok besar yang diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian diapun mendengkurlah, tidur dengan nyenyaknya!
Pemuda itu bukan lain adalah Tee Beng Sin, keponakan Kui Hok Boan yang tinggal di dusuw Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti kita ketahui telah meninggalkan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang melarikan diri karena mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu.
Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat!
Betapa hati pemuda gendut ini tidak akan berduka" Dia sudah setengah tahun meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil menemukan kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biarpun dia tidak dipesan oleh Kui Hok Boanpun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan mereka. Kalau dia membayangkan nasib dua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali. Diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua orang dara itu! Memang menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini, akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baikpun nasib dua orang dara itu telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan dua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persejuan dari mereka sendiri.
Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia sudah meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Beng Sin memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biarpun dia tadi tidur pulas, tak salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak kaget. Akan tetapi mengapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau mendengar apa-apa" Apakah dia mimpi" Tak mungkin.
"Tolongggg... ohh, tolonggg...!"
Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, menyusup-nyusup dan mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak. Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan. Nampak sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik sedangkan seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang laki-laki itu.
"Keparat!" Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu.
Lima orang laki-laki kasar itu terkejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang besarnya, mereka lalu melepaskan gadis itu dan mencabut senjata masing-masing dengan sikap mengancam.
"Jangan takut, nona, aku akan membasmi mereka!" kata Beng Sin dengan sikap gagah dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu berlindung di belakangnya.
Lima orang perampok kasar itu dipimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar dan sikapnya amat menakutkan, membayangkan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang besar sekali, besar dan berat, seimbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada yang golok, ada yang pedang atau tombak pendek.
Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya. "Hemm, kalian perampok-perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di siang hari, ya" Setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak dapat diberi ampun lagi!"
Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Ketika dia melihat tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar daripada tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar dan agaknya tidak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak dan kelihatannya agak jerih.
"Kawan..." katanya sambil mengedip-ngedipkan mata seperti memberi isyarat rahasia. "Kita... kita bagi-bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami dan kau boleh mendapatkan orangnya."
Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi kemudian dia mencak-mencak dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Dia tentu disangka sebangsa pencoleng oleh kepala perampok itu! Ingin dia menghadapi cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng"
"Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!" Dia memaki-maki saking jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya sendiri. "Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kaukira aku ini orang apa" Aku adalah seorang pendekar muda, tahu" Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan bicara!"
"Wah, pendekarnya kok gendut amat...!" Terdengar seorang anak buah perampok berkata lirih.
"Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!" kata orang ke dua.
Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan suara berdesir-desir.
"Taihiap hati-hati...!" bisik gadis itu dan Beng Sin yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut "talhiap". Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya mempermainkan golok besarnya! Timbul pula keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu menggerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat.
"Kalian mau melawan" Bosan, hidup, ya" Nah, sambut ini!" Dia lalu membacokkan golok besarnya itu ke depan.
Kepala rampok yang lebih biasa menaklukan korban dengan gertakan daripada tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau dia sudah memutar penggadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut!
"Tranggg...!" Penggada itu terpental dan terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biarpun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran pertemuan senjata tadi.
"Nah, ambil senjatamu, jahanam!" katanya dengan lagak gagah, sambil bertolak pinggang lagi.
Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu dapat menghancurkan batu karang sekali gempur dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi kini bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh empat orang anak buahnya.
Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan saja, sama sekali tidak memiliki kepandaian berarti. Betapapun juga, kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot juga!
Bukan main lega hati Beng Sin. Dia tertawa dan mengamang-amangkan goloknya ke atas. "Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku akan mengampuni kalian!"
Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Sin. "Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu..." gadis yang manis itu berkata, juga ibunya menghaturkan terima kasih.
Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya di menyentuh pundak gadis itu untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali. "Maaf... eh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian..."
Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan.
"Apa yang kalian cari" tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti itu.
"Kusir kami... tadi ketika perampok-perampok muncul, dia lari entah ke mana..."
Beng Sin lalu berteriak nyaring, "Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok sudah pergi semua!"
Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apalagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya. "Hayo lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!" kata Beng Sin dengan gagah.
Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta, dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan kuda dan kereta itupun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya. Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa telah menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka.
Suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal kiriman barang-barang atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciok-piauwsu ini bekerja pada piauwkiok (perusahaan pengawalan) yang bernama Hek-eng-piauwkiok di kota Su-couw di Ho-nan.
"Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap. Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, tidak nyana hari ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung ada taihiap yang menolong kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar."
"Kalau ayah mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!" kata gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciok Sui Lan.
"Eh... nona Ciok adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan penjahat-pejahat itu" tanya Beng Sin.
Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng Sin berdebar tidak karuan!
"Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita..." jawab gadis itu malu-malu.
"Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang."
"Ihhh, ibu...!" Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.
"Tentu... tentu paman Ciok lihai sekali ilmu silatnya," Beng Sin berkata dan diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang!
Wanita itu menarik napas panjang. "Sejak muda, suamiku paling senang dengan ilmu silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok."
Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciok yang cukup besar, mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciok-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.
"Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!" Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.
Beng Sin cepat membalas dengan menjura. "Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi"
Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka berkenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya menahan-nahannya.
"Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjaidi seperti keluarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa" Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga kalau tidak mau tinggal di sini untuk beberapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan rasa terima kasih kami," Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa. "Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai."
Wajah Ciook-piauwsu berseri. "Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!" Dia berseru girang. "Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!"
"Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya"
Piauwsu itu menggeleng kepala. "Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu sliatmu. Harap kauperlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena sealiran."
Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk. "Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang..."
"Bagaimana, lo-enghiong"
"Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kaulihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kaulihatlah baik-baik."
Ciok-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepatnya. Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya!
"Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!" katanya setelah piauwsu itu menghentikan permainan silatnya.
Ciok-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, "Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari."
Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciok-piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciok-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni. Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciok-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.
Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari dengan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.
Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumahg Ciok-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang selama beberapa hari sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, "Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tldak menjadi kecil hati."
"Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan" Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu."
"Begini, sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga" Maksud saya, apakah sudah menikah"
Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia menggelengkan kepala.
"Dan sudah bertunangan ataukah belum"
"Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa..."
"Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini."
Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa telah "jatuh cinta" kepada Lin Lin, adik misannya itu.
"Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan..." katanya gagap.
Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka. "Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh..."
"Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu."
"Ahh!" Ciok-piauwsu nampak terkejut, "Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu" Siapa tahu saya dapat membantumu."
Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat.
Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran. "Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar" Ahh, betapa kebetulan sekali!" Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. "Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu" Mari, mari kau ikut aku!"
Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu int justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!
"Benarkan engkau tahu, lo-enghiong" Di mana mereka"
"Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu silat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!"
Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri.
Begitu bertemu, Ciok-piauwsu cepat memberi hormat dan berkatag "Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu" Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!"
Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, "Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu"
"Tentu saja!" Beng Sin menjawab. "Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!"
Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang. "Harap kalian suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda."
Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciok-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya, "Terlambat bagaimana, lo-enghiong"
"Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka."
Wajah Beng Sin berseri. "Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!" Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.
"Hemm, engkau baik sekalig sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang."
Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu mengemasi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciok-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciok dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja!
Dengan menunggang kuda pemberian Ciok-piauwsu, Beng Sin melakukan perjalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oteh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya.
Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang, "Di mana tuan besar" Di mana kedua orang siocia" Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala.
Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.
"Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)" Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu" Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi..."
"Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi di mana mereka sekarang" Dan di mana paman"
Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main. "Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pangeran!"
Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang. "Apa..." Apa maksudmu, Bu-ko" Di mana Lan-moi dan Lin-moi"
Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. "Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te" Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!" Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.
Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang begitu girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran" Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, "Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu"
Dalam kegembiraannya, Siong Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab, "Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu" Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!"
"Plakkk!"
"Hei, gilakah engkau" Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.
"Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!" Beng Sin membentak marah. Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya! Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu.
"Sin-te, apakah engkau sudah gila" Kau berani menamparku" Siong Bu memandang marah.
"Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!"
"Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran" Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!" bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.
"Hemm, boleh kaucoba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kautimpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!"
"Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!" bentak Siong Bu makin marah.
Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru, "Majulah, manusia busuk!"
Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu! "Tahan! Jangan berkelahi!" Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah.
Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata, "Paman, bocah ini hendak memberontak!" Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang.
"Jangan berkelahi!" bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.
Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan mereka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar dari istana.
"Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan," kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.
Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua orang puteri yang dicintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekaii dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup berbahagia"
Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka.
Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini"
Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar.
"Cappp!"
"UGHHH!" Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.
"Heiiiii...!" Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.
"Siong Bu...!" Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.
Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar. "Paman... aduhhh... mati aku, paman..." Dia merintih dan menangis.
"Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kaulakukan ini" Apa yang telah kalian lakukan ini"
Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. "Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!"
Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung.
"Paman... ayahku... bagaimana ini..." dia tergagap.
"Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!" Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.
Beng Sin memegang tangan yang lemas itu. "Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah..." katanya seperti berbisik.
Siong Bu membuka matanya, tersenyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya. "Aku... aku... yang salah...!" Dia memejamkan matanya dan napasnya putus!
Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang dimilikinya ini" Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak, dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang membuat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal dan semua penyesalan itu ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen!
"Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!" Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.
"Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"
Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah!
Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala "nasib" berada pada diri kita sendiri" Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!
Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.
Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi" Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.
Dapatkah kita memandang tanpa penilaian" Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu" Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.
Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap seperti orang yang miring otaknya atau gila!
*** Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak anak kandungnya sendiri. Tentu ada rahasia di balik semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw" Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciok yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciok Siu Lan.
Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya tanpa mengenal lelah.
Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang angker dan menyeramkan.
Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat, menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu.
Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup di saat itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas.
Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san"
Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil di mana dipuja Dewi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju ke dusun itu.
Kuil itu kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa.
Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang melayani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang bersembayang. Akan tetapi pemuda ini selain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agaknya datang dari jauh, melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa ngeri!
Tusuk Kondai Pusaka 16 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Manusia Harimau Jatuh Cinta 3
^