Pencarian

Pendekar Lembah Naga 5

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dalam dua gebrakan saja! Saking marahnya sampai dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri, mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor kerbau marah, mendengus-dengus.
"Wah, tadi berlutut sekarang menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menolak. Melihat kehebatan anak laki-laki ini, diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila!
Siong Bu terkejut bukan main. Dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lwee-kang yang dipusatkan di kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan remuk tulang-tulang dadanya. Biarpun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan kini melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak dan merasa tegang. Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu memandang dengan sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah.
Bagaikan seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang menjadi lawannya itupun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah meluncur dekat tiba-tiba anak itu menggerakkan tanga kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan jari-jari tangannya.
"Crokk...!" Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika! Empat orang temannya menjadi kaget bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, wanita cantik itu tidak memperdulikan mereka, cepat menghampiri sutenya dan dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih kembali.
"Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh" Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan serangan dengan kepala adalah yang yang memiliki lwee-kang kuat, apakah kau lupa lagi" Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar. Untung bahwa lwee-kangnya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat saja, bukankah engkaupun akan menderita luka biarpun kau berhasil membunuhnya" Anak laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci, mengharapkan petunjukmu."
"Lihat baik-baik. Nah, kaulontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi kepadaku!"
Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu dan sambil mengerahkan tenaga, dilontarkannya mayat itu ke arah sucinya. Mayat itu meluncur dengan cepat ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan ketika kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat.
"Crokkk!"
Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak. "Nah, kaulihat, sute" Kalau kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lwee-kangnya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi amat kuat. Sebaliknya, kalau kau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung."
Tadinya empat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali.
"Bocah setan, berani kau membunuh teman kami" bentak Twa-sin-to Kui Lokg kakek berusia enam puluh tahun lebih yang pendek gemuk itu. Goloknya yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata.
"Jangan lawan dengan tangan kosong, gunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok.
"Srattt...!" Nampak sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itupun telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak kebiruan, gaganngya berukir tubuh naga dan ronce-ronce merah berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang.
Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, maka dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan. Kini dia dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia marah sekali dan ingin dia cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan seluruh perhatian dan memusatkan tenaga dan kepandaian untuk menghadapi Kim Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu. Dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samodera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan dada dan memandang permainan lawan dengan penuh perhatian.
"Awas, yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak aseli lagi, namun masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok. Diam-diam si gemuk pendek ini kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa telah menguasai Lo-han-to, ilmu golok yang amat hebat dari cabang persilatan Siauw-lim-pai itu dengan baik, kini disebut pecahan yang tidak aseli lagi! Memang dia bukan murid langsung dari Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira telah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah) memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai yang hebat, gerakannya gagah bersemangat dan biarpun digerakkan dengan lambat, namun mengandung lwee-kang yang amat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti ombak.
Akan tetapi, Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu, dia sudah menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar seperti kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu.
"Itulah jurus Yan-cu-tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu sifatnya, sute, jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!" kembali wanita itu berseru.
Anak itu menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengar bunyi trang-tring-trang-tring nyaring sekali dan kemanapun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak. Memang tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, karena itulah maka wanita itu tadi mengingatkan sutenya untuk tidak melupakan yang bawah! Maka begitu kakinya bergerak menendang, tiba-tiba anak itu membalikkan pedangnya menyambut kaki yang menendang.
"Ehhh!" Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang sehingga dia agak terhuyung. Mukanya berubah dan keringat dingin membasahi leher karena dia mengingat betapa hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin buntung oleh bocah lihai ini. Dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang lagi dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh.
"Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal itu. Akan tetapi ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru dan makin marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak aseli, kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja dan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing dan bersuitan ketika dia menyerang dengan dahsyat.
Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan kedua kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan cara yang aneh, dan semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan, ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Anak itu lebih mengandalkan gerak kakinya menghindarkan semua serangan-serangan daripada menangkis, sungguhpun kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai menjadi makin heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang, sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung bajunya belum pernah!
Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, kini telah mencabut pedang mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar merah dan teguran suara halus wanita itu, "Jangan kalian berani mengganggu sute yang sedang berlatih!" Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut sekali melihat sinar yang panjang seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu.
"Wuut-wuut-wuuttt...!" Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar merah itu melibat tiga batang pedang.
"Ouhhhh...!" Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biarpun mereka tadi sudah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu.
"Terimalah!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan, tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu meluncur ke depan, menuju ke arah pemiliknya masing-masing!
Tiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi lontaran pedang dan belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan pedang-pedang itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada yang tertembus perutnya. Mereka roboh berkelojotan dan tewas!
Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh, kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang "berlatih" di bawah hujan sinar golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok.
Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!
"Sute, sekarang latih serangan pedangmu!" tiba-tiba wanita yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru.
Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya.
"Tranggg...!" Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan). Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar, membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas menyerang!
Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya dingin, cepat dia meloncat dan menyapok ke belakang. Akan tetapi, anak itu menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk saja!
Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat menangkis pedang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu.
"Awas, sute!" Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring.
"Huiiiihhh!" Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui Liok.
"Aughhh...!" Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak itu.
"Desss...!" Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!
Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan saputangannya yang halus dan berbau harum.
"Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau sasaranmu kautujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain kali engkau lebih cermat lagi."
Anak itu mengangguk. "Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali."
"Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh mencoba!" Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu. Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan "Huuihhh...!" seperti tadi. Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia tersenyum.
"Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!"
"Nah, engkau harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apabila engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa perhitungan. Sekarang, cabutlah pedangmu. Aku melihat ada beberapa gerakan inti yang kurang tepat tadi, maka sebaiknya kauperhatikan seranganku dan lawanlah dengan pedangmu sebaik mungkin!" Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab, wanita itu telah menggerakkan sabuknya.
"Wirrr... suitttt...!" Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya.
"Wessss...!" Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat sekali.
Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya. Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam!
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring seorang pria, "Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!"
Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus, "Merangkaklah ke sini!" katanya dengan nada merendahkan.
Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar, bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya.
Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang membawa bungkusan, lalu bertanya, "Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh apalagi"
Orang itu menjura dengan hormat, "Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama."
"Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah pergi!" bentaknya.
Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.
"Eh" Kenapa, suci" tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti itu.
"Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute."
"Ah, keparat!" Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi itu.
"Sute, jangan...!" Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehinggi lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah. Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu.
"Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu"
"Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!" Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar.
"Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima langkah dari sini."
Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan.
Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, "Kau lihat, sute." Dia menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! "Racun yang dioleskan di bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat."
Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!
"Capppp!" Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan tenaga, leher ular itu putus!
"Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!" Wanita itu mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam doos besar itu. Doos inipun tertutup.
"Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!" Anak itu berseru, tadi kaget menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya.
Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum. Akan tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan sehelai kertas yang sebagian hangus.
Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.
JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN.
Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar kehijauan itu.
"Sungguh berbahaya..." katanya ngeri.
"Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)."
"Siapakah mereka itu, suci"
Wanita itu menarik napas panjang. "Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar."
"Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci"
Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Seperti juga halnya lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini."
Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi seorang wanita yang bukan main saktinya.
"Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio"
"Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku," jawab sucinya dengan sikap tak perduli.
Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya telah membunuh lima orang. Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain yang membela tiga she itu dan terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di baglan papan atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja.
Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya, karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah. "Suci, sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she itu"
"Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang."
"Dan sampai kapan berakhirnya" Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh" Anak itu merasa betapa tugas ini benar-benar gila!
Wanita itu menggeleng kepala. "Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute."
"Aku akan membantumu, suci."
Sucinya menggeleng kepala. "Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak takut."
Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata, "Kalian antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya."
Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi.
Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke rumah pamannya! Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh utama dari wanita tadi" Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu" Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia.
Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali.
Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini" Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut). Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu.
Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal.
Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya, dia lalu "memperlihatkan" kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!
Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu dan sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa! Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!
Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu. Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya!
"Kau..." Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka" Nenek itu mentertawakan.
Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mendidik saya dan menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang"
Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!
"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!" akhirnya dia berkata.
Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih perawan"
Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.
"Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang kautemukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!"
Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka.
"Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ, dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!"
Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya.
Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hi-hik, sekarang kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini."
"Su... suheng..."
"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu" bentak nenek itu. "Hayo lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga."
Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.
"Eh, Kim Hong, mengapa engkau menringgalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang" sri baginda berkata dengan halus.
"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepadanya beliau sekarang juga..." Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut "subo" kepada nenek itu.
Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li lalu berkata, "Eh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."
"Sumoi..."
"Heh-heh, dia itulah sumoimu!"
"Kim Hong..." Sabutai terbelalak.
Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."
"Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku" Murid apa kau ini" Tiba-tiba nenek itu membentak.
Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid..."
Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo" Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita"
"HUUH-HUH-HE-HEH! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa mengawasi dia terus" Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.
Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih. Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang.
Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai!
Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya" Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaitu Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.
Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Ketika dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang sebetulnya mempunyai darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja liar.
Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.
Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaiskiri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.
Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng, dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.
Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri.
Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkatat "Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau telah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku" Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua!
Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. "Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak"
Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah seorang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut "sute" kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan pandai membaca dan menulis pula!
"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini" Perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba"
"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah"
"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan"
"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda"
"Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda."
"Ehh" Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu"
"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undargan itu nanti setelah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."
"Ihhh... Apa perlunya itu" Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu"
"Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw.
"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku mempunyai urusan vang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku"
"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kauajak serta, kauantarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."
"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. "Hamba... hamba... mendengarkan..." katanya.
"Aku mendengar bahwa waktu ini, kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong."
"Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu"
Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."
Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"
"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan.
Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin "melatih" sutenya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.
*** "Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.
"Sin Liong, di mana kau" Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.
Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya" Saya berada di sini..."
Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!"
Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi.
"Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu" Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kauandalkan" Hayo siapa"" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.
"Kau tidak lekas berlutut minta ampun" kembali Hok Boan menghardik, makin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.
Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa" Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apalagi minta ampun.
"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak dan dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin memandang dengan mata terbelalak!
Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar. "Di mana Siong Bu" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. "Suruh dia ke sini!"
"Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan.
Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Hok Boan kepada Siong Bu, dan makin marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!" bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengar bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya, bertubi-tubi.
"Hayo berlutut!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.
"Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apalagi berlutut minta ampun!
"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!" Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang!
Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka. "Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.
"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis.
Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah!
"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia..." anak gendut itupun minta ampun sambil berlutut.
Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong" Dia tertegung terheran dan agak bingung.
"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"
Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak.
"Siong Bu! Ada apa..." Hok Boan bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.
"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.
Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut!
"Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi"
Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata, "Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah, dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis..."
Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya, "Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she..."
"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!"
Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut. "Mengapa engkau ketakutan seperti itu" Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan" Di sini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau mudah sekali ketakutan, Siong Bu..."
"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia"
Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu..." bentaknya.
"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."
Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia..."
Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu uslanya kini sudah bertambah sebelas tahun!
Cepat! Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Aih, kitanya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"
Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya. "Siapakah yang she Cia" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!
Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.
"Tidak... tidak ada yang she Cia..." kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.
"Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku" Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan.
"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio"
"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian"
Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia" Kenapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu" Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut!
"Hayo katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita itu kembali melayangkan pandang matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki dan sedikitpun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa punggungnya pecah-pecah kulitnya dan berdarah! Lalu dia menoleh kepada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio mendapatkah akal.
"Hayo katakan, kalau tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang sudah merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini menggigil kedua kakinya den mukanya menjadi pucat sekali.
"Bukankah engkau tadi yang bilang tentang orang she Cia" Hayo katakan, di mana dia, kalau tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-geleng kepala tak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran den juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat terhadap dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa sekarang, biarpun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu" Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!
"Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba Hok Boan berseru dan melangkah maju menghampiri wanita itu.
Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan, tersenyum dan mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya" Kaukira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga kalau aku menghendaki" Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa"
"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak mempunyai hubungan dengan musuh-musuhmu..."
"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan"
Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biarpun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.
"Apa yang akan dilakukan orang kalau keluarganya diganggu" Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit.
"Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kauwarisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kauhadapi seranganku, apakah engkau dapat bertahan sampai sepuluh jurus"
"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."
"Cukup! Kau lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!"
Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai daripada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya tidak akan kalah.
"Ke mana kau" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu. Melihat ini, terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka apapun.
"Kouwnio, engkau terlalu mendesak orang!" Hok Boan berseru marah melihat keponakannya, yang sebetulnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.
"Hemm, ini adalah Hek-wan-hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai, bukan" Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." Kim Hong Liu-nio berkata sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu. Hok Boan terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya, akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak perduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan lihai sekali, diapun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh.
"Ehh" Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk membunuh aku" Hemm, kau harus dihajar!"
Memang Hok Boan telah menggunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya telah mengenal ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya dari samping.
"Plakk!"
"Aughh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar!
"Berani kau melukai suamiku" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja datang. Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan tetapi diapun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jerit dua orang anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi.
Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah semenjak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali. Tidak perduli wanita itu utusan Raja Sabutai, kalau kini mengganggu keluarganya, harus dilawannya. Maka dia sudah membentak marah dan menerjang wanita itu dengan pedangnya!
Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu dia adalah seorang ahli menggunakan siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung, dia hanya mempergunakan pedang tunggal, akan tetapi dengan menguasai Ilmu Im-yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat. Apalagi karena Si Kwi terkenal dengan gin-kangnya sehingga dahulu dia pernah mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang amat cepat seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian merah. Maka kini serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.
Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kaupergunakan" Dengan amat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang dan gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.
"Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya"
Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, melainkan mengangkat sedikit tangan kirinya.
"Cringgg...!" Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil belasan buah banyaknya. Gelang-gelang kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main!
Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan diapun menghentikan serangannya.
"Kenapa kau menyerang suamiku" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.
"Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu kami sekeluarga yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tidak akan mampu menghadapi wanita ini. Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Maka lebih baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.
Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia"
Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini.
"Orang she... Cia..." Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio" tanyanya dengan wajah berubah pucat.
Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. "Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini" tanyanya, suaranya penuh ancaman. Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut nyonya buntung. Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang sehingga dia tidak memperdulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada yang she Cia!" jawabnya tegas.
Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah orang she Cia di sini"
Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!" jawabnya dengan suara tegas pula.
Juga kepada laki-laki ini, Kim Hong Liu-nio memandang dengan tajam. Kemudian dia menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak. "Adik manis, siapakah orang she Cia di sini"
Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu... tidak ada she Cia..."
Kim Hong Liu-nio berpaling kepada Lin Lin, yang menundukkan muka. "Dan kau, nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini"
Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia."
Kim Hong Liu-nio terus memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tidak ada harganya bagi dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali, "Kau, bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini"
"Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan tegas, lalu menundukkan mukanya.
Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita itu, kini ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya. "Sekarang engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini"
Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat dia menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong. Kembali Sin Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapapun juga, keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini mendatangkan perasaan sedemikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri di punggungnya lenyap tak terasakan lagi!
Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang amat mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang karena dia yang sejak dahulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu terkandung ancaman maut mengerikan.
Senyum itu melebar sehingga nampak sekilas pandang gigi putih kemilau di balik belahan bibir merah basah itu, lalu bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia, "Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa, baru kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tidak akan menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!" Cepat bagaikan kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit.
"Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh kemarahan.
"Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang kaucari-cari!"
Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong lengan mata bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong seperti mata anak naga itu.
"Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa.
Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main dan baik ibu angkatnya maupun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu. "Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali sehingga Si Kwi terbelalak dan tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui Hok Boan, sedikitpun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak lain!
"Benarkah engkau she Cia" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat keberanian anak ini.
"Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong pendiam dan tidak banyak bicara. "Maka engkau tentu mau mengatakan pula mengapa engkau mencari orang she Cia"
"Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.
"Mengapa" Apa salahnya orang-orang she Cia" tanya pula Sin Liong.
"Anak kecil mau mampus kau tahu apa! Bersiaplah untuk mampus!"
"Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tidak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan" Kalau kau memang gagah berani, hayo kauhadapi ayahku dan juga she Cia, barulah seimbang!"
"Monyet kecil, siapa ayahmu" Kim Hong Liu-nio membentak marah. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki. "Dan kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku" Ayahku adalah pendekar paling hebat di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"
Kim Hong Liu-nio hampir tak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan terdengar bunyi "prakk!" ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin.
"Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.
"Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"
"Huh, karena berada di sini maka kau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutkupun engkau takkan mampu. Aku menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu, biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu. Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka engkau ini tidak ada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beranimu hanya mengganggu orang-orang lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"
"Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di depan wanita ini! Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang berani bicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghinanya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan kemarahannya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa!
"Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tidak dapat membunuh ayahmu dan nenek moyangmu, aku tidak mau mmakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai mengkal sekali hatinya dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.
"Bres!" Kaki wanita itu kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai dengan pengerahan sin-kang, kaki itu amblas sampai hampir selutut dalamnya! Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman!
"Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau mau tahu!" Kata Sin Liong sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.
"Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi kaget setengah mati dan terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong. Tentu saja dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw, meremang bulu tengkuknya.
"Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw" Huh, siapa percaya omonganmu" Jangan kira engkau akan boleh menakut-nakuti orang dengan nama Cia Bun Houw yang kauakui sebagai ayahmu!"
Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong untuk menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi awas, aku mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai kau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran kalau kau sudah menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun Houw, sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga" Bukankah anak ini katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan" Akan tetapi melihat sikapnya, anak ini jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak seorang yang luar biasa. Membunuh anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya akan selalu merasa penasaran, dan memang seperti dikatakan anak ini tadi, membunuh anak ini sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan, bahkan menodai nama besarnya sebagai seorang gagah perkasa. Tangan kirinya sudah diangkat, siap untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi tangan itu turun kembali. Bohwat (kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang luar biasa ini. Akan tetapi dia teringat akan sesuatu, lalu dia mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan anak ini sampai dia yakin betul sebelum dia turun tangan.
"Eh, anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui itu, katakan siapa ibumu!" Kim Hong Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama gurunya itu, yaitu musuh utama yang bernama Cia Bun Houw, berjodoh dengan seorang pendekar wanita sakti yang menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang bernama Yap In Hong. Akan tetapi dia tidak tahu apakah mereka itu terus menjadi suami isteri ataukah tidak karena kabarnya belum pernah mereka itu menikah, atau belum pernah pernikahan antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereke itu tidak direstui oleh ayah pendekar Cia Bun Houw itu.
Akan tetapi jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Anak itu dengan suara lantang berkata, "Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi ibu kandungku itu meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita yang sakti karena dia dahulu adalah murid mendiang Hek I Siankouw."
"Ahhh...!" Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget dan memandang kepada Si Kwi dengan mata terbelalak lebar. Wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh itu sekali ini tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia memandang bengong kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol.
Si Kwi menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik tanpa ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah Si Kwi dan tanpa mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia menujukan pertanyaannya kepada Sin Liong.
"Anak setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu" Siapa yang memberi tahu kepadamu"
"Kau berani bilang bohong" Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku sendiri! Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku, katakanlah saja terus terang!"
Kini wanita itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh sekali, agaknya seperti orang terheran-heran, "Liong Si Kwi, benarkah itu"
Si Kwi menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara lirih dia berkata, "Benar... ibu kandungnya... sudah mati..."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-anaknya yang berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara ketawanya aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu agaknya geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia menggunakan ujung sabuk merah menghapus air matanya!
"Hi-hi-hik, Liong Si Kwi, kaukira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya" Jadi, ketika engkau berjina dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu dibuntungi sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini" Ah, kiranya engkau melahirkan keturunan Cia Bun Houw!"
"Ehhh..." Kui Hok Boan terkejut bukan main. Rahasia itu sama sekali tidak pernah didengarnya dari isterinya, maka diapun memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.
Liong Si Kwi merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu telah terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw (baca cerita Dewi Maut). Mukanya menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya telah diketahui orang, dia lalu berkata, "Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar sakti Cia Bun Houw!"
"Ibu...!" Sin Liong berseru, akan tetapi pada saat itu nampak segulung sinar merah berkelebat dan Sin Liong terguling roboh ketika dia hendak lari kepada ibunya, karena dia telah terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh pundaknya. Agaknya wanita itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung sabuk merah itu hanya membuat anak itu terguling. Lalu kelihatan asap mengepul dan ternyata wanita itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan mengangkat kayu salib ke atas kepalanya.
"Liong Si Kwi, karena engkau telah melahirkan anak ketutunan Cia Bun Houw, maka engkau terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk menebus dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!"
"Tidak...! Jangan...!" Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan tetapi kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting.
Si Kwi maklum bahwa percuma saja mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri tidak akan ada gunanya, maka karena dia masih memegang pedangnya, dia lalu berteriak nyaring dan tiba-tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu.
"Bagus, dengan begini kau patut mati sebagai keluarga Cia!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan kecewa kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang dikatakan oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh musuh yang dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai!
"Cringgg...!" Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai gelang.
"Ihhh...!" Si Kwi menjerit karena tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu, dia merasa pergelangan targannya tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali rasanya dan tanpa dapat dicegahnya lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh sesaat itu melepaskan gagang pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai! Terdengar wanita itu tertawa, akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan tangannya. Terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku merupakan ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang amat hebat karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya!
"Hemm...!" Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan gugup sama sekali, bahkan memandang rendah. Tangan kiri yang memegang sebatang hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang memegang kayu salib bergerak cepat ke atas dan menyambar ke bawah. Dan ternyata bahwa paku-paku itu semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib itu, dan hebatnya, semua paku-paku itu menancap di bagian ujung kayu yang bertuliskan huruf Cia! Wanita itu bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih daripada itu, dia mampu membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah keluarga marga atau she Cia!
Bukan main kagetnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai daripada gurunya. Akan tetapi dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu hal itu akan mempengaruhi hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia harus mencoba untuk membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri, di samping itu, kini terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama yang pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama pendekar sakti itu sebagai keluarganya! Maka dengan teriakan nyaring dia lalu menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk mencengkeram ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu dipergunakannya untuk menotok ke arah ulu hati!
"ROBOHLAH engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!" Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat mundur. Itu adalah sinar api dupa biting yang masib bernyala dan yang kini melesat ke depan, meluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah menyaksikan wanita ini membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut sekali dan berusaha mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang dalam keadaan menyerang.
"Cuss...!" Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara kedua alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap!
Si Kwi mengeluarkan jeritan lirih dan tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya dan hio itu masih membara, mengeluarkan asap ke atas! Seolah-olah nyawa wanita itu melayang melalui asap yang keluar dari dahinya itu!
Kui Hok Boan terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan, Lin Lin yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar seperti seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang dilakukan menurutkan nalurinya sebagai binatang, yang diperolehnya dalam pergaulan dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio! Wanita ini sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika Sin Liong menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu dan dia sudah menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya. Akan tetapi dia teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari belakang dan seperti seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin Liong mencengkeram dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, kedua tangan itu memeluk Kim Hong Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya telah mencengkeram buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan menggigit tengkuk!
"Ihhhh...!" Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya, melainkan karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu. Tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras kepalanya menjadi pening! Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah bersentuhan dengan pria walaupun sudah sering dia mimpi akan hal itu. Kini, merasa betapa tubuhnya dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biarpun laki-laki yang masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar, tubuhnya menjadi panas dingin dan tak terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi, hanya sebentar saja dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini menggoyang tubuhnya, Sin Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding ruangan itu. Sin Liong roboh dan pingsan!
Kui Hok Boan kini bangkit dan dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang di depan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau anak-anaknya akan dibunuh semua oleh wanita iblis itu. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng kepala. Kemudian menyimpan kembali kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di bawah nama Cia, memasangnya di punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok Boan.
Pendekar Sejagat 3 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Pedang Penakluk Iblis 7
^