Pencarian

Pendekar Lembah Naga 4

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggauta pasukan kerajaan ketika dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sebenarnya, maka dia merasa tertarik sekali.
"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.
"Tentu saja," jawab isterinya. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku tidak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."
"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu"
Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barangkali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu"
"Tiga pendekar" Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat"
"Pendekar she Cia itu adalah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..."
"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan main sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.
"Kenapa kau terkejut" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya.
"Kenalkah kau dengan nama itu"
"Kenal" Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."
Si Kwi menggangguk dan menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah kini bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.
"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang selanjutnya. She Yap dan Tio" Siapa mereka itu"
"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."
"Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, mengapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu" Dan yang she Tio"
"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."
"Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itupun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang"
"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw vang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."
"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu"
Si Kwi mengangguk.
"Jadi termasuk musuh-musuhmu juga"
Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah sejak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu
bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berani di fihak yang benar."
"Ah, syukurlah, isteriku! Kalau engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu merekapun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia"
"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-niopun baru sekarang aku mendengarnya."
Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biarpun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk menghadapi segala bahaya bersama-sama, sehidup semati, senasib sependeritaan. Kedua orang itu menemukan kebahagiaan mulai malam itu. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal kalau dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.
Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian" Karena sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai, membanding-bandingkan semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan. Karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang menimbulkan adanya kebaikan tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan" Mungkin dapat kalau kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG! Betapapun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin maupun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk apapun juga, pasti mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.
Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian" Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi dalam keadaan perang tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini menyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi"
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan. Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semua ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat" Bercermin lahir batin" Kapan dimulai" SEKARANG JUGA!
*** Sang waktu berlalu terus tanpa memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!
Tanpa terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat semenjak hari pernikahan di Padang Bangkai antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan itu. Sepuluh tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu.
Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta dengan Kui Hok Boan. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dan selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya dan menyeramkan, kini telah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya telah pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja. Kini telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang subur.
Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak perempuan kembar yang kini telah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar itu diberi nama Lan dan Lin. Sukar sekali bagi orang lain untuk membedakan antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya setelah melihat leher sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin. Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut! Akan tetapi kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani, sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah di leher kirinya biar ayah bundanya sendiripun tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka.
Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya. Yang seorang bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang tampan dan biarpun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tidak pernah kotor. Wajahnya tampan dan sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu hartawan, dan wajah yang tampan itu membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang disegani, kaya raya dan lihai ilmu silatnya. Sedangkan anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan, akan tetapi biarpun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan, namun wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut, matanya lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan tetapi memang wajahnya mempunyai garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlalu jujur sehingga menyenangkan hati siapapun juga yang berhadapan dengan dia.
Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya amat mencinta dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiripun tidak mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayang mereka. Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak kandungnya sendiri! Seperti diketahui, Kui Hok Boan di waktu mudanya adalah seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah bersuami, janda maupun perawan, jarang ada yang dapat bertahan terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tidak dapat dihindarkan lagi, di antara wanita-wanita yang telah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan melahirkan anak keturunannya!
Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama Tee Cui Hwa yang kini telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui Hok Boan tidak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke Lembah Naga. Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong" Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina" Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena anak ini semenjak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke pohon.
Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan ini. "Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya dididik menjadi calon manusia yang baik. Setidaknya, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi manusia yang berguna." Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani membayangkan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri! Maka, biarpun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!
Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biarpun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan. Dan diapun tidak pernah menolak ketika Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan yaitu membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya sehingga pekerjaannya amat memuaskan. Akan tetapi, karena sudah menjadi kebiasaan, dia tidak pernah dapat menjaga bersih pakaiannya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, demi untuk menanamkan kerajinan kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya mengajar anak itu menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya. Demikianlah, setelah berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih akan tetapi ada tambal-tambalannya, dan mempelajari membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin. Biarpun di waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia telah memiliki bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan mengandung keindahan dan gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno. Anak ini berwatak sederhana, pendiam dan suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mempunyai sinar yang tajam. Dia lebih banyak mendengarkan daripada bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya, tidak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya, dia mempunyai pantangan menangis di depan orang lain!
Dalam segala hal kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, Kui Hok Boan tidak membedakan sikapnya terhadap Sin Liong dengan sikapnya terhadap dua orang "keponakannya" itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini. Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw dan tidak belajar ilmu silat!
Akan tetapi, suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong kelak menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarangpun dia masih memiliki watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, kalau dia diberi pelajaran ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik jejali dia dengan pelajaran bun dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan aku melihat dia amat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia sudah pandai dan menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya."
Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tiada habisnya dia berterima kasih kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang berbahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apalagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati dan menyayangi Sin Liong.
Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan diapun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang tidak mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan monyet-monyet. Dia malah sudah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, namun tidak pernah dapat menemukan jejak orang tua anak itu. Maka dia juga tidak keberatan memberikan she Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan agar diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she "pinjaman" saja.
"Sin Liong, engkau tahu bahwa biarpun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun shemu itu bukanlah shemu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang tekun agar kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau kalau engkau memperoleh kedudukan, engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar." Memang pada waktu itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar! Sejak kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan pertanyaan ini kepada Hok Boan.
"Gihu (ayah angkat), kenapa saya tidak diberi pelajaran ilmu silat seperti yang gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu" Sin Liong menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang "keponakan" dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi. Hok Boan, betapapun juga menganggap bahwa Sin Liong bukanlah darah dagingnya, juga bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, maka sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!
"Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kaupelajari. Bakatmu lebih baik dalam ilmu bun saja, maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar kelak engkau dapat menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi."
Sekali saja bertanya dan meminta sekali ditolak, Sin Liong tidak mau minta lagi. Akan tetapi, kadang-kadang dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan kalau empat orang anak itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi. Wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat daripada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu. Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini kepada empat orang anaknya.
"Kalian kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir sebulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik."
"Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul lalu menangkis dalam satu gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu. Baik ayah mereka sendiri maupun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa yang bicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam dapat mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Bagi anak ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini didapatnya dari monyet-monyet itu. Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biarpun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang didapat ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang sekecil-kecilnya. Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau bicara adalah agak menundukkan muka.
"Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi dan memberi contoh," kata Siong Bu.
"Saya sudah melatih diri setiap hari, namun belum juga dapat bergerak dengan baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.
Kui Hok Boan menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi otomatis dan berirama sehingga setiap jurus baru dapat dikuasai dengan mudah, seperti pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja, melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud."
Kui Hok Boan lalu bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, menggunakan jurus ini dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan. Kedua tangan itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lalu memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini amat lihai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.
"Nah, sekarang kaucoba lakukan jurus itu lebih dulu, Beng Sin!" kata Kui Hok Boan kepada si gendut itu. Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, sedangkan dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar. Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan juga menonton dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan yang sekecil-kecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna!
Beng Sin mulai mainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoha untuk menirukan gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya besar, akan tetapi gerakannya terlalu lamban.
"Keluarkan bentakan dan atur napas!" kata Kui Hok Boan.
"Heiiiittt! Ahh...! Heiiittt! Ahh...!" Anak gendut itu memukul dan menangkis sambil mengatur langkah, beberapa langkah maju ke depan setelah memukul dan menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan sekaligus memukul dan cepat menangkis, mulutnya terus mengeluarkan bentakan-bentakan.
Terlalu lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar lengannya. Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup ketika tiba di ujung pukulan sehingga ketika disambung gerakan menangkis, dapat dilakukan tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Nampak jelas olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton.
Kui Hok Boan juga kurang puas dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadang-kadang dia menghentikan gerakan anak itu, dan memberi petunjuk-petunjuk. Beng Sin mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah.
"Masih belum sempurna, kau harus banyak belajar," kata Kui Hok Boan dan kini tiba giliran Siong Bu.
Siong Bu juga mainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh lebih gesit daripada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak baik daripada Beng Sin, akan tetapi gerakan kedua kakinya masih kurang berirama dan kurang sesuai dengan gerakan tangan sehingga diapun mendapat teguran dan harus mengulang terus. Demikian pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu dibawah petunjuk-petunjuk ayah mereka.
Agak jengkel hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak mudah menguasai jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi berdiri saja menonton, kejengkelan hatinya membuat dia menegur ketus, "Sin Liong, mau apa engkau berdiri di situ" Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang lain"
Sin Liong terkejut, menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud!
Diam-diam timbul iri di hatinya terhadap empat orang anak itu dan mulai saat itu dia mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong telah dapat "mencuri" empat macam jurus dan telah dapat melakukan gerakan-gerakan itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu dimainkan oleh ayah angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak itu yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya.
Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan empat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang ringan tangan dan kaki, mau memenuhi segala permintaan mereka sungguhpun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri. Beng Sin sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang di hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan bersikap seperti seorang majikan terhadap dirinya. Bahkan kadang-kadang dia merasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai "anak monyet"!
Pada suatu hari, dengan tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih "silat" yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil mengintai itu. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Su, mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak. Ketika itu, Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai.
Ketika melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tak dapat menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru, "Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!"
Sin Liong terkejut sekali, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari menghampirinya.
"Hei, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu" Beng Sin berkata dengan mata terbelalak, "Apakah paman diam-diam mengajarmu"
Sin Liong menggelengkan kepala. "Ah, aku hanya main-main, Tee-kongcu."
"Ahaaaa, kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcuan segala. Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat"
"Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengen perintah gihu."
"Sin Liong, aku melihat engkau tadi mainkan Heng-pai-hud. Dari mana kau dapat melakukan gerakan itu" Kui Lin bertanya.
"Li-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja..."
"Ah, tapi gerakanmu tadi baik benar!" Kui Lan juga memuji.
"Benar!" Kata Beng Sin. "Sebaliknya aku belum juga bisa melakukan gerakan jurus itu dengan baik."
"Gerakanmu sudah baik, hanya perlu dipercepat, kongcu. Terlalu lamban sehingga gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu sehingga ketika gerakan memukul itu disambung gerakan menangkis, kurang tepat."
Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira. "Ah, begitukah" Biar kucoba!" Dan anak ini lalu bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan mengubah gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan, dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik!
"Horeeee...! Aku dapat melakukannya dengan baik!" Dia bersorak girang sekali dan dua orang anak perempuan itupun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol.
"Hei, apa-apaan kalian di situ" tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang datang berlari ke tempat itu.
"AH, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!" Beng Sin berkata sambil tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong. "Kaulihat, Sin Liong ternyata pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga gerakanku menjadi baik sekarang!"
"Benar, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya, padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!" Lan Lan berkata.
Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut ketika dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah daripada dia dan saudara-saudaranya. "Sin Liong, bukankah paman sudah melarangmuu untuk belajar silat" bentaknya.
Sin Liong menundukkan mukanya. "Aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat gerakannya."
"Dia benar, Bu-ko. Dia hanya mengenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi gerakannya hebat. Dia bisa mainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik daripada engkau, Bu-koko!" Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri.
"Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat" dia mengejek.
"Ahh, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat diambil dari gerakan-gerakan binatang, seperti harimau, bangau, monyet dan lain-lain" bantah Beng Sin. "Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan-hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), Sin-kauw-pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain."
"Hemm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat" kembali Siong Bu mengejek.
"Bu-koko, kenapa kau menghina Sin Liong" Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa," tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu.
"Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!" Lan Lan juga membela Sin Liong.
Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, makin panaslah rasa hati Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak lagi karena biarpun dia dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin.
"Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya," katanya sambil menghampiri Sin Liong.
Beng Sin berseru girang. "Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-ko berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkaupun akan memperoleh kemajuan kalau mau berlatih dengan dia."
Sin Liong tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang anak perempuan itupun mengangguk, dengan gembira. Mereka suka sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu.
Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggalkan mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya menjadi panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, "Kwa-kongcu, kau mau mengajarku"
Siong Bu menyeringai. "Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai, berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet lain yang belum kukenal." Ucapan ini tentu saja bermaksud mengejek dan Beng Sin mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong karena tidak jarang dia menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang.
"Sin Liong, apakah kau takut" Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kaulayani Bu-ko!" Dia mendesak.
"Benar, kauhadapi dia, Sin Liong!" kata Lan Lan.
"Aku ingin sekali melihatnya!" sambung Lin Lin.
Sin Liong merasa tersudut, apalagi kini Siong Bu sudah menghampirinya dekat, lalu menggunakan jari tangan mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh berkata, "Kalau takut, kau berlutut saja minta ampun tiga kali!"
Marahlah Sin Liong. "Kwa-kongcu, terhadap setanpun aku tidak takut, apalagi terhadap engkau!"
"Heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!" kata Beng Sin tertawa keras. "Dia memaki engkau setan!" Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani membalas.
Merahlah wajah Siong Bu. "Anak monyet! Berani kau!" Dan tangannya lalu memukul ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia memalingkan mukanya.
"Plakk!" Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke belakang.
"Eh, kenapa kau memukulktu" tanyanya, matanya terbelalak heran.
"Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat kalau bukan saling pukul" Nah, kau jaga ini!" Kembali Siong Bu menyerangnya dengan pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong.
Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak menyangka bahwa "latihan" itu berarti saling pukul! Kini diapun lalu teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan, maka dia cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya, melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu.
"Desss!" Karena cara Sin Liong memasang kuda-kuda tidak tepat, biarpun gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanaman tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya.
"Bresss...!" Tubuh Sin Liong terpelanting roboh.
"Hei, kenapa begitu mudah roboh" Lan Lan berseru heran.
"Hayo, Sin Liong, jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya dapat dihindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!" Beng Sin berseru.
Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu Siong Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu biarpun amat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya maka mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan dan tendangan kaki Siong Bu. Empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak!
"Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!" Lin Lin berseru marah.
"Sin Liong, kenapa kau tidak membalas" Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja" Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan.
Mendengar ucapan "diserang harimau", seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya di waktu kecil ketika dia hampir mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia tidak perduli akan latihan ilmu silat, tidak perduli akan jurus-jurus ilmu silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari luar. Dengan cekatan dia meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet dan dia dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Ketika tangan kiri Siong Bu meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir saja Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan.
"Brukkk...!" Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting.
"Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!" Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung.
"Eh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir," kata Beng Sin.
Akan tetapi Siong Bu tidak perduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan dan tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat mengelak ke kanan kiri dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya. Betapapun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi, dan kemarahannya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya. "Anak monyet bocah hina!" Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk.
"Bukk!" Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Anak ini biarpun sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan sakit, diapun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik!
Sin Liong yang tadinya tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, ketika dijambak rambutnya, merasa nyeri sekali, maka dia lalu membuka mulut dan menggigit daun telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan!
"Heii, berhenti kalian!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan yang kuat telah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong mereka terpisah. Siong Bu terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya yang berdarah sambil berlutut di depan pamannya, sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis!
Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. "Kenapa telingamu"
"Di... digigit... monyet cilik itu... aduhhhh...!" Siong Bu mengeluh ketika pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas gigitan.
"Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kong-cu dan menggigit telinganya" Kalau tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!" Kui Hok Boan lalu menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. "Hayo berlutut kau!"
Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu lalu mengayun ranting itu yang meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar ketika ranting itu menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa nyeri dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tidak nampak dia menangis.
"Prat-prat-prat-prat!" Ranting itu menari-nari dan setelah melihat baju itu berdarah, baru Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya makin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan!
"Kau bandel, ya" Kau berkulit tebal, ya" Ingin kuhajar sampai mampus" teriak Hok Boan yang makin marah mengingat bahwa puteranya digigit daun telinganya sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh.
"Ayah... harap ampunkan dia, ayah...!" Tiba-tiba terdengar suara Lin Lin meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong.
Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu makin angkuh dan menghina Sin Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit. Biarpun kini lukanya telah sembuh, namun ujung telinganya masih berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh "anak monyet" itu! Kekalahan inilah yang lebih menyakitkan daripada luka di daun telinganya. Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biarpun dia sudah sering kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Karena sikap Sin Liong yang mengalah ini, maka hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan Siong Bu bahkan hampir menang, segera lenyap karena merekapun menganggap bahwa Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikian sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya.
Pada keesokan harinya setelah perkelahian itu, dia dipanggil oleh Si Kwi. Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang wajahnya dengan penuh perhatian.
"Sin Liong, aku mendengar bahwa kau berkelahi dengan Siong Bu" tanya nyonya ini dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu dan dalam keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus!
Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya.
"Dan engkau telah mencuri dan mempelajari ilmu silat mereka"
"Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja."
"Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapapun."
Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, tetapi dia tidak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw dan dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran mengapa anaknya ini, yang sejak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja, dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya!
"Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat" Tiba-tiba dia bertanya, pertanyaan yang digerakkan karena teringat akan Cia Bun Bouw.
Tiba-tiba anak itu mengangkat mukanya dan Si Kwi merasa jantungnya tergetar ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu! "Ibu, katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu"
Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Ahhhh...!"
"Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua tangannya! Siapa dia, ibu"
"Ohhh... Liong-ji...!" Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia cepat menggunakan saputangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di atas kedua pipinya itu.
Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. "Ibu, ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!"
Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus rambut kepala anak itu. Sejenak tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw!
"Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri."
"Ahh...!" Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. "Betapa kejamnya! Mengapa ibu"
"Itulah kalau orang belajar silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat memang biasanya keras. lbumu ini telah melakukan kesalahan maka hukumannya adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, jangan kau belajar ilmu silat, tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkatmu masih lunak ketika menghajarmu dengan cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang, jangan engkau layani siapapun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku, agar kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna."
Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil amat baik kepadanya, maka dia mengangguk. Lalu bangkit dan meninggalkan kamar ibunya. Sampai di pintu, dia menengok. "Ibu, apakah sampai sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya"
"Ahh...!" Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan hal itu. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggeleng kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah pergi.
"Liong-ji...!"
Sin Liong berhenti dan ibunya telah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia berkata, "Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heii, sudah kering semua..."
"Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu telah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah sembuh." Setelah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang di dalam gelap.
Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani.
Akan tetapi, sesungguhnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapapun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit sekali. Akhirnya dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggap sebagai seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki agar dia melawan. Akan tetapi, bukan dia takut kepada Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya.
Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apalagi setelah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya. Maka pada suatu malam, diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui teman-temannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga!
Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi bingung sekali. "Biarlah," kata suaminya. "Sudah kuketahui bahwa dia terlalu banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tidak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang liar."
Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja" Si Kwi juga tidak berani membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan membujuknya sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari.
Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat dugaannya, lewat tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya itu berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang amat besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat! Agaknya Sin Liong telah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah anak itu menjadi tampan berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, bebas dari kungkungan manusia dengan segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya dan permusuhannya!
Melihat wajah yang tampan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia lalu teringat bahwa anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa berdosa, berdosa terhadap Sin Liong, terhadap diri sendiri dan terhadap Cia Bun Houw kalau dia membiarkan saja anaknya menjadi monyet!
"Liong-ji...!" Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran.
"Grrrr... grrrr...!" Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak melarikan diri.
"Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu..." Sin Liong, anakku...!"
Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun.
"Ibu...!" Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan kini ibunya menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri.
"Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu" Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu, anakku"
"Ibu..." Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, "Aku tidak meninggalkan ibu, aku meninggalkan mereka itu!" Suaranya mengandung kemarahan.
"Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti meninggalkan ibu, anakku. Marilah kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku."
Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Kemudian dia menggeleng kepalanya. "Tidak, ibu! Tidak, aku tidak mau kembali ke sana untuk menerima hinaan mereka!"
Si Kwi merangkul dan memeluk anaknya, mengelus kepala anaknya. "Salahku, Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!"
"Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh..."
"Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."
"Benarkah" Sin Liong girang sekali. "Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia..."
"Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!"
"Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu..."
"Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau memiliki bakat dan tenaga yang kuat."
"Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku"
Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari rumah tadi. "Pakailah ini dan mari kita pulang, nanti akan kuceritakan kepadamu siapa adanya ayahmu..."
Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh harapan. Dia tidak membantah lagi, mengenakan pakaian itu, kemudian dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggauta keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda. Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya.
Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan berkata, "Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya..."
"Liong-ji..." Si Kwi memejamkan mata, membelai kepala anaknya yang rebah di atas pangkuannya itu. Biarpun anak itu lenyap sejak dilahirkan, biarpun dia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam guha itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu!
Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Bun Houw, terutama matanya. "Angkatlah mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di dunia ini."
Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya itu, "Ayah saya... siapa namanya, ibu"
"Namanya adalah... Cia Bun Houw..."
"She Cia" Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk. "Engkaupun sesungguhnya she Cia..."
"Dan ibuku..."
"Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku."
"Ahhh...!" Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis lagi. Tadipun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Setelah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau tiada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis!
"Ya, dia sudah meninggal dunia, dia, adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula..."
"Namanya, ibu" Siapa namanya"
"Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau engkau ada jodoh bertemu dengan dia..."
"Di mana ayah kandungku itu tinggal, ibu"
Si Kwi menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu itu."
"Baik, ibu!" Sin Liong berkata penuh semangat. Dia lalu bangkit berdiri, memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. "Mulai sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!" Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya.
"Sin Liong..." Si Kwi merangkulnya penuh keharuan.
Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia tahu akan kedatangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai tanpa diketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela pondok itu.
Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang "keponakan" dari suamihya itu agar jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong. Melihat pembelaan dan perlindungan yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet. Dengan amat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat dan ternyata memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, di samping mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap melakukan pekerjaannya sehari-hari, tidak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa dia adalah seorang "luar" dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak angkat, maka diapun "tahu diri". Karena sikapnya ini, biarpun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, namun dia tidak menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidaksenangannya itu dan Sin Liong dapat bekerja seperti biasa.
*** Setahun telah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat akan tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka lalu merasa bosan dan bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka berkejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang-kadang mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar. Memang, musim bunga telah tiba dan taman itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna.
"Ah, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin," kata Kui Lan sambil menuju ke puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman.
"Benar," jawab Kui Lin. "Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut. Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas." Kui Lin berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok, dari atas pohon.
"Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!"
"Mana bisa, Lan Lan" Tempatnya begitu tinggi. Ngeri kalau harus memanjat pohon setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar."
"Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja" Sudah berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku" Kui Lan menegur.
Kui Lin cemberut. "Memangnya berselisih berapa sih usia kita" Tidak ada sehari, hanya beberapa menit!"
"Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga yang layu itu."
Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun dan bunga gugur.
"Kalian menginginkan bunga merah di atas itu" Biar kuambilkan untuk kalian." katanya melihat dua orang anak perempuan itu kecewa karena tidak dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan.
"Kau bisa mengambil bunga itu" Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas.
"Tentu saja bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!" kata Kui Lan dengan girang.
"Lan Lan, bukankah ibu sudah memesan agar kita menyebut koko kepadanya" Kui Lin menegur kakaknya.
Kini Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. "Huh, kau sendiri tidak mau menyebut cici kepadaku!"
Sin Liong tersenyum. "Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih" Lihat, aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Kuambilkan yang berada di paling puncak!"
Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat dan bagaikan seekor kera saja, dengan cekatan dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Dua orang anak perempuan kembar yang berada di bawah bertepuk tangan dan berteriak-teriak memuji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri merryaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri.
Semenjak kecil, manusia sudah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati. Betapa manusia ini selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita sendiri dan hal ini menambah sukar bagi kita untuk memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.
Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia lalu sengaja hendak memamerkan kepandaiannya! Bagi dia, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapapun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, dua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!
"Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.
Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tidak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau ingat bahwa sebelum dia dapat berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.
Tak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi.
"Engkau hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin.
"Kembang itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan.
"Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong.
Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lalu memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik sekali mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil.
"Kalian cantik sekali..." dia memuji.
"Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kamipun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji.
"Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami," Kui Lin menambahkan.
Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi di mendengar sorak dan jerit kedua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuatnya" Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilakukan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah.
"Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" tiba-tiba Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali.
"Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya selalu gagal," kata pula Kui Lin.
Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia berkata dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan diapun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.
Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan dua orang sumoinya itu, dan menyebut pula moi-moi, hati Siong Bu menjadi makin panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama setahun ini dia hanya menahan-nahan ketidaksenangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut kepada bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.
Iri hati selalu menimbulkan benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain dan menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak daripada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.
Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa merekapun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang.
"Wuutt... wuuttt...!" Dua buah benda menyambar.
"Pratt! Prattt!"
Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala. Bunga-bunga di kepala mereka tadi telah runtuh dan kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka keduanya lalu menangis.
Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Ketika mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia terkejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alis dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tidak nampak seorangpun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur.
"Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi."
Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu.
"Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoiku" Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya"
Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu telah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindarkan pukulan itu.
"Bukkk...!" dan dia terhuyung ke belakang.
"Heeeiii, aku aku tidak..."
"Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.
Setahun yang lalu, biarpun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia sudah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justeru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu. Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerak silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tidak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu. Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasannya yang didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andaikata dia tidak lagi terikat dengan gerak silat, kiranya dia akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia dapat mengandalkan nalurinya yang amat kuat untuk menghindarkan semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerak silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan terbanting roboh!
"Heii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa berkelahi" Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir.
Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Biarpun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.
"Desss...!" Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.
"Sudah... sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak.
Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi juga ingin memamerkan kepandaiannya di depan kedua orang sumoinya, untuk menonjolkan kelebihannya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoinya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.
"Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu. Akan tetapi, bagi anak ini, dia lebih baik dipukul mati daripada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi dan dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak lagi menggunakan gerak silat. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali.
"Plak! Dukk!" Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan. Namun, Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegang kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bus anak inipun terbawa pula terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Lepas...!"
Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali dan melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.
Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biarpun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.
"Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu"
Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk dan diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun How, akan tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan sinar liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk.
Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong"
Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi."
Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin" tanyanya dengan alis berkerut.
Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakanpun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang sejak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri.
"Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian"
"Tidak, ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata.
"Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.
"Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya."
Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan..."
"Kenapa kalian menangis" Si Kwi memotong dan memandang kepada dua orang anaknya.
"Kembang kami jatuh..." Kui Lin berkata.
"Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata Kui Lan.
Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu. "Plak! Plakk!" Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu, Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya.
Hemm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara" Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku dan aku yang turun tangan. Mengapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah" Engkau mencari penyakit." Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan lalu pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka diapun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.
Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayang dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka kepada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.
Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apalagi ketika mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggap menggoda dua orang anak perempuannya.
"Anak monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.
"Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu.
Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, diapun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu"
HOK BOAN amat mencinta isterinya ini, maka biarpun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Kini, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi kalau engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!"
"Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tidak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa salah. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajar silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani terhadap Siong Bu" Urusan ini adalah urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa kita seolah-olah membela murid masing-masing"
Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.
"Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, lalu datang-datang memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.
Mendengar ini, Hok Boan makin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiripun tahu bahwa puteranya itu Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya, "Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran kepada keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi makin liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar agar dia menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya."
Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta sauaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah.
"Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong."
"Hemm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya agar dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Setelah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.
"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok Boan sudah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu.
"Sin Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan.
*** Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin. Biarpun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan kalau pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan.
Dia memasuki hutan besar itu dan duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi. Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi makin panas. Terbayang dalam ingatannya ketika Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil dia dibawa dengan paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, tidak ada hubungan darah daging sama sekali dengan paman dan bibinya, bahkan anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya.
Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya telah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja diapun tertidurlah.
Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, mengira bahwa bibinya yang datang mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar benar, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia mengintai. Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit seperti beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu.
Siong Bu kini mengalihkan perhatiannya, memandang orang ke dua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.
Siong Bu merasa terheran-heran. Memang banyak sudah orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka itu semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu" Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak.
"Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal" anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.
"Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti mencemarkan nama sucimu ini."
Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran dan kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadi dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Selain pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.
"Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw"
Wanita itu menarik napas panjang. "Banyak" Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama sucimu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan sucimu, jangan bertindak ceroboh, sute."
"Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci" Bukankah itu membuang-buang waktu belaka" anak laki-laki itu mencela.
"Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, juga ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Beberapa orang musuh menantang sucimu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini."
"Apakah mereka lihai, suci"
"Ah, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja."
"Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"
"Bagaimana nanti sajalah..."
Pada saat itut terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohonpohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itupun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar.
"Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul" Bukankah sejak tadi mereka itu bersembunyi di balik pohon-pohon itu"
Siong Bu terkejut. Kiranya anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itupun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan.
Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi mereka dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh, "Jadi kalian inilah yang mengirim surat tantangan agar aku datang ke tempat ini"
"Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw" Anak laki-laki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.
Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya."
Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah. "Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi, tanpa dosa sama sekali, dua orang keponakanku telah kaubunuh, hanya karena mereka itu she Tio!"
"Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diamblinya dari punggung.
"Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah sekali.
"Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!"
"Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu." Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.
Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tidak sudi mengeroyok seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.
"Kim Hong Liu-nio, suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah maju.
"Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," kata anak laki-laki itu dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati.
Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju dan membentak. "Biariah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!"
Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk.
"Nanti dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan" Lebih baik kauberitahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan."
Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher!
"Hemm... kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan.
"Dukk...!" Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!
"Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!" anak itu berkata mengejek.
Tentu saja si muka hitam menjadi makin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam segebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!
"Bocah keparat!" Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat, kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, sedangkan kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw-pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)" Kalau kutangkis begini, tentu dia menyusul dengan tendangan, nah baiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya" Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya.
Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia cepat meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!
"Bagus, sute, memang tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih ada empat ekor lagi yang lain!"
Harpa Iblis Jari Sakti 9 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 9
^