Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 14

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bagian 14


membawa tuan pada tempat yang disebut Seng Kee Tin,
dari situ tuan harus mengarahkan perjalanan tuan kebarat,
barulah sampai ketempat yang dimaksudkan tuan itu."
Lie Siauw Hiong bertanya lagi : "Apakah perahumu ini
hendak menarik penumpang ke Seng Kee Tin " Bila kau
muat aku seorang, apakah kau setuju ?"
Tukang perahu itu sampai tertawa lalu menyahut:
"Perahu ini memang benar hendak pergi ke Seng Kee Tin,
jika khek-koan (tuan) sudi, boleh silahkan naik saja. Hal itu
malah menguntungkan bagi kita berdua, yang disepanjang
jalan tak akan merasa kesepian karena ada kawan bicara."
Untuk itu Lie Siauw Hiong menyatakan terima kasihnya,
kemudian ia naik keatas perahu, sedang tukang perahu
itupun lalu mengangkat jeratannya pula, hingga perahu itu
lantas berlayar dengan sangat lancarnya.
Perahu tersebut yang berlayar mengikuti aliran sungai
dan juga mendapat bantuan tiupannya angin, lajunya
sangat pesat sekali, barang-barang atau pohon-pohon
dikedua tepi sungai tampak seperti bayangan dilewati begitu
saja. Dalam pada itu si tukang perahu lalu bertanya pada
Lie Siauw Hiong : "Khek-koan, apakah bukan orang asal
daerah sini ?"
Lie Siauw Hiong mengiakan, dan diapun berkata : "Kau
sendiripun tampaknya juga bukan orang daerah sini, bukan
?" Tukang perahu itu menjawab, bahwa dia berasal dari
daerah Shoa-tang. Setelah berdiam sejurus, lalu diapun
melanjutkan perkataannya : "Keluargaku semuanya asalnya
petani. Sungguh pembesar bangsat itu lagi sial, boleh dia
justru kemaruk dengan paras cantik. Dia melamar adik
perempuanku untuk dijadikan gundiknya, hal itu tentu saja
adikku tidak setuju, akhirnya aku ditangkap oleh pembesar
bangsat itu dan dijebloskan kedalam penjara, untunglah
pada saat itu terbit bahaya banjir yang besar sekali, sehingga
aku dapat melarikan diri dan beginilah akhirnya nasibku
ini, mengembara kekampung halaman orang untuk menjadi
tukang perahu."
Mendengar cerita tukang perahu ini, tidak terasa lagi Lie
Siauw Hiong pun menghela napas dan turut bersimpati atas
nasib yang telah dialaminya itu. Dia lihat tukang perahu itu
sedang duduk terpekur, agaknya ia tengah mengenangkan
kampung halamannya nan jauh dimata, dalam hati dia
berpikir : "Kita ini seakan-akan senasib sepetanggungan,
dimana-mana justru aku menemui orang yang bernasib
malang bagaikan aku juga, dan sekali berjumpa lantas kita
menjadi kawan. Tampaknya orang yang hidup didunia ini
tidak sedikit yang hidupnya makmur, tapi jauh lebih banyak
pula yang hidup serba kekurangan, miskin dan melarat."
Waktu memikirkan dirinya sendiri, lantas kawan-kawan
wanitanya yang cantik-cantik satu-persatu terbayang
dikelopak matanya, sehingga hamper-hampir ia menangis
karena amat sedihnya.
Sekonyong-konyong dia teringat akan Kim It Peng si
Raja Racun yang sifatnya kegila-gilaan dan lalu berpikir :
"Seperti dia yang sebentar ketawa sebentar menangis, apa
yang dipikirkannya lantas dikerjakan, tampaknya dia ini
tidak pernah memusingkan tentang diri orang lain."
Selagi dalam otaknya terlintas bayangannya Kim It Peng
yang kegila-gilaan, ditelinganya seakan-akan masih terngiang-ngiang suara ketawanya yang angin-anginan,
entah sudah lewat berapa lama antaranya, sekonyong-
konyong saja dia rasakan suara tertawa itu berubah menjadi
tajam dan dingin, hingga dia kenali bahwa suara tertawa
inilah suara pembunuh ayah dan ibunya, yaitu Hay-thian-
siang-sat ! Buru-buru dia memandang keempat penjuru, tapi tidak
nampak bayangannya kedua orang musuh besarnya itu,
maka diapun insyaf, bahwa dia tengah dipengaruhi oleh
alam khayainya, maka dengan jalan demikianlah satu
persatu bayangan-bayangan yang lampau dan tidak enak itu
melintas dikepalanya.
Selama belakangan ini dia tidak pernah mengingat-ingat
hal tersebut kembali. Bukannya dia tidak mau mengingat-
ingatnya, tapi takut tampaknya untuk mengingatnya,
karena bila dia mengingat hal itu, pasti sekali akan
membuat hatinya terluka. Diapun berpikir akan ibunya
yang mengalami siksaan yang hebat sebelum dianiayai
sampai binasa oleh Hay-thian-siang-sat, bayangan ibunya
itu selalu saja terbayang-bayang, hingga sedikitpun tidak
pernah dia melupakan kejadian itu, karena bila dia
melupakan hal itu, berartilah bahwa dia tidak berbakti
terhadap ibunya.
Begitulah kejadian yang lampau itu berbayang kembali
diotaknya, tiba-tiba dia teringat akan peristiwa dipulau
Siauw Ciap Too, dimana dia pernah menyanyikan sebuah
lagu dengan membuka suara sekeras-kerasnya, hingga tidak
terasa lagi badannya mengeluarkan keringat dingin, dan
diapun masih ingat akan sair lagunya yang berbunyi :
"Batu-batu berserakan tidak beraturan, awan bergerak-
gerak, ombak memecah pantai, angin musim dingin
menggulung kembang salju, tanah air indah laksana sebuah
lukisan, dalam satu jaman berapa orangkah jumlahnya
ksatria sejati ?"
Tanpa merasa dari duduk dia bangun berdiri, waktu
matanya memandang air sungai yang bergelombang, dan
waktu membentur batu lantas memuncratkan airnya yang
hebat dan tinggi, dia yang menampak hal ini seketika dia
lupakan dirinya, lalu tanpa merasa lagi lalu dia berteriak
dengan suara yang panjang sekali.
Suara teriakannya ini luar biasa nyaringnya, sehingga
seakan-akan gunung pada bergetaran, dan hamper-hampir
saja si tukang perahu merasakan telinganya pekak, dan
meski telah berselang lama juga masih saja dikupingnya ada
suara yang tergiang-ngiang, maka diam-diam dia berkata
pada dirinya sendiri : "Suara penumpangku ini sungguh
mempunyai kedahsyatan bagaikan suara setan atau raksasa
saja !" Selagi hutan-hutan dikedua pinggiran sungai itu masih
berkumandang bekas suara teriakannya Lie Siauw Hiong
itu, burung-burung pada ketakutan dan beterbangan
serabutan, sedangkan burung-burung elang yang sedang
hinggap dipohon-pohon, dengan sekaligus melesat untuk
melarikan diri, sehingga diudara penuh dengan burung-
burung yang beterbangan, hingga itu merupakan suatu
pemandangan yang menarik dan indah sekali.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan keadaan seindah itu,
seketika dia telah melupakan kesedihannya, hingga dalam
rongga dadanya penuh dengan perasaan sukaria, seakan-
akan hidupnya dialam dunia ini bukan main indahnya.
Sekonyong-konyong tukang perahu itu berseru : "Khek-
koan, sekarang kita sudah tiba di Seng Kee Tin."
Pada saat itu matahari pagi baru saja menyingsing,
sedangkan diatas langit mulai tampak sinar matahari pagi
yang berwarna keemas-emasan. Lie Siauw Hiong lalu
mendarat dan mendapat kenyataan, bahwa disitu banyak
sekali manusia yang berlalu lintas, oleh karena itu, maka
Lie Siauw Hiong tidak dapat lagi membentangkan ilmu
Keng-sin-kang-nya untuk berlari pesat, hingga dia terpaksa
berjalan seperti orang biasa saja, meski didalam hatinya
merasa sangat gugup sekali.
Begitulah dengan jalan demikian, dia berjalan diantara
orang banyak, dari Seng Kee Tin kekota Cip Keng tidak
sampai dua ratus lie jauhnya, dan menurut perhitungannya
Lie Siauw Hiong, dia pasti akan sampai ditempat tujuannya
dalam waktu tiga hari setengah lagi.
Begitu dia masuk kekota Cip Keng, dia merasa
pemandangan daerah ini agak luar biasa, dikota yang
demikian kecilnya ternyata banyak sekali berkeliaran para
busu (orang-orang yang ahli dalam ilmu silat), dan setelah
dia berbelok dari pintu besar kejalan raya, barulah dia insyaf
apa yang dilihatnya tadi.
Karena begitu dia berbelok dari pintu besar itu kejalan
raya, apa yang tampak pertama-tama adalah sebatang
papan panjang setombak lebih, yang diatasnya bertulisan
empat huruf emas yang berbunyi : 'Teng Siang Pio Kiok'.
Pio Kiok itu kalau jaman sekarang kurang lebih hampir
mirip dengan kantor expedisi, yaitu kantor yang
mengirimkan barang-barang ketempat tujuannya dengan
menerima bayaran dari barang yang dipertanggungkannya
itu. Tampaknya para busu itu mempunyai hubungan yang
erat dengan Pio Kiok ini, maka Lie Siauw Hiong setelah
masuk kedalam sebuah rumah makan lalu dia pilih satu
tempat yang bersih, barulah dia panggil pelayan untuk
menyediakan makanan dan minuman untuknya.
Sekonyong-konyong dari tangga rumah makan tersebut
terdengar suara yang berisik sekali, dan tampaknya ada
empat atau lima orang laki-laki yang bertubuh besar sedang
mendatangi. Mereka itu segera memilih tempat duduk yang
letaknya berhadapan dengan Lie Siauw Hiong, kemudian
mereka berteriak memesan lima kati arak simpanan dan
sepuluh kati daging sapi.
Orang yang berewokan diantara mereka dan sebagai
pemimpin mereka lalu berkata : "sekali ini kita saudara-
saudara boleh dikatakan telah mengalami kekalahan,
untung saja pemimpin kita masih terang nasibnya, jika
tidak, barang selundupan kita pasti kena diperiksa, sehingga
dengan begitu Twakopun akan kehilangan mata pencahariannya."
Seorang laki-laki katai yang duduk disudut kanannya
sambil mengunyah dagingnya dia berkata: "Siapa suruh kita
berbentrok dengan San Co Siang Hiap (sepasang pendekar
Shoa-tang) " Walaupun kita sekalian saudara saling
bergabung, niscaya tak akan sanggup melawan mereka, apa
lagi kini mereka telah menggabungkan diri dengan
rombongan Kwan Tiong Kiu Ho (sembilan jago-jago dari
Kwan Tiong)."
Lie Siauw Hiong yang mendengar disebutnya nama
sepasang perampok Shoa-tang ini, lantas dia perhatikan
dengan cermat pembicaraan orang-orang itu. Kemudian
seorang yang lainnya dan bertubuh gemuk dan duduk juga
disebelah kiri lalu berkata : "Aku mengatakan, bila kita
mempunyai separuh saja seperti kepandaiannya 'Bwee
Hiang Sin Kiam' Lie Siauw Hiong, apakah kita masih perlu
takuti segala sepasang jagoan dari Shoa-tang itu ?"
Lie Siauw Hiong yang mendengar dirinya sudah diberi
julukan atau gelar sebagai 'Bwee Hiang Sin Kiam' (malaikat
ahli pedang Bwee Hoa), tidak terasa lagi dia menjadi agak
terkejut, karena dia belum pernah mendengar nama julukan
tersebut, apakah barangkali ada lain orang yang bernama
sama dengannya "
Tidak lama kemudian terdengar si berewok yang mula-
mula berbicara itu tertawa terbahak-bahak sambil berkata :
"Loo Lie (Lie si tua) sungguh tidak bermalu, seperti bakat
dan kepandaian yang kau miliki ini, sekalipun kau berlatih
seratus tahun lagipun lamanya, masih tidak dapat mencapai
separuh dari kepandaiannya Lie Tay-hiap ! Coba kau
bayangkan, Kouw Loo It Koay Ang Ceng kepandaiannya
betapa tingginya, waktu dia bertempur dengan Lie Tay-hiap
dipagoda Sin Teng Tha, ternyata telah menderita kekalahan
hebat pada sebelum bertempur sepuluh jurus lamanya."
Waktu si berewok berbicara, tampak air ludahnya muncrat
kesana-kesini, aksinya waktu berbicara demikian, keheranannya seolah-olah melampaui Lie Tay-hiap saja.
Waktu mendengar kata-kata orang ini, tidak terasa lagi
dalam hatinya Lie Siauw Hiong merasa terkejut sekali,
hingga diam-diam dia berkata : "Sekarang benar-benar dia
tengah membicarakan aku ! Mengapakah kabar pertempuran antara aku dengan Kouw Loo It Koay begitu
cepat tersiarnya " Malah satu hal yang paling lucu, adalah
orang ini entah mengumpamakan aku ini sebagai orang
apakah ?" Si berewok masih saja dengan enaknya mengoceh terus :
"Hmmm, hmmm, pertempuran kedua adalah dengan
pedang, permainan pedangnya Kouw Loo It Koay yang
disebut 'Leng-ie-kiam-hoat' dalam kalangan rimba persilatan
boleh dikatakan tidak ada tandingannya, tapi akhirnya,
hmmm, hmmm, Lie Tay-hiap menggunakan ..".
menggunakan tipu permainan pedang apakah sukar aku
jelaskan, hingga tidak sampai tiga jurus pedangnya sudah
dibikin terpental. Tidaklah kepandaian Lie Tay-hiap ini
sungguh-sungguh sangat luar biasa sekali ?"
Sekalipun dalam hatinya Lie Siauw Hiong memaki pada
orang-orang yang suka mementang bacotnya dengan selalu
menambahkan bumbunya, namun dalam hati kecilnya
diapun merasa girang tidak kepalang. Lalu terdengar si
katai itu berkata pula : "Coba Cian Twako katakan,
dibandingkan dengan 'Bu Lim Cie Siu' mana lebih kuat
dengan Lie Tay-hiap ?"
Si berewokan lalu menyahut : "Apakah yang kau
maksudkan 'Bu Lim Cie Siu' Sun Ie Tiong ?"


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si katai menjawab : "Jika bukannya dia, masih ada
siapakah lagi ?"
Si berewok itu kemudian menjawab juga : "Kedua
pendekar ini kedua-duanya adalah pemuda-pemuda yang
muda belia, masing-masing mempunyai kepandaian
istimewanya sendiri-sendiri.
Menurut pendapatku, sekalipun Lie Tay-hiap sangat lihay, barangkali Sun Ie
Tiong lebih unggul sedikit."
Si katai dengan sengit lalu bertanya : "Coba buktikan !"
Si berewokan lalu menjawab : "Bila aku menyebutkan
namanya satu orang, kau pasti akan mengetahuinya.
Apakah kau pernah dengar tentang murid si Raja Racun
Kim It Peng yang bernama Tian Mo Kim Ie itu "
Kepandaiannya adalah sangat tinggi sekali, karena dia telah
mewarisi seluruh kepandaiannya si Raja Racun tersebut,
tapi pada setengah tahun yang lampau, dengan satu kali
pukul saja Sun Ie Tiong telah berhasil membikin dia
mundur kucar-kacir. Coba kau katakan, apakah kepandaiannya itu tidak hebat ?"
Si katai menganggukkan kepalanya dan lalu berkata :
"Benar boleh, tidak benarpun tidak mengapa ! Marilah kita
minum saja sepuas-puasnya !" Beberapa orang itu lalu
tertawa besar, kemudian dengan lahapnya mereka lalu
makan minum dengan hati gembira.
Waktu Lie Siauw Hiong mendengar mereka memperbincangkan 'Bu Lim Cie Siu' Su Ie Tiong, dalam
hatinya dia merasa terkejut juga, lalu dia berpikir didalam
hatinya : "Mengapakah dikalangan Kang ouw muncul
seorang pemuda yang demikian tinggi ilmu silatnya tanpa
aku sendiri mengetahuinya " Ah, benar, ada kemungkinan
dia baru muncul selama aku berada dipulau Siauw Ciap
Too itu. Hmm, jika dia bisa memukul mundur Kim Ie,
kepandaian itu benar-benar tidak lemah."
Waktu berpikir tentang Kim Ie, sekonyong-konyong dia
teringat akan muka yang sudah sangat rusak itu, yang
memeluk Gouw Leng Hong sama-sama jatuh kedalam
jurang, tidak terasa lagi dia lalu menghela napas, apakah
barangkali si Kim Ie ini sama-sama gila seperti gurunya si
Raja Racun itu "
Kemudian waktu beberapa busu itu memperbincangkan
sesuatu yang tidak keruan, lalu diapun membayar
rekeningnya dan jalan keluar dari rumah makan tersebut.
Begitu dia keluar dari rumah makan itu, hatinya agak
bingung dan diam-diam dia telah mengambil keputusan
sambil berkata pada dirinya sendiri : "Pergi kegunung Kong
Tong untuk mengambil pedang terlebih dahulu !"
Sekonyong-konyong
matanya memandang seekor burung dara terbang melintas diatas kepalanya, dan ketika
dia memperhatikan burung dara tersebut, diapun melihat
dikakinya diikatkan sepucuk surat dengan sehelai benang.
Tidak terasa lagi dalam hati Lie Siauw Hiong merasa
heran sekali. Apakah barangkali burung yang aku lihat ini
adalah burung yang tempo hari itu " Pada saat itu dari
sebelah belakang Lie Siauw Hiong terdengar satu suara
yang perlahan dibalik daun pohon, tapi waktu dia
menolehkan kepalanya memandang, ternyata dia tak
melihat sesuatu apapun.
Lie Siauw Hiong yang sudah berpengalaman segera
mengetahui, bahwa suara itu pastilah diterbitkan oleh
manusia, maka sambil berpura-pura dia lalu berkata-kata
pada dirinya sendiri : "Aku benar-benar mengira setan
agaknya, sehingga segala daun yang bergoyang saja sampai
membuat hatiku terkejut."
Dengan masih selalu berpura-pura, dia berjalan terus.
Dan mengira orang yang mengeluarkan suara itu pasti akan
menguntit padanya dari sebelah belakang, tapi siapa tahu
setelah berjalan berapa puluh tombak jauhnya dan coba
menoleh dengan sekonyong-konyong, ternyata masih juga
dia tidak melihat ada orang.
Dia merasa mendongkol sekali, kemudian sambil
membentangkan ilmu Keng-sin-kang-nya dia berlari-lari
dengan langkah yang sangat pesat sekali, hingga tampaknya
tak berbeda dengan sebuah anak panah yang terlepas dari
busurnya, hingga dalam sekejap mata saja dia sudah berlari
puluhan tombak jauhnya.
Sekali ini benar-benar dia rasakan dibelakangnya ada
orang yang mengikutinya, malahan ilmu meringankan
tubuh orang itupun sangat tinggi pula.
Diam-diam Lie Siauw Hiong tertawa dingin dengan
perasaan tidak puas, lalu dia berlari lebih keras lagi, sekali
kakinya menotol bumi, badannya sudah melesat maju
sejauh tujuh atau delapan tombak jauhnya, karena gerak
itupun bukan lain daripada ilmu kepandaiannya yang
paling dibanggakan itu, yaitu 'Am-hiang-pu-eng'.
Tapi siapa tahu sekalipun dia telah berlari dengan
sepenuhnya tenaga, ternyata orang dibelakangnya masih
saja dapat mengikuti terus dengan tidak ketinggalan, hingga
dalam hatinya Lie Siauw Hiong jadi tergerak, dan
sekonyong-konyong dia menotolkan kakinya kebumi dan
badannya lagi-lagi dengan pesat melesat maju sejauh tujuh
atau delapan tombak lagi. Pada sebelum kakinya
menyentuh tanah, ditengah-tengah udara dengan gerak
yang gesit dan lincah secara sekonyong-konyong dia telah
putar badannya kebelakang.
Orang dibelakangnya yang sedang menyusulnya itu,
tidak menduga sama sekali bahwa orang yang dibuntutinya
itu dapat membalikkan badannya secara sekonyong-
konyong sekali, hingga dia tidak dapat menahan badannya
lagi dan dengan gerak tergesa-gesa dia
hentikan lompatannya, namun demikian, badannya masih tetap
maju sejauh lima tombak. Kepandaian semacam ini
ternyata tidak berada disebelah bawahnya pemuda kita, tapi
selanjutnya orang yang menyusul itu dengan terpekur
berdiri diam. Lie Siauw Hiong lalu bertanya : "Tuan ini apakah yang
dijuluki orang Bu Lim Cie Siu itu ?"
Orang itu baru berumur dua puluh tujuh atau dua puluh
delapan tahun, alisnya sangat lentik sekali, romannya gagah
tapi agak licik tampaknya. Waktu dia ditanya oleh pemuda
kita, dia hanya menjawab : "Ah, itu cuma gelar kosong
yang diberikan oleh kawan-kawan dalam kalangan Kang-
ouw saja. Aku yang rendah tidak berani menerima akan
pujianmu itu. Aku benar she Sun dan bernama Ie Tiong."
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya Lie Siauw
Hiong lalu berkata : "Sun Tay-hiap sepanjang jalan
mengikuti aku saja, ada pengajaran apakah yang hendak
disampaikan kepadaku ?"
Sun Ie Tiong menjadi gelagapan diajukan pertanyaan
demikian, hingga seketika itu dia tidak dapat menjawab
pertanyaan orang. Dan setelah berselang lama juga, barulah
dia menjawab : "Bila pandangan mataku tidak keliru, tuan
ini adalah 'Bwee-hiang-sin-kiam' Lie Siauw Hiong ..?"
Lie Siauw Hiong menganggukkan kepalanya sebagai
gantinya menjawab pertanyaan orang, dan sejurus
kemudian barulah Sun Ie Tiong berkata lagi : "Aku
mengikuti kau adalah untuk memohon pengajaran darimu."
Lie Siauw Hiong sejak kehilangan pedang 'Bwee-hiang-
kiam'-nya, perasaan hatinya tidak begitu gembira, ditambah
lagi dengan perasaan yang ingin menang sendiri saja, maka
begitu mendengar Sun Ie Tiong mengeluarkan perkataan
yang maksudnya seakan-akan tidak memandang mata
kepadanya, hatinya menjadi geram sekali, hingga dengan
suara yang dingin dia berkata : "Oh, kiranya kau mengikuti
aku sepanjang perjalanan ini maksudnya hanya ingin
memohon pengajaran dariku saja " Hal ini memang
menarik sekali .."."
Sun Ie Tiong hanya berkata-kata secara singkat saja,
lantas dia menantang bertempur pada pemuda kita, dan
tatkala dia mendengar perkataan Lie Siauw Hiong yang
terakhir, diam-diam dia merasa bahwa dirinya pasti akan
memperoleh kemenangan, maka sambil maju satu langkah
dia berkata : "Bila Lie Heng, setuju, maka terpaksa Siauw-
tee akan mempertunjukkan kepandaianku yang jelek itu."
Setelah berkata begitu, dari punggungnya dia segera
menarik keluarkan sebilah pedang panjang.
Lie Siauw Hiong pun tidak menjawab perkataan orang
ini, maka begitu dia melihat lawannya menghunus pedang,
diapun tidak berayal pula untuk menghunus sebilah pedang
yang ia baru beli dan disorennya sebagai senjata untuk
menjaga diri. Sejak keluar dari pintu perguruannya, entah sudah
berapa ratus pertarungan besar dan kecil yang Siauw Hiong
telah lakukan, apa lagi pada akhir-akhir ini, dimana dia
sudah menempur jago-jago cabang atas dengan kepandaiannya yang sudah mencapai dipuncaknya, oleh
karena itu, sudah tentu saja terhadap pengalaman
bertempur dia sudah cukup memilikinya.
Bu Lim Cie Siu Sun Ie Tiong yang berdiri
dihadapannyapun
tidak berani memandang ringan terhadapnya, maka dengan perlahan-lahan dia loloskan
baju panjangnya, untuk bersedia supaya dalam pertarungan
sebentar hal ini tidak menyibukkan serta tidak merugikan
gerak-geriknya, kemudian dia lihat lawannya sudah
menghunus pedang dan disamping disertainya angin yang
hebat karena pedang itu, ujung pedang itupun masih dapat
dilihat bergetar dan berbentuk tujuh kuntum bunga bwee,
gerak-gerik mana mirip sekali dengan apa yang biasa
dilakukan oleh Chit-biauw-sin-kun pada waktu dahulu.
Sekonyong-konyong Siauw Hiong merasakan angin
serangan pedang lawannya menyerang kearah mukanya,
sedangkan diseketika itu juga dia masih sempat mendengar
peringatannya Sun Ie Tiong yang berseru : "Hati-hati !"
Lie Siauw Hiong dengan wajar saja lalu melahgkah
mundur dengan tindakan yang tenang, hingga pedang
lawannya tidak berhasil menemui sasarannya. Sun Ie Tiong
yang melihat serangannya yang pertama itu dengan cara
yang begitu mudah saja dapat dikelitkan oleh pihak
lawannya, diapun tidak berlaku sungkan lagi dan lantas
melanjutkan serangannya yang kedua. Sementara Lie
Siauw Hiong yang melihat lawannya sudah mendahului
menyerang dirinya dua kali dengan berturut-turut, dia
terpaksa menjaga dahulu serangan pedang lawannya itu,
kemudian setelah mendapat kesempatan, diapun tidak
berlaku sungkan pula untuk lantas balas menyerang
lawannya itu dengan tidak kurang dahsyatnya.
Sun Ie Tiong yang sudah berkali-kali menyerang
lawannya tapi tidak pernah menemui sasarannya dengan
tepat, sudah barang tentu jadi semakin sengit dan
penasaran. Begitulah dengan tak mau mengalah satu sama
lain, kedua orang pendekar teruna itu telah mengadu ilmu
kepandaian masing-masing dengan amat sengitnya.
Lie Siauw Hiong yang telah berhasil mengelitkan
beberapa kali tusukan maupun sabetan pedang lawannya,
meski belum berhasil melihat titik kelemahan pihak
lawannya, tapi dia segera dapat merasakan, bahwa
permainan pedang lawannya ini adalah asli ajaran
Hweeshio (pendeta) dari Siauw Lim Pay yang bernama Tat
Mo Sin Kiam, hingga didalam hatinya merasa agak
terkejut, sedang penjagaan dirinyapun segera diperhebat.
Diapun sudah berniat untuk mengunci serangan pedang
lawannya dengan menggunakan sabetan balasan maupun
tenaga dalam yang sehebat-hebatnya
dan pernah dimilikinya, tapi diapun merasa bahwa sabetan-sabetan
maupun tusukan-tusukan pedang lawannya itupun selalu
disertai angin yang santar dan menderu-deru, hal mana
membuktikan bahwa lawannyapun memiliki tenaga-dalam
yang tidak berada disebelah bawah daripada dirinya.
Dengan tidak disadarinya, Lie Siauw Hiong teringat
akan pedang 'Bwee Hiang Kiam'-nya yang hilang itu,
hingga hatinya menjadi gugup, tapi setelah itu diapun tidak
melanjutkan pula pemikirannya, dengan ganasnya dia
melancarkan serangan-serangan balasannya.
Sun Ie Tiong yang tidak berhasil menangkis dengan
sempurna serangan pedang lawannya, pergerakannya
menjadi sedikit lambat, hal mana berarti suatu kesempatan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik bagi Lie Siauw Hiong untuk mengambil inisiatif, dia
tak mau bertempur secara berlarut-larut, maka dengan tidak
membuang-buang tempo lagi dia lalu berseru : "Sambutlah
seranganku ini !"
Berbareng dengan itu, diapun lalu menggunakan
pelajaran yang diberikan oleh Peng Hoan Siang-jin, yaitu
'Tay-yan-sin-kiam', dengan mana dia pernah berhasil
menjatuhkan lawan tangguhnya, Kouw Loo It Koay, dalam
pertempuran yang dilakukannya dipagoda Sin Teng Tha,
dan jurus yang dipakai menyerang lawannya itu bukan lain
daripada 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak putus-putusnya).
Sun Ie Tiong yang dengan susah-payah baru berhasil
menangkis maupun mengelitkan serangan balasan pemuda
kita, kini menampak Siauw Hiong mengeluarkan tipu yang
sangat hebat dan aneh, hingga tidak terasa lagi hatinya
menjadi terkejut sekali. 'Bu Lim Cie Siu' Sun Ie Tiong buru-
buru mundur setengah langkah. Setelah berhasil mengelitkan serangan keempat dari 'Tay-yan-sin-kiam' yang
bernama 'But-hoan-seng-ie' (benda bertukar letak dan
bintang-bintang beralih), buru-buru dia berseru : "Tahan !"
Lie Siauw Hiong merasa tercengang sekali dan buru-buru
menahan serangannya itu. Tapi pada saat itu Sun Ie Tiong
tampaknya sangat gugup sekali untuk mengeluarkan
perkataan terus-terang, hingga untuk sesaat dia tidak
berkata apa-apa lagi. Hal mana sudah barang tentu,
mengherankan sekali hati Lie Siauw Hiong, tapi ketika ia
ingin mengajukan pertanyaan, dengan sekonyong-konyong
Sun Ie Tiong telah mendahului berkata : "Cukuplah untuk
hari ini. Dibelakang hari kesempatan untuk kita saling
bertemu masih sangat luas !"
Sesudah berkata demikian, dengan lantas badannya
berputar dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah
berhasil berlari-lari dalam jarak sejauh sepuluh tombak
lebih. Lie Siauw Hiong hanya berdiri terpekur dan merasa
heran, apakah maksud Sun Ie Tiong yang sebenarnya
menantang bertempur kepadanya dengan tiba-tiba dan tak
diketahui sebab-musababnya, pada hal dia tak mengetahui,
bahwa si pemuda she Sun itu hanya semata-mata
melakukan perintah gurunya saja, hal mana akan
dikisahkan perlahan-lahan dilain bagian dari cerita ini.
Dengan perasaan tidak mengerti, Lie Siauw Hiong hanya
dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja, kemudian
terdengar ia menggerutu : "Perduli amat siapa dia, yang
paling perlu adalah melanjutkan perjalanan ini !"
Setelah berpikir demikian, diapun tidak lagi berdiri
terbengong-bengong disitu, hanya sambil menyesapkan
kembali pedangnya dipunggungnya, dengan cepatnya dia
pun membentangkan Keng-sin-kang-nya untuk berlari
secepat kilat. Tidak sampai satu jam lamanya, diapun sudah
berhasil mengambil jalan yang menjurus kegunung Kong
Tong. Dalam pada itu, lagi-lagi seekor burung dara melintas
diatasan kepalanya, maka dengan tidak dapat menahan
sabar lebih lama lagi, lalu dia gerakkan kepalanya dan
memukul kearah burung dara tersebut, kemudian terdengar
suara "Puk", yang menandakan bahwa burung dara itu
sudah berhasil dipukulnya sehingga jatuh. Waktu dia
mengambil surat yang diikatkan dikaki burung dara itu, dia
hanya melihat gambar dua buah tengkorak, hingga tidak
terasa lagi dia menjadi sangat terperanjat dan berkata :
"Hay-thian-siang-sat !" karena dengan sesungguhnyalah,
bahwa tanda itu adalah tandanya Hay-thian-siang-sat,
hingga didalam hati dia berkata : "Si manusia busuk ini
mengumpulkan kawan-kawannya, sebenarnya hendak
melakukan pekerjaan apakah lagi ?"
Sekonyong-konyong dari samping jalan berkelebat satu
bayangan manusia yang berdandan sebagai seorang
pendeta, dan sambil berdiri ditengah jalan ia berseru :
"Yang mendatangi ini apakah bukannya Lie Siauw Hiong
?" Lie Siauw Hiong tidak pernah berpikir ditempat yang
begini sepi dan liar ada orang yang mencari dirinya, maka
dalam hati dia merasa sangat heran sekali, tapi dengan
tenang diapun menganggukkan kepalanya mengiakan akan
kata-kata lawan bicaranya ini.
Pendeta ini masih muda sekali, umurnya ditaksir baru
berkisar antara kurang lebih tiga puluh tahun.
Ditangannya tampak dia menggenggam sebatang
pedang, sambil merangkapkan sepasang tangannya dia
berkata : "Aku mengharap Sicu (tuan) suka memberi sedikit
pengajaran .."." Begitu selesai berbicara, segera juga dia
menggerakkan pedangnya untuk menusuk pemuda kita.
Lie Siauw Hiong disamping merasa marah, diapun
merasa lucu juga, karena tanpa hujan tanpa angin ada orang
yang menantang bertempur kepadanya. Dari suara
perkataannya, dia dapat menarik kesimpulan, bahwa
pendeta ini mungkin juga tidak merasa puas karena
namanya sudah terkenal sekali dalam rimba persilatan,
hingga diapun malas melawan bicara dengan pendeta itu.
Lantas tangan kanannya diulurkan dengan sebat kepunggungnya, dimana ia menghunus pedangnya dan
segera menerjang lawan itu dengan siasat 'Hiang-in-tam-
eng' atau awan berarak-arak memperlihatkan bayangannya
didalam telaga.
Si pendeta muda itupun cukup cerdik dan dengan cepat
diapun menangkis serangan pemuda kita dengan laku yang
tangkas sekali.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 28 Lie Siauw Hiong sendiri merasa agak heran, karena
ternyata bahwa permainan pedang pendeta inipun sama
saja caranya seperti tadi dia melayani bertempur Sun Ie
Tiong, yaitu ilmu pedang 'Tat Mo Sin Kiam'.
Pendeta muda ini sangat memperhatikan serangan-
serangan pemuda kita ini, hingga hatinya Lie Siauw Hiong
tiba-tiba tergerak, dan dengan sama tiba-tibanya dia
mengubah siasat serangannya dari 'Tay-yan-sin-kiam'
menjadi dengan 'Kiu-cie-kiam-sek', pelajaran ilmu pedang
warisan dari Bwee San Bin, dengan mana beruntun dia
menyerang sehingga sebanyak empat atau lima jurus
lamanya. Sementara si pendeta muda itu sete!ah menyaksikan dua
jurus serangannya ini, mukanya menunjukkan perasaan
kecewa dan lalu sambil menahan serangan pedangnya dia
berseru : "Tahan !"
Lie Siauw Hiong yang melihat lawannya bukan dengan
maksud untuk saling bermusuhan dengannya, apa lagi dia
sendiri memang mempunyai urusan yang hendak diselesaikan selekas mungkin, maka diapun segera
menghentikan serangannya.
Pendeta muda itu tampaknya berpikir sebentar,
kemudian barulah dia berkata : "Benar, benar !" waktu
dilirikkan matanya memandang pada Lie Siauw Hiong
yang sedang berdiri disebelah pinggirnya, tidak terasa lagi
dia menunjukkan perasaan sungkan dan segera membalikkan badannya untuk melarikan diri.
Lie Siauw Hiong jadi tertawa terbahak-bahak,
sungguhpun dia tidak mengerti tindak-tanduk lawannya itu,
tapi dia dapat meraba maksud pendeta Siauw Lim itu, yang
agaknya khusus memperhatikan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek'-
nya, hingga hal ini boleh dikatakan luar biasa juga.
Begitu hatinya merasa tenang, diapun teringat kembali
akan pedang 'Bwee Hiang Kiam'-nya yang hilang itu, maka
hatinyapun menjadi bingung kembali. Dengan tak berani
berlaku ayal-ayalan lagi, lalu dia meneruskan kembali
perjalanannya. Dia menuju keatas gunung yang semakin
lama semakin sempit dan berbahaya serta sepi lengang,
sedang haripun perlahan-lahan sudah menjelang gelap.
Entah sudah lewat berapa lama pula, rembulan
diangkasa raya telah mulai menampakan diri dan
tergantung ditengah-tengah udara dengan tenangnya.
Lie Siauw Hiong pada saat itu seluruh perasaannya
tengah dipusatkan pada kehilangan pedang mustikanya itu,
hingga tindakannya tidak terlampau cepat lagi, tapi
sekalipun demikian, sekali lompat saja dia masih dapat
melampaui jarak empat atau lima tombak jauhnya.
Dibawah sinar rembulan yang berwarna keperak-perakan,
didepannya tampak gunung yang tidak terlampau besar,
juga tidak terlalu kecil, maka dengan menghempos
semangatnya, Lie Siauw Hiong bertekad bulat untuk
mencapai puncak gunung tersebut.
Pemuda itu dengan bernafsu berlari sekeras mungkin
untuk menempur pencuri pedangnya itu.
Dilereng gunung tersebut keadaannya sangat sepi dan
lengang sekali, disana hanya tumbuh dua kelompok pohon-
pohon raksasa, sehingga bayangan bulan seakan-akan tidak
dapat menembusi tempat itu karena dilindungi oleh pohon-
pohon yang sangat tinggi lagi sangat rindang daunnya itu.
Lalu dia mendengar suara daun pohon-pohon itu
berkeresekan, dan semacam perasaan yang kurang enak
tiba-tiba melintang diotaknya, sehingga dengan tidak
disadarinya hatinyapun menjadi agak berdebar-debar.
Waktu dia periksa dengan terlebih cermat, dia tidak melihat
barang seorangpun berada disitu, selain suara angin yang
meniup daun-daun pohon itu.
Lie Siauw Hiong jadi tertawa sendirian dan menganggap
dirinya terlampau bercuriga tidak keruan, kemudian
badannyapun melesat kembali sehingga beberapa tombak
lagi jauhnya, tindakannyapun sangat wajar dan tenang, hal
mana menunjukkan bahwa kepandaiannya telah mencapai
dipuncaknya. Gunung ini tak dapat dikatakan terlampau tinggi, tapi
disitu tumbuh banyak sekali pohon-pohon, maka sekalipun
pada saat itu adalah musim dingin, tapi angin yang
berhembus dari selatan membawa hawa yang nyaman serta
hangat, sehingga pohon-pohon itu tidak menjadi layu
daunnya. Waktu hampir mencapai puncak gunung tersebut yang
terletak dihadapannya, Lie Siauw Hiong segera menghempos semangatnya, hingga lagi-lagi dia rasakan
perasaan yang kurang wajar, karena diantara pohon-pohon
yang begitu banyaknya dan rindang itu tentu saja
keadaannya menjadi agak menyeramkan karena sepinya.
Sekalipun Lie Siauw
Hiong telah mengembara dikalangan Kang-ouw selama setahun lebih, peristiwa yang
telah dialaminya adalah rata-rata sangat hebat dan
menegangkan urat syaraf, hingga selama itu pengalamannyapun menjadi sangat banyak dan luas.
Selagi melanjutkan perjalanannya kembali, tiba-tiba
kakinya menginjak tempat kosong, hingga ketika dia insyaf,
tahu-tahu dirinya sudah terjerumus masuk kesebuah lubang
yang cukup dalam.
Waktu Siauw Hiong jatuh kedalam lubang, buru-buru
dia enjotkan badannya keatas sehingga mencapai setengah
meter lebih dari dalam lubang itu. Tapi ketika baru saja
kakinya menginjak bumi lagi dan hendak melangkah maju,
lagi-lagi dia mengeluarkan teriakan tertahan karena
badannya sempoyongan dan lagi-lagi terperosok kedalam
lubang yang berikutnya. Ditempat yang begitu liar dan
dimalam hari yang sangat gelap itu, entah ada berapa
banyak jebakan dipasang disitu untuk mencelakai dirinya "
Dan selagi dia berdaya-upaya untuk meloloskan dirinya,
tiba-tiba segala macam senjata tajam dari pihak musuhnya
telah datang menyerang pada dirinya dengan serentak,
bahkan disamping itu, tidak ketinggalan pula ada diantara
musuh-musuhnya yang melepaskan senjata rahasia kepadanya. Lie Siauw Hiong yang dapat membedakan suara dari
angin senjata-senjata tersebut, diapun sudah mengetahui,


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa pihak orang-orang yang menyerang dirinya rata-rata
mempunyai tenaga-dalam yang kuat sekali, hingga ketika
baru saja dia hendak lompat mengelitkan diri daripada
serangan-serangan yang datang bertubi-tubi itu, hanya
terdengar suara "sret, sret" dua kali, dan bersamaan dengan
itu, pundaknya serta pahanya sudah terkena dua batang
anak panah gelap yang dilepaskan oleh musuh-musuh yang
membokongnya, anak-anak panah mana dapat menemui
sasarannya dengan jitu karena dilepaskan dalam jarak
hanya tiga meter saja jauhnya. Lie Siauw Hiong sejak
mengembara dikalangan Kang-ouw, belum pernah mengalami kekalahan semacam ini, karena dengan serentak
ia dibokong dengan secara menggelap, hingga dia
sendiripun belum mengetahui siapa adanya para penyerang
yang keji dan pengecut itu.
Kedua batang anak panah itu mendatangkan rasa sakit
yang hebat sekali, hingga dengan marahnya dia sapukan
matanya keempat penjuru, tapi ternyata dia tidak melihat
ada bayangan manusia barang seorangpun.
"Musuh berada ditempat gelap, sedangkan aku berada
ditempat yang terang," pikirnya, dengan perasaan tegang
pikirannya bekerja keras.
Lantas timbul suatu ajakan untuk 'lari', karena itu
memang suatu cara yang paling selamat.
Syukur juga anak panah yang menancap dipundak dan
dipahanya tidak dicelupi racun, hingga itu banyak
mengurangi perasaan kuatirnya. Sementara suatu hal yang
paling hebat, adalah cara menyerangnya orang yang
melepaskan anak panah gelap itu, karena meski dia
melepaskan itu hanya dalam jarak tiga meter saja jauhnya,
tapi dia tak dapat dilihat oleh Lie Siauw Hiong, hingga
diam-diam iapun memuji akan kecepatan orang itu, yang
dikalangan Kang-ouw sungguh sukar dicari keduanya.
Lie Siauw Hiong sambil menahan perasaan sakit pada
pundaknya, buru-buru dia pusatkan tenaganya pada
sepasang kakinya, lalu dia berlompat maju dan dengan
langsung berlari lurus kesebelah kiri dari hutan itu. Dia
bukannya orang yang bodoh dan dengan terang-terangan
mengetahui, bahwa diempat penjuru para lawannya telah
mengurung rapat kepada dirinya, tapi perasaan ingin hidup
memaksa dirinya untuk berusaha melarikan diri.
Benar saja apa yang diduganya itu tidak meleset sama
sekali, karena dari hutan yang lebat itu lalu dirasakannya
ada senjata tajam yang menyampok mukanya. Syukur juga
dia sudah siap siaga, ditengah-tengah udara dia lompat
kearah yang sebaliknya dengan gerakan yang gesit sekali,
karena hanya dengan tipu 'Kit Mo Pouw Hoat' saja baru
mungkin dia menjalankan tipu tersebut dengan berhasil.
Penyerangnya ini sungguh hebat sekali, tapi Lie Siauw
Hiong jauh lebih cepat setindak, karena waktu dia baru saja
turun kebumi, lagi-lagi dia sudah diserang kembali dan
pemuda kita dengan sebat mengelitkan serangan itu persis
terpisah dengan senjata tersebut hanya dalam batas telapak
sepatunya saja !
Percobaan Lie Siauw Hiong sekali ini tidak sia-sia
agaknya. Karena ketika baru saja dia sengaja berlari kearah
kanan, dari dalam hutan segera terdengar suara teriakan
orang yang lantas menyerang kearahnya dengan secara
hebat sekali. Lie Siauw Hiong yang mencoba menggunakan
kedua tangannya, lalu merasakan pundaknya bertambah
sakit, karena pundak kirinya yang terkena panah itu
menyebabkan tangan itu tidak dapat digunakan dengan
leluasa. Oleh sebab itu, terpaksa dia menahan juga serangan itu,
tapi ketika baru saja dia melancarkan serangannya, tiba-tiba
sebuah pentungan berkelebat menjurus kekepalanya, hingga
walaupun Lie Siauw Hiong telah berubah untuk
mengelitkan dirinya, tidak luput dibikin terpental juga oleh
pukulan lawannya, sehingga dia jatuh sempoyongan. Tapi
bersamaan dengan itu, tenaga dalam si pemuda pun yang
menendang balik telah membuat si penyerang jatuh
berjungkir dalam keadaan pingsan. Hal mana, membuktikan betapa dahsyatnya tenaga-dalam pemuda kita
itu. Ternyata pihak lawannya diatas gunung itu telah
membayhok kepadanya, sehingga musuh-musuh itu belum
puas jika belum dapat mengambil jiwanya.
Lie Siauw Hiong pun menginsyafi, bahwa untuk
melarikan diri adalah suatu usaha yang mustahil sekali,
sedangkan luka-lukanya kian lama dirasakan kian sakit,
hingga dia tidak tahu harus melayani dengan cara apakah
sebaiknya, ketika dengan secara tiba-tiba ..". Daun-daun
pohon dihutan tersebut berkeresekan dan bergoncang dan
bersamaan dengan itu, dari dalam hutan segera muncui
tujuh atau delapan orang.
Dibawah sinar bulan Siauw Hiong kenali orang yang
menjadi kepala dari rombongan itu, tidak lain tidak bukan
adalah musuh-musuh keturunannya, yaitu 'Hay-thian-siang-
sat' ! Sejak Lie Siauw Hiong turun gunung, dia pernah dua
kali berjumpa dengan kepala dari sembilan jago Kwan
Tiong itu, yakni sepasang manusia bercacat tersebut, apa
lagi ketika teringat akan peristiwa dipuncak gunung Kwie
San itu, dimana dia pernah dijatuhkan kedalam jurang yang
ribuan tombak dalamnya, melihat lawan-lawannya ini,
tidak terasa lagi matanya menjadi merah.
Sedangkan manusia-manusia bercacat itu sama sekali
tidak menunjukkan perasaan terkejutnya, suatu tanda
bahwa merekapun mengetahui, bahwa 'Bwee San Bin'
memang belum terjatuh mampus kedalam jurang itu. Pada
saat itu, Lie Siauw Hiong merasa sangat geram sekali,
karena dengan sepintas lalu saja dia segera kenali beberapa
orang diantara mereka, yang memang bukan lain daripada
sembilan jago dari Kwan Tiong itu.
Kepandaian kesembilan jago dari Kwan Tiong ini, rata-
rata Lie Siauw Hiong pernah menjajalnya, tapi bila dia
harus melawan satu-persatu ataupun dua lawan satu, Lie
Siauw Hiong pasti tidak akan kalah, tapi sekarang lawan-
lawannya adalah sembilan orang, sedangkan dia sendiri
pada sebelum bertempur sudah terluka terlebih dahulu,
karena akibat daripada bokongan musuh-musuhnya yang
sangat licik itu. Oleh karena itu, cara bagaimanakah dia
harus melayani mereka selanjutnya "
Sepasang manusia bercacat ini dengan mata yang tidak
berkedip memandangnya dengan sorot mata penuh
kebencian kearah pemuda kita.
Setelah berselang sejurus lamanya, barulah Ciauw Hoa
berkata pada dirinya sendiri : "Tampangnya mirip benar.
Tidak berlainan barang sedikitpun."
Kemudian setelah berselang sejurus lamanya, barulah dia
berkata dengan suara dingin : "Apakah kau mengetahui,
apa maksud kami ini terhadapmu ?"
Lie Siauw Hiong tidak menjawab atas pertanyaan
lawannya itu, tapi dia segera paham akan maksud pihak
musuhnya itu. Karena sesungguhnyalah, waktu tempo hari dia terjatuh
kedalam jurang digunung Kwie San, dia telah bertempur
dengan memakai kedok, tapi sebelum terjatuh kedalam
jurang itu, kain penutup mukanya kena disingkap
lawannya, sehingga lawan itu agak mengenali dirinya.
Belakangan dikalangan Kang-ouw tersiar berita tentang
dikalahkannya Kouw Loo It Koay oleh Lie Siauw Hiong,
dan karena Siauw Hiong itu adalah orang she Lie, mereka
segera menduga, bahwa pemuda she Lie ini pastilah
keturunannya 'Lie Kiu Peng', kemudian ketika sepasang
manusia bercacat ini menyelidiki dengan saksama, barulah
mereka memperoleh jawaban yang pasti, bahwa pemuda
she Lie itu memang benar anak musuhnya dan dia tidak
mati dibawa kabur oleh sapi gila itu.
Sepasang manusia bercacat ini memang sangat kejam
sekali, mereka bertekad bulat untuk membasmi keturunan
Lie Kiu Peng hingga keakar-akarnya, maka lalu dipasang
mereka bayhok selengkap-lengkapnya untuk menantikan
kedatangan si pemuda itu.
Lie Siauw Hiong setelah berpikir matang, dia ketahui
bahwa kini dia menghadapinya lebih banyak kematian
daripada hidup. Hatinya menjadi terbangun dan lalu
berseru : "Hay-thian-siang-sat, jika kau telah mengetahui,
hmmm, lekaslah kau serahkan jiwamu !"
Tatkala selesai berbicara, suaranya agak menggetar
karena amat gusarnya.
Dengan cepat dia mencabut pedangnya, tapi waktu
memperhatikan senjata itu, walaupun sinarnya berkeredepan, tapi jika dibandingkan dengan pedang 'Bwee
Hiang Kiam'-nya, ternyata terpaut sangat jauh sekali,
hingga didalam hatinya dia berpikir : "Pertempuran sekali
ini, akan lebih banyak kematian daripada hidup, oleh sebab
itu, pedang 'Bwee Hiang Kiam' itu seumurku tidak akan
dapat melihatnya pula."
Tapi dengan tekad yang bulat ia mengambil keputusan
untuk menghadapi semua ketujuh orang lawannya itu
dengan hati yang mantap. Kemudian dengan suara dingin
dia berkata : "Kalian hanya berjumlah tujuh orang ! Orang
she Ciauw, diantara sembilan jago Kwan Tiong masih ada
dua orang lagi yang belum keluar, bukankah ?"
Dengan tertawa panjang Ciauw Hoa menyahut : "Kami
bertujuh apakah belum cukup untuk mengambil jiwamu ?"
Mereka memang sangat telengas dan kejam sekali,
sehingga sedikitpun tak mau memberi hati kepada si
pemuda itu. Sambil tertawa dan dengan suara yang lantang Lie Siauw
Hiong lalu berseru : "Silahkan kalian maju !" Sedangkan
diotaknya tiba-tiba terlintas ingatannya dan diam-diam dia
berpikir : "Benar, tentulah burung dara itu yang telah
digunakan oleh manusia bercacat ini dalam usahanya untuk
mengumpulkan kawan-kawannya, dan salah seekor burung
dara yang telah kujatuhkan itu, tentulah telah dikirim oleh
Hay-thian-siang-sat untuk mengundang Hiauw-gwat-han-
sim-ciang. Tapi entahlah siapa itu yang satu orang lagi ?"
Selagi hatinya masih menduga-duga, tiba-tiba salah
seorang antara sepasang perampok Shoa-tang yaitu Lim
Siauw Coan segera maju membokong dengan tidak
bersuara apa-apa. Tapi Lie Siauw Hiong yang memang
sudah memasang mata dan telinga setajam-tajamnya, tentu
saja mengetahui bahwa dirinya sedang dibokong orang.
Syukur juga meski pundak kiri dan pahanya terluka, tapi
Siauw Hiong masih dapat menggerakkan tangan kanannya
dengan leluasa, maka dengan mendongkol dia menghunus
pedangnya, yang lalu dengan sebat ditusukkannya
kebelakang, hingga sekalipun Lim Siauw Coan menyerang
terlebih dahulu, tapi dia tidak berhasil menemui
sasarannya, karena ia sendiri sudah diserang kembali, maka
dengan mengeluarkan suara gerengan yang menandakan
kemarahannya, dia mundur kebelakang setengah langkah.
Kemudian pergelangan tangan Lie Siauw Hiong,
diputarkan begitu rupa, sehingga dia dapat menyerang pada
lima orang lawannya dengan secara bergiliran. Sementara
kedua saudara she Ciauw yang menampak permainan
pedang Siauw Hiong yang begitu hebat dan lincah, mereka
lantas maju secara berbareng, sedangkan kawan-kawannya
rata-rata mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, mereka
masing-masing pernah mengalami pertempuran yang hebat
dalam rimba persilatan. Maka tanpa menghiraukan
peraturan dikalangan Kang-ouw lagi serta dengan secara
tidak tahu malu mereka lantas maju serentak untuk
mengurung si pemuda yang hanya seorang diri saja. Mereka
tidak banyak mengeluarkan perkataan apapun, hanya
dengan ganasnya mengurung pemuda kita dengan hanya
satu maksud, yaitu untuk membinasakan jiwanya.
Perkumpulan sembilan jago dari Kwan Tiong ini jika
dibuat perbandingan dengan yang dahulu, kekuatannya
adalah yang sekarang masih jauh lebih unggul, apa lagi kini
mereka dengan serentak maju dengan menggunakan
pelbagai senjata mereka, hingga sudah barang tentu
perbuatan mereka ini tidak dapat dibenarkan dengan aturan
dikalangan rimba persilatan lagi. Apa lagi, orang yang
menjadi bulan-bulanan mereka hanyalah seorang pemuda
yang baru melampaui usia dua puluhan.
Lie Siauw Hiong yang sudah tidak menaruh harapan
untuk hidup terlebih lama pula, tentu saja diapun sudah
tidak merasa jerih atau takut lagi, begitu dia lancarkan
serangan dengan pedangnya, diapun sudah mengeluarkan
pelajaran yang diberikan oleh Peng Hoan Siang-jin, yaitu
Tay-yan-sip-sek-nya.
Suara berbagai senjata yang menyerang dirinya,
mengeluarkan beraneka ragam suara, Lie Siauw Hiong
sendiri pada saat itu dengan mengandalkan kekuatannya
sendiri, telah berusaha sedapat mungkin untuk melawan
musuh-musuhnya sehingga titik darah yang terakhir.
Tapi secara sekonyong-konyong saja sinar dan angin
yang keluar dari pedangnya Lie Siauw Hiong telah berhasil
menindih suara pelbagai macam senjata lawannya, karena
pada saat itu dia telah mengeluarkan jurus 'Hong-seng-put-
sip' dari pelajaran Tay-yan-sip-sek warisan dari Peng Hoan
Siang-jin. Diantara sembilan jago dari Kwan Tiong ini rata-rata
pernah melihat jurus serangan ini, tapi mereka tidak
berdaya untuk memecahkan tipu yang hebat ini, dan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang ketika menampak pemuda kita menggunakan tipu
tersebut, buru-buru mereka mengeluarkan kepandaian
mereka yang paling diandalkan untuk menjaga diri masing-
masing, agar supaya jangan sampai kena dilukai oleh
pemuda itu. Tapi Peng Hoan Siang-jin bukanlah seorang sembarangan. Tipu Hong-seng-put-sip ini adalah jurus yang
paling lihay dari Tay-yan-sip-sek, tenaganyapun sangat luar
biasa sekali, juga perubahannya tidak dapat diduga-duga,
sehingga Lie Siauw Hioug sendiri yang sudah mencapai
titik yang sempurna dalam pelajaran, masih juga tidak
dapat mengerti seratus persen, apa lagi beberapa orang ini,
dimanalah mereka dapat memecahkannya " Dengan hanya
kedengaran suara pedang yang sebentar tinggi dan sebentar
rendah, tak berbeda dengan suara jeritan atau derap kaki
kuda yang beribu-ribu jumlahnya mengurung mereka,
hingga belum lama pemuda kita menggunakan tipu ini, dia
sudah berhasil melukakan pundaknya Cian-siu-kiam-khek
Liok Hong, sedangkan lengan baju Tiang-thian-it-pek Pek
Hong telah berhasil dirobekkan sehingga beberapa dim
panjangnya. Menampak serangannya itu belum berhasil menemui
sasarannya dengan jitu, Lie Siauw Hiong diam-diam
menyesalkan, andaikata pahanya tidak terluka, bila dia
mengejar kedua orang ini pasti salah seorang antaranya
akan menemui kebinasaannya.
Dari arah belakangnya dia mendengar dua kali suara
yang menderu-deru, tapi tanpa melihat lagi diapun segera
mengetahui, bahwa orang-orang yang menyerangnya itu
bukan lain daripada Hay-thian-siang-sat adanya. Badannya
tidak diputar, hanya dengan cepat dia sabetkan pedangnya
itu kebelakang, hingga dalam waktu sekejapan saja pedang
yang dapat bergerak dari perlahan sehingga tiba-tiba
berubah menjadi amat cepat itu, meluncur dengan gerakan
yang tidak teratur, karena jurus itupun 'But-hoan-seng-ie'
adanya, atau benda-benda bertukar letak dan bintang-
bintang saling beralih.
Kedua saudara Ciauw ini meski mempunyai kepandaian
yang lebih tinggi sekalipun, karena terbentur dengan tipu
ini, maka merekapun tidak akan dapat memecahkannya,
apa lagi perubahannya yang dilakukan oleh Lie Siauw
Hiong itu sedemikian pesatnya, sehingga ketika baru saja
jurus 'But-hoan-seng-ie' ini digunakan setengah jurus, sinar
pedangnya sudah mengurung Lim Siauw Coan yang berada
disebelah kirinya, sedangkan dengan hanya menyabetkan
pedangnya kesamping diapun sudah berhasil dapat
mementalkan serangannya Tek-seng-siu Su Kong Cong.
Tiang-thian-it-pek Pek Hong berseru dengan suara keras,
kemudian dia terjang Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan selagi kedua saudara Ciauw
menyerang si pemuda dengan berbareng, hingga kekuatan
yang hebat sekali dari mereka bertiga telah memaksa Lie
Siauw Hiong mundur dua langkah.
Lim Siauw Coan dengan Liok Hong pun telah
menggunakan kesempatan baik ini untuk turut maju
menyerang, juga dalam mana mereka disambut dengan
amat sengitnya oleh Lie Siauw Hiong yang menggunakan
tipu 'Leng-bwee-hut-bian' atau bunga bwee menyapu muka.
Jurus ini cepat lagi aneh, apa lagi waktu menggunakan
tipu tersebut Lie Siauw Hiong tidak berlaku segan-segan
lagi, hingga Liok Hong yang menyaksikannya menjadi
berdiri terpaku saking terkejutnya, tiba-tiba Lie Siauw
Hiong telah menarik kembali serangannya.
Ternyata serangan hebat yang dilancarkan sepasang
manusia bercacat itu telah memaksa Lie Siauw Hiong
untuk menarik kembali serangannya yang sudah hampir
menemui sasarannya. Tapi penundaan itu hanya berupa
sementara waktu saja, karena begitu si pemuda mengeluarkan pelajaran Tay-yan-sip-sek-nya,
ketujuh lawannya itu menjadi kewalahan dan sibuk menjaga diri
masing-masing. Sementara Lie Siauw Hiong sendiri yang merasakan
gencatan pedang lawannya kian lama kian bertambah berat
saja, sedangkan tenaga gempuran pedangnya kian lama
kian bertambah lemah, seketika itu hatinya jadi agak
terkejut juga, tapi sekalipun agak lemah, dia masih
mempertahankan diri dengan secara mati-matian. Karena
bila dia tidak memaksakan dirinya untuk berbuat demikian,
maka dalam waktu sekejap mata saja badannya akan
menjadi berkeping-keping kena bacokan dan tusukan
pedang pihak ketujuh lawan itu.
Pada saat itu luka yang dideritanyapun bertambah lama
dirasakan bertambah sakit, hingga dengan susah-payah dia
telah berhasil mengelitkan dua kali tusukan pedang
lawannya, hingga didalam hati dia berkata : "Jika
pertempuran semacam ini dilanjutkan terus, hanya
kematianlah yang akan menjadi satu-satunya jalan yang
terbuka bagi nasibku, aku harus berlaku nekad untuk
membinasakan sebanyak lawan yang mungkin dapat
kulakukan."
Begitu dia telah mengambil keputusan yang pasti, lalu
dia tertawa panjang dan diam-diam berseru : "Ayah dan
ibu, sekarang anak akan membinasakan musuh besar kita
ini !" Pedangnya lantas menyerang dengan tipu Kiu-cie-kiam-
sek-nya, dengan orang-orang yang dijadikan sasarannya
adalah sepasang manusia yang bercacat itu.
Cara pertempuran ini sungguh hebat sekali, hingga telah
membuat barisan sembilan jago Kwan Tiong itu menjadi
kacau-balau, maka dengan melihat kesempatan itu,
dikepalanya lalu terlintas suatu pikiran, yaitu : "Lari !"
Jurus 'Leng-bwee-hut-bian' lalu disusul dengan 'Bwee-
hoa-sam-long', dengan mana dia serang sepasang manusia
bercacat itu, hingga mereka buru-buru melompat mundur
dengan serentak, dengan menahan sakit pada pahanya,
Siauw Hiong melompat sehingga beberapa tombak jauhnya.
"Pukul !" lantas salah seorang antara ketujuh lawannya
yang bernama Im-hong-sin-piauw Coh Tiong Bong lagi-lagi
menyerang dengan senjata rahasianya.
Lie Siauw Hiong yang sudah terkena senjata rahasia
lawannya pada pertama kali tiba digunung itu, kini
mendengar tidak ada suara senjata rahasia apa-apa yang
datang menyerangnya, hingga didalam hati dia merasa
heran dan menduga kalau-kalau mereka tengah main gila
terhadapnya. Dengan mengeluarkan suara "sret" benar saja sebuah
senjata rahasia telah datang menyerangnya, hingga buru-
buru dia menjatuhkan dirinya untuk menghindarkannya.
Ternyata Piauw yang digunakan lawannya itu memang
agak aneh juga, dan diwaktu menyerang lawannya tidak
mengeluarkan suara apa-apa, tapi setelah mencapai jarak
tiga meter lagi dari sasarannya, barulah piauw itu bersuara
dan tenaga melayangnyapun bertambah pesat pula, dan hal
inilah yang untuk pertama kali Lie Siauw Hiong telah
terpedaya. Sekalipun dengan susah-payah dia berhasil dapat
menghindarkan senjata rahasia itu, tapi pergerakan yang
dilakukannya dengan tergesa-gesa itu telah membangkitkan
pula lukanya, hingga saking sakitnya dia terpaksa
mencakupkan giginya erat-erat. Bersamaan dengan itu, tiba-
tiba terdengar "Buk !" yang telah membuat Lie Siauw
Hiong merasakan matanya berkunang-kunang,
tenggorokannya amis dan lalu memuntahkan darah segar,
karena diluar dugaannya, satu pukulannya Ciauw Hoa
telah tiba dipunggungnya laksana kilat cepatnya.
Dengan menghempos semangatnya, buru-buru dia
berlompat bangun kembali, dan setelah berhasil menahan
dan mengatur pernapasannya, kemudian dia lancarkan
serangan balasannya. Mula-mula dia keluarkan jurus 'Han-
bwee-touw-jwee', atau bunga bwee menjulurkan benang
sarinya, tapi ketika dia gunakan jurus ini setengahnya, dia
lalu susulkan dengan jurus 'Bwee-touw-kie-hiang', atau
bunga bwee mekar menyiarkan baunya. Dengan sekali
sabet saja dia telah berhasil mementalkan pedangnya Lim
Siauw Coan, yang berbareng tangannyapun tergores
sehingga luka dan mengeluarkan darah.
Pada sebelum Lim Siauw Coan dapat berlompat
mundur, ujung pedang Siauw Hiong sudah menjurus pada
kedua saudara she Ciauw.
Su Kong Tong dan Coh Tiong Bong lalu menyerang
berbareng pada Lie Siauw Hiong, tapi pemuda kita tidak
menghiraukannya, dengan lurus dia tusukkan pedangnya
kearah Ciauw Hoa.
Ciauw Hoa yang melihat serangan pemuda kita yang
begitu nekat, sudah barang tentu menjadi terkejut bukan
buatan, karena pada sebelum dia sempat menangkis, tahu-
tahu pundak kirinya telah kena tertusuk oleh pedang Lie
Siauw Hiong, sehingga dia mengeluarkan jeritan tertahan.
Sedangkan pedangnya Coh Tiong Bong pun berhasil
menggores masuk setengah dim didadanya pemuda kita.
Dengan tidak mengerutkan keningnya lagi, darah segar
segera keluar dari yang dadanya terluka itu, kemudian dia
melancarkan serangan-serangan nekad tanpa memikirkan
pula akan keselamatan dirinya sendiri.
Pertempuran itu semakin lama telah berlangsung
semakin sengit, darah dan sinar pedang berhamburan
ditengah udara, tapi perlahan-lahan tenaga Lie Siauw
Hiong telah semakin berkurang, hingga akhirnya diapun
terpaksa mundur kesamping lereng gunung.
Sinar bulan yang remang-remang, dibarengi oleh siliran
angin malam yang meniup dengan santarnya, hingga
sekalipun hawa udara tidak menusuk tulang dan sumsum,
tapi cukup dingin dirasakan oleh setiap orang yang sedang
bertempur dengan amat dahsyatnya.
Dilereng gunung itu hanya tampak delapan bayangan
manusia yang bergerak-gerak pergi datang untuk mencapai
babak yang menentukan dalam pertempuran antara mati
dan hidup itu. Kemudian lagi-lagi terdengar pukulan "Buk !" yang
menghantam punggung pemuda kita, hingga dengan susah-
payah dia menahan badannya yang sempoyongan dan
hendak jatuh, sedangkan dari mulutnya lagi-lagi memuntahkan darah segar. Oleh kareua menampak hal itu,
buru-buru Cian-siu-kiam-khek Liok Hong lalu maju hendak
menjambak pemuda kita, tapi sebelum usahanya berhasil,
dia sendiri sudah menjerit dengan suara keras dan ternyata
dadanya sudah terpancang oleh pedangnya pemuda kita !
Sembilan jago Kwan Tiong yang biasanya membunuh
manusia tanpa berkedip, ketika melihat semangat Lie Siauw
Hiong, yang demikian luar biasanya, mereka semua jadi
mengeluarkan keringat dingin.
Pedangnya Lie Siauw Hiong mencari sasarannya lebih
lanjut, dan dengan tidak disangka-sangka lagi lalu dia
menusukkan pedangnya kearah Ciauw Loo, yang segera
berlompat untuk mengelitkan tusukan pedang itu.
Sedangkan Lie Siauw Hiong dengan tidak menolehkan
kepalanya lagi, lalu membalikkan pedangnya dan terus
ditusukkan kearah Tek-seng-siu Su Kong Tong, yang
seketika itu juga terdengar berteriak dan jatuh roboh
ditanah dengan bermandikan darah !
Kemudian dia melanjutkan serangannya. Dilain pihak
dengan berseru kalap Ciauw Loo lalu memukul dengan
sepenuh tenaga kepada si pemuda, sedangkan Tiang-thian-
it-pek Pek Hong juga menambahkan satu pukulan lagi,
hingga Lie Siauw Hiong buru-buru mengangkat pedangnya
untuk memapaki serangan itu, tapi pada saat itu tenaga si
pemuda sudah habis, maka baru saja dia menangkis
setengah jalan, sekonyong-konyong dadanya dirasakannya
seperti terpukul oleh sebuah palu yang berat sekali, yang
mana dengan mata berkunang-kunang telah membuat dia
roboh kemuka bumi.
Lim Siauw Coan yang datang memburu, ketika baru saja
maju dan menambahkan satu pukulan lagi, tapi siapa tahu
dengan secara tiba-tiba saja Lie Siauw Hiong telah
berlompat bangun, sedangkan tangan kirinya yang
memegang pedang lalu digerakkan kearah Ciaw Loo ..".
Lim Siauw Coan yang datang memburu, ketika baru saja
hendak menghantam pemuda kita sehingga menjadi
perkedel, tidak terasa lagi dia menjadi berhadapan dengan
pedang Lie Siauw Hiong yang disambitkan untuk melukai
Ciauw Loo, tapi kini telah meluncur kejurusannya. Siauw
Coan coba berdaya untuk menghindarkannya, tapi ternyata
dia tidak cukup gesit untuk berbuat begitu, maka dilain saat
ia menjerit ngeri dan jatuh roboh dengan leher terpanggang,


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka sesudah berkelejatan seketika lamanya, kemudian ia
diam dan tidak berkutik lagi untuk selama-lamanya !
Tian-can Ciauw Loo yang melihat usaha lawannya yang
penghabisan itu, yaitu ketika Lie Siauw Hiong masih saja
memukul kearahnya dengan serangan yang tampaknya
sama sekali tidak bertenaga, diapun berdirilah dengan
tegak, dengan satu kepalannya dia bersiap sedia untuk
memunahkan serangan pemuda kita. Tapi siapa tahu,
bahwa serangan Siauw Hiong sekali ini adalah serangan
yang terakhir, sedangkan tenaganyapun telah dikerahkan
dengan sepenuh-penuhnya, maka sekalipun tampaknya
tidak bertenaga, tapi dalam kenyataannya sesungguhnya
kuat sekali, maka ketika terdengar suara "Buuuuuk" yang
nyaring sekali, Ciauw Loo menjerit karena amat
terkejutnya, sedangkan tubuhnya terpental kebelakang
sehingga beberapa tombak jauhnya, sedangkan tulang
telapak tangannya dirasakan tergetar dan hampir patah !
Setelah itu, Lie Siauw Hiong sendiripun akhirnya jatuh
roboh juga dimuka bumi ..".
Yang paling lucu diantara sembilan jago dari Kwan
Cong itu, darimana tujuh orang antaranya telah mengurung
Lie Siauw Hiong sendiri, tapi akhirnya ada tiga orang yang
telah terbinasa, sedangkan selebihnya juga telah menderita
luka-luka. Maka walaupun Lie Siauw Hiong sendiri
akhirnya terjatuh kemuka bumi, tapi kesudahannya ini
cukup memuaskan bagi pihak pemuda kita.
Hay-thian-siang-sat saling mengawasi dengan sorot mata
yang menyala-nyala, dan waktu mereka berdua menempur
pemuda kita digunung Kwie San, pada saat itu tenaga-
dalam Siauw Hiong sudah cukup hebat, tapi mereka berdua
dapat memaksa dia sehingga jatuh kedalam jurang, setelah
beberapa bulan tidak berjumpa satu sama lain, siapa sangka
tenaga-dalamnya si pemuda telah maju begitu pesat sekali,
sehingga mereka menjadi agak sibuk juga melayaninya.
Lie Siauw Hiong yang terjatuh diatas bumi, sesungguhnya perasaannya masih sangat terang sekali, dia
hanya merasa begitu lelah, sehingga dia tidak mudah untuk
dapat lekas-lekas bangun berdiri, tapi seluruh pembicaraan
lawan-lawannya dia dapat mendengarnya dengan jelas,
karena telinganya yang menempel ditanah dapat menangkap pembicaraan mereka, kemudian dia mendengar
suara tindakan seseorang yang berjalan mendekatinya. Dia
tidak tahu siapakah dia itu, entah Ciauw Hoa entah Ciauw
Loo, tapi satu hal yang pasti adalah bahwa semakin lama
tindakan tersebut semakin mendekati kepadanya ..".
Dia berpikir : "Jika aku masih ada sisa tenagaku, aku
pasti akan berontak dan memukul batok kepalamu, jangan
sampai badanku ini terjatuh kedalam tangan kalian .."."
Karena memang sesungguhnyalah,
sampai untuk membengkokkan jerijinya saja dia tidak mempunyai tenaga
lagi. "Mati" perasaan ini menyelinap dalam pikirannya, dan
dia mengetahui, bahwa kematiannya akan segera menjelang
sampai. Dalam keadaan begitu, pelbagai persoalan
sekonyong-konyong
berbayang satu-persatu dalam pikirannya, yaitu mengenai sakit hati ayah dan ibunya,
Bwee Siok-siok dan Hauw Jie Sioknya ..". semuanya akan
lenyap bersama-sama dalam beberapa detik ini lagi ..".
Paling akhir dia teringat akan Gouw Leng Hong ..".
Dia rasakan pemuda she Gouw itu alangkah riangnya
hidupnya sehari-harinya, dan bersamaan dengan itu, diapun
teringat akan gadis yang cantik jelita Souw Hui Cie ..".
Dia berpikir nona she Souw itu disenja hari sambil
menyenderkan diri pada jendela, dia sedang menantikan
kedatangan mereka kembali ..". tapi sudah tentu yang
sangat diharapkan oleh nona she Souw itu, tentulah
kedatangannya Gouw Leng Hong sendiri ..". tapi mereka
memang pernah berjanji dengannya, bahwa mereka pasti
akan datang sekali lagi untuk menjumpainya.
Waktu dia bayangkan bagaimana dengan airmata yang
bercucuran dan kemudian jatuh membasahi tanah diluar
jendela, si nona berputus asa karena menantikan dengan
sia-sia kedatangan kekasihnya yang tak kunjung tiba ..".
"Gouw Twako sudah meninggal dunia, bila akupun mati
pula, maka seumur hidupnya dia tetap akan menantikan
kedatangan kami dengan secara sia-sia saja. Dia pasti akan
menunggu 'seumur hidupnya', dan sungguh kasihan sekali
nona she Souw yang suci murni itu .."."
Tiba-tiba semacam tenaga dorongan entah dari mana
datangnya telah membisiki kalbunya dengan berkata : "Lie
Siauw Hiong, kau tidak. boleh mati, kau tidak boleh mati !
Kau harus berbakti terhadap orang tuamu, berlaku setia
kepada para penolongmu, dan berlaku jujur terhadap orang
yang mempercayai kepadamu. Oleh karena itu, walau
bagaimanapun kau tidak boleh mati, sekali-kali tak boleh
mati !" Suara tindakan kaki orang yang mendatangi semakin
dekat itu, kemudian ternyata bukan lain daripada Ciauw
Loo adanya ! Sekonyong-konyong ..".
Seluruh badan Lie Siauw Hiong bagaikan dilintasi oleh
setrum listrik saja rasanya, hingga dengan tiba-tiba saja dia
melompat bangun, badannya lantas melesat dan bagaikan
anak panah terlepas dari busurnya, badannya segera terjun
kedalam jurang ..".
Orang banyak hanya melihat sebuah bayangan hitam
ditengah udara yang tampak berputar tiga kali, kemudian
badannya lenyap ditelan kegelapan malam !
Orang banyak berdiri terpaku, menyaksikan ilmu
meringankan tubuh Lie Siauw Hiong yang begitu luar biasa,
karena sama sekali mereka tidak menyangka, bahwa orang
yang sudah hendak mati itu masih mempunyai sisa tenaga
yang demikian besarnya untuk melakukan pembunuhan
diri! Dengan pengalaman ini, mereka hanya dapat mencari
satu alasan, yaitu pada sebelum orang mati, orang memang
masih bisa mengeluarkan suatu tenaga luar biasa, begitupun
dengan halnya Lie Siauw Hiong, yang sudah berguling
jatuh kebawah jurang, dimana sudah barang tentu dia akan
menemui ajalnya. Demikianlah pihak lawan si pemuda
seolah-olah menghibur dalam hati mereka.
Dengan cepat Hay-thian-siang-sat
mengejar dan menyusul Lie Siauw Hiong yang jatuh kebawah jurang itu,
tapi dalam hutan yang sedemikian lebatnya, lagi pula
karena gelapnya sang malam yang hanya disinari oleh
bulan yang tentu saja mereka tidak mudah akan dapat
menemui 'bangkai' Lie Siauw Hiong.
Tapi Tian-can Ciauw Loo yang masih penasaran
hatinya, lalu membentangkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk mencari kian-kemari, tapi akhirnya mereka tetap
tidak dapat menemui dimana 'mayat'-nya pemuda ini.
Pada saat itu dari puncak gunung itu sekonyong-konyong
saja terdengar suara Tiang-thian-pek Pek Hong yang berseru
: "Loo Toa, dibawah ada orang mendatangi ..". Bocah ini
sungguh mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat
tinggi sekali .."."
Ciauw Loo yang mendengar suara teriakan kawannya
ini, ia menjadi terkejut sekali, karena dalam hati mereka
tengah berpikir, bila sampai orang lain mengetahui, betapa
sembilan jago dari Kwan Tiong mengeroyok seorang dan
akhirnya mereka sendiri yang lari kucar-kacir, bukankah hal
tersebut akan menerbitkan buah tertawaan orang banyak
dalam dunia Kang-ouw " Dan bila sampai kejadian kabar
ini tersiar dalam rimba persilatan, janganlah harap bahwa
mereka dapat menancapkan kaki mereka lebih lama pula
dikalangan Kang-ouw, oleh karena itu, buru-buru dia
memberi isyarat dengan tangannya, agar supaya mereka
beramai-ramai menuruni gunung itu.
Mereka dari atas puncak gunung telah dapat melihat
dengan nyata, bahwa disebelah bawah tampak bayangan
seseorang yang demikian pesatnya mengejar naik keatas
puncak gunung, dan ilmu Keng-sin-kang orang ini ternyata
sudah sedemikian tingginya, sehingga dengan sekali lompat
saja ia telah berhasil mencapai setinggi beberapa tombak
jauhnya, gerak-geriknya sebat dan tidak dilakukan dengan
tergesa-gesa. Dalam hati Ciauw Loo berkata : "Kepandaian ilmu
meringankan tubuh orang itu sesungguhnya luar biasa
sekali. Aku masih merasa asing sekali terhadap orang ini,
dan karena pada saat tengah malam buta raya ini ia
mengejar naik keatas puncak gunung, maka sudah pasti dia
itulah pihak musuh kita ..".."
Lalu dia menolehkan kepalanya memandang pada
kawan-kawannya yang sudah mati dan pada teman-
temannya yang karena luka-lukanya, maka kelihatannya
sudah sangat lelah sekali, oleh sebab itu, maka dengan
diam-diam dia lalu berkata : "Kabur !"
Dibawah kaki gunung, melalui semak-semak belukar
yang sangat lebat dan batu-batu yang berserakan disana-
sini, terdapat sebatang sungai kecil, dikedua tepi kali kecil
ini terdapat banyak sekali batu-batu cadas yang menonjol
disana-sini. Dipinggir kali tersebut tumbuh dengan lebatnya
pohon-pohon berduri, sedangkan dibalik pohon-pohon
berduri ini tumbuh juga dengan suburnya rumput-rumput
yang hijau, dan sekalipun pada saat itu adalah musim
dingin, tapi rumput-rumput tersebut tinggal tetap tumbuh
dengan hijaunya, hal mana menunjukkan bahwa tenaga
melawan dari rumput-rumput itu terhadap musim dingin
cukup ulet dan hebat.
Dipinggir kali itu terbaring sesosok tubuh manusia,
seluruh badannya, terutama pakaiannya compang-camping
tidak keruan macam, sedangkan badannya penuh bekas
tanda luka-luka, tampaknya luka-lukanya itu tercampur
juga dengan goresan duri-duri waktu dia berguling jatuh
kesitu. Tapi orang itu sedikitpun tidak tampak bergerak, ada
kemungkinan dia itulah sudah ..".
Tidak, dia belum mati, dia adalah Lie Siauw Hiong.
Dengan memiliki tenaga melawan yang melebihi orang
kebanyakan, dan semangatnya yang selalu berkobar-kobar,
dia dapat membuat dirinya melakukan sesuatu pekerjaan
yang orang lain tidak mungkin dapat melaksanakannya.
Dia bernapas empas-empis, karena selain sangat letih,
diapun telah kehilangan banyak sekali darah, ditambah lagi
dengan luka-luka berat yang diderita didalam tubuhnya.
Maka sekalipun napasnya belum putus berhembus, tapi
kenyataannya dia sudah hampir mendekati ajalnya.
Pada saat itu dia mulai dapat mengingat-ingat sesuatu
yang telah dialaminya ..". barang kali hal itu telah terjadi
karena dia terdiri dari daging dan darah.
Dia tidak memikirkan lagi tentang ibu dan ayahnya, juga
tidak memikirkan Bwee Siok-sioknya, apa lagi terhadap
dirinya sendiri, dia sudah tidak menghiraukannya lagi.
Dalam otaknya pada saat itu tengah terbayang-bayang
peristiwa pertempuran yang amat tegang dan dahsyat yang
telah dilangsungkannya tadi dengan musuh-musuhnya itu.
Setiap jurus dan setiap serangan lawan maupun serangan-
serangan balasan yang dilancarkannya sendiri, semua itu
dia telah dapat mengingatinya dengan sangat jelas dan
tepat. Begitulah sekarang pikirannya sudah kembali normal
lagi, malahan mungkin lebih cepat dan tangkas jika
dibandingkan dengan dahulu, pada sebelum dia melangsungkan pertempuran mati hidup itu, dengan
sembilan jago dari Kwan Tiong, bahkan lebih daripada itu,
diapun mengingat juga bagaimana dengan ganasnya
musuh-musuhnya itu melancarkan serangan demi serangan,
kemudian dengan sekonyong-konyong dia teringat akan
jurus-jurus dari Tay-yan-sip-sek yang begitu hebat, hingga
hatinya tergerak dan banyak sekali tipu-tipu aneh yang
lainnya, yang kini dengan sekonyong-konyong dia dapat
mengerti dengan jelas. Hal mana, mungkin sekali, setelah
mengalami pertempuran mati hidup tadi, ditambah pula
dengan ingatannya yang jernih itu, barulah dia dapat
membuka tabir rahasia yang selama ini menutupi jalan
pikirannya terhadap beberapa jurus dari tipu-tipu Tay-yan-
sip-sek yang belum berhasil dia dapat pahami seluruhnya,
tapi sekarang dia sudah berhasil dapat menyelami,
kehebatan-kehebatannya ilmu tersebut. Dalam keadaan
begitu, dia sedikitpun tidak merasa, bahwa dirinya sudah
hampir mati, karena dalam rasa senang yang timbul disaat
itu, dia sudah berhasil menyelami inti sari daripada ilmu
Tay-yan-sip-sek sehingga dia melupakan akan keadaan
dirinya sendiri yang sedang diancam bahaya maut.


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah sudah lewat berapa lama, barulah dia berkata pada
dirinya sendiri : "Bila aku siang-siang dapat menyelami inti
sari ilmu ini, hasil pertempuran tadi pasti sekali akan
berbeda jauh daripada apa yang semula kuduga ..". Ah,
tipu Tay-yan-sip-sek ini benar-benar sangat luar biasa dan
tak ada tandingannya .."."
Seperginya Hay-thian-siang-sat
dan sisa kawan- kawannya, keadaan dipuncak gunung sudah balik asal
kembali menjadi sunyi dan lengang.
Sret ! Satu bayangan manusia berlompatan naik keatas,
dengan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh
lebih hebat daripada apa yang pernah dipunyai oleh Hay-
thian-siang-sat.
Disitu ia memandangi dengan terbengong mayat-mayat
yang menggeletak diatas tanah, kemudian memperhatikan
seutas benang yang berwarna merah pada bangkai seekor
burung dara ..".
Siapakah gerangan orang muda yang baru datang ini "
Dialah bukan lain daripada orang yang jatuh dari puncak
gunung Thay San itu, yakni Gouw Leng Hong adanya!
Dengan perasaan tidak mengerti ia lalu duduk dibawah
sebatang pohon, sambil memandangi mayat-mayat yang
berserakan diatas bumi itu. Tatkala dia memikirkan kembali
tentang nasib yang dialaminya pada beberapa hari yang lalu
itu, sungguh dia merasa seperti orang yang sudah mati dan
dapat hidup pula dimuka bumi ini.
(Oo=dwkz=oO) Diceritakan pada waktu yang lalu, sewaktu Gouw Leng
Hong jatuh kebawah jurang dengan dipeluk oleh Kim Ie,
dia mengira bahwa dirinya sendiri pasti akan binasa, tapi
sebelum mati, dia harus membunuh Kim Ie terlebih dahulu,
barulah dia dapat mati dengan mata meram, oleh karena
itu, dengan diam-diam dia kendorkan lengan kanannya,
kemudian dengan ganasnya dia hajar batok kepala Kim Ie,
tapi siapa tahu, bahwa Kim Ie pun mempunyai perasaan
yang sama, juga telah bertindak seperti apa yang dilakukan
oleh Leng Hong. Oleh sebab itu, kedua pukulan segera
saling beradu ditengah udara, pukulan mana, kedua-duanya
dimaksudkan untuk membinasakan lawan masing-masing.
Dan karena kekuatan masing-masing sama luar biasanya,
maka setelah kedua pukulan itu saling beradu. Gouw Leng
Hong merasakan napasnya memburu dan darahnya beredar
lebih cepat, tangan kirinya yang memeluk tubuh Kim Ie
dengan sendirinya menjadi kendor, sedangkan tangan
kanannya dirasakan sakit seperti hendak patah saja.
Begitulah badan kedua orang ini lantas saling terpental,
Leng Hong dirasakan tubuhnya jatuh dengan pesat sekali
dan diwaktu dia melongok kebawah, disana hanya tampak
warna putih seperti kabut melulu, hingga tidak diketahui
dasarnya ada berapa meter dalamnya. Tanpa memperdulikan perasaan sakitnya lagi, sepasang tangannya
lalu digunakan untuk mencakar apa saja yang dapat
dipegangnya, sampaikan sebarang rumput yang bagaimana
kecilpun, dia sembarangan menjambretnya untuk mempertahankan dirinya. Sekonyong-konyong dia rasakan
kakinya menginjak suatu landasan yang teguh, hingga
dalam saat antara mati dan hidup buru-buru dia pusatkan
seluruh perhatiannya terhadap benda itu, dan diwaktu dia
sudah melihat jelas, hatinya menjadi lega, karena benda
tersebut tidak lain daripada sebatang pohon yang sebesar
mangkok ukuran bundarnya. Pohon ini tumbuh dengan
melalui celah-celah lamping gunung, hingga dia insyaf,
bahwa dirinya telah tertolong untuk sementara, dan
hatinyapun menjadi lega. Pada saat itu dia hanya
merasakan dadanya menyesak, tenggorokannya dirasakan
amis, kemudian tanpa dapat ditahan lagi dia telah
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dengan ini,
diapun insyaf, bahwa tadi waktu saling memukul dengan
Kim Ie, mereka masing-masing telah kena tergoncang,
sehingga anggota tubuh dibagian dalam telah terluka, oleh
sebab itu, dia segera berusaha untuk mengatur jalan
napasnya, tapi ternyata tidak berhasil. Pada waktu jatuh
kedalam jurang, Leng Hong sudah tidak mempunyai
harapan lagi untuk dapat hidup, tapi pada saat ini setelah
dia ketolongan oleh pohon ini, buru-buru dia hilangkan
ingatannya yang bukan-bukan, setelah itu, dengan sepenuh
hati dia curahkan perhatiannya untuk mengatur jalan
pernapasannya, tapi usahanya itu lagi-lagi menemui
kegagalan, karena ketika baru saja ia menarik napas sampai
didadanya, helaan napas itu ternyata tidak mau melancar
lagi, dan tatkala mencobanya dengan berulang-ulang dan
tidak berhasil, ia jadi putus harapan, sedangkan rasa sakit
pada lengan kanannya, kini dirasakannya semakin lama
semakin menghebat.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 29 Sementara itu kabutpun telah berubah semakin tebal,
suatu tanda bahwa hari telah larut malam, kemudian
disusul dengan desiran angin yang sangat dingin.
Seketika itu dengan pesat lalu muncul bayangan-
bayangan sebuah jembatan kecil dengan dibawahnya
tampak mengalir sebatang sungai yang airnya deras sekali.
Dipinggir jalan terdapat sebuah gubuk, sedang disekeliling
gubuk tersebut tumbuh rumput-rumputan. Setiap hari dia
sering berada disitu dipagi hari, berbaring diatasnya dengan
kepalanya memandangi awan-awan yang tengah berarak-
arak, yang semakin lama semakin meninggi saja, kemudian
lalu berputar-putar. Waktu angin berhembus, lantas awan
itu buyar seperti juga asap, kemudian pintu gubuk tersebut
terkuak terbuka, darimana perlahan-lahan muncul sebuah
wajah yang cantik, muka itu kecil laksana buah apel,
sepasang pipinya yang merah tampak sunguh indah
dipandang mata. Matanya bagaikan dua butir bintang yang
berkedap-kedip indah menerangi angkasa, hingga dia
sendiri sambil berlompat-lompatan dan berlari-lari lalu
mendekatinya, dan diwaktu berlari-lari itu, kuncirnya
tergoyang-goyang kekiri dan kekanan, sedangkan pada
mukanya menunjukkan senyuman yang manis sekali.
Setelah datang dekat, buru-buru dia bangkit berdiri dan
maju memeluknya, kemudian dengan perlahan-lahan dia
lalu dituntunnya dan berjalan masuk lagi kedalam gubuk
itu, sedangkan ibunya yang juga berwajah cantik pada masa
mudanya, setelah duduk dipinggir meja menghadapi
kemulut pintu sambil menunjukkan senyuman pada mereka
berdua, sedangkan diatas meja sudah tersedia hidangan
yang masih hangat dan mengepul-ngepul asapnya ..".
Selama dua bulan ini, dia telah berpisah dengan mereka,
karena dia sedang mengembara dikalangan Kang-ouw.
Diluaran entah sudah berapa banyak kali dia dahar
hidangan-hidangna yang tersohor, tapi bila dibandingkan
dengan masakan ibu kekasihnya, rasanya jauh sekali
bedanya bagaikan langit dengan bumi saja ..".
Hari sudah larut malam, badannya dirasakan sangat
dingin sekali. Waktu memikirkan tentang dirinya yang
tengah menderita luka-luka parah ini, dia sudah merasa
putus asa dan mengira bahwa dirinya pasti akan
meninggalkan dunia yang fana ini, sekalipun dia masih
dapat memikirkan betapa lezatnya hidangan masakannya
Twa Nio. Selagi dia berusaha mengatur jalan pernapasannya, dengan secara sekonyong-konyong dia
dapat menghendus bau yang wangi, hingga seketika
dadanya dirasakan sangat lega, sedangkan otaknyapun
menjadi tenang luar biasa. Lalu diapun tidak merasakan
lagi darahnya yang menaik keatas secara menyesakkan
dadanya. Dia memastikan bahwa kesegaran ini disebabkan
karena dia dapat menyedot hawa yang wangi itu. Buru-buru
dia mengatur jalan pernapasannya, setelah seluruh hawa itu
mengalir satu kali keseluruh badannya, dia merasakan
kesegaran badannya bukan kepalang luar biasanya,
sedangkan tangan kanannya yang dirasakan sangat sakit
barusan, kini perlahan-lahan sakitnyapun mulai hilang.
Kemudian ia membuka matanya untuk mencari dari mana
datangnya sumber hawa wangi itu, dan tatkala dia
menolehkan kepalanya keatas, tiba-tiba dia merasa sangat
tercengang, karena tanah disebelah atas yang tadinya
kelihatan gundul dan tak ada tumbuh-tumbuhan apa-apa,
kini sekonyong-konyong muncul dua batang dahan yang
berdaun hijau, diantara mana muncul dua buah yang
berwarna merah tua, yang ketika angin meniup kearah
tempat dia duduk itu, hawanya yang wangi tercium
semakin keras dan kuat, sedang buah yang berwarna merah
itupun tampaknya semakin masak. Leng Hong pikir buah
inilah tentu buah dewa yang sangat mustajab, oleh karena
itu, segera juga dia memaksakan diri merambat naik
megapai cabang pohon tersebut, tapi karena kuatir cabang
pohon yang terlampau halus itu tak dapat menahan berat
tubuhnya, maka ia menuju pada dahan lain yang terpisah
kira-kira lima atau enam elo lagi jauhnya dari buah itu, tapi
dia tidak berani maju lebih lanjut, kemudian tangan
kanannya dikendorkan, sedang tangan kirinya menjambret
dan berhasil memetik buah tersebut. Tapi ketika baru saja
dia habis memetik buah itu, dengan lantas dahan pohon
tersebut patah dan jatuh, hingga buah yang sudah berada
ditangannya itu, setelah selang sejurus tidak membesarkan
lagi, sekonyong-konyong pecah dan airnya keluar meleleh,
hingga Leng Hong buru-buru menyedotnya dengan
mulutnya, dan sesaat kemudian sari buah yang mustajab itu
telah habislah disedotnya dan kini sudah tinggal kulitnya
saja, tapi sungguhpun demikian, wanginya masih tinggal
tetap harum, oleh karena itu, dia tidak mau membuangnya.
Dan diwaktu dia berpikir dimana hendaknya dia menaruh
itu, tiba-tiba tangannya dapat meraba peles kecil
ditubuhnya, hingga dengan demikian, legalah hatinya.
Dalam pada itu, suatu pikiran melintas dikepalanya, dia
terlongong-longong seketika dengan perasaan dingin. Ia
agak putus asa, otaknya dirasakan kosong, tapi sejurus
kemudian beribu-ribu pikiran datang mengaduk didalam
pikirannya. Dalam keadaan begitu, diapun tiba-tiba dapat mengingat
dengan terang sekali. Waktu itu adalah dimusim panas,
ketika umurnya baru masuk sembilan tahun. Pada suatu
hari yang sangat panas, dia bersama sekelompok anak-anak
bermain-main disebuah sungai kecil. Sedari kecil dia
memang sudah berhati sangat tabah, dan tatkala itu dia
telah memimpin kawan-kawannya mandi disungai itu.
Mereka semua ternyata sudah pandai berenang, semakin
lama mereka berenang semakin jauh ketengah-tengah
ditempat yang dalam sekali, tapi karena hatinya masih
belum puas, lalu dia menyelundup kedalam sungai, dimana
tiba-tiba dia melihat seekor ikan kecil dimukanya tengah
berenang kian kemari. Sambil menahan napas, dia segera
ulurkan tangannya untuk menangkap ikan tersebut, tapi
siapa tahu ikan kecil yang berwarna merah keemas-emasan
yang melewat dari samping tubuhnya, bukan saja tidak lari,
malahan menyongsong kedatangannya dan lalu menggigit
jarinya. Dia pikir digigit oleh ikan sekecil itu ada apakah
artinya, tapi siapa tahu, setelah ikan itu menggigitnya, Leng
Hong merasakan jerijinya kesemutan, hingga ikan yang
telah tertangkap itu telah terlepas kembali. Tapi karena dia
berkemauan keras, maka dia tak mau menyerah mentah-
mentah, buru-buru dia timbul dipermukaan air untuk
mengambil hawa udara segar, tidak kira ketika dia melihat
lengan kanannya berubah menjadi hitam dan seluruh
tangan kanannya itu menjadi kesemutan, dia segera
mengetahui dengan pasti, bahwa dia telah kena diantuk
oleh ikan kecil tersebut yang ternyata mengandung racun,
maka buru-buru dia naik kedarat kembali sambil
memberitahukan kepada kawan-kawannya, kemudian lari
pulang kerumahnya. Tapi ketika baru saja dia berlari-lari
setengah jalan, tiba-tiba dirasakannya kepalanya semakin
lama semakin berat, maka sambil mencakupkan giginya,
dia coba mempertahankan terus dirinya. Tapi ketika
terpisah dari pintu rumahnya kurang lebih lima atau enam
langkah jauhnya, dia tersandung pada sebuah batu kecil
yang membuat dia berteriak keras dan jatuh pingsan
seketika itu juga.
Dia jatuh pingsan selama dua hari, barulah dia siuman
kembali. Dengan badan dirasakan lelah sekali ia telah
membuka matanya dan melihat, bahwa Twa Nio dengan
Ah Lan sedang tampak terlampau mengantuk karena
menggadanginya semalam-malaman. Selain dari mereka
berdua, disitupun tampak guru rumahannya Tong Hong
yang turut menjagainya.
"Air", begitulah dia hanya dapat mengeluarkan sepatah
perkataan. Seluruh tubuhnya dirasakan amat lemas, tapi
pada saat itu wajah mereka bertiga segera tampak
tersenyum-senyum. Tapi tidak lama kemudian, Ah Lan
yang semulanya tampak bergembira, tiba-tiba jatuh pingsan
diatas ranjang. Oleh karena itu, diapun agaknya ketahui,
bahwa Ah Lan-pun jatuh sakit juga. Tabib she Cu selang
satu hari pasti akan datang menjenguknya dan setiap hari


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak sehabis memeriksa penyakit Ah Lan, wajahnya
bertambah suram saja, sedangkan Twa Nio pun setiap hari
selalu tampak bersedih hati. Dengan begitu didalam hati
diapun menginsyafi, bahwa keadaan penyakit Ah Lan itu
tentulah sangat gawat.
Oleh karena dia sendiri masih belum dapat bergerak-
gerak, maka sering-sering dia menanyakan tentang keadaan
penyakit Ah Lan, tapi Twa Nio selalu menghiburinya,
memberitahukan kepadanya bahwa keadaan penyakit Ah
Lan tidak mengkhawatirkan adanya. Tapi pada suatu hari
diwaktu dia tersadar ditengah malam, dia mendengar
percakapan yang perlahan sekali tengah berlangsung, antara
Twa Nio dengan tabib she Cu itu. Sebenarnya dia ingin
tidur kembali, tapi sekonyong-konyong dia mendengar tabib
she Cu itu tengah memperbincangkan tentang keadaan
penyakit Ah Lan, hingga buru-buru dia pusatkan seluruh
perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Aku lihat Ah Lan ini pasti sekali telah terkena racun
ular emas, tapi bagaimana dia sampai kena racun tersebut,
seorangpun tidak dapat menduganya dengan secara pasti".
Begitulah dia mendengar suara tabib itu.
Twa Nio lalu menjawab : "Bila benar dia kena racun ular
emas, obat pemunahnya kecuali "Hiat-ko" (buah yang
berwarna merah seperti darah), maka tidak ada obat lainnya
lagi yang dapat menolongnya !"
Tabib she Cu itu berkata pula : "Ular ini terhitung
sebagai satu antara tiga binatang berbisa yang paling
beracun didunia ini, hingga orang yang terkena racunnya,
tidak sampai delapan jam, maka seluruh badannya akan
merasa sakit dan gatal luar biasa, perasaan tersebut sukar
sekali ditahannya, tidak perduli bagaimanapun kuatnya
tubuh orang yang keracunan itu, akhirnya pasti tidak dapat
menahan siksaan racun tersebut, hingga hanya ada jalan
satu-satunya yang terbuka untuk mengakhiri penderitaannya, yakni membunuh diri !"
Dengan suara serak Twa Nio bertanya : "Coba kau
katakan dimana kita bisa dapat buah Hiat-ko itu untuk
menolong jiwa Ah Lan ?"
Tabib she Cu dengan menarik napas panjang kedengaran
menjawab : "Tempo hari aku hanya mempunyai setengah
peles sari buah tersebut, yang seluruhnya telah kugunakan
untuk mengobati Leng Hong. Sebenarnya dengan beberapa
tetes saja aku bisa menolong lukanya Leng Hong, tapi
karena pada waktu itu aku lihat Ah Lan tampak gugup
sekali menyaksikan lukanya Leng Hong, maka aku kira dia
telah menghisap darahnya Leng Hong melalui luka
dijarinya. Belakangan waktu dia dapatkan dirinya sendiri
kena racun, dia tetap membandel dan menahan sendiri.
Andai kata tempo hari kita bisa melihat bahwa dia juga
telah terkena racun, kita boleh membaginya separuhnya,
hingga mungkin sekali kita masih dapat menolongnya. Ai,
anak ini ternyata kelewat sayang terhadap Leng Hong,
hingga dia rela mengorbankan dirinya sendiri".
"Sekarang aku hanya dapat menggunakan obat untuk
menahan kelancaran menjalarnya racun tersebut saja, yaitu
untuk mencegah, agar dia tetap tidur, dengan demikian,
penderitaan yang dialaminya menjadi agak berkurang.
Tunggulah hingga hari esok, pada waktu itu seluruh racun
akan terpusatkan pada satu tempat, aku akan menggunakan
jarum untuk menusuknya, untuk mengeluarkan racun
tersebut. Untung juga racun yang mengeram pada dirinya
tidak terlampau banyak, hingga masih mungkin ada berapa
bagian yang masih dapat ditolong, hanya ..". hanya
sepasang matanya yang sukar dipertahankan".
Dengan suara yang perlahan kedengaran Twa Nio
menangis. Kini peristiwa tersebut sudah sepuluh tahun lampau,
percakapan antara Twa Nio dengan tabib she Cu pada
malam itu tidak sepatahpun yang dapat dia lupakan. Siang
hari membuat dia berpikir terus, sedangkan pada malam
hari ketika tidur, menjelma menjadi impian, tidak ada
sedetikpun yang pernah dia lupakan untuk mencari buah
'Hiat-ko' itu untuk menolong pada diri Ah Lan, agar supaya
dia dapat sembuh pula dan dapat melihat kembali dari
butanya. Dan sekarang pohon yang tengah dia duduki ini
bukankah sama saja seperti yang diceritakan oleh tabib she
Cu itu " Tapi, buah ini baru tercipta setelah berselang seratus
tahun lamanya. Saking malunya, lalu dia sesalkan dirinya sendiri sambil
menggerutu : "Gouw Leng Hong, Gouw Leng Hong, kau
terlampau mementingkan dirimu saja, hingga kau telah
melupakan pekerjaan besar yang selama sepuluh tahun
yang lalu kau ingat-ingat senantiasa. Kau inilah pengecut
yang takut mati, seorang yang telah melupakan budi
kebaikan orang !" Begitulah dengan sengitnya dia
melontarkan makian yang pedas pada dirinya sendiri. Oleh
karena perasaannya ketika itu sangat pilu, maka tak
tertahan lagi ia menangis terisak-isak. Setelah menangis
sejurus lamanya, mulai redalah rasa pilunya dan lalu
berpikir : "Tuhan, mengapakah kamu berlaku tidak adil
terhadapku " Sejak kecil, aku sudah kehilangan ayah dan
ibu, dan dengan susah payah barulah aku berjumpa dengan
orang yang sangat baik hati seperti Twa Nio ini, tapi
dengan tiada disengaja aku telah menyebabkan anak dara
tunggalnya kehilangan penglihatannya. Oleh karena itu,
siang dan malam aku memeras keringat dan berdaya upaya
untuk mencari buah 'hiat-ko', tapi setelah mendapatinya,
bukanya aku pergunakan untuk menyembuhkan kebutaan
Ah Lan, malahan aku telah menghabiskannya. Apakah
sudah takdirku demikian, sehingga orang yang baik dan
berdekatan denganku selamanya mengalami bencana saja
?" Tabib she Cu mengatakan, bahwa ayahku selama
hidupnya bersikap simpatik dan welas asih serta gemar
menolong orang-orang yang mengalami kesukaran. Disamping itu, ayahkupun sangat sederhana hidupnya, tapi
akhirnya diapun mengalami kematiannya dengan secara
mengenaskan, sehingga tulang-belulangnya tidak diketahui
dimana adanya. Apakah hal ini yang biasa disebut :
"Kemauan alam tidak menaruh welas asih, sehingga orang
yang baik-baik saja yang selalu menemui kematiannya
siang-siang ?"
Ibuku adalah orang yang paling dipuji oleh Twa Nio.
Dia mengatakan bahwa ibuku adalah wanita dari Utara
yang mahir sekali dalam hal bersyair, menyanyi, main
catur, main kim, kesusasteraan, menggambar, dan lain-lain,
berhubung dia memang mempunyai bakat yang sangat luar
biasa. Tapi sejak ia melahirkan aku, ibuku segera
meninggalkan daku. Apakah orang-orang didunia ini,
semakin pintar semakin pendek juga umurnya " Tabib she
Cu itu setelah aku sembuh dari penyakitku, dia pernah
memberitahukan padaku, bahwa tempo hari Twa Nio
pernah membohongiku, dengan mengatakan bahwa ayah
dan ibuku telah mengasingkan diri dalam sebuah kuil
digunung Tay San, yaitu dikuil Kim Kong Sie, untuk
melatih diri selama dua puluh tahun lamanya. Aku mengira
bahwa penuturannya itu adalah dengan sesungguhnya.
Pada suatu petang barulah tabib she Cu itu datang dan
memberitahukan tentang kematian ayahku, yang telah
dibokong oleh musuh-musuhnya,
sehingga waktu mendengar penuturan itu aku seperti mendengar geledek
disiang hari saja layaknya, karena aku mengharap setelah
lewat beberapa tahun lagi, aku ingin menjumpai ayah dan
ibuku, tapi harapanku itu ternyata sia-sia belaka. Maka
sekarang mulai saat ini aku menjadi geram dan perasaanku
hanya satu, yaitu bertekad bulat untuk membalas sakit hati
orang tuaku. Tabib she Cu itu ternyata adalah Suheng
ayahku, dia memberitahukan padaku siapa-siapa nama
musuh ayahku, dan dengan sepenuh tenaga dia telah
mengajarku ilmu silat yang hebat, tapi karena dia sering
merasa bakatnya kurang tebal, maka ia kuatir masa
depannya kurang gemilang, dari itu, dia hanya mengajarkan
dasar-dasar ilmu silat yang pokok saja. Pada suatu malam,
dengan secara sekonyong-konyong Twa Nio telah
membawa keluar seJilid buku, yang lalu diberikan pada
Suheng ayahku yaitu si tabib she Cu yang juga merupakan
suaminya sendiri, begitu dia melihat buku itu, tampaknya
dia merasa tercengang sekali, kemudian dia perintahkan
supaya aku sendiri mengikuti petunjuk-petunjuk dalam
buku tersebut, sedangkan dia sendir memberi penjelasan
dari samping. Dia mengatakan bahwa itulah pelajaran
ayahku, diantara mereka bertiga saudara seperguruanya,
ilmu silat yang paling tinggi adalah yang dimiliki oleh
ayahku. Itulah hasil karyanya yang paling gemilang.
Begitulah siang dan malam aku telah berlatih dengan
tekunnya, untuk menciptakan dan mempelajari ilmu silat
setinggi mungkin.
Aku sampai tidak berani memandang pada Ah Lan,
karena matanya yang begitu indah gemilang, sekalipun dia
memakai pakaian yang sederhana sekali, tapi kecantikannya tidak menjadi hilang oleh karenanya.
Belakangan apa yang diingatnya menjadi samar-samar, dan
aku telah bersumpah, bila aku tidak berhasil menyembuhkan mata Ah Lan sehingga dapat melihat
kembali, aku bersedia akan mengorbankan diriku meski
dengan jalan apapun juga.
Ah Lan semakin lama memperlakukan diriku semakin
baik, dia tidak lagi ingin bertengkar denganku, tapi dengan
lemah-lembut dia mengajarkan aku sesuatu, dan dengan
bersemangat dia menganjurkan dan memberi dorongan
kepadaku, serta menasehatiku untuk jangan terlampau
memikirkan sesuatu. Karena katanya, pada suatu hari pasti
aku akan menjumpai obat yang mustajab, yaitu buah 'Hiat-
ko' itu. Pada waktu itu aku hanya mengiakan saja, karena
dalam pikiranku harapan itu hanyalah merupakan suatu
pengharapan saja yang tidak akan menghasilkan sesuatu
yang dapat diharapkan, oleh sebab itu perlahan-lahan
hatiku menjadi tetap dan akupun dapat berlatih dengan
tekunnya. Pada hari itu waktu aku pamitan dengan suhu dan Twa
Nio, aku lihat matanya Ah Lan mengembang air mata,
dengan memaksakan diri sambil tersenyum dia berkata :
"Twako (kakak), kau baru untuk pertama kali ini
menerjunkan diri dalam kalangan rimba persilatan, setiap
langkah yang kau lakukan, haruslah berlaku hati-hati sekali.
Membalas sakit hati orang tua adalah menjadi tugasmu
yang utama, maka jika 'Hiat-ko' itu tidak dapat kau peroleh,
itu pun tidak mengapa".
Untuk pertama kali aku melihatnya dengan penuh
perhatian, hingga seketika itu aku tidak dapat mengeluarkan
perkataan barang sepatahpun.
"Ah Lan, aku tahu, sekalipun kau tidak dapat melihatku,
tapi kau pasti percaya, bahwa Twakomu dengan penuh
kasih sayang tengah mencurahkan seluruh perhatiannya
kepadamu".
Ah Lan lalu menahan kesedihannya dan dengan
manisnya dia tertawa sambil berkata : "Baik ! Twako,
silahkan kau berangkat !"
Ketawanya ini seakan-akan beratus-ratus bunga yang
tengah mekar, tampaknya indah luar biasa, aku yang
melihatnya menjadi tercengang sekali, aku berdiri terpaku
saking kesemsem memandangnya.
Ah Lan ! Ah Lan ! Aku merasa bahwa kinilah saat yang
tepat untuk seseorang mempertaruhkan jiwanya, hingga jika
pada saat itu kau ingin aku mati, apakah aku masih tidak
rela untuk mengiringi permintaanmu itu "
Suhu telah memberikan kepadaku sebuah peles kecil
sambil memesan dengan berulang-ulang, bahwa kalau aku
telah berhasil memperoleh buah 'Hiat-ko', supaya aku
segera memasukkannya kedalam peles tersebut. Karena jika
buah itu dibiarkan begitu saja, dia akan segera menjadi cair
kembali. Dengan penuh semangat aku lalu mengembara
dikalangan Kang-ouw, sambil menyelipkan
pedang dibebokongku dan membawa kantong kecil dipinggangku.
Aku telah melalui jalan yang jauh sekali, melalui gunung-
gunung dan sungai-sungai yang terkenal, tapi buah 'Hiat-ko'
yang dicarinya itu belum juga diperolehnya, sedangkan
sakit hati orang tuanyapun belum juga dapat dibalaskannya.
Dalam perjalanan itu dia berhasil dapat mengikat
persaudaraan dengan seorang pemuda yang gagah berani
dan berhati tulus, yaitu ".. Lie Siauw Hiong. Si pemuda


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

she Lie ini selain berhati gagah dan jujur, iapun mempunyai
kemauan yang keras sekali.
Dengan susah payah diwaktu diadakan pertemuan
dipuncak gunung Thay San, mereka telah melihat lawan-
lawan itu, tapi ketika hendak turun tangan sekonyong-
konyong muncul seorang angina-anginan yang telah
mengacau rencana mereka, yang sudah seharusnya
mampus dan sekarang barangkali badannya sudah hancur
lebur berkeping-keping dibawah jurang yang curam itu.
Tengah berpikir demikan, tanpa terasa lagi haripun
sudah menjelang pagi. Matahari pagi bagaikan sebuah roda
yang berwarna kemerah-merahan, tampak seperti merayap
dari celah-celah gunung, dan tatkala sinarnya yang panas
mulai terasa, kabut dan embun pun mulai buyarlah, hingga
sinar matahari itu dengan langsung menyoroti mukanya
Gouw Leng Hong, yang mana telah membuat si pemuda
tersadar dari lamunannya.
Akhir-akhirnya Leng Hong telah menarik kesimpulan,
bahwa dalam hal menuntut balas sakit hati ayahnya, dia
harus mengandal pada tenaga dan dirinya sendiri. Maka
setelah mengambil ketetapan didalam hatinya, dengan
mengandalkan kepandaian keng-sin-kangnya ia segera
meluncur kebawah gunung.
Setibanya dibawah, lalu ia berjalan melalui hutan
bambu, dimana dengan secara sekonyong-konyong saja dia
mendengar suara orang yang sedang membaca kitab Lam
Hoa Keng dengan sangat nyaring dan lantang.
Leng Hong yang mendengar suara orang itu, tak terasa
lagi ia menjadi tercengang dan diam-diam berpikir : "Orang
ini sekalipun waktu mengeluarkan kata-katanya tidak keras,
tapi suaranya sangat nyaring sehingga menembusi suara
angin yang menderu-deru dan hembusan dihutan bambu
ini, sehingga suara itu kedengarannya dekat sekali !"
Dengan perasaan heran dia lalu memasuki hutan bambu
tersebut, tapi waktu berada didalamnya, suara itu seakan-
akan hilang dengan sekonyong-konyong, kemudian setelah
berselang sejurus lamanya, suara itupun kedengaran pula,
namun dari tempat yang jauh sekali, sedangkan jalan
dimukanya bertambah ruwet serta berliku-liku. Oleh karena
itu, tidak terasa lagi dia merasa heran dan berpikir, apakah
tidak boleh jadi bahwa ia telah kesasar " Atau mungkinkah
dia termasuk kedalam jebakan musuh "
Lalu dia pusatkan seluruh perhatiannya memandang
keadaan disekeliling, dia mendapatkan setiap pohon
tumbuh dengan tentu dalam jarak yang sama, tiap-tiap
delapan pohon bambu itu berdiri dalam bentuk delapan
persegi yang biasa dinamakan bentuk 'Pat-Kwa', maka
didalam hati dia berpikir : "Inikah yang mungkin disebut
guruku barisan Pat Kwa Tin. Barisan ini mula-mula
diciptakan oleh Cukat Bu Houw dari jaman Sam Kok dan
sudah lenyap sejarahnya, tapi mengapakah sekarang masih
ada orang yang mengenali barisan yang sudah sangat kuna
ini ?" Lalu dia balik berpikir : "Ah barisan ini mungkin juga
dibuat oleh pemilik (tuan rumah) disini dalam usahanya
untuk mencegah kemasukan lawannya. Dan andaikata
pemilik tempat ini menyangka aku yang kesalahan masuk
ini sebagai musuhnya, sekarang setelah terkurung dalam
barisanya ini, agaknya bagiku merupakan suatu hal yang
tidak mudah untuk menembusi kurunganya ini !"
Setelah dia berpikir sebentar, sekonyong-konyong dia
mengambil keputusan dan badanya lalu dibongkokkan,
kemudian dengan gerak 'It-ho-ciong-thian' (burung bangau
menembusi angkasa), dia melesat keatas dengan maksud
untuk menjambret puncak pohon bambu tersebut, yang
mana dengan cepatnya diapun sudah sampailah dipuncak
pohon bambu yang dituju itu.
Disana dengan cermat dia memandang keadaan
disekelilingnya, yang ternyata dalam jarak ratusan tombak
jauhnya, seluruhnya tumbuh pohon-pohon bambu yang
tinggi dan rendahnya tidak rata. Diujung hutan bambu ini
terdapat sebidang tanah yang luas dan ditumbuhi rumput
yang hijau, dan ditengah-tengah padang rumput ini terdapat
sebuah batu besar tapi rata bagaikan panggung yang datar.
Batu itu putih bagaikan salju dan mengkilat tak ada
bandinganya, diatasnya terletak sejilid buku, disamping
mana terdapat sebatang seruling dari batu giok.
Dalam hati Leng Hong berpikir : "Orang yang baca buku
barusan, terpisah denganku hanya dua tiga puluh tombak
saja jauhnya, tapi aku yang telah berjalan berputar-putar
didalam hutan bambu ini, entah sudah berjalan berapa
puluh lie jauhnya, akhirnya akupun masih tidak berhasil
meloloskan diri keluar dari barisan ini. Sungguh lihay
sekali. Bila aku melompat dari pohon bambu ini, dalam
waktu sekejapan saja akupun sudah berhasil keluar dari
kurungan barisan orang aneh ini".
Tapi waktu dia perhatikan dengan lebih cermat lagi,
diam-diam dia mengeluh, karena ternyata tiap-tiap batang
pohon bambu tersebut terpisah tujuh atau delapan tombak
jauhnya dari satu pada yang lainya, maka menurut
kemampuannya sendiri, dia hanya dapat melompat sejauh
empat atau lima tombak saja jauhnya, oleh karena itu,
dimanalah dia mungkin berlompat dari pucuk pohon
bambu yang satu pada yang lainnya, yang masing-masing
berjarak tujuh atau delapan tombak itu "
Tengah dia terbenam dalam pemikirannya ini, sekonyong-kokonyong dari arah belakangnya terdengar
suara orang yang lembut sekali berkata kepadanya : "Bocah
yang bodoh, lekas kau turun kebawah, untuk turut
denganku !"
Buru-buru Leng Hong balikkan kepalanya menoleh
kebelakang, dimana dia melihat dalam jarak satu tombak
jauhnya berdiri seorang tua yang tampaknya beroman
sabar, dia memakai pakaian sebagai seorang anak
sekolahan, maka Leng Hong yang melihatnya, dalam
hatinya segera timbul perasaan menghormat dan percaya
terhadap orang tua itu, maka tidak perduli apakah dia
bermaksud baik atau jahat, lalu dia turuti perkataan orang
itu dan segera mengejot badannya berlompat turun.
Sementara orang tua itu yang melihat dia meluncur
turun dari tempat yang setinggi lima tombak itu dengan
gerakan yang enteng sekali, sedang diwaktu kakinya
menyentuh bumi tidak mengeluarkan suara sesuatu, tidak
terasa lagi diam-diam dia jadi manggut-manggutkan
kepalanya dan dengan roman kegirangan ia lantas berkata :
"Bocah, ternyata kepandaianmu tidak jelek ! Siapakah
gurumu " Dan mengapa kau berlari-lari kesini ?"
Dengan cermat Leng Hong memperhatikan orang tua
yang tengah berdiri dihadapannya itu, dan dia dapatkan
orang tua ini mempunyai hidung yang mancung sekali,
sekalipun janggutnya sudah berwarna putih, tapi kulit
mukanya tidak tampak berkisut-kisut,
tampaknya kegagahannya seperti orang muda saja layaknya, Leng
Hong yang memandangnya tambah lama bertambah
hormat saja, dalam hatinya diapun tidak berpikir untuk
menipunya, sambil membungkukkan
badannya dia menjawab dengan laku sopan sekali : "Teecu bernama
Gouw Leng Hong, murid dari Sin-ie-hiap Cu Kheng Bun".
Orang tua itu ketika mendengar perkataan sipemuda,
tidak terasa lagi dia menjadi terkejut dan dengan perasaan
heran lalu berkata : "Cu Kheng Bun adalah gurumu " Bocah
itu seumur hidupnya selalu mengutamakan pelajaran
ketabiban, kepandaian silatnya tidak seberapa tinggi. Jurus
yang kau perlihatkan tadi dan bernama 'Peng-see-lok-gan'
(burung belibis turun kepasir yang datar) itu, aku kira
sekalipun gurumu tidak mungkin dapat melakukannya
sebaik dan sesempurna seperti apa yang kau perlihatkan
tadi !" Dalam hatinya Leng Hong berpikir : "Umur suhu terpaut
dengannya tidak terlampau besar, tapi mengapa dia
menyebut suhu dengan sebutan bocah ?" Waktu dia
mendengar bahwa orang tua itu memuji kepadanya, dia
merasa agak jengah didalam hatinya, kemudian dengan
laku yang hormat sekali diapun menjawablah : "Teecu
mempelajari ilmu silat menurut pelajaran yang diturunkan
oleh mendiang ayahku sendiri, dengan suhu dari samping
memberi petunjuk-petunjuk kepadaku, tapi teecu belum
pernah melihat suhu membentangkan kepandaian silatnya
dihadapanku".
Orang tua itu setelah berdiam sejurus, lalu berkata
dengan perasaan heran : "Ayahmu bagaimana mengetahui
pelajaran silat perguruanku " Oh ! Kau she Gouw, ayahmu
bukankah Gouw Ciauw In ?"
Leng Hong mangutkan kepalanya mengiakan perkataan
orang tua itu. "Dia, dia bagaimana bisa mati ?"
"Ayah teecu berpandangan terlampau jauh, dia terkena
tipu kejinya oleh orang-orang yang sangat hina dina
dikalangan Kang-ouw, yaitu ahli waris partai Kong Tong Li
Gok, ahli waris partai Bu Tong Cek Yang Tojin, Kouw-am-
siang-jin dari Go Bie, ahli waris partai Tiam Cong Cia
Tiang Kheng, mereka ini telah membinasakan ayah teecu
dipuncak gunung Thay San".
Tatkala mendengar keterangan demikian, wajah orang
tua itu menunjukkan perasaan terharu dan kemarahan serta
berkata : "Bagus, Li Gok sibocah ini, gurunya sebelum
meninggal dunia telah memesan kepadaku untuk menilik
baik-baik para muridnya ini, si Li Gok, Hmm, aku setelah
tiga puluh tahun lebih lamanya tidak muncul dalam rimba
persilatan, bocah ini malah begitu berani mati telah
membunuh sutitku (kemenakan seperguruanku), maka
hutang ini harus dihimpaskan. Hmmmmm, akupun tidak
mau lagi memperdulikan segala perasaan serta kebaikan
gurunya lagi !"
Leng Hong yang mendengar perkataan orang tua ini,
diapun segera mengetahui, bahwa orang tua yang tengah
berhadapan denganya ini adalah Loo-cianpwee dari
perguruannya, maka pada saat dia mendengar perkataan
orang tua ini, dalam hatinya jadi bertambah terharu dan
diam-diam dia berpikir : "Cu Suhu sering mengatakan
bahwa diwaktu jamannya suhu dan seangkatannya kecuali
yang lebih tua, maka hanya ada suhu dan susiok berdua
yang mempunyai kepandaian yang paling tinggi, kepandaian ketabibannyapun sangat luar biasa pula, oleh
karena itu, orang tua yang tengah berdiri dihadapanku ini
pastilah Tong-gak-si-seng In Peng Jiok !" Dalam pada itu,
sambil membalikkan badannya, lalu dia menjatuhkan
dirinya berlutut dihadapan
orang tua itu sambil manggutkan kepalanya dan berkata : "Hong Jie memberi
hormat pada su-siok-couw".
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, segera sepasang
tangannya dikibaskan, hingga Leng Hong merasakan ada
satu tenaga yang luar bias kuatnya telah memaksanya
sehingga dia bangun berdiri.
Orang tua itu lalu berkata : "Anak, kau bagaimana dapat
Pedang Bunga Bwee 3 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Pukulan Naga Sakti 15
^