Pendekar Pedang Sakti 19
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bagian 19
guha itu. Pada saat Kinlungo melangkahkan kakinya masuk
kedalam guha tersebut, dia hanya melihat dalam guha itu
diatur banyak sekali timbunan batu-batu yang merupakan
hutan batu. Batu-batu itu sudah tentu saja adalah hasil
ciptaannya Lie Siauw Hiong, sedangkan suara Lie Siauw
Hiong keluar diantara celah-celah batu-batu itu.
Dengan ini harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong
yang telah mewariskan kepandaian Chit-biauw-sin-kun,
kecuali 'dalam hal membedakan sesuatu', pelajaran yang
lain-lainnya boleh dikatakan dia sudah melampaui gurunya.
Lebih-lebih dalam soal barusan 'Kwie-goan-kouw-tin' dia
sudah jauh melampaui kebiasaan gurunya sendiri. Barisan
yang sukar ini kini dia sudah dapat menguasainya, untuk
mengatur dan mempergunakannya disembarang waktu
tanpa mengalami kesulitan sesuatu.
Begitulah Kinlungo terpaksa berputar-putar beberapa
puluh kali didalam guha tersebut, karena dia tidak
diperbolehkan untuk merusakkan segala sesuatu yang
terdapat disitu.
Pada bagian muka telah kita terangkan tentang jalan
gunung disitu yang berbelit-belit. Jika sekali saja orang salah
jalan, maka dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan
pasti tak dapat keluar dari jalan tersebut. Maka Kinlungo
yang telah dipersulit oleh Lie Siauw Hiong, dia hanya dapat
berjalan dengan sekena-kenanya saja.
Lie Siauw Hiong dengan sengaja tertawa dingin dan
mengejeknya dari dalam guha tersebut. Hang Hoo Sam
Hut' yang sudah menunggu-nunggu sehingga dua jam
lamanya, tapi tidak melihat sang murid muncul kembali,
mereka jadi tidak sabaran dan uring-uringan.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan kesempatan sangat
baik ini, lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Tiga
manusia dogol bangkotan, murid kesayanganmu jangan
harap akan dapat keluar pula!"
Diantara murid-murid Kinposuf, maka yang paling
disayang adalah murid yang bungsu serta paling cerdik,
yaitu Kinlungo, maka setelah kini menampak murid
kesayangannya tidak muncul keluar lagi, dia mengira
bahwa sang murid benar-benar telah mengalami kecelakaan, hingga saking gugupnya dia telah berteriak-
teriak. "Orang she Lie, lekaslah engkau keluar! Muridku
Kinlungo jika kau berani melukakan seujung rambutnya
saja, aka Kinpouf pasti akau mencabut nyawamu!"
Lie Siauw Hiong yang mendengar perkataan Kinposuf,
diapun menjadi marah pula buru-buru dia melompat keluar
dari dalam guha tersebut dan tepat tubuhnya jatuh
dihadapan Heng Hoo Sam Hut, dimana sambil tertawa
dingin dia berkata: "Huh, omonganmu sungguh terlampau
berlebih-lebihan! Aku orang she Lie sekalipun tidak begitu
pandai, tapi masakan aku tidak dapat menyambut satu
pukulanmu!"
Kimposuf sendiripun yang merasa sangat geram, diapun
lalu berseru: "Pukulanku yang tunggal ini jika tidak dapat
membinasakan kau 'Heng Hoo Sam Hut' pasti tidak akan
datang pula kedaerah Tiong-goan, jika kau masih hidup
dialam dunia ini!"
Sambil tertawa riang Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Apakah omonganmu dapat dipercaya?"
Saking geramnya, Kinposuf dengan bernapsu sekali lalu
mengiakan dengan jalan menganggukkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong lalu berseru kearah dalam guha tersebut
sambil berkata: "Kun Moay! Lekas bawa keluar sibocah
biadab itu!"
Tidak antara lama benar saja Kinlungo sudah mengikuti
Phui Siauw Kun berjalan keluar, agaknya karena dia telah
kesasar entah sudah beberapa kali, maka wajahnya tampak
mengandung kemarahan yang jelas sekali.
"Toasuhu silahkan bersiap-siap! Asal saja satu kali
pukulanmu itu tidak berhasil menjatuhkanku, maka aku
persilahkan kalian untuk segera mengangkat kaki dan
pulang kembali kekampung halamanmu di Thian-tiok,
kemudian untuk selama-lamanya kalian tidak boleh lagi
memasuki daerah Tiong-goan!"
Heng Hoo Sam Hut dan Kinlungo melototkan mata
mereka pada Lie Siauw Hiong, sedang Phui Siauw Kun
yang menyaksikannya dari samping merasa tegang sekali.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berjalan kesamping
Phui Siauw Kun sambil berbisik: "Kun Moay! Lekaslah
dengan menggunakan kesempatan ini engkau melarikan diri
bersama-sama Kim Ie! Jika kalian tidak pergi sekarang juga,
dikuatirkan bangsa liar ini akan mengubah haluan dan
waktu itu pasti kalian tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk melarikan diri dari mereka."
Dari perkataan dan pandangan mata Lie Siauw Hiong,
Phui Siauw Kun telah mendapatkan sesuatu yang tidak
didapatkannya dahulu dalam cinta kasihnya terhadap
pemuda kita itu, maka untuk kebaikannya Kim Ie, dia rela
untuk melarikan diri, tapi atas kebaikan pemuda kita ini,
dia harus membalasnya dengan cara apakah dikemudian
hari" Lie Siauw Hiong pada saat ini bukan saja telah berniat
akan berkorban untuk diri Phui Siauw Kun pribadi, tapi
juga yang terpenting adalah berkorban untuk nama baiknya
kalangan Bu-lim di Tiong-goan, maka ia telah menghadapi
keempat jago silat asing itu tanpa menunjukkan perasaan
gentar ataupun takut. Dan tatkala melihat Phui Sianw Kun
merasa ragu-ragu atas pertolongannya, tidak terasa lagi
hatinya menjadi lemah dan dengan suara lemah lembut dia
berkata: "Kun Moay, lekaslah lari! Janganlah membuat
hatiku gundah memikirkan keselamatan kalian! Pukulan
bangsa liar ini aku pasti akan dapat menahannya. Aku
hanya kuatir, bahwa perkataannya tidak dapat dipegang
sepenuhnya. Oleh karena itu, lekaslah kalian melarikan diri
sejauh mungkin!"
Dengan perasaan sangat berterima kasih, Phui Siauw
Kun menganggukkan kepalanya. Setelah itu, dengan air
mata berlinang-linang dia berjalan masuk kembali dengan
perlahan-lahan kedalam guhanya. Sekalipun hal itu
bukanlah menjadi tujuannya yang utama, tapi dia tak dapat
tidak harus membawa pergi Kim Ie yang masih lupa
daratan itu untuk menyelamatkan diri mereka.
Lie Siauw Hiong menunggu setelah Phui Siauw Kun
telah berlalu lama juga, barulah pikirannya menjadi lega,
maka sambil menghela napas panjang ia menghampiri
kehadapan Kinposuf ..
Pelahan-lahan tangan kanan Kinposuf diangkat keatas,
hingga bulu tangannya yang hitam berwarna merah dan
berdiri karena penyaluran kekuatannya pada tangannya itu,
sedangkan sepasang matanya yang tajam bagaikan mata
burung elang yang mengintai lawannya ditatapkan pada
wajah Lie Siauw Hiong dengan sorot mata tak berkesip,
sehingga setiap gerak-gerik Lie Siauw Hiong tidak luput
dari pandangannya ..
Sedangkan Lie Siauw Hiong sendiripun dengan diam-
diam telah mengumpulkan seluruh kekuatannya pada
sepasang tangannya. Seketika itu hatinya tidak memikirkan
segala sesuatupun, hanya dengan satu tujuan yang mantap
ia bertekad untuk menyambuti satu pukulan lawannya itu.
Tidak antara lama Kinposuf terdengar berteriak keras
sekali, sedang sepasang tangannya dengan beruntun, satu
dimuka dengan disusul oleh tangannya yang lainnya
dibelakangnya, dengan disertai angin yang menderu-deru
keras sekali menghantam kearah tubuh pemuda kita.
Kekuatan sepasang pukulan Kinposuf pada saat itu,
cukup hebat untuk dapat membelah batu-batu karang yang
paling keras sekalipun ..
"Bek" begitulah telah terdengar satu suara.
Lie Siauw Hiong tanpa merasa ragu-ragu lagi sudah
menyambuti serangan lawannya dengan keras lawan keras
hingga pasir dan debu pada beterbanganan memenuhi
angkasa, sehingga segala sesuatu seakan-akan tidak
terlihat.. Dan tatkala debu dan pasir telah jatuh kembali kemuka
bumi, barulah kelihatan tubuh Lie Siauw Hiong dan
Kinposuf. Pada saat itu muka Lie Siauw Hiong tampak
pucat-lesi, badannya bergoyang-goyang
seakan-akan hendak jatuh, tapi satu langkahpun dia tidak pernah
berkisar dari tempat berdirinya semula.
Kinposuf sendiri dengan perasaan heran jadi menghela
napas, kemudian dengan sekonyong-konyong ia ulapkan
tangannya kepada kawan-kawannya,
untuk selekas mungkin mengajak mereka lari menuju kepantai dan
kembali pula kenegeri asal mereka.
Lie Siauw Hiong sendiri dengan sepasang tangan yang
terkulai, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya dalam
gerakan hendak menyerang kembali kearah lawannya.
Pada saat itu sang malam telah menjelang datang,
dengan ketenangan dimuka bumi ini telah kembali pula
seperti sediakala. Diatas langit, bintang pertama telah
munculkan diri dan memancarkan sinarnya yang berkelap-
kelip laksana pelita dibawah hembusan angin lalu, sinarnya
tampak sangat pudar dan jauh ..
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tindakan kaki
yang sangat berat, hingga ini menyebabkan Lie Siauw
Hiong buru-buru menghempas kembali sisa tenaganya, tapi
karena udara gelap, maka dia belum dapat melihat sesuatu,
sedang didalam hatinya diam-diam ia berpikir: "Suara
apakah itu" Bukankah itu suara Hang Hoo Sam Hut yang
telah balik kembali" Ataukah Phui Siauw Kun yang telah
kembali kesitu?"
Tidak antara lama, dari balik batu gunung kelihatan
muncul seekor beruang yang besar sekali. Mula-mula
dengan matanya yang tajam dia memandang kearah Lie
Siauw Hiong, mengangkat hidungnya dan mengendus-
endus dua kali, kemudian lalu membalikkan kepalanya dan
berjalan pergi.
Hati Lie Siauw Hiong menjadi lega kembali, tapi
pukulan Kinposuf barusan, sesungguhnya terlampau berat
dirasakannya, hingga akhirnya tak dapat ia mempertahankan dirinya lagi, ia memuntahkan darah segar
dan jatuh roboh kemuka bumi dalam keadaan pingsan.
(Oo-dwkz-oO) Pada saat itu musim Ciu (rontok) sudah lama datang,
dan pada senja hari itu tampak sinar pembunuhan yang
memenuhi kota utara. Pohon Yang-liu sudah lama gundul
karena daun-daunannya sudah rontok ditiup angin utara
yang amat tajam dan dinginnya, sedangkan burung walet
sudah terbang kembali keselatan. Dibawah sebuah jembatan
kecil tampak air sungai yang mengalir dengan tenang
kearah timur. Pada saat itu haripun sudah mulai malam. Bintang-
bintang diangkasa raya telah mencorotkan sinarnya yang
berkelip-kelip kemuka bumi yang luas ini.
Terpisah lima atau enam puluh lie disebuah daerah kecil
dari kota Lok-yang, terdapat sebuah kuil yang sudah rusak,
hingga jika angin gunung datang meniup, jendela-jendela
kuil itu jadi berbunyi keresekan, suara mana sangat tidak
sedap didengar karena menerbitkan perasaan yang pilu dan
menakutkan. Tatkala itu, dibawah sinar pelita tampak seorang laki-laki
muka hitam yang bertubuh tinggi besar, sedang duduk
berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang masih
muda belia. Anak ini wajahnya sangat tampan, tapi jika
ditilik dari roman mukanya, paling banyak ia baru berumur
dua atau tiga belas tahun.
Laki-laki muka hitam itu sekonyong-konyong berkata:
"Peng Jie, kami dari partai Kay Pang menyerahkan
kedudukan Pangcu kepadamu, dengan pengharapan supaya
kau memimpin mereka dengan penuh kebijaksanaan,
sedang ilmu silat pusaka dari partai Kay Pang yang disebut
'Pek-kiat-ciang-hoat', itupun tentunya telah diwariskan
kepadamu, bukan?"
Peng Jie menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Tempo hari waktu suhu mewariskan ilmu tersebut
kepadaku, dia telah menderita luka-luka parah, tapi dengan
memaksakan diri ia tetap mengajariku juga. Setelah itu, ia
jatuh pingsan. Dan tatkala kemudian ia siuman kembali,
dari dalam sakunya ia mengeluarkan seJilid buku kecil,
yang diserahkan kepadaku, sambil menyuruh aku
mempelajari isi buku tersebut untuk pedoman melatih diri.
Apakah kiranya Kim Siok-siok, sudi melihat buku
tersebut!"
Sambil berkata begitu, segera juga ia mengeluarkan
seJilid buku dari dalam sakunya, yang lalu disodorkannya
pada orang yang bermuka hitam itu.
Tapi simuka hitam lalu menggoyang-goyang tangannya
sambil berkata: "Pelajaran silat itu adalah khusus diberikan
pada orang yang diwariskan sebagai Ciang-bun-jin dari
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
partai Kay Pang, sedangkan murid-murid Kay Pang sendiri
siapapun tidak diperbolehkan mencuri belajar dari buku
itu." Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah
kita mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri
dan kemudian kita belajar ilmu dengan giat serta tekun,
agar jika sudah berhasil, kita dapat menuntut balas kepada
musuh-musuh kita."
Kim Siok-siok lalu berkata: "Peng Jie, aku mempunyai
satu urusan yang hendak disampaikan kepadamu. Sekarang
kau sudah berpikir belajar silat, kemudian baru menuntut
balas setalah kau berhasil dalam latihanmu. Hal itu,
memang sangat sesuai dengan rencanaku."
"Hanya belum tahu apakah adanya rencana itu?" Peng
Jie bertanya. Kim Siok-siok lalu berkata: "Partai Kay Pang kita kini
sudah lintang pukang, dimana-mana murid-murid kita
sudah pada tercerai-berai. Tapi syukur juga diantara murid-
murid partai kita, masih tidak sedikit jumlahnya yang tetap
setia terhadap partai mereka. Maka kalau kau memanggil
mereka kembali, pasti sekali kita akan dapat menyusun
partai kita sehingga menjadi jaya lagi seperti waktu-waktu
yang lampau itu. Hal mana, menurut pendapatku, tidak
akan terlampau sulit untuk diselesaikannya."
Peng Jie yang mendengar rencana Kim Siok-sioknya
mengenai kejayaan partainya kelak, diapun ketahui betapa
beratnya tugas yang dibebankan diatas pundaknya itu,
tetapi meski usianya masih muda, ternyata tetap
bersemangat dan menjawab dengan suara yang mantap:
"Kim Siok-siok, bukankah kau ingin aku sebagai Pangcu
memanggil kembali murid-murid partai kita yang sudah
tercerai berai itu untuk membangkitkan pula kejayaan kita
kembali seperti pada masa-masa yang lampau itu?"
Kim Siok-siok segera menggelengkan kepalanya sambil
berkata: "Sekarang umurmu masih terlampau muda,
sedangkan kepandaian yang tinggi belum lagi dapat kau
pelajari. Apabila kau berpikir untuk kini mempersatukan
kembali murid-murid partai Kay Pang itu, itulah sama
sekali masih belum mungkin. Adapun maksudku sekarang
ini, bukan lain daripada hendak menitipkan kau pada salah
seorang sahabatku yang bernama Pian-say-tay-hiap Hong
Pek Yang, kepada siapa kau boleh belajar ilmu silat selama
berapa tahun lamanya."
Dengan gugup Peng Jie bertanya: "Kim Siok-siok,
sedangkan kau sendiri bagaimana?"
Kim Siok-siok menjawab: "Aturan partai Kay Pang kita
sangat keras. Loo-pang-cu sudah wafat tentu saja segala
kewajibannya harus dibebankan kepadamu, sedangkan kita
berdua saudarapun sudah tentu bertugas juga untuk
menjagamu."
Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, aku tak mau
meninggalkanmu, juga tak mau pergi kerumah apa yang
kau katakan Pian-say-tay-hiap itu. Lebih baik kau .. kau saja
yang memberi pelajaran kepadaku, apakah itu tidak lebih
dari cukup?"
Dengan suara lembut Kim Siok-siok menjawab: "Anak
bodoh, kepandaian Hong-Thay-hiap adalah sepuluh kali
lipat lebih tinggi daripada kepandaianku. Maka apabila kau
belajar ilmu silat kepadanya, paling banyak akan memakai
waktu lima tahun. Dengan begitu, bukan saja kepandaian
Loo-pang-cu dapat kau wariskan seluruhnya, malah
kepandaian Hong-tay-hiap yang tunggalpun dapat juga kau
miliki. Apabila kau dapat berhasil mencangkok dua
kepandaian silat yang amat tinggi itu, bukankah lebih
menang jika umpama kau belajar dari aku saja?"
Tabiat Peng Jie sangat baik dan otaknya pun sangat
cerdik, dia yang hidup sebatang kara, kecuali dua saudara
she Kim, didunia ini dia tak mempunyai pamili lainnya
lagi. Kecintaan kedua saudara she Kim ini seperti juga ayah
dan ibu kandungnya sendiri, yang sangat memperhatikan
dirinya dan segala keperluannya. Ketika disaat itu ia
mendengar bahwa Kim Siok-sioknya akan meninggalkannya, hatinya merasa gugup dan sedih, maka
dengan airmata berlinang-linang ia telah memaksakan
dirinya untuk berkata: "Kim-Siok-siok. Peng Jie telah
melakukan pekerjaan apakah yang salah" Apakah kau tidak
ingin menghiraukan lagi kepada Peng Jie?"
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Kim Siok-sioknya ini
tidak sampai hati untuk meninggalkannya, tapi demi
kemajuannya kelak, dia tak dapat tidak mesti berlaku keras
terhadap diri sendiri, tetapi ketika baru saja ia ingin
membuka mulut pula, sekonyong-konyong terdengar satu
suara yang menyayatkan hati, hingga bulu roma mereka
dirasakan berdiri tegak seketika itu juga.
Dengan gugup Kim Siok-siok berkata: "Peng Jie, Loo-jie
telah bertemu dengan lawan tangguh! Lekaslah kau lari
kearah timur, segala sesuatu yang terjadi disini, akulah yang
akan menanggungnya. Jika aku Kim Lo-toa beruntung dan
tidak mati disini, aku pasti dapat menyusul dan
menjumpaimu di Lok-yang. Peng Jie?"
"Peng Jie, ingatlah, jika kami berdua dalam tiga hari
tidak datang mencarimu, kau seorang diri boleh pergi dan
menjumpai Hong Tayhiap dikota Kim-ciu dalam propinsi
Liao-tong. Katakanlah bahwa kedatanganmu adalah atas
perintahku."
Peng Jie yang mendengar dia berkata begitu pasti dan
tandas, hatinya sebenarnya tidak mau menurut, tapi dia
tahu betul adat Kim Siok-sioknya, maka terpaksa dia tak
berani membantah lagi dan lalu menganggukkan kepalanya.
Kim Loo-toa dengan suara yang lembut lalu memesan
pula: "Peng Jie, kau .. sejak hari ini, harus berlaku lebih
hati-hati. Kim Siok-siokmu barangkali tidak mempunyai
ketika lagi untuk menjagamu."
Selama setengah tahun Peng Jie mengikuti kedua
saudara Kim ini, entah sudah berapa banyak bahaya yang
telah dialaminya, tapi belum pernah ia melihat muka orang
tua itu tampak begitu suram seperti sekarang ini. Oleh sebab
itu, diapun insyaf, bahwa orang tua ini sedang risau hatinya
menghadapi lawan yang amat tangguh itu, yang mana
ternyata, bahwa dia seorang masih merasa khawatir akan
tidak cukup untuk melawannya, maka dengan cepat dia
berkata: "Kim Siok-siok, pergilah kau lekas membantu
saudaramu! Peng Jie akan menantikan kedatangan kalian
dikota Lok-yang."
Kim Loo-toa lalu memandang Peng Jie sejenak. Ia hanya
melihat muka bocah itu yang sangat mungil, dengan sifat
kekanak-kanakannya masih melekat begitu menyolok sekali
didalam dirinya, hingga ia jadi menarik napas panjang,
kemudian lalu berlari dengan pesat meninggalkan anak itu.
Peng Jie berdiri terpaku sebentar sambil berpikir: "Kalau
aku pergi membantu Kim Siok-siok, bukan saja aku bisa
memecah semangat mereka, tapi juga akan menyibukkan
saja bagi mereka. Oleh karena itu baiklah aku menurut
perkataannya saja, yaitu pergi ke Lok-yang untuk
menjumpai Hong Tay-hiap."
Dengan langkah yang berat, ia menuju kearah Timur
dengan perlahan-lahan.
Sekalipun dia sedang berjalan, tapi hatinya entah
melayang kemana. Sekonyong-konyong
dari arah belakangnya datang menyambar angin dingin. Waktu dia
menolehkan kepalanya memandang, ternyata tampak
seorang anak muda yang tampan sekali, sedang beristirahat
mengawasinya. Pemuda tersebut lalu berkata: "Siauwtee, jalanmu
ternyata kurang hati-hati, hingga hampir saja kau
menubrukku."
Dalam hatinya Peng Jie berpikir: "Kau sendiripun tidak
terlampau hati-hati. Aku berjalan disebelah depan, cara
bagaimana kau tidak melihatnya?"
Tapi pemuda tampan itu tampak ramah tamah sekali dan
lalu menjawab: "Aku sedang merisaukan sesuatu, sehingga
aku tidak mengetahui, bahwa aku tengah berada dijalanan."
Pemuda tampan itu memang sedang risau memikirkan
sesuatu, hingga dengan sesungguhnya juga dia tak melihat
adanya Peng Jie disitu. Tapi setelah dia hampir menubruk
orang, barulah dia buru-buru menahan langkahnya. Waktu
kemudian dia menegur kepada Peng Jie, sebenarnya
tegurannya itu tidak pada tempatnya, karena anak muda itu
bukan saja telah mengalah, bahkan dia telah merendah
dengan tingkah-laku yang sopan, sehingga hal itu membuat
dia merasa malu sekali. Oleh karena itu, diapun lalu
berkata: "Siauwtee (adik kecil), bila kau mempunyai
ganjalan sesuatu, silahkan engkau beritahukan kepadaku.
Aku pasti bersedia akan membantumu."
Dalam hati Peng Jie berpikir: "Barusan ketika dia
menghampri dipinggir badanku, belum juga aku mengetahuinya, suatu tanda bahwa kepandaiannya sudah
sangat sempurna. Oleh karena itu, mengapakah aku tidak
mohon bantuannya untuk menolong Kim Siok-siok?"
Karena dia masih muda, maka pengalamannyapun
belum luas. Pada sebelum menyelidiki keadaan orang yang
baru dikenalnya itu, ia sudah berani meminta bantuannya.
Hal mama, sebenarnya terlampau gegabah sekali. Tapi
karena dia melihat bahwa pemuda itu sangat tampan dan
ramah sekali, maka dia percaya bahwa orang muda ini pasti
ada seorang ksatria sejati, maka dalam pada itu diapun
segera menjawab: "Kedua siok-siokku sedang dikeroyok
oleh musuh-musuhnya, keadaannya sungguh berbahaya
sekali. Cobalah saudara tolong bantu mereka itu."
Pemuda itu yang melihat Peng Jie bicara dengan secara
mempunyai pekerjaan penting apapun yang harus
diselesaikan. Sekarang karena melihat kecintaan anak ini
kepada Siok-sioknya, baiklah aku memberi bantuanku
kepadanya. Oleh karena itu, sipemuda lalu bertanya: "Kedua siok-
siokmu bertempur dengan orang jahat dimanakah" Dan
siapa nama Kim Siok-siokmu?"
Peng Jie yang mendengar nada suara pemuda tampan
ini, dia segera mengetahui bahwa orang ini telah
mengabulkan permintaannya, maka hatinyapun menjadi
gembira dan menjawab: "Mereka adalah pelindung-
pelindung dari partai Kay Pang (partai pengemis) yang
umum dipanggil Kim Loo-toa dan Kim Loo-jie .."
Pemuda itu ketika mendengar keterangan demikian, lalu
berseru: "Lekas! Lekas! Segeralah bawa aku kepada
mereka!" Peng Jie dengan cepat berlari keluar dari jalan tersebut,
sedang sipemuda dengan tidak sabaran sudah mencekal
tangan Peng Jie dan diajaknya berlari-lari dengan
membentangkan Ilmu Keng-sin-kangnya menuju ketempat
pertempuran yang diunjuk oleh Peng Jie itu.
Setelah berlari-lari sipeminuman teh lamanya, mereka
mulai dapat menangkap suara beradunya senjata tajam
yang disertai dengan suara teriakan-teriakan orang yang
sedang bertempur, hingga dengan mengempos semangatnya
dia tarik Peng Jie lebih cepat pula untuk memasuki hutan
kecil itu. Tidak antara lama, disebidang tanah yang datar mereka
dapatkan empat orang tosu (pendeta) sedang mengerabuti
seorang laki-laki bertubuh jangkung, yang tampak sedang
melayani bertempur tiga batang pedang dan sepasang
kepalan lawannya dengan bertangan kosong, hingga
keadaan dirinya kelihatan sangat berbahaya sekali.
Peng Jie yang melihat Kim Toa-sioknya dengan
sendirian saja telah menempur empat orang musuh,
sedangkan Kim Jie-sioknya tidak tampak berada disitu. Dia
ketahui sifat-sifat kedua saudara she Kim yang selalu bahu
membahu dalam menghadapi lawan-lawannya, tapi kini dia
tidak melihat Kim Jie-sioknya, hingga tanpa terasa lagi
hatinya menjadi cemas dan buru-buru dia menganjurkan
pemuda itu sambil berkata: "Lekaslah kau bantu Kim Toa-
siokku, sedangkan aku sendiri akan pergi mencari Kim Jie-
siokku." Pemuda tampan itu yang sedang memperhatikan
jalannya pertempuran, seakan-akan tidak mendengar
perkataannya, sehingga Peng Jiepun tidak berdaya. Tapi
tidak antara lama pertempuram itupun sudah terhentilah,
dengan empat batang pedang ditujukan keempat jalan darah
Kim Siok-sioknya, sedangkan salah seorang antara pendeta-
pendeta itu dengan tertawa dingin lalu berkata: "Kim Loo-
toa, lekas keluarkan sarung pedang itu dan serahkan kepada
kami, jika tidak, hm, pinto pasti tidak akan sungkan-
sungkan lagi mengambil jiwamu!"
Baru saja pendeta itu berkata demikian, Peng Jie
merasakan pemuda disampingnya telah melesat maju.
Kemudian toosu itu sudah berkata pula: "Kim Loo-toa,
apakah kau masih berani membandel juga" Sebentar lagi
Pangcu dari Kaypangmu pasti akan terjatuh kedalam
tangan kami! Apakah kau mengira bahwa bocah pewaris
partai pengemismu itu dapat melarikan diri sampai di Lok-
yang" Ha ha ha, pintoo sudah siang-siang mengutus orang
untuk dengan hormat menyambut kedatangannya, kau
tahu" Jika kau tidak juga hendak mengeluarkan sarung
pedang tersebut, engkau harus mengerti sendiri apa
akibatnya!"
(Oo-dwkz-oO) Jilid 39
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Peng Jie semakin mendengar semakin panas hatinya.
Tapi ketika dengan tidak sabaran dia sudah ingin
membantu Kim Siok-sioknya, tiba-tiba dari sampingnya
kedengaran suara angin yang menderu, dan bersamaan
dengan itu, sipemuda tampanpun sudah mendahuluinya
melewat maju. Kelima orang yang sedang bertempur itu menjadi sangat
terperanjat tatkala menampak kedatangan sipemuda itu.
Mereka ketika barusan sedang bertempur, ternyata tidak
memperhatikan Peng Jie dan pemuda itu yang bersembunyi
disuatu pinggiran.
Kemudian pemuda itu segera berkata: "Pendeta bangsat
Cek Yang, kau sungguh gagah sekali, ha" Dengan
mengandalkan jumlah banyak orang kau mengeroyok
seorang lawan, apakah perbuatanmu itu bisa dipuji orang?"
Sementara toosu itu begitu melihat pemuda tampan ini,
mukanya segera berubah dan lalu berkata: "Bagus, Gouw
Siauw-cu, lagi-lagi aku bertemu denganmu! Sekarang
baiklah kita menyelesaikan perhitungan lama disini saja!"
Pemuda tampan ini bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya! Sejak hari itu dia berpisah dengan Souw Hui Cie, terus
dia mencari Ah Lan kesana kemari, dari Shoa-tang dia
menuju ke Hoo-lam, setelah bolak-balik berapa kali,
ternyata tidak juga ia berhasil mencari kemana perginya
anak dara buta itu. Hari ini kebetulan dia ingin pergi ke
Lok-yang untuk mencari rumah penginapan, tidak tahunya
ditengah jalan dia telah berjumpa dengan Peng Jie, maka
dengan bersama-sama, menujulah mereka kehutan ini.
Keadaan dalam hutan ini sangat samar karena gelapnya,
maka wajah kelima orang yang sedang bertempur itu tidak
terlihat dengan jelas. Tetapi ketika kemudian ia kenali
bahwa pendeta itu adalah musuh pembunuh ayahnya
sendiri yaitu Cek Yang Too- jin, maka buru-buru dia
melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil
membentak: "Kalian dari partai Bu-tong rupanya sudah
kebiasaan dengan jumlah banyak menggencet jumlah yang
sedikit, maka sekarang silahkan kalian boleh maju dengan
serentak!"
Muka Cek Yang Tojin menjadi merah tatkala mendengar
tantangan itu, maka diam-diam dia berpikir: "Waktu
diadakan pertemuan digunung Thay San, kepandaiannya
bocah ini masih sangat terbatas sekali, maka mengapakah
aku harus turun tangan sendiri?" Oleh karena itu, dengan
tertawa dingin dia lalu berkata: "Siauw-cu, kau jangan
berlaku pongah, bila kau dapat menjatuhkan tiga muridku,
aku akan melepaskan kau pergi dari sini!"
Gouw Leng Hong sekalipu sudah menerima pelajaran
asli dari Sucouwnya yang bernama In Peng Jiok, tapi
sesungguhnya dia belum pernah bertempun dengan lawan
tangguhnya seperti Cek Yang ini, maka dalam hatinya ia
merasa agak jerih dan lalu berpikir: "Dia majukan murid-
muridnya yang merupakan barang-barang rosokan, hal itu
tidak ada halangan apa-apa baginya, bila aku sudah bikin
kocar-kacir murid-muridnya, masakah gurunya tidak mau
membelanya?"
Cek Yang Tojin lalu berseru: "It Ho, lekas bawa
pedangku, dan lawanlah bocah itu! Janganlah engkau
sampai meruntuhkan nama baik partai Bu-tong kita!"
Sambil berkata begitu, dia sudah sodorkan pedangnya
kepada pendeta yang bertangan kosong itu, kemudian dia
sendiri lalu maju pula menghampiri Kim Loo-toa.
Hati Leng Hong gugup sekali, karena dia kuatirkan
dengan menggunakan kesempatan ini, Cek Yang akan
dapat mencelakai Kim Loo-toa, maka badannya segera
bergerak untuk menghadangnya dimuka Kim Loo-toa,
tangan kanannya dengan mengacungkan pedangnya dia
lalu berseru: "Silahkan engkau boleh maju!"
Perkataan itu baru saja habis diucapkan, ketika tiba-tiba
dibelakangnya terdengar suara 'buk' yang nyaring sekali,
kemudian disusul dengan robohnya tubuh Kim Loo-toa
kemuka bumi. Ternyata laki-laki jangkung itu sudah
kehabisan tenaga, maka pada saat Leng Hong mengeluarkan pedangnya dan menampak sinar pedang
yang sangat tajam dan berkeredap-keredap itu, kepalanya
menjadi pusing dan lalu jatuh terduduk.
Sekonyong-konyong dari balik sebatang pohon lari
keluar seorang bocah tanggung, yang sambil menangis lalu
berkata: "Kim Siok-siok, kau kenapa?"
Kim Loo-toa dengan memaksakan diri lalu menbuka
matanya dan dengan suara bengis sudah mendamprat:
"Peng Jie, aku suruh kau lari, kenapa kau tidak dengar
perkataanku?"
Dengan masih menangis Peng Jie berkata pula: "Kim
Sioksiok, aku tidak mau meninggalkan kau. Aku ingin mati
bersamamu!"
Kim Loo-toa akhirnya menjadi cemas juga melihat
keadaan Peng Jie disaat itu, maka kesudahannya ia berkata:
"Peng Jie, sudahlah, jangan menangis lagi, Kim Siok-siok
mengabulkan untuk tidak meninggalkan kau pula!"
Mendengar perkataan itu, Peng Jie menjadi girang dan
lalu menunjuk pada Gouw Leng Hong sambil berkata:
"Kim Siok-siok, dia pasti akan menang!"
Kim Toasiok lalu mengangkat kepalanya memandang.
Dia hanya melihat tiga pendeta berdiri ditiga tempat yang
berlainan, sedang mengurung kepada pemuda tampan itu.
Sekonyong-konyong pendeta yang berdiri disamping
kirinya telah berseru: "Lihatlah serangan!" Sambil terus dia
menyerang bagian sebelah bawah, tubuh sipemuda.
Leng Hong segera mengelitkan dirinya kesamping. Dia
tidak mundur, melainkan terus saja maju kemuka, dengan
pedangnya menyamber pada pendeta disebelah kanannya
dengan gerakan secepat kilat.
Pendeta yang diserang itu ketika melihat datangnya
serangan yang begitu cepat, keruan saja hatinya menjadi
sangat terkejut dan lekas-lekas mundur sejauh dua langkah.
Leng Hong tidak menunggu sampai serangannya ini
menemui sasarannya, dia sudah memutar tangannya dan
dengan gerakan miring, menyerang lawan dihadapannya,
dan ketika dua pedang saling beradu, karena tenaga Leng
Hong lebih kuat, maka pedangnya terus menjurus pada
pendeta disebelah kirinya dan menyabet kearah pinggang
orang. Karena bakatnya yang baik dan ditambah lagi dengan
khasiat buah mustajab yang dimakannya, maka tenaga-
dalamnya telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat,
maka kalau dibandingkan dengan Lie Siauw Hiong, dia
hanya kalah setingkat saja.
Pada saat itu dia telah menggunakan lima bagian tenaga,
hingga saking kerasnya tangkisannya maka menyebabkan
telapak tangan pendeta itu merasa kesemutan yang hebat
sekali, sehingga pedangnya itu hampir saja terlepas dari
cekalannya. Leng Hong terus merangsek maju. Dengan menggunakan tangan kanannya, dia menyerang dari
samping kearah lawannya, sedangkan tangan kirinya
dengan menggunakan siasat 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun',
dia sudah menerobos kesana kemari dengan amat gesitnya.
Ada kalanya ketiga pedang lawannya sama-sama menyerang bagian tubuh sebelah atasnya, tapi dengan
lincah dan gesit dia dapat mengelitkannya dengan secara
baik pula. Sementara Cek Yang yang menyaksikan jalannya
pertempuran dari samping, semakin lama dia merasa
semakin jengkel saja, dalam hati dia berpikir: "Bocah ini
jika dibandingkan dengan ayahnya tempo hari, permainan
pedangnya jauh lebih matang dan ganas. Dalam usia yang
demikian mudanya, tidak tahu dia sudah berlatih dimana
sehingga mencapai hasil seperti ini?"
Kim Loo-toa yang melihat gerakan Leng Hong begitu
cepat bagaikan angin puyuh, sedangkan serangan-serangan
yang dilancarkannya bagaikan gelombang sungai Tiang
Kang yang tidak putus-putusnya, berikut kakinya yang
menggunakan gaya Pat Kwa untuk menjaga dirinya dengan
sangat rapat sekali, dengan pandangan sekilas saja dia
segera mengetahui, bahwa pemuda itu sedang menggunakan kepandaian dari partai Thay Khek yang
bernama 'Toan-hun-kiam', yang diam-diam ia jadi berpikir:
"Pemuda ini bila bukannya tengah melindunginya bersama
Peng Jie, maka pendeta-pendeta busuk ini sudah siang-siang
dapat dijatuhkannya."
Waktu ia memandang lebih lanjut, ia mendapatkan
kenyataan bahwa suasana pertempuran sudah banyak
berubah. Kini Leng Hong sudah berada diatas angin.
Dengan pedangnya yang sebentar disabetkan kekiri dan
sebentar ditusukannya kekanan, dia berhasil membikin tiga
lawannya kucar kacir sehingga kepala mereka basah mandi
keringat. Dengan ini ternyatalah, bahwa untuk menjaga diri
mereka sendiri saja sudah sedemikian sibuknya, apa lagi
untuk menyerang dengan secara berbareng yang sudah jelas
mereka tak mampu untuk melakukannya pula.
Pertempuran sudah mencapai babak yang menentukan,
ketika dengan sekonyong-konyong Leng Hong mengangkat
satu kakinya menendang, dengan mana ia berhasil dapat
menendang salah satu pendeta yang segera terguling roboh
ditanah, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan
tiga jurus terakhir dari ilmu pedang Toan-hun-kiam yang
disebut 'Jiok-si-piauw-hong' (bunga yang lemah tertiup
angin), 'Tiam-tiam-hwan-seng' (bintang-bintang berkelip-
kelip) dan 'Sek-po-thian-keng' (batu pecah mengejutkan
langit), dia menyerang para lawannya, hingga dengan
mengeluarkan dua kali suara jeritan ngeri, kedua pendeta
lainnya berturut-turut telah jatuh roboh pula kemuka bumi.
Ternyata begitu Leng Hong mengeluarkan tiga jurus
terakhir dari ilmu Toan-hun-kiam ini, kedua pendeta itu
merasakan mata mereka berkunang-kunang, sedangkan
pada muka mereka terasa hawa dingin yang menyamber-
nyamber, hingga tidak terasa lagi, saking kagetnya, mereka
pada mengeluarkan teriakan ngeri. Kaki mereka tiba-tiba
terasa lemas, berhubung mereka telah kena tertotok jalan
darah 'Kong-sun-hiat' mereka.
Kim Loo-toa yang menyaksikan kejadian ini, didalam
hatinya ia berpikir: "Jurus yang berjumlah tiga yang terakhir
dari pemuda ini, sebenarnya jika diteruskan, dia dapat
membinasakan lawannya, hanya sewaktu pedangnya itu
hampir menyentuh sasarannya, lekas-lekas segera ditariknya kembali, suatu tanda bahwa dia hanya
menggores serta menotoki sepasang kaki mereka saja, tapi
tidak bermaksud untuk mengambil jiwa mereka. Dengan ini
aku segera ketahui, bahwa pemuda tampan ini bukan saja
ilmunya sangat tinggi, tapi juga hatinya welas asih kepada
sesamanya."
Tapi Cek Yang Tojin yang menyaksikan demikian,
wajahnya segera berubah menjadi pucat, buru-buru dia
maju membebaskan totokan ketiga muridnya itu.
Sekonyong-konyong Peng Jie berkata: "Kim Siok-siok,
cobalah kau katakan, benar atau tidak pendapatku itu?"
Kim Loo-toa lalu bertanya: "Pendapat apakah?"
Peng Jie menjawab: "Siang-siang sudah kukatakan,
bahwa pendeta-pendeta busuk itu pasti akan dibikin kucar-
kacir olehnya!"
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sebagai ganti
kata-kata, tapi diam-diam ia berpikir: "Tenaga-dalam Cek
Yang Tojin sangat hebat sekali, sedangkan pemuda ini
dengannya tampaknya terdapat permusuhan yang tidak
dapat dikatakan kecil, maka dalam sekali bertempur ini,
mereka pasti ada salah seorang yang mati atau terluka
parah. Cek Yang sangat tidak tahu malu. Jika dia bersama-
sama para muridnya sampai kejadian mengeroyoknya, pasti
sangat membahayakan bagi pemuda tampan itu. Karena
kini aku sendiri sudah kehabisan tenaga dan sudah tentu tak
berdaya untuk membantu ia, hingga aku merasa kuatir
sekali bagi keselamatan diri sipemuda tersebut."
Kim Loo-toa lalu berkata: "Bangsat Cek Yang, kau pasti
tidak dapat mengalahkannya, dari itu, baiklah murid-
muridmu sekalian boleh kau ajak saja mengepungnya
dengan serentak!"
Cek Yang Toajin mengetahui, bahwa lawannya tengah
mengejeknya, maka diapun berpendapat, sekalipun permainan pedang Leng Hong cukup hebat, tapi tenaga
dalamnya tentu sekali tidak dapat memenangkannya,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terutama ia sudah berpengalaman banyak tahun, dari itu
dengan mengambil keputusan yang pasti, ia lalu berseru:
"Pengemis pejajaran, kau jangan pentang bacot tidak
keruan! Tenanglah. Untuk menghadapi seorang bocah ini,
perlu apakah aku mohon bantuan orang?"
Leng Hong setelah berhasil menjatuhkan tiga lawannya,
hatinya menjadi besar, dan ketika melihat Cek Yang ingin
menghadapinya dengan seorang diri saja, malah ia menjadi
marah dan lalu memaki: "Bangsat Cek Yang, kau jangan
omong dengan seenaknya saja, hari ini adalah hari kau
menghadap pada Giam-loo-ong!"
Cek Yang menjadi gusar sekali, sambil berseru:
"Sambutlah seranganku", dia sudah menyarang pada
lambung kanan Gouw Leng Hong.
Leng Hong tidak berani berlaku ayal-ayalan, dia segera
membentangkan jurus 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' untuk
menangkis serangan lawannya.
Setelah bertempur beberapa jurus lamanya, Cek Yang
yang melihat Leng Hong menggunakan hanya sepuluh
jurus saja pulang pergi, tapi tenaganya ternyata kuat sekali,
sekalipun serangannya bagaimana hebatnya dilakukannya,
kenyataannya selalu kena ditangkis saja oleh sipemuda,
sehingga untuk sementara dia tak berhasil menjatuhkan
pemuda itu, maka tidak terasa lagi hatinya menjadi gugup
sekali, kemudian dengan beruntun ia telah melancarkan
serangan-serangan
yang mematikan, yaitu dengan kepandaian paling diandalkannya dan bernama 'Bu-kek-sin-
kong-kun'. Ilmu 'Bu-kek-sin-kong-kun' ini adalah serangan yang
keras sekali. Begitu Cek Yang mengeluarkan tipunya ini,
angin santer segera keluar menderu-deru menyerang
lawannya. Maka sipemuda yang menampak pihak
musuhnya berlaku nekat, iapun tidak berani memandang
rendah dan segera melawan dengan sekuat tenaganya, kian
lama kian cepat dan dahsyat saja agaknya.
Dalam pada itu, Kim Loo-toa lalu memandang pada
Peng Jie, yang ketika itu tengah memusatkan seluruh
perhatiannya atas jalannya pertempuran kedua orang itu.
Semangatnya tampak gagah sekali, seakan-akan ia sendiri
saja yang sedang bertempur, hingga tidak terasa lagi ia jadi
menghela napas, dan kemudian dengan diam-diam dia
berpikir: "Bocah ini ternyata masih sangat muda. Ia tak
tahu akan bahaya yang sedang dihadapinya. Kedua orang
yang sedang bertempur ini, bukan saja ingin menamatkan
riwayat lawannya masing-masing, malahan pertempuran itu
sendiri mempunyai sangkut-paut yang erat sekali dengan
nasib partai Kay-pang. Andaikata pemuda itu terkalahkan,
maka keadaan mereka menjadi berbahaya sekali, karena ia
sendiri yang tenaganya belum pulih kembali, akan berarti
musnahnya partai Kay-pang dalam tangannya bangsat Cek
Yang ini."
Sekalipun Kim Loo-jie seorang yang kasar, tapi jalan
pikirannya sangat jauh, maka karena perasaannya pada saat
itu sangat tegang, tidaklah heran jika ia sampai
mengeluarkan keringat dingin.
Kedua orang itu sudah bertempur hampir memasuki
jurus keseratus. Disatu pihak Leng Hong tenaganya penuh
dan mantap, sedangkan lawannya Cek Yang licin dan
berpengalaman serta penjagaannyapun sangat rapat pula,
sehingga mereka berdua bertempur dalam keadaan
berimbang. Halmana, telah membuat Leng Hong menjadi
tidak sabaran sekali dan berpikir didalam hatinya: "Jika aku
tak menggunakan tipu-tipu yang berbahaya, sukar sekali
agaknya untuk memperoleh kemenangan dari bangsat tua
ini." Diapun dapat menyaksikan, bahwa tenaga-dalam Cek
Yang Tojin tidak berada disebelah bawah daripada dirinya
sendiri. Tapi bila dia menggunakan tipu-tipu yang
berbahaya, sekali saja berlaku kurang hati-hati, mungkin
sekali akhirnya dia sendirilah yang akan menderita
kerugian. Oleh karena itu, diam-diam ia menjadi ragu-ragu
untuk segera melaksanakan tindakannya.
Setelah lewat pula berapa jurus lamanya, Leng Hong lalu
berseru sambil membentangkan dan merapatkan sepasang
tangannya, pukulannya ini sebentar diulur dan sebentar
pula ditarik, tangan kirinya dengan melintang menjaga
dadanya, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan jurus 'Kay-san-sam-sek', kemudian telah
diubahnya menjadi 'Toan-hun-kiam-cau'.
Jurus pelajaran yang disebut Toan-hun-kiam-cau adalah
jurus pelajaran hebat yang pernah diwariskan oleh ayahnya
Hoo-lok-it-kiam Gouw Ciauw In. Begitu Gouw Leng Hong
menggunakan jurus tersebut, dia segera merasakan, bahwa
tenaga serangannya bertambah hebat, sehingga selanjutnya
tampak jelas sekali, bahwa serangan-serangannya itu
mengandung bahaya maut bagi lawannya.
Cek Yang Tojin tidak pernah menyangka, bahwa
pemuda itu dapat mengubah serangannya begitu cepat dan
berbahaya, maka sambil merangkapkan sepasang tangannya
dia mundur satu langkah, bersiap sedia untuk melancarkan
serangan yang sehebat- hebatnya.
Menampak hal itu,
Gouw Leng Hong hanya mengeluarkan suara jengekan saja, tangan kirinya yang
tadinya dipakai menjaga dadanya, kini dengan segera
ditekankan kebawah. Tangan kanannya bergerak secepat
kilat dari serangan memancing diubah menjadi serangan
sungguhan, hingga dengan berbareng diapun melancarkan
serangan yang hebat itu kepada diri lawannya.
Dalam serangannya sekali ini, tenaga seluruhnya sudah
disalurkan dengan sepenuh-penuhnya,
sehingga kekuatannya seakan-akan dapat menghancurkan bukit dan
memecahkan batu karang, hal mana sungguh amat
mengejutkan sekali hati semua orang.
Pada waktu pertemuan dipuncak gunung Thay San, Cek
Yang Tojin pernah bertempur dengan sipemuda, yang
kiamhoatnya (ilmu pedangnya) biasa saja, hingga tidak
cukup untuk menakutkannya. Tapi kini, siapa tahu, ketika
baru saja berpisah setengah tahun lamanya, kemajuan
Gouw Leng Hong sudah sedemikian tingginya, sehingga itu
semua sangat mengherankan dan berbareng mengejutkan
sekali bagi dirinya.
Tapi dengan mengandalkan tenaga-dalamnya yang
cukup dahsyatnya, diapun tidak menyerah mentah-mentah
melainkan dengan tipu 'Twie-cong-bong-goat' (menolak
jendela memandang rembulan) dia telah menyodokkan
pedangnya kepada sipemuda.
Begitu kedua pedang itu saling beradu, Gouw Leng
Hong rasakan serangan Cek Yang Tojin sama sekali tidak
bertenaga, seakan-akan tenaganya sudah lenyap tidak
berbekas, sedangkan dia sendiri sudah tidak keburu menarik
kembali serangannya.
Disinilah letak kelicikan Cek Yang Tojin ini. Begitu dia
melihat pemuda kita tidak berhasil mencapai sasarannya,
Kim Loo-toa yang menyaksikan pertempuran itu dari
samping, tidak terasa lagi hatinya jadi terkesiap dan
mengeluarkan teriakan terkejut.
Syukur juga meski Leng Hong kalah pengalaman, tapi
dia berbakat sangat baik, ketambahan reaksinyapun sangat
cepat pula, maka dalam saat yang genting itu, dengan tepat
dan sebat sekali ia telah menyammpok serangan lawannya
dengan tangan kirinya, sedangkan badannya dengan
meminjam tenaga itu, segera diputarkannya, kearah kanan.
Setelah itu, dengan mengeluarkan suara yang sangat
dahsyat sekali, Leng Hong yang barusan menggunakan tipu
'Hi-kong-le-san', (sidungu memindahkan gunung) telah
memapas sebuah pohon sehingga tumbang, sedangkan
badannya sendiri dengan berputar seratus delapan puluh
derajat, telah dapat meloloskan diri dari pada ancaman
pedang lawannya itu.
Cek Yang Tojin yang menyaksikan aksi pemuda itu,
tidak terasa lagi menjadi sangat terperanjat sekali didalam
hatinya. Sekarang Leng Hong sudah dapat memusatkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran tersebut, sedangkan
dalam hatinyapun dia sudah mempunyai perhitungan yang
matang. Nyalinyapun bertambah besar dan mantap,
sehingga dengan beruntun tiga kali dia menyerang
lawannya dengan menggunakan pelajaran asli dari warisan
ayahnya sendiri. Selanjutnya, karena hebatnya serangan-
serangannya itu, maka ia telah berhasil dapat mendesak
mundur Cek Yang Tojin sehingga kesuatu pinggiran.
Kegugupan dan kemarahan Cek Yang Tojin sukar
ditahan dan bukan alang kepalang besarnya. Dengan
tangan yang masih tampak gemetaran, dia telah
melancarkan salah satu serangan balasan dari tipu 'Kiu-
kiong-sin-heng-kiam-hoat' yang paling lihay, yaitu yang
bernama jurus 'Ceng-in-kiu-sek' (awan biru membentuk
sembilan macam), dia sudah berpikir untuk mengambil alih
inisiatip pihak lawannya.
Siapa tahu Gouw Leng Hong tidak mau membiarkan
dirinya diserang lawannya dengan sikap mandah saja.
Kiam-hoat sipemuda sebenarnya sudah mencapai satu
tingkat lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pihak
lawannya. Tapi karena dia kalah pengalaman, maka tiap-
tiap kesempatan baik tidak dapat dipergunakannya dengan
sebaik-baiknya, sehingga hal itu membuat Kim Loo-toa
yang menyaksikan dari samping jadi mengeluarkan keringat
dingin. Dalam pertempuran yang seru itu, ada kalanya Cek
Yang Tojin dengan sengaja membuka lowongan untuk
diserang oleh lawannya, kemudian bila lawannya sudah
terpancing, dia mudah mematahkan serangan itu dan
membinasakan lawannya, hingga sekalipun Leng Hong
tidak selicik lawannya, tapi dia cukup cerdik untuk tidak
membiarkan dirinya terpancing oleh tipu muslihat pihak
lawannya. Akhirnya diapun berpura-pura tertipu, dan tatkala Cek
Yang Tojin merasa pancingannya dimakan musuh, dengan
sekonyong-konyong ia melancarkan serangan balasan yang
hebat sekali. Tapi Leng Hong dengan menggunakan
pelajaran dari ayahnya almarhum yang bernama 'Bu-siang-
pa-cee' (Malaikat Bu Siang memegang tempuling) buru-
buru ia berkelit dan melompat kebelakang lawannya, dari
mana ia menusuk dengan langsung kepada lawannya.
Kim Loo-toa berseru girang, karena ia mengira Cek
Yang pasti tidak dapat menolong dirinya pula. Tapi siapa
tahu dalam suasana yang kritik ini, ternyata Cek Yang tidak
menjadi bingung, dia sudah membalikkan tangannya
dengan tipu 'Too-tha-kim-ciong' (memukul jatuh lonceng
mas) dan langsung memukul dada sipemuda. Semula dia
sudah bersedia mengasi dirinya diserang orang, tapi kini
berbalik menjadi pihak yang menyerang pula.
Pukulan yang dilancarkannya sekali ini adalah tenaga
yang sudah dipusatkan dengan sehebat-hebatnya. Hal
mana, telah membuat hati Leng Hong terkejut bukan main.
Tangan kirynya dengan tipu 'Liok-teng-kay-san' (Malaikat
Liok Teng membuka gunung) dia tangkis serangan
lawannya, sedangkan tangan kanannya tidak berhenti dan
terus mengancam tubuh lawannya dengan tusukan
pedangnya. Dengan mengeluarkan suara sangat nyaring karena
beradunya kedua pukulan, badan Leng Hong dirasakan
agak bergoncang, tapi pedang ditangan kanannya dengan
lancar dan cepat menusuk lawannya, hingga sekalipun Cek
Yang Tojin telah berkelit dengan gerakan yang cepat sekali,
tidak urung pedang Leng Hong telah berhasil juga
menggores punggung si-tojin, sehingga dia menjerit
kesakitan dan segera kabur dengan darah segar mengalir
dari lukanya itu.
Kim Loo-toa yang menyaksikan Leng Hong memperoleh
kemenangan, sudah tentu saja hatinya jadi sangat kagum
dan memuji tinggi atas kepandaian sipemuda itu, meski Cek
Yang tidak sampai terbinasa dan melarikan diri bersama
murid-muridnya.
Leng Hong menarik napas lega dan keluar dari kalangan
pertempuran dalam keadaan selamat dan tidak kurang
suatu apapun. Dalam hati ia merasa sangat menyesal, bahwa ia belum
berhasil dapat membalas himpas sakit hati ayahnya, tapi
untuk sementara ia sudah merasa puas dengan menghibur
dirinya sendiri dengan berkata: "Untuk menbunuh bangsat
tua bangkotan itu, waktunya masih banyak!" Tapi
bersamaan dengan itu, ia sekarang sudah mempunyai
kepercayaan yang penuh atas kemampuan dirinya sendiri,
bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Cen Yang.
Sementara Peng Jie yang melihat Leng Hong berdiri
terpekur disitu dia tahu bahwa pemuda itu terluka didalam,
maka dengan gugup ia berkata: "Apakah kau sudah merasa
baikan?" Leng Hong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
menyahut: "Siauw-tee (adik kecil), kau legakanlah hatimu,
bangsat bangkotan itu mana dapat melukakan aku" Kim
Siok-siokmu telah kehabisan tenaga karena dia telah
bertempur mati-matian dengan lawan-lawannya barusan.
Aku disini mempunyai obat cair yang sangat mustajab, obat
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini dapat dengan segera menyembuhkannya kembali dalam
waktu yang pendek sekali."
Sehabis berkata begitu, lalu dikeluarkannya dari dalam
saku didadanya obat cair 'Ban-nie-leng-coan' (obat cair
mustajab yang sudah laksanaan tahun tuanya), kemudian
dia menghampiri Kim Loo-toa yang tengah memejamkan
matanya sambil mengatur pernapasannya.
Kim Loo-toa setelah melihat sipemuda telah berhasil
dapat melukakan lawan-lawannya sehingga kabur lintang
pukang, barulah dia dapat bernapas lega, maka dengan
tenteram dia pejamkan matanya untuk melanjutkan
usahanya mengatur pula pernapasannya.
Waktu ia melihat Leng Hong berjalan menghampirinya,
ia segera mendahului berkata: "Mohon tanya, siapakah
nama tuan yang mulia?"
Leng Hong dengan laku yang sangat hormat lalu
menjawab: "Boanpwee bernama Gouw Leng Hong."
Sesudah berkata begitu, dia lalu mencabut tutup peles itu
sambil disodorkan pada Kim Loo-toa dan berkata: "Obat ini
sangat mujarab khasiatnya, silahkan Cian-pwee mencobanya."
Kim Loo-toa yang melihat sipemuda berbicara dengan
sungguh-sungguh, maka diapun tidak menolak atas tawaran
itu. Setelah menyambuti peles obat itu, lalu diteteskannya
kedalam mulutnya, yang pada saat itu juga dirasakannya
mulutnya sangat wangi sekali, sedangkan dadanya terasa
lega dan segar, maka sambil meramkan matanya, kembali
ia telah mengatur jalan pernapasannya.
Setelah berselang sejurus lamanya, Kim Loo-toa lalu
berlompat bangun, sambil mencekal tangan Peng Jie ia
memberi hormat kepada Leng Hong dan berkata: "Gouw
Tay-hiap, kau telah membantu partai Kaypang menahan
serangan musuh-musuh kita, juga kau telah membantu pula
kepada Peng Jie, budi serta kebaikanmu yang tidak ada
taranya ini, kami tak akan melupakannya seumur hidup
kami. Maka bila kau mempunyai perintah apa-apa, tidak
perduli diair maupun diapi, kami pasti akan menerimanya
tanpa mengerutkan kening barang sedikitpun."
Gouw Leng Hong buru-buru membalas hormat mereka
sambil berkata: "Kim Loo-cian-pwee, janganlah kau berlaku
demikian. Boan-pwee mempunyai saudara angkat yang
bernama Lie Siauw Hiong, yang kerapkali menyebut-nyebut
tentang sikap kesatriaan Loo-cian-pwee, sehingga boan-
pwee merasa sangat kagum oleh karenanya."
Kim Loo-toa lalu menyahut: "Oh, ternyata Gouw Tay-
hiap ini adalah saudara angkat Lie Loo-toa, maka tidaklah
mengherankan bila kau juga mempunyai kepandaian yang
hebat sekali. Aku situa bangka dengan memberanikan diri
selanjutnya akan memanggil kau juga dengan sebutan Loo-
tee. Tapi belum tahu apakah kau tidak keberatan?"
Leng Hong menyaksikan dia begitu polos dan simpatik,
hingga diapun tidak kukuh terhadap adat istiadat dan lalu
bertanya: "Kay-pang mengapa berbentrok dengan partai Bu-
tong?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Hal ini bila hendak
diceritakan, sangatlah panjang, maka sekarang baiklah aku
mencari dahulu saudaraku Loo-jie."
Tatkala berjalan kurang-lebih sepuluh tombak jauhnya,
mereka melihat Kim Loo-jie tampak bersandar pada salah
sebatang pohon besar dengan mata melotot, sedang
sepasang tangannya mencengkeram sebatang pedang
panjang. Peng Jie melihat muka Kim Loo-jie yang begitu pucat
dan menakuti, buru-buru Peng Jie maju menghampiri dan
menggoyangkan pundak orang sambil berkata: "Kim Jie-
siok, Peng Jie sudah datang!"
Tapi Kim Loo-jie tidak menghiraukannya. Peng Jie jadi
merasa heran. Lalu ia membalikkan tubuhnya hendak
menanyakan hal itu kepada Kim Toa-sioknya, tidak
tahunya ia melihat orang yang tengah hendak ditanyakannya itu sedang berdiri terlongong- longong,
mukanya sangat suram, sedangkan giginya mencakup
kencang pada bibir sebelah bawahnya.
Leng Hong yang menyaksikannya sudah maklum,
karena dia pun merasa terharu sekali. Dengan menggunakan tangannya dia mengusap-usap kepala Peng
Jie sambil berkata dengan suara yang pelahan: "Peng Jie,
Kim Jie-siokmu sudah meninggal dunia."
Peng Jie yang mendengar begitu menjadi sangat
terperanjat, ia lompat dan menubruk serta memeluk tubuh
Kim Jie-sioknya, dia menangis menggerung-gerung.
Sekalipun umurnya sendiri sangat muda, tapi ia sudah
kerap mengalami peristiwa semacam ini, dan kini waktu ia
melihat Kim Jie-sioknya telah meninggal dunia, hati
kecilnya menjadi pilu sekali sehingga tak dapat lagi ia
menguasai dirinya sendiri. Ia menangis begitu sedih,
sehingga Gouw Leng Hong yang berdiri disampingnya
tidak tahan untuk tidak turut mengeluarkan air mata.
Leng Hong telah menyaksikan, bahwa luka Kim Loo-jie
dibagian punggung, adalah luka yang agaknya kena
bokongan dari toosu partai Bu-tong itu, sedangkan pedang
yang dicekal ditangannya itu sudah berhasil dibikin
melengkung olehnya, tetapi telapak tangannya sedikitpun
tidak terluka. Halmana, disebabkan karena ia sangat
terkenal tentang kepandaiannya dalam ilmu mencengkeram
yang bernama Im-hong-jiauw.
Tatkala Peng Jie membalikkan tubuhnya dan memandang pada Kim Loo-toa, ia melihat sinar pandangan
matanya semakin lama semakin suram, seolah-olah ia
sedang melayangkan pandangannya ketempat jauh, hingga
sipemuda she Gouw yang mengetahui bahwa Kim Loo-toa
sudah putus harapan dan hatinyapun terluka maka dia
berpikir untuk coba menghiburkannya, tapi untuk sesaat
lamanya tak tahulah ia cara bagaimana harus menghiburinya. Tidak antara lama, Kim Loo-toa lalu mendongakkan
kepalanya dan lalu tertawa panjang. Suara tertawanya ini
berarti perasaan cinta mesra terhadap saudara kandungnya,
hingga satu-persatu pemandangan yang telah lampau
melintas dalam pikirannya disaat itu .. yaitu mereka kakak
dan adik sama-sama mengangkat nama, sama-sama berlaku
sebagai pelindung partai pengemis, tapi kini yang seorang
harus berpisah dengannya untuk selama-lamanya.
Suara tertawanya itu yang semakin lama semakin
rendah, kemudian berubah dan terganti dengan suara
sesenggukan, sedangkan airmatanya yang sebesar-besar
kacang jatuh bertetes-tetes membasahi kedua belah pipinya.
Sekonyong-konyong ia menghentikan menangisnya.
Sambil memegang tangan adiknya yang memegang pedang,
ia berkata dengan suara yang rendah: "Loo-jie, kau jangan
pergi dahulu, kini masih banyak rintangan yang harus kita
hadapi. Loo-jie, kau bersemangatlah, apakah kau dapat
menahan penderitaanmu ini?"
Diantara angin lalu sipemuda seakan-akan mendengar
suara Loo-jie yang berkata: "Hm, penderitaan yang
semacam apakah artinya" Toako, hutang ini harap catat
saja!" Oleh karena itu, dengan suara yang sangat bersemangat
ia menjawab: "Baiklah!"
Angin lalu membawa dan menyiarkan suara tertawanya
ketempat yang jauh sekali, sehingga suara itu berkumandang kedalam hutan dengan menerbitkan gema
yang mengharukan.
Kemudian, setelah memberi hormat kepada Leng Hong,
dengan sebelah tangannya yang lainnya ia menuntun Peng
Jie. Dengan tidak menolehkan lagi kepalanya, ia telah
berlalu dengan mengambil jalan kecil, yang terdapat disitu.
Leng Hong yang melihat dia begitu bersedih dan
pikirannya tampak sangat kacau, didalam hatinya turut
merasa tidak tenteram, maka ia lalu mengikuti mereka dari
belakangan. Mereka bertiga berjalan masuk kedalam sebuah kuil
bobrok. Kim Loo-toa setelah menurunkan mayat adiknya
dari pundaknya, lalu dia berlutut sambil berkata dengan
membelakangi kedua orang itu: "Couw-su-ya, bukannya
Tee-cu tidak memegang janji, tapi sesungguhnyalah karena
para perampok keliwat memaksa, maka terhadap sumpah
tee-cu yang mengatakan tidak lagi mau campur tahu dalam
urusan partai Kay-pang, terpaksa tak dapat melaksanakannya, berhubung kini ketua partai masih
berusia sangat muda, sedangkan kepandaiannyapun belum
sempurna. Apabila tee-cu lepas tangan, maka jerih payah
Couw-su yang telah mengangkat nama partai kita sehingga
mencapai titik yang gilang gemilang akan tersapu bersih.
Dari itu, tee-cu tidak dapat mengurus hal itu, maka tee-cu
terpaksa harus melanggar sumpahku itu."
Setelah selesai mengucapkan kata-kata itu. Kim Loo-toa
lalu membalikkan badannya, kemudian dengan muka yang
bersungguh-sungguh dia berkata kepada Peng Jie: "Pangcu,
aku Kim Loo-toa sudah mengambil keputusanku untuk
masuk kembali dalam partai Kay Pang. Silahkan kau
mengangkatku kembali sebagai pelindungimu."
Peng Jie menggelengkan kepala sambil berkata: "Kim
Sioksiok, janganlah kau memanggilku dengan sebutan itu,
aku .. aku mana bisa jadi pangcu?"
Sebenarnyalah dia masih terlampau muda, dan diwaktu
Kim Siok-sioknya dengan tulus hati ingin mengabdi
dibawah pimpinannya, tidak terasa lagi ia menjadi terkejut
bukan buatan. Kim Loo-toa dengan suara yang sungguh-sungguh sudah
melanjutkan perkataannya: "Sewaktu Loo-pangcu meninggal dunia, dia ada memesan apa terhadapmu?"
Peng Jie yang melihat orang itu sungguh-sungguh ingin
mengabdi kepada dirinya, hatinya menjadi terharu,
semangat jantannya bangkit kembali dan lalu berkata: "Kim
Siok-siok, Peng Jie mengaku salah, silahkan kau orang tua
menyebutkan syarat-syaratnya."
Kim Siok-siok dengan cepat berlari keluar, dengan
memotes cabang pohon diapun berkata kepada Peng Jie:
"Peganglah cabang pohon ini. Kau sentuh pundakku dua
kali, lalu kau umumkan bahwa akulah pelindung keturunan
keenambelas dari partai Kaypang. Upacara ini sebenarnya
harus dilakukan dengan semeriah-meriahnya dan pula
harus disaksikan oleh orang-orang ternama, tapi karena
waktunya sudah sangat mendesak, maka terpaksa
pengangkatan ini hanya dihadirin oleh Gouw Loo-tee saja
yang berlaku sebagai saksinya."
Peng Jie melihat muka Kim Loo-toa begitu pucat, tapi
semangatnya masih tetap menyala-nyala. Selanjutnya oleh
karena kuatir Kim Siok-sioknya teringat kembali akan
peristiwa yang lampau dengan saudaranya itu, maka diapun
lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah kita mulai
upacara pengangkatan itu."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya, kemudian
lantas berlutut dihadapannya Peng Jie.
Peng Jie menjadi agak gugup. Baru saja ia hendak
mengulurkan tangannya untuk mengangkat bangun orang
tua itu, ternyata Kim Loo-toa sudah mendahului berkata:
"Inilah peraturan partai Kay-pang, maka Pangcu tak boleh
mencoba untuk melanggarnya."
Peng Jie mengetahui, bahwa dia tidak dapat menolak
pula, maka dengan menggunakan cabang pohon tersebut,
buru-buru dia menyentuh pundak Kim Loo-toa dua kali
sambil berkata dengan suara yang nyaring: "Kami Pang-cu
dari Partay Kay-pang keturunan keenam belas bernama Lie
Peng, mengundang Kim Siok-siok sebagai pelindung dari
partai kami."
Karena dia tak mengetahui nama Kim situa ini, maka dia
hanya menyebut dengan Kim Siok-siok saja.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gouw Leng Hong yang mendengar suara bocah masih
seperti kanak-kanak saja, tapi semangatnya sebagai seorang
pemimpin tampak begitu agung, nyatalah bahwa dia
mempunyai derajat untuk menjabat kedudukan tersebut,
maka diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai tanda kagum.
Kemudian Kim Loo-toa bangun berdiri dan memberi
penjelasan pada Gouw Leng Hong dengan berkata: "Loo-
tee, kau dengan Cek Yang bukankah pernah terjadi
perselisihan?"
Leng Hong menganggukkan kepalanya sambil menjawab: "Dia adalah salah seorang dari pembunuh
ayahku." Kim Loo-toa setelah berfikir sejurus, sekonyong-konyong
dia berseru: "Dikalangan Kang-ouw terdapat kata-kata yang
tersiar luas sekali, yaitu mengenai Chit-hiauw-sin-kun Bwee
San Bin dan Hoo-lok-it-kian Gouw Ciauw In yang telah
dibunuh oleh Cek Yang dari Bu-tong, Kouw Am dari Go-
bie, Li Gok dari Kong-tong dan kebetulan Loo-tee she
Gouw, maka apakah sangkut pautnya dengan Gouw Ciauw
In Tay-hiap?"
Dengan tersenyum Gouw Leng Hong menjawab: "Ialah
ayahku sendiri."
Dengan menghela napas Kim Loo-toa lalu berkata:
"Hoo-lok-it-kiam Gouw Tay-hiap dengan Loo-pangcu
adalah sahabat lawas, tidak disangka mereka yang begitu
terkenal karena kepribadian mereka yang luhur dan suka
menolong sesama manusia di Hoo-lam dan Hoo-pak,
akhirnya telah menemui ajal mereka terbinasa oleh siasat
busuk kaum pengkhianat bangsa!"
Kemudian Gouw Leng Hong lain bertanya: "Pangcumu
bagaimana bisa kejadian mengikat permusuban dengan Cek
Yang?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Peristiwa ini telah terjadi
pada sepuluh tahun yang lampau. Pada saat itu, dikalangan
rimba persilatan muncul dua orang jagoan aneh, yang satu
adalah 'Chit-biauw-sin-kun', sedangkan yang lainnya lagi
adalah ayah Loo-tee sendiri. Kepandaian kedua orang ini
sangat tinggi dan lihay sekali, apa lagi ayahmu yang telah
melakukan pekerjaan yang paling sempurna dikalangan
Kangouw, sehingga namanya naik tinggi dan menjadi buah
bibir para pendekar. Nama kedua orang ini akhirnya dapat
menindih nama keempat orang ahli waris dari empat partai
besar." Leng Hongpun pernah mendengar riwayat ini dari
penuturan bujangnya yang kini sudah meninggalkan dunia,
maka diapun lalu berkata: "Oleh karena keempat orang ini
tidak merasa puas dengan mereka lalu bersekutu dan
menganiaya ayahku dan Bwee San Bin."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Kejadian ini sungguh kebetulan sekali, yaitu setelah
mereka berempat dapat mengalahkan dan menganggap
bahwa 'Chit-biauw-sin-kan' Bwee San Bin telah terbinasa,
mereka begitu kegirangan sehingga berlaku lengah dan telah
meninggalkan sebuah sarung pedang ditempat pertempuran, yang kemudian sarung pedang itu telah dapat
dijumpai oleh salah seorang dari murid partai pengemis
kami." Dalam hati Leng Hong berpikir: "Kalau begitu, tidaklah
heran mengapa Cek Yang Tojin meminta dengan paksaan
pada Kim Loo-toa akan sarung pedang tersebut, tidak
tahunya sarung pedang itu adalah milik Lie Gok. Tetapi
mengapakah Cek Yang begitu memaksanya?"
Kim Loo-toa lalu melanjutkan penuturannya: "Sarung
pedang itu sebenarnya tidak mempunyai arti apa-apa.
Murid kami dari partai pengemis karena melihat sarung
pedang itu yang diukir secara indah sekali, maka dia
menduga kalau-kalau bukannya sarung pedang itu buatan
dari jaman dahulu, tentulah sangat hebat, oleh karena
itulah, maka dia pungut dan bawa pulang. Tapi dengan
tidak disangka, pada akhir-akhir dua tahun ini, dikalangan
Kang-ouw tersiar suatu berita yang mengatakan, bahwa
sesudah meninggalnya tokoh hebat yang dipanggil Koay-
hiap Cui Tojin, dimana setelah dia mati, maka
kepandaiannya yang hebat dan langkapun turut juga
terkubur pula. Tapi kemudian, entah disengaja atau tidak,
bolehnya tersiar kabar dikalangan rimba-persilatan, bahwa
seluruh kepandaian dari orang aneh itu telah ditulis diatas
sebuah sarung pedang kuno, yang dengan secara kebetulan
telah dapat dimiliki oleh murid dari partai pengemis."
"Kabar ini bertambah lama bertambah santar kedengarannya diluaran, sehingga murid yang telah
mendapatkan pedang sarung itu lalu mempersembahkan
kepada Loo-pangcu kami. Dan setelah Loo-pangcu kami
memeriksanya, ternyata tidak terdapat hal-hal yang aneh,
oleh karena itu, Loo-pangcu berpendapat, bahwa kabaran
yang tersiar diluar dan dalam kalangan Rimba Persilatan
itu, mungkin juga ada berapa bagiannya yang benar, maka
dia telah menyimpan sarung pedang itu baik-baik."
"Tapi Li Gok setelah mendengar kabaran angin ini, dia
menjadi terkejut dan diapun memastikan, bahwa sarung
pedang yang dimaksudkan itu pastilah sarung pedang yang
telah hilang olehnya pada sepuluh tahun yang lalu itu,
halmana telah membuat dia menjadi sangat menyesal dan
menginsyafi, bahwa dirinya selama hidupnya telah banyak
membuat hal-hal yang tidak baik, maka selama tahun-tahun
belakangan ini, banyak sekali musuh-musuhnya telah
datang mencari dia untuk memperhitungkan hutang lama.
Oleh karena dia takut, bahwa banyak diantara musuh-
musuhnya itu adalah orang-orang yang berkepandaian
sangat tinggi, maka dia telah berlaku sangat hati-hati sekali.
Karena dia sebagai seorang Ciang-bunjin, tentu saja tidak
berani berlaku gegabah pula. Maka dari itu, dia telah
memikir untuk menciptakan suatu kepandaian istimewa
untuk menghadapi lawan-lawannya yang tangguh itu.
Kebetulan sekali sarung pedang itu kabarnya memuat
seluruh kepandaian yang hebat dari jago silat terdahulu,
yaitu Cui Too-jin, maka dia telah membulatkan tekadnya
untuk mendapatkan kembali sarung pedang yang telah
lenyap itu."
"Akhirnya Loo-pangcu sendiri pada suatu malam telah
bertemu dengan musuh besarnya, pada waktu mana dia
telah dibunuh mati oleh lawan itu ditengah hutan belantara,
hingga oleh karenanya, kami dua saudara telah bertempur
dengan musuh itu. Maka pada sebelum Loo-pangcu
meninggal, dia telah menjumpai Peng Jie dan lalu
menyerahkan kedudukannya kepada bocah ini. Tapi Li
Gok sungguh tajam sekali pandengarannya, entah darimana
dia mendapat kabar, bahwa sarung pedang itu telah terjatuh
kedalam tangan Siauw-pangcu (Ketua muda). Oleh sebab
itu, dia telah turun tangan sendiri, berhubung diantara
murid-murid dari partai pengemis Utara ada berapa orang
yang telah berkhianat dan berlaku sebagai 'cecolok' Li Gok.
Halmana, disebabkan karena ketua lama sudah meninggal
dunia, sedang ketua yang baru masih muda sekali usianya.
Maka setelah mereka bersatu padu dengan Li Gok dan
menyerang kami dua saudara dan Peng Jie, aku dua
saudara yang melihat lawan kami berjumlah banyak dan
lagi pula banyak diantaranya yang tinggi-tinggi kepandaian
silatnya, maka kami telah memerintahkan pada ketua kami
yang masih muda ini untuk melarikan diri dengan sendirian
kepada partai pengemis cabang Selatan. Tapi sungguh tidak
disangka, bahwa tipu kami ini telah dapat dipecahkan pihak
lawan, sehingga mereka telah mengejar kami bertiga sampai
dikuil rusak tempo hari, dimana syukur juga akhirnya kami
dapat pertolongan saudara Lie, sehingga kami selamat tak
kurang suatu apapun."
Gouw Leng Hong lalu memotong perkataan orang
sambil berkata: "Kalau begitu, mengapa Cek Yang bisa
mengikat permusuhan dengan kalian?"
Kim Loo-toa setelah menarik papas lalu menjawab:
"Aku bersama partai Bu-tong sebenarnya bagaikan air kali
dengan air sumur yang tidak saling mengganggu. Begitu
Loo-pangcu wafat. Cek Yang merasa iri hati kepada partai
kami yang dianggapnya jaya, hingga akhirnya telah terjadi
satu bentrokan kecil diantara murid-murid kedua belah
pihak. Hanya belum tahu, entah apa sebabnya Cek Yang
sampai begitu kejam membunuh saudaraku. Tapi kesudahannya aku telah menarik kesimpulan, bahwa dia
telah bersekongkol dengan Li Gok."
Sebenarnya, dimanalah ia ketahui, bahwa tempo hari
Cek Yang setelah melihat Lie Siauw Hiong mengunjukkan
diri diruangan 'Bu-wie-thia', dengan gagahnya dia telah
berhasil dapat mengalahkan Kinlungo, hingga tak pernah ia
mendengar maupun melihat sendiri sampai waktu detik itu,
ketika dia menyaksikan kepandaiannya Lie Siauw Hiong
yang begitu luar biasa, hingga tidak terasa lagi dia menjadi
sangat kaget sekali, karena dia tahu, bahwa dibelakang hari
Lie Siauw Hiong pasti akan datang menuntut balas,
sedangkan dia sendiri tentu saja tidak dapat melawannya.
Begitulah dengan tidak mempertimbangkan lagi kepada
prikemanusiaan, ia telah turun tangan sendiri untuk
merampas sarung pedang itu, untuk memperoleh kepandaian silat yang hebat dari gambar maupun
peninggalan yang tertera pada sarung pedang tersebut.
Sementara Gouw Leng Hong setelah selesai mendengar
penuturan Kim Loo-toa, diapun hanya dapat menganggukkan kepalanya saja, sedang didalam hati ia
berpikir: "Aku selama beberapa bulan ini, telah mencari-cari
Ah Lan ke Shoa-tang dan Hoo-lam, tapi tidak dapat
menemui jejaknya. Karena kedua matanya telah buta, dia
yang mengembara dikalangan Rimba Persilatan yang penuh
bahaya dan manusia-manusia
keji, sesungguhnya keadaannya sangat berbahaya sekali. Jika mengandalkan
aku sendiri yang mencarinya, hal ini bagaikan mencari
sebatang jarum ditengah lautan, entah aku harus cari
dimana. Oh, benar Hiong-tee mengatakan bahwa murid-
murid partai pengemis tersebar dimana-mana, maka baiklah
aku minta pertolongan mereka untuk mencari Ah Lan,
hingga harapan untuk dapat mencarinya menjadi terlebih
besar." Tapi ketika baru saja dia hendak membuka mulut,
sekonyong-konyong ia telah berbalik pikir: "Didepan mata
urusan yang harus diselesaikan oleh mereka masih
bertumpuk-tumpuk banyaknya, aku yang telah melepas
budi terhadap partainya, bila aku memohon pastilah
mereka akan meluluskannya. Ai, sudahlah. Mengapa aku
harus menyusahkan orang lain" Aku pernah meluluskan
kepada Ah Lan, akan selama-lamanya mendampinginya
bersama Toa-nio, aku .. aku dengan tidak menghiraukan
betapa luasnya muka bumi ini, aku harus dapat mencarinya
kembali, bila dia tidak beruntung telah mengalami bencana,
aku .. aku akan menyusul kepadanya. Pendek pada
pokoknya, didunia ini tidak ada tenaga apapun yang dapat
memisahkan mereka."
(Oo-dwkz-oO) Jilid 40 Pada saat itu, sinar bulan telah memasuki jendela kuil
yang rusak itu. Kim Loo-toa yang melihat muka Gouw
Leng Hong memancarkan sinar yang agak berlainan .. tentu
saja, sekalipun hanya sebentar saja, tapi Kim Loo-toa segera
dapat merasakannya ..
Sekonyong-konyong Leng Hong berkata: "Besok kita
harus melaksanakan perjalanan pula, silahkan kalian pergi
beristirahat."
Peng Jie manggutkan kepalanya sambil memandang
kepada Kim Lo-toa dan berkata: "Kim Siok-siok, marilah
kita beristirahat."
Kim Loo-toa manggutkan kepalanya dan lalu meniup
padam pelita minyak diatas media, kemudian bangkit
berdiri dengan tindakan perlahan menghampiri pinggiran
tembok. Dibawah sinar puteri malam, badannya yang jangkung
tampak menyeramkan sekali .. apa lagi bayangan
punggungnya, yang tampaknya sangat besar serta
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menakutkan itu.
Pada keesokan harinya, Gouw Leng Hong dengan
tergesa-gesa berpamitan dari Kim Loo-toa dan Peng Jie.
Terhadap Kim Loo-toa dia sangat menghormatinya,
sedangkan kepada Peng Jie dia merasa sangat tertarik,
hingga sebenarnya dia ingin tinggal lebih lama bersama-
sama mereka, tapi setelah dia melihat bahwa Kim Loo-toa
ingin mengubur mayat adiknya, diapun terpaksa meninggalkannya, karena tak mau dia mengganggu lebih
lama pula kepada mereka. Tapi didalam hari ia berpikir:
"Sejak hari ini sepasang saudara yang selamanya tak pernah
saling berpisahan, kini harus berpisah untuk selama-
lamanya. Halmana, sesungguhnya sangat memilukan dan
mengharukan hati sekali. Selama hayatku dikandung
badan, hari-hari yang bahagia bagiku hanya sedikit sekali ..
Barangkali untuk selama-lamanya aku tidak bisa merasakan
manisnya penghidupan, dan hari-hari yang sengsara pasti
tidak akan habis-habisnya mengunjungiku. Penderitaanku
sudah cukup berat, oleh karena itu, mengapa pula aku harus
menyaksikan perpisahan yang menyayat hati diantara
kedua saudara ini?"
Dengan mengikuti rencana yang telah ditetapkannya
semula, dengan langkah yang perlahan dia memasuki kota
Lok-yang. Pada saat itu sudah tengah hari, maka ia segera
mencari sebuah warung arak yang bersih dan disana ia
memilih tempat yang letaknya dekat jendela.
Sekonyong-konyong, seluruh tamu yang berkumpul
disitu dengan serentak pada berdiri dan memandang pada
anak tangga, hingga Leng Hong tidak terasa lagi jadi
merasa heran sekali dan buru-buru mengikuti pandangan
orang banyak, ketika pada anak tangga itu muncul seorang
gadis kecil yang ditaksir baru berusia lima atau enambelas
tahun tengah berdiri disitu.
Leng Hong lalu menoleh kepada gadis itu yang bersinar
mata bening dan jernih, putih bersemu merah bagaikan
buah apel, yang disaat itu tengah bersenyum manis seorang
diri. Pada saat itu seluruh tamu yang berada dalam rumah
makan tersebut menjadi hening, semua hadirin sangat
tertarik sekali pada gadis cilik itu. Salah seorang tamu yang
sudah tua, dalam hatinya berpikir: "Apabila aku
mempunyai anak dara semanis dia ini, alangkah baik dan
senangnya penghidupanku." Sedangkan bagi para tamu
yang masih muda tentu berpikir: "Apabila aku mempunyai
adik perempuan yang sedemikian mungilnya .." Tapi
mereka tidak berani melanjutkan pikiran yang bukan-bukan
itu, karena diantara kecantikan gadis cilik ini, tampak sikap
yang sangat agung dan tak boleh dipandang ringan.
Gouw Leng Hongpun karena merasa gadis cilik ini
sangat mungil dan menarik, tidak terasa lagi menjadi
terlebih sering pula memandangnya, hingga dara cilik
inipun seakan-akan mengetahui, bahwa dirinya sedang
dipandang orang, maka diapun bersenyumlah sambil
menghampiri kehadapan Gouw Leng Hong dan berikata:
"Eh, kau memandangi aku mau apa, tahukah kau
saudaraku Lie Twako sekarang berada dimana?"
Leng Hong merasakan pandangan gadis cilik ini sangat
tajam dan menusuk kepadanya, hingga hatinya merasa
bimbang dan tak mendengar jelas pertanyaan orang. Maka
ia lalu bertanya: "Kau, kau mengatakan apa?"
Sigadis cilik manis ini yang melihat muka sipemuda agak
kemerah-merahan, sebenarnya dia hendak menegurnya
mengapa dia tidak memperhatikan pertanyaannya, tapi
ketika baru saja perkataannya hendak diucapkan, tiba-tiba
dia mengurungkan maksud itu, karena ia merasa tidak
sampai hati untuk mengatakannya. Oleh sebab itu, ia hanya
berkata dengan lemah lembut: "Aku tanya kau, apakah kau
tahu ada seorang she Lie .. Lie Twako yang matanya agak
besar itu?"
Leng Hong lalu menjawab: "Apa" Apakah yang kau
tanyakan itu bukan adik Lie Siauw Hiong?"
Gadis cilik manis ini tampak menjadi girang sekali,
hingga dengan muka yang berseri-seri ia lalu berkata:
"Benar .. Lie Siauw Hiong Twako-lah yang sedang aku cari.
Dia adalah adikmu, kalau begitu, inilah sesungguhnya
sangat kebetulan sekali, Lekaslah kau ajak aku pergi
menjumpainya."
Pada saat itu para hadirin dalam rumah makan tersebut
ramai membincangkan tentang sepak terjang gadis ini, dan
ada seorang tua yang jujur melihat mereka berdua sungguh
merupakan satu pasang muda mudi yang sangat setimpal
sekali, tak terasa pula membuat ia merasa gembira akan
menyaksikan kedua orang itu.
Sedangkan kaum pemuda yang menampak gadis cilik ini
dapat bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan Leng
Hong dengan secara bebas, hati mereka merasa iri sekali,
tapi waktu mereka memandang lebih cermat lagi pada Leng
Hong, mereka dapatkan bahwa sipemudapun mempunyai
sinar mata yang tajam pula, dan jika dibandingkan dengan
mereka sendiri, sama sekali mereka tak akan nempil. Oleh
karena itu merekapun menjadi putus asa. Tapi waktu
mereka mendengar sigadis manis tengah menyelidiki
pemuda lainnya lagi, didalam hati mereka merasa aneh
sekali, hingga diam-diam mereka pada berpikir: "Entah
pemuda she Lie itu adalah orang macam apa pula, sehingga
membuat dia merasa sangat kuatir" Ai, nona yang demikian
manisnya ini, andaikata .. asal dia mempunyai perasaan
kuatir atas diriku separuhnya saja, andaikata aku harus
mati, maka akupun akan merasa rela."
Begitulah menurut jalan pikiran masing-masing pemuda
yang sedang berkumpul dalam rumah makan itu.
Para pemuda ini dengan serentak pada menoleh kearah
Leng Hong dengan mengandung perasaan mengejek, yang
seakan-akan mereka hendak mengatakan: "Bocah, janganlah kau lekas merasa girang dahulu, nona manis ini
sudah mempunyai pemuda yang dipenujuinya, lho!"
Gouw Leng Hong tidak menghiraukan atas pandangan
orang banyak terhadapnya, hanya dengan suara yang
perlahan ia telah bertanya: "Kau ini orang she Kim atau she
Phui?" Gadis itu matanya tampak berputar, kemudian dengan
perasaan heran dia menjawab: "Aku she Thio. Eh,
mengapakah kau mengira aku orang she Kim atau she
Phui?" Leng Hong menampak muka sinona seperti orang yang
gugup dan curiga, maka dalam hati dia merasa terkejut juga
dan berpikir: "Nona ini terhadap Hiong Tee begitu
memperhatikan sekali. Tempo hari sewaktu Hiong Tee sakit
keras, dalam mengingaunya dia telah menyebut-nyebut
nama seseorang. Tatkala itu karena aku menganggap dia
sedang sakit keras, maka tentulah nama yang disebutkannya
itu adalah tidak benar. Tapi baiklah untuk tidak melukai
hati nona ini, aku tak akan memberitahukan nama orang
tersebut kepadanya."
Setelah dia berdehem lalu dia tertawa sambil berkata:
"Aku .. mempunyai seorang sahabat she Phui yang
romannya mirip sekali denganmu."
Dia yang begitu melihat gadis ini, dalam hatinya timbul
satu perasaan yang sukar dilukiskan. Ia hanya merasa
bahwa ia harus melindunginya dimana perlu, hingga
terpaksa ia telah membohong pada kali itu.
Ternyata gadis manis ini adalah gadis yang melarikan
diri dari pulau Bu-kek-too, yaitu Ceng Jie. Sejak ia diajak
oleh orang tuanya mengembara kedaerah Tiong-goan,
disitu ia telah menemukan segala sesuatu yang aneh dan
belum pernah dilihatnya selama ia berada dipulaunya
sendiri. Lebih-lebih ia telah dapat berkenalan dengan
pemuda bermata agak besar yang bernama Lie Siauw
Hiong. Begitu terpikir olehnya akan sipemuda yang bermata
besar ini, hatinya jadi merasa sangat gembira. Belakangan
setelah ibunya kena ditiam oleh Giok-khut-mo dan diwaktu
ayahnya Bu Hang Seng melepaskan totokan itu, untuk
pertama kalinya pula dia telah melihat pemuda yang
bermata besar itu. Dalam keadaan demikian, ia melihat
mata yang besar itu tengah memandangnya dengan penuh
kecintaan. Ia tidak mengerti pandangannya itu, tapi
didalam lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang
mesra sekali. Setelah dia mengikuti orang tuanya kembali kepulau Bu
Kek Too, hatinya menjadi tidak kerasan pula tinggal
dipulau itu. Maka setelah berdiam disitu tidak berapa lama,
kembali ia merasa iseng sekali, sedangkan hatinya terus
mengembara kedaerah Tiong-goan kepada sipemuda yang
bermata besar itu, sehingga akhirnya tak dapat pula ia
menahan sabar dan mengunakan kesempatan selagi ayah
dan ibunya tidak begitu memperhatikannya, lalu dia
melarikan diri dengan diam-diam dari pulau tempat
kediamannya itu.
Dia sebenarnya tidak mengetahui nama Lie Siauw
Hiong, tapi ayahnya dengan tidak disengaja telah
menyebutnya dirumah, maka diapun lalu mengingatnya
baik-baik. Disepanjang jalan, asal saja dia berjumpa dengan
orang, dia tanyakan dimana adanya sipemuda she Lie itu,
hingga entah sudah menerbitkan berapa banyak kali buah
tertawaan orang. Dia yang sejak kecil berdiam seorang diri
dipulaunya ini, lagi pula biasa dimanja-manja oleh orang
tuanya, maka terhadap urusan dunia dia tidak tahu jelas,
sehingga diapun tidak tahu kalau menginap dirumah
penginapan, harus membayar uang sewanya, dan sesudah
makan, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa membayar.
Tapi karena orang melihat pada wajahnya yang cantik,
maka selamanya suka mengalah saja kepadanya. Oleh
karena itu, disepanjang jalan belum pernah dia menderita
kerugian apa-apa.
Pada hari itu ketika dia melihat Leng Hong dirumah
makan itu memandang kepadanya, dia merasa Leng Hong
sangat tampan dan baik hati. Lalu dia menanya kepadanya,
tanpa disangka bahwa sesudah bertanya-tanya kian kemari,
akhirnya dijumpainya juga orang yang tepat.
Ceng Jie lalu berkata: "Kalau begitu, Lie Twako
sekarang berada dimana?"
Leng Hong yang menampak sigadis tidak menanyakannya kembali karena dia terlepasan omong tadi,
lalu buru-buru ia menjawab: "Hiong-tee telah mengikuti
Peng Hoan Taysu pergi kepulau Tay Ciap Too untuk
belajar silat yang tinggi dan langka."
Dengan roman yang kegirangan Ceng Jie lalu berkata
pula: "Ternyata dia telah mengikuti Loo Hoosiang pek-pek
(paman pendeta tua) pergi ke Tong Hay, apakah Hosiang
itu mempunyai kepandaian silat yang tinggi?"
Leng Hong yang mendengar dia memanggil Peng Hoan
Taysu dengan sebutan Hosiang pek-pek, dalam hatinya
diam-diam dia menertawakan sinona sambil berpikir:
"Nona ini sungguh wajar sekali kelakuannya, sedikitpun ia
tak marah aku menyebutkan nama wanita lain, tapi bagi
wanita lainnya, pasti dia akan merasa cemburu dan
dendam. Tampaknya kaum wanita sudah punya rasa
cemburu sejak dilahirkan kedalam dunia ini. Hal mana
dapat dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi antara Ah
Lan dan nona she Souw itu."
Begitu dia berpikir pada Ah Lan, hatinya menjadi pilu
sekali, hingga ia lantas berdiam sejenak tanpa berkata-kata
barang sepatahpun.
Ceng Jie lalu berkata: "Eh, apakah kau merasa kurang
senang" Kau she apa?"
Leng Hong lalu nienyahut: "Aku she Gouw, namaku
Leng Hong."
Ceng Jiepun balas menjawab: "Aku Thio Ceng, tapi lebih
baik kau panggil aku Ceng Jie saja."
Leng Hong berkata pula: "Twakomu pergi sudah sebulan
lebih, sekarang dikuatirkan dia sudah kembali pula."
Dengan gugup Ceng Jie berkata: "Aku akan pergi
kepulau Tay Ciap Too, apakah kau mau pergi juga
kesana?" Leng Hong yang memang hendak pergi kedaerah Hoo-
lam dan Hoo-pak serta kebetulan satu jalanan dengannya,
maka iapun dengan girang mengiringinya juga.
"Aku hanya bisa mengantarkan kau keperbatasan Kang-
souw saja," kata sipemuda.
Ceng Jie menjawab: "Begitupun baik, mari kita lekas
berangkat."
Leng Hong lalu membayar harga makannya dan
minuman yang telah didaharnya tadi, kemudian mereka
berangkat menuju ke Utara.
Disepanjang jalan, apa yang dipercakapkan setelah dia
meninggalkan rumahnya, yaitu menanam bunga, menanam
rumput, menangkap ikan, menangkap kutu-kutu. Leng
Hong setelah meninggalkan rumah tangganya senantiasa
berada dalam keadaan bahaya, karena dimana-mana dia
harus melakukan pertempuran mati hidup dengan lawan-
lawannya. Maka setelah kini mendengar cerita yang
menarik itu, dia menjadi giranglah didalam hatinya.
Thio Ceng berkata pula: "Pulau Bu Kek Too sungguh
luas sekali. Disana ditanam bunga-bunga yang beraneka
ragam dan indah sekali pemandangannya, diatas pulau itu
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya ada ayah dan ibuku saja yang melayaniku. Ayah
sendiri dari pagi sampai malam jika bukannya membaca
buku, tentulah berlatih silat, maka aku terpaksa, bermain-
main dengan ibu saja. Pada saat itu, jika kau datang
bersama Lie Twako menemani aku bermain-main selama
berapa bulan, hal itu sudah tentu bukan main baiknya."
Leng Hong yang melihat sinona dengan tulus hati
memohon kepadanya, diapun buru-buru menjawab: "Aku
pasti akan sering-sering datang kesana untuk menjengukmu."
Thio Ceng setelah menghela napas pula lalu berkata:
"Ayah entah sebab apa, tampaknya dia sangat membenci
sekali terhadap Lie Twako. Aku khawatir ayah melarang
aku akan bermain-main demgannya."
Leng Hong lalu berkata pula: "Tidak bisa, kepandaian
Lie Siauw Hiong sangat tinggi dan orangnyapun sangat
pintar. Ayahmu pasti sekali akan menyukainya."
Thio Ceng yang mendengar Leng Hong memuji pada Lie
Siauw Hiong, hatinya menjadi girang dan lalu melanjutkan
perkataannya: "Akupun berpendapat demikian juga. Lie
Twako bersamamu adalah kawan-kawan paling baik yang
kumiliki didunia ini, dia dan engkau adalah orang-orang
yang paling baik sekali."
Leng Hong tiba-tiba berkata: "Ayahmu mendapat
gelaran sebagai salah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar
Dunia', hingga kepandaiannya tentu sangat luar biasa tinggi
dan hebatnya sedangkan kau sendiri begitu pintar, yang
tentunya telah mewariskan kepandaian ayahmu yang hebat
itu juga."
Thio Ceng lalu menjawab: "Ayah
sering-sering menyatakan, bahwa aku tidak belad yar dengan sungguh-
sungguh, sedang ibu mengatakan, bahwa aku sebagai anak
perempuan bukannya khusus untuk bertanding dengan
orang, oleh karena itu, dia tidak membutuhkan kepandaian
yang terlampau tinggi, hingga akhirnya ayahpun tidak
terlampau memaksaku dan hanya mempelajari aku ilmu
Keng-sin-kang saja."
Leng Hong dengan suara memuji lalu berkata: "Tidak
heran bila kau memiliki kepandaian untuk mengentengi
tubuh yang sempurna sekali."
Mendengar pujian itu, Thio Ceng hanya tersenyum saja.
Begitulah kedua orang itu berjalan disiang hari, dan
dimalam hari beristirahat, maka masing-masing merasa
cocok satu sama lain. Dan dimana saja mereka tiba, Leng
Hong senantiasa menyelidiki dimana sekiranya Lie Siauw
Hiong berada, disamping menjaga dengan sangat hati-hati
diri sinona yang kini berjalan bersama-sama dengannya.
Tatkala berjalan pula berapa hari lamanya, belum juga
Thio Ceng berhasil menjumpai orang yang sedang dicarinya
itu, hingga diam-diam ia merasa jengkel juga didalam
hatinya. Lalu bersama-sama Leng Hong ia membentangkan
Keng-sin-kang dengan sehebat-hebatnya. Mereka ini baik
turun gunung dan melampaui semak belukar. Setelah
mereka memasuki daerah Hoo-lam dimana banyak sekali
jalan yang tidak rata, kedua orang itu toh telah dapat
membentangkan Keng-sin-kang mereka bagaikan ditempat
yang datar saja.
Pada hari itu sesampainya di Souw-ciu dan terpisah dari
pantai laut tidak berapa jauh, haripun sudah menjelang
malam, hingga kedua orang itu buru-buru mencari sebuah
guha gunung untuk mereka duduk beristirahat disitu.
Keadaan pada waktu itu sudah mulai termasuk pada
musim dingin, hingga hawa udara luar biasa dinginnya.
Setelah Leng Hong memotes berapa cabang pohon yang
sudah kering, lalu didepan guha gunung tersebut ia
membuat unggun untuk memanaskan badan mereka. Thio
Ceng lalu mengeluarkan makanan kering dari dalam
buntelannya, yang sebagian ia berikan kepada Leng Hong,
kemudian mereka berdua sambil duduk menghangatkan
badan lalu memakan makanan kering bawaannya sinona
itu. Leng Hong yang mendapatkan sinona tinggal membisu
saja, ia segera ketahui, bahwa sinona sedang merasa risau
atas perpisahan yang akan segera berlangsung diantara
mereka berdua pada keesokan harinya. Semua ini diketahui
Leng Hong karena sinar api unggun yang menerangi wajah
nona itu. Dalam hati dia berpikir: "Hati sinona ini sungguh jujur
dan welas sekali, sedangkan nasib saudaraku Lie Siauw
Hiong benar-benar sangat mujur sekali. Nanti bila aku telah
berhasil menjumpainya, pasti akan kusampaikan nasihatku,
yang kira-kira akan berbunyi sebagai berikut: Kau harus
dengan seluruh hati dan rasa mencintai nona manis ini.
Hm, siapakah lagi yang dapat menandingi tentang
kecantikan dan kemungilannya?"
Sambil berpikir demikian, otaknyapun terbayanglah
bayangan Ah Lan, hingga ia berkata didalam hatinya:
"Hanya Ah Lan saja yang dapat dibandingkan kecantikannya dengan nona ini." Begitulah menurut jalan
pikirannya. Diangkasa bintang pertama telah menampakkan diri,
dan tidak antara lama rembulanpun telah mulai berkisar
naik dari balik puncak gunung.
Leng Hong membuka buntelannya, dari mana ia telah
mengeluarkan sepucuk surat dan lalu dibaca bunyinya
dengan berulang-ulang: "Twako, aku tidak marah
terhadapmu, benar-benar aku tidak memarahimu .. Siauw
Kbo-nio adalah seorang anak dara yang sangat baik sekali,
dan diapun sungguh-sungguh pula mencintaimu, oleh
karena itu, baiklah kau juga memperlakukan dengan
sepenuh hati, sedang terhadapku yang bodoh lagi dungu ini
tak usah kau kenang-kenangkan pula. Twako, aku pergi,
sekalipun aku pergi ketempat yang sejauh-jauhnya, tapi,
Twako, Ah Lan masih tetap menjadi milikmu. Sekalipun
terpisah ribuan lie jauhnya, tapi Ah Lan selama-lamanya
akan mendoakan agar kalian hidup beruntung dan bahagia
.. Leng Hong dengan tidak jemu-jemunya membaca surat
tersebut dengan berulang-ulang. Dalam keadaan demikian,
teringatlah ia akan peristiwa tempo hari antara dia dengan
nona Souw, yang karena asyiknya mereka bercinta-cintaan,
sehingga peristiwa lain-lainnya mereka tidak pernah
memikirkannya sama sekali.
Ah Lan dengan meninggalkan surat ini, lalu pergi
meninggalkannya,
tentulah dia telah mendengar percakapan mereka berdua, tapi ia sendiri tidak pernah
menyangkanya sama sekali. Apakah karena ia terlampau
banyak menenggak susu macan, maka ia telah melakukan
sesuatu yang melampaui balas kesopanan"
Sekonyong-konyong Thio Ceng berkata: "Gouw Twako,
kau lihat, disana ada apa?"
Leng Hong lalu mengangkat kepalanya memamdang,
dimana ia lihat sebuah bintang jatuh dengan dilangit
tampak sinar yang dengan cepatnya beralih.
Leng Hong lalu berkata: "Itulah bintang jatuh."
Thio Ceng manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata-
kata lagi, sedang didalam hatinya ia berpikir: "Ibu sering
mengatakan, setiap bintang mewakili seorang dewa. Dewa
itu entah disebabkan oleh apa, bukannya menjadi dewa suci
dan baik-baik tinggal dilangit, tapi sebaliknya turun kedunia
yang penuh dengan kedosaan dan kepalsuan. Hanya belum
tahu, apakah dewa itu seorang laki-laki ataukah
perempuan?"
Kemudian diapun melanjutkan pikirannya: "Waktu aku
masih kecil, segala apapun aku tidak mengetahuinya, sehari
suntuk kerjaku hanya main-main saja, atau aku minta ibuku
bercerita sesuatu. Apabila aku sudah merasa lelah, akupun
tertidurlah diatas rumput. Setelah aku bangun dan merasa
haus, maka aku lalu memetik buah untuk dimakan. Apapun
aku tidak pernah memikirkannya, apapun aku tidak takuti,
hanya ayah sering-sering memaksa untuk melatih diriku
dalam kepandaian silat, barulah aku merasa agak takut.
Sepulangnya dalam perjalanan terakhirku ini, aku dapatkan
segala sesuatu yang terdapat diatas pulau tempat tinggalku
sudah tidak menarik lagi. Aku hanya memikirkan Lie
Twako saja seorang, aku takut ia tidak mau berlaku baik-
baik pula terhadapku, karena sikap ayahku terlampau kasar
terhadapnya. Hatiku sungguh-sungguh merasa risau sekali,
ai, apakah barangkali bila seseorang itu bertambah besar,
penghidupannyapun bertambah tidak gembira pula?"
Lalu dia mencuri lihat kearah Leng Hong dan melihat
juga sepucuk surat ditangannya, sipemuda memandang
ketempat jauh dengan sorot mata yang suram, hingga ia
lantas mendekatinya sambil berkata: "Gouw Twako, kau
sedang melihat apa?"
Gouw Leng Hong menjadi terkejut mendengar
pertanyaan sinona, hingga buru-buru ia simpan suratnya itu
sambil memaksakan dirinya tertawa dan menjawab: "Tidak
apa-apa. Aku merasa bahwa besok kita sudah harus
berpisahan. Kau harus cepat-cepat pergi, jika tidak, Hiong-
tee pasti akan salah paham terhadapmu."
Ceng Jie sekalipun berhati jujur, tapi diapun cukup
cerdik, disepanjang jalan sekalipun dia tahu Leng Hong
sebentar tertawa sebentar bercakap-cakap dengan riang
tampaknya, tapi didalam lubuk hatinya dia tengah
menyimpan rahasia sesuatu yang tidak mudah diterka
orang, karena hal itu dapat dia buktikan pada muka
sipemuda yang kadang-kadang tampak suram sekali.
Setelah dia menanyakan hal itu berapa kali, Leng Hong
senantiasa tidak menjawab pertanyaannya dan hanya
menjawab dengan menyimpang saja. Dalam hati dia
berpikir: "Kepandaiannya selainnya tinggi, orangnyapun
sangat tampan. Sebenarnya dia masih ada hal apakah yang
membuat hatinya tidak merasa puas" Lebih baik aku jangan
menanyakannya dengan melit, untuk mencegah agar dia
tidak terlampau sedih. Akan kutunggu setelah aku berjumpa
dengan Lie Siauw Hiong Twako, aku nanti menanyakan
kepadanya, hingga aku bisa mengetahui jelas akan sebab
musababnya."
Selama hari-hari yang terakhir itu, ternyata dia sudah
dapat menimbang-nimbang segala sesuatu dengan terlebih
sempurna. Dengan suara yang lemah-lembut Ceng Jie lalu berkata:
"Jika kau mempunyai waktu yang terluang, silahkan
mampir kepulau Bu Kek Too tempat tinggalku itu, ya?"
Lemg Hong hanya manggutkan kepalamya saja, tapi
sekonyong-konyong dia berkata: "Bila kau telah menjumpai
Lie Siauw Hiong, kau tolong beritahukan kepadanya, dua
bulan kemudian aku akan datang kekota Lok-yang untuk
menungguinya, hingga kami boleh sama-sama menuntut
balas atas sakit hati kita masing-masing."
Diatas langit bintang-bintang memancarkan sinarnya
yang berkelak-kelik dalam kegelapan. Sambil memandang
bintang-bintang tersebut, dalam otak Ceng Jie berkelebat
pula bayangannya Lie Siauw Hiong ..
Sementara Lie Siauw Hiong justeru itu sedang duduk
dimuka sebuah guha. Matanya yang tajam tengah menatap
kearah langit yang jauh sekali dan terbentang diatas
kepalanya, sedang mukanya yang kepucat-pucatan
memperlihatkan satu bentuk yang sukar dilukiskan.
Mungkin sekali, diapun tengah memikirkan pada Ceng
Jie juga" Setelah menyambuti satu pukulannya Kinposuf, waktu
itu ia menerima pukulan tersebut dengan badannya sendiri
tidak sampai bergerak mundur, tanpa meminjam tenaga
pihak lawannya untuk memusnahkan serangan itu, karena
satu pukulan itu sudah mengenai dengan telak sekali pada
dirinya, hingga biarpun tenaga Lie Siauw Hiong lebih kuat
berapa kali, ia toh bukan tandingan Kinposuf yang
setimpal. Tapi sekarang mukanya sudah tampak mulai
bersemu merah kembali. Luka yang diderita disebelah
dalam badannya, sudah sembuh delapan atau sembilan
bagian, hal mana belum dapat dikatakan bahwa dia sudah
berhasil menggunakan cara yang sempurna dari seseorang
yang sudah mencapai tingkat yang tertinggi untuk
menyembuhkan lukanya sendiri.
Dan kini memang sebenarnyalah, bahwa dia tengah
memikirkan diri Ceng Jie, yang wajahnya terbayang-bayang
dikelopak matanya.
Kemudian perlahan-lahan ia berpikir pula atas diri Kim
Ie dan Phui Siauw Kun.
Siauw Kun adalah wanita yang pertama-tama berhasil
menarik perhatiannya, juga yang pertama-tama pula ia
jatuh hati terhadapnya. Tapi tidak disangka bahwa nasib
nona itu sudah digariskan begitu, sehingga cinta
pertamanya ini hanya dapat membekas untuk selama-
lamanya didalam hatinya saja.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tempo hari waktu Phui Siauw Kun dan suaminya Kim
Ie didesak sampai tidak mempunyai jalan mundur, Lie
Siauw Hiong dengan tidak memperdulikan risiko dirinya
sendiri lagi dia sudah tampil kemuka dan dengan kekerasan
pula dia menyambuti serangannya Kinposuf. Pada detik itu
dia telah melupakan pada pembunuh-pembunuh ayah
bundanya, melupakan budi kebaikan suhunya, juga
melupakan pada pekerjaan-pekerjaan besar yang harus
diselesaikannya, hingga pada saat itu dia hanya mengikuti
darahnya yang berdidih dan melampiaskannya dengan
napsu yang bergelora demi membela sahabat-sahabatnya.
Bila demikian halnya, dapatkan dikatakan bahwa dia ini
masih tetap mencintai Phui Siauw Kun"
Dia tak putus-putusnya menegur pada dirinya sendiri:
"Lie Siauw
Hiong, kau mengapa tidak dapat melupakannya" Ada apakah gunanya engkau selamanya
memikirkannya?"
Dilangit tampak segaris sinar yang menggaris angkasa
yang hitam gelap, dan diapun tahu bahwa hal itu berarti
ada bintang yang jatuh kebumi.
"Aku tidak boleh mencintainya kembali" Jika aku tidak
mencintainya, kenapa aku mau mengorbankan diriku begitu
rupa dalam membela kepadanya" Apakah hal itu hanya
dilakukan atas nama kebajikan saja" Jika aku mencintainya,
aku sudah seharusnya tidak mempunyai pikiran semacam
itu, maka biarlah ia dengan tenang mengikuti suaminya
Kim Ie, tidak perduli dia itu siapa adanya, tapi toh ia
terhitung sudah mempunyai pembela selama hayat
dikandung badannya."
Begitulah pikirannya menjadi kacau tidak keruan.
Ombak terdengar memecah pantai dengan santer dan
nyaring disaat yang hening pada malam itu.
Dalam keadaan demikian, maka pikiran seseorang tentu
saja dapat mengembara entah kemana, hingga Lie Siauw
Hiong sendiripun tidak terkecuali. Pikirannya sipemuda tak
berbeda dengan kuda liar tengah berlari-lari entah kemana.
Dan setiap muka yang dikenalnya, satu persatu melintas
dikepalanya, hingga perasaan Lie Siauw Hiong pada saat
itu sesungguhnya sukar sekali untuk dilukiskan.
Akhirnya ingatannya melekat paling dalam pada orang
yang paling disayanginya, yaitu Bwee siok-sioknya. Lie
Siauw Hiong makanya dapat berkeadaan seperti sekarang
ini, semuanya dapat dikatakan karena mengandel rawatan
orang tua itu. Sekonyong-konyong satu hal yang aneh dan belum
pernah melintas dikepalanya kini tampak terbayang
dihadapannya. "Orang yang hidup didunia ini, yang bagaimanakah baru
dapat terhitung seorang yang baik" Seperti Kim It Peng dan
Kim Ie, orang-orang semacam mereka ini, apakah dapat
dikatakan orang-orang jahat" Dan orang yang dikatakan
baik itu, apakah satu kali saja tidak pernah berbuat sesuatu
pekerjaan yang tidak baik?"
"Seperti Bwee Siok-siok, yang memiliki tujuh macam
kepandaian yang begitu hebat sehingga dikalangan Kang-
Ouw ia memperoleh julukan 'Chit-biauw-sin-kun',
kebanyakan orang yang mengenalnya pada mempunyai
perasaan takut terhadapnya, hingga sedikit sekali yang
menghormatinya. Kedua saudara she Kim dari partai
pengemis sekalipun kepandaian mereka terbatas, dikalangan Kang-ouw bila ada orang yang menyebutkan
nama mereka, pasti sesaat itu orang akan mengacungkan
ibu jari sambil memuji kepada mereka. Halmana
sesungguhnya telah memberi kenyataan dan kepastian,
bahwa seseorang mudah sekali untuk berbuat jahat, tapi
sebaliknya jika kita menghendaki orang itu berbuat
kebaikan, maka sulitlah rasanya untuk dilaksanakannya ..
Sebenarnyalah, Lie Siauw Hiong adalah seorang yang
kritik sekali dalam tindak tanduknya, sekalipun dia pernah
bersama-sama Bwee San Bin mengikuti dan mempelajari
buku-buku kuno, tapi dalam sanubarinya sendiri dia
dapatkan apa yang dikatakan baik dalam kitab kuno itu,
kini ada berapa bagian yang sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan jaman. Dengan begitu, diapun dapat menyingkap
arti 'Memusuhi aku' dengan 'Tidak benar' yang terkandung
dalam dua perkataan itu. Maka asal orang itu berlaku baik
terhadapnya, dia akan sepuluh kali membalas orang
tersebut dengan kebaikan pula. Tapi bila ada orang yang
berlaku jahat dan memusuhinya, diapun akan membalasnya
sepuluh kali lipat dari orang itu berbuat terhadapnya.
Andaikata orang lain dapat melihat keganjilan dari
tindakannya ini, maka diapun tak akan menghiraukannya.
Tapi selama beberapa hari ini, umurnyapun sudah
bertambah pula, agaknya karena disebabkan Gouw Leng
Hong sudah mempengaruhinya, hingga perasaannya yang
semula terlampau extrim itu sudah banyak lebih lunak,
hanya perubahan semacam ini dia sendiripun mungkin
tidak mengetahuinya.
Misalnya saja, tempo hari dia mengikuti tindak
tanduknya Bwee Siok-sioknya secara membabi buta, tapi
pada saat ini dia sudah mempunyai konsepnya sendiri
dalam menilai orang tua itu, hal mana bukankah berarti
suatu perubahan yang tidak kecil artinya"
Begitulah pikirannya ini mengembara entah kemana, dan
akhirnya dia bertanya pada dirinya sendiri: "Dapatkah aku
digolongkan pada golongan orang yang baik?"
Begitulah dalam hatinya timbul pertanyaan semacam ini,
dan pertanyaan semacam ini dalam sekali membekas dalam
sanubarinya. Selama beberapa hari itu, dia yang telah
berhasil mewariskan kepandaian yang sehebat-hebatnya
dari Peng Hoan Siangjin, kemudian diapun memiliki gelar
'Bwee-hiang-sin-kiam' yang dipuji dan disanjung-sanjung
orang dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi hal itu,
apakah berarti cukup baik baginya"
Setiap orang bila sudah menjadi seorang yang terkenal,
tiap tindak-tanduknya senantiasa hati-hati sekali, maka Lie
Siauw Hiongpun pada saat itu berkeadaan sedemikian juga.
Tapi waktu ia berpikir, ia sendiri yang telah memperoleh
julukan 'Bwee-hiang-sin-kiam' yang telah membuat banyak
orang menyanjungnya begitu tinggi, bukankah hanya
berarti ia sebagai seorang paham ilmu silat saja"
Begitulah tidak putus-putusnya dia berpikir, dengan
mana ia telah berhasil menyembuhkan luka-luka yang
diderita dari lawannya .. begitu pula pikirannya yang kerap
berubah-ubah dengan tidak berketentuan.
Banyak sekali pikiran yang tidak-tidak melintas
dikepalanya, tapi akhirnya teringatlah ia pada tiga gadis
yang telah dijumpainya selama hidupnya, yakni Phu Siauw
Kun, Kim Bwee Leng dan Thio Ceng.
Pertemuannya yang terakhir dengan Phui Siauw Kun
telah menyebabkan ia teringat pada Kim Bwee Leng yang
telah hilang, yang ia harapkan bahwa pada suatu hari akan
dapat menjumpainya pula ..
Tapi semua ini hanyalah merupakan lamunan belaka,
hingga ia tak tahu pasti nasib apa yang telah menimpah atas
diri Kim Bwee Lang .. atau benarkah nasib telah
mempermainkan mereka"
"Aku bersamanya tidak berkumpul terlampau banyak,
tapi kesannya begitu dalam sehingga aku sukar dapat
melupakannya. Sekalipun kita tidak berterus terang
membicarakan tentang kasih sayang kita, tapi dia yang
sudah beberapa kali mengorbankan dirinya sendiri untuk
mencoba menolongku, bukankah itu lebih menang jika
dibandingkan dengan ribuan kata-kata yang kosong belaka"
.. Waktu aku berdiam bersama-sama ia, urusan yang
menjengkelkan hati tidak pernah melintas disanubariku,
aku hanya merasa hidup gembira yang hampir berarti tak
ada batasnya .. Lie Siauw Hiong, bukankah hatimu telah
terpincuk sedemikian dalamnya oleh Thio Ceng?"
Lie Siauw Hiong telah mengetahui, bahwa setengah jam
sudah hampir lewat, dan dalam waktu yang singkat ini ia
sudah harus dapat melenyapkan pikiran yang bukan-bukan,
agar supaya dapat memusatkan perhatian yang terakhir
untuk mengatur pernapasannya.
Tampaknya ia bersungguh-sungguh dalam mengatur
jalan pernapasannya itu, hingga perlahan-lahan dari atas
kepalanya tampak keluar asap putih yang berkepul-kepul.
Dihadapannya terdapat pasir melulu. Pasir ini merupakan suata jalan yang panjang dan sempit, jika dari
jalan pasir ini kita maju kemuka, maka sampailah kita
kelaut. Air laut itu seakan-akan ingin menelan pasir saja
tampaknya, maka dengan ganas dan berlarut-larut ia terus
menggulung dan mendampar pasir-pasir tersebut, sehingga
dari suara yang ditimbulkan oleh damparan ombak laut itu,
seakan-akan menerbitkan suara tetabuhan yang agak merdu
kedengarannya. Sekonyong-konyong ..
Dua sosok tubuh manusia tampak dari pantai. Sekalipun
bayangan kedua orang itu kini terpisah masih sangat jauh,
tapi dapat dilihat dengan cukup tegas, bahwa kedua orang
ini adalah manusia yang aneh sekali bentuknya.
Diantara kedua orang ini tampak seorang yang anggota
tubuhnya tidak lagi lengkap.
Mereka sambil berjalan, sambil menunjuk-nunjuk
dengan menggerak-gerakkan kaki dan tangan mereka,
seakan-akan satu diantara mereka adalah seorang bisu
layaknya. Perlahan-lahan dibawah sinar bintang-bintang dan
rembulan, tampaklah roman kedua orang ini yang amat
jelek serta menyeramkan dalam pandangan mata. Dengan
begini, sudah teranglah kiranya, bahwa kedua orang ini
bukan lain daripada Hay-thian-siang-sat!
Mereka pernah mendengar dan menyelidiki, bahwa
tempat ini tidak berpenghuni, oleh karena itu, tanpa merasa
curiga ataupun takut, mereka berjalan tersaruk-saruk
sehingga terdengar nyata suara tindakan kaki mereka
dimalam sunyi serta lengang ini.
Lie Siauw Hiong yang sedang bersemedhi dimulut guha
yang gelap itu, karuan saja jadi sangat tercengang
mendengar suara kaki itu, hingga buru-buru dia membuka
matanya memandang .. dan justeru dalam detik itu juga,
diapun tidak dapat pula menguasai dirinya dengan tenang
seperti barusan.
Muka yang begitu menakutkan dan kejam serta anggota
tubuh yang tidak sempurna, dalam sedetikpun tidak pernah
terlupakan oleh Lie Siauw Hiong, lebih-lebih karena mereka
ini adalah musuh besar dan pembunuh ayah dan ibunya.
Diapun mengetahui, bahwa pada saat itu justeru saat
yang paling genting dan menentukan untuk dapat
menyalurkan kembali pernapasannya dengan sempurna,
hingga sedikitpun tak dapat dia memecah pikirannya. Tapi
setelah mencoba lima kali, diapun belum juga berhasil
dapat menguasai dirinya, berhubung dia merasa sangat
geramnya. Dalam keadaan begitu, sekalipun orang lain
mempunyai sifat sabar bagaimanapun, pasti tak dapat juga
bertahan seperti juga halnya sendiri.
Sambil menarik napas lalu dia berlompat bangun.
Diapun menginsyafi, dengan berlompat bangun sebelum
pernapasannya sempurna dijalankan, dia, harus menggunakan dua kali lipat tenaga untuk mengatur kembali
jalan pernapasannya yang terganggu ini. Tapi dalam
suasana seperti ini, memang dia tak dapat mencegahnya.
Setelah dia mencoba-coba, akhirnya dia dapatkan
pergerakannya menjadi sudah normal kembali, namun
pernapasannya kembali untuk bertempur.
Tindakan kaki Hay-thian-siang-sat terdengar semakin
nyata, karena kian lama mereka mendatangi kian
bertambah dekat saja, dan dengar suara tindakan kaki
mereka itu seakan-akan dengan langsung ingin menuju
keguha dimana sipemuda menempatkan dirinya.
Dengan gugup Lie Siauw Hiong berpikir: "Jika dalam
keadaan normal sepasang manusia bercacat ini datang
mereka seakan-akan
mengantarkan diri kepadanya, sehingga dia tak usah mencapaikan pula untuk mencari-cari
dimana-mana, yang hasilnya belum tentu dapat diharapkan."
Hanya kini amat disayangi dia tidak mempunyai tenaga
untuk bertempur, hingga tak tahu ia bagaimana harus
berbuat selanjutnya.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi saking marah dan gugupnya, dengan sembarangan
saja dia meraba-raba badannya, mencari-cari sesuatu yang
mungkin dapat dipergunakannya untuk menghadapi kedua
orang lawannya itu.
Sekonyong-konyong jeriji tangannya dapat meraba
sesuatu, yang waktu disadarinya apa adanya barang itu, ia
jadi begitu kegirangan, sehingga hampir saja dia terlepasan
mulut dan berteriak.
Dalam pada itu, tampak dari dadanya dia mengeluarkan
sebuah pales kecil, sedang didalam hati diam-diam ia
berkata: "Dalam kitab 'Tok Keng' Kim It Peng, disitu
Jodoh Si Mata Keranjang 5 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 1
guha itu. Pada saat Kinlungo melangkahkan kakinya masuk
kedalam guha tersebut, dia hanya melihat dalam guha itu
diatur banyak sekali timbunan batu-batu yang merupakan
hutan batu. Batu-batu itu sudah tentu saja adalah hasil
ciptaannya Lie Siauw Hiong, sedangkan suara Lie Siauw
Hiong keluar diantara celah-celah batu-batu itu.
Dengan ini harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong
yang telah mewariskan kepandaian Chit-biauw-sin-kun,
kecuali 'dalam hal membedakan sesuatu', pelajaran yang
lain-lainnya boleh dikatakan dia sudah melampaui gurunya.
Lebih-lebih dalam soal barusan 'Kwie-goan-kouw-tin' dia
sudah jauh melampaui kebiasaan gurunya sendiri. Barisan
yang sukar ini kini dia sudah dapat menguasainya, untuk
mengatur dan mempergunakannya disembarang waktu
tanpa mengalami kesulitan sesuatu.
Begitulah Kinlungo terpaksa berputar-putar beberapa
puluh kali didalam guha tersebut, karena dia tidak
diperbolehkan untuk merusakkan segala sesuatu yang
terdapat disitu.
Pada bagian muka telah kita terangkan tentang jalan
gunung disitu yang berbelit-belit. Jika sekali saja orang salah
jalan, maka dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan
pasti tak dapat keluar dari jalan tersebut. Maka Kinlungo
yang telah dipersulit oleh Lie Siauw Hiong, dia hanya dapat
berjalan dengan sekena-kenanya saja.
Lie Siauw Hiong dengan sengaja tertawa dingin dan
mengejeknya dari dalam guha tersebut. Hang Hoo Sam
Hut' yang sudah menunggu-nunggu sehingga dua jam
lamanya, tapi tidak melihat sang murid muncul kembali,
mereka jadi tidak sabaran dan uring-uringan.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan kesempatan sangat
baik ini, lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Tiga
manusia dogol bangkotan, murid kesayanganmu jangan
harap akan dapat keluar pula!"
Diantara murid-murid Kinposuf, maka yang paling
disayang adalah murid yang bungsu serta paling cerdik,
yaitu Kinlungo, maka setelah kini menampak murid
kesayangannya tidak muncul keluar lagi, dia mengira
bahwa sang murid benar-benar telah mengalami kecelakaan, hingga saking gugupnya dia telah berteriak-
teriak. "Orang she Lie, lekaslah engkau keluar! Muridku
Kinlungo jika kau berani melukakan seujung rambutnya
saja, aka Kinpouf pasti akau mencabut nyawamu!"
Lie Siauw Hiong yang mendengar perkataan Kinposuf,
diapun menjadi marah pula buru-buru dia melompat keluar
dari dalam guha tersebut dan tepat tubuhnya jatuh
dihadapan Heng Hoo Sam Hut, dimana sambil tertawa
dingin dia berkata: "Huh, omonganmu sungguh terlampau
berlebih-lebihan! Aku orang she Lie sekalipun tidak begitu
pandai, tapi masakan aku tidak dapat menyambut satu
pukulanmu!"
Kimposuf sendiripun yang merasa sangat geram, diapun
lalu berseru: "Pukulanku yang tunggal ini jika tidak dapat
membinasakan kau 'Heng Hoo Sam Hut' pasti tidak akan
datang pula kedaerah Tiong-goan, jika kau masih hidup
dialam dunia ini!"
Sambil tertawa riang Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Apakah omonganmu dapat dipercaya?"
Saking geramnya, Kinposuf dengan bernapsu sekali lalu
mengiakan dengan jalan menganggukkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong lalu berseru kearah dalam guha tersebut
sambil berkata: "Kun Moay! Lekas bawa keluar sibocah
biadab itu!"
Tidak antara lama benar saja Kinlungo sudah mengikuti
Phui Siauw Kun berjalan keluar, agaknya karena dia telah
kesasar entah sudah beberapa kali, maka wajahnya tampak
mengandung kemarahan yang jelas sekali.
"Toasuhu silahkan bersiap-siap! Asal saja satu kali
pukulanmu itu tidak berhasil menjatuhkanku, maka aku
persilahkan kalian untuk segera mengangkat kaki dan
pulang kembali kekampung halamanmu di Thian-tiok,
kemudian untuk selama-lamanya kalian tidak boleh lagi
memasuki daerah Tiong-goan!"
Heng Hoo Sam Hut dan Kinlungo melototkan mata
mereka pada Lie Siauw Hiong, sedang Phui Siauw Kun
yang menyaksikannya dari samping merasa tegang sekali.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berjalan kesamping
Phui Siauw Kun sambil berbisik: "Kun Moay! Lekaslah
dengan menggunakan kesempatan ini engkau melarikan diri
bersama-sama Kim Ie! Jika kalian tidak pergi sekarang juga,
dikuatirkan bangsa liar ini akan mengubah haluan dan
waktu itu pasti kalian tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk melarikan diri dari mereka."
Dari perkataan dan pandangan mata Lie Siauw Hiong,
Phui Siauw Kun telah mendapatkan sesuatu yang tidak
didapatkannya dahulu dalam cinta kasihnya terhadap
pemuda kita itu, maka untuk kebaikannya Kim Ie, dia rela
untuk melarikan diri, tapi atas kebaikan pemuda kita ini,
dia harus membalasnya dengan cara apakah dikemudian
hari" Lie Siauw Hiong pada saat ini bukan saja telah berniat
akan berkorban untuk diri Phui Siauw Kun pribadi, tapi
juga yang terpenting adalah berkorban untuk nama baiknya
kalangan Bu-lim di Tiong-goan, maka ia telah menghadapi
keempat jago silat asing itu tanpa menunjukkan perasaan
gentar ataupun takut. Dan tatkala melihat Phui Sianw Kun
merasa ragu-ragu atas pertolongannya, tidak terasa lagi
hatinya menjadi lemah dan dengan suara lemah lembut dia
berkata: "Kun Moay, lekaslah lari! Janganlah membuat
hatiku gundah memikirkan keselamatan kalian! Pukulan
bangsa liar ini aku pasti akan dapat menahannya. Aku
hanya kuatir, bahwa perkataannya tidak dapat dipegang
sepenuhnya. Oleh karena itu, lekaslah kalian melarikan diri
sejauh mungkin!"
Dengan perasaan sangat berterima kasih, Phui Siauw
Kun menganggukkan kepalanya. Setelah itu, dengan air
mata berlinang-linang dia berjalan masuk kembali dengan
perlahan-lahan kedalam guhanya. Sekalipun hal itu
bukanlah menjadi tujuannya yang utama, tapi dia tak dapat
tidak harus membawa pergi Kim Ie yang masih lupa
daratan itu untuk menyelamatkan diri mereka.
Lie Siauw Hiong menunggu setelah Phui Siauw Kun
telah berlalu lama juga, barulah pikirannya menjadi lega,
maka sambil menghela napas panjang ia menghampiri
kehadapan Kinposuf ..
Pelahan-lahan tangan kanan Kinposuf diangkat keatas,
hingga bulu tangannya yang hitam berwarna merah dan
berdiri karena penyaluran kekuatannya pada tangannya itu,
sedangkan sepasang matanya yang tajam bagaikan mata
burung elang yang mengintai lawannya ditatapkan pada
wajah Lie Siauw Hiong dengan sorot mata tak berkesip,
sehingga setiap gerak-gerik Lie Siauw Hiong tidak luput
dari pandangannya ..
Sedangkan Lie Siauw Hiong sendiripun dengan diam-
diam telah mengumpulkan seluruh kekuatannya pada
sepasang tangannya. Seketika itu hatinya tidak memikirkan
segala sesuatupun, hanya dengan satu tujuan yang mantap
ia bertekad untuk menyambuti satu pukulan lawannya itu.
Tidak antara lama Kinposuf terdengar berteriak keras
sekali, sedang sepasang tangannya dengan beruntun, satu
dimuka dengan disusul oleh tangannya yang lainnya
dibelakangnya, dengan disertai angin yang menderu-deru
keras sekali menghantam kearah tubuh pemuda kita.
Kekuatan sepasang pukulan Kinposuf pada saat itu,
cukup hebat untuk dapat membelah batu-batu karang yang
paling keras sekalipun ..
"Bek" begitulah telah terdengar satu suara.
Lie Siauw Hiong tanpa merasa ragu-ragu lagi sudah
menyambuti serangan lawannya dengan keras lawan keras
hingga pasir dan debu pada beterbanganan memenuhi
angkasa, sehingga segala sesuatu seakan-akan tidak
terlihat.. Dan tatkala debu dan pasir telah jatuh kembali kemuka
bumi, barulah kelihatan tubuh Lie Siauw Hiong dan
Kinposuf. Pada saat itu muka Lie Siauw Hiong tampak
pucat-lesi, badannya bergoyang-goyang
seakan-akan hendak jatuh, tapi satu langkahpun dia tidak pernah
berkisar dari tempat berdirinya semula.
Kinposuf sendiri dengan perasaan heran jadi menghela
napas, kemudian dengan sekonyong-konyong ia ulapkan
tangannya kepada kawan-kawannya,
untuk selekas mungkin mengajak mereka lari menuju kepantai dan
kembali pula kenegeri asal mereka.
Lie Siauw Hiong sendiri dengan sepasang tangan yang
terkulai, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya dalam
gerakan hendak menyerang kembali kearah lawannya.
Pada saat itu sang malam telah menjelang datang,
dengan ketenangan dimuka bumi ini telah kembali pula
seperti sediakala. Diatas langit, bintang pertama telah
munculkan diri dan memancarkan sinarnya yang berkelap-
kelip laksana pelita dibawah hembusan angin lalu, sinarnya
tampak sangat pudar dan jauh ..
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tindakan kaki
yang sangat berat, hingga ini menyebabkan Lie Siauw
Hiong buru-buru menghempas kembali sisa tenaganya, tapi
karena udara gelap, maka dia belum dapat melihat sesuatu,
sedang didalam hatinya diam-diam ia berpikir: "Suara
apakah itu" Bukankah itu suara Hang Hoo Sam Hut yang
telah balik kembali" Ataukah Phui Siauw Kun yang telah
kembali kesitu?"
Tidak antara lama, dari balik batu gunung kelihatan
muncul seekor beruang yang besar sekali. Mula-mula
dengan matanya yang tajam dia memandang kearah Lie
Siauw Hiong, mengangkat hidungnya dan mengendus-
endus dua kali, kemudian lalu membalikkan kepalanya dan
berjalan pergi.
Hati Lie Siauw Hiong menjadi lega kembali, tapi
pukulan Kinposuf barusan, sesungguhnya terlampau berat
dirasakannya, hingga akhirnya tak dapat ia mempertahankan dirinya lagi, ia memuntahkan darah segar
dan jatuh roboh kemuka bumi dalam keadaan pingsan.
(Oo-dwkz-oO) Pada saat itu musim Ciu (rontok) sudah lama datang,
dan pada senja hari itu tampak sinar pembunuhan yang
memenuhi kota utara. Pohon Yang-liu sudah lama gundul
karena daun-daunannya sudah rontok ditiup angin utara
yang amat tajam dan dinginnya, sedangkan burung walet
sudah terbang kembali keselatan. Dibawah sebuah jembatan
kecil tampak air sungai yang mengalir dengan tenang
kearah timur. Pada saat itu haripun sudah mulai malam. Bintang-
bintang diangkasa raya telah mencorotkan sinarnya yang
berkelip-kelip kemuka bumi yang luas ini.
Terpisah lima atau enam puluh lie disebuah daerah kecil
dari kota Lok-yang, terdapat sebuah kuil yang sudah rusak,
hingga jika angin gunung datang meniup, jendela-jendela
kuil itu jadi berbunyi keresekan, suara mana sangat tidak
sedap didengar karena menerbitkan perasaan yang pilu dan
menakutkan. Tatkala itu, dibawah sinar pelita tampak seorang laki-laki
muka hitam yang bertubuh tinggi besar, sedang duduk
berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang masih
muda belia. Anak ini wajahnya sangat tampan, tapi jika
ditilik dari roman mukanya, paling banyak ia baru berumur
dua atau tiga belas tahun.
Laki-laki muka hitam itu sekonyong-konyong berkata:
"Peng Jie, kami dari partai Kay Pang menyerahkan
kedudukan Pangcu kepadamu, dengan pengharapan supaya
kau memimpin mereka dengan penuh kebijaksanaan,
sedang ilmu silat pusaka dari partai Kay Pang yang disebut
'Pek-kiat-ciang-hoat', itupun tentunya telah diwariskan
kepadamu, bukan?"
Peng Jie menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Tempo hari waktu suhu mewariskan ilmu tersebut
kepadaku, dia telah menderita luka-luka parah, tapi dengan
memaksakan diri ia tetap mengajariku juga. Setelah itu, ia
jatuh pingsan. Dan tatkala kemudian ia siuman kembali,
dari dalam sakunya ia mengeluarkan seJilid buku kecil,
yang diserahkan kepadaku, sambil menyuruh aku
mempelajari isi buku tersebut untuk pedoman melatih diri.
Apakah kiranya Kim Siok-siok, sudi melihat buku
tersebut!"
Sambil berkata begitu, segera juga ia mengeluarkan
seJilid buku dari dalam sakunya, yang lalu disodorkannya
pada orang yang bermuka hitam itu.
Tapi simuka hitam lalu menggoyang-goyang tangannya
sambil berkata: "Pelajaran silat itu adalah khusus diberikan
pada orang yang diwariskan sebagai Ciang-bun-jin dari
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
partai Kay Pang, sedangkan murid-murid Kay Pang sendiri
siapapun tidak diperbolehkan mencuri belajar dari buku
itu." Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah
kita mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri
dan kemudian kita belajar ilmu dengan giat serta tekun,
agar jika sudah berhasil, kita dapat menuntut balas kepada
musuh-musuh kita."
Kim Siok-siok lalu berkata: "Peng Jie, aku mempunyai
satu urusan yang hendak disampaikan kepadamu. Sekarang
kau sudah berpikir belajar silat, kemudian baru menuntut
balas setalah kau berhasil dalam latihanmu. Hal itu,
memang sangat sesuai dengan rencanaku."
"Hanya belum tahu apakah adanya rencana itu?" Peng
Jie bertanya. Kim Siok-siok lalu berkata: "Partai Kay Pang kita kini
sudah lintang pukang, dimana-mana murid-murid kita
sudah pada tercerai-berai. Tapi syukur juga diantara murid-
murid partai kita, masih tidak sedikit jumlahnya yang tetap
setia terhadap partai mereka. Maka kalau kau memanggil
mereka kembali, pasti sekali kita akan dapat menyusun
partai kita sehingga menjadi jaya lagi seperti waktu-waktu
yang lampau itu. Hal mana, menurut pendapatku, tidak
akan terlampau sulit untuk diselesaikannya."
Peng Jie yang mendengar rencana Kim Siok-sioknya
mengenai kejayaan partainya kelak, diapun ketahui betapa
beratnya tugas yang dibebankan diatas pundaknya itu,
tetapi meski usianya masih muda, ternyata tetap
bersemangat dan menjawab dengan suara yang mantap:
"Kim Siok-siok, bukankah kau ingin aku sebagai Pangcu
memanggil kembali murid-murid partai kita yang sudah
tercerai berai itu untuk membangkitkan pula kejayaan kita
kembali seperti pada masa-masa yang lampau itu?"
Kim Siok-siok segera menggelengkan kepalanya sambil
berkata: "Sekarang umurmu masih terlampau muda,
sedangkan kepandaian yang tinggi belum lagi dapat kau
pelajari. Apabila kau berpikir untuk kini mempersatukan
kembali murid-murid partai Kay Pang itu, itulah sama
sekali masih belum mungkin. Adapun maksudku sekarang
ini, bukan lain daripada hendak menitipkan kau pada salah
seorang sahabatku yang bernama Pian-say-tay-hiap Hong
Pek Yang, kepada siapa kau boleh belajar ilmu silat selama
berapa tahun lamanya."
Dengan gugup Peng Jie bertanya: "Kim Siok-siok,
sedangkan kau sendiri bagaimana?"
Kim Siok-siok menjawab: "Aturan partai Kay Pang kita
sangat keras. Loo-pang-cu sudah wafat tentu saja segala
kewajibannya harus dibebankan kepadamu, sedangkan kita
berdua saudarapun sudah tentu bertugas juga untuk
menjagamu."
Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, aku tak mau
meninggalkanmu, juga tak mau pergi kerumah apa yang
kau katakan Pian-say-tay-hiap itu. Lebih baik kau .. kau saja
yang memberi pelajaran kepadaku, apakah itu tidak lebih
dari cukup?"
Dengan suara lembut Kim Siok-siok menjawab: "Anak
bodoh, kepandaian Hong-Thay-hiap adalah sepuluh kali
lipat lebih tinggi daripada kepandaianku. Maka apabila kau
belajar ilmu silat kepadanya, paling banyak akan memakai
waktu lima tahun. Dengan begitu, bukan saja kepandaian
Loo-pang-cu dapat kau wariskan seluruhnya, malah
kepandaian Hong-tay-hiap yang tunggalpun dapat juga kau
miliki. Apabila kau dapat berhasil mencangkok dua
kepandaian silat yang amat tinggi itu, bukankah lebih
menang jika umpama kau belajar dari aku saja?"
Tabiat Peng Jie sangat baik dan otaknya pun sangat
cerdik, dia yang hidup sebatang kara, kecuali dua saudara
she Kim, didunia ini dia tak mempunyai pamili lainnya
lagi. Kecintaan kedua saudara she Kim ini seperti juga ayah
dan ibu kandungnya sendiri, yang sangat memperhatikan
dirinya dan segala keperluannya. Ketika disaat itu ia
mendengar bahwa Kim Siok-sioknya akan meninggalkannya, hatinya merasa gugup dan sedih, maka
dengan airmata berlinang-linang ia telah memaksakan
dirinya untuk berkata: "Kim-Siok-siok. Peng Jie telah
melakukan pekerjaan apakah yang salah" Apakah kau tidak
ingin menghiraukan lagi kepada Peng Jie?"
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Kim Siok-sioknya ini
tidak sampai hati untuk meninggalkannya, tapi demi
kemajuannya kelak, dia tak dapat tidak mesti berlaku keras
terhadap diri sendiri, tetapi ketika baru saja ia ingin
membuka mulut pula, sekonyong-konyong terdengar satu
suara yang menyayatkan hati, hingga bulu roma mereka
dirasakan berdiri tegak seketika itu juga.
Dengan gugup Kim Siok-siok berkata: "Peng Jie, Loo-jie
telah bertemu dengan lawan tangguh! Lekaslah kau lari
kearah timur, segala sesuatu yang terjadi disini, akulah yang
akan menanggungnya. Jika aku Kim Lo-toa beruntung dan
tidak mati disini, aku pasti dapat menyusul dan
menjumpaimu di Lok-yang. Peng Jie?"
"Peng Jie, ingatlah, jika kami berdua dalam tiga hari
tidak datang mencarimu, kau seorang diri boleh pergi dan
menjumpai Hong Tayhiap dikota Kim-ciu dalam propinsi
Liao-tong. Katakanlah bahwa kedatanganmu adalah atas
perintahku."
Peng Jie yang mendengar dia berkata begitu pasti dan
tandas, hatinya sebenarnya tidak mau menurut, tapi dia
tahu betul adat Kim Siok-sioknya, maka terpaksa dia tak
berani membantah lagi dan lalu menganggukkan kepalanya.
Kim Loo-toa dengan suara yang lembut lalu memesan
pula: "Peng Jie, kau .. sejak hari ini, harus berlaku lebih
hati-hati. Kim Siok-siokmu barangkali tidak mempunyai
ketika lagi untuk menjagamu."
Selama setengah tahun Peng Jie mengikuti kedua
saudara Kim ini, entah sudah berapa banyak bahaya yang
telah dialaminya, tapi belum pernah ia melihat muka orang
tua itu tampak begitu suram seperti sekarang ini. Oleh sebab
itu, diapun insyaf, bahwa orang tua ini sedang risau hatinya
menghadapi lawan yang amat tangguh itu, yang mana
ternyata, bahwa dia seorang masih merasa khawatir akan
tidak cukup untuk melawannya, maka dengan cepat dia
berkata: "Kim Siok-siok, pergilah kau lekas membantu
saudaramu! Peng Jie akan menantikan kedatangan kalian
dikota Lok-yang."
Kim Loo-toa lalu memandang Peng Jie sejenak. Ia hanya
melihat muka bocah itu yang sangat mungil, dengan sifat
kekanak-kanakannya masih melekat begitu menyolok sekali
didalam dirinya, hingga ia jadi menarik napas panjang,
kemudian lalu berlari dengan pesat meninggalkan anak itu.
Peng Jie berdiri terpaku sebentar sambil berpikir: "Kalau
aku pergi membantu Kim Siok-siok, bukan saja aku bisa
memecah semangat mereka, tapi juga akan menyibukkan
saja bagi mereka. Oleh karena itu baiklah aku menurut
perkataannya saja, yaitu pergi ke Lok-yang untuk
menjumpai Hong Tay-hiap."
Dengan langkah yang berat, ia menuju kearah Timur
dengan perlahan-lahan.
Sekalipun dia sedang berjalan, tapi hatinya entah
melayang kemana. Sekonyong-konyong
dari arah belakangnya datang menyambar angin dingin. Waktu dia
menolehkan kepalanya memandang, ternyata tampak
seorang anak muda yang tampan sekali, sedang beristirahat
mengawasinya. Pemuda tersebut lalu berkata: "Siauwtee, jalanmu
ternyata kurang hati-hati, hingga hampir saja kau
menubrukku."
Dalam hatinya Peng Jie berpikir: "Kau sendiripun tidak
terlampau hati-hati. Aku berjalan disebelah depan, cara
bagaimana kau tidak melihatnya?"
Tapi pemuda tampan itu tampak ramah tamah sekali dan
lalu menjawab: "Aku sedang merisaukan sesuatu, sehingga
aku tidak mengetahui, bahwa aku tengah berada dijalanan."
Pemuda tampan itu memang sedang risau memikirkan
sesuatu, hingga dengan sesungguhnya juga dia tak melihat
adanya Peng Jie disitu. Tapi setelah dia hampir menubruk
orang, barulah dia buru-buru menahan langkahnya. Waktu
kemudian dia menegur kepada Peng Jie, sebenarnya
tegurannya itu tidak pada tempatnya, karena anak muda itu
bukan saja telah mengalah, bahkan dia telah merendah
dengan tingkah-laku yang sopan, sehingga hal itu membuat
dia merasa malu sekali. Oleh karena itu, diapun lalu
berkata: "Siauwtee (adik kecil), bila kau mempunyai
ganjalan sesuatu, silahkan engkau beritahukan kepadaku.
Aku pasti bersedia akan membantumu."
Dalam hati Peng Jie berpikir: "Barusan ketika dia
menghampri dipinggir badanku, belum juga aku mengetahuinya, suatu tanda bahwa kepandaiannya sudah
sangat sempurna. Oleh karena itu, mengapakah aku tidak
mohon bantuannya untuk menolong Kim Siok-siok?"
Karena dia masih muda, maka pengalamannyapun
belum luas. Pada sebelum menyelidiki keadaan orang yang
baru dikenalnya itu, ia sudah berani meminta bantuannya.
Hal mama, sebenarnya terlampau gegabah sekali. Tapi
karena dia melihat bahwa pemuda itu sangat tampan dan
ramah sekali, maka dia percaya bahwa orang muda ini pasti
ada seorang ksatria sejati, maka dalam pada itu diapun
segera menjawab: "Kedua siok-siokku sedang dikeroyok
oleh musuh-musuhnya, keadaannya sungguh berbahaya
sekali. Cobalah saudara tolong bantu mereka itu."
Pemuda itu yang melihat Peng Jie bicara dengan secara
mempunyai pekerjaan penting apapun yang harus
diselesaikan. Sekarang karena melihat kecintaan anak ini
kepada Siok-sioknya, baiklah aku memberi bantuanku
kepadanya. Oleh karena itu, sipemuda lalu bertanya: "Kedua siok-
siokmu bertempur dengan orang jahat dimanakah" Dan
siapa nama Kim Siok-siokmu?"
Peng Jie yang mendengar nada suara pemuda tampan
ini, dia segera mengetahui bahwa orang ini telah
mengabulkan permintaannya, maka hatinyapun menjadi
gembira dan menjawab: "Mereka adalah pelindung-
pelindung dari partai Kay Pang (partai pengemis) yang
umum dipanggil Kim Loo-toa dan Kim Loo-jie .."
Pemuda itu ketika mendengar keterangan demikian, lalu
berseru: "Lekas! Lekas! Segeralah bawa aku kepada
mereka!" Peng Jie dengan cepat berlari keluar dari jalan tersebut,
sedang sipemuda dengan tidak sabaran sudah mencekal
tangan Peng Jie dan diajaknya berlari-lari dengan
membentangkan Ilmu Keng-sin-kangnya menuju ketempat
pertempuran yang diunjuk oleh Peng Jie itu.
Setelah berlari-lari sipeminuman teh lamanya, mereka
mulai dapat menangkap suara beradunya senjata tajam
yang disertai dengan suara teriakan-teriakan orang yang
sedang bertempur, hingga dengan mengempos semangatnya
dia tarik Peng Jie lebih cepat pula untuk memasuki hutan
kecil itu. Tidak antara lama, disebidang tanah yang datar mereka
dapatkan empat orang tosu (pendeta) sedang mengerabuti
seorang laki-laki bertubuh jangkung, yang tampak sedang
melayani bertempur tiga batang pedang dan sepasang
kepalan lawannya dengan bertangan kosong, hingga
keadaan dirinya kelihatan sangat berbahaya sekali.
Peng Jie yang melihat Kim Toa-sioknya dengan
sendirian saja telah menempur empat orang musuh,
sedangkan Kim Jie-sioknya tidak tampak berada disitu. Dia
ketahui sifat-sifat kedua saudara she Kim yang selalu bahu
membahu dalam menghadapi lawan-lawannya, tapi kini dia
tidak melihat Kim Jie-sioknya, hingga tanpa terasa lagi
hatinya menjadi cemas dan buru-buru dia menganjurkan
pemuda itu sambil berkata: "Lekaslah kau bantu Kim Toa-
siokku, sedangkan aku sendiri akan pergi mencari Kim Jie-
siokku." Pemuda tampan itu yang sedang memperhatikan
jalannya pertempuran, seakan-akan tidak mendengar
perkataannya, sehingga Peng Jiepun tidak berdaya. Tapi
tidak antara lama pertempuram itupun sudah terhentilah,
dengan empat batang pedang ditujukan keempat jalan darah
Kim Siok-sioknya, sedangkan salah seorang antara pendeta-
pendeta itu dengan tertawa dingin lalu berkata: "Kim Loo-
toa, lekas keluarkan sarung pedang itu dan serahkan kepada
kami, jika tidak, hm, pinto pasti tidak akan sungkan-
sungkan lagi mengambil jiwamu!"
Baru saja pendeta itu berkata demikian, Peng Jie
merasakan pemuda disampingnya telah melesat maju.
Kemudian toosu itu sudah berkata pula: "Kim Loo-toa,
apakah kau masih berani membandel juga" Sebentar lagi
Pangcu dari Kaypangmu pasti akan terjatuh kedalam
tangan kami! Apakah kau mengira bahwa bocah pewaris
partai pengemismu itu dapat melarikan diri sampai di Lok-
yang" Ha ha ha, pintoo sudah siang-siang mengutus orang
untuk dengan hormat menyambut kedatangannya, kau
tahu" Jika kau tidak juga hendak mengeluarkan sarung
pedang tersebut, engkau harus mengerti sendiri apa
akibatnya!"
(Oo-dwkz-oO) Jilid 39
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Peng Jie semakin mendengar semakin panas hatinya.
Tapi ketika dengan tidak sabaran dia sudah ingin
membantu Kim Siok-sioknya, tiba-tiba dari sampingnya
kedengaran suara angin yang menderu, dan bersamaan
dengan itu, sipemuda tampanpun sudah mendahuluinya
melewat maju. Kelima orang yang sedang bertempur itu menjadi sangat
terperanjat tatkala menampak kedatangan sipemuda itu.
Mereka ketika barusan sedang bertempur, ternyata tidak
memperhatikan Peng Jie dan pemuda itu yang bersembunyi
disuatu pinggiran.
Kemudian pemuda itu segera berkata: "Pendeta bangsat
Cek Yang, kau sungguh gagah sekali, ha" Dengan
mengandalkan jumlah banyak orang kau mengeroyok
seorang lawan, apakah perbuatanmu itu bisa dipuji orang?"
Sementara toosu itu begitu melihat pemuda tampan ini,
mukanya segera berubah dan lalu berkata: "Bagus, Gouw
Siauw-cu, lagi-lagi aku bertemu denganmu! Sekarang
baiklah kita menyelesaikan perhitungan lama disini saja!"
Pemuda tampan ini bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya! Sejak hari itu dia berpisah dengan Souw Hui Cie, terus
dia mencari Ah Lan kesana kemari, dari Shoa-tang dia
menuju ke Hoo-lam, setelah bolak-balik berapa kali,
ternyata tidak juga ia berhasil mencari kemana perginya
anak dara buta itu. Hari ini kebetulan dia ingin pergi ke
Lok-yang untuk mencari rumah penginapan, tidak tahunya
ditengah jalan dia telah berjumpa dengan Peng Jie, maka
dengan bersama-sama, menujulah mereka kehutan ini.
Keadaan dalam hutan ini sangat samar karena gelapnya,
maka wajah kelima orang yang sedang bertempur itu tidak
terlihat dengan jelas. Tetapi ketika kemudian ia kenali
bahwa pendeta itu adalah musuh pembunuh ayahnya
sendiri yaitu Cek Yang Too- jin, maka buru-buru dia
melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil
membentak: "Kalian dari partai Bu-tong rupanya sudah
kebiasaan dengan jumlah banyak menggencet jumlah yang
sedikit, maka sekarang silahkan kalian boleh maju dengan
serentak!"
Muka Cek Yang Tojin menjadi merah tatkala mendengar
tantangan itu, maka diam-diam dia berpikir: "Waktu
diadakan pertemuan digunung Thay San, kepandaiannya
bocah ini masih sangat terbatas sekali, maka mengapakah
aku harus turun tangan sendiri?" Oleh karena itu, dengan
tertawa dingin dia lalu berkata: "Siauw-cu, kau jangan
berlaku pongah, bila kau dapat menjatuhkan tiga muridku,
aku akan melepaskan kau pergi dari sini!"
Gouw Leng Hong sekalipu sudah menerima pelajaran
asli dari Sucouwnya yang bernama In Peng Jiok, tapi
sesungguhnya dia belum pernah bertempun dengan lawan
tangguhnya seperti Cek Yang ini, maka dalam hatinya ia
merasa agak jerih dan lalu berpikir: "Dia majukan murid-
muridnya yang merupakan barang-barang rosokan, hal itu
tidak ada halangan apa-apa baginya, bila aku sudah bikin
kocar-kacir murid-muridnya, masakah gurunya tidak mau
membelanya?"
Cek Yang Tojin lalu berseru: "It Ho, lekas bawa
pedangku, dan lawanlah bocah itu! Janganlah engkau
sampai meruntuhkan nama baik partai Bu-tong kita!"
Sambil berkata begitu, dia sudah sodorkan pedangnya
kepada pendeta yang bertangan kosong itu, kemudian dia
sendiri lalu maju pula menghampiri Kim Loo-toa.
Hati Leng Hong gugup sekali, karena dia kuatirkan
dengan menggunakan kesempatan ini, Cek Yang akan
dapat mencelakai Kim Loo-toa, maka badannya segera
bergerak untuk menghadangnya dimuka Kim Loo-toa,
tangan kanannya dengan mengacungkan pedangnya dia
lalu berseru: "Silahkan engkau boleh maju!"
Perkataan itu baru saja habis diucapkan, ketika tiba-tiba
dibelakangnya terdengar suara 'buk' yang nyaring sekali,
kemudian disusul dengan robohnya tubuh Kim Loo-toa
kemuka bumi. Ternyata laki-laki jangkung itu sudah
kehabisan tenaga, maka pada saat Leng Hong mengeluarkan pedangnya dan menampak sinar pedang
yang sangat tajam dan berkeredap-keredap itu, kepalanya
menjadi pusing dan lalu jatuh terduduk.
Sekonyong-konyong dari balik sebatang pohon lari
keluar seorang bocah tanggung, yang sambil menangis lalu
berkata: "Kim Siok-siok, kau kenapa?"
Kim Loo-toa dengan memaksakan diri lalu menbuka
matanya dan dengan suara bengis sudah mendamprat:
"Peng Jie, aku suruh kau lari, kenapa kau tidak dengar
perkataanku?"
Dengan masih menangis Peng Jie berkata pula: "Kim
Sioksiok, aku tidak mau meninggalkan kau. Aku ingin mati
bersamamu!"
Kim Loo-toa akhirnya menjadi cemas juga melihat
keadaan Peng Jie disaat itu, maka kesudahannya ia berkata:
"Peng Jie, sudahlah, jangan menangis lagi, Kim Siok-siok
mengabulkan untuk tidak meninggalkan kau pula!"
Mendengar perkataan itu, Peng Jie menjadi girang dan
lalu menunjuk pada Gouw Leng Hong sambil berkata:
"Kim Siok-siok, dia pasti akan menang!"
Kim Toasiok lalu mengangkat kepalanya memandang.
Dia hanya melihat tiga pendeta berdiri ditiga tempat yang
berlainan, sedang mengurung kepada pemuda tampan itu.
Sekonyong-konyong pendeta yang berdiri disamping
kirinya telah berseru: "Lihatlah serangan!" Sambil terus dia
menyerang bagian sebelah bawah, tubuh sipemuda.
Leng Hong segera mengelitkan dirinya kesamping. Dia
tidak mundur, melainkan terus saja maju kemuka, dengan
pedangnya menyamber pada pendeta disebelah kanannya
dengan gerakan secepat kilat.
Pendeta yang diserang itu ketika melihat datangnya
serangan yang begitu cepat, keruan saja hatinya menjadi
sangat terkejut dan lekas-lekas mundur sejauh dua langkah.
Leng Hong tidak menunggu sampai serangannya ini
menemui sasarannya, dia sudah memutar tangannya dan
dengan gerakan miring, menyerang lawan dihadapannya,
dan ketika dua pedang saling beradu, karena tenaga Leng
Hong lebih kuat, maka pedangnya terus menjurus pada
pendeta disebelah kirinya dan menyabet kearah pinggang
orang. Karena bakatnya yang baik dan ditambah lagi dengan
khasiat buah mustajab yang dimakannya, maka tenaga-
dalamnya telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat,
maka kalau dibandingkan dengan Lie Siauw Hiong, dia
hanya kalah setingkat saja.
Pada saat itu dia telah menggunakan lima bagian tenaga,
hingga saking kerasnya tangkisannya maka menyebabkan
telapak tangan pendeta itu merasa kesemutan yang hebat
sekali, sehingga pedangnya itu hampir saja terlepas dari
cekalannya. Leng Hong terus merangsek maju. Dengan menggunakan tangan kanannya, dia menyerang dari
samping kearah lawannya, sedangkan tangan kirinya
dengan menggunakan siasat 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun',
dia sudah menerobos kesana kemari dengan amat gesitnya.
Ada kalanya ketiga pedang lawannya sama-sama menyerang bagian tubuh sebelah atasnya, tapi dengan
lincah dan gesit dia dapat mengelitkannya dengan secara
baik pula. Sementara Cek Yang yang menyaksikan jalannya
pertempuran dari samping, semakin lama dia merasa
semakin jengkel saja, dalam hati dia berpikir: "Bocah ini
jika dibandingkan dengan ayahnya tempo hari, permainan
pedangnya jauh lebih matang dan ganas. Dalam usia yang
demikian mudanya, tidak tahu dia sudah berlatih dimana
sehingga mencapai hasil seperti ini?"
Kim Loo-toa yang melihat gerakan Leng Hong begitu
cepat bagaikan angin puyuh, sedangkan serangan-serangan
yang dilancarkannya bagaikan gelombang sungai Tiang
Kang yang tidak putus-putusnya, berikut kakinya yang
menggunakan gaya Pat Kwa untuk menjaga dirinya dengan
sangat rapat sekali, dengan pandangan sekilas saja dia
segera mengetahui, bahwa pemuda itu sedang menggunakan kepandaian dari partai Thay Khek yang
bernama 'Toan-hun-kiam', yang diam-diam ia jadi berpikir:
"Pemuda ini bila bukannya tengah melindunginya bersama
Peng Jie, maka pendeta-pendeta busuk ini sudah siang-siang
dapat dijatuhkannya."
Waktu ia memandang lebih lanjut, ia mendapatkan
kenyataan bahwa suasana pertempuran sudah banyak
berubah. Kini Leng Hong sudah berada diatas angin.
Dengan pedangnya yang sebentar disabetkan kekiri dan
sebentar ditusukannya kekanan, dia berhasil membikin tiga
lawannya kucar kacir sehingga kepala mereka basah mandi
keringat. Dengan ini ternyatalah, bahwa untuk menjaga diri
mereka sendiri saja sudah sedemikian sibuknya, apa lagi
untuk menyerang dengan secara berbareng yang sudah jelas
mereka tak mampu untuk melakukannya pula.
Pertempuran sudah mencapai babak yang menentukan,
ketika dengan sekonyong-konyong Leng Hong mengangkat
satu kakinya menendang, dengan mana ia berhasil dapat
menendang salah satu pendeta yang segera terguling roboh
ditanah, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan
tiga jurus terakhir dari ilmu pedang Toan-hun-kiam yang
disebut 'Jiok-si-piauw-hong' (bunga yang lemah tertiup
angin), 'Tiam-tiam-hwan-seng' (bintang-bintang berkelip-
kelip) dan 'Sek-po-thian-keng' (batu pecah mengejutkan
langit), dia menyerang para lawannya, hingga dengan
mengeluarkan dua kali suara jeritan ngeri, kedua pendeta
lainnya berturut-turut telah jatuh roboh pula kemuka bumi.
Ternyata begitu Leng Hong mengeluarkan tiga jurus
terakhir dari ilmu Toan-hun-kiam ini, kedua pendeta itu
merasakan mata mereka berkunang-kunang, sedangkan
pada muka mereka terasa hawa dingin yang menyamber-
nyamber, hingga tidak terasa lagi, saking kagetnya, mereka
pada mengeluarkan teriakan ngeri. Kaki mereka tiba-tiba
terasa lemas, berhubung mereka telah kena tertotok jalan
darah 'Kong-sun-hiat' mereka.
Kim Loo-toa yang menyaksikan kejadian ini, didalam
hatinya ia berpikir: "Jurus yang berjumlah tiga yang terakhir
dari pemuda ini, sebenarnya jika diteruskan, dia dapat
membinasakan lawannya, hanya sewaktu pedangnya itu
hampir menyentuh sasarannya, lekas-lekas segera ditariknya kembali, suatu tanda bahwa dia hanya
menggores serta menotoki sepasang kaki mereka saja, tapi
tidak bermaksud untuk mengambil jiwa mereka. Dengan ini
aku segera ketahui, bahwa pemuda tampan ini bukan saja
ilmunya sangat tinggi, tapi juga hatinya welas asih kepada
sesamanya."
Tapi Cek Yang Tojin yang menyaksikan demikian,
wajahnya segera berubah menjadi pucat, buru-buru dia
maju membebaskan totokan ketiga muridnya itu.
Sekonyong-konyong Peng Jie berkata: "Kim Siok-siok,
cobalah kau katakan, benar atau tidak pendapatku itu?"
Kim Loo-toa lalu bertanya: "Pendapat apakah?"
Peng Jie menjawab: "Siang-siang sudah kukatakan,
bahwa pendeta-pendeta busuk itu pasti akan dibikin kucar-
kacir olehnya!"
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sebagai ganti
kata-kata, tapi diam-diam ia berpikir: "Tenaga-dalam Cek
Yang Tojin sangat hebat sekali, sedangkan pemuda ini
dengannya tampaknya terdapat permusuhan yang tidak
dapat dikatakan kecil, maka dalam sekali bertempur ini,
mereka pasti ada salah seorang yang mati atau terluka
parah. Cek Yang sangat tidak tahu malu. Jika dia bersama-
sama para muridnya sampai kejadian mengeroyoknya, pasti
sangat membahayakan bagi pemuda tampan itu. Karena
kini aku sendiri sudah kehabisan tenaga dan sudah tentu tak
berdaya untuk membantu ia, hingga aku merasa kuatir
sekali bagi keselamatan diri sipemuda tersebut."
Kim Loo-toa lalu berkata: "Bangsat Cek Yang, kau pasti
tidak dapat mengalahkannya, dari itu, baiklah murid-
muridmu sekalian boleh kau ajak saja mengepungnya
dengan serentak!"
Cek Yang Toajin mengetahui, bahwa lawannya tengah
mengejeknya, maka diapun berpendapat, sekalipun permainan pedang Leng Hong cukup hebat, tapi tenaga
dalamnya tentu sekali tidak dapat memenangkannya,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terutama ia sudah berpengalaman banyak tahun, dari itu
dengan mengambil keputusan yang pasti, ia lalu berseru:
"Pengemis pejajaran, kau jangan pentang bacot tidak
keruan! Tenanglah. Untuk menghadapi seorang bocah ini,
perlu apakah aku mohon bantuan orang?"
Leng Hong setelah berhasil menjatuhkan tiga lawannya,
hatinya menjadi besar, dan ketika melihat Cek Yang ingin
menghadapinya dengan seorang diri saja, malah ia menjadi
marah dan lalu memaki: "Bangsat Cek Yang, kau jangan
omong dengan seenaknya saja, hari ini adalah hari kau
menghadap pada Giam-loo-ong!"
Cek Yang menjadi gusar sekali, sambil berseru:
"Sambutlah seranganku", dia sudah menyarang pada
lambung kanan Gouw Leng Hong.
Leng Hong tidak berani berlaku ayal-ayalan, dia segera
membentangkan jurus 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' untuk
menangkis serangan lawannya.
Setelah bertempur beberapa jurus lamanya, Cek Yang
yang melihat Leng Hong menggunakan hanya sepuluh
jurus saja pulang pergi, tapi tenaganya ternyata kuat sekali,
sekalipun serangannya bagaimana hebatnya dilakukannya,
kenyataannya selalu kena ditangkis saja oleh sipemuda,
sehingga untuk sementara dia tak berhasil menjatuhkan
pemuda itu, maka tidak terasa lagi hatinya menjadi gugup
sekali, kemudian dengan beruntun ia telah melancarkan
serangan-serangan
yang mematikan, yaitu dengan kepandaian paling diandalkannya dan bernama 'Bu-kek-sin-
kong-kun'. Ilmu 'Bu-kek-sin-kong-kun' ini adalah serangan yang
keras sekali. Begitu Cek Yang mengeluarkan tipunya ini,
angin santer segera keluar menderu-deru menyerang
lawannya. Maka sipemuda yang menampak pihak
musuhnya berlaku nekat, iapun tidak berani memandang
rendah dan segera melawan dengan sekuat tenaganya, kian
lama kian cepat dan dahsyat saja agaknya.
Dalam pada itu, Kim Loo-toa lalu memandang pada
Peng Jie, yang ketika itu tengah memusatkan seluruh
perhatiannya atas jalannya pertempuran kedua orang itu.
Semangatnya tampak gagah sekali, seakan-akan ia sendiri
saja yang sedang bertempur, hingga tidak terasa lagi ia jadi
menghela napas, dan kemudian dengan diam-diam dia
berpikir: "Bocah ini ternyata masih sangat muda. Ia tak
tahu akan bahaya yang sedang dihadapinya. Kedua orang
yang sedang bertempur ini, bukan saja ingin menamatkan
riwayat lawannya masing-masing, malahan pertempuran itu
sendiri mempunyai sangkut-paut yang erat sekali dengan
nasib partai Kay-pang. Andaikata pemuda itu terkalahkan,
maka keadaan mereka menjadi berbahaya sekali, karena ia
sendiri yang tenaganya belum pulih kembali, akan berarti
musnahnya partai Kay-pang dalam tangannya bangsat Cek
Yang ini."
Sekalipun Kim Loo-jie seorang yang kasar, tapi jalan
pikirannya sangat jauh, maka karena perasaannya pada saat
itu sangat tegang, tidaklah heran jika ia sampai
mengeluarkan keringat dingin.
Kedua orang itu sudah bertempur hampir memasuki
jurus keseratus. Disatu pihak Leng Hong tenaganya penuh
dan mantap, sedangkan lawannya Cek Yang licin dan
berpengalaman serta penjagaannyapun sangat rapat pula,
sehingga mereka berdua bertempur dalam keadaan
berimbang. Halmana, telah membuat Leng Hong menjadi
tidak sabaran sekali dan berpikir didalam hatinya: "Jika aku
tak menggunakan tipu-tipu yang berbahaya, sukar sekali
agaknya untuk memperoleh kemenangan dari bangsat tua
ini." Diapun dapat menyaksikan, bahwa tenaga-dalam Cek
Yang Tojin tidak berada disebelah bawah daripada dirinya
sendiri. Tapi bila dia menggunakan tipu-tipu yang
berbahaya, sekali saja berlaku kurang hati-hati, mungkin
sekali akhirnya dia sendirilah yang akan menderita
kerugian. Oleh karena itu, diam-diam ia menjadi ragu-ragu
untuk segera melaksanakan tindakannya.
Setelah lewat pula berapa jurus lamanya, Leng Hong lalu
berseru sambil membentangkan dan merapatkan sepasang
tangannya, pukulannya ini sebentar diulur dan sebentar
pula ditarik, tangan kirinya dengan melintang menjaga
dadanya, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan jurus 'Kay-san-sam-sek', kemudian telah
diubahnya menjadi 'Toan-hun-kiam-cau'.
Jurus pelajaran yang disebut Toan-hun-kiam-cau adalah
jurus pelajaran hebat yang pernah diwariskan oleh ayahnya
Hoo-lok-it-kiam Gouw Ciauw In. Begitu Gouw Leng Hong
menggunakan jurus tersebut, dia segera merasakan, bahwa
tenaga serangannya bertambah hebat, sehingga selanjutnya
tampak jelas sekali, bahwa serangan-serangannya itu
mengandung bahaya maut bagi lawannya.
Cek Yang Tojin tidak pernah menyangka, bahwa
pemuda itu dapat mengubah serangannya begitu cepat dan
berbahaya, maka sambil merangkapkan sepasang tangannya
dia mundur satu langkah, bersiap sedia untuk melancarkan
serangan yang sehebat- hebatnya.
Menampak hal itu,
Gouw Leng Hong hanya mengeluarkan suara jengekan saja, tangan kirinya yang
tadinya dipakai menjaga dadanya, kini dengan segera
ditekankan kebawah. Tangan kanannya bergerak secepat
kilat dari serangan memancing diubah menjadi serangan
sungguhan, hingga dengan berbareng diapun melancarkan
serangan yang hebat itu kepada diri lawannya.
Dalam serangannya sekali ini, tenaga seluruhnya sudah
disalurkan dengan sepenuh-penuhnya,
sehingga kekuatannya seakan-akan dapat menghancurkan bukit dan
memecahkan batu karang, hal mana sungguh amat
mengejutkan sekali hati semua orang.
Pada waktu pertemuan dipuncak gunung Thay San, Cek
Yang Tojin pernah bertempur dengan sipemuda, yang
kiamhoatnya (ilmu pedangnya) biasa saja, hingga tidak
cukup untuk menakutkannya. Tapi kini, siapa tahu, ketika
baru saja berpisah setengah tahun lamanya, kemajuan
Gouw Leng Hong sudah sedemikian tingginya, sehingga itu
semua sangat mengherankan dan berbareng mengejutkan
sekali bagi dirinya.
Tapi dengan mengandalkan tenaga-dalamnya yang
cukup dahsyatnya, diapun tidak menyerah mentah-mentah
melainkan dengan tipu 'Twie-cong-bong-goat' (menolak
jendela memandang rembulan) dia telah menyodokkan
pedangnya kepada sipemuda.
Begitu kedua pedang itu saling beradu, Gouw Leng
Hong rasakan serangan Cek Yang Tojin sama sekali tidak
bertenaga, seakan-akan tenaganya sudah lenyap tidak
berbekas, sedangkan dia sendiri sudah tidak keburu menarik
kembali serangannya.
Disinilah letak kelicikan Cek Yang Tojin ini. Begitu dia
melihat pemuda kita tidak berhasil mencapai sasarannya,
Kim Loo-toa yang menyaksikan pertempuran itu dari
samping, tidak terasa lagi hatinya jadi terkesiap dan
mengeluarkan teriakan terkejut.
Syukur juga meski Leng Hong kalah pengalaman, tapi
dia berbakat sangat baik, ketambahan reaksinyapun sangat
cepat pula, maka dalam saat yang genting itu, dengan tepat
dan sebat sekali ia telah menyammpok serangan lawannya
dengan tangan kirinya, sedangkan badannya dengan
meminjam tenaga itu, segera diputarkannya, kearah kanan.
Setelah itu, dengan mengeluarkan suara yang sangat
dahsyat sekali, Leng Hong yang barusan menggunakan tipu
'Hi-kong-le-san', (sidungu memindahkan gunung) telah
memapas sebuah pohon sehingga tumbang, sedangkan
badannya sendiri dengan berputar seratus delapan puluh
derajat, telah dapat meloloskan diri dari pada ancaman
pedang lawannya itu.
Cek Yang Tojin yang menyaksikan aksi pemuda itu,
tidak terasa lagi menjadi sangat terperanjat sekali didalam
hatinya. Sekarang Leng Hong sudah dapat memusatkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran tersebut, sedangkan
dalam hatinyapun dia sudah mempunyai perhitungan yang
matang. Nyalinyapun bertambah besar dan mantap,
sehingga dengan beruntun tiga kali dia menyerang
lawannya dengan menggunakan pelajaran asli dari warisan
ayahnya sendiri. Selanjutnya, karena hebatnya serangan-
serangannya itu, maka ia telah berhasil dapat mendesak
mundur Cek Yang Tojin sehingga kesuatu pinggiran.
Kegugupan dan kemarahan Cek Yang Tojin sukar
ditahan dan bukan alang kepalang besarnya. Dengan
tangan yang masih tampak gemetaran, dia telah
melancarkan salah satu serangan balasan dari tipu 'Kiu-
kiong-sin-heng-kiam-hoat' yang paling lihay, yaitu yang
bernama jurus 'Ceng-in-kiu-sek' (awan biru membentuk
sembilan macam), dia sudah berpikir untuk mengambil alih
inisiatip pihak lawannya.
Siapa tahu Gouw Leng Hong tidak mau membiarkan
dirinya diserang lawannya dengan sikap mandah saja.
Kiam-hoat sipemuda sebenarnya sudah mencapai satu
tingkat lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pihak
lawannya. Tapi karena dia kalah pengalaman, maka tiap-
tiap kesempatan baik tidak dapat dipergunakannya dengan
sebaik-baiknya, sehingga hal itu membuat Kim Loo-toa
yang menyaksikan dari samping jadi mengeluarkan keringat
dingin. Dalam pertempuran yang seru itu, ada kalanya Cek
Yang Tojin dengan sengaja membuka lowongan untuk
diserang oleh lawannya, kemudian bila lawannya sudah
terpancing, dia mudah mematahkan serangan itu dan
membinasakan lawannya, hingga sekalipun Leng Hong
tidak selicik lawannya, tapi dia cukup cerdik untuk tidak
membiarkan dirinya terpancing oleh tipu muslihat pihak
lawannya. Akhirnya diapun berpura-pura tertipu, dan tatkala Cek
Yang Tojin merasa pancingannya dimakan musuh, dengan
sekonyong-konyong ia melancarkan serangan balasan yang
hebat sekali. Tapi Leng Hong dengan menggunakan
pelajaran dari ayahnya almarhum yang bernama 'Bu-siang-
pa-cee' (Malaikat Bu Siang memegang tempuling) buru-
buru ia berkelit dan melompat kebelakang lawannya, dari
mana ia menusuk dengan langsung kepada lawannya.
Kim Loo-toa berseru girang, karena ia mengira Cek
Yang pasti tidak dapat menolong dirinya pula. Tapi siapa
tahu dalam suasana yang kritik ini, ternyata Cek Yang tidak
menjadi bingung, dia sudah membalikkan tangannya
dengan tipu 'Too-tha-kim-ciong' (memukul jatuh lonceng
mas) dan langsung memukul dada sipemuda. Semula dia
sudah bersedia mengasi dirinya diserang orang, tapi kini
berbalik menjadi pihak yang menyerang pula.
Pukulan yang dilancarkannya sekali ini adalah tenaga
yang sudah dipusatkan dengan sehebat-hebatnya. Hal
mana, telah membuat hati Leng Hong terkejut bukan main.
Tangan kirynya dengan tipu 'Liok-teng-kay-san' (Malaikat
Liok Teng membuka gunung) dia tangkis serangan
lawannya, sedangkan tangan kanannya tidak berhenti dan
terus mengancam tubuh lawannya dengan tusukan
pedangnya. Dengan mengeluarkan suara sangat nyaring karena
beradunya kedua pukulan, badan Leng Hong dirasakan
agak bergoncang, tapi pedang ditangan kanannya dengan
lancar dan cepat menusuk lawannya, hingga sekalipun Cek
Yang Tojin telah berkelit dengan gerakan yang cepat sekali,
tidak urung pedang Leng Hong telah berhasil juga
menggores punggung si-tojin, sehingga dia menjerit
kesakitan dan segera kabur dengan darah segar mengalir
dari lukanya itu.
Kim Loo-toa yang menyaksikan Leng Hong memperoleh
kemenangan, sudah tentu saja hatinya jadi sangat kagum
dan memuji tinggi atas kepandaian sipemuda itu, meski Cek
Yang tidak sampai terbinasa dan melarikan diri bersama
murid-muridnya.
Leng Hong menarik napas lega dan keluar dari kalangan
pertempuran dalam keadaan selamat dan tidak kurang
suatu apapun. Dalam hati ia merasa sangat menyesal, bahwa ia belum
berhasil dapat membalas himpas sakit hati ayahnya, tapi
untuk sementara ia sudah merasa puas dengan menghibur
dirinya sendiri dengan berkata: "Untuk menbunuh bangsat
tua bangkotan itu, waktunya masih banyak!" Tapi
bersamaan dengan itu, ia sekarang sudah mempunyai
kepercayaan yang penuh atas kemampuan dirinya sendiri,
bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Cen Yang.
Sementara Peng Jie yang melihat Leng Hong berdiri
terpekur disitu dia tahu bahwa pemuda itu terluka didalam,
maka dengan gugup ia berkata: "Apakah kau sudah merasa
baikan?" Leng Hong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
menyahut: "Siauw-tee (adik kecil), kau legakanlah hatimu,
bangsat bangkotan itu mana dapat melukakan aku" Kim
Siok-siokmu telah kehabisan tenaga karena dia telah
bertempur mati-matian dengan lawan-lawannya barusan.
Aku disini mempunyai obat cair yang sangat mustajab, obat
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini dapat dengan segera menyembuhkannya kembali dalam
waktu yang pendek sekali."
Sehabis berkata begitu, lalu dikeluarkannya dari dalam
saku didadanya obat cair 'Ban-nie-leng-coan' (obat cair
mustajab yang sudah laksanaan tahun tuanya), kemudian
dia menghampiri Kim Loo-toa yang tengah memejamkan
matanya sambil mengatur pernapasannya.
Kim Loo-toa setelah melihat sipemuda telah berhasil
dapat melukakan lawan-lawannya sehingga kabur lintang
pukang, barulah dia dapat bernapas lega, maka dengan
tenteram dia pejamkan matanya untuk melanjutkan
usahanya mengatur pula pernapasannya.
Waktu ia melihat Leng Hong berjalan menghampirinya,
ia segera mendahului berkata: "Mohon tanya, siapakah
nama tuan yang mulia?"
Leng Hong dengan laku yang sangat hormat lalu
menjawab: "Boanpwee bernama Gouw Leng Hong."
Sesudah berkata begitu, dia lalu mencabut tutup peles itu
sambil disodorkan pada Kim Loo-toa dan berkata: "Obat ini
sangat mujarab khasiatnya, silahkan Cian-pwee mencobanya."
Kim Loo-toa yang melihat sipemuda berbicara dengan
sungguh-sungguh, maka diapun tidak menolak atas tawaran
itu. Setelah menyambuti peles obat itu, lalu diteteskannya
kedalam mulutnya, yang pada saat itu juga dirasakannya
mulutnya sangat wangi sekali, sedangkan dadanya terasa
lega dan segar, maka sambil meramkan matanya, kembali
ia telah mengatur jalan pernapasannya.
Setelah berselang sejurus lamanya, Kim Loo-toa lalu
berlompat bangun, sambil mencekal tangan Peng Jie ia
memberi hormat kepada Leng Hong dan berkata: "Gouw
Tay-hiap, kau telah membantu partai Kaypang menahan
serangan musuh-musuh kita, juga kau telah membantu pula
kepada Peng Jie, budi serta kebaikanmu yang tidak ada
taranya ini, kami tak akan melupakannya seumur hidup
kami. Maka bila kau mempunyai perintah apa-apa, tidak
perduli diair maupun diapi, kami pasti akan menerimanya
tanpa mengerutkan kening barang sedikitpun."
Gouw Leng Hong buru-buru membalas hormat mereka
sambil berkata: "Kim Loo-cian-pwee, janganlah kau berlaku
demikian. Boan-pwee mempunyai saudara angkat yang
bernama Lie Siauw Hiong, yang kerapkali menyebut-nyebut
tentang sikap kesatriaan Loo-cian-pwee, sehingga boan-
pwee merasa sangat kagum oleh karenanya."
Kim Loo-toa lalu menyahut: "Oh, ternyata Gouw Tay-
hiap ini adalah saudara angkat Lie Loo-toa, maka tidaklah
mengherankan bila kau juga mempunyai kepandaian yang
hebat sekali. Aku situa bangka dengan memberanikan diri
selanjutnya akan memanggil kau juga dengan sebutan Loo-
tee. Tapi belum tahu apakah kau tidak keberatan?"
Leng Hong menyaksikan dia begitu polos dan simpatik,
hingga diapun tidak kukuh terhadap adat istiadat dan lalu
bertanya: "Kay-pang mengapa berbentrok dengan partai Bu-
tong?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Hal ini bila hendak
diceritakan, sangatlah panjang, maka sekarang baiklah aku
mencari dahulu saudaraku Loo-jie."
Tatkala berjalan kurang-lebih sepuluh tombak jauhnya,
mereka melihat Kim Loo-jie tampak bersandar pada salah
sebatang pohon besar dengan mata melotot, sedang
sepasang tangannya mencengkeram sebatang pedang
panjang. Peng Jie melihat muka Kim Loo-jie yang begitu pucat
dan menakuti, buru-buru Peng Jie maju menghampiri dan
menggoyangkan pundak orang sambil berkata: "Kim Jie-
siok, Peng Jie sudah datang!"
Tapi Kim Loo-jie tidak menghiraukannya. Peng Jie jadi
merasa heran. Lalu ia membalikkan tubuhnya hendak
menanyakan hal itu kepada Kim Toa-sioknya, tidak
tahunya ia melihat orang yang tengah hendak ditanyakannya itu sedang berdiri terlongong- longong,
mukanya sangat suram, sedangkan giginya mencakup
kencang pada bibir sebelah bawahnya.
Leng Hong yang menyaksikannya sudah maklum,
karena dia pun merasa terharu sekali. Dengan menggunakan tangannya dia mengusap-usap kepala Peng
Jie sambil berkata dengan suara yang pelahan: "Peng Jie,
Kim Jie-siokmu sudah meninggal dunia."
Peng Jie yang mendengar begitu menjadi sangat
terperanjat, ia lompat dan menubruk serta memeluk tubuh
Kim Jie-sioknya, dia menangis menggerung-gerung.
Sekalipun umurnya sendiri sangat muda, tapi ia sudah
kerap mengalami peristiwa semacam ini, dan kini waktu ia
melihat Kim Jie-sioknya telah meninggal dunia, hati
kecilnya menjadi pilu sekali sehingga tak dapat lagi ia
menguasai dirinya sendiri. Ia menangis begitu sedih,
sehingga Gouw Leng Hong yang berdiri disampingnya
tidak tahan untuk tidak turut mengeluarkan air mata.
Leng Hong telah menyaksikan, bahwa luka Kim Loo-jie
dibagian punggung, adalah luka yang agaknya kena
bokongan dari toosu partai Bu-tong itu, sedangkan pedang
yang dicekal ditangannya itu sudah berhasil dibikin
melengkung olehnya, tetapi telapak tangannya sedikitpun
tidak terluka. Halmana, disebabkan karena ia sangat
terkenal tentang kepandaiannya dalam ilmu mencengkeram
yang bernama Im-hong-jiauw.
Tatkala Peng Jie membalikkan tubuhnya dan memandang pada Kim Loo-toa, ia melihat sinar pandangan
matanya semakin lama semakin suram, seolah-olah ia
sedang melayangkan pandangannya ketempat jauh, hingga
sipemuda she Gouw yang mengetahui bahwa Kim Loo-toa
sudah putus harapan dan hatinyapun terluka maka dia
berpikir untuk coba menghiburkannya, tapi untuk sesaat
lamanya tak tahulah ia cara bagaimana harus menghiburinya. Tidak antara lama, Kim Loo-toa lalu mendongakkan
kepalanya dan lalu tertawa panjang. Suara tertawanya ini
berarti perasaan cinta mesra terhadap saudara kandungnya,
hingga satu-persatu pemandangan yang telah lampau
melintas dalam pikirannya disaat itu .. yaitu mereka kakak
dan adik sama-sama mengangkat nama, sama-sama berlaku
sebagai pelindung partai pengemis, tapi kini yang seorang
harus berpisah dengannya untuk selama-lamanya.
Suara tertawanya itu yang semakin lama semakin
rendah, kemudian berubah dan terganti dengan suara
sesenggukan, sedangkan airmatanya yang sebesar-besar
kacang jatuh bertetes-tetes membasahi kedua belah pipinya.
Sekonyong-konyong ia menghentikan menangisnya.
Sambil memegang tangan adiknya yang memegang pedang,
ia berkata dengan suara yang rendah: "Loo-jie, kau jangan
pergi dahulu, kini masih banyak rintangan yang harus kita
hadapi. Loo-jie, kau bersemangatlah, apakah kau dapat
menahan penderitaanmu ini?"
Diantara angin lalu sipemuda seakan-akan mendengar
suara Loo-jie yang berkata: "Hm, penderitaan yang
semacam apakah artinya" Toako, hutang ini harap catat
saja!" Oleh karena itu, dengan suara yang sangat bersemangat
ia menjawab: "Baiklah!"
Angin lalu membawa dan menyiarkan suara tertawanya
ketempat yang jauh sekali, sehingga suara itu berkumandang kedalam hutan dengan menerbitkan gema
yang mengharukan.
Kemudian, setelah memberi hormat kepada Leng Hong,
dengan sebelah tangannya yang lainnya ia menuntun Peng
Jie. Dengan tidak menolehkan lagi kepalanya, ia telah
berlalu dengan mengambil jalan kecil, yang terdapat disitu.
Leng Hong yang melihat dia begitu bersedih dan
pikirannya tampak sangat kacau, didalam hatinya turut
merasa tidak tenteram, maka ia lalu mengikuti mereka dari
belakangan. Mereka bertiga berjalan masuk kedalam sebuah kuil
bobrok. Kim Loo-toa setelah menurunkan mayat adiknya
dari pundaknya, lalu dia berlutut sambil berkata dengan
membelakangi kedua orang itu: "Couw-su-ya, bukannya
Tee-cu tidak memegang janji, tapi sesungguhnyalah karena
para perampok keliwat memaksa, maka terhadap sumpah
tee-cu yang mengatakan tidak lagi mau campur tahu dalam
urusan partai Kay-pang, terpaksa tak dapat melaksanakannya, berhubung kini ketua partai masih
berusia sangat muda, sedangkan kepandaiannyapun belum
sempurna. Apabila tee-cu lepas tangan, maka jerih payah
Couw-su yang telah mengangkat nama partai kita sehingga
mencapai titik yang gilang gemilang akan tersapu bersih.
Dari itu, tee-cu tidak dapat mengurus hal itu, maka tee-cu
terpaksa harus melanggar sumpahku itu."
Setelah selesai mengucapkan kata-kata itu. Kim Loo-toa
lalu membalikkan badannya, kemudian dengan muka yang
bersungguh-sungguh dia berkata kepada Peng Jie: "Pangcu,
aku Kim Loo-toa sudah mengambil keputusanku untuk
masuk kembali dalam partai Kay Pang. Silahkan kau
mengangkatku kembali sebagai pelindungimu."
Peng Jie menggelengkan kepala sambil berkata: "Kim
Sioksiok, janganlah kau memanggilku dengan sebutan itu,
aku .. aku mana bisa jadi pangcu?"
Sebenarnyalah dia masih terlampau muda, dan diwaktu
Kim Siok-sioknya dengan tulus hati ingin mengabdi
dibawah pimpinannya, tidak terasa lagi ia menjadi terkejut
bukan buatan. Kim Loo-toa dengan suara yang sungguh-sungguh sudah
melanjutkan perkataannya: "Sewaktu Loo-pangcu meninggal dunia, dia ada memesan apa terhadapmu?"
Peng Jie yang melihat orang itu sungguh-sungguh ingin
mengabdi kepada dirinya, hatinya menjadi terharu,
semangat jantannya bangkit kembali dan lalu berkata: "Kim
Siok-siok, Peng Jie mengaku salah, silahkan kau orang tua
menyebutkan syarat-syaratnya."
Kim Siok-siok dengan cepat berlari keluar, dengan
memotes cabang pohon diapun berkata kepada Peng Jie:
"Peganglah cabang pohon ini. Kau sentuh pundakku dua
kali, lalu kau umumkan bahwa akulah pelindung keturunan
keenambelas dari partai Kaypang. Upacara ini sebenarnya
harus dilakukan dengan semeriah-meriahnya dan pula
harus disaksikan oleh orang-orang ternama, tapi karena
waktunya sudah sangat mendesak, maka terpaksa
pengangkatan ini hanya dihadirin oleh Gouw Loo-tee saja
yang berlaku sebagai saksinya."
Peng Jie melihat muka Kim Loo-toa begitu pucat, tapi
semangatnya masih tetap menyala-nyala. Selanjutnya oleh
karena kuatir Kim Siok-sioknya teringat kembali akan
peristiwa yang lampau dengan saudaranya itu, maka diapun
lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah kita mulai
upacara pengangkatan itu."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya, kemudian
lantas berlutut dihadapannya Peng Jie.
Peng Jie menjadi agak gugup. Baru saja ia hendak
mengulurkan tangannya untuk mengangkat bangun orang
tua itu, ternyata Kim Loo-toa sudah mendahului berkata:
"Inilah peraturan partai Kay-pang, maka Pangcu tak boleh
mencoba untuk melanggarnya."
Peng Jie mengetahui, bahwa dia tidak dapat menolak
pula, maka dengan menggunakan cabang pohon tersebut,
buru-buru dia menyentuh pundak Kim Loo-toa dua kali
sambil berkata dengan suara yang nyaring: "Kami Pang-cu
dari Partay Kay-pang keturunan keenam belas bernama Lie
Peng, mengundang Kim Siok-siok sebagai pelindung dari
partai kami."
Karena dia tak mengetahui nama Kim situa ini, maka dia
hanya menyebut dengan Kim Siok-siok saja.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gouw Leng Hong yang mendengar suara bocah masih
seperti kanak-kanak saja, tapi semangatnya sebagai seorang
pemimpin tampak begitu agung, nyatalah bahwa dia
mempunyai derajat untuk menjabat kedudukan tersebut,
maka diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai tanda kagum.
Kemudian Kim Loo-toa bangun berdiri dan memberi
penjelasan pada Gouw Leng Hong dengan berkata: "Loo-
tee, kau dengan Cek Yang bukankah pernah terjadi
perselisihan?"
Leng Hong menganggukkan kepalanya sambil menjawab: "Dia adalah salah seorang dari pembunuh
ayahku." Kim Loo-toa setelah berfikir sejurus, sekonyong-konyong
dia berseru: "Dikalangan Kang-ouw terdapat kata-kata yang
tersiar luas sekali, yaitu mengenai Chit-hiauw-sin-kun Bwee
San Bin dan Hoo-lok-it-kian Gouw Ciauw In yang telah
dibunuh oleh Cek Yang dari Bu-tong, Kouw Am dari Go-
bie, Li Gok dari Kong-tong dan kebetulan Loo-tee she
Gouw, maka apakah sangkut pautnya dengan Gouw Ciauw
In Tay-hiap?"
Dengan tersenyum Gouw Leng Hong menjawab: "Ialah
ayahku sendiri."
Dengan menghela napas Kim Loo-toa lalu berkata:
"Hoo-lok-it-kiam Gouw Tay-hiap dengan Loo-pangcu
adalah sahabat lawas, tidak disangka mereka yang begitu
terkenal karena kepribadian mereka yang luhur dan suka
menolong sesama manusia di Hoo-lam dan Hoo-pak,
akhirnya telah menemui ajal mereka terbinasa oleh siasat
busuk kaum pengkhianat bangsa!"
Kemudian Gouw Leng Hong lain bertanya: "Pangcumu
bagaimana bisa kejadian mengikat permusuban dengan Cek
Yang?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Peristiwa ini telah terjadi
pada sepuluh tahun yang lampau. Pada saat itu, dikalangan
rimba persilatan muncul dua orang jagoan aneh, yang satu
adalah 'Chit-biauw-sin-kun', sedangkan yang lainnya lagi
adalah ayah Loo-tee sendiri. Kepandaian kedua orang ini
sangat tinggi dan lihay sekali, apa lagi ayahmu yang telah
melakukan pekerjaan yang paling sempurna dikalangan
Kangouw, sehingga namanya naik tinggi dan menjadi buah
bibir para pendekar. Nama kedua orang ini akhirnya dapat
menindih nama keempat orang ahli waris dari empat partai
besar." Leng Hongpun pernah mendengar riwayat ini dari
penuturan bujangnya yang kini sudah meninggalkan dunia,
maka diapun lalu berkata: "Oleh karena keempat orang ini
tidak merasa puas dengan mereka lalu bersekutu dan
menganiaya ayahku dan Bwee San Bin."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Kejadian ini sungguh kebetulan sekali, yaitu setelah
mereka berempat dapat mengalahkan dan menganggap
bahwa 'Chit-biauw-sin-kan' Bwee San Bin telah terbinasa,
mereka begitu kegirangan sehingga berlaku lengah dan telah
meninggalkan sebuah sarung pedang ditempat pertempuran, yang kemudian sarung pedang itu telah dapat
dijumpai oleh salah seorang dari murid partai pengemis
kami." Dalam hati Leng Hong berpikir: "Kalau begitu, tidaklah
heran mengapa Cek Yang Tojin meminta dengan paksaan
pada Kim Loo-toa akan sarung pedang tersebut, tidak
tahunya sarung pedang itu adalah milik Lie Gok. Tetapi
mengapakah Cek Yang begitu memaksanya?"
Kim Loo-toa lalu melanjutkan penuturannya: "Sarung
pedang itu sebenarnya tidak mempunyai arti apa-apa.
Murid kami dari partai pengemis karena melihat sarung
pedang itu yang diukir secara indah sekali, maka dia
menduga kalau-kalau bukannya sarung pedang itu buatan
dari jaman dahulu, tentulah sangat hebat, oleh karena
itulah, maka dia pungut dan bawa pulang. Tapi dengan
tidak disangka, pada akhir-akhir dua tahun ini, dikalangan
Kang-ouw tersiar suatu berita yang mengatakan, bahwa
sesudah meninggalnya tokoh hebat yang dipanggil Koay-
hiap Cui Tojin, dimana setelah dia mati, maka
kepandaiannya yang hebat dan langkapun turut juga
terkubur pula. Tapi kemudian, entah disengaja atau tidak,
bolehnya tersiar kabar dikalangan rimba-persilatan, bahwa
seluruh kepandaian dari orang aneh itu telah ditulis diatas
sebuah sarung pedang kuno, yang dengan secara kebetulan
telah dapat dimiliki oleh murid dari partai pengemis."
"Kabar ini bertambah lama bertambah santar kedengarannya diluaran, sehingga murid yang telah
mendapatkan pedang sarung itu lalu mempersembahkan
kepada Loo-pangcu kami. Dan setelah Loo-pangcu kami
memeriksanya, ternyata tidak terdapat hal-hal yang aneh,
oleh karena itu, Loo-pangcu berpendapat, bahwa kabaran
yang tersiar diluar dan dalam kalangan Rimba Persilatan
itu, mungkin juga ada berapa bagiannya yang benar, maka
dia telah menyimpan sarung pedang itu baik-baik."
"Tapi Li Gok setelah mendengar kabaran angin ini, dia
menjadi terkejut dan diapun memastikan, bahwa sarung
pedang yang dimaksudkan itu pastilah sarung pedang yang
telah hilang olehnya pada sepuluh tahun yang lalu itu,
halmana telah membuat dia menjadi sangat menyesal dan
menginsyafi, bahwa dirinya selama hidupnya telah banyak
membuat hal-hal yang tidak baik, maka selama tahun-tahun
belakangan ini, banyak sekali musuh-musuhnya telah
datang mencari dia untuk memperhitungkan hutang lama.
Oleh karena dia takut, bahwa banyak diantara musuh-
musuhnya itu adalah orang-orang yang berkepandaian
sangat tinggi, maka dia telah berlaku sangat hati-hati sekali.
Karena dia sebagai seorang Ciang-bunjin, tentu saja tidak
berani berlaku gegabah pula. Maka dari itu, dia telah
memikir untuk menciptakan suatu kepandaian istimewa
untuk menghadapi lawan-lawannya yang tangguh itu.
Kebetulan sekali sarung pedang itu kabarnya memuat
seluruh kepandaian yang hebat dari jago silat terdahulu,
yaitu Cui Too-jin, maka dia telah membulatkan tekadnya
untuk mendapatkan kembali sarung pedang yang telah
lenyap itu."
"Akhirnya Loo-pangcu sendiri pada suatu malam telah
bertemu dengan musuh besarnya, pada waktu mana dia
telah dibunuh mati oleh lawan itu ditengah hutan belantara,
hingga oleh karenanya, kami dua saudara telah bertempur
dengan musuh itu. Maka pada sebelum Loo-pangcu
meninggal, dia telah menjumpai Peng Jie dan lalu
menyerahkan kedudukannya kepada bocah ini. Tapi Li
Gok sungguh tajam sekali pandengarannya, entah darimana
dia mendapat kabar, bahwa sarung pedang itu telah terjatuh
kedalam tangan Siauw-pangcu (Ketua muda). Oleh sebab
itu, dia telah turun tangan sendiri, berhubung diantara
murid-murid dari partai pengemis Utara ada berapa orang
yang telah berkhianat dan berlaku sebagai 'cecolok' Li Gok.
Halmana, disebabkan karena ketua lama sudah meninggal
dunia, sedang ketua yang baru masih muda sekali usianya.
Maka setelah mereka bersatu padu dengan Li Gok dan
menyerang kami dua saudara dan Peng Jie, aku dua
saudara yang melihat lawan kami berjumlah banyak dan
lagi pula banyak diantaranya yang tinggi-tinggi kepandaian
silatnya, maka kami telah memerintahkan pada ketua kami
yang masih muda ini untuk melarikan diri dengan sendirian
kepada partai pengemis cabang Selatan. Tapi sungguh tidak
disangka, bahwa tipu kami ini telah dapat dipecahkan pihak
lawan, sehingga mereka telah mengejar kami bertiga sampai
dikuil rusak tempo hari, dimana syukur juga akhirnya kami
dapat pertolongan saudara Lie, sehingga kami selamat tak
kurang suatu apapun."
Gouw Leng Hong lalu memotong perkataan orang
sambil berkata: "Kalau begitu, mengapa Cek Yang bisa
mengikat permusuhan dengan kalian?"
Kim Loo-toa setelah menarik papas lalu menjawab:
"Aku bersama partai Bu-tong sebenarnya bagaikan air kali
dengan air sumur yang tidak saling mengganggu. Begitu
Loo-pangcu wafat. Cek Yang merasa iri hati kepada partai
kami yang dianggapnya jaya, hingga akhirnya telah terjadi
satu bentrokan kecil diantara murid-murid kedua belah
pihak. Hanya belum tahu, entah apa sebabnya Cek Yang
sampai begitu kejam membunuh saudaraku. Tapi kesudahannya aku telah menarik kesimpulan, bahwa dia
telah bersekongkol dengan Li Gok."
Sebenarnya, dimanalah ia ketahui, bahwa tempo hari
Cek Yang setelah melihat Lie Siauw Hiong mengunjukkan
diri diruangan 'Bu-wie-thia', dengan gagahnya dia telah
berhasil dapat mengalahkan Kinlungo, hingga tak pernah ia
mendengar maupun melihat sendiri sampai waktu detik itu,
ketika dia menyaksikan kepandaiannya Lie Siauw Hiong
yang begitu luar biasa, hingga tidak terasa lagi dia menjadi
sangat kaget sekali, karena dia tahu, bahwa dibelakang hari
Lie Siauw Hiong pasti akan datang menuntut balas,
sedangkan dia sendiri tentu saja tidak dapat melawannya.
Begitulah dengan tidak mempertimbangkan lagi kepada
prikemanusiaan, ia telah turun tangan sendiri untuk
merampas sarung pedang itu, untuk memperoleh kepandaian silat yang hebat dari gambar maupun
peninggalan yang tertera pada sarung pedang tersebut.
Sementara Gouw Leng Hong setelah selesai mendengar
penuturan Kim Loo-toa, diapun hanya dapat menganggukkan kepalanya saja, sedang didalam hati ia
berpikir: "Aku selama beberapa bulan ini, telah mencari-cari
Ah Lan ke Shoa-tang dan Hoo-lam, tapi tidak dapat
menemui jejaknya. Karena kedua matanya telah buta, dia
yang mengembara dikalangan Rimba Persilatan yang penuh
bahaya dan manusia-manusia
keji, sesungguhnya keadaannya sangat berbahaya sekali. Jika mengandalkan
aku sendiri yang mencarinya, hal ini bagaikan mencari
sebatang jarum ditengah lautan, entah aku harus cari
dimana. Oh, benar Hiong-tee mengatakan bahwa murid-
murid partai pengemis tersebar dimana-mana, maka baiklah
aku minta pertolongan mereka untuk mencari Ah Lan,
hingga harapan untuk dapat mencarinya menjadi terlebih
besar." Tapi ketika baru saja dia hendak membuka mulut,
sekonyong-konyong ia telah berbalik pikir: "Didepan mata
urusan yang harus diselesaikan oleh mereka masih
bertumpuk-tumpuk banyaknya, aku yang telah melepas
budi terhadap partainya, bila aku memohon pastilah
mereka akan meluluskannya. Ai, sudahlah. Mengapa aku
harus menyusahkan orang lain" Aku pernah meluluskan
kepada Ah Lan, akan selama-lamanya mendampinginya
bersama Toa-nio, aku .. aku dengan tidak menghiraukan
betapa luasnya muka bumi ini, aku harus dapat mencarinya
kembali, bila dia tidak beruntung telah mengalami bencana,
aku .. aku akan menyusul kepadanya. Pendek pada
pokoknya, didunia ini tidak ada tenaga apapun yang dapat
memisahkan mereka."
(Oo-dwkz-oO) Jilid 40 Pada saat itu, sinar bulan telah memasuki jendela kuil
yang rusak itu. Kim Loo-toa yang melihat muka Gouw
Leng Hong memancarkan sinar yang agak berlainan .. tentu
saja, sekalipun hanya sebentar saja, tapi Kim Loo-toa segera
dapat merasakannya ..
Sekonyong-konyong Leng Hong berkata: "Besok kita
harus melaksanakan perjalanan pula, silahkan kalian pergi
beristirahat."
Peng Jie manggutkan kepalanya sambil memandang
kepada Kim Lo-toa dan berkata: "Kim Siok-siok, marilah
kita beristirahat."
Kim Loo-toa manggutkan kepalanya dan lalu meniup
padam pelita minyak diatas media, kemudian bangkit
berdiri dengan tindakan perlahan menghampiri pinggiran
tembok. Dibawah sinar puteri malam, badannya yang jangkung
tampak menyeramkan sekali .. apa lagi bayangan
punggungnya, yang tampaknya sangat besar serta
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menakutkan itu.
Pada keesokan harinya, Gouw Leng Hong dengan
tergesa-gesa berpamitan dari Kim Loo-toa dan Peng Jie.
Terhadap Kim Loo-toa dia sangat menghormatinya,
sedangkan kepada Peng Jie dia merasa sangat tertarik,
hingga sebenarnya dia ingin tinggal lebih lama bersama-
sama mereka, tapi setelah dia melihat bahwa Kim Loo-toa
ingin mengubur mayat adiknya, diapun terpaksa meninggalkannya, karena tak mau dia mengganggu lebih
lama pula kepada mereka. Tapi didalam hari ia berpikir:
"Sejak hari ini sepasang saudara yang selamanya tak pernah
saling berpisahan, kini harus berpisah untuk selama-
lamanya. Halmana, sesungguhnya sangat memilukan dan
mengharukan hati sekali. Selama hayatku dikandung
badan, hari-hari yang bahagia bagiku hanya sedikit sekali ..
Barangkali untuk selama-lamanya aku tidak bisa merasakan
manisnya penghidupan, dan hari-hari yang sengsara pasti
tidak akan habis-habisnya mengunjungiku. Penderitaanku
sudah cukup berat, oleh karena itu, mengapa pula aku harus
menyaksikan perpisahan yang menyayat hati diantara
kedua saudara ini?"
Dengan mengikuti rencana yang telah ditetapkannya
semula, dengan langkah yang perlahan dia memasuki kota
Lok-yang. Pada saat itu sudah tengah hari, maka ia segera
mencari sebuah warung arak yang bersih dan disana ia
memilih tempat yang letaknya dekat jendela.
Sekonyong-konyong, seluruh tamu yang berkumpul
disitu dengan serentak pada berdiri dan memandang pada
anak tangga, hingga Leng Hong tidak terasa lagi jadi
merasa heran sekali dan buru-buru mengikuti pandangan
orang banyak, ketika pada anak tangga itu muncul seorang
gadis kecil yang ditaksir baru berusia lima atau enambelas
tahun tengah berdiri disitu.
Leng Hong lalu menoleh kepada gadis itu yang bersinar
mata bening dan jernih, putih bersemu merah bagaikan
buah apel, yang disaat itu tengah bersenyum manis seorang
diri. Pada saat itu seluruh tamu yang berada dalam rumah
makan tersebut menjadi hening, semua hadirin sangat
tertarik sekali pada gadis cilik itu. Salah seorang tamu yang
sudah tua, dalam hatinya berpikir: "Apabila aku
mempunyai anak dara semanis dia ini, alangkah baik dan
senangnya penghidupanku." Sedangkan bagi para tamu
yang masih muda tentu berpikir: "Apabila aku mempunyai
adik perempuan yang sedemikian mungilnya .." Tapi
mereka tidak berani melanjutkan pikiran yang bukan-bukan
itu, karena diantara kecantikan gadis cilik ini, tampak sikap
yang sangat agung dan tak boleh dipandang ringan.
Gouw Leng Hongpun karena merasa gadis cilik ini
sangat mungil dan menarik, tidak terasa lagi menjadi
terlebih sering pula memandangnya, hingga dara cilik
inipun seakan-akan mengetahui, bahwa dirinya sedang
dipandang orang, maka diapun bersenyumlah sambil
menghampiri kehadapan Gouw Leng Hong dan berikata:
"Eh, kau memandangi aku mau apa, tahukah kau
saudaraku Lie Twako sekarang berada dimana?"
Leng Hong merasakan pandangan gadis cilik ini sangat
tajam dan menusuk kepadanya, hingga hatinya merasa
bimbang dan tak mendengar jelas pertanyaan orang. Maka
ia lalu bertanya: "Kau, kau mengatakan apa?"
Sigadis cilik manis ini yang melihat muka sipemuda agak
kemerah-merahan, sebenarnya dia hendak menegurnya
mengapa dia tidak memperhatikan pertanyaannya, tapi
ketika baru saja perkataannya hendak diucapkan, tiba-tiba
dia mengurungkan maksud itu, karena ia merasa tidak
sampai hati untuk mengatakannya. Oleh sebab itu, ia hanya
berkata dengan lemah lembut: "Aku tanya kau, apakah kau
tahu ada seorang she Lie .. Lie Twako yang matanya agak
besar itu?"
Leng Hong lalu menjawab: "Apa" Apakah yang kau
tanyakan itu bukan adik Lie Siauw Hiong?"
Gadis cilik manis ini tampak menjadi girang sekali,
hingga dengan muka yang berseri-seri ia lalu berkata:
"Benar .. Lie Siauw Hiong Twako-lah yang sedang aku cari.
Dia adalah adikmu, kalau begitu, inilah sesungguhnya
sangat kebetulan sekali, Lekaslah kau ajak aku pergi
menjumpainya."
Pada saat itu para hadirin dalam rumah makan tersebut
ramai membincangkan tentang sepak terjang gadis ini, dan
ada seorang tua yang jujur melihat mereka berdua sungguh
merupakan satu pasang muda mudi yang sangat setimpal
sekali, tak terasa pula membuat ia merasa gembira akan
menyaksikan kedua orang itu.
Sedangkan kaum pemuda yang menampak gadis cilik ini
dapat bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan Leng
Hong dengan secara bebas, hati mereka merasa iri sekali,
tapi waktu mereka memandang lebih cermat lagi pada Leng
Hong, mereka dapatkan bahwa sipemudapun mempunyai
sinar mata yang tajam pula, dan jika dibandingkan dengan
mereka sendiri, sama sekali mereka tak akan nempil. Oleh
karena itu merekapun menjadi putus asa. Tapi waktu
mereka mendengar sigadis manis tengah menyelidiki
pemuda lainnya lagi, didalam hati mereka merasa aneh
sekali, hingga diam-diam mereka pada berpikir: "Entah
pemuda she Lie itu adalah orang macam apa pula, sehingga
membuat dia merasa sangat kuatir" Ai, nona yang demikian
manisnya ini, andaikata .. asal dia mempunyai perasaan
kuatir atas diriku separuhnya saja, andaikata aku harus
mati, maka akupun akan merasa rela."
Begitulah menurut jalan pikiran masing-masing pemuda
yang sedang berkumpul dalam rumah makan itu.
Para pemuda ini dengan serentak pada menoleh kearah
Leng Hong dengan mengandung perasaan mengejek, yang
seakan-akan mereka hendak mengatakan: "Bocah, janganlah kau lekas merasa girang dahulu, nona manis ini
sudah mempunyai pemuda yang dipenujuinya, lho!"
Gouw Leng Hong tidak menghiraukan atas pandangan
orang banyak terhadapnya, hanya dengan suara yang
perlahan ia telah bertanya: "Kau ini orang she Kim atau she
Phui?" Gadis itu matanya tampak berputar, kemudian dengan
perasaan heran dia menjawab: "Aku she Thio. Eh,
mengapakah kau mengira aku orang she Kim atau she
Phui?" Leng Hong menampak muka sinona seperti orang yang
gugup dan curiga, maka dalam hati dia merasa terkejut juga
dan berpikir: "Nona ini terhadap Hiong Tee begitu
memperhatikan sekali. Tempo hari sewaktu Hiong Tee sakit
keras, dalam mengingaunya dia telah menyebut-nyebut
nama seseorang. Tatkala itu karena aku menganggap dia
sedang sakit keras, maka tentulah nama yang disebutkannya
itu adalah tidak benar. Tapi baiklah untuk tidak melukai
hati nona ini, aku tak akan memberitahukan nama orang
tersebut kepadanya."
Setelah dia berdehem lalu dia tertawa sambil berkata:
"Aku .. mempunyai seorang sahabat she Phui yang
romannya mirip sekali denganmu."
Dia yang begitu melihat gadis ini, dalam hatinya timbul
satu perasaan yang sukar dilukiskan. Ia hanya merasa
bahwa ia harus melindunginya dimana perlu, hingga
terpaksa ia telah membohong pada kali itu.
Ternyata gadis manis ini adalah gadis yang melarikan
diri dari pulau Bu-kek-too, yaitu Ceng Jie. Sejak ia diajak
oleh orang tuanya mengembara kedaerah Tiong-goan,
disitu ia telah menemukan segala sesuatu yang aneh dan
belum pernah dilihatnya selama ia berada dipulaunya
sendiri. Lebih-lebih ia telah dapat berkenalan dengan
pemuda bermata agak besar yang bernama Lie Siauw
Hiong. Begitu terpikir olehnya akan sipemuda yang bermata
besar ini, hatinya jadi merasa sangat gembira. Belakangan
setelah ibunya kena ditiam oleh Giok-khut-mo dan diwaktu
ayahnya Bu Hang Seng melepaskan totokan itu, untuk
pertama kalinya pula dia telah melihat pemuda yang
bermata besar itu. Dalam keadaan demikian, ia melihat
mata yang besar itu tengah memandangnya dengan penuh
kecintaan. Ia tidak mengerti pandangannya itu, tapi
didalam lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang
mesra sekali. Setelah dia mengikuti orang tuanya kembali kepulau Bu
Kek Too, hatinya menjadi tidak kerasan pula tinggal
dipulau itu. Maka setelah berdiam disitu tidak berapa lama,
kembali ia merasa iseng sekali, sedangkan hatinya terus
mengembara kedaerah Tiong-goan kepada sipemuda yang
bermata besar itu, sehingga akhirnya tak dapat pula ia
menahan sabar dan mengunakan kesempatan selagi ayah
dan ibunya tidak begitu memperhatikannya, lalu dia
melarikan diri dengan diam-diam dari pulau tempat
kediamannya itu.
Dia sebenarnya tidak mengetahui nama Lie Siauw
Hiong, tapi ayahnya dengan tidak disengaja telah
menyebutnya dirumah, maka diapun lalu mengingatnya
baik-baik. Disepanjang jalan, asal saja dia berjumpa dengan
orang, dia tanyakan dimana adanya sipemuda she Lie itu,
hingga entah sudah menerbitkan berapa banyak kali buah
tertawaan orang. Dia yang sejak kecil berdiam seorang diri
dipulaunya ini, lagi pula biasa dimanja-manja oleh orang
tuanya, maka terhadap urusan dunia dia tidak tahu jelas,
sehingga diapun tidak tahu kalau menginap dirumah
penginapan, harus membayar uang sewanya, dan sesudah
makan, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa membayar.
Tapi karena orang melihat pada wajahnya yang cantik,
maka selamanya suka mengalah saja kepadanya. Oleh
karena itu, disepanjang jalan belum pernah dia menderita
kerugian apa-apa.
Pada hari itu ketika dia melihat Leng Hong dirumah
makan itu memandang kepadanya, dia merasa Leng Hong
sangat tampan dan baik hati. Lalu dia menanya kepadanya,
tanpa disangka bahwa sesudah bertanya-tanya kian kemari,
akhirnya dijumpainya juga orang yang tepat.
Ceng Jie lalu berkata: "Kalau begitu, Lie Twako
sekarang berada dimana?"
Leng Hong yang menampak sigadis tidak menanyakannya kembali karena dia terlepasan omong tadi,
lalu buru-buru ia menjawab: "Hiong-tee telah mengikuti
Peng Hoan Taysu pergi kepulau Tay Ciap Too untuk
belajar silat yang tinggi dan langka."
Dengan roman yang kegirangan Ceng Jie lalu berkata
pula: "Ternyata dia telah mengikuti Loo Hoosiang pek-pek
(paman pendeta tua) pergi ke Tong Hay, apakah Hosiang
itu mempunyai kepandaian silat yang tinggi?"
Leng Hong yang mendengar dia memanggil Peng Hoan
Taysu dengan sebutan Hosiang pek-pek, dalam hatinya
diam-diam dia menertawakan sinona sambil berpikir:
"Nona ini sungguh wajar sekali kelakuannya, sedikitpun ia
tak marah aku menyebutkan nama wanita lain, tapi bagi
wanita lainnya, pasti dia akan merasa cemburu dan
dendam. Tampaknya kaum wanita sudah punya rasa
cemburu sejak dilahirkan kedalam dunia ini. Hal mana
dapat dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi antara Ah
Lan dan nona she Souw itu."
Begitu dia berpikir pada Ah Lan, hatinya menjadi pilu
sekali, hingga ia lantas berdiam sejenak tanpa berkata-kata
barang sepatahpun.
Ceng Jie lalu berkata: "Eh, apakah kau merasa kurang
senang" Kau she apa?"
Leng Hong lalu nienyahut: "Aku she Gouw, namaku
Leng Hong."
Ceng Jiepun balas menjawab: "Aku Thio Ceng, tapi lebih
baik kau panggil aku Ceng Jie saja."
Leng Hong berkata pula: "Twakomu pergi sudah sebulan
lebih, sekarang dikuatirkan dia sudah kembali pula."
Dengan gugup Ceng Jie berkata: "Aku akan pergi
kepulau Tay Ciap Too, apakah kau mau pergi juga
kesana?" Leng Hong yang memang hendak pergi kedaerah Hoo-
lam dan Hoo-pak serta kebetulan satu jalanan dengannya,
maka iapun dengan girang mengiringinya juga.
"Aku hanya bisa mengantarkan kau keperbatasan Kang-
souw saja," kata sipemuda.
Ceng Jie menjawab: "Begitupun baik, mari kita lekas
berangkat."
Leng Hong lalu membayar harga makannya dan
minuman yang telah didaharnya tadi, kemudian mereka
berangkat menuju ke Utara.
Disepanjang jalan, apa yang dipercakapkan setelah dia
meninggalkan rumahnya, yaitu menanam bunga, menanam
rumput, menangkap ikan, menangkap kutu-kutu. Leng
Hong setelah meninggalkan rumah tangganya senantiasa
berada dalam keadaan bahaya, karena dimana-mana dia
harus melakukan pertempuran mati hidup dengan lawan-
lawannya. Maka setelah kini mendengar cerita yang
menarik itu, dia menjadi giranglah didalam hatinya.
Thio Ceng berkata pula: "Pulau Bu Kek Too sungguh
luas sekali. Disana ditanam bunga-bunga yang beraneka
ragam dan indah sekali pemandangannya, diatas pulau itu
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya ada ayah dan ibuku saja yang melayaniku. Ayah
sendiri dari pagi sampai malam jika bukannya membaca
buku, tentulah berlatih silat, maka aku terpaksa, bermain-
main dengan ibu saja. Pada saat itu, jika kau datang
bersama Lie Twako menemani aku bermain-main selama
berapa bulan, hal itu sudah tentu bukan main baiknya."
Leng Hong yang melihat sinona dengan tulus hati
memohon kepadanya, diapun buru-buru menjawab: "Aku
pasti akan sering-sering datang kesana untuk menjengukmu."
Thio Ceng setelah menghela napas pula lalu berkata:
"Ayah entah sebab apa, tampaknya dia sangat membenci
sekali terhadap Lie Twako. Aku khawatir ayah melarang
aku akan bermain-main demgannya."
Leng Hong lalu berkata pula: "Tidak bisa, kepandaian
Lie Siauw Hiong sangat tinggi dan orangnyapun sangat
pintar. Ayahmu pasti sekali akan menyukainya."
Thio Ceng yang mendengar Leng Hong memuji pada Lie
Siauw Hiong, hatinya menjadi girang dan lalu melanjutkan
perkataannya: "Akupun berpendapat demikian juga. Lie
Twako bersamamu adalah kawan-kawan paling baik yang
kumiliki didunia ini, dia dan engkau adalah orang-orang
yang paling baik sekali."
Leng Hong tiba-tiba berkata: "Ayahmu mendapat
gelaran sebagai salah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar
Dunia', hingga kepandaiannya tentu sangat luar biasa tinggi
dan hebatnya sedangkan kau sendiri begitu pintar, yang
tentunya telah mewariskan kepandaian ayahmu yang hebat
itu juga."
Thio Ceng lalu menjawab: "Ayah
sering-sering menyatakan, bahwa aku tidak belad yar dengan sungguh-
sungguh, sedang ibu mengatakan, bahwa aku sebagai anak
perempuan bukannya khusus untuk bertanding dengan
orang, oleh karena itu, dia tidak membutuhkan kepandaian
yang terlampau tinggi, hingga akhirnya ayahpun tidak
terlampau memaksaku dan hanya mempelajari aku ilmu
Keng-sin-kang saja."
Leng Hong dengan suara memuji lalu berkata: "Tidak
heran bila kau memiliki kepandaian untuk mengentengi
tubuh yang sempurna sekali."
Mendengar pujian itu, Thio Ceng hanya tersenyum saja.
Begitulah kedua orang itu berjalan disiang hari, dan
dimalam hari beristirahat, maka masing-masing merasa
cocok satu sama lain. Dan dimana saja mereka tiba, Leng
Hong senantiasa menyelidiki dimana sekiranya Lie Siauw
Hiong berada, disamping menjaga dengan sangat hati-hati
diri sinona yang kini berjalan bersama-sama dengannya.
Tatkala berjalan pula berapa hari lamanya, belum juga
Thio Ceng berhasil menjumpai orang yang sedang dicarinya
itu, hingga diam-diam ia merasa jengkel juga didalam
hatinya. Lalu bersama-sama Leng Hong ia membentangkan
Keng-sin-kang dengan sehebat-hebatnya. Mereka ini baik
turun gunung dan melampaui semak belukar. Setelah
mereka memasuki daerah Hoo-lam dimana banyak sekali
jalan yang tidak rata, kedua orang itu toh telah dapat
membentangkan Keng-sin-kang mereka bagaikan ditempat
yang datar saja.
Pada hari itu sesampainya di Souw-ciu dan terpisah dari
pantai laut tidak berapa jauh, haripun sudah menjelang
malam, hingga kedua orang itu buru-buru mencari sebuah
guha gunung untuk mereka duduk beristirahat disitu.
Keadaan pada waktu itu sudah mulai termasuk pada
musim dingin, hingga hawa udara luar biasa dinginnya.
Setelah Leng Hong memotes berapa cabang pohon yang
sudah kering, lalu didepan guha gunung tersebut ia
membuat unggun untuk memanaskan badan mereka. Thio
Ceng lalu mengeluarkan makanan kering dari dalam
buntelannya, yang sebagian ia berikan kepada Leng Hong,
kemudian mereka berdua sambil duduk menghangatkan
badan lalu memakan makanan kering bawaannya sinona
itu. Leng Hong yang mendapatkan sinona tinggal membisu
saja, ia segera ketahui, bahwa sinona sedang merasa risau
atas perpisahan yang akan segera berlangsung diantara
mereka berdua pada keesokan harinya. Semua ini diketahui
Leng Hong karena sinar api unggun yang menerangi wajah
nona itu. Dalam hati dia berpikir: "Hati sinona ini sungguh jujur
dan welas sekali, sedangkan nasib saudaraku Lie Siauw
Hiong benar-benar sangat mujur sekali. Nanti bila aku telah
berhasil menjumpainya, pasti akan kusampaikan nasihatku,
yang kira-kira akan berbunyi sebagai berikut: Kau harus
dengan seluruh hati dan rasa mencintai nona manis ini.
Hm, siapakah lagi yang dapat menandingi tentang
kecantikan dan kemungilannya?"
Sambil berpikir demikian, otaknyapun terbayanglah
bayangan Ah Lan, hingga ia berkata didalam hatinya:
"Hanya Ah Lan saja yang dapat dibandingkan kecantikannya dengan nona ini." Begitulah menurut jalan
pikirannya. Diangkasa bintang pertama telah menampakkan diri,
dan tidak antara lama rembulanpun telah mulai berkisar
naik dari balik puncak gunung.
Leng Hong membuka buntelannya, dari mana ia telah
mengeluarkan sepucuk surat dan lalu dibaca bunyinya
dengan berulang-ulang: "Twako, aku tidak marah
terhadapmu, benar-benar aku tidak memarahimu .. Siauw
Kbo-nio adalah seorang anak dara yang sangat baik sekali,
dan diapun sungguh-sungguh pula mencintaimu, oleh
karena itu, baiklah kau juga memperlakukan dengan
sepenuh hati, sedang terhadapku yang bodoh lagi dungu ini
tak usah kau kenang-kenangkan pula. Twako, aku pergi,
sekalipun aku pergi ketempat yang sejauh-jauhnya, tapi,
Twako, Ah Lan masih tetap menjadi milikmu. Sekalipun
terpisah ribuan lie jauhnya, tapi Ah Lan selama-lamanya
akan mendoakan agar kalian hidup beruntung dan bahagia
.. Leng Hong dengan tidak jemu-jemunya membaca surat
tersebut dengan berulang-ulang. Dalam keadaan demikian,
teringatlah ia akan peristiwa tempo hari antara dia dengan
nona Souw, yang karena asyiknya mereka bercinta-cintaan,
sehingga peristiwa lain-lainnya mereka tidak pernah
memikirkannya sama sekali.
Ah Lan dengan meninggalkan surat ini, lalu pergi
meninggalkannya,
tentulah dia telah mendengar percakapan mereka berdua, tapi ia sendiri tidak pernah
menyangkanya sama sekali. Apakah karena ia terlampau
banyak menenggak susu macan, maka ia telah melakukan
sesuatu yang melampaui balas kesopanan"
Sekonyong-konyong Thio Ceng berkata: "Gouw Twako,
kau lihat, disana ada apa?"
Leng Hong lalu mengangkat kepalanya memamdang,
dimana ia lihat sebuah bintang jatuh dengan dilangit
tampak sinar yang dengan cepatnya beralih.
Leng Hong lalu berkata: "Itulah bintang jatuh."
Thio Ceng manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata-
kata lagi, sedang didalam hatinya ia berpikir: "Ibu sering
mengatakan, setiap bintang mewakili seorang dewa. Dewa
itu entah disebabkan oleh apa, bukannya menjadi dewa suci
dan baik-baik tinggal dilangit, tapi sebaliknya turun kedunia
yang penuh dengan kedosaan dan kepalsuan. Hanya belum
tahu, apakah dewa itu seorang laki-laki ataukah
perempuan?"
Kemudian diapun melanjutkan pikirannya: "Waktu aku
masih kecil, segala apapun aku tidak mengetahuinya, sehari
suntuk kerjaku hanya main-main saja, atau aku minta ibuku
bercerita sesuatu. Apabila aku sudah merasa lelah, akupun
tertidurlah diatas rumput. Setelah aku bangun dan merasa
haus, maka aku lalu memetik buah untuk dimakan. Apapun
aku tidak pernah memikirkannya, apapun aku tidak takuti,
hanya ayah sering-sering memaksa untuk melatih diriku
dalam kepandaian silat, barulah aku merasa agak takut.
Sepulangnya dalam perjalanan terakhirku ini, aku dapatkan
segala sesuatu yang terdapat diatas pulau tempat tinggalku
sudah tidak menarik lagi. Aku hanya memikirkan Lie
Twako saja seorang, aku takut ia tidak mau berlaku baik-
baik pula terhadapku, karena sikap ayahku terlampau kasar
terhadapnya. Hatiku sungguh-sungguh merasa risau sekali,
ai, apakah barangkali bila seseorang itu bertambah besar,
penghidupannyapun bertambah tidak gembira pula?"
Lalu dia mencuri lihat kearah Leng Hong dan melihat
juga sepucuk surat ditangannya, sipemuda memandang
ketempat jauh dengan sorot mata yang suram, hingga ia
lantas mendekatinya sambil berkata: "Gouw Twako, kau
sedang melihat apa?"
Gouw Leng Hong menjadi terkejut mendengar
pertanyaan sinona, hingga buru-buru ia simpan suratnya itu
sambil memaksakan dirinya tertawa dan menjawab: "Tidak
apa-apa. Aku merasa bahwa besok kita sudah harus
berpisahan. Kau harus cepat-cepat pergi, jika tidak, Hiong-
tee pasti akan salah paham terhadapmu."
Ceng Jie sekalipun berhati jujur, tapi diapun cukup
cerdik, disepanjang jalan sekalipun dia tahu Leng Hong
sebentar tertawa sebentar bercakap-cakap dengan riang
tampaknya, tapi didalam lubuk hatinya dia tengah
menyimpan rahasia sesuatu yang tidak mudah diterka
orang, karena hal itu dapat dia buktikan pada muka
sipemuda yang kadang-kadang tampak suram sekali.
Setelah dia menanyakan hal itu berapa kali, Leng Hong
senantiasa tidak menjawab pertanyaannya dan hanya
menjawab dengan menyimpang saja. Dalam hati dia
berpikir: "Kepandaiannya selainnya tinggi, orangnyapun
sangat tampan. Sebenarnya dia masih ada hal apakah yang
membuat hatinya tidak merasa puas" Lebih baik aku jangan
menanyakannya dengan melit, untuk mencegah agar dia
tidak terlampau sedih. Akan kutunggu setelah aku berjumpa
dengan Lie Siauw Hiong Twako, aku nanti menanyakan
kepadanya, hingga aku bisa mengetahui jelas akan sebab
musababnya."
Selama hari-hari yang terakhir itu, ternyata dia sudah
dapat menimbang-nimbang segala sesuatu dengan terlebih
sempurna. Dengan suara yang lemah-lembut Ceng Jie lalu berkata:
"Jika kau mempunyai waktu yang terluang, silahkan
mampir kepulau Bu Kek Too tempat tinggalku itu, ya?"
Lemg Hong hanya manggutkan kepalamya saja, tapi
sekonyong-konyong dia berkata: "Bila kau telah menjumpai
Lie Siauw Hiong, kau tolong beritahukan kepadanya, dua
bulan kemudian aku akan datang kekota Lok-yang untuk
menungguinya, hingga kami boleh sama-sama menuntut
balas atas sakit hati kita masing-masing."
Diatas langit bintang-bintang memancarkan sinarnya
yang berkelak-kelik dalam kegelapan. Sambil memandang
bintang-bintang tersebut, dalam otak Ceng Jie berkelebat
pula bayangannya Lie Siauw Hiong ..
Sementara Lie Siauw Hiong justeru itu sedang duduk
dimuka sebuah guha. Matanya yang tajam tengah menatap
kearah langit yang jauh sekali dan terbentang diatas
kepalanya, sedang mukanya yang kepucat-pucatan
memperlihatkan satu bentuk yang sukar dilukiskan.
Mungkin sekali, diapun tengah memikirkan pada Ceng
Jie juga" Setelah menyambuti satu pukulannya Kinposuf, waktu
itu ia menerima pukulan tersebut dengan badannya sendiri
tidak sampai bergerak mundur, tanpa meminjam tenaga
pihak lawannya untuk memusnahkan serangan itu, karena
satu pukulan itu sudah mengenai dengan telak sekali pada
dirinya, hingga biarpun tenaga Lie Siauw Hiong lebih kuat
berapa kali, ia toh bukan tandingan Kinposuf yang
setimpal. Tapi sekarang mukanya sudah tampak mulai
bersemu merah kembali. Luka yang diderita disebelah
dalam badannya, sudah sembuh delapan atau sembilan
bagian, hal mana belum dapat dikatakan bahwa dia sudah
berhasil menggunakan cara yang sempurna dari seseorang
yang sudah mencapai tingkat yang tertinggi untuk
menyembuhkan lukanya sendiri.
Dan kini memang sebenarnyalah, bahwa dia tengah
memikirkan diri Ceng Jie, yang wajahnya terbayang-bayang
dikelopak matanya.
Kemudian perlahan-lahan ia berpikir pula atas diri Kim
Ie dan Phui Siauw Kun.
Siauw Kun adalah wanita yang pertama-tama berhasil
menarik perhatiannya, juga yang pertama-tama pula ia
jatuh hati terhadapnya. Tapi tidak disangka bahwa nasib
nona itu sudah digariskan begitu, sehingga cinta
pertamanya ini hanya dapat membekas untuk selama-
lamanya didalam hatinya saja.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tempo hari waktu Phui Siauw Kun dan suaminya Kim
Ie didesak sampai tidak mempunyai jalan mundur, Lie
Siauw Hiong dengan tidak memperdulikan risiko dirinya
sendiri lagi dia sudah tampil kemuka dan dengan kekerasan
pula dia menyambuti serangannya Kinposuf. Pada detik itu
dia telah melupakan pada pembunuh-pembunuh ayah
bundanya, melupakan budi kebaikan suhunya, juga
melupakan pada pekerjaan-pekerjaan besar yang harus
diselesaikannya, hingga pada saat itu dia hanya mengikuti
darahnya yang berdidih dan melampiaskannya dengan
napsu yang bergelora demi membela sahabat-sahabatnya.
Bila demikian halnya, dapatkan dikatakan bahwa dia ini
masih tetap mencintai Phui Siauw Kun"
Dia tak putus-putusnya menegur pada dirinya sendiri:
"Lie Siauw
Hiong, kau mengapa tidak dapat melupakannya" Ada apakah gunanya engkau selamanya
memikirkannya?"
Dilangit tampak segaris sinar yang menggaris angkasa
yang hitam gelap, dan diapun tahu bahwa hal itu berarti
ada bintang yang jatuh kebumi.
"Aku tidak boleh mencintainya kembali" Jika aku tidak
mencintainya, kenapa aku mau mengorbankan diriku begitu
rupa dalam membela kepadanya" Apakah hal itu hanya
dilakukan atas nama kebajikan saja" Jika aku mencintainya,
aku sudah seharusnya tidak mempunyai pikiran semacam
itu, maka biarlah ia dengan tenang mengikuti suaminya
Kim Ie, tidak perduli dia itu siapa adanya, tapi toh ia
terhitung sudah mempunyai pembela selama hayat
dikandung badannya."
Begitulah pikirannya menjadi kacau tidak keruan.
Ombak terdengar memecah pantai dengan santer dan
nyaring disaat yang hening pada malam itu.
Dalam keadaan demikian, maka pikiran seseorang tentu
saja dapat mengembara entah kemana, hingga Lie Siauw
Hiong sendiripun tidak terkecuali. Pikirannya sipemuda tak
berbeda dengan kuda liar tengah berlari-lari entah kemana.
Dan setiap muka yang dikenalnya, satu persatu melintas
dikepalanya, hingga perasaan Lie Siauw Hiong pada saat
itu sesungguhnya sukar sekali untuk dilukiskan.
Akhirnya ingatannya melekat paling dalam pada orang
yang paling disayanginya, yaitu Bwee siok-sioknya. Lie
Siauw Hiong makanya dapat berkeadaan seperti sekarang
ini, semuanya dapat dikatakan karena mengandel rawatan
orang tua itu. Sekonyong-konyong satu hal yang aneh dan belum
pernah melintas dikepalanya kini tampak terbayang
dihadapannya. "Orang yang hidup didunia ini, yang bagaimanakah baru
dapat terhitung seorang yang baik" Seperti Kim It Peng dan
Kim Ie, orang-orang semacam mereka ini, apakah dapat
dikatakan orang-orang jahat" Dan orang yang dikatakan
baik itu, apakah satu kali saja tidak pernah berbuat sesuatu
pekerjaan yang tidak baik?"
"Seperti Bwee Siok-siok, yang memiliki tujuh macam
kepandaian yang begitu hebat sehingga dikalangan Kang-
Ouw ia memperoleh julukan 'Chit-biauw-sin-kun',
kebanyakan orang yang mengenalnya pada mempunyai
perasaan takut terhadapnya, hingga sedikit sekali yang
menghormatinya. Kedua saudara she Kim dari partai
pengemis sekalipun kepandaian mereka terbatas, dikalangan Kang-ouw bila ada orang yang menyebutkan
nama mereka, pasti sesaat itu orang akan mengacungkan
ibu jari sambil memuji kepada mereka. Halmana
sesungguhnya telah memberi kenyataan dan kepastian,
bahwa seseorang mudah sekali untuk berbuat jahat, tapi
sebaliknya jika kita menghendaki orang itu berbuat
kebaikan, maka sulitlah rasanya untuk dilaksanakannya ..
Sebenarnyalah, Lie Siauw Hiong adalah seorang yang
kritik sekali dalam tindak tanduknya, sekalipun dia pernah
bersama-sama Bwee San Bin mengikuti dan mempelajari
buku-buku kuno, tapi dalam sanubarinya sendiri dia
dapatkan apa yang dikatakan baik dalam kitab kuno itu,
kini ada berapa bagian yang sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan jaman. Dengan begitu, diapun dapat menyingkap
arti 'Memusuhi aku' dengan 'Tidak benar' yang terkandung
dalam dua perkataan itu. Maka asal orang itu berlaku baik
terhadapnya, dia akan sepuluh kali membalas orang
tersebut dengan kebaikan pula. Tapi bila ada orang yang
berlaku jahat dan memusuhinya, diapun akan membalasnya
sepuluh kali lipat dari orang itu berbuat terhadapnya.
Andaikata orang lain dapat melihat keganjilan dari
tindakannya ini, maka diapun tak akan menghiraukannya.
Tapi selama beberapa hari ini, umurnyapun sudah
bertambah pula, agaknya karena disebabkan Gouw Leng
Hong sudah mempengaruhinya, hingga perasaannya yang
semula terlampau extrim itu sudah banyak lebih lunak,
hanya perubahan semacam ini dia sendiripun mungkin
tidak mengetahuinya.
Misalnya saja, tempo hari dia mengikuti tindak
tanduknya Bwee Siok-sioknya secara membabi buta, tapi
pada saat ini dia sudah mempunyai konsepnya sendiri
dalam menilai orang tua itu, hal mana bukankah berarti
suatu perubahan yang tidak kecil artinya"
Begitulah pikirannya ini mengembara entah kemana, dan
akhirnya dia bertanya pada dirinya sendiri: "Dapatkah aku
digolongkan pada golongan orang yang baik?"
Begitulah dalam hatinya timbul pertanyaan semacam ini,
dan pertanyaan semacam ini dalam sekali membekas dalam
sanubarinya. Selama beberapa hari itu, dia yang telah
berhasil mewariskan kepandaian yang sehebat-hebatnya
dari Peng Hoan Siangjin, kemudian diapun memiliki gelar
'Bwee-hiang-sin-kiam' yang dipuji dan disanjung-sanjung
orang dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi hal itu,
apakah berarti cukup baik baginya"
Setiap orang bila sudah menjadi seorang yang terkenal,
tiap tindak-tanduknya senantiasa hati-hati sekali, maka Lie
Siauw Hiongpun pada saat itu berkeadaan sedemikian juga.
Tapi waktu ia berpikir, ia sendiri yang telah memperoleh
julukan 'Bwee-hiang-sin-kiam' yang telah membuat banyak
orang menyanjungnya begitu tinggi, bukankah hanya
berarti ia sebagai seorang paham ilmu silat saja"
Begitulah tidak putus-putusnya dia berpikir, dengan
mana ia telah berhasil menyembuhkan luka-luka yang
diderita dari lawannya .. begitu pula pikirannya yang kerap
berubah-ubah dengan tidak berketentuan.
Banyak sekali pikiran yang tidak-tidak melintas
dikepalanya, tapi akhirnya teringatlah ia pada tiga gadis
yang telah dijumpainya selama hidupnya, yakni Phu Siauw
Kun, Kim Bwee Leng dan Thio Ceng.
Pertemuannya yang terakhir dengan Phui Siauw Kun
telah menyebabkan ia teringat pada Kim Bwee Leng yang
telah hilang, yang ia harapkan bahwa pada suatu hari akan
dapat menjumpainya pula ..
Tapi semua ini hanyalah merupakan lamunan belaka,
hingga ia tak tahu pasti nasib apa yang telah menimpah atas
diri Kim Bwee Lang .. atau benarkah nasib telah
mempermainkan mereka"
"Aku bersamanya tidak berkumpul terlampau banyak,
tapi kesannya begitu dalam sehingga aku sukar dapat
melupakannya. Sekalipun kita tidak berterus terang
membicarakan tentang kasih sayang kita, tapi dia yang
sudah beberapa kali mengorbankan dirinya sendiri untuk
mencoba menolongku, bukankah itu lebih menang jika
dibandingkan dengan ribuan kata-kata yang kosong belaka"
.. Waktu aku berdiam bersama-sama ia, urusan yang
menjengkelkan hati tidak pernah melintas disanubariku,
aku hanya merasa hidup gembira yang hampir berarti tak
ada batasnya .. Lie Siauw Hiong, bukankah hatimu telah
terpincuk sedemikian dalamnya oleh Thio Ceng?"
Lie Siauw Hiong telah mengetahui, bahwa setengah jam
sudah hampir lewat, dan dalam waktu yang singkat ini ia
sudah harus dapat melenyapkan pikiran yang bukan-bukan,
agar supaya dapat memusatkan perhatian yang terakhir
untuk mengatur pernapasannya.
Tampaknya ia bersungguh-sungguh dalam mengatur
jalan pernapasannya itu, hingga perlahan-lahan dari atas
kepalanya tampak keluar asap putih yang berkepul-kepul.
Dihadapannya terdapat pasir melulu. Pasir ini merupakan suata jalan yang panjang dan sempit, jika dari
jalan pasir ini kita maju kemuka, maka sampailah kita
kelaut. Air laut itu seakan-akan ingin menelan pasir saja
tampaknya, maka dengan ganas dan berlarut-larut ia terus
menggulung dan mendampar pasir-pasir tersebut, sehingga
dari suara yang ditimbulkan oleh damparan ombak laut itu,
seakan-akan menerbitkan suara tetabuhan yang agak merdu
kedengarannya. Sekonyong-konyong ..
Dua sosok tubuh manusia tampak dari pantai. Sekalipun
bayangan kedua orang itu kini terpisah masih sangat jauh,
tapi dapat dilihat dengan cukup tegas, bahwa kedua orang
ini adalah manusia yang aneh sekali bentuknya.
Diantara kedua orang ini tampak seorang yang anggota
tubuhnya tidak lagi lengkap.
Mereka sambil berjalan, sambil menunjuk-nunjuk
dengan menggerak-gerakkan kaki dan tangan mereka,
seakan-akan satu diantara mereka adalah seorang bisu
layaknya. Perlahan-lahan dibawah sinar bintang-bintang dan
rembulan, tampaklah roman kedua orang ini yang amat
jelek serta menyeramkan dalam pandangan mata. Dengan
begini, sudah teranglah kiranya, bahwa kedua orang ini
bukan lain daripada Hay-thian-siang-sat!
Mereka pernah mendengar dan menyelidiki, bahwa
tempat ini tidak berpenghuni, oleh karena itu, tanpa merasa
curiga ataupun takut, mereka berjalan tersaruk-saruk
sehingga terdengar nyata suara tindakan kaki mereka
dimalam sunyi serta lengang ini.
Lie Siauw Hiong yang sedang bersemedhi dimulut guha
yang gelap itu, karuan saja jadi sangat tercengang
mendengar suara kaki itu, hingga buru-buru dia membuka
matanya memandang .. dan justeru dalam detik itu juga,
diapun tidak dapat pula menguasai dirinya dengan tenang
seperti barusan.
Muka yang begitu menakutkan dan kejam serta anggota
tubuh yang tidak sempurna, dalam sedetikpun tidak pernah
terlupakan oleh Lie Siauw Hiong, lebih-lebih karena mereka
ini adalah musuh besar dan pembunuh ayah dan ibunya.
Diapun mengetahui, bahwa pada saat itu justeru saat
yang paling genting dan menentukan untuk dapat
menyalurkan kembali pernapasannya dengan sempurna,
hingga sedikitpun tak dapat dia memecah pikirannya. Tapi
setelah mencoba lima kali, diapun belum juga berhasil
dapat menguasai dirinya, berhubung dia merasa sangat
geramnya. Dalam keadaan begitu, sekalipun orang lain
mempunyai sifat sabar bagaimanapun, pasti tak dapat juga
bertahan seperti juga halnya sendiri.
Sambil menarik napas lalu dia berlompat bangun.
Diapun menginsyafi, dengan berlompat bangun sebelum
pernapasannya sempurna dijalankan, dia, harus menggunakan dua kali lipat tenaga untuk mengatur kembali
jalan pernapasannya yang terganggu ini. Tapi dalam
suasana seperti ini, memang dia tak dapat mencegahnya.
Setelah dia mencoba-coba, akhirnya dia dapatkan
pergerakannya menjadi sudah normal kembali, namun
pernapasannya kembali untuk bertempur.
Tindakan kaki Hay-thian-siang-sat terdengar semakin
nyata, karena kian lama mereka mendatangi kian
bertambah dekat saja, dan dengar suara tindakan kaki
mereka itu seakan-akan dengan langsung ingin menuju
keguha dimana sipemuda menempatkan dirinya.
Dengan gugup Lie Siauw Hiong berpikir: "Jika dalam
keadaan normal sepasang manusia bercacat ini datang
mereka seakan-akan
mengantarkan diri kepadanya, sehingga dia tak usah mencapaikan pula untuk mencari-cari
dimana-mana, yang hasilnya belum tentu dapat diharapkan."
Hanya kini amat disayangi dia tidak mempunyai tenaga
untuk bertempur, hingga tak tahu ia bagaimana harus
berbuat selanjutnya.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi saking marah dan gugupnya, dengan sembarangan
saja dia meraba-raba badannya, mencari-cari sesuatu yang
mungkin dapat dipergunakannya untuk menghadapi kedua
orang lawannya itu.
Sekonyong-konyong jeriji tangannya dapat meraba
sesuatu, yang waktu disadarinya apa adanya barang itu, ia
jadi begitu kegirangan, sehingga hampir saja dia terlepasan
mulut dan berteriak.
Dalam pada itu, tampak dari dadanya dia mengeluarkan
sebuah pales kecil, sedang didalam hati diam-diam ia
berkata: "Dalam kitab 'Tok Keng' Kim It Peng, disitu
Jodoh Si Mata Keranjang 5 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 1