Pendekar Pedang Sakti 20
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bagian 20
disebutkan, bahwa racun 'Pek-giok-toan-tiang' itu asal kena
hawa udara, lantas tidak tampak warna maupun baunya
lagi, hanya daging binatang seperti keong maupun kerang
yang dapat memunahkan racun itu untuk sementara waktu.
Oleh sebab itu, baiklah akan kugunakan itu pada saat ini."
Karena sesungguhnyalah, bahwa isi yang terdapat dalam
pales kecil ini adalah racun yang telah dikeluarkan dengan
susah payah oleh Peng Hoan Siangjin dari tubuh Bu Heng
Seng, hingga tak diragukan pula, bahwa racun itu adalah
'Pek-giok-toan-tiang' yang sangat lihay itu.
Dibawah sinar bulan dan bintang yang berkedip-kedip,
tampak tubuh Lie Siauw Hiong digeser sedikit, sehingga dia
telah berhasil menyembunyikan dirinya dibalik sebuah batu
gunung, pada waktu mana hati pemuda kita selalu
berdebaran dan otaknyapun terbayang-bayang peristiwa-
peristiwa yang lampau itu.
Hay-thian-siang-sat Ciauw Hoa dan Ciauw Loo berjalan
semakin dekat dengan tindakan lemah lunglai, seakan-akan
mereka sangat lelah sekali. Halmana, pun dapat didengar
oleh sipemuda dengan nyata dari suara tindakan kaki
mereka. Kemudian setelah menetapkan tekadnya, sipemuda
dengan cepat membuka tutup peles tersebut dan lalu
dilemparkannya keluar guha, sehingga racun 'Pek-giok-
toan-ciang' itu bercerecetan dan membuat lingkaran yang
cukup luas didepan guha tersebut.
Racun 'Pek-giok-toan-ciang' yang berwarna hijau itu,
ketika jatuh ketanah dan memperlihatkan sinar hijau yang
tampak berkelap-kelip bagus sekali diwaktu siang hari,
dimalam yang gelap petang sudah tentu saja tak dapat
dilihat dengan nyata.
Disamping itu, tangannya Lie Siauw Hiong, tidak tinggal
diam. Lalu dia pungut dua batu sebesar kepalan, dimana
salah satu antaranya dipolesi dengan racun tersebut, dengan
mana ia sudah bersiap-siap untuk menghadapi musuh-
musuhnya itu. Tian-can dan Tian-hui kedua makhluk bercacat itu,
sampaikan mimpipun tidak pernah menyadari bahwa
ditempat yang sedemikian liar dan sepinya itu ada orang
yang mengintai mereka dengan mata berapi-api. Namun
karena orang itu belum pulih kembali jalan pernapasannya,
maka dia tak segera melompat keluar untuk mengadu jiwa
dengan mereka. Kedua orang itu dengan tetap maju
kemuka, sedangkan Lie Siauw Hiong yang bersembunyi
dibalik batu, memperlihatkan ketegangan yang memuncak,
sehingga tanpa disadari lagi, badannya sudah penuh dengan
keringat dingin.
Semakin dekat sepasamg manusia bercacat itu mendekati, semakin menakuti serta menyeramkan pula
muka mereka tampak ditempat gelap itu, sehingga diam-
diam Lie Siauw Hiong berdoa: "Oh, Tuhan, ijinkanlah roh
ayah dan ibu melindungi anakmu untuk membalaskan sakit
hati kalian."
Dibawah siliran angin lalu, Hay-thian-siang-sat bergerak
mendatangi semakin dekat ..
Lie Siauw Hiong tidak berani menyentuh batu yang
sudah terpoles oleh racun yang sangat berbahaya itu, tapi
hanya menyentuh itu dengan ujung sepatunya pada sudut
batu yang tidak terkena racun itu, yang lalu disontekkannya
keatas, sedang dengan batu yang lainnya pula dia sambitkan
untuk menyusul pada batu yang tersebut duluan.
Sekalipun kekuatan Lie Siauw Hiong yang sebenarnya
belum pulih seluruhnya tapi untuk melepaskan senjata
rahasla dia masih sanggup melakukannya dengan jitu
sekali. Maka dengan hanya kedengaran suara "Tak" yang
nyaring sekali, batu pertama yang dipoleskan racun itu kena
disambit oleh batu yang datang belakangan.
Dengan kepandaian serta kemampuan itu, Lie Siauw
Hiong dengan jitu sekali telah berhasil dapat menjatuhkan
batu tersebut, tepat pada jarak yang ditujunya, yaitu kurang
lebih lima dim dibelakang garis yang sudah dilingkungi oleh
racun yang hebat itu.
Hay-tian-siang-sat
yang sudah mencapai tingkat kepandaian yang sangat tinggi itu, tentu sekali tidak
mungkin mereka tidak dapat mendengar suara batu
tersebut, apa lagi mereka berdua sudah bertahun-tahun
lamanya mengembara dikalangan Kang-ouw, sehingga
merekapun mengetahui, bahwa ada orang yang melemparkan batu untuk menanya jalan. Oleh karena itu,
mereka berdua jadi tercengang dan diam-diam berpikir:
"Mungkinkah ditempat yang begini sunyi serta liarnya
masih terdapat seorang yang pandai?"
Dalam keadaan begitu, mereka lalu melirikkan
pandangan mereka kedalam guha, tapi mereka tidak
mendapatkan ada bayangan manusia didalam guha
tersebut. Tapi Lie Siauw Hiong yang berdiri menempel dibalik
batu dalam guha itu, dengan mata yang dipentang lebar-
lebar tengah menyaksikan gerak-gerik kedua orang musuh
besarnya itu. Ciauw Hoa yang tidak menampak bayangan
manusia, tidak terasa lagi jadi agak ragu-ragu karena ia
melihat dalam jarak setengah tombak dimukanya, terdapat
batu dari mana orang bisa bersembunyi dan melemparkan
batu kearah mereka.
Sedang Ciauw Loo yang agaknya tidak dapat menahan
sabar lebih jauh, lalu lirikan matanya kearah batu dimana
Lie Siauw Hiong bersembunyi,
dimana sipemuda mengamat-amati gerak gerik mereka dengan perasaan
tegang dan ngeri.
Mata kedua orang itu bercelingukan dari batu tersebut
kedalam guha, hingga Lie Siauw Hiong hanya berkata
didalam batinya: "Mudah-mudahan kedua manusia laknak
ini tidak sampai mendusin bahwa aku bersembunyi disini."
Tahun yang lampau sembilan jago-jago busuk telah
mengganas didaerah Sin Cin. Mereka telah melakukan
kebiadaban didaerah Kang-pak dan Kang-lam, sehingga
para pendekar dari golongan putih bukan sekali dua kali
ingin membasmi Hay-thian-siang-sat
yang menjadi pemimpin kesembilan jago-jago busuk itu.
Pada hari-hari biasa kemana saja Hay-thian-siang-sat
berjalan, sekalipun sebatang rumput atau sepucuk daun
pohon bergerak ataupun bunyi seekor burung, mereka pasti
akan menyelidikinya dengan cermat dan hati-hati sekali,
sehingga dengan demikian, entah sudah berapa banyak kali
mereka dapat meloloskan diri dari kejaran maupun
meloloskan diri dari bahaya maut.
Sebenarnya jika ada orang yang melemparkan batu
untuk menyelidiki sesuatu hal, itu memang lumrah saja
terjadi dikalangan Kang-ouw, halmana tidak usah mereka
pusingi benar lagi, tapi karena kedua orang ini mempunyai
sifat yang senantiasa was-was, maka tidak mudah mereka
melewatkan hal itu dengan begitu saja, tanpa menyelidiki
terlebih dahulu apa sebab musababnya.
Sedetik demi sedetik Ciauw Hoa sudah mengulurkan
tangannya hampir menyentuh pada batu tersebut, sedang
kakinya telah masuk kedalam lingkaran racun dihadapannya itu.
Sementara Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha
dan dengan penuh perhatian mengintai lawan-lawannya,
kini perasaannya jadi semakin tegang, sehingga tanpa
disadarinya lagi dia telah menggigit kencang bibirnya yang
sebelah bawah. Dalam keadaan demikian, sekonyong-konyong Ciauw
Loo telah menjambret tangan Ciauw Hoa yang sudah
hampir masuk kedalam perangkap Lie Siauw Hiong itu.
Hal mana, telah membuat Lie Siauw Hiong yang
melihatnya jadi terkejut bukan kepalang, dan saking
gugupnya akan siasatnya diketahui orang, tanpa merasa ia
telah mengeluarkan keringat dingin. Dan tatkala ia
mengulurkan tangannya meraba-raba dengan sembarangan
kedadanya, sekonyong-konyong tangannya menyentuh
pada kitab Tok Keng hasil karya Kim It Peng itu, hingga
hatinya jadi tergerak, kemudian dengan tidak memperdulikan apapun yang akan terjadi, lalu dia
melemparkan buku tersebut kearah musuh-musuhnya itu.
Maksud Lie Siauw Hiong dengan berbuat demikian,
hanya ingin memancing pada Hay-thian-siang-sat ini.
Karena dengan melemparkan buku tersebut, dia ingin
memaksa supaya lawannya itu datang untuk mengambil
buku itu, sehingga lawannya kemudian terkena racun yang
disebarkannya tadi. Hal itu memang wajar saja dilakukannya, tapi dia tak mengetahui, bahwa pemimpin
dari sembilan jago Kwan Tiong itu tidak mengerti sama
sekali tentang racun. Maka kalau mereka bertempur, harus
membunuh lawannya dengan senjata tajam, berhubung
mereka tidak mempunyai kepandaian seperti Kim It Peng,
yang dapat membunuh lawannya dengan menggunakan
racun, sehingga pada tuhuh lawannya tidak terdapat tanda-
tanda bekas pembunuhan.
Mereka yang telah sekian lamanya merantau dikalangan
Rimba Persilatan, memang sebenarnya bermaksud untuk
mencari kitab racun tersebut, tapi hingga sekian lamanya
mereka tidak dapat mewujutkan kemauan mereka. Maka
setelah sekarang mereka melihat 'Kitab Racun' yang
menjadi idam-idaman mereka itu terletak dihadapan
mereka, sudah barang tentu mereka jadi sangat gembira.
Tapi mereka yang sudah kenyang makan asam garam
dalam Dunia Persilatan, sudah tentu saja tidak berlaku
semberono dan dengan cepat memencarkan diri mereka
kekiri dan kekanan, dimana mereka bersiap-siap, kalau-
kalau dari dalam lubang guha tersehut ada senjata rahasia
yang menyambar mereka.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 41 Sambil mengeluarkan suara dingin yang terdengarnya
sangat mengerikan dan lebih seram tampaknya dari pada
suara tangisan setan-setan, Ciauw Hoa kedengaran berkata:
"Yang berada didalam guha itu, apakah seorang lawan atau
kawan" Kalau engkau seorang kawan, aku persilahkan
engkau menyebut 'Hap' (akur)! Kalau lawan, silahkan
keluar menampakkan cecongormu! Apakah kami berdua
saudara tidak cukup berharga untuk menjumpaimu?"
Tapi Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha,
sedikitpun tidak mengubris perkataan mereka. Ia hanya
menyesalkan dirinya sendiri yang telah berlaku ceroboh,
sehingga jika siasatnya itu tidak 'termakan' oleh lawan-
lawannya, bukankah buku racun yang hebat itu akan
terjatuh kedalam tangan musuh"
Ketika Ciauw Hoa mengulangi pula teriakannya dan
tidak juga mendengar ada orang yang menjawabnya, sambil
mengeluarkan suara dari liang hidung ia berkata: "Jika
belum melihat peti mati, memang sukarlah akan orang bisa
menangis. Kawan, baiklah kami menantangmu untuk
keluar!" Dimulut meraka berkata demikian, tapi dalam hati
mereka berpikir lain. Sambil memberi isyarat dengan
tangan pada Ciauw Loo, mereka berjalan menghampiri
kemulut guha untuk menyelidiki lebih jauh.
Ciauw Loo dan Ciauw Hoa ternyata sependapat, maka
dengan tidak mengeluarkan suara apa-apa, mereka
menghampiri mulut guha, dimana mereka melihat sebuah
buku yang terletak ditanah, yang pada kulitnya tertera dua
hurnf 'Tok Keng' (kitab racun) itu.
Ciaw Loo adalah seorang yang tidak lengkap anggota
badannya, sedangkan tabiatnyapun berlainan dengan orang
biasa. Maka sekalipun kecerdikannya melebihi orang biasa,
tapi kini dia tengah dipengaruhi oleh buku yang sudah lama
menjadi idam-idamannya itu, sehingga mara bahaya telah
dilalaikannya. Oleh sebab itu, dengan tidak berjaga-jaga lagi
dia sudah mengulurkan tangannya untuk memungut kitab
tersebut. Tapi hal itu berlainan sekali dengan pendapat Ciauw
Hoa, yang dengan suara nyaring lalu berteriak: "Jangan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semberono!"
Tapi dia lupa bahwa adiknya adalah seorang yang tuli.
Dengan sekali lompat dia sudah berada disisi adiknya.
Dan ketika melihat buku racun tersebut terhampar
dihadapannya, diapun merasa girang juga, maka iapun
tidak lagi menghalangi adiknya akan memungutnya.
Tapi karena hati mereka penuh kecurigaan terhadap lain
orang, maka terlebih dahulu mereka telah melepaskan
pukulan kearah dalam guha tersebut, pada sebelum
memungut kitab racun itu.
Dengan memperdengarkan suara "plak", keempat kaki
mereka telah menginjak tanah yang dilingkungi cairan
beracun tadi, dan setelah mereka merasakan sepatu mereka
pecah dan ada barang cair yang melekat pada kaki mereka,
barulah mereka insyaf bahaya apa yang tengah mengancam
mereka. Dan baru pada saat itu mereka ketahui, bahwa diri
mereka telah tertipu oleh lawan mereka. Rasa kesemutan
maupun gatal-gatal yang mereka rasakan seketika itu,
menandakan bahwa racun yang mengancam mereka
sifatnya tidak enteng, tapi karena mereka belum mampu
untuk mengenyahkan racun tersebut dari tubuh mereka,
terpaksa mereka bersemedhi untuk mengatur jalan
pernapasan mereka.
Sampai disini, baiklah pengarang menceritakan apa
sebabnya Hay-thian-siang-sat datang ketempat yang sepi ini.
Pada tahun yang lampau setelah mengalami pertempuran yang dahsyat dengan pemuda kita sehingga
mereka putus asa, maka akhirnya mereka lalu mencari
pulau ini untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, agar
supaya kemudian dapat dipakai pula untuk menghadapi
sipemuda musuh besar mereka itu, sekalipun telah berapa
kali mereka mengalami kekalahan. Tapi setelah hidup
dlpulau itu agak lama juga, sifat kejantanan mereka telah
timbul pula, oleh sebab itu mereka lalu menetap dipulau itu
untuk memperdalam kepandaian mereka.
Tempo hari setelah mereka bertempur mati-matian
dengan Lie Siauw Hiong sehingga nama sembilan jago dari
Kwan Tiong runtuh habis-habisan, sekalipun mereka
menganggap telah dapat melenyapkan sipemnda, tapi untuk
berkeliaran pula dikalangan Kang-ouw mereka sudah
merasa kehilangan muka.
Belakangan setelah mendengar bahwa Lie Siauw Hiong
digunung Kwie San dalam ruangan Bu Wie Thia telah
dapat mengalahkan musuh asing sehingga namanya
menjadi tenar luar biasa, mereka baru mengetahui, bahwa
mereka yang telah mengeluarkan tenaga yang begitu besar,
akhirnya toh tidak berhasil dapat membinasakan Lie Siauw
Hiong, malahan orang itu sekarang telah menjadi semakin
terkenal karena kepandaiannya yang telah maju sedemikian
pesatnya itu. Kabar ini sesungguhnya merupakan suatu pukulan yang
maha dahsyat bagi Hay-thian-siang-sat, sehingga mereka
benar-benar merasa amat putus asa. Karena sekarang
mereka menginsyafi, bahwa jika Lie Siauw Hiong datang
mencari mereka untuk menuntut sakit hati orang tuanya,
maka mereka bukanlah merupakan lawan yang setimpal
lagi bagi sipemuda itu.
Tapi pengharapan untuk hidup terus masih menyala
dalam dada mereka. Maka setelah membubarkan perkumpulan sembilan jago Tiong Kwan itu, mereka lalu
mengasingkan diri kepulau yang sunyi itu, dimana, mereka
bermimpipun tidak, bahwa musuh besar mereka justeru
berada juga ditempat yang sepi ini. Hal mana bukankah ini
semua seperti juga telah sengaja dipertemukan satu sama
lain atas kemauan Thian Yang Maha Kuasa"
Pada saat itu sudah jam tiga pagi, langit diufuk Timur
tampak gelap gulita, sekalipun diangkasa masih terdapat
banyak bintang-bintang yang berkedap-kedip.
Satu jam dengan cepat sudah lewat. Dadanya Lie Siauw
Hiong sudah wajar kembali jalan pernapasannya, dengan
mana berarti bahwa luka yang diderita didalam tubuhnya
telah semhuh seluruhnya, maka dengan perlahan dia
salurkan sekali lagi pernapasannya untuk yang penghabisan
kalinya, dan setelah ia yakin benar bahwa tubuhnya sudah
sehat kembali seperti sediakala, lalu ia berjalan keluar dari
dalam guha tersebut sambil melirikkan matanya memandang pada Hay-thian-siang-sat, yang ternyata masih
tetap duduk bersamedhi sambil mengatur jalan pernapasan
mereka. Lie Siauw Hiong cukup maklum, bahwa dengan
kemampuan mereka itu, paling banyak mereka hanya dapat
menahan untuk sementara saja menjalarnya racun itu
didalam tubuh mereka, tapi untuk dapat mengusir keluar
racun dari dalam tubuh mereka, adalah usaha yang sia-sia
belaka, karena sesungguhnyalah, bahwa racun yang tengah
mengancam mereka itu adalah racun luar biasa yang tidak
ada keduanya dalam dunia ini.
Lie Siauw Hiong dengan tindakan yang tenang sekali
berjalan menghampiri kehadapan Hay-thian-siang-sat,
kemudian dia membungkukkan badannya memungut
kembali kitab racun itu, sedang didalam hatinya ia berkata:
"Tok-Keng, lagi-lagi Tok Kenglah yang telah menolongku
pula." Lie Liauw Hiong lalu menyimpan kembali kitab racun
itu kedalam saku didadanya, kemudian sepasang tangannya
diangkatnya keatas, tapi pada waktu hendak ditimpakan
keatas kepala musuh-musuhnya itu dia tampak menjadi
ragu-ragu. Sekonyong-konyong satu pikiran melintas dikepalanya.
"Dengan berbuat demikian dan tanpa mengeluarkan
terlampau banyak tenaga, sudah barang tentu aku akan
berhasil membunuh mereka, tapi tindakan ini adalah
terlampau tidak patut dan pengecut. Aku Lie Liauw Hiong
dimanalah mungkin mau menggunakan cara begini" Untuk
mencegah meluasnya lebih lanjut dari racun 'Toan-tiang'
ini, hanyalah daging kerang saja yang dapat menahannya,
aku mengapa tidak menggunakan daging kerang saja untuk
melenyapkan sifat keganasan dari racun tersebut, hingga
setelah mereka pulih kembali tenaga mereka, maka aku
dapat melabrak mereka dengan sepuas-puas hatiku."
Begitulah setelah mengambil keputusan yang tetap ini,
lalu dia tarik kembali tangan yang hendak dijatuhkan keatas
kepala musuh-musuhnya itu, kemudian dengan berapa kali
lompatan saja dia sudah berhasil mencapai pantai, dimana
ia telah menangkap berapa puluh kerang dan kepiting, yang
dengan sabar lalu dicukil dagingnya, sudah itu ia
menyodorkan daging itu kehadapan Hay-thian-siang-sat
sambil berkata: "Hei, segeralah kau makan daging ini untuk
menghentikan menjalarnya racun didalam tubuhmu!"
Hay-thian-siang-sat sekalipun telah terkena racun,
pikiran mereka masih tetap jernih dan dapat berpikir
dengan terang, tapi mereka sama sekali tidak pernah
menyangka, bahwa orang yang keluar dari dalam guha
tersebut adalah orang yang sangat ditakuti mereka, yaitu
Lie Sie Hiong. Maka pada waktu mereka melihat sipemuda
hendak menurunkan pukulannya, mereka hanya dapat
menyerahkan nasib mereka ditangan Thian Yang Maha
Kuasa saja, tapi akhirnya sipemuda tidak jadi menurunkan
tangannya. Hal ini menerbitkan dugaan mereka kepada
pemuda itu hendak menghinakan mereka, berhubung
mereka biasanya gemar sekali menghina orang. Oleh sebab
itu, mereka yang menduga keliru atas diri sipemuda, tidak
terasa lagi hati mereka menjadi panas, dan sewaktu melihat
sipemuda mengangsurkan tangannya memberi daging
kepiting dan kerang untuk mereka makan, mereka tidak
mengetahui apa maksud sebenarnya dari sipemuda itu.
Sementara Lie Lie Hiong yang melihat mereka berlaku
ragu-ragu dan tak mau makan barang pemberiannya, sambil
tertawa dingin ia berkata: "Lie Liauw Hiong adalah orang
macam apa" masakah aku hendak meracuni kalian"
Maksudku ini adalah justeru hendak melenyapkan sifat
keganasan dari racun yang bersarang didalam tubuhmu
itu!" Setelah berkata begitu, lalu dia taruh daging itu diatas
batu, sedang dia sendiri berdiri disampingnya.
Hay-thian-siang-sat yang melihat sikap Lie Liauw Hiong
yang begitu sungguh-sungguh, merekapun tidak ragu-ragu
lagi, maka dengan lahapnya mereka lalu makan daging
kepiting dan kerang laut itu.
Kemudian dengan tertawa dingin Lie Siauw Hiong
berkata pula: "Aku akan menantikan kalian disini. Setelah
kalian sembuh dari keracunan, aku akan segera mengadakan perhitungan lama dengan kalian."
Kali ini Hay-thian-siang-sat telah menginsyafi, bahwa
mereka tidak mungkin lagi akan dapat menghindarkan diri
lagi dari Lie Lie Hiong, oleh karena itu, tidak ada lain jalan
lagi bagi mereka, kecuali mengadu jiwa dengan pemuda
kita. Maka tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu makan
daging pemberian sipemuda, sambil kemudian menyalurkan kekuatan mereka keseluruh badan mereka.
Daging kepiting dan kerang itu ternyata benar dapat
melenyapkan menjalarnya racun hebat tadi, karena tidak
sampai setengah jam lamanya, Ciauw Hoa sudah berhasil
dapat mencegah sifat keganasan dari racun yang mengamuk
dalam tubuhnya, dan diwaktu dia menyapukan matanya
memandang pada Lie Siauw Hiong, dia lihat pemuda itu
duduk dihadapan mereka dalam jarak dua tombak lebih
jauhnya, dan sekalipun Lie Siauw Hiong duduk dengan
tenangnya, tapi matanya yang tajam selalu mengawasi
mereka bagaikan seekor kucing tengah menjaga dua ekor
tikus dengan sekaligus. Ciauw Hoa yang melihat begitu,
saking marahnya lalu berteriak: "Orang she Lie, jika engkau
ingin bertempur, silahkan boleh maju kemari!"
Dengan nada suara yang mengejek, pemuda itu lalu
menjawab: "Mengapa mesti berlaku tergesa-gesa tak
keruan" Bukankah si binatang adikmu itu masih juga belum
sembuh?" Mendengar jawaban itu, Ciauw Hoa menjadi semakin
geram dan lalu berteriak dengan suara nyaring: "Bagus!
Bagus! .."
Tapi Lie Siauw Hiong tidak menghiraukannya, hanya
sambil berdiri dengan menghunus pedangnya ia berkata:
"Aku mencarimu kemana-mana tapi tidak dapat bertemu
juga, tapi hari ini tanpa disengaja dari tempat yang jauh
kalian telah mengantarkan diri kepadaku, maka setelah
nanti kalian mampus, kalianpun tidak usah terlampau
merasa kecewa atau putus asa .."
Begitu dia membuka mulut, dia sudah mengatakan
bahwa Hay-thian-siang-sat harus dan pasti akan mampus,
halmana telah membangkitkan amarah sepasang manusia
bercacad itu. Maka sambil tertawa dingin Cie Hoa lalu
melirikan matanya pada adiknya sambil berkata: "Siapa
yang kalah belum lagi dapat dipastikan!"
Tapi Lie Siauw Hiong hanya memanggut-manggutkan
kepalanya saja, karena tampaknya ia segan bercakap-cakap
tanpa ada junterungannya.
Setelah lewat lagi sepemakan nasi, Ciauw Loo sudah
pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua saudara lalu
sama-sama berdiri dalam jarak yang terpisah setengah
tombak jauhnya dari padanya, sedang Lie Lie Hiong
dengan menghunus pedangnya berdiri dengan angkarnya,
siap sedia untuk menyambut serangan kedua lawannya.
Hari berubah semakin gelap, sedang bintang dilangit
tampak berkedip-kedip bagaikan orang bermain mata.
Sambil menghunus pedangnya, diam-diam Lie Siauw
Hiong meminta doa kepada orang tuanya yang telah
marhum itu: "Ayah, ibu, hari ini anak akan menuntut balas
sakit hatimu .."
Setelah selesai memohon doa, lalu ia menggerakkan
pedangnya sambil berseru: "Orang yang hendak mengantarkan jiwa, lekas kemari!"
Hay-thian-siang-sat tidak menyalahkan kesombongan
dari Lie Siauw Hiong, karena mereka telah menginsyafi
bahwa pertempuran pada malam ini, mereka akan lebih
banyak mengalami bencana dari pada kemenangan, tapi
merekapun tidak sudi menyerah mentah-mentah dengan
begitu saja. Begitu kakinya digeser maju, dengan ganasnya Lie Siauw
Hiong sudah menubruk kepada lawannya. Pada waktu
bertempur digunung Kwie-san, ketika Hay-thian-siang-sat
mengerubuti kepadanya, dia telah dihajar sehingga jatuh
kebawah jurang.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belakangan dihutan belukar lagi-lagi dia dikeroyok oleh
lawannya yang berjumlah jauh lebih banyak dari pada
semula, sehingga karena menderita luka-luka parah, hampir
saja jiwanya tewas. Oleh sebab itu, sekali ini ia bertemu
pula dengan lawan-lawan lamanya itu diapun tidak mau
berlaku sungkan-sungkan lagi. Begitu turun tangan dia
sudah menggunakan siasat serangan yang dapat membinasakan. Karena bila dia belum berhasil mengambil
jiwa Hay-thian-siang-sat, ia tidak akan merasa puas hidup
didalam dunia ini.
Sementara Hay-thian-siang-sat yang tidak menunggu
pula sampai pedang pemuda itu datang mendekati, mereka
sudah melancarkan pula serangan mereka dengan tak
banyak bicara pula.
Begitu Lie Siauw Hiong yang menampak aksi lawan-
lawannya ini, mengeluarkan suara jengekan saja, kemudian
pedangnya ditekan lurus kebawah kurang lebih dua dim
untuk terjun kedalam air, sehingga pedangnya menerbitkan
suara yang nyaring ketika menusuk pihak lawannya.
Bersamaan dengan itu, tangan kirinya tidak tinggal diam
dan lalu dikerahkan untuk memukul bagian bawah tubuh
salah seorang lawannya yang terdekat.
Tenaga dalam maupun kepandaian Lie Siauw Hiong
sudah maju dengan sedemikian pesatnya sehingga
penyerangannya yang hehat telah menyebabkan lawan-
lawannya jadi sangat terperanjat, maka dengan serta merta
mereka cepat berlompat mundur untuk mengelakkan diri
dari pada penyerangan si pemuda yang gagah perkasa itu.
Tapi Lie Siauw iHong setelah menampak serangannya
tidak menemukan sasarannya, lagi-lagi ia menggunakan
jurus Ca-keng-bwee-bian (bunga bwee terkejut) untuk
menyontek tubuh lawannya dari samping.
Thian-can Ciauw Hoa lekas-lekas menundukkan kepalanya, tangan kanan dan kirinya dipakai untuk
mengacip serangan lawannya dengan mana ia telah
mencoba untuk membarengi menotok jalan darah 'Koan-
goan-hiat' dikaki pemuda kita.
Bersamaan dengan itu, Thian-hui Ciauw Loopun segera
membarengi menyerang pundak kiri si pemuda.
Sedang Lie Liauw Hiong yang menampak serangannya
dapat dikelitkan pula, diapun tidak memaksakan untuk
menyerang dengan terlebih hebat lagi, hanya dia mundur
satu langkah, pada waktu mana pedangnya telah ditariknya
mundur dengan menggunakan jurus Liong-kak-lip-kek
(tanduk naga berdiri tegak untuk menanduk) dengan mana
ia balik menyerang pada Ciauw Hoa.
Begitulah mereka bertiga bertarung dengan amat
sengitnya, hingga tanpa terasa pula pertempuran itu telah
berlangsung sampai melampaui ratusan jurus lamanya.
Lie Siauw Hiong semakin bertempur semakin gagah dan
lincah gerak-gerakannya,
sedang pedangnya telah dimainkannya dengan kecepatan yang luar biasa serta
mantap sekali, hingga disekelilingnya hanya tampak
segulung sinar putih yang mengurung dan melindungi
dirinya dari pada serangan lawan-lawannya, dengan mana
semakin lama Hay-thian-siang-sat semakin terkurung dalam
sinar pedang sipemuda itu.
Dimalam yang gelap itu, hanya terlihat segaris sinar
putih bagaikan naga maupun burung hong yang menari,
sebentar menyelusup sebentar naik, pada waktu mana
dengan hebatnya pemuda kita telah merangsak lawan-
lawannya, hingga sedikitpun dia tidak memberi hati kepada
mereka. Oleh sebab itu, sekali ini Hay-thian-siang-sat benar-
benar merasakan betapa hebatnya serangan musuhnya itu,
dan jika pertempuran semacam ini berlangsung berlarut-
larut, pasti diri mereka akan mengalami kebinasaan yang
mengerikan, maka semakin bertempur Hay-thian-siang-sat
jadi semakin terdesak dibawah angin.
Kemudian terdengar Ciauw Hoa berteriak dengan suara
nyaring dan menyerang kepada pemuda kita dengan amat
hebatnya. Dalam penyerangan yang dilancarkannya sekali ini,
Ciauw Hoa telah menggunakan tenaga yang sepenuh-
penuhnya, hal mana terbukti dari angin yang menderu-deru
keluar dari pukulannya itu.
Tian-hui Ciauw Loo sudah seperasaan dengan saudaranya Ciauw Hoa menyerang dengan pedangnya,
sedangkan dia sendiri dengan menggunakan jurus 'Siang-
hui-cinga' (pukulan dengan sepasang kepalan sekaligus),
mencoba menyerang kempungan pemuda kita dengan jalan
miring. Pedang Lie Siauw Hiong bagaikan bianglala saja,
sebentar menyerang sebentar pula ditarik pulang, tapi
pukulan Ciauw Loo ternyata masih dapat menerobos
kedalam kempungan sinar pedang pemuda kita maka
sambil tertawa ia berkata: "Bagaimana?"
Lie Siauw Hiong balas tertawa dan hanya menjawab:
"Boleh coba sekali lagi .."
Pedangnya yang panjang kemudian digentak dengan
jurus 'Leng-bwee-hut-bian' (bunga bwee menyapu muka),
dengan mana ia menyerang kembali lawannya, yang
memang telah bertekad bulat untuk membinasakan lawan-
lawannya, hingga tak mau memberi hati dilingkari oleh
racun itu, sehingga agaknya dia sudah ditakdirkan untuk
binasa berhubung dia sudah terlampau banyak memakan
korban sesama manusia, maka tanpa disadarinya lagi
sebelah kakinya telah menginjak racun pula, hingga
sebegitu lekas kakinya menginjak racun teresbut, badannya
segera tampak menjadi sempoyongan, karena sifat
keganasan racun itu telah mulai menjalar pula. Sementara
Lie Siauw Hiong sendiri sambil mendongak kelangit lalu
berseru dengan rupa terharu: "Ibu dan ayah, lihatlah .."
Dengan menggerakkan tangannya dengan sekuat-kuat
tenaganya, Siauw Hiong telah menyambitkan pedangnya
kearah musuh besarnya, hingga dilain saat pedang itu telah
memanggang tubuh Ciauw Hoa dan membuat kepala
kesembilan jago Kwan Tiong itu melayang jiwanya disaat
itu juga. Sambil mencabut pedangnya dari tubuh mayat musuh
besarnya itu, dengan suara yang perlahan sekali Lie Liauw
Hiong lalu berkata: "Ayah, ibu, anak telah membalaskan
sakit hati kalian .."
Dan berbareng dengan itu, air matanyapun tidak dapat
ditahan lagi, mengucur turun dengan berderai-derai.
Kemudian ia meninggalkan pantai, dimana terbaring tubuh
'Hay-thian-siang-sat' yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Kini mereka telah menjadi mayat-mayat yang
terkapar diatas pulau yang sunyi itu, seolah-olah
menyerahkan diri untuk menjadi mangsa burung-burung
buas yang biasa keliaran disitu.
Diatas lautan bebas, Lie Siauw Hiong dengan hanya
seorang diri saja telah melakukan pelayaran pada petang
hari itu juga. Ia kayuh perahu layarnya dengan pesat sekali
menuju ketengah lautan, dengan diterangi oleh sinar
bintang-bintang yang berkelik-kelik diangkasa raya.
Hari sudah menjelang pagi, sedang sinar lembayung
yang kemerah-merahan dari munculnya sang surya, mulai
terlihat dengan tegas diufuk Timur ..
(Oo-dwkz-oO) Kota Leng-po diwaktu fajar.
Sinar matahari yang keemas-emasan menyinari teluk,
ombak yang beriak-riak membentuk satu gelombang kecil
yang indah sekali, dengan ujungnya yang menjilat-jilat
laksana terjulurnya lidah ular belaka.
Angin pagi yang meniup sepoi-sepoi basah sungguh
nikmat sekali dirasakannya. Pada saat itu diteluk sudah
agak ramai dengan pemilik perahu-perahu yang terdengar
berteriak-teriak tidak putus-putusnya.
Sejak dahulu pelabuhan yang terletak ditenggara ini
memang sangat ramai, tapi belakangan setelah terbangunnya kota 'Coan-ciu, maka keramaian kota
pelabuhan Leng-po ini menjadi mundur. Pada waktu Marco
Polo menjabat pangkat di Tiongkok, setelah dia kembali
kenegerinya di Italia dia telah mengarang sebuah buku yang
berjudul 'Peninjauan Ke-Timur', dimana dia telah menyinggung tentang keramaian pelabuhan kota Leng-po,
sebagai pelabuhan nomor satu yang terbesar didunia,
sekalipun apa yang dikatakannya itu agak berlebih-lebihan.
Tapi pada waktu itu kota pelabuhan Leng-po memang
merupakan pelabuhan yang sangat ramai dan didiami oleh
banyak sekali pengunjung-pengunjungnya.
Justeru pada saat orang-orang sedang ramainya berlayar
dipelabuhan tersebut, tampak mendatangi sebuah perahu
kecil yang aneh memasuki kota pelabuhan, dan begitu
perahu itu merapat dipantai, tampak seorang pemuda satu-
satunya yang melompat keluar, karena selanjutnya perabu
itu tampak kosong melompong.
Pemuda tersebut memakai pakaian dari kain kasar dan
sama sekali tidak membawa bnntelan, ia berjalan dengan
cepat menuju kejalan gunung dibalik pelabuhan itu.
Setelah melampaui lereng gunung, maka tibalah ia
dikawah gunung dimana tampak hutan-hutan kayu yang
lebat-lebat tumbuhnya.
Selama berjalan, Siauw Hiong sebentar-sebentar
mengangkat kepalanya memandang langit, seakan-akan dia
ingin mengetahui jam berapakah pada saat itu, sedang
matahari yang menyinarinya, membuat mukanya yang
pucat agak bersinar kemerah-merahan.
Sambil memandang langit yang berwarna putih dan
tampak seperti tidak bertepi layaknya, dengan menarik
napas lalu berkata pada dirinya sendiri: "Lie Siauw Hiong,
dalam dunia yang begini luasnya, kemanakah kau hendak
mencarinya?"
Tapi sejurus kemudian, mukanya
mengunjukkan kesungguhan yang nyata sekali, maka diam-diam dia
berkata pula: "Ceng Jie telah atau empat kali mengorbankan
dirinya untuk menolongku, apakah aku Lie Siauw Hiong
takut untuk mencarinya" Sekalipun aku harus melintasi
laut, aku harus mencarinya juga sehingga dapat."
Tetapi tatkala berjalan belum berapa jauh, dia sudah
menghentikan pula langkahnya, berhubung dari kejauhan
terdengar suara teriakan yang aneh sekali kedengarannya.
Suara teriakan itu agak kurang jelas karena bercampuran
dengan desiran angin gunung yang seakan-akan meliputi
suara itu sehingga sukar terdengar jelas, syukur juga
kepandaian Siauw Hiong sudah mencapai taraf yang sangat
tinggi, sehingga ia dapat menangkap suara itu dengan
hanya sekali dengar saja.
Setelah menetapkan dari arah mana datangnya suara
tersebut, lalu dia putarkan badannya dan dengan beberapa
kali lompat saja, tubuhnya sudah melesat jauh sekali.
Kemudian dari kejauhan ia menampak seorang pemuda
yang sedang berlatih silat dibawah sebatang pohon besar.
Adapun suara yang terdengar olehnya seperti teriakan tadi,
itulah ternyata suara teriakan yang dikeluarkan oleh orang
muda itu, yang gerak gerik tangan maupun kakinya sangat
sempurna dan lincah. Dan diwaktu pemuda itu membalikkan tubuhnya kearah Lie Siauw Hiong, maka
terlihatlah wajahnya yang tampan, yang segera dapat
dikenali dan ternyata bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya. Lie Siauw Hiong yang berada disebelah atas, lalu coba
menahan sabar agar tidak sampai berteriak, sedang diam-
diam didalam hatinya ia berpikir: "Twako setelah memakan
buah mustajab itu, tenaga dalamnya telah bertambah maju
demikian pesatnya, hingga selama berapa bulan tidak
berjumpa, kemajuannya boleh dikatakan tidak sedikit,
karena dengan kepandaian yang diperlihatkannya ini, jika
bukannya aku sendiri, didaerah Tiong-goan agaknya sukar
untuk dicari keduanya lagi."
Pada saat itu Gouw Leng Hong yang tambah lama
tambah kuat dan hebat latihannya, sekonyong-konyong
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan satu pukulan yang telah membuat udara guram
karena mengepulnya pasir dan debu. Dan ketika kakinya
ditarik, lagi-lagi dia melancarkan satu pukulan pula,
sehingga pukulannya ini memperdengarkan suara yang
nyaring sekali. Hal mana terang menunjukkan pukulan
kelas satu. Ketika pukulan ini baru saja habis dilancarkannya, kembali sambil membalikkan tubuhnya,
dia telah melepaskan pukulan yang ketiga, dengan suara
pukulannya itu bertambah dahsyat dan keras sekali,
sehingga sebatang pohon yang ukuran bundarnya sebesar
mangkok dan dalam jarak berapa tombak jauhnya dari
sipemuda, roboh karena terlanggar oleh angin pukulannya
itu. Setelah menghentikan pukulannya, ia berkata pada
dirinya sendiri: "Dalam berapa bulan ini, jurus 'Kay-sam-
sam-sek' ini sudah maju pesat sekali, hanya jurus kedua dan
ketiga yang masing-masing bernama 'Gie-kong-ie-san' dan
'Liok-teng-kay-san' yang masih belum sempurna. Tenaga-
dalam yang kukeluarkan ini tidak berjalan lancar dan tidak
cukup kuat. Ada kemungkinan bahwa tenaga yang telah
kukeluarkan kali ini tidak terpusatkan dengan benar .. hm
bila aku tidak tekun dan belajar dengan giat, sudah pasti
kepandaianku akan terpaut jauh dengan kepandaian Hiong-
tee, jika nanti kita bertemu pula .."
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar suara
tertawa orang yang disusul dengan kata-kata yang nyaring
sekali: "Hm, akupun harus banyak berlatih pula, bila tidak,
pasti kepandaian akan terpaut jauh sekali dengan Twako .."
Leng Hong yang segera kenali suara itu, dengan girang
lalu berseru: "Hiong-tee!"
Begitu suara itu habis diucapkan, segera juga tampak
melayang turun sebuah tubuh yang enteng sekali.
Dan diwaktu Leng Hong melihat sipemuda yang baru
datang itu menunjukkan senyumannya, ia sudah lantas
ingin mengajukan pertanyaan, tetapi dengan secara
sekonyong-konyong Siauw Hiong berseru: "Sambutlah
seranganku ini!"
Pemuda kita telah melancarkan satu kali pukulan dengan
mengeluarkan tenaga yang hebat sekali, sehingga bajunya
Gouw Leng Hong berkibar-kibar karena desiran angin
pukulan tersebut.
Leng Hong terkejut bukan kepalang. Sebenarnya asal
saja dia mundur setengah langkah dengan tangan kirinya
separuh dibengkokkan untuk mencantol tangan lawannya,
ia pasti akan dapat membebaskan dirinya dari pada
penyerangan pemuda lawannya itu.
Siapa tahu cantolannya ini jatuh ditempat kosong,
sedangkan tangan kanan Lie Siauw Hiong tetap menjurus
akan mengancam lima jalan darahnya.
Leng Hong tidak sempat berpikir-pikir pula. Maka
sambil badannya dimiringkan kekiri, tangan kanannya dari
arah yang sebaliknya melancarkan satu pukulan balasan
dengan tipu pukulan itu tepat sekali, yakni pukulan yang
bernama 'Sek-po-tian-keng' (batu pecah mengejutkan langit)
dari ilmu pukulan 'Po-giok-ciang' atau pukulan untuk
menghancurkan batu giok.
Lie Siauw Hiong berseru: "Bagus!" Tangan kirinya
diputar, lima jarinya diulur dan dengan menggunakan satu
jurus dari ilmu pukulan 'Kong-kong-Ciang-hoat' (pukulan
ditengah udara) jurus yang bernama 'Ban-coan-hui-kong'
(laksaan sumber air menerjang keudara).
Dengan jurus ini ia memaksa Gouw Leng Hong untuk
menggunakan jurus pertama yang bernama 'Kay-san-too-liu'
(membuka gunung mengalirkan sumber air).
Leng Hong lalu berseru: "Hiong-tee, kau mengapa .."
Sekalipun dia berseru, tapi tangannya tidak tinggal
berdiam saja. Badannya lalu diputar, kemudian tanpa terasa
pula, benar saja ia telah melancarkan pukulan dengan
jurusnya yang pertama itu. Sedang didalam hati ia berpikir:
"Benar, tentulah Hiong-tee tadi telah mencuri lihat
latihanku dari atas sana, dan begitu ia mendengar
perkataanku, iapun jadi merasa tersinggung dan ingin
mencoba bertanding denganku, hingga sudah tentu saja aku
ini bukan tandingannya. Tapi mengapakah dia datang
membikin ribut tidak keruan" Biarlah dia memenangkan
aku dalam latihan ini."
Begitulah dalam waktu pendek ia telah menarik
pukulannya sendiri, untuk menyambut pukulan pemuda she
Lie itu. Siapa tahu Lie Siauw Hiong dengan secara tak terduga
telah berada dibelakangnya. Sepasang tangannya tampak
dilancarkan untuk memukulnya, hingga dalan kedudukan
seaneh itu ia terpaksa melancarkan jurusnya yang kedua,
yakni 'Gie-kong-ie-san'.
Lie Liauw Hiong segera membentangkan jurus kesebelas
dari lima pukulan "Kong-kong-kun-hoat" yang bernama
'Kong-sit-liang-bu' (dengan tangan kosong melenyapkan
serangan lawan).
Adapun kedudukan yang diambil oleh Lie Siauw Hiong
justeru menyebabkan lawannya mau tak mau harus
menggunakan jurus ketiga, yaitu Gie-kong-ie-san berubah
menjadi Liok-teng-kay-san. Gouw Leng Hong merasakan
tenaga pukulan yang dilancarkannya kurang tepat dan kuat,
hingga Lie Liauw Hiong yang menampak hal itu, tidak mau
menyambutinya, hanya berdaya untuk menyingkir kesamping. Sewaktu Leng Hong sedang gelagapan, Lie Siauw Hiong
lagi-lagi melancarkan serangan dengan tipu-tipu yang sama
seperti tadi dengan secara bergiliran, hingga ini memaksa
lawannya akan balas menyerang dengan jurus kesatu, kedua
dan ketiga. Leng Hong yang memang berotak terang dan cerdik,
melihat Lie Lie Hiong tidak henti-hentinya memancing
dirinya dengan serangan-serangan tiga jurus itu, hatinya
segera tersadar, bahwa saudara mudanya ini hendak
menyempurnakan pukulannya yang tidak tepat itu. Oleh
karena itu, diapun lalu menaruh perhatian dengan terlebih
seksama. Tidak antara lama, benar saja Lie Sie Hiong telah
memancing dengan serangannya yang kedua, yaitu dengan
jurus 'Gie-kong-ie-san'. Kemudian disusul dengan serangan
kedua yang memancing Leng Hong menggunakan jurus
'Liok-teng-kay-san'. Pada saat itu tubuh Lie Liauw Hiong
tengah berada diatas udara.
Sebenarnya jurus 'Liok-teng-kay-san'
ini harus dikeluarkan dengan lurus dari depan dada, tapi pada saat
itu tak dapat ia berbuat tanpa memutarkan badannya, maka
dengan jalan memiringkan tubuh ia telah melancarkan
serangannya, tapi siapa tahu begitu satu suara yang nyaring
terdengar, tenaga yang keluar dari pukulannya telah
menyebabkan sebatang pohon besar yang terpisah satu
tombak lebih telah kena dirobohkannya!
Oleh karena itu, sekarang barulah Leng Hong
menginsyafi bahwa pukulan yang dilancarkannya tadi itu
adalah cara yang keliru sekali. Maka dengan termangu-
mangu dari jurus kedua ia telah ubah kejurus ketiga, dan
kali ini benar saja ia merasakan pukulannya mengandung
tenaga sepenuhnya yang keras dan hehat sekali, hingga
saking girangnya, tidak terasa lagi ia jadi berteriak: "Oh,
Hiong-tee, aku sesungguhnya harus berterima kasih sekali
kepadamu. Tapi cara bagaimana kau dapat melihat
kekuranganku" .."
Sambil tertawa Lie Siauw Hiong menjawab: "Aku pada
beberapa waktu ini baru saja berhasil mempelajari ilmu
'Kong-kong-ciang-hoat' dari Peng Hoan Siangjin, maka aku
dapat memecahkan rahasia tersebut. Barusan aku melihat
jurusmu yang berjumlah tiga itu sekalipun sangat hebat, tapi
tenaga yang disalurkanmu itu tidaklah pada tempatnya
yang benar. Maka diwaktu pukulanmu beradu dengan
pukulanku, barulah dapat kau lihat kekurangamnu itu,
bukan?" Leng Hong menjawab: "Hiong-tee, nasibmu sungguh
mujur sekali, sampaikan tiga Dewa Diluar Dunia sudi
menurunkan kepandaian asli mereka kepadamu, maka
tidak heran jika engkau memperoleh kemajuanmu yang
begitu pesat .." Kemudian ia teringat akan sesuatu dan
segera mengalihkan pembicaraannya dengan berkata: "Oh,
hampir saja aku lupa memberitahukan kepadamu. Ada satu
nona she Thio tengah mencarimu, aku beritahukan
kepadanya, bahwa kau paling banyak juga setengah tahun
berdiam dipulau Tay-ciap-too, maka begitu ia mendengar
keteranganku, buru-buru ia menyusulmu kesana .."
Lie Siauw Hiong yang mendengar kabar tersebut, sambil
meloncat tinggi dia berseru: "Twako, lekas! Lekas pergi!"
Sehabis berkata begitu, dia segera membalikkan
tubuhnya dan berlari pergi, sehingga Leng Hong sambil
memanggilnya, lalu turut juga menyusul belakangan.
Begitulah kedua pemuda itu lantas berlari-lari dengan
pesatnya, hingga tidak antara lama mereka telah sampai
pula dipantai, dimana tampak orang banyak tengah
mengerumuni perahu Siauw Hiong yang ditambat disitu
dan tiada kedapatan siapa pemiliknya.
Lie Siauw Hiong sambil memegang tangannya Gouw
Leng Hong segera meloncat melampaui kepala orang
banyak, dan begitu tubuh mereka jatuh diatas perahu, lekas-
lekas mereka melayarkan kembali perahu itu ketengah-
tengah lautan. Orang banyak yang berdiri menyaksikan tingkah laku
mereka dari daratan, keruan saja jadi amat tercengang,
halmana terbukti dari mulut mereka yang ternganga
menyaksikan kedua pemuda itu yang berangkat pergi
dengan tergesa-gesa.
Begitu perahu itu berada ditengah lautan, Lie Siauw
Hiong lalu menceritakan perhubungannya dengan Thio
Ceng, sambil tidak lupa ia menceritakan juga tentang
pertempurannya dengan jago-jago silat bangsa asing yang
tinggi ilmu kepandaiannya, begitu pula tentang Bu Heng
Seng yang terkena racun, dan paling akhir tentang sakit
hatinya yang telah terbalas himpas dengan terbunuhnya
Hay-thian-siang-sat dengan tangannya sendiri, hingga Leng
Hong yang mendengarnya, buru-buru menyampaikan
ucapan selamat kepadanya.
Tapi waktu Leng Hong memikirkan tentang dirinya
sendiri yang belum lagi dapat menuntut balas atas sakit hati
orang tuanya, disamping masih ada persoalan dengan Ah
Lan yang belum pula berhasil diketemukannya, hatinya
menjadi kesal sekali, sehingga tanpa terasa pula dia jadi
menghela napas.
Lie Sie Hiong yang berotak sangat cerdik dan dapat
menangkap maksud hati saudaranya ini, dengan suara yang
perlahan ia berkata: "Twako!"
Leng Hong hanya menjawab: "Hm?"
Lie Siauw Hiong lalu melanjutkan bicaranya: "Kita
kembali akan memasuki Tiong-goan untuk mencari Cek
Yang, Li Gok, Kouw Am dan kawan-kawannya untuk
membalaskan sakit hati Pek-hu dan Bwee siok-siok."
Sementara Leng Hong yang mengetahui bahwa pemuda
itu tengah menghiburinya, hatinya menjadi terharu, dan
begitu ia mendengar perkataan kawannya ini, ia lalu
memegang pundak Siauw Hiong sambil berkata: "Hiong-
tee, kau sungguh baik sekali .."
Sedangkan perasaan Lie Siauw Hiongpun pada saat itu
telah tergerak pula, maka sambil memegang tangan Leng
Hong dan dengan suara yang tetap iapun berkata: "Twako,
tungguhlah, setelah sakit hati kita telah terbalas, kita dua
saudara sekali lagi akan mengembara dalam Rimba
Persilatan untuk melakukan suatu pekerjaan yang
menggemparkan dunia!"
Leng Hong yang menyaksikan Siauw Hiong berbicara
dengan secara bersemangat, hatinya yang tengah dirundung
malang jadi merasa agak legaan, tapi entah karena apa,
dengan sekonyong-konyong bayangan Ah Lan telah
melintas dikepalanya, sehingga hatinya menjadi terkejut,
sedang suatu macam perasaan yang tidak enak berkecamuk
didalam dadanya.
Dalam pada itu, Lie Siauw Hiong pun telah mengalihkan
perahunya menuju kepulau Tay-ciap-too, dengan sinar
matahari diwaktu tengahari sangat menyilaukan pandangan
mata. Sesampainya dipulau tersebut, Lie Siauw Hiong bersama
Gouw Leng Hong lalu melompat kedarat.
Sekonyong-konyong Siauw Hiong mengeluarkan suara
"Ih" yang menandakan keheranannya, dan tatkala Leng
Hongpun memandang pada kejurusan pandangan kawannya, ternyata disana tampak seseorang yang sedang
berjalan dipantai sambil menundukkan kepalanya, dan
diwaktu mereka melihat dengan lebih cermat, dengan heran
mereka berkata: "Sun Ie Tiong!"
Waktu Siauw Hiong memandangnya dengan penuh
perhatian, diapun segera mengenali, bahwa orang itu
memang benarlah Bu-lim-cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Kedua pemuda itu sambil melangkah maju lalu berseru:
"Sun Heng, mengapa kau tampak berduka?"
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sun Ie Tiong waktu melihat mereka, dia hanya
mengganda tersenyum, kemudian menundukkan pula
kepalanya dan berjalan terus, sedangkan senyumannya
tadipun adalah senyuman paksaan belaka.
Dengan perasaan terheran-heran Siauw Hiong memandang pada Gouw Leng Hong, dan waktu dia
melihat kembali kearah Sun Ie Tiong, ternyata alis pemuda
itu dikerutkan demikian rupa, mukanya menunjukkan
kesuraman yang mendalam sekali, seakan-akan ada sesuatu
yang telah membuat hatinya amat tidak senang.
Lie Siauw Hiong menanti sehingga dia datang dekat,
barulah bertanya: "Sun Heng, Peng Hoan Siangjin apakah
ada diatas pulau ini?"
Sun Ie Tiong lalu manggutkan kepalanya, suatu tanda
bahwa orang yang sedang dicari itu memang berada diatas
pulau itu. Sudah itu sekonyong-konyong dia tertawa getir,
kemudian dengan tindakan yang cepat sekali ia berjalan
pergi menyusur pantai, naik keatas sebuah perahu kecil dan
berlayar tanpa berkata-kata pula.
Ketika mereka berjalan lagi berapa puluh tombak
jauhnya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan
manusia, yang dengan tubuh yang ringan sekali telah turun
ketanah dan berdiri dihadapan mereka, hingga kepandaian
yang sehebat itu sukar dicari keduanya dalam dunia ini.
Kedua pemuda itu yang memang bermata tajam, segera
mendapat kenyataan, bahwa orang itu bukan lain daripada
pemilik pulau Tay-ciap-too Peng Hoan Siangjin adanya.
Buru-buru Lie Siauw Hiong memberi hormat sambil
berkata: "Siangjin, boan-pwee datang menengokmu."
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa mengakak lalu
berkata: "Bocah, janganlah kau coba menipuku. Aku telah
lihat mukamu yang mengandung maksud lain, hingga
kedatanganmu ini bukanlah semata-mata untuk mencariku,
benarkah begitu" Buat apakah engkau mengatakan hendak
menengoki aku" .. Aiii, masih ada lagi seorang ini, dia ini
siapakah?" Diwaktu memandang dengan sorot amat tajam
kepada Gouw Leng Hong, kemudian ia lalu berkata:
"Siapakah gerangan pemuda yang berwajah sangat tampan
ini" Hm, sekalipun diwaktu mudaku, pasti sekali wajahku
tidak setampan dia ini."
Leg Hong siang-siang telah mengetahui dari penuturan
Lie Siauw Hiong tentang keanehan orang tua ini, maka
dengan segera dia menjawab: "Boan-pwee Gouw Leng
Hong sangat bangga sekali dapat bertemu dengan Cian-
pwee." Peng Hoan Siangjin sangat memuji atas kecakapan
wajah pemuda ini, kemudian barulah ia berkata: "Bocah,
kau mencariku ada urusan apakah?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Anak dara Bu Heng
Seng yang bernama Thio Ceng, apakah pernah datang
kemari?" Dengan perasaan keheran-heranan Peng Hoan Siangjin
lalu menjawab: "Tidak pernah .."
Hati pemuda itu menjadi dingin sekali ketika mendengar
jawaban orang tua ini, tapi dengan berpura-pura gembira ia
masih dapat tertawa dan berkata: "Oh .. oh .." Sedangkan
perkataan selanjutnya, tak kuasa dia melanjutkannya.
Peng Hoan Siangjin lalu berkata sambil menyelidiki:
"Bukankah kau tengah membantui Bu Heng Seng untuk
mencari anak daranya?"
Lie Siauw Hiong yang hatinya sedang risau, tidak
mendengar jelas apa yang dikatakan orang tua itu, hingga ia
hanya manggutkan kepala saja menyatakan kebenarannya.
Peng Hoan Siangjin yang menampak hal itu menjadi
gusar sekali dan lalu berkata dengan separuh berteriak:
"Bukankah Bu Heng Seng telah memaksamu untuk
mencarikan anak daranya itu" Hm, jangan takut
kepadanya, jika dia berani memaksamu lagi, aku situa
bangka pasti tidak dapat menahan sabarku lagi .."
Lie Siauw Hiong dengan segera menjawab: "Bukan,
bukan begitu."
Dengan tersenyum-senyum juga Peng Hoan Siangjin lalu
herkata: "Perduli apakah benar atau tidaknya, lebih baik
kalian turut aku masuk kedalam untuk bercakap-cakap."
Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Bila memang Ceng Jie
tidak pernah datang kesini, maka kamipun tidak mau
mengganggu lebih jauh pada kau orang tua .."
Sambil melototkan matanya lebar-lebar, Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Apa" Kalian sudah hendak pergi
lagi" Hal itu tidak mungkin .."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong yang telah
mengetahui bahwa orang tua ini tengah mengumbar
adatnya, dan mengetahui juga bahwa tabiatnya sangat
berangasan, diam-diam mereka mentertawakan orang tua
itu yang masih bertabiat kekanak-kanakan, maka dengan
tidak sabar Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Tidak pergi,
tidak pergi."
Peng Hoan Siangjin dari marah berubah menjadi
kegirangan dan lalu berkata: "Tidak benar bila kalian ingin
menggunakan kekerasan terhadapku, kalian pasti akan
merasakan kelihayanku!"
Mendengar omongan itu, Gouw Leng Hong tidak dapat
menahan lagi tertawanya.
Peng Hoan Siangjin sekonyong-konyong berkata pula:
"Waktu kalian datang kemari barusan, apakah kalian
pernah melihat Sun Ie Tiong?"
Lie Siauw Hiong mengangguk. Dengan begitu, ia ketahui
pasti bahwa Siangjin mempupnyai sesuatu yang hendak
dipercakapkannya.
Paderi tua itu setelah berdiam sejurus, lalu mengalihkan
pembicaraannya dengan berkata: "Tempo hari dipulau
Siauw Ciap Too kau pernah menyanggupi Bu Heng Sang
untuk mencarikan anak daranya. Dunia ini begini luas,
dimanakah kau hendak mencarinya?"
Lie Siauw Hiong yang mendengarnya jadi merasa geli
sekali. Dia ketahui, bahwa Peng Hoan Siangjin pasti
mempunyai sesuatu yang sukar dijelaskannya, maka diapun
merasa tidak enak akan menanyakan persoalan tersebut
dengan secara langsung kepada orang tua itu.
Setelah berdiam sejurus lamanya, orang tua itu lalu
berkata: "Bocah Sun Ie Tiong ini, apakah kau telah
melihatnya, waktu dia berjalan pergi meninggalkan pulau
ini?" Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong mengiakan
dengan menganggukkan kepala mereka.
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Benar, benar, kalian pasti merasa keheran-heranan, bukan"
Jika kalian ingin mengetahui, sebab musababnya adalah
panjang sekali untuk diceritakan. Sebabnya sangat menarik
sekali, apakah kalian ingin mendengarnya?"
Dalam kegugupannya, ia tak sempat berpikir cara
bagaimana untuk menarik perhatian kedua pemuda itu.
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong tertawa
mengakak, hingga tak terasa lagi Peng Hoan Siangjin jadi
merasa agak likat, hingga dengan nada gusar kedengarannya ia berkata: "Kalian tertawakan apa?"
Leng Hong jadi terkejut dan buru-buru menghentikan
tertawanya dan menjawab: "Tidak tertawa dah!"
Peng Hoan Siaugjin seakan-akan merasa puas dan lalu
berkata: "Nah, bila demikian, marilah dengarkan ceritaku
ini .." Pada tempo hari diwaktu Peng Hoan Siangjin
menyanggupi untuk menurunkan ilmu silatnya kepada
salah seorang murid Siauw Lim, yaitu Sun Ie Tiong, meski
sebenarnya ia berbuat demikian karena sangat terpaksa.
Sudah itu, orang tua itu jadi merasa sangat menyesal. Akan
tetapi, karena sudah telanjur menyanggupi permintaan
orang, maka terpaksa ia harus menunaikan juga
kewajibannya, walaupun ia hanya mengajar silat kepada
Sun Ie Tiong dengan cara mempersukar orang dan selalu
memberikan pelajaran-pelajaran silat dengan sikap yang
marah-marah. Ia pikir, dengan jalan itu, hendak membuat
Sun Ie Tiong timbul rasa mendongkol dan bosan untuk
belajar dibawah pimpinannya. Tidak disangka bahwa Sun
Ie Tiong adalah seorang muda yang rajin belajar dan
mempunyai keuletan, sehingga Peng Hoan Siangjin hampir
putus asa untuk mempersukarnya.
Mula-mula Sun Ie Tiong mengerti akan maksud orang
tua yang hendak mempersukarnya dan membuat dia tak
kerasan berdiam diatas pulau itu. Akan tetapi setelah
berselang pula beberapa lamanya dan Peng Hoan Siangjin
telah sengaja menurunkan pelajaran-pelajaran yang lebih
berat, Sun le Tiong jadi mengeluh dan hampir jatuh pingsan
karena terlampau letih melatih diri.
"Engkau belajar kurang rajin dan perlu berlatih sebanyak-
banyaknya!" gerutu Peng Hoan Siangjin.
Sun Ie Tiong sampai keluar air mata karena usikan itu.
Ia belajar cukup ulet, tapi masih tetap tidak memuaskan
hati orang tua itu. Oleh sebab itu, pada suatu hari ia telah
menyatakan tidak sanggup melanjutkan pelajarannya dan
meminta diri akan meninggalkan pulau Tay-ciap-too pada
hari esok juga, sambil berjanji akan kelak kembali lagi
kesitu. (Oo-dwkz-oO) Jilid 42 Peng Hoan Siangjin yang mendengar sipemuda hendak
pergi, sudah barang tentu dia merasa sangat gembira,
karena dengan begitu, beban sangat berat yang menindih
badannya sudah terbebaskan sama sekali, hingga dia tidak
perduli apakah benar Sun Ie Tiong nanti akan datang pula
atau tidak kepulau itu, maka dengan berulang-ulang ia
berkata: "Baik sekali, hal itu memang baik sekali."
Diwaktu melirikkan matanya, dia melihat muka Sun Ie
Tiong tampak sangat putus asa, hingga tak terasa lagi dalam
lubuk hatinya ia merasa kasihan juga, maka dengan suara
yang lembut ia berkata: "Bocah, kau jangan berkecil hati
atau marah kepadaku. Hampir semua pelajaran yang
terpenting telah kuberikan kepadamu, maka asalkan kau
rajin-rajin belajar, didalam Rimba Persilatan pasti sukar
dicari orang yang dapat menandingimu. Percayalah
kepadaku, nak."
Pada keesokan harinya, benar saja Sun Ie Tiong telah
minta pamit diri kepada Peng Hoan Siangjin dan justeru
berpapasan dengan Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong
ketika dia hendak meninggalkan pulau tersebut.
Lie Siauw Hiong jadi memuji dan berkata: "Kau orang
tua sungguh cerdik sekali. Kau dapat berlaku keras dan
lembek pada tempatnya yang benar!"
Maka sambil tertawa terbahak-bahak Peng Hoan
Siangjin lalu menjawab: "Bocah, aku situa bangka memang
biasanya paling gemar dipuji orang, oleh karena itu, baiklah
kuberikan dikau dua pelajaran baru."
Mendengar kata-kata itu, Lie Siauw Hiong jadi sangat
girang. Tapi ketika baru saja ia hendak membuka mulut
untuk mengucap terima kasih, sekonyong-konyong dia
melihat matahari sudah doyong ke Barat. Dan tatkala
berpikir tentang maksud semula ia datang kesitu, tidak
terasa lagi ia jadi terkejut, dan lalu berniat untuk meminta
diri. Hampir dalam saat itu juga serupa bebauan yang sangat
wangi terhembus oleh siliran angin lalu, hingga Leng Hong
seakan-akan sangat paham akan bebauan wangi itu. Dan
setelah mengendus-endus
berapa kali, ia segera membalikkan badannya dan tanpa berkata-kata pula ia
berlari mengikuti dari mana datangnya wangi-wangian yang
terhembus angin itu.
Dalam hatinya Lie Siauw Hiong berkata: "Aku tahu,
biasanya Gouw Twako sangat teliti dalam tindak
tanduknya terhadap segala sesuatu yang hendak dikerjakannya, hingga belum pernah ia menampak Leng
Hong berlaku begitu tergopoh-gopoh seperti sekarang ini.
Hal mana pasti timbul sesuatu yang agak aneh disaat itu,
oleh karena itu, buru-buru mereka berlari-lari mengejar
sipemuda she Gouw dari belakang.
Peng Hoan Siangjin sambil berlari-lari sambil tertawa
dan dengan suara yang perlahan ia berkata kepada Lie
Siauw Hiong: "Bocah, lekaslah kita menyusulnya. Akan
kita lihat pertunjukan apakah yang hendak diperlihatkannya!"
Lie Siauw Hiong yang melihat muka Peng Hoan Siangjin
yang sangat aneh karena tengah menyembunyikan perasaan
hatinya, pada saat itu karena ingin mengetahui apa yang
hendak dilakukan oleh Gouw Leng Hong, maka diapun
hanya memanggutkan kepalanya saja, tetapi bersama-sama
Peng
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoan Siangjin mereka berlari-lari sambil membentangkan ilmu Keng-sin-kang mereka yang sempurna untuk menyusul Gouw Leng Hong yang berlari
terlebih dahulu.
Tatkala berlari-lari tidak berapa lama, tiba-tiba hawa
wangi itu jadi semakin menusuk hidung, sehingga Peng
Hoan Siangjin lalu berkata: "Disinilah tempatnya." Dan
sambil berkata demikiau, ia memegang tangannya Lie
Siauw Hiong untuk diajak bersembunyi dibalik sebuah batu
besar. Pada jarak empat atau limapuluh tombak jauhnya,
Siauw Hiong melihat Leng Hong seakan-akan sedang
menari-nari dan kakinya berjingkrak-jingkrak bagaikan anak
cilik saja layaknya, tampaknya dia tengah diliputi
kegirangan yang bukan alang kepalang besarnya.
Seketika itu dengan suanga yang perlahan Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Bocah, kau lihatlah biar jelas apakah
itu yang tumbuh disamping batu tersebut?"
Setelah Lie Siauw Hiong mengangkat kepalanya
memandang kesamping batu itu, ternyata disitu ada tumbuh
sebatang pohon kecil yang tampaknya tidak sedikitpun
terdapat keanehan apa-apa, hingga is lalu menyahut:
"Apakah yang kau maksudkan itu bukan pohon kecil
dicelah-celah batu gunung itu?"
Peng Hoan Siangjin manggutkan kepalanya membenarkan. Sekonyong-konyong dia berkata: "Bocah,
kau lihatlah, mulut kawanmu itu tengah berkemak-kemik.
Baiklah kita berjalan menghampirinya, untuk mendengar
perkataan apakah yang diucapkannya?"
Lie Siauw Hiong ketika menolehkan kepalanya
memandang kepada orang tua itu, ternyata muka Peng
Hoan Siangjin tampak seolah-olah ingin sekali mengetahui,
apakah gerangan yang terjadi atas diri Leng Hong. Maka
Siauw Hiong yang melihat hal itu, tidak terasa lagi jadi
tertawa pada dirinya sendiri dan diam-diam berkata: "Peng
Hoan Siangjin ini latihannya sudah ada seratus delapan
puluh tahun lebih, hingga kedudukannya sangat tinggi dan
sukar dicari orang kuat keduanya didalam dunia ini, tapi
adatnya begitu aneh dan lucu, maka tepatlah seperti apa
yang pepatah mengatakan 'Mudah bagi orang mengubah
gunung maupun sungai, tapi amat sulitlah untuk mengubah
watak atau tabiat seseorang'! Tabiat itu paling sukar diubah,
karena seperti aku ini yang mudah terharu, sukar sekali
dapat melenyapkan perasaan tersebut dengan begitu saja.
Oleh karena itu kapankah aku dapat bertabiat sesempurna
Gouw Twako itu?"
Peng Hoan Siangjin yang melihat Siauw Hiong tidak
menjawab, diapun tidak menghiraukannya pula, maka
dengan langkah yang perlahan dia tetap bertindak maju.
Sementara Lie Siauw Hiong setelah berdiam sejurus,
diapun lalu mengikutinya belakangan.
Dari balik batu besar itu Siauw Hiong mengintai Leng
Hong yang menaruh perhatian sangat besar terdapat pohon
kecil itu, sehingga orang yang diintai itu tidak merasa sama
sekali. Lie Siauw Hiong lalu menaruh perhatian lebih besar lagi
untuk meneliti Pohon kecil tersebut ternyata gundul dan
tidak berdaun barang sehelaipun, tapi pada pucuknya
tampak sebuah buah kecil yang berwarna merah bagaikan
darah, hingga diam-diam dia sekarang baru insyaf dan
berpikir: "Buah ini barangkali adalah obat mustajab yang
dijumpai oleh Gouw Twako dipuncak gunung Thay-san,
dan setelah Gouw Twako makan buah mustajab tersebut,
maka ilmu Keng-sin-kang maupun tenaga-dalamnya telah
maju dengan pesat sekali."
Ia melihat tangan kiri Leng Hong dengan tepat
menggoyangkan cabang pohon tersebut, sedangkan tangan
kanannya dengan lincah dan tepat telah memetik buah
tersebut, hingga Siauw Hiong yang melihat gerakan yang
sempurna ini, tidak terasa lagi jadi berteriak sambil memuji:
"Sungguh kepandaian yang hebat sekali!"
Leng Hong yang mendengar suara Lie Siauw Hiong,
ketika baru saja ingin memanggilnya, keburu Peng Hoan
Siangjin menghampirinya dan lalu berkata: "Bagus! Aku
situa bangka dengan susah payah telah menanam pohon
buah ini, akan tetapi setelah menunggu ratusan tahun
lamanya, barulah pohon ini berbuah pada hari ini, maka
tidak kunyana akhirnya kaulah yang dengan lancang tangan
telah memetiknya. Ayolah lekas kembalikan kepadaku,
lekas!" Dalam hati Leng Hong berkata: "Peng Hoan Siangjin
umurnya paling sedikit sudah dua ratus tahun, maka jika
dia mengatanya....", tiba-tiba terdengar suara "Pak" karena
jatuhnya sejilid buku kecil dari dalam sakunya.
Dalam pada itu dengan sekonyong-konyong Leng Hong
lalu menubruk Peng Hoan Siangjin, yang lalu dipeluknya
sambil mengucurkan airmata, kemudian dengan suara
tertahan dalam tenggorokan ia berkata: "Loo .. cian .. pwee
.. engkau sesungguhnya sangat baik dan dermawan .."
Peng Hoan Siangjin lalu mengusap-usap kepala
sipemuda sambil berkata: "Bocah yang baik, janganlah kau
menangis, karena cara itu tidak baik sekali bagi seorang
laki-laki sejati."
Leng Hong dengan menahan air matanya yang
mengucur lain berkata: "Hal ini bukanlah Hong Jie sendiri
yang ingin mendaulat buah mustajab ini, tetapi sesungguhnya adalah untuk seorang kawanku yang
sepasang matanya telah menjadi buta. Hong Jie telah
menyanggupi, meskipun harus mengelilingi dunia, aku
harus mendapatkan buah 'Hiat-ko' ini untuk menyembuhkan kembali matanya yang buta itu. Tempo
hari waktu aku berada dipuncak gunung Thay-san setelah
dengan tidak disengaja aku telah memakan buah mustajab
ini, mula-mula aku tidak pernah memikirkan, bahwa untuk
mencari buah tersebut sulitnya bukan kepalang. Dan tatkala
aku makan habis buah tersebut dan mencarinya pula,
ternyata tidak dapat diperoleh lagi, sehingga aku menjadi
sangat menyesal dan berpendapat, bahwa untuk menjumpai
buah itu kembali sudah tidak ada harapan lagi. Akan tetapi
sungguh tidak disangka-sangka, bahwa dipulau ini aku telah
dapat menjumpainya, malahan pohon ini baru saja
berbuah, hingga kesempatan untuk memperoleh buah
mujijat ini kelak bukan dengan mudah dapat ditemukannya
pula." Peng Hoan Siangjin jadi kelihatan senang sekali
mendengar penuturan yang terus terang itu, hingga begitu
teringat akan sesuatu didalam pikirannya, dengan lantas ia
bertanya: "Kawanmu itu apakah seorang gadis" Kau harus
menceritakan ini dengan sejujurnya."
Leng Hong tidak pernah menyangka, bahwa orang tua
itu akan mengajukan pertanyaan semacam itu, hingga dia
yang biasa tidak suka membohong, terpaksa dengan muka
yang kemerah-merahan karena merasa jengah lalu
menjawab: "Benar!"
Pada saat itu Lie Sie Hiong sebenarnya tengah
membalik-balik buku yang terhampar diatas tanah tadi.
Akan tetapi disaat mendengar bahwa Twakonya mempunyai seorang sahabat wanita, buru-buru dia bangun
berdiri, kemudian dengan mengumpulkan perhatiannya dia
mendengari dengan penuh perhatian atas percakapan kedua
orang itu. Peng Hoan Siangjin lalu bertanya pula: "Dia mengapa
sampai kejadian buta matanya?"
Leng Hong mengetahui bahwa dia tidak dapat
berbohong lagi, lalu dia menceritakan perhubungannya
dengan Ah Lan satu-persatu, dan diwaktu dia menceritakan
bahwa Ah Lan karena marahnya telah meninggalkannya
pergi, maka ia sangat bingung kemana akan mencarinya
dalam dunia yang sangat luas ini, hingga tak tertahan pula
akan ia tidak mengucurkan airmata diwaktu menuturkan
pengalamannya itu.
Peng Hoan Siangjin sendiri yang mendengar kisah
tersebut, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan
lalu berkata: "Bocah, siang-siang sudah aku katakan, bahwa
didunia ini paling sulit adalah berurusan dengan kaum
wanita. Aku situa bangka ini apapun aku tak takuti, tapi
yang paling aku merasa gentar justeru adalah wanita.
Tempo hari jika bukannya Lie Siauw Hiong yang telah
memecahkan barisan 'Kwie-goan-kouw-tin',
aku sesungguhnya harus menyerah dibawah pengaruhnya
sipendeta wanita bangkotan itu. Kalian dua-duanya adalah
bocah-bocah yang sangat menarik dan berotak cerdas,
hingga urusan dibelakang hari yang meruwetkan otak
kalian masih banyak!"
Lie Siauw Hiong setelah mendengar habis kisah
Twakonya hatinya jadi merasa sangat terharu, dan begitu
darah mudanya bergolak-golak, ia telah melupakan
urusannya sendiri yang hendak mencari Thio Ceng, tetapi
sebaliknya ia telah mendesak untuk membantu Twakonya
mencari Ah Lan, dan diwaktu dia mendengar perkataan
yang terakhir dari Peng Hoan Siangjin, maka diapun lalu
berkatalah: "Gouw Twako, marilah kita berangkat saja
untuk mencari Ah Lan."
Gouw Leng Hong merasa sangat berterima kasih atas
kebaikan hati Lie Siauw Hiong, akan tetapi ketika baru saja
dia hendak membuka mulut untuk berpamitan dengan Peng
Hoan Siangjin, dengan secara sekonyong-konyong orang
tua itu telah berkata kepada Lie Siauw Hiong: "Bocah,
ditanganmu buku apakah itu?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Buku ini adalah buku
Gouw Twako yang terjatuh diatas tanah tadi. Isi buku ini
adalah tulisan coret-caret yang sukar dimengerti, agaknya
hanya setan belaka yang akan dapat membacanya."
Gouw Leng Hong segera menyahut perkataan kawannya: "Buku ini adalah pemberian Susiokku Tang-gak-
su-seng In Peng Jiok. Beliauw mengatakan kepadaku,
bahwa buku tersebut telah diperolehnya dari pemberian
seorang pendeta dari Thian-tiok pada sebelum menutup
mata. Dia mengatakan lebih lanjut, bahwa isi buku tersebut
memuat pelajaran-pelajaran ilmu mengentengi tubuh yang
luar biasa hebatnya, hanya amat disayangi bahwa buku itu
ditulis dalam bahasa Sansekerta, hingga siapapun sukar
mengerti."
Peng Hoan Siangjin yang mendengar begitu, sudah
merasa tidak sabaran dan segera berkata: "Lekas berikan itu
kepadaku untuk diperiksa!"
Lie Sie Hiong segera memberikan buku tersebut kepada
orang tua itu. Dan setelah Peng Hoan Siangjin membolak-
balik beberapa puluh lembar, mukanya tampak secara
sekonyong-konyong
berubah dan berbalik menaruh perhatian sepenuhnya atas buku tersebut, kemudian dia
membalikkan badannya dan berlari masuk kedalam
rumahnya. Leng Hong sudah berpikir untuk mengikutinya, tapi
keburu dicegah oleh Lie Siauw Hiong yang berkata:
"Twako, kau masih ingatkah pada tempo hari pertemuan
kita diruangan 'Bu-wie-thia' dimana kita bertempur dengan
Kinlungo?"
Leng Hong berpikir sejenak, kemudian dengan girang
diapun berkata: "Benar, benar, tampaknya Siangjin
mengerti bahasa Sansekerta."
Lie Sie Hiong manggutkan kepalanya dan berkata:
"Benar, aku lihat Peng Hoan Siangjin tampaknya sangat
tertarik oleh buku tersebut, sehingga tampaknya dia
membutuhkan suatu pemusatan pikiran yang tidak boleh
sekali-kali terganggu oleh siapapun. Oleh karena itu
biarkanlah dia seorang diri menyelidiki isi buku tersebut."
Leng Hongpun berkata: "Kalau begitu sungguh suatu
hal yang kebetulan sekali. Maka untuk tidak mengganggu
pada beliau, baiklah jika sekarang kau membawa aku
melihat-lihat pemandangan diatas pulau Tay Ciap Too ini?"
Lie Siauw Hiong menyatakan mupakat dan mereka
berdua lalu bergandengan tangan dan berjalan-jalan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengelilingi pulau tersebut.
Pulau Tay Ciap Too ini timbul belum berapa lama.
Diatas pulau itu tidak tumbuh sehelai rumputpun. Kedua
anak muda ini setelah berjalan dekat dengan pantai, mereka
hanya melihat batu-batu raksasa yang tampak disana sini.
Ada yang tegak lurus, ada yang sambung-menyambung
merupakan gunung batu, ada yang terdiri dari gundukan
pasir kuning, dengan pemandangan disekitarnya pulau itu
tampak sangat angkar sekali.
Leng Hong lalu berkata: "Orang dulu telah mengatakan,
bahwa gunung-gunung hanya tampak dengan hebatnya
disebelah Utara, sedangkan sungai-sungai yang terkenal
hanya terdapat dibagian Selatan. Tetapi tidak disangka
bahwa dipulau yang begini terpencil didaerah Kang Lam,
terdapat satu tempat yang demikian angkarnya, hingga
dengan demikian, kebesaran alam ini ternyata tidak dapat
diukur. Begitu pula tentang keaneh-anehan diseluruh muka
bumi ini, tidak dapat diduga-duga dari dimuka."
Dalam pada itu, tiba-tiha Lie Siauw Hiong teringat akan
Li Gok dan kawan-kawan yang menjadi musuh-musuh
besar Bwee Siok-sioknya dan ayah Gouw Leng Hong,
hingga ia lantas berkata: "Gouw Twako, kita terlebih
dahulu harus membunuh Li Gok untuk membalas sakit hati
kita, kemudian barulah kita mencari Ah Lan dan Thio
Ceng." Leng Hong mengangguk menyatakan mupakat, kemudian Lie Siauw Hiong berkata pula: "Twako, tempo
hari aku telah terpukul sekali oleh Heng-hoo-sam-hut
sehingga menderita luka-luka. Sewaktu aku berhasil
menyembuhkan diriku sendiri dengan tenaga-dalamku,
terus aku memikirkan soal ini. Sekarang barulah jelas
segala-galanya. Seseorang yang hidup didunia ini, jika
mempunyai suatu kepandaian yang hebat, paling banyak
orang hanya takuti kepadamu, akan tetapi untuk dapat
membuat setiap orang menghormatimu serta menjunjnng
tinggi derajatmu, itulah baru terhitung seorang pendekar
sejati. Maka mulai sekarang, aku ingin dengan rajin dapat
menunaikan cita-cita tersebut, hanya tabiatku terlampau
lemah, sehingga dalam hal ini aku perlu meminta banyak
pengunjukanmu yang berharga."
Leng Hong yang mendengar pernyataan sahabatnya
yang sejujurnya itu, dia segera dalam hal pandangan
hidupnya. Karena jika dahulu ia memandang terlampau
tinggi terhadap diri sendiri dan memandang rendah
terhadap orang lain, adalah dia sekarang telah insyaf dari
segala sikap dan pandangan yang keliru itu, maka Leng
Hong dengan girang lalu menjabat tangan Siauw Hiong
erat-erat sambil berkata: "Hiong-tee, aku mengucap selamat
bahwa kau sekarang sudah maju selangkah pula. In ya-ya
pernah mengatakan kepadaku, bahwa untuk berlatih sampai
disuatu tingkat
yang tertinggi, bukan
saja harus mengandalkan kepada bakat serta kecerdasan seseorang,
malahan orang itu harus pula berpandangan luas, penuh
cyta-cita, dan mengenai bakatmu, sudah tak usah
diperkatakan lagi. Sekarang kau sudah dapat membedakan
serta menarik garis yang jelas tentang baik, buruk, benar
dan palsu. Disamping itu, hal yang lebih panting adalah kau
sekarang sudah dapat bertindak dengan tidak mengikuti
hawa napsumu. Maka dengan disertai pula cita-citamu yang
luhur itu, kemajuanmu dibelakang hari sungguh tidak
terbatas, hingga itu benar-benar sangat menggembirakan
hatiku." Lie Siauw Hiong yang mendengar pujian saudaranya ini,
perasaannya sangat berkesan, kemudian ia telah mengalihkan percakapannya kearah pokok soalnya sambil
tertawa dan berkata: "Twako, orang yang dapat membuat
kau seorang yang begitu tampan sampai jatuh hati, pastilah
gadis itu adalah seorang wanita yang terpandai serta
bijaksana!"
Leng Hong menjawab: "Hiong-tee, janganlah kau
menertawakan daku. Gadis yang aku jumpai itu jika
dibandingkan dengan gadismu, terus-terang kukatakan,
bahwa gadisku itu masih
kalah setingkat dalam kecantikannya."
Mendengar perkataan saudaranya ini. Lie Siauw Hiong
diam-diam merasa sangat girang, ketika sekonyong-
konyong Leng Hong mengalihkan percakapannya dengan
nada suara yang bersungguh-sungguh: "Hiong-tee, nona she
Thio itu bukan saja orangnya cantik, tapi hatinyapun baik,
maka kau harus dengan segenap hati mencintainya,
melindunginya pula dengan segenap jiwa ragamu. Hm,
benar, tempo hari waktu kau terlukakan oleh Kwan-tiong-
kiu-ho (sembilan jago dari Kwan Tiong), dalam keadaan
separuh sedar separuh pingsan kau telah mengigau dan
menyebut-nyebut nama nona-nona she Phui dan she Kim
dan mereka itu sebenarnya siapa pula gerangan?"
Dengan bebas dan wajar Lie Siauw Hiong menceritakan
tentang lenyapnya Kim Bwee Leng, begitu juga tentang
jalan percintaan antara Phui Siauw Khun dan Kim Ie. Ia
menceritakan segala sesuatunya tanpa tedeng aling-aling,
kecuali pada tempat dimana dianggapnya tidak terlampau
perlu untuk dijelaskan.
Leng Hong berkata: "Oh kiranya kau terluka demi untuk
membela nona she Phui itu, sehingga kau rela menerima
pukulan Heng-hoo-sam-hut" Dengan mengorbankan diri
sendiri kau telah membelanya mati-matian, maka dengan
itu hitung-hitung kau membalas atas kecintaannya yang
murni terhadapmu. Sekarang dia telah-menikah, hingga itu
boleh dikatakan sangat baik sekali, hanya nona she Kim ..
dan masih untung nona Thio Ceng berhati jujur dan haik,
hingga hal itu pasti ada daya untuk menyelesaikannya
dengan sempurna."
Dengan perasaan terharu Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Apa yang twako katakan memang benar. Kerapkali aku
berpikir, diantara manusia yang begitu banyaknya, kau
hanya tertarik oleh hanya seorang saja, hingga kau rela
mengorbankan dirimu untuknya. Hal mana, memang
cukup berharga, pula memang seharusnya kita bertindak
demikian."
Begitulah kedua pemuda remaja ini mencurahkan isi hati
mereka dengan bebasnya, sehingga perasaan mereka terasa
sangat mencocoki satu sama lain, begitu pula persahabatan
mereka yang kian lama kian bertambah akrab. Pada saat itu
haripun sudah menjelang malam dan keadaan disekeliling
mereka seakan-akan telah ditelan oleh kegelapan.
Leng Hong lalu berkata: "Sekarang marilah kita melihat
Peng Hoan Siangjin."
Begitulah kedua pemuda itu lalu kembali kegubuk kecil
milik Peng Hoan Siangjin dengan tindakan perlahan,
dimana pada saat itu orang tua tersebut tampak sedang
duduk dipinggir sebuah meja, agaknya tengah merenungkan
sesuatu. Akan tetapi kemudian dia menepuk kepalanya
sambil berteriak dengan nyaring: "Benar, benar! Beberapa
jurus ini sesungguhnya amat lihay dan langka!"
Sesudah berkata begitu, dia lalu tertawa, kemudian
berkata pada kedua pemuda itu: "Hai, kedua bocah, marilah
kita mengadu kekuatan kaki kita. Kalian berdua aku
persilahkan untuk mengerahkan segenap tenaga kalian dan
berlari terlebih dahulu, sedang aku situa bangka akan
memperlihatkan sebuah pertunjukan yang menarik untuk
kalian tonton."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong sekalipun
merasa amat heran, tapi mereka maklum tentulah Peng
Hoan Siangjin mempunyai maksud yang dalam, oleh
karena itu, mereka lalu membentangkan kepandaian
mengentengi tubuh mereka yang telah mencapai kesempurnaan, hingga mereka segera melaksanakan
perkataan orang tua itu.
Tatkala berlari tidak lama kemudian, kedua orang itu
merasa dibelakang mereka tidak ada angin yang bertiup,
hingga mereka mengira bahwa orang tua itu belum lagi
dapat menyusul mereka. Hanya pada waktu mereka
membalikkan kepala memandang kebelakang, dengan
sangat terkejut mereka melihat Peng Hoan Siangjin sudah
berdiri dibelakang mereka. Lie Siauw Hiong merasa tidak
puas dan lalu berlari terlebih cepat lagi, tapi pada sebelum
dia menolehkan kepalanya lagi, dia merasa bahwa Peng
Hoan Siangjin hanya menotolkan sepasang kakinya
beberapa dim saja diatas tanah, tapi dengan amat pesatnya
mereka melihat orang tua itu sedang mengikuti mereka
dengan gerakan yang sebat sekali. Mereka lihat orang tua
itu seolah-olah tidak menggunakan tenaga sama sekali, tapi
dengan tindakan yang pesat ternyata dapat menyusul
mereka dengan hanya menendangkan kakinya yang
tampaknya hampir tidak menyentuh bumi pula.
Buru-buru Lie Siauw Hiong menahan larinya sambil
berkata: "Kepandaian kau orang tua kali ini, benar-benar
sangat menakjubkan, apakah itu bukan menuruti cara-cara
yang tertulis dalam buku asing itu?"
Peng Hoan Siangjin manggutkan kepalanya, suatu tanda
ia membenarkan apa kata pemuda she Lie itu.
"Bocah" katanya kemudian. "Coba katakan, mengenai
ilmu mengentengi tubuh, dari partai manakah yang kalian
anggap paling sempurna?"
Lie Siauw Hiong menjawab: "Menurut pendapat
Boanpwee, bila hanya melihat sepintas lalu saja, mengenai
kepandaian meringankan tubuh yang sempurna, tampaknya
adalah milik Hui Taysu yang paling jempolan."
Peng Hoan Siangjin menjawab: "Menurut pendapatku
situa bangkapun demikian pula, tapi dengan melihat
pertempuran tempo hari antara 'Tiga Dewa Diluar Dunia'
dengan 'Heng-hoo-sam-hut' apakah kau dapat melihat hal-
hal yang aneh?"
Lie Siauw Hiong berkata: "Boan-pwee merasa tiga
manusia asing itu sungguh mempunyai ilmu meringankan
tubuh yang sempurna sekali, karena mengenai kecepatan
mereka jika dibandingkan dengan Hui Taysu, tampaknya
mereka lebih tinggi satu tingkat, bukankah begitu?"
Peng Hoan Siangjin menjawab dengan penuh kegirangan: "Bocah, kau sungguh cerdik sekali! Aku situa
bangka sejak kepergiannya Heng-hoo-sam-hut, terus
menerus aku memikirkan tentang ilmu meringankan tubuh
mereka yang sempurna itu. Aku hanya dapat menarik
kesimpulan, bahwa ilmu meringankan tubuh mereka itu jika
dibandingkan dengan tiap-tiap partai yang dari Tiong-goan,
masing-masing berbeda satu sama lain, hingga setelah
kumemikirkan setengah harian, akupun tidak dapat
memikirkan apa sebabnya mengenai perbedaan tersebut.
Tapi barusan setelah membaca buku ini, maka barulah
terbuka pikiranku."
Leng Hong lalu turut campur mulut dengan berkata: "Isi
buku itu, apakah sama dengan apa yang dimiliki oleh
kepandaian ketiga orang asing itu?"
Peng Hoan Siangjinpun memuji sambil berkata:
"Kaupun ternyata bukan orang bodoh! Mari, mari, akan
kuceritakan sebuah cerita untuk kalian dengar."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Heng-hoo-sam-hut
adalah orang-orang asing yang memiliki kepandaian dari
partainya yang disebut Thian-tiok Mo-ka-pit-cong'. Partai
itu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk belajar
dengan tekun seumur hidup. Mereka diwajibkan untuk
menyelidiki, memperdalam serta mengubah kepandaian-
kepandaian yang berarti dari partai mereka. Dengan
demikian, maka mereka dapat menghasilkan murid-murid
yang pandai-pandai sekali, tapi sesampainya pada ketiga
pendeta ini, maka mereka telah melalaikan berlatih dengan
tekun serta mengubah pula peraturan tersebut, hingga
mereka bukan saja ingin menjagoi diri dinegeri asal mereka,
malahan mereka sampai merembas ke Tiong-goan untuk
menjagoi pula kesana."
Oleh karena itu, dengan penuh kemarahan Lie Siauw
Hiong lalu berkata: "Hanya dikuatirkan, bahwa hal itu
tidaklah terlampau mudah bagi mereka."
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Heng-hoo-sam-hut ini seluruhnya menerima enam orang
murid, diantaranya yang paling, kecil adalah yang tempo
hari pernah ribut diruangan 'Bu-wie-thia', yaitu Kinlungo.
Diantara keenam orang muridnya itu, yang keempat adalah
seorang pendeta yang bernama Barus. Dia ini karena tidak
biasa melihat tindak-tanduk gurunya
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sering menyeleweng, sering-sering memberikan nasihat-nasihat
kepada gurunya, tapi gurunya itu bukan saja tidak
menghiraukan nasihat-nasihatnya,
malah sebaliknya menjadi benci kepadanya, sehingga kepandaian yang hehat-
hebat tidak diturunkan kepadanya."
"Belakangan, pada satu kali ada seorang dari Thian-tiok
juga yang membawa sejilid buku pelajaran asli yang hebat
sekali kepada Heng-hoo-sam-hut, untuk minta penjelasan
dari pada isi buku tersebut, karena dia sendiri tidak
mengerti isi kitab tersebut. Ia mengharap dengan
bekerjasama berarti, bahwa Heng-hoo-sam-hut juga boleh
turut belajar dari buku itu, berhubung dia sendiri tidak
mengerti kepandaian silat sama sekali. Tapi buku dari
leluhurnya itu sesungguhnya mengandung pelajaran yang
hebat sekali. Dia telah berkelana kemana-mana, tapi tak
seorangpun dapat mengerti isi buku itu. Akhirnya dia
berkunjung kepada Heng-hoo-sam-hut. Begitulah mereka
mengadakan pertukaran cara belajar, yaitu Heng-hoo-sam-
hut mengajarinya berdasarkan isi buku tersebut, sedangkan
Heng-hoo-sam-hut pun dapat juga turut mempelajari isi
buku tersebut."
Mendengar keterangan begitu, Lie Siauw Hiong dengan
tidak sabaran lalu berkata: "Bukankah buku itu yang kini
dibawa oleh Gouw Twako?"
Peng Huan Siangjin menyahut: "Benar, buku kecil ini
adalah ilmu pelajaran meringankan tubuh yang asli dan
bernama Tat-Mo Pit-kip (pelajaran asli ciptaan Tat Mo
Couwsu)." "Heng-hoo-sam-hut
yang melihat buku tersebut, girangnya bukan buatan, karena inilah yang disebut pucuk
dicinta ulam tiba, mereka mana mau mengijinkan orang
lain dapat menjagoi di Thian-tiok pula" Begitulah mereka
bukan saja tidak mengajari ilmu tersebut kepada orang itu,
malahan dengan diam-diam mereka telah mencelakakannya
sehingga menemui ajalnya. Maka dengan matinya orang
itu, menjadi leluasalah mereka menguasai buku rahasia
yang mengandung pelajaran silat yang hebat itu."
Lie Siauw Hiong, lalu berkata: "Heng-hoo-sam-hut ini
dalam ilmu kepandaian silat benar-benar sudah mencapai
tingkat yang luar biasa sekali, tapi tidak disangka bahwa
tabiat mereka demikian rendahnya sehingga melebihi
daripada binatang yang paling berbisa dan hina. Hm, lain
kali bila mereka terjatuh kembali kedalam tanganku, pasti
sekali akan kubunuh mereka sekalian."
Peng Huan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Perbuatan mereka ini diketahui pula oleh muridnya yang
keempat itu, Oleh karena dia tak dapat mencegah lagi
perbuatan gurunya, berhubung orang itu sudah mati, maka
diapun insyaf, bahwa gurunya mempunyai rasa dengki
terhadap dirinya. Dan karena dia sendiri tidak dapat
menyesuaikan diri dengan mereka, setelah dia berpikir-pikir
setengah harian, dia hanya mendapat suatu jalan keluar
saja, yaitu mengambil keputusan akan melarikan diri dari
mereka. Tapi bersamaan dengan itu, diapun berpikir,
sekarang saja guru dan para saudaranya sudah memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, andaikata kelak isi buku
tersebut berhasil dapat dipelajari mereka semuanya,
bukankah keadaan mereka bagaikan macan-macan yang
tumbuh sayap saja, sehingga tak ada orang lagi yang dapat
kendalikan mereka" Oleh karena itu, tentunya kelak mereka
tak segan-segan pula melakukan segala kejahatan tanpa ada
orang yang dapat merintangi mereka. Maka pada suatu hari
dengan menggunakan kesempatan selagi mereka tidak
memperhatikannya, buru-buru dia melarikan diri sambil
membawa juga kitab Tat-mo Pit-kip itu.
"Perangai pendeta ini sungguh luhur sekali serta mulia,
dia mencuri buku tersebut bukanlah dengan maksud untuk
mencuri belajar dari isi buku itu, melainkan untuk
mencegah jangan sampai gurunya mencapai kepandaian
yang paling tinggi untuk melakukan kejahatan yang terlebih
hebat dikemudian hari. Selain daripada itu, diapun telah
bersumpah untuk tidak mencuri belajar dari buku itu.
Begitulah dia berdiam selama puluhan tahun di Tiong-goan,
sehingga Heng-hoo-sam-hut yang belum berhasil dapat
mencangkok seluruh isi kitab tersehut, mereka tidak berani
semharangan memasuki daerah Tiong-goan untuk menangkap murid mereka yang telah buron itu. Bocah,
cobalah kau terangkan, cara bagaimana kitab dapat terjatuh
kedalam tangan In Su-siok" Kau pasti dapat mengetahuinya."
Leng Hong merasa sangat tertarik mendengarkan kisah
tersebut, hingga diapun segera menjawah: "In Couw-su
pada suatu hari bersua dengan pendeta itu yang tengah
dikeroyok oleh berapa orang. Couw-su lantas turun tangan
memberi pertolongan kepadanya. Dia sendiri karena
menderita luka-luka parah dan ketahui bahwa dirinya tidak
akan hidup terlebih lama pula, maka dengan perasaan
terharu lalu membalas budi Couw-su, dengan jalan
menghadiahkan buku pusaka itu. Sekianlah apa yang
pernah kudengar dari keterangan Couw-su."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula: "Isi kitab ini
sesungguhnya memuat pelajaran yang hebat sekali. Heng-
hoo-sam-hut hanya sempat mempelajari separuhnya, hingga
mereka telah berhasil dapat mempelajari ilmu meringankan
tubuh yang amat sempurna. Tapi mengenai pelajaran
aslinya, mereka belum berhasil dapat mempelajarinya. Isi
kitab yang separuhnya lagi memuat pelajaran yang
terahasia dan tersulit, maka untuk mempelajari isi kitab
yang paling belakang ini, dibutuhkan latihan tenaga-dalam
yang telah mencapai kesempurnaan. Dan andaikata tempo
hari muridnya itu tidak mencuri kitab ini, Heng-hoo-sam-
hut belum tentu dapat mempelajarinya juga."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong dengan suara
yang hampir berbareng lalu mengajukan pertanyaan: "Kau
orang tua barusan waktu mengejar kita, bukankah telah
menggunakan jurus paling akhir dari isi kitab tersebut?"
Peng Hoan Siangjin tidak menjawab, hanya secara
sekonyong-konyong saja dia berkata: "Bocah, tempo hari
Heng-hoo-sam-hut telah berjanji denganmu. Sekalipun hati
mereka sangat dendam, mereka tidak mempunyai muka
pula untuk memasuki daerah Tiong-goan, hanya muridnya
saja yang bernama Kinlungo, yang telah dikalahkan dalam
pertempuran diruangan Bu-wie-thia yang pasti takkan
merasa puas dan akan datang kembali menuntut balas
terhadapmu."
Sesudah berkata demikian, tiba-tiba saja Peng Hoan
Siangjin tidak melanjutkan pula perkataannya. Sepasang
matanya tampak dikejapkan, dan sejurus kemudian barulah
dia berkata: "Bocah, coba kau perlihatkan kembali pelajaran
pendeta wanita bangkotan itu kepadaku sekali lagi."
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong lalu menjalankan
keempat-puluh-sembilan
jurus dari pelajaran yang dimaksudkan itu. Dan setelah selesai, tampak Peng Hoan
Siangjin tertawa dan berkata: "Pelajaran 'Kit-mo-pouw-hoat'
ini sekalipun kau tidak menjalankannya dengan betul,
akupun dapat mengetahui dimana letak kefaedahannya,
yaitu waktu menghadapi musuh, tipu ini benar-benar amat
lihay dan jitu sekali. Oleh karena itu, agak mengherankan
bahwa .." Leng Hong lalu menyelak: "Yang aneh itu dimana?"
Peng Hoan Siangjin lalu menjawab: "Ilmu meringankan
tuhuh cara Thian-tiok ini, dalam kecepatannya didunia ini
benar-benar sukar dicari bandingannya, hingga sekalipun
Kit Me Pouw Hoat masih tidak dapat menandinginya. Tapi
untunglah, bahwa Heng-hoo-sam-hut belum mempelajari
sampai sempurna, sehingga diwaktu berhadapan dengan
musuh, mereka belum dapat mengadakan perubahan
sekonyong-konyong yang cukup bervariasi. Demikian juga
halnya dengan tenaga dalam dari Heng-hoo-sam-hut itu.
Entahlah apakah sebabnya setelah mempelajari ilmu
kecepatan, mereka seolah-olah tidak memperhatikan lagi
perubahan-peruhahan yang bermacam ragam."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hongpun merasa aneh
pula, kemudian Peng Hoan Siangjin melanjutkan
penuturannya: "Andaikata penglihatanku tidak salah, ilmu
meringankan dari Thiantiok ini masih mempunyai
kegunaan yang lain pula, kelak andaikata kalian berjumpa
pula dengan Heng-hoo-sam-hut, pastilah kalian dapat
membuktikan, bahwa apa kataku ini tidak bohong adanya ..
Baiklah, karena buku ini adalah milik kalian, maka akan
kuajarkan isi kitab ini kepada kalian pula."
Setelah orang tua itu menjelaskan sampai habis segala
rahasia yang terdapat dalam kitab tersehut, Lie Siauw
Hiong lalu menolehkan kepalanya melihat matahari yang
sudah doyong ke Barat, make buru-buru mereka berbangkit
sambil meminta diri dari orang tua itu, hingga Peng Hoan
Siangjin yang melihat kedua pemuda itu tampaknya sangat
gugup, diapun insyaf, bahwa mereka pasti mempunyai
urusan sangat penting yang hendak diselesaikan secepat
mungkin. Oleh karena itu, sambil tersenyum dia berkata:
"Mau pergi ya boleh pergi saja, aku situa bangkapun tidak
dapat menahan kalian lama-lama."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong setelah memberi
hormat sebagaimana layaknya, lalu membalikkan badan
mereka dan berlari dengan secepat-cepatnya. Sementara
Peng Hoan Siangjin yang melihat mereka hanya tertawa
terkekeh-kekeh saja.
Diatas perahu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong
merencanakan terlebih dahulu akan naik kegunung Kong
Tong untuk merampas pulang pedang Bwee Hoa Kiam dari
tangan Li Gok, dan bersamaan dengan itu, mereka pun
hendak sekalian menantang kelima ahli partai-partai
tersebut, untuk memperhitungkan hutang lama mereka.
Sudah itu mereka boleh sekalian menyerep-nyerepi kabar
tentang Ah Lan dan Thio Ceng.
Setelah lewat sepuluh hari, dikalangan Kang-ouw tersiar
berita bahwa 'Bwee-hiang-sin-kiam' Lie Siauw Hiong dan
anaknya 'Tan-kiam-toan-hun' Gouw Ciauw In telah naik
keatas gunung Kong Tong untuk menentang Li Gok, tapi Li
Gok dengan tidak tahu malu telah menyembunyikan diri
tidak berani keluar menemui kedua pemuda gagah itu,
hingga dengan demikian, orang-orang diluaran menganggap, bahwa Li Gok yang mendapat gelar sebagai
ahli pedang sejagat, kini sudah tidak layak lagi dia akan
mempertahankan gelarnya terlebih lama pula.
Hal yang sesungguhnya ialah setelah berakhirnya
pertemuan dipuncak gunung Thay-san tempo hari, Li Gok
sudah menyembunyikan diri dan tidak berani menampakkan dirinya kembali dalam Rimba Persilatan.
Hal inipun diketahui oleh Hui Taysu, yang agaknya
mengetahui juga sebab-musabab mengapa ahli pedang
sejagat itu menyembunyikan dirinya.
(Oo-dwkz-oO) Musim dingin telah tiba, sedang angin utara yang tajam
menusuk tulang dan sumsum mulai berhembus ..
Partai Kong Tong yang memperoleh gelar nomor satu
sejagat dalam ilmu pedang yang terletak didaerah Sian-ciu,
seluruh puncak gunungnya ditutupi oleh lapisan es yang
berwarna putih, sehingga pemandangan tersebut sangat
memilukan sekali karena sepinya.
Mungkin juga karena letaknya agak tinggi, maka hawa
udara disitu terasa lebih dingin. Kemarin malam diatas
puncak gunung itu turun hujan salju besar sekali, sedangkan
kabut memenuhi udara, sampaikan keesokan harinya kabut
itu masih belum buyar seluruhnya. Tapi hari ini hujan salju
sudah mulai berhenti turun.
Kelenteng Ceng-goan-koan .. tempat asal-mulanya partai
ahli pedang sejagat berkembang, pada saat itu salju sudah
tertimbun tinggi sekali memenuhi tanah disekitarnya kuil
tersehut. Pagi-pagi buta, tampak sepasang anak muda yang
bermuka putih menyapu halaman dan tangga pintu kuil itu.
Hujan salju yang besar baru saja berhenti diatas puncak
gunung, salju itu tebal hingga mencapai satu meter. Kedua
anak muda itu memakai baju biru dan dengan penuh
semangat mereka menyapu salju, dan dengan melihat cara
mereka mengangkat tangan dan kaki, teranglah bahwa
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka menggunakan tenaga yang cukup besar. Hal mana,
terbukti dengan beterbangannya salju-salju kemuka, karena
mereka ini terhitung sebagai murid-murid yang cukup
berbakat pula dari partai Kong Tong itu.
Keadaan disitu sangat sunyi. Tiap-tiap malam hujan
salju senantiasa turun, langit dingin dan bumi membeku,
hingga setiap makhluk berjiwa tidak berani keluar dari
tempat persembunyiannya. Seluruh pegunungan Kong
Tong sunyi senyap tidak terdengar barang sedikit suarapun,
selain suara sapu kedua anak muda yang sedang menyapu
lantai itu. Mereka berdua bekerja dengan rajinnya, hingga tidak
antara lama mereka telah menyapu satu jalan yang panjang
dan cukup luas. Melihat usia mereka, yang besaran
kelihatan berumur kurang lebih tiga atau empatbelas tahun,
sedangkan yang kecilan paling banyak baru berkisar
sepuluh tahun kurang lebih. Kedua hocah ini sifatnya
kekanak-kanakannya masih belum lenyap, dan setelah
menyapu kembali sebentar, mereka serentak menghentikan
sapu mereka, kemudian yang kecilan terdengar berkata:
"Ceng Hong-ko, aku tidak mau menyapu lagi ah .."
Orang yang disebut Ceng Hong-ko dengan sembarangan
lalu menjawab: "Melihat cuaca, tidak sampai tengah hari
pasti akan turun hujan salju pula, hingga capai lelah kita
akan sia-sia belaka .." Sambil berkata begitu, ia lalu
menunjuk kelangit yang tampaknya mendung.
Bocah yang kecilan itu lalu berkata: "Bila demikian
halnya, buat apa kita nyapu lagi?"
Ceng Hong lalu menjawab: "Memang akupun berpendapat demikian juga. Marilah, Beng Goat-tee, sudah
lama kita tidak melatih ilmu silat kita. Pada beberapa hari
yang lalu aku dengar Cu-kat Siok-siok telah memberi
petunjuk-petunjuk
tentang ilmu pukulan
Tui-in-kun kepadamu .."
Orang yang disebut Cu-kat Siok-siok itu meski tidak
dijelaskan lagi, sudah tentu bukan lain daripada murid
kepala ahli pedang nomor satu dikalangan persilatan Li
Gok, yaitu Cu-kat Beng.
Beng Goat tidak tunggu sampai Ceng Hong habis
berkata-kata, dia segera menyelak dan mendahului
memotong perkataan kawannya: "Benar, benar, Tui-in-kun
.. ih .." Perkataannya itu belum lagi habis diucapkan, ketika
butiran airmatanya sudah menetes jatuh, itulah sebabnya
mengapa dia tadi menyebut 'ih'.
Ceng Hong merasa heran dan lalu dengan suara yang
nyaring dia bertanya: "Kenapa?"
Beng Goat lalu menunjuk kearah kuil mereka sambil
berkata: "Koko (kakak), coba kau lihat, siapakah gerangan
yang telah mengirimkan surat undangan dengan jalan
menempelkan itu pada tiang penglari diatas kuil kita itu?"
Ceng Hong segera memandang kearah yang ditunjuk
oleh Beng Goat, dan benar saja diatas tiang penglari kuil itu
terpancang sehelai surat undangan. Karena kedua orang ini
tidak tahu apa yang harus diperbuat mereka, maka dengan
cepat mereka lari masuk kedalam untuk mengabarkan
peristiwa itu kepada ketua mereka.
Sebelum lari masuk, Ceng Hong terlebih dahulu
mendekati kebawah tiang penglari, dimana dengan cermat
dia perhatikan surat undangan itu, yang ternyata dibungkus
dengan sehelai kertas merah yang tampak menyolok sekali
diantara warna salju yang putih itu.
Tampaknya surat undangan itu telah ditempelkan orang
pada kemarin malam. Disekitar kuil Ceng Goan Kwan ini
sebenarnya penuh dikelilingi oleh para murid partai Kong
Tong yang tinggi-tinggi ilmu kepandaiannya, tapi tak
seorangpun yang dapat memergoki ada orang yang naik
keatas gunung mereka dan menempelkan sekali surat
undangan itu, hingga dengan ini, sudah jelaslah betapa
lihainya ilmu kepandaian pengirim surat undangan itu.
Ceng Hong dengan hati-hati lalu menurunkan surat
undangan tersebut, sedang Beng Goat dengan tidak sabaran
lalu berkata dengan suara nyaring: "Koko, permainan
apakah itu?"
Ceng Hong tampak menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil berkata: "Benar saja, inilah sepucuk surat undangan.
Orang lain telah menyampulnya dengan hati-hati, maka
lebih baik kita jangan coba merobeknya dan segera
menyerahkannya kepada Cu-kat Siok-siok untuk diperiksa
apa bunyinya."
Sesudah berkata begitu, lalu dituntunnya tangan Beng
Goat akan diajak masuk kedalam kuil.
Hampir dalam saat itu juga tampak dihadapan mereka
berkelebat satu bayangan orang yang segera membentaknya: "Ceng Hong, Beng Goat, pagi-pagi sekali
kalian telah meribut tidak keruan" Menyapu belum lagi
selesai, tapi mengapa kalian sudah berlaku malas-malasan
dan main-main saja?"
Berbareng dengan habisnya perkataan tersebut, maka
dihadapan mereka tampak seorang pemuda umur
duapuluh-tujuh atau duapuluh-delapan tahun yang berdiri
menghadang dijalan, hingga Ceng Hong dan Beng Goat
yang melihatnya, dengan suara hampir berbareng lalu
berkata: "Ie Siok-siok, lekas lihat .."
Orang she Ie ini ternyata bukan lain daripada Ie It Hui
adanya. Ie It Hui sendiri dengan tertawa-tawa lalu berkata:
"Lihat apa sih?"
Sambil berkata begitu, tangannya terus saja disodorkan
untuk menyambuti surat yang diberikan oleh Ceng Hong
itu, yang kemudian dengan laku yang hati-hati sekali lalu
dirobeknya sampulnya dan bertanya dengan muka berubah:
"Ceng Hong, dari manakah kau dapatkan surat ini?"
Ceng Hong belum lagi menjawab, ketika Beng Goat
sudah mendahuluinya berkata: "Surat undangan ini telah
didapatkan dari tiang penglari diatas pintu kuil kita."
Ie It Hui hanya mengeluarkan suara jengekan dari
lubang hidung saja, kemudian dia berkata: "Kalian boleh
pergi menyapu kembali."
Sehabis berkata demikian, lalu dia tinggalkan kedua
bocah tersebut dengan langkah tergopoh-gopoh, dengan
cepat dia masuk kedalam sebuah kamar dan berseru: "Toa-
suheng, toa-suheng .."
Dengan gencarnya dia mengetuk-ngetuk pintu kamar
suhengnya, sehingga perbuatannya ini telah mengejutkan
rekan-rekannya, karena selain pada saat itu mukanya
tampak sangat gugup, diapun tidak menghiraukan
pertanyaan rekan-rekannya. Dan begitu pintu kamar
dibukakan oleh Cu-kat Beng, buru-buru dia masuk
kedalam, sambil dengan cepat mengangsurkan surat
undangan tersebut pada suhengnya: "Lie Siauw Hiong telah
mengirimkan kita surat undangan ini. Dia akhirnya dapat
menemui tempat kediaman kita!" katanya.
Cu-kat Beng segera menyambuti surat undangan itu yang
ternyata berbunyi:
"Bu-lim angkatan terakhir Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng
Hong dengan jalan ini minta bertemu dengan Li Gok. Mengenai
peristiwa berdarah yang telah dialami oleh Tan-kiam-toan-hun
Gouw Ciauw In diair terjun dan pengeroyokan yang terjadi atas
diri Chit-biauw-sin-kun di Ngo-hoa-san, kini kita berpendapat
sudah tiba saatnya untuk diselesaikan. Hutang jiwa serta sakit
hati ini akan kita tagih sebagai pihak yang berhak untuk
melakukan tuntutan tersebut. Oleh karena itu, kami menantikan
kedatangan bapak dipuncak gunung Ngo-hoa-san tepat pada hari
kelimabelas penanggalan Imlek. Maka sebagai seorang tokoh yang
terkemuka dalam kalangan persilatan, bapak pasti akan datang
untuk menunggu kedatangan kami disana pada waktu, tempat
dan hari yang telah kami sebutkan itu."
Tertanda: Lie Siauw Hiong dan Gouw Lang Hong."
Cu-kat Beng setelah membaca habis bunyi surat
undangan itu, lalu berkata pada Ie It Hui: "Gouw Leng
Hong ini pastilah anak Gouw Ciauw In itu, yang bersama
guru kita memang mempunyai perhitungan hutang jiwa,
maka urusan ini tak dapat tidak mesti selekas mungkin
dikabarkan kepada guru kita!"
Ie It Hui lalu berkata: "Suhu baru saja setengah bulan
yang lampau menutup pintu, mana boleh kita sembarangan
mengganggunya?"
Cu-kat Beng termenung sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya sambil berkata: "Tidak, urusan
ini terlampau penting sekali sifatnya."
Ternyata Li Gok setelah menghadiri pertemuan
dipuncak gunung Thay-san dan kena dikalahkan oleh
musuhnya, hatinya menjadi putus asa dan semangatnya
runtuh, hingga diapun insyaflah bahwa dirinya telah
mengikat banyak sekali musuh yang tangguh, yang pasti
kelak akan datang untuk menuntut balas. Lebih jauh,
sehagai salah seorang Ciang-bun-jin (ahli waris suatu
partai), tentu saja namanya sangat terkenal. Maka kalau ada
lawan yang datang menantangnya, sudah tentu dia tak
dapat menutup pintu untuk tidak melayaninya. Oleh karena
mempunyai perhitungan tersebut, maka dia telah bertekad
bulat dengan menutup pintu untuk berlatih pula dengan
tekunnya, bersiap-siap untuk menghadapi lawan yang akan
mencari serta hendak menuntut balas kepadanya.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 43 Li Gok yang cukup cerdik, mula-mula ketika mendengar
bahwa pada sarung sebuah pedang kuno ada tertera
pelajaran asli ciptaan orang aneh yang disebut pelajaran
'kun-goan-sam-coat', halmana telah terjadi pada limabelas
tahun yang lampau tatkala dia bertempur diatas puncak
gunung Ngo-hoa-san dengan Bwee San Bin, tapi karena
pada saat itu dia merasa terlampau girang, maka dengan
lengahnya dia telah meninggalkan sarung pedang itu,
sehingga akhirnya sarung pedang itu diketemui oleh salah
seorang murid partai pengemis. Halmana, sudah barang
tentu dia merasa tidak rela melihat barang itu terjatuh
kedalam tangan lain orang. Begitulah seterusnya, baik
secara terang-terangan maupun secara dibelakang layar, dia
berusaha untuk mendapatkan kembali sarung pedang itu
dari partai pengemis, dengan dia sendiri sebagai ahliwaris
sebuah partai besar, tidak dapat turun tangan sendiri untuk
mengambilnya. Oleh karena itu, dia hanya dapat mengirimkan murid-
muridnya saja, tapi siapa duga bahwa mereka itu bukanlah
tandingan kedua saudara she Kim, maka dia bersekutu
dengan kawan lamanya yaitu Kouw-loo-it-kway Ang Ceng,
yang dengan amat cerdiknya telah dipancingnya keluar dari
tempat persembunyiannya untuk mewakilkan dirinya
mengambil sarung pedang tersebut. Halmana, ternyata
semuanya telah dapat diaturnya dengan beres, karena
diapun berpendapat, bahwa dengan kepandaian yang
dimiliki Ang Ceng, yang tempo hari bertempur sehingga
ratusan jurus dengan Bwee San Bin, barulah akhirnya dia
kena dikalahkan. Maka setelah sekali ini dia melatih dirinya
lebih lanjut, ia merasa pasti tak akan sampai terkalahkan
pula. Akan tetapi sungguh tidak dinyana, bahwa sekali ini
Ang Ceng telah bertemu dengan ahliwaris Bwee San Bin,
yaitu Lie Siauw Hiong, dan tatkala mereka telah bertempur
dengan serunya, akhirnya lagi-lagi Ang Ceng telah
menderita kekalahan yang getir sekali dirasakannya.
Sementara Li Gok yang melihat tipunya tidak berjalan
seperti apa yang dikehendakinya, tidak terasa lagi jadi
merasa sangat terkejut, dan setelah mengetahui bahwa
dirinya sendiripun bukan lawan setimpal dari Lie Siauw
Hiong, maka ia telah mencuri pedang Bwee Hiang Sin
Kiam, yang lalu dibawanya balik kembali ke Kong Tong.
Dia mengira bahwa perbuatannya ini tidak meninggalkan jejak sesuatu, tapi dia lupa dia telah
meninggalkan bekas pada pedangnya sendiri yaitu pedang
Ie-hong-kiam diatas dinding tembok, sehingga ini dapat
diketahui oleh Lie Siauw Hiong, yang pada belakang ini
dari tempat yang ribuan lie jauhnya terus saja mengejar-
ngejar kepadanya.
Sesampainya diatas gunung Kong Tong San, dia ketahui
bahwa ilmu 'Kun-goan-sam-coat' itu tak mungkin pula
dapat diperolehnya, tapi sungguh tidak disangka-sangka,
bahwa dia telah berhasil dapat menemukan pelajaran asli
yang disebut Siang-ceng-kie-kang.
Pelajaran ini adalah ciptaan selama dua ratus tahun
terakhir dari partainya, pada waktu itu adalah murid
keturunan ketujuh yang bergelar It Ceng Too-jin, dan dialah
yang telah menciptakan pelajaran tersebut, yang kemudian
diperkembangkannya sehingga partainya menjadi naik
kembali pamornya dan pada suatu saat mencapai jaman
keemasan yang gilang-gemilang. Halmana, telah membuat
para tetangganya merasa iri hati. Begitulah akhirnya datang
tujuh pendekar aneh yang disebut Tay-liang-chie-kie,
bersama-sama mereka bertujuh It Ceng naik keatas gunung
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kong Tong, dan karena mereka tidak dapat kata sepakat,
akhirnya mereka jadi bertempur dengan It Ceng Tojin
diruangan kuil Ceng-goan-kwan.
It Ceng Tojin dengan diam-diam telah menggunakan
pelajaran ciptaannya ini, dengan mana dia berhasil telah
dapat menjatuhkan ketujuh lawannya itu, sehingga
akhirnya pelajaran yang disebut 'Siang-ceng-kie-kang' ini
menjadi terkenal sekali.
Siapa tahu sekonyong-konyong saja timbal suatu
peristiwa yang amat menggemparkap, yaitu sejak terjadinya
pertempuran dengan Tay-liang-chit-kie, It Ceng dalam
pengembaraannya dalam Rimba Persilatap telah lenyap
entah kemana perginya, hingga ini menyebabkan pelajaran
tersebut menjadi terputus sampai disitu. Tetapi akhirnya
dengan tidak disangka-sangka Li Gok telah berhasil dapat
menemukannya, hingga ini telah membuat hatinya girang
bukan kepalang.
Oleh karena itu segera juga dia menutup pintu untuk
dengan tekunnya mempelajari isi kitab ilmu Siang-ceng-kie-
kang itu, hingga diwaktu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng
Hong berdua naik keatas gunung, mereka tidak berhasil
menjumpainya, sekalipun hanya bayangannya Li Gok saja.
Selama menutup pintu untuk melatih diri, dia telah
mengeluarkan larangan, bahwa siapapun tidak boleh
mengganggunya, dan itulah sebabnya mengapa Ie It Hui
tidak segera menyampaikan surat undangan itu, berhubung
kuatir akan perbuatannya itu mengganggu kepada gurunya.
Tetapi Cu-kat Beng yang menganggap peristiwa ini suatu
kejadian yang penting sekali sifatnya, akhirnya telah
bersedia akan memberitahukan peristiwa ini kepada
gurunya. Diatas puncak gunung itu salju baru saja berhenti turun,
kabut masih sangat tebal, begitupun suasana disitu sangat
tenteram dan damai, sehingga siapapun tidak pernah
menyangka, bahwa bahaya besar tengah mengancam diri
Ciang-bun-jin dari partai Kong Tong itu.
Hampir dalam bulan itu juga, hanya terpisah lima atau
enam hari saja lamapya, Cek Yang Tojin diatas gunung Bu
Tong San juga telah menerima surat undangan pula, hanya
pengirimnya saja yang berbeda.
Dalam surat undangan yang bersampul merah itu, isinya
ditujukan langsung kepada Cek Yang Tojin pribadi, kata-
katanya begitu menusuk, sehingga membuat Cek Yang
yang belum sembuh dari luka-lukanya, hatinya gugup
bukan kepalang. Karena harus diketahui, bahwa Cek Yang
sebagai seorang ahli waris dari partainya, sebenarnya
terhadap orang lain jarang sekali dia berlaku jujur, dan
diwaktu mengetahui bahwa lawannya hendak mencari
kepadanya, hatinya jadi cemas, karena dia sendiri telah
menginsyafi, bahwa dia bukau lawan yang setimpal dari
penantangnya itu. Akan tetapi, karena orang sudah
Pendekar Riang 3 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Suling Emas Dan Naga Siluman 28
disebutkan, bahwa racun 'Pek-giok-toan-tiang' itu asal kena
hawa udara, lantas tidak tampak warna maupun baunya
lagi, hanya daging binatang seperti keong maupun kerang
yang dapat memunahkan racun itu untuk sementara waktu.
Oleh sebab itu, baiklah akan kugunakan itu pada saat ini."
Karena sesungguhnyalah, bahwa isi yang terdapat dalam
pales kecil ini adalah racun yang telah dikeluarkan dengan
susah payah oleh Peng Hoan Siangjin dari tubuh Bu Heng
Seng, hingga tak diragukan pula, bahwa racun itu adalah
'Pek-giok-toan-tiang' yang sangat lihay itu.
Dibawah sinar bulan dan bintang yang berkedip-kedip,
tampak tubuh Lie Siauw Hiong digeser sedikit, sehingga dia
telah berhasil menyembunyikan dirinya dibalik sebuah batu
gunung, pada waktu mana hati pemuda kita selalu
berdebaran dan otaknyapun terbayang-bayang peristiwa-
peristiwa yang lampau itu.
Hay-thian-siang-sat Ciauw Hoa dan Ciauw Loo berjalan
semakin dekat dengan tindakan lemah lunglai, seakan-akan
mereka sangat lelah sekali. Halmana, pun dapat didengar
oleh sipemuda dengan nyata dari suara tindakan kaki
mereka. Kemudian setelah menetapkan tekadnya, sipemuda
dengan cepat membuka tutup peles tersebut dan lalu
dilemparkannya keluar guha, sehingga racun 'Pek-giok-
toan-ciang' itu bercerecetan dan membuat lingkaran yang
cukup luas didepan guha tersebut.
Racun 'Pek-giok-toan-ciang' yang berwarna hijau itu,
ketika jatuh ketanah dan memperlihatkan sinar hijau yang
tampak berkelap-kelip bagus sekali diwaktu siang hari,
dimalam yang gelap petang sudah tentu saja tak dapat
dilihat dengan nyata.
Disamping itu, tangannya Lie Siauw Hiong, tidak tinggal
diam. Lalu dia pungut dua batu sebesar kepalan, dimana
salah satu antaranya dipolesi dengan racun tersebut, dengan
mana ia sudah bersiap-siap untuk menghadapi musuh-
musuhnya itu. Tian-can dan Tian-hui kedua makhluk bercacat itu,
sampaikan mimpipun tidak pernah menyadari bahwa
ditempat yang sedemikian liar dan sepinya itu ada orang
yang mengintai mereka dengan mata berapi-api. Namun
karena orang itu belum pulih kembali jalan pernapasannya,
maka dia tak segera melompat keluar untuk mengadu jiwa
dengan mereka. Kedua orang itu dengan tetap maju
kemuka, sedangkan Lie Siauw Hiong yang bersembunyi
dibalik batu, memperlihatkan ketegangan yang memuncak,
sehingga tanpa disadari lagi, badannya sudah penuh dengan
keringat dingin.
Semakin dekat sepasamg manusia bercacat itu mendekati, semakin menakuti serta menyeramkan pula
muka mereka tampak ditempat gelap itu, sehingga diam-
diam Lie Siauw Hiong berdoa: "Oh, Tuhan, ijinkanlah roh
ayah dan ibu melindungi anakmu untuk membalaskan sakit
hati kalian."
Dibawah siliran angin lalu, Hay-thian-siang-sat bergerak
mendatangi semakin dekat ..
Lie Siauw Hiong tidak berani menyentuh batu yang
sudah terpoles oleh racun yang sangat berbahaya itu, tapi
hanya menyentuh itu dengan ujung sepatunya pada sudut
batu yang tidak terkena racun itu, yang lalu disontekkannya
keatas, sedang dengan batu yang lainnya pula dia sambitkan
untuk menyusul pada batu yang tersebut duluan.
Sekalipun kekuatan Lie Siauw Hiong yang sebenarnya
belum pulih seluruhnya tapi untuk melepaskan senjata
rahasla dia masih sanggup melakukannya dengan jitu
sekali. Maka dengan hanya kedengaran suara "Tak" yang
nyaring sekali, batu pertama yang dipoleskan racun itu kena
disambit oleh batu yang datang belakangan.
Dengan kepandaian serta kemampuan itu, Lie Siauw
Hiong dengan jitu sekali telah berhasil dapat menjatuhkan
batu tersebut, tepat pada jarak yang ditujunya, yaitu kurang
lebih lima dim dibelakang garis yang sudah dilingkungi oleh
racun yang hebat itu.
Hay-tian-siang-sat
yang sudah mencapai tingkat kepandaian yang sangat tinggi itu, tentu sekali tidak
mungkin mereka tidak dapat mendengar suara batu
tersebut, apa lagi mereka berdua sudah bertahun-tahun
lamanya mengembara dikalangan Kang-ouw, sehingga
merekapun mengetahui, bahwa ada orang yang melemparkan batu untuk menanya jalan. Oleh karena itu,
mereka berdua jadi tercengang dan diam-diam berpikir:
"Mungkinkah ditempat yang begini sunyi serta liarnya
masih terdapat seorang yang pandai?"
Dalam keadaan begitu, mereka lalu melirikkan
pandangan mereka kedalam guha, tapi mereka tidak
mendapatkan ada bayangan manusia didalam guha
tersebut. Tapi Lie Siauw Hiong yang berdiri menempel dibalik
batu dalam guha itu, dengan mata yang dipentang lebar-
lebar tengah menyaksikan gerak-gerik kedua orang musuh
besarnya itu. Ciauw Hoa yang tidak menampak bayangan
manusia, tidak terasa lagi jadi agak ragu-ragu karena ia
melihat dalam jarak setengah tombak dimukanya, terdapat
batu dari mana orang bisa bersembunyi dan melemparkan
batu kearah mereka.
Sedang Ciauw Loo yang agaknya tidak dapat menahan
sabar lebih jauh, lalu lirikan matanya kearah batu dimana
Lie Siauw Hiong bersembunyi,
dimana sipemuda mengamat-amati gerak gerik mereka dengan perasaan
tegang dan ngeri.
Mata kedua orang itu bercelingukan dari batu tersebut
kedalam guha, hingga Lie Siauw Hiong hanya berkata
didalam batinya: "Mudah-mudahan kedua manusia laknak
ini tidak sampai mendusin bahwa aku bersembunyi disini."
Tahun yang lampau sembilan jago-jago busuk telah
mengganas didaerah Sin Cin. Mereka telah melakukan
kebiadaban didaerah Kang-pak dan Kang-lam, sehingga
para pendekar dari golongan putih bukan sekali dua kali
ingin membasmi Hay-thian-siang-sat
yang menjadi pemimpin kesembilan jago-jago busuk itu.
Pada hari-hari biasa kemana saja Hay-thian-siang-sat
berjalan, sekalipun sebatang rumput atau sepucuk daun
pohon bergerak ataupun bunyi seekor burung, mereka pasti
akan menyelidikinya dengan cermat dan hati-hati sekali,
sehingga dengan demikian, entah sudah berapa banyak kali
mereka dapat meloloskan diri dari kejaran maupun
meloloskan diri dari bahaya maut.
Sebenarnya jika ada orang yang melemparkan batu
untuk menyelidiki sesuatu hal, itu memang lumrah saja
terjadi dikalangan Kang-ouw, halmana tidak usah mereka
pusingi benar lagi, tapi karena kedua orang ini mempunyai
sifat yang senantiasa was-was, maka tidak mudah mereka
melewatkan hal itu dengan begitu saja, tanpa menyelidiki
terlebih dahulu apa sebab musababnya.
Sedetik demi sedetik Ciauw Hoa sudah mengulurkan
tangannya hampir menyentuh pada batu tersebut, sedang
kakinya telah masuk kedalam lingkaran racun dihadapannya itu.
Sementara Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha
dan dengan penuh perhatian mengintai lawan-lawannya,
kini perasaannya jadi semakin tegang, sehingga tanpa
disadarinya lagi dia telah menggigit kencang bibirnya yang
sebelah bawah. Dalam keadaan demikian, sekonyong-konyong Ciauw
Loo telah menjambret tangan Ciauw Hoa yang sudah
hampir masuk kedalam perangkap Lie Siauw Hiong itu.
Hal mana, telah membuat Lie Siauw Hiong yang
melihatnya jadi terkejut bukan kepalang, dan saking
gugupnya akan siasatnya diketahui orang, tanpa merasa ia
telah mengeluarkan keringat dingin. Dan tatkala ia
mengulurkan tangannya meraba-raba dengan sembarangan
kedadanya, sekonyong-konyong tangannya menyentuh
pada kitab Tok Keng hasil karya Kim It Peng itu, hingga
hatinya jadi tergerak, kemudian dengan tidak memperdulikan apapun yang akan terjadi, lalu dia
melemparkan buku tersebut kearah musuh-musuhnya itu.
Maksud Lie Siauw Hiong dengan berbuat demikian,
hanya ingin memancing pada Hay-thian-siang-sat ini.
Karena dengan melemparkan buku tersebut, dia ingin
memaksa supaya lawannya itu datang untuk mengambil
buku itu, sehingga lawannya kemudian terkena racun yang
disebarkannya tadi. Hal itu memang wajar saja dilakukannya, tapi dia tak mengetahui, bahwa pemimpin
dari sembilan jago Kwan Tiong itu tidak mengerti sama
sekali tentang racun. Maka kalau mereka bertempur, harus
membunuh lawannya dengan senjata tajam, berhubung
mereka tidak mempunyai kepandaian seperti Kim It Peng,
yang dapat membunuh lawannya dengan menggunakan
racun, sehingga pada tuhuh lawannya tidak terdapat tanda-
tanda bekas pembunuhan.
Mereka yang telah sekian lamanya merantau dikalangan
Rimba Persilatan, memang sebenarnya bermaksud untuk
mencari kitab racun tersebut, tapi hingga sekian lamanya
mereka tidak dapat mewujutkan kemauan mereka. Maka
setelah sekarang mereka melihat 'Kitab Racun' yang
menjadi idam-idaman mereka itu terletak dihadapan
mereka, sudah barang tentu mereka jadi sangat gembira.
Tapi mereka yang sudah kenyang makan asam garam
dalam Dunia Persilatan, sudah tentu saja tidak berlaku
semberono dan dengan cepat memencarkan diri mereka
kekiri dan kekanan, dimana mereka bersiap-siap, kalau-
kalau dari dalam lubang guha tersehut ada senjata rahasia
yang menyambar mereka.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 41 Sambil mengeluarkan suara dingin yang terdengarnya
sangat mengerikan dan lebih seram tampaknya dari pada
suara tangisan setan-setan, Ciauw Hoa kedengaran berkata:
"Yang berada didalam guha itu, apakah seorang lawan atau
kawan" Kalau engkau seorang kawan, aku persilahkan
engkau menyebut 'Hap' (akur)! Kalau lawan, silahkan
keluar menampakkan cecongormu! Apakah kami berdua
saudara tidak cukup berharga untuk menjumpaimu?"
Tapi Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha,
sedikitpun tidak mengubris perkataan mereka. Ia hanya
menyesalkan dirinya sendiri yang telah berlaku ceroboh,
sehingga jika siasatnya itu tidak 'termakan' oleh lawan-
lawannya, bukankah buku racun yang hebat itu akan
terjatuh kedalam tangan musuh"
Ketika Ciauw Hoa mengulangi pula teriakannya dan
tidak juga mendengar ada orang yang menjawabnya, sambil
mengeluarkan suara dari liang hidung ia berkata: "Jika
belum melihat peti mati, memang sukarlah akan orang bisa
menangis. Kawan, baiklah kami menantangmu untuk
keluar!" Dimulut meraka berkata demikian, tapi dalam hati
mereka berpikir lain. Sambil memberi isyarat dengan
tangan pada Ciauw Loo, mereka berjalan menghampiri
kemulut guha untuk menyelidiki lebih jauh.
Ciauw Loo dan Ciauw Hoa ternyata sependapat, maka
dengan tidak mengeluarkan suara apa-apa, mereka
menghampiri mulut guha, dimana mereka melihat sebuah
buku yang terletak ditanah, yang pada kulitnya tertera dua
hurnf 'Tok Keng' (kitab racun) itu.
Ciaw Loo adalah seorang yang tidak lengkap anggota
badannya, sedangkan tabiatnyapun berlainan dengan orang
biasa. Maka sekalipun kecerdikannya melebihi orang biasa,
tapi kini dia tengah dipengaruhi oleh buku yang sudah lama
menjadi idam-idamannya itu, sehingga mara bahaya telah
dilalaikannya. Oleh sebab itu, dengan tidak berjaga-jaga lagi
dia sudah mengulurkan tangannya untuk memungut kitab
tersebut. Tapi hal itu berlainan sekali dengan pendapat Ciauw
Hoa, yang dengan suara nyaring lalu berteriak: "Jangan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semberono!"
Tapi dia lupa bahwa adiknya adalah seorang yang tuli.
Dengan sekali lompat dia sudah berada disisi adiknya.
Dan ketika melihat buku racun tersebut terhampar
dihadapannya, diapun merasa girang juga, maka iapun
tidak lagi menghalangi adiknya akan memungutnya.
Tapi karena hati mereka penuh kecurigaan terhadap lain
orang, maka terlebih dahulu mereka telah melepaskan
pukulan kearah dalam guha tersebut, pada sebelum
memungut kitab racun itu.
Dengan memperdengarkan suara "plak", keempat kaki
mereka telah menginjak tanah yang dilingkungi cairan
beracun tadi, dan setelah mereka merasakan sepatu mereka
pecah dan ada barang cair yang melekat pada kaki mereka,
barulah mereka insyaf bahaya apa yang tengah mengancam
mereka. Dan baru pada saat itu mereka ketahui, bahwa diri
mereka telah tertipu oleh lawan mereka. Rasa kesemutan
maupun gatal-gatal yang mereka rasakan seketika itu,
menandakan bahwa racun yang mengancam mereka
sifatnya tidak enteng, tapi karena mereka belum mampu
untuk mengenyahkan racun tersebut dari tubuh mereka,
terpaksa mereka bersemedhi untuk mengatur jalan
pernapasan mereka.
Sampai disini, baiklah pengarang menceritakan apa
sebabnya Hay-thian-siang-sat datang ketempat yang sepi ini.
Pada tahun yang lampau setelah mengalami pertempuran yang dahsyat dengan pemuda kita sehingga
mereka putus asa, maka akhirnya mereka lalu mencari
pulau ini untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, agar
supaya kemudian dapat dipakai pula untuk menghadapi
sipemuda musuh besar mereka itu, sekalipun telah berapa
kali mereka mengalami kekalahan. Tapi setelah hidup
dlpulau itu agak lama juga, sifat kejantanan mereka telah
timbul pula, oleh sebab itu mereka lalu menetap dipulau itu
untuk memperdalam kepandaian mereka.
Tempo hari setelah mereka bertempur mati-matian
dengan Lie Siauw Hiong sehingga nama sembilan jago dari
Kwan Tiong runtuh habis-habisan, sekalipun mereka
menganggap telah dapat melenyapkan sipemnda, tapi untuk
berkeliaran pula dikalangan Kang-ouw mereka sudah
merasa kehilangan muka.
Belakangan setelah mendengar bahwa Lie Siauw Hiong
digunung Kwie San dalam ruangan Bu Wie Thia telah
dapat mengalahkan musuh asing sehingga namanya
menjadi tenar luar biasa, mereka baru mengetahui, bahwa
mereka yang telah mengeluarkan tenaga yang begitu besar,
akhirnya toh tidak berhasil dapat membinasakan Lie Siauw
Hiong, malahan orang itu sekarang telah menjadi semakin
terkenal karena kepandaiannya yang telah maju sedemikian
pesatnya itu. Kabar ini sesungguhnya merupakan suatu pukulan yang
maha dahsyat bagi Hay-thian-siang-sat, sehingga mereka
benar-benar merasa amat putus asa. Karena sekarang
mereka menginsyafi, bahwa jika Lie Siauw Hiong datang
mencari mereka untuk menuntut sakit hati orang tuanya,
maka mereka bukanlah merupakan lawan yang setimpal
lagi bagi sipemuda itu.
Tapi pengharapan untuk hidup terus masih menyala
dalam dada mereka. Maka setelah membubarkan perkumpulan sembilan jago Tiong Kwan itu, mereka lalu
mengasingkan diri kepulau yang sunyi itu, dimana, mereka
bermimpipun tidak, bahwa musuh besar mereka justeru
berada juga ditempat yang sepi ini. Hal mana bukankah ini
semua seperti juga telah sengaja dipertemukan satu sama
lain atas kemauan Thian Yang Maha Kuasa"
Pada saat itu sudah jam tiga pagi, langit diufuk Timur
tampak gelap gulita, sekalipun diangkasa masih terdapat
banyak bintang-bintang yang berkedap-kedip.
Satu jam dengan cepat sudah lewat. Dadanya Lie Siauw
Hiong sudah wajar kembali jalan pernapasannya, dengan
mana berarti bahwa luka yang diderita didalam tubuhnya
telah semhuh seluruhnya, maka dengan perlahan dia
salurkan sekali lagi pernapasannya untuk yang penghabisan
kalinya, dan setelah ia yakin benar bahwa tubuhnya sudah
sehat kembali seperti sediakala, lalu ia berjalan keluar dari
dalam guha tersebut sambil melirikkan matanya memandang pada Hay-thian-siang-sat, yang ternyata masih
tetap duduk bersamedhi sambil mengatur jalan pernapasan
mereka. Lie Siauw Hiong cukup maklum, bahwa dengan
kemampuan mereka itu, paling banyak mereka hanya dapat
menahan untuk sementara saja menjalarnya racun itu
didalam tubuh mereka, tapi untuk dapat mengusir keluar
racun dari dalam tubuh mereka, adalah usaha yang sia-sia
belaka, karena sesungguhnyalah, bahwa racun yang tengah
mengancam mereka itu adalah racun luar biasa yang tidak
ada keduanya dalam dunia ini.
Lie Siauw Hiong dengan tindakan yang tenang sekali
berjalan menghampiri kehadapan Hay-thian-siang-sat,
kemudian dia membungkukkan badannya memungut
kembali kitab racun itu, sedang didalam hatinya ia berkata:
"Tok-Keng, lagi-lagi Tok Kenglah yang telah menolongku
pula." Lie Liauw Hiong lalu menyimpan kembali kitab racun
itu kedalam saku didadanya, kemudian sepasang tangannya
diangkatnya keatas, tapi pada waktu hendak ditimpakan
keatas kepala musuh-musuhnya itu dia tampak menjadi
ragu-ragu. Sekonyong-konyong satu pikiran melintas dikepalanya.
"Dengan berbuat demikian dan tanpa mengeluarkan
terlampau banyak tenaga, sudah barang tentu aku akan
berhasil membunuh mereka, tapi tindakan ini adalah
terlampau tidak patut dan pengecut. Aku Lie Liauw Hiong
dimanalah mungkin mau menggunakan cara begini" Untuk
mencegah meluasnya lebih lanjut dari racun 'Toan-tiang'
ini, hanyalah daging kerang saja yang dapat menahannya,
aku mengapa tidak menggunakan daging kerang saja untuk
melenyapkan sifat keganasan dari racun tersebut, hingga
setelah mereka pulih kembali tenaga mereka, maka aku
dapat melabrak mereka dengan sepuas-puas hatiku."
Begitulah setelah mengambil keputusan yang tetap ini,
lalu dia tarik kembali tangan yang hendak dijatuhkan keatas
kepala musuh-musuhnya itu, kemudian dengan berapa kali
lompatan saja dia sudah berhasil mencapai pantai, dimana
ia telah menangkap berapa puluh kerang dan kepiting, yang
dengan sabar lalu dicukil dagingnya, sudah itu ia
menyodorkan daging itu kehadapan Hay-thian-siang-sat
sambil berkata: "Hei, segeralah kau makan daging ini untuk
menghentikan menjalarnya racun didalam tubuhmu!"
Hay-thian-siang-sat sekalipun telah terkena racun,
pikiran mereka masih tetap jernih dan dapat berpikir
dengan terang, tapi mereka sama sekali tidak pernah
menyangka, bahwa orang yang keluar dari dalam guha
tersebut adalah orang yang sangat ditakuti mereka, yaitu
Lie Sie Hiong. Maka pada waktu mereka melihat sipemuda
hendak menurunkan pukulannya, mereka hanya dapat
menyerahkan nasib mereka ditangan Thian Yang Maha
Kuasa saja, tapi akhirnya sipemuda tidak jadi menurunkan
tangannya. Hal ini menerbitkan dugaan mereka kepada
pemuda itu hendak menghinakan mereka, berhubung
mereka biasanya gemar sekali menghina orang. Oleh sebab
itu, mereka yang menduga keliru atas diri sipemuda, tidak
terasa lagi hati mereka menjadi panas, dan sewaktu melihat
sipemuda mengangsurkan tangannya memberi daging
kepiting dan kerang untuk mereka makan, mereka tidak
mengetahui apa maksud sebenarnya dari sipemuda itu.
Sementara Lie Lie Hiong yang melihat mereka berlaku
ragu-ragu dan tak mau makan barang pemberiannya, sambil
tertawa dingin ia berkata: "Lie Liauw Hiong adalah orang
macam apa" masakah aku hendak meracuni kalian"
Maksudku ini adalah justeru hendak melenyapkan sifat
keganasan dari racun yang bersarang didalam tubuhmu
itu!" Setelah berkata begitu, lalu dia taruh daging itu diatas
batu, sedang dia sendiri berdiri disampingnya.
Hay-thian-siang-sat yang melihat sikap Lie Liauw Hiong
yang begitu sungguh-sungguh, merekapun tidak ragu-ragu
lagi, maka dengan lahapnya mereka lalu makan daging
kepiting dan kerang laut itu.
Kemudian dengan tertawa dingin Lie Siauw Hiong
berkata pula: "Aku akan menantikan kalian disini. Setelah
kalian sembuh dari keracunan, aku akan segera mengadakan perhitungan lama dengan kalian."
Kali ini Hay-thian-siang-sat telah menginsyafi, bahwa
mereka tidak mungkin lagi akan dapat menghindarkan diri
lagi dari Lie Lie Hiong, oleh karena itu, tidak ada lain jalan
lagi bagi mereka, kecuali mengadu jiwa dengan pemuda
kita. Maka tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu makan
daging pemberian sipemuda, sambil kemudian menyalurkan kekuatan mereka keseluruh badan mereka.
Daging kepiting dan kerang itu ternyata benar dapat
melenyapkan menjalarnya racun hebat tadi, karena tidak
sampai setengah jam lamanya, Ciauw Hoa sudah berhasil
dapat mencegah sifat keganasan dari racun yang mengamuk
dalam tubuhnya, dan diwaktu dia menyapukan matanya
memandang pada Lie Siauw Hiong, dia lihat pemuda itu
duduk dihadapan mereka dalam jarak dua tombak lebih
jauhnya, dan sekalipun Lie Siauw Hiong duduk dengan
tenangnya, tapi matanya yang tajam selalu mengawasi
mereka bagaikan seekor kucing tengah menjaga dua ekor
tikus dengan sekaligus. Ciauw Hoa yang melihat begitu,
saking marahnya lalu berteriak: "Orang she Lie, jika engkau
ingin bertempur, silahkan boleh maju kemari!"
Dengan nada suara yang mengejek, pemuda itu lalu
menjawab: "Mengapa mesti berlaku tergesa-gesa tak
keruan" Bukankah si binatang adikmu itu masih juga belum
sembuh?" Mendengar jawaban itu, Ciauw Hoa menjadi semakin
geram dan lalu berteriak dengan suara nyaring: "Bagus!
Bagus! .."
Tapi Lie Siauw Hiong tidak menghiraukannya, hanya
sambil berdiri dengan menghunus pedangnya ia berkata:
"Aku mencarimu kemana-mana tapi tidak dapat bertemu
juga, tapi hari ini tanpa disengaja dari tempat yang jauh
kalian telah mengantarkan diri kepadaku, maka setelah
nanti kalian mampus, kalianpun tidak usah terlampau
merasa kecewa atau putus asa .."
Begitu dia membuka mulut, dia sudah mengatakan
bahwa Hay-thian-siang-sat harus dan pasti akan mampus,
halmana telah membangkitkan amarah sepasang manusia
bercacad itu. Maka sambil tertawa dingin Cie Hoa lalu
melirikan matanya pada adiknya sambil berkata: "Siapa
yang kalah belum lagi dapat dipastikan!"
Tapi Lie Siauw Hiong hanya memanggut-manggutkan
kepalanya saja, karena tampaknya ia segan bercakap-cakap
tanpa ada junterungannya.
Setelah lewat lagi sepemakan nasi, Ciauw Loo sudah
pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua saudara lalu
sama-sama berdiri dalam jarak yang terpisah setengah
tombak jauhnya dari padanya, sedang Lie Lie Hiong
dengan menghunus pedangnya berdiri dengan angkarnya,
siap sedia untuk menyambut serangan kedua lawannya.
Hari berubah semakin gelap, sedang bintang dilangit
tampak berkedip-kedip bagaikan orang bermain mata.
Sambil menghunus pedangnya, diam-diam Lie Siauw
Hiong meminta doa kepada orang tuanya yang telah
marhum itu: "Ayah, ibu, hari ini anak akan menuntut balas
sakit hatimu .."
Setelah selesai memohon doa, lalu ia menggerakkan
pedangnya sambil berseru: "Orang yang hendak mengantarkan jiwa, lekas kemari!"
Hay-thian-siang-sat tidak menyalahkan kesombongan
dari Lie Siauw Hiong, karena mereka telah menginsyafi
bahwa pertempuran pada malam ini, mereka akan lebih
banyak mengalami bencana dari pada kemenangan, tapi
merekapun tidak sudi menyerah mentah-mentah dengan
begitu saja. Begitu kakinya digeser maju, dengan ganasnya Lie Siauw
Hiong sudah menubruk kepada lawannya. Pada waktu
bertempur digunung Kwie-san, ketika Hay-thian-siang-sat
mengerubuti kepadanya, dia telah dihajar sehingga jatuh
kebawah jurang.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belakangan dihutan belukar lagi-lagi dia dikeroyok oleh
lawannya yang berjumlah jauh lebih banyak dari pada
semula, sehingga karena menderita luka-luka parah, hampir
saja jiwanya tewas. Oleh sebab itu, sekali ini ia bertemu
pula dengan lawan-lawan lamanya itu diapun tidak mau
berlaku sungkan-sungkan lagi. Begitu turun tangan dia
sudah menggunakan siasat serangan yang dapat membinasakan. Karena bila dia belum berhasil mengambil
jiwa Hay-thian-siang-sat, ia tidak akan merasa puas hidup
didalam dunia ini.
Sementara Hay-thian-siang-sat yang tidak menunggu
pula sampai pedang pemuda itu datang mendekati, mereka
sudah melancarkan pula serangan mereka dengan tak
banyak bicara pula.
Begitu Lie Siauw Hiong yang menampak aksi lawan-
lawannya ini, mengeluarkan suara jengekan saja, kemudian
pedangnya ditekan lurus kebawah kurang lebih dua dim
untuk terjun kedalam air, sehingga pedangnya menerbitkan
suara yang nyaring ketika menusuk pihak lawannya.
Bersamaan dengan itu, tangan kirinya tidak tinggal diam
dan lalu dikerahkan untuk memukul bagian bawah tubuh
salah seorang lawannya yang terdekat.
Tenaga dalam maupun kepandaian Lie Siauw Hiong
sudah maju dengan sedemikian pesatnya sehingga
penyerangannya yang hehat telah menyebabkan lawan-
lawannya jadi sangat terperanjat, maka dengan serta merta
mereka cepat berlompat mundur untuk mengelakkan diri
dari pada penyerangan si pemuda yang gagah perkasa itu.
Tapi Lie Siauw iHong setelah menampak serangannya
tidak menemukan sasarannya, lagi-lagi ia menggunakan
jurus Ca-keng-bwee-bian (bunga bwee terkejut) untuk
menyontek tubuh lawannya dari samping.
Thian-can Ciauw Hoa lekas-lekas menundukkan kepalanya, tangan kanan dan kirinya dipakai untuk
mengacip serangan lawannya dengan mana ia telah
mencoba untuk membarengi menotok jalan darah 'Koan-
goan-hiat' dikaki pemuda kita.
Bersamaan dengan itu, Thian-hui Ciauw Loopun segera
membarengi menyerang pundak kiri si pemuda.
Sedang Lie Liauw Hiong yang menampak serangannya
dapat dikelitkan pula, diapun tidak memaksakan untuk
menyerang dengan terlebih hebat lagi, hanya dia mundur
satu langkah, pada waktu mana pedangnya telah ditariknya
mundur dengan menggunakan jurus Liong-kak-lip-kek
(tanduk naga berdiri tegak untuk menanduk) dengan mana
ia balik menyerang pada Ciauw Hoa.
Begitulah mereka bertiga bertarung dengan amat
sengitnya, hingga tanpa terasa pula pertempuran itu telah
berlangsung sampai melampaui ratusan jurus lamanya.
Lie Siauw Hiong semakin bertempur semakin gagah dan
lincah gerak-gerakannya,
sedang pedangnya telah dimainkannya dengan kecepatan yang luar biasa serta
mantap sekali, hingga disekelilingnya hanya tampak
segulung sinar putih yang mengurung dan melindungi
dirinya dari pada serangan lawan-lawannya, dengan mana
semakin lama Hay-thian-siang-sat semakin terkurung dalam
sinar pedang sipemuda itu.
Dimalam yang gelap itu, hanya terlihat segaris sinar
putih bagaikan naga maupun burung hong yang menari,
sebentar menyelusup sebentar naik, pada waktu mana
dengan hebatnya pemuda kita telah merangsak lawan-
lawannya, hingga sedikitpun dia tidak memberi hati kepada
mereka. Oleh sebab itu, sekali ini Hay-thian-siang-sat benar-
benar merasakan betapa hebatnya serangan musuhnya itu,
dan jika pertempuran semacam ini berlangsung berlarut-
larut, pasti diri mereka akan mengalami kebinasaan yang
mengerikan, maka semakin bertempur Hay-thian-siang-sat
jadi semakin terdesak dibawah angin.
Kemudian terdengar Ciauw Hoa berteriak dengan suara
nyaring dan menyerang kepada pemuda kita dengan amat
hebatnya. Dalam penyerangan yang dilancarkannya sekali ini,
Ciauw Hoa telah menggunakan tenaga yang sepenuh-
penuhnya, hal mana terbukti dari angin yang menderu-deru
keluar dari pukulannya itu.
Tian-hui Ciauw Loo sudah seperasaan dengan saudaranya Ciauw Hoa menyerang dengan pedangnya,
sedangkan dia sendiri dengan menggunakan jurus 'Siang-
hui-cinga' (pukulan dengan sepasang kepalan sekaligus),
mencoba menyerang kempungan pemuda kita dengan jalan
miring. Pedang Lie Siauw Hiong bagaikan bianglala saja,
sebentar menyerang sebentar pula ditarik pulang, tapi
pukulan Ciauw Loo ternyata masih dapat menerobos
kedalam kempungan sinar pedang pemuda kita maka
sambil tertawa ia berkata: "Bagaimana?"
Lie Siauw Hiong balas tertawa dan hanya menjawab:
"Boleh coba sekali lagi .."
Pedangnya yang panjang kemudian digentak dengan
jurus 'Leng-bwee-hut-bian' (bunga bwee menyapu muka),
dengan mana ia menyerang kembali lawannya, yang
memang telah bertekad bulat untuk membinasakan lawan-
lawannya, hingga tak mau memberi hati dilingkari oleh
racun itu, sehingga agaknya dia sudah ditakdirkan untuk
binasa berhubung dia sudah terlampau banyak memakan
korban sesama manusia, maka tanpa disadarinya lagi
sebelah kakinya telah menginjak racun pula, hingga
sebegitu lekas kakinya menginjak racun teresbut, badannya
segera tampak menjadi sempoyongan, karena sifat
keganasan racun itu telah mulai menjalar pula. Sementara
Lie Siauw Hiong sendiri sambil mendongak kelangit lalu
berseru dengan rupa terharu: "Ibu dan ayah, lihatlah .."
Dengan menggerakkan tangannya dengan sekuat-kuat
tenaganya, Siauw Hiong telah menyambitkan pedangnya
kearah musuh besarnya, hingga dilain saat pedang itu telah
memanggang tubuh Ciauw Hoa dan membuat kepala
kesembilan jago Kwan Tiong itu melayang jiwanya disaat
itu juga. Sambil mencabut pedangnya dari tubuh mayat musuh
besarnya itu, dengan suara yang perlahan sekali Lie Liauw
Hiong lalu berkata: "Ayah, ibu, anak telah membalaskan
sakit hati kalian .."
Dan berbareng dengan itu, air matanyapun tidak dapat
ditahan lagi, mengucur turun dengan berderai-derai.
Kemudian ia meninggalkan pantai, dimana terbaring tubuh
'Hay-thian-siang-sat' yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Kini mereka telah menjadi mayat-mayat yang
terkapar diatas pulau yang sunyi itu, seolah-olah
menyerahkan diri untuk menjadi mangsa burung-burung
buas yang biasa keliaran disitu.
Diatas lautan bebas, Lie Siauw Hiong dengan hanya
seorang diri saja telah melakukan pelayaran pada petang
hari itu juga. Ia kayuh perahu layarnya dengan pesat sekali
menuju ketengah lautan, dengan diterangi oleh sinar
bintang-bintang yang berkelik-kelik diangkasa raya.
Hari sudah menjelang pagi, sedang sinar lembayung
yang kemerah-merahan dari munculnya sang surya, mulai
terlihat dengan tegas diufuk Timur ..
(Oo-dwkz-oO) Kota Leng-po diwaktu fajar.
Sinar matahari yang keemas-emasan menyinari teluk,
ombak yang beriak-riak membentuk satu gelombang kecil
yang indah sekali, dengan ujungnya yang menjilat-jilat
laksana terjulurnya lidah ular belaka.
Angin pagi yang meniup sepoi-sepoi basah sungguh
nikmat sekali dirasakannya. Pada saat itu diteluk sudah
agak ramai dengan pemilik perahu-perahu yang terdengar
berteriak-teriak tidak putus-putusnya.
Sejak dahulu pelabuhan yang terletak ditenggara ini
memang sangat ramai, tapi belakangan setelah terbangunnya kota 'Coan-ciu, maka keramaian kota
pelabuhan Leng-po ini menjadi mundur. Pada waktu Marco
Polo menjabat pangkat di Tiongkok, setelah dia kembali
kenegerinya di Italia dia telah mengarang sebuah buku yang
berjudul 'Peninjauan Ke-Timur', dimana dia telah menyinggung tentang keramaian pelabuhan kota Leng-po,
sebagai pelabuhan nomor satu yang terbesar didunia,
sekalipun apa yang dikatakannya itu agak berlebih-lebihan.
Tapi pada waktu itu kota pelabuhan Leng-po memang
merupakan pelabuhan yang sangat ramai dan didiami oleh
banyak sekali pengunjung-pengunjungnya.
Justeru pada saat orang-orang sedang ramainya berlayar
dipelabuhan tersebut, tampak mendatangi sebuah perahu
kecil yang aneh memasuki kota pelabuhan, dan begitu
perahu itu merapat dipantai, tampak seorang pemuda satu-
satunya yang melompat keluar, karena selanjutnya perabu
itu tampak kosong melompong.
Pemuda tersebut memakai pakaian dari kain kasar dan
sama sekali tidak membawa bnntelan, ia berjalan dengan
cepat menuju kejalan gunung dibalik pelabuhan itu.
Setelah melampaui lereng gunung, maka tibalah ia
dikawah gunung dimana tampak hutan-hutan kayu yang
lebat-lebat tumbuhnya.
Selama berjalan, Siauw Hiong sebentar-sebentar
mengangkat kepalanya memandang langit, seakan-akan dia
ingin mengetahui jam berapakah pada saat itu, sedang
matahari yang menyinarinya, membuat mukanya yang
pucat agak bersinar kemerah-merahan.
Sambil memandang langit yang berwarna putih dan
tampak seperti tidak bertepi layaknya, dengan menarik
napas lalu berkata pada dirinya sendiri: "Lie Siauw Hiong,
dalam dunia yang begini luasnya, kemanakah kau hendak
mencarinya?"
Tapi sejurus kemudian, mukanya
mengunjukkan kesungguhan yang nyata sekali, maka diam-diam dia
berkata pula: "Ceng Jie telah atau empat kali mengorbankan
dirinya untuk menolongku, apakah aku Lie Siauw Hiong
takut untuk mencarinya" Sekalipun aku harus melintasi
laut, aku harus mencarinya juga sehingga dapat."
Tetapi tatkala berjalan belum berapa jauh, dia sudah
menghentikan pula langkahnya, berhubung dari kejauhan
terdengar suara teriakan yang aneh sekali kedengarannya.
Suara teriakan itu agak kurang jelas karena bercampuran
dengan desiran angin gunung yang seakan-akan meliputi
suara itu sehingga sukar terdengar jelas, syukur juga
kepandaian Siauw Hiong sudah mencapai taraf yang sangat
tinggi, sehingga ia dapat menangkap suara itu dengan
hanya sekali dengar saja.
Setelah menetapkan dari arah mana datangnya suara
tersebut, lalu dia putarkan badannya dan dengan beberapa
kali lompat saja, tubuhnya sudah melesat jauh sekali.
Kemudian dari kejauhan ia menampak seorang pemuda
yang sedang berlatih silat dibawah sebatang pohon besar.
Adapun suara yang terdengar olehnya seperti teriakan tadi,
itulah ternyata suara teriakan yang dikeluarkan oleh orang
muda itu, yang gerak gerik tangan maupun kakinya sangat
sempurna dan lincah. Dan diwaktu pemuda itu membalikkan tubuhnya kearah Lie Siauw Hiong, maka
terlihatlah wajahnya yang tampan, yang segera dapat
dikenali dan ternyata bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya. Lie Siauw Hiong yang berada disebelah atas, lalu coba
menahan sabar agar tidak sampai berteriak, sedang diam-
diam didalam hatinya ia berpikir: "Twako setelah memakan
buah mustajab itu, tenaga dalamnya telah bertambah maju
demikian pesatnya, hingga selama berapa bulan tidak
berjumpa, kemajuannya boleh dikatakan tidak sedikit,
karena dengan kepandaian yang diperlihatkannya ini, jika
bukannya aku sendiri, didaerah Tiong-goan agaknya sukar
untuk dicari keduanya lagi."
Pada saat itu Gouw Leng Hong yang tambah lama
tambah kuat dan hebat latihannya, sekonyong-konyong
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan satu pukulan yang telah membuat udara guram
karena mengepulnya pasir dan debu. Dan ketika kakinya
ditarik, lagi-lagi dia melancarkan satu pukulan pula,
sehingga pukulannya ini memperdengarkan suara yang
nyaring sekali. Hal mana terang menunjukkan pukulan
kelas satu. Ketika pukulan ini baru saja habis dilancarkannya, kembali sambil membalikkan tubuhnya,
dia telah melepaskan pukulan yang ketiga, dengan suara
pukulannya itu bertambah dahsyat dan keras sekali,
sehingga sebatang pohon yang ukuran bundarnya sebesar
mangkok dan dalam jarak berapa tombak jauhnya dari
sipemuda, roboh karena terlanggar oleh angin pukulannya
itu. Setelah menghentikan pukulannya, ia berkata pada
dirinya sendiri: "Dalam berapa bulan ini, jurus 'Kay-sam-
sam-sek' ini sudah maju pesat sekali, hanya jurus kedua dan
ketiga yang masing-masing bernama 'Gie-kong-ie-san' dan
'Liok-teng-kay-san' yang masih belum sempurna. Tenaga-
dalam yang kukeluarkan ini tidak berjalan lancar dan tidak
cukup kuat. Ada kemungkinan bahwa tenaga yang telah
kukeluarkan kali ini tidak terpusatkan dengan benar .. hm
bila aku tidak tekun dan belajar dengan giat, sudah pasti
kepandaianku akan terpaut jauh dengan kepandaian Hiong-
tee, jika nanti kita bertemu pula .."
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar suara
tertawa orang yang disusul dengan kata-kata yang nyaring
sekali: "Hm, akupun harus banyak berlatih pula, bila tidak,
pasti kepandaian akan terpaut jauh sekali dengan Twako .."
Leng Hong yang segera kenali suara itu, dengan girang
lalu berseru: "Hiong-tee!"
Begitu suara itu habis diucapkan, segera juga tampak
melayang turun sebuah tubuh yang enteng sekali.
Dan diwaktu Leng Hong melihat sipemuda yang baru
datang itu menunjukkan senyumannya, ia sudah lantas
ingin mengajukan pertanyaan, tetapi dengan secara
sekonyong-konyong Siauw Hiong berseru: "Sambutlah
seranganku ini!"
Pemuda kita telah melancarkan satu kali pukulan dengan
mengeluarkan tenaga yang hebat sekali, sehingga bajunya
Gouw Leng Hong berkibar-kibar karena desiran angin
pukulan tersebut.
Leng Hong terkejut bukan kepalang. Sebenarnya asal
saja dia mundur setengah langkah dengan tangan kirinya
separuh dibengkokkan untuk mencantol tangan lawannya,
ia pasti akan dapat membebaskan dirinya dari pada
penyerangan pemuda lawannya itu.
Siapa tahu cantolannya ini jatuh ditempat kosong,
sedangkan tangan kanan Lie Siauw Hiong tetap menjurus
akan mengancam lima jalan darahnya.
Leng Hong tidak sempat berpikir-pikir pula. Maka
sambil badannya dimiringkan kekiri, tangan kanannya dari
arah yang sebaliknya melancarkan satu pukulan balasan
dengan tipu pukulan itu tepat sekali, yakni pukulan yang
bernama 'Sek-po-tian-keng' (batu pecah mengejutkan langit)
dari ilmu pukulan 'Po-giok-ciang' atau pukulan untuk
menghancurkan batu giok.
Lie Siauw Hiong berseru: "Bagus!" Tangan kirinya
diputar, lima jarinya diulur dan dengan menggunakan satu
jurus dari ilmu pukulan 'Kong-kong-Ciang-hoat' (pukulan
ditengah udara) jurus yang bernama 'Ban-coan-hui-kong'
(laksaan sumber air menerjang keudara).
Dengan jurus ini ia memaksa Gouw Leng Hong untuk
menggunakan jurus pertama yang bernama 'Kay-san-too-liu'
(membuka gunung mengalirkan sumber air).
Leng Hong lalu berseru: "Hiong-tee, kau mengapa .."
Sekalipun dia berseru, tapi tangannya tidak tinggal
berdiam saja. Badannya lalu diputar, kemudian tanpa terasa
pula, benar saja ia telah melancarkan pukulan dengan
jurusnya yang pertama itu. Sedang didalam hati ia berpikir:
"Benar, tentulah Hiong-tee tadi telah mencuri lihat
latihanku dari atas sana, dan begitu ia mendengar
perkataanku, iapun jadi merasa tersinggung dan ingin
mencoba bertanding denganku, hingga sudah tentu saja aku
ini bukan tandingannya. Tapi mengapakah dia datang
membikin ribut tidak keruan" Biarlah dia memenangkan
aku dalam latihan ini."
Begitulah dalam waktu pendek ia telah menarik
pukulannya sendiri, untuk menyambut pukulan pemuda she
Lie itu. Siapa tahu Lie Siauw Hiong dengan secara tak terduga
telah berada dibelakangnya. Sepasang tangannya tampak
dilancarkan untuk memukulnya, hingga dalan kedudukan
seaneh itu ia terpaksa melancarkan jurusnya yang kedua,
yakni 'Gie-kong-ie-san'.
Lie Liauw Hiong segera membentangkan jurus kesebelas
dari lima pukulan "Kong-kong-kun-hoat" yang bernama
'Kong-sit-liang-bu' (dengan tangan kosong melenyapkan
serangan lawan).
Adapun kedudukan yang diambil oleh Lie Siauw Hiong
justeru menyebabkan lawannya mau tak mau harus
menggunakan jurus ketiga, yaitu Gie-kong-ie-san berubah
menjadi Liok-teng-kay-san. Gouw Leng Hong merasakan
tenaga pukulan yang dilancarkannya kurang tepat dan kuat,
hingga Lie Liauw Hiong yang menampak hal itu, tidak mau
menyambutinya, hanya berdaya untuk menyingkir kesamping. Sewaktu Leng Hong sedang gelagapan, Lie Siauw Hiong
lagi-lagi melancarkan serangan dengan tipu-tipu yang sama
seperti tadi dengan secara bergiliran, hingga ini memaksa
lawannya akan balas menyerang dengan jurus kesatu, kedua
dan ketiga. Leng Hong yang memang berotak terang dan cerdik,
melihat Lie Lie Hiong tidak henti-hentinya memancing
dirinya dengan serangan-serangan tiga jurus itu, hatinya
segera tersadar, bahwa saudara mudanya ini hendak
menyempurnakan pukulannya yang tidak tepat itu. Oleh
karena itu, diapun lalu menaruh perhatian dengan terlebih
seksama. Tidak antara lama, benar saja Lie Sie Hiong telah
memancing dengan serangannya yang kedua, yaitu dengan
jurus 'Gie-kong-ie-san'. Kemudian disusul dengan serangan
kedua yang memancing Leng Hong menggunakan jurus
'Liok-teng-kay-san'. Pada saat itu tubuh Lie Liauw Hiong
tengah berada diatas udara.
Sebenarnya jurus 'Liok-teng-kay-san'
ini harus dikeluarkan dengan lurus dari depan dada, tapi pada saat
itu tak dapat ia berbuat tanpa memutarkan badannya, maka
dengan jalan memiringkan tubuh ia telah melancarkan
serangannya, tapi siapa tahu begitu satu suara yang nyaring
terdengar, tenaga yang keluar dari pukulannya telah
menyebabkan sebatang pohon besar yang terpisah satu
tombak lebih telah kena dirobohkannya!
Oleh karena itu, sekarang barulah Leng Hong
menginsyafi bahwa pukulan yang dilancarkannya tadi itu
adalah cara yang keliru sekali. Maka dengan termangu-
mangu dari jurus kedua ia telah ubah kejurus ketiga, dan
kali ini benar saja ia merasakan pukulannya mengandung
tenaga sepenuhnya yang keras dan hehat sekali, hingga
saking girangnya, tidak terasa lagi ia jadi berteriak: "Oh,
Hiong-tee, aku sesungguhnya harus berterima kasih sekali
kepadamu. Tapi cara bagaimana kau dapat melihat
kekuranganku" .."
Sambil tertawa Lie Siauw Hiong menjawab: "Aku pada
beberapa waktu ini baru saja berhasil mempelajari ilmu
'Kong-kong-ciang-hoat' dari Peng Hoan Siangjin, maka aku
dapat memecahkan rahasia tersebut. Barusan aku melihat
jurusmu yang berjumlah tiga itu sekalipun sangat hebat, tapi
tenaga yang disalurkanmu itu tidaklah pada tempatnya
yang benar. Maka diwaktu pukulanmu beradu dengan
pukulanku, barulah dapat kau lihat kekurangamnu itu,
bukan?" Leng Hong menjawab: "Hiong-tee, nasibmu sungguh
mujur sekali, sampaikan tiga Dewa Diluar Dunia sudi
menurunkan kepandaian asli mereka kepadamu, maka
tidak heran jika engkau memperoleh kemajuanmu yang
begitu pesat .." Kemudian ia teringat akan sesuatu dan
segera mengalihkan pembicaraannya dengan berkata: "Oh,
hampir saja aku lupa memberitahukan kepadamu. Ada satu
nona she Thio tengah mencarimu, aku beritahukan
kepadanya, bahwa kau paling banyak juga setengah tahun
berdiam dipulau Tay-ciap-too, maka begitu ia mendengar
keteranganku, buru-buru ia menyusulmu kesana .."
Lie Siauw Hiong yang mendengar kabar tersebut, sambil
meloncat tinggi dia berseru: "Twako, lekas! Lekas pergi!"
Sehabis berkata begitu, dia segera membalikkan
tubuhnya dan berlari pergi, sehingga Leng Hong sambil
memanggilnya, lalu turut juga menyusul belakangan.
Begitulah kedua pemuda itu lantas berlari-lari dengan
pesatnya, hingga tidak antara lama mereka telah sampai
pula dipantai, dimana tampak orang banyak tengah
mengerumuni perahu Siauw Hiong yang ditambat disitu
dan tiada kedapatan siapa pemiliknya.
Lie Siauw Hiong sambil memegang tangannya Gouw
Leng Hong segera meloncat melampaui kepala orang
banyak, dan begitu tubuh mereka jatuh diatas perahu, lekas-
lekas mereka melayarkan kembali perahu itu ketengah-
tengah lautan. Orang banyak yang berdiri menyaksikan tingkah laku
mereka dari daratan, keruan saja jadi amat tercengang,
halmana terbukti dari mulut mereka yang ternganga
menyaksikan kedua pemuda itu yang berangkat pergi
dengan tergesa-gesa.
Begitu perahu itu berada ditengah lautan, Lie Siauw
Hiong lalu menceritakan perhubungannya dengan Thio
Ceng, sambil tidak lupa ia menceritakan juga tentang
pertempurannya dengan jago-jago silat bangsa asing yang
tinggi ilmu kepandaiannya, begitu pula tentang Bu Heng
Seng yang terkena racun, dan paling akhir tentang sakit
hatinya yang telah terbalas himpas dengan terbunuhnya
Hay-thian-siang-sat dengan tangannya sendiri, hingga Leng
Hong yang mendengarnya, buru-buru menyampaikan
ucapan selamat kepadanya.
Tapi waktu Leng Hong memikirkan tentang dirinya
sendiri yang belum lagi dapat menuntut balas atas sakit hati
orang tuanya, disamping masih ada persoalan dengan Ah
Lan yang belum pula berhasil diketemukannya, hatinya
menjadi kesal sekali, sehingga tanpa terasa pula dia jadi
menghela napas.
Lie Sie Hiong yang berotak sangat cerdik dan dapat
menangkap maksud hati saudaranya ini, dengan suara yang
perlahan ia berkata: "Twako!"
Leng Hong hanya menjawab: "Hm?"
Lie Siauw Hiong lalu melanjutkan bicaranya: "Kita
kembali akan memasuki Tiong-goan untuk mencari Cek
Yang, Li Gok, Kouw Am dan kawan-kawannya untuk
membalaskan sakit hati Pek-hu dan Bwee siok-siok."
Sementara Leng Hong yang mengetahui bahwa pemuda
itu tengah menghiburinya, hatinya menjadi terharu, dan
begitu ia mendengar perkataan kawannya ini, ia lalu
memegang pundak Siauw Hiong sambil berkata: "Hiong-
tee, kau sungguh baik sekali .."
Sedangkan perasaan Lie Siauw Hiongpun pada saat itu
telah tergerak pula, maka sambil memegang tangan Leng
Hong dan dengan suara yang tetap iapun berkata: "Twako,
tungguhlah, setelah sakit hati kita telah terbalas, kita dua
saudara sekali lagi akan mengembara dalam Rimba
Persilatan untuk melakukan suatu pekerjaan yang
menggemparkan dunia!"
Leng Hong yang menyaksikan Siauw Hiong berbicara
dengan secara bersemangat, hatinya yang tengah dirundung
malang jadi merasa agak legaan, tapi entah karena apa,
dengan sekonyong-konyong bayangan Ah Lan telah
melintas dikepalanya, sehingga hatinya menjadi terkejut,
sedang suatu macam perasaan yang tidak enak berkecamuk
didalam dadanya.
Dalam pada itu, Lie Siauw Hiong pun telah mengalihkan
perahunya menuju kepulau Tay-ciap-too, dengan sinar
matahari diwaktu tengahari sangat menyilaukan pandangan
mata. Sesampainya dipulau tersebut, Lie Siauw Hiong bersama
Gouw Leng Hong lalu melompat kedarat.
Sekonyong-konyong Siauw Hiong mengeluarkan suara
"Ih" yang menandakan keheranannya, dan tatkala Leng
Hongpun memandang pada kejurusan pandangan kawannya, ternyata disana tampak seseorang yang sedang
berjalan dipantai sambil menundukkan kepalanya, dan
diwaktu mereka melihat dengan lebih cermat, dengan heran
mereka berkata: "Sun Ie Tiong!"
Waktu Siauw Hiong memandangnya dengan penuh
perhatian, diapun segera mengenali, bahwa orang itu
memang benarlah Bu-lim-cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Kedua pemuda itu sambil melangkah maju lalu berseru:
"Sun Heng, mengapa kau tampak berduka?"
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sun Ie Tiong waktu melihat mereka, dia hanya
mengganda tersenyum, kemudian menundukkan pula
kepalanya dan berjalan terus, sedangkan senyumannya
tadipun adalah senyuman paksaan belaka.
Dengan perasaan terheran-heran Siauw Hiong memandang pada Gouw Leng Hong, dan waktu dia
melihat kembali kearah Sun Ie Tiong, ternyata alis pemuda
itu dikerutkan demikian rupa, mukanya menunjukkan
kesuraman yang mendalam sekali, seakan-akan ada sesuatu
yang telah membuat hatinya amat tidak senang.
Lie Siauw Hiong menanti sehingga dia datang dekat,
barulah bertanya: "Sun Heng, Peng Hoan Siangjin apakah
ada diatas pulau ini?"
Sun Ie Tiong lalu manggutkan kepalanya, suatu tanda
bahwa orang yang sedang dicari itu memang berada diatas
pulau itu. Sudah itu sekonyong-konyong dia tertawa getir,
kemudian dengan tindakan yang cepat sekali ia berjalan
pergi menyusur pantai, naik keatas sebuah perahu kecil dan
berlayar tanpa berkata-kata pula.
Ketika mereka berjalan lagi berapa puluh tombak
jauhnya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan
manusia, yang dengan tubuh yang ringan sekali telah turun
ketanah dan berdiri dihadapan mereka, hingga kepandaian
yang sehebat itu sukar dicari keduanya dalam dunia ini.
Kedua pemuda itu yang memang bermata tajam, segera
mendapat kenyataan, bahwa orang itu bukan lain daripada
pemilik pulau Tay-ciap-too Peng Hoan Siangjin adanya.
Buru-buru Lie Siauw Hiong memberi hormat sambil
berkata: "Siangjin, boan-pwee datang menengokmu."
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa mengakak lalu
berkata: "Bocah, janganlah kau coba menipuku. Aku telah
lihat mukamu yang mengandung maksud lain, hingga
kedatanganmu ini bukanlah semata-mata untuk mencariku,
benarkah begitu" Buat apakah engkau mengatakan hendak
menengoki aku" .. Aiii, masih ada lagi seorang ini, dia ini
siapakah?" Diwaktu memandang dengan sorot amat tajam
kepada Gouw Leng Hong, kemudian ia lalu berkata:
"Siapakah gerangan pemuda yang berwajah sangat tampan
ini" Hm, sekalipun diwaktu mudaku, pasti sekali wajahku
tidak setampan dia ini."
Leg Hong siang-siang telah mengetahui dari penuturan
Lie Siauw Hiong tentang keanehan orang tua ini, maka
dengan segera dia menjawab: "Boan-pwee Gouw Leng
Hong sangat bangga sekali dapat bertemu dengan Cian-
pwee." Peng Hoan Siangjin sangat memuji atas kecakapan
wajah pemuda ini, kemudian barulah ia berkata: "Bocah,
kau mencariku ada urusan apakah?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Anak dara Bu Heng
Seng yang bernama Thio Ceng, apakah pernah datang
kemari?" Dengan perasaan keheran-heranan Peng Hoan Siangjin
lalu menjawab: "Tidak pernah .."
Hati pemuda itu menjadi dingin sekali ketika mendengar
jawaban orang tua ini, tapi dengan berpura-pura gembira ia
masih dapat tertawa dan berkata: "Oh .. oh .." Sedangkan
perkataan selanjutnya, tak kuasa dia melanjutkannya.
Peng Hoan Siangjin lalu berkata sambil menyelidiki:
"Bukankah kau tengah membantui Bu Heng Seng untuk
mencari anak daranya?"
Lie Siauw Hiong yang hatinya sedang risau, tidak
mendengar jelas apa yang dikatakan orang tua itu, hingga ia
hanya manggutkan kepala saja menyatakan kebenarannya.
Peng Hoan Siangjin yang menampak hal itu menjadi
gusar sekali dan lalu berkata dengan separuh berteriak:
"Bukankah Bu Heng Seng telah memaksamu untuk
mencarikan anak daranya itu" Hm, jangan takut
kepadanya, jika dia berani memaksamu lagi, aku situa
bangka pasti tidak dapat menahan sabarku lagi .."
Lie Siauw Hiong dengan segera menjawab: "Bukan,
bukan begitu."
Dengan tersenyum-senyum juga Peng Hoan Siangjin lalu
herkata: "Perduli apakah benar atau tidaknya, lebih baik
kalian turut aku masuk kedalam untuk bercakap-cakap."
Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Bila memang Ceng Jie
tidak pernah datang kesini, maka kamipun tidak mau
mengganggu lebih jauh pada kau orang tua .."
Sambil melototkan matanya lebar-lebar, Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Apa" Kalian sudah hendak pergi
lagi" Hal itu tidak mungkin .."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong yang telah
mengetahui bahwa orang tua ini tengah mengumbar
adatnya, dan mengetahui juga bahwa tabiatnya sangat
berangasan, diam-diam mereka mentertawakan orang tua
itu yang masih bertabiat kekanak-kanakan, maka dengan
tidak sabar Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Tidak pergi,
tidak pergi."
Peng Hoan Siangjin dari marah berubah menjadi
kegirangan dan lalu berkata: "Tidak benar bila kalian ingin
menggunakan kekerasan terhadapku, kalian pasti akan
merasakan kelihayanku!"
Mendengar omongan itu, Gouw Leng Hong tidak dapat
menahan lagi tertawanya.
Peng Hoan Siangjin sekonyong-konyong berkata pula:
"Waktu kalian datang kemari barusan, apakah kalian
pernah melihat Sun Ie Tiong?"
Lie Siauw Hiong mengangguk. Dengan begitu, ia ketahui
pasti bahwa Siangjin mempupnyai sesuatu yang hendak
dipercakapkannya.
Paderi tua itu setelah berdiam sejurus, lalu mengalihkan
pembicaraannya dengan berkata: "Tempo hari dipulau
Siauw Ciap Too kau pernah menyanggupi Bu Heng Sang
untuk mencarikan anak daranya. Dunia ini begini luas,
dimanakah kau hendak mencarinya?"
Lie Siauw Hiong yang mendengarnya jadi merasa geli
sekali. Dia ketahui, bahwa Peng Hoan Siangjin pasti
mempunyai sesuatu yang sukar dijelaskannya, maka diapun
merasa tidak enak akan menanyakan persoalan tersebut
dengan secara langsung kepada orang tua itu.
Setelah berdiam sejurus lamanya, orang tua itu lalu
berkata: "Bocah Sun Ie Tiong ini, apakah kau telah
melihatnya, waktu dia berjalan pergi meninggalkan pulau
ini?" Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong mengiakan
dengan menganggukkan kepala mereka.
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Benar, benar, kalian pasti merasa keheran-heranan, bukan"
Jika kalian ingin mengetahui, sebab musababnya adalah
panjang sekali untuk diceritakan. Sebabnya sangat menarik
sekali, apakah kalian ingin mendengarnya?"
Dalam kegugupannya, ia tak sempat berpikir cara
bagaimana untuk menarik perhatian kedua pemuda itu.
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong tertawa
mengakak, hingga tak terasa lagi Peng Hoan Siangjin jadi
merasa agak likat, hingga dengan nada gusar kedengarannya ia berkata: "Kalian tertawakan apa?"
Leng Hong jadi terkejut dan buru-buru menghentikan
tertawanya dan menjawab: "Tidak tertawa dah!"
Peng Hoan Siaugjin seakan-akan merasa puas dan lalu
berkata: "Nah, bila demikian, marilah dengarkan ceritaku
ini .." Pada tempo hari diwaktu Peng Hoan Siangjin
menyanggupi untuk menurunkan ilmu silatnya kepada
salah seorang murid Siauw Lim, yaitu Sun Ie Tiong, meski
sebenarnya ia berbuat demikian karena sangat terpaksa.
Sudah itu, orang tua itu jadi merasa sangat menyesal. Akan
tetapi, karena sudah telanjur menyanggupi permintaan
orang, maka terpaksa ia harus menunaikan juga
kewajibannya, walaupun ia hanya mengajar silat kepada
Sun Ie Tiong dengan cara mempersukar orang dan selalu
memberikan pelajaran-pelajaran silat dengan sikap yang
marah-marah. Ia pikir, dengan jalan itu, hendak membuat
Sun Ie Tiong timbul rasa mendongkol dan bosan untuk
belajar dibawah pimpinannya. Tidak disangka bahwa Sun
Ie Tiong adalah seorang muda yang rajin belajar dan
mempunyai keuletan, sehingga Peng Hoan Siangjin hampir
putus asa untuk mempersukarnya.
Mula-mula Sun Ie Tiong mengerti akan maksud orang
tua yang hendak mempersukarnya dan membuat dia tak
kerasan berdiam diatas pulau itu. Akan tetapi setelah
berselang pula beberapa lamanya dan Peng Hoan Siangjin
telah sengaja menurunkan pelajaran-pelajaran yang lebih
berat, Sun le Tiong jadi mengeluh dan hampir jatuh pingsan
karena terlampau letih melatih diri.
"Engkau belajar kurang rajin dan perlu berlatih sebanyak-
banyaknya!" gerutu Peng Hoan Siangjin.
Sun Ie Tiong sampai keluar air mata karena usikan itu.
Ia belajar cukup ulet, tapi masih tetap tidak memuaskan
hati orang tua itu. Oleh sebab itu, pada suatu hari ia telah
menyatakan tidak sanggup melanjutkan pelajarannya dan
meminta diri akan meninggalkan pulau Tay-ciap-too pada
hari esok juga, sambil berjanji akan kelak kembali lagi
kesitu. (Oo-dwkz-oO) Jilid 42 Peng Hoan Siangjin yang mendengar sipemuda hendak
pergi, sudah barang tentu dia merasa sangat gembira,
karena dengan begitu, beban sangat berat yang menindih
badannya sudah terbebaskan sama sekali, hingga dia tidak
perduli apakah benar Sun Ie Tiong nanti akan datang pula
atau tidak kepulau itu, maka dengan berulang-ulang ia
berkata: "Baik sekali, hal itu memang baik sekali."
Diwaktu melirikkan matanya, dia melihat muka Sun Ie
Tiong tampak sangat putus asa, hingga tak terasa lagi dalam
lubuk hatinya ia merasa kasihan juga, maka dengan suara
yang lembut ia berkata: "Bocah, kau jangan berkecil hati
atau marah kepadaku. Hampir semua pelajaran yang
terpenting telah kuberikan kepadamu, maka asalkan kau
rajin-rajin belajar, didalam Rimba Persilatan pasti sukar
dicari orang yang dapat menandingimu. Percayalah
kepadaku, nak."
Pada keesokan harinya, benar saja Sun Ie Tiong telah
minta pamit diri kepada Peng Hoan Siangjin dan justeru
berpapasan dengan Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong
ketika dia hendak meninggalkan pulau tersebut.
Lie Siauw Hiong jadi memuji dan berkata: "Kau orang
tua sungguh cerdik sekali. Kau dapat berlaku keras dan
lembek pada tempatnya yang benar!"
Maka sambil tertawa terbahak-bahak Peng Hoan
Siangjin lalu menjawab: "Bocah, aku situa bangka memang
biasanya paling gemar dipuji orang, oleh karena itu, baiklah
kuberikan dikau dua pelajaran baru."
Mendengar kata-kata itu, Lie Siauw Hiong jadi sangat
girang. Tapi ketika baru saja ia hendak membuka mulut
untuk mengucap terima kasih, sekonyong-konyong dia
melihat matahari sudah doyong ke Barat. Dan tatkala
berpikir tentang maksud semula ia datang kesitu, tidak
terasa lagi ia jadi terkejut, dan lalu berniat untuk meminta
diri. Hampir dalam saat itu juga serupa bebauan yang sangat
wangi terhembus oleh siliran angin lalu, hingga Leng Hong
seakan-akan sangat paham akan bebauan wangi itu. Dan
setelah mengendus-endus
berapa kali, ia segera membalikkan badannya dan tanpa berkata-kata pula ia
berlari mengikuti dari mana datangnya wangi-wangian yang
terhembus angin itu.
Dalam hatinya Lie Siauw Hiong berkata: "Aku tahu,
biasanya Gouw Twako sangat teliti dalam tindak
tanduknya terhadap segala sesuatu yang hendak dikerjakannya, hingga belum pernah ia menampak Leng
Hong berlaku begitu tergopoh-gopoh seperti sekarang ini.
Hal mana pasti timbul sesuatu yang agak aneh disaat itu,
oleh karena itu, buru-buru mereka berlari-lari mengejar
sipemuda she Gouw dari belakang.
Peng Hoan Siangjin sambil berlari-lari sambil tertawa
dan dengan suara yang perlahan ia berkata kepada Lie
Siauw Hiong: "Bocah, lekaslah kita menyusulnya. Akan
kita lihat pertunjukan apakah yang hendak diperlihatkannya!"
Lie Siauw Hiong yang melihat muka Peng Hoan Siangjin
yang sangat aneh karena tengah menyembunyikan perasaan
hatinya, pada saat itu karena ingin mengetahui apa yang
hendak dilakukan oleh Gouw Leng Hong, maka diapun
hanya memanggutkan kepalanya saja, tetapi bersama-sama
Peng
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoan Siangjin mereka berlari-lari sambil membentangkan ilmu Keng-sin-kang mereka yang sempurna untuk menyusul Gouw Leng Hong yang berlari
terlebih dahulu.
Tatkala berlari-lari tidak berapa lama, tiba-tiba hawa
wangi itu jadi semakin menusuk hidung, sehingga Peng
Hoan Siangjin lalu berkata: "Disinilah tempatnya." Dan
sambil berkata demikiau, ia memegang tangannya Lie
Siauw Hiong untuk diajak bersembunyi dibalik sebuah batu
besar. Pada jarak empat atau limapuluh tombak jauhnya,
Siauw Hiong melihat Leng Hong seakan-akan sedang
menari-nari dan kakinya berjingkrak-jingkrak bagaikan anak
cilik saja layaknya, tampaknya dia tengah diliputi
kegirangan yang bukan alang kepalang besarnya.
Seketika itu dengan suanga yang perlahan Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Bocah, kau lihatlah biar jelas apakah
itu yang tumbuh disamping batu tersebut?"
Setelah Lie Siauw Hiong mengangkat kepalanya
memandang kesamping batu itu, ternyata disitu ada tumbuh
sebatang pohon kecil yang tampaknya tidak sedikitpun
terdapat keanehan apa-apa, hingga is lalu menyahut:
"Apakah yang kau maksudkan itu bukan pohon kecil
dicelah-celah batu gunung itu?"
Peng Hoan Siangjin manggutkan kepalanya membenarkan. Sekonyong-konyong dia berkata: "Bocah,
kau lihatlah, mulut kawanmu itu tengah berkemak-kemik.
Baiklah kita berjalan menghampirinya, untuk mendengar
perkataan apakah yang diucapkannya?"
Lie Siauw Hiong ketika menolehkan kepalanya
memandang kepada orang tua itu, ternyata muka Peng
Hoan Siangjin tampak seolah-olah ingin sekali mengetahui,
apakah gerangan yang terjadi atas diri Leng Hong. Maka
Siauw Hiong yang melihat hal itu, tidak terasa lagi jadi
tertawa pada dirinya sendiri dan diam-diam berkata: "Peng
Hoan Siangjin ini latihannya sudah ada seratus delapan
puluh tahun lebih, hingga kedudukannya sangat tinggi dan
sukar dicari orang kuat keduanya didalam dunia ini, tapi
adatnya begitu aneh dan lucu, maka tepatlah seperti apa
yang pepatah mengatakan 'Mudah bagi orang mengubah
gunung maupun sungai, tapi amat sulitlah untuk mengubah
watak atau tabiat seseorang'! Tabiat itu paling sukar diubah,
karena seperti aku ini yang mudah terharu, sukar sekali
dapat melenyapkan perasaan tersebut dengan begitu saja.
Oleh karena itu kapankah aku dapat bertabiat sesempurna
Gouw Twako itu?"
Peng Hoan Siangjin yang melihat Siauw Hiong tidak
menjawab, diapun tidak menghiraukannya pula, maka
dengan langkah yang perlahan dia tetap bertindak maju.
Sementara Lie Siauw Hiong setelah berdiam sejurus,
diapun lalu mengikutinya belakangan.
Dari balik batu besar itu Siauw Hiong mengintai Leng
Hong yang menaruh perhatian sangat besar terdapat pohon
kecil itu, sehingga orang yang diintai itu tidak merasa sama
sekali. Lie Siauw Hiong lalu menaruh perhatian lebih besar lagi
untuk meneliti Pohon kecil tersebut ternyata gundul dan
tidak berdaun barang sehelaipun, tapi pada pucuknya
tampak sebuah buah kecil yang berwarna merah bagaikan
darah, hingga diam-diam dia sekarang baru insyaf dan
berpikir: "Buah ini barangkali adalah obat mustajab yang
dijumpai oleh Gouw Twako dipuncak gunung Thay-san,
dan setelah Gouw Twako makan buah mustajab tersebut,
maka ilmu Keng-sin-kang maupun tenaga-dalamnya telah
maju dengan pesat sekali."
Ia melihat tangan kiri Leng Hong dengan tepat
menggoyangkan cabang pohon tersebut, sedangkan tangan
kanannya dengan lincah dan tepat telah memetik buah
tersebut, hingga Siauw Hiong yang melihat gerakan yang
sempurna ini, tidak terasa lagi jadi berteriak sambil memuji:
"Sungguh kepandaian yang hebat sekali!"
Leng Hong yang mendengar suara Lie Siauw Hiong,
ketika baru saja ingin memanggilnya, keburu Peng Hoan
Siangjin menghampirinya dan lalu berkata: "Bagus! Aku
situa bangka dengan susah payah telah menanam pohon
buah ini, akan tetapi setelah menunggu ratusan tahun
lamanya, barulah pohon ini berbuah pada hari ini, maka
tidak kunyana akhirnya kaulah yang dengan lancang tangan
telah memetiknya. Ayolah lekas kembalikan kepadaku,
lekas!" Dalam hati Leng Hong berkata: "Peng Hoan Siangjin
umurnya paling sedikit sudah dua ratus tahun, maka jika
dia mengatanya....", tiba-tiba terdengar suara "Pak" karena
jatuhnya sejilid buku kecil dari dalam sakunya.
Dalam pada itu dengan sekonyong-konyong Leng Hong
lalu menubruk Peng Hoan Siangjin, yang lalu dipeluknya
sambil mengucurkan airmata, kemudian dengan suara
tertahan dalam tenggorokan ia berkata: "Loo .. cian .. pwee
.. engkau sesungguhnya sangat baik dan dermawan .."
Peng Hoan Siangjin lalu mengusap-usap kepala
sipemuda sambil berkata: "Bocah yang baik, janganlah kau
menangis, karena cara itu tidak baik sekali bagi seorang
laki-laki sejati."
Leng Hong dengan menahan air matanya yang
mengucur lain berkata: "Hal ini bukanlah Hong Jie sendiri
yang ingin mendaulat buah mustajab ini, tetapi sesungguhnya adalah untuk seorang kawanku yang
sepasang matanya telah menjadi buta. Hong Jie telah
menyanggupi, meskipun harus mengelilingi dunia, aku
harus mendapatkan buah 'Hiat-ko' ini untuk menyembuhkan kembali matanya yang buta itu. Tempo
hari waktu aku berada dipuncak gunung Thay-san setelah
dengan tidak disengaja aku telah memakan buah mustajab
ini, mula-mula aku tidak pernah memikirkan, bahwa untuk
mencari buah tersebut sulitnya bukan kepalang. Dan tatkala
aku makan habis buah tersebut dan mencarinya pula,
ternyata tidak dapat diperoleh lagi, sehingga aku menjadi
sangat menyesal dan berpendapat, bahwa untuk menjumpai
buah itu kembali sudah tidak ada harapan lagi. Akan tetapi
sungguh tidak disangka-sangka, bahwa dipulau ini aku telah
dapat menjumpainya, malahan pohon ini baru saja
berbuah, hingga kesempatan untuk memperoleh buah
mujijat ini kelak bukan dengan mudah dapat ditemukannya
pula." Peng Hoan Siangjin jadi kelihatan senang sekali
mendengar penuturan yang terus terang itu, hingga begitu
teringat akan sesuatu didalam pikirannya, dengan lantas ia
bertanya: "Kawanmu itu apakah seorang gadis" Kau harus
menceritakan ini dengan sejujurnya."
Leng Hong tidak pernah menyangka, bahwa orang tua
itu akan mengajukan pertanyaan semacam itu, hingga dia
yang biasa tidak suka membohong, terpaksa dengan muka
yang kemerah-merahan karena merasa jengah lalu
menjawab: "Benar!"
Pada saat itu Lie Sie Hiong sebenarnya tengah
membalik-balik buku yang terhampar diatas tanah tadi.
Akan tetapi disaat mendengar bahwa Twakonya mempunyai seorang sahabat wanita, buru-buru dia bangun
berdiri, kemudian dengan mengumpulkan perhatiannya dia
mendengari dengan penuh perhatian atas percakapan kedua
orang itu. Peng Hoan Siangjin lalu bertanya pula: "Dia mengapa
sampai kejadian buta matanya?"
Leng Hong mengetahui bahwa dia tidak dapat
berbohong lagi, lalu dia menceritakan perhubungannya
dengan Ah Lan satu-persatu, dan diwaktu dia menceritakan
bahwa Ah Lan karena marahnya telah meninggalkannya
pergi, maka ia sangat bingung kemana akan mencarinya
dalam dunia yang sangat luas ini, hingga tak tertahan pula
akan ia tidak mengucurkan airmata diwaktu menuturkan
pengalamannya itu.
Peng Hoan Siangjin sendiri yang mendengar kisah
tersebut, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan
lalu berkata: "Bocah, siang-siang sudah aku katakan, bahwa
didunia ini paling sulit adalah berurusan dengan kaum
wanita. Aku situa bangka ini apapun aku tak takuti, tapi
yang paling aku merasa gentar justeru adalah wanita.
Tempo hari jika bukannya Lie Siauw Hiong yang telah
memecahkan barisan 'Kwie-goan-kouw-tin',
aku sesungguhnya harus menyerah dibawah pengaruhnya
sipendeta wanita bangkotan itu. Kalian dua-duanya adalah
bocah-bocah yang sangat menarik dan berotak cerdas,
hingga urusan dibelakang hari yang meruwetkan otak
kalian masih banyak!"
Lie Siauw Hiong setelah mendengar habis kisah
Twakonya hatinya jadi merasa sangat terharu, dan begitu
darah mudanya bergolak-golak, ia telah melupakan
urusannya sendiri yang hendak mencari Thio Ceng, tetapi
sebaliknya ia telah mendesak untuk membantu Twakonya
mencari Ah Lan, dan diwaktu dia mendengar perkataan
yang terakhir dari Peng Hoan Siangjin, maka diapun lalu
berkatalah: "Gouw Twako, marilah kita berangkat saja
untuk mencari Ah Lan."
Gouw Leng Hong merasa sangat berterima kasih atas
kebaikan hati Lie Siauw Hiong, akan tetapi ketika baru saja
dia hendak membuka mulut untuk berpamitan dengan Peng
Hoan Siangjin, dengan secara sekonyong-konyong orang
tua itu telah berkata kepada Lie Siauw Hiong: "Bocah,
ditanganmu buku apakah itu?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Buku ini adalah buku
Gouw Twako yang terjatuh diatas tanah tadi. Isi buku ini
adalah tulisan coret-caret yang sukar dimengerti, agaknya
hanya setan belaka yang akan dapat membacanya."
Gouw Leng Hong segera menyahut perkataan kawannya: "Buku ini adalah pemberian Susiokku Tang-gak-
su-seng In Peng Jiok. Beliauw mengatakan kepadaku,
bahwa buku tersebut telah diperolehnya dari pemberian
seorang pendeta dari Thian-tiok pada sebelum menutup
mata. Dia mengatakan lebih lanjut, bahwa isi buku tersebut
memuat pelajaran-pelajaran ilmu mengentengi tubuh yang
luar biasa hebatnya, hanya amat disayangi bahwa buku itu
ditulis dalam bahasa Sansekerta, hingga siapapun sukar
mengerti."
Peng Hoan Siangjin yang mendengar begitu, sudah
merasa tidak sabaran dan segera berkata: "Lekas berikan itu
kepadaku untuk diperiksa!"
Lie Sie Hiong segera memberikan buku tersebut kepada
orang tua itu. Dan setelah Peng Hoan Siangjin membolak-
balik beberapa puluh lembar, mukanya tampak secara
sekonyong-konyong
berubah dan berbalik menaruh perhatian sepenuhnya atas buku tersebut, kemudian dia
membalikkan badannya dan berlari masuk kedalam
rumahnya. Leng Hong sudah berpikir untuk mengikutinya, tapi
keburu dicegah oleh Lie Siauw Hiong yang berkata:
"Twako, kau masih ingatkah pada tempo hari pertemuan
kita diruangan 'Bu-wie-thia' dimana kita bertempur dengan
Kinlungo?"
Leng Hong berpikir sejenak, kemudian dengan girang
diapun berkata: "Benar, benar, tampaknya Siangjin
mengerti bahasa Sansekerta."
Lie Sie Hiong manggutkan kepalanya dan berkata:
"Benar, aku lihat Peng Hoan Siangjin tampaknya sangat
tertarik oleh buku tersebut, sehingga tampaknya dia
membutuhkan suatu pemusatan pikiran yang tidak boleh
sekali-kali terganggu oleh siapapun. Oleh karena itu
biarkanlah dia seorang diri menyelidiki isi buku tersebut."
Leng Hongpun berkata: "Kalau begitu sungguh suatu
hal yang kebetulan sekali. Maka untuk tidak mengganggu
pada beliau, baiklah jika sekarang kau membawa aku
melihat-lihat pemandangan diatas pulau Tay Ciap Too ini?"
Lie Siauw Hiong menyatakan mupakat dan mereka
berdua lalu bergandengan tangan dan berjalan-jalan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengelilingi pulau tersebut.
Pulau Tay Ciap Too ini timbul belum berapa lama.
Diatas pulau itu tidak tumbuh sehelai rumputpun. Kedua
anak muda ini setelah berjalan dekat dengan pantai, mereka
hanya melihat batu-batu raksasa yang tampak disana sini.
Ada yang tegak lurus, ada yang sambung-menyambung
merupakan gunung batu, ada yang terdiri dari gundukan
pasir kuning, dengan pemandangan disekitarnya pulau itu
tampak sangat angkar sekali.
Leng Hong lalu berkata: "Orang dulu telah mengatakan,
bahwa gunung-gunung hanya tampak dengan hebatnya
disebelah Utara, sedangkan sungai-sungai yang terkenal
hanya terdapat dibagian Selatan. Tetapi tidak disangka
bahwa dipulau yang begini terpencil didaerah Kang Lam,
terdapat satu tempat yang demikian angkarnya, hingga
dengan demikian, kebesaran alam ini ternyata tidak dapat
diukur. Begitu pula tentang keaneh-anehan diseluruh muka
bumi ini, tidak dapat diduga-duga dari dimuka."
Dalam pada itu, tiba-tiha Lie Siauw Hiong teringat akan
Li Gok dan kawan-kawan yang menjadi musuh-musuh
besar Bwee Siok-sioknya dan ayah Gouw Leng Hong,
hingga ia lantas berkata: "Gouw Twako, kita terlebih
dahulu harus membunuh Li Gok untuk membalas sakit hati
kita, kemudian barulah kita mencari Ah Lan dan Thio
Ceng." Leng Hong mengangguk menyatakan mupakat, kemudian Lie Siauw Hiong berkata pula: "Twako, tempo
hari aku telah terpukul sekali oleh Heng-hoo-sam-hut
sehingga menderita luka-luka. Sewaktu aku berhasil
menyembuhkan diriku sendiri dengan tenaga-dalamku,
terus aku memikirkan soal ini. Sekarang barulah jelas
segala-galanya. Seseorang yang hidup didunia ini, jika
mempunyai suatu kepandaian yang hebat, paling banyak
orang hanya takuti kepadamu, akan tetapi untuk dapat
membuat setiap orang menghormatimu serta menjunjnng
tinggi derajatmu, itulah baru terhitung seorang pendekar
sejati. Maka mulai sekarang, aku ingin dengan rajin dapat
menunaikan cita-cita tersebut, hanya tabiatku terlampau
lemah, sehingga dalam hal ini aku perlu meminta banyak
pengunjukanmu yang berharga."
Leng Hong yang mendengar pernyataan sahabatnya
yang sejujurnya itu, dia segera dalam hal pandangan
hidupnya. Karena jika dahulu ia memandang terlampau
tinggi terhadap diri sendiri dan memandang rendah
terhadap orang lain, adalah dia sekarang telah insyaf dari
segala sikap dan pandangan yang keliru itu, maka Leng
Hong dengan girang lalu menjabat tangan Siauw Hiong
erat-erat sambil berkata: "Hiong-tee, aku mengucap selamat
bahwa kau sekarang sudah maju selangkah pula. In ya-ya
pernah mengatakan kepadaku, bahwa untuk berlatih sampai
disuatu tingkat
yang tertinggi, bukan
saja harus mengandalkan kepada bakat serta kecerdasan seseorang,
malahan orang itu harus pula berpandangan luas, penuh
cyta-cita, dan mengenai bakatmu, sudah tak usah
diperkatakan lagi. Sekarang kau sudah dapat membedakan
serta menarik garis yang jelas tentang baik, buruk, benar
dan palsu. Disamping itu, hal yang lebih panting adalah kau
sekarang sudah dapat bertindak dengan tidak mengikuti
hawa napsumu. Maka dengan disertai pula cita-citamu yang
luhur itu, kemajuanmu dibelakang hari sungguh tidak
terbatas, hingga itu benar-benar sangat menggembirakan
hatiku." Lie Siauw Hiong yang mendengar pujian saudaranya ini,
perasaannya sangat berkesan, kemudian ia telah mengalihkan percakapannya kearah pokok soalnya sambil
tertawa dan berkata: "Twako, orang yang dapat membuat
kau seorang yang begitu tampan sampai jatuh hati, pastilah
gadis itu adalah seorang wanita yang terpandai serta
bijaksana!"
Leng Hong menjawab: "Hiong-tee, janganlah kau
menertawakan daku. Gadis yang aku jumpai itu jika
dibandingkan dengan gadismu, terus-terang kukatakan,
bahwa gadisku itu masih
kalah setingkat dalam kecantikannya."
Mendengar perkataan saudaranya ini. Lie Siauw Hiong
diam-diam merasa sangat girang, ketika sekonyong-
konyong Leng Hong mengalihkan percakapannya dengan
nada suara yang bersungguh-sungguh: "Hiong-tee, nona she
Thio itu bukan saja orangnya cantik, tapi hatinyapun baik,
maka kau harus dengan segenap hati mencintainya,
melindunginya pula dengan segenap jiwa ragamu. Hm,
benar, tempo hari waktu kau terlukakan oleh Kwan-tiong-
kiu-ho (sembilan jago dari Kwan Tiong), dalam keadaan
separuh sedar separuh pingsan kau telah mengigau dan
menyebut-nyebut nama nona-nona she Phui dan she Kim
dan mereka itu sebenarnya siapa pula gerangan?"
Dengan bebas dan wajar Lie Siauw Hiong menceritakan
tentang lenyapnya Kim Bwee Leng, begitu juga tentang
jalan percintaan antara Phui Siauw Khun dan Kim Ie. Ia
menceritakan segala sesuatunya tanpa tedeng aling-aling,
kecuali pada tempat dimana dianggapnya tidak terlampau
perlu untuk dijelaskan.
Leng Hong berkata: "Oh kiranya kau terluka demi untuk
membela nona she Phui itu, sehingga kau rela menerima
pukulan Heng-hoo-sam-hut" Dengan mengorbankan diri
sendiri kau telah membelanya mati-matian, maka dengan
itu hitung-hitung kau membalas atas kecintaannya yang
murni terhadapmu. Sekarang dia telah-menikah, hingga itu
boleh dikatakan sangat baik sekali, hanya nona she Kim ..
dan masih untung nona Thio Ceng berhati jujur dan haik,
hingga hal itu pasti ada daya untuk menyelesaikannya
dengan sempurna."
Dengan perasaan terharu Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Apa yang twako katakan memang benar. Kerapkali aku
berpikir, diantara manusia yang begitu banyaknya, kau
hanya tertarik oleh hanya seorang saja, hingga kau rela
mengorbankan dirimu untuknya. Hal mana, memang
cukup berharga, pula memang seharusnya kita bertindak
demikian."
Begitulah kedua pemuda remaja ini mencurahkan isi hati
mereka dengan bebasnya, sehingga perasaan mereka terasa
sangat mencocoki satu sama lain, begitu pula persahabatan
mereka yang kian lama kian bertambah akrab. Pada saat itu
haripun sudah menjelang malam dan keadaan disekeliling
mereka seakan-akan telah ditelan oleh kegelapan.
Leng Hong lalu berkata: "Sekarang marilah kita melihat
Peng Hoan Siangjin."
Begitulah kedua pemuda itu lalu kembali kegubuk kecil
milik Peng Hoan Siangjin dengan tindakan perlahan,
dimana pada saat itu orang tua tersebut tampak sedang
duduk dipinggir sebuah meja, agaknya tengah merenungkan
sesuatu. Akan tetapi kemudian dia menepuk kepalanya
sambil berteriak dengan nyaring: "Benar, benar! Beberapa
jurus ini sesungguhnya amat lihay dan langka!"
Sesudah berkata begitu, dia lalu tertawa, kemudian
berkata pada kedua pemuda itu: "Hai, kedua bocah, marilah
kita mengadu kekuatan kaki kita. Kalian berdua aku
persilahkan untuk mengerahkan segenap tenaga kalian dan
berlari terlebih dahulu, sedang aku situa bangka akan
memperlihatkan sebuah pertunjukan yang menarik untuk
kalian tonton."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong sekalipun
merasa amat heran, tapi mereka maklum tentulah Peng
Hoan Siangjin mempunyai maksud yang dalam, oleh
karena itu, mereka lalu membentangkan kepandaian
mengentengi tubuh mereka yang telah mencapai kesempurnaan, hingga mereka segera melaksanakan
perkataan orang tua itu.
Tatkala berlari tidak lama kemudian, kedua orang itu
merasa dibelakang mereka tidak ada angin yang bertiup,
hingga mereka mengira bahwa orang tua itu belum lagi
dapat menyusul mereka. Hanya pada waktu mereka
membalikkan kepala memandang kebelakang, dengan
sangat terkejut mereka melihat Peng Hoan Siangjin sudah
berdiri dibelakang mereka. Lie Siauw Hiong merasa tidak
puas dan lalu berlari terlebih cepat lagi, tapi pada sebelum
dia menolehkan kepalanya lagi, dia merasa bahwa Peng
Hoan Siangjin hanya menotolkan sepasang kakinya
beberapa dim saja diatas tanah, tapi dengan amat pesatnya
mereka melihat orang tua itu sedang mengikuti mereka
dengan gerakan yang sebat sekali. Mereka lihat orang tua
itu seolah-olah tidak menggunakan tenaga sama sekali, tapi
dengan tindakan yang pesat ternyata dapat menyusul
mereka dengan hanya menendangkan kakinya yang
tampaknya hampir tidak menyentuh bumi pula.
Buru-buru Lie Siauw Hiong menahan larinya sambil
berkata: "Kepandaian kau orang tua kali ini, benar-benar
sangat menakjubkan, apakah itu bukan menuruti cara-cara
yang tertulis dalam buku asing itu?"
Peng Hoan Siangjin manggutkan kepalanya, suatu tanda
ia membenarkan apa kata pemuda she Lie itu.
"Bocah" katanya kemudian. "Coba katakan, mengenai
ilmu mengentengi tubuh, dari partai manakah yang kalian
anggap paling sempurna?"
Lie Siauw Hiong menjawab: "Menurut pendapat
Boanpwee, bila hanya melihat sepintas lalu saja, mengenai
kepandaian meringankan tubuh yang sempurna, tampaknya
adalah milik Hui Taysu yang paling jempolan."
Peng Hoan Siangjin menjawab: "Menurut pendapatku
situa bangkapun demikian pula, tapi dengan melihat
pertempuran tempo hari antara 'Tiga Dewa Diluar Dunia'
dengan 'Heng-hoo-sam-hut' apakah kau dapat melihat hal-
hal yang aneh?"
Lie Siauw Hiong berkata: "Boan-pwee merasa tiga
manusia asing itu sungguh mempunyai ilmu meringankan
tubuh yang sempurna sekali, karena mengenai kecepatan
mereka jika dibandingkan dengan Hui Taysu, tampaknya
mereka lebih tinggi satu tingkat, bukankah begitu?"
Peng Hoan Siangjin menjawab dengan penuh kegirangan: "Bocah, kau sungguh cerdik sekali! Aku situa
bangka sejak kepergiannya Heng-hoo-sam-hut, terus
menerus aku memikirkan tentang ilmu meringankan tubuh
mereka yang sempurna itu. Aku hanya dapat menarik
kesimpulan, bahwa ilmu meringankan tubuh mereka itu jika
dibandingkan dengan tiap-tiap partai yang dari Tiong-goan,
masing-masing berbeda satu sama lain, hingga setelah
kumemikirkan setengah harian, akupun tidak dapat
memikirkan apa sebabnya mengenai perbedaan tersebut.
Tapi barusan setelah membaca buku ini, maka barulah
terbuka pikiranku."
Leng Hong lalu turut campur mulut dengan berkata: "Isi
buku itu, apakah sama dengan apa yang dimiliki oleh
kepandaian ketiga orang asing itu?"
Peng Hoan Siangjinpun memuji sambil berkata:
"Kaupun ternyata bukan orang bodoh! Mari, mari, akan
kuceritakan sebuah cerita untuk kalian dengar."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Heng-hoo-sam-hut
adalah orang-orang asing yang memiliki kepandaian dari
partainya yang disebut Thian-tiok Mo-ka-pit-cong'. Partai
itu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk belajar
dengan tekun seumur hidup. Mereka diwajibkan untuk
menyelidiki, memperdalam serta mengubah kepandaian-
kepandaian yang berarti dari partai mereka. Dengan
demikian, maka mereka dapat menghasilkan murid-murid
yang pandai-pandai sekali, tapi sesampainya pada ketiga
pendeta ini, maka mereka telah melalaikan berlatih dengan
tekun serta mengubah pula peraturan tersebut, hingga
mereka bukan saja ingin menjagoi diri dinegeri asal mereka,
malahan mereka sampai merembas ke Tiong-goan untuk
menjagoi pula kesana."
Oleh karena itu, dengan penuh kemarahan Lie Siauw
Hiong lalu berkata: "Hanya dikuatirkan, bahwa hal itu
tidaklah terlampau mudah bagi mereka."
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Heng-hoo-sam-hut ini seluruhnya menerima enam orang
murid, diantaranya yang paling, kecil adalah yang tempo
hari pernah ribut diruangan 'Bu-wie-thia', yaitu Kinlungo.
Diantara keenam orang muridnya itu, yang keempat adalah
seorang pendeta yang bernama Barus. Dia ini karena tidak
biasa melihat tindak-tanduk gurunya
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sering menyeleweng, sering-sering memberikan nasihat-nasihat
kepada gurunya, tapi gurunya itu bukan saja tidak
menghiraukan nasihat-nasihatnya,
malah sebaliknya menjadi benci kepadanya, sehingga kepandaian yang hehat-
hebat tidak diturunkan kepadanya."
"Belakangan, pada satu kali ada seorang dari Thian-tiok
juga yang membawa sejilid buku pelajaran asli yang hebat
sekali kepada Heng-hoo-sam-hut, untuk minta penjelasan
dari pada isi buku tersebut, karena dia sendiri tidak
mengerti isi kitab tersebut. Ia mengharap dengan
bekerjasama berarti, bahwa Heng-hoo-sam-hut juga boleh
turut belajar dari buku itu, berhubung dia sendiri tidak
mengerti kepandaian silat sama sekali. Tapi buku dari
leluhurnya itu sesungguhnya mengandung pelajaran yang
hebat sekali. Dia telah berkelana kemana-mana, tapi tak
seorangpun dapat mengerti isi buku itu. Akhirnya dia
berkunjung kepada Heng-hoo-sam-hut. Begitulah mereka
mengadakan pertukaran cara belajar, yaitu Heng-hoo-sam-
hut mengajarinya berdasarkan isi buku tersebut, sedangkan
Heng-hoo-sam-hut pun dapat juga turut mempelajari isi
buku tersebut."
Mendengar keterangan begitu, Lie Siauw Hiong dengan
tidak sabaran lalu berkata: "Bukankah buku itu yang kini
dibawa oleh Gouw Twako?"
Peng Huan Siangjin menyahut: "Benar, buku kecil ini
adalah ilmu pelajaran meringankan tubuh yang asli dan
bernama Tat-Mo Pit-kip (pelajaran asli ciptaan Tat Mo
Couwsu)." "Heng-hoo-sam-hut
yang melihat buku tersebut, girangnya bukan buatan, karena inilah yang disebut pucuk
dicinta ulam tiba, mereka mana mau mengijinkan orang
lain dapat menjagoi di Thian-tiok pula" Begitulah mereka
bukan saja tidak mengajari ilmu tersebut kepada orang itu,
malahan dengan diam-diam mereka telah mencelakakannya
sehingga menemui ajalnya. Maka dengan matinya orang
itu, menjadi leluasalah mereka menguasai buku rahasia
yang mengandung pelajaran silat yang hebat itu."
Lie Siauw Hiong, lalu berkata: "Heng-hoo-sam-hut ini
dalam ilmu kepandaian silat benar-benar sudah mencapai
tingkat yang luar biasa sekali, tapi tidak disangka bahwa
tabiat mereka demikian rendahnya sehingga melebihi
daripada binatang yang paling berbisa dan hina. Hm, lain
kali bila mereka terjatuh kembali kedalam tanganku, pasti
sekali akan kubunuh mereka sekalian."
Peng Huan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Perbuatan mereka ini diketahui pula oleh muridnya yang
keempat itu, Oleh karena dia tak dapat mencegah lagi
perbuatan gurunya, berhubung orang itu sudah mati, maka
diapun insyaf, bahwa gurunya mempunyai rasa dengki
terhadap dirinya. Dan karena dia sendiri tidak dapat
menyesuaikan diri dengan mereka, setelah dia berpikir-pikir
setengah harian, dia hanya mendapat suatu jalan keluar
saja, yaitu mengambil keputusan akan melarikan diri dari
mereka. Tapi bersamaan dengan itu, diapun berpikir,
sekarang saja guru dan para saudaranya sudah memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, andaikata kelak isi buku
tersebut berhasil dapat dipelajari mereka semuanya,
bukankah keadaan mereka bagaikan macan-macan yang
tumbuh sayap saja, sehingga tak ada orang lagi yang dapat
kendalikan mereka" Oleh karena itu, tentunya kelak mereka
tak segan-segan pula melakukan segala kejahatan tanpa ada
orang yang dapat merintangi mereka. Maka pada suatu hari
dengan menggunakan kesempatan selagi mereka tidak
memperhatikannya, buru-buru dia melarikan diri sambil
membawa juga kitab Tat-mo Pit-kip itu.
"Perangai pendeta ini sungguh luhur sekali serta mulia,
dia mencuri buku tersebut bukanlah dengan maksud untuk
mencuri belajar dari isi buku itu, melainkan untuk
mencegah jangan sampai gurunya mencapai kepandaian
yang paling tinggi untuk melakukan kejahatan yang terlebih
hebat dikemudian hari. Selain daripada itu, diapun telah
bersumpah untuk tidak mencuri belajar dari buku itu.
Begitulah dia berdiam selama puluhan tahun di Tiong-goan,
sehingga Heng-hoo-sam-hut yang belum berhasil dapat
mencangkok seluruh isi kitab tersehut, mereka tidak berani
semharangan memasuki daerah Tiong-goan untuk menangkap murid mereka yang telah buron itu. Bocah,
cobalah kau terangkan, cara bagaimana kitab dapat terjatuh
kedalam tangan In Su-siok" Kau pasti dapat mengetahuinya."
Leng Hong merasa sangat tertarik mendengarkan kisah
tersebut, hingga diapun segera menjawah: "In Couw-su
pada suatu hari bersua dengan pendeta itu yang tengah
dikeroyok oleh berapa orang. Couw-su lantas turun tangan
memberi pertolongan kepadanya. Dia sendiri karena
menderita luka-luka parah dan ketahui bahwa dirinya tidak
akan hidup terlebih lama pula, maka dengan perasaan
terharu lalu membalas budi Couw-su, dengan jalan
menghadiahkan buku pusaka itu. Sekianlah apa yang
pernah kudengar dari keterangan Couw-su."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula: "Isi kitab ini
sesungguhnya memuat pelajaran yang hebat sekali. Heng-
hoo-sam-hut hanya sempat mempelajari separuhnya, hingga
mereka telah berhasil dapat mempelajari ilmu meringankan
tubuh yang amat sempurna. Tapi mengenai pelajaran
aslinya, mereka belum berhasil dapat mempelajarinya. Isi
kitab yang separuhnya lagi memuat pelajaran yang
terahasia dan tersulit, maka untuk mempelajari isi kitab
yang paling belakang ini, dibutuhkan latihan tenaga-dalam
yang telah mencapai kesempurnaan. Dan andaikata tempo
hari muridnya itu tidak mencuri kitab ini, Heng-hoo-sam-
hut belum tentu dapat mempelajarinya juga."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong dengan suara
yang hampir berbareng lalu mengajukan pertanyaan: "Kau
orang tua barusan waktu mengejar kita, bukankah telah
menggunakan jurus paling akhir dari isi kitab tersebut?"
Peng Hoan Siangjin tidak menjawab, hanya secara
sekonyong-konyong saja dia berkata: "Bocah, tempo hari
Heng-hoo-sam-hut telah berjanji denganmu. Sekalipun hati
mereka sangat dendam, mereka tidak mempunyai muka
pula untuk memasuki daerah Tiong-goan, hanya muridnya
saja yang bernama Kinlungo, yang telah dikalahkan dalam
pertempuran diruangan Bu-wie-thia yang pasti takkan
merasa puas dan akan datang kembali menuntut balas
terhadapmu."
Sesudah berkata demikian, tiba-tiba saja Peng Hoan
Siangjin tidak melanjutkan pula perkataannya. Sepasang
matanya tampak dikejapkan, dan sejurus kemudian barulah
dia berkata: "Bocah, coba kau perlihatkan kembali pelajaran
pendeta wanita bangkotan itu kepadaku sekali lagi."
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong lalu menjalankan
keempat-puluh-sembilan
jurus dari pelajaran yang dimaksudkan itu. Dan setelah selesai, tampak Peng Hoan
Siangjin tertawa dan berkata: "Pelajaran 'Kit-mo-pouw-hoat'
ini sekalipun kau tidak menjalankannya dengan betul,
akupun dapat mengetahui dimana letak kefaedahannya,
yaitu waktu menghadapi musuh, tipu ini benar-benar amat
lihay dan jitu sekali. Oleh karena itu, agak mengherankan
bahwa .." Leng Hong lalu menyelak: "Yang aneh itu dimana?"
Peng Hoan Siangjin lalu menjawab: "Ilmu meringankan
tuhuh cara Thian-tiok ini, dalam kecepatannya didunia ini
benar-benar sukar dicari bandingannya, hingga sekalipun
Kit Me Pouw Hoat masih tidak dapat menandinginya. Tapi
untunglah, bahwa Heng-hoo-sam-hut belum mempelajari
sampai sempurna, sehingga diwaktu berhadapan dengan
musuh, mereka belum dapat mengadakan perubahan
sekonyong-konyong yang cukup bervariasi. Demikian juga
halnya dengan tenaga dalam dari Heng-hoo-sam-hut itu.
Entahlah apakah sebabnya setelah mempelajari ilmu
kecepatan, mereka seolah-olah tidak memperhatikan lagi
perubahan-peruhahan yang bermacam ragam."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hongpun merasa aneh
pula, kemudian Peng Hoan Siangjin melanjutkan
penuturannya: "Andaikata penglihatanku tidak salah, ilmu
meringankan dari Thiantiok ini masih mempunyai
kegunaan yang lain pula, kelak andaikata kalian berjumpa
pula dengan Heng-hoo-sam-hut, pastilah kalian dapat
membuktikan, bahwa apa kataku ini tidak bohong adanya ..
Baiklah, karena buku ini adalah milik kalian, maka akan
kuajarkan isi kitab ini kepada kalian pula."
Setelah orang tua itu menjelaskan sampai habis segala
rahasia yang terdapat dalam kitab tersehut, Lie Siauw
Hiong lalu menolehkan kepalanya melihat matahari yang
sudah doyong ke Barat, make buru-buru mereka berbangkit
sambil meminta diri dari orang tua itu, hingga Peng Hoan
Siangjin yang melihat kedua pemuda itu tampaknya sangat
gugup, diapun insyaf, bahwa mereka pasti mempunyai
urusan sangat penting yang hendak diselesaikan secepat
mungkin. Oleh karena itu, sambil tersenyum dia berkata:
"Mau pergi ya boleh pergi saja, aku situa bangkapun tidak
dapat menahan kalian lama-lama."
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong setelah memberi
hormat sebagaimana layaknya, lalu membalikkan badan
mereka dan berlari dengan secepat-cepatnya. Sementara
Peng Hoan Siangjin yang melihat mereka hanya tertawa
terkekeh-kekeh saja.
Diatas perahu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong
merencanakan terlebih dahulu akan naik kegunung Kong
Tong untuk merampas pulang pedang Bwee Hoa Kiam dari
tangan Li Gok, dan bersamaan dengan itu, mereka pun
hendak sekalian menantang kelima ahli partai-partai
tersebut, untuk memperhitungkan hutang lama mereka.
Sudah itu mereka boleh sekalian menyerep-nyerepi kabar
tentang Ah Lan dan Thio Ceng.
Setelah lewat sepuluh hari, dikalangan Kang-ouw tersiar
berita bahwa 'Bwee-hiang-sin-kiam' Lie Siauw Hiong dan
anaknya 'Tan-kiam-toan-hun' Gouw Ciauw In telah naik
keatas gunung Kong Tong untuk menentang Li Gok, tapi Li
Gok dengan tidak tahu malu telah menyembunyikan diri
tidak berani keluar menemui kedua pemuda gagah itu,
hingga dengan demikian, orang-orang diluaran menganggap, bahwa Li Gok yang mendapat gelar sebagai
ahli pedang sejagat, kini sudah tidak layak lagi dia akan
mempertahankan gelarnya terlebih lama pula.
Hal yang sesungguhnya ialah setelah berakhirnya
pertemuan dipuncak gunung Thay-san tempo hari, Li Gok
sudah menyembunyikan diri dan tidak berani menampakkan dirinya kembali dalam Rimba Persilatan.
Hal inipun diketahui oleh Hui Taysu, yang agaknya
mengetahui juga sebab-musabab mengapa ahli pedang
sejagat itu menyembunyikan dirinya.
(Oo-dwkz-oO) Musim dingin telah tiba, sedang angin utara yang tajam
menusuk tulang dan sumsum mulai berhembus ..
Partai Kong Tong yang memperoleh gelar nomor satu
sejagat dalam ilmu pedang yang terletak didaerah Sian-ciu,
seluruh puncak gunungnya ditutupi oleh lapisan es yang
berwarna putih, sehingga pemandangan tersebut sangat
memilukan sekali karena sepinya.
Mungkin juga karena letaknya agak tinggi, maka hawa
udara disitu terasa lebih dingin. Kemarin malam diatas
puncak gunung itu turun hujan salju besar sekali, sedangkan
kabut memenuhi udara, sampaikan keesokan harinya kabut
itu masih belum buyar seluruhnya. Tapi hari ini hujan salju
sudah mulai berhenti turun.
Kelenteng Ceng-goan-koan .. tempat asal-mulanya partai
ahli pedang sejagat berkembang, pada saat itu salju sudah
tertimbun tinggi sekali memenuhi tanah disekitarnya kuil
tersehut. Pagi-pagi buta, tampak sepasang anak muda yang
bermuka putih menyapu halaman dan tangga pintu kuil itu.
Hujan salju yang besar baru saja berhenti diatas puncak
gunung, salju itu tebal hingga mencapai satu meter. Kedua
anak muda itu memakai baju biru dan dengan penuh
semangat mereka menyapu salju, dan dengan melihat cara
mereka mengangkat tangan dan kaki, teranglah bahwa
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka menggunakan tenaga yang cukup besar. Hal mana,
terbukti dengan beterbangannya salju-salju kemuka, karena
mereka ini terhitung sebagai murid-murid yang cukup
berbakat pula dari partai Kong Tong itu.
Keadaan disitu sangat sunyi. Tiap-tiap malam hujan
salju senantiasa turun, langit dingin dan bumi membeku,
hingga setiap makhluk berjiwa tidak berani keluar dari
tempat persembunyiannya. Seluruh pegunungan Kong
Tong sunyi senyap tidak terdengar barang sedikit suarapun,
selain suara sapu kedua anak muda yang sedang menyapu
lantai itu. Mereka berdua bekerja dengan rajinnya, hingga tidak
antara lama mereka telah menyapu satu jalan yang panjang
dan cukup luas. Melihat usia mereka, yang besaran
kelihatan berumur kurang lebih tiga atau empatbelas tahun,
sedangkan yang kecilan paling banyak baru berkisar
sepuluh tahun kurang lebih. Kedua hocah ini sifatnya
kekanak-kanakannya masih belum lenyap, dan setelah
menyapu kembali sebentar, mereka serentak menghentikan
sapu mereka, kemudian yang kecilan terdengar berkata:
"Ceng Hong-ko, aku tidak mau menyapu lagi ah .."
Orang yang disebut Ceng Hong-ko dengan sembarangan
lalu menjawab: "Melihat cuaca, tidak sampai tengah hari
pasti akan turun hujan salju pula, hingga capai lelah kita
akan sia-sia belaka .." Sambil berkata begitu, ia lalu
menunjuk kelangit yang tampaknya mendung.
Bocah yang kecilan itu lalu berkata: "Bila demikian
halnya, buat apa kita nyapu lagi?"
Ceng Hong lalu menjawab: "Memang akupun berpendapat demikian juga. Marilah, Beng Goat-tee, sudah
lama kita tidak melatih ilmu silat kita. Pada beberapa hari
yang lalu aku dengar Cu-kat Siok-siok telah memberi
petunjuk-petunjuk
tentang ilmu pukulan
Tui-in-kun kepadamu .."
Orang yang disebut Cu-kat Siok-siok itu meski tidak
dijelaskan lagi, sudah tentu bukan lain daripada murid
kepala ahli pedang nomor satu dikalangan persilatan Li
Gok, yaitu Cu-kat Beng.
Beng Goat tidak tunggu sampai Ceng Hong habis
berkata-kata, dia segera menyelak dan mendahului
memotong perkataan kawannya: "Benar, benar, Tui-in-kun
.. ih .." Perkataannya itu belum lagi habis diucapkan, ketika
butiran airmatanya sudah menetes jatuh, itulah sebabnya
mengapa dia tadi menyebut 'ih'.
Ceng Hong merasa heran dan lalu dengan suara yang
nyaring dia bertanya: "Kenapa?"
Beng Goat lalu menunjuk kearah kuil mereka sambil
berkata: "Koko (kakak), coba kau lihat, siapakah gerangan
yang telah mengirimkan surat undangan dengan jalan
menempelkan itu pada tiang penglari diatas kuil kita itu?"
Ceng Hong segera memandang kearah yang ditunjuk
oleh Beng Goat, dan benar saja diatas tiang penglari kuil itu
terpancang sehelai surat undangan. Karena kedua orang ini
tidak tahu apa yang harus diperbuat mereka, maka dengan
cepat mereka lari masuk kedalam untuk mengabarkan
peristiwa itu kepada ketua mereka.
Sebelum lari masuk, Ceng Hong terlebih dahulu
mendekati kebawah tiang penglari, dimana dengan cermat
dia perhatikan surat undangan itu, yang ternyata dibungkus
dengan sehelai kertas merah yang tampak menyolok sekali
diantara warna salju yang putih itu.
Tampaknya surat undangan itu telah ditempelkan orang
pada kemarin malam. Disekitar kuil Ceng Goan Kwan ini
sebenarnya penuh dikelilingi oleh para murid partai Kong
Tong yang tinggi-tinggi ilmu kepandaiannya, tapi tak
seorangpun yang dapat memergoki ada orang yang naik
keatas gunung mereka dan menempelkan sekali surat
undangan itu, hingga dengan ini, sudah jelaslah betapa
lihainya ilmu kepandaian pengirim surat undangan itu.
Ceng Hong dengan hati-hati lalu menurunkan surat
undangan tersebut, sedang Beng Goat dengan tidak sabaran
lalu berkata dengan suara nyaring: "Koko, permainan
apakah itu?"
Ceng Hong tampak menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil berkata: "Benar saja, inilah sepucuk surat undangan.
Orang lain telah menyampulnya dengan hati-hati, maka
lebih baik kita jangan coba merobeknya dan segera
menyerahkannya kepada Cu-kat Siok-siok untuk diperiksa
apa bunyinya."
Sesudah berkata begitu, lalu dituntunnya tangan Beng
Goat akan diajak masuk kedalam kuil.
Hampir dalam saat itu juga tampak dihadapan mereka
berkelebat satu bayangan orang yang segera membentaknya: "Ceng Hong, Beng Goat, pagi-pagi sekali
kalian telah meribut tidak keruan" Menyapu belum lagi
selesai, tapi mengapa kalian sudah berlaku malas-malasan
dan main-main saja?"
Berbareng dengan habisnya perkataan tersebut, maka
dihadapan mereka tampak seorang pemuda umur
duapuluh-tujuh atau duapuluh-delapan tahun yang berdiri
menghadang dijalan, hingga Ceng Hong dan Beng Goat
yang melihatnya, dengan suara hampir berbareng lalu
berkata: "Ie Siok-siok, lekas lihat .."
Orang she Ie ini ternyata bukan lain daripada Ie It Hui
adanya. Ie It Hui sendiri dengan tertawa-tawa lalu berkata:
"Lihat apa sih?"
Sambil berkata begitu, tangannya terus saja disodorkan
untuk menyambuti surat yang diberikan oleh Ceng Hong
itu, yang kemudian dengan laku yang hati-hati sekali lalu
dirobeknya sampulnya dan bertanya dengan muka berubah:
"Ceng Hong, dari manakah kau dapatkan surat ini?"
Ceng Hong belum lagi menjawab, ketika Beng Goat
sudah mendahuluinya berkata: "Surat undangan ini telah
didapatkan dari tiang penglari diatas pintu kuil kita."
Ie It Hui hanya mengeluarkan suara jengekan dari
lubang hidung saja, kemudian dia berkata: "Kalian boleh
pergi menyapu kembali."
Sehabis berkata demikian, lalu dia tinggalkan kedua
bocah tersebut dengan langkah tergopoh-gopoh, dengan
cepat dia masuk kedalam sebuah kamar dan berseru: "Toa-
suheng, toa-suheng .."
Dengan gencarnya dia mengetuk-ngetuk pintu kamar
suhengnya, sehingga perbuatannya ini telah mengejutkan
rekan-rekannya, karena selain pada saat itu mukanya
tampak sangat gugup, diapun tidak menghiraukan
pertanyaan rekan-rekannya. Dan begitu pintu kamar
dibukakan oleh Cu-kat Beng, buru-buru dia masuk
kedalam, sambil dengan cepat mengangsurkan surat
undangan tersebut pada suhengnya: "Lie Siauw Hiong telah
mengirimkan kita surat undangan ini. Dia akhirnya dapat
menemui tempat kediaman kita!" katanya.
Cu-kat Beng segera menyambuti surat undangan itu yang
ternyata berbunyi:
"Bu-lim angkatan terakhir Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng
Hong dengan jalan ini minta bertemu dengan Li Gok. Mengenai
peristiwa berdarah yang telah dialami oleh Tan-kiam-toan-hun
Gouw Ciauw In diair terjun dan pengeroyokan yang terjadi atas
diri Chit-biauw-sin-kun di Ngo-hoa-san, kini kita berpendapat
sudah tiba saatnya untuk diselesaikan. Hutang jiwa serta sakit
hati ini akan kita tagih sebagai pihak yang berhak untuk
melakukan tuntutan tersebut. Oleh karena itu, kami menantikan
kedatangan bapak dipuncak gunung Ngo-hoa-san tepat pada hari
kelimabelas penanggalan Imlek. Maka sebagai seorang tokoh yang
terkemuka dalam kalangan persilatan, bapak pasti akan datang
untuk menunggu kedatangan kami disana pada waktu, tempat
dan hari yang telah kami sebutkan itu."
Tertanda: Lie Siauw Hiong dan Gouw Lang Hong."
Cu-kat Beng setelah membaca habis bunyi surat
undangan itu, lalu berkata pada Ie It Hui: "Gouw Leng
Hong ini pastilah anak Gouw Ciauw In itu, yang bersama
guru kita memang mempunyai perhitungan hutang jiwa,
maka urusan ini tak dapat tidak mesti selekas mungkin
dikabarkan kepada guru kita!"
Ie It Hui lalu berkata: "Suhu baru saja setengah bulan
yang lampau menutup pintu, mana boleh kita sembarangan
mengganggunya?"
Cu-kat Beng termenung sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya sambil berkata: "Tidak, urusan
ini terlampau penting sekali sifatnya."
Ternyata Li Gok setelah menghadiri pertemuan
dipuncak gunung Thay-san dan kena dikalahkan oleh
musuhnya, hatinya menjadi putus asa dan semangatnya
runtuh, hingga diapun insyaflah bahwa dirinya telah
mengikat banyak sekali musuh yang tangguh, yang pasti
kelak akan datang untuk menuntut balas. Lebih jauh,
sehagai salah seorang Ciang-bun-jin (ahli waris suatu
partai), tentu saja namanya sangat terkenal. Maka kalau ada
lawan yang datang menantangnya, sudah tentu dia tak
dapat menutup pintu untuk tidak melayaninya. Oleh karena
mempunyai perhitungan tersebut, maka dia telah bertekad
bulat dengan menutup pintu untuk berlatih pula dengan
tekunnya, bersiap-siap untuk menghadapi lawan yang akan
mencari serta hendak menuntut balas kepadanya.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 43 Li Gok yang cukup cerdik, mula-mula ketika mendengar
bahwa pada sarung sebuah pedang kuno ada tertera
pelajaran asli ciptaan orang aneh yang disebut pelajaran
'kun-goan-sam-coat', halmana telah terjadi pada limabelas
tahun yang lampau tatkala dia bertempur diatas puncak
gunung Ngo-hoa-san dengan Bwee San Bin, tapi karena
pada saat itu dia merasa terlampau girang, maka dengan
lengahnya dia telah meninggalkan sarung pedang itu,
sehingga akhirnya sarung pedang itu diketemui oleh salah
seorang murid partai pengemis. Halmana, sudah barang
tentu dia merasa tidak rela melihat barang itu terjatuh
kedalam tangan lain orang. Begitulah seterusnya, baik
secara terang-terangan maupun secara dibelakang layar, dia
berusaha untuk mendapatkan kembali sarung pedang itu
dari partai pengemis, dengan dia sendiri sebagai ahliwaris
sebuah partai besar, tidak dapat turun tangan sendiri untuk
mengambilnya. Oleh karena itu, dia hanya dapat mengirimkan murid-
muridnya saja, tapi siapa duga bahwa mereka itu bukanlah
tandingan kedua saudara she Kim, maka dia bersekutu
dengan kawan lamanya yaitu Kouw-loo-it-kway Ang Ceng,
yang dengan amat cerdiknya telah dipancingnya keluar dari
tempat persembunyiannya untuk mewakilkan dirinya
mengambil sarung pedang tersebut. Halmana, ternyata
semuanya telah dapat diaturnya dengan beres, karena
diapun berpendapat, bahwa dengan kepandaian yang
dimiliki Ang Ceng, yang tempo hari bertempur sehingga
ratusan jurus dengan Bwee San Bin, barulah akhirnya dia
kena dikalahkan. Maka setelah sekali ini dia melatih dirinya
lebih lanjut, ia merasa pasti tak akan sampai terkalahkan
pula. Akan tetapi sungguh tidak dinyana, bahwa sekali ini
Ang Ceng telah bertemu dengan ahliwaris Bwee San Bin,
yaitu Lie Siauw Hiong, dan tatkala mereka telah bertempur
dengan serunya, akhirnya lagi-lagi Ang Ceng telah
menderita kekalahan yang getir sekali dirasakannya.
Sementara Li Gok yang melihat tipunya tidak berjalan
seperti apa yang dikehendakinya, tidak terasa lagi jadi
merasa sangat terkejut, dan setelah mengetahui bahwa
dirinya sendiripun bukan lawan setimpal dari Lie Siauw
Hiong, maka ia telah mencuri pedang Bwee Hiang Sin
Kiam, yang lalu dibawanya balik kembali ke Kong Tong.
Dia mengira bahwa perbuatannya ini tidak meninggalkan jejak sesuatu, tapi dia lupa dia telah
meninggalkan bekas pada pedangnya sendiri yaitu pedang
Ie-hong-kiam diatas dinding tembok, sehingga ini dapat
diketahui oleh Lie Siauw Hiong, yang pada belakang ini
dari tempat yang ribuan lie jauhnya terus saja mengejar-
ngejar kepadanya.
Sesampainya diatas gunung Kong Tong San, dia ketahui
bahwa ilmu 'Kun-goan-sam-coat' itu tak mungkin pula
dapat diperolehnya, tapi sungguh tidak disangka-sangka,
bahwa dia telah berhasil dapat menemukan pelajaran asli
yang disebut Siang-ceng-kie-kang.
Pelajaran ini adalah ciptaan selama dua ratus tahun
terakhir dari partainya, pada waktu itu adalah murid
keturunan ketujuh yang bergelar It Ceng Too-jin, dan dialah
yang telah menciptakan pelajaran tersebut, yang kemudian
diperkembangkannya sehingga partainya menjadi naik
kembali pamornya dan pada suatu saat mencapai jaman
keemasan yang gilang-gemilang. Halmana, telah membuat
para tetangganya merasa iri hati. Begitulah akhirnya datang
tujuh pendekar aneh yang disebut Tay-liang-chie-kie,
bersama-sama mereka bertujuh It Ceng naik keatas gunung
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kong Tong, dan karena mereka tidak dapat kata sepakat,
akhirnya mereka jadi bertempur dengan It Ceng Tojin
diruangan kuil Ceng-goan-kwan.
It Ceng Tojin dengan diam-diam telah menggunakan
pelajaran ciptaannya ini, dengan mana dia berhasil telah
dapat menjatuhkan ketujuh lawannya itu, sehingga
akhirnya pelajaran yang disebut 'Siang-ceng-kie-kang' ini
menjadi terkenal sekali.
Siapa tahu sekonyong-konyong saja timbal suatu
peristiwa yang amat menggemparkap, yaitu sejak terjadinya
pertempuran dengan Tay-liang-chit-kie, It Ceng dalam
pengembaraannya dalam Rimba Persilatap telah lenyap
entah kemana perginya, hingga ini menyebabkan pelajaran
tersebut menjadi terputus sampai disitu. Tetapi akhirnya
dengan tidak disangka-sangka Li Gok telah berhasil dapat
menemukannya, hingga ini telah membuat hatinya girang
bukan kepalang.
Oleh karena itu segera juga dia menutup pintu untuk
dengan tekunnya mempelajari isi kitab ilmu Siang-ceng-kie-
kang itu, hingga diwaktu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng
Hong berdua naik keatas gunung, mereka tidak berhasil
menjumpainya, sekalipun hanya bayangannya Li Gok saja.
Selama menutup pintu untuk melatih diri, dia telah
mengeluarkan larangan, bahwa siapapun tidak boleh
mengganggunya, dan itulah sebabnya mengapa Ie It Hui
tidak segera menyampaikan surat undangan itu, berhubung
kuatir akan perbuatannya itu mengganggu kepada gurunya.
Tetapi Cu-kat Beng yang menganggap peristiwa ini suatu
kejadian yang penting sekali sifatnya, akhirnya telah
bersedia akan memberitahukan peristiwa ini kepada
gurunya. Diatas puncak gunung itu salju baru saja berhenti turun,
kabut masih sangat tebal, begitupun suasana disitu sangat
tenteram dan damai, sehingga siapapun tidak pernah
menyangka, bahwa bahaya besar tengah mengancam diri
Ciang-bun-jin dari partai Kong Tong itu.
Hampir dalam bulan itu juga, hanya terpisah lima atau
enam hari saja lamapya, Cek Yang Tojin diatas gunung Bu
Tong San juga telah menerima surat undangan pula, hanya
pengirimnya saja yang berbeda.
Dalam surat undangan yang bersampul merah itu, isinya
ditujukan langsung kepada Cek Yang Tojin pribadi, kata-
katanya begitu menusuk, sehingga membuat Cek Yang
yang belum sembuh dari luka-lukanya, hatinya gugup
bukan kepalang. Karena harus diketahui, bahwa Cek Yang
sebagai seorang ahli waris dari partainya, sebenarnya
terhadap orang lain jarang sekali dia berlaku jujur, dan
diwaktu mengetahui bahwa lawannya hendak mencari
kepadanya, hatinya jadi cemas, karena dia sendiri telah
menginsyafi, bahwa dia bukau lawan yang setimpal dari
penantangnya itu. Akan tetapi, karena orang sudah
Pendekar Riang 3 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Suling Emas Dan Naga Siluman 28