Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 13

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 13


"Aku she Ong, tjukup engkau memanggil Ong-kohnio sadja," udjar sigadis.
"Ong-kohnio! Ah, tidak, tidak bisa!" kata Toan Ki sambil meng-geleng2
kepala ketolol2an. ,,Nona she Ong didunia ini betapa banjaknja, barangkali ber-djuta2 djuga ada, sedangkan Entji Dewi setjantik bidadari, mana boleh hanja dipanggil sebagai 'Ong-kohnio' sadja" Akan tetapi panggilan apakah jang paling tepat. Wah, sukar djuga! Umpama panggillah engkau Ong-sian-tju (sidewi she Ong), rasanja terlalu umum dan kurang agung Misalnja menjebut engkau Man-to-kongtju (puteri bunga kamelia), rasanja djuga kurang tjotjok, banjak terdapat puteri radja didunia ini.
tapi siapakah jang dapat membandingi engkau?"
Melihat pemuda itu berkomat-kamit tak keruan bitjaranja, semakin dipandang semakin ke-tolol2an kelakuannja, namun begitu jang diutjapkan itu toh melulu pudjian2 atas ketjantikan dirinja, maka betapapun sidjelita mendjadi geli2 girang. Katanja kemudian dengan tersenjum:
"Rupanja nasibmu masih baik djuga, maka ibuku tidak potong kedua kakimu."
"Wadjah ibumu serupa tjantiknja seperti Entji Dewi, hanja tabiatnja jang luar biasa anehnja, sedikit2 suka membunuh orang, rasanja mendjadi kurang sesuai dengan bangunnja jang mirip dewi kajangan............"
Mendadak sigadis mengkerut kening, katanja dengan kurang senang:
"Lekaslah kau pergi menanam bunga sadja dan djangan mengotjeh tak keruan disini, kami masih akan bitjarakan urusan penting lagi." " Njata nada suaranja itu menganggap Toan Ki seperti tukang kebun benar2.
Namun Toan Ki tidak ambil pusing djuga, jang dia harap hanja dapatlah bitjara lebih lama sedikit dengan sidjelita serta memandangnja beberapa kedjap lagi. Pikirnja: Untuk bisa memantjing dia bitjara dengan aku setjara sukarela sendiri, terpaksa harus mengadjak bitjara padanja mengenai diri Bujung-kongtju, ketjuali itu, segala apa tentu takkan menarik perhatiannja lagi."
Maka segera Toan Ki berkata: "Para kesatria dari segala pelosok saat ini sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh dari tokoh2 dan djago2 berbagai golongan dan aliran jang hadir disana sungguh tidak sedikit djumlahnja, sebaliknja Bujung-kongtju hanja seorang diri kalau setjara gegabah ia berani menempuh bahaja kesana, rasanja tidaklah menguntungkan baginja."
Benar djuga badan sigadis tergetar oleh karena tjerita Toan Ki itu. Tapi Toan Ki pura2 tidak tahu dan tidak berani memandang wadjah sigadis. Hanja dalam hati diam2 ia mengomel: "Perhatiannja kepada sibotjah Bujung Hok itu benar2 lain dari pada jang lain. Kalau aku memandang wadjahnja, mungkin aku sendiri akan menangis saking irinja."
Ia lihat badju sutera sigadis jang pandjang itu tiada hentinja bergemetar, suatu tanda betapa hebat guntjangan perasaannja. Kemudian terdengarlah suara sigadis jang merdu melebihi seruling itu lagi bertanja: "Tentang keadaan di Siau-lim-si itu apakah engkau tahu"
Le.........lekaslah katakan padaku."
Mendengar permohonan sigadis jang lemah-lembut itu, karena tidak tega, hampir2 Toan Ki terus mentjeritakan apa jang diketahuinja. Tapi segera terpikir olehnja: "Ah, djangan kutjeritakan sekarang. Kalau selesai kukatakan, sebentar aku tentu akan didesak pergi menanam bunga pula, dan untuk mengadjaknja bitjara lagi kelak pasti tidak mudah. Maka sekarang aku harus putar lidah sebisanja, tjerita pendek kubikin pandjang urusan ketjil sengadja aku besar2kan, setiap hari aku hanja katakan sedikit, sedapat mungkin akan kutarik se-pandjang2nja, agar setiap hari ia mesti mentjari dan mengadjak bitjara padaku, kalau mentjari aku tidak ketemu, biar dia kelabakan seperti orang gatal tapi tak bisa menggaruk."
Setelah ambil keputusan demikian, ia berdehem sekali, lalu berkata:
"Sebenarnja aku sendiri tidak paham ilmu silat, sedjuruspun tidak bisa, biarpun djurus2 jang sederhana seperti 'Kim-khe-tok-lip' (ajam emas berdiri dengan kaki tunggal) atau Hek-hou-thau-sim' (harimau kumbang mentjuri hati) segala, sama sekali aku tidak paham. Tapi dirumahku ada seorang sobat baikku bernama Tju Tan-sin berdjuluk Pit-hi-sing'
(sisastrawan ahli tulis). Djangan kau kira dia tjuma seorang peladjar jang ke-tolol2an dan lemah seperti aku, tapi ilmu silatnja, wah, lihay sekali! Satu kali aku pernah menjaksikan dia melempit kipasnja dan diputar balik, plak. gagang kipasnja tepat menutuk sekali dibahu seorang lawannja, kontan lawannja terus roboh meringkuk bagai tjatjing dan tidak berkutik pula."
"O, itu adalah ilmu Tiam-hiat dari ,,Tjing-liang-sian-hoat' djurus ke-38
jang disebut 'Tau-kut-sian' (tutukan kipas penembus tulang), tangkai kipas dipegang terbalik dan menutuk dengan miring," demikan kata sigadis.
"Rupanja Tju-siansing itu adalah orang tjabang Kun-lun-pay, mungkin adalah anak murid Sam-in-koan. Ilmu silat dari golongan ini mengutamakan memakai sendjata Pit (pensil Tionghoa) dan lebih lihay daripada memakai sendjata kipas."
Sebenarnja kalau uraian sigadis barusan ini didengar oleh Tju Tan-sin sendiri atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan Tjing-sun, tentu mereka akan terkedjut mengapa gadis jang masih muda belia itu sudah begitu luas pengetahuannja dalam hal berbagai ilmu silat dari tjabang2 lain. Bahkan hanja mendengar tjerita Toan Ki sekadarnja sadja ia sudah dapat mengatakan dengan tepat tentang asal-usul aliran ilmu silat Tju Tan-sin.
Pabila Toan Ki paham ilmu silat dan menjiarkan kepandaian sigadis itu, maka pastilah orang Kangouw akan mendjadi geger oleh peristiwa luar biasa ini.
Namun kini tjara uraian sinona djelita itu hanja sepintas lalu sadja seakan2 membitjarakan sesuatu jang umum. Sebaliknja Toan Ki djuga mendengarkan uraian sigadis itu dengan tawar sadja.
"Kemudian bagaimana?" demikian sigadis menanja pula.
"Kemudian" Wah, tjeritanja terlalu pandjang, marilah silahkan Siotjia berduduk kesana, nanti akan kutjeritakan lebih djelas," demikian Toan Ki sengadja mengulur dan menundjuk kesatu bangku batu dibawah pohon bambusana .
Namun sigadis mendjadi kurang senang, sahutnja: "Kenapa engkau suka ber-tele2 begini dan tidak tjeritakan sadja tjepat2" Aku tiada waktu untuk mendengarkan otjehanmu lagi!"
"Djika harini Siotjia tiada waktu, besok datang lagi djuga boleh, dan kalau besok tiada tempo, lusa masih dapat mentjari aku lagi, asal sadja Hudjin tidak memotong lidahku, tentu aku masih dapat bertjerita, apa jang Siotjia ingin mendengar, tentu aku akan tjeritakan se-djelas2nja."
Sigadis membanting kakinja sekali dan tidak gubris pada Toan Ki pula, ia terus berpaling dan menanja Siau Si: "Lalu Hudjin berkata apa lagi?"
"Semula Hudjin mestinja akan pergi mentjari Kongya-hudjin untuk diadjak main tjatur," kata Siau Si. "Tapi demi mendengar Bujung-kongtju telah pergi ke Siau-lim-si, ditengah djalan beliau lantas suruh putar haluan kapal untuk kembali."
"Sebab apa?" tanja sigadis. Tapi sebelum Siau Si mendjawab, ia sudah menggumam sendiri: ,,Ja, tahulah aku, tentu ibu kuatir dimintai bantuan oleh Kongya-hudjin, maka ia pikir lebih baik pura2 tidak tahu sadja."
"Siotjia," kata Siau Si kemudian, "mungkin Hudjin akan mentjari aku, hamba ingin mohon diri sadja."
Sigadis mengangguk. Dan sesudah Siau Si pergi, pelahan2 ia mendekati bangku batu jang ditundjuk Toan Ki tadi dan berduduk, namun Toan Ki tak disuruhnja berduduk, dengan sendirinja pemuda itupun tidak berani sembarangan berduduk disamping sidjelita.
Melihat sidjelita berduduk menjanding bunga kamelia putih jang djaraknja tidak djauh, bunganja indah dan gadisnja tjantik, sungguh suatu paduan jang sangat serasi. Tanpa merasa Toan Ki berkata dengan gegetun: "Dahulu Li Thay-pek suka membandingkan ketjantikan Njo Kui-hui dengan bunga Botan (peony), tapi bila dia beruntung dapat melihat Siotjia sekarang, tentu dia akan tahu betapa indahnja bunga, namun benda jang mati mana dapat membandingi sitjantik jang hidup."
"Terus-menerus engkau memudji ketjantikanku, padahal aku sendiripun tidak tahu apakah diriku betul2 tjantik atau tidak?" kata gadis.
Toan Ki mendjadi heran, katanja: "Sungguh aneh, nona tidak tahu akan ketjantikannja sendiri" Apa barangkali engkau sudah terlalu banjak mendengar pudjian serupa, maka sudah bosan rasanja?"
Sigadis menggeleng kepala pelahan, sinar matanja mengundjuk rasa jang penuh kekosongan hati, sahutnja: "Selamanja tiada seorangpun jang berkata kepadaku apakah aku ini tjantik atau tidak. Ditengah Man-to-san-tjheng sini, ketjuali ibuku, selebihnja adalah pelajan dan kaum hamba lainnja.
Mereka tjuma tahu aku adalah Siotjia, siapa peduli apakah aku tjantik atau tidak?"
"Lalu bagaimana dengan pendapat orang luar?" tanja Toan Ki.
"Orang luar apa maksudmu?" sigadis menegas.
"Umpamanja engkau keluar dan orang lain tentu akan melihat ketjantikanmu sebagai bidadari, masakah merekapun tidak berkata apa2?"
"Selamanja aku tidak perlu keluar, untuk apa aku mesti keluar" Bahkan ibu djuga melarang aku membatja ke Lang-goan-kok, bila menumpang kapal.
semua daun djendela kapalpun ditutup rapat."
"Lang-goan-kok" Djadi benar2 ada suatu tempat bernama demikian" Apa sangat banjak kitab2 jang tersimpan disana?"
"Tidak terlalu banjak, tjuma kira2 tiga-empat kamar banjaknja."
"Apakah dia djuga............... djuga tidak pernah mengatakan ketjantikanmu?" tiba2 Toan Ki menanja.
Mendengar Toan Ki menjinggung Bujung-kongtju. gadis itu menunduk dengan sedih, tiba2 tampak dua tetes air mata menggelinding djatuh dari kelopak mata sigadis. Toan Ki tertjengang sedjenak, ia tidak berani menanja lagi, tapi djuga tidak tahu tjara bagaimana harus menghibur sigadis.
Selang agak lama, kemudian barulah sigadis buka suara dengan pelahan:
"Dia djusteru selalu..........selalu sibuk, setiap hari, setiap tahun selalu sibuk sadja tiada waktu senggang sedjenakpun. Bila dia berada bersama dengan aku, kalau bukan membitjarakan ilmu silat tentu merundingkan urusan rumah tangga. Aku..... aku djusteru bentji pada ilmu silat."
"Tjotjok!" seru Toan Ki mendadak. "Aku djuga bentji pada ilmu silat!
Ajah dan pamanku selalu suruh aku beladjar silat tapi aku tidak mau, aku lebih suka minggat dari rumah."
"Tapi agar aku bisa sering berdjumpa dengan dia, biarpun dalam hati tidak suka, aku tetap tekun mempeladjarinja, bila ada diantaranja dia kurang paham, aku pasti memberi petundjuk padanja. Dia suka pada tjerita2
kuno tentang bunuh-membunuh diantara radja satu dan radja jang lain, terpaksa akupun mesti membatja untuk mentjeritakan kembali padanja".
"Aneh, mengapa engkau jang mentjeritakan padanja" Apa dia sendiri tidak dapat membatja?" tanja Toan Ki.
Gadis itu melototi Toan Ki sekali, katanja: "Memangnja apa kau sangka dia buta huruf?"
"O, tidak, tidak!" sahut Toan Ki tjepat. "Biarlah kukatakan sadja dia adalah orang paling baik didunia ini, nah puas?"
Sigadis tersenjum, katanja pula: "Ia adalah aku punja Piauko (kaka misan), tempat kami ini ketjuali Kuku dan Kubo (paman dan bibi saudara ibu) serta Piauko, selamanja tiada orang datang kemari. Tapi sedjak ibuku berselisih paham dengan Kuku, ibupun melarang Piauko datang kesini. Maka akupun tidak tahu apakah dia orang jang paling baik didunia ini atau bukan. Habis orang djahat atau orang baik didunia ini tiada seorangpun jang pernah kulihat." " berkata sampai achirnja, sigadis mendjadi terharu dan mata merah memberambang.
"Ehm, djadi ibumu adalah adik Kukumu dan ia..................... ia adalah putera Kukumu," demikian Toan Ki mengulangi
"Huh engkau benar2 ke-tolo!2an," omel sigadis dengan tertawa. "Memangnja Kuku adalah kaka ibuku dan aku adalah puteri ibuku, dia adalah Piaukoku."
Toan Ki mendjadi senang melihat sigadis dapat dipantjing tertawa, segera katanja: ,.Ah, tahulah aku sekarang. Tentu karena Piaukomu sangat sibuk dan tiada waktu buat membatja, maka engkaulah jang mewakilinja membatja."
"Boleh djuga dikatakan begitu," sahut sigadis dengan tertawa "Tetapi masih ada satu sebab lainnja. Ingin kutanja padamu, djago2 aliran manakah jang sedang mengadakan Eng-hiong-tay-hwe apa segala di Siau-lim-si?"
Toan Ki tidak mendjawab sebab ia sedang kesemsem kepada bulu mata sigadis jang pandjang hitam dengan setitik air matanja laksana embun dipagi hari itu.
Melihat pemuda itu tidak menjahut, sigadis lantas mendjawil pelahan dipunggung tangan Toan Ki dan menegur: ,,Hai, kenapakah engkau?"
Tubuh Toan Ki se-akan2 terkena aliran listrik, ia melontjat kaget dan berseru: "Haja!"
Karena tidak men-duga2, sigadis ikut kaget djuga oleh kelakuan Toan Ki jang lutju itu. "Adaapa?" tanjanja segera.
Dengan muka merah Toan Ki mendjawab: "Djarimu menjentuh tanganku, Hiat-toku mendjadi seperti kena tertutuk olehmu."
Mata sigadis terbelalak lebar, ia tidak tahu pemuda itu sedang bergurau, maka katanja dengan sungguh2: "Dipunggung tangan tiada terdapat Hiat-to, jang ada tjuma ditelapak tangan, disini......" ~ Sambil berkata ia terus angkat tangannja sendiri untuk memberi tjontoh.
Melihat djari2 tangan sigadis jang putih halus dan lantjip itu, seketika Toan Ki ter-longong2. Achirnja dengan tergagap2 ia menanja:
"No............ nona, Siapakah............ Siapakah nama mu?"
"Kelakuanmu benar2 aneh," omel sigadis dengan tersenjum. "Tapi baiklah, tiada halangannja kukatakan padamu" " Lalu ia menggores2 dengan djari diatas punggung tangan sendiri untuk menulis tiga huruf "Ong Giok-yan".
Toan Ki rada tertjengang oleh nama orang, pikirnja: "Gadis setjantik ini mengapa pakai nama jang begitu umum" Pantasnja ia harus mempunjai nama jang romantis dan puitis." " Tapi sesudah dipikir pula. Toan Ki ketok2
djidatnja sendiri dan berseru: ,Ja, bagus, bagus sekali namamu ini!
Memangnja engkau mirip seekor burung Yan (lajang2) jang sutji murni dan terbang bebas diangkasa!"
"Nama setiap orang memang suka jang lebih enak didengar dan bermakna jang baik pula, banjak djuga pendjahat2 dan pengchianat2 jang bernama bagus, sebaliknja perbuatannja tidak dapat dipudji. Engkau sendiri bernama Toan Ki, apa engkau punja Beng-ki (nama baik) telah benar2 baik"
Haha, mungkin agak sedikit."
"Sedikit dogol bukan?" sambung Toan Ki. Maka tertawalah keduanja dengan terbahak2.
Sebenarnja wadjah Ong Giok-yan senantiasa dirundung rasa murung, tapi kini ia benar2 merasa senang dengan muka terang ber-seri2.
Diam2 Toan Ki gegetun: "Tjoba bila selama hidup aku dapat membuat engkau selalu tertawa, rasanja hidupku ini takkan mengharapkan apa2 lagi."
Tak terduga kegembiraan Ong Giok-yan itu hanja terdjadi dalam waktu singkat sadja, kembali sorot matanja tampak saju menanggung sesuatu pikiran. Katanja dengan pelahan2: "Dia... dia selalu bersikap sungguh2
dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai, Yan Kok, selalu Yan Kok, apa benar begitu pentingnja bagimu?"
Sebagai seorang sastrawan jang banjak membatja kitab2 kuno, demi mendengar kata2 "Yan Kok" itu, seketika beberapa istilah jang pernah didengarnja paling achir ini sekaligus teringat olehnja dan dirangkainja mendjadi satu: Bujung-si, Yan-tju-oh, Som-hap-tjeng, Yan Kok............... Tanpa terasa lantas sadja tertjetus kata2 dari mulutnja: ,,He djadi Bujung-kongtju ini adalah keturunan Bujung-si dari suku Sianbi pada djaman Ngo-oh-loan-hoa" Apa dia adalah orang asing dan bukan bangsa Tionghoa?" *)
*) Ngo-oh-loan-hoa "Lima suku bangsa asing mengatjau Tiongkok (tahun 304-430) pada djaman dinasti Chia. Jaitu suku2 bangsa Hun, Sianbi, Chieh, Chi dan Chiang. Sianbi = Diduga berasal dari kata Siber (Siberia), djadi rumpun bangsa Siberid.
"Ja, dia memang anak tjutju keturunan Bujung-si dari Yan Kok (negeri Yan) pada djaman Ngo-oh. Tapi sudah beratus tahunnja, mengapa dia masih tidak melupakan peristiwa leluhurnja" Dia tidak suka mendjadi orang Tionghoa tapi lebih suka mendjadi orang Oh (asing), bahkan tulisan Tionghoa takmau dipeladjari dan kitab Tionghoa takmau dibawanja. Pernah satu kali aku minta dia menulis bahasa Tionghoa dan dia lantas marah2" ~
Berbitjara tentang Bujung-kongtju, rupanja Ong Giok-yan mendjadi begitu kesemsem, ia memandang djauh kedepan, lalu tuturnja pula dengan penuh nada rindu: "Ia lebih tua sepuluh tahun dariku, selamanja pandang aku sebagai adiknja jang masih ketjil, ia sangka aku tjuma tahu membatja dan beladjar silat, hal2 lain tidak paham. Padahal kalau bukan untuk dia, aku benar2 tidak sudi beladjar permainan begituan, aku lebih suka piara ajam, tulis menulis atau petik khim."
"Masakah ia sama............ sama sekali tidak tahu engkau begitu baik kepadanja?" tanja Toan Ki dengan suara tak lampias.
"Sudah tentu ia tahu, makanja iapun sangat baik padaku." sahut Giok-yan.
,,Tapi kebaikannja padaku hanja............ hanja kebaikan seperti saudara sekandung dan tidak lebih dari itu. Selamanja ja tidak pernah katakan padaku bagaimana perasaannja dan selamanja tidak pernah pula menanjakan bagaimana isi hatiku." " berkata sampai disini, pipi sigadis mendjadi bersemu merah hingga makin menambah ketjantikannja jang menggiurkan.
Sebenarnja Toan Ki ingin berkelakar untuk menanja sigadis apa isi hatinja, tapi kuatir disemprot pula, ia mendjadi urung, hanja tanja dengan tersenjum: "Engkau toh dapat menolak untuk bitjara tentang ilmu silat dan membatja padanja.Pula engkau toh dapat mengutarakan perasaanmu dengan berpantun atau bersjair?" " Ia maksudkan sigadis mestinja toh dapat memantjing perasaan tjinta Bujung-kongtju dengan pantun2 dan sjair pertjintaan. Tapi selesai diutjapkan, ia mendjadi menjesal telah kelandjur omong. Pikirnja: "Wah, kenapa aku begini goblok mengadjar demikian padanja?"
Sebaliknja Giok-yan mendjadi malu mendengar adjaran Toan Ki itu, tjepat sahutnja: "Mana............ mana boleh begitu" Aku adalah anak gadis jang pegang aturan, mana boleh aku dipandang hina oleh Piauko karena kelakuanku itu?"
"Ja, ja. benar! Aku jang salah omong!" sahut Toan Ki. Diam2 iapun memaki dirinja sendiri mengapa mengadjarkan seorang gadis sutji murni untuk berbuat hal2 jang menjeleweng"
Selamanja Giok-yan tidak pernah mengutamakan isi hatinja kepada siapapun. Tapi aneh, sesudah bertemu dengan Toan Ki jang bersifat bebas lepas, entah mengapa ia mendjadi menaruh kepertjajaan penuh dan mentjeritakan segala isi hatinja jang penuh manisnja madu itu. Padahal diam2 ia mentjintai dan merindukan sang Piauko, sudah tentu A Tju, A Pik.
Siau Si, Siau Teh dan dajang2 lain sudah tahu semua, tjuma sadja mereka tidak berani mengatakan.
Setelah Giok-yan mengutarakan isi hatinja, rasa masgulnja mendjadi sedikit hilang, katanja kemudian: "Sudah sekian banjak aku mengobrol padamu, tapi belum lagi kita berbitjara tentang persoalan pokoknja. Tjoba katakanlah, djago2 darimana sadja jang sudah berkumpul di Siau-lim-si dan mengapa mereka hendak melabrak Piaukoku?"
"Ketua Siau-sim-si bergelar Hian-tju Taysu, beliau mempunjai Seorang Sute jang bergelar Hian-pi Taysu," tutur Toan Ki "Hian-pi Taysu itu paling mahir ilmu 'Kim-kong-tju' (gada badju raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu itu telah kena dibunuh orang dan tjara musuh membinasakannja itu djusteru menggunakan ilmu 'Kim-kong-tju' jang paling diandalkan oleh Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan mereka, tjara membunuh orang demikian itu adalah tjiri perbuatan Bujung-si dari Koh-soh jang disebut 'Ih-pi-tji-to, hoan-pi-tji-sin' (gunakan tjaranja untuk dipakai atas dirinja). Sebab itulah Siau-lim-pay bertekad hendak membalas dendam kepada Bujung-si. Tjuma ilmu silat Bujung-si teramat lihay, mereka kuatir susah melawan, maka mengundang banjak kawan2 lain untuk berunding tjara bagaimana menghadapi musuh."
"Masuk diakal djuga tjeritamu ini." udjar Giok-yan. "Lalu ada siapa lagi ketjuali tokoh2 Siau-lim-pay?"
"Masih ada seorang jang bernama Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, katanja djuga tewas dibawah ilmu rujung andalannja sendiri jang disebut 'Leng-tjoa-siam-keng' (ular sakti melilit leher), maka Sute dan muridnja djuga ingin menuntut balas pada Bujung-si. Ketjuali itu, masih ...........
masih banjak lagi jang aku tidak kenal."
Sudah tentu ia tidak berani mengatakan bahwa Toan-si mereka dari Tayli djuga ikut tjampur dalam urusan itu.
"Aku kenal tabiat Piauko, bila dia tahu ada orang begitu banjak akan memusuhinja, tanpa menunggu orang datang padanja, lebih dulu ia sudah lantas pergi kesana." kata Giok-yan. "Tjuma, belum tentu ia dapat memahami ilmu silat dari aliran2 sebanjak itu. Apalagi mereka berdjumlah banjak, bila mengerubut serentak, tentu akan susah dilawan."
Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara orang berlari mendatang!, kiranja adalah Siau Si dan Yu Tjhau. Dengan kuatir Yu Tjhau lantas berseru: "Wah, tjelaka Siotjia! Hudjin telah memerintahkan agar A Tju dan A Pik......" " berkata sampai disini mulut Yu Tjhau serasa tersumbat dan tidak sanggup meneruskan lagi.
Maka tjepat Siau Si menjambung: "Mereka hendak dipotong kaki dan tangannja sebagai hukuman kesalahan mereka berani datang ke Man-to-san-tjheng ini. Siotjia, bag.........bagaimana baiknja ini?"
"Wah, djika begitu, engkau harus lekas mentjari akal untuk menolong mereka, nona Ong!" seru Toan Ki ikut kuatir.
Giok-yan djuga sangat kuatir, katanja: "A Tju dan A Pik adalah pelajan pribadi Piauko, kalau mereka dibikin tjatjat, bagaimana aku harus bitjara dengan Piauko. Mereka berada dimana Yu Tjhau?"
Mendengar Siotjia mereka ada maksud menolong A Tju dan A Pik, segera Yu Tjhau menjahut: "Hudjin memerintahkan menggusur mereka ke 'Hoa-pui-pang'
(kamar rabuk bunga). Aku telah mohon kepada nenek galak disana itu agar menunda hukuman setengah djam lagi, maka sekarang djuga Siotjia pergi minta ampun kepada Hudjin mungkin masih keburu.
Walaupun Giok-yan tidak berani jakin usahanja akan berhasil, tapi toh tiada djalan lain, terpaksa ia mengangguk, segera ia bertindak pergi bersama Yu Tjhau dan Siau Si. Tinggal Toan Ki jang berdiri kesima ditempatnja sambil memandangi bajangan sigadis jang menghilang dibalik semak2 bungasana .
Ketika Giok-yan sampai dikamar sang ibu, ia lihat ibunja sudah berduduk sila, didepannja dupa mengepul ditengah Hiolo, terang ibunda sedang akan bersemadi. Ia tahu bila ibunda sudah mulai semadi, betapapun besarnja urusan djuga tidak dapat mengganggunja. Maka tjepat ia berdatang sembah:
"Mak, ada sedikit urusan ingin kubitjarakan."
Pelahan2 Ong-hudjin membuka matanja, dengan wadjah kereng ia menanja:
"Urusan apa" Kalau ada sangkut-pautnja dengan keluarga Bujung, aku tidak ingin mendengarkan."
"Mak. A Tju dan A Pik toh tidak sengadja datang kesini, maka sukalah engkau mengampuni mereka.' pinta sigadis.
"Darimana kau tahu mereka tidak sengadja?" tanja Ong-hudjin. "Hm, tentu kau kuatir Piaukomu takkan gubris padamu lagi bila aku memotong kakitangan mereka, bukan?"
Dengan mengembeng air mata Giok-yan mendjawab: "Piauko toh terhitung keponakanmu sendiri, mengapa......mengapa ibu mesti membentjinja sedemikian rupa" Andalkan Kaku berbuat salah padamu, tidak perlu djuga Piauko jang engkau bentji. Dengan berani Giok-yan sekaligus mengutjapkan kata2nja itu, Tapi segera ia berdebar2 takut mengapa dirinja berani kurangadjar membantah kepada sang ibu.
Sinar mata Ong-hudjin menjorot sekilas bagai kilat dimuka puterinja itu, untuk sedjenak ia tidak bitjara lagi dan matanja lantas dipedjamkan pula.
Dengan menahan napas Giok-yan berdiri terpaku disitu, ia tidak tahu apa jang sedang dipikirkan ibundanja.
Selang agak lama barulah Ong-hudjin membuka matanja pula dan berkata:
"Kau mengetahui Kuku berbuat salah padaku" Dimana letak kesalahannja"
Tjoba katakan!"
Mendengar pertanjaan jang bernada tadjam dan dingin itu, seketika Giok-yan mendjadi bungkam dan takut.
"Tjobalah katakan. Toh usiamu sekarang sudah dewasa, boleh tak usah menurut kataku lagi," demikian Ong-hudjin.
Tak tertahan lagi air mata Giok-yan ber-linang2, sahutnja dengan penasaran dan takut pula: "Mak, engkau......sedemikian bentji kepada Kuku, dengan sendirinja disebabkan Kuku berdosa padamu. Akan tetapi apa kesalahannja, selamanja ibu tidak mengatakan padaku."
"Kau pernah mendengar dari orang lain tidak?" tanja Ong-hudjin dengan suara bengis.
"Tidak," sahut Giok-yan sambil menggeleng kepala. "Selamanja ibu melarang aku keluar Man-to-san-tjheng ini, orang luar djuga dilarang masuk kemari, dari siapa aku dapat mendengar?"
Ong-hudjin menghela napas lega pelahan, nada suaranja sekarang djuga lebih halus, katanja: "Semuanja itu adalah demi kebaikanmu. Orang djahat didunia ini terlalu banjak, dibunuh djuga tidak bisa habis. Usiamu masih muda, seorang gadis lebih baik djangan bertemu dengan orang djahat," " Ia merandek sedjenak, tiba2 teringat sesuatu olehnja, segera ia menjambung:
"Seperti situkang kebun she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar lidah, pastilah bukan seorang baik2. Maka kalau dia berani omong sepatah sadja padamu, seketika kau membunuhnja, djangan membiarkan dia omong jang kedua kalinja."
Giok-yan terdiam, ia pikir: "Djangankan tjuma sepatah-dua-kata, sekalipun seratus patah duaratus kata djuga sudah lebih."
Melihat puterinja diam sadja, Ong-hudjin menegur: "Kenapa kau" Apa kau tidak tega" Gadis berhati lemas seperti kau ini, selama hidupmu entah bakal mengalami betapa banjak diperdaja orang." " Lalu ia tepuk tangan dua kali dan Siau Si segera tampak masuk. Ong-hudjin berkata padanja:
"Sampaikan perintahku bahwa siapapun dilarang bitjara dengan orang she Toan itu. Siapa jang melanggar, lidah keduanja akan diiris semua."
Siau Si mengia dengan wadjah kaku tanpa perasaan se-akan2 apa jang dikatakan Ong-hudjin adalah sesuatu hal jang sudah biasa mirip orang memotong babi atau menjembelih ajam sadja lalu iapun mengundurkan diri.
"Nah, pergilah kau!" kata Ong-hudjin kemudian sambil memberi tanda kepada Giok-yan.
Sigadis mengia. Tapi sampai diambang pintu, ia berhenti dan menoleh, katanja: "Mak, engkau mengampuni A Tju dan A Pik sadja dan peringatkan mereka lain kali djangan berani lagi datang kemari."
"Apa jang sudah kukatakan kapan pernah kutarik kembali" Pertjumalah meski kau banjak bitjara pula," sahut Ong-hudjin.
Tiba2 Giok-yan meng-gigit2 gigi dan berkata dengan pelahan: "Kutahu sebab apa ibu bentji pada Kuku dan mengapa pula bentji pada Piauko." "
Habis berkata, ia terus putar tubuh dan bertindak keluar.
"Kembali!" bentak Ong-hudjin mendadak.
Giok-yan tidak berani membangkang, dengan kepala menunduk ia masuk kembali kedalam kamar.
Sambil memandangi tubuh puterinja jang agak gemetar itu, Ong-hudjin bertanja: "Apa jang kau ketahui. Yan-dji" Tjoba katakanlah terus terang, tidak perlu kau membohongi aku."
"Kutahu...kutahu ibu menjesalkan Kuku tidak betjus dan gemas pada Piauko jang kurang giat melatih silat sehingga tidak dapat mengembangkan
'Bujung-tjong' jang tiada tandingannja didunia ini." demikian sahut Giok-yan dengan menggigit bibir.
Ong-hudjin mendjengek sekali, katanja: "Hm. anak ketjil tahu apa" Ibumu sudah lama tidak she Bujung lagi, tahu" Peduli apa 'Bujung-tjong' dapat mendjagoi dunia atau tidak, aku tidak pusing lagi."
"Kutahu ibu menjesal bukan orang lelaki hingga tidak dapat membangun kembali 'Bujung-tjong', makanja ibu menjalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun beladjar silat, tapi tjuma men-tjita2kan pembangkitan kembali negeri Yan".
"Siapa jang berkata demikian padamu?" tanja Ong-hudjin dengan kereng.
"Tak usah orang mengatakan djuga anak dapat membade", sahut Giok-yan.
"Hm, tentu Piaukomu jang katakan padamu, bukan?"
Giok-yan tidak berdusta kepada sang ibu, tapi djuga tidak mengakui pertanjaan itu. Ia hanja bungkam sadja.
Maka Ong-hudjin berkata pula: "Usia Piaukomu lebih tua 10 tahun darimu, tapi tidak beladjar jang baik, setiap hari hanja gentajangan kian kemari entah apa jang dikerdjakan hingga ilmu silatnja masih djauh dibawahmu.
Sungguh bikin malu nama baik Bujung-si sadja. Selama ratusan tahun ini betapa tenar nama kebesaran 'Koh-soh Bujung-si', akan tetapi bagaimana dengan ilmu silat Piaukomu itu" Apa dia sesuai menjebut dirinja keturunan Bujung-si?"
Dengan wadjah sebentar merah sebentar putjat Giok-yan mendengarkan utjapan ibunja jang ada benarnja djuga itu. Seketika ia mendjadi tidak dapat mendjawab.
Lalu Ong-hudjin meneruskan: "Sekarang katanja dia telah pergi Siau-lim-si, tentulah budak2 jang tjeriwis itu buru2 datang memberitahu kepadamu.
Hm, dia berani pergi ke Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah tertawaan orang disana" Bahkan aku akan berterima kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak pertjaja seorang kerotjo begitu adalah anak tjutju Bujung-si dari Koh soh. Lebih bagus lagi djika djiwanja akan melajang sekalian hingga asal-usulnja pun susah diusut."
"Mak." kata Giok-yan tiba2 sambil melangkah madju, "harap engkau pergilah menolongnja. Betapapun Piauko adalah satu2nja keturunan keluarga Bujung. Pabila terdjadi apa2 atas dirinja, musnalah selandjutnja keturunan Bujung-si dari Koh-soh' .
"Hm, musna" Mereka tidak pikirkan diriku, buat apa aku mesti memikirkan mereka" Sudahlah pergisana , pergi!"
"Mak. Piauko toh............"
Namun Ong-hudjin lantas membentaknja dengan bengis: "Makin lama kau semakin berani ja?"
Dengan tjemas dan mengembeng air mata, terpaksa Giok-yan bertindak keluar dengan kepala menunduk. Hatinja bingung dan tak berdaja. Sampai diserambi baratsana , tiba2 didengarnja teguran seorang dengan suara tertahan: "Bagaimana hasilnja, nona?"
Waktu Giok-yan mendongak, kiranja adalah Toan Ki. Tjepat ia menjahut:
"Engkau djang............ djangan bitjara lagi dengan aku."
Kiranja sesudah ditinggal pergi Giok-yan tadi. Toan Ki mendjadi seperti kehilangan sesuatu. Dengan tanpa sadar kemudian ia mengikutinja dan menunggu dari djauh. Begitu melihat sigadis sudah keluar dari kamar Ong-hudjin, segera ia memapaknja dan menanja. Melihat wadjah Giok-yan mengundjuk sedih dan putus asa, ia tahu permintaannja tentu telah ditolak Ong-hudjin. Maka katanja segera: "Seumpama ibumu tidak mau mengabulkan permintaan nona, toh kita harus mentjari akal lain."
Hlm 57. Gambar KetikaGiok-yan berdjalan sampai diserambi belakang
dengan rasa tjemas dan bingung, tiba2 ia ditegur oleh seseorang jang ternjata Toan Ki adanja. Tjepat Giok-yan berkata: "Djangan.... djangan engkau mengadjak
bitjara padaku lagi!"
"Kalau ibu sudah menolak permohonanku, akal apa jang dapat kau pakai ?"
sahut sigadis. "Piauko lagi terantjam bahaja, tapi dia..... dia tega membiarkannja." " Dan saking terharunja, air matanja hampir2 menetes.
"O, kiranja Bujung-kongtju sedang terantjam bahaja ......" tiba2 Toan Ki teringat sesuatu, tjepat ia menjambung pula : "He, ilmu silatmu toh lebih tinggi dari Piaukomu, kenapa engkau sendiri tidak pergi menolongnja?"
Kedua mata sigadis terbelalak lebar heran se-akan2 tiada sesuatu utjapan lain didunia ini jang lebih aneh daripada utjapan Toan Ki itu. Selang agak lama barulah ia berkata : "Tjara bagaimana aku ..... aku bisa pergi
" Ibu lebih2 tidak mungkin mengidjinkan."
"Sudah tentu ibumu takkan mengidjinkan, namun engkau sendiri toh dapat pergi setjara diam2 ?" udjar Toan Ki dengan tersenjum. "Aku sendiri sudah pernah minggat dari rumah, kemudian waktu aku pulang, ajah dan ibu djuga tjuma mengomel sadja padaku."
Mendengar uraian itu, seketika Giok-yan se-akan2 orang bodoh jang mendadak mendjadi pintar. Katanja dalam hati: "Benar, mengapa aku tidak pergi setjara diam2 untuk menolong Piauko, andaikan nanti ibu mendamperat aku, toh nasi djuga sudah mendjadi bubur, Piauko sudah dapat kuselamatkan. Orang ini mengatakan pernah minggat dari rumahnja, ja, mengapa aku sendiri tidak pernah memikirkan hal itu ?"
Melihat sigadis ragu2, segera Toan Ki menghasut lebih landjut: "Orang hidup seperti engkau sebenarnja akan merasa bosan djuga. Apakah engkau akan tinggal ditengah Man-to-san-tjheng ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi melihat dunia luar jang indah permai itu ?"
"Apanja jang indah?" sahut Giok-yan menggeleng kepala. "Jang kupikirkan hanja untuk membantu Piauko sadja karena dia sedang menghadapi bahaja Namun aku sendiri belum pernah melangkah keluar rumah, dimana letak Sian-lim-si djuga aku tidak tahu."
Tanpa diminta lagi segera Toan Ki mengadjukan diri sebagai
'Sukarelawan', katanja tjepat: "Aku akan membawa engkau kesana, segala apa ditengah djalan biarlah aku jang menguruskan bagimu."
Namun Giok-yan masih ragu2. Maka Toan Ki bertanja pula: "Dan bagaimana dengan A Tju dan A Pik ?"
"Ibu djuga tidak mau mengampuni mereka," sahut sigadis.
"Sekali berbuat, djangan tanggung2 lagi. Pabila A Tju dan A Pik dikutungi kakitangan mereka, tentu Piaukomu akan menjalahkan engkau.
Marilah kita pergi menolong mereka sekalian dan kita berempat lantas minggat bersama!"
Giok-yan melelet lidah, katanja kuatir: "Perbuatan durhaka seperti ini tentu takkan diampuni ibuku. Njalimu ini benar2 setinggi langit."
Toan Ki tahu sigadis susah dibudjuk ketjuali memperalat Piauko jang ditjintainja itu. Maka ia sengadja berkata : "Djika demikian, marilah kita berdua sadja sekarang lantas berangkat, biarlah A Tju dan A Pik dibikin tjatjat oleh ibumu. Kelak bila engkau ditanja Piaukomu, djawablah engkau tidak tahu dan akupun tidak akan membotjorkan rahasiamu ini."
"Mana boleh djadi," sahut Giok-yan. "Dengan demikian, berarti aku mendustai Piauko bukan?" ~ Tapi sesudah memikir sedjenak, achirnja ia mengambil keputusan, katanja tiba2: "Marilah ikut padaku!"
Melihat sigadis telah berdjalan kearah barat setjepat terbang, buru2
Toan Ki ikut berlari menjusulnja.
Tidak lama Giok-yan telah sampai didepan sebuah rumah batu. Dari luar gadis itu terus berseru: "Peng-mama (ibu Peng), marilah keluar, aku ingin bitjara padamu."
Maka terdengarlah suara orang ketawa ter-kekeh2, lalu suara seorang berkata dengan serak: "Nona baik, apakah engkau sengadja datang kemari untuk melihat Peng-mama membuat rabuk bunga?"
Tadi waktu Toan Ki mendengar laporan Siau Si dan Yu Tjhau bahwa A Tju dan A Pik telah digusur ke "Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak perhatikan tentang istilah itu. Tapi kini demi mendengar kata2 "rabuk bunga" dan diutjapkan orang dengan suara seram itu, mendadak ia terperandjat dan berpikir: "Hoa-pui-pang apa maksudnja" Apakah rabuk tanaman bunga" Haja, memang benarlah begitu! Ong-hudjin sangat kedjam, suka membunuh orang untuk didjadikan rabuk bunga kamelia. Wah, untung kedatangan kami tepat waktunja, kalau tidak, tentu kaki dan tangan kedua dajang itu sudah dipotong untuk didjadikan rabuk."
Dalam pada itu Giok-yan sedang berkata lagi: "Peng-mama, engkau dipanggil ibu, hendaklah engkau lekas kesana."
"Peng-mama sedang repot," sahut suara tadi dari dalam rumah. "Adaurusan penting apakah hingga Hudjin menjuruh Siotjia memanggil kesini?"
"Kata Ibu .............." Giok-yan tidak meneruskan, tapi ia lantas melangkah masuk kedalam rumah batu itu. Segera terlihat olehnja A Tju dan A Pik telah diikat kentjang pada dua pilar besi, mulut mereka tersumbat, hanja air mata mereka sadja ber-linang2, tapi takdapat bersuara.
Lega hati Toan Ki sesudah melongok kedalam rumah dan melihat keadaan A Tju dan A Pik masih baik2 tak kurang sesuatu apa. Tapi djantungnja kembali ber-debar2 pula ketika dilihatnja didalam rumah situ terdapat seorang nenek tua jang sudah bungkuk, rambut putih bagaikan perak, tangannja menghunus sebilah pisau djagal, disampingnja terdapat satu baskom air mendidih.
"Peng-mama." demikian Giok-yan berkata pula, "ibu ingin tanja mereka tentang sesuatu hal penting, maka engkau disuruh melepaskan mereka."
Ketika nenek itu menoleh, sekilas Toan Ki dapat melihat kedua siungnja jang kuning dan lantjip hingga mirip hantu jang menakutkan, tanpa merasa iapun bergidik. Ia dengar nenek itu sedang berkata: "Baiklah, sesudah ditanja, kirim kembali lagi kesini untuk dipotong kaki dan tangan mereka." " Lalu nenek itupun menggumam pula: "Peng-mama selamanja paling tidak suka melihat anak dara jang tjantik, maka kedua budak ini harus ditabas tangan kakinja, supaja lebih menarik kalau dipandang."
Toan Ki mendjadi gusar, ia pikir nenek ini tentu sangat djahat, entah sudah betapa banjak orang jang dibunuh olehnja. Sajang dirinja sendiri tidak punja tenaga, kalau tidak, ingin sekali ia dapat memberi persen beberapa kali tamparan pada nenek djahat itu.
"Siapa itu jang berada diluar?" mendadak Peng-mama menanja. Njata biarpun usianja sudah landjut, namun pendengarannja masih sangat tadjam.
Suara napas Toan Ki jang memburu karena menahan rasa gusar itu segera dapat didengarnja. Ketika ia melongok keluar dan melihat pemuda itu, seketika timbul rasa tjuriganja, tanjanja: "Siapa kau?"
"Aku adalah tukang kebun jang disuruh menanam bunga oleh Hudjin," sahut Toan Ki dengan berlagak tertawa. "Peng-mama, apakah sudah sedia rabuknja?"
"Tunggulah sebentar, tidak lama lagi tentu akan tersedia," sahut Peng-nama. Lalu ia berpaling kembali dan menanja Giok-yan: "Siotjia, Bujung-siauya sangat sajang kepada kedua pelajannja ini bukan?"
Dasar Giok-yan memang tidak biasa berdusta, maka djawabnja tanpa pikir:
"Ja. Makanja lebih baik djangan engkau melukainja."
"Dan saat ini Hudjin sedang bersemadi bukan, Siotjia?" tanja pula Peng-mama.
"Ja," sahut Giok-yan. Tapi segera ia tutup mulutnja sendiri ketika sadar telah salah omong.
Diam2 Toan Ki mengeluh: "Ai, Siotjia ini benar2 luar biasa, berdusta sedikitpun tidak bisa".
Untunglah Peng-mama itu seperti orang tua jang sudah pikun dan tidak perhatikan kesalahan itu, terdengar ia berkata pula: "Siotjia, tali pengikutnja ini sangat kentjang, harap engkau suka bantu melepaskannja."
" Sembari berkata ia terus mendekati A Tju jang diringkus diatas pilar itu untuk melepaskan tali pengikatnja.
Hlm 61 Gambar SesudahPeng -mama lemas lunglai karena tenaganja habis tersedot Tju-hap-sin-kang, kemudian Toan Ki melepaskan rangkulannja dileher nenek itu dan mentjekal tangan
kirinja sambil memerintahkan:
"Sekarang lekas lepaskan Siotjiamu!"
Giok-yan mengiakan atas permintaan Peng-mama tadi sambil mendekatinja.
Diluar dugaan, mendadak terdengar suara "krak" sekali, dari dalam pilar besi itu tahu2 mendjulur keluar sebatang badja melingkar bulat hingga tepat pinggang sigadis kena terkurung.
Keruan Giok-yan mendjerit kaget. Namun gelang badja itu sangat kuat, untuk melepaskan diri teranglah sangat sulit.
Toan Ki terkedjut djuga oleh kedjadian itu, tjepat ia memburu masuk dan membentak: "Apa jang kau lakukan" Lekas melepaskan Siotjia'"
Peng-mama ter-kekeh2 seram pula, sahutnja: "Katanja Hudjin sedang bersemadi, mengapa kedua budak ini bisa dipanggil kesana" Banjak sekali pelajannja Hudjin, masakah perlu menjuruh Siotjia sendiri memanggil kesini" Didalam ini tentu ada apa2nja, silahkan engkau menunggu dulu disini Siotjia!"
Kiranja "Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga itu adalah tempat Ong-hudjin menghukum atau membunuh orang. Didalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat rahasia untuk membikin tawanannja takbisa berkutik.
Peng-mama itu dahulunja adalah seorang begal wanita jang terkenal sangat kedjam, entah sudah berapa banjak djiwa manusia telah mendjadi korban keganasannja. Tapi ia telah ditaklukan oleh Ong-hudjin, dan karena orangnja sangat tjerdik dan radjin, maka ia diberi tugas melakukan kekedjaman dikamar rabuk ini.
Peng-mama memang sangat tjerdik, ia melihat tingkah-laku Giok-yan sangat mentjurigakan, iapun tahu Ong-hudjin biasanja sangat bentji kepada keluarga Bujung. Ia pikir ilmu silat Siotjia sangat tinggi, dirinja pasti bukan tandingannja, pabila tidak turut perintahnja, mungkin gadis itu akan berbuat dengan kekerasan. Karena itulah dengan muslihatnja ia telah kurung Giok-yan dengan gelang badja, salah satu pesawat rahasia jang terpasang dipilar besi situ.
Maka Giok-yan mendjadi gusar, bentaknja: "Kurangadjar, kau berani padaku" Lekas lepaskan aku!"
"Siotjia," sahut Peng-mama, "aku selalu djudjur mendjalankan tugas, sedikitpun tidak berani bikin salah. Maka ingin kutanja Hudjin dahulu, bila memang benar beliau suruh melepaskan kedua budak ini, tentu aku akan mendjura pada Siotjia untuk minta maaf."
Keruan Giok-yan bertambah gugup, serunja: "Hei, hei, djangan engkau tanja Hudjin, ibuku tentu akan marah!"
Sebagai seorang jang banjak pengalamannja, Peng-mama semakin jakin sigadis itu hendak main gila diluar tahu ibunja. Ia mendjadi girang telah berdjasa bagi madjikannja, maka katanja segera: "Baiklah, baiklah!
Silahkan Siotjia tunggu sebentar, segera aku akan kembali!"
"Engkau lepaskan aku dahulu!" seru Giok-yan.
Namun Peng-mama sudah tidak gubris padanja lagi, dengan langkah tjepat segera ia hendak bertindak keluar.
Melihat keadaan sudah gawat, tanpa pikir lagi Toan Ki terus pentang kedua tangannja merintangi kepergian sinenek sambil berkata dengan tertawa: "Harap engkau bebaskan Siotjia dahulu, kemudian barulah engkau pergi melapor kepada Hudjin. Betapapun dia adalah puteri madjikanmu, bila engkau bikin susah padanja, tentu takkan menguntungkan engkau sendiri."
Diluar dugaan, mendadak Peng-mama membaliki tangannja dan tahu2 sebelah tangan Toan Ki kena ditangkap olehnja. Karena urat nadi tergenggam, seketika tubuh Toan Ki mendjadi lumpuh, meski tenaga dalam Toan Ki luar biasa kuatnja, tapi sajang ia tidak dapat menggunakannja. Maka ia kena diseret oleh Peng-mama kedepan pilar, ketika nenek itu menekan pesawat rahasia pula, "krak", dari pilar besi jang lain mendadak mendjulur keluar pula gelang badja hingga pinggang Toan Ki djuga terdjepit.
Tadi begitu tangan Peng-mama memegang pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia merasa tenaga dalamnja tiada hentinja merembes keluar dan rasanja sangat menderita. Maka sesudah pemuda itu dikurung oleh gelang badja, segera ia melepaskan tjekalannja.
Merasa tjekalan nenek itu telah dikendorkan, dalam gugupnja tanpa pikir lagi Toan Ki terus menjikap leher Peng-mama dengan kedua tangannja sambil berteriak: "Djangan kau pergi!"
Keruan Peng-mama kaget oleh rangkulan itu, dengan gusar ia membentak:
"Lekas lepaskan!" " Dan karena ia bersuara, tenaga dalamnja jang merembes keluar itu semakin santer.
Sedjak mendapat peladjaran sang paman ketika berada di Thian-liong-si, kini Toan Ki sudah paham tentang ilmu memusatkan hawa murni kedalam perut. Maka tenaga dalam jang disedotnja itu segera dapat ditabung terus kedalam pusatnja.
Ber-ulang2 Peng-mama me-ronta2, namun sedikitpun ia tidak sanggup melepaskan diri dari sikapan Toan Ki. Ia mendjadi takut luar biasa dan ber-teriak2: "Hai, engkau mahir......... Hoa-kang-tay-hoat"
Lekas.........lepaskan aku."
Karena leher Peng-mama jang disikap, Toan Ki mendjadi muka berhadapan muka dengan nenek itu, djaraknja tjuma belasan senti sadja, maka ia dapat melihat nenek tua itu sekuatnja berusaha melepaskan diri dengan meringis, giginja jang kuning penuh gudal dengan siungnja jang lantjip, napasnja berbau batjin pula. Toan Ki mendjadi muak dan hampir2 muntah. Tapi iapun insaf dalam saat berbahaja itu, kalau ia melepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman dari sang ibu dan dirinja sendiri bersama A Tju dan A Pik djuga tak terhindar dari kematian. Karena itulah terpaksa ia mesti menahan napas dan pedjamkan ia tidak pandang Peng-mama lagi, tapi membiarkannja kelabakan sendiri.
"Kau............kau mau melepaskan aku tidak!" teriak Peng-mama pula dengan nada mengantjam. Akan tetapi napas ada tenaga sudah berkurang.
Sambung ke jilid 10
Ini jilid 39 Sang dewi malam memantjarkan sinarnja jang terang ditengah tjakrawala, sinar bulan itu menembus kedalam kamar melalui tjelah2 djendela. Saat itu Toan Ki masih guling-gulantang takbisa pulas. Achirnja pelahan2 ia bangun dan keluar kepelataran tengah kelenting, disitu tumbuh dua batang pohon waru jang rindang.
Tatkala itu adalah achir musim panas, tapi ditengah malam didaerah sekitar Kamsiok situ hawa sudah terasa agak dingin. Toan Ki mondar-mandir dibawah pohon waru itu, lapat2 ia merasa luka didadanja agak sakit, ia tahu tentu siang harinja telah banjak bergerak sehingga membikin luka itu kambuh kembali.
Sebab apakah dia ingin membunuh diri" demikian timbul pula pertanjaan ini didalam benaknja.
Karena pertanjaan itu tetap sukar dipetjahkan, achirnja ia melangkah keluar kelenting. Dibawah sinar bulan jang terang itu tiba2 dilihatnja ada berkelebatnja bajangan orang ditepi empang dikedjauhan sana. Lapat2
bajangan orang itu seperti kaum wanita, bahkan mirip bangun tubuhnja Giok-yan.
Toan Ki terkedjut: Wah, tjelaka, djangan2 dia... dia hendak membunuh diri lagi.
Tjepat ia gunakan Ginkang untuk memburu kesana. Sekali dia keluarkan langkah Leng-po-wi-poh jang adjaib, maka tjepatnja bukan main dan tak bersuara seperti orang meluntjur diatas air, hanja sekedjap sadja ia sudah berada dibelakang bajangan orang itu.
Air empang jang tenang dan bening sebagai katja itu telah mentjerminkan muka orang itu dengan djelas, memang betul dia adalah Giok-yan.
Toan Ki tidak berani sembarangan menegurnja, pikirnja: Ketika di Siausit-san dia sudah kadung bentji padaku, waktu bertemu siang tadi dia djuga atjuh-tak-atjuh padaku, mungkin dia masih marah padaku. Ja, boleh djadi sebabnja dia ingin membunuh diri mungkin adalah lantaran perbuatanku. Djika begitu, wahai Toan Ki, kau terlalu kasar terhadap sitjantik dan mengakibatkan dia gundah merana, kau benar2 telah berdosa!
Begitulah Toan Ki sembunji dibelakang sebatang pohon dan ter-mangu2
menjesalkan dirinja sendiri makin dipikir makin merasa dosanja sendiri tak terampunkan.
Tiba2 dilihatnja air empang jang tenang bening itu tiba2 bergelombang halus, lingkaran gelombang itu perlahan2 makin meluas. Waktu Toan Ki memperhatikan, tertampak beberapa tetes air telah djatuh dipermukaan empang. Kiranja adalah air matanja Giok-yan.
Toak Ki semakin kasihan. Tiba2 terdengar Giok-yan menghela napas, lalu pelahan2 menggumam: Ai, aku... aku lebih baik mati sadja agar tidak merana lebih lama.
Sungguh Toan Ki tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunjinja dan berkata: Nona Ong, seratus kali salah, seribu kali salah, semuanja adalah aku jang salah, untuk mana diharap kau suka memafkan.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila engkau masih tetap marah, terpaksa aku berlutut padamu. ~ Habis bitjara benar sadja ia terus berlutut.
Keruan Giok-yan kaget. Serunja gugup: He, ap... apa jang kau lakukan"
Le... lekas bangun! Kalau... kalau sampai dilihat orang lain kan tidak enak"
Asal nona sudi memaafkan aku dan takkan marah lagi padaku, habis itu baru aku akan bangun, sahut Toan Ki.
Giok-yan mendjadi heran, katanja: Maaf apa padamu" Marah apa padamu"
Ada sangkutpaut apa dengan urusanmu"
Kulihat nona sangat sedih, padahal segala apa biasanja nona selalu gembira ria, maka kukira akulah jang telah membikin Bujung-kongtju merasa tersinggung sehingga nona djuga ikut2 masgul. Biarlah aku berdjandji, bila lain kali aku ketemukan dia lagi, meski dia akan memaki dan menjerang aku, aku tentu akan kabur sadja dan takkan balas menjerang dia.
Giok-yan tampak mem-banting2 kaki dan berkata: Ai, kau ini me... memang tolol. Aku berduka sendiri, sama sekali tiada sangkutpautnja dengan kau.
Djika begitu, djadi nona tidak marah padaku"
Sudah tentu tidak!
Djika demikian legalah hatiku, kata Toan Ki sambil berbangkit.
Tapi mendadak hatinja merasa gundah-gulana. Bila Giok-yan sangat berduka karena dia sehingga memaki dan memukulnja, bahkan membatjoknja dengan golok sekalipun tentu dia akan merasa rela. Tadi sinona djusteru menjatakan sedihnja itu tiada sangkut-pautnja dengan dia. Seketika Toan ki merasa hampa se-akan2 kehilangan sesuatu.
Dalam pada itu tampak Giok-yan telah menunduk, air matanja bertjutjuran pula.
Toan Ki mendjadi terharu dan berkata: Nona Ong, sebenarnja kau ada kesulitan apa, lekaslah katakan padaku. Dengan segenap tenagaku tentu akan ku selesaikan untukmu, aku akan berusaha agar kau bergembira.
Perlahan2 Giok-yan mengangkat kepalanja, dengan pandangan jang saju ia mendjawab: Toan-kongtju, kau... kau sangat baik padaku, sudah tentu aku sang... sangat berterimakasih. Tjuma dalam urusan ini sesungguhnja kau takdapat menolong diriku.
Aku sendiri memang tidak betjus apa2, udjar Toan Ki. Tetapi Siau-toako dan Hi-tiok Djiko, mereka itu adalah djago silat kelas wahid, mereka berada disini semua, mereka sangat baik padaku, apa jang kuminta tentu akan dikabulkan oleh mereka. Apa sebenarnja jang membuat kau berduka, tjoba katakan, boleh djadi aku akan dapat membantu kau.
Tiba2 air muka Giok-yan jang tadinja putjat itu bersemu merah. Ia berpaling dan tidak berani menetap sinar mata Toan Ki, kemudian dengan suaranja jang lirih lembut berkata: Dia... dia katanja ingin mendjadi Huma keradjaan Se He, maka Kongya-djiko telah membudjuk padaku bahwa...
bahwa demi kebangkitan kembali keradjaan Yan jang besar, terpaksa dia...
dia harus kesampingkan kepentingan pribadinja ~ Habis berkata, tiba2 ia berpaling kembali dan mendekam diatas pundak Toan Ki, lalu menangis tersedu-sedan.
Kedjut2 senang rasa Toan Ki, sedikitpun ia tidak berani bergerak. Baru sekarang ia paham duduknja perkara, tapi ia lantas kesima, entah mesti girang atau susah. Kiranja lantaran Bujung Hok hendak ikut berebut puteri Se He, dan kalau sudah memperisterikan puteri Se He, dengan sendirinja Giok-yan tidak diurus lagi.
Dengan sendirinja lantas terpikir pula oleh Toan Ki: Wah, bila dia tidak djadi diambil isteri oleh Piaukonja, boleh djadi dia akan lebih lunak kepadaku, aku tidak berani mengharapkan memperisterikan dia, asal aku senantiasa dapat melihat wadjahnja jang ber-seri2, maka puaslah hatiku. Djika dia suka kepada ketenangan, dan ketenteraman, maka aku akan mengiringi dia pergi kepulau terpentjil atau gunung jang sunji dan selalu berdampingan dengan dia, alangkah bahagia dan senangnja hidup demikian itu" ~ Berpikir tentang hidup jang menggembirakan itu, ia mendjadi lupa daratan dan tanpa merasa kaki-tangannja bertingkah pola.
Giok-yan sampai kaget, ia mundur selangkah, ketika melihat wadjah Toan Ki bergembira ria, ia tambah pilu, katanja: Tadinja ku... kusangka kau adalah orang baik, makanja aku bitjara terus terang padamu, tak tahunja kau malah... malah menjukurkan kemalanganku ini dan malah mengedjek aku.
O, tidak, tidak! sahut Toan Ki tjepat. Langit diatas, bumi dibawah, boleh mereka mendjadi saksi bahwa sekali2 aku tidak menjukurkan kemalangan nasib nona, bila demikian pikiranku, biarlah aku terkutuk dan mati tak terkubur.
Asal hatimu memang tidak bermaksud djelek, siapa sih jang suruh kau bersumpah apa segala" udjar Giok-yan. Tapi sebab apakah tiba2 kau mendjadi gembira"
Baru pertanjaan itu dikemukakan, maka ia sendiri lantas paham djuga persoalannja. Segera teringat olehnja bahwa sebabnja Toan Ki mendadak gembira tentu karena merasa Bujung Hok akan mendjadi menantu radja Se He dan Toan Ki mendjadi besar harapannja untuk mengikat djado dengan dirinja.
Tentang Toan Ki sangat kesemsem padanja, sudah tentu Giok-yan sendiri tahu. Tjuma perhatiannja selalu terpusat kepada diri sang Piauko, terhadap tjinta Toan Ki jang tak terbalas itu terkadang ia sendiripun suka merasa menjesal. Tapi dalam soal tjinta memang sekali2 tak boleh dipaksakan.
Begitulah, maka sesudah paham sebabnja Toan Ki berdjingkrak senang, Giok-yan mendjadi malu, dengan muka bersemu merah ia mengomel: Meski kau tidak mengedjek aku, tapi kau djuga tidak mengandung maksud baik. Aku...
aku... ~ sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi.
Toan Ki terkesiap, diam2 ia mentjertja dirinja sendiri: Wahai Toan Ki, kau kenapa tiba2 timbul pikiran serendah itu dan bermaksud menggagap ikan diair keruh" Orang lain sedang tertimpah malang, tapi kau malah bergirang" Bukankah perbuatanmu ini sangat memalukan"
Melihat Toan Ki ter-menung2, dengan suara perlahan Giok-yan bertanja: Apakah utjapanku tadi salah dan kau marah padaku"
O, ti... tidak, manabisa aku marah padamu, sahut Toan Ki.
Habis, mengapa kau diam sadja"
Aku... aku sedang memikirkan sesuatu, kata Toan Ki.
Diam2 dia sedang me-nimang2: Kalau dibandingkan Buyung-kongtju, terang aku kalah segalanja, baik ilmu silat maupun ilmu sastra, kalah ganteng dan kalah nama, apalagi mereka berdua adalah pamili sendiri dan teman memain sedjak ketjil, sudah lama mereka saling menjukai, dalam hal ini lebih2 aku bukan tandingannja. Tapi ada suatu hal aku harus menangkan Bujung-kongtju. Ja, biar sampai hari tua didalam lubuk hati nona Ong agar tetap teringat kepada aku Toan Ki bahwa didunia ini, satu2nja orang jang selalu berpikir demi kepentingannja tiada orang lain ketjuali aku.
Sesudah ambil ketetapan itu, segera ia berkata pula: Nona Ong, djangan kau berduka lagi, biarlah aku berusaha menasihatkan Bujung-kongtju supaja dia djangan mendjadi Huma kerdjaan Se He dan supaja dia lekas2 menikah dengan kau sadja.
Giok-yan terkedjut, sahutnja: He, tidak! Mana boleh djadi" Piauko djusteru sangat bentji padamu, tidak mungkin dia mau menerima nasihatmu itu.
Biarlah aku nanti memberi tjeramah padanja, akan kukatakan bahwa hidup manusia didunia ini paling penting adalah ketjotjokan antara suami-isteri, keduanja harus tjinta mentjintai. Padahal selamanja dia tidak kenal puteri Se He, tidak akan tahu puteri itu djelek atau tjantik, apakah bidjaksana atau djahat, andaikan mendjadi isterinja tentu takkan bahagia. Sebaliknja akan kukatakan bahwa nona Ong tjantik molek, halus budi dan bidjaksana, seluruh dunia susah ditjari bandingannja. Apalagi kau sangat tjinta padanja, masakah dia tega mengingkari kau sehingga akan ditjatji-maki oleh kesatria2 didunia ini"
Giok-yan sangat terharu mendengar uraian itu, katanja dengan lirih: Toan-kongtju, kau terlalu memudji diriku hanja untuk menjenangkan hatiku sadja.
Bukan! Bukan!" sahut Toan Ki tjepat. Dan begitu kata2 itu diutarakan, segera ia merasa nadanja sendiri itu telah ketularan kebiasaan Pau Put-tong, ia tertawa geli sendiri, lalu menjambung: Aku benar2 berkata dengan setulusnja, sedikitpun tidak pura2 untuk menjenangkan hatimu.
Rupanja Giok-yan djuga geli oleh utjapan bukan-bukan itu, dari menangis ia mendjadi tertawa, katanja: Kenapa kau mendjadi menirukan kebiasaan Pau-samko jang djelek"
Toan Ki kegirangan melihat sinona tertawa, katanja: Pendek kata, aku pasti akan membudjuk Bujung-kongtju agar menarik kembali maksudnja hendak mendjadi menantu keradjaan Se He, dan lebih baik baik menikah dengan nona sadja.
Dengan perbuatanmu ini, sebenarnja apa tudjuanmu" Apa sih paedahnja bagimu" tanja Giok-yan.
Asal aku melihat nona bergembira ria dan tertawa, maka itu sudah tjukup bagiku, sahut Toan Ki.
Giok-yan. terkesiap, ia merasa djawaban jang sederhana itu djusteru sangat tandas melukiskan betapa tjinta pemuda itu kepada dirinja. Tapi karena segenap perasaan Giok-yan telah ditjurahkan kepada Bujung Hok seorang, walaupun terharu seketika, tapi segera terlupa pula. Katanja kemudian dengan menghela napas: Kau tidak tahu pikiran.Piaukoku itu. Dia memandang usahanja membangun kembali keradjaan Yan sebagai tugas utama hidupnja. Dia bilang seorang lelaki sedjati harus mengutamakan perkembangan dan pemupukan pergerakan kalau selalu memikirkan urusan lelaki dan perempuan, maka itu bukanlah.pahlawan. Dia bilang baik puteri Se He itu setjantik bidadari atau sedjelek setan, pendek kata dia tidak pikir, jang utama jalah dapat membantu dia membangun kembali keradjaan Yan
Hal mana memang betul djuga, pikir Toan Ki. Keluarga Bujung mereka senantiasa ingin mendjadi radja. Se He memang dapat membantu usahanja membangun kembali keradjaan Yan, maka urusan nona Ong mendjadi.....
mendjadi agak sulit.
Ia lihat air mata Giok-yan telah berlinang2 pula, segera ia membusungkan dada dan berkata: Nona, harap kau djangan kuatir. Biarlah aku sadja jang mendjadi menantu keradjaan Se He. Dengan demikian, karena tidak berhasil mendjadi Huma, dia terpaksa akan menikah dengan kau.
Ha, apa" seru Giok-yan terkedjut dan bergirang.
Aku akan ikut sajembara dan merebut puteri Se He, sahut Toan Ki Ketika di Siau-sit-san Toan Ki telah mengalahkan Bujung Hok dengan Lak-meh-sin-kiam, kedjadian itu disaksikan sendiri oleh Giok-yan, kalau sekarang Toan Ki benar2 ikut dalam perlombaan sajembara, rasanja sang Piauko akan gagal tjita2nja untuk mendjadi menantu radja Se He.
Karena pikiran demikian, segera. Giok-yan berkata dengan suara pelahan: O, Toan-kongtju, engkau benar2 sangat baik padaku. tapi..... tapi dengan demikian kau tentu akan dibentji sekali oleh Piaukoku.
Tidak mendjadi soal, toh sekarang djuga dia sudah sangat bentji padaku, sahut Toan Ki.
Tadi kukatakan puteri Se He itu entah tjantik entah djelek, djika kau mendjadi suaminja, bukankah akan membikin susah kau"
Demi kau, biar bagaimana djuga aku rela menanggungnja, demikian mestinja. hendak dikatakan Toan Ki. Tapi sebelum terutjapkan, tiba2
terpikir olehnja: Apa jang kulakukan ini djika sengadja untuk membikin kau merasa utang budi padaku, bukankah perbuatan demikian terlalu rendah"
- Karena itu lantas katanja: Aku tidak akan susah bagimu, sebab ajahku telah memerintahkan padaku agar berusaha ikut merebut puteri Se He itu, djadi aku tjuma melaksanakan perintah ajah dan tiada sangkut-pautnja dengan kau.
Giok-yan adalah nona jang pintar dan tjerdik, tjinta Toan Ki untuk berkorban baginja itu walaupun dimulut Toan Ki tidak menondjolkan hal ini. Tanpa merasa ia genggam tangan pemuda itu dan berkata: O, Toan-kongtju, hidupku ini aku... aku takdapat membalas kebaikanmu ini, se...
semoga dalam djelmaan hidup jang akan datang... - berkata sampai disini suaranja mendjadi parau dan tenggorokannja serasa tersumbat, ia tidak sanggup meneruskan lagi.
Sudah beberapa kali kedua muda-mudi ini bahu-membahu menghadapi bahaja dan selalu berdampingan, tapi apa jang pernah terdjadi itu adalah terpaksa, sebaliknja sekali ini adalah Giok-yan sendiri. jang terharu, perasaannja timbul dengan sewadjarnja sehingga menggenggam tangan Toan Ki.
Seketika Toan Ki merasa tangannja dipegang oleh sepasang tangan jang halus dan lemas, untuk sedjenak ia mendjadi lupa daratan, mungkin saat itu biarpun langit akan ambruk djuga tak dihiraukannja lagi. Ia pikir sinona sedemikian baiknja padaku, djangankan tjuma mengambil isteri puteri Se He, sekalipun puteri2 keradjaan Song, keradjaan Liau, keradjaan Korea, keradjaan Turfan sekaligus harus mendjadi isteriku djuga oke, dah!
Begitulah, saking senangnja, darah lantas bergolak, padahal lukanja belum sembuh sama sekali, maka kepalanja mendjadi pujeng, badannja ter-hujung2 dan tjelaka, bjurrr, ia terperosot dan ketjebur kedalam empang.
Keruan Giok-yan kaget, serunja: He, Toan-kongtju! Toan-kongtju!
Untung air empang itu sangat tjetek, karena terendam air dingin, pikiran Toan Ki mendjadi djernih djuga, tjepat ia merangkak bangun dengan basah-kujup.
Dan karena teriakan Giok-yan tadi, semua orang jang tidur didalam kelenting mendjadi terdjaga bangun. Siau Hong, Hi-tiok, Pah Thian-sik, Tju Tan-sin dan lain2 sama berlari keluar. Ketika melihat keadaan Toan Ki jang serba runjam dan air muka Giok-yan tampak merah djengah, maka diam2
semua orang merasa geli, mereka menjangka kedua muda-mudi itu sedang main pat-pat-gulipat ditengah malam sunji, maka merekapun tidak enak untuk bertanja...
Besoknja adalah tanggal 12 bulan delapan, djadi masih ada tempo tiga hari baru djatuh hari Tiongtjhiu. Pagi2 Pah Thian-sik lantas masuk kota untuk mentjari berita. Waktu lohor ia telah pulang kembali kekelenting dan memberi lapor kepada Toan Ki: Kongtju, surat lamaran Ongya telah hamba sampaikan kepada Le-poh (bagian protokol) dan hamba telah diterima oleh menteri Le-poh dengan ramah, beliau menjatakan adalah kehormatan besar bagi Se He karena Kongtju telah ikut melamar puteri mereka dan besar kemungkinan tjita2 Kongtju pasti akan terkabul.
Tidak lama kemudian, tiba2 terdengar riuh ramai diluar kelenting, menjusul ada suara alat tetabuhan pula. Waktu Thian-sik dan Tan-sin memapak keluar, kiranja adalah To-silong (menteri To) dari Le-poh datang untuk menjambut Toan Ki ketempat penginapan jang disediakan bagi tamu2
agung keradjaan.
Siau Hong adalah Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang kuat dan berpengaruh melebihi keradjaan Tayli, kalau Se He mengetahui kedatangannja tentu akan menjambutnja dengan lebih meriah dan menghormat.
Tjuma dia telah pesan kawan2nja djangan membotjorkan kedudukannja, maka dia dan Hi-tiok dan lain2 tjuma mengaku sebagai pengiring Toan Ki dan ber-sama2 pindah kepondok tamu asing.
Belum lama mereka mengaso ditempat baru itu, tiba2 terdengar diruang belakang sana ada suara tjatji-maki orang: Hm, kau ini kutu matjam apa"
Kau djuga berani mengintjar puteri Se He" Biarlah kukatakan padamu bahwa Huma keradjaan Se He ini sudah pasti akan diduduki oleh pangeran kami, kukira kalian lekas merat sadja dari sini dengan metjawat ekor!
Pah Thian-sik dan Tan lain2 mendjadi gusar, mereka tidak tahu siapakah berani mentjatji-maki setjara kasar demikian. Ketika mereka membuka pintu, maka tertampaklah dipekarangan sana berdiri tudjuh atau delapan lelaki kekar kasar dan sedang bergembar-gembor tak keruan.
Thian-sik dan Tan-sin adalah pendekar2 Tayli jang terhitung paling pintar dan tjerdik. Maka merekapun tidak bersuara, hanja berdiri di depan pintu sadja untuk mendengarkan lebih djauh. Terdengar tjatji-maki kawanan lelaki kasar itu makin lama makin kotor, terkadang djuga diseling dengan kata2 jang tak dikenal, agaknja mereka adalah bawahan Pangeran Turfan.
Selagi Thian-sik berpikir tjara bagaimana menggebah pergi kawanan lelaki itu, mendadak pintu kamar di podjok kiri sana terdengar dipentang orang dengan keras, menjusul dua orang telah melompat keluar, seorang berbadju kuning dan jang lain berbadju hitam. Keduanja terus menghantam kesana dan menendang kesitu, hanja dalam sekedjap sadja tiga diantara kawanan lelaki jang mentjatji-maki tadi sudah dirobohkan, sisanja djuga kena dihantam dan dilemparkan keluar pintu sana.
Puas! Puas! seru silelaki berbadju kuning.
Kiranja mereka adalah Hong Po-ok dan Pau Put-tong.
Mendengar suara kedua orang itu, Giok-yan jang berada didalam kamar mendjadi bimbang, ia bingung apa mesti keluar untuk bertemu dengan mereka atau tidak.
Dalam pada itu terdengar djago2 Turfan jang diusir keluar itu masih ber-kaok2: He, manusia she Bujung, kami kira kau lebih baik pulang kandang ke Koh-soh sadja. Djangan kau punja pikiran hendak memperisterikan puteri Se He, djika sampai pangeran kami mendjadi gusar dan menggunakan tjaramu untuk diperlakukan atas dirimu dan mengambil adik perempuanmu sebagai bini-muda, maka barulah kau akan tahu rasa nanti!
Hong Po-ok mendjadi gemas karena tjatji-maki jang semakin kotor itu, segera ia mengudak keluar. Maka terdengarlah suara plak-plok, blak-bluk ber-ulang2, djago2 Turfan itu telah dihadjar dan lari tunggang-langgang.
Tiba2 Pau Put-tong memberi hormat kepada Thian-sik dan Tan-sin dan menjapa: Kiranja Pah-heng dan Tju-heng djuga berada disini, apakah kalian tjuma ingin lihat ramai2 atau mempunja tudjuan lain"
Apa tudjuan kedatangan Pau-heng sendiri, begitu pula maksud tudjuan kami, sahut Thian-sik.
Air muka Put-tong beruba seketika, tanjanja: Apakah Toan-kongtju dari Tayli djuga ingin melamar puteri Se He"
Ja, sahut Thian-sik. Kongtju kami adalah putera mahkota Tayli, beliau adalah ahliwaris satu2-nja dari Sri Baginda jang sekarang, bila kelak beliau naik tahta, bukankah akan merupakan besanan jang setimpal dengan keradjaan Se He. Sebaliknja Bujung-kongtju hanja djedjaka jang tak punja sandaran apa-apa, meski orangnja bagus, tapi bukan keluarga jang setimpal.
Air muka Pau Put-tong tambah merengut, katanja: Bukan, bukan! Kau tjuma tahu satu tapi tidak tahu dua, Kongtju kami adalah pemuda pilihan diantara pemuda2, mana bisa dibandingi oleh pemuda ke-tolol2an seperti Kongtju kalian"
Samko, tiba2 Hong Po-ok telah berlari masuk kembali, buat apa bertengkar dengan mereka, toh besok akan diadakan perlombaan didepan baginda radja, biarlah masing2 pihak keluarkan kepandaian sendiri2 sadja.
Bukan! Bukan! sahut Put-tong. Perlombaan dihadapan baginda radja adalah urusan para Kongtju, sedangkan pertengkaran mulut ini adalah kewadjiban kita.
Haha, pertengkaran mulut memang harus diakui didunia ini tiada soerangpun jang mampu melawan Pau-heng, nah, Siaute terima mengaku kalah padamu, udjar Thian-sik dengan tertawa.
Dan selagi Pau Put-tong hendak bukan-bukan pula, namun Thian-sik sudah mengundurkan diri kedalam kamarnja bersama Tan-sin. Tju-hiante, katanja kemudian, kalau menurut kata2 Pau Put-tong tadi, agaknja Kongtju masih harus mengikuti pertandingan setjara terbuka, padahal luka Kongtju belum sembuh sama sekali, sedangkan ilmu silatnja djuga terkadang mandjur dan terkadang tidak, bila dalam pertandingan nanti Lak-meh-sin-kiam takbisa dikeluarkan, bukan sadja tidak berhasil mendjadi Huma, bahkan djiwanja berbahaja pula, maka bagaimana menurut pendapatmu"
Tapi Tan-sin djuga tak berdaja, terpaksa mereka lantas pergi membitjarakannja dengan Siau Hong dan Hi-tiok.
Menurut Siau Hong, kalau tjara pertandingan nanti dapat diketahui, tentu akan lebih mudah mengatur siasat untuk menghadapinja.
Djika begitu, marilah Tju-hiante, kita tjoba pergi tanja keterangan kepada To-silong tentang peraturan pertandingan itu, adjak Thian-sik dan segera bersama Tan-sin mereka ber-gegas2 pergi.
Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki duduk ber-minum2 arak sambil mengobrol.
Tiba2 Siau Hong tanja Toan Ki tentang pengalamannja memperoleh Lak-meh-sin-kiam itu dengan maksud hendak mengadjarkan sematjam tjara mengerahkan tenaga agar adik angkat itu dapat menggunakan Lak-meh-sin-kiam dengan sesuka hati.
Tak terduga dalam hal teori Lwekang dan sebagainja sama sekali Toan Ki tidak paham sehingga susah untuk mempeladjarinja dalam waktu singkat.
Karena tak berdaja, Siau Hong hanja meng-geleng2 kepala sadja dan menenggak arak pula.
Kekuatan minum Hi-tiok dan Toan Ki sudah tentu bukan tandingan Siau-Hong, maka baru dua-tiga mangkuk sadja Toan Ki sudah menggeletak dengan tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman kembali dengan matanja jang sepat, ia lihat sinar bulan telah menembus masuk dari tjelah2 djendela, njata waktu itu sudah tengah malam. Toan Ki terkesiap: Semalam aku belum selesai bitjara dengan nona Ong dan sudah keburu ketjebur kedalam empang, entah dia masih ingin omong apa lagi padaku" Apa tidak mungkin dia sedang menantikan aku pula diluar sana" Ai, tjelaka, djangan2 dia sudah menunggu terlalu lama dan sekarang sudah kembali kekamarnja saking tidak sabar menanti"
Buru2 ia melompat bangun. Saking kesusunja sampai hampir2 menubruk kursi didepan tempat tidurnja. Lekas2 ia tenangkan diri agar tidak membikin kaget kawan2-nja, perlahan2 ia keluar kamar.
Sesudah melintasi pekarangan tengah dan selagi dia hendak membuka pintu luar, tiba2 terdengar suara orang berbisik dibelakangnja: Toan-kongtju, marilah ikut padaku, aku ingin bitjara dengan kau.
Karena tidak ter-duga2 keruan Toan Ki kaget. Ia dengar suara orang agaknja tidak bermaksud baik, segera ia hendak berpaling, tapi mendadak Hiat-to dipinggangnja telah ditjengkeram orang dengan kentjang.
Samar2 Toan Ki dapat mengenali suara orang itu, ia tjoba tanja: Apakah kau Bujung-kongtju"
Memang betul aku adanja, sahut orang itu. Dapatkah Toan-heng ikut sebentar padaku"
Masakah aku berani menolak undangan Bujung-kongtju" sahut Toan Ki. Maka harap sukalah kau lepaskan tanganmu.
Tidak perlu lagi! kata Bujung Hok. Dan mendadak Toan Ki merasa tubuhnja lantas terapung keatas, agaknja Bujung Hok telah mentjengkeram punggungnja dan dibawa melompat keatas.
Dalam saat demikian kalau Toan Ki mau berteriak sadja tentu Siau Hong dan Hi-tiok akan terdjaga bangun dan datang menolongnja. Tapi ia berpikir: Djika aku berteriak, tentu nona Ong akan mendengar djuga dan tentu dia akan kurang senang bila melihat kami berdua bertengkar pula.
Sudah tentu dia takkan marah pada Piaukonja, tapi akulah jang akan mendjadi sasaran kemarahannja, maka buat apa aku mesti mentjari penjakit"
Karena itu ia tidak djadi bersuara, ia membiarkan dirinja dibawa Bujung Hok dan berlari keluar sana. Walaupun tengah malam, tapi waktu itu sudah dekat hari Tiongtjhiu, sinar bulan terang benderang, pemandangan sekitar tjukup tertampak djelas. Ia lihat Bujung Hok ber-lari2 keluar kota, akchirnja djalan dikedua tepi kelihatan rumput melulu. Tidak lama kemudian, mendadak Bujung Hok berhenti dan melemparkan Toan Ki ketanah.
Bluk, Toan Ki terbanting dan meringis kesakitan, pikirnja: Orang ini kelihatannja ramah-tamah, tapi kelakuannja ternjata begini kasar Segera ia merangkak bangun sambil memegang pinggang jang sakit pegal2
itu, katanja: Segala urusan dapat Bujung-heng bitjarakan dengan baik2, mengapa mesti main kasar"
Hm, ingin kutanja padamu, apa jang kau bitjarakan dengan Piaumoayku semalam" djengek Bujung Hok.
Muka Toan Ki mendjadi merah, sahutnja: O, ti... tidak apa2, hanja bertemu setjara kebetulan dan omong2 iseng sadja.
Huh, seorang lelaki sedjati, berani berbuat berani bertanggung djawab, apa jang sudah kau katakan, mengapa tidak berani mengaku" edjek Bujung Hok. Memangnja kau sangka, aku tidak tahu" Hm, kau bitjara tentang suami-isteri apa segala, apakah perlu aku uraikan pula seluruhnja"
Ha, dja... djadi nona Ong telah katakan seluruhnja padamu" Toan Ki menegas dengan gelagapan.
Manabisa dia katakan padaku"
Djik... djika begitu, djadi se... semalam kau sendiri telah mendengarkan semua"
Hm, kau hanja dapat mengapusi nona jang masih hidjau, tapi djangan harap dapat mengapusi diriku" djengek Bujung Hok.
Aku mengapusi tentang apa" tanja Toan Ki dengan heran.
Bukankah urusan sudah sangat gamblang, sahut Bujung Hok. Kau sendiri ingin mendjadi Huma keradjaan Se He, tapi takut aku berebut dengan kau, maka kau sengadja mengarang otjehan2 jang muluk2 untuk memantjing aku supaja masuk perangkapmu. Hehe, Bujung Hok toh bukan anak ketjil umur tiga, masakah dengan begitu gampang dapat kau djebak" Haha, kau benar2
mimpi disiang bolong!
Ai, apa jang kukatakan kepada nona Ong itu adalah setulus hatiku, aku berharap kau dapat menikah dengan dia dan hidup bahagia sampai hari tua, lain tidak, kata Toan Ki.
Terima kasih atas mulutmu jang manis ini, kata Bujung Hok. Tapi, Kohsoh Bujung dengan keluarga Toan dari Tayli toh bukan sanak bukan kadang, buat apa kau mesti memberi pudjian dan restu sebaik ini" Ha, djika aku sampai tergoda oleh Giok-yan, maka kaulah jang akan mengeduk keuntungan dan mendjadi Huma jang diagungkan ja"
Toan Ki mendjadi marah, sahutnja: Kau ngatjo-belo tak keruan. Djelek2
aku adalah pangeran Tayli, meski Tayli adalah negeri ketjil tapi djuga tidak memandang Huma keradjaan Se He sedemikian hebatnja. Bujung-kongtju, aku benar2 memberi nasihat padamu. Segala kedudukan dan kemewahan dalam waktu singkat sadja akan tamat, orang hidup dapat bertahan berapa lamanja. Andaikan kau dapat mendjadi Huma keradjaan Se He dan dapat naik tahta, sebagai radja Yan, tapi entah berapa banjak orang jang akan kau bunuh" Seumpama negeri Tionggoan ini akan kau sapu bersih sehingga terdjadi bandjir darah tapi apakah keradjaan Yan dapat kau bangun kembali, hal ini djuga masih disangsikan.
Bujung Hok ternjata tidak gusar, ia hanja mendjawab dengan nada dingin: Hm kau, selalu bitjara tentang kebaikan, tapi didalam hatimu sebenarnja berbisa.
Apa mau dikata lagi djika kau tidak pertjaja kepada maksud baikku, udjar Toan Ki. Pendek kata aku takkan membiarkan kau memperisterikan puteri Se He, aku tidak dapat membiarkan nona Ong berduka dan merana lantaran kau dia sampai2 hendak membunuh diri.
Kau melarang aku memperisterikan puteri Se He" Haha, apa kau mempunjai kemampuan itu untuk melarang aku" Hm, aku djusteru hendak memperisterikan puteri Se He, kau mau apa"
Aku pasti akan merintangi maksudmu itu dengan sepenuh tenagaku, sahut Toan Ki. Seorang diri memang aku tak berdaja, tapi aku akan minta bantuan kawan2ku.
Bujung Hok terkesiap. Ia tjukup tahu betapa lihay ilmu silat Siau Hong dan Hi-tiok bahkan Toan Ki sendiri bila keluarkan Lak-meh-sin-kiam djuga susah dilawan, untung kepandaian lawan ini terkadang mandjur dan terkadang matjet sehingga masih gampang dihadapi.
Eh, Piaumoay, mari sini, ingin kubitjara dengan kau! tiba2 ia berseru ke arah sana.
Mendengar Giok-yan berada disitu djuga, Toan Ki terkedjut dan bergirang, tjepat ia menoleh. Tapi jang tertampak hanja sinar bulan jang terang benderang dan tiada satu bajangan manusiapun jang kelihatan.
Dan baru sadja ia mengamat-amati di-semak2 pohon didepan sana jang tampaknja seperti ada berkelebatnja bajangan orang, se-konjong2
punggungnja terasa kentjang lagi, kembali ia telah ditjengkeram oleh Bujung Hok, bahkan badannja telah diangkat pula. Baru sekarang Toan Ki merasa tertipu, katanja dengan tersenjum getir: Kembali kau main kasar lagi ini kan bukan perbuatan seorang laki2 sedjati"
Terhadap manusia rendah seperti kau, kenapa mesti pakai tjara laki2
sedjati" sahut Bujung Hok. Lalu ia angkat tubuh Toan Ki dan menudju ketepi jalan, disitu terdapat sebuah sumur mati, tanpa bitjara lagi ia lemparkan Toan Ki kedalam sumur itu.
Tolong! segera Toan Ki ber-teriak2, tapi tubuhnja sudah terdjerumus kedalam sumur.
Dan baru sadja Bujung Hok hendak mentjari beberapa potong batu besar untuk menutup lubang sumur agar Toan Ki mati kelaparan didalam situ, tiba2 terdengar suara seorang wanita telah menegurnja: Piauko, djadi kau telah mempergoki aku! Apa kau ingin bitjara sesuatu dengan aku" Ai, kau telah melemparkan Toan-kongtju kedalam sumur"
Melihat pendatang ini memang betul Giok-yan adanja, Bujung Hok mengerut kening. Waktu dia pura2 menjebut sang Piaumoay tadi tudjuannja jalah ingin memantjing agar Toan ki menoleh, lalu ia dapat mentjengkeram Hiat-to dipunggung pemuda itu dengan mudah. Siapa duga Giok-yan benar2
sembunji di-semak2 pohon sana (jaitu bajangan jang tertampak oleh Toan Ki tadi).
Ketika mendengar namanja dipanggil, semula Giok-yan mengira tempat sembunjinja telah diketahui Bujung Hok, makanja dia lantas keluar dari tempat sembunjinja.
Rupanja karena hati sedang risau, maka selama beberapa malam ini Giok-yan tak bisa pulas. Tadi ia sedang ter-menung2 diambang djendela, maka kedjadian Toan Ki ditjengkeram Bujung Hok dan dibawa lari telah dapat dilihatnja. Ia kuatir kedua orang akan bertengkar lagi sehingga achirnja Bujung Hok tak mampu melawan Toan Ki punja Lak-meh-sin-kiam, maka tjepat ia menjusul keluar dan dapat mengikuti pertjakapan Toan Ki dan Bujung Hok tadi.
Begitulah ia lantas ber-lari2 mendekati sumur, ia melongok kebawah dan berseru: Toan-kongtju! Toan-kongtju! Kau terluka atau tidak"
Waktu dilemparkan kedalam sumur tadi Toan Ki berada dalam keadaan terdjungkir, kepala dibawah dan kaki diatas. Untuk didasar sumur itu adalah lumpur jang lunak sehingga kepalanja tidak petjah, tapi seketika iapun terbanting pingsan sehingga seruan Giok-yan itu tak didengarnja.
Sesudah mengulangi seruannja beberapa kali dan tidak mendapat djawaban, Giok-yan mengira Toan Ki sudah terbanting mati. Bila teringat selama ini pemuda itu sangat baik padanja, kematiannja inipun boleh dikata lantaran dia, maka menangislah Giok-yan, katanja: O, Toan-kongtju, kau... kau tak boleh mati!
Hm, ternjata sedemikian mendalam tjintamu padanja! djengek Bujung Hok.
Dia... dia menasihatimu dengan baik, ken... kenapa kau membunuhnja"
kata Giok-yan dengan ter-guguk2.
Dia adalah lawanku jang paling besar, bukankah kau mendengar pernjataannja jang hendang merintangi tudjuanku dengan mati2an" sahut Bujung Hok. Tempo hari ketika di Siau-sit-san dia telah membikin aku malu habis2an sehingga Bujung Hok sudah menantjap kaki lagi didunia Kangouw, orang matjam begini sudah tentu aku takbisa membiarkan dia hidup.
Kejadian di Siau-sit-san itu memang dia jang salah, untuk itu aku sudah pernah mendamperat dia dan dia djuga telah mengaku salah.
Hm, dia mengaku salah" Hanja utjapan begini lantas hendak menjelesaikan permusuhan ini" Padahal setiap orang Kangouw sudah sama mengatakan bahwa aku Bujung Hok telah dikalahkan oleh Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan mereka, tjoba kau pikir, apa aku masih bisa merasa hidup bahagia"
Piauko, kalah atau menang adalah soal biasa bagi orang persilatan, kenapa kau mesti mengungkatnja lagi, ~ Dan karena masih meragukan mati-hidupnja Toan Ki, kembali ia melongok kedalam sumur dan berseru pula: Toan-kongtju! Toan-kongtju! ~ Tapi tetap tidak mendapat djawaban apa2.
Sedemikian kau memperhatikan dia, lebih baik kau mendjadi isterinja sadja, buat apa mesti pura2 suka padaku" kata Bujung Hok.
Giok-yan mendjadi pilu, sahutnja: Piauko, aku tjinta padamu dengan hati jang murni, apa kau... kau masih tidak pertjaja"
Tjinta padaku dengan hati murni" Haha! Tempo hari waktu berada dirumah penggilingan ditepi Thay-ou itu, dimana kau sembunji didalam onggok djerami dengan telandjang bulat bersama orang she Toan ini, tjoba katakan, apa jang kau lakukan disana" Apa jang terdjadi itu telah kusaksikan dengan mataku sendiri, masakah hanja setjara kebetulan sadja"
Tatkala itu aku hendak membinasakan botjah she Toan ini, tapi kau telah memberi petundjuk padanja untuk melawan aku. Tjoba djawab, berkiblat kepada siapa hatimu sebenarnja" Haha, haha!
Giok-yan sampai kesima saking kagetnja, ia menegas dengan suara gemetar: Djadi... djadi djago Se He jang berkedok di... dirumah gilingan ditepi Thay-ou itu adalah... adalah...
Benar, djago Se He berkedok jang mengaku bernama Li Yan-tjong itu bukan lain adalah samaranku, sahut Bujung Hok.
Pantas, memangnja akupun merasa sangsi, demikian kata Giok-yan dengan suara pelahan seperti menggumam sendiri. Waktu itu kau pernah berkata: pabila kelak aku mendjadi radja diseluruh Tionggoan, kata2 demikian persis nadamu biasanja, aku... aku seharusnja mengetahuinja pada waktu itu.
Hm, meski kau tidak tahu pada waktu itu, dan baru sekarang mengetahui djuga belum terlambat, djengek Bujung Hok.
Piauko, kata Giok-yan, Waktu itu aku kena ratjun kabut jang ditebarkan oleh orang2 Se He dan berkat pertolongan Toan-kongtju barulah djiwaku selamat. Ditengah djalan kami kehudjanan dan basah kujup, terpaksa berteduh dirumah gilingan itu, ken... kenapa kau menaruh tjuriga"
Hm, kehudjanan dan berteduh" dengus Bujung Hok. Waktu aku tiba, kalian berdua masih main sembunji2 dan pat-pat-gulipat disitu. Bahkan ketika aku hendak membunuh botjah she Toan itu, kau telah mengantjam aku akan menuntut balas baginja. Nona Ong, karena antjamanmu itulah aku telah mengampuni djiwanja. Tak terduga hal mana telah mendjadi penjakit bagiku, achirnja aku malah terdjungkal habis2an ditangannja waktu ketemu lagi di Siau-sit-san.
Mendengar sang Piauko tidak memanggil namanja, tapi menjebutnja sebagai nona Ong, maka hati Giok-yan tambah pedih, dasar wataknja memang peramah, ia tidak ingin bertengkar dengan sang Piauko jang ditjintai dan dihormati ini, maka djawabnja: Piauko, kalau waktu itu aku mengenali dirimu, sudah tentu aku takkan mengemukakan pernjataan itu padamu. Untuk kesalahan itu, biarlah sekarang aku minta maaf. ~ Sembari berkata ia terus memberi hormat, lalu menjambung pula: Tatkala itu sungguh2 aku tidak tahu adalah dirimu, tentu kau takkan marah pula. Sedjak ketjil aku menghormati kau, segala apa akupun selalu menurut padamu. Maka kata2ku jang menjinggung perasaanmu itu djanganlah kau pikirkan dan sudilah memaafkan.
Apa jang diutjapkan Giok-yan dahulu itu memang telah menjinggung perasaan Bujung Hok jang angkuh dan tinggi hati itu. Sekarang mendengar sinona memohon dengan kata2 halus, dilihatnja wadjah sinona jang tjantik molek itu, teringat pula hubungan baik sedjak masih kanak2, mau-tak-mau Bujung Hok hatinja mendjadi lemas, segera ia memegang kedua tangan Giok-yan dan berkata: Piaumoay!
Sungguh girang Giok-yan tak terkatakan, ia tahu sang Piauko telah memaafkan dia, terus sadja ia mendjatuhkan dirinja kepelukan sang piauko, katanja lirih: Piauko, djika kau marah padaku, bolehlah kau mendamperat dan menghadjar diriku, tapi djanganlah didendam dalam hati. Piauko, kau tidak djadi ikut berebut Huma lagi bukan"
Semula Bujung Hok mendjadi mabuk ketika memeluk tubuh sinona jang montok dan halus itu, tapi demi mendadak ditanja tentang Huma segala, seketika hatinja tergetar, katanja didalam hati: Wah, tjelaka! Wahai Bujung Hok, mengapa kau tenggelam dalam urusan demikian sehingga hampir2
membikin urusan penting mendjadi runjam. Djika sedikit persoalan pribadi begini sadja tak tega memutuskan, darimana kau dapat bitjara tentang pergerakan bagi kebangkitan keradjaan Yan"
Segera ia keraskan perasaannja dan mendorong Giok-yan, katanja: Piaumoay, hubungan kita hanja sampai disini sadja, apa jang pernah kau perbuat dan kau katakan betapapun tidak dapat kulupakan.
Djika begitu, djadi kau... kau tetap takdapat memaafkan aku" tanja Giok-yan dengan hati remuk rendam.
Untuk sedjenak terdjadilah pertentangan batin Bujung Hok antara tjinta dan usaha, tapi achirnja ia toh menggeleng kepala.
Sungguh hantjur luluh hati Giok-yan, tanpa merasa ia masih tanja: Djadi kau sudah bertekad akan memperisterikan puteri Se He itu dan takkan peduli lagi padaku"
Dengan keraskan hati Bujung Hok mengangguk.
Sebelumnja Giok-yan sudah pernah membunuh diri, tapi telah kena diselamatkan oleh In Tiong-ho, sekarang setjara tegas tjintanja telah ditolak oleh kekasihnja, saking sedihnja hampir2 sadja ia muntah darah.
Mendadak teringat olehnja: Betapapun Toan-kongtju itu memang sangat tjinta padaku, sebaliknja aku tidak pernah membalas tjintanja itu, malahan sekarang dia telah mati bagiku, sungguh aku telah berdosa padanja. Toh sekarang akupun tidak ingin hidup lagi, biarlah aku terdjun kedalam sumur sadja agar dapat mati bersatu liang dengan Toan-kongtju untuk membalas tjintanja padaku.
Maka pelahan2 ia mendekati sumur itu sambil berpaling dan berkata: Piauko, semoga tjita2mu terkabul dan dapat memperisterikan puteri Se He serta mendjadi radja Yang jang djaja!
Bujung Hok tahu bahwa sinona ada maksud hendak membunuh diri, segera ia melangkah madju dan mengulur tangannja hendak mentjegah. Tapi segera teringat pula olehnja, asal dia bersuara dan mentjegahnja, maka untuk selandjutnja dirinja tentu akan susah terlepas dari godaan tjinta sinona, dan itu berarti segala tjita2 pergerakannja akan kandas seluruhnja.
Karena pikiran demikian, maka tangan jang sudah didjulurkan itu tidak djadi dipakai menarik kembali sinona.
Giok-yan dapat membade apa jang dipikirkan sang Piauko, ia pikir sedemikian tipis budi pekerti pemuda ini apalagi jang mesti diberatkan pula. Segera ia berseru: Toan-kongtju, hidup kita takbisa bersama, biarlah kita mati bersatu kubur sadja! ~ Habis itu, terus sadja ia terdjun kedalam sumur dengan kepala dibawah dan kaki diatas.
Achirnja Bujung Hok berseru djuga sekali dan bermaksud menjambar kaki Giok-yan. Dengan ketjekatannja sebenarnja tidak susah baginja untuk menjelamatkan nona itu, tapi pada detik terachir dia toh ragu-ragu lagi dan membiarkan Giok-yan terdjun kedalam sumur. Ia hanja menghela napas dan berkata: Piaumoay, dalam hati-ketjilmu toh kau lebih tjinta kepada Toan-kongtju, walaupun hidup takbisa mendjadi suami-isteri, tapi mati bersatu liang, betapapun sudah terkabul djuga tjita2mu.
Huh, pura2, lelaki palsu! tiba2 terdengar suara seorang berkata dibelakangnja.
Keruan kedjut Bujung Hok tak terkatakan, masakah ada orang sampai dibelakangnja sama sekali tak diketahuinja. Tanpa bitjara lagi ia menghantam kebelakang, berbareng membalik tubuh. Dibawah sinar bulan tertampaklah sesosok bajangan melajang kedepan sana terbawa oleh angin pukulannja, enteng dan gesit sekali orang itu.
Tanpa menunggu orang itu sempat menantjap kakinja ditanah, segera Bujung Hok melompat madju dan kembali memukul pula sambil membentak dengan gusar: Siapa kau" Berani kau main gila dengan Kongtjumu"
Dalam keadaan terapung orang itu sempat menjambut serangan Bujung Hok, lalu orangnja melajang sedjauh beberapa meter baru turun ketanah. Kiranja dia adalah Tjiumoti, imam negara Turfan.
Haha, sudah terang kau jang memaksa nona itu membunuh diri, tapi kau bitjara tentang tjita2-nja terkabul segala, apa dengan demikian kau kira dapat menipu orang" kata Tjiumoti dengan tertawa mengedjek.
Ini adalah urusan pribadiku, siapa minta kau ikut tjampur" damperat Bujung Hok.
Segala persoalan didunia ini setiap orang tentu boleh ikut tjampur, apalagi soalnja menjangkut kau hendak mendjadi Huma keradjaan Se He, ini sudah melampaui urusan pribadimu, sahut Tjiumoti.
Hm, djangan2 Hwesio sematjam kau djuga ingin mendjadi Huma"
Hahahaha! Masakah didunia ini pernah terdjadi Hwesio mendjadi Huma"
Habis mau apa" Hm, aku memang sudah tahu Turfan kalian tidak bertudjuan baik, djadi kau tampil kemuka bagi kepentingan pangeran kalian"
Apa jang kau maksudkan dengan tidak bertudjuan baik" Apa hendak memperisterikan puteri Se He itu kau katakan tidak bertudjuan baik" Habis apa tudjuanmu sendiri baik"
Aku ingin merebut puteri Se He, hal ini adalah mengandalkan kemampuanku sendiri dan tidak menggunakan tenaga bawahan untuk mengatjau ditengah djalan sehingga membikin orang banjak merasa gemas.
Kami telah mengenjahkan manusia2 jang tidak tahu diri itu agar dikota Lengtjiu ini tidak terlalu penuh dengan manusia2 jang memuakkan itu, hal ini adalah djuga demi kepentinganmu, mengapa kau merasa keberatan"
Djika begitu sih memang bagus. Djadi pangeran Turfan kalian nanti djuga akan mengandalkan tenaga sendiri untuk bertanding dengan orang2 lain"
Benar! sahut Tjiumoti.
Melihat djawaban orang jang tegas dan tak gentar ini, mau-tak-mau Bujung Hok mendjadi sangsi sendiri, katanja pula: Apakah barangkali pangeran kalian mempunjai ilmu silah maha tinggi dan tiada bandingannja, maka sudah memperhitungkan pasti akan memperoleh kemenangan nanti"
Pangeran tjilik itu adalah muridku, kepandaiannja sih masih boleh djuga, untuk dikatakan maha tinggi dan tiada bandingannja agaknja djuga belum, bahwa pasti akan menang memang sudah diperhitungkan dengan baik.
Bujung Hok tambah heran, pikirnja: Djika aku tanja dengan terus terang, tentu dia tidak mau mendjawab. Biarlah aku memantjingnja sadja. ~ Maka katanja segera: Sungguh aneh, dia mempunjai perhitungan pasti akan menang, sebaliknja akupun sudah jakin pasti akan menang. Wah, lantas siapa jang benar2 akan menang nanti"
Rupanja kau sangat ingin tahu bagaimana perhitungan paneran kami untuk mentjapai kemenangan, bukan" tanja Tjiumoti dengan tertawa. Kukira kau boleh katakan dulu perhitunganmu, lalu akupun uraikan perhitungan kami.
Kita dapat berunding dan tukar pikiran, tjoba perhitungan pihak siapa jang lebih pandai.
Padahal jang diandalkan Bujung Hok tjuma ilmu silatnja tinggi, orangnja ganteng, untuk bitjara tentang pasti menang memak tidak ada. Terpaksa djawabnja: Ah, kau itu, terlalu litjik dan takbisa dipertjaja, kalau kukatakan padamu, djangan2 kau tidak mau menerangkan djuga akalmu, bukankah aku akan tertipu olehmu"
Hahaha! Tjiumoti tertawa. Bujung-siheng, aku adalah sahabat ajahmu, aku menghormati dan diapun menghormati aku. Kalau aku tidak berlebihan, betapapun aku terhitung angkatan lebih tua darimu. Apa kau tidak merasa keterlalu dengan utjapanmu barusan ini"
Teguran Beng-ong memang tepat, harap maaf, sahut Bujung Hok sambil memberi hormat.
Saudara memang pintar, kata Tjiumoti dengan tertawa. Djika kau sudah mengaku sebagai kaum muda, mengingat ajahmu dengan sendirinja aku tidak dapat main menang2an dengan kau. Nah, biar kukatakan sadja terus terang, rentjana pangeran kami untuk memperoleh kemenangan dengan pasti, kalau sudah kudjelaskan sebenarnja djuga tidak berharga sepeserpun. Begini, setiap orang jang bermaksud ikut sajembara dalam pemilihan Huma nanti, maka kami akan membereskannja satu persatu. Dan kalau tiada lawan lagi jang berebut dengan pangeran kami, maka dengan sendirinja pangeran kami akan terpilih bukan" Haha, hahaha!
Air muka Bujung Hok berubah seketika, katanja: Djika begitu, djadi aku...
Djangan kuatir, potong Tjiumoti. Aku adalah sobat lama ajahmu, tidak mungkin aku membunuh putera sobat sendiri. Aku hanja ingin menasihati kau dengan setulus hati, adalah lebih selamat bila kau lekas tinggalkan negeri Se He ini.
Djika aku tidak mau"
Untuk mana akupun takkan menamatkan njawamu, asal matamu ditjukil atau kaki atau tanganmu dipotong sebelah sehingga mendjadi tjatjat, dengan sendirinja puteri Se He tidak mungkin mau dipersunting seorang kesatria gagah jang tjatjat badannja.
Sungguh Bujung Hok sangat gusar, tjuma ia djeri kepada ilmu silat paderi itu, maka tidak berani sembarangan bergerak. Ia sedikit menunduk untuk memikirkan tjara menghadapi kawan tangguh itu.
Dibawah sinar bulan jang terang itu, tiba2 dilihatnja disamping kaki ada sesuatu benda jang sedang ber-gerak2. Ketika diperhatikan, kiranja adalah bajangan tangan kanan Tjiumoti. Ia terkedjut, disangkanja paderi itu sedang mengerahkan tenaga dan siap menjerang. Maka diam2 iapun menghimpun kekuatan untuk mendjaga segala kemungkinan.
Tapi lantas terdengar Tjiumoti berkata pula: Bujung-siheng, kau telah mendesak Piaumoaymu sampai2 membunuh diri, sungguh sangat sajang. Pabila kau mau lekas pergi dari Se He sini, maka urusan kematian nona Ong inipun bolehlah kulupakan dan takkan kuusut lebih landjut.
Hm, dia sendiri jang membunuh diri, apa sangkut-pautnja dengan aku"
sahut Bujung Hok sambil terus memperhatikan bajangan tangan paderi itu, ia lihat bajangan kedua tangan Tjiumoti masih terus gemetar tak ber-henti2.
Diam2 Bujung Hok merasa tjuriga, kalau paderi itu hendak menjerang, rasanja tidak perlu mengerahkan tenaga sampai kedua tangannja gemetar sekian lamanja, tentu dibalik ini ada seesuatu jang tak beres. Ketika diperhatikan pula, ia melihat udjung tjelana dan badju paderi itupun tampak agak gemetar sedikit, terang disebabkan seluruhnja badannja gemetar, maka badju dan tjelananja djuga ikut2 bergerak.
Dasar otak Bujung Hok memang tjerdas, sekilas lantas teringat olehnja: Tempo hari waktu berada di Tjong-keng-kok di Siau-lim-si, paderi tua jang tak diketahui siapa namanja itu mengatakan Tjiumoti telah melatih ke-72
matjam ilmu silat Siau-lim-pay dan kemudian setjara paksa mempeladjari pula ih-kin-keng, dikatakan pula latihan Tjiumoti itu telah terbalik dan njasar, bentjana sudah mengantjam dalam waktu singkat. Kalau paderi tua itu dengan djitu telah menundjukkan penjakit ajah dan Siau Wan-san, maka apa jang dikatakan mengenai Tjiumoti pasti djuga akan tepat.
Teringat kedjadian itu, dari kuatir Bujung Hok berubah girang, diam2 ia mengedjek Tjiumoti sendiri jang sudah terantjam bentjana, tapi masih berani menggertak padanja akan mentjukil mata dan membikin buntung kaki dan tangan segala. Namun untuk menajinkan pikirannja itu, segera ia memantjing dengan utjapan: Ai latihan terbalik, tenaga dalam njasar, bentjana sudah didepan mata, penjakit demikian memang paling tjelaka!
Se-konjong2 Tjiumoti berteriak sebagai srigala menjalak, suaranja tadjam menjeramkan, kontan ia terus mentjengkeram kearah Bujung Hok sambil membentak: Kau bilang apa" Siapa jang kau maksudkan"
Bujung Hok berkelit kesamping untuk menghindarkan tjengkeraman itu.
Menjusul Tjiumoti djuga memutar tubuh sehingga mukanja tertampak djelas dibawah sinar bulan jang terang, kelihatan kedua matanja merah membara, mukanja beringas dan buas, semuanja itu tidak dapat menutupi rasa ketakutan jang terbajang dimukanja.
Melihat itu, maka Bujung Hok tidak sangsi lagi, katanja segera: Akupun hendak memberi nasihat kepada Beng-ong, ada lebih baik Beng-ong lekas meninggalkan Se He dan pulang sadja ke Turfan, asal tidak mengerahkan tenaga, tidak lekas marah, tidak banjak bergerak, tentu Beng-ong akan dapat pulang kenegeri sendiri dengan selamat. Kalau tidak, wah, apa jang pernah dikatakan paderi tua Siau-lim-si itu tentu akan berbukti.
Apa katamu" Apa jang kau ketahui" Tjiumoti ber-teriak2, sikapnja jang biasanja sabar dan berwibawa itu sekarang telah berubah sama sekali.
Melihat sikap orang berubah beringas, diam2 Bujung Hok merasa djeri djuga, segera ia melangkah mundur setindak.
Apa jang kau ketahui" Lekas katakan! bentak Tjiumoti pula.
Sedapat mugkin Bujung Hok tenangkan diri, ia menghela napas, lalu berkata: Hawa murni Beng-ong sudah sesat djalan, keadaan sangat berbahaja, kalau tidak lekas pulang ke Turfan, boleh djuga datang pula ke Siau-lim-si untuk minta tolong kepada paderi sakti itu, djalan inipun ada harapan besar bagi keselamatan Beng-ong.
Darimana kau mengetahui hawa-murniku njasar" Ngatjo-belo belaka! sahut Tjiumoti dengan menjeringai. Berbareng tangan kiri terus mendjulur kedepan, segera ia mentjakar kemuka Bujung Hok.
Kelima djari Tjiumoti kelihatan agak gemetar, tapi daja serangan itu tetap sangat dahsjat, sedikitpun tiada tanda2 katjaunja tenaga dalamnja, diam2 Bujung Hok terkedjut dan ragu2: Djangan2 aku telah salah duga" ~
Segera iapun tidak berani ajal dan melajani lawan dengan sepenuh tenaga.
Mengingat hubunganku dengan ajahmu, biarlah dalam sepuluh djurus aku tidak membunuh kau sekadar balas djasaku kepada ajahmu, bentak Tjiumoti.
Menjusul ia terus menghantam.
Walaupun Bujung Hok mahir ilmu Tau-tjoan-sing-ih, jaitu dengan tjara memindjam tenaga lawan untuk hantam kembali kepada lawan, tapi kepandaian Tjiumoti terlampau hebat baginja, apalagi setiap serangan hanja dikeluarkan sampai setengah djalan dan segera berubah serangan baru lagi sehingga Bujung Hok tidak sempat menggunakan kemahirannja itu, sebaliknja mendjadi selalu terdesak, terpaksa ia hanja mendjaga diri serapatnja untuk mentjari kesempatan.
Ia lihat serangan2 Tjiumoti itu serba lihay dan luar biasa, semuanja belum pernah dilihatnja. Dan sesudah sepuluh djurus habis, mendadak Tjiumoti membentak: Sepuluh djurus sudah selesai, sekarang terimalah kematianmu!
Sekonjong2 Bujung Hok merasa pandangannja mendjadi silau, disekitarnja seperti penuh dengan bajangannja Tjiumoti, dari kanan menendang dan dari kiri memukul, tahu2 dari depan ada serangan, tiba2 dari belakang ada jang menutuk lagi. Djadi serangan2 itu seakan2 membandjir sekaligus sehingga bingung untuk ditangkis. Terpaksa Bujung Hok kerdjakan kedua tangannja setjepat kitiran dengan mengerahkan tenaga penuh, dia hanja mendjaga diri dan tidak balas menjerang, ia hanja memainkan ilmu pukulannja sendiri dan tidak peduli serangan lawan dari mana datangnja.
Tiba2 terdengar napas Tjiumoti tambah ngos2an dan semakin ter-sengal2
seperti kuda. Seketika semangat Bujung Hok terbangkit, ia tahu hawamurni paderi itu sudah katjau dan napasnja hampir putus, asal bertahan sekuatnja dan tidak sampai dirobohkan lawan sedikit lama lagi tentu paderi itu akan menggeletak dan binasa sendiri.
Namun meski napas Tjiumoti tambah ter-sengal2, sedangkan serangannja djuga semakin gentjar. Se-konjong2 ia menggertak keras sekali. Tahu2
Bujung Hok merasa badju lehernja telah kena ditjengkeram orang dan tubuhnja terangkat keatas. Hiat-to dibagian pinggang dan perut djuga lantas kesakitan, njata dia sudah tertutuk, kaki-tangannja mendjadi lemas dan takbisa berkutik lagi.
Ber-ulang2 Tjiumoti tertawa dingin, sedang napasnja masih terus ngos2an, katanja dengan napas memburu: Aku... aku suruh kau enjah, tapi kau dju... djusteru tidak mau, sekarang... sekarang kau djangan salahkan aku. Hm, tja... tjara bagaimana aku harus membereskan kau"
Pada saat itulah dari semak2 pohon sana lantas muntjul empat djago Turfan, rupanja mereka adalah pengikut Tjiumoti. Segera mereka memberi hormat dan berkata: Adakah sesuatu titah Beng-ong kepada hamba"
Angkat orang ini dan tjemplungkan kedalam sumur itu! kata Tjiumoti.
Haha, ini namanja sendjata makan tuan, memangnja keluarga Bujung kalian paling mahir menggunakan tjara lawan untuk menghadapi lawan, dan sekarang kaupun boleh rasakan tjara demikian, kau telah menjebabkan kedua muda-mudi mati didalam sumur, sekarang kau boleh djuga menjusul mereka.
Keempat Bu-su Turfan itu mengiakan dan menggotong Bujung Hok ketepi sumur. Sungguh menjesal Bujung Hok tak terkatakan, tjoba kalau dia tidak kemaruk mendjadi Huma apa segala dan membalas tjinta sang Piaumoay, tentu hidupnja akan bahagia dan takkan mati konjol seperti sekarang. Dan kalau sudah mati, maka segala impiannja ingin mendjadi radja dengan sendirinja djuga lenjap seluruhnja. Sungguh ia ingin minta ampun pada Tjiumoti dan berdjandji takkan ikut berebut puteri Se He lagi, tjelakanja karena Hiat-to tertutuk sehingga takbisa bersuara, sedang Tjiumoti melirik sadja tidak sudi padanja, maka untuk minta ampun dengan sorot mata mohon dikasihani mendjadi takdapat pula.
Tjemplungkan dia dan segera pergi menggotong beberapa potong batu besar untuk menutup liang sumur itu agar dia takbisa keluar lagi andaikan nanti dia dapat membuka Hiat-to sendiri jang tertutuk itu, perintah Tjiumoti.
Ke-empat Bu-su itu segera melemparkan Bujung Hok kedalam sumur, lalu ber-lari2 pergi mentjari batu karang jang besar.
Tjiumoti sendiri napasnja masih ter-engah2 tak ter-henti2, rasa dadanja sesak dan gopoh tak terkatakan.
Kiranja tempo hari sesudah dia melukai Toan Ki dengan Hwe-yam-to jang tak berwudjut itu, lalu ia melarikan diri kebawah gunung. Tapi sebelum sampai dibawah Siau-sit-san, tiba2 ia merasa perutnja sangat panas sebagai dibakar, lekas2 ia mengatur napas dan melantjarkan tenaga dalam, tapi terasa tenaga dalam susah diatur. Ia terkedjut sekali akan apa jang dikatakan sipaderi tua atas penjakit jang mengeram didalam badannja.
Lekas2 ia mentjari suatu tempat sepi untuk istirahat, ia tjoba duduk semadi dengan tenang, asal dia tidak mengerahkan tenaga dalam, maka rasa panas jang bergolak didalam badan mendjadi reda djuga, tjuma tenaga mendjadi takbisa digunakan.
Sesudah malam, lalu Tjiumoti melandjutkan perdjalanan pulang ke Turfan.
Ditengah djalan ia mendengar berita tentang sajembara puteri Se He.
Sebagai imam negara jang ikut menentukan pemerintahan Turfan, maka ditengah djalan ia telah dapat hubungan dengan pengintai negerinja sendiri dan menjampaikan laporan kepada radanja, ia sendiri lalu mendahului menudju ke Se He.
Radja Turfan memang sudah lama bermaksud bersekongkol dengan Se He, maka demi menerima laporan itu, segera ia mengirim putera mahkotanja bersama djago2 silat jang tidak sedikit djumlahnja dengan membawa harta mestika, golok pusaka dan kuda pilihan, lalu ber-bondong2 menudju ke Lengtjiu, kota radja Se He.
Harta mestika dan barang2 berharga jang dibawa pangeran Turfan itu dipakai menjogok dan menjuap para menteri dan pembesar Se He, sedang djago2 silat jang dibawa itu ditudjukan untuk melawan para kesatria dari berbagai pendjuru jang mendjadi saingan dalam perebutan puteri Se He itu.
Pada beberapa hari sebelum Tiongtjhiu, djago2 Turfan itu sudah mentjegat ditengah djalan dan telah banjak mengalahkan dan mengusir kembali berbagai kesatria muda jang datang itu, tapi achirnja rintangan djago2 silat Turfan itu bobol seperti apa jang telah ditjeritakan diatas.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah berada dikota Lengtjiu, Tjiumoti sendiri lantas mentjari tempat sunji untuk merawat diri sehingga panas badan jang bergolak laksana dibakar itu pelahan2 tertahan. Tapi kalau pikirannja sedikit gontjang, maka badannja lantas bergemetar tak tertahankan. Sampai achirnja asal pikirannja sedikit risau, maka djari kaki dan tangan, alis, bibir dan bagian2 badan lain lantas ikut2 gemetar tak ber-henti2 (sematjam penjakit brurte" ~ kor)
Sebagai imam negara Turfan jang diagungkan, Tjiumoti merasa malu kalau keadaannja itu dilihat orang, maka ia sengadja tinggal terpentjil sendirian dan djarang menemui orang. Hari itu ia mendapat laporan bawahannja bahwa Bujung Hok telah sampai djuga di Lengtjiu, bahkan beberapa djago Turfan telah dihadjar oleh anak buah Bujung Hok.
Diam2 Tjiumoti merasa tidak enak atas datangnja Bujung Hok jang diketahuinja mempunjai wadjah jang tampan dan serba pintar dalam ilmu silat dan sastra, kalau pemuda itu tidak dienjahkan, tentu pangeran Turfan mereka susah menandinginja. Ia menaksir bawahannja tiada satupun jang dapat menandingi Bujung Hok, terpaksa ia sendiri harus turun tangan dan segera mentjari ketempat pondokan Bujung Hok.
Tapi setibanja disana, saat itu Bujung Hok sudah meninggalkan tempatnja dengan menawan Toan Ki. Karena sekitar tempat tinggal tamu negara itu telah dipasang pengintai2, maka dengan mudah Tjiumoti memperoleh info kemana perginja Bujung Hok dan segera ia menjusulnja. Setiba dia disana sementara itu Toan Ki sudah dilemparkan kedalam sumur dan Bujung Hok sedang bitjara dengan Giok-yan.
Begitulah, maka setelah Bujung Hok dilemparkan kedalam sumur oleh para Bu-su jang kemudian pergi mentjari batu karang untuk menjumbat mulut sumur, dalam pada itu Tjiumoti merasa hawa panas didalam badannja semakin bergolak se-akan2 hendak mendjebol badannja, tjuma susahnja tiada sesuatu lubang jang dapat dibuat saluran keluar. Dengan sendirinja Tjiumoti sangat menderita.
Saking tak tahan Tjiumoti sampai men-tjakar2 dada sendiri. Ia merasa hawa dalam badannja se-akan2 terus melembung, se-olah2 kepala, dada, perutnja sedang melembung dan sebentar lagi tentu akan meledak. Bagi penglihatan orang lain dengan sendirinja tubuh Tjiumoti itu tiada berubah apa-apa, tapi dia sendiri merasa badannja seperti telah melembung sebagai bola, sebaliknja hawa murni didalam badan masih terus membandjir timbul.
Dalam bingungnja Tjiumoti terus menutuk tiga kali dibagian bahu kiri, paha kiri dan kanan sehingga berwudjut tiga lubang dengan maksud menjalurkan hawa murni itu keluar badan. Tapi darah segar memang terus memantjar keluar, sebaliknja hawa murni tetap susah dikeluarkan.
Baru sekarang ia ingat dan pertjaja penuh kepada apa jang pernah dikatakan sipaderi tua di Siau-lim-si itu, maka teranglah sekarang bentjana sudah berada didepan matanja, keruan ia mendjadi ketakutan. Tapi apapun djuga dia adalah seorang tokoh kawakan, hatinja takut, pikirannja tidak mendjadi katjau. Se-konjong2 terpikir olehnja: Ja, dia... dia sendiri (maksudnja Bujung Bok) kenapa tidak melatihnja, sebaliknja rahasia keseluruh 72 matjam ilmu sakti itu dikatakan padaku semuanja"
Padahal aku hanja sahabat jang saling kenal dalam perdjalanan, biarpun satu dan lain mendjadi sangat tjotjok dan akrab, kenapa dia begitu murah hati dan rela memberikan rahasia ilmu sakti sebanjak itu padaku"
Dalam keadaan terantjam bahaja inilah mendadak Tjiumoti teringat kepada hubungannja dengan Bujung Bok dahulu. Sebagai seorang tjerdik, memang mula2 Tjiumoti djuga merasa tjuriga ketika Bujung Bok menghadiahkan rahasia2 ilmu sakti Siau-lim-pay itu padanja. Tapi sesudah dia membatja dan mentjobanja, ia merasa apa jang diterimanja itu toh memang kepandaian tulen, maka hilanglah rasa tjuriganja. Baru sekarang disaat menderita dia dapat menjadari apa maksud tudjuan Bujung Bok dengan hadiahnja itu, njata hadiah itu adalah maksud tudjuan Bujung Bok jang kedji dan djahat dengan menggunakan dia sebagai kelintji pertjobaan, disamping itu sengadja mengadu dombakan dia dengan Siau-lim-pay agar Turfan bermusuhan dengan keradjaan Song dan dengan demikian keluarga Bujung akan ada kesempatan buat mengail ikan diair keruh.
Kalau tadi waktu Tjiumoti menangkap Bujung Hok, mau-tak-mau ia teringat kepada kebaikan ajah pemuda itu jang telah menghadiahkan kitab pusaka ilmu silat Siau-lim-pay padanja, sebab itulah ia tidak membunuhnja segera melainkan membuangnja kedalam sumur agar pemuda itu mati sendiri. Tapi sekarang demi sadar akan maksud djahat Bujung Bok atas hadiah kitab itu sehingga dia mesti menderita, keruan ia mendjadi murka, ia melongok kedalam sumur menghantam tiga kali ber-runtun2 setjara kalap.
Tapi pukulan2 itu sama sekali tidak menimbulkan suara apa2 didalam sumur, njata sumur itu sangat dalam sehingga pukulannja tidak mentjapai dasarnja. Dalam keadaan murka kembali Tjiumoti menghantam lagi sekali dengan se-kuat2nja. Dan sudah tentu pukulan inipun tiada gunanja, bahkan lebih tjelaka lagi karena hawa murni dalam tubuhnja lantas bergolak dengan lebih hebat, se-akan2 akan menerdjang keluar melalui lubang bulu ruma jang be-ribu2 banjaknja itu, tapi semuanja buntu dan susah menerdjang keluar.
Tengah Tjiumoti murka dan kuatir pula, se-konjong2 dari badjunja terdjatuh keluar sesuatu benda terus njemplung kedalam sumur. Tjepat ia menjambarnja dengan sebelah tangan, tapi sudah terlambat. Kalau diwaktu biasa, dengan Lweekangnja jang tinggi tentu dia dapat meraup kembali benda itu dengan tenaga sedotan Kim-liong-djiu (ilmu menawan naga), tapi sekarang tenaganja sedang bergolak dan susah dikuasai lagi.
Sedjenak kemudian terdengar suara plok jang pelahan, terang benda itu sudah djatuh kedasar sumur. Diam2 Tjiumoti mengeluh, ia tjoba merogoh sakunja, benar djuga jang djatuh adalah kitab pusaka Ih-kin-keng jang direbutnja dari Goan-tji melalui tangan Tjilo Singh itu.
Pendekar Bayangan Setan 12 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 22
^