Pencarian

Badai Awan Angin 21

Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Bagian 21


Beng Cit Nio tertawa perlahan, wajahnya tampak pucatpasi. Dia terlihat kepayahan.
1473 "Bagaimana kedaanmu, Bi?" Kok Siauw Hong mengulangi pertanyaannya.
"Rasanya aku tidak akan tahan lebih lama lagi...." jawab Beng Cit Nio.
Tiba-tiba dia muntah darah lagi.
"Kenapa kau, Bibi?" kata Siauw Hong.
Tapi Beng Cit Nio diam saja, wajahnya merah membara.
"Dia keracunan ilmunya sendiri," kata Kong-sun Po yang paham ilmu racun. "Untung belum parah, mungkin kita masih bisa mengobatinya."
"Bagaimana caranya?" tanya Kok Siauw Hong.
"Mari kita kerahkan hawa murni kita untuk menolonginya," kata Kong-sun Po.
Keduanya lalu mengerahkan tenaga dalam mereka untuk menolongi Beng Cit Nio. Bantuan tenaga dalam itu membuat Beng Cit Nio sadar kembali.
"Cukup, terima kasih," kata Beng Cit Nio.
Napas Kok Siauw Hong terengah-engah, karena memang lwee-kangnya kalah tinggi dari Kong-sun Po.
"Siauw Hong, kenapa kau tolongi aku, padahal aku tahu pasti kau pun dendam kepadaku," kata Beng Cit Nio.
"Bukankah saat aku masih kecil Kouw-kouw yang menyelamatkan jiwaku?" kata Kok Siauw Hong. "Ketika itu aku tergelincir dari pohon dan jatuh ke sungai yang airnya deras. Aku masih ingat semua kejadian itu!"
"Jadi kau masih mengingatnya, nak?" kata Beng Cit Nio.
1474 "Aku ingat, saat Pwee Eng menuduhmu sebagai pembunuh ibunya, aku pun menyangkal dan membelamu, karena aku tahu kau orang baik," kata Kok Siauw Hong.
"Baik, terima kasih jika kau mempercayaiku," kata Beng Cit Nio. "Sebenarnya aku tidak sebaik yang kau kira. Aku telah banyak melakukan kesalahan. Aku pernah bergabung dengan Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya untuk mencelakai Paman Han-mu!"
"Yang telah lewat jangan kau pikirkan, Bibi. Paman Han masih hidup, Pwee Eng pun selamat," kata Kok Siauw Hong.
"Akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya padamu,"
kata Beng Cit Nio yang napasnya tiba-tiba sesak.
"Sudah, Bibi harus istirahat saja dulu," kata Kok Siauw Hong.
"Tidak, jika hal itu belum aku ceritakan, aku belum tentram," kata Beng Cit Nio.
Kok Siauw Hong tidak bisa mencegah Beng Cit Nio yang mulai bercerita, "Ketika kami masih muda, aku dan Seng Yu Ih (Seng Cap-si Kouw) sama-sama menyukai Han Tay Hiong," kata Beng Cit Nio. "Aku tahu Han Tay Hiong lebih menyukai Seng Cap-si Kouw, tetapi dia mengira Han Tay Hiong malah menyukaiku. Akhirnya kami berdua kecewa! Ternyata Han Tay Hiong lebih mencintai ibu Han Pwee Eng. Padahal aku tahu, baik ilmu silatnya maupun kecantikan kami berdua, sebenarnya tidak kalah oleh ibu Han Pwee Eng!"
Beng Cit Nio berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. Sebaliknya Siauw Hong berpikir lain.
"Mungkin budi pekerti dan hati ibu Pwee Eng lebih baik dari kalian," pikir Kok Siauw Hong.
1475 "Di belakang rumah Han Tay Hiong terdapat bukit yang sunyi, dan sangat tersembunyi. Tempat itu sulit ditemukan oleh siapa pun. Jalan ke tempat itu pun harus melalui air terjun, karena pintu masuknya ada di balik air terjun itu!"
melanjutkan Beng Cit Nio. "Tanpa diduga aku menemukan tempat itu! Maka itu aku tinggal di sana. Maksudku tinggal di sana hanya ingin dekat saja dengan rumah Han Tay Hiong. Tidak kuduga Seng Cap-si Kouw berpendapat lain.
Diam-diam dia mendekati keluarga Han dan meracuni isteri Han Tay Hiong dengan keji. Sesudah berhasil dia membalikkan fakta dan memfitnah aku sebagai pembunuh isteri Han Tay Hiong. Sedang kisah selanjutnya kaupun sudah tahu....'"
"Paman Han orang baik dan bijaksana, pasti dia tahu masalah ini," kata Kok Siauw Hong.
"Semoga saja begitu. Tapi bagaimana keadaan Pwee Eng?" kata Beng Cit Nio. "Aku dengar kau ada masalah dengannya, benarkah itu" Dia nona yang baik, jaga dia baik-baik!"
"Tak lama lagi dia sudah akan menikah dengan Nona Han," kata Kong-sun Po ikut bicara.
"Benarkah" Syukur kalau begitu!" kata Beng Cit Nio.
"Pwee Eng mengkhawatirkan keadaan ayahnya, maka itu dia minta aku menyelidiki keadaannya," kata Kok Siauw Hong.
"Aku juga begitu, selama Han Tay Hiong ada di tangan perempuan jahat itu," kata Beng Cit Nio.
"Sayang dia sudah pergi, kalau tidak kita akan tahu di mana Paman Han berada!" kata Kok Siauw Hong.
Beng Cit Nio termenung, tiba-tiba wajahnya jadi cerah.
1476 "Aah, aku ingat sekarang. Di Ouw-lam ada sebuah tempat persembunyian Seng Cap-si Kouw. Aku yakin Han Tay Hiong disembunyikan di sana. Jika kita akan mencarinya aku harus ikut kalian ke Ouw-lam," kata Beng Cit Nio.
"Bagaimana dengan kesehatanmu?" kata Kok Siauw Hong.
"Tidak masalah. Jika hanya untuk berjalan saja aku masih bisa. Jika aku tidak ikut kalian ke tempat itu, mungkin kau tidak akan sampai ke sana," kata Beng Cit Nio.
"Tapi kami harus kembali dulu ke Thay-ouw untuk melapor pada Ong Cee-cu, apakah kau mau ikut bersama kami?" kata Kong-sun Po menjelaskan.
'Tidak! Aku tidak ingin menemui Ong Cee-cu, jika kalian mau kita harus berangkat sekarang juga!" kata Beng Cit Nio.
Kedua anak muda itu bingung sampai akhirnya Kok Siauw Hong mengambil jalan tengah.
"Kalau begitu biar aku dan Bibi Beng yang pergi ke Ouwlam, sesudah urusan Kong-sun Toa-ko selesai di Thayouw, kau susul kami ke Ouw-lam. Di sepanjang jalan aku akan memberi tanda panah, supaya kau mudah
menemukan kami!" kata Kok Siauw Hong.
"Baik," kata Kong-sun Po menyetujui saran Kok Siauw Hong.
Maka berpisahlah mereka, dua ke Ouw-lam yang seorang ke Thay-ouw.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
1477 BAB 53 Mengikuti Jejak Kok Siauw Hong; Ciauw
Siang Hoa Bertemu Ayahnya
Setelah berpisahan dengan Beng Cit Nio dan Kok Siauw Hong, Sekarang Kong-sun Po berjalan sendirian. Dia menuju ke Thay-ouw. Saat sendiri Kong-sun Po jadi iseng.
Dia ingin segera sampai ke Thay-ouw, agar bisa segera menyusul Beng Cit Nio dan Kok Siauw Hong ke Ouw-lam.
Maka itu dia mempercepat jalannya. Keesokan harinya menjelang petang dia sudah sampai di Thay-ouw. Saat itu dia ingat pada berbagai kejadian yang dialaminya.
"Siauw Hong dan Nona Han sudah rujuk kembali, semoga kepergiannya bersama Beng Cit Nio bisa menemukan jejak calon mertuanya." pikir Kong-sun Po.
"Giok Phang dan Nona Wan sudah bertundangan, entah di mana Mi Yun sekarang?".
Ingat pada Kiong Mi Yun yang bersedia berkorban baginya, nona ini rela bentrok dengan ayahnya demi dia, Kong-sun Po senang. Ingat Kiong Mi Yun dia pun ingat sahabat masih kecilnya, yaitu nona Wan Say Eng yang sudah punya calon suami, yaitu Ci Giok Phang. Sekarang hanya dia dan Kiong Mi Yun yang belum punya kepastian, ketika mereka masih saling mencari di mana keberadaan mereka masing-masing" Dia pun tidak tahu entah kapan dia bisa bertemu lagi dengan Kiong Mi Yun.
Setiba di Tong-teng-san Barat, di tempat Ong It Teng sudah tengah malam. Sebenarnya dia tidak ingin mengganggu tuan rumah, tapi malah Ong It Teng;ah yang datang menemuinya malam itu juga.
"Aku tidak mengira kau akan segera kembali," kata Ong It Teng pada Kong-sun Po.
"Apa ada masalah?" kata Kong-sun Po.
1478 "Ada dua sahabat datang mencari Ci Giok Phang dan Wan Say Eng, sekarang mereka masih ada di sini," kata Ong It Teng. "Kemarin juga ada orang mencarimu, karena kau tidak ada di sini, dia langsung pergi. Eeh, ke mana yang lain, kok kau pulang sendiri saja?"
Kong-sun Po menceritakan pengalamannya.
"Siapa yang mencari Ci Giok Phang dan Nona Wan, apa dia juga kenal padaku?" kata Kong-sun Po.
"Salah seorang mengaku bernama Ciauw Siang Hoa, putera Ciauw Goan Hoa dari Ouw-lam, dia datang bersama tunangannya yang bernama Yo Kiat Bwee!" jawab Ong It Teng.
Nama kedua orang itu memang pernah di dengar dari Ci Giok Phang, maka itu dia jadi keheranan.
"Nona Kiat Bwee pernah menjadi pelayan Seng Cap-si Kouw, nasibnya sangat buruk. Katanya dia akan ke Kim-keeleng, tapi aneh kenapa dia datang ke sini. Lalu siapa orang yang lain yang mencariku?" kata Kong-sun Po.
Tiba-tiba Ong It Teng menegurnya.
"Apa kau punya hubungan dengan orang-orang dari Sungai Huang-hoo?" kata Ong It Teng.
"Tidak!" jawab Kong-sun Po.
"Orang yang mencarimu itu, salah seorang dari mereka!"
kata Ong It Teng. "Dia mengaku bernama Chu Tay Peng!"
"Dia bernama Chu Tay Peng!" kata Kong-sun Po. "Oh dia! Dia ingin agar aku segera ke tempatnya!"
"Benar, dia bilang beitu! Dia bilang kau jangan lupa pada janjimu!" kata Ong It Teng. "Memang ada urusan apa dengan mereka?"
1479 Kong-sun Po menjelaskan pengalamannya, saat kawankawan Chu Tay Peng diserang oleh Pouw Yang Hian. Atas usul Kiong Mi Yun yang meminta agar Chu Tay Peng dan kawankawannya mengabdi pada perjuangan rakyat melawan serangan musuh. Sesudah lewat satu tahun Kong-sun Po akan mengobati luka mereka. Sekarang hampir setahun sudah.
"Kalau begitu kau harus menepati janjimu," kata Ong It Teng.
"Dia benar, tapi saat ini aku sedang menghadapi masalah sulit sekali!" kata Kong-sun Po.
"Masalah apa?" kata Ong It Teng.
"Masalah Kok Siauw Hong. Aku berjanji akan menyusul dia ke Ouw-lam," kata Kong-sun Po. "Menurut Beng Cit Nio, Han Tay Hiong disembunyikan di Ouw-lam. Maka itu aku harus menyusul Kok Siauw Hong ke Ouw-lam!"
"Bagaimanajanjimu dengan Chu Tay Peng?" kata Ong ItTeng. "Waktunya masih berapa lama lagi, sih?"
"Setengah bulan lagi," jawab Kong-sun Po.
Ong It Teng jadi ragu-ragu mengingat waktunya sangat singkat.
Dari dalam rumah muncul Ciauw Siang Hoa dan Yo Kiat Bwee menemui mereka. Melihat mereka muncul Kong-sun Po mengawasi untuk mengingat-ingat, apakah dia pernah bertemu dengan mereka atau belum.
"Mungkin kau lupa, kita pernah bertemu," kata Kiat Bwee alias Tik Bwee.
"Benarkah?" kata Kong-sun Po. "Di mana dan kapan itu"
Aku benar-benar lupa!"
1480 "Bukankah kau yang dulu bertarung dengan See-bun Souw Ya di depan air terjun" Ketika itu kau tidak mengetahui, aku melihatmu dari balik batu." kata Kiat Bwee.
"Jadi kalian sudah saling mengenal," kata Ong It Teng.
"Aku belum pernah bertemu dengan Kong-sun Siauwhiap, tapi namamu sering kudengar dari Ci Toa-ko. Aku mengagumimu," kata Ciauw Siang Hoa.
Sesudah mengisahkan pengalamannya, Kong-sun Po menanyakan bagaimana Kiat Bwee bisa bertemu dengan Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian.
"Kami bertemu ketika mereka akan menikah," kata Kiat Bwee. "Saat mau ke mari pun kami bertemu dengan mereka di tengah jalan."
"Jadi Ci Giok Phang dan Nona Wan bersama-sama dengan mereka, bukan?" kata Kong-sun Po.
"Kami hanya bertemu dengan Seng Liong Sen dan isterinya, merekalah yang menyuruhku menemuimu di sini!" kata Kiat Bwee.
Saat bertemu di tengah jalan, Seng Liong Sen ingin membunuh Kiat Bwee yang mencelakakannya, tapi karena sedang terluka dia tidak berdaya. Sebenarnya Ci Giok Hian pun benci pada Kiat Bwee, tapi sekarang dia kurang senang pada sifat suaminya yang kurang jujur. Ditambah lagi Kiat Bwee memang harus dikasihani. Jika dia memusuhi Kiat Bwee, itu pun tak ada gunanya. Sedangkan obat pemunah untuk suaminya, Kiat Bwee pun tidak memilikinya. Maka itu Ci Giok Hian menyuruh Kiat Bwee pergi ke tempat Ong It Teng di Thay-ouw untuk bertemu dengan Kong-sun Po.
"Aah, masalah jadi semakin gawat. Padahal masalahku belum selesai, sekarang ada masalah baru lagi. Entah ke 1481
mana perginya Ci Giok Phang dan Wan Say Eng?" kata Kong-sun Po.
"Mungkin mereka mengurus masalah lain. Mengingat kepandaian mereka, kau jangan mencemaskannya," kata Ong It Teng. "Sebenarnya masalahmu yang harus kau segera urus."
"Mengenai masalah apa, bisa kau beritahu kami?" kata Ciauw Siang Hoa.
Kong-sun Po menjelaskan, dia harus memenuhi janjinya pada Chu Tay Peng cs. Tapi sekarang dia harus menyusul Kok Siauw Hong ke Ouw-lam. Dengan demikian masalah itu jelas tidak bisa diselesaikan bersama-sama. Tiba-tiba Kiat Bwee tertawa.
"Jangan cemas, biar aku saja yang ke Ouw-lam Barat, aku memang ingin menemui Beng Cit Nio," kata Kiat Bwee.
"Aku senang mendengar usulmu. Tapi adat Beng Cit Nio keras. Apalagi dia bilang masalah ini jangan diberitahukan pada siapa pun. Jika kau pergi ke sana, lalu...."
"Jangan khawatir," kata Kiat Bwee. "Aku bekas budak Seng Cap-si Kouw dan bertetangga dengannya, aku tahu dia juga sayang kepadaku." '
"Apa kau tidak takut jika di sana bertemu dengan Seng Cap-si Kouw?" kata Kong-sun Po.
Dengan sikap gagah Kiat Bwee alias Tik Bwee berkata,
"Justru kamilah yang ingin mencari dia untuk menuntut balas!"
Sesudah mendengar cerita ibu Ciauw Ciang Hoa, Kho-si, tahulah Tik Bwee, dia diculik dan dijadikan budak oleh Seng Cap-si Kouw dan hal itu bukan kejadian kebetulan.
1482 Nasib buruk Ciauw Siang Hoa dan dia justru ada kaitannya dengan Seng Cap-si Kouw. Paling tidak si Iblis Perempuan itu tahu masalahnya.
Kong-sun Po akhirnya setuju karena dia yakin Ciauw Siang Hoa dan Kiat Bwee mampu menghadapi Seng Cap-si Kouw.
Sesudah ada kesepakatan esok paginya mereka berangkat bersama-sama menyeberangi Thay-ouw dengan diantar oleh anak buah Ong It Teng. Perahu mereka didayung ke tengah, tapi sesampai di tengah danau yang luas, mereka melihat sebuah sampan meluncur cepat. Di atas sampan itu terlihat sepasang muda-mudi sedang asyik menyaksikan pemandangan Thay-ouw yang indah. Ternyata Kiat Bwee mengenali sepasang muda-mudi di atas sampan itu, lalu dia memanggilnya.
"Liong Cici, kau juga ada di sini?" kata Kiat Bwee.
"Akh saudara Bu kiranya kau!" kata Ciauw Siang Hoa.
Memang itu Bu Hian Kam dan Liong Thian Hiang, dua mudamudi yang mereka kenal.
Tampaknya mereka gembira sekali. Sesudah perahu-perahu mereka ke tepi, dari cerita Liong Thian Hiang, tahulah Kiat Bwee bahwa sepasang muda-mudi itu baru pulang dari rumah Ciauw Siang Hoa karena hendak mencari mereka. Sekarang kebetulan mereka bertemu di tengah danau. Nona Liong bercerita, mereka tahu keluarga Ciauw sudah pindah dari tetangga Ciauw Goan Hoa.
"Aneh" Ayah dan Ibuku tidak memberitahuku mereka akan pindah?" kata Siang Hoa. "Ke mana mereka pindah?"
"Tetanggamu tidak mengatakan ke mana mereka pindah!" kata nona Liong.
1483 "Sudah," kata Kiat Bwee. "Mungkin ayahmu pindah untuk menghindari gangguan dari si Iblis Perempuan yang ganas itu!"
"Tapi ke mana pindahnya, kenapa aku tidak diberi tahu?" kata Siang Hoa.
Pemuda itu kelihatan berduka dia ingat bagaimana Ciauw Goan Hoa menyayangi dirinya.
"Tenang, mungkin kau hanya berpisah untuk sementara saja, kelak kau pun akan bertemu lagi dengan beliau," hibur Kiat Bwee.
"Mari kita tanya Liong Cici, bagaimana dia bisa sampai ke mari?"
"Kami kira kalian pergi ke Kim-kee-leng, maka itu kami bermaksud menyusul kalian ke sana," kata nona Liong.
Tiba-tiba wajahnya berubah kemerah-merahan.
"Kami sudah bertunangan," kata Bu Hian Kam.
"Oh selamat! Selamat!" kata Kiat Bwee maupun Siang Hoa.
"Kami harap kalian pun meniru kami, segera bertunangan," kata Liong Thian Hiang menggoda.
"Aah, kau jangan bergurau Liong Cici, bicaralah soal yang penting-penting saja," kata Kiat Bwee menunduk malu.
"Apa itu tidak penting?" kata Liong Thian Hiang. "Baik, akan kujelaskan bagaimana kita bisa bertemu di sini. Aku mendapat keterangan tentangmu secara kebetulan saja.
Ketika kami sedang minum di sebuah warung teh di tepi jalan, kami bertemu dengan kenalan lama. Dia Chan It Hoan, budak Nona Han!"
1484 "Aku dengar dari Kok Siauw Hong, orang itu ada di tempat Bun Tay-hiap," kata Kong-sun Po.
"Dia diutus oleh Bun Tay-hiap ke Kim-kee-leng menemui, Liu Beng-cu!" kata Bu Hian Kam. "Saat bertemu kami dia baru saja pulang dari Kim-kee-leng. Dari It Hoan kami tahu kalian tidak ada di sana. Lalu kami meninggalkan kedai minum hingga muncul kejadian yang tidak kami duga-duga...."
"Apa yang terjadi?" tanya Kiat Bwee.
"Kami bertemu seorang yang berpakaian seperrti tabib, pakaiannya kotor dan lapuk. Dia membawa sebuah lonceng dan langsung minta uang pada kami," kata Bu Hian Kam.
"Kenapa heran, tabib pengembara seperti itu sama dengan pengemis saja," kata Kiat Bwee sambil tertawa.
"Biasanya mereka menjual obat palsu dan menawarkannya pada seseorang, tapi ini tidak! Dia minta uang pada kami," kata Hian Kam. "Ketika itu aku memang sedang kesal, lalu bergurau dengannya. Aku bertanya apakah dia punya obat mujarab tidak. Tahukah kau apa jawab dia, jawabannya membuat aku kaget!"
"Dia bilang apa?" Kiat Bwee mendesak ingin tahu.
"Dia bilang dia hanya menjual obatnya pada orang lain, tidak akan menjualnya kepadaku! Dia bilang dia hanya akan menjual khabar padaku. Lalu aku tanyakan khabar apa" Dia bercerita. 'Suatu hari saat aku sedang beristirahat aku mendengar percakapan kami." katanya. Lalu dia bertanya pada kami. 'Apa kalian sedang cari itu orang yang masih muda. Dan yang perempuan she Yo sedang yang pria she Ciauw"'
1485 "Jelas yang dia katakan khabar itu justru tentang kami berdua," kata Ciauw Siang Hoa. "Aneh sekali, aku tidak kenal dengannya."
"Dia membawa tempat arak berwarna merah atau tidak?" kata Kong-sun Po yang menduga si tabib pengemis di Sionghong-nia.
"Aku tidak melihatnya," kata Bu Hian Kam.
Bu Hian Kam kemudian memetakan wajah tabib
berpakaian rudin itu pada mereka.
"Kalau begitu bukan si pengemis di Siong-hong-nia!"
kata Kong-sun Po. "Tapi kami senang karena kami mengetahui tentang keberadaan kalian," kata Bu Hian Kam. "Dia bilang dia melihat kalian minum di kedai itu!"
"Aneh?" kata Kiat Bwee. "Aku tidak pernah melihat dia, di mana warung itu berada?"
"Di Hek-hoo-wan," kata Bu Hian Kam.
"Kami tidak pernah ke sana," kata Siang Hoa, "apalagi minum!"
"Heran dia bisa menggambarkan wajah kalian dengan tepat, dia bilang dia bertemu kalian tiga hari yang lalu,"
kata Bu Hian Kam. "Kalian sedang membicarakan Ong Cee-cu. Dia heran, karena kalian masih muda, tapi sudah kenal dengan Ong Cee-cu."
"Berapa usia orang itu?" tanya Kiat Bwee.
"Sekitar limapuluh tahun lebih, maka itu kalian dianggap masih bocah," kata Bu Hian Kam.
"Aneh! Sekalipun dia omong kosong, tapi jejak kami diketahuinya," kata Ciauw Siang Hoa.
1486 "Waktu itu aku pun tidak percaya padanya," kata Hian Kam. "Tapi aku pikir Ayahku juga baik dengan Ong Ceecu, apa salahnya aku ke tempatnya. Akhirnya kita bertemu di sini dengan kalian..."
"Menurut kalian, dia tokoh persilatan, bukan?" kata Sun Po.
"Sulit menduganya, dia berjalan pincang. Barangkali dia bisa silat!" kata Bu Hiang Kam.
"Rasanya sulit menebaknya," kata Kiat Bwee. "Mari kita lanjutkan saja perjalanan kita!"
"Baik, kita berpisah di sini saja," kata Kong-sun Po.
Sesudah itu mereka membuat perjanjian dengan tanda apa mereka bisa saling berkomunikasi.
"Jika kalian mau ke Ouw-lam, perhatikan tanda "panah"
yang diberikan oleh Kok Siauw Hong. Di batu atau di atas pohon. Kalian boleh mengikuti "tanda panah" itu!" kata Kong-sun Po.
Sesudah Kong-sun Po meninggalkan mereka, Kiat Bwee tertawa.
"Kalau begitu kalian mau pulang kampung!" kata Kiat Bwee. "Ouw-lam dekat dengan tempat tinggal kalian!"
Memang rumah Ciang Hoa dan Hian Kam ada di Ouwlam, tapi tempat pertemuan dengan Kok Siauw Hong entah di mana"
Dua hari kemudian keempat muda-mudi itu melakukan perjalanan ke Ouw-lam Barat. Sesudah menempuh jarak sekitar tiga puluh li, mereka belum juga menemukan tanda yang diberikan Kok Siauw Hong.
"Kenapa tidak ada tandanya" Apa barangkali telah terjadi sesuatu pada mereka?" kata Kiat Bwee cemas.
1487 "Heran! Tapi barangkali kita kurang awas hingga tidak melihat tanda panah itu," kata Bu Hian Kam.
"Menurut Kong-sun Po di tempat-tempat yang mudah terlihat Kok Siauw Hong membuat tanda," kata Kiat Bwee.
"Bagaimana jika kita lacak ulang kembali lagi ke asal,"
kata Liong Thian Hiang. Sesudah bolak-balik mereka tetap tidak menemukan tanda itu.
"Kita berjalan di kiri dan mencari tanda itu, jika sudah 30
li tak menemukan apa-apa, kita balik lagi lewat sebelah kanan," kata Liong Thian Hiang.
Mereka mengikuti saran Liong Thian Hiang, tapi sudah dijalani 30 li, mereka tidak menemukan tanda tersebut.
Ternyata sampai sore pun mereka belum menemukan tanda tersebut. Akhirnya mereka kembali lagi. Lalu menyusuri jalan di sebelah kanan. Sesudah berjalan beberapa li dalam keadaan cuaca yang mulai remang-remang. Akhirnya mereka menemukan sebuah batu yang kelihatannya seperti ada tandanya.
"Aah, ternyata kau cerdas, akhirnya ketemu juga tanda tersebut," kata Kiat Bwee.
"Sabar, coba kalian perhatikan, tanda panah ini agak aneh bentuknya," kata Bu Hian Kam.
Mereka segera memeriksa tanda itu dengan teliti.
Memang mereka menemukan tanda aneh.
"Sepertinya dirusak dengan tangan," kata Kiat Bwee.
"Ya, orang yang merusak tanda ini menggunakan jurus
"jari sakti Kim-kong-cee-lek aliran Siauw-lim atau jurus It-ci-siankang kaum Buddha," kata Ciauw Siang Hoa.
1488 "Tanda yang diberikan Siauw Hong menggunakan ujung pedang, dia tidak bisa jurus jari sakti," kata Kiat Bwee.
"Kalau begitu yang membuat "tanda" orang lain, apa akan kita ikuti atau jangan?" kata Liong Thian Hiang.
"Kita tidak kenal orang itu, jangan-jangan ini perangkap," kata Bu Hian Kam.
"Tetapi kita tidak menemukan tanda lain," kata Thian Hiang. "Bagaimana jika kita ikuti saja tanda itu, kita coba saja," kata Bu Hian Kam.
Merasa tidak punya pilihan, sekalipun ragu-ragu mereka ikuti tanda itu. Akhirnya mereka sampai ke daerah pegunungan.
Hari itu mereka tiba di sebuah hutan, mereka tidak menemukan tanda, maupun jalan yang pernah dilewati oleh manusia.
"Nama tempat ini Bukit Oh-kwie (Bukit Setan). Ini daerah paling tandus di Ouw-lam. Aku khawartir orang itu sengaja memancing kita ke mari," kata Bu Hiang Kam yang tampak cemas sekali.
Tiba-tiba Kiat Bwee berkata, "Lihat!"
Saat mereka berpaling ke tempat yang ditunjuk Kiat Bwee, di sana mereka lihat ada batu besar seolah temoat duduk atau sebuah altar, di atasnya tampak menumpuk tengkorak manusia. Setiap tumpuk ada tiga buah tengkorak.
Yang paling atas menyeramkan, giginya menyeringai.
Semua kaget dan merasa ngeri. Tapi karena Bu Hian Kam orang Ouw-lam, dia mengerti adat-istiadat setempat.
"Di daerah ini banyak agama sesat, tumpukan tengkorak ini mungkin bekas upacara salah satu agama sesat itu!" kata Bu Hian Kam menjelaskan.
1489 Ketika suasana sedang mencekam itu, terdengar suara seruling, iramanya tidak menentu. Suara seruling itu membuat bulu kuduk berdiri karena seramnya.
"Tenang, jangan gugup!" kata Bu Hian Kam. "Kita tunggu apa mau mereka?"
Tak lama muncul serombongan wanita bangsa Biauw, salah seorang mengenakan kerudung sutera halus.
Tubuhnya kelihatan setengah telanjang. Pada kedua telinga orang itu terlihat anting-anting besar. Pakaian yang dikenakannya sangat berbeda dari yang lainnya. Agaknya dia pemimpin kaum wanita Biauw tersebut. Sedang wanita Biauw yang lain membawa bumbung bambu, entah untuk apa"
Rombongan orang Biauw itu terkejut ketika melihat keempat muda-mudi itu. Mereka langsung mengepung, dan terdengar suara seperti suara makian.
"Apa yang mereka katakan?" kata Liong Thian Hiang.
"Kata pemimpin mereka, kita telah memasuki daerah terlarang milik mereka!" kata Bu Hian Kam. "Mereka pun bilang yang perempuan akan dijadikan budak, sedang kami yang laki-laki akan mereka bunuh!"
"Segera jelaskan kepada mereka, kita tersesat dan tidak sengaja ke mari," kata Liong Thian Hiang.
Merasa mampu berbicara dengan bahasa Biauw, Bu Hian Kam melaksanakan usul Liong Thian Hiang. Dia berjalan mendekati pemimpin wanita Biauw itu. Tapi tibatiba kepalanya pening karena mencium bau yang aneh.
"Tahan napasmu, itu pasti udara beracun," kata Kiat Bwee.
1490 Kiat Bwee melompat mencoba menarik Bu Hian Kam, lalu memasukkan sebuah pil ke mulut pemuda itu. Dia memberikan pil pada kawannya yang lain. Memang saat itu Liong Thian Hiang maupun Siang Hoa merasakan kepalanya pening.
"Maaf, kami tersesat dan tidak sengaja memasuki wilayah kalian," kata Kiat Bwee.
"Kami tidak mau tahu, kenapa kalian memasuki wilayah terlarang kami, maka itu kalian harus dihukum mati!" kata pemimpin wanita Biauw itu.
Mereka kaget, rupanya wanita Biauw yang jadi pemimpin rombongan itu bisa bahasa Han. Dengan tidak menghiraukan permohonan Kiat Bwee, si pemimpin memerintahkan menangkap keempat orang yang mereka kepung itu.
"Karena kalian mendesak kami, maka kami pun terpaksa tidak memakai aturan," kata Kiat Bwee.
Kiat Bwee mengibaskan bajunya, segumpal asap menyambar membuat wanita Biauw yang berada paling depan kaget. Mereka melompat mundur.
Tak lama terdengar teriakan wanita Biauw yang kelihatan tubuhnya kegatalan. Kiranya Kiat Bwee menyebar obat bubuk yang membuat orang kegatalan.
Pemimpin mereka menangkis serangan Kiat Bwee.
"Lepaskan si hijau agar menyerang mereka!" kata si pemimpin.
Kiat Bwee terperanjat, dia lihat wanita-wanita Biauw yang membawa bumbung bambu itu membuka tutup bumbungnya. Tak lama terdengar desisan ular hijau. Salah seekor menyambar ke arah Kiat Bwee.
1491 Kiat Bwee melompat mndur bersama Ciauw Siang Hoa, juga kawan-kawannya. Serempak mereka menghunus senjata untuk membunuh setiap ular hijau yang menyerang mereka.
Banyak ular hijau yang terbunuh oleh senjata keempat anak muda itu. Melihat serangan mereka tidak berhasil, seolah mengerti ular hijau itu menghentikan serangan mereka. Tetapi tak lama ular hijau itu terus bertambah. Ini membuat keempat muda-mudi itu cemas bukan kepalang.
Bu Hian Kam yang kesehatannya telah pulih, berbisik pada kawan-kawannya.
"Jika ingin menaklukkan mereka, kita harus menangkap pemimpin mereka!" bisik Bu Hian Kam.
"Ya, kita tangkap pemimpinnya dulu," jawab Kiat Bwee.
Sekarang mereka sedang dikepung kawanan ular hijau, sekalipun gagasan Bu Hian Kam itu baik, mereka sulit menembus kepungan ular hijau itu.
"Saudara Siang Hoa, kau bawa batu api tidak?" kata Bu Hian Kam.
"Memang kenapa. Aku bawa!" jawab Siang Hoa.
"Kau nyalakan!" perintah Bu Hian Kam.
Ciauw Siang Hoa tidak tahu apa gunanya api bagi Bu Hian Kam, tapi dia menurut dan membuat api dengan batu api. Saat api memancar dan lelatunya berpencar, Bu Hian Kam menyebarkan jarum Bwee-hoa-ciam yang halus ke arah ularular itu. Dengan bantuan cahaya api itulah Bu Hian Kam berhasil membunuh ular hijau itu beberapa ekor.
Saat itu oleh Bu Hian Kam digunakan untuk meloloskan diri dari kepungan ular hijau. Kiat Bwee pun ikut melompat keluar kepungan bersama Hian Kam.
1492 "Hm! Kalian berdua cari mampus, ya?" kata si pemimpin.
Tiba-tiba dia serang Kiat Bwee dan Hian Kam dengan sepuluh buah cincin yang ada di tangan wanita Biauw itu.
Cincin itu jadi senjata rahasia yang ampuh. Tak lama terdengar suara siulan, dan ular-ular itu pun bergerak memperketat kepungan ke arah Ciauw Siang Hoa dan Liong Thian Hiang.
Bu Hian Kam dan Kiat Bwee menerjang ke depan sambil memutarkan goloknya. Tak lama terdengar suara beradunya senjata beberapa kali. Cincin si wanita Biauw pun berjatuhan ke tanah.
Kiat Bwee tak tinggal diam, dia sebar kembali obat gatalnya. Melihat hal itu para wanita Biauw itu mundur karena takut terkena lagi. Tapi yang tak sempat menghindar menjeritjerit kegata-lan.Mereka lari dan menceburkan diri ke dalam sungai.
Si pemimpin maju menyerang Yo Kiat Bwee. Melihat lawan datang, Kiat Bwee menusukkan pedangnya. Sayang tidak kena. Bahkan baju bagian bahunya terkoyak oleh lawan. Untung Kiat Bwee mengelak dan tidak tercengkram.
Bu Hian Kam datang membantu, sekarang pemimpin wanita Biauw itu dikeroyok berdua oleh Kiat Bwee dan Bu Hian Kam.
"Bukan minta maaf, malah kalian berani menyerangku!"
kata wanita Biauw itu.

Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu golok pemimpin wanita Biauw bergerak. Hian Kam dan Kiat Bwee kaget menyaksikan kehebatan ilmu golok wanita Biauw itu. Bu Hian Kam mencoba menghindar, dia membabat tangan wanita Biauw itu dengan golok.
1493 "Lepas senjatamu!" kata Hian Kam.
Ternyata wanita Biauw itu lihay, dia mampu
menghindari tebasan golok Bu Hian Kam. Bahkan membalas sambil berteriak.
"Coba senjata siapa yang lepas lebih dulu!" katanya.
Tiba-tiba golok berbentuk sabit wanita Biauw itu meluncur ke arah tangan Hian Kam. Dengan tenang Hian Kam melayani serangan itu. Kembali senjata mereka bentrok.
"Trang! Trang!"
Kiat Bwee memutar pedang, dia babat lengan wanita Biauw itu. Melihat serangan berbahaya dari Kiat Bwee, dia melompat mundur.
"Nona Yo, layani dia dengan taktik berputar-putar!" kata Bu Hian Kam. Kiat Bwee menurut, dia berputar-putar sambil menyerang. Karena serangan Kiat Bwee gencar, sekarang wanita Biauw itu mulai terdesak dan hanya bisa menghindar saja.
Memang cara menggunakan golok wanita Biauw itu berbeda sekali dengan ilmu golok yang dipelajari Hian Kam. Tak heran semula mereka terdesak. Sekarang karena bekerjasama dengan Kiat Bwee mereka berhasil mendesak wanita Biauw itu.
"Kami tidak ingin menyusahkanmu, lekas singkirkan semua ular-ularmu!" kata Hian Kam.
"Sudah hampir mati saja, kau masih banyak bicara," ejek wanita Biauw itu.
Saat Kiat Bwee dan Hian Kam mendesak, tiba-tiba ada orang bicara.
1494 "Tik Bwee, apa kau masih mengenaliku atau tidak?" kata suara itu nyaring sekali.
Mendengar suara itu Tik Bwee atau Kiat Bwee yang sudah lama mengenal suara itu jadi terperanjat sekali.
Ternyata orang itu Seng Cap-si Kouw adanya.
"Sam Kiong-cu, kau tangkap orang yang dikepung ularmu, biar kedua orang ini aku yang meladeninya. Yang perempuan budakku yang melarikan diri dariku, akan kuhukum dia!" kata Seng Cap-si Kouw pada "Sam Kiong-cu" atau Puteri Ketiga bangsa Biauw itu.
"Seng Kouw-kouw, dugaanmu benar. Mereka tiba tepat waktu," kata wanita Biauw itu.
Tik Bwee alias Kiat Bwee tahu siapa Seng Cap-si Kouw.
Maka daripada mati konyol, dia bertekad akan melawan matimatian. Tanpa banyak bicara Kiat Bwee menyerang Iblis Tua itu. Tapi dengan mudah serangan itu disampok oleh Seng Cap-si Kouw dengan tongkat bambu hijaunya.
"Kau mau memamerkan ilmu silat ajaranku di depanku, ya?" kata Seng Cap-si Kouw.
Sampokan bambu hijau Seng Cap-si Kouw hampir saja menjatuhkan pedang di tangan Kiat Bwee. Melihat kawannya dalam bahaya, Hian Kam maju membacok, tapi Seng Cap-si Kouw dengan gesit membalikkan tongkat bambu hijaunya menangkis serangan Hian Kam. Maka golok Hian Kam pun terpental kena sampokan itu. Tapi Bu Hian Kam pun tak tinggal diam, kembali dia menyerang.
Dengan demikian pertarungan jadi tambah seru. Seng Capsi Kouw heran, dia belum mampu mengalahkan pemuda itu.
"Tik Bwee, aku bunuh kaupun tak ada gunanya.
Bagaimana jika kau ikut aku pulang, maka jiwamu akan 1495
kuampuni. Tapi jika kau tertangkap, maka nyawamu tidak tertolong lagi!" kata Cap-si Kouw.
Bukan main ngerinya Kiat Bwee.
"Dari pada tertangkap lebih baik aku bunuh diri," pikir Kiat Bwee.
Di tempat lain Ciauw Siang Hoa dan Liong Thian Hiang sedang dikepung ular hijau, karena ular-ularnya sebagian sudah mati, kepungan ular hijau mulai agak longgar. Tidak terduga wanita Biauw itu datang menyerang mereka.
Sekarang mereka bertarung, tapi kedua muda-mudi itu harus waspada pada gigitan ular-ular berbisa.
Wanita Biauw itu terus mendesak. Saat Siang Hoa dan nona Liong terdesak, wanita Biauw itu berteriak.
"Bibi Seng, bagaimana" Apa kubunuh mereka atau biarkan hidup?" kata wanita Biauw itu.
"Ditangkap hidup-hidup lebih baik," jawab Seng Cap-si Kouw.
"Akan kucoba," kata wanita Biauw itu.
Dia memutarkan golok lengkungnya menyerang dengan hebat. Dengan taktik mencoba memisahkan Ciauw Siang Hoa dengan nona Liong, wanita Biauw ini menyerang dengan gencar. Setiap saat ular hijaupun terus mengancam Siang Hoa maupun nona Liong.
Jarak antara nona Liong dan Bu Hian Kam tidak terlalu jauh. Saat Hian Kam melihat seekor ular menyambar ke arah calon isterinya, dia kaget, karena itu serangannya pada Seng Cap-si Kouw jadi kacau. Kesempatan ini tak disiasiakan oleh si Iblis Perempuan. Dia menyabet dengan tongkat bambu hijaunya, dan celakanya golok Hian Kam 1496
pun terlepas dari tangannya. Tiba-tiba tongkat hijau menotok jalan darah Hian Kam.
Si Iblis Perempuan menoleh ke arah bekas budaknya.
"Tik Bwee, aku mau tahu bagaimana kau bisa meloloskan diri dariku!" kata Seng Cap-si Kouw. "Apa kau masih akan mencari bantuan Kok Siauw Hong dan Beng Cit Nio! Dengar baik-baik, mereka semua sudah ada di tanganku. Jika kau mau menemuinya, akan
kupertemukan!" Kiat Bwee kaget bukan kepalang. Tak ada jalan lain dia harus bunuh diri daripada tertangkap oleh si Iblis Perempuan. Saat dia akan bunuh diri dia mendengar suara suitan. Alat suitan itu biasanya terbuat dari batang gelagah, ini kebiasaan bangsa Biauw. Bukan Kiat Bwee saja yang kaget, Seng Cap-si Kouw pun kaget mendengar suara suitan itu.
"Eeh, siapa orang itu" Beraninya dia main gila di sini!"
kata Seng Cap-si Kouw. Suitan itu ternyata membuat semua ular hijau itu diam dan tidak bergerak seolah ketakutan. Tak lama semua ular hijau itu menggeleser masuk ke dalam hutan tidak mau mendengar perintah para wanita bangsa Biauw itu. Baik pemimpin wanita Biauw maupun anak buahnya diam tertegun. Mereka pun akhirnya berbalik dan kabur ke dalam rimba. Sekarang tinggal Seng Cap-si Kouw seorang.
Melihat semua kabur Seng Cap-si Kouw tertegun keheranan. Dia tidak menyangka wanita Biauw yang begitu taat itu, semua telah meninggalkannya. Tiba-tiba dia dengar langkah orang dari dalam hutan. Saat dia menoleh, dia lihat seorang tabib berpakaian rombeng, berjalan menghampiri mereka.
1497 Melihat tabib itu Liong Thian Hiang senang bukan kepalang. Tetapi dia juga khawatir, apakah tabib itu kawan atau malah lawan. Tiba-tiba mereka dengar Seng Cap-si Kouw bicara.
"Siapa kau?" bentak Seng Cap-si Kouw. "Mengapa kau ikut campur urusan kami?"
Tabib berpakaian aneh itu tertawa terkekeh.
"Aku tahu siapa kau. masa kau sudah lupa siapa aku?"
kata si tabib aneh itu. Seng Cap-si Kouw mencoba mengingat-ingat wajah orang itu. Bukan main kagetnya dia, saat dia ingat siapa orang itu.
"Jadi.... jadi kau Ciok ....Oh jadi kau belum mati ya?"
kata Seng Cap-si Kouw. "Beruntung memang, aku belum mati," kata si tabib aneh. "Ditambah lagi aku pun tidak ingin buru-buru mati!
Aku harus balas-dendam, mana boleh aku buru-buru mati"
Sekalipun bukan kau yang mencelakaiku, tapi kau ikut ambil bagian. Maka itu sebaiknya masalah itu kita selesaikan sekarang!"
"Kau pernah lolos sekali dariku, sekarang tidak!
Mungkin kau sudah bosan hidup" Sekarang saatnya kau menghadap Giam Lo Ong (Si Raja Akherat)!" kata Seng Cap-si Kouw sambil mengetukkan tongkat bambu hijaunya ke tanah.
Dia serang si tabib aneh itu dengan serangan mautnya, di luar dugaan tabib itu sudah siaga. Begitu tongkat hijau sampai, si tabib menggunakan loncengnya menangkis.
"Trang!" 1498 Gerakan si tabib luar biasa. Dia gunakan jurus Boat-in-kianjit" atau "Menyibak awan melihat matahari". Tak lama keduanya sudah mulai bertarung dengan hebat.
Seranganserangan tabib aneh dengan lonceng bergagang panjang dirasakan sangat merepotkan Seng Cap-si Kouw.
Sekarang dia mulai terdesak mundur.
"Aneh jurus orang ini, dulu dia kalah olehku, tapi sekarang dia luar biasa," pikir si Iblis Perempuan.
Selain lihay munculnya si tabib aneh ini mengejutkan Seng Cap-si Kouw. Saking gugupnya Seng Cap-si Kouw jadi terdesak lawannya. Ditambah lagi tenaganya sudah agak terkuras. Siang Hoa dan Liong Thian Hiang yang sudah bebas dari kepungan musuh jadi bernafsu menyerang.
"Mari kita serang Seng Cap-si Kouw!" kata Siang Hoa.
Kiat Bwee seolah tersedar dari kejutnya.
"Benar, mari kepung si Iblis Perempuan itu!" kata Kiat Bwee.
"Hm! Kau pikir gampang merintangiku, aku bisa pergi dan datang sesuka hatiku," kala Seng Cap-si Kouw mengejek.
Karena sudah kewalahan menghadapi tabib aneh itu, sebenarnya Seng Cap-si Kouw akan meninggalkan pertempuran. Ketika ada kesempatan baik, dia langsung kabur. Sedang orang-orang tidak mengejarnya.
Saat itu Nona Liong berusaha menolong membuka totokan pada Bu Hian Kam, tapi gagal. Kiat Bwee membantunya juga gagal. Melihat hal itu si tabib aneh tersenyum.
"Biar aku coba menolongnya," katanya.
Dia mencoba mengurut Bu Hian Kam, dan berhasil.
1499 "Terima kasih atas pertolongannya," kata Bu Hian Kam.
"Jangan see-ji (segan)," kata si tabib. "Nanti kau akan tahu sendiri, siapa aku ini..."
Siang Hoa mengawasi tabib itu, dia merasa seolah kenal dengan tabib aneh itu. Dia heran sekali. Tabib aneh itu pun sedang mengawasi ke arah Ciauw Siang Hoa. Ketika diperhatikan tampak tabib aneh itu seperti mengeluarkan air mata.
"Aneh, siapa sebenarnya kau" Bagaimana kau tahu tentang kami, bahkan kau memancing kami seolah kau tahu banyak tentang kami!" kata Ciauw Siang Hoa pada si tabib.
"Ooh, ternyata kau lupa padaku, Nak," kata si tabib aneh. "Sekarang jawab, benarkah di bawah ketiakmu ada tahi lalat" Saat rumahmu diserang, bukankah kau dibawa lari oleh Ong Sam?"
"Ooh jadi.... Jadi kau Ayahku!" teriak Siang Hoa.
"Benar! Kau jangan menangis, nak," kata si tabib saat dia lihat Siang Hoa menangis. "Kita harus gembira karena bisa bertemu lagi!"
"Ayah, tahukah kau siapa Nona ini?"
Tabib itu mengangguk. "Aku tahu, aku pun pernah mencari ayahnya, maka aku tahu keluargamu tertimpa malang. Aku mencemaskan dirimu, Nona Yo! Tidak kukira hari ini kita bisa berkumpul, ternyata kalian juga kenal dengan anakku." kata si tabib.
Sesudah tertegun sejenak tabib itu berkata lagi.
"Namaku Ciok Leng, sahabat baik Yo Tay Ceng, ayah Nona Yo! Apa kau tahu, Nona Yo?" kata si tabib.
1500 "Aku tahu, ketika masih kecil Ayahku pernah bilang tentang Paman Ciok. Baru-baru ini aku juga mendengar tentang Paman dari seseorang. Tidak kukira kita bisa saling bertemu lagi...." kata Kiat Bwee.
"Kalian kira aku sudah mati, bukan?" kata Ciok Leng.
"Nona Yo diculik dan dijual pada Seng Cap-si Kouw dijadikan budaknya," kata Siang Hoa menjelaskan pada ayahnya.
"Aku tahu, tapi aku tidak yakin kau puteri Yo Toa-ko, padahal aku pernah mengikuti kalian, sedangkan kalian tidak mengetahuinya," kata ayah Siang Hoa.
"Kenapa Ayah tak sejak dulu menemui kami?" kata Siang Hoa.
"Ketika itu saatnya belum tiba," kata sang ayah. "Karena masih ada yang belum jelas bagiku. Apa kalian pernah mendengar tentang peta tubuh Hioat-to-tong-jin" Nasib buruk keluarga kita ada kaitannya dengan lukisan itu!"
"Kami pernah mendengarnya dari Kho-si, ibu keduaku,"
jawab Siang Hoa. "Yang kau maksud Kho Siauw Hong, isteri Ciauw Goan Hoa, bukan?"
"Ya. Dia sangat baik padaku," kata Siang Hoa. "Tapi sayang dia sudah meninggal dunia."
"Dia juga bernasib buruk dan menyedihkan," kata Ciok Leng. "Ayahnya dulu kawan ayah juga, saat mengawal lukisan dia coba berbuat curang dan gagal Tak diduga dia jadi ibu angkatmu, Nak."
"Untuk menghidar dari kejaran Kiauw Sek Kiauw, ibu rela menjadi isteri kedua ayah angkatku, Ciauw Goan 1501
Hoa!" kata Siang Hoa. "Tapi tidak dinyana dia dipersulit oleh Kiauw Sek Kiang dan Seng Cap-si Kouw!"
Ayah Siang Hoa terharu. "Kebetulan aku pun bisa selamat," kata Ciok Leng. "Saat bertarung melawan Kiauw Sek Kiang, aku terluka oleh anak buahnya. Bekas luka di mukaku ini akibat serangan anak buahnya itu."
"Sakit hati ini kita harus balas, Ayah," kata Siang Hoa.
"Benar," kata Ciok Leng. "Saat aku terluka aku roboh, Kiauw Sek Kiang mengira aku sudah mati. Sesudah mereka pergi, aku kabur dan bersembunyi di sebuah goa. Aku lari ke Kui-ciu dan tinggal di kampung suku Biauw, lalu menyamar jadi tabib keliling. Aku sering berhasil mengobati orang Biauw dengan pengetahuan obatku. Kepala suku Biauw adalah sahabat Ayah."
"Pantas kau mengerti cara mengusir ular suku Biauw, Paman Ciok!" kata Bu Hian Kam.
"Aku juga tahu cara meniup seruling dari gelagah untuk mengumpulkan orang Biauw," kata Ciok Leng. "Saat aku meniup seruling itu, wanita-wanita Biauw itu mengira kepala suku mereka datang. Segera mereka kabur!"
"Sesudah tahu mereka dikelabui, pasti mereka akan datang lagi." kata Bu Hian Kam."Aku juga ingin tahu bagaimana Sam Kiong-cu bisa kenal dengan Seng Cap-si Kouw?"
"Mereka tinggal jauh dari sini, jika mau datang lagi akan makan waktu," kata Ciok Leng. "Mari kita pergi, di sepanjang jalan kita bisa bincang-bincang!"
"Benarkah ucapan Seng Cap-si Kouw, bahwa Beng Cit Nio dan Kok Siauw Hong sudah menjadi tawanan dan 1502
disembunyikan di perkampungan suku Biauw?" kata Kiat Bwee.
"Benar, maka itu kita akan menyelidikinya," kata Ciok Leng. "Aku sering keluar masuk daerah Biauw, dengan penyamaran wajahku yang kuubah hingga tidak dikenali.
Saat aku menyamar jadi tabib dan mengembara ke berbagai tempat aku jadi orang lain. Malah aku beruntung tahu Seng Cap-si Kouw terlibat dalam pencurian lukisan itu. Dia tidak kenal pada Kiauw Sek Kiang, tapi dia kenal pada Kho Kiat, ayah Kho Siauw Hong, ibu angkat Siang Hoa!"
Semua mendengarkan dan mulai mengetahui masalah itu.
"Rupanya Kho Kiat mencintai Seng Cap-si Kouw,"
melanjutkan Ciok Leng. "Tapi Seng Cap-si Kouw sangat angkuh, karena dia lebih menyukai Han Tay Hiong. Maka itu dia tidak meladeni cinta Kho Kiat. Kho Kiat yang tergila-gila sendiri dia berusaha memikat hati Iblis Perempuan itu. Dia memberi tahu tentang peta tubuh dan meminta bantuan pada si Iblis Perempuan itu. Bahkan dia berjanji, jika peta itu berhasil dia dapatkan, dia akan menghadiahkan peta kepada si Iblis. Si Iblis Perempuan senang sekali, tapi dia tidak muncul dan hanya mengatur siasatnya saja. Obat bius yang dipakai mengerjai kami itu pemberian Seng Cap-si Kouw!"
"Kho Siauw Hong mengira obat bius itu diperoleh ayahnya dari Kiauw Sek Kiang." kata Kiat Bwee.
"Agar hubungan dan rahasianya tidak diketahui puteri dan isterinya, Kho Kiat malah tega membunuh isterinya sendiri, karena dia berniat menikahi Seng Cap-si Kouw!"
kata Ciok Leng. "Aku juga pernah mencari Kho Kiat dengan maksud balas dendam. Saat aku menemukannya dia dalam keadaan sudah sangat parah. Kiranya dia terluka 1503
oleh Kiauw Sek Kiang. Sebelum Kho Kiat mati, dia menceritakan perbuatannya padaku, dan aku percaya saja."
"Lalu kenapa wanita Biauw itu tunduk pada Seng Cap-si kouw?" tanya Kiat Bwee.
"Di kampung suku Biauw ini ada orang Han bernama Bong Tek Cie, dia punya anak perempuan tiga orang yang masingmasing bernama Say Giok, Say Goat dan Say Hoa.
Maka itu Say Hoa dipanggil Sam Kiong-cu. Di daerah ini sering timbul penyakt, terutama di musim semi. Puteri ketiga Tek Cie terserang hawa beracun. Kebetulan datang Seng Cap-si Kouw si akhli racun. Dia berhasil menyembuhkan Say Hoa hingga dianggap malaikat penyelamat."
"Tidak heran jika Seng Cap-si Kouw menyembunyikan Han Tay Hiong di tempat ini. Apa kau tahu keadaan dusun mereka itu, Paman Ciok?" kata Kiat Bwee.
"Karena aku kenal dengan ketua suku Biauw di Kui-ciu, maka aku pun mengetahui keadaan desa mereka cukup baik," kata Ciok Leng. "Aku tahu jalan kecil menuju ke kampung mereka!"
Mereka berbincang sambil berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan bambu. Tiba-tiba mereka mendengar desiran angin meniup daun bambu.
"Eeeh," desis Ciok Leng.
"Kau mendengar sesuatu, Ayah?" tanya Siang Hoa.
"Tenang saja, aku jalan di muka tapi kalian harus waspada," kata Ciok Leng.
Saat berjalan di depan Ciok Leng tersentak.
1504 "Si Iblis Perempuan baru kukalahkan, tidak mungkin dia berani mengikutiku! Apa barangkali ada orang lain yang lebih lihay?" pikir Ciok Leng.
Selewat hutan bambu ternyata tidak terjadi apa-apa.
Ciok Leng mendekati puteranya.
"Siang Hoa, apa Kho-si memberitahumu ada di tangan siapa lukisan itu" Semula aku kira orang bertopeng itu Kiauw Sek Kiang, ternyata bukan. Sudah lama masalah ini aku selidiki, tapi belum juga terungkap!" kata Ciok Leng.
"Ibu angkat mengira orang itu Khu Kong, Su-heng Wan Ceng Liong dari Beng-shia-to. Oleh sebab itu ibu angkat pernah mencuri sebuah kitab ilmu tiam-hiat milik Khu Kong, ternyata salah dan itu bukan lukisan yang dicari!"
kata Siang Hoa. "Lukisan itu telah menelan banyak korban, Yo Toa-ko dan Kho Kiat, untung aku selamat sampai sekarang. Tetapi sampai saat ini aku belum bisa mengungkap siapa orang bertopeng itu?" kata Ciok Leng.
"Paman, masalah itu sudah bisa diketahui," kata Kiat Bwee.
"Benarkah" Siapa orang itu" Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" kata Ciok Leng.
"Sebenarnya aku juga sudah tahu, Ayah," kata Siang Hoa sambil tertawa. "Orang bertopeng itu ternyata si pengemis tua di Siong-hong-nia. Dia telah bertemu dengan Seng Cap-si Kouw. Malah Kok Siauw Hong pun pernah bertarung menjajal kepandaiannya,"
Kemudian Siang Hoa mengisahkan hal itu dengan jelas apa yang dia dengar dari Ong It Teng yang mendapat laporan dari Kong-sun Po.
1505 Ciok Leng kaget dan heran sekali.
"Kalau begitu dia bukan komplotan Kiauw Sek Kiang, lalu mengapa Seng Cap-si Kouw pun memusuhinya?" kata Ciok Leng.
Sebelum pertanyaan itu dijawab, mereka sampai di depan jurang yang sangat dalam. Untuk menyeberang memang terdapat sebuah jembatan batu alam. Lebar jembatan itu hanya setengah meter. Orang harus menyeberang secara seorang demi seorang.
"Biar aku dulu yang ke seberang!" kata Ciok Leng.
Sebelum Siang Hoa bertanya pada ayahnya, kenapa begitu, Ciok Leng telah melompat sambil berseru.
"Siapa kawan yang bersembunyi di sana" Silakan keluar!" kata Ciok Leng.
Tak lama muncul dari bawah jembatan seorang pengemis tua yang membawa tempat arak dari kulit. Da bersembunyi di bawah jembatan batu. Menyaksikan kegesitan si pengemis tua melompat ke atas jembatan, Ciok Leng terperanjat.
Sesudah melihat dengan jelas orang itu, Ciok Leng tampak gusar. Rupanya Ciok Leng mengenali orang itu sebagai si orang bertopeng itu. Ketika itu dia memang sempat bertarung sebelum terluka.
"Hm! Kebetulan aku sedang mencarimu!" bentak Ciok Leng.
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Kiranya kau, Ciok Leng. Aku kira kau sudah mampus, aku juga sedang mencarimu. Dengar dulu apa yang akan kukatakan...." Kata pengemis tua itu.
1506 Ciok Leng sedang gusar dia tidak mau menghiraukan omongan orang itu.
Dengan cepat dia angkat senjata kelenengannya dan menyerang pengemis itu dengan hebat. Karena pertarungan terjadi di atas jembatan batu yang sempit, sulit bagi keduanya bisa bergerak dengan leluasa. Maka itu datangnya suara kelenengan lawan tidak dikelit, melankan tangan pengemis tua itu menangkap senjata Ciok Leng tersebut dengan gesit.
"Lepaskan!" kata si pengemis tua.
Tapi mana mau Ciok Leng mengalah, dia mengubah serangannya sambil membentak.
"Terjun kau ke bawah!" kata Ciok Leng.
Keduanya sama kuat dan ulet, saat pertarungan berlangsung, suara kelenengan itu terus terdengar. Tapi sial gagang kelenengan itu patah jadi dua. Ciok Leng melemparkan senjatanya ke jurang, dia menyerang dengan tangan kosong. Untuk menghindari serangan lawan mengenai wajahnya, pengemis tua itu celentang ke belakang. Dia gunakan jurus "Tiat-pan-kio" (Jembatan Besi Melintang). Sesudah serangan Ciok Leng luput, dia sambar tangan Ciok Leng yang hendak dia putar untuk dipatahkan.
Dia membentak dengan nyaring.
"Roboh!" kata pengemis tua.
"Mana bisa!" kata Ciok Leng.
"Ternyata kau hebat sekarang, Saudara Ciok!" kata si pengemis tua sambil tertawa.
Ciauw Siang Hoa dan Kiat Bwee sudah sampai ke ujung jembatan. Menyaksikan pengemis tua itu menotok ayahnya, Siang Hoa kaget. Dia tahu totokan si pengemis 1507
tua sangat lihay. Saat sedang cemas sekali, Siang Hoa mendengar ayahnya berkata nyaring.
"Biar aku adu jiwa denganmu!" kata Ciok Leng.
Bagai golok yang tajam telapak tangan Ciok Leng menebas leher pengemis tua itu. Serangan itu memaksa si pengemis tua harus menyelamakan diri dari bacokan tangan itu. Buruburu dia merunduk, sambil menunduk dia menotok tangan Ciok Leng yang terasa jadi kesemutan.
Ciok Leng mengerahkan tenaga dalamnya, dalam sekejap jalan darahnya pulih kembali.
"Anak muda itu puteramu, kan?" kata pengemis tua pada Ciok Leng. "Selamat kau sudah berkumpul kembali dengan anakmu! Tapi kenapa kau mau mengadu jiwa denganku"
Jika aku mati di tanganmu, aku ini si pengemis sebatang kara!"
"Kaulah yang menyebabkan kami sengsara, maka aku akan adu jiwa denganmu!" kata Ciok Leng.
Dia sadar si pengemis tua ingin berbaikan dengannya.
"Melihat caramu berkelahi, rupanya kau mengingnkan kita mati bersama-sama!" kata si pengemis tua.
"Benar, mati bersama-sama juga tidak jadi soal," kata Ciok Leng sengit.
Menyaksikan perkelahian tingkat tinggi yang dahsyat itu kedua pasang muda-mudi itu kagum dan cemas. Pengemis tua itu tak banyak bicara, dia menyerang semakin hebat. Tiba-tiba terdengar suara keras.
"Plaak!" 1508 Dua pasang telapak tangan mereka beradu keras sekali.
Saat itu kedua orang tua yang sedang bertarung itu berdiri tegak seolah mereka terpantek di tengah jembatan batu yang curam itu. Keadaannya semakin menegangkan, karena mereka sedang mengadu tenaga dalam. Itu adalah saat yang paling berbahaya bagi keduanya. Akibatnya jika salah injak sudah bisa dibayangkan, keduanya akan terjatuh dari jembatan dan akan terluka parah atau paling tidak salah satu akan binasa.
"Ayah, hentikan! Berdamai saja dengannya!" teriak Siang Hoa dari seberang jembatan.
Pertarungan mereka hanya bisa dipisahkan, jika ada yang melerai dan orang itu pun ilmu silatnya jarus tinggi.
Seruan Siang Hoa membuat Ciok Leng sadar, tapi dia harus tetap waspada jika dia tidak ingin celaka. Rupanya si pengemis tua pun menyadari apa yang ada di benak Ciok Leng. Maka itu dia berkata perlahan.
"Saudara Ciok, bagaimana" Apa sebaiknya kita berdamai saja?" katanya.
Saat bertarung Ciok Leng kaget, si pengemis masih bisa berkata-kata.
"Hebat, dia hebat sekali. Padahal sudah duapuluh tahun aku berlatih tenaga dalam, tapi tak sehebat dia!" pikir Ciok Leng.
Saat itu Ciok Leng merasakan dorongan tenaga dalam si pengemis tua terasa berkurang, barulah Ciok Leng bisa bicara.
"Apa masih ada yang bisa kita bicarakan antara kau dan aku?" kata Ciok Leng.
1509 "Kau jawab dulu pertanyaanku ini, Saudara Ciok!" kata si pengemis. "Kau lebih membenciku atau membenci Kiauw Sek Kiang?"
Ciok Leng terkenang kejadian yang lalu. Dia tertotok oleh si pengemis, tapi yang membuat sanak dan keluarganya berantakan justru bukan dia, tapi Kiauw Sek Kiang yang keji itu.
"Aku sakit hati pada Kiauw Sek Kiang sedalam lautan, tapi jika bukan gara-gara kau mencuri lukisan itu, mungkin aku tidak akan bermusuhan dengannya demikian hebat!"
kata Ciok Leng. "Jadi dendammu pada Kiauw Sek Kiang lebih dalam daripada kepadaku," kata si pengemis tua. "Sekalipun aku tahu kau tidak akan memaafkan aku, tapi bagaimana perasaanmu pada Seng Cap-si Kouw, kau benci tidak padanya?"
"Dasar bodoh, sudah tahu kenapa bertanya lagi?" kata Ciok Leng.
"Jadi kau juga benci padanya"!"
"Ya, Kiauw Sek Kiang musuh nomor satuku, dan Seng Capsi Kouw yang kedua!" jawab Ciok Leng. "Kau adalah..."
"Musuhmu yang ketiga, bukan?" meneruskan si pengemis.
"Benar," kata Ciok Leng. "Jika hari ini kau tidak membunuhmu, kelak aku pun akan mencarimu..."
"Baik! Aku setuju, aku kau anggap musuhmu yang ketiga. Kelak kau mau mencariku, itu urusan nanti saja."
kata si pengemis. "Tapi aku girang hari ini kau bersedia berunding denganku!"
1510 "Berunding tentang apa?" kata Ciok Leng.
"Apa kau yakin kau bisa mengalahkan Seng Cap-si Kouw?"
"Jika belum tentu menang, aku juga tidak akan mudah dikalahkannya," kata Ciok Leng.
"Anggap saja kau bisa mengalahkannya, jika dia sendirian! Tapi bagaimana jika dia dibantu oleh orang-orang Biauw?" kata si pengemis tua. "Aku yakin kau akan kalah olehnya. Jika kau bermaksud menolongi kawankawanmu, aku tidak yakin kau akan berhasil!"
"Tak peduli aku akan berhasil atau tidak, apa urusannya denganmu?" kata Ciok Leng.
"Ada sangkut-pautnya denganku!" kata si pengemis tua.
"Aku sendiri tidak sanggup melawan Seng Cap-si Kouw.
apalagi jika dia dibantu oleh orang-orang Biauw!"
"Jadi kau juga memusuhi dia?"
"Ya. Karena dia ingin merebut lukisan itu dari tanganku, aku tidak mau menyerahkannya," kata si pengemis tua.
"Dia benci padaku mungkin melebihi bencinya padamu!"
"Jadi kau ingin mengajakku bergabung melawan dia?"
"Bukan itu saja! Malah kelak kita bisa bergabung melawan Kiauw Sek Kiang!" kata si pengemis tua. "Ingat, bukankah aku ini hanya musuh nomor tigamu! Jika aku bisa membantu mengalahkan musuh pertama dan keduamu, permusuhan kita aku kira bisa disudahi, bukan"!"
Tawaran itu cukup memadai, namun Ciok Leng belum berani mengiakan. Dia tidak tahu apakah tawaran pengemis tua itu sungguh-sungguh atau malah hanya siasat. Ciok Leng sadar, jika dia berdamai dengan si pengemis tua, maka dia tak bisa meminta gambar itu untuk dikembalikan 1511
padanya. Bagaimana nasib kematian orang she Yo, sahabatnya akibat gambar itu"
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
BAB 54 Pengemis Tua Bergabung Dengan Ciok
Leng; Kiong Cauw Bun Menaklukkan Seng Cap-si
Kouw Melihat lawannya tertegun sejenak, si pengemis tua seolah menebak jalan pikiran lawannya.Sambil tertawa dia berkata dengan lembut penuh persahabatan. "Aku tahu hatimu sangat mulia," kata si pengemis tua, "dulu kau berniat menyerahkan lukisan itu kepada Kaisar Song Selatan, bukan" Karena lukisan tubuh itu aku curi, kau marah kepadaku, iya kan" Untung usaha kalian mencari tahu tentang si pencuri tidak berhasil!"
"Kau mencuri barang orang, malah berani bicara seenakmu!" bentak Ciok Leng.
"Aku tidak bicara semauku, sekalipun dorna Cin Kwee ketika itu sudah binasa, namun para penggantinya di Kerajaan Song Selatan sama jahatnya! Seandainya waktu itu kalian berhasil mengambil lukisan tubuh itu lalu diserahkan kepada Kaisar Song, pasti barang itu tetap akan jatuh ke tangan para dorna yang jahat itu! Maka kupikir tidak ada salahnya jika benda itu ada di tangan sesama orang Kang-ouw." kata si pengemis tua.
"Tidak selayaknya kau mnguasai lukisan itu!" kata Ciok Leng gusar bukan main.
Pengemis tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar, memang si Pengemis Tua ini tidak berhak dan tidak pantas memiliki lukisan itu! Sekarang, jika kau 1512
bersedia berdamai denganku, lukisan itu dengan tulus hati akan kuserahkan padamu. Sesudah ada di tanganmu, terserah kau akan berikan kepada siapa lukisan itu" Apa kau setuju dan percaya pada kata-kataku ini?" kata si pengemis tua.
"Hm! Jika benar kau bersedia menyerahkan lukisan itu, kenapa aku tidak percaya padamu?" kata Ciok Leng yang tertarik pada tawaran lawannya itu. Kemudian dia berkata lagi, "Sesudah masalah kita di sini selesai, tidak perlu kau serahkan lukisan itu kepadaku...."
"Lalu harus kuserahkan pada siapa lukisan itu?" kata si pengemis tua keheranan.
"Kau serahkan sendiri pada Liu Lie-hiap di Kim-keeleng!" jawab Ciok Leng.
"Baik, akan kupenuhi permintaanmu itu," kata si pengemis tua. "Mari kita berdamai, kita sudahi pertarungan ini."
Sesudah itu masimg-masing menarik kembali tangan mereka. Menyaksikan kejadian itu Ciauw Siang Hoa girang sekali. Dia menghampiri ayahnya dan memberi hormat pada si pengemis.
"Ayah, atas kerelaan Lo Cian-pwee ini rasanya usaha kita akan sukses!" kata Ciauw Siang Hoa.
"Kau benar, Nak. Tapi aku belum tahu siapa nama beliau?" jawab sang ayah.
"Margaku Thio, dulu aku dipanggil Thio Hong-chu (Si Thio Gila)," jawab si pengemis tua tanpa diminta. "Aku juga dipanggil Thio Thay Thian!"
1513 "Saudara Thian, kita akan menuntut balas dan menyelamatkan Han Tay Hiong. Apa kau punya rencana?"
kata Ciok Leng. "Sebenarnya aku membutuhkan bantuan kalian," jawab Thio Thay Thian.
"Bantuan bagaimana?" tanya ayah Siang Hoa.
"Kau pancing Seng Cap-si Kouw agar mengejarmu ke tempat yang jauh," kata si pengemis tua. "Jika tidak, aku yakin dia sempat untuk minta bantuan kepada suku Biauw untuk mengejar kalian! Jika kalian bisa mengulur waktu selama mungkin, aku bisa masuk ke perkampungan suku Biauw untuk menolongi kawan kita! Soal balas-dendam pada Seng Cap-si Kouw untuk sementara kita tunda dulu!"
"Bagus, tapi jika kau sendiri yang masuk ke sarang musuh, apa itu tidak berbahaya bagimu?" kata ayah Siang Hoa.
"Jangan kalian cemaskan diriku, aku sudah tahu di mana mereka menahan Han Tay Hiong dan Kok Siauw Hong"


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebetulan aku juga bisa bahasa Biauw. Malah aku pikir kaulah yang harus waspada menghadapi si Iblis Perempuan itu!" kata Thio Thay Thian.
"Kalau begitu baiklah, akan kupancing dia ke puncak gunung," kata ayah Siang Hoa.
Sesudah membagi tugas, si pengemis menunjuk ke suatu arah.
"Kau lihat di sana ada api, pasti orang-orang Biauw sudah mulai mengejar kalian!" kata si pengemis tua.
Ciok Leng mengajak anaknya dan kawannya menuju ke suatu tempat, mereka berharap agar dilihat oleh orang-1514
orang Biauw. Dengan cara demikian Ciok Leng dan kawankawannya hendak memancing lawan.
Sesudah mereka pergi Thio Thay Thian menarik napas panjang, saat itu seolah dadanya lapang. Padahal sebelumnya dadanya seolah tertekan benda berat.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
Di suatu tempat Han Tay Hiong sedang duduk bersila, dia menempati sebuah kamar yang sunyi. Orang tua ini sedang keracunan, sehingga tampak wajahnya pucat dan tidak leluasa bergerak. Setiap malam sebelum dia tidur, Han Tay Hiong berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan berlatih.
Malam itu pada tengah malam tampak Han Tay Hong agak gelisah, dia mencoba menenangkan hatinya tetapi tidak berhasil. Dia berada di tempat itu hampir tiga bulan lamanya. Katanya saat itu dia sedang dirawat oleh Seng Cap-si Kouw yang rutin memberinya sebuah pil untuk memulihkan kekuatannya. Tetapi dia merasakan keadaannya belum pulihpulih juga. Jika Seng Cap-si Kouw akan berpergian, pil dititipkan kepada ketua suku Biauw untuk diberikan kepadanya. Sekalipun Seng Cap-si Kouw mengatakan dia sudah berusaha keras, tetapi lama kelamaan Han Tay Hiong pun jadi sangsi juga. Apa benar perempuan itu mengobatinya"
Pada tengah malam itu saat suasana begitu sunyi, Han Tay Hiong mendengar suara terompet dari batang gelagah, alat tiup itu adalah alat khas bangsa Biauw. Tidak lama Han Tay Hiong mendengar banyak langkah kaki orang Biauw bergerak keluar dari kampung mereka.
Han Tay Hiong curiga, tapi tidak tahu apa yang terjadi.
Dia juga heran kenapa Seng Cap-si Kouw tidak datang menjenguknya.
1515 "Aku sudah jatuh ke tangannya, jika dia ingin mencelakakan aku maka aku tidak berdaya melawannya!
Aku pun tidak tahu bagaimana nasib puteriku Pwee Eng sekarang" Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya sebelum aku binasa." pikir Han Tay Hiong..
Saat melamun tiba-tiba daun jendela terbuka dengan mendadak. Menyusul dengan terbukanya jendela, sesosok tubuh manusia melayang masuk ke dalam kamar itu.
"Siapa kau?" bentak Han Tay Hiong.
Dengan bantuan cahaya rembulan Han Tay Hiong melihat seorang pengemis masuk ke dalam kamarnya. Dia kaget karena seolah dia mengenali pengemis itu.
Sebelum hilang rasa terkejutnya dia dengar pengemis itu tertawa sambil berkata, "Han Toa-ko, duapuluh tahun lamanya kita tidak pernah bertemu. Bagaimana keadaanmu, apa kau sehat?"
"Siapa kau?" "Aku ThioThay Thian!"
"Eeh, Saudara Thio, kenapa kau juga ada di sini?" kata Han Tay Hiong.
"Suaramu perlahankan, nanti didengar orang.
Kedatanganku untuk membalas budimu dulu. Aku akan mencoba membawamu keluar dari tempat ini," bisik Thio Thay Thian.
Ketika masih muda mereka adalah sahabat, usia Han Tay Hiong lebih tua dari Thio Thay Thian. Saat baru berkenalan Thay Thian belum lama berkelana di kalangan Kang-ouw. Ketika itu Thay Thian ini pemberang dan sering membuat onar.
1516 Suatu saat dia bentrok dengan murid Bu-tong-pay.
Beruntung Han Tay Hiong bisa mendamaikan
persengketaan mereka. Saat Han Tay Hiong mengasingkan diri di kota Lokyang; orang she Thio berhasil mencuri lukisan dan kabur.
"Kau mau menolongku pergi dari sini" Apa maksudmu?"
kata Han Tay Hiong. "Hai Kanda Han. apa kau memang ingin mati di tempat ini" Aku kira Seng Cap-si Kouw bukan orang baik-baik!"
kata Thio Thay Thian. "Apa kau mengetahui sesuatu?" tanya Han Tay Hiong.
"Sudah jangan banyak bicara, kau akan segera mengerti jika kau kupertemukan dengannya," kata Thio Thay Thian.
"Separuh badanku sudah lumpuh, bagaimana kau bisa ikut kau keluar dari sini?" tanya Han Tay Hiong.
"Jangan cemas, aku tahu kau terkena racun berbahaya, kebetulan aku membawa sebuah teratai salju dari Thay-san.
Kau kunyah teratai ini, aku yakin tak lama lagi kau akan bisa berjalan." Kata Thio Thay Thian.
Teratai salju itu barang langka, entah dari mana si pengemis tua itu mendapatkannya. Han Tay Hiong sangat berterima kasih, lalu dia makan tetratai itu. Kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya, dan berhasil mendorong racun yang ada di tubuhnya. Selang beberapa saat benar saja Han Tay Hiong merasakan tubuhnya nyaman. Dia anggap sekarang dia sudah bisa berjalan kaki lagi.
Mereka kemudian keluar dari kamar itu. Dengan menyusuri taman, mereka mengambil jalan yang berliku-liku di perbukitan. Tak lama mereka sampai di rumpun bambu. Di sepanjang jalan Han Tay Hiong berpikir keras.
1517 "Siapakah orang yang akan dipertemukan denganku itu?"
pikir sang jago tua ini. Tak lama mereka sudah melihat sebuah rumah batu. Di depan pintu rumah batu itu tampak dua orang Biauw berdiri kaku. Mereka sudah ditotok semuanya.
"Silakan! Orang di dalam rumah batu itulah yang akan kau temui!" kata Thio Thay Thian.
Tiba-tiba dia menendang pintu rumah batu itu.
"Brak!" Berbareng dengan hancurnya pintu, dari dalam rumah batu yang gelap itu terdengar suara teguran.
"Siapa di luar?"
Mendengar suara itu bukan main senangnya hati Han Tay Hiong. "Siauw Hong!" kata Han Tay Hiong. Sesudah saling bertemu Han Tay Hiong langsung bertanya. "Siauw Hong, mana Pwee Eng?"
"Oh, kau Gak-hu (Mertuaku)," kata Siauw Hong. "Jika kuceritakan tentu ceritanya sangat panjang. Aku dikurung karena tertangkap oleh Seng Cap-si ouw!"
"Aku minta kau datang menemuiku, malah dia mengurungmu di sini!" kata Tay Hiong.
Saat mereka berbincang, Thio Thay Thian berkata dari luar rumah batu.
"Bicara dengan tenang, aku akan mengajak seseorang untuk kupertemukan dengan kalian!" kata Thio Thay Thian. "Dengan demikian masalahnya akan lebih jelas!"
Di tempat lain Beng Cit Nio yang tertangkap oleh Seng Capsi Kouw ditahan di rumah batu yang lebih kuat dibanding tempat Kok Siauw Hong ditahan. Tempat itu 1518
dikelilingi tembk batu yang tingginya mencapai sepuluh meteran. Di bagian atasnya terdapat lubang untuk menurunkan makanan pada Beng Cit Nio.
Mungkin karena ilmu silat Beng Cit Nio dianggap sangat tinggi, maka dia ditahan di tempat yang istimewa itu.
Karena dianggap tempat itu sangat kokoh dan tersembunyi, tempat itu tidak dijaga.
Saat Beng Cit Nio sedang duduk bersemedi, terdengar seperrti ada orang yang mengetuk-ngetuk dinding rumah batu. Ketika Beng Cit Nio menengadah ke atas, dia melihat cahaya memancar ke bawah. Tidak lama seutas tambang dadung meluncur ke bawah, ketika diperhatikan itu bukan kiriman makanan untuknya.
"Pegang tambangnya erat-erat!" kata suara dari atas.
"Kau mau apa?" "Jangan berisik, pegangi talinya aku ingin menolongimu," kata orang di atas sana.
Saat Beng Cit Nio meraih tambang itu, bersamaan dengan itu dia mendengar suara keras di atas. Tak lama tampak cahaya terang, ternyata lubang di atas yang semula ditutupi batu besar, sekarang sudah tergolek dan tampak lubang menganga.
Beng Cit Nio yakin, orang yang menggolekkan batu besar itu mempunyai tenaga yang besar. Karena Beng Cit Nio masih ragu-ragu, dia tidak langsung naik. Tetapi tak lama dia pun nekat, dia pegangi tambang besar itu. Tak lama dia merasakan tubuhnya ditarik naik.
Sampai di atas dia tahu penolongnya itu seorang pengemis tua. "Kau ini siapa?" tanya Beng Cit Nio.
"Apalagi kau orang Kay-pang?"
1519 "Jangan hiraukan aku, ayo kau ikut aku," kata Thio Thay Thian. "Jangan khawatir aku tidak berniat jahat, kalau tidak mengapa kau kutolongi."
Si Pengemis tua berjalan dimuka diikuti oleh Beng Cit Nio. Maka tanpa banyak bicara Beng Cit Nio terus mengikutinya.
Sejak ditinggalkan oleh Thio Thay Thian, Kok Siauw Hong telah menceritakan pengalamannya pada Han Tay Hiong. Sesudah mendengar cerita anak muda itu Han Tay Hiong terkejut. Sedikit pun dia tidak mengira kalau orang yang mencelakai keluarganya itu Seng Cap-si Kouw adanya.
Han Tay Hiong sudah berpengalaman, tetapi mengalami kejadian yang menimpa dirinya membuat dia ngeri juga.
"Aku tidak mengira dia sekeji itu. Aku sendiri sudah curiga padanya," kata Han Tay Hiong. "Kalau begitu kematian Ibu Pwee Eng diakah yang melakukannya."
"Mungkin begitu!" jawab Kok Siauw Hong.
Saat itu Beng Cit Nio pun muncul.
"Biar aku yang menjelaskannya," kata Beng Cit Nio.
"Jadi kau juga ada di sini, Cit Nio?" kata Han Tay Hiong.
"Oh, tidak kusangka aku bisa bertemu lagi denganmu,"
kata Beng Cit Nio. "Aku bebas, dibebaskan oleh Tuan ini...."
"Dia Thio Thay Thian, sahabatku," jawab Han Tay Hiong.
Han Tay Hiong mengucapkan terima kasih pada sahabatnya.
1520 "Silakan kalian bicara aku akan mencari seseorang. Jika tubuhmu sudah merasa enakan, kau susul aku di depan sana!" kata Thio Thay Thian pada Han Tay Hiong.
"Baik," jawab Han Tay Hiong.
Perkiraan dari Ciok Leng tidak keliru. Ternyata sesudah melihat Ciok Leng dan kawan-kawannya, orang-orang Biauw itu langsung mengejar mereka. Seng Cap-si Kouw dan Bong Tek Cie serta orang Biauw yang terpancing mengejar Ciok Leng dan kawan-kawannya.
Ciok Leng lari ke atas puncak gunung, mereka disusul dan Seng Cap-si Kouw. Tak lama Seng Cap-si Kouw dan Ciok Leng sudah mulai bertarung. Bu Hian Kam dan kawan-kawannya mengepung Bong Tek Cie.
Karena lonceng bergagang panjang atau senjata Ciok Leng sudah rusak, terpaksa dia menghadapi Seng Cap-si Kouw dengan tenaga pukulan tangannya saja. Tentu saja pertarungan yang tidak seimbang ini membuat Ciok Leng agak terdesak juga. Untung Seng Cap-si Kouw tidak berani menyerang dekat, dia juga mengkhawatirkan serangan tangan Ciok Leng yang dahsyat.
Saat keadaan mulai gawat untung Thio Thay Thian muncul. Dia tiba dengan didahului suara suitan batang gelagah. Melihat Thio Thay Thian muncul, orang Biauw langsung menghujaninya dengan anak panah.
Ratusan anak panah itu ternyata tidak mampu menghalangi kedatangan Thio Thay Thian yang lihay.
Semua anak panah itu berterbangan laksana burung kecil pada saat Thay Thian mengibaskan lengan bajunya. Tak lama Thay Thian sudah bercokol di atas gunung.
Menyaksikan kejadian itu Seng Cap-si Kouw terperanjat.
"Jadi kalian ingin mengerubutiku?" kata dia.
1521 Dengan tak banyak bicara Thay Thian menghantamkan pukulannya ke arah si Iblis Perempuan hingga dia terdorong mundur.
"Aku hampir binasa di tanganmu, untuk apa aku harus bicara soal aturan segala?" kata Thay Thian.
"Saudara Thio, biarkan aku menghajar Iblis perempuan ini. Kau bantu saja anak-anak muda itu!" kata Ciok Leng.
"Sebenarnya aku tak perlu turun tangan sendiri, nanti juga akan ada orang yang membuat perhitungan dengannya," kata Thay Thian.
Sesudah itu dia mendatangi Bong Tek Cie yang bersenjata golok berbentuk bulan sabit. Begitu sampai Bong Tek Cie menyambut Thay Thian dengan sebuah serangan, yang dikibas oleh lengan baju Thio Thay Thian. Anehnya lengan baju itu tidak rusak oleh golok bulan sabit lawan.
Sambil mengejek Thay Thian berkata nyaring.
"Hm harumnya, dari mana bau harum ini?" katanya.
Sebenarnya serangan Bong Tek Cie yang beracun menimbulkan bau tak sedap, karena terdiri dari berbagai bisa binatang yang sangat beracun. Ketika mengetahui lawannya tidak mempan oleh racun serangannya Bong Tek Cie kaget.
"Jadi kaukah si pengemis tua yang menyamar jadi ketua kami?" kata Bong Tek Cie.
Tanpa menghiraukan pertanyaan lawan, Thio Thay Thian menyerahkan tempat araknya pada Bu Hian Kam.
"Kalian minum arak ini, tak lama lagi kalian akan segar kembali!" kata Thay Thian.
1522 Bu Hian Kam dan keempat kawannya mundur untuk minum arak, sedang Thay Thian langsung menghadapi Bong Tek Cie. Dia maju sambil tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?" kata Bong Tek Cie. "Jangan sombong, jika aku kalah olehmu, apa kau sanggup menghadapi anak buahku yang banyak itu" Kau harus waspada panah anak buahku beracun, sedang di sini tidak ada jalan bagimu untuk bisa meloloskan diri. Jika anak buahku menghujammu dengan anak panah, maka binasalah kalian semua!"
Saat mereka adu bicara anak buah Bong Tek Cie atau suku Biauw sudah semakin dekat.
"Bong Tek Cie, kita tidak bermusuhan, untuk apa berkelahi. Jika aku mati oleh anak buahmu, kau pun tidak akan lolos dari tanganku! Percayalah aku bermaksud baik, bagaimana pendapatmu?" kata Thio Thay Thian.
Mendengar peringatan itu Bong Tek Cie sadar, apa yang dikatakan orang she Thio itu ada benarnya. Sebelum anak buahnya membunuh Thio Thay Thian, mungkin dia sudah binasa oleh lawannya.
"Kau bilang kau ingin berbuat baik padaku, tapi apa alasanmu kau mengacau di tempatku?" kata Bong Tek Cie.
"Aku mengaku utusan ketuamu tidak semuanya salah, ketuamu itu sahabatku, jika kau tidak percaya coba kau periksa ini!" kata Thio Thay Thian sambil tertawa.
Thio Thay Thian menyerahkan bumbung bambu yang dilukis warna-warni pada Bong Tek Cie.
Melihat benda itu orang she Bong kaget.
"Benarkah ketua kami yang memberimu "Lek-giok-tek-hu" itu?" kata Bong Tek Cie.
1523 "Jika bukan dari dia lalu dari siapa?" kata Thay Thian.
"Bagaimana aku bisa tahu berharganya benda ini di depan mata kalian?" kata Thio Thay Thian. "Jika aku pencuri, aku pun tidak akan mengambil benda itu, kalau aku tidak tahu gunanya!"
Benda itu sebagai tanda "persahabatan" antara suku Han dan orang Biauw. Rupanya segelintir pembesar Han memusuhi orang Biauw, sehingga orang Biauw
menganggap "orang Han sebagai penindas bangsanya". Itu sebabnya jika ada orang Han ke daerah Biauw, dia akan dibunuh. Tapi jika membawa benda itu, dia dianggap sahabat suku Biauw. Orang Han yang membawa "benda"
itu, bisa berkeliaran bebas di daerah suku Biauw.
"Aku tahu Seng Cap-si Kouw baik pada kalian dan pernah mengobati suku kalian, namun pada dasarnya dia itu orang jahat," kata Thio Thay Thian. "Ketuamu khawatir kalian tertipu, lalu memerintahkan aku menyelidiki apa yang dilakukannya di sini! Ternyata dia menghasut agar kalian bermusuhan dengan pendekar bangsa Han. Jika diteruskan kalian akan celaka!"
Sebenarnya Thio Thay Thian berbohong, tapi karena dia memegang "benda berharga" itu, Bong Tek Cie jadi takluk.
Ditambah lagi dia juga takut oleh kepandaian lawan, jadi dia percaya saja. Saat anak buahnya sampai ke tempat mereka, Bong Tek Cie berteriak keras.
"Tahan! Jangan memanah!" katanya.
Sesudah itu Bong Tek Cie berkata pada Thay Thian.
"Kalau begitu kami tidak akan mengganggu kalian karena kau tamu ketua kami. Tapi Seng Cap-si Kouw pun tidak akan kucelakakan, karena dia penolong kami!" kata Bong Tek Cie.
1524 "Baik, kami pun tidak akan mengganggu kalian, permisi," kata Thio Thay Thian. "Mengenai masalah kami akan kubereskan dengan dia saja!"
Sesudah itu Bong Tek Cie berseru keras. "Seng Cap-si Kouw, bukan aku tak mau membantumu, mereka sahabat ketua kami!" kata Bong Tek Cie.
Sesudah itu dia memberi komando agar anak buahnya mundur teratur dari atas gunung.
Sesudah minum arak dari Thay Thian maka Bu Hian Kam dan kawan-kawannya segera kembali. Mereka membantu Ciok Leng mengepung Seng Cap-si Kouw.
Menganggap dia tidak perlu membantu lagi, Thio Thay Thian pun pergi. Dia juga yakin tak lama lagi Han Tay Hiong dan Kok Siauw Hong akan segera datang.
Sesudah ada kesepakatan dan saling mengerti antara Han Tay Hiong dan Beng Cit Nio, mereka langsung mencari Seng Cap-si Kouw bersama-sama.
Saat keluar dua penjaga, yaitu menantu Bong Tek Cie memergokinya. Tapi sebelum bisa berbuat apa-apa kedua orang itu sudah ditotok oleh Han Tay Hiong hingga tidak berdaya.
"Eeh, tenagamu sudah pulih," kata Beng Cit Nio girang.
"Benar, ini berkat teratai Thian-san pemberian Thay Thian," kata Han Tay Hiong.
Sesudah itu mereka beramai-ramai menuju ke tempat yang ditunjukkan Thio Thay Thian pada mereka. Melihat Han Tay Hiong yang sudah segar sedang mendatangi bersama Kok Siauw Hong dan Beng Cit Nio, bukan main kagetnya Seng Cap-si Kouw.
1525 "Tay Hiong segera kau bantu aku!" teriak Seng Cap-si Kouw.
"Baik, kau akan segera kubantu!" jawab Han Tay Hiong.
Tapi sesudah dekat Seng Cap-si Kouw jadi kaget melihat sorot mata Han Tay Hiong yang tajam dan sangat benci kepadanya. Apalagi Beng Cit Nio pun sudah
menghampirinya bersama Kok Siauw Hong. Dengan tidak berpikir panjang lagi, dia berbalik dan menyerang ke arah Ciauw Siang Hoa dengan serangan gertakan. Saat Ciok Leng datang hendak menyelamatkan puteranya, kesempatan itu tak disia-siakan oleh Seng Cap-si Kouw.
Dia menyerang dari celah kepungan yang kurang ketat.
Saat itu pun Han Tay Hiong tiba.
"Tay Hiong, apa kau lupa pada kebaikanku?" kata Seng Cap-si Kouw.
"Hm! Kau bicara seenaknya, tunggu balasan kebaikanmu akan datang," kata Han Tay Hiong.
Dari jarak kurang-lebih tiga sampai empat langkah, Tay Hiong segera melancarkan serangan dahsyat ke punggung si Iblis Perempuan. Tak lama Seng Cap-si Kouw merasakan hantaman yang dahsyat pada punggungnya. Dia kaget lalu dengan mnggunakan tongkat yang dia tekan ke tanah, dia langsung melompat dan melayang jauh dari kalangan.
"Kau mau kabur ke mana?" teriak Thio Thay Thian.
Thay Thian membentangkan kedua tangannya, lalu menyerang dengan hebat. Sayang, serangan Thay Thian tidak mampu menghadang si Iblis Perempuan itu kabur.
"Eh, Kok Toa-ko, kau juga ada di sini!" kata Kiat Bwee.
Buru-buru Kiat Bwee memberi hormat pada Han Tay Hiong.
1526 "Han Lo-cian-pweee, sebenarnya meracunimu dulu itu Seng Cap-si Kouw! Aku saksinya!" kata Kiat Bwee.
"Aku sudah tahu," jawab Han Tay Hiong. "Kalian jangan ikut campur, biar aku yang menghadapinya!"
Han Tay Hiong mencoba mengejar ke arah si Iblis Perempuan yang sudah lari jauh itu.
Ketika mereka berada di atas gunung, ke mana Seng Cap-si Kouw lari sebenarnya dia menemui jalan buntu.
Tapi dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, terpaksa dia lari ke atas untuk mengulur waktu saja. Sedikit pun dia tidak menduga kalau Han Tay Hiong terus mengejarnya. Saat itu kawan-kawannya sudah tertinggal di belakang.
Seng Cap-si Kouw menoleh karena merasa ada orang mengejarnya. Ternyata dia mengenali Han Tay Hiong.
"Han Tay Hiong, memang aku yang menaruh racun dalam arak yang kau minum. Tapi maksudku itu baik agar kau selalu ada di sampingku. Aku meracunimu tapi aku juga menyelamatkan kau. Apa kau tidak mau memaafkan dosaku?" kata Seng Cap-si Kouw lirih.
"Aku ingin tahu, bagaimana isteriku mati?" kata Han Tay Hiong. "Tanpa bersalah padamu, kenapa isteriku kau bunuh. Hal ini aku akan mengadakan perhitungan denganmu!"
"Isterimu diracun oleh Beng Cit Nio!" kata Seng Cap-si Kouw.
"Bohong!" bentak Han Tay Hiong.
"Dia memfitnahku, apa kau tidak percaya padaku?" kata si Iblis Perempuan.
1527 "Jangan banyak bicara dan jangan memfitnah orang lain, siapa yang akan percaya pada omonganmu!" bentak Han Tay Hiong.
Melihat Han Tay Hiong tidak mau mengerti, Seng Cap-si Kouw menduga tak ada pilihan lain, dia jadi nekat.
"Karena kau memaksa, aku akan adu jiwa denganmu!"
kata Seng Cap-si Kouw. Tongkat bambu hijaunya bergerak, dia menyerang ke beberapa bagian berbahaya di tubuh Han Tay Hiong.
Melihat cara lawan yang sudah nekat menyerangnya, Han Tay Hiong segera siaga.
"Adu jiwa pun boleh, memang nyawaku pun semula sudah hampir binasa!" kata Han Tay Hiong.
Saat tongkat mengarah ke tubuhnya, Han Tay Hiong menyentil tongkat itu dengan jari tangannya hingga tongkat hijau itu melenceng ke arah lain. Dengan tangan kirinya Han Tay Hiong menepuk kepala Seng Cap-si Kouw.
Ketika itu tangan Seng Cap-si Kouw yang memegang tongkat bambu hijau terasa sakit, dia melompat menghindari serangan Han Tay Hiong.
Seng Cap-si Kouw tertawa.
"Sudah tua pun kau masih pemarah seperti dulu!" kata Seng Cap-si Kouw. "Apa gunanya kita bertarung sampai mati. Aku ini sebatang kara tidak sepertimu masih punya anak dan menantu!"
"Hm! Tutup mulutmu, aku tetap tidak akan mengampunimu!" bentak Han Tay Hiong.
Beberapa kali Seng Cap-si Kouw berhasil menghindari serangan Han Tay Hiong yang ganas.
1528 "Han Tay Hiong, kau memang jago silat. Aku pikir kau tahu, keadaanmu belum pulih benar. Tenagamu akan terkuras habis. Apa benar kau ingin binasa bersamaku?"
kata Seng Cap-si Kouw. "Ya, kalau perlu kita mati bersama-sama!" kata Han Tay Hiong.
"Baik, walau kita dilahirkan berlainan waktu, apa salahnya jika kita bisa mati bersama-sama," ejek Seng Capsi Kouw.
Seng Cap-si Kouw terus membujuk agar Han Tay Hiong mau berdamai dan hidup bersama. Tapi Han Tay Hiong malah mengejek.
"Pada dasarnya aku sangat benci padamu!" kata Han Tay Hiong. "Apa kau sudah gila?"
Seng Cap-si Kouw kaget mendengar kebencian Han Tay Hiong dikemukakan di depannya. Wajahnya berubah sebentar merah, sebentar lagi pucat-pasi.
"Baik Han Tay Hiong, sekarang kuputuskan, jika kau tidak membunuhku, maka akulah yang akan
membunuhmu!" kata Seng Cap-si Kouw sambil tertawa.
Saat diserang Seng Cap-si Kouw mengulur waktu dengan memancing Han Tay Hiong agar naik gunung lebih tinggi.
"Han Tay Hiong, di sinilah kuburan kita!" kata si Iblis Perempuan dengan suara menyeramkan.
Sekarang Han Tay Hiong baru sadar, kalau dia telah terpancing ke tempat yang berbahaya sekali. Di atas gunung dia menyaksikan tempat yang curam dan berbahaya.
Gerakan Seng Cap-si Kouw pun gesit, terpaksa Han Tay Hiong menghadapinya dengan sabar.
1529 Serangan Han Tay Hiong terus dilancarkan dengan dahsyat.
Di bawah mereka Thio Thay Thian dan kawan-
kawannya menyaksikan pertarungan dua jago dengan ilmu tingkat tinggi. Tapi bagaimana pun mereka merasa ngeri juga. Di antara mereka hanya Thio Thay Thian yang mampu menyusul ke atas. Tapi karena tempat kedua jago itu bertarung sangat sempit, tak mungkin Thay Thian bisa memijakkan kakinya di sana. Dia menyesali Han Tay Hiong, kenapa dia bisa terpancing oleh si Iblis Perempuan jahat itu.
Saat pertarungan sedang seru-serunya tak lama terdengar suara tiupan seruling dari rumput gelagah. Selang sesaat muncul pasukan wanita suku Biauw yang dipimpin oleh Samkiong-cu atau Bong Say Hoa.
Dari jarak lumayan cukup jauh, Bong Say Hoa berteriak.
"Bibi Seng, jangan khawatir, kami akan memanah dari sini!" kata Say Hoa.
"Baik jangan mencemaskan diriku, kalian sudah boleh langsung memanah ke mari!" jawab Seng Cap-si Kouw.
Si nona sadar Seng Cap-si Kouw lihay, dia juga akhli racun. Maka itu dia yakin Bibi Seng-nya bisa terhindar dari bahaya. Ditambah lagi Seng Cap-si Kouw pun gin-kangnya tinggi dan lincah. Sedangkan anak buahnya pun memang akhli memanah. Tanpa ragu-ragu si nona mengeluarkan perintah memanah! Dalam sekejap ratusan anak panah menghambur ke arah Han Tay Hiong. Melihat hujan panah, Han Tay Hiong membuka bajunya untuk menangkis serangan anak panah itu. Dengan demikian konsentrasi Han Tay Hong jadi terpecah dua. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Seng Cap-si Kouw. Tapi secara tiba-tiba 1530
anak panah nona Biauw itu sekarang ditujukan juga pada Seng Cap-si Kouw, dia kaget lalu berseru nyaring.
"Nona Bong, ayahmu sudah pulang, Apa dia tak bilang aku sahabat kalian" Jika kau mau bukti, akan kutunjukkan padamu. Tapi aku mohon hentikan dulu kalian memanah ke arah kami!" kata Seng Cap-si Kouw.
Nona Bong tidak menghiraukkan peringatan itu. Dia malah berteriak.
"Sekalipun kau tunjukan tanda itu, aku sudah tidak percaya lagi padamu!" kata nona Bong.
"Aku tidak bohong, sesudah masalah ini selesai harapanmu akan kuselesaikan juga. Kau akan
kupertemukan dengan keponakanku Seng Liong Sen!"
teriak Seng Cap-si Kouw yang mulai putus asa.
Rupanya nona Biauw itu telah jatuh cinta pada Seng Liong Sen. Maka itu tentang perkawinan Seng Liong Sen dengan Ci Giok Hian sengaja dirahasiakan oleh Seng Capsi Kouw kepada nona Bong, karena hal itu bisa dipakai alasan olehnya untuk meminta bantuan dari suku Biauw.
Tapi hujan anak panah masih berlanjut. Mengetahui nona Bong tidak menghiraukan peringatannya, Seng Cap-si Kouw mencoba mengganggu Han Tay Hiong agar menjadi sasaran anak panah. Sial bagi Han Tay Hiong sebuah anak panah mengenai tubuhnya, dia menjerit kaget.
"Aduh!" Seng Cap-si Kouw tertawa.
"Jangan senang dulu, sekalipun aku harus mati, tapi kau pun harus mati sebelum aku mati!" kata Han Tay Hiong mengejek.
1531 Kaget karena mendengar kata-kata penuh "dendam" dari orang yang dicintainya itu Seng Cap-si Kouw jadi lengah.
Serangan tongkatnya jadi ngawur dan Han Tay Hiong berhasil mencengkram tongkat bambu hijau itu. Segera Han Tay Hiong menyalurkan tenaga dalamnya lewat tongkat bambu hijau itu. Maksudnya untuk menghajar Seng Cap-si Kouw dengan hebat.
Teman-teman Han Teiy Hiong yang berada di bawah jadi ngeri. Serangan Han Tay Hiong itu sungguh dahsyat hingga Seng Cap-si Kouw tak mampu bertahan dan sadar bahwa dia akan binasa. Sebaliknya tubuh Han Tay Hiong pun jadi sasaran empuk anak panah anak buah nona Bong.
Thio Thay Thian mengira kedua jago itu akan binasa bersama. Sedangkan Han Tay Hiong berharap, sebelum terkena anak panah, Seng Cap-si Kouw harus mati lebih dulu.
Ketika keadaan sangat tegang, ternyata di saat kritis muncul seorang berjubah hijau dari atas puncak gunung.
Pakaiannya yang lebar mampu menangkis hujan panah itu.
Sesudah hinggap di dekat kedua jago yang sedang bertarung, dia memisahkan pertarungan itu dengan menyentilkan tangannya. Tak lama terpisahlah pertarungan kedua jago yang menentukan itu.
Saat itu Seng Cap-si Kouw hanya menunggu kematian.
Tapi karena datangnya orang berbaju hijau itu, dia selamat.
Sekarang dia awasi orang yang memisahkannya itu.
Ternyata dia Kiong Cauw Bun. Bukan main kagetnya si Iblis Perempuan ini, begitu pun Han Tay Hiong.
Han Tay Hiong tidak bermusuhan dengan Kiong Cauw Bun, tapi Seng Cap-si Kouw justru pernah bertarung dengannya. Han Tay Hiong pun tidak tahu apa maksud 1532
kedatangan Kiong Cauw Bun dan memisahkan mereka yang sedang bertarung.
"Hek-hong To-cu, kau tidak boleh menyerang orang yang tidak berdaya!" teriak Thay Thian yang kaget bukan kepalang.
Dia mengira kedatangan Kiong Cauw Bun untuk membantu Seng Cap-si Kouw.
"Jangan khawatir, aku datang untuk jadi juru damai!"
kata Kiong Cauw Bun. "Dendamku jika belum terbalas, tidak mungkin kau damaikan!" kata Han Tay Hiong.
"Kau akan mendamaikan kami dengan cara bagaimana?"
kata Seng Cap-si Kouw sambil mengawasi Kiong Cauw Bun.
"Suruh mereka berhenti memanah," kata Kiong Cauw Bun.
Seng Cap-si Kouw menurut dan meminta hujan anak panah dihentikan. Sesudah itu Kiong Cauw Bun mengeluarkan botol obat yang dia serahkan kepada Han Tay Hiong.
"Obati dulu lukamu yang terkena panah itu dengan obat buatanku," kata Kiong Cauw Bun.
Dengan terpaksa Han Tay Hiong menerima obat itu, jika tidak dalam keadaan gawat, pasti dia menolak bantuan iblis tua itu.
Segera Han Tay Hiong mencabut anak panah di tubuhnya, sesudah darah hitam dikeluarkan dia mengobatinya dengan obat pemberian Kiong Cauw Bun.
Menyaksikan ketangguhan Han Tay Hiong ini Kiong Cauw Bun kaget juga. Dia pikir jika Han Tay Hiong tidak 1533
dibunuhnya, kelak akan jadi bahaya baginya. Tapi karena sekarang belum waktunya, dia harus menolonginya..
Selesai mengobati lukanya Han Tay Hiong berkata pada Kiong Cauw Bun.
"Kebaikanmu aku terima, tapi karena aku sangat dendam padanya, izinkan aku membunuh dia dulu.
Sesudah kubunuh dia, baru aku akan bunuh diri," kata Han Tay Hiong.
"Yang mati tidak bisa hidup kembali," kata Kiong Cauw Bun."Jika kau bunuh Seng Cap-si Kouw apa isterimu bisa hidup kembali" Apalagi kau dengan dia pernah bergaul selama beberapa puluh tahun."
"Apa aku harus tinggal diam setelah tahu dia membunuh isteriku?" kata Han Tay Hiong.
"Jika benar dia pembunuh isterinya, dosanya pun pantas jika kau maafkan. Untuk apa kau bertarung mati-matian dengannya" Aku tak ada hubungan apa-apa di antara kalian. Tapi aku damaikan kalian karena kalian tokoh persilatan yang disegani. Maka itu terpaksa aku ikut campur masalah ini," kata Kiong Cauw Bun
"Lalu apa saranmu?" kata Seng cap-si Kouw.
"Aku yakin aku punya saran yang bisa diterima oleh kedua belah pihak," kata Kiong Cauw Bun. "Hanya tentu saja ada risikonya bagimu. Kau musnahkan ilmu silatmu!"


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm! Aku memusnahkan ilmu silatku?" kata Seng Cap-si Kouw yang saat itu bulu berdiri karena ngeri.
"Dia jahat sekali, mungkin dia tak ingin aku mati di tangan Han Tay Hiong. Dia ingin menggunakan tenagaku.
Jika ilmu silatku sudah musnah, pasti dia bisa terus mengendalikan aku. Tapi memang aku pun tidak punya 1534
pilihan lain. Tetapi selama aku masih bernyawa, mana mau aku diperalat olehmu!" pikir Seng Cap-si Kouw.
Mendengar ucapan Kiong Cauw Bun sekalipun Han Tay Hiong tidak takut kepadanya, mau tak mau dia ngeri juga.
Ucapan Kiong Cauw Bun bahwa orang mati tak bisa hidup lagi, itu benar! Jika Seng Cap-si Kouw sudah tak memiliki ilmu silat lagi, itu rasanya sudah cukup bagi Han Tay Hiong. Dengan demikian dia tak bisa berbuat semena-mena lagi di kalangan Kang-ouw. Maka itu Han Tay Hiong diam saja.
"Baik, akan kulaksanakan saranmu!" kata Seng Cap-si Kouw nekat. "Dengan demikian kau puas, Tay Hiong!"
Sesudah itu dia melaksanakan tuntutan Kiong Cauw Bun. Tak lama tedengar suara urat-urat yang putus. Seng Cap-si Kouw mandi keringat dingin, dia kelihatan menderita sekali.
Menyaksikan kejadian yang mengharukan itu mau tak mau Han Tay Hiong pun kasihan juga. Dia menoleh tak ingin menyaksikannya.
"Dia sudah menjalankan saranku, sekarang kau sudah puas Saudara Han?" kata Kiong Cauw Bun.
"Yu Ih semua ini karena perbuatanmu dulu. Aku harap kelak kau akan jadi orang baik." kata Han Tay Hiong.
"Semua sudah selesai, tapi sebelum pergi izinkan aku bicara dengan Kok Siauw-hiap," kata Kiong Cauw Bun.
"Apa yang kau inginkan dariku, Kiong Tay-hiap?" kata Kok Siauw Hong.
"Aku dengar kau kenal dengan anakku Kiong Mi Yun, sekarang ada di mana dia?" kata Kiong Cauw Bun.
1535 "Benar, aku kenal setahun yang lalu ketika bertemu dia di Lok-yang. Tetapi sekarang aku tidak tahu di mana dia?"
jawab Kok Siauw Hong. "Kalau begitu, di mana Kong-sun Po, apa kau tahu?"
Kok Siauw Hong pernah diberi tahu oleh Kong-sun Po bahwa Kiong Cauw Bun ingin mencelakai dirinya. Maka itu saat ingin memberi tahu dia jadi sangsi. Melihat Kok Siauw Hong ragu, Kiong Cauw Bun seolah mengetahui Kok Siauw Hong keberatan memberi keterangan.
"Akan kukatakan terus terang padamu, Kok Siauw-hiap, puteriku dengan Kong-sun Po sudah dituangkan sejak mereka masih anak-anak. Kau jangan mencemaskan keselamatan Kong-sun Po!" kata Kiong Cauw Bun.
Mendengar pengakuan yang tulus, Kok Siauw Hong tergerak.
"Menurutku, saat ini Kong-sun Po ada di lembah Honghoo. Dia berjanji akan mengobati orang-orang Hay-sah-pang!" kata Kok Siauw Hong.
"Baik, sekarang juga aku akan ke sana!" kata Cauw Bun.
Sesudah itu dia menoleh ke arah Seng Cap-si Kouw, lalu berkata.
"Mari ikut aku, sodorkan tongkatmu padaku," kata Cauw Bun.
Berhubung ilmu silatnya sudah punah, dia terpaksa berjalan dengan bantuan Kiong Cauw Bun. Jika tidak mau dia tidak akan bisa turun sendiri dari atas gunung.
Menyaksikan Seng Cap-si Kouw demikian, mau tak mau Beng Cit Nio dan yang lainnya terharu juga.
1536 Sampai di bawah Seng Cap-si Kouw ingin berpisah dengan Kiong Cauw Bun.
"Baiklah," kata Kiong Cauw Bun yang langsung bersuit.
Tak lama muncul sebuah kereta dari balik bukit. Di kereta itu terdapat seorang perempuan setengah umur, dia berpakaian seperti seorang pelayan. Sesudah kereta berhenti, dari dalam kereta terdengar orang bicara.
"Atas permintaan To-cu, aku sudah menunggu kedatanganmu, tamu agung!" kata perempuan itu.
"Silakan kau naik ke kereta, maaf aku tidak bisa mengantarmu!" kata Kiong Cauw Bun.
"Apa artinya semua ini?" kata Seng Cap-si Kouw kaget.
Sesudah itu Kiong Cauw Bun tertawa.
"Jangan takut mereka ini suami isteri, dia akan mengantarmu ke Hek-hong-to!" katanya.
"Rumahku di Ie-hong-li, aku bisa pulang sendiri, aku tidak berani mengganggumu," kata Seng Cap-si Kouw.
"Kau sudah tak bisa silat, di tempatku kau akan dilayani dengan baik. Dengan demikian tidak akan ada orang yang berani mencarimu!" kata Kiong Cauw Bun.
Seng Cap-si Kouw sadar apa artinya itu. Jika dia tinggal di Hek-hong-to berarti dia jadi tawanan Kiong Cauw Bun.
Sekarang karena tak berdaya dia menurut saja. Dia pikir jika sebagian kekuatannya sudah pulih baru dia akan memikirkan cara lain.
Namun Kiong Cauw Bun bisa membaca isi hati Seng Cap-si Kouw. Dia lalu berkata.
"Untuk memulihkan kepandaianmu itu dibutuhkan waktu sepuluh tahun. Aku bisa membantumu, sesudah 1537
kutemukan obatnya dalam tiga tahun kau akan pulih kembali!" kata Kiong Cauw Bun.
"Kenapa kau membantuku, padahal aku tidak pernah berbuat baik apa-apa kepadamu" tanya Seng Cap-si Kouw.
"Terus terang aku katakan, aku tahu siapa kau" Kau akhli racun terhebat di dunia persilatan. Maka itu aku mau kau tinggal di pulauku. Di sana kau hanya diminta menuliskan semua resep racun itu. Aku juga yakin kau tidak akan bisa membunuh semua orangku yang di sana.
Sekalipun bisa, kau akan celaka sendiri dan tak bisa keluar dari pulau itu. Ibarat pedagang jelas aku juga tidak mau menderita rugi!" kata Kiong Cauw Bun sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hebat! Rencanamu begitu rapih," kata Seng Cap-si Kouw tertawa.
Dia sangat benci pada Kiong Cauw Bun yang licik ini.
"Soal itu aku kalah olehmu, tapi karena nasibmu sedang sial kau jatuh ke tanganku, ha. ha, ha!" kata Kiong Cauw Bun.
Sesudah itu dia tinggalkan kereta yang membawa Seng Cap-si Kouw. Kiong Cauw Bun yakin dia bisa menemukan jejak puterinya dan Kong-sun Po. Dia akan membujuk Kong-sun Po mengajari dia ilmu racun, kalau perlu dengan kekerasan. Sesudah dia menguasai Seng Cap-si Kouw dan pengetahuannya digabung dengan ilmu racun dari keluarga Suang, maka siapa yang akan jadi lawannya di dunia persilatan"
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
1538 BAB 55 Kong-sun Po Singgah Lagi Di Ngih Nie
Lauw; Di Tempat Chu Tay Peng Bertemu See-bun
Souw Ya Dikisahkan Kong-sun Po yang sedang menem-puh perjalanan menuju ke Utara akhirnya tiba di kota Ouw-shia yang terletak di tepi sungai Hong-hoo. Dari Ouw-shia ke tempat orang Hay-sah-pang atau tempat Hong-hoo-ngo-pa (Lima Jago dari Sungai Hong-hoo) sudah tidak jauh lagi dari kota itu. Mungkin hanya butuh waktu setengah hari perjalanan saja untuk sampai ke tempat itu.
Kota Ouw-shia hanya sebuah kota kecil, tapi di tempat itu ada rumah makan yang terkenal yang pernah disinggahi Kong-sun Po dulu. Rumah makan itulah yang
meninggalkan kenangan manis baginya, bahkan merupakan rumah makan yang tidak bisa dilupakan oleh Kong-sun Po.
Rumah makan itu bernama "Ngi Nih Lauw". Selain masakannya yang lezat araknya pun sangat terkenal harum dan enak rasanya.
Begitu menginjakkan kakinya di kota itu, Kong-sun Po langsung ia ingat pada rumah makan itu, maka itu dia ingin singgah di sana. Dulu di rumah makan inilah pertama kali Kong-sun Po bertemu dengan Kiong Mi Yun dan Han Pwee Eng. Tapi sekarang entah ada di mana nona itu"
Dia ingat di sinilah dia bentrok dengan Pouw Yang Hian, murid See-bun Souw Ya. Sekarang dia datang lagi untuk singgah ke tempat orang-orang Hay-sah-pang, maksudnya untuk menunaikan janjinya dulu. Di sinilah dia mengalami suka-duka, ingat semua peristiwa yang dialaminya dulu itu, Kong-sun Po jadi melamun.
Dia lalu singgah di rumah makan itu. Sesudah naik ke loteng tempatnya dulu bertemu dengan Kiong Mi Yun, dia langsung memesan makanan maupun arak. Saat sedang 1539
mengenang masa lalunya, tiba-tiba dia merasakan perutnya sakit sekali.
"Aah, celaka ada yang tak beres nih," pikir Kong-sun Po.
"Heran, tidak biasanya begini. Pasti dalam arakku ada racunnya!"
Mengingat bisa jadi ada bahaya mengancam, dia kerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir racun yang ada dalam perut-nya. Seorang pelayan menghampirinya.
"Apa araknya mau ditambah, Tuan?" kata si pelayan.
"Arakmu sungguh sedap, memang perlu kau tambah,"
kata Kong-sun Po sambil melotot.
Sesudah itu Kong-sun Po tertawa mengejek si pelayan.
Tapi makin lama matanya mulai berkunang-kunang. Tibatiba dia melihat ada dua orang lelaki naik ke loteng dan mendekatinya. Kedua lelaki itu tertawa terbahak-bahak, dia mengenalinya. Ternyata mereka itu Pouw Yang Hian dan The Yu Po.
"Hai bocah! Kau cari mati sendiri! Kau tidak akan lolos dari tangan kami," kata Pouw Yang Hian sambil menyeringai.
Pouw Yang Hian memang benci pada Kong-sun Po karena dulu dialah yang memusnahkan ilmu racun Huahiat-tonya.
"Kakak, Suhu menginginkan dia ditangkap hidup-hidup," kata The Yu Po.
"Ya, tapi akan kuajar adat dulu bocah ini," kata Pouw Yang Hian gemas. "Biar akan kuhancurkan semua tulangnya, karena dia pernah mencelakaiku!"
Ketika itu Pouw Yang Hian menduga Kong-sun Po sudah keracunan berat, maka itu dia mendekatinya. Saat 1540
dia akan mencengkram bahu Kong-sun Po yang
menggeletak di lantai loteng, tiba-tiba Kong-sun Po melompat bangun.
"Hm, kau kira arakmu mampu merobohkan aku"!" kata Kongsun Po dengan keras. Kemudian dia semburkan arak dari mulutnya hingga membasahi seluruh wajah Pouw Yang Hian yang gelagapan terkena arak beracun.
Tadi Kong-sun Po hanya berpura-pura pingsan agar mampu menjebak dan mengelabui murid pertama See-bun Souw Ya itu. Untuk sementara Pouw Yang Hian tidak bisa membuka matanya karena perih dan sakit sekali.
Saat itu Kong-sun Po melancarkan sebuah pukulan keras.
"Buuk!" disusul suara keras.
"Aduh!" Tubuh Pouw Yang Hian pun roboh ke lantai loteng.
The Yu Po kaget, dia cabut goloknya akan menghadang Kong-sun Po yang dia kira akan pergi.
"Silakan maju, walau aku tak mau membunuhmu, tapi aku menginginkan kedua matamu!" kata Kong-sun Po.
The Yu Po sudah tahu kelihayan Kong-sun Po. Tadi dia menghadang hanya untuk menolongi su-hengnya saja, Sebenarnya dia juga jerih pada Kong-sun Po. Dengan gugup dia menghindari tusukan jari Kong-sun Po yang ditujukan ke matanya. Sekarang Pouw Yang Hian sudah bisa melihat kembali. Saat melihat The Yu Po sedang terdesak, dia berteriak nyaring pada adik seperguruannya.
"Yu Po, jangan takut. Dia sudah keracunan berat, jadi tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi!" kata Pouw Yang Hian.
1541 Saat terpukul oleh Kong-sun Po, Pouw Yang Hian merasakan pukulan itu tidak keras, itu sebabnya dia mengira Kong-sun Po sudah keracunan berat.
"Jika aku mau membunuh kalian, itu mudah saja," kata Kong-sun Po mengancam.
Dengan menggunakan jurus "Hui-liong-cay thian" (Naga terbang ke angkasa), ujung payung Kong-sun Po mengarah ke tubuh lawan.
Buru-buru The Yu Po menangkis serangan itu. Saat goloknya beradu dengan payung Kong-sun Po, lelatu api pun berhamburan. Mata golok The Yu Po gompal dan hampir terlepas dari tangannya. Sedang ujung payung Kong-sun Po masih mengarah ke dada Yu Po.Tak lama payung itu berhasil merobek pakaian The Yu Po.
Mengetahui pukulan Kong-sun Po tidak akurat lagi, Pouw Yang Hian berkata pada su-tenya.
"Apa kataku, dia sudah mulai lemah," kata Pouw Yang Hian.
Sebenarnya apa yang dikatakan Pouw Yang Hian ada benarnya, sekarang Kong-sun Po sedang merasakan payungnya berat sekali. Sadar tenaganya telah berkurang, dia menggertak lawan dengan ancamannya.
"Coba rasakan pukulan Hua-hiat-to!" kata Kong-sun Po.
Kemudian dia melemparkan payung besinya. Tapi saat Kong-sun Po mengangkat tangannya, tampak tangan itu berubah merah. Pouw Yang Hian sadar betapa lihaynya Huahiat-to itu, menjadi kaget dan dia melompat mundur.
Tapi celakanya dia terjatuh ke lantai loteng.
Melihat lawannya jatuh, Kong-sun Po berganti sasaran..
Sekarang yang dituju The Yu Po.Karena kagetnya, The Yu 1542
Po langsung menangkis serangan itu dengan goloknya, dan langsung turun ke bawah loteng. Tapi sebelum sempat berjalan turun, Kong-sun Po sudah menendangnya.
"Pergi kau!" bentak Kong-sun Po.
Melihat musuhnya ketakutan Kong-sun Po jadi malu sendiri. Berhubung tenaganya telah berkurang, dengan terpaksa dia menggertak lawannya dengan pukulan beracun yang dia pantang.
"Segera kalian pergi, aku tak ingin mengotori tanganku dengan membunuh kalian berdua!" kata Kong-sun Po.
Saat dia akan melipat payung besinya, tiba-tiba muncul seorang bertubuh gemuk menghampirinya. Dia berpakaian seperti pemilik rumah makan.
"Tunggu, kenapa kau buru-buru pergi?" kata si gemuk.
"Pelayananmu bagus sekali. Dengan sengaja arakku kau beri racun. Sekarang, berapa aku harus membayarmu?" kata Kong-sun Po.
Si gemuk menggerakkan tangannya di atas sui-poa (alat hitung bangsa Tionghoa).
"Kau telah memukuli dua orang tamuku! Jadi sepantasnya kau harus membayar kerugian?" kata si gemuk.
"Hm! Jadi kau sekongkol dengan mereka!" kata Kongsun Po.
Si gemuk tertawa. "Oh! Jadi kau baru tahu sekarang?" katanya.
Tiba-tiba sui-poa itu disodokkan ke perut Kong-sun Po dengan keras.
Kong-sun Po baru sadar, See-bun Souw Ya yang mengatur siasat keji itu. Mungkin dia sudah mengira Kong-1543
sun Po akan datang ke kota Ouw-shia dan singgah di rumah makan itui. Dia lalu merekrut seorang gemuk bekas penjahat untuk membantu kedua muridnya. Mereka merampas rumah makan itu dan mengusir maji-kannya.
Sedang tukang masaknya dipertahankan agar masakannya tetap seperti sedia kala.
Si gemuk menjadikan sui-poa (alat hitung bangsa Tionghoa) itu sebagai senjata ampuhnya. Alat hitung itu selain dipakai menyerang, bisa juga dipergunakan untuk menjepit pedang lawan.
Jika tangan kosong Kong-sun Po terjepit, bisa dibayangkan tulang tangannya akan hancur dan remuk.
Saat sui-poa baja itu menyodok ke arahnya, Kong-sun Po mengubah siasat bertarungnya. Dia pura-pura akan menotok dengan jarinya saat su-poa itu akan menjepit tangannya, dia menarik serangannya. Lalu dengan tangan kirinya dia menyerang dua biji mata si gemuk.
"Sungguh jahat tanganmu!" kata si gemuk. "Tapi tenagamu seolah api yang hampir padam!"
Si gemuk menghindari serangan yang di arahkan ke matanya dengan mengibaskan lengan bajunya. Tiba-tiba terdengar suara robekan baju yang terkena jari Kong-sun Po yang berhasil melubangi baju si gemuk. Saat mau diulangi serangannya, sui-poa si gemuk menyodok perut Kong-sun Po hingga terpaksa dia harus mundur.
Kong-sun Po menyesal karena tak bisa menggunakan payungnya. Dengan terpaksa dia menggunakan jurus Huahiat-to untuk menyerang lawan.
Terlihat si gemuk agak jeri juga, sekalipun dia lebih lihay dibanding Pouw Yang Hian. Tapi dengan senjatanya dia masih mampu bertahan untuk meladeni Kong-sun Po.
1544 Sesudah merangkak bangun Pouw Yang Hian dan The Yu Po naik lagi ke loteng.
"Hai bocah busuk! Berapa lama lagi kau bisa bertahan"
kata Pouw Yang Hian mengejek.
Kong-sun Po yang panas hatinya lalu mengerahkan seluruh kemampuannya. Masih untung ketiga lawannya itu masih ngeri terhadap pukulan Hua-hiat-tonya. Saat keadaan sedang gawat-gawatnya, di bawah tangga terdengar suara bentakan dua anak buah Pouw Yang Hian.
"Pergi! Jangan masuk anak busuk! Pergi dari sini, ini bukan tempatmu!" kata anak buah Pouw Yang Hian.
Tapi tak lama terdengar suara pukulan hingga kedua anak buah Pouw Yang Hian roboh. Seorang anak muda berpakaian sederhana segera menaiki tangga loteng.
Mulutnya terus ngoceh. "Bajingan, aku punya uang dan mau makan. Kenapa kalian mengusirku"' kata suara itu.
Mendengar suara yang dikenalinya, Kong-sun Po girang.
Ternyata itu suara Kiong Mi Yun, kekasihnya. Di tempat inilah pertama kali mereka saling berkenalan.
"Adik Mi Yun, ternyata kau juga datang ke tempat ini!"
kata Kong-sun Po. Melihat kedatangan bocah itu si gemuk kaget.
"Eh, bukankah kau puteri Hek-hong To-cu?" katanya.
"Mengapa kau datang ke mari?"
"Aku lapar mau makan, tapi di sini sedang terjadi perkelahian, maka aku juga mau ikut!" kata Kiong Mi Yun.
Pouw Yang Hian mengenali si nona.
1545 "Serang dia dulu! Biar Kong-sun Po belakangan saja!"
kata Pouw Yang Hian. Dia tidak peduli nona itu anak siapa, dia tetap akan menangkapnya hidup-hidup. Saat orang-orang itu memperhatikan kedatangan Kiong mi Yun, kesempatan ini digunakan Kong-sun Po untuk menyerang. Pukulan itu membuat The Yu Po terjungkal ke bawah loteng.
"Senjata makan tuan," kata Kiong Mi Yun.
Ketika itu The Yu Po sudah bangun dan akan maju lagi, tapi dia kaget oleh ucapan si nona. Kata-kata "senjata makan tuan" berarti pukulan itu pukulan Hua-hiat-to.
Karena tidak belajar pukulan itu, dia jadi ngeri sekali dan ingin mencari selamat. Saat itu juga dia langsung kabur untuk mencari gurunya untuk minta diobati. Si gemuk berhasil menangkis serangan Kong-sun Po dengan sui-poanya.
"Yang Hian kau hadapi bocah yang baru datang itu, aku akan membereskan bocah ini. Nanti kau kubantu!" kata si gemuk.
Pouw Yang Hian memang pernah bertarung melawan nona Kiong ini, maka dia bisa mengukur kepandaian nona itu. Maka dia yakin tidak sulit mengalahkannya.
"Pouw Yang Hian, ilmu Hua-hiat-tomu sudah musnah.
Tapi sekarang kau masih jual laga di depanku!" kata Kiong Mi Yun.
"Jangan tekebur, untuk membunuhmu aku tak butuh Huahiat-to segala!" kata Pouw Yang Hian gusar sekal.
Kiong Mi Yun tertawa mengejek. "Benarkah?" kata si nona.
1546 Saat Pouw Yang Hian lengah karena marah oleh ejekan si nona. Saat itu dipegunakan oleh Kiong Mi Yun yang segera maju, pedangnya menyambar dan sasarannya perut Pouw Yang Hian.
Saat pedang menyerempet, Pouw Yang Hian tidak menyangka kepandaian nona itu maju pesat, dia kaget bukan kepalang. Sekalipun dia bisa mengliindar tak urung bajunya terkoyak juga oleh pedang si nona.
Sejak berkenalan dengan Kong-sun Po, nona Kiong memang mendapat pelajaran inti lwee-kang dari pemuda itu. Sedang ilmu bisa Pouw Yang Hian pun sudah lenyap.
Maka itu Pouw Yang Hian terdesak serangan si nona ini.
Sesudah berjalan cukup lama, tiba-tiba Mi Yun membentak keras.
"Kena!" Ternyata tusukan Kiong Mi Yun mengenai bahu Yang Hian.
"Aduh!" teriak Pouw Yang Hian yang kesakitan.
"Kau melukaiku, akan kubunuh kau!" teriak Pouw Yang Hian.
Tetapi lukanya bertambah sakit. Maka itu sekalipun dia mengancam tak urung dia melompat mundur dan kabur.
"Bocah busuk! Suatu hari nanti akan kubalas sakit hatiku ini" kata Pouw Yang Hian dari bawah loteng.
Nona Kiong tertawa terkekeh.
"Sudah tak tahu malu kabur, malah berani mengancamku lagi!" kata Kiong Mi Yun.
Semetara itu si gemuk yang ditiggalkan lari jadi kaget dan jengkel pada kedua kawannya yang pengecut itu.
1547 Diam-diam dia berniat kabur juga. Sebenarnya dia masih mampu meladeni Kong-sun Po.
Tapi karena ngeri pada puteri Kiong Cauw Bun yang terkenal itu, dia jadi gugup sekali.
Saat nona Kiong menyerang membantu kekasihnya, si gemuk sudah tidak ingin bertarung lebih lama lagi. Dia lalu maju dengan menggunakan sui-poanya akan menjepit pedang si nona. Ketika serangannya itu gagal, dia buang senjatanya dan membalikkan tubuhnya lalu melompat lewat jendela ke bawah.
Nona Kiong yang melihatnya tertawa.
"Kenapa alat hitungmu kau tinggalkan" Nanti majikanmu memarahimu!" kata Kiong Mi Yun menggoda.
Semua anak buah mereka ikut kabur semua. Sekarang keadaan di loteng rumah makan itu jadi sunyi.
Pahlawan Harapan 13 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Istana Yang Suram 3
^