Pencarian

Bara Diatas Singgasana 6

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 6


Para prajurit itu termenung sejenak. Mereka menjadi bertanya-tanya di dalam hati, kenapa prajurit yang datang itu terluka dan dengan tergesa-gesa ingin menghadap Sri Baginda"
"Aku harus mengatakan sesuatu sebelum aku mati," berkata Senapati itu.
"Apakah kau berpihak kepada Mahisa Walungan," bertanya pengawal di muka gerbang itu.
Senapati itu mengerutkan keningnya.
"Cepat jawab," desak pengawal itu.
"O," desahnya, "kalian semuanya memang sudah dibius oleh perpecahan ini. Tetapi baiklah aku sebut saja diriku, bahwa aku adalah utusan Sri Baginda yang harus memanggil Gubar Baleman ke perbatasan. Atau katakanlah, aku adalah kepercayaan Pujang Warit."
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Bagus. Kalau begitu masuklah. Istana ini baru saja dikuasai oleh Gubar Baleman. Ia ingin memaksakan kehendaknya kepada Sri Baginda. Untunglah bahwa Sri Baginda tetap dalam pendiriannya."
"Dan kalian telah bertempur untuk merebut istana ini kembali?" Senapati itu menjadi cemas.
"Tidak, kami tidak bertempur. Gubar Baleman telah menarik prajurit-prajuritnya yang kini dikumpulkan di halaman belakang istana."
"Dan Gubar Baleman sendiri?"
"Menteri itu kini sudah ditahan bersama Mahisa Walungan meskipun masih ada di paseban."
Senapati itu menarik nafas. Katanya kemudian, "Aku akan menghadap."
"Cepat. Paseban hampir dibubarkan. Mereka tingga menunggu keputusan Sri Baginda, hukuman apakah yang akai dijatuhkan kepada kedua pemberontak itu."
Darah Sanapati muda itu tersirap. Kemudian kudanya segera memasuki regol istana. Tetapi di gerbang dalam Senopati itu terpaksa turun. Sambil dipapah oleh prajurit yang mengawaninya, ia memasuki regol halaman dalam setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang serupa.
Senapati itu masih sempat melihat kesiagaan yang luar biasa di dalam istana. Setiap sudut, setiap jengkal tanah agaknya telah mendapat pengawasan yang luar biasa.
Di pintu paseban, dua orang penjaga yang bersenjata telanjang telah menghentikannya pula. Namun Senapati itu membentak, "Jangan kau tunggu aku sampai mati. Ada masalah yang penting sekali harus aku sampaikan kepada Sri Baginda sendiri."
"Tetapi Sri Baginda sedang membicarakan masalah yang penting sekali."
"Aku tahu. Sri Baginda sedang mempertimbangkan hukuman bagi Mahisa Walungan dan Gubar Baleman."
Kedua penjaga itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu Senapati itu-pun mendekat tanpa menghiraukan lagi kedua penjaga di bawah tangga, dan dari luar pintu paseban Senapati itu mendengar seseorang berkata, "Mereka memang harus dihukum mati Tuanku. Hamba tahu pasti, apa saja yang telah mereka perbuat. Meskipun angger Mahisa Walungan adalah Adinda Sri Baginda. Tetapi bagaikan duri yang menyusup di dalam daging, maka duri itu harus dicungkil dan disingkirkan."
Suara itu patah sejenak, namun kemudian disambungnya, "Kalau Sri Baginda tidak bertindak sekarang, maka keadaan akan menjadi semakin buruk. Mereka telah berani menguasai halaman istana ini meskipun masih dengan ragu-ragu."
Dada Senapati muda itu menjadi berdebar-debar. Paseban dalam itu telah dicengkam oleh kesenyapan yang tegang. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain, "Ampun Tuanku. Hamba adalah seorang penasehat yang tidak berarti. Tetapi hamba sama sekali tidak ingin melihat kedudukan Tuanku tergoyahkan."
"Jadi apakah menurut pendapat kalian keduanya benar-benar sudah memberontak?"
"Hamba Tuanku," terdengar suatu jawab.
"Dan apakah keduanya pantas mendapat hukuman yang paling berat?"
"Hamba Tuanku."
Senapati yang di muka pintu paseban dalam itu menjadi semakin gemetar. Gemetar oleh kelemahan yang semakin mencengkam dirinya, dan gemetar karena pembicaraan yang didengarnya itu.
Tetapi pembicaraan berikutnya sama sekali tidak dimengertinya. Suara-suara di paseban itu menjadi semakin lambat karena agaknya mereka menyadari bahwa yang mereka bicarakan adalah masalah-masalah yang penting.
"He," desis Senapati itu, "kenapa kau berada di situ?"
"Kami mendapat perintah khusus," jawab kedua penjaga itu.
"Dengan senjata telanjang pula?"
"Keadaan menjadi panas," jawabnya.
Senapati itu terdiam, ia bergeser semakin dekat dan menempelkan telinganya pada daun pintu yang tertutup.
"Jangan mengganggu," berkata prajurit yang bertugas.
"Aku akan menghadap. Aku adalah utusan Sri Baginda sendiri."
Kedua penjaga itu saling berpandangan. Sementara itu Senapati itu mendengar suara yang lamat-amat. "Tuanku. Tidak ada hukuman yang lain bagi seorang pemberontak."
"Maksudmu hukuman mati" " terdengar suara Sri Baginda.
"Hamba Tuanku. Terutama bagi Menteri Gubar Baleman. Bagi Adinda Sri Baginda, terserahlah kepada kebijaksanaan Sri Baginda sendiri."
Sekali lagi ruangan itu dicengkam oleh keheningan. Namun Senapati Muda yang berdiri di muka pintu dengan tubuh yang gemetar itu sudah tidak tahan lagi. Karena itu, ia tidak menunggu sidang itu selesai. Dengan serta-merta ia menarik daun pintu sambil berteriak, "Tidak. Keduanya tidak sepantasnya dihukum mati."
Semua orang di paseban itu berpaling kepada Senapati muda yang terluka itu. Kedua prajurit yang bertugas di muka pintu itu tidak dapat mencegahnya, karena kawan Senapati itulah yang menghalangi mereka, "Biarlah ia menghadap Sri Baginda."
"Siapa kau?" suara Sri Baginda lantang.
Terhuyung-huyung Senapati muda itu melangkah masuk seorang diri. Kemudian dengan lemahnya duduk di lantai, di antara para Senapati yang hadir.
"Kau terluka," desis salah seorang Senapati itu.
Senapati muda itu tidak menjawab. Sejenak tatapan matanya beredar dan terhenti pada wajah Gubar Baleman yang duduk di sudut bersama Mahisa Walungan diapit oleh tiga orang prajurit.
Gubar Baleman-pun menjadi sangat terkejut melihat kehadirannya. Apalagi Senapati itu ternyata terluka.
Yang terlintas di angan-angan Gubar Baleman adalah dugaan bahwa Senapati itu telah mencoba melakukan perlawanan atas prajurit-prajuritnya di sebelah Utara Ganter yang akan menahannya, sesuai dengan perintah yang diberikannya.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ia tidak setuju pada hukuman mati itu?" katanya di dalam hati, "apakah ia menghendaki hukuman picis yang mengerikan?"
Dalam ketidak-tentuan itu ia mendengar Sri Baginda bertanya, "He. Siapa kau" Dan kenapa kau terluka?"
Prajurit itu bergeser maju. Tetapi ia sudah menjadi semakin lemah.
"Ampun Tuanku. Hamba adalah Senapati yang mendapat kepercayaan kakang Pujang Warit untuk memanggil Menteri Gubar Baleman dari perbatasan."
"O, jadi kaulah yang memanggil Gubar Baleman ini?"
"Hamba Tuanku."
"Tetapi Gubar Baleman sudah lama menghadap. Kenapa kau baru datang sekarang dan terluka pula?"
"Ampun Tuanku. Hamba telah tertahan oleh para prajurit yang ada di sebelah Utara Ganter."
"He," wajah Sri Baginda menjadi semakin tegang, "jadi prajurit-prajurit Gubar Baleman sudah berani menahan orang yang membawa perintahku."
"Hamba Tuanku."
"O, jadi benarlah kalian yang telah mempercayainya bahwa kedua orang ini telah memberontak. Benarlah kalian yang menghendaki hukuman yang seberat-beratnya bagi keduanya."
"Tetapi Tuanku," potong Senapati muda itu, "bukan maksud hamba mengatakan demikian."
Sri Baginda mengerutkan keningnya, sementara Gubar Baleman dan Mahisa Walungan menjadi semakin berdebar-debar.
"Jadi apakah yang akan kau katakan?"
"Tuanku, justru karena hamba tertahan di dalam perkemahan pasukan di sebelah Utara Ganter itulah hamba mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi."
"Apa maksudmu?"
"Mereka sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk memberontak."
Sri Baginda tertegun sejenak. Tetapi ia tidak segera dapat mempercayai pendengarannya. Namun demikian keragu-raguan yang memang sudah ada di dalam dirinya, segera terangkat kembali.
Para Menteri, Senapati dan penasehat Sri Baginda-pun terperanjat mendengar keterangan itu. Mereka tidak menyangka bahwa Senapati yang terluka itu akan mengatakan yang justru ke balikan dari dugaan mereka.
"Ulangi," desis Sri Baginda, "apakah yang kau katakan itu?"
"Ampun Tuanku. Para prajurit yang ada di sebelah Utara Ganter itu sama sekali tidak akan memberontak seperti yang kita duga."
"He, apakah kau sudah dibius oleh para prajurit itu?"
"Sebenarnyalah bahwa hamba melihat segala persiapan mereka."
Sri Baginda terdiam sejenak. Dipandanginya Senapati yang terluka itu. Kemudian para Senapati, akhirnya kedua penasehat Sri Baginda.
"Ampun Tuanku," berkata salah seorang dari kedua penasehat yang berphak kepada Pujang Warit, "hamba kira, Senapati muda ini sudah tidak dapat dipercaya lagi kebeningan ingatannya, ia sudah terluka parah."
"Tidak. Aku masih sadar sepenuhnya. Aku masih mengenal setiap orang yang ada di sini meskipun sudah menjadi agak kekuning-kuningan."
"Jadi, apakah yang sebenarnya yang ingin kau katakan, dan kenapa kau terluka he?"
"Tuanku," Senapati itu menjadi semakin lemah, karena darah masih mengalir dari luka di pundaknya, "ampun Tuanku. Perkenankanlah hamba mengatakan yang sesungguhnya, bahwa pasukan di sebelah Utara Ganter kini sudah memasang gelar."
Wajah Sri Baginda menjadi tegang. Katanya, "Aku tidak mengerti arti kata-katamu yang simpang siur itu. Maksudmu, pemberontakan itu sudah dimulai."
"Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk menahan arus pasukan Singasari."
Gubar Baleman dan Mahisa Walungan yang mendengar laporan itu-pun menjadi tegang pula sehingga mereka berkisar setapak maju. Tetapi prajurit-prajurit yang mengapitnya-pun bergeser pula setapak.
Mahisa Walungan yang tidak dapat menahan desakan di dadanya, tanpa sesadarnya bertanya, "Bagaimana dengan prajurit Singasari?"
Senapati itu berpaling. Ditatapnya wajah yang suram itu. Kemudian dengan suaranya yang semakin lemah ia berkata, "Penghubung dari perbatasan telah datang."
Wajah Mahisa Walungan menjadi semakin tegang, "Maksudmu?"
"Ya. Pasukan Singasari telah menyeberangi perbatasan."
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terasa seakan-akan dadanya terhunjam beberapa pucuk duri. Ketika ia memandang wajah Gubar Baleman, maka wajah itu justru menjadi pucat.
Sri Baginda masih berdiam diri sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Aku sudah menyerahkannya kepada Pujang Warit."
"Ampun Baginda," Senapati itu masih mencoba berkata. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga kini ia mencoba menahan berat badannya dengan kedua tangannya.
"He, lukamu parah?"
Senapati itu tidak menyahut. Namun ketika Gubar Bareman bergeser untuk menolongnya, Sri Baginda membentak, "Kau tetap di tempatmu."
Gubar Baleman kembali duduk di tempatnya meskipun ia menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu. Senapati itu-pun menjadi semakin kehilangan tenaganya. Kini ia telah menahan tubuhnya dengan tangannya yang gemetar, sementara darahnya masih saja mengalir lewat lukanya.
"Apakah orang itu akan dibiarkannya," berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, sementara Mahisa Walungan yang melihat penderitaan itu berkata tanpa menghiraukan perasaan Sri Baginda yang tidak dapat dirabanya, "Kakanda Baginda. Orang itu memerlukan pertolongan segera."
"Jangan mengajari aku," bentak Sri Baginda. Aku sudah melihat dan aku sudah mengerti apa yang sebaiknya dilakukan untuknya."
Mahisa Walungan mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun terdiam karenanya. "He, Senapati. Apakah kau masih dapat beibicara?"
"Ampun Tuanku. Hamba akan mencoba."
"Katakan, apa yang sudah terjadi. Cepat sebelum kau tidak mampu lagi berbicara."
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan pula mereka berdesah. Ternyata Sri Baginda sedang dicengkam oleh kebingungan, sehingga kadang-kadang tindakannya kurang dapat dimengerti. Bukan saja Mahisa Walungan dan Gubar Beleman, tetapi semua orang yang melihat keadaan Senapati muda itu menjadi berdebar-debar.
Tetapi Senapati yang keras hati itu masih sempat menceriterakan apa yang dilihatnya. Ia masih sempat mengatakan, bahwa selama ini ia telah salah memilih pihak.
"Tuanku," berkata Senapati itu dengan suara yang terputus-putus, "Ternyata Pujang Warit tidak jujur. Ia membiarkan pasukan di sebelah Utara Ganter itu hancur, agar ia dapat berdiri di atas tumpukan mayat dari ke dua belah pihak untuk kepentingannya."
"He," sorot mata Sri Baginda tiba-tiba telah menyala, "kau berkata sebenarnya?"
"Di saat hidup hamba yang terakhir ini, hamba tidak akan berdusta." suaranya menjadi semakin lirih, sejalan dengan tubuhnya yang semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak kuat lagi bertelekan kedua tangannya. Dengan lemahnya Senapati yang masih duduk itu mencoba menahan tubunnya dengan sikunya.
Barulah Sri Baginda menyadari apa yang dihadapinya. Tiba-tiba saja ia berteriak, "He, apakah kalian sudah gila" Kenapa kalian membiarkan saja Senapati yang terluka ini" Cepat. Bawalah Senapati ini untuk segera mendapat pengobatan."
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun Sri Baginda membentak, "Cepat. Apakah kalian menunggu orang ini mati."
Maka beberapa orang bersamaan telah bergeser maju. Di antaranya adalah kedua penasehat Sri Baginda yang berpihak kepada Pujang Warit. Namun leher mereka segera berkerut ketika Sri Baginda membentaknya, "Kau berdua tetap di sini."
Darah keduanya seakan-akan telah membeku di dalam jantung, sehingga nafas mereka-pun seolah-olah tidak lagi mau mengalir lewat lubang hidung mereka.
Dalam pada itu maka beberapa orang segera memapah Senapati muda itu, tepat ketika ia tidak lagi dapat mempertahankan duduknya.
Namun sebelum ia meninggalkan paseban ia masih sempat berkata, "Ampun Tuanku. Kediri harus diselamatkan. Ternyata bahwa Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman tidak bersalah menurut penilaian hamba. Hanya mereka berdua sajalah, bersama-sama para Senapati dan prajurit, akan dapat mempertahankan Kediri dari banjir bandang yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya."
Sri Baginda berdiri tegak seperti patung. Dipandanginya Senapati yang semakin lemah itu kemudian diusung keluar paseban.
Ketika mereka telah hilang di balik pintu, maka Sri Baginda itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia melangkah mondar-mandir. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Tiba-tiba Sri Baginda berkata dengan suara yang lemah, "Kita sudah dilepaskan oleh Yang Maha Agung karena keangkuhan kita."
Tidak seorang-pun yang menjawab. Namun Mahisa Walungan dan Gubar Baleman dapat menangkap apa yang tersirat di dalam hati Sri Baginda. Sri Baginda yang memiliki pandangan yang tajam, telah dapat melihat dengan mata hatinya, apa yang kira-kira bakal terjadi di Kediri.
"Selama ini hatiku telah digelapkan oleh kebanggaan dan harga diri yang berlebihan," desisnya. Namun tiba-tiba Sri Baginda berhenti. Dipandanginya Mahisa Walungan dan Gubar Baleman dengan tatapan mata yang suram.
"Apakah benar yang dikatakan oleh Senapati muda itu bahwa kau berdua benar-benar tidak akan memberontak?"
"Sudah hamba katakan Sri Baginda," sahut Gubar Baleman, "apa yang hamba berdua lakukan semata-mata atas dasar kesetiaan hamba kepada Kediri dan Sri Baginda."
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku minta maaf kepada kau berdua. Biarlah aku menanggung kutuk atas sikapku ini. Aku telah menelan kembali ludahku. Sabda Pandita Ratu. Namun aku akan tetap mencabutnya. Kalian aku bebaskan dari segala hukuman."
"Ampun kakanda," suara Mahisa Walungan tersendat-sendat, "tetapi yang lebih penting daripada itu, apakah hamba diperkenankan kembali kepada pasukan hamba."
"Aku tidak dapat memerintahkan kau kembali ke pasukanmu, karena aku telah membuat kesalahan ini. Tetapi kalau kau memaafkan aku, dan kau memang ingin membaktikan dirimu. terutama Kepada Kediri, bukan kapadaku, aku akan sangat berterima kasih kepadamu."
"Kakanda Baginda," Mahisa Walungan tiba-tiba menengadahkan wajahnya, "Hamba mohon diri. Hamba akan pergi ke pasukan hamba. Mudah-mudahan hamba tidak terlambat."
Sri Baginda menganggukkan kepalanya. Dan yang terdengar adalah uara Gubar Baleman, "Hamba-pun mohon diri pula, Tuanku. Seandainya hamba masih berkesempatan, hamba alan menyerahkan segala-galanya buat Kediri."
Sri Baginda menjadi lemah, "Pergilah. Pergilah. Aku berdoa buat kau berdua dan buat Kediri."
Mahesa Walungan dan Gubar Baleman tidak menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi mereka mohon diri, kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan paseban. Di depan pintu ia masih sempat memperhatikan wajah-wajah para Senapati yang memandanginya. Wajah-wajah itu terasa banyak berbicara kepada mereka.
Penjaga pintu paseban mengerutkan keningnya melihat Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Mereka tidak mendengar jelas pembicaraan di dalam paseban, sehingga mereka menjadi ragu-ragu dan bertanya-tanya di dalam hati, kenapa keduanya dibiarkan keluar.
Namun sejenak kemudian seorang Senapati muncul pula di belakang keduanya. Katanya kepada Mahisa Walungan, "Aku mendapat perintah Sri Baginda untuk mengikuti kalian berdua, agar kalian tidak mendapat kesulitan dari para penjaga di halaman ini."
"Terima kasih," jawab Mahisa Walungan singkat.
Dengan tergesa-gesa mereka segera pergi ke halaman belakang. Mereka segera mencari kuda untuk mempercepat perjalanan mereka bersama para prajurit yang telah mereda bawa dari sebelah Utara Ganter.
Karena mereka tidak mendapat sejumlah kuda sebanyak yang mereka perlukan maka ada di antara mereka, terpaksa mempergunakan seekor kuda untuk dua orang prajurit.
Demikianlah akhirnya Mahisa Walungan dan Gubar Baleman memacu kudanya secepat dapat dilakukan untuk mencapai pasukan yang mereka tinggalkan di sebelah Utara Ganter.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan apa yang akan diakukan oleh Pujang Warit. Yang ada di dalam angan-angan mereka, adalah banjir bandang yang datang dari Singasari melanda pasukan mereka yang seakan-akan sedang kehilangan pegangan.
Demikianlah yang sedang terjadi di sebelah Utara Ganter. Pasukan Singasari benar-benar bagaikan banjir yang tidak tertahankan. Pasukan Kediri yang ada di perbatasan dengan susah payah berhasil mundur sampai ke pertahanan pasukan Kediri. Tetapi karena mereka seakan-akan kehilangan pegangan ketidak-tentuan di dalam tingkat teratas dari pimpinan keprajuritan dan bahkan pemerintahan, maka prajurit Kediri seakan-akan telah kehilangan sebagian dari kekuatannya.
Meskipun demikian pasukan Kediri telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri, mempertahankan negeri dan rajanya. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertahan agar pasukan Singasari tidak dapat maju lagi selangkah-pun dari sebelah Utara Ganter.
Namun Kediri tidak bertempur dengan seluruh kekuatan. Beberapa ratus tonggak dari pertempuran itu . Pujang Warit dengan pasukannya sedang menunggu. Mereka mengharap bahwa kedua pasukan yang bertempur itu akan menjadi luka parah, sehingga pasukannyalah yang akan dapat menguasai medan yang penuh dengan mayat bergelimpangan dan bergelimang darah.
Matahari yang terik memanjat langit semakin tinggi. Peperangan di sebelah Utara Ganter itu-pun berlangsung dengan dahsyatnya. Pasukan Kediri yang ada telah bertempur dengan gagah berani melawan pasukan Singasari yang menusuk langsung ke pusat gelar mereka.
Namun pasukan Kediri itu hampir tidak percaya ketika mereka melihat ujung pasukan lawan. Mereka semula tidak menduga sama sekali, kalau pasukan itu terdiri dari orang-orang Kediri sendiri. Namun di dalam pertempuran yang kemudian terjadi, lambat laun satu dua dari mereka segera mengenal lawannya. Dan pengenalan mereka itu-pun lambat laun telah menjalar keseluruh pasukan.
Bersambung ke jilid 55. koleksi : Ki Arema scanning : Ki Arema Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Cek ulang : Ki Arema ---ooo0dw0ooo--- Jilid 55 TERNYATA usaha Sri Rajasa untuk mempengaruhi perasaan yang paling dalam dari prajurit-prajurit Kediri itu sedikit banyak dapat berhasil. Kekecewaan yang melanda dada mereka karena pertengkaran di antara para pemimpin, kini kekecewaan mereka melihat orang-orang Kediri sendiri datang di dalam pasukan lawan, membuat hati mereka terguncang-guncang.
Dalam keadaan yang demikian itulah pasukan Kediri harus melawan serangan yang sangat dahsyat itu.
Apalagi pasukan lawan yang terdiri dari orang-orang Kediri itu sendiri dipimpin oleh seorang Senapati yang luar biasa. Seorang Senapati yang tangguh tanggon. Dan Senapati itu adalah Mahisa Agni.
Dengan pedang di tangan Mahisa Agni maju di ujung pasukannya. Seperti kilat yang menyambar di langit, kilauan daun pedangnya menyilaukan mata. Namun kemudian ujung pedang itu bagaikan mulut berribu-ibu ekor ular yang mematuk ke segala penjuru.
Senapati yang bertempur di pasukan induk di belakang paruh pasukan Singasari itu-pun ternyata tidak terkatakan lagi. Tidak seorang-pun yang dapat mendekatinya, apalagi mengenainya dengan ujung senjata. Senapati itu adalah pimpinan tertinggi pasukan Singasari. Dan Senapati itu adalah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sendiri.
Dengan demikian maka di dalam benturan itu, pasukan Kediri tidak dapat tetap mempertahankan garis pertahanannya. Setapak demi setapak mereka terdesak mundur.
Tetapi seluruh prajurit yang terlibat di dalam peperangan itu terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar sorak yang seakan-akan membelah langit justru di bagian belakang pasukan Kediri yang sedang terdesak itu. Hampir setiap orang mencoba untuk mengerti, apakah sebabnya maka mereka bersorak-sorak seperti sepasukan prajurit yang menang perang. Padahal pasukan Kediri justru terdesak beberapa puluh langkah mundur.
Akhirnya seluruh pasukan Kediri mengetahui, apakah sebabnya maka kawan-kawan mereka bersorak riuh. Dan bahkan dengan serta-merta mereka-pun ikut meneriakkan nama-nama yang telah membuat hati mereka berdebar-debar.
"Mahisa Walungan dan Gubar Baleman telah datang," dan suara teriakan itu disambut oleh yang lain, "Mahisa Walungan datang, Gubar Baleman telah ada di tengah-tengah kita."
Pasukan Kediri seakan-akan mendapat nafas baru di dalam kesulitan itu. Mahisa Walungan langsung maju ke ujung pasukannya yang justru masih ada di belakang paruh pasukan Singasari, sedang Gubar Baleman berada di tengah-tengah pasukannya untuk menghentikan ujung pasukan lawan yang mencoba masuk semakin dalam kegelar pasukannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Kini pasukan Kediri telah bangkit. Mereka merasa mendapatkan kekuatan untuk mengimbangi banjir bandang yang melanda dari perbatasan.
Gubar Baleman yang bertempur dengan garangnya, segera berhasil maju ketengah-tengah barisan. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya korban telah terlampau banyak berjatuhan.
Ketika tampak olehnya prajurit lawan yang dengan garang mendesak terus, hatinya tiba-tiba berdesir tajam. Sejenak ia mencoba mengamati mereka, seolah-olah ia tidak segera mempercayai penglihatannya sendiri.
"Kau lihat prajurit Singasari itu," desisnya kepada seorang prajurit di sampingnya.
Prajurit itu mengerutkan keningnya, "Bukankah mereka orang-orang Kediri?"
"Ya," jawab prajurit itu. "aku melihat beberapa orang di antara mereka yang justru sudah aku kenal."
"Kenapa mereka berada di pihak Singasari?"
Prajurit itu menggelengkan kepalanya.
Sejenak Gubar Baleman merenung. Kini disadarinya semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh para pemimpin Kediri. Ketidak tentuan yang berlarut-larut, sikap Sri Baginda yang terlampau keras, apalagi terhadap golongan agama yang tidak mau menganggapnya sebagai Dewa tertinggi yang menjelma di bumi.
Sekelompok demi sekelompok mereka telah meninggalkan Kediri dan memasuki daerah Singasari. Adalah menyakitkan hati sekali, ketika tanpa diketahuinya, para pemimpin prajurit di perbatasan memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan diri sendiri. Dalam kekeruhan itu, muncullah Pujang Warit yang menambah suasana bertambah kalut.
"Dan inilah akibat dari semuanya itu," katanya di dalam hati.
Gubar Baleman tersadar ketika ia mendengar dentang senjata dekat di sampingnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tampaklah prajurit Singasari yang sebagian terbesar terdiri dari orang-orang Kediri itu-pun mendesak maju.
"Apakah aku harus membunuh mereka?" Gubar Baleman menjadi ragu-ragu.
"Tetapi sudah tentu bahwa pasukan ini hanya sebagian kecil saja dari seluruh pasukan Singasari," katanya kemudian. "mungkin aku harus menemukan lawanku di sana." Gubar Baleman menjadi bimbang. Namun tumbuhlah niatnya untuk berkisar dari tempat itu. Mungkin ia akan mendapatkan lawan yang seimbang di tengah-tengah pasukan lawan yang terdiri dari orang-orang Singasari.
Tetapi tiba-tiba ia tertegun sejenak. Dilihatnya kini Senapati yang menjadi ujung pasukan lawan itu, bertempur bagaikan seekor banteng yang terluka.
"Bukan main," desis Gubar Baleman, "orang itu pasti bukan sekedar seorang Senapati prajurit yang diketemukan di antara para pengungsi dari Kediri."
"Aku ternyata tidak dapat meninggalkan lingkungan ini," desis Gubar Baleman di dalam hatinya, "betapapun beratnya bertempur di antara keluarga sendiri." Dan sekilas terbayang pasukan Pujang Warit yang sedang mengintai. Sehingga dengan demikian kekuatan Kediri akan terpecah menjadi tiga pihak yang saling bertentangan.
"Menyedihkan sekali," keluh Gubar Baleman.
Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar mengeluh dan menyesali apa yang sudah terjadi. Kini pasukan Singasari, siapapun mereka itu, telah berdiri di hadapannya.
Karena itu, maka segera ia-pun meloncat sambil mengacukan pedangnya menyongsong Senapati Singasari yang mendebarkan jantungnya.
Gubar Baleman langsung berusaha untuk dapat bertemu dengan Senapati Singasari itu. Ia tidak dapat menyaksikan prajuritnya terdesak terus-menerus. Sehingga dengan demikian, maka terjadilah perang tanding antara kedua Senapati yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan manusia kebanyakan.
Ternyata Gubar Baleman menemukan lawannya yang benar-benar tangguh. Dan lawan yang tangguh itu adalah Mahisa Agni.
Dengan demikian maka pertempuran di antara keduanya-pun benar-benar merupakan pertempuran yang terlampau dahsyat. Dengan senjata di tangan masing-masing mereka sambar-menyambar, desak-mendesak silih berganti. Keduanya memiliki kemampuan bergerak terlampau cepat dibandingkan para prajurit yang bertempur di sekitarnya.
Tanpa sesadarnya seorang prajurit Singasari yang berasal dari Kediri tiba-tiba berdesis, "Gubar Baleman."
Mahisa Agni mendengar desis itu. Dan ia-pun mendengar Gubar Baleman mejawab, "Ya, akulah Gubar Baleman. Pemimpin tertinggi pasukan Kediri. Kau mengenal aku."
Prajurit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi terasa dadanya berdesir. Gubar Baleman adalah seorang Menteri yang bijaksana. Ia adalah orang yang paling banyak berbuat untuk rakyat Kediri di dalam keadaan yang kalut. Tetapi prajurit Singasari itu tidak sempat merenung terlampau lama. Perang berkecamuk semakin kisruh. Ternyata kini bukan saja orang Kediri yang berperang di pihak Singasari, tetapi orang-orang Tumapel-pun telah mengalir ke ujung barisan itu pula dalam jumlah yang hampir tidak terhitung lagi.
Gubar Baleman yang bertempur mati-matian itu masih mendengar lawannya berdesis, "Jadi kaukah yang bernama Gubar Baleman?"
Sambil bertempur Gubar Baleman menjawab, "Ya, dan apakah kau Panglima tertinggi Singasari?"
Mahisa Agni meloncat surut ketika ujung pedang Gubar Baleman hampir menyentuh pundaknya. "Tidak," jawabnya, "Senapati tertinggi di dalam pasukan kami adalah Sri Rajasa sendiri."
Gubar Baleman mengerutkan keningnya.
"Aku adalah Mahisa Agni."
Gubar Baleman tidak menyahut. Ia belum pernah mendengar nama itu di dalam deretan nama para pemimpin Tumapel sampai saat negeri itu menamakan dirinya Singasari.
Tetapi menilik kemampuannya, maka ia pasti tidak akan kalah dari pemimpin Singasari yang mana-pun juga.
Dengan demikian maka Gubar Baleman harus sangat berhati-hati menghadapinya. Menurut pendengarannya. Akuwu Tunggul Ametung pada masa hidupnya adalah seseorang yang pilih tanding, yang selalu didampingi oleh Panglima pasukan pengawalnya yang bernama Witantra. Tetapi kini yang datang ke Kediri adalah orang yang tidak dikenal sebelumnya, Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri.
"Baik orang ini maupun Sri Rajasa pasti orang-orang pilihan. Ternyata Sri Rajasa telah berhasil menyingkirkan segala orang yang mungkin dapat menggantikan kedudukan Akuwu yang terbunuh itu," berkata Gubar Baleman di dalam hatinya. "Sedang apakah orang ini termasuk tangan kanannya pada saat ia mulai membangun Singasari?"
Angan-angannya itu telah mengingatkannya kepada Mahisa Walungan. Kalau Mahisa Walungan berhasil memecah pasukan Singasari. maka ia mungkin sekali akan bertemu dengan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Demikianlah perang yang terjadi di sebelah Utara Ganter itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Masing-masing pasukan telah berusaha untuk dapat menembus pertahanan lawan.
Di tengah-tengah berkecamuknya perang itu. Senapati tertinggi Singasari. Sri Rajasa telah berhasil membakar gairah perjuangan pasukannya. Dengan dahsyatnya ia menerjang lawan-lawannya tanpa ampun.
Namun ia tertegun sejenak, ketika senjatanya tiba-tiba saja tersentuh oleh sehelai pedang yang telah menggetarkan tangannya.
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Di hadapannya telah berdiri seorang yang bertubuh kekar, meskipun tidak terlampau tinggi. Tatapan matanya yang tajam telah memancarkan kebesaran jiwa dan kemampuan yang tersimpan di dalam diri orang itu.
"Siapa kau?" tiba-tiba Sri Rajasa berdesis.
"Apakah aku berhadapan dengan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
"Ya. Akulah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa."
"Aku mengenal dari tanda-tanda kebesaran pada pakaianmu."
"Siapa kau" Agaknya kau-pun pemimpin tertinggi kerajaan Kediri."
"Aku Mahisa Walungan."
"Adinda Sri Baginda Kertajaya?"
"Ya." Ken Arok mengerutkan keningnya. Sejenak ia melangkah surut, seakan-akan ingin melihat lawannya lebih jelas lagi dari jarak yang tidak terlampau dekat.
"Kita akan menentukan akhir dari peperangan ini," berkata Mahisa Walungan.
"Kau salah. Bukan hanya kita berdua. Tetapi seluruh kekuatan di dalam pasukan kita masing-masing. Kau harus mengakui, bahwa kekuatan pasukan Singasari jauh lebih besar dari pasukan Kediri. Agaknya para pemimpin di Kediri merasa dirinya terlampau kuat, sehingga kurang berhati-hati menghadapi Singasari. Karena Singasari sekarang sama sekali berbeda dengan Tumapel pada waktu itu."
"Ya, kau benar," jawab Mahisa Walungan, "kita dan pasukan kitalah yang akan menentukan akhir dari peperangan ini."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi segera ia mulai lagi dengan pertempuran yang dahsyat di antara keduanya.
Tetapi Mahisa Walungan telah siap untuk melayaninya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas tegaknya Kediri, maka ia-pun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan Sri Rajasa.
Ternyata bahwa Mahisa Walungan benar-benar seorang yang pilih tanding. Ia mampu melubangi papan yang sangat tebal hanya dengan jarinya. Kemudian tanpa sesadarnya ketukan ujung jarinya itu pula telah membuat lekuk pada sebuah batu hitam yang keras. Dengan demikian, maka ayunan tangannya itu benar-benar merupakan sambaran angin, maut yang mengerikan.
Namun Sri Rajasa memang memiliki sesuatu yang tidak dipunyai oleh orang-orang kebanyakan. Geraknya terlampau cepat, dan kekuatannya-pun mampu mengimbangi lawannya. Sejak ia mengabdikan diri di istana Tumapel, ia adalah seorang yang aneh. Dengan jarinya pula ia mampu memijit sebuah kerikil sehingga pecah, pada saat ia terganggu oleh sikap seorang Pelayan dalam ketika mereka sedang menyaksikan perang tanding antara Kuda Sempana dan Witantra. Apalagi pada saat-saat setelah itu. Kelebihannya berkembang terus tanpa disadarinya sendiri.
Dengan demikian perkelahian di antara kedua orang itu menjadi semakin lama semakin mengagumkan. Keduanya seolah-olah berterbangan tanpa menyentuh tanah. Berputaran sambil memutar senjata masing-masing sehingga tidak dapat diikuti lagi dengan mata yang wantah.
Dengan demikian, selagi keduanya menumpahkan segenap kemampuan mereka, para prajurit yang bertempur di sekitar mereka-pun seolah-olah telah terdorong menjauh. Mereka menjadi ngeri tersentuh sambaran angin yang dilontarkan oleh ayunan senjata-senjata di tangan kedua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
Orang-orang Kediri menjadi heran, bahwa di Singasari ada seorang yang mampu bertempur melawan Mahisa Walungan. Namun orang-orang Singasari-pun menjadi tercengang. Adinda Sri Baginda Kertajaya ternyata adalah seorang yang luar biasa.
"Apa sajakah yang mampu dilakukan oleh Sri Kertajaya sendiri," mereka bertanya-tanya di dalam hati.
Dengan demikian, keduanya seakan-akan memang mendapat kesempatan yang luas untuk saling mempertunjukkan kemampuan mereka, meskipun mereka sendiri tidak bermaksud demikian. Mereka masing-masing sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuan, sambil memeras segenap ilmu yang ada pada mereka.
Dalam pada itu dari ujung sampai ke ujung pasukan, pertempuran masih berkecamuk, justru semakin sengit. Kedua belah pihak saling menyerang dengan segenap kemampuan dan keberanian yang mengagumkan. Namun dengan demikian maka jumlah prajurit dari keduanya terasa berpengaruh dalam peperangan itu.
Meskipun ke dua belah pihak sama-sama berani dan sama-sama tangguh, tetapi pasukan Singasari masih sempat mencari waktu untuk bernafas sejenak, karena jumlah mereka yang lebih banyak.
Namun demikian, para prajurit Kediri sama sekali tidak berniat menghindarkan diri. Kediri harus dipertahankan mati-matian, Singasari semula adalah daerah kecil yang diperintah hanya oleh seorang Akuwu, sehingga tidak sepantasnya Singasari akan menguasai Kediri.
Tetapi prajurit Singasari-pun mempunyai suatu keyakinan yang teguh, bahwa Kediri harus dirubah bentuknya. Selama ini Kediri telah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap rakyatnya dan daerah-daerah yang dikuasainya. Kekuasaan Sri Baginda Kertajaya yang berlebih-lebihan, dan bahkan yang merasa dirinya bukan lagi manusia sewajarnya.
Puncak dari kelalaian Sri Baginda Kertajaya, adalah pada saat ia merasa dirinya seorang Dewa tertinggi yang menguasai seluruh permukaan bumi.
Dengan demikian, maka peperangan itu menjadi bertambah seru. Ketika matahari sudah melampaui puncak langit, serta tangkai-tangkai senjata sudah basah oleh keringat, maka ke dua belah pihak seakan-akan telah dimabukkan oleh nafas peperangan dan maut.
Dalam pada itu, jumlah korban seakan-akan sudah tidak terhitung lagi. Mayat bergelimpangan membujur-lintang di dalam genangan darah dan debu. Rintih dan erang tenggelam dalam dentang senjata beradu.
Namun bagaimana-pun juga, di hari yang pertama pasukan Singasari tidak berhasil memecahkan pertahanan Kediri. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman masih bertahan sekuat-kuat kemampuan mereka. Dengan demikian maka pasukannya-pun sama sekali tidak menjadi gentar menghadapi angin prahara yang datang dari Singasari.
Meskipun demikian garis peperangan itu telah bergeser beberapa tonggak, mendekati kota. Sekuat-kuat pertahanan pasukan Kediri, namun mereka terpaksa surut beberapa langkah. Tetapi tekad yang bulat di dalam dada mereka sama sekali tidak tergoyahkan.
Ketika matahari kemudian terbenam, terdengarlah suara tanda-tanda dari ke dua belah pihak, seakan-akan telah berjanji untuk menghentikan peperangan. Betapa darah menggelegak sampai ke ujung rambut, tetapi para prajurit jantan di kedua pihak saling menghormati tengara itu, bahwa perang harus dihentikan di saat matahari tenggelam di ujung langit sebelah Barat.
Pasukan ke dua belah pihak yang lelah itu-pun tersuruk-suruk mengundurkan diri. Karena pasukan Singasari tidak sempat membuat pesanggrahan, mereka bertebaran di padukuhan-padukuhan di sekitar tempat peperangan itu. Padukuhan yang telah kosong ditinggalkan mengungsi oleh para penghuninya.
"Kita harus menyelesaikannya tidak lebih dari sepekan," geram Sri Rajasa, "Kita pada hari kelima harus sudah berada di kota."
Mahisa Agni dan para panglima tidak menyahut.
"Kalau di hari kelima kita belum memasuki kota," Sri Rajasa melanjutkan, "berarti kita dalam keadaan yang gawat. Perbekalan kita tidak akan membantu lagi, sedang para prajurit pasti sudah menjadi terlampau lelah."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Meskipun ia seorang Senapati namun terpengaruh oleh hubungan pribadinya, maka kadang-kadang ia lupa bahwa ia berhadapan dengan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, bukan lagi dengan Ken Arok, hantu padang Karautan. Karena itu, hampir tidak sesadarnya ia berkata, "Tidak seluruhnya kita akan gagal. Kita setidak-tidaknya sudah menguasai suatu daerah yang tidak akan kita lepaskan lagi, meskipun seandainya kita tidak segera dapat menembus dan merebut Kota Raja. Tetapi pasukan kita akan tetap berada di ambang pintu. Dan kita akan mempertahankan setiap jengkal tanah yang sudah kita satukan dengan Singasari setelah kita membebaskannya dari tangan Sri Baginda Kertajaya yang merasa dirinya Penguasa Bumi."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia mengerti maksud Mahisa Agni. Tetapi ia tidak ingin mengendorkan peperangan itu. Maka katanya, "Tidak. Aku tetap pada pendirianku. Kediri harus kita kuasai tidak lebih dari sepekan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di wajahnya suatu kecemasan yang dalam. Dan di dalam hatinya ia memang berkata, "Ken Arok tidak memperhitungkan, berapa banyak korban akan berjatuhan."
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab lagi. Apalagi ketika ia sadar, bahwa yang mengatakan rencana itu adalah Sri Baginda Singasari dan sekaligus pimpinan tertinggi segenap pasukan yang maju ke medan perang ini.
Meskipun demikian, Mahisa Agni masih mencoba membayangkan cara lain yang lebih baik. Bukan membenturkan seluruh kekuatan seperti yang terjadi saat ini.
"Kami dapat menempuh beberapa jalan," katanya di dalam hati, "dengan pasukan yang lebih kecil, kami dapat memasuki kota lewat beberapa jurusan. Dengan melepaskan pasukan cadangan lewat jurusan lain, kami akan dapat memecah perhatian para prajurit Kediri."
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya. Dan Mahisa Agni itu-pun tidak mengerti bahwa sebenarnya Kediri juga menyimpan pasukan cadangan yang cukup kuat. Pasukan Pujang Warit.
Di bagian lain. Mahisa Walungan duduk terpekur sambil membelai hulu pedangnya. Di sampingnya Gubar Baleman duduk bersandar sebatang pohon manggis.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Mereka sedang sibuk dengan angan-angan masing-masing. Meskipun sekali-sekali mereka berpaling melihat beberapa orang prajurit yang sedang mengusung kawan-kawan mereka yang terluka.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Sepercik kecemasan melonjak di dalam hatinya. Mau tidak mau ia melihat kenyataan, bahwa jumlah prajuritnya tidak sebanyak prajurit Singasari. Apalagi pasukannya tidak mempunyai kelebihan yang dapat dibanggakan dari pasukan lawan. Hampir setiap prajurit, baik dari Kediri maupun dari Singasari memiliki kemampuan dan tekad yang sama. Itulah sebabnya maka Mahisa Walungan memandang akhir dari peperangan ini dengan wajah yang suram.
"Kalau saja Pujang Warit dapat mengerti," katanya di dalam hati.
Meskipun demikian Mahisa Walungan tidak menjadi berkecil hati. Ia merasa, bahwa pasukannya masih cukup kuat untuk bertahan, selagi beberapa orang Senapati masih berusaha untuk menyusun kekuatan yang akan dapat digabungkannya di dalam peperangan itu.
"Singasari memusatkan seluruh kekuatannya di sini," tanpa sesadarnya Mahisa Walungan bergumam.
Gubar Baleman berpaling. Sejenak ia merenung. Kemudian terdengar ia menyahut, "Ya. Agaknya Singasari ingin memecah gerbang Kota Raja dari satu arah."
"Kami masih mendapat kesempatan untuk menarik pasukan-pasukan pengawal dari dalam kota dan pasukan-pasukan keamanan dari segala penjuru."
"Ya," desis Gubar Baleman. "tetapi Pujang Warit benar-benar seorang yang mementingkan dirinya sendiri melampaui kepentingan Kediri."
"Aku berprihatin karenanya. Tetapi bukan saatnya sekarang kita berselisih."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok kita mendapat beberapa tenaga yang masih segar. Sepasukan keamanan telah datang. Masih ada beberapa kelompok yang akan menyusul."
Sri Rajasa ternyata seorang Panglima yang ulung. Ia-pun menyimpan tenaga cadangan untuk memberikan pukulan terakhir kepada lawannya."
Mahisa Walungan tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Kembali keduanya terdiam. Masing-masing telah dicengkam oleh angan-angan yang meskipun tanpa berjanji, namun gambaran-gambaran yang melintas, mempunyai banyak kesamaan.
Keduanya menyesal, bahwa Kediri telah diterkam oleh arus perpecahan di saat-saat yang menentukan ini. Keduanya menyesal bahwa Pujang Warit seakan-akan telah menjadi gila. Dan keduanya menyesal pula, bahwa Singasari berhasil menyusun sekelompok pasukan yang justru terdiri dari orang-orang Kediri dipimpin oleh seorang Senapati yang luar biasa, yang setelah bertempur sehari penuh, namun Gubar Baleman tidak berhasil menundukkannya.
"Agaknya kami belum bersungguh-sungguh," desis Gubar Baleman di dalam hatinya, "kami masih terganggu oleh pertempuran di sekitar kami. Kami masih terganggu oleh tugas-tugas kami sebagai seorang Senapati. Pada saatnya, aku ingin menimbang, betapa beratnya Senapati Singasari yang bernama Mahis Agni itu."
Meskipun demikian dengan jujur Gubar Baleman mengakui, bahwa kemampuan lawannya itu telah membuatnya berdebar-debar.
Sebenarnya tidak sia-sialah Mahisa Agni mempelajari dengan tekun ilmu dari perguruan mPu Purwa, yang diramu dengan ilmu mPu Sada dalam masa-masa pembajaan diri di sarang Kebo Sindet, sehingga ia memiliki kemampuan untuk berhadapan langsung dengan Senapati Kediri yang ngedab-edabi ini.
Para Senapati dari kedua pasukan yang sedang beristirahat itu, hampir semalam suntuk tidak dapat memejamkan mata mereka. Setiap saat mereka harus melihat kesiap siagaan pasukan masing-masing. Namun baik para Senapati Kediri maupun Senapati Singasari menganjurkan kepada para prajurit, agar mereka beristirahat sebaik-baiknya, selain yang mendapat giliran bertugas.
Sedang para Senapati itu-pun telah membagi diri untuk dapat meskipun hanya sekejap, beristirahat pula. Besok mereka harus memeras tenaga menyabung nyawa di bawah bahaya dan maut.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang prajurit muda yang tidak dapat tidur meskipun telah lewat tengah malam menggeliat sambil berdesah. Diusapnya tangkai tombaknya dengan tangannya yang dingin. Sejenak terbayang keluarga yang ditinggalkannya di rumah, ayah yang sudah tua, ibu yang duka dan dua orang adik perempuannya.
"Aku satu-satunya anak laki-laki," desisnya.
Prajurit muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Aku bertempur untuk mereka. Untuk hari depan anak-anak mereka meskipun seandainya aku tidak pulang. Anak-anak adik-adikku itu kelak akan tetap menjadi anak negeri yang besar, Kediri."
Di sampingnya seorang yang telah hampir berumur setengah abad tidur mendekur. Sekali-sekali tangannya menepuk nyamuk yang menggigit pundaknya yang telanjang. Tetapi ia tidak terbangun sama sekali.
Prajurit muda itu berpaling ketika seorang Senapati mendekatinya sambil bertanya, "He, kau tidak tidur?"
Prajurit muda itu menggeleng, "Aku tidak dapat tidur."
"Tidurlah. Besok kau akan mendapat kekuatan baru untuk menghadapi pasukan Singasari itu."
"Aku memang ingin tidur. Tetapi tidak dapat."
"Apakah kau gelisah?"
Prajurit muda itu menggeleng, "Tidak."
Senapati itu-pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Cobalah untuk tidur. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, dan kau akan segera mendengar suara tengara. Sejenak kemudian kau sudah akan berdiri di dalam gelar perang."
Tetapi prajurit itu justru tersenyum, "Aku akan mencoba," katanya.
Maka ditinggalkannya Prajurit muda itu di dalam keadaannya.
Mahisa Walungan sendiri telah membagi waktunya dengan Gubar Baleman. Lawan-lawan mereka adalah lawan-lawan yang luar biasa, sehingga mereka memerlukan tenaga yang segar untuk menghadapinya.
Berbeda dengan mereka itu, Sri Rajasa sama sekali tidak berhasrat untuk tidur, meskipun para Panglima pasukannya menganjurkannya. Hanya Mahisa Agni sajalah yang membiarkannya berjalan hilir mudik di antara pasukannya, sedang Mahisa Agni sendiri, meskipun hanya sebentar, dapat tidur dengan nyenyaknya.
"Hantu Karautan itu sanggup berkeliaran sepekan tanpa tidur sama sekali," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "bahkan badannya akan menjadi sakit-sakitan kalau ia terlampau banyak tidur meskipun badannya itu lelah. Tetapi lelah itu-pun hampir tidak dikenalnya."
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu seakan-akan tidak merasakan apapun setelah bertempur sehari penuh melawan seorang Senapati yang pilih tanding dari Kediri. Bahkan bukan saja ia bertempur dalam perang tanding, namun ia masih harus memperhatikan seluruh pasukannya. Dari ujung sampai ke ujung gelarnya.
Dan itulah kelebihan Ken Arok dari orang-orang lain. Tubuhnya yang terlatih mengalami segala macam keadaan sejak kecilnya, telah membuatnya seorang manusia yang aneh.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, kemudian menjelang saat fajar, pasukan di ke dua belah pihak sudah mulai bangun. Mereka yang bertugas untuk menyiapkan makan para prajurit, telah bekerja dengan cekatan sesaat setelah tengah malam dilampaui.
Ketika langit di Timur telah membayang warna-warna merah, maka para prajurit di ke dua belah pihak telah mempersiapkan diri. Mereka membekali diri mereka dengan selengkap-lengkap dapat mereka lakukan. Di antaranya. mereka telah makan sekenyang-kenyangnya, agar mereka tidak kehabisan tenaga sebelum senja.
Demikianlah, semakin cerah warna langit, maka semakin sibuklah para prajurit dan Senapati di ke dua belah pihak itu. Mereka mengemasi pakaian mereka, senjata dan perlengkapan-perlengkapan yang mereka perlukan.
Rajasa yang sama sekali tidak tidur sekejap-pun itu telah berada di atas sebuah gundukan batu memandang ke arah nasukan lawan yang masih disaput oleh kabut pagi.
Perlahan-lahan penongsongnya datang mendekatinya sambil membawa payung kebesaran Raja Singasari, "Apakah hamba hari ini juga tidak diperkenankan ikut Sri Baginda?" bertanya orang itu.
Sri Baginda berpaling. Dilihatnya juru penongsong itu berdiri sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menggenggam tangkai payung kebesaran Sri Rajasa.
Namun Sri Rajasa kemudian menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tinggallah kau di sini. Kau berada bersama-sama dengan para pengawal panji-panji yang hari ini juga tidak akan ikut ke medan. Menurut perhitunganku, hari ini kita belum dapat memecahkan pasukan lawan. Di hari ketiga aku akan memasang gelar lengkap dengan segala macam tanda kebesaran Singasari."
Penongsong itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.
"Nah, bawalah payung itu kembali. Dan panggil Mahisa Agni."
Penongsong itu menunduk dalam-dalam. Tetapi ia merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat berada di peperangan bersama Rajanya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun telah datang. Ia-pun kemudian meloncat pula keatas gundukan batu di belakang Sri Rajasa.
"Apakah Tuanku memanggil hamba?" bertanya Mahisa Agni.
Sri Rajasa berpaling. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, "Ya. Kemarilah."
Mahisa Agni-pun kemudian datang mendekat.
"Kita akan segera mulai," gumam Sri Rajasa.
"Ya Baginda." "Kau mendengar laporan petugas sandi itu?"
"Hamba Baginda."
"Bagaimana pikiranmu?"
"Petugas sandi itu tidak dapat mengatakan, bahwa pasukan di padukuhan itu adalah pasukan cadangan. Tidak ada seorang penghubung-pun yang tampak datang atau pergi dari tempat itu ke medan ini atau sebaliknya, selama di dalam pengawasannya."
"Ya, petugas kami yang terdahulu pernah melaporkan tentang perpecahan ini."
"Hamba Baginda. Seorang Kediri yang ada di dalam lingkungan kami berhasil mendapat keterangan tentang hal itu, meskipun tidak jelas dan pasti."
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kami menghubungkan laporan yang samar-samar itu dengan pengamatan petugas sandi yang semalam mengawasi pasukan itu. Mungkin memang benar tidak ada hubungan apapun di antara kedua pasukan ini."
Tetapi Sri Baginda kemudian berkata, "Kita tidak dapat menduga-duga saja di dalam hal ini. Kita harus meyakinkan. Menurut perhitunganku ada atau tidak ada hubungan, pasukan itu dapat merupakan bahaya yang datang setiap saat. Di kala kita lengah, pasukan itu akan menghancurkan kita. Mungkin mereka menunggu kita dan pasukan Kediri yang lain itu bersama-sama menjadi letih. Pada saatnya mereka datang membawa panji-panji kemenangan."
"Jadi apakah maksud Sri Baginda?"
"Kita pancing mereka ke dalam peperangan."
"Di medan ini juga?"
Sri Baginda menggeleng, "Tidak. Kita membuka dua medan, selagi tenaga kita masih cukup segar. Aku kira puncak pimpinan Kediri baik Gubar Baleman maupun Mahisa Walungan ada di sini. Kau tetap berusaha menemukan Gubar Baleman, dan aku akan menahan harimau dari Kediri yang bernama Mahisa Walungan itu. Biarlah Panglima pasukan tempur Singasari yang memimpin sebagian pasukan cadangan dan beberapa kelompok dari pasukan ini untuk menariknya ke dalam sebuah pertempuran. Kita akan segera mengetahui kekuatannya. Kalau perlu Senapati itu dapat memanggil pasukan cadangan yang lain, apabila ternyata pasukan lawan terlampau besar."
"Kita membuka dua garis perang?"
"Mau tidak mau, selagi kita masih cukup segar. Aku yakin bahwa pada akhirnya kita juga harus melawan mereka. Meskipun mereka tidak mau menempatkan diri mereka di bawah pimpinan Mahisa Walungan misalnya, tetapi mereka tetap prajurit Kediri."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, kita segera memecah pasukan, sebelum tengara itu terdengar."
Mahisa Agni tidak sempat menjawab. Karena Sri Rajasa segera meloncat turun sambil berkata, "Bukankah kau sependapat?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia menyadari, bahwa Sri Baginda itu memang tidak menunggu jawabannya. Ia sudah mengambil suatu keputusan yang akan segera dilakukannya.
Dengan cepatnya Ken Arok telah berhasil menentukan seorang Senapati bersama sepasukan prajurit untuk menghadapi pasukan Kediri yang belum terlibat dalam perang di sebelah Utara Ganter itu.
Setelah mendapat petunjuk-petunjuk seperlunya, maka dilepaslah pasukan itu melingkari medan, mendekati pasukan yang dipimpin oleh Pujang Warit.
Demikianlah ketika langit menjadi semakin cerah, pasukan di ke dua belah pihak telah menyusun diri di dalam gelar masing-masing. Mereka berbaris dalam suatu tebaran yang melebar. Sepasukan yang paling terpercaya berada di paruh pasukan, yang kemudian diikuti oleh induk pasukan bersama Senapati tertinggi.
Kali ini yang berada di paruh pasukan Singasari adalah pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Agni pula. Tetapi pasukan itu kini diperlengkapi dengan prajurit-prajurit yang paling terpercaya dari Singasari sendiri, setelah di hari pertama pasukan itu menggoncangkan perasaan para Senapati Kediri, karena mereka ternyata terdiri dari orang-orang Kediri pula.
Dengan demikian maka susunan kedua pasukan itu hampir tidak banyak berubah. Beberapa orang prajurit yang masih segar menggabungkan dirinya pada pasukan Kediri. Sedang pasukan Singasari masih juga belum menurunkan pasukan cadangan, kecuali sebagian dari mereka yang telah dikirim untuk memancing pertempuran prajurit-prajurit Kediri yang dipimpin oleh Pujang Warit.
Sejenak kemudian para prajurit di ke dua belah pihak menjadi tegang. Sebentar lagi pasti akan terdengar tengara. Apabila langit menjadi terang, kedua pasukan itu pasti akan segera terlibat di dalam peperangan.
Agaknya pasukan Kediri sudah menjadi lebih teratur. Mereka telah sempat menyusun gelar dengan tanda-tanda kebesaran mereka. Sebuah payung kebesaran bagi Adinda Sri Baginda yang mewakili Sri Kertajaya memimpin perlawanan, karena Sri Baginda sendiri sedang diamuk oleh keprihatinan yang bercampur baur dengan keangkuhan. Kemudian beberapa jenis umbul dan tunggul panji-panji.
Dalam pada itu Sri Rajasa yang menyaksikan gelar pasukan Kediri dari kejauhan, walau-pun sama-sama, mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya lantang, "Jangan hiraukan tanda-tanda kebesaran pasukan Kediri. Mereka berusaha untuk menutupi kekecilan hati mereka karena kekalahan yang nereka derita pada hari pertama. Di hari ini kalian harus berhasil menghancurkan sebagian dari pasukan itu. Sebagian terbesar. Di hari ketiga kita akan memecahkan barisan itu langsung memasuki kota."
Para prajurit Singasari serasa tersentuh oleh kata-kata itu, dan telah memacu mereka untuk bertempur lebih gigih lagi.
"Kita merindukan Singasari yang besar dan satu. Satu lingkungan yang besar di dalam segala tata kehidupan."
Demikianlah, maka sejenak kemudian terdengarlah tengara telah berbunyi. Semula hanya pada satu pihak. Singasari. Tetapi kemudian Kediri-pun memperdengarkan tengara pula bagi para prajuritnya untuk maju ke medan perang.
"Kita pertahankan negeri ini," teriak Mahisa Walungan.
Para prajurit Kediri-pun menyambutnya dengan sorak yang gemuruh. Panji-panji dan umbul-umbul, rontek serta segala macam tanda-tanda kebesaran pasukan Kediri terangkat tinggi-tinggi bersamaan dengan jatuhnya sinar Matahari yang pertama kali pada ujung payung yang kuning gemerlapan.
Pertempuran di hari kedua ini-pun tidak kalah dahsyatnya. Seperti di hari pertama Mahisa Agni berusaha untuk selalu membayangi Gubar Baleman. sedang Mahisa Walungan langsung bertempur melawan Sri Rajasa.
Namun perhatian mereka kini justru lebih besar terarah kepada para prajurit yang sedang bertempur. Mereka menyadari bahwa baik Gubar Baleman, maupun Mahisa Agni tidak akan dapat dengan cepat menundukkan lawan mereka, sementara perang masih berkecamuk.
Pada hari yang kedua ini Kediri telah mengerahkan segenap pasukan yang ada. Mereka percaya bahwa di hari ketiga dan di hari-hari berikutnya, mereka masih akan sempat mengumpulkan tenaga cadangan yang dapat mereka tarik dari segenap penjuru. Bahkan betapapun keras hati Pujang Warit, selagi ia masih menyebut dirinya prajurit Kediri, pasukannya masih dapat diharapkannya.
Tetapi ternyata pasukan Singasari telah mendahuluinya, memukul pasukan Pujang Warit yang sama sekali tidak menyangka.
Pujang Warit yang ada di perkemahannya terkejut ketika ia mendengar laporan dari beberapa orang pengawas bahwa sepasukan prajurit Singasari telah menuju ke arah perkemahan itu.
"Gila," geram Pujang Warit, "apakah kau mimpi?"
"Sebenarnya kami telah melihat," sahut prajurit pengawas itu.
Pujang Warit menggeretakkan giginya. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka ia-pun segera berteriak. Dipanggilnya beberapa orang Senapati yang ada padanya, kemudian dengan tergesa-gesa diperintahkannya untuk menyiapkan gelar.
"Apakah mereka benar-benar akan menyerang kita?" bertanya seorang Senapati.
"Mungkin sekali. Cepat, masuk ke dalam gelar."
Tetapi para Senapati itu menjadi agak cemas. Prajurit-prajurit mereka belum siap mengadakan perang beradu gelar. Namun demikian, mereka tidak mendapat kesempatan untuk menimbang-nimbang. Dengan tanda-tanda yang ada, Pujang Warit telah mempersiapkan pasukannya.
"Yang belum sempat makan, usahakan, agar kalian tidak kelaparan," teriak beberapa orang Senapati.
Para prajurit yang berdiri di dalam gelar itu masih ada juga yang sempat membawa sebungkus nasi. Dengan tangkai tombak yang dijepit dengan lengannya, ia menyuapi mulutnya dengan nasi yang dibawanya.
"Aku tidak akan sempat makan di peperangan," katanya.
Kawannya yang berdiri di sampingnya memandanginya dengan tegang. Kemudian sahutnya, "Cepat. Kau lihat pasukan lawan itu semakin dekat. Lambungmu justru akan sakit kalau kau terlampau banyak makan."
Tetapi prajurit itu tidak makan sendiri. Beberapa orang yang lain ternyata ada juga yang sedang makan meskipun agak tergesa-gesa. Pujang Warit yang berdiri di ujung pasukannya menjadi tegang. Ia tidak memperhitungkan, bahwa pasukan Singasari akan membelah diri di dalam saat-saat yang berat itu.
"Agaknya jumlah orang-orang Singasari memang terlampau banyak," katanya kepada Senapati pengapitnya.
Senapati pengapit itu menganggukkan kepalanya, "Ya. Di hari pertama mereka berhasil mendesak pasukan Kediri yang dipimpin oleh Mahisa Walungan."
Wajah Pujang Warit menjadi merah padam. Katanya, "Setan itu sempat juga terlepas dari tiang gantungan. Tetapi aku tidak mau berada di bawah pimpinannya. Aku tidak tahu kenapa Sri Baginda masih dapat mempercayainya. Mungkin Sri Baginda menjadi bingung ketika mendengar pasukan Singasari telah datang melanda pasukan Kediri di perbatasan."
Senapati pengapitnya tidak menjawab. Tetapi wajah-wajah mereka yang tegang menatap pasukan Singasari yang semakin lama menjadi semakin dekat.
"Kita harus bertahan," desis Pujang Warit, "kita harus tetap utuh sampai pasukan Mahisa Walungan hancur sama sekali. Kita akan berdiri di atas bangkai kedua pasukan yang bodoh ini."
Senapati pengapitnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita harus mempertahankan diri dan mempertahankan Kediri."
Sejenak kemudian maka Pujang Warit memerintahkan membunyikan tanda bagi pasukannya. Dengan serta-merta, gelarnya-pun maju menyongsong lawan yang mendatang.
Pimpinan pasukan Singasari mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, "Prajurit Kediri memang prajurit yang telah matang. Dalam keadaan apapun mereka segera dapat menempatkan diri mereka untuk menghadapi segala kemungkinan."
Tetapi pasukan Singasari telah mendapat penempaan yang matang pula, dekat menjelang peperangan ini, sehingga tubuh dan ilmu mereka masih segar di dalam diri masing-masing.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu-pun telah saling berhadapan. Kaki-kaki mereka berderap di atas tanah persawahan yang ditumbuhi oleh tanaman palawija yang hijau. Namun kaki-kaki prajurit itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindari bunga kacang dan kedelai yang akan segera menjadi buah.
Demikianlah maka sesaat kemudian kedua pasukan itu telah terlibat dalam peperangan. Keduanya terdiri dari prajurit-prajurit yang memang sudah siap, untuk turun kegelanggang, pertempuran.
Namun di dalam benturan yang pertama sudah terasa, bahwa pasukan Singasari agak lebih kecil jumlahnya dari pasukan Kediri. Kalau pasukan Kediri itu dapat menghancurkan pasukan Singasari. maka hal itu pasti akan mempengaruhi keadaan medan yang lain. Karena itu maka seorang penghubung segera melaporkannya kepada Senapati yang bertanggung jawab atas laskar cadangan.
Sekelompok laskar cadangan Singasari segera dikirim untuk menyelamatkan pasukan Singasari yang bertempur melawan pasukan Pujang Warit. Ternyata tinjauan mereka terhadap kekuatan pasukan lawan kurang cermat, sehingga para pemimpin Singasari salah menilai. Untunglah bahwa di belakang mereka masih ada pasukan cadangan yang memang dipersiapkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang tiba-tiba saja menimpa pasukan Singasari yang sedang bertempur itu.
Dengan kedatangan pasukan cadangan itu, maka pasukan Singasari segera dapat bernafas lagi. Kini mereka tidak lagi terdesak mundur. Dengan tekad yang menyala-nyala di dalam dada. maka pasukan Singasari bertempur dengan gigihnya.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru pula, seperti pertempuran di sebelah Utara Ganter, tidak begitu jauh dari pasukan Pujang Warit yang sedang bertahan dengan sekuat-kuat tenaga.
Namun tanda-tanda yang terdengar dari pasukan Pujang Warit telah menumbuhkan pertanyaan di hati Mahisa Walungan dan prajuritnya. Namun sebagai seorang prajurit Mahisa Walungan, Gubar Baleman dan sebagian terbesar dari pasukannya, segera menduga, bahwa pasukan Pujang Warit-pun telah terlibat pula di dalam pertempuran.
"Sri Rajasa benar-benar seorang Panglima yang baik," desis Mahisa Walungan di dalam hatinya, "ia ingin mempercepat penyelesaian. Kalah atau menang. Tetapi ia tidak mau membiarkan dirinya ditunggu sampai kehabisan tenaga. Mumpung masih segar, agaknya ia telah menyeret seluruh pasukan Kediri untuk terjun ke dalam pertempuran ini. Termasuk pasukan Pujang Warit itu."
Sambil bertempur Mahisa Walungan meneruskan kata-kata di hatinya itu. "Tetapi itu lebih baik juga bagi kami. Pujang Warit tidak sempat menunggu sampai kami hancur, kemudian turun ke peperangan sebagai seorang pahlawan yang menyelamatkan Kediri. Tetapi dengan pertempuran itu, kekuatan Singasari sudah terbagi."
Ternyata bahwa di dalam pertempuran pada hari kedua ini, Kediri tidak terdesak lagi seperti di hari pertama. Meskipun pasukan Kediri tidak dapat maju lagi sampai kegaris pertahanannya yang pertama, tetapi di hari kedua, baik Mahisa Walungan maupun Gubar Baleman dapat bertempur dengan lebih tenang, karena pasukannya tidak harus mundur setiap saat.
"Mudah-mudahan Pujang Warit bertahan di tempatnya pula," berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, "dengan demikian Singosari tidak dapat memusatkan kekuatannya di pertempuran ini." Menteri itu mengerutkan keningnya, lalu "persoalan di antara kami, di antara pasukan-pasukan Kediri sendiri, dapat kami perhitungkan kemudian."
Semakin tinggi matahari, maka pertempuran itu-pun berjalan semakin seru. Tetapi ketika panas telah membakar punggung mereka yang berkeringat, maka lambat laun, tenaga para prajurit di ke dua belah pihak itu-pun menjadi susut.
Pasukan Pujang Warit yang tidak bersiap menghadapi serangan dalam gelar itu, ternyata semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga yang mereka persiapkan dengan tergesa-gesa, di saat matahari mulai turun, menjadi terlalu banyak susut. Meskipun demikian tekad untuk mempertahankan diri, sama sekali tidak berkurang seujung rambut pun. sehingga bagaimana-pun juga, mereka sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan gelanggang.
Meskipun demikian, meskipun seluruh kekuatan yang ada sudah dikerahkannya, namun pertahanan Pujang Warit harus beringsut setapak demi setapak.
Tetapi pasukan itu tetap utuh. Mereka tetap bertempur dalam satu kesatuan, sehingga meskipun mundur setapak sama sekali tidak berpengaruh atas pertahanan itu.
Pujang Warit berusaha dengan memeras tenaga, bertahan untuk hari ini. Besok mereka akan siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak akan turun ke dalam gelar dengan tergesa-gesa, tanpa persiapan lahir dan apalagi batin. Serangan yang mengejutkan itu mau tidak mau mempunyai pengaruh yang tidak dapat diabaikan para prajuritnya.
Sampai matahari condong ke Barat, pasukan Pujang Warit masih tetap dapat bertahan meskipun dengan susah payah. Mereka tidak terlampau banyak terdesak mundur. Namun demikian, tenaga prajuritnya sudah menjadi jauh berkurang.
Rasa-rasanya matahari berjalan semakin lambat, seakan-akan dengan sengaja memberi kesempatan kepada pasukan Singasari untuk mendesak lawannya terus.
Tetapi akhirnya matahari itu-pun menjadi semakin rendah. Cahaya yang kemerah-merahan mulai tersangkut di ujung pepohonan. Bersamaan dengan senja yang semakin suram, harapan di dada Pujang Warit menjadi semakin mekar, bahwa pasukannya akan dapat bertahan sampai gelap. Besok mereka akan mendapat kesempatan untuk mengatur pasukannya jauh lebih baik dari ini. Persiapan-persiapan lainnya, penempatan pasukan menurut tingkat kemampuan setiap prajurit di dalam gelar dan senjata-senjata yang lebih baik akan dapat banyak membantu.
Dan harapan itu-pun ternyata terpenuhi. Sebentar kemudian mereka mendengar tanda di kejauhan, meskipun lamat-lamat. Tanda-tanda yang terdengar di sebelah Utara Ganter. bahwa pertempuran untuk hari itu diakhiri.
Pasukan Singasari-pun kemudian mengendorkan tekanannya. Tanda-tanda di pasukan itu-pun terdengar pula. Demikian juga pada pasukan Kediri, sehingga perang-pun terhenti. Sebagai prajurit-prajurit yang jantan tidak satu pihak-pun yang berbuat curang, pada saat lawan menarik diri.
Betapa sibuknya pasukan di ke dua belah pihak dengan prajurit-prajuritnya yang terluka. Mereka berusaha untuk menemukan di seluruh medan. Yang terluka bagi ke dua belah pihak mempunyai kesempatan pertama untuk mendapat perawatan. Yang sudah gugur, namanyalah yang akan tetap dikenang. Tetapi yang masih dalam penderitaan harus segera mendapat pertolongan.
Seorang prajurit tua yang duduk bersandar sebatang pohon kelapa menarik nafas dalam-dalam. Umurnya telah mencapai setengah abad. Tetapi ia masih tetap berada di lingkungan keprajuritan. Telah sekian kali ia mengalami peperangan sedahsyat ini. Dan telah sekian kali pula ia melihat mayat berserakan dan orang-orang yang terluka mengerang kesakitan.
"Manusia memang aneh," desisnya, "mereka saling melukai dan membunuh. Kemudian mereka dengan susah-payah mengobatinya. Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki" Mereka saling membunuh untuk ditangisi kembali."
Prajurit tua itu menarik nafas dalam-dalam, sekali lagi dan sekali lagi. Kemudian karena kelelahan, tanpa disadarinya ia-pun jatuh tertidur.
Dikemahnya, Pujang Warit mengumpat habis-habisan. Ternyata korban telah banyak yang jatuh.
"Kita tidak sempat mengatur gelar lebih baik dari yang dapat kita susun dengan tergesa-gesa itu," geramnya, "besok kita dapat memilih. Prajurit-prajurit yang berpengalaman dan memiliki kemampuan yang lebih baik harus tersebar dari ujung gelar sampai ke ujung yang lain, agar tidak ada bagi dari gelar yang terlampau lemah, sehingga memungkinkan jatuhnya korban terlampau banyak."
Para pemimpin kelompok mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Sekarang beristirahatlah. Kita harus menghemat tenaga. Besok kita akan bertempur lagi. Jangan sampai terlambat, penyediaan makan para prajurit sebelum fajar."
Para pemimpin kelompok itu-pun segera meninggalkan Pujang Warit yang masih duduk dengan beberapa orang Senapati yang terpercaya.
"Apakah pertahanan ini menguntungkan?" ia bertanya di dalam hatinya.
Sejenak ia termenung. Dicobanya membayangkan apa yang terjadi di sebelah Utara Ganter. Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman yang ternyata mendapat kesempatan lagi dari Sri Baginda itu mampu bertahan"
"Memang keparat orang-orang Singasari," desisnya, "kalau mereka tidak tergesa-gesa menyerang, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman pasti sudah digantung. Sehari saja mereka menunda serangannya, maka mereka tidak akan bersusah payah membunuh harimau-harimau yang garang itu."
Para Senapati yang lain berpaling ke arahnya, tetapi mereka tidak mendengar kata-kata itu dengan jelas.
"Apakah ada di antara kalian yang mempunyai pendapat tentang garis pertahanan kita?" tiba-tiba Pujang Warit bertanya.
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Terasa dari pertanyaan itu, bahwa agaknya telah tumbuh sesuatu di hati Pujang Warit. Tetapi agaknya masih belum cukup masak untuk diutarakan, sehingga ia berusaha untuk memancing masalah yang dapat dipakainya sebagai pancadan pembicaraan.
Namun kawan-kawannya tidak mengerti, ke mana arah jalan pikiran Senapati yang masih muda itu.
Sejenak Pujang Warit-pun terdiam. Kepalanya sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian keningnya berkerut-merut.
"Bagaimana bunyi laporan petugas sandi itu" " tiba-tiba bertanya.
"Tentang apa?" bertanya salah seorang Senapatinya.
"Panglima pasukan Singasari."
"Sri Rajasa sendiri."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Katanya, "Betapapun saktinya orang Tumapel. mereka tidak akan melampaui orang-orang Kediri."
Para Senapati lawannya berbicara tidak ada yang menyahut. Namun terasa, bahwa di dalam kata-kata Pujang Warit itu tersimpan keragu-raguan hatinya. Baik Pujang Warit maupun para Senapati lainnya, tidak dapat menutup mata, bahwa orang Singasari itu mampu bertempur dua hari penuh. Mereka tetap pada garis perang yang terjadi sejak benturan pertama. Bahkan mereka telah mendesak beberapa tonggak maju.
Dengan demikian maka untuk sejenak mereka saling berdiam diri. Berbagai pertanyaan telah menyentuh setiap hati. Apakah yang akan terjadi besok dengan pasukan ini"
Sementara itu, di perkemahannya, Mahisa Walungan duduk menghadapi semangkuk air panas. Wajahnya yang murung merenungi lampu minyak yang terombang-ambing oleh angin yang menyusup keperkemahan.
Di sebelahnya Gubar Baleman memandang kekejauhan, menembus gelapnya malam lewat pintu yang terbuka. Seolah-olah ingin mengetahui, rahasia apakah yang bersembunyi di balik kekelaman itu.
"Kakang Gubar Baleman," berkata Mahisa Walungan. "hari ini kita sudah menambah prajurit yang dapat kita kumpulkan, tetapi kita tidak dapat mendesak mereka sama sekali. Beberapa petugas kita yang mengumpulkan pasukan dari beberapa tempat yang dapat dicapainya, telah terganggu oleh orang-orang Pujang Warit yang berbuat serupa, bahkan mereka masih selalu mempergunakan nama Sri Baginda Kertajaya."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Keadaan Kediri sama sekali tidak menguntungkan pada saat pertempuran ini mulai berkobar."
"Tetapi apaboleh buat," berkata Mahisa Walungan, "kita harus mengerahkan segenap tenaga yang mungkin kita tarik kepertempuran ini. Kalau Pujang Warit tidak mengadakan garis pertahanan tersendiri, mungkin keadaan kita akan menjadi semakin baik. Kekuatan Kediri dapat di pusatkan menjadi satu di sini. Penarikan tenaga-tenaga yang segar tidak saling mengganggu."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sependapat. Jadi, apakah kita akan mencari jalan untuk itu?"
"Demikianlah kakang. Sebenarnya aku tidak begitu mementingkan harga diri sendiri dalam keadaan seperti ini. Aku lebih mementingkan Kediri. Karena itu, apakah salahnya kalau aku mengirimkan seorang utusan untuk menghubungi Pujang Warit, agar kita bersama-sama menyusun satu garis perang yang kuat, ditambah dengan prajurit-prajurit yang kini masih belum datang. Ketidak tentuan yang tersebar di seluruh Kediri agaknya belum dapat dibersihkan dengan serangan Singasari ini."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sependapat Adinda Mahisa Walungan. Apakah salahnya kalau kita, orang-orang tua ini sedikit mengorbankan harga diri kita untuk kepentingan Kediri."
"Baiklah kakang. Nanti, setelah para prajurit cukup beristirahat, serta Pujang Warit sendiri sudah agak menjadi tenang, aku akan mengirimkan seorang utusan."
"Aku akan mencari orangnya yang akan menemui Pujang Warit nanti," berkata Gubar Baleman.
"Baiklah kakang. Siapa yang akan pergi itu-pun tidak kalah pentingnya, supaya tidak justru menumbuhkan salah paham, sehingga jarak antara kita dan Pujang Warit menjadi semakin jauh."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia baru akan berdiri, ia-pun tertegun di tempatnya. Dilihatnya seseorang dengan tergesa-gesa memasuki kemah itu.
"O kau," desis Mahisa Walungan kepada orang itu, seorang prajurit penghubung.
"Duduklah." Orang itu-pun kemudian duduk di hadapan Mahisa Walungan. Wajahnya kemerah-merahan dan keringat telah membasahi seluruh tubuhnya.
"Apakah kau baru datang?" bertanya Mahisa Walungan.
"Ya tuan. Aku baru datang dari daerah Selatan."
"Bagaimana dengan usahamu menarik prajurit dan pasukan keamanan?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Menyesal sekali tuan, bahwa telah terjadi salah paham di antara kami sendiri."
"Kenapa he?" Mahisa Walungan mengerutkan keningnya.
"Pujang Warit melakukan usaha yang serupa," jawab penghubung itu, "sehingga justru terjadi bentrokan yang sama sekali tidak kita ingini. Para prajurit yang tidak mengalami sendiri perang seperti ini, masih saja membelah diri. Ada yang berpihak kepada tuan, tetapi ada juga yang berpihak kepada Pujang Warit."
"O," Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam, sedang Gubar Baleman mengusap dadanya dengan telapak tangannya.
"Aku sudah berusaha menjelaskan apa yang sudah terjadi," berkata penghubung itu kemudian, "tetapi sulit untuk memberikan kesadaran kepada mereka. Apalagi orang-orang Pujang Warit agaknya terlampau yakin, bahwa pada akhir dari segala-galanya merekalah yang akan berkuasa. Pendirian itu agaknya sudah menghambat segala usaha."
Mahisa Walungan mengeluh di dalam hati. "Apakah Kediri memang sudah tidak akan dapat tertolong lagi?"
"Kami sudah berusaha untuk menghindari bentrokan-bentrokan itu tuan," penghubung itu meneruskan, "tetapi sia-sia."
"Lalu, apakah yang dapat kalian lakukan?"
"Aku gagal membawa seluruh pasukan yang kita kehendaki. Mereka harus bertahan di tempat masing-masing, karena orang-orang Pujang Warit agaknya berbuat di segala tempat dan keadaan tanpa pertimbangan apapun lagi selain nafsu yang nyala-nyala di dalam diri mereka untuk menguasai seluruh Kediri."
"Jadi kau tidak membawa pasukan itu."
"Hanya sebagian kecil. Yang lain masih tetap mengamankan wilayah masing-masing."
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kapalanya. Namun hatinya menjerit, "Ya, apakah Yang Maha Agung benar-benar telah melepaskan Kediri karena ketamakannya sendiri?"
Meskipun demikian Mahisa Walungan berkata kepada Gubar Baleman, "Kita tetap berusaha untuk berbicara dengan Pujang Warit. Kita benar-benar berada di ujung bahaya yang sebenarnya. Bahaya keruntuhan bagi Kediri yang besar ini."
Ketika malam menjadi semakin malam, serta pasukan di pihak-pihak yang sedang berperang itu sudah mulai agak tepung, maka dua orang utusan yang dikirim oleh Mahisa Walungan, berderap di atas punggung kuda pergi keperkemahan Pujang Warit.
Mereka membawa tugas yang penting bagi keselamatan Kediri yang mulai tampak laju dibakar oleh panasnya api pertentangan di antara mereka sendiri, ditimpa pula oleh serangan yang dahsyat dari Singasari.
Kedatangan kedua orang itu telah mengejutkan Pujang Warit. Dengan wajah yang tegang ia bertanya dengan serta-merta, "Kenapa kalian kemari?"
"Kami adalah utusan Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan Menteri, pemimpin tertinggi pasukan Kediri Gubar Baleman," jawab utusan itu.
"Kenapa mereka tidak datang menghadap kepercayaan Sri Baginda Kertajaya sendiri?" bertanya Pujang Warit.
Kedua utusan itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab, "Keduanya tidak berani meninggalkan medan yang sedang gawat. Karena itu aku berdua telah diutus untuk menemui Senapati Pujang Warit."
"Aku adalah kepercayaan Sri Baginda. Bukan sekedar seorang Senapati Pandega."
"Ya, begitulah."
"Begitulah bukan istilah yang tepat."
"Maksud kami, kami memang ingin menemui kepercayaan Sri Baginda Kertajaya."
"Nah, kalau kau mengakui, maka kau pasti harus mengakui kekuasaan yang ada padaku."
"Ya. Kami berdua mengakui."
Pujang Warit mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Katakan, pesan apakah yang akan disampaikan oleh kedua Senapati yang sudah memberontak itu."
Terasa dada kedua utusan itu berdesir. Tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus menahan diri mereka agar masalah yang ada di antara dua kekuatan Kediri itu tidak menjadi semakin parah."
"Cepat," desak Pujang Warit, "aku-pun bukan penganggur yang sedang duduk merenungi bintang-bintang yang bergayutan di langit."
"Baiklah," berkata salah seorang dari kedua utusan itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka ia-pun melanjutkannya, "Kami mendapat tugas untuk menyampaikan pesan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Seandainya pimpinan pasukan di sini tidak berkeberatan, Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman ingin membicarakan kemungkinan, kedua pasukan Kediri berada di dalam satu gerak yang berada di bawah suatu perencanaan yang matang. Misalnya, menyatukan garis perang yang kini terpecah menjadi dua. Menyatukan penarikan pasukan dari wilayah-wilayah yang dapat dicapai untuk menambah kekuatan bagi medan ini."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Katanya, "Kenapa kita harus menyatukan diri. Bukankah dengan cara ini, kita masing-masing sudah berjuang untuk mempertahankan negeri kita?"
"Ya, demikianlah. Tetapi di bawah satu panji-panji yang sama kita akan menjadi semakin kuat. Mungkin di medan ini, kita tidak banyak melihat manfaat itu. Tetapi di tempat lain justru akan terasa sekali. Dengan penyatuan itu tidak akan ada lagi salah paham bagi pasukan-pasukan yang memang sedang kalut ini. Ada yang berpihak kepada Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan ada yang berpihak kepada Senapati Pujang Warit."
"Bodoh sekali. Kalau setiap prajurit menyadari tata keprajuritan hal itu tidak akan terjadi. Di Kediri tidak ada dua atau tiga sumber kekuasaan. Semuanya berpusar pada Sri Baginda Kertajaya. Akulah yang mendapat wewenang untuk melakukan kekuasaan Sri Baginda atas setiap pasukan yang ada di Kediri. Kalau saat ini Gubar Baleman dan Mahisa Walungan, karena diperlukan tenaganya, berada di medan, pasti mereka bukan pimpinan dari pasukan Kediri. Kalau Gubar Baleman dan Mahisa Walungan tidak keluar dari garis tata keprajuritan, sudah pasti tidak akan ada persoalan lagi di Kediri. Semuanya akan berjalan lancar. Sehingga seandainya nanti kita gagal mempertahankan garis pertahanan ini, maka tanggung jawab kegagalan itu ada pada Gubar Baleman dan Mahisa Walungan."
Kedua utusan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Mungkin hal itu benar. Tetapi apakah kita masih sempat di dalam keadaan serupa ini mempersoalkan siapakah yang pantas memimpin pasukan Kediri."
"Bukan mungkin lagi. Aku memang benar. Dan pada saat serupa ini memang tidak ada waktu lagi mempersoalkan siapakah yang pantas menjadi Senapati Agung, karena Sri baginda sudah melimpahkan kekuasaan itu kepadaku."
Kedua utusan itu terpaku sejenak. Pujang Warit agaknya benar-benar telah dimabukkan oleh kekuasaan, sehingga matanya sudah menjadi kabur. Ia tidak dapat melihat Kediri yang memelas ini sudah berada di pinggir jurang kehancuran.
"Nah. kalau Gubar Baleman dan Mahisa Walungan ikut bertanggung jawab atas keselamatan Kediri, serahkan pasukannya itu kepadaku. Akulah yang akan memimpin perlawanan di seluruh Kediri. Aku akan memanggil semua pasukan yang dapat menjadi pasukan cadangan di peperangan ini tanpa gangguan lagi."
"Tetapi," utusan yang seorang berkata, meskipun ragu-ragu, "Senapati Agung pasukan Singasari di tangani langsung oleh Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
"Gila kau. Kau menghinaku. Kenapa kau sebutkan nama itu" Kau sangka aku akan menjadi ketakutan, atau aku akan menganggukkan kepala, karena aku-pun menganggap bahwa hanya Mahisa Walungan saja yang pantas melawan Sri Rajasa" O, kalau aku tidak menyadari bahwa kau-pun orang Kediri, meskipun kau berdiri di pihak pemberontak itu, aku sudah menyobek mulutmu."
Terasa jantung kedua utusan itu berdesir. Darahnya seakan-akan mengalir semakin cepat naik ke kepala. Tetapi keduanya tetap pada sikap hormatnya, seperti pesan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan.
"Nah. kembalilah kepada pemimpinmu sebelum darahku mendidih," berkata Pujang Warit, "katakan semua jawabku kepada mereka."
Hampir bersamaan keduanya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya kedatangan mereka sama sekali tidak mendekatkan hubungan antara kedua pasukan yang tengah bertempur melawan pasukan Singasari itu.
"Jadi, apakah usaha Adinda Sri Baginda untuk menemukan titik pertemuan di antara kedua pasukan ini tidak berhasil?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Kalau Mahisa Walungan bersedia mematuhi perintah Sri Baginda, maka kesatuan itu akan terwujud dengan sendirinya."
"Baiklah, aku akan mengatakannya," berkata salah seorang utusan itu, "mudah-mudahan ada pendekatan yang dapat menumbuhkan harapan bagi Kediri untuk tetap bertahan."
"Kau sudah menjadi putus-asa," potong Pujang Warit, "kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng" Prajurit Kediri bukan prajurit yang cengeng seperti kau."
"Aku tidak cengeng," jawab utusan itu, "tetapi aku menjadi prihatin, bahwa justru para pemimpin tertinggi pasukan Kedirilah yang membuat kami, bawahan, terpecah-belah."
"Diam. Diam kau. Tidak sepantasnya bawahan menilai atasannya. Kau hanya bertugas menyampaikan pesan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, kemudian menyampaikan jawabanku kepada mereka."
"Baik, baik," desis utusan itu.
Mereka-pun kemudian minta diri dengan hati yang pedih. Pujang Warit sendiri tidak bersedia membuka pintu bagi pembicaraan berikutnya. Dengan demikian, maka keadaan pasukan Kediri pasti masih akan selalu dibayangi oleh perpecahan di antara mereka. Suasana yang tidak menentu masih akan berkepanjangan, meskipun lawan telah berada di ujung hidung.
Demikianlah maka kedua utusan itu-pun segera memacu kuda mereka kembali keperkemahan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Dengan tanpa melampaui pengertian yang dikatakan oleh Pujang Warit, maka disampaikannya jawabannya dengan singkat kepada Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam, sedang Gubar Baleman mengelus dadanya dengan telapak tangannya. Kekecewaan yang mendalam telah merasuk sampai ke pusat jantungnya.
"Bagaimana hal ini dapat terjadi atas Kediri?" desis Mahisa Walungan. Tetapi di dalam hati ia seakan-akan melihat dengan jelas, bahwa kesalahan dari para pemimpin Kediri sudah mulai tumbuh sejak Kediri menjadi besar, terutama Sri Baginda Kertajaya sendiri, yang lambat laun telah menumbuhkan keadaan yang pahit seperti saat itu.
"Tetapi kita harus tetap berusaha, agar Kediri tetap mampu berdiri tegak, meskipun luka-parah," berkata Mahisa Walungan. Namun kekecewaan yang dalam, yang mencengkam jantungnya itu, tidak dapat disingkirkannya.
"Apakah sebaiknya aku datang sendiri kepadanya?" berkata Gubar Baleman, "mungkin aku dapat menemukan kemungkinan-kemungkinan untuk mencari persesuaian meskipun hanya bersifat sementara. Sebenarnya bagi kita, persoalan siapakah yang memegang pimpinan tertinggi itu sama sekali bukan masalah lagi. Yang penting bagi kita, bagaimana kita dapat menyusun kekuatan sepenuhnya untuk melawan Singasari saat ini."
Mahisa Walungan menarik nafas dalam. Kemudiannya ia-pun tidak berkeberatan, seandainya Pujang Warit tidak menuntut hal-hal yang tidak mungkin terpenuhi.
"Bagaimana pendapat Adinda Mahisa Walungan?" bertanya Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Baiklah. Kalau kakang Menteri Gubar Baleman berpendapat demikian. Tetapi menilik sifat dan watak anak itu, ia pasti akan menjadi besar kepala. Mungkin ia akan menuntut aku dan kakang Gubar Baleman untuk menyerahkan leher kita sebelum ia bersedia menyatukan diri."
"Aku akan mencoba menjajaginya."
"Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Pujang Warit adalah orang yang paling licik yang pernah aku temui di Kediri."
Gubar Baleman-pun kemudian membawa sepasukan kecil pengawal berkuda, menuju keperkemahan Pudjang Warit untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah yang paling mengganggu di saat-saat Kediri berada di pintu bahaya.
Gubar Baleman sendiri menyangsikan hasil dari kunjungannya itu, meskipun ia sudah mengorbankan segala-galanya, harga diri dan kadudukannya sebagai pemimpin pasukan Kediri.
"Aku tidak akan berarti apa-apa, asal Kediri dapat diselamatkan. Meskipun kelak aku harus menyembah di bawah kaki Pujang Warit sekali-pun, namun Kediri tidak tenggelam dalam arus banjir bandang yang datang dari Singasari."
Demikianlah Menteri yang memimpin segenap kesatuan prajurit Kediri itu sudah melupakan kepentingan diri sendiri. Seluruh hidupnya memang sudah diserahkannya kepada Tanah kelahirannya yang pernah mencapai puncak kebesarannya itu.
Semakin dekat Gubar Baleman dengan perkemahan Pujang Warit hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Malam telah jauh.
"Aku masih sempat menemuinya. Masih ada sedikit waktu sebelum fajar menyingsing," desisnya.
Dengan demikian maka Gubar Baleman-pun segera memacu kudanya mendekati perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Pujang Warit. Dari kejauhan mereka sudah melihat nyala api di sela-sela dedaunan. Agaknya para prajurit fang bertugas sedang memanaskan diri di tepi perapian, atau para petugas yang menyediakan makan dan minum bagi patukan itu telah mulai melakukan kewajibannya.
Tetapi ketika mereka memasuki daerah perkemahan itu, hati Gubar Baleman menjadi semakin berdebar-debar. Di regol padukuhan itu sama sekali tidak ada seorang-pun yang berjaga-aga. Sedang di seputar api itu-pun tidak tampak seorang prajurit-pun yang memanaskan diri. Sepi. Sepi sekali.
Sejenak Gubar Baleman menjadi termangu-mangu. Permainan apakah yang kini sedang dilakukan oleh Pujang Warit. Apakah terpikir olehnya untuk menjebak sekelompok praurit ini"
"Apakah anak itu sudah benar-benar kehilangan nalar, sehingga ia sampai hati berbuat demikian" " pertanyaan itu tumbuh di hati Gubar Baleman.
Tetapi sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, Gubar Baleman sama sekali tidak melihat kemungkinan itu.
"Marilah kita masuk lebih ke dalam," katanya kepada para pngawalnya.
Karena pengawalnya menjadi ragu-ragu, Gubar Baleman berkata, "Tidak akan terjadi sesuatu."
Tidak seorang-pun yang menjawab. Sekelompok prajurit itu-pun kemudian memasuki padukuhan yang dipergunakan sebagai tempat perkemahan oleh Pujang Warit.
Namun padukuhan itu benar-benar telah sepi. Sama sekali tidak dijumpainya seorang-pun juga. Penduduk telah pergi mengungsi, meninggalkan rumah mereka yang kemudian dipergunakan oleh Pujang Warit dan pasukannya. Namun pasukan itu-pun kini sudah tidak ada di tempat lagi.
Ketika Gubar Baleman menyentuh mangkuk yang berisi air. ia berdesis, "Mereka pasti belum lama meninggalkan tempat ini. Mereka masih meninggalkan minuman hangat di dalam mangkuk ini."
Pengawalnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang tampaklah bahwa Pujang Warit dengan tergesa-gesa telah meninggalkan perkemahannya.
"Ke manakah mereka" " tanpa sesadarnya Gubar Baleman bertanya.
Para pengawalnya hanya dapat saling berpandangan. "Marilah kita lihat seluruh perkemahan ini," berkata Gubar Baleman.
Kesan para prajurit itu kemudian menguatkan, bahwa Pujang Warit belum lama meninggalkan padukuhan itu. Di beberapa tempat masih terdapat perapian yang menyala. Beberapa onggok bahan makanan, yang mentah dan yang sudah masak, tertinggal di dalam perkemahan itu pula. Bahkan beberapa pucuk senjata dan peralatan tertinggal pula di gardu, di ujung padukuhan.
Gubar Baleman menjadi bingung. Ia tidak dapat menduga sama sekali, ke mana pasukan Pujang Warit pergi.
Memang terlintas beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Pujang Warit. Tetapi Gubar Baleman menggelengkan kepalanya sambil berdesah lirih, "Tidak. Tidak mungkin Pujang Warit terjerumus ke dalam pengkhianatan yang lebih dalam."
Sejenak kemudian, setelah Gubar Baleman meyakini bahwa perkemahan itu memang sudah kosong, maka katanya kepada para pengawalnya, "Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak mempunyai cukup bahan untuk menduga, ke mana Pujang Warit pergi."
Sekelompok kecil prajurit itu-pun kemudian meninggalkan perkemahan itu kembali kesebelan Utara Ganter. Di sepanjang jalan Gubar Baleman mencoba untuk memecahkan teka-teki yang baru saja ditemuinya. Tetapi yang terlintas di kepalanya adalah beberapa jawaban yang tidak meyakinkan.
Hal itulah yang kemudian disampaikannya kepada Mahisa Walungan. Perkemahan itu telah kosong.
Mahisa Walungan-pun menjadi sangat heran karenanya. Perlahan-lahan ia berdesis, "Apakah mungkin Pujang Warit membuat hubungan dengan orang-orang Singasari?"
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, "Menurut dugaanku, tentu tidak. Bagaimana-pun juga Pujang Warit adalah seorang yang bernafsu untuk menguasai pimpinan Keprajuritan Kediri, sehingga ia pasti masih akan tetap bertahan dalam keadaan apapun juga."
"Kalau begitu," berkata Mahisa Walungan, "apakah anak itu dengan sengaja menghindarkan diri dari medan ini, agar pasukan Singasari sempat mendesak kami?"
"Itulah kemungkinan yang paling dekat menurut perhitunganku," sahut Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Perhitungan Pujang Warit sudah menjadi kabur. Sebenarnya ia bukan seorang Senapati yang bodoh. Seharusnya ia mengerti, dengan demikian Singasari akan dengan mudahnya menggilas pasukan-pasukan yang terpecah belah ini."
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Nafsu dan angkara murka orang-orang Kediri sendirilah yang telah menjerumuskan negeri ini kelembah kehancuran."
Mahisa Walungan tidak menyahut. Namun tampaklah kepahitan yang tajam membayang di wajahnya. Meskipun matanya tetap memancarkan tekad seorang Senapati besar, tetapi hatinyalah yang menangis. Menangisi ketamakan, nafsu dan pamrih yang berlebih-lebihan dari orang Kediri sendiri."
Selagi kedua Senapati Agung itu merenungi nasib Kediri yang malang, dengan tergesa-gesa seorang petugas sandi memasuki perkemahan itu, diantar oleh seorang Senapati.
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman mengerutkan kening mereka.
"Duduklah," berkata Mahisa Walungan.
Petugas sandi itu-pun kemudian duduk dengan nafas terengah-engah.
"Apakah yang kau lihat?" bertanya Gubar Baleman, "apakah kau petugas di depan pasukan Singasari?"


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petugas sandi itu menggelengkan kepalanya, "Bukan. Aku tidak bertugas di hadapan pasukan Singasari."
Kedua Senapati Agung itu saling berpandangan sejenak. Lalu, "Di mana kau bertugas?"
"Aku bertugas mengawasi pasukan Pujang Warit."
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Kekeruhan di hatinya telah membuatnya khilaf, bahwa beberapa petugas sandi akan dapat memberikan sedikit keterangan tentang pasukan Pujang Warit itu.
"Mereka telah meninggalkan perkemahan," desis Gubar Baleman.
"Tuan sudah mengetahuinya?" bertanya prajurit itu.
Ketika Gubar Baleman menganggukkan kepalanya, petugas sandi itu memandangnya dengan heran. Sekali-sekali ditatapnya wajah Mahisa Walungan, namun kemudian ia memandang Gubar Baleman dengan sepercik pertanyaan di dalam hatinya.
"Aku baru datang dari perkemahan Pujang Warit," berkata Gubar Baleman kemudian, "tetapi perkemahan itu sudah kosong."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi aku tidak dapat menduga, ke mana mereka pergi." Gubar Baleman berhenti sejenak, lalu ia-pun bertanya, "Apakah kau melihat arah mereka?"
Sekali lagi petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Ya. Aku melihat mereka. Mereka, agaknya telah menarik pasukan itu masuk kota."
"He." Gubar Baleman terkejut. Mahisa Walungan-pun terkejut pula sehingga ia tersentak maju setapak.
"Jadi," berkata Mahisa Walungan, "Pujang Warit membawa pasukannya masuk kota?"
Petugas itu mengangguk, "Ya. Menurut pengamatanku."
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Anak itu benar-benar sudah menjadi gila. Apakah ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia sudah tidak mengacuhkan Kediri lagi karena nafsunya itu" Aku tidak tahu, bagaimana mungkin seorang Senapati seperti Pujang Warit dapat membuat kesalahan yang menentukan ini."
Gubar Baleman menggeleng-gelengkan kepalanya. Mulutnya sudah bergerak-gerak untuk berbicara, tetapi niatnya dibatalkannya.
"Baiklah," berkata Mahisa Walungan kemudian, "beristirahatlah."
Petugas itu-pun kemudian minta diri bersama pengantarnya, kembali ke dalam pasukannya. Berita tentang Pujang Warit yang meninggalkan perkemahannya itu-pun segera tersebar keseluruh telinga di perkemahan itu.
Berita itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Hampir setiap prajurit mempunyai penilaian yang sama, seperti penilaian Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.
"Kakang," berkata Mahisa Walungan, "Pujang Warit benar-benar ingin menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran. Mungkin ia yakin, bahwa ia akan dapat menghancurkan sisa-sisa pasukan Singasari setelah bertempur mati-matian melawan pasukan Kediri di perkemahan ini."
"Ya," jawab Gubar Baleman, "aku kira Pujang Warit berharap bahwa ialah yang akan mendapat nama karenanya. Bahwa Pujang Waritlah yang telah menahan arus pasukan Singasari setelah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman mengalami kegagalan."
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri, "Pujang Warit telah salah menilai pasukan Singasari. Ia tidak menyadari bahwa Sri Rajasa bukan anak kemarin sore di medan yang ganas mi. Ternyata ia masih cukup menyimpan pasukan cadangan, sedang dengan demikian kita tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi dari pasukan yang terpencar, karena pokal Pujang Warit."
Gubar Baleman tidak menyahut. Tetapi ia merasa bahwa tugas mereka besok pagi akan terlampau berat. Berat sekali. "Dan apakah aku akan dapat memikulnya?" pertanyaan itu bergema tidak saja di hati Gubar Baleman, tetapi juga di hati Mahisa Walungan."
"Sudahlah," terdengar suara Mahisa Walungan, "apakah masih ada kesempatan untuk sekedar beristirahat?"
Gubar Baleman mengerutkan keningnya. Ketika ia menjenguk keluar perkemahan ia melihat para petugas yang akan menyediakan makan bagi para prajurit telah sibuk dengan pekerjaannya.
"Sudah hampir pagi," desis Gubar Baleman.
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia-pun menyilangkan tangannya di muka dadanya sambil bergumam, "Aku akan beristirahat sebentar."
Gubar Baleman tidak menyahut. Ketika Mahisa Walungan menyandarkan dirinya pada dinding bambu, maka Gubar Baleman-pun berbuat serupa pula.
Sekejap mereka masih sempat memejamkan mata. Namun yang sekejap itu benar-benar telah berpengaruh bagi tubuh mereka. Mereka merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi segar kembali.
Tetapi, bagi Gubar Baleman. yang sekejap itu selain membuatnya menjadi segar, juga membuatnya menjadi gelisah. Di antara sadar dan tidak sadar, ia melihat hujan dan angin yang besar melanda rumahnya. Tanpa dapat berbuat apa-apa ia melihat rumahnya menjadi miring. Semakin lama semakin miring.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya matanya yang menjadi kemerah-merahan.
"Apakah aku bermimpi?" ia berdesis.
Sambil menarik nafas dalam-dalam dipandanginya Mahisa Walungan yang masih bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Namun wajah itu-pun tampaknya terlampau suram.
Gubar Baleman mengusap keningnya yang berkeringat, kesuraman wajah Mahisa Walungan membayangkan kesuraman wajah Kediri.
"Apapun yang akan terjadi," desis Menteri yang setia kepada tanah kelahirannya itu, "aku harus bertahan."
Dengan hati-hati Gubar Baleman-pun kemudian bangkit perlahan-lahan ia melangkah keluar. Tetapi ia tidak meninggalkan pintu yang terbuka, meskipun di muka pintu itu terdapat sekelompok prajurit yang berjaga-jaga. Sekali-sekali ia berpaling memandang Mahisa Walungan yang masih saja bersandar dinding sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
"Aneh," desis Gubar Baleman, "wajah itu menjadi kian suram. Bukan saja suram, tetapi pucat."
Gubar Baleman berdesah. Diusapnya matanya. "Mudah-mudahan matakulah yang salah."
Menteri, pemimpin pasukan Kediri itu-pun kemudian duduk di antara para prajurit yang bertugas. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya dengan kelakar. Namun agaknya setiap prajurit-pun dibayangi oleh perasaan serupa.
Dengan demikian, bagaimana-pun juga, suasananya selalu menjadi beku. Setiap kali terkilas di dalam angan-angan mereka, bahwa pasukan Singasari akan membanjiri pasukan Kediri yang seakan-akan menjadi semakin kecil jumlahnya.
Ketika Gubar Baleman berpaling, dilihatnya Mahisa Walungan telah duduk merenungi mangkuknya. Sejenak kemudian ia bangkit lalu melangkah keluar.
Ketika ia memandang langit yang hitam, segera ia berata "Kita harus segera siap. Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
Sebentar kemudian, maka para petugas-pun sudah mulai membagikan ransum para prajurit, sekelompok demi sekelompok. Mereka yang masih segan untuk bangun, menggeliat sambil mengusap matanya. Tetapi ketika kawannya meletakkan sebungkus nasi di tangannya, maka ia-pun segera bangkit, "He, nasi hangat."
"Suapi mulutmu. Sudah hampir pagi. Kalau tengara itu berbunyi sebelum kau makan, maka kau akan kelaparan di lapangan pertempuran."
"Aku belum mencuci muka."
"Di rumah-pun kau tidak mencuci muka dahulu sebelum makan. Apalagi di medan."
Prajurit itu tertawa. Tetapi ia tidak segera menyuapi mulutnya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk mencari minum lebih dahulu.
Belum lagi mulut-mulut berhenti mengunyah, maka di kejauhan telah terdengar suara tengara. Hampir bersamaan setiap mulut-mulut itu-pun berdesis, "Singasari sudah mempersiapkan dirinya."
Para prajurit Kediri-pun kemudian segera mengemasi diri masing-masing. Mereka meneguk beberapa tetes air untuk menggusur nasi di leher mereka.
Sejenak kemudian, para prajurit Kediri itu sudah mulai bersiap-siap. sementara langit menjadi semakin merah. Salah seorang yang masih mengunyah makannya berdesis, "He, apakah kau benar-benar menikmati makanmu pagi ini?"
"Kenapa?" bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.
"Siapa tahu, makanan itu adalah makananmu yang terakhir."
Kawannya tersenyum. Namun di balik senyum itu, membayang keragu-raguan yang dalam. Meskipun kawannya itu sekedar berkelakar, namun, hampir di setiap dada, membersitlah perasaan yang demikian.
Seorang prajurit muda menimang-nimang pedangnya. Digosok-gosoknya hulu pedangnya yang dibuat dari gading. Kepada kawannya yang berdiri di sampingnya ia berkata, "Kau lihat, bahwa aku mempunyai pedang berhulu gading."
Kawannya berpaling. "Aku tidak mempergunakan pedang yang aku terima dari pimpinan keprajuritan. Di saat-saat yang gawat aku mempergunakan pedangku sendiri, yang berhulu gading."
Kawannya mengamat-amati hulu pedang itu. Tetapi kesuraman fajar masih menyaput warna putih kekuning-kuningan itu.
"Kau tidak percaya?" bertanya prajurit yang masih muda itu.
"Aku percaya." "Terima kasih. Pedang ini aku terima dari ayahku." prajurit muda itu berhenti sejenak, lalu, "kau tahu rumahku?"
Kawannya mengerutkan keningnya, "Ya, kenapa?"
"Nah, terima kasih."
Kawannya menjadi heran. Dipandanginya wajah prajurit muda itu dengan saksama. Sedang prajurit muda itu melontarkan tatapan matanya jauh keseberang medan yang akan mereka pergunakan.
"Sebentar lagi kita akan bertempur," desis prajurit muda itu, "kita masing-masing tidak tahu pasti, apakah yang akan terjadi atas diri kita." ia berhenti sebentar. Lalu, "kalau terjadi sesuatu atasku, tolong, bawa pedang ini kembali kepada ayahku."
"Hus," desis kawannya, "jangan mengigau."
Prajurit muda itu berpaling. Tetapi kemudian ia-pun tersenyum. Katanya, "Pujang Warit memang gila. Ia sampai hati mengorbankan kawan-kawannya sendiri untuk alas kakinya, dalam usahanya memanjat ke tingkat tertinggi dari susunan keprajuritan Kediri."
"Ia akan memetik buah dari kelicikannya itu."
Prajurit muda itu kini tertawa, "Kediri-pun akan memetik buah dari ketamakannya."
Kawannya menepuk bahunya sambil berdesis, "Jangan berputus asa."
"He, apakah aku berputus-asa" Kau salah terka. Aku tidak berputus-asa," namun suaranya kemudian merendah, "tetapi apakah kita tidak seharusnya menilai keadaan?"
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, ya. Kita memang harus menilai keadaan."
Prajurit-prajurit Kediri itu-pun kemudian mengatur diri mereka masing-masing ketika mereka mendengar tengara bagi pasukan itu. Masing-masing telah berada di dalam kelompoknya, dan kelompok-kelompok sudah menempatkan diri di dalam gelar.
Tanda-tanda kebesaran-pun telah dipasang. Umbul-umbul dan panji-panji yang melekat pada tunggul-tunggul yang mempunyai kesan tersendiri. Tunggul-tunggul yang berwarna kekuning-kuningan, bertangkai sepanjang tombak larakan.
Sejenak kemudian Mahisa Walungan yang memegang pimpinan tertinggi atas nama Sri Baginda Kertajaya, turun ke dalam gelar yang sudah mulai dipasang. Di belakangnya sebuah songsong yang kuning gemerlap dikawal oleh lima orang prajurit pilihan.
"Seharusnya Pujang Warit menyadari dirinya," berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, "songsong kebesaran itu adalah pertanda bahwa Mahisa Walungan telah mewakili Sri Baginda."
Sejenak kemudian pasukan di ke dua belah pihak-pun sudah siap. Ketika matahari menjadi semakin merayap naik, menghampiri cakrawala, maka langit-pun menjadi semakin-cerah.
Perlahan-lahan pasukan Kediri itu-pun bergerak maju. Angin pagi yang basah menyentuh panji-panji dan umbul-umbul yang beraneka warna.
Di seberang yang lain pasukan Singasari-pun telah siap pula. Seperti yang direncanakan oleh Sri Rajasa, pasukan Singasari telah memasang gelar dengan segala macam tanda-tanda kebesaran Kerajaan Singasari.
Panji-panji yang dipasang pada tunggul-tunggul yang megah, umbul-umbul dan payung yang berwarna kuning emas.
Sesaat sebelum pasukannya bergerak Sri Rajasa masih menerima beberapa laporan tentang lawangnya. Beberapa saat ia masih merenungi medan yang terbentang di hadapannya.
"Mahisa Agni," desis Sri Rajasa, "kita telah menumpahkan semua kekuatan kita di medan hari ini. Kalau hari ini kita gagal, maka harapan untuk maju di hari-hari berikutnya-pun menjadi semakin kecil."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan apakah kau yakin kepada laporan petugas sandi, bahwa sepasukan prajurit Kediri, justru yang terasing itu sudah ditarik dari medan?"
"Demikianlah laporan yang hamba terima Tuanku. Tetapi hamba percaya kepada petugas sandi itu. Petugas itu bahkan berhasil memasuki bekas perkemahan prajurit Kediri itu. Pada saat yang bersamaan, sekelompok kecil pasukan yang diduga datang dari pasukan induk telah datang keperkemahan itu pula. Tetapi menurut petugas sandi itu, agaknya yang datang itu tidak tahu, bahwa pasukan yang ada di perkemahan itu telah meninggalkan padukuhannya."
"Kita menjadi semakin yakin, bahwa memang telah terjadi perpecahan di Kediri."
"Dan sekarang, apakah Tuanku tetap akan menurunkan seluruh pasukan di satu medan?"
Pahlawan Dan Kaisar 22 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kisah Pedang Di Sungai Es 1
^