Bara Diatas Singgasana 7
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 7
"Ya. Kalau di perkemahan yang lain memang sudah tidak ada pasukan lawan, kita pusatkan kekuatan kita di sini. Kita harus dapat memecahkan pertahanan pasukan Kediri. Hari ini aku akan membawa dua orang Senapati pengapit. Panglima pasukan pengawal dan panglima pasukan keamanan ada padaku. Kau-pun akan di sampingi oleh panglima pasukan tempur yang kemarin memimpin pasukan pecahan itu dan Pimpinan Pelayan Dalam."
"Tetapi, apakah kita tidak memerlukan sebuah pasukan cadangan Tuanku. Kalau semua kekuatan hari ini turun kegelanggang kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu, apabila tiba-tiba saja timbul masalah-masalah yang tidak dapat kita perhitungkan lebih dahulu."
"Semua orang yang ikut ke medan ini adalah prajurit. Para pengawal perkemahan, juru masak, para pekatik dan orang-orang yang tinggal di perkemahan harus dapat menjaga diri mereka sendiri. Dalam keadaan darurat mereka merupakan sekelompok pasukan yang cukup untuk menolong diri mereka, sementara mereka mengirimkan penghubung ke medan."
"Apakah dengan demikian, hal itu tidak akan justru mengganggu?"
"Tidak. Dan pada dasarnya, aku memang akan mengerahkan segenap kemampuan. Itulah sebabnya aku katakan, hari ini adalah hari yang menentukan. Kalau kita gagal, maka hari-hari yang berikutnya adalah hari-hari yang tidak dapat diharapkan lagi."
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mengerti maksud Sri Rajasa. Dan ia-pun mengerti, bahwa sifat-sifat itu tidak akan dapat dihalau dari padanya. Sikap yang menentukan. Menang atau kalah sama sekali, seperti kebiasaan yang dibawanya dari padang Karautan.
Sejenak kemudian jarak gelar yang dipasang oleh ke dua belah pihak telah menjadi semakin mendekat. Pasukan Singasari-pun kemudian bergerak pula menyongsong pasukan Kediri yang telah mendahului memasuki medan.
Ketika Mahisa Walungan melihat gelar pasukan lawannya, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat perbedaan pada pasukan itu. Hari ini pasukan Singasari telah turun ke medan dengan segala macam tanda-tanda kebesaran.
"Agaknya Singasari telah meyakini keadaan," berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya.
Tetapi Mahisa Walungan sama sekali tidak terkecil hati meskipun kadang-kadang tumbuh juga kecemasan di dalam dadanya. Bukan tentang dirinya sendiri, tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa setelah Singasari menurunkan segenap kekuatannya maka pasukan Kediri nampaknya menjadi semakin kecil. Jumlah prajurit Singasari benar-benar tidak terhitung lagi. Jumlah yang sama sekali tidak diduga-duganya.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Di belakangnya penongsongnya berjalan dengan mantap, dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan.
Sejenak Adinda Sri Baginda Kertajaya itu melayangkan pandangannya menebar ke ujung-ujung gelarnya. Ia masih sempat meraba dadanya oleh haru. Bagaimana-pun juga, ia melihat sorot mata yang memancar dari prajurit-prajuritnya, sebagai keteguhan hati mereka menghadapi segala kemungkinan.
"Tidak seorang-pun yang ragu-ragu," desisnya di dalam hati.
Sejenak kemudian Mahisa Walungan memandang kegelar lawannya yang semakin jelas. Ia sadar, bahwa Sri Rajasa memang seorang prajurit yang tangguh. Ia mempunyai ilmu yang sangat asing bagi Mahisa Walungan. Sebagai seorang yang berilmu, Mahisa Walungan cukup memiliki bekal untuk menilai tata gerak lawan. Tetapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya, memikirkan tata gerak Sri Rajasa. Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang genting, Sri Rajasa telah melakukan beberapa macam cara yang bagi Mahisa Walungan, agak terlampau kasar dilakukan oleh seorang Raja yang perkasa. Namun di saat-saat yang lain, Sri Rajasa telah bertempur bagaikan seorang yang kebal dari sekala macam senjata. Tenang dan meyakinkan.
"Tetapi Sri Rajasa tidak kebal," desisnya, "ternyata ia selalu menghindari tajam senjataku."
Namun yang menggetarkan bagi Mahisa Walungan, kemampuan Sri Rajasa sama sekali tidak berkurang setelah sehari penuh ia bertempur.
Di hari pertama dan bahkan di hari kedua Sri Rajasa sama sekali tidak terpengaruh oleh banyaknya keringat yang menitik dari tubuhnya. Di saat-saat matahari sudah condong ke Barat, ia masih mampu bertempur seperti pada saat pertempuran itu dimulai.
Dan kini ia harus menghadapi Sri Rajasa itu kembali dalam keadaan yang pahit, sepeninggal Pujang Warit dari perkemahannya.
Dalam pada itu, Pujang Warit memang berada di perjalanan ke kota. Dalam waktu yang pendek ia memutuskan untuk meninggalkan medan.
"Tetapi, keputusan yang demikian itu akan sangat berbahaya bagi pasukan Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan Menteri Gubar Baleman. Kita sudah merampas kemungkinan datangnya pasukan cadangan untuk membantu mereka, kini kita melepaskan mereka bertempur tanpa kita."
"Bodoh kau," geram Pujang Warit kepada Senapati pengapitnya yang mencoba memberinya peringatan, "Mahisa Walungan dan Gubar Baleman memang sudah tidak berhak untuk hidup. Sri Baginda melepaskan mereka, hanya karena Baginda terkejut atas berita tentang pasukan Singasari itu."
"Bagaimana kalau Senapati muda yang menjemput Gubar Baleman ke perbatasan itu sampai ke istana?"
"Ia tidak akan memiliki nyawa rangkap."
"Tetapi, masalahnya bukan Mahisa Walungan atau Gubar Baleman. Masalahnya adalah masalah Kediri."
"Kau memang bodoh. Bersama kita atau tidak, Mahisa Walungan akan bertempur. Bertempur mati-matian. Kita tahu bahwa mereka adalah Senapati-senapati yang perkasa. Tetapi bagaimana perkasanya kedua orang itu, namun mereka tidak akan dapat menahan arus pasukan Singasari sehingga aku yakin, keduanya akan hancur di peperangan itu."
"Bagaimana kalau mereka mengundurkan diri."
Pujang Warit menggelengkan kepalanya, "Aku kira Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak akan mengundurkan diri. Mereka yakin bahwa cara itu tidak akan ada gunanya bagi mereka, selama aku masih ada."
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya.
"Jangan terlampau bodoh. Dalam pertempuran itu, pasukan Kediri akan pecah dan kocar-kacir. Tetapi pasukan Singasari-pun akan mengalami kehancuran yang parah. Sudah aku katakan berkali-kali. Kita akan berdiri di atas timbunan mayat ke dua belah pihak. Pujang Warit akan menjadi Senapati tertinggi. Siapa tahu, salah seorang adik Sri Baginda Kertajaya akan dihadiahkan kepadaku. Kemudian apa bedanya aku dengan Mahisa Walungan?"
Kawannya berbicara sudah tidak bernafsu lagi untuk membantah. Pujang Warit agaknya memang sudah tidak waras lagi. Tetapi Senapati itu sadar, bahwa ia tidak akan menumbuhkan perpecahan baru. sehingga sebelum mereka bertempur melawan Singasari. pasukan Kediri telah hancur dengan sendirinya.
Demikianlah maka pasukan Pujang Warit itu merayap mendekati kota. Beberapa ratus patok dari istana, Pujang Warit mengirimkan seorang penghubung untuk menghadap Sri Baginda, memberitahukan bahwa ia akan menghadap.
Kehadiran penghubung itu mengejutkan seisi istana yang selalu berjaga-jaga siang dan malam. Setiap saat mereka mendapat laporan dari medan di sebelah Utara Ganter. Karena itu, kedatangan utusan Pujang Warit telah menumbuhkan keheranan di hati Sri Baginda.
"Kenapa Pujang Warit akan menghadap?"
"Ampun Tuanku. Senapati Panggede Pujang Warit akan menyampaikan sesuatu yang dianggapnya penting bagi Tuanku."
Sri Baginda Kertajaya berpikir sejenak. Meskipun ia tidak melihat medan, tetapi laporan yang diterimanya setiap kali telah memberikan gambaran yang jelas dari medan yang sedang diaduk oleh peperangan yang dahsyat di sebelah Utara Ganter.
Dalam pada itu, maka dua orang penasehat Baginda, tanpa berjanji, dan hampir bersamaan berkata, "Apakah hamba diperkenankan memanggilnya?"
"Aku belum memutuskan untuk menerima Pujang Warit," jawab Sri Baginda.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, namun mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Dalam pada itu Sri Baginda mencoba menilai apa yang telah terjadi di medan peperangan yang mencemaskan itu.
Belum lagi Sri Baginda memberi keputusan, utusan yang dikirim oleh Mahisa Walungan seperti yang selalu dilakukannya, telah datang menghadap.
Dengan tergesa-gesa Sri Baginda bertanya, "Bagaimana dengan medan hari ini?"
Penghubung itu-pun segera melaporkannya, bahwa medan menjadi semakin berat.
"Pujang Warit meninggalkan perkemahannya," berkata penghubung itu, "justru pada saat Singasari mengerahkan segala kekuatan dan pasukan cadangan di hari ketiga. Gelar yang dipasang hari ini ditandai dengan ciri-ciri kebesaran Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Dada Sri Baginda Kertajaya berdesir karenanya.
"Kenapa Pujang Warit justru meninggalkan medan di saat yang genting ini?" gumam Sri Baginda.
Namun tiba-tiba saja Sri Baginda itu berteriak kepada utusan Pujang Warit, "Kenapa ia pergi" Bahkan dengan segenap pasukannya yang ada di medan" Apakah Pujang Warit tidak sadar, bahwa dengan demikian ia sudah menjerumuskan pasukan Kediri yang lain ke dalam bencana?"
"Bahkan usaha Adinda Sri Baginda untuk memanggil pasukan cadangan yang tersebar-pun dihalang-halangi. Pujang Warit masih selalu menyebut dirinya, yang mendapat limpahan kekuasaan Sri Baginda Kertajaya." Sela penghubung Mahisa Walungan.
Sri Baginda menjadi tegang sesaat. Dipandanginya kedua penasehatnya, kemudian utusan Pujang Warit yang menghadapnya.
Sejenak Sri Baginda itu merenung. memperbandingkan semua keterangan dan masalah-masalah yang pernah didengarnya dan disaksikannya. Karena itu paseban itu-pun menjadi sepi. Sepi yang tegang.
Dan tiba-tiba Sri Baginda berkata, "Aku masih tetap dalam pendirianku. Kalian tetap berada di paseban. Juga kau, tidak perlu kembali kepada Pujang Warit."
"Ampun Tuanku. Saat ini Senapati Pujang Warit sedang menunggu."
"Biarlah ia menunggu. Aku akan memanggilnya. Tetapi bukan kau."
Utusan itu menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari pada menundukkan kepalanya.
Sri Baginda-pun kemudian dengan tiba-tiba meninggalkan ruangan paseban. Di ruang yang lain dipanggilnya beberapa orang Senapati. Senapati pengawal istana.
"Nah, apakah kau masih tetap setia kepadaku?" bertanya Sri Baginda.
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak. Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Ampun Sri Baginda, apapun yang akan terjadi, hamba telah menyatakan diri hamba bersama-sama, selalu setia kepada Sri Baginda."
"Ya," berkata Sri Baginda, "terima kasih. Dan kita bersama-sama telah membuat suatu kesalahan. Kita telah menangkap Mahisa Walungan. Untunglah bahwa Gubar Baleman mempunyai bentuk kesetiaan yang lain, sehingga aku terpaksa berpikir lagi mengenai mereka. Kini mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk maju ke medan perang. Tetapi keadaan Kediri telah menjadi parah." Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "kalian masih tetap harus berjaga-jaga di sekitar istana. Tidak seorang-pun boleh keluar."
Para Senapati itu menganggukan kepala mereka. Yang tertua di antara mereka menjawab, "Hamba Tuanku."
"Pujang Warit dan pasukannya kini telah berada di dalam kota. Senapati itu minta waktu untuk menghadap."
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak.
"Aku akan memanggil Pujang Warit. Tetapi kalian tahu, bahwa Pujang Warit ternyata telah mengelabui aku. Aku telah membuat kesalahan karenanya. Karena itu. Pujang Warit tidak akan mendapat tempat lagi di Kediri."
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam.
"Kalian tahu, akibat apa yang mungkin dapat timbul" Tetapi aku akan berusaha untuk mengatasi semuanya itu."
"Hamba bersama-sama para Senapati dan prajurit pengawal yang masih ada akan menghadapi setiap kemungkinan Tuanku."
"Bukankah di dalam pasukan Pujang Warit itu terdapat beberapa kelompok dari kesatuan pengawal?" bertanya Sri Baginda.
"Hamba Tuanku."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Nah salah seorang dari kalian, pergilah. Panggil Pujang Warit. Kalau Pujang Warit menanyakan pesuruhnya, katakan, bahwa Sri Baginda masih memerlukannya untuk memberikan beberapa keterangan tentang medan dan pasukan Singasari."
Demikianlah, maka salah seorang dari para Senapati itu-pun segera meninggalkan istana untuk menjemput Pujang Warit. Dari utusan Pujang Warit yang masih ada di paseban. Senapati itu tahu, di mana Pujang Warit dan pasukannya kini berada.
Kedatangan Senapati itu telah mengejutkan Pujang Warit. Yang pertama-tama ditanyakan adalah pesuruhnya.
"Sri Baginda masih memerlukan banyak sekali keterangan-keterangan tentang medan. Karena itu, maka aku diperintahkan oleh Sri Baginda untuk menjemputmu. Sri Baginda tidak berkeberatan untuk menerimamu. Bahkan semakin cepat semakin baik. karena Sri Baginda ingin lebih cepat dan lebih banyak mengetahui tentang medan."
"Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak pernah mengirimkan penghubungnya?"
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi ia harus segera menjawab, katanya, "Laporan mereka tidak meyakinkan. Yang ada hanyalah keluh kesah dan hampir menjadi putus-asa. Itulah yang akan didengar oleh Sri Baginda." Senapati itu terdiam sejenak. Namun ia mengerti sepenuhnya maksud Sri Baginda, sehingga ia meneruskannya. "Sri Baginda tidak meletakkan harapannya pada pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Pertahanan itu adalah pertahanan depan yang harus dirangkapi dengan pertahanan yang lain. Untuk sementara. Sri Baginda telah menjadikan dinding istana sebagai benteng terakhir."
"Berbahaya sekali," dengan serta-merta Pujang Warit menjawab.
"Untuk sementara. Tetapi sebaiknya kau menghadap sendiri."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang kurang mapan di hatinya. Namun ia yakin, bahwa dalam keadaan serupa ini, Sri Baginda tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mengurangi kekuatan Singasari.
Karena itu maka katanya, "Baiklah, aku akan menghadap Sri Baginda."
Tetapi ternyata Pujang Warit tidak pergi sendiri. Ia membawa beberapa orang prajurit yang dipercayanya, untuk mengawalnya ke istana.
Senapati yang menjemputnya menjadi termangu-mangu. Tetapi supaya Pujang Warit tidak mencurigainya, maka ia-pun sama sekali tidak berkeberatan, membawa Pujang Warit bersama beberapa orang pengawal.
Sejenak kemudian maka mereka-pun segera berpacu ke istana. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, setiap prajurit pengawal istana, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Meskipun demikian mereka tidak segera bertindak agar tidak menumbuhkan beberapa keributan.
"Cara yang dipergunakan oleh Menteri Gubar Baleman pantas ditiru," desis salah seorang Senapati, "mereka menguasai keadaan tanpa terjadi sesuatu. Apakah dapat dilakukan tindakan serupa atas para pengawal yang tinggi di luar paseban itu."
Kawannya menganggukkan kepalanya. "Mungkin sekali. Aku akan membawa pengawal itu kesamping bangsal."
Senapati yang seorang itu-pun kemudian meninggalkan kawannya untuk membawa para pengawal Pujang Warit kesamping bangsal, sedang kawannya itu-pun segera mempersiapkan beberapa orang prajurit pengawal untuk menguasai para pengawal Pujang Warit itu.
Dalam pada itu, Pujang Warit yang telah sampai di luar regol halaman bangsal paseban dalam, segera turun dari kudanya. Tetapi ia tidak dapat masuk membawa pengawal-pengawalnya, sehingga karena itu, maka diantar oleh Senapati yang menjemputnya, ia melangkah di antara dua orang penjaga di bawah tangga bangsal paseban. Tetapi kedua penjaga itu, tidak memberikan kesan apapun pada Senapati muda itu.
Bahkan keduanya menganggukkan kepala mereka, memberikan hormat sebagai mana seharusnya dilakukan terhadap seorang Senapati.
Dengan demikian maka para pengawal Pujang Warit-pun tinggal di halaman bangsal paseban dalam, sedang kuda-kuda mereka harus mereka tinggalkan di luar regol. Tetapi hal itu sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaan apapun pada Pujang Warit dan pengawalnya, karena memang demikianlah kebiasaan seseorang, siapapun dan betapapun pentingnya keperluannya, apabila menghadap Sri Baginda di paseban dalam.
Para pengawal itu berpaling ketika mereka mendengar seseorang menyapa mereka. Ternyata seorang Senapati datang menghampiri mereka dari sisi paseban itu. Sambil tertawa Senapati itu berkata, "Sri Baginda telah lama menunggu. Apakah kalian datang mengantarkan Pujang Warit?"
"Ya, kami datang mengawal Pujang Warit," jawab seorang Senapati yang ada di dalam kelompok pengawal itu.
"Bagus. Agaknya keadaan sudah menjadi terlampau panas, sehingga Sri Baginda sendiri-pun menjadi agak bingung menghadapinya."
"Kenapa bingung?" jawab Senapati pengawal Pujang Warit, "bukankah Sri Baginda sudah menyerahkan segala tanggung jawab kepada Pujang Warit?"
"Ya. tetapi karena Sri Baginda kekurangan bahan laporan itulah agaknya maka Sri Baginda menjadi bingung. Mudah-mudahan dengan kedatangan Pujang Warit, Sri Baginda mendapat banyak penjelasan."
"Mudah-mudahan."
"Tetapi," berkata Senapati pengawal istana itu, "sebaiknya kalian berada di samping bangsal ini. Dilongkangan sebelah kalian dapat duduk sambil minum. Bukankah Pujang Warit memerlukan waktu untuk menyampaikan laporannya itu?"
Senapati pengawal Pujang Warit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Sedang pengawal istana itu berkata, "Apakah kalian akan berdiri saja di sini?"
Sejenak Senapati pengawal Pujang Warit itu merenung. Kemudian dipandanginya anak buahnya seorang demi seorang. Nampaknya mereka mengharap untuk dapat duduk beristirahat dengan tenang sambil minum minuman hangat.
"Baiklah," berkata pengawal itu kemudian, "di mana kami dapat duduk menunggu?"
"Di sebelah bangsal ini."
Para pengawal itu-pun kemudian berjalan beriringan melingkari sudut paseban, menuruni sebuah tangga batu menuju kesebuah longkangan yang dirimbuni oleh daun-daun pohon sawo kecik.
Beberapa orang pengawal yang ada di tempat itu menganggukkan kepala mereka sambil tersenyum. Dengan ramahnya mereka mempersilahkan para pengawal Pujang Warit itu untuk duduk berjajar di halaman, pada sehelai tikar, pandan yang putih di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.
Namun belum lagi mereka mapan, tiba-tiba mereka terkejut. Seperti mimpi mereka melihat para pengawal itu bergeser setapak, kemudian muncul beberapa orang yang lain, yang dengan satu loncatan telah menekankan ujung-ujung pisau belati di lambung mereka.
"He, apa artinya ini?" bertanya Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit.
"Tidak menjadi kebiasaan seorang Senapati yang dipanggil menghadap oleh Sri Baginda membawa sekian banyak pengawal."
"Sama sekali bukan suatu keanehan," jawab Senapati itu, "pengawal ini kami perlukan di sepanjang perjalanan, dalam suasana yang panas ini."
"Tetapi lawan masih berada di sebelah Utara Ganter."
"Siapa tahu ada pesuruh-pesuruh di dalam kota yang sengaja disebarkan oleh orang-orang Singasari, atau justru oleh orang-orang Mahisa Walungan dan Gubar Baleman."
"Mahisa Walungan dan Gubar Baleman sedang bertempur mempertahankan Kediri."
"Mereka sedang mencoba untuk memperbaiki kesalahan mereka. Tetapi seandainya mereka dapat mengusir pasukan Singasari, apakah mereka tidak memutar arah peperangan ini menghadap ke istana?"
"Suatu ceritera yang aneh. Kami di sini, bahkan Sri Baginda pernah mempercayai ceritera itu. Tetapi kini kami berpendapat lain dan Sri Baginda-pun berpendapat lain. Apalagi setelah Pujang Warit meninggalkan medan yang kini sedang dalam keadaan tidak menguntungkan."
Para pengawal itu menjadi tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap orang telah dilekati dengan ujung-pisau belati di lambung atau punggungnya.
"Kini Sri Baginda sedang membuat perhitungan dengan Pujang Warit di paseban. di hadapan para pemimpin Kediri, para penasehat, para Menteri dan diawasi oleh beberapa orang Senapati yang telah mengerti persoalan yang sebenarnya. Dengan demikian, maka kami bertugas untuk membuat kalian tidak dapat ikut campur lagi dalam masalah ini."
"Licik. Jadi beginikah cara yang selama ini ditempuh oleh pasukan pengawal yang terkenal itu" Menurut pendengaranku, pasukan pengawal istana adalah pasukan yang paling baik di Kediri. Tetapi ternyata kalian licik. Kenapa kalian tidak berusaha mengepung kami pada saat kami memasuki halaman istana?"
Para prajurit pengawal istana itu saling berpandangan sejenak. Tetapi terasa bahwa darah mereka menjadi panas mendengar kata-kata pimpinan prajurit pengawal Pujang Warit itu.
Salah seorang dari mereka berkata, "Kalau kami tidak sedang mengemban tugas, kami akan membuktikan bahwa kami bukan manusia yang licik."
"He, masihkah kau ingkar" Kita bersama-sama melihat kenyataan ini."
Senapati pengawal istana itu-pun menjawab, "Kami tidak dapat membiarkan darah kami menjadi panas dan mendidih bagaimana-pun juga dada kami bergelora. Cara ini kami tempuh untuk menghindari keributan yang tidak akan berarti apa-apa bagi kita semua. Justru apabila keributan ini merembes sampai keluar istana, akibatnya hanya akan membuat rakyat menjadi bertambah bingung. Mereka sedang dicemaskan oleh berita peperangan di sebelah Utara Ganter. Karena itu, maka kami berusaha untuk menyelesaikan tugas kami dengan cepat dan tanpa keributan."
"Tetapi itu bukan perbuatan jantan."
"Mungkin, menurut penilaian seorang prajurit di peperangan. Tetapi kami mempunyai pertimbangan lain. Mungkin kami memang harus mengorbankan kejantanan kami untuk kepentingan yang jauh lebih besar, Kediri."
"Omong kosong. Setiap pengecut dapat mencari alasan apapun. Untung kepentingan yang lebih besar."
"Kami tidak akan berbantah mengenai diri kami. Apakah kami orang-orang jantan, atau sekedar hanya segerombolan pengecut. Tetapi kami berhasrat melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Karena itu maaf bahwa kami akan melucuti senjata kalian."
"Gila," teriak Senapati, pemimpin pasukan pengawal Pujang Warit itu, "tidak mungkin. Senjata kami sama nilainya dengan nyawa kami."
"Jadi?" "Kami tidak akan menyerahkan senjata kami."
"Sekali lagi kami minta maaf, kalau kalian tidak menyerahkan senjata kalian, memang kami terpaksa mengambil yang lain, yang sama nilainya, yaitu nyawa kalian."
"Gila, kalian sudah menjadi gila?"
"Mungkin kami sudah menjadi gila. Beberapa saat yang lampau kami berbuat serupa, menangkap Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Kemudian kami berusaha menangkap Gubar Baleman, tetapi gagal. Justru kamilah yang dikuasai oleh prajurit-prajurit topangan seperti kalian yang setia kepada Menteri Gubar Baleman. Tetapi agaknya Gubar Baleman tetap tunduk dan setia kepada Sri Baginda. Sekarang, tugas kami menguasai kalian dan melucuti senjata kalian. Kami tidak lagi sempat menilai diri kami. Apakah kami memang gila atau tidak. Tetapi kami adalah prajurit-prajurit pasukan pengawal Baginda Kertajaya yang hanya dapat diperintah langsung oleh pimpinan kami yang berada di bawah perintah Sri Baginda."
"Gila. Kalian gila. Aku tidak perlu sesorahmu. Tetapi kalian bukan prajurit-prajurit Kediri yang sebenarnya, karena dengan tindakan kalian telah melanggar sifat kesatria."
"Sayang, bahwa pemimpinmulah yang mendahuluinya."
"Siapa?" "Pujang Warit. Apakah sampai sekarang kau tidak sadar bahwa Pujang Warit telah memfitnah Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman sehingga hampir saja keduanya terbunuh kalau tidak ada banjir bandang dari Singasari" Kemudian pemimpinmu itu dengan licik membiarkan pasukan Kediri di sebelah Utara Ganter hari ini bertempur tanpa bantuan pasukan cadangan yang seharusnya dapat dikumpulkan?"
"Kalian mengigau?"
"Diamlah. Kalian harus menyerahkan senjata kalian. Di dalam keadaan yang gawat, kami tidak dapat bergurau lagi. Senjatamu atau nyawamu."
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi giginya gemeretak menahan kemarahan yang memuncak.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, ketika mereka dipaksa untuk berdiri berjajar. Kemudian seorang prajurit pengawal telah melepas pedang dari lambung mereka, dengan wrangkanya sama sekali.
"Kalian menjadi tawanan pasukan pengawal istana hari ini."
Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit itu tidak menjawab. Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan oleh gejolak di dalam dadanya.
Sementara itu Pujang Warit yang berada di paseban-pun menjadi tegang pula. Meskipun mula-mula Sri Baginda Kertajaya menyambutnya sambil tertawa, "Ha. kau Pujang Warit. Sudah lama kami menunggumu. Marilah."
Pujang Warit semula memang tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Orang-orang di paseban adalah orang-orang yang sudah dikenalnya. Dilihatnya di belakang Sri Baginda, di antara para penasehat, dua orang yang dikenalinya baik-baik. Tetapi Pujang Warit tidak segera dapat membaca kesan yang terpancar dari wajah-wajah mereka yang pucat dan basah oleh keringat yang dingin.
"Bagaimana rencana selanjutnya Pujang Warit" Sebagian aku sudah mendengar dari pesuruhmu yang mendahului kau menghadap. Aku menahannya di sini. karena aku ingin banyak mendengar tentang daerah pertempuran itu. Sehingga aku memerintahkan kepada orang lain untuk menjemputmu."
Pujang Warit membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "Ampun Tuanku. Barangkali sebagian terbesar dari masalah yang akan hamba sampaikan telah Tuanku ketahui. Pertahanan yang sebenarnya akan hamba bangunkan di dalam lingkungan yang lebih kuat. Hamba akan menjadikan dinding kota sebagai benteng pertahanan untuk mematahkan serbuan pasukan Singasari."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kau akan membangun benteng pertahanan itu hari ini?"
"Apabila Sri Baginda mengijinkan. Hamba memang merencanakan demikian."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Pujang Warit dengan tatapan mata yang menyimpan teka-teki. Tetapi Sri Baginda masih berkata, "Apakah pasukan yang cukup kuat untuk bertahan" Aku mendengar laporan dari orangmu sendiri, kekuatan Singasari bagaikan banjir bandang yang seakan-akan tidak terbendung."
"Hamba Tuanku. Memang kekuatan Singasari cukup mendebarkan jantung."
"Apakah prajuritmu cukup banyak untuk mempertahankan kota ini."
"Tentu Tuanku. Aku akan berusaha sekuat-kuat tenaga. Prajurit-prajuritku akan aku perlengkapi dengan senjata jarak jauh untuk menahan laju mereka. Dengan demikian, apabila mereka mencapai dinding kota, jumlah mereka-pun sudah berkurang."
"Tidak seberapa jumlahnya. Mereka akan segera berlindung di balik perisai-perisai mereka."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba di luar sadarnya ia berkata, "Tetapi ketika mereka mencapai dinding kota, maka jumlah mereka-pun pasti sudah akan jauh berkurang."
"Kenapa?" "Mereka sedang bertempur di sebelah Utara Ganter."
"Dengan pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman maksudmu?"
"Hamba Tuanku."
"Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman kira-kira tidak akan dapat menahan mereka?"
"Terlampau berat Tuanku."
Dan sampailah Sri Baginda kepada pertanyaan yang mengejutkan Pujang Warit sehingga serasa jantungnya berhenti berdetak, "Kenapa kau tidak membantu Mahisa Walungan dan Gubar Baleman saja" Pasukan gabungan itu pasti setidak-tidaknya akan dapat menahan arus laju pasukan Tumapel. selagi kita mengumpulkan pasukan cadangan yang tersebar."
Pujang Warit tidak segera menjawab pertanyaan Sri Baginda. Bahkan terasa keringat dinginnya mulai mengaliri punggungnya.
"Kenapa?" desak Sri Baginda.
Pujang Warit tergagap, "Tetapi, bukankah lebih baik bagi hamba untuk menyusun pertahanan tersendiri, sesuai dengan perintah Sri Baginda, bahwa hamba harus mengambil pimpinan seluruh pasukan Kediri."
"Ya. aku memang memerintahkan kepadamu untuk mengambil pimpinan seluruh pasukan. Tetapi kenapa kau tidak berbuat demikian dan menyatukan pertahanan untuk melawan arus pasukan yang besar itu?"
"Ampun Tuanku. Hamba sudah mencoba, tetapi Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak mau menyerahkan pimpinan. Justru mereka menganggap bahwa hamba harus tunduk kepada perintahnya."
Terasa sesuatu bergetar di dada Baginda. Ia tidak dapat ingkar, bahwa ia-pun telah melakukan kesalahan. Ia telah menyerahkan pimpinan tertinggi kepada dua tangan. Ia sampai saat terakhir masih belum dengan tegas mencabut kekuasaan Pujang Warit, sehingga akhirnya, Kediri telah terbagi.
Namun demikian Sri Baginda melihat, niat yang kurang baik pada Pujang Warit. Kalau Gubar Baleman dan Mahisa Walungan dengan jujur telah berusaha untuk menggabungkan kekuatan mereka, seperti yang disampaikan oleh penghubungnya, maka Pujang Warit dengan sengaja menjerumuskan kedua orang yang menjadi saingannya itu ke dalam bencana.
Karena itu, maka Sri Baginda-pun bertanya, "Tetapi apakah kau tidak dapat membuat suatu cara, sehingga pasukanmu dapat bergabung dengan kekuatan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman" Misalnya, kau mengorbankan sedikit harga dirimu seperti yang telah dilakukan oleh Gubar Baleman, tetapi dengan demikian Kediri dapat diselamatkan."
"Tuanku, bukankah Gubar Baleman dan Mahisa Walungan menurut Tuanku adalah pengkhianat-pengkhianat" Apakah hamba harus menyerahkan pimpinan pasukan ini kepada seorang pengkhianat" Kalau mereka bersedia berjuang di dalam lingkungan perintah hamba, sesuai dengan keputusan Sri Baginda, hamba tidak akan berkeberatan."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat kesalahan pada dirinya sendiri.
Tetapi Sri Baginda tidak mau banyak kehilangan waktu, sehingga katanya kemudian, "Pujang Warit, aku tidak dapat mengingkari kesalahanku. Tetapi siapakah yang menyebabkan aku salah menilai kesetiaan adikku dan Menteriku Gubar Baleman?"
Pertanyaan yang langsung itu terasa menyengat jantungnya. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar sudah mencium rencananya bersama kedua penasehat itu. Ternyata kehadiran Gubar Baleman dan Mahisa Walungan di peperangan itu bukan sekedar karena Sri Baginda menjadi bingung oleh arus pasukan Singasari, tetapi justru karena Sri Baginda menyadari kekeliruannya.
"Kenapa kau diam Pujang Warit?"
Pujang Warit tidak segera menjawab. Tubuhnya menjadi semakin basah oleh keringatnya yang mengalir semakin deras di seluruh tubuhnya.
"Jangan membisu Pujang Warit. Pada saat-saat terakhir aku mendengar semua rencanamu yang keji. Kau meninggalkan medan sama sekali bukan karena kau yakin bahwa kau dapat menyusun pertahanan yang kuat, tetapi karena kau sengaja menjerumuskan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan ke dalam jurang kehancuran. Kau berharap bahwa pasukan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan akan hancur, sedang kedua Senapati itu terbunuh. Kau berharap bahwa sisa-sisa pasukan Singasari tidak akan terlampau berbahaya lagi bagimu sehingga kau akan dapat menghancurkannya di tepi kota ini. Dengan demikian kau akan mendapat dua kemenangan sekaligus. Kemenangan atas Gubar Baleman dan Mahisa Walungan dan kemenangan atas Singasari. Kau akan mendapat pujian dan gelar pahlawan yang telah menyelamatkan Kediri dari kehancuran. Bukankah begitu" "
Mulut Pujang Warit masih juga serasa terbungkam. Bahkan kini tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya.
Tidak seorang-pun yang ada di dalam paseban itu berani mengangkat wajahnya. Kini Sri Baginda Kertajaya sudah sampai pada puncak kemarahannya, meskipun tampaknya ia masih mencoba mengendalikan diri.
"Pujang Warit," berkata Sri Baginda, "kenapa kau diam saja?"
"Ampun Tuanku," berkata Pujang Warit kemudian, "hamba telah melakukan yang paling baik bagi Kediri menurut pendapat hamba."
"Juga tentang usahamu menyingkirkan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan itu termasuk usaha terbaik bagi Kediri?"
"Hamba Tuanku, karena menurut penilaian hamba, keduanya sudah tidak menurut perintah Tuanku. Keduanya dengan diam-diam telah membangun pertahanan di sebelah Utara Ganter tidak setahu Tuanku. Itu akan menjadi kebiasaan yang sangat tercela bagi seorang prajurit."
"Tetapi apakah pelanggaran itu berarti pemberontakan seperti yang kau katakan" Dan apakah kau yakin bahwa keduanya telah melakukan pelanggaran itu" Aku melarang membawa pasukan ke perbatasan. Dan mereka mentaatinya. Mereka tidak membawa pasukan ke perbatasan, tetapi hanya ke sebelah Utara Ganter."
"Tetapi membangun suatu pertahanan di luar pengetahuan Tuanku, apakah hal itu dapat dibenarkan?"
"Tentu tidak. Tetapi apakah dibenarkan untuk menyalah gunakan kepercayaanku, dengan memutar balikkan kenyataan" Apakah benar Gubar Baleman dan Mahisa Walungan tidak setia kepadaku?"
"Hal itu, kita sama-sama tidak tahu. Hamba tidak tahu apa yang tersirat di hatinya yang paling dalam, dan Tuanku-pun tidak mengetahui."
Darah Sri Baginda berdesir mendengar jawaban itu. Ketika ditatapnya wajah Pujang Warit, ternyata wajah itu-pun menjadi merah.
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kini ia dapat membaca wajah Senapati muda itu. Agaknya Pujang Warit telah merasa bahwa ia terjebak. Karena itu, dalam keadaan yang tersudut itu, tidak ada pilihan lain baginya, dari pada mempertahankan harga diri sedapat-dapatnya. Ia yang mengetahui kelemahan dan kekeliruan Sri Baginda selalu berusaha menyandarkan tindakannya kepada kekeliruan itu. Meskipun akhirnya Sri Baginda dapat berbuat apa saja atasnya, tetapi ia akan dapat memberikan kepada orang-orang yang ada di paseban. bahwa kesalahan itu tidak dapat dibebankannya kepada dirinya sepenuhnya.
Para Senapati dan para Menteri yang ada di paseban itu-pun menjadi heran melihat sikap Pujang Warit. Sebagian dari mereka dapat mengerti seperti juga Sri Baginda, bahwa Pujang Warit sudah mendekati keputus-asaannya. Justru dengan demikian, darah mudanya telah menggelegak tanpa dapat dikendalikan lagi.
"Aku akan dihukum mati," berkata Pujang Warit di dalam hatinya, "sebagai seorang prajurit, tidak pantas aku mati sambil menyembunyikan wajah. Aku harus menengadahkan kepalaku menghadap ketiang gantungan."
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun merasa tidak perlu lagi untuk menundukkan kepalanya sampai mencium lantai. Kini ia justru duduk dengan dada tengadah.
"Aku tidak akan dapat mengelak lagi," katanya pula di dalam hati.
Sikap Pujang Warit itu memang mencengangkan mereka yang melihatnya. Namun mereka menjadi heran juga. bahwa Sri Baginda masih saja membiarkannya duduk di tempatnya.
"Pujang Warit," Sri Baginda masih berkata wajar meskipun tampak betapa ia menahan hati, "aku tahu apa yang tersirat di hati Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Mahisa Walungan adalah adikku. Aku mengenalnya sejak kanak-kanak."
"Tetapi kenapa Tuanku mempercayai hamba?"
"Ya. Kenapa aku mempercayaimu. Apakah karena kau terlampau cerdik, atau karena aku terlampau bodoh," Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "sedang Gubar Baleman telah membuktikan kesetiaannya di saat-saat terakhir. Meskipun ia telah menguasai seluruh isi istana ini, untuk sekedar dapat memberikan penjelasan kepadaku, karena aku sudah tidak memberi waktu lagi kepadanya untuk berbicara." Sri Baginda berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya yang memburu, "tetapi ia tidak berbuat lebih lanjut. Ia tidak merampas kekuasaan dari tanganku meskipun itu dapat dilakukannya apabila ia mau."
"Dan Tuanku justru membenarkan cara yang demikian?" jawab Pujang Warit, lalu, "ternyata Tuanku memang sudah tidak dapat memegang kekuasaan seperti seharusnya seorang Maharaja. Terbukti bahwa para Brahmana dan pemimpin agama telah meninggalkan Kediri. Kemudian terjadi kekisruhan di dalam pimpinan keprajuritan karena Tuan begitu cepat percaya. Tuanku yang di saat-saat terakhir merasa diri Tuanku sebagai titisan Dewa, akhirnya Tuanku harus mengakui, bahwa Tuanku tidak lebih dari manusia biasa."
Tidak seorang-pun yang dapat menilai lain dari sikap Pujang Warit itu kecuali membunuh diri. Tetapi seperti yang diharapkan oleh Pujang Warit, bahwa kematiannya bukanlah kematian seekor tikus di tangan seekor kucing.
Namun sikap Pujang Warit itu telah membakar dada Sri Baginda Kertajaya sebagai seorang prajurit. Meskipun selama ini Sri Baginda yang merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa dari langit, namun dalam keadaan yang panas, ia telah terlempar kembali ke dalam kenyataannya sebagai manusia, sebagai seorang prajurit. Itulah sebabnya maka dengan wajah yang merah Sri Baginda berkata, "Pujang Warit, kau benar. Aku tidak dapat membebankan kesalahan seluruhnya kepadamu. Kau dan aku telah membuat kesalahan yang serupa, karena itu. kau dan aku bersama-sama harus mendapat hukuman. Hukuman yang sama sebagai prajurit-prajurit Kediri. Sebagai kesatria Kediri yang jujur. Hukuman itu harus dijatuhkan kepada kita bersama-sama. Hukuman itu adalah perang tanding antara dua orang prajurit yang sama-sama bersalah."
Kata-kata Sri Baginda Kertajaya itu ternyata telah mengguncangkan paseban. Beberapa orang Senapati tersentak, dan bahkan ada di antara mereka yang bergeser maju. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, "Ampun Tuanku, kenapa Tuanku menjatuhkan keputusan itu?"
"Ya, itu keputusanku."
"Tuanku, sebelum terlambat. Tuanku dapat menunjuk salah seorang dari kami untuk mewakili Tuanku, melakukan perang tanding atas nama Tuanku."
"Tidak. Aku berkata sepenuh kesadaranku."
"Tetapi itu terlampau terhormat bagi Pujang Warit yang telah dengan jelas melakukan pengkhianatan terhadap Tuanku dan Kediri."
"Tetapi sudah aku katakan, aku-pun telah bersalah."
Senapati yang lain menyela, "Tetapi kami adalah prajuritnya yang setia kepada Sri Baginda. Adalah sepantasnya, salah seorang dari kami dapat mewakili Sri Baginda."
Sri Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada kesetiaan kalian. Tetapi aku tahu. bahwa akulah yang harus mendapat hukuman. Aku sebagai manusia dan prajurit seperti yang dikatakan oleh Pujang Warit. sehingga dengan demikian maka aku adalah pribadi." Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "Aku sama sekali tidak merendahkan kemampuan kalian. Aku tahu, bahwa Senapati Kediri adalah prajurit-prajurit pilih tanding. Tetapi Pujang Warit memang mempunyai beberapa kelebihan, sehingga sepantasnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit harus melayaninya. Apalagi taruhannya aku tentukan pula, yaitu pimpinan tertinggi atas Kediri."
"Tuanku," hampir serentak mereka yang ada di paseban berseru dengan wajah yang tegang.
"Nah, sediakan gelanggang di halaman paseban ini. Cepat. Setelah perang tanding ini selesai, aku atau Pujang Warit masih harus menyelesaikan orang-orang Tumapel yang sedang berusaha menguasai seluruh daerah Kediri."
Sejenak para Senapati dan Menteri yang ada di paseban tidak beranjak dari tempatnya. Mereka saling berpandangan dengan penuh keragu-raguan.
"Cepat," teriak Sri Baginda, lalu katanya, "tetapi aku tidak akan berbuat serupa itu dengan kedua penasehatku ini. Penasehatku yang lain kuperkenankan menyaksikan perang tanding ini. Tetapi yang dua ini harus berada di bawah pengawasan. Kalau Pujang Warit menang di dalam perang tanding ini, kalian akan bebas, dan terserah apa yang akan diputuskan oleh Pujang Warit atas kalian."
Maka setiap dada-pun menjadi berdebar-debar. Para pengawal di halaman-pun menjadi keheranan atas keputusan itu. Belum pernah Sri Baginda begitu merendahkan dirinya, melayani perang tanding melawan seorang Senapati.
"Aku adalah seorang prajurit," geram Baginda berulang-ulang.
Tidak seorang-pun yang dapat mencegah keputusan Sri Baginda. Dengan demikian, maka para prajurit yang ada, beserta para Menteri-pun segera membuat sebuah lingkaran di halaman sebagai arena perang tanding.
Pujang Warit sendiri sebenarnya terkejut mendengar keputusan Sri Baginda. Namun karena ia yakin bahwa seandainya tidak demikian, maka ia-pun akan dihukum mati, maka tantangan itu adalah jalan yang paling baik yang tersedia baginya, meskipun ia tahu. bahwa Sri Baginda adalah maha prajurit yang tidak ada bandingnya.
"Tetapi aku belum pernah meyakinkan kemampuan Sri Baginda," berkata Pujang Warit di dalam hatinya. "aku hanya pernah menyaksikan beberapa bentuk kelebihannya dari orang-lain. Tetapi bagi Pujang Warit yang pernah berguru bertahun-tahun, semuanya itu bukanlah hal yang mengecilkan hati."
Sejenak kemudian maka arena-pun telah siap. Sri Baginda menuruni tangga paseban tanpa tanda-tanda kebesaran yang biasanya tidak pernah terpisah dari padanya. Bahkan bukan saja sekedar tanda kebesaran seorang Maharaja, tetapi Sri Baginda telah menganggap dirinya sebagai titisan dewa-dewa.
Tetapi kini ia menuruni tangga sebagai seorang prajurit. Sebagai pribadi yang sudah siap menyelesaikan masalah pribadinya. Kesalahannya terhadap Kediri harus ditebusnya dengan perang tanding.
Bagi Sri Baginda Kertajaya, hal itu merupakan suatu pengorbanan yang luar biasa. Tetapi hal itu kini dengan sadar telah dikehendakinya sendiri.
Setelah semuanya siap, dan kedua orang yang akan berperang tanding itu sudah berada di arena. maka bertanyalah Sri Baginda kepada Pujang Warit, "Senjata apakah yang kau kehendaki Pujang Warit?"
Bagaimana-pun juga, tatapan mata Sri Baginda telah membentur hati Pujang Warit, sehingga seisi dadanya serasa berguncang.
"Sebutkan senjata apa yang kau kehendaki. Aku akan menyesuaikan diri."
Pujang Warit ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia berkata, "Terserahlah kepada Sri Baginda."
"Kau sudah membawa pedang di lambungmu. Apakah kau akan mempergunakan pedang?"
"Baiklah Tuanku. Hamba akan mempergunakan pedang."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang prajurit yang berdiri di pinggir arena Sri Baginda berkata, "berikan pedangmu."
"Tetapi, pedang ini adalah pedang seorang prajurit pengawal Tuanku."
"Bukankah kau menerima pedang itu dari pimpinan, keprajuritan?"
Prajurit itu mengangguk, "Hamba Tuanku."
"Nah, berikan pedangmu."
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka ditariknya pedangnya, dan kemudian dengan tangan gemetar diserahkannya pedang itu kepada Sri Baginda.
"Terima kasih," berkata Sri Baginda. Kemudian sambil menghadap kepada Pujang Warit Sri Baginda berkata. "Nah Pujang Warit, aku sekarang sudah bersenjata pedang seperti senjatamu. Marilah, kita mulai dengan hukuman yang sama-sama dibebankan kepada kita. Siapa yang menang, ia berhak atas segala-galanya di Kediri. Siapa yang kalah, biarlah ia menanggung hukuman atas kesalahan yang telah terjadi, dan yang telah mengakibatkan Kediri terpecah belah."
Pujang Warit masih juga ragu-ragu. Namun kemudian disentakkannya giginya sambil menggeram di dalam hati. "Aku bukan pengecut."
"Nah bersiaplah," berkata Sri Baginda kemudian.
Pujang Warit mengerahkan segenap keberanian yang ada di dalam dirinya. Maka jawabnya, "Baiklah Tuanku. Hamba hanya sekedar menjalani perintah Tuanku."
"Ya, ya. Kalau kau sekarang melawan aku, ini sama sekali bukan suatu kesalahan. Justru kita sedang menentukan, siapakah yang masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Karena sekarang aku-pun sadar, bahwa aku bukannya titisan dewa-dewa seperti yang aku sangka sendiri, karena di dalam suatu ketika, aku telah dilepaskan oleh dewa-dewa tertinggi."
Pujang Warit tidak menjawab, tetapi ia-pun kemudian dengan tangan bergetar mencabut pedangnya pula. Pedang seorang perwira yang memiliki kemampuan pilih tanding.
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Ia melihat perbedaan jenis pedang yang dipergunakannya dan yang dipergunakan oleh Senapati muda itu.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya karena Sri Baginda menyangka, bahwa pedang itu adalah pedang prajurit Kediri.
"Marilah, kita segera mulai," berkata Sri Baginda, "nah, aku minta tiga orang Senapati yang akan menjadi saksi dari perkelahian ini. Ketiganya harus mengawasi, bahwa aku dan Pujang Warit harus berkelahi dengan jujur. Kalau ada di antara kami yang curang, maka ketiga Senapati itu dapat mengambil tindakan yang wajar. Tanpa pilih.
Sejenak para prajurit dan Senapati yang ada di seputar gelanggang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Sri Baginda telah menunjuk tiga di antaranya. Katanya, "Kau, kau dan kau. Jangan ragu-ragu. Majulah. Lihatlah, bagaimana kami akan berperang-tanding, kami adalah prajurit-prajurit Kediri."
Tiga orang perwira yang ditunjuk itu sama sekali tidak dapat mengelak lagi. Mereka-pun kemudian melangkah maju. Mencabut pedang-pedang mereka dan berdiri berpencaran. Mereka harus mengawasi perang tanding itu sebaik-baiknya. Merekalah yang bertanggung jawab apabila terjadi kecurangan. Dan mereka dapat bertindak apabila perlu dengan kekerasan.
Semuanya-pun kemudian sudah siap. Para saksi-pun sudah siap. Sri Baginda dan Pujang Warit-pun sudah siap pula.
"Nah, semua sudah di tempatnya. Sekarang aku adalah prajurit yang sedang menjalani hukuman. Karena itu. terserahlah kepada para saksi. Kapan kita harus mulai," berkata Sri Baginda kemudian.
Para saksi itu-pun saling berpandangan. Kemudian, meskipun tidak ditunjuk, maka Senapati yang tertua dari ketiganya-pun maju selangkah sambil berkata, "Ampun Tuanku, hambalah yang akan memimpin perang tanding ini."
"Bagus. Pimpinlah sebaik-baiknya."
"Hamba Tuanku." perwira itu terdiam sejenak, lalu katanya, "tetapi yang pertama-tama hamba ingin memperingatkan bahwa, perang tanding ini harus adil. Kedua senjata pesertanya harus seimbang."
"Bukankah senjata kami sudah seimbang?"
"Pedang yang Tuanku pergunakan adalah pedang prajurit biasa."
"Lalu, bagaimana dengan pedang Pujang Warit."
"Pedang itu adalah pedang yang khusus."
"Jadi apakah ada perbedaan senjata antara seorang prajurit dan seorang Senapati" Bukankah semuanya itu adalah prajurit Kediri?"
"Pedang Pujang Warit bukannya pedang yang lazim dipergunakan oleh para prajurit dan bahkan para Senapati Kediri. Pedang itu, adalah pedang pusaka yang dibawanya sendiri meskipun bentuknya mirip dengan pedang prajurit Kediri."
"Apakah bedanya" Aku dapat mempergunakan senjata apa saja."
"Bahannya berbeda Tuanku. Pedang Pujang Warit terbuat dari bahan yang jauh lebih baik dari bahan pedang para prajurit yang dibuat oleh para juru pembuat senjata para pande besi. sekaligus dalam jumlah yang besar. Sedang pedang Pujang Warit adalah pedang yang hanya dibuat khusus untuknya oleh seorang empu yang terpilih."
Sri Baginda merenung sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum Sri Baginda berkata, "Aku akan mempergunakan pedang prajurit Kediri ini, sebagaimana aku seorang prajurit. Kalau pedang ini gagal bukan karena kesalahanku, maka alangkah malangnya nasib setiap prajurit Kediri."
Senapati yang menjadi saksi itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak betapa hatinya dicengkam oleh kecemasan, karena kebetulan sekali ia mengerti betapa kuatnya pedang Pujang Warit itu. Bahkan ia pernah melihat Pujang Warit memamerkan senjatanya dan mematahkan beberapa helai pedang lainnya tanpa menjadi cacat seujung duri-pun.
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuanku," berkata Senapati itu, "apakah Tuanku berkenan mempergunakan pedang hamba?"
Tetapi Sri Baginda menggelengkan kepalanya, "Tidak."
Senapati yang akan menjadi saksi dari perang tanding itu tidak dapat memaksa, meskipun hatinya menjadi sanaat cemas. Tetapi hal itu agaknya memang sudah dihentikan oleh Baginda sehingga akhirnya, ia-pun harus membiarkannya mempergunakan pedang prajurit pengawal itu.
Dalam pada itu. di medan pertempuran di sebelah Utara Ganter, kedua pasukan telah terlibat di dalam perang yang semakin seru. Keduanya telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Pasukan Singasari telah turun seluruhnya ke medan perang dengan segala macam tanda-tanda kebesaran, sedang Mahisa Walungan telah membawa setiap orang yang ada di dalam perkemahannya.
Namun jumlah prajurit Singasari yang lebih besar ternyata benar-benar telah berpengaruh pada perang itu. Perlahan-lahan namun pasti pasukan Singasari telah berhasil mendesak pasukan Kediri, meskipun setiap prajurit dari Kediri telah bertempur tanpa mengenal arti menyerah. Tetapi seorang demi seorang prajurit Kediri berguguran seperti juga prajurit Singasari. Seorang demi seorang pasukan ke dua belah pihak selalu berkurang.
Meskipun pasukan Kediri sama sekali tidak berputus asa. namun garis perlawanan mereka-pun bergeser setapak demi setapak, karena arus prajurit Singasari yang tidak terbendung lagi.
Mahisa Walungan yang memegang pimpinan pasukan Kediri, bertempur dengan gigihnya. Ternyata bahwa Mahisa Walungan benar-benar seorang yang memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan. Senjatanya, sebuah pedang panjang, menyambar-nyambar seperti paruh burung garuda. Suaranya berdesing-desing memutari lawannya.
Tetapi lawannya itu adalah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Orang yang aneh dan banyak sekali menyimpan rahasia di dalam dirinya. Rahasia yang dirinya sendiri hampir tidak mengenalinya.
Dengan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, Ken Arok bertempur dengan gigihnya. Serangan-serangan Mahisa Walungan yang betapapun berbahayanya, selalu dapat dihindarinya, atau ditangkisnya. Meskipun kadang-kadang ia kehilangan irama seorang raja, namun ia tidak dapat didesak oleh kelebihan yang ada di dalam diri Mahisa Walungan. karena Ken Arok-pun memilikinya pula.
Mahisa Walungan sebagai seorang kesatria yang sejak kecilnya berada di dalam lingkungan istana serta segala macam adat dan tata cara kadang-kadang menjadi heran melihat sikap dan gerak Sri Rajasa. Kadang-kadang Sri Rajasa bertempur sebagai seorang Raja yang besar, namun apabila serangan Mahisa Walungan semakin mendesaknya, tiba-tiba saja raja Singasari itu menjadi kasar dan garang. Senjatanya berputar-putar tanpa arah dan tampaknya seperti tidak ada pegangan. Tetapi gerak yang demikian, yang seharusnya dengan mudah dapat ditembusnya, namun pedang Sri Rajasa, justru menjadi sebaliknya. Gerak-gerak yang kasar dan tidak beraturan itu justru merupakan benteng yang sangat rapat, mengitari dirinya dari segenap serangan.
Sekali-sekali Mahisa Walungan memang terpaksa meloncat surut untuk mencoba menilai tata gerak lawannya. Namun setiap kali dengan tiba-tiba saja, Sri Rajasa sudah menyerangnya dengan kecepatan yang hampir tidak disangka-sangkanya.
Namun Mahisa Walungan adalah seseorang yang matang dalam ilmu olah senjata. Karena itu. maka betapapun dahsyatnya lawannya, ia tidak kehilangan akal. Bahkan semakin lama tata geraknya-pun menjadi semakin mapan. Kekuatan-kekuatan cadangan yang tersimpan di dalam dirinya-pun mulai tersalur ke tangannya, sehingga dengan demikian gerak pedangnya-pun menjadi semakin cepat dan kuat.
Kemampuan yang seolah-olah berkembang itu terasa juga oleh Sn Rajasa. Kekuatan Mahisa Walungan seakan-akan menjadi bertambah-tambah. Setiap benturan, terasa tangan Sri Rajasa menjadi nyeri, sehingga kadang-kadang senjatanya seolah-olah ingin meloncat dari genggaman.
"Hem," ia menggeram di dalam hatinya, "agaknya di saat-saat terakhir Mahisa Walungan mengerahkan segenap kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Semua Aji dan kekuatan lahir dan batin."
Sebenarnyalah, Mahisa Walungan yang melihat pasukannya semakin terdesak itu-pun tidak lagi dapat membiarkan peperangan itu berlangsung semakin lama. Dengan segenap kemampuan yang ada maka dibangunnya segenap kekuatan lahir dan batin yang ada di dalam dirinya. Dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Walungan memusatkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, disusunnya dalam tata gerak yang sudah dikuasainya, menjadi suatu kekuatan yang tiada taranya. Seperti pada saat-saat ia membuat lubang pada papan yang tebal, maka kini tangannya yang seakan-akan bergetar itu, telah dialiri oleh kekuatan ilmu yang tiada taranya.
Sri Rajasa terkejut merasakan benturan-benturan berikutnya. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang menyimpan ilmu yang bukan saja ilmu yang kasat mata, tetapi latihan-latihan yang teratur, sehingga seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya, kekuatan cadangan yang tidak dimengerti oleh setiap orang, dapat dikuasainya dan dipergunakannya sebagai Aji Pamungkasnya.
Bersambung Jilid 56. koleksi : Ki Arema scanning : Ki Arema Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Cek ulang : Ki Arema ---ooo0dw0ooo--- Jilid 56 NAMUN agaknya dengan demikian Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan. Ia sendiri tidak pernah mempelajari dan mengembangkan ilmu apapun dengan teratur. Tetapi seakan-akan semua simpul-simpul syaraf dan urat yang ada di dalam dirinya, dengan sendirinya terpengaruh oleh kehendaknya. Apabila kemarahan telah membakar dadanya, maka semua bagian tubuhnya telah mengembangkan kekuatan di luar sadarnya.
Itulah sebabnya, maka pada puncak pertempuran itu, Mahisa Walungan yang kemudian terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak dapat mempercayai tangkapan matanya sendiri. Di dalam cahaya matahari yang semakin tinggi, ia melihat bayangan yang kemerah-merahan membara di atas kepala Ken Arok. yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka warna merah itu-pun menjadi semakin nyata, meskipun hanya dapat ditangkap oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sentuhan indera yang lebih baik dari orang-orang kebanyakan, seperti Mahisa Walungan.
Namun akhirnya, Mahisa Walungan yang mempunyai pandangan yang jauh dan matang terhadap dunia raya di sekitarnya dan dunia kecil pada dirinya, segera dapat menanggapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa lawannya bukannya manusia kebanyakan. Di sini ia melihat siapakah yang sebenarnya kekasih Yang Maha Agung. Bukan karena lawannya Sri Rajasa adalah Sang Amurwabumi adalah orang yang paling dikasihi oleh dewa-dewa. Tetapi orang itu, hanya sekedar alat untuk menumbangkan ketamakan yang selama ini telah mencengkam Kediri.
"Bukan kakanda Sri Kertajaya," berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya, "agaknya Kakanda Sri Kertajaya justru telah dikutuk oleh dewa dengan perantaraan orang ini."
Namun meskipun demikian, Mahisa Walungan tidak menghentikan perlawanannya. Tetapi mata hatinya seolah-olah telah melihat akhir dari peperangan ini. Karena itulah maka ia justru menjadi tenang. Dihadapinya lawannya dengan penuh kesungguhan namun pasrah kepada penciptanya Yang Maha Agung. Siapapun yng telah menggerakkan Sri Rajasa, lahiriah maupun batiniah, namun semua itu pasti merupakan pengejawantahan dari kehendak Yang Maha Tunggal, pusar dari semua perputaran langit dan bumi, yang besar yang meliputi alam raya dan yang kecil di dalam dirinya, namun juga yang menjadi sumber dari segala gerak dan kehendak dewa-dawa di langit yang menjadi peraganya dalam segala susunan dan kejadian.
Dalam pada itu, Gubar Baleman-pun telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Sebagai seorang Senapati tertinggi di samping Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun adalah seorang yang pilih tanding. Berpuluh tahun ia berguru di samping latihan-keprajuritan yang matang, sehingga di dalam dirinya telah tersimpan bekal yang rangkap untuk melakukan tugasnya. Dan kini ternyata bahwa ia adalah Senapati yang mumpuni.
Di dalam peperangan ini ternyata ia menjumpai seorang Senapati Singasari yang tidak disangkanya. Sebelumnya, sebagai seorang Senapati tertinggi di kerajaan Kediri, ia mengenal beberapa orang pemimpin Tumapel pada saat-saat Tunggul Ametung memegang kekuasaan, karena Tumapel termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang besar. Tetapi Gubar Baleman belum pernah mengenal orang ini. Bersamaan dengan timbulnya Ken Arok di dalam tampuk pimpinan pemerintahan Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Kerajaan Singasari, ternyata telah timbul pula beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Gubar Baleman telah mendengar pula, bahwa Witantra telah tersisihkan. Namun ia tidak menyangka, bahwa telah lahir seorang Senapati yang melampui kemampuan Witantra yang saat itu merupakan orang yang paling disegani di Tumapel di samping Tunggul Ametung sendiri.
Tetapi kini yang dihadapinya adalah seorang Senapati yang bernama Mahisa Agni, yang pasti agak lebih muda dari Witantra sendiri. Namun menurut penilaian Gubar Baleman, orang yang bernama Mahisa Agni ini telah memiliki kemampuan puncak di dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka perang di antara kedua pasukan yang dipimpin oleh Senapati-senapati yang tangguh itu menjadi semakin sengit. Hanya karena jumlahnya yang tidak seimbang sajalah yang membuat pasukan Kediri selalu terdesak.
Sementara, api peperangan membakar medan di sebelah Utara Ganter, pasukan yang berada di pinggir kota, yang ditinggalkan oleh Pujang Warit menjadi gelisah. Mereka mengerti bahwa Kediri terancam oleh bahaya yang benar-benar mencemaskan. Tetapi kini mereka dibiarkan duduk bertopang dagu sambil menunggu.
"Apakah yang dilakukan oleh Pujang Warit di istana?" bertanya salah seorang dari para prajurit itu.
"Tidur. Mungkin ia tertidur."
"Lalu apa yang dapat kami lakukan di sini."
"Juga tidur." Mereka-pun terdiam. Beberapa orang Senapati berjalan hilir mudik tidak menentu. Sekali-kali dipandanginya sepasukan prajurit yang bertebaran di jalan-jalan dan di halaman-halaman rumah. Sedang para penghuninya hanya berani mengintip dari celah-celah daun pintu yang merenggang. Mereka menjadi sangat cemas karena mereka mendengar bahwa api peperangan telah berkobar di sebelah Utara Ganter.
"Apa kerja mereka di sini?" bertanya seorang perempuan kepada suaminya yang telah sama-sama tua.
Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Dahulu ketika aku muda, sepengetahuanku, prajurit-prajurit itu berada di medan perang. Tetapi kini prajurit-prajurit berada di jalan-jalan dan di halaman-halaman sambil bertiduran."
Tetapi mereka tidak berani bertanya, kenapa prajurit-pra-pint itu tidak berada di medan.
"Aku akan menyusul," berkata seorang Senapati di antara para prajurit yang gelisah itu, "sejak semula aku sudah tidak setuju, bahwa pasukan ini ditarik dari medan. Sekarang, apa yang harus kita lakukan" Kalau kita harus menyusun pertahanan terakhir, kenapa kita dibiarkan saja tanpa perintah apapun?"
"Jangan," kawannya memperingatkan, "lebih baik kita ambil alih pimpinan selama Pujang Warit tidak ada. Kita susun sendiri pertahanan di dalam dinding kota. Kita siapkan semua kekuatan yang sekarang ada, sambil menunggu pasukan cadangan yang masih akan berkumpul."
"Aku tidak tahu, apakah kita telah melakukan sesuatu yang benar dipandang dari sudut keprajuritan. Menurut penilaianku, kalau kita gabungkan kekuatan kita dengan pasukan Adinda Sri Baginda, maka kita pasti akan dapat membendung pasukan Singasari itu."
"Itu bukan persoalan kita." jawab kawannya, "marilah kita manfaatkan waktu yang tersia-sia ini."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Siapakah yang tertua di antara kita, kami akan tunduk pada pimpinannya.
Para prajurit yang dibawa oleh Pujang Warit masuk ke kota itu-pun kemudian mengatur diri mereka sendiri di bawah pimpinan seorang Senapati yang mereka anggap tertua. Bagaimana-pun juga, namun jiwa prajurit Kediri yang mengalir di dalam dada mereka telah memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, justru pada saat Kediri terancam.
Sementara itu, Pujang Warit yang berada di istana sedang melakukan perang tanding melawan Sri Baginda Kertajaya. Meskipun ia tidak pernah berangan-angan bahwa pada suatu ketika ia medapat kehormatan untuk melakukannya namun di saat-saat ia tersudut di dalam suatu keharusan, maka ia-pun benar-benar telah bertekad untuk melakukan perang tanding sebaik-baiknya. Kalau ia kalah, ia pasti benar-benar akan mati. Tetapi kalau ia mendapat kesempatan memenangkan perang tanding itu, maka sudah tentu janji yang dibuat Sri Baginda akan ditaati oleh para Senapati bawahan yang ada di lingkaran perang tanding itu.
Demikianlah, maka perang tanding itu-pun segera dimulai. Sri Baginda Kertajaya dengan pedang prajuritnya, melawan Pujang Warit yang mempergunakan pedang pusakanya sendiri.
Mula-mula memang terasa canggung bagi Pujang Warit untuk berkelahi melawan Sri Baginda. Tetapi Sri Baginda yang melihat kecanggungan itu-pun berkata, "Perang tanding ini harus adil. Karena itu jangan segan, sebab kalau pedangku menusuk dadamu, kau akan benar-benar mati. Bukan sekedar berpura-pura mati."
Pujang Warit menggeretakkan giginya untuk mendapatkan keberanian sepenuhnya. Sejenak ia berusaha menghilangkan segala macam kesan dan anggapannya terhadap Sri Baginda, "Ia manusia biasa seperti aku." geramnya di dalam hati.
Dengan demikian maka perlahan-lahan Pujang Warit dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya.
Perang tanding itu-pun semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Sri Baginda telah berusaha membangkitkan nafsu pada lawannya untuk melawannya dengan sungguh-sungguh.
Ketika tangan Pujang Warit telah mulai dibasahi oleh keringat maka tandangnya-pun menjadi semakin bebas. Ternyata bahwa Pujang Warit memang seorang Senapati muda yang mempunyai beberapa kelebihan. Gerakannya yang lincah dan tangguh, ayunan senjatanya yang mantap dan serangannya yang cepat, telah meyakinkan para prajurit yang melihat perang tanding itu, bahwa Pujang Warit bukanlah seorang prajurit yang hampa.
Sri Baginda-pun semakin lama semakin menyadari, bahwa lawannya memang mempunyai beberapa kelebihan dari para Senapatinya yang lain. Dan kelebihan-kelebihan inilah agaknya yang telah membuat Pujang Warit menjadi congkak, sehingga kehilangan keseimbangan. Senapati muda ini merasa bahwa ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk memegang jabatan tertinggi di dalam tata keprajuritan di Kediri.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya adalah seorang raja yang perkasa. Itulah sebabnya, maka betapapun Pujang Warit berusaha menekan Sri Baginda dengan serangan-serangan yang mengalir seperti banjir, namun serangan-serangan itu hampir tidak berpengaruh sama sekali atas kedudukan Sri Baginda.
Setelah perang tanding itu berjalan beberapa lama, maka tampaklah perbandingan dari keduanya. Betapapun juga Pujang Warit mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun ia sama sekali tidak akan darat menembus pertahanan Sri Baginda yang serapat perisai baja.
Debar di dada Pujang Warit semakin lama menjadi semakin cepat. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar seorang raja yang tidak saja pandai memerintah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memaksakan perintahnya.
"Jangan sekedar bermain-main Pujang Warit. Aku bersungguh-sungguh. Anggaplah bahwa aku adalah pemangku jabatan penglima tertinggi pasukan Kediri yang kau inginkan itu, karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Walungan tidak ada bedanya dengan aku sendiri. Kami adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Ilmuku sama dengan ilmu Mahisa Walungan. Kemampuannya sama dengan kemampuanku. Bahkan ia agak lebih muda daripadaku, sehingga kekuatan jasmaniahnya masih lebih baik daripadaku."
Pujang Want menggeram. Kelincahannya tidak berhasil menembus putaran pedang Sri Baginda.
"Aku tidak akan dapat mengalahkannya dengan wantah," katanya di dalam hati.
Sekilas terlintas di angan-angannya kekuatan yang oleh gurunya diturunkannya kepadanya. Kekuatan yang melampaui kekuatan jasmaniah yang tampak. Gurunya telah memberikan ilmu kepadanya, untuk membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tenaga cadangan yang tersimpan, yang tidak pada setiap orang dapat dikuasai dan dipergunakan, pada Pujang Warit kekuatan itu sudah dapat dibangunkannya.
Itulah sebabnya, maka ketika ia merasa bahwa ia tidak lagi berpengharapan untuk memenangkan perang tanding itu dengan cara yang wajar, maka ia-pun telah bertekad untuk membangunkan ilmu yang dimilikinya dari perguruannya.
"Aku tidak mau mati," katanya di dalam hati, "seandainya setelah memenangkan perang tanding ini para Senapati pengawal tidak mentaati taruhan Sri Baginda, apa boleh buat. Tetapi tanpa berbuat begitu-pun aku akan mati pula di arena ini. Sedang mati itu tidak akan dapat terulang sampai dua kali."
Dengan demikian, maka Pujang Warit-pun berketetapan hati untuk mengakhiri perang tanding itu dengan ilmunya yang dahsyat.
Sejenak kemudian Pujang Warit itu-pun melangkah surut. Sekejap ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, sehingga tampaklah seakan-akan dari ubun-ubunnya mengepul uap yang putih. Demikian mapannya ia menguasai ilmunya, sehingga ia sama sekali tidak membuang waktu terlampau banyak. Ketika kemudian ia menggeretakkan giginya. maka kekuatan pamungkasnya itu-pun sudah terbangun dan mengulir di seluruh tubuhnya.
Sri Baginda yang memiliki ilmu hampir sempurna segera melihat, bahwa lawannya telah membangunkan ilmunya yang tertinggi. Ungkapan segenap kekuatan yang ada di dalam diri, agaknya benar-benar akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan demikian Sri Baginda tidak akan dapat melawannya dengan kekuatan wajarnya.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya, Maharaja di Kediri, yang bahkan pernah merasa dirinya titisan dewa itu-pun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan manusia kebanyakan, di saat-saat ia merasa bahwa ia tidak akan mungkin melawan puncak kekuatan dan ilmu lawannya dengan tenaga wajarnya itulah maka Sri Baginda-pun segera membangunkan ilmunya yang dirasanya akan dapat melindungi dirinya.
Sri Baginda Kertajaya masih belum tahu dengan pasti, betapa jauh Pujang Warit sudah berhasil menguasai dirinya sendiri. menguasai segala kekuatan yang ada pada dirinya. Karena itu, maka Sri Baginda tidak akan mau menjadi korban penjajagannya. Itulah sebabnya, maka Sri Baginda Kertajaya-pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Apalagi Sri Baginda yang telah berperang tanding beberapa waktu itu kemudian berkata kepada diri sendiri, "Memang aku harus segera mengakhiri perang tanding ini, agar aku mendapat kesempatan untuk memikirkan medan di sebelah Utara Ganter itu. Pujang Warit ternyata memang sudah tidak dapat diharapkan lagi. Supaya anak ini tidak akan menjadi penghalang untuk seterusnya, maka sebaiknya anak ini harus segera disingkirkan."
Pada saat itulah, Pujang Warit yang kini sudah menyandang aji pamungkasnya itu-pun meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah kepundak Sri Baginda Kertajaya. Ayunan pedang yang dilambari oleh kekuatan yang hampir tidak terkatakan, betapa besarnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat serangan yang datang dengan kekuatan raksasa itu. Karena itu, maka ia-pun segera bergeser selangkah. Untuk mengetahui kekuatan Pujang Warit, maka Sri Baginda-pun mengajunkan pedangnya pula, membentur pedang Pujang Warit.
Sekejap kemudian terjadilah benturan itu. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang dahsyat.
Para Senapati dan prajurit yang melingkari arena itu berdiri dengan mulut ternganga menyaksikan apa yang telah terjadi. Para Senapati yang menjadi saksi utama dari perang tanding itu-pun tegak mematung dengan tatapan mata yang tidak berkedip.
Benturan itu ternyata telah menaburkan bunga api yang memercik dari kedua senjata yang sedang beradu itu.
Namun ternyatalah kemudian bahwa kedua bilah pedang itu memang berbeda. Pujang Warit yang kemudian meloncat setapak surut sambil menyeringai karena sengatan yang pedih di tangannya, masih berhasil mempertahankan pedangnya. Dengan wajah yang tegang ia melihat Sri Baginda Kertajaya berdiri termangu-mangu sambil memandangi senjatanya. Ternyata pedang yang ada di dalam genggaman Sri Baginda itu telah patah di tengah.
Pedang yang patah itu agaknya telah mengejutkan semua orang yang ada di sekitar arena. Para Senapati yang menjadi saksi dari perang-tanding itu tiba-tiba menjadi pucat. Mereka menyadari ketentuan yang berlaku, bahwa seseorang yang kehilangan senjatanya di dalam perang tanding, tidak akan mendapatkan senjata pengganti.
Dan kini ternyata pedang Sri Baginda Kertajaya itu telah patah.
Pujang Warit memandangi pedang yang patah itu sejenak. Sekilas tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa seandainya pedang Sri Baginda itu tidak patah, maka pedangnya sendirilah yang akan terloncat dari genggaman karena benturan kekuatan itu.
Bagaimana-pun juga Pujang Warit harus mengakui, bahwa kekuatan Sri Baginda masih belum dapat diimbanginya. Meskipun ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangan yang telah dikuasainya, namun ternyata Sri Baginda masih jauh lebih perkasa.
Tetapi kini pedang Sri Baginda itu telah patah.
Bersamaan waktunya dengan patahnya pedang Sri Baginda, pasukan Kediri di medan perang Ganter telah terdesak jauh kebelakang. Betapa para prajurit Kediri berjuang tanpa mengenal menyerah, tetapi semakin lama semakin tampak, bahwa Singasari mempunyai cukup kemampuan untuk mendesak dan perlahan-lahan tetapi pasti menghancurkan pasukan Kediri.
Mahisa Walungan yang ada di ujung pasukan, dan sedang bertempur melawan Sri Rajasa, menjadi sangat berprihatin atas korban yang berjatuhan tak terhitung lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena lawannya sendiri adalah seorang yang aneh. Bahkan Gubar Baleman-pun kemudian menjadi cemas. Apakah pasukan Kediri benar-benar akan pecah"
Sebagai seorang prajurit Gubar Baleman telah berbuat sebaik-baiknya. Seorang melawan seorang Gubar Baleman ternyata dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni yang perkasa. Mahisa Agni yang telah berhasil menempatkan dirinya, sejajar dengan gurunya dan dengan orang-orang yang berada di dalam lapisan tertinggi dari ilmu olah kanuragan.
Tetapi ternyata Senapati Kediri itu-pun memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga dengan demikian pertempuran itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Darah menjadi semakin banyak mengalir, membasahi tanah yang berdebu.
Panas yang semakin terik telah membakar padang yang merah oleh darah. Tetapi keringat yang membasahi tubuh para prajurit itu bagaikan minyak yang menitik ke dalam api, dan membuat nafsu mereka semakin menyala-nyala. Hanya ada dua kemungkinan di dalam peperangan, membunuh atau dibunuh.
Sri Baginda Kertajaya. meskipun tidak menyaksikan peperangan itu, namun ia dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Karena itu ia merasa wajib untuk segera membantu. Tetapi kini pedangnya justru patah.
Pujang Warit yang melihat pedang Sri Baginda patah, dan setelah pedih di tangannya oleh benturan kedua senjata itu menjadi berkurang, tiba-tiba saja merasa bahwa ia sudah berdiri di ambang pintu kemenangan. Selangkah lagi ia maju maka ia akan dapat memenangkan perang tanding ini. Perang tanding yang mempertaruhkan segala-galanya yang paling berharga di Kediri.
Karena itu oleh perasaannya yang meluap-luap, tiba-tiba Pujang Warit kehilangan pengamatan diri. Ia merasa seolah-olah ia sudah menggenggam taruhan yang disediakan oleh Sri Baginda. Karena itu, maka Senapati muda itu mengacukan pedangnya dengan tangan kanan ke arah Sri Baginda, sedang tangan kirinya bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, "Nah. Sri Baginda Kertajaya. Jangan menyesal bahwa hari-hari akhirmu sudah tiba. Kau ternyata telah ditelan oleh ketamakanmu sendiri. Kau yang merasa dirimu titisan dewa tertinggi, kini harus bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang Maharaja kau tidak dapat mengingkari apa yang sudah kau katakan. Taruhan dari perang tanding ini bukan saja nyawa kita, tetapi juga kekuasaan Tunggal di Kediri."
Sri Baginda Kertajaya sejenak diam mematung melihat sikap Pujang Warit. Dengan penuh keheranan ia menyaksikannya tertawa terbahak-bahak sambil bertolak-pinggang.
"Apakah anak ini sudah menjadi gila?" bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
"Kertajaya," Pujang Warit berteriak, "sebaiknya kau menyerah. Aku tidak akan membunuhmu dengan sewenang-wenang. Aku akan melaksanakan hukuman matimu dengan cara yang paling terhormat. Sedang saudara-saudara perempuanmu tidak akan menjadi tersia-sia. Tetapi kalau kau tetap berkeras hati melawan aku dan melanjutkan perang tanding ini, maka kau akan mati di tengah-tengah arena sebagai seekor ayam yang kalah dalam aduan."
Keheranan Sri Bagmda kemudian telah memuncak. Perlahan-lahan perasaan heran itu telah berubah menjadi kemarahan yang semakin membakar dadanya. Sikap Pujang Warit tiba-tiba menjadi degsura. Tidak lagi sebagai sikap seorang Senapati terhadap rajanya.
"Apa katamu Kertajaya?"
Sri Baginda memandang berkeliling sesaat. Dilihatnya wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan perang-tanding itu.
"Aku tidak tahu. kenapa kau tiba-tiba saja mengigau Pujang Warit?" berkata Sri Baginda kemudian, "kenapa tiba-tiba saja kau menganggap bahwa perang tanding ini sudah selesai, sedang aku masih berdiri tegak di sini" Kalau karena pedangku patah, kau mengambil kesimpulan bahwa aku tidak akan mampu melawanmu lagi, agaknya kau keliru. Bukankah pedangku masih separo" Tentu yang separo ini justru menjadi lebih kuat. Karena daun pedang ini lebih pendek, maka ia pasti tidak akan patah lagi. Nah, daripada kau mengigau, marilah, kita lanjutkan saja perang tanding ini."
"He," Pujang Warit yang sedang dicengkam oleh mabuk kemenangan itu menyahut, "kenapa kau tidak mau melihat kenyataan ini" Dengan pedang yang utuh kau tidak dapat memenangkan perang tanding ini. Apalagi dengan pedang buntungmu itu."
"Jangan banyak bicara," Sri Baginda akhirnya kehilangan kesabaran, "marilah kita lihat akhir dari perang tanding ini. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi melayani orang yang sedang mabuk seperti kau ini. Sementara ini aku harus segera pergi ke Utara Ganter untuk menolong Mahisa Walungan dan Gubar Baleman."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ia tidak melihat kecemasan membayang di wajah Sri Baginda. Dan para Senapati serta para prajurit-pun menjadi heran. Sri Baginda masih tetap tenang dan sama sekali tidak terpengaruh oleh pedangnya yang patah.
"Apakah kau akan berbuat curang?" bertanya Pujang Warit, "apakah kau berhasrat mengganti senjatamu" Itu tidak dibenarkan oleh ketentuan perang tanding bagi para kesatria."
"Siapa yang bilang bahwa aku akan mengganti senjataku" Aku akan mempergunakan senjataku yang patah ini. Ini justru akan lebih baik bagiku," jawab Sri Baginda.
Mata Pujang Warit yang kemerah-merahan menjadi semakin merah dibakar oleh kemarahan di dalam dadanya. Sri Baginda Kertajaya yang sudah kehilangan senjatanya itu masih juga berani menengadahkan dadanya. Karena itu, maka sambil menggeretakkan giginya ia berkata, "Maharaja Kertajaya yang sudah kehilangan wahyu. Kau sudah tidak berhak lagi untuk menengadahkan wajahmu di hadapan rakyat Kediri. Sudah sampai waktunya kau berlutut sambil menundukkan kepalamu. Akulah yang akan memotong lehermu di hadapan para Senapati dan prajurit pengawal."
Kemarahan Sri Baginda-pun hampir-hampir tidak tertahankan lagi. Tetapi sebagai seorang Maharaja, ia tidak dapat berbuat sekasar Pujang Warit. Karena itu maka ia hanya dapat menjawab, "Marilah kita buktikan."
Pujang Warit yang masih berdiri bertolak pinggang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia-pun terpaksa berkepanjangan untuk melepaskan kemarahannya yang menyesak, "kau memang seorang raja yang paling bodoh yang pernah aku kenal."
Sri Baginda tidak menyahut. Tetapi justru karena kemarahan yang memuncak, maka seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya telah terungkat. Dengan tangan gemetar menggenggam pedangnya yang patah Sri Baginda melangkah setapak demi setapak maju. Ditatapnya Pujang Warit dengan tajamnya. Namun kemudian ia membentak, "Pujang Warit. Jangan lengah."
Suara Pujang Warit-pun segera terputus. Ia melihat Sri Baginda menjadi semakin dekat.
Kini Pujang Warit menghadap kepada Sri Baginda. Wajahnya menjadi semakin menyala, sedang pedangnya kini terjulur lurus ke depan. Sejenak ia memandang Sri Baginda, namun sejenak kemudian ia-pun meloncat maju menyerang dengan garangnya.
Sri Baginda menyadari bahwa Pujang Warit masih berada di dalam puncak kekuatannya. Ia masih mempergunakan aji pamungkasnya. Karena itu, maka Sri Baginda-pun harus menyesuaikan dirinya pula.
Ternyata kemudian, bahwa meskipun pedang Sri Baginda tinggal sepotong, namun Sri Baginda masih dapat mempergunakannya dengan baik. Sambil memiringkan tubuhnya Sri Baginda memukul ujung pedang Pujang Warit kesamping.
Sekali lagi sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Sekali lagi bunga-api memercik keudara. Namun pedang yang tinggal sepotong itu memang tidak patah lagi.
Pujang Warit yang merasa senjatanya masih utuh, segera melakukan serangan beruntun. Kalau ia ingin menang, maka ia harus segera mengakhiri perang-tanding itu, selagi Sri Bnginda masih dicengkam oleh keadaan yang mengecilkan hati itu.
Namun ternyata bahwa pedang yang patah itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya.
Maka sejenak kemudian perang tanding itu-pun berlangsung semakin sengit. Kini mereka mempergunakan puncak-puncak dari ilmu mereka sehingga setiap gerak dan ayunan senjata mereka, tampak menjadi lebih garang dan lebih dahsyat.
Tidak seorang-pun berani mendekati arena. Sebenarnya bukan hanya Pujang Warit sajalah yang mampu menampakkan ilmu yang dahsyat yang tersimpan pada diri mereka. Tetapi ternyata bahwa Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan di dalam dirinya itulah yang telah membuatnya menjadi sombong.
Dengan demikian, kini di arena itu sedang bertempur dua orang yang telah dicengkam oleh ketamakannya masing-masing. Sri Baginda Kertajaya, meskipun di saat-saat terakhir ia menyadarinya, betapa ia telah kehilangan pegangan, melawan Pujang Warit.
Namun bagi mereka yang memiliki pengamatan yang tajam, segera dapat melihat, bahwa meskipun Sri Baginda mempergunakan pedang yang patah, namun kemampuan Pujang Warit masih belum dapat menyamainya. Apalagi apabila keduanya mempergunakan senjata yang seimbang. Maka Pujang Warit akan segera merasai kesulitan dari perang tanding itu.
Sri Baginda yang mempergunakan pedang yang patah itu-pun kemudian telah berusaha untuk segera mengakhiri perang tanding. Geraknya menjadi semakin cepat, dan serangannya menjadi semakin garang.
Pujang Warit mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun lawannya hanya mempergunakan pedang yang patah, namun ia masih mampu bertempur seperti seekor burung garuda.
Betapa Pujang Warit mempergunakan aji pamungkasnya namun kekuatan manusia memang terbatas. Demikian pula kekuatan yang ada di dalam dirinya. Setelah beberapa saat ia memeras segenap tenaga yang ada di dalam dirinya, bahkan segenap tenaga cadangannya, namun masih belum juga berhasil mengalahkan lawannya, tampaklah bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya menjadi semakin lama semakin surut.
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun menjadi semakin terdesak pula karenanya, sehingga pada suatu saat Pujang Warit merasa bahwa kemenangan yang sudah terbayang itu-pun menjadi semakin kabur kembali, sejalan dengan nalarnya yang menjadi semakin kabur pula, sehingga susunan tata perkelahiannya-pun menjadi semakin kehilangan arah.
Sejenak kemudian Sri Baginda merasa bahwa saatnya telah tiba. Apalagi ingatannya tentang pasukan di sebelah Utara Ganter yang pasti memerlukan bantuan. Karena itulah, maki betapa beratnya hati Sri Baginda, namun ia harus mengakhiri perang tanding itu.
Maka dengan garangnya Sri Baginda-pun menyerang lawannya dengan segenap kemampuannya yang meskipun sudah susut pula, namun masih jauh melampaui kekuatan Pujang Warit. Kedua senjata yang masih saja tetap berbenturan itu, menjadi semakin nyata bahwa Pujang Warit hampir-hampir tidak berdaya lagi melawan kekuatan Sri Baginda, meskipun pedang Sri Baginda patah dan tajamnya telah kikis. namun di saat-saat terakhir senjata itu bagaikan paruh burung rajawali yang mengitari dahi Pujang Warit.
Ketika Pujang Warit terdorong oleh benturan kedua senjata itu. dan terhuyung-huyung beberapa langkah surut Sri Baginda meloncat maju.
Pujang Warit tidak dapat berbuat lain karena keseimbangannya terganggu. Yang dilakukan kemudian adalah menjulurkan pedangnya lurus-lurus. Ia merasa bahwa senjatanya itu lebih panjang dari senjata Sri Baginda, sehingga Sri Baginda tidak akan dapat mencapainya dengan senjata patah itu.
Tetapi Sri Baginda berhasil menggeliat dan mengekang diri. Dengan daun pedangnya yang separo itu ia memukul Pedang Pujang Warit yang belum berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya itu, sehingga Pujang Warit berputar setengah lingkaran.
Sri Baginda tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sebuah loncatan panjang ia menjulurkan pangkal pedangnya ke atas lambung lawannya.
Namun Pujang Warit tidak menyerah begitu saja. Ia tidak membiarkan lambungnya berlubang oleh pangkal pedang. Karena itu, justru ia membanting dirinya untuk menghindari tusukan lawannya.
Sri Baginda terkejut melihat cara Pujang Warit menghindar. Dengan tangkasnya Sri Baginda meloncat memburu Pujang Warit yang sedang berguling. Tetapi langkahnya-pun tertegun karena sambil berbaring Pujang Warit mengayunkan pedangnya mendatar.
Sri Baginda yang berdiri selangkah dari Pujang Warit terpaksa meloncat menghindari sambaran pedang pada mata kakinya itu. Ternyata bahwa Pujang Warit masih berusaha melawan sekuat-kuat tenaganya.
Serangan itu agaknya telah memberi kesempatan Pujang Warit untuk sekali lagi berguling kemudian melenting dengan tangkasnya, berdiri di atas kedua kakinya.
Namun begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka terasalah sesuatu menyengat lambungnya, sehingga ia-pun menyeringai karenanya.
Pujang Warit tidak sempat berbuat apapun ketika pedang Sri Baginda yang tinggal separo itu menghunjam di lambungnya. Geraknya yang terlampau cepat, telah berhasil menembus pertahanan Senapati muda yang masih menggenggam pedang.
Tetapi Pujang Warit tidak sempat lagi mengayunkan pedangnya yang masih belum cacad sama sekali itu. Ketika Sri Baginda menarik pedangnya yang patah itu, darah menyembur dari luka di lambung Pujang Warit.
Senapati muda itu masih mencoba untuk berdiri. Tetapi kekuatannya serasa telah larut. Namun demikian justru di saat-saat terakhir itu ia benar-benar telah menjadi mabuk. Pujang Warit sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirinya. Selama ini ia sudah merasa menggenggam kemenangan, bahkan seakan-akan ia sudah menerima taruhan yang dijanjikan oleh Sri Baginda, kekuasaan tertinggi di Kediri.
Kalau tiba-tiba pedang Sri Baginda menembus lambungnya, itu adalah suatu kejutan yang tidak masuk di akalnya, sehingga meskipun kekuatannya telah lenyap, namun ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu.
Di saat-saat tubuhnya sudah demikian lemahnya, sehingga ia jatuh berjongkok di atas lututnya dan bersandar pada ke dua belah tangannya, ia masih berteriak, "He, Kertajaya, menyerahlah. Akulah yang akan menjadi Maharaja di Kediri. Ayo kalian prajurit, berlutut. Berlutut."
Para prajurit yang berdiri mengitari arena itu diam mematung. Mereka memandang mata Pujang Warit yang merah dan liar. Namun demikian, tumbuhlah perasaan iba dan kasihan di hati mereka melihat akhir yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduga-duga sama sekali.
Perlahan-lahan Sri Baginda maju selangkah. Ditatapnya wajah Pujang Warit yang kian menjadi pucat. Tubuhnya-pun kemudian menjadi semakin menggigil. Sehingga sejenak kemudian ia sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk berjongkok pada lututnya.
Perlahan-lahan tubuh Pujang Warit itu-pun terkulai di tanah. Darah yang merah masih saja mengalir dari lambungnya.
"He. He," ia masih mencoba berteriak, "akulah Maharaja Kediri sekarang."
Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Ya, kaulah Sri Maharaja di Kediri."
"Ayo berjongkok di hadapanku."
"Aku sudah berjongkok."
Pujang Warit mencoba mengangkat wajahnya dan membuka matanya yang semakin merah. Dilihatnya Sri Baginda berjongkok di sampingnya.
Setiap dada berdesir karenanya, ketika mereka melihat Pujang Warit itu tersenyum. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian kepala itu-pun menjadi semakin lemah. Perlahan-lahan Pujang Warit meletakkan kepalanya yang sudah tidak terangkat lagi oleh lehernya. Dan sekejap kemudian, maka terdengarlah tarikan nafasnya yang terakhir. Pujang Warit telah terbunuh di arena perang tanding oleh ketamakannya sendiri.
Sri Baginda Kertajaya-pun kemudian berdiri perlahan-lahan. Untuk pertama kalinya ia melakukan perang tanding melawan seorang Senapatinya sendiri, karena hukuman yang dijatuhkannya kepada dirinya sendiri.
"Singkirkan orang ini," berkata Sri Baginda, "kuburkan ia baik-baik. Nafsunya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh Kediri."
Ketika Sri Baginda kemudian memalingkan wajahnya dan memandang dua orang penasehatnya yang telah memberi kesempatan kepada Pujang Warit untuk merampas kedudukan keprajuritan yang tertinggi dengan nasehat-nasehatnya yang menyesatkan, maka kedua orang itu merasa, seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah dicopoti. Keduanya sama sekali tidak mempunyai perisai apapun juga selain Pujang Warit. Dan kini Pujang Warit telah terbunuh.
Sambil berlutut mereka merayap ke hadapan Sri Baginda sambil menyembah, "Ampun Tuanku. Ampunkan kami. Kami telah menyadari segala kesalahan kami."
Sri Baginda memandang keduanya dengan sorot mata yang seakan-akan membara. Dengan suara yang parau Sri Baginda berkata, "Kalian adalah pengecut yang paling licik, masih lebih menghargai Pujang Warit yang berani mempertanggung jawabkan kesalahannya sebagai seorang jantan. Tetapi kalian?"
"Ampun Tuanku. Yang dapat hamba lakukan hanyalah mohon kasihan Tuanku."
Sri Baginda termenung sejenak. Kemudian katanya kepada penasehatnya yang lain, "Apakah kata paman tentang kedua orang kawan paman ini?"
Penasehat yang tertua menganggukkan kepalanya dalam-dalam, "Tuanku keduanya telah mencemarkan nama baik para penasehat Tuanku."
"Hukuman apakah yang pantas dijatuhkan atas mereka?"
Penasehat itu tidak menyahut.
Sejenak kemudian Sri Baginda berpaling kepada Senapati yang menjadi saksi utama dalam perang tanding ini. Katanya, "Keduanya adalah pengkhianat. Akibatnya terasa oleh seluruh rakyat Kediri."
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
"Hukuman apakah yang pantas bagi keduanya aku serahkan kepada kalian."
"Ampun Tuanku. Ampun," keduanya berteriak hampir berbareng.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya. Karena tiba-tiba saja Sri Baginda berkata lantang, "Sediakan kudaku. Ambillah pusakaku. Aku akan menangani sendiri pasukan yang telah diracuni oleh Pujang Warit. Aku akan membawa mereka ke sebelah Utara Ganter. Akulah yang paling pantas untuk melawan Akuwu Tumapel yang telah memberontak dan menamakan dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwa-bumi itu."
Beberapa orang Senapati saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang beranjak dari tempatnya, sehingga Sri Baginda harus mengulanginya, "Ambil kudaku."
"Tetapi tuanku," seorang Senapati memberanikan diri untuk bertanya, "apakah Tuanku sendiri akan maju ke medan perang?"
"Ya," jawab Sri Baginda.
"Tuanku. Kami masih ada di halaman istana ini. Apakah Tuanku tidak memerintahkan saja kepada kami, agar kami berangkat ke peperangan?"
"Aku sendiri akan menguasai lebih dahulu orang-orang Pujang Warit supaya tidak timbul persoalan baru."
"Tuanku dapat memerintah kami. "
"Kali ini aku sendiri akan pergi. Cepat. Ambil kudaku."
Para Senapati itu tidak dapat membantah lagi. Namun demikian salah seorang yang lain berkata, "Apakah Tuanku berkenan, kami ikut serta bersama dengan Tuanku?"
Sri Baginda berpikir sejenak. Lalu, "Baiklah. Tetapi kalian harus mengatur diri, sehingga sebagian dari kalian tetap berada di dalam halaman istana ini."
"Hamba Tuanku. Kalau begitu perkenankanlah kami mempersiapkan diri."
Sejenak kemudian halaman istana itu-pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang pengawal telah mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti Sri Baginda kepinggir kota.
Ketika mereka sudah siap dengan kuda masing-masing, maka Sri Baginda-pun segera berkata, "Marilah, kita tidak mau terlambat."
Maka Sri Baginda-pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan sebuah sentuhan cemeti, maka kuda itu-pun segera meloncat berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh para Senapati dan prajurit pengawal istana.
Derap kuda-kuda itu-pun segera menggema di jalan-jalan raya. Sri Baginda kali ini hampir tidak ditandai oleh kelengkapan kebesarannya, selain pusakanya yang berbentuk tombak dengan sehelai panji-panji kecil, sebuah panji-panji yang terikat pada tunggul yang berwarna keemasan, berbentuk seekor gajah dengan belalainya yang mencuat keatas dan sebuah payung pusaka, yang juga berwarna kuning keemasan, masing-masing dibawa oleh seorang Senapati pengiring.
Beberapa orang yang melihat-lihat iring-iringan itu menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Ciri-ciri itu adalah ciri kebesaran Sri Baginda meskipun tidak lengkap.
"Apakah Sri Baginda sendiri turun ke medan perang?" mereka menjadi saling bertanya.
"Ya. Aku pasti. Yang paling depan adalah Sri Baginda."
"Bukan. Bukan yang paling depan," bantah yang lain, "yang paling depan adalah seorang Senapati pengiring. Sri Baginda memang ada di dalam pasukan berkuda itu, tetapi yang nomor dua dari depan. Bukan yang paling depan."
"Yang membawa tombak." sahut yang lain.
"Pasti bukan, yang membawa tombak, panji-panji dan sosong itu adalah Senapati pengiring."
"Oh, kita tidak akan dapat melihat Sri Baginda," berkata yang lain, "Baginda adalah titisan dewa-dewa. Kita pasti akan selalu berselisih pendapat, karena sebenarnya Sri Baginda tidak dapat kita ketahui dengan pasti, karena Sri Baginda mampu mengaburkan dirinya sendiri dalam segala bentuk."
Yang lain tidak menyahut lagi. Sebagian dari mereka percaya bahwa Sri Baginda adalah titisan dewa, sehingga ia dapat menyamar dirinya dalam bentuk apapun yang dikehendaki.
Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun kemudian berderap dengan cepatnya di atas tanah berbatu-batu melemparkan debu yang putih, mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu.
Di pinggir kota pasukan yang ditinggalkan Pujang Warit telah benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Mereka kini sudah tidak tahu lagi. apa yang harus mereka kerjakan. Padahal mereka tahu pasti, bahwa sebagian prajurit Kediri sedang bertempur mati-matian melawan prajurit, Singasari yang lebih besar jumlahnya.
Yang dapat mereka lakukan adalah membangun pertahanan sementara sambil menunggu kedatangan Pujang Warit.
Ketika seorang pengawas melihat beberapa ekor kuda berderap mendekati pasukan, maka segera ia berteriak, "Mungkin yang datang itulah Senapati Pujang Warit."
Senapati tertua di antara mereka, bersama beberapa orang Senapati yang lain segera berlari-lari untuk melihat mereka yang baru datang. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, "Kau lihat songsong pusaka yang berwarna kuning emas?"
"Ya," desis kawannya, "baru saja aku akan melihatnya."
"Apakah Sri Baginda sendiri?"
"Atau Pujang Warit sudah mendapat wewenang" Kalau demikian maka songsong pusaka itu bernilai lebih tinggi dari songsong kebesaran yang dipergunakan oleh Mahisa Walungan, sehingga Pujang Warit berhak memimpin segenap pasukan Kediri. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman harus tunduk di bawah perintahnya."
"Tetapi kau lihat panji-panji kecil pada tombak pusaka itu, dan sekaligus panji-panji pada tunggul Kiai Gajah?"
"Itu adalah kelengkapannya."
"Tetapi itu sama sekali bukan Pujang Warit," berkata seorang prajurit.
"Sri Baginda, Sri Baginda sendiri," berkata seseorang hampir berteriak.
Semua-pun segera terdiam. Mereka kini melihat, bahwa orang yang berkuda di paling depan, didampingi oleh Senapati pengapit itu adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Darah para prajurit itu-pun serasa hampir membeku. Ada beberapa persoalan yang bergolak di dada mereka. Namun salah seorang dari mereka bergumam, "Apakah Pujang Warit dianggap bersalah dan Sri Baginda sendiri datang kemari" "
"Atau Pujang Warit ada juga di dalam pasukan kecil itu?"
Sejenak kemudian semua orang justru terdiam. Meleka melihat iring-iringan itu menjadi semakin dekat.
Ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah dari mereka, maka para Senapati itu-pun menganggukkan kepala mereka dalam-dalam. Salah seorang yang dianggap tertua dari mereka berkata sambil menundukkan kepalanya, "Sri Baginda sendiri berkenan datang ke tempat ini."
"Ya," jawab Sri Baginda, "aku ingin melihat apa yang telah terjadi."
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diberani-beranikan dirinya untuk bertanya dengan hati-hati, "Ampun Tuanku. Beberapa saat yang lampau, Tuanku telah memanggil Pujang Warit untuk menghadap."
Sri Baginda mengerutkan keningnya, "Ya. Aku telah memanggil Pujang Warit. Tetapi jangan hiraukan dia. Aku sendiri akan memimpin pasukan Kediri. Nah, siapa yang tetap setia kepadaku akan serta bersamaku."
Senapati yang ada di tempat itu-pun mulai meraba apa yang telah terjadi dengan Pujang Warit. Tetapi mereka tidak sempat untuk berpikir terlampau lama karena Sri Baginda segera berkata lantang, "Siapa yang menolak kehadiranku sebagai pemimpin dan Senapati tertinggi dari pasukan Kediri sekarang, aku beri kesempatan untuk menyingkir?"
Dada para Senapati itu-pun terguncang karenanya. Namun tidak seorang-pun yang menolak kepemimpinan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
"Nah, kalau kalian menerima kehadiranku sebagai pemimpin kalian, maka kalian harus bersiap. Kita tidak akan menunggu di sini. Kita akan berangkat ke sebelah Utara Ganter. Hari ini kita harus menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. sebelum Tumapel berhasil memecah pasukan Kediri yang lemah karena kalian berada di sini."
"Kami berada di sini atas perintah Pujang Warit Tuanku."
"Aku tahu. Cepat. Kalian persiapkan prajurit-prajurit kalian masing-masing."
Para Senapati itu-pun segera berlari ke pasukannya masing-masing. Mereka dengan singkat telah menyampaikan perintah Sri Baginda, bahwa mereka akan segera pergi ke medan di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Terasa darah para prajurit itu semakin cepat mengalir. Mereka telah mendapat kehormatan, bertempur di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Dengan penuh kesungguhan mereka-pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Pertahanan yang sudah mereka susun sementara itu-pun segera terurai. Pasukan-pasukan yang sudah menebar di sepanjang dinding kota di sekitar regol induk itu-pun kemudian berkumpul kembali untuk segera berangkat kegaris perang di sebelah Utara Ganter.
Setelah semua persiapan selesai, maka Senapati tertua itu-pun segera menghadap Sri Baginda sambil berkata, "Ampun Tuanku. Seluruh pasukan telah siap menjalankan perintah Tuanku."
"Bagus, kita akan segera berangkat."
"Kami sudah bersedia."
Sri Baginda-pun kemudian menempatkan dirinya di ujung barisan, bersama para Senapati pengiring dan para Senapati yang membawa tanda-tanda kebesarannya yang tidak lengkap. Sebuah songsong pusaka, tombak pusaka dan sebuah panji pada tunggul Kiai Gajah.
"Kita berangkat," teriak Sri Baginda Kertajaya itu sejenak kemudian yang disambut oleh para Senapati dengan memberikan aba-aba kepada pasukan masing-masing.
Namun ketika pasukan itu mulai bergerak, Sri Baginda Kertajaya mengangkat tangannya sehingga dengan tiba-tiba pasukan itu-pun tertegun.
"Kau lihat debu itu?" bertanya Sri Baginda kepada Senapati pengapit yang ada di sampingnya.
"Hamba Tuanku."
"Seekor kuda." "Hamba Tuanku."
Sri Baginda mengerutkan keningnya. "Seorang penghubung dari medan."
"Hamba Baginda. Seorang penghubung dari medan."
"Kita tunggu sebentar. Mungkin ia membawa berita penting tentang peperangan."
Sejenak kemudian maka kuda yang berderap itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat. Para Senapati yang melihat penghubung itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Sri Baginda sendiri. Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat penghubung yang berlumuran darah itu membawa payung kebesaran Mahisa Walungan yang tangkainya telah patah di tengah.
"He, kemarilah," teriak Sri Baginda tidak sabar.
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia-pun terkejut ketika dilihatnya Sri Baginda sendiri yang ada di ujung barisan.
"Ampun Tuanku," penghubung itu-pun segera menarik kendali kudanya dan meloncat turun. Dengan serta-merta ia berjongkok di sisi kuda Sri Baginda.
"Berdirilah, cepat katakan apa yang terjadi."
"Ampun Tuanku," dengan ragu-ragu orang itu berdiri terhuyung-huyung. Dari seluruh tubuhnya yang terluka parah, mengalir darah yang merah hitam. Seorang Senapati segera menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Cepat, katakan apa yang terjadi," teriak Sri Baginda.
"Tuanku. Hamba membawa songsong kebesaran Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan yang telah patah."
"Ya. aku sudah melihat."
"Ampun Tuanku. Adinda Sri Baginda telah gugur di medan peperangan."
"He. Mahisa Walungan telah gugur?" suara Sri Baginda melengking tinggi menggetarkan udara yang sedang dibakar oleh terik matahari.
Setiap dada tergetar mendengar berita gugurnya Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Meskipun orang-orang Pujang Warit sebelumnya menganggap bahwa Adinda Sri Baginda itu telah berkhianat seperti yang pernah dikatakan oleh Pujang Warit, namun kini mereka-pun menyadari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat.
Sejenak Sri Baginda Kertajaya merenung. Sri Baginda adalah seorang prajurit yang berhati jantan. Sebagai seorang Maharaja ia berhati sekeras baja. Tetapi ketika ia mendengar adik kandungnya gugur di peperangan setelah ia sendiri melukai hati adiknya itu, terasa kerongkongannya menjadi panas.
"Siapa yang telah membunuh Mahisa Walungan?" suara Sri Baginda hampir tidak terdengar.
Penongsong yang telah membawa payung kebesaran Mahisa Walungan itu menjawab dengan suara yang tersendat-sendat, "Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Terdengar Sri Baginda menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar suaranya lantang, "Aku sendiri aku melawannya di peperangan."
Dengan kedua kakinya Sri Baginda menyentuh perut kudanya. Namun sebelum kuda itu meloncat maju, penongsong yang sudah terlampau lemah itu masih berusaha meloncat memegang tali kendali kuda Sri Baginda sambil berkata, "Ampun Tuanku. Jangan pergi sekarang."
Kuda Sri Baginda melonjak karena kejutan di perut dan tali kendalinya, sehingga penongsong yang terluka itu terseret beberapa langkah.
Senapati yang menolongnya berdiri tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga dengan tergesa-gesa ia berlari-lari menolong orang yang terlempar itu, sedang Senapati yang lain memegangi tali kuda Sri Baginda yang melonjak-lonjak dan berusaha menenteramkannya.
"Kenapa kau halangi aku, he?" teriak Sri Baginda.
"Ampun Tuanku," penongsong itu menjadi semakin lemah, sedang darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya, "ampun Tuanku. Pasukan Kediri sedang terdesak. Sebaiknya Sri Baginda sendiri tidak pergi ke peperangan tanpa pasukan yang lengkap."
"Di sini ada pasukan segelar sepapan."
"Kalau Sri Baginda pergi bersama pasukan ini, hamba akan ikut pula. Tetapi kalau Sri Baginda mendahului di atas punggung kuda ini, maka Sri Baginda akan berada dalam bahaya."
Sri Baginda Kertajaya merenung sejenak. Namun ia kemudian berkata, "Justru pasukan itu ada dalam kesulitan. Aku harus secepatnya pergi ke medan."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi medan terlampau berbahaya saat ini."
Tiba-tiba seorang Senapati maju sambil membungkukkan kepalanya, "Biarlah kami yang saat ini berada di atas punggung kuda pergi mendahului. Meskipun kami tidak terlampau banyak, tetapi kami akan dapat sekedar membantu, sementara Sri Baginda membawa pasukan segelar sepapan ini ke medan."
Sri Baginda merenung sejenak, dan Senapati itu mendesaknya, "Waktu terlampau sempit Sri Baginda."
Sri Baginda Kertajaya tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya.
Isyarat itu tidak usah diulanginya. Senapati itu mengangguk dalam-dalam kemudian ia-pun segera berlari meloncat keatas punggung kudanya sambil berteriak, "Kita yang berada di punggung kuda diperkenankan mendahului pasukan. Keadaan sangat gawat di medan perang."
Senapati itu segera memacu kudanya tanpa menunggu kawan-kawannya. Namun sejenak kemudian setiap kuda-pun segera berlari menyusulnya berderap di atas jalan berbatu-batu. Maka kemudian debu yang kelabu-pun berhamburan di atas jalan yang menuju ke Ganter.
Bukan saja pasukan pengawal yang telah memacu kudanya ke medan perang. Prajurit-prajurit yang ada di pinggir kota sebagian telah berusaha mendapatkan kuda-kuda yang ada di dalam pasukan itu. Kuda-kuda penghubung dan kuda-kuda bagi para pimpinan. Bahkan satu dua di antara mereka telah masuk ke padukuhan terdekat. Membuka kandang-kandang kuda yang mereka ketemukan, dan memakainya untuk menyusul para prajurit yang sudah terdahulu.
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Baru kali ini pasukan Kediri menghadapi lawan dalam keadaan tercerai berai, seolah-olah bukan lagi sebuah pasukan dari negara yang besar. Dengan hati yang pedih Sri Baginda melihat beberapa ekor kuda masih saja berlari-larian saling menyusul. Lima ekor, tiga, dua dan bahkan seekor kuda berderap ke medan. Namun dengan demikian Sri Baginda melihat kesetiaan yang sebenar-benarnya dari prajurit-prajuritnya kepada Kediri.
Setelah kuda yang terakhir hilang di balik kepulan debu. barulah Sri Baginda berkata, "Siapkan prajurit yang tersisa. Kita akan menyusul ke medan perang."
Senapati pengapit yang masih tinggal, segera memimpin pasukan yang masih ada. Beberapa kelompok telah kehilangan Senapatinya, yang dengan tidak tersusun telah pergi ke medan oleh luapan perasaan yang tidak tertahankan setelah mereka mendengar bahwa Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan telah gugur.
Namun sejenak Sri Baginda tertegun ketika ia melihat penongsong Mahisa Walungan yang hampir tidak mampu berdiri lagi, dilayani oleh seorang prajurit.
"Luka-lukanya parah," desis Sri Baginda, "bawalah ia ke rumah yang terdekat. Usahakan pertolongan sementara."
Istana Yang Suram 1 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Sepasang Pedang Iblis 4
"Ya. Kalau di perkemahan yang lain memang sudah tidak ada pasukan lawan, kita pusatkan kekuatan kita di sini. Kita harus dapat memecahkan pertahanan pasukan Kediri. Hari ini aku akan membawa dua orang Senapati pengapit. Panglima pasukan pengawal dan panglima pasukan keamanan ada padaku. Kau-pun akan di sampingi oleh panglima pasukan tempur yang kemarin memimpin pasukan pecahan itu dan Pimpinan Pelayan Dalam."
"Tetapi, apakah kita tidak memerlukan sebuah pasukan cadangan Tuanku. Kalau semua kekuatan hari ini turun kegelanggang kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu, apabila tiba-tiba saja timbul masalah-masalah yang tidak dapat kita perhitungkan lebih dahulu."
"Semua orang yang ikut ke medan ini adalah prajurit. Para pengawal perkemahan, juru masak, para pekatik dan orang-orang yang tinggal di perkemahan harus dapat menjaga diri mereka sendiri. Dalam keadaan darurat mereka merupakan sekelompok pasukan yang cukup untuk menolong diri mereka, sementara mereka mengirimkan penghubung ke medan."
"Apakah dengan demikian, hal itu tidak akan justru mengganggu?"
"Tidak. Dan pada dasarnya, aku memang akan mengerahkan segenap kemampuan. Itulah sebabnya aku katakan, hari ini adalah hari yang menentukan. Kalau kita gagal, maka hari-hari yang berikutnya adalah hari-hari yang tidak dapat diharapkan lagi."
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mengerti maksud Sri Rajasa. Dan ia-pun mengerti, bahwa sifat-sifat itu tidak akan dapat dihalau dari padanya. Sikap yang menentukan. Menang atau kalah sama sekali, seperti kebiasaan yang dibawanya dari padang Karautan.
Sejenak kemudian jarak gelar yang dipasang oleh ke dua belah pihak telah menjadi semakin mendekat. Pasukan Singasari-pun kemudian bergerak pula menyongsong pasukan Kediri yang telah mendahului memasuki medan.
Ketika Mahisa Walungan melihat gelar pasukan lawannya, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat perbedaan pada pasukan itu. Hari ini pasukan Singasari telah turun ke medan dengan segala macam tanda-tanda kebesaran.
"Agaknya Singasari telah meyakini keadaan," berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya.
Tetapi Mahisa Walungan sama sekali tidak terkecil hati meskipun kadang-kadang tumbuh juga kecemasan di dalam dadanya. Bukan tentang dirinya sendiri, tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa setelah Singasari menurunkan segenap kekuatannya maka pasukan Kediri nampaknya menjadi semakin kecil. Jumlah prajurit Singasari benar-benar tidak terhitung lagi. Jumlah yang sama sekali tidak diduga-duganya.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Di belakangnya penongsongnya berjalan dengan mantap, dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan.
Sejenak Adinda Sri Baginda Kertajaya itu melayangkan pandangannya menebar ke ujung-ujung gelarnya. Ia masih sempat meraba dadanya oleh haru. Bagaimana-pun juga, ia melihat sorot mata yang memancar dari prajurit-prajuritnya, sebagai keteguhan hati mereka menghadapi segala kemungkinan.
"Tidak seorang-pun yang ragu-ragu," desisnya di dalam hati.
Sejenak kemudian Mahisa Walungan memandang kegelar lawannya yang semakin jelas. Ia sadar, bahwa Sri Rajasa memang seorang prajurit yang tangguh. Ia mempunyai ilmu yang sangat asing bagi Mahisa Walungan. Sebagai seorang yang berilmu, Mahisa Walungan cukup memiliki bekal untuk menilai tata gerak lawan. Tetapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya, memikirkan tata gerak Sri Rajasa. Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang genting, Sri Rajasa telah melakukan beberapa macam cara yang bagi Mahisa Walungan, agak terlampau kasar dilakukan oleh seorang Raja yang perkasa. Namun di saat-saat yang lain, Sri Rajasa telah bertempur bagaikan seorang yang kebal dari sekala macam senjata. Tenang dan meyakinkan.
"Tetapi Sri Rajasa tidak kebal," desisnya, "ternyata ia selalu menghindari tajam senjataku."
Namun yang menggetarkan bagi Mahisa Walungan, kemampuan Sri Rajasa sama sekali tidak berkurang setelah sehari penuh ia bertempur.
Di hari pertama dan bahkan di hari kedua Sri Rajasa sama sekali tidak terpengaruh oleh banyaknya keringat yang menitik dari tubuhnya. Di saat-saat matahari sudah condong ke Barat, ia masih mampu bertempur seperti pada saat pertempuran itu dimulai.
Dan kini ia harus menghadapi Sri Rajasa itu kembali dalam keadaan yang pahit, sepeninggal Pujang Warit dari perkemahannya.
Dalam pada itu, Pujang Warit memang berada di perjalanan ke kota. Dalam waktu yang pendek ia memutuskan untuk meninggalkan medan.
"Tetapi, keputusan yang demikian itu akan sangat berbahaya bagi pasukan Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan Menteri Gubar Baleman. Kita sudah merampas kemungkinan datangnya pasukan cadangan untuk membantu mereka, kini kita melepaskan mereka bertempur tanpa kita."
"Bodoh kau," geram Pujang Warit kepada Senapati pengapitnya yang mencoba memberinya peringatan, "Mahisa Walungan dan Gubar Baleman memang sudah tidak berhak untuk hidup. Sri Baginda melepaskan mereka, hanya karena Baginda terkejut atas berita tentang pasukan Singasari itu."
"Bagaimana kalau Senapati muda yang menjemput Gubar Baleman ke perbatasan itu sampai ke istana?"
"Ia tidak akan memiliki nyawa rangkap."
"Tetapi, masalahnya bukan Mahisa Walungan atau Gubar Baleman. Masalahnya adalah masalah Kediri."
"Kau memang bodoh. Bersama kita atau tidak, Mahisa Walungan akan bertempur. Bertempur mati-matian. Kita tahu bahwa mereka adalah Senapati-senapati yang perkasa. Tetapi bagaimana perkasanya kedua orang itu, namun mereka tidak akan dapat menahan arus pasukan Singasari sehingga aku yakin, keduanya akan hancur di peperangan itu."
"Bagaimana kalau mereka mengundurkan diri."
Pujang Warit menggelengkan kepalanya, "Aku kira Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak akan mengundurkan diri. Mereka yakin bahwa cara itu tidak akan ada gunanya bagi mereka, selama aku masih ada."
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya.
"Jangan terlampau bodoh. Dalam pertempuran itu, pasukan Kediri akan pecah dan kocar-kacir. Tetapi pasukan Singasari-pun akan mengalami kehancuran yang parah. Sudah aku katakan berkali-kali. Kita akan berdiri di atas timbunan mayat ke dua belah pihak. Pujang Warit akan menjadi Senapati tertinggi. Siapa tahu, salah seorang adik Sri Baginda Kertajaya akan dihadiahkan kepadaku. Kemudian apa bedanya aku dengan Mahisa Walungan?"
Kawannya berbicara sudah tidak bernafsu lagi untuk membantah. Pujang Warit agaknya memang sudah tidak waras lagi. Tetapi Senapati itu sadar, bahwa ia tidak akan menumbuhkan perpecahan baru. sehingga sebelum mereka bertempur melawan Singasari. pasukan Kediri telah hancur dengan sendirinya.
Demikianlah maka pasukan Pujang Warit itu merayap mendekati kota. Beberapa ratus patok dari istana, Pujang Warit mengirimkan seorang penghubung untuk menghadap Sri Baginda, memberitahukan bahwa ia akan menghadap.
Kehadiran penghubung itu mengejutkan seisi istana yang selalu berjaga-jaga siang dan malam. Setiap saat mereka mendapat laporan dari medan di sebelah Utara Ganter. Karena itu, kedatangan utusan Pujang Warit telah menumbuhkan keheranan di hati Sri Baginda.
"Kenapa Pujang Warit akan menghadap?"
"Ampun Tuanku. Senapati Panggede Pujang Warit akan menyampaikan sesuatu yang dianggapnya penting bagi Tuanku."
Sri Baginda Kertajaya berpikir sejenak. Meskipun ia tidak melihat medan, tetapi laporan yang diterimanya setiap kali telah memberikan gambaran yang jelas dari medan yang sedang diaduk oleh peperangan yang dahsyat di sebelah Utara Ganter.
Dalam pada itu, maka dua orang penasehat Baginda, tanpa berjanji, dan hampir bersamaan berkata, "Apakah hamba diperkenankan memanggilnya?"
"Aku belum memutuskan untuk menerima Pujang Warit," jawab Sri Baginda.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, namun mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Dalam pada itu Sri Baginda mencoba menilai apa yang telah terjadi di medan peperangan yang mencemaskan itu.
Belum lagi Sri Baginda memberi keputusan, utusan yang dikirim oleh Mahisa Walungan seperti yang selalu dilakukannya, telah datang menghadap.
Dengan tergesa-gesa Sri Baginda bertanya, "Bagaimana dengan medan hari ini?"
Penghubung itu-pun segera melaporkannya, bahwa medan menjadi semakin berat.
"Pujang Warit meninggalkan perkemahannya," berkata penghubung itu, "justru pada saat Singasari mengerahkan segala kekuatan dan pasukan cadangan di hari ketiga. Gelar yang dipasang hari ini ditandai dengan ciri-ciri kebesaran Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Dada Sri Baginda Kertajaya berdesir karenanya.
"Kenapa Pujang Warit justru meninggalkan medan di saat yang genting ini?" gumam Sri Baginda.
Namun tiba-tiba saja Sri Baginda itu berteriak kepada utusan Pujang Warit, "Kenapa ia pergi" Bahkan dengan segenap pasukannya yang ada di medan" Apakah Pujang Warit tidak sadar, bahwa dengan demikian ia sudah menjerumuskan pasukan Kediri yang lain ke dalam bencana?"
"Bahkan usaha Adinda Sri Baginda untuk memanggil pasukan cadangan yang tersebar-pun dihalang-halangi. Pujang Warit masih selalu menyebut dirinya, yang mendapat limpahan kekuasaan Sri Baginda Kertajaya." Sela penghubung Mahisa Walungan.
Sri Baginda menjadi tegang sesaat. Dipandanginya kedua penasehatnya, kemudian utusan Pujang Warit yang menghadapnya.
Sejenak Sri Baginda itu merenung. memperbandingkan semua keterangan dan masalah-masalah yang pernah didengarnya dan disaksikannya. Karena itu paseban itu-pun menjadi sepi. Sepi yang tegang.
Dan tiba-tiba Sri Baginda berkata, "Aku masih tetap dalam pendirianku. Kalian tetap berada di paseban. Juga kau, tidak perlu kembali kepada Pujang Warit."
"Ampun Tuanku. Saat ini Senapati Pujang Warit sedang menunggu."
"Biarlah ia menunggu. Aku akan memanggilnya. Tetapi bukan kau."
Utusan itu menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari pada menundukkan kepalanya.
Sri Baginda-pun kemudian dengan tiba-tiba meninggalkan ruangan paseban. Di ruang yang lain dipanggilnya beberapa orang Senapati. Senapati pengawal istana.
"Nah, apakah kau masih tetap setia kepadaku?" bertanya Sri Baginda.
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak. Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Ampun Sri Baginda, apapun yang akan terjadi, hamba telah menyatakan diri hamba bersama-sama, selalu setia kepada Sri Baginda."
"Ya," berkata Sri Baginda, "terima kasih. Dan kita bersama-sama telah membuat suatu kesalahan. Kita telah menangkap Mahisa Walungan. Untunglah bahwa Gubar Baleman mempunyai bentuk kesetiaan yang lain, sehingga aku terpaksa berpikir lagi mengenai mereka. Kini mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk maju ke medan perang. Tetapi keadaan Kediri telah menjadi parah." Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "kalian masih tetap harus berjaga-jaga di sekitar istana. Tidak seorang-pun boleh keluar."
Para Senapati itu menganggukan kepala mereka. Yang tertua di antara mereka menjawab, "Hamba Tuanku."
"Pujang Warit dan pasukannya kini telah berada di dalam kota. Senapati itu minta waktu untuk menghadap."
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak.
"Aku akan memanggil Pujang Warit. Tetapi kalian tahu, bahwa Pujang Warit ternyata telah mengelabui aku. Aku telah membuat kesalahan karenanya. Karena itu. Pujang Warit tidak akan mendapat tempat lagi di Kediri."
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam.
"Kalian tahu, akibat apa yang mungkin dapat timbul" Tetapi aku akan berusaha untuk mengatasi semuanya itu."
"Hamba bersama-sama para Senapati dan prajurit pengawal yang masih ada akan menghadapi setiap kemungkinan Tuanku."
"Bukankah di dalam pasukan Pujang Warit itu terdapat beberapa kelompok dari kesatuan pengawal?" bertanya Sri Baginda.
"Hamba Tuanku."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Nah salah seorang dari kalian, pergilah. Panggil Pujang Warit. Kalau Pujang Warit menanyakan pesuruhnya, katakan, bahwa Sri Baginda masih memerlukannya untuk memberikan beberapa keterangan tentang medan dan pasukan Singasari."
Demikianlah, maka salah seorang dari para Senapati itu-pun segera meninggalkan istana untuk menjemput Pujang Warit. Dari utusan Pujang Warit yang masih ada di paseban. Senapati itu tahu, di mana Pujang Warit dan pasukannya kini berada.
Kedatangan Senapati itu telah mengejutkan Pujang Warit. Yang pertama-tama ditanyakan adalah pesuruhnya.
"Sri Baginda masih memerlukan banyak sekali keterangan-keterangan tentang medan. Karena itu, maka aku diperintahkan oleh Sri Baginda untuk menjemputmu. Sri Baginda tidak berkeberatan untuk menerimamu. Bahkan semakin cepat semakin baik. karena Sri Baginda ingin lebih cepat dan lebih banyak mengetahui tentang medan."
"Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak pernah mengirimkan penghubungnya?"
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi ia harus segera menjawab, katanya, "Laporan mereka tidak meyakinkan. Yang ada hanyalah keluh kesah dan hampir menjadi putus-asa. Itulah yang akan didengar oleh Sri Baginda." Senapati itu terdiam sejenak. Namun ia mengerti sepenuhnya maksud Sri Baginda, sehingga ia meneruskannya. "Sri Baginda tidak meletakkan harapannya pada pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Pertahanan itu adalah pertahanan depan yang harus dirangkapi dengan pertahanan yang lain. Untuk sementara. Sri Baginda telah menjadikan dinding istana sebagai benteng terakhir."
"Berbahaya sekali," dengan serta-merta Pujang Warit menjawab.
"Untuk sementara. Tetapi sebaiknya kau menghadap sendiri."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang kurang mapan di hatinya. Namun ia yakin, bahwa dalam keadaan serupa ini, Sri Baginda tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mengurangi kekuatan Singasari.
Karena itu maka katanya, "Baiklah, aku akan menghadap Sri Baginda."
Tetapi ternyata Pujang Warit tidak pergi sendiri. Ia membawa beberapa orang prajurit yang dipercayanya, untuk mengawalnya ke istana.
Senapati yang menjemputnya menjadi termangu-mangu. Tetapi supaya Pujang Warit tidak mencurigainya, maka ia-pun sama sekali tidak berkeberatan, membawa Pujang Warit bersama beberapa orang pengawal.
Sejenak kemudian maka mereka-pun segera berpacu ke istana. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, setiap prajurit pengawal istana, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Meskipun demikian mereka tidak segera bertindak agar tidak menumbuhkan beberapa keributan.
"Cara yang dipergunakan oleh Menteri Gubar Baleman pantas ditiru," desis salah seorang Senapati, "mereka menguasai keadaan tanpa terjadi sesuatu. Apakah dapat dilakukan tindakan serupa atas para pengawal yang tinggi di luar paseban itu."
Kawannya menganggukkan kepalanya. "Mungkin sekali. Aku akan membawa pengawal itu kesamping bangsal."
Senapati yang seorang itu-pun kemudian meninggalkan kawannya untuk membawa para pengawal Pujang Warit kesamping bangsal, sedang kawannya itu-pun segera mempersiapkan beberapa orang prajurit pengawal untuk menguasai para pengawal Pujang Warit itu.
Dalam pada itu, Pujang Warit yang telah sampai di luar regol halaman bangsal paseban dalam, segera turun dari kudanya. Tetapi ia tidak dapat masuk membawa pengawal-pengawalnya, sehingga karena itu, maka diantar oleh Senapati yang menjemputnya, ia melangkah di antara dua orang penjaga di bawah tangga bangsal paseban. Tetapi kedua penjaga itu, tidak memberikan kesan apapun pada Senapati muda itu.
Bahkan keduanya menganggukkan kepala mereka, memberikan hormat sebagai mana seharusnya dilakukan terhadap seorang Senapati.
Dengan demikian maka para pengawal Pujang Warit-pun tinggal di halaman bangsal paseban dalam, sedang kuda-kuda mereka harus mereka tinggalkan di luar regol. Tetapi hal itu sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaan apapun pada Pujang Warit dan pengawalnya, karena memang demikianlah kebiasaan seseorang, siapapun dan betapapun pentingnya keperluannya, apabila menghadap Sri Baginda di paseban dalam.
Para pengawal itu berpaling ketika mereka mendengar seseorang menyapa mereka. Ternyata seorang Senapati datang menghampiri mereka dari sisi paseban itu. Sambil tertawa Senapati itu berkata, "Sri Baginda telah lama menunggu. Apakah kalian datang mengantarkan Pujang Warit?"
"Ya, kami datang mengawal Pujang Warit," jawab seorang Senapati yang ada di dalam kelompok pengawal itu.
"Bagus. Agaknya keadaan sudah menjadi terlampau panas, sehingga Sri Baginda sendiri-pun menjadi agak bingung menghadapinya."
"Kenapa bingung?" jawab Senapati pengawal Pujang Warit, "bukankah Sri Baginda sudah menyerahkan segala tanggung jawab kepada Pujang Warit?"
"Ya. tetapi karena Sri Baginda kekurangan bahan laporan itulah agaknya maka Sri Baginda menjadi bingung. Mudah-mudahan dengan kedatangan Pujang Warit, Sri Baginda mendapat banyak penjelasan."
"Mudah-mudahan."
"Tetapi," berkata Senapati pengawal istana itu, "sebaiknya kalian berada di samping bangsal ini. Dilongkangan sebelah kalian dapat duduk sambil minum. Bukankah Pujang Warit memerlukan waktu untuk menyampaikan laporannya itu?"
Senapati pengawal Pujang Warit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Sedang pengawal istana itu berkata, "Apakah kalian akan berdiri saja di sini?"
Sejenak Senapati pengawal Pujang Warit itu merenung. Kemudian dipandanginya anak buahnya seorang demi seorang. Nampaknya mereka mengharap untuk dapat duduk beristirahat dengan tenang sambil minum minuman hangat.
"Baiklah," berkata pengawal itu kemudian, "di mana kami dapat duduk menunggu?"
"Di sebelah bangsal ini."
Para pengawal itu-pun kemudian berjalan beriringan melingkari sudut paseban, menuruni sebuah tangga batu menuju kesebuah longkangan yang dirimbuni oleh daun-daun pohon sawo kecik.
Beberapa orang pengawal yang ada di tempat itu menganggukkan kepala mereka sambil tersenyum. Dengan ramahnya mereka mempersilahkan para pengawal Pujang Warit itu untuk duduk berjajar di halaman, pada sehelai tikar, pandan yang putih di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.
Namun belum lagi mereka mapan, tiba-tiba mereka terkejut. Seperti mimpi mereka melihat para pengawal itu bergeser setapak, kemudian muncul beberapa orang yang lain, yang dengan satu loncatan telah menekankan ujung-ujung pisau belati di lambung mereka.
"He, apa artinya ini?" bertanya Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit.
"Tidak menjadi kebiasaan seorang Senapati yang dipanggil menghadap oleh Sri Baginda membawa sekian banyak pengawal."
"Sama sekali bukan suatu keanehan," jawab Senapati itu, "pengawal ini kami perlukan di sepanjang perjalanan, dalam suasana yang panas ini."
"Tetapi lawan masih berada di sebelah Utara Ganter."
"Siapa tahu ada pesuruh-pesuruh di dalam kota yang sengaja disebarkan oleh orang-orang Singasari, atau justru oleh orang-orang Mahisa Walungan dan Gubar Baleman."
"Mahisa Walungan dan Gubar Baleman sedang bertempur mempertahankan Kediri."
"Mereka sedang mencoba untuk memperbaiki kesalahan mereka. Tetapi seandainya mereka dapat mengusir pasukan Singasari, apakah mereka tidak memutar arah peperangan ini menghadap ke istana?"
"Suatu ceritera yang aneh. Kami di sini, bahkan Sri Baginda pernah mempercayai ceritera itu. Tetapi kini kami berpendapat lain dan Sri Baginda-pun berpendapat lain. Apalagi setelah Pujang Warit meninggalkan medan yang kini sedang dalam keadaan tidak menguntungkan."
Para pengawal itu menjadi tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap orang telah dilekati dengan ujung-pisau belati di lambung atau punggungnya.
"Kini Sri Baginda sedang membuat perhitungan dengan Pujang Warit di paseban. di hadapan para pemimpin Kediri, para penasehat, para Menteri dan diawasi oleh beberapa orang Senapati yang telah mengerti persoalan yang sebenarnya. Dengan demikian, maka kami bertugas untuk membuat kalian tidak dapat ikut campur lagi dalam masalah ini."
"Licik. Jadi beginikah cara yang selama ini ditempuh oleh pasukan pengawal yang terkenal itu" Menurut pendengaranku, pasukan pengawal istana adalah pasukan yang paling baik di Kediri. Tetapi ternyata kalian licik. Kenapa kalian tidak berusaha mengepung kami pada saat kami memasuki halaman istana?"
Para prajurit pengawal istana itu saling berpandangan sejenak. Tetapi terasa bahwa darah mereka menjadi panas mendengar kata-kata pimpinan prajurit pengawal Pujang Warit itu.
Salah seorang dari mereka berkata, "Kalau kami tidak sedang mengemban tugas, kami akan membuktikan bahwa kami bukan manusia yang licik."
"He, masihkah kau ingkar" Kita bersama-sama melihat kenyataan ini."
Senapati pengawal istana itu-pun menjawab, "Kami tidak dapat membiarkan darah kami menjadi panas dan mendidih bagaimana-pun juga dada kami bergelora. Cara ini kami tempuh untuk menghindari keributan yang tidak akan berarti apa-apa bagi kita semua. Justru apabila keributan ini merembes sampai keluar istana, akibatnya hanya akan membuat rakyat menjadi bertambah bingung. Mereka sedang dicemaskan oleh berita peperangan di sebelah Utara Ganter. Karena itu, maka kami berusaha untuk menyelesaikan tugas kami dengan cepat dan tanpa keributan."
"Tetapi itu bukan perbuatan jantan."
"Mungkin, menurut penilaian seorang prajurit di peperangan. Tetapi kami mempunyai pertimbangan lain. Mungkin kami memang harus mengorbankan kejantanan kami untuk kepentingan yang jauh lebih besar, Kediri."
"Omong kosong. Setiap pengecut dapat mencari alasan apapun. Untung kepentingan yang lebih besar."
"Kami tidak akan berbantah mengenai diri kami. Apakah kami orang-orang jantan, atau sekedar hanya segerombolan pengecut. Tetapi kami berhasrat melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Karena itu maaf bahwa kami akan melucuti senjata kalian."
"Gila," teriak Senapati, pemimpin pasukan pengawal Pujang Warit itu, "tidak mungkin. Senjata kami sama nilainya dengan nyawa kami."
"Jadi?" "Kami tidak akan menyerahkan senjata kami."
"Sekali lagi kami minta maaf, kalau kalian tidak menyerahkan senjata kalian, memang kami terpaksa mengambil yang lain, yang sama nilainya, yaitu nyawa kalian."
"Gila, kalian sudah menjadi gila?"
"Mungkin kami sudah menjadi gila. Beberapa saat yang lampau kami berbuat serupa, menangkap Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Kemudian kami berusaha menangkap Gubar Baleman, tetapi gagal. Justru kamilah yang dikuasai oleh prajurit-prajurit topangan seperti kalian yang setia kepada Menteri Gubar Baleman. Tetapi agaknya Gubar Baleman tetap tunduk dan setia kepada Sri Baginda. Sekarang, tugas kami menguasai kalian dan melucuti senjata kalian. Kami tidak lagi sempat menilai diri kami. Apakah kami memang gila atau tidak. Tetapi kami adalah prajurit-prajurit pasukan pengawal Baginda Kertajaya yang hanya dapat diperintah langsung oleh pimpinan kami yang berada di bawah perintah Sri Baginda."
"Gila. Kalian gila. Aku tidak perlu sesorahmu. Tetapi kalian bukan prajurit-prajurit Kediri yang sebenarnya, karena dengan tindakan kalian telah melanggar sifat kesatria."
"Sayang, bahwa pemimpinmulah yang mendahuluinya."
"Siapa?" "Pujang Warit. Apakah sampai sekarang kau tidak sadar bahwa Pujang Warit telah memfitnah Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman sehingga hampir saja keduanya terbunuh kalau tidak ada banjir bandang dari Singasari" Kemudian pemimpinmu itu dengan licik membiarkan pasukan Kediri di sebelah Utara Ganter hari ini bertempur tanpa bantuan pasukan cadangan yang seharusnya dapat dikumpulkan?"
"Kalian mengigau?"
"Diamlah. Kalian harus menyerahkan senjata kalian. Di dalam keadaan yang gawat, kami tidak dapat bergurau lagi. Senjatamu atau nyawamu."
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi giginya gemeretak menahan kemarahan yang memuncak.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, ketika mereka dipaksa untuk berdiri berjajar. Kemudian seorang prajurit pengawal telah melepas pedang dari lambung mereka, dengan wrangkanya sama sekali.
"Kalian menjadi tawanan pasukan pengawal istana hari ini."
Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit itu tidak menjawab. Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan oleh gejolak di dalam dadanya.
Sementara itu Pujang Warit yang berada di paseban-pun menjadi tegang pula. Meskipun mula-mula Sri Baginda Kertajaya menyambutnya sambil tertawa, "Ha. kau Pujang Warit. Sudah lama kami menunggumu. Marilah."
Pujang Warit semula memang tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Orang-orang di paseban adalah orang-orang yang sudah dikenalnya. Dilihatnya di belakang Sri Baginda, di antara para penasehat, dua orang yang dikenalinya baik-baik. Tetapi Pujang Warit tidak segera dapat membaca kesan yang terpancar dari wajah-wajah mereka yang pucat dan basah oleh keringat yang dingin.
"Bagaimana rencana selanjutnya Pujang Warit" Sebagian aku sudah mendengar dari pesuruhmu yang mendahului kau menghadap. Aku menahannya di sini. karena aku ingin banyak mendengar tentang daerah pertempuran itu. Sehingga aku memerintahkan kepada orang lain untuk menjemputmu."
Pujang Warit membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "Ampun Tuanku. Barangkali sebagian terbesar dari masalah yang akan hamba sampaikan telah Tuanku ketahui. Pertahanan yang sebenarnya akan hamba bangunkan di dalam lingkungan yang lebih kuat. Hamba akan menjadikan dinding kota sebagai benteng pertahanan untuk mematahkan serbuan pasukan Singasari."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kau akan membangun benteng pertahanan itu hari ini?"
"Apabila Sri Baginda mengijinkan. Hamba memang merencanakan demikian."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Pujang Warit dengan tatapan mata yang menyimpan teka-teki. Tetapi Sri Baginda masih berkata, "Apakah pasukan yang cukup kuat untuk bertahan" Aku mendengar laporan dari orangmu sendiri, kekuatan Singasari bagaikan banjir bandang yang seakan-akan tidak terbendung."
"Hamba Tuanku. Memang kekuatan Singasari cukup mendebarkan jantung."
"Apakah prajuritmu cukup banyak untuk mempertahankan kota ini."
"Tentu Tuanku. Aku akan berusaha sekuat-kuat tenaga. Prajurit-prajuritku akan aku perlengkapi dengan senjata jarak jauh untuk menahan laju mereka. Dengan demikian, apabila mereka mencapai dinding kota, jumlah mereka-pun sudah berkurang."
"Tidak seberapa jumlahnya. Mereka akan segera berlindung di balik perisai-perisai mereka."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba di luar sadarnya ia berkata, "Tetapi ketika mereka mencapai dinding kota, maka jumlah mereka-pun pasti sudah akan jauh berkurang."
"Kenapa?" "Mereka sedang bertempur di sebelah Utara Ganter."
"Dengan pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman maksudmu?"
"Hamba Tuanku."
"Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman kira-kira tidak akan dapat menahan mereka?"
"Terlampau berat Tuanku."
Dan sampailah Sri Baginda kepada pertanyaan yang mengejutkan Pujang Warit sehingga serasa jantungnya berhenti berdetak, "Kenapa kau tidak membantu Mahisa Walungan dan Gubar Baleman saja" Pasukan gabungan itu pasti setidak-tidaknya akan dapat menahan arus laju pasukan Tumapel. selagi kita mengumpulkan pasukan cadangan yang tersebar."
Pujang Warit tidak segera menjawab pertanyaan Sri Baginda. Bahkan terasa keringat dinginnya mulai mengaliri punggungnya.
"Kenapa?" desak Sri Baginda.
Pujang Warit tergagap, "Tetapi, bukankah lebih baik bagi hamba untuk menyusun pertahanan tersendiri, sesuai dengan perintah Sri Baginda, bahwa hamba harus mengambil pimpinan seluruh pasukan Kediri."
"Ya. aku memang memerintahkan kepadamu untuk mengambil pimpinan seluruh pasukan. Tetapi kenapa kau tidak berbuat demikian dan menyatukan pertahanan untuk melawan arus pasukan yang besar itu?"
"Ampun Tuanku. Hamba sudah mencoba, tetapi Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak mau menyerahkan pimpinan. Justru mereka menganggap bahwa hamba harus tunduk kepada perintahnya."
Terasa sesuatu bergetar di dada Baginda. Ia tidak dapat ingkar, bahwa ia-pun telah melakukan kesalahan. Ia telah menyerahkan pimpinan tertinggi kepada dua tangan. Ia sampai saat terakhir masih belum dengan tegas mencabut kekuasaan Pujang Warit, sehingga akhirnya, Kediri telah terbagi.
Namun demikian Sri Baginda melihat, niat yang kurang baik pada Pujang Warit. Kalau Gubar Baleman dan Mahisa Walungan dengan jujur telah berusaha untuk menggabungkan kekuatan mereka, seperti yang disampaikan oleh penghubungnya, maka Pujang Warit dengan sengaja menjerumuskan kedua orang yang menjadi saingannya itu ke dalam bencana.
Karena itu, maka Sri Baginda-pun bertanya, "Tetapi apakah kau tidak dapat membuat suatu cara, sehingga pasukanmu dapat bergabung dengan kekuatan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman" Misalnya, kau mengorbankan sedikit harga dirimu seperti yang telah dilakukan oleh Gubar Baleman, tetapi dengan demikian Kediri dapat diselamatkan."
"Tuanku, bukankah Gubar Baleman dan Mahisa Walungan menurut Tuanku adalah pengkhianat-pengkhianat" Apakah hamba harus menyerahkan pimpinan pasukan ini kepada seorang pengkhianat" Kalau mereka bersedia berjuang di dalam lingkungan perintah hamba, sesuai dengan keputusan Sri Baginda, hamba tidak akan berkeberatan."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat kesalahan pada dirinya sendiri.
Tetapi Sri Baginda tidak mau banyak kehilangan waktu, sehingga katanya kemudian, "Pujang Warit, aku tidak dapat mengingkari kesalahanku. Tetapi siapakah yang menyebabkan aku salah menilai kesetiaan adikku dan Menteriku Gubar Baleman?"
Pertanyaan yang langsung itu terasa menyengat jantungnya. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar sudah mencium rencananya bersama kedua penasehat itu. Ternyata kehadiran Gubar Baleman dan Mahisa Walungan di peperangan itu bukan sekedar karena Sri Baginda menjadi bingung oleh arus pasukan Singasari, tetapi justru karena Sri Baginda menyadari kekeliruannya.
"Kenapa kau diam Pujang Warit?"
Pujang Warit tidak segera menjawab. Tubuhnya menjadi semakin basah oleh keringatnya yang mengalir semakin deras di seluruh tubuhnya.
"Jangan membisu Pujang Warit. Pada saat-saat terakhir aku mendengar semua rencanamu yang keji. Kau meninggalkan medan sama sekali bukan karena kau yakin bahwa kau dapat menyusun pertahanan yang kuat, tetapi karena kau sengaja menjerumuskan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan ke dalam jurang kehancuran. Kau berharap bahwa pasukan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan akan hancur, sedang kedua Senapati itu terbunuh. Kau berharap bahwa sisa-sisa pasukan Singasari tidak akan terlampau berbahaya lagi bagimu sehingga kau akan dapat menghancurkannya di tepi kota ini. Dengan demikian kau akan mendapat dua kemenangan sekaligus. Kemenangan atas Gubar Baleman dan Mahisa Walungan dan kemenangan atas Singasari. Kau akan mendapat pujian dan gelar pahlawan yang telah menyelamatkan Kediri dari kehancuran. Bukankah begitu" "
Mulut Pujang Warit masih juga serasa terbungkam. Bahkan kini tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya.
Tidak seorang-pun yang ada di dalam paseban itu berani mengangkat wajahnya. Kini Sri Baginda Kertajaya sudah sampai pada puncak kemarahannya, meskipun tampaknya ia masih mencoba mengendalikan diri.
"Pujang Warit," berkata Sri Baginda, "kenapa kau diam saja?"
"Ampun Tuanku," berkata Pujang Warit kemudian, "hamba telah melakukan yang paling baik bagi Kediri menurut pendapat hamba."
"Juga tentang usahamu menyingkirkan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan itu termasuk usaha terbaik bagi Kediri?"
"Hamba Tuanku, karena menurut penilaian hamba, keduanya sudah tidak menurut perintah Tuanku. Keduanya dengan diam-diam telah membangun pertahanan di sebelah Utara Ganter tidak setahu Tuanku. Itu akan menjadi kebiasaan yang sangat tercela bagi seorang prajurit."
"Tetapi apakah pelanggaran itu berarti pemberontakan seperti yang kau katakan" Dan apakah kau yakin bahwa keduanya telah melakukan pelanggaran itu" Aku melarang membawa pasukan ke perbatasan. Dan mereka mentaatinya. Mereka tidak membawa pasukan ke perbatasan, tetapi hanya ke sebelah Utara Ganter."
"Tetapi membangun suatu pertahanan di luar pengetahuan Tuanku, apakah hal itu dapat dibenarkan?"
"Tentu tidak. Tetapi apakah dibenarkan untuk menyalah gunakan kepercayaanku, dengan memutar balikkan kenyataan" Apakah benar Gubar Baleman dan Mahisa Walungan tidak setia kepadaku?"
"Hal itu, kita sama-sama tidak tahu. Hamba tidak tahu apa yang tersirat di hatinya yang paling dalam, dan Tuanku-pun tidak mengetahui."
Darah Sri Baginda berdesir mendengar jawaban itu. Ketika ditatapnya wajah Pujang Warit, ternyata wajah itu-pun menjadi merah.
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kini ia dapat membaca wajah Senapati muda itu. Agaknya Pujang Warit telah merasa bahwa ia terjebak. Karena itu, dalam keadaan yang tersudut itu, tidak ada pilihan lain baginya, dari pada mempertahankan harga diri sedapat-dapatnya. Ia yang mengetahui kelemahan dan kekeliruan Sri Baginda selalu berusaha menyandarkan tindakannya kepada kekeliruan itu. Meskipun akhirnya Sri Baginda dapat berbuat apa saja atasnya, tetapi ia akan dapat memberikan kepada orang-orang yang ada di paseban. bahwa kesalahan itu tidak dapat dibebankannya kepada dirinya sepenuhnya.
Para Senapati dan para Menteri yang ada di paseban itu-pun menjadi heran melihat sikap Pujang Warit. Sebagian dari mereka dapat mengerti seperti juga Sri Baginda, bahwa Pujang Warit sudah mendekati keputus-asaannya. Justru dengan demikian, darah mudanya telah menggelegak tanpa dapat dikendalikan lagi.
"Aku akan dihukum mati," berkata Pujang Warit di dalam hatinya, "sebagai seorang prajurit, tidak pantas aku mati sambil menyembunyikan wajah. Aku harus menengadahkan kepalaku menghadap ketiang gantungan."
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun merasa tidak perlu lagi untuk menundukkan kepalanya sampai mencium lantai. Kini ia justru duduk dengan dada tengadah.
"Aku tidak akan dapat mengelak lagi," katanya pula di dalam hati.
Sikap Pujang Warit itu memang mencengangkan mereka yang melihatnya. Namun mereka menjadi heran juga. bahwa Sri Baginda masih saja membiarkannya duduk di tempatnya.
"Pujang Warit," Sri Baginda masih berkata wajar meskipun tampak betapa ia menahan hati, "aku tahu apa yang tersirat di hati Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Mahisa Walungan adalah adikku. Aku mengenalnya sejak kanak-kanak."
"Tetapi kenapa Tuanku mempercayai hamba?"
"Ya. Kenapa aku mempercayaimu. Apakah karena kau terlampau cerdik, atau karena aku terlampau bodoh," Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "sedang Gubar Baleman telah membuktikan kesetiaannya di saat-saat terakhir. Meskipun ia telah menguasai seluruh isi istana ini, untuk sekedar dapat memberikan penjelasan kepadaku, karena aku sudah tidak memberi waktu lagi kepadanya untuk berbicara." Sri Baginda berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya yang memburu, "tetapi ia tidak berbuat lebih lanjut. Ia tidak merampas kekuasaan dari tanganku meskipun itu dapat dilakukannya apabila ia mau."
"Dan Tuanku justru membenarkan cara yang demikian?" jawab Pujang Warit, lalu, "ternyata Tuanku memang sudah tidak dapat memegang kekuasaan seperti seharusnya seorang Maharaja. Terbukti bahwa para Brahmana dan pemimpin agama telah meninggalkan Kediri. Kemudian terjadi kekisruhan di dalam pimpinan keprajuritan karena Tuan begitu cepat percaya. Tuanku yang di saat-saat terakhir merasa diri Tuanku sebagai titisan Dewa, akhirnya Tuanku harus mengakui, bahwa Tuanku tidak lebih dari manusia biasa."
Tidak seorang-pun yang dapat menilai lain dari sikap Pujang Warit itu kecuali membunuh diri. Tetapi seperti yang diharapkan oleh Pujang Warit, bahwa kematiannya bukanlah kematian seekor tikus di tangan seekor kucing.
Namun sikap Pujang Warit itu telah membakar dada Sri Baginda Kertajaya sebagai seorang prajurit. Meskipun selama ini Sri Baginda yang merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa dari langit, namun dalam keadaan yang panas, ia telah terlempar kembali ke dalam kenyataannya sebagai manusia, sebagai seorang prajurit. Itulah sebabnya maka dengan wajah yang merah Sri Baginda berkata, "Pujang Warit, kau benar. Aku tidak dapat membebankan kesalahan seluruhnya kepadamu. Kau dan aku telah membuat kesalahan yang serupa, karena itu. kau dan aku bersama-sama harus mendapat hukuman. Hukuman yang sama sebagai prajurit-prajurit Kediri. Sebagai kesatria Kediri yang jujur. Hukuman itu harus dijatuhkan kepada kita bersama-sama. Hukuman itu adalah perang tanding antara dua orang prajurit yang sama-sama bersalah."
Kata-kata Sri Baginda Kertajaya itu ternyata telah mengguncangkan paseban. Beberapa orang Senapati tersentak, dan bahkan ada di antara mereka yang bergeser maju. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, "Ampun Tuanku, kenapa Tuanku menjatuhkan keputusan itu?"
"Ya, itu keputusanku."
"Tuanku, sebelum terlambat. Tuanku dapat menunjuk salah seorang dari kami untuk mewakili Tuanku, melakukan perang tanding atas nama Tuanku."
"Tidak. Aku berkata sepenuh kesadaranku."
"Tetapi itu terlampau terhormat bagi Pujang Warit yang telah dengan jelas melakukan pengkhianatan terhadap Tuanku dan Kediri."
"Tetapi sudah aku katakan, aku-pun telah bersalah."
Senapati yang lain menyela, "Tetapi kami adalah prajuritnya yang setia kepada Sri Baginda. Adalah sepantasnya, salah seorang dari kami dapat mewakili Sri Baginda."
Sri Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada kesetiaan kalian. Tetapi aku tahu. bahwa akulah yang harus mendapat hukuman. Aku sebagai manusia dan prajurit seperti yang dikatakan oleh Pujang Warit. sehingga dengan demikian maka aku adalah pribadi." Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, "Aku sama sekali tidak merendahkan kemampuan kalian. Aku tahu, bahwa Senapati Kediri adalah prajurit-prajurit pilih tanding. Tetapi Pujang Warit memang mempunyai beberapa kelebihan, sehingga sepantasnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit harus melayaninya. Apalagi taruhannya aku tentukan pula, yaitu pimpinan tertinggi atas Kediri."
"Tuanku," hampir serentak mereka yang ada di paseban berseru dengan wajah yang tegang.
"Nah, sediakan gelanggang di halaman paseban ini. Cepat. Setelah perang tanding ini selesai, aku atau Pujang Warit masih harus menyelesaikan orang-orang Tumapel yang sedang berusaha menguasai seluruh daerah Kediri."
Sejenak para Senapati dan Menteri yang ada di paseban tidak beranjak dari tempatnya. Mereka saling berpandangan dengan penuh keragu-raguan.
"Cepat," teriak Sri Baginda, lalu katanya, "tetapi aku tidak akan berbuat serupa itu dengan kedua penasehatku ini. Penasehatku yang lain kuperkenankan menyaksikan perang tanding ini. Tetapi yang dua ini harus berada di bawah pengawasan. Kalau Pujang Warit menang di dalam perang tanding ini, kalian akan bebas, dan terserah apa yang akan diputuskan oleh Pujang Warit atas kalian."
Maka setiap dada-pun menjadi berdebar-debar. Para pengawal di halaman-pun menjadi keheranan atas keputusan itu. Belum pernah Sri Baginda begitu merendahkan dirinya, melayani perang tanding melawan seorang Senapati.
"Aku adalah seorang prajurit," geram Baginda berulang-ulang.
Tidak seorang-pun yang dapat mencegah keputusan Sri Baginda. Dengan demikian, maka para prajurit yang ada, beserta para Menteri-pun segera membuat sebuah lingkaran di halaman sebagai arena perang tanding.
Pujang Warit sendiri sebenarnya terkejut mendengar keputusan Sri Baginda. Namun karena ia yakin bahwa seandainya tidak demikian, maka ia-pun akan dihukum mati, maka tantangan itu adalah jalan yang paling baik yang tersedia baginya, meskipun ia tahu. bahwa Sri Baginda adalah maha prajurit yang tidak ada bandingnya.
"Tetapi aku belum pernah meyakinkan kemampuan Sri Baginda," berkata Pujang Warit di dalam hatinya. "aku hanya pernah menyaksikan beberapa bentuk kelebihannya dari orang-lain. Tetapi bagi Pujang Warit yang pernah berguru bertahun-tahun, semuanya itu bukanlah hal yang mengecilkan hati."
Sejenak kemudian maka arena-pun telah siap. Sri Baginda menuruni tangga paseban tanpa tanda-tanda kebesaran yang biasanya tidak pernah terpisah dari padanya. Bahkan bukan saja sekedar tanda kebesaran seorang Maharaja, tetapi Sri Baginda telah menganggap dirinya sebagai titisan dewa-dewa.
Tetapi kini ia menuruni tangga sebagai seorang prajurit. Sebagai pribadi yang sudah siap menyelesaikan masalah pribadinya. Kesalahannya terhadap Kediri harus ditebusnya dengan perang tanding.
Bagi Sri Baginda Kertajaya, hal itu merupakan suatu pengorbanan yang luar biasa. Tetapi hal itu kini dengan sadar telah dikehendakinya sendiri.
Setelah semuanya siap, dan kedua orang yang akan berperang tanding itu sudah berada di arena. maka bertanyalah Sri Baginda kepada Pujang Warit, "Senjata apakah yang kau kehendaki Pujang Warit?"
Bagaimana-pun juga, tatapan mata Sri Baginda telah membentur hati Pujang Warit, sehingga seisi dadanya serasa berguncang.
"Sebutkan senjata apa yang kau kehendaki. Aku akan menyesuaikan diri."
Pujang Warit ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia berkata, "Terserahlah kepada Sri Baginda."
"Kau sudah membawa pedang di lambungmu. Apakah kau akan mempergunakan pedang?"
"Baiklah Tuanku. Hamba akan mempergunakan pedang."
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang prajurit yang berdiri di pinggir arena Sri Baginda berkata, "berikan pedangmu."
"Tetapi, pedang ini adalah pedang seorang prajurit pengawal Tuanku."
"Bukankah kau menerima pedang itu dari pimpinan, keprajuritan?"
Prajurit itu mengangguk, "Hamba Tuanku."
"Nah, berikan pedangmu."
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka ditariknya pedangnya, dan kemudian dengan tangan gemetar diserahkannya pedang itu kepada Sri Baginda.
"Terima kasih," berkata Sri Baginda. Kemudian sambil menghadap kepada Pujang Warit Sri Baginda berkata. "Nah Pujang Warit, aku sekarang sudah bersenjata pedang seperti senjatamu. Marilah, kita mulai dengan hukuman yang sama-sama dibebankan kepada kita. Siapa yang menang, ia berhak atas segala-galanya di Kediri. Siapa yang kalah, biarlah ia menanggung hukuman atas kesalahan yang telah terjadi, dan yang telah mengakibatkan Kediri terpecah belah."
Pujang Warit masih juga ragu-ragu. Namun kemudian disentakkannya giginya sambil menggeram di dalam hati. "Aku bukan pengecut."
"Nah bersiaplah," berkata Sri Baginda kemudian.
Pujang Warit mengerahkan segenap keberanian yang ada di dalam dirinya. Maka jawabnya, "Baiklah Tuanku. Hamba hanya sekedar menjalani perintah Tuanku."
"Ya, ya. Kalau kau sekarang melawan aku, ini sama sekali bukan suatu kesalahan. Justru kita sedang menentukan, siapakah yang masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Karena sekarang aku-pun sadar, bahwa aku bukannya titisan dewa-dewa seperti yang aku sangka sendiri, karena di dalam suatu ketika, aku telah dilepaskan oleh dewa-dewa tertinggi."
Pujang Warit tidak menjawab, tetapi ia-pun kemudian dengan tangan bergetar mencabut pedangnya pula. Pedang seorang perwira yang memiliki kemampuan pilih tanding.
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Ia melihat perbedaan jenis pedang yang dipergunakannya dan yang dipergunakan oleh Senapati muda itu.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya karena Sri Baginda menyangka, bahwa pedang itu adalah pedang prajurit Kediri.
"Marilah, kita segera mulai," berkata Sri Baginda, "nah, aku minta tiga orang Senapati yang akan menjadi saksi dari perkelahian ini. Ketiganya harus mengawasi, bahwa aku dan Pujang Warit harus berkelahi dengan jujur. Kalau ada di antara kami yang curang, maka ketiga Senapati itu dapat mengambil tindakan yang wajar. Tanpa pilih.
Sejenak para prajurit dan Senapati yang ada di seputar gelanggang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Sri Baginda telah menunjuk tiga di antaranya. Katanya, "Kau, kau dan kau. Jangan ragu-ragu. Majulah. Lihatlah, bagaimana kami akan berperang-tanding, kami adalah prajurit-prajurit Kediri."
Tiga orang perwira yang ditunjuk itu sama sekali tidak dapat mengelak lagi. Mereka-pun kemudian melangkah maju. Mencabut pedang-pedang mereka dan berdiri berpencaran. Mereka harus mengawasi perang tanding itu sebaik-baiknya. Merekalah yang bertanggung jawab apabila terjadi kecurangan. Dan mereka dapat bertindak apabila perlu dengan kekerasan.
Semuanya-pun kemudian sudah siap. Para saksi-pun sudah siap. Sri Baginda dan Pujang Warit-pun sudah siap pula.
"Nah, semua sudah di tempatnya. Sekarang aku adalah prajurit yang sedang menjalani hukuman. Karena itu. terserahlah kepada para saksi. Kapan kita harus mulai," berkata Sri Baginda kemudian.
Para saksi itu-pun saling berpandangan. Kemudian, meskipun tidak ditunjuk, maka Senapati yang tertua dari ketiganya-pun maju selangkah sambil berkata, "Ampun Tuanku, hambalah yang akan memimpin perang tanding ini."
"Bagus. Pimpinlah sebaik-baiknya."
"Hamba Tuanku." perwira itu terdiam sejenak, lalu katanya, "tetapi yang pertama-tama hamba ingin memperingatkan bahwa, perang tanding ini harus adil. Kedua senjata pesertanya harus seimbang."
"Bukankah senjata kami sudah seimbang?"
"Pedang yang Tuanku pergunakan adalah pedang prajurit biasa."
"Lalu, bagaimana dengan pedang Pujang Warit."
"Pedang itu adalah pedang yang khusus."
"Jadi apakah ada perbedaan senjata antara seorang prajurit dan seorang Senapati" Bukankah semuanya itu adalah prajurit Kediri?"
"Pedang Pujang Warit bukannya pedang yang lazim dipergunakan oleh para prajurit dan bahkan para Senapati Kediri. Pedang itu, adalah pedang pusaka yang dibawanya sendiri meskipun bentuknya mirip dengan pedang prajurit Kediri."
"Apakah bedanya" Aku dapat mempergunakan senjata apa saja."
"Bahannya berbeda Tuanku. Pedang Pujang Warit terbuat dari bahan yang jauh lebih baik dari bahan pedang para prajurit yang dibuat oleh para juru pembuat senjata para pande besi. sekaligus dalam jumlah yang besar. Sedang pedang Pujang Warit adalah pedang yang hanya dibuat khusus untuknya oleh seorang empu yang terpilih."
Sri Baginda merenung sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum Sri Baginda berkata, "Aku akan mempergunakan pedang prajurit Kediri ini, sebagaimana aku seorang prajurit. Kalau pedang ini gagal bukan karena kesalahanku, maka alangkah malangnya nasib setiap prajurit Kediri."
Senapati yang menjadi saksi itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak betapa hatinya dicengkam oleh kecemasan, karena kebetulan sekali ia mengerti betapa kuatnya pedang Pujang Warit itu. Bahkan ia pernah melihat Pujang Warit memamerkan senjatanya dan mematahkan beberapa helai pedang lainnya tanpa menjadi cacat seujung duri-pun.
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuanku," berkata Senapati itu, "apakah Tuanku berkenan mempergunakan pedang hamba?"
Tetapi Sri Baginda menggelengkan kepalanya, "Tidak."
Senapati yang akan menjadi saksi dari perang tanding itu tidak dapat memaksa, meskipun hatinya menjadi sanaat cemas. Tetapi hal itu agaknya memang sudah dihentikan oleh Baginda sehingga akhirnya, ia-pun harus membiarkannya mempergunakan pedang prajurit pengawal itu.
Dalam pada itu. di medan pertempuran di sebelah Utara Ganter, kedua pasukan telah terlibat di dalam perang yang semakin seru. Keduanya telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Pasukan Singasari telah turun seluruhnya ke medan perang dengan segala macam tanda-tanda kebesaran, sedang Mahisa Walungan telah membawa setiap orang yang ada di dalam perkemahannya.
Namun jumlah prajurit Singasari yang lebih besar ternyata benar-benar telah berpengaruh pada perang itu. Perlahan-lahan namun pasti pasukan Singasari telah berhasil mendesak pasukan Kediri, meskipun setiap prajurit dari Kediri telah bertempur tanpa mengenal arti menyerah. Tetapi seorang demi seorang prajurit Kediri berguguran seperti juga prajurit Singasari. Seorang demi seorang pasukan ke dua belah pihak selalu berkurang.
Meskipun pasukan Kediri sama sekali tidak berputus asa. namun garis perlawanan mereka-pun bergeser setapak demi setapak, karena arus prajurit Singasari yang tidak terbendung lagi.
Mahisa Walungan yang memegang pimpinan pasukan Kediri, bertempur dengan gigihnya. Ternyata bahwa Mahisa Walungan benar-benar seorang yang memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan. Senjatanya, sebuah pedang panjang, menyambar-nyambar seperti paruh burung garuda. Suaranya berdesing-desing memutari lawannya.
Tetapi lawannya itu adalah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Orang yang aneh dan banyak sekali menyimpan rahasia di dalam dirinya. Rahasia yang dirinya sendiri hampir tidak mengenalinya.
Dengan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, Ken Arok bertempur dengan gigihnya. Serangan-serangan Mahisa Walungan yang betapapun berbahayanya, selalu dapat dihindarinya, atau ditangkisnya. Meskipun kadang-kadang ia kehilangan irama seorang raja, namun ia tidak dapat didesak oleh kelebihan yang ada di dalam diri Mahisa Walungan. karena Ken Arok-pun memilikinya pula.
Mahisa Walungan sebagai seorang kesatria yang sejak kecilnya berada di dalam lingkungan istana serta segala macam adat dan tata cara kadang-kadang menjadi heran melihat sikap dan gerak Sri Rajasa. Kadang-kadang Sri Rajasa bertempur sebagai seorang Raja yang besar, namun apabila serangan Mahisa Walungan semakin mendesaknya, tiba-tiba saja raja Singasari itu menjadi kasar dan garang. Senjatanya berputar-putar tanpa arah dan tampaknya seperti tidak ada pegangan. Tetapi gerak yang demikian, yang seharusnya dengan mudah dapat ditembusnya, namun pedang Sri Rajasa, justru menjadi sebaliknya. Gerak-gerak yang kasar dan tidak beraturan itu justru merupakan benteng yang sangat rapat, mengitari dirinya dari segenap serangan.
Sekali-sekali Mahisa Walungan memang terpaksa meloncat surut untuk mencoba menilai tata gerak lawannya. Namun setiap kali dengan tiba-tiba saja, Sri Rajasa sudah menyerangnya dengan kecepatan yang hampir tidak disangka-sangkanya.
Namun Mahisa Walungan adalah seseorang yang matang dalam ilmu olah senjata. Karena itu. maka betapapun dahsyatnya lawannya, ia tidak kehilangan akal. Bahkan semakin lama tata geraknya-pun menjadi semakin mapan. Kekuatan-kekuatan cadangan yang tersimpan di dalam dirinya-pun mulai tersalur ke tangannya, sehingga dengan demikian gerak pedangnya-pun menjadi semakin cepat dan kuat.
Kemampuan yang seolah-olah berkembang itu terasa juga oleh Sn Rajasa. Kekuatan Mahisa Walungan seakan-akan menjadi bertambah-tambah. Setiap benturan, terasa tangan Sri Rajasa menjadi nyeri, sehingga kadang-kadang senjatanya seolah-olah ingin meloncat dari genggaman.
"Hem," ia menggeram di dalam hatinya, "agaknya di saat-saat terakhir Mahisa Walungan mengerahkan segenap kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Semua Aji dan kekuatan lahir dan batin."
Sebenarnyalah, Mahisa Walungan yang melihat pasukannya semakin terdesak itu-pun tidak lagi dapat membiarkan peperangan itu berlangsung semakin lama. Dengan segenap kemampuan yang ada maka dibangunnya segenap kekuatan lahir dan batin yang ada di dalam dirinya. Dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Walungan memusatkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, disusunnya dalam tata gerak yang sudah dikuasainya, menjadi suatu kekuatan yang tiada taranya. Seperti pada saat-saat ia membuat lubang pada papan yang tebal, maka kini tangannya yang seakan-akan bergetar itu, telah dialiri oleh kekuatan ilmu yang tiada taranya.
Sri Rajasa terkejut merasakan benturan-benturan berikutnya. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang menyimpan ilmu yang bukan saja ilmu yang kasat mata, tetapi latihan-latihan yang teratur, sehingga seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya, kekuatan cadangan yang tidak dimengerti oleh setiap orang, dapat dikuasainya dan dipergunakannya sebagai Aji Pamungkasnya.
Bersambung Jilid 56. koleksi : Ki Arema scanning : Ki Arema Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Cek ulang : Ki Arema ---ooo0dw0ooo--- Jilid 56 NAMUN agaknya dengan demikian Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan. Ia sendiri tidak pernah mempelajari dan mengembangkan ilmu apapun dengan teratur. Tetapi seakan-akan semua simpul-simpul syaraf dan urat yang ada di dalam dirinya, dengan sendirinya terpengaruh oleh kehendaknya. Apabila kemarahan telah membakar dadanya, maka semua bagian tubuhnya telah mengembangkan kekuatan di luar sadarnya.
Itulah sebabnya, maka pada puncak pertempuran itu, Mahisa Walungan yang kemudian terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak dapat mempercayai tangkapan matanya sendiri. Di dalam cahaya matahari yang semakin tinggi, ia melihat bayangan yang kemerah-merahan membara di atas kepala Ken Arok. yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka warna merah itu-pun menjadi semakin nyata, meskipun hanya dapat ditangkap oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sentuhan indera yang lebih baik dari orang-orang kebanyakan, seperti Mahisa Walungan.
Namun akhirnya, Mahisa Walungan yang mempunyai pandangan yang jauh dan matang terhadap dunia raya di sekitarnya dan dunia kecil pada dirinya, segera dapat menanggapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa lawannya bukannya manusia kebanyakan. Di sini ia melihat siapakah yang sebenarnya kekasih Yang Maha Agung. Bukan karena lawannya Sri Rajasa adalah Sang Amurwabumi adalah orang yang paling dikasihi oleh dewa-dewa. Tetapi orang itu, hanya sekedar alat untuk menumbangkan ketamakan yang selama ini telah mencengkam Kediri.
"Bukan kakanda Sri Kertajaya," berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya, "agaknya Kakanda Sri Kertajaya justru telah dikutuk oleh dewa dengan perantaraan orang ini."
Namun meskipun demikian, Mahisa Walungan tidak menghentikan perlawanannya. Tetapi mata hatinya seolah-olah telah melihat akhir dari peperangan ini. Karena itulah maka ia justru menjadi tenang. Dihadapinya lawannya dengan penuh kesungguhan namun pasrah kepada penciptanya Yang Maha Agung. Siapapun yng telah menggerakkan Sri Rajasa, lahiriah maupun batiniah, namun semua itu pasti merupakan pengejawantahan dari kehendak Yang Maha Tunggal, pusar dari semua perputaran langit dan bumi, yang besar yang meliputi alam raya dan yang kecil di dalam dirinya, namun juga yang menjadi sumber dari segala gerak dan kehendak dewa-dawa di langit yang menjadi peraganya dalam segala susunan dan kejadian.
Dalam pada itu, Gubar Baleman-pun telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Sebagai seorang Senapati tertinggi di samping Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun adalah seorang yang pilih tanding. Berpuluh tahun ia berguru di samping latihan-keprajuritan yang matang, sehingga di dalam dirinya telah tersimpan bekal yang rangkap untuk melakukan tugasnya. Dan kini ternyata bahwa ia adalah Senapati yang mumpuni.
Di dalam peperangan ini ternyata ia menjumpai seorang Senapati Singasari yang tidak disangkanya. Sebelumnya, sebagai seorang Senapati tertinggi di kerajaan Kediri, ia mengenal beberapa orang pemimpin Tumapel pada saat-saat Tunggul Ametung memegang kekuasaan, karena Tumapel termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang besar. Tetapi Gubar Baleman belum pernah mengenal orang ini. Bersamaan dengan timbulnya Ken Arok di dalam tampuk pimpinan pemerintahan Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Kerajaan Singasari, ternyata telah timbul pula beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Gubar Baleman telah mendengar pula, bahwa Witantra telah tersisihkan. Namun ia tidak menyangka, bahwa telah lahir seorang Senapati yang melampui kemampuan Witantra yang saat itu merupakan orang yang paling disegani di Tumapel di samping Tunggul Ametung sendiri.
Tetapi kini yang dihadapinya adalah seorang Senapati yang bernama Mahisa Agni, yang pasti agak lebih muda dari Witantra sendiri. Namun menurut penilaian Gubar Baleman, orang yang bernama Mahisa Agni ini telah memiliki kemampuan puncak di dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka perang di antara kedua pasukan yang dipimpin oleh Senapati-senapati yang tangguh itu menjadi semakin sengit. Hanya karena jumlahnya yang tidak seimbang sajalah yang membuat pasukan Kediri selalu terdesak.
Sementara, api peperangan membakar medan di sebelah Utara Ganter, pasukan yang berada di pinggir kota, yang ditinggalkan oleh Pujang Warit menjadi gelisah. Mereka mengerti bahwa Kediri terancam oleh bahaya yang benar-benar mencemaskan. Tetapi kini mereka dibiarkan duduk bertopang dagu sambil menunggu.
"Apakah yang dilakukan oleh Pujang Warit di istana?" bertanya salah seorang dari para prajurit itu.
"Tidur. Mungkin ia tertidur."
"Lalu apa yang dapat kami lakukan di sini."
"Juga tidur." Mereka-pun terdiam. Beberapa orang Senapati berjalan hilir mudik tidak menentu. Sekali-kali dipandanginya sepasukan prajurit yang bertebaran di jalan-jalan dan di halaman-halaman rumah. Sedang para penghuninya hanya berani mengintip dari celah-celah daun pintu yang merenggang. Mereka menjadi sangat cemas karena mereka mendengar bahwa api peperangan telah berkobar di sebelah Utara Ganter.
"Apa kerja mereka di sini?" bertanya seorang perempuan kepada suaminya yang telah sama-sama tua.
Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Dahulu ketika aku muda, sepengetahuanku, prajurit-prajurit itu berada di medan perang. Tetapi kini prajurit-prajurit berada di jalan-jalan dan di halaman-halaman sambil bertiduran."
Tetapi mereka tidak berani bertanya, kenapa prajurit-pra-pint itu tidak berada di medan.
"Aku akan menyusul," berkata seorang Senapati di antara para prajurit yang gelisah itu, "sejak semula aku sudah tidak setuju, bahwa pasukan ini ditarik dari medan. Sekarang, apa yang harus kita lakukan" Kalau kita harus menyusun pertahanan terakhir, kenapa kita dibiarkan saja tanpa perintah apapun?"
"Jangan," kawannya memperingatkan, "lebih baik kita ambil alih pimpinan selama Pujang Warit tidak ada. Kita susun sendiri pertahanan di dalam dinding kota. Kita siapkan semua kekuatan yang sekarang ada, sambil menunggu pasukan cadangan yang masih akan berkumpul."
"Aku tidak tahu, apakah kita telah melakukan sesuatu yang benar dipandang dari sudut keprajuritan. Menurut penilaianku, kalau kita gabungkan kekuatan kita dengan pasukan Adinda Sri Baginda, maka kita pasti akan dapat membendung pasukan Singasari itu."
"Itu bukan persoalan kita." jawab kawannya, "marilah kita manfaatkan waktu yang tersia-sia ini."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Siapakah yang tertua di antara kita, kami akan tunduk pada pimpinannya.
Para prajurit yang dibawa oleh Pujang Warit masuk ke kota itu-pun kemudian mengatur diri mereka sendiri di bawah pimpinan seorang Senapati yang mereka anggap tertua. Bagaimana-pun juga, namun jiwa prajurit Kediri yang mengalir di dalam dada mereka telah memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, justru pada saat Kediri terancam.
Sementara itu, Pujang Warit yang berada di istana sedang melakukan perang tanding melawan Sri Baginda Kertajaya. Meskipun ia tidak pernah berangan-angan bahwa pada suatu ketika ia medapat kehormatan untuk melakukannya namun di saat-saat ia tersudut di dalam suatu keharusan, maka ia-pun benar-benar telah bertekad untuk melakukan perang tanding sebaik-baiknya. Kalau ia kalah, ia pasti benar-benar akan mati. Tetapi kalau ia mendapat kesempatan memenangkan perang tanding itu, maka sudah tentu janji yang dibuat Sri Baginda akan ditaati oleh para Senapati bawahan yang ada di lingkaran perang tanding itu.
Demikianlah, maka perang tanding itu-pun segera dimulai. Sri Baginda Kertajaya dengan pedang prajuritnya, melawan Pujang Warit yang mempergunakan pedang pusakanya sendiri.
Mula-mula memang terasa canggung bagi Pujang Warit untuk berkelahi melawan Sri Baginda. Tetapi Sri Baginda yang melihat kecanggungan itu-pun berkata, "Perang tanding ini harus adil. Karena itu jangan segan, sebab kalau pedangku menusuk dadamu, kau akan benar-benar mati. Bukan sekedar berpura-pura mati."
Pujang Warit menggeretakkan giginya untuk mendapatkan keberanian sepenuhnya. Sejenak ia berusaha menghilangkan segala macam kesan dan anggapannya terhadap Sri Baginda, "Ia manusia biasa seperti aku." geramnya di dalam hati.
Dengan demikian maka perlahan-lahan Pujang Warit dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya.
Perang tanding itu-pun semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Sri Baginda telah berusaha membangkitkan nafsu pada lawannya untuk melawannya dengan sungguh-sungguh.
Ketika tangan Pujang Warit telah mulai dibasahi oleh keringat maka tandangnya-pun menjadi semakin bebas. Ternyata bahwa Pujang Warit memang seorang Senapati muda yang mempunyai beberapa kelebihan. Gerakannya yang lincah dan tangguh, ayunan senjatanya yang mantap dan serangannya yang cepat, telah meyakinkan para prajurit yang melihat perang tanding itu, bahwa Pujang Warit bukanlah seorang prajurit yang hampa.
Sri Baginda-pun semakin lama semakin menyadari, bahwa lawannya memang mempunyai beberapa kelebihan dari para Senapatinya yang lain. Dan kelebihan-kelebihan inilah agaknya yang telah membuat Pujang Warit menjadi congkak, sehingga kehilangan keseimbangan. Senapati muda ini merasa bahwa ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk memegang jabatan tertinggi di dalam tata keprajuritan di Kediri.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya adalah seorang raja yang perkasa. Itulah sebabnya, maka betapapun Pujang Warit berusaha menekan Sri Baginda dengan serangan-serangan yang mengalir seperti banjir, namun serangan-serangan itu hampir tidak berpengaruh sama sekali atas kedudukan Sri Baginda.
Setelah perang tanding itu berjalan beberapa lama, maka tampaklah perbandingan dari keduanya. Betapapun juga Pujang Warit mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun ia sama sekali tidak akan darat menembus pertahanan Sri Baginda yang serapat perisai baja.
Debar di dada Pujang Warit semakin lama menjadi semakin cepat. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar seorang raja yang tidak saja pandai memerintah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memaksakan perintahnya.
"Jangan sekedar bermain-main Pujang Warit. Aku bersungguh-sungguh. Anggaplah bahwa aku adalah pemangku jabatan penglima tertinggi pasukan Kediri yang kau inginkan itu, karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Walungan tidak ada bedanya dengan aku sendiri. Kami adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Ilmuku sama dengan ilmu Mahisa Walungan. Kemampuannya sama dengan kemampuanku. Bahkan ia agak lebih muda daripadaku, sehingga kekuatan jasmaniahnya masih lebih baik daripadaku."
Pujang Want menggeram. Kelincahannya tidak berhasil menembus putaran pedang Sri Baginda.
"Aku tidak akan dapat mengalahkannya dengan wantah," katanya di dalam hati.
Sekilas terlintas di angan-angannya kekuatan yang oleh gurunya diturunkannya kepadanya. Kekuatan yang melampaui kekuatan jasmaniah yang tampak. Gurunya telah memberikan ilmu kepadanya, untuk membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tenaga cadangan yang tersimpan, yang tidak pada setiap orang dapat dikuasai dan dipergunakan, pada Pujang Warit kekuatan itu sudah dapat dibangunkannya.
Itulah sebabnya, maka ketika ia merasa bahwa ia tidak lagi berpengharapan untuk memenangkan perang tanding itu dengan cara yang wajar, maka ia-pun telah bertekad untuk membangunkan ilmu yang dimilikinya dari perguruannya.
"Aku tidak mau mati," katanya di dalam hati, "seandainya setelah memenangkan perang tanding ini para Senapati pengawal tidak mentaati taruhan Sri Baginda, apa boleh buat. Tetapi tanpa berbuat begitu-pun aku akan mati pula di arena ini. Sedang mati itu tidak akan dapat terulang sampai dua kali."
Dengan demikian, maka Pujang Warit-pun berketetapan hati untuk mengakhiri perang tanding itu dengan ilmunya yang dahsyat.
Sejenak kemudian Pujang Warit itu-pun melangkah surut. Sekejap ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, sehingga tampaklah seakan-akan dari ubun-ubunnya mengepul uap yang putih. Demikian mapannya ia menguasai ilmunya, sehingga ia sama sekali tidak membuang waktu terlampau banyak. Ketika kemudian ia menggeretakkan giginya. maka kekuatan pamungkasnya itu-pun sudah terbangun dan mengulir di seluruh tubuhnya.
Sri Baginda yang memiliki ilmu hampir sempurna segera melihat, bahwa lawannya telah membangunkan ilmunya yang tertinggi. Ungkapan segenap kekuatan yang ada di dalam diri, agaknya benar-benar akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan demikian Sri Baginda tidak akan dapat melawannya dengan kekuatan wajarnya.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya, Maharaja di Kediri, yang bahkan pernah merasa dirinya titisan dewa itu-pun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan manusia kebanyakan, di saat-saat ia merasa bahwa ia tidak akan mungkin melawan puncak kekuatan dan ilmu lawannya dengan tenaga wajarnya itulah maka Sri Baginda-pun segera membangunkan ilmunya yang dirasanya akan dapat melindungi dirinya.
Sri Baginda Kertajaya masih belum tahu dengan pasti, betapa jauh Pujang Warit sudah berhasil menguasai dirinya sendiri. menguasai segala kekuatan yang ada pada dirinya. Karena itu, maka Sri Baginda tidak akan mau menjadi korban penjajagannya. Itulah sebabnya, maka Sri Baginda Kertajaya-pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Apalagi Sri Baginda yang telah berperang tanding beberapa waktu itu kemudian berkata kepada diri sendiri, "Memang aku harus segera mengakhiri perang tanding ini, agar aku mendapat kesempatan untuk memikirkan medan di sebelah Utara Ganter itu. Pujang Warit ternyata memang sudah tidak dapat diharapkan lagi. Supaya anak ini tidak akan menjadi penghalang untuk seterusnya, maka sebaiknya anak ini harus segera disingkirkan."
Pada saat itulah, Pujang Warit yang kini sudah menyandang aji pamungkasnya itu-pun meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah kepundak Sri Baginda Kertajaya. Ayunan pedang yang dilambari oleh kekuatan yang hampir tidak terkatakan, betapa besarnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat serangan yang datang dengan kekuatan raksasa itu. Karena itu, maka ia-pun segera bergeser selangkah. Untuk mengetahui kekuatan Pujang Warit, maka Sri Baginda-pun mengajunkan pedangnya pula, membentur pedang Pujang Warit.
Sekejap kemudian terjadilah benturan itu. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang dahsyat.
Para Senapati dan prajurit yang melingkari arena itu berdiri dengan mulut ternganga menyaksikan apa yang telah terjadi. Para Senapati yang menjadi saksi utama dari perang tanding itu-pun tegak mematung dengan tatapan mata yang tidak berkedip.
Benturan itu ternyata telah menaburkan bunga api yang memercik dari kedua senjata yang sedang beradu itu.
Namun ternyatalah kemudian bahwa kedua bilah pedang itu memang berbeda. Pujang Warit yang kemudian meloncat setapak surut sambil menyeringai karena sengatan yang pedih di tangannya, masih berhasil mempertahankan pedangnya. Dengan wajah yang tegang ia melihat Sri Baginda Kertajaya berdiri termangu-mangu sambil memandangi senjatanya. Ternyata pedang yang ada di dalam genggaman Sri Baginda itu telah patah di tengah.
Pedang yang patah itu agaknya telah mengejutkan semua orang yang ada di sekitar arena. Para Senapati yang menjadi saksi dari perang-tanding itu tiba-tiba menjadi pucat. Mereka menyadari ketentuan yang berlaku, bahwa seseorang yang kehilangan senjatanya di dalam perang tanding, tidak akan mendapatkan senjata pengganti.
Dan kini ternyata pedang Sri Baginda Kertajaya itu telah patah.
Pujang Warit memandangi pedang yang patah itu sejenak. Sekilas tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa seandainya pedang Sri Baginda itu tidak patah, maka pedangnya sendirilah yang akan terloncat dari genggaman karena benturan kekuatan itu.
Bagaimana-pun juga Pujang Warit harus mengakui, bahwa kekuatan Sri Baginda masih belum dapat diimbanginya. Meskipun ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangan yang telah dikuasainya, namun ternyata Sri Baginda masih jauh lebih perkasa.
Tetapi kini pedang Sri Baginda itu telah patah.
Bersamaan waktunya dengan patahnya pedang Sri Baginda, pasukan Kediri di medan perang Ganter telah terdesak jauh kebelakang. Betapa para prajurit Kediri berjuang tanpa mengenal menyerah, tetapi semakin lama semakin tampak, bahwa Singasari mempunyai cukup kemampuan untuk mendesak dan perlahan-lahan tetapi pasti menghancurkan pasukan Kediri.
Mahisa Walungan yang ada di ujung pasukan, dan sedang bertempur melawan Sri Rajasa, menjadi sangat berprihatin atas korban yang berjatuhan tak terhitung lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena lawannya sendiri adalah seorang yang aneh. Bahkan Gubar Baleman-pun kemudian menjadi cemas. Apakah pasukan Kediri benar-benar akan pecah"
Sebagai seorang prajurit Gubar Baleman telah berbuat sebaik-baiknya. Seorang melawan seorang Gubar Baleman ternyata dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni yang perkasa. Mahisa Agni yang telah berhasil menempatkan dirinya, sejajar dengan gurunya dan dengan orang-orang yang berada di dalam lapisan tertinggi dari ilmu olah kanuragan.
Tetapi ternyata Senapati Kediri itu-pun memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga dengan demikian pertempuran itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Darah menjadi semakin banyak mengalir, membasahi tanah yang berdebu.
Panas yang semakin terik telah membakar padang yang merah oleh darah. Tetapi keringat yang membasahi tubuh para prajurit itu bagaikan minyak yang menitik ke dalam api, dan membuat nafsu mereka semakin menyala-nyala. Hanya ada dua kemungkinan di dalam peperangan, membunuh atau dibunuh.
Sri Baginda Kertajaya. meskipun tidak menyaksikan peperangan itu, namun ia dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Karena itu ia merasa wajib untuk segera membantu. Tetapi kini pedangnya justru patah.
Pujang Warit yang melihat pedang Sri Baginda patah, dan setelah pedih di tangannya oleh benturan kedua senjata itu menjadi berkurang, tiba-tiba saja merasa bahwa ia sudah berdiri di ambang pintu kemenangan. Selangkah lagi ia maju maka ia akan dapat memenangkan perang tanding ini. Perang tanding yang mempertaruhkan segala-galanya yang paling berharga di Kediri.
Karena itu oleh perasaannya yang meluap-luap, tiba-tiba Pujang Warit kehilangan pengamatan diri. Ia merasa seolah-olah ia sudah menggenggam taruhan yang disediakan oleh Sri Baginda. Karena itu, maka Senapati muda itu mengacukan pedangnya dengan tangan kanan ke arah Sri Baginda, sedang tangan kirinya bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, "Nah. Sri Baginda Kertajaya. Jangan menyesal bahwa hari-hari akhirmu sudah tiba. Kau ternyata telah ditelan oleh ketamakanmu sendiri. Kau yang merasa dirimu titisan dewa tertinggi, kini harus bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang Maharaja kau tidak dapat mengingkari apa yang sudah kau katakan. Taruhan dari perang tanding ini bukan saja nyawa kita, tetapi juga kekuasaan Tunggal di Kediri."
Sri Baginda Kertajaya sejenak diam mematung melihat sikap Pujang Warit. Dengan penuh keheranan ia menyaksikannya tertawa terbahak-bahak sambil bertolak-pinggang.
"Apakah anak ini sudah menjadi gila?" bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
"Kertajaya," Pujang Warit berteriak, "sebaiknya kau menyerah. Aku tidak akan membunuhmu dengan sewenang-wenang. Aku akan melaksanakan hukuman matimu dengan cara yang paling terhormat. Sedang saudara-saudara perempuanmu tidak akan menjadi tersia-sia. Tetapi kalau kau tetap berkeras hati melawan aku dan melanjutkan perang tanding ini, maka kau akan mati di tengah-tengah arena sebagai seekor ayam yang kalah dalam aduan."
Keheranan Sri Bagmda kemudian telah memuncak. Perlahan-lahan perasaan heran itu telah berubah menjadi kemarahan yang semakin membakar dadanya. Sikap Pujang Warit tiba-tiba menjadi degsura. Tidak lagi sebagai sikap seorang Senapati terhadap rajanya.
"Apa katamu Kertajaya?"
Sri Baginda memandang berkeliling sesaat. Dilihatnya wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan perang-tanding itu.
"Aku tidak tahu. kenapa kau tiba-tiba saja mengigau Pujang Warit?" berkata Sri Baginda kemudian, "kenapa tiba-tiba saja kau menganggap bahwa perang tanding ini sudah selesai, sedang aku masih berdiri tegak di sini" Kalau karena pedangku patah, kau mengambil kesimpulan bahwa aku tidak akan mampu melawanmu lagi, agaknya kau keliru. Bukankah pedangku masih separo" Tentu yang separo ini justru menjadi lebih kuat. Karena daun pedang ini lebih pendek, maka ia pasti tidak akan patah lagi. Nah, daripada kau mengigau, marilah, kita lanjutkan saja perang tanding ini."
"He," Pujang Warit yang sedang dicengkam oleh mabuk kemenangan itu menyahut, "kenapa kau tidak mau melihat kenyataan ini" Dengan pedang yang utuh kau tidak dapat memenangkan perang tanding ini. Apalagi dengan pedang buntungmu itu."
"Jangan banyak bicara," Sri Baginda akhirnya kehilangan kesabaran, "marilah kita lihat akhir dari perang tanding ini. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi melayani orang yang sedang mabuk seperti kau ini. Sementara ini aku harus segera pergi ke Utara Ganter untuk menolong Mahisa Walungan dan Gubar Baleman."
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ia tidak melihat kecemasan membayang di wajah Sri Baginda. Dan para Senapati serta para prajurit-pun menjadi heran. Sri Baginda masih tetap tenang dan sama sekali tidak terpengaruh oleh pedangnya yang patah.
"Apakah kau akan berbuat curang?" bertanya Pujang Warit, "apakah kau berhasrat mengganti senjatamu" Itu tidak dibenarkan oleh ketentuan perang tanding bagi para kesatria."
"Siapa yang bilang bahwa aku akan mengganti senjataku" Aku akan mempergunakan senjataku yang patah ini. Ini justru akan lebih baik bagiku," jawab Sri Baginda.
Mata Pujang Warit yang kemerah-merahan menjadi semakin merah dibakar oleh kemarahan di dalam dadanya. Sri Baginda Kertajaya yang sudah kehilangan senjatanya itu masih juga berani menengadahkan dadanya. Karena itu, maka sambil menggeretakkan giginya ia berkata, "Maharaja Kertajaya yang sudah kehilangan wahyu. Kau sudah tidak berhak lagi untuk menengadahkan wajahmu di hadapan rakyat Kediri. Sudah sampai waktunya kau berlutut sambil menundukkan kepalamu. Akulah yang akan memotong lehermu di hadapan para Senapati dan prajurit pengawal."
Kemarahan Sri Baginda-pun hampir-hampir tidak tertahankan lagi. Tetapi sebagai seorang Maharaja, ia tidak dapat berbuat sekasar Pujang Warit. Karena itu maka ia hanya dapat menjawab, "Marilah kita buktikan."
Pujang Warit yang masih berdiri bertolak pinggang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia-pun terpaksa berkepanjangan untuk melepaskan kemarahannya yang menyesak, "kau memang seorang raja yang paling bodoh yang pernah aku kenal."
Sri Baginda tidak menyahut. Tetapi justru karena kemarahan yang memuncak, maka seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya telah terungkat. Dengan tangan gemetar menggenggam pedangnya yang patah Sri Baginda melangkah setapak demi setapak maju. Ditatapnya Pujang Warit dengan tajamnya. Namun kemudian ia membentak, "Pujang Warit. Jangan lengah."
Suara Pujang Warit-pun segera terputus. Ia melihat Sri Baginda menjadi semakin dekat.
Kini Pujang Warit menghadap kepada Sri Baginda. Wajahnya menjadi semakin menyala, sedang pedangnya kini terjulur lurus ke depan. Sejenak ia memandang Sri Baginda, namun sejenak kemudian ia-pun meloncat maju menyerang dengan garangnya.
Sri Baginda menyadari bahwa Pujang Warit masih berada di dalam puncak kekuatannya. Ia masih mempergunakan aji pamungkasnya. Karena itu, maka Sri Baginda-pun harus menyesuaikan dirinya pula.
Ternyata kemudian, bahwa meskipun pedang Sri Baginda tinggal sepotong, namun Sri Baginda masih dapat mempergunakannya dengan baik. Sambil memiringkan tubuhnya Sri Baginda memukul ujung pedang Pujang Warit kesamping.
Sekali lagi sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Sekali lagi bunga-api memercik keudara. Namun pedang yang tinggal sepotong itu memang tidak patah lagi.
Pujang Warit yang merasa senjatanya masih utuh, segera melakukan serangan beruntun. Kalau ia ingin menang, maka ia harus segera mengakhiri perang-tanding itu, selagi Sri Bnginda masih dicengkam oleh keadaan yang mengecilkan hati itu.
Namun ternyata bahwa pedang yang patah itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya.
Maka sejenak kemudian perang tanding itu-pun berlangsung semakin sengit. Kini mereka mempergunakan puncak-puncak dari ilmu mereka sehingga setiap gerak dan ayunan senjata mereka, tampak menjadi lebih garang dan lebih dahsyat.
Tidak seorang-pun berani mendekati arena. Sebenarnya bukan hanya Pujang Warit sajalah yang mampu menampakkan ilmu yang dahsyat yang tersimpan pada diri mereka. Tetapi ternyata bahwa Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan di dalam dirinya itulah yang telah membuatnya menjadi sombong.
Dengan demikian, kini di arena itu sedang bertempur dua orang yang telah dicengkam oleh ketamakannya masing-masing. Sri Baginda Kertajaya, meskipun di saat-saat terakhir ia menyadarinya, betapa ia telah kehilangan pegangan, melawan Pujang Warit.
Namun bagi mereka yang memiliki pengamatan yang tajam, segera dapat melihat, bahwa meskipun Sri Baginda mempergunakan pedang yang patah, namun kemampuan Pujang Warit masih belum dapat menyamainya. Apalagi apabila keduanya mempergunakan senjata yang seimbang. Maka Pujang Warit akan segera merasai kesulitan dari perang tanding itu.
Sri Baginda yang mempergunakan pedang yang patah itu-pun kemudian telah berusaha untuk segera mengakhiri perang tanding. Geraknya menjadi semakin cepat, dan serangannya menjadi semakin garang.
Pujang Warit mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun lawannya hanya mempergunakan pedang yang patah, namun ia masih mampu bertempur seperti seekor burung garuda.
Betapa Pujang Warit mempergunakan aji pamungkasnya namun kekuatan manusia memang terbatas. Demikian pula kekuatan yang ada di dalam dirinya. Setelah beberapa saat ia memeras segenap tenaga yang ada di dalam dirinya, bahkan segenap tenaga cadangannya, namun masih belum juga berhasil mengalahkan lawannya, tampaklah bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya menjadi semakin lama semakin surut.
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun menjadi semakin terdesak pula karenanya, sehingga pada suatu saat Pujang Warit merasa bahwa kemenangan yang sudah terbayang itu-pun menjadi semakin kabur kembali, sejalan dengan nalarnya yang menjadi semakin kabur pula, sehingga susunan tata perkelahiannya-pun menjadi semakin kehilangan arah.
Sejenak kemudian Sri Baginda merasa bahwa saatnya telah tiba. Apalagi ingatannya tentang pasukan di sebelah Utara Ganter yang pasti memerlukan bantuan. Karena itulah, maki betapa beratnya hati Sri Baginda, namun ia harus mengakhiri perang tanding itu.
Maka dengan garangnya Sri Baginda-pun menyerang lawannya dengan segenap kemampuannya yang meskipun sudah susut pula, namun masih jauh melampaui kekuatan Pujang Warit. Kedua senjata yang masih saja tetap berbenturan itu, menjadi semakin nyata bahwa Pujang Warit hampir-hampir tidak berdaya lagi melawan kekuatan Sri Baginda, meskipun pedang Sri Baginda patah dan tajamnya telah kikis. namun di saat-saat terakhir senjata itu bagaikan paruh burung rajawali yang mengitari dahi Pujang Warit.
Ketika Pujang Warit terdorong oleh benturan kedua senjata itu. dan terhuyung-huyung beberapa langkah surut Sri Baginda meloncat maju.
Pujang Warit tidak dapat berbuat lain karena keseimbangannya terganggu. Yang dilakukan kemudian adalah menjulurkan pedangnya lurus-lurus. Ia merasa bahwa senjatanya itu lebih panjang dari senjata Sri Baginda, sehingga Sri Baginda tidak akan dapat mencapainya dengan senjata patah itu.
Tetapi Sri Baginda berhasil menggeliat dan mengekang diri. Dengan daun pedangnya yang separo itu ia memukul Pedang Pujang Warit yang belum berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya itu, sehingga Pujang Warit berputar setengah lingkaran.
Sri Baginda tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sebuah loncatan panjang ia menjulurkan pangkal pedangnya ke atas lambung lawannya.
Namun Pujang Warit tidak menyerah begitu saja. Ia tidak membiarkan lambungnya berlubang oleh pangkal pedang. Karena itu, justru ia membanting dirinya untuk menghindari tusukan lawannya.
Sri Baginda terkejut melihat cara Pujang Warit menghindar. Dengan tangkasnya Sri Baginda meloncat memburu Pujang Warit yang sedang berguling. Tetapi langkahnya-pun tertegun karena sambil berbaring Pujang Warit mengayunkan pedangnya mendatar.
Sri Baginda yang berdiri selangkah dari Pujang Warit terpaksa meloncat menghindari sambaran pedang pada mata kakinya itu. Ternyata bahwa Pujang Warit masih berusaha melawan sekuat-kuat tenaganya.
Serangan itu agaknya telah memberi kesempatan Pujang Warit untuk sekali lagi berguling kemudian melenting dengan tangkasnya, berdiri di atas kedua kakinya.
Namun begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka terasalah sesuatu menyengat lambungnya, sehingga ia-pun menyeringai karenanya.
Pujang Warit tidak sempat berbuat apapun ketika pedang Sri Baginda yang tinggal separo itu menghunjam di lambungnya. Geraknya yang terlampau cepat, telah berhasil menembus pertahanan Senapati muda yang masih menggenggam pedang.
Tetapi Pujang Warit tidak sempat lagi mengayunkan pedangnya yang masih belum cacad sama sekali itu. Ketika Sri Baginda menarik pedangnya yang patah itu, darah menyembur dari luka di lambung Pujang Warit.
Senapati muda itu masih mencoba untuk berdiri. Tetapi kekuatannya serasa telah larut. Namun demikian justru di saat-saat terakhir itu ia benar-benar telah menjadi mabuk. Pujang Warit sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirinya. Selama ini ia sudah merasa menggenggam kemenangan, bahkan seakan-akan ia sudah menerima taruhan yang dijanjikan oleh Sri Baginda, kekuasaan tertinggi di Kediri.
Kalau tiba-tiba pedang Sri Baginda menembus lambungnya, itu adalah suatu kejutan yang tidak masuk di akalnya, sehingga meskipun kekuatannya telah lenyap, namun ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu.
Di saat-saat tubuhnya sudah demikian lemahnya, sehingga ia jatuh berjongkok di atas lututnya dan bersandar pada ke dua belah tangannya, ia masih berteriak, "He, Kertajaya, menyerahlah. Akulah yang akan menjadi Maharaja di Kediri. Ayo kalian prajurit, berlutut. Berlutut."
Para prajurit yang berdiri mengitari arena itu diam mematung. Mereka memandang mata Pujang Warit yang merah dan liar. Namun demikian, tumbuhlah perasaan iba dan kasihan di hati mereka melihat akhir yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduga-duga sama sekali.
Perlahan-lahan Sri Baginda maju selangkah. Ditatapnya wajah Pujang Warit yang kian menjadi pucat. Tubuhnya-pun kemudian menjadi semakin menggigil. Sehingga sejenak kemudian ia sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk berjongkok pada lututnya.
Perlahan-lahan tubuh Pujang Warit itu-pun terkulai di tanah. Darah yang merah masih saja mengalir dari lambungnya.
"He. He," ia masih mencoba berteriak, "akulah Maharaja Kediri sekarang."
Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Ya, kaulah Sri Maharaja di Kediri."
"Ayo berjongkok di hadapanku."
"Aku sudah berjongkok."
Pujang Warit mencoba mengangkat wajahnya dan membuka matanya yang semakin merah. Dilihatnya Sri Baginda berjongkok di sampingnya.
Setiap dada berdesir karenanya, ketika mereka melihat Pujang Warit itu tersenyum. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian kepala itu-pun menjadi semakin lemah. Perlahan-lahan Pujang Warit meletakkan kepalanya yang sudah tidak terangkat lagi oleh lehernya. Dan sekejap kemudian, maka terdengarlah tarikan nafasnya yang terakhir. Pujang Warit telah terbunuh di arena perang tanding oleh ketamakannya sendiri.
Sri Baginda Kertajaya-pun kemudian berdiri perlahan-lahan. Untuk pertama kalinya ia melakukan perang tanding melawan seorang Senapatinya sendiri, karena hukuman yang dijatuhkannya kepada dirinya sendiri.
"Singkirkan orang ini," berkata Sri Baginda, "kuburkan ia baik-baik. Nafsunya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh Kediri."
Ketika Sri Baginda kemudian memalingkan wajahnya dan memandang dua orang penasehatnya yang telah memberi kesempatan kepada Pujang Warit untuk merampas kedudukan keprajuritan yang tertinggi dengan nasehat-nasehatnya yang menyesatkan, maka kedua orang itu merasa, seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah dicopoti. Keduanya sama sekali tidak mempunyai perisai apapun juga selain Pujang Warit. Dan kini Pujang Warit telah terbunuh.
Sambil berlutut mereka merayap ke hadapan Sri Baginda sambil menyembah, "Ampun Tuanku. Ampunkan kami. Kami telah menyadari segala kesalahan kami."
Sri Baginda memandang keduanya dengan sorot mata yang seakan-akan membara. Dengan suara yang parau Sri Baginda berkata, "Kalian adalah pengecut yang paling licik, masih lebih menghargai Pujang Warit yang berani mempertanggung jawabkan kesalahannya sebagai seorang jantan. Tetapi kalian?"
"Ampun Tuanku. Yang dapat hamba lakukan hanyalah mohon kasihan Tuanku."
Sri Baginda termenung sejenak. Kemudian katanya kepada penasehatnya yang lain, "Apakah kata paman tentang kedua orang kawan paman ini?"
Penasehat yang tertua menganggukkan kepalanya dalam-dalam, "Tuanku keduanya telah mencemarkan nama baik para penasehat Tuanku."
"Hukuman apakah yang pantas dijatuhkan atas mereka?"
Penasehat itu tidak menyahut.
Sejenak kemudian Sri Baginda berpaling kepada Senapati yang menjadi saksi utama dalam perang tanding ini. Katanya, "Keduanya adalah pengkhianat. Akibatnya terasa oleh seluruh rakyat Kediri."
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
"Hukuman apakah yang pantas bagi keduanya aku serahkan kepada kalian."
"Ampun Tuanku. Ampun," keduanya berteriak hampir berbareng.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya. Karena tiba-tiba saja Sri Baginda berkata lantang, "Sediakan kudaku. Ambillah pusakaku. Aku akan menangani sendiri pasukan yang telah diracuni oleh Pujang Warit. Aku akan membawa mereka ke sebelah Utara Ganter. Akulah yang paling pantas untuk melawan Akuwu Tumapel yang telah memberontak dan menamakan dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwa-bumi itu."
Beberapa orang Senapati saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang beranjak dari tempatnya, sehingga Sri Baginda harus mengulanginya, "Ambil kudaku."
"Tetapi tuanku," seorang Senapati memberanikan diri untuk bertanya, "apakah Tuanku sendiri akan maju ke medan perang?"
"Ya," jawab Sri Baginda.
"Tuanku. Kami masih ada di halaman istana ini. Apakah Tuanku tidak memerintahkan saja kepada kami, agar kami berangkat ke peperangan?"
"Aku sendiri akan menguasai lebih dahulu orang-orang Pujang Warit supaya tidak timbul persoalan baru."
"Tuanku dapat memerintah kami. "
"Kali ini aku sendiri akan pergi. Cepat. Ambil kudaku."
Para Senapati itu tidak dapat membantah lagi. Namun demikian salah seorang yang lain berkata, "Apakah Tuanku berkenan, kami ikut serta bersama dengan Tuanku?"
Sri Baginda berpikir sejenak. Lalu, "Baiklah. Tetapi kalian harus mengatur diri, sehingga sebagian dari kalian tetap berada di dalam halaman istana ini."
"Hamba Tuanku. Kalau begitu perkenankanlah kami mempersiapkan diri."
Sejenak kemudian halaman istana itu-pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang pengawal telah mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti Sri Baginda kepinggir kota.
Ketika mereka sudah siap dengan kuda masing-masing, maka Sri Baginda-pun segera berkata, "Marilah, kita tidak mau terlambat."
Maka Sri Baginda-pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan sebuah sentuhan cemeti, maka kuda itu-pun segera meloncat berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh para Senapati dan prajurit pengawal istana.
Derap kuda-kuda itu-pun segera menggema di jalan-jalan raya. Sri Baginda kali ini hampir tidak ditandai oleh kelengkapan kebesarannya, selain pusakanya yang berbentuk tombak dengan sehelai panji-panji kecil, sebuah panji-panji yang terikat pada tunggul yang berwarna keemasan, berbentuk seekor gajah dengan belalainya yang mencuat keatas dan sebuah payung pusaka, yang juga berwarna kuning keemasan, masing-masing dibawa oleh seorang Senapati pengiring.
Beberapa orang yang melihat-lihat iring-iringan itu menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Ciri-ciri itu adalah ciri kebesaran Sri Baginda meskipun tidak lengkap.
"Apakah Sri Baginda sendiri turun ke medan perang?" mereka menjadi saling bertanya.
"Ya. Aku pasti. Yang paling depan adalah Sri Baginda."
"Bukan. Bukan yang paling depan," bantah yang lain, "yang paling depan adalah seorang Senapati pengiring. Sri Baginda memang ada di dalam pasukan berkuda itu, tetapi yang nomor dua dari depan. Bukan yang paling depan."
"Yang membawa tombak." sahut yang lain.
"Pasti bukan, yang membawa tombak, panji-panji dan sosong itu adalah Senapati pengiring."
"Oh, kita tidak akan dapat melihat Sri Baginda," berkata yang lain, "Baginda adalah titisan dewa-dewa. Kita pasti akan selalu berselisih pendapat, karena sebenarnya Sri Baginda tidak dapat kita ketahui dengan pasti, karena Sri Baginda mampu mengaburkan dirinya sendiri dalam segala bentuk."
Yang lain tidak menyahut lagi. Sebagian dari mereka percaya bahwa Sri Baginda adalah titisan dewa, sehingga ia dapat menyamar dirinya dalam bentuk apapun yang dikehendaki.
Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun kemudian berderap dengan cepatnya di atas tanah berbatu-batu melemparkan debu yang putih, mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu.
Di pinggir kota pasukan yang ditinggalkan Pujang Warit telah benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Mereka kini sudah tidak tahu lagi. apa yang harus mereka kerjakan. Padahal mereka tahu pasti, bahwa sebagian prajurit Kediri sedang bertempur mati-matian melawan prajurit, Singasari yang lebih besar jumlahnya.
Yang dapat mereka lakukan adalah membangun pertahanan sementara sambil menunggu kedatangan Pujang Warit.
Ketika seorang pengawas melihat beberapa ekor kuda berderap mendekati pasukan, maka segera ia berteriak, "Mungkin yang datang itulah Senapati Pujang Warit."
Senapati tertua di antara mereka, bersama beberapa orang Senapati yang lain segera berlari-lari untuk melihat mereka yang baru datang. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, "Kau lihat songsong pusaka yang berwarna kuning emas?"
"Ya," desis kawannya, "baru saja aku akan melihatnya."
"Apakah Sri Baginda sendiri?"
"Atau Pujang Warit sudah mendapat wewenang" Kalau demikian maka songsong pusaka itu bernilai lebih tinggi dari songsong kebesaran yang dipergunakan oleh Mahisa Walungan, sehingga Pujang Warit berhak memimpin segenap pasukan Kediri. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman harus tunduk di bawah perintahnya."
"Tetapi kau lihat panji-panji kecil pada tombak pusaka itu, dan sekaligus panji-panji pada tunggul Kiai Gajah?"
"Itu adalah kelengkapannya."
"Tetapi itu sama sekali bukan Pujang Warit," berkata seorang prajurit.
"Sri Baginda, Sri Baginda sendiri," berkata seseorang hampir berteriak.
Semua-pun segera terdiam. Mereka kini melihat, bahwa orang yang berkuda di paling depan, didampingi oleh Senapati pengapit itu adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Darah para prajurit itu-pun serasa hampir membeku. Ada beberapa persoalan yang bergolak di dada mereka. Namun salah seorang dari mereka bergumam, "Apakah Pujang Warit dianggap bersalah dan Sri Baginda sendiri datang kemari" "
"Atau Pujang Warit ada juga di dalam pasukan kecil itu?"
Sejenak kemudian semua orang justru terdiam. Meleka melihat iring-iringan itu menjadi semakin dekat.
Ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah dari mereka, maka para Senapati itu-pun menganggukkan kepala mereka dalam-dalam. Salah seorang yang dianggap tertua dari mereka berkata sambil menundukkan kepalanya, "Sri Baginda sendiri berkenan datang ke tempat ini."
"Ya," jawab Sri Baginda, "aku ingin melihat apa yang telah terjadi."
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diberani-beranikan dirinya untuk bertanya dengan hati-hati, "Ampun Tuanku. Beberapa saat yang lampau, Tuanku telah memanggil Pujang Warit untuk menghadap."
Sri Baginda mengerutkan keningnya, "Ya. Aku telah memanggil Pujang Warit. Tetapi jangan hiraukan dia. Aku sendiri akan memimpin pasukan Kediri. Nah, siapa yang tetap setia kepadaku akan serta bersamaku."
Senapati yang ada di tempat itu-pun mulai meraba apa yang telah terjadi dengan Pujang Warit. Tetapi mereka tidak sempat untuk berpikir terlampau lama karena Sri Baginda segera berkata lantang, "Siapa yang menolak kehadiranku sebagai pemimpin dan Senapati tertinggi dari pasukan Kediri sekarang, aku beri kesempatan untuk menyingkir?"
Dada para Senapati itu-pun terguncang karenanya. Namun tidak seorang-pun yang menolak kepemimpinan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
"Nah, kalau kalian menerima kehadiranku sebagai pemimpin kalian, maka kalian harus bersiap. Kita tidak akan menunggu di sini. Kita akan berangkat ke sebelah Utara Ganter. Hari ini kita harus menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. sebelum Tumapel berhasil memecah pasukan Kediri yang lemah karena kalian berada di sini."
"Kami berada di sini atas perintah Pujang Warit Tuanku."
"Aku tahu. Cepat. Kalian persiapkan prajurit-prajurit kalian masing-masing."
Para Senapati itu-pun segera berlari ke pasukannya masing-masing. Mereka dengan singkat telah menyampaikan perintah Sri Baginda, bahwa mereka akan segera pergi ke medan di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Terasa darah para prajurit itu semakin cepat mengalir. Mereka telah mendapat kehormatan, bertempur di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Dengan penuh kesungguhan mereka-pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Pertahanan yang sudah mereka susun sementara itu-pun segera terurai. Pasukan-pasukan yang sudah menebar di sepanjang dinding kota di sekitar regol induk itu-pun kemudian berkumpul kembali untuk segera berangkat kegaris perang di sebelah Utara Ganter.
Setelah semua persiapan selesai, maka Senapati tertua itu-pun segera menghadap Sri Baginda sambil berkata, "Ampun Tuanku. Seluruh pasukan telah siap menjalankan perintah Tuanku."
"Bagus, kita akan segera berangkat."
"Kami sudah bersedia."
Sri Baginda-pun kemudian menempatkan dirinya di ujung barisan, bersama para Senapati pengiring dan para Senapati yang membawa tanda-tanda kebesarannya yang tidak lengkap. Sebuah songsong pusaka, tombak pusaka dan sebuah panji pada tunggul Kiai Gajah.
"Kita berangkat," teriak Sri Baginda Kertajaya itu sejenak kemudian yang disambut oleh para Senapati dengan memberikan aba-aba kepada pasukan masing-masing.
Namun ketika pasukan itu mulai bergerak, Sri Baginda Kertajaya mengangkat tangannya sehingga dengan tiba-tiba pasukan itu-pun tertegun.
"Kau lihat debu itu?" bertanya Sri Baginda kepada Senapati pengapit yang ada di sampingnya.
"Hamba Tuanku."
"Seekor kuda." "Hamba Tuanku."
Sri Baginda mengerutkan keningnya. "Seorang penghubung dari medan."
"Hamba Baginda. Seorang penghubung dari medan."
"Kita tunggu sebentar. Mungkin ia membawa berita penting tentang peperangan."
Sejenak kemudian maka kuda yang berderap itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat. Para Senapati yang melihat penghubung itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Sri Baginda sendiri. Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat penghubung yang berlumuran darah itu membawa payung kebesaran Mahisa Walungan yang tangkainya telah patah di tengah.
"He, kemarilah," teriak Sri Baginda tidak sabar.
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia-pun terkejut ketika dilihatnya Sri Baginda sendiri yang ada di ujung barisan.
"Ampun Tuanku," penghubung itu-pun segera menarik kendali kudanya dan meloncat turun. Dengan serta-merta ia berjongkok di sisi kuda Sri Baginda.
"Berdirilah, cepat katakan apa yang terjadi."
"Ampun Tuanku," dengan ragu-ragu orang itu berdiri terhuyung-huyung. Dari seluruh tubuhnya yang terluka parah, mengalir darah yang merah hitam. Seorang Senapati segera menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Cepat, katakan apa yang terjadi," teriak Sri Baginda.
"Tuanku. Hamba membawa songsong kebesaran Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan yang telah patah."
"Ya. aku sudah melihat."
"Ampun Tuanku. Adinda Sri Baginda telah gugur di medan peperangan."
"He. Mahisa Walungan telah gugur?" suara Sri Baginda melengking tinggi menggetarkan udara yang sedang dibakar oleh terik matahari.
Setiap dada tergetar mendengar berita gugurnya Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Meskipun orang-orang Pujang Warit sebelumnya menganggap bahwa Adinda Sri Baginda itu telah berkhianat seperti yang pernah dikatakan oleh Pujang Warit, namun kini mereka-pun menyadari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat.
Sejenak Sri Baginda Kertajaya merenung. Sri Baginda adalah seorang prajurit yang berhati jantan. Sebagai seorang Maharaja ia berhati sekeras baja. Tetapi ketika ia mendengar adik kandungnya gugur di peperangan setelah ia sendiri melukai hati adiknya itu, terasa kerongkongannya menjadi panas.
"Siapa yang telah membunuh Mahisa Walungan?" suara Sri Baginda hampir tidak terdengar.
Penongsong yang telah membawa payung kebesaran Mahisa Walungan itu menjawab dengan suara yang tersendat-sendat, "Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Terdengar Sri Baginda menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar suaranya lantang, "Aku sendiri aku melawannya di peperangan."
Dengan kedua kakinya Sri Baginda menyentuh perut kudanya. Namun sebelum kuda itu meloncat maju, penongsong yang sudah terlampau lemah itu masih berusaha meloncat memegang tali kendali kuda Sri Baginda sambil berkata, "Ampun Tuanku. Jangan pergi sekarang."
Kuda Sri Baginda melonjak karena kejutan di perut dan tali kendalinya, sehingga penongsong yang terluka itu terseret beberapa langkah.
Senapati yang menolongnya berdiri tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga dengan tergesa-gesa ia berlari-lari menolong orang yang terlempar itu, sedang Senapati yang lain memegangi tali kuda Sri Baginda yang melonjak-lonjak dan berusaha menenteramkannya.
"Kenapa kau halangi aku, he?" teriak Sri Baginda.
"Ampun Tuanku," penongsong itu menjadi semakin lemah, sedang darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya, "ampun Tuanku. Pasukan Kediri sedang terdesak. Sebaiknya Sri Baginda sendiri tidak pergi ke peperangan tanpa pasukan yang lengkap."
"Di sini ada pasukan segelar sepapan."
"Kalau Sri Baginda pergi bersama pasukan ini, hamba akan ikut pula. Tetapi kalau Sri Baginda mendahului di atas punggung kuda ini, maka Sri Baginda akan berada dalam bahaya."
Sri Baginda Kertajaya merenung sejenak. Namun ia kemudian berkata, "Justru pasukan itu ada dalam kesulitan. Aku harus secepatnya pergi ke medan."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi medan terlampau berbahaya saat ini."
Tiba-tiba seorang Senapati maju sambil membungkukkan kepalanya, "Biarlah kami yang saat ini berada di atas punggung kuda pergi mendahului. Meskipun kami tidak terlampau banyak, tetapi kami akan dapat sekedar membantu, sementara Sri Baginda membawa pasukan segelar sepapan ini ke medan."
Sri Baginda merenung sejenak, dan Senapati itu mendesaknya, "Waktu terlampau sempit Sri Baginda."
Sri Baginda Kertajaya tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya.
Isyarat itu tidak usah diulanginya. Senapati itu mengangguk dalam-dalam kemudian ia-pun segera berlari meloncat keatas punggung kudanya sambil berteriak, "Kita yang berada di punggung kuda diperkenankan mendahului pasukan. Keadaan sangat gawat di medan perang."
Senapati itu segera memacu kudanya tanpa menunggu kawan-kawannya. Namun sejenak kemudian setiap kuda-pun segera berlari menyusulnya berderap di atas jalan berbatu-batu. Maka kemudian debu yang kelabu-pun berhamburan di atas jalan yang menuju ke Ganter.
Bukan saja pasukan pengawal yang telah memacu kudanya ke medan perang. Prajurit-prajurit yang ada di pinggir kota sebagian telah berusaha mendapatkan kuda-kuda yang ada di dalam pasukan itu. Kuda-kuda penghubung dan kuda-kuda bagi para pimpinan. Bahkan satu dua di antara mereka telah masuk ke padukuhan terdekat. Membuka kandang-kandang kuda yang mereka ketemukan, dan memakainya untuk menyusul para prajurit yang sudah terdahulu.
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Baru kali ini pasukan Kediri menghadapi lawan dalam keadaan tercerai berai, seolah-olah bukan lagi sebuah pasukan dari negara yang besar. Dengan hati yang pedih Sri Baginda melihat beberapa ekor kuda masih saja berlari-larian saling menyusul. Lima ekor, tiga, dua dan bahkan seekor kuda berderap ke medan. Namun dengan demikian Sri Baginda melihat kesetiaan yang sebenar-benarnya dari prajurit-prajuritnya kepada Kediri.
Setelah kuda yang terakhir hilang di balik kepulan debu. barulah Sri Baginda berkata, "Siapkan prajurit yang tersisa. Kita akan menyusul ke medan perang."
Senapati pengapit yang masih tinggal, segera memimpin pasukan yang masih ada. Beberapa kelompok telah kehilangan Senapatinya, yang dengan tidak tersusun telah pergi ke medan oleh luapan perasaan yang tidak tertahankan setelah mereka mendengar bahwa Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan telah gugur.
Namun sejenak Sri Baginda tertegun ketika ia melihat penongsong Mahisa Walungan yang hampir tidak mampu berdiri lagi, dilayani oleh seorang prajurit.
"Luka-lukanya parah," desis Sri Baginda, "bawalah ia ke rumah yang terdekat. Usahakan pertolongan sementara."
Istana Yang Suram 1 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Sepasang Pedang Iblis 4