Bende Mataram 26
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 26
"Mengapa aku?" bentak Malangyada.
"Hai!" seru Randukintir heran. "Bukankah engkau yang berpura-pura main kapak di depan warung Citrasoma" Lantas Citrasoma pura-pura menjadi orang berjasa yang menunjukkan jalan.
Di tengah jalan, Wirapati bertemu dengan Panji Pengalasan yang pandai bermain priyayi. Saudara kecil! Itu dia Panji Pengalasan yang dahulu berpura-pura dilukai musuh. Sikapnya menarik dan menawan hati, sehingga gurumu bisa terkecoh. Hihooo... Gurumu lantas bertemu dengan Baruna yang menguap di belakangmu itu. Perannya dahulu berada di atas jembatan. Setelah luput dari pengamatannya, gurumu bertemu dengan aku. Hm, sungguh hebat! Gurumu bisa membebaskan
diri dari sabetan pancingku. Sayang! Sayang! Akhirnya dia tak bisa lolos dari kepungan kami.
Yah... keadaan gurumu seperti keadaanmu sekarang ini. Meskipun andaikata gurumu berkulit tembaga, bertulang besi dan berotot kawat, masakan bisa menghadapi kami dengan berbareng.
Kemudian... hai saudara kecil! Sebelum gurumu mati, Malangyuda inilah yang meremukkan tulang belulangnya! Saudara kecil! Lebih baik cobalah merampas obat pemunahnya. Siapa tahu, engkau bisa pulang ke gunung dengan selamat!"
Mendengar keterangan Randukintir yang cukup jelas, mendidihlah darah Sangaji. Memang
itulah yang dikehendaki Randukintir. Apabila seseorang sudah kena dipengaruhi rasa dendamnya secara berlebih-lebihan, cara berkelahinya akan cepat menjadi kalut.
Untunglah, pembawaan Sangaji tidaklah seperti belirang kena bara api. Dalam kegusarannya masih bisa ia mengurai diri. Mendadak saja ia bisa berpikir, waktu menyergap guru, mereka main bersembunyi, licik dan licin. Mengapa mendadak kini berlaku sebagai laku seorang ksatria?"
Dengan penuh selidik ia melemparkan pandang kepada Malangyuda. Teringatlah akan
kekejamannya ia benci bukan kepalang. Waktu itu, Malangyuda memperlihatkan senyum licik dan merendahkan. Begitu kena pandang, lantas saja berkata mengguruh.
"Kau ingin menuntut balas" Balaslah aku! Caraku dahulu menjatuhkan gurumu, memang licik.
Sekarang menghadapi engkau masakan perlu bermain sandiwara" Pusaka Bende Mataram dan
keris Kyai Tunggulmanik kini berada di pihakku. Kalau mampu ambillah kembali. Kalau tidak, dengan pukulanku akan kupaksa engkau menyerahkan secara laki-laki."
"Bagus! Dengan begitu berarti syah!" Randukintir menguatkan dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau bisa melaporkan hal itu kepada gurumu di dalam kubur. Dengan begitu, tak usah kau jadi setan untuk menguber-uber kami.
"Hm, setan?" potong Malangyuda. "Jadi setanpun, masakan aku takut?"
Sehabis berkata demikian, Malangyuda maju selangkah. Sangaji mengikuti geraknya. Kemudian berkata, "Mengingat usia kalian, mestinya aku harus memanggilmu paman. Kalian telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meremukkan tulang belulang guruku. Karena itu, aku wajib menuntut dendamnya. Berikan obat pemunahnya! Tentang kedua pusaka itu, tak usah dibicarakan lagi."
"Kau takut?" Malangyuda tertawa mengejek.
"Seperti engkau, akupun seorang laki-laki. Tapi guruku selalu memberi ajaran padaku, manakala aku lagi menghadapi sesuatu perkara yang menyangkut kesejahteraan seseorang, aku harus berani mengkesampingkan kepentingan pribadi."
"Hahaha... Randukintir! Bocah ingusan ini pandai berkotbah juga," teriak Malangyuda.
Kemudian membentak, "Baik obat pemunah maupun kedua pusaka itu tidak akan kuberikan kepadamu. Kau mau apa?"
"... kalau begitu, terpaksa aku melayani kehendakmu," bentak Sangaji dengan gusar.
"... bagus! Gurumu, akulah yang meremukkan tulang-belulangnya. Sekarang aku akan
membiarkan engkau memukul dadaku sampai tiga kali. Nah, pukullah!"
Malangyuda mengira, Sangaji adalah makanan empuk yang bisa dipermainkan sekehendak
hatinya seperti bola. Kalau gurunya bisa diruntuhkan dengan gampang, menghadapi muridnya tidaklah perlu menguras tenaga. Dalam hal ini, meskipun ia licin sebagai belut ternyata masih luput perhitungannya. Sangaji meskipun murid Wirapati menggenggam ilmu ajaran Jaga
Saradenta, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi. Maka begitu mendengar tantangan, terus saja Sangaji mengerahkan ilmu sakti Kumayan Jati.
"Bagus! Terimalah pukulan yang pertama!" teriaknya garang.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah ilmu sembarangan. Dalam jarak jauh,
tenaga pukulannya bisa meruntuhkan sebatang pohon yang tegak berdiri. Tenaga Sangaji
belumlah sekuat tenaga Gagak Seta. Tetapi waktu itu ia berada dalam keadaan marah, dendam dan benci.
Seketika itu juga, getah sakti Dewadaru yang mengeram dalam tubuhnya bergolak hebat.
Tubuh Sangaji tergoncang-goncang. Terus ia meliukkan punggung dan melepaskan pukulan.
Kesudahannya hebat bukan kepalang.
Malangyuda yang berperawakan tinggi besar, terpental lima belas langkah dan memekik
kesakitan. Begitu jatuh bergedu-brakan di atas tanah lantas saja melontakkan darah segar.
Mereka semua terkejut sampai memekik. Mimpipun tidak, bahwa tenaga Sangaji bisa melebihi gurunya. Lantas saja mereka bergerak mengepung dan tak berani lagi merendahkan lawan.
"Ih! Kalau begitu, benarlah laporan Suma dan Wira," kata Citrasoma keruh.
Sangaji tak mengenal siapa itu Suma dan Wira. Mendadak saja teringatlah dia kepada empat prajurit penunggang kuda yang menganiaya seorang perempuan. Mengingat kelicikan dan
kelicinan mereka, pastilah keempat prajurit tadi adalah sekomplotan.
Selagi ia sibuk menebak-nebak dua nama yang disebutkan Citrasoma, di luar gelanggang
jumlah mereka bertambah empat orang lagi. Ternyata mereka adalah empat prajurit penunggang kuda tadi. Melihat tergelimpangnya Malangyuda, mereka berteriak mengingatkan. "Awas! Jangan semberono!"
Sangaji menoleh dan dengan gusar ia mere-nungi. Dalam pada itu, si mulut jahil Randukintir terdengar tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Saudara kecil jangan kepalang tanggung!
Tadi dia menantang tiga pukulan bebas tanpa pajak. Hayo pukul lagi! Biarlah tahu rasa, betapa luas dunia ini..."
Malangyuda nampak tertatih-tatih bangun. Diam-diam ia menyesali kesombongan diri. Tadi
sama sekali ia tak bersedia. Tapi kini setelah merasakan hebat gempuran Sangaji tanpa malu-malu lagi terus menghunus senjata kapaknya.
"Hai! Kau curang!" teriak Randukintir.
Randukintir, Malangyuda, Citrasoma, Panji Pengalasan, Baruna dan keempat pembantunya,
sesungguhnya jago-jago yang mengutamakam kehormatan diri. Meskipun sekomplotan, tapi
dalam hati masing-masing mengharapkan keruntuhan lawan. Dengan begitu yang mempunyai hak mengangkangi kedua pusaka Bende Mataram jadi berkurang. Itulah sebabnya, walaupun terkejut sesungguhnya diam-diam mereka bergirang hati melihat Malangyuda sampai memuntahkan darah segar.
"Randukintir! Tunggu barang sebentar! Kalau aku sudah berhasil membereskan bocah ini, mengirimkan engkau ke neraka belumlah kasep," bentak Malangyuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kentut! Kentut! Kau curang!" damprat Randukintir. Kemudian kepada Sangaji, "Saudara kecil! Hantam terus! Jangan memberi waktu bernapas!"
Sangaji tahu, betapapun juga mereka adalah sekawan dan sepaham. Saat itu sadarlah dia,
bahwa ia lagi dikepung sembilan orang sekaligus. Kalau satu demi satu, rasanya ia masih sanggup mengalahkan. Tetapi apabila sekonyong-konyong maju berbareng, inilah bahaya.
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat merangsak. Malangyuda menyongsong
dengan senjata kapaknya. Tenaga jasmaninya sudah berkurang, narnun ia masih sanggup
memutar kapaknya. Dengan me-ngaung-ngaung di udara, kapaknya terus membabat pinggang.
Sangaji terkejut. Untung, dia tadi telah menyaksikan kehebatan senjata lawan tatkala sedang mengadu kepandaian melawan Randukintir. Pertunjukan tadi, barangkali dimaksudkan untuk
mengecilkan hati Sangaji. Tapi kini mendadak berubah memusuhi diri. Karena dengan gesit, Sangaji dapat mengelakkan dan melawan dengan pukulan-pukulan ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
Seperti diketahui, ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi pernah mengejutkan pendekar-pen-dekar sakti seperti Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Bisa dibayangkan betapa hebat dan kokoh.
Kecuali itu, untuk beberapa kali Sangaji pernah mengujinya. Mula-mula terhadap Warok
Kudawanengpati dan Watu Gunung sahabat Lumbung Amisena. Kemudian kepada Setan Kobar
dan beberapa prajurit Pangeran Bumi Gede. Setelah itu diperlihatkan di hadapan tokoh-tokoh sakti Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Mereka semua terkejut dan heran. Karena itu, menghadapi perlawanan Malangyuda yang dahsyat, sama sekali hatinya tak gentar. Dengan cepat jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi telah melibatnya. Sekonyong-konyong pukulan ilmu sakti
Kumayan Jati terlepas lagi. Dan untuk kedua kalinya Malangyuda terpental jungkir balik. Senjata kapaknya terbang di udara dan tepat menjatuhi punggungnya.
Menyaksikan betapa gampang Malangyuda dijatuhkan, Randukintir, Panji Pengalasan,
Citrasoma dan Baruna benar-benar terkejut. Mereka kini yakin benar, bahwa Sangaji tak boleh dianggap lawan remeh lagi. Maka terus saja mereka menyerang berbareng. Di sinilah terbukti, betapa licik dan licin mereka. Sama sekali mereka tak malu sampai mengeroyok seorang pemuda yang usianya jauh berada di bawahnya.
"Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya!" teriak Panji Pengalasan dan Citrasoma dengan berbareng.
"Bagus! Majulah semua!" tantang Sangaji.
Kelima orang itu mempunyai senjata andalan masing-masing. Randukintir bersenjata pancing, Panji Pengalasan sebuah pacul, Citrasoma sebilah keris, Malangyuda sebatang kapak dan senjata Baruna berbentuk ular-ularan seperti cis. Masing-masing mempunyai caranya sendiri. Pada saat itu, Malangyuda tak dapat bergerak lagi. Meskipun demikian keempat kawannya merupakan lawan yang luar biasa tangguh.
Sangaji sadar, bahwa ia harus memukul mereka dengan sekaligus. Kalau lalai sedikit saja akan besar bahayanya. Sebab betapapun juga, ia akan kalah napas apabila mereka maju secara
bergiliran. Melihat gerak-gerik mereka, Baruna adalah lawan yang terlemah. Waktu itu Baruna berada di belakangnya. Maka dengan sebat ia menyerang Citrasoma yang kaget setengah mati.
Buru-buru Citrasoma menghunus kerisnya, kemudian menusuk telapak tangan. Sangaji
menduga, lawan itu pasti tangguh. Senjatanya termasuk senjata tusuk yang tajam. Biasanya orang menusuk ke lambung atau dada. Tapi dia hanya menusuk telapak tangan. Teringatlah dia ajaran gurunya, bahwa seseorang yang tangguh tak begitu memperhatikan sasaran tusukannya.
Karena dia hanya mengutamakan tikaman gertakan, untuk kemudian memukul dengan tangan ke
arah bidiknya yang berbahaya.
Ajaran gurunya ternyata tepat. Dengan tiba-tiba Citrasoma menyabet pinggang. Terus saja
Sangaji melibat dengan jurus ciptaan Kyai Kesambi. Setelah itu sekonyong-konyong melesat ke belakang dan menghantam Baruna dengan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Inilah suatu serangan di luar dugaan Baruna. Dan begitu kena, dia terjungkal miring dan jatuh tertengkurap mencium bumi.
Pada saat itu pancing Randukintir dan pacul Panji Pengalasan turun dengan berbareng. Sudah barang tentu Sangaji terancam hebat. Sebat luar biasa ia menyambar tubuh Baruna dan
dilemparkan untuk menyongsong senjata mereka. Waktu tangan Citrasoma sedang membabat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu melihat sambaran tubuh Baruna, tak sempat lagi ia menarik. Mau tak mau ia harus
memapaki. Dengan sikunya ia mendorong dan berbareng melompat ke samping. Dan yang untuk
kedua kalinya, Baruna jatuh bergedebrukan ke tanah. Dengan merangkak-rangkak, ia keluar
gelanggang. Kemudian duduk bersila mengatur napas.
Terpaksa Baruna tak dapat berkelahi lagi. Dengan memaksa diri ia menguasai peredaran
darahnya. Namun tak urung, darah segar terlontar juga dari mulutnya.
Randukintir, Citrasoma dan Panji Pengalasan bertiga, diam-diam bergirang hati. Dengan ter-lukanya Malangyuda dan Baruna berarti kurangnya saingan mereka. Kemudian dengan hati-hati mereka mendesak Sangaji yang ternyata tangguh melebihi dugaan semula.
Sambil berkelahi Sangaji memperhatikan gerak-gerik Citrasoma yang serba rahasia. Orang itu kadang-kadang nampak tersenyum licik dan sekali-kali mengerling kepada Panji Pengalasan yang berwajah halus seperti priyayi. Senjata Panji Pengalasan yang berben-tuk sebatang pacul, aneh pula perubahannya: Kadang kala membongkar tanah, kemudian mementalkan. Setelah berputar
mengawang ke udara dan turun dengan dahsyat mengancam kepala.
Selama hidupnya, Sangaji belum pernah menghadapi senjata semacam itu. Namun demikian
tak berani ia terlalu mencurahkan perhatiannya kepadanya, karena senyum licik Citrasoma sangat mencurigakan.
Si mulut jahil Randukintir, sebenarnya tak boleh dianggap remeh. Kecuali bersenjata pancing, ia berkelahi di atas egrapgnya. Sepak terjangnya gesit di luar dugaan. Tetapi terhadap orang-orang ini, Sangaji memperoleh kesan baik. Suaranya yang keras dan tajam, mengandung kejujuran.
Entah memang demikian pula pengucapan hatinya, hanya setan dan iblis yang tahu.
Selagi mereka bertempur, empat penung-gang kuda yang berada di luar gelanggang mulai
bergerak. Yang seorang tadi kena hajar Sangaji tatkala menganiaya seorang perem-puan. Tetapi tiga orang lainnya masih segar bugar. Mereka bertiga merasa bukan tan-dingan Sangaji. Karena itu, terus saja mempersiapkan senjata panahnya. Kemudian dengan berbareng melepaskan anak panah yang segera bersuing di udara.
Sangaji terkejut mendengar bunyi desing itu. Menghadapi tiga lawan tangguh itu, ia bersikap hati-hati. Meskipun belum tentu kalah, tetapi menangpun bukanlah gampang. Hal itu bisa
dimengerti. Gurunya sendiri, Wirapati tak mampu menandingi dengan berbareng. Mendadak saja, tiga panah terus menyambar. Terkejut ia mengibaskan tangan dan buru-buru mengelak ke
samping. Dengan demikian garis pertahanannya berubah.
Randukintir, Citrasoma dan Panji Pengalasan adalah tiga pendekar yang berpengalaman. Begitu melihat lowongan, terus saja menyerang dengan berbareng.
Menghadapi bahaya, Sangaji tak menjadi gugup. Untuk menahan serangan mereka, ter-paksa
ia menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti diketahui ilmu sakti tersebut, bisa memukul lawan dari jauh. Sayang, lawannya sedang bergerak sehingga hasilnya tak begitu memuaskan.
Meskipun demikian, daya tekanannya bisa pula menahan rangsakan mereka.
Dalam perbandingan, ilmu Sangaji tak usah takut kalah dibandingkan dengan mereka. Pada
waktu itu, gurunya sendiri belum pasti bisa mengalahkan. Tetapi karena ia dikerubut tiga orang dan diganggu empat orang dari luar gelanggang, ia jadi kerepotan juga. Kecuali itu, ia kalah dalam hal pengalaman dan masa meyakinkan.
Randukintir segera melecutkan senjata pancing yang mendengung di angkasa. Panji
Pengalasan dan Citrasoma dengan geregetan mulai merangsak hebat. Sekalipun demikian, mereka tak dapat berbuat banyak oleh garis pertahanan ilmu sakti Kumayan Jati yang rapat bukan main.
Bahkan sekali-kali Sangaji mencampur dengan jurus-jurus ilmu ajaran Jaga Saradenta, Wirapati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Kedudukannya bertam-bah lama bertambah kuat dan
kokoh. Tak lama kemudian rangsakan senjata Randukintir makin terasa berbahaya. Panji Pengalasan dan Citrasoma tak mau keting-galan pula. Tekanan mereka, mau tak mau membuat hati Sangaji gelisah.
Kalau terus menerus begini, bagaimana aku bisa membalas dendam guru. Rupanya, aku tak
sanggup menandingi, pikir Sangaji resah. Benar-benar aku ini seorang laki-laki tiada gunanya hidup lama lagi. Kalau sampai keempat pembantunya terjun pula ke gelanggang... hm... entah bagaimana nanti akibatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi ia bergelisah, mendadak saja Citra-soma memekik aneh. Kedua temannya terus saja
melesat. Sangaji terkejut dan kecurigaannya menusuk kepala. Tatkala itu, ia melihat Citrasoma tegak berdiri kaku bagai mayat. Tubuhnya kemudian melompat tinggi, lalu turun lagi dengan mengibaskan tangan. Inilah suatu serangan yang aneh dan mencurigakan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Sangaji terus menjejak tanah dan mundur empat langkah. Pada saat itu, penciumannya mencium bau harum dupa. Pandang matanya jadi kabur. Apabila ia
memaksakan diri menjenakkan mata, sekilas pandang terlihatlah gumpalan asap hitam turun
sebagai tirai. "Celaka!" ia kaget. Tahulah dia, bahwa lawannya sedang menyebar racun bubuk berupa asap.
Segera ia menahan pernapasannya. Kemudian melompat mendesak dengan melontarkan pukulan
ilmu sakti Kumayan Jati. Citrasoma heran. Terang-terang Sangaji telah menghisap racun, namun belum roboh juga.
Bahkan bisa melontarkan pukulan dah-syat tanpa terganggu.
Biasanya sekalipun harimau pasti roboh begitu mencium racunnya. Kenapa dia masih begini
gesit dan segar bugar" pikirnya menebak-nebak.
Citrasoma tak tahu, bahwa dalam diri pemuda itu mengeram getah sakti Dewadaru yang dapat menawarkan segala racun yang berada di muka bumi ini. Selain itu, madu tabuhan Tunjungbiru merupakan obat pemunah tiada bandingnya. Karena itu Citrasoma yang mengandalkan senjata
uap beracunnya gagal dalam hal ini. Hatinya mendongkol bukan kepalang.
Dengan kegusaran yang menyala-nyala dalam dadanya, ia melompat sambil menyerang. Saat
itu, Sangaji melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati untuk yang kedua kalinya. Gugup
Citrasoma melesat ke samping. Walaupun demikian, tak urUng ia masih keserempet juga.
Tubuhnya tergoncang hebat dan hampir saja terpental jungkir balik mencium tanah.
"Awas! Bocah ini benar-benar berbahaya!" serunya terkejut.
Dengan cepat ia menyebarkan racun asapnya lagi. Randukintir dan Panji Pengalasan yang
mengenal hebatnya racun Citrasoma dengan sebat melompat ke samping. Mereka bebas dari asap beracun, namun dadanya seperti mau muntah. Itulah sebabnya, tak berani mereka mendekat lagi.
Citrasoma sendiri tak takut menghadapi racunnya sendiri, karena sebelumnya telah menelan obat pemurahnya.
Sangaji tak sudi menunggu tibanya serangan itu. Cepat ia menggeser ke samping dan
melepaskan pukulan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi dengan tenaga lontaran pergolakan getah Dewadaru.
Melihat bahaya itu, gugup Citrasoma mundur berjungkir balik. Dan begitu desir angin pukulan Sangaji lewat di antaranya, Panji Pengalasan mendesak maju. Senjata paculnya terus menyambar dahsyat.
Sangaji terkejut. Semenjak tadi sadarlah dia, bahwa senjata Panji Pengalasan tak boleh
diremehkan. Cepat ia mendahului menyerang dada. Oleh serangan itu, Panji Pengalasan menarik tangan kirinya melindungi dada. Mendadak saja, Sangaji membatalkan serang-an dan terus
menyabet lambung. Sudah barang tentu Panji Pengalasan kaget sampai memekik. Tahu-tahu,
tubuhnya terpental dan menggelinding seperti bola.
Dengan jatuhnya dua lawan, Sangaji bisa bernapas agak lega. Mendadak saja di luar dugaan, keempat pembantu mereka yang berada di luar gelanggang melepaskan panah dengan berbareng.
Dan batang panah lang-sung mengancam padanya, tetapi yang lain-nya menyerang si Willem.
Melihat bersuingnya dua batang panah mengancam Willem, Sangaji terkejut. Gugup ia
mengibaskan tangan menangkis panah yang menusuk padanya. Kemudian dengan gugup ia
melontarkan pukulan dari jauh. Jarak antara dia dan Willem kurang lebih dua puluh langkah.
Meskipun tenaga lontarannya cukup kuat namun belum mampu menyapu bersih.
Dengan hati mencelos ia melihat menyambarnya sebatang panah yang agak mencong kena
pukulannya namun masih saja membidik sasarannya.
"Jahanam! Mengapa memanah kuda?" bentak Sangaji dengan gemetar. Terus saja ia bersuit tinggi. Mendengar suitannya, Willem bergerak menggeser badan. Dengan begitu luputlah ia dari ancaman panah. Namun masih saja menyerempet ekornya, sehingga ia kaget berjingkrakan.
Menyaksikan betapa gugupnya Sangaji melindungi kudanya, mereka seperti tergugah
penglihatannya. Terus saja dengan licik me-nyerang Willem.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bunuh dahulu kudanya!" Mereka saling memberi aba-aba.
Sangaji gusar bukan kepalang mendengar teriakan mereka. Terus saja ia melompat melindungi Willem. Begitu melihat Willem berjingkrakan, dengan gagah ia berkata. "Willem! Jangan takut!"
Waktu itu, Malangyuda dan Baruna sudah dapat bergerak kembali. Sekalipun gerak-geriknya
belum leluasa, namun dengan datangnya mereka Sangaji jadi kerepotan. Apa lagi mereka
berkelahi seperti anjing gila oleh dendam dan rasa benci yang meluap-luap.
Randukintir, Panji Pengalasan dan Citrasoma melibatnya dengan berbareng sehingga ia tak
dapat melindungi Willem. Sedang empat orang yang bersenjata panah bergerak menyerang
WiHem. Betapa gugup dan gelisah hati Sangaji, tak dapat dilukiskan lagi. Ia bertempur dengan berlari-larian. Perhatiannya lebih ditumpahkan kepada keselamatan si Willem. Tetapi apabila ia hendak mendekati, kelima lawannya terus saja melibatnya. Dengan begitu sia-sialah usahanya hendak membebaskan si Willem dari ancaman mereka.
Hm... kalau saja aku bisa melepaskan tali ikatannya, pikirnya. Namun maksud itu tak gampang-gampang bisa dilaksanakan.
Mendadak saja empat batang panah nampak menyambar. Gugup ia menjejak tanah dan tanpa
berpikir panjang lagi, terus saja menubruknya. Hebat kesudahannya. Keempat batang panah itu kena ditangkisnya mencong. Sebaliknya dialah yang menjadi korban. Dalam saat kedudukannya belum kokoh, kelima lawannya menyerang dengan berbareng. Ia memekik kaget. Maklumlah, baru saja ia melompat dan belum lagi mendarat di atas tanah dengan baik. Maka dengan terpaksa ia menangkis sebisa-bisanya. Keras melawan keras.
Mereka berlima bukanlah orang-orang biasa. Mereka semua adalah kawanan pen-dekar yang
memiliki tenaga sakti. Perban-dingan tenaga Sangaji waktu itu, barangkali lagi satu melawan dua.
Karena itu, begitu kena benturan lima tenaga dengan berbareng, seketika itu juga tergoncanglah tubuhnya. Apalagi kedudukannya, belum kokoh. Tak ampun lagi, ia terpental dua langkah dan memuntahkan darah segar.
Malangyuda girang melihat jatuhnya lawan. Dengan memutar kapak ia berniat hendak
menghabisi nyawa. Tetapi tatkala kapaknya hampir membabat tubuh, mendadak saja pancing
Randukintir melibatnya dan memukul balik.
"Hai bangsat! Kenapa?" bentaknya.
"Kentutmu!" maki Randukintir dengan melototkan mata.
"Masakan kau yang akan menjadi pemilik kedua pusaka Bende Mataram" Mana bisa?"
Malangyuda heran bukan main. Sekonyong-konyong sadarlah dia. Tahulah aku kini, pikirnya.
Jikalau anak ini mati di tangannya, bukankah dia akan mempunyai suara besar dalam penentuan membagi hasil"
Oleh pertimbangan itu, ia menjadi kalap. Sekarang ia tak lagi mengancam Sangaji, tetapi
berbalik memukul Randukintir. Mereka terus saja saling menggebrak. Panji Peng-alasan yang bisa berpikir segera menegur. "Hai kenapa kau saling hantam?"
Baik Malangyuda maupun Randukintir tak menjawab. Tetapi seperti berjanji mereka ber-gerak melebat. Mau tak mau Panji Pengalasan terpaksa menangkis. Citrasoma yang cerdik tak sudi melibatkan diri. Dengan tersenyum licik ia maju mendekati Sangaji bersama Baruna.
Pada waktu itu, darah Sangaji masih saja menyembur. Napasnya mencekik leher. Walaupun
demikian, ia masih sadar meng-hadapi lawan. Dengan memaksa diri ia berdiri tegak dan
menghalang melindungi Willem.
Keempat penunggang kuda melepaskan anak panahnya lagi. Sangaji jadi putus asa. Pikirnya, habislah sudah usahaku. Benar-benar aku ini seseorang tiada guna. Dengan mengangkat tangan ia mengibaskan lengan. Dua panah kena disampoknya jatuh. Dua panah lainya menyerempet
kedua pundaknya hampir berbareng. Darahnya lantas saja mengucur membasahi dada.
"Serahkan saja nyawamu!" Kata Citrasoma dengan tersenyum dengki. Meskipun engkau berotot kawat bertulang besi masakan bisa melawan tenaga gabungan kami."
Ucapan Citrasoma itu, meskipun menya-kitkan hati sesungguhnya benar. Diam-diam Sangaji
mengeluh dalam hati. Pikirnya, keem-pat penunggang kuda itu andaikata tidak mengganggu
masakan aku tak mampu melawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat akan gurunya yang kena siksa demikian rupa, menggigillah seluruh badan-nya. Apakah ia harus menyerah begitu saja menerima nasib" Tidak! Dan sekonyong-konyong teringatlah dia, bahwa dalam kantongnya tersimpan segenggam biji sawo, dari Gagak Seta. Dahulu ia pernah
memperoleh ilmu menimpuk biji sawo dari Gagak Seta. Selama itu, belum pernah mempergunakan atau mengingat-ingatnya, ia menganggap senjata itu kurang perwira. Gurunya dahulu, Wirapati berpaham demikian juga. Tetapi kini, ia lagi menghadapi soal mati atau hidup. Keempat
penunggang kuda itu jadi penasaran karena panahnya kena disemplok, waktu itu mulai memasang anak panahnya lagi.
Mereka semua tergolong manusia setengah biadab. Tidak hanya berdaya wajar, tetapi
menggembol senjata racun pula. Sebaliknya, biji sawo ini tiada berbisa. Apakah aku tak boleh melawan senjata mereka dengan senjata timpukan" Sangaji berimbang-imbang. Tiba-tiba ia
mendengar salah seorang penunggang kuda mulai melepaskan panah. Citrasoma yang tersenyum licik, membarengi menyerang pula. Saat itu benar-benar ia merasa terdesak.
"Baiklah! Demi membalas dendam, biarlah aku menggunakan senjata bidik ini, Guru! Izinkan aku!" Sangaji mengambil keputusan.
Dengan sekali melompat, ia memukul Citrasoma dengan sisa tenaganya. Meskipun tenaga
tekanannya jauh berkurang, namun mengingat pengalaman, Citrasoma tak berani menyongsong.
Orang itu mengelak ke sam-ping. Dan waktu itu, Sangaji terus menyampok anak panah yang
mendesing membidik si Willem. Berbareng dengan itu, ia melepaskan biji-biji sawo enam kali sekaligus. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia menggunakan senjata ajaran Gagak Seta. Seperti diketahui, ajaran membidikkan biji sawo itu tidak hanya mengutamakan lontaran tenaga jasmani belaka, tapi harus pula mengingat tata pernapasan. Dalam hal tata napas, Sangaji sudah mahir.
Itulah sebabnya, sama sekali tak menemui kesulitan. Apalagi, ia sudah boleh dikatakan paham akan gaya ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mengutamakan tekanan tata napas dan jalan darah yang berbareng.
Keempat penunggang kuda itu sama sekali tak sadar akan datangnya maut. Kecuali tak
menduga sama sekali, sambaran biji sawo sama sekali tak terlihat dalam malam bulan remang-remang. Tahu-tahu dada mereka kena bidik dan tembus seperti tertusuk. Mereka menjerit
berbareng dan jatuh bergedebukan dari atas kudanya.
Jerit mereka, mengagetkan Randukintir, Panji Pengalasan dan Malangyuda yang sedang saling bergebrak. Terus saja mereka berhenti berkelahi dan mengarahkan pandangnya kepada keempat pembantunya. Mereka heran melihat Sangaji masih bisa bergerak, bahkan mencoba melawan
serangan Citrasoma. "Mari kita singkirkan dahulu bocah itu. Baru kita menentukan sikap!" ajak Panji Pengalasan dengan bersungut-sungut.
Sangaji sendiri tak mengira, akan memper-oleh hasil begitu baik dan gampang. Hatinya yang mulai menciut kini timbul harapannya. Pikirnya cepat, tenagaku sudah berkurang. Biarlah mereka kulawan dengan timpukan biji sawo. Bagaimana kesudahannya masakan harus kupikirkan" Dari pada menyerah, biarlah aku berjuang sampai saat ajalku.
Benar juga. Terus saja ia melepaskan senjata bidiknya sambil mendekati si Willem.
"Awas!" teriak Citrasoma.
Mereka berlima bukan seperti keempat pembantunya. Kecuali ilmu kepandaiannya jauh di atas mereka, sesungguhnya sudah bisa menggunakan senjata gerak cepat. Karena itu, begitu
mendengar peringatan Citrasoma lantas saja melesat ke samping sambil menyerang.
Mau tak mau Sangaji, terdesak lagi dalam kerepotan. Teringatlah akan kudanya, cepat ia
melompat sambil mengibaskan tangan memangkas tali pengikat. Dan sekali kena pemangkas
tangannya, si Willem terbebas dari hukuman. Kuda itu lantas saja berjingkrak melompat ke udara.
"Serang!" teriak Malangyuda.
Randukintir terus saja menyabetkan senjata pancingnya berbareng dengan senjata pacul Panji Pengalasan. Malangyuda sendiri tak ketinggalan. Sedangkan Citrasoma dan Baruna mengepung dari belakang punggung menghadapi jalan ke luar.
Dengan menggerung Sangaji memapaki senjata mereka sambil menyabitkan biji sawo.
Beberapa saat lamanya dia bisa bertahan. Tapi lambat laun tenaganya mulai habis. Darahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah agak banyak membasahi tubuhnya. Dadanya terasa sesak dan matanya mulai berkunang-
kunang pula. Tak kusangka bahwa akhirnya aku mati di sini, keluhnya dalam hati. Rupanya nasibku samalah halnya dengan Ayah dan Guru.
Tapi watak Sangaji tak gampang-gampang menyerah. Sewaktu berumur 14 tahun, ia bertahan
mati-matian terhadap cemeti Mayor de Groote. Ia pernah pula membabi buta melawan empat
pemuda Belanda yang jauh lebih perkasa dari padanya. Meskipun akhir-nya kemudian ia
dilemparkan ke dalam parit, namum dalam hatinya emoh menyerah. Begitu juga kali ini. Terang sekali tenaganya makin lama makin habis tak ubah seperti sebuah pelita nyaris kehabisan minyak.
Namun dengan mendadak timbulah ke-nekatannya hendak mati berbareng. Oleh keputusan itu,
segera ia menarik serangannya. Kemudian dengan segala kekerasan hati, mengumpulkan sisa
tenaganya. "Biariah aku melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati dengan jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Sebelum menutup matanya, inginlah aku mengetahui apakah aku sudah berhasil
menggabungkan kedua ilmu sakti itu."
Tatkala lagi memepelajari rahasia tata tenaga ilmu sakti Kumayan Jati, Gagak Seta mengetahui bahwa dalam diri Sangaji mempunyai getah ajaib Dewadaru. Kecuali itu, Sangaji mempunyai ilmu Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua ilmu itu bertentangan sifatnya. Masing-masing bersandar pada tenaga pokok Dewadaru. Menurut Gagak Seta, apabila Sangaji berhasil melebur dua ilmu sakti tersebut ke dalam getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap, siapa saja takkan tahan menerima pukulannya. Sebaliknya, sebelum berhasil ia dilarang menggunakan dua ilmu gabungan. Bahayanya akan memakan diri sendiri. Dahulu dia pernah jatuh pingsan sewaktu
mencoba menggunakan dua ilmu gabungan tersebut.
Kini, Sangaji hendak menggunakan kedua ilmu sakti sekaligus. Yakni, ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mempunyai tata napas dan tata tenaga sendiri. Sudah barang tentu, bahayanya sangat besar. Tetapi pada saat itu, ia tak memikirkan lagi soal hidup dan mati. Tekadnya hanya hendak mati berbareng dengan kelima musuhnya sebagai pembalas
dendam gunanya. Demikianlah, maka pada saat itu, getah sakti Dewadaru mulai menggoncang seluruh tubuhnya.
Ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi saling berebut mencari sandaran tenaga. Seperti diketahui, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi adalah dua orang pendekar yang mempunyai kedudukan masing-masing. Dalam suatu perlombaan adu ilmu kepandaian, mereka
merupakan saingan berat. Dengan sendirinya, ilmu masing-masing jauh berbeda. Itulah sebabnya, kedua ilmu tersebut lantas saja saling bertempur dengan sengit. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ilmu Bayu Sejati yang bersifat mempertahankan diri terus saja timbul karena merasa kena serang.
Dengan demikian dalam diri Sangaji terjadilah suatu medan laga yang dahsyat bukan main.
Randukintir, Malangyuda, Panji Pengalasan, Citrasoma dan Baruna sudah barang tentu tak
mengetahui perubahan itu. Mereka hanya melihat, betapa tubuh Sangaji menggigil sampai
tergoncang-goncang. Napasnya tersengal-sengal dan memenuhi kesulitan mempertahankan diri.
Diam-diam mereka bergirang hati. Terus saja mereka menubruk dengan berbareng dan
melontarkan pukulan menentukan.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, mata Sangaji sudah berkunang-kunang. Apa yang terjadi di sekitar dirinya hanya nampak berkelebat seperti bayangan. Mendadak ia mendengar kesiur angin. Tanpa berpikir lagi, ia memapaki dan melontarkan suatu pukulan ilmu gabungan dengan sekaligus. Kesudahannya hebat bukan main. Sangaji terpental sepuluh langkah dan memuntahkan darah segar Iagi. Luka
dalamnya bertambah parah. Kemudian jatuh pingsan.
Tetapi kelima lawannya tiada bebas dari hantamannya yang kuat luar biasa. Mereka mundur
terhuyung-huyung dengan mata berkunang-kunang. Dalam hati, mereka terkejut. Sama sekali tak terduga, bahwa Sangaji nampak luka parah masih mempunyai sisa tenaga begitu dahsyat. Dan belum lagi keheranannya lenyap mendadak saja punggung mereka terasa ces dingin kemudian
berubah panas. Randukintir terkejut setengah mati. Cepat ia memutar hendak mendamprat Malangyuda.
Pikirnya, keji benar kau Malangyuda! Mengapa kau memukul aku dengan diam-diam selagi tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjaga-jaga..." Tapi ia batal sendiri, karena melihat Malangyuda tiba-tiba roboh ke tanah tak berkutik lagi.
Selagi seseorang yang mata pencariannya mengandalkan keperkasaan diri, sudah terlalu sering ia menghadapi bermacam mara bahaya dan ancaman, la tak menjadi gugup. Dengan mengerung
ia meloncat hendak melepaskan pukulan ke arah Panji Pengalasan. Tetapi orang itu nampak
bersempoyongan dan jatuh tengkurap pula. Dan di sana ia melihat Citrasoma dan Baruna sedang bertempur melawan seorang laki-laki brewck yang melayani dengan sekali-kali memperdengarkan suara tertawanya. Siapa lagi kalau bukan Bagas Wilatikta.
"Monyet! Iblis!" maki Randukintir. "Inilah caramu memukul orang dari belakang?"
Bagas Walatikta tak menjawab. Dia hanya mempergandakan bunyi tertawanya. Selang
beberapa saat lamanya, baru berkata, "Kau mau maju majulah!"
Randukintir mendongkol setinggi leher. Terus saja ia mengayunkan tangan. Mendadak saja,
tenaganya lenyap dan kemudian jatuh terhuyung-huyung bersama egrangnya. Kembali lagi Bagas Wilatikta tertawa melalui hidungnya. Tatkala itu Citrasoma sedang melontarkan pukulan bertubi-tubi dengan tangan dan kerisnya. Tapi begitu kena tangkis, ia memekik kesakitan.
"Monyet!" maki Randukintir dari jauh. Napasnya mulai tersengal-sengal. Suatu hawa dingin dan panas dengan berbareng merayapi seluruh urat nadinya. Tahulah dia, bahwa Bagas Walatikta tadi sudah menggunakan ilmu saktinya yang bernama Aji Gineng. Nama Aji Gineng diambil dari kisah Arjuna Wiwaha. Diceritakan, raja raksasa Nirwatakawaca setelah bertapa selama sepuluh tahun memperoleh aji tersebut dari Hyang Rendra. Kesaktian aji itu dapat menguras habis tenaga manusia yang kena pukulannya.
Randukintir sadar akan bahaya. Tak berani lagi ia mengumbar suara. Sebaliknya lalu mengatur napas dan mencoba melawan kesaktian Aji Gineng dengan ilmunya sendiri.
Dalam pada itu, Citrasoma yang kena pu-kulan Aji Gineng, terus saja menggigil kedinginan.
Sejenak kemudian, roboh tak berkutik tak sadarkan diri.
Pada saat itu Sangaji dalam keadaan setengah sadar. Tak mampu ia berdiri, bahkan mencoba berkutikpun tiada tenaga lagi. Karena itu, kedatangan Bagas Wilatikta sama sekali tak
diketahuinya. Panji Pengalasan yang jatuh tersungkur mencoba berkata, "Bagas Wilatikta! Jauh-jauh sudah kudengar maksudmu hendak mengangkangi kedua pusaka itu. Selama ini engkau
menggenderangkan diri sebagai laki-laki sejati. Mengapa menyerang dari belakang" Bukankah ini perbuatan manusia keji?"
"Hahaha..." potong Bagas Wilatikta. "Mengadu tenaga adalah binatang. Sebaliknya siapa yang bisa menggunakan akal itulah manusia. Dalam medan pertempuran, akal, siasat dan tipu muslihat adalah lumrah. Kalian dahulu menjebak Wirapati dengan akal pula. Kini, akupun menggunakan akal. Apakah celanya?"
Didebat demikian, Panji Pengalasan tak dapat berbicara lagi. Ia tahu, Bagas Wilatikta adalah manusia tangguh. Kecuali itu pandai menggunakan akal dan mengatur siasat. Bahwasanya dia kena terjebak, sudahlah semestinya.
"Kentut! Tiba-tiba Randukintir memaki. "Benar aku termasuk begundalmu, tapi aku tak ikut campur."
"E, hem! Apakah bedanya dengan perbuatanmu sekarang. Bukankah engkau kini ikut pula berkomplot menghadang murid Wirapati" Hm hm... mana bisa kalian luput dari pengawasanku"
Sekarang sudah nyata siapa yang kalah dan menang. Aku seorang diri sudah bisa menjatuhkan kalian dengan berbareng. Apakah perlu dibicarakan lagi?"
Suatu kesunyian terjadi. Mereka yang kena hantam Bagas Wilatikta sadar akan bahaya. Pintu maut terbuka lebar di hadapannya. Dalam keadaan tak bisa berkutik, sekali Bagas Wilatikta mengayunkan tangannya berarti mengirimkan nyawa mereka ke udara. Mereka semua kenal
sepak terjang dan perangai Wilatikta. Sekali bertindak tak kepalang tanggung.
Sangaji yang rebah setengah sadar, mendadak memperoleh tenaga baru. Hal itu disebabkan
oleh daya sakti getah Dewadaru. Tatkala tadi timbul suatu persaingan hebat antara ilmu Bayu Sejati "Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, getah sakti tersebut kena diombang-ambingkan. Setelah ketiga ilmu sakti tersebut lenyap, Dewadaru mulai menghisap tenaga
jasmaniah. Itulah sebabnya, Sangaji rebah tak dapat berkutik kehabisan tenaga. Kemudian suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hal yang membuat nyawanya tertolong karena ia jatuh pingsan. Dengan demikian tiada kegiatan tata jasmaninya. Dan begitu Dewadaru tak memperoleh perlawanan dengan sendirinya lantas
menusup kembali ke jalan darah. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia membangunkan peredaran darah dan sedikit demi sedikit menghimpun tenaga muminya. Sayang sekali, Sangaji dalam
keadaan luka parah, sehingga tenaga yang terhimpun merembes ke luar. Meskipun demikian,
dibandingkan dengan keadaan kelima lawannya pada saat itu, ia jauh lebih beruntung.
Tatkala menjenakkan mata, ia heran apa sebab kelima lawannya tiada menyerang lagi.
Sekonyong-konyong ia mendengar percakapan yang penghabisan itu yang disusul dengan suatu kesunyian. Ia menegakkan kepala dan melihat sesosok tubuh. Waktu itu bulan kian menjadi cerah, sehingga berewok Bagas Wilatikta samar-samar terlihat juga. Dan begitu ia mengenal siapa dia, hatinya tergetar.
"Hai Citrasoma! Malangyuda! Panji Pengalasan! Baruna dan Randukintir! Dengarkan, kalian sendiri yang menetapkan siapa yang berhak memiliki kedua pusaka Bende Mataram," kata Bagas Wilatikta. "Dan aku datang untuk menetapi perjanjian ini. Apakah kalian berpenasaran?"
Sangaji menebarkan penglihatannya. Dengan keheran-heranan, ia menyaksikan betapa kelima
lawannya tadi jatuh terkapar di atas tanah tanpa berkutik.
"Bangsat!" maki Malangyuda yang sudah bisa memperoleh sisa tenaganya. "Selagi kita bertempur, kau memukul dari belakang. Kalau kau seorang kesatria, marilah kita bertempur sampai mati di kemudian hari..."
"Ajalmu sudah di depan matamu, masih saja kau berlagak ksatria sejati?" bentak Bagas Wilatikta. Kemudian tertawa perlahan sambil berkata, "Kau sendirilah yang goblok. Siang aku sudah berada di sini, tapi telingamu begitu tuli."
Mendengar ucapan Bagas Wilatikta, Sangaji terkesiap. Maklumlah, semenjak memperoleh ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, panca indra bekerja sangat peka.
Walaupun demikian, masih juga belum bisa menangkap beradanya Bagus Wilatikta. Hal itu
membuktikan, bahwa Bagas Wilatikta memiliki ilmu sangat tinggi jauh di atasnya. Memperoleh pertimbangan demikian, diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Sekonyong-konyong Bagas Wilatikta berputar menghadap padanya.
"Kaupun telah sadar lagi. Napasmu mulai teratur. Tetapi sisa tenaga yang kau peroleh paling banyak tiada melebihi manusia lumrah."
Kembali Sangaji terkejut. Orang itu benar-benar hebat. Pantas kedua pamannya memuji
keperkasaannya, tatkala lagi bertempur mengadu tenaga.
"Kau bernama Sangaji bukan?" katanya meneruskan. Tadi kudengar engkau menyebutkan namamu sendiri. Kuperingatkan, jangan sekali-kali kau menyebutkan nama begitu gampang di tengah lapangan. Coba, andaikata dahulu aku tak mendengar ujarmu perkara kedua pusaka
Bende Mataram secara kebetulan tatkala engkau berjalan bersama guru dan pamanmu, masakan gurumu kena aniaya orang."
Ontuk ketiga kalinya, Sangaji terkejut lagi. Masih teringat segar dalam benaknya, bagai-mana ia kelepasan kata sewaktu menggam-barkan tentang kedua pusaka Bende Mataram yang diwariskan Wayan Suage kepadanya. Tatkala itu ia mendengar suara bergemeresek. Ternyata selain Titisari, masih terdapat manusia berewok itu dengan rekan-rekannya. Dan malam itu pamannya Bagus
Kempong beradu tenaga dengan Bagas Wilatikta sehingga luka parah. Kemudian seorang laki-laki berperawakan tinggi semampai datang menjenguk, sewaktu Bagus Kempong dan Wirapati
beristirahat di gardu Dusun Salatiyang. Teringat perawakan Randukintir, hatinya terkesiap.
"Hihihaaa..." Bagas Wilatikta tertawa melalui dada. Baiklah kuterangkan sebab musababnya gurumu kena aniaya. Kedua pusaka itu sudah sepuluh dua puluh tahun yang lalu menjadi
pembicaraan orang. Tahu-tahu ia berada dalam genggamanmu. Kami terus menguntit gurumu.
Lantas menjebak sampai ke Ambarawa. Dan di sana guru-mu kena pukulan beracun. Tulang iga-iganya kena remuk orang itu yang bernama Malangyuda."
"Bohong!" tiba-tiba Sangaji memotong. "Tak percaya aku. Guru takkan kalah melawan dia."
Bagas Walatikta tertawa berkakakan sambil berputar mengarah kepada Malangyuda. Kemudian
berkata nyaring, "Hai Malangyuda! Dengar sendiri. Selagi anak belum pandai beringus sudah bisa membedakan antara ksatria dan bangsat. Kau berlagak seorang ksatria sejati segala. Cuh! Nah, kau mau bilang apa?" ia berhenti mengesankan. Lalu kepada Sangaji. "Ucapanmu betul. Gurumu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memang takkan kalah melawan dia. Kami semua tahu menaksir kekuatan gurumu. Karena itu, dia harus kami jebak bersama. Setelah jatuh, ksatria sejati Malangyuda itu lantas berlagak seorang pahlawan yang mau menentukan pukulan penghabisan. Dalam keadaan sete-ngah pingsan,
gurumu diremukkan tulang-tulangnya."
Mendengar keterangan Bagas Walatikta, Sangaji menggigil oleh dendam dan marah melebihi
batas. Malangyuda sendiri lantas menggerung. Namun tak dapat membatah.
"Tapi kau jangan kecil hati," kata Bagas Wilatikta. "Aku tahu, kau menanggung dendam. Aku nanti yang membalaskan dendam. Lihat!"
Mendadak saja, ia melesat menerjang Malangyuda. Dengan tiga kali hantaman, Malangyuda
roboh terguling. Nyawanya kabur entah ke mana.
Sangaji kaget. Terhadap Malangyuda memang ingin ia membalas dendam. Tapi ia tak
menduga, bahwa Bagas Wilatikta bisa berbuat begitu mendadak dan kejam luar biasa. Sebaliknya begitu Malangyuda mati kena pukulan Aji Gineng, rekan-rekannya mengeluh berputus asa.
"Kau puas bukan?" teriak Randukintir. "Nah, bunuhlah kami. Dengan begitu kedua pusaka itu menjadi milikmu."
"Membunuh engkau gampangnya seperti membalik tangan. Apa perlu tergesa-gesa?" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa licik.
"Hm... biarlah dia membunuh kita," sambung Citrasoma yang telah sadar dari pingsannya.
"Masakan tahu di mana kedua pusaka itu kini berada..."
"Cuh!" Bagas Wilatikta meludah. Kemudian menggerung, "Masakan aku tak tahu. Siang-siang aku sudah berada di sini. Bukankah kedua pusaka itu kau sembunyikan di dalam gerumbul itu?"
Muka Citrasoma berubah hebat. Meskipun dalam malam hari, Sangaji seolah-olah meli-hat
betapa pucat dia. Bagas Wilatikta sendiri merasa menang. Pada saat itu, terus saja ia melesat menghampiri gerumbul dan mem-bawa dua benda dalam pelukannya. Itulah pusaka sakti Bende
Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik.
Kini tidak hanya Citrasoma yang jadi gelisah. Randukintir, Panji Pangalasan dan Baruna terkejut sampai memekik.
"Kau mau bilang apa sekarang?" desak Bagas Wilatikta menang.
Sebenarnya Citrasoma sudah tak dapat berbicara lagi. Tapi seperti biasanya seseorang yang sudah berputus asa menghadapi maut Umbulah keberaniannya. Lantas berkata, "Bagas Wilatikta!
Dalam hal mengadu akal dan siasat, benar-benar kau hebat. Barulah aku sadar, bahwa aku kena jebakanmu."
Dengan tertawa mendongak, Bagas Wila-tikta menjawab, "Inilah upah jasamu. Tukang jebak kena jebak. Baiklah, supaya tak ber-larut-larut, biarlah kau mendahului pulang menyusul rekanmu.
Salahmu sendiri, mengapa membantah kemauanku."
Sehabis berkata begitu dengan sekali ayun ia menghancurkan kepala Citrasoma. Ke-mudian
berputar menghadap Sangaji.
"Terhadap orang demikian, tak perlu lagi bersikap memaafkan. Coba pikir! Dengan kelicinannya ia berpura-pura menjadi tukang penjual kedai makanan setelah membunuh pemiliknya. Kemudian menjebak gurumu."
"Itulah akalmu. Kita cuma jadi pelaksana." Tiba-tiba Randukintir berkaok-kaok.
"Tutup mulutmu!" bentak Bagas Wilatikta. Lalu dengan sekali sambar ia menendang Randukintir jungkir balik. Betapa hebat tenaga Bagas Wilatikta tak usah digambarkan lagi.
Randukintir sekaligus melontakkan darah segar dari mulut, hidung dan kedua matanya.
Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Bagas Wilatikta meneruskan berkata, "Kemudian gurumu dijebak oleh sikap keningrat-ningratan Panji Pangalasan. Itulah dia! Dengan kelicinannya ia bisa memikat gurumu, sehingga percaya kepada semua keterangannya. Tapi, janganlah takut. Akulah yang menyumbat mulutnya kini."
Terus saja ia meninju dada Panji Pangalasan, lalu menginjak batang lehernya sampai tewas.
Setelah itu dengan cepat ia membunuh Baruna dan keempat penunggang kuda.
"Puaskah kau kini?" katanya kemudian kepada Sangaji.
"Semua penganiaya gurumu sudah kubalaskan. Kudengar tadi kau mengharapkan obat
pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurumu. Baiklah kuambilkan. Bagas Wilatikta
menggerayangi saku Malangyuda dan mengeluarkan sebotol obat luar dan sebuah bungkusan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu berkata, "Inilah obat penyembuh tulang belulang gurumu. Dan ini pemunah racun.
Simpanlah!" Tetapi bisakah Sangaji menerima pemberian orang dengan begitu saja. Karena tak pandai
berbicara, ia hanya menentang pandang dengan berapi-api.
"Mengapa" Kau tak sudi?"
Dalam otak Sangaji berkelebat beberapa kesan dahsyat. Ia mengakui, Bagas Wilatikta memiliki ilmu kepandaian jauh lebih unggul daripadanya. Tetapi melihat kekejamannya tak diketahuinya sendiri meremanglah bulu romanya. Meskipun demikian, kalau ditimbang ia membantu
membalaskan dendam gurunya. Apakah ia harus merasa berterima kasih" Mendadak saja
terletuslah perkataannya, "Aku bukan sanakmu, bukan pula sahabatmu. Kau membunuh adalah untuk kepentinganmu sendiri. Apa sebab menggunakan dalih membalaskan dendam guruku?"
Bagas Wilatikta tertegun sejenak. Kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Ih! Ini lagi! Ini lagi! Mulutmu tajam seperti adikku, Bagas Tilam. Baiklah... memang aku bekerja untuk kepentinganku sendiri. Setelah mereka berhasil membawa kedua pusaka itu, kukira akan tunduk kepada kehendakku. Di luar dugaan mereka mau membawa ke-mauannya sendiri.
Melawan seorang demi seorang, bukanlah pekerjaan sulit. Tetapi apabila menghadapi berbareng, nanti dahulu. Maka kubuatlah dongeng, seolah-olah engkau adalah pewaris kedua pusaka yang sah. Kukabarkan pula, bahwa paman-pamanmu pasti turun gunung hendak membalas dendam.
Untuk ini aku harus membuktikan. Kau sendiri melihat, siang tadi aku berhasil membawa kedua pamanmu lewat di hadapan hidung mereka. Kemudian kuwartakan tentang keberadaanmu.
Demikianlah... mereka menjebakmu. Lantas... lantas... haha... akhirnya aku bisa memukul mereka dengan sekaligus," ia berhenti menikmati kemenangannya. Kemudian berkata lagi, "Hai bocah kau benar hebat! Ilmu kepandaianmu di luar dugaanku..."
Setelah berkata demikian dengan sebat ia memasukkan kedua obat pemunah ke dalam kantong
Sangaji. Ingin Sangaji melawan tapi tenaga Sangaji tak mengizinkan. Kesebatan Bagas Wilatikta tak dapat ditandingi sisa tenaganya. Dalam terkejutnya, ia hanya tegak dengan pandang mata terlongong-longong. Mendadak saja di luar dugaan Bagas Wilatikta menggeram dan berdiri tegak di depannya. Lantas berkata nyaring, "Kau sudah menerima obat pemunah. Kau sudah
menyaksikan, betapa aku membalaskan dendam gurumu. Dengan begitu kau bebas dari
kewajiban menuntut dendam gurumu. Akupun tidak berhutang lagi. Semuanya sudah kubayar
lunas. Kini tinggal aku dan engkau. Lihat! Aku kembalikan kedua pusaka ini kepadamu."
Setelah berkata demikian dengan sebat pula ia mengalungkan pusaka Bende Mataram ke leher Sangaji. Sedang keris Kyai Tunggulmanik diselipkan ke pinggangnya. Bukan main sakit hati Sangaji diperlakukan demikian. Ia merasa diri seperti segenggam tembakau terpilin-pilin demikian rupa.
Mau melawan, tenaganya seperti punah. Sebaliknya melihat sepak terjang dan cara tertawa Bagas Wilatikta, ia sudah bisa menebak sebagian. Orang itu amat licik dan bisa berbuat di luar dugaan.
"Apa maksudmu ini! Kedua pusaka ini bukan milikmu. Kau boleh memiliki," ia mencoba berkata sebisa-bisanya.
"Nanti dahulu, dengarkan!" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa melalui dada. "Dalam dunia ini tinggal aku dan engkau saja yang pernah melihat, meraba dan bersentuhan dengan bentuk dan wujudnya pusaka Bende Mataram."
"Salah!" bantah Sangaji yang berwatak polos dan jujur.
"Paman Wayan Suage, guruku Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan pernah melihat dan
menyentuhnya." Bagas Wilatikta tertegun sebentar.
"Baiklah. Anggaplah mereka tak pernah ada. Kukira, mereka tak lagi ikut campur. Bukankah begitu" Nah, aku ini laki-laki dan engkau laki-laki pula. Dan aku tak biasa membagi rejeki. Akupun tak senang apabila di kemudian hari kemuliaan yang bakal kuperoleh sampai dibicarakan orang.
Karena itu, marilah kita mencari penyelesaian. Hei, dengarkan dulu! Aku tahu, engkau kini luka parah. Itulah sebabnya, tak dapat aku memaksa engkau berkelahi dengan berdiri. Menurut
hematku begini saja. Aku akan mencekik lehermu. Cobalah pertahankan. Kalau engkau bisa
membalas mencekik leherku pula, biarlah kita mati berbareng... Bagaimana?"
Menyaksikan tingkah laku Bagas Wilatikta, Sangaji sudah bisa menduga bahwa orang itu bisa berbuat di luar dugaan. Meskipun demikian keputusan Bagas Wilatikta hendak mencekik lehernya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar mengejutkan, mendongkolkan hati dan membuatnya bergusar. Ia mengakui, ilmu kepandaian Bagas Wilatikta berada di atasnya, namun seumpama dia dalam keadaan segar bugar belum tentu tak dapat menandingi. Baik ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah ilmu murahan. Pendekar sakti Adipati Surengpati dan Kebo Bangah sendiri terkejut dibuatnya. Tapi kini, tenaganya seperti punah. Seumpama ia memiliki ilmu setinggi langit tiada gunanya juga.
Tatkala itu Bagas Wilatikta sudah memper-dengarkan suara tertawanya. Ingatlah Sangaji,
bahwa itulah suatu tanda akan mulai bekerja. Sebagai seorang kesatria ia tak dapat hanya menyerah kepada nasib. Bukan ia takut menghadapi maut tetapi perlawanan itu mempunyai arti sendiri. Seekor cacingpun akan melawan sebisa-bisanya apabila menghadapi maut sebagai suatu pernyataan mempertahankan nyawanya. Begitulah dengan sekuat tenaga ia mengerahkan sisa
hawa murninya kemudian mengayunkan tangan hendak melepaskan suatu pukulan. Mendadak
saja suatu hawa berdesir bergulungan merembes ke seluruh tubuhnya. Itulah getah sakti
Dewadaru yang jadi terkejut karena suatu pengerahan tenaga. Seperti nasehat Gagak Seta,
Sangaji dianjurkan jangan sampai menggunakan ilmu gabungan dengan berbareng. Karena begitu ilmu gabungan menghilang, getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap akan berganti menggerumuti tenaga jasmaninya.
Demikian pulalah kali ini. Oleh suatu pengerahan tenaga getah sakti Dewadaru me-loncat ke luar. Celakanya, Sangaji tiada memiliki tenaga ilmu sakti Kumayan Jati dan Bayu Sejati lagi karena luka dalam. Dengan sendirinya getah sakti Dewadaru mencari sasaran hisapan. Yang menjadi korban adalah tenaga asli jasmaniah. Itulah sebabnya dalam sekejap saja, kedua lengan Sangaji menjadi lumpuh. Kini seluruh tenaganya habis terkuras jangan lagi menghadapi Bagas Wilatikta.
Melawan seorang kanak-kanak yang baru pandai beringus, tak kuasa lagi ia berkutik.
"Bagaimana?" Bagas Wilatikta menegas. "Apakah kau rasa aku kurang adil" Lihat!"
Dengan sekali gerak, Bagas Wilatikta men-cabut senjatanya berupa sebatang parang berbentuk seperti arit. Oleh sinar bulan, sisinya memantulkan suatu cahaya kemilau suatu tanda betapa tajamnya.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pasti-lah dia mengetahui bahwa Sangaji tiada bertenaga lagi. Tapi ia berlagak pilon dan berlaku seperti seorang tuan tanah hendak memperlihatkan keadilannya. Kemudian dengan sekali melompat ia lari memutari mayat Randukintir, Malangyuda dan Panji Pengalasan. Tangannya memangkas dan tahu-tahu ketiga gundul mayat itu sudah
tergunduli polos. Melihat pertunjukan itu dalam hati Sangaji kagum. Pikirnya, benarlah kata guru Jaga Saradenta, bahwa di luar gunung masih ada gunung. Di luar langit masih ada langit. Memangkas rambut dengan berlari-larian kencang, bukanlah suatu perbuatan mudah. Apalagi di tengah malam hari.
Namun tangannya seperti mempunyai mata saja. Hebat! Sungguh-sungguh hebat! Ia menghela
napas karena teringat ilmunya sendiri yang belum diolah masak. Bahkan kini akan menghadapi kepunahan untuk selama-lamanya.
Selagi ia berpikir demikian, sekonyong-konyong Bagas Wilatikta sudah berdiri di hadapannya.
Berkata minta pengakuan, "Bagus tidak?"
Sangaji tak menjawab. "Apakah kau kira palsu?" katanya lagi menekankan. Kemudian dengan sekali gerak, rambut Sangaji kena terpangkas kedua sisinya. Gerakannya cepat luar biasa. Tahu-tahu, rambutnya seperti terpotong rapih.
Sehabis memotong rambut, Bagas Wilatikta tertawa terbahak-bahak sambil memasukkan
senjatanya ke dalam sarungnya.
"Puluhan bahkan ratusan nyawa sudah parangku ini menghisap darahnya. Biasanya, apabila sekali sudah kutarik dari sarungnya harus mengambil nyawa. Tapi kali ini tidak. Nah, bukankah sudah cukup bidang dadaku ini?"
Sangaji tahu, apa yang dikatakan Bagas Wilatikta bukan suatu obrolan belaka. Tapi ia memilih sikap diam sambil mengharap-harap terhimpunnya tenaga kembali.
"Baiklah. Aku sudah berkata," kata Bagas Wilatikta memutuskan. "Kalau aku sampai bisa merampas kedua pusaka Bende Mataram kembali, hendaklah engkau menyerahkan dengan ikhlas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kau tak perlu jadi setan untuk mengejar-ejar aku. Kau tahu sendiri, nilai kedua pusaka ini bukan main besarnya. Doakan semoga aku dapat memiliki kedua pusaka itu untuk selama-lamanya?"
Ia mendongak ke udara dan tertawa sepuas-puasnya. Dalam malam sunyi kesannya
menyeramkan hati. Mendadak saja, ia terus membungkuk dan menyambar batang leher Sangaji.
"Pertahankan! Pertahankan! Aku akan mengantarkan pulangmu dengan perlahan-lahan.
Masakan aku perlu tergesa-gesa?" jeritnya kegirangan penuh semangat
Benar-benar Sangaji bergusar dan terkejut, meskipun hal itu sudah dapat diduganya. Oleh
kodrat alam, secara wajar tata jasmaninya terus berusaha mempertahankan diri. Kedua lengannya diangkat dan bermaksud membalas dengan menyekik. Lagi-lagi ia merasa tenaganya tiada. Dalam kesibukannya ia mencoba merenggutkan diri. Juga kali ini, usahanya sia-sia belaka. Maka akhirnya ia sadar. Satu-satunya jalan hanyalah menunggu saat ajalnya.
Benar-benar aku harus mati, pikirnya dalam hati. Biarlah aku mati secara ksatria.
Keinginan mati secara ksatria itu, mendadak saja timbul begitu hebat dalam dirinya. Namun tak tahulah dia, bagaimana cara mati sebagai ksatria. Hendak melawan, tiada bertenaga. Sebaliknya apabila menyerah belaka alangkah hina...
27 RUMAH BATU DALAM pada itu cekikan Bagas Wilatikta kian lama kian menjadi keras. Lubang hawa benar-
benar mulai tersumbat. Oleh rintangan ini, secara wajar tata jasmani Sangaji terus saja berkutat dengan hebat. Meskipun sudah kehilangan daya tahan, namun sebisa-bisanya berusaha menolak juga.
Getah sakti Dewadaru terus saja merembes keluar naik ke leher. Dan ilmu Bayu Sejati yang mempunyai sifat bertahan, tanpa disadari sendiri ikut pula membersit dari gua rahasianya. Oleh timbulnya Baju Sajati, getah sakti Dewadaru lantas saja menggabungkan diri. Seperti diketahui, apabila getah sakti Dewadaru tidak menemukan suatu pengerahan tenaga murni yang sifatnya bertentangan, akan merupakan dasar tenaga raksasa. Pada saat itu, ilmu sakti Kumayan Jati tak mempunyai bidang gerak. Maklumlah, Sangaji tak dapat berdiri atau menggerakkan panca inderanya. Karena itu, Baju Sejati bisa bergerak tanpa menemukan saingan lagi. Seperti gelombang ia berputar-putar ke seluruh urat nadi. Terutama sekitar batang leher yang kena himpit.
Diam-diam Bagas Wilatikta heran. Pikirnya, bocah ini terang-terang tiada bertenaga lagi.
Mengapa ia bisa bertahan begini"
Oleh pikiran ini, ia jadi penasaran. Terus saja ia mencekik kian hebat.
Pada saat itu, Sangaji merasa tersiksa benar-benar. Cekikan tangan Bagas Wilatikta sudah tak dirasakan lagi. Tapi akibatnya cekikan itulah yang membuatnya sengsara, la tak dapat bernapas lagi. Secara wajar ia berguling hendak merenggutkan diri. Karena gerakan ini, ilmu sakti Kumayan Jati terus saja timbul tanpa dikehendaki sendiri. Inilah hebat! Karena begitu ilmu sakti Kumayan Jati timbul, Bayu Sejati segera menyerang.
Sifat ilmu sakti Kumayan Jati memang aneh. Apabila sekali timbul, pantang menyerah sebelum memperoleh keputusan yang menentukan. Itulah sebabnya, Gagak Seta tetap tangguh sewaktu
melawan Kebo Bangah, meskipun sudah melampaui dua ribu jurus lebih. Tatkala kena pisah, ia tetap menantang dan menantang seolah-olah tak pandai menguasai diri.
Juga kali ini, begitu kena serangan Bayu Sejati, lantas saja berputar mengadakan per-lawanan.
Seperti manusia-manusia yang mempunyai mata, ia terus bergerak hendak merebut getah sakti Dewadaru merupakan pelabuhan titik tolak penghimpunan tenaga.
Ketika itu juga, darah Sangaji mendidih. Tubuhnya sekonyong-konyong menjadi panas luar
biasa. Hal itu bisa dimengerti. Biasanya kedua ilmu itu timbul berbareng dalam bidang gerak agak luas. Kini Sangaji sama sekali tak bergerak selain hanya berguling-guling hendak merenggutkan diri. Karena itu mereka merasa seperti terdesak dan terdorong-dorong ke pojok. Akhirnya kedua ilmu itu saling melebur dan punah bentuk sifatnya.
Inilah suatu kejadian di luar perhitungan manusia. Tadinya Gagak Seta mengharap, Sangaji bisa melebur kedua ilmu itu dengan melalui latihan atau oleh pertolongan tangan sakti seperti Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati atau Kebo Bangah. Apabila kedua ilmu itu bisa lebur menjadi satu, hebatnya tak terkatakan lagi. Karena si pemilik bisa bergerak menurut kemauannya sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa sesuatu rintangan. Kini, di luar dugaan siapa saja, mendadak kedua ilmu itu lebur menjadi satu oleh karena suatu cekikan kuat luar biasa.
Bersatunya ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati itu hebat akibatnya. Tiba-tiba, Sangaji merasa pusatnya kena raba hawa di-ngin dan agak hangat-hangat yang nyaman luar biasa. Hawa dingin dan agak hangat-hangat itu, terus merembes menyusur seluruh urat nadinya. Sama sekali tiada rintangan. Suatu tanda bahwa jalan darahnya kena tertembus.
Seperti ular naga, kedua ilmu sakti itu terus berputar-putar dengan dorongan getah sakti Dewadaru. Makin lama makin cepat. Karena tenaga jasmani tiada lagi mereka mencari kor-ban lain. Akhirnya diketemukan. Yakni, sari-sari madu lebah Tunjungbiru.
Peristiwa ini berlangsung sangat cepat. Madu Tunjungbiru yang dahulu hanya dikabarkan
sebagai penambah kesehatan belaka dan memanjangkan umur, mendadak di luar dugaan manusia pula merupakan suatu unsur peleburan dan penggabungan tiada ban-dingnya di jagat ini. Seketika itu juga, dalam diri Sangaji tiada lagi getah sakti Dewadaru, ilmu sakti Bayu Sejati, ilmu sakti Kumayan Jati dan madu Tunjungbiru yang berdiri masing-masing seperti maharaja dengan
pemerintah otonomnya. Tetapi sudah bersatu menjadi satu, merupakan suatu pengucapan rasa dan angan manusia untuk bergerak.
Seketika itu juga, Sangaji merasa aneh. Mendadak saja ia merasa di dalam tubuhnya seolah-olah ada segumpal daging yang terus berputar-putar melarutkan gumpalan-gum-palan lainnya.
Putaran itu makin lama makin cepat. Rasanya nyaman luar biasa dan melegakan ruang dada dan rongga perut.
Dalam pada itu, cekikan Bagas Wilatikta makin tajam. Kedua telapak tangannya seolah-olah sudah saling memimit, tinggal tersekat suatu lapisan tipis. Sekonyong-ko-nyong ia terpental jungkir balik ke angkasa dengan menjerit tinggi. Tahu-tahu dengan kepala menukik ke bawah, tubuhnya amblas terbenam dalam tanah. Bisa dibayangkan betapa hebat tenaga yang
melontarkan itu. Dan tenaga pelontar itu tidak lain adalah tenaga bersatunya ilmu sakti Bayu Sejati" Kumayan Jati dan sari-sari madu Tunjungbiru.
Terlepasnya Sangaji dari suatu cekikan luar biasa itu, membingungkan dirinya. Sebab napas yang sudah tersekap sekian lama, sekonyong-konyong terlonggar. Dan seperti air bergolak yang kena bendung. Terus saja membanjir salang tunjang karena bendungan ambrol dengan tiba-tiba.
Sudah barang tentu jantung Sangaji berdegup sangat keras. Dan napasnya jadi tersengal-sengal.
Apalagi, dalam dirinya terjadi suatu perputaran cepat yang tak dimengerti sendiri.
Apabila lambat laun sudah bisa menguasai diri, ia merasa seperti bermimpi. Benarkah dia lepas dari cekikan Bagas Wilatikta" Waktu itu bulan mulai suram kembali. Perlahan-lahan ia mulai menghilang di balik awan yang datang berarak-arak. Suasana udara kini terasa dingin meresapi tulang belulang. Hawa mulai mengabarkan waktu fajar. Karena itu, penglihatan jadi terhalang.
Apalagi keadaan tubuh Sangaji belum pulih seperti sedia kala. Meskipun kini sudah memiliki tenaga sakti yang tiada bandingnya dalam jagad raya, tapi ia masih menderita luka dalam tiada enteng. Ia belum bisa bergerak. Karena itu tak dapat menggunakan panca-indra seleluasa-Ieluasa-nya. Satu-satunya gerak yang bisa dilakukan hanya mengembarakan gundu matanya. Samar-
samar ia melihat mayat-mayat kesepuluh lawannya berserakan di seberang menyeberang. Larut malam itu sunyi luar biasa, sehingga terasa menjadi seram.
Sangaji bukanlah seorang pemuda yang penakut. Namun selama hidupnya, baru kali ini ia
berada di tengah-tengah malam sunyi seorang diri ditemani beberapa mayat yang rusak
jasmaninya. Mau tak mau, keadaan itu mempengaruhi dirinya juga. Meskipun demikian, hatinya lega juga menyaksikan semua lawannya rubuh tak berkutik. Hanya terhadap Wilatikta hatinya masih bersangsi. Orang itu terlalu licin baginya. Gerak-geriknya sukar diraba, ia khawatir jungkir-baliknya ke udara dan kemudian kepalanya tertancap di dalam tanah hanya suatu tipu belaka untuk suatu maksud yang lebih keji lagi. Itulah sebabnya, walaupun ia menderita hebat tak berani ia memicingkan mata.
Perlahan-lahan fajar mulai menyingsing. Dan tak lama kemudian, hari menjadi terang tanah.
Wilatikta masih saja tak berkutik. Separuh tubuhnya benar-benar tertancap ke dalam tanah.
"Eh, apakah dia benar-benar terpental oleh tenagaku" Sangaji mulai menduga-duga keras.
Walaupun menderita luka hebat, namun pi-kirannya masih tetap jernih. Dan oleh dugaan itu, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingin menyelidiki. Segera ia menahan napas dan mencoba mengerahkan tenaga jas-maninya. Dan belum lagi ia mengerahkan te-naga jasmani, mendadak saja tubuhnya ter-guncang-guncang
karena darahnya berjalan sangat cepat dan berputar-putar dari ujung kaki sampai ke ubun-
ubunnya. Hal itu terjadi karena napasnya tertahan dengan tiba-tiba.
"Hai! Kenapa jadi begini?" Ia heran sampai terlongong-longong sendiri. Dan suatu hawa yang nyaman luar biasa terasa meresapi seluruh urat nadinya. Diam ia jadi bergembira, ia mencoba menahan napas dan menahan napas sampai berulang kali. Dan setiap kali menahan napas, dalam dirinya terasa seperti ada gumpalan daging lari berputaran dan seakan-akan hendak menjebol kulit dagingnya.
"Hai! Benarkah aku sudah berhasil?" Ia menyelidiki diri sendiri. Semenjak mendengar ajaran Gagak Seta bahwasanya ia akan memiliki tenaga sakti tak terlawan apabila berhasil melebur tenaga sakti Kumayan Jati-Bayu Sejati dan getah Dewadaru, selalu ia berusaha mencari titik persesuaian. Tak bosan-bosan ia senantiasa mencoba-coba dengan diam-diam. Malahan pernah jatuh pingsan pula. Dan sela-ma itu tiada tanda-tanda akan berhasil. Kini tanpa disangka-sangka ia memperolehnya de-ngan mudah sekali di luar dugaan siapapun juga.
Siapa mengira, bahwa tiga unsur tenaga sakti itu bisa saling melebur lewat cekikan napas"
Seumpama Gagak Seta atau Kyai Kasan Kesambi mengetahui tentang hal itu, belum tentu mereka bisa menolong pula. Karena cekikan mereka akan dianggap sebagai jasa-jasa baik belaka,
sehingga tiada mengadakan perlawanan naluriah. Sebaliknya terhadap cekikan Bagas Wilatikta kejadiannya sangat berlainan. Ia merasa terancam hebat. Terus saja naluri hidupnya berontak dan mengadakan perlawanan sedapat-dapatnya.
Himpunan tenaga sakti yang dimiliki Sangaji, sekarang sepuluh kali lipat besarnya daripada yang dimiliki Gagak Seta, Adipati Surengpati, Kyai Kasan Kesambi dan Kebo Bangah. Dalam
sejarah, baru kali itulah terjadi. Itulah sebabnya, di kemudian hari akan mengejutkan para pendekar sakti yang mengira dirinya menjadi puncak-puncak kodrat manusia pada zamannya.
Di sini ternyata, bahwa semua peristiwa pelik-pelik di dunia segalanya tergantung pada nasib.
Manusia takkan dapat mencapai dengan karsa belaka. Seperti ini, bahwasanya wadah (tempat untuk menaruh) takkan bisa mencari wahyu. Sebaliknya wahyu yang akan mencari wadahnya.
Demikianlah setelah yakin akan hal itu, Sangaji hendak mencoba kesaktiannya. Ia belum bisa bergerak seleluasa-luasanya, kecuali hanya menggerakkan jari-jari dan lengan. Di depannya tertebar beberapa puluh biji sawo yang tadi digunakan sebagai senjata bidiknya. Dengan
memaksa diri ia memungut-nya sebuah. Kemudian disentilkan membidik batu. Kesudahannya luar biasa menakjubkan. Batu yang kena bidikan rompal. Dan hancur berderai seperti kena ledakan dinamit.
Melihat kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Kini yakinlah dia, bahwa Bagas Wilatikta benar-benar terlontar oleh tenaga saktinya. Hanya saja ia tak mengerti sebab-musabab terjadinya pelontaran itu.
Sangaji adalah seorang pemuda yang tak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam per-soalan yang rumit-rumit. Maka lantas saja ia menghibur diri. "Biarlah begitu. Perlahan-lahan akan kuselidiki sebab musababnya."
Setelah memperoleh keputusan demikian, hatinya jadi tenang. Tapi justru hatinya tenang, luka dalamnya mulai merenyam. Ia merasa seperti ditusuk ribuan jarum, sakitnya bukan main. Seluruh tubuhnya menggigil, tatkala ia mencoba bertahan. Dan sebelum matahari mendaki sepenggalah tingginya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kira-kira melampaui waktu luhur, lapat-lapat ia mendengar derap kuda. Rasa sakitnya masih saja belum mereda. Tapi oleh rasa ingin tahu, ia menjenakkan mata. Ternyata Willem berderap secepat terbang karena dikejar oleh seorang perempuan yang rambutnya terurai hampir mencapai pinggang, la jadi ke-heran-heranan. Dengan menggertak gigi, ia menegakkan badan dan
bersandar pada sebuah batu yang mencongakkan diri sebagian dari lapisan tanah.
Tatkala mengamat-amati, ia melihat suatu kesan yang agak janggal. Ternyata perempuan yang mengejar-ngejar Willem, seorang gadis sebaya dengan Titisari. Terang sekali ia seorang gadis desa. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya kehitam-hitaman. Kulitnya kasar dan berpakaian sekenanya. Meskipun demikian gadis itu nampak manis dan hidup oleh sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakannya langsing pula, sehingga mudah menarik perhatian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apabila gadis itu melihat beberapa mayat bergelimpangan berserakan, terdengar ia memekik kaget. Namun demikian raut mukanya tak berubah. Satu demi satu ia mengamat-amati. Kemudian dengan mata terbelalak ia mengawasi Sangaji. Terus saja bertanya setengah heran, "Hai...! Kau belum mati?"
"Syukur belum," sahut Sangaji sederhana.
Tanya jawab pendek itu sebenarnya meng-gelikan. Yang perempuan aneh bunyi per-
tanyaannya dan yang lain menjawab sekenanya. Itulah sebabnya, begitu saling memandang
akhirnya mereka tersenyum geli juga.
"Kalau kau belum mati, kenapa berbaring di situ tak berkutik" Ih, kaget aku!" kata gadis itu dengan setengah tertawa.
"Aku terluka." "Siapa yang melukai?"
"Mereka." Gadis itu mengembarakan matanya. Setelah merenungi mayat-mayat, ia nampak menghela
napas. "Syukur mereka mati semua. Hm... kau lapar tidak?"
"Tentu saja lapar. Tapi aku tak bisa bergerak, karena itu biarlah nasib memikirkan daku."
Gadis itu tercengang sebentar. Mendadak saja ia tertawa berkikikan. Kemudian men-geluarkan sebuah mangga muda dari dalam dadanya.
"Mari kita bagi," katanya. Terus saja ia menggerogoti seperempat bagian, sisanya diangsurkan kepada Sangaji.
Dalam keadaan wajar, pastilah Sangaji akan menolak pemberian demikian. Tapi hatinya
tertarik pada sepak terjang gadis itu dan cara berpikirnya yang lucu dan tak terduga-duga. Kecuali itu, memang perutnya terasa lapar. Meskipun ia masih bisa berta-han dua tiga hari lagi, namun hatinya tak sampai menolak pemberian gadis itu yang terbersit dari hati yang bersih dan
sederhana. Maka dengan setengah berbisik, ia berkata memaklumi.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih. Tapi aku tak dapat bergerak."
"Ih! Kau begini manja," mendadak gadis itu melototi. "Masakan aku harus meladeni. Ini...
ambil!" Setelah berkata demikian, mangga itu ke-mudian disambit mengarah perut. Sangaji tak dapat bergerak, sehingga ia hanya menutup mata.
"Trang!" Mangga itu mengenai pusaka Bende Mata-ram yang tadi dikalungkan Bagas Wilatikta ke
lehernya dan mangga itu hancur berantakan berkeping-keping. Di sini ternyata, bahwa gadis itu mempunyai tenaga sambitan kuat juga.
"Hai! Ontung kau mempunyai permintaan bagus!" teriak gadis itu dengan nada tinggi.
"Apakah kau ini seorang pengamen (pemusik jalanan) keserakat?"
Tadi, waktu gadis itu menyambitkan buah mangga, hati Sangaji terkesiap. Dan begitu
mendengar pertanyaannya, hatinya yang mulia tak sampai hati mengecewakannya. Terus saja ia menjawab acuh tak acuh:
"Ya aku seorang keserakat."
"Apakah nama benda itu?"
"Sebuah bende. Mengapa?"
"Bagus! Bagus!" gadis itu mendadak jadi girang. "Apakah boleh aku minta?"
Terhadap bende itu, sebenarnya hati Sangaji tak begitu tertarik. Dasar hatinya mulia, maka begitu mendengar permintaan gadis itu, lantas menjawab, "Kalau kau senang, ambilan!"
Bukan main girang gadis itu. Wajahnya terus saja bersinar terang. Dengan tak ragu-ragu ia melangkah hendak menghampiri. Mendadak saja selagi akan membungkuk-wajahnya berubah
lagi. Kemudian melompat mundur dan berkata, "Kau tak mau menerima pemberianku. Apakah kau takut kuracuni?"
Perubahan sikap itu mengejutkan Sangaji. Mau tak mau ia jadi menaruh perhatian. Hati-hati ia menjawab, "Bukankah engkau sudah memakannya sebagian" Terang sekali tiada niatmu meracuni aku."
"Bagus! Tetapi mengapa engkau percaya penuh, bahwa gigiku tiada racunnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagi Sangaji yang berhati sederhana, perta-nyaan itu amat menyulitkan. Mendadak ia ingat sesuatu, "Kalau gigimu benar-benar beracun, mestinya kau akan berusaha memasukkan buah mangga tadi ke mulutku. Sebaliknya engkau malah menyambitkan begitu keras."
"Karena aku tahu, kau takkan gam-pang-gampang sudi mengunyahnya. Itulah sebabnya,
engkau akan kutikam mati saja dengan sambitanku."
Mendengar ujar gadis itu, Sangaji terhenyak. Kemudian bertanya mencoba, "Apa sebab engkau akan membunuh seseorang yang tiada sangkut pautnya dengan kepentinganmu?"
"Masakan tak tahu?" gadis itu terbelalak heran.
"Kalau kau masih hidup, bukankah aku wajib menolongmu" Di tengah lapangan ini, desa-desa begitu jauh. Aku harus mendukungmu... atau aku harus mencari gerobak penarik. Bukankah aku jadi berabe?"
"Hm... Siapakah yang mengharapkan pertolonganmu" Sama sekali aku tak mempunyai pikiran demikian."
"Ha... Kalau begitu kau jahat. Seumpama aku terluka di sini, pastilah engkau akan pergi dengan tak tahu menahu."
Di debat demikian, Sangaji jadi terbungkam. Pernyataan demikian sama sekali tak didu-ganya.
Tadi sewaktu mendengar bahwa gadis itu terang-terangan hendak membunuhnya, hatinya
terkejut dan agak menyesal. Karena itu, jawabannya agak keras. Di luar dugaan, mendadak dia bisa mendamprat begitu rupa.
"Menolong sesama hidup jauh berlainan dengan bermaksud hendak membunuh," ia mencoba menangkis.
"Eh, kenapa kau begini tolol" Coba pikir! Kau begini gede seperti siluman. Sebaliknya aku tak bertenaga. Lagi pula, kulihat kau kem-pas-kempis begitu menderita. Daripada mati perlahan-lahan, bukankah lebih baik mati cepat-cepat" Ih, kau begini tolol!"
Kembali Sangaji terhenyak untuk sekian kalinya. Pikirnya diam-diam! Aneh jalan pi-kiran gadis ini. Seumpama seorang laki-laki, ia tergolong manusia macam Bagas Wilatikta yang bisa berbuat di luar dugaan.
"Hai tolol! Kenapa kau tak menjawab?" Tegur gadis itu.
Tiga kali Sangaji mendengar gadis itu menyebutnya dengan istilah tolol. Dalam hidupnya
beberapa orang memanggilnya de-ngan si tolol. Tapi yang bebas dari rasa fitnah hanya dua.
Pertama, kedua gurunya dan Gagak Seta. Dan yang kedua Titisari. Teringat akan Titisari hatinya jadi terharu. Ia merasa ditinggalkan semua yang dicintai dan mencintai. Terus saja teringatlah dia kepada ibunya yang jauh berada di daerah barat. Tak terasa, matanya jadi berkaca-kaca.
"Hidiiih... kau sudah sebesar kerbau, masih saja menangis seperti bayi?" Damprat gadis itu dengan sengit. "Benar-benar engkau seorang tolol tak berguna." Lihat pakaianmu begitu kotor tak terurus.
Berkali-kali Sangaji semalam lontak darah. Pakaiannya memang jadi berbentong-bentong penuh darah yang kini jadi membeku. Kecuali itu, mukanya kotor oleh debu dan rambutnya terpangkas separoh karena parang Bagas Wilatikta.
"Perkara mangga itu nanti kucarikan. Masakan kau tak tahan lapar barang seben-tar?" Gadis itu mendamprat lagi.
"Sama sekali aku tak memikir tentang itu. Aku hanya teringat kapada seseorang."
Sebenarnya gadis itu sudah memutar tubuh hendak pergi. Tatkala mendengar ujar Sangaji,
cepat ia berpaling. "Kau memikirkan siapa" Masakan kau mempunyai kenalan?"
"Aku terkenang kapada ibuku yang berada jauh di rantau," jawab Sangaji yang tak pernah bisa berbohong.
"Apakah ibumu sering memberimu buah mangga?" Gadis itu tersenyum lebar.
"Sudah tentu." Mendadak saja gadis itu mengamuk. Dengan cekatan ia mencari sesuatu. Begitu melihat
tangkai pengail Randu Kintir yang ter-lempar di atas tanah, terus saja menyam-barnya dan mengancam kepada Sangaji.
"Bagus... kau samakan aku dengan ibumu" Apakah umurku sama dengan ibumu" Kau begini kotor. Ibumu pasti lebih kotor paling tidak, pipinya telah reot. Masakan aku begitu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji jadi gugup. Belum lagi ia bisa ber-buat sesuatu gadis itu telah menggebuknya dua kali berturut-turut.
"Kenapa kau memukul aku?" Ia minta keterangan. Sebenarnya apabila mau meram-pas pengail itu, tidaklah susah. Tapi semenjak tadi ia tertarik kepada lagak lagunya yang aneh. Pikirnya, tak apalah dia menggebuk aku beberapa kali. Daripada tiada berteman, lumayan juga bisa beromong-omong dengan dia... Karena itu, ia membiarkan diri digebuk dua kali berturut-turut. Kemudian berkata lagi, "Ibuku tak pernah memukul aku. Karena itu, engkau tak mirip dia."
"Eh"apa kau bilang" Aku tak pantas men-jadi seorang ibu" Kau sudah bosan hidup
barangkali?" Bentak gadis itu. Terus saja ia hendak menyabet kempungan Sangaji yang luka.
Keruan saja, Sangaji menjadi gugup. Kempungan itulah yang tadi malam kena pukulan lawan-
lawannya. Jangan lagi kena pukulan, andaikata tersentuh tangan saja bisa mengancam nyawanya.
Karena itu dengan cepat ia meraup biji-biji sawonya yang tertebar disekitarnya, pikirnya, asal gadis itu berani menyentuh kempungannya, segera ia akan menimpuknya sampai pingsan.
Syukurlah gadis itu hanya menggertak bela-ka. Tatkala melihat air muka Sangaji berubah
hebat, ia berkata mengejek.
"Nah tuuu... baru digertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati. Karena itu, jangan-lah senang mengolok-olok orang."
"Sama sekali aku tak mengolok-olokmu. Apabila aku mengolok-olokmu, biarlah aku rebah begini saja seumur hidupku," sahut Sangaji sungguh-sungguh.
Gadis itu melemparkan pengailnya. Kemu-dian dengan tertawa duduk disamping Sangaji.
"Kau bilang...engkau lagi terkenang ibumu. Apakah ibumu mirip aku?"
"Sudah barang tentu engkau jauh lebih cantik," jawab Sangaji. Selama hidupnya, belum pernah Sangaji bersikap mengambil-ambil hati. Tapi menghadapi seorang gadis yang nampak angin-anginan ini, ia tak mau kena sengsara, la khawatir gadis itu akan menghantam kempungannya benar-benar. Kecuali itu dalam kesepian ia membutuhkan seorang teman. Apabila sampai
menyakiti hatinya, pastilah dia akan pergi meninggalkan di tengah-tengah mayat-mayat
berserakan. Kalau sampai tiga empat hari berada di tengah mayat-mayat dalam udara panas, bukankah penciumannya akan terganggu hebat" Maka setelah berkata demikian, ia meneruskan,
"tapi sikapmu yang begini baik benar-benar mengingatkan aku kepadanya."
"Kau begitu pasti?"
Sangaji memandang wajahnya dan meng-angguk dangan yakin.
"Ih! Kenapa kau memandang aku" Apakah aku cantik?" tegur gadis itu. Dan oleh teguran itu, Sangaji jadi tertegun. Dia adalah seorang pemuda yang polos dan berhati sederhana. Selama hidupnya belum pernah ia mengkhia-nati ucapan hatinya sendiri. Dalam hatinya, ia hanya
mempunyai seorang gadis yang dianggapnya benar-benar cantik melebihi segala. Yakni, Titisari.
Apabila menganggap seorang gadis lain cantik pula, bukanlah sudah berarti mengkhianati diri"
Karena itu, ia menjadi gugup. Sulit ia menjawab.
"A... aaaku tak mengerti. Aku memandang padamu. Karena engkau begini baik terhadap-ku.
Entah kenapa, hatiku jadi tenteram, lega dan senang."
Mendadak gadis itu tertawa panjang.
"Kau salah duga. Aku justru seorang perem-puan yang jahat. Apa itu kebaikan" Justru aku mau memusuhi tiap laki-laki."
Setelah berkata demikian dengan tangkas ia berdiri. Kemudian menendang pinggang Sangaji
dua kali dan terus melompat lari meninggalkan lapangan.
Dua tendangan itu terjadi dengan seko-nyong-konyong. Tendangannya tepat pula mengenai
pinggang. Seketika itu juga, Sangaji menjerit tinggi dan jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kurang lebih satu jam kemudian, ia tersadar kembali. Napasnya terasa makin sesak dan
tenaganya seperti terlolosi. Teringat akan gadis itu, ia menghela napas. Anehnya, meskipun disakiti hatinya tak menyesali. Lama sekali ia merenungi dan mencoba menimbang-nimbang.
Apa sebab dia menyakiti aku, justru sewaktu aku memuji kebaikan hatinya" Rupanya ia lagi menaruh dendam dan begitu melihat diriku segera ia menumpahkan. Barangkali akulah yang lagi sial.
Tak sengaja ia menyiratkan pandang kepa-da mayat-mayat yang kini mulai dikerumuni lalat.
Meskipun tak gentar menghadapi segala, tak urung hatinya risih juga menyaksikan pemandangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian. Segera ia melem-parkan pandang ke tengah udara yang lapang dan cerah. Teringat akan gadis aneh tadi, mendadak saja ia mengharap-harap munculnya lagi. Tapi mengingat sepak-terjangnya, ia khawatir kena siksanya.
Dua jam lagi ia menggeletak tanpa bisa berkutik. Tatkala matahari hampir tenggelam,
mendadak saja panca indranya yang tajam mendengar bunyi bergeritan. Tak ragu lagi, pastilah bunyi roda geledek. Dugaanya benar juga. Tak lama kemudian, gadis aneh tadi datang kembali dengan menyeret gerobak kecil yang sering dipergunakan para petani sebagai alat pengangkut kayu atau jerami. Biasanya gerobak demikian ditarik oleh anak lembu atau kambing jantan.
"Hai! Apakah ibumu pernah menarik ger-obak semacam aku begini?" Tegur gadis itu dengan sekonyong-konyong.
Teringat akan pengalamannya, tak berani Sangaji menjawab sembarangan terhadap gadis itu
yang sok angin-anginan itu. Untung, sebelum menjawab, gadis itu lantas saja jadi sibuk, la mengeluarkan sebungkus nasi, selirang pisang dan setempurung air minum.
"Hai siulman! Kau belum mati?" Tegurnya lagi.
"Sudah mati separoh," jawab Sangaji bergu-rau. Tadi ia sudah mengambil keputusan hen-dak bersikap tak sungguh-sungguh saja ter-hadap gadis itu.
Dengan tersenyum simpul gadis itu duduk disampingnya sambil membawa bungkusan
makanan. Selagi menaruh semuanya itu diatas tanah, mendadak saja terus menendang pinggang Sangaji lagi sambil bertanya, "Bagian manakah yang belum mati?"
Keruan saja Sangaji terkejut setengah mati. Sebat ia melindungi pinggangnya. Meskipun
demikian, tak urung masih terasa sakit juga. Dengan menggigit bibir, ia berkata minta pen-jelasan.
"Kenapa kau senang menyakiti orang."
"Kau sendirilah yang minta gebuk. Masakan kau bilang mati separuh. Sedangkan nyawamu masih utuh" Bukankah engkau belajar berbohong?"
Benar-benar Sangaji merasa mati kutu. Hendak bersikap sungguh-sungguh gadis itu berwatak angin-anginan. Kini bersikap main-main, salah juga. Seperti orang putus asa, lantas menyahut,
"Tadi engkau telah menggebuk aku sampai pingsan tanpa perkara. Meskipun demikian, aku selalu mengharapkan kedatanganmu. Kini engkau hendak menyakiti aku lagi. Mengapa?"
"Karena tiap laki-laki adalah busuk!" Bentak gadis itu. Dan setelah berkata demikian, terus saja mengamuk. Bungkusan nasi, air minum dan selirang pisang yang dibawanya mendadak
dibantingnya dan diinjak-injak sampai terpencet masuk dalam tanah.
Sangaji jadi melongo melihat sepak ter-jangnya. Kesan mukanya begitu berduka, gusar, dengki dan penuh sesal. Apakah gadis ini mempunyai penderitaan hebat begitu rupa, ia menduga-duga.
Teringat akan perjalanan hidup keluarganya dimasa kanak-kanak, tak terasa Sangaji menjadi perasa. Hatinya kian tertarik. Dengan setulus-tulusnya hati nuraninya tergerak.
"Apakah sebab kamu begini pemarah?"
"Aku pemarah atau tidak, apa pedulimu?" damprat gadis itu.
Sangaji menundukkan kepala. Mendadak saja gadis itu terus saja duduk menumprah di-
sampingnya. Kemudian menangis sedu-sedan.
Melihat gadis itu menangis, timbulah ke-beranian Sangaji untuk mencoba berbicara lagi.
Katanya lemah lembut, "Siapakah yang menghina dirimu" Katakanlah! Manakala aku telah sembuh kembali, biarlah aku memba-laskan hatimu."
Agaknya ucapan Sangji kena benar. Tangis si gadis kian menaik. Beberapa saat kemudian gadis itu berkata, "Setiap orang berhak berjuang untuk memperoleh kebahagiaan. Karena itu, tiada seorang pun di dunia ini yang menghina diriku. Hanya saja, nasibkulah yang buruk... sehingga setiap saat selalu saja aku mengenangkan seseorang."
"E-hem. Pastilah dia seorang Pemuda gagah. Apa sebab bersikap begitu bengis kepadamu."
"Dia bukan lagi seorang pemuda. Meskipun ngganteng dan gagah, namun gadis-gadisnya
terlalu banyak," sahut gadis itu dengan mene-gakkan kepala. Kemudian menunduk sambil meneruskan, "inilah kebodohanku, mengapa aku mengharapkan yang bukan-bukan dari-padanya.
Aku minta dia hidup bersama untuk selama-lamanya dan hanya untukku. Karena itu, dia
menghajar aku beberapa kali. Aku dicacinya pula... dihina dan ditinggalkan."
"Ah, mengapa begitu kasar?" Sangaji tercengang. "Jika demikian, tiada gunanya kau kenangkan lagi. Enyahkan saja bayangannya dari benakmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengurai adalah gampang. Akupun dapat menasehati setiap orang untuk memilih jalan yang paling bagus. Tapi justru... aku tak dapat meninggalkan bayangannya. Karena... kare-na..." gadis itu tak menyelesaikan kata-katanya, la mulai menangis lagi.
Sangaji saat itu lagi memasuki gelombang asmara juga. Hanya saja soalnya lain. Titisari
baginya adalah seorang gadis yang meng-gairahkan hatinya. Diapun membalas cin-tanya. Inilah namanya cinta kasih timbal balik. Maka diam-diam ia berpikir dalam hati, meskipun masih terdapat rintangan, namun keadaanku dan Titisari masih jauh beruntung dari dia. Wajah dan perawakan gadis ini bukan buruk. Kesannya hampir seimbang dengan Nuraini. Apa sebab pemudanya bisa berlaku ganas dan bengis kepadanya"
Mendadak saja teringatlah dia kepada Sanjaya yang memperlakukan Nuraini demi-kian juga.
Teringat akan hai itu, perlahan-lahan ia berkata hati-hati. "Cinta asmara sesungguhnya tak dapat dipaksakan."
"Hai! Apakah engkau juga pernah terlibat dalam soal cinta asmara?" Gadis itu ter-cengang. Dan sekaligus hilanglah tangisnya.
"Ya, bahkan aku lagi mulai," sahut Sangaji meyakinkan. Kemudian mencoba membesar-kan hati. "Pemuda itu hanya menyakitkan hatimu belaka. Tapi pengalamanku lebih hebat darimu."
"Kenapa?" Mendadak saja gadis itu melon-cat berdiri. Dan pandangnya berapi-api mem-benci segala.
Sangaji terkejut melihat perubahan itu. Teringat akan sepak terjang si gadis yang sok angin-anginan, hati-hati ia melanjutkan, "Aku dan dia sudah setuju. Sudah kulampui pula ujian-ujian yang diwajibkan. Mendadak saja, ayahnya berubah haluan. Gadisku disekapnya dan dibawanya lari..."
"Ih! Bukankah engkau bisa bersama-sama minggat" Ayah bunda sesungguhnya hanya sebagai perantara belaka. Kita semuanya ini Sana yang mempunyai. Meskipun ayah bunda mengutukmu, tapi kalian benar-benar saling mencintai... akan buyarlah tenaga kutuk itu.
Sebab yang mengadakan cinta kasih itu bukan ayah bunda. Tapi Sana!"
Hebat kata-kata gadis itu sampai Sangaji terkejut bercampur heran. Melihat usia si gadis, hati Sangaji geli. Karena kata-kata demikian tidaklah pantas diucapkan oleh seorang gadis remaja seusia dia. Tapi kata-katanya penuh letupan yang mengandung kebenaran juga. Diam-diam dia berpikir, gadis ini benar-benar menderita sampai bisa mempunyai pengucapan begitu hebat.
Meskipun mengandung kebenaran, kesannya liar juga. Apabila dibenarkan... bukankah akan
meracuni jiwanya?" Memperoleh pertimbangan demikian, Sa-ngaji terus berkata seperti guru. "Menurut tutur-tutur kata Guru, justru sadar bahwa semuanya ini yang mempunyai adalah Sana, maka aku bersikap tawar. Kuserahkan dia kepada Sana, biar sana sendiri yang menyele-saikan."
Sengaja Sangaji menirukan istilah Sana, agar tak menyinggung perasaannya. Pilih-annya
ternyata tepat. Gadis itu lantas saja memandang padanya lama-lama.
"Siapa namamu?"
"Sangaji." Dahi gadis itu mengkerut. Ia tak berkata lagi. Lantas saja suatu kesunyian terjadi.
"Dan kau... siapa namamu?" Sangaji ganti bertanya. "Fatimah." "Ayah bundamu?"
"Mereka semua sudah meninggal. Ya... biar-lah semuanya meninggalkan aku, apa pedulimu?"
Sehabis berkata demikian, kembali dia angot. Dengan sebat ia menyambar pengail Randukintir dan terus digebukkan empat lima kali kepada Sangaji. Kemudian memutar tubuh dan
meninggalkan lapangan. Mendadak saja ia memutar tubuh dan berkata minta ketegasan.
"Apakah kuda yang kukejar tadi, kudamu?"
"Ya." Ia memutar tubuh lagi sambil berteriak, "Usahakan dirimu masuk gerobak. Aku tak kuat memondongmu. Nah, biar kucari kudamu!"
Setelah berkata demikian, ia berlari-lari meninggalkan lapangan dengan cepat. Dan kembali Sangaji terlongong-longong memi-kirkan sepak terjang gadis itu yang benar-benar aneh. Pikirnya, dalam kemarahannya senantiasa terbesit rasa keibuannya. Apakah dia begitu menanggung derita tak tertanggungkan hingga sewaktu-waktu mengamuk tanpa sebab"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat, bahwa gadis itu tiada berayah bunda lagi, hati Sangaji kian perasa. Tanpa disadari sendiri rasa sukanya kepadanya jadi bertambah.
Tadi ia memesan agar aku naik ke gero-baknya, katanya dalam hati. Biarlah aku membuatnya senang...
Hatinya berkata demikian, tapi tak mudah pelaksanaannya. Ia benar-benar luka parah. Dikala mencoba menggerakkan badan rasa nyeri menusuk sampai kepalanya. Ia mencoba mengkeraskan
hati dan berusaha merangkak. Namun untuk kesekian kalinya ia gagal.
Lambat laun matahari mulai tenggelam. Teringat akan si gadis, hati Sangaji berdebar-debar.
Bukan takut kepada gebukannya, tapi kalau sampai mengecewakan itulah jangan! Dalam
keresahannya mendadak saja teringatlah dia kepada jalan darahnya yang sudah lancar. Menurut Gagak Seta, apabila jalan darah sudah bisa ditembus, gerak geriknya takkan terintang lagi. Semua kehendak dan kemauan-nya akan bisa dilaksanakan. Maka terus saja ia mengumpulkan tenaga
saktinya. Kemudian tapak tanggannya digempurkan ke tanah. Dan kesudahannya mengejutkan
hatinya. Tiba-tiba saja tubuhnya terlontar tinggi di udara melampaui puncak pohon. Inilah suatu
kejadian di luar dugaan dan perhitungannya. Kalau sampai jatuh di tanah, harapan untuk hidup dengan selamat tiada lagi. Untung, Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati tenang. Dalam kegugupannya ia bisa berpikir cepat. Terus saja tangannya dikibaskan menghantam bumi.
Ternyata tiga ilmu sakti yang sudah bersatu itu hebatnya tak terukur lagi. Begitu tangannya mengibas menghantam bumi, lantas saja timbul semacam gelombang angin yang menolak balik.
Dengan demikian daya turun tubuhnya bisa tertahan. Dan sedikit mengibaskan tangan kirinya ke samping, terus saja tubuhnya terbang me-ngarah ke atas gerobak. Oleh pengalaman itu ia
berhasil turun perlahan-lahan dengan mengatur tenaga pentalan bumi. Meskipun demikian,
jatuhnya ke atas gerobak masih ter-lalu keras untuk tubuhnya yang luka dalam. Berbareng dengan suara gedobrakan, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Tatkala menjenakkan mata, pandangan yang dilihatnya adalah bintang-bintang yang bergetar lembut di angkasa. Bintang-bintang itu seperti terlintasi. Dan apabila pikirannya mulai bekerja terasa kini gerobak yang ditidurinya bergoncang-goncang amat keras. Kemudian terdengarlah suara derap kuda dan lembu berjalan hampir berbareng. Maka tahu-lah dia, bahwa gerobak yang ditidurinya sudah berjalan entah kapan.
"Kau sudah bangun" Bagus!" Tiba-tiba suara si gadis menusuk telingannya. "Kalau mau selamat, tutuplah dahulu mulutmu!"
Heran Sangaji mendengar ucapannya. Kalau saja bukan seorang yang tajam panca indranya
betapa bisa mengetahui dia telah memperoleh kesadarannya. Dan memperoleh pikiran ini, Sangaji jadi curiga. Kepalanya lan-tas saja penuh teka-teki yang sukar terjawab.
Selagi ia sibuk menebak-nebak, panca indranya yang tajam melebihi manusia lum-rah,
mendengar derap kuda bergemuruh dan barisan yang sedang berjalan. Mau ia mene-gakkan
kepala, sekonyong-konyong gadis itu berkata, "Pasukan Pangeran Bumi Gede mulai mendekati kota. Tunggu saja beritanya. Beberapa hari lagi, kerajaan akan runtuh digilasnya."
Mendengar gadis itu menyebut nama Pangeran Bumi Gede, bukan main terkejutnya Sangaji.
Hatinya sampai tergetar. Dan sekali-gus jantungnya berdegupan. Karena kegon-cangan ini
darahnya lantas saja tersirap. Suatu gumpalan tenaga sakti lari berputaran tiada hentinya.
"Bagaimana kau tahu mereka pasukan Pangeran Bumi Gede?" ia bertanya perlahan.
"Rumahku berada dalam daerah ke-kuasaannya. Masakan aku tak mengenal namanya?" Sahut Fatimah. Mendadak suara-nya berubah menjadi keras. "Hai! Bukankah aku melarangmu berbicara"
Mengapa ber-bicara" Mengapa?"
Selagi hendak menjawab, Sangaji mendengar langkah enteng beramai-ramai. Tak ragu lagi,
mereka rombongan pendekar undangan. Dan dugaannya tepat. Dari arah timur nampaknya satu
rombongan besar yang lari cepat mengarah ke barat. Pada saat itu pula, ge-robak dihentikan Fatimah dengan sekonyong-konyong. Fatimah sendiri terus menuntun Willem bersembunyi di
belakang belukar. Mau tak mau gerak geriknya membuat Sangaji berteka-teki lagi. Diam-diam ia menimbang-nimbang: Didengar dari ucapannya, ia seolah-olah ikut bersyukur apabila Pangeran Bumi Gede berhasil meruntuhkan kerajaan. Maklumlah, rumahnya berada dalam daerah
kekuasaan pangeran itu. Tapi mengapa mendadak ia main bersembunyi, begitu melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkelebatnya para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebenarnya siapa dia" Menuruti
luapan hatinya, ingin ia segera memperoleh jawaban. Tapi suara derap langkah pasukan yang lewat belum lagi habis. Karena itu ia menyabarkan diri. Dalam hal ini ia mempunyai kepentingan juga. Terhadap pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede ia bermusuhan. Apabila
mereka sampai melihat dirinya berada di situ, pastilah mem-punyai akibatnya sendiri. Apalagi keris Kyai Tunggulmanik dan pusaka Bende Mataram berada dalam genggamannya.
Gerakan laskar Pangeran Bumi Gede ternyata memakan waktu hampir larut malam. Dan di jauh sana mulai terdengar bunyi kentong tanda bahaya sambung menyambung. Apakah mereka mulai
bertempur, Sangaji menduga-duga. Hatinya gelisah bukan main.
"Fatimah!" Akhirnya Sangaji tak dapat menyabarkan diri lagi. "Kau berkata, rumah-mu berada di daerah kekuasaan Pangeran Bumi Gede. Mengapa kau bersembunyi" Apakah engkau
mempunyai permusuhan juga?"
"Ih! Kenapa kau masih saja berbicara?" damprat Fatimah. "Kau takut?"
"Siapa bilang takut?" Sahut Fatimah cepat, "kalau aku bersembunyi adalah semata-mata untukmu. Kau tak percaya?"
Setelah berkata demikian, terus saja ia mencambuk lembu penarik. Sudah barang tentu, lembu itu jadi kaget berjingkrat. Dengan mengerahkan tenaga penuh-penuh ia membe-dal di sepanjang jalan. Celakalah Sangaji yang berada dalam gerobak. Tubuhnya lantas saja tergoncang pontang-panting. Belum lagi melintasi sepetak sawah, kembali ia jatuh pingsan untuk kesekian kalinya.
Memang luka dalam Sangaji tidaklah enteng. Hampir tempat-tempat penting dalam tubuhnya kena hantaman lawan yang memiliki tenaga sakti ma-sing-masing. Seumpama saja ia tak memiliki daya tahan ilmu sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan Getah Dewadaru"sudah siang-siang nyawanya lenyap dari tubuhnya.
Kali ini lama sekali Sangaji memperoleh kesadarannya kembali. Kira-kira menjelang fajar hari, lapat-lapat ia mendengar suara perempuan berbicara bisik-bisik.
"Paman! Terang sekali si Willem. Apakah kita belum boleh turun tangan?"
"Tunggulah sampai matahari cukup terang. Kurasa belum kasep." Terdengar suara laki-laki menyahut.
Meskipun Sangaji dalam keadaan luka parah, tetapi tenaga panca indranya tetap tajam dan
bersih. Dengan kesatuan tiga ilmu saktinya, ketajaman panca indranya melebihi kemampuan
panca indra pendekar sakti kelas satu. Itulah sebabnya begitu mendengar pem-bicaraan mereka, darahnya tersirap. Karena segera ia mengenal siapa yang berbicara. Itulah Titisari dan Gagak Seta.
Seperti diketahui Titisari dibawa lari ayahnya meninggalkan lapangan pertandingan. Gagak Seta kemudian menyusul untuk memberi penerangan tentang kesalahpahaman yang menyebabkan
Adipati Surengpati marah tak kepalang. Meskipun apa yang dikatakan cukup mengesankan,
namun Adipati Su-rengapti terkenal sebagai seorang pendekar yang besar kepala. Sekali sudah dilakukan, tak gampang-gampang ia menarik diri. Dengan demikian sia-sialah usaha Gagak Seta.
Sebaliknya Titisari mewarisi sebagian watak ayahnya. Begitu Gagak Seta mengundurkan diri, pada malam harinya ia minggat untuk ketiga kalinya. Ditengah jalan ia bertemu dengan Gagak Seta dan bersama-sama mencari Sangaji.
Mereka melihat gerakan pasukan Pangeran Bumi Gede juga. Selagi mereka mengintip gerak-
geriknya, mendadak saja mempergoki gerobak yang lari pontang-panting. Kemudian si Willem lari mendampingi dengan di tung-gangi seorang gadis. Melihat pemandangan itu, Titisari terkejut bukan main. Sebagai lazimnya seorang gadis, rasa cemburunya naik sampai kebenaknya. Terus saja ia hendak melabrak. Untung di sampingnya ada Gagak Seta yang bisa berpikir dingin. Setelah mengadakan suatu rentetan perdebatan, akhirnya Titisari mengalah. Karena Gagak Seta bisa membuktikan, bahwa di dalam gerobak tergeletak tubuh Sangaji yang tak dapat berkutik.
Kedua-duanya mengira, Sangaji tertawan musuh. Gadis yang menunggang kuda itu, mungkin
salah seorang anggota lawan. Karena itu mereka memutuskan hendak menguntitnya. Berkali-kali Titisari memberi kisikan sandi kepada Sangaji. Meskipun pandai, sama sekali ia tak menduga, bahwa waktu itu Sangaji jatuh pingsan tak sadarkan diri. Itulah sebabnya rasa cemburunya kian menjadi hebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah kira-kira matahari menyingkap udara untuk yang pertama kalinya gerobak itu
nampak mendaki suatu gundukan. Di sana berdiri suatu benteng kuno pada zaman Trunajaya.
Dalam kesuraman pagi, nampak menyeramkan.
Melihat gerobak itu memasuki benteng kuno, timbullah kecurigaan Titisari. Pikirnya menebak-nebak , apakah ada penghuninya"
Meskipun kodratnya seorang gadis, namun Titisari bukanlah gadis lumrah. Terus saja ia lari mengitari benteng dari sisi lain. Kemudian dengan enteng ia meloncat ke atap. Dari ke-tinggian ia memperoleh penglihatan lapang tak terhalang.
Fatimah menambatkan Willem. Lantas meninggalkan benteng dengan berjalan acuh tak acuh.
Tatkala sampai di pintu gapura, mendadak balik kembali. Willem dihampiri dengan cepat, tali pengikatnya dilepaskan, kemudian menggebugnya pergi.
Selamanya Willem belum pernah memper-oleh perlakuan kasar. Karena itu begitu diben-tak,
terus saja ia meloncat tinggi dan lari berputaran. Sebentar kemudian berderap melewati gapura dan hilang dibalik gundukan. Agaknya inilah yang dikehendaki Fatimah. Ternyata setelah melihat Willem meninggalkan benteng dia pun segera berjalan keluar gapura dengan tergesa-gesa.
Titisari menunggu beberapa saat lamanya. Lalu meloncat ke tanah dan terus memeriksa
benteng. Ternyata benteng itu tiada peng-huninya. Kamar-kamarnya kosong, keruh, kotor dan gelap. Timbulah keheranannya, mengapa gadis tadi membawa gerobaknya masuk ke dalam
benteng. Tatkala ke luar dari ruang dalam, ia melihat Gagak Seta berdiri termangu-mangu di depan
gerobak seolah-olah habis berbicara.
"Eh, tolol! Benar kau tak bisa bergerak?" Terdengar ia berbicara lagi.
Mendengar Gagak Seta berbicara, terus saja Titisari meloncat lari. Hatinya girang penuh syukur.
Tapi begitu melihat Sangaji yang menggeletak tak bertenaga di dalam gerobak, hatinya
tergoncang. Waktu itu keadaan Sangaji tak keruan macamnya. Rambutnya terpangkas tipis.
Wajahnya pucat bagai kertas. Seluruh tubuhnya hampir tersiram darah yang sudah membeku.
Kakinya lepat-lepot penuh debu. Kemudian jerami gerobak bertaburan menutup bagian tubuhnya.
Gagak Seta bukankah tak mengerti bahwa Sangaji dalam keadaan luka parah. Tapi dasarnya
menganggap persoalan dunia ini seenteng gabus, maka dalam kata-katanya ia sering bergurau.
Tetapi begitu habis dia berbicara, terus saja mengangkat Sangaji dan dibawa masuk ke dalam benteng dengan hati-hati.
Karena di dalam benteng tiada sesuatu pe-rabot rumah, Titisari kembali menghampiri gerobak dan mengangkut jeraminya. Terus saja ia menggelarkannya di atas lantai yang kotor berdebu kemudian Gagak Seta memba-ringkan Sangaji dengan pandang penuh selidik. Kala itu mulut
Sangaji terkatup rapat. Meskipun tubuhnya kuat, tapi ia pingsan untuk beberapa kali. Jantungnya berdegup lemah. Karena luka dalamnya kian berat.
Melihat Sangaji rebah tak berkutik, Titisari jadi bingung dan penuh khawatir. Diam-diam ia menyesali diri sendiri mengapa semalam ia bercemburu kepadanya, cepat ia menyalakan sebatang kayu dan menyului muka kekasih-nya.
"Lukanya hebat bocah ini," akhirnya Gagak Seta berkata setengah berbisik, inilah pukulan berat bagi Titisari. Ia berdiri ter-longong-longong sambil memegang obornya erat-erat. Gagak Seta sendiri terus bekerja dengan cepat. Tanpa ragu-ragu lagi, tangan-nya ditempelkan ke punggung Sangaji pada titik pusat urat syaraf. Kemudian ia me-nyalurkan hawa murninya mendadak saja, tenaganya terasa seperti terhisap oleh suatu tenaga dahsyat. Itulah tata kerja getah sakti Dewadaru yang kini sudah bersatu dengan dua ilmu sakti lainnya. Meskipun sudah lebur menjadi satu, namun sifatnya belum berubah.
"Ih?" Gagak Seta terkejut.
la tahu dalam diri Sangaji pastilah terjadi sesuatu perubahan hebat. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami peristiwa demikian. Meskipun Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Kyai Kasan Kesambi memiliki tenaga sakti yang tak dapat diukur tingginya, namun tenaga mereka belum sampai pada taraf menghisap tenaga lawan. Tapi dasar ia seorang pendekar berwatak
angkuh dan per-caya pada diri sendiri, tak mau ia menyerah. Segera ia berkutat melawan tenaga hisapan yang membanjir bagaikan air bah. Belum lagi seperampat jam ia berjuang, keringatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah mulai merembes keluar. Hal itu mem-buktikan, betapa hebat tenaga sakti Sangaji yang dimiliki sekarang.
Titisari tak mengetahui, bahwa Gagak Seta sedang berjuang mati-matian melawan tenaga
hisapan Sangaji. Ia hanya mengetahui Sangaji terluka berat. Kemudian warna mukanya yang
pucat lesi, sediki demi sedikit menjadi merah dan berkesan segar, la mengira, itulah jasa Gagak Seta. Meskipun peristiwanya demikian, namun tebakannya hanya benar separo. Kala itu, tenaga sakti Gagak Seta hampir terhisap seperempat bagian. Sedangkan menghimpun tenaga sakti
membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Karena itu meskipun sifatnya hendak menyalurkan tenaga murni untuk membantu memulihkan kekuatan jasmani, tetapi sesungguhnya ia lagi
berkelahi bagai dua pendekar utama mengadu tenaga sakti.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi Titisari tenggelam dalam rasa girang, sekonyong-konyong ia mendengar kesiur angin.
Begitu menoleh, tahu-tahu dibela-kangnya berdiri seorang gadis dengan pandang tajam. Dialah Fatimah yang tadi meninggalkan benteng dan kini datang kembali dengan membawa dua ekor
ayam. "Siapa kau?" Bentak Titisari.
"Siapa kau?" Fatimah membalas bertanya pula.
"Eh, aku tanya kepadamu."
"Eh, aku tanya kepadamu."
"Jangan bergurau! Aku bertanya kepada-mu!" Bentak Titisari. Tapi Fatimah menirukan pula,
"Jangan bergurau! Aku bertanya ke-padamu."
Renjana Pendekar 13 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Sepasang Garuda Putih 6
"Mengapa aku?" bentak Malangyada.
"Hai!" seru Randukintir heran. "Bukankah engkau yang berpura-pura main kapak di depan warung Citrasoma" Lantas Citrasoma pura-pura menjadi orang berjasa yang menunjukkan jalan.
Di tengah jalan, Wirapati bertemu dengan Panji Pengalasan yang pandai bermain priyayi. Saudara kecil! Itu dia Panji Pengalasan yang dahulu berpura-pura dilukai musuh. Sikapnya menarik dan menawan hati, sehingga gurumu bisa terkecoh. Hihooo... Gurumu lantas bertemu dengan Baruna yang menguap di belakangmu itu. Perannya dahulu berada di atas jembatan. Setelah luput dari pengamatannya, gurumu bertemu dengan aku. Hm, sungguh hebat! Gurumu bisa membebaskan
diri dari sabetan pancingku. Sayang! Sayang! Akhirnya dia tak bisa lolos dari kepungan kami.
Yah... keadaan gurumu seperti keadaanmu sekarang ini. Meskipun andaikata gurumu berkulit tembaga, bertulang besi dan berotot kawat, masakan bisa menghadapi kami dengan berbareng.
Kemudian... hai saudara kecil! Sebelum gurumu mati, Malangyuda inilah yang meremukkan tulang belulangnya! Saudara kecil! Lebih baik cobalah merampas obat pemunahnya. Siapa tahu, engkau bisa pulang ke gunung dengan selamat!"
Mendengar keterangan Randukintir yang cukup jelas, mendidihlah darah Sangaji. Memang
itulah yang dikehendaki Randukintir. Apabila seseorang sudah kena dipengaruhi rasa dendamnya secara berlebih-lebihan, cara berkelahinya akan cepat menjadi kalut.
Untunglah, pembawaan Sangaji tidaklah seperti belirang kena bara api. Dalam kegusarannya masih bisa ia mengurai diri. Mendadak saja ia bisa berpikir, waktu menyergap guru, mereka main bersembunyi, licik dan licin. Mengapa mendadak kini berlaku sebagai laku seorang ksatria?"
Dengan penuh selidik ia melemparkan pandang kepada Malangyuda. Teringatlah akan
kekejamannya ia benci bukan kepalang. Waktu itu, Malangyuda memperlihatkan senyum licik dan merendahkan. Begitu kena pandang, lantas saja berkata mengguruh.
"Kau ingin menuntut balas" Balaslah aku! Caraku dahulu menjatuhkan gurumu, memang licik.
Sekarang menghadapi engkau masakan perlu bermain sandiwara" Pusaka Bende Mataram dan
keris Kyai Tunggulmanik kini berada di pihakku. Kalau mampu ambillah kembali. Kalau tidak, dengan pukulanku akan kupaksa engkau menyerahkan secara laki-laki."
"Bagus! Dengan begitu berarti syah!" Randukintir menguatkan dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau bisa melaporkan hal itu kepada gurumu di dalam kubur. Dengan begitu, tak usah kau jadi setan untuk menguber-uber kami.
"Hm, setan?" potong Malangyuda. "Jadi setanpun, masakan aku takut?"
Sehabis berkata demikian, Malangyuda maju selangkah. Sangaji mengikuti geraknya. Kemudian berkata, "Mengingat usia kalian, mestinya aku harus memanggilmu paman. Kalian telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meremukkan tulang belulang guruku. Karena itu, aku wajib menuntut dendamnya. Berikan obat pemunahnya! Tentang kedua pusaka itu, tak usah dibicarakan lagi."
"Kau takut?" Malangyuda tertawa mengejek.
"Seperti engkau, akupun seorang laki-laki. Tapi guruku selalu memberi ajaran padaku, manakala aku lagi menghadapi sesuatu perkara yang menyangkut kesejahteraan seseorang, aku harus berani mengkesampingkan kepentingan pribadi."
"Hahaha... Randukintir! Bocah ingusan ini pandai berkotbah juga," teriak Malangyuda.
Kemudian membentak, "Baik obat pemunah maupun kedua pusaka itu tidak akan kuberikan kepadamu. Kau mau apa?"
"... kalau begitu, terpaksa aku melayani kehendakmu," bentak Sangaji dengan gusar.
"... bagus! Gurumu, akulah yang meremukkan tulang-belulangnya. Sekarang aku akan
membiarkan engkau memukul dadaku sampai tiga kali. Nah, pukullah!"
Malangyuda mengira, Sangaji adalah makanan empuk yang bisa dipermainkan sekehendak
hatinya seperti bola. Kalau gurunya bisa diruntuhkan dengan gampang, menghadapi muridnya tidaklah perlu menguras tenaga. Dalam hal ini, meskipun ia licin sebagai belut ternyata masih luput perhitungannya. Sangaji meskipun murid Wirapati menggenggam ilmu ajaran Jaga
Saradenta, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi. Maka begitu mendengar tantangan, terus saja Sangaji mengerahkan ilmu sakti Kumayan Jati.
"Bagus! Terimalah pukulan yang pertama!" teriaknya garang.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah ilmu sembarangan. Dalam jarak jauh,
tenaga pukulannya bisa meruntuhkan sebatang pohon yang tegak berdiri. Tenaga Sangaji
belumlah sekuat tenaga Gagak Seta. Tetapi waktu itu ia berada dalam keadaan marah, dendam dan benci.
Seketika itu juga, getah sakti Dewadaru yang mengeram dalam tubuhnya bergolak hebat.
Tubuh Sangaji tergoncang-goncang. Terus ia meliukkan punggung dan melepaskan pukulan.
Kesudahannya hebat bukan kepalang.
Malangyuda yang berperawakan tinggi besar, terpental lima belas langkah dan memekik
kesakitan. Begitu jatuh bergedu-brakan di atas tanah lantas saja melontakkan darah segar.
Mereka semua terkejut sampai memekik. Mimpipun tidak, bahwa tenaga Sangaji bisa melebihi gurunya. Lantas saja mereka bergerak mengepung dan tak berani lagi merendahkan lawan.
"Ih! Kalau begitu, benarlah laporan Suma dan Wira," kata Citrasoma keruh.
Sangaji tak mengenal siapa itu Suma dan Wira. Mendadak saja teringatlah dia kepada empat prajurit penunggang kuda yang menganiaya seorang perempuan. Mengingat kelicikan dan
kelicinan mereka, pastilah keempat prajurit tadi adalah sekomplotan.
Selagi ia sibuk menebak-nebak dua nama yang disebutkan Citrasoma, di luar gelanggang
jumlah mereka bertambah empat orang lagi. Ternyata mereka adalah empat prajurit penunggang kuda tadi. Melihat tergelimpangnya Malangyuda, mereka berteriak mengingatkan. "Awas! Jangan semberono!"
Sangaji menoleh dan dengan gusar ia mere-nungi. Dalam pada itu, si mulut jahil Randukintir terdengar tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Saudara kecil jangan kepalang tanggung!
Tadi dia menantang tiga pukulan bebas tanpa pajak. Hayo pukul lagi! Biarlah tahu rasa, betapa luas dunia ini..."
Malangyuda nampak tertatih-tatih bangun. Diam-diam ia menyesali kesombongan diri. Tadi
sama sekali ia tak bersedia. Tapi kini setelah merasakan hebat gempuran Sangaji tanpa malu-malu lagi terus menghunus senjata kapaknya.
"Hai! Kau curang!" teriak Randukintir.
Randukintir, Malangyuda, Citrasoma, Panji Pengalasan, Baruna dan keempat pembantunya,
sesungguhnya jago-jago yang mengutamakam kehormatan diri. Meskipun sekomplotan, tapi
dalam hati masing-masing mengharapkan keruntuhan lawan. Dengan begitu yang mempunyai hak mengangkangi kedua pusaka Bende Mataram jadi berkurang. Itulah sebabnya, walaupun terkejut sesungguhnya diam-diam mereka bergirang hati melihat Malangyuda sampai memuntahkan darah segar.
"Randukintir! Tunggu barang sebentar! Kalau aku sudah berhasil membereskan bocah ini, mengirimkan engkau ke neraka belumlah kasep," bentak Malangyuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kentut! Kentut! Kau curang!" damprat Randukintir. Kemudian kepada Sangaji, "Saudara kecil! Hantam terus! Jangan memberi waktu bernapas!"
Sangaji tahu, betapapun juga mereka adalah sekawan dan sepaham. Saat itu sadarlah dia,
bahwa ia lagi dikepung sembilan orang sekaligus. Kalau satu demi satu, rasanya ia masih sanggup mengalahkan. Tetapi apabila sekonyong-konyong maju berbareng, inilah bahaya.
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat merangsak. Malangyuda menyongsong
dengan senjata kapaknya. Tenaga jasmaninya sudah berkurang, narnun ia masih sanggup
memutar kapaknya. Dengan me-ngaung-ngaung di udara, kapaknya terus membabat pinggang.
Sangaji terkejut. Untung, dia tadi telah menyaksikan kehebatan senjata lawan tatkala sedang mengadu kepandaian melawan Randukintir. Pertunjukan tadi, barangkali dimaksudkan untuk
mengecilkan hati Sangaji. Tapi kini mendadak berubah memusuhi diri. Karena dengan gesit, Sangaji dapat mengelakkan dan melawan dengan pukulan-pukulan ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
Seperti diketahui, ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi pernah mengejutkan pendekar-pen-dekar sakti seperti Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Bisa dibayangkan betapa hebat dan kokoh.
Kecuali itu, untuk beberapa kali Sangaji pernah mengujinya. Mula-mula terhadap Warok
Kudawanengpati dan Watu Gunung sahabat Lumbung Amisena. Kemudian kepada Setan Kobar
dan beberapa prajurit Pangeran Bumi Gede. Setelah itu diperlihatkan di hadapan tokoh-tokoh sakti Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Mereka semua terkejut dan heran. Karena itu, menghadapi perlawanan Malangyuda yang dahsyat, sama sekali hatinya tak gentar. Dengan cepat jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi telah melibatnya. Sekonyong-konyong pukulan ilmu sakti
Kumayan Jati terlepas lagi. Dan untuk kedua kalinya Malangyuda terpental jungkir balik. Senjata kapaknya terbang di udara dan tepat menjatuhi punggungnya.
Menyaksikan betapa gampang Malangyuda dijatuhkan, Randukintir, Panji Pengalasan,
Citrasoma dan Baruna benar-benar terkejut. Mereka kini yakin benar, bahwa Sangaji tak boleh dianggap lawan remeh lagi. Maka terus saja mereka menyerang berbareng. Di sinilah terbukti, betapa licik dan licin mereka. Sama sekali mereka tak malu sampai mengeroyok seorang pemuda yang usianya jauh berada di bawahnya.
"Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya!" teriak Panji Pengalasan dan Citrasoma dengan berbareng.
"Bagus! Majulah semua!" tantang Sangaji.
Kelima orang itu mempunyai senjata andalan masing-masing. Randukintir bersenjata pancing, Panji Pengalasan sebuah pacul, Citrasoma sebilah keris, Malangyuda sebatang kapak dan senjata Baruna berbentuk ular-ularan seperti cis. Masing-masing mempunyai caranya sendiri. Pada saat itu, Malangyuda tak dapat bergerak lagi. Meskipun demikian keempat kawannya merupakan lawan yang luar biasa tangguh.
Sangaji sadar, bahwa ia harus memukul mereka dengan sekaligus. Kalau lalai sedikit saja akan besar bahayanya. Sebab betapapun juga, ia akan kalah napas apabila mereka maju secara
bergiliran. Melihat gerak-gerik mereka, Baruna adalah lawan yang terlemah. Waktu itu Baruna berada di belakangnya. Maka dengan sebat ia menyerang Citrasoma yang kaget setengah mati.
Buru-buru Citrasoma menghunus kerisnya, kemudian menusuk telapak tangan. Sangaji
menduga, lawan itu pasti tangguh. Senjatanya termasuk senjata tusuk yang tajam. Biasanya orang menusuk ke lambung atau dada. Tapi dia hanya menusuk telapak tangan. Teringatlah dia ajaran gurunya, bahwa seseorang yang tangguh tak begitu memperhatikan sasaran tusukannya.
Karena dia hanya mengutamakan tikaman gertakan, untuk kemudian memukul dengan tangan ke
arah bidiknya yang berbahaya.
Ajaran gurunya ternyata tepat. Dengan tiba-tiba Citrasoma menyabet pinggang. Terus saja
Sangaji melibat dengan jurus ciptaan Kyai Kesambi. Setelah itu sekonyong-konyong melesat ke belakang dan menghantam Baruna dengan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Inilah suatu serangan di luar dugaan Baruna. Dan begitu kena, dia terjungkal miring dan jatuh tertengkurap mencium bumi.
Pada saat itu pancing Randukintir dan pacul Panji Pengalasan turun dengan berbareng. Sudah barang tentu Sangaji terancam hebat. Sebat luar biasa ia menyambar tubuh Baruna dan
dilemparkan untuk menyongsong senjata mereka. Waktu tangan Citrasoma sedang membabat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu melihat sambaran tubuh Baruna, tak sempat lagi ia menarik. Mau tak mau ia harus
memapaki. Dengan sikunya ia mendorong dan berbareng melompat ke samping. Dan yang untuk
kedua kalinya, Baruna jatuh bergedebrukan ke tanah. Dengan merangkak-rangkak, ia keluar
gelanggang. Kemudian duduk bersila mengatur napas.
Terpaksa Baruna tak dapat berkelahi lagi. Dengan memaksa diri ia menguasai peredaran
darahnya. Namun tak urung, darah segar terlontar juga dari mulutnya.
Randukintir, Citrasoma dan Panji Pengalasan bertiga, diam-diam bergirang hati. Dengan ter-lukanya Malangyuda dan Baruna berarti kurangnya saingan mereka. Kemudian dengan hati-hati mereka mendesak Sangaji yang ternyata tangguh melebihi dugaan semula.
Sambil berkelahi Sangaji memperhatikan gerak-gerik Citrasoma yang serba rahasia. Orang itu kadang-kadang nampak tersenyum licik dan sekali-kali mengerling kepada Panji Pengalasan yang berwajah halus seperti priyayi. Senjata Panji Pengalasan yang berben-tuk sebatang pacul, aneh pula perubahannya: Kadang kala membongkar tanah, kemudian mementalkan. Setelah berputar
mengawang ke udara dan turun dengan dahsyat mengancam kepala.
Selama hidupnya, Sangaji belum pernah menghadapi senjata semacam itu. Namun demikian
tak berani ia terlalu mencurahkan perhatiannya kepadanya, karena senyum licik Citrasoma sangat mencurigakan.
Si mulut jahil Randukintir, sebenarnya tak boleh dianggap remeh. Kecuali bersenjata pancing, ia berkelahi di atas egrapgnya. Sepak terjangnya gesit di luar dugaan. Tetapi terhadap orang-orang ini, Sangaji memperoleh kesan baik. Suaranya yang keras dan tajam, mengandung kejujuran.
Entah memang demikian pula pengucapan hatinya, hanya setan dan iblis yang tahu.
Selagi mereka bertempur, empat penung-gang kuda yang berada di luar gelanggang mulai
bergerak. Yang seorang tadi kena hajar Sangaji tatkala menganiaya seorang perem-puan. Tetapi tiga orang lainnya masih segar bugar. Mereka bertiga merasa bukan tan-dingan Sangaji. Karena itu, terus saja mempersiapkan senjata panahnya. Kemudian dengan berbareng melepaskan anak panah yang segera bersuing di udara.
Sangaji terkejut mendengar bunyi desing itu. Menghadapi tiga lawan tangguh itu, ia bersikap hati-hati. Meskipun belum tentu kalah, tetapi menangpun bukanlah gampang. Hal itu bisa
dimengerti. Gurunya sendiri, Wirapati tak mampu menandingi dengan berbareng. Mendadak saja, tiga panah terus menyambar. Terkejut ia mengibaskan tangan dan buru-buru mengelak ke
samping. Dengan demikian garis pertahanannya berubah.
Randukintir, Citrasoma dan Panji Pengalasan adalah tiga pendekar yang berpengalaman. Begitu melihat lowongan, terus saja menyerang dengan berbareng.
Menghadapi bahaya, Sangaji tak menjadi gugup. Untuk menahan serangan mereka, ter-paksa
ia menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti diketahui ilmu sakti tersebut, bisa memukul lawan dari jauh. Sayang, lawannya sedang bergerak sehingga hasilnya tak begitu memuaskan.
Meskipun demikian, daya tekanannya bisa pula menahan rangsakan mereka.
Dalam perbandingan, ilmu Sangaji tak usah takut kalah dibandingkan dengan mereka. Pada
waktu itu, gurunya sendiri belum pasti bisa mengalahkan. Tetapi karena ia dikerubut tiga orang dan diganggu empat orang dari luar gelanggang, ia jadi kerepotan juga. Kecuali itu, ia kalah dalam hal pengalaman dan masa meyakinkan.
Randukintir segera melecutkan senjata pancing yang mendengung di angkasa. Panji
Pengalasan dan Citrasoma dengan geregetan mulai merangsak hebat. Sekalipun demikian, mereka tak dapat berbuat banyak oleh garis pertahanan ilmu sakti Kumayan Jati yang rapat bukan main.
Bahkan sekali-kali Sangaji mencampur dengan jurus-jurus ilmu ajaran Jaga Saradenta, Wirapati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Kedudukannya bertam-bah lama bertambah kuat dan
kokoh. Tak lama kemudian rangsakan senjata Randukintir makin terasa berbahaya. Panji Pengalasan dan Citrasoma tak mau keting-galan pula. Tekanan mereka, mau tak mau membuat hati Sangaji gelisah.
Kalau terus menerus begini, bagaimana aku bisa membalas dendam guru. Rupanya, aku tak
sanggup menandingi, pikir Sangaji resah. Benar-benar aku ini seorang laki-laki tiada gunanya hidup lama lagi. Kalau sampai keempat pembantunya terjun pula ke gelanggang... hm... entah bagaimana nanti akibatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi ia bergelisah, mendadak saja Citra-soma memekik aneh. Kedua temannya terus saja
melesat. Sangaji terkejut dan kecurigaannya menusuk kepala. Tatkala itu, ia melihat Citrasoma tegak berdiri kaku bagai mayat. Tubuhnya kemudian melompat tinggi, lalu turun lagi dengan mengibaskan tangan. Inilah suatu serangan yang aneh dan mencurigakan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Sangaji terus menjejak tanah dan mundur empat langkah. Pada saat itu, penciumannya mencium bau harum dupa. Pandang matanya jadi kabur. Apabila ia
memaksakan diri menjenakkan mata, sekilas pandang terlihatlah gumpalan asap hitam turun
sebagai tirai. "Celaka!" ia kaget. Tahulah dia, bahwa lawannya sedang menyebar racun bubuk berupa asap.
Segera ia menahan pernapasannya. Kemudian melompat mendesak dengan melontarkan pukulan
ilmu sakti Kumayan Jati. Citrasoma heran. Terang-terang Sangaji telah menghisap racun, namun belum roboh juga.
Bahkan bisa melontarkan pukulan dah-syat tanpa terganggu.
Biasanya sekalipun harimau pasti roboh begitu mencium racunnya. Kenapa dia masih begini
gesit dan segar bugar" pikirnya menebak-nebak.
Citrasoma tak tahu, bahwa dalam diri pemuda itu mengeram getah sakti Dewadaru yang dapat menawarkan segala racun yang berada di muka bumi ini. Selain itu, madu tabuhan Tunjungbiru merupakan obat pemunah tiada bandingnya. Karena itu Citrasoma yang mengandalkan senjata
uap beracunnya gagal dalam hal ini. Hatinya mendongkol bukan kepalang.
Dengan kegusaran yang menyala-nyala dalam dadanya, ia melompat sambil menyerang. Saat
itu, Sangaji melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati untuk yang kedua kalinya. Gugup
Citrasoma melesat ke samping. Walaupun demikian, tak urUng ia masih keserempet juga.
Tubuhnya tergoncang hebat dan hampir saja terpental jungkir balik mencium tanah.
"Awas! Bocah ini benar-benar berbahaya!" serunya terkejut.
Dengan cepat ia menyebarkan racun asapnya lagi. Randukintir dan Panji Pengalasan yang
mengenal hebatnya racun Citrasoma dengan sebat melompat ke samping. Mereka bebas dari asap beracun, namun dadanya seperti mau muntah. Itulah sebabnya, tak berani mereka mendekat lagi.
Citrasoma sendiri tak takut menghadapi racunnya sendiri, karena sebelumnya telah menelan obat pemurahnya.
Sangaji tak sudi menunggu tibanya serangan itu. Cepat ia menggeser ke samping dan
melepaskan pukulan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi dengan tenaga lontaran pergolakan getah Dewadaru.
Melihat bahaya itu, gugup Citrasoma mundur berjungkir balik. Dan begitu desir angin pukulan Sangaji lewat di antaranya, Panji Pengalasan mendesak maju. Senjata paculnya terus menyambar dahsyat.
Sangaji terkejut. Semenjak tadi sadarlah dia, bahwa senjata Panji Pengalasan tak boleh
diremehkan. Cepat ia mendahului menyerang dada. Oleh serangan itu, Panji Pengalasan menarik tangan kirinya melindungi dada. Mendadak saja, Sangaji membatalkan serang-an dan terus
menyabet lambung. Sudah barang tentu Panji Pengalasan kaget sampai memekik. Tahu-tahu,
tubuhnya terpental dan menggelinding seperti bola.
Dengan jatuhnya dua lawan, Sangaji bisa bernapas agak lega. Mendadak saja di luar dugaan, keempat pembantu mereka yang berada di luar gelanggang melepaskan panah dengan berbareng.
Dan batang panah lang-sung mengancam padanya, tetapi yang lain-nya menyerang si Willem.
Melihat bersuingnya dua batang panah mengancam Willem, Sangaji terkejut. Gugup ia
mengibaskan tangan menangkis panah yang menusuk padanya. Kemudian dengan gugup ia
melontarkan pukulan dari jauh. Jarak antara dia dan Willem kurang lebih dua puluh langkah.
Meskipun tenaga lontarannya cukup kuat namun belum mampu menyapu bersih.
Dengan hati mencelos ia melihat menyambarnya sebatang panah yang agak mencong kena
pukulannya namun masih saja membidik sasarannya.
"Jahanam! Mengapa memanah kuda?" bentak Sangaji dengan gemetar. Terus saja ia bersuit tinggi. Mendengar suitannya, Willem bergerak menggeser badan. Dengan begitu luputlah ia dari ancaman panah. Namun masih saja menyerempet ekornya, sehingga ia kaget berjingkrakan.
Menyaksikan betapa gugupnya Sangaji melindungi kudanya, mereka seperti tergugah
penglihatannya. Terus saja dengan licik me-nyerang Willem.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bunuh dahulu kudanya!" Mereka saling memberi aba-aba.
Sangaji gusar bukan kepalang mendengar teriakan mereka. Terus saja ia melompat melindungi Willem. Begitu melihat Willem berjingkrakan, dengan gagah ia berkata. "Willem! Jangan takut!"
Waktu itu, Malangyuda dan Baruna sudah dapat bergerak kembali. Sekalipun gerak-geriknya
belum leluasa, namun dengan datangnya mereka Sangaji jadi kerepotan. Apa lagi mereka
berkelahi seperti anjing gila oleh dendam dan rasa benci yang meluap-luap.
Randukintir, Panji Pengalasan dan Citrasoma melibatnya dengan berbareng sehingga ia tak
dapat melindungi Willem. Sedang empat orang yang bersenjata panah bergerak menyerang
WiHem. Betapa gugup dan gelisah hati Sangaji, tak dapat dilukiskan lagi. Ia bertempur dengan berlari-larian. Perhatiannya lebih ditumpahkan kepada keselamatan si Willem. Tetapi apabila ia hendak mendekati, kelima lawannya terus saja melibatnya. Dengan begitu sia-sialah usahanya hendak membebaskan si Willem dari ancaman mereka.
Hm... kalau saja aku bisa melepaskan tali ikatannya, pikirnya. Namun maksud itu tak gampang-gampang bisa dilaksanakan.
Mendadak saja empat batang panah nampak menyambar. Gugup ia menjejak tanah dan tanpa
berpikir panjang lagi, terus saja menubruknya. Hebat kesudahannya. Keempat batang panah itu kena ditangkisnya mencong. Sebaliknya dialah yang menjadi korban. Dalam saat kedudukannya belum kokoh, kelima lawannya menyerang dengan berbareng. Ia memekik kaget. Maklumlah, baru saja ia melompat dan belum lagi mendarat di atas tanah dengan baik. Maka dengan terpaksa ia menangkis sebisa-bisanya. Keras melawan keras.
Mereka berlima bukanlah orang-orang biasa. Mereka semua adalah kawanan pen-dekar yang
memiliki tenaga sakti. Perban-dingan tenaga Sangaji waktu itu, barangkali lagi satu melawan dua.
Karena itu, begitu kena benturan lima tenaga dengan berbareng, seketika itu juga tergoncanglah tubuhnya. Apalagi kedudukannya, belum kokoh. Tak ampun lagi, ia terpental dua langkah dan memuntahkan darah segar.
Malangyuda girang melihat jatuhnya lawan. Dengan memutar kapak ia berniat hendak
menghabisi nyawa. Tetapi tatkala kapaknya hampir membabat tubuh, mendadak saja pancing
Randukintir melibatnya dan memukul balik.
"Hai bangsat! Kenapa?" bentaknya.
"Kentutmu!" maki Randukintir dengan melototkan mata.
"Masakan kau yang akan menjadi pemilik kedua pusaka Bende Mataram" Mana bisa?"
Malangyuda heran bukan main. Sekonyong-konyong sadarlah dia. Tahulah aku kini, pikirnya.
Jikalau anak ini mati di tangannya, bukankah dia akan mempunyai suara besar dalam penentuan membagi hasil"
Oleh pertimbangan itu, ia menjadi kalap. Sekarang ia tak lagi mengancam Sangaji, tetapi
berbalik memukul Randukintir. Mereka terus saja saling menggebrak. Panji Peng-alasan yang bisa berpikir segera menegur. "Hai kenapa kau saling hantam?"
Baik Malangyuda maupun Randukintir tak menjawab. Tetapi seperti berjanji mereka ber-gerak melebat. Mau tak mau Panji Pengalasan terpaksa menangkis. Citrasoma yang cerdik tak sudi melibatkan diri. Dengan tersenyum licik ia maju mendekati Sangaji bersama Baruna.
Pada waktu itu, darah Sangaji masih saja menyembur. Napasnya mencekik leher. Walaupun
demikian, ia masih sadar meng-hadapi lawan. Dengan memaksa diri ia berdiri tegak dan
menghalang melindungi Willem.
Keempat penunggang kuda melepaskan anak panahnya lagi. Sangaji jadi putus asa. Pikirnya, habislah sudah usahaku. Benar-benar aku ini seseorang tiada guna. Dengan mengangkat tangan ia mengibaskan lengan. Dua panah kena disampoknya jatuh. Dua panah lainya menyerempet
kedua pundaknya hampir berbareng. Darahnya lantas saja mengucur membasahi dada.
"Serahkan saja nyawamu!" Kata Citrasoma dengan tersenyum dengki. Meskipun engkau berotot kawat bertulang besi masakan bisa melawan tenaga gabungan kami."
Ucapan Citrasoma itu, meskipun menya-kitkan hati sesungguhnya benar. Diam-diam Sangaji
mengeluh dalam hati. Pikirnya, keem-pat penunggang kuda itu andaikata tidak mengganggu
masakan aku tak mampu melawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat akan gurunya yang kena siksa demikian rupa, menggigillah seluruh badan-nya. Apakah ia harus menyerah begitu saja menerima nasib" Tidak! Dan sekonyong-konyong teringatlah dia, bahwa dalam kantongnya tersimpan segenggam biji sawo, dari Gagak Seta. Dahulu ia pernah
memperoleh ilmu menimpuk biji sawo dari Gagak Seta. Selama itu, belum pernah mempergunakan atau mengingat-ingatnya, ia menganggap senjata itu kurang perwira. Gurunya dahulu, Wirapati berpaham demikian juga. Tetapi kini, ia lagi menghadapi soal mati atau hidup. Keempat
penunggang kuda itu jadi penasaran karena panahnya kena disemplok, waktu itu mulai memasang anak panahnya lagi.
Mereka semua tergolong manusia setengah biadab. Tidak hanya berdaya wajar, tetapi
menggembol senjata racun pula. Sebaliknya, biji sawo ini tiada berbisa. Apakah aku tak boleh melawan senjata mereka dengan senjata timpukan" Sangaji berimbang-imbang. Tiba-tiba ia
mendengar salah seorang penunggang kuda mulai melepaskan panah. Citrasoma yang tersenyum licik, membarengi menyerang pula. Saat itu benar-benar ia merasa terdesak.
"Baiklah! Demi membalas dendam, biarlah aku menggunakan senjata bidik ini, Guru! Izinkan aku!" Sangaji mengambil keputusan.
Dengan sekali melompat, ia memukul Citrasoma dengan sisa tenaganya. Meskipun tenaga
tekanannya jauh berkurang, namun mengingat pengalaman, Citrasoma tak berani menyongsong.
Orang itu mengelak ke sam-ping. Dan waktu itu, Sangaji terus menyampok anak panah yang
mendesing membidik si Willem. Berbareng dengan itu, ia melepaskan biji-biji sawo enam kali sekaligus. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia menggunakan senjata ajaran Gagak Seta. Seperti diketahui, ajaran membidikkan biji sawo itu tidak hanya mengutamakan lontaran tenaga jasmani belaka, tapi harus pula mengingat tata pernapasan. Dalam hal tata napas, Sangaji sudah mahir.
Itulah sebabnya, sama sekali tak menemui kesulitan. Apalagi, ia sudah boleh dikatakan paham akan gaya ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mengutamakan tekanan tata napas dan jalan darah yang berbareng.
Keempat penunggang kuda itu sama sekali tak sadar akan datangnya maut. Kecuali tak
menduga sama sekali, sambaran biji sawo sama sekali tak terlihat dalam malam bulan remang-remang. Tahu-tahu dada mereka kena bidik dan tembus seperti tertusuk. Mereka menjerit
berbareng dan jatuh bergedebukan dari atas kudanya.
Jerit mereka, mengagetkan Randukintir, Panji Pengalasan dan Malangyuda yang sedang saling bergebrak. Terus saja mereka berhenti berkelahi dan mengarahkan pandangnya kepada keempat pembantunya. Mereka heran melihat Sangaji masih bisa bergerak, bahkan mencoba melawan
serangan Citrasoma. "Mari kita singkirkan dahulu bocah itu. Baru kita menentukan sikap!" ajak Panji Pengalasan dengan bersungut-sungut.
Sangaji sendiri tak mengira, akan memper-oleh hasil begitu baik dan gampang. Hatinya yang mulai menciut kini timbul harapannya. Pikirnya cepat, tenagaku sudah berkurang. Biarlah mereka kulawan dengan timpukan biji sawo. Bagaimana kesudahannya masakan harus kupikirkan" Dari pada menyerah, biarlah aku berjuang sampai saat ajalku.
Benar juga. Terus saja ia melepaskan senjata bidiknya sambil mendekati si Willem.
"Awas!" teriak Citrasoma.
Mereka berlima bukan seperti keempat pembantunya. Kecuali ilmu kepandaiannya jauh di atas mereka, sesungguhnya sudah bisa menggunakan senjata gerak cepat. Karena itu, begitu
mendengar peringatan Citrasoma lantas saja melesat ke samping sambil menyerang.
Mau tak mau Sangaji, terdesak lagi dalam kerepotan. Teringatlah akan kudanya, cepat ia
melompat sambil mengibaskan tangan memangkas tali pengikat. Dan sekali kena pemangkas
tangannya, si Willem terbebas dari hukuman. Kuda itu lantas saja berjingkrak melompat ke udara.
"Serang!" teriak Malangyuda.
Randukintir terus saja menyabetkan senjata pancingnya berbareng dengan senjata pacul Panji Pengalasan. Malangyuda sendiri tak ketinggalan. Sedangkan Citrasoma dan Baruna mengepung dari belakang punggung menghadapi jalan ke luar.
Dengan menggerung Sangaji memapaki senjata mereka sambil menyabitkan biji sawo.
Beberapa saat lamanya dia bisa bertahan. Tapi lambat laun tenaganya mulai habis. Darahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah agak banyak membasahi tubuhnya. Dadanya terasa sesak dan matanya mulai berkunang-
kunang pula. Tak kusangka bahwa akhirnya aku mati di sini, keluhnya dalam hati. Rupanya nasibku samalah halnya dengan Ayah dan Guru.
Tapi watak Sangaji tak gampang-gampang menyerah. Sewaktu berumur 14 tahun, ia bertahan
mati-matian terhadap cemeti Mayor de Groote. Ia pernah pula membabi buta melawan empat
pemuda Belanda yang jauh lebih perkasa dari padanya. Meskipun akhir-nya kemudian ia
dilemparkan ke dalam parit, namum dalam hatinya emoh menyerah. Begitu juga kali ini. Terang sekali tenaganya makin lama makin habis tak ubah seperti sebuah pelita nyaris kehabisan minyak.
Namun dengan mendadak timbulah ke-nekatannya hendak mati berbareng. Oleh keputusan itu,
segera ia menarik serangannya. Kemudian dengan segala kekerasan hati, mengumpulkan sisa
tenaganya. "Biariah aku melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati dengan jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Sebelum menutup matanya, inginlah aku mengetahui apakah aku sudah berhasil
menggabungkan kedua ilmu sakti itu."
Tatkala lagi memepelajari rahasia tata tenaga ilmu sakti Kumayan Jati, Gagak Seta mengetahui bahwa dalam diri Sangaji mempunyai getah ajaib Dewadaru. Kecuali itu, Sangaji mempunyai ilmu Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua ilmu itu bertentangan sifatnya. Masing-masing bersandar pada tenaga pokok Dewadaru. Menurut Gagak Seta, apabila Sangaji berhasil melebur dua ilmu sakti tersebut ke dalam getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap, siapa saja takkan tahan menerima pukulannya. Sebaliknya, sebelum berhasil ia dilarang menggunakan dua ilmu gabungan. Bahayanya akan memakan diri sendiri. Dahulu dia pernah jatuh pingsan sewaktu
mencoba menggunakan dua ilmu gabungan tersebut.
Kini, Sangaji hendak menggunakan kedua ilmu sakti sekaligus. Yakni, ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mempunyai tata napas dan tata tenaga sendiri. Sudah barang tentu, bahayanya sangat besar. Tetapi pada saat itu, ia tak memikirkan lagi soal hidup dan mati. Tekadnya hanya hendak mati berbareng dengan kelima musuhnya sebagai pembalas
dendam gunanya. Demikianlah, maka pada saat itu, getah sakti Dewadaru mulai menggoncang seluruh tubuhnya.
Ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi saling berebut mencari sandaran tenaga. Seperti diketahui, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi adalah dua orang pendekar yang mempunyai kedudukan masing-masing. Dalam suatu perlombaan adu ilmu kepandaian, mereka
merupakan saingan berat. Dengan sendirinya, ilmu masing-masing jauh berbeda. Itulah sebabnya, kedua ilmu tersebut lantas saja saling bertempur dengan sengit. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ilmu Bayu Sejati yang bersifat mempertahankan diri terus saja timbul karena merasa kena serang.
Dengan demikian dalam diri Sangaji terjadilah suatu medan laga yang dahsyat bukan main.
Randukintir, Malangyuda, Panji Pengalasan, Citrasoma dan Baruna sudah barang tentu tak
mengetahui perubahan itu. Mereka hanya melihat, betapa tubuh Sangaji menggigil sampai
tergoncang-goncang. Napasnya tersengal-sengal dan memenuhi kesulitan mempertahankan diri.
Diam-diam mereka bergirang hati. Terus saja mereka menubruk dengan berbareng dan
melontarkan pukulan menentukan.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, mata Sangaji sudah berkunang-kunang. Apa yang terjadi di sekitar dirinya hanya nampak berkelebat seperti bayangan. Mendadak ia mendengar kesiur angin. Tanpa berpikir lagi, ia memapaki dan melontarkan suatu pukulan ilmu gabungan dengan sekaligus. Kesudahannya hebat bukan main. Sangaji terpental sepuluh langkah dan memuntahkan darah segar Iagi. Luka
dalamnya bertambah parah. Kemudian jatuh pingsan.
Tetapi kelima lawannya tiada bebas dari hantamannya yang kuat luar biasa. Mereka mundur
terhuyung-huyung dengan mata berkunang-kunang. Dalam hati, mereka terkejut. Sama sekali tak terduga, bahwa Sangaji nampak luka parah masih mempunyai sisa tenaga begitu dahsyat. Dan belum lagi keheranannya lenyap mendadak saja punggung mereka terasa ces dingin kemudian
berubah panas. Randukintir terkejut setengah mati. Cepat ia memutar hendak mendamprat Malangyuda.
Pikirnya, keji benar kau Malangyuda! Mengapa kau memukul aku dengan diam-diam selagi tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjaga-jaga..." Tapi ia batal sendiri, karena melihat Malangyuda tiba-tiba roboh ke tanah tak berkutik lagi.
Selagi seseorang yang mata pencariannya mengandalkan keperkasaan diri, sudah terlalu sering ia menghadapi bermacam mara bahaya dan ancaman, la tak menjadi gugup. Dengan mengerung
ia meloncat hendak melepaskan pukulan ke arah Panji Pengalasan. Tetapi orang itu nampak
bersempoyongan dan jatuh tengkurap pula. Dan di sana ia melihat Citrasoma dan Baruna sedang bertempur melawan seorang laki-laki brewck yang melayani dengan sekali-kali memperdengarkan suara tertawanya. Siapa lagi kalau bukan Bagas Wilatikta.
"Monyet! Iblis!" maki Randukintir. "Inilah caramu memukul orang dari belakang?"
Bagas Walatikta tak menjawab. Dia hanya mempergandakan bunyi tertawanya. Selang
beberapa saat lamanya, baru berkata, "Kau mau maju majulah!"
Randukintir mendongkol setinggi leher. Terus saja ia mengayunkan tangan. Mendadak saja,
tenaganya lenyap dan kemudian jatuh terhuyung-huyung bersama egrangnya. Kembali lagi Bagas Wilatikta tertawa melalui hidungnya. Tatkala itu Citrasoma sedang melontarkan pukulan bertubi-tubi dengan tangan dan kerisnya. Tapi begitu kena tangkis, ia memekik kesakitan.
"Monyet!" maki Randukintir dari jauh. Napasnya mulai tersengal-sengal. Suatu hawa dingin dan panas dengan berbareng merayapi seluruh urat nadinya. Tahulah dia, bahwa Bagas Walatikta tadi sudah menggunakan ilmu saktinya yang bernama Aji Gineng. Nama Aji Gineng diambil dari kisah Arjuna Wiwaha. Diceritakan, raja raksasa Nirwatakawaca setelah bertapa selama sepuluh tahun memperoleh aji tersebut dari Hyang Rendra. Kesaktian aji itu dapat menguras habis tenaga manusia yang kena pukulannya.
Randukintir sadar akan bahaya. Tak berani lagi ia mengumbar suara. Sebaliknya lalu mengatur napas dan mencoba melawan kesaktian Aji Gineng dengan ilmunya sendiri.
Dalam pada itu, Citrasoma yang kena pu-kulan Aji Gineng, terus saja menggigil kedinginan.
Sejenak kemudian, roboh tak berkutik tak sadarkan diri.
Pada saat itu Sangaji dalam keadaan setengah sadar. Tak mampu ia berdiri, bahkan mencoba berkutikpun tiada tenaga lagi. Karena itu, kedatangan Bagas Wilatikta sama sekali tak
diketahuinya. Panji Pengalasan yang jatuh tersungkur mencoba berkata, "Bagas Wilatikta! Jauh-jauh sudah kudengar maksudmu hendak mengangkangi kedua pusaka itu. Selama ini engkau
menggenderangkan diri sebagai laki-laki sejati. Mengapa menyerang dari belakang" Bukankah ini perbuatan manusia keji?"
"Hahaha..." potong Bagas Wilatikta. "Mengadu tenaga adalah binatang. Sebaliknya siapa yang bisa menggunakan akal itulah manusia. Dalam medan pertempuran, akal, siasat dan tipu muslihat adalah lumrah. Kalian dahulu menjebak Wirapati dengan akal pula. Kini, akupun menggunakan akal. Apakah celanya?"
Didebat demikian, Panji Pengalasan tak dapat berbicara lagi. Ia tahu, Bagas Wilatikta adalah manusia tangguh. Kecuali itu pandai menggunakan akal dan mengatur siasat. Bahwasanya dia kena terjebak, sudahlah semestinya.
"Kentut! Tiba-tiba Randukintir memaki. "Benar aku termasuk begundalmu, tapi aku tak ikut campur."
"E, hem! Apakah bedanya dengan perbuatanmu sekarang. Bukankah engkau kini ikut pula berkomplot menghadang murid Wirapati" Hm hm... mana bisa kalian luput dari pengawasanku"
Sekarang sudah nyata siapa yang kalah dan menang. Aku seorang diri sudah bisa menjatuhkan kalian dengan berbareng. Apakah perlu dibicarakan lagi?"
Suatu kesunyian terjadi. Mereka yang kena hantam Bagas Wilatikta sadar akan bahaya. Pintu maut terbuka lebar di hadapannya. Dalam keadaan tak bisa berkutik, sekali Bagas Wilatikta mengayunkan tangannya berarti mengirimkan nyawa mereka ke udara. Mereka semua kenal
sepak terjang dan perangai Wilatikta. Sekali bertindak tak kepalang tanggung.
Sangaji yang rebah setengah sadar, mendadak memperoleh tenaga baru. Hal itu disebabkan
oleh daya sakti getah Dewadaru. Tatkala tadi timbul suatu persaingan hebat antara ilmu Bayu Sejati "Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, getah sakti tersebut kena diombang-ambingkan. Setelah ketiga ilmu sakti tersebut lenyap, Dewadaru mulai menghisap tenaga
jasmaniah. Itulah sebabnya, Sangaji rebah tak dapat berkutik kehabisan tenaga. Kemudian suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hal yang membuat nyawanya tertolong karena ia jatuh pingsan. Dengan demikian tiada kegiatan tata jasmaninya. Dan begitu Dewadaru tak memperoleh perlawanan dengan sendirinya lantas
menusup kembali ke jalan darah. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia membangunkan peredaran darah dan sedikit demi sedikit menghimpun tenaga muminya. Sayang sekali, Sangaji dalam
keadaan luka parah, sehingga tenaga yang terhimpun merembes ke luar. Meskipun demikian,
dibandingkan dengan keadaan kelima lawannya pada saat itu, ia jauh lebih beruntung.
Tatkala menjenakkan mata, ia heran apa sebab kelima lawannya tiada menyerang lagi.
Sekonyong-konyong ia mendengar percakapan yang penghabisan itu yang disusul dengan suatu kesunyian. Ia menegakkan kepala dan melihat sesosok tubuh. Waktu itu bulan kian menjadi cerah, sehingga berewok Bagas Wilatikta samar-samar terlihat juga. Dan begitu ia mengenal siapa dia, hatinya tergetar.
"Hai Citrasoma! Malangyuda! Panji Pengalasan! Baruna dan Randukintir! Dengarkan, kalian sendiri yang menetapkan siapa yang berhak memiliki kedua pusaka Bende Mataram," kata Bagas Wilatikta. "Dan aku datang untuk menetapi perjanjian ini. Apakah kalian berpenasaran?"
Sangaji menebarkan penglihatannya. Dengan keheran-heranan, ia menyaksikan betapa kelima
lawannya tadi jatuh terkapar di atas tanah tanpa berkutik.
"Bangsat!" maki Malangyuda yang sudah bisa memperoleh sisa tenaganya. "Selagi kita bertempur, kau memukul dari belakang. Kalau kau seorang kesatria, marilah kita bertempur sampai mati di kemudian hari..."
"Ajalmu sudah di depan matamu, masih saja kau berlagak ksatria sejati?" bentak Bagas Wilatikta. Kemudian tertawa perlahan sambil berkata, "Kau sendirilah yang goblok. Siang aku sudah berada di sini, tapi telingamu begitu tuli."
Mendengar ucapan Bagas Wilatikta, Sangaji terkesiap. Maklumlah, semenjak memperoleh ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, panca indra bekerja sangat peka.
Walaupun demikian, masih juga belum bisa menangkap beradanya Bagus Wilatikta. Hal itu
membuktikan, bahwa Bagas Wilatikta memiliki ilmu sangat tinggi jauh di atasnya. Memperoleh pertimbangan demikian, diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Sekonyong-konyong Bagas Wilatikta berputar menghadap padanya.
"Kaupun telah sadar lagi. Napasmu mulai teratur. Tetapi sisa tenaga yang kau peroleh paling banyak tiada melebihi manusia lumrah."
Kembali Sangaji terkejut. Orang itu benar-benar hebat. Pantas kedua pamannya memuji
keperkasaannya, tatkala lagi bertempur mengadu tenaga.
"Kau bernama Sangaji bukan?" katanya meneruskan. Tadi kudengar engkau menyebutkan namamu sendiri. Kuperingatkan, jangan sekali-kali kau menyebutkan nama begitu gampang di tengah lapangan. Coba, andaikata dahulu aku tak mendengar ujarmu perkara kedua pusaka
Bende Mataram secara kebetulan tatkala engkau berjalan bersama guru dan pamanmu, masakan gurumu kena aniaya orang."
Ontuk ketiga kalinya, Sangaji terkejut lagi. Masih teringat segar dalam benaknya, bagai-mana ia kelepasan kata sewaktu menggam-barkan tentang kedua pusaka Bende Mataram yang diwariskan Wayan Suage kepadanya. Tatkala itu ia mendengar suara bergemeresek. Ternyata selain Titisari, masih terdapat manusia berewok itu dengan rekan-rekannya. Dan malam itu pamannya Bagus
Kempong beradu tenaga dengan Bagas Wilatikta sehingga luka parah. Kemudian seorang laki-laki berperawakan tinggi semampai datang menjenguk, sewaktu Bagus Kempong dan Wirapati
beristirahat di gardu Dusun Salatiyang. Teringat perawakan Randukintir, hatinya terkesiap.
"Hihihaaa..." Bagas Wilatikta tertawa melalui dada. Baiklah kuterangkan sebab musababnya gurumu kena aniaya. Kedua pusaka itu sudah sepuluh dua puluh tahun yang lalu menjadi
pembicaraan orang. Tahu-tahu ia berada dalam genggamanmu. Kami terus menguntit gurumu.
Lantas menjebak sampai ke Ambarawa. Dan di sana guru-mu kena pukulan beracun. Tulang iga-iganya kena remuk orang itu yang bernama Malangyuda."
"Bohong!" tiba-tiba Sangaji memotong. "Tak percaya aku. Guru takkan kalah melawan dia."
Bagas Walatikta tertawa berkakakan sambil berputar mengarah kepada Malangyuda. Kemudian
berkata nyaring, "Hai Malangyuda! Dengar sendiri. Selagi anak belum pandai beringus sudah bisa membedakan antara ksatria dan bangsat. Kau berlagak seorang ksatria sejati segala. Cuh! Nah, kau mau bilang apa?" ia berhenti mengesankan. Lalu kepada Sangaji. "Ucapanmu betul. Gurumu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memang takkan kalah melawan dia. Kami semua tahu menaksir kekuatan gurumu. Karena itu, dia harus kami jebak bersama. Setelah jatuh, ksatria sejati Malangyuda itu lantas berlagak seorang pahlawan yang mau menentukan pukulan penghabisan. Dalam keadaan sete-ngah pingsan,
gurumu diremukkan tulang-tulangnya."
Mendengar keterangan Bagas Walatikta, Sangaji menggigil oleh dendam dan marah melebihi
batas. Malangyuda sendiri lantas menggerung. Namun tak dapat membatah.
"Tapi kau jangan kecil hati," kata Bagas Wilatikta. "Aku tahu, kau menanggung dendam. Aku nanti yang membalaskan dendam. Lihat!"
Mendadak saja, ia melesat menerjang Malangyuda. Dengan tiga kali hantaman, Malangyuda
roboh terguling. Nyawanya kabur entah ke mana.
Sangaji kaget. Terhadap Malangyuda memang ingin ia membalas dendam. Tapi ia tak
menduga, bahwa Bagas Wilatikta bisa berbuat begitu mendadak dan kejam luar biasa. Sebaliknya begitu Malangyuda mati kena pukulan Aji Gineng, rekan-rekannya mengeluh berputus asa.
"Kau puas bukan?" teriak Randukintir. "Nah, bunuhlah kami. Dengan begitu kedua pusaka itu menjadi milikmu."
"Membunuh engkau gampangnya seperti membalik tangan. Apa perlu tergesa-gesa?" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa licik.
"Hm... biarlah dia membunuh kita," sambung Citrasoma yang telah sadar dari pingsannya.
"Masakan tahu di mana kedua pusaka itu kini berada..."
"Cuh!" Bagas Wilatikta meludah. Kemudian menggerung, "Masakan aku tak tahu. Siang-siang aku sudah berada di sini. Bukankah kedua pusaka itu kau sembunyikan di dalam gerumbul itu?"
Muka Citrasoma berubah hebat. Meskipun dalam malam hari, Sangaji seolah-olah meli-hat
betapa pucat dia. Bagas Wilatikta sendiri merasa menang. Pada saat itu, terus saja ia melesat menghampiri gerumbul dan mem-bawa dua benda dalam pelukannya. Itulah pusaka sakti Bende
Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik.
Kini tidak hanya Citrasoma yang jadi gelisah. Randukintir, Panji Pangalasan dan Baruna terkejut sampai memekik.
"Kau mau bilang apa sekarang?" desak Bagas Wilatikta menang.
Sebenarnya Citrasoma sudah tak dapat berbicara lagi. Tapi seperti biasanya seseorang yang sudah berputus asa menghadapi maut Umbulah keberaniannya. Lantas berkata, "Bagas Wilatikta!
Dalam hal mengadu akal dan siasat, benar-benar kau hebat. Barulah aku sadar, bahwa aku kena jebakanmu."
Dengan tertawa mendongak, Bagas Wila-tikta menjawab, "Inilah upah jasamu. Tukang jebak kena jebak. Baiklah, supaya tak ber-larut-larut, biarlah kau mendahului pulang menyusul rekanmu.
Salahmu sendiri, mengapa membantah kemauanku."
Sehabis berkata begitu dengan sekali ayun ia menghancurkan kepala Citrasoma. Ke-mudian
berputar menghadap Sangaji.
"Terhadap orang demikian, tak perlu lagi bersikap memaafkan. Coba pikir! Dengan kelicinannya ia berpura-pura menjadi tukang penjual kedai makanan setelah membunuh pemiliknya. Kemudian menjebak gurumu."
"Itulah akalmu. Kita cuma jadi pelaksana." Tiba-tiba Randukintir berkaok-kaok.
"Tutup mulutmu!" bentak Bagas Wilatikta. Lalu dengan sekali sambar ia menendang Randukintir jungkir balik. Betapa hebat tenaga Bagas Wilatikta tak usah digambarkan lagi.
Randukintir sekaligus melontakkan darah segar dari mulut, hidung dan kedua matanya.
Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Bagas Wilatikta meneruskan berkata, "Kemudian gurumu dijebak oleh sikap keningrat-ningratan Panji Pangalasan. Itulah dia! Dengan kelicinannya ia bisa memikat gurumu, sehingga percaya kepada semua keterangannya. Tapi, janganlah takut. Akulah yang menyumbat mulutnya kini."
Terus saja ia meninju dada Panji Pangalasan, lalu menginjak batang lehernya sampai tewas.
Setelah itu dengan cepat ia membunuh Baruna dan keempat penunggang kuda.
"Puaskah kau kini?" katanya kemudian kepada Sangaji.
"Semua penganiaya gurumu sudah kubalaskan. Kudengar tadi kau mengharapkan obat
pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurumu. Baiklah kuambilkan. Bagas Wilatikta
menggerayangi saku Malangyuda dan mengeluarkan sebotol obat luar dan sebuah bungkusan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu berkata, "Inilah obat penyembuh tulang belulang gurumu. Dan ini pemunah racun.
Simpanlah!" Tetapi bisakah Sangaji menerima pemberian orang dengan begitu saja. Karena tak pandai
berbicara, ia hanya menentang pandang dengan berapi-api.
"Mengapa" Kau tak sudi?"
Dalam otak Sangaji berkelebat beberapa kesan dahsyat. Ia mengakui, Bagas Wilatikta memiliki ilmu kepandaian jauh lebih unggul daripadanya. Tetapi melihat kekejamannya tak diketahuinya sendiri meremanglah bulu romanya. Meskipun demikian, kalau ditimbang ia membantu
membalaskan dendam gurunya. Apakah ia harus merasa berterima kasih" Mendadak saja
terletuslah perkataannya, "Aku bukan sanakmu, bukan pula sahabatmu. Kau membunuh adalah untuk kepentinganmu sendiri. Apa sebab menggunakan dalih membalaskan dendam guruku?"
Bagas Wilatikta tertegun sejenak. Kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Ih! Ini lagi! Ini lagi! Mulutmu tajam seperti adikku, Bagas Tilam. Baiklah... memang aku bekerja untuk kepentinganku sendiri. Setelah mereka berhasil membawa kedua pusaka itu, kukira akan tunduk kepada kehendakku. Di luar dugaan mereka mau membawa ke-mauannya sendiri.
Melawan seorang demi seorang, bukanlah pekerjaan sulit. Tetapi apabila menghadapi berbareng, nanti dahulu. Maka kubuatlah dongeng, seolah-olah engkau adalah pewaris kedua pusaka yang sah. Kukabarkan pula, bahwa paman-pamanmu pasti turun gunung hendak membalas dendam.
Untuk ini aku harus membuktikan. Kau sendiri melihat, siang tadi aku berhasil membawa kedua pamanmu lewat di hadapan hidung mereka. Kemudian kuwartakan tentang keberadaanmu.
Demikianlah... mereka menjebakmu. Lantas... lantas... haha... akhirnya aku bisa memukul mereka dengan sekaligus," ia berhenti menikmati kemenangannya. Kemudian berkata lagi, "Hai bocah kau benar hebat! Ilmu kepandaianmu di luar dugaanku..."
Setelah berkata demikian dengan sebat ia memasukkan kedua obat pemunah ke dalam kantong
Sangaji. Ingin Sangaji melawan tapi tenaga Sangaji tak mengizinkan. Kesebatan Bagas Wilatikta tak dapat ditandingi sisa tenaganya. Dalam terkejutnya, ia hanya tegak dengan pandang mata terlongong-longong. Mendadak saja di luar dugaan Bagas Wilatikta menggeram dan berdiri tegak di depannya. Lantas berkata nyaring, "Kau sudah menerima obat pemunah. Kau sudah
menyaksikan, betapa aku membalaskan dendam gurumu. Dengan begitu kau bebas dari
kewajiban menuntut dendam gurumu. Akupun tidak berhutang lagi. Semuanya sudah kubayar
lunas. Kini tinggal aku dan engkau. Lihat! Aku kembalikan kedua pusaka ini kepadamu."
Setelah berkata demikian dengan sebat pula ia mengalungkan pusaka Bende Mataram ke leher Sangaji. Sedang keris Kyai Tunggulmanik diselipkan ke pinggangnya. Bukan main sakit hati Sangaji diperlakukan demikian. Ia merasa diri seperti segenggam tembakau terpilin-pilin demikian rupa.
Mau melawan, tenaganya seperti punah. Sebaliknya melihat sepak terjang dan cara tertawa Bagas Wilatikta, ia sudah bisa menebak sebagian. Orang itu amat licik dan bisa berbuat di luar dugaan.
"Apa maksudmu ini! Kedua pusaka ini bukan milikmu. Kau boleh memiliki," ia mencoba berkata sebisa-bisanya.
"Nanti dahulu, dengarkan!" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa melalui dada. "Dalam dunia ini tinggal aku dan engkau saja yang pernah melihat, meraba dan bersentuhan dengan bentuk dan wujudnya pusaka Bende Mataram."
"Salah!" bantah Sangaji yang berwatak polos dan jujur.
"Paman Wayan Suage, guruku Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan pernah melihat dan
menyentuhnya." Bagas Wilatikta tertegun sebentar.
"Baiklah. Anggaplah mereka tak pernah ada. Kukira, mereka tak lagi ikut campur. Bukankah begitu" Nah, aku ini laki-laki dan engkau laki-laki pula. Dan aku tak biasa membagi rejeki. Akupun tak senang apabila di kemudian hari kemuliaan yang bakal kuperoleh sampai dibicarakan orang.
Karena itu, marilah kita mencari penyelesaian. Hei, dengarkan dulu! Aku tahu, engkau kini luka parah. Itulah sebabnya, tak dapat aku memaksa engkau berkelahi dengan berdiri. Menurut
hematku begini saja. Aku akan mencekik lehermu. Cobalah pertahankan. Kalau engkau bisa
membalas mencekik leherku pula, biarlah kita mati berbareng... Bagaimana?"
Menyaksikan tingkah laku Bagas Wilatikta, Sangaji sudah bisa menduga bahwa orang itu bisa berbuat di luar dugaan. Meskipun demikian keputusan Bagas Wilatikta hendak mencekik lehernya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar mengejutkan, mendongkolkan hati dan membuatnya bergusar. Ia mengakui, ilmu kepandaian Bagas Wilatikta berada di atasnya, namun seumpama dia dalam keadaan segar bugar belum tentu tak dapat menandingi. Baik ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah ilmu murahan. Pendekar sakti Adipati Surengpati dan Kebo Bangah sendiri terkejut dibuatnya. Tapi kini, tenaganya seperti punah. Seumpama ia memiliki ilmu setinggi langit tiada gunanya juga.
Tatkala itu Bagas Wilatikta sudah memper-dengarkan suara tertawanya. Ingatlah Sangaji,
bahwa itulah suatu tanda akan mulai bekerja. Sebagai seorang kesatria ia tak dapat hanya menyerah kepada nasib. Bukan ia takut menghadapi maut tetapi perlawanan itu mempunyai arti sendiri. Seekor cacingpun akan melawan sebisa-bisanya apabila menghadapi maut sebagai suatu pernyataan mempertahankan nyawanya. Begitulah dengan sekuat tenaga ia mengerahkan sisa
hawa murninya kemudian mengayunkan tangan hendak melepaskan suatu pukulan. Mendadak
saja suatu hawa berdesir bergulungan merembes ke seluruh tubuhnya. Itulah getah sakti
Dewadaru yang jadi terkejut karena suatu pengerahan tenaga. Seperti nasehat Gagak Seta,
Sangaji dianjurkan jangan sampai menggunakan ilmu gabungan dengan berbareng. Karena begitu ilmu gabungan menghilang, getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap akan berganti menggerumuti tenaga jasmaninya.
Demikian pulalah kali ini. Oleh suatu pengerahan tenaga getah sakti Dewadaru me-loncat ke luar. Celakanya, Sangaji tiada memiliki tenaga ilmu sakti Kumayan Jati dan Bayu Sejati lagi karena luka dalam. Dengan sendirinya getah sakti Dewadaru mencari sasaran hisapan. Yang menjadi korban adalah tenaga asli jasmaniah. Itulah sebabnya dalam sekejap saja, kedua lengan Sangaji menjadi lumpuh. Kini seluruh tenaganya habis terkuras jangan lagi menghadapi Bagas Wilatikta.
Melawan seorang kanak-kanak yang baru pandai beringus, tak kuasa lagi ia berkutik.
"Bagaimana?" Bagas Wilatikta menegas. "Apakah kau rasa aku kurang adil" Lihat!"
Dengan sekali gerak, Bagas Wilatikta men-cabut senjatanya berupa sebatang parang berbentuk seperti arit. Oleh sinar bulan, sisinya memantulkan suatu cahaya kemilau suatu tanda betapa tajamnya.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pasti-lah dia mengetahui bahwa Sangaji tiada bertenaga lagi. Tapi ia berlagak pilon dan berlaku seperti seorang tuan tanah hendak memperlihatkan keadilannya. Kemudian dengan sekali melompat ia lari memutari mayat Randukintir, Malangyuda dan Panji Pengalasan. Tangannya memangkas dan tahu-tahu ketiga gundul mayat itu sudah
tergunduli polos. Melihat pertunjukan itu dalam hati Sangaji kagum. Pikirnya, benarlah kata guru Jaga Saradenta, bahwa di luar gunung masih ada gunung. Di luar langit masih ada langit. Memangkas rambut dengan berlari-larian kencang, bukanlah suatu perbuatan mudah. Apalagi di tengah malam hari.
Namun tangannya seperti mempunyai mata saja. Hebat! Sungguh-sungguh hebat! Ia menghela
napas karena teringat ilmunya sendiri yang belum diolah masak. Bahkan kini akan menghadapi kepunahan untuk selama-lamanya.
Selagi ia berpikir demikian, sekonyong-konyong Bagas Wilatikta sudah berdiri di hadapannya.
Berkata minta pengakuan, "Bagus tidak?"
Sangaji tak menjawab. "Apakah kau kira palsu?" katanya lagi menekankan. Kemudian dengan sekali gerak, rambut Sangaji kena terpangkas kedua sisinya. Gerakannya cepat luar biasa. Tahu-tahu, rambutnya seperti terpotong rapih.
Sehabis memotong rambut, Bagas Wilatikta tertawa terbahak-bahak sambil memasukkan
senjatanya ke dalam sarungnya.
"Puluhan bahkan ratusan nyawa sudah parangku ini menghisap darahnya. Biasanya, apabila sekali sudah kutarik dari sarungnya harus mengambil nyawa. Tapi kali ini tidak. Nah, bukankah sudah cukup bidang dadaku ini?"
Sangaji tahu, apa yang dikatakan Bagas Wilatikta bukan suatu obrolan belaka. Tapi ia memilih sikap diam sambil mengharap-harap terhimpunnya tenaga kembali.
"Baiklah. Aku sudah berkata," kata Bagas Wilatikta memutuskan. "Kalau aku sampai bisa merampas kedua pusaka Bende Mataram kembali, hendaklah engkau menyerahkan dengan ikhlas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kau tak perlu jadi setan untuk mengejar-ejar aku. Kau tahu sendiri, nilai kedua pusaka ini bukan main besarnya. Doakan semoga aku dapat memiliki kedua pusaka itu untuk selama-lamanya?"
Ia mendongak ke udara dan tertawa sepuas-puasnya. Dalam malam sunyi kesannya
menyeramkan hati. Mendadak saja, ia terus membungkuk dan menyambar batang leher Sangaji.
"Pertahankan! Pertahankan! Aku akan mengantarkan pulangmu dengan perlahan-lahan.
Masakan aku perlu tergesa-gesa?" jeritnya kegirangan penuh semangat
Benar-benar Sangaji bergusar dan terkejut, meskipun hal itu sudah dapat diduganya. Oleh
kodrat alam, secara wajar tata jasmaninya terus berusaha mempertahankan diri. Kedua lengannya diangkat dan bermaksud membalas dengan menyekik. Lagi-lagi ia merasa tenaganya tiada. Dalam kesibukannya ia mencoba merenggutkan diri. Juga kali ini, usahanya sia-sia belaka. Maka akhirnya ia sadar. Satu-satunya jalan hanyalah menunggu saat ajalnya.
Benar-benar aku harus mati, pikirnya dalam hati. Biarlah aku mati secara ksatria.
Keinginan mati secara ksatria itu, mendadak saja timbul begitu hebat dalam dirinya. Namun tak tahulah dia, bagaimana cara mati sebagai ksatria. Hendak melawan, tiada bertenaga. Sebaliknya apabila menyerah belaka alangkah hina...
27 RUMAH BATU DALAM pada itu cekikan Bagas Wilatikta kian lama kian menjadi keras. Lubang hawa benar-
benar mulai tersumbat. Oleh rintangan ini, secara wajar tata jasmani Sangaji terus saja berkutat dengan hebat. Meskipun sudah kehilangan daya tahan, namun sebisa-bisanya berusaha menolak juga.
Getah sakti Dewadaru terus saja merembes keluar naik ke leher. Dan ilmu Bayu Sejati yang mempunyai sifat bertahan, tanpa disadari sendiri ikut pula membersit dari gua rahasianya. Oleh timbulnya Baju Sajati, getah sakti Dewadaru lantas saja menggabungkan diri. Seperti diketahui, apabila getah sakti Dewadaru tidak menemukan suatu pengerahan tenaga murni yang sifatnya bertentangan, akan merupakan dasar tenaga raksasa. Pada saat itu, ilmu sakti Kumayan Jati tak mempunyai bidang gerak. Maklumlah, Sangaji tak dapat berdiri atau menggerakkan panca inderanya. Karena itu, Baju Sejati bisa bergerak tanpa menemukan saingan lagi. Seperti gelombang ia berputar-putar ke seluruh urat nadi. Terutama sekitar batang leher yang kena himpit.
Diam-diam Bagas Wilatikta heran. Pikirnya, bocah ini terang-terang tiada bertenaga lagi.
Mengapa ia bisa bertahan begini"
Oleh pikiran ini, ia jadi penasaran. Terus saja ia mencekik kian hebat.
Pada saat itu, Sangaji merasa tersiksa benar-benar. Cekikan tangan Bagas Wilatikta sudah tak dirasakan lagi. Tapi akibatnya cekikan itulah yang membuatnya sengsara, la tak dapat bernapas lagi. Secara wajar ia berguling hendak merenggutkan diri. Karena gerakan ini, ilmu sakti Kumayan Jati terus saja timbul tanpa dikehendaki sendiri. Inilah hebat! Karena begitu ilmu sakti Kumayan Jati timbul, Bayu Sejati segera menyerang.
Sifat ilmu sakti Kumayan Jati memang aneh. Apabila sekali timbul, pantang menyerah sebelum memperoleh keputusan yang menentukan. Itulah sebabnya, Gagak Seta tetap tangguh sewaktu
melawan Kebo Bangah, meskipun sudah melampaui dua ribu jurus lebih. Tatkala kena pisah, ia tetap menantang dan menantang seolah-olah tak pandai menguasai diri.
Juga kali ini, begitu kena serangan Bayu Sejati, lantas saja berputar mengadakan per-lawanan.
Seperti manusia-manusia yang mempunyai mata, ia terus bergerak hendak merebut getah sakti Dewadaru merupakan pelabuhan titik tolak penghimpunan tenaga.
Ketika itu juga, darah Sangaji mendidih. Tubuhnya sekonyong-konyong menjadi panas luar
biasa. Hal itu bisa dimengerti. Biasanya kedua ilmu itu timbul berbareng dalam bidang gerak agak luas. Kini Sangaji sama sekali tak bergerak selain hanya berguling-guling hendak merenggutkan diri. Karena itu mereka merasa seperti terdesak dan terdorong-dorong ke pojok. Akhirnya kedua ilmu itu saling melebur dan punah bentuk sifatnya.
Inilah suatu kejadian di luar perhitungan manusia. Tadinya Gagak Seta mengharap, Sangaji bisa melebur kedua ilmu itu dengan melalui latihan atau oleh pertolongan tangan sakti seperti Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati atau Kebo Bangah. Apabila kedua ilmu itu bisa lebur menjadi satu, hebatnya tak terkatakan lagi. Karena si pemilik bisa bergerak menurut kemauannya sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa sesuatu rintangan. Kini, di luar dugaan siapa saja, mendadak kedua ilmu itu lebur menjadi satu oleh karena suatu cekikan kuat luar biasa.
Bersatunya ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati itu hebat akibatnya. Tiba-tiba, Sangaji merasa pusatnya kena raba hawa di-ngin dan agak hangat-hangat yang nyaman luar biasa. Hawa dingin dan agak hangat-hangat itu, terus merembes menyusur seluruh urat nadinya. Sama sekali tiada rintangan. Suatu tanda bahwa jalan darahnya kena tertembus.
Seperti ular naga, kedua ilmu sakti itu terus berputar-putar dengan dorongan getah sakti Dewadaru. Makin lama makin cepat. Karena tenaga jasmani tiada lagi mereka mencari kor-ban lain. Akhirnya diketemukan. Yakni, sari-sari madu lebah Tunjungbiru.
Peristiwa ini berlangsung sangat cepat. Madu Tunjungbiru yang dahulu hanya dikabarkan
sebagai penambah kesehatan belaka dan memanjangkan umur, mendadak di luar dugaan manusia pula merupakan suatu unsur peleburan dan penggabungan tiada ban-dingnya di jagat ini. Seketika itu juga, dalam diri Sangaji tiada lagi getah sakti Dewadaru, ilmu sakti Bayu Sejati, ilmu sakti Kumayan Jati dan madu Tunjungbiru yang berdiri masing-masing seperti maharaja dengan
pemerintah otonomnya. Tetapi sudah bersatu menjadi satu, merupakan suatu pengucapan rasa dan angan manusia untuk bergerak.
Seketika itu juga, Sangaji merasa aneh. Mendadak saja ia merasa di dalam tubuhnya seolah-olah ada segumpal daging yang terus berputar-putar melarutkan gumpalan-gum-palan lainnya.
Putaran itu makin lama makin cepat. Rasanya nyaman luar biasa dan melegakan ruang dada dan rongga perut.
Dalam pada itu, cekikan Bagas Wilatikta makin tajam. Kedua telapak tangannya seolah-olah sudah saling memimit, tinggal tersekat suatu lapisan tipis. Sekonyong-ko-nyong ia terpental jungkir balik ke angkasa dengan menjerit tinggi. Tahu-tahu dengan kepala menukik ke bawah, tubuhnya amblas terbenam dalam tanah. Bisa dibayangkan betapa hebat tenaga yang
melontarkan itu. Dan tenaga pelontar itu tidak lain adalah tenaga bersatunya ilmu sakti Bayu Sejati" Kumayan Jati dan sari-sari madu Tunjungbiru.
Terlepasnya Sangaji dari suatu cekikan luar biasa itu, membingungkan dirinya. Sebab napas yang sudah tersekap sekian lama, sekonyong-konyong terlonggar. Dan seperti air bergolak yang kena bendung. Terus saja membanjir salang tunjang karena bendungan ambrol dengan tiba-tiba.
Sudah barang tentu jantung Sangaji berdegup sangat keras. Dan napasnya jadi tersengal-sengal.
Apalagi, dalam dirinya terjadi suatu perputaran cepat yang tak dimengerti sendiri.
Apabila lambat laun sudah bisa menguasai diri, ia merasa seperti bermimpi. Benarkah dia lepas dari cekikan Bagas Wilatikta" Waktu itu bulan mulai suram kembali. Perlahan-lahan ia mulai menghilang di balik awan yang datang berarak-arak. Suasana udara kini terasa dingin meresapi tulang belulang. Hawa mulai mengabarkan waktu fajar. Karena itu, penglihatan jadi terhalang.
Apalagi keadaan tubuh Sangaji belum pulih seperti sedia kala. Meskipun kini sudah memiliki tenaga sakti yang tiada bandingnya dalam jagad raya, tapi ia masih menderita luka dalam tiada enteng. Ia belum bisa bergerak. Karena itu tak dapat menggunakan panca-indra seleluasa-Ieluasa-nya. Satu-satunya gerak yang bisa dilakukan hanya mengembarakan gundu matanya. Samar-
samar ia melihat mayat-mayat kesepuluh lawannya berserakan di seberang menyeberang. Larut malam itu sunyi luar biasa, sehingga terasa menjadi seram.
Sangaji bukanlah seorang pemuda yang penakut. Namun selama hidupnya, baru kali ini ia
berada di tengah-tengah malam sunyi seorang diri ditemani beberapa mayat yang rusak
jasmaninya. Mau tak mau, keadaan itu mempengaruhi dirinya juga. Meskipun demikian, hatinya lega juga menyaksikan semua lawannya rubuh tak berkutik. Hanya terhadap Wilatikta hatinya masih bersangsi. Orang itu terlalu licin baginya. Gerak-geriknya sukar diraba, ia khawatir jungkir-baliknya ke udara dan kemudian kepalanya tertancap di dalam tanah hanya suatu tipu belaka untuk suatu maksud yang lebih keji lagi. Itulah sebabnya, walaupun ia menderita hebat tak berani ia memicingkan mata.
Perlahan-lahan fajar mulai menyingsing. Dan tak lama kemudian, hari menjadi terang tanah.
Wilatikta masih saja tak berkutik. Separuh tubuhnya benar-benar tertancap ke dalam tanah.
"Eh, apakah dia benar-benar terpental oleh tenagaku" Sangaji mulai menduga-duga keras.
Walaupun menderita luka hebat, namun pi-kirannya masih tetap jernih. Dan oleh dugaan itu, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingin menyelidiki. Segera ia menahan napas dan mencoba mengerahkan tenaga jas-maninya. Dan belum lagi ia mengerahkan te-naga jasmani, mendadak saja tubuhnya ter-guncang-guncang
karena darahnya berjalan sangat cepat dan berputar-putar dari ujung kaki sampai ke ubun-
ubunnya. Hal itu terjadi karena napasnya tertahan dengan tiba-tiba.
"Hai! Kenapa jadi begini?" Ia heran sampai terlongong-longong sendiri. Dan suatu hawa yang nyaman luar biasa terasa meresapi seluruh urat nadinya. Diam ia jadi bergembira, ia mencoba menahan napas dan menahan napas sampai berulang kali. Dan setiap kali menahan napas, dalam dirinya terasa seperti ada gumpalan daging lari berputaran dan seakan-akan hendak menjebol kulit dagingnya.
"Hai! Benarkah aku sudah berhasil?" Ia menyelidiki diri sendiri. Semenjak mendengar ajaran Gagak Seta bahwasanya ia akan memiliki tenaga sakti tak terlawan apabila berhasil melebur tenaga sakti Kumayan Jati-Bayu Sejati dan getah Dewadaru, selalu ia berusaha mencari titik persesuaian. Tak bosan-bosan ia senantiasa mencoba-coba dengan diam-diam. Malahan pernah jatuh pingsan pula. Dan sela-ma itu tiada tanda-tanda akan berhasil. Kini tanpa disangka-sangka ia memperolehnya de-ngan mudah sekali di luar dugaan siapapun juga.
Siapa mengira, bahwa tiga unsur tenaga sakti itu bisa saling melebur lewat cekikan napas"
Seumpama Gagak Seta atau Kyai Kasan Kesambi mengetahui tentang hal itu, belum tentu mereka bisa menolong pula. Karena cekikan mereka akan dianggap sebagai jasa-jasa baik belaka,
sehingga tiada mengadakan perlawanan naluriah. Sebaliknya terhadap cekikan Bagas Wilatikta kejadiannya sangat berlainan. Ia merasa terancam hebat. Terus saja naluri hidupnya berontak dan mengadakan perlawanan sedapat-dapatnya.
Himpunan tenaga sakti yang dimiliki Sangaji, sekarang sepuluh kali lipat besarnya daripada yang dimiliki Gagak Seta, Adipati Surengpati, Kyai Kasan Kesambi dan Kebo Bangah. Dalam
sejarah, baru kali itulah terjadi. Itulah sebabnya, di kemudian hari akan mengejutkan para pendekar sakti yang mengira dirinya menjadi puncak-puncak kodrat manusia pada zamannya.
Di sini ternyata, bahwa semua peristiwa pelik-pelik di dunia segalanya tergantung pada nasib.
Manusia takkan dapat mencapai dengan karsa belaka. Seperti ini, bahwasanya wadah (tempat untuk menaruh) takkan bisa mencari wahyu. Sebaliknya wahyu yang akan mencari wadahnya.
Demikianlah setelah yakin akan hal itu, Sangaji hendak mencoba kesaktiannya. Ia belum bisa bergerak seleluasa-luasanya, kecuali hanya menggerakkan jari-jari dan lengan. Di depannya tertebar beberapa puluh biji sawo yang tadi digunakan sebagai senjata bidiknya. Dengan
memaksa diri ia memungut-nya sebuah. Kemudian disentilkan membidik batu. Kesudahannya luar biasa menakjubkan. Batu yang kena bidikan rompal. Dan hancur berderai seperti kena ledakan dinamit.
Melihat kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Kini yakinlah dia, bahwa Bagas Wilatikta benar-benar terlontar oleh tenaga saktinya. Hanya saja ia tak mengerti sebab-musabab terjadinya pelontaran itu.
Sangaji adalah seorang pemuda yang tak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam per-soalan yang rumit-rumit. Maka lantas saja ia menghibur diri. "Biarlah begitu. Perlahan-lahan akan kuselidiki sebab musababnya."
Setelah memperoleh keputusan demikian, hatinya jadi tenang. Tapi justru hatinya tenang, luka dalamnya mulai merenyam. Ia merasa seperti ditusuk ribuan jarum, sakitnya bukan main. Seluruh tubuhnya menggigil, tatkala ia mencoba bertahan. Dan sebelum matahari mendaki sepenggalah tingginya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kira-kira melampaui waktu luhur, lapat-lapat ia mendengar derap kuda. Rasa sakitnya masih saja belum mereda. Tapi oleh rasa ingin tahu, ia menjenakkan mata. Ternyata Willem berderap secepat terbang karena dikejar oleh seorang perempuan yang rambutnya terurai hampir mencapai pinggang, la jadi ke-heran-heranan. Dengan menggertak gigi, ia menegakkan badan dan
bersandar pada sebuah batu yang mencongakkan diri sebagian dari lapisan tanah.
Tatkala mengamat-amati, ia melihat suatu kesan yang agak janggal. Ternyata perempuan yang mengejar-ngejar Willem, seorang gadis sebaya dengan Titisari. Terang sekali ia seorang gadis desa. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya kehitam-hitaman. Kulitnya kasar dan berpakaian sekenanya. Meskipun demikian gadis itu nampak manis dan hidup oleh sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakannya langsing pula, sehingga mudah menarik perhatian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apabila gadis itu melihat beberapa mayat bergelimpangan berserakan, terdengar ia memekik kaget. Namun demikian raut mukanya tak berubah. Satu demi satu ia mengamat-amati. Kemudian dengan mata terbelalak ia mengawasi Sangaji. Terus saja bertanya setengah heran, "Hai...! Kau belum mati?"
"Syukur belum," sahut Sangaji sederhana.
Tanya jawab pendek itu sebenarnya meng-gelikan. Yang perempuan aneh bunyi per-
tanyaannya dan yang lain menjawab sekenanya. Itulah sebabnya, begitu saling memandang
akhirnya mereka tersenyum geli juga.
"Kalau kau belum mati, kenapa berbaring di situ tak berkutik" Ih, kaget aku!" kata gadis itu dengan setengah tertawa.
"Aku terluka." "Siapa yang melukai?"
"Mereka." Gadis itu mengembarakan matanya. Setelah merenungi mayat-mayat, ia nampak menghela
napas. "Syukur mereka mati semua. Hm... kau lapar tidak?"
"Tentu saja lapar. Tapi aku tak bisa bergerak, karena itu biarlah nasib memikirkan daku."
Gadis itu tercengang sebentar. Mendadak saja ia tertawa berkikikan. Kemudian men-geluarkan sebuah mangga muda dari dalam dadanya.
"Mari kita bagi," katanya. Terus saja ia menggerogoti seperempat bagian, sisanya diangsurkan kepada Sangaji.
Dalam keadaan wajar, pastilah Sangaji akan menolak pemberian demikian. Tapi hatinya
tertarik pada sepak terjang gadis itu dan cara berpikirnya yang lucu dan tak terduga-duga. Kecuali itu, memang perutnya terasa lapar. Meskipun ia masih bisa berta-han dua tiga hari lagi, namun hatinya tak sampai menolak pemberian gadis itu yang terbersit dari hati yang bersih dan
sederhana. Maka dengan setengah berbisik, ia berkata memaklumi.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih. Tapi aku tak dapat bergerak."
"Ih! Kau begini manja," mendadak gadis itu melototi. "Masakan aku harus meladeni. Ini...
ambil!" Setelah berkata demikian, mangga itu ke-mudian disambit mengarah perut. Sangaji tak dapat bergerak, sehingga ia hanya menutup mata.
"Trang!" Mangga itu mengenai pusaka Bende Mata-ram yang tadi dikalungkan Bagas Wilatikta ke
lehernya dan mangga itu hancur berantakan berkeping-keping. Di sini ternyata, bahwa gadis itu mempunyai tenaga sambitan kuat juga.
"Hai! Ontung kau mempunyai permintaan bagus!" teriak gadis itu dengan nada tinggi.
"Apakah kau ini seorang pengamen (pemusik jalanan) keserakat?"
Tadi, waktu gadis itu menyambitkan buah mangga, hati Sangaji terkesiap. Dan begitu
mendengar pertanyaannya, hatinya yang mulia tak sampai hati mengecewakannya. Terus saja ia menjawab acuh tak acuh:
"Ya aku seorang keserakat."
"Apakah nama benda itu?"
"Sebuah bende. Mengapa?"
"Bagus! Bagus!" gadis itu mendadak jadi girang. "Apakah boleh aku minta?"
Terhadap bende itu, sebenarnya hati Sangaji tak begitu tertarik. Dasar hatinya mulia, maka begitu mendengar permintaan gadis itu, lantas menjawab, "Kalau kau senang, ambilan!"
Bukan main girang gadis itu. Wajahnya terus saja bersinar terang. Dengan tak ragu-ragu ia melangkah hendak menghampiri. Mendadak saja selagi akan membungkuk-wajahnya berubah
lagi. Kemudian melompat mundur dan berkata, "Kau tak mau menerima pemberianku. Apakah kau takut kuracuni?"
Perubahan sikap itu mengejutkan Sangaji. Mau tak mau ia jadi menaruh perhatian. Hati-hati ia menjawab, "Bukankah engkau sudah memakannya sebagian" Terang sekali tiada niatmu meracuni aku."
"Bagus! Tetapi mengapa engkau percaya penuh, bahwa gigiku tiada racunnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagi Sangaji yang berhati sederhana, perta-nyaan itu amat menyulitkan. Mendadak ia ingat sesuatu, "Kalau gigimu benar-benar beracun, mestinya kau akan berusaha memasukkan buah mangga tadi ke mulutku. Sebaliknya engkau malah menyambitkan begitu keras."
"Karena aku tahu, kau takkan gam-pang-gampang sudi mengunyahnya. Itulah sebabnya,
engkau akan kutikam mati saja dengan sambitanku."
Mendengar ujar gadis itu, Sangaji terhenyak. Kemudian bertanya mencoba, "Apa sebab engkau akan membunuh seseorang yang tiada sangkut pautnya dengan kepentinganmu?"
"Masakan tak tahu?" gadis itu terbelalak heran.
"Kalau kau masih hidup, bukankah aku wajib menolongmu" Di tengah lapangan ini, desa-desa begitu jauh. Aku harus mendukungmu... atau aku harus mencari gerobak penarik. Bukankah aku jadi berabe?"
"Hm... Siapakah yang mengharapkan pertolonganmu" Sama sekali aku tak mempunyai pikiran demikian."
"Ha... Kalau begitu kau jahat. Seumpama aku terluka di sini, pastilah engkau akan pergi dengan tak tahu menahu."
Di debat demikian, Sangaji jadi terbungkam. Pernyataan demikian sama sekali tak didu-ganya.
Tadi sewaktu mendengar bahwa gadis itu terang-terangan hendak membunuhnya, hatinya
terkejut dan agak menyesal. Karena itu, jawabannya agak keras. Di luar dugaan, mendadak dia bisa mendamprat begitu rupa.
"Menolong sesama hidup jauh berlainan dengan bermaksud hendak membunuh," ia mencoba menangkis.
"Eh, kenapa kau begini tolol" Coba pikir! Kau begini gede seperti siluman. Sebaliknya aku tak bertenaga. Lagi pula, kulihat kau kem-pas-kempis begitu menderita. Daripada mati perlahan-lahan, bukankah lebih baik mati cepat-cepat" Ih, kau begini tolol!"
Kembali Sangaji terhenyak untuk sekian kalinya. Pikirnya diam-diam! Aneh jalan pi-kiran gadis ini. Seumpama seorang laki-laki, ia tergolong manusia macam Bagas Wilatikta yang bisa berbuat di luar dugaan.
"Hai tolol! Kenapa kau tak menjawab?" Tegur gadis itu.
Tiga kali Sangaji mendengar gadis itu menyebutnya dengan istilah tolol. Dalam hidupnya
beberapa orang memanggilnya de-ngan si tolol. Tapi yang bebas dari rasa fitnah hanya dua.
Pertama, kedua gurunya dan Gagak Seta. Dan yang kedua Titisari. Teringat akan Titisari hatinya jadi terharu. Ia merasa ditinggalkan semua yang dicintai dan mencintai. Terus saja teringatlah dia kepada ibunya yang jauh berada di daerah barat. Tak terasa, matanya jadi berkaca-kaca.
"Hidiiih... kau sudah sebesar kerbau, masih saja menangis seperti bayi?" Damprat gadis itu dengan sengit. "Benar-benar engkau seorang tolol tak berguna." Lihat pakaianmu begitu kotor tak terurus.
Berkali-kali Sangaji semalam lontak darah. Pakaiannya memang jadi berbentong-bentong penuh darah yang kini jadi membeku. Kecuali itu, mukanya kotor oleh debu dan rambutnya terpangkas separoh karena parang Bagas Wilatikta.
"Perkara mangga itu nanti kucarikan. Masakan kau tak tahan lapar barang seben-tar?" Gadis itu mendamprat lagi.
"Sama sekali aku tak memikir tentang itu. Aku hanya teringat kapada seseorang."
Sebenarnya gadis itu sudah memutar tubuh hendak pergi. Tatkala mendengar ujar Sangaji,
cepat ia berpaling. "Kau memikirkan siapa" Masakan kau mempunyai kenalan?"
"Aku terkenang kapada ibuku yang berada jauh di rantau," jawab Sangaji yang tak pernah bisa berbohong.
"Apakah ibumu sering memberimu buah mangga?" Gadis itu tersenyum lebar.
"Sudah tentu." Mendadak saja gadis itu mengamuk. Dengan cekatan ia mencari sesuatu. Begitu melihat
tangkai pengail Randu Kintir yang ter-lempar di atas tanah, terus saja menyam-barnya dan mengancam kepada Sangaji.
"Bagus... kau samakan aku dengan ibumu" Apakah umurku sama dengan ibumu" Kau begini kotor. Ibumu pasti lebih kotor paling tidak, pipinya telah reot. Masakan aku begitu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji jadi gugup. Belum lagi ia bisa ber-buat sesuatu gadis itu telah menggebuknya dua kali berturut-turut.
"Kenapa kau memukul aku?" Ia minta keterangan. Sebenarnya apabila mau meram-pas pengail itu, tidaklah susah. Tapi semenjak tadi ia tertarik kepada lagak lagunya yang aneh. Pikirnya, tak apalah dia menggebuk aku beberapa kali. Daripada tiada berteman, lumayan juga bisa beromong-omong dengan dia... Karena itu, ia membiarkan diri digebuk dua kali berturut-turut. Kemudian berkata lagi, "Ibuku tak pernah memukul aku. Karena itu, engkau tak mirip dia."
"Eh"apa kau bilang" Aku tak pantas men-jadi seorang ibu" Kau sudah bosan hidup
barangkali?" Bentak gadis itu. Terus saja ia hendak menyabet kempungan Sangaji yang luka.
Keruan saja, Sangaji menjadi gugup. Kempungan itulah yang tadi malam kena pukulan lawan-
lawannya. Jangan lagi kena pukulan, andaikata tersentuh tangan saja bisa mengancam nyawanya.
Karena itu dengan cepat ia meraup biji-biji sawonya yang tertebar disekitarnya, pikirnya, asal gadis itu berani menyentuh kempungannya, segera ia akan menimpuknya sampai pingsan.
Syukurlah gadis itu hanya menggertak bela-ka. Tatkala melihat air muka Sangaji berubah
hebat, ia berkata mengejek.
"Nah tuuu... baru digertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati. Karena itu, jangan-lah senang mengolok-olok orang."
"Sama sekali aku tak mengolok-olokmu. Apabila aku mengolok-olokmu, biarlah aku rebah begini saja seumur hidupku," sahut Sangaji sungguh-sungguh.
Gadis itu melemparkan pengailnya. Kemu-dian dengan tertawa duduk disamping Sangaji.
"Kau bilang...engkau lagi terkenang ibumu. Apakah ibumu mirip aku?"
"Sudah barang tentu engkau jauh lebih cantik," jawab Sangaji. Selama hidupnya, belum pernah Sangaji bersikap mengambil-ambil hati. Tapi menghadapi seorang gadis yang nampak angin-anginan ini, ia tak mau kena sengsara, la khawatir gadis itu akan menghantam kempungannya benar-benar. Kecuali itu dalam kesepian ia membutuhkan seorang teman. Apabila sampai
menyakiti hatinya, pastilah dia akan pergi meninggalkan di tengah-tengah mayat-mayat
berserakan. Kalau sampai tiga empat hari berada di tengah mayat-mayat dalam udara panas, bukankah penciumannya akan terganggu hebat" Maka setelah berkata demikian, ia meneruskan,
"tapi sikapmu yang begini baik benar-benar mengingatkan aku kepadanya."
"Kau begitu pasti?"
Sangaji memandang wajahnya dan meng-angguk dangan yakin.
"Ih! Kenapa kau memandang aku" Apakah aku cantik?" tegur gadis itu. Dan oleh teguran itu, Sangaji jadi tertegun. Dia adalah seorang pemuda yang polos dan berhati sederhana. Selama hidupnya belum pernah ia mengkhia-nati ucapan hatinya sendiri. Dalam hatinya, ia hanya
mempunyai seorang gadis yang dianggapnya benar-benar cantik melebihi segala. Yakni, Titisari.
Apabila menganggap seorang gadis lain cantik pula, bukanlah sudah berarti mengkhianati diri"
Karena itu, ia menjadi gugup. Sulit ia menjawab.
"A... aaaku tak mengerti. Aku memandang padamu. Karena engkau begini baik terhadap-ku.
Entah kenapa, hatiku jadi tenteram, lega dan senang."
Mendadak gadis itu tertawa panjang.
"Kau salah duga. Aku justru seorang perem-puan yang jahat. Apa itu kebaikan" Justru aku mau memusuhi tiap laki-laki."
Setelah berkata demikian dengan tangkas ia berdiri. Kemudian menendang pinggang Sangaji
dua kali dan terus melompat lari meninggalkan lapangan.
Dua tendangan itu terjadi dengan seko-nyong-konyong. Tendangannya tepat pula mengenai
pinggang. Seketika itu juga, Sangaji menjerit tinggi dan jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kurang lebih satu jam kemudian, ia tersadar kembali. Napasnya terasa makin sesak dan
tenaganya seperti terlolosi. Teringat akan gadis itu, ia menghela napas. Anehnya, meskipun disakiti hatinya tak menyesali. Lama sekali ia merenungi dan mencoba menimbang-nimbang.
Apa sebab dia menyakiti aku, justru sewaktu aku memuji kebaikan hatinya" Rupanya ia lagi menaruh dendam dan begitu melihat diriku segera ia menumpahkan. Barangkali akulah yang lagi sial.
Tak sengaja ia menyiratkan pandang kepa-da mayat-mayat yang kini mulai dikerumuni lalat.
Meskipun tak gentar menghadapi segala, tak urung hatinya risih juga menyaksikan pemandangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian. Segera ia melem-parkan pandang ke tengah udara yang lapang dan cerah. Teringat akan gadis aneh tadi, mendadak saja ia mengharap-harap munculnya lagi. Tapi mengingat sepak-terjangnya, ia khawatir kena siksanya.
Dua jam lagi ia menggeletak tanpa bisa berkutik. Tatkala matahari hampir tenggelam,
mendadak saja panca indranya yang tajam mendengar bunyi bergeritan. Tak ragu lagi, pastilah bunyi roda geledek. Dugaanya benar juga. Tak lama kemudian, gadis aneh tadi datang kembali dengan menyeret gerobak kecil yang sering dipergunakan para petani sebagai alat pengangkut kayu atau jerami. Biasanya gerobak demikian ditarik oleh anak lembu atau kambing jantan.
"Hai! Apakah ibumu pernah menarik ger-obak semacam aku begini?" Tegur gadis itu dengan sekonyong-konyong.
Teringat akan pengalamannya, tak berani Sangaji menjawab sembarangan terhadap gadis itu
yang sok angin-anginan itu. Untung, sebelum menjawab, gadis itu lantas saja jadi sibuk, la mengeluarkan sebungkus nasi, selirang pisang dan setempurung air minum.
"Hai siulman! Kau belum mati?" Tegurnya lagi.
"Sudah mati separoh," jawab Sangaji bergu-rau. Tadi ia sudah mengambil keputusan hen-dak bersikap tak sungguh-sungguh saja ter-hadap gadis itu.
Dengan tersenyum simpul gadis itu duduk disampingnya sambil membawa bungkusan
makanan. Selagi menaruh semuanya itu diatas tanah, mendadak saja terus menendang pinggang Sangaji lagi sambil bertanya, "Bagian manakah yang belum mati?"
Keruan saja Sangaji terkejut setengah mati. Sebat ia melindungi pinggangnya. Meskipun
demikian, tak urung masih terasa sakit juga. Dengan menggigit bibir, ia berkata minta pen-jelasan.
"Kenapa kau senang menyakiti orang."
"Kau sendirilah yang minta gebuk. Masakan kau bilang mati separuh. Sedangkan nyawamu masih utuh" Bukankah engkau belajar berbohong?"
Benar-benar Sangaji merasa mati kutu. Hendak bersikap sungguh-sungguh gadis itu berwatak angin-anginan. Kini bersikap main-main, salah juga. Seperti orang putus asa, lantas menyahut,
"Tadi engkau telah menggebuk aku sampai pingsan tanpa perkara. Meskipun demikian, aku selalu mengharapkan kedatanganmu. Kini engkau hendak menyakiti aku lagi. Mengapa?"
"Karena tiap laki-laki adalah busuk!" Bentak gadis itu. Dan setelah berkata demikian, terus saja mengamuk. Bungkusan nasi, air minum dan selirang pisang yang dibawanya mendadak
dibantingnya dan diinjak-injak sampai terpencet masuk dalam tanah.
Sangaji jadi melongo melihat sepak ter-jangnya. Kesan mukanya begitu berduka, gusar, dengki dan penuh sesal. Apakah gadis ini mempunyai penderitaan hebat begitu rupa, ia menduga-duga.
Teringat akan perjalanan hidup keluarganya dimasa kanak-kanak, tak terasa Sangaji menjadi perasa. Hatinya kian tertarik. Dengan setulus-tulusnya hati nuraninya tergerak.
"Apakah sebab kamu begini pemarah?"
"Aku pemarah atau tidak, apa pedulimu?" damprat gadis itu.
Sangaji menundukkan kepala. Mendadak saja gadis itu terus saja duduk menumprah di-
sampingnya. Kemudian menangis sedu-sedan.
Melihat gadis itu menangis, timbulah ke-beranian Sangaji untuk mencoba berbicara lagi.
Katanya lemah lembut, "Siapakah yang menghina dirimu" Katakanlah! Manakala aku telah sembuh kembali, biarlah aku memba-laskan hatimu."
Agaknya ucapan Sangji kena benar. Tangis si gadis kian menaik. Beberapa saat kemudian gadis itu berkata, "Setiap orang berhak berjuang untuk memperoleh kebahagiaan. Karena itu, tiada seorang pun di dunia ini yang menghina diriku. Hanya saja, nasibkulah yang buruk... sehingga setiap saat selalu saja aku mengenangkan seseorang."
"E-hem. Pastilah dia seorang Pemuda gagah. Apa sebab bersikap begitu bengis kepadamu."
"Dia bukan lagi seorang pemuda. Meskipun ngganteng dan gagah, namun gadis-gadisnya
terlalu banyak," sahut gadis itu dengan mene-gakkan kepala. Kemudian menunduk sambil meneruskan, "inilah kebodohanku, mengapa aku mengharapkan yang bukan-bukan dari-padanya.
Aku minta dia hidup bersama untuk selama-lamanya dan hanya untukku. Karena itu, dia
menghajar aku beberapa kali. Aku dicacinya pula... dihina dan ditinggalkan."
"Ah, mengapa begitu kasar?" Sangaji tercengang. "Jika demikian, tiada gunanya kau kenangkan lagi. Enyahkan saja bayangannya dari benakmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengurai adalah gampang. Akupun dapat menasehati setiap orang untuk memilih jalan yang paling bagus. Tapi justru... aku tak dapat meninggalkan bayangannya. Karena... kare-na..." gadis itu tak menyelesaikan kata-katanya, la mulai menangis lagi.
Sangaji saat itu lagi memasuki gelombang asmara juga. Hanya saja soalnya lain. Titisari
baginya adalah seorang gadis yang meng-gairahkan hatinya. Diapun membalas cin-tanya. Inilah namanya cinta kasih timbal balik. Maka diam-diam ia berpikir dalam hati, meskipun masih terdapat rintangan, namun keadaanku dan Titisari masih jauh beruntung dari dia. Wajah dan perawakan gadis ini bukan buruk. Kesannya hampir seimbang dengan Nuraini. Apa sebab pemudanya bisa berlaku ganas dan bengis kepadanya"
Mendadak saja teringatlah dia kepada Sanjaya yang memperlakukan Nuraini demi-kian juga.
Teringat akan hai itu, perlahan-lahan ia berkata hati-hati. "Cinta asmara sesungguhnya tak dapat dipaksakan."
"Hai! Apakah engkau juga pernah terlibat dalam soal cinta asmara?" Gadis itu ter-cengang. Dan sekaligus hilanglah tangisnya.
"Ya, bahkan aku lagi mulai," sahut Sangaji meyakinkan. Kemudian mencoba membesar-kan hati. "Pemuda itu hanya menyakitkan hatimu belaka. Tapi pengalamanku lebih hebat darimu."
"Kenapa?" Mendadak saja gadis itu melon-cat berdiri. Dan pandangnya berapi-api mem-benci segala.
Sangaji terkejut melihat perubahan itu. Teringat akan sepak terjang si gadis yang sok angin-anginan, hati-hati ia melanjutkan, "Aku dan dia sudah setuju. Sudah kulampui pula ujian-ujian yang diwajibkan. Mendadak saja, ayahnya berubah haluan. Gadisku disekapnya dan dibawanya lari..."
"Ih! Bukankah engkau bisa bersama-sama minggat" Ayah bunda sesungguhnya hanya sebagai perantara belaka. Kita semuanya ini Sana yang mempunyai. Meskipun ayah bunda mengutukmu, tapi kalian benar-benar saling mencintai... akan buyarlah tenaga kutuk itu.
Sebab yang mengadakan cinta kasih itu bukan ayah bunda. Tapi Sana!"
Hebat kata-kata gadis itu sampai Sangaji terkejut bercampur heran. Melihat usia si gadis, hati Sangaji geli. Karena kata-kata demikian tidaklah pantas diucapkan oleh seorang gadis remaja seusia dia. Tapi kata-katanya penuh letupan yang mengandung kebenaran juga. Diam-diam dia berpikir, gadis ini benar-benar menderita sampai bisa mempunyai pengucapan begitu hebat.
Meskipun mengandung kebenaran, kesannya liar juga. Apabila dibenarkan... bukankah akan
meracuni jiwanya?" Memperoleh pertimbangan demikian, Sa-ngaji terus berkata seperti guru. "Menurut tutur-tutur kata Guru, justru sadar bahwa semuanya ini yang mempunyai adalah Sana, maka aku bersikap tawar. Kuserahkan dia kepada Sana, biar sana sendiri yang menyele-saikan."
Sengaja Sangaji menirukan istilah Sana, agar tak menyinggung perasaannya. Pilih-annya
ternyata tepat. Gadis itu lantas saja memandang padanya lama-lama.
"Siapa namamu?"
"Sangaji." Dahi gadis itu mengkerut. Ia tak berkata lagi. Lantas saja suatu kesunyian terjadi.
"Dan kau... siapa namamu?" Sangaji ganti bertanya. "Fatimah." "Ayah bundamu?"
"Mereka semua sudah meninggal. Ya... biar-lah semuanya meninggalkan aku, apa pedulimu?"
Sehabis berkata demikian, kembali dia angot. Dengan sebat ia menyambar pengail Randukintir dan terus digebukkan empat lima kali kepada Sangaji. Kemudian memutar tubuh dan
meninggalkan lapangan. Mendadak saja ia memutar tubuh dan berkata minta ketegasan.
"Apakah kuda yang kukejar tadi, kudamu?"
"Ya." Ia memutar tubuh lagi sambil berteriak, "Usahakan dirimu masuk gerobak. Aku tak kuat memondongmu. Nah, biar kucari kudamu!"
Setelah berkata demikian, ia berlari-lari meninggalkan lapangan dengan cepat. Dan kembali Sangaji terlongong-longong memi-kirkan sepak terjang gadis itu yang benar-benar aneh. Pikirnya, dalam kemarahannya senantiasa terbesit rasa keibuannya. Apakah dia begitu menanggung derita tak tertanggungkan hingga sewaktu-waktu mengamuk tanpa sebab"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat, bahwa gadis itu tiada berayah bunda lagi, hati Sangaji kian perasa. Tanpa disadari sendiri rasa sukanya kepadanya jadi bertambah.
Tadi ia memesan agar aku naik ke gero-baknya, katanya dalam hati. Biarlah aku membuatnya senang...
Hatinya berkata demikian, tapi tak mudah pelaksanaannya. Ia benar-benar luka parah. Dikala mencoba menggerakkan badan rasa nyeri menusuk sampai kepalanya. Ia mencoba mengkeraskan
hati dan berusaha merangkak. Namun untuk kesekian kalinya ia gagal.
Lambat laun matahari mulai tenggelam. Teringat akan si gadis, hati Sangaji berdebar-debar.
Bukan takut kepada gebukannya, tapi kalau sampai mengecewakan itulah jangan! Dalam
keresahannya mendadak saja teringatlah dia kepada jalan darahnya yang sudah lancar. Menurut Gagak Seta, apabila jalan darah sudah bisa ditembus, gerak geriknya takkan terintang lagi. Semua kehendak dan kemauan-nya akan bisa dilaksanakan. Maka terus saja ia mengumpulkan tenaga
saktinya. Kemudian tapak tanggannya digempurkan ke tanah. Dan kesudahannya mengejutkan
hatinya. Tiba-tiba saja tubuhnya terlontar tinggi di udara melampaui puncak pohon. Inilah suatu
kejadian di luar dugaan dan perhitungannya. Kalau sampai jatuh di tanah, harapan untuk hidup dengan selamat tiada lagi. Untung, Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati tenang. Dalam kegugupannya ia bisa berpikir cepat. Terus saja tangannya dikibaskan menghantam bumi.
Ternyata tiga ilmu sakti yang sudah bersatu itu hebatnya tak terukur lagi. Begitu tangannya mengibas menghantam bumi, lantas saja timbul semacam gelombang angin yang menolak balik.
Dengan demikian daya turun tubuhnya bisa tertahan. Dan sedikit mengibaskan tangan kirinya ke samping, terus saja tubuhnya terbang me-ngarah ke atas gerobak. Oleh pengalaman itu ia
berhasil turun perlahan-lahan dengan mengatur tenaga pentalan bumi. Meskipun demikian,
jatuhnya ke atas gerobak masih ter-lalu keras untuk tubuhnya yang luka dalam. Berbareng dengan suara gedobrakan, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Tatkala menjenakkan mata, pandangan yang dilihatnya adalah bintang-bintang yang bergetar lembut di angkasa. Bintang-bintang itu seperti terlintasi. Dan apabila pikirannya mulai bekerja terasa kini gerobak yang ditidurinya bergoncang-goncang amat keras. Kemudian terdengarlah suara derap kuda dan lembu berjalan hampir berbareng. Maka tahu-lah dia, bahwa gerobak yang ditidurinya sudah berjalan entah kapan.
"Kau sudah bangun" Bagus!" Tiba-tiba suara si gadis menusuk telingannya. "Kalau mau selamat, tutuplah dahulu mulutmu!"
Heran Sangaji mendengar ucapannya. Kalau saja bukan seorang yang tajam panca indranya
betapa bisa mengetahui dia telah memperoleh kesadarannya. Dan memperoleh pikiran ini, Sangaji jadi curiga. Kepalanya lan-tas saja penuh teka-teki yang sukar terjawab.
Selagi ia sibuk menebak-nebak, panca indranya yang tajam melebihi manusia lum-rah,
mendengar derap kuda bergemuruh dan barisan yang sedang berjalan. Mau ia mene-gakkan
kepala, sekonyong-konyong gadis itu berkata, "Pasukan Pangeran Bumi Gede mulai mendekati kota. Tunggu saja beritanya. Beberapa hari lagi, kerajaan akan runtuh digilasnya."
Mendengar gadis itu menyebut nama Pangeran Bumi Gede, bukan main terkejutnya Sangaji.
Hatinya sampai tergetar. Dan sekali-gus jantungnya berdegupan. Karena kegon-cangan ini
darahnya lantas saja tersirap. Suatu gumpalan tenaga sakti lari berputaran tiada hentinya.
"Bagaimana kau tahu mereka pasukan Pangeran Bumi Gede?" ia bertanya perlahan.
"Rumahku berada dalam daerah ke-kuasaannya. Masakan aku tak mengenal namanya?" Sahut Fatimah. Mendadak suara-nya berubah menjadi keras. "Hai! Bukankah aku melarangmu berbicara"
Mengapa ber-bicara" Mengapa?"
Selagi hendak menjawab, Sangaji mendengar langkah enteng beramai-ramai. Tak ragu lagi,
mereka rombongan pendekar undangan. Dan dugaannya tepat. Dari arah timur nampaknya satu
rombongan besar yang lari cepat mengarah ke barat. Pada saat itu pula, ge-robak dihentikan Fatimah dengan sekonyong-konyong. Fatimah sendiri terus menuntun Willem bersembunyi di
belakang belukar. Mau tak mau gerak geriknya membuat Sangaji berteka-teki lagi. Diam-diam ia menimbang-nimbang: Didengar dari ucapannya, ia seolah-olah ikut bersyukur apabila Pangeran Bumi Gede berhasil meruntuhkan kerajaan. Maklumlah, rumahnya berada dalam daerah
kekuasaan pangeran itu. Tapi mengapa mendadak ia main bersembunyi, begitu melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkelebatnya para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebenarnya siapa dia" Menuruti
luapan hatinya, ingin ia segera memperoleh jawaban. Tapi suara derap langkah pasukan yang lewat belum lagi habis. Karena itu ia menyabarkan diri. Dalam hal ini ia mempunyai kepentingan juga. Terhadap pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede ia bermusuhan. Apabila
mereka sampai melihat dirinya berada di situ, pastilah mem-punyai akibatnya sendiri. Apalagi keris Kyai Tunggulmanik dan pusaka Bende Mataram berada dalam genggamannya.
Gerakan laskar Pangeran Bumi Gede ternyata memakan waktu hampir larut malam. Dan di jauh sana mulai terdengar bunyi kentong tanda bahaya sambung menyambung. Apakah mereka mulai
bertempur, Sangaji menduga-duga. Hatinya gelisah bukan main.
"Fatimah!" Akhirnya Sangaji tak dapat menyabarkan diri lagi. "Kau berkata, rumah-mu berada di daerah kekuasaan Pangeran Bumi Gede. Mengapa kau bersembunyi" Apakah engkau
mempunyai permusuhan juga?"
"Ih! Kenapa kau masih saja berbicara?" damprat Fatimah. "Kau takut?"
"Siapa bilang takut?" Sahut Fatimah cepat, "kalau aku bersembunyi adalah semata-mata untukmu. Kau tak percaya?"
Setelah berkata demikian, terus saja ia mencambuk lembu penarik. Sudah barang tentu, lembu itu jadi kaget berjingkrat. Dengan mengerahkan tenaga penuh-penuh ia membe-dal di sepanjang jalan. Celakalah Sangaji yang berada dalam gerobak. Tubuhnya lantas saja tergoncang pontang-panting. Belum lagi melintasi sepetak sawah, kembali ia jatuh pingsan untuk kesekian kalinya.
Memang luka dalam Sangaji tidaklah enteng. Hampir tempat-tempat penting dalam tubuhnya kena hantaman lawan yang memiliki tenaga sakti ma-sing-masing. Seumpama saja ia tak memiliki daya tahan ilmu sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan Getah Dewadaru"sudah siang-siang nyawanya lenyap dari tubuhnya.
Kali ini lama sekali Sangaji memperoleh kesadarannya kembali. Kira-kira menjelang fajar hari, lapat-lapat ia mendengar suara perempuan berbicara bisik-bisik.
"Paman! Terang sekali si Willem. Apakah kita belum boleh turun tangan?"
"Tunggulah sampai matahari cukup terang. Kurasa belum kasep." Terdengar suara laki-laki menyahut.
Meskipun Sangaji dalam keadaan luka parah, tetapi tenaga panca indranya tetap tajam dan
bersih. Dengan kesatuan tiga ilmu saktinya, ketajaman panca indranya melebihi kemampuan
panca indra pendekar sakti kelas satu. Itulah sebabnya begitu mendengar pem-bicaraan mereka, darahnya tersirap. Karena segera ia mengenal siapa yang berbicara. Itulah Titisari dan Gagak Seta.
Seperti diketahui Titisari dibawa lari ayahnya meninggalkan lapangan pertandingan. Gagak Seta kemudian menyusul untuk memberi penerangan tentang kesalahpahaman yang menyebabkan
Adipati Surengpati marah tak kepalang. Meskipun apa yang dikatakan cukup mengesankan,
namun Adipati Su-rengapti terkenal sebagai seorang pendekar yang besar kepala. Sekali sudah dilakukan, tak gampang-gampang ia menarik diri. Dengan demikian sia-sialah usaha Gagak Seta.
Sebaliknya Titisari mewarisi sebagian watak ayahnya. Begitu Gagak Seta mengundurkan diri, pada malam harinya ia minggat untuk ketiga kalinya. Ditengah jalan ia bertemu dengan Gagak Seta dan bersama-sama mencari Sangaji.
Mereka melihat gerakan pasukan Pangeran Bumi Gede juga. Selagi mereka mengintip gerak-
geriknya, mendadak saja mempergoki gerobak yang lari pontang-panting. Kemudian si Willem lari mendampingi dengan di tung-gangi seorang gadis. Melihat pemandangan itu, Titisari terkejut bukan main. Sebagai lazimnya seorang gadis, rasa cemburunya naik sampai kebenaknya. Terus saja ia hendak melabrak. Untung di sampingnya ada Gagak Seta yang bisa berpikir dingin. Setelah mengadakan suatu rentetan perdebatan, akhirnya Titisari mengalah. Karena Gagak Seta bisa membuktikan, bahwa di dalam gerobak tergeletak tubuh Sangaji yang tak dapat berkutik.
Kedua-duanya mengira, Sangaji tertawan musuh. Gadis yang menunggang kuda itu, mungkin
salah seorang anggota lawan. Karena itu mereka memutuskan hendak menguntitnya. Berkali-kali Titisari memberi kisikan sandi kepada Sangaji. Meskipun pandai, sama sekali ia tak menduga, bahwa waktu itu Sangaji jatuh pingsan tak sadarkan diri. Itulah sebabnya rasa cemburunya kian menjadi hebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah kira-kira matahari menyingkap udara untuk yang pertama kalinya gerobak itu
nampak mendaki suatu gundukan. Di sana berdiri suatu benteng kuno pada zaman Trunajaya.
Dalam kesuraman pagi, nampak menyeramkan.
Melihat gerobak itu memasuki benteng kuno, timbullah kecurigaan Titisari. Pikirnya menebak-nebak , apakah ada penghuninya"
Meskipun kodratnya seorang gadis, namun Titisari bukanlah gadis lumrah. Terus saja ia lari mengitari benteng dari sisi lain. Kemudian dengan enteng ia meloncat ke atap. Dari ke-tinggian ia memperoleh penglihatan lapang tak terhalang.
Fatimah menambatkan Willem. Lantas meninggalkan benteng dengan berjalan acuh tak acuh.
Tatkala sampai di pintu gapura, mendadak balik kembali. Willem dihampiri dengan cepat, tali pengikatnya dilepaskan, kemudian menggebugnya pergi.
Selamanya Willem belum pernah memper-oleh perlakuan kasar. Karena itu begitu diben-tak,
terus saja ia meloncat tinggi dan lari berputaran. Sebentar kemudian berderap melewati gapura dan hilang dibalik gundukan. Agaknya inilah yang dikehendaki Fatimah. Ternyata setelah melihat Willem meninggalkan benteng dia pun segera berjalan keluar gapura dengan tergesa-gesa.
Titisari menunggu beberapa saat lamanya. Lalu meloncat ke tanah dan terus memeriksa
benteng. Ternyata benteng itu tiada peng-huninya. Kamar-kamarnya kosong, keruh, kotor dan gelap. Timbulah keheranannya, mengapa gadis tadi membawa gerobaknya masuk ke dalam
benteng. Tatkala ke luar dari ruang dalam, ia melihat Gagak Seta berdiri termangu-mangu di depan
gerobak seolah-olah habis berbicara.
"Eh, tolol! Benar kau tak bisa bergerak?" Terdengar ia berbicara lagi.
Mendengar Gagak Seta berbicara, terus saja Titisari meloncat lari. Hatinya girang penuh syukur.
Tapi begitu melihat Sangaji yang menggeletak tak bertenaga di dalam gerobak, hatinya
tergoncang. Waktu itu keadaan Sangaji tak keruan macamnya. Rambutnya terpangkas tipis.
Wajahnya pucat bagai kertas. Seluruh tubuhnya hampir tersiram darah yang sudah membeku.
Kakinya lepat-lepot penuh debu. Kemudian jerami gerobak bertaburan menutup bagian tubuhnya.
Gagak Seta bukankah tak mengerti bahwa Sangaji dalam keadaan luka parah. Tapi dasarnya
menganggap persoalan dunia ini seenteng gabus, maka dalam kata-katanya ia sering bergurau.
Tetapi begitu habis dia berbicara, terus saja mengangkat Sangaji dan dibawa masuk ke dalam benteng dengan hati-hati.
Karena di dalam benteng tiada sesuatu pe-rabot rumah, Titisari kembali menghampiri gerobak dan mengangkut jeraminya. Terus saja ia menggelarkannya di atas lantai yang kotor berdebu kemudian Gagak Seta memba-ringkan Sangaji dengan pandang penuh selidik. Kala itu mulut
Sangaji terkatup rapat. Meskipun tubuhnya kuat, tapi ia pingsan untuk beberapa kali. Jantungnya berdegup lemah. Karena luka dalamnya kian berat.
Melihat Sangaji rebah tak berkutik, Titisari jadi bingung dan penuh khawatir. Diam-diam ia menyesali diri sendiri mengapa semalam ia bercemburu kepadanya, cepat ia menyalakan sebatang kayu dan menyului muka kekasih-nya.
"Lukanya hebat bocah ini," akhirnya Gagak Seta berkata setengah berbisik, inilah pukulan berat bagi Titisari. Ia berdiri ter-longong-longong sambil memegang obornya erat-erat. Gagak Seta sendiri terus bekerja dengan cepat. Tanpa ragu-ragu lagi, tangan-nya ditempelkan ke punggung Sangaji pada titik pusat urat syaraf. Kemudian ia me-nyalurkan hawa murninya mendadak saja, tenaganya terasa seperti terhisap oleh suatu tenaga dahsyat. Itulah tata kerja getah sakti Dewadaru yang kini sudah bersatu dengan dua ilmu sakti lainnya. Meskipun sudah lebur menjadi satu, namun sifatnya belum berubah.
"Ih?" Gagak Seta terkejut.
la tahu dalam diri Sangaji pastilah terjadi sesuatu perubahan hebat. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami peristiwa demikian. Meskipun Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Kyai Kasan Kesambi memiliki tenaga sakti yang tak dapat diukur tingginya, namun tenaga mereka belum sampai pada taraf menghisap tenaga lawan. Tapi dasar ia seorang pendekar berwatak
angkuh dan per-caya pada diri sendiri, tak mau ia menyerah. Segera ia berkutat melawan tenaga hisapan yang membanjir bagaikan air bah. Belum lagi seperampat jam ia berjuang, keringatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah mulai merembes keluar. Hal itu mem-buktikan, betapa hebat tenaga sakti Sangaji yang dimiliki sekarang.
Titisari tak mengetahui, bahwa Gagak Seta sedang berjuang mati-matian melawan tenaga
hisapan Sangaji. Ia hanya mengetahui Sangaji terluka berat. Kemudian warna mukanya yang
pucat lesi, sediki demi sedikit menjadi merah dan berkesan segar, la mengira, itulah jasa Gagak Seta. Meskipun peristiwanya demikian, namun tebakannya hanya benar separo. Kala itu, tenaga sakti Gagak Seta hampir terhisap seperempat bagian. Sedangkan menghimpun tenaga sakti
membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Karena itu meskipun sifatnya hendak menyalurkan tenaga murni untuk membantu memulihkan kekuatan jasmani, tetapi sesungguhnya ia lagi
berkelahi bagai dua pendekar utama mengadu tenaga sakti.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi Titisari tenggelam dalam rasa girang, sekonyong-konyong ia mendengar kesiur angin.
Begitu menoleh, tahu-tahu dibela-kangnya berdiri seorang gadis dengan pandang tajam. Dialah Fatimah yang tadi meninggalkan benteng dan kini datang kembali dengan membawa dua ekor
ayam. "Siapa kau?" Bentak Titisari.
"Siapa kau?" Fatimah membalas bertanya pula.
"Eh, aku tanya kepadamu."
"Eh, aku tanya kepadamu."
"Jangan bergurau! Aku bertanya kepada-mu!" Bentak Titisari. Tapi Fatimah menirukan pula,
"Jangan bergurau! Aku bertanya ke-padamu."
Renjana Pendekar 13 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Sepasang Garuda Putih 6