Bende Mataram 31
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 31
Tatkala aku dipertunangkan dengan Sonny, bukankah aku tak menolak" Meskipun hatiku berbicara lain. Karena itu betapapun juga aku harus berani memikul akibatnya. Seorang laki-laki boleh hancur-lebur, tapi jangan sampai kehilangan harga diri. Biarlah Adipati Surengpati membunuhku.
Biarlah Titisari membenci daku seumur hidup atau mengutuki tulang belulangku dalam liang kubur. Aku tak dapat berbuat lain, kecuali menetapi janji...
Setelah mengambil keputusan demikian, ia menghadap Adipati Surengpati. Kemudian berkata
nyaring, "Adipati Surengpati, guru, paman-pamanku, Paman Hajar Karangpan-dan, Aki
Panembahan Tirtomoyo dan Aki Tunjungbiru dan Mayor de Hoop, Sonny dan sekalian yang hadir di sini. Aku Sangaji. Meskipun aku anak seorang janda miskin dan ayahku mati tak ketentuan liang kuburnya, tapi aku adalah laki-laki yang harus mempu-nyai harga diri. Tak dapat aku
mengorbankan kepercayaan orang terhadapku. Karena itu betapapun akibatnya aku tetap akan kawin dengan Sonny de Hoop. Inilah pernyataanku."
Sangaji berbicara dalam dua bahasa. Yang pertama kali bahasa Jawa. Kemudian diter-
jemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Dengan demikian kedua belah pihak mengerti dengan
terang. Keruan saja. Mayor de Hoop dan Sonny girang setengah mati. Sebaliknya, Adipati
Surengpati, Titisari, Ki Hajar Karang-pandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjung-biru, Jaga Saradenta dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi tercengang-cengang. Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan sekalian murid-murid Kyai Kasan
Kesambi akhirnya memuji keputusan itu dengan diam-diam. Inilah ucapan dan keputusan seorang ksatria sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadinya demi menjunjung derajat kaumnya dan bangsanya. Tapi tidaklah demikian halnya dengan Adipati Surengpati. Semenjak dahulu ia dijuluki sebagai siluman Karimun Jawa. Karena dia adalah seorang pendekar yang tak
menghiraukan sama sekali tata pergaulan manusia. Ia merasa muak mendengar semboyan-
semboyan kosong yang tiada harganya bagi sejarah kemanusiaan. Apakah itu harga diri. Apakah itu kehormatan laki-laki. Apakah itu ksatria sejati segala. Mendadak saja ia memperdengarkan suatu nada tertawa panjang yang menggeridikkan bulu roma.
Tittisari kaget mendengar tertawa ayahnya. Itulah suatu tanda, bahwa ayahnya murka tak
terkendalikan lagi. Tapi berbareng itu, ia berduka juga sehingga ia berdiri terlongong-Iongong.
Gadis yang berontak cerdas luar biasa itu, mendadak saja kehilangan akal. Tetapi hal itu bukanlah berarti bahwa ia tak tahu menempatkan diri. Dengan tenang ia melangkah maju beberapa langkah menghampiri Sonny. la mengamat-amati perawakan puteri itu yang tegap berwibawa. Akhirnya menghela napas panjang. Pikirnya, patutlah Aji menjadi suami-nya. Inilah suatu pilihan tepat.
Terus ia berkata kepada Sangaji, "Aji! Aku paham apa sebab engkau menyatakan keputusan itu.
Kau bergaul dengan dia lebih lama daripadaku. Kau dibesarkan pula dalam kalangannya. Sudah selayaknya engkau memilih dia sebagai sisihanmu. Sebaliknya aku... aku adalah anak seorang siluman yang tiada beribu lagi. Tak berpendidikan. Tak bermartabat. Tak berdera-jat, dan liar.
Sudah selayaknya pula engkau melupakan aku sebagai impian buruk...
Bukan main terharunya hati Sangaji. Ia maju menghampiri dan memegang tangannya erat-erat.
Kata pemuda itu, "Titisari! Tak-tahulah aku apakah keputusanku itu tadi tepat atau tidak. Cuma saja, di dalam hatiku terisi seorang saja yang kucintai dengan segenap hatiku. Itulah engkau.
Meskipun nasibku kelak mulia atau buruk, aku tetap mencintaimu."
Mendengar ucapan Sangaji, air mata Titisari menggelinang memenuhi kelopak matanya.
Katanya berbisik, "Tapi mengapa kau hendak mengawini dia?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Titisari! Aku memang seorang tolol. Segalanya tak kumengerti sendiri. Di depanku seolah-olah sudah disediakan jalan panjang bagiku yang harus kutempuh. Aku hanya tahu, bahwa seorang laki-laki harus dapat memegang teguh janjinya. Aku hanya tahu, bahwa aku tak boleh berdusta.
Aku harus berani menanggung akibatnya. Karena itu tak peduli bagaimana aku harus mengambil keputusan demikian. Hanya dalam hatiku... terisilah engkau seorang. Sungguh! Aku tak berdusta."
Titisari jadi bingung. Ia girang tetapi berbareng susah hati pula. Akhirnya ia tertawa panjang sambil berkata, "Aji tahulah aku kini. Kalau hari ini kita masih mengeram dalam benteng, bukankah engkau takkan mengalami peristiwa ini?"
"Itulah gampang!" tiba-tiba Adipati Su-rengpati berkata. Alisnya dinaikkan dan tiba-tiba tangannya mengibas ke arah Sony de Hoop.
Tadi Titisari telah mendengar nada tertawa ayahnya, la terkesiap. Dan tahulah dia, bahwa ayahnya akan mengambil suatu tindakan yang tak terduga-duga. Maka begitu mendengar ayahnya berkata memutuskan, cepat ia mendahului, la menyambar pergelangan tangan Sonny dan
ditariknya turun. Adipati Surengpati takut akan mencelakai puterinya. Dengan sendirinya ia memperlam-bat
gerakannya. Sesudah Titisari menarik Sonny turun dari punggung kuda, barulah pukulannya
dilepaskan sebebas-bebasnya. Mula-mula seperti tiada terjadi sesuatu. Mendadak saja kuda Sonny menundukkan kepalanya. Keempat kakinya lemas tiada tenaga. Lalu berguling ke tanah. Dan pada saat itu juga, nyawanya melayang.
Kuda Sonny adalah kuda pilihan. Pera-wakannya besar dan kuat seperti Willem yang selalu
dibawanya pergi semenjak kemarin lusa. Tapi dengan sekali hajar, mampuslah dia. Karuan saja yang menyaksikan kaget bukan main. Kalau kibasan tangan tadi me-ngenai Sonny, tidakkah gadis Indo itu akan ringsek"
Sebaliknya Adipati Surengpati tercengang-cengang menghadapi kejadian demikian. Sama sekali tak diduganya, bahwa Titisari akan menolong gadis saingannya itu. Tetapi dia seorang pendekar berpengalaman lagi cerdik. Sebentar saja tahulah dia menebak kehendak puterinya. Kalau
kibasannya tadi mengenai Sonny, pastilah Sangaji akan marah, la tak takut menghadapi Sangaji meskipun telah mempunyai ilmu sakti tiada tara. Tetapi akibat dari itu, Titisari akan dimusuhinya.
Hubungan mereka berdua akan jadi renggang. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi
berpikir keras. Tak dikehendakinya sendiri, ia mengamat-amati paras muka puterinya. Titisari nampak lesu dan berduka. Kesan muka demikian, mengingatkan dia kepada almarhum isterinya sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan dialah ibu Titisari yang sangat dicintai.
Setelah dikubur, ia hampir-hampir menjadi gila. Meskipun kini sudah lewat lima belas tahun, masih saja wajah almarhum isterinya berkelebat dalam benaknya.
Sekarang ia melihat wajah itu kembali pada paras muka puterinya. Maka tahulah dia, bahwa gadisnya itu amat mencintai Sangaji. Tak terasa ia menarik napas panjang sekali.
"Titisari, anakku... mari kita pulang...!" la berkata perlahan penuh haru. "Kita menyekap diri di tengah Lautan Jawa. Di antara pepohonan dari batu-batu kepulauan Karimun Jawa. Selanjutnya kita singkiri dan kita lenyapkan bayangan bocah itu dari benak kita. Bukankah kita akan bisa hidup lebih tenteram?"
"Tidak Ayah," sahut Titisari sambil mengge-lengkan kepala.
"Biarlah aku pergi mengikuti dia barang satu dua tahun. Tenagaku masih dibutuhkannya untuk memecahkan teka-teki guratan Bende Mataram. Kalau aku begitu saja meninggalkannya,
bukankah teka-teki itu takkan dapat dipecahkan?"
Adipati Surengpati tersenyum. Katanya ter-cengang. "Terpecahkan atau tidak, apakah
pentingnya buat kita?"
"Aku telah berdoa dan berjanji kepada Pangeran Semono akan menyertai sampai ia
membuktikan sumpahnya hendak berbuat kebajikan kepada sesama umatnya dengan bekal ilmu
warisannya..." Adipati Surengpati tertegun. Ia diam meninv bang-nimbang. Akhirnya berkata, "Baiklah.
Kau sudah berjanji. Karena itu puteri Adipati Surengpati, wajiblah engkau membuktikan. Di kemudian hari apabila sudah terlaksana, bukankah kau akan pulang ke rumah?" "Tentu, Ayah."
"... dan apakah engkau masih memikirkan bocah itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari mengerling kepada Sangaji. Pemuda itu nampak lesu. Paras mukanya muram, suatu
tanda bahwa hatinya berduka. Maka ia berkata nyaring. "... Ayah! Kuakui, aku cinta padanya.
Tetapi ia mengawini gadis lain. Karena itu, akupun akan kawin dengan pemu-da lain pula.
Katanya... dalam hatinya hanya ada aku. Akupun demikian. Meskipun kawin dengan pemuda lain, dalam hatiku hanya ada dia."
"Bagus!" Adipati Surengpati tertawa. "Tetapi kalau suamimu kelak melarangmu bertemu dengan dia, apakah yang hendak kaulaku-kan?"
"Siapa yang berani melarang aku" Aku kan puteri Adipati Surengpati?" sahut Titisari cepat.
"Ah, anak tolol! Ayahmu bukan hidup untuk selama-lamanya. Beberapa tahun lagi, mung-kin ayahmu akan menyusul ibumu di alam baka..."
"Tetapi... apabila aku menghadapi kenyataan hidup begini pahit, masakan aku betah hidup lama-lama di dunia" Aku pun akan menyusul ayah-bunda secepat mungkin."
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pen deta yang terkenal berwatak angin-anginan dan
senang membawa adatnya yang edan-edanan. Tapi begitu mendengar percakapan antara Adipati Surengpati dan Titisari, ia jadi tertegun keheran-heranan. Tak terasa bulu kuduknya meremang.
Maklumlah pada zaman itu tata-susila pergaulan sangatlah keras. Barangsiapa berani berbuat zinah, akan memperoleh hukuman seberat-beratnya. Tetapi ayah dan anak itu alangkah enaknya membicarakan hal itu. Tata-tertib hukum seolah-olah tiada harganya dan tak dihiraukan sama sekali. Mereka berdua seolah-olah merdeka berbuat sekehendaknya sendiri.
Adipati Surengpati memang terkenal seba-gai seorang pendekar aneh. Karena itu, ia dijuluki siluman Karimun Jawa. Gerak-geriknya liar dan di luar dugaan orang. Apa yang dilakukan,
seringkali bertentangan dengan tata tertib pergaulan manusia. Meskipun demikian, ia seorang pelajar. Pengetahuannya luas dan ilmunya sangat tinggi. Titisari adalah satu-satunya anak gadisnya. Semenjak kanak-kanak diasuh oleh ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, tak mengherankan bahwa ia benar-benar mewarisi watak dan pandangan hidup ayah-nya pula. Orang boleh bersuami atau beristeri. Tetapi perkawinan itu bukanlah berarti peng-ucapan cinta sebenarnya. Karena itu, dia beranggapan bahwa seorang isteri atau suami boleh bertemu dengan kekasihnya yang sebenarnya di luar rumah pada sembarang waktu.
Sangaji sebaliknya, adalah seorang pemuda yang lurus hati, sederhana, jujur dan mulia hati.
Mendengar percakapan mereka, ia jadi berduka bukan main. Ingin ia hendak membe-sarkan hati Titisari. Tetapi apakah yang hen-dak dikatakan" Tak dikehendaki sendiri, ia bungkam tak berkutik.
Dalam pada itu Adipati Surengpati meng-amat-amati gadisnya. Kemudian kepada Sa-ngaji.
Sekonyong-konyong ia tertawa men-dongak memenuhi angkasa. Suara tertawanya bergelora dan menggetarkan bumi. Burung-burung yang sedang hinggap di pepohonan, terkejut sampai
berterbangan tanpa tujuan.
"Hai burung!" kata Adipati Surengpati nyaring. "Pagi ini ada jembatan putus. Apa sebab tak kalian kabarkan kepada semesta alam?"
Adipati Surengpati sedang mendongkol berbareng sakit hati. Cepat ia menjumput segenggam
kerikil. Kemudian disambitkan ke angkasa. Dan burung-burung yang tak menyadari datangnya bahaya, mati runtuh ke tanah seperti daun kering tersapu angin. Tentara Belanda yang selama itu hanya meng-andalkan perlengkapan senapannya, tertegun keheran-heranan menyaksikan
tontonan de-mikian. Tatkala mereka menoleh ke arah Adipati Surengpati, siluman dari
Karimunjawa itu sudah berjalan meninggalkan gelanggang tanpa menoleh. Dan sebentar saja, tubuhnya hilang di balik gundukan tanah ...
Mayor de Hoop dan Sony de Hoop tak dapat mengikuti pembicaraan itu. Tetapi begitu meli-hat perginya Adipati Surengpati, dapatlah mereka menebak sebagian. Itulah suatu tanda, bahwa Adipati Surengpati mendongkol karena kecewa hati. Dengan sendirinya, mereka mengerti Sangaji benar-benar menepati janji. Karena itu diam-diam mereka bersyukur dalam hati.
Dengan serentak, Mayor de Hoop melompat dari kudanya. Lantas menghampiri Sangaji sambil
membawa pelangi ibunya. Itulah pe-langi ibunya yang dahulu diberikan kepada Mayor de Hoop sebagai suatu tanda ikatan keluarga.
"Sangaji!" kata Mayor de Hoop. "Apakah engkau telah berhasil menuntutkan dendam almarhum ayahmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar pertanyaan itu, Sangaji seperti tersadar. Dengan sendirinya ia menoleh ke arah gelanggang. Ia jadi keheran-heranan, karena Pangeran Bumi Gede dan seluruh pasukannya tiada nampak lagi kecuali mereka yang mati atau terluka berat. Rupanya, tatkala para kompeni sibuk merumun Sangaji, ia meninggalkan gelanggang pertempuran de-ngan diam-diam.
Sesungguhnya demikianlah halnya. Sebagai seorang serba cerdik, dengan cepat Pangeran Bumi Gede dapat menebak apa yang sedang terjadi. Tadinya, ia mengharap akan memper-oleh bantuan kompeni dan kesaktian pendekar Kebo Bangah. Ternyata dua-duanya tak dapat diandalkan.
Pendekar Kebo Bangah hilang tiada kabarnya. Sedangkan kompeni tiba-tiba saja begitu bersikap mesraP terhadap Sangaji. Teringat riwayat hidup Sangaji, lantas saja ia bisa menduga delapan bagian. Maka sebelum terlanjur, cepat-cepat ia memerintahkan para panglimanya agar
meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diam-diam.
"Sangaji!" kata Sonny de Hoop. "Tatkala kami berangkat ke mari, ibumu berpesan agar engkau lekas pulang."
Pada waktu itu, hati Sangaji masih pepat. Mendengar suara Sonny, ia mengangguk de-ngan
kepala kosong. Kemudian berkata, "Kau pulang dahulu bukan" Nah, katakan kepada Ibu bahwa aku belum berhasil menuntut balas. Tapi... tahun ini, aku pasti pulang. Kau mau menyampaikan pesanku ini, bukan?"
Mayor de Hoop dan Sonny senang men-dengar ucapan Sangaji. Mereka lantas saja
mengucapkan selamat berpisah. Dan dengan memberi aba-aba pendek, mereka mening-galkan
gelanggang pertempuran bersama pasukannya.
Titisari mengikuti mereka dengan pandang matanya yang suram. Sangajipun seolah-olah
terpaku pula di atas tanah. Mukanya penuh dukacita tak terkatakan. Maka ia berkata per-lahan,
"Aji! Pergilah kau! Sama sekali aku tak menyesalimu..."
"Titisari!" sahut Sangaji terkejut. "Selama pertempuran tadi, aku tak melihat Kebo Bangah.
Pendekar bandotan itu belum kukalahkan, tetapi apa sebab meninggalkan gelanggang dengan
tiba-tiba" Kecuali itu, Pangeran Bumi Gede pun menghilang sewaktu aku lagi terbenam dalam persoalan ini. Pastilah mereka mempunyai cara kerja sendiri untuk mencapai angan-angannya... Di antara kita, hanya aku dan engkau saja yang paham tentang rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Karena itu, seyogyanya engkau janganlah berjalan seorang diri..."
"Apakah engkau hendak mengajak aku ke Jakarta?" potong Titisari berduka. Gadis itu menggelengkan kepala dan meruntuhkan pandang ke tanah. Dan Sangaji jadi perasa. Hatinya
terharu bukan main. Ingin ia mengu-capkan sesuatu untuk membesarkan hati kekasihnya, namun tak kuasa ia mencetak kata-kata.
"Pergilah engkau seorang diri menepati jan-jimu," kata Titisari setengah berbisik. "Aku bisa membawa diri." Kemudian ia meletakkan pusaka sakti Benda Mataram ke tanah. Keris Kyai Tunggulmanik yang terselip di ping-gangnya lantas pula ditinggalkan dan disisip-kan ke pinggang Sangaji. la mengeluarkan pula serenceng uang dan hiasan dada. Berkata, "Pusaka ini adalah pusaka warisan-mu. Aku tak berhak membawa-bawa pergi. Dan ini adalah sisa uang
perjalananmu. Aku sendiri tak dapat memberi sesuatu, kecuali hiasan dada ini. Dahulu kuterima dari almarhum ibuku. Kini kuberikan kepadamu, agar engkau-engkau..." ia tak kuasa menyelesaikan ucapannya. Hatinya penuh kubangan rasa sedan. Terus saja ia menggenggamkan benda
mustikanya ke tangan Sangaji.
"Titisari! Kau seolah-olah hendak meng-ucapkan selamat berpisah untuk selama-la-manya!"
kata Sangaji dengan suara mengge-letar.
Gadis itu tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan air mata berlinang, ia mencoba me-nguatkan
hati. Berkata mengelak, "Tak mem-punyai lagi aku benda yang lebih berharga daripada ini. Kalau saja engkau tak me-nyia-nyiakannya, sudahlah senang hatiku..."
Dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu memutar tubuhnya. Perlahan-lahan ia meninggalkan
kubu pertahanan dan tak lama kemudian hilanglah bayangannya di balik gunduk sana.
33 KEBO BANGAH Benar-benar Sangaji bagai seseorang yang kehilangan dirinya sendiri. Ia tegak seperti batu.
Pandang matanya terlongong-longong. Masih ia menyusul kepergiannya Titisari beberapa langkah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian berdiri tegak seperti tersekat danau lumpur setinggi lehernya. Sedang ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba lengannya terasa teraba. Ia menoleh dan melihat gurunya Jaga Saradenta berdiri tertatih-tatih di dekatnya. Kata guru yang sok uring-uringan itu, "Anakku Sangaji! Engkau lahir sebagai laki-laki dan kelak mati sebagai laki-laki pula. Dan sebagai seorang laki-laki aku menghendaki engkau hidup sebagai laki-laki tulen. Nah, bagaimana" Apakah engkau masih
seorang laki-laki?" Pemuda itu masih berdiri terlongong-Iongong. Kemudian mencoba mengatasi perasaannya.
"Aku... aku hendak mengunjungi guru dahulu ke Gunung Damar!"
"Bagus! Itulah baru muridku," seru Jaga Saradenta bergembira. "Tiga belas tahun yang lalu, bukankah perasaanku seperti keadaanmu sekarang" Kutinggalkan istri dan kampung halamanku.
Untuk apa dan untuk siapa" Ontuk ini... yang bersemayam dalam dada... yang mengingatkanku setiap detik bahwa aku dilahirkan dan akan mati sebagai laki-laki."
Hebat kata-kata guru yang sok uring-uringan itu, meskipun andaikata terdengar Adipati
Surengpati akan ditertawakan sebagai suatu elan kosong melompong. Sebaliknya yang berada dalam kubang batu itu adalah golongan pahlawan-pahlawan muda yang masih mengutamakan
sifat-sifat kejantanan sebagai elan hidupnya. Karena itu, mereka bersikap diam dan bersungguhsungguh. Bahkan pendeta edan-edanan Ki Hajar Karangpandan turut tergetar hatinya. Terus saja menimbrung.
"Jaga Saradenta! Terimalah hormatku! Meskipun kepergianmu ke daerah barat ada sangkut-pautnya dengan diriku, tapi kepergianmu dahulu jauh lebih jantan daripadaku. Kau pergi sebagai laki-laki. Sebaliknya aku bekerja untuk ketamakanku."
Mendengar pengakuan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru tertawa perlahan. "Eh"
semenjak kapan kau berubah adat" Kalau kutahu begini adatmu, sudah dulu-dulu aku kawin.
Kukira kau mau menang saja dalam segala hal. Tak tahunya, engkau berani pula melihat
kenyataan. Bagus! Mulai saat ini, kuhabisi saja pertaruhan kita dahulu. Aku mengaku kalah. Dan kau boleh kawin sembarang waktu."
"Hidungmu!" dengus Ki Hajar Karangpandan. "Siapa kesudian menjadi isteri pendeta bangkotan begini" Dan sekiranya terjadi, isteriku harus seorang wanita Sunda yang berpantat besar."
"Bagus! Akupun akan mencari puteri Jawa yang paling besar pantatnya," sahut Ki Tunjungbiru cepat.
Seperti diketahui, mereka dahulu berkutat sampai lima hari perkara pantat. Masing-masing tak mau mengalah dan mati-matian mempertahankan kehormatan wanita sukunya. Karena tiada yang kalah dan menang, akhirnya mereka mempertaruhkan kehormatannya yang terakhir. Yakni
mempertandingkan diri siapa yang paling betah tak kawin. Hasilnya setali tiga uang. Sampai umurnya melampaui setengah abad, masih saja mereka tak sudi kawin.
Mereka berdua lantas saja tertawa geli. Akhirnya tertawa terbahak-bahak seperti orang
gendeng. Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta yang mengenal sejarah mereka, ikut
tertawa melebar. Bahkan Sangaji sendiri yang sedang pepat, mendadak bisa tersenyum. Tak
setahunya sendiri selembar kepepatan hatinya sirna dari lubuk dadanya.
Demikianlah, mereka lantas saja berkemas-kemas. Sangaji memanggil Willem. Gurunya Jaga
Saradenta yang terluka lantas saja dinaikkan di atas punggung kuda jempolan itu. Dia sendiri bersama-sama paman gurunya, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru dan Panembahan
Tirtomojo berjalan mengiringkan.
Surapati dan Pringgasakti waktu itu telah dikebumikan. Medan pertempuran lantas saja
berganti kesan. Orang-orang desa belum berani mencongakkan diri. Karena itu, mayat-mayat prajurit yang jauh dari sanak keluarganya, bergelimpangan tiada terurus.
Menjelang tengah hari pancaindera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap sesuatu yang
mencurigakan. Kira-kira seratus langkah di barat daya ia mendengar suatu pernapasan pepat di antara semak tetumbuhan. Pernapasan itu menyenak-nyenak. Terang adalah napas seseorang
yang menderita luka parah.
"Paman! Apakah Paman mendengar sesuatu yang kurang beres?" Ia minta keyakinan kepada paman-paman gurunya.
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah sebangsa pendekar murahan.
Suryaningrat sendiri meskipun yang terlemah adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Ilmunya sejajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta.
Meskipun demikian, mereka semua tak dapat ditandingkan dengan ilmu sakti Sangaji. Bahkan Gagak Seta, Adipati Surengpati dan Kebo Bangah diam-diam mengakui keunggulannya. Karena
itu, pancaindera mereka kalah jauh tajamnya.
"Berkatalah! Kau mendengar apa?" kata Gagak Handaka.
"Aku mendengar suara napas yang..." Mendadak saja ia meloncat sambil berseru mengajak,
"Paman! Mari!" Tanpa menunggu paman-pamannya lagi, Sangaji terus saja menghampiri gerumbul. Ia seperti
mengenal tata pernapasan yang menusuk pendengarannya. Benar juga. Tatkala ia menyibakkan gerumbul, dilihatnya suatu tebing sungai yang agak curam. Cepat ia melayang turun sambil menggebu alang-alang yang menutupi penglihatan. Berbareng dengan turunnya ke tanah, ia
melihat seorang meringkuk tiada berkutik seolah-olah telah mati. Hatinya memukul, karena segera ia mengenalnya. Itulah Fatimah gadis angin-anginan yang menolongnya dahulu.
Dengan gemetaran ia mendekati. Cepat ia mengangkatnya dan diperiksanya dengan hati-hati.
Di bawah cuaca terang-benderang ia melihat mata Fatimah terpejam rapat. Wajahnya pucat
bagaikan kertas. Napasnya terdengar menyenak lembut dan berjalan amat perlahan. Dari
kenyataan itu terbuktilah betapa tajam panca indera Sangaji.
Terkejut dan pilu rasa hati Sangaji begitu melihat keadaan Fatimah. Dengan pipinya ia mencoba memeriksa suhu tubuh gadis itu. Syukur, masih terasa hangat. Dan ia agak bergirang hati, mendengar denyut jantung dan nadinya masih berjalan wajar.
"Paman... bagaimana?" Ia mendongak ke atas dan terus mendaki tebing dengan hati-hati.
Fatimah kemudian diletakkan di atas rerumputan. Tanpa menunggu pertimbangan lagi, terus
saja ia mengirimkan tenaga saktinya.
Mereka yang berada di situ adalah serombongan pendekar-pendekar berpengalaman. Tanpa
berbicara mereka lantas bekerja. Ranggajaya dan Bagus Kempong segera memeriksa keadaan
tubuh gadis itu, yang ternyata menderita luka berat. Sedangkan Gagak Handaka menjaga
peredaran darah. Hanya Suryaningrat seorang yang sibuk tak keruan. Maklumlah, di antara
mereka dialah yang mempunyai hubungan rapat dengan Fatimah. Seperti diketahui, Fatimah
adalah muridnya, atas perintah Kyai Kasan Kesambi untuk meniliknya pada waktu-waktu tertentu.
Dan dalam hal ini ia tak tahu, apa yang harus dilakukan. Dengan sekena-kenanya, ia mencoba membangunkan Fatimah. Ternyata kedua kaki dan tangan muridnya tetap terkulai seolah-olah kehilangan tulang sendi. Menyaksikan demikian, wajahnya jadi pucat. Hampir-hampir saja ia menangis.
Lain halnya dengan Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru. Dan sekilas pandang, tahulah mereka apa yang harus dilakukan. Seperti berjanji, mereka mengeluarkan obat simpanannya.
Panembahan Tirtomoyo mengeluarkan obat bubuk hasil ramuannya sendiri. Sedangkan Ki
Tunjungbiru segera meminumkan madu lebah Tunjungbiru yang termasyhur khasiatnya.
Ki Hajar Karangpandan lain pula yang dilakukan. Pendeta itu meskipun terkenal berwatak edan-edanan, tetapi besar kewas-padaannya dan pengalamannya. Terus saja ia lari berputaran
memeriksa sekitar lapangan.
"Ih! Nampaknya lengan dan kakinya patah," kata Jaga Saradenta dari atas punggung si Willem.
"Siapakah yang berbuat sekeji ini?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah tidak mengetahui keadaan
Fatimah. Hanya saja mereka merasa diri tak sanggup melakukan penyambungan tulang. Untung di situ terdapat Ki Tunjungbiru dan Panembahan Tirtomoyo. Kedua pendekar itu lantas saja bekerja.
Mumpung Fatimah dalam keadaan belum sadar kembali, segera mereka menyambung tulang
lengan dan kaki yang terpatahkan. Kemudian dibebatnya rapi setelah diborehi sebungkus ramuan obat tulang.
Berkat pertolongan mereka semua, Fatimah cepat dapat disadarkan kembali. Gadis itu menjerit kesaktian. Dan tubuhnya menggigil menahan sakit.
Sangaji segera memijit urat-urat nadi tertentu untuk mengurangi rasa nyeri. Melihat
pernapasan Fatimah kembali lancar ia bersyukur bukan main.
"Fatimah!" panggilnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah seperti mendengar panggilan itu. Kelopak matanya bergerak-gerak. Mendadak
menyenakan mata seperti terkejut. Pandangnya penuh curiga dan ketakutan.
"Kau siapa?" jeritnya.
"Aku bocah tolol Sangaji!"
Gundu mata Fatimah berputaran seolah-olah tak mempercayai penglihatan dan pen-
dengarannya sendiri. Tiba-tiba ia tersadar. Mau ia bergerak hendak bangkit, tetapi suatu ke-nyerian luar biasa menusuk jantungnya. Ia menjerit dan mengeluh dalam. Kemudian merintih perlahan.
Melihat keadaan Fatimah, Suryaningrat tak kuasa lagi menahan hatinya. Dasar ia berperasaan halus, terus saja dia memeluknya dan berkata penuh haru.
"Fatimah! Aku gurumu, Suryaningrat! Bilanglah, siapa yang menganiaya dirimu?"
Fatimah belum kuasa menjawab pertanyaan gurunya. Tata napasnya belum teratur benar.
Tetapi wajahnya yang pucat lesi sedikit demi sedikit menjadi merah dadu. Mendadak gadis itu memekik seperti mengigau.
"Benarkah kakakku Wirapati terluka berat?"
Pernyataan itu benar-benar menggetarkan hati murid-murid Gunung Damar. Sangajipun tak
terkecuali. Mereka tahu semua"pada saat itu Wirapati menggeletak bagaikan mayat karena luka parah.
Kalau hal itu diberitakan kepada Fatimah yang sedang menderita luka parah pula, bukankah tidak tepat! Itulah sebabnya, mereka saling memandang minta pertimbangan. Teringat akan sejarah Fatimah yang dipaksa hidup untuk berpisahan dengan Wirapati semenjak kanak-kanak, mereka jadi berduka. Tetapi tak usah menunggu lama. Mereka telah bisa mengambil keputusan. Gagak Handaka mengedipi Suryaningrat. Dan guru yang berperasaan halus itu segera berkata minta ketegasan.
"Mengapa?" "Bilanglah dahulu! Benarkah kakakku Wirapati terluka berat?"
Dengan menelan ludah, Suryaningrat meng-angguk. Berkata mencoba, "Tetapi sebentar lagi dia akan sembuh kembali. Karena anakku Sangaji telah memperoleh obat pemunahnya."
"Sangaji?" Fatimah mengulang. Terus saja gundu matanya mencari Sangaji. Ia merenungi sebentar. Kemudian seperti seorang ibu, ia berbicara.
"Anak tolol! Kau sudah sembuh. Bagus! Bukankah tak sia-sia aku menjagamu?" Sangaji mengangguk.
"Di manakah gadismu yang galak dan jahat itu?" tanya Fatimah.
Diingatkan kepada Titisari, Sangaji jadi berduka. Tetapi segera ia mengatasi perasaannya sendiri dan mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah sehat kembali. Sebaliknya, mengapa kau jadi begini?"
"Ah"kau benar-benar tolol!" damprat Fatimah. "Masakan aku mau begini?"
"Kau benar! Nah, bilanglah siapa yang menganiaya engkau?"
"Siapa lagi kalau bukan mereka yang pernah memasuki benteng?"
"Cocak Hijau?" darah Sangaji meluap.
"Huh" dia bisa mengapakan aku" Banyak lagi. Banyak lagi. Aku dikerubut beramai-ramai."
"Ah"masakan begitu. Mereka golongan pendekar yang angkuh hati. Masakan sampai hati
menganiaya seorang gadis?"
Fatimah merintih. Tubuhnya menggigil menahan marah. Menyahut, "Yang satunya besar tinggi.
Yang lainnya pendek kecil. Mereka mengenakan baju merah. Dua orang itulah yang..." kembali Fatimah merintih. Kali ini kesannya hebat. Wajahnya membayangkan rasa takut dan ngeri luar biasa. Kalau saja tidak kena tahan tenaga sakti Sangaji, gadis itu pastilah sudah kehilangan kesadarannya. Tiba-tiba meledak, "Aonak tolol! Lekaslah kau tolong gurumu! Eyang Guru dan gurumu Wirapati dalam bahaya!"
Mendengar ucapan Fatimah, murid-murid Kyai Kasan Kesambi kaget bukan kepalang. Hampir
serentak mereka menegas. "Mengapa?" "Itulah perkara dua pusaka," sahut Fatimah. Pandang matanya menatap Sangaji. Meneruskan,
"secara kebetulan aku mendengar kasak kusuk mereka. Bilangnya, pendekar Kebo bandotan diam-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diam mendaki padepokan Gunung Damar. Pendekar itu akan menculik gurumu yang luka parah
untuk digunakan sebagai alat penukar dua pusakamu. Bukankah hebat?"
Seperti diketahui, Fatimah berangkat me-ninggalkan benteng dengan Ayu Retnaningsih, setelah mengantarkan Ayu Retnaningsih sampai di batas kota, segera ia kembali. Pada saat itu,
pertempuran antara pihak Pangeran Bumi Gede dan para pendekar sedang mencapai puncaknya.
Tatkala memasuki daerah pertempuran, secara kebetulan ia melihat sesosok bayangan berkelebat lewat tak jauh daripadanya. Itulah pendekar sakti Kebo Bangah yang dahulu dikenalnya sewaktu berada dalam benteng bersama-sama rombongan Pangeran Bumi Gede. Ia jadi curiga dan segera menguntitnya. Tentu saja dia bukan tandingnya. Sebentar saja ia telah kehilangan jejak. Namun ia tak berputus asa.
Menjelang fajar hari sampailah dia di batas tenggara kota Yogyakarta. Ia berhenti beristira-hat.
Karena lelah, tak setahunya sendiri ia jatuh tertidur. Ia terbangun oleh derap kaki terge-sa-gesa.
Cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintip. Dilihatnya dua orang yang berperawakan tinggi besar dan pendek kecil. Mereka sedang berbicara dengan penolongnya. Yakni, Sanjaya.
"Kami adalah adik Aria Singgela!" kata yang tinggi besar. "Kami diutus berkabar kepada ayah Tuan, bahwa kedua pusaka sakti yang dijanjikan akan segera Tuan peroleh."
"Bagaimana?" "Pada waktu ini, kakak kami berada di sekitar Gunung Damar. Dia bermaksud merabu Kyai Kasan Kesambi. Kalau rejeki ayah tuan sebesar gunung, kakak kami akan berhasil menculik
Wirapati guru Sangaji. Bukankah alat penukar yang baik?"
Sanjaya seorang pemuda yang cerdas. Segera ia mengerti maksudnya. Minta keterangan,
"Lantas apa maksudnya mengirim utusan ke mari?"
"Tuan! Kyai Kasan Kesambi bukanlah sem-barang orang. Meskipun belum tentu kalah, tetapi untuk merebut kemenangan dengan mudah tidaklah mungkin. Kakak kami membutuhkan bantuan
ayah tuan!" kata orang yang berperawakan tinggi besar.
Ia berhenti menunggu kesan. Mengira Sanjaya kurang mengerti maksudnya, segera ia
menerangkan. "Anak-anak murid Kyai Kasan Kesambi pada hari-hari ini tiada di padepokan.
Meskipun demikian, orang-orang kampung tidaklah boleh dibuat gegabah. Tetapi apabila ayah tuan mau mengerahkan pasukannya, Kyai Kasan Kesambi akan mati kutu. Dia boleh gagah
perwira, namun menghadapi keroyokan masakan dia bisa berbuat banyak?"
Sanjaya mendengarkan keterangan itu dengan berdiam diri. Sejenak kemudian ia membawa
kedua orang itu menghadap ayahnya.
Fatimah terus menguntitnya. Tatkala matahari sudah sepenggalah tingginya, ia melihat
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan pendekar undangan berjalan bersama dua orang utusan Kebo Bangah. Rata-rata para pendekar Pangeran Bumi Gede nampak runyam. Pakaiannya kotor penuh lumpur dan darah.
Terang sekali mereka habis bertempur.
Melihat mereka menuju ke barat, Fatimah jadi gelisah. Dasar ia berwatak angin-anginan. Lantas saja ia mencegat mereka.
"Kalian mau mendaki Gunung Damar. Huh... jangan harap!" katanya lantang. "Kalau berani, lawanlah dahulu anak cucu Kyai Kasan Kesambi."
Mendengar kata-kata gadis itu, para pendekar melengak keheranan. Dari manakah gadis itu
mengetahui, bahwa mereka lagi berjalan menuju Gunung Damar"
Cocak Hijau yang berangasan terus saja meloncat maju. Dasar ia menaruh dendam besar,
tanpa berkata lagi lantas menyerang. Tentu saja Fatimah bukanlah lawannya. Dalam dua puluh jurus, Fatimah kena ditangkap dan diikatnya kencang-kencang.
"Kau dahulu menggaplok aku, karena mengandalkan kegagahan Adipati Surengpati. Tapi kau pernah mengampuni aku. Karena itu aku hanya ingin menggaplokmu sekali saja," kata Cocak Hijau.
Pendekar itu membuktikan ucapannya. Fatimah digaploknya sekali dan dibantingnya ke tanah.
Fatimah memaki-maki kalang kabut sambil menebarkan ludahnya. Pandangnya tetap garang
dan tak mengenal takut. Sebaliknya Cocak Hijau sudah merasa puas. Ia meloncat mundur sambil tertawa mengejek. Mendadak saja di luar dugaan, kedua utusan Kebo Bangah menghampiri
Fatimah. Terus saja mereka menerkam lengan dan kaki Fatimah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau anak murid Gunung Damar" Bagus!" kata mereka berbareng. "Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya."
Dengan tertawa dalam, mereka lantas saja mematahkan lengan dan kaki Fatimah. Kemudian
melemparkan gadis itu menggelinding ke tebing sungai.
Dasar nasib Fatimah masih baik, Sangaji yang memiliki panca indra bagai dewa menangkap
tata pernapasannya. Kini oleh pertolongan para pendekar sakti, ia dapat disadarkan. Meskipun luka berat, tapi tak mengkhawatirkan lagi. Dengan perawatan tertentu, dua atau tiga bulan ia akan pulih kembali seperti sediakala.
"Paman! Melihat keadaan Fatimah, Eyang Guru dalam bahaya. Bagaimanakah pendapat
Paman?" Sangaji minta pertimbangan.
"Kita harus segera menyusul mereka. Kalau kasep, akibatnya alangkah besar," sahut Ranggajaya.
Gagak Handaka yang berwatak tenang berwibawa nampak berkhawatir juga. Teringat akan
budi gurunya, ia jadi gelisah. Katanya perlahan, "Benar urusan ini tak boleh kita remehkan. Mari, kita harus berangkat secepat mungkin!"
Dalam pada itu Ki Hajar Karangpandan yang tadi memeriksa lapangan telah tiba kembali.
"Bangsat betul! Mereka tidak hanya menga-niaya gadis itu, tetapi merusak pula keten-traman penduduk. Bangsat itu benar-benar menuju ke barat. Mereka telah mendahului kita."
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta edan-edanan. Tapi cerdas dan bisa dipercayai.
Karena itu Sangaji bertambah menjadi cemas. Agak gugup ia berkata memutuskan, "Guruku Wirapati luka parah, dan Eyang Guru hanya seorang diri. Kalau sampai terjadi sesuatu,
kesalahanku seumpama sebesar gunung. Karena itu aku harus segera berangkat. Paman Hajar
Karangpandan biarlah bersama aku berangkat terlebih dahulu. Aku titip guruku Jaga Saradenta.
Bagaimana paman-paman nanti menyusul aku, kupercayakan penuhpenuh kepada kebijaksanaan
paman-paman sekalian."
Terang sekali hati Sangaji dalam keadaan gelisah luar biasa. Ia merasa seolah-olah kese-
lamatan gurunya Wirapati dan Kyai Kasan Kesambi berada dalam tanggung jawabnya. Maka tanpa menunggu persetujuan lagi, ia melesat terbang bagai garuda.
Ki Hajar Karangpandanpun segera me-nyusulnya. Tiga belas tahun yang lalu kecepatannya
berlari, pernah mengejutkan Wirapati sewaktu dia mengejar orang-orang Banyumas. Kali inipun demikian. Dengan dibarengi suara ilmu sakti"guntur sajuta ia melayang-layang secepat kilat.
Itulah sebabnya, sebentar saja kedua orang sakti itu telah lenyap dari penglihatan orang.
Sampai matahari condong ke barat, mereka terus berlari-lari kencang. Mula-mula Ki Hajar
Karangpandan dapat mengimbangi. Tetapi lambat laun tenaganya mulai mengempes. Maklumlah, umurnya kini bukanlah seumur tiga belas tahun yang lalu. Meskipun ilmu saktinya kian tinggi, tetapi daya tahan tenaga jasmaninya tidaklah sesegar masa muda.
Diam-diam Sangaji memikirkan cara penge-jaran itu. Kalau harus berlari-larian terus-menerus jangan-jangan tenaganya akan kurang sewaktu menghadapi hal-hal yang penting. Dia sendiri tak usah khawatir. Tetapi bagaimana halnya Ki Hajar Karangpandan" Karena itu dia berkata kepada Ki Hajar Karangpandan minta pertimbangan.
"Paman! Bagaimana kalau kita membeli dua ekor kuda di depan sana?"
Sesungguhnya Ki Hajar Karangpanpun mempunyai pikiran demikian, hanya saja tak enak untuk dinyatakan maka segera menyahut, "Anakku Sangaji! Untuk tawar-menawar membeli dua ekor terlalu membuang-buang waktu. Mari kita mencari jalan lain."
Tak lama kemudian, secara kebetulan mereka melihat satu pasukan kompeni sedang meronda.
Tanpa berbicara lagi Ki Hajar Karangpandan terus melompat maju dan sekali menjambret dua penunggang kuda di antara mereka kena diangkatnya dan dilemparkan ke tanah. Berbareng
dengan itu ia berteriak, "Anakku Sangaji! Naik!"
Sangaji berbimbang-bimbang terhadap kompeni dia tak mempunyai permusuhan. Karena itu
perbuatan Ki Hajar Karangpandan dianggapnya sebagai suatu perbuatan kurang pantas.
Pakartinya tak ubahnya sebagai seorang penyamun. Tetapi Ki Hajar Karangpandan lantas saja sudah berteriak nyaring. "Untuk suatu urusan besar janganlah engkau disibukkan pertimbangan-pertimbangan te-tek-bengek. Disini bukan tempat pesantren atau surau, tempat berkhotbah dan menimbang-nimbang baik-buruknya suatu pakarti. Ayo... kau tunggu apa lagi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berbicara Ki Hajar Karangpandan merabu lainnya. Mereka boleh bersenjata senapan,
tapi kena dirabu Ki Hajar Karangpandan yang dapat bergerak cepat, mereka semua mati kutu.
Belum lagi tangannya berkesempatan menarik pelatuk, tahu-tahu tubuhnya telah terpelanting jatuh dari atas pelananya.
Setelah menjatuhkan mereka, Ki Hajar Karnagpandan melompat menunggang kudanya.
Sangajipun tanpa disadarinya sendiri naik pula ke punggung kuda. Belum lagi menarik kendali, mendadak ia diserang beramai-ramai. Secara wajar tangannya mengibas mempertahankan diri.
Celakalah mereka yang kena tenaga saktinya. Tiba-tiba saja mereka terpental beberapa puluh meter dan jatuh bergedebrukan ke tanah.
Seorang sersan yang bangun tertatih-tatih memaki-maki kalang kabut dan berteriak, "Hai!
Kamu bandit-bandit dari mana?"
Sangaji tak mau melibatkan diri terlalu lama. Bersama Ki Hajar Karangpandan ia keprak
kudanya kencang-kencang menuju ke barat. Keruan saja sersan itu berteriak-teriak seperti babi terjepit.
Tak lama kemudian daerah pegunungan Gunung Damar sudah nampak di depan hidungnya.
Sekonyong-konyong dua sosok bayangan berkelebat di depannya. Tahu-tahu dua orang berdiri merintang di tengah jalan. Itulah dua orang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tak jauh dari mereka beberapa prajurit yang mengenakan pakaian serba putih berbaris di seberang
menyeberang jalan. Sangaji lantas saja teringat kepada anak buah sang Dewaresi.
"Minggir!" bentak Ki Hajar Karangpandan. Terus ia mengayunkan cemetinya ke pinggang orang sambil mengeprak kudanya.
Salah seorang dari mereka menangkis sabetan itu dengan tongkatnya. Dan yang lain segera
menyerbu masuk. Karena kaget, kuda Ki Hajar Karangpandan berjingkrak berdiri tegak. Pada saat itu barisan serba putih melompat berbareng dengan gesit. Melihat gerakan mereka, Ki Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Berkata lantang kepada Sangaji, "Anakku Sangaji! Kau boleh terus melanjutkan perjalanan. Biarlah kawanan cacing ini aku bereskan sendiri."
Melihat mereka bertujuan hendak merintangi bala bantuan yang mungkin datang ke Gunung
Damar, terang sekali maksud mereka amat keji. Benar-benar padepokan Gunung Damar dalam
keadaan bahaya. Sangaji mengenal ilmu sakti Ki Hajar Karangpandan. Untuk melayani mereka meskipun tidak gampang-gampang menang, tetapi tak bakal kena dikalahkan. Oleh pertimbangan demikian, ia melecut kudanya. Dengan gagah ia menerjang dan terus terbang sekencang-kencangnya.
Tetapi dua pendekar undangan Pangeran Bumi Gede bukanlah pula pendekar murahan.
Sekonyong-konyong mereka melesat melompat dan menyabetkan senjatanya. Sangaji
membungkuk miring. Ia papaki senjata mereka dengan satu kibasan. Cepat luar biasa ia
merampasnya dan menimpukkan kembali. Seketika itu juga terdengarlah suatu jerit melengking.
Mereka kena senjatanya sendiri. Kedua kaki mereka patah dengan berbareng dan roboh
terjengkang di atas tanah.
Sebenarnya Sangaji tiada bermaksud hendak melukai mereka. Hanya khawatir kalau Ki Hajar
Karangpandan terlalu banyak menghadapi lawan, maka sebelum meninggalkannya ia membantu
merobohkan dua lawan yang paling kuat. Dengan demikian, keadaan Ki Hajar Karangpandan tak perlu dikhawatirkan lagi.
Gunung Damar terletak di Karesidenan Kedu. Gunung itu merupakan dinding penyekat jalan
Purworejo - Magelang. Letaknya di sebelah barat jalan besar, diapit dua buah sungai. Kali Jali dan Kali Bogowonto.
Sangaji datang dari arah timur. Sampai di desa Karangjati ia singgah di warung. Selain hendak mengisi perut, ia bermaksud menenangkan pikirannya pula. Tapi selagi ia makan, kudanya
meringkik hebat. Tahu-tahu per rut kudanya kena robek sebilah belati mengkilat. Sesosok
bayangan berkelebat lewat. Terang sekali, musuh sudah mengenal dirinya dan dengan sengaja membunuh kudanya.
Bukan main mendongkolnya Sangaji. Sekali melompat ia berhasil mencengkeram orang itu.
Terus saja ia banting ke tanah dengan hati gusar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena tiada berkuda lagi, terpaksalah ia melanjutkan perjalanan. Untunglah, Gunung Damar tidak terlalu jauh lagi. Soalnya kini, ia harus bersikap waspada dan berhati-hati. Oleh
pengalamannya tadi, nyatalah bahwa padepokan Gunung Damar sudah terkepung rapat.
Namun diam-diam ia heran, karena bayangan pasukan besar-besaran tidak nampak. Apakah
Pangeran Bumi Gede hanya mengirimkan beberapa puluh pendekar undangannya belaka"
Di depannya terbentang Kali Bogowonto. Dan baru saja ia menyeberangi, sekonyong-konyong
melompatlah beberapa orang dari gerombolan alang-alang. Terang sekali mereka hendak
mencegat perjalanannya. Dengan mengumpulkan semangat ia melompat. Tak ubah sebatang
panah, tubuhnya berkelebat melewati mereka.
Orang itu mengucak-ucak matanya. Mereka merasa heran. Apakah salah melihat" Tadi seperti melihat manusia menyeberangi kali. Kini mendadak lenyap entah ke mana.
DI SEBERANG JALAN, penjagaan kian menjadi keras. Sangaji segera menggunakan ilmu
saktinya. Dengan matanya yang tajam ia menjelajahkan matanya. Dan beberapa kali kakinya
menjejak tanah, terbang melewati gerombolan manusia yang bersembunyi di bawah pohon, di
balik batu-batu atau mendekam di bawah rumput dan alang-alang.
Setelah memasuki lereng pegunungan, tak berani lagi Sangaji berjalan di atas tanah. Terus saja ia melompat ke pohon dan kalau perlu bersembunyi di dalam mahkota daunnya, la bersikap
sangat berhati-hati dan berwaspada. Saban-saban ia melompat dari dahan ke dahan sambil
memperhatikan keadaan seberang menyeberang. Ia sadar, bahwa musuhnya sangat licin, pandai dan tangguh.
Tak lama kemudian, ia telah melihat suatu pertempuran berkelompok. Dengan selintasan saja tahulah dia, bahwa cantrik-cantrik Gunung Damar mencoba menahan serbuan gelap itu. Tentu saja mereka bukan tandingnya anak buah Kebo Bangah dan para pendekar undangan Pangeran
Bumi Gede. Sebentar saja mereka kena terpukul mundur. Rantai pertahanan mereka kacau-balau dan akhirnya berantakan.
Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun, Sangaji mendarat di seberang gerumbul. Kemudian
melompat ke atas genting. Mengendap-endap ia melangkah maju. Waktu tiba di sebuah lorong penyambung, ia mendengar suara napas tertahan-tahan. Suara napas itu datang dari balik pintu kamar. Itulah kamar gurunya Wirapati. Dan teringat nasib gurunya yang malang, hatinya terharu bukan main. Kalau menuruti kata hatinya ingin dia terus memasuki kamar untuk memeluk gurunya yang dihormati dan dicintai. Tapi mengingat kelicinan Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede yang banyak tata muslihatnya ia tak berani bergerak dengan gegabah. Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya seseorang. Terus saja ia meloncat sambil menyambar. Orang itu tak dapat berkutik.
Bahkan melepaskan suara-nyapun tak sempat, karena Sangaji membungkam mulutnya.
Pemuda itu kini memiliki ketajaman panca indera luar biasa. Begitu melihat berkelebatnya manusia, segera ia mengenal siapa dia. Itulah Wirasimin, cantrik kesayangan gurunya Wirapati.
"Pak Wira! Bagaimana?" Sangaji minta keterangan dengan berbisik seraya mengurangi dekapannya.
Melihat Sangaji, seleret cahaya melintas pada wajah Wirasimin. Dengan meronta ia berkata setengah girang.
"Ah! Gus Aji. Mana paman-paman gurumu?"
Dalam benak cantrik itu, hanya teringat kepada murid-murid Gunung Damar yang tangguh dan sakti luar biasa. Dahulu Gunung
Damar pernah dikerumuni manusia-manusia tak diundang pada ulang tahun Kyai Kasan
Kesambi yang ke 83 . Mereka semua kena terpukul mundur oleh murid-murid Gunung Damar.
Kinipun, padepokan Gunung Damar sedang kena bencana. Celakanya, Padepokan sedang sepi.
Karena itu dalam seribu kerepotannya, cantrik itu mengharap-harap kedatangan mereka.
Terhadap Sangaji dia belum menaruh suatu kepercayaan besar. Maklumlah, selain masih muda belia, perkembangannya yang terakhir sama sekali belum diketahui.
Sangaji sendiri adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Terhadap pemikiran demikian, sama sekali tak dirasukkan dalam perbendaharaan hati. Dengan senang hati ia lalu menjawab,
"Tenangkan hatimu. Sebentar lagi paman-paman akan tiba di padepokan. Menghadapi bangsa kurcaci, masakan perlu menunggu beliau sekalian. Nah, di manakah Eyang Guru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eyangmu kedatangan seorang tetamu. Beliau lantas pergi mengikuti tetamu itu. Entah ke mana. Lalu... lalu... padepokan mendadak jadi neraka. Mereka bangsat-bangsat tak keruan hendak membakar padepokan. Tentu saja perbuatan mereka tak bakal diizinkan para cantrik. Tanpa
mengingat kekuatan sendiri, para cantrik berusaha bertahan diri."
"Dan guru?" potong Sangaji.
"Dia masih dalam kamarnya."
"Bagus!" seru Sangaji girang. Hatinya yang mencemaskan keadaan gurunya kini tak mempunyai alasan lagi untuk beresah hati. Dengan sekali berkelebat ia membuka pintu dengan hati-hati. Terus saja ia melongok. Dan di atas sebuah dipan dilihatnya gurunya menggeletak tak berkutik. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hal itu membuktikan, bahwa eyang gurunya mencoba mengobati sebisa- bisanya. Sementara paman-paman gurunya berusaha mencari obat
pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurunya.
"Guru!" bisik Sangaji dengan hati terharu. Terus saja ia mendeprok ) di tanah. "Demi untukku, Guru berkorban dan mengorbankan semuanya. Budi Guru setinggi gunung."
Teringat kepada obat pemunah racun, ia meraba-raba kantungnya. Mendadak teringat pulalah dia, bahwa obat pemunah racun serta obat penyambung tulang berada di tangan paman-paman
gurunya, la jadi termangu-mangu karena tak dapat melakukan sesuatu.
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba ter-dengar suara bergelora di paseban.
"Kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi yang sok agung-agungan bersembunyi seperti kura-kura, biarlah kita sembelih anak cucu muridnya dan para cantriknya dahulu. Aku kepengin melihat, apakah dia tetap tak berani keluar..."
Suara itu bukan main kerasnya sampai atap pun ikut tergetar. Dan Wirasimin gemetaran.
Hatinya jadi ciut dan nyaris berputus asa.
Kemudian terdengar suara lagi yang bernada seperti burung betet.
"Bagus! Tapi lebih baik kita bakar dahulu padepokan ini! Masakan akan kasep menyembelih babi-babi ini."
"Bagaimana kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi ikut terbakar. Bukankah sayang" Mestinya kita harus menawannya dahulu. Lalu kita seret dia keluar. Kita pertunjukkan dia dahulu kepada semua golongan dan aliran orang-orang berilmu, agar mereka mengenal tampangnya."
Jarak antara paseban dan kamar Wirapati, tidaklah jauh. Tetapi mereka berbicara sangat
lantang dan kasar. Agaknya sengaja hendak memamerkan kehebatan tenaga saktinya.
Tentu saja betapa sederhana hati Sangaji, mendengar nama eyang gurunya direndahkan
demikian rupa jadi bergusar. Wirapati yang nampak tak berkutik di atas amben, mendadak saja terdengar menghela napas.
"Hm. Coba ingin kulihat siapa mereka itu!" dengus Sangaji dalam dadanya. Terus saja ia melesat keluar kamar dengan gesit. Dan menyaksikan kegesitan Sangaji, Wirasimin yang belum menaruh kepercayaan kepadanya, terkesiap hatinya. Suatu kegirangan yang tak diketahuinya sendiri dari mana datangnya, membersit dalam lubuk hatinya. Terus saja ia ikut keluar dengan dada berdebar-debar.
Paseban ternyata sudah penuh dengan manusia. Kurang lebih dua tiga ratus orang. Sangaji
terus memasuki ruang paseban dengan langkah tenang. Tiba-tiba ia melihat dua orang berpakaian merah darah. Lantas saja teringatlah dia kepada keterangan Fatimah. Segera ia menduga, bahwa mereka inilah yang menganiaya gadis itu. Namun ia masih bersangsi.
Melihat keluarnya Sangaji, dua orang itu jadi terheran-heran. Yang tinggi besar lalu berkata,
"Manakah tua bangka Kasan Kesambi?"
"Hm... untuk menghadapi bangsa cecurut seperti kalian, masakan perlu eyang guruku sampai bersusah-susah turun tangan. Aku cucu muridnya rasanya cukup menghadapi kalian."
"Siapa kau?" bentak yang pendek kecil. "Aku Keyongbuntet tak biasa menghadapi penghinaan begini. Apalagi adikku Maesasura ini. Dia paling benci kepada seorang pemuda yang bermulut besar dan menjual tampang."
"Kalau benar demikian, alangkah menghe-rankan bahwa kalian yang mengaku diri golongan terhormat sampai hati menganiaya seorang gadis!" sahut Sangaji untung-untungan untuk mencari kepastian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan Sangaji, wajah mereka mendadak berubah hebat. Maesasura terus
menggerung, sedang Keyongbuntet tertawa berkakakan dengan sekonyong-konyong.
"Gadis tiada harganya dalam percaturan hidup ini, apa perlu dibicarakan di sini?" kata Keyongbuntet yang bisa berpikir cepat. Memang, mula-mula mereka terperanjat berbareng heran mendengar ucapan Sangaji. Dari manakah pemuda itu bisa mengetahui. Sebagai seorang
pendekar yang sudah berpengalaman, lantas saja bisa menduga bahwa perbuatannya telah
ketahuan. Siapa lagi yang bilang kalau bukan gadis itu sendiri.
Memperoleh pikiran demikian tahulah mereka, bahwa gadis itu telah ketolongan. Diam-diam
mereka menyesali diri sendiri, apa sebab gadis itu tak dibunuhnya sekali.
Sebaliknya mendengar pengakuan Keyong-buntet, darah Sangaji meluap nyaris tak ter-
kendalikan lagi. Dengan pandang berapi-api ia menatap mereka.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula. Malahan berikut bunganya sekali!" kata Sangaji dengan suara menggeletar menahan marah.
Keyongbuntet bersikap adem. Matanya merem melek seolah-olah tak mengacuhkan kegusaran
Sangaji. Dengan enak saja dia mendesak.
"Kau anak kemarin sore yang banyak berlagak mau apa?"
Belum lagi Sangaji menyahut, Maesasura menyambung, "Biarlah dia berlagak. Gadis itu memang gula-gulanya. Dan kalau dia sudi memperisterikan dia, ha"itulah baru cocok. Apa sih kelebihannya anak cucu murid tua bangka Kasan Kesambi" Kalau saja bininya bukan kambing, itulah sudah untung."
Bukan main tajam kata-kata mereka. Sangaji yang berhati sederhana sampai tak tahan lagi
mengendalikan diri. Terus saja ia menggeser kakinya, siap bertempur. Mendadak ia teringat sesuatu. Berkata tenang, "Kalian mendaki padepokan Gunung Damar bukankah bermaksud
hendak merampas pusaka Bende Mataram" Nah, inilah pusaka itu!" Ia berhenti mengesankan sambil memperlihatkan Keris Kyai Tunggulmanik dan Kyai Bende Mataram. "Kalau kalian kini sudah mengetahui dengan jelas, selanjutnya per-kara pusaka ada padaku. Sekarang bagaimana?"
Melihat kedua pusaka itu dengan tak ter-sangka-sangka, mereka terperanjat sampai mundur
setengah langkah tanpa disadari sendiri. Yang lain-lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka lantas saja berbisik-bisik ramai.
"Hai bocah!" teriak Maesasura. "Kau mem-bawa-bawa kedua pusaka sakti. Apakah kau Sangaji?"
"Benar. Mengapa?"
Mendengar jawaban Sangaji, mendadak saja dia jadi gelisah. Keyongbuntet bahkan me-> noleh ke belakang menebarkan mata.
Mereka berdua adalah adik seperguruan pendekar Kebo Bangah. Kalau dibandingkan dengan
Kebo Bangah, kegagahannya hanya kalah dua urat. Karena itu mereka jumawa. Meskipun
demikian mereka kenal kegagahan murid-murid Gunung Damar. Tadi pagi mereka memperoleh
keterangan, bahwa murid-murid Gunung Damar masih terkurung barisan kompeni. Menurut
perhitungan, tak gampang-gampang mereka dapat meloloskan diri. Di luar dugaan, kini ia
berhadapan dengan Sangaji. Bukannya mustahil, bahwa mereka-pun sudah tiba di padepokan
dengan diam-diam. "Hai, bocah! Dengan seorang diri masakan kau sanggup melawan dua tiga ratus orang?" kata Maesasura. Ia licin. Ocapannya itu dimaksudkan untuk mencari kepastian apakah murid-murid Gunung Damar sudah tiba di padepokan. Sekiranya mereka benar-benar sudah berada di
padepokan, diam-diam mereka bersiaga akan melihat gelagat.
Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Meskipun ilmu kepandaiannya kini sudah susah
terukur tingginya, namun ia tak mengerti jebakan lawan. Dengan hati terbuka dia menyahut,
"Untuk menghadapi kalian, masakan paman-paman guruku perlu hadir?"
"Bagus!" Mereka berseru berbareng dengan girang. Meskipun pernah mendengar kegagahan Sangaji dari mulut kakak seperguruannya Kebo Bangah, mereka tak perlu berkecil hati. Pikir mereka: dia boleh gagah, tapi masakan bisa menghadapi keroyokan dua tiga ratus orang. Maka Keyongbuntet lalu berkata lantang lagi, "Bocah! Kau bilang sendiri, bahwa pusaka Benda Mataram ada padamu. Dan selanjutnya urusan pusaka kaualihkan padamu pula. Baik! Mulai saat ini, biarlah tua bangka Kasan Kesambi menunda kematian-nya dahulu. Satu dua bulan lagi berurusan dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia, belumlah kasep. Nah, sekarang bagaimana" Kalau kau serahkan pusaka itu dengan baik-baik, kamipun mengenal kebaikan pula. Semenjak saat ini, kami akan menjaga ketenangan padepokan Gunung Damar. Kami tanggung takkan bakal ada lagi seseorang yang akan menginjakkan kakinya di sini.
Sangaji diam-diam berpikir, "Bukan main banyaknya jago-jago yang berada di sini. Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede nampak pula menyelinap di antara mereka. Hebat!
Sungguh hebat pendekar Kebo Bangah. Dari mana dia bisa memperoleh jago-jago bukan
sembarangan ini. Seumpama aku bisa mengalahkan beberapa orang di antaranya, pastilah mereka akan main kerubut. Agaknya susah juga menjaga keselamatan padepokan. Aku sendiri bisa
meloloskan diri. Tapi bagaimana nasib guru"
Eyang gurupun sampai sekarang belum jelas ke mana beliau pergi. Tetapi urusan sudah
terlanjur jauh, biar bagaimana aku akan berusaha sedapat-dapatku..."
Belum lagi ia mengambil keputusan, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa riuh panjang dan seram luar biasa. Sesosok bayangan tahu-tahu telah menyelinap masuk. Gerak tubuh orang itu cepat bagaikan kilat. Dan seperti iblis, tiba-tiba saja sudah berada di belakang Maesasura. Terus menghantam dengan mendadak.
Ilmu sakti Maesasura ternyata sangat hebat. Begitu merasakan kesiur angin, sadarlah dia
bahwa dirinya sedang diserang dengan mendadak. Tanpa berpaling tangannya terus memapak ke belakang punggung dengan tujuan mengadu tenaga pukulan keras melawan keras. Tak terduga-duga orang yang tiba-tiba menyerang, menarik serangannya dengan cepat. Kemudian ganti
mengarah "kepada Keyongbuntet.
Gesit luar biasa Keyongbuntet berkelit seraya mengayunkan kakinya hendak membalas
menendang perut lawan. Namun tahu-tahu orang itu sudah berganti sasaran lagi. Kali ini yang diserang adalah gerombolan pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Baru saja mereka hendak bergerak menangkis, sasaran serangan berganti arah lagi. Hanya sekejap saja, beruntun-runtun empat sasaran telah di-serangnya dengan mendadak dengan kecepatan yang susah dilukiskan.
Meskipun serangannya tidak mengenai sasaran, tetapi terang dia mempunyai ilmu kepandaian yang susah dimengerti.
Maesasura dan Keyongbuntet sadar, bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan
tangguh. Cepat-cepat mereka mundur beberapa langkah bersiaga menghadapi kemungkinan.
Orang yang menyerang dengan mendadak itu mengenakan jubah seorang pendeta. Tanpa
menggubris lawan-lawannya dia terus berdiri di samping Sangaji. Ternyata dia bukan lain Ki Hajar Karangpandan, pendeta edan-edanan tapi berilmu tinggi.
"Anakku Sangaji. Sebentar lagi paman-pa-manmu akan tiba," katanya lantang.
Pendeta angin-anginan itu setelah menghajar perintang-perintangnya di tengah jalan, kini telah berada di padepokan dengan selamat. Memang ia sengaja berlaku sebat luar biasa dan
merangsang musuh tanpa memedulikan keselamatannya sendiri untuk mengertak mereka.
"Ah, engkaukah itu?" terdengar suara men-dongkol. Itulah suara Cocak Hijau dan Manyarsewu berbareng. Mereka berdua pernah bertempur mengadu kepandaian. Ilmunya setali tiga uang.
Namun demikian, mereka kena dimundurkan karena diserang dengan mendadak. Keruan saja,
diam-diam hatinya mendongkol.
Ki Hajar Karangpandan tertawa berkakakan, katanya bergemuruh, "Ya, aku Hajar Karangpandan. Kalian mau apa?"
Mendengar Ki Hajar Karangpandan memper-kenalkan namanya, Maesasura menggeram dengan
tiba-tiba. Meskipun belum kenal orang-nya, ia pernah mendengar namanya. Itulah gara-gara pusaka sakti Bende Mataram tatkala Ki Hajar Karangpandan membunuhi anak-buah sang Dewaresi tiga belas tahun yang lalu.
"Hem... Hajar Karangpandan berani me-mamerkan adatnya di sini. Bagus! Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba. Sekali menepuk dua lalat mampus."
Ki Hajar Karangpandan tertawa terkekeh-kekeh. Matanya yang berpengalaman lantas saja
dapat menebak siapa dia. Terus mendamprat, "Memangnya aku manusia licik. Tapi selama hidupku belum pernah aku menganiaya seorang gadis dari angkatan muda."
Dengan menggerung Maesasura melompat maju seraya membentak, "Ilmu guntur sa-juta
apakah hebatnya. Biarlah aku menjajalnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan lawan, diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Ilmu guntur sajuta
adalah ilmu kebanggaan dan simpanannya. Jarang sekali dia menggunakan, apabila keadaan tidak memaksanya. Kini musuh mengetahui berapa ilmu simpanannya itu. Dari manakah dia
mengetahui, pikirnya. Dan kalau dia begitu berani menantang ilmu simpanannya, pastilah sudah mempunyai pula pegangan kuat untuk melawannya. Memperoleh pertimbangan demikian, dia
lantas bertanya, "Gajah mati meninggalkan gadingnya. Manusia mampus meninggalkan namanya.
Nah, siapakah namamu?"
Maesasura tertawa berkakakan. Dengan membusungkan dada terus menyahut, "Kau sudi
mendengar namaku" Itulah bagus! Inilah Maesasura adik seperguruan pendekar sakti dari barat Aria Singgela."
"Pantas! Pantas! Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal bengis dan jahat, tapi belum pernah aku mendengar ia menghina kaum muda. Sebaliknya engkau begitu enak saja menganiaya
seorang gadis dari angkatan muda. Apakah perbuatan itu tidak menodai nama perguruanmu?"
Diingatkan kembali tentang perbuatannya menganiaya Fatimah, Maesasura tak kuat lagi
menahan marahnya. Terus saja ia membentak sambil melontarkan hantaman. Namun sedikit
menggeser, Ki Hajar Karangpandan berhasil mengelak diri. Diapun lalu membalas pula. Ia tidak lantas mengeluarkan ilmu kebanggaannya guntur sajuta. Dalam hati ia bermaksud hendak
menyelami dahulu ilmu kepandaian lawan.
Dalam pada itu Maesasura terus mengumbar amarahnya. Dengan cepat ia menangkis sambil
menyerang. Setelah beberapa jurus, serangannya makin lama makin cepat. Diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Terasa sekali bahwa pukulan-pukulan lawan membawa kesiur angin panas tak ubah bara.
"Apakah ini yang disebut ilmu Maruta Dahana" Kabarnya ilmu itu telah lenyap dari percaturan manusia. Ternyata dia bisa menggunakan dengan baik."
Dahulu dia pernah mendengar nama ilmu itu dari gurunya. Ilmu itu sangat jahat dan berbisa.
Para cerdik pandai dari aliran bersih mengha-puskan ilmu itu dari ingatannya. Konon kabarnya, ilmu Maruta Dahana terjadi atas wejangan iblis kepada Warok Secadarma pada zaman Majapahit.
Tak lama kemudian corak pertempuran mereka berubah. Sekarang tidak cepat lagi, tetapi kian melambat. Akhirnya seperti asal-asalan. Semua orang sadar, bahwa mereka sedang mengadu
ketangguhan ilmu simpanannya masing-masing. Yang satu ilmu maruta dahana. Yang lain ilmu guntur sajuta.
Pada saat itu sekonyong-konyong dari luar paseban tertebarlah suatu jala sangat besar. Jala itu berkembang di udara seolah-olah hendak menungkrap seluruh manusia yang berada di paseban.
Sudah barang tentu peristiwa itu sangat mengejutkan semua yang berada di situ. Maesasura terpaksa mengelak sambil melontarkan pukulan. Hal itu berarti pula melepaskan perhatiannya kepada titik-tolak pertempuran. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ki Hajar Karangpandan. Terus saja Ki Hajar Karangpandan memutar ke belakang dan meng-gablok
Maesasura dengan ilmu guntur sajuta seketika itu juga terdengarlah suatu gemeretakan. Ternyata tulang belulang Maesasura patah berantakan.
Takala itu dalam paseban bertambah seorang lagi. Dia seorang laki-laki berperawakan hitam lekam dan berkepala gede. Lalu berkata lantang, "Bagus kau Hajar! Itulah namanya bisa menggunakan kesempatan sebaik-baiknya."
Ki Hajar Karangpandan tertawa riuh. Menyahut, "Otong! Terhadap manusia yang bisa berlaku kejam mematahi tulang seorang gadis, masakan perlu bersegan-segan lagi?"
Ternyata yang merubah suasana pertempuran tadi adalah Otong Darmawijaya atau yang
terkenal dengan nama Ki Tunjungbiru. Dia seorang pejuang Banten. Senjata andalannya berwujud sebuah jala, karena dia seorang nelayan semenjak kanak-kanak. Dengan Ki Hajar. Karangpandan pernah mengadu kepandaian sampai lima hari lima malam. Di luar dugaan, dialah penolong besar dalam menghancurkan ilmu Maruta Dahana yang merupakan pelawan ilmu guntur sajuta. Karena itu di dalam hati, diam-diam Ki Hajar Karangpandan berhutang budi kepadanya.
Maesasura ternyata seorang laki-laki tangguh. Meskipun tulang sendinya kena dipatahkan, dia tak merintih. Hanya saja tenaganya sudah punah. Kakak seperguruannya Keyongbuntet lantas memapahnya dan diletakkan hati-hati di luar gelanggang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku Sangaji!" kata Ki Tunjungbiru. "Paman-pamanmu sudah sampai di kaki gunung.
Karena itu menghadapi cecurut-cecu-rut macam mereka, tak perlulah beresah hati."
Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, dalam hati Sangaji bersyukur. Dengan datangnya segenap
pamannya tidaklah sukar untuk mempertahankan keselamatan padepokan Gunung Damar.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Keyongbuntet yang kemudian memasuki gelanggang sudah bersiaga. Dia seorang
pendekar yang berperawakan pendek kecil. Mukanya buruk dan kering. Kepalanya botak tak
berambut. Meskipun demikian ternyata dia lebih tangguh dari adik seperguruannya Maesasura.
Dari ubun-ubunnya yang botak licin, tiba-tiba terlihatlah suatu uap kelabu.
"Anakku Sangaji, awas!" teriak Ki Hajar Karangpandan terperanjat. "Rupanya engkaulah yang diincar. Itulah ilmu Maruta Dahana yang sudah mencapai puncaknya. Semua tubuhnya kini diliputi hawa beracun."
Mendengar teriakan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru menyahut: "Legakan hatimu. Kalau hanya racun saja, takkan dapat menga-pa-apakan anakku Sangaji. Kita boleh bertaruh!"
Seperti diketahui, dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru. Racun betapa ;ahatnya di dunia ini, takkan dapat mempan. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan yang belum mengetahui latar belakangnya jadi gelisah.
"Kau tak yakin?" kata Ki Tunjungbiru. Jangankan lagi terhadap anakku Sangaji. Akupun sanggup memapak pukulan ilmu Maruta Dahana. Boleh coba!"
Setelah berkata demikian, Ki Tunjungbiru bergerak hendak memasuki gelanggang. Tetapi
Sangaji mencegahnya sambil berkata tenang, "Biarlah aku yang menagih hutangnya terhadap Fatimah. Akupun tadi sudah berkata, bahwa mereka harus membayar bunganya pula."
Dan mendengar ucapan Sangaji, Keyong-buntet menggerung tinggi. Gap ilmu Maruta Dahana
kian lama kian menebal dan menebal. Tangannya berputaran di udara dan terus menghantam.
*** WAKTU ITU DALAM PADEPOKAN TELAH TERJADI SUATU PERUBAHAN dengan cepat. Berturut-
turut murid-murid Gunung Damar tiba seperti sedang berlomba. Yang terakhir adalah Jaga
Saradenta dan Panembahan Tirtomoyo yang mendukung Fatimah. Dan melihat mereka, cantrik-
cantrik bersorak gembira, terutama Wirasimin. Orang itu sampai berjungkir balik karena
kegirangan. Sebaliknya anak buah Pangeran Bumi Gede jadi gelisah. Sedangkan begundal-
begundal Maesasura dan Keyongbuntet mendongkol bukan kepalang. Diam-diam mereka merasa
akan mengalami kegagalan.
Cocak Hijau yang beradat berangasan lantas saja berteriak:
"Keyongbuntet! Kalau kau mampu, lekaslah selesaikan bocah itu. Kalau tidak, kau bakal menghadapi keroyokan."
"Monyongmu!" maki Ki Hajar Karangpandan. "Untuk menghadapi anak babi itu masakan perlu keroyokan segala. Sebaliknya kamulah yang mengandalkan tenaga banyak. Hayo, kau mau bilang apa?"
Meskipun mendongkol, Cocak Hijau tak berani mengumbar adatnya. Ia kalah bukti.
Keyongbuntet sendiri sudah tak menghiraukan percakapan itu. Dengan tulang-tulang
bergemeletakan ia menyapu tulang rusuk Sangaji. Pikirnya, kuhantamnya sekali mampus. Masakan kulit dagingnya terdiri dari besi.
la tak tahu, bahwa dalam darah Sangaji telah mengeram ilmu sakti yang sangat hebat. Jangan lagi dia, sedangkan pendekar Kebo Bangah kena dijungkir balikkan dalam mengadu tenaga.
Itupun baru tenaga enam bagian. Coba waktu itu Sangaji sudah yakin benar, barangkali Kebo Bangah tinggal namanya belaka.
Tetapi Sangaji tidak menyambut serangan Keyongbuntet dengan ilmu saktinya yang sangat
hebat. Dalam hatinya, ia hendak menjaga nama Padepokan Gunung Damar. Karena itu teringatlah dia kepada ilmu ciptaan eyang gurunya, "Sura Dira Jayaningrat Lebur dening Pangastuti." Ilmu itu diciptakan Kyai Kasan Kesambi, tatkala dalam hati orang tua itu berderu rasa dendam
menghancurkan lawan yang menganiaya muridnya Wirapati. Sebagai hasil pengendapan diri
selama 12 tahun lebih. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi sendiri belum pernah melihat corak ilmu ciptaan gurunya itu.
Dahulu mereka tergesa-gesa turun gunung untuk mencari obat pemunah racun sekaligus mencari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jenjak penganiaya Wirapati. Itulah sebabnya begitu melihat corak cara berkelahi Sangaji, mereka terkesiap. Dan dengan sungguh-sungguh mereka mengikuti gerak-geriknya.
Sebenarnya Sangajipun belum dapat mene-mukan intisari ilmu ciptaan itu. Tetapi seperti
diketahui, barang siapa sudah mencapai puncak kesempurnaan sesuatu ilmu akan dapat
menyelami ilmu lainnya dengan mudah. Maka begitu melihat Keyongbuntet memukul mengarah
pinggang, segera ia menyambut dengan jurus Gedong Mineb Jroning Kalbu. Itulah suatu tata berkelahi menutup diri. Gayanya seperti orang lagi menulis. Namun kedua kakinya ikut bergerak pula. Yang satu bertahan. Yang lain mengkait kaki lawan. Dan hasilnya sungguh mengagumkan.
Tiba-tiba saja pukulan Keyongbuntet yang menyambar seperti kilat, punah di tengah jalan. Tenaga saktinya pudar dengan begitu saja. Kakinya kena terkait dan orangnya terus menyelonong ke depan dua langkah. Keruan saja semua yang melihat ikut terperanjat dan bersuara heran atas kejadian itu.
"Ranggajaya! Bagus Kempong! Dan Suryaningrat," kata Gagak Handaka. "Amat-amati dengan cermat gerakan itu. Kelak masih ada kesempatan untuk minta penjelasan Guru."
Gagak Handaka berbicara dengan sung-guh-sungguh dan sama sekali tidak mempunyai maksud
lain, kecuali dengan setulus-tu-lusnya hendak menganjurkan adik-adik seperguruannya untuk menekuni ilmu ciptaan gurunya. Sebaliknya mereka yang mendengar lantas saja mengerti, bahwa tata berkelahi Sangaji adalah khas ciptaan perguruan Gunung Damar. Dan melihat hebatnya ilmu Gunung Damar diam-diam mereka jadi prihatin.
Keyongbuntet sendiri kaget bercampur mendongkol. Selama hidupnya baru kali ini, dia kena terseret tenaga lawan. Biasanya ia selalu mengagul-agulkan tenaga jasmaninya dan ilmu Maruta Dahana. Kebo Bangah sendiri meskipun menang dua urat, masih segan menghadapi
kepandaiannya. Memikir demikian terus saja ia melontarkan serangan kilat. Sekejap saja ia menghujani dua puluh lima pukulan. Melihat betapa cepat dan hebat gempuran Keyongbuntet, mereka semua diam-diam memuji dalam hati. Benar-benar sesama perguruan pendekar sakti Kebo Bangah tidak boleh dibuat gegabah. Pantaslah perguruannya merajai seluruh wilayah Jawa Barat.
Sebaliknya Sangaji sengaja hendak menjun-jung nama baik perguruan Gunung Damar. Ia
belum mau menggunakan ilmu saktinya yang sudah dikuasainya semenjak mengalami
pertempuran di kubu batu. Setiap tipu dan ge-rakannya tetap memakai ilmu ciptaan eyang
gurunya Kyai Kasan Kesambi. Dengan begitu dengan tak disengaja sesungguhnya hampir
merupakan suatu adu ilmu kepandaian antara ilmu perguruan Kebo Bangah dan Gunung Damar.
Tatkala sampai pada jurus empat belas, tiba-tiba Sangaji merasa seperti sudah dapat
menyelami intisari letak rahasia ilmu ciptaan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti yang hebat itu. Gerak-geriknya jadi lancar berwibawa. Gayanya bagus tak tercela. Dan seketika itu juga, Keyongbuntet merasa dirinya terkurung di antara kedua tangan lawan. Anehnya, dia tak sanggup mengelak, menyingkir atau melawan. Terus-menerus ia seperti terlibat. Dan akhirnya ia terpaksa mengambil suatu keputusan hendak mengadu tenaga saktinya yang terakhir. Pikirnya: "Biarlah aku menangkis dengan tangan kiri. Kemudian kuhantamnya dengan tangan kanan. Meskipun aku terluka, diapun bakal terluka pula. Masakan dia tak mempan kena bisa ilmu Maruta Dahana yang bisa membakar tubuh.
Tak terduga-duga Sangaji mendadak memutar kedua tangannya, sehingga tenaga putarannya
mengeluarkan kesiur angin maha dahsyat. Keyongbuntet kena dibawa berputar. Akhirnya seperti tersedot. Dia berusaha bertahan mati-matian. Dia bisa terlepas dari sedotan itu, tapi tak mampu melepaskan diri dari jaringan pusaran. Tak dikehendaki sendiri, tubuhnya berputaran kencang tak ubah sebuah gangsingan. Meskipun akhirnya dia bisa bertahan setelah mengeluarkan segenap tenaganya, namun jelas sekali bahwa dirinya merupakan sebuah boneka permainan belaka bagi Sangaji.
Maka bersoraklah cantrik-cantrik dan anak cucu murid Gunung Damar menyaksikan pe-ristiwa itu. Suryaningrat murid Kyai Kasan Kesambi kelima yang masih berdarah muda, terus saja berseru nyaring.
"Tak kusangka ilmu ciptaan Guru begini hebat dan sakti! Aku ingin tahu, dia bisa berbuat apa?"
"Bisa berbuat apa" Dia sudah berbuat hebat. Berputar seperti gangsingan!" sahut Ki Hajar Karangpandan dengan tertawa berkakakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar olok-olok itu, Keyongbuntet bergusar setengah mati. Wajahnya merah padam.
Mendadak terus menubruk dan menghujani pukulan dengan gerakan-gerakan kilat. Gerak-
geriknya berubah-ubah. Kepalan, telapak tangan dan tutukan jari bekerja sangat cepat dan susah diduga-duga.
Dasar Sangaji belum memahami ilmu ciptaan eyang gurunya dengan masak, maka ia masih
bersangsi. Dengan dihujani pukulan begitu hebat, hatinya goyang. Tahu-tahu ujung bajunya kena sambar sehingga robek. Cepat-cepat ia melompat mundur. Tetapi Keyongbuntet terus memburu.
Maka terpaksalah Sangaji mundur terus-menerus sambil mengelak. Kemudian berpikir, kalau
terus-terusan main mundur sambil mengadu kecepatan bergerak saja, bukankah aku akan men-
jatuhkan pamor perguruan Gunung Damar" Ilmu ciptaan Eyang Guru memang belum kupahami
benar. Tapi masakan aku kalah tenaga dengan dia" Semalam aku berhasil mementalkan tenaga pukulan pendekar Kebo Bangah. Mustahil aku tak tahan menerima pukulan ilmunya yang
diandalkan Memperoleh pikiran demikian, Sangaji segera membalikkan tangan dan segera hendak
memapak pukulan lawan. Berbareng dengan itu, dia berkata nyaring: "Fatimah! Apakah orang ini yang menganiaya engkau?"
Fatimah sudah semenjak tadi berada di paseban di samping Panembahan Tirtomoyo. Melihat
Keyongbuntet, pandang matanya berapi-api. Karena itu, begitu mendengar pertanyaan Sangaji terus menyahut, "Bocah tolol! Masakan bertanya lagi" Itulah dia! Dan jangan lupakan si bangkotan pula yang menggeletak itu!"
"Baiklah! Nah"lihat! Biarlah dia membayar pulang hutangnya bersama bunganya sekali..."
Sangaji sudah mempunyai pegangan kuat. Kalau Kebo Bangah saja bisa terpental jungkir balik hanya kena benturan tenaganya enam bagian, apalagi kalau dikerahkan dengan sepenuh-penuhnya. Dan terhadap manusia keji ini, perlukah dia sungkan-sungkan lagi" Terus ia
mengerahkan segenap tenaganya. Pada waktu itu, dengan gemas Keyongbuntet menyerang
dahsyat. Maklumlah, dia merasa direndahkan. Tetapi hebat akibatnya. Kedua lengannya terdengar gemeretak. Tahu-tahu remuk tak berwujud lagi. Tubuhnya terpental menghantam adik
seperguruannya Maesasura. Dan kedua-duanya terbang melayang jauh melintasi paseban. Kaki mereka menghantam pohon dan patah menjadi empat. Kemudian jatuh bergedebrukan di tanah
tanpa berkutik lagi. Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berlaku kejam terhadap lawan-lawannya rresKi betapa kejampun. Kalau ia mengerahkan .segenap tenaganya tujuannya hendak menolak hawa beracun
lawan. Kemudian akan menggempurnya, selintasan untuk menghajar adatnya yang bengis dan
keji, agar tak semena-mena lagi menganiaya seorang gadis tak berdosa. Di luar dugaannya, ternyata tenaga jasmaninya luar biasa hebat. Benar dia pernah mencobanya tatkala menyusun kubu pertahanan, tetapi semenjak keluar benteng baru kali itulah dia menggunakan sepenuhnya untuk menghadapi lawan. Dan begitu melihat penderitaan lawan, hatinya yang mulia jadi iba.
Segera ia hendak melompat menghampiri. Mendadak dari dalam paseban terdengarlah suara
seperti gembreng pecah. "Nah kau lihat sendiri hai tua bangka! Dia mengaku sebagai anak cucu muridmu. Nyatanya dia jauh lebih hebat dari ilmu kepandaianmu sendiri. Kau sekarang mau bilang apa?"
Itulah suara pendekar Kebo Bangah. Ia ternyata sudah berdiri berjajar dengan Kyai Kasan
Kesambi di paseban dalam. Melihat mereka berdua, Sangaji berdiri tertegun.
Pada pagi hari tadi, Kebo Bangah sampai di padepokan Gunung Damar. Terus saja ia minta
bertemu dengan Kyai Kasan Kesambi. Niatnya sudah tetap, hendak menculik Wirapati sebagai alat penukar kedua pusaka sakti Bende Mataram yang berada dalam tangan Sangaji. Tetapi ia licin.
Sebagai seorang pendekar kawakan, dia tahu menilai ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi.
Terhadap orang tua itu, dia tak berani berlaku semberono. Karena itu diam-diam ia hendak melakukan akal licik, la menantang orang tua itu bertukar pikiran mengenai ilmu kepandaian di suatu tempat yang agak jauh dari padepokan. Sementara itu, ia berharap anak buahnya dan
pasukan Pangeran Bumi Gede menggerebek pade-pokan Gunung Damar pada siang hari dan terus menculik Wirapati. Tetapi akal liciknya ini tak gampang-gampang dapat dilaksanakan. Kyai Kasan Kesambi ternyata bukan lagi hidup sebagai seorang pendekar, la sudah menjadi seorang pendeta sampai kebulu-bulunya. Terhadap segala tetek bengek mengenai urusan keduniawian sudah tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudi menghiraukan lagi. Maka cepat-cepat ia berganti arah. Terus saja ia membicarakan tentang ragam ilmu kepandaian di dunia ini, dengan tak berkepu-tusan. Sekali-kali ia sengaja memberi peluang kepada Kebo Bangah untuk minta pendapatnya, pertimbangannya dan petunjuk-petunjuknya, la memang seorang pendekar yang gila terhadap macam ilmu kepandaian di dunia ini. Pengetahuannya luas dan banyak akalnya pula. Itulah sebabnya meskipun lamban lambat-laun ia berhasil menarik perhatian Kyai Kasan Kesambi. Akhirnya minta agar Kyai Kasan Kesambi sudi melihat dan menilai ilmu kepandaiannya yang sudah ditekuni selama dua puluh tahun. Dahulu dia pernah kalah seurat melawan ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi. Sekarang ia berbalik hendak menebus kekalahannya itu. Dan untuk memperli-hatkan ilmu saktinya itu, dia minta suatu tempat yang memencil. Kyai Kasan Kesambi meluluskan. Dan demikianlah, maka mereka berdua
meninggalkan padepokan Gunung Damar menjelang tengah hari.
Meskipun Kyai Kasan Kesambi kenal kelicinan Kebo Bangah, tapi ia tak menduga buruk. Dia
hanya bersikap hati-hati dan berwaspada. Kebo Bangah sendiri bisa membawa diri. Dia bukan goblok pula.
Setelah meninggalkan padepokan Gunung Damar cukup jauh, ia segera mengeluarkan semua
kepandaiannya. Ia tak berani mengurangi sejuruspun. Sebab main akal di depan Kyai Kasan
Kesambi tidaklah guna. Segera kecurangannya akan ketahuan.
Tua bangka ini bukan main tajam matanya. Kalau sampai terbangkit rasa curiganya, urusan
penculikan ini bisa gagal. Dia bersikap se-olah-olah tak sudi mengetahui urusan dunia. Tapi mengapa menerima lima orang murid" Diam-diam Kebo Bangah menimbang-nimbang dalam hati.
Biarlah kucobanya. Kalau kuserang dia tak mau menangkis, itulah namanya mencari mampusnya sendiri.
Setelah berpikir demikian, mendadak saja dia terus menyerang Kyai Kasan Kesambi dengan
segenap tenaganya. Untung, jauh-jauh Kyai Kasan Kesambi sudah bersikap hati-hati dan
berwaspada. Melihat mata orang, segera ia bersiaga. Begitu serangan Kebo Bangah tiba, ia memapakinya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya mental dua langkah. Hanya saja Kyai Kasan
Kesambi tetap berdiri tegak, sedang Kebo Bangah perlu berjungkir balik untuk memunahkan
tenaga sendiri yang terkirim balik. Di sini ternyatalah, bahwa Kyai Kasan Kesambi betapapun juga menang tangguh. Dia tadi belum siap benar. Sebaliknya Kebo Bangah melakukan penyerangan
dengan sadar. Meskipun demikian dia tak tergoyahkan.
"Bagus! Kau tua bangka. Akhirnya ketahuan juga. Kau cuma bilang di mulut. Buktinya kau masih menyayangi nyawamu yang sudah bangkotan!" seru Kebo Bangah dengan tertawa riuh.
Kyai Kasan Kesambi bersikap tenang-tenang. Dia hanya tersenyum menghadapi kekasaran
Kebo Bangah. Ia tahu, lawannya bukan pendekar sembarangan. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah mengadu kepandaian sampai berhari-hari lamanya. Untuk menghadapi dia, jauh-jauh ia sudah bersiaga.
Ia tahu, ilmu kebanggaan Kebo Bangah bernama Kala Lodra. Untuk menghadapi ilmu Kala
Lodra yang tangguh, ia sudah mempunyai jurus-jurus pemunahnya. Yakni Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti dengan dasar tenaga Pancawara yang dahsyat. Ilmu ciptaannya itu
sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi pendekar Kebo Bangah dan Adipati Surengpati.
Kedua pendekar itu bengis, licin dan serba pandai. Kemudian secara kebetulan Sangaji
mewarisinya. Meskipun belum sempurna, ia menduga pendekar Kebo Bangah sudah pernah
melihatnya. Kalau tidak, masakan dia sampai naik padepokan Gunung Damar dan menantang
mengadu ilmu kepandaian, pikirnya.
"Kebo Bangah! Makin bertambah umur, rasanya makin runyam jalan pikiranku. Ciptaanku itu luar biasa jelek. Entah ada gunanya atau tidak untuk kautekuni," kata Kyai Kasan Kesambi dengan sabar.
Terhadap Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah tak perlu putar lidah, terus saja tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Hai" apakah benar itu ciptaanmu" Aku belum pernah mencoba."
Sehabis berkata demikian, langsung ia menyerang lagi dengan ilmu Kala Lodra yang sudah
disempurnakan. Kedua orang itu dahulu pernah mengadu ilmu kepandaian sampai sepuluh hari lamanya. Kini mereka bertempur lagi setelah saling menekuni ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun lebih. Masing-masing memperoleh kemajuannya sendiri. Karena itu tidaklah
gampang-gampang dapat diputuskan siapakah yang lebih unggul dalam satu dua hari saja. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apabila dua harimau sedang bertarung, tidakkan selesai sebelum salah satu mati atau setidak-tidaknya terluka parah. Untung, Kebo Bangah tidak bermaksud untuk mengadu kepandaian
dengan sungguh-sungguh. Begitu matahari sudah merangkak-rangkak mendekati petang hari, ia melompat ke luar gelanggang. Ia menduga, anak buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede
sudah berhasil menculik Wirapati. Dasar ia banyak akal dan licin, maka wajahnya sama sekali tak memperlihatkan suatu perubahan. Bahkan dengan tertawa berkakakan ia berkata, "Kau tua bangka, makin tua makin hebat! Namun, kalau jurusmu itu benar-benar hasil ciptaanmu, mengapa anak cucu muridmu lebih hebat dari kau sendiri."
Kyai Kasan Kesambi tak mau terjebak. Segera menyahut, "Apa kubilang tadi. Bukankah ilmuku tiada gunanya untuk kautekuni?"
Kebo Bangah tercengang. Ia memang berbicara dengan sebenarnya. Semalam ia kena pukul
Sangaji. Teringat akan tenaga Sangaji yang hebat, bulu kuduknya meng-geridik. Tadi agaknya, Kyai Kasan Kesambi tak begitu menaruh perhatian. Dengan kenyataan itu teranglah, bahwa
tenaga sakti Sangaji benar-benar diperolehnya bukan dari ajaran ilmu Gunung Damar. Teringat akan kedua pusaka sakti warisan, hatinya mendadak terguncang hebat.
"Tua bangka! Aku berkata dengan sebenarnya. Aku tahu, jurusmu hebat. Aku tahu pula kau belum menggunakan ilmu saktimu Pancawara. Kalau sudah... hm... aku Kebo Bangah betapa bisa bertahan lebih lama lagi."
Sekali lagi Kebo Bangah berkata dengan setulus hati. Tapi dasar ia terkenal licin dan banyak akal, maka Kyai Kasn Kesambi hanya tersenyum belaka. Menyahut, "Kau mengenal ilmu
Pancawara, itulah bagus."
"Betapa tidak" Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu muridmu yang tertua mengadu tenaga dengan Adipati Surengpati. Bukan main tangguhnya ilmu itu, sampai
Adipati Surengpati jadi prihatin."
Mendengar keterangan Kebo Bangah, dalam hati Kyai Kasan Kesambi terperanjat. Meskipun dia seorang pertapa yang sudah sampai pada tataran bebas dan tiada terikat oleh semua bentuk masalah dunia, namun karena hubungan dengan muridnya bagai darah daging sendiri, tak urung ia cemas mendengar kabar tentang adu tenaga sakti antara Gagak Handaka melawan Adipati
Surengpati. Dengan menguasai diri ia mencoba minta penjelasan.
"Hm... Pancawara betapa bisa dimainkan oleh seorang untuk menghadapi Adipati Surengpati."
"Kalau begitu, benar-benar hebat ilmu saktimu Pancawara," sahut Kebo bangah tak kalah cerdik. Sebagai seorang licin tahulah dia, bahwa hati Kyai Kasan Kesambi kena terguncang oleh kata-katanya. Teringat kepada rencana kepergiannya ke padepokan Gunung Damar, tak mau dia lama-lama terlibat persoalan dengan orang tua itu. Maka dengan perlahan-lahan ia kembali mengarah ke padepokan. Kemudian berbicara lancar. "Meskipun muridmu kalah ulet, tapi Adipati Surengpati tak mau gegabah. Dalam hati ia mengakui keunggulanmu."
Kyai Kasan Kesambi tertawa perlahan, la sadar akan kelicinan lawan. Berkata, "Hebat! Engkau sampai bisa membaca hati orang."
Kebo Bangah tertawa berkakakan. Sadar akan kecerobohannya, cepat-cepat ia mengalihkan
pembicaraan. 'Tetapi selama hidupku... baru kali ini aku mengakui ketangguhan seorang. Itulah cucu
muridmu sendiri. Hm... tak kusangka ia berani mengadu pukulan dengan aku. Dan hasilnya aku bisa dijungkir-balikkan."
"Eh, masakan begitu. Kalau benar, mestinya engkau tak kan sampai di sini," Kyai Kasan Kesambi bersangsi.
Kebo Bangah tak menyahut. Ia mempercepat larinya. Dan Kyai Kasan Kesambi menjaja-rinya.
Makin lama lari Kebo Bangah makin cepat. Dalam hati ia hendak menguji kegesitan orang tua itu.
Dahulu Kyai Kasan Kesambi terkenal kecepatan larinya. Kinipun ternyata tak kurang tenaganya.
Bahkan terasa kian jadi masak. Langkahnya seperti ayal-ayalan. Tetapi cepatnya luar biasa. Itulah sebabnya seolah sekejap mata mereka berdua sampai di padepokan.
Mendadak saja terdengarlah suatu kesibukan. Kedua-duanya terkejut dan masing-masing
mempunyai kesan sendiri. Kebo Bangah yang mempunyai maksud buruk, segera bersiaga
menghadapi segala kemungkinan. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa
rencananya tak berjalan dengan lancar. Dalam hati, ia mengutuk pasukan Pangeran Bumi Gede
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan anak buahnya sendiri. Kenapa begini terlambat, pikirnya. Dia tak tahu, bahwa mereka terlalu berhati-hati sewaktu hendak mendaki Gunung Damar. Hampir sehari penuh, mereka sibuk
mengatur penjagaan. Kecuali untuk merintangi bala bantuan, tujuannya untuk membendung arah larinya Kyai Kasan Kesambi pula. Kemungkinan Kyai Kasan Kesambi melarikan diri tidak perlu disangsikan lagi. Sebab meskipun gagah, masakan tahan menghadapi keroyokan dua tiga ratus orang. Dan apabila dia lari, pasti pula membawa Wirapati.
Kyai Kasan Kesambi tak mempunyai dugaan terlalu buruk terhadap Kebo Bangah. Sekalipun dia tahu lawannya itu sangat licin, ia tak mau percaya bahwa sebagai seorang pendekar besar, Kebo Bangah akan sampai melakukan perbuatan-perbuatan rendah. Pastilah peristiwa kesibukan itu hanya secara kebetulan belaka berbareng dengan datangnya Kebo Bangah. Lalu berkata mencoba,
"Sudah terlalu banyak rakyat yang tak tahu menahu urusan pemerintahan menjadi korban suatu kelaliman orang-orang tertentu. Bagaimana pendapatmu?"
Kebo Bangah sangat licin. Sama sekali raut mukanya tak berubah. Dengan tenang ia men-
jawab, "Aku ingin tahu pula, siapakah yang berani menghina padepokanmu."
Setelah menjawab demikian, segera ia mempercepat larinya. Kyai Kasan Kesambi tak mau
ketinggalan pula. Sewaktu datang di paseban, mereka melihat Sangaji sedang menyambut
perlawanan musuh dengan ilmu Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
"Nah, kau tak percaya omonganku tadi?" bisik Kebo Bangah. "Tenaga cucu-muridmu lebih hebat dari tenagamu sendiri. Lihat saja nanti akhirnya!"
Mereka berdua bisa bergerak dan berbicara dengan leluasa tanpa ketahuan orang. Sebab
semua orang di dalam paseban menumpahkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran itu.
Mendadak saja"setelah mengelak mundur "Sangaji berhasil menggempur Keyongbuntet
sampai terpental keluar paseban. Dalam hati, Kebo Bangah tergetar melihat adik seperguru-annya runtuh di depan hidungnya. Tetapi Kyai Kasan Kesambi seolah-olah tidak memperhatikan peristiwa itu. Dahinya nampak ber-kerenyit. Dengan pandang seolah-olah tak mempercayai penglihatannya sendiri, dia menegur Kebo Bangah.
"Bukankah itu adik seperguruanmu" Ah! Aku memang sudah pikun. Mengapa kau tak berkata terang-terangan di hadapanku."
Kyai Kasan Kesambi adalah seorang perta-pa yang sudah menyekap diri berpuluh-puluh tahun lamanya. Kata-kata demikian sudahlah merupakan ucapan sangat tajam penuh sesal. Keruan saja Kebo Bangah lantas saja menjadi sibuk. Tetapi diapun seorang pendekar besar pula. Selain sombong, angkuh, licin dan banyak akal, mempunyai kehormatan diri sangat besar. Begitu sadar bahwa kedoknya bakal terbuka, kehormatan dirinya tersinggung. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia melompat mundur empat langkah. Dengan pandang berapi-api ia menyahut, "Siapa suruh kau mengeram dalam padepokan, siapa suruh anak cucu muridmu memiliki pusaka Bende Mataram
segala. Memang aku datang untuk itu. Kau mau apa?"
Mendengar ucapan Kebo Bangah, Kyai Kasan Kesambi sangat prihatin. Hatinya penuh sesal dan pedih. Karena tak biasa ia beradu ketajaman lidah, ia lantas tertawa perlahan-lahan. Namun pandang matanya berkilat-kilat.
Gagak Handaka dan segenap adik sepergu-ruannya tahu, bahwa gurunya sedang bergulat
melawan puncak kegusaran. Karena itu serentak ia membentak tajam.
"Sungguh tak kami duga-duga, bahwa seorang pendekar besar bisa berlaku begini licik. Sebagai seorang ksatria mengapa tak berani terang-terangan memperlihatkan dadanya. Gagal atau
berhasil bukankah soal lumrah dalam suatu tujuan?"
"Kau anak kemarin sore menjual obrolan apa di hadapanku?" Kebo Bangah membalas membentak. Terus saja ia melesat sambil mengirim pukulan.
Semua yang hadir di padepokan Gunung Damar tahu, bahwa tenaga Kebo Bangah tak boleh
dibuat gegabah. Tenaga pukulannya bisa menghancurkan batu gunung setinggi rumah. Karena
itu, sekalian murid Kyai Kasan Kesambi terkejut. Cepat-cepat mereka senyibak dan mengelakkan pukulan Kebo Bangah dengan bergulungan di lantai. Tiba-tiba saja nampaklah sesosok bayangan memapak pukulan itu. Plak!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waktu itu hari sudah gelap. Samar-samar Kyai Kasan Kesambi mengenal bayangan yang
memapak pukulan Kebo Bangah. Itulah anak cucu muridnya Sangaji. Hatinya tercekat. Di luar kemauannya sendiri ia sampai bersuara kaget. Di dunia ini siapakah yang mampu menahan
pukulan Kebo Bangah yang sedang mengumbar amarahnya" Tapi kenyataannya sungguh di luar
dugaan. Masing-masing hanya tergetar mundur dua langkah dengan tubuh bergoyangan.
Kebo Bangah sudah mengambil keputusan nekat. Dia tahu, pihaknya lebih menang jumlah. Dan kalau sudah memutuskan suatu tindakan, tak mau dia setengah-tengah lagi. Terus saja ia
bersiaga. Bagus Kempong yang dapat memikir jauh segera berseru kepada Suryaningrat, "Nyalakan lampu dan jagalah kakakmu Wirapati. Bukankah mereka datang untuk menculik kakakmu Wirapati agar dapat dijadikan alat penukar dua pusaka milik keponakan muridmu?"
Mendengar ucapan Bagus Kempong, diam-diam Kyai Kasan Kesambi menarik napas, la
menyesali diri sendiri, mengapa begitu lengah menggerayangi kelicinan Kebo Bangah.
Dalam pada itu Sangaji sudah siap bertempur pula. la menarik napas dalam-dalam. Tenaga
murninya lantas saja bergerak berputar. Makin lama makin cepat dan tenaga perangsangnya
bukan main besar. "Aku tak percaya di dunia ini ada suatu tenaga yang bisa menahan gempuran Kala Lodra!"
teriak Kebo Bangah mengguntur. Dan setelah berteriak demikian, ia melompat sambil
mengayunkan tangannya. Plak!
Untuk kedua kalinya mereka beradu tenaga. Kini selisih tenaga masing-masing nampak jelas.
Waktu itu lampu telah dinyalakan terang benderang. Kebo Bangah tergempur mundur dua
langkah, sedang Sangaji masih berdiri tegak bagaikan batu karang. Sama sekali ia tak
tergoyahkan. Keruan saja Kebo Bangah bertambah gusar sampai matanya melotot.
"Kau tak bergeming" Bagus!" serunya garang. "Tapi jangan cepat-cepat berbesar hati, Kala Lodra bukan ilmu picisan. Sambutlah sekali lagi!" Benar-benar Kebo Bangah mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Tulang belulangnya terdengar berpele-takan. Jangan lagi murid-murid Kyai Kasan Kesambi bahkan Kyai Kasan Kesambi sendiri terperanjat pula. Bagus Kempong tak kuat lagi
menahan keguncangan hatinya, terus ber-teriak memperingatkan Sangaji. "Aji! Turun ta-ngan dahulu sebelum dia berhasil menghimpun tenaga!"
Sangaji mengangguk sambil melangkah maju. Tetapi dia tak menyerang. Ia tunggu gerakan
lawan dan begitu melihat Kebo Bangah berjongkok sambil mengangkat tangannya. Cepat-cepat ia menarik napas dalam-dalam. Hawa murninya segera bergolak. Kedua tangannya terus menapak.
Suatu tenaga benturan bagaikan gugurnya sebuah gunung terdengar meledak: Blaaang!
Pada saat itu terdengarlah jerit Kebo Bangah. Tubuhnya terpental seperti sebuah peluru batu terlepas dari sebuah bandringan raksasa. Tubuhnya menumbuk tiang dan terus menjebol dinding.
Seketika itu juga gemuruhlah suara dinding runtuh dan atap paseban hancur berantakan
berkepingan. Selagi semua orang tercengang-cengang kaget. Tiba-tiba masuklah seorang berkulit putih lewat lubang dinding yang bobol tadi. Dia datang dengan memapah tubuh Kebo Bangah. Dan lantas
berkata, "Anak tolol! Pukulanmu bukan main besar sampai aku merasa kewalahan. Kau apakan bangsat ini?"
Ternyata dia adalah Gagak Seta, pendekar sakti yang berwatak angin-anginan. Diapun mendaki Gunung Damar begitu mendengar kesibukan pasukan Pangeran Bumi Gede. Seperti diketahui, dia meninggalkan gelanggang pertempuran menjelang pertarungan seru antara para pendekar
melawan pasukan Pangeran Bumi Gede. Dia seumpama seekor naga, kelihatan ekornya tapi tidak kepalanya. Gerak-geriknya bebas liar, tetapi matanya tajam luar biasa. Jangan lagi tentang gerakan pasukan yang dianggapnya sebagai musuh, sedangkan seorang penjahat licinpun tidak bakal terlepas dari pengamatannya. Itulah sebabnya, menguntit perjalanan para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede bukan merupakan suatu hal yang sulit baginya. Walaupun agak
terlambat, tetapi bukannya kasep. Bahkan tepat sekali. Kalau saja tubuh Kebo Bangah tak kena disambarnya, pastilah pendekar besar itu sudah tamat riwayatnya.
Ternyata Kebo Bangah hanya pingsan saja. Tubuhnya yang luar biasa kuat bisa menahan
gempuran ilmu sakti Sangaji. Namun urat syarafnya kacau balau tak teratur lagi. Jalan
pernapasannya jungkir balik. Itulah sebabnya, ia kehilangan kesadarannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, tua bangka!" kata Gagak Seta kepada Kyai Kasan Kesambi sambil meletakkan tubuh Kebo Bangah di lantai. "Kau masih kelihatansegar bugar. Nampaknya kau masih sanggup hidup seratus tahun lagi."
Terhadap Gagak Seta, kesan Kyai Kasan Kesambi tidak buruk. Meskipun Gagak Seta seorang
pendekar edan-edanan, tetapi berwatak ksatria. Apalagi kini ada hubungannya dengan cucu
muridnya. Maka dengan tersenyum seri ia menyambut.
"Kaupun masih gagah juga. Kalau tidak, masakan cucu muridku bisa menjadi orang."
"Eh, eh! Siapa bilang?" Gagak Seta ter-sipu-sipu. "Aku bisa mengapakan dia" Malahan akulah kelak yang harus disulapnya menjadi seorang manusia yang ada gunanya hidup dalam dunia ini."
Dengan runtuhnya pendekar besar Kebo Bangah, habislah sudah kegarangan pen-dekar-
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Apalagi kini pendekar sakti Gagak Seta yang disegani orang gagah di seluruh penjuru nusantara, datang pula. Bisa dibayangkan sudah, apabila mereka berani banyak bertingkah lagi. Maka diam-diam mereka mengundurkan diri dan lari ngacir
meninggalkan gunung. Kini tinggal gerombolan anak buah Kebo Bangah belaka yang jumlahnya tak lebih dari dua
puluh orang. Mereka tak berani bergerak, tetapi pula tak berani meninggalkan majikannya yang masih saja kehilangan kesadarannya.
"Kebo bangkotan ini memiliki ilmu bukan sembarangan," kata Gagak Seta lagi. "Meskipun kita tak usah takut, untuk meruntuhkan dalam dua tiga gebrakan adalah mustahil. Tetapi melawan tenaga sakti cucu muridmu, dia mati kutu. Nah, kau mau bilang apa" Bukankah hidup ini selalu bersemi tiada berkeputusan" Hidup ini bagaikan gelombang samudera. Yang satu disusul lainnya.
Yang lebih besar dan yang lebih dahsyat. Di kemudian hari tinggal kisah tentang tulang belulang kita yang kian jadi keropos."
Setelah berkata demikian, Gagak Seta tertawa mengguruh. Dan diam-diam Kyai Kasan Kesambi berpikir, bocah ini memang besar rejekinya. Dia telah menemukan suatu mustika tiada taranya dalam dunia. Tenaga saktinya luar biasa dahsyatnya. Bakatnya kuat dan pengucapan hatinya bagus pula. Hanya saja meskipun hebat, belum terhitung luar biasa. Nanti, kalau dia sudah sadar apa arti kebajikan hidup untuk bangsa dan negaranya, itulah baru luar biasa. Sedikit banyak ia bisa menyumbangkan hamemayu hayuning jagat '.
Meskipun berpikir demikian, Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut juga. Mendadak sinar
matanya yang tenang beku, berki-latan tajam. Kemudian berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri.
"Betapa banyak rakyat jelata yang sudah menjadi korban keganasan bangsa asing dan suatu kelaliman, tak terhitung jumlahnya. Justru kini kudengar, rakyat seluruh Mataram sedang bergerak menegakkan keadilan. Dan kalau kita yang tua-tua ini bisa menyumbangkan sisa hidup untuk sekedar menyiramkan darah di atas bumi pertiwi ini, bukanlah sia-sia hidup kita ini. Orang hidup semenjak dahulu siapalah yang tidak akan mati. Dan kita sudah bekerja sebisanya. Biarlah sedikit meninggalkan semangat hidup kepada angkatan mendatang."
Mendengar ucapan Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta terkejut sampai tergetar hatinya.
Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Ki Hajar Karangpandan, Jaga Saradenta dart para
pendekar muda lainnya berubah pula wajahnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang keadilan.
Karena itu tak mengherankan, hati mereka terhanyut dalam keharuannya masing-masing.
"Semenjak dahulu, kita yang menamakan diri orang-orang gagah, merasa takluk padamu." kata Gagak Seta. "Seumpama engkau kini lebih muda lima enam puluh tahun lagi, hari ini akan kuajak turun gunung untuk berlomba memercikkan darah yang tak berharga ini."
"Itulah tak perlu," potong Kyai Kasan Kesambi. "Engkau sudah bekerja sebisa-bisamu. Nyatanya engkau berhasil menyulap cucu muridku menjadi manusia lain."
"Eh, eh! Siapa bilang" Siapa bilang?" Gagak Seta menolak pemberian jasa itu untuk yang kedua kalinya. "Kalau saja anakku Sangaji bisa menjadi manusia lain sebenarnya engkaulah yang berjasa. Kau tak percaya" Lihat!"
Sehabis berkata demikian, mendadak saja ia melesat menyerang Sangaji. Sudah barang tentu Sangaji yang tak menduga sama sekali akan diserang gurunya, gugup setengah mati. Kalau saja Gagak Seta berniat jahat, dia akan kena hantaman telak. Meskipun tidak akan melukai, setidak-tidaknya bakal kesakitan juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa kau diam saja" Dalam dunia ini, tidak semuanya berjalan lancar. Kau harus mengenal kelicikan dan kelicinan orang. Belum tentu gurumu, sanak saudaramu dan sahabatmu sejujur detak jantungmu. Kalau kaukena serangan mendadak,
bukankah baru sadar setelah engkau memasuki liang kubur" Sekarang, siaplah!"
"Guru!" kata Sangaji gugup. "Bagaimana bisa aku ..."
"Aku ingin menguji ilmu kepandaianmu. Bukankah engkau sudah sanggup meruntuhkan
pendekar besar Kebo Bandotan?"
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berkata demikian, kembali Gagak Seta menyerang dengan mendadak. Secara wajar,
Sangaji mengelak cepat sambil berseru gap-gap: "Guru...! Bagaimana aku..."
"Bocah tolol!" Gagak Seta mendamprat lagi. "Dalam suatu adu ilmu kepandaian, siapa yang lengah dia bakal tewas."
Dalam hidupnya, orang yang memanggilnya dengan istilah tolol hanyalah empat orang. Gagak Seta, Titisari, Jaga Saradenta dan Fatimah. Karena itu mendengar Gagak Seta memanggilnya dengan istilah tolol, ia tak bersakit hati. Meskipun dia kini jauh berlainan daripada dahulu. Namun panggilan itu sendiri membuat ingatannya kembali kepada pertemuannya yang pertama dengan Gagak Seta. Karena itu hatinya lemas dengan sendirinya.
"Kau memang anak tolol! Apakah engkau akan membiarkan dirimu kumakan mentah-mentah"
Meskipun kau kini memiliki suatu keperkasaan, bukankah engkau terdiri dari darah dan daging"
Tangkislah tolol! Aku hendak mengujimu, apakah tubuhmu benar-benar lebih keras dari sebatang pohon!" Melihat sikap gurunya dan mendengar kata-kata menguji, Sangaji seperti memperoleh sebintik cahaya. Lantas saja ia hendak mencoba pula ilmu Kumayan Jati dengan dasar tenaga sakti yang sudah diperolehnya. Maka sebentar saja mereka telah berkelahi dengan cepat.
Sambaran angin mereka hebat bukan main sampai atap paseban bergoyangan. Karena itu
akhirnya mereka keluar halaman.
Mereka semua lantas saja ikut lari keluar. Para cantrik pontang-panting menyalakan obor dan lampu. Dengan demikian gelanggang pertempuran jadi terang benderang.
Diam-diam Gagak Seta bergirang hati melihat kemajuan muridnya. Tenaganya hebat, sampai ia tak berani menangkis dengan berhadapan. Pikirnya dalam hati, benar-benar berhasil dia melebur tenaga saktinya menjadi satu. Tapi kalau aku yang dikatakan berjasa, sama sekali tidak. Setelah berpikir demikian dia berseru, "Anak tolol! Kumayan Jati berasal dariku. Betapa hebat tenagamu kini, tapi kau tak bakal bisa berbuat banyak terhadapku. Kau adalah khas cucu murid Gunung Damar. Masakan eyang gurumu tak ikut berbicara dalam membentuk dirimu?"
Diingatkan demikian, Sangaji terus merubah jurusnya. Kini ia menggunakan ilmu ciptaan eyang gurunya Sura Dira Jayaningrat Leb^; Dening Pangastuti. Sewaktu memunahkan dan menangkis
serangan Kebo Bangah diapun menggunakan salah satu jurusnya dibarengi dengan dasar tenaga saktinya. Tetapi aneh. Meskipun menghadapi gurunya ia tak meng-gunakan tenaga penuh, namun jurus ilmu itu sendiri sama sekali tak dapat menyentuh. Bahkan menyambar selembar bulunyapun tidak.
Semua yang hadir di situ adalah para pendekar jempolan. Merekapun tadi melihat dan
menyaksikan sewaktu Sangaji menggempur Kebo Bangah. Karena itu mereka heran apa sebab
ilmu itu macet menghadapi Gagak Seta. Apakah Gagak Seta lebih hebat daripada Kebo Bangah"
Hanya seorang belaka yang tahu apa sebabnya. Yakni, Kyai Kasan Kesambi sendiri. Seperti
diketahui, ilmu ciptaan itu terjadi sewaktu melihat nasib muridnya Wirapati yang remuk tulang belulangnya oleh aniaya musuh. Meskipun tak pernah terucapkan.
tetapi orang tua itu teringat kepada lawan besarnya yang sangat licik, licin dan serba pandai.
Itulah Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Terhadap Gagak Seta, ia tak mempunyai prasangka.
Sebab meskipun berwatak angin-anginan Gagak Seta adalah seorang ksatria. Itulah sebabnya, maka cip-taannya itu merupakan ilmu pemunah dan penggempur kedua lawan besarnya.
Sekarang Sangaji menggunakan ilmu ciptaannya melawan Gagak Seta. Tentu saja hilanglah daya gunanya. Gagak Seta dapat bebas bergerak tanpa rintangan. Untung tenaga sakti Sangaji bukan main hebatnya dan Gagak Seta sendiri tak berniat berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian ilmu sakti Kuma-yan Jati dan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, tak dapat saling menyentuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Setapun akhirnya sadar. Terus saja ia melompat ke luar gelanggang dan menghampiri
Kyai Kasan Kesambi. Lalu berkata nyaring, "Terang sekali, bahwa engkaulah yang berjasa membentuk anakku Sangaji menjadi manusia lain. Kalau tidak, masakan Kebo Bangah bisa
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Pendekar Elang Salju 11
Tatkala aku dipertunangkan dengan Sonny, bukankah aku tak menolak" Meskipun hatiku berbicara lain. Karena itu betapapun juga aku harus berani memikul akibatnya. Seorang laki-laki boleh hancur-lebur, tapi jangan sampai kehilangan harga diri. Biarlah Adipati Surengpati membunuhku.
Biarlah Titisari membenci daku seumur hidup atau mengutuki tulang belulangku dalam liang kubur. Aku tak dapat berbuat lain, kecuali menetapi janji...
Setelah mengambil keputusan demikian, ia menghadap Adipati Surengpati. Kemudian berkata
nyaring, "Adipati Surengpati, guru, paman-pamanku, Paman Hajar Karangpan-dan, Aki
Panembahan Tirtomoyo dan Aki Tunjungbiru dan Mayor de Hoop, Sonny dan sekalian yang hadir di sini. Aku Sangaji. Meskipun aku anak seorang janda miskin dan ayahku mati tak ketentuan liang kuburnya, tapi aku adalah laki-laki yang harus mempu-nyai harga diri. Tak dapat aku
mengorbankan kepercayaan orang terhadapku. Karena itu betapapun akibatnya aku tetap akan kawin dengan Sonny de Hoop. Inilah pernyataanku."
Sangaji berbicara dalam dua bahasa. Yang pertama kali bahasa Jawa. Kemudian diter-
jemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Dengan demikian kedua belah pihak mengerti dengan
terang. Keruan saja. Mayor de Hoop dan Sonny girang setengah mati. Sebaliknya, Adipati
Surengpati, Titisari, Ki Hajar Karang-pandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjung-biru, Jaga Saradenta dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi tercengang-cengang. Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan sekalian murid-murid Kyai Kasan
Kesambi akhirnya memuji keputusan itu dengan diam-diam. Inilah ucapan dan keputusan seorang ksatria sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadinya demi menjunjung derajat kaumnya dan bangsanya. Tapi tidaklah demikian halnya dengan Adipati Surengpati. Semenjak dahulu ia dijuluki sebagai siluman Karimun Jawa. Karena dia adalah seorang pendekar yang tak
menghiraukan sama sekali tata pergaulan manusia. Ia merasa muak mendengar semboyan-
semboyan kosong yang tiada harganya bagi sejarah kemanusiaan. Apakah itu harga diri. Apakah itu kehormatan laki-laki. Apakah itu ksatria sejati segala. Mendadak saja ia memperdengarkan suatu nada tertawa panjang yang menggeridikkan bulu roma.
Tittisari kaget mendengar tertawa ayahnya. Itulah suatu tanda, bahwa ayahnya murka tak
terkendalikan lagi. Tapi berbareng itu, ia berduka juga sehingga ia berdiri terlongong-Iongong.
Gadis yang berontak cerdas luar biasa itu, mendadak saja kehilangan akal. Tetapi hal itu bukanlah berarti bahwa ia tak tahu menempatkan diri. Dengan tenang ia melangkah maju beberapa langkah menghampiri Sonny. la mengamat-amati perawakan puteri itu yang tegap berwibawa. Akhirnya menghela napas panjang. Pikirnya, patutlah Aji menjadi suami-nya. Inilah suatu pilihan tepat.
Terus ia berkata kepada Sangaji, "Aji! Aku paham apa sebab engkau menyatakan keputusan itu.
Kau bergaul dengan dia lebih lama daripadaku. Kau dibesarkan pula dalam kalangannya. Sudah selayaknya engkau memilih dia sebagai sisihanmu. Sebaliknya aku... aku adalah anak seorang siluman yang tiada beribu lagi. Tak berpendidikan. Tak bermartabat. Tak berdera-jat, dan liar.
Sudah selayaknya pula engkau melupakan aku sebagai impian buruk...
Bukan main terharunya hati Sangaji. Ia maju menghampiri dan memegang tangannya erat-erat.
Kata pemuda itu, "Titisari! Tak-tahulah aku apakah keputusanku itu tadi tepat atau tidak. Cuma saja, di dalam hatiku terisi seorang saja yang kucintai dengan segenap hatiku. Itulah engkau.
Meskipun nasibku kelak mulia atau buruk, aku tetap mencintaimu."
Mendengar ucapan Sangaji, air mata Titisari menggelinang memenuhi kelopak matanya.
Katanya berbisik, "Tapi mengapa kau hendak mengawini dia?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Titisari! Aku memang seorang tolol. Segalanya tak kumengerti sendiri. Di depanku seolah-olah sudah disediakan jalan panjang bagiku yang harus kutempuh. Aku hanya tahu, bahwa seorang laki-laki harus dapat memegang teguh janjinya. Aku hanya tahu, bahwa aku tak boleh berdusta.
Aku harus berani menanggung akibatnya. Karena itu tak peduli bagaimana aku harus mengambil keputusan demikian. Hanya dalam hatiku... terisilah engkau seorang. Sungguh! Aku tak berdusta."
Titisari jadi bingung. Ia girang tetapi berbareng susah hati pula. Akhirnya ia tertawa panjang sambil berkata, "Aji tahulah aku kini. Kalau hari ini kita masih mengeram dalam benteng, bukankah engkau takkan mengalami peristiwa ini?"
"Itulah gampang!" tiba-tiba Adipati Su-rengpati berkata. Alisnya dinaikkan dan tiba-tiba tangannya mengibas ke arah Sony de Hoop.
Tadi Titisari telah mendengar nada tertawa ayahnya, la terkesiap. Dan tahulah dia, bahwa ayahnya akan mengambil suatu tindakan yang tak terduga-duga. Maka begitu mendengar ayahnya berkata memutuskan, cepat ia mendahului, la menyambar pergelangan tangan Sonny dan
ditariknya turun. Adipati Surengpati takut akan mencelakai puterinya. Dengan sendirinya ia memperlam-bat
gerakannya. Sesudah Titisari menarik Sonny turun dari punggung kuda, barulah pukulannya
dilepaskan sebebas-bebasnya. Mula-mula seperti tiada terjadi sesuatu. Mendadak saja kuda Sonny menundukkan kepalanya. Keempat kakinya lemas tiada tenaga. Lalu berguling ke tanah. Dan pada saat itu juga, nyawanya melayang.
Kuda Sonny adalah kuda pilihan. Pera-wakannya besar dan kuat seperti Willem yang selalu
dibawanya pergi semenjak kemarin lusa. Tapi dengan sekali hajar, mampuslah dia. Karuan saja yang menyaksikan kaget bukan main. Kalau kibasan tangan tadi me-ngenai Sonny, tidakkah gadis Indo itu akan ringsek"
Sebaliknya Adipati Surengpati tercengang-cengang menghadapi kejadian demikian. Sama sekali tak diduganya, bahwa Titisari akan menolong gadis saingannya itu. Tetapi dia seorang pendekar berpengalaman lagi cerdik. Sebentar saja tahulah dia menebak kehendak puterinya. Kalau
kibasannya tadi mengenai Sonny, pastilah Sangaji akan marah, la tak takut menghadapi Sangaji meskipun telah mempunyai ilmu sakti tiada tara. Tetapi akibat dari itu, Titisari akan dimusuhinya.
Hubungan mereka berdua akan jadi renggang. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi
berpikir keras. Tak dikehendakinya sendiri, ia mengamat-amati paras muka puterinya. Titisari nampak lesu dan berduka. Kesan muka demikian, mengingatkan dia kepada almarhum isterinya sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan dialah ibu Titisari yang sangat dicintai.
Setelah dikubur, ia hampir-hampir menjadi gila. Meskipun kini sudah lewat lima belas tahun, masih saja wajah almarhum isterinya berkelebat dalam benaknya.
Sekarang ia melihat wajah itu kembali pada paras muka puterinya. Maka tahulah dia, bahwa gadisnya itu amat mencintai Sangaji. Tak terasa ia menarik napas panjang sekali.
"Titisari, anakku... mari kita pulang...!" la berkata perlahan penuh haru. "Kita menyekap diri di tengah Lautan Jawa. Di antara pepohonan dari batu-batu kepulauan Karimun Jawa. Selanjutnya kita singkiri dan kita lenyapkan bayangan bocah itu dari benak kita. Bukankah kita akan bisa hidup lebih tenteram?"
"Tidak Ayah," sahut Titisari sambil mengge-lengkan kepala.
"Biarlah aku pergi mengikuti dia barang satu dua tahun. Tenagaku masih dibutuhkannya untuk memecahkan teka-teki guratan Bende Mataram. Kalau aku begitu saja meninggalkannya,
bukankah teka-teki itu takkan dapat dipecahkan?"
Adipati Surengpati tersenyum. Katanya ter-cengang. "Terpecahkan atau tidak, apakah
pentingnya buat kita?"
"Aku telah berdoa dan berjanji kepada Pangeran Semono akan menyertai sampai ia
membuktikan sumpahnya hendak berbuat kebajikan kepada sesama umatnya dengan bekal ilmu
warisannya..." Adipati Surengpati tertegun. Ia diam meninv bang-nimbang. Akhirnya berkata, "Baiklah.
Kau sudah berjanji. Karena itu puteri Adipati Surengpati, wajiblah engkau membuktikan. Di kemudian hari apabila sudah terlaksana, bukankah kau akan pulang ke rumah?" "Tentu, Ayah."
"... dan apakah engkau masih memikirkan bocah itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari mengerling kepada Sangaji. Pemuda itu nampak lesu. Paras mukanya muram, suatu
tanda bahwa hatinya berduka. Maka ia berkata nyaring. "... Ayah! Kuakui, aku cinta padanya.
Tetapi ia mengawini gadis lain. Karena itu, akupun akan kawin dengan pemu-da lain pula.
Katanya... dalam hatinya hanya ada aku. Akupun demikian. Meskipun kawin dengan pemuda lain, dalam hatiku hanya ada dia."
"Bagus!" Adipati Surengpati tertawa. "Tetapi kalau suamimu kelak melarangmu bertemu dengan dia, apakah yang hendak kaulaku-kan?"
"Siapa yang berani melarang aku" Aku kan puteri Adipati Surengpati?" sahut Titisari cepat.
"Ah, anak tolol! Ayahmu bukan hidup untuk selama-lamanya. Beberapa tahun lagi, mung-kin ayahmu akan menyusul ibumu di alam baka..."
"Tetapi... apabila aku menghadapi kenyataan hidup begini pahit, masakan aku betah hidup lama-lama di dunia" Aku pun akan menyusul ayah-bunda secepat mungkin."
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pen deta yang terkenal berwatak angin-anginan dan
senang membawa adatnya yang edan-edanan. Tapi begitu mendengar percakapan antara Adipati Surengpati dan Titisari, ia jadi tertegun keheran-heranan. Tak terasa bulu kuduknya meremang.
Maklumlah pada zaman itu tata-susila pergaulan sangatlah keras. Barangsiapa berani berbuat zinah, akan memperoleh hukuman seberat-beratnya. Tetapi ayah dan anak itu alangkah enaknya membicarakan hal itu. Tata-tertib hukum seolah-olah tiada harganya dan tak dihiraukan sama sekali. Mereka berdua seolah-olah merdeka berbuat sekehendaknya sendiri.
Adipati Surengpati memang terkenal seba-gai seorang pendekar aneh. Karena itu, ia dijuluki siluman Karimun Jawa. Gerak-geriknya liar dan di luar dugaan orang. Apa yang dilakukan,
seringkali bertentangan dengan tata tertib pergaulan manusia. Meskipun demikian, ia seorang pelajar. Pengetahuannya luas dan ilmunya sangat tinggi. Titisari adalah satu-satunya anak gadisnya. Semenjak kanak-kanak diasuh oleh ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, tak mengherankan bahwa ia benar-benar mewarisi watak dan pandangan hidup ayah-nya pula. Orang boleh bersuami atau beristeri. Tetapi perkawinan itu bukanlah berarti peng-ucapan cinta sebenarnya. Karena itu, dia beranggapan bahwa seorang isteri atau suami boleh bertemu dengan kekasihnya yang sebenarnya di luar rumah pada sembarang waktu.
Sangaji sebaliknya, adalah seorang pemuda yang lurus hati, sederhana, jujur dan mulia hati.
Mendengar percakapan mereka, ia jadi berduka bukan main. Ingin ia hendak membe-sarkan hati Titisari. Tetapi apakah yang hen-dak dikatakan" Tak dikehendaki sendiri, ia bungkam tak berkutik.
Dalam pada itu Adipati Surengpati meng-amat-amati gadisnya. Kemudian kepada Sa-ngaji.
Sekonyong-konyong ia tertawa men-dongak memenuhi angkasa. Suara tertawanya bergelora dan menggetarkan bumi. Burung-burung yang sedang hinggap di pepohonan, terkejut sampai
berterbangan tanpa tujuan.
"Hai burung!" kata Adipati Surengpati nyaring. "Pagi ini ada jembatan putus. Apa sebab tak kalian kabarkan kepada semesta alam?"
Adipati Surengpati sedang mendongkol berbareng sakit hati. Cepat ia menjumput segenggam
kerikil. Kemudian disambitkan ke angkasa. Dan burung-burung yang tak menyadari datangnya bahaya, mati runtuh ke tanah seperti daun kering tersapu angin. Tentara Belanda yang selama itu hanya meng-andalkan perlengkapan senapannya, tertegun keheran-heranan menyaksikan
tontonan de-mikian. Tatkala mereka menoleh ke arah Adipati Surengpati, siluman dari
Karimunjawa itu sudah berjalan meninggalkan gelanggang tanpa menoleh. Dan sebentar saja, tubuhnya hilang di balik gundukan tanah ...
Mayor de Hoop dan Sony de Hoop tak dapat mengikuti pembicaraan itu. Tetapi begitu meli-hat perginya Adipati Surengpati, dapatlah mereka menebak sebagian. Itulah suatu tanda, bahwa Adipati Surengpati mendongkol karena kecewa hati. Dengan sendirinya, mereka mengerti Sangaji benar-benar menepati janji. Karena itu diam-diam mereka bersyukur dalam hati.
Dengan serentak, Mayor de Hoop melompat dari kudanya. Lantas menghampiri Sangaji sambil
membawa pelangi ibunya. Itulah pe-langi ibunya yang dahulu diberikan kepada Mayor de Hoop sebagai suatu tanda ikatan keluarga.
"Sangaji!" kata Mayor de Hoop. "Apakah engkau telah berhasil menuntutkan dendam almarhum ayahmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar pertanyaan itu, Sangaji seperti tersadar. Dengan sendirinya ia menoleh ke arah gelanggang. Ia jadi keheran-heranan, karena Pangeran Bumi Gede dan seluruh pasukannya tiada nampak lagi kecuali mereka yang mati atau terluka berat. Rupanya, tatkala para kompeni sibuk merumun Sangaji, ia meninggalkan gelanggang pertempuran de-ngan diam-diam.
Sesungguhnya demikianlah halnya. Sebagai seorang serba cerdik, dengan cepat Pangeran Bumi Gede dapat menebak apa yang sedang terjadi. Tadinya, ia mengharap akan memper-oleh bantuan kompeni dan kesaktian pendekar Kebo Bangah. Ternyata dua-duanya tak dapat diandalkan.
Pendekar Kebo Bangah hilang tiada kabarnya. Sedangkan kompeni tiba-tiba saja begitu bersikap mesraP terhadap Sangaji. Teringat riwayat hidup Sangaji, lantas saja ia bisa menduga delapan bagian. Maka sebelum terlanjur, cepat-cepat ia memerintahkan para panglimanya agar
meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diam-diam.
"Sangaji!" kata Sonny de Hoop. "Tatkala kami berangkat ke mari, ibumu berpesan agar engkau lekas pulang."
Pada waktu itu, hati Sangaji masih pepat. Mendengar suara Sonny, ia mengangguk de-ngan
kepala kosong. Kemudian berkata, "Kau pulang dahulu bukan" Nah, katakan kepada Ibu bahwa aku belum berhasil menuntut balas. Tapi... tahun ini, aku pasti pulang. Kau mau menyampaikan pesanku ini, bukan?"
Mayor de Hoop dan Sonny senang men-dengar ucapan Sangaji. Mereka lantas saja
mengucapkan selamat berpisah. Dan dengan memberi aba-aba pendek, mereka mening-galkan
gelanggang pertempuran bersama pasukannya.
Titisari mengikuti mereka dengan pandang matanya yang suram. Sangajipun seolah-olah
terpaku pula di atas tanah. Mukanya penuh dukacita tak terkatakan. Maka ia berkata per-lahan,
"Aji! Pergilah kau! Sama sekali aku tak menyesalimu..."
"Titisari!" sahut Sangaji terkejut. "Selama pertempuran tadi, aku tak melihat Kebo Bangah.
Pendekar bandotan itu belum kukalahkan, tetapi apa sebab meninggalkan gelanggang dengan
tiba-tiba" Kecuali itu, Pangeran Bumi Gede pun menghilang sewaktu aku lagi terbenam dalam persoalan ini. Pastilah mereka mempunyai cara kerja sendiri untuk mencapai angan-angannya... Di antara kita, hanya aku dan engkau saja yang paham tentang rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Karena itu, seyogyanya engkau janganlah berjalan seorang diri..."
"Apakah engkau hendak mengajak aku ke Jakarta?" potong Titisari berduka. Gadis itu menggelengkan kepala dan meruntuhkan pandang ke tanah. Dan Sangaji jadi perasa. Hatinya
terharu bukan main. Ingin ia mengu-capkan sesuatu untuk membesarkan hati kekasihnya, namun tak kuasa ia mencetak kata-kata.
"Pergilah engkau seorang diri menepati jan-jimu," kata Titisari setengah berbisik. "Aku bisa membawa diri." Kemudian ia meletakkan pusaka sakti Benda Mataram ke tanah. Keris Kyai Tunggulmanik yang terselip di ping-gangnya lantas pula ditinggalkan dan disisip-kan ke pinggang Sangaji. la mengeluarkan pula serenceng uang dan hiasan dada. Berkata, "Pusaka ini adalah pusaka warisan-mu. Aku tak berhak membawa-bawa pergi. Dan ini adalah sisa uang
perjalananmu. Aku sendiri tak dapat memberi sesuatu, kecuali hiasan dada ini. Dahulu kuterima dari almarhum ibuku. Kini kuberikan kepadamu, agar engkau-engkau..." ia tak kuasa menyelesaikan ucapannya. Hatinya penuh kubangan rasa sedan. Terus saja ia menggenggamkan benda
mustikanya ke tangan Sangaji.
"Titisari! Kau seolah-olah hendak meng-ucapkan selamat berpisah untuk selama-la-manya!"
kata Sangaji dengan suara mengge-letar.
Gadis itu tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan air mata berlinang, ia mencoba me-nguatkan
hati. Berkata mengelak, "Tak mem-punyai lagi aku benda yang lebih berharga daripada ini. Kalau saja engkau tak me-nyia-nyiakannya, sudahlah senang hatiku..."
Dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu memutar tubuhnya. Perlahan-lahan ia meninggalkan
kubu pertahanan dan tak lama kemudian hilanglah bayangannya di balik gunduk sana.
33 KEBO BANGAH Benar-benar Sangaji bagai seseorang yang kehilangan dirinya sendiri. Ia tegak seperti batu.
Pandang matanya terlongong-longong. Masih ia menyusul kepergiannya Titisari beberapa langkah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian berdiri tegak seperti tersekat danau lumpur setinggi lehernya. Sedang ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba lengannya terasa teraba. Ia menoleh dan melihat gurunya Jaga Saradenta berdiri tertatih-tatih di dekatnya. Kata guru yang sok uring-uringan itu, "Anakku Sangaji! Engkau lahir sebagai laki-laki dan kelak mati sebagai laki-laki pula. Dan sebagai seorang laki-laki aku menghendaki engkau hidup sebagai laki-laki tulen. Nah, bagaimana" Apakah engkau masih
seorang laki-laki?" Pemuda itu masih berdiri terlongong-Iongong. Kemudian mencoba mengatasi perasaannya.
"Aku... aku hendak mengunjungi guru dahulu ke Gunung Damar!"
"Bagus! Itulah baru muridku," seru Jaga Saradenta bergembira. "Tiga belas tahun yang lalu, bukankah perasaanku seperti keadaanmu sekarang" Kutinggalkan istri dan kampung halamanku.
Untuk apa dan untuk siapa" Ontuk ini... yang bersemayam dalam dada... yang mengingatkanku setiap detik bahwa aku dilahirkan dan akan mati sebagai laki-laki."
Hebat kata-kata guru yang sok uring-uringan itu, meskipun andaikata terdengar Adipati
Surengpati akan ditertawakan sebagai suatu elan kosong melompong. Sebaliknya yang berada dalam kubang batu itu adalah golongan pahlawan-pahlawan muda yang masih mengutamakan
sifat-sifat kejantanan sebagai elan hidupnya. Karena itu, mereka bersikap diam dan bersungguhsungguh. Bahkan pendeta edan-edanan Ki Hajar Karangpandan turut tergetar hatinya. Terus saja menimbrung.
"Jaga Saradenta! Terimalah hormatku! Meskipun kepergianmu ke daerah barat ada sangkut-pautnya dengan diriku, tapi kepergianmu dahulu jauh lebih jantan daripadaku. Kau pergi sebagai laki-laki. Sebaliknya aku bekerja untuk ketamakanku."
Mendengar pengakuan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru tertawa perlahan. "Eh"
semenjak kapan kau berubah adat" Kalau kutahu begini adatmu, sudah dulu-dulu aku kawin.
Kukira kau mau menang saja dalam segala hal. Tak tahunya, engkau berani pula melihat
kenyataan. Bagus! Mulai saat ini, kuhabisi saja pertaruhan kita dahulu. Aku mengaku kalah. Dan kau boleh kawin sembarang waktu."
"Hidungmu!" dengus Ki Hajar Karangpandan. "Siapa kesudian menjadi isteri pendeta bangkotan begini" Dan sekiranya terjadi, isteriku harus seorang wanita Sunda yang berpantat besar."
"Bagus! Akupun akan mencari puteri Jawa yang paling besar pantatnya," sahut Ki Tunjungbiru cepat.
Seperti diketahui, mereka dahulu berkutat sampai lima hari perkara pantat. Masing-masing tak mau mengalah dan mati-matian mempertahankan kehormatan wanita sukunya. Karena tiada yang kalah dan menang, akhirnya mereka mempertaruhkan kehormatannya yang terakhir. Yakni
mempertandingkan diri siapa yang paling betah tak kawin. Hasilnya setali tiga uang. Sampai umurnya melampaui setengah abad, masih saja mereka tak sudi kawin.
Mereka berdua lantas saja tertawa geli. Akhirnya tertawa terbahak-bahak seperti orang
gendeng. Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta yang mengenal sejarah mereka, ikut
tertawa melebar. Bahkan Sangaji sendiri yang sedang pepat, mendadak bisa tersenyum. Tak
setahunya sendiri selembar kepepatan hatinya sirna dari lubuk dadanya.
Demikianlah, mereka lantas saja berkemas-kemas. Sangaji memanggil Willem. Gurunya Jaga
Saradenta yang terluka lantas saja dinaikkan di atas punggung kuda jempolan itu. Dia sendiri bersama-sama paman gurunya, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru dan Panembahan
Tirtomojo berjalan mengiringkan.
Surapati dan Pringgasakti waktu itu telah dikebumikan. Medan pertempuran lantas saja
berganti kesan. Orang-orang desa belum berani mencongakkan diri. Karena itu, mayat-mayat prajurit yang jauh dari sanak keluarganya, bergelimpangan tiada terurus.
Menjelang tengah hari pancaindera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap sesuatu yang
mencurigakan. Kira-kira seratus langkah di barat daya ia mendengar suatu pernapasan pepat di antara semak tetumbuhan. Pernapasan itu menyenak-nyenak. Terang adalah napas seseorang
yang menderita luka parah.
"Paman! Apakah Paman mendengar sesuatu yang kurang beres?" Ia minta keyakinan kepada paman-paman gurunya.
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah sebangsa pendekar murahan.
Suryaningrat sendiri meskipun yang terlemah adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Ilmunya sejajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta.
Meskipun demikian, mereka semua tak dapat ditandingkan dengan ilmu sakti Sangaji. Bahkan Gagak Seta, Adipati Surengpati dan Kebo Bangah diam-diam mengakui keunggulannya. Karena
itu, pancaindera mereka kalah jauh tajamnya.
"Berkatalah! Kau mendengar apa?" kata Gagak Handaka.
"Aku mendengar suara napas yang..." Mendadak saja ia meloncat sambil berseru mengajak,
"Paman! Mari!" Tanpa menunggu paman-pamannya lagi, Sangaji terus saja menghampiri gerumbul. Ia seperti
mengenal tata pernapasan yang menusuk pendengarannya. Benar juga. Tatkala ia menyibakkan gerumbul, dilihatnya suatu tebing sungai yang agak curam. Cepat ia melayang turun sambil menggebu alang-alang yang menutupi penglihatan. Berbareng dengan turunnya ke tanah, ia
melihat seorang meringkuk tiada berkutik seolah-olah telah mati. Hatinya memukul, karena segera ia mengenalnya. Itulah Fatimah gadis angin-anginan yang menolongnya dahulu.
Dengan gemetaran ia mendekati. Cepat ia mengangkatnya dan diperiksanya dengan hati-hati.
Di bawah cuaca terang-benderang ia melihat mata Fatimah terpejam rapat. Wajahnya pucat
bagaikan kertas. Napasnya terdengar menyenak lembut dan berjalan amat perlahan. Dari
kenyataan itu terbuktilah betapa tajam panca indera Sangaji.
Terkejut dan pilu rasa hati Sangaji begitu melihat keadaan Fatimah. Dengan pipinya ia mencoba memeriksa suhu tubuh gadis itu. Syukur, masih terasa hangat. Dan ia agak bergirang hati, mendengar denyut jantung dan nadinya masih berjalan wajar.
"Paman... bagaimana?" Ia mendongak ke atas dan terus mendaki tebing dengan hati-hati.
Fatimah kemudian diletakkan di atas rerumputan. Tanpa menunggu pertimbangan lagi, terus
saja ia mengirimkan tenaga saktinya.
Mereka yang berada di situ adalah serombongan pendekar-pendekar berpengalaman. Tanpa
berbicara mereka lantas bekerja. Ranggajaya dan Bagus Kempong segera memeriksa keadaan
tubuh gadis itu, yang ternyata menderita luka berat. Sedangkan Gagak Handaka menjaga
peredaran darah. Hanya Suryaningrat seorang yang sibuk tak keruan. Maklumlah, di antara
mereka dialah yang mempunyai hubungan rapat dengan Fatimah. Seperti diketahui, Fatimah
adalah muridnya, atas perintah Kyai Kasan Kesambi untuk meniliknya pada waktu-waktu tertentu.
Dan dalam hal ini ia tak tahu, apa yang harus dilakukan. Dengan sekena-kenanya, ia mencoba membangunkan Fatimah. Ternyata kedua kaki dan tangan muridnya tetap terkulai seolah-olah kehilangan tulang sendi. Menyaksikan demikian, wajahnya jadi pucat. Hampir-hampir saja ia menangis.
Lain halnya dengan Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru. Dan sekilas pandang, tahulah mereka apa yang harus dilakukan. Seperti berjanji, mereka mengeluarkan obat simpanannya.
Panembahan Tirtomoyo mengeluarkan obat bubuk hasil ramuannya sendiri. Sedangkan Ki
Tunjungbiru segera meminumkan madu lebah Tunjungbiru yang termasyhur khasiatnya.
Ki Hajar Karangpandan lain pula yang dilakukan. Pendeta itu meskipun terkenal berwatak edan-edanan, tetapi besar kewas-padaannya dan pengalamannya. Terus saja ia lari berputaran
memeriksa sekitar lapangan.
"Ih! Nampaknya lengan dan kakinya patah," kata Jaga Saradenta dari atas punggung si Willem.
"Siapakah yang berbuat sekeji ini?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah tidak mengetahui keadaan
Fatimah. Hanya saja mereka merasa diri tak sanggup melakukan penyambungan tulang. Untung di situ terdapat Ki Tunjungbiru dan Panembahan Tirtomoyo. Kedua pendekar itu lantas saja bekerja.
Mumpung Fatimah dalam keadaan belum sadar kembali, segera mereka menyambung tulang
lengan dan kaki yang terpatahkan. Kemudian dibebatnya rapi setelah diborehi sebungkus ramuan obat tulang.
Berkat pertolongan mereka semua, Fatimah cepat dapat disadarkan kembali. Gadis itu menjerit kesaktian. Dan tubuhnya menggigil menahan sakit.
Sangaji segera memijit urat-urat nadi tertentu untuk mengurangi rasa nyeri. Melihat
pernapasan Fatimah kembali lancar ia bersyukur bukan main.
"Fatimah!" panggilnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah seperti mendengar panggilan itu. Kelopak matanya bergerak-gerak. Mendadak
menyenakan mata seperti terkejut. Pandangnya penuh curiga dan ketakutan.
"Kau siapa?" jeritnya.
"Aku bocah tolol Sangaji!"
Gundu mata Fatimah berputaran seolah-olah tak mempercayai penglihatan dan pen-
dengarannya sendiri. Tiba-tiba ia tersadar. Mau ia bergerak hendak bangkit, tetapi suatu ke-nyerian luar biasa menusuk jantungnya. Ia menjerit dan mengeluh dalam. Kemudian merintih perlahan.
Melihat keadaan Fatimah, Suryaningrat tak kuasa lagi menahan hatinya. Dasar ia berperasaan halus, terus saja dia memeluknya dan berkata penuh haru.
"Fatimah! Aku gurumu, Suryaningrat! Bilanglah, siapa yang menganiaya dirimu?"
Fatimah belum kuasa menjawab pertanyaan gurunya. Tata napasnya belum teratur benar.
Tetapi wajahnya yang pucat lesi sedikit demi sedikit menjadi merah dadu. Mendadak gadis itu memekik seperti mengigau.
"Benarkah kakakku Wirapati terluka berat?"
Pernyataan itu benar-benar menggetarkan hati murid-murid Gunung Damar. Sangajipun tak
terkecuali. Mereka tahu semua"pada saat itu Wirapati menggeletak bagaikan mayat karena luka parah.
Kalau hal itu diberitakan kepada Fatimah yang sedang menderita luka parah pula, bukankah tidak tepat! Itulah sebabnya, mereka saling memandang minta pertimbangan. Teringat akan sejarah Fatimah yang dipaksa hidup untuk berpisahan dengan Wirapati semenjak kanak-kanak, mereka jadi berduka. Tetapi tak usah menunggu lama. Mereka telah bisa mengambil keputusan. Gagak Handaka mengedipi Suryaningrat. Dan guru yang berperasaan halus itu segera berkata minta ketegasan.
"Mengapa?" "Bilanglah dahulu! Benarkah kakakku Wirapati terluka berat?"
Dengan menelan ludah, Suryaningrat meng-angguk. Berkata mencoba, "Tetapi sebentar lagi dia akan sembuh kembali. Karena anakku Sangaji telah memperoleh obat pemunahnya."
"Sangaji?" Fatimah mengulang. Terus saja gundu matanya mencari Sangaji. Ia merenungi sebentar. Kemudian seperti seorang ibu, ia berbicara.
"Anak tolol! Kau sudah sembuh. Bagus! Bukankah tak sia-sia aku menjagamu?" Sangaji mengangguk.
"Di manakah gadismu yang galak dan jahat itu?" tanya Fatimah.
Diingatkan kepada Titisari, Sangaji jadi berduka. Tetapi segera ia mengatasi perasaannya sendiri dan mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah sehat kembali. Sebaliknya, mengapa kau jadi begini?"
"Ah"kau benar-benar tolol!" damprat Fatimah. "Masakan aku mau begini?"
"Kau benar! Nah, bilanglah siapa yang menganiaya engkau?"
"Siapa lagi kalau bukan mereka yang pernah memasuki benteng?"
"Cocak Hijau?" darah Sangaji meluap.
"Huh" dia bisa mengapakan aku" Banyak lagi. Banyak lagi. Aku dikerubut beramai-ramai."
"Ah"masakan begitu. Mereka golongan pendekar yang angkuh hati. Masakan sampai hati
menganiaya seorang gadis?"
Fatimah merintih. Tubuhnya menggigil menahan marah. Menyahut, "Yang satunya besar tinggi.
Yang lainnya pendek kecil. Mereka mengenakan baju merah. Dua orang itulah yang..." kembali Fatimah merintih. Kali ini kesannya hebat. Wajahnya membayangkan rasa takut dan ngeri luar biasa. Kalau saja tidak kena tahan tenaga sakti Sangaji, gadis itu pastilah sudah kehilangan kesadarannya. Tiba-tiba meledak, "Aonak tolol! Lekaslah kau tolong gurumu! Eyang Guru dan gurumu Wirapati dalam bahaya!"
Mendengar ucapan Fatimah, murid-murid Kyai Kasan Kesambi kaget bukan kepalang. Hampir
serentak mereka menegas. "Mengapa?" "Itulah perkara dua pusaka," sahut Fatimah. Pandang matanya menatap Sangaji. Meneruskan,
"secara kebetulan aku mendengar kasak kusuk mereka. Bilangnya, pendekar Kebo bandotan diam-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diam mendaki padepokan Gunung Damar. Pendekar itu akan menculik gurumu yang luka parah
untuk digunakan sebagai alat penukar dua pusakamu. Bukankah hebat?"
Seperti diketahui, Fatimah berangkat me-ninggalkan benteng dengan Ayu Retnaningsih, setelah mengantarkan Ayu Retnaningsih sampai di batas kota, segera ia kembali. Pada saat itu,
pertempuran antara pihak Pangeran Bumi Gede dan para pendekar sedang mencapai puncaknya.
Tatkala memasuki daerah pertempuran, secara kebetulan ia melihat sesosok bayangan berkelebat lewat tak jauh daripadanya. Itulah pendekar sakti Kebo Bangah yang dahulu dikenalnya sewaktu berada dalam benteng bersama-sama rombongan Pangeran Bumi Gede. Ia jadi curiga dan segera menguntitnya. Tentu saja dia bukan tandingnya. Sebentar saja ia telah kehilangan jejak. Namun ia tak berputus asa.
Menjelang fajar hari sampailah dia di batas tenggara kota Yogyakarta. Ia berhenti beristira-hat.
Karena lelah, tak setahunya sendiri ia jatuh tertidur. Ia terbangun oleh derap kaki terge-sa-gesa.
Cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintip. Dilihatnya dua orang yang berperawakan tinggi besar dan pendek kecil. Mereka sedang berbicara dengan penolongnya. Yakni, Sanjaya.
"Kami adalah adik Aria Singgela!" kata yang tinggi besar. "Kami diutus berkabar kepada ayah Tuan, bahwa kedua pusaka sakti yang dijanjikan akan segera Tuan peroleh."
"Bagaimana?" "Pada waktu ini, kakak kami berada di sekitar Gunung Damar. Dia bermaksud merabu Kyai Kasan Kesambi. Kalau rejeki ayah tuan sebesar gunung, kakak kami akan berhasil menculik
Wirapati guru Sangaji. Bukankah alat penukar yang baik?"
Sanjaya seorang pemuda yang cerdas. Segera ia mengerti maksudnya. Minta keterangan,
"Lantas apa maksudnya mengirim utusan ke mari?"
"Tuan! Kyai Kasan Kesambi bukanlah sem-barang orang. Meskipun belum tentu kalah, tetapi untuk merebut kemenangan dengan mudah tidaklah mungkin. Kakak kami membutuhkan bantuan
ayah tuan!" kata orang yang berperawakan tinggi besar.
Ia berhenti menunggu kesan. Mengira Sanjaya kurang mengerti maksudnya, segera ia
menerangkan. "Anak-anak murid Kyai Kasan Kesambi pada hari-hari ini tiada di padepokan.
Meskipun demikian, orang-orang kampung tidaklah boleh dibuat gegabah. Tetapi apabila ayah tuan mau mengerahkan pasukannya, Kyai Kasan Kesambi akan mati kutu. Dia boleh gagah
perwira, namun menghadapi keroyokan masakan dia bisa berbuat banyak?"
Sanjaya mendengarkan keterangan itu dengan berdiam diri. Sejenak kemudian ia membawa
kedua orang itu menghadap ayahnya.
Fatimah terus menguntitnya. Tatkala matahari sudah sepenggalah tingginya, ia melihat
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan pendekar undangan berjalan bersama dua orang utusan Kebo Bangah. Rata-rata para pendekar Pangeran Bumi Gede nampak runyam. Pakaiannya kotor penuh lumpur dan darah.
Terang sekali mereka habis bertempur.
Melihat mereka menuju ke barat, Fatimah jadi gelisah. Dasar ia berwatak angin-anginan. Lantas saja ia mencegat mereka.
"Kalian mau mendaki Gunung Damar. Huh... jangan harap!" katanya lantang. "Kalau berani, lawanlah dahulu anak cucu Kyai Kasan Kesambi."
Mendengar kata-kata gadis itu, para pendekar melengak keheranan. Dari manakah gadis itu
mengetahui, bahwa mereka lagi berjalan menuju Gunung Damar"
Cocak Hijau yang berangasan terus saja meloncat maju. Dasar ia menaruh dendam besar,
tanpa berkata lagi lantas menyerang. Tentu saja Fatimah bukanlah lawannya. Dalam dua puluh jurus, Fatimah kena ditangkap dan diikatnya kencang-kencang.
"Kau dahulu menggaplok aku, karena mengandalkan kegagahan Adipati Surengpati. Tapi kau pernah mengampuni aku. Karena itu aku hanya ingin menggaplokmu sekali saja," kata Cocak Hijau.
Pendekar itu membuktikan ucapannya. Fatimah digaploknya sekali dan dibantingnya ke tanah.
Fatimah memaki-maki kalang kabut sambil menebarkan ludahnya. Pandangnya tetap garang
dan tak mengenal takut. Sebaliknya Cocak Hijau sudah merasa puas. Ia meloncat mundur sambil tertawa mengejek. Mendadak saja di luar dugaan, kedua utusan Kebo Bangah menghampiri
Fatimah. Terus saja mereka menerkam lengan dan kaki Fatimah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau anak murid Gunung Damar" Bagus!" kata mereka berbareng. "Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya."
Dengan tertawa dalam, mereka lantas saja mematahkan lengan dan kaki Fatimah. Kemudian
melemparkan gadis itu menggelinding ke tebing sungai.
Dasar nasib Fatimah masih baik, Sangaji yang memiliki panca indra bagai dewa menangkap
tata pernapasannya. Kini oleh pertolongan para pendekar sakti, ia dapat disadarkan. Meskipun luka berat, tapi tak mengkhawatirkan lagi. Dengan perawatan tertentu, dua atau tiga bulan ia akan pulih kembali seperti sediakala.
"Paman! Melihat keadaan Fatimah, Eyang Guru dalam bahaya. Bagaimanakah pendapat
Paman?" Sangaji minta pertimbangan.
"Kita harus segera menyusul mereka. Kalau kasep, akibatnya alangkah besar," sahut Ranggajaya.
Gagak Handaka yang berwatak tenang berwibawa nampak berkhawatir juga. Teringat akan
budi gurunya, ia jadi gelisah. Katanya perlahan, "Benar urusan ini tak boleh kita remehkan. Mari, kita harus berangkat secepat mungkin!"
Dalam pada itu Ki Hajar Karangpandan yang tadi memeriksa lapangan telah tiba kembali.
"Bangsat betul! Mereka tidak hanya menga-niaya gadis itu, tetapi merusak pula keten-traman penduduk. Bangsat itu benar-benar menuju ke barat. Mereka telah mendahului kita."
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta edan-edanan. Tapi cerdas dan bisa dipercayai.
Karena itu Sangaji bertambah menjadi cemas. Agak gugup ia berkata memutuskan, "Guruku Wirapati luka parah, dan Eyang Guru hanya seorang diri. Kalau sampai terjadi sesuatu,
kesalahanku seumpama sebesar gunung. Karena itu aku harus segera berangkat. Paman Hajar
Karangpandan biarlah bersama aku berangkat terlebih dahulu. Aku titip guruku Jaga Saradenta.
Bagaimana paman-paman nanti menyusul aku, kupercayakan penuhpenuh kepada kebijaksanaan
paman-paman sekalian."
Terang sekali hati Sangaji dalam keadaan gelisah luar biasa. Ia merasa seolah-olah kese-
lamatan gurunya Wirapati dan Kyai Kasan Kesambi berada dalam tanggung jawabnya. Maka tanpa menunggu persetujuan lagi, ia melesat terbang bagai garuda.
Ki Hajar Karangpandanpun segera me-nyusulnya. Tiga belas tahun yang lalu kecepatannya
berlari, pernah mengejutkan Wirapati sewaktu dia mengejar orang-orang Banyumas. Kali inipun demikian. Dengan dibarengi suara ilmu sakti"guntur sajuta ia melayang-layang secepat kilat.
Itulah sebabnya, sebentar saja kedua orang sakti itu telah lenyap dari penglihatan orang.
Sampai matahari condong ke barat, mereka terus berlari-lari kencang. Mula-mula Ki Hajar
Karangpandan dapat mengimbangi. Tetapi lambat laun tenaganya mulai mengempes. Maklumlah, umurnya kini bukanlah seumur tiga belas tahun yang lalu. Meskipun ilmu saktinya kian tinggi, tetapi daya tahan tenaga jasmaninya tidaklah sesegar masa muda.
Diam-diam Sangaji memikirkan cara penge-jaran itu. Kalau harus berlari-larian terus-menerus jangan-jangan tenaganya akan kurang sewaktu menghadapi hal-hal yang penting. Dia sendiri tak usah khawatir. Tetapi bagaimana halnya Ki Hajar Karangpandan" Karena itu dia berkata kepada Ki Hajar Karangpandan minta pertimbangan.
"Paman! Bagaimana kalau kita membeli dua ekor kuda di depan sana?"
Sesungguhnya Ki Hajar Karangpanpun mempunyai pikiran demikian, hanya saja tak enak untuk dinyatakan maka segera menyahut, "Anakku Sangaji! Untuk tawar-menawar membeli dua ekor terlalu membuang-buang waktu. Mari kita mencari jalan lain."
Tak lama kemudian, secara kebetulan mereka melihat satu pasukan kompeni sedang meronda.
Tanpa berbicara lagi Ki Hajar Karangpandan terus melompat maju dan sekali menjambret dua penunggang kuda di antara mereka kena diangkatnya dan dilemparkan ke tanah. Berbareng
dengan itu ia berteriak, "Anakku Sangaji! Naik!"
Sangaji berbimbang-bimbang terhadap kompeni dia tak mempunyai permusuhan. Karena itu
perbuatan Ki Hajar Karangpandan dianggapnya sebagai suatu perbuatan kurang pantas.
Pakartinya tak ubahnya sebagai seorang penyamun. Tetapi Ki Hajar Karangpandan lantas saja sudah berteriak nyaring. "Untuk suatu urusan besar janganlah engkau disibukkan pertimbangan-pertimbangan te-tek-bengek. Disini bukan tempat pesantren atau surau, tempat berkhotbah dan menimbang-nimbang baik-buruknya suatu pakarti. Ayo... kau tunggu apa lagi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berbicara Ki Hajar Karangpandan merabu lainnya. Mereka boleh bersenjata senapan,
tapi kena dirabu Ki Hajar Karangpandan yang dapat bergerak cepat, mereka semua mati kutu.
Belum lagi tangannya berkesempatan menarik pelatuk, tahu-tahu tubuhnya telah terpelanting jatuh dari atas pelananya.
Setelah menjatuhkan mereka, Ki Hajar Karnagpandan melompat menunggang kudanya.
Sangajipun tanpa disadarinya sendiri naik pula ke punggung kuda. Belum lagi menarik kendali, mendadak ia diserang beramai-ramai. Secara wajar tangannya mengibas mempertahankan diri.
Celakalah mereka yang kena tenaga saktinya. Tiba-tiba saja mereka terpental beberapa puluh meter dan jatuh bergedebrukan ke tanah.
Seorang sersan yang bangun tertatih-tatih memaki-maki kalang kabut dan berteriak, "Hai!
Kamu bandit-bandit dari mana?"
Sangaji tak mau melibatkan diri terlalu lama. Bersama Ki Hajar Karangpandan ia keprak
kudanya kencang-kencang menuju ke barat. Keruan saja sersan itu berteriak-teriak seperti babi terjepit.
Tak lama kemudian daerah pegunungan Gunung Damar sudah nampak di depan hidungnya.
Sekonyong-konyong dua sosok bayangan berkelebat di depannya. Tahu-tahu dua orang berdiri merintang di tengah jalan. Itulah dua orang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tak jauh dari mereka beberapa prajurit yang mengenakan pakaian serba putih berbaris di seberang
menyeberang jalan. Sangaji lantas saja teringat kepada anak buah sang Dewaresi.
"Minggir!" bentak Ki Hajar Karangpandan. Terus ia mengayunkan cemetinya ke pinggang orang sambil mengeprak kudanya.
Salah seorang dari mereka menangkis sabetan itu dengan tongkatnya. Dan yang lain segera
menyerbu masuk. Karena kaget, kuda Ki Hajar Karangpandan berjingkrak berdiri tegak. Pada saat itu barisan serba putih melompat berbareng dengan gesit. Melihat gerakan mereka, Ki Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Berkata lantang kepada Sangaji, "Anakku Sangaji! Kau boleh terus melanjutkan perjalanan. Biarlah kawanan cacing ini aku bereskan sendiri."
Melihat mereka bertujuan hendak merintangi bala bantuan yang mungkin datang ke Gunung
Damar, terang sekali maksud mereka amat keji. Benar-benar padepokan Gunung Damar dalam
keadaan bahaya. Sangaji mengenal ilmu sakti Ki Hajar Karangpandan. Untuk melayani mereka meskipun tidak gampang-gampang menang, tetapi tak bakal kena dikalahkan. Oleh pertimbangan demikian, ia melecut kudanya. Dengan gagah ia menerjang dan terus terbang sekencang-kencangnya.
Tetapi dua pendekar undangan Pangeran Bumi Gede bukanlah pula pendekar murahan.
Sekonyong-konyong mereka melesat melompat dan menyabetkan senjatanya. Sangaji
membungkuk miring. Ia papaki senjata mereka dengan satu kibasan. Cepat luar biasa ia
merampasnya dan menimpukkan kembali. Seketika itu juga terdengarlah suatu jerit melengking.
Mereka kena senjatanya sendiri. Kedua kaki mereka patah dengan berbareng dan roboh
terjengkang di atas tanah.
Sebenarnya Sangaji tiada bermaksud hendak melukai mereka. Hanya khawatir kalau Ki Hajar
Karangpandan terlalu banyak menghadapi lawan, maka sebelum meninggalkannya ia membantu
merobohkan dua lawan yang paling kuat. Dengan demikian, keadaan Ki Hajar Karangpandan tak perlu dikhawatirkan lagi.
Gunung Damar terletak di Karesidenan Kedu. Gunung itu merupakan dinding penyekat jalan
Purworejo - Magelang. Letaknya di sebelah barat jalan besar, diapit dua buah sungai. Kali Jali dan Kali Bogowonto.
Sangaji datang dari arah timur. Sampai di desa Karangjati ia singgah di warung. Selain hendak mengisi perut, ia bermaksud menenangkan pikirannya pula. Tapi selagi ia makan, kudanya
meringkik hebat. Tahu-tahu per rut kudanya kena robek sebilah belati mengkilat. Sesosok
bayangan berkelebat lewat. Terang sekali, musuh sudah mengenal dirinya dan dengan sengaja membunuh kudanya.
Bukan main mendongkolnya Sangaji. Sekali melompat ia berhasil mencengkeram orang itu.
Terus saja ia banting ke tanah dengan hati gusar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena tiada berkuda lagi, terpaksalah ia melanjutkan perjalanan. Untunglah, Gunung Damar tidak terlalu jauh lagi. Soalnya kini, ia harus bersikap waspada dan berhati-hati. Oleh
pengalamannya tadi, nyatalah bahwa padepokan Gunung Damar sudah terkepung rapat.
Namun diam-diam ia heran, karena bayangan pasukan besar-besaran tidak nampak. Apakah
Pangeran Bumi Gede hanya mengirimkan beberapa puluh pendekar undangannya belaka"
Di depannya terbentang Kali Bogowonto. Dan baru saja ia menyeberangi, sekonyong-konyong
melompatlah beberapa orang dari gerombolan alang-alang. Terang sekali mereka hendak
mencegat perjalanannya. Dengan mengumpulkan semangat ia melompat. Tak ubah sebatang
panah, tubuhnya berkelebat melewati mereka.
Orang itu mengucak-ucak matanya. Mereka merasa heran. Apakah salah melihat" Tadi seperti melihat manusia menyeberangi kali. Kini mendadak lenyap entah ke mana.
DI SEBERANG JALAN, penjagaan kian menjadi keras. Sangaji segera menggunakan ilmu
saktinya. Dengan matanya yang tajam ia menjelajahkan matanya. Dan beberapa kali kakinya
menjejak tanah, terbang melewati gerombolan manusia yang bersembunyi di bawah pohon, di
balik batu-batu atau mendekam di bawah rumput dan alang-alang.
Setelah memasuki lereng pegunungan, tak berani lagi Sangaji berjalan di atas tanah. Terus saja ia melompat ke pohon dan kalau perlu bersembunyi di dalam mahkota daunnya, la bersikap
sangat berhati-hati dan berwaspada. Saban-saban ia melompat dari dahan ke dahan sambil
memperhatikan keadaan seberang menyeberang. Ia sadar, bahwa musuhnya sangat licin, pandai dan tangguh.
Tak lama kemudian, ia telah melihat suatu pertempuran berkelompok. Dengan selintasan saja tahulah dia, bahwa cantrik-cantrik Gunung Damar mencoba menahan serbuan gelap itu. Tentu saja mereka bukan tandingnya anak buah Kebo Bangah dan para pendekar undangan Pangeran
Bumi Gede. Sebentar saja mereka kena terpukul mundur. Rantai pertahanan mereka kacau-balau dan akhirnya berantakan.
Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun, Sangaji mendarat di seberang gerumbul. Kemudian
melompat ke atas genting. Mengendap-endap ia melangkah maju. Waktu tiba di sebuah lorong penyambung, ia mendengar suara napas tertahan-tahan. Suara napas itu datang dari balik pintu kamar. Itulah kamar gurunya Wirapati. Dan teringat nasib gurunya yang malang, hatinya terharu bukan main. Kalau menuruti kata hatinya ingin dia terus memasuki kamar untuk memeluk gurunya yang dihormati dan dicintai. Tapi mengingat kelicinan Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede yang banyak tata muslihatnya ia tak berani bergerak dengan gegabah. Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya seseorang. Terus saja ia meloncat sambil menyambar. Orang itu tak dapat berkutik.
Bahkan melepaskan suara-nyapun tak sempat, karena Sangaji membungkam mulutnya.
Pemuda itu kini memiliki ketajaman panca indera luar biasa. Begitu melihat berkelebatnya manusia, segera ia mengenal siapa dia. Itulah Wirasimin, cantrik kesayangan gurunya Wirapati.
"Pak Wira! Bagaimana?" Sangaji minta keterangan dengan berbisik seraya mengurangi dekapannya.
Melihat Sangaji, seleret cahaya melintas pada wajah Wirasimin. Dengan meronta ia berkata setengah girang.
"Ah! Gus Aji. Mana paman-paman gurumu?"
Dalam benak cantrik itu, hanya teringat kepada murid-murid Gunung Damar yang tangguh dan sakti luar biasa. Dahulu Gunung
Damar pernah dikerumuni manusia-manusia tak diundang pada ulang tahun Kyai Kasan
Kesambi yang ke 83 . Mereka semua kena terpukul mundur oleh murid-murid Gunung Damar.
Kinipun, padepokan Gunung Damar sedang kena bencana. Celakanya, Padepokan sedang sepi.
Karena itu dalam seribu kerepotannya, cantrik itu mengharap-harap kedatangan mereka.
Terhadap Sangaji dia belum menaruh suatu kepercayaan besar. Maklumlah, selain masih muda belia, perkembangannya yang terakhir sama sekali belum diketahui.
Sangaji sendiri adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Terhadap pemikiran demikian, sama sekali tak dirasukkan dalam perbendaharaan hati. Dengan senang hati ia lalu menjawab,
"Tenangkan hatimu. Sebentar lagi paman-paman akan tiba di padepokan. Menghadapi bangsa kurcaci, masakan perlu menunggu beliau sekalian. Nah, di manakah Eyang Guru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eyangmu kedatangan seorang tetamu. Beliau lantas pergi mengikuti tetamu itu. Entah ke mana. Lalu... lalu... padepokan mendadak jadi neraka. Mereka bangsat-bangsat tak keruan hendak membakar padepokan. Tentu saja perbuatan mereka tak bakal diizinkan para cantrik. Tanpa
mengingat kekuatan sendiri, para cantrik berusaha bertahan diri."
"Dan guru?" potong Sangaji.
"Dia masih dalam kamarnya."
"Bagus!" seru Sangaji girang. Hatinya yang mencemaskan keadaan gurunya kini tak mempunyai alasan lagi untuk beresah hati. Dengan sekali berkelebat ia membuka pintu dengan hati-hati. Terus saja ia melongok. Dan di atas sebuah dipan dilihatnya gurunya menggeletak tak berkutik. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hal itu membuktikan, bahwa eyang gurunya mencoba mengobati sebisa- bisanya. Sementara paman-paman gurunya berusaha mencari obat
pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurunya.
"Guru!" bisik Sangaji dengan hati terharu. Terus saja ia mendeprok ) di tanah. "Demi untukku, Guru berkorban dan mengorbankan semuanya. Budi Guru setinggi gunung."
Teringat kepada obat pemunah racun, ia meraba-raba kantungnya. Mendadak teringat pulalah dia, bahwa obat pemunah racun serta obat penyambung tulang berada di tangan paman-paman
gurunya, la jadi termangu-mangu karena tak dapat melakukan sesuatu.
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba ter-dengar suara bergelora di paseban.
"Kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi yang sok agung-agungan bersembunyi seperti kura-kura, biarlah kita sembelih anak cucu muridnya dan para cantriknya dahulu. Aku kepengin melihat, apakah dia tetap tak berani keluar..."
Suara itu bukan main kerasnya sampai atap pun ikut tergetar. Dan Wirasimin gemetaran.
Hatinya jadi ciut dan nyaris berputus asa.
Kemudian terdengar suara lagi yang bernada seperti burung betet.
"Bagus! Tapi lebih baik kita bakar dahulu padepokan ini! Masakan akan kasep menyembelih babi-babi ini."
"Bagaimana kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi ikut terbakar. Bukankah sayang" Mestinya kita harus menawannya dahulu. Lalu kita seret dia keluar. Kita pertunjukkan dia dahulu kepada semua golongan dan aliran orang-orang berilmu, agar mereka mengenal tampangnya."
Jarak antara paseban dan kamar Wirapati, tidaklah jauh. Tetapi mereka berbicara sangat
lantang dan kasar. Agaknya sengaja hendak memamerkan kehebatan tenaga saktinya.
Tentu saja betapa sederhana hati Sangaji, mendengar nama eyang gurunya direndahkan
demikian rupa jadi bergusar. Wirapati yang nampak tak berkutik di atas amben, mendadak saja terdengar menghela napas.
"Hm. Coba ingin kulihat siapa mereka itu!" dengus Sangaji dalam dadanya. Terus saja ia melesat keluar kamar dengan gesit. Dan menyaksikan kegesitan Sangaji, Wirasimin yang belum menaruh kepercayaan kepadanya, terkesiap hatinya. Suatu kegirangan yang tak diketahuinya sendiri dari mana datangnya, membersit dalam lubuk hatinya. Terus saja ia ikut keluar dengan dada berdebar-debar.
Paseban ternyata sudah penuh dengan manusia. Kurang lebih dua tiga ratus orang. Sangaji
terus memasuki ruang paseban dengan langkah tenang. Tiba-tiba ia melihat dua orang berpakaian merah darah. Lantas saja teringatlah dia kepada keterangan Fatimah. Segera ia menduga, bahwa mereka inilah yang menganiaya gadis itu. Namun ia masih bersangsi.
Melihat keluarnya Sangaji, dua orang itu jadi terheran-heran. Yang tinggi besar lalu berkata,
"Manakah tua bangka Kasan Kesambi?"
"Hm... untuk menghadapi bangsa cecurut seperti kalian, masakan perlu eyang guruku sampai bersusah-susah turun tangan. Aku cucu muridnya rasanya cukup menghadapi kalian."
"Siapa kau?" bentak yang pendek kecil. "Aku Keyongbuntet tak biasa menghadapi penghinaan begini. Apalagi adikku Maesasura ini. Dia paling benci kepada seorang pemuda yang bermulut besar dan menjual tampang."
"Kalau benar demikian, alangkah menghe-rankan bahwa kalian yang mengaku diri golongan terhormat sampai hati menganiaya seorang gadis!" sahut Sangaji untung-untungan untuk mencari kepastian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan Sangaji, wajah mereka mendadak berubah hebat. Maesasura terus
menggerung, sedang Keyongbuntet tertawa berkakakan dengan sekonyong-konyong.
"Gadis tiada harganya dalam percaturan hidup ini, apa perlu dibicarakan di sini?" kata Keyongbuntet yang bisa berpikir cepat. Memang, mula-mula mereka terperanjat berbareng heran mendengar ucapan Sangaji. Dari manakah pemuda itu bisa mengetahui. Sebagai seorang
pendekar yang sudah berpengalaman, lantas saja bisa menduga bahwa perbuatannya telah
ketahuan. Siapa lagi yang bilang kalau bukan gadis itu sendiri.
Memperoleh pikiran demikian tahulah mereka, bahwa gadis itu telah ketolongan. Diam-diam
mereka menyesali diri sendiri, apa sebab gadis itu tak dibunuhnya sekali.
Sebaliknya mendengar pengakuan Keyong-buntet, darah Sangaji meluap nyaris tak ter-
kendalikan lagi. Dengan pandang berapi-api ia menatap mereka.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula. Malahan berikut bunganya sekali!" kata Sangaji dengan suara menggeletar menahan marah.
Keyongbuntet bersikap adem. Matanya merem melek seolah-olah tak mengacuhkan kegusaran
Sangaji. Dengan enak saja dia mendesak.
"Kau anak kemarin sore yang banyak berlagak mau apa?"
Belum lagi Sangaji menyahut, Maesasura menyambung, "Biarlah dia berlagak. Gadis itu memang gula-gulanya. Dan kalau dia sudi memperisterikan dia, ha"itulah baru cocok. Apa sih kelebihannya anak cucu murid tua bangka Kasan Kesambi" Kalau saja bininya bukan kambing, itulah sudah untung."
Bukan main tajam kata-kata mereka. Sangaji yang berhati sederhana sampai tak tahan lagi
mengendalikan diri. Terus saja ia menggeser kakinya, siap bertempur. Mendadak ia teringat sesuatu. Berkata tenang, "Kalian mendaki padepokan Gunung Damar bukankah bermaksud
hendak merampas pusaka Bende Mataram" Nah, inilah pusaka itu!" Ia berhenti mengesankan sambil memperlihatkan Keris Kyai Tunggulmanik dan Kyai Bende Mataram. "Kalau kalian kini sudah mengetahui dengan jelas, selanjutnya per-kara pusaka ada padaku. Sekarang bagaimana?"
Melihat kedua pusaka itu dengan tak ter-sangka-sangka, mereka terperanjat sampai mundur
setengah langkah tanpa disadari sendiri. Yang lain-lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka lantas saja berbisik-bisik ramai.
"Hai bocah!" teriak Maesasura. "Kau mem-bawa-bawa kedua pusaka sakti. Apakah kau Sangaji?"
"Benar. Mengapa?"
Mendengar jawaban Sangaji, mendadak saja dia jadi gelisah. Keyongbuntet bahkan me-> noleh ke belakang menebarkan mata.
Mereka berdua adalah adik seperguruan pendekar Kebo Bangah. Kalau dibandingkan dengan
Kebo Bangah, kegagahannya hanya kalah dua urat. Karena itu mereka jumawa. Meskipun
demikian mereka kenal kegagahan murid-murid Gunung Damar. Tadi pagi mereka memperoleh
keterangan, bahwa murid-murid Gunung Damar masih terkurung barisan kompeni. Menurut
perhitungan, tak gampang-gampang mereka dapat meloloskan diri. Di luar dugaan, kini ia
berhadapan dengan Sangaji. Bukannya mustahil, bahwa mereka-pun sudah tiba di padepokan
dengan diam-diam. "Hai, bocah! Dengan seorang diri masakan kau sanggup melawan dua tiga ratus orang?" kata Maesasura. Ia licin. Ocapannya itu dimaksudkan untuk mencari kepastian apakah murid-murid Gunung Damar sudah tiba di padepokan. Sekiranya mereka benar-benar sudah berada di
padepokan, diam-diam mereka bersiaga akan melihat gelagat.
Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Meskipun ilmu kepandaiannya kini sudah susah
terukur tingginya, namun ia tak mengerti jebakan lawan. Dengan hati terbuka dia menyahut,
"Untuk menghadapi kalian, masakan paman-paman guruku perlu hadir?"
"Bagus!" Mereka berseru berbareng dengan girang. Meskipun pernah mendengar kegagahan Sangaji dari mulut kakak seperguruannya Kebo Bangah, mereka tak perlu berkecil hati. Pikir mereka: dia boleh gagah, tapi masakan bisa menghadapi keroyokan dua tiga ratus orang. Maka Keyongbuntet lalu berkata lantang lagi, "Bocah! Kau bilang sendiri, bahwa pusaka Benda Mataram ada padamu. Dan selanjutnya urusan pusaka kaualihkan padamu pula. Baik! Mulai saat ini, biarlah tua bangka Kasan Kesambi menunda kematian-nya dahulu. Satu dua bulan lagi berurusan dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia, belumlah kasep. Nah, sekarang bagaimana" Kalau kau serahkan pusaka itu dengan baik-baik, kamipun mengenal kebaikan pula. Semenjak saat ini, kami akan menjaga ketenangan padepokan Gunung Damar. Kami tanggung takkan bakal ada lagi seseorang yang akan menginjakkan kakinya di sini.
Sangaji diam-diam berpikir, "Bukan main banyaknya jago-jago yang berada di sini. Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede nampak pula menyelinap di antara mereka. Hebat!
Sungguh hebat pendekar Kebo Bangah. Dari mana dia bisa memperoleh jago-jago bukan
sembarangan ini. Seumpama aku bisa mengalahkan beberapa orang di antaranya, pastilah mereka akan main kerubut. Agaknya susah juga menjaga keselamatan padepokan. Aku sendiri bisa
meloloskan diri. Tapi bagaimana nasib guru"
Eyang gurupun sampai sekarang belum jelas ke mana beliau pergi. Tetapi urusan sudah
terlanjur jauh, biar bagaimana aku akan berusaha sedapat-dapatku..."
Belum lagi ia mengambil keputusan, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa riuh panjang dan seram luar biasa. Sesosok bayangan tahu-tahu telah menyelinap masuk. Gerak tubuh orang itu cepat bagaikan kilat. Dan seperti iblis, tiba-tiba saja sudah berada di belakang Maesasura. Terus menghantam dengan mendadak.
Ilmu sakti Maesasura ternyata sangat hebat. Begitu merasakan kesiur angin, sadarlah dia
bahwa dirinya sedang diserang dengan mendadak. Tanpa berpaling tangannya terus memapak ke belakang punggung dengan tujuan mengadu tenaga pukulan keras melawan keras. Tak terduga-duga orang yang tiba-tiba menyerang, menarik serangannya dengan cepat. Kemudian ganti
mengarah "kepada Keyongbuntet.
Gesit luar biasa Keyongbuntet berkelit seraya mengayunkan kakinya hendak membalas
menendang perut lawan. Namun tahu-tahu orang itu sudah berganti sasaran lagi. Kali ini yang diserang adalah gerombolan pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Baru saja mereka hendak bergerak menangkis, sasaran serangan berganti arah lagi. Hanya sekejap saja, beruntun-runtun empat sasaran telah di-serangnya dengan mendadak dengan kecepatan yang susah dilukiskan.
Meskipun serangannya tidak mengenai sasaran, tetapi terang dia mempunyai ilmu kepandaian yang susah dimengerti.
Maesasura dan Keyongbuntet sadar, bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan
tangguh. Cepat-cepat mereka mundur beberapa langkah bersiaga menghadapi kemungkinan.
Orang yang menyerang dengan mendadak itu mengenakan jubah seorang pendeta. Tanpa
menggubris lawan-lawannya dia terus berdiri di samping Sangaji. Ternyata dia bukan lain Ki Hajar Karangpandan, pendeta edan-edanan tapi berilmu tinggi.
"Anakku Sangaji. Sebentar lagi paman-pa-manmu akan tiba," katanya lantang.
Pendeta angin-anginan itu setelah menghajar perintang-perintangnya di tengah jalan, kini telah berada di padepokan dengan selamat. Memang ia sengaja berlaku sebat luar biasa dan
merangsang musuh tanpa memedulikan keselamatannya sendiri untuk mengertak mereka.
"Ah, engkaukah itu?" terdengar suara men-dongkol. Itulah suara Cocak Hijau dan Manyarsewu berbareng. Mereka berdua pernah bertempur mengadu kepandaian. Ilmunya setali tiga uang.
Namun demikian, mereka kena dimundurkan karena diserang dengan mendadak. Keruan saja,
diam-diam hatinya mendongkol.
Ki Hajar Karangpandan tertawa berkakakan, katanya bergemuruh, "Ya, aku Hajar Karangpandan. Kalian mau apa?"
Mendengar Ki Hajar Karangpandan memper-kenalkan namanya, Maesasura menggeram dengan
tiba-tiba. Meskipun belum kenal orang-nya, ia pernah mendengar namanya. Itulah gara-gara pusaka sakti Bende Mataram tatkala Ki Hajar Karangpandan membunuhi anak-buah sang Dewaresi tiga belas tahun yang lalu.
"Hem... Hajar Karangpandan berani me-mamerkan adatnya di sini. Bagus! Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba. Sekali menepuk dua lalat mampus."
Ki Hajar Karangpandan tertawa terkekeh-kekeh. Matanya yang berpengalaman lantas saja
dapat menebak siapa dia. Terus mendamprat, "Memangnya aku manusia licik. Tapi selama hidupku belum pernah aku menganiaya seorang gadis dari angkatan muda."
Dengan menggerung Maesasura melompat maju seraya membentak, "Ilmu guntur sa-juta
apakah hebatnya. Biarlah aku menjajalnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan lawan, diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Ilmu guntur sajuta
adalah ilmu kebanggaan dan simpanannya. Jarang sekali dia menggunakan, apabila keadaan tidak memaksanya. Kini musuh mengetahui berapa ilmu simpanannya itu. Dari manakah dia
mengetahui, pikirnya. Dan kalau dia begitu berani menantang ilmu simpanannya, pastilah sudah mempunyai pula pegangan kuat untuk melawannya. Memperoleh pertimbangan demikian, dia
lantas bertanya, "Gajah mati meninggalkan gadingnya. Manusia mampus meninggalkan namanya.
Nah, siapakah namamu?"
Maesasura tertawa berkakakan. Dengan membusungkan dada terus menyahut, "Kau sudi
mendengar namaku" Itulah bagus! Inilah Maesasura adik seperguruan pendekar sakti dari barat Aria Singgela."
"Pantas! Pantas! Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal bengis dan jahat, tapi belum pernah aku mendengar ia menghina kaum muda. Sebaliknya engkau begitu enak saja menganiaya
seorang gadis dari angkatan muda. Apakah perbuatan itu tidak menodai nama perguruanmu?"
Diingatkan kembali tentang perbuatannya menganiaya Fatimah, Maesasura tak kuat lagi
menahan marahnya. Terus saja ia membentak sambil melontarkan hantaman. Namun sedikit
menggeser, Ki Hajar Karangpandan berhasil mengelak diri. Diapun lalu membalas pula. Ia tidak lantas mengeluarkan ilmu kebanggaannya guntur sajuta. Dalam hati ia bermaksud hendak
menyelami dahulu ilmu kepandaian lawan.
Dalam pada itu Maesasura terus mengumbar amarahnya. Dengan cepat ia menangkis sambil
menyerang. Setelah beberapa jurus, serangannya makin lama makin cepat. Diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Terasa sekali bahwa pukulan-pukulan lawan membawa kesiur angin panas tak ubah bara.
"Apakah ini yang disebut ilmu Maruta Dahana" Kabarnya ilmu itu telah lenyap dari percaturan manusia. Ternyata dia bisa menggunakan dengan baik."
Dahulu dia pernah mendengar nama ilmu itu dari gurunya. Ilmu itu sangat jahat dan berbisa.
Para cerdik pandai dari aliran bersih mengha-puskan ilmu itu dari ingatannya. Konon kabarnya, ilmu Maruta Dahana terjadi atas wejangan iblis kepada Warok Secadarma pada zaman Majapahit.
Tak lama kemudian corak pertempuran mereka berubah. Sekarang tidak cepat lagi, tetapi kian melambat. Akhirnya seperti asal-asalan. Semua orang sadar, bahwa mereka sedang mengadu
ketangguhan ilmu simpanannya masing-masing. Yang satu ilmu maruta dahana. Yang lain ilmu guntur sajuta.
Pada saat itu sekonyong-konyong dari luar paseban tertebarlah suatu jala sangat besar. Jala itu berkembang di udara seolah-olah hendak menungkrap seluruh manusia yang berada di paseban.
Sudah barang tentu peristiwa itu sangat mengejutkan semua yang berada di situ. Maesasura terpaksa mengelak sambil melontarkan pukulan. Hal itu berarti pula melepaskan perhatiannya kepada titik-tolak pertempuran. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ki Hajar Karangpandan. Terus saja Ki Hajar Karangpandan memutar ke belakang dan meng-gablok
Maesasura dengan ilmu guntur sajuta seketika itu juga terdengarlah suatu gemeretakan. Ternyata tulang belulang Maesasura patah berantakan.
Takala itu dalam paseban bertambah seorang lagi. Dia seorang laki-laki berperawakan hitam lekam dan berkepala gede. Lalu berkata lantang, "Bagus kau Hajar! Itulah namanya bisa menggunakan kesempatan sebaik-baiknya."
Ki Hajar Karangpandan tertawa riuh. Menyahut, "Otong! Terhadap manusia yang bisa berlaku kejam mematahi tulang seorang gadis, masakan perlu bersegan-segan lagi?"
Ternyata yang merubah suasana pertempuran tadi adalah Otong Darmawijaya atau yang
terkenal dengan nama Ki Tunjungbiru. Dia seorang pejuang Banten. Senjata andalannya berwujud sebuah jala, karena dia seorang nelayan semenjak kanak-kanak. Dengan Ki Hajar. Karangpandan pernah mengadu kepandaian sampai lima hari lima malam. Di luar dugaan, dialah penolong besar dalam menghancurkan ilmu Maruta Dahana yang merupakan pelawan ilmu guntur sajuta. Karena itu di dalam hati, diam-diam Ki Hajar Karangpandan berhutang budi kepadanya.
Maesasura ternyata seorang laki-laki tangguh. Meskipun tulang sendinya kena dipatahkan, dia tak merintih. Hanya saja tenaganya sudah punah. Kakak seperguruannya Keyongbuntet lantas memapahnya dan diletakkan hati-hati di luar gelanggang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku Sangaji!" kata Ki Tunjungbiru. "Paman-pamanmu sudah sampai di kaki gunung.
Karena itu menghadapi cecurut-cecu-rut macam mereka, tak perlulah beresah hati."
Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, dalam hati Sangaji bersyukur. Dengan datangnya segenap
pamannya tidaklah sukar untuk mempertahankan keselamatan padepokan Gunung Damar.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Keyongbuntet yang kemudian memasuki gelanggang sudah bersiaga. Dia seorang
pendekar yang berperawakan pendek kecil. Mukanya buruk dan kering. Kepalanya botak tak
berambut. Meskipun demikian ternyata dia lebih tangguh dari adik seperguruannya Maesasura.
Dari ubun-ubunnya yang botak licin, tiba-tiba terlihatlah suatu uap kelabu.
"Anakku Sangaji, awas!" teriak Ki Hajar Karangpandan terperanjat. "Rupanya engkaulah yang diincar. Itulah ilmu Maruta Dahana yang sudah mencapai puncaknya. Semua tubuhnya kini diliputi hawa beracun."
Mendengar teriakan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru menyahut: "Legakan hatimu. Kalau hanya racun saja, takkan dapat menga-pa-apakan anakku Sangaji. Kita boleh bertaruh!"
Seperti diketahui, dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru. Racun betapa ;ahatnya di dunia ini, takkan dapat mempan. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan yang belum mengetahui latar belakangnya jadi gelisah.
"Kau tak yakin?" kata Ki Tunjungbiru. Jangankan lagi terhadap anakku Sangaji. Akupun sanggup memapak pukulan ilmu Maruta Dahana. Boleh coba!"
Setelah berkata demikian, Ki Tunjungbiru bergerak hendak memasuki gelanggang. Tetapi
Sangaji mencegahnya sambil berkata tenang, "Biarlah aku yang menagih hutangnya terhadap Fatimah. Akupun tadi sudah berkata, bahwa mereka harus membayar bunganya pula."
Dan mendengar ucapan Sangaji, Keyong-buntet menggerung tinggi. Gap ilmu Maruta Dahana
kian lama kian menebal dan menebal. Tangannya berputaran di udara dan terus menghantam.
*** WAKTU ITU DALAM PADEPOKAN TELAH TERJADI SUATU PERUBAHAN dengan cepat. Berturut-
turut murid-murid Gunung Damar tiba seperti sedang berlomba. Yang terakhir adalah Jaga
Saradenta dan Panembahan Tirtomoyo yang mendukung Fatimah. Dan melihat mereka, cantrik-
cantrik bersorak gembira, terutama Wirasimin. Orang itu sampai berjungkir balik karena
kegirangan. Sebaliknya anak buah Pangeran Bumi Gede jadi gelisah. Sedangkan begundal-
begundal Maesasura dan Keyongbuntet mendongkol bukan kepalang. Diam-diam mereka merasa
akan mengalami kegagalan.
Cocak Hijau yang beradat berangasan lantas saja berteriak:
"Keyongbuntet! Kalau kau mampu, lekaslah selesaikan bocah itu. Kalau tidak, kau bakal menghadapi keroyokan."
"Monyongmu!" maki Ki Hajar Karangpandan. "Untuk menghadapi anak babi itu masakan perlu keroyokan segala. Sebaliknya kamulah yang mengandalkan tenaga banyak. Hayo, kau mau bilang apa?"
Meskipun mendongkol, Cocak Hijau tak berani mengumbar adatnya. Ia kalah bukti.
Keyongbuntet sendiri sudah tak menghiraukan percakapan itu. Dengan tulang-tulang
bergemeletakan ia menyapu tulang rusuk Sangaji. Pikirnya, kuhantamnya sekali mampus. Masakan kulit dagingnya terdiri dari besi.
la tak tahu, bahwa dalam darah Sangaji telah mengeram ilmu sakti yang sangat hebat. Jangan lagi dia, sedangkan pendekar Kebo Bangah kena dijungkir balikkan dalam mengadu tenaga.
Itupun baru tenaga enam bagian. Coba waktu itu Sangaji sudah yakin benar, barangkali Kebo Bangah tinggal namanya belaka.
Tetapi Sangaji tidak menyambut serangan Keyongbuntet dengan ilmu saktinya yang sangat
hebat. Dalam hatinya, ia hendak menjaga nama Padepokan Gunung Damar. Karena itu teringatlah dia kepada ilmu ciptaan eyang gurunya, "Sura Dira Jayaningrat Lebur dening Pangastuti." Ilmu itu diciptakan Kyai Kasan Kesambi, tatkala dalam hati orang tua itu berderu rasa dendam
menghancurkan lawan yang menganiaya muridnya Wirapati. Sebagai hasil pengendapan diri
selama 12 tahun lebih. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi sendiri belum pernah melihat corak ilmu ciptaan gurunya itu.
Dahulu mereka tergesa-gesa turun gunung untuk mencari obat pemunah racun sekaligus mencari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jenjak penganiaya Wirapati. Itulah sebabnya begitu melihat corak cara berkelahi Sangaji, mereka terkesiap. Dan dengan sungguh-sungguh mereka mengikuti gerak-geriknya.
Sebenarnya Sangajipun belum dapat mene-mukan intisari ilmu ciptaan itu. Tetapi seperti
diketahui, barang siapa sudah mencapai puncak kesempurnaan sesuatu ilmu akan dapat
menyelami ilmu lainnya dengan mudah. Maka begitu melihat Keyongbuntet memukul mengarah
pinggang, segera ia menyambut dengan jurus Gedong Mineb Jroning Kalbu. Itulah suatu tata berkelahi menutup diri. Gayanya seperti orang lagi menulis. Namun kedua kakinya ikut bergerak pula. Yang satu bertahan. Yang lain mengkait kaki lawan. Dan hasilnya sungguh mengagumkan.
Tiba-tiba saja pukulan Keyongbuntet yang menyambar seperti kilat, punah di tengah jalan. Tenaga saktinya pudar dengan begitu saja. Kakinya kena terkait dan orangnya terus menyelonong ke depan dua langkah. Keruan saja semua yang melihat ikut terperanjat dan bersuara heran atas kejadian itu.
"Ranggajaya! Bagus Kempong! Dan Suryaningrat," kata Gagak Handaka. "Amat-amati dengan cermat gerakan itu. Kelak masih ada kesempatan untuk minta penjelasan Guru."
Gagak Handaka berbicara dengan sung-guh-sungguh dan sama sekali tidak mempunyai maksud
lain, kecuali dengan setulus-tu-lusnya hendak menganjurkan adik-adik seperguruannya untuk menekuni ilmu ciptaan gurunya. Sebaliknya mereka yang mendengar lantas saja mengerti, bahwa tata berkelahi Sangaji adalah khas ciptaan perguruan Gunung Damar. Dan melihat hebatnya ilmu Gunung Damar diam-diam mereka jadi prihatin.
Keyongbuntet sendiri kaget bercampur mendongkol. Selama hidupnya baru kali ini, dia kena terseret tenaga lawan. Biasanya ia selalu mengagul-agulkan tenaga jasmaninya dan ilmu Maruta Dahana. Kebo Bangah sendiri meskipun menang dua urat, masih segan menghadapi
kepandaiannya. Memikir demikian terus saja ia melontarkan serangan kilat. Sekejap saja ia menghujani dua puluh lima pukulan. Melihat betapa cepat dan hebat gempuran Keyongbuntet, mereka semua diam-diam memuji dalam hati. Benar-benar sesama perguruan pendekar sakti Kebo Bangah tidak boleh dibuat gegabah. Pantaslah perguruannya merajai seluruh wilayah Jawa Barat.
Sebaliknya Sangaji sengaja hendak menjun-jung nama baik perguruan Gunung Damar. Ia
belum mau menggunakan ilmu saktinya yang sudah dikuasainya semenjak mengalami
pertempuran di kubu batu. Setiap tipu dan ge-rakannya tetap memakai ilmu ciptaan eyang
gurunya Kyai Kasan Kesambi. Dengan begitu dengan tak disengaja sesungguhnya hampir
merupakan suatu adu ilmu kepandaian antara ilmu perguruan Kebo Bangah dan Gunung Damar.
Tatkala sampai pada jurus empat belas, tiba-tiba Sangaji merasa seperti sudah dapat
menyelami intisari letak rahasia ilmu ciptaan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti yang hebat itu. Gerak-geriknya jadi lancar berwibawa. Gayanya bagus tak tercela. Dan seketika itu juga, Keyongbuntet merasa dirinya terkurung di antara kedua tangan lawan. Anehnya, dia tak sanggup mengelak, menyingkir atau melawan. Terus-menerus ia seperti terlibat. Dan akhirnya ia terpaksa mengambil suatu keputusan hendak mengadu tenaga saktinya yang terakhir. Pikirnya: "Biarlah aku menangkis dengan tangan kiri. Kemudian kuhantamnya dengan tangan kanan. Meskipun aku terluka, diapun bakal terluka pula. Masakan dia tak mempan kena bisa ilmu Maruta Dahana yang bisa membakar tubuh.
Tak terduga-duga Sangaji mendadak memutar kedua tangannya, sehingga tenaga putarannya
mengeluarkan kesiur angin maha dahsyat. Keyongbuntet kena dibawa berputar. Akhirnya seperti tersedot. Dia berusaha bertahan mati-matian. Dia bisa terlepas dari sedotan itu, tapi tak mampu melepaskan diri dari jaringan pusaran. Tak dikehendaki sendiri, tubuhnya berputaran kencang tak ubah sebuah gangsingan. Meskipun akhirnya dia bisa bertahan setelah mengeluarkan segenap tenaganya, namun jelas sekali bahwa dirinya merupakan sebuah boneka permainan belaka bagi Sangaji.
Maka bersoraklah cantrik-cantrik dan anak cucu murid Gunung Damar menyaksikan pe-ristiwa itu. Suryaningrat murid Kyai Kasan Kesambi kelima yang masih berdarah muda, terus saja berseru nyaring.
"Tak kusangka ilmu ciptaan Guru begini hebat dan sakti! Aku ingin tahu, dia bisa berbuat apa?"
"Bisa berbuat apa" Dia sudah berbuat hebat. Berputar seperti gangsingan!" sahut Ki Hajar Karangpandan dengan tertawa berkakakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar olok-olok itu, Keyongbuntet bergusar setengah mati. Wajahnya merah padam.
Mendadak terus menubruk dan menghujani pukulan dengan gerakan-gerakan kilat. Gerak-
geriknya berubah-ubah. Kepalan, telapak tangan dan tutukan jari bekerja sangat cepat dan susah diduga-duga.
Dasar Sangaji belum memahami ilmu ciptaan eyang gurunya dengan masak, maka ia masih
bersangsi. Dengan dihujani pukulan begitu hebat, hatinya goyang. Tahu-tahu ujung bajunya kena sambar sehingga robek. Cepat-cepat ia melompat mundur. Tetapi Keyongbuntet terus memburu.
Maka terpaksalah Sangaji mundur terus-menerus sambil mengelak. Kemudian berpikir, kalau
terus-terusan main mundur sambil mengadu kecepatan bergerak saja, bukankah aku akan men-
jatuhkan pamor perguruan Gunung Damar" Ilmu ciptaan Eyang Guru memang belum kupahami
benar. Tapi masakan aku kalah tenaga dengan dia" Semalam aku berhasil mementalkan tenaga pukulan pendekar Kebo Bangah. Mustahil aku tak tahan menerima pukulan ilmunya yang
diandalkan Memperoleh pikiran demikian, Sangaji segera membalikkan tangan dan segera hendak
memapak pukulan lawan. Berbareng dengan itu, dia berkata nyaring: "Fatimah! Apakah orang ini yang menganiaya engkau?"
Fatimah sudah semenjak tadi berada di paseban di samping Panembahan Tirtomoyo. Melihat
Keyongbuntet, pandang matanya berapi-api. Karena itu, begitu mendengar pertanyaan Sangaji terus menyahut, "Bocah tolol! Masakan bertanya lagi" Itulah dia! Dan jangan lupakan si bangkotan pula yang menggeletak itu!"
"Baiklah! Nah"lihat! Biarlah dia membayar pulang hutangnya bersama bunganya sekali..."
Sangaji sudah mempunyai pegangan kuat. Kalau Kebo Bangah saja bisa terpental jungkir balik hanya kena benturan tenaganya enam bagian, apalagi kalau dikerahkan dengan sepenuh-penuhnya. Dan terhadap manusia keji ini, perlukah dia sungkan-sungkan lagi" Terus ia
mengerahkan segenap tenaganya. Pada waktu itu, dengan gemas Keyongbuntet menyerang
dahsyat. Maklumlah, dia merasa direndahkan. Tetapi hebat akibatnya. Kedua lengannya terdengar gemeretak. Tahu-tahu remuk tak berwujud lagi. Tubuhnya terpental menghantam adik
seperguruannya Maesasura. Dan kedua-duanya terbang melayang jauh melintasi paseban. Kaki mereka menghantam pohon dan patah menjadi empat. Kemudian jatuh bergedebrukan di tanah
tanpa berkutik lagi. Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berlaku kejam terhadap lawan-lawannya rresKi betapa kejampun. Kalau ia mengerahkan .segenap tenaganya tujuannya hendak menolak hawa beracun
lawan. Kemudian akan menggempurnya, selintasan untuk menghajar adatnya yang bengis dan
keji, agar tak semena-mena lagi menganiaya seorang gadis tak berdosa. Di luar dugaannya, ternyata tenaga jasmaninya luar biasa hebat. Benar dia pernah mencobanya tatkala menyusun kubu pertahanan, tetapi semenjak keluar benteng baru kali itulah dia menggunakan sepenuhnya untuk menghadapi lawan. Dan begitu melihat penderitaan lawan, hatinya yang mulia jadi iba.
Segera ia hendak melompat menghampiri. Mendadak dari dalam paseban terdengarlah suara
seperti gembreng pecah. "Nah kau lihat sendiri hai tua bangka! Dia mengaku sebagai anak cucu muridmu. Nyatanya dia jauh lebih hebat dari ilmu kepandaianmu sendiri. Kau sekarang mau bilang apa?"
Itulah suara pendekar Kebo Bangah. Ia ternyata sudah berdiri berjajar dengan Kyai Kasan
Kesambi di paseban dalam. Melihat mereka berdua, Sangaji berdiri tertegun.
Pada pagi hari tadi, Kebo Bangah sampai di padepokan Gunung Damar. Terus saja ia minta
bertemu dengan Kyai Kasan Kesambi. Niatnya sudah tetap, hendak menculik Wirapati sebagai alat penukar kedua pusaka sakti Bende Mataram yang berada dalam tangan Sangaji. Tetapi ia licin.
Sebagai seorang pendekar kawakan, dia tahu menilai ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi.
Terhadap orang tua itu, dia tak berani berlaku semberono. Karena itu diam-diam ia hendak melakukan akal licik, la menantang orang tua itu bertukar pikiran mengenai ilmu kepandaian di suatu tempat yang agak jauh dari padepokan. Sementara itu, ia berharap anak buahnya dan
pasukan Pangeran Bumi Gede menggerebek pade-pokan Gunung Damar pada siang hari dan terus menculik Wirapati. Tetapi akal liciknya ini tak gampang-gampang dapat dilaksanakan. Kyai Kasan Kesambi ternyata bukan lagi hidup sebagai seorang pendekar, la sudah menjadi seorang pendeta sampai kebulu-bulunya. Terhadap segala tetek bengek mengenai urusan keduniawian sudah tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudi menghiraukan lagi. Maka cepat-cepat ia berganti arah. Terus saja ia membicarakan tentang ragam ilmu kepandaian di dunia ini, dengan tak berkepu-tusan. Sekali-kali ia sengaja memberi peluang kepada Kebo Bangah untuk minta pendapatnya, pertimbangannya dan petunjuk-petunjuknya, la memang seorang pendekar yang gila terhadap macam ilmu kepandaian di dunia ini. Pengetahuannya luas dan banyak akalnya pula. Itulah sebabnya meskipun lamban lambat-laun ia berhasil menarik perhatian Kyai Kasan Kesambi. Akhirnya minta agar Kyai Kasan Kesambi sudi melihat dan menilai ilmu kepandaiannya yang sudah ditekuni selama dua puluh tahun. Dahulu dia pernah kalah seurat melawan ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi. Sekarang ia berbalik hendak menebus kekalahannya itu. Dan untuk memperli-hatkan ilmu saktinya itu, dia minta suatu tempat yang memencil. Kyai Kasan Kesambi meluluskan. Dan demikianlah, maka mereka berdua
meninggalkan padepokan Gunung Damar menjelang tengah hari.
Meskipun Kyai Kasan Kesambi kenal kelicinan Kebo Bangah, tapi ia tak menduga buruk. Dia
hanya bersikap hati-hati dan berwaspada. Kebo Bangah sendiri bisa membawa diri. Dia bukan goblok pula.
Setelah meninggalkan padepokan Gunung Damar cukup jauh, ia segera mengeluarkan semua
kepandaiannya. Ia tak berani mengurangi sejuruspun. Sebab main akal di depan Kyai Kasan
Kesambi tidaklah guna. Segera kecurangannya akan ketahuan.
Tua bangka ini bukan main tajam matanya. Kalau sampai terbangkit rasa curiganya, urusan
penculikan ini bisa gagal. Dia bersikap se-olah-olah tak sudi mengetahui urusan dunia. Tapi mengapa menerima lima orang murid" Diam-diam Kebo Bangah menimbang-nimbang dalam hati.
Biarlah kucobanya. Kalau kuserang dia tak mau menangkis, itulah namanya mencari mampusnya sendiri.
Setelah berpikir demikian, mendadak saja dia terus menyerang Kyai Kasan Kesambi dengan
segenap tenaganya. Untung, jauh-jauh Kyai Kasan Kesambi sudah bersikap hati-hati dan
berwaspada. Melihat mata orang, segera ia bersiaga. Begitu serangan Kebo Bangah tiba, ia memapakinya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya mental dua langkah. Hanya saja Kyai Kasan
Kesambi tetap berdiri tegak, sedang Kebo Bangah perlu berjungkir balik untuk memunahkan
tenaga sendiri yang terkirim balik. Di sini ternyatalah, bahwa Kyai Kasan Kesambi betapapun juga menang tangguh. Dia tadi belum siap benar. Sebaliknya Kebo Bangah melakukan penyerangan
dengan sadar. Meskipun demikian dia tak tergoyahkan.
"Bagus! Kau tua bangka. Akhirnya ketahuan juga. Kau cuma bilang di mulut. Buktinya kau masih menyayangi nyawamu yang sudah bangkotan!" seru Kebo Bangah dengan tertawa riuh.
Kyai Kasan Kesambi bersikap tenang-tenang. Dia hanya tersenyum menghadapi kekasaran
Kebo Bangah. Ia tahu, lawannya bukan pendekar sembarangan. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah mengadu kepandaian sampai berhari-hari lamanya. Untuk menghadapi dia, jauh-jauh ia sudah bersiaga.
Ia tahu, ilmu kebanggaan Kebo Bangah bernama Kala Lodra. Untuk menghadapi ilmu Kala
Lodra yang tangguh, ia sudah mempunyai jurus-jurus pemunahnya. Yakni Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti dengan dasar tenaga Pancawara yang dahsyat. Ilmu ciptaannya itu
sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi pendekar Kebo Bangah dan Adipati Surengpati.
Kedua pendekar itu bengis, licin dan serba pandai. Kemudian secara kebetulan Sangaji
mewarisinya. Meskipun belum sempurna, ia menduga pendekar Kebo Bangah sudah pernah
melihatnya. Kalau tidak, masakan dia sampai naik padepokan Gunung Damar dan menantang
mengadu ilmu kepandaian, pikirnya.
"Kebo Bangah! Makin bertambah umur, rasanya makin runyam jalan pikiranku. Ciptaanku itu luar biasa jelek. Entah ada gunanya atau tidak untuk kautekuni," kata Kyai Kasan Kesambi dengan sabar.
Terhadap Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah tak perlu putar lidah, terus saja tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Hai" apakah benar itu ciptaanmu" Aku belum pernah mencoba."
Sehabis berkata demikian, langsung ia menyerang lagi dengan ilmu Kala Lodra yang sudah
disempurnakan. Kedua orang itu dahulu pernah mengadu ilmu kepandaian sampai sepuluh hari lamanya. Kini mereka bertempur lagi setelah saling menekuni ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun lebih. Masing-masing memperoleh kemajuannya sendiri. Karena itu tidaklah
gampang-gampang dapat diputuskan siapakah yang lebih unggul dalam satu dua hari saja. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apabila dua harimau sedang bertarung, tidakkan selesai sebelum salah satu mati atau setidak-tidaknya terluka parah. Untung, Kebo Bangah tidak bermaksud untuk mengadu kepandaian
dengan sungguh-sungguh. Begitu matahari sudah merangkak-rangkak mendekati petang hari, ia melompat ke luar gelanggang. Ia menduga, anak buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede
sudah berhasil menculik Wirapati. Dasar ia banyak akal dan licin, maka wajahnya sama sekali tak memperlihatkan suatu perubahan. Bahkan dengan tertawa berkakakan ia berkata, "Kau tua bangka, makin tua makin hebat! Namun, kalau jurusmu itu benar-benar hasil ciptaanmu, mengapa anak cucu muridmu lebih hebat dari kau sendiri."
Kyai Kasan Kesambi tak mau terjebak. Segera menyahut, "Apa kubilang tadi. Bukankah ilmuku tiada gunanya untuk kautekuni?"
Kebo Bangah tercengang. Ia memang berbicara dengan sebenarnya. Semalam ia kena pukul
Sangaji. Teringat akan tenaga Sangaji yang hebat, bulu kuduknya meng-geridik. Tadi agaknya, Kyai Kasan Kesambi tak begitu menaruh perhatian. Dengan kenyataan itu teranglah, bahwa
tenaga sakti Sangaji benar-benar diperolehnya bukan dari ajaran ilmu Gunung Damar. Teringat akan kedua pusaka sakti warisan, hatinya mendadak terguncang hebat.
"Tua bangka! Aku berkata dengan sebenarnya. Aku tahu, jurusmu hebat. Aku tahu pula kau belum menggunakan ilmu saktimu Pancawara. Kalau sudah... hm... aku Kebo Bangah betapa bisa bertahan lebih lama lagi."
Sekali lagi Kebo Bangah berkata dengan setulus hati. Tapi dasar ia terkenal licin dan banyak akal, maka Kyai Kasn Kesambi hanya tersenyum belaka. Menyahut, "Kau mengenal ilmu
Pancawara, itulah bagus."
"Betapa tidak" Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu muridmu yang tertua mengadu tenaga dengan Adipati Surengpati. Bukan main tangguhnya ilmu itu, sampai
Adipati Surengpati jadi prihatin."
Mendengar keterangan Kebo Bangah, dalam hati Kyai Kasan Kesambi terperanjat. Meskipun dia seorang pertapa yang sudah sampai pada tataran bebas dan tiada terikat oleh semua bentuk masalah dunia, namun karena hubungan dengan muridnya bagai darah daging sendiri, tak urung ia cemas mendengar kabar tentang adu tenaga sakti antara Gagak Handaka melawan Adipati
Surengpati. Dengan menguasai diri ia mencoba minta penjelasan.
"Hm... Pancawara betapa bisa dimainkan oleh seorang untuk menghadapi Adipati Surengpati."
"Kalau begitu, benar-benar hebat ilmu saktimu Pancawara," sahut Kebo bangah tak kalah cerdik. Sebagai seorang licin tahulah dia, bahwa hati Kyai Kasan Kesambi kena terguncang oleh kata-katanya. Teringat kepada rencana kepergiannya ke padepokan Gunung Damar, tak mau dia lama-lama terlibat persoalan dengan orang tua itu. Maka dengan perlahan-lahan ia kembali mengarah ke padepokan. Kemudian berbicara lancar. "Meskipun muridmu kalah ulet, tapi Adipati Surengpati tak mau gegabah. Dalam hati ia mengakui keunggulanmu."
Kyai Kasan Kesambi tertawa perlahan, la sadar akan kelicinan lawan. Berkata, "Hebat! Engkau sampai bisa membaca hati orang."
Kebo Bangah tertawa berkakakan. Sadar akan kecerobohannya, cepat-cepat ia mengalihkan
pembicaraan. 'Tetapi selama hidupku... baru kali ini aku mengakui ketangguhan seorang. Itulah cucu
muridmu sendiri. Hm... tak kusangka ia berani mengadu pukulan dengan aku. Dan hasilnya aku bisa dijungkir-balikkan."
"Eh, masakan begitu. Kalau benar, mestinya engkau tak kan sampai di sini," Kyai Kasan Kesambi bersangsi.
Kebo Bangah tak menyahut. Ia mempercepat larinya. Dan Kyai Kasan Kesambi menjaja-rinya.
Makin lama lari Kebo Bangah makin cepat. Dalam hati ia hendak menguji kegesitan orang tua itu.
Dahulu Kyai Kasan Kesambi terkenal kecepatan larinya. Kinipun ternyata tak kurang tenaganya.
Bahkan terasa kian jadi masak. Langkahnya seperti ayal-ayalan. Tetapi cepatnya luar biasa. Itulah sebabnya seolah sekejap mata mereka berdua sampai di padepokan.
Mendadak saja terdengarlah suatu kesibukan. Kedua-duanya terkejut dan masing-masing
mempunyai kesan sendiri. Kebo Bangah yang mempunyai maksud buruk, segera bersiaga
menghadapi segala kemungkinan. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa
rencananya tak berjalan dengan lancar. Dalam hati, ia mengutuk pasukan Pangeran Bumi Gede
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan anak buahnya sendiri. Kenapa begini terlambat, pikirnya. Dia tak tahu, bahwa mereka terlalu berhati-hati sewaktu hendak mendaki Gunung Damar. Hampir sehari penuh, mereka sibuk
mengatur penjagaan. Kecuali untuk merintangi bala bantuan, tujuannya untuk membendung arah larinya Kyai Kasan Kesambi pula. Kemungkinan Kyai Kasan Kesambi melarikan diri tidak perlu disangsikan lagi. Sebab meskipun gagah, masakan tahan menghadapi keroyokan dua tiga ratus orang. Dan apabila dia lari, pasti pula membawa Wirapati.
Kyai Kasan Kesambi tak mempunyai dugaan terlalu buruk terhadap Kebo Bangah. Sekalipun dia tahu lawannya itu sangat licin, ia tak mau percaya bahwa sebagai seorang pendekar besar, Kebo Bangah akan sampai melakukan perbuatan-perbuatan rendah. Pastilah peristiwa kesibukan itu hanya secara kebetulan belaka berbareng dengan datangnya Kebo Bangah. Lalu berkata mencoba,
"Sudah terlalu banyak rakyat yang tak tahu menahu urusan pemerintahan menjadi korban suatu kelaliman orang-orang tertentu. Bagaimana pendapatmu?"
Kebo Bangah sangat licin. Sama sekali raut mukanya tak berubah. Dengan tenang ia men-
jawab, "Aku ingin tahu pula, siapakah yang berani menghina padepokanmu."
Setelah menjawab demikian, segera ia mempercepat larinya. Kyai Kasan Kesambi tak mau
ketinggalan pula. Sewaktu datang di paseban, mereka melihat Sangaji sedang menyambut
perlawanan musuh dengan ilmu Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
"Nah, kau tak percaya omonganku tadi?" bisik Kebo Bangah. "Tenaga cucu-muridmu lebih hebat dari tenagamu sendiri. Lihat saja nanti akhirnya!"
Mereka berdua bisa bergerak dan berbicara dengan leluasa tanpa ketahuan orang. Sebab
semua orang di dalam paseban menumpahkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran itu.
Mendadak saja"setelah mengelak mundur "Sangaji berhasil menggempur Keyongbuntet
sampai terpental keluar paseban. Dalam hati, Kebo Bangah tergetar melihat adik seperguru-annya runtuh di depan hidungnya. Tetapi Kyai Kasan Kesambi seolah-olah tidak memperhatikan peristiwa itu. Dahinya nampak ber-kerenyit. Dengan pandang seolah-olah tak mempercayai penglihatannya sendiri, dia menegur Kebo Bangah.
"Bukankah itu adik seperguruanmu" Ah! Aku memang sudah pikun. Mengapa kau tak berkata terang-terangan di hadapanku."
Kyai Kasan Kesambi adalah seorang perta-pa yang sudah menyekap diri berpuluh-puluh tahun lamanya. Kata-kata demikian sudahlah merupakan ucapan sangat tajam penuh sesal. Keruan saja Kebo Bangah lantas saja menjadi sibuk. Tetapi diapun seorang pendekar besar pula. Selain sombong, angkuh, licin dan banyak akal, mempunyai kehormatan diri sangat besar. Begitu sadar bahwa kedoknya bakal terbuka, kehormatan dirinya tersinggung. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia melompat mundur empat langkah. Dengan pandang berapi-api ia menyahut, "Siapa suruh kau mengeram dalam padepokan, siapa suruh anak cucu muridmu memiliki pusaka Bende Mataram
segala. Memang aku datang untuk itu. Kau mau apa?"
Mendengar ucapan Kebo Bangah, Kyai Kasan Kesambi sangat prihatin. Hatinya penuh sesal dan pedih. Karena tak biasa ia beradu ketajaman lidah, ia lantas tertawa perlahan-lahan. Namun pandang matanya berkilat-kilat.
Gagak Handaka dan segenap adik sepergu-ruannya tahu, bahwa gurunya sedang bergulat
melawan puncak kegusaran. Karena itu serentak ia membentak tajam.
"Sungguh tak kami duga-duga, bahwa seorang pendekar besar bisa berlaku begini licik. Sebagai seorang ksatria mengapa tak berani terang-terangan memperlihatkan dadanya. Gagal atau
berhasil bukankah soal lumrah dalam suatu tujuan?"
"Kau anak kemarin sore menjual obrolan apa di hadapanku?" Kebo Bangah membalas membentak. Terus saja ia melesat sambil mengirim pukulan.
Semua yang hadir di padepokan Gunung Damar tahu, bahwa tenaga Kebo Bangah tak boleh
dibuat gegabah. Tenaga pukulannya bisa menghancurkan batu gunung setinggi rumah. Karena
itu, sekalian murid Kyai Kasan Kesambi terkejut. Cepat-cepat mereka senyibak dan mengelakkan pukulan Kebo Bangah dengan bergulungan di lantai. Tiba-tiba saja nampaklah sesosok bayangan memapak pukulan itu. Plak!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waktu itu hari sudah gelap. Samar-samar Kyai Kasan Kesambi mengenal bayangan yang
memapak pukulan Kebo Bangah. Itulah anak cucu muridnya Sangaji. Hatinya tercekat. Di luar kemauannya sendiri ia sampai bersuara kaget. Di dunia ini siapakah yang mampu menahan
pukulan Kebo Bangah yang sedang mengumbar amarahnya" Tapi kenyataannya sungguh di luar
dugaan. Masing-masing hanya tergetar mundur dua langkah dengan tubuh bergoyangan.
Kebo Bangah sudah mengambil keputusan nekat. Dia tahu, pihaknya lebih menang jumlah. Dan kalau sudah memutuskan suatu tindakan, tak mau dia setengah-tengah lagi. Terus saja ia
bersiaga. Bagus Kempong yang dapat memikir jauh segera berseru kepada Suryaningrat, "Nyalakan lampu dan jagalah kakakmu Wirapati. Bukankah mereka datang untuk menculik kakakmu Wirapati agar dapat dijadikan alat penukar dua pusaka milik keponakan muridmu?"
Mendengar ucapan Bagus Kempong, diam-diam Kyai Kasan Kesambi menarik napas, la
menyesali diri sendiri, mengapa begitu lengah menggerayangi kelicinan Kebo Bangah.
Dalam pada itu Sangaji sudah siap bertempur pula. la menarik napas dalam-dalam. Tenaga
murninya lantas saja bergerak berputar. Makin lama makin cepat dan tenaga perangsangnya
bukan main besar. "Aku tak percaya di dunia ini ada suatu tenaga yang bisa menahan gempuran Kala Lodra!"
teriak Kebo Bangah mengguntur. Dan setelah berteriak demikian, ia melompat sambil
mengayunkan tangannya. Plak!
Untuk kedua kalinya mereka beradu tenaga. Kini selisih tenaga masing-masing nampak jelas.
Waktu itu lampu telah dinyalakan terang benderang. Kebo Bangah tergempur mundur dua
langkah, sedang Sangaji masih berdiri tegak bagaikan batu karang. Sama sekali ia tak
tergoyahkan. Keruan saja Kebo Bangah bertambah gusar sampai matanya melotot.
"Kau tak bergeming" Bagus!" serunya garang. "Tapi jangan cepat-cepat berbesar hati, Kala Lodra bukan ilmu picisan. Sambutlah sekali lagi!" Benar-benar Kebo Bangah mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Tulang belulangnya terdengar berpele-takan. Jangan lagi murid-murid Kyai Kasan Kesambi bahkan Kyai Kasan Kesambi sendiri terperanjat pula. Bagus Kempong tak kuat lagi
menahan keguncangan hatinya, terus ber-teriak memperingatkan Sangaji. "Aji! Turun ta-ngan dahulu sebelum dia berhasil menghimpun tenaga!"
Sangaji mengangguk sambil melangkah maju. Tetapi dia tak menyerang. Ia tunggu gerakan
lawan dan begitu melihat Kebo Bangah berjongkok sambil mengangkat tangannya. Cepat-cepat ia menarik napas dalam-dalam. Hawa murninya segera bergolak. Kedua tangannya terus menapak.
Suatu tenaga benturan bagaikan gugurnya sebuah gunung terdengar meledak: Blaaang!
Pada saat itu terdengarlah jerit Kebo Bangah. Tubuhnya terpental seperti sebuah peluru batu terlepas dari sebuah bandringan raksasa. Tubuhnya menumbuk tiang dan terus menjebol dinding.
Seketika itu juga gemuruhlah suara dinding runtuh dan atap paseban hancur berantakan
berkepingan. Selagi semua orang tercengang-cengang kaget. Tiba-tiba masuklah seorang berkulit putih lewat lubang dinding yang bobol tadi. Dia datang dengan memapah tubuh Kebo Bangah. Dan lantas
berkata, "Anak tolol! Pukulanmu bukan main besar sampai aku merasa kewalahan. Kau apakan bangsat ini?"
Ternyata dia adalah Gagak Seta, pendekar sakti yang berwatak angin-anginan. Diapun mendaki Gunung Damar begitu mendengar kesibukan pasukan Pangeran Bumi Gede. Seperti diketahui, dia meninggalkan gelanggang pertempuran menjelang pertarungan seru antara para pendekar
melawan pasukan Pangeran Bumi Gede. Dia seumpama seekor naga, kelihatan ekornya tapi tidak kepalanya. Gerak-geriknya bebas liar, tetapi matanya tajam luar biasa. Jangan lagi tentang gerakan pasukan yang dianggapnya sebagai musuh, sedangkan seorang penjahat licinpun tidak bakal terlepas dari pengamatannya. Itulah sebabnya, menguntit perjalanan para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede bukan merupakan suatu hal yang sulit baginya. Walaupun agak
terlambat, tetapi bukannya kasep. Bahkan tepat sekali. Kalau saja tubuh Kebo Bangah tak kena disambarnya, pastilah pendekar besar itu sudah tamat riwayatnya.
Ternyata Kebo Bangah hanya pingsan saja. Tubuhnya yang luar biasa kuat bisa menahan
gempuran ilmu sakti Sangaji. Namun urat syarafnya kacau balau tak teratur lagi. Jalan
pernapasannya jungkir balik. Itulah sebabnya, ia kehilangan kesadarannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, tua bangka!" kata Gagak Seta kepada Kyai Kasan Kesambi sambil meletakkan tubuh Kebo Bangah di lantai. "Kau masih kelihatansegar bugar. Nampaknya kau masih sanggup hidup seratus tahun lagi."
Terhadap Gagak Seta, kesan Kyai Kasan Kesambi tidak buruk. Meskipun Gagak Seta seorang
pendekar edan-edanan, tetapi berwatak ksatria. Apalagi kini ada hubungannya dengan cucu
muridnya. Maka dengan tersenyum seri ia menyambut.
"Kaupun masih gagah juga. Kalau tidak, masakan cucu muridku bisa menjadi orang."
"Eh, eh! Siapa bilang?" Gagak Seta ter-sipu-sipu. "Aku bisa mengapakan dia" Malahan akulah kelak yang harus disulapnya menjadi seorang manusia yang ada gunanya hidup dalam dunia ini."
Dengan runtuhnya pendekar besar Kebo Bangah, habislah sudah kegarangan pen-dekar-
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Apalagi kini pendekar sakti Gagak Seta yang disegani orang gagah di seluruh penjuru nusantara, datang pula. Bisa dibayangkan sudah, apabila mereka berani banyak bertingkah lagi. Maka diam-diam mereka mengundurkan diri dan lari ngacir
meninggalkan gunung. Kini tinggal gerombolan anak buah Kebo Bangah belaka yang jumlahnya tak lebih dari dua
puluh orang. Mereka tak berani bergerak, tetapi pula tak berani meninggalkan majikannya yang masih saja kehilangan kesadarannya.
"Kebo bangkotan ini memiliki ilmu bukan sembarangan," kata Gagak Seta lagi. "Meskipun kita tak usah takut, untuk meruntuhkan dalam dua tiga gebrakan adalah mustahil. Tetapi melawan tenaga sakti cucu muridmu, dia mati kutu. Nah, kau mau bilang apa" Bukankah hidup ini selalu bersemi tiada berkeputusan" Hidup ini bagaikan gelombang samudera. Yang satu disusul lainnya.
Yang lebih besar dan yang lebih dahsyat. Di kemudian hari tinggal kisah tentang tulang belulang kita yang kian jadi keropos."
Setelah berkata demikian, Gagak Seta tertawa mengguruh. Dan diam-diam Kyai Kasan Kesambi berpikir, bocah ini memang besar rejekinya. Dia telah menemukan suatu mustika tiada taranya dalam dunia. Tenaga saktinya luar biasa dahsyatnya. Bakatnya kuat dan pengucapan hatinya bagus pula. Hanya saja meskipun hebat, belum terhitung luar biasa. Nanti, kalau dia sudah sadar apa arti kebajikan hidup untuk bangsa dan negaranya, itulah baru luar biasa. Sedikit banyak ia bisa menyumbangkan hamemayu hayuning jagat '.
Meskipun berpikir demikian, Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut juga. Mendadak sinar
matanya yang tenang beku, berki-latan tajam. Kemudian berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri.
"Betapa banyak rakyat jelata yang sudah menjadi korban keganasan bangsa asing dan suatu kelaliman, tak terhitung jumlahnya. Justru kini kudengar, rakyat seluruh Mataram sedang bergerak menegakkan keadilan. Dan kalau kita yang tua-tua ini bisa menyumbangkan sisa hidup untuk sekedar menyiramkan darah di atas bumi pertiwi ini, bukanlah sia-sia hidup kita ini. Orang hidup semenjak dahulu siapalah yang tidak akan mati. Dan kita sudah bekerja sebisanya. Biarlah sedikit meninggalkan semangat hidup kepada angkatan mendatang."
Mendengar ucapan Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta terkejut sampai tergetar hatinya.
Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Ki Hajar Karangpandan, Jaga Saradenta dart para
pendekar muda lainnya berubah pula wajahnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang keadilan.
Karena itu tak mengherankan, hati mereka terhanyut dalam keharuannya masing-masing.
"Semenjak dahulu, kita yang menamakan diri orang-orang gagah, merasa takluk padamu." kata Gagak Seta. "Seumpama engkau kini lebih muda lima enam puluh tahun lagi, hari ini akan kuajak turun gunung untuk berlomba memercikkan darah yang tak berharga ini."
"Itulah tak perlu," potong Kyai Kasan Kesambi. "Engkau sudah bekerja sebisa-bisamu. Nyatanya engkau berhasil menyulap cucu muridku menjadi manusia lain."
"Eh, eh! Siapa bilang" Siapa bilang?" Gagak Seta menolak pemberian jasa itu untuk yang kedua kalinya. "Kalau saja anakku Sangaji bisa menjadi manusia lain sebenarnya engkaulah yang berjasa. Kau tak percaya" Lihat!"
Sehabis berkata demikian, mendadak saja ia melesat menyerang Sangaji. Sudah barang tentu Sangaji yang tak menduga sama sekali akan diserang gurunya, gugup setengah mati. Kalau saja Gagak Seta berniat jahat, dia akan kena hantaman telak. Meskipun tidak akan melukai, setidak-tidaknya bakal kesakitan juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa kau diam saja" Dalam dunia ini, tidak semuanya berjalan lancar. Kau harus mengenal kelicikan dan kelicinan orang. Belum tentu gurumu, sanak saudaramu dan sahabatmu sejujur detak jantungmu. Kalau kaukena serangan mendadak,
bukankah baru sadar setelah engkau memasuki liang kubur" Sekarang, siaplah!"
"Guru!" kata Sangaji gugup. "Bagaimana bisa aku ..."
"Aku ingin menguji ilmu kepandaianmu. Bukankah engkau sudah sanggup meruntuhkan
pendekar besar Kebo Bandotan?"
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berkata demikian, kembali Gagak Seta menyerang dengan mendadak. Secara wajar,
Sangaji mengelak cepat sambil berseru gap-gap: "Guru...! Bagaimana aku..."
"Bocah tolol!" Gagak Seta mendamprat lagi. "Dalam suatu adu ilmu kepandaian, siapa yang lengah dia bakal tewas."
Dalam hidupnya, orang yang memanggilnya dengan istilah tolol hanyalah empat orang. Gagak Seta, Titisari, Jaga Saradenta dan Fatimah. Karena itu mendengar Gagak Seta memanggilnya dengan istilah tolol, ia tak bersakit hati. Meskipun dia kini jauh berlainan daripada dahulu. Namun panggilan itu sendiri membuat ingatannya kembali kepada pertemuannya yang pertama dengan Gagak Seta. Karena itu hatinya lemas dengan sendirinya.
"Kau memang anak tolol! Apakah engkau akan membiarkan dirimu kumakan mentah-mentah"
Meskipun kau kini memiliki suatu keperkasaan, bukankah engkau terdiri dari darah dan daging"
Tangkislah tolol! Aku hendak mengujimu, apakah tubuhmu benar-benar lebih keras dari sebatang pohon!" Melihat sikap gurunya dan mendengar kata-kata menguji, Sangaji seperti memperoleh sebintik cahaya. Lantas saja ia hendak mencoba pula ilmu Kumayan Jati dengan dasar tenaga sakti yang sudah diperolehnya. Maka sebentar saja mereka telah berkelahi dengan cepat.
Sambaran angin mereka hebat bukan main sampai atap paseban bergoyangan. Karena itu
akhirnya mereka keluar halaman.
Mereka semua lantas saja ikut lari keluar. Para cantrik pontang-panting menyalakan obor dan lampu. Dengan demikian gelanggang pertempuran jadi terang benderang.
Diam-diam Gagak Seta bergirang hati melihat kemajuan muridnya. Tenaganya hebat, sampai ia tak berani menangkis dengan berhadapan. Pikirnya dalam hati, benar-benar berhasil dia melebur tenaga saktinya menjadi satu. Tapi kalau aku yang dikatakan berjasa, sama sekali tidak. Setelah berpikir demikian dia berseru, "Anak tolol! Kumayan Jati berasal dariku. Betapa hebat tenagamu kini, tapi kau tak bakal bisa berbuat banyak terhadapku. Kau adalah khas cucu murid Gunung Damar. Masakan eyang gurumu tak ikut berbicara dalam membentuk dirimu?"
Diingatkan demikian, Sangaji terus merubah jurusnya. Kini ia menggunakan ilmu ciptaan eyang gurunya Sura Dira Jayaningrat Leb^; Dening Pangastuti. Sewaktu memunahkan dan menangkis
serangan Kebo Bangah diapun menggunakan salah satu jurusnya dibarengi dengan dasar tenaga saktinya. Tetapi aneh. Meskipun menghadapi gurunya ia tak meng-gunakan tenaga penuh, namun jurus ilmu itu sendiri sama sekali tak dapat menyentuh. Bahkan menyambar selembar bulunyapun tidak.
Semua yang hadir di situ adalah para pendekar jempolan. Merekapun tadi melihat dan
menyaksikan sewaktu Sangaji menggempur Kebo Bangah. Karena itu mereka heran apa sebab
ilmu itu macet menghadapi Gagak Seta. Apakah Gagak Seta lebih hebat daripada Kebo Bangah"
Hanya seorang belaka yang tahu apa sebabnya. Yakni, Kyai Kasan Kesambi sendiri. Seperti
diketahui, ilmu ciptaan itu terjadi sewaktu melihat nasib muridnya Wirapati yang remuk tulang belulangnya oleh aniaya musuh. Meskipun tak pernah terucapkan.
tetapi orang tua itu teringat kepada lawan besarnya yang sangat licik, licin dan serba pandai.
Itulah Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Terhadap Gagak Seta, ia tak mempunyai prasangka.
Sebab meskipun berwatak angin-anginan Gagak Seta adalah seorang ksatria. Itulah sebabnya, maka cip-taannya itu merupakan ilmu pemunah dan penggempur kedua lawan besarnya.
Sekarang Sangaji menggunakan ilmu ciptaannya melawan Gagak Seta. Tentu saja hilanglah daya gunanya. Gagak Seta dapat bebas bergerak tanpa rintangan. Untung tenaga sakti Sangaji bukan main hebatnya dan Gagak Seta sendiri tak berniat berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian ilmu sakti Kuma-yan Jati dan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, tak dapat saling menyentuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Setapun akhirnya sadar. Terus saja ia melompat ke luar gelanggang dan menghampiri
Kyai Kasan Kesambi. Lalu berkata nyaring, "Terang sekali, bahwa engkaulah yang berjasa membentuk anakku Sangaji menjadi manusia lain. Kalau tidak, masakan Kebo Bangah bisa
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Pendekar Elang Salju 11