Bende Mataram 33
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 33
ia melesat memasuki kota sambil memukuli dirinya sendiri. Hatinya memaki-maki sepan-jang jalan, menyesali keteledorannya, la berputar-putar dari tempat ke tempat lain. Semua penginapan diaduknya. Juga rumah-rumah Tionghoa dan perkampungan yang dicurigainya. Karena
gerakannya sangat gesit tak seorangpun mengira, bahwa dia manusia lumrah yang terdiri dari darah dan daging.
Akhirnya menjelang petang hari, deru hatinya mulai mereda. Perlahan-lahan ia kembali ke tepi sungai. Mau ia menduga, bahwa Titisari lagi mempermainkan dirinya. Tetapi sampai petang hari Titisari benar-benar tak menampakkan batang hidungnya.
Dengan hati luluh ia duduk bersimpuh di tepi sungai. Seluruh tenaganya seperti terlolosi.
Dengan pandang nanar, ia merenungi arus sungai dan meredup berbareng dengan lenyapnya
sinar matahari. "Titisari! Kau tahu, aku ini seorang pemuda tolol. Kalau saja aku mengerti hatimu, masakan aku sampai tertidur seperti kerbau?" ia menyesali diri sendiri.
Willem yang ikut tersiksa sepanjang hari, bergerak berputaran mencoba merenggutkan tali
pengikat. Teringat akan binatang itu, Sangaji menghampirinya. Kemudian ia ber-jalan tanpa tujuan sambil menggenggam tali kekang. Setiap kali ia melihat kerumunan orang, ia segera menghampiri mencari Titisari. Namun usahanya sia-sia belaka.
Demikian pada suatu hari, ia tiba di sebuah kecamatan. Waktu magrib, nampaklah sebuah desa terlindung di dekat petak rimba yang sangat lebat. Di belakang rimba itu berdiri sebuah bukit panjang. Di sisinya tergelar petak-petak sawah yang sedang menghijau. Kesannya aman tenteram.
"Meskipun dusun ini sangat terpencil, tetapi kalau hidup di samping Titisari alangkah senang,"
pikir pemuda itu. ia menghampiri sebuah rumah bertangga bambu. Belum lagi ia memasuki
pekarangan, pendengarannya yang tajam mendengar tangis seorang wanita, la jadi keheranan.
Masakan di tengah kedamaian ini ada suara tangis, ia menduga-duga.
"Agaknya pemilik rumah ini sedang berduka cita. Tak dapat aku mengganggunya. Baiknya aku mencari penginapan lain saja." la memu-tuskan dalam hati.
Tetapi yang berada dalam rumah mende-ngar tapak Willem. Dengan gerakan meng-hentak,
daun pintu terjeblak. Dan muncullah seorang wanita tua berambut ubanan dengan menggenggam sebatang tongkat besi. Perawakan wanita itu kurus tipis. Punggung-nya melengkung kena makan usianya yang sudah lanjut. Dia berdiri dengan kaki terbuka. Lalu berteriak nyaring, "Majikan anjing! Aku sudah bilang, suamiku baru saja mati. Tubuhnya belum lagi kering. Masakan aku tak kau beri kesempatan untuk membayar segala hutang suamiku" Kau tahu, aku tak punya apa-apa.
Yang kumiliki hanya seorang cucu perempuan. Kalau kau mau merampas dia untuk membayar
hutang suamiku, biarlah selembar nyawaku kuserahkan kepada-mu.
Sangaji heran. Ia segera tahu, bahwa wanita tua itu salah duga. Maka cepat-cepat ia melompat turun sambil membungkuk hor-mat. Berkata hati-hati, "Nenek. Aku hanyalah seorang pelancong yang kebetulan tersesat di sini. Niatku tadi hendak bermalam di sini. Kalau nenek lagi mempunyai suatu urusan, biarlah aku mencari tempat penginapan lain."
Wanita tua itu memandangnya dengan hati limbung. Begitu yakin tetamunya bukan manusia
yang dibencinya, segera ia meletak-kan tongkat besinya. Kemudian membalas hormat dengan
takzim. "Maafkan aku, Tuan. Mataku memang sudah lamur. Mulutku lagi nerocos tak keruan pula,"
katanya penuh sesal. "Kalau Tuan tidak jijik, silakan menginap di sini. Hanya saja, aku tak bisa menyediakan sesuatu yang pantas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mengucap terima kasih, lalu ia me-ngeluarkan segenggam uang dan diserahkan kepada wanita tua itu. Sewaktu hendak memasuki rumah, matanya melihat seonggok rumput muda yang berada di pojok serambi depan.
"Siapakah yang mencari rumput itu?" tanyanya.
Wanita tua itu yang tengah bersyukur karena kejatuhan rejeki tak terduga, segera menjawab dengan gembira.
"Itulah Neneng, cucuku perempuan. Sedianya rumput itu kami sediakan untuk kuda majikan.
Tapi bangsat itu terlalu memuakkan. Kalau kuda Tuan membutuhkan biarlah rumput itu
kupersembahkan kepada Tuan."
Setelah berkata demikian, ia menghampiri onggokan rumput. Sangaji segera menyang-gah, la sendiri lantas membawa rumput itu. Kemudian barulah dia memasuki rumah.
Ternyata rumah itu bersih sekali. Karena itu rasa heran Aji bertambah-tambah. Dan baru saja ia duduk, didengarnya suara derap beberapa kuda memasuki pekarangan. Empat orang yang
bercokol di atas kudanya masing-masing terdengar membentak-bentak. Sangaji mengintip dari celah dinding. Ternyata yang datang seorang bertubuh kekar dengan tiga orang serdadu Indo.
Orang itu lantas membentak dengan bengis:
"Hai bangsat janda Karim! Kau bayar tidak tunggakan suamimu lima ringgit" Kalau tidak, serahkan cucu perempuanmu!"
Yang berada di sampingnya itu, pula ikut berbicara: "Kau dengar" Majikanmu sudi
mengampuni. Tapi aku, tidak. Kau serahkan atau tidak, cucu perempuanmu bakal jadi gundikku."
Gertakan itu dibarengi dengan lecutan ce-meti memukul atap rumah. Kena lecutannya, empat buah genting runtuh dengan berisik.
Wanita tua itu tidak meladeni gertakan mereka. Dengan tertatih-tatih ia memasuki kamar dan terdengar ia berkata pedih.
"Neng! Larilah kau lewat pintu belakang! Bersembunyilah di dalam rimba, ini, aku mempunyai uang hadiah dari tamu kita. Bawalah dan jadikan bekal hidupmu. Aku sendiri sudah malas hidup kelamaan di jagat ini..."
Segera terdengar suara seorang gadis.
"Nek! Mari kita mati bersama. Untuk apa aku memperpanjang umur" Ayah bundapun tiada lagi..."
"Lari! Lekaslah lari! Kau jangan ikut kese-tanan!" Hardik neneknya dengan memban-ting-banting kakinya. "Cepat, agar tak terlam-bat! Majikan bangsat itu ternyata membawa tiga serdadu sewaan."
Hampir berbareng dengan titik ucapan itu, nampaklah seorang gadis berbaju hijau keluar dari kamar. Gadis itu menggenggam tangan neneknya erat-erat. Mukanya kuyu dan kelopak matanya tergenangi sepercik air mata. Dan melihat gadis itu, hati Sangaji terkesiap. Ternyata raut muka gadis itu mengingatkan kepada kesan muka Nuraini.
"Lepas, lepas!" neneknya menyesali. "Biarlah aku menghadapi mereka, sementara kau lari lewat pintu belakang! Cepatlah!"
Tetapi pintu depan telah kena dobrak dari luar. Dan berbarengan dengan menjeblaknya pintu, keempat penunggang kuda itu melom-pat hampir berbareng ke ruang dalam. Mereka terus saja mengepung kedua perempuan itu. Dan majikan yang bertubuh kekar itu lalu memukul si
perempuan tua. la menjambak rambut dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menangkap
pinggang Neneng hendak dipeluknya.
Neneng ketakutan. Sekujur tubuhnya menggigil sehingga kehilangan sebagian tenaganya. Mau ia menjerit, tapi mulutnya seperti terbungkam.
Sangaji mengamat-amati keempat penung-gang kuda. Melihat dandanannya ketiga ser-dadu
itu, terang bukan serdadu gadungan. Ia jadi teringat kepada keterangan Titisari, bahwa orang itu di Cirebon berbuat sewenang-wenang terhadap penduduk. Mereka berani berbuat demikian,
karena memperoleh perlindungan kompeni. Tentu saja dalam hal ini, uang yang banyak berbicara.
Dengan sebat seorang serdadu berhasil memeluk pinggang Neneng. Dengan mata berkilatan, ia berkata mengguruh.
"Janda Karim! Kau tadi dengar sendiri penawaran majikanmu. Beliau menghendaki, kau cepatcepat membayar hutang suamimu yang sudah mampus. Malam ini, biarlah cucumu kami buat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barang tanggungan. Kalau kau sudah membayar tunggakan itu, cucumu bakal kami bebaskan.
Kapan dia dibebaskan, tergantung kepada kesungguhanmu memba-yar hutang. Nah, bilanglah
terima kasih kepa-da majikanmu. Karena kau tak usah memba-yar bunganya...!"
Setelah berkata demikian, dengan penuh kemenangan serdadu itu menyeret Neneng ke luar.
Nenek itu lantas saja memekik tinggi. Dengan menyambar tongkat besinya, ia terus mengejar.
Kemudian menikam sekenanya.
Serdadu itu berkelit sambil mencabut sebuah penggada. Dengan sebat ia memukul tongkat si nenek. Tentu saja perempuan tua itu tak tahan mengadu tenaga. Dengan suara bergelontangan tongkat besinya jatuh ke lan-tai, la mau menyambar lagi. Tetapi serdadu lainnya menendang tulang rusuknya hingga ia roboh terjengkang.
"Eh"tua bangka. Kau banyak bertingkah! Apakah kepalamu ingin kupecah di sini?" ben-tak serdadu itu dengan garang.
Namun perempuan tua itu seperti kalap. Lupa pada tenaga sendiri, ia nekat hendak merebut cucu perempuannya. Ia terus merangkak-rangkak memungut tongkat besinya. Sedianya ia hendak mengemplang sekenanya. Tapi belum lagi tongkat besinya kena raba, tangannya telah diinjak sampai tulangnya berbunyi bergemeletakan. Meskipun demikian, ia tak sudi mengaduh. Bahkan kenekatannya kian menjadi-jadi. Di luar dugaan, ia lalu menubruk dan menggigit kaki. Keruan saja serdadu yang kena gigit me-ngiang-ngiang seperti anjing kena gebuk.
Untung kawannya segera menolong. Dengan tak mengenal kasihan, rahang Nenek
ditendangnya. Dan kena tendangan itu, Nenek terguling. Mulutnya sekaligus mengeluarkan darah kental. Belum lagi ia bisa bangun, serdadu yang kena gigitannya lalu menetaki kepalanya dengan penggadanya.
Sampai di situ habislah sudah kesabaran Sangaji. la merasa diri tak dapat hanya menjadi
penonton belaka. Dasar hatinya sedang murung. Dengan gesit ia mencekik kedua serdadu itu dan dilemparkan ke luar rumah.
"Hai! Siapa kau!" bentak sang majikan berbareng dengan serdadu pengawalnya.
Kedua orang itu lantas saja menikam Sangaji tak menghiraukan ancaman itu. Sekali tangannya membalik, tahu-tahu kedua orang itu jatuh berjungkir balik mencium tanah. Berempat mereka saling bertubrukan dan saling tindih.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baik-nya oleh Nenek. Perempuan tua itu lalu mem-buru
mereka dan menggigit mereka bergan-ti-ganti sampai mulutnya berlumuran darah. Bukan main berisiknya orang mereka. Tatkala hendak membalas memukul, Sangaji menen-dangnya. Dan
kembali lagi mereka berempat terbang ke udara dan jatuh terjerembap bagaikan layang-layang putus.
"Sekarang pergilah tuan-tuan. Cepat, sebelum aku marah benar-benar. Dasar kamu semua bangsa penghisap darah bangsaku. Enyah!" gertak Sangaji.
Tanpa menyahut mereka merangkak-rangkak bangun. Dan menghampiri kudanya seperti lagi
berlomba. Belum lagi sampai sebuah benda bergemerincing menyambar tengkuk mereka.
"Kau terimalah uangmu lima ringgit!" teriak Sangaji nyaring. "Tapi awas! Mulai hari ini ja-ngan kalian ganggu rumah ini. Kalau sampai selembar rambut nenekku runtuh di tanah, keluarga kalian akan kucabuti nyawanya se-orang demi seorang."
Sangaji sengaja hendak menciutkan sema-ngat mereka, sehingga ia menggunakan suara
gunturnya. Tak mengherankan, hati mereka bertambah kecut. Dengan memberanikan diri mereka memunguti uang lima ringgit dan cepat-cepat menghilang dari penglihatan Sangaji.
Melihat mereka kabur dan teringat akan kata-katanya sendiri, pemuda itu jadi puas dan
terhibur. Selama hidupnya baru kali itulah ia menggunakan kata-kata tajam luar biasa. Dan secara kebetulan jatuh kepada mereka pula. Kalau saja Titisari berada di situ, bukankah dia jadi berbesar hati" Gadis itu takkan lagi menyangsikan dirinya seakan-akan hatinya berada di pihak kompeni.
Tidak enteng luka perempuan tua itu. Namun melihat kepergian mereka, ia jadi bersemangat serta bersyukur. Tanpa menghi-raukan tata tingkat pergaulan umum, tiba-tiba dia duduk
bersimpuh di hadapan Sangaji seraya menyembah. Cucunya perempuan tak mau ketinggalan.
Gadis itu berlutut dan bersembah pula kepada Sangaji sambil menyusuti darah neneknya yang terus bercucuran dari mulut dan kepalanya.
"Nek, berdirilah!" Sangaji gugup. "Aku se-muda ini betapa berani menerima sembahmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan tua itu lalu berdiri. Dengan mengisyaratkan cucunya perempuan, . ia segera
meladeni tetamunya. Tak peduli selu-ruh tubuhnya terasa nyeri luar biasa, ia memerlukan
menyediakan air teh. "Tuan! Minumlah teh kami," katanya sete-ngah memohon.
"Tentu akan kuminum," sahut Sangaji melegakan hati Neneng berdiri tegak tak jauh dari meja.
Dengan tersenyum manis ia ikut mempersilakan tamunya minum teh. Kemudian ia
memperkenalkan diri. "Sebenarnya apa sebab mereka menggang-gu Nenek?" Sangaji minta keterangan.
Perempuan tua itu lalu mengisahkan riwa-yatnya. Bahwa di daerahnya masih terdapat orang-
orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap kaum tani. Dengan kekayaan yang mereka miliki dapatlah dikuasai perekonomian daerah itu. Demikianlah maka mereka menghisap dan memeras tenaga kaum tani untuk mengenyangkan perut sendiri. Dengan kekuasaan uangnya, mereka
menyewa tukang-tukang pukul, polisi dan kompeni. Lalu menguasai sawah dan ladang. Mereka pulalah kelak yang menciptakan sistem ijon dan tanam paksa. Dengan begitu, kaum petani seperti jadi binatang-binatang piaraan mereka.
Suami nenek itu yang bernama Karim adalah salah satu korban mereka di antara puluhan ribu petani yang hidup dari sawah dan ladangnya. Waktu mudanya, Karim termasuk golongan priyayi di daerah itu. Karena merasa gaji tak mencukupi ia mencoba hidup bertani. Di desa itu ia mulai mengadu untungnya. Dibelinya sebidang tanah dan beberapa petak sawah. Tetapi seperti nasib petani-petani lainnya, lambat laun ia terlibat dalam hutang. Hal itu terjadi apabila musim panen jelek atau apabila sawahnya terlanda banjir. Dan semenjak itu hidupnya gali lubang tutup lubang.
Anggota keluarganya jadi berantakan. Anaknya laki-laki lalu merantau. Akhirnya mendaf-tarkan jadi serdadu. Bagaimana kabarnya, hanya setan yang tahu. Kini tinggal cucunya perempuan satu-satunya. Namanya Rochaya. Panggilannya Neneng.
"Anak ini agaknya bernasib malang," kata perempuan tua itu bersedih hati. "Emaknya pergi mengikuti suaminya. Dia kuambil semenjak belum bisa beringus."
Setelah berkata demikian ia merenungi Neneng. Berkata lagi, "Belum lagi ia mene-mukan jodohnya, kakeknya sudah masuk liang kubur."
Selanjutnya, Sangaji tak memerlukan keterangan lagi. Orang yang datang bersama tiga
serdadu tadi, terang sekali adalah si lintah darat. Ia sengaja menagih hutang di waktu perempuan tua itu belum habis masa duka citanya. Pikirnya, kalau dia bisa membuatnya bingung dan
terdesak, bukankah bakal menyerahkan cucu perempuannya sebagai barang tanggungan" Kalau
saja Sangaji tak datang di rumah itu, rencana jahat orang itu akan berhasil. Karenanya betapa perempuan tua itu tak merasa berhutang budi kepadanya" Katanya berulang kali mengesankan,
"Besok pagi berkelilinglah ke dusun ini. Tuan akan segera tahu, berapa banyak sudah gadis-gadis yang kena disereti manusia jahanam itu!"
Dan mendengar ujar perempuan tua itu, Sangaji menghela napas.
Sesudah makan malam, perempuan tua itu lalu membersihkan sebuah kamar. Kemudian
Neneng Rochaya mengantarkan Sangaji me-masuki kamar sambil membawa segelas air teh.
"Seringkali hawa sangat panas di malam hari," katanya dengan suara empuk. "Tuan orang asing. Pastilah Tuan takkan tahan menghadapi hawa panas. Kalau Tuan nanti membutuhkan air teh lagi, tak usah Tuan segan-segan. Bangunkanlah aku! Apakah Tuan ..."
"Janganlah panggil aku tuan," potong Sangaji. "...panggillah aku, kakak atau abang!"
Neneng Rochaya memalingkan pandang. Tatkala mukanya menatap Sangaji kembali, matanya
bersinar-sinar. Berkata setengah berbisik, "Apakah aku pantas memanggil begitu terhadap seorang tetamu?"
Sangaji tertawa. Menyahut, "Akupun mem-punyai seorang adik angkat yang mirip de-nganmu.
Namanya Nuraini. Diapun berasal dari Jawa Barat."
Setelah berkata demikian, sekonyong-ko-nyong suatu ingatan menusuk benaknya. Terus saja ia keluar kamar dan berkata kepada nenek Rochaya.
"Nek! Apakah Neneng mempunyai seorang kakak perempuan?"
Perempuan tua itu menggelengkan kepala dengan pandang heran berbareng menebak-nebak.
"Mengapa?" katanya.
"Dia mirip dengan adik angkatku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dialah cucuku perempuan satu-satunya." Perempuan tua itu menegaskan.
Sangaji kembali ke kamarnya dan tak ber-bicara lagi. Dan malam itu ia bergulang-guling tak dapat memejamkan mata. Kesannya sete-lah berpisah dari Titisari terlalu banyak dan saling mengendapkan. Hatinya murung, lesu dan kehilangan kegembiraan. Melihat Neneng Rochaya ia agak terhibur. Tetapi bila teringat akan nasib keluarga itu, ia jadi ikut prihatin.
Kira-kira waktu subuh, pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki belasan meter
jauhnya. Lalu ia mendengar pula suatu ucapan, "Otong Damarwijaya kena jebak dua hari yang lalu. Menurut dugaan ia dibawa ke Jakarta. Mari cepat! Kalau nasib baik, dia masih bisa kita tolong."
Mendengar orang menyebut nama Otong Damarwijaya. Hati Sangaji terkesiap. Ia terus
membuka jendela dan melesat ke luar. Dengan cepat ia menyusul mereka.
Orang-orang yang belum dikenal itu ber-lari-lari mengarah ke barat. Sama sekali me-reka tak mengetahui sedang dikuntit Sangaji.
Mereka lari terus hingga lima enam pai jauh-nya. Di depan sana terlihat suatu perkemahan.
Itulah perkemahan militer yang dijaga sangat rapat.
35 IBU! AKU PULANG! SEKALI MENJEJAK TANAH SANGAJI TERBANG MELINTASI mereka. Lalu menghadang di
depannya. Dan melihat pemuda itu, orang-orang terperanjat sampai berjingkrak. Hampir
berbareng mereka membentak. "Siapa?"
"Kalian bilang, Otong Damarwijaya kena jebak. Apakah dia Ki Tunjungbiru?" "Kau siapa?" "Aku muridnya."
"Ngacau!" mereka membentak dan dengan serentak mereka menyerang berserabutan.
"Nanti dulu!" Sangaji mundur. "Aku benar-benar ingin memperoleh keterangan."
Namun mereka tak mendengarkan ucapan Sangaji. Serangan bertambah gencar dan
berbahaya. Terpaksa Sangaji menangkis. Sekali membalikkan tangan, tenaga mereka kena
dipunahkan. "Kalian tadi membicarakan perkara Otong Damarwijaya. Aku kenal dia. Masakan aku tak boleh minta penjelasan?" kembali Sangaji menegaskan.
"Kalau kau mau membunuh, bunuhlah kami cepat-cepat!" bentak seorang berperawakan tinggi ramping.
"Mengapa aku harus membunuh kalian?" Sangaji heran.
Tadi mereka melihat gerakan Sangaji yang asal-asalan. Meskipun demikian mereka mati kutu dengan berbareng. Kalau saja bermaksud jahat, mereka bukan merupakan lawan yang berarti.
Dan memperoleh pertimbangan demikian, orang itu lalu maju dan membungkuk hormat.
"Otong Damarwijaya adalah kakak sepergu-ruan kami berempat. Beliau memang terkenal
dengan julukan Ki Tunjungbiru. Kalau kau mengaku murid Ki Tunjungbiru, masakan kami
berempat tidak kenal" Karena adik seperguruan Ki Tunjungbiru hanya empat orang. Hasan, Kolil, Martak dan aku si Ali Item."
Barulah Sangaji mengerti, apa sebab mere-ka tiba-tiba menyerang. Segera ia bersikap
memperbaiki kesalahannya. Menyahut dengan suara rendah.
"Sesungguhnya, tak berhak aku mengaku menjadi murid Ki Tunjungbiru. Dia tak pernah
memberi ajaran padaku. Hanya saja, dia per-nah memberi petunjuk-petunjuk berolah semadi. Dua belas kata jumlahnya. Tenangkan pikiran-lupakan perasaan-kosongkan tubuh-mu-salurkan hawa-matikan hati-hidupkan semangat. Bukankah begitu?"
Mendengar kata-kata Sangaji, mereka memekik heran. Setelah saling pandang, sekonyong-
konyong mereka datang merubung.
"Itulah ilmu semadi perguruan kami yang tiada bandingnya," seru yang berperawakan pendek dengan girang. Dialah yang bernama Hasan. Tetapi kalau kau pernah menerima petunjuknya, apa sebab tak pernah memberi-tahukan kepada kami?"
Kalau dibandingkan dengan ilmu saktinya, sudah barang tentu ilmu petunjuk Ki Tunjungbiru masih kalah jauh. Tetapi Sangaji seorang pemuda yang mulia hati. Ia tak sam-pai hati membuat mereka tersinggung kehor-matannya atau mengecewakan hati mereka. Apalagi dalam hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemuda itu, senantiasa menaruh hormat kepada Ki Tunjungbiru. Maka dengan takzim ia berkata, Ki Tunjungbiru seorang pahlawan yang berjiwa besar dan luhur budi. Dalam kesibukannya betapa dia sempat mengabarkan hal itu kepada kalian."
Setelah berkata demikian, segera ia mem-perkenalkan namanya. Kemudian minta keterangan
tentang Ki Tunjungbiru. "Sebenarnya kabar itu kurang jelas juga," kata Ali ltem. "Dia dikabarkan bertemu dengan sahabat lamanya. Namanya Malawir. Kamipun kenal orang itu. Meskipun dia bukan termasuk
golongan kami yang berani mengangkat senjata melawan Belanda, tetapi ia berpihak kepada
kami. Sudah banyak kali ia berjasa kepada kami. Kecuali melindungi orang-orang gagah yang memasuki kota Cirebon, diapun membantu menyediakan perbekalan-perbekalan. Tapi hari itu, rupanya dia lagi naas. Selagi menerima kunjungan Otong Damarwijaya, mendadak rumahnya kena sergap. Meskipun tidak gampang-gampang kena dikalahkan, akhirnya tertangkap juga. Kabarnya dia kini dibawa ke daerah barat."
Mendengar kabar itu, hati Sangaji terperan-jat sampai berjingkrak.
Sesungguhnya, sudah satu minggu lamanya Ki Tunjungbiru dengan tujuh orang pengikut Sultan Kanoman yang berontak melawan Belanda, berdiam di rumah Malawir untuk menghadang
pasukan Belanda yang hendak mengadakan pameran kekuatan senjata di kota Cirebon.
Malawir berasal dari Kuningan. Semenjak kanak-kanak ia kenal apa arti perjuangan rakyat
menuntut keadilan. Karena itu tak segan-segan ia ikut membantu perjuangan rakyat Jawa Barat melawan Belanda.
Terhadap Ki Tunjungbiru ia selalu menaruh hormat dan mengagumi.
Memang nama Ki Tunjungbiru sangat terke-nal di daerah barat, sebagai seorang pejuang gaib yang pantang menyerah. Dari mulut ke mulut namanya dinyanyikan orang. Tak terke-cuali
golongannya yang mempunyai darah perajurit dalam tubuhnya. Itulah sebabnya, ia merasa
memperoleh suatu kehormatan besar tatkala pahlawan itu mengunjungi rumahnya. Apalagi Ki
Tunjungbiru menyatakan pula hen-dak berdiam untuk beberapa hari lamanya.
"Apakah kau bisa menerima aku?" Ki Tunjungbiru menegas.
"Mengapa tidak" Aku ini adalah musafir tak bermodal yang kebetulan memperoleh tempat untuk bermukim di sudut tanah ini. Bumi dan langit ini, adalah milik kita," sahut Malawir dengan penuh semangat.
"Tapi aku membawa tujuh orang."
"Kau boleh membawa seratus! Dua ratus orang! Apa bedanya" Asal saja rumahku ini bisa menampung sejumlah itu. Cuma saja... kepala kampungku bukan manusia baik-baik. Dia begundal Belanda sampai ke bulu-bulu-nya. Kita harus berhati-hati."
"Hm... apakah dia lebih hebat daripada engkau?"
"Eh, apakah aku ini" Aku ini makin tua makin jadi manusia keropos. Lainlah halnya dengan dirimu. Kau bertambah kuat dan perkasa."
"Mana bisa?" sahut Ki Tunjungbiru dengan tertawa riuh. "Aku termasuk golongan manu-sia yang kalah perang. Mana bisa aku menjadi manusia mirip kata-katamu?"
Mereka terus berbicara perihal suka duka perjuangan bangsa. Teman-teman Ki Tunjung-biru
yang diterima dengan ramah hati dan kelapangan dada, sebentar saja sudah merasa menjadi satu keluarga besar. Mereka ikut pula menyumbangkan sepercik pengalamannya.
Demikianlah pada hari pameran kekuatan senjata, Ki Tunjungbiru keluar bersama tujuh orang kawannya. Mereka pulalah yang meng-adakan kekacauan sehingga menerbitkan suatu bentrokan senjata. Waktu itu, Sangaji dan Titisari berada pula di tempat itu. Hanya saja mereka tak melihat Ki Tunjungbiru karena kerumunan manusia.
Menjelang malam hari, Ki Tunjungbiru balik ke pondoknya. Ketujuh kawannya tiada se-
orangpun yang gugur atau terluka. Bahkan mereka nampak kian bersemangat. Pandang mata
mereka berkilatan penuh ketegaran hati.
Mereka disambut dengan gembira oleh Malawir sendiri di pintu pagar. Kata orang itu, "Kalian pulang dengan selamat. Itulah yang kami harapkan. Aku ikut menyatakan syukur sedalam-dalamnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tunjungbiru hendak segera menyahut. Mendadak saja ia seperti memperoleh suatu firasat kurang beres. Sebagai seorang ahli tata semadi, pendengarannya menangkap tata suara Malawir yang tertekan-tekan. Alisnya terus saja berdiri. Menegas, "Kau kenapa?"
MALAWIR TAK SEGERA MENJAWAB. Tubuh-nya nampak bergetar. Sekonyong-konyong ia
meloncat bergulungan ke tanah sambil berte-riak, "Lari! Rumah penuh bangsat!"
Hampir berbareng dengan teriakannya, ter-dengarlah suara berisik. Dan muncullah sepu-luh dua belas orang dari pojok-pojok halaman. Mereka melontarkan senjatanya dengan ber-bareng ke arah Malawir.
Malawir telah bergulungan serendah tanah. Karena itu ia bebas dari sambaran senjata, la tak takut. Dengan gagah ia berdiri dan berseru nyaring, "Kalian sudi menjadi anjing-anjing Belanda.
Bagus! Jangan harap aku bisa berbuat begitu."
"Malawir bangsat! Biarpun anjing, tapi kami anjing terhormat. Sebaliknya kau membiarkan dirimu jadi anjing orang gelandangan. Apakah itu bukan anjing buduk?" sahut seorang yang berawakan pendek gendut.
"Biarpun aku anjing buduk, tapi aku bisa cari makanku sendiri. Bagaimana dengan kau" Biarpun jadi kepala kampung, tapi monyongmu tak bakal kemasukan nasi kalau tidak menjilat-jilat pantat Belanda dulu. Kau bisa bilang apa?"
Dengan menjerit kepala kampung itu terus melontarkan belatinya. Anak buahnya segera pula bergerak. Di sini teranglah, betapa besar pengaruh pemerintahan Belanda pada waktu itu. Mereka sudah bersedia menjadi hamba dan pembantu-pembantu yang boleh dipercaya.
Melihat Malawir dalam bahaya, Ki Tunjung-biru terus melesat melindungi. Ketujuh kawannya merabu dengan berbareng pula.
Ternyata anak-buah kepala kampung tidak hanya sepuluh duabelas orang. Sebentar saja
halaman rumah Malawir hampir terpenuhi. Meskipun demikian, hati Ki Tunjungbiru tiada keder sedikitpun. Bagi dia, mereka masih merupakan makanan empuk belaka. Kawan-kawannyapun
demikian pula. Dengan penuh semangat, mereka menyerang dengan gesit dan cekatan. Sebentar mereka menerjang ke depan, kemudian bergerak merabu kaki.
Mereka semua adalah pejuang-pejuang yang berpengalaman. Mendengar percakapan antara
Malawir dan kepala kampung, dengan sekilas saja sudah bisa memperoleh kesim-pulan. Ternyata sepeninggal mereka, Malawir kena gerebeg. Karena kalah jumlah, ia kena ditawan dan dipaksa untuk menjebak mereka. Tetapi dasar Malawir keturunan seorang pera-jurit, tak sudi dia
berkhianat. Dalam keadaan terjepit, masih bisa ia memberi peringatan berbareng melindungi diri.
Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-ko-nyong muncullah satu peleton pasukan Belanda dari
balik pagar. Pasukan itu terus melepaskan senjata bidiknya.
Menyaksikan itu Ki Tunjungbiru meluap amarahnya. Terus saja ia memaki dalam hati.
Benar-benar jahat kepala kampung jahanam itu. Rupanya sudah semenjak beberapa hari ini,
dia mengintai aku. Tetapi kepala kampung itu masih juga mau bersandiwara. Mendadak saja ia menjerit kaget
sambil mundur. Lalu mengarah kepada Malawir sambil berteriak menyesali, "Malawir, kaulah yang cari mampusmu sendiri. Coba, kalau kau siang-siang sudah menurut kata-kataku, masakan kau perlu diurus militer Belanda segala. Sekarang jalan untuk memberi ampun padamu, benar-benar tertutup. Betapapun juga, masakan aku sampai hati melihat kamu menjadi bangkai di depan
mataku..." Mendengar ucapan kepala kampung, Ma-lawir terhenyak sejenak. Mendadak tertawa bergelak-
gelak. Lalu berkata nyaring pula, "Ambik! Kau ular berbisa iblis! Biarpun kau mengaku malaikat, masakan mataku buta?"
Malawir benar-benar tak kuasa lagi mena-han amarahnya. Napasnya lantas saja menja-di
tersengal-sengal. Dadanya turun naik de-ngan cepat. Kemudian berputar ke arah Ki Tunjungbiru.
"Kawan-kawan seperjuangan. Kalian larilah. Biarlah hari ini aku mengadu nyawa. Matipun aku rela..."
Sehabis berkata demikian, Malawir benar-benar tak takut mati. Ia terus menyerbu untuk
membuktikan ucapannya. Hanya saja, ia berlaku nekad. Gerak-gerik membabi buta. Meskipun ia bisa menjatuhkan beberapa orang yang menghadang serbuannya, namun tubuhnya tak bebas
pula dari hantaman senjata lawan. Sebentar saja tubuhnya telah berlumuran darah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu Ki Tunjungbiru dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Mereka sadar, akan sandiwara kepala kampung. Mereka tahu, bahwa semenjak siang-siang kepala kampung sudah
mengatur persiapan dan jebakan. Karena itu, begitu melihat ke-adaan kawannya yang benar-
benar hendak mengadu nyawa, mereka mencoba mendesak lawan-lawannya untuk bisa
menolong. Tetapi maksud itu tak gampang-gampang bisa diwu-judkan. Kecuali antek-antek kepala kampung memegat arah tujuannya, pasukan kompeni yang menembak dari belakang punggung
mulai merangsak pula. Kemudian terjadilah suatu adegan yang membuat Ki Tunjungbiru tak bisa berkutik.
Dari dalam rumah, muncullah isteri Malawir dan empat orang anggota keluarganya. Itulah
anak-anaknya. Mereka digiring keluar dengan ancaman senjata. Tangan mereka diikat dan
mukanya biru pengab. Terang sekali, bahwa mereka habis kena hajar.
Ambik terus berkata lantang, "Malawir! Nyawamu sudah di ambang pintu. Sekalipun begitu, aku masih memberi kesempatan. Kau menyerah tidak" Kalau tetap nekad, isteri dan anak-anakmu
akan kusembelih dahulu sebe-lum kau terkapar mampus."
Kena ancaman demikian, Malawir yang sudah kalap terhenyak sejenak. Sekonyong-konyong
tertawa berkakakan. Menyahut lantang sambil menyemburkan ludah.
"Ambik! Kau bisa mengapakan isteri dan anak-anakku. Kau cuma besar mulut. Kalau kau berani, hayoooo... cobalah buktikan ancamanmu."
Di luar dugaan si kepala kampung benar-benar membuktikan ucapannya. Dengan tangannya
yang perkasa ia mencekuk anak Malawir yang paling kecil. Terus ia membantingnya ke lantai. Ia merebut pedang salah seorang. Kemudian menetak leher anak yang tak berdosa itu dengan sekali tebas.
Melihat adegan yang tak terduga itu, semua yang menyaksikan menjerit kaget. Ki Tunjungbiru tak terkecuali pula. Dengan menggertak gigi ia hendak melesat. Tapi tahu-tahu, punggungnya telah kena ancaman beberapa batang laras senjata. Begitu me-noleh, ia terus diringkus oleh sepuluh orang serdadu sehingga tak dapat berkutik lagi.
Pada saat itu, terdengarlah gerung Malawir. Orang itu terus melesat melompati si kepala
kampung. Orang-orang yang berada di depan-nya kala itu seperti kehilangan tujuan. Mereka tertegun melihat kepala kampung melakukan penyembelihan di luar dugaan. Itulah sebabnya
seperti seorang yang terbebas dari belenggu Malawir berhasil menghampiri si kepala kampung.
Si kepala kampung terperanjat. Terbebasnya Malawir dari hadangan anak-buahnya berada di
luar dugaannya. Seketika itu juga pucatlah wajahnya. Tadi ia hanya bermaksud menunjukkan kegarangannya untuk merebut simpati militer Belanda. Ia yakin bisa berbuat selelu-asa-leluasanya dengan tak usah takut akan kena balas Malawir. Tak tahunya perhitungan meleset sama sekali.
Keruan saja ia jadi ke-labakan. Sedetik itu, ia menyiratkan pandang kepada pasukan Belanda untuk minta pertolongan. Tapi pada saat itu mereka lagi sibuk meringkus Ki Tunjungbiru dengan kawan-kawannya.
"Malawir! Malawir!" Dan Ambik mundur setengah langkah. "Marilah kita bicara. Lihat! Isteri dan anak-anakmu yang lain jatuh ping-san tak sadarkan diri. Kalau tidak kau tolong cepat-cepat, mereka bisa mati semua."
Pada saat itu, penglihatan Malawir sudah kabur oleh deru hatinya. Dengan berteriak tinggi ia melompat menerkam Ambik menya-betkan pedangnya. Pedang itu mengenai pun-dak. Namun
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malawir seperti memperoleh kekuatan gaib. Tanpa mengeluh sedikitpun, ia menyerbukan diri. Dan diserbu dengan cara demikian, Ambik seperti kehilangan daya. Apalagi, hatinya sudah jadi kecut karena me-rasa salah, la kena tendang perutnya. Lantas dadanya. Lantas pinggangnya.
Begitu tubuhnya meliuk, pedangnya terlepas dari genggamannya. Tangan Malawir terus
merebut pedang itu. "Malawir! Malawir! Marilah kita berbicara!" masih saja ia sempat berteriak.
Tetapi Malawir sudah kalap. Dengan satu sabetan, leher Ambik menggelundung di lantai.
Sementara itu, anak buah Ambik seperti tersadar. Mereka terus maju menghujani se-rangan
maut. Seketika itu juga, tubuh Malawir jadi rontang-ranting. Sekalipun demikian, Malawir tak sudi mengaduh kesakitan. Ia seperti kehilangan ingatan. Dengan berputar ia menatap lawan-lawannya.
Lalu berjalan menghampiri mayat anaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kena tatapan penglihatannya, orang-orang mundur satu langkah. Bulu kuduk mereka
menggeridik. Mereka tak bergerak lagi. Dengan demikian, Malawir bisa menghampiri mayat
anaknya. "Oyok! Oyok!" terdengar suara Malawir setengah merintih.
Ia terus merangkul tubuh anaknya. Sudah barang tentu tubuhnya kena siram darah anaknya.
Namun ia tak memedulikan. Benar-benar gerak-geriknya bagaikan seseorang yang sudah
kehilangan kewarasan otak.
Mendadak saja ia seolah-olah teringat se-suatu. Serentak ia berdiri dan menyambar pe-dangnya lagi. Lalu menyerbu lawan-lawannya.
Pada saat itu, seluruh tubuhnya telah tertu-tupi darah sehingga mirip hantu merah yang muncul di malam hari. Dan oleh kesan itu, mereka yang tadinya memusuhinya seperti terpaku. Itulah sebabnya pula, korban jatuh lagi. Seorang demi seorang kena ditewaskan dan dirusak tubuhnya.
Lambat laun ia kehabisan tenaga juga. Maklumlah seluruh tubuhnya sudah terkoyak-koyak.
Sebentar saja ia jatuh tertelungkup di atas lantai.
Kawan-kawan Ki Tunjungbiru terharu bukan main menyaksikan kesetiaan dan keperwiraan
Malawir. Mereka mencoba merenggutkan diri dari ringkusan pasukan Belanda. Namun tenaga
mereka tak mengizinkan untuk bisa berbuat banyak. Salah seorang lalu menyiratkan pandang kepada Ki Tunjungbiru seraya berteriak nyaring minta pertimbangan.
"Otong Damarwijaya! Bagaimana?"
Ki Tunjungbiru menarik napas panjang. Menyahut sedih.
"Di saat seperti ini, janganlah kita menjadi kalap. Umur kita berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan masih mengizinkan kita menje-nak napas... kita masih bisa berbuat yang lain."
Setelah berkata demikian, ia mengarahkan pandangannya kepada keluarga Malawir. Berseru
nyaring. "Malawir! Kau seorang laki-laki sejati. Kalau umurku masih panjang, akan kupersembah-kan sisa hidupku untuk keluargamu. Aku me-lihat keberanian dan sifat kepahlawananmu yang patut jadi suri tauladan untuk ditiru. Ka-rena itu terimalah hormatku..."
Belum habis dia berkata, mulutnya sudah kena tampar seorang sersan yang berada di
dekatnya. Setelah itu, dia dibawa pergi ber-sama kawan-kawannya.
BEGITU KENA DITAWAN-KI TUNJUNGBIRU DAN KAWAN-KAWANNYA mengalami siksaan dan
kekejaman-kekejaman di luar ke-manusiaan. Ia digantung, dirangket, direndam, dibakar, disakiti dan dilukai. Makan minumnya dikurangi pula.
Kompeni Belanda mencoba mengorek ke-terangan sebanyak-banyaknya mengenai ge-rakan
pemberontakan Sultan Kanoman. Ia dipaksa untuk menunjukkan di manakah beradanya pusat
gerakan itu. Namun ia mem-bisu seribu bahasa.
Dalam diri pahlawan Banten itu mengalir getah sakti Dewadaru dan madu lebah Tunjungbiru.
Kecuali itu mahir dalam olah semadi dan tata napas. Tak mengherankan, bahwa kekuatan
tubuhnya melebihi manusia lumrah, kulitnya seperti kebal dari senjata. Setiap kali kena luka sebenarnya saja sudah pulih kembali. Kurangnya makan minum tiada mengganggu kesehatan dan kesegaran jas-maninya. Lebah madu sakti yang dihisapnya semenjak bertahun-tahun yang lalu, cukuplah menjadi sumber tenaga hidup yang tiada habis-habisnya.
Sebaliknya, tidaklah demikian halnya de-ngan keadaan teman-temannya. Dalam bebe-rapa hari saja, dua orang telah mati. Yang lainnya hampir tak dapat bergerak lagi dari tempatnya.
Menyaksikan hal itu, Komandan Kompi terus saja mengancam. Kalau dia berani melarikan diri, teman-temannya akan dihabisi nyawanya. Dan ancaman itu bukanlah merupakan ancaman kosong melompong. Mengingat kekejamannya, kompeni bisa mewujudkan.
Sebenarnya dia bisa minggat dengan mu-dah, apabila menghendaki. Meskipun perke-mahan
dijaga sangat rapat, tapi ilmunya yang tinggi pasti bisa membebaskan diri. Sebaliknya mengingat nasib teman-teman seperjuangannya, terpaksalah dia menyabarkan diri menunggu saat yang baik.
Oleh kebandelannya, kompeni kini menggu-nakan akal baru. Keselamatan anak isteri Malawir dipertaruhkan di hadapannya. Kalau dia masih saja bersikap membungkam, nyawa mereka akan dilunasi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia jadi mendongkol dan bingung. Teringat-lah dia betapa setia dan perwira almarhum Malawir.
Orang semacam dia patut dikenang dan dihormati. Dia sudah berani mengorban-kan segalanya.
Masakan anak isterinya akan dibiarkan hidup tanpa perlindungan"
Sebaliknya kalau sampai dia berbicara ba-nyak tentang rahasia-rahasia gerakan pem-
berontakan, bukankah sia-sia belaka arti pe-ngorbanan Malawir" Kecuali itu, dimanakah dirinya lantas berada" Dia akan ditertawakan sejarah. Seluruh orang-orang gagah di penjuru tanah air ini akan mengutukinya sebagai seorang pengkhianat. Jangan lagi diakhirat, di duniapun rasanya tiada lagi tempat untuk menginjakkan kakinya.
Malam itu ia mondar-mandir dalam kamar tahanannya. Hampir menjelang fajar hari, belum
juga ia memperoleh keputusan. Tengah ia bergelut dengan dirinya sendiri, terdengarlah suatu suara di luar kemah.
"Kau dipanggil kepala jaga. Biarlah penjagaan kugantinya," kata seorang dengan bahasa Belanda.
Kepala jaga pada malam itu seorang Ambon. Namanya Mattulesi. Dia berpangkat sersan. Anak buahnya terdiri dari suku Maluku, Manado dan Sulawesi. Dia terkenal berani, te-gas, gagah dan teliti. Karena itu, anak buahnya termasuk pasukan terpilih dan dapat dipercaya.
"Kau dari peleton mana?" tegur penjaga pintu kemah. Suaranya meninggi suatu tanda bahwa dia menaruh curiga. Sebagai jawaban-nya, terdengarlah suara gedebukan. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian seragam kompeni. Dialah Sangaji.
Ki Tunjungbiru yang berada dalam kurungan heran melihat kedatangannya, la sampai
terbungkam mulutnya dan tak dapat membuka mulut dengan segera.
"Aki! Aku datang," kata Sangaji dengan gembira. "Penjagaan bukan main rapatnya. Aku dan empat adik seperguruanmu sampai perlu meringkus beberapa penjaga. Kami se-mua menyamar."
"Siapa adik seperguruanku?" sahut Ki Tunjungbiru setelah terhenyak sejenak.
"Hasan, Kolil, Martak dan Ali Item."
"Ah! Mereka datang juga?" Ki Tunjungbiru berbimbang-bimbang. "Kompeni yang mem-bawa aku ini, bukan sekelompok serdadu murahan. Mereka semua beradat semberono. Di manakah
mereka kini?" "Mereka berada di luar. Mari kutolong dahu-lu."
Ki Tunjungbiru seperti tak mendengar kata-kata Sangaji. Wajahnya nampak gelisah. Bertanya lagi, "Kau bisa menemukan kemah ini. Apakah mereka sudah datang siang-siang?"
"Kami datang bersama-sama. Terpaksa kami membekuk seorang serdadu untuk mem-peroleh keterangan di mana Aki ditahan."
Ki Tunjungbiru tak bergembira mendengar ujar Sangaji. Ia bahkan menghela napas dan
meruntuhkan pandangan di kejauhan. Dan Sangaji jadi perasa. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia melihat orang yang dihormati tertawan lawannya.
Dahulu ia pernah melihat Mustapa dan Nuraini tersekap dalam kerangkeng. Karena dia belum sadar siapakah Mustapa sebenar-nya, maka kesan hatinya hanya menaruh belas kasihan dan rasa tak adil. Sebaliknya terhadap Ki Tunjungbiru adalah lain.
Terhadap orang tua itu, dia berhutang budi. Selain itu diam-diam ia mengagumi sepak-ter-
jangnya yang luhur. Orang tua itu sama sekali tak memedulikan kepentingan diri. Sebaliknya mengabdikan seluruh hidupnya kepada kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pengabdian itu pulalah, dia kini tertawan tersekap dan terkerangkeng bagaikan binatang. Pemuda itu jadi ikut bersakit hati.
Tak dikehendaki sendiri, ilmu saktinya yang meresap dalam dirinya terbersit dengan men-
dadak. Terus saja ia menghampiri terali besi dan hendak dipatahkan dengan sekaligus. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ki Tunjung-biru berkata menyanggah.
"Kau mau apa" Meskipun ilmuku kini bera-da jauh di bawah ilmu saktimu, tetapi apabila kukehendaki rasanya tak sukar aku mematahkan dua tiga terali besi ini."
Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, Sangaji tercengang, la jadi menebak-nebak. Menegas,
"Apakah ada sesuatu yang kurang beres?"
Ki Tunjungbiru tersenyum. "Tolonglah dahu-lu anak-isteri Malawir. Kalau kau berhasil melepaskan mereka, aku berjanji akan mematah-kan terali ini."
"Tetapi di manakah mereka?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itulah soalnya. Aku sendiri mana bisa tahu di mana mereka berada. Barangkali mereka disekap di sebelah. Mungkin pula tidak."
Sangaji yang berotak sederhana jadi bi-ngung. Gugup ia berkata, "Hari sudah hampir pagi. Di manakah aku akan menemukan mereka. Lebih baik Aki keluar dahulu. Lantas kita cari perlahan-lahan."
Ki Tunjungbiru tersenyum pahit. Ia mere-nungi Sangaji. Lalu berkata mengesankan, "Anakku, sahabatku Malawir telah rela me-ngorbankan nyawanya demi aku. Anak isteri-nya kini tertawan dan tersiksa. Yang seorang mati kena sembelih. Masakan aku akan membiarkan mereka
mengutuki nasibnya yang buruk" Hm... kalau saja aku mempunyai sayap, sudah semenjak tadi petang aku bekerja."
"Perkemahan ini tidak melebihi satu hektar luasnya. Apakah kesulitannya?"
"Ah! Kau pernah dibesarkan di tengah tang-si, masakan kau tak bisa mengerti kecerdikan musuh" Mereka bukan goblok. Tahu, kalau anak isteri Malawir merupakan tawanan yang
berharga, masakan mereka tak menjaganya rapat-rapat" Kalau saja mereka ditawan pada satu tempat, itulah mudah. Tetapi kalau di-pisah-pisah, inilah soal lain. Kau akan ber-hadapan dengan satu batalion serdadu dengan pedang dan senapannya. Sebab andaikata kau berhasil
membebaskan seorang di antara mereka, belum tentu peleton-peleton lainnya bisa kauingusi dengan mudah. Apakah kau mampu menghadapi mereka dengan sekaligus?" Ki Tunjungbiru
menekan-nekan tiap katanya. Mendadak alisnya meninggi lalu berkata, "Hai! Di manakah anak Adipati Sureng-pati" Dialah mungkin bisa memecahkan soal ini."
Pertanyaan Ki Tunjungbiru yang tak ter-duga-duga itu, benar-benar mengagetkan hati Sangaji.
Secara wajar, teringatlah dia kepada Titisari dan cara perpisahnya. Lantas saja ia menjadi lesu.
Tiba-tiba terdengarlah suara letusan senapan dikejauhan. Sebentar kemudian disusul dengan terompet tanda bahaya.
Dan suara berteriakan sambung-menyambung dari tenda ke tenda. Mendengar kesibukan itu,
Ki Tunjungbiru tersenyum pahit. Dengan pandang memaklumi dia berkata, "Kau tahu maksudku"
Kau bisa berhasil memasuki tenda ini. Tetapi penjaga-penjaga lainnya bukan seperti arca batu.
Sebentar saja mereka sadar akan suatu kepincangan. Anakku! Pergilah! Mereka pasti datang ke mari. Pergilah!"
Sangaji bukanlah seorang pemuda tolol da-lam arti sebenarnya. Hanya saja otaknya ter-lalu sederhana, karena hatinya sangat mulia. Ia mengira, semua peristiwa dalam dunia ini berjalan sangat sederhana pula. Ia memasuki per-kemahan militer Belanda dengan tujuan membebaskan Ki Tunjungbiru. Maka serdadu-serdadu yang diduganya menjadi perintang tujuannya disingkirkan dengan mudah berkat ilmu saktinya. Tak tahunya, setelah bertemu dengan Ki Tunjungbiru ia menghadapi soal yang sama sekali tak terlintas dalam benaknya. Ki Tunjungbiru ternyata emoh dibebaskan, sebelum keluarga Malawir memperoleh kebebasannya pula. Hasan, Martak, Kolil dan Ali ltem mempunyai pikiran lain pula. Begitu mereka mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji tentang nasib keluarga Malawir, terus saja mereka hendak membuat jasa. Tanpa
memperhitungkan kemampuan diri, mereka menggerayangi tenda-tenda perke-mahan. Mereka
boleh dimasukkan dalam deretan orang-orang tangguh. Tetapi ketangguhan mereka sama sekali belum bisa dibandingkan dengan ilmu sakti Sangaji. Untuk menghadapi beberapa serdadu penjaga perkemah-an, mereka harus berkelahi keras. Keruan saja sepak-terjang mereka lantas saja
ketahuan. Seperti diketahui, kepala jaga pada malam hari itu seorang Ambon bernama Mattulesi. Ia
berpangkat sersan. Begitu mendengar letusan senjata, terus saja ia melompat keluar sambil menyambar senapannya. Langsung ia menuju ke tenda tahanan Ki Tunjungbiru dengan diikuti
empat orang serdadu. Mendadak ia melihat dua orang serdadu rebah tak berkutik di tanah.
Kecurigaannya dan kemarahannya meledak tak terkendalikan lagi. Tangkas ia menghunus
pedangnya dan membabat tenda. Bret! Dan tenda perkemahan terbelah menjadi dua.
Waktu itu Sangaji maju mendekati terali besi. Ki Tunjungbiru terkejut sampai berkata setengah membentak.
"Kau mau apa" Sekali kau berani menyen-tuh terali ini, aku akan mengadu nyawa de-nganmu."
Sangaji ternganga. Ia tak dapat mengerti arti ucapan itu. ' "Aki! Mari kita lari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, anak tolol!" keluh Ki Tunjungbiru. "Lari ke mana" Kalau aku lari, bukankah anak isteri Malawir bakal celaka, Aji! Lihat belakang!"
Ilmu sakti Sangaji benar-benar susah terukur lagi. Semenjak tadi ia tahu, bahwa musuh telah berkerumun di depan tenda. Tapi ia tak memedulikan. Pikirannya terkacaukan oleh pertanyaan Ki Tunjungbiru tentang Titisari dan keadaan orang tua itu sendiri. Dan begitu pedang Mattulesi menikam tenggorokannya, ia hanya cukup membalikkan tangannya. Tahu-tahu pedang dan tubuh Mattulesi terpental ke luar tenda.
"Awas ada bangsat di dalam!" masih sempat Mattulesi berteriak, la jatuh bergedebukan di rerumputan. Begitu dia berdiri, ia melihat tenda runtuh berantakan. Empat serdadu yang
mengikuti dari belakang terpental ke luar pula dan melayang bagaikan layang-layang putus.
Mereka jatuh jungkir balik mencium-cium tanah.
Sangaji tak menyia-nyiakan waktu lagi. la sadar akan bahaya. Terus saja ia menjejak tanah dan melesat ke luar melalui robekan tenda.
Di luar tenda, hari sudah terang tanah. Se-luruh perkemahan nampak dengan nyata. Serdadu-serdadu yang disentakkan oleh tanda bahaya, lari berserabutan ke luar. Mereka membawa
senjatanya masing-masing, tetapi belum menembak karena arah bidikannya belum terang.
Hasan, Kolil, Martak dan Ali ltem terkepung rapat. Melihat keadaan mereka, hati Sangaji
tergetar. Inilah bahaya, pikirnya. Dia sendiri bisa menyelamatkan diri dengan mudah. Te-tapi bagaimana mereka" Pada saat itu sadar-lah dia, apa sebab Ki Tunjungbiru tak sudi dibebaskan mengingat keselamatan keluarga Malawir. Segera ia bergerak hendak menolong. Mendadak saja ia melihat Mattulesi telah mengisi senapannya. Sersan Ambon itu ter-nyata seorang kosen. Meskipun Sangaji tadi tak berniat mencelakai, namun sebenarnya tenaga lemparannya cukup mematahkan kaki dan lengan seseorang. Nyatanya Mattulesi sama sekali tak terluka.
Sadar akan bahaya, Sangaji terus me-nubruknya. Tangannya menyambar laras senapan. Inilah suatu tipu yang berbahaya. Sebab sedetik kasep, Mattulesi sudah dapat memetik pelatuknya. Dan kalau senapannya sampai meletus, biarpun Sangaji memiliki ilmu sakti akan tertembus juga dadanya.
Sebaliknya Mattulesi boleh kosen, tapi menghadapi tenaga samberan Sangaji, ia mati
kutu.Tenaga jasmaniahnya mendadak saja seperti macet. Tahu-tahu tubuhnya terguncang dan
terpental sepuluh dua puluh meter. Senapannya patah berantakan.
Saat yang baik itu dipergunakan Sangaji untuk mengarahkan perhatiannya kembali kepada
Hasan dan kawan-kawannya. Sebat luar biasa ia melompat dan menghantam pagar serdadu yang mengurung mereka. Aki-batnya bukan main. bagaikan angin puyuh, tenaga Sangaji menyibakkan mereka dengan sekaligus.
"Lari!" teriak Sangaji setengah memerintah.
Hasan dan kawan-kawannya kena pengaruh guncangan tenaga Sangaji pula. Tapi begitu
mendengar teriak Sangaji, mereka seperti tersadar. Terus saja mereka memutar tubuh.
"Cepat! Biarlah aku melepaskan kuda-kuda mereka," kata Sangaji lagi.
Pemuda itu mendadak teringat akan cerita pengalaman gurunya Wirapati dan Jaga Sara-denta tatkala mereka menyerbu perkemahan militer di Jatibarang. Dahulu, perhatian kompeni bisa dialihkan kepada hingar-bingar kuda-kuda yang lari berebutan karena kena serangan. Demikian pulalah kali ini.
Sangaji yang memiliki ilmu sakti warisan Bende Mataram kala itu melontarkan tenaga pukulan.
Seketika itu juga, serdadu-serdadu yang kena tenaga pukulan merasa diri tertindih suatu hawa bergulungan ribuan kati beratnya. Mereka terguncang mundur atau terpaku di tempatnya tanpa bisa berkutik. Dan pada saat itu, Sangaji melesat ke kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda mereka. Kekacauan segera terjadi dengan cepat.
Di seberang sana, sekelompok serdadu mulai melepaskan tembakan sambil membu-nyikan
terompet tanda bahaya. Betapapun juga, Sangaji menjadi sibuk, la tak takut pada macam
serangan mereka. Namun peluru-peluru mereka adalah lain. Maka di dalam keriuhan letupan
senapan, dengan sebat ia melarikan diri tanpa arah tertentu.
Serdadu-serdadu yang sebentar terbebas dari tekanan tenaga sakti, mulai mengejar dan
menembakkan senapannya. Dari tenda ke tenda muncullah laras-laras senapan yang kini telah memperoleh arah bidikan. Syukur, Sangaji tak menjadi gugup. Dalam kerepotan-nya, mendadak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
timbullah akalnya. Ia kini me-nyerang tenda-tenda perkemahan. Seketika itu juga, tenda seperti teraduk. Seperti layar perahu kena badai, tenda-tenda perkemahan terjebol dan kabur
bergulungan menutupi penglihatan para serdadu.
Mereka tertahan untuk sementara. Tapi yang lain bisa bergerak dengan leluasa. Inilah bahaya, pikir Sangaji.
Pemuda itu akhirnya bergelisah juga. Se-konyong-konyong ia melihat sebuah tenda yang
terpencil. Tenda itu berada di lereng gun-dukan. Keadaannya sunyi lengang. Tak terjaga dan rapih. Diam-diam Sangaji heran.
"Apakah ini tenda komandan?" Sangaji menebak-nebak.
"Bagus! Sekiranya yang berada dalam tenda itu komandan mereka, bukankah bisa kubuat sandera?"
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melesat dengan sebat. Dan bagaikan seekor burung elang, ia menyusup ke dalam tenda. Begitu mendarat, hampir saja ia bertubrukan dengan seorang gadis yang belum rapih pa-kaiannya. Keruan ia kaget sampai mundur selangkah.
"Ha... sudah kuduga. Kalau bukan engkau, siapa yang mampu membuat kegaduhan ini," kata gadis itu dengan lembut. Dan dialah Sonny de Hoop.
Untuk sedetik dua detik Sangaji tertegun, la seperti kehilangan dirinya.
"Baiklah! Aku sudah berada di sini. Kalau kau mau menangkap... tangkaplah!" Akhirnya ia berkata seperti menyerah.
"Hm ..." dengus Sonny. "Lekaslah kau ganti pakaian!"
Setelah berkata demikian, Sonny memutar tubuh sambil tersenyum manis. Dan sebelum
Sangaji bisa menebak maksudnya, ia telah melemparkan seperangkat pakaian preman.
"Itulah pakaianku sendiri yang sering kuke-nakan dalam perjalanan. Kukira cukup untukmu,"
katanya lagi. "Tunggulah aku! Biar kutemui mereka..."
Segera terdengar suara berisik diluar tenda. Itulah seorang perwira yang mendatangi tenda Sonny dengan beberapa serdadu.
"Sonny! Apakah engkau melihat seorang yang mengenakan pakaian seragam?" tanya perwira itu dengan bahasa Belanda.
"Aku hanya mendengar orang berlari lewat di seberang," jawab Sonny de Hoop. "Lang-kahnya terdengar sangat cepat, sehingga tatkala aku melongok ke luar tiada lagi nam-pak bayangannya.
Apakah dia yang membuat kegaduhan ini?"
"Ya. Ke mana arahnya?" perwira itu mene-gas.
"Ke sana!" Dengan berteriak panjang ia memberi aba-aba.
"Mari! Tangkap kuda dan cari!"
Mereka lantas saja berlari-lari menjejak arah kiblat yang ditunjukkan Sonny. Sebentar saja suara mereka lenyap. Dan kesunyian dalam tenda terjadi lagi.
Sangaji dapat menguasai -diri. Dengan berindap ia mengintip dari celah tenda. Begitu melihat mereka kena dikecohkan Sonny, cepat ia memeriksa pakaian preman yang diberikan. Pakaian itu ternyata pakaian pria. Hanya saja potongannya model wanita. Percaya bahwa Sonny bermaksud hendak melindungi, tanpa ragu-ragu ia mengenakannya.
Mendadak ia mencium keringat pemiliknya. Tak dikehendaki sendiri, hatinya tergetar, la jadi ragu-ragu. Pikirnya dalam hati: Selama bergaul dengan Titisari, belum pernah aku mengenakan pakaian samarannya. Masakan aku kini harus mengenakan pakaian Sonny"
Menimbang, bahwa ia harus bisa lolos dari kepungan kompeni, segera ia menanggalkan
pakaiannya sendiri. Kemudian dengan cepat ia mengenakan pakaian pemberian Sonny.
"Apakah engkau sudah berganti pakaian?" Sonny minta keterangan dari luar tenda.
"Ya," sahut Sangaji gugup.
"Aku boleh masuk?" "Sebentar lagi"
"Eh, kau bilang sudah berganti pakaian, masakan aku tak boleh masuk?" terdengar Sonny berkata dengan setengah tertawa.
"Potongan celanamu agak sesak untukku."
"Ah, yang benar saja!" Sonny tak percaya.
"Masuklah! Kau boleh memeriksa sendiri. Bagian perut agak sesak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sonny memasuki tenda. Begitu melihat Sangaji kerepotan mengkaitkan kancing, ia tertawa geli.
"Hampir dua tahun kau pergi dan perutmu ternyata bertambah besar. Pastilah engkau
memperoleh kegembiraan dalam perjalanan."
Sangaji kebingungan. Tak tahu dia, bagai-mana harus menjawabnya. Akhirnya dia ha-nya
tertawa meringis. Berkata sejadi-jadinya, "Barangkali karena aku sering banyak makan daging."
"Makan" Mana bisa makan begitu meme-gang peranan penting dalam hidupmu. Kukira karena engkau telah menemukan mustika hatimu. Bukankah begitu?"
Hati Sangaji tercekat. Diam-diam ia me-ngeluh. Sebagai seorang jujur dan berwatak sederhana, ia segera mengaku kebenaran tu-duhan Sonny. Untuk mengelak atau menang-kis ia tak
mempunyai kesanggupan. Karena itu, ia segera mengalihkan pembicaraan. Ber-kata sulit, "Apakah ayahmu di sini?"
"Ya. Dialah komandan batalyon ini. Sebentar lagi dia ke mari. Kau tunggulah. Pastilah dia amat gembira melihat kedatanganmu," sahut Sonny.
Tak usah dikatakan lagi, hati "Sangaji benar-benar terperanjat. Pertemuan kali ini jauh berlainan daripada pertemuan di depan benteng batu. Meskipun dahulu ia berada di pihak
kompeni, namun masih bisa diterangkan apa sebabnya. Sebaliknya kali ini tidak. Dialah justru yang memusuhi kompeni dengan menggerayangi perkemahan.
"Sonny! Kali ini tak dapat aku bertemu de-ngan ayahmu," katanya tergagap-gagap.
"Kenapa begitu?" Sonny menyahut cepat. "Kujamin, bahwa beradamu di sini tidak bakal diketahui siapa saja. Seumpama saja mereka mengetahui beradamu di sini, aku dan ayahku bisa menerangkan apa sebabnya. Akan kureka bahwa kejadian ini merupakan suatu salah paham
belaka. Kukatakan kepada mereka, bahwa engkau datang dengan bermaksud hendak menemui
aku dan ayah. Tapi kepergok pasukan penjaga sehingga menerbitkan suatu kecurigaan dan
berakhir dengan suatu kegaduhan. Bukankah cukup beralasan?"
Benar Sangaji berotak sederhana, tetapi kali ini dia tak bisa menerima dalih itu. Rencana itu kurang sempurna hanya saja ia tak pandai menunjukkan kekurangannya. Untuk menunjukkan
tidak setuju ia mundur dua langkah sambil menggoyang-goyangkan tangan berulang kali.
"Hm," dengus Sonny. Tiba-tiba ia menatap Sangaji dengan pandang sungguh-sungguh. Berkata agak keras, "Semenjak kami bertemu dengan engkau di benteng batu dahulu, Ayah sudah menaruh curiga. Masa dua tahun, benar-benar merubah jiwamu. Kau ternyata bergaul dengan
manusia-manusia liar. Kau sendiri, nampaknya menjadi jagoan pula. Ka-rena itu, engkau harus bertemu dengan Ayah. Kalau menolak, aku akan berteriak."
Watak Sangaji semenjak dahulu mudah ter-singgung. Kalau saja Sonny bersikap lunak seperti dahulu, pastilah dia akan luluh hatinya. Tapi kali ini, Sonny bersikap keras. Entah benar-benar demikian pengucapan hatinya atau tidak, namun hal itu menusuk hati pemuda itu. Seketika itu juga, Sangaji berdiri tegap. Dan dengan tenang ia menyahut.
"Baik. Kau berteriaklah! Memang aku harus berkata yang benar terhadapmu. Hari ini aku menjadi musuhmu. Akulah yang membuat kekacauan ini. Akulah yang mencoba hendak
membebaskan semua tawanan ayahmu. Kalau sekarang engkau hendak membelenggu aku,
belenggulah aku! Serahkan aku kepada ayahmu dan aku takkan menyesal. Seorang laki-laki kalau sudah berani menggerayangi tangsi militer, masakan masih memikirkan keselamatan nyawanya."
Tidak biasanya, pemuda itu bisa berbicara demikian lancar dan banyak. Entah apa sebabnya, dalam dadanya terasa ada suatu tenaga bergelembungan. Sebaliknya mende-ngar kata-kata
Sangaji, Sonny tertawa manis dan menarik. Sama sekali ia tak memperoleh kesan sekelumitpun.
"Aku memang seorang pemuda bebal. Mengapa engkau mentertawakan aku?" Sa-ngaji
mendongkol. "Mengapa aku tak boleh tertawa" Justru engkau begini menjadi galak, teringatlah aku waktu engkau memaki-maki aku di tengah lapangan dahulu," kata Sonny manis. "Ter-hadap Jan de Groote, Tako Weidema dan lain-lainnya itu, aku tak peduli. Apa sebab engkau dahulu mendamprat aku habis-habisan" Memang, kau gemar menjadi aku. Selamanya kau menganggap aku sebagai
musuhmu, sebagai perintangmu. Karena aku kau tuduh merintangi usahamu menjadi jagoan.
Baiklah! Biarlah kau menganggap aku sebagai musuhmu. Tetapi aku tidak. Dan kalau kau
sekarang bilang tak memikirkan keselamatan nyawamu lagi, bagaimana dengan keselamatan
ibumu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Sonny de Hoop, hati Sangaji tercekat. Mendadak saja teringatlah dia
kepada ibunya. Hatinya menjadi luluh sebagian.
"Kau kira di manakah ibumu kini?" kata Sonny lagi.
"Dia tak berada lagi jauh di kampung. De-ngan bantuan Ayah, akhirnya aku memper-oleh sebuah rumah yang tak jauh dari rumah-ku. Kakakmu Mayor Willem Erbefed sangat senang pula.
Karena dengan demikian, ibumu tak perlu merasa kesepian. Hampir tiap hari aku mengawani."
Mendengar ujar Sonny itu diam-diam Sangaji mengeluh. Pikirnya sibuk, Ibu berada di Jakarta seorang diri. Malah kini berdiam di dekat rumah Sonny. Bukankah berarti, bahwa ibu dan anak berhutang budi"
Teringat kepada Titisari, pandang wajahnya menjadi layu dengan tak setahunya sendiri. Ia lantas menunduk ke tanah.
Sonny de Hoop mengamat-amati dengan saksama. Begitu memperoleh kesan tertentu, ia
tertawa perlahan. "Sebenarnya apakah sih senangnya hidup merantau tak keruan" Kau dahulu bilang hen-dak menuntut dendam kematian ayahmu. Apakah sudah kaulaksanakan?"
Sangaji menggelengkan kepala. Semangat-nya jadi runtuh.
"Nah, tuuuu... sudah kusangka. Kau masih saja membawa adatmu yang kekanak-kanak-an.
Kau merantau tanpa tujuan. Meninggalkan ibu kandungmu seorang diri. Hasilnya hanya bergaul dengan orang-orang tak keruan. Memang semenjak dahulu aku tahu kau ingin jadi seorang
jagoan. Kalau tidak, masakan engkau berlatih siang malam tak kenal lelah." Sonny menyesali.
Kemudian meninggikan suaranya. "Karena itu, diam-diam Ayah hendak memasukkan kau berdinas militer. Entah karena usaha Ayah ataukah memang nasibmu yang baik, engkau bisa diterima pihak atasan. Gubernur Jenderal yang mengenal engkau semenjak berumur empat belas tahun
menghadiahimu pangkat letnan. Bukankah bagus" Kakak angkatmu Mayor Willem Erbefeld sampai menlonjak-lonjak kegirangan. Nah, Letnan Sangaji! Terimalah hormatku!"
Habis berkata demikian, Sonny de Hoop mundur dua langkah dan siap hendak mem-beri
hormat. Sebaliknya Sangaji terperanjat bukan main sampai berjingkrak. Katanya de-ngan suara meninggi.
"Apa" Aku menjadi letnan VOC?"
"VOC tiada lagi," sahut Sonny cepat. "Ka-barnya kau akan ditetapkan dalam batalyon satu di bawah panji-panji Bataafshe Republiek. Terang?"
"Tapi Sonny... tak dapat aku menjadi se-orang letnan," kata Sangaji gugup. "Aku tak mempunyai bakat militer."
"Kau bisa melawan kepungan laskar Pa-ngeran Bumi Gede dan satu kompi militer Belanda.
Masih pulakah engkau bilang tak mempunyai bakat. Lantas apakah hasilmu berlatih jadi jagoan semenjak bertahun-tahun," tangkis Sonny de Hoop.
Untuk berdebat, janganlah orang meng-harap Sangaji akan menang. Jangan lagi ber-lawanan
dengan Titisari atau orang seperti Sonny de Hoop yang berpendidikan baik, ba-rangkali
berlawanan berdebat dengan seorang dusunpun yang berbekal ketangkasan ber-bicara takkan
mendapat tempat. Karena itu mulutnya lantas saja terbungkam. Tapi hatinya berpikir keras, la merasa diri benar-benar menghadapi kesulitan. Kalau mesti harus menjadi seorang militer
Belanda, bagaimana dia kelak akan menerangkan terhadap kedua gurunya dan orang-orang yang dihormati" Teringat betapa Gagak Seta seorang pejuang gigih dan kakek gurunya bekas seorang pejuang pula, hatinya mengeluh. Terlebih-lebih tatkala ia membayangkan tokoh Titisari yang selalu berada dekat dalam hatinya.
"Kau selamanya beragu dalam mengambil tiap keputusan," kata Sonny de Hoop dengan tertawa manis. "Mandilah dahulu, agar otakmu menjadi jernih."
Sonny kemudian memberi isarat mata. Di belakang ruang duduk ternyata terdapat se-katan
ruang untuk kamar mandi. Sebenarnya tidaklah kena disebutkan sebagai kamar mandi, karena isinya hanya dua tiga tong air. Hanya saja ruangnya tertutup rapat sehingga merupakan sebuah kamar mandi benar-benar yang berada dalam sebuah kamar tidur.
"Kau berdiam diri, itulah suatu tanda bahwa hatimu bergembira dengan diam-diam," kata Sonny lagi. "Betapa hatiku takkan ikut senang. Menurut Ayah dan kakak angkatmu dalam beberapa tahun saja kau bakal bisa mencapai pangkat mayor. Karena bakatmu baik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kecakapanmu melebihi orang pula. Nah, mandilah dahulu. Kalau sudah, masih ingin aku berbicara lagi denganmu."
Sangaji mencoba mengasah otaknya. Tim-bullah keputusannya hendak melarikan diri. Tapi
manakala teringat kepada ibunya, akal-nya selalu saja menumbuk suatu kegagalan. Makin
dipikirkan, keadaan hatinya makin menjadi gelisah.
Dalam pada itu, matahari mulai merangkak-rangkak di ufuk timur. Terompet tanda appel
terdengar melengking menusuk telinga. Di antara suara berisik dan derapnya sepatu, terdengarlah suara langkah menghampiri tenda. Hati Sangaji tercekat. Cepat ia menyelinap ke dalam ruang kamar mandi seraya membawa pakaian seragamnya.
"Tak usahlah kau berkecil hati. Aku takkan mengabarkan beradamu di sini kepada Ayah. Asal saja kau selalu bersikap manis ter-hadapku dan jangan sampai menerbitkan suatu suara!" ujar Sonny de Hoop tenang-tenang.
Jantung Sangaji memukul keras dan secara wajar ia memasang kuping. Dan tak lama kemudian terdengarlah suara derap kaki me-masuki tenda. Dialah Mayor de Hoop koman-dan batalyon yang sedang berkemah di perba-tasan Cirebon.
"Ayah," Sonny menyambut dengan manis. "Kabarnya Ayah akan segera berangkat ke Jakarta.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benarkah itu?" "Ya," jawab Mayor de Hoop singkat. Ia nam-pak tak bergembira. Sambil menghempaskan diri di atas kursi, ia berkata, "Perjalanan kita kali ini nampaknya sia-sia belaka, dua kali aku diutus menyelesaikan suatu tugas. Tapi dua-duanya berhenti di tengah jalan. Yang pertama urusan pemberontakan kerajaan Yogyakarta. Siapa mengira mendadak pemerintah berubah haluan. Dan yang kedua perkara pemadaman pemberontakan Sultan Kanoman. Kali inipun aku diharuskan
pulang dahulu ke Jakarta. Agaknya ayahmu tak mempunyai rejeki bisa naik pangkat setingkat lagi."
"Ah, Ayah!" potong Sonny dengan tertawa menghibur. "Keberanian dan ketangkasan Ayah menghadapi semua tugas terkenal di seluruh divisi. Karena itu Ayah tak perlu berke-cil hati. Ayah masih mempunyai kesempatan besar Jagi di kemudian hari."
"Hm," dengus Mayor De Hoop. "Siapa bilang aku terkenal tangkas. Kalau benar demikian, masakan perkemahan sampai kena digera-yangi penjahat."
Mendengar ujar Mayor De Hoop, Sangaji menahan napas.
"Dalam suatu peperangan kejadian demi-kian sudahlah lumrah. Karena itu, tidaklah selayaknya Ayah berpikir demikian. Ayah se-orang militer yang gagah perkasa. Itulah terang sekali. Tiada seorangpun yang bakal membantah."
Mayor de Hoop tertawa. Tertawa kosong.
"Kau benar, anakku," katanya. Kemudian mengalihkan pembicaraan. "Sekarang aku hendak membicarakan suatu hal yang pasti akan membuatmu bergembira. Sangaji berada tak jauh dari perkemahan kita. Rupanya anak itu dalam perjalanan pulang ke Jakarta-."
Kaget Sonny mendengar perkataan Mayor De Hoop.
"Sangaji berada di dekat perkemahan" Apakah maksud Ayah?" tungkas Sonny de-ngan suara meninggi.
"Meskipun belum terang, tetapi salah seo-rang temannya yang kena tangkap menyebut
namanya." Mayor De Hoop seperti tak mengindahkan ucapan puterinya. "Entah apa maksudnya ia menyusup ke mari. Mungkin pula sangat rindunya hendak bertemu dengan-mu.
Terang sekali, bahwa ucapan ayahnya bermaksud lain. Hati Sony jadi tak enak sen-diri. Namun ia cerdik dan cukup tabah. De-ngan tenang ia memekik genit. Katanya manja, "Ah, Ayah! Kalau benar ingin bertemu denganku, masakan perlu menyelundup se-gala."
Ayahnya tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Diluaran, bukankah ayahmu terkenal bengis?"
"Baik, baik!" potong Sonny cepat. "Kalau aku bertemu dengan dia, akan kubisiki bagaimana caranya apabila ingin bertemu denganku."
Cntuk kesekian kalinya, ayahnya tertawa terbahak-bahak lagi. Berkata, "Sangaji kini ternyata tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dan pintar. Ia sangat berguna bagi jalannya
pemerintahan. Kalau saja aku bisa bertemu dengan dia, pastilah dia akan kuajak berbicara.
Gubernur Jenderal Van Wiese membutuhkan pembantu-pembantu yang cakap untuk bisa mengerti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa kemauan rakyat Cirebon. Menurutnya pantas gerakan militer seyogyanya dipimpin seorang bumiputera yang bisa dipercaya6). Dan kelak aku akan mengusulkan anakku Sangaji. Bukankah de- 6). Bubarnya VOC di Indonesia mengakibatkan suatu pergantian pe-ngurus pula di negeri Belanda, dewan pengurus (bewindhebpers) dibubarkan
Herren XXVII diganti dengan sebuah panitia bernama: Comite de zakenvan de Oost Indische
handel en be zittingen ngan demikian, Sangaji akan lebih berbahagia daripadaku sendiri" Ia akan mempunyai ke-sempatan besar untuk membuat jasa."
Diam-diam Sonny memperhatikan wajah ayahnya. Selang beberapa saat kemudian, ia berkata
mencoba, "Dua tahun lamanya, Sangaji merantau tak keruan tujuan. Dan waktu dua tahun agaknya bisa pula merubah perangainya. Seumpama dia sudah biasa hidup merdeka dan menolak kemauan Ayah yang baik ini, apakah tindakan Ayah terhadapnya?"
Mayor de Hoop meruntuhkan pandang ke tanah. Menjawab, "Aku sendiri tetap berada di
pihakmu. Sangaji adalah suamimu dan de-ngan sendirinya anakku pula. Yang kukawatir-kan
hanyalah keputusan komisi Mr. Neder-burgh dan Dirk Hogendorp. Kalau mereka mempunyai
pendapat lain untuk kita tiada pilihan lagi, anakku. Seumpama komisi 7orang memerintahkan menangkap Sangaji, akupun tak bisa berbuat lain."
"Itulah kejam!" potong Sonny dengan suara agak gemetaran.
Mayor de hoop mengangkat pundak seraya menatap puterinya. "Hidup ini kadangkala sangat kejam. Dan tiap orang berhak mem-pertahankan macam kebahagiaannya sendiri. Karena itu tak jarang sejarah mencatat suatu kejadian yang tak ketemu nalar. Pernahkah engkau mendengar seorang tua makan anak-nya sendiri" Semuanya itu terjadi manakala seseorang terdorong ke pojok, anakku."
"Tapi Sangaji apakah seorang-penjahat yang benar-benar harus disingkirkan?"
"Tatkala dia berada di benteng batu dahulu, apakah hanya aku seorang yang melihatnya?"
Hati Sonny mengeluh. Ia masih merasa bersyukur, karena tak segera memberitahukan
beradanya Sangaji dalam tendanya. Dalam pada itu ayahnya berkata lagi, "Karena itu... satu-satunya jalan apabila dia pulang ke Jakarta, harus cepat-cepat kuambil menantu. Bukankah itu kabar menggirangkan bagimu" Dan begitu dia masuk menjadi keluarga kita, maka pada semenjak saat itu dia berada di bawah pengawasan langsung komisi 7 orang."
Sonny menundukkan muka. Hatinya girang bukan kepalang mendengar rencana ayahnya.
"Hanya saja, anak itu mengacau di sini," Mayor de Hoop menghela napas.
"Siapa" Sangaji?"
"Mudah-mudahan bukan..."
Mayor de Hoop meruntuhkan pandang ke meja. Tangannya meraih cangkir hendak dituangi air
teh. Tiba-tiba tenda tergetar lem-but. Samar-samar terdengar suara angin menggeser di belakang ruang sekatan.
"Siapa yang berada di dalam?" Mayor de Hoop menegur. Kemudian menatap wajah puterinya mencari kesan.
"Ayah menegur siapa?" Sonny berkata. "Idiih... Ayah menyangka aku menyembunyi-kan Sangaji di sini" Benar-benar Ayah kena pengaruh laporan penjahat yang menyebut namanya."
Kecerdikan Sonny de Hoop tak bisa melawan Titisari. Ia boleh menganggap diri cukup cerdik, tapi ternyata mengandung lubang kelemahan. Coba kalau saja yang dihadapi bukan ayah
kandungnya sendiri pastilah sudah terbuka rahasianya.
Wajah Mayor de Hoop berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa terbahak-bahak. Sebagai
seorang komandan batalyon yang sudah kenyang digodok pengalaman pekerjaannya, sudah
barang tentu mengetahui belaka apa yang disembunyikan dalam hati puterinya. Seumpama saja puterinya tadi bangkit lantas menjenguk ruang belakang oleh tegurannya dan kemudian
memperlihatkan wajah heran, pastilah dia tak mempunyai alasan untuk ber-curiga.
"Hawa dan angin di sini memang jauh ber-lainan dengan Jakarta atau daerah pedalam-an.
Angin di sini datang dan pergi antara tiada dan ada," kata Mayor de Hoop dengan masih tertawa gelak. "Memang otakku lagi bermu-rung sehingga kesan laporan penjahat itu terlalu meresap dalam hati..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betapapun juga Sonny kenal watak ayah-nya. Ia sudah bisa menebak sebagian. Karena itu
diam-diam ia bersyukur atas sikap ayahnya dan menyesali kesembronoan Sangaji.
"Sekarang telah kuperintahkan agar mem-perkuat penjagaan," kata Mayor de Hoop. "Daerah di sini memang termasuk daerah bergolak. Ontung, kita berhasil menangkap salah seorangnya.
Orang itu ternyata bandel dan cukup berani serta tabah. Berulangkali kita cecer dengan
pertanyaan-pertanyaan, namun masih saja membisu. Baik, biarlah kita hajar dahulu dia sampai mau memberi keterangan yang benar. Kalau tidak, jangan salahkan kita. Dia terpaksa kita lunasi.
Apa pikirmu anakku?"
Terhadap siapa saja yang kena tangkap,
Sonny tak menaruh perhatian. Dengan kesan kosong ia menyahut sembarangan saja. Seba-
liknya dalam dirinya sedang merumunkan soal perkawinan dengan Sangaji.
"Apakah Ayah sudah memberi kabar ibu Sangaji?" Sonny mengalihkan pembicaraan.
"Semenjak aku melihat, aku telah mengi-rimkan kabar lewat pos militer. Kau tak usah berkecil hati. Aku tanggung satu tahun lagi, aku bakal memperoleh cucu."
Wajah Sonny berubah hebat. Pipinya lantas saja menjadi merah dadu. Sebaliknya ayahnya
tertawa gembira sambil bangkit dari kursi. Ia lantas pergi meninggalkan tenda. Dan hati Sonny lega bukan main. Keringat yang membasahi tubuhnya disapunya perlahan. Segera ia mengenakan pakaian bersih dan terus berseru nyaring, "Aji! Kausaksikan sendiri, betapa baik hati Ayah. Karena itu kurasa tak perlu lagi kau bersembunyi seperti kelinci."
Tetapi di dalam ruang kamar mandi tiada suara.
"Aji! Ayah sudah pergi," kata Sonny dengan tertawa. "Kau mandilah dahulu. Apakah airnya cukup?"
Masih saja tiada suara dari dalam kamar mandi.
"Aji! Kau dengar suaraku?" kata Sonny. Suaranya berubah heran menebak-nebak. Apabila tiada suara jawaban ia mengkerutkan alis. Kemudian menghampiri dinding ruang kamar mandi. Ingin ia menyibakkan tirai penutupnya, namun hatinya masih beragu. Berkata mencoba, "Aji! Aji! Kau lagi apa?"
Benar-benar dari dalam ruang kamar mandi tiada suara. Dan sampai di sini habislah ke-
sabarannya. Hatinya jadi curiga. Terus saja ia menerkam tirai sekatan dan menyibakkan. Dan benar-benar Sangaji tiada lagi dalam ruang kamar mandi.
Bukan main herannya. Segera matanya menjelajah menyelidiki. Dan tenda seberang sana
nampak robek terbelah menjadi dua. Te-rang sekali, Sangaji telah lolos dari pengamat-annya.
Ia meruntuhkan pandang dan melihat suatu coretan. Segera ia membaca. "Terima kasih atas pertolonganmu. Kelak kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berbicara sebebas-bebasnya."
Hati Sony mendongkol, terlebih-lebih tatkala melihat seperangkat pakaiannya ngelumpruk di pojokan. Terus saja ia keluar tenda mencari keterangan. Tetapi serdadu-serdadu yang
dijumpainya tiada melihat pemuda yang dike-hendakinya. la jadi berputus asa. Dan begitu
memasuki tendanya kembali, ia membanting dirinya di atas tempat tidur.
Sangaji sendiri waktu itu telah berada jauh di luar perkemahan. Dengan ilmu saktinya ia lari kencang, balik ke pondokan. Waktu itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Penduduk sudah semenjak tadi keluar dari rumahnya masing-masing. Banyak di antara mereka yang berpapasan dengan Sangaji. Tapi jangan diharap mereka mampu menangkap bayangannya. Mereka hanya
merasa seperti ada sesuatu yang melintasi. Begitu menoleh, sama sekali telah kehilangan
pengamatan sehingga mereka mengucak-ucak matanya dengan penuh heran. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa sebentar saja sudah sampai di pondokan. Segera ia berpamit dan terus melanjutkan perjalanannya ke barat. Dalam hatinya, ia hendak mendahului gerakan batalyon Mayor de Hoop agar dapat menemui ibunya dan mengambil tindakan cepat.
Maklumlah, tadi malam benar-benar meru-pakan suatu pengalaman hebat baginya. Tanpa
disadari penuh-penuh ia telah menen-tukan pilihan di pihak mana dia berdiri. Ter-ingat akan ibunya yang masih berada di Jakarta dan berada dalam lindungan keluarga Mayor de Hoop,
hatinya tergetar dengan tak setahunya sendiri. Tak terasa ia membedalkan kudanya makin lama makin kencang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Willem seekor kuda jempolan. Ia bisa men-capai 200 km dalam sehari. Itulah sebabnya dalam tiga empat hari saja kota Jakarta sudah nampak terbentang di depan penglihatan. Dan melihat kota Jakarta, pemuda itu lupa kepada semua persoalannya oleh rindunya kepada ibunya.
Di batas kota ia berhenti di atas gundukan tanah. Di sinilah dahulu ia bertemu dengan Willem Erbefeld. Sungainya masih seperti dahulu. Tenang dan agak keruh. Gua tempat ia
menyembunyikan Willem Erbefeld dari pengejaran pasukan Mayor de Groote masih tetap utuh.
Melihat gua itu teringatlah dia pula kepada kasih sayang kakak angkatnya.
Tak terasa ia menambatkan kudanya, ke-mudian berenung-renung seorang diri. Kala itu senja sudah mendatang. Matahari mulai merangkak-rangkak ke barat, seolah-olah hanya berlaku
beberapa detik, maka hari mulai meremang. Kemudian bintang-bintang bergetar lembut,
berserakan di seluruh angkasa. Seluruh alam mulai pula menceritakan pengalamannya masingmasing.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta, alangkah banyak peristiwa-peristiwa yang dialami
pemuda itu. la kini bukan lagi Sangaji dua tahun yang lalu. Sebaliknya tumbuh men-jadi seorang pemuda gagah perkasa dan sakti di kolong dunia. Hanya saja persoalan-per-soalan yang dihadapi amat rumit.
Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya, bahwa keinginan untuk segera menemui ibu-nya
membuat Sangaji tergesa-gesa meng-hampiri kudanya, kota Jakarta sudah keli-hatan berada di depan. Hati Sangaji makin berdebar-debar. Willem membawanya lari menuju ke Jakarta.
36 DI PANGKUAN BUNDA TIDAKLAH PERLU DICERITAKAN berke-panjangan betapa mengharukan pertemuan itu. Rukmini
lantas saja memeluk Sangaji erat-erat. Kini tak bisa lagi ia menciuminya seperti dahulu, karena Sangaji sudah menjadi jejaka dewasa yang berperawakan kekar dan gagah luar biasa.
Sebaliknya kena peluk Rukmini, Sangaji merasa dirinya kecil. Di luar kemauannya sendiri, terbersitlah rasa kekanak-kanakannya. Tahu-tahu ia menyesapkan kepalanya ke dada ibunya
bagaikan seekor anak ayam mencari perlindungan di bawah sayap induknya.
"Ibu! Aku pulang!" katanya terengah- engah.
Semenjak kanak-kanak tak pandai ia me-nyatakan perasaannya, sehingga gumpalan-gumpalan
perasaannya hanya tercetus dalam sederet kalimat sependek itu. Dan ia mengulangi entah sudah berapa kali. Tetapi Rukmini merasakan suatu kehangatan yang luar biasa menggetarkan dadanya.
"Anakku..." katanya sesak. "Dua tahun engkau pergi. Rasanya aku kehilangan dirimu hampir seabad." la berhenti menyeka air mata. Meneruskan, "Saban malam aku memimpikan engkau, untuk dua tiga kali. Kau... kau... kau begini tumbuh besar melebihi... melebihi ayah-mu...
Bibir Rukmini bergemetar tatkala meng-ucapkan kata-kata yang penghabisan itu. Air matanya meruap deras dan pelukannya ber-tambah menjadi kencang, la tak tahu sendiri, apakah hatinya bergembira"bersyukur"ter-haru atau berduka.
Wanita memang tak mudah menghilangkan sesuatu kenangan. Apa lagi suatu kenangan yang
menggores lubuk hati. Ia bisa menjadi pelit, malah. Maka bayangan Made Tantre suami dan ayah Sangaji yang dicintai dengan segenap hatinya berada di depannya. Di antara kelopak matanya yang basah dan perawakan Sangaji yang jadi samar-samar.
Sangaji meskipun tak pandai menyatakan perasaan, tahu membaca perasaan ibunya. Itulah
pula sikap yang dibawanya manakala menghadapi Titisari, Nuraini, Sanjaya, kedua gurunya dan orang-orang tua lainnya. Karena itu dengan sabar ia membiarkan ibunya me-ruapkan perasaannya sepuas-puasnya. Apabila pelukan ibunya mulai terasa longgar, ia menarik kepalanya dengan perlahan-lahan. Kemudian dengan menggandeng tangan ibunya, ia membawanya duduk di atas
dipan ) panjang. Pada hari-hari berikutnya Rukmini penuh dengan ceritera petualangan Sangaji. Hatinya ikut berdebaran apabila Sangaji berada dalam adegan yang menegangkan dan bersyukur setinggi
langit manakala anaknya terlepas dari suatu mara bahaya.
Tatkala sampai pada nasib Wayan Suage dan Sapartinah, ia tertegun seperti kehilangan dirinya sendiri. Hatinya jadi kecewa dan mas-gul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untung Sangaji tak pandai berceritera. Apa yang diceritakan sangat sederhana. Banyak
ungkapan-ungkapan rasa hidup yang dilalui atau dilompati dengan begitu saja, sehingga tak beda dengan seorang anak menghafalkan sejarah di depan kelas. Walaupun demikian keadaan hati
Rukmini yang sederhana meng-alami kegoncangan dahsyat.
"Bagaimana bisa jadi begitu" Bagaimana bisa jadi begitu?" ia berbisik berulangkali.
Hal itu bisa dimengerti, karena hati-dan pandangan hidupnya terlalu sederhana. Sebagai
seorang isteri pahlawan dari Bali, sedikit banyak ia mewarisi pandangan dan sikap adat
keagamaan Bali di kala itu. Dia bisa menerima bahwa seorang isteri wajib menyertai suaminya ke alam baka, manakala suaminya wafat, dengan jalan menerjunkan diri ke dalam unggun api
pembakar mayat. Itulah sebabnya pula, ia memuja suaminya seperti dewa. Kalau saja ia tidak dibawa lari oleh Kodrat dan direpoti oleh masa depan anaknya pastilah ia sudah membiarkan dirinya terbakar hidup-hidup di samping jenazah suaminya tatkala rumahnya kena bakar anak buah sang Dewaresi.
"Jadi Tinah sekarang sudah menjadi Raden Ayu2) Bumi Gede?" ia menegas.
Sangaji mengangguk. Dan ia tak lagi men-cari keyakinan yang lain.
"Lantas bagaimana pamanmu?" ia meng-alihkan persoalan.
"Paman Wayan Suage hanya mewarisi ini," jawab Sangaji.
"Mewarisi apa?"
"Kecuali aku diharuskan membawa Ibu pulang ke kampung, aku diwajibkan merawat pusaka ini dengan baik," kata Sangaji seraya membuka kantongnya.
Melihat kedua pusaka sakti, Rukmini meng-gigil di luar kehendaknya sendiri. Dengan wa-jah berubah hebat, ia berkata, "Apa artinya ini?"
"Inilah pesan Paman Wayan Suage, agar aku selalu membawanya ke mana aku pergi."
"Tidak"Tidak! Kau tak boleh menyentuh kedua benda terkutuk itu! Itulah benda pangkal bencana yang sudah menyita nyawa ayahmu dan pamanmu Wayan Suage," tungkas Rukmini.
"Aku lebih senang, bila kaulemparkan saja ke luar jagat ini! Firasatku berkata, bencana baru akan datang lagi... Anakku! ... Dengarkan kata ibumu ini!"
Sangaji tertegun. Sebab apa yang dinya-takan ibunya sedikitpun tak salah. Bukankah gurunya Wirapati dan dia sendiri hampir-hampir tewas oleh masalah perebutan kedua pusaka itu pula"
Teringat akan hal itu, teringatlah pula dia kepada Titisari. Dan teringat kepada Titisari dengan sendirinya tersadar pada masalah yang bakal dihadapi. Itulah masalah Sonny de Hoop. Bulu kuduknya meremang tak setahunya sendiri. Apa inilah bencana baru yang diramalkan ibunya"
Pada dewasa itu, ucapan rasa yang meletup dari perbendaharaan seorang ibu hampir sama
tuahnya dengan sabda gaib sendiri. Maka dengan hati-hati Sangaji berkata, "Ya, Bu. Tetapi kedua pusaka ini meskipun sudah diwariskan Paman Wayan Suage kepadaku sesungguhnya bukan
milikku penuh-penuh. Bukankah yang satu tetap menjadi milik dan haknya Dinda Sanjaya" Malah dengan tak sengaja aku sudah membaca dan mewarisi ilmu sakti dari guratan keris Kyai
Tunggulmanik. Karena itu, biarlah kuserahkan semuanya kepadanya. Seumpa-ma pusaka Bende
Mataram ini sebagai alat pembayaran atas kelancanganku. Manakala Dinda Sanjaya menyetujui anjuran Ibu, biarlah dia yang membuangnya. Sebaliknya bila dia ingin memiliki, semenjak itu bukankah aku tak tahu menahu lagi" Dengan demikian, berarti aku tahu berterima kasih. Sebab sesungguhnya, pusaka sakti ini sudah ikut menyumbangkan suatu saham besar dalam diriku."
Setelah berkata demikian, dengan singkat Sangaji mengisahkan riwayat penemuan garit-garit ) rahasia yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Sedangkan garis-garis rahasia yang berada pada pusaka Bende Mataram sama sekali belum diketahui.
Mendengar ujar Sangaji, Rukmini mengeluh. Benar-benar ia tak beragu lagi menyatakan
firasatnya. Katanya, "Anakku kalau sifat bendanya saja sudah bisa menerbitkan bencana apa lagi isinya."
"Dan engkau apa sebab sudah mereguk isi-nya" Sekarang apa yang harus Ibu lakukan" Ah bencana! Bencana."
Sederhana pengucapan Rukmini. Tetapi justru oleh kesederhanaan itu terasa sekali betapa
dahsyat pengaruhnya. Tak terasa wajah Sangaji berubah hebat. Dia merasa diri seolah-olah bencana itu sudah mulai bekerja. Itulah masalah Sonny de Hoop.Teringat hal itu terloncatlah perkataannya:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu sebenarnya aku sendiri tiada bernafsu untuk mempelajari rahasianya. Begini..."
Ia menceritakan kembali pengalamannya selama di benteng batu. Kemudian menge-sankan,
"Dan Titisari meyakinkan aku agar aku mempelajarinya. Katanya itulah satu-satunya jalan kalau aku ingin menuntut dendam Ayah. Tahukah Ibu siapakah pembunuh Ayah dahulu" Dialah suami
Bibi Sapartinah sekarang. Pangeran Bumi Gede."
"Kau berkata apa" Suami Sapartinah?" tungkas Rukmini.
"Itulah pembunuh Ayah. Dialah suami Bibi dan ayah angkat Dinda Sanjaya," sahut Sangaji.
Rukmini terpaku seperti kena pukau. Ia tak berkata sepatah kata, tapi wajahnya menjadi pucat.
Perlahan-lahan ia menundukkan kepala. Dan lama ia berdiam diri. Tatkala menegakkan pandang lagi, wajahnya kian menjadi pucat.
Hebat penanggungan Rukmini. Semenjak suaminya terbunuh, tak dapat ia melupakan wajah
dan perawakan pembunuh itu meski sedikitpun. Setiap kali ia mengesankan dan meresapkan lagu balas dendam ke dalam sa-nubari anaknya. Di luar dugaan, ternyata pembunuh itu kini menjadi suami Sapartinah.
"Mustahil! Mustahil!" ia berkomat-kamit. "Masakan Tinah sudi menerima cinta kasih musuh besarnya. Ah Mustahil! Mustahil..."
Rukmini jadi kebingungan seperti seorang kehilangan tiang agungnya dengan tiba-tiba. Setiap kali mulutnya melepaskan kata-kata mustahil, telinganya menjadi pengang sehing-ga ia merasa akan jatuh pingsan.
Sudah barang tentu keadaan Rukmini tidak terluput dari pengamatan Sangaji. Pemuda itu
menjadi resah berbareng gugup. Segera ia memeluk ibunya dan terus menyalurkan hawa
murninya. Kemudian ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ibu! Tadi aku menyinggung nama Titisari, bukan" Biarlah kukabarkan siapa dia sebenarnya."
Dengan sekuasa-kuasanya ia mewartakan diri Titisari, betapa gadis itu sering meno-longnya. Ia mulai mengisahkan riwayat perke-nalannya di Cirebon sampai peristiwa di ben-teng kuna. Namun tidak menyinggung tentang hubungan yang sesungguhnya, karena kha-watir akan menambah
kesusahan ibunya. Di luar dugaan ibunya tiada menaruh perhatian seperti yang dikehendaki. Bahkan seolah-olah tidak mendengarkan. Pada suatu saat Rukmini merenungi, kemudian memotong pembicaraan
dengan tiba-tiba.. "Aji! Apakah engkau sudah... melaksanakan tugas ayahmu?"
Sangaji kaget mendengar pertanyaan itu, meskipun semenjak meninggalkan padepokan
Gunung Damar sudah mempersiapkan jawab-annya. Dilihatnya wajah pucat lesi. Bibirnya
bergemetaran. Dan suatu warna kehijau-hijauan mulai memasuki kedua pipi dan dahinya.
Seperti kena pandang suatu kekuatan gaib, Sangaji meruntuhkan kepalanya. Dalam
kebimbangannya timbullah suatu keputusan yang menyakitkan hatinya. Ia harus mengakui dirinya tak becus melaksanakan tugas suci. Meskipun kejadian itu bertalian dengan peristiwa Sonny de Hoop yang mengharuskannya cepat-cepat balik pulang ke Jakarta karena sudah melampui batas waktu.
"Ayah dinda Sanjaya sangat mulia," katanya hati-hati. "Ia berwibawa pula dan memiliki laskar melebihi jumlah kompeni."
"Aji, engkau sudah melaksanakan tugas ayahmu?" potong Rukmini.
"Aku.,, aku..." Sangaji tergagap-gagap. "Ibu anakmu ini tiada mempunyai daya guna."
"Jadi belum?" potong Rukmini lagi.
Tak kuasa lagi Sangaji melepaskan kata-kata. Hatinya sangat pedih. Dua tahun yang lalu ia berangkat meninggalkan kota Batavia (Jakarta) dengan maksud menuntut dendam. Ternyata
hasilnya nihil. Bukankah masa bepergian yang sia-sia belaka" Memikir demikian hampir saja ia benci kepada dirinya sendiri.
Rukmini tak perlu menunggu ketegasannya lagi. Melihat Sangaji sudahlah dia bisa mene-bak sembilan bagian.
"Jadi belum" Syukurlah! O Tuhan yang Ma-ha Besar!" katanya setengah memekik. Sete-lah berkata demikian benar-benar kini ia jatuh pingsan.
Tak tahu Sangaji, apakah sebenarnya yang berkecamuk dalam dada Rukmini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
la melihat ibunya kehilangan kesadarannya. Ia kaget berbareng heran. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi kata: syukur. Ibunya mengucap rasa syukur. Kepada siapa" Dan apa
sebab" Rukmini sendiri tak pernah menjelaskan. Ia rebah selama lima hari lima malam, ia bukan sakit, tetapi sendi-sendi tulangnya seperti ter-lolosi. Kuyu ia merenungi dirinya dengan memejamkan mata. Hatinya tergoncang hebat.
Tatkala mendengar pernyataan Sangaji bahwa tugas suci itu belum dilaksanakan, hatinya
penuh syukur berbareng kecewa. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri-sendiri yang sama kuat dan sama pula dahsyatnya.
Lima belas tahun lamanya ia dibakar den-dam. Dan tiap orang tahu makin diri merasa lemah makin besar gelora pembalasan den-dam. Tiba-tiba kini ia tak bisa lagi melak-sanakan angan itu, yang dipandangnya seba-gai tugas suci demi arwah suaminya. Itulah disebabkan, karena
pembunuh terkutuk itu sudah menjadi suami Sapartinah. Dan ini merupakan suatu pukulan hebat baginya.
Betapa tidak" Seumpama Sangaji melak-sanakan tugas suci itu entah esok entah kelak
akibatnya lebih dahsyat. Bukankah Sapartinah bakal hidup merana" Dia sendiri oleh kemurahan Tuhan mendapat perlindungan Mayor de Hoop. Sebaliknya, siapakah yang bakal merawat sisa
hidup Sapartinah" Rukmini perempuan yang berhati sederhana itu tak bisa membayangkan dan tak bakal
memperoleh suatu gambaran, bahwa andaikata Sapartinah betul-betul sudah jadi janda akan
mendapat pasarannya sendiri. Sebab Sapartinah sekarang bukanlah Sapartinah yang dahulu.
Meskipun masih berhati mulia, tetapi, sudah bertambah molek, la seumpama sekuntum bunga di padang belantara sudah terangkat di atas pot porselin dan berada di tengah ruang yang serba bersih serta mentereng. Tubuhnya yang molek terawat baik dan tumbuh kian subur. Tidak
sembarang orang dapat menghampiri. Karena kini sudah berhak menyematkan tataran Raden Ayu, tak ubah putri seorang Pangeran. Maka tidaklah mengherankan, bahwa dia bisa menggoyahkan langit dan bumi jantung pangeran-pangeran lainnya. Diam-diam mereka mulai menaksir-naksir.
Karena itu sekiranya Raden Ayu Sapartinah benar-benar menjadi janda tidaklah usah dia
mengenakan pakaian berkabung lebih dari tiga bulan. Asalkan berkenan saja, siapa saja bersedia menjadi hambanya.
Di atas pembaringan, Rukmini mencoba berpikir perlahan-lahan. Mengeluh sering, "Ma-de Tantre! Aku gagal. Engkau pasti menanggung duka abadi." Dan teringat penanggungan suaminya di alam baka, ia menggigil tak setahunya sendiri. Rukmini percaya akan hal itu. Arwah-arwah di alam baka berperasaan dan hidup seperti di alam ramai. Berduka dan bersyukur. Bersedih dan bergembira. Dan kegagalan ini semua, bukankah suatu malapetaka terkutuk"
Diam-diam ia mulai meruntuhkan kesalahan ini kepada dua benda sakti yang kini dibawa-bawa Sangaji. Itulah bibit bencana yang tidak hanya menghancurkan kesejahteraan keluarganya di dunia saja tapi sampaipun menjamah di alam baka. Alangkah terkutuk.
Ancaman hebat yang bersembunyi di balik kedua pusaka sakti itu, bagi Rukmini bukan
merupakan ceritera takhayul belaka. Sebentar atau lama pasti terjadi. Ia yakin seyakin-yakinnya.
Soalnya sekarang, "Apa yang harus dilakukan?"
Pada hari yang keenam ia mulai melampui masa krisis. Ruang benaknya lambat laun jadi
bersih. Ia mulai bisa berpikir. Perasaannyapun mau pula meraba hatinya yang tidak lagi sekeruh kemarin.
Teringatlah dia, Sangaji baru saja pulang dari perantauan. Anak itu tak pandai me-masak. Siapa yang merawatnya selama ini" Oleh besarnya cinta kasih ia sampai tak memasukkan dirinya dalam persoalan itu. Ia mencoba menguasai diri. Tertatih-tatih ia bangkit. Tatkala melemparkan pandang ke tepi pembaringan, ia heran. Sebuah kursi berada di dekatnya. Dan diatasnyapun nam-pak sebuah niru penuh makanan. Di sisinya berdiri sebuah gelas panjang berisi susu sapi segar.
Dalam keheranannya ia melemparkan pan-dang ke pintu. Sangaji sudah berada di tempat itu.
"Ibu sudah bangun. Apakah Ibu mem-butuhkan sesuatu" Biarlah aku yang mengambilnya,"
katanya girang. Dengan cekatan Sangaji menyambar niru dan duduk di tepi tempat tidur. Sudah lima hari
Rukmini berbaring dengan memejamkan mata. Selama itu, tiada kemasukan sebutir nasi atau air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setegukpun. Sekarang Rukmini sudah bisa duduk. Keruan saja hati pemuda itu girang bukan
kepalang. Ia mengira ibunya perlu menelan nasi atau seteguk air. Karena itu segera ia hendak meladeni.
Rukmini tersenyum lemah seraya mengge-leng kepala. Katanya, "Masakan Ibu membu-tuhkan pelayananmu?"
"Tapi Ibu belum..."
"Nanti Ibu akan mengambil sendiri. Kau tak usah cemas. Ibu sudah sehat kembali, meski-pun agak pusing."
"Kalau begitu biarlah Ibu berbaring dan aku akan menyuapi."
Rukmini tertawa lemah. Katanya, "Kau dahulu, aku yang menyuapi makanmu. Sekarang engkau sudah begitu dewasa, tapi masih ingin aku menyuapimu untuk pada hari esok, lusa dan selama-lamanya."
"Akh... Ibu," hati Sangaji tergetar. Ia me-letakkan niru dan terus memeluk ibunya.
"Akh! Jangan kencang-kencang!" Rukmini menyanggah.
Senang Sangaji mendengar sanggahan itu. Itulah suatu tanda, bahwa hati ibunya sudah
menjadi ringan. Ia tetap memeluknya. Terasa dalam hati alangkah lemah. Ia jadi terharu. 'Dalam keharuannya terlintaslah bayangan ibu Sanjaya yang montok, padat dan subur. Dibandingkan dengan keadaan ibunya, sangatlah jauh berlainan. Dan ia jadi bertambah terharu.
Sangaji kini sudah bukan Sangaji dua tahun yang lalu. la sudah melihat dunia. Secara wajar sudah pandai mengadakan perbandingan.
"Ibu! Aku selalu membuatmu susah, dan membuat Ibu kecewa... sampai Ibu tidak ber-gerak selama lima hari lima malam."
"Lima hari lima malam?" Rukmini ter-cengang.
"Nah, Ibu sampai pula tak percaya sendiri."
"Sekarang waktu apa" Cobalah buka jen-dela!" tungkas Rukmini.
Sangaji bergegas membuka jendela. Suatu cahaya cerah menusuk dalam kamar. Dan dengan
melindungi suatu kesilauan, Rukmini berseru.
"Masya Allah! Pagi hari?"
"Ya... Pagi hari yang ke enam."
Rukmini mengeluh. Dengan pandang haru ia menatap wajah anaknya. Berkata, "Dan selama itu engkau di mana?"
"Merawat Willem dan menjenguk Ibu," sahut Sangaji sederhana.
"Willem" O... Willem kudamu," Rukmini tertawa dan berkata lagi, "Kau sudah bertemu dengan kakakmu Willem?"
Sangaji menggelengkan kepala.
"Kenapa?" "Bukankah Ibu sedang sakit" Lagi pula ia sedang berdinas ke luar kota."
"O... begitu" Biasanya setiap dua kali satu Minggu dia datang ke mari." Ia berhenti sejenak.
"Jadi selama lima hari engkau tak bepergian pula" Lantas bagaimana makan minummu?"
Sangaji kembali duduk di samping ibunya seraya menyahut:
"Selama Ibu berbaring, Sonnylah yang menyediakan makan-minum, untukku dan untuk Ibu."
"Sonny" Dia datang ke mari?"
"Tidak dia hanya utusan. Barangkali ia merasa diri akan mengganggu kita berdua. Bukankah masa perantauan selama dua tahun cukup panjang untuk diceritakan kembali" Katanya lewat
utusannya." "Akh... Sonny yang baik."
"Mendengar Ibu sakit, ia mengirimkan se-orang tabib." Sangaji menambahi. "Menurut tabib, Ibu tidak sakit. Apabila masa istirahat sudah cukup, Ibu akan sehat kembali. Ha ... benar juga."
"Sonny yang baik," kata Rukmini lagi. "Kau beruntung anakku, mendapat seorang isteri yang baik. Karena itu makin tebal keputus-anku: Aku akan menyuapimu untuk selama-lamanya.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan begitu, tak usahlah engkau bersusah payah mematuhi pesan pamanmu Wayan Suage
untuk membawa Ibu pulang ke kampung halaman."
Mendengar ujar Rukmini berubahlah wajah Sangaji. Cepat-cepat pemuda itu melem-parkan
pandang ke jendela. Dengan demikian Rukmini tak mengetahui kesan wajahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aji! Coba tolong Ibu berdiri! Lima hari tak melihat dapur, rasanya begini lama," kata Rukmini.
Dengan berdiam diri Sangaji menolong ibu-nya turun dari tempat tidur.
Malam itu Sangaji resah di atas tempat tidurnya. Ia bersyukur, ibunya sudah nampak sehat kembali. Tetapi teringat ucapannya me-ngenai Sonny de Hoop, hatinya berdegup.
Ia rebah terlentang merenungi atap, sambil mencoba memecahkan soal itu.
"Celaka... betapa Ibu mengerti persoalan hatiku. Sonny seolah-olah sudah ditetapkan menjadi isteriku. Dan biasanya Ibu tidak mengharapkan sanggahan."
Teringat cara berpisahnya dengan Titisari di Cirebon hatinya sakit. "Ke mana dia pergi" Mustahil dia pulang ke Karimunjawa."
Ia kenal watak Titisari seperti bagian dari tubuhnya sendiri. Adatnya keras, liar dan mau menang sendiri. Tetapi anehnya justru warisan watak ayahnya itulah yang menambat hatinya. Ia merasa diri seakan-akan wajib menyertainya barang ke mana dia pergi, bagaikan bingkai dengan lukisannya. Tanpa dia di sampingnya, pastilah Titisari bisa berbuat sesuatu yang tak diharapkan.
Semakin dipikir, Sangaji makin menjadi khawatir. Dan rasa ingin tidur tiada sama sekali.
Perlahan-lahan ia bangun dan setelah merapikan pakaian terus ke luar halaman.
Waktu itu sudah larut malam. Kota dalam keadaan sunyi-senyap. Di atas bintang berge-tar
lembut dan bulan sipit tertutup awan.
Semenjak tiba di Jakarta ia mengenakan celana panjang model terbaru seperti keba-nyakan
pemuda-pemuda anak serdadu pada zaman itu. Dengan demikian ia tidak nampak menyolok.
Seperti diketahui, rumah ibunya kini pindah di kompleks militer, semenjak ia merantau ke Jawa Tengah.
Sesudah melalui penjagaan, ia memasuki bagian pinggir kota. Ia menuju ke suatu gun-dukan tanah. Di sana ia hendak duduk meng-hempaskan diri sambil melepaskan pengli-hatan ke tengah alam tiada berintang. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suatu pembicaraan dari balik unggun batu.
Segera ia melesat menghampiri dengan tak usah khawatir akan diketahui. Ilmu saktinya kini berada di atas tujuh pendekar sakti. Kalau Gagak Seta dahulu bisa mempermainkan dirinya, seperti siluman di sekitar makam lmogiri, apa lagi kemampuannya kini. Meskipun setan sendiri belum tentu bisa mendengar kehadirannya.
"Kosim!" ujar seseorang. "Gusti Amat memerintahkan kita berdua menunggu utus-annya di unggun batu ini. Kau tahu apa sebabnya?"
"Ha... kau seperti bisa menebak suara hatiku. Semenjak tadi aku ingin memperoleh keterangan darimu."
"Baik! Kau tahu pula apa sebab unggun batu ini bernama Rababa Tapa?"
Toha kau jangan main teka-teki! Aku orang udik dari Banten, masakan tahu perkara batu
peninggalan segala?" kata Kosim setengah menyesali.
Tetapi Toha tidak segera memberi ke-terangan. Ia berbicara memutar, "Gusti Amat memang manusia luar biasa. Sekiranya aku memiliki kepandaian seperti dia... huh... huh! Akan kulabrak Kompeni Belanda seorang diri. Mengapa" Karena dia memiliki suatu karunia alam yang jarang dimiliki seseorang. Barang-kali nama unggun batu Rababa Tapa adalah nama samarannya. Kau pernah bertemu muka dengan beliau?"
"Belum. Aku hanya mendengar kabar ten-tang perawakannya. Sedang tetapi gesit."
"Benar. Itulah beliau," sahut Toha. "Kompeni boleh mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari dia. Tetapi aku berani bertaruh, sampai cucunya beruban takkan mampu. Kau percaya tidak."
"Kalau tidak sedari dulu percaya, masakan aku sudi mengabdikan diri?" tungkas Kosim. "Tetapi tolong terangkan apa sebab unggun batu ini bernama Rababa Tapa!"
"Itulah singkatan nama dari Ratu Boang dan Kyai Tapa," kata Toha dengan suara bangga.
"Itulah pemimpin pemberontakan Banten. Dan Kyai Tapa adalah gurunya. Menurut kata orang, kerajaan Banten semenjak kemasukan janda serdadu, menjadi kerajaan boneka. Hidup tidak
matipun tidak." "Kau maksudkan permaisuri Ratu Fati-mah?" potong Kosim. "Siapa lagi kalau bukan dia.
Bukankah Ratu Fatimah bekas isteri Letnan VOC" Nah, dengan ilmu iblisnya dia berhasil memikat hati Sultan. Setelah Sultan mabuk dia minta bantuan kompeni agar Sultan diasingkan dengan dalih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengadakan permusuhan dengan pihak Belanda. Terang ini suatu fitnah! Maksud sebenarnya,
hendak menyembunyikan perbuatan mesumnya dengan menantunya sendiri."
"Sepak terjangnya memang mengherankan orang," potong Kosim dengan suara masgul. "Yang saya herankan, apa sebab narapraja tiada mengadakan suatu pembelaan."
"Ratu Fatimah adalah anak setan. Kau tahu?" sahut Toha cepat.
"Semenjak ia mengerti Sultan menjadi anjingnya mulailah dia berbisik-bisik bahwa Sultan sesungguhnya mempunyai penyakit gila. Tentu saja untuk menguatkan fitnah itu, ia sudah
mempersiapkan bukti-bukti lengkap. Dia menyarankan bahwa demi kesejahteraan negara,
sebaiknya menantu Sultan dilantik menjadi Sultan. Entah bagaimana sebabnya, saran itu diterima.
Dan setelah Sultan tua ditendang ke luar negeri dan Sultan baru naik tahta, sekaligus dia menjadi malaikat perem-puan. Sebab dengan begitu, bukankah dia lantas menjadi penguasa tunggal tanpa tandingan" Dari Sultan tua dia berhak menerima warisan sebagai permaisuri syah. Dan dari menantunya yang kelak menjadi suaminya pula, menerima kekuasaan penuh. Sebab si menantu
selain merasakan manisnya madu,merasa pula berhutang budi kepadanya. Bukankah tahta
kerajaan datang dari dia?" )
"Kemudian muncullah Ratu Bagus Boang."
"Ya, Ratu Bagus Boang."
"Hanya sayang, kini tiada kabar beritanya lagi."
"Ha... kau salah," tungkas Toha dengan suara bergelora. "Kau pendekar dari Banten, masakan tak pernah mengenal pemimpin besarmu?"
"Itulah sebabnya, karena aku orang udik," sahut Kosim dengan mengeluh. Dia agak menyesali diri. Kemudian meninggikan suara, "Apakah engkau mempunyai rejeki besar untuk mengenal beliau?"
"Kalau engkau saja tidak pernah mengenal, apalagi aku orang Sunda Kelapa."
"Jika demikian apakah alasanmu menya-lahkan aku?"
"Ini disebabkan, karena Gusti Amat meng-gerakkan kita untuk menolong Panembahan
Tunjungbiru. Bukankah kau masih ingat, nama Panembahan Tunjungbiru semasa mudanya"
Dialah pahlawan Otong Darmawijaya. Pendekar besar pada zaman itu."
Mendengar disebutnya nama Ki Tunjung-biru, hati Sangaji terkesiap. Siapakah mereka itu"
tanyanya di dalam hati. Apakah mereka sudah mendapat kabar di manakah Ki Tun-jungbiru
berada dan kini diam-diam hendak menolongnya"
Ini bukan pekerjaan gampang.
"Hai, bukankah Ki Tunjungbiru salah se-orang sahabat Ratu Bagus Boang?" seru Ko-sim.
"Itulah alasanku," ujar Toha. "Menolong ke-susahan adalah termasuk darma orang-orang semacam kita. Tapi bermusuhan dengan pihak Kompeni bukankah mudah. Salah-salah kita
mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Namun Gusti Amat nampaknya tidak menghiraukan. Dengan bersemboyan sekalipun menyeberang lautan golok harus ditempuh demi membebaskan
Panembahan Tunjungbiru dari cengkeraman Kompeni, bukankah membuktikan bahwa Gusti Amat
sesungguhnya pahlawan Ratu Bagus Boang?"
"Menilik kita berdua diperintahkan menunggu utusan beliau di unggun Batu Rababa Tapa, hatiku bertambah yakin. Sebab sekitar batu milah beliau bertempur yang penghabisan kali
melawan musuh besarnya. Kemudian meng-iang dengan tiada beritanya lagi..."
Perkataan Toha terputus oleh suatu suara. Dari sebuah ketinggian tanah terdengar tepukan tangan tiga kali. Toha segera mem-balas bertepuk tangan tiga kali pula.
Sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak di depan mereka dan berkata, "Gusti berpesan kalian tak usah menunggu lagi. Ka-lian diharapkan agar berkumpul di alamat ini!"
Orang itu mengeluarkan saputangan bersu-lam, kemudian berkata lagi, "Dalam sepuluh hari lagi kalian harus sudah berkumpul dengan yang lain pada suatu tempat di barat daya. Kelak akan ditentukan pembagian tugas. Yang penting beliau mengharap agar jangan bertindak sendiri-sendiri."
Setelah menerima saputangan bersulam, orang itu melesat lagi dan hilang dalam kege-lapan.
"Tempat di barat daya" Di manakah itu?" Kosim minta keterangan kepada kawannya.
Sangaji melihat Toha membisikkan sesuatu. Kemudian mereka menuruni gundukan de-ngan
berkata berbisik- bisik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepuluh hari lagi, hati Sangaji memukul. Apakah Ki Tunjungbiru sudah dibawa masuk ke kota"
Sangaji menghitung-hitung masa keberang-katannya dari kamp Kompeni. Teringat Sonny sudah di dalam kota lima hari yang lalu, maka besar dugaannya bahwa Ki Tunjungbiru pada saat itu sudah berada pula di Jakarta.
Maling Budiman Berpedang Perak 3 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 4
ia melesat memasuki kota sambil memukuli dirinya sendiri. Hatinya memaki-maki sepan-jang jalan, menyesali keteledorannya, la berputar-putar dari tempat ke tempat lain. Semua penginapan diaduknya. Juga rumah-rumah Tionghoa dan perkampungan yang dicurigainya. Karena
gerakannya sangat gesit tak seorangpun mengira, bahwa dia manusia lumrah yang terdiri dari darah dan daging.
Akhirnya menjelang petang hari, deru hatinya mulai mereda. Perlahan-lahan ia kembali ke tepi sungai. Mau ia menduga, bahwa Titisari lagi mempermainkan dirinya. Tetapi sampai petang hari Titisari benar-benar tak menampakkan batang hidungnya.
Dengan hati luluh ia duduk bersimpuh di tepi sungai. Seluruh tenaganya seperti terlolosi.
Dengan pandang nanar, ia merenungi arus sungai dan meredup berbareng dengan lenyapnya
sinar matahari. "Titisari! Kau tahu, aku ini seorang pemuda tolol. Kalau saja aku mengerti hatimu, masakan aku sampai tertidur seperti kerbau?" ia menyesali diri sendiri.
Willem yang ikut tersiksa sepanjang hari, bergerak berputaran mencoba merenggutkan tali
pengikat. Teringat akan binatang itu, Sangaji menghampirinya. Kemudian ia ber-jalan tanpa tujuan sambil menggenggam tali kekang. Setiap kali ia melihat kerumunan orang, ia segera menghampiri mencari Titisari. Namun usahanya sia-sia belaka.
Demikian pada suatu hari, ia tiba di sebuah kecamatan. Waktu magrib, nampaklah sebuah desa terlindung di dekat petak rimba yang sangat lebat. Di belakang rimba itu berdiri sebuah bukit panjang. Di sisinya tergelar petak-petak sawah yang sedang menghijau. Kesannya aman tenteram.
"Meskipun dusun ini sangat terpencil, tetapi kalau hidup di samping Titisari alangkah senang,"
pikir pemuda itu. ia menghampiri sebuah rumah bertangga bambu. Belum lagi ia memasuki
pekarangan, pendengarannya yang tajam mendengar tangis seorang wanita, la jadi keheranan.
Masakan di tengah kedamaian ini ada suara tangis, ia menduga-duga.
"Agaknya pemilik rumah ini sedang berduka cita. Tak dapat aku mengganggunya. Baiknya aku mencari penginapan lain saja." la memu-tuskan dalam hati.
Tetapi yang berada dalam rumah mende-ngar tapak Willem. Dengan gerakan meng-hentak,
daun pintu terjeblak. Dan muncullah seorang wanita tua berambut ubanan dengan menggenggam sebatang tongkat besi. Perawakan wanita itu kurus tipis. Punggung-nya melengkung kena makan usianya yang sudah lanjut. Dia berdiri dengan kaki terbuka. Lalu berteriak nyaring, "Majikan anjing! Aku sudah bilang, suamiku baru saja mati. Tubuhnya belum lagi kering. Masakan aku tak kau beri kesempatan untuk membayar segala hutang suamiku" Kau tahu, aku tak punya apa-apa.
Yang kumiliki hanya seorang cucu perempuan. Kalau kau mau merampas dia untuk membayar
hutang suamiku, biarlah selembar nyawaku kuserahkan kepada-mu.
Sangaji heran. Ia segera tahu, bahwa wanita tua itu salah duga. Maka cepat-cepat ia melompat turun sambil membungkuk hor-mat. Berkata hati-hati, "Nenek. Aku hanyalah seorang pelancong yang kebetulan tersesat di sini. Niatku tadi hendak bermalam di sini. Kalau nenek lagi mempunyai suatu urusan, biarlah aku mencari tempat penginapan lain."
Wanita tua itu memandangnya dengan hati limbung. Begitu yakin tetamunya bukan manusia
yang dibencinya, segera ia meletak-kan tongkat besinya. Kemudian membalas hormat dengan
takzim. "Maafkan aku, Tuan. Mataku memang sudah lamur. Mulutku lagi nerocos tak keruan pula,"
katanya penuh sesal. "Kalau Tuan tidak jijik, silakan menginap di sini. Hanya saja, aku tak bisa menyediakan sesuatu yang pantas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mengucap terima kasih, lalu ia me-ngeluarkan segenggam uang dan diserahkan kepada wanita tua itu. Sewaktu hendak memasuki rumah, matanya melihat seonggok rumput muda yang berada di pojok serambi depan.
"Siapakah yang mencari rumput itu?" tanyanya.
Wanita tua itu yang tengah bersyukur karena kejatuhan rejeki tak terduga, segera menjawab dengan gembira.
"Itulah Neneng, cucuku perempuan. Sedianya rumput itu kami sediakan untuk kuda majikan.
Tapi bangsat itu terlalu memuakkan. Kalau kuda Tuan membutuhkan biarlah rumput itu
kupersembahkan kepada Tuan."
Setelah berkata demikian, ia menghampiri onggokan rumput. Sangaji segera menyang-gah, la sendiri lantas membawa rumput itu. Kemudian barulah dia memasuki rumah.
Ternyata rumah itu bersih sekali. Karena itu rasa heran Aji bertambah-tambah. Dan baru saja ia duduk, didengarnya suara derap beberapa kuda memasuki pekarangan. Empat orang yang
bercokol di atas kudanya masing-masing terdengar membentak-bentak. Sangaji mengintip dari celah dinding. Ternyata yang datang seorang bertubuh kekar dengan tiga orang serdadu Indo.
Orang itu lantas membentak dengan bengis:
"Hai bangsat janda Karim! Kau bayar tidak tunggakan suamimu lima ringgit" Kalau tidak, serahkan cucu perempuanmu!"
Yang berada di sampingnya itu, pula ikut berbicara: "Kau dengar" Majikanmu sudi
mengampuni. Tapi aku, tidak. Kau serahkan atau tidak, cucu perempuanmu bakal jadi gundikku."
Gertakan itu dibarengi dengan lecutan ce-meti memukul atap rumah. Kena lecutannya, empat buah genting runtuh dengan berisik.
Wanita tua itu tidak meladeni gertakan mereka. Dengan tertatih-tatih ia memasuki kamar dan terdengar ia berkata pedih.
"Neng! Larilah kau lewat pintu belakang! Bersembunyilah di dalam rimba, ini, aku mempunyai uang hadiah dari tamu kita. Bawalah dan jadikan bekal hidupmu. Aku sendiri sudah malas hidup kelamaan di jagat ini..."
Segera terdengar suara seorang gadis.
"Nek! Mari kita mati bersama. Untuk apa aku memperpanjang umur" Ayah bundapun tiada lagi..."
"Lari! Lekaslah lari! Kau jangan ikut kese-tanan!" Hardik neneknya dengan memban-ting-banting kakinya. "Cepat, agar tak terlam-bat! Majikan bangsat itu ternyata membawa tiga serdadu sewaan."
Hampir berbareng dengan titik ucapan itu, nampaklah seorang gadis berbaju hijau keluar dari kamar. Gadis itu menggenggam tangan neneknya erat-erat. Mukanya kuyu dan kelopak matanya tergenangi sepercik air mata. Dan melihat gadis itu, hati Sangaji terkesiap. Ternyata raut muka gadis itu mengingatkan kepada kesan muka Nuraini.
"Lepas, lepas!" neneknya menyesali. "Biarlah aku menghadapi mereka, sementara kau lari lewat pintu belakang! Cepatlah!"
Tetapi pintu depan telah kena dobrak dari luar. Dan berbarengan dengan menjeblaknya pintu, keempat penunggang kuda itu melom-pat hampir berbareng ke ruang dalam. Mereka terus saja mengepung kedua perempuan itu. Dan majikan yang bertubuh kekar itu lalu memukul si
perempuan tua. la menjambak rambut dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menangkap
pinggang Neneng hendak dipeluknya.
Neneng ketakutan. Sekujur tubuhnya menggigil sehingga kehilangan sebagian tenaganya. Mau ia menjerit, tapi mulutnya seperti terbungkam.
Sangaji mengamat-amati keempat penung-gang kuda. Melihat dandanannya ketiga ser-dadu
itu, terang bukan serdadu gadungan. Ia jadi teringat kepada keterangan Titisari, bahwa orang itu di Cirebon berbuat sewenang-wenang terhadap penduduk. Mereka berani berbuat demikian,
karena memperoleh perlindungan kompeni. Tentu saja dalam hal ini, uang yang banyak berbicara.
Dengan sebat seorang serdadu berhasil memeluk pinggang Neneng. Dengan mata berkilatan, ia berkata mengguruh.
"Janda Karim! Kau tadi dengar sendiri penawaran majikanmu. Beliau menghendaki, kau cepatcepat membayar hutang suamimu yang sudah mampus. Malam ini, biarlah cucumu kami buat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barang tanggungan. Kalau kau sudah membayar tunggakan itu, cucumu bakal kami bebaskan.
Kapan dia dibebaskan, tergantung kepada kesungguhanmu memba-yar hutang. Nah, bilanglah
terima kasih kepa-da majikanmu. Karena kau tak usah memba-yar bunganya...!"
Setelah berkata demikian, dengan penuh kemenangan serdadu itu menyeret Neneng ke luar.
Nenek itu lantas saja memekik tinggi. Dengan menyambar tongkat besinya, ia terus mengejar.
Kemudian menikam sekenanya.
Serdadu itu berkelit sambil mencabut sebuah penggada. Dengan sebat ia memukul tongkat si nenek. Tentu saja perempuan tua itu tak tahan mengadu tenaga. Dengan suara bergelontangan tongkat besinya jatuh ke lan-tai, la mau menyambar lagi. Tetapi serdadu lainnya menendang tulang rusuknya hingga ia roboh terjengkang.
"Eh"tua bangka. Kau banyak bertingkah! Apakah kepalamu ingin kupecah di sini?" ben-tak serdadu itu dengan garang.
Namun perempuan tua itu seperti kalap. Lupa pada tenaga sendiri, ia nekat hendak merebut cucu perempuannya. Ia terus merangkak-rangkak memungut tongkat besinya. Sedianya ia hendak mengemplang sekenanya. Tapi belum lagi tongkat besinya kena raba, tangannya telah diinjak sampai tulangnya berbunyi bergemeletakan. Meskipun demikian, ia tak sudi mengaduh. Bahkan kenekatannya kian menjadi-jadi. Di luar dugaan, ia lalu menubruk dan menggigit kaki. Keruan saja serdadu yang kena gigit me-ngiang-ngiang seperti anjing kena gebuk.
Untung kawannya segera menolong. Dengan tak mengenal kasihan, rahang Nenek
ditendangnya. Dan kena tendangan itu, Nenek terguling. Mulutnya sekaligus mengeluarkan darah kental. Belum lagi ia bisa bangun, serdadu yang kena gigitannya lalu menetaki kepalanya dengan penggadanya.
Sampai di situ habislah sudah kesabaran Sangaji. la merasa diri tak dapat hanya menjadi
penonton belaka. Dasar hatinya sedang murung. Dengan gesit ia mencekik kedua serdadu itu dan dilemparkan ke luar rumah.
"Hai! Siapa kau!" bentak sang majikan berbareng dengan serdadu pengawalnya.
Kedua orang itu lantas saja menikam Sangaji tak menghiraukan ancaman itu. Sekali tangannya membalik, tahu-tahu kedua orang itu jatuh berjungkir balik mencium tanah. Berempat mereka saling bertubrukan dan saling tindih.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baik-nya oleh Nenek. Perempuan tua itu lalu mem-buru
mereka dan menggigit mereka bergan-ti-ganti sampai mulutnya berlumuran darah. Bukan main berisiknya orang mereka. Tatkala hendak membalas memukul, Sangaji menen-dangnya. Dan
kembali lagi mereka berempat terbang ke udara dan jatuh terjerembap bagaikan layang-layang putus.
"Sekarang pergilah tuan-tuan. Cepat, sebelum aku marah benar-benar. Dasar kamu semua bangsa penghisap darah bangsaku. Enyah!" gertak Sangaji.
Tanpa menyahut mereka merangkak-rangkak bangun. Dan menghampiri kudanya seperti lagi
berlomba. Belum lagi sampai sebuah benda bergemerincing menyambar tengkuk mereka.
"Kau terimalah uangmu lima ringgit!" teriak Sangaji nyaring. "Tapi awas! Mulai hari ini ja-ngan kalian ganggu rumah ini. Kalau sampai selembar rambut nenekku runtuh di tanah, keluarga kalian akan kucabuti nyawanya se-orang demi seorang."
Sangaji sengaja hendak menciutkan sema-ngat mereka, sehingga ia menggunakan suara
gunturnya. Tak mengherankan, hati mereka bertambah kecut. Dengan memberanikan diri mereka memunguti uang lima ringgit dan cepat-cepat menghilang dari penglihatan Sangaji.
Melihat mereka kabur dan teringat akan kata-katanya sendiri, pemuda itu jadi puas dan
terhibur. Selama hidupnya baru kali itulah ia menggunakan kata-kata tajam luar biasa. Dan secara kebetulan jatuh kepada mereka pula. Kalau saja Titisari berada di situ, bukankah dia jadi berbesar hati" Gadis itu takkan lagi menyangsikan dirinya seakan-akan hatinya berada di pihak kompeni.
Tidak enteng luka perempuan tua itu. Namun melihat kepergian mereka, ia jadi bersemangat serta bersyukur. Tanpa menghi-raukan tata tingkat pergaulan umum, tiba-tiba dia duduk
bersimpuh di hadapan Sangaji seraya menyembah. Cucunya perempuan tak mau ketinggalan.
Gadis itu berlutut dan bersembah pula kepada Sangaji sambil menyusuti darah neneknya yang terus bercucuran dari mulut dan kepalanya.
"Nek, berdirilah!" Sangaji gugup. "Aku se-muda ini betapa berani menerima sembahmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan tua itu lalu berdiri. Dengan mengisyaratkan cucunya perempuan, . ia segera
meladeni tetamunya. Tak peduli selu-ruh tubuhnya terasa nyeri luar biasa, ia memerlukan
menyediakan air teh. "Tuan! Minumlah teh kami," katanya sete-ngah memohon.
"Tentu akan kuminum," sahut Sangaji melegakan hati Neneng berdiri tegak tak jauh dari meja.
Dengan tersenyum manis ia ikut mempersilakan tamunya minum teh. Kemudian ia
memperkenalkan diri. "Sebenarnya apa sebab mereka menggang-gu Nenek?" Sangaji minta keterangan.
Perempuan tua itu lalu mengisahkan riwa-yatnya. Bahwa di daerahnya masih terdapat orang-
orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap kaum tani. Dengan kekayaan yang mereka miliki dapatlah dikuasai perekonomian daerah itu. Demikianlah maka mereka menghisap dan memeras tenaga kaum tani untuk mengenyangkan perut sendiri. Dengan kekuasaan uangnya, mereka
menyewa tukang-tukang pukul, polisi dan kompeni. Lalu menguasai sawah dan ladang. Mereka pulalah kelak yang menciptakan sistem ijon dan tanam paksa. Dengan begitu, kaum petani seperti jadi binatang-binatang piaraan mereka.
Suami nenek itu yang bernama Karim adalah salah satu korban mereka di antara puluhan ribu petani yang hidup dari sawah dan ladangnya. Waktu mudanya, Karim termasuk golongan priyayi di daerah itu. Karena merasa gaji tak mencukupi ia mencoba hidup bertani. Di desa itu ia mulai mengadu untungnya. Dibelinya sebidang tanah dan beberapa petak sawah. Tetapi seperti nasib petani-petani lainnya, lambat laun ia terlibat dalam hutang. Hal itu terjadi apabila musim panen jelek atau apabila sawahnya terlanda banjir. Dan semenjak itu hidupnya gali lubang tutup lubang.
Anggota keluarganya jadi berantakan. Anaknya laki-laki lalu merantau. Akhirnya mendaf-tarkan jadi serdadu. Bagaimana kabarnya, hanya setan yang tahu. Kini tinggal cucunya perempuan satu-satunya. Namanya Rochaya. Panggilannya Neneng.
"Anak ini agaknya bernasib malang," kata perempuan tua itu bersedih hati. "Emaknya pergi mengikuti suaminya. Dia kuambil semenjak belum bisa beringus."
Setelah berkata demikian ia merenungi Neneng. Berkata lagi, "Belum lagi ia mene-mukan jodohnya, kakeknya sudah masuk liang kubur."
Selanjutnya, Sangaji tak memerlukan keterangan lagi. Orang yang datang bersama tiga
serdadu tadi, terang sekali adalah si lintah darat. Ia sengaja menagih hutang di waktu perempuan tua itu belum habis masa duka citanya. Pikirnya, kalau dia bisa membuatnya bingung dan
terdesak, bukankah bakal menyerahkan cucu perempuannya sebagai barang tanggungan" Kalau
saja Sangaji tak datang di rumah itu, rencana jahat orang itu akan berhasil. Karenanya betapa perempuan tua itu tak merasa berhutang budi kepadanya" Katanya berulang kali mengesankan,
"Besok pagi berkelilinglah ke dusun ini. Tuan akan segera tahu, berapa banyak sudah gadis-gadis yang kena disereti manusia jahanam itu!"
Dan mendengar ujar perempuan tua itu, Sangaji menghela napas.
Sesudah makan malam, perempuan tua itu lalu membersihkan sebuah kamar. Kemudian
Neneng Rochaya mengantarkan Sangaji me-masuki kamar sambil membawa segelas air teh.
"Seringkali hawa sangat panas di malam hari," katanya dengan suara empuk. "Tuan orang asing. Pastilah Tuan takkan tahan menghadapi hawa panas. Kalau Tuan nanti membutuhkan air teh lagi, tak usah Tuan segan-segan. Bangunkanlah aku! Apakah Tuan ..."
"Janganlah panggil aku tuan," potong Sangaji. "...panggillah aku, kakak atau abang!"
Neneng Rochaya memalingkan pandang. Tatkala mukanya menatap Sangaji kembali, matanya
bersinar-sinar. Berkata setengah berbisik, "Apakah aku pantas memanggil begitu terhadap seorang tetamu?"
Sangaji tertawa. Menyahut, "Akupun mem-punyai seorang adik angkat yang mirip de-nganmu.
Namanya Nuraini. Diapun berasal dari Jawa Barat."
Setelah berkata demikian, sekonyong-ko-nyong suatu ingatan menusuk benaknya. Terus saja ia keluar kamar dan berkata kepada nenek Rochaya.
"Nek! Apakah Neneng mempunyai seorang kakak perempuan?"
Perempuan tua itu menggelengkan kepala dengan pandang heran berbareng menebak-nebak.
"Mengapa?" katanya.
"Dia mirip dengan adik angkatku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dialah cucuku perempuan satu-satunya." Perempuan tua itu menegaskan.
Sangaji kembali ke kamarnya dan tak ber-bicara lagi. Dan malam itu ia bergulang-guling tak dapat memejamkan mata. Kesannya sete-lah berpisah dari Titisari terlalu banyak dan saling mengendapkan. Hatinya murung, lesu dan kehilangan kegembiraan. Melihat Neneng Rochaya ia agak terhibur. Tetapi bila teringat akan nasib keluarga itu, ia jadi ikut prihatin.
Kira-kira waktu subuh, pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki belasan meter
jauhnya. Lalu ia mendengar pula suatu ucapan, "Otong Damarwijaya kena jebak dua hari yang lalu. Menurut dugaan ia dibawa ke Jakarta. Mari cepat! Kalau nasib baik, dia masih bisa kita tolong."
Mendengar orang menyebut nama Otong Damarwijaya. Hati Sangaji terkesiap. Ia terus
membuka jendela dan melesat ke luar. Dengan cepat ia menyusul mereka.
Orang-orang yang belum dikenal itu ber-lari-lari mengarah ke barat. Sama sekali me-reka tak mengetahui sedang dikuntit Sangaji.
Mereka lari terus hingga lima enam pai jauh-nya. Di depan sana terlihat suatu perkemahan.
Itulah perkemahan militer yang dijaga sangat rapat.
35 IBU! AKU PULANG! SEKALI MENJEJAK TANAH SANGAJI TERBANG MELINTASI mereka. Lalu menghadang di
depannya. Dan melihat pemuda itu, orang-orang terperanjat sampai berjingkrak. Hampir
berbareng mereka membentak. "Siapa?"
"Kalian bilang, Otong Damarwijaya kena jebak. Apakah dia Ki Tunjungbiru?" "Kau siapa?" "Aku muridnya."
"Ngacau!" mereka membentak dan dengan serentak mereka menyerang berserabutan.
"Nanti dulu!" Sangaji mundur. "Aku benar-benar ingin memperoleh keterangan."
Namun mereka tak mendengarkan ucapan Sangaji. Serangan bertambah gencar dan
berbahaya. Terpaksa Sangaji menangkis. Sekali membalikkan tangan, tenaga mereka kena
dipunahkan. "Kalian tadi membicarakan perkara Otong Damarwijaya. Aku kenal dia. Masakan aku tak boleh minta penjelasan?" kembali Sangaji menegaskan.
"Kalau kau mau membunuh, bunuhlah kami cepat-cepat!" bentak seorang berperawakan tinggi ramping.
"Mengapa aku harus membunuh kalian?" Sangaji heran.
Tadi mereka melihat gerakan Sangaji yang asal-asalan. Meskipun demikian mereka mati kutu dengan berbareng. Kalau saja bermaksud jahat, mereka bukan merupakan lawan yang berarti.
Dan memperoleh pertimbangan demikian, orang itu lalu maju dan membungkuk hormat.
"Otong Damarwijaya adalah kakak sepergu-ruan kami berempat. Beliau memang terkenal
dengan julukan Ki Tunjungbiru. Kalau kau mengaku murid Ki Tunjungbiru, masakan kami
berempat tidak kenal" Karena adik seperguruan Ki Tunjungbiru hanya empat orang. Hasan, Kolil, Martak dan aku si Ali Item."
Barulah Sangaji mengerti, apa sebab mere-ka tiba-tiba menyerang. Segera ia bersikap
memperbaiki kesalahannya. Menyahut dengan suara rendah.
"Sesungguhnya, tak berhak aku mengaku menjadi murid Ki Tunjungbiru. Dia tak pernah
memberi ajaran padaku. Hanya saja, dia per-nah memberi petunjuk-petunjuk berolah semadi. Dua belas kata jumlahnya. Tenangkan pikiran-lupakan perasaan-kosongkan tubuh-mu-salurkan hawa-matikan hati-hidupkan semangat. Bukankah begitu?"
Mendengar kata-kata Sangaji, mereka memekik heran. Setelah saling pandang, sekonyong-
konyong mereka datang merubung.
"Itulah ilmu semadi perguruan kami yang tiada bandingnya," seru yang berperawakan pendek dengan girang. Dialah yang bernama Hasan. Tetapi kalau kau pernah menerima petunjuknya, apa sebab tak pernah memberi-tahukan kepada kami?"
Kalau dibandingkan dengan ilmu saktinya, sudah barang tentu ilmu petunjuk Ki Tunjungbiru masih kalah jauh. Tetapi Sangaji seorang pemuda yang mulia hati. Ia tak sam-pai hati membuat mereka tersinggung kehor-matannya atau mengecewakan hati mereka. Apalagi dalam hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemuda itu, senantiasa menaruh hormat kepada Ki Tunjungbiru. Maka dengan takzim ia berkata, Ki Tunjungbiru seorang pahlawan yang berjiwa besar dan luhur budi. Dalam kesibukannya betapa dia sempat mengabarkan hal itu kepada kalian."
Setelah berkata demikian, segera ia mem-perkenalkan namanya. Kemudian minta keterangan
tentang Ki Tunjungbiru. "Sebenarnya kabar itu kurang jelas juga," kata Ali ltem. "Dia dikabarkan bertemu dengan sahabat lamanya. Namanya Malawir. Kamipun kenal orang itu. Meskipun dia bukan termasuk
golongan kami yang berani mengangkat senjata melawan Belanda, tetapi ia berpihak kepada
kami. Sudah banyak kali ia berjasa kepada kami. Kecuali melindungi orang-orang gagah yang memasuki kota Cirebon, diapun membantu menyediakan perbekalan-perbekalan. Tapi hari itu, rupanya dia lagi naas. Selagi menerima kunjungan Otong Damarwijaya, mendadak rumahnya kena sergap. Meskipun tidak gampang-gampang kena dikalahkan, akhirnya tertangkap juga. Kabarnya dia kini dibawa ke daerah barat."
Mendengar kabar itu, hati Sangaji terperan-jat sampai berjingkrak.
Sesungguhnya, sudah satu minggu lamanya Ki Tunjungbiru dengan tujuh orang pengikut Sultan Kanoman yang berontak melawan Belanda, berdiam di rumah Malawir untuk menghadang
pasukan Belanda yang hendak mengadakan pameran kekuatan senjata di kota Cirebon.
Malawir berasal dari Kuningan. Semenjak kanak-kanak ia kenal apa arti perjuangan rakyat
menuntut keadilan. Karena itu tak segan-segan ia ikut membantu perjuangan rakyat Jawa Barat melawan Belanda.
Terhadap Ki Tunjungbiru ia selalu menaruh hormat dan mengagumi.
Memang nama Ki Tunjungbiru sangat terke-nal di daerah barat, sebagai seorang pejuang gaib yang pantang menyerah. Dari mulut ke mulut namanya dinyanyikan orang. Tak terke-cuali
golongannya yang mempunyai darah perajurit dalam tubuhnya. Itulah sebabnya, ia merasa
memperoleh suatu kehormatan besar tatkala pahlawan itu mengunjungi rumahnya. Apalagi Ki
Tunjungbiru menyatakan pula hen-dak berdiam untuk beberapa hari lamanya.
"Apakah kau bisa menerima aku?" Ki Tunjungbiru menegas.
"Mengapa tidak" Aku ini adalah musafir tak bermodal yang kebetulan memperoleh tempat untuk bermukim di sudut tanah ini. Bumi dan langit ini, adalah milik kita," sahut Malawir dengan penuh semangat.
"Tapi aku membawa tujuh orang."
"Kau boleh membawa seratus! Dua ratus orang! Apa bedanya" Asal saja rumahku ini bisa menampung sejumlah itu. Cuma saja... kepala kampungku bukan manusia baik-baik. Dia begundal Belanda sampai ke bulu-bulu-nya. Kita harus berhati-hati."
"Hm... apakah dia lebih hebat daripada engkau?"
"Eh, apakah aku ini" Aku ini makin tua makin jadi manusia keropos. Lainlah halnya dengan dirimu. Kau bertambah kuat dan perkasa."
"Mana bisa?" sahut Ki Tunjungbiru dengan tertawa riuh. "Aku termasuk golongan manu-sia yang kalah perang. Mana bisa aku menjadi manusia mirip kata-katamu?"
Mereka terus berbicara perihal suka duka perjuangan bangsa. Teman-teman Ki Tunjung-biru
yang diterima dengan ramah hati dan kelapangan dada, sebentar saja sudah merasa menjadi satu keluarga besar. Mereka ikut pula menyumbangkan sepercik pengalamannya.
Demikianlah pada hari pameran kekuatan senjata, Ki Tunjungbiru keluar bersama tujuh orang kawannya. Mereka pulalah yang meng-adakan kekacauan sehingga menerbitkan suatu bentrokan senjata. Waktu itu, Sangaji dan Titisari berada pula di tempat itu. Hanya saja mereka tak melihat Ki Tunjungbiru karena kerumunan manusia.
Menjelang malam hari, Ki Tunjungbiru balik ke pondoknya. Ketujuh kawannya tiada se-
orangpun yang gugur atau terluka. Bahkan mereka nampak kian bersemangat. Pandang mata
mereka berkilatan penuh ketegaran hati.
Mereka disambut dengan gembira oleh Malawir sendiri di pintu pagar. Kata orang itu, "Kalian pulang dengan selamat. Itulah yang kami harapkan. Aku ikut menyatakan syukur sedalam-dalamnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tunjungbiru hendak segera menyahut. Mendadak saja ia seperti memperoleh suatu firasat kurang beres. Sebagai seorang ahli tata semadi, pendengarannya menangkap tata suara Malawir yang tertekan-tekan. Alisnya terus saja berdiri. Menegas, "Kau kenapa?"
MALAWIR TAK SEGERA MENJAWAB. Tubuh-nya nampak bergetar. Sekonyong-konyong ia
meloncat bergulungan ke tanah sambil berte-riak, "Lari! Rumah penuh bangsat!"
Hampir berbareng dengan teriakannya, ter-dengarlah suara berisik. Dan muncullah sepu-luh dua belas orang dari pojok-pojok halaman. Mereka melontarkan senjatanya dengan ber-bareng ke arah Malawir.
Malawir telah bergulungan serendah tanah. Karena itu ia bebas dari sambaran senjata, la tak takut. Dengan gagah ia berdiri dan berseru nyaring, "Kalian sudi menjadi anjing-anjing Belanda.
Bagus! Jangan harap aku bisa berbuat begitu."
"Malawir bangsat! Biarpun anjing, tapi kami anjing terhormat. Sebaliknya kau membiarkan dirimu jadi anjing orang gelandangan. Apakah itu bukan anjing buduk?" sahut seorang yang berawakan pendek gendut.
"Biarpun aku anjing buduk, tapi aku bisa cari makanku sendiri. Bagaimana dengan kau" Biarpun jadi kepala kampung, tapi monyongmu tak bakal kemasukan nasi kalau tidak menjilat-jilat pantat Belanda dulu. Kau bisa bilang apa?"
Dengan menjerit kepala kampung itu terus melontarkan belatinya. Anak buahnya segera pula bergerak. Di sini teranglah, betapa besar pengaruh pemerintahan Belanda pada waktu itu. Mereka sudah bersedia menjadi hamba dan pembantu-pembantu yang boleh dipercaya.
Melihat Malawir dalam bahaya, Ki Tunjung-biru terus melesat melindungi. Ketujuh kawannya merabu dengan berbareng pula.
Ternyata anak-buah kepala kampung tidak hanya sepuluh duabelas orang. Sebentar saja
halaman rumah Malawir hampir terpenuhi. Meskipun demikian, hati Ki Tunjungbiru tiada keder sedikitpun. Bagi dia, mereka masih merupakan makanan empuk belaka. Kawan-kawannyapun
demikian pula. Dengan penuh semangat, mereka menyerang dengan gesit dan cekatan. Sebentar mereka menerjang ke depan, kemudian bergerak merabu kaki.
Mereka semua adalah pejuang-pejuang yang berpengalaman. Mendengar percakapan antara
Malawir dan kepala kampung, dengan sekilas saja sudah bisa memperoleh kesim-pulan. Ternyata sepeninggal mereka, Malawir kena gerebeg. Karena kalah jumlah, ia kena ditawan dan dipaksa untuk menjebak mereka. Tetapi dasar Malawir keturunan seorang pera-jurit, tak sudi dia
berkhianat. Dalam keadaan terjepit, masih bisa ia memberi peringatan berbareng melindungi diri.
Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-ko-nyong muncullah satu peleton pasukan Belanda dari
balik pagar. Pasukan itu terus melepaskan senjata bidiknya.
Menyaksikan itu Ki Tunjungbiru meluap amarahnya. Terus saja ia memaki dalam hati.
Benar-benar jahat kepala kampung jahanam itu. Rupanya sudah semenjak beberapa hari ini,
dia mengintai aku. Tetapi kepala kampung itu masih juga mau bersandiwara. Mendadak saja ia menjerit kaget
sambil mundur. Lalu mengarah kepada Malawir sambil berteriak menyesali, "Malawir, kaulah yang cari mampusmu sendiri. Coba, kalau kau siang-siang sudah menurut kata-kataku, masakan kau perlu diurus militer Belanda segala. Sekarang jalan untuk memberi ampun padamu, benar-benar tertutup. Betapapun juga, masakan aku sampai hati melihat kamu menjadi bangkai di depan
mataku..." Mendengar ucapan kepala kampung, Ma-lawir terhenyak sejenak. Mendadak tertawa bergelak-
gelak. Lalu berkata nyaring pula, "Ambik! Kau ular berbisa iblis! Biarpun kau mengaku malaikat, masakan mataku buta?"
Malawir benar-benar tak kuasa lagi mena-han amarahnya. Napasnya lantas saja menja-di
tersengal-sengal. Dadanya turun naik de-ngan cepat. Kemudian berputar ke arah Ki Tunjungbiru.
"Kawan-kawan seperjuangan. Kalian larilah. Biarlah hari ini aku mengadu nyawa. Matipun aku rela..."
Sehabis berkata demikian, Malawir benar-benar tak takut mati. Ia terus menyerbu untuk
membuktikan ucapannya. Hanya saja, ia berlaku nekad. Gerak-gerik membabi buta. Meskipun ia bisa menjatuhkan beberapa orang yang menghadang serbuannya, namun tubuhnya tak bebas
pula dari hantaman senjata lawan. Sebentar saja tubuhnya telah berlumuran darah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu Ki Tunjungbiru dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Mereka sadar, akan sandiwara kepala kampung. Mereka tahu, bahwa semenjak siang-siang kepala kampung sudah
mengatur persiapan dan jebakan. Karena itu, begitu melihat ke-adaan kawannya yang benar-
benar hendak mengadu nyawa, mereka mencoba mendesak lawan-lawannya untuk bisa
menolong. Tetapi maksud itu tak gampang-gampang bisa diwu-judkan. Kecuali antek-antek kepala kampung memegat arah tujuannya, pasukan kompeni yang menembak dari belakang punggung
mulai merangsak pula. Kemudian terjadilah suatu adegan yang membuat Ki Tunjungbiru tak bisa berkutik.
Dari dalam rumah, muncullah isteri Malawir dan empat orang anggota keluarganya. Itulah
anak-anaknya. Mereka digiring keluar dengan ancaman senjata. Tangan mereka diikat dan
mukanya biru pengab. Terang sekali, bahwa mereka habis kena hajar.
Ambik terus berkata lantang, "Malawir! Nyawamu sudah di ambang pintu. Sekalipun begitu, aku masih memberi kesempatan. Kau menyerah tidak" Kalau tetap nekad, isteri dan anak-anakmu
akan kusembelih dahulu sebe-lum kau terkapar mampus."
Kena ancaman demikian, Malawir yang sudah kalap terhenyak sejenak. Sekonyong-konyong
tertawa berkakakan. Menyahut lantang sambil menyemburkan ludah.
"Ambik! Kau bisa mengapakan isteri dan anak-anakku. Kau cuma besar mulut. Kalau kau berani, hayoooo... cobalah buktikan ancamanmu."
Di luar dugaan si kepala kampung benar-benar membuktikan ucapannya. Dengan tangannya
yang perkasa ia mencekuk anak Malawir yang paling kecil. Terus ia membantingnya ke lantai. Ia merebut pedang salah seorang. Kemudian menetak leher anak yang tak berdosa itu dengan sekali tebas.
Melihat adegan yang tak terduga itu, semua yang menyaksikan menjerit kaget. Ki Tunjungbiru tak terkecuali pula. Dengan menggertak gigi ia hendak melesat. Tapi tahu-tahu, punggungnya telah kena ancaman beberapa batang laras senjata. Begitu me-noleh, ia terus diringkus oleh sepuluh orang serdadu sehingga tak dapat berkutik lagi.
Pada saat itu, terdengarlah gerung Malawir. Orang itu terus melesat melompati si kepala
kampung. Orang-orang yang berada di depan-nya kala itu seperti kehilangan tujuan. Mereka tertegun melihat kepala kampung melakukan penyembelihan di luar dugaan. Itulah sebabnya
seperti seorang yang terbebas dari belenggu Malawir berhasil menghampiri si kepala kampung.
Si kepala kampung terperanjat. Terbebasnya Malawir dari hadangan anak-buahnya berada di
luar dugaannya. Seketika itu juga pucatlah wajahnya. Tadi ia hanya bermaksud menunjukkan kegarangannya untuk merebut simpati militer Belanda. Ia yakin bisa berbuat selelu-asa-leluasanya dengan tak usah takut akan kena balas Malawir. Tak tahunya perhitungan meleset sama sekali.
Keruan saja ia jadi ke-labakan. Sedetik itu, ia menyiratkan pandang kepada pasukan Belanda untuk minta pertolongan. Tapi pada saat itu mereka lagi sibuk meringkus Ki Tunjungbiru dengan kawan-kawannya.
"Malawir! Malawir!" Dan Ambik mundur setengah langkah. "Marilah kita bicara. Lihat! Isteri dan anak-anakmu yang lain jatuh ping-san tak sadarkan diri. Kalau tidak kau tolong cepat-cepat, mereka bisa mati semua."
Pada saat itu, penglihatan Malawir sudah kabur oleh deru hatinya. Dengan berteriak tinggi ia melompat menerkam Ambik menya-betkan pedangnya. Pedang itu mengenai pun-dak. Namun
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malawir seperti memperoleh kekuatan gaib. Tanpa mengeluh sedikitpun, ia menyerbukan diri. Dan diserbu dengan cara demikian, Ambik seperti kehilangan daya. Apalagi, hatinya sudah jadi kecut karena me-rasa salah, la kena tendang perutnya. Lantas dadanya. Lantas pinggangnya.
Begitu tubuhnya meliuk, pedangnya terlepas dari genggamannya. Tangan Malawir terus
merebut pedang itu. "Malawir! Malawir! Marilah kita berbicara!" masih saja ia sempat berteriak.
Tetapi Malawir sudah kalap. Dengan satu sabetan, leher Ambik menggelundung di lantai.
Sementara itu, anak buah Ambik seperti tersadar. Mereka terus maju menghujani se-rangan
maut. Seketika itu juga, tubuh Malawir jadi rontang-ranting. Sekalipun demikian, Malawir tak sudi mengaduh kesakitan. Ia seperti kehilangan ingatan. Dengan berputar ia menatap lawan-lawannya.
Lalu berjalan menghampiri mayat anaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kena tatapan penglihatannya, orang-orang mundur satu langkah. Bulu kuduk mereka
menggeridik. Mereka tak bergerak lagi. Dengan demikian, Malawir bisa menghampiri mayat
anaknya. "Oyok! Oyok!" terdengar suara Malawir setengah merintih.
Ia terus merangkul tubuh anaknya. Sudah barang tentu tubuhnya kena siram darah anaknya.
Namun ia tak memedulikan. Benar-benar gerak-geriknya bagaikan seseorang yang sudah
kehilangan kewarasan otak.
Mendadak saja ia seolah-olah teringat se-suatu. Serentak ia berdiri dan menyambar pe-dangnya lagi. Lalu menyerbu lawan-lawannya.
Pada saat itu, seluruh tubuhnya telah tertu-tupi darah sehingga mirip hantu merah yang muncul di malam hari. Dan oleh kesan itu, mereka yang tadinya memusuhinya seperti terpaku. Itulah sebabnya pula, korban jatuh lagi. Seorang demi seorang kena ditewaskan dan dirusak tubuhnya.
Lambat laun ia kehabisan tenaga juga. Maklumlah seluruh tubuhnya sudah terkoyak-koyak.
Sebentar saja ia jatuh tertelungkup di atas lantai.
Kawan-kawan Ki Tunjungbiru terharu bukan main menyaksikan kesetiaan dan keperwiraan
Malawir. Mereka mencoba merenggutkan diri dari ringkusan pasukan Belanda. Namun tenaga
mereka tak mengizinkan untuk bisa berbuat banyak. Salah seorang lalu menyiratkan pandang kepada Ki Tunjungbiru seraya berteriak nyaring minta pertimbangan.
"Otong Damarwijaya! Bagaimana?"
Ki Tunjungbiru menarik napas panjang. Menyahut sedih.
"Di saat seperti ini, janganlah kita menjadi kalap. Umur kita berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan masih mengizinkan kita menje-nak napas... kita masih bisa berbuat yang lain."
Setelah berkata demikian, ia mengarahkan pandangannya kepada keluarga Malawir. Berseru
nyaring. "Malawir! Kau seorang laki-laki sejati. Kalau umurku masih panjang, akan kupersembah-kan sisa hidupku untuk keluargamu. Aku me-lihat keberanian dan sifat kepahlawananmu yang patut jadi suri tauladan untuk ditiru. Ka-rena itu terimalah hormatku..."
Belum habis dia berkata, mulutnya sudah kena tampar seorang sersan yang berada di
dekatnya. Setelah itu, dia dibawa pergi ber-sama kawan-kawannya.
BEGITU KENA DITAWAN-KI TUNJUNGBIRU DAN KAWAN-KAWANNYA mengalami siksaan dan
kekejaman-kekejaman di luar ke-manusiaan. Ia digantung, dirangket, direndam, dibakar, disakiti dan dilukai. Makan minumnya dikurangi pula.
Kompeni Belanda mencoba mengorek ke-terangan sebanyak-banyaknya mengenai ge-rakan
pemberontakan Sultan Kanoman. Ia dipaksa untuk menunjukkan di manakah beradanya pusat
gerakan itu. Namun ia mem-bisu seribu bahasa.
Dalam diri pahlawan Banten itu mengalir getah sakti Dewadaru dan madu lebah Tunjungbiru.
Kecuali itu mahir dalam olah semadi dan tata napas. Tak mengherankan, bahwa kekuatan
tubuhnya melebihi manusia lumrah, kulitnya seperti kebal dari senjata. Setiap kali kena luka sebenarnya saja sudah pulih kembali. Kurangnya makan minum tiada mengganggu kesehatan dan kesegaran jas-maninya. Lebah madu sakti yang dihisapnya semenjak bertahun-tahun yang lalu, cukuplah menjadi sumber tenaga hidup yang tiada habis-habisnya.
Sebaliknya, tidaklah demikian halnya de-ngan keadaan teman-temannya. Dalam bebe-rapa hari saja, dua orang telah mati. Yang lainnya hampir tak dapat bergerak lagi dari tempatnya.
Menyaksikan hal itu, Komandan Kompi terus saja mengancam. Kalau dia berani melarikan diri, teman-temannya akan dihabisi nyawanya. Dan ancaman itu bukanlah merupakan ancaman kosong melompong. Mengingat kekejamannya, kompeni bisa mewujudkan.
Sebenarnya dia bisa minggat dengan mu-dah, apabila menghendaki. Meskipun perke-mahan
dijaga sangat rapat, tapi ilmunya yang tinggi pasti bisa membebaskan diri. Sebaliknya mengingat nasib teman-teman seperjuangannya, terpaksalah dia menyabarkan diri menunggu saat yang baik.
Oleh kebandelannya, kompeni kini menggu-nakan akal baru. Keselamatan anak isteri Malawir dipertaruhkan di hadapannya. Kalau dia masih saja bersikap membungkam, nyawa mereka akan dilunasi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia jadi mendongkol dan bingung. Teringat-lah dia betapa setia dan perwira almarhum Malawir.
Orang semacam dia patut dikenang dan dihormati. Dia sudah berani mengorban-kan segalanya.
Masakan anak isterinya akan dibiarkan hidup tanpa perlindungan"
Sebaliknya kalau sampai dia berbicara ba-nyak tentang rahasia-rahasia gerakan pem-
berontakan, bukankah sia-sia belaka arti pe-ngorbanan Malawir" Kecuali itu, dimanakah dirinya lantas berada" Dia akan ditertawakan sejarah. Seluruh orang-orang gagah di penjuru tanah air ini akan mengutukinya sebagai seorang pengkhianat. Jangan lagi diakhirat, di duniapun rasanya tiada lagi tempat untuk menginjakkan kakinya.
Malam itu ia mondar-mandir dalam kamar tahanannya. Hampir menjelang fajar hari, belum
juga ia memperoleh keputusan. Tengah ia bergelut dengan dirinya sendiri, terdengarlah suatu suara di luar kemah.
"Kau dipanggil kepala jaga. Biarlah penjagaan kugantinya," kata seorang dengan bahasa Belanda.
Kepala jaga pada malam itu seorang Ambon. Namanya Mattulesi. Dia berpangkat sersan. Anak buahnya terdiri dari suku Maluku, Manado dan Sulawesi. Dia terkenal berani, te-gas, gagah dan teliti. Karena itu, anak buahnya termasuk pasukan terpilih dan dapat dipercaya.
"Kau dari peleton mana?" tegur penjaga pintu kemah. Suaranya meninggi suatu tanda bahwa dia menaruh curiga. Sebagai jawaban-nya, terdengarlah suara gedebukan. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian seragam kompeni. Dialah Sangaji.
Ki Tunjungbiru yang berada dalam kurungan heran melihat kedatangannya, la sampai
terbungkam mulutnya dan tak dapat membuka mulut dengan segera.
"Aki! Aku datang," kata Sangaji dengan gembira. "Penjagaan bukan main rapatnya. Aku dan empat adik seperguruanmu sampai perlu meringkus beberapa penjaga. Kami se-mua menyamar."
"Siapa adik seperguruanku?" sahut Ki Tunjungbiru setelah terhenyak sejenak.
"Hasan, Kolil, Martak dan Ali Item."
"Ah! Mereka datang juga?" Ki Tunjungbiru berbimbang-bimbang. "Kompeni yang mem-bawa aku ini, bukan sekelompok serdadu murahan. Mereka semua beradat semberono. Di manakah
mereka kini?" "Mereka berada di luar. Mari kutolong dahu-lu."
Ki Tunjungbiru seperti tak mendengar kata-kata Sangaji. Wajahnya nampak gelisah. Bertanya lagi, "Kau bisa menemukan kemah ini. Apakah mereka sudah datang siang-siang?"
"Kami datang bersama-sama. Terpaksa kami membekuk seorang serdadu untuk mem-peroleh keterangan di mana Aki ditahan."
Ki Tunjungbiru tak bergembira mendengar ujar Sangaji. Ia bahkan menghela napas dan
meruntuhkan pandangan di kejauhan. Dan Sangaji jadi perasa. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia melihat orang yang dihormati tertawan lawannya.
Dahulu ia pernah melihat Mustapa dan Nuraini tersekap dalam kerangkeng. Karena dia belum sadar siapakah Mustapa sebenar-nya, maka kesan hatinya hanya menaruh belas kasihan dan rasa tak adil. Sebaliknya terhadap Ki Tunjungbiru adalah lain.
Terhadap orang tua itu, dia berhutang budi. Selain itu diam-diam ia mengagumi sepak-ter-
jangnya yang luhur. Orang tua itu sama sekali tak memedulikan kepentingan diri. Sebaliknya mengabdikan seluruh hidupnya kepada kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pengabdian itu pulalah, dia kini tertawan tersekap dan terkerangkeng bagaikan binatang. Pemuda itu jadi ikut bersakit hati.
Tak dikehendaki sendiri, ilmu saktinya yang meresap dalam dirinya terbersit dengan men-
dadak. Terus saja ia menghampiri terali besi dan hendak dipatahkan dengan sekaligus. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ki Tunjung-biru berkata menyanggah.
"Kau mau apa" Meskipun ilmuku kini bera-da jauh di bawah ilmu saktimu, tetapi apabila kukehendaki rasanya tak sukar aku mematahkan dua tiga terali besi ini."
Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, Sangaji tercengang, la jadi menebak-nebak. Menegas,
"Apakah ada sesuatu yang kurang beres?"
Ki Tunjungbiru tersenyum. "Tolonglah dahu-lu anak-isteri Malawir. Kalau kau berhasil melepaskan mereka, aku berjanji akan mematah-kan terali ini."
"Tetapi di manakah mereka?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itulah soalnya. Aku sendiri mana bisa tahu di mana mereka berada. Barangkali mereka disekap di sebelah. Mungkin pula tidak."
Sangaji yang berotak sederhana jadi bi-ngung. Gugup ia berkata, "Hari sudah hampir pagi. Di manakah aku akan menemukan mereka. Lebih baik Aki keluar dahulu. Lantas kita cari perlahan-lahan."
Ki Tunjungbiru tersenyum pahit. Ia mere-nungi Sangaji. Lalu berkata mengesankan, "Anakku, sahabatku Malawir telah rela me-ngorbankan nyawanya demi aku. Anak isteri-nya kini tertawan dan tersiksa. Yang seorang mati kena sembelih. Masakan aku akan membiarkan mereka
mengutuki nasibnya yang buruk" Hm... kalau saja aku mempunyai sayap, sudah semenjak tadi petang aku bekerja."
"Perkemahan ini tidak melebihi satu hektar luasnya. Apakah kesulitannya?"
"Ah! Kau pernah dibesarkan di tengah tang-si, masakan kau tak bisa mengerti kecerdikan musuh" Mereka bukan goblok. Tahu, kalau anak isteri Malawir merupakan tawanan yang
berharga, masakan mereka tak menjaganya rapat-rapat" Kalau saja mereka ditawan pada satu tempat, itulah mudah. Tetapi kalau di-pisah-pisah, inilah soal lain. Kau akan ber-hadapan dengan satu batalion serdadu dengan pedang dan senapannya. Sebab andaikata kau berhasil
membebaskan seorang di antara mereka, belum tentu peleton-peleton lainnya bisa kauingusi dengan mudah. Apakah kau mampu menghadapi mereka dengan sekaligus?" Ki Tunjungbiru
menekan-nekan tiap katanya. Mendadak alisnya meninggi lalu berkata, "Hai! Di manakah anak Adipati Sureng-pati" Dialah mungkin bisa memecahkan soal ini."
Pertanyaan Ki Tunjungbiru yang tak ter-duga-duga itu, benar-benar mengagetkan hati Sangaji.
Secara wajar, teringatlah dia kepada Titisari dan cara perpisahnya. Lantas saja ia menjadi lesu.
Tiba-tiba terdengarlah suara letusan senapan dikejauhan. Sebentar kemudian disusul dengan terompet tanda bahaya.
Dan suara berteriakan sambung-menyambung dari tenda ke tenda. Mendengar kesibukan itu,
Ki Tunjungbiru tersenyum pahit. Dengan pandang memaklumi dia berkata, "Kau tahu maksudku"
Kau bisa berhasil memasuki tenda ini. Tetapi penjaga-penjaga lainnya bukan seperti arca batu.
Sebentar saja mereka sadar akan suatu kepincangan. Anakku! Pergilah! Mereka pasti datang ke mari. Pergilah!"
Sangaji bukanlah seorang pemuda tolol da-lam arti sebenarnya. Hanya saja otaknya ter-lalu sederhana, karena hatinya sangat mulia. Ia mengira, semua peristiwa dalam dunia ini berjalan sangat sederhana pula. Ia memasuki per-kemahan militer Belanda dengan tujuan membebaskan Ki Tunjungbiru. Maka serdadu-serdadu yang diduganya menjadi perintang tujuannya disingkirkan dengan mudah berkat ilmu saktinya. Tak tahunya, setelah bertemu dengan Ki Tunjungbiru ia menghadapi soal yang sama sekali tak terlintas dalam benaknya. Ki Tunjungbiru ternyata emoh dibebaskan, sebelum keluarga Malawir memperoleh kebebasannya pula. Hasan, Martak, Kolil dan Ali ltem mempunyai pikiran lain pula. Begitu mereka mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji tentang nasib keluarga Malawir, terus saja mereka hendak membuat jasa. Tanpa
memperhitungkan kemampuan diri, mereka menggerayangi tenda-tenda perke-mahan. Mereka
boleh dimasukkan dalam deretan orang-orang tangguh. Tetapi ketangguhan mereka sama sekali belum bisa dibandingkan dengan ilmu sakti Sangaji. Untuk menghadapi beberapa serdadu penjaga perkemah-an, mereka harus berkelahi keras. Keruan saja sepak-terjang mereka lantas saja
ketahuan. Seperti diketahui, kepala jaga pada malam hari itu seorang Ambon bernama Mattulesi. Ia
berpangkat sersan. Begitu mendengar letusan senjata, terus saja ia melompat keluar sambil menyambar senapannya. Langsung ia menuju ke tenda tahanan Ki Tunjungbiru dengan diikuti
empat orang serdadu. Mendadak ia melihat dua orang serdadu rebah tak berkutik di tanah.
Kecurigaannya dan kemarahannya meledak tak terkendalikan lagi. Tangkas ia menghunus
pedangnya dan membabat tenda. Bret! Dan tenda perkemahan terbelah menjadi dua.
Waktu itu Sangaji maju mendekati terali besi. Ki Tunjungbiru terkejut sampai berkata setengah membentak.
"Kau mau apa" Sekali kau berani menyen-tuh terali ini, aku akan mengadu nyawa de-nganmu."
Sangaji ternganga. Ia tak dapat mengerti arti ucapan itu. ' "Aki! Mari kita lari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, anak tolol!" keluh Ki Tunjungbiru. "Lari ke mana" Kalau aku lari, bukankah anak isteri Malawir bakal celaka, Aji! Lihat belakang!"
Ilmu sakti Sangaji benar-benar susah terukur lagi. Semenjak tadi ia tahu, bahwa musuh telah berkerumun di depan tenda. Tapi ia tak memedulikan. Pikirannya terkacaukan oleh pertanyaan Ki Tunjungbiru tentang Titisari dan keadaan orang tua itu sendiri. Dan begitu pedang Mattulesi menikam tenggorokannya, ia hanya cukup membalikkan tangannya. Tahu-tahu pedang dan tubuh Mattulesi terpental ke luar tenda.
"Awas ada bangsat di dalam!" masih sempat Mattulesi berteriak, la jatuh bergedebukan di rerumputan. Begitu dia berdiri, ia melihat tenda runtuh berantakan. Empat serdadu yang
mengikuti dari belakang terpental ke luar pula dan melayang bagaikan layang-layang putus.
Mereka jatuh jungkir balik mencium-cium tanah.
Sangaji tak menyia-nyiakan waktu lagi. la sadar akan bahaya. Terus saja ia menjejak tanah dan melesat ke luar melalui robekan tenda.
Di luar tenda, hari sudah terang tanah. Se-luruh perkemahan nampak dengan nyata. Serdadu-serdadu yang disentakkan oleh tanda bahaya, lari berserabutan ke luar. Mereka membawa
senjatanya masing-masing, tetapi belum menembak karena arah bidikannya belum terang.
Hasan, Kolil, Martak dan Ali ltem terkepung rapat. Melihat keadaan mereka, hati Sangaji
tergetar. Inilah bahaya, pikirnya. Dia sendiri bisa menyelamatkan diri dengan mudah. Te-tapi bagaimana mereka" Pada saat itu sadar-lah dia, apa sebab Ki Tunjungbiru tak sudi dibebaskan mengingat keselamatan keluarga Malawir. Segera ia bergerak hendak menolong. Mendadak saja ia melihat Mattulesi telah mengisi senapannya. Sersan Ambon itu ter-nyata seorang kosen. Meskipun Sangaji tadi tak berniat mencelakai, namun sebenarnya tenaga lemparannya cukup mematahkan kaki dan lengan seseorang. Nyatanya Mattulesi sama sekali tak terluka.
Sadar akan bahaya, Sangaji terus me-nubruknya. Tangannya menyambar laras senapan. Inilah suatu tipu yang berbahaya. Sebab sedetik kasep, Mattulesi sudah dapat memetik pelatuknya. Dan kalau senapannya sampai meletus, biarpun Sangaji memiliki ilmu sakti akan tertembus juga dadanya.
Sebaliknya Mattulesi boleh kosen, tapi menghadapi tenaga samberan Sangaji, ia mati
kutu.Tenaga jasmaniahnya mendadak saja seperti macet. Tahu-tahu tubuhnya terguncang dan
terpental sepuluh dua puluh meter. Senapannya patah berantakan.
Saat yang baik itu dipergunakan Sangaji untuk mengarahkan perhatiannya kembali kepada
Hasan dan kawan-kawannya. Sebat luar biasa ia melompat dan menghantam pagar serdadu yang mengurung mereka. Aki-batnya bukan main. bagaikan angin puyuh, tenaga Sangaji menyibakkan mereka dengan sekaligus.
"Lari!" teriak Sangaji setengah memerintah.
Hasan dan kawan-kawannya kena pengaruh guncangan tenaga Sangaji pula. Tapi begitu
mendengar teriak Sangaji, mereka seperti tersadar. Terus saja mereka memutar tubuh.
"Cepat! Biarlah aku melepaskan kuda-kuda mereka," kata Sangaji lagi.
Pemuda itu mendadak teringat akan cerita pengalaman gurunya Wirapati dan Jaga Sara-denta tatkala mereka menyerbu perkemahan militer di Jatibarang. Dahulu, perhatian kompeni bisa dialihkan kepada hingar-bingar kuda-kuda yang lari berebutan karena kena serangan. Demikian pulalah kali ini.
Sangaji yang memiliki ilmu sakti warisan Bende Mataram kala itu melontarkan tenaga pukulan.
Seketika itu juga, serdadu-serdadu yang kena tenaga pukulan merasa diri tertindih suatu hawa bergulungan ribuan kati beratnya. Mereka terguncang mundur atau terpaku di tempatnya tanpa bisa berkutik. Dan pada saat itu, Sangaji melesat ke kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda mereka. Kekacauan segera terjadi dengan cepat.
Di seberang sana, sekelompok serdadu mulai melepaskan tembakan sambil membu-nyikan
terompet tanda bahaya. Betapapun juga, Sangaji menjadi sibuk, la tak takut pada macam
serangan mereka. Namun peluru-peluru mereka adalah lain. Maka di dalam keriuhan letupan
senapan, dengan sebat ia melarikan diri tanpa arah tertentu.
Serdadu-serdadu yang sebentar terbebas dari tekanan tenaga sakti, mulai mengejar dan
menembakkan senapannya. Dari tenda ke tenda muncullah laras-laras senapan yang kini telah memperoleh arah bidikan. Syukur, Sangaji tak menjadi gugup. Dalam kerepotan-nya, mendadak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
timbullah akalnya. Ia kini me-nyerang tenda-tenda perkemahan. Seketika itu juga, tenda seperti teraduk. Seperti layar perahu kena badai, tenda-tenda perkemahan terjebol dan kabur
bergulungan menutupi penglihatan para serdadu.
Mereka tertahan untuk sementara. Tapi yang lain bisa bergerak dengan leluasa. Inilah bahaya, pikir Sangaji.
Pemuda itu akhirnya bergelisah juga. Se-konyong-konyong ia melihat sebuah tenda yang
terpencil. Tenda itu berada di lereng gun-dukan. Keadaannya sunyi lengang. Tak terjaga dan rapih. Diam-diam Sangaji heran.
"Apakah ini tenda komandan?" Sangaji menebak-nebak.
"Bagus! Sekiranya yang berada dalam tenda itu komandan mereka, bukankah bisa kubuat sandera?"
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melesat dengan sebat. Dan bagaikan seekor burung elang, ia menyusup ke dalam tenda. Begitu mendarat, hampir saja ia bertubrukan dengan seorang gadis yang belum rapih pa-kaiannya. Keruan ia kaget sampai mundur selangkah.
"Ha... sudah kuduga. Kalau bukan engkau, siapa yang mampu membuat kegaduhan ini," kata gadis itu dengan lembut. Dan dialah Sonny de Hoop.
Untuk sedetik dua detik Sangaji tertegun, la seperti kehilangan dirinya.
"Baiklah! Aku sudah berada di sini. Kalau kau mau menangkap... tangkaplah!" Akhirnya ia berkata seperti menyerah.
"Hm ..." dengus Sonny. "Lekaslah kau ganti pakaian!"
Setelah berkata demikian, Sonny memutar tubuh sambil tersenyum manis. Dan sebelum
Sangaji bisa menebak maksudnya, ia telah melemparkan seperangkat pakaian preman.
"Itulah pakaianku sendiri yang sering kuke-nakan dalam perjalanan. Kukira cukup untukmu,"
katanya lagi. "Tunggulah aku! Biar kutemui mereka..."
Segera terdengar suara berisik diluar tenda. Itulah seorang perwira yang mendatangi tenda Sonny dengan beberapa serdadu.
"Sonny! Apakah engkau melihat seorang yang mengenakan pakaian seragam?" tanya perwira itu dengan bahasa Belanda.
"Aku hanya mendengar orang berlari lewat di seberang," jawab Sonny de Hoop. "Lang-kahnya terdengar sangat cepat, sehingga tatkala aku melongok ke luar tiada lagi nam-pak bayangannya.
Apakah dia yang membuat kegaduhan ini?"
"Ya. Ke mana arahnya?" perwira itu mene-gas.
"Ke sana!" Dengan berteriak panjang ia memberi aba-aba.
"Mari! Tangkap kuda dan cari!"
Mereka lantas saja berlari-lari menjejak arah kiblat yang ditunjukkan Sonny. Sebentar saja suara mereka lenyap. Dan kesunyian dalam tenda terjadi lagi.
Sangaji dapat menguasai -diri. Dengan berindap ia mengintip dari celah tenda. Begitu melihat mereka kena dikecohkan Sonny, cepat ia memeriksa pakaian preman yang diberikan. Pakaian itu ternyata pakaian pria. Hanya saja potongannya model wanita. Percaya bahwa Sonny bermaksud hendak melindungi, tanpa ragu-ragu ia mengenakannya.
Mendadak ia mencium keringat pemiliknya. Tak dikehendaki sendiri, hatinya tergetar, la jadi ragu-ragu. Pikirnya dalam hati: Selama bergaul dengan Titisari, belum pernah aku mengenakan pakaian samarannya. Masakan aku kini harus mengenakan pakaian Sonny"
Menimbang, bahwa ia harus bisa lolos dari kepungan kompeni, segera ia menanggalkan
pakaiannya sendiri. Kemudian dengan cepat ia mengenakan pakaian pemberian Sonny.
"Apakah engkau sudah berganti pakaian?" Sonny minta keterangan dari luar tenda.
"Ya," sahut Sangaji gugup.
"Aku boleh masuk?" "Sebentar lagi"
"Eh, kau bilang sudah berganti pakaian, masakan aku tak boleh masuk?" terdengar Sonny berkata dengan setengah tertawa.
"Potongan celanamu agak sesak untukku."
"Ah, yang benar saja!" Sonny tak percaya.
"Masuklah! Kau boleh memeriksa sendiri. Bagian perut agak sesak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sonny memasuki tenda. Begitu melihat Sangaji kerepotan mengkaitkan kancing, ia tertawa geli.
"Hampir dua tahun kau pergi dan perutmu ternyata bertambah besar. Pastilah engkau
memperoleh kegembiraan dalam perjalanan."
Sangaji kebingungan. Tak tahu dia, bagai-mana harus menjawabnya. Akhirnya dia ha-nya
tertawa meringis. Berkata sejadi-jadinya, "Barangkali karena aku sering banyak makan daging."
"Makan" Mana bisa makan begitu meme-gang peranan penting dalam hidupmu. Kukira karena engkau telah menemukan mustika hatimu. Bukankah begitu?"
Hati Sangaji tercekat. Diam-diam ia me-ngeluh. Sebagai seorang jujur dan berwatak sederhana, ia segera mengaku kebenaran tu-duhan Sonny. Untuk mengelak atau menang-kis ia tak
mempunyai kesanggupan. Karena itu, ia segera mengalihkan pembicaraan. Ber-kata sulit, "Apakah ayahmu di sini?"
"Ya. Dialah komandan batalyon ini. Sebentar lagi dia ke mari. Kau tunggulah. Pastilah dia amat gembira melihat kedatanganmu," sahut Sonny.
Tak usah dikatakan lagi, hati "Sangaji benar-benar terperanjat. Pertemuan kali ini jauh berlainan daripada pertemuan di depan benteng batu. Meskipun dahulu ia berada di pihak
kompeni, namun masih bisa diterangkan apa sebabnya. Sebaliknya kali ini tidak. Dialah justru yang memusuhi kompeni dengan menggerayangi perkemahan.
"Sonny! Kali ini tak dapat aku bertemu de-ngan ayahmu," katanya tergagap-gagap.
"Kenapa begitu?" Sonny menyahut cepat. "Kujamin, bahwa beradamu di sini tidak bakal diketahui siapa saja. Seumpama saja mereka mengetahui beradamu di sini, aku dan ayahku bisa menerangkan apa sebabnya. Akan kureka bahwa kejadian ini merupakan suatu salah paham
belaka. Kukatakan kepada mereka, bahwa engkau datang dengan bermaksud hendak menemui
aku dan ayah. Tapi kepergok pasukan penjaga sehingga menerbitkan suatu kecurigaan dan
berakhir dengan suatu kegaduhan. Bukankah cukup beralasan?"
Benar Sangaji berotak sederhana, tetapi kali ini dia tak bisa menerima dalih itu. Rencana itu kurang sempurna hanya saja ia tak pandai menunjukkan kekurangannya. Untuk menunjukkan
tidak setuju ia mundur dua langkah sambil menggoyang-goyangkan tangan berulang kali.
"Hm," dengus Sonny. Tiba-tiba ia menatap Sangaji dengan pandang sungguh-sungguh. Berkata agak keras, "Semenjak kami bertemu dengan engkau di benteng batu dahulu, Ayah sudah menaruh curiga. Masa dua tahun, benar-benar merubah jiwamu. Kau ternyata bergaul dengan
manusia-manusia liar. Kau sendiri, nampaknya menjadi jagoan pula. Ka-rena itu, engkau harus bertemu dengan Ayah. Kalau menolak, aku akan berteriak."
Watak Sangaji semenjak dahulu mudah ter-singgung. Kalau saja Sonny bersikap lunak seperti dahulu, pastilah dia akan luluh hatinya. Tapi kali ini, Sonny bersikap keras. Entah benar-benar demikian pengucapan hatinya atau tidak, namun hal itu menusuk hati pemuda itu. Seketika itu juga, Sangaji berdiri tegap. Dan dengan tenang ia menyahut.
"Baik. Kau berteriaklah! Memang aku harus berkata yang benar terhadapmu. Hari ini aku menjadi musuhmu. Akulah yang membuat kekacauan ini. Akulah yang mencoba hendak
membebaskan semua tawanan ayahmu. Kalau sekarang engkau hendak membelenggu aku,
belenggulah aku! Serahkan aku kepada ayahmu dan aku takkan menyesal. Seorang laki-laki kalau sudah berani menggerayangi tangsi militer, masakan masih memikirkan keselamatan nyawanya."
Tidak biasanya, pemuda itu bisa berbicara demikian lancar dan banyak. Entah apa sebabnya, dalam dadanya terasa ada suatu tenaga bergelembungan. Sebaliknya mende-ngar kata-kata
Sangaji, Sonny tertawa manis dan menarik. Sama sekali ia tak memperoleh kesan sekelumitpun.
"Aku memang seorang pemuda bebal. Mengapa engkau mentertawakan aku?" Sa-ngaji
mendongkol. "Mengapa aku tak boleh tertawa" Justru engkau begini menjadi galak, teringatlah aku waktu engkau memaki-maki aku di tengah lapangan dahulu," kata Sonny manis. "Ter-hadap Jan de Groote, Tako Weidema dan lain-lainnya itu, aku tak peduli. Apa sebab engkau dahulu mendamprat aku habis-habisan" Memang, kau gemar menjadi aku. Selamanya kau menganggap aku sebagai
musuhmu, sebagai perintangmu. Karena aku kau tuduh merintangi usahamu menjadi jagoan.
Baiklah! Biarlah kau menganggap aku sebagai musuhmu. Tetapi aku tidak. Dan kalau kau
sekarang bilang tak memikirkan keselamatan nyawamu lagi, bagaimana dengan keselamatan
ibumu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Sonny de Hoop, hati Sangaji tercekat. Mendadak saja teringatlah dia
kepada ibunya. Hatinya menjadi luluh sebagian.
"Kau kira di manakah ibumu kini?" kata Sonny lagi.
"Dia tak berada lagi jauh di kampung. De-ngan bantuan Ayah, akhirnya aku memper-oleh sebuah rumah yang tak jauh dari rumah-ku. Kakakmu Mayor Willem Erbefed sangat senang pula.
Karena dengan demikian, ibumu tak perlu merasa kesepian. Hampir tiap hari aku mengawani."
Mendengar ujar Sonny itu diam-diam Sangaji mengeluh. Pikirnya sibuk, Ibu berada di Jakarta seorang diri. Malah kini berdiam di dekat rumah Sonny. Bukankah berarti, bahwa ibu dan anak berhutang budi"
Teringat kepada Titisari, pandang wajahnya menjadi layu dengan tak setahunya sendiri. Ia lantas menunduk ke tanah.
Sonny de Hoop mengamat-amati dengan saksama. Begitu memperoleh kesan tertentu, ia
tertawa perlahan. "Sebenarnya apakah sih senangnya hidup merantau tak keruan" Kau dahulu bilang hen-dak menuntut dendam kematian ayahmu. Apakah sudah kaulaksanakan?"
Sangaji menggelengkan kepala. Semangat-nya jadi runtuh.
"Nah, tuuuu... sudah kusangka. Kau masih saja membawa adatmu yang kekanak-kanak-an.
Kau merantau tanpa tujuan. Meninggalkan ibu kandungmu seorang diri. Hasilnya hanya bergaul dengan orang-orang tak keruan. Memang semenjak dahulu aku tahu kau ingin jadi seorang
jagoan. Kalau tidak, masakan engkau berlatih siang malam tak kenal lelah." Sonny menyesali.
Kemudian meninggikan suaranya. "Karena itu, diam-diam Ayah hendak memasukkan kau berdinas militer. Entah karena usaha Ayah ataukah memang nasibmu yang baik, engkau bisa diterima pihak atasan. Gubernur Jenderal yang mengenal engkau semenjak berumur empat belas tahun
menghadiahimu pangkat letnan. Bukankah bagus" Kakak angkatmu Mayor Willem Erbefeld sampai menlonjak-lonjak kegirangan. Nah, Letnan Sangaji! Terimalah hormatku!"
Habis berkata demikian, Sonny de Hoop mundur dua langkah dan siap hendak mem-beri
hormat. Sebaliknya Sangaji terperanjat bukan main sampai berjingkrak. Katanya de-ngan suara meninggi.
"Apa" Aku menjadi letnan VOC?"
"VOC tiada lagi," sahut Sonny cepat. "Ka-barnya kau akan ditetapkan dalam batalyon satu di bawah panji-panji Bataafshe Republiek. Terang?"
"Tapi Sonny... tak dapat aku menjadi se-orang letnan," kata Sangaji gugup. "Aku tak mempunyai bakat militer."
"Kau bisa melawan kepungan laskar Pa-ngeran Bumi Gede dan satu kompi militer Belanda.
Masih pulakah engkau bilang tak mempunyai bakat. Lantas apakah hasilmu berlatih jadi jagoan semenjak bertahun-tahun," tangkis Sonny de Hoop.
Untuk berdebat, janganlah orang meng-harap Sangaji akan menang. Jangan lagi ber-lawanan
dengan Titisari atau orang seperti Sonny de Hoop yang berpendidikan baik, ba-rangkali
berlawanan berdebat dengan seorang dusunpun yang berbekal ketangkasan ber-bicara takkan
mendapat tempat. Karena itu mulutnya lantas saja terbungkam. Tapi hatinya berpikir keras, la merasa diri benar-benar menghadapi kesulitan. Kalau mesti harus menjadi seorang militer
Belanda, bagaimana dia kelak akan menerangkan terhadap kedua gurunya dan orang-orang yang dihormati" Teringat betapa Gagak Seta seorang pejuang gigih dan kakek gurunya bekas seorang pejuang pula, hatinya mengeluh. Terlebih-lebih tatkala ia membayangkan tokoh Titisari yang selalu berada dekat dalam hatinya.
"Kau selamanya beragu dalam mengambil tiap keputusan," kata Sonny de Hoop dengan tertawa manis. "Mandilah dahulu, agar otakmu menjadi jernih."
Sonny kemudian memberi isarat mata. Di belakang ruang duduk ternyata terdapat se-katan
ruang untuk kamar mandi. Sebenarnya tidaklah kena disebutkan sebagai kamar mandi, karena isinya hanya dua tiga tong air. Hanya saja ruangnya tertutup rapat sehingga merupakan sebuah kamar mandi benar-benar yang berada dalam sebuah kamar tidur.
"Kau berdiam diri, itulah suatu tanda bahwa hatimu bergembira dengan diam-diam," kata Sonny lagi. "Betapa hatiku takkan ikut senang. Menurut Ayah dan kakak angkatmu dalam beberapa tahun saja kau bakal bisa mencapai pangkat mayor. Karena bakatmu baik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kecakapanmu melebihi orang pula. Nah, mandilah dahulu. Kalau sudah, masih ingin aku berbicara lagi denganmu."
Sangaji mencoba mengasah otaknya. Tim-bullah keputusannya hendak melarikan diri. Tapi
manakala teringat kepada ibunya, akal-nya selalu saja menumbuk suatu kegagalan. Makin
dipikirkan, keadaan hatinya makin menjadi gelisah.
Dalam pada itu, matahari mulai merangkak-rangkak di ufuk timur. Terompet tanda appel
terdengar melengking menusuk telinga. Di antara suara berisik dan derapnya sepatu, terdengarlah suara langkah menghampiri tenda. Hati Sangaji tercekat. Cepat ia menyelinap ke dalam ruang kamar mandi seraya membawa pakaian seragamnya.
"Tak usahlah kau berkecil hati. Aku takkan mengabarkan beradamu di sini kepada Ayah. Asal saja kau selalu bersikap manis ter-hadapku dan jangan sampai menerbitkan suatu suara!" ujar Sonny de Hoop tenang-tenang.
Jantung Sangaji memukul keras dan secara wajar ia memasang kuping. Dan tak lama kemudian terdengarlah suara derap kaki me-masuki tenda. Dialah Mayor de Hoop koman-dan batalyon yang sedang berkemah di perba-tasan Cirebon.
"Ayah," Sonny menyambut dengan manis. "Kabarnya Ayah akan segera berangkat ke Jakarta.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benarkah itu?" "Ya," jawab Mayor de Hoop singkat. Ia nam-pak tak bergembira. Sambil menghempaskan diri di atas kursi, ia berkata, "Perjalanan kita kali ini nampaknya sia-sia belaka, dua kali aku diutus menyelesaikan suatu tugas. Tapi dua-duanya berhenti di tengah jalan. Yang pertama urusan pemberontakan kerajaan Yogyakarta. Siapa mengira mendadak pemerintah berubah haluan. Dan yang kedua perkara pemadaman pemberontakan Sultan Kanoman. Kali inipun aku diharuskan
pulang dahulu ke Jakarta. Agaknya ayahmu tak mempunyai rejeki bisa naik pangkat setingkat lagi."
"Ah, Ayah!" potong Sonny dengan tertawa menghibur. "Keberanian dan ketangkasan Ayah menghadapi semua tugas terkenal di seluruh divisi. Karena itu Ayah tak perlu berke-cil hati. Ayah masih mempunyai kesempatan besar Jagi di kemudian hari."
"Hm," dengus Mayor De Hoop. "Siapa bilang aku terkenal tangkas. Kalau benar demikian, masakan perkemahan sampai kena digera-yangi penjahat."
Mendengar ujar Mayor De Hoop, Sangaji menahan napas.
"Dalam suatu peperangan kejadian demi-kian sudahlah lumrah. Karena itu, tidaklah selayaknya Ayah berpikir demikian. Ayah se-orang militer yang gagah perkasa. Itulah terang sekali. Tiada seorangpun yang bakal membantah."
Mayor de Hoop tertawa. Tertawa kosong.
"Kau benar, anakku," katanya. Kemudian mengalihkan pembicaraan. "Sekarang aku hendak membicarakan suatu hal yang pasti akan membuatmu bergembira. Sangaji berada tak jauh dari perkemahan kita. Rupanya anak itu dalam perjalanan pulang ke Jakarta-."
Kaget Sonny mendengar perkataan Mayor De Hoop.
"Sangaji berada di dekat perkemahan" Apakah maksud Ayah?" tungkas Sonny de-ngan suara meninggi.
"Meskipun belum terang, tetapi salah seo-rang temannya yang kena tangkap menyebut
namanya." Mayor De Hoop seperti tak mengindahkan ucapan puterinya. "Entah apa maksudnya ia menyusup ke mari. Mungkin pula sangat rindunya hendak bertemu dengan-mu.
Terang sekali, bahwa ucapan ayahnya bermaksud lain. Hati Sony jadi tak enak sen-diri. Namun ia cerdik dan cukup tabah. De-ngan tenang ia memekik genit. Katanya manja, "Ah, Ayah! Kalau benar ingin bertemu denganku, masakan perlu menyelundup se-gala."
Ayahnya tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Diluaran, bukankah ayahmu terkenal bengis?"
"Baik, baik!" potong Sonny cepat. "Kalau aku bertemu dengan dia, akan kubisiki bagaimana caranya apabila ingin bertemu denganku."
Cntuk kesekian kalinya, ayahnya tertawa terbahak-bahak lagi. Berkata, "Sangaji kini ternyata tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dan pintar. Ia sangat berguna bagi jalannya
pemerintahan. Kalau saja aku bisa bertemu dengan dia, pastilah dia akan kuajak berbicara.
Gubernur Jenderal Van Wiese membutuhkan pembantu-pembantu yang cakap untuk bisa mengerti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa kemauan rakyat Cirebon. Menurutnya pantas gerakan militer seyogyanya dipimpin seorang bumiputera yang bisa dipercaya6). Dan kelak aku akan mengusulkan anakku Sangaji. Bukankah de- 6). Bubarnya VOC di Indonesia mengakibatkan suatu pergantian pe-ngurus pula di negeri Belanda, dewan pengurus (bewindhebpers) dibubarkan
Herren XXVII diganti dengan sebuah panitia bernama: Comite de zakenvan de Oost Indische
handel en be zittingen ngan demikian, Sangaji akan lebih berbahagia daripadaku sendiri" Ia akan mempunyai ke-sempatan besar untuk membuat jasa."
Diam-diam Sonny memperhatikan wajah ayahnya. Selang beberapa saat kemudian, ia berkata
mencoba, "Dua tahun lamanya, Sangaji merantau tak keruan tujuan. Dan waktu dua tahun agaknya bisa pula merubah perangainya. Seumpama dia sudah biasa hidup merdeka dan menolak kemauan Ayah yang baik ini, apakah tindakan Ayah terhadapnya?"
Mayor de Hoop meruntuhkan pandang ke tanah. Menjawab, "Aku sendiri tetap berada di
pihakmu. Sangaji adalah suamimu dan de-ngan sendirinya anakku pula. Yang kukawatir-kan
hanyalah keputusan komisi Mr. Neder-burgh dan Dirk Hogendorp. Kalau mereka mempunyai
pendapat lain untuk kita tiada pilihan lagi, anakku. Seumpama komisi 7orang memerintahkan menangkap Sangaji, akupun tak bisa berbuat lain."
"Itulah kejam!" potong Sonny dengan suara agak gemetaran.
Mayor de hoop mengangkat pundak seraya menatap puterinya. "Hidup ini kadangkala sangat kejam. Dan tiap orang berhak mem-pertahankan macam kebahagiaannya sendiri. Karena itu tak jarang sejarah mencatat suatu kejadian yang tak ketemu nalar. Pernahkah engkau mendengar seorang tua makan anak-nya sendiri" Semuanya itu terjadi manakala seseorang terdorong ke pojok, anakku."
"Tapi Sangaji apakah seorang-penjahat yang benar-benar harus disingkirkan?"
"Tatkala dia berada di benteng batu dahulu, apakah hanya aku seorang yang melihatnya?"
Hati Sonny mengeluh. Ia masih merasa bersyukur, karena tak segera memberitahukan
beradanya Sangaji dalam tendanya. Dalam pada itu ayahnya berkata lagi, "Karena itu... satu-satunya jalan apabila dia pulang ke Jakarta, harus cepat-cepat kuambil menantu. Bukankah itu kabar menggirangkan bagimu" Dan begitu dia masuk menjadi keluarga kita, maka pada semenjak saat itu dia berada di bawah pengawasan langsung komisi 7 orang."
Sonny menundukkan muka. Hatinya girang bukan kepalang mendengar rencana ayahnya.
"Hanya saja, anak itu mengacau di sini," Mayor de Hoop menghela napas.
"Siapa" Sangaji?"
"Mudah-mudahan bukan..."
Mayor de Hoop meruntuhkan pandang ke meja. Tangannya meraih cangkir hendak dituangi air
teh. Tiba-tiba tenda tergetar lem-but. Samar-samar terdengar suara angin menggeser di belakang ruang sekatan.
"Siapa yang berada di dalam?" Mayor de Hoop menegur. Kemudian menatap wajah puterinya mencari kesan.
"Ayah menegur siapa?" Sonny berkata. "Idiih... Ayah menyangka aku menyembunyi-kan Sangaji di sini" Benar-benar Ayah kena pengaruh laporan penjahat yang menyebut namanya."
Kecerdikan Sonny de Hoop tak bisa melawan Titisari. Ia boleh menganggap diri cukup cerdik, tapi ternyata mengandung lubang kelemahan. Coba kalau saja yang dihadapi bukan ayah
kandungnya sendiri pastilah sudah terbuka rahasianya.
Wajah Mayor de Hoop berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa terbahak-bahak. Sebagai
seorang komandan batalyon yang sudah kenyang digodok pengalaman pekerjaannya, sudah
barang tentu mengetahui belaka apa yang disembunyikan dalam hati puterinya. Seumpama saja puterinya tadi bangkit lantas menjenguk ruang belakang oleh tegurannya dan kemudian
memperlihatkan wajah heran, pastilah dia tak mempunyai alasan untuk ber-curiga.
"Hawa dan angin di sini memang jauh ber-lainan dengan Jakarta atau daerah pedalam-an.
Angin di sini datang dan pergi antara tiada dan ada," kata Mayor de Hoop dengan masih tertawa gelak. "Memang otakku lagi bermu-rung sehingga kesan laporan penjahat itu terlalu meresap dalam hati..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betapapun juga Sonny kenal watak ayah-nya. Ia sudah bisa menebak sebagian. Karena itu
diam-diam ia bersyukur atas sikap ayahnya dan menyesali kesembronoan Sangaji.
"Sekarang telah kuperintahkan agar mem-perkuat penjagaan," kata Mayor de Hoop. "Daerah di sini memang termasuk daerah bergolak. Ontung, kita berhasil menangkap salah seorangnya.
Orang itu ternyata bandel dan cukup berani serta tabah. Berulangkali kita cecer dengan
pertanyaan-pertanyaan, namun masih saja membisu. Baik, biarlah kita hajar dahulu dia sampai mau memberi keterangan yang benar. Kalau tidak, jangan salahkan kita. Dia terpaksa kita lunasi.
Apa pikirmu anakku?"
Terhadap siapa saja yang kena tangkap,
Sonny tak menaruh perhatian. Dengan kesan kosong ia menyahut sembarangan saja. Seba-
liknya dalam dirinya sedang merumunkan soal perkawinan dengan Sangaji.
"Apakah Ayah sudah memberi kabar ibu Sangaji?" Sonny mengalihkan pembicaraan.
"Semenjak aku melihat, aku telah mengi-rimkan kabar lewat pos militer. Kau tak usah berkecil hati. Aku tanggung satu tahun lagi, aku bakal memperoleh cucu."
Wajah Sonny berubah hebat. Pipinya lantas saja menjadi merah dadu. Sebaliknya ayahnya
tertawa gembira sambil bangkit dari kursi. Ia lantas pergi meninggalkan tenda. Dan hati Sonny lega bukan main. Keringat yang membasahi tubuhnya disapunya perlahan. Segera ia mengenakan pakaian bersih dan terus berseru nyaring, "Aji! Kausaksikan sendiri, betapa baik hati Ayah. Karena itu kurasa tak perlu lagi kau bersembunyi seperti kelinci."
Tetapi di dalam ruang kamar mandi tiada suara.
"Aji! Ayah sudah pergi," kata Sonny dengan tertawa. "Kau mandilah dahulu. Apakah airnya cukup?"
Masih saja tiada suara dari dalam kamar mandi.
"Aji! Kau dengar suaraku?" kata Sonny. Suaranya berubah heran menebak-nebak. Apabila tiada suara jawaban ia mengkerutkan alis. Kemudian menghampiri dinding ruang kamar mandi. Ingin ia menyibakkan tirai penutupnya, namun hatinya masih beragu. Berkata mencoba, "Aji! Aji! Kau lagi apa?"
Benar-benar dari dalam ruang kamar mandi tiada suara. Dan sampai di sini habislah ke-
sabarannya. Hatinya jadi curiga. Terus saja ia menerkam tirai sekatan dan menyibakkan. Dan benar-benar Sangaji tiada lagi dalam ruang kamar mandi.
Bukan main herannya. Segera matanya menjelajah menyelidiki. Dan tenda seberang sana
nampak robek terbelah menjadi dua. Te-rang sekali, Sangaji telah lolos dari pengamat-annya.
Ia meruntuhkan pandang dan melihat suatu coretan. Segera ia membaca. "Terima kasih atas pertolonganmu. Kelak kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berbicara sebebas-bebasnya."
Hati Sony mendongkol, terlebih-lebih tatkala melihat seperangkat pakaiannya ngelumpruk di pojokan. Terus saja ia keluar tenda mencari keterangan. Tetapi serdadu-serdadu yang
dijumpainya tiada melihat pemuda yang dike-hendakinya. la jadi berputus asa. Dan begitu
memasuki tendanya kembali, ia membanting dirinya di atas tempat tidur.
Sangaji sendiri waktu itu telah berada jauh di luar perkemahan. Dengan ilmu saktinya ia lari kencang, balik ke pondokan. Waktu itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Penduduk sudah semenjak tadi keluar dari rumahnya masing-masing. Banyak di antara mereka yang berpapasan dengan Sangaji. Tapi jangan diharap mereka mampu menangkap bayangannya. Mereka hanya
merasa seperti ada sesuatu yang melintasi. Begitu menoleh, sama sekali telah kehilangan
pengamatan sehingga mereka mengucak-ucak matanya dengan penuh heran. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa sebentar saja sudah sampai di pondokan. Segera ia berpamit dan terus melanjutkan perjalanannya ke barat. Dalam hatinya, ia hendak mendahului gerakan batalyon Mayor de Hoop agar dapat menemui ibunya dan mengambil tindakan cepat.
Maklumlah, tadi malam benar-benar meru-pakan suatu pengalaman hebat baginya. Tanpa
disadari penuh-penuh ia telah menen-tukan pilihan di pihak mana dia berdiri. Ter-ingat akan ibunya yang masih berada di Jakarta dan berada dalam lindungan keluarga Mayor de Hoop,
hatinya tergetar dengan tak setahunya sendiri. Tak terasa ia membedalkan kudanya makin lama makin kencang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Willem seekor kuda jempolan. Ia bisa men-capai 200 km dalam sehari. Itulah sebabnya dalam tiga empat hari saja kota Jakarta sudah nampak terbentang di depan penglihatan. Dan melihat kota Jakarta, pemuda itu lupa kepada semua persoalannya oleh rindunya kepada ibunya.
Di batas kota ia berhenti di atas gundukan tanah. Di sinilah dahulu ia bertemu dengan Willem Erbefeld. Sungainya masih seperti dahulu. Tenang dan agak keruh. Gua tempat ia
menyembunyikan Willem Erbefeld dari pengejaran pasukan Mayor de Groote masih tetap utuh.
Melihat gua itu teringatlah dia pula kepada kasih sayang kakak angkatnya.
Tak terasa ia menambatkan kudanya, ke-mudian berenung-renung seorang diri. Kala itu senja sudah mendatang. Matahari mulai merangkak-rangkak ke barat, seolah-olah hanya berlaku
beberapa detik, maka hari mulai meremang. Kemudian bintang-bintang bergetar lembut,
berserakan di seluruh angkasa. Seluruh alam mulai pula menceritakan pengalamannya masingmasing.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta, alangkah banyak peristiwa-peristiwa yang dialami
pemuda itu. la kini bukan lagi Sangaji dua tahun yang lalu. Sebaliknya tumbuh men-jadi seorang pemuda gagah perkasa dan sakti di kolong dunia. Hanya saja persoalan-per-soalan yang dihadapi amat rumit.
Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya, bahwa keinginan untuk segera menemui ibu-nya
membuat Sangaji tergesa-gesa meng-hampiri kudanya, kota Jakarta sudah keli-hatan berada di depan. Hati Sangaji makin berdebar-debar. Willem membawanya lari menuju ke Jakarta.
36 DI PANGKUAN BUNDA TIDAKLAH PERLU DICERITAKAN berke-panjangan betapa mengharukan pertemuan itu. Rukmini
lantas saja memeluk Sangaji erat-erat. Kini tak bisa lagi ia menciuminya seperti dahulu, karena Sangaji sudah menjadi jejaka dewasa yang berperawakan kekar dan gagah luar biasa.
Sebaliknya kena peluk Rukmini, Sangaji merasa dirinya kecil. Di luar kemauannya sendiri, terbersitlah rasa kekanak-kanakannya. Tahu-tahu ia menyesapkan kepalanya ke dada ibunya
bagaikan seekor anak ayam mencari perlindungan di bawah sayap induknya.
"Ibu! Aku pulang!" katanya terengah- engah.
Semenjak kanak-kanak tak pandai ia me-nyatakan perasaannya, sehingga gumpalan-gumpalan
perasaannya hanya tercetus dalam sederet kalimat sependek itu. Dan ia mengulangi entah sudah berapa kali. Tetapi Rukmini merasakan suatu kehangatan yang luar biasa menggetarkan dadanya.
"Anakku..." katanya sesak. "Dua tahun engkau pergi. Rasanya aku kehilangan dirimu hampir seabad." la berhenti menyeka air mata. Meneruskan, "Saban malam aku memimpikan engkau, untuk dua tiga kali. Kau... kau... kau begini tumbuh besar melebihi... melebihi ayah-mu...
Bibir Rukmini bergemetar tatkala meng-ucapkan kata-kata yang penghabisan itu. Air matanya meruap deras dan pelukannya ber-tambah menjadi kencang, la tak tahu sendiri, apakah hatinya bergembira"bersyukur"ter-haru atau berduka.
Wanita memang tak mudah menghilangkan sesuatu kenangan. Apa lagi suatu kenangan yang
menggores lubuk hati. Ia bisa menjadi pelit, malah. Maka bayangan Made Tantre suami dan ayah Sangaji yang dicintai dengan segenap hatinya berada di depannya. Di antara kelopak matanya yang basah dan perawakan Sangaji yang jadi samar-samar.
Sangaji meskipun tak pandai menyatakan perasaan, tahu membaca perasaan ibunya. Itulah
pula sikap yang dibawanya manakala menghadapi Titisari, Nuraini, Sanjaya, kedua gurunya dan orang-orang tua lainnya. Karena itu dengan sabar ia membiarkan ibunya me-ruapkan perasaannya sepuas-puasnya. Apabila pelukan ibunya mulai terasa longgar, ia menarik kepalanya dengan perlahan-lahan. Kemudian dengan menggandeng tangan ibunya, ia membawanya duduk di atas
dipan ) panjang. Pada hari-hari berikutnya Rukmini penuh dengan ceritera petualangan Sangaji. Hatinya ikut berdebaran apabila Sangaji berada dalam adegan yang menegangkan dan bersyukur setinggi
langit manakala anaknya terlepas dari suatu mara bahaya.
Tatkala sampai pada nasib Wayan Suage dan Sapartinah, ia tertegun seperti kehilangan dirinya sendiri. Hatinya jadi kecewa dan mas-gul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untung Sangaji tak pandai berceritera. Apa yang diceritakan sangat sederhana. Banyak
ungkapan-ungkapan rasa hidup yang dilalui atau dilompati dengan begitu saja, sehingga tak beda dengan seorang anak menghafalkan sejarah di depan kelas. Walaupun demikian keadaan hati
Rukmini yang sederhana meng-alami kegoncangan dahsyat.
"Bagaimana bisa jadi begitu" Bagaimana bisa jadi begitu?" ia berbisik berulangkali.
Hal itu bisa dimengerti, karena hati-dan pandangan hidupnya terlalu sederhana. Sebagai
seorang isteri pahlawan dari Bali, sedikit banyak ia mewarisi pandangan dan sikap adat
keagamaan Bali di kala itu. Dia bisa menerima bahwa seorang isteri wajib menyertai suaminya ke alam baka, manakala suaminya wafat, dengan jalan menerjunkan diri ke dalam unggun api
pembakar mayat. Itulah sebabnya pula, ia memuja suaminya seperti dewa. Kalau saja ia tidak dibawa lari oleh Kodrat dan direpoti oleh masa depan anaknya pastilah ia sudah membiarkan dirinya terbakar hidup-hidup di samping jenazah suaminya tatkala rumahnya kena bakar anak buah sang Dewaresi.
"Jadi Tinah sekarang sudah menjadi Raden Ayu2) Bumi Gede?" ia menegas.
Sangaji mengangguk. Dan ia tak lagi men-cari keyakinan yang lain.
"Lantas bagaimana pamanmu?" ia meng-alihkan persoalan.
"Paman Wayan Suage hanya mewarisi ini," jawab Sangaji.
"Mewarisi apa?"
"Kecuali aku diharuskan membawa Ibu pulang ke kampung, aku diwajibkan merawat pusaka ini dengan baik," kata Sangaji seraya membuka kantongnya.
Melihat kedua pusaka sakti, Rukmini meng-gigil di luar kehendaknya sendiri. Dengan wa-jah berubah hebat, ia berkata, "Apa artinya ini?"
"Inilah pesan Paman Wayan Suage, agar aku selalu membawanya ke mana aku pergi."
"Tidak"Tidak! Kau tak boleh menyentuh kedua benda terkutuk itu! Itulah benda pangkal bencana yang sudah menyita nyawa ayahmu dan pamanmu Wayan Suage," tungkas Rukmini.
"Aku lebih senang, bila kaulemparkan saja ke luar jagat ini! Firasatku berkata, bencana baru akan datang lagi... Anakku! ... Dengarkan kata ibumu ini!"
Sangaji tertegun. Sebab apa yang dinya-takan ibunya sedikitpun tak salah. Bukankah gurunya Wirapati dan dia sendiri hampir-hampir tewas oleh masalah perebutan kedua pusaka itu pula"
Teringat akan hal itu, teringatlah pula dia kepada Titisari. Dan teringat kepada Titisari dengan sendirinya tersadar pada masalah yang bakal dihadapi. Itulah masalah Sonny de Hoop. Bulu kuduknya meremang tak setahunya sendiri. Apa inilah bencana baru yang diramalkan ibunya"
Pada dewasa itu, ucapan rasa yang meletup dari perbendaharaan seorang ibu hampir sama
tuahnya dengan sabda gaib sendiri. Maka dengan hati-hati Sangaji berkata, "Ya, Bu. Tetapi kedua pusaka ini meskipun sudah diwariskan Paman Wayan Suage kepadaku sesungguhnya bukan
milikku penuh-penuh. Bukankah yang satu tetap menjadi milik dan haknya Dinda Sanjaya" Malah dengan tak sengaja aku sudah membaca dan mewarisi ilmu sakti dari guratan keris Kyai
Tunggulmanik. Karena itu, biarlah kuserahkan semuanya kepadanya. Seumpa-ma pusaka Bende
Mataram ini sebagai alat pembayaran atas kelancanganku. Manakala Dinda Sanjaya menyetujui anjuran Ibu, biarlah dia yang membuangnya. Sebaliknya bila dia ingin memiliki, semenjak itu bukankah aku tak tahu menahu lagi" Dengan demikian, berarti aku tahu berterima kasih. Sebab sesungguhnya, pusaka sakti ini sudah ikut menyumbangkan suatu saham besar dalam diriku."
Setelah berkata demikian, dengan singkat Sangaji mengisahkan riwayat penemuan garit-garit ) rahasia yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Sedangkan garis-garis rahasia yang berada pada pusaka Bende Mataram sama sekali belum diketahui.
Mendengar ujar Sangaji, Rukmini mengeluh. Benar-benar ia tak beragu lagi menyatakan
firasatnya. Katanya, "Anakku kalau sifat bendanya saja sudah bisa menerbitkan bencana apa lagi isinya."
"Dan engkau apa sebab sudah mereguk isi-nya" Sekarang apa yang harus Ibu lakukan" Ah bencana! Bencana."
Sederhana pengucapan Rukmini. Tetapi justru oleh kesederhanaan itu terasa sekali betapa
dahsyat pengaruhnya. Tak terasa wajah Sangaji berubah hebat. Dia merasa diri seolah-olah bencana itu sudah mulai bekerja. Itulah masalah Sonny de Hoop.Teringat hal itu terloncatlah perkataannya:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu sebenarnya aku sendiri tiada bernafsu untuk mempelajari rahasianya. Begini..."
Ia menceritakan kembali pengalamannya selama di benteng batu. Kemudian menge-sankan,
"Dan Titisari meyakinkan aku agar aku mempelajarinya. Katanya itulah satu-satunya jalan kalau aku ingin menuntut dendam Ayah. Tahukah Ibu siapakah pembunuh Ayah dahulu" Dialah suami
Bibi Sapartinah sekarang. Pangeran Bumi Gede."
"Kau berkata apa" Suami Sapartinah?" tungkas Rukmini.
"Itulah pembunuh Ayah. Dialah suami Bibi dan ayah angkat Dinda Sanjaya," sahut Sangaji.
Rukmini terpaku seperti kena pukau. Ia tak berkata sepatah kata, tapi wajahnya menjadi pucat.
Perlahan-lahan ia menundukkan kepala. Dan lama ia berdiam diri. Tatkala menegakkan pandang lagi, wajahnya kian menjadi pucat.
Hebat penanggungan Rukmini. Semenjak suaminya terbunuh, tak dapat ia melupakan wajah
dan perawakan pembunuh itu meski sedikitpun. Setiap kali ia mengesankan dan meresapkan lagu balas dendam ke dalam sa-nubari anaknya. Di luar dugaan, ternyata pembunuh itu kini menjadi suami Sapartinah.
"Mustahil! Mustahil!" ia berkomat-kamit. "Masakan Tinah sudi menerima cinta kasih musuh besarnya. Ah Mustahil! Mustahil..."
Rukmini jadi kebingungan seperti seorang kehilangan tiang agungnya dengan tiba-tiba. Setiap kali mulutnya melepaskan kata-kata mustahil, telinganya menjadi pengang sehing-ga ia merasa akan jatuh pingsan.
Sudah barang tentu keadaan Rukmini tidak terluput dari pengamatan Sangaji. Pemuda itu
menjadi resah berbareng gugup. Segera ia memeluk ibunya dan terus menyalurkan hawa
murninya. Kemudian ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ibu! Tadi aku menyinggung nama Titisari, bukan" Biarlah kukabarkan siapa dia sebenarnya."
Dengan sekuasa-kuasanya ia mewartakan diri Titisari, betapa gadis itu sering meno-longnya. Ia mulai mengisahkan riwayat perke-nalannya di Cirebon sampai peristiwa di ben-teng kuna. Namun tidak menyinggung tentang hubungan yang sesungguhnya, karena kha-watir akan menambah
kesusahan ibunya. Di luar dugaan ibunya tiada menaruh perhatian seperti yang dikehendaki. Bahkan seolah-olah tidak mendengarkan. Pada suatu saat Rukmini merenungi, kemudian memotong pembicaraan
dengan tiba-tiba.. "Aji! Apakah engkau sudah... melaksanakan tugas ayahmu?"
Sangaji kaget mendengar pertanyaan itu, meskipun semenjak meninggalkan padepokan
Gunung Damar sudah mempersiapkan jawab-annya. Dilihatnya wajah pucat lesi. Bibirnya
bergemetaran. Dan suatu warna kehijau-hijauan mulai memasuki kedua pipi dan dahinya.
Seperti kena pandang suatu kekuatan gaib, Sangaji meruntuhkan kepalanya. Dalam
kebimbangannya timbullah suatu keputusan yang menyakitkan hatinya. Ia harus mengakui dirinya tak becus melaksanakan tugas suci. Meskipun kejadian itu bertalian dengan peristiwa Sonny de Hoop yang mengharuskannya cepat-cepat balik pulang ke Jakarta karena sudah melampui batas waktu.
"Ayah dinda Sanjaya sangat mulia," katanya hati-hati. "Ia berwibawa pula dan memiliki laskar melebihi jumlah kompeni."
"Aji, engkau sudah melaksanakan tugas ayahmu?" potong Rukmini.
"Aku.,, aku..." Sangaji tergagap-gagap. "Ibu anakmu ini tiada mempunyai daya guna."
"Jadi belum?" potong Rukmini lagi.
Tak kuasa lagi Sangaji melepaskan kata-kata. Hatinya sangat pedih. Dua tahun yang lalu ia berangkat meninggalkan kota Batavia (Jakarta) dengan maksud menuntut dendam. Ternyata
hasilnya nihil. Bukankah masa bepergian yang sia-sia belaka" Memikir demikian hampir saja ia benci kepada dirinya sendiri.
Rukmini tak perlu menunggu ketegasannya lagi. Melihat Sangaji sudahlah dia bisa mene-bak sembilan bagian.
"Jadi belum" Syukurlah! O Tuhan yang Ma-ha Besar!" katanya setengah memekik. Sete-lah berkata demikian benar-benar kini ia jatuh pingsan.
Tak tahu Sangaji, apakah sebenarnya yang berkecamuk dalam dada Rukmini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
la melihat ibunya kehilangan kesadarannya. Ia kaget berbareng heran. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi kata: syukur. Ibunya mengucap rasa syukur. Kepada siapa" Dan apa
sebab" Rukmini sendiri tak pernah menjelaskan. Ia rebah selama lima hari lima malam, ia bukan sakit, tetapi sendi-sendi tulangnya seperti ter-lolosi. Kuyu ia merenungi dirinya dengan memejamkan mata. Hatinya tergoncang hebat.
Tatkala mendengar pernyataan Sangaji bahwa tugas suci itu belum dilaksanakan, hatinya
penuh syukur berbareng kecewa. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri-sendiri yang sama kuat dan sama pula dahsyatnya.
Lima belas tahun lamanya ia dibakar den-dam. Dan tiap orang tahu makin diri merasa lemah makin besar gelora pembalasan den-dam. Tiba-tiba kini ia tak bisa lagi melak-sanakan angan itu, yang dipandangnya seba-gai tugas suci demi arwah suaminya. Itulah disebabkan, karena
pembunuh terkutuk itu sudah menjadi suami Sapartinah. Dan ini merupakan suatu pukulan hebat baginya.
Betapa tidak" Seumpama Sangaji melak-sanakan tugas suci itu entah esok entah kelak
akibatnya lebih dahsyat. Bukankah Sapartinah bakal hidup merana" Dia sendiri oleh kemurahan Tuhan mendapat perlindungan Mayor de Hoop. Sebaliknya, siapakah yang bakal merawat sisa
hidup Sapartinah" Rukmini perempuan yang berhati sederhana itu tak bisa membayangkan dan tak bakal
memperoleh suatu gambaran, bahwa andaikata Sapartinah betul-betul sudah jadi janda akan
mendapat pasarannya sendiri. Sebab Sapartinah sekarang bukanlah Sapartinah yang dahulu.
Meskipun masih berhati mulia, tetapi, sudah bertambah molek, la seumpama sekuntum bunga di padang belantara sudah terangkat di atas pot porselin dan berada di tengah ruang yang serba bersih serta mentereng. Tubuhnya yang molek terawat baik dan tumbuh kian subur. Tidak
sembarang orang dapat menghampiri. Karena kini sudah berhak menyematkan tataran Raden Ayu, tak ubah putri seorang Pangeran. Maka tidaklah mengherankan, bahwa dia bisa menggoyahkan langit dan bumi jantung pangeran-pangeran lainnya. Diam-diam mereka mulai menaksir-naksir.
Karena itu sekiranya Raden Ayu Sapartinah benar-benar menjadi janda tidaklah usah dia
mengenakan pakaian berkabung lebih dari tiga bulan. Asalkan berkenan saja, siapa saja bersedia menjadi hambanya.
Di atas pembaringan, Rukmini mencoba berpikir perlahan-lahan. Mengeluh sering, "Ma-de Tantre! Aku gagal. Engkau pasti menanggung duka abadi." Dan teringat penanggungan suaminya di alam baka, ia menggigil tak setahunya sendiri. Rukmini percaya akan hal itu. Arwah-arwah di alam baka berperasaan dan hidup seperti di alam ramai. Berduka dan bersyukur. Bersedih dan bergembira. Dan kegagalan ini semua, bukankah suatu malapetaka terkutuk"
Diam-diam ia mulai meruntuhkan kesalahan ini kepada dua benda sakti yang kini dibawa-bawa Sangaji. Itulah bibit bencana yang tidak hanya menghancurkan kesejahteraan keluarganya di dunia saja tapi sampaipun menjamah di alam baka. Alangkah terkutuk.
Ancaman hebat yang bersembunyi di balik kedua pusaka sakti itu, bagi Rukmini bukan
merupakan ceritera takhayul belaka. Sebentar atau lama pasti terjadi. Ia yakin seyakin-yakinnya.
Soalnya sekarang, "Apa yang harus dilakukan?"
Pada hari yang keenam ia mulai melampui masa krisis. Ruang benaknya lambat laun jadi
bersih. Ia mulai bisa berpikir. Perasaannyapun mau pula meraba hatinya yang tidak lagi sekeruh kemarin.
Teringatlah dia, Sangaji baru saja pulang dari perantauan. Anak itu tak pandai me-masak. Siapa yang merawatnya selama ini" Oleh besarnya cinta kasih ia sampai tak memasukkan dirinya dalam persoalan itu. Ia mencoba menguasai diri. Tertatih-tatih ia bangkit. Tatkala melemparkan pandang ke tepi pembaringan, ia heran. Sebuah kursi berada di dekatnya. Dan diatasnyapun nam-pak sebuah niru penuh makanan. Di sisinya berdiri sebuah gelas panjang berisi susu sapi segar.
Dalam keheranannya ia melemparkan pan-dang ke pintu. Sangaji sudah berada di tempat itu.
"Ibu sudah bangun. Apakah Ibu mem-butuhkan sesuatu" Biarlah aku yang mengambilnya,"
katanya girang. Dengan cekatan Sangaji menyambar niru dan duduk di tepi tempat tidur. Sudah lima hari
Rukmini berbaring dengan memejamkan mata. Selama itu, tiada kemasukan sebutir nasi atau air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setegukpun. Sekarang Rukmini sudah bisa duduk. Keruan saja hati pemuda itu girang bukan
kepalang. Ia mengira ibunya perlu menelan nasi atau seteguk air. Karena itu segera ia hendak meladeni.
Rukmini tersenyum lemah seraya mengge-leng kepala. Katanya, "Masakan Ibu membu-tuhkan pelayananmu?"
"Tapi Ibu belum..."
"Nanti Ibu akan mengambil sendiri. Kau tak usah cemas. Ibu sudah sehat kembali, meski-pun agak pusing."
"Kalau begitu biarlah Ibu berbaring dan aku akan menyuapi."
Rukmini tertawa lemah. Katanya, "Kau dahulu, aku yang menyuapi makanmu. Sekarang engkau sudah begitu dewasa, tapi masih ingin aku menyuapimu untuk pada hari esok, lusa dan selama-lamanya."
"Akh... Ibu," hati Sangaji tergetar. Ia me-letakkan niru dan terus memeluk ibunya.
"Akh! Jangan kencang-kencang!" Rukmini menyanggah.
Senang Sangaji mendengar sanggahan itu. Itulah suatu tanda, bahwa hati ibunya sudah
menjadi ringan. Ia tetap memeluknya. Terasa dalam hati alangkah lemah. Ia jadi terharu. 'Dalam keharuannya terlintaslah bayangan ibu Sanjaya yang montok, padat dan subur. Dibandingkan dengan keadaan ibunya, sangatlah jauh berlainan. Dan ia jadi bertambah terharu.
Sangaji kini sudah bukan Sangaji dua tahun yang lalu. la sudah melihat dunia. Secara wajar sudah pandai mengadakan perbandingan.
"Ibu! Aku selalu membuatmu susah, dan membuat Ibu kecewa... sampai Ibu tidak ber-gerak selama lima hari lima malam."
"Lima hari lima malam?" Rukmini ter-cengang.
"Nah, Ibu sampai pula tak percaya sendiri."
"Sekarang waktu apa" Cobalah buka jen-dela!" tungkas Rukmini.
Sangaji bergegas membuka jendela. Suatu cahaya cerah menusuk dalam kamar. Dan dengan
melindungi suatu kesilauan, Rukmini berseru.
"Masya Allah! Pagi hari?"
"Ya... Pagi hari yang ke enam."
Rukmini mengeluh. Dengan pandang haru ia menatap wajah anaknya. Berkata, "Dan selama itu engkau di mana?"
"Merawat Willem dan menjenguk Ibu," sahut Sangaji sederhana.
"Willem" O... Willem kudamu," Rukmini tertawa dan berkata lagi, "Kau sudah bertemu dengan kakakmu Willem?"
Sangaji menggelengkan kepala.
"Kenapa?" "Bukankah Ibu sedang sakit" Lagi pula ia sedang berdinas ke luar kota."
"O... begitu" Biasanya setiap dua kali satu Minggu dia datang ke mari." Ia berhenti sejenak.
"Jadi selama lima hari engkau tak bepergian pula" Lantas bagaimana makan minummu?"
Sangaji kembali duduk di samping ibunya seraya menyahut:
"Selama Ibu berbaring, Sonnylah yang menyediakan makan-minum, untukku dan untuk Ibu."
"Sonny" Dia datang ke mari?"
"Tidak dia hanya utusan. Barangkali ia merasa diri akan mengganggu kita berdua. Bukankah masa perantauan selama dua tahun cukup panjang untuk diceritakan kembali" Katanya lewat
utusannya." "Akh... Sonny yang baik."
"Mendengar Ibu sakit, ia mengirimkan se-orang tabib." Sangaji menambahi. "Menurut tabib, Ibu tidak sakit. Apabila masa istirahat sudah cukup, Ibu akan sehat kembali. Ha ... benar juga."
"Sonny yang baik," kata Rukmini lagi. "Kau beruntung anakku, mendapat seorang isteri yang baik. Karena itu makin tebal keputus-anku: Aku akan menyuapimu untuk selama-lamanya.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan begitu, tak usahlah engkau bersusah payah mematuhi pesan pamanmu Wayan Suage
untuk membawa Ibu pulang ke kampung halaman."
Mendengar ujar Rukmini berubahlah wajah Sangaji. Cepat-cepat pemuda itu melem-parkan
pandang ke jendela. Dengan demikian Rukmini tak mengetahui kesan wajahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aji! Coba tolong Ibu berdiri! Lima hari tak melihat dapur, rasanya begini lama," kata Rukmini.
Dengan berdiam diri Sangaji menolong ibu-nya turun dari tempat tidur.
Malam itu Sangaji resah di atas tempat tidurnya. Ia bersyukur, ibunya sudah nampak sehat kembali. Tetapi teringat ucapannya me-ngenai Sonny de Hoop, hatinya berdegup.
Ia rebah terlentang merenungi atap, sambil mencoba memecahkan soal itu.
"Celaka... betapa Ibu mengerti persoalan hatiku. Sonny seolah-olah sudah ditetapkan menjadi isteriku. Dan biasanya Ibu tidak mengharapkan sanggahan."
Teringat cara berpisahnya dengan Titisari di Cirebon hatinya sakit. "Ke mana dia pergi" Mustahil dia pulang ke Karimunjawa."
Ia kenal watak Titisari seperti bagian dari tubuhnya sendiri. Adatnya keras, liar dan mau menang sendiri. Tetapi anehnya justru warisan watak ayahnya itulah yang menambat hatinya. Ia merasa diri seakan-akan wajib menyertainya barang ke mana dia pergi, bagaikan bingkai dengan lukisannya. Tanpa dia di sampingnya, pastilah Titisari bisa berbuat sesuatu yang tak diharapkan.
Semakin dipikir, Sangaji makin menjadi khawatir. Dan rasa ingin tidur tiada sama sekali.
Perlahan-lahan ia bangun dan setelah merapikan pakaian terus ke luar halaman.
Waktu itu sudah larut malam. Kota dalam keadaan sunyi-senyap. Di atas bintang berge-tar
lembut dan bulan sipit tertutup awan.
Semenjak tiba di Jakarta ia mengenakan celana panjang model terbaru seperti keba-nyakan
pemuda-pemuda anak serdadu pada zaman itu. Dengan demikian ia tidak nampak menyolok.
Seperti diketahui, rumah ibunya kini pindah di kompleks militer, semenjak ia merantau ke Jawa Tengah.
Sesudah melalui penjagaan, ia memasuki bagian pinggir kota. Ia menuju ke suatu gun-dukan tanah. Di sana ia hendak duduk meng-hempaskan diri sambil melepaskan pengli-hatan ke tengah alam tiada berintang. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suatu pembicaraan dari balik unggun batu.
Segera ia melesat menghampiri dengan tak usah khawatir akan diketahui. Ilmu saktinya kini berada di atas tujuh pendekar sakti. Kalau Gagak Seta dahulu bisa mempermainkan dirinya, seperti siluman di sekitar makam lmogiri, apa lagi kemampuannya kini. Meskipun setan sendiri belum tentu bisa mendengar kehadirannya.
"Kosim!" ujar seseorang. "Gusti Amat memerintahkan kita berdua menunggu utus-annya di unggun batu ini. Kau tahu apa sebabnya?"
"Ha... kau seperti bisa menebak suara hatiku. Semenjak tadi aku ingin memperoleh keterangan darimu."
"Baik! Kau tahu pula apa sebab unggun batu ini bernama Rababa Tapa?"
Toha kau jangan main teka-teki! Aku orang udik dari Banten, masakan tahu perkara batu
peninggalan segala?" kata Kosim setengah menyesali.
Tetapi Toha tidak segera memberi ke-terangan. Ia berbicara memutar, "Gusti Amat memang manusia luar biasa. Sekiranya aku memiliki kepandaian seperti dia... huh... huh! Akan kulabrak Kompeni Belanda seorang diri. Mengapa" Karena dia memiliki suatu karunia alam yang jarang dimiliki seseorang. Barang-kali nama unggun batu Rababa Tapa adalah nama samarannya. Kau pernah bertemu muka dengan beliau?"
"Belum. Aku hanya mendengar kabar ten-tang perawakannya. Sedang tetapi gesit."
"Benar. Itulah beliau," sahut Toha. "Kompeni boleh mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari dia. Tetapi aku berani bertaruh, sampai cucunya beruban takkan mampu. Kau percaya tidak."
"Kalau tidak sedari dulu percaya, masakan aku sudi mengabdikan diri?" tungkas Kosim. "Tetapi tolong terangkan apa sebab unggun batu ini bernama Rababa Tapa!"
"Itulah singkatan nama dari Ratu Boang dan Kyai Tapa," kata Toha dengan suara bangga.
"Itulah pemimpin pemberontakan Banten. Dan Kyai Tapa adalah gurunya. Menurut kata orang, kerajaan Banten semenjak kemasukan janda serdadu, menjadi kerajaan boneka. Hidup tidak
matipun tidak." "Kau maksudkan permaisuri Ratu Fati-mah?" potong Kosim. "Siapa lagi kalau bukan dia.
Bukankah Ratu Fatimah bekas isteri Letnan VOC" Nah, dengan ilmu iblisnya dia berhasil memikat hati Sultan. Setelah Sultan mabuk dia minta bantuan kompeni agar Sultan diasingkan dengan dalih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengadakan permusuhan dengan pihak Belanda. Terang ini suatu fitnah! Maksud sebenarnya,
hendak menyembunyikan perbuatan mesumnya dengan menantunya sendiri."
"Sepak terjangnya memang mengherankan orang," potong Kosim dengan suara masgul. "Yang saya herankan, apa sebab narapraja tiada mengadakan suatu pembelaan."
"Ratu Fatimah adalah anak setan. Kau tahu?" sahut Toha cepat.
"Semenjak ia mengerti Sultan menjadi anjingnya mulailah dia berbisik-bisik bahwa Sultan sesungguhnya mempunyai penyakit gila. Tentu saja untuk menguatkan fitnah itu, ia sudah
mempersiapkan bukti-bukti lengkap. Dia menyarankan bahwa demi kesejahteraan negara,
sebaiknya menantu Sultan dilantik menjadi Sultan. Entah bagaimana sebabnya, saran itu diterima.
Dan setelah Sultan tua ditendang ke luar negeri dan Sultan baru naik tahta, sekaligus dia menjadi malaikat perem-puan. Sebab dengan begitu, bukankah dia lantas menjadi penguasa tunggal tanpa tandingan" Dari Sultan tua dia berhak menerima warisan sebagai permaisuri syah. Dan dari menantunya yang kelak menjadi suaminya pula, menerima kekuasaan penuh. Sebab si menantu
selain merasakan manisnya madu,merasa pula berhutang budi kepadanya. Bukankah tahta
kerajaan datang dari dia?" )
"Kemudian muncullah Ratu Bagus Boang."
"Ya, Ratu Bagus Boang."
"Hanya sayang, kini tiada kabar beritanya lagi."
"Ha... kau salah," tungkas Toha dengan suara bergelora. "Kau pendekar dari Banten, masakan tak pernah mengenal pemimpin besarmu?"
"Itulah sebabnya, karena aku orang udik," sahut Kosim dengan mengeluh. Dia agak menyesali diri. Kemudian meninggikan suara, "Apakah engkau mempunyai rejeki besar untuk mengenal beliau?"
"Kalau engkau saja tidak pernah mengenal, apalagi aku orang Sunda Kelapa."
"Jika demikian apakah alasanmu menya-lahkan aku?"
"Ini disebabkan, karena Gusti Amat meng-gerakkan kita untuk menolong Panembahan
Tunjungbiru. Bukankah kau masih ingat, nama Panembahan Tunjungbiru semasa mudanya"
Dialah pahlawan Otong Darmawijaya. Pendekar besar pada zaman itu."
Mendengar disebutnya nama Ki Tunjung-biru, hati Sangaji terkesiap. Siapakah mereka itu"
tanyanya di dalam hati. Apakah mereka sudah mendapat kabar di manakah Ki Tun-jungbiru
berada dan kini diam-diam hendak menolongnya"
Ini bukan pekerjaan gampang.
"Hai, bukankah Ki Tunjungbiru salah se-orang sahabat Ratu Bagus Boang?" seru Ko-sim.
"Itulah alasanku," ujar Toha. "Menolong ke-susahan adalah termasuk darma orang-orang semacam kita. Tapi bermusuhan dengan pihak Kompeni bukankah mudah. Salah-salah kita
mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Namun Gusti Amat nampaknya tidak menghiraukan. Dengan bersemboyan sekalipun menyeberang lautan golok harus ditempuh demi membebaskan
Panembahan Tunjungbiru dari cengkeraman Kompeni, bukankah membuktikan bahwa Gusti Amat
sesungguhnya pahlawan Ratu Bagus Boang?"
"Menilik kita berdua diperintahkan menunggu utusan beliau di unggun Batu Rababa Tapa, hatiku bertambah yakin. Sebab sekitar batu milah beliau bertempur yang penghabisan kali
melawan musuh besarnya. Kemudian meng-iang dengan tiada beritanya lagi..."
Perkataan Toha terputus oleh suatu suara. Dari sebuah ketinggian tanah terdengar tepukan tangan tiga kali. Toha segera mem-balas bertepuk tangan tiga kali pula.
Sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak di depan mereka dan berkata, "Gusti berpesan kalian tak usah menunggu lagi. Ka-lian diharapkan agar berkumpul di alamat ini!"
Orang itu mengeluarkan saputangan bersu-lam, kemudian berkata lagi, "Dalam sepuluh hari lagi kalian harus sudah berkumpul dengan yang lain pada suatu tempat di barat daya. Kelak akan ditentukan pembagian tugas. Yang penting beliau mengharap agar jangan bertindak sendiri-sendiri."
Setelah menerima saputangan bersulam, orang itu melesat lagi dan hilang dalam kege-lapan.
"Tempat di barat daya" Di manakah itu?" Kosim minta keterangan kepada kawannya.
Sangaji melihat Toha membisikkan sesuatu. Kemudian mereka menuruni gundukan de-ngan
berkata berbisik- bisik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepuluh hari lagi, hati Sangaji memukul. Apakah Ki Tunjungbiru sudah dibawa masuk ke kota"
Sangaji menghitung-hitung masa keberang-katannya dari kamp Kompeni. Teringat Sonny sudah di dalam kota lima hari yang lalu, maka besar dugaannya bahwa Ki Tunjungbiru pada saat itu sudah berada pula di Jakarta.
Maling Budiman Berpedang Perak 3 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 4