Pencarian

Bende Mataram 34

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 34


Waktu itu fajar mulai terasa meraba tubuh. Buru-buru ia kembali pulang. Setibanya di pinggiran kota, sekonyong-konyong terlihatlah dua penunggang kuda melintas dengan cepat. Segera Sangaji menajamkan pendengaran, karena melihat mereka sedang berbicara de-ngan berbisik.
"Jangan lupa, sepuluh hari lagi!" kata yang satunya.
"Apakah kau memerlukan dinamit?"
"Kau jangan ribut! Grusilah dirimu dahulu. Sampai bertemu..."
Mereka tertawa berbareng dan setelah saling memberi hormat segera berpisahan dengan
mengambil jalannya masing-masing. Gerak-gerik mereka gesit dan kelihatan berkobar-kobar
semangatnya. Dengan pikiran tertindih, Sangaji memasuki kota dengan perlahan-lahan. Penglihatan itu
membuat dirinya jadi perasa. Dua tahun lamanya ia merantau. Dan dia bisa merasakan betapa merdeka hidup demikian. Apa lagi kalau sedang dipacu suatu darma kemanusiaan. Alangkah
menggairahkan. Teringat hal itu, ia merasa diri terkurung. Hatinya lantas mengeluh.
Semua pendekar seluruh penjuru sedang bergerak untuk membebaskan Ki Tunjungbiru,
katanya di dalam hati. Tak kukira Ki Tunjungbiru yang salah, begini besar pengaruhnya. Terang sekali ia tidak hanya milik rakyat Banten saja, tapi milik seluruh Jawa Barat. Aku yang berhutang budi kepadanya, masakan akan tinggal diam"
Memperoleh pikiran demikian, tergugahlah semangatnya. Tiba-tiba hatinya jadi tenang dan
terhibur. Setibanya di rumah, ia melihat ibunya duduk di atas kursi di serambi depan dengan berselimut kain. Hari belum pagi benar. Apa sebab Ibu seperti memaksa diri berada di luar rumah" Sangaji terkesiap. Dengan agak gugup ia minta keterangan.
"Ibu mengapa?" Rukmini menatapnya dengan wajah segar-bugar. Menyahut, "Engkau ke mana saja" Lain kali kalau akan ketamuan bilanglah! Dengan demikian Ibu bisa bersiap-siap sebelumnya. Lihatlah sahabat-sahabatmu memasak kopi sendiri. Sampai-sampai mereka sibuk pula mengurusi Ibu.
Melihat Ibu kurang sehat, mereka menggodok obat. Anehnya, obat itu membuat Ibu tidak takut angin lagi."
"Sahabat-sahabatku" Siapa?" Sangaji ter-cengang.
"Kalau bukan sahabat-sahabatmu, masakan bisa menduga seperti rumahnya sendiri" Hanya saja semenjak kapan engkau mempunyai sahabat-sahabat seusia ayahmu" Lain kali engkau harus menceritakan semua pengalamanmu selama dua tahun dalam perantauan," kata Rukmini.
Rukmini kemudian bangun tertatih dan ter-bata-bata memasuki kamarnya. Dan Sangaji yang
berada di belakangnya bertambah-tam-bah heran mendengar keterangan itu.
"Biarlah kutengoknya siapa mereka," katanya.
Mereka yang menyebut diri sebagai saha-bat-sahabatnya ternyata duduk berkumpul di ruang
belakang. Semua berjumlah tujuh orang.
Dengan berindap Sangaji mengintip dari sela pintu masuk yang tertutup sebelah.
Ternyata mereka duduk di atas tikar panjang seperti orang lagi mengepung kenduri. Piring-piring dan cawan-cawan yang kosong dan yang berisi berserakan tak teratur. Meskipun mereka bergerak dengan berdiam, tetapi berkesan bergembira serta bebas dari ikatan adat-istiadat.
Pantas Ibu berkata mereka adalah saha-bat-sahabatku, kata Sangaji di dalam hati. Kemudian ia mulai mengamat-amati mereka. Yang empat orang adalah manusia lumrah dengan bagian tubuh
seperti manusia umum-nya. Tetapi yang tiga memiliki perawakan tubuh serta kesan luar biasa.
Yang duduk di seberang, seorang yang ber-kepala sangat besar. Dadanya bidang dan ter-buka, sehingga bulu dadanya yang hitam kehitaman nyata sekali. Di sampingnya duduk seorang yang berpakaian putih bersih. Wajahnya terang dan berkesan rapih. Perawakan tubuhnya mengingatkan Sangaji kepada Pangeran Bumi Gede. Ia selalu bergerak-gerak dengan kepala sebentar-sebentar bergoyang seperti lagi berzikir. Dan yang satunya berpakaian seorang pendeta pada zaman itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjubah panjang dan lagi sibuk mengganyang mangga mentah. Ia kelihatan girang. Juga empat orang lainnya.
Sangaji bertambah heran melihat mereka. Sebab tiada seorangpun yang dikenalnya. Teringat akan pengalamannya dahulu, segera ia melesat ke dalam kamarnya. Ia menjenguk pusaka
saktinya. Ternyata masih utuh dan sama sekali tidak berubah dari tempatnya.
"Jika demikian mereka bermaksud apa?" Sangaji menduga-duga. Meskipun ia kini sudah memiliki ilmu tersakti di kolong jagat ini, namun hati dan pikirannya masih saja tetap sederhana.
Coba seumpama ia Gagak Seta, pastilah akan mengambil tindakan lain terhadap tamu yang
berhak ia curigai. "Salah seorang dari mereka telah memban-tu mengembalikan kesehatan Ibu dan mereka
nampaknya bersikap ramah serta bersahabat. Pastilah mereka bermaksud baik."
Pikiran Sangaji yakin. Ia segera berbatuk dan membuka pintu masuk.
Begitu ia muncul di ruang belakang, seorang yang duduk di sebelah barat terus berdiri seraya menyambut, "Ah, saudara kecil! Tujuh tahun tak melihatmu, kini sudah menjadi begini."
Sangaji berdiri terpukau oleh kaget dan rasa heran. Itulah suara yang dikenalnya tadi di dekat unggun batu Rababa Tapa.
Meskipun tidak mengenal wajahnya karena gelap malam, tetapi suaranya tak gampang-
gampang hilang dari pengamatannya. Dialah Kosim pendekar dari Banten yang berbicara dengan pendekar Toha. Teringat bahwa orang itu harus berkumpul di suatu alamat yang diberikan oleh seorang utusan dari yang menyebut diri Gusti Amat, hati Sangaji memukul. Dengan demikian bukankah alamat yang dimaksudkan adalah rumahnya"
Celaka! Mereka mengenal aku dan aku jus-tru tak mengenal mereka, biar seorangpun, pikir
Sangaji dalam hati. Tak sengaja ia menyiratkan pandang.
"Saudara kecil!" kata Kosim tak menghi-raukan kesan orang. "Akulah Kosim. Dan ini-lah sahabat-sahabatku Acep, Ateng dan Memet. Tujuh tahun yang lalu bukanlah kami berempat
pernah berendeng dengan kedua gurumu melawan iblis Pringgo Aguna" Sayang Hasan terlalu
pendek umurnya sehingga tak berkesempatan menyaksikan betapa engkau membunuh iblis itu."
Tujuh tahun yang lalu dengan tak sengaja, Sangaji membunuh iblis Pringga Aguna de-ngan
pistolnya. Waktu itu dia tak sadar bahwa di tengah la-pangan sedang terjadi suatu pertarungan se-ngit mengadu nyawa. Ia hanya melihat sesosok tubuh menggeletak tak berkutik di atas rerumputan dan tiga orang meng-erang-erang terluka parah. Itulah Kosim, Acep dan Memet. Sedangkan yang selamat dari malapetaka adalah Ateng seorang.
Sangaji tiada mengenal mereka. Sebab selain digulung-gulung rasa kaget dan bi-ngung, malam hari dalam keadaan gelap. Namun ia tak bisa melupakan peristiwa yang dahsyat itu. Bukan sebab musabab terjadinya pertarungan itu, tetapi peristiwa pembunuhan iblis Pringga Aguna yang ternyata berekor panjang.
"Budi Saudara setinggi gunung! Coba kala itu Saudara Kecil tiada datang masakan kami berempat masih bisa bertemu di sini," kata Kosim lagi, "dan belum lagi kami dapat mem-balas budi, lagi-lagi kami merasa berhutang. Kawan-kawan seperjuangan di Cirebon me-wartakan
betapa Saudara Kecil mencoba menolong Panembahan Tunjungbiru dengan melabrak perkemahan
seorang diri. Hebat! Hebat! Benar-benar kami merasa takluk dan kagum."
Kosim kemudian memperkenalkan tiga kawan lainnya. Ternyata orang yang berkepala sangat
besar bernama Kamarudin, dan yang berpakaian rapih bernama lnu Kertapati. Sedangkan orang yang mengenakan jubah panjang bernama Sidi Mantra.
Kamarudin lantas saja tertawa panjang kemudian berkata, "Anak Sangaji! Tahu kalau engkau berhati baja melebihi pendekar pasti-lah siang-siang Akang sudah bersahabat de-nganmu.
Sekarang biarpun rumahmu berada di tengah perkampungan militer, masakan aku perlu bersegan-segan?"
Lagi-lagi ia tertawa gelak. Berkata lagi, "Tapi lebih bijaksana, kalau kita segera pergi meninggalkan perkampungan terkutuk ini. Hari sudah mendekati pagi hari. Kalau sampai ketahuan orang-orang tangsi, bukankah akan membuat susah tuan rumah?"
Setelah berkata demikian, ia merogoh suatu kotak dari dalam saku celananya dan ditaruh di atas tikar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anak Sangaji," katanya dengan suara membujuk. "Aku orang udik dari daerah pegu-nungan Cirebon, membawa sedikit oleh-oleh sebagai tanda persahabatan. Harap engkau sudi
menerimanya." Ia membuka kotak dan mengeluarkan segandeng buah berwarna putih susu. Melihat buah itu
serempak lainnya berseru, "Dewa Ratna! Bukankah ini buah Dewa Ratna yang hanya terdapat dalam sebuah dongengan?"
Nama buah "Dewa Ratna" sesungguhnya dikenal orang dari kisah Ramayana belaka. Konon dikabarkan bahwa pada suatu hari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran menerima anugerah dewata dan kemudian ditanamnya di dalam salah satu tamannya. Ternyata pohon itu susah sekali
dipelihara. Menurut tutur kata tabu kena sentuh tangan seorang wanita. Ini terbukti begitulah sahibul hikayat tatkala kena raba permaisuri, raja lalu mengutuk. Bahwasanya raja dengan seluruh istananya akan dibawa ke alam siluman setelah kena dirusak Prabu Ciung Wanara. Ternyata kutuk itu terbukti. Sedangkan buah Dewa Ratna semenjak itu hanya menampakkan sekali dalam seratus tahun untuk satu hari saja. Karena itu barang siapa dapat memetiknya adalah seumpama
memperoleh karunia dewa sendiri.
Keruan saja mereka yang memperoleh kesempatan melihat buah dewata itu merasa seperti
kejatuhan rembulan. Mereka tak henti-hentinya memuji hadiah itu setinggi langit.
"Khasiat buah ini bukan kepalang besar-nya," kata Kamarudin. "Selain bisa menyem-buhkan semua penyakit dan menolak racun, dapat memanjangkan umur pula. Tadi kulihat ibumu kurang sehat, lalu aku menggodok air. Setelah kuadukkan selintasan, benar-benar manjur."
"Ibumu lantas saja menjadi segar bugar." Ia berhenti sebentar dan menatap Sangaji de-ngan mata berseri-seri. Menambahi, "dapat dikatakan bisa menghidupkan kembali orang mati. Kau sekarang belum membutuhkan. Tapi kelak bila umur sudah menjangkau sera-tus tahun, makanlah sebuah! Maka usiamu akan bertambah seratus tahun lagi!"
"Mengapa dua buah?" kawan-kawannya minta keterangan.
"Itulah untuk bakal isterimu. Bukankah sebentar atau lama engkau bakal berumah tangga juga?"
Semua orang tertawa bersyukur dan wajah Sangaji berubah menjadi merah.
Sejenak kemudian pendekar yang berpa-kaian rapih menggerayangi sakunya sambil berkata,
"Saudara Sangaji! Aku Inu Kertapati ingin pula menyampaikan rasa terima kasih rakyat Jawa Barat kepadamu."
la mengeluarkan sebuah kunci. Setelah itu sebuah kantong panjang yang disembunyikan di
belakang punggung semenjak tadi. Kemu-dian dengan cekatan ia mengeluarkan sebuah kotak
besi. Segera ia menyematkan kunci dan membuka tutupnya. Di dalamnya nampak se-bilah pedang hitam-lekam. Bentuknya me-manjang bujur telur dan tumpul. Kesannya tak menarik sama sekali.
Sebab tiada bedanya dengan golok penjagal lembu.
"Saudara Sangaji! Meskipun nampaknya tidak menarik, tetapi pedang ini adalah pedang mustika," kata Inu Kertapati seolah-olah bisa menebak hati mereka. "Beratnyapun seratus kati.
Karena itu tidak sembarang orang dapat memakainya. Aku sendiri hanya bisa mengangkatnya
melulu. Untuk menggunakan sebagai alat bertempur, jangan harap."
"Kalau tak bisa digunakan sebagai alat ber-tempur, lalu untuk apa?" tungkas Kosim.
"Orang bilang, Dengan pedang tajam mera-jam lawan. Dengan pedang tumpul meng-gugurkan gunung," sahut lnu Kertapati dengan suara ditekankan.
"Tetapi bagaimana cara menggunakan, aku sendiri kurang mengerti. Dahulu kala, di ta-ngan majikannya pedang ini bisa menyibak dan membendung tinggi gelombang yang me-landa
bergulungan." "Siapakah nama majikannya?" mereka bernapsu.
"Itulah pendekar besar Lukman Hakim yang hidup pada zaman Sultan Mataram pertama."
"Dia sendiri berasal dari kasultanan Cirebon. Dan dengan pedang mustika ini, ia malang melintang tanpa tandingan sampai ahli pedang dari dunia barat "Baron Sekeber" tak kuasa melawan. Ilmu pedangnya bisa diwarisi oleh anak cucunya yang menggunakan nama keluarganya dan merupakan salah satu cabang ilmu sakti tiada bandingannya. Hai apakah kalian pernah
mendengar nama pendekar sakti Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon" Nah, beliau itulah salah seorang ahli waris dan termasuk keluarga pendekar Lukman Hakim pertama."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mengenal nama Kyai Haji Lukman Hakim dari mulut Ki Tunjungbiru untuk yang pertama kalinya. Dia termasuk salah seorang dari tujuh orang pendekar sakti yang hidup sezaman dengan eyang gurunya, Kyai Kasan Kesambi.
"Pedang ini bernama Sokayana," kata lnu Kertapati lagi. "Aku atas nama rakyat Jawa Barat mengharapkan agar dengan sebilah pedang ini engkau akan menjadi Mercu Suar keadilan dan
lambang cinta-kasih umat manusia."
Setelah berkata demikian tiba- tiba ia meng-hunus goloknya. Sebelum orang-orang me-ngerti apa maksudnya, ia meletakkan golok-nya pada pedang Sokayana. Trak! Golok ditangannya patah menjadi dua dan terpelan-ting mental ke atas menancap atap. Sedang-kan pedang Sokayana
sama sekali tak ber-geming. Semua orang bersorak kagum.
Kemudian Sidi Mantra yang selama ini belum membuka mulut berkata dengan suara paraunya.
"Pedang bagus! Akupun membawa oleh-oleh. Tapi tentu saja tak dapat dibandingkan dengan hadiah persembahan rakyat Jawa Barat."
la mengeluarkan serenceng berlian dari dalam jubahnya. Begitu kena sinar lampu itu sendiri.
Semua yang melihat berteriak memu-'i. Mereka semua tahu, bahwa harga kalung berlian itu
melebihi harga sebuah, kota.
"Kalung ini dahulu menjadi alat pesolek Ratu Fatimah sampai bisa memikat hati Sultan Banten,"
kata Gomat lagi. "Tetapi di tanganmu kelak, akan menjadi alat ampuh penggebuk Kompeni Belanda."
Semenjak tadi Sangaji membungkam mulut, la merasa diri menjadi bingung. Semakin dipikir
semakin menjadi tak mengerti.
"Apakah maksud sebenarnya" Mendengar ara mereka berbicara agaknya bukan milik-nya
sendiri," katanya di dalam hati. "Barang-barang ini belum tentu dapat diperoleh seseorang dalam jangka waktu seratus dua ratus tahun. Biarpun dia seorang raja kalau tidak kejatuhan rejeki rasanya mustahil pula bisa memiliki."
la menoleh kepada Kosim untuk memper-oleh keterangan. Melihat Kosim teringatlah dia kepada utusan yang membawa nama Gusti \mat. Mau tak mau ia jadi berpikir keras.
"Saudara Kecil," kata Kosim dengan mata berseri-seri. "Barang-barang hantaran sudah engkau terima. Biarlah pertemuan ini kita habisi sampai di sini saja. Kami berempat yang justru merasa berhutang budi padamu belum dapat berbuat sesuatu. Nanti sepuluh hari lagi, aku akan datang menjemput engkau."
Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat kemudian berangkat mendahului. Teman-
temannya mencontoh perbuatannya. Begitu pula tiga pendekar yang gerak-geriknya berkesan luar biasa itu.
Mereka tak lupa minta diri terhadap Ruk-mini. Di halaman fajar hari benar-benar telah tiba.
Terompet tangsi terdengar melengking menusuk udara. Dan sekali melesat mereka hilang dari penglihatan.
Sepuluh hari lagi, aku akan dijemput. Bu-kankah hari yang ditentukan di barat daya" pikir Sangaji dalam hati. la terkejut sewaktu mendengar ibunya berkata, "Aji! Sahabat-sahabatmu luar biasa gerak-geriknya. Mengingatkan aku kepada kedua gurumu. Semenjak kapan engkau
bersahabat dengan mereka" Ibu sudah sehat kembali. Hayo ceritakan semua pengalamanmu
selama engkau merantau dua tahun. Ibu berjanji akan mendengarkan dengan cermat."
Bagi Sangaji ucapan ibunya terlalu banyak untuk fajar hari itu. Dan ia tahu, ibunya menaruh curiga kepada mereka. Diam-diam hatinya mengeluh. Selama hidupnya belum pernah ia
terbohong. Apa lagi terhadap ibunya. Tetapi -nengingat ibunya baru sembuh dari kegon-cangan hati, terpaksa berkata, "Sepuluh hari agi mereka akan datang. Pada saat itu akan ".erang siapakah mereka."
Setelah berkata demikian, bergegas ia ke serambi belakang. Buah Dewa Ratna dan Ka-jng
Mutiara dimasukkan ke saku. Tetapi ia tak D'.sa menyembunyikan pedang Sokayana dari sandang ibunya. Mau ia mengarang kete-"angan, tiba-tiba Rukmini berkata di luar dugaan, "Sekalipun lapat-lapat, kudengar tadi pembicaraan mereka. Engkau tidak hanya mendapat kepercayaan
mereka, tetapi kude-ngar nama rakyat daerah barat dibawa-bawanya pula. Nah, simpanlah barang han-:aran baik-baik! Hanya saja mulai sekarang engkau bakal sibuk."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hebat kata-kata itu. Meskipun terdengarnya sederhana tetapi mengandung peringatan luar
biasa tajam. Sangaji merasa diri seperti terpukul palu godam. Dengan berdiri tegak ia memandang ibunya.
Pada sore hari. Willem Erbeveld datang berkunjung sehabis dinas. Terhadap Sangaji opsir itu menganggapnya sebagai jiwanya sendiri. Itu disebabkan, karena ia merasa berhutang nyawa.
Begitu melihatnya terus saja memeluknya. Kemudian berkata dengan terharu, "Dua tahun aku tak menilik kepandai-anmu. Kabarnya engkau sudah maju jauh. Syukurlah, hatiku ikut senang.
Malahan tahun ini bakal mertuamu masuk ke pendidikan militer. Dengan demikian mempercepat dia menyerahkan gadisnya penuh-penuh kepadamu. Kau beruntung, adikku Sony benar-benar
calon isterimu yang setia. Meskipun banyak opsir-opsir yang menjadi sainganmu dia tetap
berkiblat kepadamu. Bukankah ia ikut menyertai ayahnya ke Jawa Tengah semata-mata
bermaksud menyusul dirimu?"
Setiap kali ia teringat persoalan Sonny, hatinya jadi pepat. Ia merasa diri seolah-olah
menghadapi ancaman malapetaka. Itulah sebabnya begitu mendengar kakaknya mem-bicarakan
hal itu wajahnya berubah hebat. Gn-tung, Willem Erbeveld tidak berprasangka jauh. Ia mengira adik angkatnya likat5) mendengar sendaunya sebagai lazimnya pemuda-pemuda masa-masa
birahi. Memikir demikian, Willem Erbeveld segera mengalihkan pembicaraan, la kini membica-rakan
hal-hal yang bersangkutan dengan di-
5). Ukat: merasa malu nas. Katanya, "Pada akhir-akhir ini, kerusuhan di dalam negeri meningkat. Juga di Eropa Barat. Napoleon Bonaparte menduduki hampir semua negeri
tetangganya. Juga negeri Belanda tak terkecuali. Kurasa kita akan mengalami perubahan tata pemerintahan6)."
Willem Erbeveld berbicara sampai malam, pukul sebelas ia pulang dan Sangaji terus
menghempaskan diri di tempat tidur. Hatinya kian jadi pepat.
"Sebentar atau lama aku pasti menghadapi penyelesaian pertunangan. Ibu betapa mung-kin dapat mengetahui perasaanku. Seumpama mengetahui, apakah bedanya" Kasihan Titisari!"
Dalam kegelisahannya tiba-tiba menyentuh kotak besi hadiah pendekar lnu Kertapati. Suatu pikiran menusuk benaknya. "Dengan pedang tajam merajang lawan. Dengan pedang tumpul menggugurkan gunung," katanya. "Apakah maksud itu" Pastilah ini bukan kata-kata kosong."
Perlahan-lahan ia bangun dan mengendap menghampiri kamar ibunya. Ternyata ibunya belum
tidur. Dia lagi menjarumi bakal baju.
"Ibu! aku hendak pergi berlatih," katanya.
6). Waktu itu Gubernur Jendral Daendies dalam perjalanan menuju Indonesia untuk mengambil peralihan memerintahan.
Sudah sering Rukmini memberi restu Sangaji pergi berlatih pada malam hari. Itulah terjadi tatkala Sangaji menekuni pelajaran-pelajaran kedua gurunya. Hanya saja kali ini agak berkesan luar biasa. Sebagai seorang ibu memperoleh firasat bahwa anaknya tak tenang hati. Tetapi apa yang menyebabkan demikian, ia tak terang.
"Aji!" katanya, "kau belum lagi sebulan da-tang dari bepergian. Apakah engkau sudah cukup beristirahat?"
Terhadap ibunya, selamanya Sangaji mera-sa dirinya kecil. Dengan membawa rasa kekanak-
kanakan, ia menarik lengan ibunya, sambil berkata, "Ibu aku mendapat sebilah pedang yang belum lagi kuperiksa. Lihat!"
Kotak besi pedang Sokayana kemudian di-taruhkan di atas meja. Penerangan di dekat-nya.
Sesudah kotak dibuka dan sejenak me-mandang ibunya, diangkatlah pedang itu. Tapi baru
terangkat beberapa kaki, pedang itu terlepas dari tangannya dan jatuh bergelontangan di atas meja. Sangaji terkesiap senjata itu berat luar biasa. Panjangnya hanya dua kaki lebih, tetapi beratnya benar-benar melebihi semua pedang dari manapun juga.
Tetapi sebenarnya meskipun pedang itu se-ratus kali lebih berat bagi Sangaji bukan merupakan soal lagi. Tadi dia tidak bersiaga sewaktu mengangkatnya, sehingga terlepas dari tangan. Sekali lagi ia mengangkatnya sambil mengerahkan tenaga sepersepuluh bagian. Akibatnya mengagetkan ibunya. Tiba-tiba pedang itu mendengung kena getaran tenaga sakti.
"Aji, ini pedang sakti macam apa lagi," Rukmini pucat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji memeriksa pedang Sokayana. Mata pedang itu tumpul dan ujungnya juga tumpul.
Benar-benar mengherankan! pikirnya. Bagai-mana pendekar Lukman Hakim dahulu meng-
gunakannya selain berat tumpul pula. Ia me-meriksanya lebih cermat lagi dan melihat huruf-huruf kecil yang terukir di atas dasar kotak besi. Pedang berat tiada tajam. Kepan-daian tinggi nampak sederhana. Demikianlah bunyi huruf-huruf itu.
SEKALI LAGI SANGAJI berdiri tercengang. Benar-benar ia tak dapat mengerti. Dalam dirinya kini mengalir ilmu sakti tiada banding-annya di dunia. Namun terhadap macam ilmu kepandaian, ia belum mempunyai pengertian luas. Kecuali warisan ilmu kedua gurunya. Wirapati dan Jaga
Saradenta kemudian secara kebetulan memperoleh ilmu sakti dari pendekar sakti Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi, tiada lagi mempelajari ilmu kepandaian lainnya. Karena itu, ia tak dapat menebak maksud guratan huruf-huruf itu. Semangat untuk mencoba menyelami sekaligus
membakar dirinya. "Aku sendiri belum jelas," katanya kepada ibunya. "Karena itu besar hasratku untuk mengetahui. Dengan demikian aku tak menyia-nyiakan harapan yang memberikan hadiah ini."
Sudah barang tentu Rukmini tak dapat mengerti kata-kata Sangaji. Ia hanya minta penjelasan dari raut muka anaknya. Sebentar ia merenungi, kemudian berkata, "Baiklah. Sekiranya hatimu bisa terhibur, Ibu merestui. Hanya saja baik-baik engkau membawa diri."
Di tepi pantai Sangaji menebas udara de-ngan perlahan-lahan. Ia mengerahkan tenaga dua
bagian. Kemudian tiga bagian. Dan setiap kali ia mengerahkan tenaga, bunyi dengung itu
bertambah keras. Begitu ia menebas udara dengungnya naik sepuluh kali lipat. Ia heran bukan main.
Segera ia bergerak dengan ilmu pedang Wirapati yang banyak kembangannya dan banyak pula
tipu muslihatnya. Bagi dia yang sudah memiliki tenaga sakti tiada bandingnya, tidak menemui kesukaran yang berarti meskipun pedang Sokayana berat luar biasa. Namun untuk mengejar kelincahannya ia hampir memusatkan seluruh tenaga. Tak terasa keringatnya keluar bertetesan.
Menggunakan pedang berat, memang nam-pak berwibawa pikirnya dalam hati. Tetapi jika terus menerus begini, bukankah akan menguras habis tenaga sendiri"
Memikir demikian ia segera hendak berhen-ti. Di luar dugaan, berbareng dengan maksud itu, ia merasakan suatu dorongan tenaga yang sangat besar memukul dirinya. Seperti ini, seorang anak membawa sebuah martil berputaran. Makin lama makin kencang, kemudian dia hendak berhenti dengan tiba-tiba. Maka martil yang beratnya sudah menjadi berlipat ganda oleh tenaga putaran, akan memukul balik apabila tiada imbangan tenaga berat. Demikian pula yang dialami Sangaji.
Tetapi untunglah, tenaga Sangaji adalah tenaga mukjizat, ia bisa menguasai semua berat
benda di dunia ini sekehendak hati. Maka begitu merasakan tenaga dorongan, cepat ia
mengerahkan tenaga saktinya. Ia berhasil merenggut berhenti dengan mendadak. Tetapi tak
urung tubuhnya bergoyangan juga.
Hebat! Dahulu aku mampu menjebol batu pegunungan dan melontarkan jauh untuk kususun
menjadi sebuah benteng batu. Mengapa aku kini terguncang oleh hanya sebilah pedang yang
beratnya tak lebih dari seratus kati" pikirnya heran.
Masih saja ia belum sadar akan perbeda-annya. Dahulu ia mengerahkan tenaga untuk menjebol dan melontarkan. Tapi kini ia mengerahkan tenaga sendiri berbareng dengan mengumpulkan
tenaga putaran. Kemudian tenaga tersebut bukan untuk dilontarkan, tetapi justru memukul balik di atas tenaga sendiri yang sedang dikerahkan. Ini disebabkan karena ia berhenti berputar dengan mendadak. Keruan saja ia hampir tak tahan kena dorong suatu tenaga melebihi imbangan tenaga sendiri.
la bukan Titisari yang dapat menangkap suatu persoalan dengan cepat. Namun diapun bukan
seorang pemuda yang tolol dalam arti sebenarnya. Begitu ia menghadapi suatu per-soalan yang dianggapnya pelik, segera ia me-ngerahkan keuletan hatinya. Maka ia meng-ulangi dan
mengulangi. Apabila masih saja terbentur pada persoalan itu, ia beralih kepada ilmu sakti Gagak Seta yang sederhana jurus-jurusnya. Tiba-tiba ia menemukan suatu kenyataan menggirangkan.
Seperti diketahui ilmu sakti Kumayan Jati bersifat merangsang dan menyerang. Begitu tenaga saktinya dikerahkan dan diarahkan ke laut, pedang Soka-yana tiba-tiba menjadi semacam alat bidik. Gelombang laut seketika terloncat ke udara seperti kena pukulan sebuah bukit batu. Dan makin ia melepaskan pukulan dengan ber-tubi-tubi hebatnya tak terkatakan lagi se-akan-akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barisan jutaan tentara berkuda, pukulannya menggeledek menyambar garis gelombang laut yang datang melanda pantai, suaranya bergemuruh seperti gugurnya sebuah gunung. Setiap pukulan yang men-darat di permukaan laut, meledak dahsyat melebihi geledek dan melambungkan gelombang setinggi gunung.
Tenaga sakti Sangaji sudah pernah me-ngagumkan hati Adipati Surengpati, Gagak Seta, Kyai Kasan Kesambi dan Kebo Bangah.
Namun melihat akibat pukulan itu wajah Sangaji berubah pucat. Pikirnya, apakah ini yang
dimaksudkan orang, bahwa dengan sebi-lah pedang tumpul menggugurkan gunung" Ia sibuk
menimbang-nimbang. Tebasan pedang tidak menyentuh sasaran, namun sudah dapat menahan
dan menyibakkan arus gelombang.
Tahulah dia kini, apa sebab pedang Soka-yana berdengung manakala ia mengerahkan tenaga
sakti. Ternyata pedang itu merupakan saluran pembuangan tenaga sakti yang dah-syat luar biasa.
Sebab setiap kali digerakkan dengan tenaga sakti, ia menghimpun tenaga sakti tersebut berbareng dengan tenaga gerakan. Dengan demikian tenaga lontarannya menjadi berlipat ganda. Bisa
dibayangkan betapa pedang itu menjadi dahsyat di tangan Sangaji yang memiliki tenaga sakti jauh di atas tujuh pendekar sakti.
Semenjak itu, saban malam Sangaji berlatih. Ia masih tetap menggunakan jurus-jurus Kumayan Jati. Makin sederhana, makin dahsyat akibatnya. Seperti ia ketahui sendiri, ilmu sakti Kumayan Jati memiliki jurus-jurus sederhana.
Sebaliknya apabila ia memainkan jurus-jurus ilmu pedang ajaran Wirapati, jauh bedanya.
Meskipun kini tidak lagi berbalik memukul diri, tetapi tenaga himpunannya buyar. Ini disebabkan, karena habis tertebar oleh jurus kembangan dan tipu muslihat yang berliku-liku.
Mengertilah aku sekarang apa yang dimak-sudkan dengan bunyi huruf kepandaian tinggi
nampaknya sederhana, pikirnya dalam hati dengan girang.
Memperoleh pikiran demikian, kini ia men-coba menyederhanakan gerakan jurus Kuma-yan
Jati. Sudah barang tentu hal itu tidaklah gampang. Sebab samalah halnya dengan mencipta jurus-jurus itu sendiri. Dan dia bu-kanlah masuk golongan manusia demikian.
Dengan mengeraskan hati, ia mencoba mengumpulkan semua jurus-jurus ilmu kepandaian
dalam ingatannya. Mulai dari ajaran Jaga Saradenta, Wirapati, Gagak Seta dan Kyai Kasan
Kesambi sampai pengalaman-nya melihat jurus pertarungan antara jago-jago tua. Kemudian ia mencoba menggubahnya. Namun masih saja ia gagal.
"Dasar aku tolol, betapa aku mencoba yang bukan-bukan," ia mengeluh dalam hati.
Memikir demikian, ia tak mau berusaha lebih lanjut. Dasar hatinya sederhana dan sepi dari kerangsangan angan (ambisi) maka ia berpikir, aku sudah mewarisi ilmu sakti Bende Mataram.
Meskipun baru sebagian, kalau saja bukan anugerah Tuhan, betapa mungkin demikian. Masakan kini memikir yang bukan-bukan seolah-olah tidak tahu terima kasih.
Hatinya lantas menjadi puas. Memang guratan rahasia yang terdapat pada keris Tunggul Manik adalah ilmu sakti tertinggi di dunia, la merupakan saluran tenaga hakiki manusia yang paling dahsyat. Kini secara tak terduga-duga ia memiliki pedang Sokayana pula, yang sesungguhnya mengandung magnit poros bumi yang tiada duanya di dunia. Keruan saja tenaga sakti leburan Kumayan Jati"Bayu Sejati"Getah Dewadaru dan Madu Tunjungbiru yang tersalur lewat ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik dan kemudian terhimpun di pedang sakti Sokayana, merupakan
bendungan tenaga yang luar biasa seumpama bisa menggo-yahkan langit dan bumi. Tenaga
pelontarannya dilipat gandakan beberapa kali dengan tenaga berat pergerakan pedang. Andaikata Sangaji seorang pemuda yang tidak memiliki ilmu kepandaian sejuruspun, pukulannya masih
mampu meremukkan tiga ekor gajah sekaligus menjadi beberapa potong. Karena itu ucapan
hatinya sudah mendekati kebenaran mutlak.
Tetapi sekonyong-konyong ia seperti men-dengar suara lantang pendekar Gagak Seta.
"Hai tolol! Kau boleh menjadi gagah, tapi kalau kehilangan Titisari, engkau tak bisa b-kerja."
Dan teringat Titisari, hatinya lemas, la yang sudah terhibur beberapa hari lamanya, bere-nung-renung kembali. Perasaannya sakit manakala teringat betapa cara Titisari berpisahan di Cirebon.
Selagi hatinya diamuk badai ingatannya, pendengarannya yang tajam mendengar suatu
benturan tajam berbareng dengan bentakanbentakan. Terang itulah suatu pertarungan sengit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada babak permulaan. Ia heran. Pikirnya, siapakah yang bertempur di dekat pantai itu" Memikir demikian, sekali melesat ia sudah tiba di dekat mereka. Kemudian menonton di luar gelanggang.
Seorang wanita usia pertengahan, dikerubut dua orang laki-laki. Perempuanan itu bersenjata sebilah pedang panjang. Sedang yang mengembut bersenjata tongkat. Meskipun dikerubut dua, perempuan itu dapat bergerak dengan leluasa. Dengan didahului siulan lembut, ia menubruk lawannya yang berpakaian rapih. Belum lagi lainnya memperbaiki kedudukan, ia menyabetkan pedangnya ke arah lawan.
Melihat seorang perempuan, dikerubut dua orang laki-laki, sudahlah mengherankan hati
Sangaji. Dan ia semakin heran tatkala menge-nal siapa kedua orang laki-laki itu. Mereka ternyata Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Ilmu kepandaian mereka tiada celanya. Tetapi menghadapi
perempuan itu, mereka mati kutu. Gerakannya seperti ayal-ayalan.
Inu Kertapati yang terancam sabetan pe-dang, menangkis dengan tongkatnya. Tongkatnya
terbuat dari monel. Begitu berbenturan menerbitkan suara nyaring memekakkan telinga.
Perempuan itu memekik terkejut. Tak pernah ia mengira, bahwa tongkat yang biasanya
dipergunakan untuk menyapu atau membabat, dapat digunakan sebagai pedang oleh lawannya.
Buru-buru ia menarik pula ancamannya. Kemudian ia menyambar ikat kepala Sidi Mantra seraya membentak, "Lepas!"
Gerakan itu sama sekali tak terduga-duga. Nampaknya hanya menyambar ikat kepala. Tetapi
sebenarnya menerkam ubun-ubun dengan tenaga dahsyat. Itulah yang dinamakan menyerang
dengan meminjam tenaga lawan.
Sidi Mantra terkejut menghadapi kegesitan lawan. Ia merasakan pula tenaga sambaran, hingga pundaknya tergetar. Namun di saat segenting itu ia tak menjadi gugup ia meng-genjot badannya lantas saja ia melesat ke udara sambil memunahkan tenaga lawan.
Sangaji ikut merasakan ketegangan itu. Tak terasa ia menarik napas. Pikirnya, perempuan itu hebat. Tetapi apa sebab begitu kejam"
Oleh gebrakan tadi masing-masing terpisah pada tiga kedudukan dan saling mengagumi
kegesitan lawan. Sejenak mereka berdiam diri kemudian terdengar Inu Kertapati berkata, "Edoh8) Permanasari! Mengapa dendam yang sudah melampaui masa liga puluhan tahun,
8). Edoh: Bunyi kata Edoh seperti: anteng: embargo atau elok masih saja kau bawa-bawa"
Kekasihmu Ka-marudin sudah hidup bahagia dengan Nursanti selama tiga puluh tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Mengapa selagi Kamarudin bepergian untuk menunaikan tugas sebagai seorang pencinta negara, engkau membunuh istri dan anak-anaknya seperti membabat ayam
belaka?" Perempuan yang disebut Edoh Permanasari tertawa tinggi sambil menjawab, "Aku mem-
bunuhnya atau tidak apa sangkut pautnya denganmu?"
"Kamarudin adalah sahabatku. Mana bisa aku tinggal berpeluk tangan mendengar ke-luarganya tertimpa malapetaka?"
"Bagus kau mengaku sebagai sahabatnya" Sahabat yang mana" Kamarudin atau perem-puan yang tidak kenal malu?"
"Kedua-duanya," sahut lnu Kertapati.
Tiba-tiba Sidi Mantra membentak, "Menga-pa kau menyebut isterinya sebagai perempuan yang tidak kenal malu" Engkaulah perempuan siluman jahanam!"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edoh Permanasari tak meladeni. Dengan sikap dingin ia tertawa tinggi lagi.
Sangaji terkesiap mendengar beberapa rentetan percakapan mereka. Beberapa hari yang lalu, Kamarudin bersama-sama kawan-nya datang di rumahnya dengan membawa barang-barang
hantaran dua buah Dewa Ratna. Apakah malapetaka yang menimpa keluarganya, bersamaan
dengan waktu kunjungannya itu" Dan ia lantas sibuk menduga-duga.
"Edoh Permanasari! Kau memang iblis!" kutuk lnu Kertapati. "Kau tak bisa melihat ke-bahagiaan orang. Lantas mengambil tindakan di luar batas kemanusiaan."
"Apa itu kemanusiaan?" tungkas Permana-sari. "Aku justru bertindak menegakkan kemanusiaan."
"Kemanusiaan?" seru lnu Kertapati dan Sidi Mantra berbareng. "Mengapa tidak?"
"Kau siluman jahanam!" bentak Sidi Mantra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lagi-lagi Edoh Permanasari tertawa dingin. Dengan suara bergelora ia berkata, "Kalian menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kemanusiaan. Bagus! Meninggalkan dan menyianyiakan seseorang selama tiga puluh tahun bukankah perbuatan di luar kemanusiaan" Coba
jawab!" lnu Kertapati dan Sidi Mantra saling memandang. Kemudian dengan suara agak sabar lnu
Kertapati menjawab, "Aku tahu kau jadi kejam karena gagal dalam percintaan. Itulah tidak tepat.
Kamarudin sudah memilih jalannya sendiri dan kemudian sudah menjadi suami orang serta
menjadi ayah tiga orang anak puia. Ia pernah kena siksa gurumu demi untukmu. Tapi apa sebab engkau masih merusak kebahagiaan hidupnya?"
"Kau maksudkan apa dengan kata-kata memilih jalannya."
"Ah, Edoh kau berlagak pilon. Bukankah karena dia memihak laskar Ratu Bagus Boang dan engkau memihak Ratu Fatimah?"
Dengan bersikap angkuh Edoh Permanasari tertawa perlahan. Kemudian berkata menyim-
pangkan pembicaraan, "Tentang dia kena sik-sa guru sampai kepalanya membengkak besar, itulah bukan kesalahanku. Coba ia mau menyerahkan buah Dewa Ratna dengan baik-baik dan pandai
melihat gelagat, aku tanggung dia tak perlu bercacat tubuh. Meskipun demikian, aku tetap menghargai. Sudah kubujuk dia, agar melupakan cara hidup berkeliaran tak keruan juntrungnya...
tetapi dia membandel. Apakah manusia begitu termasuk orang pendekar kemanusiaan?"
"Apakah hubungannya antara bujukanmu dan kemanusiaan?"
"Karena..., karena dia pergi dengan mem-bawa hatiku."
9)Pilon: linglung "Perempuan siluman!" maki Sidi Mantra dengan hati panas. Meledak. "Apakah dengan alasan itu, engkau merusak kebahagiaannya?"
"Dia menyingkir dariku, kemudian kawin dengan perempuan lain. Bukankah menghina aku" Dia mempertahankan buah Dewa Ratna dengan mati-matian, kemudian diberikan ke-pada anak
kompeni, bukankah menghina guruku" Itulah perbuatan di luar batas."
Sangaji terkejut mendengar disinggungnya buah Dewa Ratna dan kata-kata anak kom-peni.
Siapa lagi yang dimaksudkan dengan anak kompeni kecuali dia. Apakah buah Dewa Ratna milik perempuan itu" Pikirnya dalam hati, sekiranya milik perempuan itu, maka perbuatan Kamarudin kurang benar. Sebaliknya perbuatan perempuan itu membunuh keluarga Kamarudin juga tak
dapat dibenarkan. Selagi memikir demikian, terdengar Inu Kertapati berkata, "Siapa saja tahu, gurumu Ratu Fatimah adalah iblis terkutuk. Dan engkau adalah muridnya. Kamarudin mening-galkan engkau karena memihak kepada yang benar. Itulah laki-laki tulen. Sebab buat laki-laki yang tahu arti kebajikan hidup, akan meletakkan urusan negara dan bangsa di atas kepentingan sendiri. Coba seumpama dia menuruti kemauanmu sehingga bersedia menghambakan diri kepada gurumu yang
terkutuk itu, anjingpun masih beruntung. Begitulah engkau akan membahagiakan" Tentang buah Dewa Ratna meskipun akan diberikan kepada iblispun, apa pedulimu" Siapa saja tahu buah Dewa Ratna itu bukan kepunyaan gurumu, meskipun siluman itu sudah mengangkat diri menjadi pewaris kerajaan. Kau pasti tahu pula bahwa buah Dewa Ratna adalah mustika warisan almarhum Sultan Maulana Muhamad10) kepada anak cucunya. Akhirnya jatuh kepada Ratu Bagus Boang dan
dipercayakan kepada sahabatku Kamarudin. Sebelum ratu Bagus Boang musna, beliau memberi
pesan kepada rakyat Banten bahwa mewariskan buah Dewa Ratna kepada siapa saja tanpa
memandang bulu, asalkan si-pewaris diharapkan menggantikan kedudukan beliau untuk
meneruskan perjuangan rakyat Banten dikemudian hari. Alhamdulilah! Setelah buah Dewa Ratna mengeram sepuluh tahun lebih dalam peti simpanannya oleh petunjuk pendekar sakti,
Tunjungbiru, rakyat Banten menemukan pewarisnya yang tepat. Itulah yang kausebutkan sebagai anak kompeni."
10). Sultan Banten pada tahun 1500. Sultan pujaan rakyat Banten karena berhasil membawa
kesejahteraan dan kejayaan
"Kau pernah melihat dia"11)"
Edoh permanasari mendengus. Kemudian menjawab tak kalah gertak, "Aku melihat dia atau tidak, apa bedanya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus! Kau bakal menumbuk batu."
Edoh Permanasari tertawa panjang. "Aku ingin melihat tampangnya bocah yang begitu berani menyebur dalam lautan api ini. Kalau bisa biar kusadarkan dahulu apa artinya menerima buah Mustika Dewa Ratna. Itulah berarti membuang nyawa sia-sia. Sebab Mustika Dewa Ratna adalah jiwa Kerajaan Banten."
"Eh, Apakah maksudmu bukan obat muja-rab gurumu agar tetap awet muda?" potong Sidi Mantra.
"Kau bilang apa?" bentak Edoh Permana-sari.
"Aku bilang, gurumu kepingin awet muda agar bisa mempunyai kekasih baru lagi. bukan"
Seperti kau yang sudah menjadi nona tua selama tiga puluh tahun, bukankah masih usilan
mengurusi perkara cinta kasih" Nah, janganlah nama kerajaanku kaubawa-bawa untuk menutupi kedok kebusukan kalian.
Bagi seorang perempuan seperti Edoh Permanasari, sebutan nona tua merupakan suatu
pantangan besar. Tak mengherankan Edoh Permanasari menerjang Sidi Mantra de-ngan memekik geram. Dengan pedang pan-jangnya, ia merabu dan menikam dengan suatu gerakan maut. Tetapi Sidi Mantra siang-siang sudah bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya pedang, segera ia
menangkis dengan mengadu tenaga. Pikirnya, masakan tenagaku kalah dengan tenaga
perempuan" Tetapi ternyata ia salah duga. Suatu tenaga berat menindih tongkatnya. Dan
lengannya terasa kena tarik. Buru-buru ia meloncat mundur sambil memutar tongkatnya bagaikan kitiran. Kemudian mengeluarkan ilmu simpanannya untuk menjaga diri rapat-rapat.
Inu Kertapati segera pula membantu teman-nya. Dalam beberapa gebrakan ia tahu bahwa Sidi Mantra bukan tandingan Edoh Perma-nasari. Cepat ia menerjang dari belakang, sambil
membentak, "Mengingat Kamarudin aku bersikap segan menghadapi semua keja-hatanmu. Tapi kini engkau merusak keluarga Kamarudin. Maka jangan salahkan aku! Hari ini kalau bukan aku, engkaulah yang mampus.
"Bagus! Kaulah sendiri yang berkata bosan hidup. Aku sih hanya mengiringkan kehendakmu,"
sahut Edoh Permanasari sambil menangkis serangan selintasan. Kemudian ia menjejak tanah
melesat ke depan. Nampaknya ia menyerang Sidi Mantra. Diluar dugaan tiba-tiba ia meliukkan tubuhnya ke belakang dengan lemas seolah-olah pinggangnya tidak bertulang. Dengan cara begitu tiba-tiba saja ia sudah bisa menempel Inu Kertapati sangat dekat. Sudah barang tentu, Inu Kertapati kaget setengah mati. Untuk menggerakkan tongkat-nya sudah tidak mungkin, karena jaraknya terlalu dekat. Mundur pun tidak keburu. Dalam seribu kerepotannya, tangan kirinya menghantam dagu lawan. .
Edoh Permanasari memiringkan tubuhnya. Tangannya menyambar pergelangan tangan Inu
Kertapati. Kemudian dengan meminjam tenaga lawan, ia melesat mundur sambil tertawa,
merendahkan. Celakalah Inu Kerta-pati. Sama sekali tak diduganya, bahwa per-gelangan
tangannya bakal kena sambar dan didorong maju. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga hampir
sepenuhnya. Karena itu, begitu kena dorong ia seperti sebuah benda yang dilontarkan. Tak ampun ia
menubruk Sidi Mantra yang pada saat itu sedang maju menggempurkan tongkatnya. Mereka
berdua terpental mundur bergo-yangan. Masih untung, tongkat Sidi Mantra hanya menyambar
udara. Sangaji mengeluh. Bukan melihat keadaan mereka, tetapi karena dirumun persoalan yang tadi didengarnya. Tak kusangka, bahwa disinipun aku mengalami peristiwa semacam perebutan
pusaka Bende Mataram. Pikirnya dalam hati, aku telah menerima buah Dewa Ratna. Bukankah
sama halnya dengan warisan pusaka Bende Mataram" Di Jawa Tengah, orang-orang gagah saling bertempur semata-mata untuk dapat memiliki pusaka Bende Mataram. Disini pun ternyata ada pihak tertentu yang bersedia mengadu nyawa demi buah sakti Dewa Ratna. Mengapa aku seperti harus terlibat dalam sesuatu hal yang tidak kumengerti sendiri" Ia mencoba mencari kunci jawabannya. Tetepi anehnya semakin dipikir semakin ia tak mengerti.
Dalam pada itu pertarungan digelanggang kian lama kian menjadi seru. lnu Kertapati dan Sidi Mantra berkelahi dengan bernafsu. Gerakan tongkatnya tidak segan-segan lagi. Mereka merangsak maju dibarengi dengan bentakan-bentakan. Namun masih saja Edoh Permanasari dapat melayani
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan leluasa. Dengan berlenggak-lenggok seakan-akan menari, ia menanti setiap serangan, dengan tepat. Apabila membalas, gerakanya sangat gesit dan serangannya sukar diduga.
lnu Kertapati semula berkelahi dengan setengah hati. Ia mengenal Edoh Permanasari semenjak masih gadis remaja. Budi pakarti Edoh Permanasari, halus tiada cela. Maka ia bermaksud hendak membawanya ke jalan yang benar. Kemudian akan ditarik kepi-haknya. Dengan demikian akan
memperteguh barisan laskar Banten dan akan melemahkan pihak raja. Tetapi ternyata Edoh
Permanasari kini menjadi manusia lain. Kehalusanya dahulu tiada lagi. Ini disebabkan gara-gara gagalnya masalah cinta semata. Ia tak pernah bermimpi, bahwa soal cinta kasih dapat membuat manusia baru. Seseorang mendadak bisa bertambah umur karena memperoleh suatu kelegaan
dalam soal cinta kasih. Sebaliknya seseorang bisa berubah dengan tiba-tiba, karena gagal dalam cinta kasih pula. Dan Edoh Permanasari yang dahulu halus budi, tiba-tiba kini menjadi manusia yang ditakuti hampir semua pendekar-pendekar seluruh Jawa Barat. Benar-benar masalah cinta kasih mempunyai dunianya sendiri.
TATKALA HATINYA PERNAH DIPATAHKAN KAMARUDIN, Edoh Permanasari hampir gila. Dengan
mengandung dendam ia hendak melabrak rumah tangga bekas kekasihnya.
Tetapi gurunya berbareng majikannya (Ratu Fatimah) menyadarkannya, bahwa dia bukan
tandingan Kamarudin. Dendam tanpa perbe-kalan samalah halnya dengan mengantarkan nyawa
dengan sia-sia. Mungkin mengingat perhitungannya masa lalu, Kamarudin tidak akan
membunuhnya. Tetapi pelabrakan itu sendiri berarti suatu kegagalan yang mema-lukan. Edoh Permanasari dapat disadarkan. Kemudian dengan penilikan gurunya, ia me-nyekap diri selama dua puluh tahun lebih.
Pada tahun berikutnya, mulailah ia mencoba ilmu kepandaiannya. Ia kini sangat membenci
semua laki-laki dan perempuan yang memperoleh kebahagiaan dalam soal cinta kasih. Malahan ia membenci pula kanak-kanak yang selalu subur hidupnya akibat cinta kasih orang tuanya. Dan golongan inilah yang menjadi korbannya yang pertama kali. Puluhan bahkan ratusan sejoli
dibunuhnya tanpa mengenal ampun. Anak-anak mereka dimusnahkan sampai ke bulu-bulunya.
Sudah barang tentu sepak terjangnya menerbitkan suatu kegemparan hebat dalam kalangan
para pendeta. Tetapi ia tak menghi-raukan. Dengan sebilah pedang panjang ia menghadapi
mereka yang ingin melenyapkan-nya dari muka bumi. Ternyata bukan Edoh Permanasari yang
lenyap. Sebaliknya seorang demi seorang ditumpasnya dengan seorang diri saja. Dengan demikian gerakan para pen-dekar hanya menambah jumlah korban bela-ka. Malahan semenjak itu Edoh
Permanasari kian menjadi heran, karena sudah keyakinan diri. Sekarang ia berani memasuki golongan pencinta-pecinta negara dengan terang-terangan. Dan akhirnya sebagai puncak sepak terjangnya, ia membasmi keluarga Kamarudin sampai keakar-akarnya. Keruan saja Inu Kertapati kehilangan kesabarannya. Dengan mengajak Sidi Mantra ia mengejar Edoh Permanasari. Dalam hatinya ia hendak menawannya hidup atau mati untuk kemudian akan diserahkan kepada
Perserikatan Pecinta Negara seluruh Jawa Barat.
Tetapi di luar dugaan, ilmu kepandaian Edoh Permanasari benar-benar berada di atas
kemampuannya sendiri. Makin ia bernapsu hendak menumpasnya sendiri. Makin ia hen-dak
menumpasnya, makin terasa betapa dia menjadi mati kutu. "Tak kusangka, setelah lewat tiga puluh tahun, ilmu kepandaiannya begini maju pesat," Inu Kertapati mengeluh dalam hati.
"Edoh!" serunya kemudian dengan garang. "Benar-benar engkau ini bukan manusia lagi."
"Eh, mengapa begitu" Bukankah akupun salah seorang penegak sendi-sendi keadilan dan kemanusiaan."
"Kemanusiaan" Kau bunuh keluarga Kama-rudin tanpa memandang bulu, apakah itu
berperikemanusiaan?" bentak lnu Kertapati.
"Mengapa tidak?" sahut Edoh Permanasari sambil menangkis serangan Sidi Mantra. "Dengan matinya isteri dan anaknya, maka dia akan mengerti arti kemanusiaan sesung-guhnya. Aku pernah menderita selama tiga puluh tahun. Dan sekarang dia baru mulai. Paling tidak kuharapkan selama tiga puluh tahun pula. Itulah baru adil. Dengan demikian bukankah aku ikut menegakkan hukum keadilan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perempuan siluman! Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu," teriak lnu Ker-tapati. Dan dengan menggerung, ia mener-jang. Sidi Mantra tak ketinggalan pula. Namun serangan Sidi
Mantra tak serapih kawannya. Tongkatnya kena tangkis dan terpental ke udara.
Dengan terkesiap ia melompat mundur. Matanya melihat sebatang pohon lamtara se-besar dua genggam manusia dewasa. Segera menghampiri. Dengan mengerahkan tenaga ia mencabut
pohon itu sampai ke akar-akarnya.
"Benar-benar besar tenangamu!" kata Edoh Permanasari dengan tersenyum.
"Perempuan siluman puluhan tahun kita tak berjumpa. Ternyata ilmu kepandaianmu
mengagumkan hatiku. Benar-benar engkau nona tua yang harus kuhargai."
Dua kali berturut-turut Sidi Mantra mengejek Edoh Permanasari dengan sebutan nona tua.
Keruan saja hati Edoh Permanasari mendongkol bukan kepalang. Sekarang sorot matanya
mengandung sinar pembunuhan. Dengan memekik ia menebaskan pedangnya. Sidi Mantra cepat-
cepat mengangkat pohon-nya dan menyapu pedang lawan.
Dengan manis Edoh Permanasari menarik kebasannya. Kemudian sambil mengelak ke samping
ia membabat kaki. Ternyata Sidi Mantra kepandaiannya tidak rendah. Begitu melihat serangan Edoh Permanasari mengarah kaki. Cepat ia menjejak tanah dan melambung di udara. Dari atas ia hendak menggencet kepala. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya pedang. Inilah serangan susulan yang tidak terduga-duga. Hatinya terkesiap. Pada saat ia menyerahkan diri pada nasib, tongkat lnu Kertapati menyapu pedang Edoh Permanasari sehingga menerbitkan suara berdesingan. Dengan tangkisan itu, Sidi Mantra dapat menancapkan kakinya di atas tanah. Ia mera-sa dirinya lolos dari lubang jarum. Hatinya lega bukan main. Tapi gebrakan itu sendiri, membuat keringatnya menjadi dingin.
Edoh Permanasari tidak mengira serangan-nya akan gagal. Karena yang membuat kega-galan
Inu Kertapati, maka ia memusatkan perhatiannya kepada pendekar berpakaian rapih itu. Gesit ia menggerakkan pedangnya, serangannya hebat, sehingga menerbitkan suara menggaung. Ujung
pedang mengarah ke dada. Inu Kertapati menyambut serangan itu de-ngan tak kalah gesit. Juga gerakan tongkatnya
menerbitkan suara mengaung. Edoh Permanasari terkesiap. Sadarlah dia bahwa lawannya kini berkelahi dengan sungguh-sungguh. Segera ia menambah tenaga tekanan. Dan suatu bentrokan terjadi untuk kesekian kalinya. Tetapi kali ini hebat akibatnya. Tongkat Inu Kertapati rompal sedikit.
"Pedang bagus!" puji Inu Kertapati. Kemu-dian berkata kepada Sidi Mantra, "Biarkanlah aku mencoba seorang diri."
Mendengar ucapan Inu Kertapati, Edoh Permanasari tertawa geli. Katanya, "Kau boleh
menyebut diri seorang pendekar kemanusiaan. Tapi kau bukan tandinganku. Kau percaya tidak?"
Inu Kertapati seorang pendekar yang cermat dan tidak gampang-gampang kena terbakar
hatinya. Meskipun demikian, hatinya tak tahan juga direndahkan demikian. Dengan menggerung dia menyapu dan membabatkan tongkatnya. Namun betapapun juga, benar-benar ia tak mampu
berbuat banyak. Edoh Permanasari terlalu hebat baginya. Dan tiga puluhan jurus telah lewat dengan cepat. Sama sekali ia tak dapat menyentuh tubuhnya. Akhirnya ia jadi gelisah sendiri.
"Kau percaya tidak?" ejek Edoh Permana-sari. "Kalau aku mau melukaimu, gam-pangnya seperti membalik tangan sendiri. Kau percaya tidak?"
"Hem... boleh coba," dengus Inu Kertapati.
"Bagus! Kau sendiri yang mencari penyakit tetapi mengingat perhubungan kita dahulu, aku hanya menginginkan sepotong bajumu." Dan benar- benar ia membuktikan ucapannya. Entah bagaimana ia bergerak tahu-tahu pedangnya menyambar secepat kilat. Brebet! Dan lengan baju Inu Kertapati terpotong sebagian.
Melihat temannya dalam bahaya, Sidi Mantra tidak berpikir panjang lagi. Terus saja ia
melompat sambil menyodokkan senjatanya. Meskipun ia sangat bernafsu untuk melam-piaskan
rasa marahnya, tetapi berat batang pohon mengganggu kesehatannya.
Sekarang, Edoh Permanasari memperli-hatkan puncak kepandaiannya. Setelah mengelak ke
samping, ia meloncat tinggi dan hinggap di atas pohon. Kemudian pedangnya disabetkan. Sudah barang tentu, Sidi Mantra kaget bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa Edoh Permanasari bisa berbuat begitu. Dalam gugupnya Sidi Mantra menyabetkan pohonnya ke kiri kanan dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maksud hen-dak menggulingkan lawan ke tanah. Tetapi sambil tertawa Edoh Permanasari berlari-larian di atas batang pohon mengarah padanya.
lnu Kertapati terhenyak menyaksikan kelincahan dan kecerdikan lawan. Benar-benar ia kagum.
Tetapi begitu ia melihat berkelebatnya pedang, Edoh Permanasari hendak menebas lengan Sidi Mantra, cepat ia membenturkan tongkatnya.
Edoh Permanasari mundur cepat-cepat. Sesudah itu betapa Sidi Mantra membolang-balingkan
pohonnya, tetap saja ia melengket di atasnya. Manakala lowong, ia datang menyerang. Kemudian mundur apabila tongkat lnu Kertapati menyambut serangannya.
Diperlakukan demikian, Sidi Mantra benar-benar mati kutu. Makin lama berat pohon terasa
semakin berat. Meskipun berat badan Edoh Permanasari tidak seberat kerbau, tapi paling tidak menambahi
berat pohon enampuluh kati. Tenaganya lambat laun mengendor karena lelah. Celakanya ia tak bisa memukul balik lawan. Suatu pikiran mengajak dia untuk melontarkan pohon itu ke udara.
Tetapi hal itu, berarti ia tak bersenjata lagi. Juga Edoh Permanasari menyerang dari udara, bukankah dia terpaksa lari terbirit-birit.
Sidi dalam kebimbangan. Ia melihat lnu Kertapati menghampiri Edoh Permanasari sambil
merabukkan tongkatnya. Dengan berlari-larian Edoh Permanasari melayani dari atas pohon. Dan ia jadi bersakit hati, karena merasa diri sebagai pelayan Edoh Permanasari untuk melonjorkan batang pohon baginya. Memikir demikian ia menjadi gemas. Tak memedulikan akibatnya lagi, ia benarbenar melontarkan batang pohon ke udara. Kemudian bergulingan ke tanah untuk membebaskan diri dari suatu serangan balasan yang mungkin terjadi. Dugaannya tepat. Edoh Permanasari benarbenar menyerang setelah tubuhnya terlontar di udara. Tetapi ia bukan menyerang dengan
pedangnya. Suatu kesiur angin lembut melesat bagaikan kilat. Dan dengan suatu teriakan tinggi, Sidi Mantra menggeletak tak berkutik.
Waktu itu fajar hari belum tiba. Karena itu apa yang menyebabkan Sidi Mantra sampai berteriak tinggi, kurang jelas. Setelah rebah tak berkutik, ia mengerang sambil mengutuk.
"Perempuan siluman! Kau menggunakan senjata apa?"
Edoh Permanasari tertawa selintasan sambil memunahkan serangan Inu Kertapati. Kemudian
berkata dengan suara penuh kemenangan.
"Itulah Jarum Gunung Gilu12', Permaisuri Ratu Fatimah yang termasyhur. Engkau kena jarum Gilu. Itulah berarti nyawamu tinggal se-perempat jam. Bukankah kakimu sudah terasa kaku-kaku"
Nah, biarpun malaikat sendiri, takkan mampu menolong sebelum menyembah aku tujuh kali."
Sidi Mantra menggerung. Benar-benar kakinya menjadi kaku. Ia mencoba bangun. Tapi begitu menggeliat seluruh tubuhnya seperti tertusuk ribuan jarum. Inilah yang menyebabkan ia tak bisa berkutik lagi begitu badannya kena sidik jarum beracun.
"Kertapati! Tumpaslah perempuan siluman itu!" seru Sidi Mantra. "Nona tua yang tak laku kawin apa perlu dihidupi lagi."
Tiga kali sudah, Sidi Mantra mengejek Edoh Permanasari dengan kata-kata pantangan nona
tua. Ini pulalah yang menyebabkan Edoh Permanasari menurunkan tangan jahat. Tadi Edoh
Permanasari masih menawarkan suatu pengampunan, asalkan Sidi Mantra mau menyembahnya
tujuh kali. Tetapi sekarang, tidak lagi. Meskipun andaikata Sidi Mantra minta-minta ampun sambil menjilat kakinya, ia tak menggubrisnya. Maka dengan suatu gerakan yang sulit diceritakan, ia melesat menghampiri Sidi Mantra. Pedangnya diayunkan ke atas dan turun ke bawah dengan derasnya.
Inu Kertapati yang merasa tak keburu lagi menolong temannya menjerit dengan suara putus asa.
Tiba-tiba saja pada detik-detik berbahaya sebuah benda melesat ke udara dan menghantam
pedang Edoh Permanasari, sampai terpental tinggi dan jatuh tertancap hampir setengahnya di dalam tanah.
Bukan main kagetnya Edoh Permanasari. Mimpipun tidak, bahwa di dunia ini ada suatu
kekuatan yang dapat mementalkan pedang-nya tinggi di udara selagi ia menebas deras ke bawah.
Tanpa merasa ia meloncat mundur dan memungut benda yang mengguncang pe-dangnya. Itulah
sebuah kerikil sebesar biji jagung, la jadi tercengang-cengang. Katanya di dalam hati, ilmu sakti orang yang menimpuk pedangku tak dapat kuraba berapa dalamnya. Sekarang selagi dia belum muncul, bukanlah lebih baik aku menyingkir cepat-cepat"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah memutuskan demikian, ia memu-ngut pedangnya yang tertancap di dalam tanah. Ia
bertambah kagum berbareng ber-panas hati. Begitu ia menjejak tanah hendak kabur, tangannya mengebas menyerang lnu Kertapati dengan jarum racunnya enam batang sekaligus. Tapi lagi-lagi enam buah benda terbang membentur keenam jarumnya dan meruntuhkan di atas tanah.
Ih! Hari belum lagi terang. Meskipun de-mikian ia bisa membidik tepat semua jarumku. .Kalau bukan setan pasti siluman, pikirnya dengan hati menggeridik. la tak berani berayal lagi. Sesudah menyiapkan pedangnya, ia melompat memanjangkan kakinya. Sekejap saja ia hilang dari
penglihatan. 37 SONNY DE HOOP YANG membentur pedang Edoh Permana-sari dengan tenaga dahsyat, adalah Sangaji. Pemuda
itu lagi disibukkan oleh rumun otaknya, mula-mula tidak menaruh perhatian lagi pada semua yang terjadi dalam gelanggang. Sampai tiba-tiba ia melihat Sidi Mantra jatuh bergelimpangan di tanah.
Kemudian keterangan tentang jarum Gunung Gilu yang berbisa. Mendengar dan menyaksikan
betapa hebat racun jarum itu, ia mengerutkan kedua alisnya.
Sebagai murid Wirapati, ia diajar membenci semua macam senjata racun. Apalagi yang
berwujud senjata bidik. Teringat betapa seng-sara gurunya akibat kena racun, darah ksatrianya terbangun dengan serentak. Melihat Edoh Permanasari hendak menghabisi nyawa Sidi Mantra, ia memungut batu dan menyentilnya dengan tenaga dua bagian. Pedang Edoh Permanasari yang
turun deras ke bawah, terpental ke udara dan tertancap separuh dalam tanah. Dengan demikian betapa dahsyat tena-ga Sangaji tak dapat dibayangkan lagi.
Sedang ia mengira Edoh Permanasari bakal kabur oleh peristiwa itu, enam jarum beracun
menyambar Inu Kertapati. Dalam dirinya mengalir ilmu sakti Mayangga Seta warisan Kyai Kasan Kesambi yang sudah
mendarah daging dengan ilmu sarwa sakti lainnya. Dahulu sebelum memperoleh ajaran ilmu
Mayangga Seta ia sudah dapat menangkap suara napas Fatimah tatkala kena aniaya di seberang lapangan. Apalagi kini. Dengan tak bersusah payah ia bisa menangkap jumlah enam batang jarum yang berdesingan. Ilmu melepas jarum Edoh Permanasari sangat terkenal kecepatannya. Tapi ilmu membidik senjata rahasia ajaran pendekar Gagak Seta lebih cepat lagi. Begitu terlepas dari tangan Sangaji keenam batang jarum Gunung Gilu runtuh tersebar di tanah.
Baik Edoh Permanasari maupun Inu Kertapati, tertegun seperti kena pukau. Edoh Permanasari kabur dan Inu Kertapati mene-barkan penglihatannya mencari tempat ber-adanya penolongnya.
Dan pada saat itu, Sangaji muncul dari tempat persembunyian-nya.
Waktu itu fajar hari masih berselimut tirai tebal. Inu Kertapati hanya melihat sesosok ba-yangan yang datang menghampiri dengan tiba-tiba. Dengan terbata-bata ia menyong-song.
"Siapa Tuan yang sudi mengulurkan tangan menolong nyawa kami?"
Sangaji tidak mengindahkan kata-kata penyambut itu. Mengingat ucapan Edoh Per-manasari, ia mengkhawatirkan keadaan Sidi Mantra, maka ia menyahut, "Bagaimana keadaan Paman Sidi Mantra?"
Mendengar kata-kata Sangaji, Inu Kertapati tertegun. Ia nyaris tak percaya kepada pen-
dengarannya sendiri. Bukankah itu suara Sangaji. Ia berkata mencoba, "Apakah Tuan... eh...
Saudara Sangaji?" "Ya... Itulah aku."
Kalau orang menemukan sebutir berlian, tidaklah segirang rasa Inu Kertapati pada saat itu.
Hatinya terharu, lega dan bangga. Seperti kanak-kanak memperoleh hadiah sebatang cokelat ia melompat dan menggandeng tangan Sangaji.
"Bagaimana engkau bisa datang ke sini?" katanya.
"Marilah kita periksa dahulu lukanya Paman Sidi Mantra!" ajak Sangaji.
Sidi Mantra kala itu tidak berkutik lagi. Napasnya kempas-kempis dan berada dalam keadaan lupa ingat. Buru-buru Inu Kertapati menyalakan api. Ternyata kaki Sidi Mantra menjadi bengkak dan bersemu hitam hangus.
Inu Kertapati memekik tertahan, la melihat sebatang jarum menancap di bawah lutut Sidi
Mantra. Sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang merasakan asinnya garam, segera
mengetahui betapa jahat racun jarum Gunung Gilu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak kusangka begini ganas racunnya, pikir-nya dalam hati. Hanya sebatang, namun cukup kuat merenggut nyawa orang semacam Sidi Mantra.
Teringat betapa Edoh Permanasari mene-barkan beberapa batang jarum kepadanya, ia
menggeridik tak setahunya sendiri. Mendadak dengan acuh tak acuh Sangaji mencabut jarum itu dengan tangannya. Keruan saja ia kaget dengan berseru,"Jangan raba!"
Ia tak mengetahui, bahwa dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru dan Madu
Tunjungbiru penolak dan pelawan segala bisa di dunia betapa jahatpun. Dengan tenang, Sangaji mengurut kaki Sidi Mantra. Kemudian ia mendorong bisa jarum Gilu ke ujung kaki.
Sebentar saja, bisa yang sudah bercampur dengan darah merembes ke luar melalui lubang
keringat dan menetes ke tanah dengan warna hitam.
Semenjak kena diurut Sangaji, perasaan Sidi Mantra menjadi enteng. Ia sadar kembali dengan begitu saja. Dan tatkala semua racun yang mengeram dalam dirinya merembes ke luar, perasaan kakunya lenyap. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan betapa bisa jarum Gilu menetes ke tanah. Berbareng de-ngan rasa ngerinya, ia heran dan kagum meli-hat penolongnya. Mau ia berkata, mendadak suatu hawa yang nyaman luar biasa membanjir bagaikan air bah merayap
memasuki semua jalan darahnya. Seketika itu juga, seluruh perasaannya menjadi segar bugar, bengkaknya hilang. Terus saja ia melompat bangun sambil berseru, "Saudara Sangaji! Ilmu malaikat ini kau peroleh dari mana?"
Dengan air mata berlinangan, Sidi Mantra membungkuk membuat sembah. Hatinya ter-haru
sampai dadanya terasa menjadi sesak. Semenjak menjadi pemuda tanggung, ia sudah mendengar tentang dahsyatnya jarum berbisa dari Gunung Gilu. Sepanjang pendengarannya belum pernah ada seorangpun yang bisa hidup kembali apabila kena bisa racun berbisa itu.
Kecuali bisa mendapat ampun dari pembidik-nya. Karena itu ucapannya terhadap Sangaji
benar-benar tidak berlebih-lebihan. Katanya lagi setelah menyusut air mata.
"Saudara dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa benar kata-kata pendekar Tunjungbiru. CJntuk zaman ini tiada manusia lain lagi yang melebihi kesaktianmu. Sungguh. Demi Tuhan, maka benar-benarlah engkau yang pantas memiliki kalung berlian pusaka Kerajaan
Banten. Aku sekarang mati-pun puas."
Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat lagi. Lalu berkata kepada Inu Kerta-pati,
"Kertapati! Salah tidak apa yang kuka-takan ini?"
Inu Kertapati mengangguk seraya melirik pedang Sokayana yang tergantung di ping-gang
Sangaji. Dengan sungguh-sungguh ia menyahut, "Kita berdua ini rasanya pantas menjadi kerbau-kerbau sembelihan. Saudara Sangaji pasti sudah berada di sini semenjak tadi. Tapi kita sama sekali tak mengetahui. Apakah pantas kita mempunyai telinga yang begini enak-enak bercokol di kepala" Pedang Sokayana berada di tangan Saudara Sangaji, samalah halnya seekor kuda perang mene-mukan majikannya yang tepat."
Tak biasa Sangaji menerima pujian yang dirasakan berlebih-lebihan segera ia berkata
mengalihkan pembicaraan. "Paman! Siapakah sebenarnya Edoh Per-manasari" Ke mana dia pergi" Mengingat dia , masih sempat menyerang Paman Inu Kerta-pati sewaktu hendak kabur, pastilah dia bisa berbuat di luar dugaan kita untuk melampias-kan rasa kecewanya."
"Ah, ya!" Inu Kertapati dan Sidi Mantra menyahut hampir berbareng. "Dia seperti iblis. Sebentar datang, sebentar hilang. Ke mana perginya hanya setan yang tahu."
"Mari!" ajak Sangaji. Dan begitu menjejak-kan kaki, tubuhnya musnah dari penglihatan.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra kagum luar biasa. Setelah saling memandang mereka segera
menancap gas. Mereka termasuk go-longan pendekar utama, namun demikian tak mampu melihat bayangan Sangaji meski sekelebatpun. Hati mereka bertambah-tambah menjadi kagum. Diamdiam mereka merasa takluk. Terpaksalah mereka membuang rasa kehormatan diri dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya:
"Saudara Sangaji! Saudara Sangaji." Lucu kedengarannya. Mereka memanggil Sangaji saudara.
Sebaliknya Sangaji memanggilnya paman. Namun mereka tak memperdu-likan kejanggalan itu.
Rupanya teriakan mereka terdengar oleh Sangaji. Pemuda itu yang sebenarnya tidak berniat memamerkan kemampuannya segera melambatkan larinya. Sebentar kemudian Inu Kertapati dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sidi Mantra sudah datang menyusulnya. Dan mereka bertiga berlari-lari-an sepanjang pantai ke jurusan barat.
Luar biasa anak ini, pikir Inu Kertapati. Selama hidupku baru kali ini aku menyaksikan suatu tenaga ajaib. Masalah napasnya sama sekali tak terdengar mengangsur seolah-olah berjalan menikmati alam fajar hari.
Mereka terus berlari-larian sampai hampir mendekati fajar hari. Tiba-tiba mereka melihat sebuah kampung nelayan terbakar hebat. Apinya berkobar-kobar kena ayun angin laut. Anehnya tiada terdengar suara manusia, seakan-akan sebuah kampung tiada berpeng-huni.
"Paman! Nampaknya terjadi sesuatu hal yang tidak beres," kata Sangaji.
"Ya... ya... ya..." Mereka menyahut dengan menjenakkan napas. Mereka bertiga meng-hampiri kampung dan melihat suatu peman-dangan yang mengerikan. Tua-muda, laki-laki perempuan,
kanak-kanak sampai keter-nak-ternaknya mati bergelimpangan dengan tubuh cerai berai. Melihat pemandangan ini, Sangaji mengerutkan kedua alisnya. "Perbuatan siapa ini?"
Inu Kertapati dan Sidi Mantra segera memeriksa. Mendadak mereka saling berte-riak, "Lihat!
Lihat!" Sangaji menghampiri suatu kelompok mayat yang merupakan suatu keluarga. Tubuh mereka
membengkak dengan warna hitam. Juga seorang bayi berumur tujuh bulan.
"Bukankah ini akibat bisa jarum siluman betina itu?" teriak Sidi Mantra bergusar.
Sangaji berdiri tertegun beberapa waktu lamanya. Kedua alisnya tiba-tiba mengke-rut hebat.
Sekonyong-konyong suatu gelombang suara bagaikan guntur keluar dari mulutnya.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra bukan orang lemah. Namun seperti kena dorong suatu te-naga dahsyat, mereka terlempar dua puluh langkah.
Suara itu melambung dan mengalun tinggi menyusup udara seperti gerakan seekor naga mulai terbang. Lautan api yang sedang me-musnahkan perkampungan disibakkan berte-baran. Bumi
tergetar dan pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai bergoyangan. Dan rumah-rumah


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nelayan itu akhirnya meluruk berguguran....
Selama hidupnya baru untuk yang pertama kali itu, Sangaji memperlihatkan rasa marah-nya.
Itupun sebenarnya tak disengajanya. Yang terasa di dalam dirinya adalah suatu kegon-cangan hati oleh kesan suatu penglihatan yang menusuk darah ksatrianya. Ia ingin berteriak menggugat terjadinya peristiwa itu. Dan berteriaklah dia. Saling menyusul. Akibatnya hebat. Ilmu saktinya yang tersekam dalam lubuk hatinya bergolak dahsyat. Meluap-luap dan akhirnya meruap tiada terbendung lagi. Belum habis gelombang teriakan yang pertama sudah disusul yang kedua yang ketiga dan seterusnya. Ia merasakan suatu kelegaan dan berhenti dengan mendadak.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra tadi tak berkesempatan menutup telinganya. Syukur, mereka
bukanlah orang lemah. Ilmu kepandaiannya sebanding dengan pendekar-pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Namun masih saja mereka tak kuasa mempertahankan diri. Setelah
terpental dua puluh langkah mereka jatuh bergulingan. Cepat-cepat mereka.duduk bersila
mengatur napas. Tak urung tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat lesi.
"Saudara Sangaji! Ini ilmu apa?" seru Sidi Mantra dengan bergetar. Sepanjang hidupnya baru kali itu ia menyaksikan ilmu sakti demikian, hingga mengira Sangaji adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Katanya lagi penuh rasa kagum, "Suara tantanganmu benar-benar tak ubah jerit seratus ribu ekor gajah dengan berbareng." Ia mengira Sangaji melepaskan teriakkan tantangan terhadap Edoh Permanasari.
Inu Kertapati yang sudah berhasil mengua-sai diri, meloncat bangun dan berkata kagum pula,
"Hebat! Sungguh hebat! Dengan suara bergelora demikian seseorang akan bisa me-nguasai seluruh Nusantara. Karena setiap orang akan mendengarkan tiap titahnya. Sau-dara Sangaji!
Engkaulah manusianya yang benar-benar tepat memimpin kami."
Sangaji tak menyahut seolah-olah tak mendengar suara mereka. Hatinya pepat meli-hat mayat-mayat tak berdosa bergelimpangan di antara reruntuhan perkampungan. Dengan berdiam diri ia membuat lubang besar. Kemudian mengumpulkan mayat-mayat itu dan menguburnya dengan
penuh hormat. Sudah barang tentu Inu Kertapati dan Sidi Mantra tak mau ketinggalan. Walaupun mere-ka bukan manusia-manusia penjilat, tapi mereka bekerja seperti berebutan oleh rasa bangga dan berbesar hati. Ini disebabkan karena mereka merasa takluk dan kagum luar biasa terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji. Tidak mengherankan bahwa pekerjaan mengubur mayat-mayat itu rampung berbareng
dengan tibanya pagi hari.
Mereka balik memasuki kota Jakarta de-ngan berjalan. Setelah lama berdiam diri, akhirnya Inu Kertapati membuka mulut.
"Sekarang pastilah Saudara mengetahui alasan-alasan kami datang membawa barang hantaran.
Tetapi legakan hatimu bahwa tiada maksud kami menyuap dirimu. Hal itu terber-sit dari suatu ketulusan hati nurani seluruh rakyat Jawa Barat. Begini." Ia berhenti mengesankan. Sejenak kemudian meneruskan, "Semenjak Sultan Tua mengawini janda Fatimah, bekas istrinya seorang letnan kompeni, timbullah rasa tidak puas di kalangan rakyat Banten. Rasa tidak puas ini bertambah hari bertambah meluas sampai meruap di luar batas kerajaan, tatkala Ratu Fatimah menggulingkan tahta Kerajaan Sultan Tua. Barangkali engkau pernah mendengar pula tentang sepak terjang Ratu Fatimah yang berada di luar batas kesopanan."
Sangaji mendengar sejarah Ratu Fatimah hanya selintasan tatkala mengintip pem-bicaraan
pendekar Toha dan Kosim di dekat unggun batu Rababa Tapa. Hanya saja ia sangsi akan
kebenarannya. Karena itu ia tak menyahut. Sebaiknya bagi rakyat Jawa Barat tidaklah asing. Maka oleh diamnya Sangaji, Inu Kertapati menganggapnya sudah menger-ti. Segera ia berkata
melompat, "Ratu Bagus Boang mempersatukan segenap pendekar dari seluruh penjuru. Tetapi Ratu Fatimah ternyata siluman cerdik. Ia meminta bantuan kompeni serta mengerahkan sekalian murid-nya. Muridnya ditebarkan ke dalam tubuh laskar pejuang rakyat Banten untuk ditu-gaskan menggempur dari dalam. Sedangkan kompeni menggencet dari luar. Betapa hebat sepak terjang murid-murid Ratu Fatimah bisa dilihat dan diukur dari sepak terjang serta ketangkasan Edoh Permanasari. Padahal dia termasuk golongan murid termuda. Selain itu, Ratu Fatimah memecah pula golongan pen-dekar. Ia menguasai pendekar-pendekar yang hidup di sekitar Serang sampai Teluk Pela-buhan Ratu. Dari daerah sekitar Cibinong sampai Majalengka. Dan dari daerah sekitar Sukabumi sampai Cibatu. Itulah hampir selu-ruh Jawa Barat, Bisa dibayangkan betapa sempit daerah gerak pasukan Ratu Bagus Boang. Melihat kenyataan ini Ratu Bagus Boang berduka.
Kemudian beliau mencoba mendekati pendekar sakti murid Resi Budha Wisnu. Tapi gagal."
"Siapa?" Sangaji terkejut sewaktu mende-ngar disebutnya nama Resi Budha Wisnu.
"Dialah pendekar sakti Watu Gunung. Mengapa" Apakah Saudara Sangaji kenal tokoh sakti itu?"
Sangaji berbimbang-bimbang sejenak, lalu mengangguk. Memang ia kenal tokoh sakti itu.
Dialah yang datang bersama-sama Warok Kuda Wanengpati, Adipati Pesantenan dan Lumbung
Amisena dari Jawa Timur di pade-pokan Gunung Damar. Dia pernah mengadu kekuatan dengan
Gagak Handaka dan Rang-gajaya. Kemudian dalam keadaan luka akibat adu tenaga, merasakan
bogem mentah Sangaji di sebelah selatan Magelang.
Mengingat kedatangannya di Gunung Damar bertalian dengan peristiwa pusaka sakti Bende
Mataram dan Kyai Tunggulmanik, Sangaji mengerenyitkan dahi. Betapa seder-hana hatinya,
timbullah suatu dugaan dalam benaknya. Dia menolak ajaran Ratu Bagus Boang. Kemudian
memerlukan datang ke Gu-nung Damar dengan saudara-saudara seper-guruannya untuk mencoba
merebut pusaka Bende Mataram. Apakah dia mempunyai cita-cita sendiri untuk mempersatukan segenap pendekar Jawa Barat. Untuk tujuan tertentu" Jangan-jangan dia seperti Pangeran Bumi Gede yang bercita-cita merebut tahta kera-jaan.
Tiba-tiba terdengar suara Inu Kertapati berkata lagi, "Bagus! Jika engkau sudah me-ngenal tokoh itu, setidak-tidaknya akan me-ngurangi kesukaran kami di kemudian hari. Sebab pada waktu ini, dialah musuh kami yang utama. Gerak-geriknya sukar diduga. Berapa banyak korban rakyat kita yang mati di tangannya, tak terhitung lagi. Belum lagi bisa dan racun yang ditebarkan Ratu Fatimah. Belum lagi yang tewas berguguran menghadapi laras senapan kompeni." la berhenti sejenak. Meneruskan dengan suara rendah,"Selagi pihak kami terancam malapetaka, Ratu Bagus Boang dikabarkan musnah tiada jejak. Berita ini benar-benar mengejutkan hati segenap orang gagah. Seperti sebuah perahu layar kehilangan tiang agung, kami berjuang tanpa tenaga dorong.
Dan perjuangan macam begini berarti menambah jumlah korban. Karena itu harapan kami kini hanya kepadamu."
"Ya hanya kepadamu," Sidi Mantra me-nguatkan. "Kau mempunyai ilmu sakti tak ubah malaikat, masakan akan membiarkan kami menjadi bangkai-bangkai anjing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semenjak tadi Sidi Mantra membungkam mulut. Tapi sekali berbicara kata-katanya tajam.
Itulah yang membuat Edoh Perma-nasari menjadi kalap.
"Saudara Sangaji" katanya lagi. "Biarpun umurku sudah melampui setengah abad dan engkau pantas menjadi cucuku tapi aku akan memanggilmu saudara. Peduli apa" Malahan sebentar lagi aku akan bisa memanggilmu Gusti Aji. Engkau tadi kusembah, karena engkau penolong jiwaku.
Sekarang patutlah aku bersembah, karena engkau akan menjadi junjunganku." Setelah berkata demikian, benar-benar membuat sembah. Keruan saja Sangaji mengelak dengan tersipu-sipu.
Inu Kertapati rupanya mempunyai pengli-hatan tajam. Semenjak tadi ia mengamat-amati
pribadi Sangaji. Melihat kesederhanaan dan kemuliaan hatinya, segera ia menyetujui perbuatan rekannya. Terus saja ia bersimpuh menghadap Sangaji dan membungkuk serendah tanah.
Berkata: "Kami datang membawa barang hantaran rakyat kepadamu dengan dalih memohon per-
tolonganmu untuk membebaskan Ki Tun-jungbiru semata. Itulah tidak benar seluruhnya. Sebab di samping itu, kami atas nama rakyat Kerajaan Banten memohon padamu agar membebaskan
seluruh rakyat Jawa Barat dari penindasan kompeni dan tindak sewenang-wenang sisa-sisa
pengaruh Ratu Fatimah. Sekiranya engkau tidak mau mengabulkan hal ini, biarlah aku mati kering di sini serata tanah.
Setelah berkata begitu, menelungkup men-cium tanah. Melihat perbuatan Inu Kertapati, mula-mula Sidi Mantra heran. Dasar ia perca-ya kepada kecerdasan kawannya, ia merasa perlu
menambahi kata-katanya yang tajam. Katanya, "Kamarudin sudah mengorbankan keluarganya semata-mata menunaikan tugas rakyat yang dipikulkan di atas pundaknya. Masakan aku tak rela pula mengorbankan selembar jiwaku. Saudara Sangaji! Biarlah aku membungkuk begini sampai tulang belakangku habis digerogoti anjing, menunggu kata-kata keputusanmu."
Mendengar kata-kata dan perbuatan mere-ka, hati Sangaji yang sederhana menjadi bi-ngung.
Bergaul dengan para pendekar sema-cam mereka, bagi Sangaji bukan asing lagi. Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan, berkelahi mati-matian lima hari lima malam semata-mata perkara pantat. Kemudian mengadu betah-betahan tidak kawin. Dan Inu Kertapati serta Sidi Mantra adalah rekan Ki Tunjungbiru.
Bukan mustahil mereka akan membuktikan ucapannya benar-benar. Ini disebabkan selain
sepak terjang golongan pendekar semacam mereka sangat aneh, juga mereka bekerja bukan
untuk kepentingannya sendiri. Sangaji sadar, bahwa di belakang punggung mereka tergelar suatu gelanggang perjuangan rakyat yang sedang mengadu hidup dan matinya.
Mau tak mau Sangaji menghela napas pan-jang. Teringat kepada percakapan Inu Ker-tapati
dan Edoh Permanasari, ia jadi perasa. Mereka sesungguhnya datang dengan barang mustika
rakyat Jawa Barat oleh petunjuk Ki Tunjungbiru. Dan Ki Tunjungbiru mempunyai saham sangat besar dalam dirinya. Itulah getah sakti pohon Dewadaru. Tidak hanya itu. Pendekar Banten itu tak segan-segan pula mengadu nyawa mulai dari Cibinong"Peka-longan Kubangan batu dan
padepokan Gunung Damar tanpa pamrih. Dan sekarang oleh petunjuk mereka datang padanya
dan rela pula bersimpuh serta menyembah seperti budak-budak tiada guna. Masakan sampai hati hendak mengecewakan harapan orang tua itu"
Tetapi bagaimana dengan persoalannya sendiri" Di hadapannya terbentang masalah Sonny de
Hoop dan Titisari yang meramalkan sesuatu malapetaka terkutuk. Dan menerima persembahan
rakyat Jawa Barat, bukanlah berarti melibatkan diri dalam persoalan baru yang maha besar"
Dalam sekejap saja otak Sangaji sudah dirumun suatu persoalan baru yang tidak gampang-
gampang diputuskan secara se-rampangan saja. la sekarang mengeluh dalam hati. Dalam
kebimbangan dan kebingungannya mendadak tangannya menyentuh hulu pedang Sokayana. la
terkesiap. Pedang inipun mempunyai kesaktian semacam kesaktian Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dan teringat kedua pusaka warisan itu, teringat pulalah dia kepada sumpahnya di benteng batu setelah selesai menekuni rahasia guratan keris Tunggulmanik. Bukankah dia berjanji hendak mengamalkan ilmu sakti tiada tara itu untuk kebajikan sesama hidup" Tak disadari pula ia seperti mendengar suara gurunya Jaga Sara-denta kala dia hendak kembali ke Jakarta. "Ah, anak tolol! Karena itu engkau harus belajar mempunyai keputusan yang cepat, tegas dan tepat. Sebab hidup ini bagaikan gelanggang perkelahian. Kau akan diajak dan didorong untuk berkelahi. Kini kau sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan hidup seorang diri..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat akan kata itu, teringatlah dia kepada semua gurunya yang telah berani menge-
sampingkan persoalan pribadi. Oleh pikiran itu terus saja ia menguatkan diri. Dengan menegakkan kepala ia berkata, "Paman! Bangunlah! Baiklah hal ini kupikirkan dahulu dengan perlahan-lahan."
Lemah dan penuh bimbang bunyi keputusan Sangaji. Tetapi ini bukan suatu ramalan di kemudian hari. Ilmu sakti Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik menjanjikan pewarisnya akan merubah otaknya menjadi cerdas luar biasa tegas dan gagah tak terlawan. Kebimbangannya itu disebabkan karena dalam usia muda sudah dihadapkan suatu persoalan yang maha berat dan maha pelik.
Kelak setelah memperoleh pengalam-an-pengalaman keputusannya bahkan akan mengejutkan
dan menggegerkan pendekar-pendekar tua yang sudah kenyang makan garam. Tetapi Sidi Mantra tak mau mengerti persoalan rumit yang sedang dihadapi anak muda itu. Dengan masih
membungkuk ia berkata nyaring.
"Tidak! Selama barang hantaran rakyat belum engkau terima dengan keikhlasan hatimu, biarlah aku mati membungkuk seperti binatang."
Sangaji jadi kuwalahan. Terpaksa ia men-jawab, "Paman Sidi Mantra, pedang Sokayana telah bergantung di pinggangku dan sedikit banyak ibuku telah berhutang budi kepada Paman
Kamarudin. Bukankah berarti sudah kuterima penuh?"
Itulah Sangaji. Dia seorang pemuda yang harus dipaksa, sehingga akhirnya harus me-masuki dunia yang tidak dikehendaki sendiri.
"Bagus! Begitulah baru benar. Ucapan se-orang laki-laki berharga seribu gunung. Biarlah aku bersembah lagi untuk kata-katamu," seru Sidi Mantra puas. la benar-benar menyembah lagi kemudian menegakkan badan dengan mata berseri-seri. Sebaliknya Inu Kertapati masih saja
menelungkup mencium tanah. Sangaji jadi tak mengerti.
"Paman Kertapati! Apakah kata-kataku kurang terang?"
Inu Kertapati 1 tak segera menjawab. Dan setelah Sangaji mengulangi ucapannya, ia berkata,
"Sama sekali aku tak menyangsikan kemuliaan hatimu. Hanya saja seumpama seekor burung baru bersayap sebelah!"
"Mengapa begitu?"
"Dua hari lagi kami akan mengadakan suatu himpunan besar. Engkau sudi datang tidak."
Sangaji berpikir sejenak kemudian menyahut, "Bangunlah dahulu! Masakan berbicara dengan bertiarap?"
"Berilah aku keputusanmu dahulu!"
Sedih hati Sangaji diperlakukan begitu. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah aku datang. Di mana?"
"Barat Daya." "Di manakah itu?"
"Gunung Cibugis," sahut Inu Kertapati. Setelah berkata demikian, ia melompat ba-ngun.
Sangaji menjadi sibuk lagi. Teringatlah dia kepada pembicaraan Toha dan Kosim di ung-gun batu Rababa Tapa seminggu yang lalu. Mereka harus datang di suatu tempat di Barat Daya. Juga penunggang kuda yang dilihatnya di luar kota. Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Terus saja ia berkata, "Paman sekalian. Aku pernah mendengar suatu nama, Gusti Amat. Tolong berilah keterangan padaku, siapa sebenarnya beliau yang mulia itu!"
Inu Kertapati dan Sidi Mantra tercengang sejenak. Mereka saling memandang. Kemu-dian Inu Kertapati menjawab, "Biarlah sampai di sini kita berpisahan. Kami tak berani mem-beri keterangan. Tetapi dua hari lagi, engkau akan mengerti sendiri."
Setelah berkata demikian, membungkuk hormat. Sidi Mantrapun begitu juga. Kemudian mereka pergi mengambil jalannya.
Tak terasa Sangaji menghela napas, la sadar persoalan baru bakal dihadapi lagi. Dengan
merenung-renung ia mengawasi kepergian mereka. Setelah itu barulah ia ingat pulang.
Pagi sudah tiba benar-benar. Langit cerah. Anginpun terasa riang. Mengingat membawa
pedang tak berani ia melalui keramaian kota. Segera ia menjejak tanah dan seperti terbang melintasi tepi kota. Sebentar saja tibalah dia di depan rumahnya.
Keesokan harinya pada pagi hari, Sonny datang. Inilah untuk yang pertama kalinya gadis Indo itu datang berkunjung semenjak ia tiba kembali di Jakarta.
Sonny de Hoop mengenakan pakaian serba merah. Kulitnya yang putih nampak menjadi
menyolok. Bersih terawat dan berkesan ce-merlang. Rambutnya terurai panjang. Kemi-lauan oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
minyak wangi dan sinar matahari. Hidungnya yang mancung kelihatan tegas. Bibirnya bergincu.
Alisnya bercelak. Matanya bening. Semua itu menambah keserasian tubuhnya yang molek, montok lagi padat.
Seperti biasanya ia lincah dan polos hati. Begitu melihat Sangaji, terus saja ia berkata, "Hallo!
Kau bawalah senapanmu! Mari kita berburu!"
Terhadap Sonny de Hoop selamanya Sangaji menganggapnya sebagai kawan bermain. Selain
tak pandai berbicara, sikapnya dingin. Sonny de Hoop mengenal hal itu. Karena itu tak bersakit hati, sewaktu Sangaji hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Lainlah halnya dengan Rukmini. Meskipun ia seorang perempuan dusun yang sederhana, tetapi ramah. Dengan pandang terang ia menyambut bakal menantunya di serambi depan. Ia terus
membawanya masuk dengan menggandeng tangan.
Menggandeng tangan bagi adat barat tiada lazim dilakukan, kecuali apa bila hati sedang diamuk asmara. Tetapi manusia di manapun juga tahu apa arti menggandeng tangan. Itulah tanda suatu penerimaan dengan hati terbuka. Karena itu hati Sonny de Hoop me-rasa bahagia kena gandeng Rukmini.
"Ibu, Sangaji hendak kuajak berburu. Kukira ia sudah cukup beristirahat. Boleh tokh, Ibu?"
Rukmini tertawa. Tertawa untuk membuat senang dan membesarkan hati sendiri. Buat
Rukmini, Sonny de Hoop masih nampak seba-gai majikannya. Meskipun ia tahu gadis Indo itu bakal menjadi menantunya, dalam hati tetap merasa rendah diri.
"Jangan lagi Sangaji, akupun menjadi milik Nona. Masakan mesti minta ijin segala" Jiwa kami berdua, siapakah yang memelihara?"
Bagi hati Rukmini yang sederhana, hutang budi berada di atas jiwanya sendiri. Karena itu ucapannya keluar dari ketulusan hatinya sendiri. Sudah barang tentu Sonny de Hoop tak enak mendengar pernyataan itu, meskipun diam-diam hatinya senang. Bukankah berarti Sangaji
menjadi miliknya" Teringat cara Sangaji menyia-nyiakan radang birahinya di perkemahan dahulu, ia jadi terhibur. Namun dia menyahut, "Mana bisa Ibu dan Sangaji menjadi milikku" Baik aku maupun ibu berdua milik Tuhan. Ya tokh?"
Rukmini tertawa. Melihat Sonny mengena-kan pakaian begitu mentereng, ia merasa sayang.
Maka ia berkata: "Sayang nona, kalau pakaian sebagus itu untuk pergi berburu. Lebih baik, ajaklah Sangaji melihat-lihat kota. Mumpung udara terang."
Sudah beberapa hari ini udara Jakarta terus cerah setelah dikerumuni hujan hampir sepuluh hari. Hawa yang lembap terasa menjadi hangat. Berpesiar dalam hari demikian, memang
menyenangkan. Sonny de Hoop sendiri sebenarnya tiada berniat berburu sungguh-sungguh. Itulah hanya suatu dalih belaka. Semenjak ia men-dahului ayahnya tiba di Jakarta, ia hanya mempunyai satu harapan.
Dalam kesepiannya ia akan memperoleh kesempatan menggugah rasa birahi Sangaji. Sonny de
Hoop berumur dua tahun lebih tua daripada Sangaji, sudahlah wajar apabila perkembangan masa birahinya jauh lebih cepat daripada Sangaji. Apa lagi ia berdarah barat dan beradat polos serta terbuka pula.
Sudah semenjak dua tahun yang lalu ia membangunkan jembatan birahi. Tapi ja-ngankan ia
bisa berharap yang bukan-bukan, sebuah ciuman belum pernah diperolehnya. Kini ia memutuskan hendak bertekad, mem-bawanya ke dunia itu. Begitu Sangaji datang berkunjung, terus saja ia hendak memasang jala. Ternyata Sangaji tak pernah muncul. Tak mengherankan ia jadi uring-uringan.
Sebenarnya dia ini manusia, atau batu karang" la mendongkol. Sonny de Hoop bu-kannya
seorang gadis murahan. la mempu-nyai kecantikan lembut yang jarang dimiliki bangsanya sendiri.
Ia seorang gadis terpelajar pula. Banyak pemuda-pemuda yang gandrung padanya. Malahan
sering pula opsir-opsir jejaka memberanikan diri melamarnya. Namun semua itu dijauhi dan ditolaknya dengan tegas. Itulah sebabnya ia menjadi heran sendiri, apa sebab dirinya bisa tertambat pada seorang pemuda Bumiputra yang berhati beku. Dalam kebanyakan hal ia bersikap mengalah. Setia menunggu masa kepergiannya. Menyusul ke Jawa Tengah. Bersedia
menyerahkan diri pada sembarang waktu dan sembarang tempat. Namun masih saja ia
menumbuk batu. Hati siapa yang tidak mendongkol"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untunglah dia seorang pelajar. Dalam kemendongkolannya, masih sanggup ia ber-pikir.
Katanya di dalam hati, enam tahun saya mengenal dia. Selama itu belum pernah bergaul rapat.
Tak mengherankan, ia belum dapat merasukkan diriku menjadi bagian hidupnya. Biarlah mulai sekarang aku membuat rencana-rencanaku sendiri di luar tata pengamatan orang-orang tua.
Bukankah kemudian hari aku bakal menjadi miliknya dan dia sebaliknya. Kalau tidak kumulai sekarang, menunggu kapan lagi. Sangaji akan kuajak berburu, berenang, bersampan, berpacu kuda, mengail atau bermain kartu. Masakan dia akan tetap tidur" Mustahil dia manusia yang terdiri dari darah daging tidak tersadar apa arti kegairahan hidup. Memikir demikian timbullah
semangatnya. Bahkan radang birahinya kian menyala-nyala. Dan begitulah pada hari itu ia datang mengajak berburu.
"Sangaji bisa berkelana selama dua tahun ini. Masakan masih tertarik kepada pengli-hatan-penglihatan di dalam kota," katanya nyaring. "Tetapi sekiranya menurut Ibu hari ini bagus untuk berpesiar di dalam kota, biarlah kuajaknya ke pantai."
"Ha... itulah lebih bagus," Rukmini menye-tujui. Kemudian berseru kepada Sangaji. "Aji!
Kaukenakanlah pakaian yang baik!"
Sangaji muncul dengan pakaian berburu dengan menyandang senapan. Ia kelihatan gagah dan
agung. Itulah disebabkan tenaga sakti yang mengeram dalam dirinya, sehingga wajahnya nampak segar dengan pandang mata tajam luar biasa.
"Ibu berkata apa?" la menegas kepada ibu-nya...
"Berpakaianlah yang baik. Nona Sonny tak jadi berburu. Kau diajak berpesiar di dalam kota.
Kemudian ke pantai. Mau tidak?" Ujar Rukmini.
"Ke mana saja baik," sahut Sangaji setelah berdiam diri selintasan. la menyiratkan pan-dang kepada Sonny. Gadis itu tersenyum menyiasati. Katanya lagi merasa, "Apakah pa-kaianku kurang serasi?" Dengan tak usah menunggu komentar, segera ia masuk ke kamarnya kembali berganti pakaian.
Seperempat jam kemudian ia dan Sonny telah berada di jalan. Mereka berkuda dengan
perlahan-lahan. Pada dewasa itu, bepergian dengan menunggang kuda adalah lazim. Kebanyakan, penduduk bahkan berjalan kaki, sedang kereta berkuda hanya untuk yang kaya, para pembesar pemerintahan dan tuan-tuan tanah.
Sonny de Hoop nampak senang dan berba-hagia. Itulah untuk pertama kalinya ia berkuda
berjajar dengan Sangaji tanpa diganggu oleh orang lain. Dahulu dia sering bepergian dengan Sangaji, tetapi bersama-sama ayahnya atau rombongan pemburu. Sangat jauh bedanya dengan
pagi itu. Ia merasa dunia seolah-olah disediakan untuk dirinya seorang. Tak mengherankan pandang matanya berseri-seri. Dan hal itu membuat kecantikannya semakin bertambah saja.
"Lutung kita dahulu sudah pandai menang-kap perintahku, kau masih ingat tidak?" ia mulai berbicara.
Tentang lutung hadiah Ki Tunjungbiru, sudah dilihatnya kembali sewaktu Sonny membawanya
ke benteng batu. Karena itu ia lantas mengangguk.
"Apakah hendak kau bawa berpesiar?" ia berkata.
"Tidak. Pagi ini tak kubiarkan diriku diganggu siapa saja," sahut Sonny de Hoop. Setelah berkata demikian, ia kemudian membicarakan perkara lutung itu bagaimana cara ia mendidiknya dan merawatnya. Sangaji mendengarkan dengan berdiam diri. Hatinya berperihatin, teringat padanya yang mem-berinya lutung itu. Dialah Ki Tunjungbiru yang tertawan oleh Mayor de Hoop dan sekarang entah di mana disekapnya. Sekonyong-konyong Sonny de Hoop berkata
mengalihkan pembicaraan, "Sangaji! Mengapa engkau dahulu meninggalkan aku dengan menjebol tenda?"
Diingatkan perkara itu, hati Sangaji terkejut. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia menyahut sebenarnya, "Aku takut kepada ayahmu."
Sonny de Hoop tertawa. Katanya, "Meskipun andaikata Ayah memergoki dirimu, dia takkan menyusahkan dirimu. Kau percaya tidak?"
"Mengapa begitu?"
"Sewaktu engkau membobol keluar, ma-sakan tenda tidak bergerak" Meskipun halus seperti angin lalu, namun sudah cukup mem-bangunkan rasa curiga Ayah. Ia memandang padaku. Syukur ia tidak berniat menyelidiki aku sampai melit," ujar Sonny de Hoop.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hati Sangaji memukul sampai wajahnya berubah. Diam-diam ia menyesali kesem-beronoannya.
"Apakah ayahmu mengetahui, sewaktu aku berada dalam tendamu?"
Berbicara tentang pengalaman itu, Sonny de Hoop yang berhati polos menjadi gemas. Dengan mata membelalak ia mendamprat. "Bagus ya! Kau pergi saja tanpa pamit."
Dasar Sangaji tak pandai berbicara, ia lantas merasa diri bersalah. Maka dengan sungguh-
sungguh ia menyahut, "Itulah suatu kejadian yang memalukan sampai tak berani aku minta maaf."
"Suatu kejadian yang memalukan?" Sonny de Hoop mendongkol. "Aku justru..." Ia tak meneruskan. Wajahnya berubah menjadi merah muda. Betapa polos hatinya, ia seorang gadis.
Lalu cepat-cepat ia mengalihkan, "Ayah mendamprat aku habis-habisan. Meskipun sampai kini ia tak pernah lagi menying-gung-nyinggung soal itu. Tapi kukira dia sudah dapat menebak dengan jitu."
Sangaji menjadi perasa. Ia mengamat-amati wajah Sonny de Hoop hendak mencari kesan.
Gadis Indo itu cantik tiada cela. Dalam pakai-annya yang berwarna merah, ia nampak bersemarak.
Ayahnya menaruh curiga kepada Sangaji. Tetapi mengingat perhubungannya dengan putrinya, ia tidak mau bertindak. Sebab Sonny adalah anak satu-satunya. Tiba-tiba gadis itu berkata di luar dugaan.
"Sangaji sebenarnya kita ini sudah bertu-nangan belum?"
Sangaji tergetar hatinya. Ia bukan seorang pemuda tolol sebenarnya. Nalurinya sebagai
seorang laki-laki tahu dan sadar ke mana tujuan ucapan Sonny de Hoop. Teringat ba-gaimana cara Sonny de Hoop menanggapinya di tenda dahulu, wajahnya terasa menjadi panas. Buru-buru ia menyahut, "Waktu itu... waktu itu aku lagi disibukkan urusan..."
"Sebenarnya apakah kepentinganmu de-ngan tawanan itu sampai-sampai engkau begitu
bersungguh-sungguh?" potong Sonny de Hoop.
Sangaji merasa diri terdesak ia harus berkata dengan sebenarnya. Tetapi waktu itu mereka berada di tengah kota. Maka ia berkata, "Sonny! Di sini kita tidak dapat berbicara dengan leluasa.
Bagaimana kalau kita ke pantai?"
"Bagus! Mengapa tidak semenjak dahulu?" sahut Sonny de Hoop bergembira. Itulah untuk pertama kalinya Sangaji yang memegang peranan. Biasanya kegiatannya datangnya dari dia.
Hatinya lantas menjadi bahagia, ia mendahuluinya dengan memacu kudanya. Karena itu pada
tengah hari mereka telah tiba di tepi pantai.
"Hayo sekarang berceritalah!" seru Sonny de Hoop tegas, la amat berbahagia, sehingga wajahnya menjadi segar bugar. Dengan sengaja ia merebahkan diri di atas rerumputan, yang terlindung oleh dua batang pohon mangga yang bermahkota rimbun. Kemudian rebah terlentang menatap atap udara yang terlalu cerah. Waktu itu gemuruh ombak tiada begitu mengganggu
pendengaran. Meskipun kemudian ia berkata manja, "Kau dekat-dekatlah duduk di sini, agar aku dapat mendengarkah tiap patah katamu."
Sangaji tidak menolak.. Dengan hati tawar ia duduk di samping dada Sonny de Hoop. Kemudian mengisahkan riwayat pertemuan-nya dengan anak buah Ki Tunjungbiru dan sebab-musababnya ia ikut serta menggera-yangi perkemahan kompeni.
"Engkau begitu memperhatikan orang itu. Apa sebab?" tungkas Sonny de Hoop.
"Sebab, baik aku maupun engkau sendiri, pernah berhutang budi kepadanya," sahut Sangaji.
"Aku?" Sonny de Hoop terkejut sampai ia menggeliat.
"Kau tak mengenalnya?" .
"Aku hanya mendengar ada beberapa tawanan dalam detasemen. Tetapi siapa mere-ka,
masakan aku pernah melihatnya."
Ya benar, pikir Sangaji. Sonny datang ke Jawa Tengah semata-mata ikut ayahnya. Masakan dia mencampuri pekerjaan ayahnya. Memperoleh pikiran demikian ia kemudian berkata, "Sonny!
Lutung kita sudah sebesar bocah bukan?"
Sonny de Hoop tertawa geli. Ia menggoyang lengan Sangaji sambil menungkas. "Engkau
berbicara tak keruan juntrungnya. Apa sih hubungannya lutung kita dan dia" Mungkin akibat perjalananmu yang panjang, pi-kiranmu lelah." Dan setelah berkata demikian ia menyandarkan kepalanya pada dada Sa-ngaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu terkejut mau ia menolak men-dadak hidungnya mencium wewangian rambut Sonny
de Hoop. Hatinya tergetar. Di saat itu teringatlah dia kepada Titisari. Dahulu Titisari sering pula merebahkan diri di atas dadanya. Dan hatinya merasa nyaman luar biasa.
"Sonny, dengarkan dahulu," ia mencoba mengalihkan kesan. "Aku justru hendak membicarakan perkara binatang itu. Sebab dialah yang memberi lutung itu."
"Dia siapa?" Sonny de Hoop menggeliat.
"Itulah tawanan ayahmu."
Mendengar ucapan Sangaji, Sonny de Hoop kini benar-benar terkejut. Ia nyaris tak
mempercayai pendengarannya sendiri. Mau ia membuka mulut, mendadak Sangaji berkata lagi.
"Tatkala engkau kena culik Pringgasakti, siapakah yang merebut nyawamu dengan mati-matian.
Meskipun peranan kedua guruku tidak boleh diabaikan, tetapi dialah yang mengatur semuanya.
Waktu itu malam hari dan engkau dalam keadaan terkejut. Maka tidaklah mengherankan, bahwa engkau tak mengenalnya."
"Tetapi dahulu engkau pernah mengenalnya dalam hutan Tanggerang."
"Ah," Sonny de Hoop berseru perlahan. "Kuingat sekarang. Bukankah dia yang berada di antara kedua gurumu tatkala aku mencari padamu untuk menyampaikan berita ancaman almarhum
Mayor de Groote?" "Ya benar," Sangaji bersemangat. "Karena itu, masakan kita akan membiarkan dirinya dalam keadaan sengsara?"
Sonny de Hoop meruntuhkan pandang ke bawah. Sejenak kemudian ia menatap wajah
Sangaji dan hatinya tertarik melihat kekasih-nya begitu bersemangat. Selama enam tujuh tahun bergaul, belum pernah ia melihat Sangaji dalam keadaan demikian. Menurut pendapatnya pemuda itu tak ubah sebuah pelita tanpa nyala. Dan selama itu ingin ia menyalakan. Hanya saja ia belum memper-oleh kesempatan. Keruan saja hatinya bersyukur. Suatu harapan yang hanya dike-tahui gadis itu sendiri menyerah dalam dadanya. Lantas saja ia berkata, "Dahulu hari, akupun menceritakan pengalamanku yang mengerikan itu kepada Ayah. Ayah sangat bersyukur dan ingin membalas jasa. Sayang aku tak bisa menerangkan siapa dia, kecuali kedua gurumu." la berhenti sebentar. Matanya tak beralih dari wajah kekasihnya yang mengharapkan pengertiannya. "Kau berkata pula, pernah berhutang budi kepadanya" Dalam hal apa?"
"Itulah Dewadaru."
"Dewadaru" Apakah itu?"
Sangaji tak pernah bisa membohong. Dan dengan singkat ia menceritakan kembali beta-pa ia dahulu menemukan kesukaran sampai akan berputus asa sewaktu menyelami ajaran-ajaran kedua gurunya. Kemudian ia dibawa Ki Tunjungbiru ke Pulau Edam untuk menghisap getah pohon
Dewadaru. Tentang daya sakti getah Dewadaru, tak banyak ia menerangkan. Ia hanya berkata, semenjak itu merasa menjadi manusia baru. Itulah dise-babkan pula, ia memperoleh warisan ilmu tata semedi yang tinggi.
Selama itu Sonny de Hoop mengamat-amati wajah Sangaji. Pemuda itu bukan main sema-
ngatnya sampai terasa berkobar-kobar. Dan lambat-laun terasalah dalam hati, bahwa ia
dibutuhkan. Memperoleh kesan demikian, ia menjadi bersyukur. Terus saja ia berkata, "Sangaji!
Apakah hatimu senang apabila Ayah membebaskannya?"
"Tentu! Dia lebih berharga daripada jiwaku sendiri," sahut Sangaji setengah bersorak.
Sonny de Hoop tahu, itulah jawaban berlebih-lebihan. Tetapi dia sudah memu-tuskan hendak membuat hati kekasihnya senang dan merasa puas. Barangkali itulah gerbang pembuka jalan
untuk mengetuk pintu hatinya. Maka ia berkata, "Biarlah kucobanya untuk membicarakannya dengan Ayah. Aku akan bekerja demi hatimu. Jika engkau menjadi senang akan kebebasannya, hatiku puaslah sudah. Tetapi seandainya aku mengalami kegagalan, apakah yang hendak
kaulakukan?" "Gagal" Mengapa gagal?" Sangaji kaget. Se-telah berbimbang-bimbang sejenak ia berkata, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
"Tidak Sonny! Kau takkan mengalami kega-galan."
Sonny de Hoop tersenyum. Pada saat itu ia mengharapkan sebuah ciuman. Tetapi Sangaji
bukanlah orangnya untuk dapat diharapkan demikian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menurut kata hatinya, ia menjadi kecewa. Namun wanita mempunyai kesabaran hakiki. Maka ia berkata, "Siapakah namanya?"
"Ki Tunjungbiru," sahut Sangaji singkat.
Sonny de Hoop tak berkata lagi. Teringat Sangaji tadi tak menolak ia menyandarkan kepalanya pada dadanya. Kali ini pemuda itu tidak mengadakan reaksi pula. Maka ia sudah harus merasa puas.
Waktu itu matahari sudah condong ke barat. Hawa mulai terasa sejuk. Angin sudah datang
waktunya untuk berceritera. Ia membawa arus laut sehingga menjadi bergelombang. Sonny de Hoop merenungi garis cakrawala dengan pikiran menumbuk diri. Semenjak pagi hari perutnya belum kemasukan sesuatu, tetapi ia tak merasa lapar.
"Sangaji! Engkau tak lapar?" tanyanya lem-but.
Sangaji seorang pemuda berperawakan kokoh. Seluruh tubuhnya penuh dengan tenaga sakti.
Kalau tidak makan untuk dua tiga hari, tenaganya tak bergeming. Karena itu menyahut dengan sungguh-sungguh.
"Tidak." Mendengar jawaban itu hati Sonny de Hoop merasa berbahagia. Ia mengira keadaan hati
pemuda itu seperti keadaan hatinya sendiri yang penuh gumpalan-gumpalan perasaan yang tak terungkapkan. Maka ia berkata be-rani, "Sangaji! Kita sudah bertunangan, apa sebab engkau tak mendekapku" Aku adalah milikmu."
Hati Sangaji terkesiap, la teringat pembi-caraan tadi. Dan ia tak boleh mengecewakan. Lagi pula Sonny de Hoop adalah tunangannya yang syah, betapapun ia mempunyai, alasan-alasan
tertentu yang membuat hatinya beku. Sebagai seorang kesatria sejati tak boleh ia hanya
mendengarkan hatinya sendiri. Memikir demikian ia hendak bergerak memeluk. Sekonyong-
konyong ia mendengar suara gedu-brakan yang kemudian disusul dengan bentakan-bentakan.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sonny! Kau mendengar tidak?" kata Sangaji.
Panca indera Sonny de Hoop tentu saja tidaklah setajam Sangaji. Namun setelah menajamkan pendengaran, ia mendengar suara kesibukan juga. Ia menegakkan badan dan pandangannya
mengarah ke tenggara. Kira-kira tiga ratus meter dari tempatnya ber-teduh adalah bekas-bekas kampung Cina yang terbakar pada seabad yang lampau. Meskipun bangunannya tiada lagi, namun sebuah kelenteng masih nampak tegak di antara reruntuhan tembok. "Mari!" ajak Sangaji.
Sonny de Hoop tahu, kekasihnya ke-ranjingan ilmu berkelahi. Maka ia membiarkan diri kena tarik. Mula-mula ia dibawa lari. Mendadak merasa dirinya terangkat. Dan tanah di bawahnya kelihatan lari berbalik. Ia menoleh dan melihat pohon-pohon bergerak pula.
"Sangaji! Ini ilmu apa" Apakah ini kau per-oleh dari Ki Tunjungbiru pula?"
Dahulu ia melihat Sangaji berada di kubang batu sewaktu ikut ayahnya memasuki gelang-gang pertempuran. Hanya saja ia tidak menyaksikan betapa Sangaji bertempur menghalau musuh-musuhnya.
"Sonny. Jangan bersuara! Kita bukankah lagi mengintip orang bertempur?" bisik Sangaji. Sonny de Hoop cepat dibuat mengerti dan ia membiarkan dirinya dibawa terbang kekasihnya. Waktu berada di balik reruntuhan, ia melihat tiga orang lagi bertempur seru di atas atap kelenteng.
Sangaji mengamat-amati mereka. Yang lagi berhadap-hadapan mengenakan pakaian se-ragam
putih, yang berperawakan tinggi besar berlencana gambar pedang silang dengan bin-tang. Dan yang berperawakan ramping berlencana gambar pedang silang dengan garuda. Dan yang berdiri di sampingnya seorang perempuan berparas lembut.
"Pasong Grigis!" kata laki-laki yang berpe-rawakan ramping. "Kau sungguh keterlaluan.
Meskipun kita dari golongan lain, tetapi kita bernaung di bawah satu bendera. Mengapa engkau berbuat ganas terhadapku?"
Orang yang disebut Pasong Grigis tertawa terbahak-bahak. Sampai tubuhnya bergon-cang-
goncang. Sambil mengusap jenggotnya yang lebat ia menyahut, "Suhanda! Besok kita harus mendaki Gunung Cibugis, tetapi masih saja engkau kena rengek perempuan siluman itu. Apakah engkau pantas dihidupi?"
"Rostika meskipun dia dahulu murid Edoh Permanasari kini sudah menjadi istriku. Mengapa engkau berbicara tak keruan?" ger-tak Suhanda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pasong Grigis tertawa terbahak-bahak kem-bali. Katanya, "Edoh Permanasari mengizin-kan anak muridnya kawin dengan seorang anggota himpunan Sangkuriang. Masakan dia begitu baik hati?" ia mengesankan. Kemudian meneruskan dengan suara penuh kemenang-an, "Sekarang kau main asmara di dalam kelenteng. Apakah di rumahmu sendiri kurang nyaman?"
"Pasong Grigis dengarkan!" bentak Suhan-da. "Engkau salah seorang pemimpin laskar Dwijendra sampai mengintip pembicaraan orang dari atas kelenteng, sudahlah sangat tercela. Apa lagi ternyata engkau menembak bagian yang salah pula. Namun mulutmu sudah mengoceh tak
keruan." "Biarlah aku yang menerangkan." Tiba-tiba Rostika menolong perkataan suaminya. Setelah itu, ia membuat tanda sembah kepada Pasong Grigis. Kemudian berkata, "Semuanya akulah yang salah, sehingga menerbitkan salah paham ini. Aku membawa Kak Suhanda ke mari untuk
mengelabui gerak guruku Edoh Permanasari. Sebab aku hendak menyampaikan pesan."
"Apakah itu?" Rostika berbimbang-bimbang sebentar. Lalu menyahut, "Biarlah kukatakan dengan sebe-
Bentrok Rimba Persilatan 15 Panji Wulung Karya Opa Pendekar Lembah Naga 16
^