Bende Mataram 35
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 35
narnya. Guruku berketetapan hendak merebut kembali pusaka Jawa Barat yang kini berada di tangan anak seorang kompeni. Aku menganjurkan agar suamiku melindungi anak itu dari
keganasan guruku." Sangaji terkesiap mendengar kata-kata itu, meskipun ia sudah mendengar selintasan dari mulut Edoh Permanasari sendiri sewaktu mengadu mulut dengan Inu Kertapati dan Sidi Mantra ia segera menajamkan pendengaran.
"Apakah sebab engkau menjadi baik hati?" dengus Pasong Grigis.
Rostika tidak segera menjawab. Ia masgul melihat kesangsian Pasong Grigis. Katanya mencoba meyakinkan, "Ada pepatah yang berbunyi begini: Kalau suami menjadi raja, engkau menjadi permaisuri. Bila pilihanmu ternyata setan, bersedialah memasuki nera-ka!"Aku memang murid Edoh Permanasari. Tuhan justru memperjodohkan aku dengan seorang anggota himpunan
Sangkuriang, musuh utama kakek guruku turun-tumurun. Tapi aku tidak menyesal. Hatiku dan diriku semenjak itu kuhadapkan kepadanya. Aku ingin membuat suamiku berbahagia. Sekarang terjadi sesuatu yang menyangkut kepentingan suamiku. Masakan aku tinggal diam saja?"
"Bagus! Kau bisa membuat jasa kepada suamimu, masakan tak dapat pula membuat jasa
terhadap gurumu. Kau memang perem-puan siluman berkepala dua!" bentak Pasong Grigis. Dan setelah membentak demikian, ia melesat menghantam Rostika. Dengan meme-kik kaget, Rostika mengelak ke samping! Te-tapi karena serangannya itu sangat cepat dan datangnya dengan tiba-tiba, pundak kirinya terpukul juga. Meskipun tenaga pukulan itu jadi berkurang namun masih dapat merobek baju.
Pada saat itu, Suhanda menghantam de-ngan sepenuh tenaga. Pasong Grigis segera
menyambut dengan tak kurang dahsyatnya. Dengan satu suara keras, tubuh kedua orang itu
terhuyung ke belakang. Hampir berbareng dengan itu, debu dan pasir menyiprat beter-bangan dan dengan suatu suara gemuruh tembok kelenteng bagian depan roboh berguguran.
Dalam gerakan itu, masing-masing meng-gunakan tenaga sepenuh-penuhnya. Keras melawan
keras. Beradunya kedua tenaga tersebut mempunyai akibatnya sendiri. Setelah terhuyung
mundur, mereka jatuh ke tanah. Atap kelenteng yang sudah berumur lebih dari seabad lantas saja rontok berantakan.
Rostika yang pundaknya kena pukulan, meloncat turun pula. Melihat suaminya berhadap-
hadapan lagi dengan Pasong Grigis, ia tak menghiraukan keselamatan diri. Terus saja ia melesat mendampingi suaminya. Matanya yang tajam bersinar lembut nampak menyala berkilatan. Ia
melihat Pasong Grigis dan suaminya, berdiri tegak seperti patung, la tahu, masing-masing menderita luka dalam. Mereka memejamkan mata, dan sedang mengatur pernapasan. Dan tidak
lama kemu-dian, mereka bersama-sama pula memuntah-kan darah segar.
Pada detik itu, terdengarlah salah seorang anak memanggil-manggil ibunya. "Mak... Mak!"
Rostika menjadi gelisah, namun tak berani berkisar dari tempatnya. Sejenak kemudian, seorang anak perempuan kurang lebih berumur tiga tahun tersembul "dari reruntuhan atap. Anak itu berusaha merayap ke luar.
"Ah, anak itu!" seru Sonny de Hoop. Seruan itu mengejutkan semuanya. Baik yang sedang mengadu nyawa maupun Sangaji sendiri. Akan tetapi Sonny de Hoop tidak memeduli-kan kesan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka. Ia keluar dari tempat per-sembunyiannya dan lari menghampiri si bo-cah. "Jangan takut!
Jangan takut! Mari kuto-long," bujuknya.
Pasong Grigis menjenakkan matanya meli-hat seorang gadis Indo Belanda memasuki
gelanggang pertempuran, ia tercengang seje-nak. Kemudian menjadi curiga. Rostika adalah anak murid Edoh Permanasari. Dan Edoh Permanasari murid Ratu Fatimah. Semua orang tahu, Ratu
Fatimah bekerja sama dengan Belanda. Pada saat itu ia merasa dirinya kejeblos kolam perangkap yang sudah diatur. Memikir demikian ia tertawa berkakakan sambil berseru, "Baik! Baik!" Setelah berseru demikian ia melompat mundur. Di luar dugaan ia mengibaskan tangan menyerang Sonny de Hoop.
Rostika kaget. Ia jadi sibuk. Sebagai cucu murid Ratu Fatimah ia mempunyai sejarah
perhubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. Hanya saja ia tak berani melindungi warga Belanda di depan Pasong Grigis, meng-ingat kedudukan dan perhubungan suaminya. Selagi ia berbimbang-bimbang Pasong Grigis memekik.
Tubuh Pasong Grigis jungkir balik tiga kali berturut-turut. Tatkala berdiri tegak suatu hawa hangat menusuk dalam jalan darahnya. Pasong Grigis tercengang. Dadanya terasa nyaman luar biasa. Tahulah dia, bahwa seseorang menolong menyembuhkan luka dalamnya sambil menangkis serangannya. Itulah suatu ilmu kepandaian yang susah diukur betapa tingginya. Segera ia
membungkuk hormat seraya berkata, "Pendekar besar yang bersembunyi, perkenankan aku menghaturkan terima kasih." Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah mundur berjumpalitan.
Dalam sekejap mata ia hilang dari penglihatan.
Sungguh! Dalam sekejap saja Rostika menghadapi suatu kejadian yang mengherankan. Ia
merasa bersyukur. Pasong Grigis telah pergi. Hal itu berarti bahaya tiada lagi. Hanya saja ia tak tahu, apa yang menyebabkan Pasong Grigis pergi dengan cara demikian. Tatkala menje-lajahkan matanya ia melihat seorang pemuda lagi menolong suaminya menyalurkan jalan darahnya. Ia
menjadi bertambah heran. Akhirnya ia menghampiri Sonny de Hoop sambil berkata lembut, "Nona kau siapa?"
Tanpa menoleh Sonny de Hoop menyahut, "Kau tolonglah suamimu! Anak ini biar aku yang menolong. Apakah dia anakmu?"
"Ya" "Siapa namanya?"
Mendengar suara Sonny de Hoop yang ra-mah dan berkesan tulus hati, Rostika menya-hut
tanpa ragu-ragu, "Astika"
"Akh nama manis," tungkas Sonny de Hoop. Lalu membujuk si anak. "Astika! Mari kutolong keluar, ya" Satu-dua-tiga, hup!"
Astika ternyata tak takut, melihat seorang Indo Belanda. Apalagi ibunya berada di dekat-nya. Ia menurut saja tatkala dirinya kena angkat Sonny de Hoop. Seluruh tubuhnya kena rontokan atap dan dinding. Dan dengan iba, Sonny de Hoop membersihkannya dengan membujuk-bujuk. Tiba-tiba ia berkata kepada Rostika, "Hai! Kena apa suamimu tak kau tolong" Dia kan muntah darah?"
"Dia sudah ditolong. Eh... siapa dia apakah dia teman Nona?" sahut Rostika.
Sonny de Hoop menoleh, la melihat Sangaji sedang menolong Suhanda. Dan oleh per-tanyaan
Rostika wajahnya menjadi merah muda. Menjawab agak sulit,
"Nanti tanyalah kepadanya sendiri."
Sangaji waktu itu sedang menyalurkan ilmu saktinya kepada Suhanda. Walaupun tak dapat
mengobatinya, tetapi tenaga saktinya penuh dengan getah sakti Dewadaru dan madu Tunjungbiru yang dapat memunahkan racun dan menyembuhkan luka dalam dengan cepat.
Tadi tiada niatnya hendak memperlihatkan diri. Hatinya sedang disibukkan oleh mereka yang sedang bertempur mengadu nyawa. Mereka sesama golongan, apa sebab bertem-pur begitu hebat hanya soal Rostika. Terasa sekali bahwa pertempuran itu mempunyai latar belakang yang
berdasar kuat. Tetapi latar belakang apakah itu, Sangaji tak kuasa menebak.
Selagi ia sibuk menduga-duga, tiba-tiba Sonny de Hoop memekik dan terus saja keluar dari persembunyiannya. Hampir saja ia me-nyesali kesemberonoannya. Tetapi apabila ia mengetahui alasan Sonny de Hoop yang tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, hati-nya mendadak
terasa menjadi hangat. Pada detik itu, Pasong Grigis menyerang Sonny de Hoop karena salah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
duga. Ia terkesiap. Terus saja ia mengibaskan lengan menangkis. (Jntung dia tadi mendengar kalimat percakap-an yang pertama kali tentang Gunung Cibugis. Meskipun masih samar-samar, dapatlah ia menduga bahwa mereka segolongan dengan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra.
Maka sambil menangkis ia menyalurkan hawa saktinya yang menolong pula menyembuhkan luka
dalam. Syukur, Pasong Grigis dapat dibuatnya mengerti. Setelah pergi, segera ia menghampiri Suhanda yang masih saja tegak bagai tugu.
Suhanda kelihatan pucat napasnya berjalan sangat perlahan. Cepat ia membuka kancing
kemejanya dan melihat bekas lima jari melesak pada dadanya. Benar-benar menghe-rankan, apa sebab Pasong Grigis menghenda-ki nyawanya, kata Sangaji di dalam hatinya. Tak berani berkhayal lagi, ia segera menyalurkan tenaga saktinya. Hatinya penuh dengan tandatanya.
Kurang lebih setengah jam Suhanda telah memperoleh kesehatannya kembali delapan bagian.
Dengan wajah berseri-seri ia menyi-ratkan pandang kepada Sangaji, Sonny de Hoop, Rostika dan anaknya. Kemudian mem-bungkuk hormat kepada Sangaji dan berkata: "Tuan penolong, bolehkah aku mengenal tuan" Ilmu sakti tuan begini hebat luar biasa."
Sonny de Hoop yang bangga bukan kepa-lang terhadap kemampuan Sangaji yang dapat
menyembuhkan Suhanda begitu cepat, terus saja menyahut dengan polos, "Dia bernama Sangaji"
Mendengar nama itu, baik Suhanda maupun Rostika kaget sampai berjingkrak. Wajah mereka
berubah hebat. Mereka saling memandang seolah-olah lagi minta pendapat masing-masing.
Kemudian Suhanda menegas:
"Apakah Tuan tinggal di..."
"Ya," Sangaji menjawab singkat.
"Akh!" Suhanda setengah memekik. Tiba-tiba berkata kepada Rostika.
"Tika! Temani Nona ini!"
Setelah membungkuk hormat kepada Sonny de Hoop, ia membawa Sangaji menyen-diri ke
pantai. Kemudian berkata mulai, "Apakah Tuan yang disebut anak Kompeni?"
"Panggillah aku saudara, seperti cara memanggil Paman Inu Kertapati dan Sidi Mantra."
"Akh, kalau begitu benarlah Tuan. Eh... Saudara yang disebut anak Kompeni," tungkas Suhanda.
"Sebenarnya aku bukan anak seorang Kompeni."
"Jika bukan apa sebab engkau di sebut begitu?"
"Ibuku tinggal di lingkungan perumahan Kompeni. Mungkin itulah yang menyebabkan."
"Ha... sekarang menjadi agak terang," ujar Suhanda berlega hati. Sebab barang hantaran itu menjadi heboh di antara mereka, lebih-lebih Edoh Permanasari yang ingin merebut kembali
pusaka Jawa Barat pedang Sokayana.
Melihat Suhanda yang masih tampak beragu terhadap dirinya, Sangaji mengerutkan dahi,
sebentar ia berpikir, kemudian berkata meyakinkan. "Tetapi tinggal dalam lingkungan kompeni belum tentu menjadi pengikutnya bukan?"
Mendapat keterangan itu Suhanda meng-angguk mantap.
Kini Sangaji benar-benar mengerti bahwa barang hantaran itu menjadi rebutan beberapa pihak, karenanya ia segera meninggalkan tempat itu untuk mempersiapkan diri menjaga
kemungkinannya yang terjadi, ia sadar bahwa perjuangannya masih panjang.
Tentang Edoh Permanasari hendak ber-usaha merebut pedang Sokayana, sedikit banyak
Sangaji telah mengetahui. Meskipun alasan sesungguhnya masih samar-samar bagiannya.
Sekarang ia mendengar kata-kata, Menjadikan heboh di antara mereka. Siapakah yang dimaksud dengan mereka ini" Tatkala ia hendak minta penjelasan, Suhanda meneruskan berkata sambil merenggut lencananya.
"Saudara Sangaji. Lihat! Inilah lencana kami. Lencana anggota Himpunan Sangkuriang.
Lencana pedang silang dengan tanda garuda. Inilah tanda pengenal golongan kami."
"Yang kau lawan bertempur tadi, menge-nakan lencana begitu juga."
"Ah, ya," sahut Suhanda dengan rasa kece-wa. "Diapun anggota Himpunan Sangkuriang. Hanya saja dari golongan lain." Ia berhenti merenung-renung. Sejurus kemudian mene-ruskan,
"semenjak pemimpin kami hilang tiada beritanya, Himpunan Sangkuriang ter-pecah belah menjadi beberapa golongan. Kami saling bersaingan dan akhirnya saling bermusuhan. Apa yang dikerjakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari go-longan kami, belum tentu memperoleh perse-tujuan golongan lainnya. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, seringkali kami berla-wanan tak keruan juntrungnya."
"Apakah kalian bertempur mengenai pe-dang pusaka Sokayana?" Sangaji mencoba.
"Ya dan tidak."
Otak Sangaji tidaklah secerdas Titisari. Selamanya tak pernah ia bisa memecahkan suatu teka-teki atau sesuatu masalah yang tidak cukup gamblang. Karena itu, ia mene-gas, "Ya dan tidak, bagaimana?"
Suhanda tertawa perlahan melalui dadanya. Menjawab, "Tadi kukatakan, bahwa barang
hantaran itu menjadikan heboh di antara mereka. Itulah mereka dari golongan kami yang lain.
Sudah semenjak lama, persatuan kami dirusak oleh berita-berita fitnah dan suatu kecurigaan terkutuk. Mereka semua tahu, bahwa pusaka-pusaka peninggalan pemimpin kami jatuh kepada
golongan kami. Itulah berarti pula, bahwa golongan kamilah yang mendapat kepercayaan
pemimpin kami semenjak dahu-lu hari. Sesuatu hal yang menimbulkan rasa cemburu mereka.
Karena pusaka-pusaka sakti Jawa Barat itu seumpama jiwa himpunan kami, maka tidaklah
berlebih-lebihan apabila mereka senantiasa mengamat-amati gerak-gerik kami. Celakanya... ia berhenti tak meneruskan. Wajahnya berubah hebat seolah-olah dalam hatinya terjadi suatu
pergulatan untuk menentukan suatu keputusan."
Melihat kesukaran Suhanda, hati Sangaji jadi tak enak sendiri. Terus saja ia berkata, "Sudahlah, jangan memaksa diri. Tadi aku mendengar selintasan tentang tuduhan-tuduhan lawanmu. Dia tak senang kepadamu karena memperis-terikan salah seorang bekas anggota Kerajaan Banten.
Agaknya dia tak mau sudah, sebelum memperoleh keputusan siapa diantaramu berdua yang
menang dan yang kalah."
Mendengar ucapan Sangaji, Suhanda menarik napas panjang. Katanya perlahan, "Dia bernama Pasong Grigis. Sebenarnya dia bukan seorang manusia jahat. Semuanya ini terjadi, karena dalam tubuh himpunan kami sudah terjadi suatu luka yang dalam. Baiklah kuceritakan saja semuanya yang sudah terjadi. Siapa tahu akan menjadi bahan baik bagimu di kemudian hari. Bukankah engkau akan datang pula ke Gunung Cibugis?"
"Ya, aku sudah berjanji kepada Paman Inu Kertapati dan Paman Sidi Mantra."
"Bagus! Beginilah, aku baru merasa puas. Sekarang, meskipun seribu geledek me-nyambar diriku, takkan aku mundur biar se-langkahpun". Suhanda gembira. Kemudian dengan bersemangat ia berkata, "Saudara Sangaji, tadi sudah kuterangkan, bahwa di antara kami terjadi suatu perpecahan hebat semenjak pemimpin kami hilang tiada beri-tanya. Sementara itu, permusuhan antara himpunan kami dan murid-murid Ratu Fatimah kian hari kian meningkat. Ratu Fatimah benar-benar seorang lawan yang licin luar biasa. Dari depan ia menggempur bersama dengan kekuatan kompeni. Dari be-lakang ia menebarkan hamba sahaya dan murid-muridnya untuk
mengacau dan me-lumpuhkan sendi kekuatan kami. Itulah sebabnya, betapa benci Pasong Grigis ter-hadapku begitu ia mengenal isteriku sebagai salah seorang bekas murid Ratu Fatimah.
Meskipun Rostika, isteriku sudah menjadi orang lain, betapa dapat aku membuat Pasong Grigis dan anggota-anggota golongan lain mau mengerti. Mereka semua mencurigai aku, termasuk
teman-temanku. Dan dengan sendirinya memusuhi golongan kami, anak-anak pasukan panji-panji Garuda. Celaka-nya... justru pusaka-pusaka Jawa Barat jatuh kepadamu. Engkau yang dikabarkan sebagai anak kompeni. Kompeni yang bekerja sama dengan golongan Ratu Fatimah musuh kami
turun-temurun. Tapi sekarang... setelah men-dengar ketegasanmu, hatiku menjadi lapang.
Apalagi, engkau hendak pergi pula ke Gunung Cibugis. Justru inilah tujuan kami apa sebab pusaka Jawa Barat kami persembahkan kepadamu. Kami tidak hanya mengharapkan suatu penyelesaian
perpecahan kami ini dengan segera, tetapi mengharapkan pula kebangunan Himpunan
Sangkuriang kami kembali seperti sediakala."
"Saudara Suhanda!" potong Sangaji. "Ha-rapanmu terlalu berlebih-lebihan."
"Tidak! Masakan Ki Tunjungbiru bisa salah?" Suhanda menungkas cepat. "Ki Tunjungbiru bukanlah manusia yang tak becus mengenal manusia bertulang bagus. Dia seumpama bermata
dewa, yang bisa melihat hari kemudian jauh sebelumnya. Kau percaya, tidak" Tiga belas tahun yang lalu, dia sudah memberi kabar kepada himpunan kami, bahwasanya dia sudah menemukan
seorang anak bertulang bagus yang dapat diharapkan tenaganya bagi kebangunan kami kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan bertambah hari, bertambah yakinlah dia, sehingga semenjak itu ia senantiasa menilik dan mengikuti anak harapannya. Dan aku sekarang yakin, bahwa anak itu pastilah Saudara sendiri."
Kalau orang mendengar seribu geledek, tidaklah sekaget Sangaji tatkala mendengar kata-kata Suhanda. Benarkah keterangan itu" Kalau benar, alangkah hebat!
Tiba-tiba saja, dia seperti dihadapkan pada suatu cermin besar mengingat-ingat kembali semua sepak terjang Ki Tunjungbiru yang pendiam dan saleh. Tiga belas tahun yang lalu, ya tiga belas tahun yang lalu, selagi ia menghadapi jalan buntu untuk menyelami rahasia jurus Wirapati dan Jaga Saradenta, tiba-tiba muncullah Ki Tunjungbiru. Dan itulah riwayat pertemuannya yang pertama. Kemudian ia dibawa menyeberang laut. Dibawa menghisap getah sakti pohon Dewadaru.
Dipenuhi dengan kisah tentang sejarah penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya
mencemaskan. Benarkah ayahnya mati karena kena hisap pohon Dewadaru ataukah hanya suatu
cerita khayal dengan tujuan berencana" Lantas memberi petunjuk cara bersemadi dan kemudian mengikuti perjalanannya ke Jawa Tengah dan selalu bersedia melindungi. Apakah semuanya itu sudah masuk dalam rencana kerjanya?"
Teringat betapa Ki Tunjungbiru selalu me-nyaksikan dan selalu hadir pada tiap-tiap
perkembangan ilmu saktinya, hati Sangaji jadi tergetar, la lantas merasa diri menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan sepakter-jang Ki Tunjungbiru yang sukar diduga dan dijajaki. Benar ilmu saktinya kini jauh lebih tinggi daripadanya, tetapi sepakterjang Ki Tunjungbiru yang memiliki lapangan luas dan jauh, alangkah besar luar biasa.
Ki Hajar Karangpan yang pernah bertanding lima hari lima malam, kini berkesan jadi kerdil.
Bahkan gurunya Gagak Seta dan pendekar-pendekar sakti yang pernah dijumpainya bukan pula pantas dibandingkan dengan ke-luarbiasaan Ki Tunjungbiru. Sekarang sadarlah dia apa sebab Ki Tunjungbiru dipuja sebagai seorang pahlawan Jawa Barat yang tiada taranya dalam sejarah. Ia mempunyai cara kerja sendiri dan memiliki jalannya sendiri pula.
Memperoleh kesan demikian, dengan tak terasa terloncatlah perkataannya.
"Aki Tunjungbiru memang seorang pahla-wan tiada tara. Tapi kalau dia mengharapkan aku dapat membangun kembali himpunan pejuang Jawa Barat seperti yang dikehendaki adalah
mustahil. Benar-benar mustahil! Aku seorang diri masakan mampu berbuat demi-kian. Seumpama aku malaikat atau dewa sak-tipun tidaklah mungkin dapat menjangkau setiap jengkal tanah yang tergelar di persada bumi Jawa Barat. Mustahil! Sungguh mustahil!"
"Mengapa mustahil?" tungkas Suhanda. "Di belakangmu berdiri Ki Tunjungbiru beserta kawan-kawan seperjuangan yang berjumlah ribuan orang. Mengapa mustahil?"
Selamanya, Sangaji tak pandai berdebat. Namun ia masih mencoba.
"Aki Tunjungbiru jauh lebih besar dari-padaku. Sekiranya pekerjaan itu dapat dilakukan, pastilah dia sudah bekerja. Mengapa mesti mengharapkan tenagaku. Aku rasa, ada sesuatu yang kurang tepat."
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" bantah Suhanda dengan cepat. Dalam tiap perjuang-an, nyala api adalah dasar dan sumber tenaga yang mahapenting. Sudah semenjak pemimpin kami
hilang tiada berita, kami kehilangan api perjuangan. Kehilangan api daya gerak. Kini api itu telah diketemukan kembali oleh Ki Tunjungbiru. Itulah api hidup yang bersemayam dalam dadamu!" la berhenti mengesankan. Meneruskan, "seumpama perjuangan jagat luar ini adalah kegiatan kodrat tubuh maka kami adalah angan-angannya. Dan engkau adalah sumber geraknya. Seseorang boleh mempunyai angan-angan setinggi bintang dan seluas samudera, tapi tiada geraknya adalah
seumpama orang tidur dengan mimpi indah semata. Orang boleh berangan-angan hendak
menghirup semangkuk air teh, tapi lumpuh tiada gerak, betapa mungkin semangkuk air teh itu akan tiba di tepi bibirnya?"
Mendengar uraian Suhanda, hati Sangaji yang sederhana jadi mati kutu. Ingin ia men-coba
mengemukakan pendapatnya, namun ia tak pandai menemukan kata-katanya. Karena itu ia jadi gelisah sendiri. Setelah tergugu be-berapa saat lamanya, akhirnya ia berkata juga.
"Saudara Suhanda! Aku seolah-olah kau persamakan dengan pemimpin kalian yang sejati.
Betapa mungkin?" Suhanda berbimbang-bimbang sebentar. Wajahnya yang tadi penuh keyakinan, nampak terjadi
suatu perubahan. Tapi hanya sesaat. Setelah itu menyahut, "Mengapa Saudara Sangaji! Pemimpin kami yang hilang tiada beritanya adalah seorang yang tiada bandingnya di kolong langit ini. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalau Ki Tunjungbiru sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu, pastilah ada alasannya yang kuat. Kami tidak beragu lagi. Sebab dialah satu-satunya anggota himpunan kami yang kenal dan mengenal pemimpin kami yang hilang itu."
"Bagus!" seru Sangaji dengan gembira. Semenjak ia mendengar nama pemimpin perjuangan Jawa Barat, hatinya sudah ter-tarik. Ingin ia memperoleh keterangan, sia-pakah dia sebenarnya.
Namun selalu gagal. Kini ia mendengar Suhanda membicarakan-nya dengan hati penuh. Sepercik harapannya timbul. Terus saja ia minta keterangan. "Dia bernama Gusti Amat, bukan" Siapakah dia sebenarnya?"
Suhanda terhenyak sejenak. Ia merenungi wajah Sangaji seakan-akan sedang menye-lidiki
lubuk hatinya. Lalu berkata dengan hati-hati.
"Apakah Inu Kertapati dan Sidi Mantra tidak menjelaskan?"
Sangaji menggeleng kepala.
"Dalam urutan kedudukan, mereka berdua berada di atasku. Kalau mereka berdua tidak
menjelaskan, betapa mungkin aku dapat ber-buat begitu."
"Mungkin mereka alpa tiada waktu."
"Tidak, bukan begitu. Soalnya, tidak sem-barang orang mengenal peribadi Gusti Amat. Kukira, seperti aku merekapun hanya menge-nal nama beliau yang mulia."
Sangaji kecewa, namun tak mau ia mende-sak. Selagi demikian, Suhanda mengangsur-kan
sebuah benda terbuat dari logam. Ka-tanya, "Kosim dari pasukan Obor Abadi tak dapat datang menghaturkan surat undangan. Besar sekali kemungkinannya, ia terlibat dalam suatu urusan.
Tanda pengenal ini diti-tipkan kepadaku agar aku menghaturkannya kepadamu. Inilah tanda
pengenal himpunan kami yang syah. Dengan tanda pengenal ini, saudara dapat datang pergi ke Gunung Cibugis dengan leluasa. Sebaliknya, meski-pun seseorang mempunyai surat undangan
khusus tapi tiada tanda pengenal semacam ini, jangan berharap dapat menghampiri gunung itu.
Dia akan gagal atau mati di te-ngah jalan. Itu disebabkan, musuh kami ter-lalu banyak dan sukar diduga. Sehingga kami harus selalu berwaspada. Saudara Sangaji akan datang ke sana. Pastilah engkau akan mengerti sendiri kelak, siapakah musuh-musuh yang kami maksudkan."
Sampai di sini, habislah sudah pembicaraan Suhanda. Dengan berlega hati, ia membawa
Sangaji kembali menghampiri Rostika dan Sonny de Hoop. Segera ia memperkenalkan Rostika dan anaknya. Dan setelah berbicara selintasan, cepat-cepat ia minta mengundurkan diri seakan-akan ada sesuatu yang memburunya.
"Orang itu aneh gerak-geriknya," kata Sonny de Hoop. "Dia berbicara apa kepada-mu?"
Sangaji tak pernah dapat berbohong. Untung, sewaktu hendak memberi keterangan, Sonny de
Hoop sudah beralih perhatiannya. Memang bagi gadis itu, yang maha penting adalah diri Sangaji dan masalah hubungannya dengan dirinya sendiri. Peristiwa-peristiwa lain yang tidak bersangkut-paut dengan kepentingannya, tidaklah masuk ke dalam perhatiannya. Ia tadi hanya merasa
dirugikan dengan dibawanya Sangaji menyendiri di tepi pantai. Dan ia bersedia untuk
menggerembengi. "Sangaji! Engkau sudah memperlihatkan ilmu saktimu yang tinggi kepadaku. Tapi be-lum pernah sekali juga memperlihatkan nyala hatimu kepadaku. Mengapa?" katanya kesal.
Sangaji jadi perasa. Dengan lembut ia mem-bimbing Sonny de Hoop berjalan perlahan-lahan
menghampiri kudanya. Waktu itu matahari sudah merayap rendah di barat. Angin laut membawa hawa sejuk ke darat. Udara cerah dan menyenangkan. Segar serta menggairahkan. Itulah waktu yang sebaik-baiknya untuk seseorang yang hendak menumpahkan gelora rasa kasihnya. Namun
hati Sangaji tiada berada di situ.
38. PUKULAN BINTANG BERCACAH
DIMANAKAH letak Gunung Cibugis" Inilah suatu hal yang tak pernah terpikirkan dalam otak
Sangaji. Dan sekarang, setelah pemuda itu bersiap-siap hendak berangkat jadilah suatu masalah yang pelik.
Dahulu tatkala dia belajar di sekolah kompeni ilmu bumi merupakan salah satu mata pelajaran yang penting. Maklumlah, sekolah tempat ia belajar adalah sebuah sekolah yang didirikan kompeni dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak kompeni. Karena ilmu bumi berhubungan erat dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tugas hidup seorang militer, maka ilmu itu merupakan mata pelajaran yang penting. Hampir nama seluruh kota sampai ke pelosok-pelosok desa termasuk sungai dan gunungnya dijejalkan penuhpenuh dalam benak murid-murid. Itulah sebabnya, ia tidak menaruh perhatian khusus terhadap nama gunung tersebut. Pikirnya ia akan dapat menemukan nama gunung itu dengan mudah di
dalam peta bumi. Tetapi setelah membuka-buka peta Jawa Barat, nama gunung itu tiada.
Dengan saksama ia menyelidiki nama gunung-gunung di seluruh wilayah Jawa Barat. Mulai dari Gunung Gede, Aseupan, Karang, Pulasari, Gembol, Bentang sampai kepada Gunung Sawal dan
Gunung Pojoktiga. Namun nama Gunung Cibugis, tiada. Ia menemukan sekelompok gunung-
gunung yang menarik. Itulah Gunung Sanggabuwana, Halimun, Ken-deng dan Salak. Besar
dugaannya, bahwa Gunung Cibugis mungkin berada di sekitar daerah itu. Tetapi mengingat
waktunya sangat sempit, sedangkan arah kepastiannya belum diperoleh diam-diam ia menyesali kesem-beronoannya sendiri.
Andaikata Titisari berada di sampingku, biarpun mencari sebuah gua di dalam wilayah seluas ini, pastilah akan berhasil dengan cepat. Tapi Titisari sekarang... ia berkata dalam hati. Dan begitu teringat Titisari, semangatnya seperti lumpuh sebagian. Pikirannya lantas menjadi gelap.
Kala itu rembang petang telah tiba dengan diam-diam. Segera ia berkemas-kemas. Ia sudah
mengambil keputusan tidak membawa serta si Willem, agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
Juga senjata apa pun tidak dibawanya. Ia yakin kepada kesanggupan dirinya. Tanpa senjata dan tiada berkuda, jauh lebih leluasa dan jauh lebih cepat. Teringatlah dia, gurunya Gagak Seta, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati dahulu pernah beradu lari semalam suntuk dalam jarak yang tidak dekat. Mereka tetap sehat walafiat tak kurang suatu apa. la belum pernah mencoba tenaga
saktinya untuk berlari-lari kencang dalam jarak panjang. Tapi mengingat kesanggupan dirinya kini sudah melebihi kesaktian mereka, pastilah hal itu bukan merupakan suatu masalah yang tidak mungkin. Maka dengan berbekal keyakinan itu, berangkatlah dia meninggalkan kota Jakarta
mengarah barat daya. Ia mengambil simpang-simpang jalan untuk menghindari penglihatan orang. Mula-mula hanya
berlari-larian kecil. Setelah berada di luar kota, segera ia mengerahkan tenaganya dan melesat dengan mengerahkan ilmu saktinya yang tinggi.
Meskipun boleh dikatakan hampir tak pernah berlatih, tapi ilmu lari Sangaji kala itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Tatkala hampir tepat tengah malam, ia sudah melalui jarak tiga ratus kilometer lebih.
Kira-kira satu jam kemudian, hujan turun rintik-rintik. Segera ia berlindung di bawah pohon dan beristirahat di atas batu besar. Di atas, awan tebal menutupi udara. Tiada sebuah bin-tangpun nampak mencongakkan diri!
Nampaknya malam ini tiada harapan untuk melihat udara cerah. Kalau aku membiarkan diri
menunggu perubahan udara, bukankah akan membuang-buang waktu saja" pikirnya. Dan memikir demikian, segera ia mengumpulkan semangatnya. Kemudian berlari-lari lagi sambil menjelajahkan matanya yang sangat tajam.
Seberang menyeberang jalan sunyi senyap. Angin dingin basah meniup keras. Kadang-kadang
ia melihat kejapan pelita di kejauhan. Itulah kelompok-kelompok desa yang tertebar di tempat-tempat tertentu. Namun untuk berharap bertemu dengan seseorang di tengah malam begitu
dingin, tidaklah mungkin terjadi.
Sesudah berlari-lari cepat mengikuti jalan desa, ia tiba di persimpangan jalan. Teringat akan sepak terjang gurunya Gagak Seta, ia berhenti sebentar memeriksa sekelilingnya.
Guru selalu meninggalkan tanda-tanda tertentu manakala dalam perjalanan. Juga paman-
paman guru dan pendekar-pendekar lainnya. Entah tata-cara pendekar-pendekar
Jawa Tengah berlaku pula di Jawa Barat sini entah tidak, pikirnya.
la membiak-biak gerumbul semak dan memeriksa batang pohon. Benar saja. Pada sebuah batu
besar ia menemukan gambar pedang silang dengan sebuah obor. Ia girang, karena tanda itu
sesuai dengan tanda pengenal pendekar Kosim yang diterimanya dari Suhan-da.
"Gambarnya mengarah ke selatan. Pastilah ini suatu petunjuk arah Gunung Cibugis."
Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus membelok ke selatan. Pada fajar hari, ia tiba di sebelah utara Rangkasbitung. Sesudah mengisi perut, ie meneruskan perjalanannya lagi. Di tempat simpang tiga Kali Ci Ujung, Ci Simeut dan Ci Berang, diketemukan sebuah gambar obor menyala pula. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertambah girang dan merasa pasti bahwa arah perjalanannya tidak salah. Maka dengan
semangat penuh, ia menyusur lembah Kali Ci Berang. Dan tepat menjelang pagi hari, muncullah Gunung Endut di depan matanya.
Di sebuah gundukan tanah, ia menemukan sebuah batu besar. Di sana ia merebahkan diri
untuk beristirahat barang sebentar. Hawa di pegunungan jauh berlainan daripada hawa semalam, karena itu tidaklah mengherankan bahwa ia tertidur dengan perasaan tenang.
Kira-kira matahari sepenggalan tingginya, Sangaji sudah selesai membersihkan dirinya.
Perasaan tubuhnya segar bugar. Segera ia duduk di atas tanah hendak bersemadi mengumpulkan tenaga saktinya. Mendadak saja pendengarannya yang tajam luar biasa menangkap suara derap kuda memasuki jalan pegunungan.
Gunung Endut ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gunung yang mempunyai arti. Apa
sebab sepagi ini ada serombongan orang berkuda mendaki lerengnya" pikirnya. Ia bercuriga, dan membatalkan niatnya hendak bersemadi. Kemudian ia melesat ke belakang onggok batu
menjenguk ke jalan. Cepat sekali larinya rombongan berkuda itu. Mereka memasuki petak hutan dan sebentar saja lenyap dari penglihatan. Sangaji segera menguntitnya dari jarak tertentu. Bagi dia yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia, tidaklah perlu khawatir akan ketahuan.
Ternyata mereka menuju ke sebuah pertapaan yang terlindung oleh semak semak belukar.
Lantas terdengar seorang di antara mereka berseru.
"Kami berempat pengawal Kerajaan Banten ingin menghadap ke duli tuanku Maulana Ibrahim.
Kami berempat memohon pertolongan duli tuanku."
Seruan itu melengking keras luar biasa. Suatu tanda bahwa tenaga sakti orang itu tak boleh diabaikan. Namun beberapa saat ia menunggu, tiada juga memperoleh jawaban yang dikehendaki.
"Tuanku Maulana Ibrahim! Kami berempat menderita luka parah. Masakan tuanku akan
membiarkan kami mati tiada liang kubur?" orang itu berseru lantang lagi.
Sejenak lagi ia menunggu. Kemudian memberi isyarat kepada teman-temannya agar turun dari punggung kuda. Setelah itu, mereka berempat duduk bersimpuh seakan-akan hendak menghadap rajanya sendiri.
"Tuanku Maulana Ibrahim!" serunya lagi. Tapi kali ini bernada minta belas-kasih. "Benar-benarkan tuanku sampai hati membiarkan kami mati begini hina?"
Pintu pertapaan itu nampak bergerak-gerak. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian
rapih. la menebarkan penglihatannya seperti sikap seorang pangeran, lalu berkata: "Sungguh sayang tuan-tuan. Kedatangan tuan-tuan sangat tidak tepat."
"Janganlah memanggil kami dengan tuan-tuan," potong orang yang berseru tadi. "Kami berempat pantas menjadi hambamu."
Terang sekali maksud orang itu. Dia hendak mengambil hati. Tetapi pemuda di hadapannya
tampak bersikap dingin. Dengan suara angkuh dia menyahut.
"Panembahan Maulana Ibrahim lagi berolah tapa untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Pintu biliknya terkunci rapat. Itulah suatu tanda bahwa dia tak dapat diganggu. Karena itu, carilah orang tua lain yang dapat membantu menyembuhkan luka kalian."
"Sudah semenjak kemarin kami berangkat ke mari. Keselamatan nyawa kami tinggal
tergantung kepada ilmu sakti tuanku Maulana Ibrahim. Karena itu, kami mohon ... kami mohon...
pertolongannya." "Tetapi Panembahan sedang berolah tapa. Tak dapat dia diganggu-gugat."
Mendengar ujar pemuda itu, mereka berempat menghela napas dengan wajah muram. Sejurus
kemudian orang tadi masih mencoba berkata, "Siapakah nama Tuan yang mulia?"
Pemuda itu tersenyum. Matanya berkilat. Hatinya senang, mendengar orang menghormatinya
demikian tinggi. Menyahut, "Aku adalah muridnya. Asalku dari Jawa Tengah. Namaku Manik Angkeran. Mengapa?"
"Ah, tuanku Manik Angkeran! Kami berempat adalah pengawal-pengawal Kerajaan Banten yang sial. Kami dilukai seseorang. Kalau tidak memperoleh pertolongan tuanku Maulana Ibrahim, pastilah nyawa kami sebentar lagi melayang. Maka itu, tolonglah sampaikan hal ini kepada gurumu yang mulia."
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Manik Angkeran menimbang-nimbang sebentar. Lantas berkata, "Siapakah nama kalian?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan Manik Angkeran, wajah mereka bercahaya dengan mendadak. Tak sia-
sialah mereka main mengambil haf terhadap pemuda cilik itu. Lantas saja mereka berebutan memperkenalkan namanya.
"Kami. Hamid, Syarif, Surian dan Brata. Bi-langkan saja kepada tuanku Maulana Ibrahim, kami berempat, murid-murid Tatang Manggala."
Setelah berkata demikian, hampir berbareng mereka rebah tertelungkup. Dari mulutnya ter-
bersit segumpal darah segar. Terang sekali, mereka menderita luka tak enteng. Hanya saja luka apa yang membuat mereka melontakkan darah segar, tidaklah jelas.
Sangaji yang bersembunyi tak jauh dari mereka, mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya
timbul suatu teka-teki yang menarik. Siapakah yang disebut Panembahan Maulana Ibrahim itu"
Nampaknya, dia bukan orang sembarangan. Kalau saja tidak memiliki ketenaran nama semenjak lama, tidak bakal pertapaannya dikunjungi tamu dari jauh.
Dalam pada itu, pemuda yang bernama Manik Angkeran menghampiri mereka dengan pandang
acuh tak acuh. Tiada nampak gopoh atau menaruh suatu perhatian yang berlebih-lebihan
sehingga kesannya seperti seorang dokter perang yang sudah mempunyai pengalaman maha
dahsyat. Katanya nyaring.
"Kalian luka berat. Hayo, panggillah aku dahulu, paman yang baik budi! Dan aku akan menolong meringankan."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, Sangaji tersenyum. Pikirnya dalam hati, Adik cilik ini, keterlaluan. Sudah terang mereka dalam keadaan runyam, mengapa masih perlu mengolok-oloknya lagi.
Teringatlah dia, sewaktu menderita luka berat di benteng batu dahulu. Titisari dalam keadaan bingung. Namun Fatimah tak memedulikan. Bahkan gadis angin-anginan itu memaksa Titisari agar memanggilnya bibi dahulu, sebelum bersedia membantu dengan segenap hati. Meskipun
mendongkol Titisari memaksa diri untuk membuat senang gadis angin-anginan itu. Kemudian, semuanya jadi lancar. Dan teringat akan Fatimah, tanpa disadari sendiri ia jadi menaruh perhatian kepada pemuda Manik Angkeran.
Gerak-gerik Manik Angkeran makin lama makin aneh juga. Meskipun tidak seliar Fatimah, tetapi paling tidak bisa dijajarkan. Melihat mereka tiada tanda-tanda mengindahkan permintaannya, lantas saja memutar badannya sambil berkata: "Baik! Kalau tak mau memanggilku paman yang baik budi. Terserah kalian akan mati atau tidak." Setelah berkata demikian, ia masuk ke gubuk pertapaan. Pintu ditutupnya rapat seumpama seekor lalatpun tak sanggup masuk.
Celakalah mereka yang sedang menderita luka. Demi luka yang dideritanya, sesungguhnya
mereka bersedia untuk membuat senang si pemuda. Tetapi keputusan pemuda itu terlalu cepat.
Mereka belum bisa mengadakan tanggapan secepat orang sehat, sehingga tak keburu mencegah rasa cemberutnya pemuda itu. Dengan demikian terasalah sudah, bahwa kesulitan yang mereka hadapi menjadi berganda.
Hamid orang yang berseru lantang tadi berusaha menguasai diri. Dengan gemetaran ia
mencoba menegakkan kepalanya. Kemudian hendak berseru memanggil Manik Angkeran. Namun
yang keluar dari mulutnya adalah keruyuk darah berbutir-butir. Masih dicobanya hendak
mengatasi. Tapi pada detik itu, ia jatuh terkapar di atas tanah.
Hampir berbareng dengan kejadian itu, pintu gubuk pertapaan terbuka kembali. Manik
Angkeran muncul dengan diikuti seorang cantrik13) memanggul sebatang cangkul pengaduk
tanah. Melihat Hamid menggelepar di atas tanah, ia menghampiri. Tangannya bergerak-gerak dan tahu-tahu Hamid sudah dapat duduk kembali dengan tegak, darahnya yang tadi meruap dari
mulutnya berhenti dengan mendadak.
Dengan memanggut-manggut, Hamid menyatakan rasa terima kasihnya. Katanya, "Akhirnya tuanku sudi menolong hamba juga."
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Aku hanya khawatir kau akan mati di depan pintu. Ini membuat susahku belaka. Sebab aku terpaksa harus menguburmu," sahut Manik Angkeran.
"Tapi tuanku menolong juga. Buktinya, dadaku terasa menjadi ringan," Hamid tak bersakit hati.
13). Cantrik: badai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Kau menyebutku sebagai tuanku, apa sih keuntungannya. Coba kau mau memanggil aku sebagai paman, aku takkan
menolongmu separuh-paruh."
Mendengar kata-kata Manik Angkeran, Hamid terhenyak sejenak. Menurutnya pantas, sebutan
tuanku jauh lebih tinggi daripada sebutan paman. Sadar bahwa betapapun juga dia harus pandai membuat rasa puas bintang penolongnya, buru-buru ia memperbaiki diri. Kemudian dengan kata-kata merendah, ia berkata: "Baiklah. Engkau memang pamanku yang baik budi."
"Siapa yang kesudian menjadi pamanmu" Aku hanya minta kau memanggilku paman yang baik budi."
Kembali lagi Hamid terhenyak sejenak. Lalu berkata cepat, "Ya, ya Paman yang baik budi.
Tolonglah aku." Mendengar perkataan Hamid, wajah Manik Angkeran berseri-seri dengan mendadak. Dengan
mengulum senyum, lantas saja dia menyahut: "Aiii... anak yang manis. Mengapa tak sedari tadi.
Baiklah, kalian akan kutolong meringankan penderitaan kalian."
Setelah berkata demikian, ia melesat menghampiri mereka yang sedang menderita luka.
Sangat gesit dan tangkas gerakannya. Hamid, Syarif, Suria dan Brata terus saja bisa duduk kembali dengan tenang. Meskipun dalam hati mereka mendongkol, namun diam-diam mereka
kagum akan kepandaian pemuda cilik itu.
"Hai, Paman yang baik budi!" seru Suria. Ia seorang yang berbadan pendek, berkepala botak.
Suaranya kasar melengking menusuk pendengaran. "Lihat! Senjata apa ini namanya?" Ia mengeluarkan sebatang baja, berben-tuk bintang bersegi tiga. Sekali menggerakkan jari-jarinya, baja berbintang itu melesat dan menancap pada tiang gubuk dengan suara mengaum.
"Hai, anak yang manis!" seru Manik Angkeran. "Kau bukan anak yang lemah. Apa sebab kau sampai terluka" Siapa yang melukaimu?"
"Cabut dan perlihatkan senjata itu kepada gurumu. Katakan, bahwa kami berempat kena dilukai pemilik senjata itu," sahut Suria dengan suara kasar. "Tak lama lagi pemilik senjata itu akan datang ke mari. Apabila gurumu mau mengobati kami, kami berempat pasti bersedia membantu melawannya."
Manik Angkeran tertawa panjang. Alisnya bergerak-gerak. Maka nampaklah, bahwa dia seorang pemuda cerdik. Katanya lantang, "Kalian bisa apa terhadap pemilik senjata itu" Kalau kalian sudah mampu mengadakan perlawanan yang berarti, masakan kena dilukai?"
"Meskipun ilmu kami berempat sangat rendah, tapi setidak-tidaknya bisa mengganggu dia.
Katakan kepada gurumu, bahwa kami berempat ini murid-murid Tatang Manggala," ujar Suria sulit.
"Apa sih hubungannya dengan guruku sampai aku kau haruskan menyebut nama gurumu?"
"Karena Tatang Manggala dan gurumu adalah sesama pembantu Ratu Fatimah."
"Kau bilang apa" Fatimah?" Manik Angkeran terkejut. Parasnya lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya, sekonyong-konyong ia melesat dan menyerang mereka berempat dengan
berbareng. Krak, krak, krak! Lengan mereka masing-masing kena dipatahkan. Setelah itu dengan sekali menjejak tanah, ia menyambar senjata bidik yang tertancap di tiang. Kemudian menghilang di balik pintu.
Hamid, Syarif, Suria dan Brata bukan orang lemah. Namun mereka sedang menderita luka.
Tenaganya rusak delapan bagian. Karena itu lengan mereka kena dipatahkan oleh si bocah sangat mudah.
Paras Manik Angkeran lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya sekonyong-konyong...
Seseorang yang kena dipatahkan lengannya demikian rupa, pasti akan mengerang. Dan hal itu adalah wajar. Tapi mereka tak berani mengerang, karena takut akan mempunyai akibat sendiri terhadap si pemuda yang berwatak angin-anginan.
"Suria! Biar bagaimanapun juga, berusahalah membuat senang bocah cilik itu!" Hamid menyesali. "Tuanku Maulana Ibrahim tak mungkin dapat diganggu-gugat. Dan satu-satunya bintang penolong kita, hanyalah bocah itu."
"Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi aku telah menga-pakan dia?" Suria membela diri.
Memang mereka semua tahu, Suria sama sekali tidak mengusiknya. Masing-masing sadar,
bahwa mereka harus pandai membawa diri kalau masih mengharapkan pertolongannya. Soalnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena watak pemuda itu demikian aneh. Apa yang menyebabkan sekonyong-konyong dia seperti kemasukan setan, hanya setan sendiri yang tahu. Maka terpaksalah mereka menahan rasa
nyerinya. Meskipun mereka bukan tokoh sembarangan, tak urung keringat dingin merembes
keluar berbu-tir-butir. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk ke dalam benak Hamid. Terus saja ia mengarah kepada si
Badai dan berkata hati-hati.
"Jang!14) Pastilah engkau sudah lama mengenal dia. Kami bersalah apa terhadapnya sampai dia mematahkan lengan kami?"
Badai itu tersenyum panjang. Dengan suara menyalahkan ia menjawab, "Soalnya Tuan berani menyebut nama Fatimah."
"Nama Fatimah?" Mereka berseru berbareng. Mereka saling menyiratkan pandang tak mengerti.
"Aku menyebut nama Ratu Fatimah," kata Suria. "Dia murid tuanku Maulana Ibrahim. Guru kami dan tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu Ratu Fatimah. Dengan begitu, kami termasuk keluarga sendiri. Apakah, apakah dia musuh Ratu Fatimah?"
"O, bukan, bukan. Kalau dia musuh Ratu Fatimah, masakan sudi berguru kepada tuanku
Maulana Ibrahim," tungkas badai itu. "Dia berasal dari Jawa Tengah. Siapa Ratu Fatimah itu, dia tak mengerti."
"Tapi mengapa merasa tersinggung?"
"Karena Tuan menyebut nama Fatimah. Justru Fatimah adalah nama kekasihnya. Tuan
sekarang menyebutnya dengan ratu. Bukankah berarti memperolok-oloknya?"
"Ah," mereka baru sadar. Kemudian Suria buru-buru berkata, "Kalau begitu, memang 14). Jang: bujang
nasib kamilah yang lagi sial. Siapa tahu, bahwa kekasihnya bernama Fatimah. Sekarang dia menyakiti kami Apakah ... apakah ..."
"Dia boleh meremukkan tulang-tulang Tuan. Tapi kalau Tuan pandai mengambil hatinya, Tuan akan bisa dipulihkan kembali. Tuan percaya, tidak" Sebab dialah murid satu-satunya tuanku Maulana Ibrahim," ujar si badai.
"Kami percaya. Kami percaya," mereka menyahut berbareng, meskipun belum tentu hatinya berbicara demikian. "Lekas sampaikan kepadanya, bahwa tiada niat kami hendak memperolok-olokan dia. Kami bahkan akan hadir pada hari perkawinanan di kemudian hari."
Badai itu menimbang-nimbang sebentar, kemudian masuk ke dalam gubuk.
Mendengarkan dan menyaksikan serentetan peristiwa dengan percakapannya itu, hati Sangaji kian tertarik. Bisiknya dalam hati, "Fatimah" Apakah Fatimahku sendiri" Kalau benar-benar dia tunangan Fatimah, alangkah hebat nanti. Fatimah dahulu selalu merahasiakan siapakah pemuda yang mengganggu hatinya. Dia berkata seorang saja. Manik Angkeran seorang ahli obat-obatan.
Sudah selayaknya apabila dikerumuni orang. Apakah ini maksudnya" Kalau benar demikian, hai-hai... dia bisa kumat wataknya manakala kugodanya."
Memikir demikian, perhatian Sangaji terhadap Manik Angkeran naik setingkat. Di depannya
seakan-akan tergelar pemandangan lembah Gunung Damar. Di sana ia berjumpa dengan Fatimah kembali. Lantas dengan serta merta ia akan menebak rahasia hati gadis angin-anginan itu.
Alangkah lucu dan menggairahkan! Pastilah Fatimah akan mencak-mencak. Tapi kemudian... dia akan bertanya tentang Titisari. Bukankah dia berjanji kepada gadis itu hendak membawa serta Titisari menemuinya" Teringat akan janji ini hati Sangaji tergetar.
Kira-kira menjelang tengah hari, terdengar derap kuda memasuki lembah pertapaan. Tiga
orang yang mengenakan pakaian mahal turun tertatih-tatih dari kudanya. Dengan menekan dada, mereka berseru hampir berbareng di depan gubuk pertapaan. "Kami anak murid pendekar Malingping, mohon bertemu dengan tabib sakti tuanku Maulana Ibrahim."
Habis berkata demikian, mereka berbatuk-batuk. Pada punggungnya nampak noda darah. Yang
satu membalut kepalanya penuh darah kental. Suatu tanda, bahwa mereka semua terluka parah.
Sebentar kemudian, Manik Angkeran muncul di ambang pintu dengan membawa buku dan alat
tulis di tangan kirinya. Berkata memaklumi, "Panembahan Maulana Ibrahim tak dapat diganggu gugat. Dia sedang memasuki tingkat olah tapa tertinggi. Silakan mencari tabib lainnya. Kulihat luka kalian masih bisa bertahan dua tiga hari lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami bertiga berasal dari Rancabali. Ratusan kilometer telah kami lalui untuk datang menghadap tuanku tabib sakti. Tenaga kami sudah terkuras habis. Lagi pula sekiranya di dunia ini ada tabib sesakti tuanku Maulana Ibrahim, masakan kami sampai datang ke mari."
Manik Angkeran menghela napas. Ia sudah memutar badannya, hendak masuk ke gubuk,
tatkala mereka bertiga memanggilnya buru-buru. "Adik! Tolonglah sampaikan maksud kami ini ..."
Belum lagi habis perkataannya. Mereka nampak bergemetaran dan jatuh terkulai di tanah. Aneh juga kuda-kuda mereka-pun jatuh bergedebrukan dengan mengeluarkan busa. Tak dapat
disangsikan, bahwa mereka termasuk kudanya benar-benar sudah kehilangan tenaga.
Menyaksikan keadaan mereka timbullah rasa iba dalam hati Manik Angkeran. Ia hendak segera memeriksa, sewaktu tiba-tiba terdengar suara langkah dan derap kuda berbondong-bondong
memasuki lembah pertapaan. Dari jauh, mereka sudah berseru beramai-ramai. "Tuanku Maulana Ibrahim ... mohon menghadap."
Manik Angkeran mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggerutu. "Hampir empat tahun aku berada di sini. Selamanya lembah ini sunyi sepi. Tapi hari ini, kenapa mereka datang begini berbondong-bondong?" Setelah menggerutu demikian, berkatalah dia, lantang: "Kalian datang ke mari beramai-ramai. Apakah ada yang menyuruh?"
Jumlah mereka dua belas orang. Terdiri dari berbagai-bagai golongan. Ada yang berpakaian saudagar, kepala kampung dan pegawai kerajaan. Semuanya menderita luka parah. Dan tatkala mendengar seru Manik Angkeran, dengan serentak memperlihatkan sebatang baja berbintang tiga pada tangannya masing-masing.
"Hai, apakah artinya ini?" Manik Angkeran heran.
"Senjata bidik ini bernama, kembang cacah bintang," sahut seorang berperawakan pendek tipis.
"Pemiliknya seorang nenek-nenek bernama Karumbi. Dialah yang kita kenal dengan sebutan si bongkok dari Pegunungan Ka-rumbi."
Dengan tercengang Manik Angkeran menegas. "Apa hubungannya dengan kita di sini?"
"Tanyakanlah kepada tuanku Maulana Ibrahim. Kami dilukai tanpa perkara. Lantas kami digebah, agar datang ke mari. Katanya dia minta tanggung jawab atas kematian pendekar
Kamarudin anggota Himpunan Sang-kuriang."
"Siapakah Kamarudin itu?"
"Dialah anak menantu Nenek Karumbi."
"Selamanya guruku tak pernah berurusan dengan perkara luar. Mengapa nenek itu minta tanggungjawabnya," tungkas Manik Angkeran.
"Tanyakanlah kepada gurumu!" jawab orang berperawakan pendek tipis itu. Setelah berkata demikian, terus rebah tak berkutik.
Hamid, pengawal kerajaan Banten sekonyong-konyong nyeletuk. "Ha, tahulah aku Tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu utama Ratu... Ratu... eh... pembantu Kerajaan Banten. Dan Nenek Karumbi justru musuh utama Ratu ... Ratu..." dia tak berani menyebut nama Fatimah, karena takut mempunyai akibat sendiri terhadap pemuda berwatak angin-anginan itu. Lalu cepatcepat mencari kata-kata lain. "Dan Nenek Karumbi justru musuh Kerajaan Banten. Tapi latar belakang apa yang menyebabkan nenek itu tiba-tiba minta pertanggungan jawab tuanku Maulana Ibrahim, hanya guru paman yang baik budi yang tahu."
Mendengar Hamid masih menyebutnya sebagai paman yang baik budi, Manik Angkeran
tersenyum puas. Katanya ringan, "Kalian dilukai oleh nenek itu. Rupanya dia lebih kuat daripada kalian. Kalau saja berniat hendak membunuh kalian, nampaknya mudah sekali. Tapi kalian
dibiarkan hidup untuk beberapa hari agar bisa datang ke mari. Apa maksudnya?"
"Justru itu, bangunkan guru paman yang baik budi. Kukira hanya tuanku Maulana Ibrahim sendiri yang dapat menebak teka-teki ini."
"Sayang anak-anak yang manis. Pada saat ini, biarpun bumi berguguran tak berani aku mengganggunya."
Selagi berbicara demikian, telah datang berturut-turut enam orang lagi. Mereka memohon
bertemu dengan Maulana Ibrahim yang disebutnya sebagai tabib dewa. Caranya meminta bertemu bermacam-macam. Ada yang berbicara dengan sopan, bernada memerintah, merintih dan
membisu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semuanya ditolak oleh Manik Angkeran dengan kata-kata yang sama. Namun mereka tak mau
pergi. Maka terpaksalah Manik Angkeran memberi perintah kepada dua orang badai agar
menyediakan makanan sekadarnya.
Dengan datangnya mereka berbondong-bondong ditambah lagi dengan adanya kisah latar
belakangnya, membuat hati Sangaji kian tertarik. Meskipun otaknya tidaklah seencer Titisari, "tapi ia memiliki watak yang baik. Apabila menghadapi persoalan yang rumit, tak mau sudah sebelum mengerti dengan sejelas-jelasnya. Maka timbullah kekerasan hatinya hendak menyelidiki peristiwa itu sampai selesai. Perkara makan bukanlah merupakan soal sulit baginya. Kecuali kesempurnaan tubuhnya melebihi pendekar-pendekar sakti pada zaman itu, diapun membekal makanan kering.
Dengan begitu, tak usahlah ia khawatir akan kelaparan.
Menjelang petang hari, ia mendengar langkah ringan. Pendengarannya yang tajam menangkap
suara degup jantung yang kurang beres. Lagi-lagi seorang terluka berat, pikir Sangaji. Ia melongokkan kepalanya. Untuk herannya, ia melihat seorang wanita memapah seorang anak
perempuan. Dan wanita itu adalah Rostika dan Atika, isteri dan anak Suhanda.
"Apakah dia dilukai pula oleh nenek itu?" Ia menduga-duga.
Lewat sejenak, terdengar Rostika berkata membujuk kepada anaknya. "Kau sekarang berjalan sendiri ya, Nak?"
"He e," sahut Atika. Dan anak itu lantas melorot dari dukungan.
"Bagus," kata Rostika dengan suara bersyukur. Ia seperti kehilangan suatu beban berat.
Kemudian dengan suara setengah berputus asa, "Sekarang mudah-mudahan tabib sakti Maulana Ibrahim berada di rumah ..."
Mendengar suara Rostika, hati Sangaji tergetar. Ingin dia menghampiri dan hendak
menolongnya. Meskipun sama sekali tiada memiliki ilmu ketabiban, tetapi ia percaya akan tenaga saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar seru Manik Angkeran nyaring. "Kak Rostika! Benarkah Kak Rostika?"
Mendengar seru Manik Angkeran, Rostika terhenti sejenak, la seperti lagi mengingat-ingat.
Kemudian menyahut setengah memekik.
"Ah ... Manik Angkeran! Bagus kau berada di sini." Dan setelah berkata demikian, ia mendatangi dengan mempercepat langkahnya.
"Bukankah aku dahulu berkata hendak mencari seorang guru tersakti di dunia?" ujar Manik Angkeran seraya menyongsong.
"Kau berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim. Nasibmu benar-benar bagus! Aku tahu ...
aku tahu ... itulah yang kaumaksudkan dahulu. Dengan berbekal ilmu kepandaian Panembahan Maulana Ibrahim engkau tidak akan kehilangan muka di depan kekasihmu. Bukankah begitu?"
seru Rostika dengan gembira. Tetapi berbareng dengan itu, ia berbatuk-batuk kecil. Darah segar meruap dari mulutnya.
"Kau ... kau ... kena dilukai nenek tua?" Manik Angkeran terkejut. "Siapakah nenek itu yang berbuat sewenang-wenang terhadapmu?"
Gugup, Manik Angkeran memajang pundak Rostika sambil berkata: "Kak Rostika, marilah masuk ke dalam ... Bukankah ini kemenakanku Atika?"
Rostika memanggut kecil. Dengan tangan kanannya ia menggandeng lengan Atika.
"Pundak dan lengan kirimu terluka berat ... Ah, selama dalam perjalanan engkau menggendong Atika dengan lengan kananmu, bukan" Hai, mengapa engkau disiksanya pula?"
Rostika tak dapat menjelaskan. Ia terus berbatuk-batuk tiada hentinya. Dengan berjalan
pelahan-Iahan ia dibawa masuk ke dalam gubuk.
Melihat keakraban Rostika dengan Manik Angkeran, Sangaji bertambah heran. Pikirnya, kalau aku ingin mengetahui mereka dengan jelas, aku harus ikut-ikut pula menyamar sebagai seorang yang membutuhkan pertolongan tabib sakti Maulana Ibrahim.
Memikir demikian, segera ia keluar dari persembunyiannya. Kemudian berjalan tertatih-tatih memasuki halaman pertapaan. Semua orang yang berada di situ menderita luka enteng. Karena itu, sama sekali tidak memperhatikan siapa lagi yang datang untuk minta pertolongan tabib sakti.
Dengan demikian, Sangaji dapat menempatkan diri sesuka hatinya. Beringsut ingsut ia mendekati dinding samping dan dari balik dinding ia memasang telinganya tajam-tajam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manik Angkeran sesungguhnya adalah tunangan Fatimah adik Wirapati. Ia mempunyai bakat
baik untuk menjadi seorang tabib. Di depan tunangannya, ia menyatakan cita-citanya hendak menjadi seorang tabib sakti di kemudian hari. Pernyataan itu sebenarnya agak berlebih-lebihan, tapi bukankah tiap laki-laki akan berbuat begitu di depan kekasihnya. Hanya sayangnya, pemuda itu berhadapan dengan Fatimah yang mempunyai watak angin-anginan. Mendengar pernyataan
demikian, lantas saja gadis itu mengolok-oloknya sebagai orang linglung. Dan Manik
Angkeran bersakit hati. Ia kemudian menghilang. Di dalam hatinya tak sudi ia menemui
kekasihnya kembali sebelum membuktikan ucapannya.
Dalam perantauannya ke Jawa Barat, ia menumpang di rumah Suhanda. Dari Rostika, ia
mendengar kabar tentang kesaktian Maulana Ibrahim. Maklumlah, Rostika adalah murid Edoh
Permanasari. Dengan sendirinya mengetahui tokoh-tokoh sakti angkatan tua pada zaman Ratu Fatimah. Ia berangkat mencari pertapaan Maulana Ibrahim dan berhasil diterima menjadi murid satu-satunya, karena bakatnya serta kemauannya yang baik. Maka ilmu pertabiban Manik
Angkeran sekarang sudah jauh lebih tinggi daripada tabib-tabib ternama di seluruh kota di Pulau Jawa.
Ia segera memeriksa pundak dan lengan Rostika. Setelah mendengar batuknya, ia berkata
dengan pasti. "Kak Rostika. Rupanya tatkala engkau mengadu pukulan, musuh telah melukaimu sebelum engkau bergerak."
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak dengan tiba-tiba. Sangat cepat dan
mengagumkan. Tahu-tahu darah yang meruap dari mulut Rostika berhenti dan rasa batuknya
lenyap dari rongga dada. Kemudian ia
memeriksa pundak dan lengan Rostika. Tiga batang baja berbintang segi tiga menancap pada sambungan tulang. Cepat ia mencabutnya. Ternyata tulang lengan Rostika patah tiga tempat. Dan tulang pundak remuk seperti tergilas. Benar-benar suatu luka yang mustahil untuk dipulihkan kembali.
Tapi Manik Angkeran adalah seorang murid tunggal tabib sakti Maulana Ibrahim. Setelah
memberi resep obat sambung tulang kepada dua orang badai, segera ia menyambung tulang-
tulang yang patah pada beberapa tempat.
Agaknya, untuk pertama kali itulah, Manik Angkeran menyambung tulang seseorang. Meskipun kurang cepat, namun setelah ber-tekun beberapa saat lamanya, ia berhasil menyambungnya
dengan rapih. Segera ia membubuhi obat luka dan membalut lengan serta pundak Rostika. Lalu berkata, "Kak Rostika harus beristirahat baik-baik. Minumlah obat pulas ini. Dengan begitu, Kak Rostika takkan terganggu rasa sakit. Atika biarlah tidur di samping, la takkan mengganggu."
"Manik Angkeran! Kau benar-benar menjadi orang lain," seru Rostika kagum. "Sesungguhnya aku datang ke mari untuk mohon perto- " longan Eyang Panembahan Maulana Ibrahim. Tapi
ternyata kau sudah dapat menolong aku."
"Kepandaian ini bukankah berasal dari Kak Rostika?" tungkas Manik Angkeran. "Coba kalau Kak Rostika dahulu tidak menunjukkan jalan baik, takkan mungkin aku datang ke mari untuk berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim."
"Di manakah gurumu kini?"
"Guru sedang bersemadi. Dia tak dapat diganggu-gugat."
"Dan mereka bagaimana" Kulihat tadi, mereka menderita luka pula. Apakah mereka belum bertemu dengan gurumu?"
Manik Angkeran menggeleng kepala. Dan melihat Manik Angkeran menggeleng kepala, wajah
Rostika berubah menjadi pucat. Katanya penuh sesal.
"Mereka datang terlebih dahulu daripadaku. Apa sebab aku engkau dahulukan?"
"Salahnya sendiri Tak pernah mereka minta pertolongan padaku. Seumpama mereka terpaksa mati, itupun bukan urusanku."
"Ah, adikku yang baik. Periksalah mereka dahulu sebelum gurumu turun dari semadinya."
Waktu itu rembang petang telah lewat. Beberapa badai telah memasang pelita. Manik Angkeran mengatur tempat tidur untuk Rostika dan Atika. Setelah mengantar mereka ke bilik dan
menyediakan makan malam, ia keluar ke serambi dengan membawa obor. Segera ia memeriksa
luka mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi tatkala ia memeriksa luka mereka, tak terasa ia ternganga-nganga keheranan. Makin ia mencoba mengerti, makin heranlah dia. Benar dia baru kali itu memeriksa seseorang yang
menderita luka parah. Tetapi macam itu sendiri benar-benar merupakan suatu teka-teki yang ajaib.
Luka yang mereka derita, masing-masing berbeda. Cara melukainya sangat aneh pula. Selama berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim belum pernah ia mendengar jenis luka semacam
itu. Ada yang terluka jantungnya, tanpa merusak kulit dan urat penyambung. Ada pula yang menderita luka parah pada tiap urat dan nadinya. Terang sekali bahwa Nenek Karumbi mengenal ilmu ketabiban. Cara dia melukai mangsanya diatur demikian rupa, sehingga benar-benar
menyulitkan cara pengobatannya.
Ada lagi yang terserang paru-parunya dengan empat batang paku, sehingga menyebabkan dia
terbatuk-batuk tiada henti dengan memuntahkan darah. Seorang lain, rusak tulang iga-iganya sampai berkeping-keping. Meskipun jantung dan paru-parunya utuh, tetapi betapa mungkin dapat disembuhkan kembali. Ada pula yang rusak bagian tubuhnya yang penting tanpa menderita luka dan seorang lagi terus-menerus mencakari gundulnya tanpa dikehendaki sendiri.
Manik Angkeran benar-benar terpaksa mengerutkan kening. Pikirnya dalam hati, biarpun aku disuruh memilih, tak mampu aku mengobati salah seorang di antaranya. Siapakah Nenek Karumbi itu" Mengapa dia begini jahat dan ganas" '
Memikir demikian, segera ia memasuki bilik Rostika sambil berkata, "Kak Rostika! Apakah engkau sudah tidur?"
"Belum. Mengapa?" sahut Rostika dengan suara bening.
"Boleh aku masuk?"
"Masuklah! Aku adalah pasienmu sembarang waktu kau boleh masuk."
Dengan menarik tempat duduk, Manik Angkeran terus berkata gopoh. "Kak Rostika, aku
terpaksa membuat engkau kecewa. Dengan sebenarnya aku tak sanggup menolong mereka."
"Adikku yang baik, mengapa" Kau tadi dapat menolong aku. Mereka terluka parah oleh tangan yang sama."
"Benar. Tapi setelah kuperiksa, aku terpaksa menyerah. Sungguh-sungguh aneh!" kata Manik Angkeran dengan wajah tegang. Kemudian menceritakan dan menjelaskan luka mereka masingmasing. Setelah itu menegas. "Kak Rostika ... selama hidupku, baru kali ini aku menyaksikan tangan ganas dan keji. Engkau tak disiksa demikian berat, hatiku bersyukur bukan main. Tapi demi Tuhan ... mengapa nenek itu menyiksa mereka begitu rupa?"
Dengan menarik napas panjang, Rostika tak segera menjawab. Ia merenungi anaknya yang
tidur nyenyak. Rupanya Atika sangat penat oleh suatu perjalanan yang panjang. Begitu habis makan malam, lantas saja tertidur sewaktu direbahkan di atas tempat tidur.
"Bagaimana kalau kita berbicara di luar bilik?" Rostika mencoba.
"Ah ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Aku hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mari!"
Mereka duduk di ruang tengah. Setelah sejenak berpandang-pandangan, Rostika kembali
menghela napas. Kemudian berkata, "Sesungguhnya kalau kita mau jujur, guruku lebih ganas dan lebih keji daripada perbuatan nenek dari pegunungan Karumbi itu. Nenek itu hanya melukai, tapi tidak membunuh. Bukankah berarti memberi kesempatan hidup?"
"Tapi ... tapi ... dilukai demikian rupa samalah halnya dengan dibunuh sekali mati," potong Manik Angkeran bernafsu. "Penyiksaan ini bahkan lebih berat daripada pembunuhan. Sebab, luka itu sendiri tak mungkin dapat disembuhkan kembali."
"Tidak, adikku. Benar engkau adalah murid tuanku Maulana Ibrahim, tapi aku yakin engkau belum mengenal kesaktian dan kemampuan gurumu benar-benar. Nenek itu sesungguhnya hanya
membuat gurumu sibuk. Dia yakin, gurumu pasti dapat menyembuhkan kembali. Kalau tidak,
masakan kita digebahnya agar datang ke mari?"
Mendengar keterangan Rostika yang masuk akal, Manik Angkeran berbimbang-bimbang.
Peristiwa ini memang aneh. Selama ia berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim baru kali ini mengalami suatu keja-dian pelik.
"Memang aneh," pikirnya dalam hati. Dan tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ya memang aneh. Hamid tadi berkata, bahwa nenek itu minta pertanggunganjawab guruku. Nampaknya
peristiwa ini mempunyai latar belakang yang belum kita ketahui."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia hendak berbicara lagi, sekonyong-konyong masuklah seorang badai.
"Gan15)! Dipanggil Panembahan," katanya.
"Guru" Apakah ... apakah," Manik Angkeran
15). Can: singkatan dari juragan, Baca: tuan
terkejut. Terus saja ia meloncat dari tempat duduk sambil berkata kepada Rostika. "Kak Rostika tak biasanya guru turun dari persema-dian begini cepat ... Kau mengasolah dahulu! Esok pagi masih ada waktu. Sudahkah kau minum obat pulasmu?"
Rostika mengangguk. Katanya, "Rasa sakitku sudah banyak berkurang. Kalau kau
membutuhkan aku, engkau boleh masuk ke kamar pada sembarang waktu ..."
Manik Angkeran mengangguk cepat. Kemudian bergegas masuk ke dalam, la berhenti di depan
sebuah bilik tempat bersemadi. Terus berkata penuh hormat. "Guru! Muridmu menghadap ..."
Sebagai jawaban, terdengarlah suara geme-resak. Sejenak kemudian Maulana Ibrahim
menyahut, "Siapakah yang mengganggu aku di luar?"
"Kurang lebih dua puluh orang datang berturut-turut ke mari semenjak pagi tadi. Sudah kuberitahukan bahwa guru tak bersedia menerima tamu, namun mereka tak mau pergi. Mereka
menderita luka parah."
"Tak peduli siapa mereka atau apa yang dideritanya, aku tak mau diganggu."
"Ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Tetapi luka mereka sesungguhnya sangat aneh."
Setelah berkata demikian, segera ia mengabarkan keadaan luka mereka.
Agaknya Maulana Ibrahim menaruh perhatian terhadap laporan Manik Angkeran, meskipun ia
masih tetap bercokol di dalam kamar persemadiannya. Apabila kurang jelas, segera ia
memerintahkan Manik Angkeran memeriksa kembali luka orang yang dikehendaki. Kemudian
diwajibkan memberi laporan sejelas-jelasnya.
Dengan demikian kurang lebih dua jam lamanya, ia mondar-mandir sampai selesai memberi
laporan terakhir. Dan berulang kali, ia mendengar gurunya menghela napas. Rupanya benar-benar gurunya memeras otak untuk menentukan gejala-gejalanya dengan tepat.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah lama berdiam diri, akhirnya terdengar Maulana Ibrahim berkata memutuskan. "Hm ...
kalau hanya demikian saja, masih belum dapat menyulitkan daku ... Tapi aku sedang malas untuk mengobati mereka. Nah, suruhlah mereka enyah dari sini sebelum ajalnya sampai."
Manik Angkeran hendak bergerak melaksanakan perintah, sewaktu ia mendengar seseorang
berkata nyaring di belakangnya.
"Tuan Maulana Ibrahim! Kau disebut seorang tabib sakti yang saleh. Selain itu terkenal sebagai seorang pertapa yang tinggi-budi. Kalau kau sekarang menolak suatu tugas suci yang diberikan Tuhan, tiada gunanya engkau hidup sebagai tabib sakti."
Yang berkata demikian adalah Suria. Ia tak sabar melihat mondar-mandirnya Manik Angkeran dan tak tahan menanggung luka parahnya yang makin lama makin terasa menjadi runyam,
sehingga mengikuti Manik Angkeran masuk ke dalam gubuk dengan diam-diam.
"Kau siapa sampai berani berbicara begitu terhadapku?" bentak Maulanan Ibrahim.
"Aku murid Tatang Manggala."
"Hm ... biarpun kau murid dewa sekalipun, apakah peduliku" Kau mampus atau tidak bukan urusanku. Pulanglah cepat-cepat. Barangkali masih sempat engkau bertemu dengan anak
isterimu." Mendengar pernyataan Maulana Ibrahim, tubuh Suria menggigil.
"Tuanku Ibrahim! Kau diancam seseorang. Diapun hendak datang ke mari. Kalau kau sudi mengobati aku sampai sembuh, bukankah aku dapat membantumu?"
"Hm ... sekiranya benar, kau bisa menga-pakan dia" Kau akan mampus sebelum dapat
bergerak." Suria mengeluh, la kini mulai merintih. Tatkala Maulana Ibrahim masih saja bersikap dingin, habislah sudah kesabarannya. Terus saja ia membentak sambil mengancam.
"Baik, baik! Memang aku mau mampus. Tapi sebelum mampus, biarlah aku menikam ulu
hatimu dahulu!" Pada saat itu, masuklah Hamid dengan tertatih-tatih. Mendengar kekasaran Suria, ia
menghunus goloknya dan menuding dengan gemetaran. Bentaknya. "Kau bilang apa" Kau berani berkurangajar terhadap tuanku Maulana Ibrahim" Aku Hamid, meskipun tunggal seperguruan akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membunuhmu sebelum kau bergerak menghampiri pintu. Hayo cobalah! Cobalah, kalau mau
merasakan tikamanku ..."
Setelah berkata demikian, ia berputar menghadap kamar Maulana Ibrahim. Lalu duduk
bersimpuh dan bersembah beberapa kali. Rupanya Suria mengerti akan kehendak teman
seperguruannya. Pikirnya, ya betul... Maulana Ibrahim tidak mempan kena gertak dart sanjung puji. Tapi mungkin bisa luluh hatinya dengan cara menghambakan diri. Ia terus mencontoh sikap temannya. Dalam pada itu, Hamid berkata merendah.
"Kami sekalian ini memang pantas disebut sekumpulan katak-katak bangkotan yang tak
Pada saat itu, masuklah Mamid tertatih-tatih dengan menghunus goloknya dan menuding
dengan gemetaran. tahu diri. Pantaslah jika .tuanku tak sudi bersin-tuhan dengan kami. Tetapi di sini, kami menyaksikan kepandaian murid tuanku. Bila tuanku mengijinkan, biarlah dia yang mengobati kami.
Soal sembuh atau tidak, tergantung kepada rejeki kami semata. Sebaliknya kalau tuanku
memerintahkan kami agar mencari tabib lain ... hm ... di seluruh jagat ini, dimanakah ada seorang tabib yang melebihi tuanku. Sedangkan ditandingkan dengan murid tuanku saja takkan nempil."
Suria memanggut-manggut. Dalam hati, ia memuji kecerdikan temannya seperguruan itu. Ia
melihat paras Manik Angkeran berseri-seri. Rupanya kata-kata Hamid termakan dalam lubuk
hatinya. Tapi diluar dugaan, terdengarlah suara Maulana Ibrahim sedingin es.
"Muridku itu bernama Manik Angkeran. Berasal dari Jawa Tengah. Sedangkan aku datang dari Kerajaan Banten. Antara aku dan dia sesungguhnya tiada hubungan apa-apa juga, selain
hubungan sebagai guru dan murid. Meskipun dia sudah mendekam di sini kurang lebih tiga tahun lamanya, tapi janganlah mengharap bahwa dia mampu mengobati luka kalian. Kalau tak percaya, tanyakanlah sendiri!"
Seketika itu juga kepala Hamid dan Suria seperti terguyur air dingin. Semula mereka berharap penuh akan kemampuan bocah itu sampai mau memanggilnya sebagai paman baik budi. Tadi
mereka menyaksikan sendiri, betapa bocah itu dapat menolong luka Rostika. Mereka tak tahu, bahwa luka yang diderita Rostika jauh berlainan daripada luka yang dideritanya.
Hamid hampir berputus asa tatkala tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya, la merogoh
sakunya dan mengeluarkan batang baja berbintang segitiga. Kemudian dilemparkan ke dalam
kamar Maulana Ibrahim. "Orang yang memiliki senjata inilah yang melukai kami. Diapun menggebah kami agar datang ke mari. Dia berkata pula hendak datang meminta pertanggungjawab tuanku."
Baja berbintang segi tiga itu jatuh ber-kelontangan di dalam kamar. Lantas sepi tiada suara.
Lama sekali dan baru terdengar Maulana Ibrahim menghela napas.
"Manik Angkeran! Sudah kau periksa semuanya yang luka?" sejenak kemudian Maulana Ibrahim menegas.
"Sudah." "Hm, mengapa begitu lancang?"
"Karena ... karena ... aku tak sudi melihat mereka mati di depan pertapaan guru," sahut Manik Angkeran sulit.
"Hm," dengus Maulana Ibrahim, la seperti mau menerima alasan muridnya. Mendadak membentak, "Kudengar suara napas orang tidur di dalam bilikmu. Benarkah itu?"
"Benar," sahut Manik Angkeran gugup. "Dia seorang wanita yang menderita penganiayaan pula."
Belum lagi habis dia berkata, Hamid menimbrung.
"Muridmu telah mengobatinya. Dan perempuan itu kini bisa tidur nyenyak."
Tempat tidur Maulana Ibrahim terdengar bergerak-gerak. Tahulah Manik Angkeran, bahwa
gurunya bergusar mendengar kabar itu.
"Manik Angkeran! Kau sudah pilih kasih. Maka kau boleh coba yang lain. Kalau sudah, suruhlah pergi. Juga perempuan itu! Aku tak menghendaki siapa saja berada di sini. Kau dengar" Nah, kerjakan. Lalu datanglah kau ke mari!"
Mendengar perkataan Maulana Ibrahim, senanglah hati Hamid, segera ia menoleh kepada
Manik Angkeran dan berkata sengaja dinyaringkan:
"Kau obatilah aku dahulu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Huh!" dengus Manik Angkeran. "Terhadap wanita itu aku hanya menolong meringankan penderitaannya. Bukan mengobati dan menyembuhkan. Lagipula luka yang dideritanya tidaklah semacam yang kau derita. Kau jauh lebih parah. Entah aku berhasil menolongmu, tergantung kepada nasib baikmu belaka."
Setelah berkata demikian, ia keluar ke serambi depan. Dua orang badai membantu menyalakan beberapa obor, sehingga halaman cukup diterangi. Berkatalah dia lagi:
"Tuan-tuan! Aku masih muda dan pengalamanku masih sangat hijau. Luka tuan aneh luar biasa. Apakah aku mampu mengobati, tak tahulah aku. Sama sekali aku tak mempunyai
pegangan. Mati dan hidup tuan tergantung kepada takdir."
"Hai! Janganlah kau cerewet tak karuan. Lekas obati aku!" tungkas Hamid.
"Kau?" Manik Angkeran mendongkol. "Belum lagi kau sembuh sudah lupa kepada paman yang baik budi. Kau kuobati atau tidak, bukankah terserah padaku?"
Digertak demikian, Hamid segera sadar. Cepat-cepat ia merendah:
"Ooo ... bukan begitu maksudku ... eh paman yang baik budi. Soalnya, karena aku sudah tak tahan lagi..."
Memang pada saat itu, mereka semua sudah tak tahan menanggung penderitaannya. Seluruh
tubuhnya terasa menjadi gatal, pegal, nyeri dan panas-dingin hampir berbareng mereka merintih-rintih.
"Anak manis! Aku hanya menjanjikan mengurangi rasa sakit. Bukan untuk menyembuhkan,"
seru Manik Angkeran. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka meng-iakan dengan berbareng. Maklumlah, penderitaan
mereka sudah tak tertanggungkan lagi. Seumpama disuruh minum racun demi mengurangi rasa
sakit sebentar saja, merekapun takkan menolak.
Manik Angkeran segera bekerja. Tadi ia berniat hanya untuk menolong meringankan, agar
mereka dapat pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Tetapi sudah menjadi tabiat seorang tabib. Makin menemukan suatu gejala penyakit yang aneh, makin timbullah kemauannya hendak mengatasi. Samalah halnya dengan seorang ahli racun. Manakala ia mengenal suatu racun yang lebih dahsyat daripada mutu racunnya sendiri, timbullah rangsangannya hendak mengalahkan.
Maka demikianlah halnya dengan Manik Angkeran.
Ia berkutat mati-matian hendak meme-' nangkan macam penganiayaan si nenek dari
pegunungan Karumbi. Apabila merasa tak mampu, segera ia lari masuk menghadap gurunya
untuk minta petunjuk-petunjuk.
Dengan dalih agar mereka segera mau pulang ke rumahnya masing-masing, apabila dapat
disembuhkan ia berhasil menggugurkan kekerasan hati gurunya.
"Baiklah. Kau mau mengobati sampai sembuh" Itulah urusanmu. Tapi kau saksinya, bahwa sama sekali aku tak menyentuh mereka biar seorangpun," kata Maulana Ibrahim memutuskan.
Manik Angkeran demikian bernafsunya, sehingga ia tak menginsyafi di balik arti kata-kata itu.
Dan begitu memperoleh petunjuk, segera ia bekerja dengan giat.
Sementara itu, Sangaji yang berada di samping rumah cepat-cepat berlindung di balik batu pegunungan yang berada di pojok halaman. Dari sana ia melihat peristiwa itu dengan seksama.
Entah apa sebabnya, ia enggan meninggalkan tempat itu. Seakan-akan ia merasa diri diharuskan berada di situ sampai semuanya selesai.
Kira-kira menjelang pukul tiga pagi, Manik Angkeran sudah selesai dengan pengobatannya.
Orang-orang yang telah ditolongnya tidur bersengguran memenuhi halaman. Dengan kenyataan itu, benar-benar Manik Angkeran berhasil. Inilah suatu pengalaman yang maha dahsyat. Kejadian demikian tidak bakal bisa terulang lagi. Sekiranya tadi tiada timbul rang: sangnya hendak mengatasi macam luka yang aneh, pastilah dia takkan mewarisi ilmu sakti Maulana Ibrahim yang tiada keduanya di dunia. Maka ia nampak puas. Pe-lahan-lahan ia pergi ke tempat pancuran yang berada di belakang rumah pertapaan dengan diikuti dua badai yang membawa obor semenjak
tadi. Kalau saja Fatimah bisa menyaksikan kepandaian tunangannya, alangkah akan lain kesannya, pikir Sangaji senang. Dahulu dia berkata, tunangannya banyak kekasihnya dan berlagak seorang raja. Tentu saja. Sebagai seorang tabib pastilah dia dikerumuni orang, tak beda dengan seorang raja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi memikir demikian, matanya yang tajam luar biasa melihat sesosok bayangan berkelebat dalam kegelapan. Bayangan itu berperawakan seorang laki-laki. Gerak-geriknya gesit. Segera ia menajamkan penglihatan. Dan oleh ilmu saktinya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan tenang ia melihat bahwa laki-laki itu berkumis lebat dan berjenggot panjang.
Bayangan itu berkelebat memasuki halaman depan, la seperti berputar-putar menjenguk orang-orang yang menggeletak bertebaran di halaman, lantas menghilang memasuki gubuk.
"Mereka tadi membicarakan seorang nenek yang bertangan ganas dan keji. Tapi bayangan ini, terang seorang laki-laki. Siapakah dia?" Sangaji menduga-duga.
Waktu itu Manik Angkeran sedang mencuci tangannya. Sekonyong-konyong ia mendengar
suara rintih menyayatkan hati. Cepat ia lari ke halaman dengan diikuti dua badai. Dengan pertolongan obor ia memeriksa keadaan mereka. Beberapa orang di antaranya nampak berangsur-angsur menjadi baik. Tapi sebagian besar lainnya malah menjadi buruk.
"Benar-benar aku tak mengerti," Manik Angkeran berkata kepada dirinya sendiri. "Terang sekali, keadaan mereka tadi sudah menjadi baik. Kenapa lukanya kini tambah parah" Lihat!
Bukankah ini tanda-tanda bintul baru?"
Dua orang badai di sampingnya segera menerangi dengan obornya. Mereka meng-iakan sambil
memanggut-manggut. "Benar Gan," kata seorang. "Lihat pem-balutnya seperti kena potong."
Cepat Manik Angkeran memeriksanya, la jadi tambah tak mengerti. Akhirnya terlo-ngong-
longong kebingungan. Melihat kebingungan Manik Angkeran, hati Sangaji yang mulai tergerak. Teringat gerakan
bayangan tadi, ia sudah bisa menebak delapan bagian. Timbullah keputusannya hendak
mengkisiki. Segera ia menginjak dahan kering. Kemudian berkelebat lewat dinding samping.
Tatkala itu, dua badai yang membawa obor sedang membungkuk-bungkuk menerangi yang
merintih-rintih kesakitan. Manik Angkeran berada di sampingnya dengan pikiran gelap. Tiba-tiba ia mendengar suara dahan patah. Cepat ia menoleh. Dan pada saat itu, ia melihat bayangan Sangaji berkelebat.
"Celaka!" seru Manik Angkeran setengah memekik. Berbareng dengan seruannya suatu ingatan menusuk benaknya. "Jangan-jangan dia melukai Kak Rostika pula." Memikir demikian ia segera melesat ke ambang pintu sambil berkata kepada dua badai, "Jagalah mereka! Dan nyalakan obor."
Sampai di ambang pintu, ia melihat berkele-batnya sesosok bayangan keluar dari pintu biliknya.
Ia kaget bercampur heran. Itulah bayangan gurunya.
la mengucak-ucak matanya hendak mencari keyakinan. Dan benar-benar adalah bayangan
gurunya. Bahkan ia masih sempat melihat gurunya bergerak buru-buru memasuki kamar
semadinya. Melihat kenyataan itu, tak berani ia menguber. Jantungnya berdegupan. Dan tiba-tiba saja timbullah darah kesatrianya.
"Kalau guru sampai mengusik Kak Rostika, meskipun tiada tenaga akan kulawan dia sampai ajalku tiba," katanya di dalam hati.
Berjingkat-jingkat ia mendekati bilik Rostika. Kemudian memanggil-manggil namanya.
Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Menurut pantas jangan lagi sampai dipanggil demikian nyaring, baru mendengar suara gemeresak yang mencurigakan pasti akan terbangun dengan
sendirinya. Tetapi sudah sekian lama Manik Angkeran memanggilnya, tetap saja tiada jawaban.
Dengan hati berdebar-debar, Manik Angkeran memasuki bilik Rostika yang masih saja tidur
dengan nyenyak di samping anaknya.
Obat pulas memang menolong menyenyak-kan tidur. Tetapi tidaklah sehebat ini, pikir Manik Angkeran. la menajamkan penciuman. Dilongoknya mangkok bekas obat pulas. Ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Maka hati-hati ia menyelidiki pernapasan Rostika dan Atika.
Pernapasan Atika wajar seperti kanak-kanak lain yang tiada terganggu kesehatannya.
Sebaliknya pemapasan Rostika terlalu halus, sehingga menimbulkan suatu teka-teki. Memperoleh teka-teki itu, Manik Angkeran memberanikan diri untuk meraba lengan Rostika. Sekonyong-konyong suatu hawa wangi merayap di udara. Suatu ingatan menusuk pikirannya, sehingga
terloncatlah rasa kejutnya: "Ah! Celaka! Benar-benarkah guru menghendaki dia mati dalam tidurnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera lari mencari ramuan-ramuan obat tertentu. Kemudian dicekokkan ke dalam mulut Rostika. Sejenak ia menggoyang-goyangkan tubuh Rostika sambil
memanggil namanya. "Siapa?" Rostika tersadar.
"Ssst! Aku Manik Angkeran. Mari kita ke luar," sahut Manik Angkeran dengan suara tertahan.
Mendengar suara Manik Angkeran yang berkesan gawat, Rostika segera bangkit dengan hati-
hati. Setelah menyelimuti anaknya, ia mengikuti Manik Angkeran ke luar rumah.
"Kak Rostika!" bisik Manik Angkeran setelah berada di tepi halaman pertapaan. "Kau tadi kena racun tidur yang dimasukkan ke dalam tubuhmu lewat urat. Sebenarnya engkau mempunyai
permusuhan apa dengan guruku Panembahan Maulana Ibrahim?"
"Apakah gurumu yang meracun aku?" Rostika bingung.
"Kalau saja aku tidak menjengukmu, pastilah aku dan Atika akan kehilangan engkau untuk selama-lamanya..."
Mendengar keterangan Manik Angkeran, Rostika tercengang-cengang berbareng bingung.
Dengan suara gap-gap ia berkata,
"Sekiranya aku bermusuhan dengan gurumu, masakan aku akan datang ke mari" Gurumu
adalah angkatan tua. Kedudukannya sejajar dengan kakek guruku, Ratu Fatimah."
"Ratu Fatimah?" Manik Angkeran memotong.
Rostika terhenyak sejenak. Segera ia sadar. Lalu menyahut,
"Ya ... Ratu Fatimah. Bukan Fatimahmu. Di dunia ini ribuan orang yang bernama Fatimah. Dan Ratu Fatimah itu adalah permaisuri dan penguasa tunggal Kerajaan Banten."
"Oh ..." Manik Angkeran sekarang mengerti.
Rostika sudah lama tahu, bahwa Fatimah adalah tunangannya Manik Angkeran. Pemuda itu
dahulu sering membicarakan. Seumpama saat itu tidak dalam ketegangan, pastilah akan menjadi suatu pembicaraan yang menarik dan menggelikan.
"Selama hidupku, belum pernah aku berhadapan muka dengan gurumu," Rostika malanjutkan.
"Aku hanya mendengar kebesaran namanya. Itulah yang dahulu kuanjurkan kepadamu, agar engkau berguru kepadanya, karena aku melihat bakatmu sangat bagus. Kau kini berhasil diterima menjadi muridnya. Hatiku bersyukur... sekarang kau berkata bahwa aku tadi diracunnya. Kalau benar, aku jadi tak mengerti... Apakah, apakah ..."
"Kak Rostika! Percayalah, aku berkata dengan sesungguhnya. Sebab aku melihat bayangannya keluar dari bilikmu. Setelah aku memeriksa tubuhmu, kudapati racun mengeram dalam dirimu."
Manik Angkeran meyakinkan. "Apakah engkau mau memberi keterangan dengan sebenarnya?"
"Mengapa tidak" Kau telah menolong jiwaku. Masakan aku akan berdusta padamu?"
Manik Angkeran berdiam sejenak. Kemudian memutuskan,
"Mari kita mencari tempat yang baik."
Setelah berkata demikian, ia membawa Rostika menjauhi halaman pertapaan. Pada sebuah
pohon rindang ia berhenti menge-lanakan penglihatannya. Setelah yakin tidak bakal kena ganggu, ia berkata sambil mencari tempat duduk.
"Kak Rostika. Kau sudah bersedia hendak memberi keterangan dengan sejujur-jujurnya. Benar, bukan?"
"Tentu, tentu. O, adikku. Hampir empat tahun aku hidup bersuami-istri dengan kakakmu Suhanda. Dari luar nampaknya aman ten-tram, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Kami berdua selamanya merasa terancam bahaya pada tiap-tiap detik. Ini disebabkan, karena aku berasal dari keluarga Ratu Fatimah, sedangkan kakakmu adalah seorang anggota Himpunan Sangkuriang.
Justru dua golongan itu merupakan musuh keturunan. Perkawinanku dengan kakakmu Suhanda,
tidak dikehendaki oleh golonganku. Demikian pula sebaliknya. Kami berdua terpaksa memencilkan diri ..." Sampai di sini Rostika berhenti. Ia seperti tak sanggup meneruskan.
"Apakah peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan masalah perkawinanmu?" Manik Angkeran menegas.
"Manik Angkeran! Benar-benar otakmu cerdas. Nenek dari Karumbi meskipun berdendam besar terhadap golongan kami, tapi ternyata dia tak sudi minta pertanggunganjawab kepada angkatan mudanya. Buktinya, dia hanya melukai. Dan tidak membunuhnya. Padahal sudah semestinya kita harus dibunuhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Rostika! Aku mungkin bisa cepat mengerti mengenai hal-hal ketabiban. Tapi dalam urusan luar, otakku tumpul."
Rostika tersenyum. "Kalau begitu, biarlah aku bercerita yang urut agar engkau mengerti persoalan ini dengan jelas."
Setelah berkata demikian, ia duduk di samping Manik Angkeran.
"Menurut kabar yang pernah kudengar, gurunya Panembahan Maulana Ibrahim, Tatang
Manggala dan nenek dari pegunungan Karumbi adalah saudara seperguruan. Masing-masing
memiliki kepandaian yang berbeda. Gurumu ahli dalam ilmu ketabiban. Tatang Manggala seorang ahli pemerintahan. Dan nenek dari pegunungan Karumbi seorang sakti pada zamannya. Entah apa sebabnya, mereka berpisahan dan mengambil jalannya masing-masing. Gurumu dan Tatang
Manggala mengabdikan diri sebagai hamba Kerajaan Banten. Sedangkan Nenek Karumbi
bermukim di atas pegunungan Karumbi. Meskipun jalan hidupnya berbeda, namun keluarga
perguruan merupakan ikatan batin yang kuat. Kemudian pecahlah suatu pemberontakan, antara Ratu Fatimah dan Ratu Bagus Boang. Gurumu dan Tatang Manggala dengan sendirinya berada di pihak Ratu Fatimah. Dan Nenek Karumbi berada di pihak Ratu Bagus Boang. Tapi meskipun
demikian masing-masing berjanji dalam hati tidak akan saling berkelahi secara langsung. Di luar dugaan, terjadilah suatu peristiwa yang menegangkan. Suami Nenek Karumbi gugur dalam suatu pertempuran sengit. Meskipun gugurnya suami Nenek Karumbi tidak boleh dipikulkan di atas pundak gurumu dan Tatang Manggala, namun mereka berdua kemudian memundurkan diri dari
pemerintahan kerajaan sebagai pernyataan ikut berduka-cita. Tatang Manggala kembali ke daerah asalnya di Malingping. Gurumu bermukim di atas Gunung Endut ini. Dan untuk berpuluh tahun lamanya, mereka bertiga hidup aman tenteram, meskipun nenek dari pegunungan Karumbi sangat menderita oleh peperangan itu." Sampai di sini Rostika berhenti sejurus. Kemudian meneruskan,
"Ratu Bagus Boang hilang tiada beritanya dengan meninggalkan warisan perserikatan para pecinta pembela keadilan yang terkenal dengan nama: Himpunan Sangkuriang. Dan
Ratu Fatimah sudah lama wafat ... Eh, kau senang tidak mendengar sejarah orang-orang tua ini?"
"Tentu! Teruslah!" Manik Angkeran menyahut cepat.
"Bagus!" Rostika bersemangat. "Ratu Fatimah mempunyai seorang murid yang kini menjadi penggantinya. Dialah guruku. Namanya Edoh Permanasari. Dan nenek dari pegunungan Karumbi mempunyai seorang anak laki-laki bernama Kamarudin.
Antara guruku dan pendekar Kamarudin terjadi suatu jalinan cinta-kasih semasa mudanya."
Rostika berhenti lagi. Wajahnya merah dan ia menundukkan kepala. Dalam hati, segan ia
membicarakan riwayat gurunya. Tapi karena sudah berjanji, ia menguatkan hati untuk
melanjutkan. Katanya tak lancar,
"Tapi agaknya, Tuhan tidak merestui perhubungan itu. Entah apa sebabnya ... atau entah siapa di antara mereka berdua yang salah ... mereka berpisah dan saling berdendam. Guruku waktu itu belum mencapai puncak ilmu perguruannya. Oleh dendam hati, ia bertekun sampai dua puluh
tahun lamanya. Kemudian mulailah dia melampiaskan dendamnya. Dia membunuh dan mencelakai semua orang yang hidup terlalu rukun dalam keluarganya. Sebab guruku tak sudi melihat
sepasang suami-isteri yang terlalu mesra atau sepasang muda-mudi yang berbahagia. Itulah sebabnya, semua murid-murid guruku tak diperkenankan hidup berkeluarga."
"Ah tahulah aku kini, apa sebab engkau selalu merasa diri terancam. Karena engkau hidup berbahagia dengan kak Suhanda, bukan?"
"Tidak hanya itu saja. Kakakmu Suhanda adalah anggauta Himpunan Sangkuriang."
"Baik. Tapi apa sangkut-pautnya dengan nenek dari pegunungan Karumbi itu."
Rostika menghela napas dalam. Menyahut:
"Manik Angkeran! Meskipun semenjak aku menjadi isteri kakakmu Suhanda tidak tahu menahu lagi tentang urusan perguruanku, namun dalam hatiku tetap menghormati guruku Edoh
Permanasari. Guruku boleh kejam dan berbuat sewenenang-wenang terhadap siapa saja, namun aku adalah muridnya. Betapapun juga, dia adalah mustika hatiku. Tapi ... tapi ... mendadak dalam bulan ini terjadilah suatu malapetaka yang menyedihkan. Oleh dendamnya yang sangat besar, guru jadi mata gelap. Keluarga Kamarudin dihabisi nyawanya sampai ke itik dan ayam-ayamnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ih!" Manik Angkeran terkejut.
"Tidak hanya itu saja, rumahnya dibakar. Isteri dan anak-anak pendekar Kamarudin setelah dibunuhnya, dirusak tubuhnya dan dilemparkan ke unggun api sehingga tak beda dengan binatang terpanggang," Rostika terengah-engah.
"Sudahlah wajar, bahwa ibu pendekar Kamarudin turun dari pegunungan untuk membuat
pembalasan. Meskipun demikian ... menghadapi aku murid Edoh Permana-sari, dia tidak berlaku ganas seperti guruku tatkala menghancurkan anak isteri pendekar Kamarudin. Aku hanya dilukai sedangkan Atika sama sekali tak disentuhnya. Entahlah bila dia menghadapi gurumu kaum seangkatannya. Rupanya dia minta pertang-gunganjawab gurumu. Sebab gurumu adalah penasihat dan pembantu almarhum Ratu Fatimah. Sedangkan guruku adalah murid Ratu Fatimah."
Mendengar keterangan sejelas itu, Manik Angkeran jadi sibuk. Samar-samar ia seperti dapat menebak maksud gurunya apa sebab mereka yang sudah diobatinya dilukai kembali. Katanya
perlahan. "Tahulah aku kini ... Aku hanya diizinkan untuk sekedar meringankan penderitaan mereka.
Tapi aku berusaha keras hendak menyembuhkan. Guru tidak menolak, mengingat dasar tujuan
hidup seorang tabib yang harus menolong sesama hidup sesuai dengan pengetahuannya. Tapi
karena tidak menghendaki akan terjadi sesuatu ketegangan, dia merusak kembali apa yang sudah kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Rupanya guru segan dan menghormati nenek dari
pegunungan Karumbi, berbareng mengulurkan rasa kasih sayang terhadapku. Bukankah yang
penting di sini adalah ilmu cara mengobati luka yang aneh itu dan bukan siapa yang kuobati"
Meskipun demikian andaikata Kak Rostika sampai tewas, selama hidupku aku akan menyesalinya."
"Adikku ... engkau memang seorang anak yang luhur budi. Pantaslah engkau mewarisi ilmu ketabiban Panembahan Maulana Ibrahim yang kelak harus kauamalkan," kata Rostika dengan terharu.
Senang Manik Angkeran mendengar pujian itu. Hatinya jadi puas. Setelah menikmati rasa
puasnya, sejenak kemudian dia menegas,
"Satu hal yang masih mengherankan aku, apa sebab kau dilukai bersama-sama mereka.
Apakah Kak Rostika berada di antara mereka?" .
"Secara kebetulan dan secara aneh sekali" jawab Rostika. "Betul mereka termasuk golongan penentang-penentang Himpunan Sangkuriang, namun mereka terdiri dari aliran-aliran bermacam-macam. Pengawal raja, pamong praja, polisi kerajaan, kepala kampung, pedagang, pendekar-
pendekar bayaran dan pemilik-pemilik tanah kerajaan. Masing-masing mempunyai cara hidup dan kata-kata sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Namun mereka kena tergiring juga ... Baiklah kuceritakan mulai diriku sendiri."
"Ya ingin aku tahu, bagaimana cara nenek dari Karumbi itu melukai dirimu," tungkas Manik Angkeran.
Rostika memperbaiki letak duduknya, setelah menyiratkan pandang ke sekitarnya, berkata
setengah berbisik: "Malam ini, sebenarnya aku harus berada pada suatu tempat bersama-sama kakakmu
Suhanda." "Di mana?" "Sst! Ini adalah suatu rahasia besar. Dan janganlah aku kau desak untuk menyebutkan nama tempat itu. Engkaupun tiada kepentingannya."
"Baiklah" "Tempat itu adalah pusat markas besar . Himpunan Sangkuriang. Malam ini kami harus datang dan berkumpul di sana. Kami sudah berkemas-kemas. Mendadak di atas tempat tidurku aku
menemukan tanda sandi perguruanku. Gambar mahkota dengan perkataan: Kurnia. Itulah suatu perintah agar aku menghadap guru di Jasinga. Melihat perintah itu, hatiku sedih bukan main. Dua hari yang lalu kakakku Suhanda terpaksa bertempur melawan sesama golongannya semata-mata mengenai diriku. Aku dituduh teman segolongannya sebagai ular berkepala dua. Meskipun tidak seluruhnya benar, namun tidak salah pula. Tadi kuterangkan, bahwa hati kecilku tak dapat meniadakan guruku Edoh Permanasari. Hutang budiku sangat besar kepadanya."
"Lantas?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan dalih hendak menitipkan Atika kepada bibiku yang bertempat tinggal di Tanggerang, aku berhasil membujuk kakakmu Suhanda agar berangkat terlebih dahulu. Aku berjanji padanya akan menyusul secepat mungkin dan tepat pada malam yang ditentukan. Hem ... tak kukira,
bahwa aku akan menemui halangan ini," Rostika mengeluh.
Meneruskan. "Setelah kakakmu Suhanda berangkat. Segera aku berangkat pula ke Jasinga.
Setibaku di Jasinga aku menemukan suatu petunjuk, bahwa aku harus berkumpul di sebuah
rumah kosong yang berada di tepi kali. Ci Berang. Hatiku mulai bergetaran. Aku sudah menduga delapan bagian, bahwa guruku bermaksud hendak menghukum diriku. Dengan menabahkan hati,
aku membawa Atika mencari tempat itu. Dengan pertolongan seorang petani kudapati rumah
kosong. Tapi begitu masuk, aku jadi keheranan. Di dalam rumah itu kujumpai 22 orang bersenjata lengkap dengan sikap berdiam diri. Tak se-orangpun kukenal dan tak kujumpai seorang-pun dari perguruanku. Mereka saling memandang dan kemudian mengawaskan daku dengan pandang
curiga. Aku jadi tak enak sendiri. Takut salah alamat, segera aku minta maaf kepada mereka dan menerangkan bahwa kedatanganku adalah semata atas petunjuk seseorang. Mendengar
perkataanku, mereka jadi tercengang-cengang. Lalu saling pandang lagi. Akhirnya saling
berbicara. Rupanya sebelum aku datang, mereka tiada yang berkata-kata karena saling
mencurigai." "Merekapun menerangkan, bahwa kedatangannya semata-mata memenuhi panggilan
berhubung tanda sandi yang diketemukan. Tadi kuterangkan, bahwa mereka berasal dari
golongan aliran bermacam-macam dan memiliki tanda-tanda sandi sendiri yang sangat
dirahasiakan. Tapi ajaibnya mereka datang ke rumah tersebut atas tanda sandi masing-masing yang diketemukan pada tempat-tempat tertentu. Siapakah yang sudah main gila ini?"
"Meskipun kami tidak saling membuka hati, tapi kami tahu bahwa alasan kami keluar dari rumah semata-mata berhubungan dengan adanya musyawarah Himpunan Sangkuriang yang
dimulai pada malam hari ini. Demi hal itu, mereka termasuk aku yang mempunyai kepentingan langsung, berani menghadapi bahaya. Ternyata pada malam hari itu, kami semua sudah kena
dikelabuhi lawan. Sudah barang tentu, mereka mencak-mencak karena gusar. Tetapi sesudah
berpikir panjang, mereka jadi bergeridik semua. Itulah disebaban perihal tanda sandi. Kalau saja lawan yang main gila itu bukan seseorang dari angkatan tua, yang tahu seluk beluk golongan dan aliran kami, tidaklah mungkin dapat mengetahui tanda-tanda sandi masing-masing."
"Selagi mereka sibuk berbicara, aku mendengar suara orang terbatuk-batuk di luar, pikirku apakah diapun termasuk seorang yang kena digiring ke rumah kosong itu" Aku sendiri waktu itu sudah memutuskan hendak segera berangkat."
Di ambang pintu, aku melihat seorang nenek-nenek beruban yang terbatuk-batuk tiada henti.
Perawakan nenek itu sedang. Bongkok dan nampak terganggu oleh penyakit batuknya.
Disampingnya berdiri seorang anak laki-laki berumur kurang dari 11 tahun.
Melihat nenek itu, aku mengurungkan niatku hendak segera berangkat. Ia kuberi jalan masuk dahulu. Sekarang kulihat, ia menggenggam sebuah tongkat dari baja putih pada tangan kanannya.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedangkan tangan kirinya membawa serenteng kalung baja berbintang tiga.
"Hai! Jadi dialah nenek dari pegunungan Karumbi?" potong Manik Angkeran dengan suara tegang.
"Ya. la mengenakan pakaian kasar. Kesannya seorang yang miskin. Tapi anak laki-laki di sampingnya mengenakan pakaian bersih dan rapi. Kukira dialah anak pertama pendekar
Kamarudin yang dikabarkan semenjak kecil dirawat neneknya. Di antara keluarga pendekar
Kamarudin hanya dia seorang yang selamat dari malapetaka."
"Hm..." Tak terasa Manik Angkeran melepas rasa sesal.
"Dalam pada itu, nenek berbongkok tadi sudah masuk ke dalam ruang rumah." Rostika melanjutkan, "la terus terbatuk-batuk tiada hentinya. Tatkala melihat orang-orang yang berada di dalam rumah ia bergumam seorang diri: "Hanya dua puluh tiga orang. Coba tanyakan, apakah ada di antara mereka yang bernama Edoh Permanasari?" Si anak kecil kemudian berkata lantang. "Hai!
Apakah di antara kalian ada yang bernama Edoh Permanasari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mendengar seruan itu, hatiku bergidik bukan karena takut. Tapi ngeri menyaksikan betapa anak laki-laki seumur itu mengesankan suatu kumandang suara yang bernada dendam kesumat.
Dendam kesumat oleh perbuatan.guruku."
Tatkala nenek itu memasuki rumah, kecuali aku tiada yang menaruh perhatian. Sebab masingmasing sibuk dengan teka-teki yang sedang dihadapi. Tapi begitu mendengar suara anak laki-laki itu, mereka segera sadar.
"Hai bocah ingusan! Kau bilang apa?" Salah seorang menegas.
"Nenekku bilang, apakah ada di antara kalian yang bernama Edoh Permanasari?"
"Kalian ini siapa?"
Sebagai jawaban, nenek yang nampak kesakit-sakitan itu sekonyong-konyong terbatuk-batuk
keras dan melesat dengan mengirimkan tenaga pukulan maha dahsyat. Entah bagaimana cara dia bergerak. Tahu-tahu dadaku sudah terasa sesak. Ingin aku mengangkat tangan, tapi tenagaku seperti ter-lolosi. Tanpa kukehendaki sendiri, aku jatuh lunglai di atas tanah."
"Meskipun aku kena pukulan, namun pikiranku masih bekerja. Aku dibingungkan oleh suatu peristiwa yang terjadi derfgan tiba-tiba dan di luar dugaan. Dalam pada itu kulihat nenek bongkok tadi melesat ke sana ke mari dengan menghantam serabutan. Luar biasa cepat gerakannya. Baik caranya menyerang, gerakan tubuhnya dan tenaga pukulannya. Dua puluh dua orang yang terdiri dari pendekar-pendekar kelas utama pada zaman ini, kena dirobohkan tanpa bisa mengadakan perlawanan sedikitpun. Mereka baru sadar setelah kena pukulan."
Setelah ke-22 orang itu roboh tak berkutik, nenek bongkok itu kemudian menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing mendapat bagiannya. Lenganku kebagian pula tiga batang baja.
la mendekati aku. Terbatuk-batuk dan kemudian kudengar dia bergumam menyeru cucunya:
"Mahmud! Biarlah lengannya yang sebelah utuh seperti sediakala. Sebab Edoh Permanasari hanya memiliki separoh tubuhnya ..."
"Setelah berkata demikian, perlahan-lahan ia keluar rumah dengan membimbing cucunya. Tapi tahu-tahu tubuhnya lenyap dengan sebentaran saja. Benar-benar hebat dan tak terduga
gerakannya." Rostika menghela napas, sedang*Manik Angkeran terdiam seperti ada sesuatu yang memenuhi otaknya. Sekonyong-konyong dalam kesunyian itu, terdengar suara ranting kering
patah. Hampir berbareng mereka berdua berputar menoleh.
"Awas!" Rostika memekik terkejut.
Manik Angkeran masih sempat melihat suatu bayangan menyerangnya.
"Guru!" Ia memekik terkejut bercampur heran. Tapi belum habis ia menjenak napas dadanya kena terpukul sehingga ia jatuh ter-jongkok.
Rostika menerjang sambil melontarkan pukulan. Tetapi pendekar wanita itu dalam keadaan
luka. Lengan kirinya tak dapat digunakan. Begitu kena serangan balasan tak dapat ia menangkis.
Dalam satu gebrakan ia jatuh terkulai dan tak dapat berkutik lagi.
Waktu itu fajar hari hampir tiba. Suasana alam lebih terang daripada bulan purnama. Dengan jelas Manik Angkeran mengenal siapa penyerangnya. Benar-benar gurunya. Kumisnya yang tebal serta jenggotnya yang panjang tak dapat disembunyikan dalam keremangan alam.
Seketika itu juga, beratus ribu tanda tanya berkelebatan dalam benak pemuda Manik Angkeran.
la melihat gurunya menghampiri Rostika yang sudah tak dapat berkutik. Dagu Rostika dipenyetnya sampai mulutnya yang mungil terpaksa terbuka. Kemudian gurunya mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya.
Rostika sendiri kala itu sudah tak berdaya. Dia hanya bisa melihat gerak-gerik lawan tanpa dapat mengadakan suatu perlawanan. Tatkala orang itu mengeluarkan sebuah botol dan
membuka tutupnya, hidungnya mencium suatu bau ramuan racun yang sangat jahat. Seketika itu juga, kepalanya terasa menjadi pusing. Dadanya sesak dan ingin melontak. Ingin ia bergerak. Tapi benar-benar sudah kehilangan tenaga.
Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan hanya mengerling kepada Manik Angkeran.
"Manakala racun dalam botol itu sudah tertuang di dalam mulutku, habislah sudah riwayatku.
Kasihan Atika." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat Atika yang bakal menjadi anak yatim, hatinya menjadi pilu. Tapi dasar dia seorang pendekar maka dalam keadaan terjepit masih sempat ia menyerahkan diri kepada takdir. Hatinya lantas saja menjadi tabah.
Di luar dugaan, tatkala racun itu hampir dicekokkan ke dalam mulutnya, mendadak Manik
Angkeran nampak meloncat bangun. Seperti kerasukan setan, pemuda itu melompat menubruk
sejadi-jadinya. Orang itu terkejut. Dalam gugupnya ia melemparkan botol racunnya. Lalu bergerak hendak
menangkis berbareng mendahului menyerang. Tetapi lompatan serta serangan Manik Angkeran
terlalu sangat cepat dan bertenaga luar biasa besar. Tahu-tahu ia terlempar dengan berjungkir balik.
Manik Angkeran sendiri kaget luar biasa atas tenaganya sendiri, la bertambah kaget dan heran sewaktu melihat korbannya. Ternyata orang itu berkumis dan berjenggot palsu.
"Hai! Si ... sia ... siapa kau?" seru Manik Angkeran gugup.
Tanpa mengeluarkan suara, orang itu terus lari tunggang-langgang turun gunung. Melihat
kaburnya orang itu Manik Angkeran terpaku sejenak. Lalu menghampiri Rostika dan segera
memeriksa lukanya. "Untung! Serangannya tidak mengenai pundakmu. Bagaimana" Sakit?" katanya gugup.
"Tidaklah sesakit kau kira. Aku baik-baik saja," sahut Rostika dengan suara lega. "Hanya saja ...
tak kukira engkau memiliki ilmu sakti jauh lebih tinggi daripadaku. Tenaga lontaranmu benarbenar dahsyat seperti seorang pendekar kelas wahid."
"Ya, ya, ya ... sebenarnya ... sebenarnya aku sendiri tak mengerti. Aku justru merasa seperti terlontarkan oleh suatu tenaga dorong dari belakang," ujar Manik Angkeran bingung.
Itulah Sangaji. la melihat datangnya bayangan itu, meskipun perhatiannya terpusat pada
percakapan Manik Angkeran dan Rostika. Pancainderanya yang tajam luar biasa, menangkap suatu gerakan. Hati-hati ia menoleh dan melihat guru. Sangaji menyelinap di belakang pohon, la mengira, dia datang untuk mengintip pembicaraan mereka. Tak tahunya, dia menyerang Manik Angkeran dengan sungguh-sungguh. Kemudian hendak mencekoki racun ke mulut Rostika. Melihat bahaya, hatinya yang mulia tak dapat tinggal diam. Terus saja ia mengirim tenaga dorong lewat ilmu saktinya tingkat tinggi. Begitu guru Manik Angkeran kena gempuran tenaganya lewat Manik Angkeran, lantas saja terjungkal. Ia memang gemas menyaksikan sepak terjang guru Manik
Angkeran yang berkesan keji. Di luar dugaan, ternyata bayangan itu bukan guru Manik Angkeran setelah copot topengnya, la jadi berbimbang-bimbang hendak menghajar terus. Jangan-jangan dia salah seorang pendekar anggota Himpunan Sangkuriang yang datang kepertapaan untuk
menyatroni Maulana Ibrahim yang ternyata berada di pihak lawan Himpunan Sangkuriang. Karena itu, melihat orang itu melarikan diri ia tak mengejarnya. Sebaliknya ia kembali menaruh perhatian kepada Manik Angkeran dan Rostika. Terasalah dalam hatinya bahwa peristiwa yang terjadi dalam pertapaan kian lama kian menarik.
"Kak Rostika! Kurasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dalam pertapaan. Jangan-jangan orang itu telah mencelakai guruku pula," ujar Manik Angkeran gugup. "Kau tengoklah Atika. Aku sendiri akan menjenguk guru."
Sehabis berkata demikian, seperti kerasukan setan Manik Angkeran lari ke gubuk. Tiba di
halaman, dia bertambah curiga. Dua badai yang tadi menyalakan obor, tak nampak batang
hidungnya. Ia mencoba memanggil-manggil yang lain. Merekapun sepi. Pertapaan terasa menjadi kosong. Oleh kesan itu, tergopoh-gopoh ia melompat masuk ke gubuk langsung menuju ke kamar gurunya.
Sangaji yang selalu berada tak jauh daripadanya, terus menguntit dari belakang. Karena hari hampir terang, ia melesat ke atas atap. Dari sana ia mengikuti gerak-gerik Manik Angkeran sambil bersiaga.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15
narnya. Guruku berketetapan hendak merebut kembali pusaka Jawa Barat yang kini berada di tangan anak seorang kompeni. Aku menganjurkan agar suamiku melindungi anak itu dari
keganasan guruku." Sangaji terkesiap mendengar kata-kata itu, meskipun ia sudah mendengar selintasan dari mulut Edoh Permanasari sendiri sewaktu mengadu mulut dengan Inu Kertapati dan Sidi Mantra ia segera menajamkan pendengaran.
"Apakah sebab engkau menjadi baik hati?" dengus Pasong Grigis.
Rostika tidak segera menjawab. Ia masgul melihat kesangsian Pasong Grigis. Katanya mencoba meyakinkan, "Ada pepatah yang berbunyi begini: Kalau suami menjadi raja, engkau menjadi permaisuri. Bila pilihanmu ternyata setan, bersedialah memasuki nera-ka!"Aku memang murid Edoh Permanasari. Tuhan justru memperjodohkan aku dengan seorang anggota himpunan
Sangkuriang, musuh utama kakek guruku turun-tumurun. Tapi aku tidak menyesal. Hatiku dan diriku semenjak itu kuhadapkan kepadanya. Aku ingin membuat suamiku berbahagia. Sekarang terjadi sesuatu yang menyangkut kepentingan suamiku. Masakan aku tinggal diam saja?"
"Bagus! Kau bisa membuat jasa kepada suamimu, masakan tak dapat pula membuat jasa
terhadap gurumu. Kau memang perem-puan siluman berkepala dua!" bentak Pasong Grigis. Dan setelah membentak demikian, ia melesat menghantam Rostika. Dengan meme-kik kaget, Rostika mengelak ke samping! Te-tapi karena serangannya itu sangat cepat dan datangnya dengan tiba-tiba, pundak kirinya terpukul juga. Meskipun tenaga pukulan itu jadi berkurang namun masih dapat merobek baju.
Pada saat itu, Suhanda menghantam de-ngan sepenuh tenaga. Pasong Grigis segera
menyambut dengan tak kurang dahsyatnya. Dengan satu suara keras, tubuh kedua orang itu
terhuyung ke belakang. Hampir berbareng dengan itu, debu dan pasir menyiprat beter-bangan dan dengan suatu suara gemuruh tembok kelenteng bagian depan roboh berguguran.
Dalam gerakan itu, masing-masing meng-gunakan tenaga sepenuh-penuhnya. Keras melawan
keras. Beradunya kedua tenaga tersebut mempunyai akibatnya sendiri. Setelah terhuyung
mundur, mereka jatuh ke tanah. Atap kelenteng yang sudah berumur lebih dari seabad lantas saja rontok berantakan.
Rostika yang pundaknya kena pukulan, meloncat turun pula. Melihat suaminya berhadap-
hadapan lagi dengan Pasong Grigis, ia tak menghiraukan keselamatan diri. Terus saja ia melesat mendampingi suaminya. Matanya yang tajam bersinar lembut nampak menyala berkilatan. Ia
melihat Pasong Grigis dan suaminya, berdiri tegak seperti patung, la tahu, masing-masing menderita luka dalam. Mereka memejamkan mata, dan sedang mengatur pernapasan. Dan tidak
lama kemu-dian, mereka bersama-sama pula memuntah-kan darah segar.
Pada detik itu, terdengarlah salah seorang anak memanggil-manggil ibunya. "Mak... Mak!"
Rostika menjadi gelisah, namun tak berani berkisar dari tempatnya. Sejenak kemudian, seorang anak perempuan kurang lebih berumur tiga tahun tersembul "dari reruntuhan atap. Anak itu berusaha merayap ke luar.
"Ah, anak itu!" seru Sonny de Hoop. Seruan itu mengejutkan semuanya. Baik yang sedang mengadu nyawa maupun Sangaji sendiri. Akan tetapi Sonny de Hoop tidak memeduli-kan kesan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka. Ia keluar dari tempat per-sembunyiannya dan lari menghampiri si bo-cah. "Jangan takut!
Jangan takut! Mari kuto-long," bujuknya.
Pasong Grigis menjenakkan matanya meli-hat seorang gadis Indo Belanda memasuki
gelanggang pertempuran, ia tercengang seje-nak. Kemudian menjadi curiga. Rostika adalah anak murid Edoh Permanasari. Dan Edoh Permanasari murid Ratu Fatimah. Semua orang tahu, Ratu
Fatimah bekerja sama dengan Belanda. Pada saat itu ia merasa dirinya kejeblos kolam perangkap yang sudah diatur. Memikir demikian ia tertawa berkakakan sambil berseru, "Baik! Baik!" Setelah berseru demikian ia melompat mundur. Di luar dugaan ia mengibaskan tangan menyerang Sonny de Hoop.
Rostika kaget. Ia jadi sibuk. Sebagai cucu murid Ratu Fatimah ia mempunyai sejarah
perhubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. Hanya saja ia tak berani melindungi warga Belanda di depan Pasong Grigis, meng-ingat kedudukan dan perhubungan suaminya. Selagi ia berbimbang-bimbang Pasong Grigis memekik.
Tubuh Pasong Grigis jungkir balik tiga kali berturut-turut. Tatkala berdiri tegak suatu hawa hangat menusuk dalam jalan darahnya. Pasong Grigis tercengang. Dadanya terasa nyaman luar biasa. Tahulah dia, bahwa seseorang menolong menyembuhkan luka dalamnya sambil menangkis serangannya. Itulah suatu ilmu kepandaian yang susah diukur betapa tingginya. Segera ia
membungkuk hormat seraya berkata, "Pendekar besar yang bersembunyi, perkenankan aku menghaturkan terima kasih." Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah mundur berjumpalitan.
Dalam sekejap mata ia hilang dari penglihatan.
Sungguh! Dalam sekejap saja Rostika menghadapi suatu kejadian yang mengherankan. Ia
merasa bersyukur. Pasong Grigis telah pergi. Hal itu berarti bahaya tiada lagi. Hanya saja ia tak tahu, apa yang menyebabkan Pasong Grigis pergi dengan cara demikian. Tatkala menje-lajahkan matanya ia melihat seorang pemuda lagi menolong suaminya menyalurkan jalan darahnya. Ia
menjadi bertambah heran. Akhirnya ia menghampiri Sonny de Hoop sambil berkata lembut, "Nona kau siapa?"
Tanpa menoleh Sonny de Hoop menyahut, "Kau tolonglah suamimu! Anak ini biar aku yang menolong. Apakah dia anakmu?"
"Ya" "Siapa namanya?"
Mendengar suara Sonny de Hoop yang ra-mah dan berkesan tulus hati, Rostika menya-hut
tanpa ragu-ragu, "Astika"
"Akh nama manis," tungkas Sonny de Hoop. Lalu membujuk si anak. "Astika! Mari kutolong keluar, ya" Satu-dua-tiga, hup!"
Astika ternyata tak takut, melihat seorang Indo Belanda. Apalagi ibunya berada di dekat-nya. Ia menurut saja tatkala dirinya kena angkat Sonny de Hoop. Seluruh tubuhnya kena rontokan atap dan dinding. Dan dengan iba, Sonny de Hoop membersihkannya dengan membujuk-bujuk. Tiba-tiba ia berkata kepada Rostika, "Hai! Kena apa suamimu tak kau tolong" Dia kan muntah darah?"
"Dia sudah ditolong. Eh... siapa dia apakah dia teman Nona?" sahut Rostika.
Sonny de Hoop menoleh, la melihat Sangaji sedang menolong Suhanda. Dan oleh per-tanyaan
Rostika wajahnya menjadi merah muda. Menjawab agak sulit,
"Nanti tanyalah kepadanya sendiri."
Sangaji waktu itu sedang menyalurkan ilmu saktinya kepada Suhanda. Walaupun tak dapat
mengobatinya, tetapi tenaga saktinya penuh dengan getah sakti Dewadaru dan madu Tunjungbiru yang dapat memunahkan racun dan menyembuhkan luka dalam dengan cepat.
Tadi tiada niatnya hendak memperlihatkan diri. Hatinya sedang disibukkan oleh mereka yang sedang bertempur mengadu nyawa. Mereka sesama golongan, apa sebab bertem-pur begitu hebat hanya soal Rostika. Terasa sekali bahwa pertempuran itu mempunyai latar belakang yang
berdasar kuat. Tetapi latar belakang apakah itu, Sangaji tak kuasa menebak.
Selagi ia sibuk menduga-duga, tiba-tiba Sonny de Hoop memekik dan terus saja keluar dari persembunyiannya. Hampir saja ia me-nyesali kesemberonoannya. Tetapi apabila ia mengetahui alasan Sonny de Hoop yang tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, hati-nya mendadak
terasa menjadi hangat. Pada detik itu, Pasong Grigis menyerang Sonny de Hoop karena salah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
duga. Ia terkesiap. Terus saja ia mengibaskan lengan menangkis. (Jntung dia tadi mendengar kalimat percakap-an yang pertama kali tentang Gunung Cibugis. Meskipun masih samar-samar, dapatlah ia menduga bahwa mereka segolongan dengan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra.
Maka sambil menangkis ia menyalurkan hawa saktinya yang menolong pula menyembuhkan luka
dalam. Syukur, Pasong Grigis dapat dibuatnya mengerti. Setelah pergi, segera ia menghampiri Suhanda yang masih saja tegak bagai tugu.
Suhanda kelihatan pucat napasnya berjalan sangat perlahan. Cepat ia membuka kancing
kemejanya dan melihat bekas lima jari melesak pada dadanya. Benar-benar menghe-rankan, apa sebab Pasong Grigis menghenda-ki nyawanya, kata Sangaji di dalam hatinya. Tak berani berkhayal lagi, ia segera menyalurkan tenaga saktinya. Hatinya penuh dengan tandatanya.
Kurang lebih setengah jam Suhanda telah memperoleh kesehatannya kembali delapan bagian.
Dengan wajah berseri-seri ia menyi-ratkan pandang kepada Sangaji, Sonny de Hoop, Rostika dan anaknya. Kemudian mem-bungkuk hormat kepada Sangaji dan berkata: "Tuan penolong, bolehkah aku mengenal tuan" Ilmu sakti tuan begini hebat luar biasa."
Sonny de Hoop yang bangga bukan kepa-lang terhadap kemampuan Sangaji yang dapat
menyembuhkan Suhanda begitu cepat, terus saja menyahut dengan polos, "Dia bernama Sangaji"
Mendengar nama itu, baik Suhanda maupun Rostika kaget sampai berjingkrak. Wajah mereka
berubah hebat. Mereka saling memandang seolah-olah lagi minta pendapat masing-masing.
Kemudian Suhanda menegas:
"Apakah Tuan tinggal di..."
"Ya," Sangaji menjawab singkat.
"Akh!" Suhanda setengah memekik. Tiba-tiba berkata kepada Rostika.
"Tika! Temani Nona ini!"
Setelah membungkuk hormat kepada Sonny de Hoop, ia membawa Sangaji menyen-diri ke
pantai. Kemudian berkata mulai, "Apakah Tuan yang disebut anak Kompeni?"
"Panggillah aku saudara, seperti cara memanggil Paman Inu Kertapati dan Sidi Mantra."
"Akh, kalau begitu benarlah Tuan. Eh... Saudara yang disebut anak Kompeni," tungkas Suhanda.
"Sebenarnya aku bukan anak seorang Kompeni."
"Jika bukan apa sebab engkau di sebut begitu?"
"Ibuku tinggal di lingkungan perumahan Kompeni. Mungkin itulah yang menyebabkan."
"Ha... sekarang menjadi agak terang," ujar Suhanda berlega hati. Sebab barang hantaran itu menjadi heboh di antara mereka, lebih-lebih Edoh Permanasari yang ingin merebut kembali
pusaka Jawa Barat pedang Sokayana.
Melihat Suhanda yang masih tampak beragu terhadap dirinya, Sangaji mengerutkan dahi,
sebentar ia berpikir, kemudian berkata meyakinkan. "Tetapi tinggal dalam lingkungan kompeni belum tentu menjadi pengikutnya bukan?"
Mendapat keterangan itu Suhanda meng-angguk mantap.
Kini Sangaji benar-benar mengerti bahwa barang hantaran itu menjadi rebutan beberapa pihak, karenanya ia segera meninggalkan tempat itu untuk mempersiapkan diri menjaga
kemungkinannya yang terjadi, ia sadar bahwa perjuangannya masih panjang.
Tentang Edoh Permanasari hendak ber-usaha merebut pedang Sokayana, sedikit banyak
Sangaji telah mengetahui. Meskipun alasan sesungguhnya masih samar-samar bagiannya.
Sekarang ia mendengar kata-kata, Menjadikan heboh di antara mereka. Siapakah yang dimaksud dengan mereka ini" Tatkala ia hendak minta penjelasan, Suhanda meneruskan berkata sambil merenggut lencananya.
"Saudara Sangaji. Lihat! Inilah lencana kami. Lencana anggota Himpunan Sangkuriang.
Lencana pedang silang dengan tanda garuda. Inilah tanda pengenal golongan kami."
"Yang kau lawan bertempur tadi, menge-nakan lencana begitu juga."
"Ah, ya," sahut Suhanda dengan rasa kece-wa. "Diapun anggota Himpunan Sangkuriang. Hanya saja dari golongan lain." Ia berhenti merenung-renung. Sejurus kemudian mene-ruskan,
"semenjak pemimpin kami hilang tiada beritanya, Himpunan Sangkuriang ter-pecah belah menjadi beberapa golongan. Kami saling bersaingan dan akhirnya saling bermusuhan. Apa yang dikerjakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari go-longan kami, belum tentu memperoleh perse-tujuan golongan lainnya. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, seringkali kami berla-wanan tak keruan juntrungnya."
"Apakah kalian bertempur mengenai pe-dang pusaka Sokayana?" Sangaji mencoba.
"Ya dan tidak."
Otak Sangaji tidaklah secerdas Titisari. Selamanya tak pernah ia bisa memecahkan suatu teka-teki atau sesuatu masalah yang tidak cukup gamblang. Karena itu, ia mene-gas, "Ya dan tidak, bagaimana?"
Suhanda tertawa perlahan melalui dadanya. Menjawab, "Tadi kukatakan, bahwa barang
hantaran itu menjadikan heboh di antara mereka. Itulah mereka dari golongan kami yang lain.
Sudah semenjak lama, persatuan kami dirusak oleh berita-berita fitnah dan suatu kecurigaan terkutuk. Mereka semua tahu, bahwa pusaka-pusaka peninggalan pemimpin kami jatuh kepada
golongan kami. Itulah berarti pula, bahwa golongan kamilah yang mendapat kepercayaan
pemimpin kami semenjak dahu-lu hari. Sesuatu hal yang menimbulkan rasa cemburu mereka.
Karena pusaka-pusaka sakti Jawa Barat itu seumpama jiwa himpunan kami, maka tidaklah
berlebih-lebihan apabila mereka senantiasa mengamat-amati gerak-gerik kami. Celakanya... ia berhenti tak meneruskan. Wajahnya berubah hebat seolah-olah dalam hatinya terjadi suatu
pergulatan untuk menentukan suatu keputusan."
Melihat kesukaran Suhanda, hati Sangaji jadi tak enak sendiri. Terus saja ia berkata, "Sudahlah, jangan memaksa diri. Tadi aku mendengar selintasan tentang tuduhan-tuduhan lawanmu. Dia tak senang kepadamu karena memperis-terikan salah seorang bekas anggota Kerajaan Banten.
Agaknya dia tak mau sudah, sebelum memperoleh keputusan siapa diantaramu berdua yang
menang dan yang kalah."
Mendengar ucapan Sangaji, Suhanda menarik napas panjang. Katanya perlahan, "Dia bernama Pasong Grigis. Sebenarnya dia bukan seorang manusia jahat. Semuanya ini terjadi, karena dalam tubuh himpunan kami sudah terjadi suatu luka yang dalam. Baiklah kuceritakan saja semuanya yang sudah terjadi. Siapa tahu akan menjadi bahan baik bagimu di kemudian hari. Bukankah engkau akan datang pula ke Gunung Cibugis?"
"Ya, aku sudah berjanji kepada Paman Inu Kertapati dan Paman Sidi Mantra."
"Bagus! Beginilah, aku baru merasa puas. Sekarang, meskipun seribu geledek me-nyambar diriku, takkan aku mundur biar se-langkahpun". Suhanda gembira. Kemudian dengan bersemangat ia berkata, "Saudara Sangaji, tadi sudah kuterangkan, bahwa di antara kami terjadi suatu perpecahan hebat semenjak pemimpin kami hilang tiada beri-tanya. Sementara itu, permusuhan antara himpunan kami dan murid-murid Ratu Fatimah kian hari kian meningkat. Ratu Fatimah benar-benar seorang lawan yang licin luar biasa. Dari depan ia menggempur bersama dengan kekuatan kompeni. Dari be-lakang ia menebarkan hamba sahaya dan murid-muridnya untuk
mengacau dan me-lumpuhkan sendi kekuatan kami. Itulah sebabnya, betapa benci Pasong Grigis ter-hadapku begitu ia mengenal isteriku sebagai salah seorang bekas murid Ratu Fatimah.
Meskipun Rostika, isteriku sudah menjadi orang lain, betapa dapat aku membuat Pasong Grigis dan anggota-anggota golongan lain mau mengerti. Mereka semua mencurigai aku, termasuk
teman-temanku. Dan dengan sendirinya memusuhi golongan kami, anak-anak pasukan panji-panji Garuda. Celaka-nya... justru pusaka-pusaka Jawa Barat jatuh kepadamu. Engkau yang dikabarkan sebagai anak kompeni. Kompeni yang bekerja sama dengan golongan Ratu Fatimah musuh kami
turun-temurun. Tapi sekarang... setelah men-dengar ketegasanmu, hatiku menjadi lapang.
Apalagi, engkau hendak pergi pula ke Gunung Cibugis. Justru inilah tujuan kami apa sebab pusaka Jawa Barat kami persembahkan kepadamu. Kami tidak hanya mengharapkan suatu penyelesaian
perpecahan kami ini dengan segera, tetapi mengharapkan pula kebangunan Himpunan
Sangkuriang kami kembali seperti sediakala."
"Saudara Suhanda!" potong Sangaji. "Ha-rapanmu terlalu berlebih-lebihan."
"Tidak! Masakan Ki Tunjungbiru bisa salah?" Suhanda menungkas cepat. "Ki Tunjungbiru bukanlah manusia yang tak becus mengenal manusia bertulang bagus. Dia seumpama bermata
dewa, yang bisa melihat hari kemudian jauh sebelumnya. Kau percaya, tidak" Tiga belas tahun yang lalu, dia sudah memberi kabar kepada himpunan kami, bahwasanya dia sudah menemukan
seorang anak bertulang bagus yang dapat diharapkan tenaganya bagi kebangunan kami kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan bertambah hari, bertambah yakinlah dia, sehingga semenjak itu ia senantiasa menilik dan mengikuti anak harapannya. Dan aku sekarang yakin, bahwa anak itu pastilah Saudara sendiri."
Kalau orang mendengar seribu geledek, tidaklah sekaget Sangaji tatkala mendengar kata-kata Suhanda. Benarkah keterangan itu" Kalau benar, alangkah hebat!
Tiba-tiba saja, dia seperti dihadapkan pada suatu cermin besar mengingat-ingat kembali semua sepak terjang Ki Tunjungbiru yang pendiam dan saleh. Tiga belas tahun yang lalu, ya tiga belas tahun yang lalu, selagi ia menghadapi jalan buntu untuk menyelami rahasia jurus Wirapati dan Jaga Saradenta, tiba-tiba muncullah Ki Tunjungbiru. Dan itulah riwayat pertemuannya yang pertama. Kemudian ia dibawa menyeberang laut. Dibawa menghisap getah sakti pohon Dewadaru.
Dipenuhi dengan kisah tentang sejarah penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya
mencemaskan. Benarkah ayahnya mati karena kena hisap pohon Dewadaru ataukah hanya suatu
cerita khayal dengan tujuan berencana" Lantas memberi petunjuk cara bersemadi dan kemudian mengikuti perjalanannya ke Jawa Tengah dan selalu bersedia melindungi. Apakah semuanya itu sudah masuk dalam rencana kerjanya?"
Teringat betapa Ki Tunjungbiru selalu me-nyaksikan dan selalu hadir pada tiap-tiap
perkembangan ilmu saktinya, hati Sangaji jadi tergetar, la lantas merasa diri menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan sepakter-jang Ki Tunjungbiru yang sukar diduga dan dijajaki. Benar ilmu saktinya kini jauh lebih tinggi daripadanya, tetapi sepakterjang Ki Tunjungbiru yang memiliki lapangan luas dan jauh, alangkah besar luar biasa.
Ki Hajar Karangpan yang pernah bertanding lima hari lima malam, kini berkesan jadi kerdil.
Bahkan gurunya Gagak Seta dan pendekar-pendekar sakti yang pernah dijumpainya bukan pula pantas dibandingkan dengan ke-luarbiasaan Ki Tunjungbiru. Sekarang sadarlah dia apa sebab Ki Tunjungbiru dipuja sebagai seorang pahlawan Jawa Barat yang tiada taranya dalam sejarah. Ia mempunyai cara kerja sendiri dan memiliki jalannya sendiri pula.
Memperoleh kesan demikian, dengan tak terasa terloncatlah perkataannya.
"Aki Tunjungbiru memang seorang pahla-wan tiada tara. Tapi kalau dia mengharapkan aku dapat membangun kembali himpunan pejuang Jawa Barat seperti yang dikehendaki adalah
mustahil. Benar-benar mustahil! Aku seorang diri masakan mampu berbuat demi-kian. Seumpama aku malaikat atau dewa sak-tipun tidaklah mungkin dapat menjangkau setiap jengkal tanah yang tergelar di persada bumi Jawa Barat. Mustahil! Sungguh mustahil!"
"Mengapa mustahil?" tungkas Suhanda. "Di belakangmu berdiri Ki Tunjungbiru beserta kawan-kawan seperjuangan yang berjumlah ribuan orang. Mengapa mustahil?"
Selamanya, Sangaji tak pandai berdebat. Namun ia masih mencoba.
"Aki Tunjungbiru jauh lebih besar dari-padaku. Sekiranya pekerjaan itu dapat dilakukan, pastilah dia sudah bekerja. Mengapa mesti mengharapkan tenagaku. Aku rasa, ada sesuatu yang kurang tepat."
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" bantah Suhanda dengan cepat. Dalam tiap perjuang-an, nyala api adalah dasar dan sumber tenaga yang mahapenting. Sudah semenjak pemimpin kami
hilang tiada berita, kami kehilangan api perjuangan. Kehilangan api daya gerak. Kini api itu telah diketemukan kembali oleh Ki Tunjungbiru. Itulah api hidup yang bersemayam dalam dadamu!" la berhenti mengesankan. Meneruskan, "seumpama perjuangan jagat luar ini adalah kegiatan kodrat tubuh maka kami adalah angan-angannya. Dan engkau adalah sumber geraknya. Seseorang boleh mempunyai angan-angan setinggi bintang dan seluas samudera, tapi tiada geraknya adalah
seumpama orang tidur dengan mimpi indah semata. Orang boleh berangan-angan hendak
menghirup semangkuk air teh, tapi lumpuh tiada gerak, betapa mungkin semangkuk air teh itu akan tiba di tepi bibirnya?"
Mendengar uraian Suhanda, hati Sangaji yang sederhana jadi mati kutu. Ingin ia men-coba
mengemukakan pendapatnya, namun ia tak pandai menemukan kata-katanya. Karena itu ia jadi gelisah sendiri. Setelah tergugu be-berapa saat lamanya, akhirnya ia berkata juga.
"Saudara Suhanda! Aku seolah-olah kau persamakan dengan pemimpin kalian yang sejati.
Betapa mungkin?" Suhanda berbimbang-bimbang sebentar. Wajahnya yang tadi penuh keyakinan, nampak terjadi
suatu perubahan. Tapi hanya sesaat. Setelah itu menyahut, "Mengapa Saudara Sangaji! Pemimpin kami yang hilang tiada beritanya adalah seorang yang tiada bandingnya di kolong langit ini. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalau Ki Tunjungbiru sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu, pastilah ada alasannya yang kuat. Kami tidak beragu lagi. Sebab dialah satu-satunya anggota himpunan kami yang kenal dan mengenal pemimpin kami yang hilang itu."
"Bagus!" seru Sangaji dengan gembira. Semenjak ia mendengar nama pemimpin perjuangan Jawa Barat, hatinya sudah ter-tarik. Ingin ia memperoleh keterangan, sia-pakah dia sebenarnya.
Namun selalu gagal. Kini ia mendengar Suhanda membicarakan-nya dengan hati penuh. Sepercik harapannya timbul. Terus saja ia minta keterangan. "Dia bernama Gusti Amat, bukan" Siapakah dia sebenarnya?"
Suhanda terhenyak sejenak. Ia merenungi wajah Sangaji seakan-akan sedang menye-lidiki
lubuk hatinya. Lalu berkata dengan hati-hati.
"Apakah Inu Kertapati dan Sidi Mantra tidak menjelaskan?"
Sangaji menggeleng kepala.
"Dalam urutan kedudukan, mereka berdua berada di atasku. Kalau mereka berdua tidak
menjelaskan, betapa mungkin aku dapat ber-buat begitu."
"Mungkin mereka alpa tiada waktu."
"Tidak, bukan begitu. Soalnya, tidak sem-barang orang mengenal peribadi Gusti Amat. Kukira, seperti aku merekapun hanya menge-nal nama beliau yang mulia."
Sangaji kecewa, namun tak mau ia mende-sak. Selagi demikian, Suhanda mengangsur-kan
sebuah benda terbuat dari logam. Ka-tanya, "Kosim dari pasukan Obor Abadi tak dapat datang menghaturkan surat undangan. Besar sekali kemungkinannya, ia terlibat dalam suatu urusan.
Tanda pengenal ini diti-tipkan kepadaku agar aku menghaturkannya kepadamu. Inilah tanda
pengenal himpunan kami yang syah. Dengan tanda pengenal ini, saudara dapat datang pergi ke Gunung Cibugis dengan leluasa. Sebaliknya, meski-pun seseorang mempunyai surat undangan
khusus tapi tiada tanda pengenal semacam ini, jangan berharap dapat menghampiri gunung itu.
Dia akan gagal atau mati di te-ngah jalan. Itu disebabkan, musuh kami ter-lalu banyak dan sukar diduga. Sehingga kami harus selalu berwaspada. Saudara Sangaji akan datang ke sana. Pastilah engkau akan mengerti sendiri kelak, siapakah musuh-musuh yang kami maksudkan."
Sampai di sini, habislah sudah pembicaraan Suhanda. Dengan berlega hati, ia membawa
Sangaji kembali menghampiri Rostika dan Sonny de Hoop. Segera ia memperkenalkan Rostika dan anaknya. Dan setelah berbicara selintasan, cepat-cepat ia minta mengundurkan diri seakan-akan ada sesuatu yang memburunya.
"Orang itu aneh gerak-geriknya," kata Sonny de Hoop. "Dia berbicara apa kepada-mu?"
Sangaji tak pernah dapat berbohong. Untung, sewaktu hendak memberi keterangan, Sonny de
Hoop sudah beralih perhatiannya. Memang bagi gadis itu, yang maha penting adalah diri Sangaji dan masalah hubungannya dengan dirinya sendiri. Peristiwa-peristiwa lain yang tidak bersangkut-paut dengan kepentingannya, tidaklah masuk ke dalam perhatiannya. Ia tadi hanya merasa
dirugikan dengan dibawanya Sangaji menyendiri di tepi pantai. Dan ia bersedia untuk
menggerembengi. "Sangaji! Engkau sudah memperlihatkan ilmu saktimu yang tinggi kepadaku. Tapi be-lum pernah sekali juga memperlihatkan nyala hatimu kepadaku. Mengapa?" katanya kesal.
Sangaji jadi perasa. Dengan lembut ia mem-bimbing Sonny de Hoop berjalan perlahan-lahan
menghampiri kudanya. Waktu itu matahari sudah merayap rendah di barat. Angin laut membawa hawa sejuk ke darat. Udara cerah dan menyenangkan. Segar serta menggairahkan. Itulah waktu yang sebaik-baiknya untuk seseorang yang hendak menumpahkan gelora rasa kasihnya. Namun
hati Sangaji tiada berada di situ.
38. PUKULAN BINTANG BERCACAH
DIMANAKAH letak Gunung Cibugis" Inilah suatu hal yang tak pernah terpikirkan dalam otak
Sangaji. Dan sekarang, setelah pemuda itu bersiap-siap hendak berangkat jadilah suatu masalah yang pelik.
Dahulu tatkala dia belajar di sekolah kompeni ilmu bumi merupakan salah satu mata pelajaran yang penting. Maklumlah, sekolah tempat ia belajar adalah sebuah sekolah yang didirikan kompeni dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak kompeni. Karena ilmu bumi berhubungan erat dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tugas hidup seorang militer, maka ilmu itu merupakan mata pelajaran yang penting. Hampir nama seluruh kota sampai ke pelosok-pelosok desa termasuk sungai dan gunungnya dijejalkan penuhpenuh dalam benak murid-murid. Itulah sebabnya, ia tidak menaruh perhatian khusus terhadap nama gunung tersebut. Pikirnya ia akan dapat menemukan nama gunung itu dengan mudah di
dalam peta bumi. Tetapi setelah membuka-buka peta Jawa Barat, nama gunung itu tiada.
Dengan saksama ia menyelidiki nama gunung-gunung di seluruh wilayah Jawa Barat. Mulai dari Gunung Gede, Aseupan, Karang, Pulasari, Gembol, Bentang sampai kepada Gunung Sawal dan
Gunung Pojoktiga. Namun nama Gunung Cibugis, tiada. Ia menemukan sekelompok gunung-
gunung yang menarik. Itulah Gunung Sanggabuwana, Halimun, Ken-deng dan Salak. Besar
dugaannya, bahwa Gunung Cibugis mungkin berada di sekitar daerah itu. Tetapi mengingat
waktunya sangat sempit, sedangkan arah kepastiannya belum diperoleh diam-diam ia menyesali kesem-beronoannya sendiri.
Andaikata Titisari berada di sampingku, biarpun mencari sebuah gua di dalam wilayah seluas ini, pastilah akan berhasil dengan cepat. Tapi Titisari sekarang... ia berkata dalam hati. Dan begitu teringat Titisari, semangatnya seperti lumpuh sebagian. Pikirannya lantas menjadi gelap.
Kala itu rembang petang telah tiba dengan diam-diam. Segera ia berkemas-kemas. Ia sudah
mengambil keputusan tidak membawa serta si Willem, agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
Juga senjata apa pun tidak dibawanya. Ia yakin kepada kesanggupan dirinya. Tanpa senjata dan tiada berkuda, jauh lebih leluasa dan jauh lebih cepat. Teringatlah dia, gurunya Gagak Seta, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati dahulu pernah beradu lari semalam suntuk dalam jarak yang tidak dekat. Mereka tetap sehat walafiat tak kurang suatu apa. la belum pernah mencoba tenaga
saktinya untuk berlari-lari kencang dalam jarak panjang. Tapi mengingat kesanggupan dirinya kini sudah melebihi kesaktian mereka, pastilah hal itu bukan merupakan suatu masalah yang tidak mungkin. Maka dengan berbekal keyakinan itu, berangkatlah dia meninggalkan kota Jakarta
mengarah barat daya. Ia mengambil simpang-simpang jalan untuk menghindari penglihatan orang. Mula-mula hanya
berlari-larian kecil. Setelah berada di luar kota, segera ia mengerahkan tenaganya dan melesat dengan mengerahkan ilmu saktinya yang tinggi.
Meskipun boleh dikatakan hampir tak pernah berlatih, tapi ilmu lari Sangaji kala itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Tatkala hampir tepat tengah malam, ia sudah melalui jarak tiga ratus kilometer lebih.
Kira-kira satu jam kemudian, hujan turun rintik-rintik. Segera ia berlindung di bawah pohon dan beristirahat di atas batu besar. Di atas, awan tebal menutupi udara. Tiada sebuah bin-tangpun nampak mencongakkan diri!
Nampaknya malam ini tiada harapan untuk melihat udara cerah. Kalau aku membiarkan diri
menunggu perubahan udara, bukankah akan membuang-buang waktu saja" pikirnya. Dan memikir demikian, segera ia mengumpulkan semangatnya. Kemudian berlari-lari lagi sambil menjelajahkan matanya yang sangat tajam.
Seberang menyeberang jalan sunyi senyap. Angin dingin basah meniup keras. Kadang-kadang
ia melihat kejapan pelita di kejauhan. Itulah kelompok-kelompok desa yang tertebar di tempat-tempat tertentu. Namun untuk berharap bertemu dengan seseorang di tengah malam begitu
dingin, tidaklah mungkin terjadi.
Sesudah berlari-lari cepat mengikuti jalan desa, ia tiba di persimpangan jalan. Teringat akan sepak terjang gurunya Gagak Seta, ia berhenti sebentar memeriksa sekelilingnya.
Guru selalu meninggalkan tanda-tanda tertentu manakala dalam perjalanan. Juga paman-
paman guru dan pendekar-pendekar lainnya. Entah tata-cara pendekar-pendekar
Jawa Tengah berlaku pula di Jawa Barat sini entah tidak, pikirnya.
la membiak-biak gerumbul semak dan memeriksa batang pohon. Benar saja. Pada sebuah batu
besar ia menemukan gambar pedang silang dengan sebuah obor. Ia girang, karena tanda itu
sesuai dengan tanda pengenal pendekar Kosim yang diterimanya dari Suhan-da.
"Gambarnya mengarah ke selatan. Pastilah ini suatu petunjuk arah Gunung Cibugis."
Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus membelok ke selatan. Pada fajar hari, ia tiba di sebelah utara Rangkasbitung. Sesudah mengisi perut, ie meneruskan perjalanannya lagi. Di tempat simpang tiga Kali Ci Ujung, Ci Simeut dan Ci Berang, diketemukan sebuah gambar obor menyala pula. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertambah girang dan merasa pasti bahwa arah perjalanannya tidak salah. Maka dengan
semangat penuh, ia menyusur lembah Kali Ci Berang. Dan tepat menjelang pagi hari, muncullah Gunung Endut di depan matanya.
Di sebuah gundukan tanah, ia menemukan sebuah batu besar. Di sana ia merebahkan diri
untuk beristirahat barang sebentar. Hawa di pegunungan jauh berlainan daripada hawa semalam, karena itu tidaklah mengherankan bahwa ia tertidur dengan perasaan tenang.
Kira-kira matahari sepenggalan tingginya, Sangaji sudah selesai membersihkan dirinya.
Perasaan tubuhnya segar bugar. Segera ia duduk di atas tanah hendak bersemadi mengumpulkan tenaga saktinya. Mendadak saja pendengarannya yang tajam luar biasa menangkap suara derap kuda memasuki jalan pegunungan.
Gunung Endut ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gunung yang mempunyai arti. Apa
sebab sepagi ini ada serombongan orang berkuda mendaki lerengnya" pikirnya. Ia bercuriga, dan membatalkan niatnya hendak bersemadi. Kemudian ia melesat ke belakang onggok batu
menjenguk ke jalan. Cepat sekali larinya rombongan berkuda itu. Mereka memasuki petak hutan dan sebentar saja lenyap dari penglihatan. Sangaji segera menguntitnya dari jarak tertentu. Bagi dia yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia, tidaklah perlu khawatir akan ketahuan.
Ternyata mereka menuju ke sebuah pertapaan yang terlindung oleh semak semak belukar.
Lantas terdengar seorang di antara mereka berseru.
"Kami berempat pengawal Kerajaan Banten ingin menghadap ke duli tuanku Maulana Ibrahim.
Kami berempat memohon pertolongan duli tuanku."
Seruan itu melengking keras luar biasa. Suatu tanda bahwa tenaga sakti orang itu tak boleh diabaikan. Namun beberapa saat ia menunggu, tiada juga memperoleh jawaban yang dikehendaki.
"Tuanku Maulana Ibrahim! Kami berempat menderita luka parah. Masakan tuanku akan
membiarkan kami mati tiada liang kubur?" orang itu berseru lantang lagi.
Sejenak lagi ia menunggu. Kemudian memberi isyarat kepada teman-temannya agar turun dari punggung kuda. Setelah itu, mereka berempat duduk bersimpuh seakan-akan hendak menghadap rajanya sendiri.
"Tuanku Maulana Ibrahim!" serunya lagi. Tapi kali ini bernada minta belas-kasih. "Benar-benarkan tuanku sampai hati membiarkan kami mati begini hina?"
Pintu pertapaan itu nampak bergerak-gerak. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian
rapih. la menebarkan penglihatannya seperti sikap seorang pangeran, lalu berkata: "Sungguh sayang tuan-tuan. Kedatangan tuan-tuan sangat tidak tepat."
"Janganlah memanggil kami dengan tuan-tuan," potong orang yang berseru tadi. "Kami berempat pantas menjadi hambamu."
Terang sekali maksud orang itu. Dia hendak mengambil hati. Tetapi pemuda di hadapannya
tampak bersikap dingin. Dengan suara angkuh dia menyahut.
"Panembahan Maulana Ibrahim lagi berolah tapa untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Pintu biliknya terkunci rapat. Itulah suatu tanda bahwa dia tak dapat diganggu. Karena itu, carilah orang tua lain yang dapat membantu menyembuhkan luka kalian."
"Sudah semenjak kemarin kami berangkat ke mari. Keselamatan nyawa kami tinggal
tergantung kepada ilmu sakti tuanku Maulana Ibrahim. Karena itu, kami mohon ... kami mohon...
pertolongannya." "Tetapi Panembahan sedang berolah tapa. Tak dapat dia diganggu-gugat."
Mendengar ujar pemuda itu, mereka berempat menghela napas dengan wajah muram. Sejurus
kemudian orang tadi masih mencoba berkata, "Siapakah nama Tuan yang mulia?"
Pemuda itu tersenyum. Matanya berkilat. Hatinya senang, mendengar orang menghormatinya
demikian tinggi. Menyahut, "Aku adalah muridnya. Asalku dari Jawa Tengah. Namaku Manik Angkeran. Mengapa?"
"Ah, tuanku Manik Angkeran! Kami berempat adalah pengawal-pengawal Kerajaan Banten yang sial. Kami dilukai seseorang. Kalau tidak memperoleh pertolongan tuanku Maulana Ibrahim, pastilah nyawa kami sebentar lagi melayang. Maka itu, tolonglah sampaikan hal ini kepada gurumu yang mulia."
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Manik Angkeran menimbang-nimbang sebentar. Lantas berkata, "Siapakah nama kalian?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan Manik Angkeran, wajah mereka bercahaya dengan mendadak. Tak sia-
sialah mereka main mengambil haf terhadap pemuda cilik itu. Lantas saja mereka berebutan memperkenalkan namanya.
"Kami. Hamid, Syarif, Surian dan Brata. Bi-langkan saja kepada tuanku Maulana Ibrahim, kami berempat, murid-murid Tatang Manggala."
Setelah berkata demikian, hampir berbareng mereka rebah tertelungkup. Dari mulutnya ter-
bersit segumpal darah segar. Terang sekali, mereka menderita luka tak enteng. Hanya saja luka apa yang membuat mereka melontakkan darah segar, tidaklah jelas.
Sangaji yang bersembunyi tak jauh dari mereka, mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya
timbul suatu teka-teki yang menarik. Siapakah yang disebut Panembahan Maulana Ibrahim itu"
Nampaknya, dia bukan orang sembarangan. Kalau saja tidak memiliki ketenaran nama semenjak lama, tidak bakal pertapaannya dikunjungi tamu dari jauh.
Dalam pada itu, pemuda yang bernama Manik Angkeran menghampiri mereka dengan pandang
acuh tak acuh. Tiada nampak gopoh atau menaruh suatu perhatian yang berlebih-lebihan
sehingga kesannya seperti seorang dokter perang yang sudah mempunyai pengalaman maha
dahsyat. Katanya nyaring.
"Kalian luka berat. Hayo, panggillah aku dahulu, paman yang baik budi! Dan aku akan menolong meringankan."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, Sangaji tersenyum. Pikirnya dalam hati, Adik cilik ini, keterlaluan. Sudah terang mereka dalam keadaan runyam, mengapa masih perlu mengolok-oloknya lagi.
Teringatlah dia, sewaktu menderita luka berat di benteng batu dahulu. Titisari dalam keadaan bingung. Namun Fatimah tak memedulikan. Bahkan gadis angin-anginan itu memaksa Titisari agar memanggilnya bibi dahulu, sebelum bersedia membantu dengan segenap hati. Meskipun
mendongkol Titisari memaksa diri untuk membuat senang gadis angin-anginan itu. Kemudian, semuanya jadi lancar. Dan teringat akan Fatimah, tanpa disadari sendiri ia jadi menaruh perhatian kepada pemuda Manik Angkeran.
Gerak-gerik Manik Angkeran makin lama makin aneh juga. Meskipun tidak seliar Fatimah, tetapi paling tidak bisa dijajarkan. Melihat mereka tiada tanda-tanda mengindahkan permintaannya, lantas saja memutar badannya sambil berkata: "Baik! Kalau tak mau memanggilku paman yang baik budi. Terserah kalian akan mati atau tidak." Setelah berkata demikian, ia masuk ke gubuk pertapaan. Pintu ditutupnya rapat seumpama seekor lalatpun tak sanggup masuk.
Celakalah mereka yang sedang menderita luka. Demi luka yang dideritanya, sesungguhnya
mereka bersedia untuk membuat senang si pemuda. Tetapi keputusan pemuda itu terlalu cepat.
Mereka belum bisa mengadakan tanggapan secepat orang sehat, sehingga tak keburu mencegah rasa cemberutnya pemuda itu. Dengan demikian terasalah sudah, bahwa kesulitan yang mereka hadapi menjadi berganda.
Hamid orang yang berseru lantang tadi berusaha menguasai diri. Dengan gemetaran ia
mencoba menegakkan kepalanya. Kemudian hendak berseru memanggil Manik Angkeran. Namun
yang keluar dari mulutnya adalah keruyuk darah berbutir-butir. Masih dicobanya hendak
mengatasi. Tapi pada detik itu, ia jatuh terkapar di atas tanah.
Hampir berbareng dengan kejadian itu, pintu gubuk pertapaan terbuka kembali. Manik
Angkeran muncul dengan diikuti seorang cantrik13) memanggul sebatang cangkul pengaduk
tanah. Melihat Hamid menggelepar di atas tanah, ia menghampiri. Tangannya bergerak-gerak dan tahu-tahu Hamid sudah dapat duduk kembali dengan tegak, darahnya yang tadi meruap dari
mulutnya berhenti dengan mendadak.
Dengan memanggut-manggut, Hamid menyatakan rasa terima kasihnya. Katanya, "Akhirnya tuanku sudi menolong hamba juga."
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Aku hanya khawatir kau akan mati di depan pintu. Ini membuat susahku belaka. Sebab aku terpaksa harus menguburmu," sahut Manik Angkeran.
"Tapi tuanku menolong juga. Buktinya, dadaku terasa menjadi ringan," Hamid tak bersakit hati.
13). Cantrik: badai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Kau menyebutku sebagai tuanku, apa sih keuntungannya. Coba kau mau memanggil aku sebagai paman, aku takkan
menolongmu separuh-paruh."
Mendengar kata-kata Manik Angkeran, Hamid terhenyak sejenak. Menurutnya pantas, sebutan
tuanku jauh lebih tinggi daripada sebutan paman. Sadar bahwa betapapun juga dia harus pandai membuat rasa puas bintang penolongnya, buru-buru ia memperbaiki diri. Kemudian dengan kata-kata merendah, ia berkata: "Baiklah. Engkau memang pamanku yang baik budi."
"Siapa yang kesudian menjadi pamanmu" Aku hanya minta kau memanggilku paman yang baik budi."
Kembali lagi Hamid terhenyak sejenak. Lalu berkata cepat, "Ya, ya Paman yang baik budi.
Tolonglah aku." Mendengar perkataan Hamid, wajah Manik Angkeran berseri-seri dengan mendadak. Dengan
mengulum senyum, lantas saja dia menyahut: "Aiii... anak yang manis. Mengapa tak sedari tadi.
Baiklah, kalian akan kutolong meringankan penderitaan kalian."
Setelah berkata demikian, ia melesat menghampiri mereka yang sedang menderita luka.
Sangat gesit dan tangkas gerakannya. Hamid, Syarif, Suria dan Brata terus saja bisa duduk kembali dengan tenang. Meskipun dalam hati mereka mendongkol, namun diam-diam mereka
kagum akan kepandaian pemuda cilik itu.
"Hai, Paman yang baik budi!" seru Suria. Ia seorang yang berbadan pendek, berkepala botak.
Suaranya kasar melengking menusuk pendengaran. "Lihat! Senjata apa ini namanya?" Ia mengeluarkan sebatang baja, berben-tuk bintang bersegi tiga. Sekali menggerakkan jari-jarinya, baja berbintang itu melesat dan menancap pada tiang gubuk dengan suara mengaum.
"Hai, anak yang manis!" seru Manik Angkeran. "Kau bukan anak yang lemah. Apa sebab kau sampai terluka" Siapa yang melukaimu?"
"Cabut dan perlihatkan senjata itu kepada gurumu. Katakan, bahwa kami berempat kena dilukai pemilik senjata itu," sahut Suria dengan suara kasar. "Tak lama lagi pemilik senjata itu akan datang ke mari. Apabila gurumu mau mengobati kami, kami berempat pasti bersedia membantu melawannya."
Manik Angkeran tertawa panjang. Alisnya bergerak-gerak. Maka nampaklah, bahwa dia seorang pemuda cerdik. Katanya lantang, "Kalian bisa apa terhadap pemilik senjata itu" Kalau kalian sudah mampu mengadakan perlawanan yang berarti, masakan kena dilukai?"
"Meskipun ilmu kami berempat sangat rendah, tapi setidak-tidaknya bisa mengganggu dia.
Katakan kepada gurumu, bahwa kami berempat ini murid-murid Tatang Manggala," ujar Suria sulit.
"Apa sih hubungannya dengan guruku sampai aku kau haruskan menyebut nama gurumu?"
"Karena Tatang Manggala dan gurumu adalah sesama pembantu Ratu Fatimah."
"Kau bilang apa" Fatimah?" Manik Angkeran terkejut. Parasnya lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya, sekonyong-konyong ia melesat dan menyerang mereka berempat dengan
berbareng. Krak, krak, krak! Lengan mereka masing-masing kena dipatahkan. Setelah itu dengan sekali menjejak tanah, ia menyambar senjata bidik yang tertancap di tiang. Kemudian menghilang di balik pintu.
Hamid, Syarif, Suria dan Brata bukan orang lemah. Namun mereka sedang menderita luka.
Tenaganya rusak delapan bagian. Karena itu lengan mereka kena dipatahkan oleh si bocah sangat mudah.
Paras Manik Angkeran lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya sekonyong-konyong...
Seseorang yang kena dipatahkan lengannya demikian rupa, pasti akan mengerang. Dan hal itu adalah wajar. Tapi mereka tak berani mengerang, karena takut akan mempunyai akibat sendiri terhadap si pemuda yang berwatak angin-anginan.
"Suria! Biar bagaimanapun juga, berusahalah membuat senang bocah cilik itu!" Hamid menyesali. "Tuanku Maulana Ibrahim tak mungkin dapat diganggu-gugat. Dan satu-satunya bintang penolong kita, hanyalah bocah itu."
"Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi aku telah menga-pakan dia?" Suria membela diri.
Memang mereka semua tahu, Suria sama sekali tidak mengusiknya. Masing-masing sadar,
bahwa mereka harus pandai membawa diri kalau masih mengharapkan pertolongannya. Soalnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena watak pemuda itu demikian aneh. Apa yang menyebabkan sekonyong-konyong dia seperti kemasukan setan, hanya setan sendiri yang tahu. Maka terpaksalah mereka menahan rasa
nyerinya. Meskipun mereka bukan tokoh sembarangan, tak urung keringat dingin merembes
keluar berbu-tir-butir. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk ke dalam benak Hamid. Terus saja ia mengarah kepada si
Badai dan berkata hati-hati.
"Jang!14) Pastilah engkau sudah lama mengenal dia. Kami bersalah apa terhadapnya sampai dia mematahkan lengan kami?"
Badai itu tersenyum panjang. Dengan suara menyalahkan ia menjawab, "Soalnya Tuan berani menyebut nama Fatimah."
"Nama Fatimah?" Mereka berseru berbareng. Mereka saling menyiratkan pandang tak mengerti.
"Aku menyebut nama Ratu Fatimah," kata Suria. "Dia murid tuanku Maulana Ibrahim. Guru kami dan tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu Ratu Fatimah. Dengan begitu, kami termasuk keluarga sendiri. Apakah, apakah dia musuh Ratu Fatimah?"
"O, bukan, bukan. Kalau dia musuh Ratu Fatimah, masakan sudi berguru kepada tuanku
Maulana Ibrahim," tungkas badai itu. "Dia berasal dari Jawa Tengah. Siapa Ratu Fatimah itu, dia tak mengerti."
"Tapi mengapa merasa tersinggung?"
"Karena Tuan menyebut nama Fatimah. Justru Fatimah adalah nama kekasihnya. Tuan
sekarang menyebutnya dengan ratu. Bukankah berarti memperolok-oloknya?"
"Ah," mereka baru sadar. Kemudian Suria buru-buru berkata, "Kalau begitu, memang 14). Jang: bujang
nasib kamilah yang lagi sial. Siapa tahu, bahwa kekasihnya bernama Fatimah. Sekarang dia menyakiti kami Apakah ... apakah ..."
"Dia boleh meremukkan tulang-tulang Tuan. Tapi kalau Tuan pandai mengambil hatinya, Tuan akan bisa dipulihkan kembali. Tuan percaya, tidak" Sebab dialah murid satu-satunya tuanku Maulana Ibrahim," ujar si badai.
"Kami percaya. Kami percaya," mereka menyahut berbareng, meskipun belum tentu hatinya berbicara demikian. "Lekas sampaikan kepadanya, bahwa tiada niat kami hendak memperolok-olokan dia. Kami bahkan akan hadir pada hari perkawinanan di kemudian hari."
Badai itu menimbang-nimbang sebentar, kemudian masuk ke dalam gubuk.
Mendengarkan dan menyaksikan serentetan peristiwa dengan percakapannya itu, hati Sangaji kian tertarik. Bisiknya dalam hati, "Fatimah" Apakah Fatimahku sendiri" Kalau benar-benar dia tunangan Fatimah, alangkah hebat nanti. Fatimah dahulu selalu merahasiakan siapakah pemuda yang mengganggu hatinya. Dia berkata seorang saja. Manik Angkeran seorang ahli obat-obatan.
Sudah selayaknya apabila dikerumuni orang. Apakah ini maksudnya" Kalau benar demikian, hai-hai... dia bisa kumat wataknya manakala kugodanya."
Memikir demikian, perhatian Sangaji terhadap Manik Angkeran naik setingkat. Di depannya
seakan-akan tergelar pemandangan lembah Gunung Damar. Di sana ia berjumpa dengan Fatimah kembali. Lantas dengan serta merta ia akan menebak rahasia hati gadis angin-anginan itu.
Alangkah lucu dan menggairahkan! Pastilah Fatimah akan mencak-mencak. Tapi kemudian... dia akan bertanya tentang Titisari. Bukankah dia berjanji kepada gadis itu hendak membawa serta Titisari menemuinya" Teringat akan janji ini hati Sangaji tergetar.
Kira-kira menjelang tengah hari, terdengar derap kuda memasuki lembah pertapaan. Tiga
orang yang mengenakan pakaian mahal turun tertatih-tatih dari kudanya. Dengan menekan dada, mereka berseru hampir berbareng di depan gubuk pertapaan. "Kami anak murid pendekar Malingping, mohon bertemu dengan tabib sakti tuanku Maulana Ibrahim."
Habis berkata demikian, mereka berbatuk-batuk. Pada punggungnya nampak noda darah. Yang
satu membalut kepalanya penuh darah kental. Suatu tanda, bahwa mereka semua terluka parah.
Sebentar kemudian, Manik Angkeran muncul di ambang pintu dengan membawa buku dan alat
tulis di tangan kirinya. Berkata memaklumi, "Panembahan Maulana Ibrahim tak dapat diganggu gugat. Dia sedang memasuki tingkat olah tapa tertinggi. Silakan mencari tabib lainnya. Kulihat luka kalian masih bisa bertahan dua tiga hari lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami bertiga berasal dari Rancabali. Ratusan kilometer telah kami lalui untuk datang menghadap tuanku tabib sakti. Tenaga kami sudah terkuras habis. Lagi pula sekiranya di dunia ini ada tabib sesakti tuanku Maulana Ibrahim, masakan kami sampai datang ke mari."
Manik Angkeran menghela napas. Ia sudah memutar badannya, hendak masuk ke gubuk,
tatkala mereka bertiga memanggilnya buru-buru. "Adik! Tolonglah sampaikan maksud kami ini ..."
Belum lagi habis perkataannya. Mereka nampak bergemetaran dan jatuh terkulai di tanah. Aneh juga kuda-kuda mereka-pun jatuh bergedebrukan dengan mengeluarkan busa. Tak dapat
disangsikan, bahwa mereka termasuk kudanya benar-benar sudah kehilangan tenaga.
Menyaksikan keadaan mereka timbullah rasa iba dalam hati Manik Angkeran. Ia hendak segera memeriksa, sewaktu tiba-tiba terdengar suara langkah dan derap kuda berbondong-bondong
memasuki lembah pertapaan. Dari jauh, mereka sudah berseru beramai-ramai. "Tuanku Maulana Ibrahim ... mohon menghadap."
Manik Angkeran mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggerutu. "Hampir empat tahun aku berada di sini. Selamanya lembah ini sunyi sepi. Tapi hari ini, kenapa mereka datang begini berbondong-bondong?" Setelah menggerutu demikian, berkatalah dia, lantang: "Kalian datang ke mari beramai-ramai. Apakah ada yang menyuruh?"
Jumlah mereka dua belas orang. Terdiri dari berbagai-bagai golongan. Ada yang berpakaian saudagar, kepala kampung dan pegawai kerajaan. Semuanya menderita luka parah. Dan tatkala mendengar seru Manik Angkeran, dengan serentak memperlihatkan sebatang baja berbintang tiga pada tangannya masing-masing.
"Hai, apakah artinya ini?" Manik Angkeran heran.
"Senjata bidik ini bernama, kembang cacah bintang," sahut seorang berperawakan pendek tipis.
"Pemiliknya seorang nenek-nenek bernama Karumbi. Dialah yang kita kenal dengan sebutan si bongkok dari Pegunungan Ka-rumbi."
Dengan tercengang Manik Angkeran menegas. "Apa hubungannya dengan kita di sini?"
"Tanyakanlah kepada tuanku Maulana Ibrahim. Kami dilukai tanpa perkara. Lantas kami digebah, agar datang ke mari. Katanya dia minta tanggung jawab atas kematian pendekar
Kamarudin anggota Himpunan Sang-kuriang."
"Siapakah Kamarudin itu?"
"Dialah anak menantu Nenek Karumbi."
"Selamanya guruku tak pernah berurusan dengan perkara luar. Mengapa nenek itu minta tanggungjawabnya," tungkas Manik Angkeran.
"Tanyakanlah kepada gurumu!" jawab orang berperawakan pendek tipis itu. Setelah berkata demikian, terus rebah tak berkutik.
Hamid, pengawal kerajaan Banten sekonyong-konyong nyeletuk. "Ha, tahulah aku Tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu utama Ratu... Ratu... eh... pembantu Kerajaan Banten. Dan Nenek Karumbi justru musuh utama Ratu ... Ratu..." dia tak berani menyebut nama Fatimah, karena takut mempunyai akibat sendiri terhadap pemuda berwatak angin-anginan itu. Lalu cepatcepat mencari kata-kata lain. "Dan Nenek Karumbi justru musuh Kerajaan Banten. Tapi latar belakang apa yang menyebabkan nenek itu tiba-tiba minta pertanggungan jawab tuanku Maulana Ibrahim, hanya guru paman yang baik budi yang tahu."
Mendengar Hamid masih menyebutnya sebagai paman yang baik budi, Manik Angkeran
tersenyum puas. Katanya ringan, "Kalian dilukai oleh nenek itu. Rupanya dia lebih kuat daripada kalian. Kalau saja berniat hendak membunuh kalian, nampaknya mudah sekali. Tapi kalian
dibiarkan hidup untuk beberapa hari agar bisa datang ke mari. Apa maksudnya?"
"Justru itu, bangunkan guru paman yang baik budi. Kukira hanya tuanku Maulana Ibrahim sendiri yang dapat menebak teka-teki ini."
"Sayang anak-anak yang manis. Pada saat ini, biarpun bumi berguguran tak berani aku mengganggunya."
Selagi berbicara demikian, telah datang berturut-turut enam orang lagi. Mereka memohon
bertemu dengan Maulana Ibrahim yang disebutnya sebagai tabib dewa. Caranya meminta bertemu bermacam-macam. Ada yang berbicara dengan sopan, bernada memerintah, merintih dan
membisu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semuanya ditolak oleh Manik Angkeran dengan kata-kata yang sama. Namun mereka tak mau
pergi. Maka terpaksalah Manik Angkeran memberi perintah kepada dua orang badai agar
menyediakan makanan sekadarnya.
Dengan datangnya mereka berbondong-bondong ditambah lagi dengan adanya kisah latar
belakangnya, membuat hati Sangaji kian tertarik. Meskipun otaknya tidaklah seencer Titisari, "tapi ia memiliki watak yang baik. Apabila menghadapi persoalan yang rumit, tak mau sudah sebelum mengerti dengan sejelas-jelasnya. Maka timbullah kekerasan hatinya hendak menyelidiki peristiwa itu sampai selesai. Perkara makan bukanlah merupakan soal sulit baginya. Kecuali kesempurnaan tubuhnya melebihi pendekar-pendekar sakti pada zaman itu, diapun membekal makanan kering.
Dengan begitu, tak usahlah ia khawatir akan kelaparan.
Menjelang petang hari, ia mendengar langkah ringan. Pendengarannya yang tajam menangkap
suara degup jantung yang kurang beres. Lagi-lagi seorang terluka berat, pikir Sangaji. Ia melongokkan kepalanya. Untuk herannya, ia melihat seorang wanita memapah seorang anak
perempuan. Dan wanita itu adalah Rostika dan Atika, isteri dan anak Suhanda.
"Apakah dia dilukai pula oleh nenek itu?" Ia menduga-duga.
Lewat sejenak, terdengar Rostika berkata membujuk kepada anaknya. "Kau sekarang berjalan sendiri ya, Nak?"
"He e," sahut Atika. Dan anak itu lantas melorot dari dukungan.
"Bagus," kata Rostika dengan suara bersyukur. Ia seperti kehilangan suatu beban berat.
Kemudian dengan suara setengah berputus asa, "Sekarang mudah-mudahan tabib sakti Maulana Ibrahim berada di rumah ..."
Mendengar suara Rostika, hati Sangaji tergetar. Ingin dia menghampiri dan hendak
menolongnya. Meskipun sama sekali tiada memiliki ilmu ketabiban, tetapi ia percaya akan tenaga saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar seru Manik Angkeran nyaring. "Kak Rostika! Benarkah Kak Rostika?"
Mendengar seru Manik Angkeran, Rostika terhenti sejenak, la seperti lagi mengingat-ingat.
Kemudian menyahut setengah memekik.
"Ah ... Manik Angkeran! Bagus kau berada di sini." Dan setelah berkata demikian, ia mendatangi dengan mempercepat langkahnya.
"Bukankah aku dahulu berkata hendak mencari seorang guru tersakti di dunia?" ujar Manik Angkeran seraya menyongsong.
"Kau berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim. Nasibmu benar-benar bagus! Aku tahu ...
aku tahu ... itulah yang kaumaksudkan dahulu. Dengan berbekal ilmu kepandaian Panembahan Maulana Ibrahim engkau tidak akan kehilangan muka di depan kekasihmu. Bukankah begitu?"
seru Rostika dengan gembira. Tetapi berbareng dengan itu, ia berbatuk-batuk kecil. Darah segar meruap dari mulutnya.
"Kau ... kau ... kena dilukai nenek tua?" Manik Angkeran terkejut. "Siapakah nenek itu yang berbuat sewenang-wenang terhadapmu?"
Gugup, Manik Angkeran memajang pundak Rostika sambil berkata: "Kak Rostika, marilah masuk ke dalam ... Bukankah ini kemenakanku Atika?"
Rostika memanggut kecil. Dengan tangan kanannya ia menggandeng lengan Atika.
"Pundak dan lengan kirimu terluka berat ... Ah, selama dalam perjalanan engkau menggendong Atika dengan lengan kananmu, bukan" Hai, mengapa engkau disiksanya pula?"
Rostika tak dapat menjelaskan. Ia terus berbatuk-batuk tiada hentinya. Dengan berjalan
pelahan-Iahan ia dibawa masuk ke dalam gubuk.
Melihat keakraban Rostika dengan Manik Angkeran, Sangaji bertambah heran. Pikirnya, kalau aku ingin mengetahui mereka dengan jelas, aku harus ikut-ikut pula menyamar sebagai seorang yang membutuhkan pertolongan tabib sakti Maulana Ibrahim.
Memikir demikian, segera ia keluar dari persembunyiannya. Kemudian berjalan tertatih-tatih memasuki halaman pertapaan. Semua orang yang berada di situ menderita luka enteng. Karena itu, sama sekali tidak memperhatikan siapa lagi yang datang untuk minta pertolongan tabib sakti.
Dengan demikian, Sangaji dapat menempatkan diri sesuka hatinya. Beringsut ingsut ia mendekati dinding samping dan dari balik dinding ia memasang telinganya tajam-tajam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manik Angkeran sesungguhnya adalah tunangan Fatimah adik Wirapati. Ia mempunyai bakat
baik untuk menjadi seorang tabib. Di depan tunangannya, ia menyatakan cita-citanya hendak menjadi seorang tabib sakti di kemudian hari. Pernyataan itu sebenarnya agak berlebih-lebihan, tapi bukankah tiap laki-laki akan berbuat begitu di depan kekasihnya. Hanya sayangnya, pemuda itu berhadapan dengan Fatimah yang mempunyai watak angin-anginan. Mendengar pernyataan
demikian, lantas saja gadis itu mengolok-oloknya sebagai orang linglung. Dan Manik
Angkeran bersakit hati. Ia kemudian menghilang. Di dalam hatinya tak sudi ia menemui
kekasihnya kembali sebelum membuktikan ucapannya.
Dalam perantauannya ke Jawa Barat, ia menumpang di rumah Suhanda. Dari Rostika, ia
mendengar kabar tentang kesaktian Maulana Ibrahim. Maklumlah, Rostika adalah murid Edoh
Permanasari. Dengan sendirinya mengetahui tokoh-tokoh sakti angkatan tua pada zaman Ratu Fatimah. Ia berangkat mencari pertapaan Maulana Ibrahim dan berhasil diterima menjadi murid satu-satunya, karena bakatnya serta kemauannya yang baik. Maka ilmu pertabiban Manik
Angkeran sekarang sudah jauh lebih tinggi daripada tabib-tabib ternama di seluruh kota di Pulau Jawa.
Ia segera memeriksa pundak dan lengan Rostika. Setelah mendengar batuknya, ia berkata
dengan pasti. "Kak Rostika. Rupanya tatkala engkau mengadu pukulan, musuh telah melukaimu sebelum engkau bergerak."
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak dengan tiba-tiba. Sangat cepat dan
mengagumkan. Tahu-tahu darah yang meruap dari mulut Rostika berhenti dan rasa batuknya
lenyap dari rongga dada. Kemudian ia
memeriksa pundak dan lengan Rostika. Tiga batang baja berbintang segi tiga menancap pada sambungan tulang. Cepat ia mencabutnya. Ternyata tulang lengan Rostika patah tiga tempat. Dan tulang pundak remuk seperti tergilas. Benar-benar suatu luka yang mustahil untuk dipulihkan kembali.
Tapi Manik Angkeran adalah seorang murid tunggal tabib sakti Maulana Ibrahim. Setelah
memberi resep obat sambung tulang kepada dua orang badai, segera ia menyambung tulang-
tulang yang patah pada beberapa tempat.
Agaknya, untuk pertama kali itulah, Manik Angkeran menyambung tulang seseorang. Meskipun kurang cepat, namun setelah ber-tekun beberapa saat lamanya, ia berhasil menyambungnya
dengan rapih. Segera ia membubuhi obat luka dan membalut lengan serta pundak Rostika. Lalu berkata, "Kak Rostika harus beristirahat baik-baik. Minumlah obat pulas ini. Dengan begitu, Kak Rostika takkan terganggu rasa sakit. Atika biarlah tidur di samping, la takkan mengganggu."
"Manik Angkeran! Kau benar-benar menjadi orang lain," seru Rostika kagum. "Sesungguhnya aku datang ke mari untuk mohon perto- " longan Eyang Panembahan Maulana Ibrahim. Tapi
ternyata kau sudah dapat menolong aku."
"Kepandaian ini bukankah berasal dari Kak Rostika?" tungkas Manik Angkeran. "Coba kalau Kak Rostika dahulu tidak menunjukkan jalan baik, takkan mungkin aku datang ke mari untuk berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim."
"Di manakah gurumu kini?"
"Guru sedang bersemadi. Dia tak dapat diganggu-gugat."
"Dan mereka bagaimana" Kulihat tadi, mereka menderita luka pula. Apakah mereka belum bertemu dengan gurumu?"
Manik Angkeran menggeleng kepala. Dan melihat Manik Angkeran menggeleng kepala, wajah
Rostika berubah menjadi pucat. Katanya penuh sesal.
"Mereka datang terlebih dahulu daripadaku. Apa sebab aku engkau dahulukan?"
"Salahnya sendiri Tak pernah mereka minta pertolongan padaku. Seumpama mereka terpaksa mati, itupun bukan urusanku."
"Ah, adikku yang baik. Periksalah mereka dahulu sebelum gurumu turun dari semadinya."
Waktu itu rembang petang telah lewat. Beberapa badai telah memasang pelita. Manik Angkeran mengatur tempat tidur untuk Rostika dan Atika. Setelah mengantar mereka ke bilik dan
menyediakan makan malam, ia keluar ke serambi dengan membawa obor. Segera ia memeriksa
luka mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi tatkala ia memeriksa luka mereka, tak terasa ia ternganga-nganga keheranan. Makin ia mencoba mengerti, makin heranlah dia. Benar dia baru kali itu memeriksa seseorang yang
menderita luka parah. Tetapi macam itu sendiri benar-benar merupakan suatu teka-teki yang ajaib.
Luka yang mereka derita, masing-masing berbeda. Cara melukainya sangat aneh pula. Selama berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim belum pernah ia mendengar jenis luka semacam
itu. Ada yang terluka jantungnya, tanpa merusak kulit dan urat penyambung. Ada pula yang menderita luka parah pada tiap urat dan nadinya. Terang sekali bahwa Nenek Karumbi mengenal ilmu ketabiban. Cara dia melukai mangsanya diatur demikian rupa, sehingga benar-benar
menyulitkan cara pengobatannya.
Ada lagi yang terserang paru-parunya dengan empat batang paku, sehingga menyebabkan dia
terbatuk-batuk tiada henti dengan memuntahkan darah. Seorang lain, rusak tulang iga-iganya sampai berkeping-keping. Meskipun jantung dan paru-parunya utuh, tetapi betapa mungkin dapat disembuhkan kembali. Ada pula yang rusak bagian tubuhnya yang penting tanpa menderita luka dan seorang lagi terus-menerus mencakari gundulnya tanpa dikehendaki sendiri.
Manik Angkeran benar-benar terpaksa mengerutkan kening. Pikirnya dalam hati, biarpun aku disuruh memilih, tak mampu aku mengobati salah seorang di antaranya. Siapakah Nenek Karumbi itu" Mengapa dia begini jahat dan ganas" '
Memikir demikian, segera ia memasuki bilik Rostika sambil berkata, "Kak Rostika! Apakah engkau sudah tidur?"
"Belum. Mengapa?" sahut Rostika dengan suara bening.
"Boleh aku masuk?"
"Masuklah! Aku adalah pasienmu sembarang waktu kau boleh masuk."
Dengan menarik tempat duduk, Manik Angkeran terus berkata gopoh. "Kak Rostika, aku
terpaksa membuat engkau kecewa. Dengan sebenarnya aku tak sanggup menolong mereka."
"Adikku yang baik, mengapa" Kau tadi dapat menolong aku. Mereka terluka parah oleh tangan yang sama."
"Benar. Tapi setelah kuperiksa, aku terpaksa menyerah. Sungguh-sungguh aneh!" kata Manik Angkeran dengan wajah tegang. Kemudian menceritakan dan menjelaskan luka mereka masingmasing. Setelah itu menegas. "Kak Rostika ... selama hidupku, baru kali ini aku menyaksikan tangan ganas dan keji. Engkau tak disiksa demikian berat, hatiku bersyukur bukan main. Tapi demi Tuhan ... mengapa nenek itu menyiksa mereka begitu rupa?"
Dengan menarik napas panjang, Rostika tak segera menjawab. Ia merenungi anaknya yang
tidur nyenyak. Rupanya Atika sangat penat oleh suatu perjalanan yang panjang. Begitu habis makan malam, lantas saja tertidur sewaktu direbahkan di atas tempat tidur.
"Bagaimana kalau kita berbicara di luar bilik?" Rostika mencoba.
"Ah ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Aku hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mari!"
Mereka duduk di ruang tengah. Setelah sejenak berpandang-pandangan, Rostika kembali
menghela napas. Kemudian berkata, "Sesungguhnya kalau kita mau jujur, guruku lebih ganas dan lebih keji daripada perbuatan nenek dari pegunungan Karumbi itu. Nenek itu hanya melukai, tapi tidak membunuh. Bukankah berarti memberi kesempatan hidup?"
"Tapi ... tapi ... dilukai demikian rupa samalah halnya dengan dibunuh sekali mati," potong Manik Angkeran bernafsu. "Penyiksaan ini bahkan lebih berat daripada pembunuhan. Sebab, luka itu sendiri tak mungkin dapat disembuhkan kembali."
"Tidak, adikku. Benar engkau adalah murid tuanku Maulana Ibrahim, tapi aku yakin engkau belum mengenal kesaktian dan kemampuan gurumu benar-benar. Nenek itu sesungguhnya hanya
membuat gurumu sibuk. Dia yakin, gurumu pasti dapat menyembuhkan kembali. Kalau tidak,
masakan kita digebahnya agar datang ke mari?"
Mendengar keterangan Rostika yang masuk akal, Manik Angkeran berbimbang-bimbang.
Peristiwa ini memang aneh. Selama ia berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim baru kali ini mengalami suatu keja-dian pelik.
"Memang aneh," pikirnya dalam hati. Dan tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ya memang aneh. Hamid tadi berkata, bahwa nenek itu minta pertanggunganjawab guruku. Nampaknya
peristiwa ini mempunyai latar belakang yang belum kita ketahui."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia hendak berbicara lagi, sekonyong-konyong masuklah seorang badai.
"Gan15)! Dipanggil Panembahan," katanya.
"Guru" Apakah ... apakah," Manik Angkeran
15). Can: singkatan dari juragan, Baca: tuan
terkejut. Terus saja ia meloncat dari tempat duduk sambil berkata kepada Rostika. "Kak Rostika tak biasanya guru turun dari persema-dian begini cepat ... Kau mengasolah dahulu! Esok pagi masih ada waktu. Sudahkah kau minum obat pulasmu?"
Rostika mengangguk. Katanya, "Rasa sakitku sudah banyak berkurang. Kalau kau
membutuhkan aku, engkau boleh masuk ke kamar pada sembarang waktu ..."
Manik Angkeran mengangguk cepat. Kemudian bergegas masuk ke dalam, la berhenti di depan
sebuah bilik tempat bersemadi. Terus berkata penuh hormat. "Guru! Muridmu menghadap ..."
Sebagai jawaban, terdengarlah suara geme-resak. Sejenak kemudian Maulana Ibrahim
menyahut, "Siapakah yang mengganggu aku di luar?"
"Kurang lebih dua puluh orang datang berturut-turut ke mari semenjak pagi tadi. Sudah kuberitahukan bahwa guru tak bersedia menerima tamu, namun mereka tak mau pergi. Mereka
menderita luka parah."
"Tak peduli siapa mereka atau apa yang dideritanya, aku tak mau diganggu."
"Ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Tetapi luka mereka sesungguhnya sangat aneh."
Setelah berkata demikian, segera ia mengabarkan keadaan luka mereka.
Agaknya Maulana Ibrahim menaruh perhatian terhadap laporan Manik Angkeran, meskipun ia
masih tetap bercokol di dalam kamar persemadiannya. Apabila kurang jelas, segera ia
memerintahkan Manik Angkeran memeriksa kembali luka orang yang dikehendaki. Kemudian
diwajibkan memberi laporan sejelas-jelasnya.
Dengan demikian kurang lebih dua jam lamanya, ia mondar-mandir sampai selesai memberi
laporan terakhir. Dan berulang kali, ia mendengar gurunya menghela napas. Rupanya benar-benar gurunya memeras otak untuk menentukan gejala-gejalanya dengan tepat.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah lama berdiam diri, akhirnya terdengar Maulana Ibrahim berkata memutuskan. "Hm ...
kalau hanya demikian saja, masih belum dapat menyulitkan daku ... Tapi aku sedang malas untuk mengobati mereka. Nah, suruhlah mereka enyah dari sini sebelum ajalnya sampai."
Manik Angkeran hendak bergerak melaksanakan perintah, sewaktu ia mendengar seseorang
berkata nyaring di belakangnya.
"Tuan Maulana Ibrahim! Kau disebut seorang tabib sakti yang saleh. Selain itu terkenal sebagai seorang pertapa yang tinggi-budi. Kalau kau sekarang menolak suatu tugas suci yang diberikan Tuhan, tiada gunanya engkau hidup sebagai tabib sakti."
Yang berkata demikian adalah Suria. Ia tak sabar melihat mondar-mandirnya Manik Angkeran dan tak tahan menanggung luka parahnya yang makin lama makin terasa menjadi runyam,
sehingga mengikuti Manik Angkeran masuk ke dalam gubuk dengan diam-diam.
"Kau siapa sampai berani berbicara begitu terhadapku?" bentak Maulanan Ibrahim.
"Aku murid Tatang Manggala."
"Hm ... biarpun kau murid dewa sekalipun, apakah peduliku" Kau mampus atau tidak bukan urusanku. Pulanglah cepat-cepat. Barangkali masih sempat engkau bertemu dengan anak
isterimu." Mendengar pernyataan Maulana Ibrahim, tubuh Suria menggigil.
"Tuanku Ibrahim! Kau diancam seseorang. Diapun hendak datang ke mari. Kalau kau sudi mengobati aku sampai sembuh, bukankah aku dapat membantumu?"
"Hm ... sekiranya benar, kau bisa menga-pakan dia" Kau akan mampus sebelum dapat
bergerak." Suria mengeluh, la kini mulai merintih. Tatkala Maulana Ibrahim masih saja bersikap dingin, habislah sudah kesabarannya. Terus saja ia membentak sambil mengancam.
"Baik, baik! Memang aku mau mampus. Tapi sebelum mampus, biarlah aku menikam ulu
hatimu dahulu!" Pada saat itu, masuklah Hamid dengan tertatih-tatih. Mendengar kekasaran Suria, ia
menghunus goloknya dan menuding dengan gemetaran. Bentaknya. "Kau bilang apa" Kau berani berkurangajar terhadap tuanku Maulana Ibrahim" Aku Hamid, meskipun tunggal seperguruan akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membunuhmu sebelum kau bergerak menghampiri pintu. Hayo cobalah! Cobalah, kalau mau
merasakan tikamanku ..."
Setelah berkata demikian, ia berputar menghadap kamar Maulana Ibrahim. Lalu duduk
bersimpuh dan bersembah beberapa kali. Rupanya Suria mengerti akan kehendak teman
seperguruannya. Pikirnya, ya betul... Maulana Ibrahim tidak mempan kena gertak dart sanjung puji. Tapi mungkin bisa luluh hatinya dengan cara menghambakan diri. Ia terus mencontoh sikap temannya. Dalam pada itu, Hamid berkata merendah.
"Kami sekalian ini memang pantas disebut sekumpulan katak-katak bangkotan yang tak
Pada saat itu, masuklah Mamid tertatih-tatih dengan menghunus goloknya dan menuding
dengan gemetaran. tahu diri. Pantaslah jika .tuanku tak sudi bersin-tuhan dengan kami. Tetapi di sini, kami menyaksikan kepandaian murid tuanku. Bila tuanku mengijinkan, biarlah dia yang mengobati kami.
Soal sembuh atau tidak, tergantung kepada rejeki kami semata. Sebaliknya kalau tuanku
memerintahkan kami agar mencari tabib lain ... hm ... di seluruh jagat ini, dimanakah ada seorang tabib yang melebihi tuanku. Sedangkan ditandingkan dengan murid tuanku saja takkan nempil."
Suria memanggut-manggut. Dalam hati, ia memuji kecerdikan temannya seperguruan itu. Ia
melihat paras Manik Angkeran berseri-seri. Rupanya kata-kata Hamid termakan dalam lubuk
hatinya. Tapi diluar dugaan, terdengarlah suara Maulana Ibrahim sedingin es.
"Muridku itu bernama Manik Angkeran. Berasal dari Jawa Tengah. Sedangkan aku datang dari Kerajaan Banten. Antara aku dan dia sesungguhnya tiada hubungan apa-apa juga, selain
hubungan sebagai guru dan murid. Meskipun dia sudah mendekam di sini kurang lebih tiga tahun lamanya, tapi janganlah mengharap bahwa dia mampu mengobati luka kalian. Kalau tak percaya, tanyakanlah sendiri!"
Seketika itu juga kepala Hamid dan Suria seperti terguyur air dingin. Semula mereka berharap penuh akan kemampuan bocah itu sampai mau memanggilnya sebagai paman baik budi. Tadi
mereka menyaksikan sendiri, betapa bocah itu dapat menolong luka Rostika. Mereka tak tahu, bahwa luka yang diderita Rostika jauh berlainan daripada luka yang dideritanya.
Hamid hampir berputus asa tatkala tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya, la merogoh
sakunya dan mengeluarkan batang baja berbintang segitiga. Kemudian dilemparkan ke dalam
kamar Maulana Ibrahim. "Orang yang memiliki senjata inilah yang melukai kami. Diapun menggebah kami agar datang ke mari. Dia berkata pula hendak datang meminta pertanggungjawab tuanku."
Baja berbintang segi tiga itu jatuh ber-kelontangan di dalam kamar. Lantas sepi tiada suara.
Lama sekali dan baru terdengar Maulana Ibrahim menghela napas.
"Manik Angkeran! Sudah kau periksa semuanya yang luka?" sejenak kemudian Maulana Ibrahim menegas.
"Sudah." "Hm, mengapa begitu lancang?"
"Karena ... karena ... aku tak sudi melihat mereka mati di depan pertapaan guru," sahut Manik Angkeran sulit.
"Hm," dengus Maulana Ibrahim, la seperti mau menerima alasan muridnya. Mendadak membentak, "Kudengar suara napas orang tidur di dalam bilikmu. Benarkah itu?"
"Benar," sahut Manik Angkeran gugup. "Dia seorang wanita yang menderita penganiayaan pula."
Belum lagi habis dia berkata, Hamid menimbrung.
"Muridmu telah mengobatinya. Dan perempuan itu kini bisa tidur nyenyak."
Tempat tidur Maulana Ibrahim terdengar bergerak-gerak. Tahulah Manik Angkeran, bahwa
gurunya bergusar mendengar kabar itu.
"Manik Angkeran! Kau sudah pilih kasih. Maka kau boleh coba yang lain. Kalau sudah, suruhlah pergi. Juga perempuan itu! Aku tak menghendaki siapa saja berada di sini. Kau dengar" Nah, kerjakan. Lalu datanglah kau ke mari!"
Mendengar perkataan Maulana Ibrahim, senanglah hati Hamid, segera ia menoleh kepada
Manik Angkeran dan berkata sengaja dinyaringkan:
"Kau obatilah aku dahulu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Huh!" dengus Manik Angkeran. "Terhadap wanita itu aku hanya menolong meringankan penderitaannya. Bukan mengobati dan menyembuhkan. Lagipula luka yang dideritanya tidaklah semacam yang kau derita. Kau jauh lebih parah. Entah aku berhasil menolongmu, tergantung kepada nasib baikmu belaka."
Setelah berkata demikian, ia keluar ke serambi depan. Dua orang badai membantu menyalakan beberapa obor, sehingga halaman cukup diterangi. Berkatalah dia lagi:
"Tuan-tuan! Aku masih muda dan pengalamanku masih sangat hijau. Luka tuan aneh luar biasa. Apakah aku mampu mengobati, tak tahulah aku. Sama sekali aku tak mempunyai
pegangan. Mati dan hidup tuan tergantung kepada takdir."
"Hai! Janganlah kau cerewet tak karuan. Lekas obati aku!" tungkas Hamid.
"Kau?" Manik Angkeran mendongkol. "Belum lagi kau sembuh sudah lupa kepada paman yang baik budi. Kau kuobati atau tidak, bukankah terserah padaku?"
Digertak demikian, Hamid segera sadar. Cepat-cepat ia merendah:
"Ooo ... bukan begitu maksudku ... eh paman yang baik budi. Soalnya, karena aku sudah tak tahan lagi..."
Memang pada saat itu, mereka semua sudah tak tahan menanggung penderitaannya. Seluruh
tubuhnya terasa menjadi gatal, pegal, nyeri dan panas-dingin hampir berbareng mereka merintih-rintih.
"Anak manis! Aku hanya menjanjikan mengurangi rasa sakit. Bukan untuk menyembuhkan,"
seru Manik Angkeran. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka meng-iakan dengan berbareng. Maklumlah, penderitaan
mereka sudah tak tertanggungkan lagi. Seumpama disuruh minum racun demi mengurangi rasa
sakit sebentar saja, merekapun takkan menolak.
Manik Angkeran segera bekerja. Tadi ia berniat hanya untuk menolong meringankan, agar
mereka dapat pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Tetapi sudah menjadi tabiat seorang tabib. Makin menemukan suatu gejala penyakit yang aneh, makin timbullah kemauannya hendak mengatasi. Samalah halnya dengan seorang ahli racun. Manakala ia mengenal suatu racun yang lebih dahsyat daripada mutu racunnya sendiri, timbullah rangsangannya hendak mengalahkan.
Maka demikianlah halnya dengan Manik Angkeran.
Ia berkutat mati-matian hendak meme-' nangkan macam penganiayaan si nenek dari
pegunungan Karumbi. Apabila merasa tak mampu, segera ia lari masuk menghadap gurunya
untuk minta petunjuk-petunjuk.
Dengan dalih agar mereka segera mau pulang ke rumahnya masing-masing, apabila dapat
disembuhkan ia berhasil menggugurkan kekerasan hati gurunya.
"Baiklah. Kau mau mengobati sampai sembuh" Itulah urusanmu. Tapi kau saksinya, bahwa sama sekali aku tak menyentuh mereka biar seorangpun," kata Maulana Ibrahim memutuskan.
Manik Angkeran demikian bernafsunya, sehingga ia tak menginsyafi di balik arti kata-kata itu.
Dan begitu memperoleh petunjuk, segera ia bekerja dengan giat.
Sementara itu, Sangaji yang berada di samping rumah cepat-cepat berlindung di balik batu pegunungan yang berada di pojok halaman. Dari sana ia melihat peristiwa itu dengan seksama.
Entah apa sebabnya, ia enggan meninggalkan tempat itu. Seakan-akan ia merasa diri diharuskan berada di situ sampai semuanya selesai.
Kira-kira menjelang pukul tiga pagi, Manik Angkeran sudah selesai dengan pengobatannya.
Orang-orang yang telah ditolongnya tidur bersengguran memenuhi halaman. Dengan kenyataan itu, benar-benar Manik Angkeran berhasil. Inilah suatu pengalaman yang maha dahsyat. Kejadian demikian tidak bakal bisa terulang lagi. Sekiranya tadi tiada timbul rang: sangnya hendak mengatasi macam luka yang aneh, pastilah dia takkan mewarisi ilmu sakti Maulana Ibrahim yang tiada keduanya di dunia. Maka ia nampak puas. Pe-lahan-lahan ia pergi ke tempat pancuran yang berada di belakang rumah pertapaan dengan diikuti dua badai yang membawa obor semenjak
tadi. Kalau saja Fatimah bisa menyaksikan kepandaian tunangannya, alangkah akan lain kesannya, pikir Sangaji senang. Dahulu dia berkata, tunangannya banyak kekasihnya dan berlagak seorang raja. Tentu saja. Sebagai seorang tabib pastilah dia dikerumuni orang, tak beda dengan seorang raja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi memikir demikian, matanya yang tajam luar biasa melihat sesosok bayangan berkelebat dalam kegelapan. Bayangan itu berperawakan seorang laki-laki. Gerak-geriknya gesit. Segera ia menajamkan penglihatan. Dan oleh ilmu saktinya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan tenang ia melihat bahwa laki-laki itu berkumis lebat dan berjenggot panjang.
Bayangan itu berkelebat memasuki halaman depan, la seperti berputar-putar menjenguk orang-orang yang menggeletak bertebaran di halaman, lantas menghilang memasuki gubuk.
"Mereka tadi membicarakan seorang nenek yang bertangan ganas dan keji. Tapi bayangan ini, terang seorang laki-laki. Siapakah dia?" Sangaji menduga-duga.
Waktu itu Manik Angkeran sedang mencuci tangannya. Sekonyong-konyong ia mendengar
suara rintih menyayatkan hati. Cepat ia lari ke halaman dengan diikuti dua badai. Dengan pertolongan obor ia memeriksa keadaan mereka. Beberapa orang di antaranya nampak berangsur-angsur menjadi baik. Tapi sebagian besar lainnya malah menjadi buruk.
"Benar-benar aku tak mengerti," Manik Angkeran berkata kepada dirinya sendiri. "Terang sekali, keadaan mereka tadi sudah menjadi baik. Kenapa lukanya kini tambah parah" Lihat!
Bukankah ini tanda-tanda bintul baru?"
Dua orang badai di sampingnya segera menerangi dengan obornya. Mereka meng-iakan sambil
memanggut-manggut. "Benar Gan," kata seorang. "Lihat pem-balutnya seperti kena potong."
Cepat Manik Angkeran memeriksanya, la jadi tambah tak mengerti. Akhirnya terlo-ngong-
longong kebingungan. Melihat kebingungan Manik Angkeran, hati Sangaji yang mulai tergerak. Teringat gerakan
bayangan tadi, ia sudah bisa menebak delapan bagian. Timbullah keputusannya hendak
mengkisiki. Segera ia menginjak dahan kering. Kemudian berkelebat lewat dinding samping.
Tatkala itu, dua badai yang membawa obor sedang membungkuk-bungkuk menerangi yang
merintih-rintih kesakitan. Manik Angkeran berada di sampingnya dengan pikiran gelap. Tiba-tiba ia mendengar suara dahan patah. Cepat ia menoleh. Dan pada saat itu, ia melihat bayangan Sangaji berkelebat.
"Celaka!" seru Manik Angkeran setengah memekik. Berbareng dengan seruannya suatu ingatan menusuk benaknya. "Jangan-jangan dia melukai Kak Rostika pula." Memikir demikian ia segera melesat ke ambang pintu sambil berkata kepada dua badai, "Jagalah mereka! Dan nyalakan obor."
Sampai di ambang pintu, ia melihat berkele-batnya sesosok bayangan keluar dari pintu biliknya.
Ia kaget bercampur heran. Itulah bayangan gurunya.
la mengucak-ucak matanya hendak mencari keyakinan. Dan benar-benar adalah bayangan
gurunya. Bahkan ia masih sempat melihat gurunya bergerak buru-buru memasuki kamar
semadinya. Melihat kenyataan itu, tak berani ia menguber. Jantungnya berdegupan. Dan tiba-tiba saja timbullah darah kesatrianya.
"Kalau guru sampai mengusik Kak Rostika, meskipun tiada tenaga akan kulawan dia sampai ajalku tiba," katanya di dalam hati.
Berjingkat-jingkat ia mendekati bilik Rostika. Kemudian memanggil-manggil namanya.
Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Menurut pantas jangan lagi sampai dipanggil demikian nyaring, baru mendengar suara gemeresak yang mencurigakan pasti akan terbangun dengan
sendirinya. Tetapi sudah sekian lama Manik Angkeran memanggilnya, tetap saja tiada jawaban.
Dengan hati berdebar-debar, Manik Angkeran memasuki bilik Rostika yang masih saja tidur
dengan nyenyak di samping anaknya.
Obat pulas memang menolong menyenyak-kan tidur. Tetapi tidaklah sehebat ini, pikir Manik Angkeran. la menajamkan penciuman. Dilongoknya mangkok bekas obat pulas. Ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Maka hati-hati ia menyelidiki pernapasan Rostika dan Atika.
Pernapasan Atika wajar seperti kanak-kanak lain yang tiada terganggu kesehatannya.
Sebaliknya pemapasan Rostika terlalu halus, sehingga menimbulkan suatu teka-teki. Memperoleh teka-teki itu, Manik Angkeran memberanikan diri untuk meraba lengan Rostika. Sekonyong-konyong suatu hawa wangi merayap di udara. Suatu ingatan menusuk pikirannya, sehingga
terloncatlah rasa kejutnya: "Ah! Celaka! Benar-benarkah guru menghendaki dia mati dalam tidurnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera lari mencari ramuan-ramuan obat tertentu. Kemudian dicekokkan ke dalam mulut Rostika. Sejenak ia menggoyang-goyangkan tubuh Rostika sambil
memanggil namanya. "Siapa?" Rostika tersadar.
"Ssst! Aku Manik Angkeran. Mari kita ke luar," sahut Manik Angkeran dengan suara tertahan.
Mendengar suara Manik Angkeran yang berkesan gawat, Rostika segera bangkit dengan hati-
hati. Setelah menyelimuti anaknya, ia mengikuti Manik Angkeran ke luar rumah.
"Kak Rostika!" bisik Manik Angkeran setelah berada di tepi halaman pertapaan. "Kau tadi kena racun tidur yang dimasukkan ke dalam tubuhmu lewat urat. Sebenarnya engkau mempunyai
permusuhan apa dengan guruku Panembahan Maulana Ibrahim?"
"Apakah gurumu yang meracun aku?" Rostika bingung.
"Kalau saja aku tidak menjengukmu, pastilah aku dan Atika akan kehilangan engkau untuk selama-lamanya..."
Mendengar keterangan Manik Angkeran, Rostika tercengang-cengang berbareng bingung.
Dengan suara gap-gap ia berkata,
"Sekiranya aku bermusuhan dengan gurumu, masakan aku akan datang ke mari" Gurumu
adalah angkatan tua. Kedudukannya sejajar dengan kakek guruku, Ratu Fatimah."
"Ratu Fatimah?" Manik Angkeran memotong.
Rostika terhenyak sejenak. Segera ia sadar. Lalu menyahut,
"Ya ... Ratu Fatimah. Bukan Fatimahmu. Di dunia ini ribuan orang yang bernama Fatimah. Dan Ratu Fatimah itu adalah permaisuri dan penguasa tunggal Kerajaan Banten."
"Oh ..." Manik Angkeran sekarang mengerti.
Rostika sudah lama tahu, bahwa Fatimah adalah tunangannya Manik Angkeran. Pemuda itu
dahulu sering membicarakan. Seumpama saat itu tidak dalam ketegangan, pastilah akan menjadi suatu pembicaraan yang menarik dan menggelikan.
"Selama hidupku, belum pernah aku berhadapan muka dengan gurumu," Rostika malanjutkan.
"Aku hanya mendengar kebesaran namanya. Itulah yang dahulu kuanjurkan kepadamu, agar engkau berguru kepadanya, karena aku melihat bakatmu sangat bagus. Kau kini berhasil diterima menjadi muridnya. Hatiku bersyukur... sekarang kau berkata bahwa aku tadi diracunnya. Kalau benar, aku jadi tak mengerti... Apakah, apakah ..."
"Kak Rostika! Percayalah, aku berkata dengan sesungguhnya. Sebab aku melihat bayangannya keluar dari bilikmu. Setelah aku memeriksa tubuhmu, kudapati racun mengeram dalam dirimu."
Manik Angkeran meyakinkan. "Apakah engkau mau memberi keterangan dengan sebenarnya?"
"Mengapa tidak" Kau telah menolong jiwaku. Masakan aku akan berdusta padamu?"
Manik Angkeran berdiam sejenak. Kemudian memutuskan,
"Mari kita mencari tempat yang baik."
Setelah berkata demikian, ia membawa Rostika menjauhi halaman pertapaan. Pada sebuah
pohon rindang ia berhenti menge-lanakan penglihatannya. Setelah yakin tidak bakal kena ganggu, ia berkata sambil mencari tempat duduk.
"Kak Rostika. Kau sudah bersedia hendak memberi keterangan dengan sejujur-jujurnya. Benar, bukan?"
"Tentu, tentu. O, adikku. Hampir empat tahun aku hidup bersuami-istri dengan kakakmu Suhanda. Dari luar nampaknya aman ten-tram, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Kami berdua selamanya merasa terancam bahaya pada tiap-tiap detik. Ini disebabkan, karena aku berasal dari keluarga Ratu Fatimah, sedangkan kakakmu adalah seorang anggota Himpunan Sangkuriang.
Justru dua golongan itu merupakan musuh keturunan. Perkawinanku dengan kakakmu Suhanda,
tidak dikehendaki oleh golonganku. Demikian pula sebaliknya. Kami berdua terpaksa memencilkan diri ..." Sampai di sini Rostika berhenti. Ia seperti tak sanggup meneruskan.
"Apakah peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan masalah perkawinanmu?" Manik Angkeran menegas.
"Manik Angkeran! Benar-benar otakmu cerdas. Nenek dari Karumbi meskipun berdendam besar terhadap golongan kami, tapi ternyata dia tak sudi minta pertanggunganjawab kepada angkatan mudanya. Buktinya, dia hanya melukai. Dan tidak membunuhnya. Padahal sudah semestinya kita harus dibunuhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Rostika! Aku mungkin bisa cepat mengerti mengenai hal-hal ketabiban. Tapi dalam urusan luar, otakku tumpul."
Rostika tersenyum. "Kalau begitu, biarlah aku bercerita yang urut agar engkau mengerti persoalan ini dengan jelas."
Setelah berkata demikian, ia duduk di samping Manik Angkeran.
"Menurut kabar yang pernah kudengar, gurunya Panembahan Maulana Ibrahim, Tatang
Manggala dan nenek dari pegunungan Karumbi adalah saudara seperguruan. Masing-masing
memiliki kepandaian yang berbeda. Gurumu ahli dalam ilmu ketabiban. Tatang Manggala seorang ahli pemerintahan. Dan nenek dari pegunungan Karumbi seorang sakti pada zamannya. Entah apa sebabnya, mereka berpisahan dan mengambil jalannya masing-masing. Gurumu dan Tatang
Manggala mengabdikan diri sebagai hamba Kerajaan Banten. Sedangkan Nenek Karumbi
bermukim di atas pegunungan Karumbi. Meskipun jalan hidupnya berbeda, namun keluarga
perguruan merupakan ikatan batin yang kuat. Kemudian pecahlah suatu pemberontakan, antara Ratu Fatimah dan Ratu Bagus Boang. Gurumu dan Tatang Manggala dengan sendirinya berada di pihak Ratu Fatimah. Dan Nenek Karumbi berada di pihak Ratu Bagus Boang. Tapi meskipun
demikian masing-masing berjanji dalam hati tidak akan saling berkelahi secara langsung. Di luar dugaan, terjadilah suatu peristiwa yang menegangkan. Suami Nenek Karumbi gugur dalam suatu pertempuran sengit. Meskipun gugurnya suami Nenek Karumbi tidak boleh dipikulkan di atas pundak gurumu dan Tatang Manggala, namun mereka berdua kemudian memundurkan diri dari
pemerintahan kerajaan sebagai pernyataan ikut berduka-cita. Tatang Manggala kembali ke daerah asalnya di Malingping. Gurumu bermukim di atas Gunung Endut ini. Dan untuk berpuluh tahun lamanya, mereka bertiga hidup aman tenteram, meskipun nenek dari pegunungan Karumbi sangat menderita oleh peperangan itu." Sampai di sini Rostika berhenti sejurus. Kemudian meneruskan,
"Ratu Bagus Boang hilang tiada beritanya dengan meninggalkan warisan perserikatan para pecinta pembela keadilan yang terkenal dengan nama: Himpunan Sangkuriang. Dan
Ratu Fatimah sudah lama wafat ... Eh, kau senang tidak mendengar sejarah orang-orang tua ini?"
"Tentu! Teruslah!" Manik Angkeran menyahut cepat.
"Bagus!" Rostika bersemangat. "Ratu Fatimah mempunyai seorang murid yang kini menjadi penggantinya. Dialah guruku. Namanya Edoh Permanasari. Dan nenek dari pegunungan Karumbi mempunyai seorang anak laki-laki bernama Kamarudin.
Antara guruku dan pendekar Kamarudin terjadi suatu jalinan cinta-kasih semasa mudanya."
Rostika berhenti lagi. Wajahnya merah dan ia menundukkan kepala. Dalam hati, segan ia
membicarakan riwayat gurunya. Tapi karena sudah berjanji, ia menguatkan hati untuk
melanjutkan. Katanya tak lancar,
"Tapi agaknya, Tuhan tidak merestui perhubungan itu. Entah apa sebabnya ... atau entah siapa di antara mereka berdua yang salah ... mereka berpisah dan saling berdendam. Guruku waktu itu belum mencapai puncak ilmu perguruannya. Oleh dendam hati, ia bertekun sampai dua puluh
tahun lamanya. Kemudian mulailah dia melampiaskan dendamnya. Dia membunuh dan mencelakai semua orang yang hidup terlalu rukun dalam keluarganya. Sebab guruku tak sudi melihat
sepasang suami-isteri yang terlalu mesra atau sepasang muda-mudi yang berbahagia. Itulah sebabnya, semua murid-murid guruku tak diperkenankan hidup berkeluarga."
"Ah tahulah aku kini, apa sebab engkau selalu merasa diri terancam. Karena engkau hidup berbahagia dengan kak Suhanda, bukan?"
"Tidak hanya itu saja. Kakakmu Suhanda adalah anggauta Himpunan Sangkuriang."
"Baik. Tapi apa sangkut-pautnya dengan nenek dari pegunungan Karumbi itu."
Rostika menghela napas dalam. Menyahut:
"Manik Angkeran! Meskipun semenjak aku menjadi isteri kakakmu Suhanda tidak tahu menahu lagi tentang urusan perguruanku, namun dalam hatiku tetap menghormati guruku Edoh
Permanasari. Guruku boleh kejam dan berbuat sewenenang-wenang terhadap siapa saja, namun aku adalah muridnya. Betapapun juga, dia adalah mustika hatiku. Tapi ... tapi ... mendadak dalam bulan ini terjadilah suatu malapetaka yang menyedihkan. Oleh dendamnya yang sangat besar, guru jadi mata gelap. Keluarga Kamarudin dihabisi nyawanya sampai ke itik dan ayam-ayamnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ih!" Manik Angkeran terkejut.
"Tidak hanya itu saja, rumahnya dibakar. Isteri dan anak-anak pendekar Kamarudin setelah dibunuhnya, dirusak tubuhnya dan dilemparkan ke unggun api sehingga tak beda dengan binatang terpanggang," Rostika terengah-engah.
"Sudahlah wajar, bahwa ibu pendekar Kamarudin turun dari pegunungan untuk membuat
pembalasan. Meskipun demikian ... menghadapi aku murid Edoh Permana-sari, dia tidak berlaku ganas seperti guruku tatkala menghancurkan anak isteri pendekar Kamarudin. Aku hanya dilukai sedangkan Atika sama sekali tak disentuhnya. Entahlah bila dia menghadapi gurumu kaum seangkatannya. Rupanya dia minta pertang-gunganjawab gurumu. Sebab gurumu adalah penasihat dan pembantu almarhum Ratu Fatimah. Sedangkan guruku adalah murid Ratu Fatimah."
Mendengar keterangan sejelas itu, Manik Angkeran jadi sibuk. Samar-samar ia seperti dapat menebak maksud gurunya apa sebab mereka yang sudah diobatinya dilukai kembali. Katanya
perlahan. "Tahulah aku kini ... Aku hanya diizinkan untuk sekedar meringankan penderitaan mereka.
Tapi aku berusaha keras hendak menyembuhkan. Guru tidak menolak, mengingat dasar tujuan
hidup seorang tabib yang harus menolong sesama hidup sesuai dengan pengetahuannya. Tapi
karena tidak menghendaki akan terjadi sesuatu ketegangan, dia merusak kembali apa yang sudah kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Rupanya guru segan dan menghormati nenek dari
pegunungan Karumbi, berbareng mengulurkan rasa kasih sayang terhadapku. Bukankah yang
penting di sini adalah ilmu cara mengobati luka yang aneh itu dan bukan siapa yang kuobati"
Meskipun demikian andaikata Kak Rostika sampai tewas, selama hidupku aku akan menyesalinya."
"Adikku ... engkau memang seorang anak yang luhur budi. Pantaslah engkau mewarisi ilmu ketabiban Panembahan Maulana Ibrahim yang kelak harus kauamalkan," kata Rostika dengan terharu.
Senang Manik Angkeran mendengar pujian itu. Hatinya jadi puas. Setelah menikmati rasa
puasnya, sejenak kemudian dia menegas,
"Satu hal yang masih mengherankan aku, apa sebab kau dilukai bersama-sama mereka.
Apakah Kak Rostika berada di antara mereka?" .
"Secara kebetulan dan secara aneh sekali" jawab Rostika. "Betul mereka termasuk golongan penentang-penentang Himpunan Sangkuriang, namun mereka terdiri dari aliran-aliran bermacam-macam. Pengawal raja, pamong praja, polisi kerajaan, kepala kampung, pedagang, pendekar-
pendekar bayaran dan pemilik-pemilik tanah kerajaan. Masing-masing mempunyai cara hidup dan kata-kata sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Namun mereka kena tergiring juga ... Baiklah kuceritakan mulai diriku sendiri."
"Ya ingin aku tahu, bagaimana cara nenek dari Karumbi itu melukai dirimu," tungkas Manik Angkeran.
Rostika memperbaiki letak duduknya, setelah menyiratkan pandang ke sekitarnya, berkata
setengah berbisik: "Malam ini, sebenarnya aku harus berada pada suatu tempat bersama-sama kakakmu
Suhanda." "Di mana?" "Sst! Ini adalah suatu rahasia besar. Dan janganlah aku kau desak untuk menyebutkan nama tempat itu. Engkaupun tiada kepentingannya."
"Baiklah" "Tempat itu adalah pusat markas besar . Himpunan Sangkuriang. Malam ini kami harus datang dan berkumpul di sana. Kami sudah berkemas-kemas. Mendadak di atas tempat tidurku aku
menemukan tanda sandi perguruanku. Gambar mahkota dengan perkataan: Kurnia. Itulah suatu perintah agar aku menghadap guru di Jasinga. Melihat perintah itu, hatiku sedih bukan main. Dua hari yang lalu kakakku Suhanda terpaksa bertempur melawan sesama golongannya semata-mata mengenai diriku. Aku dituduh teman segolongannya sebagai ular berkepala dua. Meskipun tidak seluruhnya benar, namun tidak salah pula. Tadi kuterangkan, bahwa hati kecilku tak dapat meniadakan guruku Edoh Permanasari. Hutang budiku sangat besar kepadanya."
"Lantas?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan dalih hendak menitipkan Atika kepada bibiku yang bertempat tinggal di Tanggerang, aku berhasil membujuk kakakmu Suhanda agar berangkat terlebih dahulu. Aku berjanji padanya akan menyusul secepat mungkin dan tepat pada malam yang ditentukan. Hem ... tak kukira,
bahwa aku akan menemui halangan ini," Rostika mengeluh.
Meneruskan. "Setelah kakakmu Suhanda berangkat. Segera aku berangkat pula ke Jasinga.
Setibaku di Jasinga aku menemukan suatu petunjuk, bahwa aku harus berkumpul di sebuah
rumah kosong yang berada di tepi kali. Ci Berang. Hatiku mulai bergetaran. Aku sudah menduga delapan bagian, bahwa guruku bermaksud hendak menghukum diriku. Dengan menabahkan hati,
aku membawa Atika mencari tempat itu. Dengan pertolongan seorang petani kudapati rumah
kosong. Tapi begitu masuk, aku jadi keheranan. Di dalam rumah itu kujumpai 22 orang bersenjata lengkap dengan sikap berdiam diri. Tak se-orangpun kukenal dan tak kujumpai seorang-pun dari perguruanku. Mereka saling memandang dan kemudian mengawaskan daku dengan pandang
curiga. Aku jadi tak enak sendiri. Takut salah alamat, segera aku minta maaf kepada mereka dan menerangkan bahwa kedatanganku adalah semata atas petunjuk seseorang. Mendengar
perkataanku, mereka jadi tercengang-cengang. Lalu saling pandang lagi. Akhirnya saling
berbicara. Rupanya sebelum aku datang, mereka tiada yang berkata-kata karena saling
mencurigai." "Merekapun menerangkan, bahwa kedatangannya semata-mata memenuhi panggilan
berhubung tanda sandi yang diketemukan. Tadi kuterangkan, bahwa mereka berasal dari
golongan aliran bermacam-macam dan memiliki tanda-tanda sandi sendiri yang sangat
dirahasiakan. Tapi ajaibnya mereka datang ke rumah tersebut atas tanda sandi masing-masing yang diketemukan pada tempat-tempat tertentu. Siapakah yang sudah main gila ini?"
"Meskipun kami tidak saling membuka hati, tapi kami tahu bahwa alasan kami keluar dari rumah semata-mata berhubungan dengan adanya musyawarah Himpunan Sangkuriang yang
dimulai pada malam hari ini. Demi hal itu, mereka termasuk aku yang mempunyai kepentingan langsung, berani menghadapi bahaya. Ternyata pada malam hari itu, kami semua sudah kena
dikelabuhi lawan. Sudah barang tentu, mereka mencak-mencak karena gusar. Tetapi sesudah
berpikir panjang, mereka jadi bergeridik semua. Itulah disebaban perihal tanda sandi. Kalau saja lawan yang main gila itu bukan seseorang dari angkatan tua, yang tahu seluk beluk golongan dan aliran kami, tidaklah mungkin dapat mengetahui tanda-tanda sandi masing-masing."
"Selagi mereka sibuk berbicara, aku mendengar suara orang terbatuk-batuk di luar, pikirku apakah diapun termasuk seorang yang kena digiring ke rumah kosong itu" Aku sendiri waktu itu sudah memutuskan hendak segera berangkat."
Di ambang pintu, aku melihat seorang nenek-nenek beruban yang terbatuk-batuk tiada henti.
Perawakan nenek itu sedang. Bongkok dan nampak terganggu oleh penyakit batuknya.
Disampingnya berdiri seorang anak laki-laki berumur kurang dari 11 tahun.
Melihat nenek itu, aku mengurungkan niatku hendak segera berangkat. Ia kuberi jalan masuk dahulu. Sekarang kulihat, ia menggenggam sebuah tongkat dari baja putih pada tangan kanannya.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedangkan tangan kirinya membawa serenteng kalung baja berbintang tiga.
"Hai! Jadi dialah nenek dari pegunungan Karumbi?" potong Manik Angkeran dengan suara tegang.
"Ya. la mengenakan pakaian kasar. Kesannya seorang yang miskin. Tapi anak laki-laki di sampingnya mengenakan pakaian bersih dan rapi. Kukira dialah anak pertama pendekar
Kamarudin yang dikabarkan semenjak kecil dirawat neneknya. Di antara keluarga pendekar
Kamarudin hanya dia seorang yang selamat dari malapetaka."
"Hm..." Tak terasa Manik Angkeran melepas rasa sesal.
"Dalam pada itu, nenek berbongkok tadi sudah masuk ke dalam ruang rumah." Rostika melanjutkan, "la terus terbatuk-batuk tiada hentinya. Tatkala melihat orang-orang yang berada di dalam rumah ia bergumam seorang diri: "Hanya dua puluh tiga orang. Coba tanyakan, apakah ada di antara mereka yang bernama Edoh Permanasari?" Si anak kecil kemudian berkata lantang. "Hai!
Apakah di antara kalian ada yang bernama Edoh Permanasari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mendengar seruan itu, hatiku bergidik bukan karena takut. Tapi ngeri menyaksikan betapa anak laki-laki seumur itu mengesankan suatu kumandang suara yang bernada dendam kesumat.
Dendam kesumat oleh perbuatan.guruku."
Tatkala nenek itu memasuki rumah, kecuali aku tiada yang menaruh perhatian. Sebab masingmasing sibuk dengan teka-teki yang sedang dihadapi. Tapi begitu mendengar suara anak laki-laki itu, mereka segera sadar.
"Hai bocah ingusan! Kau bilang apa?" Salah seorang menegas.
"Nenekku bilang, apakah ada di antara kalian yang bernama Edoh Permanasari?"
"Kalian ini siapa?"
Sebagai jawaban, nenek yang nampak kesakit-sakitan itu sekonyong-konyong terbatuk-batuk
keras dan melesat dengan mengirimkan tenaga pukulan maha dahsyat. Entah bagaimana cara dia bergerak. Tahu-tahu dadaku sudah terasa sesak. Ingin aku mengangkat tangan, tapi tenagaku seperti ter-lolosi. Tanpa kukehendaki sendiri, aku jatuh lunglai di atas tanah."
"Meskipun aku kena pukulan, namun pikiranku masih bekerja. Aku dibingungkan oleh suatu peristiwa yang terjadi derfgan tiba-tiba dan di luar dugaan. Dalam pada itu kulihat nenek bongkok tadi melesat ke sana ke mari dengan menghantam serabutan. Luar biasa cepat gerakannya. Baik caranya menyerang, gerakan tubuhnya dan tenaga pukulannya. Dua puluh dua orang yang terdiri dari pendekar-pendekar kelas utama pada zaman ini, kena dirobohkan tanpa bisa mengadakan perlawanan sedikitpun. Mereka baru sadar setelah kena pukulan."
Setelah ke-22 orang itu roboh tak berkutik, nenek bongkok itu kemudian menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing mendapat bagiannya. Lenganku kebagian pula tiga batang baja.
la mendekati aku. Terbatuk-batuk dan kemudian kudengar dia bergumam menyeru cucunya:
"Mahmud! Biarlah lengannya yang sebelah utuh seperti sediakala. Sebab Edoh Permanasari hanya memiliki separoh tubuhnya ..."
"Setelah berkata demikian, perlahan-lahan ia keluar rumah dengan membimbing cucunya. Tapi tahu-tahu tubuhnya lenyap dengan sebentaran saja. Benar-benar hebat dan tak terduga
gerakannya." Rostika menghela napas, sedang*Manik Angkeran terdiam seperti ada sesuatu yang memenuhi otaknya. Sekonyong-konyong dalam kesunyian itu, terdengar suara ranting kering
patah. Hampir berbareng mereka berdua berputar menoleh.
"Awas!" Rostika memekik terkejut.
Manik Angkeran masih sempat melihat suatu bayangan menyerangnya.
"Guru!" Ia memekik terkejut bercampur heran. Tapi belum habis ia menjenak napas dadanya kena terpukul sehingga ia jatuh ter-jongkok.
Rostika menerjang sambil melontarkan pukulan. Tetapi pendekar wanita itu dalam keadaan
luka. Lengan kirinya tak dapat digunakan. Begitu kena serangan balasan tak dapat ia menangkis.
Dalam satu gebrakan ia jatuh terkulai dan tak dapat berkutik lagi.
Waktu itu fajar hari hampir tiba. Suasana alam lebih terang daripada bulan purnama. Dengan jelas Manik Angkeran mengenal siapa penyerangnya. Benar-benar gurunya. Kumisnya yang tebal serta jenggotnya yang panjang tak dapat disembunyikan dalam keremangan alam.
Seketika itu juga, beratus ribu tanda tanya berkelebatan dalam benak pemuda Manik Angkeran.
la melihat gurunya menghampiri Rostika yang sudah tak dapat berkutik. Dagu Rostika dipenyetnya sampai mulutnya yang mungil terpaksa terbuka. Kemudian gurunya mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya.
Rostika sendiri kala itu sudah tak berdaya. Dia hanya bisa melihat gerak-gerik lawan tanpa dapat mengadakan suatu perlawanan. Tatkala orang itu mengeluarkan sebuah botol dan
membuka tutupnya, hidungnya mencium suatu bau ramuan racun yang sangat jahat. Seketika itu juga, kepalanya terasa menjadi pusing. Dadanya sesak dan ingin melontak. Ingin ia bergerak. Tapi benar-benar sudah kehilangan tenaga.
Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan hanya mengerling kepada Manik Angkeran.
"Manakala racun dalam botol itu sudah tertuang di dalam mulutku, habislah sudah riwayatku.
Kasihan Atika." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat Atika yang bakal menjadi anak yatim, hatinya menjadi pilu. Tapi dasar dia seorang pendekar maka dalam keadaan terjepit masih sempat ia menyerahkan diri kepada takdir. Hatinya lantas saja menjadi tabah.
Di luar dugaan, tatkala racun itu hampir dicekokkan ke dalam mulutnya, mendadak Manik
Angkeran nampak meloncat bangun. Seperti kerasukan setan, pemuda itu melompat menubruk
sejadi-jadinya. Orang itu terkejut. Dalam gugupnya ia melemparkan botol racunnya. Lalu bergerak hendak
menangkis berbareng mendahului menyerang. Tetapi lompatan serta serangan Manik Angkeran
terlalu sangat cepat dan bertenaga luar biasa besar. Tahu-tahu ia terlempar dengan berjungkir balik.
Manik Angkeran sendiri kaget luar biasa atas tenaganya sendiri, la bertambah kaget dan heran sewaktu melihat korbannya. Ternyata orang itu berkumis dan berjenggot palsu.
"Hai! Si ... sia ... siapa kau?" seru Manik Angkeran gugup.
Tanpa mengeluarkan suara, orang itu terus lari tunggang-langgang turun gunung. Melihat
kaburnya orang itu Manik Angkeran terpaku sejenak. Lalu menghampiri Rostika dan segera
memeriksa lukanya. "Untung! Serangannya tidak mengenai pundakmu. Bagaimana" Sakit?" katanya gugup.
"Tidaklah sesakit kau kira. Aku baik-baik saja," sahut Rostika dengan suara lega. "Hanya saja ...
tak kukira engkau memiliki ilmu sakti jauh lebih tinggi daripadaku. Tenaga lontaranmu benarbenar dahsyat seperti seorang pendekar kelas wahid."
"Ya, ya, ya ... sebenarnya ... sebenarnya aku sendiri tak mengerti. Aku justru merasa seperti terlontarkan oleh suatu tenaga dorong dari belakang," ujar Manik Angkeran bingung.
Itulah Sangaji. la melihat datangnya bayangan itu, meskipun perhatiannya terpusat pada
percakapan Manik Angkeran dan Rostika. Pancainderanya yang tajam luar biasa, menangkap suatu gerakan. Hati-hati ia menoleh dan melihat guru. Sangaji menyelinap di belakang pohon, la mengira, dia datang untuk mengintip pembicaraan mereka. Tak tahunya, dia menyerang Manik Angkeran dengan sungguh-sungguh. Kemudian hendak mencekoki racun ke mulut Rostika. Melihat bahaya, hatinya yang mulia tak dapat tinggal diam. Terus saja ia mengirim tenaga dorong lewat ilmu saktinya tingkat tinggi. Begitu guru Manik Angkeran kena gempuran tenaganya lewat Manik Angkeran, lantas saja terjungkal. Ia memang gemas menyaksikan sepak terjang guru Manik
Angkeran yang berkesan keji. Di luar dugaan, ternyata bayangan itu bukan guru Manik Angkeran setelah copot topengnya, la jadi berbimbang-bimbang hendak menghajar terus. Jangan-jangan dia salah seorang pendekar anggota Himpunan Sangkuriang yang datang kepertapaan untuk
menyatroni Maulana Ibrahim yang ternyata berada di pihak lawan Himpunan Sangkuriang. Karena itu, melihat orang itu melarikan diri ia tak mengejarnya. Sebaliknya ia kembali menaruh perhatian kepada Manik Angkeran dan Rostika. Terasalah dalam hatinya bahwa peristiwa yang terjadi dalam pertapaan kian lama kian menarik.
"Kak Rostika! Kurasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dalam pertapaan. Jangan-jangan orang itu telah mencelakai guruku pula," ujar Manik Angkeran gugup. "Kau tengoklah Atika. Aku sendiri akan menjenguk guru."
Sehabis berkata demikian, seperti kerasukan setan Manik Angkeran lari ke gubuk. Tiba di
halaman, dia bertambah curiga. Dua badai yang tadi menyalakan obor, tak nampak batang
hidungnya. Ia mencoba memanggil-manggil yang lain. Merekapun sepi. Pertapaan terasa menjadi kosong. Oleh kesan itu, tergopoh-gopoh ia melompat masuk ke gubuk langsung menuju ke kamar gurunya.
Sangaji yang selalu berada tak jauh daripadanya, terus menguntit dari belakang. Karena hari hampir terang, ia melesat ke atas atap. Dari sana ia mengikuti gerak-gerik Manik Angkeran sambil bersiaga.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15