Pencarian

Raden Banyak Sumba 4

Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 4


yang curam itu. Tiba-tiba, didengarnya suara langkah dekat sekali. Detak
jantung Banyak Sumba seolah-olah terhenti. Ia menahan
napasnya. Dua orang gulang-gulang rupanya berlari di atas
sambil berseru kepada teman-temannya. Ternyata, bagian
dinding benteng itu sudah dekat sekali ke puncaknya. Itu
memberi semangat pada usaha Banyak Sumba. Ia
menancapkan kukunya yang telah sakit-sakit ke sela-sela
batu, sedangkan telapak tangannya yang terluka oleh duri-duri semak kecil tidak dihiraukannya.
Tak lama kemudian, tangannya menyentuh bibir benteng
itu. Akan tetapi, ia tidak segera mengangkat tubuhnya. Ia
harus yakin dulu bahwa di dekatnya tidak ada gulang-gulang.
Setelah mendengar dengan hati-hati, dengan cepat ia
mengangkat tubuhnya, lalu mengangkat kaki kanannya
menaiki bagian benteng yang menonjol tepat pada lekuk
untuk pemanah. Begitu ia tegak di atas benteng, terdengar teriakan dan -
dua orang menyerangnya sekaligus dengan golok terangkat
tinggi-tinggi. Banyak Sumba tidak menghindar, tetapi menye-
rudukkan dirinya secepat mungkin ke arah tubuh lawan-
lawannya selagi golok belum turun. Untung kedua orang
gulang-gulang itu tidak termasuk yang kuat. Tubuh Banyak
Sumba yang berat menabrak mereka, sementara tangan
Banyak Sumba yang kuat menghantam ke luar, memukul
tangan kan; n mereka yang hendak menghantamkan golok-
golok itu. Kedua orang gulang-gulang itu sempoyongan mundur.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Banyak Sumba untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerang sambil melarikan diri. Menghamburlah ia,
menyerang kedua orang itu dengan kakinya, bergiliran kanan
dan kiri, lalu ia berlari ke arah yang bertentangan. Banyak Sumba berlari di atas benteng menuju menara jaga karena
dari sanalah ia dapat turun ke arah puri. Beberapa orang
gulang-gulang berpapasan dengannya, tapi tidak menyerang
Rupanya, mereka menyangka Banyak Sumba kawannya dalam
gelap itu. Sambil berlari dan bersiap-siap menghadapi
serangan, diliriknya kesibukan orang-orang dalam puri itu.
Mereka sedang sibuk memadamkan api yang menyala di sana
sini. Yang lain mengemasi barang-barang dan
mengumpulkannya di lapangan yang ada di tengah-tengah
puri. Anak-anak dan wanita berkumpul pula di sana.
Sementara itu, gulang-gulang yang tidak banyak jumlahnya
berlari-lari mengelilingi dinding benteng, menjaga
kemungkinan. Karena bingung atau karena api menakutkan,
umumnya para penjaga benteng tidak membawa obor. Itulah
yang menguntungkan Banyak Sumba sehingga ia dapat
berada di atas benteng itu.
Rupanya, ia tidak banyak berbeda dengan gulang-gulang
karena itu tidak diganggu lagi oleh yang berpapasan
dengannya. Setiba di menara jaga, ia berhenti. Di sana, ia
melihat pemandangan yang mengejutkannya. Beberapa orang
gulang-gulang terbaring, dan dalam gelap itu mereka bukan
tidur. Ia teringat kepada si Colat. Tentu si Colat yang
merobohkan gulang-gulang itu. Mereka bukan pingsan, karena
kalau pingsan, mereka sudah harus siuman. Mereka ...
meremang kembali bulu roma Banyak Sumba ketika ia
menyadari segi lain dari watak si Colat.
Pikiran itu tidak lama direnungkannya. Ia segera menuruni
tangga. Di tengah tangga, terpaksa seorang gulang-gulang
dipukulnya karena gulang-gulang itu menanyakan namanya.
Tak lama kemudian, ia sudah berada di lorong-lorong dalam
puri, berlari di antara orang-orang yang hilir mudik. Ia berlari ke sana kemari, di antara orang-orang yang mengemasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barang-barang dan memadamkan api. Ia mencari-cari si Colat.
Ia tidak tahu apakah hendak membantunya atau karena
didorong oleh keingintahuan saja. Ia hanya berlari ke sana
kemari, mencari-cari jejak si Colat.
Pada suatu saat, tibalah ia di lorong yang besar. Sebagai
seorang putra bangsawan yang biasa tinggal dalam puri, ia
sudah mengetahui bahwa salah satu ujung lorong besar itu
berakhir di ruangan utama. Nalurinya mendorong dia untuk
menuju ruangan utama itu. Ia berlari menuju pusat puri itu.
Di suatu tempat, di dekat pintu besar, ia melihat dua orang bergelimpangan begitu saja dan darah membasahi lantai. Si
Colat telah memperlakukan mereka seperti yang lainnya, yang menghalanginya. Tak lama kemudian, beberapa mayat
tampak ditangisi oleh beberapa orang wanita. Di tempat lain mayat mulai diangkat. Makin dekat ke pusat puri, makin
banyak ia melihat pemandangan yang mengerikan. Banyak
mayat mandi darah, sedangkan pembunuhnya tidak ada di
sana. Tiba-tiba, ia mendengar gaduh di salah satu ruangan yang
tertutup. Banyak Sumba mendobrak pintu. Begitu ia
menghambur ke tengah-tengah ruangan, tampaklah olehnya
si Colat menggendong seorang anak laki-laki kecil yang
melekat di punggungnya, sementara tangan si Colat
memainkan golok yang sudah penuh darah. Kakinya yang juga
seolah-olah pasangan tangan yang lain, menghantam kian
kemari. Badannya melompat ke sana kemari seperti seekor
kucing; kadang-kadang ia seperti seekor gagak yang
menyambar-nyambar mangsanya.
Apa yang dilakukan si Colat bukanlah perkelahian, tetapi
lebih merupakan pembunuhan karena lawan-lawannya tidak
mampu memberikan perlawanan. Begitu cepat dan begitu
tepatnya pukulan-pukulan si Colat hingga dalam sekejap,
berge-limpanganlah isi ruangan yang terdiri dari lima orang pongga-wa itu. Yang paling sial tidak bergerak-gerak lagi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang masih beruntung menggeliat-geliat di atas lantai batu
ruangan itu. Ketika si Colat melihat Banyak Sumba, ia tertegun seperti
keheranan. Kemudian, walaupun sangat samar, ia tersenyum,
"Ini anak saya," katanya, lalu menyambung perkataannya,
"engkau sangat berani, Raden. Mari, kita cepat-cepat keluar!"
Setelah berkata demikian, si Colat melompati ambang
pintu, memasuki ruangan lain. Setelah mereka berada dalam
ruangan itu, ternyata semua pintu tertutup. Si Colat mencoba mendorong salah satu jalan keluar, tetapi pintu itu sangat
berat dan rupanya dipalang dari luar. Banyak Sumba mencoba
mendobrak pintu lain, tetapi tidak dapat membukanya.
Akhirnya, mereka ragu-ragu sejenak. Ketika mereka akan
kembali ke pintu tempat mereka masuk, terdengarlah suara
langkah orang-orang berlari. Si Colat melihat ke sebuah
tingkap, bagaikan seekor kucing dia melompat dan lenyap ke
luar tanpa menimbulkan bunyi. Banyak Sumba mengikuti,
tetapi tidak langsung melompat karena tingkap itu letaknya
sangat tinggi, sedangkan ruangan di seberangnya tidak
diketahui keadaannya. Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, tingkap itulah yang digunakannya sebagai jalan keluar.
Ternyata, ruangan yang dimasukinya adalah ruangan besar
yang diterangi beberapa lampu. Dan begitu Banyak Sumba
berpijak di lantainya, tampaklah si Colat dikelilingi tiga orang kesatria yang mengepungnya di salah satu sudut ruangan.
Banyak Sumba berkata, "Jangan main keroyok!"
Tidak disangka-sangka, si Colat berkata kepadanya,
'Jangan ikut campur, Raden, biarkan para pengecut ini
mengetahui dengan siapa ia berhadapan."
"Dengan bajingan, si Colat!" kata salah seorang di antara ketiga kesatria yang mengepung si Colat.
"Baiklah," kata si Colat sambil bersiap-siap. Banyak Sumba bergerak akan membantu, tetapi sekali lagi si Colat berseru,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tinggal di tempatmu, Raden. Kau tidak ada urusan dengan orang-orang ini!"
Banyak Sumba bingung sejenak, kemudian diam dan berdiri
dekat pintu yang terbuka, menjaga jangan-jangan ada orang
lain yang memasuki ruangan remang-remang itu. Sementara
itu, ia mulai memerhatikan keempat orang yang sedang
berhadapan itu. "Titipkan anak kecil itu. Ia tidak berdosa. Jangan biarkan ia terluka karena kejahanaman ayahnya!" kata salah seorang kesatria itu.
Si Colat tertawa, suara tertawanya merentangkan bulu
roma Banyak Sumba. "Biarlah ia tetap di punggungku agar kalian tidak bisa mengambilnya tanpa membayar mahal. Di samping itu, ia
harus mulai belajar cara berkelahi secara jantan. Biarlah ia belajar lewat pundakku!"
Sambil berkata demikian, si Colat bergerak. Bersamaan
dengan itu, bergerak pula ketiga orang pengepungnya,
mengubah sikap kedudukan. Banyak Sumba melihat segala
kejadian itu dengan tegang. Akan tetapi, dengan suasana
gawat itu, ia masih teringat pada hal-hal yang lain. Gerakan si Colat dan ketiga pengepungnya mengingatkan dia pada tarian
yang sangat bagus yang ditarikan ahli-ahli tari yang mahir.
Sementara si Colat bergerak kembali, menggeser, dan
mendekat ke arah lawan-lawannya. Lawan-lawannya bergerak
pula dalam irama gerakan yang sama cepat dengan gerakan si
Cplat. Setiap gerakan baru itu seolah-olah menarik wajah serta sikap tangan dan kaki mereka ke arah si Colat. Seolah-olah, si Colat memiliki besi berani yang selalu menarik mereka untuk menghadapinya secara lurus. Si Colat bergerak lebih
mendekat. Mereka pun bergerak, tangan sedikit menjulur ke depan,
sementara lutut melengkung dan kedua telapak kaki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjauhan. Dari kuda-kuda mereka yang tidak memperlihatkan
sedikit celah pun untuk serangan, Banyak Sumba mengambil
kesimpulan bahwa si Colat menghadapi lawan-lawan yang
mahir. Banyak Sumba mulai bimbang dan cemas. Ia bertanya
dalam hati, tidakkah sudah saatnya ia membantu si Colat"
Mungkinkah si Colat dapat menyelamatkan diri" Mungkinkah
dia sendiri dapat keluar dari puri yang memiliki para perwira mahir seperti itu"
Tiba-tiba, si Colat bergerak dengan cepat sekali ke arah
salah seorang lawannya yang berdiri paling kiri. Bersamaan
dengan gerakan itu, lawan-lawannya pun menyerangnya.
Terpentallah salah seorang di antara pengepung, bukan yang
diserang langsung oleh si Colat, tetapi yang datang dari
kanan. Bersamaan dengan terpentalnya penyerang dari kanan
itu, si Colat meloloskan diri ke kanan, sementara kedua orang lawannya yang menyerang dari tengah dan kiri menghambur
ke tempat dia sebelumnya berdiri.
Pengepung yang terpental, setelah bergelundungan, segera
berdiri kembali dan siap dengan kuda-kudanya. Akan tetapi,
begitu dia siap, kaki si Colat menghantam dadanya. Sekali lagi ia terjungkir ke belakang, dan sekarang dengan susah payah
ia berdiri. Setelah yang seorang ini dilumpuhkan dan tidak
akan dapat menyerang, si Colat membalikkan tubuhnya dan
tepat pada waktunya menghadapi lawan-lawannya yang
menyerang dari belakang. Si Colat melakukan beberapa
gerakan kaki dan tangannya, seperti tiga orang penari yang
mengikuti sebuah ciptaan tari yang indah, kedua lawan yang
datang menyerang menjawab gerakan-gerakan itu dengan
tangan dan kaki mereka dalam gerakan-gerakan yang cepat,
indah, dan berirama. Dengan penuh kekaguman, Banyak Sumba memerhatikan
ketiga orang yang berhadapan itu. Dalam hatinya, ia berkata: sekaranglah si Colat berkelahi, sebelumnya ia hanya
melakukan pembunuhan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai perwira, Banyak Sumba pun dapat menilai bahwa
betapapun cepat dan indahnya gerakan-gerakan lawan si
Colat, si Colat jauh lebih unggul. Si Colat-lah yang memimpin dalam perkelahian yang dilakukan seperti tarian itu. Si Colat-lah yang menetapkan gerakan-gerakan lawan seperti
kecepatan gerakan mereka, dan bukan lawan-lawannya.
Tampak pula pada Banyak Sumba bahwa kadang-kadang si
Colat mempercepat gerakan-gerakannya, mengubah pola-
polanya dengan penuh tipuan. Berulang-ulang Banyak Sumba
melihat lawan-lawannya dengan susah payah menjawab
gerakan-gerakan si Colat dan menyesuaikan tempo kecepatan
gerakannya. Tak lama kemudian, Banyak Sumba melihat
bahwa kedua orang lawan si Colat yang masih tangguh
kelelahan; mereka tidak banyak bergerak lagi, sedangkan
sikap mereka lebih banyak melindungi diri daripada siap
melakukan serangan. Pada suatu saat, berhentilah si Colat mempermainkan dan
memimpin mereka bergerak. Ia berkata mengejek, "Kalian tahu, siapa yang lebih tengik di antara kita saat ini" Kalian datang ke sini sebagai pembunuh bayaran. Aku datang ke sini sebagai ayah yang anaknya diculik. Kalian harus menyadari
dosa kalian dan menerima hukumannya."
Mendengar perkataan si Colat itu dalam gelap remang,
tampaklah bagaimana ketakutan kedua orang pengepung
yang masih tangguh tapi tidak dapat bergerak dengan lincah
lagi itu. Si Colat mendekati mereka. Tiba-tiba, menyerang
yang sebelah kanan, yang segera menghindar. Yang sebelah
kiri, pada saat yang bertepatan, menyerang ke depan menjerit sambil mundur. Ia berlari sejenak ke sana; dari mulutnya, dari sudut bibirnya, keluarlah darah yang tampaknya hitam dalam
cahaya remang itu. Si Colat yang rupanya mengetahui bahwa pukulannya
melumpuhkan lawannya yang seorang, segera bergerak
hendak menyudutkan lawannya yang terakhir di pojok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ruangan. Akan tetapi, lawannya itu tiba-tiba melompat ke arah dinding. Kemudian, terdengarlah derak papan yang pecah dan
masuklah cahaya dari arah dinding yang terbuka, yang
ternyata sebuah tingkap. Mengetahui lawannya yang terakhir melarikan diri, si Colat
berbalik ke arah kedua orang lawannya yang dilumpuhkannya
terlebih dahulu. Akan tetapi, kedua orang lawannya itu pun
segera melarikan diri. Yang seorang sempoyongan. Setiba di
pintu ruangan, ia roboh, bergerak-gerak sejenak, kemudian
diam. Banyak Sumba mengetahui bahwa lawan yang roboh itu
yang mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Mari!" tiba-tiba si Colat berseru, lalu berlari ke arah tingkap yang terbuka. Dengan lompatan yang ringan dan
indah, lenyaplah ia dalam gelap malam.
Banyak Sumba bergerak, tetapi tiba-tiba didengarnya suara
langkah cepat dari belakang. Ia tidak dapat melanjutkan
niatnya karena kalau terus melarikan diri, ia akan menjadi
sasaran yang baik-untuk lemparan tombak atau pisau. Ia
berbalik dan dalam remang dilihatnya seorang ponggawa
berhenti dengan tiba-tiba dan memasang kuda-kuda. Akan
tetapi, Banyak Sumba tidak memberinya kesempatan. Ia
menghambur ke arah orang itu mempergunakan kakinya
sebagai alat penyerang. Ulu hati orang itu yang menjadi
sasarannya. Karena orang itu cukup sigap, dadanyalah yang
kena. Orang itu sempoyongan. Kesempatan itu dipergunakan
Banyak Sumba untuk meloloskan diri, tetapi tidak ke arah
tingkap karena terlalu berbahaya. Ia berlari secepat-cepatnya ke arah pintu yang lebar terbuka.
"Tangkap! Cegat!" seru lawannya yang tinggal dalam ruangan yang samar-samar itu. Banyak Sumba mendengar
bunyi langkah, tetapi semuanya jauh dan ia pun tidak terlalu menghiraukannya. Ia berlari ke kiri, menuju bagian puri ke
arah si Colat meloloskan diri. Untuk beberapa lama, Banyak
Sumba berlari di taman bunga di dalam puri itu. Kemudian,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setelah memanjat dinding-dinding batu yang tidak terlalu
tinggi, ia tiba di sebuah lorong besar. Di sana, orang sibuk berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar. Mereka
tidak memerhatikan kedatangan Banyak Sumba. Kesempatan
itu dipergunakan Banyak Sumba untuk menarik napas dan
memerhatikan keadaan sekeliling.
Kebanyakan dari bahaya kebakaran sudah dapat diatasi
oleh penghuni puri itu. Hanya di tempat Banyak Sumba
berhenti itulah, api masih menakutkan. Karena kobaran api
yang besar itu, pemandangan sekeliling dengan terang dapat
dilihat. Banyak Sumba mencari-cari arah yang akan
dipergunakannya untuk keluar puri itu.
Tak lama kemudian, tampaklah olehnya menara jaga. Ia


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun segera berlari ke menara jaga itu. Akan tetapi, karena
bukan penghuni puri itu, berulang-ulang ia bertemu dengan
lorong-lorong buntu, dan berulang-ulang pula ia kembali ke
tempat asal. Setelah berkali-kali tersesat, hatinya pun mulai cemas. Ia berhenti di tempat yang agak gelap sambil
terengah-engah. Ia memutuskan untuk naik dinding-dinding
lorong yang tinggi-tinggi itu.
Setelah lelahnya reda, ia mulai berlari, lalu memanjati
dinding pertama yang menghadangnya. Ia turun di sebuah
taman kecil, lalu berlari ke menara yang tampak dari taman
kecil itu. Karena di sebelah kirinya terdapat rumah salah
seorang bangsawan penghuni puri, ia melangkah berhati-hati
dan berusaha tidak menimbulkan terlalu banyak bunyi. Untung para gulang-gulang sibuk membantu usaha mencegah
kebakaran dan karenanya rumah itu tidak dijaga.
Dengan mudah, Banyak Sumba memanjati dinding yang
kedua, lalu turun di sebuah lorong. Setelah itu, ia melewati gerbang kecil dan tiba dijalan besar, tempat orang-orang sibuk hilir mudik mengurus barang mereka yang berserakan di sana.
Barang-barang tersebut bersebaran karena diangkut dari
rumah-rumah untuk menghindari bahaya api. Setelah api
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
padam, orang-orang mulai memikirkan cara mengangkutnya
kembali. Di tengah onggokan barang itu, Banyak Sumba lewat
seraya bersinggungan bahu dengan orang-orang yang
berkumpul di sana. Tak lama kemudian, tibalah Banyak Sumba di bawah
menara penjagaan. Akan tetapi, ia tidak berani mendekati lan-dasan tangganya. Pasti ia akan dicurigai. Ia termenung
sejenak, berpikir cara terbaik untuk menuruni dinding benteng yang curam itu. Ia memutuskan untuk mencari seutas
tambang dan kembali berlari ke tempat orang-orang
berkumpul. Dengan pisaunya, dipotong tali pengikat barang-
barang yang pertama ditemukannya.
"Hai! Apa itu?" kata salah seorang yang berdiri di dekat barang itu. Banyak Sumba segera berlari ke tempat gelap.
Teriakan-teriakan terdengar, Banyak Sumba sambil
menggulung tambang terpaksa berlari ke arah yang berjauhan
dengan menara. Ia berlindung di tempat gelap dan setelah
keadaan tenang kembali, ia berjalan menuju menara jaga.
Ketika ia berjalan itulah, didengarnya ayam berkokok. Hari
sudah subuh dan Banyak Sumba menyadari bahwa
rombongan si Colat akan segera meninggalkan tempat itu.
Itulah sebabnya Banyak Sumba mulai berlari secepat-
cepatnya. Gulang-gulang yang terkejut, menodongkan tombak di
puncak tangga. Banyak Sumba menarik tombak itu ke
sampingnya. Gulang-gulang itu pun terjatuh bergelundung
sambil berteriak. Temannya yang datang tidak beruntung
karena sambil berpapasan, Banyak Sumba menghantam
lehernya dengan pinggir tangannya. Setelah itu, Banyak
Sumba tidak dapat halangan. Ia menyangkutkan ujung
tambang ke bagian benteng yang berada antara dua tempat
pemanah. Kemudian, dengan mudah ia meluncur dan begitu
kakinya menyentuh semak, ia berlari ke tempat ia
menambatkan kuda. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, dengan kecewa ia melihat beberapa orang
gulang-gulang berkuda sudah berada di sana sambil
mengelilingi kudanya. Mereka berbicara satu sama lain bahwa kuda itu ketinggalan atau penunggangnya masih di dalam
puri, "Mungkin penjahatnya masih ada di dalam."
"Siapa tahu terluka."
"Kita perlu segera lapor."
Mereka pun menunggangi kuda masing-masing, sedangkan
kuda Banyak Sumba mereka tuntun.
Banyak Sumba tidak dapat berbuat apa-apa karena kalau ia
mencoba menyerang mereka, itu berarti bunuh diri. Selain
mereka bersenjata lengkap, beberapa orang bahkan tampak
gagah-gagah. Tidak ada harapan bagi Banyak Sumba untuk
merebut kuda itu kembali. Itulah sebabnya, ia termenung di
tempat yang terlindungi oleh semak-semak dengan hati yang
sangat risau. Yang paling merisaukannya adalah kepergian si Colat.
Tanpa kuda, ia tidak mungkin menyusul calon gurunya itu.
Bukan saja mereka pergi berombongan dan karena itu tidak
usah bingung untuk menginap di hutan-hutan, tetapi
kecepatan dan arah mereka pun sekarang tidak dapat
diramalkan. Bagaimanapun, kehadiran si Colat di daerah
Kutabarang akan lebih menyebabkan para jagabaya siap
siaga. Dapat dimengerti kalau si Colat ingin segera menghilang
dari sekitar Kutabarang. Dan dapat dimengerti pula kalau
Banyak Sumba tidak menjadi perhatiannya, lalu ditinggalkan
begitu saja. la tidak marah apalagi dendam terhadap si Colat.
Ia mengerti kedudukan si Colat dalam peristiwa itu. Dialah
yang sial. Kesempatan yang sangat jarang mungkin akan
lepas dengan sia-sia pada saat itu.
Sebagai seorang anggota wangsa Banyak Citra yang tidak
pernah membiarkan dirinya risau, Banyak Sumba mulai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Harapan
masih ada, yaitu Jasik. Mungkin, si Colat tidak akan mengubah jalan yang dilaluinya untuk bertemu dengan Jasik di sebuah
puncak bukit yang dijanjikan. Maka, usaha pertama yang
harus dilakukannya adalah pergi ke Kutabarang untuk bertemu Jasik.
Akan tetapi, untuk tiba di Kutabarang yang setengah hari
perjalanan berkuda jauhnya dari tempat itu, bukanlah suatu
hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak Sumba harus
membeli kuda. Akan tetapi, membeli kuda hanya dapat
dilakukan di kota. Hanya orang yang beruntung yang dapat
menemukan penjual kuda atau orang yang menjual kuda di
dusun. Itu berarti, Banyak Sumba harus berjalan kaki. Dan
seandainya di perjalanan ia cukup beruntung menemukan
orang yang akan menjual kuda, uangnya yang tinggal sedikit
tidak cukup lagi untuk ongkos belajar. Inilah masalah yang
harus segera dipecahkan. Banyak Sumba termenung kembali. Akhirnya,
diputuskanlah untuk bersabar dan tidak memasalahkan
pembelian kuda yang mahal itu. Ia akan menumpang pedati
sapi atau kerbau yang menuju Kutabarang. Dalam tiga atau
empat hari, mungkin ia sampai ke Kutabarang.
Bagaimanapun, kusir pedari kerbau senang ditemani, apalagi
kalau mereka mengetahui bahwa Banyak Sumba bisa
berkelahi. Ia akan menuju tempat menginap di Kutabarang,
bertemu Jasik, kemudian mencari jejak si Colat. Terpikir juga untuk menambah biaya yang makin tipis itu, mungkin ia harus menyediakan waktu untuk mengajari putra-putra bangsawan.
Ia bersedia mengajari putra-putra bangsawan di Kutabarang
membaca, menulis, dan seni berkelahi. Setelah tersedia sedikit tambahan biaya, ia dapat melanjutkan tujuannya semula.
Sambil termenung demikian, kakinya mulai melangkah
meninggalkan tempat persembunyian. Ketika itu, hari hampir
pagi, langit sebelah timur telah keperak-perakan, sementara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ayam hutan ramai bersahutan. Dijalan besar yang lewat dekat puri itu, berbondong-bondong orang pergi ke huma. Ada pula
sebuah pedati kerbau, tapi Banyak Sumba belum berani
mendekati jalan itu. Ia memilih berjalan dalam semak-semak.
Kejadian yang baru lewat akan menyebabkan para gulang-
gulang tetap siaga. Orang-orang kampung yang bertemu
dengan Banyak Sumba mungkin akan curiga dan memberi
tahu kepada gulang-gulang tentang kehadirannya. Mereka
tentu akan menahan dan menanyainya. Itu harus dihindari.
Berjalanlah Banyak Sumba. Ia memperbaiki letak
terompahnya yang terbuat dari kulit, kemudian berulang-ulang melompati semak-semak duri atau pagar huma yang pendek.
Beberapa kali dilewatinya kolong rumah petani yang tinggi-
tinggi. Kadang-kadang, terdengar olehnya penghuni yang
mende-ham, menandakan mereka sudah bangun dan tahu
kehadiran Banyak Sumba. Di suatu tempat di bawah kolong rumah yang tinggi itu,
pemiliknya sudah siap menyalakan api. Banyak Sumba tidak
dapat menghindarkan diri karena kalau mencoba menjauh,
petani itu akan curiga. Ia berjalan setenang-tenangnya, lalu mengucapkan sampurasun. Petani yang keheranan
mengucapkan "bagea", lalu mengajaknya singgah untuk ikut mencicipi lahang barang satu tempurung. Banyak Sumba yang
kelelahan sebenarnya ingin sekali menerima air manis yang
menyegarkan itu, tetapi kehati-hatiannya lebih kuat dan ia
terus berjalan, tidak menjawab ajakan yang disampaikan
petani itu. Baru setelah Banyak Sumba merasa bahwa ia sudah cukup
jauh, kehati-hatiannya menjadi berkurang Di suatu tempat, ia dipersilakan oleh seorang petani yang duduk dengan anaknya
mengelilingi api unggun. Banyak Sumba mengambil tempat
duduk di antara anak-anak petani yang masih kecil-kecil yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan keheranan memandanginya sambil terse-nyum-
senyum. "Dari mana dan akan ke mana Raden, pagi buta begini
berjalan di reuma?" "Saya dari puri, Paman. Saya berjalan pagi serta melompati pagar-pagar untuk kesehatan saya."
Petani itu percaya kepada Banyak Sumba karena Banyak
Sumba telah mempersiapkan jawaban itu sebelumnya. Karena
itu, tidak ada nada keragu-raguan ketika ia mengucapkannya.
"Sakit apakah yang Raden derita?"
"Saya jatuh dari kuda, Paman. Ahli obat-obatan
menasihatkan, untuk mempercepat sembuhnya kaki yang
terkilir, saya harus melatihnya kembali setiap pagi. Tiga bulan lamanya saya terbaring dan tidak dapat mempergunakan kaki
saya dengan semestinya. Otot-ototnya melemah; karena itu
memerlukan latihan kembali."
Jawaban Banyak Sumba memuaskan petani dan anak-
anaknya. Petani itu kemudian bertanya, "Semalam kami
melihat nyala api, apakah di perjalanan, Raden melihat hutan atau huma yang terbakar?"
Banyak Sumba kebingungan. Ia merasa lebih baik berterus
terang daripada menyembunyikan hal yang sukar
disembunyikan. Ia menerangkan, "Tadi malam terjadi
keributan di puri. Sang Pangeran berhasil menangkap anak si Colat. Tapi, malam tadi si Colat menyerang puri dengan
mencoba membakarnya."
Petani itu menganga keheranan, sementara anak-anaknya
dengan penuh rasa ingin tahu mendekat.
'Aduh! Seandainya pangeran dapat menangkap si Colat,
tentu pangeran mendapat hadiah dari Kutabarang. Apakah si
Colat sudah tertangkap atau ...?""
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Si Colat berhasil mengambil kembali anaknya. Ketika
orang-orang ketakutan melihat api, si Colat melompati
benteng, lalu mengambil anaknya."
"Memang perampok itu dapat menghilang dan tak mempan
senjata," kata petani itu sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Anak petani, karena tak dapat menahan
kepenasarannya, bertanya, 'Janggut si Colat itu sampai pusar panjangnya?"
Sebelum Banyak Sumba menjawab, anak petani yang lebih
kecil menyela, "Sampai dada!"
Banyak Sumba tersenyum. Dalam hatinya, ia berkata
bahwa dalam khayal anak-anak atau rakyat biasa, suatu hal
yang luar biasa dapat mencapai bentuk yang tidak masuk
akal. Tiba-tiba, ia pun menyadari akan demikian pula halnya dengan Puragabaya Anggadipati. Dalam cerita yang
diceritakan kembali di tengah-tengah rakyat, Puragabaya
Anggadipati itu benar-benar pahlawan yang tidak mungkin
ditundukkan. Menurut rakyat, ia dapat menghilang, dapat
melompati dinding benteng yang sepuluh depa tingginya,
tidak mempan senjata apa pun, dan pukulannya bukan saja
melukai tetapi menghancurleburkan lawannya. Padahal,
kenyataannya tidak sehebat itu. Kenyataannya, segala
kepandaian dan ketangkasan itu hasil renungan dan pemikiran yang matang, disertai dengan ketekunan dan ketabahan
dalam latihannya. Kalau si Colat dan Anggadipati bisa menjadi pahlawan yang
mahir, mengapa Banyak Sumba tidak" Bukankah ia punya
kemauan, ketekunan, ketabahan" Bukankah otaknya tidak
kalah dengan kebanyakan orang" Dan bukankah dia punya
tugas suci, menegakkan kehormatan keluarga" Renungan-
renungannya itu melegakan dadanya, maka ia pun berdiri,
mengucapkan terima kasih kepada petani itu, mengusap
kepala anak-anaknya sambil tersenyum, kemudian
melanjutkan perjalanan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah beberapa lama berjalan, ia beruntung bertemu
dengan serombongan pedati yang ditarik kerbau dan sapi. Pe-
dati-pedati itu mengangkut hasil palawija dan buah-buahan
hutan untuk Pelabuhan Kutabarang. Dengan senang hati, ia
dipersilakan menumpang ke kota. Dua hari satu malam di
perjalanan, tibalah ia di Kutabarang.
Dengan harap cemas, Banyak Sumba menunggu Jasik di
tempatnya menginap. Ketika Jasik datang, hilanglah
harapannya. Ternyata, di puncak bukit yang telah ditentukan, Jasik tidak dapat bertemu dengan rombongan si Colat.
Mungkin, rombongan ini terpaksa mengambil jalan lain. Itulah sebabnya Banyak Sumba memutuskan untuk bersabar.
Pada setiap kesempatan, Banyak Sumba dan Jasik
menonton tari silat. Menurut Paman Wasis, seorang ahli
berkelahi dapat dilihat kalau ia menari. Walaupun belum pasti bahwa penari yang baik juga pahlawan yang tangguh,
sekurang-kurangnya Banyak Sumba dapat menyelidiki. Maka,
dengan rajin sekali, Banyak Sumba mengunjungi pertunjukan-
pertunjukan yang sangat disenangi rakyat Kutabarang. Akan
tetapi, berbulan-bulan lewat tanpa memberikan hasil. Dari
beberapa gerakan saja, Banyak Sumba dapat menilai bahwa
kebanyakan penari itu hanya dapat menari. Gerakan-
gerakannya adalah bunga yang tidak ada buahnya. Bahkan,
banyak sekali gerakan yang tidak ada artinya sama sekali.
Karena tidak sabar dan merasa cemas berhubung biaya
makin lama makin menipis, pada suatu sore, berkatalah
Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, bekal kita tinggal sedikit.
Saya sudah merencanakan untuk mencari pekerjaan agar
kalau kesempatan datang, kita tidak kelabakan mencari
biaya." "Lebih baik saya yang bekerja, Raden. Raden terus berlatih.
Memahirkan apa-apa yang diberikan Ayah," ujarnya.
"Tidak, Sik. Saya sudah terlalu banyak berutang budi
kepadamu dan kepada keluargamu. Saya tidak hendak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menambah beban hati saya. Kita akan senasib
sepenanggungan untuk selama-lamanya."
"Tapi saya tidak sampai hati melihat Raden bekerja sebagai kuli."
"Sik, bukankah saya punya otot yang lebih baik daripada kebanyakan kuli-kuli?"
"Bukan soal itu yang menjadi pikiran saya, Raden, akan tetapi...," kata Jasik.
"Baiklah, Sik. Kita belum tentu harus melakukan pekerjaan kasar, walaupun saya sendiri tidak menganggap pekerjaan
kasar lebih rendah daripada pekerjaan halus. Akan tetapi,
kalau kau lebih senang saya bekerja halus, tentu saja saya
akan mencari pekerjaan yang halus. Saya dapat mengajar
menulis dan membaca kepada putra-putra bangsawan atau
saudagar-saudagar kaya. Atau, tentu saja saya dapat
mengajari putra-putra mereka itu seni berkelahi yang saya
terima dari ayahmu."
Sejak percakapan itu, di samping mencari guru, mereka
mencari pekerjaan pula. Dalam waktu singkat, suatu
pekerjaan yang baik sudah ada untukjasik. Arsim yang
mendengar bahwa mereka mencari pekerjaan, segera


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengan Gan Tunjung tentang kepandaian Jasik.
Karena Gan Tunjung lebih senang berada di tempat judi atau
sabung ayam, tambahan tenaga di perguruannya diterimanya
dengan baik. Syaratnya, ia tidak usah kehilangan banyak
uang. Arsim mengatur hal itu. Dengan upah yang kecil tapi
berguna, Jasik segera dipekerjakan di Perguruan Gan
Tunjung. Tinggal Banyak Sumba yang untuk dua bulan tetap
tidak punya pekerjaan. Hingga pada suatu hari, teringatlah ia akan putri cantik yang dilihatnya waktu mereka hendak
mengunjungi gubuk tempat menginap si Colat.
Dengan menumpang pedati kerbau, Banyak Sumba
berangkat ke luar kota. Sepanjang hari, Banyak Sumba duduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di atas pedati kosong dan mengobrol tentang soal-soal kecil dengan kakek-kakek kusir pedati itu. Sambil mengobrol,
dinikmatinya pemandangan alam di kanan-kiri jalan.
Ketika hari mulai teduh, Banyak Sumba mengucapkan
terima kasih kepada kusir pedati itu, lalu melompat turun. Ia berjalan kaki karena puri bangsawan tempat putri itu tidak
jauh lagi. Beberapa kampung dilaluinya, tetapi puri itu belum tampak. Ia salah menduga. Ternyata, setelah satu bukit
dilewati, barulah atap puri yang hitam dan dindingnya yang
cokelat keabu-abuan itu tampak dari jauh.
Dipandangnya puri itu dari atas bukit sambil melepaskan
lelah. Ia berpikir, membuat rencana-rencana agar ia dapat
mencapai maksudnya dengan lancar. Ia ingin sekali dapat
tinggal dalam puri itu, kalau perlu sebagai pekerja kasar,
walaupun hal itu tentu tidak akan disetujuijasik. Setelah
rencana-rencana dibuat dalam pikirannya, ia pun mulai
melangkah sambil menepuk debu dari pakaiannya yang kotor
dalam perjalanan. Ketika ia bertambah dekat ke puri itu, tampaklah"di
sebuah lapangan kecil yang terletak tidak jauh dari puri"
kesibukan sehari-hari para penjual buah-buahan. Rupanya
penduduk sedang tidak mengurus huma. Mereka menambah
penghasilan dengan mengambil buah-buahan dari hutan. Para
pemungut buah-buahan mempergunakan lapangan kecil dekat
puri itu sebagai pasar mereka, sedangkan para tengkulak dari Kota Kutabarang datang dengan pedati mereka ke tempat itu
sejak pagi hari. Pedati-pedati ini datang dari Kota Kutabarang tidak dalam
keadaan kosong, tetapi penuh dengan barang yang
dibutuhkan oleh orang-orang dusun, seperti parang, sabit,
golok untuk pekerjaan petani sehari-hari, atau alat-alat
berburu. Di samping itu, dibawa pula cita halus yang indah-
indah dan mahal-mahal harganya. Ketika matahari mulai
panas, ke tengah-tengah kesibukan perdagangan itulah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyak Sumba tiba. Setelah memesan makanan dan minuman
sedikit, Banyak Sumba bertanya kepada pemilik warung
tentang puri dan pemiliknya. "Pangeran Purbawisesa adalah pembantu menteri kerajaan. Beliau lebih banyak berada di
Pakuan Pajajaran daripada di Kutabarang."
"Siapakah yang tinggal dalam puri beliau?"
"Ipar-ipar beliau," ujar pemilik warung.
"Tidakkah beliau berputra?"
"Ada tiga orang putra beliau, yang bungsu putri."
"Di mana putra-putra beliau berada?"
"Seorang di Padepokan Tajimalela. Raden Rangga Gading
calon puragabaya dan kebanggaan orang-orang sekitar puri.
Raden Rangga Malela ikut ayahandanya belajar menjadi abdi
kerajaan. Putri bungsu, Nyai Emas Purbamanik, tinggal di sini.
Tapi, barangkah' tidak lama lagi ia akan berangkat pula ke
Pakuan Pajajaran untuk mempelajari soal-soal yang
berhubungan dengan kewanitaan. Maklum, Nyai Putri sudah
remaja dan sekarang sudah jarang sekali kelihatan di luar
puri." Mendengar penjelasan itu, pada satu pihak Banyak Sumba
bergembira, tetapi di lain pihak ia pun menyadari kesukaran-kesukaran yang harus dihadapinya. Di satu pihak, ia makin
banyak pengetahuannya tentang putri yang menarik
perhatiannya, di lain pihak ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan seluruh abdi-abdi kerajaan, termasuk keluarga putri
itu. Ia mulai membayangkan dirinya sebagai buronan, seperti si Colat, seandainya berusaha melaksanakan tugas
keluarganya membunuh Anggadipati. Seandainya ia sendiri
yang terbunuh, persoalan bagi dirinya akan selesai. Persoalan akan sangat rumit kalau ia hidup dan berhasil menegakkan
kembali kehormatan keluarga. Siapakah yang mau menerima
Banyak Sumba, buronan kerajaan, menjadi anggota
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluarganya" Putri mana yang akan mencintai seorang
pembunuh puragabaya"
Para puragabaya adalah para kesatria kebanggaan
kerajaan. Mereka bukan saja terlindung oleh kemahiran ilmu
keper-wiraan, tetapi juga oleh wibawa negara. Barang siapa
mengganggu dan melukai jagabaya, akan dihukum berat.
Barang siapa melukai puragabaya harus meninggalkan
Pajajaran. Banyak Sumba menyadari kesulitan-kesulitan yang
harus dihadapinya, dan hatinya pun kelam. Akan tetapi, hanya sebentar karena kemudian, ia pun menyadari bahwa segala
hal bergantung pada perkenan Sang Hiang Tunggal, dan Sang
Hiang Tunggal adalah Sang Mahaadil. Mungkinkah Sang Hiang
Tunggal menghukum seseorang yang berjuang membela
saudaranya, kakaknya, dan mengembalikan kehormatan
keluarga yang direnggut dengan tipu muslihat" Banyak Sumba
yakin bahwa pihak yang benarlah yang akan menang, itulah
sebabnya ia bersedia menghadapi masa depan macam apa
pun dengan dada yang lapang, dengan gigih dan tabah.
Setelah selesai menghilangkan lapar serta dahaganya dan
setelah istirahat sebentar, ketika matahari mulai condong,
melangkah pulalah Banyak Sumba. Tak lama kemudian, ia pun
sampai di dekat puri itu. Banyak Sumba berhenti di bawah
sebatang pohon sambil memerhatikan puri yang ada di
hadapannya. Di atas menara jaga, tampak dua orang gulang-
gulang memerhatikan kesibukan di huma dan di kampung
yang berada di sekeliling puri. Di setiap sudut benteng,
tampak pula gulang-gulang lain dengan busur dan anak panah
di punggung masing-masing. Mereka berjalan-jalan sepanjang
dinding benteng, bolak-balik di bawah panas matahari sambil menunggu pengganti masing-masing.
Gerbang puri terbuka karena sekali-sekali masuk atau
keluarlah penunggang kuda atau pedati kecil. Ada pula orang-orang kampung yang keluar masuk puri membawa berbagai
keperluan, dari kayu bakar, buah-buahan, hingga macam-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
macam tali. Rupanya, orang-orang itu para petani yang
tergolong kelompok pamagersari, yaitu para petani yang
menggarap tanah milik Pangeran Purbawisesa atau
keluarganya. Banyak Sumba memandangi segala kesibukan itu sambil
termenung. Kalau ia langsung berjalan ke dalam puri untuk
meminta pekerjaan, harapan untuk diterima kecil sekali.
Pertama, mungkin di puri itu sudah ada pengajar para putra-
putri bangsawan dalam hal membaca dan menulis. Seandainya
ia menawarkan diri sebagai pengajar ilmu keperwiraan,
mungkin sekali pengajar ilmu itu pun sudah ada di sana, dan ia akan ditolak tanpa diberi kesempatan untuk masuk. Oleh
karena itu, Banyak Sumba memutuskan bahwa ia akan
meminta izin untuk masuk setelah hari gelap. Dalam keadaan
yang seolah-olah terdesak itulah, ia sukar ditolak tuan rumah.
Dengan pikiran seperti itu, ia pun berjalan ke arah sebatang pohon yang rindang, lalu beristirahat melepaskan lelah.
Ketika langit menjadi merah di sebelah barat dan ketika
keluang serta kelelawar beterbangan, ia pun bangkit, lalu
berjalan ke arah puri yang gerbangnya masih terbuka. Ia
berjalan cepat-cepat, apalagi setelah dianggapnya orang-
orang yang berada di atas benteng akan dapat melihatnya.
Beberapa orang penunggang kuda memapasnya, juga menuju
benteng. Sementara di atas menara jaga, seorang penjaga
terus-menerus meniup trompet tiram, memanggil-manggil
para penghuni puri, yaitu para pamagersari yang masih
berada di luar, di huma-huma sekitar puri itu. Tak lama
kemudian, Banyak Sumba tiba di gerbang puri dan berjalan di antara para petani yang memasuki gerbang itu sambil
mengobrol. "Berhenti!" tiba-tiba seorang gulang-gulang berseru.
Banyak Sumba berhenti dan beberapa orang gulang-gulang
lain segera datang mengelilinginya. Mereka memandangi
Banyak Sumba dengan curiga dalam remang senja itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang asing harus melapor dulu kepada kepala jaga. Itu tata krama di daerah ini, Saudara."
"Maafkan, saya bukan orang dari daerah sini, Paman."
"Sekarang, ikut saya. Saudara harus tahu, tidak sembarang orang diizinkan masuk puri walaupun malam sudah dekat. Ini
bukan penginapan. Saudara harus mengerti," kata gulang-gulang yang paling tua sambil memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk mengikutinya.
Banyak Sumba berjalan di belakang gulang-gulang itu
menuju sebuah gardu kecil yang terletak di samping kiri
gerbang. Setiba di sana, ia dipersilakan duduk, sementara
gulang-gulang tua menyalakan lampu minyak kelapa. Tak
lama kemudian, dari ruangan sebelah keluar seorang
ponggawa; dari pakaiannya jelas ia seorang bangsawan.
"Ini orang asing, rupanya kemalaman, Juragan." Ponggawa itu memandangi Banyak Sumba untuk beberapa lama.
"Dari mana?" tanyanya.
"Sebenarnya saya datang dari jauh, Juragan," jawab Banyak Sumba, "saya dari Kota Medang"
"Ada urusan apa datang ke sini?" tanya ponggawa itu.
"Sebenarnya saya tidak ada urusan khusus, pertama-tama bermaksud menginap, kedua.."
"Mengapa tidak menginap di kampung-kampung yang ada
di sekeliling puri. Aneh sekali, orang asing berani minta .
menginap di dalam puri. Aneh, kalaupun tidak dikatakan
kurang sopan," kata ponggawa itu sambil tersenyum pahit, sedangkan kecurigaannya tampak bertambah.
"Karena saya memerlukan pekerjaan pula, di samping
kebetulan kemalaman di tempat ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pekerjaan" Mengapa cari kerja begitu jauh" Kota Medang berada di ujung timur kerajaan dan Saudara cari kerja ke
wilayah Kutabarang. Bayangkan! Apakah Saudara main-main?"
"Saya pengembara yang sedang mencari pengalaman,
Juragan. Kebetulan, saya kehabisan bekal. Saya memiliki bekal lain, yaitu kepandaian membaca dan menulis, juga kepandaian lain."
"Kita sudah punya guru, di sini kelebihan guru."
"Saya memiliki kepandaian lain," ujar Banyak Sumba.
"Kami tidak mencari ponggawa baru."
Banyak Sumba diam. Ia melambat-lambat waktu. Ia tahu
kalau malam sudah terlalu gelap, penghuni puri tidak akan
sampai hati membiarkannya bergelandangan dalam gelap di
tengah-tengah binatang buas yang mulai berkeliaran.
"Saya punya kepandaian yang barangkali dibutuhkan di
sini, Juragan," lanjut Banyak Sumba.
"Pegawai sudah terlalu banyak di sini, Saudara." Sebelum Banyak Sumba dapat memberi penjelasan, ponggawa itu telah
berseru kepada gulang-gulang yang berada di luar, "Saltiwin, suruh Askiwin menyiapkan kuda. Antarkan orang asing ini ke
kampung terdekat." Tenggelamlah harapan Banyak Sumba mendengar perintah
ponggawa itu. Ia berpikir keras bagaimana mencari akal agar tidak diusir. Ia segera berkata, "Saya tidak berkeberatan tidur di lapangan puri agar tidak menyusahkan penunggang kuda di
sini. Hari sudah terlalu malam, Juragan."
"Soalnya, puri ini tidak menginapkan orang asing dan tidak pula membiarkan orang tidur di lapangan. Itu tidak baik
dipandang dan tidak menyenangkan bagi orang asing yang
mungkin suka mengoceh, apalagi orang asing yang suka
mengembara." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyak Sumba terdiam, hatinya kecut. Terbayang putri
yang sangat cantik yang pernah dilihatnya berjalan-jalan di atas benteng puri itu. Hatinya sedih. Ia ingin sekali bertemu dan mengetahui lebih banyak tentang putri itu. Barangkali,
itulah Putri Purbamanik, putri bungsu pemilik puri. Banyak
Sumba menarik napas panjang dan timbullah tekadnya untuk
dapat bertemu dengan putri itu pada kesempatan lain. Kalau
perlu, ia akan memanjati benteng kembali dan melihat putri
itu walaupun harus menghadapi bahaya. Ia akan mengatakan
kepada putri itu bahwa pertemuan yang pertama telah
menyebabkan ia tidak dapat meninggalkan puri itu jauh-jauh.
Akan tetapi, renungannya terganggu karena Saltiwin
datang membawa kabar bahwa semua kandang kuda sudah
di-palang, sedangkan para penunggang sudah tidur kelelahan.
Ponggawa itu mengerutkan mukanya, lalu berpaling kepada
Banyak Sumba, "Puri ini tidak pernah menerima orang asing, Anak Muda. Karena kita tidak sampai hati melepasmu dalam
kegelapan malam, apa boleh buat. Saltiwin, ada tempat di
rumahmu untuk menginap anak muda ini?"
"Ada, Juragan. Mari... Raden," kata Saltiwin setelah memerhatikan Banyak Sumba dari ujung kaki hingga ujung
rambutnya. Sambil mengikuti Saltiwin, Banyak Sumba
mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah
berkenan menyampaikan maksudnya, yaitu bermalam di puri
itu. Soal lain-lain akan dihadapinya kemudian karena Banyak Sumba percaya bahwa segala hal dapat dicapai dengan
ketekunan, kegigihan, ketabahan, dan doa kepada para
penghuni Ka-hiangan. Tak lama kemudian, Banyak Sumba telah berjalan
mengikuti Saltiwin. Mereka melangkah melalui lorong-lorong
dan lapangan-lapangan kecil antara rumah-rumah besar kecil
yang terbuat dari kayu dengan atap ijuk yang berlumut karena tuanya. Di lorong-lorong yang diterangi lampu-lampu minyak
di lapangan kecil dalam puri itu, orang masih banyak. Orang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang tua bercakap-cakap satu sama lain sambil melepas lelah setelah bekerja sepanjang hari. Anak-anak kecil berlari-lari, main kucing-kucingan, atau main sembunyi-sembunyian. Para
pemuda meniup seruling atau memetik kecapi di tempat-
tempat yang agak sepi, gadis-gadis sedang duduk di serambi, suara percakapan mereka yang rendah dan merdu kadang-kadang diselingi tawa yang ditahan-tahan.
Suasana malam yang masih muda itu mengingatkan
Banyak Sumba pada kota kelahirannya, selagi Ayahanda
Banyak Citra masih berkuasa, selagi Kakanda Jante
Jaluwuyung masih hidup dan menjadi kebanggaan seluruh
warga kota karena keberaniannya sebagai puragabaya.
"Raden, kita sudah sampai," kata Saltiwin, mengembalikan Banyak Sumba dari renungannya.
Banyak Sumba tidak menyahut, ia menengadah ke serambi
sebuah rumah yang sama besarnya dengan rumah-rumah lain
di dalam puri itu. Ketika Saltiwin mempersilakannya naik,
Banyak Sumba melepaskan terompah kulitnya, lalu
menyimpannya di pinggir tangga. Ia melangkah mengikuti
Saltiwin, di atas lampit yang"walaupun malam hari"
tampak mengilat karena bersihnya.
"Silakan duduk, Raden, sementara Bibi akan
mempersiapkan segalanya buat Raden."
"Terima kasih banyak, Paman, dan maaf saya
menyusahkan." "Sama sekali tidak, silakan beristirahat dulu," ujar Saltiwin.
Sementara itu, dari dalam rumah keluarlah istri Saltiwin,
perempuan setengah baya yang gemuk dan ramah.
Sedangkan dari halaman, naik pulalah tiga orang anak yang
besarnya bertingkat-tingkat, dari umur sembilan hingga dua
belas tahun. Mereka duduk di atas lampit dan seraya
tersenyum-senyum memandang kepada Banyak Sumba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Duduklah di sini, Dik," kata Banyak Sumba sambil memberi isyarat kapada mereka. Anak-anak itu cuma tersenyum-senyum sambil memerhatikan Banyak Sumba yang
meletakkan koja besar yang selama ini disandangnya.
"Dodo, bantu Ibu ambil teh buat tamu," kata istri Saltiwin kepada anak terbesar yang segera masuk ruangan.
"Maaf, Raden, di sini tidak ada anak perempuan yang
sepantasnya mengurus tamu. Bibi punya anak yang sudah
besar, tetapi ia sudah lama jadi emban di Bumi Ageung. Jadi, di sini tinggal yang laki-laki, nakal-nakal pula."
"Saya yang harus minta maaf, Bibi, orang asing yang
datang hanya untuk menyusahkan," ujar Banyak Sumba.
Hatinya melihat suatu celah yang dapat dipergunakannya
untuk dapat berhubungan dengan Tuan Putri.
Kalau anak Paman Saltiwin sewaktu-waktu pulang ke
rumahnya, Banyak Sumba dapat menyelidiki lebih banyak


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang putri itu; siapa tahu pula ia dapat mengajari putraputri bangsawan dengan bantuan emban itu. Ia berdoa, mudah-mudahan Sang Hiang Tunggal berkenan memberikan hiburan
bagi hambanya yang nasibnya mungkin akan merupakan nasib
paling sial yang pernah dialami seorang bangsawan Pajajaran.
Salah satu jalan untuk bertemu dan berhubungan dengan
putri itu sekarang sudah terbuka, tetapi hal itu tidaklah berarti persoalan lain sudah terpecahkan. Bagaimanakah caranya
agar ia dapat tinggal dalam puri itu untuk beberapa lama dan tidak dipersilakan pergi esok harinya" Banyak Sumba
termenung untuk beberapa lama. Akan tetapi, pertanyaan itu
tidak terpecahkannya juga, hingga renungannya terganggu
oleh kedatangan istri Saltiwin yang mempersilakan masuk
rumah. Banyak Sumba dijamu makan-minum oleh tuan rumah.
Setelah membersihkan badan, ia dipersilakan beristirahat di salah satu ruangan di atas tikar pandan yang putih bersih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, Banyak Sumba sudah
bangun karena tuan rumah sudah bersiap mengemban tugas
di lawang kori. Banyak Sumba segera menghubungi tuan
rumah, lalu menjelaskan persoalannya, "Paman, saya betul-betul membutuhkan pekerjaan dan saya merasa di puri inilah
saya akan mendapat pekerjaan yang cocok."
Saltiwin termenung sebentar, lalu berkata, "Seandainya Paman dapat membantumu, Raden, tentu engkau akan Paman
tahan di sini. Akan tetapi, seperti Raden dengar kemarin sore, di sini sudah cukup tersedia guru membaca dan menulis untuk putra-putri bangsawan. Bahkan anak-anak somahan pun, yang
baik-baik tingkah lakunya diberi kesempatan membaca dan
menulis karena banyaknya waktu senggang guru-guru itu."
"Sebenarnya, saya pun memiliki kepandaian lain, Paman.
Barangkali, kepandaian inilah yang akan membantu saya agar
tidak terus-menerus terlunta-lunta," kata Banyak Sumba, harapannya belum padam.
"Kepandaian apa itu, Raden. Membuat obat-obatan?"
"Bukan, Paman. Saya pernah mempelajari pula ilmu ke-
perwiraan." Mendengar penjelasan itu, berpalinglah Saltiwin,
memerhatikan Banyak Sumba dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Badan Banyak Sumba yang lampai tapi tegap,
otot-ototnya yang berisi tampak menarik perhatiannya ketika itu. Saltiwin mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata,
"Pelatih keperwiraan pun tidak kurang di sini, Raden.
Sebenarnya, Paman sendiri ingin menahanmu, tetapi Paman
tidak berwenang untuk menginapkan orang asing tanpa izin
dari pangeran atau keluarganya. Maklumlah, Paman hanyalah
rakyat belaka yang tinggal di dalam puri yang aman ini berkat kebaikan budi pangeran belaka. Jadi, kalau Paman banyak
permintaan kepada beliau, itu berarti Paman ini tidak tahu diri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap beliau. Tapi, bagaimanapun, sebenarnya isi puri ini berkewajiban membantu orang asing, apalagi orang asing
yang mendapat kesukaran seperti Raden."
Sambil berkata demikian, mereka berjalan ke arah gerbang
puri, untuk bertemu dengan kepala jaga yang tadi malam
bermaksud mengirimkan Banyak Sumba ke luar puri. Akan
tetapi, ternyata kepala jaga itu sedang dipanggil ke Bumi
Ageung, tempat keluarga Pangeran Purbawisesa berada. Oleh
karena itu, Banyak Sumba menunggu di ruangan yang
berdekatan dengan lawang kori. la tidak banyak berkata,
karena pikirannya giat mencari akal.
Kepala jaga belum hadir juga, maka berkatalah Banyak
Sumba kepada Saltiwin, "Paman, saya sungguh-sungguh
berutang budi kepadamu. Oleh karena itu, izinkanlah saya
mengembalikan kebaikan itu kepada Paman demi Sang Hiang
Tunggal. Saya akan mencari pekerjaan di kampung-kampung
sekitar puri, tetapi pada setiap kesempatan yang Paman
anggap baik, saya akan datang kemari, mengajari anak-anak
Paman mengenai ilmu keperwiraan itu."
Sekarang, Saltiwin-lah yang termenung. Berulang-ulang ia
melirik ke arah Banyak Sumba, lalu berkata, "Raden, Raden tidak cocok untuk bekerja di kampung-kampung itu. Raden
tidak pantas bekerja di huma atau menjadi kuli, misalnya. Itu tidak cocok, yang paling cocok adalah di sini. Raden adalah seorang bangsawan, Raden hanya cocok untuk pekerjaan
keperwiraan dan kepemimpinan."
"Itu tidak benar, Paman. Semua pekerjaan cocok untuk
siapa pun, asal dia rajin dan jujur. Saya bersedia mengajarkan apa saja, Paman, asal saya tidak kehabisan bekal dalam
pengembaraan saya ini."
"Baiklah, Raden. Sekarang, tunggulah hingga ponggawa
kepala jaga datang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata, hingga hari siang, kepala jaga tidak muncul juga.
Ketika waktu makan tiba, Saltiwin mengajak Banyak Sumba
kembali ke rumahnya. Pada kesempatan itulah, Banyak Sumba memanggil anak-
anak Saltiwin, lalu memberikan pelajaran ilmu berkelahi yang pertamartama. Kebetulan, anak-anak itu menyukai pelajaran
yang mereka terima dan Saltiwin memerhatikan mereka
dengan senang hati. Pelajaran itu hanya berhenti setelah hidangan siap. Akan
tetapi, ketika orangtua makan, anak-anak itu demikian
senangnya pada pelajaran yang mereka terima hingga mereka
menolak untuk makan bersama-sama. Mereka terus
melakukan beberapa gerakan yang baru mereka terima,
diperhatikan oleh orangtua mereka.
"Raden, Paman baru melihat gerakan yang Raden ajarkan!"
kata Saltiwin. "Di Kota Medang pun guru saya saja yang memiliki gerakan itu, Paman. Semuanya ada empat puluh dua gerakan dan
yang saya berikan kepada anak-anak itu adalah gerakan
persiapan, belum gerakan pertama. Saya ajarkan kepada
mereka gerakan-gerakan yang menggiatkan otot-otot mereka
yang berguna dalam perkelahian. Kalau mereka sudah dapat
mempergunakan otot-otot itu, barulah gerakan dapat saya
berikan." "Berapa lamakah diperlukan waktu untuk menguasai
keempat puluh dua gerakan itu?"
"Saya mempelajarinya tiga tahun, Paman. Setiap hari saya berlatih, tiga tahun lebih dua minggu, itu tepatnya, sampai saat saya diuji oleh guru saya."
"Sayang!" ujar Saltiwin, "Sayang, Raden tidak dapat tinggal di sini. Tapi... bagaimana kalau begini. Paman mengumpulkan beberapa putra ponggawa yang berminat, lalu mereka Raden
ajar. Pelajaran diberikan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan dilarang oleh kepala jaga karena sudah ada guru
keperwiraan, yaitu saudaranya yang diberi tugas oleh
pangeran untuk mengajari putra-putra beliau dan para putra
ponggawa. Akan tetapi, Paman sebagai ponggawa biasa dapat
melihat bahwa yang diajarkan Oleh guru keperwiraan kami
sebenarnya tidak banyak. Menurut penjelasan yang kami
terima, untuk dapat menjadi prajurit yang baik, yang paling diperlukan adalah kekuatan badan. Memang itu benar. Akan
tetapi, Paman pernah melihat bagaimana seorang laki-laki
yang tinggi besar dijatuhkan dengan mudah oleh seorang
pemuda lam-pai. Itu kejadian lima tahun yang lalu, ketika
Paman mendapat tugas pergi ke Kutabarang."
"Pendapatmu itu benar, Paman. Tenaga atau kekuatan
memang diperlukan oleh seorang prajurit, tetapi tidak perlu berlebih-lebihan. Kalau tenaga tidak digabung dengan yang
lain-lain, tenaga itu berkurang keampuhannya. Apalagi kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang prajurit yang
mahir." "Wah, Paman pernah menduga demikian, dan sekarang
Raden membenarkannya," seru Saltiwin dengan senang.
"Pukulan yang keras dapat dihindarkan dan kalau tidak
dihindarkan, belum tentu berbahaya seandainya hanya
mengenai bagian-bagian badan yang tidak terpilih, misalnya
punggung, dada, atau bahkan perut. Akan tetapi, tenaga biasa dapat berbahaya seandainya dapat dipergunakan secara baik
ke sasaran-sasaran yang terpilih. Telunjuk yang bertenaga
kecil dapat melumpuhkan lawan, sebesar apa pun dia,
seandainya dapat dipergunakan untuk menusuk matanya.
Demikian juga, cekikan macan apa pun dapat dibuka
seandainya kita mengetahui bagian-bagian tubuh lawan mana
yang dapat melemahkan cekikan itu kalau diserang. Belum
tentu perhatian kita harus kita tumpahkan pada tangan lawan yang mencekik, mungkin perhatian dan serangan lebih baik
kita arahkan ke sasaran-sasaran lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian penjelasan Banyak Sumba kepada Saltiwin yang
mendengarkannya dengan mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti dan setuju. Apa-apa yang dikemukakan
Banyak Sumba bukanlah penjelasan yang diterimanya dari Paman
Wasis, tetapi hasil renungan-renungannya setelah belajar dan memerhatikan perkelahian yang diajarkan Paman Wasis.
"Raden, sudah lama Paman ragu-ragu terhadap apa-apa
yang diajarkan petugas di puri ini kepada para gulang-gulang, tetapi Paman hanya dapat merasakan keragu-raguan itu.
Bagaimana kalau begini, Raden, Paman carikan tempat di
salah satu kampung, lalu Paman mengumpulkan anak-anak
ponggawa, misalnya lima atau enam orang, agar tenaga
Raden tidak terbuang sia-sia."
Maksud itu disetujui Banyak Sumba dan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan keperluan itu mereka bicarakan.
Saltiwin mengantar Banyak Sumba ke kampung yang paling
dekat dengan puri yangjuga ditetapkan menjadi tempr t
menginap Banyak Sumba. PADA hari-hari pertama, hanya anak-anak Saltiwin yang
menjadi murid Banyak Sumba. Baru setelah kira-kira
seminggu, murid-murid bertambah. Mula-mula dua orang, dua
orang lagi, kemudian tiga orang. Karena ruangan serambi
Saltiwin kecil, Banyak Sumba meminta agar untuk sementara,
muridnya tidak bertambah lagi.
Demikianlah Banyak Sumba bekerja menjadi pengajar putra
beberapa orang ponggawa. Beberapa orang ponggawa
memberi pakaian, sedangkan yang lain menjanjikan akan
mendapatkan kuda baginya"karena ponggawa itu mendapat
keterangan dari Saltiwin bahwa Banyak Sumba sangat
memerlukan kuda. Ponggawa lain memberinya beberapa
kepmg uang perak. Semua kebaikan ini diterima Banyak
Sumba setelah mereka melihat kepandaian anak-anaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu hal saja yang masih menyebabkan kepenasaran
Banyak Sumba. Ia belum pernah dapat melihat putri yang
pernah memesonakannya itu. Ia belum berani pula mencari-
cari kesempatan karena ia masih dianggap sebagai orang
asing setiap kali memasuki puri. Akan tetapi, pada suatu sore ketika ia berkunjung ke rumah Saltiwin, anak perempuan
Saltiwin yang terbesar pulang ke rumahnya.
Ketika emban itu melihatnya, ia tertegun dan
memperlihatkan bahwa gadis itu mengenalnya. Banyak Sumba
merasa senang, tetapi juga gelisah. Ia mengharapkan berita
kehadirannya sampai pula kepada Tuan Putri. Apakah yang
akan dikatakan emban itu kepada tuannya" Ia ingin sekali
bercakap-cakap dengan emban itu, tapi sukar sekali mencari
jalan bagaimana membuka percakapan dengan gadis yang
pemalu itu. Telinga Banyak Sumba yang tajam mendengar bahwa gadis
itu bertanya kepada ibunya tentang dia. Ibunya menjelaskan
kehadiran Banyak Sumba sejak kedatangannya sampai
menjadi guru putra para ponggawa. Banyak Sumba berdoa
dalam hati, mudah-mudahan gadis itu masih mengingatnya
ketika ia menegur putri dari bawah benteng itu; dan mudah-
mudahan Tuan Putri masih ingat peristiwa itu.
Demikianlah berminggu-minggu Banyak Sumba bekerja
sambil berharap mendapat kesempatan bertemu dengan Tuan
Putri. Hingga pada suatu hari, datanglah kiriman seekor kuda dari salah seorang ponggawa yang putranya diberi pelajaran.
Kiriman itu disertai surat yang menyatakan bahwa kuda itu tua dan buruk, tetapi diharapkan akan bermanfaat bagi Banyak
Sumba. Betapapun tua dan buruk kuda itu, Banyak Sumba
mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal atas
kebaikan ponggawa itu.. Beberapa hari setelah itu, ia mohon izin pergi ke
Kutabarang untuk bertemu Jasik dan memberi kabar
kepadanya tentang hal-hal yang dialaminya. Ia merasa perlu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera bertemu Jasik karena tahu betapa akan gelisah dan
cemasnya Jasik oleh perpisahan itu. Maka, pada suatu subuh, berangkadah Banyak Sumba menuju Kutabarang dan
Perguruan Gan Tunjung tempat Jasik bekerja. Jasik berlinang air mata karena kelegaan dan kegembiraannya setelah
bertemu kembali dengan tuannya itu.
DALAM percakapan-percakapan itu, Jasik mengabarkan
sesuatu yang menarik perhatian Banyak Sumba, yaitu adanya
peristiwa perkelahian antara anggota sekelompok pemuda dari sebuah kampung dan kelompok pemuda lainnya.
"Sayang sekali, kita tidak hadir pada peristiwa itu, Sik.
Kalau kita ada, mungkin kita dapat menemukan calon guru,"
ujar Banyak Sumba. "Bukankah Raden telah menetapkan akan berguru kepada
Juragan Colat?" "Memang, Sik. Akan tetapi, kita tidak dapat bermalas-
malasan. Selagi menunggu kesempatan bertemu lagi dengan
si Colat, kita harus memanfaatkan waktu." Banyak Sumba berpaling kepada Arsim, lalu berkata, "Kang Arsim, seringkah terjadi perkelahian semacam itu di sini?"
"Kadang-kadang saja, Raden."
"Tentu saja kadang-kadang, Kang Arsim," ujar Jasik sambil tersenyum.
"Dan kadang-kadang di sini penting sekali artinya bagi saya, Kang," sambung Banyak Sumba. "Saya ingin sekali hadir dalam peristiwa-peristiwa demikian."
. "Tapi jarang terjadi, Raden. Kalaupun terjadi, hanya sebentar karena jagabaya segera tiba."
"Bagaimana sampai perkelahian itu terjadi?" tanya Banyak Sumba kepada Arsim.
"Biasa saja, Raden."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
'Justru biasa saja itu yang tidak saya ketahui, Kang,"
sambung Banyak Sumba seraya tersenyum.
Sekarang, Arsim sadar bahwa soal perkelahian memang
penting bagi Banyak Sumba. Ia menarik napas panjang, lalu
menceritakan kejadian-kejadian semacam itu dengan panjang
lebar, "Di Kutabarang, tarian silat sangat disenangi rakyat.
Pada pesta-pesta, di samping reog, ogel, buncis, calung,
angklung, dan pantun; acara tari silat biasanya tidak pernah ketinggalan. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan dilakukan
para seniman saja. Reog hanya oleh ahli tari, nyanyi, dan
lawak. Ogel hanya oleh badut yangpandai berbicara dengan
air muka dan bahasa, diiringi tabuhan dogdog. Hal ini berbeda sekali dengan acara tari silat. Setiap orang yang dapat menari silat boleh menari dengan syarat, pertama, memberi upah
kepada nayaga, kedua, berhenti kalau satu lagu selesai.
Dalam acara-acara demikian, penonton biasanya bergiliran
memasuki gelanggang, menari satu lagu, kemudian berhenti,
memberi upah kepada nayaga, dan mempersilakan yang lain
masuk. Seandainya masih ingin menari, ia boleh masuk lagi
pada kesempatan kemudian, kalau tidak ada penonton lain
yang memasuki gelanggang. x
Umumnya, acara tari silat berjalan lancar dan aman. Akan
tetapi, sering gelanggang dimasuki penonton berandalan atau orang-orang kasar, atau mungkin para siswa ilmu keperwiraan yang masih baru dan tidak baik wataknya. Orang-
orang macam ini biasa mencari gara-gara. Ia memasuki
gelanggang dan tidak mau keluar setelah satu lagu habis.
Seandainya penonton lain penyabar, dia dibiarkan saja. Akan tetapi, tidak semua penonton penyabar. Kadang-kadang orang
yang memborong lagu itu harus dikeluarkan, yaitu dengan
diusir. Ini berarti adu kepandaian seni berkelahi, bukan seni tari. Kalau ini terjadi, penonton bubar, nayaga lari, dan
gelanggang tari menjadi gelanggang perkelahian, sampai
jagabaya datang mengamankan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian cerita Kang Arsim tentang salah satu adat di
Kutabarang yang asing tapi menarik bagi Banyak Sumba.
Itulah sebabnya, Banyak Sumba meminta Arsim agar kalau
ada pesta, ia diberi tahu dan dijemput dari Puri Pangeran
Purba-wisesa. Arsim menyanggupinya karena permintaan itu
tidak sukar, sedangkan ia terikat oleh kewajiban untuk
mengabdi kepada putra penguasa kotanya.
Setelah bercakap tentang hal-hal lain serta membuat
rencana baru dengan Jasik, Banyak Sumba pun minta diri
kembali ke tempatnya mengajar. Kedua orang panakawan dan
sahabatnya mengantarnya hingga gerbang kota dan


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendoakan mudah-mudahan guru yang dicari-cari dapat
segera ditemukan. BANYAK SUMBA kembali bekerja di dekat Puri Pangeran
Purbawisesa. Karena muridnya ternyata bertambah tiga orang
lagi dan serambi Saltiwin sudah tidak mencukupi, diputuskan ia akan mengajar mereka di lapangan kecil di tepi hutan. Ke sanalah murid-murid itu pergi setiap sore ketika matahari
sudah tidak terlalu panas.
Setelah beberapa bulan, karena hadiah dari para ponggawa
dan upah tetap yang terimanya, bekal Banyak Sumba mulai
bertambah. Ia mulai memikirkan cara agar bekal itu terus
bertambah. Kudanya sekarang sudah baik karena atas usul
Jasik, ia menukarkannya dengan tambahan uang dari Jasik
kepada pemilik. Banyak Sumba tidak menolak kebaikan
panakawannya itu karena memang kuda baik yang
dibutuhkannya. Dengan keadaannya yang makin baik itu, ia
mulai agak lega, walaupun kepenasarannya masih juga belum
terpuaskan. Ia belum dapat kesempatan untuk bertemu
dengan Tuan Putri, di samping belum juga mendapatkan guru
yang baik itu. Pada suatu sore, datanglah Jasik dan Arsim berkuda ke
tempat latihan Banyak Sumba. Mereka memberitahukan akan
diadakannya pertunjukan-pertunjukan, di antaranya tari silat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dikatakan oleh Arsim bahwa seorang bangsawan kaya di
Kutabarang mengadakan pesta perkawinan putranya. Untuk
memeriahkannya, diadakan pesta selama beberapa malam.
Mungkin, sesuatu akan terjadi dalam pesta itu. Banyak Sumba mempergunakan kesempatan itu. Setelah minta diri kepada
Saltiwin, ia segera berangkat. Mereka bertolak ketika matahari condong ke barat dan tiba di pinggiran Kutabarang sekira
tengah malam. Keesokan harinya, Banyak Sumba berjalan-jalan dengan
Jasik di dalam Kota Kutabarang yang ramai itu. Banyak Sumba membeli berbagai macam keperiuan untuk hidupnya di luar
kota, seperti pakaian, terompah, sanggurdi, dan pakaian kuda yang baru. Dibelinya pula sebuah pisau kecil yang bergagang gading dan sisir dari kulit penyu yang pinggirnya dilapis emas tua. Sisir itu cocok sekali untuk dijadikan hiasan rambut
seorang gadis, pikirnya, seraya kenangannya mengembara ke
Puri Purbawisesa. Kemudian, ia tersenyum menertawakan
dirinya dan segera mengusir pikiran-pikiran yang dianggapnya terlalu khayali itu. Ia menetapkan dalam hatinya bahwa ia
membeli sisir yang bagus lagi mahal itu hanya untuk
menghargai keahlian seniman pembuatnya. Sekali lagi ia
tersenyum, kemudian melupakan persoalan itu sambil
menawar sebuah ikat pinggang kulit yang lebar.
"Raden belanja seperti seorang calon pengantin," ujar Arsim sambil melihat-lihat ikat pinggang yang lebar dan kuat itu.
"Saya sudah menikah dengan tugasku, Kang Arsim. Ikat
pinggang itu bukan untuk bersolek, tetapi untuk menyisipkan beberapa buah belati. Janganlah salah sangka."
Mendengar penjelasan itu, Arsim tampak mengerti dan
dengan sayu memandang Banyak Sumba. Dari sikapnya
terhadap Banyak Sumba belakangan ini, tampaknya Arsim
sudah mendapat penjelasan yang cukup banyak dari Jasik
tentang tugas yang diemban Banyak Sumba. Banyak Sumba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah mendengar Arsim berkata kepada Jasik, "Sik, saya merasa lebih beruntung lahir sebagai orang biasa. Saya tidak perlu mengorbankan masa muda, bahkan nyawa saya, untuk
kehormatan diri atau keluagasaya. Bayangkan, Raden Sumba
yang tampan dan muda belia itu. Seharusnya, Den Sumba
sekarang sudah mulai berpacar-pacaran, punya kuda bagus,
punya kereta, berburu banteng atau harimau. Akan tetapi,
sebagai putra bangsawan, terpaksa Den Sumba harus berjerih
payah mencari guru ke tempat-tempat yangjauh, melupakan
gadis-gadis, dan mungkin menghadapi bahaya."
Mendengar pendapat Arsim, Banyak Sumba tersenyum. Ia
mengakui kebenaran pendapat itu, walaupun dianggapnya
berat sebelah. Arsim menyangka bahwa hidup ini cukup dengan makan,
tidur, dan berkeluarga serta berumah. Ia tidak tahu bahwa
orang hanya dapat mencukupi makan, pakaian, dan
kebutuhan lainnya kalau segalanya diatur oleh penguasa
kerajaan secara benar, adil, dan baik. Jadi, yang pertama-
tama dibutuhkan sebenarnya bukan makanan, pakaian, dan
harta benda; melainkan kebenaran, kebaikan, dan keadilan.
Tanpa kebenaran, kebaikan, dan keadilan itu, suatu negeri
yang makmur tidak akan dapat memberi kebahagiaan kepada
penghuninya. Di sinilah mulainya perbedaan pandangan dan
tugas hidup seorang rakyat biasa dan seorang bangsawan
Pajajaran. Seorang bangsawan Pajajaran pertama-tama harus
menyadari bahwa hidup itu tidak cukup dengan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah saja. Terutama para
bangsawan yang akan menjadi pemimpin rakyat, harus
memberi makanan bagi rohaninya sendiri. Ia harus merasa
lapar akan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Ia harus
mencari ketiga makanan rohani yang sangat penting itu.
Hanya kalau para bangsawan menyadari dan dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan rohaninya itu, mereka akan menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemimpin rakyatnya, dan karena itu tepat bergelar
bangsawan. Kalau Banyak Sumba sudah bertahun-tahun berjerih payah
dan bahkan hidup sederhana di negeri orang, hal itu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Ia dan keluarganya
dapat saja melupakan kematian Jaluwuyung dan membiarkan
setiap orang yang tangannya dilumuri darah hidup dengan
tenteram. Ia dapat saja berdamai dengan Anggadipati, dengan keluarga Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu. Akan tetapi,
masalahnya bukan susah dan senang, menderita atau tidak
menderita. Soalnya adalah keluarga Banyak Citra membutuhkan
kebenaran dan keadilan, di samping lain-lainnya. Bagi
keluarga Banyak Citra, keadilan dan kebenaran ini lebih
daripada makan dan tidur serta kesenangan jasmani lainnya.
Hal itu karena keluarga Banyak Citra adalah bangsawan
Pajajaran sejati, dan setiap kali kebenaran serta keadilan
dilanggar, berarti kehormatan pribadinya pun dilanggar. Inilah yang tidak dimengerti Arsim dan bahkan oleh Jasik.
"Den Sumba, Jasik melihat pisau yang baik di sana," tiba-tiba Arsim mengejutkan renungan Banyak Sumba. Banyak
Sumba pun berjalan mengikuti Arsim dan tiba di suatu tempat.
Di sana, seorang pedagang pisau menggelarkan tikarnya di
tanah. Banyak Sumba berdiri sambil melihat pisau pendek yang
digelarkan di hadapan orang itu. Semua pisau itu panjangnya tidak ada yang lebih dari sejengkal karena yang lebih panjang dari itu dilarang diperjualbelikan kepada umum berhubung ada bahaya seandainya terjadi keributan-keributan. Pisau panjang dan golok hanya bagi jagabaya dan petani kalau mereka
berada di huma atau hutan. Di kota, apalagi kota-kota besar seperti Kutabarang, orang dilarang membawa senjata.
Kalaupun mereka boleh membawanya, senjata pendek itu
tidak boleh disandang di pinggang, tetapi harus dibungkus dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diikat. Demikianlah peraturan negeri untuk menjaga
keamanan dalam kota besar. Peraturan ini diperkeras kalau
ada perayaan yang mempertunjukkan tari-tari silat. Dalam
peristiwa semacam itu, orang sama sekali dilarang membawa
senjata. Peraturan-peraturan itu jarang sekali dilanggar warga
negara Pajajaran. Pertama, mereka tidak perlu membawa
senjata di kota-kota Pajajaran yang aman dari gangguan-
gangguan. Kedua, parajagabaya selalu siap mengamankan
dan mengatasi keadaan seandainya terjadi keributan yang
biasa disebabkan para pemuda yang kebanyakan minum tuak
atau berebut gelanggang tari silat.
Senjata yang dihadapi Banyak Sumba bagus-bagus
buatannya. Ia menawar lima buah pisau yang besarnya tidak
sama, tetapi beruntun dari yang panjangnya sejari tengah
hingga sejengkal. Pisau ini sarungnya bersatu dan sudah
berbentuk ikat pinggang yang buatannya halus pula. Banyak
Sumba memegang senjata itu dengan penuh kekaguman akan
keahlian seniman yang membuatnya.
"Berapa harganya?"
"Dua keping perak, Raden," jawab pedagang senjata itu.
Mendengar harganya yang mahal, Banyak Sumba keheranan
dan memandang ke wajah pedagang itu. Pedagang itu
mengedipkan matanya sambil tersenyum. Banyak Sumba tidak
mengerti apa maksud pedagang itu. Kemudian pedagang itu
berdiri, memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk
mengikutinya ke samping sebuah bangunan. Di sana
berkatalah pedagang itu, "Dua keping perak bukan hanya untuk pisaunya, Raden. Tapi dengan ini," lanjutnya seraya mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari dalam ikat
pinggangnya yang besar. Pundi-pundi itu ditunjukkannya
kepada Banyak Sumba sambil berkata, "Pundi-pundi ini berisi racun. Celupkan ujung pisau itu, lalu lemparkanlah ke arah
kijang, harimau, atau banteng. Beberapa saat, binatang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuat seperti apa pun akan lumpuh. Atau ... Raden punya
musuh" Inilah jawabnya," kata pedagang pisau itu sambil tersenyum culas.
Menyadari ke mana penjual pisau itu membawanya, Banyak
Sumba jadi bimbang. Pertama, ia sangat ingin memiliki pisau yang indah-indah buatannya itu; kemudian sekarang dia tahu
bahwa pisau itu mungkin ada hubungannya dengan tugas
yang diembannya. Mungkin sekali pisau dengan isi pundi-
pundi itu dapat membantunya menyelesaikan tugas dengan
cepat. Akan tetapi, ia pun ragu-ragu, apakah penggunaan
pisau beracun itu cocok baginya, bagi seorang bangsawan
Pajajaran yang punya rasa kehormatan"
Bukankah hanya orang pengecut dan orang jahat yang
sampai hati mempergunakan senjata secara licik seperti itu"
Akan tetapi, kalau lawan demikian busuknya dan telah mem-
perdaya keluarga Banyak Citra, bukankah pada tempatnya
kalau dilawan secara kejam pula" Dan bukankah dengan
mempergunakan pisau beracun itu, ia akan dapat
memperpendek penderitaan keluarga Banyak Citra"
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu, ia berkata
kepada penjual itu, "Terlalu mahal."
"Raden, Paman tahu Raden tidak kekurangan uang.
Bukankah sudah banyak sekali Raden membeli barang-barang
tadi?" "Justru telah saya belanjakan, maka saya tidak sanggup lagi membeli pisau itu."
"Ah, bukankah tidak terlalu mahal?"
"Bagaimana kalau pisaunya saja?"
"Raden, besi pisau itu dibuat khusus untuk mengisap isi pundi-pundi itu. Sekali dicelup, isi pundi-pundi itu banyak sekali yang terisap. Raden tinggal melemparkannya ke
sasaran. Sedangkan gagang pisau itu dibuat begitu rupa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hingga gerakan pisau itu di udara lebih lurus dari anak panah yang paling lurus. Nah ..."
"Terlalu mahal dan itu benda terlarang. Bagaimana kalau ada orang yang tahu dan saya ditangkap?"
Rupanya penjual pisau itu sadar bahwa ia telah banyak
bicara tentang sesuatu yang sebenarnya berbahaya bagi dia.
Dia melihat ke kanan ke kiri, lalu berbisik, "Bagaimana kalau satu keping perak dan lima keping perunggu?"
"Terlalu mahal."
"Satu keping perak saja," kata pedagang itu sambil menyodorkan pisau serta pundi-pundi itu. Dalam
kebimbangannya, Banyak Sumba menerima pisau dan pundi-
pundi itu, lalu memasukkannya ke balik pakaiannya. Ia
membayar harga senjata itu, lalu dengan tergesa-gesa pergi
dari tempat itu ke tempat Jasik dan Arsim yang sedang
menunggu. Banyak Sumba menyerahkan pisau yang
terbungkus itu kepada Jasik, tetapi ia tidak menyerahkan
pundi-pundi racun yang terasa dingin di rusuk kirinya.
Setelah berbelanja beberapa lama, mereka pun pulang ke
Perguruan Gan Tunjung, tempat Jasik dan Arsim bekerja dan
tempat Banyak Sumba menginap malam itu.
MALAM harinya, dengan ditemani Jasik, Banyak Sumba
pergi ke tempat keramaian. Acara lain tidak menarik
perhatiannya. Ia langsung ke tempat bunyi kendang dan
kempul. Banyak Sumba mencari tempat yang baik, lalu
memerhatikan para pemuda dan orang-orang setengah baya
bergiliran masuk dan keluar gelanggang.
Setelah memerhatikan gerakan-gerakan yang indah dan
lagu selesai, penari berjalan ke arah nayaga, lalu menjatuhkan satu keping uang perunggu di atas bokor tembaga. Bunyi
perunggu menimpa tembaga, bukan saja isyarat giliran baru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah tiba, tetapi juga isyarat bertambahnya uang para
nayaga. Walaupun sudah beberapa belas penari masuk gelanggang,
menurut Banyak Sumba, belum seorang pun menguasai isi
gerakan-gerakan yang ditarikannya. Kebanyakan mereka
hanya dapat menari. Ini dapat dimengerti karena Pajajaran
sudah lama terhindar dari peperangan besar. Keamanan dan
ketenteraman itu telah menghikmahkan kemakmuran pada
rakyat Pajajaran. Namun, rakyat Pajajaran harus membayar,
di antaranya keahlian mereka merosot dalam ilmu
keprajuritan. Barangkali hal itu baik bagi Pajajaran, tetapi bagi Banyak
Sumba, hal itu tidak menguntungkan. Karena negeri damai
dan makmur itulah mengapa sukar sekali baginya mencari
guru keperwiraan yang baik, demikian pikir Banyak Sumba.
Seraya pikirannya melayang ke hal yang demikian itu,
sadarlah ia pada suatu yang janggal. Bukankah ia telah
menyesali kedamaian dan kemakmuran" Bukankah itu pikiran
yang tidak baik" Ia menyadari suatu pertentangan. Pada satu pihak, ia harus berusaha mengejar ilmu keperwiraan bagi
kehormatan keluarganya. Tetapi di lain pihak, ia tidak dapat memungkiri kenyataan adanya pertentangan antara
kehormatan keluarga dan kepentingan rakyat Pajajaran.
Kehormatan keluarga adalah baik dan harus dijunjung, untuk
itu ia harus membalas dendam dan menyebabkan huru-hara.
Kedamaian dan lce-makmuran adalah baik dan harus menjadi
cita-cita setiap bangsawan Pajajaran, untuk itu ia harus
menghindarkan huru-hara dan ikut menjaga ketertiban.
Bukankah dengan demikian, kehormatan keluarga
bertentangan dengan kepentingan umum, padahal kedua-
duanya baik" Banyak Sumba termenung dan lupa bahwa ia sedang di
tengah keramaian. Ia ingat kembali pada pundi-pundi racun
yang terselip di ikat pinggang lebar di rusuk kirinya. Ia seolah-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
olah menyembunyikan dosa di sana. Akan tetapi, bukankah
racun yang jahat dan patut dihindarkan itu berguna untuk
menegakkan kehormatan keluarga, untuk membalas dendam"
Dan bukankah membalas dendam demi kehormatan
keluarga yang diperlakukan tidak adil itu tugas suci"
Banyak Sumba masih termenung ketika Jasik berbisik
bahwa di gelanggang ada seorang penari yang baik. Banyak
Sumba mulai memerhatikan pemuda yang sedang menari itu.
Pemuda itu kira-kira sebaya dengannya, tetapi tubuhnya lebih kekar. Gerakan-gerakannya penuh tenaga serta dilakukan
dengan perhitungan yang selaras. Sayang, gerakan-gerakan
pemuda itu sangat terbatas, sedangkan gerakan yang
dilakukannya itu selalu diisi dengan tenaga.
"Sik, orang-orang Kutabarang lebih mengandalkan pada
tenaga dalam ilmu mereka. Saya dengar hal itu dari Paman
Saltiwin di Puri Purbawisesa. Masih banyak kelebihan ilmu
ayahmu," demikian Banyak Sumba berkata kepada Jasik.
"Demikian pula pendapat saya, Raden. Akan tetapi, saya yakin, pemuda ini-prajurit yang tangguh. Baru dia itulah yang berisi di antara yang pernah memasuki gelanggang."
"Ya, dan saya harap, dia tidak mau keluar dari gelanggang"
"Mudah-mudahan," ujar Jasik sambil tersenyum kepada Banyak Sumba.
"Ya, mudah-mudahan, dan saya akan langsung
mencobanya," kata Banyak Sumba pula.
Jasik segera menyela, "Tidak, Raden, saya lebih baik
mendahului Raden. Kalau saya sudah kewalahan, baru Raden
turun," demikian kata Jasik.


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika pukulan kendang menjadi cepat dan lagu hampir
selesai, Banyak Sumba berdebar-debar dengan harap-harap
cemas. Ia tidak sabar mengetahui, apakah pemuda itu akan
keluar dari gelanggang atau tidak. Ia berdoa dalam hati,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mudah-mudahan pemuda itu tidak keluar dari gelanggang.
Dengan begitu, akan terbuka kesempatan baginya untuk
menantangnya. Seandainya menang dalam perkelahian itu, ia
akan lebih yakin lagi pada ketinggian mutu ilmu Paman Wasis; seandainya kalah, ia akan mendapat guru baru. Akan tetapi,
ketika kendang, kempul, dan trompet kayu berhenti, pemuda
itu sambil tersenyum memberi hormat kepada penonton,
berjalan ke luar gelanggang diiringi tepuk-sorak. Melihat hal itu, berkatalah Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, saya kira, usaha kita akan sia-sia. Padahal, saya sudah dua hari
meninggalkan murid-murid."
"Sabar sebentar, Raden," demikian ujar Jasik yang juga tampak kesal.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa, ia memandang ke
dalam gelanggang. Tampak olehnya seorang gemuk sedang
menari. Di samping gerakannya tidak berisi, dilakukan pula
dengan sangat buruk. Melihat penari gemuk itu, khayal
Banyak Sumba melayang, membayangkan sebuah orang-
orangan yang terbuat dari jerami ditiup angin di tengah-
tengah huma. Banyak Sumba lega ketika lagu habis dan orang
gemuk itu melemparkan uang ke dalam bokor tembaga yang
terletak di depan para nayaga. Penari yang berikut tidak lebih baik kalaupun tidak lebih buruk daripada yang terdahulu.
"Sik, marilah kita pulang, hari sudah larut."
"Sabar sebentar, Raden," ujar Jasik. Banyak Sumba tidak mengerti mengapa Jasik mau bertahan melihat tari-tarian
yang buruk itu. Banyak Sumba kemudian mengerti ketika Jasik maju ke dalam gelanggang yang kosong dan mulai menari
dengan indahnya. Ketika satu lagu berhenti, Jasik mengambil bokor tembaga tempat uang, lalu diletakkannya di tengah-tengah gelanggang. Ia menyuruh nayaga memainkan lagu
lain. Nayaga yang ketakutan melihat tubuh Jasik yang kuat
dan kekar itu menurut. Jasik pun menari dalam sikap dan
gerakan-gerakan yang menantang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sik, apa-apaan?" seru Banyak Sumba yang terkejut dan bingung.
Jasik mendengar seruan itu karena ia tersenyum ke arah
Banyak Sumba. Banyak Sumba cuma terpukau. Rupanya, Jasik
benar-benar tak hendak mengecewakannya. Ia telah bertindak
dan menyediakan diri menjadi umpan perkelahian demi
kepentingan Banyak Sumba. Ia terus menari. Setelah dua
lagu, ia minta lagu baru dan setelah ketiga, minta keempat.
Para penonton mulai menggerutu, sebagian mulai
meninggalkan gelanggang, sebagian berdiri dengan
pandangan marah ke arah gelanggang. Akan tetapi, tidak ada
yang berani turun mengusir Jasik. Rupanya, mereka pun tahu
bahwa Jasik bukanlah penari sembarangan. Gerakan-gerakan
yang indah dan mantap menyebabkan mereka gentar. Belum
lagi mereka memperhitungkan tubuhjasik yang tinggi besar
dibandingkan dengan kebanyakan di antara mereka.
Pada lagu yang kelima, para nayaga sudah mulai bimbang.
Jasik berhenti menari, lalu berjalan ke arah nayaga. Ia
menepuk-nepuk sakunya, membunyikan uang, seraya berkata,
"Teruskan!" Para nayaga yang ketakutan dan tidak berani mengambil
uang yang ada di tengah-tengah gelanggang, dengan
setengah hati mulai memainkan lagu baru: Kembang
Beureum. Ketika itulah, seorang penonton yang tubuhnya
besar masuk. Begitu Jasik pasang, orang itu langsung menangkap tangan
kiri Jasik. Akan tetapi, tangan kiri Jasik yang terpegang
pergelangannya itu bagaikan seekor belut melingkar dan
berbalik menangkap pergelangan kanan lawan. Keduanya
berguncang karena dua arus bertabrakan di titik pergelangan itu. Ketika itulah, Jasik memukul otot lengan kanan lawan
dengan cepat, lalu melanjutkan pukulan itu ke leher lawan dari arah bawah. Kedua pukulan itu menyebabkan lawan
terhuyung ke belakang, dan Jasik tidak memberi kesempatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kaki kirinya berkelebat masuk perut lawan yang langsung
jatuh ke luar gelanggang, ke tengah-tengah penonton.
Penonton mulai ribut, sebagian melarikan diri. Demikian
juga nayaga, tukang trompet, dan tukang kempul sudah tidak
ada, tinggal tukang kendanglah yang duduk. Ia tidak sampai
hati lari meninggalkan kendangnya yang tiga buah itu. Ia terus saja menabuh kendangnya, walaupun lagu dan iramanya
sudah tidak menentu lagi.
Setelah gelanggang kosong beberapa saat dan Jasik
berkeliling menantang, melompadah dari antara penonton
seorang laki-laki kurus berbaju hitam dan mengenakan ikat
kepala barangbang semplak. Ketika laki-laki itu pasang,
tampak oleh Banyak Sumba gelang akar bahar yang besar-
besar. Entah seolah-olah ia terpesona oleh akar baharnya
sendiri yang seolah-olah ia pandangi ketika ia pasang, atau entah karenajasik memang sangat cepat; begitu laki-laki
pasang begitu dagunya disambar oleh kaki Jasik yang
berterompah. Kepala laki-laki terpental ke belakang. Dengan nanar, laki-laki itu mencoba berdiri dan berkuda-kuda kembali.
Akan tetapi, mungkin karena masih pusing oleh tendangan
Jasik atau barangkali ia memasang perangkap, laki-laki itu
tidak menghadap Jasik. Ia agak miring dan menghadap ke
arah seorang penonton yang berdiri paling depan dan paling
dekat dengannya. Melihat hal itu, mula-mula Banyak Sumba heran, kemudian
ketika Jasik menghantam rusuk laki-laki itu dengan kaki
kanannya, Banyak Sumba menyadari bahwa orang itu karena
kalang kabut oleh pukulan pertama tidak dapat lagi
membedakan Jasik dengan penonton terdepan. Banyak
Sumba tidak dapat menahan tawanya. Dan bertepatan dengan
tawanya yang meledak, terdengarlah trompet jagabaya dan
derap kaki beberapa ekor kuda mengelilingi keributan. Jasik berlari dan berseru, "Raden, lari!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyak Sumba lari mengikuti Jasik. Seorang jagabaya
melempar tambang kepadajasik dan berhasil menjerat leher
panakawan itu. Akan tetapi, dengan kuat Jasik merenggut tali hingga jagabaya yang malang itu jatuh dari kudanya. Mula-rrtula,Jasik akan kembali dan menghantam jagabaya itu, tetapi Banyak Sumba menariknya. Mereka pun lari ke dalam gelap
malam. Di tengah-tengah kebun pisang, mereka berhenti dan
mencari-cari arah sambil mendengar kalau-kalau ada
pengejar. Setelah mereka yakin keadaan aman, Banyak
Sumba bertanya, "Sik, kegilaan macam apa yang kaulakukan itu?"
"Saya tak hendak mengecewakan Raden, padahal Raden
telah meninggalkan puri dan murid-murid," jawab Jasik.
"Kau ini terlalu, Sik. Jangan sekali-kali lagi main monyet-monyetan seperti itu!"
"Tidak apa, Raden. Di samping itu, saya tidak bersusah-susah membayar, seperti yang pernah Raden lakukan dulu
ketika ada tukang pantun serampangan itu," sambutnya
sambil tersenyum di dalam gelap.
Banyak Sumba tidak dapat tersenyum karena perbuatan
Jasik tetap dianggapnya melewati batas.
"Sik, saya tidak main-main. Tadi kau pun akan memukul
jagabaya kalau tidak saya tahan. Itu berbahaya. Kautahu
bukan, barang siapa melukai atau menyebabkan cedera
seorang jagabaya akan dihukum berait Kau perlu lebih
berhati-hati di kemudian hari."
"Salah jagabaya itu, Raden, leher saya luka sedikit karena tambangnya," ujar Jasik
Ketika itulah, Banyak Sumba tersenyum. Panakawannya itu
sungguh-sungguh sayang kepadanya sehingga kadang-kadang
melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya keterlaluan. Di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
samping itu, kesederhanaan cara berpikirnya sering
mengejutkan pula. Sementara kemampuannya mengendalikan
diri sangat lemah. Oleh karena itu, Banyak Sumba sering
menghindarkan dia dari hal-hal yang tidak diinginkan. Jasik ini kalau tersinggung perasaannya sering lupa daratan, seperti
halnya ketika jagabaya itu menjeratnya. Kalau ada kesedihan atau kegembiraan, air matanya mudah sekali tumpah. Sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan serta kesetiaan dan
kepatuhannya kepada majikan, sering mengharukan Banyak
Sumba. Keharuan itu tergugah pula malam itu dan Banyak
Sumba menepuk bahu Jasik ketika mereka berjalan di antara
pohon-pohon pisang, menuju jalan yang terdekat, merentang
antara dua buah kampung kecil di pinggiran Kutabarang.
"Hati-hatilah, Sik, hidupku tidak lebih berharga daripada hidupmu," kata Banyak Sumba. Mereka pun melangkah
menuju Perguruan Gan Tunjung, mengikuti Kang Arsim yang
telah lebih dulu meloloskan diri.
DUA hari setelah peristiwa itu, Banyak Sumba sudah berada
kembali di kampung kecil yang berdekatan dengan Puri
Pangeran Purbawisesa. Pekerjaannya sebagai pengajar ilmu
keperwiraan berjalan lancar dan menyenangkan.
Pagi hari ketika ayam baru berkokok, anak-anak para
ponggawa dan bangsawan rendahan sudah ramai di halaman
rumah tempatnya menginap. Dan ketika matahari terbit,
Banyak Sumba dengan bercelana pangsi dan berbaju
salontreng hitam, berlari menaiki bukit-bukit, melompati
sungai-sungai kecil serta pagar-pagar huma, diikuti tujuh belas orang muridnya. Setelah memanaskan badan, anak-anak
mulai diberi pelajaran yang berupa gerakan.
Kalau hari mulai panas dan sebelum murid-murid
menyelesaikan latihan pagi hari, Banyak Sumba biasanya
mengajak mereka duduk-duduk di tepi hutan, di bawah pohon
yang rindang. Kesempatan beristirahat itu dipergunakannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk menerangkan masalah-masalah yang penting mengenai
ilmu keperwiraan yang diajarkannya itu. Ternyata, hubungan
dengan anak-anak itu tidak saja memberinya kesibukan dan
obat kerisauannya sebagai anggota wangsa Banyak Citra yang
prihatin, tetapi juga memberinya hiburan yang
menggembirakan. Hubungan batin antara guru dan murid
terjalin dengan mesra. Hubungan ini sering dirasakan Banyak Sumba sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang
atau hadiah-hadiah yang diterimanya dari orangtua mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka beristirahat sehabis latihan pagi, tiba-tiba seorang murid yang bernama Giwang berkata,
"Kakanda, Rangga Sena berkelahi dengan Raden Sungging."
"Siapa Raden Sungging itu dan betulkah kau berkelahi,
Sena?" Rangga Sena tidak menjawab, ia menunduk memper-main-
mainkan rumput. Anak itu rupanya takut dan malu, karena
berulang-ulang Banyak Sumba berpesan agar mereka
menghindarkan perkelahian, bahkan kalau mereka diserang
dan tidak bersalah. Pesan Banyak Sumba adalah: Ambillah
jurus langkah seribu dan bertindaklah sebagai penakut karena mengalah merupakan sebagian dari pelajaran kita!
Memang Banyak Sumba tidak hanya mengajar ilmu
keperwiraan dalam arti yang dangkal. Apa-apa yang
diberikannya tidak hanya ketangkasan, tetapi susila seorang kesatria. Mengendalikan diri adalah salah satu syarat. Rendah hati dan suka mengalah dalam urusan-urusan remeh adalah
syarat lain. Berdasarkan pandangannya itu, Banyak Sumba
melarang keras murid-muridnya terlibat perkelahian.
"Kalian belajar ilmu keperwiraan pertama-tama agar dapat menghindarkan perkelahian. Keperwiraan itu dimulai dengan
menggerakkan lidah, bukan menggerakkan tangan dan kaki.
Lembutkanlah hati orang yang marah kepadamu dengan
kerendahan hati dan kejujuranmu yang disampaikan dalam
bahasa yang halus dan enak didengar. Jika lawanmu tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mau membuka telinganya, menghindariah kalian seandainya
tidak ada hal-hal lain yang terancam oleh lawan. Kalau lawan ingin mendapat kepuasan dengan memukul, berilah
kesempatan dia memukulmu, lalu engkau pergi. Engkau baru
boleh melawan kalau lawan mengancam nyawamu, nyawa
orang lain, atau ada hal-hal suci yang akan dilanggar,
misalnya kebenaran, keadilan, dan kehormatan seluruh
keluargamu atau kerajaan dan rakyat Pajajaran."
"Kalian harus menyadari bahwa kalau seorang puragabaya terlibat dalam perkelahian, ia mungkin dihukum dan dipecat
dari kepuragabayaan itu. Begitu keras peraturan bagi seorang kesatria sejati karena kehidupan seorang kesatria bukan untuk menciptakan huru-hara, melainkan sebaliknya."
Perkataan itu mengiang dalam telinganya sendiri.
Kebimbangan serta pertentangan-pertentangan batin timbul
oleh kata-kata itu dalam dirinya. Akan tetapi, bagaimanapun, ia terpaksa harus mengatakannya karena kesabaran dan
pengendalian diri adalah salah satu watak yang harus
diletakkannya pada pribadi murid-muridnya. Ketika ia
termenung akibat perkataannya sendiri itu, berkata pulalah
Giwang, "Kakanda, saya tahu tentang puragabaya yang
hampir saja dipecat karena berkelahi."
"Bagus, ceritakanlah kepada kawan-kawanmu supaya
mereka lebih yakin akan segala yang kuajarkan kepada
kalian," sambut Banyak Sumba.
"Pada suatu waktu, demikian diceritakan oleh Pamanda,
seorang puragabaya berkunjung ke suatu kota ketika ia
berada dalam perjalanan untuk berlibur di kotanya. Ketika.itu, upacara menerima Padi Sulung sedang dilakukan di dalam
kota. Para pemuda dan gadis-gadis kota itu berkumpul dan
bersu-karia dalam pesta semalam suntuk. Puragabaya itu,
dengan diiringi panakawannya, menghadiri upacara itu.
Kebetulan, seorang putri jatuh hati kepadanya. Ternyata, putri ini dicintai oleh seorang bangsawan setempat. Ketika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengetahui sang Putri jatuh hati, ia marah karena cemburu.
Saat pulang ke penginapannya tengah malam, puragabaya itu
disergap. Akan tetapi, karena setia kepada asas-asas
kesatriaan, puragabaya itu tidak melawan dan minta diadili
karena ia merasa tidak bersalah. Bangsawan yang marah dan
kawan-kawannya tidak mau mendengar perkataannya, lalu
menyiksa puragabaya itu beramai-ramai. Puragabaya itu tidak hendak melawan, walaupun sebenarnya ia dapat membunuh
semua pengeroyoknya. "Keesokan harinya, ia berhasil melarikan diri dari terungku tempat ia disekap. Bangsawan itu dan kawan-kawannya
mengejar dan mengepungnya di suatu mata air. Di sanalah
baru puragabaya itu melawan dan mengalahkan semua
pengejarnya. Sepulang ke Padepokan Tajimalela yang
dirahasiakan tempatnya, ia langsung diadili berdasarkan
laporan penguasa kota yang kebetulan ayah bangsawan yang
cemburu itu. Ia diadili, tetapi karena bangsawan yang
cemburu itu memang kurang ajar, ia hanya dihukum sebentar
dan tidak dipecat. Puragabaya itu kemudian menjadi
puragabaya termasyhur di seluruh Pajajaran, yaitu Puragabaya Anggadipati yang juga berhasil membunuh puragabaya yang
jadi gila "Sudah!" tiba-tiba Banyak Sumba berseru dengan keras.
Anak-anak keheranan. Banyak Sumba sadar bahwa tidak pada
tempatnya ia marah. Ia tersenyum dan menjelaskan bahwa ia
terkejut mendengar kata membunuh.
"Membunuh itu sangat mengerikan, Anak-anak. Oleh
karena itu, Kakanda sering terkejut mendengar perkataan itu."
Rupanya, anak-anak puas oleh jawaban Banyak Sumba,
walaupun mereka merasa heran juga melihat kegugupannya.
Sore itu, sehabis latihan, Banyak Sumba berkunjung ke Puri
Pangeran Purbawisesa. Ia pergi ke sana bukan didorong oleh
harapan dapat bertemu dengan Putri Purbamanik, tetapi
karena sudah lama tidak berkunjung kepada Paman Saltiwin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harapannya untuk bertemu dengan Putri Purbamanik semakin
menipis karena Tuan Putri ternyata sangat dipingit.
Ketika Banyak Sumba sedang duduk di serambi dan
mengobrol tentang berbagai hal dengan Saltiwin, anak
perempuan Saltiwin yang bekerja sebagai emban datang.
Begitu datang, ia segera kembali meninggalkan rumah.
Banyak Sumba tidak curiga apa-apa. Dia baru menyadari
kepergian emban itu ada hubungannya dengan dirinya setelah
suatu rombongan datang. Rombongan terdiri dari lima orang emban mengiringi
seorang putri, Nyai Emas Purbamanik. Sadarlah Banyak
Sumba bahwa kesempatan yang dinanti-nantikan datang
tanpa diduga. Ia gembira tetapi juga cemas, debar jantungnya tak dapat dikuasainya. Walaupun jantungnya berdegup


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggila, matanya tidak dapat dipalingkan dari putri jelita yang berdiri di halaman. Banyak Sumba melihat bagaimana
istri Paman Saltiwin gemetar mempersilakan putri itu masuk
ke rumahnya. Dengan suara rendah, Nyai Emas Purbamanik
berkata, "Jangan repot-repot, Bibi, saya hanya mampir
sebentar. Ada suatu hal yang hendak saya uruskan dengan
putra Bibi." "Tuan Putri pernah melihat rusa jantan yang tersesat,
barangkali ia lari kemari," kata seorang emban gemuk sambil tertawa.
'Apakah ada rusa yang lepas dari dalam taman, Tuan
Putri?" tanya Paman Saltiwin sambil melihat-lihat ke arah halaman.
Para emban tertawa tergelak-gelak. Paman Saltiwin
kebingungan dan tidak tahu apa sebenarnya yang lucu. Ia
membetulkan ikat kepalanya, kemudian kainnya, karena
disangkanya para emban itu menertawakannya. Akan tetapi,
emban-emban itu malah makin ramai tertawa ketika melihat
Paman Saltiwin kebingungan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah, Mang Saltiwin, tidak usah bingung karena rusa itu memang ada di sini," kata emban gemuk itu.
Tuan Putri tampak marah kepada emban itu. Wajahnya
yang kuning pualam merah sebentar, kemudian ia menunduk.
Banyak Sumba melihat rambutnya yang lebat
bergelombang menuruni pundaknya yang landai.
"Asih," kata Tuan Putri kepada anak Paman Saltiwin, "mari kita pulang."
"Tuan Putri, silakan duduk dulu. Mari masuk, tikar sudah dihamparkan di ruangan tengah," kata Bibi Saltiwin sambil menyembah-nyembah.
Mula-mula Nyai Emas Purbamanik bimbang, tetapi emban
gemuk itu kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Naiklah
Tuan Putri ke serambi, lalu masuk rumah. Banyak Sumba
seperti patung, berdiri di ujung tangga serambi sambil tak
putus-putusnya memandang ke arah tuan putri yang
menghilang ke dalam rumah. Baru ketika Tuan Putri hilang
dari pandangannya, la sadar kembali akan dirinya.
"Raden, duduklah, tidak usah terganggu," kata Paman Saltiwin yang juga gugup karena kedatangan putri
pangerannya itu. Banyak Sumba duduk kembali sambil menarik napas
panjang. Kemudian, kedua-duanya terdiam. Suasana hening
itu sangat menekan hati Banyak Sumba. Ia berusaha mencari
bahan percakapan, tetapi tidak juga didapatnya. Untung tiba-tiba dari dalam ruangan terdengar suara emban yang gemuk
bertanya kepada Paman Saltiwin, "Mang Saltiwin, kami
mendengar Mang Saltiwin punya anak pungut."
'Ah, bukan anak pungut, Nyimas Teteh. Raden ini
pengembara yang terlunta-lunta. Kewajiban setiap orang
untuk memungutnya, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh, terlunta-lunta" Pantas kudanya dulu terlunta-lunta masuk semak di bawah benteng, hihihi
Paman Saltiwin kebingungan dan tidak mengerti maksud
emban itu. Ia berpaling kepada Banyak Sumba, lalu berkata
rendah, "Nyimas Teteh ini kepala emban dan inang pengasuh utama Tuan Putri. Ia suka berlelucon yang aneh-aneh dan
sukar dimengerti." Banyak Sumba hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia
senang karena dikenal para emban dan tentu saja oleh Tuan
Putri. Kelakuannya dahulu dan keberaniannya menegur tuan
putri ketika berada di atas benteng, rupanya menarik
perhatian Tuan Putri. "Hati-hati, Mang Iwin," tiba-tiba kepala emban berkata kembah dari tengah rumah, "Jangan pungut sembarang
pungut, jangan-jangan Emang memasukkan elang ke kandang
ayam, harimau ke kandang kambing."
"Saya percaya kepada Sang Hiang Tunggal dan membantu
seseorang itu hanya karena perintah-Nya, Nyimas Teteh."
"Bagus, Mang Saltiwin. Jadi hati-hatilah! Lidah orang dapat lebih tajam daripada tangannya, hihihi
Paman Saltiwin kembali risau. Tak lama kemudian,
rombongan Tuan Putri meninggalkan rumah Saltiwin. Sebelum
pergi, pandangan Banyak Sumba bertemu dengan pandangan
Tuan Putri. Banyak Sumba mengangkat tangannya
menyembah, tetapi Tuan Putri yang bimbang memalingkan
mukanya. Peristiwa itu menyebabkan Banyak Sumba gelisah
sepanjang malam. Mungkinkah Tuan Putri membencinya
karena keberaniannya menegur ataukah sebagai gadis yang
masih muda, ia gugup dan malu menghadapi orang asing"
Pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya. Ia pun berguling-
guling di atas tikar pandan sepanjang malam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
KEESOKAN harinya, ketika ia selesai melatih pagi hari,
seorang gulang-gulang datang ke tempatnya menginap.
Gulang-gulang itu menyerahkan sebuah kotak lontar kecil, lalu pergi tanpa memberi tahu siapa pengirim surat itu. Banyak
Sumba membuka kotak lontar itu seraya jantungnya berdebar-
debar. Mungkinkah Tuan Putri mengusirnya atau
memanggilnya" Ia membuka lontar itu dengan tangan
gemetar. Ketika terbaca alamat pengirim, tahulah ia bahwa
bukan Tuan Putri yang mengirimkan surat itu, tetapi
seseorang yang bernama Girilaya.
Isi surat itu merupakan permohonan, dengan penuh
hormat, agar Banyak Sumba menemui sang pengirim surat di
suatu tempat di hutan. Karena penasaran, Banyak Sumba
segera berangkat menunggangi kudanya. Setiba di sana,
seorang pemuda yang dikenalnya karena pernah dilihatnya di
gelanggang tari, menjemputnya. Ia memberi hormat walaupun
tidak tersenyum. "Terima kasih atas kesudian Saudara datang ke tempat ini.
Maaf, saya telah mengherankan Saudara," kata pemuda itu dengan lemah lembut. Dari tutur kata dan tingkah lakunya,
sadarlah Banyak Sumba bahwa ia menghadapi seorang
bangsawan. "Sekali-kali, Saudara tidak menyusahkan saya. Kalau saya merasa heran, hal itu tentu saja segera mendapat penjelasan dari Saudara," jawab Banyak Sumba, juga dengan halus.
"Barangkali, apa yang akan saya sampaikan tidak akan
menyenangkan Saudara karena memang hal ini tidak pula
menyenangkan saya. Akan tetapi, saya yakin bahwa hal ini
tidak akan mengguncangkan ketenangan Saudara sebagai
seorang kesatria." Pemuda itu berhenti berkata. Setelah termenung sebentar,
ia melanjutkan perkataannya, "Begini, Saudara. Murid saya beberapa waktu berselang berkelahi dengan Rangga Sena.
Murid sayalah yang kalah, maka timbullah persoalan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seandainya murid saya menang, saya tidak akan memikirkan
masalah ini, tetapi ternyata murid Saudara lebih baik. Saya beranggapan bahwa mungkin ilmu yang didapat Rangga Sena
dari Saudara lebih baik. Itulah sebabnya saya terpaksa
meminta Saudara untuk bertemu di sini. Maksud saya Pemuda
itu bingung sebentar, "Saya bermaksud akan menyerahkan kedudukan saya sebagai pengajar putra-putra bangsawan di
Puri Purbawisesa, seandainya memang ilmu Saudara lebih
tinggi." "Tidak, Saudara," sahut Banyak Sumba, "seharusnya saya minta maaf kepada Saudara dan meninggalkan pekerjaan saya
di kampung itu karena saya secara tidak kesatria telah
menyaingi Saudara. Saya harus minta maaf dan besok saya
akan pergi meninggalkan daerah ini."
"Sama sekali tidak. Yang memutuskan siapa yang pergi
bukan kita, tetapi ilmu kita masing-masing. Saya tidak sekali-kali menantang Saudara. Sama sekali tidak, tetapi saya
memikirkan kepentingan anak-anak di Puri Purbawisesa.
Mereka harus mendapat guru yang terbaik. Itulah sebabnya,
kita harus mengetahui siapa sebenarnya yang lebih pantas
menjadi guru mereka."
Mendengar itu, sedihlah hati Banyak Sumba. Ia merasa
bahwa ia sudah tidak menenggang hati dan kepentingan
orang lain. Ia hanya memerhatikan dirinya. Ia sudah merasa
berdosa karena pernah mengganggu keluarga yang sedang
kenduri. Sekarang, dengan tidak disadarinya, ia sudah berbuat kesalahan. Akan tetapi, apa yang dikatakan kesatria itu
dimengertinya pula. Perkataan kesatria itu menunjukkan
kemuliaan hatinya sehingga Banyak Sumba merasa hina dan
kerdil sekali di hadapannya.
"Saya minta maaf kepada Saudara dan bersedia
meninggalkan tempat ini dengan segera agar Saudara dapat
mengajari putra-putra bangsawan seperti sediakala," kata Banyak Sumba; ia tidak merasa ditantang oleh pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuliaan hati yang memancar dari sinar mata pemuda itu
tidak sedikit pun memperlihatkan keangkuhan dan sifat
menantang. Hal itu makin membuat sedih hati Banyak Sumba.
"Saudara," kata pemuda itu, "marilah kita pikirkan anak-anak murid kita sendiri. Seandainya ada guru yang lebih baik, saya merasa tidak berhak lagi tinggal dan mengajari mereka.
Saya harus pergi dan menuntut ilmu kembali. Bukankah sikap
saya itu sikap seorang kesatria yang Saudara setujui dalam
hati nurani Saudara?"
Banyak Sumba mengerti karena ia pun seorang kesatria
Pajajaran. Akan tetapi, perasaan tidak dapat bersatu dengan pengertian itu. Ia tetap sedih karena merasa telah merugikan orang lain yang begitu mulia hatinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Saudara, walaupun kita akan bertanding, percayalah, kita akan bertanding tanpa kebencian. Kita berlawanan bukan
demi kepentingan diri sendiri, tetapi demi kepentingan asasasas kesatria. Kalau saya tinggal di sini dan tahu ada guru yang lebih baik bagi anak-anak, sifat kesamaan sayajadi
ternoda. Bantulah saya agar tetap menjadi kesatria yang
berharkat. Kalau Saudara pergi dari sini tanpa membuktikan
dulu kelemahan saya, Saudara pun membiarkan anak-anak
Pajajaran mendapat guru yangjelek, Saudara ternoda secara
kesatria. Marilah kita bertanding dengan tujuan hanya untuk membuktikan bahwa salah seorang di antara kita lebih berhak menjadi guru para calon perwira Pajajaran. Setelah
Pedang Dan Kitab Suci 10 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pendekar Aneh Dari Kanglam 7
^