Pencarian

Rahasia Kitab Tujuh 1

Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Bagian 1


Koleksi KANG ZUSI Tujuh Manusia Harimau (5)
Rahasia Kitab Tujuh Motinggo Busye Sejak ribuan lebah itu berhasil diusir oleh Pita Loka secara ajaib. Penduduk Kumayan merasa berhutang budi padanya. Tiap hari ada saja di antara penduduk yang datang ke rumah Pita Loka membawa beras, telur, padi, tebu, kelapa, minyak tanah, bahkan uang sebagai ucapan terimakasih Ki Putih Kelabu melihat perubahan gelagat Pita Loka setelah kehadiran tamu-tamu itu. Lalu dia menegur puterinya: "Pita Loka, sikapmu berubah jadi angkuh kepada mereka. Bukankah sikap itu tidak baik?"
"Memang itu saya sengaja, ayah", sahut Pita Loka.
"Disengaja" Ah itu lebih buruk lagi" ujar Ki Putih Kelabu.
"Tapi akan lebih buruk lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak memiliki apa-apa. Kecuali menjadi manusia biasa". Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, setelah diselidikinya segala tingkah laku Pita Loka, puterinya tidak memperlihatkan perilaku yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur karena dianggap berhasil dalam ngelmu, lalu berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat membuat penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seakan-akan suatu peristiwa "biasa" saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini adalah kegiatan Pita Loka mengurus legalisasi sekolahnya.
Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke SMA yang dibangun didesa itu.
"Kau mau bersekolah lagi, nak?" tanya sang ayah.
"Lho, apa itu tak wajar?" tanya Pita Loka pada sang penanya.
"Kau akan menjadi cerita dari mulut ke mulut bila bersekolah lagi", ujar sang ayah,
"Padahal di desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani".
Percakapan itu terhenti, karena ada tamu.
"Itu Ki Lading Ganda bertamu lagi, ayah", ujar Pita Loka, "Jika dia akan bertemu denganku, katakan aku sibukbelajar untuk ujian".
"Baik". kata ayah. yang lantas menuju beranda menyambut kedatangan Ki Lading Ganda.
Setelah dipersilahkan duduk. Ki Lading Ganda bertanya: "Mana Ki Pita Loka?"
"Ki Pita Loka" Anda menyebutnya dengan Ki dihadapan namanya?" tanya Ki Putih Koleksi KANG ZUSI
Kelabu. "Memang kini, mau tak mau, kita musti mengakui dia sebagai seorang Guru. Jadi pantas dia disebut Ki Pita Loka. Karena dia puteri anda, maka anda menganggap Ki Pita Loka sebagai manusia biasa-biasa saja. Padahal dia salah satu orang sakti di Kumayan ini. menggenapi yang enam. Aku merasa, karena yang enam telah berkurang satu, maka dia setidaknya menggantikan kedudukan Ki Karat untuk menjadi Ketua kita. Jabatan ini kuanggap wajar, dan aku telah merembugkannya dengan tiga harimau Kumayan lainnya".
Ki Putih Kelabu sebetulnya tak dapat mengelak kenyataan yang dikemukakan oleh Ki Lading Ganda ini.
Dia tercenung beberapa saat, kamudian berkata: "Dia sulit untuk diajak berunding!"
"Memang begitulah watak dari tiap Guru Besar. Puterimu itu Guru Besar, bukan sekedar anak perawan biasa", kata Ki Lading Ganda.
"Tapi bagaimana akalku?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Panggil dia! Katakan Ki Lading Ganda ingin bicara sebentar dengan Guru Besar Pita Loka yang dia hormati!"
Ki Putih Kelabu lalu masuk ke kamar Pita Loka. Memang Pita Loka sedang menghadapi beberapa buku.
Pita Loka bertanya: "Sudah pulangkah Ki Lading Ganda ayah?"
"Belum. Dia mohon menghadap kau!"
"MENGHADAP" Apa saya ini orang berkedudukan tinggi sampai seorang Ki Lading Ganda mau menghadap saya" Ah, katakan aku sibuk, ayah?" Ujar Pita Loka dan mulai menekuni buku Fisika.
"Aku telah gagal membujuknya", kata Ki Putih Kelabu.
"Tapi ini penting. Katakan pada Guru Besar itu, bahwa desa Kumayan sedang terancam. Katakan pada beliau,aku butuh seorang penafsir mimpi. Dan itu tidak lain kecuali Ki Pita Loka", kata Ki Lading Ganda serius.
Setelah memberitahukan pada Pita Loka. barulahah Pita Loka keluar dari kamarnya, lalu menerima tamunya.
Sang Tamu, salah seorang dari Enam Harimau Kumayan, menghatur sembah pada Pita Loka. Lalu dia menceritakan mimpinya itu.
"Seorang wanita berpedang emas, menyatakan diri sebagai Ki Ratu Turki, memaklumkan akan menyeranglima harimau Kumayan serta keturunannya. Saya hanya ingin tahu takwil dari mimpi ini", kata Ki Lading Ganda.
Koleksi KANG ZUSI "Sebenarnya yang ahli mimpi itu Guru Gumara", kata Ki Pita Loka.
Ki Lading Ganda maklum, bahwa ucapan Ki Pita Loka itu adalah pengertian lain yang halus, bahwa dia menolak ajakan itu. Tapi dia tidak boleh berkecil hati, selagi hatinya masih menganggap Ki Pita Loka sebagai "Guru Besar". Dengan kecewa, dia menyatakan pamit. Namun sempat bertanya: "Di mana Guru Gumara sekarang ini?"
"Seingat saya terakhir kali dia berada di Bukit Lebah. Setelah itu saya tidak tahu beliau pergi ke mana".
"Desa kita semakin aneh. Tiga hari yang lalu ada seorang lelaki compang-camping.
Duduk di gardu. Aku menyapanya. Dia diam. Gerak-geriknya memperlihatkan dirinya seorang yang berilmu".
Ki Pita Loka tertarik, lalu bertanya: "Bapak tidak menanyakan namanya?"
"Ada". "Siapa namanya?"
"Disebutnya Dasa Laksana. Melihat nama begini, aku makin yakin dia orang berilmu, setidaknya sedang ngelmu. Atau menyamar".
"Dia menanyakan sesuatu?" tanya Pita Loka.
"Justru pertanyaannya inilah yang kuanggap ada kaitannya dengan mimpiku itu", kata Ki Lading Ganda, yang kali ini dipersilahkan duduk kembali oleh Pita Loka.
"Apa yang dia tanyakan?" tanya Pita Loka.
"Alamat pemilik Kitab Tujuh", jawab Ki Lading Ganda.
"Itu saya baru dengar", kata Pita Loka.
"Tapi apa jawab Bapak?"
"Saya tak menjawabnya. Itulah sebabnya saya ke sini. Kau yang telah berhadapan dengan Ki Tunggal, Ki Rotan maupun Ki Ibrahim Arkam, setidaknya pernah mendengar nama Kitab Tujuh itu. Dan pengembara tak dikenal itu minta dengan sopan kepadaku. agar diizinkan mendapatkan sebatang tebu merah di kebun Katib Endah.
Kuizinkan saja. Lalu dia numpang tidur di gardu itu.Tapi keesokan harinya dia menghilang.
Lalu aku bermimpi bertemu dengan Ki Ratu Turki yang berpedang, yang mengumumkan akan menyerang Kumayan dan menghabiskanlima Harimau Kumayan serta keturunannya!"
Wajah Ki Lading Ganda berkeringat pertanda dia tak berdusta.
Koleksi KANG ZUSI "Semoga saja dalam waktu tak lama, Guru Gumara sudah berada di Kumayan", kata Pita Loka.
"Aku mengusulkan, antara kau dan dia dijalin satu perkawinan yang syah. Supaya desa kita menjadi kuat karena dipagari oleh 7 harimau", kata Ki Lading Ganda dengan nada memohon. Pita Loka hanya tersenyum simpul. Lalu Ki Lading Ganda melanjutkan: "Perkawinan itu akan direstui seluruh guru di Kumayan, dan, kukira Ayahmu yang terhormat ini. Bukan begitu Ki Putih Kelabu?" dan ditatapnya Ki Putih Kelabu, yang melirik pada Pita Loka.
"Jika memang itu jodoh. tak ada persoalan". kata Ki Pita Loka jujur.
"Aku berani menyatakannya, karena sebelum Ki Gumara meninggalkan Kumayan, dia berpamitan kepada Lima Harimau di sini, terakhir padaku. Dia menyebutkan, dia minta restu karena akan menjemput Pita Loka dan adiknya, Harwati.
Kami menafsirkan, bahwa islilah menjemput kau itu berarti akan melamarmu dan memperisteri anda. Dan Harwati kuanggap sebagai pengiring calon pengantin.
Bukankah akan menjadi hebat, keturunan Ki Karat menjalin hubungan darah dengan keturunan Ki Putih Kelabu?"
"Baiklah itu kita bicarakan di kemudian hari. Sekarang ini saya akan siap ujian masuk ke SMA. Lebih tiga tahun saya tak menyentuh buku pelajaran sekolah. Hal ini sama pentingnya dengan maklumat penyerbuan Ki Ratu Turki dalam mimpi tuan itu, Tuan Guru Lading Ganda".
"Jadi saya pulang hampa, tanpa membawa takwil mimpi itu?" tanya Ki Lading Ganda.
"Sudah saya anjurkan tuan bersabar sampai kembalinya Guru Gumara", kata Pita Loka.
"Jika dia tidak kembali?" tanya Ki Lading Ganda.
"Kita berpegang pada pepatah nenek moyang saja:
"Musuh pantang dicari, tapi jika datang pantang dielakkan". Bukan begitu, ayah?"
Pita Loka menoleh pada ayahnya, yang kemudian mengangguk-angguk ta"zim...
"Jadi wajar, Ki Putih Kelabu, jika saya menyebut puteri tuan ini sebagai Guru Besar.
Guru besar hanya mengurus soal-soal yang besar. Tapi maaf, Ki Pita Loka . . . saya pun tidak bisa memperoleh pengetahuan mengenai Kitab Tujuh?"
"Kitab Tujuh?" Pita Loka kembali bertanya, "Saya malah baru mendengarnya sekali ini, dari anda! Tidak anda tanyakan perihal Kitab Tujuh itu kepada orang pengembara itu?"
"Rasanya, tidak perlu. Kalau dia mencari kitab itu ke Kumayan sini, itu berarti kitab itu ada di sini", kata Ki Lading Ganda.
Mendengar itu Pita Loka tersenyum. Bahkan memberi jawaban yang secara disengaja Koleksi KANG ZUSI
mengecewakan: "Biarpun di sini, misalnya, saya tidak tertarik dengan masalah-masalah kesaktian lagi. Lebih seribu hari saya tekun dalam dunia begitu".
Setelah perginya Ki Lading Ganda, terjadilah pertengkaran. Ki Putih Kelabu mengecam Pita Loka:
"Kau merendah. Kadang, merendah yang berkelebihan sama saja denqan sikap tinggi hati!"
"Itu perasaan ayah. Orang perasa selalu kurang suka berfikir".
"Kau anggap aku goblok?" tanya sang ayah.
"Memang begitu. Otak ditaruh Tuhan letaknya dalam kepala. Kepala di atas. Dan hati, dalam dada. Letaknya dibawah kepala. Saya ingin penduduk Kumayan ini, termasuk ayah dan Ki Lading Ganda lebih mengutamakan otak dari hati. Biarpun hati berkata begini begitu, tapi yang memutuskan haruslah otak. Di bagian yang tertinggi dari hidup manusia", kata Pita Loka.
Tapi gadis ini menyesal melihat ayahnya murung di sore hari itu. Dan untuk mengobati hati ayah yang luka, malamnya dia suguhi makanan lezat yang ia masak sendiri dengan tekun.
Ayahnya berlinang airmata ketika menikmati hidangan malam.
Tapi muncul lagi tamu. Lagi " lagi, tamu itu Ki Lading Ganda. Perubahan tampak pada sikap menerima tamu yang diperlihatkan Pita Loka.
"Lelaki aneh itu muncul lagi", kata Ki Lading Ganda.
"Di mana dia?" tanya Pita Loka kaget.
"Di gardu itu".
"Apa katanya?" "Dia minta padaku, agar dia diperkenalkan pada Ki Pita Loka", ujar sang guru.
"Ah, saya tak kenal dia?". ujar Pita Loka berdusta.
"Anda tak kenal manusia yang bernama Dasa Laksana?"
"Baiklah, tapi apa kepentingannya?" tanya Pita Loka.
"Dia akan menyampaikan suatu pesan. Dan itu harus tuan guru sendiri yang mendengarnya". kata Ki Lading Ganda.
Mendengar ucapan itu, meremang bulu kuduk Pita Loka. Dia lalu bertanya: "Di mana Koleksi KANG ZUSI
dia sekarang?" "Masih di gardu" kata Ki Lading Ganda.
"Baik. Saya akan kesana ", kata Ki Pita Loka.
"Bersama saya?"
"Tentu. Bersama tuan guru", kata Ki Lading Ganda.
Pita Loka lalu berkata pada ayahnya : "Sebaiknya ayah tak ikut".
Ki Putih Kelabu tentu merasa kecewa. Pita Loka berjalan dengan langkah tegap bersama Ki Lading Ganda.
Menjelang sampai ke gardu, dia melihat begitu banyak anak-anak dan orang dewasa yang berkumpul. Pita Loka memberi isyarat agar mereka menepi. Dan mereka patuh.
Yang didapatinya adalah Dasa Laksana yang tubuhnya amat kotor dengan pakaian hitam compang - camping. Begitu Dasa Laksana melihat kehadiran Ki Pita Loka, dia langsung menyeruduk ke kaki dan mencium jari-jari kakinya seraya berkata: "Ampuni saya, Guru. Saya ke sini sekedar lewat. Dan ingin memberitahukan, bahwa Ki Ratu Turki akan menyerang desa ini secara mengerikan!"
"Siapa dia?" "Anda lebih tahu, Guru!"
"Jika anda bertemu dengan dia, pesankan padanya agar dia membatalkan maksudnya sebelum dirinya celaka", wajah Pita Loka berubah menjadi penuh wibawa karena dipenuhi perasaan sabar yang berjuta.
"Dia akan merebut Kitab Tujuh itu", kata Dasa Laksana lagi.
"KITAB TUJUH?" Pita Loka terheran.
"Hanya anda yang mengetahuinya. Tapi juga Ki Ratu Turki?".
"Baik. Kalau demikian, kamu akan meninggalkan Kumayan. Silahkan berangkat".
"Tapi saya memohon sesuatu", kata Dasa Laksana.
"Mohonlah pada Tuhan. Jangan pada saya. Saya manusia biasa", ujar Pita Loka.
Ucapannya ini disambut orang-orang dengan dengung suara kagum. Mereka kagum.
orang yang mereka kenal sakti, hanya mengaku manusia biasa. Namun telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa dia begitu dihormati, bahkan oleh Ki Lading Ganda yang terkenal sombong itu, yang bertindak jadi pengawalnya malah.
Sementara itu, bagai seorang sinting yang jadi tontonan rakyat. Dasa Laksana Koleksi KANG ZUSI
mengunyah tebu dan pamitan lagi.
Secara menyembah di duli kaki Pita Loka. Dia kemudian berlalu diiringi anak-anak dan orang dewasa. Ternyata dia belum meninggalkan Kumayan. Sebab dia pergi ke Bukit Kumayan yang terdiri dari batu-batuan menyan yang memancarkan bau harum menusuk hidung. Batu-batuan menyan itu memancarkan sinar oleh kerlipan pecahan sudut-sudutnya. Beberapa orang mulai meninggalkan dia.
Tapi malam itu muncullah Ki Lading Ganda yang menggertaknya: "Hai, bukankah kau mesti pergi dari sini?"
MENDENGAR bentakan Ki Lading Ganda itu, mendadak Dasa Laksana berdiri dengan berkelebat. Dia tampak siap tempur. Keadaannya yang tampak lemah bagai orang sinting, berubah gagah perkasa.
"Jangan gertak aku dengan suara bentakmu. Kalau memang aku bersalah, tampilkan golokmu yang terkenal dengan sebutan Lading Ganda itu!" tantang Dasa Laksana.
Tapi Ki Lading Ganda menjadi waspada. Dia tak segera naik pitam sebagaimana biasanya. Dia lalu meyakini dirinya, bahwa antara pengembara tak dikenalnya ini, ada hubungan perguruan dengan Ki Pita Loka. Padahal dia sudah menaruh hormat pada Ki Pita Loka.
"Saudara Dasa Laksana. Saya heran mengapa anda belum juga meninggalkan Kumayan?"
"Karena saya kecewa dengan Sang Guru. Desa ini akan hancur", katanya.
"Berikan padaku keterangan kehebatan Ki Ratu Turki".
"Dia memiliki pedang. tapi lebih dari itu dia dia dikawal oleh seorang lelaki dengan ilmu yang amat tinggi".
"Tahu anda siapa lelaki itu?" tanya Ki Lading Ganda.
"Ki Gumara". "Ki Gumara" Jadi dia meninggalkan Kumayan ini untuk bersekutu dengan Ki Ratu Turki itu?"
"Ya. Dua orang inilah yang akan membantai guru saya yang terhormat, sehingga saya harus melaporkannya. Saya sendiri orang hina dina", kata pengembara kotor menjijikkan itu.
"Apa tujuannya menghancurkan desa kami ini?"
"Dia hanya ingin memiliki Kitab Tujuh, yang katanya disimpan oleh Ki Pita Loka.
Kalau kitab itu tidak diserahkan, dua-duanya akan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 5 harimau Kumayan tanpa ampunan".
Koleksi KANG ZUSI "Kalau begitu, anda utusan mereka!" tuduh Ki LadingGanda.
"Saya bukan utusan. Jika saya gagal mendapatkan Kitab Tujuh itu, saya akan dipenggal. Saya hanya orang hina yang terancam. Maka saya tidak berani kembali.
Tapi jika dalam 7 hari saya tidak kembali, penyerbuan itu akan terjadi".
Ki Lading Ganda lantas berubah sikap. Dia pun merasa ingin memiliki Kitab Tujuh itu.
"Kalau begitu, jika anda masih di Kumayan ini selama 7 hari berikut ini, anda akan jadi biangkeladi bagi kami. Secara baik-baik, seperti juga gurumu Ki Pita Loka menyarankan, sebaiknya engkau pergi tinggalkan Kumayan ini".
"Tidak", bantah pengembara kotor itu.
"Kalau begitu anda membangkang atas perintah salah satu penguasa desa ini. Kamu sudah kenal pada saya. Dan apa senjata saya. Hanya karena kamu bekas murid Ki Pita Loka sajalah maka saya tak sudi melakukan kekerasan".
"Silahkan main keras pada saya", tantang Dasa Laksana.
"Jangan kau panasi hatiku, wahai tamu tak dikenal. Kuulangi perintahku yang tulus, agar anda meninggalkan Kumayan ini sebelum golokku aku cabut!"
"Silahkan cabut!" tantang Dasa Laksana.
Dalam sekelebatan. Ki Lading Ganda mencabut goloknya yang bermata dua. Dia permainkan senjata saktinya untuk menakut-nakuti lawannya. Kejadian ini disaksikan dari tempat gelap oleh Pita Loka.
Ketika pertempuran itu barusan saja akan segera dimulai. Ki Lading Ganda yang sudah melakukan loncatan pancingan, menghunjam langkah berbalik mendengar teriakan dari tempat kelam.
"Hentikan, Ki Lading!" seru Pita Loka.
Wibawa langkah-langkah kependekarannya segera tampil. Pita Loka membuat Dasa Laksana surut, begitu pun Ki Lading Ganda.
"Tuan Guru", ujarnya pada Ki Lading Ganda.
"Anda tak usah melayani seorang yang ilmunya rendah dan berjiwa laknat. Dia cukup diperlakukan ibarat seekor lalat".
"Guru Besar" Dasa Laksana segera menyungkur diri ke duli jari kaki Pita Loka dan dengan nada berhiba-hiba dia berkata: "Ampuni segala kesalahan saya yang lalu, semasa berguru pada anda. Saya harap, sekarang ini janganlah saya diperlakukan Koleksi KANG ZUSI
sebagai pengkhianat. Saya ingin bermukim di Kumayan ini hanya untuk mencari keselamatan diri saya dari ancaman Ki Ratu Turki dan pengawalnya Ki Gumara".
"Omong kosong. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup aku tak percaya lagi padamu, Dasa Laksana! Kamu adalah korban laknat binatang-binatang rimba yang pernah engkau bunuh. Percayalah, matimu nanti pun tidak lebih dari matinya seekor binatang yang pernah kau bunuh. Ayo angkat kaki dari desa kami yang telah aman tenteram ini!" bentak Pita Loka dengan nada suara gemuruh.
Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas sikap tegas Ki Pita Loka. Terutama tuduhan blak-blakan pada diri pengembara aneh yang hampir saja dihajarnya. Dan dia lebih takjub lagi ketika melihat pengembara sinting itu segera enyah meninggalkan Bukit Kumayan.
Ki Lading Ganda melangkah sopan menghampiri Ki Pita Loka. Lalu bertanya sepertinya seorang murid bertanya pada sang guru: "Ki Guru, apa artinya ini semua?"
"Mestinya tuan sudah maklum. Ingat kembali yang tadi diucapkan Dasa Laksana"
Saya mendengarkannya di balik semak, sejak tuan guru muncul menemuinya lalu mendengarkan apa ocehannya. Semuanya itu tidak usah dipercayai. Dia hanya datang untuk mengacau perasaan kita semua".
"Tapi Ki Guru Pita Loka", ujar Ki Lading Ganda mendekat lagi, "Saya rasa ada benarnya jika dia katakan, bahwa Ki Gumara melibatkan diri dengan Ki Ratu Turki".
Ki Pita Loka terdiam sesaat. Kemudian dia berkata:
"Anda seorang tua. Anda tak usah risau dan kuatir apa yang diperbuat anak-anakmuda. Seorang pendekar dihormati dan pantas dikuatirkan apabila ilmunya tinggi, dan sementara itu usianya dan pengalamannya besar".
"Maksud tuan guru muda . . . saya tak usah merisaukan berita mengenai Ki Gumara?"
"Pendeknya, dia bukan seperti yang anda duga, Guru Tua", ujar Pita Loka lalu memberi tanda pamit dengan kedua telapak tangan bersungkem ke arah Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda pulang dengan pikiran kacau.
Tetapi, Pita Loka pun mulai jadi bimbang. Ayahnya mengetuk pintu kamarnya.
Setelah masuk, dia bertanya: "Di mana-mana warung yang aku kunjungi, malam ini ada kesan penduduk semakin resah. Apa yang diucapkan pengembara fakir itu, kelihatannya mempengaruhi rakyat. Apa pendapatmu?"
"Saya tak punya pendapat", kata Ki Pita Loka.
Koleksi KANG ZUSI "Itu tak baik. Kau lebih mengetahui dari kami. Tapi kau berlagak tenang.
Ceritakanlah pada ayahmu, apa sebenarnya yang akan terjadi" Kenapa Kitab Tujuh itu dicari-cari dan bakal menimbulkan bencana?"
Ki Putih Kelabu menjadi geram karena Pita Loka hanya membungkam. Malah dia lebih jengkel ketika Pita Loka berkata: "Saya malam ini belajar. Karena besok akan ujian ekstension "
"Baiklah. Itulah perbedaan ilmuwan dengan pendekar. Ilmuwan sibuk meramu jamu, kendati dunia sekeliling kebakaran dia akan terus meramu jamu. Tapi seorang pendekar akan melempar gelas jamu bila teriadi kehebohan", kata Ki Putih Kelabu dengan nada mendongkol.
Sebenarnya orangtua itu sedang memancing sikap Pita Loka. Dia menganggap, Pita Loka berubah sikap untuk menjadi pelajar sekolah SMA hanyalah untuk menutupi ilmu yang telah dia petik selama 1000 hari dari Bukit Lebah.
Yang dia inginkan dari Pita Loka adalah reaksi. Tapi Pita Loka kelihatan tidak perduli.
Dia juga tidak perduli ketika bergerombol anak-anak muda yang ikut ujian ekstension SMA menanyakan isyu terancamnya desa Kumayan.
"Itu pekerjaan para pendekar. Kita bukan pendekar. Kita calon pelajar. Pelajar SMA.
Buat apa kita sibuk - sibuk. Kita tunggu saja bel ujian berbunyi, lalu siapkan diri untuk menjawab soal-soal". kata Pita Loka.
Ketika bel ujian berbunyi, Pita Loka memasuki lokal untuk ujian. Seluruh calon murid SMA yang mendaftar ada 14 orang, termasuk Pita Loka. Ujian ini diberikan kesempatan oleh Kakanwil untuk mengurangi banyaknya anak-anak muda liar yang suka bergerombol. Tapi Pita Loka tidak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda berpura-pura. Dia tak menunjukkan tanda kependekaran sedikit pun kecuali saat dia mengusir lebah-lebah dulu dan apa yang dia perbuat semalam, sewaktu mengusir Dasa Laksana.
Tetapi menjelang bel ujian hari itu berbunyi, seorang penduduk minta ijin pada pengawas ujian untuk menemui Pita Loka.
Pita Loka menyelesaikan dua soal lagi, baru kemudian menemui Pak Tenong itu. Dia bertanya: "Adaapa menemui saya, Pak?"
"Anakku Daim diculik! Apakah bisa membantu?" tanya Pak Tenong.
"Jangan minta bantuan saya. Saya hanya manusia biasa,Pak. Mintalah bantuan Ki Lading Ganda".
"Dia menyuruh saya ke sini, Ki Pita Loka. Dia katakan, inilah awal dari serangan nyata yang akan dibuktikan Ki Ratu Turki. Anak Rekasa juga diculik.Ada tujuh anak remaja di sini kena culik."
Koleksi KANG ZUSI ?"Tapi sayalima hari ini menghadapi ujian, Pak. Tak mungkin saya dapat membantu.
Maafkan saya", kata Ki Pita Loka. Orang yang tertimpa musibah itu menangis meratap, berlutut di hadapan Pita Loka. Tapi Pita Loka hanya berkata: "Jangan jadikan saya ini dewa. Sungguh mati, saya tak punya daya kekuatan apa-apa".
Tapi, hati Pita Loka betul-betul tergugah setelah pada malam harinya muncul Paman Kurukjahi. Dia membawa sepotong tangan buntung dan berkata: "Wahai pendekar muda, apa perasaanmu satelah melihat sepotong tangan ini?". Tampak darah membersit di wajah Pita Loka, seakan " akan dia tak dapat menahan amarahnya.
Tangan itu begitu dia kenal, tangan saudara sepupunya yang paling pandai bermain gitar dan kecapi.
"Karena cincin yang kukenal masih ada di jari tangan ini, aku tahu ini tangan sepupuku Agung Kifli. Di mana tangan ini paman temukan?" tanya Pita Loka dengan mata tak berkejap.
Kurujakhi bertanya pula; "Apa perlu kusebutkan tempatnya" Mana yang penting, tangan anakku atau orang yang memotongnya?"
"Kalau begitu saya ditantang", kata Pita Loka.
"Bukankah sejak beberapa hari ini kau ditantang" Rakyat sudah cemas sejak tersebarnya berita, bahwa bumi Kumayan akan dihancurkan oleh Ki Ratu Turki. Dan aku dengar dia pun bekerja sama dengan anak Ki Karat dari istrinya yang lain, seorang guru yang pernah dihormati !.
Di mana anda berdiri dalam ancaman ini?"
"Saya berdiri di bumi kelahiranku, Paman!"
"Nah, bangkitlah! Ajaklah semua harimau-harimau Kumayan ini, termasuk ayahmu, untuk menyerang musuh terlebih dahulu sebelum kita ditakut-takutinya dengan penculikan dan potong tangan! "
Pita Loka diam. "Jadi paman menganggap Pedang Turki yang memotong tangan sepupuku?" tanya Pita Loka dengan tatapan mata menantang.
"Ya! Bahkan aku tahu di mana bajingan " bajingan itu bermukim!"
"Paman salah", kata Pita Loka. "Saya berani menjamin, pedang Turki tidak melakukan pemotongan sekasar ini. Tangan ini ditebas oleh golok yang kasar, ini perbuatan adu domba, supaya kita mendapat kesan bahwa Ki Ralu Turki maupun Guru Gumara adalah pendekar-pendekar kejam. Tidak. Aku tidak percaya bahwa penculikan maupun kekejaman begini dilakukan oleh pendekar kelas satu. Ini kerja pendekar kelas kambing!"
Dan tanpa diduga sedikit pun Pita Loka seakan " akan menjelma menjadi seorang cekatan dengan dua langkah lompatan langsung melocat ke halaman.
Koleksi KANG ZUSI Pita Loka tidak bersenjata. Dengan tangan kosong seakan - akan dia menjadi angin limbubu yang kecepatan larinya sudah tak dapat dilihat oleh mata lagi. Dan orang tak sempat mengetahui, bahwa dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan begitu lincahnya melebihi lincahnya seekor simpai hutan.
Dan ketika dia tiba di perbatasan desa Kumayan, menghadap ke Bukit Anggun dia terhenti sejenak.
Dia melihat di situ asap api. Pertanda di situ ada sebuah perkampungan. Dia tiba-tiba yakin, bahwa dia harus kesana! Dia yakin, orang yang dia cari pasti ada di desa Anggun. Desa ini tempat pelarian penjahat kotor, bajingan tengik, dan para pendekar yang gagal mengguru karena ingin cepat pandai.
Dia tak ingin muncul di desa Anggun ketika hari sudah terang. Dia ingin menyergap musuh yang dicurigainya justru menjelang datangnya pagi hari.
Desa Anggun sekelilingnya dipagari oleh belahan bambu, dan dibuat pula selokan -
selokan penjebak. Begitu dia memasuki pintu gerbang desa, Pita Loka menyepak pagar itu dengan obrak-abrik bagai orang kesetanan. Beberapa pohon dia terjang hingga roboh. Dan anjing penjaga yang menyeruduk padanya dia terjang dengan tendangan yang mengerikan, anj ing itu bagai terlempar terbang ke bubungan rumah.
Dan seluruh desa terbangun.
"Aku. Pita Loka dari desa Kumayan, menuntut nyawa satu orang biadab yang sedang aku cari!" teriak Pita Loka dengan berkacak pinggang. Kebenciannya sudah seleher, tinggal muntah saja lagi .
Di sini tak ada kepala desa. Yang ada orang pemberani yang paling banyak membunuh dan paling jahat dan dia diberi gelar Tua Anggun. Nah, Pita Loka dengan sikap agak sabar melihat munculnya Tua Anggun.
"Siapa yang tuan cari?" tanya Tua Anggun.
"Kuharap, sebelum matahari terbit, serahkan nyawa dan badan Dasa Laksana. Hidup atau mati, serahkan 17 remaja yang dia culik dan potong tangannya, termasuk sepupu saya Agung Kifli!"
Suara teriak Ki Pita Loka cukup menggentarkan perasaan Raja Penjahat itu. Dia berkata: "Aku kenal nama tuan guru dari si busuk yang berlindung di sini itu. Kami menamakan dia itu Si Busuk. Diakah yang tuan muda inginkan?"
"Ya. Dia Hidup atau mati!" bentak Pita Loka.
Dan dalam sekelebatan Tua Anggun sudah menyeret Dasa Laksana, ketika dia terkulai sehabis semalam suntuk berbuat homoseksual dengan pemuda yang dia culik.Ada tiga yang di potong tangannya karena menolak sanggama itu.
DENGAN sangat penasaran, begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka, Koleksi KANG ZUSI
maka Ki Pita Loka ngamuk dengan tiada belas kasihan. Ketika kepala Dasa menelangsa menghatur sembah. Jari-jari tangan yang menghatur sembah itu disikatnya dengan sabetan sepakan dahsyat.... Dasa Laksana menjerit kesakitan. Dan dia merangkak lagi, menghatur sembah lagi. Ki Pita Loka menyabet lagi dengan sepakan hingga Dasa Laksana melintir, berguling-guling dengan menjerit.
Tapi Dasa Laksana nelangsa lagi dengan merangkak. Kali inilah Ki Pita Loka tidak bisa menahan amarahnya. Diangkatnya tubuh Dasa Laksana yang sedang merangkak itu, lalu dia lemparkan kepagar-pagar bambu yang jadi pembatas desa Anggun itu.
Pagar itu ambruk, dan tubuh Dasa Laksana terlempar.
Seluruh penduduk yang terdiri dari keluarga bajingan - bajingan perampok penyamun pun pada berkeluaran.
Tapi Dasa Laksana bagai orang mabuk terhuyung menghampiri Ki Pita Loka lagi. Dia merangkak dan menghatur sembahnya lagi. Matanya melihat pada penduduk,biang kejahatan itu dengan mohon dikasihani. Tapi Ki Pita Loka, tanpa kasihan menyergapnya dengan kedua tangan, mengangkatnya, lalu melemparnya bagai melempar karung basah. Tubuh Dasa menghajar penduduk dan mereka berteriak secara serentak:"Bunuh pendekar sinting itu!"
Saudara sepupu Ki Pita Loka yang bertangan buntung - Agung Kifli - lalu menyergap Pita Loka: "Ayoh lari, sanak!"
"Tidak!", ujar Ki Pita Loka dengan menebah dada dan berseru kepada penduduk Anggun: "Ayoh siapa yang siap mau membunuh pendekar sinting, mari serahkan nyawa kalian!"
Dalam keadaan mereka ragu, dengan satu putaran gasing gila. Ki Pita Loka menyeruduk dengan melakukan tendangan putaran bertubi-tubi ke arah muka, tanpa pilih bulu, sehingga mereka ambruk satu demi satu.
Sungguh suatu perkelahian tunggal yang teramat seru, satu pendekar lawan 40 orang keluarga penjahat. Diantara mereka ada yang pingsan. Bahkan ada yang langsung mati konyol apabila sabetan tendangan lingkar itu tepat mengenai jantung...
"Kalian sudah puas dengan kejahatan. Jadi harus dijahati juga," ujar Ki Pita Loka seraya menyeret tangan kanan Agung Kifli dan berkata lagi: "Ayoh saudara sepupuku kita kembali ke Desa Kumayan. Bawa semua temanmu yang kena culik!"
Tapi secara naluriah, ketika pergulatan sengit Pita Loka menghancurkan penduduk jahat ini, ketujuh belas anak-anak remaja yang telah diculik Dasa Laksana itu telah menyisih ke balik pagar. Sehingga dengan amat mudah mereka digiring ke luar desa Anggun, desa Perampokan itu, mengikuti langkah Ki Pita Loka.
Biarpun dirasakan oleh Ki Pita Loka langkahnya biasa, namun bagi ke 17 anak-anak remaja yangmalang itu dirasakannya langkah itu amat gesit sekali. Tapi mereka tiada mengeluh dan cengeng. Mereka malah mengira, bahwa Dasa Laksana kelak akan menguntit mereka dan belakang. Semalam suntuk rombongan itu berlalu Koleksi KANG ZUSI
meninggalkan desa celaka itu. Semua mereka sudah buntung tangan kanannya, digolok oleh Dasa Laksana. Semua mereka justru dikorbankan untuk mempertakuti hati penduduk Desa Kumayan. Dengan dongengnya di gardu peronda di desa Kumayan tempo hari, Dasa Laksana akan memberikan kesan, bahwa ke17 anak remaja yang ia culik dan potong tangannya adalah korban dan pemilik Pedang Ratu Turki.
Lalu, cahaya matahari muncul dari Bukit Kerambil. Bukit ini bukit bagian barat dari gugusan bukit-bukit barisan. Diantara anak-anak remaja itu kelihatan ada yang tak kuat lagi berjalan karena tanpa henti berjalan terus sejak diselamatkan Ki Pita Loka.Ada tiga orang yang jatuh pingsan.
Ki Pita Loka memperhatikan, siapa yang paling sigap membantu yang pingsan-pingsan itu. Dan dia senang karena diantara yang membantu itu ada saudara sepupunya, Agung Kifli.
Adasepuluh orang semuanya yang pingsan. Dan penolongnya tetap saja, yaitu Agung Kifli danlima lainnya.
Enam orang itu, menurut ruguhan batin Ki Pita Loka, adalah remaja - remaja yang berhati suci.
Dia biarkan saja enam anak baik itu berusaha menyadarkan sepuluh anak yang pingsan itu.
Diantara yang barusan sadar, cengeng meronta dan berkata: "Kembalikan kami ke Kumayan."
"Kembalikan", kami ke rumah," kata yang lain. Seluruhnya sudah sepuluh orang."
"Siapa diantara kalian yang ingin kembali?"
Satu dua tiga sampai sepuluh. Tapi ada seorang, yang tampaknya bimbang. Dialah yang dipanggil oleh Ki Pita Loka sewaktu matahari telah terbit benderang. Anak itu berusia sekitar 16 tahun. Tegap tapi sikapnya ragu.
Tapi dia punya kelebihan dari sepuluh yang lainnya.
Lalu, tampil pula anak yang ke 12. Dia tampil dan memperkenalkan dirinya:
"Kakak barangkali tak kenal saya. Saya Rauf, teman Jadim."
"Jadi kau yang bernama Jadim?" tanya Ki Pita Loka kepada yang peragu.
"Ya. Kak," "Jadim dan Rauf akan memimpin rombongan 10 orang ini ke Kumayan."
"Kami tidak tahu jalan, kak," kata Rauf.
Koleksi KANG ZUSI "Jangan kuatir. Saya akan menolong kalian," ujar Ki Pita Loka seraya meraih kepala Jadim dan Rauf. Pita Loka meniup ubun kepala anak-anak yang berdua itu setelah memohon dari Tuhan.
"Perhatikan telunjuk tanganku," kata Pita Loka. Dua anak itu memperhatikan telunjuk Pita Loka. Juga 10 anak lainnya. Dan ketika itu Pita Loka berkata: "Tembus hutan ini, tanpa merubah arah jalan terus turun naik bukit dan lembah. Supaya jangan lelah, sembari bernyanyi."
Anak-anak itu tampak dibangkitkan rasa keberaniannya. Mereka mulai bernyanyi lagu Pramuka, dipimpin oleh Jadim dan Rauf. Makin lama lambaian tangan mereka disertai nyanyian mereka semakin bertambah jauh Setelah mereka menghilang, enam remaja yang tak ikut pulang ke Kumayan serentak menghadapkan mukanya pada Ki Pita Loka. Tentu yang terlebih dahulu bertanya adalah saudara sepupu Pita Loka.
Agung Kifii bertanya: "Bisakah kami ini kau isi dengan ilmu?"
"Ilmu apa?" tanya Ki Pita Loka.
"Ilmu yang berisi keberanian kami untuk membalaskan dendam pada Dasa Laksana setan gila itu!"


Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Pita Loka tertawa: "Permintaanmu terlalu rendah."
"Lihatlah tangan kiriku ini, tidak ada gunanya lagi dan tidak bisa dipakai untuk menekan senar gitar maupun kecapi!" kata Agung Kifli.
"Maka tadi saya pilih yang kembali, dan yang akan ikut dengan saya. Firasatmu betul bahwa kalian akan kuajak ngelmu. Manusia semua sama, sebab Tuhan adil. Tapi yang berilmu lebih tinggi dari yang malas." kata Pita Loka.
"Saya minta dijelaskan kenapa ilmu yang diminta Agung Kifli tadi bernilai rendah."
ujar si kurus kecil yang bernama Caruk Putih.
"Kerendahan satu ilmu bisa dilihat dari tujuannya," kata Ki Pita Loka.
"Bukankah tujuan membalaskan dendam itu juga baik?"tanya Caruk dengan nada penasaran.
Balas dendam selalu bernilai rendah. Tapi jika kalian ngelmu untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan yang benar, itulah ilmu yang tinggi. Untuk itu kalian merupakan orang-orang pilihanku."
"Termasuk saya?" tanya seorang remaja bernama Aria.
"Termasuk kamu. Aria, juga Sura, juga Abang Ijo dan Talago Biru. Pendeknya kalian harus mengucapkan ikrar padaku." kata Pita Loka.
Lalu mereka pun mengangkat ikrar. Mereka ikuti apa yang diucapkan Ki Pita Loka, tanpa nada sumbang. Ikrar itu bergema dengan nada yang hampir-hampir tunggal, Koleksi KANG ZUSI
membangkitkan kesatuan semangat dan kesatuan tujuan.
Kesatuan yang manunggal antara Guru dan murid dalam kata dan perbuatan memanglah persyaratan ilmu persilatan.
Dan Ki Pita Loka mendapatkan cara membimbing ilmu pada muridnya ini karena ia seorang yang jiwanya ikhlas, disamping oleh otak yang cerdas. Otak yang cerdas tapi jiwa kotor tak memungkinkan seorang pendekar naik derajat menjadi Guru Besar.
Ukuran kebesaran adalah energi.
Maka Pita Loka memulainya pun dengan takaran energi. sedikit bicara, tapi tiap patah kata ada ikatan. Dan hanya orang yang mampu duduk bersila dengan baik, seluruh energi terkendali.
Ki pita Loka duduk bersila. Enam muridnya pun duduk bersila. Ki Pita Loka memberi perintah dengan nada dalam: "Hening......."
Keadaan pun hening, seakan tiap napas yang ditarik dan dihembus kedengaran begitu nyata. Karena napas adalah sumber energi dalam diri manusia, itulah pula yang mesti diatur.
"Tarik napas ke puser perutmu," perintah Sang Guru.
"Angkat perlahan ke atas menuju kepala, dan salurkan menuju ubun-ubunmu, dan buanglah kesana", perintah Sang Guru lagi.
"Ambil lagi napas, tarik ke puser, angkat ke atas, dan buang!"
"Ambil lagi. Tarik ke bawah. Angkat ke atas. Dan buang lagi."
Pelajaran awal itu, yang hanya bermain napas dengan kedudukan bersila tanpa gerak.
yang dilakukan seluruhnya detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, menciptakan keasyikan pada Sang Guru dan Para Murid.
Dapat dibayangkan setelah enam jam bermain napas saja, keringat mereka mengocor seperti kuli mengangkut satu balok pohon yang besar.
KEASYIKAN tidak pernah merangsang lapar. Yang dibuang oleh energi adalah keringat. Dan keringat itu adalah sampah. Inilah awal pembersihan diri, sebab Ki Pita Loka ingin membuat enam anak buntung ini menjadi enam pendekar sejati. Pendekar sejati bisa saja menghadapi empat puluh musuh. Dan dia seorang diri dengan kekuatan energi dapat saja menumpas 40 lawan tanpa mengeluarkan keringat setetespun.
Itulah yang sedang diisinya kepada enam remaja buntung itu. Kelak mereka tidak harus merasa kurang karena kebuntungannya. Sebab setiap yang kurang pasti ada kelebihan di bidang lain.
Dan telah dua kali matahari terbit dan dua kali pula matahari terbenam. Tahukah Koleksi KANG ZUSI
enam remaja buntung itu bahwa waktu telah berjalan dua hari"
TIDAK. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu.
Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju"
Nafas itu mengembara menuju tempat yang kosong. Dan kosong itu adalah diam dan hening. Maka jarak perginya pun tanpa takaran lagi. Hembusan nafas tadi singgah di tempat yang kosong.
Singgahnya nafas tujuh manusia asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur adalah yang diam. Yang diam pada detik itu adalah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut karena terkena benturan.
Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya:
"Kak Gumara, apa yang terjadi?"
"Adasesuatu yang sedang bergerak di luar kita," ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja manusia Gumara. Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, lalu serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin merasakan benturan ke tubuhnya yang semakin hebat sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang.
Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya.
"Aku Ki Harwati!" teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, lalu ke dada, lalu melintasi leher dan akhirnya ke kepala.
Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu menciptakan belitan.
Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati.
"Lihat, Kak Gumara" Ini hasil pertapaan saya!" serunya.
?"Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang pendekar mengandung resiko.
Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya," kata Gumara.
"Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang aku terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan aku kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku!" mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara.
Koleksi KANG ZUSI Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati.
Ketika keanehan itu dia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga dia berteriak: "Kau memakai ilmu Sesat!
Kau sesat, kau sesat, kau sesattttttt"
Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu dia lemah, dan semakin lemah. Setelah itu Gumara tidak dapat merenung, kendati sedetik. Juga dia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja.
"Tugasmu sekarang adalah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, aku Guru Besar semua gurul"
Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan.
"Kita hanrus memilih waktu untuk berangkat," kata Ki Harwati.
"Ya....!" "Kita harus menyerang musuh!"
"Ya ......!" "Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu!"
?"Ya. Apa yang harus saya perbuat?" tanya Gumara dengan muka dungu.
"Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi!" kata Ki Harwati.
Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, lalu tidur.
DAN tidurnya itu mirip seperti menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian tubuh Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: "Kamu dapatkan mimpi, hei dungu"!"
"Tidak." Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, ibarat logam membentur batu padas sehingga tercipta suara nyaring.
"Dungu!" bentak Ki Harwati lagi.
"Aku lapar,"kata Gumara.
"Tidak ada makanan di sini", jawab Ki Harwati.
Koleksi KANG ZUSI "Beri aku makanan," ujar Gumara dengan mulut kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas.
"Kau hanya menjadi bebanku," ujar Harwati.
Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada saat sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin hal ini bagian dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar dia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu dia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan dia berseru:
"Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima.
Aku yang akan menerima warisan ilmu Kitab Tujuh itu!"
Dia guncang tubuh Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok seperti tidurnya orang dongok.
"Bangsat! Bangsat!" maki Ki Harwati, "Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali!
Padahal aku sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh!"
Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan kalau dia melihat Gumara, dia benci dan ditendangnya pantat kakak tirinya itu. Kemudian dia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, dia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang adalah ular yang melingkari kepalanya.
Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal bernama Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu.
Yang ada cuma batu. Batu itu sebetulnya dulu sering diambil orang sebesar biji salak karena keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke batu kawung itu, lalu digeserkan logam baja, maka terciptaiah api.
Untuk apa Ki Pita Loka ke sini" Karena ia mendapat ilham untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu ibarat roda. Ia kembali kepada sumbunya.
"Kita berhenti di pusat bukit ini," kata Ki Pita Loka.
Enam remaja buntung kontan saja duduk bersila, menciptakan lingkaran dan sumbu lingkaran itu adalah duduknya sang Guru.
"Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu adalah zat yang memiliki energi. Dalam diri kalian, dengan aturan pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, sampai tubuh merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila tubuh kalian terbakar."
Enam remaja buntung dipimpin Guru, sedang melaksanakan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, menciptakan pergeseran Koleksi KANG ZUSI
logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu lama kelamaan bagai tujuh lidah api.
"Dan api akan padam oleh air. Api hanya dapat padam oleh air," ujar Sang Guru.
Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal adalah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam remaja buntung.
"Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah adalah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seakan-akan kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal," Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam "kematian", entah untuk berapa lama.
Lama itu waktu. Waktu itu jadi tak penting.
MEREKA sampai ke sebuah Lembah yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi Pita Loka pernah mendengar tentang lembah ini ketika dia berusia Tujuh tahun dahulu, yang diceritakan oleh Ki Putih Kelabu,ayahnya. Menurut ayahnya. Lembah ini dulunya dikenal dengan sebutan Lembah Tujuh Bidadari.
Agung Kifli bertanya pada Pita Loka: "Ki Pita, apakah perjalanan kita bukan kesasar?"
"O, kita tidak kesasar. Justru aku ke sini sengaja mengajak enam orang diantara kali an yang kena culik, sedangkan yang 11 orang kusuruh pulang ke Kumayan."
"Lalu untuk apa kita ke sini?" tanya Agung Kifli.
?"Yang terang bukan untuk berdarmawisata."
"Saya dan teman-teman amat lelah," ujar Agung Kifli.
"Itu wajar saja. Tujuh hari perjalanan tanpa istirahat sebetulnya aku sengaja untuk melatih kalian yang berenam. Kalian yang berenam adalah orang-orang pilihanku.
Kalianlah kelak yang akan dikenal dengan sebutan "Enam Pendekar Buntung".
"Wah, kami akan dijadikan pendekar?" kata Agung Kifli tercengang.
"Ya. Setiap kejadian pada diri seseorang ada hikmahnya. Anggaplah oleh kalian bahwa hikmah dipotongnya tangan kalian oleh orang sinting Dasa Laksana itu justru untuk sesuatu yang berguna di kemudian hari."
"Tapi aku tidak bercita-cita jadi pendekar,"kata Agung Kifli.
"Memang itu betul. Namun aku tidak melarangmu bermain gitar. Sayang, gitar dan kecapimu Tidak ada di sini," kata Ki Pita Loka.
Koleksi KANG ZUSI "Tapi aku dapat membuatnya! Dari buah labu yang dikeringkan," kata Agung Kifli,
"Apakah orang yang belajar ilmu persilatan dilarang main musik?"
"Tidak ada larangan kesenangan pribadi buat suatu ilmu yang tinggi," kata Ki Pita Loka.
Sementara Ki Pita Loka melihat keadaan sekeliling dan menikmati senja yang indah itu, dia melihat memang Agung Kifli dalam keadaan mengantuk.
Dan tanpa minta ijin lebih dulu, si buntung bekas pemain gitar dan kecapi di Kumayan itu pun rebah di rumputan bawah pohon dina - dina. Sedangkanlima temannya yang buntung lainnya, sudah sejak tiba menjatuhkan diri di rumputan, di bawah pohonan dina-dina yang daunnya lebat. Dia telah tertidur pulas. Tetapi lebih pulas lagi tidurlima anak remaja lainnya itu.
Sura, Abang, Aria, Talago dan Caruk yang bertubuh kecil itu sudah lama tidur ngorok.
Dan ketika semua remaja yang bertangan buntung itu dilihat Ki Pita Loka sudah tidur pulas, barulah secara diam - diam Ki Pita Loka meninggalkan mereka.
Hal ini karena suatu ilham.
Ketika itu Ki Pita Loka sedang menatap langit malam yang biru, dengan sebuah bintang Timur yang tak gemerlap.
Bintang itu bintang Venus dengan tenaga cahaya abadi tanpa gigilan sinar seperti bintang lainnya. Lalu dari bintang Venus itu terbentuk semacam corong kerucut berbentuk kelembutan. Hal itu ditafsirkan oleh Ki Pita Loka sebagai petunjuk. Bahwa pada sudut kerucut itu terletak satu tempat yang istimewa di lembah ini.
Itu berarti pula, dalam dunia ilmu kedalaman, bahwa Ki Pita Loka mendapat perintah untuk pergi ke tempat itu.
Maka dia pun melangkah kesana . Ya, ada bundaran cahaya dilihatnya pada rumputan yang membentang di hadapan.
Pada titik sinar yang terkuat, kesitulah Ki Pita Loka melangkah, lalu dia duduk disana
. Dia bersila disana bagaikan sikap bersila semua Nabi dan semua Guru dan Kiyahi.
Dia mengatur pernafasan dengan sebaik-baik napas, sikap semedi yang kosong namun agung.
Kemudian terdengarlah bisikan-bisikan yang indah sewaktu Ki Pita Loka memejamkan matanya.Bisikan-bisikan itu datang dari tujuh penjuru. Lalu tempat kerucut bintang Timur itu pun berubah bertambah terang.
Tepat pada waktu itu, tenaga gelombang Ki Pita Loka mencoba menjangkau jiwa sepupunya Agung Kifli. Jiwa yang dengan tenang sedang beristirahat sepertinya mene rima getaran gelombang hingga dia terbangun. Ketika Agung terbangun dari tidurnya, dia mendapatkan dirinya di bawah pohon dina-dina yang berdaun lebat Dilihatnyalima temannya tidur dengan lena. Dia jadi takut karena tidak melihat Ki Pita Loka. Ketakutan itu menyiksa diri. Apalagi indera hidungnya serasa mencium bau bunga. Dan bunga yang menyebarkan bau di sekeliling yaitu seakan " akan bunga Koleksi KANG ZUSI
yang digunakan pemandi mayat. Dia merinding. Lalu dia duduk. Dia tak berani melihat ke sekitar. Tapi tiba- tiba seperti ada kekuatan yang mengangkat dagunya.
Sehingga dia melihat keseliling. Sewaktu dilihatnya ada satu sosok berubah hitam tampak samar mendekat, Agung Kifli saperti akan menjerit memanggil Ki Pita Loka untuk minta bantuan.
KETEGANGAN itu semakin membuat Agung Kifli menggigil. Sosok berjubah hitam itu semakin mendekat dan mendekat jua. Agung Kifli rasanya ingin berteriak.
Tapi lidahnya kelu. Dan dia agak geram juga sebab Ki Pita Loka, yang diharapkannya akan memberi pertolongan, tidak tampak. Dalam jaraklima meter itu. Agung Kifli lalu tak berani lagi melihat ke depan. Dongkolnya, dia lihatlima teman-temannya tidur begitu pulas. Dan, Agung pun memberanikan diri untuk bicara. kendati dengan memunggungi tamu tak dikenal itu.
"Aku ingin tahu, apakah anda manusia?"
"Bukan......." "Bah! Dan ..... siapa anda?" suara Agung menggigil.
"Aku bukan manusia!" sahut sosok yang rasanya (mungkin) makin mendekat.
"Jadi katakan siapa anda"!" suara Agung rasanya keras, padahal cuma sayup kedengaran.
"Aku makhuk halus," kata suara dari belakang.
Agung Kifli lalu memejamkan mata untuk menahan takut.
"Kenapa anda ke sini?" tanya Agung Kifli....
"Ingin berkenalan."
"Tapi aku takut," ujar Agung tambah gentar.
"Jangan takut. Aku bukan mahluk halus yang jahat," suara itu kedengaran lagi, dari belakang punggungnya. Dan rasanya tambah dekat. Agung Kifli semakin memejamkan matanya. Keringat dinginnya semakin deras mengocor. Dan dia gemetar sekali ketika berkata: "Aku bukannya tak sudi untuk berkenalan denganmu. Tapi aku takut. Aku tidak mengalami kejadian seperti ini!"
"Baiklah. Kami tak pernah memaksa?" kata suara itu.
"Kami" Jadi kau lebih dari satu," seru Agung Kifli.
"Memang kami semuanya bertujuh." Ujar suara itu. Agung Kifli lalu ingat nama Lembah ini. Lembah Tujuh Bidadari. Tentu dia mahluk halus, salah satu dari bidadari itu. Rasanya dia ingin membalik tubuh agar dapat melihat salah seorang bidadari Koleksi KANG ZUSI
Lembah ini, yang ingin berkenalan dengan dia. Tapi rasa inginnya dikalahkan oleh rasa kecutnya.
Kini Agung Kifli menutup muka. Hening suasana, tak ada suara dan kata-kata lagi.
Mendadak, dalam keadaan senyap begitu, Agung Kifli mendengar suara langkah menjauh. Tentu sosok berjubah hitam tadi telah berlalu. Dia cepat memberanikan diri untuk menoleh. Sayang, sosok tadi sudah melenyap dalam kegelapan.
Tapi Agung amat kaget karena hanya dalam jarak satu meter dari tempat dia duduk ketakutan itu, didapatinya sebuah gitar dan kecapi. Dan karena dia merasa terheran-heran,diberanikannya memegang gitar dan kecapi kecil itu. Tentu kini dengan sebelah tangan saja. Karena tangannya sudah buntung satu, yang kiri. korban dari penipuan Dasa Laksana yang jahat itu.
Darimana gitar ini diambil sosok berjubah hitam tadi" tanya Agung Kifli dengan heran, dalam hati.
Ketika itulah dia mendengar salah seorang remaja yang ketiduran memanggil namanya: "Hai Agung, kamu mengigau?"
"Kemari sini, Caruk Putih!" ujar Agung gelagapan saking herannya, "Kau lihat gitar ini mendadak ada di sini!"
"Padahal ketika kita diculik, pakaian kita pun tak sempurna," ujar Caruk Putih.
"Ini keajaiban dari ilmu Gaib". kata Agung Kifli. Lalu terbangun pula Talago Biru.
"Talago, apa kau tidak melihat ini!" tanya Agung Kifli. Tapi Talago Biru tidak memberi reaksi. Dia sedang menatap ke satu titik di kejauhan. Namun dia bisa juga melirik pada gitar dan kecapi yang diperagakan oleh Agung Kifli tadi. Aria dan Sura sama terbangun serentak.
Mereka malah kaget dan berseru : "Hai, siapa yang membawakan gitarmu?"
"Kurasa salah seorang dari tujuh bidadari di Lembah ini," kata Agung Kifli.
"Keajaiban hanya diperbuat oleh pelaku-pelaku yang ghaib."
"Kita benar-benar mendapatkan guru sejati," kata Aria.
"Kita mengalami kebuntungan tangan. Tapi kita menemukan kehidupan yang baru,"
ujar Abang Ijo. Sebagai anak-anak putus sekolah, enam remaja itu seakan - akan dilimpahi kurnia, berupa hadiah dari Tuhan sehabis disiksa oleh kebiadaban. Kini mereka merasa, bahwa kemalangan, musibah dan penderitaan, tidak selalu berakibat buruk.
"Hei, diam!" mendadak Agung Kifli terdongak menatap ke arah Timur. Jugalima Koleksi KANG ZUSI
remaja buntung lainnya secara serentak menolehkan pandangan ke jurusan yang ditatap Agung Kifli itu.
TIBA-TIBA Agung Kifli melihat sosok di arah kejauhan. Dia sikut bahu Abang ljo:
"Hai, ada kau lihat sosok mendekati kita?"
"Mungkin bidadarimu tadi !" kata Abang ljo.
"Mainkan gitarmu!" ujar Sura Jingga.
"Taklukkan dia!" tambah Aria Kuning.
Agung Kifli kemudian menoleh pada Talago Biru. Talago Biru pendiam dingin, tidak sepotongpun melontarkan kegembiraan.
"Bicaralah Talago!" ujar Caruk Putih, yang terkecil diantaralima anak remaja yang buntung itu, bahkan yang terlincah.
Caruk Putih malahan bangkit dari duduk dan berkata: "Kalau kalian semuanya tidak berani, biar aku yang maju."
Mendadak Talago Biru berkata: "Jangan, itu yang datang bukan bidadari yang tadi menggoda Agung Kifli."
"Kau bisa melihat siapa yang datang?" tanya Agung Kifli, yang serentak bertanya dengan si Caruk Putih.
"Ya. Aku bisa melihat seseorang dalam gelap. Sejak dulu," kata Talago Biru.
Agung Kifli heran, dan bertanya: "Kau belajar ilmu melihat kegelapan dimana, Talago?"
"Lihatlah alis mataku. Apakah aku punya alis mata?" tanya Talago Biru dengan nada dingin.
Agung Kifli, Abang Ijo, Sura Jingga dan Aria Kuning berebutan ingin melihat alis mata Talago Biru.
"Ajaib. Kau tidak punya alis mata!" mereka terheran semua.
"Aku mirip ayam jantan dan anjing malam. Tidak punya alis, jadi bisa melihat sesuatu dalam gelap. Termasuk mahluk halus, jika ada," kata Talago dengan nada tanpa menyombong.
"Yang datang itu," sambungnya, "Adalah Ki Pita Loka".
"Ha?" "Sejak aku dibangunkan, aku sudah melihat dia turun dari bukit itu, lalu beliau menuju ke sini." kata Talago Biru.
Enam remaja itu gembira sekali. Mereka dengan nafas sesak menunggu kedatangan Koleksi KANG ZUSI
Ki Pita Loka yang sudah menghilang sejak keenam mereka ketiduran. Dan ketika Pita Loka mendekat, serentak mereka bertanya: "Dari mana Ki Guru?"
"Aku kembali dari bersemedi," kata Ki Pita Loka.
"Saya menanti anda dengan cemas."
"Tentu kau mengalami sesuatu." kata Ki Pita Loka, menerka.
"Sepertinya Guru sudah mengetahui," kata Agung Kifli.
"Memang akulah yang memerintahkan bidadari itu menemui kau, dan berkenalan dengan kau."
"Juga anda yang menyuruhnya membawakan gitar dan kecapi ini?" tanya Agung Kifli seraya memperlihatkan gitar dan kecapi miliknya.
"Ya. Setelah dalam semedi aku ketahui, bahwa tujuh bidadari yang diceritakan oleh ayahku dulu adalah jin-jin pekerja, maka aku membaca ayat-ayat Sulaiman untuk menjinakkan mereka. Kalian mungkin sudah tahu dari pengajian di Kitab Suci, bahwa Nabi Sulaiman menjadikan jin - jin itu sebagai pekerja. Merekalah yang mengangkat batu - batu pualam terindah dari Laut Tengah. Dan merekalah yang membuatkannya Istana dan Gudang Intan. Sementara ini, kalian belum akan aku warisi Ilmu Amsal Sulaiman untuk memerintah para jin yang tujuh di Lembah ini. Jika ilmu kalian sudah meningkat, tentu akan saya warisi amsal itu!"
Caruk Putih menyela mendadak: "Tuan Guru, kenapa kepadaku tidak tuan utus bidadari seperti Agung Kifli?"
"Semua akan mendapatkan giliran. Malam pertama Agung Kifli, Malam kedua, Abang ljo, Malam berikutnya Sura, selanjutnya Aria, dan kemudian Talago, dan terakhir engkau, Caruk!"
"Hah. Cantikkah dia, Guru?" tanya Caruk.
"Tanyakan pada Agung Kifli. Tapi menurut laporan bidadari ungu itu pada saya.
Agung Kifli tidak sudi melihat wajahnya. Setelah dia pergi, barulah Agung melihat tapi sudah terlambat, sebab dia sudah ditelan kegelapan. Tiap kalian akan mendapatkan satu warna. Dan tiap warna adalah kekuatan kalian.
Cepat Caruk Putih bertanya: "Apakah warna untuk saya?"
"Sesuai dengan namamu. Yang akan mendatangi kau adalah bidadari putih. Dan engkaulah satu-satunya diantara kalian yang berenam ini yang paling banyak akan mengalami cobaan. Tapi jangan takut. Ujian yang tersulit pertanda bagi murid yang terbaik. Bukan begitu saudara sepupuku?"
Agung Kifli mengangguk dan berkata: "Saya masih heran bagaimana bidadari saya Koleksi KANG ZUSI
itu begitu cepat ke Kumayan menjemput gitar dan kecapiku."
"Dia memiliki kesigapan pesuruh Ratu Bilkis di dalam Kitab Suci. Waktu dan jarak serta cuaca, tidak mempengaruhinya. Tetapi kita semua harus eling dan waspada.
Sebab dalam jarak tujuh bukit di selatan kita ini, ada calon Guru Besar yang juga berminat atas Kitab Tujuh yang justru sedang kita cari kini!"
DAN seperti yang dikatakan oleh Ki Pita Loka, memanglah betul semuanya. Apa yang sedang diperbuat tujuh orang itu, di Lembah Tujuh Bidadari itu, diketahui oleh seorang calon Guru Besar. Cuma saja Ki Pita Loka tidak menyebutkan siapa calon Guru Besar itu.
Dia tidak lain adalah Ki Harwati yang kini sudah melengkapi namanya dengan Ki Harwati Piransa yang sudah menjinakkan ular Piransa, ular belang kuning sebesar telunjuk jari tapi berkepala dua. Ular Piransa ini sudah langka di dunia, sejak taufan Nuh terjadi ribuan abad yang silam.
Ki Harwati berkata kepada Gumara: "Dungu! Kita harus meninggalkan Guha Piransa ini, Dungu!"
Dengan dungu Gumara tercengang: "Bukankah kita sudah hidup enak di sini" Aku enggan pergi dari sini." Dengan punggung pedang Turki, disabetnya punggung Gumara. Gumara tertawa menyeringai. Dan berkata; Lagi! Lagi! Enak sekali!"
"Jangan tunggu sampai aku marah, Dungu! Apa kau mau kutebas dengan mata pedangku ini?" mata Ki Harwati Piransa jadi liar. Dan ular piransa yang melilit di kepalanya pun ikut mendelikkan mata pada Gumara, yang tingkah lakunya sudah begitu berubah seperti anak kecil.
"Berhentilah makan buah delima itu, Dungu!" bentak Ki Harwati Piransa.
"Ini enak. Enak. Enaak!" dan Gumara yang dungu itupun menari-nari.
Ki Harwati sudah tidak sabaran lagi. Dia kemudian menghardik seraya menjewer telinga Gumara: "Kau akan ikut aku, atau aku tinggalkan sendirian di sini?"
"Hemmm ..... Aku enak di sini. Di sini banyak buah delima!" seru Gumara dengan berjingkrak. Kelakuannya memang sudah mirip anak kecil berusia 3 tahun. Dan hal ini sudah amat menyebalkan Ki Harwati Piransa. Saking sebalnya. ditendangnya pantat Gumara yang sedang berjoget itu. Gumara berteriak kesakitan, tapi kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
"Waktu tinggal sedikit lagi, Dungu!" bentak Harwati, "Jika Kitab Tujuh itu sudah jatuh ke tangan sainganku, percuma aku bertapa 100 hari di Guha Piransa ini!"
Gumara yang ketawa konyol, mendadak berubah tenang. Bahkan wajahnya datar bagai mayat tak bernyawa.
Koleksi KANG ZUSI Dia berdiri tegak. Dia tak mendengar suatu apa pun. Tak nampak wajahnya berubah ketika dia kena bentak Ki Harwati Piransa. Bahkan dia membisu ketika diajak bicara.
"Kamu bisu, Dungu!" bentak Ki Harwati dongkol.
"U-u .... U .... u!" suara Gumara benar-benar mirip orang bisu. Kalau tadi dia tampak begitu dungu, kini dia seperti benar-benar bisu.
"Dungu! Bicaralah" Ketawalah!" teriak: Ki Harwati Piransa
"U-a-U-a-u?" Ki Harwati menyarungkan pedang Turkinya. Dan dia kemudian berpegang pada ujung bahu Gumara, mengguncang tubuh Gumara dan berteriak panik: "Dia mendadak bisu"
"U-u!" "Kau bisu!" "U-a-uuu" Ki Harwati hampir akan menangis menyaksikan keadaan tragis saudara tirinya.
"Aku tidak bisa benci lagi kepadamu, saudara tiriku," ujar Ki Harwati seraya kebingungan. Tapi kemudian, dengan putus asa bercampur dongkol, diseretnya lengan Gumara.
Dan ketika menuruni tebing Bukit Piransa yang curam. Gumara dipegangi terus.
Kuatir kalau jatuh. Tapi Gumara dengan u-au bisunya, membandel. Dipegang begitu, malah dia menyentak. Akibatnya dia terpeleset. Dan bergulinganlah si bisu itu diantara batu-batuan yang menghambat akar tebing. Dan setiba di bawah tubuhnya diam tak bergerak.
Ki Harwati menjerit lantang. Gema jeritannya bergaung di dalam tebing itu. Beberapa batu besar bergeser. Bahkan ada yang runtuh oleh getaran teriakan Ki Harwati Piransa itu, saking kerasnya.
Getaran itu pula yang menyentak kesadaran Gumara dan pingsannya. Dia berdiri.
Mencari darimana sumber teriakan menggetarkan tadi. Ketika dia melihat Harwati di atas itu, kini Gumara yang berteriak; "Kamukah di atas itu, adikku"!"
Ki Harwati piransa menjadi kaget, karena si dungu dan bisu itu sepertinya sudah normal kembali. Memang Gumara sudah menjadi normal kembali. Kelihatan tingkahnya yang cemas menyaksikan Harwati menuruni tebing dengan kecepatan seekor belalang betina. Dan ketika Ki Harwati Piransa tiba di bawah. dipeluknya Harwati dengan sisa kecemasan seraya bertanya: "Kenapa kamu gegabah seperti belalang turun ke bawah?".
Ki Harwati masih terpana menyaksikan keajaiban ini.
Koleksi KANG ZUSI "Aku mohon ampun padamu, Ki Guru, abangku .... karena selama ini telah aku perlakukan kau sebagai budak, jadi kini aku gembira. Bahkan kuatir, bahwa kau baru melewati dua cobaan ujian ilmumu dengan dungu dan bisu. Kita kemana sekarang?"
tanya Ki Harwati menguji.
"Kita harus segera ke Lembah Tujuh Bidadari", ujar Gumara.
KEMUDIAN, dengan tenaga yang baru dan segar, Gumara membantu terus Ki Harwati Piransa menaiki pebukitan baru di sebalik pebukitan Bukit Piransa.
"Kebetulan hujan gerimis tiba". kata Gumara setiba di atas.
"Kenapa?" "Hujan gerimis dalam cuaca panas senja ini menciptakan lengkungan pelangi! Tidak kau lihat warna pelangi di depan kita ini?" tanya Gumara.
"Apa maksudnya?"
"Coba perhatikan! Berapa buah bukit warna pelangi yang melengkung itu jaraknya?"
Tampak oleh Ki Harwati, lengkungan pelangi itu melangkahi tujuh buah bukit. Dan dia pun berkata: "Tujuh buah bukit!"
"Ke tempat jatuhnya pelangi yang melengkung melangkahi bukit itulah kita harus pergi. Di tempat jatuhnya pelangi itu, di situlah terletak Lembah Tujuh Bidadari.
Berdasarkan mimpiku tadi, di situlah beradanya KitabTujuh".
"Mimpi?" "Aku barusan mimpi tadi di bawahsana itu!" kata Gumara.
Ki Harwati bertambah heran. Dia ingat, memang akang tirinya Gumara tadi jatuh dan pingan. Tapi ketika itu ia terjatuh kepeleset karena kedunguannya dan dia jadi bisu.
Apakah pingsan sejenak di bawah itu tadi ibarat dia tidur bermimpi"
"Ceritakan mimpi itu", kata Ki Harwati.
"Mimpiku benilai mimpi Nabi-nabi. Ibarat mimpi Nabi Sulaiman atau Nabi Jusuf".
kata Gumara. "Kita berangkat saja kesana ", kata Harwati, "Soal mimpi itu bisa kau ceritakan dalam perjalanan. Aku tidak sabaran lagi untuk mendapatkan Kitab Tujuh itu".
"Berdasarkan mimpiku, ada yang mesti ditinggalkan", kata Gumara.
"Ditinggalkan" Apa itu?"
"Dua barang yang diharamkan oleh Kitab Tujuh", ujar Gumara.
Koleksi KANG ZUSI "Katakan apa itu!" ujarKi Harwati tak sabaran.
Gumara tertegun sejenak, lalu berkata: "Dua barang yang kau sayangi. Yaitu ular piransa yang melilit di kepalamu itu. Dan Pedang Turki itu!"


Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar itu, wajah Ki Harwati Piransa berubah menjadi geram.
"Kau jangan mencoba memperbudakku! Kau masih berkedudukan sebagai budakku sejak aku mendapatkan kesaktian Pedang Turki dan Ular Piransa ini!"
Dan ular kecil belang kuning berkepala dua yang melilit di kepala Ki Harwati itu bergerak-gerak menggeliat. Ki Harwati Piransa merasakan hal itu. Dan dia menatap pada Gumara dengan tatapan angkuh, lalu berkata: "Tidak kau lihat senjataku sedang marah di atas kepalaku?"
"Aku melihatnya", kata Gumara.
Dalam sekelebatan, Ki Harwati mencabut pedang Turkinya. Pedang itu tambah gemerlapan, terutama matanya, ketika diacu-acukan oleh Ki Harwati ke hadapan Gumara. Gumara menyaksikan gertakan yang berbahaya itu.
"Itulah syarat dari mimpiku itu. Kita harus hadir di Lembah Tujuh Bidadari dalam keadaan tangan kosong. Tanpa senjata", kata Gumara.
"Ucapanmu seakan-akan memperbudakku! Kau budakku! Kau harus tunduk dengan perintahku.Bukannya aku yang harus tunduk dengan perintahmu! Apalagi itu perintah berasal dari mimpi!"
Ular Piransa sebesar telunjuk dengan warna belang kuning itu semakin menggeliat di jidat Ki Harwati Piransa. Dan ketika dia akan sarungkan pedang Turkinya itu, ternyata bilah pedang itu tidak bisa masuk pada sarungnya.
"Ini satu pertanda, bahwa salah satu dari senjata - senjataku ini musti makan orang", kata Ki Harwati Piransa dengan menatap buas kepada Gumara.
"Kalau begitu, dengan kata lain, aku harus jadi korban. Jadi tumbal", pancing Gumara menahan marah.
"Kecuali jika kita berangkat ke Lembah Tujuh Bidadari tanpa syarat", kata Ki Harwati dengan nada marah.
Betapa pun gondok dan terhina. Gumara masih bisa menguasai marah.
"Keinginanmu terlalu banyak, wahai calon Guru Besar!" kata Gumara dengan nada jantan. Kejantanan nada suara Gumara, ditafsirkan batin Harwati sebagai keangkuhan.
Dibentaknya kakak tirinya itu:
"Kalau begitu, kamu yang harus tinggal di sini! Aku sudah tahu di mana letak Lembah sakti itu. Kau tak usah mengawalku, sekalipun kedudukanmu masih budakku!"
Koleksi KANG ZUSI Bentakan itu sungguh bringas. Bagai singa betina lapar, Ki Harwati menghentakkan kakinya kebumi dua kali, lalu berkata: "Selamat tinggal, budak!"
"Kau terlalu durhaka, adikku", ujar Gumara dengan nada pedih. Hatinya terluka. Dia melihat betapa cepatnya langkah Harwati menyusupi ilalang dalam hujan gerimis itu, tanpa bisa dicegah. Gumara masih berdiri terpaku dengan hati geram dan penuh kekuatiran.
KI ROTAN yang juga merasa mendapatkan wangsit untuk memiliki Kitab Tujuh, mengapungkan diri di atas sungai. Karena ia menyesuaikan dirinya dengan takwil mimpi malam sebelumnya, bahwa banjir akan tiba, sementara ini dibiarkan dirinya mengapung, kadang dia menyangkut pada akar kayu di tebing sungai itu. Ya. sungai Selawi akan mengalami banjir besar.
Menjelang tengah hari, Ki Rotan yang mengapung itu merasa gembira. Mimpinya mulai memperlihatkan bukti! Tendangan arus dibawah tubuhnya yang mengapung mulai terasa keras. Sementara kupingnya mendengar suara gemuruh di sebelah mudiksana !Tanda di hulu sungai Selawi sudah mulai banjir besar"
"Mimpiku menjadi kenyataan!" dia berseru ketika tendangan arus sungai bertambah keras. Dan matanya melihat jelas, di arah hulusana , sungai Selawi mulai bergulung-gulung bagai tikar raksasa yang dibuka. Ia seakan-akan sudah separoh sadar saking gembira! Ia seakan siap untuk ditelan gelombang sungai Selawi yang dahsyat itu !
Mendadak di dengarnya suara teriak keras dari atas tebing." Hai lelaki! Cepat ketepi!".
Suara itu suara seoraing wanita. Dan wanita itu sepertinya gadis yang masih perawan.
"Aku Ratu Senik. memperingatkan tuan!" seru suara itu. Nama itu dikenal oleh Ki Rotan. Dia menjadi bimbang.
Dia lalu manggepakan kakinya, hingga dia ke tepi. Lalu cepat dia raih akar pohon tebing, dan cepat memanjat ke atas tebing. Separuh panjatan, air sungai Selawi menggerutu menghantam tebing kiri dan kanan, menciptakan bunyi berdengus mengerikan. Dan Ki Rotan selamat dari telanan sungai bah itu . . .
Ketika Ki Rotan merangkak terus ke atas, wanita tadi sudah seperti menyambut kedatangannya. Ketika dia memperbaiki rambutnya, Ki Rotan pun melirik dengan sorot birahi padanya. Dan mata wanita itu tunduk dan Ki Rotan pun berkata:
"Sebutkan nama tuan sekali lagi!"
"Namaku Ratu Senik", ucapnya.
Ketika berbicara sekalimat singkat itu, tampaklah gigi wanita itu telah dikikir rata, bukti bahwa dia telah menikah.
"Anda seorang janda?" tanya Ki Rotan.
Koleksi KANG ZUSI "Ya". "Kalau begitu anda adalah janda Guru Besar guru semua guru?"
"Betul, Saya ini janda Ki Tunggal harimau pertama di kawasan seratus bukit dan dua puluhlima sungai", kata Ki Ratu Senik. Birahi Ki Rotan lalu semakin menyala, sebab dalam mimpinya yang dia dapat semalam berdasar wangsit yang ia terima adalah kalimat terpenting. "Jika engkau berhasil meniduri janda Guru Besar, segera ilmu itu akan menitis lewat dia kepada anda. Dan anda akan mendapatkan Kitab Tujuh seperti anda menanti jatuhnya anai-anai setelah menikmati lampu terang".
"Tapi tuan Ratu tidak memegang tongkat", kata Ki Rotan.
"Tuan ragu?" tanya Ratu Senik.
"Bukan ragu. Tiap guru senantiasa ditemani tongkat, mengingat harus berjalan jauh".
"Saya bukan guru. Saya hanya pewaris ilmu dan suamiku yang telah sampai ajal.
Menurut suamiku, musuhku bukan pendekar pria. Tapi pendekar wanita".
Ki Rotan makin yakin, apalagi bumi yang dia pijak saat itu adalah bumi pertapaan Ki Tunggal, yang syah kebenarannya!
Mulailah Ki Rotan digelimangi nafsu untuk tidur dengan wanita itu. Seluruh otot tubuhnya jadi kejang dan tegang.
Lalu dia berkata: "Saya kuatir malam ini turun hujan lebat, dan saya tidak punya tempat berteduh".
"Kenapa tuan cemas?" Mari ke gubukku. Disana saya dapat menyelimuti anda dengan kain berlapis-lapis", kata Ki Senik.
"Ketika saya tuan selimuti, tuan tentu kedinginan", kata Ki Rotan. Wanita itu tarsenyum akrab, dan dari pelipis matanya tampak urat kegarangan bagai seekor cacing hidup dilapis kulit kuning dan licinnya. Wanita itu memberi isyarat agar Ki Rotan mengikuti dia menuju pondok pertapaan almarhum Ki Tunggal yang terbukti lagi syah dan benarnya. Pondok padepokan itu seluruhnya terbuat dari daun nipah.
Dan bila Ki Rotan masih ragu, janda itu sendiri pun bimbang mengajak masuk. Nah, waktu hujan turun menjelang senja, waktu itulah Ki Rotan yang sedang berdiri bagaikan patung mendengar tutur manis janda itu:
"Nanti tuan sakit terkena hujan lebat yang akan turun. Masuklah, tak baik lama berpatung diri di pintu?"
Ki ROTAN pun masuk. Satu obor kecil yang cahayanya terpelihara, membuat sinarnya menciptakan suasana merangsang. Hujan tobat pun menjadikan bunyiannya menggelorakan dada. Sementara selingan angin seakan-akan menghembus -
Koleksi KANG ZUSI hembuskan nafasnya ke dalam paru-paru Ki Rotan. Petir dan geledek silih berganti ketika malam tiba. Dan janda itu pun menyodorkan makanan umbi dan minuman nira.
"Makanan apa ini?" tanya Ki Rotan memancing.
"Makanan istimewa, yang selalu aku hidangkan pada suamiku menjelang waktu tidur tiba,"ujar Ki Senik
"Ho-ho!" "Ini umbi pasak bumi. Dan ini nira Tapanuli yang bisa merangsang lelaki".
"Aha ... !" Ki Rotan tertawa dan dia menoleh ke arah janda itu dengan mata jelalatan.
"Saya tahu siapa anda", kata Ki Senik.
"Seluruhnya tentang diriku?""
"Suamiku telah menceritakannya. Anda adalah lelaki yang gagal memperkosa wanita, termasuk murid anda Ki Harwati. Padahal perkosaan itu adalah perbuatan zina yang selalu membatalkan peningkatan derajatmu", ujar janda itu.
Ki Rotan berubah jadi kecut hati. Tapi kata-kata berikutnya dari mulut kecil janda itu segera menghiburnya. "Kecuali apabila suka sama suka, malaikat pun menjadi saksi syahnya suatu hubungan".
"Anda kuatir akan aku perkosa?" tanya Ki Rotan bimbang, memancing. "Jika tuan berniat memperkosa saya, saya kuatir ilmu anda akan menjadi bambu buta. Itu adalah sifat tergesa yang melawan kodrat alam. Yang dapat dibenarkan apabila suka sama suka lalu menjadilah dua mahluk lain jenis sebagai suami-isteri", kata Ki Senik yang ucapan itu segera membangkitkan rangsangan. Ketika Ki Rotan beranjak duduk ingin membelai kepala Ki Senik, janda itu berkata. .. Kekuatan anda mutunya akan di bawah kadar suamiku almarhum jika tuan tidak makan umbi pasak bumi masakanku dan meminum nira pembangkit tenaga". Dan dia pun bersabar hati mengikuti saran janda itu. Dan dia mendapat kehormatan disuapi makan malam, dan diminumkan nira itu. Tapi di waktu telah kenyang dia, dia berkata: " Bolehkah tanya tidur sekarang"
Mataku sudah berat sekarang". "Sebelum tuan masuk selimut terlebih dulu wajib menyatakan ikrar, agar semua yang tuan perbuat pada saya akan saya jalin dengan apa yang saya persembahkan. Dan menjadi syah jika tujuh malaikat mendengarkan ikrar tuan".
Janda itu mengulurkan tangan, yang telapaknya dipegang oleh Ki Rotan. Lalu janda itu menuntut kata-kata ikrar dimaksud: ?"Saya. Ki Rotan, dengan saksi tujuh malaikat, mengawini Ki Ratu Senik, janda Ki Tunggal yang merupakan Guru dari segala Guru di seratus bukit ini yang dikawal oleh selawe sungai, dan menjadikannya isteri syah saya, sehingga tidur dan makan dengan dia bukan lagi merupakan perzinaan".
Kata-kata ikrar yang diikuti Ki Rotan itu cukup fasih sehingga Ki Rotan langsung saja menerkam tubuh janda itu tanpa menunggu diselimuti.
Koleksi KANG ZUSI "Sungguh tuan ini seorang lelaki sempurna?", demikian pujian Ki Senik sehabis dia mandi keramas dengan tujuh kembang pilihan.
"Tapi saya harus mengembara lagi", kata Ki Rotan.
"Mencari Kitab Tujuh. "
"Ya". "Keinginan tuan dituntut oleh kesabaran. Tuan tak beda dengan Ki Harwati, yang kemarin pagi mendatangiku ke sini, memaksa aku untuk memperlihatkan Kitab Perjalanan untuk mendapatkan peta persembunyian Kitab Tujuh Lupakah tuan bahwa, tuan tidak bisa pergi sendiri" saya ini isteri, garwa tuan, dan wajib menemani anda sampai mati" Dan pernahkah tuan mendengar, cobaan dan ujian yang harus dialami untuk mendapatkan Kitab Tujuh itu?"
"Aku lalu berfikir tentang Ki Harwati", kata Ki Rotan,
"Rupanya dia lebih dahulu melangkah dariku, sebelum aku sendiri melangkah".
"Jangan kecewa. Siapa yang melangkah duluan, belum tentu dialah yang duluan sampai", kata Ki Ratu Senik.
"Tapi akulah yang mendapatkan wangsit", ujar Ki Rotan.
"Wangsit itu hanya petunjuk. Wangsit harus disertai dengan lakon. Tiap lakon mengalami perjuangan. Jika tuan bersikeras pergi sendiri, tuan akan menderitakannya sandiri. Jika saya ikut, keadaan jadi lain. Satu tugas besar dan berat, lebih ringan dilakukan berdua".......................
KI ROTAN seutuhnya percaya kepada ucapan Ki Ratu Senik, karena isterinya ini bukan perempuan sembarangan.
"Tadi engkau menyebutkan nama Ki Harwati. Dan kau pun kenal siapa dia dengan baik. Kau bilang, dia kesini memaksamu untuk menanyakan Kitab Perjalanan. Untuk mengetahui peta letak Kitab Tujuh itu. Kalau begitu, Bukit Tunggal ini adalah pusat semua ilmu dan kitab. Jika tidak, kenapa dia berkali-kali harus ke sini".
"Itu mungkin benar. Tapi seluruh rahasia itu ada pada Ki Tunggal. Padahal begitu beliau mati, terkuburlah seluruh rahasia itu".
"Jadi apa artinya perkawinan kau dan saya ini?" tanya Ki Rotan.
"Tentu saja ada. Jika aku hamil, aku akan melahirkan keturunanmu!"
"Bukan itu makna pertanyaanku!"
Koleksi KANG ZUSI "Setidaknya, memenuhi kebutuhan kelamin anda dan saya, tuan guru".
"Ah, yang aku harapkan dan kau bukan sekedar kebutuhan kelamin. Aku juga butuh tuah darimu karena kau bekas isteri pendekar bertuah", kata Ki Rotan.
Ki Ratu Senik memegang bahu suaminya. Dan dia berkata lirih: "Kalau demikian, ikrar perkawinan kita tak lebih dari perkawinan hewan. Begitukah anggapan tuan?"
"Kau harus memberi sasuatu padaku", kata Ki Rotan.
"Apa yang harus kuberi?"
"Bermacam-macam rahasia. Setidaknya Tuan Guru Tunggal pernah bercerita padamu tentang rahasia hidup beberapa pendekar dan calon pewaris ilmu sakti. Pernahkah beliau ketika hidup menceritakan tentang pendekar wanita Ki Harwati?" tanya Ki Rotan.
"Pernah ada disebutkan, bahwa dia akan mewarisi Pedang Ratu Turki. Dan kulihat buktinya, pendekar wanita ini memilikinya, ditaruh di pinggangnya,, ketika dia datang".
"Apa lagi?" "Satu hal terjadi di luar ramalan itu!" kata Ki Senik.
"Adakelainan?" "Dia tidak menjadi pemilik Kitab Makom Mahmuda. Padahal gandengan Pedang Turki itu haruslah kitab itu, agar pedang itu tidak salah penggal, kerena pemilik kitab itu tahu jalan masuk dan jalan ke luar yang benar. Karena kedudukan pemilik dua barang sakti itu meliputi cahaya batin. Ini malah sebaliknya. Dia seakan-akan gelap, tak tahu arah, malah ke sini menanyakan padaku Kitab Perjalanan, . . .. bukankah ini bukti dia masih punya kekurangan?"
"Menurutmu . . . apa kekurangan Pendekar Harwati?" tanya Ki Rotan.
"Mungkin kekurangannya adalah dia berjiwa serakah", kata Ki Senik.
"Koq anda tahu?"
"Dia memiiliki Mahkota Ular. Di kepalanya ada ular Piransa belang kuning, yang mungkin akan selalu menyesatkan dia. Tidak semua pandekar harus menerima tawaran untuk menghiasi dirinya dengan barang - barang sakti. Menurut almarhum suamiku, tiap pendekar yang baik memiliki benda sakti kembar. Sebagai contoh: bila memiilki pedang sakti, harus punya satu kitab sakti. Juga pribadi pendekar harus kembar: Jika dia punya watak baik, harus disertai watak berkorban. Jika dia punya watak buruk, dia pun harus punya sifat mau menguasai orang lain. Apa anda masih buta dari ilmu satu ini?"
Koleksi KANG ZUSI "Bukan begitu, istriku! Apa kau berpendapat dia terhalang mendapatkan Kitab Makom Mahmuda itu karena dia memelihara ular perhiasan?" ,
"Kukira betul demikian", kata Ki Ratu Senik.
"Adasatu pertanyaan pentingku", kata Ki Rotan.
"Cobalah menanyakan, selagi aku bisa menjawab".
"Pertanyaan terpenting buatku, selain Ki Harwati, siapa lagi nama pendekar terpenting di kawasan seratus bukit ini?"tanya Ki Rotan.
"Dia masih turunan Ki Karat. Namanya Ki Gumara. Setelah matinya harimau tua ...
almarhum suamiku ... kudengar Ki Gumara mengisi kekosongan itu. Harimau Tujuh akan tetap tujuh selamanya".
"Namaku tak beliau sebut?"
"Ada. Tapi tidak dalam urutan penting, seperti halnya nama Ki Ibrahim Arkam".
"Adapernah juga disebut nama Pendekar Pita Loka?" tanya Ki Rotan. Ki Senik tardiam sesaat. Menurut ingatannya, nama ini tidak boleh disebutkan oleh siapapun kendati mengetahui rahasia kelebihannya. Jika dilanggar sumpah ini, maka Ki Senik akan melahirkan anak cacat. Diamnya Ki Senik, membuat Ki Rotan curiga, lalu menuding:
"Kau mau merahasiakan kelebihan Pendekar wanita yang satu ini?"
?"Bukan aku ingin merahasiakan pada anda. Bukankah anda suamiku" Tapi sekiranya aku menceritakan perihal dia ini, aku akan dikutuk oleh sumpah yang sudah aku janjikan pada Guru semua pendekar. Almarhum Ki Tunggal". "
KI ROTAN menjadi merah wajahnya. Dia berusaha menahan amarah. Namun yang akan dilampiaskan kemarahannya adalah bukan sembarang perempuan. Ketika rasa ngeri itu melintas, wujud pribadinya jadi lemah lembut. Dia bertanya dangan nada merendah:
"Bolehkah aku mengetahui, dari tujuh pendekar harimau itu, detik ini ada berapa pendekar yang bersibuk diri?"
"Tiap kejadian, selalu tiga pendekar bersibuk diri".
"Dari tujuh harimau itu?"
"Belum tujuh harimau itu seluruhnya bersibuk. Pokoknya, satu diantara tujuh harimau itu harus menjalani kesibukan ".
"Setidaknya kamu diberitahu ke mana Ki Harwati pergi?", kata Ki Rotan.
Koleksi KANG ZUSI "Jika pun dia berkata, belum tentu langkahnya kesana . Pendeknya dia akan selalu dirundung kegelapan selagi dia campuradukkan Pedang Ratu Turki dengan memeli hara barang sakti selain Kitab Makom Mahmuda. Selagi minyak tidak dapat disatukan dengan air, begitupun ilmu hitam tidak dapat dibaurkan dengan ilmu putih".
"Apakah pernah kau berjumpa dengan pendekar sinting?" tanya Ki Rotan.
"Oh, lelaki gila itu" Maksud tuan Ki Dasa Laksana?"
"Ya!" ?"Dia pemilik ilmu Setan";
"Setidaknya salah satu dari ramalannya bisa terbukti !" ujar Ki Rotan.
"Memang dia meramalkan ketika mampir kesini, bahwa Ki Harwati akan menyerbu Desa Kumayan, membunuh beberapa orang tak berdosa dan memenggal lengan 17
remaja sebagai tumbal mendapatkan buku Kitab Tujuh".
"Dia juga manyebut nama tempat tersimpannya KitabTujuh".
"Dia hanya menduga, Kitab Tujuh itu ada di Bukit Kumayan!".
"Dia ke Bukit Kumayan?" desak Ki Rotan.
"Entahlah. Tapi jangan dengar ucapan orang gila. Berteman dengan setan, penghulunya adalah iblis-iblis. Aku ngeri jika anda dipengaruhi oleh ucapannya", kata Ki Senik.
"Kini hampir jelas bagiku, apa yang kau rahasiakan pada saya tentang Ki Pita Loka.
Dia puteri Ki putih Kelabu. Dia berasal dari Kumayan. Jadi anda merahasiakan ini sebab kuatir saya akan mengembara ke Kumayan, lalu meninggalkan anda.
Sedangkan perkawinan kita baru satu malam"
Mendengar tantangan itu, Ki Senik bersedih hati. Dia pernah dengar juga tentang ambisi Ki Rotan yang kobarannya bagai api.
Ki Rotan pun tahu kelemahan wanita muda ini. Kelemahannya adalah sex..Jadi pada malam harinya, dicumbunya isterinya itu, tetapi setiap isterinya minta disetubuhi, dia selalu menolak. Hanya dibuatnya ketagihan birahi belaka!
"Katakan dulu rahasia Kitab Tujuh itu, agar akulah jadi pemiliknya. Tidakkah kau bangga, apabila aku menjadi raja dari semua guru, temasuk raja dari harimau yang tujuh"
"Jangan bujuk aku sehingga melanggar sumpah", kata Ki Senik.
?"Kau takut anakmu akan cacat?"
Koleksi KANG ZUSI "Tentu. Karena itulah inti sumpahku!"
"Kau kalau begitu berpihak kepada Ki Pita Loka" Dia toh musuh saya, dan musuh saya berarti musuh kau !"
Lalu terus saja dibelainya tubuh isterinya agar wanita itu ketagihan dengan rasa birahi dan memanglah usahanya mendekati hasil. Ki Senik meronta dengan dengus nafasnya yang deras, memeluk Ki Rotan secara membabi buta, tapi Ki Rotan mendorong tubuh isterinya sehingga jatuh lagi ke sampingnya.
"Berikan satu rahasia itu", kata Ki Rotan.
"Tapi penuhi keinginankul" kata Ki Senik.
"Tentu". "Kau sertakan saya ikut kesana ?" tanya Ki Senik.
"Itu soal mudah. Sebutkan dulu rahasianya!"
"Rahasianya di ... Lembah Tujuh Bidadari". ujar Ki Senik yang terus menerkam tubuh suaminya dan menyerangnya dengan beringas sampai tercapailah kebutuhan indahnya akan persetubuhan.
Sepuas apa yang dia butuhi itu, dengan bermandi peluh dia pun tergelimpang di samping suaminya bagai seorang yang pingsan. Dia barusan terjaga dari tidur pulasnya, ketika cahaya matahari memasuki celah dinding nipah. Tapi ketika dia meraih pakaiannya, segera dia sadari, bahwa kenikmatannya semalam sudah dikhianati oleh sumpah yang dilanggar, dia meraba perutnya, dan yakin bahwa dia akan hamil sebagai akibat kepuasannya semalam. Ah, ketika dia mencari-cari suaminya, Ki Rotan sudah tak ada lagi. Ki Rotan sudah meninggalkan Bukit Tunggal, bahkan sudah terlibat dengan pergumulan menyeberangi sungai Selawi yang airnya buas akibat banjir.
KI ROTAN sebenarnya sudah hampir dapat meraih akar pohon ganjuling, namun dia lepas lagi. Lalu tubuhnya membentur satu batu besar, terbanting lagi ke kiri dan ke kanan.
Di luar dugaan, Ki Harwati ternyata mengalami musibah banjir sungai Selawi, lebih hebat lagi dan yang dialami oleh Ki Rotan. Dia selama dua hari satu malam terombang - ambing dihempaskan arus sungai Selawi, karena kesalahan menempuh jalan setelah dia pergi meninggalkan Ki Senik menuju mudik. Dia yang merasa dirinya mampu meniti arus sungai, mendadak sontak diserbu oleh banjir raksasa dari arah hulu sungai itu. Dikiranya mudah melawan arus mendadak. Dan dia hampir saja tanggelam hanya karena ular piransa yang membelit keningnya copot dari lilitan kepalanya. Dia lebih mengutamakan mencari ular sebesar telunjuk jari itu ketimbang berusaha menyelamatkan diri.
Koleksi KANG ZUSI Dan seluruhnya berurusan dengan nasibmalang atau melintang. Dia tersangkut pada akar pohon gading hijau yang akarnya mencengkeram sungai. Lalu tak bisa lepas lagi seperti masuk perangkap. Ketika itu pulalah, setelah beberapa jam dalam perangkap akar tanpa daya, dia melihat satu sosok terlempar membentur batu tebing ke kiri dan ke kanan. Ki Harwati berteriak: "Tolong .....! Tolong!".
Ki Rotan segera mencoba mengendalikan diri dari hempasan arus sungai Selawi yang mengamuk itu, menuju suara minta tolong itu. Usahanya berhasil. Dan dia tercengang ketika memegang akar pohon gading hijau yang sepertinya memenjarakan Ki Harwati.
"Ki Rotan, tolong cabut pedangku, dan tebaslah akar pohon gading hijau ini!", ujar Ki Harwati dengan nafas terengah mau manyerah.
"Aku bisa saja mengeluarkan kamu dari penjara musibah ini. Tapi kau harus bersedia bersamaku mencari Lembah Tujuh Bidadari", kata Ki Rotan.
"Kini, bahkan diriku sendiri pun seutuhnya kusediakan memberinya pada tuan, tidak menolak lagi seperti dulu, asal saya terlepas dari cengkeraman akar pohon gading hijau ini. Tolong cabutkan pedang saktiku ini, tuan Guru".
"Baik, baik, Jika kau langgar janjimu, kau akan celaka", kata Ki Rotan.
Dengan susah payah, Ki Rotan berusaha mencabut pedang Turki itu dari sarangnya yang terjepit di pinggang Ki Harwati. Tetapi rupanya mencabut pedang sakti begitu tidak semudah mencabut pisau di pinggang tukang mangga.
Begitu semangatnya Ki Rotan berusaha untuk mencabut, sementara Ki Harwati pun sudah meronta-ronta dengan lebih bersemangat untuk membebaskan diri, segera setelah ..... pedang itu tercabut maka bergemuruhlah air yang mendadak datang dari arah hulu, banjir yang lebih besar sehingga pohon gading hijau di tepi tebing itu tumbang.
Satu kilatan kelihatan, yakni kilatan mata pedang yang terpelanting entah ke mana.
Sementara itu pula Ki Harwati terseret bersama-sama akar pohon yang hanyut menuju hilir, disertai oleh suara gegap gempita. Ki Rotan sendiri lebih mengutamakan keselamatan dirinya daripada dia sendiri tenggelam.
Dia terseret labih cepat ketimbang Ki Harwati yang masih terkena cengkeraman akar pohon raksasa itu. Tapi dalam berusaha menyelamatkan nyawanya, Ki Harwati pun dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman akar. Hanya karena suatu kebetulan pohon itu membelintang dan Ki Harwati tetap diseret arus lalu lepas. Dia berenang kian kemari untuk mencari keselamatan. Sampai akhirnya dia melihat tangan menggapai-gapai di tengah sungai lebih kehilirsana , tak lain tangan Ki Rotan yang mohon pertolongan.
Banjir sungai Selawi yang bentuknya bagai lingkaran ular itu, telah menantikan nasib dua pendekar lain jenis ini berkali-kali saling tolong menolong. Dan kedua-duanya berhasil selamat dengan saling berpegangan sewaktu arus menyeret mereka ke cabang sungai yang ke kiri. Ketika itu hari senja, sewaktu Ki Harwati tanpa sengaja berseru: Koleksi KANG ZUSI
"Lihatlah pelangi di langit itu! Aku sudah mnemukan tempat yang mesti dituju!"
Tampak memang Bukit Segundul sebagai petunjuk di sebelah Bukit Api. Di belahannya itulah Lembah Tujuh Bidadari. Namun dalam kegembiraan itu Ki Harwati menyesali: "Sayang senjata saktiku dua-duanya lenyap karena musibah ini".
"Jangan berdukacita, Guru Muda. Saya siap mengawal tuan untuk sampai ke tempat itu. Bukankah yang tuan maksud, di tempat lengkung pelangi jatuh itu terletak Lembah Tujuh Bidadari, dan disana pula bersemayam Kitab Tujuh?".
Ki Harwati terdongak kaget. Sebelum dia bertanya:"Jangan dikira hanya tuan Guru saja yang mengetahui rahasia itu. Istriku janda pendekar besar Ki Tunggal. Satu diantara kita akan menjadi pemilik Kitab Tujuh itu. Hal itu tak perlu anda rahasiakan lagi", kata Ki Rotan, yang membuat Ki Harwati tambah melongo.
AKHIRNYA, Ki Harwati terpukau oleh ramalan - ramalan yang diucapkan Ki Rotan sehingga dia berkata: "Sekiranya aku ikuti apa yang dituturkan kakakku Gumara, mungkin segalanya dengan mudah aku petik", lalu meneruskan langkah.
"Itu tetap saja sulit, karena satu pekerjaan besar lebih baik dilakukan dua orang daripada satu orang" ujar Ki Rotan yang sebenarnya menjiplak ucapan Ki Senik.
Mereka melanjutkan langkah sembari terus bicara.
"Bagaimana caranya?", tanya Ki Harwati.
"Bukankah kau berjanji akan menyerahkan dirimu seutuh tubuhmu jika kau selamat dari bencana sungai Selawi?" usik Ki Rotan.
"Itulah kelemahan tuan, Tuan Guru", kata Ki Harwati.
"Dan kelemahanmu aku tahu pula. Kau pendekar serakah. Kau yakinilah, bahwa bukan kamu yang akan mendapatkan Kitab Tujuh itu", kata Ki Rotan.
Mendengar ucapan itu, langkah Ki Harwati terhenti.
Ki Rotan merasa terancam bahaya jika Ki Harwati mengamuk. Lalu dia merasa butuh teman dan ditempuhnya cara bijaksana dan damai.
"Kita dari dulu selalu berkait dengan hutang budi. Jangan sampai kau tersinggung oleh ucapanku. Perjalanan kita masih jauh, setidaknya turun naik jurang sebanyak lekukan enam kali lagi. Mari kita tidak bicara sepatah kata pun. Kita menuju jatuhnya pelangi sekarang..."
Dan alangkah terkejutnya Ki Harwati maupun Ki Rotan, sebab warna lengkung pelangi itu hilang seketika itu juga, kendati gerimis dan cahaya matahari masih ada.
Keduanya kehilangan pedoman, saling bertanya:
"Di mana kita?" Ki Rotan melihat satu jalan lurus. Ki Harwati juga melihat jalan lurus itu. Keduanya kehilangan akal, sampai muncul seseorang dari balik sebuah bukit Koleksi KANG ZUSI
ilalang. Orang itu melangkah bagaikan orang mabuk, dari arah Bukit Anggun.
Ketawanya membelah angkasa, langkahnya sempoyongan.
"Kalian berdua tentu tak lupa siapa saya", kata orang itu.
"Ki Dasa Laksana!" seru Ki Harwati serentak dengan Ki Rotan.
"Kalian berdua tersesat. Dan butuh aku tentunya", kata Ki Dasa Laksana.
"Betul, kau penolong kami", kata Ki Harwati. "Jangan tuan guru muda", kata Ki Rotan memperingatkan, "Janda Ki Tunggal yang aku kawini sudah meyakinkan diriku, bahwa ilmu Ki Dasa ini adalah ilmu Setan dengan iblis sebagai Penghulunya.
Jika kita dengar apa yang diucapkannya, kita malah tidak mendapatkan apa yang kita cari".
"Aku potong pembicaraanmu, tikus tua bangka! Aku tahu apa yang kalian cari.
Padahal aku telah memilikinya. Telah aku tumpas Ki Pita Loka, dan telah kusimpan Kitab Tujuh itu. Jika kalian berdua ingin mendapatkan tuah Kitab Tujuh, dan berguru kepadaku, syaratnya sedarhana".
Anak Harimau 9 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Kasih Diantara Remaja 10
^