Pencarian

Rahasia Kitab Tujuh 2

Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Bagian 2


"Apa?" tanya Ki Harwati terkena pesona.
"Sederhana. Kalian berdua, bersama aku, menuju Desa Kumayan. Kita habisi nyawa enam harimau yang bercokol disana , kita rubah tata hidup orang di Kumayan. Dan kita bertiga baru syah menjadi orang-orang sakti. Tahukah kalian, bahwa panghalang semua ilmu sakti itu hanya satu orang, yaitu Ki Pita Loka. Sedangkan dia sudah aku bunuh di Lembah Tujuh Bidadari dalam perang tanding yang dahsyat. Kalau kalian tidak percaya, mari kita lewati kuburannya".
Ki Rotan kini ikut terpesona. Langkahnya jadi besar mengikuti langkah Ki Dasa Laksana yang seleboran kayak orang mabok itu. Ketika sampai ke satu lembah, dia menunjuk tujuh pancang kuburan.
Ki Harwati tercengang. Enam kuburan berisi enam potongan tangan dan satu kuburan lagi tidak.
"Yang tidak sempat aku potong tangannya hanya satu ini, Ki Pita Loka. Tahukah kalian, mengapa Ki Pita Loka gagal mendapatkan Kitab Tujuh" Ini, enam pemuda remaja, pria-pria muda yang berguru padanya. semuanya dia ambil bujangnya melalui perkosaan halus. Dia kena laknat tujuh bidadari. Dan kampungnya Desa Kumayan pun dilaknat para guru, sebab dia anak Ki Putih Kelabu, salah satu dari harimau yang tujuh yang disegani, yang kini jumlahnya jadi enam karena matinya Ki Tunggal. Jadi, kalian berdua harus berterimakasih dipertemukan dengan saya.
Ayoh melanjutkan perjalanan. Kita ke Kumayan. Kita goncang desa enam harimau itu. Kita bunuh satu persatu orang-orang yang disegani, sehingga seluruh penduduk jadi kecut. Dan kita bertiga akan ditakuti!"
Semangat Ki Harwati, begitu juga Ki Rotan, berkobar. Dan ketika mereka Koleksi KANG ZUSI
menemukan seorang lelaki utas bersama isterinya, Ki Dasa Laksana memanggil mereka. Ternyata mereka orang utas asal Kumayan. Ki Dasa Laksana dalam sekelebatan memenggal lengan lelaki utas itu. Isterinya melolong ketakutan.
"Jangan kuatir. Kami bertiga cuma butuh tumbal lengan suamimu ini. Kalian berdua tidak akan kami bunuh. Pulang tenang ke Kumayan, beritahu pada penduduk, bahwa tiga pendekar pimpinan Ki Harwati akan menyerang desa kalian, kecuali jika penduduk bertekuk lutut."
GUMARA barusan saja melepas lelah di Bukit Kumayan setelah melalui perjalanan panjang. Dia kuatir, kembalinya ke Kumayan akan dielu - elukan penduduk secara berkelebihan. Pakaiannya yang compang camping merisaukannya dan pastilah akan dianggap keanehan.
Dan apabila dia langsung kembali ke rumahnya yang masih terikat kontrak sewa itu, pastilah juga dia akan berpergokan dengan salah seorang tukang ronda. Dan mungkin pula rumahnya itu sudah dikontrakkan lagi kepada orang lain sebab bisa saja dirinya dianggap "hilang", dan setiap perkataan hilang akan punya dua makna. Hilang mati, atau hilang sebagai manusia biasa yang akan menjelma menjadi manusia istimewa, Jika anggapan yang terakhir ini timbul, dia akan dikira nanti sudah menjadi "Dukun Sakti"
Tapi pakaian kumal dan compang camping ini harus segera diganti sebelum dia dipergoki satu orang penduduk Kumayan. Dia tiba-tiba ingat pada mantera "ilmu silap mata" yang pernah diwariskan ayahnya sebelum Ki Karat itu wafat; Ada karena aku ada
Aku ada karena ada Aku tiada karena ada Sembilan liang lima pancar
Lima pancar sembilan liang
Aku ada karena sinar Tiada sinar aku menghilang!
Lang kata berbilang Aku hilang dalam Lang Karena keyakinannya pada ilmu hilang itu, diamalkannya membaca mantera itu.
Seketika itu juga menjelma seekor harimau. Dan di atas punggung harimau itulah kini Gumara berada Amalan mantera itu terus saja dia ucapkan. Dan dia telah tiba memasuki pekarangan rumah. Ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Gumara memutar pegangan pintu, lalu pintu terbuka tanpa suara. Gumara melihat seorang lelaki tidur diambin. Lelaki itu tidur nyenyak. Gumara masuk ke kamar. Dan dia melihat kopornya masih utuh.
Dia ambil sepasang baju dan celana, lalu dia menukarnya di kamar mandi. Dia ganti sepatunya. Lalu dia buang pakaian usang dan sepatu usangnya yang lusuh dan koyak.
Kemudian dia keluar rumah setelah bersisir rapi. Setiba di luar rumah dia diciumi harimau yang jadi tunggangannya tadi.
Tanda harimau itu berpamitan dengan dia. Harimau itu menggelicik memasuki kebun Koleksi KANG ZUSI
jeruk. Dan menghilang. Amalan mantera dia akhiri dengan usiran halus, lalu dia coba memutar pegangan pintu rumah itu. Pintu tak bisa lagi dibuka seperti tadi Gumara puas, karena kini dia kembali menjadi manusia ragawi, nyata, dan terlihat orang. Barulah dia mengetuk pintu.
Lelaki yang tadi tidur diambin bambu lalu melihat jam tangan . Tengah malam Ketukan itu didengarnya lagi. Lalu lelaki itu agak kecut bertanya: "Siapa di luar"Ada yang mengetuk?"
"Saya". "Siapa"!" agak merinding lelaki tadi berseru gemetar.
"Saya. Guru Gumara", ujar Gumara
Lelaki tadi agak gentar sejenak. Dia ditugaskan menjadi Guru Matematika di Kumayan karena alasan bahwa Guru Gumara telah meninggal dunia. Kini ada orang mengaku bernama Gumara" Orang mati hidup lagi"
Didengarnya lagi ketukan pintu.
Lelaki itu tambah kecut, kendati suaranya lantang membentak: "Siapa di luar!"
"Saya. Guru Gumara". sahut Gumara.
Lelaki itu jadi ketakutan. Kisah mengenai Guru Gumara sudah hampir jadi dongeng, termasuk kisah Harwati dan Pita Loka di kawasan Kumayan ini.
"Apa saya tidak salah dengar?" tanya lelaki itu gugup.
"Bukalah dulu pintu ini", ujar Gumara.
"Tidak, tidak! Saya tidak berani! Saya dengar Bapak sudah ... mati!". Gumara bersitenang beberapa saat. Dia tahu dirinya sedang diintip. Dia tidak boleh membuat orang lain takut.
"Bukalah. Aku masih hidup. Yang bicara pada anda sekarang ini manusia. Bukan roh.
Tapi Gumara, guru SMP Kumayan", ujar Gumara dangan nada meyakinkan.
Lelaki itu membuka pintu. Wajahnya basah kuyup oleh keringat dingin, pucat dan masih curiga. Gumara masuk dan berkata: "Jangan takut. Aku bukan mahluk halus,kan " Siapa namamu" Apa pekerjaanmu?"
"Silahkan duduk, Pak Gumara. Nama saya Alif. Pekerjaan saya guru matematika yang menggantikan bapak selama Bapak menghilang", dan Alif pun jadi ramah. Bahkan Koleksi KANG ZUSI
menawarkan Gumara makan. Tapi Gumara sedang mengamalkan puasa yang mesti dilakukannya siang malam bagi pembersihan diri.
ALIF merupakan manusia pertama yang tak dapat menyembunyikan kegembiraannya karena hadirnya Guru Gumara di desa Kumayan.
Setelah disediakannya tempat tidur bagi tamunya, dan dipersilahkannya Gumara beristirahat, maka guru matematika itu pertamakali memberanikan diri ke luar rumah di tengah malam itu.
Yang dia datangi adalah Ki Putih Kelabu, dan langsung memberitakan kedatangan Gumara.
Ki Putih Kelabu terdongak demi mendengar kedatangan Gumara.
"Beritakan juga pada Ki Lading Ganda dan semua pendekar di Kumayan ini, nak Alif". kata Ki Putih Kelabu.
"Sudah lama penduduk Kumayan gusar. Baiklah, akan saya hubungi semua orang", ujar Guru matematika itu dengan langkah girang meninggalkan rumah pendekar Kelabu itu.
Risaunya hati Ki Putih Kelabu terhadap menghilangnya putrinya yang baru kembali, Ki Pita Loka ?" bukannya kerisauannya yang besar. Tetapi yang sungguh merisaukannya adalah sebelas orang anak remaja yang kembali ke Kumayan dalam keadaan tangan buntung. Justru kepergian Ki Pita Loka dengan enam anak remaja buntung lainnya itu seperti diberitakan 11 anak yang pulang, adalah kabar baik. Dia yakin Ki Pita Loka bukan pergi sembarang pergi.
Ia pasti pergi untuk suatu maksud besar.
Tapi, risaunya bangkit lagi ketika Lambada orang utas yang tangannya dibuntungi sembari dititip pesan: Bahwa penduduk Kumayan akan dihabisi. Tak jelas pula suami isteri Lambada orang utas siapa pengancam itu. Tapi dia sudah dibuntungi sedikit menciptakan keyakinan, bahwa pengancam itu menganut Ilmu Iblis.
Kini, Guru Gumara sudah kembali. Harapan Ki Putih Kelabu mulai bersemai di hati.
Begitupun Ki Lading Ganda setelah mendapat kabar dari Guru Alif, sedikitnya merasa terhibur.
Tapi Ki Lading Ganda maupun Ki Putih Kelabu, pagi hari ketika mendatangi Guru Gumara lantas kecewa.
"Tuan adalah Harimau Ketujuh, pendekar pelengkap. Anda yang membuat enam harimau bersatu, dan anda adalah Yang Ketujuh", ujar Ki Lading Ganda.
"Saya manusia biasa. Saya kesini akan kembali jadi guru biasa, guru sekolah. Jangan Koleksi KANG ZUSI
sebutkan diriku Harimau Ketujuh julukan itu terlalu berat bagiku".
Sungguh, kerendahan hati yang menjengkelkan dua guru yang datang. Tiga pendekar harimau yang lain sudah tak bersedia datang karena berpendapat bahwa Gumara dirasakan amat angkuh.
"Jadi anda tetap tidak bersedia jika desa Kumayan akan diobrak-abrrk pengacau?"
"Desa inikan tersedia sarana keamanan?" kata Gumara.
"Memang sekiranya perampok, maling dan pemberontak yang datang ke sini, polisi kira - kira cukup untuk mengatasinya. Tapi saat ini desa kita justru mau dikacau oleh pemilik ilmu Hitam, ilmu iblis" Kita semua ini, yang merasa diri memiliki ilmu Putih harus turun tangan lebih dulu".
"Saya rasa semua itu baru gertak sambal", ujar Gumara.
"Ha?" Ki Lading Ganda terdongak.
"Mau bukti?" tanya Ki Putih Kelabu sedikit geram,
"Nah, kalau tuan mau bukti, panggil sebelas remaja di luar itu, dan juga Lambada yang sudah dibuntungi! Ayoh panggil kesini tuan Khatib!" serunya.
Tuan Khatib memanggil sebelas anak bertangan buntung.
Ketika dilihatnya Lambada si orang utas, dia pun dipanggil Khatib: "Kamu juga, orang utas".
Sebelas remaja, dan satu orang utas, dihadapkan pada Gumara. Gumara hanya diam.
Tapi kendati wajahnya tak ada reaksi, namun keringat yang bermanik - manik dikeningnya itu adalah bukti terperangahnya dia. Dia diam membisu, kemudian berkata: "Aku menyatakan duka dan prihatin atas dibuntunginya lengan adik - adik tak berdosa ini. Mau pun anda, orang utas Lambada. Tapi siapa di antara kalian yang jadi korban ini yang mengetahui pelaku kekejaman ini?"
"Seorang lelaki", ujar anak buntung.
"Dan kau?" "Juga seorang lelaki", kata Lambada, "Cuma saya segan untuk menambahkan carita ini".
"Katakan saja padaku", kata Gumara.
"Soalnya dia ada pertalian darah dengan Guru yang dimuliakan di sini, yakni Tuan Guru Karat yang sudah meninggal", kata orang utas itu.Gumara terdongak. Terbayang olehnya Harwati, adik tirinya. Dia jadi malu oleh keterangan ini, berdiri tegak dan Koleksi KANG ZUSI
berkata tenang: "Dia yang dimaksud adalah saudara satu darah denganku. Lain Ibu.
Aku meninggalkan Kumayan karena ingin meluruskan jalan ilmunya. Lalu apakah adik perempuanku itu yang memotong dengan Pedang Turki itu?"
ORANG UTAS yang digelari Lambada itu menggelengkan kepala. Hal ini membuat semua orang terheran-heran. Gumara lalu mendesak: "Jadi siapa yang memotong lengan anda. Lambada?"
"Lelaki itu!" "Bukun Ki Harwati dengan pedang Turkinya?"
"Wanita itu tidak punya senjata. Apalagi pedang. Yang memegang golok panjang adalah lelaki itu.", ujar Lambada.
"Ceritakan pada kami siapa lelaki itu!"
"Tak dia sebut namanya. Saya dipanggil, ditanyakan, lalu dipotong. Dia sepertinya orang gila", kata Lambada.
"Ini tentu Dasa Laksana", ujar Gumara.
"Betul, itulah orang menyebut namanya di desa Anggun waktu kami disekap", kata beberapa anak buntung
"Adayang lain?" tanya Gumara.
"Adalagi satu lelaki tua, agak bongkok" Gumara lalu ingat Ki Rotan.
"Baiklah, kini aku tahu bahwa komplotan ilmu Hitam ini adalah Dasa Laksana yang menjadi biang keladinya. Jika adikku sudah tidak memegang senjata sakti Ki Turki itu, ini berarti dia tak memiliki daya apa-apa lagi namun Gumara bertanya sekali lagi pada orang utas itu: "Tuan tidak melihat ada ular Piransa membelit di kening wanita itu?"
"Hanya rambut terjurai, tidak ada apa - apanya", kata Lambada.
Ki Lading Ganda yang tidak sabar lagi lalu berkata pada Gumara: "Tuan Guru Ketujuh, sekiranya hati tuan tak tergerak, mulut tuan membisu, maka tuan termasuk orang yang tidak berperasaan".
?"Hanya karena adik saya terlibat ya?" tanya Gumara kesal.
"Hanya karena mata tuan buta atas sebelah tangan remaja yang tak berguna lagi, dan satu tangan lelaki utas yang awam yang sudah dikorbankan gerombolan adik tiri tuan", kata Lading Ganda.
Gumara diam. Dia tutupi mukanya entah karena malu.
Koleksi KANG ZUSI Tapi kemudian berkata pada yang hadir: "Pulanglah kalian semua ke rumah masing -
masing dengan jiwa damai dan berserah pada takdir Tuhan".
"Kami tak mau!" ujar seorang ibu, "Anakku sudah buntung!"
"Tapi ibu musti tahu, bukanlah saya yang membuntungi tangan putera ibu".
"Kalau begitu tuan pengecut!" kata ibu itu.
Gumara tak merasa perlu menjawab. Dia lalu duduk kembali. Tinjunya dia kepal.
Sementara itu, dimulai oleh Ki Putih Kelabu yang menyatakan pamit, disusul oleh Ki Lading Ganda, lalu satu demi satu penduduk yang berkumpul di pekarangan rumah Gumara yang kini jadi rumah Guru Alif itu, berangkat pergi meninggalka Gumara.
Tapi masih ada lagi tiga orang ibu yang tidak bersedia pergi. Satu orang di antaranya minta izin bicara. Gumara pun mempersilahkan.
"Saya bukan ibu dari anak yang sebelas. Saya ini ibu anak lelaki Talago biru yang menurut cerita temannya yang lain sudah dipotong tangannya oleh komplotan adik tiri tuan. Dari Ki Putih Kelabu saya sudah diberi jaminan, anakku akan diajari ilmu oleh puteri Pita Loka untuk menuntut bela atas kehormatannya. Kini saya ini wanita, janda, tak punya ilmu dan keberanian. Kalau saya sudah menyatakan kebulatan tekad membela negeri ini dihadapan Ki Putih Kelabu dan Ki Ganda, bagaimana tekad tuan"
Saya ingin dengar!" Gumara menyahut singkat: "Saya hormat pada ibu!"
"Tuan tak usah menghormati saya. Lebih baik kambing yang menyatakan hormatnya kepadaku! yang saya ingin dengar sikap tuan!"
"Ibu tak usah mendengarnya. Buat apa saya bicara sekarang, karena nilainya hanyalah angjn, tanpa bukti nyata", ujar Gumara.
"Mulut tuan cukup bebal. Saya meragukan cerita orang, bahwa tuan ini mewarisi titisan darah Ki Karat yang kami agungkan. Kami juga meragukan jaminan Ki Lading Ganda, bahwa tuan inilah Harimau Ketujuh di Kumayan ini, satu-satunya benteng utama negeri ini dari serangan musuh. Saya kira, tuan memang punya sedikit perasaan. Tapi karena adik tuan yang genit itu, Ki Harwati yang sudah bartekuk lutut pada ilmu Setan, maka pendirian tuan jadi bimbang".
Gumara diam saja. Telinganya bagai terbakar. Tapi dia dapat mengendalikan kesabarannya!
Malamnya ketika ditawari makan, Gumara berkata pada guru Alif: "Aku malu menikmati hasil ladang penduduk sini. Aku akan pergi cari angin ke luar".
Koleksi KANG ZUSI Gumara rupanya secara rahasia menuju Bukit Kumayan.
Di tengah "paku" Bukit Kumayan itu dia duduk bersila.
Air matanya bercucuran. SUNYI alam sekeliling. Burung-burung hantu yang biasanya berdekuk, kelihatannya enggan bersuara.
Juga jangkrik-jangkrik maupun kodok bangkong, enggan untuk memecah kesunyian tengah malam itu.
Kadang terdengar deru angin, tapi saat ini angin pun seakan enggan berderu.
Cemara-cemara yang susun bersusun di tepi bukit tidak bergoyang pertanda tak ada angin.
Tetapi Gumara mendadak menghentikan tangisnya. Ketika telinganya mendengar sejarak tiga ratus langkah di selatan sepertinya ada orang mendekat. Telinganya jadi tambah tajam ketika dia mendengar bunyi logam bergeser. Lalu hatinya berdetak: "Ini tentulah Lading Ganda. Dialah pemilik satu pedang yang jika dicabut menjadi dua pedang".
Firasatnya timbul. Lading Ganda akan datang untuk menghabisi jiwanya. Kini berdasarkan ketajaman indera keenamnya, pendengarannya diberitahu bahwa langkah itu semakin dekat, tinggal sekira 100 langkah lagi.
Benar, langkah itu cukup cepat untuk menjadi dua puluh satu langkah lagi dari jarak duduk Gumara, lalu berhenti. Gumara membelakang. Dia mendengar suara logam beradu, senjata Ki Lading Ganda.
"Tuan, aku datang untuk menghabisi diri tuan", terdengar suara. Gumara menghembuskan nafas panjang, amat lama, seakan-akan mengeluarkan semua hawa dalam dirinya. Sedang ketika dia menghelanya lagi, pendek saja, dan hembusannya panjang lagi, hingga menggoyangkan daun-daun kaca piring yang berumpun sekitar 10 langkah dari duduknya.
"Tuan, dulu saya berminat mengambilmu mantu. Juga Ki Putih Kelabu. Tapi kedatanganku di sini atas izin Ki Putih Kelabu maupun tiga harimau lainnya. Kami berlima sudah mengucapkan ikrar, bahwa tuan itu manusia tak berguna di Kumayan Ini. Hewan masih lebih berguna dari tuan. Jadi aku diutus untuk menghabisi tuan".
Gumara tak bergerak sedikitpun. Juga ketika Ki Lading Ganda sudah memulai dengan bunga persilatan, termasuk tempelan kependekaran yang sudah diisikan oleh empat pendekar lainnya. Jadi Ki Lading Ganda sudah berisikanlima jenis persilatan dalam satu diri !
Koleksi KANG ZUSI Gumara hanya bergerak sedikit sewaktu satu sabetan lading keramat mau menebas kapalanya, yaitu gerakan menunduk. Angin dari dua ujung kaki pendekar bergolok itu sempat mendesing di kedua telinga Gumara. Lalu Gumara melihat dua logam tajam berkilau serentak terayun ke arah dirinya, tetapi sebelum membelah kepalanya, Gumara cuma berguling menghindar perlahan. Akibatnya satu tendangan manyamping mengenai bahunya. Tendangan Ki Lading Ganda itu sedemikian kerasnya, sampai melemparkan tubuh Gumara yang tadinya membulat, membentur dua pohon cemara, dan membuat pohon cemara itu terpotong dua-duanya bagai digergaji rata.
Gumara sendiri membinasakan tigabelas pohonan pisang berumpun, dan dia seakan -
akan harus menggeletak di atas bantalan pohon pisang yang jadinya berjajar itu.
Ki Lading Ganda tiba-tiba yakin bahwa Gumara hancur karena buktinya dua batang pohon Damara patah terpotong seperti digergaji.
"Mampus kau, manusia angkuh!"ujar Ki Lading Ganda mengutuk.
Eh tiba - tiba pula muncul dengan sempoyongan Gumara dari balik rumpunan pohon sawo di arah timur. Dia seakan - akan mau menyerahkan diri kepada Ki Lading Ganda. Langkahnya tidak memperlihatkan kesiapan sedikitpun untuk bertarung. Hal ini membuat Ki Lading Ganda menantinya, membuat acuan untuk melakukan lompatan sembari akan menebas perut Gumara. Itu dilakukannya dalam jarak duabelas meter. Dia membuat jungkir balik dua kali sebagai tipuan salto, dan ketika menjungkir yang ketiga kali dia ayunkan dua golok kembarnya itu yang berkilat membabat tubuh Gumara. Tampaknya tubuh itu sudah terbabat, tapi Ki Lading Ganda terheran-heran mencarinya entah kemana namun tak kelihatan. Meloncat tinggikah dia tadi"
Lalu tampak ada orang turun dari pohon aru - aru yang tinggi. Turun begitu saja ibarat turunnya kera pemanjat kelapa yang terlatih. Sebelum orang itu, yang tak lain Gumara, sampai turun benar, maka Ki Lading Ganda ingin mempergunakan kesempatan terbaiknya: Dia nanti dan dua golok kembarnya membabat. Saking kuatnya, golok itu menancap di pohon aru-aru itu, begitu dalamnya. Yang dirasa Ki Lading Ganda ketika di babatkan goloknya itu adalah desingan angin di alas kepalanya.
Memang betul. Ki Gumara sudah duduk bersila di tengah "paku" Bukit Kumayan itu.
Ki Lading Ganda masih berusaha mencabut goloknya yang menancap. Saking kerasnya tebasan golok dan tancapannya itu, hingga dua mata golok itu sudah hampir beradu, dalam jarak satu belahan lidi saja lagi!
"Maafkan, saya menyusahkan tuan saja", ujar Gumara, lalu meninggalkan Ki Lading Ganda.
Barulah ketika fajar menyingsing Ki Lading Ganda berhasil melepaskan tancapan goloknya, sementara Gumara sudah ngorok di rumah ketika itu ...
Koleksi KANG ZUSI DAN ketika Gumara tidur nyenyak itulah, dia dibangunkan oleh Guru Alif yang akan pergi mengajar.Adalima orang tamu penting yang minta bertemu dengan Gumara.
"Siapa mereka?" tanya Gumara.
"Selain Ki Lading Ganda dan Ki Putih Kelabu, yang tiga lagi saya tak mengenalinya", kata Guru Alif.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Gumara.
"Semuanya tak bersedia naik. Semuanya di pekarangan", ujar Guru Alif. Gumara bersitenang sejenak. Lalu dia ke kamar mandi. Dia mencuci muka sejenak. Lalu bersisir merapikan rambut. Kemudian dia membuka pintu depan. Dalam sekelebatan dia tidak heran, di balik tiap rumpunan pohon telah terdengar deru auman harimau.Lima pendekar secara langsung sudah menjelmakan diri mereka menjadilima ekor harimau!
Gumara sadar, bahwa dia sedang dalam ujian.
Dan taruhan! Dia bebaskan dirinya dari sikap jengkel atau bangga. Dia tarik nafasnya dalam-dalam, seakan-akan seluruh nyawanya sudah kosong. Dan ketika dia merasa seluruh dirinya menjadi ringan, dia menuruni tangga rumah sampai ke pelataran tanah, pelataran pekarangan.
Setiba disana , dia sudah merasa seringan awan bergantung. Dia telah melepaskan dirinya dari seluruh pengertian hayati dan ragani. Ujud raga kasarnya yang terlihat adalah wujud Guru Gumara yang tak meyakinkan sama sekali. Dia melangkah ringan menerobos semak-semak, diiring dari belakang oleh wujud raganilima ekor harimau.
Daun-daun seakan merunduk memberi salam takzim kepada Gumara yang melangkah santai. Kadang memang dia harus menyerempet daun-daun itu, namun "hanya sedikit yang terkibas. Bahkan daun singkong kuning yang sudah siap untuk rontok oleh hembusan angin, ketika tergeser oleh tubuh Gumara yang menyerempetnya, tak jadi gugur ke tanah.
Gumara terus melangkah menginjak rumputan yang masih berembun. Tapi rumputan itu seakan-akan tidak meninggalkan bekas telapak kaki Gumara yang baru menginjaknya.
Setiba di tepi Bukit Kumayan, Gumara berhenti sejenak.Lima harimau yang menggiringnya dari belakang pun hati-hati berhenti.
Ada yang mengibaskan ekornya.Ada yang mulai mengaum. Tanda tak sabar. Gumara melirik, dia mengetahui itulah penjelmaan Ki Lading Ganda.
Di bawahsana itu, di sudut tiga Bukit Kumayan, kedengaran suara gemericik Koleksi KANG ZUSI
Pancuran Mayang. Air terjun itu dikenal tabu oleh penduduk. Tapi Gumara harus kesana .
Ketika langkahnya baru empat puluh kali pijakan menuju bawah itu, harimau yang paling geram aumannya mendadak meloncat ke depan, mencegat, mencekerkan cakarnya pada tanah seperti kucing menggali. Ketegangan amat terasa. Seekor harimau yang lebih lembut gerakannya, dengan tanda khusus putih - putih bergaris di sela abu-abu mencegat pula. Ia tahu, dia ini tak lain pendekar paling disegani: Ki Putih Kelabu. Tiga lainnya pun sudah maju ke depan. Menghadang semuanya Ketika itu Gumara semestinya menampilkan kesejatiannya, menjelmakan dirinya pula pada kependekaran, melengkapkan yanglima jadi enam. Tapi Gumara cuma menghentakkan nafas dari ubun kepala ke pusar-pusarnya dangan satu hentakan nafas yang padat. Dirinya melayang melompatilima pendekar yang siap mencegatnya.
Dia melayang bagai kapas diterbangkan angin. Satu lompatan layang itu mampu melampaui jarak 12 meter, lalu turun bagaikan seekor bangau. Dan kakinya menciptakan suara gemericik cipratan air sewaktu sampai di depan Pancuran Mayang.
Ketika dia menoleh ke atas bukitsana , yang disaksikannya adalahlima orang pendekar manusia: Ki Lading Ganda. Ki Putih Kelabu, Ki Rangga dan Ki Zarah dan Ki Lafaz.
"Hai tuan-tuan, mari mandi di Pancuran Mayang", ujar Gumara. Gumara mendengar suara Ki Putih Kelabu yang menyahuti di atas itu: "Tuan muda, ajari kami".
"Aku hanya mengajak kalian mandi", sambut Gumara.
"Ajari kami mandi", kata Ki Putih Kelabu.
Gumara hanya menyahuti: "Lihatlah apa yang aku perbuat, dari jauh".
Gumara menhenyakkan nafasnya dari ubun ke puser, sembari satu tangannya menebas air terjun itu.Lima pendekar menyaksikan air terjun itu terpotong dua. Yang di atas tak lagi mau turun ke bawah, tapi kemudian turun lagi sewaktu Gumara menghela nafasnya dari puser ke ubun kepala. Dia sabet lagi air terjun itu dengan tangan kiri.
Kejadiannya sama seperti yang pertama. Seluruh amalan itu dia perlihatkan sebanyak 41 kali.Lima nafas besar di atas melepaskan ketegangan dan kekaguman.
BELUM habislima pendekar menyaksikan pelajaran itu, mereka semua menoleh ke arah suara seorang perempuan minta tolong.
Perempuan itu dengan histeris memegang tubuh Ki Lading Ganda yang dia kenal jagoan; "Tuan guru! Kumayan mandi darah ! banyak orang dibunuh oleh pendekar sinting!"
Ki Putih Kelabu kalap, dan menoleh ke pancuran di bawah situ.
Ki Lading Ganda malah memanggil ke bawah: "Gumara, bantulah kami!" Tapi guru yang tiga lagi justru melihat Gumara sudah tak berada di Pancuran Mayang sembari Koleksi KANG ZUSI
tercengang heran. Ya, dia sudah melakukan sebelas lompatan ke atas tanpa diketahui olehlima pendekar itu, dan kini berhadepan dengan seorang pendekar yang mempermainkan goloknya, seorang wanita berambut sarang laba-laba yang tak lain Harwati yang ketawa cekikikan melulu, dan ... Ki Rotan
Sebenarnya baru tiga orang menggelimpang membasahi tanah Kumayan. Mereka terkena golok liar Ki Dasa laksana yang masih menari dengan goloknya. Gumara dalam sekelebatan seakan bagai seekor bangau yang mengibaskan telapak -tangannya ketika golok itu akan menyabet lehernya. Golok itu membal, lalu mata golok itu menghantam tangan Dasa Laksana. Darah manyembur dari pergelangan tangan pendekar sinting itu, dan dia berteriak Mendengar teriak itulah Ki Rotan bangkit dengan kemarahan hebat, menghambur dengan kedua kaki menjepit leher Gumara.
Gumara cuma mengangguk sedikit, tapi tubuh Ki Rotan dan jepitan kakinya berbalik lepas, terlempar sekitar sepertiga lapangan bola.
Detik itulah Gumara mencengkeram tubuh Ki Harwati yang menjerit histeris, dan berkata: "Ingat siapa dirimu!"
Ki Harwati menguakkan dua tangannya, lalu mundur membuka kuda-kuda. Dengan ayunan kaki ke kiri sekali, lalu kaki kanannya menguak lebar dari tubuhnya menerobos bagaikan seekor buaya menyarang dari bawah. Gumara terkena sabetan kaki adik tirinya itu bagaikan manusia terkena sabetan ekor buaya.
Gumara melompat dangan dua tangan mengincar belahan mulut Harwati, ibaratnya pawang buaya menaklukkan buaya. Kendati kaki Harwti berkelabat bagai ekor buaya menyabet, namun mulutnya sudah dikuak seakan-akan merusak pernafasan. Waktu itulah Ki Rotan menyabet tangan tongkatnya, tapi Gumara sudah menangkis sabetan itu dengan memiringkan tubuh dan tongkat itu terlempar kena telapak kaki Gumara.
Ki Harwati pingsan. Ki Dasa Laksana yang masih melintir bergulingan di tanah menahankan nyeri tangan kirinya yang hampir buntung itu, begitu melihat Ki Harwati pingsan, lalu melarikan diri.
Tapi di mulut jalan sudah muncullima pendekar utama Kumayan, yang ingin menangkap musuhnya itu hidup-hidup. Melihat keadaannya terkepung, Ki Dasa Laksana menjatuhkan diri dengan kata-kata sembahan:
"Aku menyerah. Aku akan segera menyingkir!"
Ki Lading Ganda tidak sabaran lagi, lalu dia berkelebat maju satu langkah, mencabut goloknya yang ampuh, dan golok itu menjadi kembar. Dia tancapkan golok kanannya tepat di tangan kiri Dasa Laksana yang baru akan berdiri sembari acukan tangan.
Lunaslah tangan kirinya dalam keadaan buntung total. Tetapi dia sempat Koleksi KANG ZUSI
menyerempet lepas dari kepungan setelah terkena satu tendangan menyamping yang dihantamkan Ki Putih Kelabu, sehingga dia terlempar sejauh 44 depa dan menabrak satu pohon pinang yang roboh seketika.
Buah pinang yang lepas dari jurai mengenai kepala Ki Dasa Laksana, yang justru mengisi kekuatan baru bagi pendekar sinting ini.
Dengan tangan buntung satu, dia berubah menjadi menggila. Dia membabi buta menyerang siapa saja yang berdiri. Seorang anak kecil terpekik lalu tubuhnya menabrak dinding rumah. Dinding itu hancur dan anak itu mati, ibunya menjerit. Ya
... Dasa Laksana mengamuk bagai seekor babi yang buta. Dia membabi buta menggasak tubuh Gumara tetapi cuma kena srempetannya saja sebab Gumara mengelak sembari mengelak pula menangkis pukulan gandengan tinju sekeras batu yang dilampiaskan Harwati. Tinju Harwati mengenai batu kilo meter, dan batu itu hancur bagai es kena palu pembelah.
Harwati bertambah semangat ketika dilihatnya Data Laksana dengan tangan buntung menyerang membabi buta, saking butanya serangannya mendongkak tubuh Ki Rotan yang mental ke udara. Tapi dia sempat sadar, sebab menjelang kakinya jatuh ke tanah, sempat menyabet leher Gumara, yang tunduk hingga Ki Rotan jumpalitan. Ki Lading Ganda kini masuk dengan penasaran.
Hanya kilatan goloknya saja yang tampak karena cepatnya permainan silatnya.
Tapi belum satupun pukulan goloknya yang tepat. Dua kepal daging paha Ki Rotan tercubit oleh golok, lalu Ki Rotan lari. Serasa hanya beberapa menit saja perkelahian itu seluruhnya, lalu ... sepi sekitar.
SUNGGUH dahsyat. Sungguh, jika dilihat begitu banyaknya debu sekeliling lapangan perkelahian yang barusan berlalu .... dan bagaimana begitu lama debu itu turun, itulah bukti nyata. Betapa lama dahsyatnya pertempuran yang barusan berlalu.
Kependekaran kadang - kadang disertai kelicikan juga.
Tapi Gumara tidaklah kaget seperti kagetnya Ki Lading Ganda sewaktu usai perkelahian tidak menyaksikan bagaimana caranya Ki Harwati, Ki Rotan dan Dasa Laksana melarikan diri.
Limapendekar itu semuanya cemas.
Tapi Gumara tidak. Dia seakan-akan sudah mengetahui kemana mereka itu melarikan diri.
"Kita akan tenteram selama 100 hari", ujarnya. Ki Putih Kelabu yang paling yakin pada ucapan Gumara.
Dia mendekati pendekar yang teramat tenang itu, dan bertanya "Apakah ramalan anda ini didapat dari mimpi?"
Koleksi KANG ZUSI "Ya" sahut Gumara.
"Kalau begitu saya tambah yakin, Ki Guru berkata benar, bahwa dalam kurun waktu 100 hari desa Kumayan akan tenteram. Sebetulnya saya ingin bicara empat mata saja dengan Ki Gumara", ujar Ki Putih Kelabu.
Ki Lading Ganda cepat memotong: "Jika demikian saya akan mengundurkan diri bersama teman-teman. Oh ya, saya minta maaf atas kelancangan saya pada Tuan Guru Muda Gumara".
Mereka berpelukan. Setelah Ki Lading Ganda pergi, Ki Putih Kelabu berkata pada Gumara: "Tuan Guru. Saya ingin mengundang anda makan malam di rumah saya.
Itulah yang akan saya sampaikan empat mata".
"Baik. Pak. Saya akan datang setelah mahgrib", ujar Gumara.
Gumara lalu pamitan, dan dia melangkah menuju sekolah SMP, bekas tempat dia mengajar. Di sekolah itu, tiada lagi bekas muridnya. Gumara mengetuk pintu ruang Dewan Guru, dan beberapa orang guru lama yang dia kenal menyambutnya. Tapi tidak ada seorang pun yang menanyakan soal kepergiannya yang misterius. Dan tidak pula ada yang berbasa basi kepadanya untuk kembali mengajar di SMP itu.
Karena itu Gumara pula yang memulai: "Saya rindu berdiri di depan kelas kembali.
Permohonan saya untuk mengajar, belum saya ajukan. Tapi apakah Kanwil disini kira
- kira bersedia menerima saya kembali?"
Menyela Direktur SMP Kumayan: "Sebaiknya melamar mengajar matematika di SMA saja, yang baru akan diresmikan tak lama lagi" ".
"Sepertinya akan sulit. Kepergian saya tanpa izin. Tapi keinginan saya yang sesungguhnya justru mengajar di SMP ini. Apa Pak Direktur punya salinan berkas saya diberhentikan?"
"Sabaiknya ditanyakan pada Pak Kakanwil. Beliau lebih tahu", kata Pak Direktur.
Lalu Gumara pamit dengan sopan. Diluar dugaan, di kantor Kanwil dia disambut hangat. Namun bukan sebagai guru SMP. Dia disambut karena sudah tersiar berita dari mulut ke mulut, bahwa dekat lapangan Bukit Kumayan barusan saja Guru Gumara menumpas pengacau.
"Itu soal kebetulan, Pak Kakanwil", ujar Gumara, "Setiap munculnya kekacauan, pasti akan muncul pula orang yang menertibkannya. Yang saya urus sekarang ini ke sini, soal status saya sebagai guru SMP Kumayan. Apakah saya sudah dipecat?"
"Saya sulit melindungi anda, Pak Gumara. Soalnya pemberhentian anda itu karena kurangnya anda menegakkan displin guru. Tiga Tahun lebih tanpa memberitahu anda ke mana, cukup merepotkan kami membela anda ketika Inspektur SMP datang ke Koleksi KANG ZUSI
Kumayan ini melakukan inspeksi, jadi posisi saya pun sulit".
Mendadak muncul seorang anak muda buntung, tangan menyerobot masuk: "Guru Gumara ada di sini, Pak?"
"Saya Guru Gumara. Adik perlu apa?"
"Orang bilang, keadaan desa Kumayan akan tenteram 100 hari Apa betul itu, Pak?"
tanya anak buntung itu. Gumara lebih tertarik melihat tangan buntung itu. Diraihnya bahu anak itu, dielusnya tangan butung itu. Dan bertanya: "Musibah apa yang menyebabkan tanganmu begini?"
"Kami semuanya 17 orang mengalami musibah ", kata anak itu.
"Siapa namamu?"
"Makara, Pak". "Mana temanmu yang 16 orang lagi?" tanya Gumara.
"Kami yang kembali ke Kumayan cuma 11 orang", kata Makara.
"Lalu yang enam lagi kemana " " tanya Gumara.
"Mereka diajak oleh puteri Ki Putih Kelabu entah ke mana, Pak!"
GUMARA lalu menepuk bahu Makara dan berkata; "Kamu beruntung pulang ke Kumayan. Jadi bisa melanjutkan sekolah. Masih sekolahkan ?"
"Masih, Pak Tapi sekarang menulis dangan tangan kiri karena buntung. Tapi kami 11
orang dianggap jagoan di Kumayan ini, Pak"
"Ingatlah, jagoan hari ini belum tentu jagoan esok hari. Karena mungkin besok akan ada jagoan yang lebih jago. Tapi sejago-jago ayam jago, masih kalah dengan ayam betina. Ayam jago hanya menyumbangkan dagingnya, tapi ayam betina menyumbangkan dagingnya dan telur-telurnya bagi manusia. Nah, jangan kamu pikirkan lagi soal desa Kumayan. Dan jangan sekali-kali menganggap aku ini jagoan"
Tetapi anak itu puas karena telah bertemu dengan seorang "pahlawan Kumayan"
yang sudah jadi cerita dari mulut ke mulut sebab sudah mengusir tiga pengacau.
Tapi hari itu sampai magrib Gumara diliputi perenungan. Tentu tidak lain dia merenungi nasib Pita Loka yang pasti sebentar lagi akan ditanya oleh Ki Putih Kelabu.
Ketika dia memasuki rumah Ki Putih Kelabu, dia merasakan ada satu tenaga, yang mirip kekuatan magnit. Di cobanya melayani tenaga itu dengan perlawanan nafas, tapi Koleksi KANG ZUSI
rasanya kekuatannya jauh besar. Langkah Gumara dirasanya berat sewaktu masuk ke ruang tamu.
Ki Putih Kelabu belum nampak. Tapi dia sudah yakin, bahwa kekuatan magnit tadi bukannya dikirimkan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu bukan guru yang jahat yang punya kesukaan mencoba " cobakan.
Begitu Ki Putih Kelabu muncul, Gumara sudah duduk bersila di lantai yang dilapisi tikar rotan Bugis.
"Apa yang tuan rasakan saat ini?" tanya Ki Putih Kelabu. Gumara hanya diam saja, sebab dia sedang melayani semacam serangan gaib entah dari mana.
"Apa tuan merasa ada kelainan?" tanya Ki Putih Kelabu. Gumara cuma mengangguk.
Dia tidak akan bicara. Sebelum jelas siapa ssbenarnya di balik serangan berkekuatan magnit ini.
"Kalau begitu, apa yang anda rasakan tentu saya rasakan juga. Rasanya tengkuk saya ini berat sekarang". Ujar Ki Putih Kelabu dan lalu bertanya pada Gumara: "Anda juga merasakan tengkuk berat?"
Gumara mengangguk. Lalu Ki Putih Kelabu bertanya lagi:
"Adasemacam bau wangi?"
Juga Gumara mengangguk. "Apa guru mau pindah tempat duduk?" tanya Ki Putih Kelabu seraya menunjuk ke tempat dimaksud. Yaitu tempat yang menghadap ke pintu. Gumara menggelengkan kepala, menolak.
"Tadi langkah kaki saya berat sekali, seperti digantung besi", ujar Ki Putih Kelabu, lalu bertanya: "Anda juga merasa begitu waktu masuk ke sini?"
Gumara mengangguk. "Wah. ini harus kita lawan", kata Ki Putih Kelabu.
Gumara tidak memberi reaksi. Dia tiba-tiba merasa ada benda yang berat menghimpit kepalanya, sepertinya piring raksasa. Gumara mengatur pernafasan! Gumara mencoba memenuhi isi lambung dengan tarikan kepusar, dan kemudian manyalurkan gelombang udara itu merambat urat - urat darah ka atas, menuju ubun kepala. Ketika tiba di ubun kepala, Gumara seperti memompa ke luar udara gelombang tadi. Wajah Gumara bercucuran keringat. Keringat itu semakin menderas. Ubun kepala Gumara seperti mendidih, Ki Putih Kelabu melihat asap atau uap yang mengepul di ubun kepala Gumara. Tiba-tiba tampak ada semacam kilat yang melesat dari kepala Gumara. Lalu loteng yang terbuat dari papan kepayau itupun berlobang.
Koleksi KANG ZUSI Gumara waspada tidak menghentikan pangaturan nafasnya, ada gelombang di lambung bisa terus dihalau ke ubun kepala. Kelihatan lagi oleh Ki Putih Kelabu satu bundaran bagai kilat melesat. Bila benda itu membentur loteng kayu kepayau, tampak loteng itu berlubang.
Kini Gumara benar - benar bermandi keringat. Benda yang bertengger di ubun kepalanya itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, sehingga tanpa disadari Gumara terpaksa minta bantuan ke dua belah lengannya. Tinju dia genggam. Tinju itu sejak ditaruh di dua dengkulnya sudah dicobanya berisi kekuatan pembantu. Kini, sembari bersila itu, Gumara mengumpulkan kekuatan pada dua ujung tinju itu. Tinju itu didorongnya ke depan, ke samping, ke bawah, dan kemudian dua tinju itu menghantam ke atas, tepat di depan batang hidungnya sendiri.
Tinju itu mengenai satu benda yang menciptakan bunyi logam, tapi logamnya tak tampak. Namun kilatan cahaya yang melesat ke loteng cukup tegas. Loteng itu hancur. Dan dalam keadaan bersila, mengepal tinju. Gumara menganggap serangan musuh tak dikenal itu sudah berakhir.


Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KI PUTIH KELABU yang selama terjadinya serangan tanpa raga itu begitu tegang, kini tampak tenang.
"Maaf, saya akan pamitan dulu", ujar Gumara.
"Jangan, nak". "Sekali lagi, maaf", ujar Gumara, dari bersila langsung berdiri.
"Saya ingin tahu siapa penyerang tadi?"
"Murid iblis", kata Gumara.
Lalu dia memberi salam pada Ki Putih Kelabu, dengan cara penghormatan yang luar biasa hebatnya. Telapak tangannya dia tempel ke kening, lalu merendahkan kepala, lalu berlalu.
Dan telapak tangan yang menempel di kening itu baru dia lepas dari keningnya setelah dia tiba di pekarangan.
Jalan kecil menuju rumahnya lengang, Gumara melangkah dengan perlahan dan semakin perlahan. Sebab kakinya seperti diberati lagi. Gumara mencoba melangkah, semakin tebal rasanya tapak kakinya. Dan Gumara kini memutuskan untuk meladeni gangguan lawan, sekali lagi!
Dalam berdiri itu Gumara menggenggam dua tinjunya.
Lalu tinju itu dibuang kesamping kiri dan ke kanan. Dan bergantian, tinju kanan dan kiri menebah dada. Delapan kali debahan dada kiri dan kanan, Gumara tiba-tiba melihat satu lesatan sinar menuju ke arah mukanya, tapi cepat Gumara menangkisnya dengan dua tinjunya terhantamkan ke depan. Bunyi logam berdenting disertai kilatan sinar yang melesat berjumpalitan di udara. Di udara dia menjadi semacam kepulan Koleksi KANG ZUSI
asap ledakan. Dan ketika mata kanan Gumara melihat ada sinar menyerang dari kanan, Gumara menangkisnya dengan tinju dan kedengaran bunyi logam disertai kilat melesat ke udara. Lalu di udara tampak asap bagai kembang api pecah.
Lalu datang lagi serangan dari kiri. Bunyi logam membentur kedengaran tepat ketika tinju tangan kiri Gumara dia buang ke kiri.
Tanpa perduli dia kemudian meneruskan langkah yang ringan.
Sampailah dia di pekarangan rumah yang ditempati Alif. Begitu akan masuk pekarangan. belum lagi sampai di tangga, Gumara melihat sosok berdiri di hadapannya, dalam jarak tiga meter, seperti mencegat.
Sosok itu diam berdiri. Gumara pun mengambil posisi diam berdiri. Gumara mengepal tinju. Lawannya pun mengepal tinju. Gumara mengangkat dua tinjunya, lalu menebah tinju itu ke dada. Lawannya itu pun berbuat sama.
Gumara memekarkan tinjunya, lawannya pun demikian.
Jari-Jari mekar itu kemudian merambat dari paha, naik ke dada lalu dia buang ke depan.
Di sini lawannya pun melakukan hal sama. Bahkan ketika sama - sama membuang telapak tangan ke depan, dua telapak tangan itu seakan " akan hampir saling menempel. Jarak dua telapak tangan yang hampir menempel itu hanya berjarak tiga centimeter saja.
Tapi apakah yang sedang terjadi"
Telapak tangan Gumara, maupun telapak tangan lawannya, sama-sama mengeluarkan keringat. Sama-sama keringat menetes. Bahkan kadang diseling oleh pijaran api.
Gumara masih barada dalam hembusan satu helai nafas yang secara berangsur dikeluarkannya sedikit - sedikit Dia hematkan energi untuk mengangsur satu nafas itu agar tidak terlanjur terhambur. Wajah Gumara mulai mandi sinar kehijauan karena percikan keringat.
Begitupun lawannya. Sehingga makin lama semakin jelas siapakah lawannya itu.
Lama kelamaan wajah itu berupa wajah Ki Karat, ayah kandungnya sendiri. Tapi Gumara tidak tergoda untuk berseru setelah mengenal wajah itu, sebab dia kuatir itu cumalah godaan belaka.
Dia terus mengontrol nafasnya, yang tiap per 1000 detik adalah pancaran kekuatan cahaya. Gumara tahu,dirinya dipenuhi mega elektro magnetik, yang demikian dahsyatnya, yang jika ditempelkan neon sekian ribu watt maka cahayanya akan menerangi seluruh desa Kumayan.
Koleksi KANG ZUSI Makin lama, yang dia kira lawannya, semakin jelas kehijauan, dan, dan, dan itu tak lain adalah ayahnya. Makin lama wajah ayahnya semakin nyata. Jika benar ini ayah, tentu ayah sedang mambuktikan dirinya sebagai lawan, bukan sebagai guru.
Kekuatan yang dikirimkan ayah lewat gelombang sinar radiasi ini pun tampaknya tak tanggung-tanggung.
Kekuatan begini, jika tak teliti, bisa membunuh. Gumara ingin memperingatkan ayahnya yang sudah mati itu, tapi dia sudah yakin. Ilham seakan datang arwah ayahnya sedang murka, khusus datang dalam alam kematian barzah ke bumi nyata ini, untuk suatu peringatan. Tapi aneh, lama kelamaan lawannya ini melemah dan melemah.
DI TEPI tebing dibalik lembah Air terjun Mayang, di malam gulita itu Harwati membanting tubuhnya ke permukaan makam. Makam itu mengepulkan asap.
Ki Harwati putus asa. Matanya terbeliak nanar, menatap Ki Rotan yang kelihatan tegang.
Ki Rotan bertanya : "Gagalkah roh Ki Karat membantumu?"
"Asap itu sebagai bukti", ujar Ki Harwati.
"Aku memang menduga begitu. Betapapun hebatnya ilmu Ki Karat, mungkin masih lebih tinggi ilmu Ki Gumara. Selain itu, roh guru yang sudah mati tentu lebih rendah dari roh guru yang masih hidup".
Ki Harwati merangkul lagi makam ayahnya. Dan asap itu makin lama semakin menghilang. Yang tinggal hanyalah bau menyan. Tiba-tiba saja, dalam putus asa itu, Ki Harwati melihat ada benda kecil bergerak. Ternyata seekor kalajengking sedang merayap dari arah batu nisan pekuburan Ki Karat.
Ki Rotan setengah berseru:"Itu dia bantuan baru ayahmu!"
Kalajengking itu merayap perlahan, lalu menyusul satu kalajengking lagi dan satu kalajengking lagi, kemudian puluhan dan ratusan kalajengking sudah mengerubungi permukaan kuburan Guru yang sudah mati itu.
Ki Harwati mencoba menahan ketegangan dan kegembiraan.
Ketika Ki Rotan mau berkata, dia memberi larangan:
"Jangan ganggu aku, Ki Rotan".
Kalajengking itu sudah merayap dengan ramah melalui paha Harwati, terus berlomba menaiki dada dan punggungnya, lehernya, kemudian memenuhi rambut dan mukanya.
Ki Rotan tambah tegang karena tidak memahami apa yang akan terjadi selanjutnya.
Seluruh wajah Harwati sudah tertutup oleh Kalajengking. Dia kelihatan begitu Koleksi KANG ZUSI
mengerikan. Dia seakan menanti isyarat roh ayahnya, apa maksud dari "Kiriman kalajengking" ini.
Lalu muncullah isyarat itu!
Harwati seakan-akan diharuskan berdiri, sepertinya harus bangkit dari perasaan kalah dan putus asa. Dia kemudian melangkah lebih tegap tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan Ki Rotan yang kebingungan. Dan dengan digayuti ribuan kalajengking itu, Ki Harwati agaknya dituntun ke arah Barat, ia menuju ke air terjun Mayang yang dianggap tabu mendatanginya kecuali atas izin.
Ketika Ki Rotan ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan membuntuti Ki Harwati dari belakang, dia agak kaget. Sebab Ki Harwati berhenti mendadak, dan membalik ke arahnya.
Lalu beberapa ekor kalajengking yang bergayutan turun dari tubuh Ki Harwati.
Binatang-binatang mengerikan ini menjalar seakan mau menyerbu Ki Rotan. Ki Rotan mundur dengan panik, tapi dia tidak melihat pada jurang belakangnya. Yang kedengaran kemudian adalah teriakan Ki Rotan yang melolong memecah malam gulita.
Dia terjatuh ke jurang di bawah itu.
Dan Ki Harwati malanjutkan melangkah ke tujuannya setelah bebarapa ekor kalajengking itu kembali bergayutan ke tubuhnya.
Ki Harwati tiba di air terjun Mayang menjelang terbitnya matahari.
Di sini rupanya dia harus mandi mensucikan diri bersama ribuan kalajengking itu.
Tubuh Ki Harwati menggigil.
Dan dia merasakan sesuatu kekuatan yang maha hebat ketika tubuhnya itu, tanpa terasa, telah menyelusup secara ajaib sekali ribuan kalajengking itu .... seluruhnya seperti merayap ke dalam darahnya, dan dia merasakan ada kekuatan dahsyat yang sedang memasuki tubuhnya.
Tapi, beginilah rupanya seorang pendekar yang sedang kehilangan guru. Dia tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya ketika tiba-tiba muncul satu tenaga yang membuat dia jumpalitan diantara batu-batuan itu, lalu ....... meloncat keatas dan hinggap di tepi tebing. Lalu seluruh geraknya bagai spiral angin puyuh.
Beberapa pohonan terpaksa menyerah roboh apabila terkena tubuhnya yang melesat hebat.
Tidak satu mahkluk pun dapat mengetahui kemana tujuannya.
Hanya matahari cerah yang memberitahukan dimana kemudian Harwati berada. Dia Koleksi KANG ZUSI
sendiri tidak mengetahui dimana dia berada, apabila dia tidak bertemu secara mengejutkan dengan seorang pendekar muda.
Pendekar muda itu bertangan buntung. Dia terkejut mendapatkan seorang wanita beringas yang seperti menancap mendadak berdiri dihadapannya.
"Siapa kau!" bentak Ki Harwati pada pemuda buntung itu.
"Aku Talago biru", ujar pemuda buntung itu.
"Ikut aku!" perintah Ki Harwati
"Tidak, tidak, ..... saya tidak akan mengikuti anda. Anda bukan guru saya!"
Ki Harwati penasaran dan menghampiri pemuda buntung itu dengan sikap mengancam:
"Kalau begitu sebutkan guru kau.Dan hadapkan padaku!"
TALAGO BIRU dengan tenang menatap pada Ki Harwati. Dia tidak tahu persis siapa sebenarnya pendekar yang beringas ini. Pengalamannya selama berguru kepada Ki Pita Loka tidak pernah mendapatkan pelajaran untuk menggertak. Tapi kini" dia Temukan pendekar beringas yang masuk dengan gertakan,
"Katakan siapa Gurumu, Buntung!" bentak Ki Harwati.
"Itu bukan cara yang terhormat. Anda tidak usah berharap menemui dia sebelum anda melewati mayat saya", ujar Talago biru.
Ki Harwati bertambah beringas, dan serta mena dihantamnya muka Talago biru. Anak muda itu terbengong sejenak.
Tinju yang mendarat dimukanya mirip sengatan binatang berbisa. Seketika wajahnya memar, membengkak dan tiba-tiba saja dia merasa amat haus. Talago biru dalam sekejap seperti edan, karena dia haus dan panas. Dia butuh air. Tetapdia selalu ingat, pantangan-pantangan yang pernah diajarkan Ki Pita Loka. Jika dia haus dan panas oleh sengatan binatang berbisa, dia bukan mencari air. Tetapi dia harus menciptakan api dan membakar diri ke dalam api.
Dalam kaadaan jumpalitan seperti edan itu, Harwati mentertawakannya. Tapi batu yang dia pukul berkali-kali itu adalah usahanya menciptakan api. Benar. Pukulan terkeras pada batu itu membuat nyala api, yang segera menyambar ilalang.
Batang kering itu terbakar. Dan ketika itulah Talago biru menghamburkan tubuhnya ke dalam ilalang yang terbakar itu!
"Pedekar gila kau!" teriak Harwati melihat pemuda buntung itu terkurung dalam ilalang yang menyala. Tapi,seteleh api itu padam, Harwati melihat keajaiban.
Koleksi KANG ZUSI Diantara hitamnya asap bekas api yang hampir padam itu, dia melihat sosok pemuda buntung tadi, keras dan menakutkan melangkah tegap kearahnya, lalu meludah dangan semburan.
Semburan ludah itu mengenai wajah Ki Harwati. Mulanya dia akan ngamuk, tetapi kemudian dia merasa ada beberapa benda yang menyangkut di wajahnya, bersama-sama dengan ludah itu.
Ternyata bersama ludah yang disemburkan pendekar buntung itu adalah bangkailima ekor kalajengking.
"Sungguh ilmu anda rendah sekali, pendekar!" ujar Talago biru.
"Kalau demikian saya perlu belajar pada anda, anak muda!"
"Anda sudah menghabiskan usia anda. Anda tidak layak untuk diajak bicara", kata Talago biru, yang berkelebat menyusup semak secara mencengangkan, Harwati berusaha mengejarnya, Tapi dia gagal.
Talago biru dengan pelajaran terakhirnya untuk berkelebat cepat telah tiba di padepokan Tujuh Bidadari. Dia dapati Ki Pita Loka sedang bersemedi, sedangkan sejenak lagi hari pun akan jadi malam Talago biru harus menanti sampai semedi itu selesai. Begitu semadi itu selesai Ki Pita Loka menoleh ke arah Talago biru dan bertanya: " Sudahkah kau lakukan apa yang saya perintahkan ?"
"Belum ", sahut Talago biru.
"Belum" Saya yakin sudah. Kau sudah pada tingkatan ilmu yang lebih tinggi. Yaitu braja-geni kokoh perkasa di sulut api !"
Talago biru tercengang. Dia berkata:"Itukah yang tuan Guru maksudkan ?"
"Itulah semuanya! Kau diserang musuh yang menyimpan ilmu barzah, kau disengat oleh binatang peliharaannya berupa jin menyerupai binatang menyengat, lalu kau terkena bisa yang mengakibatkan panas dan haus. Lalu kau pukul batu dekat ilalang.
Lalu terbitlah api yang membakar. Dan kau terjun ke api itu sesuai perintahku. Lalu kau selamat"
Talago biru tercengang. Dengan nada lugu dia berseru:" Rasanya yang saya alami tadi adalah pendekar dan musuh yang mengerikan".
"Dia sedang mengalami terus alam kemasukan. Tahukah kamu siapa dia ?" tanya Ki Pita Loka.
"Saya tak tahu. Dia beringas dan cukup mengerikan!".
"Dialah Ki Harwati, sekutu dari pendekar Ki Dasa Laksana yang telah membuntungi Koleksi KANG ZUSI
tanganmu buntung. Di kawasan ini ada tiga pendekar liar, yang semuanya kehilangan guru karena rakusnya pada ilmu. Tapi pendekar wanita yang kamu temui itu kelak akan merupakan lawan kita yang tangguh. Kini ketiganya berpencar karena masing-masing tanpa ikatan ikrar dan semuanya kehilangan mata angin. Kau harus tahu, muridku, pendekar yang baik adalah yang tahu mata angin".
"Terima kasih, Tuan Guru", ujar Talago biru.
"Sebelum datang bencana, aku akan titiskan ke tubuhmu Kitab Pertama dari tujuh buah Kitab yang sedang kita cari". kata Ki Pita Loka.
"Berikan ilmu itu padaku, Ki Guru!"
"Pergilah mandi dengan bunga mayat?", ujar Ki Pita Loka,
"Nanti setelah selsai, kau harus datang ke Padepokan dengan selembar kain yang tanpa jahitan".
TUBUH Talago biru benar-benar memperlihatkan tubuh lelaki jantan yang perkasa dan kekar. Usianya yang enam belas tahun sepertinya tidak sesuai dengan bentuknya, karena ia lebih tepat jika dijuluki kuda.
Kakinya, badannya, lengannya, kepalanya, hanya bisa ditandingi oleh bentuk kuda jantan.
Terlebih ketika Talago biru harus mandi telanjang, dan membersihkan seluruh kotoran tubuhnya itu dengan air bunga mayat, maka siapapun yang melihatnya, termasuk lelaki (apalagi wanita) akan terkesan pada bentuk otot tubuhnya itu, mulai dari kaki sampai leher.
Ketika itu pulalah Ki Harwati tergiur dari balik semak pohon bambu tulup. Apalagi sinar matahari terbenam seperti menyinari cahaya ke tubuh Talago biru, sehingga lekukan otot perkasa itu seakan-akan mampu memberi rangsang pada 10 wanita secara serempak.
Ki Harwati kehilangan tujuan, kehilangan mata angin.
Dia sebetulnya sudah tidak sabaran lagi sampai Talago biru mengenakan selembar pakaian lebar, yang seteteh digulung-gulung mirip seperti pendeta Budha. Tapi, begitu Talago biru akan meninggalkan pancuran mandi itu, dia sekelebat melihat sosok di balik rumpun bambu tulup.
Dia terpana beberapa saat karena rasa-rasanya dia mengenal manusia itu , termasuk pakaian hitam yang dikena-kannya. Namun dia melangkah terus. Tapi dia kena cegat.
Koleksi KANG ZUSI Ki Harwati telah berdiri di situ, dan berkata: "Kamu benar - benar salinan dari Gumara".
"Anda siapa?" "Aku dilahirkan untuk kaGuru kepada pendekar yang bernama Gumara. Kenalkah kau?"
"Belum", sahut Talago Biru.
"Engkau rugi. Dia adalah pendekar merangkap Guru dari semua guru yang membentang dari kawasan Kumayan sampai Bukit Lebah di selatan. Man bersamaku menghadap beliau".
Talago Biru tergoda oleh buah dada yang jelas kelihatan, sewaktu wanita ttu menyediakan diri membuang sehelai daun bambu kering yang menyela pada jari kaki Talago.
Kemudian Talago Biru terpesona sewaktu jari wanita itu meraba betisnya, seakan-akan menyelusupi bulu kakinya. Harwati terus meraba semakin ke atas. Talago Biru semakin berdiam diri dan dalam ketegangan lelaki yang amat sangat, dia seakan-akan melayang dalam kenikmatan, yang dalam sekejap mata membuat dia terhambur dengan berkelebat sambil berseru: "Celaka aku! Celaka aku!"
Dia menumpas setiap pohonan yang menghalanginya sewaktu dia berlari seperti seorang yang merasa salah. Dengan wajah yang masih dirundung rasa dosa, Talago Biru sampai ke tempat semedi Ki Pita Loka. Namun dia tidak berani masuk.
Tapi didengarnya suara sang guru dari dalam: "Kamukah itu, Talago Biru?"
"Ya, Tuan Guru".
"Kamu tidak kuperkenankan bertemu denganku selama 21 hari", ujar Ki Pita Loka,
"Karena di sekitar tempatku ini aku merasakan bau air mani yang basi yang membuat aku hampir muntah".
Belum pernah dia dimaki dengan ucapan lembut namun melukai ini. Mendadak saja Talago Biru tidak akan menjadikan dirinya pemimpin darilima temannya yang lain.
Yang selama ini lamban dalam kemajuan memperdalam ilmu.
Mendadak saja Talago Biru teringat pada wanita jelita disana tadi, lalu terangkum kembali ucapan wanita itu. Bahwa guru dari segala Guru adalah Gumara.
Seingat Talago, tak jauh dan pancuran mandi itu ada gundukan 17 buah batu besar, yang bentuknya mirip sebuah guha.
Dia yakin, tentu wanita tadi ada di guha itu. Lalu secara rahasia dia susuri lebih dulu Koleksi KANG ZUSI
pancuran mandi. Dengan berkelebat langkah belalang, dia sudah tiba di depan pintu guha.
"Adaorang di dalam?" tanya Talago Biru.
Harwati mandengar suara itu. Dia yakin itu suara lelaki. Dan ketika dia berlompatan mendapatkannya, sungguh benar, yang heran dihadapannya adalah lelaki dengan bentuk kuda jantan.
"Aku ke sini karena sudah kena kutuk oleh guruku?" kata Talago.
"Maka sudah waktunya kau kubantu. Tapi kenalkan kepadaku siapa gurumu itu", kata Ki Harwati dengan membujuk yang disertai jarinya yang meraba bulu dada Talago Biru.
Anehnya, ketika dia akan menyebut nama Ki Pita Loka, ketika itu pulalah Talago menjadi seperti lupa, dan lidahnya pun kelu.
"Jika sekarang kau tidak bersedia, nanti jika lelahmu telah kuakhiri tentu kau akan sudi menyebut namanya", kata Harwati yang membawa masuk pemuda kekar itu ke dalam guha.
KI PITA LOKA memang sedang disiapkan untuk menjadi seorang Guru yang sejati.
Guru sejati adalah pendekar lahir dan batin yang dapat menangkap sepak terjang musuh tapi juga dapat mendengar bisik angin. Dan Guru yang sempurna karena dapat menangkap gerak ketiga yaitu gerak kosong.
Kini, dalam semedi yang kusyuk sekarang ini, Ki Pita Loka dapat menangkap gerak kosong itu. Tak ada isyarat. Kecuali itu keyakinan akan sesuatu. Yang telah terjadi dan akan terjadi. Ia seperti berkata pada dirinya sendiri seketika musuh menangkap gerak kosong itu:Lima muridku diperangkap musuh. Kini satu lagi muridku diperangkap musuh. Namun ini bukan sebuah musibah kekeliruanku menafsirkan pertamakali, bahwa KitabTujuh yang kucari akan diwariskan pada 7 orang : aku dan enam muridku".
Setelah dia diam sejenak, lalu dia menafsirkan gerak kosong ini lagi: "Kenapa harus berdukacita kehilangan enam murid" Bukankah dengan memiliki satu buku sekarang ini, aku akan mewariskan enam buku lagi?" Pita Loka merasa matanya berat. Dalam duduk bersila itu dia sebenarnya sedang tidur. Tidur seperti manusia sedang mati duduk. Dan rupanya dia mendapatkan mimpi!
Mimpi itu amat luar biasa. Dia melihat enam buah bintang jatuh pada sebuah bukit yang dia rasanya kenal.
Dan keenam tahi bintang itu ditelan oleh seekor harimau yang punya garis bulu 41
bulatan. Lalu Ki Pita Loka terbangun.
Koleksi KANG ZUSI Malam sudah menjelang tibanya fajar meyingsing di ufuk timur. Pita Loka masih duduk bersila, memikirkan makna mimpi hebat itu. Lalu dia teringat seorang Guru penafsir mimpi yang jago. Dia adalah Guru Gumara. Rupanya ingatan pada Gumara inilah menuntun Ki Pita Loka untuk menafsirkan mimpi yang baru terjadi. Baru dia ingat.
Bukit yang ada di mimpi itu adalah Bukit Kumayan. Kalau demikian: "Tafsir mimpi itu adalah, enam bintang jatuh diterima olah salah satu dari harimau-harimau Kumayan. Ki Pita Loka mencoba mempedalam tafsir mimpinya tadi. Bukankah itu berarti, aku harus merebut enam bintang itu dari jagoan Kumayan" Enam bintang itu pastilah enam dari tujuh Kitab Sakti itu, tentunya! Kini, tinggal lagi bagaimana melaksanakan mimpi itu.
Dibukanya Kitab Pertama yang telah menjadi miliknya sekarang. Dia membaca huruf-huruf kuno gundul tak bertanda. Tapi dia mengerti. Dan dia telah amalkan tiap tafsiran dalam Kitab itu, mulai dari pensucian diri, latihan gerak bayi dalam rahim ibu sampai gerak bayi keluar dari kandungan serta teriakan pertama. Penutup keterangan Kitab Pertama itu adalah kalimat yang hampir sulit terbaca saking kunonya; "Kitab Pertama ini harus diamalkan, dan dia disebut juga Kitab Asal. Apabila pemegang Kitab ini sudah menyempurnakan amalnya, maka dia mempunyai kewajiban yang akan diamalkannya berikutnya setelah melewati satu mimpi di waktu dini hari. Kini tergantung si Pemlik Kitab ini, apakah dia melakonkan tafsir mimpi itu dengan betul dan baik, sebab kesalahan langkah akan menjadi sebuah musibah".
Ki Pita Loka menutup Kitab Pertama itu. Dia kembali menggulungrya dengan bungkusan berupa kain kuning.
Kitab itu sesuai dengan pesan, harus diikat sebagai ikat pinggang, di atas pusar.
Setetah selesai semua, Ki Pita Loka mencoba memantapkan tafsiran mimpinya. Hati kecilnya berseru: "Kembalilah ke Kumayan, rebut enam kitab lainnya itu agar ilmu kau lengkap".
Dia lain menyempurnakan pakaiannya dan ikat rambutnya yang panjang. Setelah sempurna berdiri, Ki Pita Loka berkata pada tubuh gadis di hadapannya: "Terima kasih tujuh bidadari yang mengawalku ketika ngelmu. Aku akan meninggalkan kalian dan aku tidak perlu dikawal lagi".
Tujuh gadis yang samar dalam kabut subuh itu menghilang bagai menguapnya embun. Ketika ia siap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari itu, sekonyong hatinya gentar.
Tubuhnya menggigil, bulu romanya merinding. Dan rasa takut pun muncul menggoda batin. Melalui pengalaman, dia mencoba mengusir godaan itu. Dan dia melangkah lebih tegap lagi. Tapi dia tidak menyadari, bahwa langkahnya dibuntuti. Andaikata dia mengetahui bahwa dia dibuntuti tentu dia akan berbalik, menghadapi orang yang membuntuti itu. Dan orang yang membuntuti itu kebetulan jaraknya agak jauh. Orang itu hanya melihat arah pintasan yang dituju Ki Pita Loka. Setelah orang itu yakin bahwa Pita Loka menuju Kumayan, orang itu mengambil jalan pintas.
Koleksi KANG ZUSI Ketika Ki Pita Loka melewati celah terowong Karakeling, dia sepertinya menjadi ragu. Dia merasa tak pernah melewati terowongan ini.
KERAGUAN Ki Pita Loka rupanya diintai oleh dua orang pengintip. Dua orang ini pun rupanya sedang membuntuti Ki Pita Loka sejak keluar dari Lembah Tujuh Bidadari.
"Bohong kamu bilang dia telah memiliki Kitab itu".
"Percayalah, bahkan aku melihatnya sendiri. Dibungkus dengan kain kuning, dan jatuh dari angkasa ke pangkuannya pada hari Rebo Legi. Aku berdosa jika aku mendustaimu. Lihat, dia duduk di batu itu".
"Mungkin dia kuatir tersesat".
Memang Ki Pita Loka kuatir akan tersesat. Pedoman baginya sudah tak ada lagi, kecuali bintang. Letak desa Kumayan adalah pada ekor dari Bintang Bimasakti yang baru akan muncul menjelang tengah malam.
"Sekarang saja kita rampas Kitab itu", kata pengintip wanita itu" yang tak lain adalah Ki Harwati. Dan pengintip pria, Talago Biru, kemudian meraih bahu Ki Harwati dan berbisik: " Lihat, dia siap akan melanjutkan perjalanan".
"Sssst", bisik Ki Harwati, "Dia justru mendengar suara kita. Telinganya amat tajam.
setajam telinga burung."
Memang telinga Ki Pita Loka tajam. Dia mendengar seperti ada dua manusia bercakap-cakap di atas celah terowongan Karakeling.
Dia mencoba memancing dangan mendehem. Lalu, terdengarlah suaranya yang menantang:
"Siapa lagi di atas itu jika bukan musuhku?"
Dan tantangan itu dipertegas lagi, bagai bunyi gemuruh:
"Ayoh turun kamu singa betina Kumayan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu! Dan kau ... kuda jantan muda pengkhianat, kuharap kau turun juga!". Ki Harwati menatap mata Talago Biru dengan tegang.
Dia meraih bahu Talago Biru dan berbisik: "Dia tajam sekali. Begitu tajam sehingga dia mengenal diri kita masing-masing".
"Benar, Harwati. Ketajaman pendengaran adalah bagian dari kependekaran. Kau harus turun ke bawah. Jika tidak, aku yang naik ke atas", terdengar ancaman itu begitu dahsyat.
Koleksi KANG ZUSI Harwati menghela lengan Talago Biru: "Ayohl"
Talago Biru kecut seketika. Begitu Harwati menghela lengan Talago sekali lagi, mendadak sudah menancap di cabang pohon genuk itu ... dua kaki Ki Pita Loka kokoh berdiri, berkacak pinggang.
Dalam sekelebatan dia sudah melayang dengan terjangan menghentak ke pinggang Ki Harwati. Tetapi ketika Ki Harwati akan jatuh, satu tungkai kaki Talago Biru membantu menghalangi. Namun tanpa diperkirakannya, Talago merasakan kepalanya terkena tamparan Ki Pita Loka. Dia terlempar kesamping, lalu cepat bergayut di dahan pohon, mengayunkan tubuh yang kemudian melayang menyerbu ke tubuh gurunya sendiri, yang sedang berkacak pinggang sehabis menendang Ki Harwati.
Ki Pita Loka berbalik dengan tendangan membelakang mengenai pangkal leher Talago sementara tendangan satunya mengenai perut Ki Harwati yang barusan saja akan menerjang. Ki Harwati kena terjangan itu bagaikan terbang mundur, dan dengan seluruh perasaan marah ketika punggungnya menabrak pohon, dia meneriakkan kutukan:
"Mampus kau digigit kalajengking!"
Teriakan kutukan itu ampuh.
Seratus mungkin dua ratus ekor kalajengking menghambur menuju tubuh Ki Pita Loka. Tetapi ketika itu pula Ki Pita Loka sudah membuat "tutupan" yaitu kedua telapak tangannya dengan gerak perlahan silih banting bersilang.
Dan seratus atau dua ratus ekor kalajengking itu merasa bagai menerjang bara api ketika menabrak telapak tangan Ki Pita Loka. Kesemuanya jatuh ke tanah sebagai bangkai - bangkai binatang yang mati hangus.
"Demikian tinggi ilmumu, Ki Pita Loka", ujar Ki Harwati setelah menyaksikan bangkai-bangkai kalajengkingnya yang mati hangus.
"Aku akan belajar padamu," ujar Ki Harwati.
"Aku juga mohon ampun Ki Guru atas durhakaku menyalahi pelajaran. Terimalah kami berdua sebagai murid", kata Talago Biru.
Ki Pita Loka tenang. Dikira sedang mempertimbangkan.
Tahu-tahunya dia bagai terbang menguakkan dua kaki, satu kaki menerjang bahu kiri Talago Biru, dan satunya lagi menendang bahu kanan Harwati. Dua-duanya jatuh ke samping dengan teriakan - teriakan mengerikan.
"Tolong aku ... aku akan mati...!" Ki Pita Loka mendengar suara wanita di bawah tebing curam itu. Rupanya memang benar, dilihatnya Ki Harwati perutnya tertembus dahan runcing. Rasa kasihannya bangkit, dan dia cuma melakukan dua lompatan ke Koleksi KANG ZUSI
kiri dan ke kanan, lalu tubuhnya menempel di dinding tebing di sebelah Harwati yang tersangkut di dahan runcing. Dengan darurat jempol tangannya dilekatkan ke langit-langit mulut, lalu diusapkan ke perut Harwati.
MELIHAT kesungguhan Ki Pita Loka merawat Ki Harwati, Talago Biru sadar betapa besar jiwa pendekar itu. ia pernah mendengar ajaran Ki Pita Loka, bahwa seorang pendekar barulah berjiwa besar apabila dia tidak memancung kepala musuhnya yang sudah tak berdaya. Dan seseorang takkan bisa menjadi pendekar yang baik apabila dia tak bisa menahan nafsu, terutama nafsu kelamin. Inilah yang menginsyafkan seketika Talago Biru.
Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: "Aku kasihan padamu.
Sesungguhnya, aku ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kamu pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang pendekar harus memiliki yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... ", lalu Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati
"Dia pernah belajar pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh -
sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan karena ilmu itu bukan ilmu tempelan maka dia takkan hilang selama-lamanya sehingga ketika dia mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang dia pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian dapat dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku".
Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: "Apa yang kalian cari"
Kalau kalian berdua ingin mendapatkan Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, sebab kalian akan celaka".
Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: "Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru.
Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal pendekar besar ini. Tapi saya tidak ikut".
Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: " Kamu ikut saya! "
Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya dia menjelang matahari terbit.
Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju.
Kesabaran adalah modalnya. Bisa saja dia melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang pendekar yang akan memetik kenaikan derajat.
Celah Karakeling dia tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup jika terinjak, tetap mekar karena tiada terkena sentuhan telapak sang guru.
Koleksi KANG ZUSI Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin jelas olehnya. Tujuh manusia. Makin dekat semakin jelas, Tujuh manusia itu buntung semua.
Beberapa puluh langkah menjelang dia harus menjelang puncak bukit itu, terdengar ancaman dari atas:
"Tujuh pendekar buntung meminta anda tidak melewati bukit ini". Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin dekat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas.
Dan tahulah dia dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung kini sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhati-hati.
Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu.
Dia bertongkat Dan dia menyatakan siapa dirinya: "Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan".
Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru.
Ki Dasa Laksana lalu berkata: "Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu gabungan dalam namaku: Dasa Laksana, karena akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya".
Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah ketika itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka karena menginjak bubur itu.
Apa yang dia perbuat seluruhnya seperti kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya ketika itu.
"Gebrak!" perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan suara teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan dia bergulingan bagai bantal guling.
SEKETIKA itu juga angin ribut menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu.
Ki Pita Loka sudah sampai di lembah bawah yang seluruhnyapadang rumput.
Dia bangun dengan ringan, dan mendengar suara riuh di belakangnya ibarat riuhnya belalang menyerbu.
Ki Pita Loka bangkit perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, lalu dia menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala sampai ke ujung telapak kaki kanan.
Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu menciptakan angin menggebu yang menerkam sepuluh pendekar yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya. Kesepuluh pendekar itu semuanya jumpalitan dengan lolongan suara yang mengerikan sekali.
Koleksi KANG ZUSI Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, lalu melangkah lamban di ataspadang rumput itu sampai ke kaki Bukit Kumayan.
Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, agar senja itu dia mandi di Pancuran Mayang. Tapi dia kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan pendekar yang lengkap kesaktiannya.
Namun ketika dia melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka - akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan suara bisikan itu seakan semakin kuat untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang.
Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri mengalah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang bau menyannya sudah mulai menerpa hidung sebab pertukaran malam dan siang.
Malam benderang datang. Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung seperti kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia kini sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak"
Ketika itu pulalah Ki Putih Kelabu yang sedang makan malam merasakan bau yang aneh. Bau tujuh macam kembang mayat. Dia tinggalkan santapannya. Dia membuka pintu ruang pendapo, dan alangkah kagetnya dia ketika dilihatnya yang muncul adalah Guru Gumara.
"Hah, Guru!" Ki Putih Kelabu kaget Guru Gumara berpakaian putih, menatapnya tajam dan berkata: "Harap malam ini tuan guru tidak tidur. Karena saya baru saja dibangunkan oleh mimpi yang jarang terjadi?".
"Akan dibinasakanlah penduduk Kumayan?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Tidak, Tapi sebaiknya anda jangan turun tangan jika ada peristiwa yang terjadi".
Lalu Guru Gumara berlalu. Dia datangi Ki Ladang Ganda, dan diucapkan kata - kata yang sama, begitupun kepada guru-guru yang lain.
Seluruh Harimau Kumayan malam itu menjalankan tirakat. Sudah lewat dua jam dari tengah malam yang menegangkan, tak kedengaran satu suarapun yang mencurigai.
Rupanya perintah itu dipatuhi oleh seluruh guru penjaga Kumayan karena rasa hormatnya mereka kepada wibawa yang dipancarkan sorot mata Gumara. Ketika itu Gumara sedang menggali sepetak tanah tak jauh dari Bukit Kumayan. Seluruh yang Koleksi KANG ZUSI
dilakukannya persis seperti yang dialaminya pada mimpi. Dan ketika mata pacul terdengar meleduk, tahulah Gumara bahwa itulah papan kayu ruyung yang tahan rayap. Perlahan jari tangannya membersihkan permukaan papan ruyung itu.
Dia mengumpulkan tenaga untuk menyibak susunan papan ruyung itu dengan hati-hati.
Tampaknya seluruhnya jadi begitu cepat Ki Pita Loka merasa waktunya tiba untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di balik semak pohon kopi.
Dia melihat orang yang membongkar tadi sudah pasti masuk ke dalam tanah. Dia hampiri tempat penggalian itu. Dia lihat susunan papan ruyung yang berada di samping lobang. Dan tanpa menanti waktu lagi, dia masuk ke dalam lobang. Hati-hati dengan usaha peringatan tubuh sempurna. Kini peranan telinga sungguh diutamakannya. Dia mendengar ada benda yang digeser dan dibuka di tempat gelap itu. Dia mendengar ada lembaran-lembaran yang sedang dibuka. Tapi di dalamsana itu tak ada cahaya apalagi lampu! Siapa orang tadi"
Pastilah orang itu sedang membaca Kitab yang Enam.
Namun Ki Pita Loka tetap saja tidak mengetahui, bahwa orang yang di dalam itu adalah Guru Gumara. Kini Ki Pita Loka, yang merasa bahwa enam buah kitab itu adalah pelengkap dari Kitab Pertama yang dia miliki dan berada dalam sampul kain kuning di pinggangnya... melangkah ringan lagi untuk tarus masuk.
SEMENTARA Ki Pita Loka merayap dalam gelap tanpa menimbulkan suara, Gumara meraba Kitab Ketujuh dengan jari-jarinya. Dia dapat membaca tulisan pada sampul kitab ketujuh itu, lewat cahaya yang muncul bagai neon kecil dari sepuluh kuku jarinya.
"Kitab ini yang ketujuh yang berupa Kitab Perdamaian tapi perdamaian ini tidak sempurna sebelum engkau dapatkan Kitab Pertama. Jagalah kukumu yang tajam".
Baru Gumara bisa menghela nafas, karena sejak mendapatkan Enam Kitab dia terheran-heran karena seluruhnya bukan tujuh melainkan enam. Sesuai dengan pesan Kitab kedua yang pada kulit buku itu tertera kemestian membungkusnya kembali dengan kain kuning, maka Gumara melaksanakannya. Lalu keenam kitab itu dia ikatkan pada pinggangnya. Sebelum dia meninggalkan lubang bentuk guha di bawah Bukit Kumayan itu, dia sempat mencium peti tempat kitab itu yang terbuat dari tembaga dilarang membawanya.
Semula dia begitu gembira dan mampu menahan kegembiraan itu. Semula dia akan menyelesaikan Tugasnya pada malam Kamis Wage itu dan akan merencanakan mencari Kitab Pertama pada malam Jum"at Kliwon besok.
Semulanya memang begitu...
Koleksi KANG ZUSI Tapi begitu dia lihat sosok tak jelas di hadapannya, yang telah memasang kuda-kuda tapi tak jelas siapa, Gumara menghentikan langkah. Dia melakukan puncak permainan kependekarannya, sebagaimana dia melayani tantangan Ki Karat. Dia cuma berdiri tegak dengan dua tangan melipat silang di dada, menghela nafas dalam, meringankan seluruh gerakan otot dan urat, sehingga seluruh perjalanan darah seakan-akan tak mempunyai getaran lagi. Getaran itu sudah terpusat pada permainan nafas. Dan seluruh gerak adalah nafas.
Kedua tangan terlipat itu menghadap ke depan. Tapi ternyata begitu pula lawannya yang tak dikenalnya. Dia merasa lawannya cukup kuat, tarasa sekali ada getaran elektron yang mendorongnya agar bergeser dari tempat berdirinya. Gumara merasa yakin dirinya dapat menahan kiriman getaran elektron itu, dan dia. Berusaha agar tumitnya tak bergeser.
Tapi tiba-tiba dia merasa tumitnya bergeser. Ini berarti kekuatan lawannya cukup tangguh dan mempunyai gaya yang sama. Keringatnya menetes. Keringatnya menetes lagi.
Dan Ki Pita Loka juga sudah basah kuyup. Keringatnya pun menetes. Dia berusaha untuk mengetahui lawannya.
Tapi wajah dan bentuk tubuhnya pun tak jelas. Dia terus bertahan dengan perang nafas. Jarak antara telapak tangannya dan telapak tangan Gumara sudah tinggal beberapa senti meter lagi. Apabila kedua telapak tangan ini sempat beradu, maka akan terciptalah malapetaka besar antara dua pendekar. Akan terdengarlah suara petir dan empat potong tangan pendekar ini akan buntung semuanya.
Urat leher Gumara sudah kejang, begitupun Ki Pita Loka, dan kedua pendekar itu tidak dapat mengenali masing-masing. Bila dua-duanya mau memaksakan diri, maka akan celaka. Namun kedua-duanya pun tidak mau menahan diri, menjaga saja agar letak telapak tangan itu berhadap " hadapan saja, tanpa ada geseran.
Empat Jam sudah pertarungan itu berlangsung. Cuma karena tadi malam ada bulan puurnama, pagi datang sepertinya lebih lambat. Karena seluruh desa Kumayan diliputi embun yang turun menyirami bumi.
Sinar matahari tak dapat menembus embun tebal itu.
Tapi memang tampak ada sepuluh bintik yang bergerak teratur menuju Bukit Kumayan itu. Satu di antaranya, Ki Harwati, berkata: "Kita telah tiba di Bukit Kumayan. Karena ini wilayah kekuasaan almarhum ayah saya, kalian yang sembilan orang menunggu di sini".


Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uu tidak bisa", membantah Dasa Laksana, "Kita yang sepuluh ini berada di bawah panji keilmuan Kitab Sepuluh Dasa Laksana".
Koleksi KANG ZUSI "Ki Harwati". cegah Talago Biru, "Aku tidak suka anda membantah beliau".
Ki Harwati kali ini tunduk pada perintah Talago Biru. Dan berdasarkan petunjuk Dasa Laksana, maka sepuluh mereka itu semuanya diam di tempat melihat dulu keadaan.
"Aneh, embun pekat baru sekali ini terjadi?", kata Ki Harwati.
"Apa tafsirannya?" tanya Ki Rotan.
"Tentu ada sesuatu yang menyelimuti kita. Ini berarti sedang ada rahasia di sekitar Bukit Kumayan sakti ini", kata Ki Harwati.
Apa yang sedang terjadi memanglah demikian. Perasaan Gumara ketika menahan letihnya telapak tangannya berhadapan dengan lawan, merasa lawannya semakin kabur.
Dia tak menyadari, bahwa tirai embun menyelusup ke dalam guha itu.
KI PITA LOKA pun agak heran. Lawannya malahan semakin lama semakin kabur, sehingga dia tak menyadari bahwa sebenarnya embun sudah memasuki guha itu.
Pertempuran macam begini berbahaya. Jika sedikit saja tumit bergeser maka dorongan telapak tangan akan keluar dari poros getaran. Ya, yang sedang bertempur sebenarnya getaran nafas lawan getaran nafas. Dan Gumara tiba-tiba merasa bahwa ada dorongan kuat dari telapak tangan lawannya. Dia harus imbangi. Dia bergeser ke kanan sedikit, dan dengan serta merta jurus telapak tangannya berubah dan dia rasakan kukunya mencapai sasaran.
Ki Pita Loka menahan nyeri di mata kanannya terkena kuku lawan, sehingga dia melakukan putaran tendangan lamban, yang sebenarnya amat kuat menghentak ke paha Gumara. Gumara menahan sakit sembari tersungkur dan dia merasakan sekali lagi tendangan lamban mengenai dadanya. Darah muncrat oleh tendangan lamban yang menggedebuk keras ke dadanya. Gumara bangkit lagi tetapi kakinya terkena serimpung, sehingga kini dia tahu bahwa lawannya adalah wanita.
"Kamu itu Harwati?"" tanya Gumara menduga adik tirinya.
Pita Loka yang menyesal baru tahu lawannya adalah Guru Gumara, berusaha melarikan diri. Tetapi dia tersungkur kena serimpungan Gumara. Dia langsung merenggut rambut yang kebetulan kena sambernya, dan dia mau mencekik sambil berkata geram: "Kamu dilaknat ayahmul"
Embun menyingkir cepat dan cahaya matahari melintas sekejap.
Ketika itulah Gumara kaget melolot melihat orang yang digeramkannya itu ternyata Pita Loka.
"Ki Pita Loka?" serunya sedikit menyesal karena dilihatnya mata kanan Ki Pita Loka Koleksi KANG ZUSI
terbeset jari kukunya dan luka.
"Aku telah buta sebelah". ujar Ki Pita Loka.
Gumara begitu gugup berusaha mengambil lendir langit-langit mulutnya dan mencoba menggosok ke mata Pita Loka.
"Percuma, Guru".
Rasa menyesal Gumara melebihi dari kecamuk cintanya yang berkobar-kobar pada Pita Loka.
"Saya rasa kamulah yang pantas memiliki buku ini, karena saya baru saja melihat warna kuning yang membelit di pinggangmu", ujar Gumara. Ki Pita Loka kaget.
Gumara menyibakkan pakaian putihnya. Dan warna kuning yang membelit di pinggangnya itu semakin jelas oleh sorot cahaya matahari yang masuk ke celah lubang galian.
Ketika Gumara akan mencopot kain kuning pembungkus enam buah kitab penemuannya itu, Ki Pita Loka mencegah: "Jangan tuan Guru. Anda yang harus memiliki Kitab Tujuh ini".
Ki Pita Loka akan melepas ikat pinggang kuning yang melapis Kitab Pertama yang terselip di pinggangnya, tetapi Ki Gumara menolak: "Aku baru.membuktikan mimpiku. itupun sudah memuaskanku!"
"Ada pesan dalam kitab-kirtab itu?" tanya Ki Pita Loka.
"Ada. Pada Kitab Keenam ada pesan, bahwa aku harus menemukan Kitab Pertama sebelum hari Jum"at besok tiba. Dan pagi ini pagi Jum"at Kliwon. Dan kitab itu ada padamu".
"Tidak, Guru. Tidak! Saya tidak berhak mendapatkan Kitab Tujuh itu karena ilmu saya masih rendah. Lagi pula saya akan buta mata sebelah, selama-lamanya!"
"Buta atau tidak butanya kau, sama saja buatku!" ucap Gumara, yang segera melepaskan ikat pinggang yang berisi enam buku itu. Pita Loka meronta, "Tidak, tidak!"
Tanpa mereka sadari, Ki Harwati sudah mendengar seluruh perdebatan itu.
Dia langsung bagaikan terbang ke bawah menyambar ikat panggang kuning yang membungkus buku enam kitab, begitupun Ki Dasa Laksana langsung mempreteli ikat pinggang kuning yang melilit di pinggang Ki Pita Loka.
Namun Gumara tidak tinggal diam. Begitu Ki Rotan turun ke lubang dia sudah nanti Koleksi KANG ZUSI
dengan terjangan membalik, sehingga tumit Gumara menghantam dagu Ki Rotan.
Ki Rotan tak berdaya karena kepalanya melintir kebelakang dan tidak kembali lagi.
Dia cuma meronta-ronta dalam keadaan sekarat.
Ki Harwati berhasil membebaskan diri dari tendangan gading Ki Pita Loka. Dia akan lari, tetapi lengannya disambar oleh Gumara, sehingga ikat pinggang kuning itu kembali berada dalam tangan Gumara.
Dasa Laksana sudah berlari jauh dengan kecepatan luar biasa melarikan ikat pinggang kuning berisi Kitab Pertama.
Biarpun dalam keadaan mata sebelah. Ki Pita Loka menghambur meloncat keluar lubang, kakinya disamber Harwati namun berhasil jumpalitan.
KI PITA LOKA dengan lari sekencang angin limbubu menerjang semua pohon yang merintanginya untuk mengejar terus Ki Dasa Laksana.
Ki Dasa Laksana membalik dan merobohkan pohon pucung. Pohon itu meluncur cepat hendak menimpa Ki Pita Loka, tapi Pita Loka sudah terlebih dulu meloncat terbang yang justru meloncati pohon yang roboh itu. Bunyi berdembam bagaikan bom menggelegar keseluruh Kumayan.
Begitulah besar pohon pucung yang roboh itu.
Akar pohon itu sempat menyabet lengan buntung Dasa Laksana, tapi dia cepat mundur sembari memasang kuda-kuda ketika mendadak sontak Ki Pita Loka melakukan tendangan bangau merobek pipinya.
Darah mengucur dari pipi Dasa Laksana, dan dia membalik ke samping seraya menungkaikan kakinya yang menyerobot tangan Ki Pita Loka.
Ki Pita Loka tersungkur dan sebelumnya merobohkan pohon cemara yang ditabrak tubuhnya.
Gumara melihat Ki Pita Loka dalam bahaya. Dia meloncati tubuh Harwati yang rupanya mau menghalanginya. Harwati mengejarnya, dan menjegalnya dengan memelintirkan tubuhnya sebanyak 36 kali putaran, sehingga Gumara harus mengakui kegesitan itu dengan menyungkurkan diri dengan dua telapak tangan ke tanah tapi membuat salto putaran tujuh kali jungkir balik, yang pada akhirnya putaran salto terakhirnya menyempatkan telapak tumitnya menghantam leher Ki Dasa Laksana.
Ketika dalam keadaan terpelanting itulah Ki Pita Loka sudah mencegat tubuh itu, lalu menangkapnya dan melemparkannya ke pohon jenggarang yang tegap.
Tulang rusuknya keluar disertai teriak kesakitan. Kesempatan ini membuat Ki Pita Loka dengan ceat menerkam tubuhnya yang mandi darah itu. Dia lepaskan ikat pinggang kuning yang membelit pinggang Ki Dasa Laksana, yang kelihatannya merintih. Tulang rusuk itu masih nongol merobek isi perutnya, warnanya putih gading diseling oleh kucuran darah.
Koleksi KANG ZUSI Setumpuk rambutnya ternyata lengket pada kulit pohon jenggareng lepas dari kulit kepalanya.
Gumara hanya diam, membiarkan Ki Pita Loka menyiksa Ki Dasa Laksana dengan tamparan mundar mandir dengan telapak kaki kanan.
Rupanya Ki Pita Loka sudah puas melampiaskan kemarahannya, yang bukan sifat aslinya, karena kebutaan telah membuat dia kehilangan kontrol.
Ki Harwati masih ingin meneruskan perang tanding itu, tetapi dia kehabisan nafas Gumara masih berdiri, dan matanya melihat bagaimana tujuh anak-anak muda buntung tangan pada melarikan diri satu demi satu.
Ki Pita Loka akhirnya cukup puas dengan membentak Ki Dasa Laksana: "Pergi kau dari bumi Kumayan. Jangan kotori desaku dengan darahmu yang kotor itu !"
Dengan satu tendangan tempelengan pada muka Ki Dasa Laksana, Ki Pita Loka mengangkat tubuh Ki Dasa Laksana kemudian memakinya: "Matilah kamu di desa Anggun sana, desa dari bajingan tengik!"
"Begitukah kau memperlakukan ilmu kependekaranmu?" Ki Harwati dalam nafas sesak bertanya di bawah pohon ceremai padanya. Ini mengejutkan Ki Pita Loka.
Dia sadar kini, bahwa apa yang telah diperbuatnya yang terakhir atas Ki Dasa Laksana memang tindakan di luar batas.
"Jika kamu tersinggung karena tindakan kasarku kepada manusia binatang Dasa Laksana, mohon dimaafkan.
Panca inderaku sekarang kurang satu. Kau lihat! Mataku! buta satu!".
Gumara merasa terkena sindiran itu dan segera menerkam tubuh Pita Loka lalu meluncurkan diri berlutut, bersembah: "Ampuni saya pewaris Ilmu Sakti Tertinggi !!
Engkau begitu mulia, tapi apa daya saya tak sengaja mencolok matamu!"
Ki Pita Loka menyerahkan ikat pinggang kuning berisi Kitab Satu itu kepada Gumara, yang masih berjongkok:
"Kau, tuan Guru, adalah orang yang lebih berhak. Hidupmu hanya patut apabila didampingi Harwati, yang mestinya anda bimbing ke ilmu yang benar. Kekalahan saya bukan karena kekuatan otot maupun otaknya. Kekalahan saya hanya kalah bersaing dengan wanita yang penuh ambisi. Harap diketahui, sama sekali saya tidak ada ambisi pada tuan, sebab tuan guru lebih mulia".
Ki Harwati baru menyadari siapa dirinya. Dia seharusnya mengakui kenyataan ini, apabila dia melihat begitu gencarnya langkah Gumara berlari mengejar Ki Pita Loka.
Koleksi KANG ZUSI Gumara terusmengejarnya sampai Ki Pita Loka memasuki rumah ayahnya, lalu menerkam pendekar tua Ki Putih Kelabu dengan kata-kata mengharukan: "Ayah, terimalah saya sebagai gadis biasa yang durhaka ini. Ayah, tolonglah mataku yang buta ini supaya bisa melihat lagi".
Sementara Harwati masih menangis tersedu di Bukit Kumayan, Gumara masuk dan berkata pada Ki Putih Kelabu:
"Maafkan, kebutaan puteri tuan hanyalah karena kelancangan jari saya."
"Anda tentu dapat mengobatinya", kata Ki Putih Kelabu.
"Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengobatinya. Tapi cacat Pita Loka menjadi tangung jawab saya.."
"Jangan menghibur orang buta, tuan Guru", kata Ki Pita Loka.
"Aku bersumpah, jika perlu aku mati untuk menyembuhkan butamu itu, Ki Pita Loka", ujar Gumara.
Ki Harwati yang sudah berada di pekarangan rumah Ki Putih Kelabu, telah mendengar tiap ucapan Gumara.
Tangisnya bertambah hebat dan dia tidak habis pikir mengapa cintanya pada kakak tiriya itu tidak pernah bisa punah dari hatinya.
TAMAT Pendekar Cengeng 6 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 12
^