Pencarian

Dendam Empu Bharada 12

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 12


Panglulutpun menceritakan tentang peristiwa diri Nararya.
Demang Krucil mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana keheridak raden "
"Menurut kakang demang, bagaimanakah aku harus bertindak ?" Kuda Panglulut balas bertanya.
"Raden, lelatu itu anaknya api. Apabila tak segera dipadamkan tentu berbahaya. Bukankah
demikian yang raden kehendaki"."
"Tepat, kakang demang" seru Kuda Panglulut "memang demikian isi ha ku. Dan kiranya kakang
demang tentu sudah siap dengan caranya, bukan"."
Demang Krucil pejamkan mata. Merenung. Beberapa jenak kemudian ia mengangguk-angguk.
"Raden" katanya "satu-satunya cara yalah raden harus memberi kepercayaan besar kepadanya."
"Hah ?" Kuda Panglulut terbeliak "apa katamu, kakang demang"."
"Raden harus memberi kepercayaan besar kepada orang muda itu" kata demang Krucil pula.
"Ya, benar" sahut Kuda Panglulut "agar dia memperoleh jasa dan mendapat pangkat yang lebih
nggi dari aku. Bahkan agar dia dipungut menantu rama pa h, menggan kan kedudukanku.
Bukankah demikian maksudmu "."
Demang Krucil tertawa mendengar kata2 Kuda Panglulut yang penuh nada ejek itu. Namun ia
sudah cukup kenal akan perangai raden itu.
"Soal itu bukan menjadi wewenang demang Krucil, raden" jawabnya dengan tenang "aku hanya
menghaturkan rencana agar keinginan raden itu dapat terlaksana."
"Dengan memberi kepercayaan besar kepadanya?" Kuda Panglulut menegas.
"Ya" sahut demang Krucil "karena jika tak memberi kepercayaan, tak mungkin raden dapat
memerintahkannya memimpin pasukan untuk maju di garis paling depan."
Kuda Panglulut terkesiap.
"Agar dia memimpin pasukan penggempur yang didepan"."
"Begitulah ."jawab demang Krucil "dengan demikian raden tak perlu membuang banyak tenaga
dan pikiran untuk melenyapkan orang itu."
"Ah, engkau benar, kakang demang" Kuda Panglulut tertawa gembira.
"Dalam pertempuran permulaan, fihak lawan tentu masih penuh kekuatannya. Mereka tentu
akan berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan musuh pertama yang datang menyerang."
"Tepat!" seru Kuda Panglulut. Ia tertawa gembira dan menepuk-nepuk bahu demang itu "engkau
memang benar2 sumber rencana yang hebat, kakang ...." ba2 ia hen kan kata-katanya dan
mengerut dahi. Demang Krucil ikut heran.
"Tetapi bagaimana kalau dia berhasil mengalahkan musuh?" kata Kuda Panglulut.
"Ah" desuh demang Krucil "aku masih mempunyai persediaan rencana yang berlapis-lapis. Tak
mungkin dia dapat lolos dari tangan kita."
"Tetapi" kata Kuda Panglulut "dapatkah kakang demang menerangkan kepadaku rencana2 yang
kakang siapkan itu agar kecemasan ha ku berkurang " Karena apabila rencana pertama tadi gagal,
kakang demang, aku tentu akan menggigit jari sampai dua kali. Ia mendapat pangkat nggi dan
iapun mendapat kepercayaan dari rama pa h., Siapa tahu misalnya, rama pa h berkenan untuk
mengangkatnya sebagai pengawal-pendamping beliau"."
"Dengan begitu dia selalu berada di kepatihan "."
"Tentu !" seru Kuda Panglulut agak mengkal.
"Ya, kalau sampai demikian tentu begitulah keadaannya" kata demang Krucil masih tenang,
"tetapi tak mungkin hal itu akan terjadi, raden."
Demang itu segera membisiki Kuda Panglulut.
"Ha, ha, ha ... ." Kuda Panglulut tertawa gelak2 seraya bertepuk tangan "bagus, kakang demang,
bagus sekali rencanamu itu. Ya, sekarang hilanglah keraguanku, kakang demang. Tak mungkin dia
dapat lolos dari tangan kita."
Demikian percakapan yang dilakukan Kuda Panglulut dengan demang Krucil pada malam sebelum
berangkat menuju ke gunung Butak.
Kuda Panglulut membawa dua ribu prajurit. Untuk menjaga dan melaksanakan tugas keamanan
pura, maka Kuda Panglulut dak mengajak kelima pembantunya itu melainkan hanya ga orang
saja. Lurah prajurit Sumarata, lurah prajurit Siung Pupuh dan demang Krucil. Pringkuku dan
Bandung tetap diperintahkan berada di pura.
Gunung Butak terletak di selatan gunung Kawi dan di sebelah mur dari gunung Kelud. Karena
sudah petang, Kuda Panglulut memerintahkan untuk mendirikan kubu agak jauh di kaki gunung
Butak. Untuk memberi is rahat pada sekalian anak pasukan, disamping untuk merundingkan siasat
penyerangan yang akan dilakukan keesokan harinya.
"Raden" kata demang Krucil "mari kita keluar berkeliling untuk mengadakan peninjauan tempat
mereka." "O." "Setelah mengetahui letak dan keadaan tempat mereka, dapatlah esok kita menentukan siasat
untuk menyerang." "Tetapi apakah tidak berbahaya kita meninggalkan pasukan, kakang demang"."
"Kurasa dak menjadi soal, raden" kata demang Krucil "namun agar lebih tenang pikiran kita,
sebelumnya kita memberi pesan kepada lurah Siimarata dan Siung Pupuh. Agar mereka menjaga
pasukan dan apabila sampai lama tidak juga kita kembali, mereka supaya menyusul."
Demikian setelah memberi pesan, Kuda Panglulut dan demang Krucil segera berjalan menuju ke
selatan. Saat itu belum berapa malam tetapi suasana sudah sesunyi makam ditengah malam.
"Mari kita mendaki ke tanjakan bukit itu. Dari situ tentu dapat kita njau keadaan gunung
Butak," kata demang Krucil seraya menunjuk pada anakbukit di sebelah muka.
Keduanyapun tegak berdiri di gunduk tanah tinggi yang menyerupai sebuah anak bukit itu.
Beberapa saat kemudian demang Krucil berkata, "Letak gunung itu memang baik sekali untuk
markas gerombolan. Agar mereka tak dapat lolos, kita harus menjaringnya dari tiga jurusan."
"Ah, menghadapi gerombolan semacam itu, dakkah cukup apabila kita serang dengan serempak
saja dari satu arah" kata Kuda Panglulut.
"Baik kita gunakan gelar Supit Urang untuk menjepit mereka, raden."
"Memakai gelar barisan " Tidakkah hal itu terlalu membuang waktu dan tenaga"."
"Ah," demang Krucil gelengkan kepala "kurasa gerombolan gunung Butak dengan pimpinan bekel
Mahesa Rangkah, tentu sudah tersusun rapi. Hal itu dapat dibuk kan hasil mereka waktu
menyergap rombongan gus pa h Aragani. Oleh karena itu baiklah kita jangan mengabaikan
kekuatan mereka." Kuda Panglulut mengangguk.
"Dan lagi dengan gelar itu, dapatlah kita melaksanakan rencana yang telah kita putuskan
terhadap Nararya itu. Dalam gelar Supit Urang, barisan akan kita pecah menjadi empat bagian.
Cucug atau mulut barisan, kita serahkan kepada Nararya. Sepit kanan kita serahkan kepada
lurah Sumarata dan sepit kiri kepada Siung Pupuh. Sementara raden bertempat dibagian
kepala. Dengan ditempatkan sebagai cucug barisan, tidakkah Nararya segera akan
berhadapan dengan kekuatan gerombolan"."
Kuda Panglulut mengiakan.
"Karena kekuatan gerombolan terpusat di bagian tengah maka kedua sepit barisan kita tentu
dapat memberi gempuran yang keras."
Kuda Panglulut mengangguk pula.
"Gelar barisan Supit Urang kita itu telah terbuk keampuhannya. Dahulu pada waktu terjadi
perang besar antara kaum Korawa lawan Pandawa di Tegal Kurusetra, maka dengan gelar Supit
Urang itu fihak Korawa berhasil menewaskan raden Abimanyu putera dari raden Arjuna" demang
Krucil membanggakan gelar yang akan dibentuk besok hari itu.
"Tetapi gelar Supit Urang kita itu memang mempunyai perobahan dalam kekuatannya" kata
demang itu pula "bagian cucug barisan, cukup dengan duaratus prajurit saja. Bagian kepala
tigaratus, kedua supit masing2 limaratus prajurit."
"Dengan begitu cucug barisan merupakah bagian yang terlemah."
"Benar" sahut demang Krucil "agar keinginan raden segera dapat terlaksana."
"Bagus, kakang de . . ." ba2 Kuda Panglulut hen kan kata-katanya. Dahinyapun mengerut
tegang. "Mengapa raden"."
"Tidakkah kakang mendengar suara burung kulik "."
Demang Krucil memusatkan pendengarannya dan mengiakan. "Ya, memang. Tetapi apa yang
mengherankan raden" Bukankah sudah biasa apabila dalam pegunungan burung kulik berkeliaran
pada malam hari "."
"Tetapi malam belum larut benar" bantah Kuda Panglulut "dan cobalah kakang dengarkan
dengan seksama. Agak janggal kedengaran bunyi kulik itu."
Demang Krucilpun segera mencurahkan pendengarannya. Tetapi ia tak mendengar suatu bunyi
apa2. "Tak terdengar bunyi apa2" ia kerutkan dahi.
"Sudah bernenti. Rupanya mereka sudah dapat saling menangkap, isyarat bunyi itu."
Demang Krucil heran. "Ah, janganlah raden, mengada-ada" katanya "jika burung kulik itu berhen berbunyi karena
pindah ke lain tempat, itu masih dapat dimaklumi. Tetapi kalau raden mengatakan mereka bukan
burung kulik tetapi kawanan gerombolan yang saling memberi isyarat, aku agak tak percaya."
"Kekang " demang, "mari kita kembali" kata Kuda Panglulut seraya ayunkan langkah menuruni
tanah tanjakan. Demang Krucil geleng2 kepala tetapi ia terpaksa mengiku . Tiba dibawah tanah tanjakan mereka
terus cepatkan langkah. Tetapi alangkah kejut mereka ke ka melihat dua sosok bayangan hitam
menghadang di tengah jalan. Makin dekat makin jelas bahwa kedua gunduk hitam itu adalah
manusia. "Kakang demang, kita dihadang" kata Kuda Panglulut "bersiap-siaplah."
Demang Krucil melihat juga gunduk hitam itu. Saat itu baru ia menyadari apa yang dikatakan
Kuda Panglulut tadi memang benar. Serentak ia merabah pedang yang terselip pada pinggangnya.
Kuda Panglulut berhen pada jarak lima langkah dihadapan kedua orang tak dikenal itu. "Siapa
kalian !" bentaknya dengan nada garang.
"Engkau tak berhak bertanya kepada kami." balas salah seorang dari kedua penghadang itu.
Setelah membiasakan pandang mata pada suasana gelap disekeliling tempat itu, barulah Kuda
Panglulut dapat melihat jelas akan kedua orang yang menghadang jalan itu. Dua orang lelaki
bertubuh kekar, berkumis lebat, alis tebal dan bercabang bauk. Sepasang mata yang bundar besar,
tampak berkilat-kilat di kegelapan malam. Mereka tak memakai baju melainkan bercelana warna
hitam. Dada mereka yang bidang dan urat2 yang menonjol melingkari lengan mereka yang besar,
menambah keperkasaan sikapnya.
"Hm, apa maksudmu menghadang jalan ini?" tegur Kuda Panglulut pula.
"Juga tak berhak engkau bertanya begitu kepadaku" seru salah seorang yang tadi.
"Setan!" damprat Kuda Panglulut "engkau hendak cari gara2" Adakah engkau gerombolan
penyamun "." "Benar" sahut lelaki itu pula "aku memang gerombolan penyamun. Tetapi aku tak menyamun
harta benda melainkan jiwa dari orang Singasari."
Kuda Panglulut terkejut. Ia menduga kedua orang itu tentu anakbuah gerombolan gunung Butak.
"Engkau anakbuah gerombolan gunung Butak" Kuda Panglulut mencari ketegasan.
"Benar" sahut lelaki itu "itulah sebabnya mengapa engkau tak berhak bertanya siapa diri kami
dan apa maksud kami menghadang perjalananmu."
"Apa hakmu mengatakan demikian"."
"Daerah gunung Butak sampai kekaki gunung Kawi, adalah daerah kekuasaan orang2 gunung
Butak. Maka yang berhak bertanya, adalah aku."
Hampir Kuda Panglulut tak kuasa menahan kemarahannya. Serentak dia hendak menerjang ke
dua penghadang itu. Tetapi demang Krucil cepat menggamit lengannya. "Bersabarlah raden. Kulihat
beberapa gerakan yang mencurigakan disekeliling tempat ini. Kemungkinan bukan hanya dua orang
itu saja melainkan beberapa lagi yang menyembunyikan diri di gerumbul pohon," kata demang
Krucil dengan berbisik-bisik.
"Hm, kawanmu lebih cerdik, ki sanak" seru lelaki itu "kalian berdua sudah seper ikan dalam
jaring, mengapa masih bersikap garang"."
"Hm?" dengus Kuda Panglulut.
"Siapa kalian ini dan apa maksud kalian pada malam hari berdiri di puncak tanah tanjakan itu "
Bukankah kalian hendak meninjau keadaan gunung Butak?" tegur lelaki itu.
"Aku prajurit Singasari yang mengemban tah seri baginda untuk membasmi gerombolan
pengacau di gunung Butak. Jika kalian mau menyerah, tentu kuampuni. Tetapi kalau ....."
"Ha, ha, ha" lelaki itu tertawa nyaring sehingga Kuda Panglulut terkerat kata-katanya. "enak saja
engkau berkata seolah seper berkata kepada bawahanmu di pura Singasari. Ketahuilah hai, orang
Singasari. Disini bukan Singasari. Yang memerintah di kerajaan Singasari memang baginda
Kertanagara tetapi yang berkuasa di daerah gunung butak adalah pemimpin kami."
"Hm, sudah kuduga" sahut Kuda Panglulut "bahwa kalian tentu anakbuah gerombolan pengacau
itu. Lekas menyerah dan kuberi ampun atau kubasmi!."
"Ha, tha, ha" lelaki bercambang bauk itu tertawa pala "telah kukatakan. Jangan bersikap
sedemikian garang seper yang biasa engkau lakukan di pura Singasari. Yang wajib menyerah
adalah engkau dan kawanmu itu. Dan yang layak mengampuni jiwamu adalah pimpinan kami."
"Hm, orang Singasari lebih baik ma daripada menyerah pada gerombolan pengacau!" jawab
Kuda Panglulut. "Gerombolan pengacau?" seru lelaki itu dalam nada mengejek "bagaimana engkau menuduh
kami sebagai gerombolan pengacau " Apakah yang telah kami lakukan selama ini "."
"Siapakah yang mencegat dan menyerang rombongan pa h Aragani beberapa hari yang lalu?"
seru Kuda Panglulut "perbuatan kalian memang sudah melampaui batas dan kini seri baginda telah
menitahkan untuk membasmi kalian semua".
"Memang benar" sahut lelaki itu "kawan2 kamilah yang menyergap pa h Aragani dan
rombongannya. Sayang pa h itu dapat meloloskan diri. Dengarkan, memang kawan2 yang
berhimpun di gunung Butak itu mempunyai tujuan untuk membantu menyadarkan seri baginda
dari pengaruh beberapa mentri jahat, terutama patih Aragani!."
"Keparat, engkau berani menghina patih kerajaan Singasari !" teriak Kuda Panglulut marah.
"Bukan hanya berani menghina, pun berani juga membunuhnya. Dialah pa h yang mengacau
kerajaan Singasari. Dan seri baginda telah termakan pengaruh mulut manis mereka sehingga
beberapa mentri yang setya, dilepas dan dihentikan dari jabatannya"'
"Tutup mulutmu, babi" bentak Kuda Panglulut seraya loncat menikam. Rupanya ia tak kuasa lagi
menahan kemarahannya ketika mendengar ayah mentuanya dihina dan dimaki.
Kedua lelaki itu pencarkan diri, ke kanan dan ke kiri untuk menghindar. Yang seorang
menyerang demang Krucil. Kini terjadilah pertempuran antara kedua pasang lelaki itu.
Kuda Panglulut ternyata juga tangkas bermain senjata. Ia menggunakan pedang. Lawannya pun
juga. Serangan Kuda Panglulut yang menyusul, ditangkis oleh lawannya. Terdengar bunyi dering keras
dari dua buah senjata yang beradu.
Kuda Panglulut dan lelaki bercambang bauk itu loncat mundur memeriksa pedangnya. Diam2
keduanya mengakui bahwa lawannya memiliki tenaga kuat.
Serangan dilanjutkan lagi. Keduanya berhati-hati sekali memainkan senjatanya masing2. Kuda
Panglulut menghindari adu senjata. Ia lebih mengutamakan gerak-cepat dan ilmu bermain
pedang. Sedang lelaki itu tahu akan kelemahannya. Dia kalah tangkas dan cepat tetapi menang
kuat dalam tenaga. Dilain fihak, demang Krucilpun bertempur dengan lelaki yang seorang. Lelaki itu lebih pendek
dari kawannya dan senjatanyapun bukan pedang melainkan bindi.
Memang menjadi ukuran bagi prajurit Singasari, bahwa se ap kenaikan pangkat itu
diper mbangkan atas dasar keberanian, kedigdayaan dan jasa. Se ap lurah prajurit tentu sudah
menempuh ujian2 yang berat dalam ke ga syarat itu. Dan memang Krucil yang lebih nggi dari
lurah prajurit, tentu saja lebih banyak mengalami ujian2 itu.
Dengan perawakannya yang kecil, demang Krucil amat tangkas sekali, baik dalam menghindari
maupun menyerang. Dengan ketangkasan itulah dia dapat melayani lawan bahkan dapat
menyibukkannya dengan serangan yang menggebu-gebu laksana hujan mencurah.
"Auh ..." ba2 lelaki lawan demang Krucil itu menjerit ke ka lengannya tersabat pedang. Masih
untung ia keburu menggelincirkan tangannya ke samping sehingga terhindar dari kutung lengan.
Tetapi ujung pedang demang Krucil yang sempat singgah mengguratkan sebuah luka yang
memanjang dan cukup dalam sehingga darahnya berhamburan ke luar.
Orang itu mendekap lengannya dan terus hendak menyurut mundur tetapi demang Krucil lebih
gesit. Sekali loncat, ia menahas tubuh orang itu.
Tring .... sekonyong-konyong terdengar dering senjata beradu; keras, lalu hamburan percikan api.
Demang Krucil terkejut ke ka pedangnya ditangkis oleh lelaki yang menjadi lawan Kuda Panglulut.
Orang itu ternyata sempat meninggalkan Kuda Pangulut untuk menolong kawannya yang terancam
pedang demang Krucil. Setelah berhasil menahan pedang demang Krucil, orang itupun hendak menyerempaki
mengayunkan kakinya ke perut demang Krucil. Tetapi pada saat itu juga Kudai Panglulutpun
sudah loncat menahas kaki orang itu.
"Uh ...." orang itu terkejut serta cepat menekuk be s kakinya kemudian ayunkan tubuh loncat ke
belakang. Seke ka dari empat penjuru muncul empat orang lelaki berpakaian hitam yang menghunus
senjata; Langsung keempat orang itu segera menyerang demang Krucil dan Kuda Panglukt. Kuda
Panglulut memang digdaya, demikian pula demang Krucil, Walaupun harus menghadapi empat
orang musuh, keduanya dapat bertahan dengan gigih.
Beberapa saat. kemudian Kuda Panglulut berhasil merubuhkan seorang lawan. Tetapi saat
itu pula muncul empat orang lagi menyerangnya. Kini Kuda Pangulut dan demang Krucil harus
menghadapi tujuh orang lawan.
Kuda Pangulut menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam sergapan gerombolan
pengacau. Apabila dia sampai tertangkap ataupun ma , pasukan Singasari yang dipimpinnya tentu
kocar kacir. Ayah mertuanya, patih Aragani, tentu akan menderita kejut dan derita besar.
Tiba2 ia teringat akan Nararya. Dan seketika pikirannyapun telah melalang. Apabila dia mati,
tentulah Nararya yang akan beruntung. Tidak. Dia tak mau mati. Dia harus berjuang untuk
mengalahkan ketujuh lawannya itu.
Dengan tekad itu, cemaslah ketujuh orang yang mengerubutnya itu. Mereka harus mengakui
akan kedigdayaan anakmuda itu yang berkelahi dengan nekad. Demikian pula demang Krucil.
Apabila Kuda Panglulut laksana, seekor harimau yang menerjang dan menerkam dengan dahsyat,
demang Krucil bagai seekor ular yang licin dan tangkas dalam melancarkan pagutannya yang
berbisa. Tujuh orang pengerubutnya itu merasa kewalahan. Mereka tak kuat menahan terjangan kedua
orang Singasari itu. Akhirnya muncul pula empat orang untuk membantu kawannya.
Demikian pertempuran berjalan dengan seru dan cukup memakan waktu.
Dalam pada itu lurah Sumarata yang diserahi tugas untuk menjaga kubu, agak cemas karena
sampai sekian lama belum juga kedua pemimpin pasukan itu kembali. Ia segera memerintahkan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

empat orang untuk menyusul. Yang dua, menuju ke barat dan yang dua ke selatan. Kepada mereka
dipesan, apabila melihat hal2 yang berbahaya, harus cepat kembali memberi laporan.
Tak berapa lama kedua prajurit yang menuju ke selatan telah kembali dengan tergopoh-gopoh.
"Ki lurah, berbahaya ...." mereka tak dapat melanjutkan kata-katanya karena napasnya tersengal-
sengal. Lurah Sumarata terkejut. "Apa yang berbahaya! Lekas katakan !."
"Riden .... raden ...." makin, dibentak makin gugup prajurit itu dan makin kerongkongannya
tersekat. "Lekas bilang !" lurah Sumarata bahkan terus mencengkeram leher prajurit itu dan mengguncang-
guncangnya. Prajurit itu makin gugup. Untunglah kawannya yang seorang sudah agak reda napasnya. "Ki lurah
.... raden Kuda Panglulut dan ki demang Krucil disergap musuh . . . .."
"Hai!" karena terkejut, tanpa sadar lurah Sumarata telah mendorong prajurit yang dicengkeram
lehernya itu sehingga prajurit itu terpelanting jatuh terjerembab.
Lurah Sumarata terus bergegas melangkah keluar. Ia hendak menemui lurah Siung Pupuh untuk
merundingkan peris wa itu. Rencananya, salah seorang harus segera membawa prajurit untuk
menolong raden Kuda Panglulut.
"Uh ...." ba2 lurah Sumarata mendesuh kaget ke ka terbentur dengan sesosok tubuh yang
muncul dari sebuah kubu. Lurah itu tersurut mundur. "Hai, apa engkau tak punya ma . . . ." ba2 ia
hen kan kata-katanya ke ka mengetahui bahwa orang yang bertubrukan dengan dia itu adalah
Nararya, orang yang diperbantukan pada pasukan itu oleh patih Aragani.
"Maa an aku, ki lurah" seru Nararya "karena mendengar suara ribut2, aku bergegas keluar dan
telah membentur ki lurah."
"O" desuh lurah Sumarata menahan geramnya lalu hendak lanjutkan perjalanan menuju ke kubu
tempat lurah Siung Pupuh..
"Maaf, ki lurah" kata Nararya melihat sikap lurah Sumarata yang begitu tegang "adakah terjadi
sesuatu dengan diri raden Kuda Panglulut"."
"Raden disergap anakbuah gerombolan" kata lurah Sumarata dengan nada segan lalu lanjutkan
langkah. Nararya tertegun. Ia mendengar dari keterangan dari beberapa prajurit bahwa raden Kuda
Panglulut bersama demang Krucil hendak meninjau bagaimana keadaan di daerah gunung Butak.
Sebenarnya ia tak setuju. Pertama, pada malam hari, kemungkinan fihak gerombolanpun akan
mengirim anakbuahnya untuk melakukan sergapan. Kedua, peninjauan itu tentu takkan banyak
memberikan hasil karena cuaca malam itu amat gelap. Ia tak tahu bahwa raden Kuda Panglulut dan
demang Krucil, disamping mengadakan peninjauan itu juga akan merundingkan siasat untuk
mencelakai dirinya. Nararya hendak mencegah tetapi ia tahu raden Panglulut tentu takkan menghiraukannya.
Maka diapun diam saja. Tetapi kini, setelah mendengar keterangan lurah Sumarata bahwa
Kuda Panglulut dan demang Krucil disergap musuh, iapun terkejut sekali. Dan rasa kejut itupun
segera menggetarkan pikirannya. Untuk menyelamatkan kedua pimpinan pasukan itu, harus
dilakukan secepat mungkin. Jika lurah Sumarata akan berunding dengan lurah Siung Pupuh
tentu memakan waktu. Pada hal disadarinya pula bahwa raden Kuda Panglulut dan .demang
Krucil penting sekali artinya bagi pasukan Singasari. Apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan
pada diri kedua pimpinan itu, tentu akan membawa pengaruh yang tak baik dalam pasukan.
Nararya memutuskan akan berangkat sendiri tanpa menunggu persetujuan dan pengaturan
kedua lurah itu. Yang penting baginya adalah menyelamatkan kedua pimpinan pasukan itu.
Serentak dia terus lari menuju ke selatan. Dari jarak yang masih agak jauh, ia telah
mendengar hardik bentakan yang hiruk pikuk dan dering senjata beradu yang melengking
nyaring. Diam2 ia menghela napas legah karena jelas raden Panglulut dan demang Krucil masih
bertahan diri. "Hai, kawanan penyamun, jangan mengganggu, senopa Singasari" teriak Nararya seraya
menerjang kawanan orang yang sedang menyerang Panglulut dari Krucil.
Betapapun gagah dan digdaya, namun karena menghadapi keroyokan orang yang lebih banyak
jumlahnya, pelahan-lahan Kuda Panglulut dan demang Krucil mulai lelah. Terutama saat itu lelaki
bertubuh tegap yang rupanya pemimpin gerombolan yang menyergap itu, pun ikut turun tangan.
Keadaan Panglulut dan demang Krucil makin terdesak.
Betapa kejut gerombolan itu ke ka mendengar teriakan seorang pendatang yang terus,
menerjang mereka. Seke ka dua orang gerombolan itu rubuh terkapar. Yang seorang terhantam
lehernya dan yang seorang termakan tendangan pada perutnya.
Pemuda pendatang itu mengamuk dengan pedangnya. Sesaat kemudian seorang anakbuah
gerombolan kena tertusuk bahunya dan terseok-seok mundur ke belakang. Cepat sekali kawanan
penyergap itu menderita tekanan yang berat sehingga mereka agak kacau.
Rupanya lelaki bercambang bauk yang memimpin gerombolan itu menyadari bahwa pendatang
itu amat digdaya. Ia segera menyelinap, melepaskan diri dari menyerang Kuda Panglulut, untuk
menghadapi pendatang itu.
Ke ka saling berhadapan, Nararya tertegun dan lelaki bercambang bauk itupun terkesiap.
Keduanya saling berpandangan dengan terkejut. Lelaki bercambang bauk itu hendak membuka
mulut, tetapi Nararya cepat gelengkan kepala lalu menerjangnya "Jangan bicara kepadaku"
bisiknya. Lelaki bercambang bauk itu rupanya dapat menangkap isyarat Nararya. Diapun menghindar lalu
balas menyerang. Pertarungan berjalan seru tetapi beberapa saat kemudian terdengar lelaki
bercambang bauk itu mengaduh kesakitan, lalu loncat mundur.
"Kawan-kawan, mundurlah " teriaknya lalu berputar tubuh dan lari; Tetapi rupanya Kuda
Panglulut masih penasaran. Ia ingin menunjukkan kedigdayaannya pula. Serentak ia mengejar.
"Raden jangan . . . ." Nararya mencegah. Tetapi Kuda Panglulut tak menghiraukan. Dia terus lari.
Terpaksa Nararya dan demang Krucil menyusul.
Ke ka melintas sebuah gerumbul, ba2 Nararya terkejut mendengar pekikan nyaring.
Dikenalinya pula nada itu suara Kuda Panglulut. Serentak ia lari meninggalkan demang Krucil;
Saat itu seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang menerkam
seorang pemuda. Dan pemuda itu tak lain adalah Kuda Panglulut. Saat itu Kuda Panglulut
terkapar disemak dan lelaki tinggi besar tengah mencekik lehernya. Betapapun Kuda Panglulut
hendak meronta, namun dia tak mampu melepaskan diri. Lelaki itu terlalu kuat tangannya.
Pada saat Kuda Panglulut hampir lemas, ba2 sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram
bahu lelaki itu. Dan sebelum lelaki itu sempat berpaling, tubuhnya telah disentakkan kebelakang
"Enyah . . . . !"
Lelaki nggi besar terpelan ng. Apabila punggungnya tak membentur sebatang pohon, dia tentu
rubuh. Entah bagaimana, dia terus loncat dan melarikan diri.
Nararya segera menolong Kuda Panglulut.
"Bagaimana raden" Apakah raden terluka"."
Kuda Panglulut mengemasi pakaiannya yang lusuh dan kotor "Bedebah, dia ba2 menyergap dari
belakang." "Dia lelaki bercambang bauk tadi" seru demang Krucil yang saat itupun tiba.
"Memang berbahaya untuk mengejar musuh pada malam yang gelap" kata Nararya.
"Mengapa engkau datang seorang diri" Mana lurah Sumarata dan Siung Pupuh?" tegur Kuda
Panglulut tanpa mengucapkan terima kasih atas pertolongan orang.
"Ki lurah Sumarata dan ki lurah Siung Pupuh masih dibelakang, raden" kata Nararya. Ia
menceritakan apa yang diketahuinya tentang raden itu waktu di kubu pasukan.
"Raden" kata demang Krucil "mari kita lekas kembali ke kubu. Dikua rkan gerombolan akan
melakukan penyergapan lagi."
Mereka segera berangkat pulang. Di tengah jalan, tampak lurah Sumarata bersama berpuluh-
puluh prajurit menyongsong.
"Raden, bagaimana keadaan raden?" lurah itu lari menyambut.
"Mengapa engkau terlambat datang?" tegur Kuda Panglulut.
"Maa an, raden" kata lurah Sumarata "lebih dulu aku berunding dengan lurah Siung Pupuh
untuk menyerahkan penjagaan kubu padanya."
Tiba2 pandang mata lurah itu tertumbuk pada Nararya, "Engkau, disini ki Nararya"."
"Maaf, ki lurah" kata Nararya "karena mengua rkan keselamatan raden Panglulut, aku terpaksa
mendahului ki lurah."
"O" ba2 demang Krucil mendesuh "engkau tak tahu akan kepergiannya kemari, lurah
Sumarata"." "Tidak, ki demang."
"Apakah dia tak memberitahu kepadamu"'."
"Tidak, ki demang."
"Hm" dengus demang Krucil kemudian berkata kepada Kuda Panglulut "raden, peraturan dalam
anak pasukan kita harus diperkeras. Barangsiapa melanggar harus dihukum."
"Peraturan soal apa ?" tanya Panglulut.
"Bahwa setiap prajurit, harus melapor apabila hendak meninggalkan induk pasukan. Dan
setiap lurah atau pimpinan, harus mengetahui kepergian anakbuahnya. Jangan sampai terulang
peristiwa seperti kali ini. Nararya pergi tanpa idin dan lurah Sumarata tak tahu kepergian
anakbuahnya. Bila kelak terulang lagi, akan diberi hukuman."
Nararya diam2 terbeliak dalam ha . Bukan terima kasih yang didapat, melainkan teguran yang
tajam, baik dari Kuda Panglulut maupun dari demang Krucil. Dan yang mengherankan, mengapa
begitu lantang demang itu mengeluarkan peraturan. Seolah memberi kesan bahwa dia lebih
berkuasa dari Kuda Panglulut.
"Ya, kakang demang memang benar" kata Kuda Panglulut kemudian "tanpa peraturan yang keras,
tata tertib pasukan tentu kacau balau."
Demikian mereka tiba kembali di kubu pasukan. Malam itu Kuda Panglulut tak dapat tidur
pulas. Ia masih membayangkan peristiwa yang dialaminya tadi. Apabila Nararya tak muncul,
mungkin dia bersama demang Krucil akan mengalami nasib yang buruk. Mungkin ditawan atau
mungkin pula dibunuh gerombolan itu. Dan apabila Nararya tak lekas datang pula, ia tentu
sudah mati dicekik musuh yang bertenaga kuat itu.
"Ah, dua kali dia telah menolong aku" katanya dengan nada berkeluh "jika hal itu sampai
terdengar rama patih, tentu dia akan mendapat pujian dan anugerah besar"
Sedang Nararya juga belum dapat tidur. Ia masih merenungkan peristiwa tadi. Ia heran
mengapa selama ini sikap Kuda Panglulut dingin kepadanya. Begitu pula demang Krucil dan
kedua lurah itu, juga mengunjuk sikap yang tak bersahabat kepadanya.
"Adakah raden Panglulut itu masih mendendam kepadaku ?" pikirnya. Ia berjanji akan
membantu raden itu agar jangan berkelanjutan mendendam kepadanya.
~dwkz~ismo~mch~ Hyang Baskara yang memancarkan sinarnya ke bumi itu, ingin membawakan penerangan,
keindahan dan kedamaian. Agar tanam-tanaman, pohon dan palawija, tumbuh subur. Agar
manusia dapat menunaikan kewajibannya hari itu. Kewajiban dari sekian banyak kewajiban untuk
membentuk kehidupan yang sejahtera.
Direstui kiranya se ap manusia yang menunaikan kewajiban masing2 dalam bidangnya sendiri.
Petani ke sawah dan ladang, pekerja ke tempat pekerjaannya, resi dan pandita di candi dan vihara,
mentri dan narapraja di pusat pemerintahan.
Namun adakalanya titah manusia tidak memanfaatkan karunia sinar kehidupan dari Hyang
Baskara itu dalam arti yang sesungguhnya. Seperti halnya dengan pasukan Singasari yang
berkubu di kaki gunung Butak. Bagi mereka, sinar kehidupan dari Hyang Baskara itu merupakan
suatu amanat agar mereka lekas menunaikan kewajibannya untuk membunuh gerombolan yang
berpusat di gunung Butak.
"Bunuh habis se ap anakbuah gerombolan itu. Jangan diberi ampun lagi !" perintah Kuda
Panglulut selaku pucuk pimpinan pasukan penumpas gerombolan gunung Butak.
Setelah ba di lereng gunung, Kuda Panglulut memerintahkan berhen . Ia segera memecah
barisan sesuai dengan yang direncanakan demang Krucil.
"Nararya" serunya. Dan ke ka Nararya tampil ke muka, Kuda Panglulut segera memberi tugas
"bawalah duaratus prajurit. Engkau kupercayakan sebagai cucuk barisan dari gelar Sepit urang yang
kita siapkan untuk serangan ini. Majulah dan serang mereka."
Nararya terkejut. Mengapa ba2 raden itu mempercayakan tugas sebagai cucuk barisan
kepadanya. Adakah raden itu sudah berobah pandangannya terhadap dirinya "
Nararya memang belum mempunyai pengalaman dalam pergaulan hidup. Ia masih sering menilai
alam pikiran orang seper alam pikirannya sendiri. Dan menurut ukuran pikirannya, perobahan
sikap dari Kuda Panglulut itu tentulah karena raden itu telah menyadari akan pertolongan Nararya
kemarin. Menurut ukuran alam pikirannya, ia tentu akan membalas se ap budi yang diterimanya
dari orang. Raden Kuda Panglulut tentu demikian juga. Pikirnya.
"Baik, raden" katanya dengan bersemangat. Bukan karena mendapat tugas itu. Karena
diketahuinya bahwa tugas sebagai cucuk barisan itu berat dan berbahaya. Tetapi dia bersemangat
sebab Kuda Panglulut telah bersikap baik bahkan menaruh kepercayaan kepadanya.
Diam2 Kuda Panglulut terkejut. Timbul seke ka pikirannya "Ah, jika dia berhasil melaksanakan
tugasnya, tentu besar sekali jasanya ...." diam2 ia membayangkan betapa perkasa pemuda itu
ke ka dapat menghalau kawanan gerombolan yang menyergapnya kemarin malam. "Celaka,
mungkin demang Krucil, salah hitung ....."
Namun karena sudah terlanjur mengatakan dia tak dapat menarik kembali perkataannya. Melirik
kearah demang Krucil, dilihat demang yang bertubuh pendek kecil mengulum senyum.
Kemudian ia membagi tugas kepada lurah Sumarata dan lurah Siung Pupuh. Kedua lurah itu
diberi masing2 limaratus prajurit dan ditugaskan sebagai sepit kanan dan sepit kiri yang harus
menyerang dari kedua lamping gunung.
"Apabila kalian terancam bahaya, lekas kirim orang untuk rneminta bantuan kepadaku. Aku
menduduki kepala barisan yang mengambil tempat ditengah," kata Kuda Panglulut pula.
Ke ga kelompok barisan itu segera berangkat. Nararya membawa anakbuahnya langsung menuju
lurus ke muka, sedang lurah Sumarata dan lurah Siung Pupuh membiluk ke arah kanan dan kiri.
Nararya tak menaruh syak wasangka apa2 terhadap Kuda Panglulut. Ia pernah mendapat
wejangan dari begawan Sinamaya, bahwa ketaatan yang tulus akan mendatangkan kebahagiaan.
Ketaatan terhadap Hyang Widdhi akan mendatangkan kepercayaan yang luas dalam ar kata
percaya akan kebesaranNYA dan keagunganNYA, kekuasaanNYA dan keadilanNYA.
Ketulusan dari rasa ketaatan akan menimbulkan sifat yang suci. Dan sifat Suci itu akan bebas dari
segala pencemaran bahaya dan kotoran.
"Duh, rama begawan yang hamba horma " kata Nararya saat itu "hamba belum jelas akan ar
petuah paduka itu" "Baiklah, Nararya, sekedar untuk memberi keterangan yang jelas akan kuceritakan kepadamu
tentang diri raden Bratasena," begawan Sinamaya lalu bercerita.
Diantara murid2 yang belajar kepada pandita Durna, ternyata hanya dua orang yang mendapat
hasil paling menonjol. Kedua murid itu yalah Arjuna dan Bratasena. Tak habis pandita Durna
menghambur pujian terhadap kedua muridnya yang cerdas itu. Hal itu menimbulkan rasa sirik dan
dengki pada anak2 Korawa. Pandita Durna dimintai pertanggungan jawab agar janganlah Bratasena
dan Arjuna mendapat seluruh ilmu kesak an pandita itu. Karena hal itu akan membahayakan fihak
Korawa apabila kelak terjadi perang Bharatayuda.
Pandita Durna menyadari hal itu. Memang sesungguhnya dalam ba n ia amat sayang akan
Arjuna dan Bratasena. Sebagai seorang guru sudah layak kalau ia senang pada murid yang cerdas.
Tetapi karena dia terikat dalam kedudukannya sebagai mentri utama dan penasehat agung dari
kaum Korawa, terpaksalah dia harus memperhitungkan kemungkinan2 dalam perang Bharatayuda
yang akan terjadi kelak. Pada hal perang itu sudah digariskan oleh Dewata. Tak mungkin dihindari
lagi. Maka dicarinyalah akal oleh pandita Durna untuk mencelakai Bratasena. Dipanggilnya ksatrya itu
dan di tahkannya untuk mencari susuh angin atau sarang angin yang tempatnya ditengah
samudera raya. Bratasena terkejut dan heran. Namun dia seorang ksatrya yang berha bersih dan jujur. Dia tak
mau mencurigai perintah gurunya bahkan dia percaya sepenuhnya bahwa yang di tahkan pandita
Durna itu tentu akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi dirinya dan kaum Pandawa.
Maka berangkatlah Bratasena ke samudera untuk mencari susuh angin itu.
Susuh angin hanya suatu khayal yang diciptakan pandita Durna. Tak mungkin ada. Namun berkat
ketaatan Bratasena yang bersifat ketulusan dan kesucian ha itu, akhirnya bersualah dia dengan
Dewa Ruci yang memberinya wejangan2 dan kesak an. Demikian pula ia telah bertemu dengan
puteri Nagagini yang kemudian menjadi isterinya.
"Demikian angger, sesuatu yang berlambar pada ketulusan dan kesucian ha , pas akan
mendapatkan kebahagiaan dan menolak segala malapetaka" resi Sinamaya mengakhiri ceritanya.
Nararya berusaha untuk melaksanakan wejangan gurunya dengan sebaik-baiknya. Terhadap
orang dia tak pernah menaruh kecurigaan ataupun memiliki prasangka. Demikian pula terhadap
Kuda Panglulut. Ia menanggapi perintah Kuda Panglulut itu sebagai suatu kepercayaan terhadap
dirinya dan ia akan melakukannya dengan sepenuh tenaga.
"Ki Nararya" kata seorang prajurit yang ia angkat sebagai pemimpin kelompok. Nararya membagi
keduaratus prajurinya menjadi empat kelompok. Tiap kelompok dikepalai oleh seorang prajurit
yang ia pandang dapat diserahi tugas itu. Prajurit yang berkata kepadanya itu bernama Putung Ara
"ada sesuatu yang kurasakan tidak sewajarnya."
"Dalam soal apa?" tanya Nararya.
"Mengapa kita yang ditugaskan sebagai cucug barisan, hanya dibekali dengan kekuatan duaratus
prajurit." "Tentulah raden Panglulut sudah memperhitungkan soal itu" jawab Nararya.
"Tetapi ki Nararya" bantah Putung Ara "ada dua kemungkinan yang kurangkai. Pertama, kita ini
diwajibkan untuk menggempur kekuatan gerombolan. Kedua, kita ini hanya sebagai umpan untuk
memikat perhatian musuh. Coba bagaimana akan pendapat ki Nararya."
Nararya termenung. "Jika menilik tugas yang diberikan raden Panglulut kepada kita tadi, jelas bahwa kita ditugaskan
untuk menggempur musuh habis-habisan."
"Kurasa dak" sahut Putung Ara "karena kalau memang ditugaskan begitu mengapa jumlah
pasukan kita hanya sekecil itu jumlahnya. Bukankah kekuatan dari sayap kanan dan sayap kiri
barisan ini lebih besar "."
Nararya mengangguk. "Adakah memang raden Panglulut hendak menjadikan kita sebagai umpan "."
"Ah, janganlah engkau menduga begitu. Masakan raden Panglulut hendak mencelakai kita.
Bukankah hal itu tidak berarti melemahkan kekuatannya sendiri"."
"Jika demikian" kata Putung Ara "jelas kita hanya ditugaskan untuk memikat dan mengikat
perhatian musuh. Agar demikian kedua sayap barisan kita dapat menyergap mereka."
"Tetapi kakang Putung" kata Nararya "raden Panglulut sebagai pucuk pimpinan telah memberi
perintah begitu, kita sebagai bawahan harus mentaati."
Putung Ara menghela napas.
"Mengapa kakang Putung ?" tegur Nararya.
"Dibalik keherananku timbul juga rasa kagumku yang besar kepada ki Nararya" kata Putung
Ara "ki Nararya hanya diperbantukan kepada pasukan ini atas titah gusti patih Aragani. Apabila


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasukan ini berhasil menumpas gerombolan, yang mendapat jasa tentulah raden Panglulut
sebagai pimpinannya. Tetapi mengapa engkau, ki Nararya, begitu taat akan perintah raden
Panglulut"." "Kakang Putung" jawab Nararya "aku tak memikirkan adakah aku ini hanya tenaga bantuan atau
bukan. Tetapi aku merasa saat ini sebagai seorang prajurit. Gerombolanpun takkan membedakan
siapa diriku. Pokok, apabila aku ditangkap tentu akan dibunuh mereka. Demikian atas diri kakang
dan sekalian prajurit"
"Baik" kata Putung Ara "tetapi kita, terutama engkau ki Nararya, harus dapat mengenal tugas apa
yang dibebankan pada kita."
"Kakang Putung" seru Nararya "tanggalkan segala prasangka dan kekua ran. Itu hanya bayang2
yang mbul dari kecemasan ha kita. Kecemasan itu warna semu dari ke dak-taatan atas perintah.
Sebagai prajurit, hendaknya kita jangan ragu2 akan menjalankan perintah."
Putung Ara mengangguk. "Kakang Putung" kata Nararya pula "namun apabila kakang masih merasa ragu2, baiklah kakang
kutempatkan dibarisan yang paling belakang. Agar apabila terjadi sesuatu yang berbahaya, kakang
dapat segera lari meminta bantuan raden Panglulut."
"Tidak!" teriak Putung Ara "bukan karena takut mati maka kurundingkan soal ini kepadamu.
Jika aku takut mati, akupun takkan masuk menjadi prajurit. Soal ketaatan dapat engkau
buktikan sendiri, ki Nararya. Aku akan berada di barisan paling muka sendiri. Apabila aku
sampai lari, bunuhlah!."
"Akupun percaya engkau tentu seorang prajurit yang berani dan setya, kakang Putung. Mari kita
segera berangkat." Dengan siapkan senjata masing2, keduaratus prajurit itu segera turun ke jalan yang merentang ke
arah gunung Butak. Makin mendaki ke atas, makin teganglah ha prajurit2 itu. Se ap angin
berhembus, daun gugur, belalang melonjak dan lain2 gerakan yang terdengar dan terlihat,
betapapun kecilnya tentu cepat menarik perhatian mereka.
Ketegangan itu menimbulkan hal yang menggelikan. Ke ka melintasi sebuah jalan yang bertepi
jurang yang penuh dengan pohon2 nggi, sekonyong terdengar ledakan suara yang keras. Prajurit2
itu cepat2 bersiap mengambil sikap. Tetapi mereka segera tertawa ke ka mengetahui bahwa
ledakan suara itu tak lain dari suara burung gagak yang berbunyi keras ke ka terbang dari sebatang
pohon. Peris wa itu terulang pula ke ka ba2 dari puncak sebuah lereng nggi, sebuah batu besar
manggelinding kebawah kearah barisan itu. Sepanjang jalan menggelinding kebawah, beberapa
pohon kecil dan batu kecil yang terlanggar berhamburan rubuh sehingga menimbulkan suara yang
gemuruh dan debu yang mengabut tebal.
Setelah anakbuah Nararya dapat menghindar, maka berkatalah pemuda itu "Musuh mulai
melancarkan serangan, kita harus waspada!."
Tetapi sampai beberapa lama menunggu, tak ada gangguan apa2 lagi. Nararya memberi perintah
supaya maju lagi. "Ki Nararya" kata Putung Ara pula "apakah dak berbahaya kalau kita bergerak maju" Tiap saat
musuh dapat melancarkan serangan dari atas tebing," katanya seraya menunjuk pada tebing
karang gunung yang menjulang tinggi.
"Kurasa tidak, kakang Putung" kata Nararya "jika mereka memang mau menyerang, saat ini
tentu mereka sudah melakukan. Justeru untuk menjaga kemungkinan itu, kita harus lekas2
tinggalkan tempat ini. Jika kita masih disini, keadaan kita berbahaya sekali. Musuh dapat
menggelundungkan batu atau menghujani anakpanah"
Pasukan segera bergerak cepat. Tetapi disepanjang jalan mereka tak mendapat gangguan apa2.
"Aneh, mengapa tak seorang anggauta gerombolan yang menyongsong pasukan ini?" diam2
ia menimang. Kemudian pikirannya teringat akan peristiwa ia menolong Kuda Panglulut dan
demang Krucil dari sergapan anakbuah gerombolan.
"Ah, berbahaya sekali apabila saat itu kakang Lembu Peteng memanggil namaku. Untung cepat2
aku berseru dan dia dapat menangkap maksudku" pikirnya. Kemudian ia merangkai dugaan,
adakah pemimpin anakbuah gerombolan yang bercambang bauk atau Lembu Peteng itu, juga
mempersiapkan rencana untuk menghadapi pasukan Singasari yang dipimpinnya saat itu"
"Ah, tetapi masakan kakang Lembu Peteng mempunyai kekuasaan sedemikian besar untuk
mengatur barisan gerombolan ?" serentak ia menghapus dugaan itu.
Saat itu mereka akan melintasi sebuah gerumbul yang akan membawa mereka kedalam sebuah
hutan. "Dimanakah markas mereka?" tanya Putung Ara.
"Aku sendiri juga belum tahu. Pokok, kita terus menyusur jalan, mendaki keatas. Akhirnya kita
tentu akan tiba di tempat mereka" kata Nararya.
Sesungguhnya ia tak yakin akan ucapannya sendiri itu. Tetapi sebagai pimpinan pasukan, ia
harus tak boleh mengunjukkan sikap cemas dan ragu2. Tetapi ke ka memandang hutan disebelah
muka itu, ia perintahkan pasukannya berhenti.
"Bagaimana, ki Nararya" Putung Ara menghampiri dan bertanya.
"Jangan kita gegabah memasuki hutan itu. Berbahaya" kata Nararya.
"Lalu apakah kita harus berhenti sampai disini"."
"Tidak" jawab Nararya "kita tetap akan melanjutkan perjalanan. Tetapi harus menggunakan
siasat." Ia memanggil keempat kepala kelompok, Putung Ara, Sampir, Kadal Ijo dan Gandu. "Kita akan
memasuki hutan itu kelompok demi kelompok. Se ap sepengunyah sirih, sebuah kelompok yang
maju. Dengan cara maju berantai itu, akan cepat diketahui dan dapat memberi bantuan apabila
kelompok dimuka diserang musuh."
Keempat prajurit yang diangkat Nararya sebagai kepala, kelompok itu memuji dan setuju.
"Siapa kelompok pertama yang bersedia berangkat lebih dulu?" tanya Nararya.
"Aku" serentak Putung Ara menyambut. Rupanya ia tertarik akan cara dan sikap Nararya
memimpin pasukan. Demikian pula ia mulai mengindahkan peribadi anakmuda itu.
Semua berjalan lancar. Dan tampaknya rencana yang diatur Nararya itu tak mendapat, gangguan.
Tetapi ke ka kelompok keempat yang dipimpin prajurit Gandu akan mencapai ujung hutan dan
bersatu dengan kawan-kawannya, ba2 dari arah mur hutan terdengar suara sangsakala atau
terompet dari tanduk, meraung-raung.
Pasukan Singasari itu terkejut. Serempak mereka bersiap menghunus senjata masing2. Sangsakala
itu berhenti. "Gerombolan bersembunyi di mur hutan ini", kata Putung Ara. Baru ia berkata begitu, ba2
dari arah barat terdengar sangsakala mendengung-dengung.
Putung Ara makin terbeliak tegang "Dari barat juga."
Sangsakala berhen . Tiba2 dari sebelah utara terdengar bunyi sangsakala lagi. Kali ini Putung Ara
pucat "Juga di sebelah utara!."
Sangsakala berhen pula. Dan seper yang diduga kembali sangsakala itu meraung dari sebelah
selatan. "Ah, kita dikepung" seru Putung Ara.
Sangsakala itu tak lama. Hanya sebentar lalu berhen . Tiba2 terdengar suara seruling ber up
keras dan nyaring. Menilik suaranya, seper dari arah mur. Dan seper sangsakala, seruling
itupun silih berganti berbunyi dari empat arah.
Belum kejut anak pasukan reda, ba2 terdengar suara kentungan bertalu riuh. Juga silih bergan
dari empat arah penjuru. "Kakang Putung, jangan gugup" seru Nararya menghen kan gerak gerik Putung Ara yang
kebingungan, sebentar lari ke mur, sebentar ke barat, ke utara dan ke selatan "tenanglah kakang.
Kalau kita memang dikepung musuh, sekalipun bingung juga takkan menolong keadaan. Lebih baik
kita tenang dan bersiap-siap menghadapi apa yang akan terjadi"
Namun sampai beberapa lama, adalah tampak, suatu gerakan yang menunjukkan tanda2
kearah munculnya anakbuah gerombolan. Baik secara kelompok maupun perorangan.
"'Aneh," guman Nararya "mengapa mereka tak muncul menyerang kita"."
"Ah, mungkin mereka hanya mengurung kita," kata prajurit Gandu "kita diam, merekapun diam.
Kita bergerak baru mereka bergerak juga."
"Hm, mungkin juga," kata Nararya. Ia memandang ke langit. Surya sudah agak condong ke barat.
Ialu kerutkan dahi "jika kita bertahan di sini, kemungkinan kita tak dapat mencapai markas
mereka." "Jika perlu, kita terobos kepungan mereka" seru Putung Ara.
"Kakang Putung, akulah yang bersedia menjadi pasukan di muka" seru Kadal Ijo.
"Hm" dengus Gandu "akupun sanggup juga."
"Aku yang berhak menjadi pemuka barisan ini" seru Putung Ara.
"Kakang sekalian" seru Nararya "janganlah kakang saling berebut. Ketahuilah, bahwa pasukan
pelopor di depan sendiri mengandung bahaya. Mengapa kalian saling berebut"."
"Bagi seorang prajurit hanya satu pilihan. Berjasa atau binasa" seru Putung Ara.
"Kesempatan naik pangkat hanyalah diperoleh dalam medan peperangan. Kesempatan ini harus
kumanfaatkan benar2" seru Kadal Ijo.
"Jelas kita dapat membasmi gerombolan di gunung ini. Aku harus memperoleh jasa" seru Gandu
pula. Nararya gelengkan kepala.
"Pandangan kakang bertiga memang benar. Akan tetapi hanyalah sebagian, tidak seluruhnya"
seru Nararya "perang adalah suatu tugas. Untuk dapat melaksanakan tugas itu secara baik,
kita harus mengetahui arti tujuannya. Tugas yang kita bahu ini adalah menumpas gerombolan
gunung Butak yang membahayakan keamanan negara. Berani pula menyerang rombongan
patih kerajaan Singasari. Perang ini, perang untuk membasmi gerombolan jahat. Dan kita yang
melaksanakan tugas itu, harus mempunyai kesatuan perasaan, tanggung-jawab dan tujuan."
Berhenti sejenak, Nararya melanjutkan.
"Dalam rasa kesatuan itulah kita akan merasakan suatu ikatan batin, setyakawan dan
sepenanggungan nasib. Jika kita berhasil mengalahkan lawan, maka kita semua yang berjasa.
Bukan hanya seorang dua orang saja yang berhak memiliki jasa itu. Semua ikut bertempur
menyambung nyawa dan semua ikut berjasa kalau menang, ikut menderita apabila kalah.
Semangat kakang bertiga yang menyediakan diri maju paling muka, memang menggembirakan
sekali. Tetapi janganlah hendaknya kesediaan itu mengandung keinginan apa2, kecuali hanya
melaksanakan tugas sebagai prajurit saja."
Putung Ara, Kadal Ijo dan Gandu diam.
"Dengan kesatuan itu, maka adalah halangan siapa yang berada di muka barisan, di tengah
ataupun di belakang. Semua berjasa apabila dapat mengalahkan gerombolan itu."
"Jika begitu, kami harap ki Nararya suka mengatur dan memberi perintah," kata Putung Ara yang
makin mengindahkan pemuda itu.
"Kakang sekalian" kata Nararya "menurut pengamatanku, kita telah terperangkap."
"Terperangkap ?" Putung Ara terkejut.
"Ya" sahut Nararya "terperangkap dalam siasat mereka"
"O" Putung Ara mendesuh "maksudmu, kita telah termakan siasat musuh"."
"Ya. Pasukan kita telah dapat dikacau mereka sampai beberapa lama disini."
"Tetapi dimana musuh itu" Mengapa aku tak melihat mereka"."
"Mereka memang tak ada. Yang ada hanya sangsakala, seruling dan kentungan. Mereka cukup
menanam beberapa orang di empat penjuru untuk membunyikan alat2 itu. Dan karena kita
mengira kalau musuh mengurung, kita tegang dan bersiap siap ditempat ini sampai beberapa
lama." "Bagaimana engkau tahu "."
"Jika musuh benar mengurung kita, pada saat ini juga mereka tentu sudah keluar dan
menyerang. Karena tempat semacam hutan ini, merupakan medan yang menguntungkan bagi
mereka. Mereka dapat mempersiapkan serangan dari tempat persembunyian, sedang kita dak
mengetahui dimana mereka bersembunyi. Tetapi ternyata mereka tak melakukan serangan. Jelas
kita ini memang tidak terkurung melainkan hanya dikacau saja."
"Keparat" teriak Putung Ara "betapa malu kalau tersiar berita bahwa pasukan kita dipermainkan
oleh gerombolan pengacau."
"Dalam peperangan" kata Nararya "tak ada dan tak harus ada rasa malu. Kalah menang, siasat
menyiasati, sudah wajar. Tetapi yang penting adalah fihak yang merebut kemenangan terakhir."
Putung Ara mengiakan kemudian meminta agar Nararya lekas mengatur barisan.
"Kita maju dengan cara seper tadi. Kakang Putung Ara maju lebih dulu bersama kelompok ke
satu. Kemudian berturut-turut kelompok ke kedua, ke ga dan keempat. Dengan cara itu kita takkan
kehilangan hubungan. Dapat bantu membantu setiap saat yang diperlukan."
Beberapa waktu kemudian, mereka mulai mendaki keatas. Tetapi sejak itu, merekapun
mengalami rintangan2. Di sepanjang jalan, pohon2 bertumbangan malang melintang menutup
jalan. Prajurit2 itu terpaksa harus menyingkirkan pohon2 itu ke tepi. Sedang Putung Ara tak henti-
hentinya menyumpahi gerombolan.
Melihat itu mbullah kekua ran Nararya. Jika harus bekerja mengangkut pohon2 itu ke tepi
jalan, tentu akan menghabiskan tenaga dan waktu. Tiba2 ia mendapat akal.
"Biarkan pohon2 itu melintang di tengah jalan" serunya kepada prajurit2 "bakar saja pohon2
itu." Kemudian ia mamberitahu rencananya kepada keempat kepala kelompok. "Kita sembunyi di
sekeliling tempat ini. Apabila melihat kebakaran, tentulah gerombolan itu akan keluar. Saat itu
baru kita serang." "Bagus" seru Putung Ara memuji. Dia segera sibuk memimpin prajurit2 untuk membakar pohon2
itu. Api menyala dan asappun membubung tebal. Saat itu hari menjelang senja. Menurut
perhitungan, gerombolan tentu melihat asap kebakaran itu dan tentu akan datang. Maka
bersiap-siaplah barisan Singasari itu.
Tetapi sampai pohon2 itu hampir habis, tetap gerombolan itu tak muncul.
"Aneh" Nararya benar2 tak habis herannya "kemanakah para gerombolan itu"."
Dia memerintahkan pasukannya berhen di situ untuk melepas lelah dan makan. "Malam ini kita
akan naik untuk menyergap markas mereka" katanya.
Tengah prajurit2 itu beris rahat, telinga Nararya yang tajam, sayup2 dapat mendengar suara
hiruk pikuk di kaki'gunung. Ia menanyakan kepada kepala kelompok tetapi ada seorangpun dari
keempat orang itupun yang dapat mendengar apa2.
Nararya memanggil dua orang prajurit. "Kalian berdua kembali ke bawah gunung dan njaulah
keadaan pasukan raden Kuda Panglulut."
~dwkz~!ismoyo~mch "Siasatmu memang tepat sekali, kakang demang," kata Kuda Panglulut ke ka duduk bercakap-
cakap dalam kubu "lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya"."
"Kita tunggu bagaimana hasil dari ke ga barisan itu" kata demang Krucil "kurasa, perhitunganku
tentu tak jauh melesetnya. Cucug barisan yang dipimpin Nararya, tentu akan bobol. Pasukan
gerombolan tentu akan datang dari sebelah muka. Oleh karena itu?"
Ia berhenti sejenak untuk membenahi duduknya "kita harus persiapkan barisan pendam."
"Ya" Kuda Panglulut mengangguk "cobalah kakang demang katakan rencana kakang demang
untuk menghadapi kedatangan musuh itu."
"Kita masih mempunyai delapan ratus prajurit. Yang separoh, supaya membentuk barisan di
depan kubu kita, tepat pada arah yang ditempuh Nararya tadi. Tetapi harus menyembunyikan diri.
Yang dua ratus bersembunyi di tepi kanan jalan. Jangan sampai jejak mereka terlihat musuh."
Kembali demang itu hentikan kata2, mengerut dahi seolah sedang berpikir.
"Yang empat ratus lagi", katanya sesaat kemudian, "kita pecah lagi menjadi ga bagian. Dua
ratus prajurit supaya mundur sepemanah jauhnya dari kubu ini. Yang seratus supaya mundur dan
menyembunyikan diri dihutan sebelah utara dan yang seratus supaya bersembunyi di hutan
sebelah selatan." "Dan kubu ini?" Kuda Panglulut terkejut.
"Hanya dua orang yang menjaga."
"Siapa?"serunya.
"Raden dengan aku."
"Hah, apakah tidak berbahaya "."
"Tidak, raden" jawab demang Krucil "kita memang sedang menggunakan siasat untuk
memperangkap musuh. Apabila mereka menyerang, segera kita tahkan pengawal untuk memukul
kentungan atau meniup sangsakala. Prajurit2 yang kita taruh di hutan utara, selatan dan mur itu
tentu segera menyergap mereka."
Kuda Panglulut terdiam. "Memang se ap perangkap harus menggunakan umpan. Dan umpan yang dapat memikat musuh
tak lain hanya raden. Tetapi akupun sanggup untuk.mendampingi raden. Masakan kita berdua tak
sanggup menahan serangan mereka dalam beberapa saat saja sehingga pasukan2 kita datang
menerkam mereka"."
"Tetapi apakah siasat kita itu akan berhasil "."
"Maksud raden "."
"Adakah gerombolan itu tahu bahwa dalam kubu ini hanya tinggal aku dan engkau "."
"Gerombolan sudah lama menguasai gunung ini sehingga mereka faham sekali keadaannya.
Rasanya mereka tentu sudah menyebar mata2 untuk mengamat-amati gerak gerik kita."
"Dan siasat itu kita laksanakan setelah petang hari nan . Agar pengunduran pasukan kita dari
kubu ini, lepas dari pengamatan mereka."
Akhirnya Kuda Panglulut menyetujui juga. Tetapi diam2 ia mengharap agar terjadi perobahan
sehingga tak perlu harus melaksanakan siasat itu.
Sampai surya hampir rebah ke barat, belum juga terdapat laporan. Baik dari pasukan Nararya,
maupun Putung Ara dan Gandu. Mulailah Kuda Panglulut gelisah.
"Kakang demang" katanya kepada demang Krucil" menurut perhitungan, tentulah ke ga pasukan
itu sudah harus mengirim laporan. Tetapi mengapa sampai saat ini tiada yang datang "."
"Hanya dua kemungkinan, raden" kata demang. Krucil "mereka belum menemukan perlawanan
dari gerombolan atau mereka mendapat kesulitan dari gerombolan"
"Kukira lebih baik kita mengirim barisan kesana."
"Maksud raden pada ketiga pasukan kita?"
"Bukan" jawab Kuda Panglulut "yang kita pen ngkan adalah bagian kedua sayap barisan; Apabila
cucug barisan dapat dihancurkan gerombolan, kita masih dapat menjepit mereka dari dua sayap."
Demang Krucil termenung, "Baiklah. Jika demikian kita kirim seratus prajurit ke selatan, seratus ke utara dan yang dua ratus
tetap bertahan disini."
"Kakang demang tetap hendak melangsungkan; siasat tadi ?" tanya Kuda Panglulut.
"Hm, jika raden tak menyetujui, tak apalah. Kita ganti saja. Yang penting kita tanam sebagian
dari prajurit disini ke sebelah cucug barisan. Karena kuduga, serangan gerombolan pasti akan
datang dari muka. Nararya dan pasukannya tentu tak kuasa menahan serangan mereka."
"Berapa yang harus menjaga kubu ini"."
"Kurasa cukup duapuluh orang saja, raden sendiri dan aku" kata demang Krucil.
Rencana perobahan itu segera dilakukan. Kini yang berada di kubu hanya Kuda Panglulut,
demang Krucil serta duapuluh prajurit.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian haripun makin gelap. Surya sudah menghilang dibalik gunung.
"Malam ini penjagaan harus diperkuat" kata Kuda Panglulut.
"Ya, harap raden perintahkan supaya prajurit2 jangan tidur" kata demang Krucil.
Demikian setelah selesai mengatur dan memberi perintah maka Kuda Panglulut dan demang
Krucil duduk dalam kubu berbincang-bincang.
"Malam ini kita harus bergilir meronda, kakang demang."
"Jangan raden" seru demang Krucil "raden adalah pimpinan pasukan. Tak ubah seper seorang
senopa dalam barisan. Raden harus kita lindungi jangan sampai diganggu musuh. Berbahayalah
kalau raden keluar meronda. Kita tak boleh mengabaikan kemungkinan berulangnya penyergapan
seperti kemarin itu."
Demikian kubu itu dijaga. Tiap kali demang Krucil meronda keluar setelah itu kembali duduk
bercakap-cakap dengan Kuda Panglulut.
Malam hari hawa di gunung itupun mulai dingin. Dalam hawa dingin, semangatpun mulai
mengendor. Dan rasa kantukpun mulai merayapi pelapuk mata.
"Raden" ba2 demang Krucil berkata "maa an lebih dulu, aku hendak mohon idin kepada
raden" "O, soal apa "."
"Terus terang raden, aku sudah terlanjur dihinggapi kebiasaan jelek. Dan kebiasaan itu
terpaksa harus dituruti karena apabila tidak, tubuhku serasa lemas dan kantukpun sukar
ditahan." "Apakah kebiasaanmu itu"."
"Minum tuak, raden" kata demang Krucil "sebenarnya kebiasaan itu jelek. Tetapi apa mau
dikata," demang Krucil menghela napas seperti orang menyesal "sudah terlanjur dan sudah
bertahun-tahun. Seperti saat ini, sebenarnya aku sudah mulai lemas dan ngantuk. Apabila
terjadi sesuatu, tentu mudah diriku celaka."
Kuda Panglulut merenung. Ia teringat bahwa rama mentuanya, patih Aragani, itupun juga
seorang peminum tuak yang hebat. Hampir tiap malam selalu minum sampai mabuk. Pernah
sekali ia mendapat kesempatan untuk memperingatkan. Tetapi mentuanya itu bahkan
menertawakan; Ia mengatakan bahwa tuak itu mengandung khasiat yang hebat. Dapat
membangkitkan semangat, menyegarkan tubuh dan mencerdaskan pikiran. Mengapa ia dapat
meraih pangkat yang tiiggi sebagai patih adalah juga berkat gemar minum tuak. Benarkah tuak
itu mempunyai daya khasiat yang begitu hebatnya " Pikirnya.
"Ya, kalau kakang demang memang sudah terikat dengan kebiasaan itu, demi melindungi diri
kakang, akupun tak keberatan kakang minum tuak," akhirnya Kuda Panglulut meluluskan.
"Terima kasih, raden," demang Krucil terus mengeluarkan sebuah kantong dari kulit, warnanya
pu h "kantong ini terbuat dari kulit kelinci. Kusuruh orang membuatkan yang bagus untuk tempat
tuak." Setelah membuka sumbat, iapun segera meneguknya beberapa kali. Segulung hawa harum2 lezat
berhamburan memenuhi kubu.
"Bagiku tuak merupakan Tirta Amerta yang ada keduanya dijagad ini" kata demang Krucil "air
kehidupan yang dapat menghidupkan dan memperindah kehidupan ...."
Ia meneguk lagi beberapa kali. Tampak wajah demang itu makin meriah merah. Sinar
matanya makin terang dan semangatnya menyala.
Seke ka terbe k suatu percikan angan2 dalam ba n Kuda Panglulut. Jika membau baunya yang
harum, memang tuak itu benar2 mengundang selera. Pun kalau melihat kenyataan yang
dihadapinya, betapa tadi demang Krucil sudah lesu dan ngantuk kemudian sekarang tampak
memberingas dan bersemangat, diam2
mbul pemikiran Kuda Panglulut. Mengapa ia tak
mencobanya. Ayahnya dan orang2 tua didesanya, mengatakan bahwa tuak itu dak baik, terutama
bagi anak2 dan pemuda. Tetapi nyatanya orang2 tua yang menaseha begitu, semua peminum
tuak yang paling asyik. "Hm, memang banyak sekali pepali, petuah dan nasehat orang-orang tua itu yang tak sesuai
dengan kenyataan" pikir Kuda Panglulut. Ia teringat betapa orang-orang tua sering melarang anak2
supaya jangan sesekali makan daging ekor ayam atau yang disebut: brutu. Nan pelupa. Tapi
nyatanya orang2 tua itu paling gemar memakan daging bagian ekor itu sendiri. Orang2 tua itu
memang pelupa. Entah karena makan daging ekor itu atau memang karena umurnya. Yang nyata
mereka selalu dak melupakan untuk menanamkan nasehat tentang larangan makan daging brutu
itu kepada anak cucunya. Renungan itu telah membawa Kuda Panglulut pada suatu keraguan akan se ap hal yang
dikatakan orang2 tua itu, termasuk tentang tuak. Bahwa menilik baunya yang harum dan
pernyataan dari rama mentuanya pa h Aragani serta demang Krucil maka makin mbullah
rangsang keinginannya untuk mencobanya.
"Kakang demang" katanya "harum benar bau tuak itu."
"Seorang peminum tuak yang ahli tentu tak mau minum sembarang tuak. Gusti patih Aragani
pun seorang peminum tuak yang tahu akan selera tuak" kata demang Krucil "dan jangan dikira
bahwa minum tuak itu asal minum saja, raden. Minumpun ada juga seninya, tahu pula seni
memilih tuak." "Bugaimana perasaan kakang demang setelah minum itu"."
"Serasa segar kembali tulang sunsumku. Darah dapat mengalir lancar, penglihatan mata makin
terang, telinga makin tajam dan pikiran makin cerdas. Setelah minum ini, semalam nan aku tentu
kuat berjaga." "Bagi orang yang baru mulai minum, dakkah hal itu akan memabukkan dan melemaskan
tenaga"." Demang Krucil tertawa. "Jika anak kecil, memang" katanya "tetapi seorang dewasa seperti raden, tuak takkan
membawa pengaruh apa2 kecuali menambah semangat dan pikiran. 'Marilah" ia menghaturkan
kantong tuak "silahkan raden mencicipinya. Sedikit sajalah."
"Apalagi dalam hawa di gunung yang sedingin ini, tuak dapat menghangatkan tubuh" demang
Krucil menambah keterangannya pula "sudah umum pula di perjamuan, se ap tetamu pria tentu
dihidangkan arak. Memang tetamu pria yang tak minum, sering dicemoh orang."
Kata2 demang Krucil yang terakhir itu memang suatu kenyataan. Pernah sesekali dalam
perjamuan Kuda Panglulut menolak hidangan arak, maka beberapa tetamu pria kaum muda,
menertawakannya. Terdengar beberapa kata ejekan yang menganggap dia bukan seperti
seorang lelaki. Memang sudah agak lama juga ia ingin mencicipi bagaimana sesungguhnya rasa dan pengaruh
tuak itu. Mengapa se ap orang tentu gemar meminumnya. Namun sampai sekian jauh, ia tak
sempat. Dan yang penting pula, isterinya, melarang.
Tetapi kini, setelah berada di gunung dan dicengkam hawa dingin, dipengaruhi pula oleh kata2
demang Krucil, maka mantaplah keinginannya untuk mencobanya. Ia menyambu tuak itu dan
mulai mencicipi "Ah," sengau hidungnya ke ka terbaur hawa tuak yang keras. Hawa itu menyusup
masuk ke dalam kerongkongan, dada dan perut. Perut seke ka meluap, darah-pun bergolak,
hampir ia batuk. Ia pejamkan mata, menenangkan diri. Beberapa saat kemudian, setelah kemualan dan kesesakan
napas itu mengendap, ia rasakan semangatnya agak segar dan tubuhpun agak hangat.
"Minumlah, raden" seru demang Krucil "seteguk saja tentulah raden akan dapat menikma
khasiatnya." Kuda Panglulut sudah terlanjur menerima kantong tuak itu dan mencicipinya. Adakah ia harus
mundur dan mengembalikannya. Malu. Ia ingin tahu benar2: dan ingin membuk kan apa yang
dikatakan demang; Krucil dan orang2 itu. Segera ia meneguknya.
"Ah, lezat juga" setelah minum seteguk, ia berhen sebentar untuk mengetahui pengaruhnya.
Terasa perutnya berkerucukan, darah mengalir deras dan tubuhpun makin hangat.
"Seteguk lagi, raden."
Ia menurut. Kiranya memang tak memberi akibat berbahaya. Tak mungkin dia akan pingsan
karena minum seteguk dua teguk tuak. Maka lapun meminumnya. Bukan hanya seteguk, melainkan
dua teguk. Kemudian mengembalikan kembali kantong tuak itu kepada yang empunya.
Beberapa saat kemudian tampak wajah Kuda Panglulut mulai bertebar merah. Panas. Dan
rasa panas itupun menjalar keseluruh tubuhnya.
"Bagaimana raden?" tegur demang Krucil.
"Tak apa2. Badanku terasa panas."
Demang Krucil tertawa "Dalam hawa sedingin ini, memang paling tepat minum tuak" ia membuka
sumbat kantong tuak dan meminumnya lagi dengan gembira.
"Selain hangat, juga semangatku lebih menyala" kata Panglulut.
"Memang begitulah, raden, khasiat tuak itu. Asal jangan terlalu banyak minum, maka kiia akan
memperoleh kehangatan dan kesegaran semangat."
"Jika begitu, baiklah para pengawal diluar itu kakang demang beri juga. Asal sekedar untuk
penghangat badan, saja" kata Kuda Panglulut.
Sebenarnya demang Krucil tak setuju. Pertama, karena tuak yang dibekalnya itu tuak pilihan
yang paling digemari. Dan kedua, tidaklah selayaknya kalau prajurit2 pengawal itu diberi tuak
yang sedemikian mahal. Namun untuk tidak mengurangi kegembiraan raden itu, terpaksa ia
melakukan juga. Demang Krucil kembali dan melanjutkan pula percakapannya dengan Kuda Panglulut. Dalam
malam yang dingin, hanya dengan bercakap-cakap dapatlah perasaan kantuk itu dapat dihalau.
Beberapa waktu kemudian, suasana makin sunyi ditelan kelarutan malam. Tiba2 Kuda Panglulut
merasa kepalanya agak pening. Urat2 pada dahinya berdenyut-denyut keras, pandang matanya
pun berbinar-binar karena gundu matanya panas sekali.
"Kenapa raden" demang Krucil terkejut ke ka melihat Kuda Panglulut berdiam diri sambil
mengurut-urut dahinya. "Kepalaku pening."
"Ah, sebentar tentu hilang" kata demang itu. Tetapi ketika melihat raden Panglulut makin
pucat, ia terkejut juga. Dan sebelum ia sempat bertanya, Kuda Panglulut lari keluar kubu dan
muntah-muntah. Demang Krucil terkejut. Walaupun ia tahu bahwa memang demikian gejala pertama dari orang
yang baru pertama meneguk tuak. Habis muntah2 tentu akan baik. Tetapi demi tata is adat,
sebagai seorang bawahan haruslah ia memberi pertolongan. Ia segera berbangkit tetapi suara
muntah2 itupun berhenti. "Ah, tentu dia sudah sembuh" pikirnya. Namun ia tetap berdiri agar dapat segera menyongsong
apabila Kuda Panglulut masuk. Tetapi sampai sekian lama belum juga tampak raden itu masuk
kedalam kubu. Mulai timbul rasa heran, menyusul kecemasan "Apakah dia pingsan . . . . "."
Serentak demang itu bergegas keluar.
"Ah ...." ba2 ia berseru tertahan. Baru dua langkah keluar kubu, tubuhnya sudah disongsong
oleh pagar ujung tombak. Muka, belakang, kiri dan kanan.
"Menyerah atau mati" seru sebuah suara yang bengis.
Demang Krucil keliarkan pandang mata.
Empat penjuru dia melihat empat lelaki berpakaian serba hitam. Dan seorang lelaki pula tengah
memanggul sesosok tubuh. Menilik kepala dan tangan orang itu terkulai ke belakang orang yang
memanggulnya, tentulah orang itu pingsan. Dan ke ka memperha kan tubuh orang itu, demang
Krucilpun melonjak "Raden Panglulut" serunya dalam hati.
Namun ujung tombak yang melekat pada dada dan punggungnya menimbulkan rasa sakit. Ia
menyadari bahwa setiap gerak tubuhnya akan menderita kesakitan.
"Siapa kalian !" segera ia berseru.
"Aku tak memerintahkan engkau bicara" bentak seorang yang di muka "masuk kedalam kubu."
Demang Krucil dan kelima orang yang diduganya tentu gerombolan gunung Butak, segera
meletakkan Kuda Panglulut di sebuah kursi dan mengikat tubuhnya.
"Demang Krucil" seru lelaki yang mukanya tertutup kain hitam "panggil pengawal2 diluar."
Demang Krucil bersangsi. Rupanya dia sedang menimang dua buah hal. Pertama, siapakah
gerangan orang berkerudung muka itu " Mengapa dia tahu namanya. Kedua, dapatkah dia
menerjang kelima orang itu"
"Asal berteriak kemudian menerjang mereka, para prajurit2 diluar tentu akan menyerbu masuk"
demikian ia mempunyai kesimpulan.
"Tak perlu mengotak-a k pikiran" seru orang itu pula "sebelum engkau sempat bergerak, kawan-
kawanku tentu sudah menusuk perutmu. Dan yang pen ng engkau ketahui, Kuda Panglulut ini
tentu segera kubunuh !."
"Siapa engkau!" seru demang Krucil. Ia sengaja melantangkan suaranya agar terdengar para
pengawal di luar kubu. "Mengapa engkau masih banyak mulut!" bentak orang itu "kecuali engkau menghendaki ma ,
baru kuberitahu namaku!."
Demang Krucil. terpaksa lepaskan maksudnya. Dengan diiring oleh empat buah tombak yang
melekat pada punggungnya ia melangkah keluar. Ia terkejut ke ka melihat pengawal2 itu ter dur.
Ia hendak marah tetapi seke ka ia teringat bahwa ia juga bertanggung jawab atas kesalahan
mereka. Tentulah mereka terkulai karena minum tuak. Saat itu baru ia menyadari bahwa tuaknya
itu memang terlalu keras. Rasanya lezat, baunya harum tetapi khasiatnya memang keras sekali.
Demang Krucil menyesal tetapi kenyataan yang dihadapi saat itu tak menyempatkan dan tak
memerlukan penyesalan. Harus dihadapi dengan akal.
Ia membangunkan mereka dengan menyepak. Prajurit2 pengawal itu gelagapan. Serentak mereka
loncat bangun "Ki demang ...." mereka terkejut ke ka melihat bau demang Krucil dicengkeram dan
lehernya dilekati sebatang pedang oleh seorang tinggi besar yang mukanya tertutup kain hitam.
"Berani bergerak, demang ini tentu kusembelih" seru orang itu dengan bengis.
"Jangan bergerak" perintah demang Krucil.
"Ki demang" seru orang itu pula "lekas suruh pengawal-pengawalmu itu memberitahu kepada
pasukanmu supaya mereka mundur dan kembali ke Singasari"
Demang Krucil terbelalak. Pucat. Bagaimana mungkin ia yang memerintahkan" Hal itu berar
dialah yang bertanggung jawab.
"Ki sanak" serunya "pimpinan pasukan bukan aku tetapi raden Kuda Panglulut."
"Engkau seorang demang, tentu menjadi wakil pimpinan pasukan. Dia masih pingsan. Lekas
perintahkan prajurit2 itu," orang tinggi besar menghardik dan mengencangkan cengkeramannya.
"Bunuhlah aku" seru demang Krucil. Ia menyadari perintah itu sama dengan membebankan,
kesalahan besar itu pada dirinya. Dan iapun tahu bahwa perbuatan itu tentu akan dihukum mati.
"Perintahkan prajurit2 itu membuang senjatanya!" seru orang itu pula.
Mengira bahwa orang telah merobah keputusannya, dan perintah itupun dak mengandung
sesuatu bahaya, demang Krucilpun segera memberi perintah agar kedua-puluh pengawal itu
menyerahkan senjatanya masing2.
Terdengar dering pedang dan tombak prajurit2 bergelimangan di tanah. Dua orang gerombolan
segera maju memungu . Tengah keduanya membungkuk tubuh memungut senjata2 itu, sekonyong
dua orang prajurit yang berdiri dibarisan belakang loncat dari tengah kawannya dan terus
menyerang kedua gerombolan itu.
Serangan yang tak terduga itu menyebabkan kedua gerombolan terkejut. Tetapi mereka tak
sempat menghindar tusukan pisau yang masih dibawa oleh kedua prajurit itu. "Huh .... Huh ...."
kedua anakbuah gerombolan itu mengaduh ke ka perut dan dada mereka termakan ujung bela .
Dan rupanya prajurit itu amat tangkas juga. Mereka menyerempaki dengan tendangan sehingga
kedua anakbuah gerombolan itu terkapar mandi darah.
"Klabang Luntas, berhen !" teriak lelaki bertubuh nggi besar yang mencengkeram bahu demang
Krucil ketika meiihat kedua kawanannya hendak menerjang kedua prajurit itu "lekas kalian kemari."
Kedua anakbuah gerombolan itu cepat menghampiri. "Gan kan aku, jangan sampai demang ini
lolos" setelah menyerahkan demang itu kepada kedua anakbuah gerombolan, lelaki bertubuh
nggi besar itu segera loncat kehadapan kedua prajurit. "Bagus, prajurit, karena serangan yang
licik, kedua anakbuahku rubuh."
Prajurit2 yang lain, serempak memberingas dan siap menyerang lelaki tinggi besar itu.
"Jika engkau bergerak, demang ini tentu akan kupenggal kepalanya" seru kedua anakbuah
gerombolan yang menguasai demang Krucil.
"Dengarkan !" seru lelaki nggi besar "yang boleh bergerak hanyalah kedua prajurit yang dapat
merubuhkan kedua anakbuahku itu. Yang lain2 jangan bergerak !."
Kedua prajurit itu masih mencekal bela dan menghadapi lelaki nggi besar dengan
memberingas. "Apa maksudmu ?" seru mereka. Rupanya mereka menyadari bahwa ndakannya
tadi tentu akan menimbulkan kemarahan gerombolan. Karena sudah terlanjur berbuat, kedua
prajurit itupun pantang mundur.
"Kalian berdua boleh maju mengerubu aku. Jika kalian menang, demang itu akan kubebaskan"
seru lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajah kedua prajurit itu memancar sinar cerah. Keduanya adalah prajurit2 pilihan yang dipilih
Kuda Panglulut untuk menjaga kubu.
"Baik, tetapi apa ucapanmu itu dapat kupercaya" seru salah seorang prajurit.
"Duapuluh orang kawanku dan demang itu, menjadi saksi atas kata-kataku itu. Jika aku ingkar,
bunuhlah" seru lelaki tinggi besar itu "nah, kalian boleh mulai."
Kedua prajurit itu bersangsi. Mereka tetap tak bergerak dari tempatnya melainkan memandang
orang tinggi besar itu dengan tertegun "Apakah engkau tak menggunakan senjata "."
"Apa engkau tak percaya bahwa kedua tanganku kosong?" balas lelaki nggi besar itu "silahkan
kalian pakai senjata, aku tetap dengan kedua tangan saja."
Setelah mendengar kata2 lelaki nggi besar itu, ke dua prajuritpun tak mau menyia-nyiakan
kesempatan lagi. Serempak keduanya berpencar lalu menyerang dari kanan dan kiri.
Lelaki nggi besar itu menyurut mundur untuk menghindar, kemudian dengan sebuah loncatan
macam harimau menerkam, dia terus menghantamkan kedua tangannya ke lengan kedua orang itu,
prak! Kedua prajurit itu menjerit kesakitan, bela mereka terlepas jatuh dan mereka hendak menyurut
mundur. Tetapi sebelum sempat bergerak, lelaki nggi besar itupun sudah mencengkeram leher
mereka lalu dengan sekuat tenaga, dia membenturkan muka kedua prajurit itu, prak ....
."Aduh ...." terdengar jeritan ngeri dan pekik dari prajurit2 lain yang ngeri menyaksikan peris wa
itu. Muka kedua prajurit itu hancur, tulang dahi, hidung dan dagu remuk, darah membasahi muka
mereka. Ke ka lelaki nggi besar melepaskan cengkeraman tangannya, kedua prajurit itupun rubuh
tak bernyawa lagi. Suasana ngeri dan seram segera berhamburan menabur perasaan kedelapan belas prajurit serta
demang Krucil. Siapakah algojo gunung Butak yang bertenaga sedahsyat itu" Demikian pertanyaan
yang menghuni dalam hati setiap prajurit.
"Prajurit2 Singasari, siapa yang hendak bela pa kepada kedua kawanmu ini, majulah" seru lelaki
bertubuh tinggi besar. "Kita serbu saja, masakan kita tak dapat mengalahkan seorang saja" bisik seorang prajurit.
Setelah rasa ngeri berangsur-angsur lenyap, timbullah kemarahan atas tindakan lelaki tinggi
besar itu. Semangat dan jiwa keprajuritan yang ditanam selama ini, mulai bertebaran bangkit.
"Serang" teriak orang itu dan kedelapan belas prajurit itupun segera menerjang lelaki nggi
besar. Ada beberapa yang menggunakan kesempatan untuk menyambar senjatanya yang belum
sempat dikumpulkan oleh kedua anakbuah gerombolan yang terluka tadi.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tinggi besar itu marah. Ia berhasil menyambar seorang prajurit yang datang paling dulu,
Kemudian diangkatnya tubuh prajurit itu dan diayun-ayunkan dengan deras untuk menyongsong
serangan prajurit2. Gemparlah seke ka suasana saat itu. Prajurit2 itu menjerit dan mengaduh ke ka dihantam oleh
tubuh prajurit yang dikuasai lelaki nggi besar itu. Mereka berdesak-desak saling pijak dan rubuh
ndih menindih. Yang terluka mandi darah, yang dak terlukapun rubuh karena dipijak dan
diterjang kawan sendiri. Bahkan yang berhasil memakai senjatanya lagi, tak sempat
menggunakannya karena mengenai kawannya sendiri.
Demang Krucil ternganga. Belum pernah ia menyaksikan pertempuran semacam itu. Lelaki
bertubuh tinggi besar itu benar2 laksana raksasa yang sedang mengamuk.
Dalam sekejab saja kedelapan belas prajurit Singasari itu habis tersapu.
"Berhen !" ba2 demang Krucil berteriak. Ia tak sampai ha melihat prajuritnya menderita nasib
yang sedemikian mengerikan.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 11 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali pas jatuh jua. Hal itu dialami pula oleh demang Krucil
yang terkenal sebagai sumber akal dan siasat.
Dia telah mengatur pasukannya dengan rapi dan terperinci. Menggunakan gelar Sepit Urang
untuk menghancurkan gerombolan pengacau yang bersarang di gunung Butak.
Tetapi dia hanya pandai mengatur pasukannya, kurang dapat menyelami kekuatan lawan.
Gerombolan sekalipun orang2 di gunung Butak itu, namun mereka dipimpin oleh seorang
pemimpin yang pandai dan memiliki selera tajam.
Sebenarnya pimpinan gunung Butak sudah mendapat laporan tentang gerakan pasukan Singasari
yang hendak menggempur mereka. Dan merekapun sudah bersiap-siap menyambut.
Pimpinan gerombolan gunung Butak mempunyai perhitungan akan kekuatan mereka dan
kekuatan lawan. Mereka lebih faham medannya tetapi kalah dalam kelengkapan senjata. Mungkin juga jumlah
orangnya. Karena itu harus dihindari pertempuran secara terbuka dan secara besar-besaran.
Medan di gunung itupun sesuai pula untuk menghindari pertempuran secara terbuka.
Merekapun tahu bahwa prajurit itu terikat dengan ketaatan pada pimpinan. Dan pimpinan
merupakan pusat atau jantung pasukan. Mati hidup, gerak henti pasukan itu tergantung semata
dari pimpinan. Maka diputuskan untuk mengerahkan usaha gerakan mereka ke-arah
penangkapan atau bahkan bila perlu, penumpasan terhadap pimpinan pasukan Singasari.
Berkat persiapan yang jauh sebelum terjadi gerakan Singasari itu, telah diperintahkan pimpinan
gerombolan di gunung Butak untuk membangun beberapa tempat tersembunyi, apabila harus
menghadapi serangan dari kerajaan Singasari, maka tempat2 di sepanjang gunung Butak itupun
memiliki banyak sekali tempat rahasia. Baik yang berupa gua maupun terowongan2 di-bawah
tanah yang dapat dipergunakan untuk penempatan kekuatan.
Itulah sebabnya ke ka Nararya memimpin anak-buahnya naik keatas, mereka tak menjumpai
barang seorang musuh. Demikian pula yang dialami lurah prajurit Sumarata sebagai pimpinan sepit
kanan dan lurah Siung Pupuh sebagai pimpinan sepit kiri.
Tetapi setelah pasukan2 Singasari itu naik ke puncak, maka bermunculanlah anakbuah
gerombolan dari tempat persembunyian masing2. Mereka menebang pohon dan
menggelundungkan batu besar untuk merintang jalan. Dan puncak dari tindakan mereka adalah
menyerbu kubu pimpinan pasukan Singasari yang diketahui mereka adalah raden Kuda
Panglulut, dibantu demang Krucil sebagai penasehat.
Kesemuanya itu tak terjangkau dalam perhitungan demang Krucil. Perhitungannya, setelah
mengatur rencana serangan dari ga arah, tentulah gerombolan gunung Butak dapat dihancurkan.
Dan keyakinan itulah yang membuai demang Krucil dalam kelengahan. Se ap kelengahan tentu
menimbulkan kesantaian dan santai akan cepat mengundang sesuatu keinginan untuk mengisinya.
Dan bagi demang Krucil, ada pengisi kesantaian yang lebih santai dari pada berkawan dengan
tuak. Tuak memang suatu kegemaran yang nikmat tetapi ada semua yang nikmat itu tentu selalu
nikmat. Ada kalanya membawa bencana. Apalagi demang Krucil mengabaikan suatu hal yang
pen ng. Bahwa saat itu dia sedang dalam medan tempur. Sekalipun lawannya gerombolan
pengacau, tetapipun juga harus dihadapi sebagaimana menghadapi musuh dalam medan perang.
Dalam waktu dan tempat seper saat itu, daklah pada tempatnya kalau dia bermanja-manja
dalam kegemaran minum. Lebih celaka pula, bukan hanya ia seorang yang hendak memenuhi
ketagihan minum tuak, pun juga Kuda Panglulut dan para penjaga, diberinya minum tuak pula.
Dan ada sebuah hal lagi yang tak pernah diduga-duga demang itu. Bahwa dalam gerombolan
gunung Butak itu terdapat seorang yang amat gagah perkasa kekuatannya.
Beberapa hal itu telah menghancurkan semangat demang Krucil. Dia dihadapi dengan kenyataan
akan kehancuran beberapa belas penjaganya. Diapun diancam kenyataan bahwa apabila berkeras
kepala, dia sendiri dan Kuda Panglulut pasti akan binasa.
Kenyataan itu harus dihadapinya. Harus pula diterima sebagai suatu kenyataan. Dan dalam
menghadapi hal semacam itu, dia cukup berpengalaman. Dia pandai mengenal gelagat dan
tahu arah angin berhembus. Itulah sebabnya ia selalu naik dalam tangga kehidupannya. Makin
mendapat kepercayaan dari raden Kuda Panglulut.
Ia berteriak menghen kan pertempuran maut itu. Dan lelaki bertubuh nggi besarpun hen kan
gerakannya. "Apa yang engkau kehendaki?" tegur demang Krucil tanpa mengurangi kegarangan nada suaranya
sebagai seorang demang. "Prajurit2 pengawal perkemahanmu disini telah hancur berantakan. Maka engkau dan raden itu,
harus ikut kami" "Kemana ?" "Kemana saja yang kami anggap perlu kehadiranmu," sahut lelaki tinggi besar itu.
"Sadarkan dulu raden Kuda Panglulut" seru demang Krucil "dialah senopati dari pasukan ini"
"Ah, tiada guna," sahut orang tinggi besar itu "dia tentu akan menolak permintaanku juga."
"Permintaan bagaimana?"
"Supaya menitahkan pasukan Singasari mundur dan tinggalkan gunung ini."
"Belum tentu " seru demang Krucil pula "mungkin raden akan mempunyai pandangan lain"
"Dan engkau sendiri?"
"Telah kukatakan, aku hanya seorang demang yang menjadi orang bawahan raden itu."
"Engkau pandai menghindari tanggung jawab," seru lelaki tinggi besar pula.
Demang Krucil tersipu-sipu.
"Terserah anggapanmu," sahut demang Krucil "tetapi tata ter b pasukan memang menggariskan
ketentuan bahwa hanya pimpinan yang berhak memutuskan sesuatu."
"Hm " desuh orang tinggi besar itu "ikut !"
"Kemana" " teriak demang Krucil terkejut.
"Orang tawanan tak berhak bertanya kecuali menurut " sahut lelaki bertubuh tinggi besar itu.
Demang Krucil pucat. Ia tahu bahwa dirinya dan raden Kuda Panglulut tentu akan dibawa ke
markas gerombolan. Membayangkan betapa siksaan yang akan dideritanya dalam sarang
gerombolan itu, ngerilah bulu-roma demang Krucil.
"Tunggu " serunya.
"Mau apa ?" tegur lelaki tinggi besar itu.
"Aku hendak mengajukan perjanjian kepadamu"
"Perjanjian" Engkau seorang tawanan, ba . ."
"Tiga kelompok pasukan Singasari sedang melakukan penyerangan ke gunung ini. Belum
diketahui siapa yang menang dalam pertempuran ini"
"Engkau menganggap fihakmu masih belum kalah ?"
"Aku hendak mengadakan perjanjian denganmu"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tertegun sesaat "Katakanlah " serunya sesaat kemudian.
"Aku bersedia memerintahkan pasukan Singasari itu mundur tetapi kalian harus membebaskan
diriku dan raden itu"
"Hm " desuh lelaki bertubuh tinggi besar seraya merenung.
Diam2 mbul harapan demang Krucil untuk memperoleh kesempatan bebas. Walaupun hal itu
akan dinilai sebagai suatu kegagalan oleh pimpinan pasukan kerajaan di Singasari, tetapi menilik
bahwa Kuda Panglulut itu putera menantu pa h Aragani yang berkuasa, tentulah takkan dijatuhi
pidana kecuali hanya teguran dan dibebaskan dari tugas. Hal itu masih ringan daripada kehilangan
jiwa. "Aku dapat menerima " kata lelaki nggi itu. Dan bersinarlah wajah demang Krucil. Tetapi
sebelum ia sempat berkata apa2, lelaki nggi besar itu sudah menyusuli kata2 "tetapi hanya
setengah saja" Demang Krucil terbeliak "Setengah" Apa maksudmu ?"
"Engkau sanggup memerintahkan pasukanmu kembali ke Singasari ?"
"Ya " sahut demang Krueil.
"Dan engkau menghendaki supaya dibebaskan bersama pimpinanmu itu ?"
"Ya" "Aku hanya menyetujui seorang saja. Engkau atau pimpinanmu itu yang bebas. Yang seorang
tetap kubawa ke puncak gunung sebagai jaminan"
"Jaminan ?" "Ya, agar Singasari jangan mengganggu gunung ini lagi, perlu aku menahan salah seorang
dari kalian berdua. Apabila Singasari tetap mengirim pasukan lagi, maka tawanan itu akan
kubunuh." "Ah," demang Krucil terhempas dalam keluhan. Pilihan yang sukar, tepatnya memojokkan
dirinya. Jika ia mengusulkan supaya Kuda Panglulut yang ditawan, tentulah ia akan dijatuhi hukuman
oleh pa h Aragani. Namun apabila dia yang menyediakan diri sebagai tawanan, kemungkinan
besar kerajaan pas tetap akan mengirim pasukan lagi ke gunung Butak dan akibatnya dia tentu
dibunuh gerombolan itu. Bedanya hanyalah, dia ma dihukum kerajaan atau ma dibunuh
gerombolan. "Syaratmu terlalu berat, ki sanak" akhirnya ia menyatakan keberatan.
"Maka lebih baik kalian berdua kubawa ke markas kami saja. Engkau bebas dari segala syarat"
"Keparat " maki demang Krucil dalam ha . Namun ia tahu bahwa kenyataan yang dihadapi saat
itu memerlukan suatu penanganan yang tepat dan sabar. Se ap dorongan nafsu kemarahan hanya
akan menimbulkan bahaya. "Apa tujuanmu hendak menawan kami?" ia berusaha menyelidiki keterangan.
"Besar sekali gunanya" kata lelaki nggi besar "dengan menawan kalian berdua, aku dapat
memaksa pasukan Singasari itu enyah dari gunung ini"
Demang Krucil terkejut. Diam2 dia mengakui memang siasat gerombolan itu tepat sekali. Dan
jelas, fihak Singasari akan menderita kerugian besar. Kehilangan dua orang pimpinan yang ditawan
dan selanjutnya tak berani mengirim pasukan ke gunung Butak.
Demang Krucil menimang-nimang dalam ha . Jika dia dan Kuda Panglulut ditawan, mengingat
Kuda Panglulut itu putera menantu pa h Aragani, tentulah pa h Aragani tak berani ber ndak
secara gegabah. Hanya dua kemungkinan yang akan ditempuh pa h itu. Damai dengan gerombolan
atau mengatur siasat lain untuk membebaskan Kuda Panglulut.
Jika ia menerima syarat lelaki tinggi besar itu, masih ada salah seorang yang akan berusaha untuk
membebaskan yang ditawan gerombolan. Dan yang harus bebas itu haruslah dirinya dulu. Ia tentu
akan berusaha keras untuk membebaskan Kuda Panglulut. Tetapi apabila dia yang ditawan dan
raden itu yang bebas, kemungkinan raden itu takkan berusaha menolongnya.
"Lekas jawab! " hardik lelaki tinggi besar.
"Ya" sahut demang Krucil serentak "aku bersedia menerima syaratmu"
"Siapa yang menjadi tawanan?"
"Raden itu" "Hm" dengus lelaki nggi besar itu "sampai besuk surya terbenam, jika pasukan Singasari masih
belum mundur dari gunung ini, raden itu akan kubunuh."
Lelaki bertubuh nggi besar itu segera melepaskan demang Krucil dan mengajak anakbuahnya
membawa raden Kuda Panglulut nggalkan tempat itu. Tak berapa lama mereka dihadang oleh
sesosok tubuh. Dia juga menutup mukanya dengan kain hitam. Hanya di-bagian mata yang diberi
lubang. "Bagaimana kakang Lembu ?" tegur orang itu ketika rombongan orang tinggi besar itu tiba.
"Berhasil " kata orang nggi besar yang dipanggil Lembu itu. Kemudian menunjuk pada Kuda
Panglulut yang masih dipanggul seorang anakbuah, dia berkata "itu si Kuda Panglulut sudah kami
bawa." "Bagus, kakang" seru orang itu "dan bagaimana dengan pasukan Singasari?"
Lelaki nggi besar segera menuturkan peris wa penyergapan di kemah pimpinan pasukan
Singasari "Demang Krucil akan menarik pasukan Singasari dari gunung ini."
"Baik, kakang" kembali orang itu berseru "jasamu besar sekali. Kuda Panglulut akan kujadikan
alat untuk menekan patih Aragani. Jagalah dia baik2"
Kemudian orang itu mengajak lelaki nggi besar dan rombongannya melanjutkan perjalanan.
Tetapi alangkah kejut mereka ke ka di tengah jalan sudah berjajar beberapa lelaki bersenjata. Dan
dibawah sinar rembulan sisa, meieka melihat jelas bahwa lelaki2 bersenjata itu adalah prajurit2
Singasari. "Setan" gumam orang itu "kakang Lembu kita dihadang prajurit2 Singasari.
"Ya" sahut lelaki nggi besar "tetapi jumlah mereka tak besar. Kita dapat menghancurkan
mereka" "Kakang Lembu, jagalah tawanan itu. Aku yang akan menghadapi mereka" kata orang itu seraya
maju menghampiri pada seorang lelaki yang diapit oleh dua orang prajurit.
"Eng. . . kau" ba2 orang itu tersurut mundur setengah langkah demi berhadapan dengan lelaki
yang dianggapnya sebagai kepala prajurit musuh" siapa ?"
"Aku Nararya " sahut orang itu "dan engkau?"
"Kepala gerombolan gunung Butak" jawab orang itu.
"Tanpa nama?" "Tidak perlu" sahut orang itu "nanti setelah ajalmu tiba, baru kuberitahu."
Orang yang diapit oleh dua prajurit itu memang Nararya. Kedua prajurit yang diperintahkan
untuk meninjau ke kemah Kuda Panglulut, bergegas kembali dengan laporan yang gugup.
"Celaka, raden " kata prajurit itu "kemah raden Kuda Panglulut diserbu gerombolan."
Nararya cepat memanggil prajurit Putung Ara "Kakang Putung Ara" katanya "kemah raden
Panglulut diserbu gerombolan. Aku harus kesana untuk membantu. Engkau tetap bertahan di
tempat ini." Dengan membawa duapuluh prajurit, Nararya bergegas turun gunung. Disitulah dia tepat
berpapasan dengan gerombolan yang membawa Kuda Panglulut.
"Apakah engkau juga menjadi prajurit Singasari" " tanya lelaki yang mengaku sebagai pemimpin
gerombalan. Nararya terkesiap. Pertanyaan itu menimbulkan dugaan bahwa agaknya orang itu telah kenal
pada dirinya. Cepat dia dapat merangkai dugaan.
"Ha, ha" ia tertawa "pertanyaanmu mengatakan siapa sebenarnya dirimu."
Pemimpin gerombolan itu terkejut "Bagaimana engkau menganggap begitu?"
"Dengan pertanyaan itu engkau menyatakan kalau kenal kepadaku. Dan yang kenal kepadaku tak
lain hanyalah Mahesa Rangkah, lurah bhayangkara yang mengawal rombongan puteri Tribuana dan
puteri Gayatri waktu bercengkerama di taman Boboci tempo hari"
Pemimpin gerombolan itu tersentak.
"Dan engkau tentulah Mahesa Rangkah!" Nararya memberi penegasan.
"Keparat! " teriak pemimpin gerombolan itu.
"Tak perlu marah dan malu mengakui namamu. Bukankah engkau sudah berani memberontak
kepada kerajaan Singasari" Mengapa engkau takut mengakui namamu" Engkau merahasiakan
dirimu atau tidak, serupa halnya. Kerajaan Singasari sudah menganggapmu sebagai
pemberontak yang harus ditangkap"
"Keparat!" teriak Mahesa Rangkah seraya menerjang.
Nararya sudah siap. Ia menghadapi bekas bekel bhayangkara itu dengan tenang. Keduanya
segera terlibat dalam serang menyerang yang seru.
Dalam pada itu Kuda Panglulut sudah sadar dari pingsannya. Ke ka menyaksikan suasana yang
terjadi dihadapannya, ia terkejut bukan kepalang. Kemana demang Krucil "
"Ah" ba2 ia mendesuh kejut pula "mengapa Nararya tengah bertempur dengan seorang lelaki
yang mukanya bertutup kain hitam ?"
Ia meronta-ronta dari bahu anakbuah gerombolan yang memanggulnya, Plak.....
"Aduh" ia menjerit ke ka kepalanya ditampar oleh tangan orang itu. Ia memang tak mampu
membalas karena kedua tangannya diikat. Namun ia nekad juga untuk berontak sekuat tenaga.
Akibatnya orang yang memanggulnya itu terpelanting rubuh bersamanya.
"Keparat" orang itu marah dan menghantamnya pula. Kuda Panglulut menjerit kesakitan karena
hidung dan mulutnya berdarah, sebuah giginya tanggal.
Dalam pertempuran itu Mahesa Rangkah mulai terdesak. Bahkan karena agak lambat menangkis,
dadanya termakan tinju Nararya sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang.
Jerit kesakitan dari Kuda Panglulut itu membangkitkan pikirannya. Sejak waktu bertempur
tadi, diam2 ia heran melihat sikap orang tinggi besar yang dipanggilnya dengan nama kakang
Lembu. Mengapa tak menggunakan siasat untuk mengancam jiwa Kuda Panglulut dan menekan
Nararya supaya menyerah"
"Goblok" dampratnya dalam hati kepada kakang Lembu itu. Kini setelah dia terhuyung-huyung ke
belakang dan mendengar jerit Kuda Panglulut, cepat2 ia loncat ke tempat Kuda Panglulut yang
masih rebah telentang di tanah. Diinjaknya leher Kuda Panglulut seraya mencabut pedang.
"Nararya" teriaknya "jika engkau tak menyerah, si Kuda Panglulut ini tentu akan kubunuh!"
Nararya terbeliak. Ia tak pernah menduga bahwa Mahesa Rangkah akan melakukan siasat
sedemikian licik. Sesaat ia tak dapat berbuat apa2 kecuali memandang Mahesa Rangkah dengan
terlongong. "Lepaskan, ki lurah" ba2 bahu Mahesa Rangkah dicengkeram orang dan disentakkan ke
belakang sehingga dia hampir terpelanting.
"Engkau Lembu Peteng!" teriak Mahesa Rangkah ke ka mengetahui siapa yang menyentak
dirinya itu. Lelaki tinggi besar itu mendengus.
"Dia tawanan penting, jangan dibunuh." serunya.
Merah muka Mahesa Rangkah. Dia bekas bekel bhayangkara keraton Singasari yang biasa


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi perintah dan ditaa . Dia kenal dengan mentri dan senopa -senopa , termasuk pa h
Kebo Anengah. Di gunung Butak, diapun merupakan salah satu dari pimpinan. Tetapi saat itu, di
hadapan anakbuah gunung Butak dan prajurit2 Singasari terutama Nararya, dia telah disentakkan
kebelakang oleh Lembu Peteng yang dikenalnya sebagai kepala kelompok gerombolan gunung
Butak. Memang demikian sifat dan perangai seorang yang berkedudukan nggi. Mudah tersinggung dan
tak mau menerima bantahan dari orang bawahannya.
"Aku bertindak dengan rencana. Mengapa engkau berani
merintangi!" teriaknya.
"Tawanan itu pen ng sekali ar nya bagi seluruh kawan2 kita. Apabila dibunuh, kerajaan
Singasari tentu akan mengirim pasukan secara besar-besaran untuk menumpas kita."
Anakbuah gerombolan yang mengiku Lembu Peteng, membenarkan pandangan Lembu Peteng.
Diam2 Mahesa Rangkah pun mengakui juga. Tetapi dia malu. Dia merasa tersinggung karena
tindakan Lembu Peteng itu dilakukan didepan sekian banyak orang.
"Aku pemimpin di gunung ini. Semua tindakanku aku yang bertanggung jawab. Apa engkau
hendak menentang aku ?" Mahesa Rangkah menantang.
"Ki lurah" seru Lembu Peteng "engkau memang salah seorang pemimpin kami tetapi bukan
pimpinan yang tertinggi. Pimpinan yang tertinggi adalah raden Pasirian"
"Keparat! Engkau berani menghina aku!" teriak Mahesa Rangkah marah "hai, kamu para
anakbuah gunung Butak, tangkap keparat si Lembu Peteng ini!."
Beberapa belas anakbuah gerombolan terkesiap. Mereka bimbang.
"Lekas! " teriak Mahesa Rangkah "barang siapa yang tak menurut perintahku, tentu kubunuh!"
Mendengar itu beberapa anakbuah gerombolan segera maju hendak menangkap Lembu Peteng.
Tetapi Lembu Peteng sudah mendahului menghajar mereka.
Tiba-tiba Nararya memberi isyarat kepada prajurit anakbuahnya untuk membantu Lembu
Peteng. Dalam pada itu diapun terus menghampiri Mahesa Rangkah "Ki Rangkah, mari kita
lanjutkan pertarungan kita yang belum selesai."
Mahesa Rangkah memang sudah menyadari bahwa suasana telah berobah ricuh. Karena diburu
oleh nafsu kewibawaannya sebagai seorang pimpinan, ia telah menghancurkan anakbuahnya
sendiri. "Sudah terlanjur. Aku harus cepat2 menyelesaikan pemuda ini," pikirnya. Sifarnya memang
masih belum terlepas dari keadaan dirinya dalam lingkungan keraton. Ia masih belum
menghapus perasaannya bahwa saat itu dia sudah bukan bekel bhayangkara keraton lagi
melainkan seorang pemberontak.
Mahesa Rangkah segera menyerang Nararya dengan pedang. Serangan itu dilancarkan dengan
cepat dan dahsyat sehingga untuk beberapa saat, Nararya harus membela diri.
Dalam pada itu anakbuah gerombolan telah menderita kekalahan. Menghadapi Lembu Peteng
yang gagah perkasa dan prajurit2 Singasari, akhirnya susul menyusul anakbuah gerombolan itu
rubuh. Prajurit2 Singasari itu hendak menolong Kuda Panglulut tetapi merasa masih ragu2. Mereka takut
kepada Lembu Peteng. Tiba2 Lembu Peteng memberi isyarat kepada mereka supaya menolong
Kuda Panglulut. Mahesa Rangkah menyadari apa yang dihadapi saat itu. Jelas Lembu Peteng telah berhianat dan
rencana membekuk Kuda Panglulut yang sudah berhasil, telah hancur berantakan. Dan kini dirinya
terancam bahaya. Mungkin terbunuh, mungkin tertangkap oleh lawannya.
Dia sudah menyadari bahwa akibat dari ndakannya memberontak kepada kerajaan tentulah
ma . Sebenarnya ia memang mempunyai hubungan dengan gerombolan gunung Butak yang
dipimpin oleh Joko Pasirian. Dan Joko Pasirian itu tak lain adalah putera dari Linggapa dari tanah
Mabibit yang telah memberontak kepada baginda Wisnuwardhana. Dalam pertempuran, Linggapa
telah ditumpas. Pasirian tetap melanjutkan perjuangan mendiang ayahnya. Dia tak mau tunduk pada kerajaan
Singasari. Pasirian telah berhasil menghimpun kekuatan di gunung Butak dan ba2 pula ia mendapat
tambahan tenaga baru yang amat berharga yani Mahesa Rangkah, bekel bhayangkara keraton
Singasari. Penggabungan diri Mahesa Rangkah dengan gerombolan gunung Butak itu mbul karena rasa tak
puas dalam ha bekel bhayangkara itu terhadap baginda Kertanagara yang ber ndak sewenang-
wenang memecat pa h sepuh empu Raganata yang setya, demung Wiraraja alias Banyak Wide dan
tumenggung Wirakreti juga dilorot kedudukannya.
Sebenarnya Mahesa Rangkah telah menyusun kekuatan dalam kalangan bhayangkara keraton
untuk mengadakan ndakan menculik pa h Aragani yang dianggapnya sebagai biangkeladi dari
kericuhan dalam pemeriniahan kerajaan Singasari. Tetapi dia kalah cepat dengan patih Aragani.
Setelah diangkat menjadi pa h bersama Kebo Anengah, pa h Aragani dengan gesitnya telah
melakukan beberapa penangkapan dan pemecatan pada beberapa mentri maupun senopa yang
dianggapnya menjadi pendukung pa h sepuh Raganata. Bahkan diapun mengadakan pembersihan
dikalangan bhayangkara. Mahesa Rangkah tak dapat berbuat apa2 kecuali geram. Namun dia tak putus asa. Dia tetap
hendak menunggu perkembangan dan dia yakin pasti akan tiba perobahan yang menguntungkan.
Tiba2 Mahesa Rangkah melihat suatu k yang terang, bahkan akan memancarkan sinar gilang
gemilang apabila dapat menguasainya. Ia menemukan suatu batu mustika yang apabila dia berhasil
dapat menggosoknya, kelak pas akan merupakan mus ka yang ada taranya. Batu mus ka itu tak
lain adalah diri kedua puteri baginda Kertanagara, yani sang dyah ayu puteri Tribuwana dan puteri
Gayatri. Sebagai seorang muda, iapun tak lepas dari alam khayalan yang muluk. Diapun menyadari
bahwa dirinya dikaruniai dewata dengan tampang yang cakap. Tiap hari dapatlah ia melihat dan
dekat dengan kedua puteri itu. Sebagai seorang kepala bhayangkara dalam dia mempunyai
kesempatan besar untuk setiap saat menghadap kedua puteri itu. Maka peluang itu tak disia-
siakannya. Ia berusaha keras untuk menarik perhatian kedua puteri baginda. Bahkan karena
dirangsang nafsu, ia telah pergi pada seorang pertapa untuk meminta aji Pengasihan. Aji yang
dapat menundukkan hati wanita. Diapun menjalankan laku puasa dan lain sebagaimana yang
diajarkan pertapa itu. Memang tampaknya kedua puteri baginda itu bersikap ramah dan baik kepadanya. Tetapi ia
belum yakin apakah dibalik sikap keramahan itu, juga terkandung suatu rasa untuk menyambut
permohonannya. Atau apakah dia hanya bertepuk sebelah tangan.
Menurut penilaiannya, jalan yang paling sempurna antuk mencapai segala yang diinginkan, baik
kebahagiaan diri peribadi maupun untuk membalas budi bekas pa h sepuh Raganata adalah
berjuang untuk merebut ha ke dua puteri baginda. Apabila berhasil menjadi menantu raja,
barulah segalanya dapat ia laksanakan.
Di samping usahanya ke dalam keraton Singasari, ke luar diapun melancarkan ndakan2 untuk
meretakkan hubungan antara Daha dengan Singasari. Rencana ini disetujui oleh Pasirian, pemimpin
gerombolan gunung Butak. Demikian usaha2 Mahesa Rangkah, seorang peribadi bekel bhayangkara dalam keraton Singasari,
Dia selalu ingat akan budi empu Raganata yang tatkala masih menjabat pa h, telah mengangkat
dirinya sebagai bekel bhayangkara.
Tetapi usaha yang tampaknya berkembang baik itu telah hancur berantakan bagaikan awan
tersapu angin, ke ka mendengar berita tentang keputusan baginda yang hendak menjodohkan
salah seorang puteri raja dengan raden Ardaraja, pangeran anom Daha. Betapa marah dan kalap
Mahesa Rangkah saat itu sehingga ia berani mengambil ndakan nekad. Ikut dalam rombongan
pengiring patih Aragani dan hendak membunuh pangeran Ardaraja.
Walaupun rencananya itu gagal namun ia sudah terlanjur basah. Maka ia nekad melakukan
pencegatan pada rombongan patih Aragani di kaki gunung Kawi. Keputusannya, jika dia harus
meninggalkan keraton Singasari, patih Aragani pun harus mati juga. Dengan demikian apabila ia
gagal untuk meraih cita-citanya merebut hati kedua puteri baginda, paling tidak dia dapat
membalaskan hinaan yang diderita patih sepuh Raganata.
Ke ka rencana penyergapan rombongan pa h Aragani itu sudah menjelang berhasil, dengan
tiba-tiba digagalkan Nararya.
Kini berbalik gunung Butak yang diserang oleh pasukan Singasari.. Diam2 ia gembira pula karena
mendapat laporan bahwa pimpinan pasukan kerajaan itu berada di tangan raden Kuda Panglulut,
putera menantu patih Aragani yang dibencinya.
Ia segera mempersiapkan rencana. Dan berhasillah ia menyergap Kuda Panglulut yang
dijadikannya tawanan dan hendak dibawa ke markas. Diapun sudah merancang rencana lebih jauh,
bagaimana ia harus memberi tekanan kepada pa h Aragani. Tetapi lagi-lagi rencananya itu
berantakan ketika tiba-tiba Nararya muncul menghadang.
Nararya! Nararya! Berulang kali hanya pemuda itu yang selalu muncul menghadang yang
direncanakan. Ia benci sekali kepada pemuda itu sejak peristiwa di taman Boboci. Ketika
melihat puteri Tribuana menganugerahkan sebentuk cincin kepada Nararya, betapa ingin ia
merobek-robek tubuh pemuda itu.
Saat itu dia berhadapan pula dengan Nararya. Ingin ia menumpahkan segala dendam
kebenciannya terhadap pemuda itu. Tetapi ternyata ia tak dapat berbuat banyak. Pemuda itu
digdaya sekali. Dan yang lebih membuat darahnya meluap adalah ke ka diketahuinya bahwa
Lembu Peteng telah berhianat. Dan Kuda Panglulutpun hendak dibebaskan oleh prajurit-prajurit
Singasari. "Aku harus cepat ber ndak! " ha nya menggeram marah dan secepat itupun ia loncat mundur,
menghantam prajurit-prajurit yang hendak menolong Kuda Panglulut "Mampus engkau, babi!"
Terdengar prajurit-prajurit itu mengaduh dan berlamuran darah ke ka pedang Mahesa Rangkah
menyambar-nyambar laksana kilat. Bahkan ada beberapa yang rubuh pula.
Melihat itu Lembu Peteng marah. Dia loncat menerkam dan menepis tangan Mahesa Rangkah.
Demikian pula Nararya. lapun loncat untuk menolong Kuda Panglulut. Disambarnya tubuh pemuda
itu lalu dibawanya kepada prajurit2 Singasari "Jagalah raden Panglulut ini."
Kemudian ia loncat pula ke tengah gelanggang. Tepat pada saat itu Lembu Peteng tengah
melancarkan serangan yang dahsyat. Ia menubruk lawan tanpa menghiraukan lagi bahwa lawan
membawa pedang sedang dia hanya bertangan kosong.
"Jangan kakang" Nararya berseru mencegah. Tetapi terlambat. Dengan suatu gerak yang lincah,
Mahesa Rangkah berhasil melepaskan diri dari ancaman Lembu Peteng. Kemudian dengan sebuah
gerak yang tak terduga-duga, ia berbalik tubuh seraya menyabat, cret....
"Hm ..." Lembu Peteng mendesuh ke ka bahunya terbacok pedang. Darah segera mengucur
deras. Berhasil dengan serangan itu, Mahesa Rangkah cepat hendak menyusuli pula dengan sebuah
tabasan yang kali ini ditujukan ke kepala orang "Penghianat, ternyata engkau komplot si bedebah
Nararya itu!" Tetapi ke ka pedang tengah terangkat keatas, ba- ba bahunya dicegkeram orang dan sebelum
ia sempat berbuat apa-apa, tubuhnya telah disentakkan kebelakang, lengannyapun ditepis keras
"Ih . , . " Mahesa Rangkah terpelan ng, pedangnya terpental jatuh. Dengan kerahkan semangat,
barulah dia berhasil untuk mempertahankan keseimbangan tegaknya.
"Pengecut !" dia memaki ketika melihat yang melakukan sentakan dan tepisan itu Nararya.
"Hm, silahkan engkau menghambur hambur makian," seru Nararya tenang "yang pen ng aku
hendak menyelamatkan jiwa kakang Lembu itu."
"Keparat, kalian telah berkomplot untuk menyelundup kedalam markas gunung Butak"
"Serupa dengan engkau yang telah menyelundup kedalam keraton Singosari. Apa bedanya?"
balas Nararya. "Engkau licik, menyerang aku dari belakang !" Mahesa Rangkah mengulang pula
kemarahannya. "Aku hanya berusaha menolong jiwa kakang Lembu. Jika aku ber ndak licik, bukankah amat
mudah untuk menusukmu dari belakang. Aku dak melakukan hal itu melainkan menyentakkan
tubuhmu ke belakang saja"
"Mahesa Rangkah, mari lawanlah aku!" Lembu Peteng melangkah maju terus hendak
menyerang. "Jangan kakang Lembu," cegah Nararya, "biarlah aku yang menghadapinya"
"Hm, kalian boleh maju serempak agar aku dapat menghemat waktu dan tenaga," seru
Mahesa Rangkah mengejek. Ia takut kalau kedua orang itu akan mengerubutinya maka sengaja
ia mengucapkan kata-kata ejekan itu. Ia tahu Nararya pasti takkan berbuat sedemikian rendah.
"Engkau telah berhasil melukai kakang Lembu," kata Nararya "aku mengagumi kedigdayaanmu.
Oleh karena itu aku ingin sekali mencari pengalaman dan mengaji pelajaran dari engkau."
"Hm " dengus Mahesa Rangkah "percuma. Lekaslah engkau perintahkan prajurit-prajuritmu yang
sekian banyak untuk menangkap aku."
"Ki sanak," seru Nararya "engkau seorang ksatrya, aku menghorma mu. Tetapi engkaupun
kuminta hendaknya menghorma diriku juga. Jangan engkau selalu menghina aku menyebut
sebagai seorang pengecut yang hendak main kerubut."
"Lalu?" "Marilah kita bicara secara terbuka dan memegang sifat keksatryaan," kata Nararya "aku hendak
mohon ga buah keterangan kepadamu. Dan dari keterangan itu, dapatlah kujadikan
pertimbangan untuk langkah dan sikap kami kepadamu."
"Hm, apa yang hendak engkau tanyakan?"
"Pertama " kata Nararya "siapa pemimpin gunung Butak ini?"
"Joko Pasirian"
"Siapa Joko Pasirian?"
"Putera dari Linggapati dari Mahibit yang dibinasakan rahyang ramuhun Wisnuwardana"
"Yang kedua," kata Nararya pula "apa tujuan Joko Pasirian mengumpulkan orang di puncak
gunung Butak ini ?" "Membalas dendam atas kematian ayahnya yang telah dibunuh raja Singasari"
"Terakhir " kata Nararya "mengapa ki sanak menggabungkan diri dengan mereka" Apa tujuan ki
sanak?" "Aku benci kepada pa h Aragani yang telah memfitnah pa h sepuh empu Raganata sehingga
beliau dilorot sebagai adyaksa di Tumapel"
"Hanya itu ?" Nararya menegas "ah, tak mungkin. Jika soal itu tak perlu ki sanak harus
menggabung dengan gerombolan gunung Butak. Engkau dapat memperjuangkan hal itu dari
dalam." "Aku terdesak ...." ba- ba Mahesa Rangkah hen kan kata katanya. Ia menyadari kalau
Bentrok Rimba Persilatan 13 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pahlawan Dan Kaisar 10
^