Dendam Empu Bharada 11
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 11
Tiba2 ia melihat secarik sampul terhampar dilantai. Dipungutnya sampul itu. Ke ka membaca
isinya, ia terbelalak "Surat dari pa h Aragani" Dia hendak memberi peringatan kepadaku supaya
malam ini berjaga-jaga" Adakah dia sudah tahu akan kemungkinan penjahat itu hendak
membunuh aku" " tanyanya seorang diri "jika demikian, jelas dia harus tahu siapa pembunuh gelap
itu." Namun pangeran itu dapat bersikap tenang. Tak mau malam itu ia membuat gaduh dan
mendatangi ke-tempat patih Aragani. Ia akan menunggu sampai esok hari baru akan bertanya.
Demikian malam itu telah berlalu tanpa suatu peris wa lain yang menggemparkan. Keesokan
harinya pangeran Ardaraja mengunjungi patih Aragani.
Agak terkejut pa h Aragani menyambut pangeran Ardaraja yang sepagi itu sudah
mengunjunginya. Diperha kannya wajah pangeran itu tenang2 saja. Adakah semalam tak terjadi
suatu apa" Pikir patih Aragani.
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk berhadapan maka pa h Aragani pun menyatakan
keheranannya mengapa sepagi itu pangeran datang kepadanya.
"Terima kasih paman patih" ujar pangeran "bahwa engkau telah memberi peringatan kepadaku."
"O "desuh pa h Aragani seke ka menyadari mengapa pangeran itu datang kepadanya "tetapi
gusti pangeran, tidakkah semalam terjadi sesuatu "."
"Ada " pangeran mengangguk "hampir saja seorang penjahat membunuhku."
"Oh " pa h Aragani mendesuh "tetapi bukankah raden sudah bersiap menjaga se ap
kemungkinan seperti yang kuhaturkan dalam surat itu "."
Pangeran Ardaraja gelengkan kepala.
"Tidak, paman " sahutnya "aku dur dengan nyenyak sehingga bahuku yang kiri ini te luka" ia
menunjukkan bahu kirinya yang dibalut dengan kain dan masih berwarna merah.
Patih Aragani terbelalak.
"Raden " serunya "mengapa raden sampai terluka" Bukankah paman sudah mengirim berita
kepada raden "."
"Ya " pangeran Ardaraja mengangguk "tetapi setelah peristiwa itu selesai."
"Hah " " patih Aragani ternganga "apa maksud raden" Sukalah raden memberi penjelasan
kepada paman." "Aku mendapatkan surat dari paman itu bertebaran di lantai."
"Hai " teriak pa h Aragani seper dipagut ular " dakkah raden menerima surat itu dari prajurit
yang kuutus"." Ardaraja gelengkan kepala "Tidak pernah orang datang kepadaku, paman pa h. Yang datang
hanyalah seorang penjahat berkerudung kain hitam mukanya, hendak membunuh aku dan
meninggalkan surat dari paman itu" '
Dalam mengucapkan kata2 itu nada Ardaraja makin bengis. Pa h Aragani yang cerdik dapat
menangkap maksud kata2 pangeran itu. Jelas pangeran itu hendak menuduh bahwa pa h Aragani
lah yang mengirim pembunuh itu.
"Ah, dak, raden" wajah pa h Aragani agak pucat "tak mungkin paman akan mengirim surat itu
kepada seorang pembunuh. Jelas paman telah mendapat laporaran dari pengawal yang paman
suruh, mengatakan bahwa surat itu telah raden terima.."
"Dimanakah prajurit pengawal yang paman utus itu?" tanya Ardaraja.
Aragani segera menitahkan pengawal untuk memanggil pengawal yang di tahkan membawa
surat kepada Ardaraja semalam "Hai, benarkah engkau sudah menyerahkan surat itu kepada
pangeran Ardaraja?" Ke ka melihat pangeran Ardaraja berada disitu, gemetarlah prajurit Itu "Hamba . . . mohon
ampun, gusti patih . . . ."
Aragani makin curiga "Lekas katakan !."
Dengan suara terbata-bata pengawal itu segera menghaturkan laporan apa yang dialaminya
semalam ketika hendak menghaturkan surat patih Aragani kepada pangeran Ardaraja.
"Bedebah, engkau berani bohong kepadaku," pa h Aragani terus mencabut keris lalu hendak
ditusukkan ke tubuh pengawalnya.
"Harap paman pa h jangan tergesa membunuhnya "cegah Ardaraja "aku hendak bertanya lebih
lanjut kepadanya.." Kemudian pangeran itu bertanya kepada pengawal, mengapa pengawal itu mau menyerahkan
surat dari patih Aragani kepada orang itu.
"Dia mengatakan kalau ditugaskan paduka sebagai pengawal keraton paduka, gus pangeran "
pengawal itu lalu menceritakan apa yang dikatakan orang berkerudung kain hitam kepadanya.
"Dan engkau percaya " " pangeran menegas.
"Percaya, gusti."
"Mengapa "."
"Karena hamba belum tahu akan seluk beluk keraton paduka. Kedua, hamba diancamnya hendak
dibunuh apabila tak mau menyerahkan surat itu. Dan ke ga kali, hamba mbang alasan yang
dikemukakannya itu cukup beralasan."
"Keparat! "pa h Aragani mendamprat pula "mengapa engkau sebodoh kerbau tercocok hidung
?" Dengan gemetar pengawal itu memohon ampun atas segala kesalahannya. Dan Aragani karena
merasa sebagai tetamu, tak layak kalau membunuh prajurit di-depan dan di tempat keraton orang
"Hukumanmu, akan kuputuskan kelak apabila sudah berada di pura Singasari."
"Paman pa h "kata Ardaraja. "sekarang persoalan ini sudah jelas. Walaupun bukan paman yang
menitahkan pembunuh itu, tetapi paman tentu tahu siapakah orang itu."
"Bagaimana raden dapat menduga begitu "."
"Selama belasan tahun ini tak pernah terjadi seorang luar, terutama penjahat, mampu melalui
penjagaan yang ketat dalam keraton Daha. Baru kali inilah peristiwa itu terjadi "'
"Setelah paman datang ini ?" patih Aragani menegas.
Ardaraja mengangguk "Betapapun aku hendak menghindari pernyataan itu tetapi kenyataan
memang demikian.." Patih Aragani tertegun. "Aku bukan menuduh bahwa paman pa hlah yang menyuruh penjahat itu tetapi kupercaya
paman tentu tahu siapa orang itu.."
Pa h Aragani memang sudah menduga arah tujuan kata2 pangeran Ardaraja. Dan iapun sudah
siap untuk memberi jawaban "Raden, paman duga orang itu tak lain adalah prajurit dalam
rombongan pengiring paman yang telah merubuhkan beberapa bekel dan tumenggung Pencok
Sahang tadi.." "Paman masih menduga?" pangeran Ardaraja agak mengernyut dahi.
"Selama belum mengetahui pas , paman tak berani mengatakan dengan tegas" sahut Aragani
"dan dugaan paman itu berdasar karena prajurit itu telah lenyap dari rombongan pengiring
paman.." "Siapakah dia, paman" "Ardaraja mendesak.
"Dia sebenarnya seorang bekel bhayangkara dalam keraton Singasari " Aragani memberi
keterangan dengan terus terang agar dirinya bersih dari tuduhan "dia menghadap paman dan
mohon supaya diperkenankan ikut serta dalam rombongan pengiring paman ;".
"Apa alasannya"."
"Karena dia ingin sekali dapat melihat keadaan keraton Daha dan mengenal para mentri
senopati Daha." "Siapakah namanya, paman"."
"Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah" " Ardaraja kerutkan kening seper hendak mengingat-ingat. Tetapi ia tak
bersua dengan nama itu dalam ingatannya.
"Dapatkah paman menduga-duga, mengapa dia hendak membunuh aku" " tanyanya pula.
Pa h Aragani tak lekas menjawab melainkan berdiam diri beberapa saat. Ia masih
mempertimbangkan bagaimana harus memberi jawaban.
"Menurut kabar2 yang selama ini paman terima, bekel Mahesa Rangkah itu memang sudah
melampaui batas-batas tugas yang di berikan kepadanya. Dia telah mendapat kepercayaan dari
baginda untuk mengepalai prajurit bhayangkara yang menjaga puri keputren. Diapun sering
di tahkan kedua puteri baginda, puteri Tribuwana dan puteri Gayatri untuk mengawal apabila
kedua puteri baginda itu bercengkerama keluar keraton.."
"O " desuh Ardaraja.
Diam2 pa h Aragani girang. Ia melihat suatu kesempatan untuk menusukkan jarum2 berbisa ke
benak putera akuwu Jayakatwang itu, agar mbul rasa curiga dan cemburu terhadap hubungan
kedua puteri baginda Kertanagara dengan bekel Mahesa Rangkah.
"Menurut beberapa prajurit bhayangkara yang menjadi bawahan bekel Mahesa Rangkah itu,
tampaknya bekel itu menaruh hati pada kedua puteri terutama terhadap puteri Tribuwana.."
Aragani berhen sejenak untuk menyelimpatkan pandang ke wajah pangeran itu. Dilihatnya
wajah pangeran itu bertebar merah.
"Makin lama makin jelas ngkah bekel Mahesa Rangkah itu dalam usahanya untuk memikat ha
gusti puteri Tribuwana " katanya lebih lanjut.
"Hm, adakah puteri juga membalas perhatian kepadanya" " Ardaraja mulai terpikat.
"Dalam hal itu, paman belum menerima laporan yang jelas " kata Aragani "maklumlah, tak
mungkin prajurit2 bhayangkara itu dapat mengetahui sikap dan isi hati seorang puteri agung
seperti gusti puteri Tribuwana. Hanya paman pernah mendapat laporan yang agak dapat
dijadikan dasar rabahan tentang hubungan puteri dengan bekel itu.."
Ardaraja terbeliak. "Silahkan paman menceritakan " katanya. Pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa pada
waktu kedua puteri baginda bercengkerama di taman Boboci, pernah hendak diganggu oleh
sekelompok lelaki tetapi dapat dihajar oleh bekel Rangkah. Puteri Tribuwana memberi pujian
kepada bekel itu. Dahi Ardaraja makin mengerut dalam.
"Paman " katanya sesaat kemudian dalam nada bersungguh -sungguh "Aku ingin aku
bertanyakan sesuatu kepada paman pa h. Tetapi lebih dahulu, sukalah paman memberi maaf
apabila pertanyaanku itu paman anggap lancang ataupun kurang susila.."
"0h.. sudah tentu paman akan merasa gembira apabila dapat menjawab pertanyaan raden.
Silahkan raden melimpahkan pertanyaan itu, takkan kiranya paman mengambil di ha ataupun
menganggap yang bukan pada tempatnya.."
"Baik, paman " kata Ardaraja "apakah sesungguhnya yang terkandung alam amanat baginda yang
paman bawa ke Daha ini "."
Aragani tertawa. "Amanat suci yang bermaksud baik agar antara Singasari dan Daha terikat dengan persatuan
keluarga " sahut Aragani.
"Tidakkah dalam amanat itu mengandung sesuatu yang lain dari itu"."
Aragani yang cerdik sudah dapat menduga kemana arah tujuan pertanyaan Ardaraja itu. Namun
ia masih pura2 menegas "Apakah yang raden maksudkan"."
"Tidakkah anugerah baginda itu mengandung tujuan lain disebabkan karena sesuatu"."
"Sesuatu tentang" " desak Aragani.
"Tentang puteri baginda yang hendak dijodohkan kepadaku itu " akhirnya karena terdesak
Ardarajapun meluapkan isi hatinya.
Aragani tertawa. Diam2 ia gembira karena Ardaraja mulai terpancing "Paman rasa tidak, raden."
"Paman " kata Ardaraja "tahukah paman siapakah kiranya puteri baginda yang hendak baginda
anugerahkan kepadaku itu "."
"Paman sendiri kurang jelas, raden " sahut Ardaraja "baginda mempunyai beberapa orang puteri
yang cantik. Paman percaya, tentulah baginda takkan mengecewakan harapan raden."
"Mudah-mudahan apa yang paman katakan itu, akan terlaksana sebagai anugerah baginda.
Dalam hal anugerah itu, bukan soal rupa, bukan soal ilmu kepandaian, bukan pula soal harta dan
benda yang kuharapkan, paman. Melainkan soal kesucian, jiwa dan ragalah yang hamba
dambakan," Patih Aragani tahu apa yang dimaksud dalam kata-kata pangeran itu. Pangeran itu secara
halus menolak akan puteri Tribuwana dan Gayatri yang walaupun belum terbukti, tetapi sudah
terselubung asap desas desus yang kurang layak. Diam2 Aragani gembira sekali. Tusukan
jarumnya telah berhasil membuat Ardaraja marah. Pada hal jelas, puteri Tribuwana itulah yang
berhak atas tahta kerajaan Singasari. Yang jelas apabila kelak Ardaraja menerima hadiah
puteri baginda Kertanagara, tentu masih harus berebut kekuasaan dengan calon suami puteri
Tribuwana. Yang jelas pula, calon suami puteri Tribuwana itu tentulah bukan orang Daha.
Legalah sudah hati patih itu;
"Pendirian raden itu benar2 pendirian seorang pangeran yang luhur" ia menambah kata2 untuk
mengikat pendirian Ardaraja agar jangan berobah haluan "akan paman bantu sekuat kemampuan
paman agar seri baginda dapat menyelami dan berkenan meluluskan harapan raden."
Demikian setelah menghadap akuwu Jayakatwang dan menerima persetujuan dari raja Daha itu,
akhirnya patih Aragani dan rombongannya meninggalkan Daha.
"Kepergianku ke Daha kali ini, sungguh langkah yang beruntung "patih itu masih merenung dalam
ratha yang membawanya menyusur sepanjang jalan ke Singasari. Walaupun di kanan kiri tampak
pemandangan alam yang permai, namun perha annya hampa tercurah pada peris wa2 yang telah
dialaminya selama di keraton Daha.
"Sungguh tak kusangka, bahwa dengan sekali tepuk aku dapat membunuh dua lalat."
Pikirnya lebih lanjut "Ardaraja tak mungkin menjadi menantu raja yang berhak atas tahta
Singasari. Mahesa Rangkah pun tentu tak berani pulang ke keraton Singasari lagi, ha, ha " ia
tertawa gembira. Kemudian ia merenungkan sikap dan ucapan akuwu Jayakatwang "Jelas Jayakatwang itu
masih mendendam kepada Singasari. Cerita yang diperdengarkan kepadaku, menunjukkan
pendiriannya. Bahwa idam-idamannya untuk membangun Daha lagi, harus dilakukan dengan
usahanya sendiri. Dia menolak suatu pemberian dari baginda Kertanegara, andai baginda
hendak memberi kedaulatan penuh kepada Daha. Diapun tak ingin mencari bantuan kepada lain
kerajaan dalam merebut, kebebasan Daha dari kekuasaan Singasari. Dia akan merebut
kebangkitan Daha dengan tangannya sendiri."
"Hm " desuh patih Aragani "itulah sebabnya Daha giat mengumpulkan senopati dan
memperbesar pasukannya. Menilik jumlah yang begitu besar dari senopati-senopati Daha yang
ikut hadir dalam perjamuan malam itu, memang tampaknya Daha makin kuat. Jika senopatinya
berjumlah sekian banyak tentulah prajuritnya juga besar sekali jumlahnya. Berbahaya," patih
Aragani tersentak dari lamunan ketika tertumbuk akan dugaan itu.
"Ah, mengapa seri baginda masih terlelap dalam lamunan untuk merangkul Daha dengan ikatan
keluarga " " makin bergejolak perasaan pa h itu "ibarat orang memelihara anak macan. Betapapun
anak macan itu diberi daging sekenyangnya, dipelihara baik2, tetapi kelak apabila sudah besar
tentu akan menerkam yang memelihara."
"Sebelum anak macan itu tumbuh kukunya, dia harus dibasmi" pikirnya lebih lanjut "tetapi
bagaimana caranya. Untuk menyadarkan baginda Kertanegara akan bahaya itu, rupanya sukar.
Baginda menaruh kepercayaan yang amat besar kepada akuwu Jayakatwang. Hm" ia mendesuh.
Pikirannya melayang-layang untuk memaksakan keluarnya suatu
k terang tetapi makin dipaksa,
bukan titik terang yang keluar, kebalikannya pikirannya malah keruh, kepalanyapun panas.
"Ah " ia melepaskan pandang ke tegal yang hijau. Nun jauh di sebelah utara, tampak gunung
Argapura menjulang dengan megah. Jauh di belakangnya tampak pula bayang2 gunung Arjuna.
"Demang Kar ka " ba2 ia berteriak memanggil demang Kar ka yang mengepalai barisan
pengiringnya. Terdiri dari empatpuluh prajurit berkuda kurang satu yani bekel Mahesa Rangkah
yang telah melarikan diri itu.
Seorang lelaki bertubuh tegap, segera mencongklangkan kudanya yang berbulu merah kearah
ratha patih Aragani. "Demang Kartika siap menerima perintah gusti patih " serunya.
"Sampai dimanakah kita sekarang ?" tanya patih Aragani.
"Kita telah melalui desa Ngantang dan kini melintasi watek-bumi Daha, dalam perjalanan
sepanjang kaki gunung Kelud, gusti" kata demang Kartika.
"Setelah itu kita akan mencapai telatah Kawi, bukan"."
"Benar, gusti" "Ki demang " kata pa h Aragani pula "kudengar bahwa daerah Kawi itu subur tanahnya dan
mengeluarkan beberapa macam buah-buahan yang lezat."
"Benar, gusti."
"Dan kudengar pula bahwa di gunung Kawi banyak tumbuh palapa."
"O, hamba kurang tahu, gusti."
"Engkau tahu buah palapa itu, demang"."
"Kalau hamba tak salah, palapa itu adalah semacam rebung dari sejenis pohon bambu yang
daunnya kecil dan berwarna wulung."
"Ya, benar" kata pa h Aragani "palapa itu lezat sekali untuk lalap, dicampur dengan parutan
kelapa." "O " demang Kartika mengangguk.
"Tetapi sukar sekali mencari palapa itu, karena pohonnya jarang terdapat dan dak sembarang
tempat tumbuh pohon itu. Oleh karenanya makanan itu merupakan hidangan mewah dari para
priagung luhur." Kembali demang Kartika hanya mengangguk.
"Demang " seru patih Aragani "sudahkah engkau pernah memakannya"."
"Belum gusti" sahut demang Kartika.
"Baiklah " kata pa h Aragani "nan apabila ba di telatah Kawi, kita berhen dan akan
kutitahkan prajurit untuk mencari buah itu. Engkaupun akan ku-hadiahi bagian, demang."
"Terima kasih, gusti patih " demang Kartika menghaturkan terima kasih.
"Demang" tiba2 patih Aragani berseru pula "sekalian tangkapkan juga burung kepodang."
Demang Kartika terkesiap tetapi buru2 ia mengia-kan saja.
"Burung kepodang itu akan kupelihara di kepa han. Apabila kelak anak perempuanku, isteri
raden Kuda Panglulut itu mengandung, akan kusuruh dia makan burung kepodang agar puteranya
kelak berwajah rupawan".
Demikian ratha pa h Singasari itu melanjut pula. Debu berkepul-kepul sepanjang jalan yang
dilintasi ratha yang ditarik oleh delapan ekor kuda tegar. Sebagai pa h Singasari yang menjadi
utusan raja, pa h Aragani diperkenankan baginda untuk naik ratha kebesaran dan diiring oleh
sedomas atau empat puluh pasukan berkuda.
Pa h Aragani memang ingin menunjukkan kepada orang Daha, akan kebesaran seorang pa h
Singasari. Untuk menambah kewibawaan dan keagungan dari amanat seri baginda yang dibawanya
ke Daha itu. Patih Aragani memang gemar membanggakan kekuasaannya.
~DewiKZ~Ismoyo~MCH~ II Kunjungan pa h Aragani beserta rombongan pengiringnya ke Daha, diketahui juga oleh Nararya
dan kawan2 yang bermarkas di gua Selamangleng.
Pa h Singasari berkunjung secara resmi ke Daha, tentu membawa berita pen ng. Nararya
menyebar anak-buah bekel Saloka untuk mencari berita.
Ke ka Nararya mendapat laporan bahwa kunjungan pa h Aragani ke Daha itu bermaksud untuk
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikan amanat seri baginda Kertanagara hendak memungut putera menantu kepada
pangeran Ardaraja, Nararya terkejut. Entah apa sebabnya, ada sesuatu yang meresahkan pikiran
hatinya mendengar berita itu.
Seke ka terbayanglah Nararya akan kedua puteri baginda Kertanagara yang pernah dijumpainya
di taman Boboci tempo hari.
"Adakah salah seorang dari kedua puteri itu yang hendak dijodohkan dengan pangeran Ardaraja
" ia bertanya dalam hati.
Pertanyaan yang terjawab penuh keraguan dan kecemasan, bersumber pada reka dan dugaan
pikirannya sendiri. "Tentulah kemungkinan yang paling besar, baginda akan menjodohkan
pangeran Ardaraja dengan puteri yang sulung, gusti ayu Tribuwana " Sebuah jawaban menampil,
"Dan tak mungkin kedua puteri itu akan baginga berikan semua kepada pangeran Ardaraja" lain
jawaban timbul. "Ya, tentu hanya salah seorang dari kedua puteri itu " makin berat kecenderungan dugaannya
tetapi pada lain saat ia menghela napas "ah, mengapa harus kedua puteri itu yang diberikan
kepada raden Ardaraja ....."
Tiba pada pemikiran itu, ia merasa kehilangan sesuatu. Aneh. Mengapa ia mempunyai perasaan,
demikian, ia sendiri tak tahu, tak mengerti. Tak tahu tetapi merasa. Tak mengerti tetapi kecewa.
Pikirannyapun melayang kembali ke saat2 ia berhadapan dengan kedua puteri Tribuwana dan
Gayatri. Saat itu ia merasa seper melihat sepasang surya kembar memancar di hadapannya.
Dengan pancaran sinar surya kembar itu, ia merasa dilingkungi oleh kewibawaan dan keagungan.
Kemudian setelah ia kembali ke Daha, ia merasa alam disekeliling ini hampa, surya tidak gemilang.
Hampir saja semangatnya tenggelam dalam kehampaan dan kesunyian. Hampir nyala hidupnya
mengalami keredupan. Beberapa hari ia rasakan tubuhnya lunglai, tak nafsu makan,, tak enak
dur. Ia membiarkan dirinya terhanyut, terhempas dan akhirnya tenggelam ke dasar laut ke
hampaan. Bekel Saloka sibuk melihat perobahan sikap yang aneh dari Nararya. Ia mengira pemuda itu sakit.
Akan tetapi setelah mendapat keterangan dari Pamot tentang peris wa pertemuan Nararya
dengan kedua' puteri baginda Kertanagara di taman Boboci, bekel Kuda Saloka tertawa dan geleng-
geleng kepala. "Ah, penyakit anakmuda kiranya yang menghinggapi raden Nararya."
Ia kasihan juga dan memberi nasehat "Raden, ada yang dapat menyembuhkan penyakit di
tubuh kita, kecuali kita sendiri. Banyak nian jenis penyakit itu. Ada sebuah penyakit yang aneh yani
yang disebut 'sakit tapi bukan penyakit'. Jenis penyakit aneh itu, paling sukar dioba . Tabib dan
dukun yang pandai tak mampu mengobati, bahkan dewapun tak sanggup menyembuhkan. Penyakit
itu disebabkan rasa sakit dan rasa sakit bersumber pada rasa ha peribadi. Oleh karena itu, yang
dapat menyembuhkan adalah rasa hati sendiri, raden."
Saat itu Nararya terbeliak. Ia terkejut karena bekel Saloka dapat menebak sakitnya.
"Aku gembira sekali karena raden mengidap penyakit aneh itu " kata bekel Saloka pula "karena
dengan begitu raden menetapi kodrat seorang pria yang memiliki cita2 nggi. Tidak sembarang
anakmuda berani menerima penyakit semacam yang menghinggapi raden itu. Oleh karena itu,
raden harus bangkit menyambut penyakit itu. Ibarat surya, raden masih seper surya menjelang
tengah hari. Pancarkan sinar surya raden itu segemilang-gemilangnya, luaskan daerah
penyinarannya sampai ke seluruh ujung buana. Jangan idinkan awan dan kabut menutup sinar
surya itu. Pancarkanlah sinar raden ke seluruh alam, agar bunga2 bermekaran dan dewi2
kahyangan turun ke bumi. Dengan memiliki sinar yang gilang gemilang itu, raden pas kuasa
mempersunting dewi yang menjadi mustika buana ... .."
Tergugah seke ka semangat Nararya mendengar kata2 bekel Saloka. Ia malu dalam ha .
Bukankah turunnya dari pertapaan karena dianjurkan oleh gurunya untuk ikut serta menyongsong
Wahyu Agung yang akan diturunkan dewata" Bukankah masih banyak tugas yang belum ia
laksanakan" Hina bagi ksatrya yang lancung di ujian. Nista ksatrya yang gugur iman karena goda
wanita. "Jodoh di tangan dewata," akhirnya ia menyerahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widdhi.
Namun ke ka mendengar laporan bahwa pa h Aragani ke Daha untuk menyampaikan amanat
baginda Kertanagara hendak memungut Ardaraja sebagai menantu, sesaat mbul pula penyakit
dalam hatinya itu. Ia termenung-menung.
Bekel Saloka cepat dapat menduga isi ha Nararya. , Ia kua r raden itu akan kambuh lagi
penyakitnya. "Raden, malam ini di keraton akan diselenggarakan perjamuan untuk menghormat pa h Aragani
" katanya. "Lalu " " tanya Nararya.
"Mari kita keluar dan menyelidiki di sekitar keraton. Siapa tahu kemungkinan akan terjadi
sesuatu yang di luar dugaan kita."
Nararyapun setuju. Malam itu bersama Gajah Pagon dan bekel Saloka, ia menuju ke keraton.
Seper yang diduganya, saat itu keraton tentu dijaga keras. Tak boleh sembarang orang masuk.
Maka terpaksa Nararya bertiga meneduh di bawah pohon brahmastana di alun-alun.
Beberapa lama menunggu, hampir saja Nararya mengajak kedua kawannya kembali ke
Selamangleng "Ah, mereka bersuka ria menikma pesta, kita disini menggigil dihembus angin
malam " katanya "lebih j,baik kita pulang saja."
"Baiklah kita bersabar sebentar lagi sampai perjamuan itu selesai, raden " kata bekel Saloka.
Dalam hati sebenarnya Nararya mendesuh tetapi ia terpaksa menurut juga.
Beberapa saat kemudian, mereka terkejut ke ka melihat beberapa prajurit Daha menggotong
tubuh seorang tumenggung ke Balai Prajurit.
"Apa yang terjadi " " tanya bekel Saloka. Belum pertanyaan itu terjawab, kembali mereka melihat
beberapa prajurit mengiring Seorang prajurit lain ke bangsal tempat rombongan pengiring pa h
Aragani. "Apakah yang terjadi, ki bekel " " tanya Nararya penuh keheranan "adakah dalam perjamuan
terjadi suatu peristiwa "."
"Mungkin juga, raden," sahut bekel Saloka "karena biasanya dalam se ap perjamuan tentu
dihidangkan juga minuman tuak. Dan tuak sering menjadi sumber keonaran."
"Tetapi kali ini perjamuan diselenggarakan oleh fihak keraton untuk menghormat kedatangan
pa h Aragani yang menjadi utusan seri baginda Kertariagara. Tentulah akan dihindari hal2 yang
mungkin menimbulkan keonaran."
Nararya mengangguk. Ia merenung. Seke ka mbul semangatnya yang telah lusuh tadi "Ki bekel
dan kakang Pagon, baiklah kita terus berjaga di sekitar keraton ini. Kemungkinan malam ini dapat
timbul pula suatu peristiwa yang tak terduga."
Mereka terus berjaga. Tak berapa lama perjamuanpun usai. Para prajurit, demang, senopati
dan mentri2 berbondong-bondong meninggalkan pendapa agung. Tak berapa lama keratonpun
sunyi pula. Jerih payah mereka ternyata memberi buah. Lewat tengah malam, ba2 tampak sesosok tubuh
menyelinap ke luar dari bangsal tempat penginapan prajurit pengiring pa h Aragani. Orang itu
menyelundup masuk ke dalam keraton. Nararya dan kedua kawannya sibuk sekali. Mereka tahu
bahwa tentu akan terjadi sesuatu dalam keraton tetapi mereka tak berdaya mengiku orang itu,
apalagi hendak mengetahuinya. Penjagaan keraton terlalu ketat. Dikua rkan pula jika nekad
menerobos ke dalam keraton akan mengalami hal2 yang tak diharapkan.
Mereka terpaksa menunggu lagi. Lama juga mereka menunggu baru tampak sesuatu yang
mencurigakan. Orang yang masuk ke dalam keraton tadi:, bergegas keluar dan terus menuju ke
kandang kuda dan tak lama dia menuntun ke luar seekor kuda.
Nararya ber ga segera memburu. Mereka hendak menegur orang itu. Tetapi orang itu berjalan
lebih cepat menuju ke mur. Setelah dekat gapura, dia terus naik kepunggung kuda dan
mencongklangkannya ke luar pura.
Nararya dan kedua kawannya berlari-lari hendak mengejar tetapi terlambat. Gajah Pagon masih
sempat untuk berteriak "Hai, ki sanak, berhenti dulu."
Tetapi orang itu sudah naik dipelana kuda dan tanpa menghiraukan seruan Gajah Pagon, terus
melarikan kudanya secepat angin.
"Ah, kita tak punya kuda, ki bekel " Nararya mengeluh "tak mungkin mengejar jejak orang itu."
"Tetapi jelas dia menuju ke mur. Jika dia prajurit Singasari, tentulah dia akan kembali ke pura
Singasari " kata bekel Saloka.
"Apa alasannya dia kembali ke Singasari seorang diri dan pada waktu lewat tengah malam begini
?" tanya Nararya. Bekel Saloka dan Gajah Pagon tak dapat memberi jawaban. Memang sangat aneh sekali
gerak gerik orang itu. "Bagaimana langkah kita sekarang, raden" " tanya bekel Saloka.
"Kita pulang dulu ke Selamangleng " kata Nararya "untuk beris rahat memulangkan tenaga. Esok
pagi kita suruh anakbuah mencari berita."
Demikian mereka pulang. Dan bekel Salokapun memerintahkan anakbuahnya untuk mencari
berita di pura Daha. Anakbuah itu kembali dengan membawa berita bahwa hari itu pa h Aragani akan bertolak
pulang ke Singasari. Bekel Saloka dan Gajah Pagon meminta pendapat Nararya dan Nararya segera mengatur langkah.
"Menilik gerak gerik orang yang masuk ke dalam keraton lalu diam2 meninggalkan rombongan
dengan naik kuda seorang diri semalam, jelas tentu terjadi sesuatu. Oleh karena dari fihak keraton
Daha tak terdengar berita apa2, kita dapat alihkan dugaan pada fihak patih Aragani."
Berhen sejenak Nararya melanjutkan pula "Jelas orang itu salah seorang dari rombongan
pengiring pa h Singasari. Hanya ada dua kemungkinan yang dapat kita rabah. Pertama,
kepergiannya pada saat malam selarut itu atas sepengetahuan pa h Aragani, ar nya memang
diutus oleh pa h Aragani untuk menyampaikan sesuatu laporan yang pen ng ke Singasari. Dan
kedua, orang itu memang telah melarikan diri dari rombongan patih Aragani."
"Kemungkinan yang kedua itu lebih mungkin, raden " seru Gajah Pagon "karena jelas dia telah
masuk ke dalam puri keraton lalu bergegas keluar dan terus membawa kuda melarikan diri.
Kemungkinan dia telah melakukan suatu perbuatan yang tak baik didalam puri keraton."
"Ki Pagon memang benar " sambut bekel, Saloka "tetapi mengapa anakbuahku tak berhasil
memperoleh berita apa2 dari fihak puri keraton " Mengapa keraton Daha tenang2 saja seper tak
terjadi sesuatu" Bukankah se ap peris wa gangguan, betapapun kecilnya, tentu akan
menghebohkan kalangan puri keraton"."
Gajah Pagon mengangguk "Ya, memang disitulah kelemahan dari kemungkinan kedua tadi. Jika
demikian, kita layak cenderung beralih pada kemungkinan kesatu tadi."
"Baik " kata Nararya "sekarang kita berkemas untuk mengiku perjalanan pa h Aragani ke
Singasari." "Kita ke Daha " "bekel Saloka menegas.
"Ki bekel " jawab Nararya "yang akan ke Singasari adalah aku dan kakang Pagon. Ki bekel supaya
tetap mengama keadaan Daha. Terutama ki bekel harus menyelidiki gerak gerik bekel Sindung.
Rasanya dia mempunyai peran besar dalam kehebohan selama ini."
Demikian Nararya dan Gajah Pagon segera bersiap mengikuti perjalanan rombongan patih
Aragani. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia dan Gajah Pagon harus menjaga jarak
tertentu di belakang. Jangan sampai jejak keduanya diketahui rombongan pengiring patih
Aragani, tetapipun jangan sampai kehilangan akan sasaran yang diikutinya.
Demikian pada saat itu, ke ka memasuki telatah gunung Kawi, Nararya dan Gajah Pagon melihat
rombongan pa h Aragani itu berhen disebuah daratan dekat lembah. Nararya dan Gajah Pagon
terpaksa harus berhen juga, Agar tak tertampak orang2 Singasari, Nararya dan Gajah Pagon
bersembunyi dalam sebuah hutan.
"Tetapi dari hutan ini, kita tak dapat melihat gerak gerik mereka, raden " kata Gajah Pagon.
"Benar " kata Nararya "kita tambatkan kuda di semak rumput dan marilah kita cari sebatang
pohon yang besar dan tinggi."
Setelah menambatkan kudanya pada pohon disekeliling semak rumput, keduanyapun berhasil
mendapatkan sebatang pohon randu alas yang nggi dan rindang daunnya. Nararya mengajak
Gajah Pagon memanjat-sampai mencapai ke nggian yang tertentu. Dari tempat itu mereka dapat
memandang kesekeliling penjuru, termasuk kearah rombongan pengiring pa h Aragani yang
sedang berhenti jauh di sebelah muka. Diam2 Gajah Pagon memuji kecerdikan Nararya.
"Hendak mengapakah mereka, raden" " tanya Gajah Pagon.
"Kemungkinan mereka hendak berburu atau beristirahat dulu. Kita lihat saja apa yang akan
mereka lakukan " jawab Nararya.
Saat itu sebenarnya hari sudah menjelang sore. Rupanya pa h Aragani dak bermaksud untuk
buru2 ba di pura Singasari. Apabila yang hendak dicarinya itu, palapa dan burung kepodang
sudah diperolehnya, barulah dia hendak berangkat lagi. Bila perlu pa h itu akan bermalam di
tempat buyut desa yang terdekat agar besok ba di pura pada siang hari. Dengan demikian ia
dapat langsung menghadap baginda untuk menghaturkan laporan.
Lama juga Nararya dan Gajah Pagon menunggu di puncak pohon randu alas itu. Mereka melihat
pa h Aragani telah menitahkan duapuluh prajurit pengiringnya untuk mendaki gunung. Tetapi
hingga surya hampir terbenam di balik gunung, tiada seorangpun dari prajurit2 itu tampak kembali.
"Demang Kar ka " teriak Pa h Aragani. Dan sesaat demang itu menghadap, iapun berkata pula
"kemanakah gerangan keduapuluh prajurit itu " Mengapa sampai saat ini ada seorangpun yang
kembali"." Demang Kartika juga gelisah.
"Idinkanlah hamba menyusul mereka, gusti patih."
Pa h Aragani mengerut dahi "Jangan engkau ki demang. Tetapi kirimkan anakbuahmu ke atas
gunung menyusul mereka."
Diam2 demang Kartika tertawa dalam hati. Ia tahu patih itu tentu cemas apabila
ditinggalkannya. Dan memang benar. Dia sendiripun enggan untuk pergi. Bukan karena takut
menyusul anakbuahnya ke atas gunung melainkan sebagai pimpinan prajurit pengiring, ia
bertanggung jawab atas keselamatan patih Aragani.
Dia lalu menyuruh dua orang anakbuahnya menyusul kawan-kawannya tadi.
Cuaca makin remang, anakbuah yang diperintah menyusul itupun tak kelihatan kembali. Demang
Kar ka mulai gelisah. Ia menghadap pa h Aragani "Gus pa h, rupanya terjadi sesuatu pada
anakbuah kita "katanya "bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan untuk mencapai desa yang
terdekat." "Lalu bagaimana dengan mereka?" tanya patih Aragani.
"Yang pen ng adalah keselamatan gus " kata demang Kar ka "prajurit2 memang ditugaskan
mengawal perjalanan gus pa h. Andai mereka mendapat halangan, adalah sudah menjadi
tanggung jawab mereka."
"Tetapi ki demang sebagai pimpinan harus bertanggung jawab pula atas keselamatan mereka."
"Tentu, gus pa h " kata demang Kar ka "tetapi yang pen ng adalah pertanggungan jawabku
atas keselamatan gus pa h. Karena gus pa h adalah utusan sang nata. Soal mereka, selekas kita
ba di pura tentu akan kulaporkan pada tumenggung Wirakre sebagai mentri angabaya untuk
mengirim pasukan ke puncak kawi."
Demikian setelah tercapai permufakatan, patih Araganipun setuju untuk melanjutkan perjalanan.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka sekeliling tempat itu telah terkepung oleh berpuluh lelaki
berpakaian hitam dan bersenjata. Sikap dan keadaan mereka menyerupai gerombolan penyamun.
Seorang yang mukanya tertutup kain hitam, tampil ke muka,
"Terlambat, ki sanak " serunya dengan nyaring.
Demang Kartika segera maju menghadapi "Siapa engkau! "
"Siapa diriku, rasanya tak penting. Aku mengaku siapapun boleh saja."
"Gerombolan penyamun "."
"Terserah bagaimana engkau hendak menganggapnya. Tetapi yang jelas, aku bukan penyamun
harta benda." "Apa maksudmu " " tegur demang Kartika pula.
"Itu yang pen ng dan perlu kuketahui!", sahut orang itu "dengarkanlah. Aku hendak minta
sesuatu dari rombonganmu ini."
"Engkau bekel Mahesa Rangkah ! " ba2 pa h Aragani berteriak demi mengenal nada suara
orang itu. Orang itu tertawa "Tajam benar pendengaranmu ki pa h. Memang tak perlu aku harus kua r
mengakui diriku ini bekel Mahesa Rangkah."
"Bekel Rangkah " seru pa h Aragani "beda benar nada ucapanmu saat ini. Adakah engkau tak
tahu dengan siapa engkau berhadapan"."
Bekel Mahesa Rangkah tertawa.
"Sudah tentu aku tahu sedang berhadapan dengan Panji Aragani pa h Singasari yang sedang
mengemban tugas dari sang nata untuk menghadap akuwu Jayakatwang di Daha."
"Dan engkau menyadari kedudukanmu sebagai seorang bekel prajurit?" seru Aragani pula.
"Menyadari" sahut Mihesa Rangkah "mungkin ki pa h sendiri yang belum menyadari kedudukan
diriku." "Apa maksudmu"."
"Kemarin Mahesa Rangkah memang bekel bhayangkara yang ikut dalam rombongan pengiring ki
pa h ke Daha" kata Mahesa Rangkah "tetapi sejak semalam, Mahesa Rangkah sudah bukan
seorang bekel lagi."
"Lalu " " patih Aragani kerutkan dahi.
"Seorang pemimpin gerombolan yang mencegat perjalanan rombongan pa h Singasari. Demikian
keadaan Mahesa Rangkah saat ini."
Pa h Aragani terkejut. Namun ia berusaha untuk menenangkan diri "Mencegat perjalananku "
Apa maksudmu " Apakah engkau hendak menyamun harta bendaku?"
Mahesa Rangkah tertawa. "Bukan " serunya "aku bukan sekedar merampok harta benda saja. Tetapi hendak menagih
pertanggungan jawab ki patih."
"Apa " " patih Aragani terbeliak "apa maksudmu"."
"Aku hendak minta pertanggungan jawab ki pa h dalam peris wa selama kita berada di Daha "
kata Mahesa Rangkah "mengapa ki patih menghianati aku"."
Seke ka berobahlah cahaya wajah pa h Aragani mendengar kata2 itu "Menghiana engkau"
Dalam soal apa aku menghianati engkau"
"Siapa yang mengutus seorang pengawal untuk menyampaikan surat kepada raden Ardaraja,
memberi-tahu tentang bahaya yang akan mengancamnya malam itu"."
Patih Aragani terbeliak. "Ki pa h " kata Mahesa Rangkah "akan ku-paparkan seluruh isi ha ku selama ini terhadap ki
pa h. Siapa yang mendepak empu Raganata sebagai pa h kerajaan Singasari, .siapa yang
menyebabkan demung Banyak Wide dipindah ke Sumenep, siapa pula yang menjatuhkan
kedudukan tumenggung Wirakre , kalau bukan demung Aragani yang kini menggan kan
kedudukan patih Singasari itu"."
"Keparat! " teriak Aragani "tangkap penghianat itu, Kartika!."
Mahesa Rangkah tertawa cemoh.
"Jangan sembarang ber ndak, demang Kar ka. Lihatlah disekelilingmu. Berpuluh-puluh
anakbuahku telah siap dengan senjata terhunus. Apabila melihat aku diserang, mereka tentu akan
turun tangan. Dan apakah engkau percaya dengan kekuatan yang nggal duapuluhan orang itu
mampu mengatasi serangan mereka"."
Demang Kar ka tertegun. Pikirnya, ia harus dapat ber ndak sesuai dengan kenyataan. Yang
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pen ng ia harus melindungi keselamatan pa h Aragani. Baiklah ia tunggu perkembangan lebih
lanjut dan tak perlu harus menuruti perintah patih Aragani yang sedang dirangsang kemarahan itu.
"Kini setelah menjabat pa h, engkau makin bernafsu sekali untuk merebut kekuasaan. Seri
bagindapun makin terjerumus dalam jerat mulut manismu. Engkau racuni baginda dengan
memperkenalkan minuman tuak. Engkau sanjung baginda dengan rangkaian kata2 madu beracun.
Dalam meni ke puncak tangga kekuasaan itu, engkau terkejut karena keputusan baginda hendak
memungut menantu pada raden Ardaraja. Engkau ketakutan. Apabila Ardaraja menjadi putera
menantu dan masuk kedalam-pemerintahan Singasari, engkau kua r akan kehilangan pengaruh
....." "Bedebah ! " teriak pa h Aragani "bukankah engkau meminta gurumu datang kepadaku supaya
diperkenankan ikut dalam rombongan pengiringku" Apa tujuanmu kalau bukan hendak membunuh
pangeran Ardaraja" Engkau sendiri hendak membunuh pangeran Daha itu, tetapi mengapa engkau
menuduh aku yang ketakutan menghadapi pengaruh Ardaraja" Bukankah engkau sendiri seorang
bekel yang tak tahu diri berani memimpikan puteri seri baginda dan nekad hendak melenyapkan
pangeran Ardaraja yang engkau anggap akan merebut puteri idamanmu itu"."
Mahesa Rangkah tertawa. "Benar " serunya "memang Mahesa Rangkah seorang lelaki. Salahkah seorang lelaki
mengharapkan seorang puteri raja " Bukankah secara jantan kuakui rencanaku itu
dihadapanmu " Kebalikannya, engkau seorang patih yang licin. Engkau hendak berdiri diatas
dua perahu. Engkau setuju akan rencanaku. Apabila aku berhasil membunuh Ardaraja, engkau
pasti gembira sekali. Tetapi apabila aku gagal, engkau akan mengorbankan diriku agar dapat
mengambil muka pangeran itu. Bukankah bukti menyatakan, bahwa dengan mengirim surat
kepada Ardaraja itu, engkau hendak meminjam tangan pangeran itu untuk membunuh aku "."
Pucat seketika wajah Aragani.
"Mahesa Rangkah " serunya "aku seorang patih yang sedang mengemban tugas sebagai
utusan nata. Jika engkau membunuh pangeran Ardaraja, hubungan Daha dan Singasari pasti
buruk." "Hm " desuh Mahesa Rangkah "bukankah sebelumnya telah kujelaskan maksudku itu " Dan
bukankah ki patih telah menyetujuinya"."
"Ya " sahut pa h Aragani "tetapi engkau mengatakan hendak melakukan hal itu dengan secara
amat peribadi sehingga tak melibatkan diriku sebagai utusan sang nata."
"Dan adakah tindakanku itu dapat melibatkan diri ki patih "."
"Setelah engkau mengalahkan tumenggung Pencok Sahang, engkau telah menunjukkan dirimu
kepada fihak Daha. Hanya orang semacam engkaulah yang mampu menyusup ke dalam keraton
untuk mencidera pangeran Ardaraja. Tidakkah engkau kira aku dapat bebas dari tuduhan mereka
"." "Dan karena itulah maka engkau lantas menjerumuskan aku sekali dengan mengirim surat
kepada pangeran Daha itu agar aku tertangkap dan terbunuh ma ! " teriak Mahesa Rangkah.
Kemudian ia tertawa nyaring.
Nararya dan Gajah Pagon yang masih bersembunyi di atas pohon randu alas, mendengar juga
tawa Mahesa Rangkah itu. Adalah karena jaraknya cukup jauh, keduanya tak berhasil mendengar
perbantahan antara Mahesa Rangkah dan patih Aragani.
"Mahesa Rangkah !" hardik Aragani dengan marah. Ia merasa tersinggung karena kewibawaannya
sebagai seorang patih utusan sang nata diremehkan "apa maksudmu!."
"Ki pa h "seru Mahesa Rangkah "engkau tentu sudah maklum, bahwa Mahesa Rangkah tak
mungkin lagi kembali ke pura Singasari. Seri baginda tentu akan mendapat laporan tentang
peris wa di keraton Daha. Oleh karena itu, akupun tak mau kepalang tanggung lagi. Jika Mahesa
Rangkah lenyap, Panji Araganipun harus sirna."
Patih Aragani terbeliak "Keparat! " teriaknya sesaat kemudian "engkau sudah berani melakukan percobaan membunuh
pangeran Ardaraja, sekarang engkau berani pula hendak membunuh patih Singasari"."
Mahesa Rangkah tertawa. "Panji Aragani " serunya "di kerajaan Singasari engkau memang seorang pa h tetapi disini
engkau tak lebih hanya seorang biasa. Dan hanya apabila pa h yang bernama Aragani itu lenyap,
kerajaan Singasari pas takkan tenggelam. Mahesa Rangkah rela lepas dari kedudukan bekel
bhayangkara, rela pula menjadi buronan negara asal dengan pengorbanan itu aku dapat
menyelamatkan Singasari."
Patih Aragani terkejut dalam hati. Rombongan prajurit pengiringnya hanya tinggal dua puluhan
orang sedang.anakbuah Mahesa Rangkah berjumlah lebih besar. Diam2 ia menyesal mengapa
harus berhenti di kaki gunung Kawi. Tetapi karena hal itu sudah menjadi kenyataan maka tiada
lain jalan baginya untuk menghadapi. Pikiran patih itu bekerja cepat. Ia hendak menempuh cara
lunak dulu. "Bekel Rangkah .... " baru dia berkata begitu, Mahesa Rangkah sudah cepat menukas "Engkau
lupa ki patih, aku bukan lagi seorang bekel."
"Tidak bekel Rangkah," sahut pa h Aragani "engkau tetap kuanggap seorang bekel. Soal
kesalahanmu, itu soal lain yang akan diputuskan oleh ki pa h Kebo Anengah. Namun ada suatu hal
yang akan kubicarakan dengan engkau."
"Silahkan." "Engkau mengatakan bahwa aku telah mengirim surat kepada pangeran Ardaraja tentang
tindakanmu hendak membunuhnya. Ketahuilah, bahwa hal itu karena aku kuatir akan melibatkan
kerajaan Singasari. Hubungan Singasari dengan Daha akan retak dan berarti pula kegagalanku
untuk melakukan titah baginda. Karena ternyata engkaupun gagal untuk membunuh pangeran
Ardaraja maka aku bersedia untuk melindungi dirimu dari kemurkaan baginda."
"Ah, tak mungkin " seru Mahesa Rangkah.
"Bekel Rangkah " seru pa h Aragani dengan suara yang bernada keperbawaan "engkau tentu
tahu siapa aku di pura Singasari itu. Apabila kulaporkan ke hadapan baginda bahwa pembunuh
gelap itu bukan engkau tetapi seseorang yang belum diketahui, tentulah baginda akan percaya.
Soal ki patih Kebo Anengah lebih mudah lagi."
Mahesa Rangkah mengerut dahi. Dia juga seorang yang cerdik. Sukar untuk mempercayai janji
pa h Aragani itu. Andaikata pa h itu memegang janji, pun selanjutnya ia akan berada dalam
genggaman pa h itu. Pa h Aragani mengetahui rahasianya, ap waktu dia dapat menggunakan
rahasia itu untuk mencelakainya. Bukankah pa h Aragani yang saat itu berada di kaki gunung, akan
jauh bedanya dengan pa h Aragani di pura kerajaan " Demikian pula, mungkinkah untuk menutup
mulut sekian banyak prajurir2 anakbuah demang Kar ka yang telah mendengar pembicaraan tadi
dan mengetahui rahasianya.
"Tidak " katanya dalam ha "lebih aman melepaskan seekor harimau dari kandang daripada
melepaskan seorang pa h Aragani. Bila dan dimana lagi aku mendapat kesempatan yang sebaik ini
untuk melenyapkan pa h itu " Jika kubasmi pa h dan seluruh rombongan pengiringnya, tentulah
sukar untuk mencari siapa yang melakukan pembunuhan ini."
"Mengapa engkau diam saja, bekel Rangkah " " tegur patih Aragani pula.
"Aku sedang berunding dan kawanku ternyata tak setuju " sahut Mahesa Rangkah.
Pa h Aragani terbeliak. Jelas dia tak melihat barang seorangpun yang diajak berunding Mahesa
Rangkah, mengapa bekel itu berkata demikian.
"Bekel Rangkah, jangan bergurau !" teriak patih Aragani. "siapa yang engkau ajak berunding?"
Mahesa Rangkah tertawa. "Ada dua, yang seorang tak kelihatan dan yang satu kelihatan."
"Siapa ltu" "Yang tidak kehihatan itu adalah batinku."
"Dan mana yang kelihatan itu "."
"Ini" ejek Mahesa Rangkah seraya mencabut pedangnya "engkau dapat melihatnya, ki patih "."
Patih Aragani menyeringai.
"Ba nku menentang dan pedangkupun menolak. Maka aku terpaksa menurut. Sekarang nggal
dua pilihan bagimu, ki patih."
Dalam saat keduanya bertukar pembicaraan, demang Kar ka telah memberi isyarat kepada
anakbuahnya untuk tegak berjajar melindungi pa h Aragani. Kemudian demang itupun beringsut
kesamping pa h Aragani dan membisiki "Gus pa h, apabila mereka menyerang, harap gus
segera masuk kedalam ratha dan perintahkan kusir untuk menerjang mereka."
Patih Aragani mengangguk.
"Engkau menyerah dan kami bunuh kemudian akan kami kubur secara baik2. Atau engkau
melawan dan kami hancurkan mayatmu beserta seluruh pengiringmu agar menjadi makanan
burung " seru Mahesa Rangkah.
"Mahesa Rangkah, jangan engkau bermulut besar. Aku adalah patih kerajaan Singasari.
Lebih baik aku mati daripada menyerah kepadamu" patih Aragani marah dan unjukkan
kewibawaannya sebagai seorang patih.
"Di Singasari engkau seorang pa h, disini akulah yang berkuasa," sahut Mahesa Rangkah lalu
memberi perintah kepada anakbuahnya untuk menerjang.
Pekik teriakan yang menggemuruh segera menggema dikesunyian penghujung senja. Berpuluh-
puluh lelaki bersenjata tembak dan pedang serempak menyerbu rombongan prajurit pengiring
patih Aragani. Prajurit pengiring pa h Araganipun segera menyambut mereka. Mahesa Rangkah hendak
menyerbu pa h Aragani tetapi ditahan demang Kar ka. Dalam pada itu sesuai dengan rencana
yang dibisikkan demang Kar ka tadi, pa h Araganipun segera masuk ke dalam ratha dan kusir
Ranupun segera mengayunkan cambuk. Roda2 berderak, kedelapan kuda itupun meringkik lalu
mencongklang, menerjang anakbuah Mahesa Rangkah yang mengepung tempat itu.
Kedelapan ekor kuda tegar itu memang hebat. Beberapa anakbuah Mahesa Rangkah
berhamburan rubuh diterjangnya. Ada beberapa yang beruntung sempat loncat menghindar.
Rathapun menerobos ke luar dari kepungan tetapi baru beberapa tombak berjalan, dari kedua
samping jalan, melayanglah berpuluh-puluh tombak menghujani kuda itu. Karena suasana gelap
dan hujan tombak sedemikian deras, kedelapan ekor kuda itupun tak dapat menghindar lagi. Rasa
sakit karena tubuhnya berhias tombak, kedelapan kuda itupun meringkik sekuat-kuatnya dan terus
menerjang maju. Tetapi binatang itu telah kalap sehingga salah arahnya. Mereka dak menuju ke
timur melainkan kembali kearah barat lagi.
Juga dibagian barat, sudah siap berpuluh anakbuah Mahesa Rangkah. Tombak dan pedang
diacungkan untuk memagari ratha agar pa h Aragani tak dapat melarikan diri. Tetapi kedelapan
kuda yang terluka itu sudah binal dan tak terkuasai lagi. Kusir Ranu telah rubuh termakan tombak
lawan. Kini tinggal ratha itu yang gemuruh diseret oleh kedelapan kuda terluka.
Riuh rendah gemuruh kawanan gerombolan ke ka kedelapan kuda itu menerjang. Tombak
dilontarkan, pedangpun dilayangkan. Darah berhamburan pada tubuh kedelapan kuda itu. Namun
merekapun nekad dan kalap. Beberapa kawanan gerombolan dapat diterjang dan disepak. Jerit
teriakan disusul oleh tubuh2 yang terlempar kian kemari.
Bum .... Akhirnya kuda yang terdepan tak kuat. Mereka menderita luka parah. Namun kedua kuda itu
memang kuda pilihan, tegar dan perkasa, pantang menyerah, Mereka lari membinal sekencang-
kencangnya dan akhirnya membentur pohon. Karena yang muka rubuh, maka kuda yang
dibelakangpun ikut terpelan ng. Gerbong ratha terjungkir balik menghantam gunduk batu.
Seke ka suasana sekitar tempat ilu makin gelap. Cuaca malam dan debu serta dahan pohon yang
jatuh, menimbulkan kabut yang gelap.
Pertempuranpun mencapai puncak, diakhiri dengan gelombang jerit teriakan yang mengerikan.
Demang Kar ka dan keduapuluh prajurit, akhirnya gugur dalam pertempuran dahsyat itu.
Gerombolan anakbuah Mahesa Rangkah menggunakan juga anak panah untuk menghancurkan
prajurit2 Singasari. Tiada seorangpun yang masih hidup. Mayat2 berserakan ndih menindih, darah
memerah tanah. Mahesa Rangkah berseru memberi perintah agar anakbuahnya berkumpul "Bagaimana dengan
patih Aragani " "teriaknya.
Anakbuahnya serempak berseru "Patih telah binasa bersama ratha dan kuda penghelanya."
"Lekas angkut kawan-kawan kita yang terluka dan ma agar jangan dapat diketahui bala bantuan
Singasari esok hari " kembali Mahesa Rangkah memberi perintah.
Setelah mayat2 dan kawan2 mereka yang terluka dinaikkan di atas kuda, Mahesa Rangkah segera
memberi aba2 untuk tinggalkan tempat itu.
Malampun makin gelap dan sunyi. Tempat yang beberapa saat menjadi medan pertempuran
berdarah, kini sunyi senyap. Ditengah jalan masih berserakan mayat-mayat dari prajurit2
Singasari. Prajurit2 pengiring patih Aragani itu merupakan prajurit2 pilihan. Tetapi karena
gerombolan itu jumlahnya lebih banyak dan .menggunakan senjata panah, merekapun harus
menyerah binasa. Malampun kelam. Makin membisu. Hanya burung hantu yang mulai berdendang mengantar
arwah2 yang telah meninggalkan raganya.
Di celah2 kesunyian malam, terdengar suara orang berbisik-bisik "Ki sanak, terima kasih atas
pertolonganmu. Apabila engkau mau mengantarkan aku ke pura Singasari, besar nian ganjaranmu."
"Siapakah sesungguhnya tuan ini" " tanya seorang suara pula.
Tiada penyahutan. Rupanya orang yang pertama berkata tadi tengah merenung. Ada sesuatu
yang dipikirkannya "Siapakah engkau, anakmuda " " sesaat kemudian ia kedengaran bertanya.
"Kami berdua ini sedang menuju ke Singasari " jawab orang yang kedua tadi.
"O " kata pula orang yang pertama "apa tujuanmu "."
"Hanya sekedar melihat-lihat keindahan pura kerajaan."
"O " desus orang pertama itu pula "adakah ki sanak ini orang Daha "."
"Bukan " sahut yang ditanya "kami rakyat didesa gunung Kawi sini."
"Hm, baik " kata orang itu "jika kalian mau mengantarkan aku ke pura Singasari, akan kuberimu
pangkat." "Terima kasih, ki sanak " sahut orang kedua itu "tetapi kami sudah biasa hidup di alam pedesaan
yang bebas. Kami tak menginginkan pangkat dan kedudukan apa8."
"Baik " kata orang pertama pula "akan kuberimu ganjaran yang setimpal."
"Terima kasih " kata orang kedua itu "kami sudah hidup senang dari hasil bercocok tanam. Kami
tak mengharapkan apa2."
"Lalu apa permintaanmu"."
"Kami hanya ingin tahu, siapakah tuan ini"."
Tanpa sangsi lagi orang pertama itu segera menyahut "Aku adalah pa h Aragani dari kerajaan
Singasari" i Setelah memperkenalkan diri, rupanya pa h itu akan mengharap orang yang diajak bicara itu
akan tersipu-sipu memberi sembah hormat. Tetapi ternyata kedua orang itu tenang2 saja.
"Hamba Nararya dan ini kakang Pagon, gus pa h " kata orang yang bertanya nama dari pa h
Aragani tadi "hamba berdua bersedia mengantar gusti patih ke pura kerajaan."
"Bagus Nararya " seru orang itu atau pa h Aragani. Dia memang benar2 pa h Aragani. Ke ka
kedelapan kuda membentur pohon dan ratha terbalik, pa h Aragani beruntung dapat loncat ke
luar. Dilindungi oleh kepul debu yang gelap dan anak gerombolan sedang sibuk menyingkir,
dapatlah patih Aragani menyusup ke dalam gerumbul pohon dan terus meloloskan diri.
Karena malam gelap ia tak tahu arah. Pokok asal dapat meloloskan diri. Entah berapa lama
beijalan ba2 ia dihadang oleh dua orang lelaki berpakaian hitam, menghunus pedang "Menyerah
saja, engkau patih Aragani " seru kedua orang itu.
Betapapun kecil nyali nya, tetapi dalam menghadapi kenyataan yang ada memungkinkan lain
pilihan kecuali harus ma , akhirnya pa h Aragani bangkit semangatnya. Sebelum ma ia harus
berpantang ajal. "Hm, gerombolan anjing hutan, siapakah sesungguhnya kalian ini " " hardiknya sembari
mencabut keris Kedua orang itu tertawa. Kemudian salah seorang berseru "Engkau ingin tanya diri kami " Baiklah
agar supaya jangan engkau ma penasaran, akan kuberitahukan. Dengarkanlah, kami adalah
anakbuah dari gunung Butak !."
"Hm "desuh Aragani "adakah Mahesa Rangkah itu pemimpin gerombolan gunung Butak"."
"Mahesa Rangkah ?" ulang orang itu "siapakah Mahesa Rangkah" kami tak mempunyai pemimpin
yang bernama Mahesa Rangkah !."
"Siapa pemimpinmu "."
"Pasirian." "Dan siapa yang memimpin gerombolanmu yang menyerang rombongan utusan kerajaan itu "."
"Kebo Manyura."
"Kebo Manyura" Ah, dia jelas bekel Mahesa Rangkah dari keraton Singasari."
"Seluruh anakbuah gunung Butak hanya tunduk pada dua pimpinan, Banyak Pasirian dan Kebo
Manyura " seru orang itu "sudahlah, sekarang bagaimana maksudmu " Menyerah atau melawan !."
"Aku seorang pa h kerajaan Singasari. Lebih baik aku ma daripada harus menyerah pada
gerombolan anjing hutan yang tak kenal undang-undang."
"Bagus " seru orang itu seraya loncat menikam.
Pa h Araganipun berusaha untuk melawan. Pada masa muda iapun juga gemar menuntut ilmu
kanuragan dan kedigdayaan. Namun setelah tua dan bermanja dalam kegemaran tuak yang
berkelebihan, tenaganyapun merosot. Dalam beberapa babak saja, napasnya sudah mulai
memburu keras, kepalanya mulai berkunang-kunang.
"Ah, ma aku sekarang" diam2 pa h Aragani mengeluh. Serentak ia memutuskan untuk
melarikan diri. Setelah menyerang dengan nekad sehingga lawan terpaksa loncat mundur, pa h
Aragani pun terus berputar tubuh dan lari.
Kedua orang gerombolan itupun mengejarnya. Rupanya memang masih belum ba saatnya pa h
Aragani harus ma . Secara tak disengaja ia ba di tempat Nararya dan gajah Pagon bersembunyi.
Melihat pakaian kedua anakmuda itu beda dengan kawanan gerombolan, mbullah harapan
Aragani " Ki sanak" serentak ia berseru dengan nada beriba "tolonglah aku. Kedua penyamun itu
hendak membunuhku." Walaupun belum pernah berhadapan tetapi Nararya mendasarkan dugaannya, bahwa lelaki
setengah tua yang berbusana indah tetapi lusuh, wajah ketakutan dan rambut terurai itu, tentulah
pa h Aragani. Nararya tak tahu bagaimana sesungguhnya peribadi pa h Aragani itu. Yang
diketahuinya Aragani itu seorang pa h kerajaan Singasari yang sedang mengemban tah baginda
ke Daha. Nararya pun tak jelas siapakah gerombolan yang menyerang rombongan pa h itu. Dalam
keadaan seper saat itu, ia hanya memutuskan untuk melakukan dharmanya sebagai seorang
ksatrya, menolong orang yang membutuhkan pertolongan, menyelamatkan seorang mentri
kerajaan dari gangguan orang jahat.
"Silahkan bersembunyi di belakang kami " katanya seraya maju menggagah untuk menyambut
kedatangan kedua anakbuah gerombolan itu "berhenti ki sanak ! " serunya.
Kedua lelaki bersenjata pedang itupun berhen dan membelalak "Ho, engkau pengawal pa h
itu"." "Bukan " sahut Nararya "tetapi aku akan melindunginya ?"
"Jika bukan pengawalnya, jangan engkau ikut campur urusan ini. Perlu apa engkau
melindunginya"."
"Siapa kalian dan mengapa hendak membunuh ki patih?" seru Nararya pula.
"Kami anakbuah dari gunung Butak" sahut salah seorang gerombolan itu tanpa ragu2 lagi "pa h
itu biangkeladi kehancuran kerajaan Singasari, harus dilenyapkan "."
"Anak muda" tiba2 patih Aragani berseru dari arah belakang "jangan percaya ucapannya!."
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pa h keparat" teriak orang itu pula "jangan engkau menyangkal. Siapa yang menjatuhkan gus
pa h empu Raganata, gus demung Banyak Wide dan gus tumenggung Wirakre . Mereka mentri2
tua kerajaan yang setya tetapi menderita fitnah patih itu."
"Ki sanak" seru Nararya "bagaimana engkau tahu jelas akan persoalan itu "."
"Pemimpin kami telah memberi penjelasan tentang tujuan perjuangan anakbuah gunung Butak
dan menguraikan tentang keadaan yang terjadi dalam kerajaan Singasari."
"Jika demikian kalian bukan gerombolan penyamun " " Nararya menegas.
"Raden Pasirian, putera dari gus Linggapa yang dahulu dibunuh raja Wisnuwardana, ayahanda
baginda Kertanagara yang sekarang, hendak menuntut balas terhadap Singasari."
"O, jika hendak menuntut balas, mengapa kalian tak mendukung ndakan pa h Aragani "
Bukankah seper yang kalian katakan tadi, bahwa pa h Aragani telah ber ndak menghancurkan
kerajaan Singasari " Tidakkah hal itu sesuai dengan tujuan kalian"."
"Pimpinan kami yang seorang, raden Kebo Manyura menentukan sikap lain. Yang akan
dihancurkan adalah patih Aragani, karena patih itu telah mencelakai patih sepuh empu Raganata."
"Dia hendak menuntut balas untuk empu Raganata "."
"Ya." "Adakah dia pengikut dari empu Raganata " "
"Kami tak tahu. Kami hanya diwajibkan menurut perintah garis tujuan itu."
"Sudahlah kakang, tak perlu banyak bicara dengan dia " seru kawannya yang seorang
"menyingkirlah, jangan engkau mengganggu urusan kami."
"Ah, engkau terlalu pemberang, ki sanak" Nararya tenang2 menjawab "apabila engkau dapat
memberi penjelasan yang dapat kuterima, akupun akan menurut perintahmu menyingkir dari sini."
"Sudah kujelaskan, patih Aragani harus dilenyapkan karena dia membahayakan kerajaan."
"Apa wewenangmu untuk membunuh seseorang, terutama seorang pa h kerajaan " " tegur
Nararya. "Tanggung jawab pengabdianku terhadap kerajaan merupakan wewenang yang menghaya
tindakanku." "Tidak " bantah Nararya "hanya kerajaan yang berwewenang untuk memper mbangkan dan
memutuskan salah benarnya patih Aragani. Bukankah kerajaan sudah memiliki undang-undang"."
"Kakang, tak perlu berbanyak kata dengan orang itu " seru kawan orang itu "jelas dia tentu
pengawal patih Aragani. Kita gempur saja."
Serentak orang itupun terus loncat menerjang Nararya tetapi ia segera disambut Gajah Pagon.
Dalam beberapa gebrak saja, dapatlah sudah Gajah Pagon merubuhkan orang itu. Melihat
kawannya terkapar, orang yang pertama tadi terbelalak. Apalagi ke ka melihat Gajah Pagon
menghampiri. Tiada sempat berpikir apa2 lagi, orang itu ba2 taburkan pedangnya kepada Gajah
Pagon lalu loncat ke belakang, berputar tubuh dan terus lari menyusup kebalik gerumbul gelap.
"Awas, kakang Pagon " teriak Nararya ke ka melihat orang itu gerakkan tangan. Untung Gajah
Pagon cukup waspada. Ia condongkan kepala ke samping dan dapat menyelamatkan mukanya dari
taburan pedang. Tetapi sebagian dari ikat kepalanya di samping kiri, terpapas.
"Jangan kakang Pagon! " teriak Nararya pula ke ka melihat Gajah Pagon hendak mengejar
"berbahaya mengejar musuh dalam tempat yang gelap."
Gajah Pagon hentikan langkah dan kembali ke tempat Nararya.
Demikianlah asal mula patih Aragani berada dengan Nararya dan Gajah Pagon. Saat itu patih
Aragani meminta Nararya supaya mengantarkannya ke pura Singasari.
Mereka kembali ke tempat pertempuran. Patih Aragani ngeri dan sedih melihat nasib yang
diderita pengiringnya. Ia akan memerintah kepada buyut desa yang terdekat untuk merawat
jenasah mereka. Singkatnya menjelang siang pada esok harinya, balah pa h Aragani bersama Nararya dan Gajah
Pagon di pura Singasari. Langsung pa h Aragani menghadap baginda dan mengajak kedua
anakmuda itu. Tetapi Nararya menolak.
"Tugas hamba telah selesai, gus pa h. Hamba mohon hendak kembali ke desa lagi," kata
Nararya. "Jangan" cegah pa h Aragani "engkau harus menghadap baginda agar baginda dapat lebih
lengkap menerima laporan tentang peristiwa itu."
Nararya terpaksa menurut. Dalam hal itu bukan karena ia mengharapkan balas jasa atau
ganjaran. Ia tak mengandung keinginan menerima anugerah ganjaran dari seri baginda. Pertama,
seper yang dikatakan pa h Aragani tadi, agar baginda lebih jelas tentang peris wa itu. Kedua,
memang ia ingin mengetahui dari dekat bagaimana sesungguhnya peribadi baginda Kertanagara
yang termashyur itu. Jika ada peris wa itu, tak mungkin ia dapat diterima menghadap baginda.
Disamping itu, ah?". ia tersipu-sipu sendiri karena mengharapkan mudah-mudahan puteri2
baginda juga ikut hadir di samping baginda.
Bukan kepalang kejut baginda ke ka menerima, pa h Aragani. Hampir baginda tak dapat
mengenali bahwa lelaki setengah tua yang menghadap dihadapannya itu pa h Aragani. Saat itu
ada seorang mentri atau senopa yang hadir. Dan yang menerima hanya baginda sendiri dengan
pengawal-pendamping Bandupoyo. Memang pengawal-pendamping yang telah dianugerahi
pangkat tumenggung itu selalu berada di samping barang kemana baginda berada.
"Apakah engkau benar pa h Aragani?" tegur baginda terheran-heran melihat keadaan diri dan
busana Aragani. "Sesungguhnya hamba adalah pa h Aragani, hamba paduka yang setya, junjungan hamba" sahut
Aragani. Ternyata dalam keadaan yang pontang pan ng itu, masih Aragani dapat merangkai kata
sanjung yang sedap. Baginda geleng2 kepala "Bagaimana mungkin keadaanmu sampai sedemikian rupa, patih "."
"Kiranya diperkenankan pa h paduka untuk mempersembahkan laporan tentang perjalanan
hamba ke Daha untuk menunaikan amanat paduka, gusti."
Baginda memberi perkenan.
"Hamba telah diterima menghadap akuwu Jayakatwang dan telah pula hamba haturkan segala
maksud kedatangan hamba seperti yang telah tersirat dalam amanat paduka."
"Lalu "." "Amat bersyukur dan bersukacita kiranya akuwu Jayakatwang menerima limpahan budi dan
anugerah paduka yang tiada taranya itu, gusti."
"Ya" baginda mengangguk "demikian agar dia menghaya maksud keinginanku untuk
mempersatukan Singasari - Daha dalam suatu ikatan keluarga."
"Semoga keluhuran tah paduka akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh
kawula kerajaan Singasari " kembali patih Aragani bermain rangkaian kata indah.
Kemudian bagindapun bertanya tentang sikap akuwu Jayakatwang terutama pangeran Ardaraja
waktu menyambut amanat baginda itu.
Pa h Aragani memang licin. Ia tahu bahwa saat itu akan sia2 belaka apabila ia mengungkap
kandungan ha Jayakatwang yang tercurah dalam percakapan itu. Lebih baik dia memberi ulasan
lain yang akan menyenangkan hati baginda.
Maka pa h Araganipun menghaturkan saja betapa gembira, bersyukur akuwu Jayakatwang atas
amanat baginda itu. "Lalu bagaimana dengan Ardaraja sendiri "."
"Pangeran Ardaraja memang seorang pangeran yang tampan, gagah dan perwira, gus " pada
saat itu mulailah patih Aragani melaksanakan rencananya.
"Bagaimana maksud kata-katamu itu, Aragani."
"Pangeran Ardaraja gemar mela h diri dalam ilmu kedigdayaan, ilmu tata-praja dan lain2 ilmu
yang berguna bagi seorang pangeran yang kelak akan menggan kan kedudukan ayahandanya.
Disamping itu pangeran memiliki pambek yang luhur. Pangeran amat bersukacita atas amanat
paduka tetapi pangeran dengan segala kerendahan ha tak menginginkan bahwa dengan
menerima amanat paduka itu, jangan orang menganggap bahwa ia mengandung maksud untuk
mengarah tahta kerajaan paduka."
Baginda terbeliak "Apa maksudnya, patih"."
"Dengan segala kerendahan dan keikhlasan ha , pangeran mohon agar puteri yang paduka
hendak anugerahkan kepadanya itu, janganlah puteri2 paduka yang mempunyai hak atas warisan
tahta kerajaan Singasari. Misalnya gusti ayu Tribuana dan gusti ayu Gayatri."
"Ardaraja mempunyai hati yang sedemikian tulus, patih"."
"Benar, gusti."
Gerahlah seketika wajah baginda Kertanagara "Memang dalam hal itu tak lepas dari pemikiranku.
Sesungguhnya aku sedang periha n untuk mengambil keputusan. Tribuana dan Gayatri masih
mempunyai seorang ayunda yang lahir dari lain ibu. Sebagai puteri yang sulung, sudah tentu
Laksmi harus menikah lebih dulu. Tetapi aku sudah berkenan menerima permohonan ibunda
Tribuana dan Gayatri, bersedia menjadi permaisuriku apabila putera keturunannya yang kelak
menggan kan tahta kerajaan Singasari ini. Namun bila kujodohkan Laksmi kepada Ardaraja,
akupun kua r Jayakatwang dan puteranya akan tersinggung perasaannya. Kini setelah Ardaraja
sendiri menyatakan keinginannya, tentulah kuperkenankan puteriku yang sulung itu untuk menjadi
isteri Ardaraja. Kelak Ardaraja tentu akan kuangkat sebagai pengganti ayahanda Jayakatwang."
Diam2 pa h Aragani girang karena rencananya telah menjadi kenyataan. Singasari takkan jatuh
dalam kekuasaan pangeran Daha.
"Disamping itu, gus " katanya pula "mohon diampunkan segala dosa hamba karena selama
hamba berada di keraton, telah terjadi suatu peris wa yang hampir saja akan menggagalkah
seluruh titah paduka."
"Apakah itu, patih "."
Dengan panjang lebar, pa h Aragani lalu mempersembahkan laporan tentang peris wa Mahesa
Rangkah hendak mengadakan percobaan membunuh pangeran Ardaraja. Semua peris wa yang
telah dialaminya di keraton dihaturkan ke hadapan baginda.
"Keparat! " teriak baginda "Mahesa Rangkah berani melakukan hal itu" "
"Karena dia iri ha dan marah kepada Ardaraja. Menurut dugaannya, paduka tentu akan
menjodohkan gusti ayu Tribuwana kepada pangeran Ardaraja"
"Itu wewenangku sebagai raja dan ayah. Mengapa dia tak puas "."
"Rupanya bekel itu sudah melampaui batas kesusilaan karena berani mengharapkan gus ayu
Tribuwana" lalu pa h Aragani mengungkap semua ngkah laku selama bekel Rangkah berada di
keraton Singasari. "Bawa dia kemari dan akan kujatuhi hukuman mati " seru baginda murka sekali.
"Ampun, gus " sembah pa h Aragani pula "bekel itu telah melarikan diri dan ternyata dia
menggabungkan diri dengan gerombolan gunung Butak yang hendak melawan kekuasaan paduka "
pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa yang dialaminya di lembah pegunungan Kawi
ketika diserang oleh gerombolan gunung Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah.
Baginda terperanjat dan makin murka.
"Siapa gerombolan gunung Butak itu"."
Pemimpinnya adalah Banyak Pasirian, putera dari Linggapa di daerah Mahibit yang dulu hendak
berontak dan ditumpas oleh ayahanda paduka rahyang ramuhun Wisnuwardana. Dia menghimpun
kekuatan di gunung Butak hendak mengadakan kraman pula terhadap kerajaan Singasari."
"Dan si Rangkah itu telah menggabung dengan mereka?" ujar baginda.
"Dengan membawa beratus anakbuah, dia telah menyerang dan membunuh semua prajurit
pengiring hamba termasuk demang Kartika, gusti."
Merah padam wajah baginda Kertanagara.
"Lekas tahkan pa h Kebo Anengah menghadap kemari, dan ku tahkan supaya besok membawa
pasukan Singaasari menumpas gerombolan gunung Butak!."
~dewikz~ismoyo~mch~ Jilid 10 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ke ka masuk ke keraton, Nararya di tahkan pa h Aragani supaya menunggu di pendapa luar.
Pa h Aragani masuk menghadap baginda sendiri. Lama sekali Nararya menan namun pa h
Aragani tak kunjung datang.
Ia hendak menyusul masuk kedalam tetapi ia takut. Takut kalau dituduh kurang aturan. Mungkin
akan menerima teguran dari para pengawal-dalam. Mungkin pula patih Aragani akan marah.
Tetapi dia tak sampai pada dugaan bahwa mungkin juga patih Aragani akan memerintahkan
penangkapan atas dirinya. Bagai seorang penguasa, terutama yang licin dan kejam seperti
patih Aragani, mudah sekali untuk mencari alasan. Bahkan tanpa alasan, pun patih itu berkuasa
untuk menitahkan prajurit menangkapnya.
Kekuasaan ditangan penguasa yang tak bijaksana, memang akan dapat menimbulkan derita.
Terpaksa ia menahan diri. Beberapa saat kemudian mbul keinginannya untuk meninggalkan
paseban luar itu. Lebih baik ia pergi karena ia memang tak mengharapkan balas jasa atau anugerah
apa2 dari seri baginda. Tetapi ndakan itupun juga menimbulkan akibat yang kurang baik juga. Keraton penuh dijaga
dengan prajurit2 pengawal keamanan. Apabila terlihat oleh mereka, tentu dia akan di tangkap.
Selama pengalamannya berkelana ini, ia mempunyai pengalaman juga dalam keraton dan
tempat kediaman mentri, senopa dan orang2 berpangkat, ia mendapat kesan, bahwa dalam
se ap peris wa dimana dia harus berhadapan dengan kawanan prajurit atau penjaga, selalu ia
mendapat kesulitan dan akan berakhir dengan kekerasan Berurusan dengan prajurit bawah,
memang lebih sulit. Sering ia harus mengalami perlakuan kasar. Beda dengan pimpinan atau yang
atasan. Mereka lebih baik dalam perlakuan dan lebih bijaksana dalam tindakan.
Apabila merenungkan hal itu, Nararya meragu dan batalkan rencananya lagi. Apa boleh buat. Ia
harus menahan kesabarannya untuk menunggu patih Aragani.
Tak berapa lama pa h Aragani pun muncul. Dia di ajak pulang ketempat kediaman pa h itu.
Setelah dipersilahkan membersihkan badan menikma hidangan, Nararya dipanggil pula oleh pa h
Aragani. "Ki bagus" kata pa h Aragani "baginda amat murka mendengar persembahan laporanku. Maka
lebih baik dak kubawa engkau menghadap baginda. Soal ndakanmu yang telah menolong aku
dan mengantar aku pulang ke pura Singasari, takkan kulupakan, Akan kuberimu hadiah yang
setimpal" Nararya terkejut. "Terima kasih gus pa h" katanya " ada sekali-kali hamba mengharap hadiah dan anugerah dari
paduka." "Ah, janganlah engkau menolak, ki bagus" kata pa h Aragani "sudah layak apabila se ap jasa itu
mendapat anugerah, se ap kebaikan mendapat imbalan. Dari aku sebagai pa h kerajaan Singasari,
wajib memberi hadiah sebagai tanda penghargaan dan terima kasihku kepadamu."
Namun Nararya tetap menolak.
Memang bukan tiada sebabnya patih Aragani tak menghaturkan Nararya kehadapan seri
baginda. Semula dia memang mempunyai rencana demikian, agar Nararya mendapat pujian
dan kedudukan dari seri baginda. Tetapi entah bagaimana, ketika tiba di pura kerajaan,
pikirannya berobah. Dia teringat akan putera manantunya, raden Kuda Panglulut. Sebagai
seorang mentua, lebih layak apabila dia berjuang untuk menampilkan putera menantunya ke
tangga kedudukan yang lebih tinggi. Jika seri baginda berkenan akan Nararya, tidakkah hal itu
berarti suatu rintangan bagi perjalanan Kuda Panglulut dalam menanjak ke tangga kedudukan
yang tinggi " Dengan pemikiran yang datangnya secara ba- ba itu maka pa h Aragani dak jadi membawa
Nararya ke hadapan seri baginda melainkan menitahkan pemuda itu di pendapa agung. Dan kini
dia hendak menyelesaikan soal Nararya itu sendiri. Pikirnya, asal diberi hadiah besar tentulah
pemuda itu sudah puas. Tetapi pa h Aragani kecele ke ka mendapat penolakan dari Nararya. Pemuda itu tak mau diberi
hadiah uang dan busana. "Ki bagus" kata pa h Aragani sejenak teringat sesuatu. "kuminta engkau menunggu di kepa han
sini. Aku hendak melaksanakan titah baginda untuk memanggil kakang patih Kebo Arema."
"O, hamba menunggu disini "."
Pa h Aragani membawa Nararya ke dalam. Diperintahkan hambanya untuk menyediakan
hidangan kepada pemuda itu. Kemudian ia meninggalkan Nararya untuk menemui pa h Kebo
Arema. Dayang yang melayani Nararya itu sudah setengah tua. Nyi Su namanya yang dalam pekerjaan
sehari-hari bertugas melayani Dyah Arini, puteri pa h Aragani yang telah bersuamikan raden Kuda
Panglulut. Agak terkesiap nyi Su ke ka melihat Nararya. Wajah pemuda itu dalam pandang matanya
seper memancarkan sinar yang terang. Menurut perasaannya, belum pernah ia melihat seorang
pemuda yang memiliki wajah seperti Nararya.
"Ki bagus, siapakah nama tuan?" Nyi Su mengajukan pertanyaan ke ka menghaturkan hidangan
kepada Nararya. "Nararya, bibi."
"Ah, nama yang bagus seperti orangnya" puji nyi Suti. Sekalipun baru berumur tigapuluh tahun
lebih, tetapi nyi Suti sudah menjanda karena suaminya meninggal. Nyi Suti memiliki paras yang
terang karena kulitnya bersih dan kuning.
Kemudian dayang itu bertanya juga apa sebab Nararya berada dalam kepa han. Dengan terus
terang Nararya menceritakan tentang peristiwa di kaki gunung Kawi.
"Oh" desuh nyi Su "jika demikian tentu besar sekali ganjaran gus pa h kepada ki bagus. Benar
ki bagus, hal itu bukan main- main. Engkau telah menolong jiwa gus pa h. Seharusnya engkau
dihaturkan kehadapan seri baginda agar diberi pangkat."
Nararya tersenyum. "Tidak bibi ....."
"Ah, janganlah ki bagus menyebut aku bibi. Adakah aku ini sudah tua dan layak engkau sebut
bibi?" . "Lalu bagaimana aku harus memanggil "."
"Nyi Suti. Namaku Suti" Nararya mengiakan.
"Ki bagus" kata nyi Suti pula "tidakkah engkau senang tinggal di pura kerajaan"."
Nararya diam2 terkejut melihat ngkah ulah dayang kepa han yang begitu ramah sekali
kepadanya. Namun sebagai seorang tetamu ia harus bersikap sopan.
"Lalu apa kerjaku di pura?" katanya.
"Ah, gus pa h tentu dapat memberi pekerjaan kepadamu, ki bagus. Syukur engkau diterima di
kepatihan sini ...." nyi Suti tertawa.
Nararya menghela napas. Sebenarnya ia muak melihat ngkah ulah dayang yang begitu genit.
Tetapi sebagai seorang tetamu, tak mau ia mengucapkan kata2 kasar. Terutama tak mau ia
menyakiti hati wanita, bujang sekalipun dia itu.
Tiba2 datang pula seorang dayang yang memanggil nyi Su "Gus puteri menitahkan engkau
menghadap.."
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bergegas nyi Suti mendapatkan junjungannya.
"Kemana engkau Suti" Mengapa lama benar engkau tak muncul?" puteri Arini menegurnya.
Karena ketakutan nyi Su pun menceritakan tentang perintah pa h Aragani yang telah dilakukan
terhadap seorang pemuda. "Siapa?" tanya Arini.
"Namanya Nararya" nyi Suti lalu menceritakan penuturan pemuda itu kepadanya.
"O, dia tentu seorang pemuda yang gagah perkasa" seru puteri Arini.
"Tidak, gus " kata nyi Su "dia seorang pemuda yang tampaknya lemah, berbudi halus dan
tampan. Hamba rasa dia tentu berdarah bangsawan tetapi dia mengaku sebagai seorang pemuda
desa." Entah bagaimana seke ka mbullah keinginan puteri Arini untuk melihat Nararya. "Nyi Su "
serunya "panggillah dia kemari.."
Nyi Suti terbeliak "Tetapi gusti ....."
"Mengapa"."
"Tidakkah .... raden Panglulut akan marah apabila gus bertemu dengan seorang pemuda yang
tak dikenal itu"."
"Mengapa marah?" balas Arini "aku tak bermaksud apa2 melainkan ingin melihat orang yang
telah menolong jiwa ramaku. Bila perlu, akupun wajib juga untuk memberi anugerah kepadanya.."
Nyi Suti tak dapat membantah. Ia segera menemui Nararya.
" i bagus" katanya "gusti puteri Arini menitahkan engkau menghadap.."
Nararya terkejut "Siapa gusti puteri Arini itu"."
"Puteri gusti patih Aragani."
"O" Nararya mendesuh. Tetapi ia tak dapat melanjutkan berkata karena nyi Su pun sudah siap
membawanya. Terpaksa Nararya mengikutinya.
Nararya tersipu menundukkan kepala ke ka pandang matanya beradu dengan mata Arini. Ia
segera duduk bersimpuh dihadapan puteri patih itu.
Diam2 ha puteri Arini pun tergetar ke ka tersambar sinar mata Nararya yang bercahaya terang
itu. Sampai beberapa saat ia tertegun.
"Gus " karena melihat Arini diam sampai beberapa saat, nyi Su terseru "inilah pemuda, ki
bagus Nararya, yang telah menyelamatkan jiwa gusti patih."
Arini agak gelagapan "O, benarkah engkau yang telah menolong rama patih, ki sanak "."
"Ah, hamba hanya sekedar menyembunyikan gus pa h dari kejaran gerornbolan, gus " Nararya
menyahut dengan kata2 merendah.
"Menyelamatkan, bukan harus dengan mengadu jiwa. Banyak sekali jalan dan caranya.
Menyembunyikan dari serangan gerombolan, juga suatu cara penyelamatan yang baik" kata puteri
Arini. "Tetapi hamba hanya sekedar melakukan apa yang hamba wajib lakukan. Sebagai seorang
kawula terhadap gusti. Hamba tak merasa telah berbuat suatu jasa terhadap gusti patih."
Melihat wajah Nararya yang memancar sinar agung dan tutur bahasanya yang rendah ha dan
sopan, tertariklah perha an Arini. Walaupun tak sampai dia meningkatkan pemikirannya akan
sesuatu yang dirasakan antara suaminya, Kuda Panglulut, dengan Nararya. Namun saat itu
terbayang juga ia akan diri suaminya itu. Ia menghela napas.
Dalam pada waktu Arini sedang bercakap-cakap dengan Nararya, nyi Su pun meninggalkan
tempat itu. Memang sudah menjadi peraturan, bahwa apabila gus puterinya sedang menerima
tetamu tak boleh para hamba sahaya berada disitu untuk mendengarkan percakapan.
Nararya menunduk diam. Ia tak mau bicara kalau tak ditegur.
"Ki sanak" kata Arini pula "sungguh amat sayang apabila seorang muda seper engkau, hidup
terpendam di pegunungan yang sepi. Tidakkah engkau berminat untuk bekerja di pura kerajaan ini
"." "Terima kasih, gusti" kata Nararya "tetapi orangtua hamba sudah tua. Hamba harus bekerja
untuk membantu mereka."
"Apakah pekerjaanmu"."
"Mengerjakan sawah, berkebun dan bercocok tanam."
"Engkau senang dengan pekerjaan itu?"
"Sejak dari lahir sampai dewasa ini, hamba sudah biasa hidup di pegunungan atau pedesaan.
Hamba mencintai pekerjaan hamba itu. Hambapun mencintai suasana pegunungan yang tenang
dan damai, dimana burung2 bebas beterbangan dan berkicau, air berdesir-desir mengalir
sepanjang lembah dan ngarai, udara yang cerah menghamburkan angin yang sejuk."
Dikala Nararya mengucapkan kata itu, Arini pun terbuai. Seolah ia terhanyut dalam keindahan
dan ketenangan alam pegunungan yang murni. Ingin ia mempunyai sayap untuk terbang menikma
keindahan itu. Perasaan manusia memang berobah-robah. Perobahan itu timbul dari panca indera dan
penyerapannya. Seorang yang berada dalam lingkungan hidup yang berkemewahan, dia akan
kabur perasaannya akan kenikmatan yang dinikmatinya. Dia takkan merasakan lagi akan
kenikmatan hidup itu. Demikian pula dengan perasaan puteri Arini. Dia hidup dalam
kemewahan. Sebagai puteri seorang patih yang berkuasa. Sebagai seorang isteri dari raden
Kuda Panglulut yang cakap. Mendengar tentang keindahan suasana alam pegunungan yang
penuh ketenangan dan kedamaian, ia ingin juga untuk menikmatinya.
"Benarkah itu, ki sanak" katanya menegas.
"Demikianlah gus " kata Nararya "kenyataan itu telah hamba rasakan dan menghidupi hamba
sampai belasan tahun."
"Tidakkah engkau merasa hidup di pura kerajaan itu jauh lebih ramai dan leoih nikmat"."
"Kenikmatan hidup di alam pedesaan dan di pura kerajaan memang berbeda, gus " kata Nararya
"orang di pura kerajaan hidup dengan penuh kegembiraan. Dilingkungi oleh kehidupan yang ramai
dan mewah. Sedang kenikmatan hidup di alam pegunungan, dilingkungi ketenangan dan
kedamaian." "Apa beda kedua kenikmatan hidup itu "."
"Kegembiraan dalam lingkungan hidup yang serba mewah, hanyalah suatu kenikmatan lahiriyah.
Suatu kenikmatan yang bersifat keduniawian. Sedang kenikmatan hidup di pegunungan,
kenikmatan yang tenang dan damai. Kenikmatan ba n. Semakin jauh manusia dari keduniawian,
makin,dekat kita pada kebesaran alam dan keagungan Hyang Widdhi. Demikian gus puteri,
perbedaan kedua kenikmatan itu."
"Tetapi ki sanak" kata Arini "orang muda semacam engkau, belum waktunya untuk
menenggelamkan diri pada kenikmatan di pegunungan. Negara masih membutuhkan kaum muda
untuk menegakkan dan memperkuat kejayaan kerajaan. Tidakkah itu suatu dharma wajib pada
kaum muda seperti dirimu "."
Nararya terkejut menerima pertanyaan itu.
"Benar, gus puteri. Memang kerajaan perlu sekali dengan pengabdian para muda. Banyak sekali
bidang yang memerlukan tenaga kaum muda. Tetapi ah" ia menghela napas "keadaan hamba
belum memungkinkan hal itu, gus . Hamba harus membantu orangtua, hamba yang sudah lanjut
usianya." "Tidakkah dengan mendapat pangkat dan kedudukan di kerajaan Singasari, engkau dapat
membawa serta orangtuamu ke pura kerajaan "."
"Ah, gus " kembali Nararya menghela napas "orangtua hamba seorang tua yang sudah tak
mengharap dan menginginkan keduniawian. Orangtua hamba ingin melewa sisa hidupnya dalam
alam yang tenang dan damai. Hamba harus berbakti dan menghormati pendiriannya gusti."
Arini mengangguk. Pembicaraan yang singkat itu cukup memberi kesan baik kepadanya. Bahwa
Nararya, itu memang seorang yang berbudi luhur. Dan tanpa disadarinya ia telah membayangkan
sikap serta ngkah Kuda Panglulut suaminya itu. Kuda Panglulut gagah, berani dan penuh dengan
cita-cita yang nggi untuk meraih kedudukan yang nggi. Demikian pula sifatnya yang selalu keras
kepala itu, sering menimbulkan pertengkaran dalam rumahtangga mereka. Puteri Arini termenung-
menung. "Adakah engkau dapat menerima apabila rama pa h memberi kedudukan ?" akhirnya ia
bertanya. "Sudah tentu hamba amat berterima kasih sekali atas anugerah gus pa h itu" jawab Nararya
"tetapi sayang sekali saat ini hamba belum dapat melaksanakan karena keadaan keluarga hamba."
Arini benar2 tak dapat memaksa. Dalam diri Nararya, ia mendapatkan seorang pemuda yang lugu
dan jujur. Se ap orang tentu mengharap ganjaran, harta maupun pangkat. Tetapi ternyata Nararya
menolak semuanya. "Baiklah, ki sanak" akhirnya puteri patih itu berkata "aku gembira dan menghormati pendirianmu
yang jujur dan sifatmu yang amat berbak kepada orangtua itu. Tetapi betapapun, akupun hendak
mengunjuk bakti kepada ramaku."
"Syukurlah, gusti."
"Engkau setuju, bukan "."
"Setuju gusti."
"Baik" kata puteri Arini "oleh karena rama pa h telah mendapat budi pertolonganmu maka aku
sebagai puterinya, wajib membalas budimu itu. Terimalah ini, ki sanak."
Puteri Arini segera melolos cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia mengulurkan cincin itu
kepada Nararya. Nararya terkejut sekali.
"Gusti" serunya "bagaimana mungkin hamba berani menerima anugerah paduka itu "."
"Aku yang memberi, bukan engkau yang meminta."
"Tetapi hamba merasa tak layak menerima."
"Yang menilai layak atau tidak, adalah yang memberi bukan yang menerima."
"Ah" Nararya mengeluh desuhan.
"Ki sanak, engkau seorang, anak yang amat berbak kepada orangtuamu tetapi mengapa engkau
tak menghargai orang lain berbak kepada orangtuanya" Bukankah begitu ar nya engkau menolak
pemberianku ini sebagai tanda terima kasihku atas pertolongan yang engkau lakukan kepada
ramaku"." "Tetapi gusti ....."
"Tidak ada tetapi, ki sanak. Terimalah" Arini terus menyodorkan tangannya ke muka. Melihat itu
Nararya pun terpaksa menyambuti.
Sekonyong-konyong terdengar angin berhembus tajam menyambar kearah tangan Nararya
yang tengah menyambuti cincin pemberian puteri patih. Hampir saja benda yang menyambar itu
hinggap dipunggung tangan Nararya. Untunglah pada detik2 yang berbahaya, Nararya sempat
melihat bahwa benda itu bukan lain sebilah pisau belati.
"Uh ...." cepat ia endapkan tangannya ke bawah sehingga terhindar dari sambaran bela .
Sekalipun begitu tangannya berdarah juga. Kulitnya tersambar ujung bela yang menggurat sebuah
luka panjang. "Kakang Panglulut!" teriak Arini demi melihat Kuda Panglulut tegak di ambang pintu dengan
mata berapi-api. Nararya pun terkejut. Cepat ia berbangkit dan berpaling menghadap kearah Kuda Panglulut. Ia
teringat bahwa Kuda Panglulut itu adalah suami Arini.
"Keparat, siapa engkau !" Kuda Panglulut tak menghiraukan teguran isterinya, melainkan maju
menghampiri ketempat Nararya seraya menuding muka pemuda itu.
"Hamba Nararya, raden" kata Nararya seraya memberi hormat.
Arinipun menyongsong maju "Kakang Panglulut, dia adalah orang yang telah menolong jiwa rama
patih." "Tutup, mulutmu!" bentak Kuda Panglulut lalu maju kehadapan Nararya "aku tak peduli engkau
yang menolong jiwa rama pa h atau bukan, tetapi seorang lelaki yang berani menyelundup masuk
kedalam ruang keputren dan bicara sedemikian asyik dengan isteriku, dia wajib kubunuh."
"Kakang . ... . !" teriak Arini seraya menghadang ditengah kedua pemuda itu "akulah yang
memanggilnya kemari. Dia tak bersalah!."
Sepasang mata Kuda Panglulut makin membara.
"Engkau mengundangnya kemari" Apa keperluanmu" Layakkah seorang puteri, dikala suaminya
tak ada rumah, mengundang seorang pria lain"."
Karena sudah biasa bertengkar dengan suaminya dan se ap bertengkar Arini tentu bermanja diri
dengan teriakan dan tangis maka saat itu iapun menjerit.
"Engkau berani menghinaku, kakang!."
"Jawab pertanyaanku!."
"Ramalah yang menitahkan supaya dia menunggu di kepa han dan menitahkan nyi Su untuk
menghidangkan makanan kepadanya. Karena heran nyi Su tak muncul lalu ku tahkan seorang
dayang memanggilnya. Nyi Su menerangkan bahwa dia sedang melaksanakan tah rama pa h
untuk melayani pemuda itu. Kupanggil pemuda itu dan hendak kuberinya hadiah uang sebagai
tanda terima kasihku atas ndakannya menyelamatkan jiwa rama. Tetapi dia menolak. Adakah
engkau kira dan menuduh aku mempunyai maksud lain"."
"Hm" desuh Kuda Panglulut "engkau boleh dan berhak ber ndak sesuai yang engkau anggap
benar. Tetapi akupun berhak untuk bertindak sesuai apa yang kuanggap wajib."
"Apakah tindakanmu?"
"Membunuhnya karena dia telah melanggar tata susila berani masuk kemari."
"Tetapi aku yang memanggilnya."
"Aku tidak mengurus dirimu melainkan hendak menghukum orang itu."
"Aku yang bertanggung jawab akan peris wa ini!" teriak Arini "kalau engkau mau membunuh,
bunuhlah aku !." Mata Kuda Panglulut makin merentang lebar "Engkau hendak melindunginya "."
"Bukan" seru Arini "aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya."
Melihat puteri pa h itu bertengkar dengan suaminya, perasaan ha Nararya tak enak. Ia kua r
peristiwa itu akan berkelarutan menimbulkan lain peristiwa yang tak diharapkan.
Pertengkaran mulut antara suami isteri, mudah menimbulkan bayang2 kecemburuan hati.
Suami mencemburui isteri atau isteri menuduh suami. Dan cemburu itu sesungguhnya timbul
dari rasa cinta isteri atau suami kepada sisihannya. Baik tujuannya, baik maksudnya. Tetapi
karena bertengkar, mulut maupun sampai gerakan tangan, tentu akan meningkatkan suhu
kemarahan. Dan kemarahan itu kadang melupakan kesadaran pikiran. Walaupun akan
menyesal setelah itu, tetapi kenyataan telah terjadi. Dan apa yang terjadi sukar dicegah, tak
guna disesalkan. Demikian tujuan yang baik, akan berakibat buruk apabila ditempuh dengan
cara yang salah. Terutama cara bertengkar yang mudah sekali menimbulkan kebakaran hati.
"Raden" serentak Nararya berseru setelah menimang suatu keputusan "memang aku bersalah
karena lancang memasuki keputren ...."
"Ki sanak, engkau.... engkau ..." teriak Arini terkejut.
Tetapi Nararya tak mau memberi tanggapan.
"Hm, engkau seorang jantan juga" seru Kuda Panglulut dengan nada mencemoh "engkau tahu
bahwa masuk ke dalam keputren itu suatu larangan bagi orang lelaki"."
Nararya mengiakan. "Jika sudah tahu tetapi engkau tetap melanggar, dakkah hal itu berar engkau memang sengaja
karena mempunyai maksud buruk"."
"Kakang Panglulut" teriak Arini dengan dada bergolak "jangan melontarkan fitnah yang sehina
itu"' Walaupun kata2 Kuda Panglulut tadi dak ditujukan kepada Arini melainkan kepada Nararya
tetapi tak lepas pula dalam hubungannya dengan diri Arini. Itulah sebabnya maka puteri, pa h itu
naik pitam. "Raden Panglulut" seru Nararya dengan tenang "betapapun gus puteri hendak menjelaskan dan
betapapun dengan kesungguhan ha aku menyangkal hal2 yang raden tuduhkan kepada diriku,
tentulah raden menolak dan tetap menuduh kepadaku."
"Seribu keterangan kalah dengan satu kenyataan !."
"Baik" kata Nararya "dan dengan kenyataan itu, raden hendak menghukum diriku ?"
"Mati pidanamu."
"Benar" sahut Nararya "tetapi bagaimanakah pidana bagi orang yang membunuh orang yang tak
bersalah "." "Engkau maksudkan aku membunuh orang yang tak bersalah " Huh ....."
"Di jagad ini masih ada keadilan, raden. Mungkin dengan pengaruh dan kepandaian
berbicara, mampu saja raden terhindar dari pidana itu. Tetapi keadilan Hyang Widdhi akan
menuntut kemanapun raden akan pergi, bahkan ke liang semutpun juga."
"Keparat" bentak Kuda Panglulut "engkau hendak mengancam dan menakut-nakuti aku "."
"Jika raden merasa tak.takut, marilah kita nan kan kedatangan gus pa h untuk mohon
keadilan." "Tidak perlu" seru Kuda Panglulut "aku berhak untuk berbuat apapun disini. Ini urusanku, wajib
aku yang menyelesaikan sendiri."
"Aku juga berhak" tiba2 Arini melengking "dan inipun urusanku, wajib aku ikut menyelesaikan."
"Hm, Arini" mata Kuda Panglulut membelalak lebar "tampaknya engkau sangat memperha kan
sekali akan orang itu!."
"Karena dia tak bersalah !."
"Apa engkau ikut menderita apabila dia kuhajar "."
"Ya" tanpa tedeng aling2 puteri patih itu menjawab.
"Huh, engkau ...." sepasang mata Kuda Panglulut memancarkan api.
"Aku ikut menderita rasa malu dan hina, karena mempunyai seorang suami yang gelap mata,
gelap pikiran. Mengandalkan kekuasaan bersewenang-wenang terhadap orang."
Kuda Panglulut tertegun. "Aku puteri patih Apanji Aragani yang berpengaruh besar dan berkuasa dalam pemerintahan
Singasari. Jika kulaporkan perbuatanmu kepada rama patih, tidakkah engkau akan ditegur
rama " Bahkan jika aku menginginkan, segala kemungkinan dapat menimpa dirimu."
Sebenarnya dalam ketegunan tadi, Kuda Panglulut hampir terbuka ha nya. Hampir ia mendapat
kesadaran pikirannya kembali. Tetapi dikala mendengar kata2 Arini yang terakhir, serentak
bangkitlah sifat kepriaannya yang angkuh.
"Silahkan, Arini, engkau melapor pada ramamu" teriaknya dengan merah padam "jika engkau
memang tak menyukai lagi, saat ini juga aku akan angkat kaki dari sini!."
"Itu persoalanmu sendiri. Aku tak menyuruh engkau pergi. Namun jika engkau hendak angkat
kaki, akupun tak kuasa mencegahmu."
"Hm, sekarang aku tahu" serunya kemudian mencurahkan pandang mata kepada Nararya
"engkaulah biangkeladi dari keributan ini. Engkau harus ma . ..." Kuda Panglulut mencabut keris
terus menerjang Nararya. "Kakang Panglulut ....!" Arini menjerit kejut dan hendak mencegah tetapi tak sempat lagi. Tubuh
Kuda Panglulut telah membayangi Nararya.
"Ah ... ." ba2 Arini mendesah kejut pula. Hanya kejutnya kali ini beda dengan kejut yang tadi.
Jika tadi dia tegang dan cemas, kini dia terkesiap dan longgar perasaannya. Dilihatnya Nararya
menyelinap ke samping dan loncat ke arah pintu.
Terjangan keris Kuda Panglulut hanya mengenai sasaran kosong ke ka tubuh Nararya
menyelinap kesamping. Nararya terlepas dari bahaya maut dan terus hendak menuju ke pintu. Ia
hendak keluar. Bukan karena ngeri menghadapi serangan Kuda Panglulut melainkan ia tak ingin
pertumpahan darah sampai menodai keputren. Apabila terpaksa harus berkelahi, perkelahian itu
supaya berlangsung di halaman.
Pada saat Nararya hendak menerobos keluar, ia terkejut ke ka hampir beradu tubuh dengan
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patih Aragani yang saat itu tengah melangkah masuk.
Demikian pula dengan Kuda Panglulut. Saat itu dia berputar tubuh dan hendak menyerang lagi.
Tetapi ia terbeliak ke ka melihat ayah mentuanya muncul di ambang pintu dengan pandang
terbelalak. "Kuda Panglulut, mengapa engkau" Apa yang terjadi di sini?" seru pa h Aragani penuh
keheranan. "Hamba hendak membunuh orang yang kurang tata itu, rama" jawab Kuda Panglulut dengan
masih mencekal keris. "Kurang tata" Mengapa"."
"Dia berani lancang memasuki keputren, rama"
Patih Aragani makin terbeliak. Sejenak ia memandang Nararya.
"Akulah yang memanggil kemari, rama" tiba2 Arini berseru seraya menghampiri.
"Engkau ?" patih Aragani makin heran "mengapa engkau panggil dia"."
Arini segera menuturkan peris wa tadi. Dan ia-pun mengemukakan alasannya seper yang telah
dikatakan kepada Kuda Panglulut tadi "Salahkah aku, rama"."
Patih Aragani tak menyahut melainkan bertanya kepada Nararya "Benarkah itu, Nararya "."
"Benar, gusti patih" kata Nararya "tetapi hamba memang merasa bersalah, gusti."
"Hm" pa h Aragani hanya mendesuh kemudian berkata kepada Kuda Panglulut "engkau memang
layak marah, Panglulut. Tetapi sebenarnya hal ini hanya suatu kesalahan faham belaka."
"Hamba memang terburu nafsu" kata Kuda Panglulut. Diam2 ia girang karena mentuanya
membenarkan undakannya. "Nararya ini" pa h Aragani menunjuk Nararya "memang aku yang mengajaknya ke kepa han.
Dan dia telah berjasa karena telah menyelamatkan rama ketika rombongan rama diserang kawanan
brandal di kaki gunung Kawi."
"O" desuh Kuda Panglulut.
Kemudian pa h Aragani menceritakan hal dia menghadap baginda di keraton untuk
menghaturkan laporan tentang peristiwa pencegatan di gunung Kawi itu.
"Oh" Kuda Panglulut terkejut "jadi seluruh pengiring rama telah dibunuh kawanan penyamun itu
"." "Ya" kata pa h Aragani "tetapi mereka bukan penyamun biasa melainkan gerombolan gunung
Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah ?" Kuda Panglulut berteriak "bukankah bekel bhayangkara-dalam di keraton"."
"Benar" sahut patih Aragani.
"Mengapa, dia memimpin gerombolan untuk menghadang perjalanan rama"."
Dengan ringkas dan jelas pa h Aragani segera menuturkan semua peris wa yang dialaminya
selama menjadi utusan baginda ke Daha.
Selama dalam perjalanan ke pura Singasari, Nararya belum mendengar jelas cerita pa h Aragani.
Mungkin karena tak sempat atau mungkin memang pa h itu tak mau bercerita terus terang
kepadanya, Kini dia-pun mencurahkan perha annya untuk mendengarkan cerita yang dibawakan
pa h Aragani kepada putera menantunya. Kini ia mempunyai gambaran jelas tentang pernikahan
pangeran Ardaraja. Diam2 dia menghela napas longgar.
"Karena hendak menemui pa h Kebo Arema maka kusuruh anakmuda ini menunggu aku di
kepatihan" patih Aragani mengakhiri ceritanya.
"O, hamba tak tahu, rama" kata Kuda Panglulut.
"Aku sudah mengatakan begitu kepadamu, tetapi, mengapa engkau tak percaya kepadaku ?" seru
Arini yang merasa mendapat angin.
"Arini" ba2 pa h Aragani berkata kepada puteri "memang maksudmu baik, tetapi ndakanmu
itu memang kurang benar. Rama dapat menyelami ha suamimu ke ka melihat seorang pria tak
dikenalnya berada dalam keputren dan bercakap-cakap dengan engkau"
"Sudah kuberi penjelasan rama, tetapi dia tetap marah dan menuduh aku yang dak baik"
bantah Arini. Aragani tertawa mengekeh.
"Engkau tak dapat menyelami perasaan suamimu, Arini. Sudah tentu dia marah karena
mencurigai engkau." "Kecurigaan yang buta, tak berdasar!" teriak Arini pula.
"Mengapa tak berdasar?" jawab Aragani "apakah engkau tak merasa bahwa kemarahan suamimu
itu karena curiga dan kecurigaannya itu karena cemburu " Dan apakah dasar dari seorang suami
yang cemburu itu . . .."
"Rama !" Arini tersipu-sipu merah mukanya terus lari masuk ke dalam.
Patih Aragani tertawa seraya geleng2 kepala.
"Panglulut" katanya kepada putera menantunya "engkau harus banyak kesabaran dan dapat
memomong isterimu itu. Dia memang telah terlanjur berwatak buruk karena terlalu kumanjakan."
"Mohon rama memaa an kekhilafan hamba karena sering masih bersikap kasar terhadap yayi
Arini." "Baiklah, puteraku" kata Aragani "kehidupan suami isteri itu memang demikian. Tetapi asal
masing2 telah menyadari kekhilafannya, semua tentu akan baik kembali bahkan akan menambah
kerukunan rumah-tangga."
Kemudian patih Aragani mengajak Kuda Panglulut dan Nararya ke luar ke pendapa.
"Kuda Panglulut" pa h Aragani memulai pembicaraan "tadi rama bersama ki pa h Kebo Arema
menghadap seri baginda. Seri baginda menitahkan supaya dikerahkan pasukan untuk membasmi
gerombolan gunung Butak dan menangkap Mahesa Rangkah."
Kuda Panglulut mengangguk-angguk.
"Di hadapan seri baginda, aku menghaturkan usul agar untuk membasmi gerombolan Butak
itu janganlah dipimpin oleh senopati kerajaan yang ternama, terutama ki patih Kebo Arema. Hal
itu hanya merendahkan martabat kerajaan Singasari saja."
"Bila terdengar oleh lain kerajaan, kewibawaan kerajaan Singasari akan menurun. Karena hanya
untuk menumpas sebuah gerombolan gunung saja harus mengerahkan pasukan besar dan
dipimpin oleh senopati terkenal, demikian kata2 yang kupersembahkan kehadapan baginda."
"Rupanya baginda berkenan menerima saranku itu kemudian menanyakan pendapatku siapa
kiranya yang dapat dipercayakan tugas untuk memimpin pasukan ke gunung Butak itu."
"Sebelum menghadap baginda, memang hal itu telah kupercakapkan dengan ki pa h Kebo
Arema dan ki pa h Kebo Arema menyetujui semua pendapatku. Maka dihadapan baginda, pa h
Kebo Arema lalu menunjuk engkau, Kuda Panglulut, yang diserahi tugas memimpin pasukan itu."
"Hamba, rama?" teriak Kuda Panglulut terkejut.
"Ya" pa h Aragani mengangguk "dan bagindapun telah berkenan menyetujui. Oleh karena itu,
engkau harus bersiap-siap. Besok berangkat ke gunung Butak untuk menumpas gerombolan
Mahesa Rangkah. Engkau boleh memilih siapa2 yang hendak engkau ajak dan berapa banyak
prajurit yang engkau perlukan."
Kuda Panglulut termenung.
"Puteraku Panglulut" kata patih Aragani pula. "inilah kesempatan yang baik agar engkau
dapat naik pangkat. Tunjukkanlah dirimu, Panglulut, bahwa engkau benar2 seorang ksatrya
muda yang gagah perkasa."
"Baik, rama" akhirnya Kuda Panglulut berkata "hamba hanya menurut saja apa yang rama
titahkan." Kemudian patih Aragani beralih kepada Nararya
"Nararya, ganjaran apakah yang engkau kehendaki?"
"Hamba tak menghendaki ganjaran apa2, gusti patih. Kecuali gusti patih ....."
"Apa yang hendak engkau katakan?" tegur patih Aragani ketika Nararya hentikan kata katanya.
"Kecuali gusti patih berkenan meluluskan hamba segera pulang ke gunung."
Mendengar itu tertawa gelak-gelaklah patih Aragani. Ia geleng2 kepala "Hanya itu
permohonanmu"."
Nararya mengiakan. "Nararya" ba2 pa h Aragani berkata dengan nada bersungguh "kutahu engkau seorang muda
yang jujur, berani dan digdaya. Tenaga seper engkau ini, diperlukan sekali oleh kerajaan Singasari.
Mengapa engkau lebih suka nggal di gunung " Mengapa engkau tak mau mengabdikan dirimu
kepada kerajaan "."
"Bukan hamba tak mau, gus pa h" kata Nararya "tetapi hamba masih mempunyai kewajiban
terhadap orangtua kami yang sudah tua. Kelak apabila kewajiban itu sudah selesai, hamba tentu
akan menyerahkan diri hamba dalam pengabdian kepada kerajaan Singasari."
"Ah, salah kata-katamu itu" tegur pa h Aragani "memang wajib merawat kepada orangtua,
merupakan dharmabhak yang lebih luhur yani wajib mengabdi kepada negara. Coba jawablah,
Nararya, pertanyaanku ini" kata patih Aragani.
Nararya mengiakan pula. "Apabila orangtuamu masih diberkahi umur panjang, dakkah engkau harus menunggu dengan
sia2. Bukankah kewajiban terhadap negara itu tak dapat dipertangguhkan sampai beberapa tahun
bahkan belasan dan puluhan tahun lagi"."
Sesungguhnya alasan Nararya yang dikemukakan kepada pa h Apanji Aragani itu hanya menurut
rangkaiannya sendiri. Tetapi ia merasa bahwa tugas yang dipesankan ramanya dan gurunya untuk
turun gunung, belum berhasil diselesaikan. Apabila ia sampai terikat akan suatu kedudukan pusat
di pemerintahan kerajaan, pas lah ia tak dapat melaksanakan pesan dari rama dan gurunya. Dan
semua alasan yang telah dihaturkan kehadapan pa h Aragani itu, tentu dapat diterima sehingga ia
terhindar dari desakan untuk menerima, kedudukan di pura Singasari.
"Memang benar, gus pa h" sahutnya, "kewajiban dan pengabdian terhadap negara, tak dapat
dipertangguhkan sampai berlarut-larut sehingga tenaga dan semangat kita sudah berkurang."
"Hm, kiranya engkau tahu juga."
"Tetapi" kata Nararya "pertama, hamba belum mohon ijin kepada orangtua hamba. Kedua,
hamba sendiripun belum siap. Ilmu kepandaian, pengalaman dan pengetahuan hamba masih
dangkal. Hamba hendak melanjutkan ilmu yang belum selesai hamba mba, sekalian untuk
merawat kedua orangtua hamba. Namun sampai pada waktu yang tertentu, dimana hamba
menganggap bahwa negara benar2 terancam bahaya, hamba pasti akan mengabdikan diri hamba."
"Justeru itulah, Nararya" seru pa h Aragara gembira "untuk mencari pengalaman, sekaranglah
waktunya. Demikian juga dari segi pandanganmu, saat ini kerajaan Singasari sedang diancam oleh
kekacauan dan gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh gerombolan gunung Butak."
"Tetapi gus pa h" sambut Nararya "kiranya dengan kekuatan pasukan Singasari dan pimpinan
raden Kuda Panglulut, tentulah gerombolan itu segera dapat terbasmi."
"Engkau memandang dari sudut yang engkau ketahui" kata pa h Aragani "tetapi engkau tak
mengetahui bahwa saat ini sesungguhnya kekuatan Singasari sedang berkurang. Sebagian besar
dari kekuatan pasukan Singasari telah di tahkan baginda untuk menuju ke tanah Malayu. Baginda
bercita-cita besar untuk menguasai seluruh nuswantara. Itulah sebabnya maka aku tak setuju
apabila ki pa h Kebo Arema harus memimpin sendiri pasukan kerajaan ke gunung Butak. Pura
kerajaan makin kosong."
"Dan" pa h Aragani menambahkan pula "aku memerlukan seorang pembantu yang gagah seper
engkau untuk Kuda Panglulut yang akan meminipin pasukan Singasari ke gunung Butak itu. Apakah
engkau tak bersedia untuk menyumbangkan tenagamu kepada kerajaan, Nararya "."
Nararya terdiam hening. Diam2 ia mengakui bahwa pa h Aragani itu memang seorang mentri
yang pandai bicara. Iapun menyadari bahwa saat itu dia sedang berada dalam genggaman seorang
penguasa yang berpengaruh seper pa h Aragani. Sepatah saja pa h itu meluncurkan kata, maka
jadilah dia hitam atau putih menurut yang dikehendaki patih itu.
Diam2 iapun heran mengapa pa h Aragani sedemikian bernafsu untuk mengangkatnya sebagai
pendamping raden Kuda Panglulut. Apakah tujuan patih itu"
Selintas pikiran melayang, teringatlah ia akan Lembu Peteng yang saat ini masih menyelundup
dalam gerombolan di gunung Butak. Sejauh laporan yang diterimanya dari Lembu Peteng, memang
gerombolan gunung Butak memiliki susunan tata ter b yang beda dengan gerombolan penyamun.
Diketahui juga bahwa pemimpin gerombolan gunung Butak itu bernama Joko Pasirian. Tetapi
mengapa ba2 Mahesa Rangkah yang menjadi bekel bhayangkara di keraton Singasari juga
menggabungkan diri bahkan menjadi salah seorang pimpinan gerombolan itu "
Dalam meneropong keadaan di gunung Butak, mulailah tertarik perha an Nararya untuk
mengetahui, apa dan siapakah sebenarnya gerombolan itu " Apa dan bagaimanakah sesungguhnya
tujuan gerombolan itu"
"Jika gus pa h berkeras menghendaki hamba, ikut serta dalam pasukan kerajaan Singasari yang
ditugaskan menumpas gerombolan gunung Butak itu, hambapun bersedia ikut, asalkan
permohonan hamba ini gusti patih berkenan meluluskan."
"Apa yang engkau minta?" cepat2 patih Aragani menanggapi.
"Selekas peris wa di gunung Butak itu selesai, hamba mohon supaya diperkenankan pulang ke
desa." Patih Aragani tertawa gelak2.
"Hanya itu "."
"Demikianlah, gusti patih."
"Baik, Nararya" kata patih Aragani "tentu akan kululuskan permintaanmu itu. Tetapi Nararya,
apakah engkau benar2 tak mau menjadi prajurit di Singasari" Menilik jasamu, aku dapat
mengangkatmu sebagai bekel prajurit."
Nararya menghela napas. "Telah menjadi pendirian hidup hamba" katanya "bahwa saat ini belum balah waktunya hamba
mengabdi kepada kerajaan. Hamba masih mempunyai beberapa tanggungan yang harus hamba
selesaikan. Terutama tanggung jawab hamba terhadap kedua orangtua hamba dan terhadap diri
hamba sendiri. Hamba masih merasa kurang dalam segala hal. Oleh karena itu perlulah hamba
menimba pengetahuan dan menuntut ilmu yang lebih nggi agar kelak dapat hamba sumbangkan
kepada negara. Hanya itulah cita2 hamba, gusti patih :."
Diam diam pa h Aragani memuji kesopanan tutur bahasa pemuda itu dan mengagumi pula cita
citanya. Diam2 pula mbul suatu lamunan dalam pikirannya. Andaikata belum terlanjur memungut
menantu raden Kuda Panglulut, tentulah ia akan bimbang untuk menentukan pilihannya, kepada
siapakah Arini itu akan dijodohkan.
Malam itu Nararya tidur di kepatihan; Diam2 ia menghela napas mengapa selalu saja dirinya
terlibat dalam suatu peristiwa. Dan setiap peristiwa itu selalu hendak mengikat dirinya pada
suatu kedudukan di kerajaan.
~dwkz~ismo~mch~ II Kuda Panglulut tak dapat menghaya apa maksud rama mentuanya mendesak pemuda yang
bernama Nararya itu menjadi pembantunya.
Sebagai kepala dari pasukan keamanan yang menjaga pura Singasari, Kuda Panglulut sudah
mempunyai pembantu yang dapat diandalkan.
Dia memiliki lima orang yang menjadi orang kepercayaannya. Empat orang berpangkat lurah
prajurit dan seorang demang. Keempat lurah prajurit itu yalah Sumarata, Siung Pupuh,
Pringkuku dan Bandung. Masing-masing memiliki kedigdayaan yang mengagumkan. Dan yang
seorang lagi yalah demang Krucil.
Kuda Panglulut membagi pura Singasari menjadi empat daerah keamanan. Lurah Sumarata
ditugaskan untuk menjaga keamanan pura barat, lurah Siung Pupuh di utara, Pringkuku di mur,
Bandung di selatan dan demang Krucil sebagai pusat laporan keamanan, bertempat di tengah pura.
Dengan kelima pembantunya itu, cukuplah bagi Kuda Panglulut untuk menghadapi gerombolan
gunung Butak. Mengapa mentuanya masih mengikut-sertakan Nararya lagi"
"Hm" desuh Kuda Panglulut dalam ha "memang aneh sekali kulihat sikap rama terhadap
pemuda itu. Biasanya tak mudah rama tertarik pada seseorang tetapi mengapa dengan Nararya
rama begitu menaruh perhatian besar"."
"Dan" renungan Kuda Panglulut masih melanjut dan makin meningkat. Tiba2 teringatlah ia akan
peris wa di keputren. Adalah karena peris wa itu hingga sampai sekarang Arini masih marah
" dakkah sikap yayi Arini itu juga mengherankan " Mengapa ia mengundang pemuda itu ke
keputren" Mengapa ia hendak memberikan cincin kepadanya"."
Kecurigaan dalam ha Kuda Panglulut makin menebal. Kecurigaan yang tercampur pula dengan
rasa cemburu. Apabila rasa cemburu sudah memenuhi kalbu maka meletuslah nafsu geram,
penasaran dan marah. Nafsu2 yang selalu menyertai setiap terjadi pergolakan dalam hati.
Serentak ia teringat akan demang Krucil. Demang yang bertubuh kecil itu memang cerdas, licin
dan kaya akan akal. Malam itu juga ia mengunjungi tempat kediaman demang Krucil.
"Kakang demang" katanya setelah duduk berhadapan dengan tuan rumah "ada sesuatu yang
hendak kubicarakan dengan kakang demang."
"O" demang Krucil terkejut "silahkan raden. Dimana tenagaku dibutuhkan, aku tentu akan
membantu raden dengan sepenuh hati."
"Terima kasih kakang demang."
Demang Krucil merupakan orang kepercayaan Kuda Panglulut maka tanpa ragu2 lagi Kuda
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 15 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Playboy Dari Nanking 4
Tiba2 ia melihat secarik sampul terhampar dilantai. Dipungutnya sampul itu. Ke ka membaca
isinya, ia terbelalak "Surat dari pa h Aragani" Dia hendak memberi peringatan kepadaku supaya
malam ini berjaga-jaga" Adakah dia sudah tahu akan kemungkinan penjahat itu hendak
membunuh aku" " tanyanya seorang diri "jika demikian, jelas dia harus tahu siapa pembunuh gelap
itu." Namun pangeran itu dapat bersikap tenang. Tak mau malam itu ia membuat gaduh dan
mendatangi ke-tempat patih Aragani. Ia akan menunggu sampai esok hari baru akan bertanya.
Demikian malam itu telah berlalu tanpa suatu peris wa lain yang menggemparkan. Keesokan
harinya pangeran Ardaraja mengunjungi patih Aragani.
Agak terkejut pa h Aragani menyambut pangeran Ardaraja yang sepagi itu sudah
mengunjunginya. Diperha kannya wajah pangeran itu tenang2 saja. Adakah semalam tak terjadi
suatu apa" Pikir patih Aragani.
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk berhadapan maka pa h Aragani pun menyatakan
keheranannya mengapa sepagi itu pangeran datang kepadanya.
"Terima kasih paman patih" ujar pangeran "bahwa engkau telah memberi peringatan kepadaku."
"O "desuh pa h Aragani seke ka menyadari mengapa pangeran itu datang kepadanya "tetapi
gusti pangeran, tidakkah semalam terjadi sesuatu "."
"Ada " pangeran mengangguk "hampir saja seorang penjahat membunuhku."
"Oh " pa h Aragani mendesuh "tetapi bukankah raden sudah bersiap menjaga se ap
kemungkinan seperti yang kuhaturkan dalam surat itu "."
Pangeran Ardaraja gelengkan kepala.
"Tidak, paman " sahutnya "aku dur dengan nyenyak sehingga bahuku yang kiri ini te luka" ia
menunjukkan bahu kirinya yang dibalut dengan kain dan masih berwarna merah.
Patih Aragani terbelalak.
"Raden " serunya "mengapa raden sampai terluka" Bukankah paman sudah mengirim berita
kepada raden "."
"Ya " pangeran Ardaraja mengangguk "tetapi setelah peristiwa itu selesai."
"Hah " " patih Aragani ternganga "apa maksud raden" Sukalah raden memberi penjelasan
kepada paman." "Aku mendapatkan surat dari paman itu bertebaran di lantai."
"Hai " teriak pa h Aragani seper dipagut ular " dakkah raden menerima surat itu dari prajurit
yang kuutus"." Ardaraja gelengkan kepala "Tidak pernah orang datang kepadaku, paman pa h. Yang datang
hanyalah seorang penjahat berkerudung kain hitam mukanya, hendak membunuh aku dan
meninggalkan surat dari paman itu" '
Dalam mengucapkan kata2 itu nada Ardaraja makin bengis. Pa h Aragani yang cerdik dapat
menangkap maksud kata2 pangeran itu. Jelas pangeran itu hendak menuduh bahwa pa h Aragani
lah yang mengirim pembunuh itu.
"Ah, dak, raden" wajah pa h Aragani agak pucat "tak mungkin paman akan mengirim surat itu
kepada seorang pembunuh. Jelas paman telah mendapat laporaran dari pengawal yang paman
suruh, mengatakan bahwa surat itu telah raden terima.."
"Dimanakah prajurit pengawal yang paman utus itu?" tanya Ardaraja.
Aragani segera menitahkan pengawal untuk memanggil pengawal yang di tahkan membawa
surat kepada Ardaraja semalam "Hai, benarkah engkau sudah menyerahkan surat itu kepada
pangeran Ardaraja?" Ke ka melihat pangeran Ardaraja berada disitu, gemetarlah prajurit Itu "Hamba . . . mohon
ampun, gusti patih . . . ."
Aragani makin curiga "Lekas katakan !."
Dengan suara terbata-bata pengawal itu segera menghaturkan laporan apa yang dialaminya
semalam ketika hendak menghaturkan surat patih Aragani kepada pangeran Ardaraja.
"Bedebah, engkau berani bohong kepadaku," pa h Aragani terus mencabut keris lalu hendak
ditusukkan ke tubuh pengawalnya.
"Harap paman pa h jangan tergesa membunuhnya "cegah Ardaraja "aku hendak bertanya lebih
lanjut kepadanya.." Kemudian pangeran itu bertanya kepada pengawal, mengapa pengawal itu mau menyerahkan
surat dari patih Aragani kepada orang itu.
"Dia mengatakan kalau ditugaskan paduka sebagai pengawal keraton paduka, gus pangeran "
pengawal itu lalu menceritakan apa yang dikatakan orang berkerudung kain hitam kepadanya.
"Dan engkau percaya " " pangeran menegas.
"Percaya, gusti."
"Mengapa "."
"Karena hamba belum tahu akan seluk beluk keraton paduka. Kedua, hamba diancamnya hendak
dibunuh apabila tak mau menyerahkan surat itu. Dan ke ga kali, hamba mbang alasan yang
dikemukakannya itu cukup beralasan."
"Keparat! "pa h Aragani mendamprat pula "mengapa engkau sebodoh kerbau tercocok hidung
?" Dengan gemetar pengawal itu memohon ampun atas segala kesalahannya. Dan Aragani karena
merasa sebagai tetamu, tak layak kalau membunuh prajurit di-depan dan di tempat keraton orang
"Hukumanmu, akan kuputuskan kelak apabila sudah berada di pura Singasari."
"Paman pa h "kata Ardaraja. "sekarang persoalan ini sudah jelas. Walaupun bukan paman yang
menitahkan pembunuh itu, tetapi paman tentu tahu siapakah orang itu."
"Bagaimana raden dapat menduga begitu "."
"Selama belasan tahun ini tak pernah terjadi seorang luar, terutama penjahat, mampu melalui
penjagaan yang ketat dalam keraton Daha. Baru kali inilah peristiwa itu terjadi "'
"Setelah paman datang ini ?" patih Aragani menegas.
Ardaraja mengangguk "Betapapun aku hendak menghindari pernyataan itu tetapi kenyataan
memang demikian.." Patih Aragani tertegun. "Aku bukan menuduh bahwa paman pa hlah yang menyuruh penjahat itu tetapi kupercaya
paman tentu tahu siapa orang itu.."
Pa h Aragani memang sudah menduga arah tujuan kata2 pangeran Ardaraja. Dan iapun sudah
siap untuk memberi jawaban "Raden, paman duga orang itu tak lain adalah prajurit dalam
rombongan pengiring paman yang telah merubuhkan beberapa bekel dan tumenggung Pencok
Sahang tadi.." "Paman masih menduga?" pangeran Ardaraja agak mengernyut dahi.
"Selama belum mengetahui pas , paman tak berani mengatakan dengan tegas" sahut Aragani
"dan dugaan paman itu berdasar karena prajurit itu telah lenyap dari rombongan pengiring
paman.." "Siapakah dia, paman" "Ardaraja mendesak.
"Dia sebenarnya seorang bekel bhayangkara dalam keraton Singasari " Aragani memberi
keterangan dengan terus terang agar dirinya bersih dari tuduhan "dia menghadap paman dan
mohon supaya diperkenankan ikut serta dalam rombongan pengiring paman ;".
"Apa alasannya"."
"Karena dia ingin sekali dapat melihat keadaan keraton Daha dan mengenal para mentri
senopati Daha." "Siapakah namanya, paman"."
"Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah" " Ardaraja kerutkan kening seper hendak mengingat-ingat. Tetapi ia tak
bersua dengan nama itu dalam ingatannya.
"Dapatkah paman menduga-duga, mengapa dia hendak membunuh aku" " tanyanya pula.
Pa h Aragani tak lekas menjawab melainkan berdiam diri beberapa saat. Ia masih
mempertimbangkan bagaimana harus memberi jawaban.
"Menurut kabar2 yang selama ini paman terima, bekel Mahesa Rangkah itu memang sudah
melampaui batas-batas tugas yang di berikan kepadanya. Dia telah mendapat kepercayaan dari
baginda untuk mengepalai prajurit bhayangkara yang menjaga puri keputren. Diapun sering
di tahkan kedua puteri baginda, puteri Tribuwana dan puteri Gayatri untuk mengawal apabila
kedua puteri baginda itu bercengkerama keluar keraton.."
"O " desuh Ardaraja.
Diam2 pa h Aragani girang. Ia melihat suatu kesempatan untuk menusukkan jarum2 berbisa ke
benak putera akuwu Jayakatwang itu, agar mbul rasa curiga dan cemburu terhadap hubungan
kedua puteri baginda Kertanagara dengan bekel Mahesa Rangkah.
"Menurut beberapa prajurit bhayangkara yang menjadi bawahan bekel Mahesa Rangkah itu,
tampaknya bekel itu menaruh hati pada kedua puteri terutama terhadap puteri Tribuwana.."
Aragani berhen sejenak untuk menyelimpatkan pandang ke wajah pangeran itu. Dilihatnya
wajah pangeran itu bertebar merah.
"Makin lama makin jelas ngkah bekel Mahesa Rangkah itu dalam usahanya untuk memikat ha
gusti puteri Tribuwana " katanya lebih lanjut.
"Hm, adakah puteri juga membalas perhatian kepadanya" " Ardaraja mulai terpikat.
"Dalam hal itu, paman belum menerima laporan yang jelas " kata Aragani "maklumlah, tak
mungkin prajurit2 bhayangkara itu dapat mengetahui sikap dan isi hati seorang puteri agung
seperti gusti puteri Tribuwana. Hanya paman pernah mendapat laporan yang agak dapat
dijadikan dasar rabahan tentang hubungan puteri dengan bekel itu.."
Ardaraja terbeliak. "Silahkan paman menceritakan " katanya. Pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa pada
waktu kedua puteri baginda bercengkerama di taman Boboci, pernah hendak diganggu oleh
sekelompok lelaki tetapi dapat dihajar oleh bekel Rangkah. Puteri Tribuwana memberi pujian
kepada bekel itu. Dahi Ardaraja makin mengerut dalam.
"Paman " katanya sesaat kemudian dalam nada bersungguh -sungguh "Aku ingin aku
bertanyakan sesuatu kepada paman pa h. Tetapi lebih dahulu, sukalah paman memberi maaf
apabila pertanyaanku itu paman anggap lancang ataupun kurang susila.."
"0h.. sudah tentu paman akan merasa gembira apabila dapat menjawab pertanyaan raden.
Silahkan raden melimpahkan pertanyaan itu, takkan kiranya paman mengambil di ha ataupun
menganggap yang bukan pada tempatnya.."
"Baik, paman " kata Ardaraja "apakah sesungguhnya yang terkandung alam amanat baginda yang
paman bawa ke Daha ini "."
Aragani tertawa. "Amanat suci yang bermaksud baik agar antara Singasari dan Daha terikat dengan persatuan
keluarga " sahut Aragani.
"Tidakkah dalam amanat itu mengandung sesuatu yang lain dari itu"."
Aragani yang cerdik sudah dapat menduga kemana arah tujuan pertanyaan Ardaraja itu. Namun
ia masih pura2 menegas "Apakah yang raden maksudkan"."
"Tidakkah anugerah baginda itu mengandung tujuan lain disebabkan karena sesuatu"."
"Sesuatu tentang" " desak Aragani.
"Tentang puteri baginda yang hendak dijodohkan kepadaku itu " akhirnya karena terdesak
Ardarajapun meluapkan isi hatinya.
Aragani tertawa. Diam2 ia gembira karena Ardaraja mulai terpancing "Paman rasa tidak, raden."
"Paman " kata Ardaraja "tahukah paman siapakah kiranya puteri baginda yang hendak baginda
anugerahkan kepadaku itu "."
"Paman sendiri kurang jelas, raden " sahut Ardaraja "baginda mempunyai beberapa orang puteri
yang cantik. Paman percaya, tentulah baginda takkan mengecewakan harapan raden."
"Mudah-mudahan apa yang paman katakan itu, akan terlaksana sebagai anugerah baginda.
Dalam hal anugerah itu, bukan soal rupa, bukan soal ilmu kepandaian, bukan pula soal harta dan
benda yang kuharapkan, paman. Melainkan soal kesucian, jiwa dan ragalah yang hamba
dambakan," Patih Aragani tahu apa yang dimaksud dalam kata-kata pangeran itu. Pangeran itu secara
halus menolak akan puteri Tribuwana dan Gayatri yang walaupun belum terbukti, tetapi sudah
terselubung asap desas desus yang kurang layak. Diam2 Aragani gembira sekali. Tusukan
jarumnya telah berhasil membuat Ardaraja marah. Pada hal jelas, puteri Tribuwana itulah yang
berhak atas tahta kerajaan Singasari. Yang jelas apabila kelak Ardaraja menerima hadiah
puteri baginda Kertanagara, tentu masih harus berebut kekuasaan dengan calon suami puteri
Tribuwana. Yang jelas pula, calon suami puteri Tribuwana itu tentulah bukan orang Daha.
Legalah sudah hati patih itu;
"Pendirian raden itu benar2 pendirian seorang pangeran yang luhur" ia menambah kata2 untuk
mengikat pendirian Ardaraja agar jangan berobah haluan "akan paman bantu sekuat kemampuan
paman agar seri baginda dapat menyelami dan berkenan meluluskan harapan raden."
Demikian setelah menghadap akuwu Jayakatwang dan menerima persetujuan dari raja Daha itu,
akhirnya patih Aragani dan rombongannya meninggalkan Daha.
"Kepergianku ke Daha kali ini, sungguh langkah yang beruntung "patih itu masih merenung dalam
ratha yang membawanya menyusur sepanjang jalan ke Singasari. Walaupun di kanan kiri tampak
pemandangan alam yang permai, namun perha annya hampa tercurah pada peris wa2 yang telah
dialaminya selama di keraton Daha.
"Sungguh tak kusangka, bahwa dengan sekali tepuk aku dapat membunuh dua lalat."
Pikirnya lebih lanjut "Ardaraja tak mungkin menjadi menantu raja yang berhak atas tahta
Singasari. Mahesa Rangkah pun tentu tak berani pulang ke keraton Singasari lagi, ha, ha " ia
tertawa gembira. Kemudian ia merenungkan sikap dan ucapan akuwu Jayakatwang "Jelas Jayakatwang itu
masih mendendam kepada Singasari. Cerita yang diperdengarkan kepadaku, menunjukkan
pendiriannya. Bahwa idam-idamannya untuk membangun Daha lagi, harus dilakukan dengan
usahanya sendiri. Dia menolak suatu pemberian dari baginda Kertanegara, andai baginda
hendak memberi kedaulatan penuh kepada Daha. Diapun tak ingin mencari bantuan kepada lain
kerajaan dalam merebut, kebebasan Daha dari kekuasaan Singasari. Dia akan merebut
kebangkitan Daha dengan tangannya sendiri."
"Hm " desuh patih Aragani "itulah sebabnya Daha giat mengumpulkan senopati dan
memperbesar pasukannya. Menilik jumlah yang begitu besar dari senopati-senopati Daha yang
ikut hadir dalam perjamuan malam itu, memang tampaknya Daha makin kuat. Jika senopatinya
berjumlah sekian banyak tentulah prajuritnya juga besar sekali jumlahnya. Berbahaya," patih
Aragani tersentak dari lamunan ketika tertumbuk akan dugaan itu.
"Ah, mengapa seri baginda masih terlelap dalam lamunan untuk merangkul Daha dengan ikatan
keluarga " " makin bergejolak perasaan pa h itu "ibarat orang memelihara anak macan. Betapapun
anak macan itu diberi daging sekenyangnya, dipelihara baik2, tetapi kelak apabila sudah besar
tentu akan menerkam yang memelihara."
"Sebelum anak macan itu tumbuh kukunya, dia harus dibasmi" pikirnya lebih lanjut "tetapi
bagaimana caranya. Untuk menyadarkan baginda Kertanegara akan bahaya itu, rupanya sukar.
Baginda menaruh kepercayaan yang amat besar kepada akuwu Jayakatwang. Hm" ia mendesuh.
Pikirannya melayang-layang untuk memaksakan keluarnya suatu
k terang tetapi makin dipaksa,
bukan titik terang yang keluar, kebalikannya pikirannya malah keruh, kepalanyapun panas.
"Ah " ia melepaskan pandang ke tegal yang hijau. Nun jauh di sebelah utara, tampak gunung
Argapura menjulang dengan megah. Jauh di belakangnya tampak pula bayang2 gunung Arjuna.
"Demang Kar ka " ba2 ia berteriak memanggil demang Kar ka yang mengepalai barisan
pengiringnya. Terdiri dari empatpuluh prajurit berkuda kurang satu yani bekel Mahesa Rangkah
yang telah melarikan diri itu.
Seorang lelaki bertubuh tegap, segera mencongklangkan kudanya yang berbulu merah kearah
ratha patih Aragani. "Demang Kartika siap menerima perintah gusti patih " serunya.
"Sampai dimanakah kita sekarang ?" tanya patih Aragani.
"Kita telah melalui desa Ngantang dan kini melintasi watek-bumi Daha, dalam perjalanan
sepanjang kaki gunung Kelud, gusti" kata demang Kartika.
"Setelah itu kita akan mencapai telatah Kawi, bukan"."
"Benar, gusti" "Ki demang " kata pa h Aragani pula "kudengar bahwa daerah Kawi itu subur tanahnya dan
mengeluarkan beberapa macam buah-buahan yang lezat."
"Benar, gusti."
"Dan kudengar pula bahwa di gunung Kawi banyak tumbuh palapa."
"O, hamba kurang tahu, gusti."
"Engkau tahu buah palapa itu, demang"."
"Kalau hamba tak salah, palapa itu adalah semacam rebung dari sejenis pohon bambu yang
daunnya kecil dan berwarna wulung."
"Ya, benar" kata pa h Aragani "palapa itu lezat sekali untuk lalap, dicampur dengan parutan
kelapa." "O " demang Kartika mengangguk.
"Tetapi sukar sekali mencari palapa itu, karena pohonnya jarang terdapat dan dak sembarang
tempat tumbuh pohon itu. Oleh karenanya makanan itu merupakan hidangan mewah dari para
priagung luhur." Kembali demang Kartika hanya mengangguk.
"Demang " seru patih Aragani "sudahkah engkau pernah memakannya"."
"Belum gusti" sahut demang Kartika.
"Baiklah " kata pa h Aragani "nan apabila ba di telatah Kawi, kita berhen dan akan
kutitahkan prajurit untuk mencari buah itu. Engkaupun akan ku-hadiahi bagian, demang."
"Terima kasih, gusti patih " demang Kartika menghaturkan terima kasih.
"Demang" tiba2 patih Aragani berseru pula "sekalian tangkapkan juga burung kepodang."
Demang Kartika terkesiap tetapi buru2 ia mengia-kan saja.
"Burung kepodang itu akan kupelihara di kepa han. Apabila kelak anak perempuanku, isteri
raden Kuda Panglulut itu mengandung, akan kusuruh dia makan burung kepodang agar puteranya
kelak berwajah rupawan".
Demikian ratha pa h Singasari itu melanjut pula. Debu berkepul-kepul sepanjang jalan yang
dilintasi ratha yang ditarik oleh delapan ekor kuda tegar. Sebagai pa h Singasari yang menjadi
utusan raja, pa h Aragani diperkenankan baginda untuk naik ratha kebesaran dan diiring oleh
sedomas atau empat puluh pasukan berkuda.
Pa h Aragani memang ingin menunjukkan kepada orang Daha, akan kebesaran seorang pa h
Singasari. Untuk menambah kewibawaan dan keagungan dari amanat seri baginda yang dibawanya
ke Daha itu. Patih Aragani memang gemar membanggakan kekuasaannya.
~DewiKZ~Ismoyo~MCH~ II Kunjungan pa h Aragani beserta rombongan pengiringnya ke Daha, diketahui juga oleh Nararya
dan kawan2 yang bermarkas di gua Selamangleng.
Pa h Singasari berkunjung secara resmi ke Daha, tentu membawa berita pen ng. Nararya
menyebar anak-buah bekel Saloka untuk mencari berita.
Ke ka Nararya mendapat laporan bahwa kunjungan pa h Aragani ke Daha itu bermaksud untuk
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikan amanat seri baginda Kertanagara hendak memungut putera menantu kepada
pangeran Ardaraja, Nararya terkejut. Entah apa sebabnya, ada sesuatu yang meresahkan pikiran
hatinya mendengar berita itu.
Seke ka terbayanglah Nararya akan kedua puteri baginda Kertanagara yang pernah dijumpainya
di taman Boboci tempo hari.
"Adakah salah seorang dari kedua puteri itu yang hendak dijodohkan dengan pangeran Ardaraja
" ia bertanya dalam hati.
Pertanyaan yang terjawab penuh keraguan dan kecemasan, bersumber pada reka dan dugaan
pikirannya sendiri. "Tentulah kemungkinan yang paling besar, baginda akan menjodohkan
pangeran Ardaraja dengan puteri yang sulung, gusti ayu Tribuwana " Sebuah jawaban menampil,
"Dan tak mungkin kedua puteri itu akan baginga berikan semua kepada pangeran Ardaraja" lain
jawaban timbul. "Ya, tentu hanya salah seorang dari kedua puteri itu " makin berat kecenderungan dugaannya
tetapi pada lain saat ia menghela napas "ah, mengapa harus kedua puteri itu yang diberikan
kepada raden Ardaraja ....."
Tiba pada pemikiran itu, ia merasa kehilangan sesuatu. Aneh. Mengapa ia mempunyai perasaan,
demikian, ia sendiri tak tahu, tak mengerti. Tak tahu tetapi merasa. Tak mengerti tetapi kecewa.
Pikirannyapun melayang kembali ke saat2 ia berhadapan dengan kedua puteri Tribuwana dan
Gayatri. Saat itu ia merasa seper melihat sepasang surya kembar memancar di hadapannya.
Dengan pancaran sinar surya kembar itu, ia merasa dilingkungi oleh kewibawaan dan keagungan.
Kemudian setelah ia kembali ke Daha, ia merasa alam disekeliling ini hampa, surya tidak gemilang.
Hampir saja semangatnya tenggelam dalam kehampaan dan kesunyian. Hampir nyala hidupnya
mengalami keredupan. Beberapa hari ia rasakan tubuhnya lunglai, tak nafsu makan,, tak enak
dur. Ia membiarkan dirinya terhanyut, terhempas dan akhirnya tenggelam ke dasar laut ke
hampaan. Bekel Saloka sibuk melihat perobahan sikap yang aneh dari Nararya. Ia mengira pemuda itu sakit.
Akan tetapi setelah mendapat keterangan dari Pamot tentang peris wa pertemuan Nararya
dengan kedua' puteri baginda Kertanagara di taman Boboci, bekel Kuda Saloka tertawa dan geleng-
geleng kepala. "Ah, penyakit anakmuda kiranya yang menghinggapi raden Nararya."
Ia kasihan juga dan memberi nasehat "Raden, ada yang dapat menyembuhkan penyakit di
tubuh kita, kecuali kita sendiri. Banyak nian jenis penyakit itu. Ada sebuah penyakit yang aneh yani
yang disebut 'sakit tapi bukan penyakit'. Jenis penyakit aneh itu, paling sukar dioba . Tabib dan
dukun yang pandai tak mampu mengobati, bahkan dewapun tak sanggup menyembuhkan. Penyakit
itu disebabkan rasa sakit dan rasa sakit bersumber pada rasa ha peribadi. Oleh karena itu, yang
dapat menyembuhkan adalah rasa hati sendiri, raden."
Saat itu Nararya terbeliak. Ia terkejut karena bekel Saloka dapat menebak sakitnya.
"Aku gembira sekali karena raden mengidap penyakit aneh itu " kata bekel Saloka pula "karena
dengan begitu raden menetapi kodrat seorang pria yang memiliki cita2 nggi. Tidak sembarang
anakmuda berani menerima penyakit semacam yang menghinggapi raden itu. Oleh karena itu,
raden harus bangkit menyambut penyakit itu. Ibarat surya, raden masih seper surya menjelang
tengah hari. Pancarkan sinar surya raden itu segemilang-gemilangnya, luaskan daerah
penyinarannya sampai ke seluruh ujung buana. Jangan idinkan awan dan kabut menutup sinar
surya itu. Pancarkanlah sinar raden ke seluruh alam, agar bunga2 bermekaran dan dewi2
kahyangan turun ke bumi. Dengan memiliki sinar yang gilang gemilang itu, raden pas kuasa
mempersunting dewi yang menjadi mustika buana ... .."
Tergugah seke ka semangat Nararya mendengar kata2 bekel Saloka. Ia malu dalam ha .
Bukankah turunnya dari pertapaan karena dianjurkan oleh gurunya untuk ikut serta menyongsong
Wahyu Agung yang akan diturunkan dewata" Bukankah masih banyak tugas yang belum ia
laksanakan" Hina bagi ksatrya yang lancung di ujian. Nista ksatrya yang gugur iman karena goda
wanita. "Jodoh di tangan dewata," akhirnya ia menyerahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widdhi.
Namun ke ka mendengar laporan bahwa pa h Aragani ke Daha untuk menyampaikan amanat
baginda Kertanagara hendak memungut Ardaraja sebagai menantu, sesaat mbul pula penyakit
dalam hatinya itu. Ia termenung-menung.
Bekel Saloka cepat dapat menduga isi ha Nararya. , Ia kua r raden itu akan kambuh lagi
penyakitnya. "Raden, malam ini di keraton akan diselenggarakan perjamuan untuk menghormat pa h Aragani
" katanya. "Lalu " " tanya Nararya.
"Mari kita keluar dan menyelidiki di sekitar keraton. Siapa tahu kemungkinan akan terjadi
sesuatu yang di luar dugaan kita."
Nararyapun setuju. Malam itu bersama Gajah Pagon dan bekel Saloka, ia menuju ke keraton.
Seper yang diduganya, saat itu keraton tentu dijaga keras. Tak boleh sembarang orang masuk.
Maka terpaksa Nararya bertiga meneduh di bawah pohon brahmastana di alun-alun.
Beberapa lama menunggu, hampir saja Nararya mengajak kedua kawannya kembali ke
Selamangleng "Ah, mereka bersuka ria menikma pesta, kita disini menggigil dihembus angin
malam " katanya "lebih j,baik kita pulang saja."
"Baiklah kita bersabar sebentar lagi sampai perjamuan itu selesai, raden " kata bekel Saloka.
Dalam hati sebenarnya Nararya mendesuh tetapi ia terpaksa menurut juga.
Beberapa saat kemudian, mereka terkejut ke ka melihat beberapa prajurit Daha menggotong
tubuh seorang tumenggung ke Balai Prajurit.
"Apa yang terjadi " " tanya bekel Saloka. Belum pertanyaan itu terjawab, kembali mereka melihat
beberapa prajurit mengiring Seorang prajurit lain ke bangsal tempat rombongan pengiring pa h
Aragani. "Apakah yang terjadi, ki bekel " " tanya Nararya penuh keheranan "adakah dalam perjamuan
terjadi suatu peristiwa "."
"Mungkin juga, raden," sahut bekel Saloka "karena biasanya dalam se ap perjamuan tentu
dihidangkan juga minuman tuak. Dan tuak sering menjadi sumber keonaran."
"Tetapi kali ini perjamuan diselenggarakan oleh fihak keraton untuk menghormat kedatangan
pa h Aragani yang menjadi utusan seri baginda Kertariagara. Tentulah akan dihindari hal2 yang
mungkin menimbulkan keonaran."
Nararya mengangguk. Ia merenung. Seke ka mbul semangatnya yang telah lusuh tadi "Ki bekel
dan kakang Pagon, baiklah kita terus berjaga di sekitar keraton ini. Kemungkinan malam ini dapat
timbul pula suatu peristiwa yang tak terduga."
Mereka terus berjaga. Tak berapa lama perjamuanpun usai. Para prajurit, demang, senopati
dan mentri2 berbondong-bondong meninggalkan pendapa agung. Tak berapa lama keratonpun
sunyi pula. Jerih payah mereka ternyata memberi buah. Lewat tengah malam, ba2 tampak sesosok tubuh
menyelinap ke luar dari bangsal tempat penginapan prajurit pengiring pa h Aragani. Orang itu
menyelundup masuk ke dalam keraton. Nararya dan kedua kawannya sibuk sekali. Mereka tahu
bahwa tentu akan terjadi sesuatu dalam keraton tetapi mereka tak berdaya mengiku orang itu,
apalagi hendak mengetahuinya. Penjagaan keraton terlalu ketat. Dikua rkan pula jika nekad
menerobos ke dalam keraton akan mengalami hal2 yang tak diharapkan.
Mereka terpaksa menunggu lagi. Lama juga mereka menunggu baru tampak sesuatu yang
mencurigakan. Orang yang masuk ke dalam keraton tadi:, bergegas keluar dan terus menuju ke
kandang kuda dan tak lama dia menuntun ke luar seekor kuda.
Nararya ber ga segera memburu. Mereka hendak menegur orang itu. Tetapi orang itu berjalan
lebih cepat menuju ke mur. Setelah dekat gapura, dia terus naik kepunggung kuda dan
mencongklangkannya ke luar pura.
Nararya dan kedua kawannya berlari-lari hendak mengejar tetapi terlambat. Gajah Pagon masih
sempat untuk berteriak "Hai, ki sanak, berhenti dulu."
Tetapi orang itu sudah naik dipelana kuda dan tanpa menghiraukan seruan Gajah Pagon, terus
melarikan kudanya secepat angin.
"Ah, kita tak punya kuda, ki bekel " Nararya mengeluh "tak mungkin mengejar jejak orang itu."
"Tetapi jelas dia menuju ke mur. Jika dia prajurit Singasari, tentulah dia akan kembali ke pura
Singasari " kata bekel Saloka.
"Apa alasannya dia kembali ke Singasari seorang diri dan pada waktu lewat tengah malam begini
?" tanya Nararya. Bekel Saloka dan Gajah Pagon tak dapat memberi jawaban. Memang sangat aneh sekali
gerak gerik orang itu. "Bagaimana langkah kita sekarang, raden" " tanya bekel Saloka.
"Kita pulang dulu ke Selamangleng " kata Nararya "untuk beris rahat memulangkan tenaga. Esok
pagi kita suruh anakbuah mencari berita."
Demikian mereka pulang. Dan bekel Salokapun memerintahkan anakbuahnya untuk mencari
berita di pura Daha. Anakbuah itu kembali dengan membawa berita bahwa hari itu pa h Aragani akan bertolak
pulang ke Singasari. Bekel Saloka dan Gajah Pagon meminta pendapat Nararya dan Nararya segera mengatur langkah.
"Menilik gerak gerik orang yang masuk ke dalam keraton lalu diam2 meninggalkan rombongan
dengan naik kuda seorang diri semalam, jelas tentu terjadi sesuatu. Oleh karena dari fihak keraton
Daha tak terdengar berita apa2, kita dapat alihkan dugaan pada fihak patih Aragani."
Berhen sejenak Nararya melanjutkan pula "Jelas orang itu salah seorang dari rombongan
pengiring pa h Singasari. Hanya ada dua kemungkinan yang dapat kita rabah. Pertama,
kepergiannya pada saat malam selarut itu atas sepengetahuan pa h Aragani, ar nya memang
diutus oleh pa h Aragani untuk menyampaikan sesuatu laporan yang pen ng ke Singasari. Dan
kedua, orang itu memang telah melarikan diri dari rombongan patih Aragani."
"Kemungkinan yang kedua itu lebih mungkin, raden " seru Gajah Pagon "karena jelas dia telah
masuk ke dalam puri keraton lalu bergegas keluar dan terus membawa kuda melarikan diri.
Kemungkinan dia telah melakukan suatu perbuatan yang tak baik didalam puri keraton."
"Ki Pagon memang benar " sambut bekel, Saloka "tetapi mengapa anakbuahku tak berhasil
memperoleh berita apa2 dari fihak puri keraton " Mengapa keraton Daha tenang2 saja seper tak
terjadi sesuatu" Bukankah se ap peris wa gangguan, betapapun kecilnya, tentu akan
menghebohkan kalangan puri keraton"."
Gajah Pagon mengangguk "Ya, memang disitulah kelemahan dari kemungkinan kedua tadi. Jika
demikian, kita layak cenderung beralih pada kemungkinan kesatu tadi."
"Baik " kata Nararya "sekarang kita berkemas untuk mengiku perjalanan pa h Aragani ke
Singasari." "Kita ke Daha " "bekel Saloka menegas.
"Ki bekel " jawab Nararya "yang akan ke Singasari adalah aku dan kakang Pagon. Ki bekel supaya
tetap mengama keadaan Daha. Terutama ki bekel harus menyelidiki gerak gerik bekel Sindung.
Rasanya dia mempunyai peran besar dalam kehebohan selama ini."
Demikian Nararya dan Gajah Pagon segera bersiap mengikuti perjalanan rombongan patih
Aragani. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia dan Gajah Pagon harus menjaga jarak
tertentu di belakang. Jangan sampai jejak keduanya diketahui rombongan pengiring patih
Aragani, tetapipun jangan sampai kehilangan akan sasaran yang diikutinya.
Demikian pada saat itu, ke ka memasuki telatah gunung Kawi, Nararya dan Gajah Pagon melihat
rombongan pa h Aragani itu berhen disebuah daratan dekat lembah. Nararya dan Gajah Pagon
terpaksa harus berhen juga, Agar tak tertampak orang2 Singasari, Nararya dan Gajah Pagon
bersembunyi dalam sebuah hutan.
"Tetapi dari hutan ini, kita tak dapat melihat gerak gerik mereka, raden " kata Gajah Pagon.
"Benar " kata Nararya "kita tambatkan kuda di semak rumput dan marilah kita cari sebatang
pohon yang besar dan tinggi."
Setelah menambatkan kudanya pada pohon disekeliling semak rumput, keduanyapun berhasil
mendapatkan sebatang pohon randu alas yang nggi dan rindang daunnya. Nararya mengajak
Gajah Pagon memanjat-sampai mencapai ke nggian yang tertentu. Dari tempat itu mereka dapat
memandang kesekeliling penjuru, termasuk kearah rombongan pengiring pa h Aragani yang
sedang berhenti jauh di sebelah muka. Diam2 Gajah Pagon memuji kecerdikan Nararya.
"Hendak mengapakah mereka, raden" " tanya Gajah Pagon.
"Kemungkinan mereka hendak berburu atau beristirahat dulu. Kita lihat saja apa yang akan
mereka lakukan " jawab Nararya.
Saat itu sebenarnya hari sudah menjelang sore. Rupanya pa h Aragani dak bermaksud untuk
buru2 ba di pura Singasari. Apabila yang hendak dicarinya itu, palapa dan burung kepodang
sudah diperolehnya, barulah dia hendak berangkat lagi. Bila perlu pa h itu akan bermalam di
tempat buyut desa yang terdekat agar besok ba di pura pada siang hari. Dengan demikian ia
dapat langsung menghadap baginda untuk menghaturkan laporan.
Lama juga Nararya dan Gajah Pagon menunggu di puncak pohon randu alas itu. Mereka melihat
pa h Aragani telah menitahkan duapuluh prajurit pengiringnya untuk mendaki gunung. Tetapi
hingga surya hampir terbenam di balik gunung, tiada seorangpun dari prajurit2 itu tampak kembali.
"Demang Kar ka " teriak Pa h Aragani. Dan sesaat demang itu menghadap, iapun berkata pula
"kemanakah gerangan keduapuluh prajurit itu " Mengapa sampai saat ini ada seorangpun yang
kembali"." Demang Kartika juga gelisah.
"Idinkanlah hamba menyusul mereka, gusti patih."
Pa h Aragani mengerut dahi "Jangan engkau ki demang. Tetapi kirimkan anakbuahmu ke atas
gunung menyusul mereka."
Diam2 demang Kartika tertawa dalam hati. Ia tahu patih itu tentu cemas apabila
ditinggalkannya. Dan memang benar. Dia sendiripun enggan untuk pergi. Bukan karena takut
menyusul anakbuahnya ke atas gunung melainkan sebagai pimpinan prajurit pengiring, ia
bertanggung jawab atas keselamatan patih Aragani.
Dia lalu menyuruh dua orang anakbuahnya menyusul kawan-kawannya tadi.
Cuaca makin remang, anakbuah yang diperintah menyusul itupun tak kelihatan kembali. Demang
Kar ka mulai gelisah. Ia menghadap pa h Aragani "Gus pa h, rupanya terjadi sesuatu pada
anakbuah kita "katanya "bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan untuk mencapai desa yang
terdekat." "Lalu bagaimana dengan mereka?" tanya patih Aragani.
"Yang pen ng adalah keselamatan gus " kata demang Kar ka "prajurit2 memang ditugaskan
mengawal perjalanan gus pa h. Andai mereka mendapat halangan, adalah sudah menjadi
tanggung jawab mereka."
"Tetapi ki demang sebagai pimpinan harus bertanggung jawab pula atas keselamatan mereka."
"Tentu, gus pa h " kata demang Kar ka "tetapi yang pen ng adalah pertanggungan jawabku
atas keselamatan gus pa h. Karena gus pa h adalah utusan sang nata. Soal mereka, selekas kita
ba di pura tentu akan kulaporkan pada tumenggung Wirakre sebagai mentri angabaya untuk
mengirim pasukan ke puncak kawi."
Demikian setelah tercapai permufakatan, patih Araganipun setuju untuk melanjutkan perjalanan.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka sekeliling tempat itu telah terkepung oleh berpuluh lelaki
berpakaian hitam dan bersenjata. Sikap dan keadaan mereka menyerupai gerombolan penyamun.
Seorang yang mukanya tertutup kain hitam, tampil ke muka,
"Terlambat, ki sanak " serunya dengan nyaring.
Demang Kartika segera maju menghadapi "Siapa engkau! "
"Siapa diriku, rasanya tak penting. Aku mengaku siapapun boleh saja."
"Gerombolan penyamun "."
"Terserah bagaimana engkau hendak menganggapnya. Tetapi yang jelas, aku bukan penyamun
harta benda." "Apa maksudmu " " tegur demang Kartika pula.
"Itu yang pen ng dan perlu kuketahui!", sahut orang itu "dengarkanlah. Aku hendak minta
sesuatu dari rombonganmu ini."
"Engkau bekel Mahesa Rangkah ! " ba2 pa h Aragani berteriak demi mengenal nada suara
orang itu. Orang itu tertawa "Tajam benar pendengaranmu ki pa h. Memang tak perlu aku harus kua r
mengakui diriku ini bekel Mahesa Rangkah."
"Bekel Rangkah " seru pa h Aragani "beda benar nada ucapanmu saat ini. Adakah engkau tak
tahu dengan siapa engkau berhadapan"."
Bekel Mahesa Rangkah tertawa.
"Sudah tentu aku tahu sedang berhadapan dengan Panji Aragani pa h Singasari yang sedang
mengemban tugas dari sang nata untuk menghadap akuwu Jayakatwang di Daha."
"Dan engkau menyadari kedudukanmu sebagai seorang bekel prajurit?" seru Aragani pula.
"Menyadari" sahut Mihesa Rangkah "mungkin ki pa h sendiri yang belum menyadari kedudukan
diriku." "Apa maksudmu"."
"Kemarin Mahesa Rangkah memang bekel bhayangkara yang ikut dalam rombongan pengiring ki
pa h ke Daha" kata Mahesa Rangkah "tetapi sejak semalam, Mahesa Rangkah sudah bukan
seorang bekel lagi."
"Lalu " " patih Aragani kerutkan dahi.
"Seorang pemimpin gerombolan yang mencegat perjalanan rombongan pa h Singasari. Demikian
keadaan Mahesa Rangkah saat ini."
Pa h Aragani terkejut. Namun ia berusaha untuk menenangkan diri "Mencegat perjalananku "
Apa maksudmu " Apakah engkau hendak menyamun harta bendaku?"
Mahesa Rangkah tertawa. "Bukan " serunya "aku bukan sekedar merampok harta benda saja. Tetapi hendak menagih
pertanggungan jawab ki patih."
"Apa " " patih Aragani terbeliak "apa maksudmu"."
"Aku hendak minta pertanggungan jawab ki pa h dalam peris wa selama kita berada di Daha "
kata Mahesa Rangkah "mengapa ki patih menghianati aku"."
Seke ka berobahlah cahaya wajah pa h Aragani mendengar kata2 itu "Menghiana engkau"
Dalam soal apa aku menghianati engkau"
"Siapa yang mengutus seorang pengawal untuk menyampaikan surat kepada raden Ardaraja,
memberi-tahu tentang bahaya yang akan mengancamnya malam itu"."
Patih Aragani terbeliak. "Ki pa h " kata Mahesa Rangkah "akan ku-paparkan seluruh isi ha ku selama ini terhadap ki
pa h. Siapa yang mendepak empu Raganata sebagai pa h kerajaan Singasari, .siapa yang
menyebabkan demung Banyak Wide dipindah ke Sumenep, siapa pula yang menjatuhkan
kedudukan tumenggung Wirakre , kalau bukan demung Aragani yang kini menggan kan
kedudukan patih Singasari itu"."
"Keparat! " teriak Aragani "tangkap penghianat itu, Kartika!."
Mahesa Rangkah tertawa cemoh.
"Jangan sembarang ber ndak, demang Kar ka. Lihatlah disekelilingmu. Berpuluh-puluh
anakbuahku telah siap dengan senjata terhunus. Apabila melihat aku diserang, mereka tentu akan
turun tangan. Dan apakah engkau percaya dengan kekuatan yang nggal duapuluhan orang itu
mampu mengatasi serangan mereka"."
Demang Kar ka tertegun. Pikirnya, ia harus dapat ber ndak sesuai dengan kenyataan. Yang
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pen ng ia harus melindungi keselamatan pa h Aragani. Baiklah ia tunggu perkembangan lebih
lanjut dan tak perlu harus menuruti perintah patih Aragani yang sedang dirangsang kemarahan itu.
"Kini setelah menjabat pa h, engkau makin bernafsu sekali untuk merebut kekuasaan. Seri
bagindapun makin terjerumus dalam jerat mulut manismu. Engkau racuni baginda dengan
memperkenalkan minuman tuak. Engkau sanjung baginda dengan rangkaian kata2 madu beracun.
Dalam meni ke puncak tangga kekuasaan itu, engkau terkejut karena keputusan baginda hendak
memungut menantu pada raden Ardaraja. Engkau ketakutan. Apabila Ardaraja menjadi putera
menantu dan masuk kedalam-pemerintahan Singasari, engkau kua r akan kehilangan pengaruh
....." "Bedebah ! " teriak pa h Aragani "bukankah engkau meminta gurumu datang kepadaku supaya
diperkenankan ikut dalam rombongan pengiringku" Apa tujuanmu kalau bukan hendak membunuh
pangeran Ardaraja" Engkau sendiri hendak membunuh pangeran Daha itu, tetapi mengapa engkau
menuduh aku yang ketakutan menghadapi pengaruh Ardaraja" Bukankah engkau sendiri seorang
bekel yang tak tahu diri berani memimpikan puteri seri baginda dan nekad hendak melenyapkan
pangeran Ardaraja yang engkau anggap akan merebut puteri idamanmu itu"."
Mahesa Rangkah tertawa. "Benar " serunya "memang Mahesa Rangkah seorang lelaki. Salahkah seorang lelaki
mengharapkan seorang puteri raja " Bukankah secara jantan kuakui rencanaku itu
dihadapanmu " Kebalikannya, engkau seorang patih yang licin. Engkau hendak berdiri diatas
dua perahu. Engkau setuju akan rencanaku. Apabila aku berhasil membunuh Ardaraja, engkau
pasti gembira sekali. Tetapi apabila aku gagal, engkau akan mengorbankan diriku agar dapat
mengambil muka pangeran itu. Bukankah bukti menyatakan, bahwa dengan mengirim surat
kepada Ardaraja itu, engkau hendak meminjam tangan pangeran itu untuk membunuh aku "."
Pucat seketika wajah Aragani.
"Mahesa Rangkah " serunya "aku seorang patih yang sedang mengemban tugas sebagai
utusan nata. Jika engkau membunuh pangeran Ardaraja, hubungan Daha dan Singasari pasti
buruk." "Hm " desuh Mahesa Rangkah "bukankah sebelumnya telah kujelaskan maksudku itu " Dan
bukankah ki patih telah menyetujuinya"."
"Ya " sahut pa h Aragani "tetapi engkau mengatakan hendak melakukan hal itu dengan secara
amat peribadi sehingga tak melibatkan diriku sebagai utusan sang nata."
"Dan adakah tindakanku itu dapat melibatkan diri ki patih "."
"Setelah engkau mengalahkan tumenggung Pencok Sahang, engkau telah menunjukkan dirimu
kepada fihak Daha. Hanya orang semacam engkaulah yang mampu menyusup ke dalam keraton
untuk mencidera pangeran Ardaraja. Tidakkah engkau kira aku dapat bebas dari tuduhan mereka
"." "Dan karena itulah maka engkau lantas menjerumuskan aku sekali dengan mengirim surat
kepada pangeran Daha itu agar aku tertangkap dan terbunuh ma ! " teriak Mahesa Rangkah.
Kemudian ia tertawa nyaring.
Nararya dan Gajah Pagon yang masih bersembunyi di atas pohon randu alas, mendengar juga
tawa Mahesa Rangkah itu. Adalah karena jaraknya cukup jauh, keduanya tak berhasil mendengar
perbantahan antara Mahesa Rangkah dan patih Aragani.
"Mahesa Rangkah !" hardik Aragani dengan marah. Ia merasa tersinggung karena kewibawaannya
sebagai seorang patih utusan sang nata diremehkan "apa maksudmu!."
"Ki pa h "seru Mahesa Rangkah "engkau tentu sudah maklum, bahwa Mahesa Rangkah tak
mungkin lagi kembali ke pura Singasari. Seri baginda tentu akan mendapat laporan tentang
peris wa di keraton Daha. Oleh karena itu, akupun tak mau kepalang tanggung lagi. Jika Mahesa
Rangkah lenyap, Panji Araganipun harus sirna."
Patih Aragani terbeliak "Keparat! " teriaknya sesaat kemudian "engkau sudah berani melakukan percobaan membunuh
pangeran Ardaraja, sekarang engkau berani pula hendak membunuh patih Singasari"."
Mahesa Rangkah tertawa. "Panji Aragani " serunya "di kerajaan Singasari engkau memang seorang pa h tetapi disini
engkau tak lebih hanya seorang biasa. Dan hanya apabila pa h yang bernama Aragani itu lenyap,
kerajaan Singasari pas takkan tenggelam. Mahesa Rangkah rela lepas dari kedudukan bekel
bhayangkara, rela pula menjadi buronan negara asal dengan pengorbanan itu aku dapat
menyelamatkan Singasari."
Patih Aragani terkejut dalam hati. Rombongan prajurit pengiringnya hanya tinggal dua puluhan
orang sedang.anakbuah Mahesa Rangkah berjumlah lebih besar. Diam2 ia menyesal mengapa
harus berhenti di kaki gunung Kawi. Tetapi karena hal itu sudah menjadi kenyataan maka tiada
lain jalan baginya untuk menghadapi. Pikiran patih itu bekerja cepat. Ia hendak menempuh cara
lunak dulu. "Bekel Rangkah .... " baru dia berkata begitu, Mahesa Rangkah sudah cepat menukas "Engkau
lupa ki patih, aku bukan lagi seorang bekel."
"Tidak bekel Rangkah," sahut pa h Aragani "engkau tetap kuanggap seorang bekel. Soal
kesalahanmu, itu soal lain yang akan diputuskan oleh ki pa h Kebo Anengah. Namun ada suatu hal
yang akan kubicarakan dengan engkau."
"Silahkan." "Engkau mengatakan bahwa aku telah mengirim surat kepada pangeran Ardaraja tentang
tindakanmu hendak membunuhnya. Ketahuilah, bahwa hal itu karena aku kuatir akan melibatkan
kerajaan Singasari. Hubungan Singasari dengan Daha akan retak dan berarti pula kegagalanku
untuk melakukan titah baginda. Karena ternyata engkaupun gagal untuk membunuh pangeran
Ardaraja maka aku bersedia untuk melindungi dirimu dari kemurkaan baginda."
"Ah, tak mungkin " seru Mahesa Rangkah.
"Bekel Rangkah " seru pa h Aragani dengan suara yang bernada keperbawaan "engkau tentu
tahu siapa aku di pura Singasari itu. Apabila kulaporkan ke hadapan baginda bahwa pembunuh
gelap itu bukan engkau tetapi seseorang yang belum diketahui, tentulah baginda akan percaya.
Soal ki patih Kebo Anengah lebih mudah lagi."
Mahesa Rangkah mengerut dahi. Dia juga seorang yang cerdik. Sukar untuk mempercayai janji
pa h Aragani itu. Andaikata pa h itu memegang janji, pun selanjutnya ia akan berada dalam
genggaman pa h itu. Pa h Aragani mengetahui rahasianya, ap waktu dia dapat menggunakan
rahasia itu untuk mencelakainya. Bukankah pa h Aragani yang saat itu berada di kaki gunung, akan
jauh bedanya dengan pa h Aragani di pura kerajaan " Demikian pula, mungkinkah untuk menutup
mulut sekian banyak prajurir2 anakbuah demang Kar ka yang telah mendengar pembicaraan tadi
dan mengetahui rahasianya.
"Tidak " katanya dalam ha "lebih aman melepaskan seekor harimau dari kandang daripada
melepaskan seorang pa h Aragani. Bila dan dimana lagi aku mendapat kesempatan yang sebaik ini
untuk melenyapkan pa h itu " Jika kubasmi pa h dan seluruh rombongan pengiringnya, tentulah
sukar untuk mencari siapa yang melakukan pembunuhan ini."
"Mengapa engkau diam saja, bekel Rangkah " " tegur patih Aragani pula.
"Aku sedang berunding dan kawanku ternyata tak setuju " sahut Mahesa Rangkah.
Pa h Aragani terbeliak. Jelas dia tak melihat barang seorangpun yang diajak berunding Mahesa
Rangkah, mengapa bekel itu berkata demikian.
"Bekel Rangkah, jangan bergurau !" teriak patih Aragani. "siapa yang engkau ajak berunding?"
Mahesa Rangkah tertawa. "Ada dua, yang seorang tak kelihatan dan yang satu kelihatan."
"Siapa ltu" "Yang tidak kehihatan itu adalah batinku."
"Dan mana yang kelihatan itu "."
"Ini" ejek Mahesa Rangkah seraya mencabut pedangnya "engkau dapat melihatnya, ki patih "."
Patih Aragani menyeringai.
"Ba nku menentang dan pedangkupun menolak. Maka aku terpaksa menurut. Sekarang nggal
dua pilihan bagimu, ki patih."
Dalam saat keduanya bertukar pembicaraan, demang Kar ka telah memberi isyarat kepada
anakbuahnya untuk tegak berjajar melindungi pa h Aragani. Kemudian demang itupun beringsut
kesamping pa h Aragani dan membisiki "Gus pa h, apabila mereka menyerang, harap gus
segera masuk kedalam ratha dan perintahkan kusir untuk menerjang mereka."
Patih Aragani mengangguk.
"Engkau menyerah dan kami bunuh kemudian akan kami kubur secara baik2. Atau engkau
melawan dan kami hancurkan mayatmu beserta seluruh pengiringmu agar menjadi makanan
burung " seru Mahesa Rangkah.
"Mahesa Rangkah, jangan engkau bermulut besar. Aku adalah patih kerajaan Singasari.
Lebih baik aku mati daripada menyerah kepadamu" patih Aragani marah dan unjukkan
kewibawaannya sebagai seorang patih.
"Di Singasari engkau seorang pa h, disini akulah yang berkuasa," sahut Mahesa Rangkah lalu
memberi perintah kepada anakbuahnya untuk menerjang.
Pekik teriakan yang menggemuruh segera menggema dikesunyian penghujung senja. Berpuluh-
puluh lelaki bersenjata tembak dan pedang serempak menyerbu rombongan prajurit pengiring
patih Aragani. Prajurit pengiring pa h Araganipun segera menyambut mereka. Mahesa Rangkah hendak
menyerbu pa h Aragani tetapi ditahan demang Kar ka. Dalam pada itu sesuai dengan rencana
yang dibisikkan demang Kar ka tadi, pa h Araganipun segera masuk ke dalam ratha dan kusir
Ranupun segera mengayunkan cambuk. Roda2 berderak, kedelapan kuda itupun meringkik lalu
mencongklang, menerjang anakbuah Mahesa Rangkah yang mengepung tempat itu.
Kedelapan ekor kuda tegar itu memang hebat. Beberapa anakbuah Mahesa Rangkah
berhamburan rubuh diterjangnya. Ada beberapa yang beruntung sempat loncat menghindar.
Rathapun menerobos ke luar dari kepungan tetapi baru beberapa tombak berjalan, dari kedua
samping jalan, melayanglah berpuluh-puluh tombak menghujani kuda itu. Karena suasana gelap
dan hujan tombak sedemikian deras, kedelapan ekor kuda itupun tak dapat menghindar lagi. Rasa
sakit karena tubuhnya berhias tombak, kedelapan kuda itupun meringkik sekuat-kuatnya dan terus
menerjang maju. Tetapi binatang itu telah kalap sehingga salah arahnya. Mereka dak menuju ke
timur melainkan kembali kearah barat lagi.
Juga dibagian barat, sudah siap berpuluh anakbuah Mahesa Rangkah. Tombak dan pedang
diacungkan untuk memagari ratha agar pa h Aragani tak dapat melarikan diri. Tetapi kedelapan
kuda yang terluka itu sudah binal dan tak terkuasai lagi. Kusir Ranu telah rubuh termakan tombak
lawan. Kini tinggal ratha itu yang gemuruh diseret oleh kedelapan kuda terluka.
Riuh rendah gemuruh kawanan gerombolan ke ka kedelapan kuda itu menerjang. Tombak
dilontarkan, pedangpun dilayangkan. Darah berhamburan pada tubuh kedelapan kuda itu. Namun
merekapun nekad dan kalap. Beberapa kawanan gerombolan dapat diterjang dan disepak. Jerit
teriakan disusul oleh tubuh2 yang terlempar kian kemari.
Bum .... Akhirnya kuda yang terdepan tak kuat. Mereka menderita luka parah. Namun kedua kuda itu
memang kuda pilihan, tegar dan perkasa, pantang menyerah, Mereka lari membinal sekencang-
kencangnya dan akhirnya membentur pohon. Karena yang muka rubuh, maka kuda yang
dibelakangpun ikut terpelan ng. Gerbong ratha terjungkir balik menghantam gunduk batu.
Seke ka suasana sekitar tempat ilu makin gelap. Cuaca malam dan debu serta dahan pohon yang
jatuh, menimbulkan kabut yang gelap.
Pertempuranpun mencapai puncak, diakhiri dengan gelombang jerit teriakan yang mengerikan.
Demang Kar ka dan keduapuluh prajurit, akhirnya gugur dalam pertempuran dahsyat itu.
Gerombolan anakbuah Mahesa Rangkah menggunakan juga anak panah untuk menghancurkan
prajurit2 Singasari. Tiada seorangpun yang masih hidup. Mayat2 berserakan ndih menindih, darah
memerah tanah. Mahesa Rangkah berseru memberi perintah agar anakbuahnya berkumpul "Bagaimana dengan
patih Aragani " "teriaknya.
Anakbuahnya serempak berseru "Patih telah binasa bersama ratha dan kuda penghelanya."
"Lekas angkut kawan-kawan kita yang terluka dan ma agar jangan dapat diketahui bala bantuan
Singasari esok hari " kembali Mahesa Rangkah memberi perintah.
Setelah mayat2 dan kawan2 mereka yang terluka dinaikkan di atas kuda, Mahesa Rangkah segera
memberi aba2 untuk tinggalkan tempat itu.
Malampun makin gelap dan sunyi. Tempat yang beberapa saat menjadi medan pertempuran
berdarah, kini sunyi senyap. Ditengah jalan masih berserakan mayat-mayat dari prajurit2
Singasari. Prajurit2 pengiring patih Aragani itu merupakan prajurit2 pilihan. Tetapi karena
gerombolan itu jumlahnya lebih banyak dan .menggunakan senjata panah, merekapun harus
menyerah binasa. Malampun kelam. Makin membisu. Hanya burung hantu yang mulai berdendang mengantar
arwah2 yang telah meninggalkan raganya.
Di celah2 kesunyian malam, terdengar suara orang berbisik-bisik "Ki sanak, terima kasih atas
pertolonganmu. Apabila engkau mau mengantarkan aku ke pura Singasari, besar nian ganjaranmu."
"Siapakah sesungguhnya tuan ini" " tanya seorang suara pula.
Tiada penyahutan. Rupanya orang yang pertama berkata tadi tengah merenung. Ada sesuatu
yang dipikirkannya "Siapakah engkau, anakmuda " " sesaat kemudian ia kedengaran bertanya.
"Kami berdua ini sedang menuju ke Singasari " jawab orang yang kedua tadi.
"O " kata pula orang yang pertama "apa tujuanmu "."
"Hanya sekedar melihat-lihat keindahan pura kerajaan."
"O " desus orang pertama itu pula "adakah ki sanak ini orang Daha "."
"Bukan " sahut yang ditanya "kami rakyat didesa gunung Kawi sini."
"Hm, baik " kata orang itu "jika kalian mau mengantarkan aku ke pura Singasari, akan kuberimu
pangkat." "Terima kasih, ki sanak " sahut orang kedua itu "tetapi kami sudah biasa hidup di alam pedesaan
yang bebas. Kami tak menginginkan pangkat dan kedudukan apa8."
"Baik " kata orang pertama pula "akan kuberimu ganjaran yang setimpal."
"Terima kasih " kata orang kedua itu "kami sudah hidup senang dari hasil bercocok tanam. Kami
tak mengharapkan apa2."
"Lalu apa permintaanmu"."
"Kami hanya ingin tahu, siapakah tuan ini"."
Tanpa sangsi lagi orang pertama itu segera menyahut "Aku adalah pa h Aragani dari kerajaan
Singasari" i Setelah memperkenalkan diri, rupanya pa h itu akan mengharap orang yang diajak bicara itu
akan tersipu-sipu memberi sembah hormat. Tetapi ternyata kedua orang itu tenang2 saja.
"Hamba Nararya dan ini kakang Pagon, gus pa h " kata orang yang bertanya nama dari pa h
Aragani tadi "hamba berdua bersedia mengantar gusti patih ke pura kerajaan."
"Bagus Nararya " seru orang itu atau pa h Aragani. Dia memang benar2 pa h Aragani. Ke ka
kedelapan kuda membentur pohon dan ratha terbalik, pa h Aragani beruntung dapat loncat ke
luar. Dilindungi oleh kepul debu yang gelap dan anak gerombolan sedang sibuk menyingkir,
dapatlah patih Aragani menyusup ke dalam gerumbul pohon dan terus meloloskan diri.
Karena malam gelap ia tak tahu arah. Pokok asal dapat meloloskan diri. Entah berapa lama
beijalan ba2 ia dihadang oleh dua orang lelaki berpakaian hitam, menghunus pedang "Menyerah
saja, engkau patih Aragani " seru kedua orang itu.
Betapapun kecil nyali nya, tetapi dalam menghadapi kenyataan yang ada memungkinkan lain
pilihan kecuali harus ma , akhirnya pa h Aragani bangkit semangatnya. Sebelum ma ia harus
berpantang ajal. "Hm, gerombolan anjing hutan, siapakah sesungguhnya kalian ini " " hardiknya sembari
mencabut keris Kedua orang itu tertawa. Kemudian salah seorang berseru "Engkau ingin tanya diri kami " Baiklah
agar supaya jangan engkau ma penasaran, akan kuberitahukan. Dengarkanlah, kami adalah
anakbuah dari gunung Butak !."
"Hm "desuh Aragani "adakah Mahesa Rangkah itu pemimpin gerombolan gunung Butak"."
"Mahesa Rangkah ?" ulang orang itu "siapakah Mahesa Rangkah" kami tak mempunyai pemimpin
yang bernama Mahesa Rangkah !."
"Siapa pemimpinmu "."
"Pasirian." "Dan siapa yang memimpin gerombolanmu yang menyerang rombongan utusan kerajaan itu "."
"Kebo Manyura."
"Kebo Manyura" Ah, dia jelas bekel Mahesa Rangkah dari keraton Singasari."
"Seluruh anakbuah gunung Butak hanya tunduk pada dua pimpinan, Banyak Pasirian dan Kebo
Manyura " seru orang itu "sudahlah, sekarang bagaimana maksudmu " Menyerah atau melawan !."
"Aku seorang pa h kerajaan Singasari. Lebih baik aku ma daripada harus menyerah pada
gerombolan anjing hutan yang tak kenal undang-undang."
"Bagus " seru orang itu seraya loncat menikam.
Pa h Araganipun berusaha untuk melawan. Pada masa muda iapun juga gemar menuntut ilmu
kanuragan dan kedigdayaan. Namun setelah tua dan bermanja dalam kegemaran tuak yang
berkelebihan, tenaganyapun merosot. Dalam beberapa babak saja, napasnya sudah mulai
memburu keras, kepalanya mulai berkunang-kunang.
"Ah, ma aku sekarang" diam2 pa h Aragani mengeluh. Serentak ia memutuskan untuk
melarikan diri. Setelah menyerang dengan nekad sehingga lawan terpaksa loncat mundur, pa h
Aragani pun terus berputar tubuh dan lari.
Kedua orang gerombolan itupun mengejarnya. Rupanya memang masih belum ba saatnya pa h
Aragani harus ma . Secara tak disengaja ia ba di tempat Nararya dan gajah Pagon bersembunyi.
Melihat pakaian kedua anakmuda itu beda dengan kawanan gerombolan, mbullah harapan
Aragani " Ki sanak" serentak ia berseru dengan nada beriba "tolonglah aku. Kedua penyamun itu
hendak membunuhku." Walaupun belum pernah berhadapan tetapi Nararya mendasarkan dugaannya, bahwa lelaki
setengah tua yang berbusana indah tetapi lusuh, wajah ketakutan dan rambut terurai itu, tentulah
pa h Aragani. Nararya tak tahu bagaimana sesungguhnya peribadi pa h Aragani itu. Yang
diketahuinya Aragani itu seorang pa h kerajaan Singasari yang sedang mengemban tah baginda
ke Daha. Nararya pun tak jelas siapakah gerombolan yang menyerang rombongan pa h itu. Dalam
keadaan seper saat itu, ia hanya memutuskan untuk melakukan dharmanya sebagai seorang
ksatrya, menolong orang yang membutuhkan pertolongan, menyelamatkan seorang mentri
kerajaan dari gangguan orang jahat.
"Silahkan bersembunyi di belakang kami " katanya seraya maju menggagah untuk menyambut
kedatangan kedua anakbuah gerombolan itu "berhenti ki sanak ! " serunya.
Kedua lelaki bersenjata pedang itupun berhen dan membelalak "Ho, engkau pengawal pa h
itu"." "Bukan " sahut Nararya "tetapi aku akan melindunginya ?"
"Jika bukan pengawalnya, jangan engkau ikut campur urusan ini. Perlu apa engkau
melindunginya"."
"Siapa kalian dan mengapa hendak membunuh ki patih?" seru Nararya pula.
"Kami anakbuah dari gunung Butak" sahut salah seorang gerombolan itu tanpa ragu2 lagi "pa h
itu biangkeladi kehancuran kerajaan Singasari, harus dilenyapkan "."
"Anak muda" tiba2 patih Aragani berseru dari arah belakang "jangan percaya ucapannya!."
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pa h keparat" teriak orang itu pula "jangan engkau menyangkal. Siapa yang menjatuhkan gus
pa h empu Raganata, gus demung Banyak Wide dan gus tumenggung Wirakre . Mereka mentri2
tua kerajaan yang setya tetapi menderita fitnah patih itu."
"Ki sanak" seru Nararya "bagaimana engkau tahu jelas akan persoalan itu "."
"Pemimpin kami telah memberi penjelasan tentang tujuan perjuangan anakbuah gunung Butak
dan menguraikan tentang keadaan yang terjadi dalam kerajaan Singasari."
"Jika demikian kalian bukan gerombolan penyamun " " Nararya menegas.
"Raden Pasirian, putera dari gus Linggapa yang dahulu dibunuh raja Wisnuwardana, ayahanda
baginda Kertanagara yang sekarang, hendak menuntut balas terhadap Singasari."
"O, jika hendak menuntut balas, mengapa kalian tak mendukung ndakan pa h Aragani "
Bukankah seper yang kalian katakan tadi, bahwa pa h Aragani telah ber ndak menghancurkan
kerajaan Singasari " Tidakkah hal itu sesuai dengan tujuan kalian"."
"Pimpinan kami yang seorang, raden Kebo Manyura menentukan sikap lain. Yang akan
dihancurkan adalah patih Aragani, karena patih itu telah mencelakai patih sepuh empu Raganata."
"Dia hendak menuntut balas untuk empu Raganata "."
"Ya." "Adakah dia pengikut dari empu Raganata " "
"Kami tak tahu. Kami hanya diwajibkan menurut perintah garis tujuan itu."
"Sudahlah kakang, tak perlu banyak bicara dengan dia " seru kawannya yang seorang
"menyingkirlah, jangan engkau mengganggu urusan kami."
"Ah, engkau terlalu pemberang, ki sanak" Nararya tenang2 menjawab "apabila engkau dapat
memberi penjelasan yang dapat kuterima, akupun akan menurut perintahmu menyingkir dari sini."
"Sudah kujelaskan, patih Aragani harus dilenyapkan karena dia membahayakan kerajaan."
"Apa wewenangmu untuk membunuh seseorang, terutama seorang pa h kerajaan " " tegur
Nararya. "Tanggung jawab pengabdianku terhadap kerajaan merupakan wewenang yang menghaya
tindakanku." "Tidak " bantah Nararya "hanya kerajaan yang berwewenang untuk memper mbangkan dan
memutuskan salah benarnya patih Aragani. Bukankah kerajaan sudah memiliki undang-undang"."
"Kakang, tak perlu berbanyak kata dengan orang itu " seru kawan orang itu "jelas dia tentu
pengawal patih Aragani. Kita gempur saja."
Serentak orang itupun terus loncat menerjang Nararya tetapi ia segera disambut Gajah Pagon.
Dalam beberapa gebrak saja, dapatlah sudah Gajah Pagon merubuhkan orang itu. Melihat
kawannya terkapar, orang yang pertama tadi terbelalak. Apalagi ke ka melihat Gajah Pagon
menghampiri. Tiada sempat berpikir apa2 lagi, orang itu ba2 taburkan pedangnya kepada Gajah
Pagon lalu loncat ke belakang, berputar tubuh dan terus lari menyusup kebalik gerumbul gelap.
"Awas, kakang Pagon " teriak Nararya ke ka melihat orang itu gerakkan tangan. Untung Gajah
Pagon cukup waspada. Ia condongkan kepala ke samping dan dapat menyelamatkan mukanya dari
taburan pedang. Tetapi sebagian dari ikat kepalanya di samping kiri, terpapas.
"Jangan kakang Pagon! " teriak Nararya pula ke ka melihat Gajah Pagon hendak mengejar
"berbahaya mengejar musuh dalam tempat yang gelap."
Gajah Pagon hentikan langkah dan kembali ke tempat Nararya.
Demikianlah asal mula patih Aragani berada dengan Nararya dan Gajah Pagon. Saat itu patih
Aragani meminta Nararya supaya mengantarkannya ke pura Singasari.
Mereka kembali ke tempat pertempuran. Patih Aragani ngeri dan sedih melihat nasib yang
diderita pengiringnya. Ia akan memerintah kepada buyut desa yang terdekat untuk merawat
jenasah mereka. Singkatnya menjelang siang pada esok harinya, balah pa h Aragani bersama Nararya dan Gajah
Pagon di pura Singasari. Langsung pa h Aragani menghadap baginda dan mengajak kedua
anakmuda itu. Tetapi Nararya menolak.
"Tugas hamba telah selesai, gus pa h. Hamba mohon hendak kembali ke desa lagi," kata
Nararya. "Jangan" cegah pa h Aragani "engkau harus menghadap baginda agar baginda dapat lebih
lengkap menerima laporan tentang peristiwa itu."
Nararya terpaksa menurut. Dalam hal itu bukan karena ia mengharapkan balas jasa atau
ganjaran. Ia tak mengandung keinginan menerima anugerah ganjaran dari seri baginda. Pertama,
seper yang dikatakan pa h Aragani tadi, agar baginda lebih jelas tentang peris wa itu. Kedua,
memang ia ingin mengetahui dari dekat bagaimana sesungguhnya peribadi baginda Kertanagara
yang termashyur itu. Jika ada peris wa itu, tak mungkin ia dapat diterima menghadap baginda.
Disamping itu, ah?". ia tersipu-sipu sendiri karena mengharapkan mudah-mudahan puteri2
baginda juga ikut hadir di samping baginda.
Bukan kepalang kejut baginda ke ka menerima, pa h Aragani. Hampir baginda tak dapat
mengenali bahwa lelaki setengah tua yang menghadap dihadapannya itu pa h Aragani. Saat itu
ada seorang mentri atau senopa yang hadir. Dan yang menerima hanya baginda sendiri dengan
pengawal-pendamping Bandupoyo. Memang pengawal-pendamping yang telah dianugerahi
pangkat tumenggung itu selalu berada di samping barang kemana baginda berada.
"Apakah engkau benar pa h Aragani?" tegur baginda terheran-heran melihat keadaan diri dan
busana Aragani. "Sesungguhnya hamba adalah pa h Aragani, hamba paduka yang setya, junjungan hamba" sahut
Aragani. Ternyata dalam keadaan yang pontang pan ng itu, masih Aragani dapat merangkai kata
sanjung yang sedap. Baginda geleng2 kepala "Bagaimana mungkin keadaanmu sampai sedemikian rupa, patih "."
"Kiranya diperkenankan pa h paduka untuk mempersembahkan laporan tentang perjalanan
hamba ke Daha untuk menunaikan amanat paduka, gusti."
Baginda memberi perkenan.
"Hamba telah diterima menghadap akuwu Jayakatwang dan telah pula hamba haturkan segala
maksud kedatangan hamba seperti yang telah tersirat dalam amanat paduka."
"Lalu "." "Amat bersyukur dan bersukacita kiranya akuwu Jayakatwang menerima limpahan budi dan
anugerah paduka yang tiada taranya itu, gusti."
"Ya" baginda mengangguk "demikian agar dia menghaya maksud keinginanku untuk
mempersatukan Singasari - Daha dalam suatu ikatan keluarga."
"Semoga keluhuran tah paduka akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh
kawula kerajaan Singasari " kembali patih Aragani bermain rangkaian kata indah.
Kemudian bagindapun bertanya tentang sikap akuwu Jayakatwang terutama pangeran Ardaraja
waktu menyambut amanat baginda itu.
Pa h Aragani memang licin. Ia tahu bahwa saat itu akan sia2 belaka apabila ia mengungkap
kandungan ha Jayakatwang yang tercurah dalam percakapan itu. Lebih baik dia memberi ulasan
lain yang akan menyenangkan hati baginda.
Maka pa h Araganipun menghaturkan saja betapa gembira, bersyukur akuwu Jayakatwang atas
amanat baginda itu. "Lalu bagaimana dengan Ardaraja sendiri "."
"Pangeran Ardaraja memang seorang pangeran yang tampan, gagah dan perwira, gus " pada
saat itu mulailah patih Aragani melaksanakan rencananya.
"Bagaimana maksud kata-katamu itu, Aragani."
"Pangeran Ardaraja gemar mela h diri dalam ilmu kedigdayaan, ilmu tata-praja dan lain2 ilmu
yang berguna bagi seorang pangeran yang kelak akan menggan kan kedudukan ayahandanya.
Disamping itu pangeran memiliki pambek yang luhur. Pangeran amat bersukacita atas amanat
paduka tetapi pangeran dengan segala kerendahan ha tak menginginkan bahwa dengan
menerima amanat paduka itu, jangan orang menganggap bahwa ia mengandung maksud untuk
mengarah tahta kerajaan paduka."
Baginda terbeliak "Apa maksudnya, patih"."
"Dengan segala kerendahan dan keikhlasan ha , pangeran mohon agar puteri yang paduka
hendak anugerahkan kepadanya itu, janganlah puteri2 paduka yang mempunyai hak atas warisan
tahta kerajaan Singasari. Misalnya gusti ayu Tribuana dan gusti ayu Gayatri."
"Ardaraja mempunyai hati yang sedemikian tulus, patih"."
"Benar, gusti."
Gerahlah seketika wajah baginda Kertanagara "Memang dalam hal itu tak lepas dari pemikiranku.
Sesungguhnya aku sedang periha n untuk mengambil keputusan. Tribuana dan Gayatri masih
mempunyai seorang ayunda yang lahir dari lain ibu. Sebagai puteri yang sulung, sudah tentu
Laksmi harus menikah lebih dulu. Tetapi aku sudah berkenan menerima permohonan ibunda
Tribuana dan Gayatri, bersedia menjadi permaisuriku apabila putera keturunannya yang kelak
menggan kan tahta kerajaan Singasari ini. Namun bila kujodohkan Laksmi kepada Ardaraja,
akupun kua r Jayakatwang dan puteranya akan tersinggung perasaannya. Kini setelah Ardaraja
sendiri menyatakan keinginannya, tentulah kuperkenankan puteriku yang sulung itu untuk menjadi
isteri Ardaraja. Kelak Ardaraja tentu akan kuangkat sebagai pengganti ayahanda Jayakatwang."
Diam2 pa h Aragani girang karena rencananya telah menjadi kenyataan. Singasari takkan jatuh
dalam kekuasaan pangeran Daha.
"Disamping itu, gus " katanya pula "mohon diampunkan segala dosa hamba karena selama
hamba berada di keraton, telah terjadi suatu peris wa yang hampir saja akan menggagalkah
seluruh titah paduka."
"Apakah itu, patih "."
Dengan panjang lebar, pa h Aragani lalu mempersembahkan laporan tentang peris wa Mahesa
Rangkah hendak mengadakan percobaan membunuh pangeran Ardaraja. Semua peris wa yang
telah dialaminya di keraton dihaturkan ke hadapan baginda.
"Keparat! " teriak baginda "Mahesa Rangkah berani melakukan hal itu" "
"Karena dia iri ha dan marah kepada Ardaraja. Menurut dugaannya, paduka tentu akan
menjodohkan gusti ayu Tribuwana kepada pangeran Ardaraja"
"Itu wewenangku sebagai raja dan ayah. Mengapa dia tak puas "."
"Rupanya bekel itu sudah melampaui batas kesusilaan karena berani mengharapkan gus ayu
Tribuwana" lalu pa h Aragani mengungkap semua ngkah laku selama bekel Rangkah berada di
keraton Singasari. "Bawa dia kemari dan akan kujatuhi hukuman mati " seru baginda murka sekali.
"Ampun, gus " sembah pa h Aragani pula "bekel itu telah melarikan diri dan ternyata dia
menggabungkan diri dengan gerombolan gunung Butak yang hendak melawan kekuasaan paduka "
pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa yang dialaminya di lembah pegunungan Kawi
ketika diserang oleh gerombolan gunung Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah.
Baginda terperanjat dan makin murka.
"Siapa gerombolan gunung Butak itu"."
Pemimpinnya adalah Banyak Pasirian, putera dari Linggapa di daerah Mahibit yang dulu hendak
berontak dan ditumpas oleh ayahanda paduka rahyang ramuhun Wisnuwardana. Dia menghimpun
kekuatan di gunung Butak hendak mengadakan kraman pula terhadap kerajaan Singasari."
"Dan si Rangkah itu telah menggabung dengan mereka?" ujar baginda.
"Dengan membawa beratus anakbuah, dia telah menyerang dan membunuh semua prajurit
pengiring hamba termasuk demang Kartika, gusti."
Merah padam wajah baginda Kertanagara.
"Lekas tahkan pa h Kebo Anengah menghadap kemari, dan ku tahkan supaya besok membawa
pasukan Singaasari menumpas gerombolan gunung Butak!."
~dewikz~ismoyo~mch~ Jilid 10 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ke ka masuk ke keraton, Nararya di tahkan pa h Aragani supaya menunggu di pendapa luar.
Pa h Aragani masuk menghadap baginda sendiri. Lama sekali Nararya menan namun pa h
Aragani tak kunjung datang.
Ia hendak menyusul masuk kedalam tetapi ia takut. Takut kalau dituduh kurang aturan. Mungkin
akan menerima teguran dari para pengawal-dalam. Mungkin pula patih Aragani akan marah.
Tetapi dia tak sampai pada dugaan bahwa mungkin juga patih Aragani akan memerintahkan
penangkapan atas dirinya. Bagai seorang penguasa, terutama yang licin dan kejam seperti
patih Aragani, mudah sekali untuk mencari alasan. Bahkan tanpa alasan, pun patih itu berkuasa
untuk menitahkan prajurit menangkapnya.
Kekuasaan ditangan penguasa yang tak bijaksana, memang akan dapat menimbulkan derita.
Terpaksa ia menahan diri. Beberapa saat kemudian mbul keinginannya untuk meninggalkan
paseban luar itu. Lebih baik ia pergi karena ia memang tak mengharapkan balas jasa atau anugerah
apa2 dari seri baginda. Tetapi ndakan itupun juga menimbulkan akibat yang kurang baik juga. Keraton penuh dijaga
dengan prajurit2 pengawal keamanan. Apabila terlihat oleh mereka, tentu dia akan di tangkap.
Selama pengalamannya berkelana ini, ia mempunyai pengalaman juga dalam keraton dan
tempat kediaman mentri, senopa dan orang2 berpangkat, ia mendapat kesan, bahwa dalam
se ap peris wa dimana dia harus berhadapan dengan kawanan prajurit atau penjaga, selalu ia
mendapat kesulitan dan akan berakhir dengan kekerasan Berurusan dengan prajurit bawah,
memang lebih sulit. Sering ia harus mengalami perlakuan kasar. Beda dengan pimpinan atau yang
atasan. Mereka lebih baik dalam perlakuan dan lebih bijaksana dalam tindakan.
Apabila merenungkan hal itu, Nararya meragu dan batalkan rencananya lagi. Apa boleh buat. Ia
harus menahan kesabarannya untuk menunggu patih Aragani.
Tak berapa lama pa h Aragani pun muncul. Dia di ajak pulang ketempat kediaman pa h itu.
Setelah dipersilahkan membersihkan badan menikma hidangan, Nararya dipanggil pula oleh pa h
Aragani. "Ki bagus" kata pa h Aragani "baginda amat murka mendengar persembahan laporanku. Maka
lebih baik dak kubawa engkau menghadap baginda. Soal ndakanmu yang telah menolong aku
dan mengantar aku pulang ke pura Singasari, takkan kulupakan, Akan kuberimu hadiah yang
setimpal" Nararya terkejut. "Terima kasih gus pa h" katanya " ada sekali-kali hamba mengharap hadiah dan anugerah dari
paduka." "Ah, janganlah engkau menolak, ki bagus" kata pa h Aragani "sudah layak apabila se ap jasa itu
mendapat anugerah, se ap kebaikan mendapat imbalan. Dari aku sebagai pa h kerajaan Singasari,
wajib memberi hadiah sebagai tanda penghargaan dan terima kasihku kepadamu."
Namun Nararya tetap menolak.
Memang bukan tiada sebabnya patih Aragani tak menghaturkan Nararya kehadapan seri
baginda. Semula dia memang mempunyai rencana demikian, agar Nararya mendapat pujian
dan kedudukan dari seri baginda. Tetapi entah bagaimana, ketika tiba di pura kerajaan,
pikirannya berobah. Dia teringat akan putera manantunya, raden Kuda Panglulut. Sebagai
seorang mentua, lebih layak apabila dia berjuang untuk menampilkan putera menantunya ke
tangga kedudukan yang lebih tinggi. Jika seri baginda berkenan akan Nararya, tidakkah hal itu
berarti suatu rintangan bagi perjalanan Kuda Panglulut dalam menanjak ke tangga kedudukan
yang tinggi " Dengan pemikiran yang datangnya secara ba- ba itu maka pa h Aragani dak jadi membawa
Nararya ke hadapan seri baginda melainkan menitahkan pemuda itu di pendapa agung. Dan kini
dia hendak menyelesaikan soal Nararya itu sendiri. Pikirnya, asal diberi hadiah besar tentulah
pemuda itu sudah puas. Tetapi pa h Aragani kecele ke ka mendapat penolakan dari Nararya. Pemuda itu tak mau diberi
hadiah uang dan busana. "Ki bagus" kata pa h Aragani sejenak teringat sesuatu. "kuminta engkau menunggu di kepa han
sini. Aku hendak melaksanakan titah baginda untuk memanggil kakang patih Kebo Arema."
"O, hamba menunggu disini "."
Pa h Aragani membawa Nararya ke dalam. Diperintahkan hambanya untuk menyediakan
hidangan kepada pemuda itu. Kemudian ia meninggalkan Nararya untuk menemui pa h Kebo
Arema. Dayang yang melayani Nararya itu sudah setengah tua. Nyi Su namanya yang dalam pekerjaan
sehari-hari bertugas melayani Dyah Arini, puteri pa h Aragani yang telah bersuamikan raden Kuda
Panglulut. Agak terkesiap nyi Su ke ka melihat Nararya. Wajah pemuda itu dalam pandang matanya
seper memancarkan sinar yang terang. Menurut perasaannya, belum pernah ia melihat seorang
pemuda yang memiliki wajah seperti Nararya.
"Ki bagus, siapakah nama tuan?" Nyi Su mengajukan pertanyaan ke ka menghaturkan hidangan
kepada Nararya. "Nararya, bibi."
"Ah, nama yang bagus seperti orangnya" puji nyi Suti. Sekalipun baru berumur tigapuluh tahun
lebih, tetapi nyi Suti sudah menjanda karena suaminya meninggal. Nyi Suti memiliki paras yang
terang karena kulitnya bersih dan kuning.
Kemudian dayang itu bertanya juga apa sebab Nararya berada dalam kepa han. Dengan terus
terang Nararya menceritakan tentang peristiwa di kaki gunung Kawi.
"Oh" desuh nyi Su "jika demikian tentu besar sekali ganjaran gus pa h kepada ki bagus. Benar
ki bagus, hal itu bukan main- main. Engkau telah menolong jiwa gus pa h. Seharusnya engkau
dihaturkan kehadapan seri baginda agar diberi pangkat."
Nararya tersenyum. "Tidak bibi ....."
"Ah, janganlah ki bagus menyebut aku bibi. Adakah aku ini sudah tua dan layak engkau sebut
bibi?" . "Lalu bagaimana aku harus memanggil "."
"Nyi Suti. Namaku Suti" Nararya mengiakan.
"Ki bagus" kata nyi Suti pula "tidakkah engkau senang tinggal di pura kerajaan"."
Nararya diam2 terkejut melihat ngkah ulah dayang kepa han yang begitu ramah sekali
kepadanya. Namun sebagai seorang tetamu ia harus bersikap sopan.
"Lalu apa kerjaku di pura?" katanya.
"Ah, gus pa h tentu dapat memberi pekerjaan kepadamu, ki bagus. Syukur engkau diterima di
kepatihan sini ...." nyi Suti tertawa.
Nararya menghela napas. Sebenarnya ia muak melihat ngkah ulah dayang yang begitu genit.
Tetapi sebagai seorang tetamu, tak mau ia mengucapkan kata2 kasar. Terutama tak mau ia
menyakiti hati wanita, bujang sekalipun dia itu.
Tiba2 datang pula seorang dayang yang memanggil nyi Su "Gus puteri menitahkan engkau
menghadap.."
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bergegas nyi Suti mendapatkan junjungannya.
"Kemana engkau Suti" Mengapa lama benar engkau tak muncul?" puteri Arini menegurnya.
Karena ketakutan nyi Su pun menceritakan tentang perintah pa h Aragani yang telah dilakukan
terhadap seorang pemuda. "Siapa?" tanya Arini.
"Namanya Nararya" nyi Suti lalu menceritakan penuturan pemuda itu kepadanya.
"O, dia tentu seorang pemuda yang gagah perkasa" seru puteri Arini.
"Tidak, gus " kata nyi Su "dia seorang pemuda yang tampaknya lemah, berbudi halus dan
tampan. Hamba rasa dia tentu berdarah bangsawan tetapi dia mengaku sebagai seorang pemuda
desa." Entah bagaimana seke ka mbullah keinginan puteri Arini untuk melihat Nararya. "Nyi Su "
serunya "panggillah dia kemari.."
Nyi Suti terbeliak "Tetapi gusti ....."
"Mengapa"."
"Tidakkah .... raden Panglulut akan marah apabila gus bertemu dengan seorang pemuda yang
tak dikenal itu"."
"Mengapa marah?" balas Arini "aku tak bermaksud apa2 melainkan ingin melihat orang yang
telah menolong jiwa ramaku. Bila perlu, akupun wajib juga untuk memberi anugerah kepadanya.."
Nyi Suti tak dapat membantah. Ia segera menemui Nararya.
" i bagus" katanya "gusti puteri Arini menitahkan engkau menghadap.."
Nararya terkejut "Siapa gusti puteri Arini itu"."
"Puteri gusti patih Aragani."
"O" Nararya mendesuh. Tetapi ia tak dapat melanjutkan berkata karena nyi Su pun sudah siap
membawanya. Terpaksa Nararya mengikutinya.
Nararya tersipu menundukkan kepala ke ka pandang matanya beradu dengan mata Arini. Ia
segera duduk bersimpuh dihadapan puteri patih itu.
Diam2 ha puteri Arini pun tergetar ke ka tersambar sinar mata Nararya yang bercahaya terang
itu. Sampai beberapa saat ia tertegun.
"Gus " karena melihat Arini diam sampai beberapa saat, nyi Su terseru "inilah pemuda, ki
bagus Nararya, yang telah menyelamatkan jiwa gusti patih."
Arini agak gelagapan "O, benarkah engkau yang telah menolong rama patih, ki sanak "."
"Ah, hamba hanya sekedar menyembunyikan gus pa h dari kejaran gerornbolan, gus " Nararya
menyahut dengan kata2 merendah.
"Menyelamatkan, bukan harus dengan mengadu jiwa. Banyak sekali jalan dan caranya.
Menyembunyikan dari serangan gerombolan, juga suatu cara penyelamatan yang baik" kata puteri
Arini. "Tetapi hamba hanya sekedar melakukan apa yang hamba wajib lakukan. Sebagai seorang
kawula terhadap gusti. Hamba tak merasa telah berbuat suatu jasa terhadap gusti patih."
Melihat wajah Nararya yang memancar sinar agung dan tutur bahasanya yang rendah ha dan
sopan, tertariklah perha an Arini. Walaupun tak sampai dia meningkatkan pemikirannya akan
sesuatu yang dirasakan antara suaminya, Kuda Panglulut, dengan Nararya. Namun saat itu
terbayang juga ia akan diri suaminya itu. Ia menghela napas.
Dalam pada waktu Arini sedang bercakap-cakap dengan Nararya, nyi Su pun meninggalkan
tempat itu. Memang sudah menjadi peraturan, bahwa apabila gus puterinya sedang menerima
tetamu tak boleh para hamba sahaya berada disitu untuk mendengarkan percakapan.
Nararya menunduk diam. Ia tak mau bicara kalau tak ditegur.
"Ki sanak" kata Arini pula "sungguh amat sayang apabila seorang muda seper engkau, hidup
terpendam di pegunungan yang sepi. Tidakkah engkau berminat untuk bekerja di pura kerajaan ini
"." "Terima kasih, gusti" kata Nararya "tetapi orangtua hamba sudah tua. Hamba harus bekerja
untuk membantu mereka."
"Apakah pekerjaanmu"."
"Mengerjakan sawah, berkebun dan bercocok tanam."
"Engkau senang dengan pekerjaan itu?"
"Sejak dari lahir sampai dewasa ini, hamba sudah biasa hidup di pegunungan atau pedesaan.
Hamba mencintai pekerjaan hamba itu. Hambapun mencintai suasana pegunungan yang tenang
dan damai, dimana burung2 bebas beterbangan dan berkicau, air berdesir-desir mengalir
sepanjang lembah dan ngarai, udara yang cerah menghamburkan angin yang sejuk."
Dikala Nararya mengucapkan kata itu, Arini pun terbuai. Seolah ia terhanyut dalam keindahan
dan ketenangan alam pegunungan yang murni. Ingin ia mempunyai sayap untuk terbang menikma
keindahan itu. Perasaan manusia memang berobah-robah. Perobahan itu timbul dari panca indera dan
penyerapannya. Seorang yang berada dalam lingkungan hidup yang berkemewahan, dia akan
kabur perasaannya akan kenikmatan yang dinikmatinya. Dia takkan merasakan lagi akan
kenikmatan hidup itu. Demikian pula dengan perasaan puteri Arini. Dia hidup dalam
kemewahan. Sebagai puteri seorang patih yang berkuasa. Sebagai seorang isteri dari raden
Kuda Panglulut yang cakap. Mendengar tentang keindahan suasana alam pegunungan yang
penuh ketenangan dan kedamaian, ia ingin juga untuk menikmatinya.
"Benarkah itu, ki sanak" katanya menegas.
"Demikianlah gus " kata Nararya "kenyataan itu telah hamba rasakan dan menghidupi hamba
sampai belasan tahun."
"Tidakkah engkau merasa hidup di pura kerajaan itu jauh lebih ramai dan leoih nikmat"."
"Kenikmatan hidup di alam pedesaan dan di pura kerajaan memang berbeda, gus " kata Nararya
"orang di pura kerajaan hidup dengan penuh kegembiraan. Dilingkungi oleh kehidupan yang ramai
dan mewah. Sedang kenikmatan hidup di alam pegunungan, dilingkungi ketenangan dan
kedamaian." "Apa beda kedua kenikmatan hidup itu "."
"Kegembiraan dalam lingkungan hidup yang serba mewah, hanyalah suatu kenikmatan lahiriyah.
Suatu kenikmatan yang bersifat keduniawian. Sedang kenikmatan hidup di pegunungan,
kenikmatan yang tenang dan damai. Kenikmatan ba n. Semakin jauh manusia dari keduniawian,
makin,dekat kita pada kebesaran alam dan keagungan Hyang Widdhi. Demikian gus puteri,
perbedaan kedua kenikmatan itu."
"Tetapi ki sanak" kata Arini "orang muda semacam engkau, belum waktunya untuk
menenggelamkan diri pada kenikmatan di pegunungan. Negara masih membutuhkan kaum muda
untuk menegakkan dan memperkuat kejayaan kerajaan. Tidakkah itu suatu dharma wajib pada
kaum muda seperti dirimu "."
Nararya terkejut menerima pertanyaan itu.
"Benar, gus puteri. Memang kerajaan perlu sekali dengan pengabdian para muda. Banyak sekali
bidang yang memerlukan tenaga kaum muda. Tetapi ah" ia menghela napas "keadaan hamba
belum memungkinkan hal itu, gus . Hamba harus membantu orangtua, hamba yang sudah lanjut
usianya." "Tidakkah dengan mendapat pangkat dan kedudukan di kerajaan Singasari, engkau dapat
membawa serta orangtuamu ke pura kerajaan "."
"Ah, gus " kembali Nararya menghela napas "orangtua hamba seorang tua yang sudah tak
mengharap dan menginginkan keduniawian. Orangtua hamba ingin melewa sisa hidupnya dalam
alam yang tenang dan damai. Hamba harus berbakti dan menghormati pendiriannya gusti."
Arini mengangguk. Pembicaraan yang singkat itu cukup memberi kesan baik kepadanya. Bahwa
Nararya, itu memang seorang yang berbudi luhur. Dan tanpa disadarinya ia telah membayangkan
sikap serta ngkah Kuda Panglulut suaminya itu. Kuda Panglulut gagah, berani dan penuh dengan
cita-cita yang nggi untuk meraih kedudukan yang nggi. Demikian pula sifatnya yang selalu keras
kepala itu, sering menimbulkan pertengkaran dalam rumahtangga mereka. Puteri Arini termenung-
menung. "Adakah engkau dapat menerima apabila rama pa h memberi kedudukan ?" akhirnya ia
bertanya. "Sudah tentu hamba amat berterima kasih sekali atas anugerah gus pa h itu" jawab Nararya
"tetapi sayang sekali saat ini hamba belum dapat melaksanakan karena keadaan keluarga hamba."
Arini benar2 tak dapat memaksa. Dalam diri Nararya, ia mendapatkan seorang pemuda yang lugu
dan jujur. Se ap orang tentu mengharap ganjaran, harta maupun pangkat. Tetapi ternyata Nararya
menolak semuanya. "Baiklah, ki sanak" akhirnya puteri patih itu berkata "aku gembira dan menghormati pendirianmu
yang jujur dan sifatmu yang amat berbak kepada orangtua itu. Tetapi betapapun, akupun hendak
mengunjuk bakti kepada ramaku."
"Syukurlah, gusti."
"Engkau setuju, bukan "."
"Setuju gusti."
"Baik" kata puteri Arini "oleh karena rama pa h telah mendapat budi pertolonganmu maka aku
sebagai puterinya, wajib membalas budimu itu. Terimalah ini, ki sanak."
Puteri Arini segera melolos cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia mengulurkan cincin itu
kepada Nararya. Nararya terkejut sekali.
"Gusti" serunya "bagaimana mungkin hamba berani menerima anugerah paduka itu "."
"Aku yang memberi, bukan engkau yang meminta."
"Tetapi hamba merasa tak layak menerima."
"Yang menilai layak atau tidak, adalah yang memberi bukan yang menerima."
"Ah" Nararya mengeluh desuhan.
"Ki sanak, engkau seorang, anak yang amat berbak kepada orangtuamu tetapi mengapa engkau
tak menghargai orang lain berbak kepada orangtuanya" Bukankah begitu ar nya engkau menolak
pemberianku ini sebagai tanda terima kasihku atas pertolongan yang engkau lakukan kepada
ramaku"." "Tetapi gusti ....."
"Tidak ada tetapi, ki sanak. Terimalah" Arini terus menyodorkan tangannya ke muka. Melihat itu
Nararya pun terpaksa menyambuti.
Sekonyong-konyong terdengar angin berhembus tajam menyambar kearah tangan Nararya
yang tengah menyambuti cincin pemberian puteri patih. Hampir saja benda yang menyambar itu
hinggap dipunggung tangan Nararya. Untunglah pada detik2 yang berbahaya, Nararya sempat
melihat bahwa benda itu bukan lain sebilah pisau belati.
"Uh ...." cepat ia endapkan tangannya ke bawah sehingga terhindar dari sambaran bela .
Sekalipun begitu tangannya berdarah juga. Kulitnya tersambar ujung bela yang menggurat sebuah
luka panjang. "Kakang Panglulut!" teriak Arini demi melihat Kuda Panglulut tegak di ambang pintu dengan
mata berapi-api. Nararya pun terkejut. Cepat ia berbangkit dan berpaling menghadap kearah Kuda Panglulut. Ia
teringat bahwa Kuda Panglulut itu adalah suami Arini.
"Keparat, siapa engkau !" Kuda Panglulut tak menghiraukan teguran isterinya, melainkan maju
menghampiri ketempat Nararya seraya menuding muka pemuda itu.
"Hamba Nararya, raden" kata Nararya seraya memberi hormat.
Arinipun menyongsong maju "Kakang Panglulut, dia adalah orang yang telah menolong jiwa rama
patih." "Tutup, mulutmu!" bentak Kuda Panglulut lalu maju kehadapan Nararya "aku tak peduli engkau
yang menolong jiwa rama pa h atau bukan, tetapi seorang lelaki yang berani menyelundup masuk
kedalam ruang keputren dan bicara sedemikian asyik dengan isteriku, dia wajib kubunuh."
"Kakang . ... . !" teriak Arini seraya menghadang ditengah kedua pemuda itu "akulah yang
memanggilnya kemari. Dia tak bersalah!."
Sepasang mata Kuda Panglulut makin membara.
"Engkau mengundangnya kemari" Apa keperluanmu" Layakkah seorang puteri, dikala suaminya
tak ada rumah, mengundang seorang pria lain"."
Karena sudah biasa bertengkar dengan suaminya dan se ap bertengkar Arini tentu bermanja diri
dengan teriakan dan tangis maka saat itu iapun menjerit.
"Engkau berani menghinaku, kakang!."
"Jawab pertanyaanku!."
"Ramalah yang menitahkan supaya dia menunggu di kepa han dan menitahkan nyi Su untuk
menghidangkan makanan kepadanya. Karena heran nyi Su tak muncul lalu ku tahkan seorang
dayang memanggilnya. Nyi Su menerangkan bahwa dia sedang melaksanakan tah rama pa h
untuk melayani pemuda itu. Kupanggil pemuda itu dan hendak kuberinya hadiah uang sebagai
tanda terima kasihku atas ndakannya menyelamatkan jiwa rama. Tetapi dia menolak. Adakah
engkau kira dan menuduh aku mempunyai maksud lain"."
"Hm" desuh Kuda Panglulut "engkau boleh dan berhak ber ndak sesuai yang engkau anggap
benar. Tetapi akupun berhak untuk bertindak sesuai apa yang kuanggap wajib."
"Apakah tindakanmu?"
"Membunuhnya karena dia telah melanggar tata susila berani masuk kemari."
"Tetapi aku yang memanggilnya."
"Aku tidak mengurus dirimu melainkan hendak menghukum orang itu."
"Aku yang bertanggung jawab akan peris wa ini!" teriak Arini "kalau engkau mau membunuh,
bunuhlah aku !." Mata Kuda Panglulut makin merentang lebar "Engkau hendak melindunginya "."
"Bukan" seru Arini "aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya."
Melihat puteri pa h itu bertengkar dengan suaminya, perasaan ha Nararya tak enak. Ia kua r
peristiwa itu akan berkelarutan menimbulkan lain peristiwa yang tak diharapkan.
Pertengkaran mulut antara suami isteri, mudah menimbulkan bayang2 kecemburuan hati.
Suami mencemburui isteri atau isteri menuduh suami. Dan cemburu itu sesungguhnya timbul
dari rasa cinta isteri atau suami kepada sisihannya. Baik tujuannya, baik maksudnya. Tetapi
karena bertengkar, mulut maupun sampai gerakan tangan, tentu akan meningkatkan suhu
kemarahan. Dan kemarahan itu kadang melupakan kesadaran pikiran. Walaupun akan
menyesal setelah itu, tetapi kenyataan telah terjadi. Dan apa yang terjadi sukar dicegah, tak
guna disesalkan. Demikian tujuan yang baik, akan berakibat buruk apabila ditempuh dengan
cara yang salah. Terutama cara bertengkar yang mudah sekali menimbulkan kebakaran hati.
"Raden" serentak Nararya berseru setelah menimang suatu keputusan "memang aku bersalah
karena lancang memasuki keputren ...."
"Ki sanak, engkau.... engkau ..." teriak Arini terkejut.
Tetapi Nararya tak mau memberi tanggapan.
"Hm, engkau seorang jantan juga" seru Kuda Panglulut dengan nada mencemoh "engkau tahu
bahwa masuk ke dalam keputren itu suatu larangan bagi orang lelaki"."
Nararya mengiakan. "Jika sudah tahu tetapi engkau tetap melanggar, dakkah hal itu berar engkau memang sengaja
karena mempunyai maksud buruk"."
"Kakang Panglulut" teriak Arini dengan dada bergolak "jangan melontarkan fitnah yang sehina
itu"' Walaupun kata2 Kuda Panglulut tadi dak ditujukan kepada Arini melainkan kepada Nararya
tetapi tak lepas pula dalam hubungannya dengan diri Arini. Itulah sebabnya maka puteri, pa h itu
naik pitam. "Raden Panglulut" seru Nararya dengan tenang "betapapun gus puteri hendak menjelaskan dan
betapapun dengan kesungguhan ha aku menyangkal hal2 yang raden tuduhkan kepada diriku,
tentulah raden menolak dan tetap menuduh kepadaku."
"Seribu keterangan kalah dengan satu kenyataan !."
"Baik" kata Nararya "dan dengan kenyataan itu, raden hendak menghukum diriku ?"
"Mati pidanamu."
"Benar" sahut Nararya "tetapi bagaimanakah pidana bagi orang yang membunuh orang yang tak
bersalah "." "Engkau maksudkan aku membunuh orang yang tak bersalah " Huh ....."
"Di jagad ini masih ada keadilan, raden. Mungkin dengan pengaruh dan kepandaian
berbicara, mampu saja raden terhindar dari pidana itu. Tetapi keadilan Hyang Widdhi akan
menuntut kemanapun raden akan pergi, bahkan ke liang semutpun juga."
"Keparat" bentak Kuda Panglulut "engkau hendak mengancam dan menakut-nakuti aku "."
"Jika raden merasa tak.takut, marilah kita nan kan kedatangan gus pa h untuk mohon
keadilan." "Tidak perlu" seru Kuda Panglulut "aku berhak untuk berbuat apapun disini. Ini urusanku, wajib
aku yang menyelesaikan sendiri."
"Aku juga berhak" tiba2 Arini melengking "dan inipun urusanku, wajib aku ikut menyelesaikan."
"Hm, Arini" mata Kuda Panglulut membelalak lebar "tampaknya engkau sangat memperha kan
sekali akan orang itu!."
"Karena dia tak bersalah !."
"Apa engkau ikut menderita apabila dia kuhajar "."
"Ya" tanpa tedeng aling2 puteri patih itu menjawab.
"Huh, engkau ...." sepasang mata Kuda Panglulut memancarkan api.
"Aku ikut menderita rasa malu dan hina, karena mempunyai seorang suami yang gelap mata,
gelap pikiran. Mengandalkan kekuasaan bersewenang-wenang terhadap orang."
Kuda Panglulut tertegun. "Aku puteri patih Apanji Aragani yang berpengaruh besar dan berkuasa dalam pemerintahan
Singasari. Jika kulaporkan perbuatanmu kepada rama patih, tidakkah engkau akan ditegur
rama " Bahkan jika aku menginginkan, segala kemungkinan dapat menimpa dirimu."
Sebenarnya dalam ketegunan tadi, Kuda Panglulut hampir terbuka ha nya. Hampir ia mendapat
kesadaran pikirannya kembali. Tetapi dikala mendengar kata2 Arini yang terakhir, serentak
bangkitlah sifat kepriaannya yang angkuh.
"Silahkan, Arini, engkau melapor pada ramamu" teriaknya dengan merah padam "jika engkau
memang tak menyukai lagi, saat ini juga aku akan angkat kaki dari sini!."
"Itu persoalanmu sendiri. Aku tak menyuruh engkau pergi. Namun jika engkau hendak angkat
kaki, akupun tak kuasa mencegahmu."
"Hm, sekarang aku tahu" serunya kemudian mencurahkan pandang mata kepada Nararya
"engkaulah biangkeladi dari keributan ini. Engkau harus ma . ..." Kuda Panglulut mencabut keris
terus menerjang Nararya. "Kakang Panglulut ....!" Arini menjerit kejut dan hendak mencegah tetapi tak sempat lagi. Tubuh
Kuda Panglulut telah membayangi Nararya.
"Ah ... ." ba2 Arini mendesah kejut pula. Hanya kejutnya kali ini beda dengan kejut yang tadi.
Jika tadi dia tegang dan cemas, kini dia terkesiap dan longgar perasaannya. Dilihatnya Nararya
menyelinap ke samping dan loncat ke arah pintu.
Terjangan keris Kuda Panglulut hanya mengenai sasaran kosong ke ka tubuh Nararya
menyelinap kesamping. Nararya terlepas dari bahaya maut dan terus hendak menuju ke pintu. Ia
hendak keluar. Bukan karena ngeri menghadapi serangan Kuda Panglulut melainkan ia tak ingin
pertumpahan darah sampai menodai keputren. Apabila terpaksa harus berkelahi, perkelahian itu
supaya berlangsung di halaman.
Pada saat Nararya hendak menerobos keluar, ia terkejut ke ka hampir beradu tubuh dengan
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patih Aragani yang saat itu tengah melangkah masuk.
Demikian pula dengan Kuda Panglulut. Saat itu dia berputar tubuh dan hendak menyerang lagi.
Tetapi ia terbeliak ke ka melihat ayah mentuanya muncul di ambang pintu dengan pandang
terbelalak. "Kuda Panglulut, mengapa engkau" Apa yang terjadi di sini?" seru pa h Aragani penuh
keheranan. "Hamba hendak membunuh orang yang kurang tata itu, rama" jawab Kuda Panglulut dengan
masih mencekal keris. "Kurang tata" Mengapa"."
"Dia berani lancang memasuki keputren, rama"
Patih Aragani makin terbeliak. Sejenak ia memandang Nararya.
"Akulah yang memanggil kemari, rama" tiba2 Arini berseru seraya menghampiri.
"Engkau ?" patih Aragani makin heran "mengapa engkau panggil dia"."
Arini segera menuturkan peris wa tadi. Dan ia-pun mengemukakan alasannya seper yang telah
dikatakan kepada Kuda Panglulut tadi "Salahkah aku, rama"."
Patih Aragani tak menyahut melainkan bertanya kepada Nararya "Benarkah itu, Nararya "."
"Benar, gusti patih" kata Nararya "tetapi hamba memang merasa bersalah, gusti."
"Hm" pa h Aragani hanya mendesuh kemudian berkata kepada Kuda Panglulut "engkau memang
layak marah, Panglulut. Tetapi sebenarnya hal ini hanya suatu kesalahan faham belaka."
"Hamba memang terburu nafsu" kata Kuda Panglulut. Diam2 ia girang karena mentuanya
membenarkan undakannya. "Nararya ini" pa h Aragani menunjuk Nararya "memang aku yang mengajaknya ke kepa han.
Dan dia telah berjasa karena telah menyelamatkan rama ketika rombongan rama diserang kawanan
brandal di kaki gunung Kawi."
"O" desuh Kuda Panglulut.
Kemudian pa h Aragani menceritakan hal dia menghadap baginda di keraton untuk
menghaturkan laporan tentang peristiwa pencegatan di gunung Kawi itu.
"Oh" Kuda Panglulut terkejut "jadi seluruh pengiring rama telah dibunuh kawanan penyamun itu
"." "Ya" kata pa h Aragani "tetapi mereka bukan penyamun biasa melainkan gerombolan gunung
Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah ?" Kuda Panglulut berteriak "bukankah bekel bhayangkara-dalam di keraton"."
"Benar" sahut patih Aragani.
"Mengapa, dia memimpin gerombolan untuk menghadang perjalanan rama"."
Dengan ringkas dan jelas pa h Aragani segera menuturkan semua peris wa yang dialaminya
selama menjadi utusan baginda ke Daha.
Selama dalam perjalanan ke pura Singasari, Nararya belum mendengar jelas cerita pa h Aragani.
Mungkin karena tak sempat atau mungkin memang pa h itu tak mau bercerita terus terang
kepadanya, Kini dia-pun mencurahkan perha annya untuk mendengarkan cerita yang dibawakan
pa h Aragani kepada putera menantunya. Kini ia mempunyai gambaran jelas tentang pernikahan
pangeran Ardaraja. Diam2 dia menghela napas longgar.
"Karena hendak menemui pa h Kebo Arema maka kusuruh anakmuda ini menunggu aku di
kepatihan" patih Aragani mengakhiri ceritanya.
"O, hamba tak tahu, rama" kata Kuda Panglulut.
"Aku sudah mengatakan begitu kepadamu, tetapi, mengapa engkau tak percaya kepadaku ?" seru
Arini yang merasa mendapat angin.
"Arini" ba2 pa h Aragani berkata kepada puteri "memang maksudmu baik, tetapi ndakanmu
itu memang kurang benar. Rama dapat menyelami ha suamimu ke ka melihat seorang pria tak
dikenalnya berada dalam keputren dan bercakap-cakap dengan engkau"
"Sudah kuberi penjelasan rama, tetapi dia tetap marah dan menuduh aku yang dak baik"
bantah Arini. Aragani tertawa mengekeh.
"Engkau tak dapat menyelami perasaan suamimu, Arini. Sudah tentu dia marah karena
mencurigai engkau." "Kecurigaan yang buta, tak berdasar!" teriak Arini pula.
"Mengapa tak berdasar?" jawab Aragani "apakah engkau tak merasa bahwa kemarahan suamimu
itu karena curiga dan kecurigaannya itu karena cemburu " Dan apakah dasar dari seorang suami
yang cemburu itu . . .."
"Rama !" Arini tersipu-sipu merah mukanya terus lari masuk ke dalam.
Patih Aragani tertawa seraya geleng2 kepala.
"Panglulut" katanya kepada putera menantunya "engkau harus banyak kesabaran dan dapat
memomong isterimu itu. Dia memang telah terlanjur berwatak buruk karena terlalu kumanjakan."
"Mohon rama memaa an kekhilafan hamba karena sering masih bersikap kasar terhadap yayi
Arini." "Baiklah, puteraku" kata Aragani "kehidupan suami isteri itu memang demikian. Tetapi asal
masing2 telah menyadari kekhilafannya, semua tentu akan baik kembali bahkan akan menambah
kerukunan rumah-tangga."
Kemudian patih Aragani mengajak Kuda Panglulut dan Nararya ke luar ke pendapa.
"Kuda Panglulut" pa h Aragani memulai pembicaraan "tadi rama bersama ki pa h Kebo Arema
menghadap seri baginda. Seri baginda menitahkan supaya dikerahkan pasukan untuk membasmi
gerombolan gunung Butak dan menangkap Mahesa Rangkah."
Kuda Panglulut mengangguk-angguk.
"Di hadapan seri baginda, aku menghaturkan usul agar untuk membasmi gerombolan Butak
itu janganlah dipimpin oleh senopati kerajaan yang ternama, terutama ki patih Kebo Arema. Hal
itu hanya merendahkan martabat kerajaan Singasari saja."
"Bila terdengar oleh lain kerajaan, kewibawaan kerajaan Singasari akan menurun. Karena hanya
untuk menumpas sebuah gerombolan gunung saja harus mengerahkan pasukan besar dan
dipimpin oleh senopati terkenal, demikian kata2 yang kupersembahkan kehadapan baginda."
"Rupanya baginda berkenan menerima saranku itu kemudian menanyakan pendapatku siapa
kiranya yang dapat dipercayakan tugas untuk memimpin pasukan ke gunung Butak itu."
"Sebelum menghadap baginda, memang hal itu telah kupercakapkan dengan ki pa h Kebo
Arema dan ki pa h Kebo Arema menyetujui semua pendapatku. Maka dihadapan baginda, pa h
Kebo Arema lalu menunjuk engkau, Kuda Panglulut, yang diserahi tugas memimpin pasukan itu."
"Hamba, rama?" teriak Kuda Panglulut terkejut.
"Ya" pa h Aragani mengangguk "dan bagindapun telah berkenan menyetujui. Oleh karena itu,
engkau harus bersiap-siap. Besok berangkat ke gunung Butak untuk menumpas gerombolan
Mahesa Rangkah. Engkau boleh memilih siapa2 yang hendak engkau ajak dan berapa banyak
prajurit yang engkau perlukan."
Kuda Panglulut termenung.
"Puteraku Panglulut" kata patih Aragani pula. "inilah kesempatan yang baik agar engkau
dapat naik pangkat. Tunjukkanlah dirimu, Panglulut, bahwa engkau benar2 seorang ksatrya
muda yang gagah perkasa."
"Baik, rama" akhirnya Kuda Panglulut berkata "hamba hanya menurut saja apa yang rama
titahkan." Kemudian patih Aragani beralih kepada Nararya
"Nararya, ganjaran apakah yang engkau kehendaki?"
"Hamba tak menghendaki ganjaran apa2, gusti patih. Kecuali gusti patih ....."
"Apa yang hendak engkau katakan?" tegur patih Aragani ketika Nararya hentikan kata katanya.
"Kecuali gusti patih berkenan meluluskan hamba segera pulang ke gunung."
Mendengar itu tertawa gelak-gelaklah patih Aragani. Ia geleng2 kepala "Hanya itu
permohonanmu"."
Nararya mengiakan. "Nararya" ba2 pa h Aragani berkata dengan nada bersungguh "kutahu engkau seorang muda
yang jujur, berani dan digdaya. Tenaga seper engkau ini, diperlukan sekali oleh kerajaan Singasari.
Mengapa engkau lebih suka nggal di gunung " Mengapa engkau tak mau mengabdikan dirimu
kepada kerajaan "."
"Bukan hamba tak mau, gus pa h" kata Nararya "tetapi hamba masih mempunyai kewajiban
terhadap orangtua kami yang sudah tua. Kelak apabila kewajiban itu sudah selesai, hamba tentu
akan menyerahkan diri hamba dalam pengabdian kepada kerajaan Singasari."
"Ah, salah kata-katamu itu" tegur pa h Aragani "memang wajib merawat kepada orangtua,
merupakan dharmabhak yang lebih luhur yani wajib mengabdi kepada negara. Coba jawablah,
Nararya, pertanyaanku ini" kata patih Aragani.
Nararya mengiakan pula. "Apabila orangtuamu masih diberkahi umur panjang, dakkah engkau harus menunggu dengan
sia2. Bukankah kewajiban terhadap negara itu tak dapat dipertangguhkan sampai beberapa tahun
bahkan belasan dan puluhan tahun lagi"."
Sesungguhnya alasan Nararya yang dikemukakan kepada pa h Apanji Aragani itu hanya menurut
rangkaiannya sendiri. Tetapi ia merasa bahwa tugas yang dipesankan ramanya dan gurunya untuk
turun gunung, belum berhasil diselesaikan. Apabila ia sampai terikat akan suatu kedudukan pusat
di pemerintahan kerajaan, pas lah ia tak dapat melaksanakan pesan dari rama dan gurunya. Dan
semua alasan yang telah dihaturkan kehadapan pa h Aragani itu, tentu dapat diterima sehingga ia
terhindar dari desakan untuk menerima, kedudukan di pura Singasari.
"Memang benar, gus pa h" sahutnya, "kewajiban dan pengabdian terhadap negara, tak dapat
dipertangguhkan sampai berlarut-larut sehingga tenaga dan semangat kita sudah berkurang."
"Hm, kiranya engkau tahu juga."
"Tetapi" kata Nararya "pertama, hamba belum mohon ijin kepada orangtua hamba. Kedua,
hamba sendiripun belum siap. Ilmu kepandaian, pengalaman dan pengetahuan hamba masih
dangkal. Hamba hendak melanjutkan ilmu yang belum selesai hamba mba, sekalian untuk
merawat kedua orangtua hamba. Namun sampai pada waktu yang tertentu, dimana hamba
menganggap bahwa negara benar2 terancam bahaya, hamba pasti akan mengabdikan diri hamba."
"Justeru itulah, Nararya" seru pa h Aragara gembira "untuk mencari pengalaman, sekaranglah
waktunya. Demikian juga dari segi pandanganmu, saat ini kerajaan Singasari sedang diancam oleh
kekacauan dan gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh gerombolan gunung Butak."
"Tetapi gus pa h" sambut Nararya "kiranya dengan kekuatan pasukan Singasari dan pimpinan
raden Kuda Panglulut, tentulah gerombolan itu segera dapat terbasmi."
"Engkau memandang dari sudut yang engkau ketahui" kata pa h Aragani "tetapi engkau tak
mengetahui bahwa saat ini sesungguhnya kekuatan Singasari sedang berkurang. Sebagian besar
dari kekuatan pasukan Singasari telah di tahkan baginda untuk menuju ke tanah Malayu. Baginda
bercita-cita besar untuk menguasai seluruh nuswantara. Itulah sebabnya maka aku tak setuju
apabila ki pa h Kebo Arema harus memimpin sendiri pasukan kerajaan ke gunung Butak. Pura
kerajaan makin kosong."
"Dan" pa h Aragani menambahkan pula "aku memerlukan seorang pembantu yang gagah seper
engkau untuk Kuda Panglulut yang akan meminipin pasukan Singasari ke gunung Butak itu. Apakah
engkau tak bersedia untuk menyumbangkan tenagamu kepada kerajaan, Nararya "."
Nararya terdiam hening. Diam2 ia mengakui bahwa pa h Aragani itu memang seorang mentri
yang pandai bicara. Iapun menyadari bahwa saat itu dia sedang berada dalam genggaman seorang
penguasa yang berpengaruh seper pa h Aragani. Sepatah saja pa h itu meluncurkan kata, maka
jadilah dia hitam atau putih menurut yang dikehendaki patih itu.
Diam2 iapun heran mengapa pa h Aragani sedemikian bernafsu untuk mengangkatnya sebagai
pendamping raden Kuda Panglulut. Apakah tujuan patih itu"
Selintas pikiran melayang, teringatlah ia akan Lembu Peteng yang saat ini masih menyelundup
dalam gerombolan di gunung Butak. Sejauh laporan yang diterimanya dari Lembu Peteng, memang
gerombolan gunung Butak memiliki susunan tata ter b yang beda dengan gerombolan penyamun.
Diketahui juga bahwa pemimpin gerombolan gunung Butak itu bernama Joko Pasirian. Tetapi
mengapa ba2 Mahesa Rangkah yang menjadi bekel bhayangkara di keraton Singasari juga
menggabungkan diri bahkan menjadi salah seorang pimpinan gerombolan itu "
Dalam meneropong keadaan di gunung Butak, mulailah tertarik perha an Nararya untuk
mengetahui, apa dan siapakah sebenarnya gerombolan itu " Apa dan bagaimanakah sesungguhnya
tujuan gerombolan itu"
"Jika gus pa h berkeras menghendaki hamba, ikut serta dalam pasukan kerajaan Singasari yang
ditugaskan menumpas gerombolan gunung Butak itu, hambapun bersedia ikut, asalkan
permohonan hamba ini gusti patih berkenan meluluskan."
"Apa yang engkau minta?" cepat2 patih Aragani menanggapi.
"Selekas peris wa di gunung Butak itu selesai, hamba mohon supaya diperkenankan pulang ke
desa." Patih Aragani tertawa gelak2.
"Hanya itu "."
"Demikianlah, gusti patih."
"Baik, Nararya" kata patih Aragani "tentu akan kululuskan permintaanmu itu. Tetapi Nararya,
apakah engkau benar2 tak mau menjadi prajurit di Singasari" Menilik jasamu, aku dapat
mengangkatmu sebagai bekel prajurit."
Nararya menghela napas. "Telah menjadi pendirian hidup hamba" katanya "bahwa saat ini belum balah waktunya hamba
mengabdi kepada kerajaan. Hamba masih mempunyai beberapa tanggungan yang harus hamba
selesaikan. Terutama tanggung jawab hamba terhadap kedua orangtua hamba dan terhadap diri
hamba sendiri. Hamba masih merasa kurang dalam segala hal. Oleh karena itu perlulah hamba
menimba pengetahuan dan menuntut ilmu yang lebih nggi agar kelak dapat hamba sumbangkan
kepada negara. Hanya itulah cita2 hamba, gusti patih :."
Diam diam pa h Aragani memuji kesopanan tutur bahasa pemuda itu dan mengagumi pula cita
citanya. Diam2 pula mbul suatu lamunan dalam pikirannya. Andaikata belum terlanjur memungut
menantu raden Kuda Panglulut, tentulah ia akan bimbang untuk menentukan pilihannya, kepada
siapakah Arini itu akan dijodohkan.
Malam itu Nararya tidur di kepatihan; Diam2 ia menghela napas mengapa selalu saja dirinya
terlibat dalam suatu peristiwa. Dan setiap peristiwa itu selalu hendak mengikat dirinya pada
suatu kedudukan di kerajaan.
~dwkz~ismo~mch~ II Kuda Panglulut tak dapat menghaya apa maksud rama mentuanya mendesak pemuda yang
bernama Nararya itu menjadi pembantunya.
Sebagai kepala dari pasukan keamanan yang menjaga pura Singasari, Kuda Panglulut sudah
mempunyai pembantu yang dapat diandalkan.
Dia memiliki lima orang yang menjadi orang kepercayaannya. Empat orang berpangkat lurah
prajurit dan seorang demang. Keempat lurah prajurit itu yalah Sumarata, Siung Pupuh,
Pringkuku dan Bandung. Masing-masing memiliki kedigdayaan yang mengagumkan. Dan yang
seorang lagi yalah demang Krucil.
Kuda Panglulut membagi pura Singasari menjadi empat daerah keamanan. Lurah Sumarata
ditugaskan untuk menjaga keamanan pura barat, lurah Siung Pupuh di utara, Pringkuku di mur,
Bandung di selatan dan demang Krucil sebagai pusat laporan keamanan, bertempat di tengah pura.
Dengan kelima pembantunya itu, cukuplah bagi Kuda Panglulut untuk menghadapi gerombolan
gunung Butak. Mengapa mentuanya masih mengikut-sertakan Nararya lagi"
"Hm" desuh Kuda Panglulut dalam ha "memang aneh sekali kulihat sikap rama terhadap
pemuda itu. Biasanya tak mudah rama tertarik pada seseorang tetapi mengapa dengan Nararya
rama begitu menaruh perhatian besar"."
"Dan" renungan Kuda Panglulut masih melanjut dan makin meningkat. Tiba2 teringatlah ia akan
peris wa di keputren. Adalah karena peris wa itu hingga sampai sekarang Arini masih marah
" dakkah sikap yayi Arini itu juga mengherankan " Mengapa ia mengundang pemuda itu ke
keputren" Mengapa ia hendak memberikan cincin kepadanya"."
Kecurigaan dalam ha Kuda Panglulut makin menebal. Kecurigaan yang tercampur pula dengan
rasa cemburu. Apabila rasa cemburu sudah memenuhi kalbu maka meletuslah nafsu geram,
penasaran dan marah. Nafsu2 yang selalu menyertai setiap terjadi pergolakan dalam hati.
Serentak ia teringat akan demang Krucil. Demang yang bertubuh kecil itu memang cerdas, licin
dan kaya akan akal. Malam itu juga ia mengunjungi tempat kediaman demang Krucil.
"Kakang demang" katanya setelah duduk berhadapan dengan tuan rumah "ada sesuatu yang
hendak kubicarakan dengan kakang demang."
"O" demang Krucil terkejut "silahkan raden. Dimana tenagaku dibutuhkan, aku tentu akan
membantu raden dengan sepenuh hati."
"Terima kasih kakang demang."
Demang Krucil merupakan orang kepercayaan Kuda Panglulut maka tanpa ragu2 lagi Kuda
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 15 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Playboy Dari Nanking 4