Pencarian

Dendam Empu Bharada 13

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 13


kelepasan omong. "Apa dan siapa yang mendesakmu?" cepat Nararya mengejar pertanyaan.
"Jangan menegas terlalu jauh," seru Mahesa Rangkah "cukup kukatakan begitu. Aku terdesak
oleh keadaan" "Sehingga, engkau hendak membunuh pangeran Ardaraja" Mengapa?"
Merah muka Mahesa Rangkah.
"Aku telah menjawab," kata Mahesa liangkah "jangan bertanya lagi"
"Baik" kata Nararya "aku akan menghaturkan dugaan yang kurangkai menurut wawasanku."
Berhen sejenak, ia melanjutkan pula "Mengapa engkau hendak membunuh pangeran Ardaraja,
tak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, engkau hendak melimpahkan tanggung jawab
pembunuhan putera mahkota Daha itu kepada pa h Aragani. Kemudian agar Daha dan Singasari
perang. Kemungkinan kedua, engkau marah karena baginda hendak menjodohkan salah seorang
puteri baginda dengan pangeran Ardaraja ..."
"Tutup mulutmu, babi," teriak Mahesa Ringkah dengan kemarahan meledak-ledak.
"Hai, aku tak menginginkan engkau mengakui atau menyangkal rangkaianku itu. Pun tak
mengundang engkau supaya marah dan menghambur makian kepadaku."
"Sudahlah " teriak Mahesa Rangkah "tak perlu banyak cakap. Lekas selesaikan urusan kita
sekarang ini." "Baik" kata Nararya "segala dasar dari ndakanmu menggabungkan diri dengan gerombolan
gunung ini, hanya alasan2 peribadi. Yang pen ng engkau telah berusaha untuk memperuncing
hubungan Daha dengan Singasari agar retak dan perang. Kemudian yang lebih nyata pula, engkau
telah memberontak kepada kerajaan Singasari. Oleh karena itu baiklah engkau serahkan diri agar
dapat kami bawa ke pura kerajaan dan menerima keputusan baginda"
"Keparat!" Mahesa Rangkah memaki "adakah engkau kira Mahesa Rangkah seorang senopa
yang sudah kalah dan menjadi tawananmu" Hm, Mahesa Rangkah akan menyerah apabila sudah
menjadi mayat!" "Jangan terburu mengucapkan pernyataan" seru Nararya "aku akan mengajukan usul"
"Apa" " diam-diam Mahesa Rangkah heran.
"Engkau sebagai salah seorang pimpinan gunung Butak tentu berusaha untuk melindungi
anakbuahmu. Dan aku sebagai orang yang ditugaskan untuk menyertai pasukan Singasari
kemari, tentu juga akan berusaha untuk menangkap gerombolan disini. Maka tiada lain jalan
kecuali harus kita selesaikan secara seorang prajurit. Maksudku tak lain. Kalau aku kalah,
engkau bebas kembali ke markasmu. Tetapi kalau engkau kalah engkau harus bersedia
menyerah." "Tidak! Lebih baik aku mati daripada menyerah"
"Engkau salah" seru Nararya "ma memang jalan yang terakhir, tetapi bukan suatu penyelesaian.
Bukankah cita-cita yang engkau perjuangkan itu akan ikut terkubur bersama mayatmu?"
Mahesa Rangkah diam tak: menjawab.
"Percayalah, ki sanak," seru Nararya pula "bahwa keadilan itu masih ada dan memang masih
bersemayam di negara Singasari. Jika dalam peradilan, engkau memang bersalah, engkau harus
dihukum. Tetapi jika engkau dapat mengemukakan buk 2 bahwa engkau tak bersalah, engkau
tentu takkan dihukum."
"Huh" desuh Mahesa Rangkah "jangan engkau bersikap lebih tahu daripada orang yang tahu.
Sudah bertahun-tahun aku mengabdi di keraton Singasari. Aku cukup tahu bagaimana hukum itu
dilaksanakan. Hukum telah dipermainkan oleh patih Aragani"
"Tidak, ki sanak" bantah Nararya "Singasari penuh dengan mentri dan senopa yang setya dan
jujur. Berdasarkan bahwa engkau sudah mengabdi bertahun-tahun itu, tentulah engkau akan
mendapat pengampunan."
"Sudahlah, jangan membuang waktu. Mari kita mulai," seru Mahesa Rangkah seraya terus
menerjang Nararya. Ia tak mau menyatakan menerima atau menolak usul Nararya. Tetapi dia
sudah yakin bahwa apabila dapat mengalahkan Nararya, pemuda itu tentu akan pegang janji.
Demikian pertempuran segera berlangsung dan cepat. Memang Mahesa Rangkah tak kecewa
mendapat kedudukan sebagai bekel byayangkara keraton. Dia memiliki ilmu kanuragan yang hebat
dan tenaga kuat. Dalam hal kekuatan, Nararya merasa masih kalah dengan lawan. Tetapi ia mempunyai
keunggulan dalam hal ketangkasan dan kegesitan gerak. Berulang kali ia dapat lolos dari ancaman
berkat kelincahannya. Lembu Peteng diam-diam cemas. Bukan karena mencemaskan Nararya akan kalah melainkan
kua r apabila terlalu lama pertempuran itu, kemungkinan fihak gerombolan akan mengirim bala
bantuan. Namun Nararya mempunyai perhitungan sendiri. Dia akan memeras napas dan tenaga lawan
baru akan mengakhiri pertempuran itu. Ia bermaksud hendak menangkapnya hidup.
Beberapa waktu kemudian, ba- ba Nararya agak terkecoh dan lambat untuk menghindar.
Bahunya dapat dicengkeram Mahesa Rangkah dan saat itu Mahesa Rangkah pun sudah
mengangkat nju hendak dihunjamkan kedada lawan. Tetapi ba- ba sesosok tubuh loncat dari
kerumun prajurit dan terus langsung menerjang Mahesa Rangkah.
"Aduh ...." Mahesa Rangkah menjerit dan bergeliatan. Kepalanya meregang, tubuh menegang ke
belakang. "Raden Panglulut, mengapa engkau ...." teriak Nararya ketika melihat apa yang terjadi.
Sosok tubuh yang menerjang dari tengah kelompok prajurit itu tak lain adalah Kuda Panglulut.
Dan pada saat Mahesa Rangkah sedang mengacungkan nju keatas, Kuda Panglulat pun telah
menusuk pinggangnya dengan keris. Karena tak menyangka-nyangka dirinya akan ditusuk dari
belakang, Mahesa Rangkah tak dapat menjaga diri lagi. Ia menjerit laksana singa mengaum.
"Terkutuk engkau Kuda Panglulut .... engkau pengecut hina ..."
"Keparat, mampuslah ..." keris yang masih bersarang dipinggang belakang Mahesa Rangkah itu
di-jungkitkan keatas sehingga putuslah urat jantung Mahesa Rangkah. Seke ka bekas bekel
bhayangkara itu terkulai tak bernyawa. Tubuhnya bersimbah darah merah ...
Ngeri sekali pemandangan saat itu. Prajurit-prajurit terlongong-longong seram. Lembu Peteng
bahkan Nararya pun terbelalak.
"Engkau pengecut!" ba- ba Lembu Peteng berteriak menuding Kuda Panglulut sesaat ia
mendapat kesadaran pikirannya pula.
"Setan, engkau juga harus kubunuh," Kuda Panglulut marah dan menyerang. Tetapi cepat
Nararya menyambar lengannya "Jangan, raden"
"Mengapa" Bukankah dia juga anakbuah gerombolan pemberontak?" kata Kuda Panglulut.
Nararya gelengkan kepala.
"Bukan" katanya "dia adalah seorang kawanku yang menyelundup kedalam gerombolan gunung
ini." Kuda Panglulut terkesiap.
"Menyelundup kedalam gerombolan mereka" Apa tujuannya?"
"Kami ingin membantu kerajaan Singasari untuk menumpas gerombolan pengacau. Agar dapat
mengetahui keadaan dan kekuatan mereka, maka kakang Lembu setuju untuk menyelundup
kedalam gerombolan mereka."
"Ah, siapa mau percaya?" dengus Kuda Panglulut "dia seorang anakbuah gerombolan yang
licin dan berbahaya. Karena tahu gelagat akan kalah maka dia tak segan menghianati Mahesa
Rangkah dan hendak menggabungkan diri dengan kita"
"Tidak, raden " seru Nararya dengan tegas, " ndakan kakang Lembu itu telah kuketahui dan
kusepakati" "Mengapa harus ber ndak begitu" Bukankah lebih baik dia masuk sebagai prajurit di Singasari
agar dapat membak kan tenaganya untuk memberantas pengacau dan gerombolan2 pemberontak
macam di gunung ini" Mengapa dia harus bertindak sendiri?"
Merah muka Nararya mendengar kata-kata itu. Namun ia masih cukup sabar untuk memberi
penjelasan lagi. "Raden, untuk memberantas pengacau dan gerombolan jahat yang merugikan keamanan negara
dan rakyat, se ap orang mempunyai hak untuk melakukannya. Kami sebagai kawula Singasari,
sudah tentu wajib untuk membantu negara."
"Nararya" seru Kuda Panglulut dengan nada angkuh "aku adalah pimpinan yang berkuasa dari
pasukan Singasari yang mendapat titah kerajaan untuk menumpas gerombolan gunung Butak.
Aku tak dapat menerima bantuan tenaga dari seorang anakbuah gerombolan yang telah
menghianati gerombolannya. Karena manusia semacam itu kelak tentu akan menghianati juga
pasukan kerajaan." "Keparat engkau!" Lembu Peteng tak kuasa menahan ledak kemarahan. Ia hendak menerkam
Kuda Panglulut tetapi Nararya cepat lintangkan lengannya mencegah "Jangan kakang Lembu . . . ,"
"Hm" Lembu Peteng mendesuh, berputar tubuh terus ayunkan langkah selebar-lebarnya.
"Tangkap pengacau itu!" seru Kuda Panglulut kepada prajurit2. Tapi prajurit2 itu tertegun.
"Jika raden menangkap kakang Lembu. Aku akan menjadi lawan raden!" seru Nararya. Kemudian
keliarkan pandang, melihat adakah seorang prajurit yang berani ber ndak melakukan perintah
Kuda Panglulut. Prajurit2 itu termasuk kelompok dari cucug barisan yang dipimpin oleh Nararya. Sejak mendaki
ke atas, dalam waktu yang singkat, mereka mempunyai kesan yang baik terhadap pemula itu. Diam-
diam dalam ha se ap prajurit mempunyai suatu perasaan yang tak berani mereka utarakan,
bahwa mereka lebih senang terus dibawah pimpinan Nararya daripada Kuda Panglulut yang angkuh
dan bengis. Mendengar perintah Kuda Panglulut, prajurit-prajurit itu tertegun. Tak seorangpun yang bergegas
melakukan perintah Kuda Panglulut, mereka makin enggan bergerak.
"Engkau hendak membela orang itu?" tegur Kuda Panglulut mulai marah.
"Ya" jawab Nararya "dia adalah sahabatku yang setya dan jujur."
"Engkau hendak menentang perintah pimpinan pasukan Singasari ?"
"Karena kuanggap perintah itu tidak adil"
"Tata ter b keprajuritan harus ditegakkan. Se ap prajurit harus tunduk pada perintah
atasannya," seru Kuda Panglulut.
"Apakah raden tetap hendak menangkapnya?"
"Ya" karena terlanjur, malu Kuda Panglulut untuk menarik perintahnya.
"Jika begitu, aku akan menyusul kakang Lembu dan tolong raden sampaikan kehadapan gus
pa h bahwa aku mohon maaf karena tak dapat melaksanakan tugas yang dipercayakan gus pa h
kepadaku. Aku hendak pulang ke desa."
"Engkau berani meninggalkan tugas?" teriak Kuda Panglulut terkejut.
"Ya" sahut Nararya "karena aku tak dapat menerima kebijaksanaan raden. Pertama, raden telah
membunuh Mahesa Rangkah yang sebenarnya hendak kutangkap hidup agar dapat kuserahkan
kepada kerajaan." "Akulah pimpinan pasukan ini !"
"Dan cara raden membunuhnya itupun tak layak bagi seorang ksatrya"
"Setan, engkau berani menghina aku?" teriak Kuda Panglulut pula seraya mencabut keris dan
hendak menyerang Nararya.
Prajurit-prajurit itu terkejut. Mereka mencemaskan terjadinya pertumpahan darah. Namun
Nararya tenang-tenang saja.
"Raden Panglulut" serunya "sesaat tadi aku masih melaksanakan tugas dalam pasukan.
Walaupun aku bukan prajurit Singasari, tetapi aku merasa terikat dalam tata keprajuritan. Harus
tunduk pada pimpinan. Tetapi saat ini aku sudah bukan seorang prajurit lagi. Aku seorang
rakyat bebas" "Maksudmu ?" "Jika ndakan prajurit itu jelas merugikan rakyat, terpaksa aku akan menentang. Dan keris atau
pedang itu tak bermata. Dia untuk mengenal raja atau orang berpangkat. Pokok dia itu lawan,
maka keris atau pedangpun akan menurut perintah tuannya!"
Habis berkata Nararya terus lari menyusul Lembu Peteng.
"Keparat!" Kuda Panglulut bersikap pura-pura hendak msngejar Nararya, tetapi beberapa prajurit
segera mencegah dan menghaturkan kata2 agar jangan sampai terjadi pertempuran antara sesama
kawan sendiri. "Betapapun kami mohon agar raden suka mengingat jasanya telah menolong raden dari tangan
gerombolan tadi," kata seorang prajurit yang agak tua.
Walaupun mulut masih menghambur hamun makian, namun Kuda Panglulut tak bersikap
hendak mengejar. Kemudian ia memerintahkan prajurit itu untuk mengiringnya ke kemah. Diantara penjaga yang
disergap anakbuah Lembu Peteng tadi, ada beberapa yang masih hidup walaupun menderita
luka. Dari mereka Kuda Panglulut mendapat keterangan tentang apa yang terjadi.
"Dimana demang Krucil?" seru Kuda Panglulut.
Prajurit2 itu hanya mengatakan bahwa mereka melihat demang Krucil itu telah mengadakan
pembicaraan dengan Lembu Peteng. Demang Krucil menyetujui syarat kepala gerombolan itu dan
menyerahkan Kuda Panglulut sebagai tawanan. Sedang demang itu sendiri menyusul pasukan
sayap kanan dan sayap kiri untuk memerintahkan mereka mundur.
Bukan kepalang marah Kuda Panglulut. Ke ka demang Krucil datang bersama pasukan2 sayap
kanan dan kiri, Kuda Panglulut merintahkan supaya demang itu ditangkap.
Kuda Panglulut melanjutkan pula serangannya. Pimpinan gunung Butak, Pasirian, marah
mendengar berita tentang kema an Mahesa Rangkah. Ia mengerahkan segenap kekuatan untuk
menggempur pasukan Kuda Panglulut. Dalam pertempuran itu pasukan Kuda Panglulut banyak
menderita korban dan terpaksa mundur.
Kuda Panglulut mengirim pengalasan untuk meminta bala bantuan dari ayah mentuanya, pa h
Aragani. ~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Narararya terkejut ke ka tak berhasil menemukan jejak Lembu Peteng. Ia heran. Padahal jarak
waktu ia tertahan dalam pembicaraan dengan Kuda Panglulut hanya sepengunyah sirih lamanya.
Kemudian dia terus lari menyusul. Tetapi mengapa tak berhasil melihat bayangannya.
Mungkin arahnya berlainan. Pikir Nararya. Ia segera mengambil arah yang lain. Tetapi tak
dapat menemukannya. "Aneh, benar-benar aneh," gumam Nararya "ke-manakah gerangan kakang Lembu itu" O,
mungkin dia menyusup kedalam hutan."
Namun usahanya untuk mencari jejak Lembu Peteng tak juga menemukan hasil sekalipun sampai
terang tanah. "Apakah dia kembali pada gerombolan gunung Butak?" Nararya merangkai dugaan. Tetapi cepat
ia membantahnya, " pis kemungkinan dia berbuat begitu. Karena pimpinan gunung Butak tentu
sudah mendengar peristiwa dia menghianati Mahesa Rangkah."
"Mungkinkah ia menggabung pada pasukan Singasari " Ah, tak mungkin. Lebih tak mungkin lagi.
Dia tentu ditangkap mereka."
"Lalu kemanakah dia" " akhirnya setelah menjelajah hutan ia bertanya kepada diri sendiri "hanya
satu kemungkinan. Mungkin dia menyembunyikan diri dari kedua belah fihak yang tengah
bertempur itu. Dia terjepit diantara dua fihak."
"O, mungkin juga dia sudah lolos dan kembali ke Daha untuk bertemu dengan bekel Saloka. Jika
tak berada disana, kemungkinan karena kecewa dan marah, dia terus kembali ke gunung Kelud lagi"
Akhirnya Nararya menarik kesimpulan dan dia pun segera turun gunung, menuju ke Daha. Disana
ia disambut bekel Saloka, Gajah Pagon dan beberapa kawan.
Ia terkejut ke ka mendapat keterangan bahwa Lembu Peteng tak berada disitu "Hai, kemanakah
gerangan iakang Lembu Peteng ini?"
"Bukankah dia berada di gunung Butak" " kata bekel Saloka.
Nararya segera menuturkan pengalamannya selama ini. Terdengar beberapa suara menggeram
dari orang2 yang berada disitu.
"Hm, kelak jika bertemu dengan Kuda Panglulut, tentu akan kuhajar dia" seru Gajah Pagoa
dengan geram. Bekel Saloka menghela napas "Memang se ap yang tumbuh tentu akan mengalami gangguan..
Demikian pula halnya dengan kerajaan Singasari. Baginda Kertanagara amat termasyhur sebagai
seorang raja besar yang ada taranya dalam segala ilmu. Namanya mencuar sampai ke tanah
Malayu. Tetapi dalam kerajaan sendiri, banyaklah bermunculan kaum dorna yang hendak
menggerogoti kewibawaan baginda. Kasihan kalau kerajaan Singasari sampai runtuh"
"Bukan hanya kasihan tetapi menjadi suatu wajib bagi kita semua, para kawula Singasari, untuk
membela kerajaan dari rongrongan musuh dalam selimut itu," kata Nararya.
"Lalu bagaimana perihal gong Prada itu, raden" Apakah selama ini raden menemukan suatu
jejak?" tanya demang Saloka.
Nararya menghela napas. "Keadaan telah berobah cepat diluar persangkaanku," katanya "disamping terpaksa harus
melakukan tah pa h Aragani untuk membantu pasukan Singasari yang hendak menggempur
gerombolan gunung Butak, akupun mempunyai tujuan tertentu hendak menyelidiki keadaan
gerombolan itu. Menurut pengakuan Mahesa Rangkah, pimpinan gerombolan gunung Butak itu
bernama joko Pajisiran, putera dari Linggapa di tanah Mahibit yang karena hendak memberontak
maka di tumpas oleh rahyang ramuhun Wisnuwardhana. Joko Pasisiran mendendam dan hendak
melakukan pembalasan. Diapun patut dicurigai sebagai salah seorang yang ikut berkecimpung
dalam peristiwa pencurian gong pusaka itu"
"Tetapi bukankah yang mengambil prajurit-prajurit Daha atas perintah bekel Sindung?" tanya
bekd Saloka. "Benar " sahut Nararya "tetapi rasanya gong pusaka itu telah menimbulkan kericuhan besar.
Seper yang kualami bersama kakang Gajah Pagon ke ka di goa lembah Polaman yang lalu. Kami
melihat rebutan antara Suramenggala dengan pengalaman dan Singasari yang dikirim pa h
Aragani. Disamping itu terdapat pula bekel Sindung. Dengan begitu dapatlah kita merangkai
dugaan bahwa gong pusaka itu dak berada pada bekel Sinduug ataupun di Daha dan Singasari.
Yang mengherankan adalah orang yang telah mengambil gong pusaka itu dari tempat dimana
pengalasan Singasari menyembunyikan gong pusaka itu. Besar kemungkinan orang itulah yang
sempat melarikan gong Prada. Dan orang itu, kemungkinan besar tentulah salah seorang pimpinan
dari gunung Butak" "Bagaimana raden menarik kesimpulan begitu" " sela bekel Saloka.
"Adanya seorang bekel bhayangkara Mahesa Rangkah yang ikut dalam gerombolan itu. Jika
seorang bekel bhayangkara seper Mahesa Rangkah sampai taat pada pimpinan gunung Butak,
tentulah pimpinan itu seorang yang mempunyai kelebihan, baik dalam hal ilmu kedigdayaan,
kewibawaan maupun kepandaian merancang rencana. Dan kalau menilik Joko Pasirian itu putera
dari Linggapa yang dibunuh ayahanda baginda Kemanagara, tentulah Joko Pasirian itu akan
membalas juga kepada baginda Kertanagara. Dengan hilangnya gong Prada itu dia tentu
mengharap agar hubungan Singasari dan Daha akan retak"
Bekel Saloka mengangguk. "Apa yang raden rangkai itu, kemungkinan dapat terjadi" katanya. Kemudian ia menuturkan juga
pengalamannya selama berada di Daha.
"Aku melakukan penyelidikan pada bekel Sindung dan menyaksikan suatu peris wa yang cukup
menarik" kata bekel Saloka.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya pangeran Ardaraja menaruh kecurigaan juga terhadap bekel itu. Pada suatu hari pa h
Mundarang memanggil bekel itu menghadap dan memerintahkan bekel itu ke bandar Tuban untuk
membeli bahan2 pakaian dan perhiasan dari para pedagang manca nagara. Memang hanya dua
bandar yang ramai dikunjungi oleh pedagang2 dari luar pulau, Canggu dan Tuban.
Bahan-bahan kain terutama kain sutera yang halus, untuk busana para puteri-pureri ke ka
apabila berlangsung suatu upacara peralatan mempelai agung, pangeran Daha raden Ardaraja
dengan puteri baginda Kertanagara.
Walaupun heran mengapa dirinya yang dipercayakan tugas itu, padahal dirinya hanya seorang
bekel, namun bekel Sindung berangkat juga ke Tuban.
Pada malam kedua sepeninggal bekel Sindung dari Daha, rumah bekel itu telah didatangi
gerombolan penjahat yang mukanya dicontreng dengan kapur pu h dan merah. Setelah
melumpuhkan beberapa pengalasan dan keluarga bekel, maka pemimpin gerombolan itu segera
melakukan penggeledahan dirumah bekel Sindung.
Tetapi mereka tak menemukan apa2. Akhirnya mereka mengancam nyi bekel supaya
menunjukkan di mana suaminya menyimpan gong. Karena tak tahu menahu soal benda itu,
walaupun diancam hendak dibunuh, tetap nyi bekel tak dapat memberi keterangan apa2.
Karena geram, nyi bekel yang masih muda usia itupun segera dibawa gerombolan.
Kepada pengalasan, gerombolan meninggalkan pesan. Apabila bekel Sindung pulang supaya
lekas menyerahkan gong. Penyerahan itu harus dilakukan di lembah Wukir Polaman. Jika bekel
Sindung menolak, maka nyi bekel akan dibunuh.
"Apakah kakang bekel menyaksikan peristiwa itu" " Nararya terkejut.
"Ya" kata bekel Saloka "aku bersembunyi digerumbul pohon tak jauh dari rumah bekel Sindung
dan dapat melihat peristiwa itu"
"Dan ki bekel tak bertindak apa-apa?"
"Sebenarnya aku ingin menghajar mereka. Tetapi aku hanya membawa Seorang anakbuah dan
mereka berjumlah sepuluh orang serta bersenjata lengkap. Kedua kali, akupun meragukan diriku
sendiri. Dalam kedudukan apakah maka aku harus ikut campur dalam peristiwa itu ?"
"Setiap orang wajib memberantas orang jahat, ki demang " kata Nararya.
"Benar" sahut bekel Saloka "hal itu memang sesuai dengan tuntutan ha nuraniku. Tetapi aku
menyadari bahwa diriku adalah penduduk Lodoyo, bagaimana aku harus memberi keterangan
kepada petugas keamanan Daha apabila aku harus menghadapi pertanyaan mereka setelah
berhasil menghalau kawanan penjahat itu" Tidakkah pertanyaan itu akan berlarut-larut sehingga
akan diketahui juga gerak gerikku di Daha ini?"
"Hm" Nararya mendesuh "lalu apa tindakan ki bekel saat itu?"
"Secara diam2 kuiku langkah mereka. Aku ingin tahu siapa dan dimanakah tempat gerombolan
penjahat itu" "Dan kakang berhasil menemukannya?"
"Ya " "Dimana?" "Keraton" "Keraton " Keraton Daha ?" Nararya seperti terpagut ular.
Bekel Saloka mengangguk "Benar, raden. Gerombolan penjahat itu masuk ke dalam keraton Daha
dan akupun tak dapat melanjutkan penyelidikanku lagi"
"Hebat" seru Nararya "bagaimana mungkin gerombolan itu masuk kedalam keraton?"
"Memang tak mungkin kedengarannya tetapi memang mungkin kenyataannya. Jelas bahwa
kawanan penjahat itu bukan penjahat biasa, melainkan memang telah direncanakan. Untunglah
aku tak bertindak menghajar mereka sehingga terhindar dari kesulitan yang tak diinginkan"
Nararya termenung-menung. Ia merenungkan peristiwa yang amat ganjil itu.
"Apakah sekarang bekel Sindung sudah kembali dari Tuban?" tanyanya sesaat kemudian.
"Belum" "Hm" desuh Nararya "peris wa ini tentu akan menimbulkan kericuhan besar. Jelas bekel Sindung
tentu akan ber ndak. Jika dia memang menyembunyikan gong pusaka itu, tentulah akan
diserahkannya" "Belum tentu, raden" tiba2 Gajah Pagon menyelutuk.
"Maksud kakang ?" tanya Nararya.
"Menurut wawasanku selama menyelidiki bekel itu. Dia seperti mengandung suatu rahasia.
Bekel itu menyimpan suatu rencana tertentu. Walaupun belum lagi mengenal dari dekat, tetapi
kulihat bekel itu seorang yang berhati keras, memiliki pendirian yang teguh"
"Dan bagaimana apabila bekel itu tak menyimpan gong pusaka?" tanya bekel Saloka.
"Berdasarkan penilaian kakang Pagon tadi," jawab Nararya "kemungkinan besar dia tetap akan
memenuhi permintaan kawanan penjahat itu untuk datang ke lembah Polaman"
"Bukankah dia akan dibunuh kawanan penjahat itu?" seru bekel Saloka.
Nararya gelengkan kepala.
"Apabila kita kenangkan kembali peristiwa di lembah Polaman yang lalu dimana bekel
Sindungpun tersangkut, kurasa dia memang seorang bekel yang berisi. Tentulah dia tak gentar
menghadapi kawanan penjahat itu. Dan, kemungkinan itu tambah besar pula, karena dia tentu
marah dan bernafsu sekali untuk mendapatkan isterinya kembali. Dia tentu akan
mempertaruhkan jiwanya untuk melawan kawanan penjahat itu"
"Lepas dari bekel Sindung itu menyimpan gong pusaka atau dak" kata Gajah Pagon "tetapi cara
yang dilakukan kawanan penjahat itu memang licik dan pengecut"
Nararya mengangguk. "Dan menyedihkan, kawanan penjahat itu berasal dari keraton. Mungkin ...."
"Mungkin bagaimana, raden?" desak bekel Saloka.
"Mungkin pangeran Ardaraja terlibat dalam peristiwa itu"
"Maksud raden, pangeran itulah yang menitahkan orang untuk menyamar sebagai penjahat dan
menggeledah rumah bekel Sindung?"
"Memang suatu peris wa yang kebetulan sekali bahwa sehari setelah bekel Sindung berangkat,
datanglah kawanan penjahat ke rumahnya. Tidakkah hal itu memberi kesan bahwa antara
kepergian bekel Sindung dengan kawanan penjahat itu mempunyai rangkaian yang direncanakan?"
Bekel Saloka terkesiap. "Benar, raden" serunya "kemungkinan besar pangeran Ardarajalah yang berdiri dibelakang
kawanan penjahat itu"
Nararya diam. Merenung. Ia ingin menyelidiki kedalam keraton Daha. Dan baginya, mudah sekali
diterima pangeran Ardaraja. Tetapi sesaat teringat apabila akan berjumpa pula dengan pateri
Kiswari, ia tersipu-sipu merah.
"Ah, makin jauh dan makin lama peris wa2 yang melibat diriku ini dengan tujuan langkahku
semula. Bukankah aku masih harus menuju ke makam Kagenengan untuk memohon restu dari
eyang prabu Sri Rajasa sang Amurwabumi?"
Teringat akan pesan yang masih harus dilaksanakan itu, ia terkesiap. Setelah beberapa waktu
terlibat dalam suasana keadaan pemerintahan, baik di Daha maupun di Singasari, ia mendapat
kesan bahwa keadaan negara masih belum setenang seperti tampaknya.
Berkelanjutan dalam layang renungan yang makin membubung itu terbayang pula wajah
gurunya, resi Sinamaya yang sedang duduk diatas sebuah persada batu dan tengah memberi
petunjuk kepadanya "Nararya, telah terasa suatu getaran halus yang menyentuh dalam semedhiku,
bahwa Hyang Batara Agung akan menurunkan wahyu keramat ke arcapada. Wahyu semacam itu
hanya diturunkan seratus tahun sekali. Karena wahyu yang lama telah pudar dayanya"
"Apakah makna daripada wahyu agung itu, bapak guru?"
"Lambang munculnya seorang manusia besar. Entah pujangga, entah nabi, entah seorang
rajakula dari sebuah kerajaan baru. Pada masa yang lalu, pandita Lohgawe telah menuju ke
jawidwipa untuk mencari wahyu agung. Dan pandita itu telah menemukan wahyu agung telah
bersemayam pada diri Ken Arok. Ken Arokpun menjadi rajakula pendiri dari kerajaan Singasari
sehingga turun sampai baginda Kertanagara yang sekarang. Tetapi Nararya. Wahyu itu tak
dapat dimiliki dan dinikmati oleh anak cucu turun temurun. Apabila tiba masanya, Hyang Batara
Agung akan menurunkan wahyu lagi"
Teringat akan ucapan gurunya, serentak Nararya pun teringat pula akan tugasnya berlelana-
brata. Dia dianjurkan oleh resi Sinamaya untuk ikut berusaha menyongsong turunnya wahyu itu.
"Tidak mudah, angger" kata resi Sinamaya pada saat itu pula "untuk menerima wahyu itu.
Manusia yang akan menerima wahyu itu tentulah manusia pilihan yang telah teruji sifat2
kemanusiawiannya. Suci, luhur dan seorang ksatya linuwih"
Menyerapkan pesan resi Sinamaya kedalam suasana negara pada saat itu, mbullah suatu percik
penghayatan bahwa kelak pasti akan timbul perang antara Singasari dengan Daha.
Memang pada dewasa itu, kerajaan Singasari masih kuat dan jaya. Tetapi menilik kekuatan2 yang
dipupuk oleh raja Jayakatwang dan menilik pula betapa susunan pemerintahan kerajaan Singasari
yang makin dikuasai oleh pa h Aragani, bukan mustahil bahwa akan mbul suatu perubahan
besar. Merenungkan hal itu bergeloralah darah Nararya. Ia sebagai seorang putera Singasari, wajib
berjuang menyelamatkan keadaan negara. Dan untuk melaksanakan cita2 itu ia harus segera
melaksanakan segala sesuatu yang bertalian dengan pesan resi Sinamaya. Ia telah bertapa di
makam eyang Batara Narasingamur . Dan jelas bahwa ia telah memperoleh wangsit gaib yang
menyuruhnya bertapa ke candi makam eyang buyut Sri Rajasa sang Amurwabhumi di Kagenengan.
"Apakah aku akan memperoleh sesuatu di makam eyang buyut itu" " tanya Nararya dalam ha .
Namun ia tak memperoleh jawaban. Yang didapa nya hanyalah suatu kesan, bahwa pesan
gurunya, resi Sinamaya itu memang sesuai dengan sesuatu yang diperolehnya. Ia telah bertapa di
makam eyang Batara Narasingamurti dan mendapat wangsit.
Resi Sinamaya seorang resi linuwih yang sidik. Apa yang telah ditanggapinya dalam getaran halus
itu, bukanlah suatu khayalan. Melainkan suatu wangsit gaib. Sedangkan wangsit yang di makam
eyang Batara Narasingamur itu tentulah juga suatu wangsit yang lebih gaib, mengingat eyang
Narasingamurti itu suatu arwah halus.
"Bagaimana raden" ba2 bekel Saloka memecah suasana hening "apakah langkah yang harus kita
tempuh ?" Nararya tersentak dari lamunan. Ia menyadari bahwa bekel Saloka dan Gajah Pagon tengah
menanti pembicaraannya. "Gong Prada telah mengembangkan peris wa2 yang makin meluas. Tetapi yang jelas, siapapun
yang telah mencuri dan menyembunyikannya, mempunyai maksud tujuan hendak mengeruhkan
suasana dan meretakkan hubungan Singasari dan Daha"
"Tetapi" kata Ntrarya pula "tujuan itu telah terbenam dalam gelombang yang dilancarkan
rencana baginda Kertanagara, untuk mempererat hubungan Singasari-Daha. Langkah baginda untuk
memungut pangeran Ardaraja sebagai menantu,, akan menggagalkan, se dak
daknya memperkecil ar daripada fihak yang mencuri gong Prada dengan tujuan supaya Singasari retak
dengan Daha" Bekel Saloka dan Gajah Pagon mengangguk.
"Itupun kalau peristiwa hilangnya gong Prada sampai terdengar baginda" kata Nararya pula.
"Apakah baginda belum mendengar peristiwa itu?" tanya Gajah Pagon.
"Kurasa" kata Nararya "peristiwa itu baru sampai di tangan patih Aragani"
"Jika demikian sungguh berbahaya" seru Gajah Pagon.
"Bagaimana maksud kakang?" tanya Nararya.
"Menurut pendapat raden, bagaimana sikap patih Aragani terhadap Daha ?"
"Pa h Aragani seorang yang licin dan pandai bersiasat " jawab Nararya "sukar untuk meraba isi
ha nya. Kadang sikap dan gerak gerik serta ucapannya, lain dengan isi ha nya. Mungkin dia masih
menunggu perkembangan selanjutnya setelah pangeran Ardaraja sudah menjadi menantu baginda.
Dan sikapnya akan ditentukan pada saat itu"
"Jika begitu, apa yang kukatakan berbahaya tadi, memang meideka kenyataan" kata Gajah
Pagon. "maksudku yalah hendak mengatakan bahwa sikap ada menentu dari pa h Aragani itulah
yang menimbulkan bahaya. Apabila ia mendapat kesan bahwa kehadiran pangeran Ardaraja di
keraton Singasari itu tak menguntungkan atau membahayakan kedudukan pa h Aragani, maka
patih itu tentu akan menimbulkan pula hilangnya gong pusaka itu kehadapan baginda"
"Dengan tujuan supaya baginda menegur akuwu Jayakatwang" " tanya Nararya.
"Bukan saja menegur, pun akan menuduh akuwu Daha itu mempunyai maksud yang tak baik"
"Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Pa h Aragani telah berusaha untuk mengirim orang ke lembah Polaman. Dengan begitu jelas
diapun menginginkan gong itu"
"Untuk?" "Untuk pegangan" kata Gajah Pagon "apabila dia tak melihat suatu bahaya dari pangeran
Ardaraja, tentulah gong itu akan dikembalikan ke candi Lodoyo. Tetapi apabila dia merasa
terancam kedudukannya, maka gong itu akan diselundupkan ke Daha kemudian akan
menghaturkan tuduhan kehadapan baginda, bahwa akuwu Daha telah menyembunyikan gong itu
untuk menambah kewibawaan Daha. Sudah tentu diapun akan menyertakan juga laporan2 tentang
kegiatan akuwu Daha dalam menyusun pasukan"
Nararya mengangguk. "Penilaian kakang Pagon itu, memang mungkin" katanya "dengan demikian jelas bahwa
pencarian gong pusaka itu tentu akan memakan waktu lama"
Kemudian ia berkata kepada bekel Saloka "Mengenai hilangnya gong pusaka itu, kukira tak perlu
ki bekel cemas. Secara tak terduga-duga gong pusaka itu telah menjadi barang berharga yang
dijadikan rebutan oleh beberapa fihak. Masing2 dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri"
"Benar" kata bekel Saloka "rasanya pencarian gong pusaka itu akan memakan waktu yang cukup
lama. Kurasa, baiklah kita mengatur rencana jangka lama tanpa mengabaikan kepen ngan masing-
masing" "Bagaimana maksud ki bekel?"
"Kukira penyelidikan ini dapat kulakukan sendiri. Karena jelas gong pusaka itu hanya berada
di dua tempat, kalau tidak di Daha tentulah di Singasari. Walaupun belum menemukan, tetapi
paling tidak kita sudah dapat memperoleh jejaknya. Soal gong pusaka itu, hanya soal waktu.
Kita pasti dapat menemukannya kembali"
Berhenti sejenak bekel Saloka melanjutkan "Kuingat raden masih menanggung kewajiban
untuk melaksanakan pesan guru raden. Apabila raden terus menerus terlibat dalam lingkaran
penyelidikan yang berbelit-belit ini, tentu waktu raden akan terbuang. Oleh karena hal ini
menjadi pertanggung jawabku, maka kuminta raden melanjutkan perjalanan raden semula. Soal
pencarian gong pusaka itu, biarlah aku yang akan menyelesaikannya"
"Tidak, kakang bekel" bantah Nararya "aku sudah berjanji hendak membantu ki bekel untuk
mencari gong pusaka itu"
Bekel Saloka gelengkan kepala.
"Sudah cukup lama raden membantu kami," kata bekel Saloka "kinipun sudah terdapat titik2
terang tentang gong pusaka itu. Kurasa, aku dapat menyelesaikannya sendiri"
"Ah, tidak ki bekel " Nararya berkeras.
Gajah Pagon heran. Ia memang belum tahu keadaan Nararya yang sebenarnya dan bagaimana
tujuannya berkelana-brata itu. Ia meminta keterangan kepada bekel Saloka. Setelah mendengar
penjelasan bekel itu, Gajah Pagonpun serentak memberi pernyataan.
"Raden" katanya "kurasa tentu merupakan sesuatu yang pen ng maka sang resi mengutus raden
untuk lelana-brata dan bertapa ke makam para leluhur. Seorang resi yang sidik seper guru raden
itu tak mungkin menitahkan sesuatu apabila ada sesuatu yang mempunyai ar pen ng. Soal
pencarian gong pusaka itu, idinkanlah aku mewakili raden untuk membantu ki bekel disini"
Nararya terkejut mendengar pernyataan Gajah Pagon. Walaupun hanya bergaul dalam waktu
yang singkat tetapi Nararya mempunyai kesan baik terhadap Gajah Pagon. Ia terharu. Berat rasa
hatinya untuk berpisah dengan orang yang jujur itu.
"Tetapi kakang Pagon" kata Nararya "kemana kah tujuan kakang setelah berhasil menyelesaikan
peristiwa gong pusaka ini?"
"Akupun mempunyai tujuan yang sama dengan raden" kata Gajah Pagon "Aku hendak berkelana
mencari pengalaman" "Kakang Pagon" kata Nararya pula " dakkah lebih baik apabila kakang mengabdikan diri kepada
kerajaan Singasari saja?"
Gajah Pagon tertawa. "Manusia tak lepas dari tanggung jawab batas bumi kelahiran dan negaranya. Gajah Pagonpun
demikian juga. lbarat burung, aku masih beterbangan kemana-mana untuk mencari pohon yang
layak kuhinggapi. Memang Singasari ataupun Daha adalah telatah bumi Jawadwipa. Ke manapun
aku mengabdikan diri, adalah serupa tetapi dak sama. Ar nya, walaupun serupa bumi Jawadwipa
tetapi dak samalah akuwu Jayakatwang dengan baginda Kertanagara. Terus terang raden, saat ini
aku belum mempunyai keinginan yang tetap, kemana aku harus menempatkan diriku"
Nararya mengangguk. "Baiklah, kakang Pagon. Memang keinginan tak dapat dipaksa. Dia akan tumbuh dan
berkembang sendiri secara sadar dan wajar. Tetapi kupercaya, pilihan kakang Pagon pasti
pada tempat yang sesuai dan tepat"
"Apabila kakang bersedia untuk membantu ki bekel dalam usahanya mencari gong pusaka yang
hilang itu, legalah ha ku. Baiklah ki bekel dan kakang Pagon," kata Nararya menghela napas
"betapapun berat rasa ha ku akan berpisah dengan kalian berdua, tetapi aku terpaksa harus
melaksanakan tugas kewajiban yang belum selesai. Hal itu bukan berar aku lebih memen ngkan
urusan peribadi dari pada urusan negara, melainkan aku hanya menetapi laku sebagai seorang
ksatrya yang harus melaksanakan setiap beban kewajiban yang telah disanggupinya."
Bekel Saloka dan Gajah Pagon mengangguk.
"Aku berjanji ki bekel dan kakang Pagon, selekas tugasku itu selesai aku tentu akan menuju
kemari untuk mendapatkan kalian berdua"
"Ah, raden," seru bekel Saloka penuh haru "apabila aku sudah pulang ke Lodoyo, aku tentu
bangga dan gembira sekali menyambut kedatangan raden"
"Raden" seru Gajah Pagon pula "selama surya masih bersinar, kita pasti berjumpa kembali"
"Baiklah, ki bekel dan kakang Pagon, aku akan melanjutkan perjalananku. Tetapi pertama aku
hendak singgah ke gunung Kelud untuk mencari kakang Lembu Peteng. Dari sana aku terus menuju
ke Singasari" Demikian setelah selesai pembicaraan, Nararya lalu mengambil selamat berpisah. Sebelum ia
menitipkan kedua punakawannya, Noyo dan Doyo, kepada bekel Saloka.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ III Nararya tak berhasil menemukan Lembu Peteng digunung Kelud. Ia heran dan agak cemas.
Namun mengingat bahwa Lembu Peteng seorang yang gagah, bekas pengawal pendamping dari
pangeran Kanuruhan saudara dari baginda Kertanagara, maka berkuranglah rasa kecemasan
Nararya. Ia tak menyangsikan kesetyaan Lembu Peteng. Bahwa mungkin karena menghadapi sesuatu
perasaan yang meluap, seke ka orang itu marah. Atau karena melihat suasana yang mengua rkan
keselamatannya, mungkin jaga dia untuk sementara waktu harus menyembunyikan diri.
Tetapi setelah kemungkinan2 itu lenyap, Lembu Peteng tentu akan muncul pula mencari kawan
kawan ke gua Selamangleng. Nararya percaya akan hal itu.
Kini ia mulai merencanakan arah tujuannya sendiri. Ia akan melaksanakan wangsit yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterimanya dari eyang Batara Narasingamurti.
Ia menuju ke Kagenengan. Tiba2 mbul suatu pikiran yang aneh dalam ha nya. Ia hendak bertapa memohon wangsit di
makam eyang buyut Sri Rajasa sang Amurwabhumi atau yang pada masa mudanya terkenal dengan
nama Ken Arok. "Alangkah suatu langkah yang membangkitkan kenang dan kesan apabila aku menelusuri jejak
perkelanaaa rahyang ramuhun eyang buyut Rajasa waktu masih muda " katanya dalam hati.
Dan iapun segera menuru suara ha dan ayun langkahnya. Ia mencari desa Saganggeng. Di
itulah dahulu Ken Arok bersama putera lurah Saganggeng, pemuda Tita, sering menghadang dan
mengganggu orang yang lalu lintas dijalan. Kemudian pada suatu hari Ken Arok memikat seorang
gadis can k anak seorang penyadap enau. Anak perempuan itu diajaknya kedalam hutan Adijuga.
Dan di hutan itulah Ken Arok makin membuat rusuh. Menghadang orang jalan, mengganggu
wanita. Berita itu terdengar juga oleh akuwu Tumapel yang membawahi desa itu. Akuwu yang bernama
Tunggul Ametung segera mengirim prajurit untuk menangkap Ken Arok.
Oleh lurah Saganggeng, Ken Arok dianjurkan supaya pergi ke lain tempat. Dia menyembunyikan
diri ke tempat keramat Rabut-gorontol.
Dalam mengayun langkah diantara jalan yang membelah tegai dan ladang, mbullah kesan
Nararya, betapa subur daerah2 ladang itu.
Ia teringat akan cerita ramanya, Lembu Tal, bahwa Ken Arok pernah menjatuhkan kutuk kepada
prajurit2 dari Tumapel itu.
"Semoga tergenang di dalam air, orang yang akan melenyapkan aku ..."
Kutuk itu bertuah. Daerah disitu selalu tak pernah kering air.
Setelah suasana mengidinkan maka Ken Arok lantas pindah mengungsi ke desa Wayang. Kembali
ditempat itu, di ladang Sukamanggala Ken Arok telah kambuh pula kenakalannya. Ia mengganggu
pula wanita yang sedang memikat burung pipit di ladangnya. Karena merasa tak aman, dia pindah
lagi ke tempat keramat Rabut-katu. Ia heran melihat pohon2 katu yang tumbuh disitu sebesar
pohon brahmastana atau beringin.
Ia pindah lagi ke Junwatu tetapi daerah itu ketat sekali keamanannya. Terpaksa ia menuju ke
desa Lulumbang. Dan untunglah dia diterima dan disuruh nggal di rumah seorang prajurit
bernama Gagak Inget. Agak lama dia nggal disitu. Namun akhirnya penyakitnya kambuh pula. Ia menghalang dan
mengganggu pejalan2, bahkan mengganggu pula wanita. Sudah tentu hal itu menimbulkan
kemarahan penduduk sehingga terpaksa dia pindah lagi ke Kapundungan.
Disamping suka mengganggu wanita dan menghadang orang, pun Ken Arok gemar berjudi dan
mencuri. Karena waktu masih kecil dia pernah diambil anak angkat oleh seorang pencuri bernama
Lembong. Rupanya karena semakin tumbuh dewasa, kebutuhan hidupnyapun makin meningkat. Dan
karena dia segan bekerja berat di ladang, maka dia melakukan pula pekerjaan sebagai pencuri.
Namun tak selalu pekerjaan yang penuh bahaya itu membawa selamat dan berkah. Ke ka
mercuri di desa Pamalantenan, dia telah dikejar dan dikepung penduduk desa itu.
Karena ketakutan, ia lari ke tepi sungai. Ah, disitu ada perahu ataupun rakit untuk
menyeberang. Karena gugup, ia segera memanjat sebatang pohon taI.
Rakyat berbordong-bondong ba dengan membawa senjata, parang, golok, arit, palu, tombak
dan bindi. Mereka heran karena tak dapat menemukan jejak Ken Arok. Pada hal jelas tak tampak
barang sebuah sampan atau rakit yang menyeberangi sungai.
Rakyat yang sudah terlanjur marah dan geram, merasa penasaran sekali. Mereka tak mau pulang
sebelum mendapatkan pencuri itu. Seluruh perairan tepi sungai itu dijelajahi hingga pagi hari.
Setelah terang hari, barulah mereka melihat ternyata Ken Arok bersembunyi diatas pohon tal.
Rakyat segera mengepung dibawah pohon itu sambil memukul canang. Karena itu Ken Arok tak
mengindahkan teriakan mereka supaya turun, akhirnya rakyat marah benar2. Segera mereka mulai
menebang pohon itu. Ken Arok meratap-ratap ketakutan. Kali ini dia tentu tertangkap dan pas dibunuh rakyat marah.
Entah bagaimana, ia ingat kepada sang Maha Pengasih atas dirinya.
Tiba2 ia seper mendengar sabda dari angkasa yang menyuruhnya supaya menebang daun
pohon tal itu dua keping, untuk dikepit dibawah ke ak kanan dan kiri sebagai sayap. Tentu dapat
lepas dari bahaya maut. Ia menurut. Memotong dua helai daun tal lalu dikepit dibawah ke ak kanan dan kiri. Kemudian
dengan menyebut nama Sang Maha Pengasih, ia segera mengepakkan sayap itu lalu melayang
terbang. Ah, hampir dia tak percaya akan kemujijadan yang menjadi pada dirinya. Ia dapat terbang
melampaui sungai dan melayang turun diseberang tepi.
Secepat mendarat, ia terus lari menuju ke desa Nagamasa. Namun rakyat masih tetap
penasaran. Dengan membuat rakit, mereka melakukan pengejaran lagi.
Ia lari ke desa orang tetapi tetap diburu. Akhirnya ia kembali kedesa Kapundungan lagi. Rakyat
tetap mengejarnya. Tiba2 Ken Arok melihat lima orang lelaki sedang menanam di ladang. Dengan
beriba-iba, Ken Arok mohon bantuan supaya dilindungi dari amukan rakyat.
Ternyata yang sedang bertanam di ladang itu adalah lurah desa Kapundungan. Ia merasa kasihan
kepada Ken Arok dan disamping itu ada suatu perasaan aneh yang menghaya perasaannya.
Bahwa ia harus menyelamatkan anak itu.
Kebetulan saat itu yang seorang sedang pergi mengeringkan empang. Tinggal lima. Maka yang
pergi itupun segera disuruhnya Ken Arok menggantikan.
Ke ka rakyat datang dan menanyakan tentang seorang pencuri yang melarikan diri kearah desa
itu maka lurah Kapundungan mengatakan tak tahu. Ken Arok diaku anaknya yang berjumlah enam
orang. Diantara rakyat yang mengejar itu memang kenal bahwa lurah Kapundungan itu mempunyai
enam orang anak. Maka mereka pun terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Lurah Kapundungan kua r kalau peris wa itu diketahui orang maka ia menyuruh Ken Arok
mengungsi kelain daerah yang lebih aman.
Ken Arokpun bersembunyi di hutan Patang-tangan, lalu pindah ke desa Ano bersembunyi di
hutan Terwag. Lurah desa Luki membawa nasi untuk anak penggembala lembu milik lurah itu. Dan lurah itupun
lalu membajak tanah untuk ditanami kacang. Nasi itu dimasukkan dalam tabung dan diletakkan
diatas onggokan. Ke ka anak penggembala datang dan nasi dalam tabung itu hendak diberikan, alangkah kejut
lurah itu ketika nasi itu sudah hilang, tinggal tabung saja.
Lurah heran. Hari kedua juga demikian sampai hari ke ga. Akhirnya pada hari keempat ia
menyuruh anak penggembala yang membajak tanah, tabung nasi diletakkan di onggokan dan lurah
itu bersembunyi mengintai.
Pada waktu Ken Arok keluar dari hutan hendak mengambil nasi itu maka tertangkaplah dia.
Dengan terus terang dia mengakui memang mengambil nasi karena perutnya lapar.
Lurah itu baik ha budinya. Ia mengajak Ken Arok pulang dan menyuruhnya ap2 hari datang
mengambil nasi kepadanya. Tangannya selalu terbuka untuk tetamu. Bahkan ia mengharap-harap
agar tiap hari menerima tetamu.
Beberapa waktu kemudian Ken Arok pindah ke desa. Banjar-kocapet di daerah Lulumbang. Pada
suatu hari pandai emas bernama mpu Palot berhen , di Lulumbang. Dia takut pulang ke desanya
Turyantapada karena mendengar kabar tentang Ken Arok yang suka menghadang orang. Mpu Palot
habis pulang berguru pada buyut Kebalon yang ahli dalam pandai emas. Setelah selesai ia pulang
ke Turyantapada dengan membawa bahan emas seberat lima tahil.
Ken Arok menyanggupkan diri untuk mengawalnya pulang. Mereka ba dirumah dengan selamat.
Mpu Palot berterima kasih dan senang akan keberanian anak-muda itu. Ken Arok diaku anak dan
diajari ilmu kepandaian membuat barang-barang emas. Ken Arok memang berotak cerdas. Cepat
dia dapat menguasai ilmu kepandaian itu, tak kalah dengan ayah angkatnya.
Mpu Palot telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya dan ia merasa masih kurang
sempurna. Maka disuruhlah Ken Arok ke Kebalon untuk berguru lagi lebih lanjut.
Tetapi orang Kebalon tak percaya kepada Ken Arok yang mengaku sebagai anak angkat
mpu Palot. Ken Arok marah, lalu menikam orang itu. Kemudian dia lari menemui buyut Kebalon.
Peris wa itu menggemparkan seluruh penduduk Kebalon. Pertapa2, para guru hyang sampai
pada murid2 sama keluar membawa palu perunggu. Mereka hendak membunuh Ken Aiok.
Tiba2 dari angkasa terdengar suara yang melarang orang2 itu jangan membunuh Ken Arok.
Karena Ken Arok itu adalah puteranya dan masih banyak tugasnya di arcapada.
Para pertapa dan guru-guru itu terkejut. Mereka percaya bahwa suara itu tentulah suara gaib
dari dewata. Mereka segera menolong Ken Arok bangun dan kemudian buyutpun memberinya
kepandaian yang lebih tinggi.
Ken Arok menetap di Tucyantapada. Karena mpu Palot itu ayah-angkatnya maka ia menamakan
daerah itu daerah Bapa. Namun pemuda Ken Arok itu selalu tak betah tinggal lama di suatu daerah. Ia menuju ke desa
Tugaran. Buyut Tugaran tak senang menerima kedatangan Ken Arok. Pemuda itu marah. Arca penjaga
pintu di desa itu diambil dan diletakkan di desa Bapa. Kemudian ia menemui anak perempuan
buyut Tugaran yang sedang menanam kacang di ladang. Dengan kepandaiannya merayu,
berhasillah Ken Arok merenggut kegadisan anak perempuan itu. Tak lama kemudian kacang yang
ditanam menghasilkan kacang yang berkampit-kampit.
Ken Arokpun pulang ke desa Bapa lagi. Dalam pada itu kerajaan Daha mendengar bahwa Ken
Arok bersembunyi di daerah Turyantapada. Daha tetap hendak melenyapkannya karena
menganggap Ken Arok itu seorang penjahat yang membahayakan keamanan. Mereka mengirim
pasukan untuk mencari ke Turyantapada.
Ken Arok terpaksa meninggalkan daerah Bapa mengungsi ke gunung Pustaka. Kemudian ke desa
Limbeban. Buyut Limbeban kasihan lalu menyuruhnya bersembunyi di telatah rawa Panitikan.
Ia mendapat wangsit pula yang menyuruh supaya pada hari Buddha-cemeng (Rebo Wage)
minggu Wariga-pertama, menuju ke gunung Lejar. Pada hari itu para dewa akan mengadakan rapat
musyawarah. Seorang tua, nenek dari kebayan desa Pani san bersedia membantu Ken Arok. Nenek itu akan
menyembunyikan Ken Arok. Dan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, nenek itu akan menyapu di
gunung Lejar di kala para dewa sedang bermusyawarah.
Demikian pada hari Buddha-hitam (cemeng), Ken Arok menuju ke gunung Lejar. Ia disuruh
sembunyi di tempat sampah dan ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan
Panitikan. Ken Arok menahan semua siksa itu.
Tak berapa lama kemudian ba2 terjadi keajaiban alam. Di angkasa serentak terdengar tujuh
buah nada suara dari guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin besar dan hujan lebat.
Bumi seolah-olah hancur. Gelap gelita di seluruh angkasa. Tujuh nada suara itu tak hen
hentinya merobek angkasa, membelah bumi. Dahsyat tiada terperikan.
Para dewa itu bermusyawarah membicarakan soal daerah yang akan dipilih sebagai pusat
kekuatan Jawadwipa. "Siapakah yang layak menjadi raja di Jawadwipa ?" demikian para dewa saling bertanya-tanya.
Hyang Dewa Guru bersabda.
"Ketahuilah dewa2 semua. Adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah
yang akan memperkokoh nusa Jawadwipa ...."
Mendengar itu Ken Arok serentak keluar dari mbunan tempat sampah. Para dewa terkejut
tetapi serta melihat wajah Ken Arok yang memancar sinar terang, mereka menyetujui dan merestui.
Selanjutnya para dewa memberi petunjuk agar Ken Arok mengaku ayah kepada seorang brahmana
yang bernama Danghyang Lohgawe yang datang dari Jambudwipa.
Ken Arok melaksanakan tah dewa itu. Danghyang Lohgawelah yang membimbing dan
mengasuhnya hingga berhasil menjadi raja.
"Ah ... . " Nararya tersentak dari menung ke ka saat itu berhadapan dengan gunung Lejar. Apa
yang melalu lalang dalam benaknya tadi adalah menurut cerita dari ayahnya, Lembu Tal yang
gemar menceritakan riwayat hidup dari para leluhur, terutama eyang buyut Ken Arok.
"Mengenal riwayat hidup leluhur kita, dapat menimbulkan kenangan, melahirkan kesan tentang
perjuangan mereka, amal mereka terhadap negara, bangsa dan manusia," kata Lembu Tal "Kesan
itu akan menjadi suatu kesimpulan yang dapat kita jadikan suri tau-ladan dan pegangan hidup.
Mengambil yang baik, membuang yang buruk"
Nararya amat terkesan mendengar riwayat hidup eyang buyut Ken Arok. Itulah sebabnya, ba2
saja mbul keinginan dalam ha nya untuk napak- las atau menelusuri jejak di tempat2 yang
pernah menjadi tempat menetap maupun bersembunyi dari eyang buyut itu.
Se ap kali datang di tempat pe lasan itu, selalu mbul kesan2 dalam ha nya. Bahwa eyang
buyut Ken Arok itu semasa mudanya memang nakal. Banyak perbuatan jahat yang dilakukannya.
Berjudi, mencuri, me-nyamun dan mengganggu wanita.
Ia merenungkan lebih lanjut. Apa sebab eyang buyut itu sedemian buruk perbuatannya semasa
masih muda " Ke ka menggali pada ingatannya, ia teringat akan cerita ayahandanya tentang asal usul eyang
buyut Ken Arok itu. Berhamburanlah percik2 penyusuran dalam ba nnya untuk mengungkap
perbuatan buruk dari eyang buyut Ken Arok dengan latar belakang kelahirannya.
Ken Arok anak dari seorang wanita di desa Pangkur yang bernama Ken Endok. Walaupun Ken
Endok menikah dengan Gajah Para dari desa Campara, tetapi Ken Arok itu bukan anak hasil
pernikahan Ken Endok dengan Gajah Para.
Pada suatu malam Ken Endok menolak untuk melayani tidur suaminya. Gajah Para marah
dan memaksa isterinya. Akhirnya Ken Endok mengaku terus terang. Bahwa ketika ia mengirim
makanan untuk suaminya yang bekerja di ladang Ayuga, tiba2 di ladang Lalateng, ia bertemu
dengan dewa Brahma. Dengan kesaktiannya dewa Brahma telah melepaskan aji Senggama
kepadanya. Setelah itu dewa Brahma berpesan agar Ken Endok jangan melayani suaminya
tidur karena janin yang berada dalam kandungan Ken Endok itu adalah putera dewa Brahma.
Itulah sebabnya Ken Endok tak mau melayani permintaan suami karena takut kutukan dewa
Brahma. Bukan main marah Gajah Para. Ia menuduh isterinya telah berbuat zinah dengan lain pria lalu
mengemukakan alasan bertemu dengan dewa Brahma. Gajah Para lalu menceraikan Ken
Eadok dan pulang ke desa Campara. Tetapi lima hari kemudian ia mati.
Ke ka ba waktunya melahirkan seorang anak laki, maka bingunglah Ken Endok. Jika ia
menceritakan tentang pertemuannya dengan dewa Brahma, se ap orang tentu akan mengejeknya.
Suaminya, Gajah Para pun tak percaya dan marah menerima keterangan begitu.
Ken Endok meratap dan malu karena mempunyai anak tanpa suami. Penduduk desanya tentu
tak mau percaya cerita apapun juga kecuali melihat kenyataan bahwa ia melahirkan anak tanpa
suami. Karena bingung dan malu, akhirnya jabang bayi itupun dibuang disebuah kuburan.
Teringat akan asal usul kelahiran eyang buyut Ken Arok, seke ka meremanglah buluroma
NNrarya. Diam2 ia mengakui akan keadilan Karma. Dewapun takkan terlepas dari hukum Karma
apabila perbuatannya tak senonoh.
Jika benar keterangan Ken Endok itu, maka dewa Brahma telah melanggar susila. Se ap
perbuatan yang tak baik tentu akan menghasilkan buah yang tak baik. Ken Arok semasa mudanya,
menuntut kehidupan yang hitam.
Perkembangan hidup itu juga terpengaruh oleh lingkungan hidup seseorang. Karena bayi Ken
Arok itu ditemu oleh seorang pencuri yang bernama Lembong maka lambat laun setelah besar, Ken
Arokpun terjerumus dalam kehidupan sebagai pencuri. Kemudian karena gemar berjudi dan
menghabiskan harta benda Ken Endok serta Lembong. Ken Arok menjadi penggembala kerbau milik
buyut Lebak. Pun kerbau buyut itu dijualnya untuk judi.
Ken Arok minggat dan bertemu dengan Bango Samparan tukang judi. Bango Samparan mengajak
anak itu ke tempat perjudian. Ternyata Ken Arok pandai sekali berjudi sehingga semua bandar judi
kalah. Dengan makin meningkat usianya ke alam dewasa, mulailah mbul berahi dalam ha pemuda
Ken Arok. Karena ada mendapat bimbingan dari orangtua dan orang2 yang memungutnya sebagai
anak, ngkah laku Ken Arokpun sukar dikendalikan lagi. Dia gemar mengganggu wanita secara
paksa. Adakah ibunya, Ken Endok, benar bertemu dengan dewa Brahma atau dengan lelaki biasa, yang
jelas wanita itu telah berbuat serong dan zinah. Dan lahirlah seorang anak yang penuh
bergelimangan perbuatan-perbuatan zinah.
Membayangkan hal2 itu Nararya hanya menghela napas. Hampir ia bingung memikirkan, adakah
eyang buyutnya yang termasyhur itu seorang anak yang tiada berbapak" Seorang anak gelap"
Sampai lama ia termenung-menung mencari jawaban. Dan akhirnya bersualah. dia akan titik yang
memancarkan sinar terang.
Pencuri Lembong melihat benda yang memancarkan sinar gemilang. Ke ka dihampirinya ternyata
seorang bayi yang terbungkus kain. Dan diambilnya bayi itu dari kuburan lalu dipeliharanya sebagai
anak. Penjudi Bango Samparan yang karena kalah habis-habisan dan tak dapat membayar hutang lalu
bersembunyi menyepi di tempat kramat Rabut Jalu. Disitu dia seper menerima suara gaib yang
menyuruh mencari seorang anak bernama Ken Arok. Anak itulah yang akan menolong
kesukarannya. Guru di desa Sagenggeng yang mengajar Ken Arok ilmu sastera, pun melihat suatu keajaiban.
Karena Ken Arok mencuri tanaman buah jambu, maka guru itu marah dan mengusirnya. Ke ka guru
itu melongok keluar, ia terkejut melihat di tengah gerumbul ilalang memancar sinar yang terang
sekali. Bergegas ia menghampiri ke gerumbul ilalang itu dan ternyata yang menyala terang itu
adalah Ken Arok. Ke ka Ken Arok mencuri di desa Pamalantenan, kepergok lalu dikejar penduduk desa, ia
memanjat pohon tal. Pohon dikepung dan hendak ditebang penduduk yang mengejarnya, tetapi
dengan menggunakan dua helai daun tal dapatlah Ken Arok terbang melintasi sungai.
Ke ka para pandai emas di desa Kabalon tak percaya akan keterangan Ken Arok yang mengaku
sebagai anak angkat mpu Palot, Ken Arok marah lalu menikam seorang pandai emas itu. Dia
dikepung dan hendak dibunuh tetapi ba2 terdengar suara gaib yang mencegah perbuatan para
pandai ernas itu. Ke ka Ken Arok bersembunyi dalam lubang sampah, ia mendengar para dewa sedang rapat
bermusyawarah dan menjatuhkan pilihan bahwa dirinya yang akan dijadikan raja Jawadwipa.
Bahwa seorang pandita sak bernama Lohgawe jauh2 dari tanah Jambudwipa datang ke
Jawadwipa adalah karena brahmana itu telah mendapat wangsit bahwa sang Wisnu yang dipujanya
itu telah pindah ke Jawadwipa dan menjelma dalam diri seorang anak bernama Ken Arok dengan
ciri kedua tangannya menjulai panjang sampai melampaui lutut kaki. Tangan kanannya berrajah
cakra dan tangan kiri, sangka.
Bahwa ke ka di taman Boboci, Ken Aroklah yang melihat rahim Ken Dedes, isteri akuwu Tunggul
Ametung, memancarkan sinar. Menurut keterangan brahmana Lohgawe, wanita begitu disebut
nariswari , wanita yang paling utama. Meskipun orang yang telah banyak melakukan kejahatan dan
dosa, jika mengawini wanita itu tentu akan menjadi raja.
Bahwa maksud Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung telah direstui brahmana Lohgawe.
Kemudian setelah dengan siasat yang licin, ia berhasil membunuh Tunggul Ametung, maka Ken
Arokpun menjadi raja. Bahwa raja Kertajaya atau Dandang Gendis dari Daha pernah sumbar bahwa ada seorang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mahluk manusia di dunia ini yang mampu mengalahkan, kecuali Batara Guru turun dari angkasa,
barulah dia kalah. Ternyata Ken Aroklah yang dapat mengalahkan.
Demikian renungan Nararya menelusuri segi2 keunggulan dari eyang buyut Ken Arok, Dan segera
terlintaslah suatu kesan bahwa memang eyang buyut Ken Arok itu, seorang manusia unggul.
Seorang manusia yang benar2 dikasihi dan direstui oleh dewata. Jika dak, tak mungkin seorang
anak yang berasal dari keturunan bawah din hidup berkecimpung dalam kejahatan, akan dapat
naik tahta sebagai raja besar, rajakula Singasari.
Diam2 ia meragukan bahwa keterangan Ken Endok itu dak nyata. Ken Arok adalah bibit
keturunan dari dewa Brahma. Namun lepas dari benar atau daknya keterangan Ken Endok itu,
yang nyata manusia Ken Arok memang mempunyai kecerdasan dan keberanian serta kedigdayaan
yang luar biasa. Tiba pada kesimpulan itu, Nararyapun hen kan langkah memandang ke gunung yang tegak
dihadapannya. Itulah gunung Lejar, Tempat dimana dahulu eyang buyut Ken Arok bersembunyi
dalam liang sampah untuk mendengarkan keputusan rapat para dewa2.
Seke ka tertariklah perha annya untuk mendaki dan meninjau tempat yang pernah dibuat
bersembunyi eyang buyut Ken Arok dahulu. Apabila perlu, iapun akan bersemedi di tempat itu
untuk memohon restu dewata.
Gunung itu tak berapa nggi sehingga dapatlah dalam waktu singkat Nararya mencapai
puncaknya. Ia terkejut ke ka melibat sebuah candi dibangun diatas tanah datar yang dikelilingi
oleh pohon2 rindang. Gandi itu sudah tak terawat, banyak dinding dan bangunannya yang hancur. Didalamnya
terdapat beberapa arca dari para dewa. Dari tulisan yang terpahat pada atas pintu, Walaupun
sudah tak kelihatan karena tertutup pakis dan galagasi, namun Nararya masih dapat membacanya.
Dewagraha atau candi tempat dewa2.
"Ah, kemungkinan eyang buyut rahyang ramuhun Sri Rajasa telah menitahkan membangun candi
ini demi mengagungkan tempat yang pernah dibuat musyawarah oleh para dewa," Nararya
menduga-duga. Ia segera masuk dan hendak bersujut menghaturkan sembah. Tetapi ba2 ia terkejut ke ka
melihat dibawah deretan arca itu, terdapat sesosok tubuh manusia yang duduk bersila. Rupanya
dia tengah bersemedhi, mungkin bertapa.
Remang2 ia melihat bahwa orang yang sedang duduk bersila seper bertapa itu, seorang lelaki
yang masih muda. Mungkin belum mencapai gapuluh tahun umurnya. Ia heran, mengapa orang
itu bertapa dalam candi disitu.
"Siapa dia ?" mbul pertanyaan dalam ha Nararya. Serentak diapun hendak menegurnya.
Tetapi pada lain kejab, ia teringat bahwa suatu perbuatan dosa apabila mengganggu usik seorang
yang sedang bertapa. Bukankah karena terganggu, orang itu. akan membuka mata dan
membatalkan pengheningan ciptanya.
Nararya sendiri juga gemar bertapa. "Dan dia dapat merasakan betapa pedih perasaannya
apabila dalam bertapa itu dia mendapat gangguan. Bukankah dengan menyingkir ketempat sepi
seperti di puncak gunung Lejar, orang itu memang menghendaki ketenangan?"
Demikian setelah melangsungkan sembah sujut kepada arca2 para dewa, Nararyapun segera
ayunkan langkah keluar. "Hai, ki sanak ..."
Tiba2 terdengar suara manusia dan Nararyapun terkejut. Ia hen kan langkah, berputar tubuh
dan memandang kesekeliling. Ternyata sekeliling ruang candi itu sunyi senyap tak tampak barang
seorang manusia kecuali lelaki yang sedang bertapa itu. Ah, tentu dia yang bicara, pikir Nararya.
"Apakah ki pertapa yang bicara kepadaku ?" akhirnya ia memberanikan diri menegur.
Pertapa itu tetap pejamkan mata dan tak beringsut. Tiba2 dia menjawab "Ya"
"O" desuh Nararya "silahkan ki pertapa melanjutkan maksud tuan"
"Siapa engkau ?" seru pertapa itu dengan masih memejamkan mata.
"Seorang kelana yang tak sengaja tiba di tempat ini. Maaf jika sekiranya kedatanganku ini
mengganggu tuan " Pertama itu diam. "Siapa namamu" " serunya pula.
"Nararya dari lereng Kawi. Dan siapakah nama mulia dari ki pertapa" " Nararya balai
bertanya. "Itu tak penting" diluar dugaan pertapa itu menolak "sebut saja diriku pertapa"
"Ha, baiklah" diam2 Nararya heran melihat nada dan sikap orang yang tak mau memberitahu
namanya. "Nararya ?" kembali pertapa itu mengulang.
"Ya" "Agaknya pernah kudengar nama itu" O, apakah engkau pernah ke gunung Butak?"
Nararya terkejut sekali. Mengapa ba2 saja pertapa itu menyebut-nyebut tentang gunung Butak.
Menilik perawakan yang tegap, pertapa itu lebih sesuai apabila dahulu sebagai seorang prajurit.
Dan mbul pula keheranannya. Apabila menyebut gunung Butak, dakkah pertapa itu pernah ke
gunung itu, atau mungkin pernah menetap disana. Dan yang menetap di gunung Butak tak lain
adalah gerombolan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Jaka Pasirian dan Mahesa Rangkah.
Sebenarnya Nararya merencanakan untuk roenyangkal saja. Tetapi karena dia tak biasa
berbohong dan lagi berhadapan dengan seorang pertapa, maka wajiblah dia menghorma . Ia wajib
bicara dengan terus terang.
"Ya, memang pernah " akhirnya ia berkata.
"Tahukah engkau bahwa gunung Butak baru2 ini telah diserang oleh pasokan Singasari ?"
"Ya" kembali Nararya bersikap terus terang.
"Jika demikian engkau tentu ikut serta dalam pasukan Singasari itu"
Nararya menghela napas. "Sebenarnya, aku terpaksa mentaati perintah patih Singasari ...."
"Siapa" Patih Aragani maksudmu" " tukas pertapa itu.
"Benar" jawab Nararya "aku diperintahkan pa h Aragani untuk ikut serta dalam pasukan
Singasari yang menyerang gerombolan gunung Butak"
"Dan engkau mau?"
"Kedudukanku saat itu amat sulit. Jika aku menolak, pas akan mendapat pidana dari pa h yang
berkuasa itu" "Hm, hanya karena takut pada pa h Aragani maka engkau mau ikut dalam pasukan Singasari
yang menyerang gunung Butak?"
"Masih ada lagi" seru Nararya "bahwa gerombolan gunung Butak itu memang menunjukkan
perbuatan yang menentang kerajaan Singasari. Rombongan utusan Singasari yang dipimpin pa h
Aragani ke Daha untuk menyampaikan amanat baginda hendak menjodokan puterinya kepada
pangeran Ardaraja, waktu pulang telah dihadang oleh sekelompok anakbuah gunung Butak"
"Bagaimana engkau tahu peristiwa itu demikian jelas ?" seru pertapa itu.
"Karena secara tak terduga-duga, saat itu aku sedang berada dalam hutan dan pa h Aragani lari
meminta perlindungan kepadaku. Prajurit2 pengiringnya telah habis dibunuh gerombolan gunung
Butak" "Dan engkau mau melindungi patih itu ?"
"Pertama, kuanggap dia adalah pa h dari kerajaan Singarari. Kedua, aku menetapi wajib seorang
ksatrya yang memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan"
"Hm" desuh pertapa itu "lalu " Bukankah engkau menerima hadiah pangkat tinggi atau harta
benda berlimpah karena jasamu merolong patih itu" "
"Tidak sama sekali" teriak Nararya "akupun tak menginginkan jasa apa2"
"Tetapi patih Aragani harus berterima kasih kepadamu!"
"Juga tidak kecuali menitahkan aku ikut serta dalam pasukan Singasari ke gunung Butak itu !"
Orang itu tertawa nyaring. Nadanya penuh dendam dan kesedihan. Dalam candi di petang hari
yang sesunyi itu, kumandang tawanya menimbulkan rasa seram.
"Engkau yang goblok atau memang pa h Aragani yang cerdik" serunya beberapa saat kemudian
"seharusnya engkau mendapat ganjaran. Mengapa memerintahkan engkau ikut ke gunung Butak
lagi" Bukankah itu berarti dia menginginkan kematianmu ?"
"Tetapi nyatanya aku masih hidup"
"Itu soal lain," kata orang itu "tetapi yang nyata patih Aragani memang mengandung suatu
maksud bersembunyi yang buruk. Dia hendak meminjam tangan orang gunung Butak untuk
membunuh" Nararya tertegun. "Ki pertapa" akhirnya ia berseru "dari nada ucapanmu, rasanya engkau mempunyai hubungan
dengan orang gunung Butak?"
"Engkau bebas untuk menduga-duga"
"Ketahuilah, bahwa sesuai dengan pendirianku, maka gerombolan gunung Butak itu kuanggap
membahayakan keamanan mau akupun setuju ikut serta dalam pasukan Singasari"
Pertapa itu mendengus. "Hm, engkau mengatakan mereka membahayakan keamanan," kata pertapa "tetapi tahukah apa
latar belakang mereka bertindak begitu ?"
Nararya kernyitkan alis. "Menurut pengakuan Mahesa Rangkah, pemimpin gunung Butak itu bernama raden Pasirian. Dia
hendak menuntut balas atas kema an ayahnya, Linggapa , yang telah ditumpas oleh rahyang
ramuhun Wisnuwar-dhana"
"O, Mahesa Rangkah mengatakan begitu ?" seru pertapa itu "jika demikian engkau yang
menangkap dan membunuhnya?"
Agak terkejut Nararya mendengar nada suara pertapa itu kian tegang. Namun karena sudah
terlanjur memberi keterangan, diapun melanjut.
"Ya, memang aku yang menangkap ki Mahesa Rangkah tetapi aku tak membunuhnya"
"Siapa yang membunuhnya ?"
"Kuda Panglulut putera patih menantu Aragani"
"Bedebah! Kelak dia tentu akan menerima pembalasanku," diluar dugaan pertapa itu tak kuasa
lagi mengekang diri. Nararya terkejut. Dugaannya makin nyata. Pertapa itu jelas orang gunung Butak. Bahkan menilik
nada ucapannya, dia seperti pimpinannya.
"Adakah ki pertapa ini raden ...."
"Tutup mulutmu, budak Singasari !" cepat pertapa itu membentak "engkaupun harus menerima
bagian dari apa yang telah engkau lakukan di gunung Butak"
Nararya terkejut. Jelas orang itu tak menyangkal kalau dirinya Jika Pasirian, pemimpin gunung
Butak. Jika dia sudah berada ditempat situ, apakah gunung Butak sudah hancur"
"Ki pertapa, apakah gerombolan gunung Butak sudah berantakan diserang pasukan Singasari?"
Nararya balas bertanya, "Karena ada penghianat dalam tubuh kita"
"Siapa ?" "Seorang kepala kelompok yang bernama Lembu Peteng"
"O, bagaimana seorang Lembu Peteng yang berhianat maka seluruh gerombolan gunung itu
hancur berantakan ?"
"Dari depan diserang oleh pasukan Singasari yang besar dan dari belakang ba2 Lembu Peteng
membawa kawan-kawannya untuk mengobrak-abrik tempat mereka"
Nararya mendesuh dalam hati. Kiranya Lembu Peteng menuju ke gardu di lereng barat
gunung Butak. Di situ dia memang mempunyai anakbuah dari gunung Kelud. Kini baru dia
menyadari apa sebab dia tak berhasil menemukan Lembu Peteng.
"Ki sanak" kata pertapa itu pula "engkau harus mempertanggungjawabkan apa yang telah engkau
lakukan di gunung Butak itu"
"O, jelas tuan ini raden Pasirian"
Tiba2 pertapa itu berbangkit dan membuka mata memandang Nararya "Benar, akulah Pasirian"
"Raden Pasirian" kata Nararya "aku hendak menghaturkan penjelasan tentang peris wa itu.
Telah kukatakan, memang aku yang menangkap Mahesa Rangkah. Tetapi penangkapan itupun
harus disertai dengan jerih payah mengadu jiwa. Jika aku kalah, akupun tentu dibunuh Mahesa
Rangkah" "Jika begitu, aku ingin menguji kedigdayaanmu," seru Pasirian.
"Tunggu dulu sampai aku selesai bercerita" kata Nararya "setelah berhasil menangkap Mahesa
Rangkah, aku tak bermaksud membunuhnya melainkan hendak kuhaturkan ke pura Singasari
supaya mendapat peradilan"
"Engkau melamun" seru Pasirian "apa itu peradilan. Di Singasari tak ada peradilan, yang ada
hanyalah kekuasaan patih Aragani keparat itu"
"Jika demikian, bukan salah Keadilan itu sendiri melainkan salah dari manusia-manusia yang tak
menghormat Keadilan"
"Keadilan telah diinjak-injak keparat Aragani"
"Itupun bukan salah pa h Aragani melainkan salah para mentri, senopa lain yang membiarkan
dia ber ndak begitu. Bukankah di pura Singasari penuh dengan mentri yang pandai bijaksana dan
senopati yang gagah perwira?"
"Enak saja engkau menggoyangkan lidahmu " ejek pertapa itu "tetapi kenyataan, siapa yang
berani melawan kekuasaan patih Aragani" Bahkan engkau sendiripun tunduk pada perintahnya"
Agak merah muka Nararya terkena sen lan itu. Diam2 ia mengagumi ketajaman dan ketetapan
orang itu berbicara. "Akan kulanjutkan keteranganku tadi" katanya "sungguh tak kusangka bahwa Kuda Panglulut
yang sebelumnya telah ditawan oleh anakbuah gunung Butak, setelah bebas lalu ba2 menikam
Mahesa Rangkah dari belakang"
"Keparat si laknat Panglulut itu!" pertapa itu menggeram keras2.
"Aku tak suka melihat tindakan Kuda Panglulut yang licik itu. Akhirnya kami berbantah dan
akupun segera meninggalkan pasukan Singasari"
"Engkau melarikan diri?"
"Ya, karena tak setuju kepada sikap dan ulah Kuda Panglulut"
Tampak Pasirian pejamkan mata dan merenung. Sesaat kemudian ia membuka mata pula.
"Ki sanak" serunya "kiranya engkau memiliki laku seperti seorang ksatrya. Aku menyukai
sikapmu itu. Engkau harus menabas sebelah lenganmu dan segera engkau tinggalkan tempat
ini!" Nararya terkejut. Dahinya mengerut dalam.
"Mengapa engkau menghendaki demikian ?" serunya.
"Karena engkau ikut dalam pasukan Singasari yang menyerang gunung Butak. Dan walaupun
secara tak langsung, engkau yang menjadi penyebab gugurnya Mahesa Rangkah, maka engkau
harus menggan dengan jiwamu. Tetapi mengingat engkau telah menunjukkan sikap ksatrya
dengan nggalkan pasukan Singasari, maka kuringankan hukumanmu. Aku tak mengambil jiwamu
melainkan hanya sebelah lenganmu saja. Tidakkah itu sudah suatu kemurahan hatiku?"
Nararya tertawa panjang. "Ki Pasirian" serunya "aku dapat memahami perjuanganmu di gunung Butak. Engkau sebagai
putera dari Linggapa yang terbunuh raja Singasari, hendak menuntut balas kepada raja Singasari.
Itu memang layak. Tetapi adakah engkau sudah menyelami apa sebab mendiang ayahmu sampai
ditumpas raja Wisnuwardaua?"
"Ayahku tak mau tunduk dibawah kekuasaan Singasari"
"Itulah, raden Pasirian," sambut Nararya "se ap orang memang bebas untuk memperjuangkan
pendiriannya. Tetapi negara harus diatas segala kepen ngan. Jika se ap daerah, se ap kadipaten
mempunyai pendirian seper ayahmu apakah jadinya dengan kerajaan Singasari" Tidakkah bumi
Singasari itu akan terpecah belah menjadi kerajaan kecil2" Tindakan rahyang ramubun
Wisnuwardana adalah tepat. Andaikata engkau menjadi raja Singasari, pun engkau tentu akan
bertindak demikian" "Dan karena aku putera dari mendiang ayahku, maka aku hendak menuntut balas ."
"Baik" sambut Nararya pula "engkau bebas melakukan hal itu. Tetapi ingat, urusan negara, tak
layak dicampurkan dengan urusan dendam peribadi. Kiranya, banyak tentu prajurit ataupun
senopa yang gugur dalam peperangan. Apakah putera2 mereka harus menuntut balas juga" Jika
demikian halnya, dunia ini tentu penuh peristiwa balas membalas yang tiada akhirnya"
"Persetan dengan kata2mu kosong itu!" teriak Pasirian "aku berhak dan harus membalas dendam
kematian ayahku!" Nararya tertawa kecil. "Raden Pasirian ...."
"Sudahlah, muak aku mendengar kata2mu yang tiada berfaedah itu!" teriak Pasirian.
Namun dengan tenang Nararya tetap berkata "Raden Pasirian, aku hendak mengajukan sebuah
pertanyaan lagi. Dan setelah itu, aku bersedia mengiringkan apapun yang menjadi kehendakmu"
"Hm, yang terakhir" kata Pasirian.
Diam2 Nararya tak senang melihat sikap orang yang angkuh dan congkak. Namun ia dapat
memaklumi juga tentang perasaan Pasirian yang jiwanya telah dibebani tugas membalas dendam
oleh mendiang ayahnya atau mungkin ibunya.
"Ya" akhirnya ia menjawab "raden Pasirian" katanya dengan nada yang jernih "siapakah yang
membunuh mendiang ayahanda raden?"
"Raja Wisnuwardana dari Singasari"
"Dan raden hendak menuntut balas, bukan?"
"Ya" "Silahkan raden membunuh raja Wisnuwardana."
"Hah" Dia sudah mati!"
"Itu lain soal. Tetapi yang berhutang jiwa kepada ayahanda raden adalah baginda
Wisnuwardana. Selayaknya raden harus membalas kepada raja itu"
"Jangan ber-olok2! " teriak Pasirian.
"Tidak, aku dak ber-olok2" sahut Nararya "memang kenyataan adalah baginda Wisnuwardana
yang membunuh ayahanda raden. Maka yang harus raden bunuh, juga raja itu. Apabila dia sudah
ma , itu terserah kepada raden. Ataukah hendak menghapus atau masih tetap hendak
melangsungkan balas dendam itu. Jika masih, carilah di candi makam baginda"
"Hutang ayah, anak yang membayar. Jika Wisnuwardana sudah ma , maka Kertan gara yang
sekarang masih hidup. Aku hendak menagih hutang ayahnya itu kepadanya"
"Anak yang dilahirkan, bebas dari segala ikatan orangtuanya. Dia lahir karena kehendak dewata.
Bahwa ucapan yang mengatakan 'hutang ayah, anak yang bayar' itu hanyalah suatu tata kehidupan
yang dibuat oleh manusia, Tetapi susunan tata kehidupan itu hanya yang menyangkut kelahiran
dan kebendaan. Karena pada umumnya, harta benda orangtua tentu jatuh kepada anaknya, maka
jika orangtua itu mempunyai hutang, wajiblah anak yang membayarnya. Tetapi harus begitukah
Karma" Karma orangtua, anak yang menyandang?"
"Betapa tidak! " seru Pasirian "bukankah anak pencuri itu akan menjadi pencuri juga!"
"Tampaknya demikian walaupun dak semua anak pencuri itu tentu akan menjadi pencuri" kata
Nararya "lebih tepat apabila raden mengatakan, bahwa anak dari orang jahat atau berdosa, tentu
kehidupannya juga sengsara dan penuh kesukaran"
"Hm" dengus Pasirian.
"Dalam hal itu, daklah dapat kita melihat kenyataan yang ada, tetapi harus menilai dari asal
mula kenyataan itu. Bahwa dia yang dilahirkan sebagai anak dari orang jahat atau berdosa,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentulah termasuk jiwa yang dalam kehidupan atau peni san dahulu, juga seorang yang penuh
dosa. Dan sebagai penebus dosa dia dilahirkan ditempat orang yang berdosa ...."
"Sudahlah, jangan banyak cakap!" seru Pasirian "apakah engkau masih mempunyai pernyataan
lain lagi?" "Apakah raden masih tetap hendak menuntut balas kepada raja Singasari?"
"Ya" sahut Pasirian "yang membunuh ayahandaku adalah raja Singasari maka raja Singasari yang
harus kubalas" "Rajakula Singasari, sri Rajasa sang Amurwabumi atau Ken Arok, tak tahu menahu soal peris wa
pembunuhan itu. Dan mungkin baginda tak pernah membayangkan bahwa puteranya,
Wisnuwardhana, kelak akan membunuh ayahmu. Adakah misalnya sri Rajasa itu masih hidup, juga
harus engkau bebani dengan kesalahan baginda Wisnuwardhana ?"
"Tiada ada perbedaan. Yang ada hanya se ap raja Singasari, baik dia itupun siapa saja, harus
kubalas " seru Pasirian.
"Jika begitu jelas raden membabi buta !"
"Apa katamu!" Pasirian mulai merah matanya.
"Kukatakan, raden membabi buta dalam menuntut balas" sahut Nararya.
"Apa pedulimu, babi!"
"Aku harus mempedulikan. Jika raden menuntut balas pada rahyang ramuhun Wisnuwardhana,
itu hak raden. Tetapi jika raden pun menganggap eyang buyut rahyang ramuhun sri Rajasa itu juga
disama-ratakan sebagai musuh yang harus menerima pembalasan raden, maka aku Nararya,
bersedia untuk mewakili"
Mendengar Nararya menyebut eyang buyut kepada sri Rajasa, Pasirian terbeliak. Direntangkan
matanya lebar2 untuk memandang pemuda itu. Dan diam2 ia mendapat kesan memang wajah
Nararya bersinar terang. "Engkau menyebut eyang buyut pada Ken Arok" Siapakah engkau!"
"Aku Nararya, anak Lembu Tal, cucu Mahesa Campaka dan cicit dari Ken Arok. Aku bersedia
untuk mewakili mereka dari pembalasanmu"
"O, bagus, bagus" seru Pasirian "itukah sebabnya engkau mau membantu pasukan Singasari
menyerang gunung Butak?"
"Tidak!" bantah Nararya "sebagaimana pernyataan raden tadi, akupun berpendirian demikian.
Sebagai seorang putera Singasari, kawula Singasari, aku akan menentang siapapun yang hendak
mengganggu keamanan Singasari. Gerombolan gunung Butak memberontak kepada Singasari,
andaikata bukan raden yang menjadi pimpinan, akupun tetap akan menentangnya. Pendirianku ini
dak kudasarkan siapa peribadi raden ini, melainkan siapa yang menjadi pemimpin gerombolan
itu" "Bagus, Nararya" seru Pasirian "tetapi apakah engkau sudah mempunyai nyawa rangkap untuk
menghadapi aku " Jika engkau tak punya nyawa rangkap tujuh, baiklah engkau menyerah saja. Sia-
sia engkau akan melawan aku!"
Nararya tersinggung akan ucapan yang dianggapnya tekebur itu. Namun ia masih dapat
mengendalikan diri dengan tertawa.
"Nyawa pemberian Dewata agung itu hanya satu. Jika rangkap tentulah nyawa dari jejadian yang
jahat. Ma hidup ditangan Hyang Widdhi. Andaikata aku ma , akupun rela karena membela eyang
dan eyang buyutku" "Baik, jika engkau sanggup bertanding dengan aku dan sanggup pula menerima gada pusakaku,
engkau akan kuberitahu sebuah rahasia pen ng. Rahasia yang saat ini menjadi perburuan dari
orang Daha dan Singasari"
Nararya terlejut. Diam2 ia merangkai dugaan apakah gerangan rahasia yang dikatakan sangat
penting dan menjadi perburuan Daha dan Singasari itu "
"Ah, apakah rahasia tentang gong pusaka Empu Bharada?" ba2 ha nya tersentak dengan
pertanyaan "mungkin juga karena menurut kesan2 dalam penyelidikan selama ini, Mahesa Rangkah
dan gunung Butak, ikut campur dalam peristiwa perebutan itu"
"Rahasia tentang gong pusaka empu Bharada, yang raden maksudkan" " tanyanya untuk
menyelidiki. Pasirian terkesiap. "Bagaimana engkau dapat menduga. begitu ?"
"Karena dewasa ini baik orang Daha maupun Singasari memang sedang sibuk mencari gong
pusaka Empu Bharada yang hilang"
"Engkau tahu juga tentang peristiwa itu?"
"Ya" sahut Nararya "yang mengambil adalah seorang bekel dari Daha tetapi ternyata pusaka itu
hilang lagi dan sampai kini belum diketahui berada dimana"
Pasirian terdiam. "Jika kusangkal hal itu?"
"Rasanya tak mungkin lagi terdapat suatu rahasia yang lebih penting dari peristiwa itu."
"Mengapa dak" Bukankah pernikahan agung antara puteri raja Kertanagara dengan pangeran
Ardaraja dari Daha juga merupakan peristiwa penting?"
"Tetapi apa hubungannya dengan rahasia yang raden hendak ungkapkan itu?"
"Jika kuadakan tentu ada. Misalnya, engkau tentu setuju menganggap rahasia itu pen ng karena
menyangkut rencana untuk menggagalkan pernikahan anak raja itu"
"Bagaimana mungkin"
"Bagaimana tak mungkin" Jika Ardaraja terbunuh, bukankah pernikahan agung itu akan gagal?"
"Tetapi tak mudah untuk melakukan hal itu. Penjagaan di keraton Daha seketat hutan rimba
yang tumbuh tombak dan pedang"
"Hm" desuh Pasirian "jika kukatakan rahasia itu benar mengenai gong pusaka Bharada ?"
"Aku akan berterima kasih sekali kepada raden?"
"Hm, apa yang engkau persembahkan dalam terima kasihmu itu" "
"Jiwaku" sahut Nararya "akan kupertaruhkan"
"Bagus" seru Pasirian "jika demikian layak kiranya engkau mendapat imbalan rahasia itu"
"Lalu bagaimana maksud raden ?"
"Kita keluar di halaman candi ini," kata Pasirian "tempatnya cukup luas untuk mengadu tenaga"
Nararya menyetujui dan mengiku orang itu berjalan keluar. Keduanya segera tegak berhadapan
di halaman candi. Saat itu malam hari. Suasana disekeliling penjuru hening dan kelam. Tetapi bagi kedua orang itu,
bukan suatu halangan bahkan lebih leluasa karena lebih dapat mencurahkan segenap pikiran dan
tenaga. Ada dua macam anggapan yang menghinggapi benak kedua orang itu. Nararya tak berani
memandang ringan kepada lawan. Sebagai pimpinan gerombolan gunung Butak, tentulah
Pasirian memiliki suatu kelebihan yang mengagumkan. Mungkin kecerdasan tetapi paling
mungkin tentulah kedigdayaannya. Oleh karena itu ia harus berhati-hati dan mencurahkan
segenap semangat dan kepandaiannya untuk menghadapi.
Pasirian belum faham siapa Nararya. Sekalipun sudah mendengar bahwa pemuda itu dapat
mengalahkan Mahesa Rangkah, tetapi belumlah suatu hal yang meyakinkan kepadanya bahwa
pemuda itu mampu mengalahkannya juga.
Demikianlah setelah saling memberi pernyataan supaya masing2 siap, keduanya lalu mulai
melakukan serangan. Serangan pertama yang dibuka Pasirian itu memberi rasa kejut dalam ha
Nararya. Angin pukulannya lebih dulu telah menimbulkan gelombang keras yang menampar muka
Nararya sebelum pukulan itu tiba.
"Dia memiliki pukulan yang kuat sekali" pikir Nararya. Ia beringsut menghindar ke kanan lalu
gerakkan tangan kanan menepis rusuk lawan.
"Bagus" Pasirian berseru "engkau dapat balas menyerang cepat sekali"
Sekalipun mulut mengatakan begitu namun bekas pimpinan gunung Butak itu tak mau beringsut.
Bahkan ia ayunkan langkah merapat untuk menerkam leher Nararya.
Nararya terkejut. Jelas lawan menghendaki sama2 kena pukulan. Tetapi yang jelas, walaupun
tepisan pada rusuk lawan itu menimbulkan sakit tetapi lehernya-pun pasti akan tercekik tangan
orang. Nararya terpaksa menarik tangan dan tubuhnya mundur ke belakang.
Demikian dengan awal yang cukup mengejutkan itu, pertempuran melanjut dalam serang
menyerang yang keras dan makin cepat. Nararya memperha kan bahwa se ap kali lawan tentu
mengajak sama2 terpukul. Dan lebih banyak pula memberi peluang agar dipukul.
Iapun mendapat kesan bahwa tata langkah maupun gerak pukulan lawan itu amat teratur dan
terarah menurut ilmu kanuragan yang tinggi mutunya.
Akhirnya Nararya tak dapat menahan diri lebih lama. Dia menganggap bahwa lawan bersikap
congkak dan terlalu meremehkan dirinya. Betapapun Nararya masih muda. Seke ka panaslah ha
dan darahpun meluap "Ingin kucoba betapa keras kulitnya"
Demikian Nararya mengambil keputusan dan kesempatan yang diperkirakan akan dapat
melaksanakan keputusannya itu dengan berhasil, pun datang.
Setelah menangkis pukulan Nararya, Pasirian merentang tangan kiri untuk menerkam bahu.
Dengan begitu jelas dadanya terbuka tak terlindung lagi. Kesempatan itu tak disia-siakan
Nararya. Secepat kilat ia menghunjamkan tinjunya ke dada lawan. Keras sekali.
Duk. . . nju tepat mengenai dada tetapi alangkah kejut Nararya ke ka ia merasa seper meninju
sekeping papan yang amat keras sekali. Dan lebih terkejut pula ke ka saat itu bahunya
dicengkeram tangan lawan yang bertenaga kuat sekali sehingga karena tak tahan, Nararya
mengendap ke bawah. Namun sebelum Nararya sempat berbuat apa2, tangan orang itu sudah beralih mencekik
kerongkongannya sehingga hampir dia tak dapat bernapas.
Tiba2 tangan kanan Pasirian merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan gada besi kuning, lalu
dihantamkan ke kepala Nararya.
"Mampus engkau . . .!"
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 12 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Nararya terkejut sekali. Semangatnya serasa terbang ketika
melihat sinar kuning memancar kearah kepalanya.
Dia sedang berjuang untuk melepaskan tangan lawan yang
mencekik lehernya. Dan itupun belum berhasil. Bagaimana
mungkin dia dapat menghadapi sinar kuning itu"
Karena tiada berdaya, Nararya pejamkan mata dan meratapkan
doa kepada Hyang Widdhi. Memaserahkan jiwa raga dan
menyerahkan diri akan kehendak Hyang Maha Agung.
Pasirian menumpahkan seluruh perhatiannya kearah ubun2
kepala Nararya yang hendak dihantam dengan besi kuning itu. Dan
ia yakin pasti dapat menghancurkan kepala pemuda itu.
Namun hidup mati manusia itu tak dapat ditentukan oleh
manusia. Hanya Hyang Widdhi Agung yang kuasa memutuskan.
Karena dialah sang Maha Pencipta.
Sekonyong-konyong ubun2 kepala Nararya memancar kepul
asap. Pasirian terkejut sekali. Dalam pandangannya, kepul asap itu
berbentuk seperti kuntum bunga putih yang merekah besar. Lebih
terkejut pula ketika kepul asap berbentuk bunga, yang
sesungguhnya merupakan bentuk bunga wijaya, dapat menahan
laju besi kuning. Dan yang paling mengejutkan Pasirian adalah ketika bahunya
dicengkeram sebuah tangan dan disentakkan kuat2 ke belakang.
"Jangan melakukan pembunuhan disini!" terdengar suara orang
membentak keras. Pasirian terhuyung beberapa langkah. Setelah dapat menegakkan keseimbangan tubuh, ia berpaling menghadap orang
itu. "Setan! Siapa engkau!" hardiknya seraya menatap orang itu.
Seorang pemuda yang berkulit kuning, berwajah bersih. Tubuhnya
agak kurus, tiada mengunjukkan seorang yang bertenaga kuat.
Tetapi jelas dirasakan Pasirian betapa kuat tenaga pemuda itu
dikala menyentakkannya ke belakang tadi.
Pemuda itu berwajah teduh. Sikapnya tenang serupa dengan
nada suaranya ketika menjawab "Aku Nambi dari puncak gunung
Lejar " "Mengapa engkau ikut campur urusan ini " Apakah engkau kenal
dengan pemuda itu?" seru Pasirian.
Nambi gelengkan kepala "Tidak kenal"
"Mengapa engkau ikut campur?"
"Ki sanak" sahut pemuda yang bernama Nambi "untuk menolong
seseorang, tidaklah diperlukan harus mengenalnya dulu. Itu sudah
suatu wajib dari seorang yang mempunyai sifat kemanusiaan "
"Hm" Pasirian mendesuh.
"Mengapa engkau hendak membunuh ki sanak itu" Apakah
kesalahannya?" Nambi berbalik mengajukan pertanyaan.
"Dia berkali-kali merugikan aku. Bahkan menjadi penyebab dari
terbunuhnya seorang sahabatku "
Nambi beralih pandang kearah Nararya yang sementara itu
sudah tegak dengan tenang. Ketika beradu pandang, Nambi
terkesiap. Ia terkejut menyambut pancaran sinar mata Nararya
yang teduh tetapi tajam. Wajahnya yang memancarkan sinar
terang, menimbulkan daya yang aneh agar mematuhi dan
mengindahkannya. "Ki sanak ... "
"Terima kasih atas pertolonganmu, ki Nambi" Nararyapun cepat
menanggapi "Aku Nararya. Apa yang dikatakan ki Pasirian tadi
memang benar semua. Kini aku sedang mempertanggung
jawabkan semua tindakan yang pernah kulakukan kepadanya "
Nambi diam2 terkejut dan memuji akan kejujuran dan keberanian
pemuda itu "Tetapi raden, mengapa dia sampai hendak
membunuh raden" Adakah raden telah melakukan sesuatu yang
layak menimbulkan kemarahannya sedemikian rupa" "
Diluar kesadarannya, demi terpesona akan wajah Nararya dan
sikapnya yang berlainan dengan pemuda kebanyakan, Nambi telah
menggunakan sebutan raden. Dia duga, Nararya tentu seorang
pemuda yang mempunyai darah keturunan priagung. Ia teringat
akan pesan gurunya. "Masing2 mempunyai penilaian sendiri" jawab Nararya "akan
sesuatu yang dilakukan dan dideritanya "
"Raden" kata Nambi "apabila tiada keberatan sukalah raden
melimpahkan keterangan kepadaku tentang peristiwa ini "
"Sudahlah, jangan banyak cakap!" bentak Pasirian "apakah
engkau menganggap dirimu teramat digdaya sehingga berani
menempatkan diri sebagai dhyaksa dalam urusanku ini."
"Bukan kesaktian atau kedigdayaan yang berhak mutlak untuk
mencampuri persoalan ini. Bukan pula kekuasaan dan pengaruh
yang mempunyai hak khusus tetapi rasa keadilan dan kebenaran,
ki sanak " sahut Nambi.
Pasirian tertawa mengejek.
"Ki sanak" serunya "perbuatanmu mencengkeram bahuku dari
belakang, tidak sesuai dengan kata-katamu yang segarang itu.
Pasirian akan menghadapimu dengan gaya apapun juga."
Kedua pemuda itu segera saling melangkah berhadapan.
"Ki Nambi" tiba2 Nararya berseru "urusan ini adalah antara raden
Pasirian dengan aku. Sebaiknya, biarlah kuselesaikan sendiri. Aku
sangat menghargai sekali perhatian dan bantuanmu, ki Nambi."
"Raden ...." belum sempat Nambi melanjutkan kata-katanya,
Pasirianpun sudah menyerang. Nambi masih sempat menghindar.
Ia marah melihat sikap dan tindakan Pasirian. Dan makin
cenderung anggapannya bahwa dalam persoalan itu tentulah
Pasirian yang difihak salah. Karena Pasirian tampaknya tak
menghendaki persoalan itu diketahui orang lain.
Nambi balas menyerang dan keduanya segera terlibat dalam
serang menyerang yang seru. Nararya agak gugup. Ia dibantu
Nambi, seharusnya saat itu ia harus membantunya pula. Tetapi dia
tahu bahwa tindakan itu akan menimbulkan kesan yang tak layak.
Pasirian tentu akah menganggap dirinya dikerubuti dua orang.
Nararya tak menghendaki cara berkelahi yang bersifat tak ksatrya.
Pun ia tak mcnghendaki tindakan yang mengecewakan Nambi. Ia
tahu bahwa pantang seorang ksatrya yang tengah berkelahi itu,
dibantu orang. Pertimbangan2 itu menyebabkan dia terkatung dalam kemanguan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali melihat


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pandang menunggu. Ia sempat memperhatikan bahwa Nambi memang lincah dan
memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Namun iapun tak dapat
menutup kenyataan bahwa sesungguhnya Pasirian lebih unggul
setingkat dari lawannya. Gerak pimpinan gunung Butak itu lebih
hebat, baik jurus2 serangan maupun tenaga pukulannya.
Nararya tahu bahwa Nambi hanya melakukan tindakan sesuai
dengan ajaran2 yang biasa diterima oleh murid seorang resi atau
guru yang luhur kebatinannya. Tetapi Nambi tak tahu siapa yang
dihadapinya. Pasirian adalah pemimpin gerombolan gunung Butak
yang berilmu sakti dan cakap memimpin. Karena tak mungkin
orang yang tak mempunyai kewibawaan dan kelebihan-kelebihan
akan mampu menghimpun dan menguasai suatu gerombolan yang
berjumlah ribuan orang. Beberapa saat kemudian mulai timbullah pikiran Nararya untuk
mencari kesempatan terjun ke gelanggang. Ia merasa Nambi
masih belum sesuai sebagai lawan tempur Pasirian. Dan
kesempatan itu cepat sekali tiba, lebih cepat daripada yang ia
duga. Sebuah gerak tipu yang dilakukan Pasirian berhasil mengecoh
Nambi. Nambi gugup hendak loncat menghindar. Tetapi kalah
cepat. Kaki Pasirian mendahului menyapu dan terpelantinglah
Nambi ke tanah. "Pasirian, akulah musuhmu yang sesungguhnya" seru Nararya
seraya melangkah maju demi Pasirian hendak menghampiri
Nambi. Pasirian terhenti langkah, berputar ke belakang, memandang
pemuda berwajah agung itu dengan tatap yang mengembangkan
kesan. Betapa tadi ia melihat suatu keanehan pada pemuda itu.
Besi kuning yang hampir mendarat ke kepala pemuda itu, tiba2
tertahan oleh hamburan asap yang berbentuk seperti bunga
mekar. Bunga itu hampir menyerupai teratai, tetapi jelas bukan bunga
teratai. Dan diketahuinya bahwa teratai itu lambang padma suci
dari kaum Buddha. "Adakah pemuda itu seorang guru atau acarya agama Buddha"
Mungkin karena telah mencapai kesucian batin, dia dapat
memancarkan daya kesaktian semacam itu" pikirnya. Tetapi cepat
pikirannya membantah sendiri. Menilik umurnya, tak mungkin
pemuda itu mampu mencapai tingkat kesucian yang sakti seperti
itu. "Jika demikian, adakah dia memang mendapat restu dari dewata
sebagai seorang ksatrya linuwih yang kelak akan menjadi manusia
besar ?" ia mulai beralih pada lain pemikiran.
Dan pemikiran itu hampir menembus alam hatinya. Namun
sekilas naluri akalnya, membantah "Ah, mungkin peristiwa itu
hanya suatu khayal dari pandang mataku. Aku akan mencobanya
pula. Apabila terlihat lagi peristiwa semacam itu, barulah aku
percaya " Perbantahan yang terjadi dalam batin Pasirian menimbulkan
gelombang pasang surut pada cahaya mukanya.
"Adakah sesuatu yang raden hendak utarakan ?" tegur Nararya.
Pasirian terbeliak dan gelengkan kepala.
"Jika demikian marilah kita mulai lagi. Apabila raden Pasirian
dapat merubuhkan aku lagi, aku bersedia menyerahkan jiwaku "
"Baik" kata Pasirian yang membulatkan bekal keputusannya.
Nararya telah menyadari akan kesalahannya tadi. Dia terlalu
diburu nafsu sehingga melakukan sesuatu langkah tanpa
memperhitungkan langkah lawan. Dia telah terkecoh dalam
perangkap yang diluangkan lawan. Kini dia tak mau melakukan
kesalahan itu lagi. Pembukaan serangan segera diikuti dengan serangkaian
serangan yang gencar. Namun tak semudah itu Pasirian dapat
dikuasainya. Pasirian amat gagah dan perkasa. Demikian
pertempuran itu berjalan amat seru dan cepat.
Nambi tercekat menyaksikan pertempuran itu. Diam2 ia malu
dalam hati. Jelas Nararya yang ditolongnya itu memiliki ilmu
kedigdayaan yang hebat. Juga dalam hati Pasirian diam2 terkejut. Saat itu ia menyadari
bahwa kemenangan yang direbutnya tadi adalah berkat berhasilnya
sebuah siasat yang diumpankan kepada lawan. Jelas untuk
memenangkan pertempuran itu, dia harus menggunakan siasat
lagi. Tetapi keadaan saat itu, beda dengan tadi. Nararya melakukan
serangan yang menggebu- gebu bagaikan arus sungai yang
mengalir tiada berkeputusan. Hal itu benar2 tak memberi
kesempatan kepadanya untuk melakukan suatu siasat.
Pasirian terpaksa harus mengimbangi. Dia harus bergerak cepat
apabila tak menghendaki tinju lawan akan singgah ditubuhnya.
Namun setelah berlangsung setengah jam tanpa berhenti, dia
merasa mulai lelah. Memang untuk bergerak cepat, mencurahkan
perhatian dan menegangkan uratsyaraf selama setengah jam,
bukan suatu pekerjaan yang ringan. Kepala dan tubuh mulai
bersimbah peluh. Memang Nararya menggunakan siasat untuk memeras tenaga
lawan. Dia tak mau terburu nafsu lagi walaupun beberapa kali ia
melihat peluang baik. Ia menyadari bahwa lawan memang digdaya.
Rupanya Pasirian menyadari akan siasat yang dilakukan Nararya.
Lawan lebih muda, tenaga dan napasnya lebih kuat. Apabila dia
menuruti siasat lawan, tentulah akhirnya ia harus menderita
kekalahan. Jika hendak merebut kemenangan dia harus
mempercepat pertempuran. Adapun kesempatan untuk melaksanakan keputusannya itu, tidak harus ditunggu melainkan
harus ditimbulkan. Hal itu sesuai dengan perintahnya kepada
anakbuah di gunung Butak dahulu "Jika ingin melaksanakan apa
yang kita inginkan, kita harus bergerak. Jangan menunggu
kesempatan itu tiba melainkan harus mencari dan bahkan bila
perlu menimbulkan kesempatan" katanya.
Kini dia menghadapi sesuatu seperti yang pernah ia katakan
kepada anakbuahnya. Sebagai seorang yang mengajarkan, dia
harus lebih dapat melaksanakannya.
Dalam kesempatan menghindari sebuah pukulan, sebenarnya
dia dapat mengirim serangan balasan. Tetapi sengaja ia bergerak
lamban untuk memancing serangan lawan.
Nararya tahu akan peluang itu. Diapun sudah memperhitungkan
bahwa pertempuran yang berlangsung cukup lama dan melelahkan
itu tentu sudah mengurangi tenaga dan napas lawan. Ia menduga
bahwa lawan tentu sengaja melakukan siasat pula. Maka kali ini dia
hendak melakukan serangan ganda. Yang satu hanya suatu gerak
tipu untuk mengetahui adakah peluang itu benar-benar
dikarenakan lawan sudah kehabisan tenaga ataukah hanya suatu
siasat belaka. Jika memang karena lawan kehabisan napas, maka
iapun akan mengisi gerak tipu itu dengan serangan yang sungguh.
Tetapi apabila hanya daya tipu maka diapun sudah menjagai
dengan sebuah gerak yang lain.
Perhitungan Nararya memang tepat. Pada saat tinjunya
menyusup diantara kedua tangan lawan yang terbuka dan
langsung menuju ke dada, tiba2 kedua tangan Pasirian mengacip,
hendak mengunci. Pada saat itu Nararyapun sudah bersiap.
Sesaat lawan bergerak, diapun segera menyerempaki dengan
gerak tangan kiri menerpa bahu orang, krek ....
Pasirian tak menduga bahwa lawan akan bergerak sedemikian
cepat. Walaupun ia telah menyentuh tangan kanan lawan, tetapi
gerak penguncian yang hendak dilakukannya itu berantakan
karena bahunya terasa sakit sekali sehingga lunglai. Dan sebelum
ia sempat menarik tangannya, Nararyapun sudah menebas bahu
lawan yang sebelah lagi. Kedua belah bahu ditebang oleh tepi telapak tangan Nararya,
sesaat kedua tangan Pasirian lunglai tak bertenaga. Apabila
Nararya menyusuli pula dengan sebuah pukulan ke dada atau
tendangan ke perut, Pasirian tentu akan terpelanting rubuh.
Pasirian menyadari akan hal itu. Ia terkejut dan siap hendak
loncat kebelakang tetapi ia terkesiap ketika melihat Nararya hanya
memandangnya dengan tersenyum "Silahkan berdiri tegak, raden
Pasirian" seru pemuda itu.
Pasirian terpukau akan sikap lawan.
"Mengapa engkau tak menyusuli pula dengan sebuah pukulan ?"
serunya. "Ah, tidak" "Bukankah engkau mengetahui akan kesempatan itu" "
"Ya" "Dan engkau mampu melakukannya, bukan?"
"Benar" "Mengapa lak engkau lakukan" "
"Mengapa harus kulakukan" Bukankah tidak ksatrya untuk
menyerang lawan yang sudah terdesak?"
Pasirian tersipu-sipu dalam hati. Apa yang direncanakan, tak
terlaksana. Dia tak sempat untuk membuktikan lagi apa yang
dilihatnya ketika ubun2 kepala Nararya memancar asap berbentuk
bunga mekar. Tetapi sikap Nararya itu telah menyentuh hatinya.
Bahwa yang dihadapinya itu memang seorang pemuda yang
memiliki peribadi menonjol dan sifat ksatrya.
Tiba2 Pasirian tersentak kaget manakala dia teringat akan
pemunculan aneh pada waktu ia melakukan semedhi tapabrata
dalam kuil. Antara sadar dan tak sadar, pada tengah malam yang
sunyi senyap, ia seperti melihat seekor burung garuda terbang
melayang dan turun dihadapannya. Kuatir kalau burung itu akan
menyerangnya, diapun mendahului menghantam. Tetapi burung
itu menerjang dan Pasirianpun rubuh terjerembab.
"Pasirian, jika aku mau, dapatlah kuhancurkan nyawamu. Tetapi
kali ini engkau kuampuni. Hanya engkau harus ingat, entah esok
entah lusa, akan datang seorang ksatrya muda kemari. Engkau
harus tunduk kepadanya. Dia adalah junjunganku ... "
"Raden Pasirian" tiba2 Nararya menegur sehingga Pasirian
gelagapan dan buyarlah lamunannya "apakah engkau sudah
bersiap pula untuk melanjutkan pertempuran" "
"Ya, tentu" karena tak sempat menimang, tanpa disadari
Pasirianpun serentak menjawab "mari kita memakai senjata" dan
diapun terus mengeluarkan senjatanya, selempeng besi kuning
mirip gada. Nararya terkejut. Dia tak membekal senjata apa2.
"Raden, pakailah pedangku ini" tiba2 Nambi lari memberikan
senjata. Sebuah pedang yang agak suram matanya.
Sebenarnya Nararya merasa enggan untuk memakai senjata
karena pertempuran dengan memakai senjata, berat sekali
akibatnya. Namun iapun menyadari bahwa senjata besi kuning dari
Pasirian itu bukan senjata biasa melainkan sebuah senjata pusaka.
Berbahaya apabila dia menghadapi dengan tangan kosong.
Akhirnya setelah merenung, ia menemukan suatu keputusan.
Diterimanya angsuran pedang Nambi, kemudian dia tegak bersiap
dihadapan Pasirian. "Adakah raden benar2 hendak menyelesaikan pertempuran ini
dengan senjata?" tegurnya.
"Apakah engkau kira aku sedang bermain-main seperti anak
kecil" " "O, raden menghendaki jiwaku?"
"Aku harus bertanggung jawab atas rintihan ratusan jiwa
anakbuah gunung Butak yang telah melayang itu. Sebenarnya
masih ringan apabila engkau hanya mengganti dengan sebuah
jiwamu " "Jika demikian kehendak raden, akupun hanya menurut perintah
saja untuk mengiringkan raden"
Besi kuning yang dimainkan Pasirian itu segera menimbulkan
lingkaran sinar kuning yang bergulung-gulung bagai angin prahara.
Nararya agak tergetar hatinya. Namun cepat ia menyadari apa
yang harus ia lakukan. Pada waktu menerima ajaran ilmu
kanuragan dari gurunya, resi Sinamaya dengan tandas memberi
pesan. Bahwa segala ilmu dan senjata bahkan pusaka sekalipun,
hanyalah sekedar sarana dan alat pelengkap. Tetapi yang penting
adalah diri manusia itu sendiri. Tabah, tenang dan cepat dapat
menyesuaikan diri pada setiap perobahan. Gentar, merupakan
pantangan besar. Karena rasa gentar itu akan meluapkan rasa
takut dan takut akan membuyarkan ketenangan, mengacaukan
pikiran sehingga hilanglah segala ilmu yang dimilikinya.
Nararyapun segera mengendapkan luap rasa gentar kemudian
menghapusnya. Dia harus menghadapi lawan dengan ketabahan
dan ketenangan. Setelah memiliki ketenangan mulailah dia dapat
meneropong gerak permainan pedang lawan. Betapapun cepat
dan dahsyat permainan pedang Pasirian namun tak lepas dari tata
permainan ilmupedang yang disebut jurus2 gerak. Setelah
mengetahui gerak sambaran pedang lawan, mulailah ia dapat
menyesuaikan diri untuk menghadapi.
Demikian pertempuran itu berjalan dalam waktu yang cepat dan
jurus2 yang dahsyat. Berulang kali mereka harus adu senjata.
Namun keduanya tak sempat meninjau bagaimana tenaga lawan,
tak sempat pula memeriksa bagaimana senjata masing2 setiap
habis beradu. Karena setiap benturan tentu segera disusul dengan
tusukan atau sabatan berikutnya.
Mendapat perlawanan yang gigih dari Nararya, Pasirian makin
penasaran. Besi kuning itu bukan sembarang besi tetapi sebuah
besi yang bertuah. Jika teringat akan perjalanan hidupnya sejak
ayahnya dibunuh, Pasirian merasa sedih sekali. Ia dilarikan oleh
seorang pengawal ayahnya, dikejar-kejar oleh prajurit2 Singasari,
kemudian ditolong oleh seorang pertapa tua. Kemudian dia ikut
pada pertapa itu sebagai murid. Pertapa tua itu menurunkan ilmu
kesaktian kepadanya. Tetapi belum sempurna semua ilmu
diterimanya, pertapa itu karena usianya yang amat lanjut, sudah
keburu meninggal dunia. Pasirian terpaksa turun gunung mengembara. Banyak sekali
penderitaan yang dialaminya sampai pada suatu hari ia nekad
bertapa. Ia merasa seperti mendapat wangsit untuk menuju ke
gunung Butak. Di puncak gunung, dia diamanatkan supaya
mencari sebuah arca yang memegang gada. Gada itu supaya di
pecah dan didalamnya akan terdapat sebuah pusaka.
Pasirian melakukan amanat dari wangsit yang diterimanya itu.
Tetapi sampai beberapa bulan, dia tak berhasil menemukan
barang sebuah arcapun juga. Selama berada di puncak gunung
Butak dia tinggal di sebuah gua yang berhadapan dengan sebuah
air-terjun. Curahan air-terjun itu ditampung dalam sebuah telaga
kecil yang penuh batu. Pada suatu hari karena putus asa, dia sudah mengambil
keputusan untuk turun gunung. Mungkin wangsit yang diterimanya
itu bukan wangsit sesungguhnya.
Pada malam harinya, seperti biasa tiap malam, ia melakukan
semedhi, duduk diatas sebuah batu besar menghadap kearah air-
terjun. Malam kelam, bulan tak muncul, bintang pun jarang. Sunyi


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyap diseluruh penjuru. Tiba2 terdengar guruh menggelegar di
angkasa. Rupanya akan hujan. Karena sudah cukup lama
bersemedhi, iapun membuka mata dan akan menyudahi
semedhinya. Yang tampak dibadapannya adalah permukaan telaga
yang bening airnya. Dalam cuaca malam yang gelap, telaga itu
tampak makin nyata. Tanpa maksud tertentu, ia menyusurkan
pandang mata keseluruh tepi telaga, mengikuti lekuk2 yang penuh
berkeluk- keluk itu. Sesaat tiba pada ujung tepi yang terakhir, dia
terkesiap. Dalam pandangannya, garis yang dibentuk oleh tepi telaga itu
merupakan bentuk seperti sebuah arca. Segera ia merentang mata
dan mencurah perhatian. Dan makin jelas pula bahwa bentuk
telaga itu memang menyerupai sebuah arca. Serentak ia
mencurahkan pandang kearah bagian tangan. Seketika dia
menjerit. Dia menemukan gambaran bentuk tangan dan pada
bagian itu memang merupakan suatu lingkaran bentuk sebuah
gada. Setelah menunggu dengan perasaan tak sabar, akhirnya
pagipun tiba. Langsung dia turun menuju ke-bagian tangan dari
bentuk arca itu. Dia tak mendapatkan apa2 kecuali hanya batu
terbenam air. Setelah merenung sejenak akhirnya ia mengangkat
batu2 yang berada di dalam air. Ketika mengangkat sebuah batu
yang paling besar, dia mendapatkan dibawah batu itu terdapat
kutungan arca, kutungan bagian tangan. Diambilnya tangan arca
batu itu. Setelah dihancurkannya ternyata didalamnya berisi
sebatang besi kuning. Pasirian girang tiada terperikan. Untuk
mencoba kesaktian besi kuning itu, dihantamkannya pada
segunduk batu. Batupun hancur berkeping-keping.
Sejak itu dia mulai mengumpulkan anakbuah di gunung Butak
sehingga setelah dipandang cukup kuat, dia mulai mengadakan
pengacauan. Dia tahu perasaan akuwu dan rakyat Daha terhadap
Singasari yang diperintah baginda Kertanagara. Ia mengadakan
rencana untuk memperuncing hubungan kedua kerajaan itu.
Apabila mereka berperang maka dialah yang akan mengail di air
keruh. Demikian sekelumit riwayat Pasirian.
Besi kuning telah memberi bukti sebagai senjata yang amat
ampuh. Beberapa anakbuah gunung Butak semula berasal dari
para gerombolan, kepala penyamun atau penjahat yang
termasyhur kesaktiannya. Tetapi Pasirian dapat menundukkan
mereka berkat besi kuning yang ampuh itu. Senjata itu memiliki
daya kesaktian melumpuhkan tenaga lawan.
Demikian sekelumit sejarah besi kuning yang dimiliki Pasirian itu.
Tiba2 dia mendapat kesempatan. Besi kuning segera diayunkan
menghantam lambung. Nararya terkejut dan menangkis dengan
pedang tetapi agak terlambat. Walaupun dapat menjaga tulang
rusuknya tak sampai hancur, namun ujung besi kuning sempat
pula memukul pinggang Nararya. Tidak berapa keras hanya
menyentuh saja. Pasirian terkejut ketika Nararya tak kurang suatu apa dan masih
dapat melanjutkan serangan. Selama ini jangankan terkena
hantaman, sedang tersentuh saja lawan pasti gemetar dan lumpuh
teiaganya. Tetapi mengapa Nararya tak kurang suatu apa"
".... ingat, dia adalah junjunganku ...." seketika terngiang pula
suara burung garuda dalam mimpinya itu. Dan iapun dapat
mengingat kelanjutan dari kata2 burung garuda itu "berani
mengganggunya, nyawamu pasti kucabut ...."
Pasirian terkesiap. Tiga buah hal telah menghantui benaknya.
Ubun2 kepala Nararya memancarkan asap yang berbentuk bunga
mekar, dia tak mempan disabat besi kuning dan mimpi teatang
burung garuda. Pasirian tercengkam dalam longong yang dalam.
Plak ... tiba2 kaki Nararya berayun tepat mengenai siku lengan
Pasirian sehingga besi kuning terlempar jatuh.
Pasirian gelagapan namun terlambat. Ia mengira kalau lawan
tentu akan menyerangnya. Tetapi diluar dugaan Nararya hentikan
gerakannya, memandang kepadanya.
"Silahkan ambil" seru pemuda itu. Walaupun tahu bahwa
kekalahannya itu adalah karena dia sedang terlongong memikirkan
beberapa hal, namun Pasirian terkesan akan sikap Nararya.
"Apakah engkau kira aku kalah?" seru Pasirian.
"Tidak" Nararya gelengkan kepala "tetapi mengapa engkau diam
saja" " Pasirian menghela napas "Siapakah sesungguhnya engkau ini"
Benarkah engkau keturunan dari Wisnuwardana raja Singasari itu"
" Sebenarnya dalam hati Nararya tidak membenci Pasirian.
Gerakan Pasirian menghimpun anakbuah dan hendak memberontak adalah demi hendak melakukan balas dendam atas
kematian ayahnya yang dibunuh baginda Wisnuwardana. Bagi
kerajaan Singasari, Pasirian memang seorang pemberontak yang
harus dihancurkan. Tetapi bagi keluarganya, bagi laku seorang
Kisah Pedang Di Sungai Es 2 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 18
^