Pencarian

Dendam Empu Bharada 15

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 15


seper orang dahaga yang mendapat air, seper orang berjalan di tengah malam gelap yang
mendapat pelita" "Jangan cepat2 bergirang dan jangan pula cepat2 mendambakan sesuatu. Agar engkau jangan
terlena dalam imbauan kata2 atau pengaruh. Karena bukan wejangan atau siapa yang memberi
wejangan, dewa sekalipun, yang akan menentukan hasil atau dak perjuanganmu itu. Tetapi
kesemuanya itu hanya tergantung pada dirimu sendiri. Wejangan atau guru maupun orang atau
dewa yang engkau dambakan itu, hanya sanggup memberi petunjuk. Ibarat hanya memberi
penyuluh. Sedang untuk melintasi perjalanan malam yang kelam mencapai tempat yang engkau
tuju itu, semua tergantung pada langkah dan kesungguhan serta kewaspadaanmu sendiri.
Dapatkah engkau menghayati maksud ucapanku ini, kulup ?"
"Akan hamba simpan dalam kalbu dan mendarahkannya dalam jiwa raga hamba, eyang prabu."
"Ingat, kulup, hanya engkau sendiri yang mampu menjadikan engkau ini engkau atau engkau ini
bukan engkau. Nah, apakah engkau sudah cukup dengan pertanyaanmu ?"
"Jiwa dan ha hamba sudah teramat kenyang setelah mendengar wejangan paduka," kata
Nararya "namun pikiran hamba masih memercik keinginan untuk mengetahui sesuatu. Dapatkah
eyang prabu berkenan menjernihkan bintik2 yang menebar dalam pikiran hamba ini?"
"Katakanlah" "Pertama, hamba mohon petunjuk," kata Nararya "apakah dasarnya maka eyang prabu berkenan
memberi lima bu r buah maja, yang ga bu r untuk eyang Mahisa Campaka dan yang dua bu r
untuk eyang Rangga Wuni. Maksud hamba, sekalipun eyang Mahisa Campaka hanya mendapat
sebu r yang manis, tetapi eyang Mahisa Campaka tetap memperoleh. Berar eyang Mahisa
Campaka punya harapan. Sedangkan eyang Rangga Wuni memperoleh manis semua. Jelas bahwa
antara eyang Mahisa Campaka dan eyang Rangga Wuni itu sudah mempunyai garis akan
mendapatkan tahta. Apakah hal itu memang kodrat yang telah digariskan dewata Agung ataukah
disebabkan eyang prabu memang merelakan demikian?"
"Telah kukatakan bahwa aku tak meni k-beratkan pada keturunan dan menyerahkan
kesemuanya itu pada kehendak Hyang Widdhi"
"Tetapi menurut percakapan gaib antara eyang Narasingamur dengan hamba, eyang prabu
telah terikat janji dengan eyang ratu Ken Dedes ...."
"Hm, benar," sahut sang Amurwabhumi "memang demikianlah peris wa itu terjadi ke ka aku
meminang Ken Dedes. Kala itu aku masih muda, penuai dendam berahi kepadanya. Janganlah
hanya soal tahta, bahkan apabila dia menghendaki lebih dari itu misalnya busana dan perhiasan
bidadari, pun tentu akan kulaksanakan juga. Kelak engkau tentu akan merasakan betapa rasa
dendam berahi seorang pria itu terhadap wanita yang menjadi idamannya. Kedua, Ken Dedes
adalah seorang puteri yang memiliki sifat seorang nariswari. Barangsiapa yang memperisterikannya,
kelak tentu akan menjadi raja-diraja ...."
"Eyang prabu .... " tiba2 Nararya berteriak kaget.
"Mengapa kulup?"
"Adakah eyang prabu berhasil dinobatkan sebagai raja Singasari itu berkat dari kejayaan diri
eyang puteri Ken Dedes?"
"Tidak, kulup " rupanya arwah sang Amurwabhumi menyadari apa makna pertanyaan Nararya
"ketahuilah, kulup. Semua peristiwa itu hanyalah merupakan akibat dari rangkaian kesatuan. Hawa,
air, api, surya, rembulan dan seluruh unsur merupakan rangkaian kesatuan dari kehidupan jagat
ini. Demikian dengan peris wa yang terjadi pada diriku. Aku diserahi kepercayaan para dewa
tentulah dewa juga sudah mengatur segala sesuatunya. Ken Dedes menjadi isteriku dan kemudian
aku berhasil mendirikan kerajaan Singasari, tak lain merupakan suatu rangkaian daripada kesatuan
kodrat yang telah digariskan dewata. Dapatkah engkau menghayati ucapanku ini, kulup"
"Apapun yang paduka sabdakan selain menjadi penyuluh yang menerangi pikiran hamba.
Tetapi masih ada sepercik kabut yang masih menutup bumi hati hamba. Jika demikian halnya,
mengapa paduka rela meluluskan permintaan eyang puteri Ken Dedes menyjlagkut tahta
kerajaan untuk anak cucu paduka ?"
"Engkau maksudkan perjanjianku dengan eyangmu puteri Ken Dedes itu?"
"Demikianlah, eyang prabu"
"Ha, ha " sang Amurwabhumi tertawa renyah "aku beruntung mendengar pembicaraan dalam
musyawarah para dewa di gunung Lejar itu, sebenarnya termasuk suatu pantangan. Tetapi
kebetulan, aku telah berkenan menjadi pilihan para dewa, sehingga aku terhindar dari siku-
denda. Sekalipun begitu, apa yang kudengar dan kuingat dalam hati mengenai pembicaraanku
dengan para dewa itu, seturun dari gunung, telah hilang lenyap tak berbekas dalam ingatanku.
Aku tak ingat suatu apa lagi. Dewa telah memancarkan kesaktian untuk menghapus segula
ingatanku tentang peristiwa di gunung Lejar itu. Itulah sebabnya, kulup, maka aku meluluskan
permintaan Ken Dedes bahwa yang akan menggantikan tahta kerajaan Singasari, apabila kelak
aku wafat, adalah putera Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Karena sudah berjanji maka
sudah selayaknya apabila berturut-turut dua kali anak dan cucu dari Anusapati yang menduduki
tahta Singasari" "Ingat, kulup, jangan sembarangan engkau menjatuhkan janji karena se ap janji tentu akan
disaksikan oleh dewa. Demikian pula dengan janjiku kepada Ken Dedes. Dewa telah menjadi saksi
sehingga harus demikianlah perputaran sejarah"
"Eyang prabu ...."
"Tak usah engkau tanyakan aku sudah tahu. Seper engkau akan tahu dan mengalami, bahwa
se ap anak muda tentu berdarah panas, bercita-cita nggi dan keras ha . Kesemua pembawaan
masa muda itu akan menumpah dan meletus apabila dia dimabuk rindu kepayang deaigan wanita
can k. Ada dua hal yang mendorong aku melupakan segala apa dan mudah untuk menurunkan
janji. Pertama-tama cita-citaku untuk membangun negara Singasari dari kekuasaan Tunggul
Ametung yang tak mampu membangun negara, serta menolong derita kaum pandita brahmana
dari kecongkakan, prabu Kertajaya yang menganggap dirinya lebih nggi dari kasta brahmana dan
memaksa para pandita tunduk kepadanya. Dan yang kedua, keinginanku sebagai seorang pria yang
harus mempersun ng seorang wanita yang disebut nariswari. Wanita yang bukan saja amat indah
rupawan pun merupakan mus ka dari wanita yang ada keduanya di nuswantara ini. Demikian
unsur2 yang mendorong aku terpaksa mengabulkan permintaan Ken Dedes. Jelaskah engkau,
kulup?" Nararya mengangguk. "Apakah masih ada hal lain lagi yang hendak engkau tanyakan?"
"Masih eyang prabu dan yang terakhir"
"Katakan" Nararya lalu menceritakan tentang peris wa kedua orang, Tohpa putera dari panji Tohjaya
dengan Bantaran cicit dari Kebo Ijo, yang bersekutu hendak menggali makam baginda sang
Amurwabhumi, karena akan mencari keris bertuah buatan empu Gandring.
"Eyang prabu, hal itulah yang hendak hamba mohonkan ke hadapan paduka tentang
penjelasannya" "O " desuh sang Amurwabhumi "mengapa engkau ingin tahu tentang keris itu ?"
"Hamba teringat akan cerita rama hamba tentang keris itu. Bahwa empu Gandring telah
mempersenyawakan kehadiran keris itu di dunia dengan kutuk yang mengerikan. Kutuk yang
tertuju kepada paduka dan anak cucu paduka"
"O, karena engkau termasuk keturunanku maka engkau khawatir akan kutuk itu?"
"Demikianlah eyang prabu"
"Engkau salah, kulup," seru sang Amurwabhumi "kutuk empu Gandring itu hanya berlaku
pada manusia yang telah berbuat dosa kejahatan. Tunggul Ametung mati dengan keris itu
karena dia melarikan Ken Dedes dan dikutuk empu Parwa. Kebo Ijo mati dengan keris itu
karena dia membunuh Tunggul Ametung. Dan akupun mati oleh keris itu karena telah membunuh
Kebo Ijo. Pengalasan orang Batil mati ditikam keris itu karena membunuh sang Amurwabhumi.
Anusapatipun juga harus memberikan jiwanya kepada keris itu karena telah membunuh orang
Batil. Enam jiwa telah mati menjadi korban keris itu"
"Apakah tidak lima orang jumlahnya, eyang prabu ?"
"Tidak" sahut sang Amurwabhumi, "enam jiwa. Mereka berlima dan ditambah yang pertama
menjadi korban yani pembuatnya sendiri."
"Empu Gandring ?"
"Ya" "Jika demikian bukankah masih kurang seorang jiwa yang harus menjadi korban lagi ?"
"Tidak!" sahut sang Amurwabhumi "sudah cukup"
"Sudah cukup" Apakah hanya enam orang itu?"
"Tujuh" Nararya terbeliak. Kemudian ia menghaturkan sembah dan memohon penjelasan.
"Korban yang ketujuh adalah Tohjaya"
"Tetapi eyang prabu," kata Nararya "menurut cerita rama hamba, eyang Tohjaya itu wafat karena
menderita luka tertusuk tombak, bukan karena keris empu Gandring itu"i
"Hm" desuh sang Amurwabhumi "Tohjaya anak yang kuperoleh dari Ken Umang itu memang
berwatak berangasan dan pemberang. Dia pun memiliki rasa curiga yang besar terhadap orang.
Adalah karena wataknya itu maka sampai Rangga Wuni dan Mahisa Campaka bersekutu untuk
memberontak kepadanya"
Nararya mengangguk. "Memang benar dalam pertempuran dengan Rangga Wuni dan Mahisa Campaka yang membawa
pasukan orang Sinelir dan orang Rajasa, Tohjaya telah memderita luka dan terpaksa lolos dari
keraton. Di tengah jalan, di desa Katang Lumbang, karena banyak mengeluarkan darah, jiwanya tak
tertolong lagi. Tetapi pada de k-de k terakhir rupanya ia mempunyai kesadaran yang nggi.
Bahwa selama keris empu Gandring itu masih muncul di dunia, serta sebelum kutuk empu
Gandring itu lunas, tentulah keris keramat itu akan selalu mendatangkan bencana pada keturunan
baginda Rajasa sang Amurwabhumi. Tohjaya merasa bahwa dirinya memang tak direstui dewata
untuk menggan kan tahta kerajaan. Tetapi dia tak putus asa dan berharap agar anak cucu
keturunan ayahnya, sang Amurwabhumi, tanpa membedakan dari keturunan lain ibu dapat
menjadi raja Singasari"
"Keinsyafan itulah" kata sang Amurwabhumi pula "yang menggugah jiwanya. Dalam saat2 yang
terakhir, dia telah melakukan suatu ndakan yang baik. Ia berpesan kepada pengiringnya supaya
apabila dia sampai meninggal, maka keris empu Gandring yang ikut dibawanya itu, supaya dibuang
ke bengawan Brantas. Juga kepada isterinya ia meninggalkan pesan demikian. Apabila mereka tak
melaksanakan pesan itu, akan mendapat kutuk ma diujung keris itu. Setelah meninggalkan pesan,
ia mencabut keris itu dan menusuk dirinya. Dengan demikian keris itu berar telah memperoleh
korbannya yang ke tujuh. Karena keadaannya sudah gawat, sekalipun tanpa disertai tusukan keris
empu Gandring, dia tetap akan meninggal. Tindakan Tohjaya itu hanya sekedar menolak bala dari
kutuk empu Gandring yang amat bertuah"
"O" Nararya mendesuh panjang dan tergetar rasa kejut.
"Dengan demikian kutuk empu Gandring harus dianggap himpas"
"Jadi keris itu telah dilabuh ke bengawan, eyang prabu?"
"Hm" "Tetapi mengapa Tohpati dan Bantaran berdua hendak mencari keris itu di makam ini?"
"Soal keris empu Gandring itu memang sangat dirahasiakan sekali. Dan setelah melenyapkannya
maka sengaja disiarkan desas desus bahwa keris itu berada di makam ini agar menyesatkan
perhatian orang" "Terima kasih eyang prabu," Nararya menghaturkan sembah "rasanya sudah cukup hal2 yang
menghuni dalam ha pikiran hamba selama ini. Sekarang apabila paduka berkenan, sudilah kiranya
paduka melimpahkan petunjuk kepada hamba"
"Kulup " kata sang Amurwabhumi "rasanya sudah cukup lama aku turun ke arcapada. Aku harus
lekas kembali. Sebelum itu, aku hendak memberimu beberapa hal"
Serta merta Nararya menghaturkan sembah sebagai tanda terima kasih dan mengindahkan.
"Pertama, sejak saat ini, jangan engkau memakai nama Nararya tetapi pakailah namamu yang
terakhir yani Wijaya. Yang berar jaya atas musuh-musuh, baik yang dari luar maupun dari dalam
batinmu" "Terima kasih eyang prabu " Nararya bersujut sembah "akan hamba laksanakan titah paduka"
"Kedua, ingat selalu dan laksanakan apa yang kukatakan kepadamu tadi semuanya"
"Akan hamba cantumkan dalam ha sanubari hamba dan laksanakan dalam amal perbuatan
hamba segala petunjuk dan wejangan eyang prabu"
"Ke ga, sebagai kenangan bahwa hanya engkau seorang dari sekian banyak anak cucu
keturunanku yang mampu dan berhasil mengarah cipta-semedhi untuk menghadap aku, maka akan
kuberikan mahkota diatas mustakamu ini kepadamu"
"Eyang prabu ... " Nararya menjerit.
Tetapi saat itu sang Amurwabhumi sudah membuka mahkotanya dan diangsurkan ke muka
Nararya "Terimalah"
Nararya terkejut. Sesaat ia meragu tetapi karena arwah sang Amurwabhumi itu memancarkan
kewibawaan yang menimbulkan ketaatan, Nararya atau yang sekarang telah bergan nama Wijaya,
mengangsurkan kedua tangan menerimanya.
"Wijaya, engkau ingat semua pesanku" " Wijaya mengiakan.
"Wijaya, aku harus kembali ke alam kelanggengan lagi. Nah, periksalah mahkota itu ... ."
Wijaya menunduk mengamati dengan cermat apa yang
dikatakan mahkota dari sang Amurwabhumi itu. Tetapi dia terkejut ketika mendapatkan bahwa
mahkota itu tak lain hanya serangkai bunga putih. Ia heran. Adakah harus mengenakannya di
kepala. "Eyang .... " ia mengangkat rnuka memandang kedepan. Tetapi alangkah kejutnya ketika
gumpalan awan putih yang menyerupai bentuk sang Amurwabhumi tadi sudah lenyap.
Sebenarnya ia hendak bertanya keterangan tentang mahkota itu. Karena sang Amurwabhumi
sudah lenyap, ia menunduk pula untuk memeriksa mahkota itu pula. "Ah, memang benar.
Mahkota itu tak lain hanya seuntai bunga putih yang dirangkai dalam suatu lingkar yang
menyerupai, mahkota. Karena eyang prabu telah memberikan kepadaku, mahkota ini walau
apapun wujutnya, harus kupakai." Pikirnya.
Ia segera mengangkat mahkota itu dengan kedua tangan dan pelahan-lahan dikenakannya
pada kepala. Sesaat mahkota itu melekat pada kepala, sekonyong-konyong Wijaya rasakan
kepalanya amat berat. Sedemikian rasa berat itu mencengkam kepalanya seperti gelang besi
yang menjepit "Uh .... " ia mendesuh dan terus rubuh.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Entah berapa lama, ke ka tersadar, Wijaya merasa seper berada dalam suatu tempat yang
aneh sekali. Ia merasa seper bergerak walaupun dia tak merasa bergerak. Bahkan gerak yang
dirasakan itu seperti orang berjalan pesat.
Memandang ke atas, ia tak melihat suatu apa. Hitam gelap. Berpaling ke kanan, kiri dan
memandang ke muka, gelap semua.
Ada suatu perbedaan antara saat itu dengan tadi. Tadi dia tak merasa, tak melihat dan tak
mengetahui apa2. Entah dimana dan bagaimana. Seluruhnya merupakan kekosongan yang
suwung. Kemudian terdengar letusan, asap bertebaran, bergulung gulung mengumpul pula,
kemudian berbentuk seperti sesosok tubuh manusia. Gumpalan asap putih yang berbentuk
manusia itu mengaku sebagai baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi yang telah lama wafat.
Kemudian terjadi percakapan dengan gumpalan asap sang Amurwabhumi. Lama sekali. Terakhir
sang Amurwabhumi memberinya sebuah mahkota lalu dipakainya dan dia terus pingsan.
"Ah " ba2 Wijaya terbeliak "kini aku mempunyai daya ingatan lagi. Apakah aku ini masih hidup"
Ah, mungkin sudah berada di alam lain barangkali."
Orang yang baru mengalami peris wa seper Wijaya memang sukar untuk membedakan antara
kenyataan dan kehampaan, ada dan tiada, hidup dan mati.
Tiba2 ia mendapat akal. Ia menggigit bibirnya keras2 "Uh" ia mendesis kesakitan dan serentak
timbullah kesadaran pikirannya "jelas aku masih hidup. Tak mungkin orang mati merasa sakit"
Dengan bekal perasaan itu, ia berusaha untuk menggeliat bangun. Uh .... ba2 ia merasa di
sebelah kanan dan kiri terhimpit oleh benda yang lunak, sepanjang tubuhnya. Cepat ia berpaling.
"Hai ....!" menjeritlah ia sekeras-kerasnya ke ka tepat disebelah mukanya, hampir berhadapan
muka dengan muka, sebuah muka manusia lelaki setengah tua, berkumis lebat, kedua mata
terkancing rapat. "Siapa engkau, ki sanak " serunya setelah ketegangan ha nya mereda. Tetapi orang itu diam dan
tak membuka mata. "Mengapa aku dur bersama seorang lelaki ini" " pikir Wijaya. Kemudian ia menggeliat hendak
bangun, Tetapi "uh ... . " kembali ia mendesuh kejut ke ka tangan kirinya terasa melanggar sesosok
tubuh manusia. Cepat ia berpaling pula "uh ... . " ia memekik karena di sebelah kiri, seper pula di
sebelah kanan tadi, mukanya tengah berhadapan dengan muka seseorang. Kali ini seorang lelaki
tua. "Dimanakah aku ini" Siapakah mereka?" bertanyalah Wijaya kepada dirinya. Kemudian ia
menumpahkan pertanyaan itu kepada lelaki tua "paman siapa" "
Tetapi lelaki tua itu juga diam dan tetap pejamkan mata. Dan kali ini hidung Wijaya terbaur bau
yang busuk, bau seperti mayat.
"Apakah mereka orang ma " " keheranan Wijaya memuncak dan merangsang tangannya untuk
menghimpaskan himpitan kedua sosok tubuh di sebelah kanan kirinya. Kemudian ia menyentakkan
diri untuk bangun, duk . . . kepalanya terantuk benda keras yang menyerupai atap. Karena tempat
gelap ia tak mengetahui bahwa diatas, terpisah hanya beberapa kilan, terdapat suatu perintang
yang berbentuk benda keras. Bukan karena sakit yang dideritanya karena kepala membentur benda
keras itu melainkan karena rasa kejut yang tak terhinggalah yang melontarkan dirinya jatuh rebah
kembali. Saat itu terasa pula guncangan yang keras sehingga tubuhnya ikut tersentak-sentak bagai
dikocok. Kedua lelaki yang dur di sebelah kanan dan kirinya tadipun ikut tergentak dan
menumpang tindih tubuhnya
"Uh, . . " serentak berdiri bulu kuduk Wijaya ke ka merasa tubuh kedua lelaki itu dingin dan
kaku. Cepat ia meronta dan menyiak mereka.
"Tempat apakah ini?" makin keras keinginan tahunya akan keadaan diri dan tempat ia berada.
"Setan engkau, Bubak!" tiba-tiba terdengar suara orang memaki.
Wijaya terkejut. Jelas itu suara manusia. Dan diperha kan pula bahwa suara itu berasal dari
sebelah belakang. Bahkan saat itu ia merasa gerak yang membawa dirinya itu berhenti.
Terdengar suara orang mendesuh dan benda berat yang bergerodakan. Kembali Wijaya rasakan
tubuhnya seperti dibanting.
"Kenapa tanpa bilang engkau lepaskan saja pikulanmu ?" terdengar suara seseorang menegur
keras. "Keparat " seru seorang dari belakang tadi, "mengapa engkau hendak mencelakai aku ?"
"Mencelakai ?" "Sudah tahu tanah berlubang, mengapa engkau tak memberi tahu sehingga aku terperosok,"
seru orang dari belakang tadi.
Diam sebentar. Kemudian orang di sebelah muka berseru lagi, "Siapa suruh engkau tak melihat
jalan ?" "Babi " orang yang di belakang itu makin marah, "engkau berani menyalahkan aku?"
"Habis siapa yang menjerumuskan kakimu ke dalam liang kalau bukan engkau sendiri?" sahut


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang di muka. "Engkau, jahanam!" teriak orang di sebelah belakang "jika engkau mau memberitahu, tentulah
kakiku tak sampai terkilir begini"
"Sukra" seru orang itu "jangan seenakmu sendiri saja menghambur makian. Apa pangkatmu
berani memperlakukan aku seperti seorang hamba sahayamu?"
"Bubak, sejak lama kuperha kan engkau memang mendendam kepadaku. Sebenarnya apabila
Krisak tidak sakit, aku tak mau menerima bantuanmu."
"Siapa sudi membantumu ?" sahut orang di sebelah muka, "ini adalah perintah ki bekel. Andai
tidak, akupun tak sudi bersama engkau."
"Hm, dengan begitu jelas sudah," kata orang di belakang yang disebut Sukra itu "bahwa engkau
memang sengaja hendak mencelakai aku."
"Sebenarnya aku sendiri juga tak tahu kalau di belakang tadi terdapat lubang karena saat ini
cuaca malam begini gelap. Tetapi percuma saja aku memberi alasan, karena engkau tentu tak
percaya," kata Bubak, "maka bagaimana kehendakmu sekarang, aku siap melayani!"
Sebenarnya Sukra hanya ingin menumpahkan kemarahannya. Andai Bubak diam, mungkin
diapun takkan menarik urusan itu lebih panjang lagi. Tetapi demi mendengar kata2 Bubak yang
bernada menantang, seketika meluaplah kemarahan Sukra.
"Hm, sekarang jelaslah sudah isi ha mu, Bubak. Baik, mumpung kita berada di tengah perjalanan
yang sunyi, marilah kita lampiaskan segala uneg2 yang terkandung dalam hati kita."
"Baik, Sukra " sambut Bubak.
Wijaya terkejut mendengar percakapan itu. Jelas itu suatu tantangan perkelahian. Ia
menduga-duga siapakah kedua orang itu. Mereka tentulah kawan tetapi mengapa tiba2
berkelahi. Yang satu menuduh kawannya memang sengaja membiarkan kawannya terperosok
dalam lubang. "Jika demikian mereka itu tentu sedang berjalan di sepanjang jalan. Dan jika demikian, mereka
tentu membawa aku dan kedua lelaki disampingku ini. Hm, menilik tempat yang gelap dengan
keping benda yang keras, mungkin aku berada dialam sebuah tandu tertutup " Wijaya mereka-reka
dugaan. Kemudian ia teringat lebih lanjut bahwa, dari percakapan tadi, kedua orang itu saling
mengungkat soal dendam. Dengan demikian dapatlah diduga bahwa mereka tentulah sekelompok
kawan yang bekerja dalam lapangan yang sama.
"Tetapi siapakah mereka itu " " akhirnya tiba Wijaya pada suatu titik untuk menarik kesimpulan.
Tiba2 pikirannya direnggut oleh suara getaran tanah dari tubuh yang berloncatan, disusul
dengan bunyi gedebak-gedebuk dari tinju yang mendarat ditubuh orang.
"Mampus engkau Bubak Picik ?"
Terdengar suara Sukra menghambur kemarahan. Rupanya dia berhasil menghunjamkan pukulan
ketubuh Bubak. Tetapi apakah bunyi berdepak yang sekeras itu " Bukankah itu bunyi sebuah tendangan yang
tepat mengenai sasarannya"
"Uh ... . " terdengar sebuah suara mendesuh menahan kesakitan dan kemudian kesiur tubuh
yang loncat menerjang. Ternyata perkelahian itu telah mencapai titik yang gawat. Sukra berhasil mendaratkan
tinjunya ke dada Bubak tetapi Bubak sempat melayangkan kakinya ke perut lawan. Karena tak
menduga Bubak masih mampu melakukan serangan balasan itu, apalagi jarak amat rapat,
Sukra termakan tendangan dan mengaduh, terseok-seok mundur sambil mendekap perut.
Rupanya Bubak tak memberi kesempatan lagi. Ia loncat menerjang sehingga Sukra terjerembab.
Bagai harimau kelaparan, Bubak menerkam lawan dan mencekik lehernya.
"Uh ... . ah .... " Sukra melupakan rasa Sakit pada perutnya. Ia berusaha untuk mengorak
tangan Sukra yang menjepit lehernya. Namun karena tenaganya lemas akibat tendangan tadi,
Sukra tak mampu menyiak tangan Bubak. Bahkan tangan Bubak yang mencekiknya sekeras
jepitan besi itu makin menyesakkan pernapasan dan makin melenyapkan daya kekuatan-annya.
Sukra mulai lemas dan dan makin lemah. Pelahan-Iahan ia terkulai. Hanya sepasang matanya
yang masih dapat memandang Bubak dengan pandang penuh dendam kebencian.
Wijaya terkejut. Ia memperhatikan bahwa perkelahian itu sudah berhenti tetapi sebagai gantinya
terdengar suara napas yang berat dan mulut yang tersekat-sekat. Ia terkejut. Jelas bahwa
perkelahian itu sedang mencapai
k yang berbahaya. Salah seorang kemungkinan besar tentu
Bubak, berhasil menerkam lawan dan mencekiknya.
"Berbahaya," pikirnya. Walaupun ia sendiri belum tahu keadaan dirinya, tetapi rasa sebagai
seorang ksatrya yang wajib memberi pertolongan, bangkit serempak. Pertolongan, bukan harus
membantu salah satu fihak karena ia belum jelas siapa mereka dan bagaimana peris wa yang
terjadi diantara mereka. Melainkan ia harus mencegah suatu pembunuhan.
Brakkk .... Tiba2 keping papan yang menutup sebuah pe terlempar ke udara, melayang jatuh beberapa
tombak, menimbulkan deburan debu dan guguran daun ke ka keping papan itu menghantam
tanah yang bertumbuh semak. Kemudian Wijayapun melen ng keluar. Selekas berdiri tegak segera
ia menyaksikan dua orang lelaki tengah bergumul. Yang seorang tertelentang di tanah sedang yang
seorang menindih dan tengah mencekik leher lawan.
Bubak terkejut ke ka mendengar suara menggerodak keras. Ke ka ia berpaling ba2 sesosok
tubuh sudah berdiri di belakangnya dan sebelum sempat mengetahui siapa orang itu, bahunyapun
sudah dicengkeram dan disentakkan ke belakang
"Uh ... " Bubak mendesuh kaget karena tak kuasa mempertahankan tubuhnya yang terlempar ke
belakang dan jatuh terguling-guling. Cepat ia melenting bangun "Keparat, siapa engkau!"
Wijaya tak sempat menolong orang yang masih rebah di tanah, ia berputar tubuh menghadapi
Bubak. Dipandangnya orang itu lekat2. Dalam kegelapan malam ia masih dapat melihat bahwa
orang yang disebut dengan nama Bubak itu mengenakan pakaian seorang prajurit.
"Siapa engkau! " bentak Bubak pula dengan suara makin keras, bahkan maju selangkah
menghampiri. "Aku orang dari dalam peti itu," seru Wijaya "bukankah engkau yang membawa peti itu ?"
"Engkau. . ." " Bubak terbelalak agak gemetar suaranya.
"Bukankah engkau yang membawa peti itu" " kali ini Wijaya yang mengulang tanya.
"Engkau . . . sudah mati .... mengapa hidup lagi ?"
Kini Wijaya mempunyai pegangan kuat. Bahwa memang Bubak dan kawannya tadi yang
membawa pe itu. Ia marah terhadap perbuatan orang itu. Namun pada lain kilas, ia menyadari
bahwa kemarahan hanya menimbulkan peris wa yang tak diinginkan. Yang pen ng ia ingin
mengetahui apa sebab kedua prajurit itu memasukkan kedalam pe atau tandu yang tertutup.
Apakah maksud mereka dan hendak dibawa kemanakah sebenarnya ia nanti.
"Benar," sahutnya dengan nada agak tenang "aku memang yang berada dalam pe tandu itu.
Aku belum mati" "O " desuh Bubak.
"Siapa engkau ini " " tanya Wijaya.
"Aku prajurit Bubak dari Singasari"
"Dari Singasari " " Wijaya terkesiap "mengapa engkau memasukkan aku kedalam peti tandu itu ?"
"Kami mendapat perintah untuk mencari mayat"
"Hah " " Wijaya makin terbeliak "mencari mayat" Siapa yang memberi perintah begitu?"
"Orang atasan kami, demang Srubung"
"Mengapa kalian disuruh mencari mayat ?"
"Titah itu dari istana"
"Dari istana Singasari?" Wijaya makin terkejut. Sesaat kemudian ia tenang kembali, "ki prajurit,
jawablah yang benar. Jangan bicara tak keruan"
"Siapa bicara tak keruan " sahut Bubak "siapa sudi mencari mayat kalau tak karena terpaksa
melakukan perintah" "Untuk apa " " Wijaya memperha kan bahwa sikap dan kata2 Bubak itu memang sungguh-
sungguh tampaknya. "Aku tak tahu. Perintah itu hanya untuk dijalankan bukan untuk diselidiki keterangannya"
"Hm " desuh Wijaya. Ia mendapat kesan bahwa Bubak itu seorang prajurit yang kasar "mengapa
engkau angkut diriku juga" Apakah aku ini sudah mati?"
"Ketika kami meneduh dari hujan di candi Kagenengan, kami melihat tubuhmu terkapar di
lantai candi. Kami kira engkau sudah mati karena berulang kali kami bangunkan engkau tetap
diam saja. Maka kami angkut dan masukkan kedalam peti"
"Dan siapa kedua orang yang berada-dalam peti. dengan aku itu " " seru Wijaya pula.
"Mereka orang mati yang kami ambil dari keluarganya"
"Orang ma " " teriak Wijaya terkejut sekali. Perasaan ngeri dan muak segera menguak ha nya
"jadi selama beberapa jam ini engkau campurkan diriku dengan majat?"
"Apakah harus kuberimu tempat lain apabila kukira engkau inipun juga sebuah mayat?" balas
Bubak dengan nada mengejek. Kini rasa kejut dan seram bahwa orang yang dikira sudah mati
tetapi dapat hidup lagi, mulai hilang. Karena jelas yang dihadapinya itu memang seorang
manusia yang masih hidup.
"Hm" "Jangan banyak cakap," bentak Bubak "kembalilah lagi kedalam peti itu"
"Hah " Apa katamu" " Wijaya terbelalak.
"Engkau sudah kuanggap mati"
"Ki sanak, jangan engkau kegila-gilaan begitu," kata W jaya. Walaupun nadanya tenang tetapi
jelas ketenangan yang berasal dari tekanan kemarahan sehingga nadanya menggelombangkan alun
getaran. "Siapa yang kegila-gilaan?"
"Engkau! Masakan aku masih hidup hendak engkau suruh masuk ke dalam pe dan dur
bersama mayat?" "Telah kukatakan bahwa engkau sudah kuanggap mati"
"Engkau gila! Aku manusia hidup"
"Itu anggapanmu, mungkin juga benar. Buk nya engkau dapat bicara dan berani membantah
perintahku. Tetapi bagiku, engkau sudah ma maka engkau harus masuk ke dalam pe itu lagi atau
terpaksa kumasukkan"
Saat itu Wijaya tak kuasa lagi menahan kemarahannya.. Berhadapan dengan seorang
macam Bubak rasanya sukar untuk bicara dengan damai.
"Jika aku menolak?"serunya.
"Engkau memang berhak menolak tetapi engkau tak mampu mempertahankan penolakanmu itu"
"Maksudmu" " .
"Akan kujidikan engkau sebuah mayat lalu kumasukkan lagi ke dalam peti itu"
"Engkau hendak membunuh aku?"
"Tidak " sahut Bubak "karena telah kukatakan engkau sudah kuanggap mati"
"Gila" teriak Wijaya "engkau seorang prajurit kerajaan Singasari. Seharusnya engkau wajib
melindungi rakyat. Bukan seperti ulahmu yang begitu gila. Masakan orang yang masih hidup
engkau anggap sudah mati dan harus menjadi mayat"
"Jangan banyak mulut!" bentak Bubak, "engkau mau masuk ke dalam peti atau harus kupaksa?"
Wijaya menyurut setengah langkah. Jelas sudah baginya bahwa prajurit itu tak dapat diajak
bicara dengan bahasa mulut "apakah engkau merasa yakin pasti dapat memayatkan diriku?"
"Sombong!" teriak Bubak terus loncat menghantam. Memang Bubak seorang prajurit yang nggi
besar, gagah perkasa. Dengan memelihara sepasang kumis yang lebat macam sarang burung pipit,
dilengkapi pula dada bidang dan sepasang lengan yang berhias urat2 yang melingkar-lingkar bagai
akar pohon brahmastana, dia memang amat sembada sekali.
Sejak bertapa menyatukan cipta semedhi di candi-makam Kagenengan, sudah beberapa hari
Wijaya hampir tak makan dan minum. Itulah sebabnya mengapa ke ka ia pingsan, prajurit itu
mengira kalau sudah ma . Dalam menghadapi kebuasan seorang prajurit nggi besar seper
Bubak, seharusnya ia merasa gentar. Karena kurang makan dan minum, tenaganya lemas,
bagaimana mungkin dia mampu menghadapi Bubak"
Namun ia selalu ingat akan pesan gurunya dikala menurunkan ilmu kanuragan dan jaya
kawijayan, "Angger Nararya," kata resi Sinamaya "semua ilmu kanuragan dan jaya kawijayan yang
kuberikan kepadamu ini, hanyalah suatu alat pelengkap, terutama adalah untuk membela diri. Dan
kedua, apabila perlu, harus untuk menolong mereka yang terancam oleh orang jahat dan lalim.
Dapat atau dak engkau melaksanakan segala tata ilmu kanuragan tergantung pada dirimu sendiri.
Yang pen ng, engkau harus mengemasi dirimu dengan ketenangan dan ketabahan. Yang kumaksud
dengan ketenangan yalah, janganlah engkau lekas gugup karena terpengaruh dengan gerak
serangan lawan. Dan ketabahan itu bermaksud, jangan engkau gentar atau takut menghadapi
lawanmu, tak peduli siapapun dia. Adakah dia seorang yang nggi besar gagah perkasa, ataukah
dia membawa senjata atau pusaka ampuh, jangan engkau hiraukan. Anggaplah engkau berhadapan
dengan seorang lawan yang pasti dapat engkau kalahkan"
Wijaya masih dan selalu ingat akan pesan ajaran gurunya itu. Maka dalam menghadapi seorang
lawan macam prajurit Bubak, diapun tak gentar. Kelunglaian tenaga karena beberapa hari tak
makan itu, sirna dilindas oleh tekadnya yang menyala-nyala, bahwa betapapun, ia harus
menundukkan Bubak yang liar itu.
Secepat nju Bubak melayang, secepat itu pula Wijaya menghindar ke samping. Ia terkejut
karena merasa gerak tubuhnya amat ringan sekali. Dan apa yang diperha kan beberapa saat tadi,
kini baru dia dapat merasakan,. bahwa saat itu daya penglihatan dan pendengarannya amat terang
sekali. Dalam cuaca malam yang gelap, ia dapat memperha kan betapa terkejut pandang mata dan
muka Bubak ketika tinjunya memukul tempat kosong.
Cepat prajurit nggi besar itu berputar langkah hendak menyerang lagi. Tetapi Wijaya sudah
mendahului loncat kebelakang dan tiba-tiba ia menepis tengkuk Bubak, plak ....
"Uh .... " Bubak terhuyung-huyung ke ka tengkuknya terasa seper dipukul palu. Dan sebelum ia
sempat berdiri tegak, punggungnyapun kembali menerima sebuah pukulan yang membuatnya
terseok- seok seperti kura2 mau bertelur.
Wijaya hendak memburu untuk memberi hajaran kepada prajurit yang tak kenal tata itu tetapi
ba2 dari arah belakang terdengar suara orang berseru " Ki sanak, jangan dikejar. Biarkan dia lari
membawa kesakitan ... ."
Wijaya hen kan langkah dan berpaling. Ternyata yang bicara itu adalah kawan Bubak yang
dicekiknya tadi. Orang itu sudah berdiri, menghampiri Wijaya,
"O, engkau sudah sadar" " Wijaya mendahului bertanya.
Orang itu mengangguk "Terima kasih. Berkat pertolongan tuan, aku tak sampai mati"
Juga orang itu mengenakan busana sebagai seorang prajurit. Hanya bedanya, dia tak memiliki
wajah yang bengis dan perawakan yang nggi besar gagah perkasa seper Bubak. Tampaknya dia
lebih ramah. "Ah, jangan engkau ingat soal sekecil itu. Sudah wajib orang hidup tolong menolong " kata
Wijaya. "Terima kasih " kata orang itu "tetapi memang demikian kenyataannya. Apabila tuan tak
datang... tepat pada saatnya, tentulah aku sudah menjadi mayat"
"Siapakah engkau, ki sanak," Wijaya meminta keterangan.
"Aku kawan Bubak, juga prajurit Singasari"
"O " desuh Wijaya "engkau juga dititahkan untuk mencari mayat?"
"Ah, tuan baru habis berkelahi, tentu lelah. Marilah kita duduk dibawah pohon itu sambil
bercakap-cakap dengan tenang," kata prajurit itu.
Waktu sedang dirangsang oleh kemarahan dan berkelahi memang Wijaya tak merasa apa-apa.
Tetapi setelah perkelahian itu usai dan prajurit yang seorang itu mengingatkan akan keadaan
dirinya, tiba2 ia merasa lelah dan lunglai.
"Baiklah " sahut Wijaya.
Keduanya segera duduk dibawah sebatang pohon. Tiba- ba prajurit itu mengambil kampil atau
kantong air, kemudian dihaturkan kepada Wijaya "Raden, silahkan minum. Engkau tentu lelah"
Setelah berhadapan dekat, orang itu makin jelas akan wajah Wijaya. Dalam cuaca malam gelap,
wajah pemuda itu tampak bercahaya terang. Walaupun tampaknya pucat tetapi sinar wajahnya
memancarkan keturunan priagung.
Wijaya mengucap terima kasih, menyambuti kampil air lalu meneguknya. Beberapa hari tak
menyuap sebutir nasi dan tak. meminum seteguk air, saat itu Wijaya rasakan suatu kenikmatan
yang luar biasa ketika mulutnya terbasah air. Walaupun pada hari2 biasa, ia minum air tetapi
tanpa mengenyam rasa air yang diminumnya itu. Namun saat itu baru ia terkejut karena sesuatu
yang didapatinya. Yang diminumnya itu jelas air biasa. Tetapi dikala membasahi kerongkongan
dan mengalir kedalam perut, ia benar2 merasa nikmat sekali. Belum pernah ia merasakan suatu
minuman yang sedemikian nikmat seperti saat itu. Masih kalah kiranya rasa segar dan nikmat
dari segala minuman yang pernah diteguknya selama ini, baik dikediaman ramanya maupun di
tempat pertapaan resi Sinamaya.
Air merupakan sumber kehidupan. Seke ka itu ia teringat akan sari pelajaran yang pernah
diberikan gurunya mengenai air yang disebutnya sebagai Tirta Amerta, air kehidupan.
Memang karena setiap hari, tiap jam bahkan tiap detik, orang sudah terbiasa dengan minum,
maka tiadalah orang tahu akan kenikmatan air yang diminumnya itu. Bahkan mereka merasa air
yang diminum tiap hari itu hambar rasanya. Orangpun segera beralih untuk mencari-cari jenis
minuman lain yang lebih enak, antara lain, minuman daun jeruk kingkit, nira dan kemudian tuak
dari beberapa bahan tanaman.
"Manusia memang tak kenal puas," pikir Wijaya "minum air masih kurang dan mencari lain
minuman, yang lebih nikmat, lebih keras. Tetapi sesungguhnya, ada minuman yang lebih
berkhasiat dan menghidupkan daripada air. Air adalah sari bumi yang telah bersenyawa dengan
hawa. Sari dari segala kehidupan"
Wijaya benar2 dapat menikma dan merasakan daya khasiat gaib dari air. Setelah minum
beberapa teguk tenaga dan semangatnyapun pulih segar. Cahaya mukanya yang pucat, kini tampak
bersinar pula. "Terima kasih, ki prajurit," katanya seraya menyerahkan kampil air itu kepada Sukra.
Setelah beberapa jenak kemudian, barulah mereka memulai percakapan. Atas pertanyaan
Wijaya, Sukra memperkenalkan diri dan namanya.
"Kami memang dititahkan demang Srubung untuk mencari mayat " kata Sukra.
"Untuk apa?"tanya Wijaya.
"Menurut kabar yang kami dengar" kata Sukra "baginda Kertanagara hendak mempersiapkan diri
menerima pentahbisan sebagai Jina dari agama Bairawa. Dalam upacara itu, baginda akan duduk di
atas sebuah lapangan mayat"
"Oh " desuh Wijaya terkejut "mengapa pentahbisan itu harus dilakukan di atas lapangan mayat?"
"Hamba sendiri juga kurang jelas, raden" kata Sukra "hanya menurut cerita orang, baginda
Kertanagara itu menganut dua aliran., Buddha dan Syiwa. Syiwa yang dimaksud disini adalah dalam
bentuk Hari-hara yang setengah Syiwa dan setengah Wisnu. Atau boleh pula dewa ganda yang
mempunyai sifat Wisnu dan Syiwa. Syiwa-bhairawa namanya"
"O" "Baginda Kertanagara hendak melaksanakan upacara pentahbisan sebagai Jina. Oleh karena yang
dianut baginda Kertanagara itu aliran Syiwa-bhairawa yani Bhairawi dewa yang khas daripala
lapangan mayat daa khusus dengan tabiat Aksobhya, maka upacara pentahbisan itu harus
dilakukan diatas lapangan mayat"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dimanakah upacara pentahbisan itu akan dilangsungkan" " tanya Wijaya.
"Di kuburan Wurare"
"Bila?" "Pada thi masa awal kresnapaksa, bulan Phalguna, dikala bintang Kar ka memancar di barat,
pada hari Buddha cemeng"
"O, kalau tak salah hanya tinggal setengah warsa lagi dari sekarang " kata Wijaya.
"Benar " Sukra mengiakan.
"Dan karena itu maka engkau mendapat perintah untuk mencari mayat" " tanya Wijaya pula.
"Demikianlah, raden" jawab Sukra "kami diharuskan mendapatkan mayat2 itu, baik yang sudah
lama maupun yang baru meninggal. Jika tak berhasil maka kami akan menerima pidana berat.
Tetapi kalau dapat membawa mayat dalam jumlah besar, kami akan mendapat hadiah kenaikan
pangkat dan uang" "O, itukah sebabnya maka kawanmu tadi ngotot hendak menjadikan diriku sebuah mayat?"
Sukra mengiakan. "Biasanya aku pergi dengan seorang kawan lain. Karena kebetulan kawanku itu sakit maka Bubak
yang menggan kan. Dia sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan mayat se-banyak2nya. Bahkan
dia mengatakan kepadaku, apabila tiada mayat yang dapat kita peroleh, dia akan membuat mayat"
"O, membuat mayat" Mau membunuh orang?" Wijaya terkejut.
"Ya" kata Sukra "karena dia takut pidana yang akan diterimanya apabila tak berhasil
memperoleh sebuah mayatpun juga"
"Hm, tentu dak begitu yang dikehendaki baginda" gumam Wijaya. Namun sekilas ia teringat
bahwa untuk mengumpulkan ber-puluh2 mayat, tentulah bukan suatu pekerjaan yaag mudah.
Bukan mustahil bahwa prajurit, pergalasan dan mereka2 yang di tugaskan untuk mencari mayat itu
terpaksa harus menyimpang dari tujuan perintah itu. Demi membebaskan diri dari pidana, mungkin
mereka dapat melakukan pembunuhan.
Saat itu Wijaya mendapat kesan baru bahwa se ap perintah dari atasan, mempunyai
kemungkinan untuk berobah sifat dan tujuannya apabila sampai pada lapisan bawahan.
"Kakang Sukra" tanya Wijaya pula "dari manakah engkau memperoleh kedua mayat itu?"
"Yang pertama memang secara terang2an kami minta kepada keluarganya dengan janji bahwa
sehabis upacara itu, mayatnya akan kami kubur dengan sebaik2nya sebagai jasanya kepada raja.
Yang kedua, memang terpaksa dicuri oleh Bubak dari liang kubur"
"Mengapa harus sekarang sudah mengumpulkan mayat" Tidakah setengah warsa kemudian
mayal2 itu akan sudah membujuk?"
"Benar " kata Sukra "tetapi kami mempunyai ramuan untuk mengawetkan mayat itu sehingga
dapat tahan sampai sewarsa dua warsa"
Wijiya mengangguk, kemudian bertanya "Lalu bagaimana maksudmu sekarang" Adakah engkau
juga seperti pendirian kawanmu tadi?"
"Maksud raden?"
"Mengenai diriku, apakah engkau tetap hendak memayatkan diriku?"
"Ah, dak raden," kata Sukra "sesungguhnya kami hanya diharuskan mendapat sebuah mayat.
Boleh lebih tak boleh kurang. Dengan kedua mayat itu, kiranya sudah cukup untuk jatah wajib kami
berdua. Karena bernafsu untuk mendapat hadiah maka Bubak memperlakukan raden begitu tak
layak" "Hm, terima kasih kakang Sukra" kata Wijaya "sebenarnya aku tak ingin mengganggu dan
merugikan kepen nganmu. Tetapi apa boleh buat, karena masih hidup sudah tentu aku harus
menolak akan dijadikan mayat. Lalu bagaimana cara kakang hendak mengangkut peti itu ?"
"Yah," desah Sukra "terpaksa akan kupanggul sendiri"
"Akan kubantumu, kakang Sukra"
"Raden?" "Rasanya aku tertarik hendak menyaksikan upacara pentahbisan baginda. Peris wa itu tentu
merupakan peristiwa yang amat penting dan besar dalam kerajaan Singasari "
"Benar, raden " kata Sukra "memang dengan pentasbihan sebagai Jina itu, derajat baginda akan
terangkat naik. Pamor kerajaan Singasari pas akan lebih gemilang karena diperintah oleh sang
Harihara atau Syiwa Buddha"
"Apakah hal itu mempunyai sangkut paut dengan kerajaan" " tanya Wijaya.
"Dalam suatu kesempatan, pernah kudengar ki demang Srubung bercakap-cakap dengan seorang
tetamu yani tumenggung atasannya, mempersoalkan langkah baginda untuk melakukan upacara
pentahbisan itu" "O " Wijaya mulai mengemas perhatian.
"Antara lain ki tumenggung mengatakan bahwa keputusan baginda untuk menyelenggarakan
upacara pentahbisan sebagai Jina itu akan membawa pengaruh besar, bukan saja didalam kerajaan
Singasari, Daha, pun akan meluas sampai ke Bali dan kerajaan Malayu. Hal itu akan menapaskan
suatu kewibawaan pada pasukan Singasari yang dikirim baginda ke Malayu"
Wijaya terkejut. Kiranya sedemikian pen ng dan luas pengaruh daripada pentahbisan baginda
itu terhadap pengokohan kedudukannya sebagai raja maupun cita-citanya untuk menguasai tanah
Malayu dan seluruh Nuswantara. Diam2 makin tertarik ha Wijaya untuk menyaksikan upacara
pentahbisan yang jarang terjadi di kerajaan Singasari.
Tiba2 ia teringat sesuatu, tanyanya "Ki Sukra, kenalkah engkau akan seorang prajurit
bhayangkara keraton Singasari yang bernama Katang Lumbang?"
"Katang Lumbang ?" ulang Sukra seraya kerutkan dahi "belum, aku belum pernah mendengar
nama itu. Mungkin dia tergabung dari pasukan lain. Aku berada dibawah perintah demang
Srubung. Mengapa raden tanyakan orang itu?"
Adalah teringat akan peris wa Katang Lumbang dan Bantaran yang mencari keris empu Gandring
maka Wijaya bertanya soal bhayangkara Katang Lumbang. Apabila ia mengetahuinya, dapatlah dia
merancang rencana bagaimana harus ber ndak apabila kelak dalam upacara pentahbisan baginda
itu terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Oleh karena Sukra tak tahu maka Wijaya pun menghentikan pembicaraan. Tak mau ia
berterus terang menceritakan tentang peristiwa Katang Lumbang hendak membunuh baginda.
Karena apabila hal itu sampai tersiar, tentulah kemungkinan Katang Lumbang akan mendengar.
Dan karena tahu rencananya diketahui, dia tentu akan membatalkan.
Memang suatu hal yang menggembirakan apabila Katang Lambang membatalkan rencananya itu.
Tetapi Wijaya dapat menarik kesimpulan dari pembicaraan mereka, bahwa Katang Lumbang tetap
akan melakukan pembunuhan kepada baginda. Pembatalan rencana pembunuhan di pekuburan
Wurare nan hanyalah bersifat penundaan sementara waktu. Bukan berar Katang Lumbang akan
benar2 menghapus rencananya yang jahat itu. Tentulah prajurit bhayangkara putera Tohjaya itu
akan tetap mencari kesempatan untuk melampiaskan dendam kesumatnya.
"Berbahaya" kata Wijaya dalam hati "lebih baik rencana itu dilaksanakannya ditempat
upacara pentahbisan sehingga dia lekas tertangkap. Demikian rencana yang diangan-angankan
Wijaya. Tiba2 ia mempunyai pikiran lain "ah, baiklah aku ikut prajurit Sukra ini ke pura kerajaan"
"Raden" ba2 Sukra menegur ke ka melihat Wijaya diam merenung "mengapa raden hendak
membantu aku mengangkut pe itu " Jika raden mempunyai kepen ngan lain, harap raden jangan
sibuk membantu aku. Aku dapat mencari orang desa untuk membantu memikul peti itu"
"Kakang Sukra " kata Wijaya "sesungguhnya aku berasal dari laladan Kawi, tujuanku hendak
berkelana, melihat-lihat pura kerajaan Singasari yang termasyhur agar dapatlah rasa cinta tanah air
dan kerajaan, makin berkembang dalam hati sanubariku"
"O " desuh Sukra "maksud raden hendak melihat-lihat pura Singasari ?"
"Benar kakang " sahut Wijaya "itulah sebabnya aku bersedia membantumu untuk membawa pe
itu" "Raden" tiba2 Sukra berkata "apakah raden bermaksud hendak masuk menjadi prajurit?"
"Bagaimana maksud kakang Sukra?"
"Saat ini Singasari memang benar-benar membutuhkan prajurit karena dengan
diberangkatkannya sejumlah besar pasukan ke Malayu, pura Singasaripun seperti kosong"
"O " desuh Wijaya " dakkah baginda menyadari bahwa pengiriman pasukan ke Malayu itu akan
melemahkan kekuatan Singasari?"
"Itulah salah satu sebab mengapa gus pa h Raganata digeser sebagai adhyaksa di Tumapel
karena gus pa h tak menyetujui rencana itu. Kemudian gus pa h Aragani yang mendukung
rencana itu telah diangkat menjadi pa h-dalam, sedang gus pa h Kebo Arema menjadi pa h-
luar" "Lalu bagaimana tindakan baginda untuk melindungi pura kerajaan?"
Prajurit sekalipun Sukra itu, tetapi dia juga ikut memikirkan kepen ngan negara. Ia menghela
napas "Baginda amat yakin akan kekuasaan dan kewibawaannya sehingga tak merisaukan soal
dalam pura kerajaan"
"Tidakkah kakang pernah mendengar dalam-percakapan diantara para demang dan tumenggung
serta lain2 narapraja mengenai hubungan antara Singasari dengan Daha?"
"Secara langsung dak " jawab Sukra "tetapi hanya secara mereka-reka kesan, kira2 aku dapat
merasakan bahwa suasana di kalangan narapraja pura Singasari, memang dilipu oleh rasa tak
tenang" "Mengapa " " Wijaya terkejut.
"Pertama, tentang keadaan pertahanan pura yang terasa amat kurang. Dan kedua, tentang
pengaruh patih Aragani yang makin menonjol, makin mendapat kepercayaan baginda"
"Tetapi urusan tentara tentu diurus oleh. seorang mentri hulubalang atau mentri angabaya.
Siapakah yang berkuasa dalam pasukan Singasari ?"
"Seharusnya gusti patih Kebo Arema"
"Lalu apakah ada yang tidak seharusnya?"
"Ada " jawab Sukra "banyak hal2 yang ganjil telah terjadi di pemerintahan. Pengangkatan yang
dak tepat orang dengan bidangnya, kecakapan dengan tugasnya. Yang pen ng, siapa yang pandai
mengambil hati kepada atasan, dialah yang akan memperoleh kedudukan"
Wijaya terkesiap. Ia tak menyangka bahwa seorang prajurit seper Sukra dapat memberi ulasan
yang sedemikian tajam terhadap pemerintahan. Dengan begitu, diam2 ia mencatat dalam ha ,
bahwa pemerintahan itu suatu hal yang peka. Tidak mudah untuk mengatur secara bijaksana.
Karena pemerintahan adalah alat pengatur dari sebuah negara, sebuah kerajaan. Dimana bukan
hanya baginda yang memiliki kepen ngan besar, pun rakyat sebagai in dari suatu perumahan
negara atau kerajaan, merupakan suatu unsur utama yang diurus dan ikut mengurus, yang diatur
dan ikut mengatur, yang ditentukan dan ikut serta menentukan.
Diam2 pula Wijaya memperoleh bayang2 kesan bahwa kerajaan Singasari dewasa itu sedang
diselubungi kemelut. Kemelut wibawa, kemelut pengaruh, kemelut kedudukan. Kemelut Wibawa,
mbul dari ndakan baginda yang merasa bahwa kerajaan Singasari sebuah kerajaan besar dan
kuat. Patut menguasai seluruh nuswantara. Bagindapun merasa, bahwa dirinya seorang maha-
diraja dalam arcapada, seorang Jina yang telah mencapai ngkat bhumityaga, lepas dari bumi,
pemenang atas hal2 keduniawian.
Kemelut pengaruh, karena dipusat pemerintahan kerajaan, mbul perebutan pengaruh antara
fihak yang dipimpin pa h Aragani dengan kelompok2 penganut bekas pa h sepuh empu Raganata,
demung Wiraraja dan tumenggung Wirakreti.
Kemelut kedudukan, karena terjadi pergeseran-pergeseran dikalangan mentri, senopa dan
narapraja sehingga terasa suatu demam ketakutan yang mencengkam di kalangan mereka.
Akibatnya dari kemelut2 itu maka mbullah kemelut luas, yani kemelut ba n di kalangan para
kawula. Kemelut ba n dari rakyat yang melihat, mendengar dan merasakan keadaan kerajaan
Singasari. Prajurit Sukra termasuk salah seorang yang menderita kemelut ba n di dalam merasakan
keadaan kerajaan Singasari.
"Kakang Sukra" kata Wijaya sesaat kemudian "lalu bagaimanakah ndakan kerajaan untuk
menutup kelemahan2 pasukan dalam pura ?"
"Baru2 ini kerajaan telah mengumumkan wara-wara untuk membuka sayembara, menerima
prajurit dan memilih senopati"
"Ya " Wijaya mengangguk karena ia sudah mendengar perihal itu "adakah langkah itu mbul dari
kebijaksanaan baginda ataukah saran dari patih Aragani?"
"Entah raden" kata Sukra "tetapi menurut perasaanku sendiri, setelah berlangsung pernikahan
antara puteri baginda dengan pangeran Ardaraja putera raja Daha, rasanya baginda makin tenang
dan makin yakin bahwa keadaan dalam kerajaan pas tenteram dan damai. Tentulah ada salah
seorang mentri yang mengajukan saran itu kehadapan baginda. Dan diantara mentri2 yang
mempunyai kemungkinan untuk mengajukan saran itu, kiranya hanya ga orang, yani gus pa h
Aragani, gusti patih Kebo Arema dan gusti tumenggung Bandupoyo" .
"Tumenggung Bandupoyo" Siapakah tumenggung itu?" tanya Wijaya. Akan kedua orang pa h itu
dia sudah pernah mendengar. Hanya tumenggung Bandupoyo yang belum.
"Tumenggung Bandupoyo adalah senopa pendamping dari baginda. Dia cukup berpengaruh
dalam keraton" "Lalu siapa diantara ketiga mentri yang menanyai kemungkinan besar mengajukan saran itu?"
"Entahlah raden " jawab Sukra "tetapi hamba percaya pasti bukan gusti patih Aragani"
"Ki demang Srubung itu termasuk bawahan siapa ?"
"Termasuk bawahan senopa Mahesa Bungalan yang masih mempunyai hubungan keluarga
dengan gusti patih Kebo Arema atau Kebo Anengah" .
Wijaya tak menyatakan apa2 tetapi dalam ba n ia merangkai suatu angan2. Bahwa senopa
Kebo Bungalan itu tentulah bukan orang patih Aragani.
Demikian percakapan itu berlangsung sampai hampir larut malam dan tak berapa lama terdengar
kokok ayam hutan bersahut-sahutan.
"Ah, hari sudah menjelang fajar" kata Wijaya, "baiklah kita beris rahat beberapa waktu
menunggu sampai terang tanah"
Setelah cuaca terang, merekapun berangkat menuju ke pura Singasari. Dalam perjalanan itu
Wijaya minta agar Sukra menganggapnya sebagai seorang pemuda desa dan jangan memanggilnya
dengan sebutan raden. Ia akan memakai nama Jaya.
Ke ka siang itu ba di sebuah desa, Sukra dan Wijaya singgah ditempat rumah seorang
penduduk. Yang empunya rumah amat bersuka cita menerima kedatangan Wijaya. Sudah tentu
Wijaya heran dibuatnya, ke ka ia dijamu dengan hidangan yang mewah. Sedemikian sibuk Srono,
yang empunya rumah, menyembelih kambing, ayam dan mengundang beberapa tetangga untuk
bantu menyiapkan hidangan. Seolah seperti orang yang punya hajat kerja.
"Kang Srono" tegur salah seorang tetangga, "mengapa engkau tampak begitu sibuk benar
mempersiapkan hidangan " Siapakah tetamu yang berkunjung kerumahmu ?"
Bermula Srono tak mengaku tetapi setelah didesak ia menerangkan bahwa tetamu itu
memang tepat seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Beberapa hari yang lalu ia bermimpi
bertemu dengan seorang kakek tua berambut putih. Kakek berambut putih itu mengatakan,
janganlah dia bersedih hati memikirkan kelakuan anaknya yang pemalas dan tak mau disuruh
mengerjakan kebun dan ladang. Nanti beberapa hari engkau akan kedatangan seorang tetamu
seorang priagung yang kelak akan menjadi orang besar. Nah, sambutlah dia dengan sebaik
baiknya, usahakan supaya anaknya ikut kepadanya. Demikian pesan orangtua berambut putih
itu. Demikian meluap kegembiraan Srono ke ka hari itu benar2 ia menerima kedatangan dua orang
tetamu. Yang seorang prajurit dan seorang pemuda berwajah terang. Menganggap bahwa pemuda
Wijaya itulah tentu yang dimaksudkan orangtua dalam mimpinya, maka Srono pun mengadakan
sambutan dengan meriah. "Ki bagus " kata Srono waktu selesai menjamu dan duduk bercakap-cakap dengan Wijaya "paman
mohon maaf, apabila pembicaraan paman ini tak berkenan diha ki bagus. Sebenarnya paman
hendak minta tolong sesuatu kepada ki bagus tetapi paman kuatir ki bagus akan menolak"
"Ah, adat hidup wajib tolong menolong. Dimana aku dapat memberi bantuan, tentu dengan
segala senang hati aku akan melaksanakan permintaan paman," kata Wijaya.
"Podang. anakku yang sudah jejaka itu malasnya bukan main. Tak mau kerja melainkan suka
berjudi dan main2 sepanjang hari. Dia sudah besar dan paman kewalahan untuk mengajarnya.
Apabila ki bagus dapat menolong paman hendak meni pkan Podang kepada ki bagus agar dia mau
bekerja di pura Singasari. Kerja apa saja, pokoknya bekerja. Gajihpun tak menjadi soal. Yang
penting biarlah anak itu dapat merobah sifatnya yang malas dan mau bekerja"
"O, tetapi ..."
"Ah, ki bagus," cepat Srono menukas "betapa rasa terima kasih paman apabila ki bagus mau
memberi pertolongan untuk menyadarkan anak itu supaya kembali ke jalan yang benar"
Maksud Wijaya bukanlah hendak menolak melainkan hendak menerangkan bahwa dirinya
sendiri juga seorang kelana. Bagaimana mungkin ia akan mencarikan suatu pekerjaan yang
sesuai untuk Podang. Namun ketika yang empunya rumah begitu bersungguh mendesak minta
tolong, bangkitlah semangat Wijaya.
"Dharma seorang ksatrya adalah menolong kepada yang benar2 membutuhkan pertolongan.
Memberi air bagi orang yang haus, memberi perlindungan kepada yang lemah dan mengayu
hayuning bawa," demikian gurunya, resi Sinamaya pernah menguraikan dharma dari seorang
ksatrya. Dan Wijaya selalu mengingatnya.
"Paman ini telah meminta pertolongan" pikir Wijaya "dan aku wajib memberinya. Akan
kuusahakan agar puteranya mendapat pekerjaan di pura ataupun dimana saja, asal dapat
menjadikan anak itu baik"
"Paman" akhirnya ia berkata "baiklah, akan kubawa putera paman itu. Tetapi apakah paman
dapat menyetujui andai dia masuk menjadi prajurit kerajaan?"
"Aku gembira sekali, ki bagus," seru Srono "apabila puteraku dapat membak kan diri untuk
Singasari" "Dimanakah dia sekarang?"
"Ah, telah kukatakan, sehari-harian kerjanya tak lain dari bermain dan berjudi dengan kawan-
kawannya. Sejak pagi ke luar rumah, sampai sekarang belum pulang"
Wijaya hanya mengangguk. Namun diam2 ia mendapat suatu gambaran tentang hubungan
orangtua dengan anak. Dalam kehidupan ini, banyak corak dan ragam keadaan rumahtangga.
Dan setiap rumahtangga tentu mempunyai persoalan sendiri2. Entah tentang kehidupan, entah
tentang anak dan keluarga, entah tentang hubungan dengan luar.
Diantara persoalan2 itu, yang menarik adalah persoalan anak. Karena persoalan itu
merupakan soal tanggung jawab orangtua maka soal itu menjadi persoalan yang banyak
memakan hati dan pikiran. Dalam menghadapi persoalan anak, orangtua harus menghadapi dua
jenis persoalan. Terhadap anak perempuan dan anak laki. Dalam kedua jenis anak itupun, para
orangtua juga menghadapi dua macam soal. Pemikiran terhadap anak perempuan lebih disertai
rasa perihatin akan masa remaja dan soal perjodohannya. Betapa hancur dan pedih hati
seorang orangtua apabila melihat anak perempuannya yang sudah dewasa masih belum juga
memperoleh jodoh. Apalagi kalau sampai kasip tidak mendapat jodoh.
Pemikiran terhadap anak lelaki juga memerlukan suatu pengarahan. Mereka menyadari bahwa
anak lelaki itu lebih besar tanggung jawabnya, lebih berat beban pikulannya. Kelak mereka yang
akan menjadi ang rumahtangga. Menjelang beban dan tanggung jawab itu, hendaknya anak laki
itu dipersiapkan dengan bekal-bekal ilmu kepandaian yang kelak berguna untuk kehidupannya.
Ada sementara adat-kata yang mengatakan bahwa anak laki itu lebih mudah. Betapapun kelak
mereka tentu dapat hidup dan berkeluarga. Dimana surya bersinar, disitu tentu terdapat pangan.
Ayampun dapat mencari makan, masakan manusia kalah dengan ayam. Maka lebih mudah dan
lebih enak mempunyai anak laki dari pada anak perempuan.
Memang benar karena orang2 yang memiliki pandangan demikian, mempersamakan anaknya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seper ayam. Merendahkan martabat dan derajat anak tetesan darahnya sendiri, se ngkat dengan
ayam. Orang2 tua yang memiliki pandangan begitu, pada hakekatnya merendahkan dirinya sendiri.
Menyamakan nilai anaknya seper bangsa ayam, sama pula menyamakan dirinya juga sejenis
dengan ayam. Ayam manusia atau manusia ayam. Entah apa is lahnya yang tepat. Kedua, dalam
ngkat pertanggungan jawab, sebenarnya dia seorang orangtua yang hendak menghindar dari
tanggung jawab. Maka terkesanlah Wijaya akan ndakan Srono yang beresah-resah ha memikirkan keadaan
puteranya si Podang. Srono seorang desa yang menurut ukuran hidup di desa situ, termasuk orang
berada. Memiliki sawah, ladang dan kebun yang luas. Hidupnya serba kecukupan. Tetapi dia tetap
menghendaki puteranya jangan menjadi pemalas yang kelak hanya tumbuh sebagai benalu.
Walaupun mendapat harta peninggalan yang besar jumlahnya, tentu akan ludas juga akhirnya.
Srono termasuk salah seorang orangtua yang berpikiran maju. Ia rela anaknya bekerja pada lain
orang di lain tempat. Ia rela anaknya menjadi prajurit untuk membela negara. Ia menginginkah agar
anaknya kelak menjadi manusia yang berguna dalam hidupnya. Bukan menjadi ayam yang hanya
dipelihara orang, disabung dan akhirnya disembelih.
"Ah, mengapa pikiranku berkelarutan memikirkan persoalan rumahtangga," tanya Wijaya dalam
ha . Namun lain kilasan benaknya mengatakan bahwa rumahtangga itu merupakan sendi utama
dari masyarakat dan perumahan besar atau negara. Dalam hal ini Wijaya makin mendapat
pengertian tentang soal-soal dalam kehidupan yang lebih luas.
Ternyata sampai petang, belum juga Podang pulang. Wijaya dan Sukra terpaksa menunggu.
"Ki bagus " kata Srono "kuharap ki bagus bermalam di rumah kami. Menempuh perjalanan pada
malam hari, kurang layak. Lebih baik, besok pagi2 berangkat. Sekalian dapat membawa Podang"
"Tetapi malam ini dia tentu pulang, bukan ?"
"Ya." Karena keadaan itu terpaksa Wijaya dan Sukra menunda perjalanan. Tetapi sampai makan
malam masih juga Podang belum muncul. Srono mulai gelisah. Ia menyuruh beberapa orang
mencari Podang tetapi tak bertemu.
Suasana di pedesaan amat sepi apabila malam mulai tiba. Kehidupan di desa, dimulai pada pagi2
bahkan pada dinihari tetapi hanya berakhir di penghujung petang. Selekas malam gelap,
suasanapun sepi. Dalam suasana yang hening dikesepian malam, Wijaya yang duduk bersemedhi dalam bilik yang
disediakan untuknya, sayup2 mendengar derap kuda berlari. Makin lama makin jelas dan makin
dekat. Ia terkejut. Siapakah gerangan penunggang2 kuda yang menempuh perjalanan pada malam
itu " Peningkatan dari ketajaman indera yang tersatu dalam semedhinya itu, mengalami getaran
hebat ke ka mendengar bahwa dari bunyi derap langkahnya, jelas yang datang itu suatu
rombongan, paling dak terdiri dari empat ekor kuda. Dan rombongan itu serempak berhen di
halaman rumah Srono. Sronopun mendengar juga dan bergegas melangkah keluar.
"Podang, engkau " teriak Srono.
"Pak " kata seorang pemuda yang naik ke serambi "prajurit2 dari Singasari ini karena kemalaman
hendak bermalam disini. Harap bapak menyediakan hidangan untuk mereka"
"Hih" " Srono terkesiap.
Empat orang prajurit bertubuh kekar dan bengis, menghampiri "Kami butuh tempat bermalam
dan makan. Cepat sediakan"
Srono terkejut kemudian marah. Jauh bedanya keempat prajurit itu dengan Wijaya dan Sukra
yang juga prajurit Singasari. Betapa sopan dan hormat Wijaya menghadapinya. Betapa berkali-kali
harus didesak barulah Wijaya dan Sukra mau menerima hidangan dan mau bermalam di rumahnya.
Tetapi keempat prajurit ini seolah hendak menunjukkan kekuasaannya untuk memaksa dan
bersikap kasar. "Tetapi hari sudah begini malam, bagaimana kami dapat menyediakan hidangan" " kata Sror o.
"Jangan pakai alasan," seru salah seorang bertubuh agak pendek, gempal dan bercambang bauk
"apakah engkau berani tak menghormati prajurit kerajaan"
"Ya " sambut yang seorang lagi "jika ada orang2 seper kami yang menyabung nyawa
melindungi kalian dari serangan musuh, apakah engkau mampu menikma kehidupan yang begini
enak?" "Tetapi kami benar2 bingung untuk menyediakan makanan pada malam begini " bantah Srono.
"Huh " dengus prajurit agak pendek yang bertampang seram itu "mana lebih bingung. Kami di
medan pertempuran harus menyabung nyawa menghadapi musuh, atau engkau yang hanya
menyediakan makanan?"
"Pak " seru prajurit yang lain "kami adalah prajurit bawahan gus pa h Aragani yang sedang
melakukan tugas. Karena kemalaman kami terpaksa menginap disini dan minta disediakan
makanan. Apabila bapak menolak, akan kami laporkan kepada gus pa h, bapak sekeluarga tentu
akan ditangkap dan dijatuhi pidana"
Srono gemetar. Entah takut entah marah.
"Oh, pak, silahkan mereka masuk. Biarlah aku yang menyiapkan makanan" ba2 nyi Srono
muncul. Rupanya dia mendengar ancaman prajurit itu.
Tanpa dipersilahkan Srono, Podang didorong oleh keempat prajurit itu masuk. Mereka duduk
lalu menyuruh Podang menyediakan minuman. Anak itu bergegas masuk ke dalam.
"Pak, kemirilah," kata salah seorang prajurit memanggil Srono. Srono terpaksa menghampiri.
"Bapak seharusnya berterima kasih kepada kami"
"Dalam soal apa" " Srono kerutkan kening.
"Tanya saja pada anakmu. Kalau tidak ada kami, mungkin dia sudah dikeroyok orang"
"O, apakah yang terjadi pada anak itu?"
"Dia kalah berjudi dan berhutang banyak. Karena dia tak punya uang lagi, dia dipaksa harus
menyerahkan pakaian dan benda apa saja yang melekat pada tubuhnya. Anakmu menolak lalu
dikeroyok. Untung kami datang dan membantu anakmu. Sebagai balas jasa, anakmu mengundang
kami kemari dan akan memberi penginapan dan makanan"
"Dan uang " sambut kawannya yang lain.
"Kalau ada, wanita sekali, pak " kata prajurit yang bertampang seram "kami pas akan
melindungi engkau dari gangguan apa saja"
"Tetapi aku hanya orang tani yang selama ini hidup tenteram tak pernah mendapat gangguan
apa2" "Huh, salah " seru prajurit bertampang seram "kekayaan itu selalu mengundang bencana. Lihat
seper kedatangan kami berempat ini. Bukankah karena mengetahui engkau seorang yang berada"
Dan kawanan perampokpun tentu mengincar kekayaanmu. Bahaya itu tetap akan mengancammu
se ap saat. Yang jelas, orang2 yang memberi pinjaman kepada puteramu itu tentu akan membuat
perhitungan kemari" "Tetapi kalau mereka, baik kawanan perampok maupun orang2 itu, mendengar bahwa engkau
mempunyai pelindung prajurit dari pura Singasari, mereka pasti rontok nyalinya"
"Benar, kedatangan kami di sini bukan secara cuma2 tetapi membawa manfaat bagimu"
"Tanggung aman, pak " kata prajurit yang lain "kalau engkau menjamin kami, siapa yang berani
mengganggumu?" Demikian bertubi-tubi keempat prajurit itu memamerkan kekuasaan dan kegarangannya. Kata2
itu sebenarnya hanya suatu selubung untuk menyelimu tujuan mereka hendak mendapatkan
keuntungan dari Srono. Srono terbeliak. Belum sempat ia berkata apa2, ba2 Podang muncul dengan membawa
minuman. Setelah menghidangkan kepada keempat prajurit, pemuda itu berseru kepada ayahnya
"Pak, mengapa dibelakang rumah terdapat peti mati?"
Srono terkejut. Ia memang belum sempat menceritakan, kepada Podang tentang kedatangan
Wijaya dan prajurit Sukra.
"Hai, apa katamu" Peti mati" " salah seorang prajurit mendahului bertanya.
Mendapat pertanyaan itu terpaksa Podang mengiakan.
"Apa berisi mayat" " prajurit bertampang seram mulai tegang.
"Mungkin, karena .... " belum habis Podang memberi keterangan, Srono sudah cepat menukas
"Podang, itu peti kosong !"
Tetapi prajurit bertampang seram itu cukup berpengalaman. Melihat sikap Srono yang gugup dan
nadanya yang gemetar, ia tahu bahwa kata2 orang itu bohong "Hm, ternyata terjadi pembunuhan
dalam rumah ini," ia terus berbangkit dan mengajak kawannya memeriksa ke belakang.
Srono terkejut dan cepat menghadang "Telah kukatakan, hari ini aku baru saja membeli sebuah
peti mati untuk persediaan. Mengapa ki sanak menuduh yang bukan-bukan?"
Prajurit bertampang seram makin curiga "O, jelas engkau tentu menyembunyikan sesuatu. Kalau
dak, mengapa engkau begitu gugup" Kami prajurit kerajaan yang mempunyai wewenang untuk
melakukan pemeriksaan pada hal2 yang kami anggap mengganggu keamanan. Bukan suatu adat
yang layak apabila seseorang membeli peti mati untuk persediaan"
Pucat seke ka wajah Srono. Sebelum ia sempat berbicara, prajurit itu sudah menyiaknya ke
samping sehingga Srono terhuyung. Kemudian mereka menuju ke belakang.
"Mana pe itu" " teriak mereka setelah ba di belakang rumah. Waktu ke belakang, salah
seorang prajurit itu menyeret tangan Podang diajak ikut serta.
Podang pucat. Jelas beberapa saat tadi ia melihat sebuah pe yang berbentuk seper usungan
menggeletak di belakang rumah. Dan ketika mendekati, iapun mencium bau mayat.
"En . . . . tah " Podang tersekat-sekat "tadi memang peti itu disini"
"Hm" prajurit bertampang seram mendengus lalu kembali mencari Srono. Ia menghunus pedang
dan diacungkan ke muka Srono "Di-mana engkau sembunyikan pe itu. Jika tak mau memberi tahu,
engkau kutangkap dan akan kubawa ke pura Singasari"
Srono seorang petani. Sudah tentu dia tak pernah mengalami peristiwa semacam itu. Ia gemetar.
"Jangan mengganggu bapakku " ba2 Podang berseru seraya maju ke muka prajurit itu "mungkin
aku ialah lihat tentang peti itu. Maaf, malam begini gelap"
"Hm, engkau hendak melindungi bapakmu" " prajurit itu tiba2 menampar muka Podang.
"Aduh ... " karena jarak amat dekat dan tak menduga-duga, disamping gerak tangan prajurit itu
memang amat cepat sekali, muka Podang tertampar, mulutnya berdarah.
"Keparat, engkau berani menganiaya anakku " teriak Srono lalu menerkam prajurit. Melihat
mulut anaknya berdarah, lenyaplah seke ka segala rasa takut Srono. Tetapi dia sudah tua dan
seorang desa. Bagaimana mungkin berhadapan melawan seorang prajurit yang bertenaga kuat.
Ketika prajurit itu songsongkan tangannya, Sronopun terdorong beberapa langkah dan rubuh.
Podang memberingas. Ia menghantam prajurit itu tetapi sebelum nju sempat mendarat,
seorang prajurit lain mendahului memukulnya. Podang memekik dan terseok-seok jatuh.
Prajurit itu rupanya masih belum puas. Ia hendak menyiksa Srono dan Podang supaya mengaku
tentang peti itu. "Berhen !" ba2 terdengar suara melengking keras, penuh kemarahan. Dan muncullah Wijaya
beserta Sukra. Keempat prajurit itu terbeliak. Terutama setelah melihat Sukra juga seorang prajurit Singasari.
"Engkau prajurit Singasari?"seru prajurit yang bengis tadi.
"Ya" sahut Sukra yang ditanya "dari kesatuan mana engkau ?"
"Pimpinan raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani" sahut prajurit bertampang
bengis dengan nada menggarang "Dan engkau?"ia balas bertanya.
Sukra menerangkan siapa dirinya.
"Dan anakmuda ini " " ia menunjuk Wijaya.
"Kawanku " sahut Sukra.
"Mengapa engkau datang kemari ?" tanya prajurit bertampang bengis. Dia bernama Lawa.
Rupanya Wijaya kurang puas dengan sikap Lawa. Adalah dia yang akan bertanya tetapi saat itu
Lawalah yang mengajukan pertanyaan "Kawan, apa yang hendak engkau lakukan terhadap
orangtua itu ?" "O, engkau hendak mengurus ?" ejek Lawa.
"Ah, kita sama2 prajurit" Wijaya mengaku dirinya sebagai prajurit kawan Sukra "sudah wajar
kalau bertanya kepada sesama prajurit"
"Hm" desuh Lawa "orang ini," ia menunjuk Srono "menyimpan peti mati di rumahnya. Dia
mengaku hanya peti kosong tetapi kurasa tentu berisi mayat orang. Entah siapa yang
dibunuhnya" "Hm, lalu?" "Hendak kuperiksa peti itu tetapi sudah lenyap,. Dengan begitu jelas dia telah
menyembunyikannya. Jelas pula tindakan itu mengatakan bahwa dia telah melakukan sesuatu
yang melanggar hukum. Mungkin telah membunuh orang"
"Ah, jangan lekas2 melontar fitnah sebelum melihat bukti yang nyata"
"Justeru bukti itu sudah disingkirkannya"
"Memang " sahut Wijaya " tetapi bukan dia yang melakukan"
"Siapa?" "Aku" "O" Lawa mendesuh kejut "engkau yang menyingkirkan peti itu" Kalau begitu, apakah peti itu
milik kalian?" "Ya" Lawa makin terbeliak "Apakah isinya?"
"Mayat" Keempat prajurit anakbuah Kuda Panglulut itu terbelalak "Untuk apa kalian membawa mayat?"
Kini giliran Sukra yang menjawab "Kami mendapat perintah dari atasan untuk mencari mayat.
Kabarnya mayat itu akan dibawa ke pekuburan Wurare. Atas titah baginda"
"O" prajurit Lawa bercahaya mukanya "dari mana kalian mendapatkan mayat ?"
Sukra kurang senang. Ia menganggap Lawa tentu sudah mendengar tentang berita pentahbisan
baginda yang akan berlangsung di kuburan Wurare "Kawan, apakah engkau tak mendengar atau
menerima perintah dari atasanmu?"
"Soal?" "Soal pencarian mayat yang akan dikumpulkan di kuburan Wurare"
"Tidak" Lawa gelengkan kepala. Ke ga kawannya terkejut tetapi mereka hanya memandang
kearah Lawa. "Lalu mengapa kalian berada di desa ini " " tanya Sukra pula.
"Kami sedang melakukan ronda keamanan dengan diberi wewenang untuk menangkap siapa saja
yang dicurigai berbuat kejahatan"
"Hm" desuh Wijaya "setelah mendapat penjelasan dari kakang Sukra, kuharap jangan engkau
menuduh dan menangkap bapak ini"
"Baik" sahut Lawa "tetapi aku terpaksa harus mengurus tentang mayat yang kalian bawa itu"
"Maksudmu" " seru Wijaya.
"Kita sama2 mendapat tugas. Engkau mencari mayat dan kami menjaga keamanan, engkau
merampungkan tugasmu dan kamipun hendak melaksanakan tugas kami"
"Apa maksudmu, kawan" Bicaralah yang tegas"
"Mayat itu akan kami tahan dan kalian kami tangkap"
"Gila " teriak Sukra "jangan mencari-cari persoalan. Kami menghorma tugasmu tetapi
hendaknya janganlah kalian mengganggu pekerjaan kami"
"Benar " sahut Lawa "tinggalkan peti itu kepada kami dan kalian boleh kembali. Akan kami
tanyakan soal perintah mencari mayat itu kepada atasan kami. Apabila benar, maka kalian
boleh mengambil ke gedung kepatihan gusti Aragani"
Nararya kerutkan dahi. Perintah yang diterima Sukra dari demang Srubung, pas lah merupakan
perintah resmi. Menilik keterangan yang didengarnya dari Sukra mengenai maksud pencarian
mayat itu, jelas hal itu tentu merupakan perintah yang resmi dari istana. Dengan begitu pula, tak
mungkin lain2 kesatuan terutama kesatuan pimpinan Kuda Panglulut yang nggal di gedung
kepa han, tak mengetahui peris wa itu. Dan menilik ngkah keempat prajurit itu terhadap Podang
dan Srono, ia menarik kesimpulan bahwa mereka memang sengaja hendak mengganggu.
"Apakah maksudmu yang sebenarnya, kawan?" ia segera meminta penjelasan kepada Lawa. ,
"Kami adalah prajurit2 yang bertugas menjaga keamanan telatah sebelah selatan Singasari.
Mengambil atau mencuri mayat,
ndakan terlarang. Bahkan mungkin mengandung
ndak pembunuhan dan penganiayaan, Hal itu wajib kami periksa. Bahwa engkaunya melakukan tugas,
silahkan engkau melapor pada atasanmu agar mengurus persoalan itu kepatihan. Jelas?"
"Hm, cukup jelas " sahut Wijaya "sehingga aku tak meragukan lagi bahwa dibalik kata2 yang
engkau landasi dengan alasan2 indah itu tersembunyi suatu maksud tertentu"
"Apa maksudmu ?"
"Keputusan baginda Singasari untuk melaksanakan pentahbisan sebagai Jina Syiwabhairawa yang
akan dilakukan diatas sebuah lapangan mayat, tentu merupakan keputusan resmi dari istana.
Sukar untuk mempercayai bahwa gus atasanmu tak mengetahui perintah itu. Sukar pula untuk
menerima alasan, bahwa engkau sebagai seorang prajurit tak tahu menahu dan tak menerima
perintah untuk upaya pengumpulan mayat"
"Hah " desuh Lawa meregang dahi.
"Mungkin hal itu dapat terjadi, bahwa engkau memang benar2 tak tahu soal itu. Tetapi
kemungkinan hal semacam itu juga kami miliki bahwa kami tak tahu kalau kalian ini benar2 prajurit
bawahan kepa han, bahwa kalian ini ditugaskan untuk menjaga keamanan telatah selatan pura.
Karena hal itu tak cukup dengan kata pengakuan melainkan harus dibuk kan dengan kenyataan.
Adakah engkau membawa surat tugas ataupun tanda2 yang dapat membuk kan kebenaran
ucapanmu itu?" Merah padam muka Lawa dan ke ga prajurit kawannya. Pelahan, teratur dan mengena benar
ucapan yang dilontarkan mulut pemuda berwajah cakap itu.
"Engkau tak mengakui kalau aku dan kawan-kawanku ini prajurit Singasari" " seru Lawa.
"Tentu saja mengakui. Tetapi prajurit2 Singasari itu banyak dan terdiri dari beberapa kesatuan.
Kami juga prajurit Singasari"
"Lalu mengapa engkau tak mengakui kami prajurit yang bertugas menjaga keamanan daerah ini?"
"Tidakkah hal itu serupa dengan pertanyaanmu yang dak, mengakui bahwa kami ini prajurit
yang sedang melakukan perintah atasan kami?" balas Wijaya.
"Kakang Lawa " ba2 prajurit yang lain, bertubuh kekar, berseru "pembicaraan ini takkan
mencapai k penyelesaian apabila kita tak ber ndak tegas. Percaya atau dak itu soal mereka,
tetapi kita harus bertindak menurut tugas yang kami terima!"
"Nah, engkau dengar kawan ?" seru Lawa "apakah kalian berdua tetap bersikeras?"
"Maaf kawan" sahut Wijaya "jika engkau hendak membawa pe itu, bawalah kami ikut serta agar
kami dapat menghadap raden Kuda Panglulut untuk memberi keterangan"
Lawa gelengkan kepala "Aku dan kawan-kawanku masih-harus menyelesaikan tugas untuk
meronda keliling daerah ini. Tinggalkan peti itu dan laporlah kepada atasan kalian"
Rupanya Sukra tak dapat menahan sabar lagi. Serentak ia berseru "Tidak! Akan kubawa peti itu"
"Jika demikian terpaksa aku harus ber ndak," seru Lawa seraya memberi isyarat kepada ke ga
kawannya untuk mengepung Wijaya dan Sukra.
Wijaya memperha kan bahwa pimpinan kelompok prajurit itu adalah Lawa. Bahwa mereka
mengandung maksud tertentu untuk merebut mayat itu. Ia teringatlah akan keterangan Sukra,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa sedap prajurit diperintahkan untuk mengumpulkan mayat dengan imbalan yang menarik.
"Untuk yang terakhir kalinya " seru Lawa "kunaseha agar kalian menerima saja permintaanku
itu supaya tak perlu terjadi bentrokan antara sesama kaum prajurit"
"Itupun menjadi harapan kami " balas Wijaya "agar kalian jangan memaksa, agar terhindarlah
kita dari kesalahan faham itu"
"Serang," seru prajurit yang bertubuh kekar tadi seraya maju menerjang, diiku oleh Lawa dan
kawan-kawan. Wijaya telah bersiap-siap. Menghindar dari pukulan prajurit yang seorang, ia menyusup ke
samping, menerkam siku lengan Lawa lalu memutarnya ke belakang punggung "Auh" Lawa memekik
kesakitan. Melihat Lawa dikuasai Wijaya, dua orang prajurit, salah seorang yalah yang bertubuh kekar tadi,
berhamburan menyerang Wijaya dari kanan dan kiri. Wijaya tak gentar. Mengisar tubuh Lawa
menyongsong pukulan prajurit yang menyerang dari kiri, iapun ayunkan kaki mendupak perut
prajurit bertubuh kekar tadi.
Hampir serempak suara mengaduh dari mulut Lawa yang dadanya terhunjam nju kawannya
sendiri dan mulut prajurit bertubuh kekar yang perutnya seperti terkoyak akibat tendangan Wijaya.
Sebelum kejut dan longong bertebaran lenyap, tiba2 terdengar pula suara orang mengaduh
kesakitan. Lawa yang menderita siksa kesakitan, tangan terpelintir ke belakang punggung dan
dada dihunjam pukulan kawannya, berontak keras. Ia menendang sekuat- kuatnya. Ia tak sadar
lagi siapa yang ditendangnya itu. Tindakan itu hanya merupakan suatu saluran dari rasa
kemarahan yang diluapkan nyeri kesakitan. Dan kesadaran yang hilang itu, tak mengenal lagi
lawan dan kawan. Akibatnya, prajurit yang memukul dada Lawa itu harus memekik seperti anak
kecil, ketika alat tubuhnya yang menggunduk di bawah perutnya, menderita kesakitan yang tak
terperikan lagi. Ia terjerembab jatuh ke belakang.
"Kawan, engkau membunuh kawanmu sendiri," seru Wijaya kepada Lawa yang masih meringis
dan kepala bersimbah peluh "engkau harus kutangkap dan kuserahkan kepada Tumenggung
Mahisa Bungalan" Sementara prajurit yang seorang masih melangsungkan pukul memukul dengan Podang yang
dibantu Srono. "Auh . . . aku" mau bicara" seru Lawa.
Wijaya longgarkan tekanannya "Nah, bicaralah"
"Lepaskan aku, aku takkan mengganggumu kalian lagi"
"Benar?" "Ya" Wijaya segera melepaskan himpitannya lalu berkata "Silahkan engkau bawa kawanmu dan
jangan mengganggu disini. Atau mungkin engkau masih belum puas, akupun bersedia menuru
kehendakmu." Rupanya Lawa menyadari bahwa prajurit muda itu tak boleh dibuat main2. Ia meneriaki
kawannya yang masih baku hantam dengan Podang supaya berhen "Bawa kawan kita itu," ia
memberi perintah lalu mengangkut prajurit bertubuh kekar yang masih pingsan keluar dari rumah.
Tak berapa lama, terdengar derap kuda lari. Makin lama makin jauh.
Srono girang sekali dan menghaturkan terima kasih kepada Wijaya dan Sukra "Tidak, paman,
kamilah yang menjadi gara2 sehingga menimbulkan ramai2 ini" kata Wijaya.
Mereka masuk dan bercakap-cakap. Srono memberitahu kepada anaknya supaya mau ikut
Wijaya ke pura "Pergilah ke pura, Podang. Disana banyak kesempatan-kesempatan yang akan
mampu mengangkat derajad hidupmu"
Podang gembira. Ia kagum akan kedigdayaan Wijaya dan senang akan sikapnya.
Singkatnya Sukra, Wijaya dan Podang telah ba di pura Singasari dan menghadap demang
Srubung. Demang itu tertarik menerima laporan Sukra, Ia memanggil Wijaya dan Podang. Demang
Srubung terkejut melihat wajah Wijaya yang bersinar terang "Jaya, benarkah engkau dari desa
telatah Kawi" " tanya demang Srubung.
Wijaya mengiakan. "Maukah engkau bekerja disini?" tiba2 demang Srubung menawarkan pekerjaan.
Wijaya mengatakan bahwa ia belum mempunyai keinginan yang mantap untuk bekerja di pura.
Ia mengemukakan alasan, bahwa orangtuanya sudah tua, ia harus membantu mereka untuk
mengerjakan ladang "Apabila ki demang setuju, biarlah kawan hamba yang bernama Podang ini bekerja pada tuan
disini" Sejenak menatap ke arah Podang, demang Srubungpun menerimanya "Baiklah, kuterima dia
sebagai pengalasan disini. Akan hal dirimu, akupun tak mau memaksa"
"Terima kasih ki Demang " kata Wijaya, "hamba masih ingin mengajukan sebuah permohonan
kehadapan tuan" "O, katakanlah," rupanya demang Srubung mempunyui kesah baik terhadap Wijaya.
"Apabila diperkenankan," kata Wijaya "hamba ingin membantu pekerjaan disini. Apabila hamba
merasa cocok dan dapat menunaikan kewajiban, barulah nan hamba akan memper mbangkan
lagi ke putusan hamba untuk terus mengabdi disini ataukah pulang ke gunung"
"O, ar nya engkau hendak magang," seru demang Srubung "baiklah, kuterima. Mudah-mudahan
engkau cocok dan suka bekerja disini"
Demikian Wijaya dan Podang diterima bekerja sebagai magang dan pengatasan di tempat
kediaman demang Srubung. Tujuan Wijaya tak lain hanyalah hendak ikut serta dalam rombongan pengalasan demang
Srubung yang akan diperintah mengantarkan mayat ke kuburan Wurare. Ia ingin mendapat
kesempatan untuk menyaksikan upacara pentahbisan baginda Kertanagara.
Wijaya ingin mencari pengalaman maka ia memutuskan untuk melakukan kewajiban sungguh2
sebagai seorang pengalasan kademangan. Ingin ia mengenyam bagaimana derita seorang
orang gajihan. Ia tak menolak untuk bekerja apa saja di kademangan itu. Bahkan ia mau juga
untuk memperbaiki pagar, membersihkan kebun dan lain2 pekerjaan. Dalam waktu singkat, ia
menarik rasa suka pengalasan2 lain dan bawahan2 di kademangan situ.
Hari itu ia bersama Podang tengah memperbaiki saluran air yang terentang di muka halaman
rumah ki demang. Tiba2 muncul dua orang lelaki muda berbusana indah.
"Katang Lumbang" " diam2 Wijaya terkesiap ke ka melihat salah seorang lelaki pendatang itu.
Samar-samar ia masih dapat mengingat akan wajah Katang Lumbang ke ka berada dalam
candimakam di Kagecengan.
Kedua lelaki muda itu memandang sejenak ke arah Wijaya, ba2 salah seorang yang diduga
Wijaya sebagai Katang Lumbang itu, berhenti.
"Hai, siapa kalian berdua ini" " serunya. Wijaya terkejut. Ia makin mendapat kesan bahwa orang
itu memang Katang Lumbang. Nada suaranya seper yang didengarnya ke ka didalam candi
Kagenengan. "Hamba magangan baru di kademangan sini, raden," kata Wijaya,
"Mengapa tak tahu adat!"
Wijaya terkejut "Hamba mohon maaf, raden. Tetapi kesalahan apakah yang hamba lakukan"
" "Mengapa melihat Kukila, putera ki demang pulang, engkau tak menghaturkan hormat"
"O, maa an, hamba tak tahu raden" Wijaya terus memberi hormat. Tetapi Kukila tak
mengacuhkan dan mengajak kawannya masuk ke pendapa.
"Raden ...." "St, jangan memanggil raden, cukup kakang saja " cepat Wijaya menukas kata2 Podang
"ingat saat ini kita jadi pengalasan, orang gajihan di kademangan. Apa yang ingin engkau
katakan?" "Sombong benar kedua pemuda itu " kata Podang "mentang2 putera demang"
"Jangan keras2, Podang " kata Wijaya "begitulah ngkah anak2 muda yang masih mentah. Gemar
membanggakan diri, mengandalkan kekuasaan ayahnya. Hendaknya kita dapat menghindari sikap
semacam itu. Kesombongan hanya mengundang kebencian dan kemuakan orang"
"Terima kasih, kakang"
Tiba2 saat itu muncul pula dua orang prajurit, salah seorang tak lain adalah Sukra "Raden . . . . "
Sukra terkejut melihat Wijaya dan Podang sedang menyabit tanaman yang membias keluar dari
pagar. "Kakang Sukra" Wijayapun bergegai menghampiri. Dengan bisik2 dia minta agar Sukra jangan
menyebutnya dengan panggilan raden.
"Mengapa engkau melakukan pekerjaan semacam ini?" Sukra masih menyatakan keheranannya.
"Kakang Sukra," sahut Wijaya dengan nada lapang "untuk menyelami hidup kita harus berani
belajar hidup. Semua pekerjaan adalah sarana hidup. Menyabit rumput, memotong tanaman
pagar, juga suatu pekerjaan yang baik. Coba engkau bayangkan, kakang. Andai se ap orang hanya
ingin menjadi prajurit, lalu siapakah yang menjadi petani, perajin dan pedagang. Jika semua orang
gajihan di kademangan ini, hanya mengerjakan urusan dinas, lalu siapakah yang mengurus kebun
dan pagar?" Wijaya tertawa. Sukra dan Podang ikut tertawa. Diam2 Podang dan Sukra berkesan
atas kebesaran jiwa pemuda yang walaupun belum diketahui asal usulnya yang jelas namun
mereka duga tentulah bukan keturunan orang biasa.
"Kakang Sukra," kata Wijaya pula "tentu ada kepentingan kakang datang ke kademangan ini?"
"Benar" sahut Sukra "aku diutus ki menggung Mahisa Bungalan untuk menyampaikan perintah
kepada ki demang" "Soal apa kakang?"
"Soal persiapan mengenai upacara pentahbisan baginda di kuburan Wurare itu"
"O, apakah mergenai kelengkapan2 dalam upacara itu, misalnya tentang jumlah mayat" yang
diperlukan di lapangan upacara?"
"Bukan" Sukra gelengkan kepala, "hal itu kukira sudah lengkap. Karena perintah
mengumpulkan mayat itu serempak diberikan kepada prajurit2 dari setiap kesatuan. Eh, ada
sedikit perobahan mengenai mayat2 itu"
"Ha" Perobahan apa?"
"Bahwa mayat2 yang diperlukan dilapangan upacara itu terdiri mayat2 yang masih segar dan
belum lama meninggalnya. Hal itu menimbulkan kehebohan, prajurit2 yang membawa mayat2 yang
sudah membusuk, tidak dipakai"
"Dan tumenggung Mahisa Bungalan menitahkan agar se ap demang bawahannya dengan
membawa sepuluh orang pengiring, ikut hadir untuk menjaga keamanan upacara itu"
"Tetapi di kademangan ini ada tampak seorang prajurit, bagaimana ki demang hendak
mengumpulkannya?" "Kesatuan2 prajurit terbagi dalam beberapa tempat. Pasukan kerajaan tinggal di markas
prajurit. Mereka mempunyai pimpinan yang telah ditentukan. Lalu ada kesatuan kecil yang
bertempat di tempat kediaman gusti mentri dan senopati, antara lain gusti patih, gusti senopati
dan tumenggung yang bertugas dalam pasukan. Tumenggung Mahisa Bungalanpun mempunyai
kesatuan kecil di tumenggungan. Untuk menjaga keselamatan dan dalam waktu2 tertentu
menjadi pengiring tumenggung. Aku salah seorang dari kesatuan prajurit yang bertempat di
kediaman tumenggung Mahisa Bungalan"
Wijaya mengangguk. "Kakang Sukra, upacara pentahbisan baginda itu tentu merupakan peris wa yang jarang terjadi.
Sebenarnya aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk ikut serta mengiring ki demang ke
lapangan upacara itu"
Sukra diam sejenak, kemudian berkata "Baiklah akan kuusahakan untuk menyampaikan
permohonanmu itu kepada ki demang. Kurasa ki demang tentu meluluskan"
Wijaya bersukacita. Ia menghaturkan terima kasih atas bantuan Sukra "Kakang Sukra, saat ini ki
demang sedang menerima kedatangan dua orang tetamu"
"O, siapa?" "Yang seorang yalah putera ki demang yang bernama Kukila. Dan yang seorang, adalah orang
yang pernah kutanyakan kepadamu tempo hari"
"Siapa?" "Bhayangkara keraton Singasari yang bernama Katang Lumbang"
"O " Sukra terkejut "Kukila, memang putera ki demang. Tetapi Katang Lumbang, aku belum kenal.
Tetapi menilik dia datang bersama Kukila. kemungkinan besar dia tentu seorang bhayangkara
keraton" "Bagaimana kakang mengatakan begitu?"
"Karena putera ki demang itu juga bekerja sebagai prajurit bhayangkara di keraton"
"O " desuh Wijaya terkejut "berapakah putera ki demang itu ?"
"Tiga " kata Sukra "dua lelaki dan satu perempuan. Yang besar, Kukila, menjadi prajurit
bhayangkara keraton. Yang kedua, Bantara, berguru pada seorang resi di gunung Meru.
Sedang yang bungsu, Tanjung, berada di rumah"
"O" "Ni Tanjung sudah seorang dara remaja yang can k. Kudengar memang ada seorang prajurit
bhayangkara keraton, kawan Kukila, yang mempunyai hasrat kepada dara itu. Mungkin
bhayangkara yang bernama Katang Lumbang itu"
"Mungkin juga " Wijaya mengangguk. Selama beberapa hari nggal di kademangan situ, ia belum
pernah berjumpa dengan ni Tanjung.
"Kakang Sukra, apabila habis menghadap ki demang, dapatkah engkau memberitahu kepadaku
tentang hasil pembicaraanmu dengan ki demang?"
Sukra mengiakan lalu mengajak kawannya menuju ke pendapa. Memang benar yang dikatakan
Wijaya tadi, saat itu ki demang Srubung tengah bercakap- cakap dengan puteranya dan seorang
prajurit bhayangkara. "O, engkau Sukra," tegur ki demang menyambut kedatangan Sukra.
Sukra menghaturkan hormat lalu menyampaikan maksud kedatangannya "Hamba diperintah ki
tumenggung Mahisa Bungalan untuk menyampaikan berita kepada ki demang. Bahwa dalam
upacara pentahbisan seri baginda di pekuburan Wurare nan , ki demangpun diminta supaya ikut
bergabung dengan kesatuan prajurit untuk menjaga keamanan upacara itu"
"O,-baiklah," kata demang Srubung.
Kemudian Sukra juga menghaturkan hormat kepada Kukila dan kawannya. Prajurit bhayangkara
itu berbisik-bisik kedekat telinga Kukila. Kukila pun mengucapkan beberapa patah perkataan dan
kawannya itu tampak mengangguk- angguk.
"Prajurit, rupanya ki tumenggung Bungalan sibuk Sekali menjelang berlangsungnya upacara di
Wurare itu" tiba2 prajurit bhayangkara yang ternyata memang Katang Lumbang berseru.
Sukra mengiakan. "Lalu atas perintah siapakah pemusatan para demang dan prajurit2 untuk menjaga keamanan di
Wurare itu?" tanya Katang Lumbang pula.
"Kalau tak salah dari gusti patih Kebo Anengah"
"Kukila," ba2 demang Srubung berkata "apakah kesatuan bhayangkara tak dikerahkan untuk
mengawal perjalanan seri baginda ?"
Kukila mengangguk "Ya, memang demikian perintah yang kami terima dari gus pa h Kebo
Anengah. Tetapi pasukan bhayangkara itu hanya pengiring, sedang yang mengawal baginda adalah
tumenggung Bandupoyo"
"Mengapa penjagaan dan pengawalan begitu kuat sekali" Bukankah yang diwajibkan menjaga
keamanan upacara, sudah terlalu banyak jumlahnya ?" tanya demang Srubung.
"Benar, paman," sahut Katang Lumbang "sesungguhnya hal itu agak berkelebihan. Baginda
adalah maha-diraja yang termasyhur, sak dan digdaya. Apalagi upacara itu merupakan
pentahbisan keramat. Seyogianya dilangsungkan dalam suasana yang sunyi dan khidmat sehingga
dewa2 akan turun untuk merestui pentahbisan itu"
Demang Srubung mengangguk namun ia mengatakan juga bahwa kesemuanya itu adalah
kebijaksanaan atasan yang tak dapat dibantah.
Setelah beberapa saat kemudian maka Sukra pun turun dari pendapa. Ke ka keluar dari regol
kademangan, dia disambut oleh Wijaya "Bagaimana kakang Sukra, apakah ada hal2 pen ng yang
berlangsung dalang pembicaraan dengan, ki demang tadi ?"
Sukra menuturkan semua pembicaraan tadi.
"Benarkah prajurit bhayangkara yang seorang itu Katang Lumbang, kakang" " tanya Wijaya.
Sukra mengangguk. "Menilik ucapannya, memang ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian"
"Ucapannya yang mana " " tanya Sukra.
"Bahwa ia tak setuju atas ndakan gus pa h Kebo Anengah yang mengerahkan kekuatan
pasukan dalam jumlah besar untuk menjaga keamanan upacara di Wurare"
"Sepintas alasannya memang baik " kata Sukra "karena pentahbisan itu merupakan upacara yang
keramat dan suci sehingga tak perlu harus dimeriahkan secara besar-besaran"
"Kakang Sukra" kata Wijaya "memang demikianlah halnya," diam2 Wijaya memba n bahwa
Sukra tak tahu akan rencana Katang Lumbang untuk membunuh baginda "tetapi kemungkinan gus
patih, Anengah mempunyai pertimbangan lain"
"Dalam soal apa?"
"Kakang Sukra, bagaimana pandanganmu dengan keadaan dalam kerajaan Singasari ini?"
"Keadaan dalam segi apa?"
"Keamanan, kakang " sahut Wijaya "adakah keamanan dalam kerajaan Singasari ini sudah benar2
terjamin sehingga kerisauan gus paiih Anengah untuk menjaga keselamatan seri baginda itu suatu
tindakan yang berkelebihan ?"
"Yang jelas kekuatan pasukan pura Singasari sejak sebagaian besar dikirim ke Malayu, memang
kurang dan lemah. Tetapi selama ini dak terjadi sesuatu yang dapat dianggap mengganggu
ketenteraman pemerintahan"
"Kata2 dak terjadi itu rasanya lebih tepat apabila digan dengan belum terjadi. Pengiriman
pasukan Pamalayu itu menimbulkan pertentangan pendapat yang berekor panjang. Yang jelas
menteri tua yang menentang telah dicopot dan dipindah tempat, antara lain gus pa h sepuh
Raganata, Wirakre dan Wiraraja. Tetapi pengikut2 mereka tentu belum puas atas ndakan
baginda itu. Pemberontakan di gunung Butak yang dipimpin Mahisa Rangkah, bekas bhayangkara
keraton Singasari, merupakan pencetusan dari rasa ke dak-puasan dikalangan pengikut2 para
mentri yang telah dicopot itu. Demikian pula mbulnya rasa tak senang kepada gus pa h Aragani
yang terlalu haus kekuasaan dan bernafsu sekali untuk menanam pengaruh di keraton dan
mengambil ha baginda, tentu akan membentuk suatu kelompok yang mengatur usaha mereka
untuk menentang gusti patih Aragani"
Berhen sejenak Wijaya melanjutkan "Dan fihak Dahapun seharusnya mendapat perha an dari
baginda" "Daha " " Sukra gelengkan kepala "seri baginda cukup bijaksana. Dengan ikatan keluarga yang
terjadi antara pangeran Ardaraja dengan puteri baginda, tentulah raja Jayakatwang takkan
memiliki keinginan2 yang kurang berbudi"
"Kakang Sukra, pernahkah engkau ke Daha?"
Sukra gelengkan kepala " Belum"
"Hm,. jika demikian " kata Wijaya "engkau hanya memandang Daha dari satu segi sebagaimana
yang telah dilakukan baginda"
"Maksudmu ?" "Ada suatu gejala perasaan yang menghinggapi orang. Bahwa se ap orang yang mempunyai
keunggulan, sering terlena dalam rasa angkuh, yakin dan tak mau menilai orang yang lebih bawah.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibarat berjalan, yang dipandang hanyalah atas, tak mau memandang ke bawah. Akibatnya dia
seorang menderita kesulitan. Entah terantuk batu, entah terperosok lubang"
"Berdasar dari keadaan itu, maka jelaslah bahwa biasanya, gangguan dan kesulitan itu datangnya
dari bawah. Oleh karena itu perlulah orang yang sudah berada di puncak ter nggi, sering
menurunkan pandang untuk mengamati keadaan di bawah " kata Wijaya pula.
Sukra terlongong memandang Wijaya " Aku tak mengerti apa yang engkau maksudkan"
"Maksudku, betapapun halnya, baginda hendaknya jangan mengabaikan pengamatannya
terhadap Daha" "Tetapi bukankah pangeran Ardaraja sudah menjadi menantu baginda ?"
Wijaya mengangguk "Benar. Tetapi hal itu bukan berar bahwa Daha itu sudah menjadi
Singasari. Walaupun menjadi bawahan, tetapi bagi pendirian orang Daha, Daha itu tetap Daha dan
Singasari itupun Singasari"
"Tetapi ...." "Terima kasih kakang Sukra," cepat Wijaya menukas "atas kesediaanmu memberitahu tentang
pembicaraanmu dengan ki demang tadi. Ada sedikit hal yang ingin kutanyakan kepadamu"
"Silahkan" "Tahukah kakang akan tempat tinggal prajurit bhayangkara Katang Lumbang itu ?"
"O " desuh Sukra "kurasa dia tinggal di markas prajurit"
Sejenak merenung maka Wijayapun berkata pula "Baiklah, kakang. Terima kasih dan silahkan
kakang melanjutkan perjalanan. Eh, bagaimana dengan permohonanku kepada ki demang ?"
"Telah kuhaturkan " kata Sukra "dan rasanya ki demang tiada keberatan"
"Terima kasih kakang " kata Wijaya.
halaman terakhir hilang ~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 14 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Wijaya terkejut. Kejut dari seorang yang merasa melakukan sesuatu yang tak layak. Disamping
mbul juga rasa kagum akan indera pendengaran Katang Lumbang yang sedemikian tajam.
Walaupun berdebar namun Wijaya berusaha untuk menghapus jejak. Dia mengheningkan seluruh
gerak anggauta badan. Bahkan menghentikan pernapasannya.
"Hm, seorang ksatrya tentu takkan main sembunyi mencuri pembicaraan orang" Katang Lumbang
mengulangi hardikannya. Lebih keras.
"Engkau !" teriak Katang Lumbang. Dan Wijaya terbeliak makin kaget. Dia mengira Katang
Lumbang tentu sudah melihat dirinya. Dan menurut suara ha nya, seorang ksatrya harus berani
menunjukkan diri. Apapun yang akan terjadi.
Katang Lumbang berkisar tubuh ke samping kanan dan memandang ke muka. Jelas dak
menghadap ke arah Wijaya yang bersembunyi di balik semak gerumbul sebelah kiri.
"Siapa engkau!" Katang Lumbang mengulang teriakannya yang penuh nada getar.
Kini makin jelas bagi Wijaya bahwa yang dimaksud Katang Lumbang itu bukan dirinya. Ada
seorang lain yang berada disekitar tempat itu. Ia mengekang ketegangan, mengendapkan
ketenangannya lalu berusaha untuk menembuskan pandang diantara celah2 gerumbul, kearah
yang dipandang Katang Lumbang. Walaupun tak sangat jelas namun ia berhasil melihat bahwa di
bawah sebatang pohon randu alas besar, di atas lingkar akarnya yang menggunduk bertautan,
duduk seorang muda. Menilik pakaiannya dia seperti seorang brahmana.
"O, engkau Bantara" tiba2 Kukila berseru demi melihat lelaki muda itu. Ia menghampiri.
"Kakang Kukila" brahmana muda itu berbangkit memberi hormat. Bantara memeluknya.
"Sudah beberapa tahun engkau tak pulang, Bantara. Rama dan ibu sangat merindukanmu" kata
Kukila "akupun juga"
"Maaf kakang," ujar brahmana itu dengan nada tenang "akupun demikian pula. Tetapi aku harus
mematuhi titah guru"
"Hendak kemana sekarang engkau, Bantara?"
"Pulang, kakang. Menghaturkan sembah bakti kepada rama ibu"
"O" wajah Kukila tampak cerah.
"Kukila, siapa dia?" tiba2 Katang Lumbang berseru.
Kukila terkejut. Ia menyadari sesuatu yang lalai dilakukan. Buru2 ia memperkenalkan Katang
Lumbang kepada Bantara. "Bentara, inilah kakang Katang Lumbang, kawan sekerja dengan
aku. Dan inilah Bantara adikku, kakang Katang"
"O, Bantara yang berguru di gunung Meru itu?" seru Katang Lumbang dengan nada longgar.
Keduanya saling memberi hormat.
Sejenak bertukar cakap dengan Katang Lumbang maka brahmana muda itupun berkata pula
kepada Kukila "Kakang Kukila, sungguh tepat sekali aku dapat berjumpa dengan kakang disini.
Ada sesuatu yang ingin dan perlu kusampaikan kepada kakang."
Kukila terkejut "Apakah itu?"
"Sesungguhnya kakang," kata brahmana muda itu dengan nada mantap "perjalananku turun
gunung ini karena mengemban titah guru."
Baik Bantara maupun Katang Lumbang terkejut. Keduanya sama memiliki suatu keheranan
bahwa tah dari guru Bantara itu tentu pen ng. Tetapi mereka heran mengapa begitu terbuka
sifatnya, Bantara menyampaikan berita itu kepada Kukila. Bukankah disamping Kukila saat itu
masih terdapat pula Katang Lambang. Adakah perintah guru Bantara itu menyangkut suatu
kepentingan umum sehingga umum pula sifatnya "
"Titah guru itu amat pen ng sekali" kata Bantara pula. Ke ka melihat wajah Kukila mengerut dan
melirik kearah Kukila, brahmana muda itu melanjutkan, "pen ng sekali kepada sesuatu yang
menyangkut bidang pekerjaan kakang"
"Bantara" seru Kukila, "katakanlah adi, apakah berita dari gurumu itu " Apakah yang engkau
maksudkan dengan kepentingan pekerjaanku ?"
"Kakang Kukila" kata brahmana Bantara, "dalam rangka pekerjaan kakang sebagai seorang
bhayangkara keraton, apakah kewajiban kakang ?"
"Khusus menjaga keselamatan baginda dan segenap keluarga, serta keamanan keraton dan pura
Singasari" "Tepat" seru brahmana Bantara, "titah guru adalah mencangkum hal itu semua"
"O" Kukila terbeliak, "adakah maksudmu hendak mengatakan bahwa engkau sedang
melaksanakan titah gurumu untuk menyelamatkan baginda dan kerajaan Singasari ?"
"Begitulah, kakang"
Kukila dan Katang Lumbang terbelalak. Di balik gerumbul semak diam2 Wijayapun terkejut.
"Bantara" seru Kukila, "mengapa gurumu memerintahkan engkau demikian. Tidakkah suatu hal
yang dapat menimbulkan rasa heran apabila dalam keadaan seper sekarang, negara tenteram
aman, engkau ditugaskan untuk melindungi baginda" Bukankah baginda mempunyai beratus
prajurit bhayangkara yang sanggup melindungi dan menjaga keselamatan baginda?"
"Kakang Kukila" kata brahmana Bantara, "bahwa pasukan bhayangkara keraton Singasari harus
menjaga keselamatan baginda, itu termasuk tugas. Tetapi bahwa guru menitahkan aku supaya
melaksanakan usaha untuk melindungi keselamatan baginda, itu termasuk kewajiban. Masing2
mempunyai tugas dan kewajiban"
"Ah, Bantara" desuh Kukila "masih juga belum berobah sifatmu sejak dulu kala. Jika berbicara
selalu tak mau langsung tetapi melingkar-lingkar yang dapat mengaburkan penger an orang.
Bukankah tugas dan kewajiban itu serupa belaka" Yang kutanyakan apa sebab gurumu menitahkan
engkau melakukan hal itu ?"
"Memang sepintas, tugas dan kewajiban itu serupa. Tetapi sesungguhnya tak sama" sahut
Bantara, "tugas, terikat dengan pekerjaan atau sesuatu yang bersifat kebendaan Kewajiban, boleh
juga terikat, boleh pula bebas. Yang dimaksud terikat, bukan terikat oleh sifat kebendaan tetapi
dari sfat rasa dan kejiwaan. Kewajiban kita, insan manusia ini untuk manembah kepada Hyang
Widdhi. Ini salah sebuah misal"
"Kukatakan tugas para bhayangkara untuk menjaga keselamatan baginda karena mereka terikat
oleh tugas pekerjaan. Tetapi kewajiban guru dan semua kawula Singasari untuk ikut menjaga
keselamatan baginda" kata brahmana Bantara pula.
"Sudahlah Bantara, katakan saja mengapa gurumu menitahkan demikian!" tampaknya Kukila tak
sabar lagi. "Karena menurut getaran gaib dalam cipta semedhi guru, dalam waktu dekat ini keraton
Singasari akan dilipu oleh gumpalan awan hitam. Hal itu berar bahwa dalam keraton Singasari
akan terjadi suatu peristiwa yang berbahaya. Berbahaya bagi keselamatan baginda"
"O" desuh Kukila.
"Kakang brahmana" ba2 Katang Lumbang yang sejak tadi diam saja berseru "engkau
mengatakan, menurut wawasan cipta semedhi gurumu, bahwa dalam keraton Singasari akan
mbul bahaya yang mengancam keselamatan jiwa baginda. Dengan demikian berar bahwa
bahaya itu berasal dari dalam, bukan berasal dari luar keraton, bukan dari musuh di luar kerajaan.
Benarkah begitu?" "Tepat" seru brahmana Bantara "memang guru mengatakan bahwa asap hitam itu berasal dari
dalam keraton, membubung dan meliputi keraton"
"Oh" desah Katang Lumbang dengan rasa kejut yang menggetarkan ha baginda seorang
junjungan yang amat kuasa dan sak . Seluruh mentri, senopa dan seisi keraton tunduk taat ke
bawah duli baginda. Bagaimana mungkin bahaya itu berasal dari dalam keraton apabila dak dari
luar daerah?" "Kakang Katang Lumbang" sahut brahmana muda itu dengan tenang "adakah dalam pandangan
dan wawasan kakang sebagai seorang prajurit bhayangkara keraton, menganggap bahwa dalam
pura kerajaan saat ini sudah tenteram dan tenang ?"
Katang Lumbang tertegun. "Bantara" tiba2 Kukila berkata "penilaian dari keadaan tenteram dan aman itu hanya kami
tanggapi dari kenyataan. Hingga saat ini, keraton tak terjadi suatu apa"
"Kakang Kukila" sambut Bantara "air tenang tanda dalam. Jangan kita terkabur oleh suatu
ketenangan. Seperti yang telah kita ketahui berturut-turut pura Singasari telah mengalami
peristiwa2 yang menggoncangkan. Penggeseran beberapa mentri tua seperti patih sepuh empu
Raganata, demung Wirakreti dan tumenggung Wirdraja, kemudian terjadinya pemberontakan
kecil dari Mahisa Rangkah, merupakan sederet dari peristiwa yang tentu takkan habis begitu
saja. Maka kukatakan jangan kita terkabur oleh keadaan tenang setelah terjadi kegoncangan2
itu" "Engkau maksudkan, keadaan pura Singasari itu ibarat api dalam sekam?"
"Mudah-mudahan dak, walaupun perasaan dan pikiranku terisi dengan kesan2 itu. Dan oleh
karena itu maka kita harus berusaha untuk menjaga kemungkinan2 yang mungkin terjadi"
"Ah, Bantara" seru Kukila "engkau lupa bahwa aku ini seorang prajurit. Seorang prajurit hanya
melaksanakan perintah dari atasan dan melakukan tugas2 yang menyangkut keprajuritan. Soal
urusan pemerintahan, adalah tugas dari para mentri dan bupati nayaka. Kami hanya menjaga
keamanan. Dari siapa dan manapun tindakan yang mengganggu keamanan itu timbul, maka
kami bertugas untuk memberantasnya. Soal siapa dan apa tujuan mereka yang hendak
mengganggu keamanan itu, bukan tugas kami untuk ikut campur"
"Tepat" sambut Katang Lumbang "demikian tugas seorang prajurit. Demikian pula seyogyanya
tugas seorang pandita, resi dan brahmana. Jika prajurit bertugas untuk menjaga keamanan dari
gangguan musuh dan pengacau, tugas seorang pandita dan brahmana hanyalah di candi, kuil dan
sudharma untuk mengembangkan agama. Prajurit dak layak mencampuri urusan pemerintahan,
lebih lagi kaum brahmana"
Brahmana Bantara mengangguk "Benar, ki Katang Lumbang. Prajurit, brahmana, petani,
pedagang, para pandai, mempunyai tugas pekerjaan masing2 sesuai dengan bakat dan
panggilan jiwa mereka. Tetapi hendaknya tuan jangan lupa bahwa apapun bidang dan
pekerjaan mereka, tetapi mereka tetap sama yani kawula Singasari. Dan menjadi kewajiban,
untuk ikut serta menjaga dan membela kerajaan Singasari"
"O, baru pertama kali ini kudengar brahmana juga ikut memikirkan keadaan negara" seru Katang
Lumbang dalam nada mencemoh.
"Buah masak karena terik matahari. Manusia matang karena pengalaman" seru brahmana
Bantara "cobalah ki Katang Lumbang sejenak memalingkan perha an akan peris wa sejarah yang
lalu. Tidakkah karena sikap hadigang hadigung prabu Dandang Gendis dari Daha maka telah
menyebabkan penderitaan yang ada tertahan oleh kaum pandita dan brahmana sehingga
berbondong-bondong mereka mencari pangayoman ke kerajaan Singasari yang di bawah kekuasaan
raja sri Rajasa sang Amurwabhumi " Tidakkah keadaan negara itu, secara tak langsung akan
membawa akibat pada keamanan dan ketenangan perkembangan agama?"
Berhen sejenak brahmana Bantara melanjutkan lagi "Baginda Kertanagara seorang junjungan
yang patuh dan taat menjalankan agama, serta giat mengembangkan ajaran2 agama. Baiklah, jika ki
Katang mencemoh aku seorang brahmana tak layak ikut campur dalam urusan pemerintahan.
Adakah tuan berhak menuduh aku seorang brahmana yang tak tahu kebrahmanaannya apabila aku
dan guruku berusaha untuk melindungi keselamatan baginda Kertanagara seorang raja yang arif
dan patuh mengembangkan agama" Bukankah keputusan baginda untuk mengadakan upacara
pentahbisan sebagai Jina itu suatu kenyataan dari kemantapan tekad baginda dalam mencari
kesempurnaan agama " Adakah tuan masih tak merelakan aku dan kaum agama, baik Buddha,
Syiwa dan Brahma untuk berusaha memperjuangkan kehidupan dan kelangsungan agama itu
melalui kelestarian dari sebuah junjungan dan sebuah kerajaan yang melindungi agama2 itu ?"
Amat berapi-api nadanya dan amat bersemangat sikap brahmana Bantara ke ka mengucapkan
kata-kata yang panjang lebar itu.
"Semisal dengan diri tuan dan kakang Kukila" kata Bantara pula " dakkah tuan layak berjuang
menyelamatkan baginda dan kerajaan Singasari demi tugas tuan, demi kehidupan yang menghidupi
tuan ?" Bertebar warna merah muka dan telinga Katang Lumbang seke ka. Tetapi cepat sekali putera
Tohjaya yang menyaru masuk menjadi prajurit bhayangkara dengan nama Katang Lumbang itu,
tenang kembali. "Ki brahmana" katanya dengan nada sarat "uraianmu cukup jelas, sejelas surya di pagi hari.
Cukup panjang pula walaupun melingkar-lingkar seper ular dalam liang. Surya melanglang untuk
menyinari buana. Ular melingkar untuk dur atau bertapa. Dan ucapanmu melantang untuk
menggemakan maksud ha mu. Jelas. Baik sang Surya, ular maupun ucapanmu, mempunyai tugas,
mengandung maksud, membenam pamrih"
"Apakah yang tuan maksudkan dengan ucapan tuan itu ?" seru brahmana Bantara. Tenang tetapi
penuh tuntutan. "Jika aku, prajurit yang terikat oleh tugas pekerjaan yang menurut kata ki brahmana merupakan
Kitab Pusaka 17 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Pendekar Sadis 23
^