Pencarian

Dendam Empu Bharada 16

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 16


suatu kehidupan yang menghidupi aku, itu memang layak dan dapat dimenger . Karena apa yang
kami lakukan itu adalah soal2 yang menyangkut lahiriyah atau keduniawian. Sudah layak pula kalau
orang2 seper kami, demi kehidupan, harus berjuang melaksanakan tugas. Tetapi kurang dapat
dimenger , ki brahmana, apabila orang yang seper tuan, masih juga memikirkan soal2 kehidupan,
masih mencemaskan pula soal keduniawian, masih mendebarkan soal2 pemerintahan. Agama
adalah dunia tuan, kehidupan tuan dan segalanya bagi ki brahmana. Mengapa tuan masih
memikirkan soal2 pemerintahan dan kerajaan Singasari " Tidakkah hal itu mengandung suatu
pamrih atau keinginan bahwa tuan akan berusaha untuk mengembangkan agama tuan bahkan
kalau mungkin akan menyuarkan agama itu diatas negara dan pemerintahan ?"
Melihat perbantahan itu mulai makin meningkat kearah suhu yang panas, buru2 Kukila melerai
"Sudahlah Bantara, jangan berkepanjangan jua kata dirangkai. Masing2 mempunyai pendirian dan
tugas serta kewajiban sendiri"
"Terima kasih kakang" sambut Bantara "tetapi aku tak ingin mengecewakan ki prajurit yang
menginginkan keterangan itu. Perkenankanlah, kakang, aku melanjutkan kata barang beberapa
waktu lagi" "Ki prajurit" tanpa menunggu jawaban Kukila, Bantara terus melancarkan kata kepada Katang
Lumbang "walaupun sifat dan dan tujuan agama itu adalah untuk memberi kesadaran dan
penerangan ba n agar hidup kita ini sejahtera lahir ba n, di arcapada sampai ke mayapada. Aku
dan sebagian besar kaumku, demi rasa kasih sayang yang murni, ingin memberi penerangan,
pelajaran dan kesadaran menurut ajaran agama kami, kepada sesama manusia yang dikuasai oleh
debu2 kedosaan nafsu. Dengan demikian jelas bahwa yang kami hadapi itu adalah manusia. Sudah
barang tentu pula, kesejahteraan lahir ba n itu memerlukan syarat, paling
dak suatu pemerintahan yang aman. Dan untuk mencapai keamanan itu, wajiblah kita membantu, menjaga
dan melindunginya dengan cara masing2. Tuan sebagai prajurit, bertugas melindungi keamanan
negara itu dengan wewenang yang tuan miliki. Kami kaum brahmana dengan cara kami, berdoa,
mempersembahkan sesaji dan memberi penerangan2 agar ba n dan jiwa mereka terlepas dari
nafsu2 kejahatan. Tuan dengan senjata pedang, tombak dan kekuatan. Kami dengan senjata
penerangan dan penyadaran. Jika tuan mengatakan bahwa ucapanku itu mengandung pamrih,
akupun tak menyangkal. Karena segala gerak hidup itu tentu tak terlepas dari pamrih. Namun
pamrih yang baik, tentulah dak halangan kita laksanakan. Pamrih itu luas dan menyelimu
seluruh kehidupan. Jangan tuan menyinggung-nyinggung kata2 itu"
"Bantara" cepat Kukila mengerat "sudahlah. Cukup. Sekarang katakanlah, apakah tah yang
hendak engkau laksanakan dari gurumu ?"
"Baginda Kertanagara sedang dilipu awan hitam" kata Bantara "maka selama ini penjagaan
harus diperketat" "Hanya itu ?" "Menurut guru, akan ada suatu ndakan untuk membunuh baginda. Dan perbuatan itu
dilakukan oleh orang dalam keraton sendiri"
Katang Lumbang terkejut dalam hati.
"Dan engkau percaya akan hal itu?"
"Kakang, apa salahnya kita menjaga lebih dahulu daripada terlambat ?" balas Bantara.
"Bantara" ba2 nada Kukila berobah agak nggi "apakah sudah lama engkau duduk dibawah
pohon itu ?" Bantara mengiakan. "Dan engkau mendengar semua percakapanku dengan kakang Katang Lumbang ?"
Kembali Bantara mengangguk. Seketika Kukila pucat wajahnya dan Katang Lumbangpun gemetar.
"Kakang, api itu berbahaya. Jangan bermain api jika tak ingin terbakar" kata Bantara.
Katang Lumbang memiliki perasaan yang tajam. Ia melihat bahwa Kukila tampaknya goyah
hatinya. Sebelum itu ia harus lekas2 menutup pembicaraan itu "Baik, ki brahmana. Nasehatmu
itu akan kami perhatikan" kemudian ia mengajak Kukila "Kukila, mari kita kembali"
Sebenarnya berat juga ha Kukila untuk meninggalkan adiknya. Sudah beberapa tahun tak
berjumpa, dia ingin pulang dan berkumpul dengan ayah, bunda dan adik-adiknya. Tetapi karena
dibawa Katang Lumbang, terpaksa ia menurut.
Suasana hening pula. Beberapa saat kemudian terdengar brahmana itu menghela napas. Wijaya
menyaksikan semua peris wa itu. Diam2 dia kagum dan memuji brahmana itu. Walaupun masih
muda tetapi tangkas bicara dan tajam pandangan. Ia berharap mudah-mudahan Katang Lumbang
akan mendapat kesadaran bahwa rencananya itu akan menemui kegagalan karena sudah diketahui
oleh brahmana itu. "Betapapun Katang Lumbang itu adalah putera keturunan eyang buyut Tohjaya. Sebenarnya aku
masih memanggilnya dengan sebutan eyang kepada Katang Lumbang itu. Maka aku wajib
ber ndak. Untuk menyelamatkan baginda agar kerajaan Singasari terhindar dari malapetaka.
Akupun harus menyelamatkan eyang Katang Lumbang agar keturunan eyang buyut Tohjaya jangan
ludas" pikirnya. Tiba2 ia melihat brahmana itu beranjak dari tempat duduk dan mulai ayunkan langkah. Diam2
Wijaya girang karena diapun akan segera keluar dari balik gerumbul dan cepat2 hendak pulang.
Tetapi sekonyong- konyong brahmana itu hen kan langkah tepat disebelah muka gerumbul
semak, hanya terpisah tujuh langkah. Sebelum Wijaya sempat memperha kan apa gerangan yang
dilakukan brahmana itu, ba2 ia mendengar suara brahmana itu "Ki sanak, mengapa engkau
bersembunyi dibalik gerumbul?"
Kejut Wijaya bukan alang kepalang. Tanpa disadari rasa kejut itu telah menggelinjangkan
tubuhnya sehingga bergetarlah semak tersentuh oleh tangannya.
"Ki sanak yang bersembunyi dibalik gerumbul, silahkan keluar. Mari kita bicara di sini" ulang
brahmana itu pula. Kini Wijaya menyadari bahwa jejaknya telah diketahui brahmana, muda itu. Dan ia tahu siapa
brahmana itu serta bagaimana pendiriannya. lapun segera melangkah keluar.
"Ah" desah brahmana itu seraya menatap wajah Wijaya.
"Maaf, ki brahmana" sesaat berhadapan, Wijaya-pun menghaturkan maaf dengan sebuah
hormat. "Ki sanak" ujar Bantara "siapakah engkau ini?"
"Aku Jaya, seorang gajihan dari ki demang Srubung"
"Orang gajihan dari demang Srubung?" brahmana itu agaknya terkejut.
"Benar, ki brahmana. Aku bekerja sebagai orang gajihan di tempat ki demang Srubung, ayah
tuan" "O, engkau telah mendengar semua percakapan tadi?"
"Demikianlah ki brahmana"
"Engkau mengaku sebagai orang gajihan ki demang, tetapi mengapa engkau berada di sini?"
Wijaya tersipu-sipu. Sulit baginya untuk memberi jawaban. Adakah ia harus mengaku semua
yang dialaminya ataukah ia harus berbohong.
"Ah, jika menilik wajahmu, ragulah aku kalau engkau seorang gajihan. Engkau tentu mempunyai
maksud tersembunyi" "Ya" Wijaya menghela napas "terserah bagaimana tuan hendak menyangka diriku. Tetapi aku
memang mempunyai keinginan untuk mengetahui gerak gerik kedua pemuda tadi, kakang tuan dan
prajurit yang bernama Katang Lumbang itu"
"Apa maksudmu?"
"Ke ka datang ke rumah ki demang, Katang Lumbang sudah memperlihatkan gerak gerik yang
menimbulkan kecurigaan"
"Dengan dasar apa engkau mengatakan demikian?"
Wijaya merangkai cerita. Ia mengatakan bahwa secara tak sengaja ia telah mendengarkan
percakapan antara Kukila dan Katang Lumbang. Itulah sebabnya secara diam2 aku telah
mengikuti perjalanan mereka.
"Lalu apa tujuanmu?"
"Apa yang ki brahmana katakan tadi memang benar. Aku akan berusaha untuk membujuk raden
Kukila supaya jangan terpikat oleh bujukan prajurit Katang Lumbang itu"
Wijaya heran ke ka melihat wajah brahmana itu tegang dan mata membelalak memandang ke
atas kepalanya "Mengapa ki brahmana?"
"Jaya .... lekas ...."
Heran Wijaya makin menjadi "Mengapa ki brahmana?"
"Lekas engkau loncat kemari"
"Mengapa?" masih Wijaya meminta keterangan.
"Jaya, awas diatas kepalamu !" teriak Bantara seraya menunjuk ke arah kepala Wijaya. Wijaya
terkejut dan berpaling "Ah" pemuda itu mendesuh kaget dan terus bersiap. Tetapi ia hen kan
gerakannya ketika melihat benda yang hendak disambarnya itu diam.
Brahmana menyambar sebatang ran ng kayu menghampiri maju dan hendak memukul. "Jangan,
ki brahmana, jangan tuan mengganggu ular itu" cegah Wijaya.
Ternyata pada saat bertukar pembicaraan tadi dari atas sebatang pohon yang hanya beberapa
langkah di belakang Wijaya telah meluncur seekor ular sebesar lengan. Brahmana Bantara terkejut
sekali namun tak sempat ia memberi pertolongan. Ular itu dengan cepat sudah melayang
menyambar kepala Wijaya. Tetapi suatu keajaiban telah terjadi. Masih kurang selengan jaraknya,
ba2 ular itu tersentak dan menyurut mundur. Pada saat itulah Wijaya berpaling. Ular itupun
menyurut kepohon dan melingkar diam.
"Mengapa engkau melarang kubunuh ular itu ?" Bantara heran.
"Mengapa harus tuan bunuh?"
"Binatang itu hendak menyerang engkau"
"Aku tak merasa terancam dan ternyata diapun tak menyerang" bantah Wijaya.
Brahmana itu kerutkan dahi "Memang aneh sekali. Jelas ular itu sudah meluncur hendak
menyambarmu tetapi mengapa ba2 binatang itu berhen di tengah jalan dan bahkan menyurut
ke batang pohon lagi ?"
Dia memandang lekat2 pada Wijaya.
Diam2 ia terkejut. Tak mungkin pemuda yang di-hadapannya itu seorang gajihan atau pengalasan
di rumah ayannya. Selama berguru kepada resi di puncak gunung Meru, Bantara telah mengaji
banyak ilmu kepandaian. Diantaranya yang paling ditekankan oleh gurunya adalah ilmu Semedhi.
Ternyata dengan ilmu itu, kini dia memiliki suatu kelebihan, semua indera dalam tubuhnya makin
lebih tajam. Disamping itu tumbuh pula suatu indera keenam yani indera naluri atau perasaan
halus. Dalam memawas wajah Wijaya, mbullah suatu kesan pada indera nalurinya bahwa pemuda itu
bukan pemuda kebanyakan. Cahaya yang bersinar pada wajah Wijaya itu, menunjukkan bahwa dia
tentu seorang pemuda keturunan priagung.
"Mari kita pulang" katanya setelah merenung beberapa jenak dengan keputusan, ia akan
menyelidiki lebih lanjut diri pemuda itu.
Pertemuan antara Bantara dengan demang dan nyi demang Srubung. berlangsung amat gembira
dan mengharukan "Bantara, o, terima kasih Batara Agung . . ." nyi demang memeluk puteranya.
Demang Srubung hanya termangu-mangu tak berkata apa-apa. Dua buah airmata yang meni k
keluar dari pelapuknya yang sudah berpuluh tahun kering, mencerminkan betapa rasa haru dan
gembira yang telah meluap dalam lubuk hatinya.
"Kakang!" ba2 ni Tanjung muncul dan lari memeluk Bantara. Dara itu menangis dan Bantara
membiarkan dirinya dipeluk oleh kedua wanita, ibu dan adiknya.
Beberapa saat kemudian, setelah luap kegembiraan campur haru itu mulai mereda, barulah
Bantara berkata "Bu, marilah kita panjatkan rasa syukur dan puji kepada Hyang Batara Agung atas
rahmat yang telah diberikan kepada kita" kemudian ia mengelus-elus kepala Tanjung "Tanjung,
adikku, hen kanlah tangismu. Jangan engkau hamburkan air berharga itu pada sesuatu yang tak
berguna. Simpanlah, karena masih banyak hal2 dalam hidupmu yang berkepanjangan, akan
memerlukan air itu" "Kakang Bantara, mengapa selama ini engkau tak pernah memberi warta kepada kami. Betapa
resah dan gelisah hati kami, kakang"
"Ya, Bantara, resi yang menculik engkau itu sungguh kejam sekali. Dialah yang menyebabkan aku
sakit dan hampir mati karena dilanda kejut dan kesedihan tiada terderita" kata nyi demang.
Empat tahun yang lalu, peristiwa itu terjadi ketika pada suatu hari secara tiba2 Bantara telah
lenyap. Nyi demang menangis, meraung-raung bagaikan singa yang kehilangan anaknya.
"Engkaulah yang menyebabkan dia minggat!" ia marah kepada ki demang "engkau terlalu keras
mengajar anak. Anak sudah besar masih engkau perlakukan seper anak kecil, engkau gebug,
engkau maki, engkau ....."
"Engkau sendiri yang merusaknya!" ki demang tak mau kalah "engkau terlalu memanjakan
sehingga dia malas. Bangun siang, terus keluar bermain-main, malam baru pulang"
"Hm, lelaki memang paling tak menger ha seorang ibu" bantah nyi demang "engkau tahu,
mengapa aku bersikap lunak dan memanjakannya?"
Ki demang tertegun. "Sejak kecil dia bertubuh lemah, sering sakit-sakitan. Dan pada waktu berumur ga tahun dia
bahkan mau mati. Engkau tentu masih ingat, bukan?"
"Hm" desuh ki demang.
"Engkau sudah menyerah. Segala upaya sudah tak berhasil. Akhirnya kubawa anak itu ke candi
dan kupersembahkan dihadapan arca Hyang Syiwa. Aku menelungkupi kaki Hyang Syiwa dan
semalam suntuk aku menangis. Rupanya Hyang Syiwa tersentuh dan mengabulkan permohonanku.
Keesokan harinya anak itu dapat menangis. Sejak itu diapun sembuh"
"Se ap permohonan kepada Batara Agung asal disertai dengan kesungguhan ha , tentu akan
dikabulkan" kata ki demang.
"Tetapi engkau tak tahu apa ikrar yang kuucapkan dalam semedhi yang kupersembahkan
dibawah duli Hyang Syiwa itu ?"
"Sudah tentu hanya engkau sendiri yang tahu" gumam ki demang setengah kesal.
"Dengarlah" seru nyi demang "waktu itu aku mengikrarkan suatu nazar, apabila Bantara sembuh,
aku takkan memukul, memarahinya. Aku takkan memaksa dan membiarkan dia bekerja menurut
yang disukainya" "Wah, hebat benar nazarmu" seru ki demang, "tetapi rasanya masih kurang"
"Ha " Kurang ?"
"Mengapa tak engkau nazarkan dia menjadi tumenggung atau adipati saja?"
"Terserah kepadanya. Kalau dia memang menghendaki begitu, apa salahnya ?"
"Bagaimana kalau dia menjadi pemalas, penjudi, perampok dan penipu?"
"Engkau gila barangkali" teriak nyi demang, "mengapa engkau mengharapkan anakmu menjadi
manusia semacam itu !"
"Aku dak gila tetapi yang edan itu engkau sendiri" seru ki demang "ikrarmu itu berar
memanjakan anak. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang anak yang dimanjakan " Tidakkah
dia akan terjerumus dalam lembah kemalasan. Dan kemalasan itu merupakan sumber dari segala
pikiran yang kosong, kekosongan yang mudah dihuni oleh nafsu keenakan, kemewahan. Dan nafsu
itulah yang menuntut orang untuk berbuat segala apa agar dapat mencapai tujuannya. Jelasnya,
mudah untuk tergelincir dalam lembah kejahatan"
"Sudahh.." tukas nyi demang "aku tak perlu dengan segala macam pitutur. Yang pen ng anak itu
selamat, besar dan jadi orang"
"Ha, ha" ki demang tertawa "memang dia akan besar dan jadi orang. Tetapi orang yang
bagaimana macam peribadinya, sukar dibayangkan. Kemungkinan tentu bukan orang baik"
Karena marah, geram dan malu, akhirnya nyi demang menangis sekeras-kerasnya. Dengan
tangis itu maka siraplah pertengkaran mulut suami isteri itu.
"Ah, wanita memang sukar diurus" gumam ki demang dalam ha "sukar untuk menerima
penjelasan, maunya menurut kehendaknya sendiri. Dan untuk memenangkan se ap pembicaraan
tentu menggunakan senjata tangis"
Demikian beberapa hal yang terjadi pada diri Bantara sejak kecil. Dia selalu menjadi bahan
pertengkaran antara ki demang dan nyi demang. Ki demang sebagai seorang ayah, mengharuskan
dia rajin bekerja "Jangan engkau anggap bahwa sebagai putera demang engkau akan menikma
kehidupan yang enak. Sekarang memang bisa karena aku masih hidup. Tetapi kelak apabila aku
sudah ma dan engkau sudah menjadi ang rumahtangga, engkau tentu akan kelabakan. Tak
mungkin engkau akan hidup senikmat seperti sekarang"
Se ap Bantara menerima teguran dan kata-kata yang keras dari ayahnya maka nyi demang tentu
akan membela puteranya "Sudahlah, Bantara, jangan engkau dengarkan caci maki ayahmu"
"Sebenarnya aku tak bermaksud memhantah perintah rama" kata Bantara "tetapi sungguh
aneh sekali rama itu. Masakan dia menyuruh aku, putera demang, harus ke ladang untuk ikut
mencangkul " Cobalah bu, apakah hal itu takkan ditertawakan orang?"
"Memang ramamu itu sukar dimenger pikiran. Dia mengajar putera-puteranya terlalu bengis.
Dulu kakangmu, Kukila, juga se ap hari menjadi sasaran kemarahan. Setelah kakangmu masuk
prajurit, sekarang engkau yang mendapat giliran, hm"
Memang karena terlalu memanjakan putera maka nyi demang tak menger maksud pendidikan
ki demang kepada puteranya. Dan karena sudah terlanjur dimanja maka Bantarapun terhanyut
dalam sifat mengandalkan perlindungan ibunya. Pada hal hanya lahir saja, ki demang itu bersikap
bengis. Ia memerintahkan puteranya bekerja di ladang dan kebun, melakukan pekerjaan apa saja
bahkan sampai yang kasar, agar anak itu mendapat gemblengan kerja. Agar kelak anak itu dak
canggung apabila harus menghadapi kehidupan yang sukar. Segala kerja, pokok yang halal, adalah
baik dan mulia. Demikian pokok ajaran ki demang yang hendak ditanamkan pada jiwa anak-
anaknya. Sayang dia mendapat tentangan dari nyi demang. Dan terjadilah peris wa yang memberi
kesempatan kepada nyi demang untuk menumpahkan kemarahannya terhadap ki demang.
Peris wa itu terjadi pada suatu hari ke ka ki demang marah melihat Bantara masih dur walaupun
hari sudah sepenggalah ngginya. Serentak ki demang memaksa Bantara bangun dan menyuruhnya
ke ladang untuk mengawasi pekerja2 yang sedang mengetam padi. Hari itu masa panen dan ki
demang telah mempekerjakan orang2 gajihannya untuk menuai.
Karena semalam Bantara melihat pertunjukan disebuah desa yang salah seorang penduduknya
mengadakan hajat menikahkan puteranya, maka Bantara masih merasa ngantuk. Dia
membangkang. Ki demang marah lalu memukul puteranya. Bantara menjerit kesakitan lalu lari
keluar. Saat itu nyi demang sedang berbelanja ke pasar. Ke ka pulang dan menanyakan Bantara, ki
demang mengatakan kalau anak itu pergi ke ladang.
Tetapi petang hari ketika para gajihan pulang ternyata Bantara tak ikut serta.
"Ah, mungkin dia terus main2 ketempat kawannya" kata ki demang kepada isterinya. Nyi
demang-pun diam karena ia tahu memang Bantara sering begitu.
Namun semalam itu Bantara tak pulang. Keesokan harinya nyi demang bingung. Disuruhnya
orang mencari Bantara. Tetapi mereka pulang dengan tangan hampa. Setelah sampai hari
kedua Bantara belum pulang, ki demang mulai cemas. Lebih gelisah lagi ketika nyi demang
mulai menangis. Walaupun telah dikerahkan orang untuk mencari, tetap Bantara tak dapat
diketemukan. Nyi demang jatuh sakit dan hampir saja dia berobah ingatannya karena menderita
goncangan jiwa. Memang dia paling cinta pada Bantara.
Demikian sejak itu, Bantara telah menghilang tanpa jejak. Setahun, dua, liga tahun telah berlalu.
Pada suatu hari seorang penduduk gopoh menghadap ki demang dan menyerahkan sepucuk surat.
Ki demang berteriak sekeras-kerasnya ke ka membaca isi surat itu. Ternyata surat itu berisi suatu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berita yang mengabarkan bahwa sebenarnya Bantara masih hidup tak kurang suatu. Hanya saat ini
dia sedang berguru pada seorang resi sak di gunung Meru. Kelak pada saatnya, anak itu tentu
akan pulang. Nyi demang menangis karena gembira. Tetapi sampai berbulan-bulan lamanya belum juga
Bantara muncul. Hingga pada saat ki demang suami isteri hampir putus asa, tiba2 pada hari itu
muncullah Bantara. Betapa gembira hati nyi demang dan keluarganya, sukar dilukiskan.
Atas pertanyaan ibu dan adiknya, Bantara menerangkan bahwa pada hari itu dia memang
marah karena didera dan dimaki ayahnya. Hampir ia putus asa dan hendak membuang diri ke
dalam bengawan. Tetapi tak jadi. Dia terus berkelana menuju ke gunung Meru. Tujuannya dia
hendak mengasingkan diri untuk bertapa. Kalau memang ditakdirkan harus mati, biarlah dia
mati. Dia jemu hidup, dia sakithati kepada ayahnya. Kalau mati, biarlah ayah kehilangan
seorang puteranya. Demikian ia hendak membalas dendam dengan cara dan alam pikirannya
yang aneh. Dia bertemu dengan seorang resi dan dibawanya ke puncak gunung itu.
"Siapakah nama resi itu, kakang ?" tanya ni Tanjung.
"Guru tak pernah mengatakan namanya. Baru pada saat menitahkan aku turun gunung, guru
berpesan "Aku ada punya nama. Cukup sebut resi Meru atau apapun saja. Jangan engkau katakan
tentang diriku kepada orang"
"O, aneh benar resi itu" seru ki demang "adakah dia mempunyai suatu rahasia yang tak ingin
diketahui orang?" "Entah" sahut Bantara "akupun hanya mentaati perintahnya saja.
"Bantara" kata ki demang pula "apakah engkau masih mendendam kepada rama?"
"Mendendam ?" ulang Bantara "ah, resi guru telah menempa jiwaku agar menghilangkan rasa
dendam kepada orang. Dan lagi, kini aku telah menyadari bahwa ndakan rama kepadaku dahulu
itu memang benar. Akulah khilaf, maafkan, rama"
Ki demang tertawa puas "Bantara, aku gembira sekali. Bukan hanya karena engkau pulang, tetapi
karena kesadaranmu telah pulang kedalam jiwamu"
Demikian Bantara dan kedua ayahbunda serta adiknya malam itu menikma malam panjang
melalui percakapan pelepas rindu dan kangen.
"Kakang" seru ni Tanjung "adakah sekarang kakang telah menjadi seorang brahmana?"
Bantara tertawa ringan. "Mudah-mudahan begitu, Tanjung. Ketahuilah, nini. Memang mudah orang masuk menjadi
pandita atau brahmana ...."
"Apa beda antara pandita dan brahmana itu, kakang ?"
"Pandita itu sebutan untuk seorang ulama beragama Buddha yang telah mencapai kejiwaan yang
luhur. Brahmana, pandita dari agama Syiwa"
"O, jika demikian kakang Bantara ini seorang pandita Syiwa"
"Nini" Bantara lirih berkata "memang untuk mudahnya, diadakanlah perbedaan dalam soal
nama. Tetapi pada hakekatnya, adalah berbeda antara Buddha dengan Syiwa dengan Wisnu itu.
Perbedaan itu terjadi hanya dalam masakala dan bentuk serta tugas yang berlainan. Itulah
sebabnya maka baginda Kertanagara yang arif bijaksana telah menyatukan ke ga agama itu dalam
Tripaksa, agama yang dianut dalam kerajaan Singasari dewasa ini"
"O" mulut mendesuh dan kening dara itupun mengerut.
"Tanjung" Bantara tahu apa yang terisi dalam ha adiknya "kelak apabila ada kesempatan, akan
kuterangkan kepadamu tentang hal itu"
"Kakang mengatakan bahwa mudah untuk menjadi pandita atau brahmana itu. Apakah seorang
anak perempuan seperti diriku ini juga dapat diterima menjadi pandita atau brahmana?"
Bantara tertawa melihat adiknya. Seorang dara yang menjelang remaja, can k dan cerdas, ingin
tahu segala sesuatu yang tak dimenger nya. Baru lebih kurang empat tahun ia meninggalkan
rumah, kini ia mendapatkan adiknya itu sudah jauh lebih besar. Rupanya Tanjung cepat sekali
tumbuh dan mekar menjadi dara yang cantik.
"Buddha, Syiwa maupun Brahma dan se ap agama, dak membedakan pria dan wanita, nini"
ujar Bantara "wanita juga sesama tah Pewata. Dalam garis ajaran agama, yang berbeda bukanlah
jenis manusianya melainkan ragam pikiran dan kesadaran batinnya"
"Jika begitu aku akan ikut kakang untuk berguru kepada guru kakang itu" seru ni Tanjung dengan
mata memancar sinar. Bantara tertawa dalam ha . Ia melihat masih melekatnya sifat kekanak- kanakan dalam diri
adiknya yang sudah remaja itu.
"Baik sekali, Tanjung" serunya "tetapi sebelum engkau melangkah kearah keputusan itu, cobalah
engkau jawab beberapa pertanyaanku ini dulu"
"O, silahkan kakang"
"Pertama, tahukah agama apa yang engkau hendak peluk itu ?"
"Apa saja, kakang. Buddha atau Syiwa atau Brahma, Bukankah kakang mengatakan ke ga aliran
agama itu sama saja?"
"Benar" sahut Bantara "walaupun pada hakekat terakhir akan ba pada tujuan satu, tetapi jalan
yang ditempuh daklah sama. Beda pula cara dan peraturan2 yang menjadi alam kehidupan agama
itu. Jawabanmu tadi memberi bisikan kepadaku bahwa sebenarnya engkau belum menghayatinya"
"Tetapi bagaimana aku dapat menghayati kalau tak masuk kedalamnya?"
"Harus dibedakan antara menghaya dan masuk, nini" kata Bantara pula "menghaya adalah
ngkat ter nggi dari mempelajari. Dan masuk, merupakan keputusan terakhir. Tidak tentu setelah
menghaya terus masuk. Karena hal itu menyangkut kepercayaan ba n se ap orang masing2. Pun
belum tentu masuk ke-dalam salah satu agama itu tentu menghaya nya. Banyak yang tak
menger , jangankan mencapai ngkat penghayatan. Banyak yang terdorong oleh perasaan lain
yang bukan tumbuh dari sanubarinya sendiri. Pengaruh lingkungan hidup, tata adat dan kewajiban.
Ataupun hanya karena ingin disebut seorang yang beragama. Maka berbanyaklah engkau mengaji
segala ilmu termasuk ajaran2 agama itu. Dan anutlah suatu agama itu dengan suatu keyakinan
yang sungguh-sungguh"
Ni Tanjung mengangguk-angguk.
"Pertanyaan kedua, apa tujuanmu hendak menjadi pandita atau brahmana itu?" tanya Bantara
pula. "Agar tenteram jiwaku, sejahtera hidupku sampai diakhir hayat"
"Jawaban yang baik" Bantara mengangguk "walaupun masih disangsikan adalah kata2 itu keluar
dari ha sanubarimu sendiri ataukah karena engkau pernah mendengar orang berkata begitu.
Karena pada umumnya, orang akan meletakkan keinginannya dalam tujuan masuk kedalam suatu
agama ataupun menjadi pandita dan brahmana, seperti yang engkau ucapkan itu"
"Engkau hendak mencari ketenteraman jiwa ?" kata Bantara melanjut "Adakah sekarang jiwamu
dak tenteram" Apakah engkau tahu bagaimana ketenteraman jiwa itu " Adakah setelah engkau
masuk menjadi pandita atau brahmana engkau yakin pasti jiwamu tenteram?"
"Benar kakang " sahut ni Tanjung "paling akhir ini jiwaku memang tak tenteram. Oleh karena itu
aku hendak mencari ketenteraman?"
"O" desuh Bantara "engkau mempunyai persoalan dalam ba nmu " Nini" dapatkah engkau
memberitahu kepadaku apa yang menjadikan keresahan pikiranmu itu?"
Ni Tanjung tersipu-sipu merah. Ia tak menyahut melainkan menunduk. Melihat itu nyi demang
mendekatkan muka ke telinga Bantara dan membisikinya. Wajah Bantara mengerut.
"O, soal itukah yang engkau resahkan nini" " seru Bantara kepada adiknya "engkau tak tenteram
dan resah karena ba nmu mempersoalkan hal itu. Hal yang menjadi persoalan pikiran dan ba n,
tentulah belum berkenan sepenuhnya dalam ha mu. Jelasnya engkau tentu.belum mantap untuk
menyambut hal itu" "Benar, kakang " ni Tanjung mengangguk "aku masih senang bermain main, masih ingin nggal
bersama rama dan ibu untuk merawat dan meladeni beliau. Aku belum memikirkan rumah-tangga
baru" "Engkau masih menyembunyikan isi hatimu, Tanjung"
Ni Tanjung mengangkat muka, mencurahkan pandang ke wajah kakangnya.
"Seharusnya engkau mengeluarkan pernyataan ha mu bahwa engkau masih memper mbangkan
jejaka yang hendak mempersunting dirimu. Jelasnya, engkau masih belum meluluskan pemuda itu"
Ni Tanjung merah mukanya.
"Tetapi rama dan ibu rupaya mendorong aku supaya menerimanya, kakang"
Bantara beralih pandang kepada ki demang dan nyi demang "Benarkah demikian, rama, ibu ?"
"Angger" seru ki demang Srubung "engkau belum menjadi orangtua, mungkin engkau belum
dapat menyelami ha perasaan seorang tua terhadap putera puterinya. Kepada putera, kuletakkan
harapan agar kelak dia menjadi manusia yang berguna, syukur berpangkat. Kepada puteriku,
kusanjungkan puji doa, agar dia mendapat jodoh pria yang baik dan menyayanginya, syukur
seorang yang beikedudukan tinggi"
"Ya, benar Bantara" nyi demang ikut bersuara "rama dan ibumu merasa bahwa Katang Lumbang
itu memenuhi syarat2 yang kami idam-idamkan. Muda, cakap dan menjabat prajurit bhayangkara
keraton Singasari" "Rama dan ibu" kata Bantara "memang ada seorang rama ibu yang hendak menjerumuskan
putera puterinya. Mereka tentu menginginkan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Diantara persoalan
hidup yang gawat dari yang paling gawat adalah soal menikah. Terutama bagi nasib seorang anak
perempuan. Karena disitulah letak dunia yang akan menentukan nasib kehidupannya. Aku tak
menentang pilihan rama dan ibu itu tetapi akupun tak menganjurkan. Jangan kita terhanyut oleh
anggapan dan terlelap oleh rasa lalu memberi penilaian kepada seseorang, termasuk pemuda yang
rama dan ibu kenankan itu"
"Bagaimana maksudmu, angger ?" kata nyi demang.
"Kumohon rama dan ibu jangan terburu-buru menentukan keputusan dulu"
"Lalu bagaimana kalau dia mengajukan pinangan?"
"Kurasa tidak akan dilakukannya sekarang ini. Kelak akan kuberitahu kepada rama dan ibu"
"Apakah engkau kenal dengan dia " Apakah ada persoalan dengan dirinya?"
"Ah, dak. Tetapi kuminta baiklah hal itu dipertangguhkan dahulu. Paling lama sebulan dua
bulan tentu sudah dapat kuberi kabar"
Bantara tetap tak dapat melepaskan kesangsiannya terhadap Katang Lumbang. Ia
membayangkan bahwa apabila Katang Lumbang itu benar akan melakukan maksud buruk terhadap
baginda, dia tentu akan ditangkap dan dihukum ma . Jika demikian dakkah akan tersia-sia nasib
Tanjung apabila pinangan itu diterima"
Setelah ki demang dan nyi demang dapat menerima permintaan Bantara, maka brahmana muda
itupun melanjutkan pula pembicaraannya dengan adiknya "Tanjung, adakah engkau masih hendak
bercita-cita menjadi pandita atau brahmana lagi ?"
"Aku tak tahu, kakang"
Bantara tertawa "Itulah Tanjung, jika orang kehilangan pegangan. Mereka terus menghindar dan
melarikan diri dari persoalan yang dihadapinya. Semisal dengan dirimu, engkau dak berusaha
memecahkan persoalan itu tetapi engkau hendak melarikan diri kedalam vihara atau pertapaan.
Adakah engkau kira setelah menjadi brahmana, persoalan itu akan hilang" Dan ketahuilah nini.
Bahwa dalam kepanditaan dan kebrahmanaan pun terdapat bermacam persoalan ba n. Patut
dikua rkan, mengingat caramu menghadapi persoalan itu
dak dengan memecahkannya melainkan dengan menghindari persoalan itu, engkaupun akan melarikan diri dari alam
kepanditaan atau ke brahmanaan. Di-tempat pelarianmu yang baru itu, apabila menghadapi
persoalan lagi, engkaupun akan melarikan diri lagi. Dengan demikian, pelarian demi pelarian
engkau lakukan, suatu perjalanan jauh engkau tempuh tanpa engkau dapat bersua dengan
ketenteraman. Karena hidup itu penuh dengan persoalan, apabila engkau takut menghadapi
persoalan dan engkau melarikan diri, engkau tetap akan dikejar-kejar oleh persoalan itu. Persoalan
itu, ibarat bayangan. Kemanapun orang pergi, dia akan mengikuti."
"Tetapi" berhen sejenak, Bantara melanjut pula "apabila engkau berhen , bayang2 itupun
berhen . Terlebih pula apabila engkau melangkah ke tempat yang terang, bayang2 itupun tentu
lenyap. Demikian dengan persoalan. Jika engkau menghadapinya, persoalan itu akan berhen . Dan
apabila enekau berusaha untuk mencari jalan terang dan memecahkannya, persoalan itupun tentu
cair dan hilang. Jelaskah engkau, Tanjung?"
Dara itu mengangguk-angguk.
"Ah, tak kira Bantara" seru ki demang "kini engkau telah berobah sama sekali. Pikiranmu lebih
masak, pandanganmu lebih mantap"
"Tetapi Bantara, mengapa engkau masuk menjadi brahmana?" nyi demang berseru cemas.
Kecemasan seorang ibu yang memikirkan nasib puteranya.
Rupanya Bantara tahu apa kandungan ha ibunya, ia menjawab tenang "Ibu, se ap orang akan
mencari jalan hidup masing2. Dan aku telah memilih jalan itu"
"Mengapa nak " Apakah engkau merasa puas hidupmu menjadi seorang brahmana ?"
"Bukan soal puas atau dak puas, ibu. Melainkan suara ha yang mendorong aku memilih jalan
hidup sebagai seorang brahmana"
"O, angger, tetapi apakah engkau tak menginginkan keturunan ?"
"Soal itu belum kupikirkan, bu" jawab Bantara menghibur ibunya "aku masih ingin mengatur diri,
membenahi batinku menurut jalan yang kuanut"
Nyi demang menghela napas.
"Tetapi janganlah ibu bersedih untuk hal itu" kata Bantara lebih lanjut "bukankah masih ada
kakang Kukila yang akan memberikan cucu kepada ibu ?"
"Apakah seorang brahmana itu tak diperkenankan menikah, kakang ?" tanya Tanjung.
Bantara tersenyum kecil. "Beginilah nini, keadaan ngkat2 hidup brahmana itu. Untuk menjunjung nggi adat pusaka
nenek moyang maka ap2 orang brahmana harus menghafalkan kitab2 Veda. Tiap anak orang
brahmana sesudah upacara Upanayana, harus diserahkan kepada seorang guru untuk belajar
kitab2 Veda. Tingkat hidup itu disebut tingkat brahmacarin atau murid brahmana.
Tingkat hidup brahmacarin itu amat berat. Dia harus tunduk kepada segala pantangan atau
pemali yang diharuskan oleh guru. Harus menurut segala perintah guru. Harus mencari makan
dengan cara mengemis dan barang yang didapatnya harus diserahkan kepada gurunya. Kalau sudah
tammat pelajarannya maka diadakan upacara penutup yang disebut samavartana. Setelah itu anak
itu pulang kembali ke rumah orangtuanya.
"Kemudian datang ngkat hidup baru yang disebut grehastha. Dalam ngkat ini, dia boleh
beristeri atau vivaha. Sejak itu dia dianggap sebagai kepala keluarga yang merdeka dak tergantung
pada orangtua. Sesudah itu, apabila umurnya sudah meningkat, ia mengasingkan diri bersama
isterinya dari dunia ramai, masuk kedalam hutan untuk hidup sebagai vanaprastha atau penduduk
hutan. Mengilir budi dengan soal2 yang dalam dari kitab Veda. Tingkat yang terakhir yalah
parivrayaka. Dalam ngkat ini orang hidup bertapa dan mengembara tanpa membawa apa2 kecuali
pakaian yang dipakainya"
"Jika demikian saat ini kakang sudah menjelang pada tingkat grehastha" seru Tanjung.
"Belum" jawab Bantara "aku masih dalam ngkat brahmacarin. Aku turun gunung karena
melakukan perintah guru"
"O, perintah apakah nak?" seru nyi demang dengan nada cerah demi mendengar uraian tentang
tingkat kehidupan brahmana.
"Soal kerajaan Singasari"
"Apa katamu, Bantara" selutuk ki demang "soal kerajaan Singasari?"
"Benar rama" "Apakah engkau diperintah gurumu untuk menghadap baginda"
"Tidak" sahut Bantara "untuk melindungi keselamatan baginda"
"Hah ?" ki demang terbelalak "apa maksudmu ?"
Dengan ringkas Bantara segera menuturkan apa yang telah dipesankan gurunya. Ia anggap soal
menjaga dan melindungi keselamatan raja itu menjadi kewajiban se ap orang Singasari maka
diapun mengatakan dengan terus terang.
"Ah, jika demikian" kata ki demang "patutlah dalam upacara pentahbisan baginda di makam
Wurare nanti, dilakukan penjagaan yang keras"
Ki demangpun menceritakan tentang keputusan baginda untuk melakukan pentahbisan sebagai
Jina. Segala persiapan telah diatur dan dilaksanakan. Akan kuhaturkan laporan kepada ki
tumenggung agar penjagaan lebih diperkuat"
"Kurasa tak perlu rama" kata Bantara "karena lebih lekas bahaya itu diketahui, lebih baik. Jika
penjagaan diperkuat, tentulah orang itu, apabila memang ada, takkan melaksanakan rencananya
terhadap baginda. Dia tentu akan mencari lain kesempatan lagi. Rasanya lebih mudah kita sergap
dan cegah apabila hal itu terjadi pada upacara di makam Wurare, daripada apabila hal itu terjadi
dalam keraton" Ki demang mengangguk. Dia menganggap pendapat puteranya itu memang benar. Demikian
setelah larut malam barulah mereka beristirahat dalam bilik masing-masing.
Bantara tinggal beberapa hari di kademangan. Selama itu, dia mempunyai kesempatan untuk
meninjau keadaan kademangan. Dia mendapat kesan bahwa rakyat kademangan hidup
tenteram tetapi tingkat kehidupan mereka amat rendah.
"Mengapa rakyat disini tampak lesu2 saja, rama?" ia mengajukan pertanyaan kepada ki demang.
"Tahun ini panen gagal. Kemarau panjang, sawah dan ladangpun kering. Juga tanaman padi
banyak diserang hama" kata ki demang.
"Lalu apa tindakan rama untuk mengatasi kesulitan itu ?" ,
"Kuperintahkan mereka untuk mengadakan sesaji dan upacara doa permohonan kepada dewa"
"Memohon apa ?"
"Hujan" "O" Bantara teringat bahwa sejak beberapa malam apabila tengah malam ba2 dia selalu
mendengar suara berkumandang riuh seper orang bernyanyi. Ia menanyakan hal itu kepada ki
demang dan ki demangpun menerangkan bahwa mereka itu adalah rombongan penduduk yang
berkeliling desa pada ap2 tengah malam. Untuk mengusir roh2 jahat yang menjelma menjadi
hama sawah itu. "Apakah usaha itu berhasil" " tanyanya.
Ki demang gelengkan kepala "Segala usaha telah .kita tempuh namun hujan tak kunjung ba.
Hama membangkang pergi"
Setelah mendapat keterangan itu, Bantara lalu minta idin untuk mengumpulkan rakyat.
"Apa maksudmu, Bantara?"
"Hendak kuajak beramai-ramai mengatasi bahaya paceklik yang mengancam kita dewasa ini"
Ki demang meluluskan. Dan hari itu Bantara lalu mengumpulkan penduduk di muka halaman
kademangan. "Paman-paman sekalian" serunya dengan nada ramah cerah "kademangan kita menghadapi
bahaya. Bahaya alam karena tak turun hujan, bahaya musuh dari hama yang merusak tanaman.
Marilah kita tanggulangi keadaan ini dengan semangat gotong-royong dan bekerja keras"
Krica seorang penduduk tua tampil ke hadapan Bantara "Bencana ini tak mungkin kita tanggapi
dengan kerja keras" "Mengapa" " tegur Bantara.
"Karena hanya daerah kademangan kita saja yang menderita. Sedangkan daerah2 di telatah
gunung Kawi, tidak begini keadaannya. Jelas ini tentu terjadi atas kehendak dewata"
"O, atas kehendak dewata?" ulang Bantara "bagaimana paman tahu?"
"Aku dak tahu" sahut lelaki tua itu "tetapi merasakan. Oleh karena itu ap malam kami


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeliling untuk mengusir roh2 jahat yang mengganggu kademangan kita ini"
"Berhasil?" "Roh jahat itu terlalu sakti dan bandel. Kami tak berdaya menghalaunya"
Bantaran merenung sejenak. Ia mendapat kesan bahwa pak Krica itu mempunyai pengaruh
terhadap kawula kademangan. Untuk menggugah pikiran orang2 itu supaya mau diajak melakukan
usaha menanggulangi keadaan, hanyalah harus lebih dulu menundukkan pak Krica.
"Pak Krica, aku sanggup berhadapan dengan roh jahat itu. Bawalah aku kesana" seru
Bantara. Sekalian orang terkejut dan saling bertukar pandang. Kumandang lirih dari mulut2 mereka yang
berbisik-bisikpun terdengar.
"Tidak" beberapa saat kemudian lelaki tua itu berseru "ki demang tentu marah kepada kami"
"Mengapa?" seru Bantara.
"Roh itu terlalu jahil dan amat ganas. Tiada seorang manusia bahkan binatang dan burung yang
berani mendekati tempat itu. Tentu mati"
Bantara makin tertarik "Baik, paman, bawalah aku kesana"
Tetapi pak Krica menolak karena takut kepada ki demang. Bantara lalu masuk menghadap ki
demang. Ia minta agar ayahnya mengidinkan penduduk itu membawanya ke tempat yang dianggap
menjadi tempat roh jahat. Ki demang kerut dahi "Tetapi Bantara, tempat itu memang keramat dan
gawat sekali. Tiada barang suatu mahluk yang berani mendekati"
"Tetapi aku dapat menghadapinya rama" Bantara tetap meminta "jika aku tak sanggup
menghadapinya, akupun tentu akan meloloskan diri. Aku dapat mengenal gelagat"
Karena Bantara meminta dengan keras, ki demang-pun meluluskan juga dengan syarat, apabila
membahayakan, Bantara harus cepat2 tinggalkan tempat itu.
Demikian beramai-ramai rakyat kademangan bersama Bantara menuju ke tempat roh jahat itu.
Pada saat Bantara melangkah keluar halaman ia melihat Wijaya sedang membersihkan pagar.
Entah bagaimana timbullah rasa tertarik hatinya "Jaya, marilah engkau ikut" katanya.
Wijaya terkejut tetapi ia terpaksa ikut juga. Diam2 mbul kesan dalam ha rakyat itu walaupun
Bantara itu putera demang dan Wijaya itu hanya seorang pengalasan, tetapi Wijaya lebih tampan
dan lebih bersinar wajahnya. Jika wajah Bantara itu memancarkan sinar ketenangan, wajah Wijaya
merekahkan cahaya keagungan.
Mereka menuju ke sebuah hutan, masuk sampai ke suatu daerah pedalaman pegunungan yang
jarang dijelajah orang. "Disanalah" tiba2 Krica menunjuk ke sebuah tempat.
Memandang kearah yang ditunjuk, Bantara kerutkan dahi "Pohon brahmastana itu ?"
"Ya" kata Krica "akar pohon itu berlubang sebesar goa. Dalam goa itulah kawanan roh jahat
bersembunyi" "Apakah paman pernah melihatnya?"
"Tiada seorangpun yang pernah melihatnya. Tempat itu keramat sekali. Barangsiapa mendeka
tentu mati" "Baik, kalian tunggu saja disini" kata Bantara. Kemudian dia menghampiri.
Pohon brahmastana itu memang teramat besar. Lebih kurang ga empat pemeluk lengan orang.
Umurnya entah berapa ratus tahun. Di bawah pohon, diantara akar besar yang melingkar-lingkar
itu, terbentuklah sebuah lubang macam terowongan, cukup dimasuki dua orang.
Ada suatu hal yang sempat menarik perha an Bantara bahwa disekeliiing pohon itu, seluas
sepuluh tombak, tanahnya gundul. Tak terdapat barang sebatang rumputpun juga. Pada hal diluar
keliling tempat itu, merupakan semak belukar yang rimbun.
Sepintas pandang, Bantara mendapat kesan bahwa tempat itu memang membangkitkan suasana
yang seram dan keramat. Dan ada sebuah hal yang mengejutkan ha Bantara. Bahwa ke ka
kakinya melangkah kedalam lingkar keliling tanah yang gundul itu, ia seper tersentuh oleh hawa
yang aneh. Seke ka lubang2 kulit muka dan tubuhnya mengerenyut dan serasa seper tertusuk
oleh duri halus. Terpaksa dia hentikan langkah.
"Raden, tempat ini mengandung racun" ba2 dari belakang terdengar seseorang berkata
pelahan. Dan ketika dia berpaling ternyata Wijaya sudah tegak di belakangnya.
"Ah, engkau Jaya" seru Bantara "bagaimana engkau tahu hal itu ?"
"Tanah tandus, rumput2 mengering layu. Tentulah akibat dari racun yang amat berbisa"
Bantara mengangguk. Dan ia menyadari mengapa kulit tubuhnya terasa merunduk nyeri
"Menurut du-gaanmu, apakah yang berada dalam liang akar pohon, brahmastana itu?"
"Aku tak dapat memastikan, raden ..."
Bantara cepat menukas, memintanya jangan memakai sebutan raden "Cukup panggil brahmana
sajalah" pintanya. "Baik, ki brahmana" kata Wijaya yang dalam ha memuji kesederhanaan budi peker anakmuda
itu "hanya menurut dugaanku, kemungkinan dalam liang itu tentu bersembunyi suatu benda atau
binatang yang luar biasa"
"O, tetapi apa yang engkau maksudkan dengan luar biasa itu ?"
"Jika tidak luar biasa karena memiliki bisa, tentulah memiliki suatu daya khasiat yang hebat"
"Engkau tak percaya akan segala jin dan roh jahat ?"
"Aku belum melihatnya"
"Lalu bagaimana kita harus ber ndak?" Wijaya terdiam. Dia belum menemukan daya suatu apa.
Tiba2 brahmana itu berkata "Bagaimana kalau kita tunggu saja disini. Mungkin binatang itu, kalau
memang benar ada, akan keluar dari tempat persembunyiannya"
Karena ada lain cara yang lebih baik, Wijayapun mengiakan. Bantara lalu memberi tahu kepada
rombongan rakyat agar mereka pulang. Dia bersama Wijaya akan menunggu disitu "Mungkin
sampai beberapa hari sampai nan kami menemukan apa gerangan yang berada dalam liang
pohon itu" "Apakah tak perlu nanti malam kami membantu penjagaan disini?" tanya mereka.
Bantara gelengkan kepala dan meminta mereka pulang saja.
Cepat sekali hari berlalu. Surya kembali ke tempat peraduan dan bumipun bertebar selimut
hitam. Suasana di sekeliling pohon brahmastana itupun makin lelap. Kadang hanya terdengar
percakapan antara brahmana Bantara dengan orang pengalasan ki demang yang dikenalnya
dengan nama Jaya. Percakapan itu hanya bersifat sekedar menanyakan asal usul Jaya. Dan Wijayapun tetap
mengaku sebagai seorang pemuda dari desa di kaki gunung Kawi. Dia lebih mengekang diri
sebagai seorang pemuda desa yang bodoh.
"Ki brahmana" kata Wijaya pula "sudah selayaknya kalau hamba merasa heran mengapa tuan
masuk di seorang brahmana. Apakah tujuan dan maksud tuan ?"
"Apa yang layak engkau herankan itu, Jaya?"
"Tuan putera seorang demang, hidup dalam serba kecukupan. Masih muda pula, mengapa
menjadi seorang brahmana" Bukankah brahmana itu harus menuntut kehidupan yang amat
sederhana bahkan papa ?"
"Memang demikian Jaya, apabila engkau pandang dari indera penglihatan, pemikiran dan
perasaan" kata Bantara "tetapi pandangan itu menurut ukuran indera raga yang terpengaruh oleh
nafsu. Dan karena raga itu tempatnya di arcapada maka nafsu2 yang menguasai raga itupun
bersifat maya" "O, mohon ki brahmana memberi petunjuk agar dapatlah hamba bertambah pengalaman"
"Jangan engkau merendah diri, Jaya" ujar Bantara "bagaimana mungkin aku yang masih sebaya
dalam usia dengan engkau, akan mengguruimu. Tidak, Jaya, bukan petunjuk melainkan suatu
keterangan yang kuperoleh dari pengalamanku selama ini"
"Menurut ajaran yang kuselami selama ini, yani berlandaskan falsafah Vedanta" kata Bantara
pula "menurut falsafah itu maka atman atau jiwa, merupakan satu bagian dari brahman atau
Maha-ada. Atman terpisah dari Brahman dan akan tetap terpisah oleh karena Samsara. Dalam
perpisahan itu maka Atman selalu terikat kepada benda atau jasmani. Sebetulnya benda atau
jasmani itu hanya suatu maya atau seolah-olah ada. Maka dengan begitu hubungan antara Atman
dengan benda atau jasmani itu-pun hanya maya. Samsara atau menjelma kembali, juga maya, tak
perlu ditaku . Setelah yakin bahwa hubungan antara Atman dengan benda atau jasmani itu hanya
suatu maya, maka Atman tentu dapat lepas dari benda itu dan kembali kepada Brahman, atau
Maha Ada. Bahagia hanya dapat tercapai apabila Atman kembali kepada Brahman"
"Ah, hamba kurang menghayati apa yang ki brahmana uraikan itu" kata Wijaya.
"Dapat dimengerti" sambut Bantara "karena engkau orang awam, bukan penganut agama
Brahma. Memang tidak mudah untuk memahami kitab Veda jika tak mendapat pimpinan
seorang guru yang pandai. Tetapi tak apalah. Untuk menjawab pertanyaan yang engkau ajukan
tadi, maka perlu engkau tahu akan dasar-dasar alam pemikiran tujuan hidup seorang
brahmana. Kami memandang kehidupan itu bukan dari segi rasa keduniawian melainkan dari
kejiwaan. Dengan melatih diri dan menuntut kehidupan serba papa itu, dapatlah jiwa kita
terlepas dari naftu kebendaan dan terhindar dari samsara yang akan datang"
"Ah, sungguh mulia dan luhur perjalanan hidup yang tuan tempuh itu" seru Wijaya "tetapi
bukankah samsara itu akan tetap berlangsung dari jeman ke jeman selama Atman2 yang terikat
kepada benda atau jasmani itu masih tak dapat melepaskan diri dari nafsu keduniawian ?"
Bantara terkesiap. Diam2 dia terkejut dalam ha . Ia tak menyangka bahwa pemuda bernama
Jaya dari desa di bawah gunung Kawi, ternyata memiliki kecerdasan yang tajam. Hanya dalam
pembicaraan yang singkat, dia sudah dapat mengajukan pertanyaan yang mengena.
"Benar, Jaya" seru Bantara, "memang demikianlah halnya. Oleh karena itu kita wajib berusaha
untuk mengembalikan Atman kita kepada Brahman agar kelak terhindar dari samsara"
"Ki brahmana" kata Wijaya pula "apakah tuan merasa bahagia apabila seorang diri saja yang
tahu, menghayati, melaksanakan jalan hidup itu dan berhasil mencapai tujuan tuan" Tidakkah tuan
masih melihat bahwa dunia ini masih penuh dengan samsara dari Atman2 yang masih terikat pada
benda-benda" Tidakkah tuan akan merasa lebih berbahagia dan berpahala demi tujuan yang mulia
untuk menyejahterakan kesejahteraan dunia apabila tuan dapat menolong memberi penerangan,
penyadaran batin mereka?"
Bantara makin terkejut namun dia menjawab juga "Vihara, kuil, candi dan rumah2 sudharmma
adalah untuk melaksanakan tujuan itu. Agar manusia memperoleh bimbingan, penerangan dan
penyadaran tentang arti dan tujuan hidup mereka. Tetapi usaha itu hanya terbatas memberi
penerangan dan penyadaran. Adakah orang mau menerima, adakah orang mau percaya,
mereka bebas untuk memutuskan. Karena kami tak mengadakan paksaan"
"Andaikata manusia telah ..."
"Apa yang hendak engkau katakan, Jaya?"
"Ah, tidak ki brahmana. Cukup sudah penerangan yang tuan berikan kepada hamba itu"
Bantara terkejut. "Kutahu maksud ha mu, Jaya. Tetapi janganlah engkau mencemaskan hal itu. Apabila semua
manusia sadar dan menuntut kehidupan seper diriku, seorang brahmana, negara, masyarakat
tetap akan berjalan sebagai biasa. Ajaran agama kami telah mengadakan pembagian2 tentang
kewajiban2 di segala lapisan kehidupan"
Wijaya mengangguk. Tak lupa dia menghaturkan terima kasih atas uraian brahmana muda itu.
Sementara tak terasa, malampun makin nggi, makin dingin dan makin sunyi. Bantara menyuruh
Jaya beristirahat sedangkan dia sendiri lalu duduk pejamkan mata, bersemedhi.
Sunyi senyap merayapi penjuru alam. Kesunyian yang menjadi bentuk wajar dari Mula dan Akhir.
Mula yang berasal dari Kesunyian, akan kembali pula ke Akhir yang bersumber pada Kesunyian
pula. Wijaya ternyata dak dur. Diapun juga duduk bersemedhi mengheningkan cipta. Dalam
kesunyian yang hening itu dia dapat merasakan kebesaran alam. Dan berusahalah dia untuk
menghampakan diri dalam kekosongan yang manunggal dengan kehampaan alam. Dia mulai
kehilangan diri, melebur kedalam kebesaran sunyi. Tiada berujung, tiada berpangkal.
Keesokan harinya berbondong-bondonglah rakyat datang lagi ke tempat itu. Tetapi mereka tak
berani mengusik kedua pemuda yang tengah duduk bersila dalam sikap mudra menghening cipta
semedhi. Setelah melihat kedua anakmuda itu selamat tak kurang suatu apa, mereka meninggalkan
kendi air dan beberapa macam buah-buah kedekat tempat kedua pemuda itu. Kemudian
mereka pulang. Walaupun marayap tetapi surya tetap setya melakukan tugas. Terbit dari ufuk timur dan
tenggelam ke ufuk barat. Ia menyerahkan kesejahteraan bumi kepada Malam lalu keesokan
harinya melakukan tugas pula, menyinari bumi dengan sinar yang membawa kehidupan.
Malam menguak pagi dan pagipun bergan malam, lalu pagi pula. Ke ka rakyat kademangan
datang pada hari ke ga, mereka terkejut mendapatkan kedua anakmuda itu masih duduk
bersemedhi. Kendi dan buah-buahan, tak terjamah sama sekali.
"Sudah dua hari dua malam mereka tak makan dan minum, jika terjadi sesuatu dengan putera
demang, bukankah kita akan menerima kemarahan ki demang?" salah seorang dari rakyat itu
berunding dengan kawannya.
"Ya, lihatlah, wajah putera ki demang tampak pucat sekali. Ah, baiklah kita jagakan dia dan
mempersilahkan supaya mendahar buah-buahan" kata kawannya. Rupanya ajakan itu disetujui dan
dua orang itupun segera melangkah maju hendak menghampiri ke tempat Bantara duduk.
"Jangan!" bentak Krica "jangan sekali-kali engkau mengganggu orang yang sedang semedhi. Jika
dia lupa diri. engkau tentu dikutuk!"
"Tetapi kakang Krica" kata salah seorang "bagaimana kalau ki demang marah?"
"Mari kita menghadap ki demang" kata Krica. Dan rombongan penduduk itupun segera beramai-
ramai menghadap ki demang. Mereka melaporkan tentang keadaan Bantara dan pengalasan Jaya.
"Ah, seorang brahmana tentu mendapat pelajaran dan la han untuk bersemedhi sampai
berhari-hari" kata demang Srubung "tentulah puteraku Bantara itu hendak menemui roh jahat itu
melalui cipta semedhi"
Dengan penjelasan itu maka rakyat kademangan-pun longgar perasaannya. Mereka terlepas dari
tanggung jawab akan keselamatan. Bantara. Dan mereka bersyukur karena putera demang itu akan
mampu menghadapi roh jahat.
Tak lama kemudian malampun tiba. Dan malam itu merupakan malam ketiga dari langkah
Bantara dan Wijaya bersemedhi. Malam makin merayap, kelam dan dingin. Sunyi di tempat itu,
sunyi pula di jagad raya. Tetapi tidaklah sunyi dalam jagad peribadi kedua lelaki muda yang
tengah mematikan segenap indera untuk melebur ke dalam kesatuan hampa itu.
Bayang2 cipta membentuk berbagai bentuk-khayal. Demikian yang dialami Bantara selama
dalam semedhi itu. Dia melihat wanita cantik menangis meminta pertolongan, melihat mahluk
yang menyeramkan hendak membunuhnya, melihat raksasa yang menyembur api, melihat
segala bentuk bhayangan yang belum pernah dilihatnya selama ini. Namun kesemuanya itu tak
dihiraukan. Hanya ketika dalam ketenangan itu muncul seekor ular besar, berjamang dan dapat
bicara, ia mulai tertarik.
"Brahmana, akulah sesungguhnya penunggu brahmastana ini. Enyahlah engkau dari tempat ini,
jangan mengusik tapaku ..."
Bantara terkejut. Melalui denyut nada dalam ba n, dia menolak "Tidak, dak. Engkaulah yang
harus enyah. Jangan engkau mengganggu daerah ini"
"Hm, rupanya engkau mengandalkan kesaktianmu. Apakah engkau siap bertanding dengan aku ?"
Bantara bersedia. Dan terjadilah pertempuran yang dahsyat. Ternyata ular naga itu amat sak .
Dia berhasil menamparkan ekornya ketubuh Bantara sehingga brahmana itu terkapar.
"Uh ...." seke ka Bantara gelagapan dan membuka mata. Keringat dingin mengucur membasahi
sekujur tubuhnya. Tetapi ah, ternyata sekelilingnya sunyi senyap, gelap gulita "Ah" ia mendesuh
penuh kekecewaan "aku telah kalah . . . ."
Ia menyadari bahwa dia telah menderita kegagalan dalam semedhinya. Dia masih terpengaruh
oleh nafsu dan kemarahan. Suatu pantangan dalam perjalanan di alam semedhi. Kemudian dia
berpaling, memandang kesekeliling. Dalam cuaca yang pekat, ia melihat, sesosok tubuh yang masih
duduk bersila seperti sebuah patung batara Wisnu.
"Ah" ia terbeliak demi melihat wajah orang itu memancarkan sinar dan dengan cepat dapat
dikenalnya sebagai Jaya, pengalasan kademangan.
Diam2 dari rasa kejut, timbullah rasa kagum lalu memercik rasa malu. Serta merta dia mulai
bersemedhi lagi. Tetapi saat itu pikirannya sukar untuk dipusatkan. Bayang2 wajah Jaya
bagaikan bayang2 yang mencermin dalam mata hatinya. Apakah pengalasan itu juga ikut
bersemedhi pada saat dia bersemedhi" Ah, mungkin dia baru kemarin atau hari ini mulai
semedhi. Hampir dia dapat menghibur perasaannya tetapi ba2 ingatannya melintas pada saat ia bersama
rombongan penduduk kademangan datang ketempat itu. Ia mengajak serta Jaya. Kemudian pada
waktu ia menyuruh penduduk itu pulang, ia dan Jaya tetap tinggal di-situ.
"Ah, jika demikian jelas dia juga memulai semedhinya bersama aku" akhirnya ia menarik
kesimpulan. Dan kesimpulan itu makin meresahkan perasaan ha nya. Dia seorang brahmana yang
sudah mendapat didikan dan la han bersemedhi dari gurunya. Mengapa dia sampai kalah tahan
uji dengan seorang pengalasan saja "
Makin dirangsang oleh rasa getun dan macam2 perasaan, makin Bantara tak dapat
mengheningkan cipta pikirannya. Hingga ayam hutan mulai berkokok di hutan, dia tetap masih
terlibat dalam angan-angan yang melalu lalang dalam benaknya.
"Ah, dia lebih nggi dari aku" akhirnya ia mengakui kegagalannya dan secara ksatrya dia terus
berbangkit. Saat itu fajar mulai menguak kegelapan. Angin dingin berarak-arak menghembus,
menebarkan kesegaran hawa dinihari. Burung2 berkicau menyongsong kehadiran sang surya.
Cuaca makin cerah dan tak berapa lama pagipun merekah.
Tiba2 Wijaya membuka mata, memandang kesekeliling, pejamkan mata pula, mengusap muka
dengan kedua tangan lalu pelahan-lahan berbangkit.
"Jaya" seru brahmana Bantara seraya menghampiri. Ia memimpin tangan Wijaya lalu diajak
duduk di bawah pohon yang telah disediakan kendi dan buah-buahan "mari kita minum"
Wijaya pernah melakukan tapa semedhi yang gawat di candi makam Kagenengan. Tujuh hari
tujuh malam dia duduk bersemedhi mematikan raga. Sekarang dia baru melakukan semedhi selama
tiga hari tiga malam. Tidak seberat dulu. Cahaya air muka masih terang.
Keduanya lalu minum dan memakan buah-buahan segar. Beberapa saat kemudian setelah
mendapat pulang tenaganya, berkatalah Bantara "Jaya engkau tidak jujur kepadaku . . ."
"Maaf, ki brahmana" Wijaya bersenyum kecil. Kemudian atas pertanyaan Bantara, Wijayapun
lalu menuturkan tentang keadaan dirinya. Bahwa dia adalah murid dari resi Sinamaya di puncak
gunung Kawi dan saat itu sedang mengemban titah gurunya untuk berkelana mencari
pengalaman. "O, pantas" seru Bantara "murid seorang resi yang sak tentu memiliki kedigdayaan yang
sehebat itu" "Ah, jangan ki brahmana menyanjung" kata Wijaya "karena apa yang kulakukan hanyalah
sekedar menunaikan tugas lelana- brata yang sedang kulaksanakan. Bukan soal siapa yang berhasil
dalam semedhi ini, yang penting bencana yang menimpali kademangan ini dapat disingkirkan"
"Tentulah dalam semedhi itu engkau mengalami berbagai gangguan. Akupun demikian" Bantara
lalu menuturkan pengalamannya selama bersemedhi itu. Kemudian ia minta Wijayapun suka
menceritakan pengalamannya.
"Hampir sama ki brahmana" kata Wijaya "hanya bedanya ular naga berjamang itu mengatakan
bahwa dirinya bernama kyai Rajamala atau kyai Petaka. Diapun menyerang aku dan dalam
pertempuran itu aku tak mau membalas, melainkan membiarkan saja dia akan ber ndak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana. Dia melilit tubuhku, dada dan leherku sampai aku seper sukar bernapas. Aku tetap
tak melawan dan menyerahkan segala-galanya kepada Hyang Jagadnata. Tiba2 dia ngangakan
mulut hendak menelan kepalaku. Tetapi entah bagaimana ba2 ia meraung-raung dan terus
terkulai, melepaskan lilitan pada tubuhku dan ngelumpruk di bawah kakiku. Dia merin h-rin h
seperti menangis, memohon ampun ...."
"Siapa engkau?" tegurku.
"Hamba adalah kyai Petaka atau Rajamala, raden. Hamba telah bertapa selama ratusan tahun.
Dewa menjanjikan kemoksaan kepada hamba apabila kelak bertemu dengan seorang ksatrya yang
kepalanya ...." sampai disini Wijaya berhenti, meragu.
"Kepalanya bagaimana, Jaya ?" tegur Bantara tertarik akan cerita itu.
"Yang kepalanya tak mempan kugigit akhirnya Wijaya memberi keterangan yang dirangkainya
sendiri. Karena sesungguhnya ular naga itu mengatakan bahwa 'ksatrya yang kepalanya dapat
memancarkan mahkota bunga wijaya'.
"Lalu?" Bantara makin tertarik.
"Dia menyatakan bertaubat dan minta ampun. Kemudian minta supaya aku menyempurnakan
dirinya" kata Wijaya.
"Dia minta mati ?"
"Ya. Dia memang dijanjikan dewa, apabila dia ma di tangan orang itu, kelak dia akan meningkat
dalam peni san yang akan datang. Sebelumnya telah kutegur mengapa menimbulkan petaka pada
daerah ini. Dia mengatakan, bahwa dia menyemburkan hawa beracun dengan tujuan agar orang
jangan mengganggu tempat pertapaannya. Tetapi dia bersumpah tak pernah mengganggu barang
seorang jiwa manusiapun jua" kata Wijaya.
Selanjutnya ia berceritera bahwa ular naga itu merin h-rin h minta pertolongan kepadanya agar
dia dibunuh. Ke ka Wijaya masih bersangsi, ular naga itupun berjanji bahwa ia akan mengabdikan
badan wadagnya kepada Wijaya demi kepentingan kesejahteraan rakyat dan manusia.
"Raden, setelah hamba ma , silahkan raden masuk ke dalam liang hamba. Apa yang raden
temukan disitu, itulah badan wadag hamba"
Setelah beberapa saat merenung, teringatlah Wijaya akan dharma wajib seorang ksatrya yang
harus bersedia menolong orang yang benar2 membutuhkan pertolongan.
"Baiklah" akhirnya ia menyatakan kesediaannya "tetapi bagaimana cara untuk melaksanakan hal
itu?" "Hamba akan menjulurkan lidah hamba dan potonglah. Hamba tentu segera moksa ..."
Maka terjadilah hal itu. Ke ka Wijaya menabas lidah ular naga itu, sekonyong konyong tubuh
ular itu berhamburan menjadi asap tebal, bergulung-gulung naik ke udara dan lenyap.
Tertarik Bantara mendengar penuturan itu. Diam2 dia menghela napas. Ia makin mendapat
kesan bahwa pengalasan Jaya itu memang bukan pemuda sembarangan "Kelak dia pas menjadi
orang besar ...." "Lalu bagaimana maksudmu sekarang ?" tanyanya.
"Sesuai dengan janji ular itu, aku akan masuk kedalam liang guanya" kata Wijaya.
Bantara terkesiap "Tetapi Jaya, adakah engkau percaya penuh akan peris wa dalam semedhimu
itu ?" "Justeru untuk membuk kan hal itu, maka ada lain jalan kecuali harus masuk kedalam guanya"
jawab Wijaya. "Bagaimana andaikata peristiwa itu hanya suatu khayal ?"
"Maksud ki brahmana ?"
"Andaikata yang berada dalam gua itu benar seekor ular yang berbisa, dakkah hal itu akan
membahayakan jiwamu ?"
"Ah, jika demikian, kita serahkan saja kepada kehendak Hyang Widdhi"
"Engkau akan memaserahkan jiwamu ?"
"Bukan menyerahkan semata-mata" sahut Wijaya "tetapi aku harus menetapi wajib
kemanusiaanku untuk berusaha menyelamatkan diri. Tetapi andaikata gagal dan harus ma
terkena bisa ular itu, aku-pun ada dapat berbuat lain kecuali hanya paserah kepada kehendak
Hyang Widdhi" Merenung sejenak, brahmana Bantara mengangguk "Baiklah, Jaya. Aku akan menyertaimu masuk
kedalam liang gua itu"
"Tetapi ki brahmana ...."
"Jaya, sesuai dengan ucapanmu tadi, yang pen ng kita dapat membasmi petaka yang
mengancam rakyat kademangan ini"
Dan Bantara terus melangkah.
Wijayapun, segera menyertainya.
"Ki brahmana, idinkanlah aku yang masuk lebih dulu" katanya pada saat mereka ba dimuka
liang. "Tetapi berbahaya, Jaya. Aku sajalah"
"Begini, ki brahmana. Kita berdua masuk bersama. Tetapi idinkanlah aku yang dimuka dan ki
brahmana mengiku dibelakang. Dengan demikian, apabila terjadi sesuatu, dapatlah ki brahmana
memberi pertolongan"
Akhirnya Bantara setuju. Sejenak keduanya berdiri di mulut liang dan berusaha untuk
menembuskan pandang kedalam. Tetapi liang yang hampir menyerupai sebuah gua besarnya itu,
gelap sekali sehingga sukar diketahui berapa dalamnya.
"Ki brahmana, mari kita masuk" kata Wijaya seraya ayunkan langkah. Dia tak tampak gentar atau
ragu. Seolah ia sudah yakin bahwa yang berada dalam liang itu seekor ular naga yang telah
bertemu dengannya dalam semedhi itu.
Diam2 Bantara bersiap-siap meningkatkan kewaspadaan dan membentengi diri dengan
menutup pernapasan. Tetapi ada suatu keheranan yang menebar dalam hati. Sejak memasuki
daerah lingkaran yang berhawa racun, dia sudah tak merasakan suatu gangguan apa2. Tidak
lagi lubang2 kulitnya terasa mengernyut seperti tertusuk duri halus. Demikian pula ketika
memasuki liang gua, dia merasa seperti masuk kedalam gua biasa. Tiada suatu hal yang
menimbulkan rasa apa2. Gua itu cukup dalam. Dan bagian dalam agak menurun ke bawah tetapi makin lebar. Setelah
beberapa langkah masuk ke dalam, Wijaya terkejut. Beberapa langkah di sebelah ujung muka,
keadaan gua itu agak terang remang-remang. Dan ketika makin mendekati, ternyata
penerangan remang-remang itu terpancar dari sebuah benda yang terletak diatas tanah.
Memang benar, benda itulah yang memancarkan cahaya yang mencuat ke ruang gua. Demikian
kesimpulan hati Wijaya dan Bantara setelah mencurahkan pandang sekuat-kuatnya kearah
benda itu. "Adakah benda ini yang merupakan badan wadag dari ular naga yang menampakkan diri dalam
alam semedhiku semalam ?" tanya Wijaya dalam ha . Dengan pertanyaan itu, sudahlah berar
suatu tingkat lebih mantap akan peristiwa yang dialaminya dalam semedhi itu.
Diam2 brahmana Bantarapun heran. Rasa keraguannya mulai berangsur-angsur menurun.
Beberapa kenyataan yang dihadapi dan dirasakan dalam perjalanan memasuki liang gua itu, makin
menumbuhkan kesan, bahwa penuturan Wijaya tentang ular naga itu memang bukan suatu khayal.
Kini diapun makin menahan napas ke ka melihat benda bercahaya yang terletak di sudut gua itu
"Jaya, apakah itu ?"
"Jika peris wa dalam semedhiku itu benar suatu wangsit gaib maka benda itu adalah perwujutan
dari badan wadag ular naga berjamang itu" bisik Wijaya.
Keduanya berhen pada jarak beberapa langkah dari benda itu. Mereka makin jelas akan benda
itu. Bentuknya bulat macam rotan, panjang selengan dan warna hitam kelabu. Cahaya yang
terpancar, remang kebiru-biruan.
"Ki brahmana, idinkanlah aku untuk mengambil benda itu" kata Wijaya.
Bantara terkesiap. Diam2 ia memuji akan keperibadian Wijaya yang dapat menempatkan diri
dalam sikap rendah hati. Suatu sikap yang menimbulkan rasa suka orang. Memang yang berhak dan
wajib mengambil benda itu adalah Wijaya. Sekalipun demikian, masih pemuda itu meminta idin
dengan rendah hati. "Baiklah, tetapi jangan lengah" Bantara memberi pesan.
Sejenak mengheningkan cipta, Wijayapun segera melangkah maju menghampiri benda itu. Ia
makin jelas akan benda itu. Apabila taksalah, sekeping besi bulat panjang yang ,masih kasar. Untuk
meyakinkan kesannya itu, dia lalu berjongkok dan memungut benda itu "Ah" desahnya dalam ha
"memang benar sekeping besi logam yang panjang, menyerupai sebatang linggis"
Entah karena perasaannya sendiri, entah memang suatu kenyataan, tetapi pada saat tangan
Wijaya menyentuh dan memegang logam itu, maka terpancarlah sebuah aliran lembut yang
menggetarkan lengannya. Hanya sekejab dan getaran lembut itupun lenyap tanpa menimbulkan
rasa sakit ataupun rasa apa-apa.
"Jaya ...." "Benar ki brahmana, hanya sebatang logam kasar" cepat Wijaya berseru seraya ayunkan langkah.
Keduanya, lalu ke luar. Mereka terkejut ke ka di luar halaman sudah tegak berjajar berpuluh rakyat kademangan.
Bahkan diantara-nya terdapat ki demang Srubung.
"Bagaimana Bantara" cepat ki demang menyongsong pertanyaan dengan nada masih membekas
kecemasan "apakah yang berada dalam liang itu?"
Dengan singkat Bantara lalu menceritakan tentang peris wa yang terjadi dalam alam
semedhinya. "Ular besar berjamang?" ki demang terkejut. Bantara mengangguk.
"Tentu seekor raja ular. Siapa namanya ?"
"Kyai Rajamala, ki demang" sahut Wijaya. Ia teringat bahwa ular naga iiu memberitahu namanya
kepadanya, tidak kepada Bantara.
"O, lalu dimana ular besar itu?"
"Sudah terbasmi"
"Hah !" ki demang terbeliak "siapa yang membunuhnya?"
"Ki brahmana" sahut Wijaya. Sudah tenta Bantara terkejut dan hendak membantah tetapi saat
itu Wijaya telah memberi isyarat kedipan mata.
"Ah, dia tentu mempunyai maksud" Bantara-pun cepat dapat menanggapi. Dan ia hendak
meminta penjelasan pada lain kesempatan.
"Benarkah ular besar yang menimbulkan malapetaka di kademangan kita ?"
"Benar, rama" kali ini Bantara menjawab. Tiba2 ia mendapat gagasan dan merangkai gagasan
seperti itu. Sesaat terdengar suara gemuruh dari rakyat kademangan yang terkejut, kagum dan bersyukur
atas peris wa itu. Diantara dengung suara macam lebah di-onggok dari sarangnya, terdengar pula
suara memuji akan kesaktian Bantara.
Ki demangpun gembira sekali. Dipeluknya Bantara dengan rasa penuh kebanggaan. Wijaya
tersenyum, Bantara meram melek. Meram mata tapi melek di ha . Dia harus menerima pujian dari
sesuatu yang tak dilakukannya. Suatu derita yang mempunyai siksa tersendiri.
Demikian dengan diiring oleh berpuluh rakyat, ki demang, Bantara dan Wijaya segera kembali ke
kademangan. Malam harinya ki demang mengadakan perjamuan untuk merayakan peristiwa itu.
"Jaya, mengapa engkau menyiksa aku?" dalam kesempatan bercakap-cakap sendiri, Bantara
menegur. "Maksudku tak lain" kata Wijaya "agar rakyat kademangan menaruh kepercayaan kepada ki
brahmana. Kepercayaan itu akan membantu usaha ki brahmana untuk memimpin mereka
menanggulangi bahaya kering dan hama di kademangan"
"O" kini Bantara baru mengerti tujuan Wijaya. Diam2 ia memuji pemuda itu.
Keesokan harinya ia mengumpulkan rakyat kademangan lagi. Ia mengatakan bahwa sekarang
bencana yang menimpah kademangan sudah lenyap dan harus segera bekerja untuk
mengembalikan pula hasil pangan.
Setelah peris wa di gua pohon brahmastana, kini rakyat kademangan percaya penuh pada
Bantara. Apapun perintah brahmana muda putera ki demang itu, dilaksanakan dengan penuh
ketaatan. Bantara memimpin mereka membuat waduk dan memperbanyak pembuatan sumur,
pengairan dan lain2 untuk meningkatkan hasil bumi.
Hari berjalan cepat sekali. Pada hari itu Sukra datang. Prajurit itu diutus tumenggung Mahesa
Bungalan untuk menyampaikan berita kepada demang Srubung bahwa besok pagi ki demang
diminta berkumpul di tumenggungan untuk berangkat ke makam Wurare.
"Tetapi bukankah upacara itu akan dilangsungkan besok lusa?" tanya demang Srubung.
"Ki tumenggung mengatakan bahwa sehari sebelum upacara itu, prajurit2 keamanan harus sudah
disiapkan" Ke ka Sukra pulang, ki demang memanggil Wijaya dan diberitahu supaya besok bersiap siap
mengiringnya. Wijaya gembira. Dalam kesempatan bertemu dengan Bantara, ia menanyakan apakah brahmana
itu juga akan menyaksikan upacara pentahbisan baginda di Wurare.
Bantara mengiakan "Sebagai seorang brahmana aku tentu tak mengalami rintangan apa-apa
apabila aku menggabungkan diri dengan para pandita dan brahmana yang menghadiri upacara
itu." Malam itu keduanya bersiap.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Malam itu Wijaya belum dapat dur. Kantuknya terserap pikiran yang masih berkelana jauh.
Melayang kembali ke pertapaan dan ke gunung Kawi, mengenang rama dan gurunya. Mengenang
pula peristiwa2 yang dialami di Daha, di candi Kagenengan, terakhir di kademangan.
Ia segera keluar mencari angin ke halaman rumah ki demang yang luas. Ia ingin menenteramkan
golak pikirannya agar dapat menyalurkan ke arah tujuan yang tertentu.
"Setelah menyaksikan upacara pentahbisan baginda di makam Wurare, kemanakah aku harus
pergi ?" ia melangkah pelahan- lahan seraya membawa pertanyaan.
Timbul pikiran untuk pulang menghadap ramanya kemudian menghadap gurunya. Ia hendak
memberi laporan tentang hasil2 yang diperolehnya dan akan minta petunjuk lebih lanjut kepada
kedua orang yang paling diindahkannya itu.
"Tetapi" pikirannya mengilas "baik rama maupun guru sudah melimpahkan amanat. Agar aku
lelana-brata ikut serta dalam kancah turunnya wahyu agung dari dewata. Amanat itu mengandung
tugas yang luas dan jelas. Sebelum berhasil menerima anugerah dewata, layakkah aku harus
memohon petunjuk beliau2 itu lagi?"
Wijaya bersangsi. Ia teringat akan wejangan gurunya bahwa ksatrya harus setya pada tugas.
Sebagai contoh gurunya menceritakan tentang sikap dan peribadi ksatrya Bratasena, ksatrya kedua
dari Pandawa Lima. Oleh gurunya, maharsi Druna, diperintahkan Bratasena untuk mencari sarang
angin didasar samudera. Bratasena seorang ksatrya yang jujur dan setya. Ia tak meragukan lagi
perintah itu. Ia tak mau menaruh curiga kepada gurunya apakah sesungguhnya yang tersembunyi
di balik perintah aneh itu. Mungkinkah angin itu mempunyai sarang" Mungkinkah ia mampu
memperoleh sarang itu"
"Ah, dakkah ndakan Bratasena itu suatu sikap kepatuhan yang membuta?" saat itu Wijaya
menyanggah. "Memang demikian, Nararya" kata resi Sinamaya "tetapi engkau harus mengetahui bahwa dalam
ajaran agama Hindu, guru itu mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar. Murid harus tunduk dan
melakukan apapun perintah guru. Bratasena menetapi keutamaan sebagai seorang murid. Dan
dalam alam pikiran Bratasena, tak mungkin seorang guru akan mencelakai muridnya. Dan ia tahu
bahwa maharsi Druna itu seorang resi linuwih, sak mandraguna sehingga dipercayakan menjadi
guru dari para Kurawa dan Pandawa"
"Tetapi guru" masih Wijaya menyanggah " dakah hal itu suatu kenaifan apabila Bratasena
sampai mati?" "Benar Nararya" kata resi Sinamaya "tetapi ma difitnah gurunya, akan mendapat tempat di
Nirwana. Sikudenda dewata akan menimpah guru munafik itu.
Wijaya mengangguk. "Tetapi ingat, Nararya" kata resi Sinamaya lebih lanjut "bahwa Dewata tak membenarkan se ap
perbuatan yang jahat. Seperti yang telah dialami Bratasena ksatrya dari Jodipati itu"
Sekilas seolah terngiang pula percakapannya dengan resi Sinamaya dahulu. Dan sesaat itu
mbullah semangat Wijaya "Aku harus ber ndak seper raden Bratasena. Apapun yang terjadi aku
harus melaksanakan amanat rama dan guru"
Dengan keputusan tekad itu beralihlah pikirannya kepada hal2 yang harus dilakukan. Ia akan
menentukan langkah selanjutnya.
"Ya benar" akhirnya ia teringat "sesudah pentahbisan baginda, kerajaan Singasari akan
menyelenggarakan sayembara memilih senopa dan menerima prajurit. Aku akan menyaksikan
sayembara itu" Tepat pada saat ia bertemu pada arah yang akan direncanakan, ba2 ia mendengar suara orang
bercakap-cakap. Ah, iapun terkejut ke ka mendapatkan dirinya telah memasuki kebun halaman
belakang kediaman ki demang. Ia hendak menyurut mundur karena ia tahu bahwa halaman
belakang itu bukan tempat yang harus dironda dan iapun merasa bahwa suatu ndak yang kurang
layak apabila pada waktu malam ia memasuki lingkungan rumah ki demang.
"Hai, siapa itu!" ba2 sebelum ia mengangkat kaki, sebuah suara menegur sudah mendahului
menyergapnya. Wijaya terkejut. Namun ia segera mengenal nada suara orang itu "Aku, ki brahmana"
"O, siapa " Engkau Jaya" seru orang itu pula. Dan sesaat muncullah brahmana Bantara "mengapa
engkau kemari ?" Wijaya meminta maaf. Dia mengatakan karena belum dur, ia keluar ke halaman. Mencari angin
sekalian meronda. "Ah, engkau sungguh rajin" seru Bantara "mari duduk bersama kami. Aku juga belum tidur"
Wijaya terpaksa menurut. Ia terkejut ke ka melihat seorang gadis berada di serambi belakang
"Ah, roro, maaf" ia memberi hormat kepada dara itu yang dikenalnya sebagai puteri ki demang.
"O, kakang Jaya, silahkan duduk" ni Tanjung menyambut dengan ramah.
"Jaya, Tanjung juga tak dapat dur dan memaksa aku bercakap-cakap disini" Bantara
menerangkan. "Kakang, lanjutkan ceritamu tadi" Tanjung berseru.
"Jaya, apakah engkau suka mendengarkan cerita ?"
"Senang sekali" sahut Wijaya "cerita apa saja yang ki brahmana bawakan ?"
"Tanjung masih tak puas akan keteranganku tentang agama Syiwa dan Buddha. Dia ingin
bertanya keterangan tentang makna dan tujuan dari upacara pentahbisan di makam Wurare itu"
"O" Wijaya berseru kaget dan gembira "sungguh menarik sekali apabila ki brahmana
menerangkan tentang itu"
Bantara tertawa "Hm, rupanya engkau memang memiliki sifat seper Tanjung. Suka mengetahui
segala apa. Kalian berdua ini cocok sekali"
Bantara menyelimpatkan pandang melirik Wijaya. Tampak Wijaya terkesiap. Dan ke ka
berpaling, dilihatnya Tanjungpun menunduk. Diam2 Bantara gembira. Ada suatu angan2 yang
memercik dalam hatinya. "Baiklah" katanya sesaat pula "akan kuterangkan tentang sesuatu yang kuketahui perihal
pentahbisan baginda itu. Pengetahuanku inipun kuperoleh dari guruku"
Yang disebut agama Hindu, yaitu segala kebiasaan dan buah fikiran bangsa Hindu berdasarkan
atas agama dan masyarakat. Agama Veda yani agama yang berdasarkan ajaran kitab Veda dan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agama Brahmana termasuk agama Hindu.
Pada dasarnya, agama Brahmana dan Veda tak ada perbedaan pokok. Zaman Brahmana
hanya mewujutkan kesempurnaan zaman Veda. Titik berat zaman brahmana terletak pada
memenuhi kewajiban2 keagamaan dan menjalankan peraturan2 agama yang mengikat
masyarakat. Falsafah yang menguasai seluruh jiwa mereka yalah Karman (perbuatan), Samsara atau selalu
menjelma dan Moksha atau pembebasan.
Jiwa manusia akan selalu menjelma menjadi mahluk, berkali-kali hingga dapat mencapai ngkat
penjelmaan yang nggi dan tak usah menjelma lagi atau mencapai ngkat yang abadi yaitu
moksha. Perbuatan dalam hidup sekarang menentukan peni sannya dihari kemudian. Jika perbuatannya
jelek maka ngkat hidup peni sannya yang akan datang akan lebih rendah dari pada ngkat hidup
sekarang. Demikian sebaliknya pula. Kalau peni san hidup yang sekarang baik perbuatannya, kelak
dalam hidup peni sannya yang mendatang tentu akan lebih sempurna. Makin sempurna sampai
tak usah menitis lagi. Jadi tujuan hidup yang pokok yaitu moksha.
Setelah mbul dan berkembang agama Buddha, maka agama Hindupun mengalami
perkembangan dan perobahan. Syiwa dan Vishnu dipuja sebagai dewa yang paling kuasa, lebih
daripada dewa2 lain. Dengan dewa Brahma mereka merupakan Trimurti.
Brahma menjadi pencipta, Vishnu menjadi pemelihara dan Syiwa menjadi pembinasa. Brahma
sering dilukis dengan empat kepala tetapi jarang menjadi pujaan. Syiwa dan Vishiu lebih banyak
dipuja. Ada mahzab yang mengutamakan Vishnu, ada pula yang mengutamakan Syiwa. Dalam buku2
Veda yang muda, Vishnu disebut pula Asyuta, Narayana dan Hari. Tanda2 Vishnu yalah gada, cakra,
kulit kerang dan tunas bunga teratai. Kenaikannya burung garuda. Vishnu beristeri dewi Laksmi
atau dewi Sri, lambang seri dan kekayaan.
Sebagai pemelihara jagad, Vishnu selalu siap sedia merubah bentuk wujutnya. Hal itu
dilakukannya apabila bahaya mengancam keter ban jagad. Rupa atau bentuk wujut Vishnu mula2
tak terbatas tetapi kemudian hanya tinggal sepuluh atau yang disebut sepuluh avatara, yalah:
1. Matsyavatara. Sebagai matsya atau ikan besar, Vishnu menolong Manu, waktu bahaya air bah
mengancam seluruh dunia. 2. Kurmavatara atau kura2 raksasa. Vishnu menjadi alas gunung Mandara waktu dewa2 berusaha
mengaduk lautan, karena hendak mengambil air Amreta dari dalam laut.
3. Varahavatara. Sebagai Varaha atau babi-hutan, Vishnu mengangkat jagad dengan taringnya
ke ka jagad ditarik kebawah oleh orang2 dari dunia gelap ke dasar laut dan ke Patala atau dunia
gelap. 4. Narasimhavatara. Sebagai mahluk yang berbadan manusia dan berkepala singa. Vishnu
mengalahkan daitya Hiranyakasyipu yaug hendak menguasai dunia.
5. Vamana vatara . Sebagai Vamana atau orang kerdil, Vishnu datang kepada Bali seorang raksasa
yang menguasai dunia. Vamana minta kepada Bali, tanah sebanyak yang dapat dilangkahi dalam
ga langkahnya. Ke ka permintaannya itu dikabulkan Bali, maka Vishnu-pun melangkah. Ternyata
dalam, tiga langkah saja Vishnu telah melangkahi bumi, angkasa dan langit.
6. Parasuramavatara. Sebagai Rama yang bersenjata parasu atau kapak, Vishnu membunuh dua
puluh satu kali orang2 ksatrya untuk membalas dendam hinaan yang diterima oleh ramanya,
seorang raja. 7. Ramavatara. Vishnu menjelma dalam diri Rama, putera raja Dasaratha. Isterinya dewi Sinta
telah dilarikan Ravana. Dengan perjuangan panjang dibantu oleh raja kera Sugriva dan kera pu h
Hanuman, akhirnya Rama dapat menumpas Ravana.
8. Kreshnavatara. Vishnu menitis dalam diri Kresna, putera dewi Devaki dan prabu Vasudewa.
9. Buddhavatara . Vishnu turun di dunia sebagai Buddha hendak memperdayakan musuh2 dewa.
10. Kalkiavatara. Peni san ini akan terjadi kelak apabila jeman Kaliyuga sudah habis, Visnhu akan
turun sebagai Kalki untuk memperbaiki dharma dan mendatangkan kala yang baru dan bahagia.
Demikian sifat2 daripada Visnhu. Sedangkan Syiwa, mempunyai sifat yang berbeda. Syiwa
menjadi lambang kekuasaan yang luar biasa. Sering kali Syiwa menjelma sebagai raksasa yang
membinasakan segala mahluk atau barang yang telah dicipta sendiri. Ia mencipta dan
membinasakan. Tempat singgasana Syiwa di puncak gunung Himalaya yang selalu dilipu salju. Isterinya bernama
dewi Parva , berputera dua orang yani Ganesya dan Skanda. Ganesya berkepala gajah dan menjadi
panglima pasukan Syiwa. Skanda menjadi dewa peperangan, kenaikannya burung merak. Sedang
kenaikan Syiwa adalah lembu Nandini.
Seringkah Syiwa bergan nama sesuai dengan penjelmaan yang diambilnya. Diantaranya yaitu
sebagai: 1. Mahalala, dewa yang mencipta dan menghidupkan dan membunuh segala mahluk.
2. Mahadewa, dewa yang melebihi dewa2 lain.
3. Mahaguru, sebagai dewa para yogin.
4. Iivara atau Isya, tuan yang ditakuti.
5. Bersatu dengan Vishnu disebut Harihara.
Kitab suci agama Syiwa dan Vishnu disebut Porana. Kitab2 Purana ini terutama membicarakan
apa yang telah terjadi dengan dunia, asal mula dan apa yang akan terjadi. Kitab itu terdiri dari lima
bab yang disebut Pancalakshana. Diantaranya, bab yang ke empat menyebut tentang Kalamanu
atau lukisan kala. Ada empat belas kala, dalam ap2 kala dilahirkan manusia baru. Tiap kala dibagi
lagi kedalam empat yuga yani: Kreta, Dvapara, Treta dan Kaliyuga.
Menurut kepercayaan mereka, sekarang ini kita hidup dalam masa Kaliyuga, penuh dengan
kejahatan dan kepalsuan. Dalam Kretayuga digambarkan bahwa keadaan masih baik. Dharma berlaku adil dan benar, ada
orang yang ber ndak salah. Semua ber ngkah laku baik. Dalam yuga2 berikutnya, keadaan makin
jelek hingga sampailah yuga yang sekarang ini yani Kaliyuga. Dalam kala ini kejahatan merajalela.
Pada akhir jaman Brahmana, muncullah agama Buddha. Kemunculan agama itu ditandai
dengan lahirnya seorang putera dari raja Saddhodhana, raja kerajaan Kosala yang beribu-kota
Kapilavastu. Suddbodhana merupakan keturunan raja Skaya. Sangat dipuja dan ditaati rakyat
karena raja Suddhodhana itu amat adil bijaksana.
Pada suatu hari permaisuri Maya yang sedang mengandung, meninggalkan Kapilavastu
menuju ke Diva-daha untuk menjenguk saudaranya. Ditengah jalan, di-desa Lumbini, ratu
kerajaan Kosala itu tertarik oleh sebuah hutan kecil yang penuh bunga, burung2 bernyanyi dan
lebah mendengung-dengung. Segera ratu turun dari kendaraan dan masuk ke dalam hutan.
Ketika hendak memegang cabang pohon, tiba2 ia terperanjat mendengar bunyi burung terbang
dari cabang iiu. Pada saat itu pula, bersalinlah sang ratu. Seorang putera yang amat rupawan
dan bercahaya wajahnya. Pada saat kelahiran putera itu, terjadilah peris wa2 yang ajaib. Orang2 yang tuli dapat
mendengar, yang lumpuh dapat berjalan, yang buta dapat melihat dan yang sakitpun sembuh.
Tetapi kegembiraan itu segera tertutup kabut awan kesedihan. Tujuh hari setelah melahirkan
putera maka ratu Mayapun mangkat.
Seorang pandita bernama Anta menghadap raja Suddhodana dan menujumkan bahwa putera
raja itu kelak akan menjadi pemimpin dan petunjuk semua tah manusia, menolong segenap jiwa
manusia dari samsara. Raja Suddhodana menghendaki puteranya akan menjadi raja sebagai penggantinya.
Siddharta dijauhkan dari para pandita, diasuh dengan segala kebesaran dan keagungan istana.
Tak dapat meninggalkan istana sekehendak hati. Jika keluar bertamasya harus diiringkan para
pengawal hulubalang. Setelah dewasa Siddharta beristeri dengan puteri Gopa dan berputera
seorang anak lelaki yang dinamakan Rahula.
Sekalipun sudah berkeluarga tetapi pangeran itu tetap tak bebas meninggalkan istana. Se ap
pangeran hendak pesiar keluar istana, raja menitahkan supaya menyingkirkan semua paderi dan
orang yang dapat menimbulkan kesadaran kemanusiawiannya. Tetapi segala usaha itu akhirnya
tetap gagal. Pangeran Siddharta bertemu dengan seorang sakit yang tubuhnya gemetar, dengan
seorang tua renta yang berjalan terta h-ta h. Kemudian berjumpa dengan seorang pendeta dan
orang mati. Kesemuanya itu telah menimbulkan rasa sedih dan pedih dalam hati sang pangeran.
Jiwanya meronta dan akhirnya dia meninggalkan istana, putera dan isterinya, hidup sebagai
orang pertapa mencari ilham dan pembebasan dari penderitaan.
Tetapi pangeran tak menemukan apa yang dicarinya. Mencari ilmu yang sempurna, bertapa,
kesemuanya itu sia2 belaka. Hidup bertapa tak dapat memisahkan purusha dari prakreti dan
tetap menahan orang dalam samsara. Maka pangeranpun mencari jalan sendiri. Dia bertapa di
bawah pohon ara yang kemudian terkenal sebagai pohon bodhi. Dia mendapat ilham atau
bodhi, menerima petunjuk bagaimana dapat melepaskan diri dari samsara.
Peris wa itu terjadi di Gaya. Tempat itu kemudian disebut Bodhi-Gaya. Setelah itu mulailah dia
berkeliling untuk mengajarkan ilmunya.
Pokok2 dari pelajarannya yalah bahwa lahir, tua dan mati itu menderita. Begitu pula halnya
dengan bersedih, menyesal dan segala macam rasa kecewa. Yang menyebabkan penderitaan
itu adalah hati yang tidak ihklas dan hawa nafsu, mencari kesenangan, hawa nafsu
keduniawian. Untuk melenyapkan segala derita itu harus memiliki hati ihklas dan menghilangkan
hawa nafsu. Cara untuk menghilangkan penderitaan itu hanya dengan menjalankan delapan
jalan tengah berpemandangan, berniat, berbicara, berbuat, berpenghidupan, berusaha,
berperhatian dan memusatkan pikiran yang benar. Kesemuanya itu harus benar.
Juga diajarkan tentang rantai Sebab dan Akibat. Penderitaan itu ada Sebabnya dan penderitaan
itu dapat dilenyapkan. Buddha dak berniat mendirikan mahzab atau agama. Ia hanya mengajarkan cara untuk mencari
moksha. Tetapi sesudah beliau wafat, penganut dan murid-muridnya yang banyak sekali jumlahnya
itu mendirikan ikatan2 yang bertujuan memelihara dan mengembangkan ajaran2 sang Buddha.
Para penganut dan murid2 itu sebagian masuk ikatan ulama, sebagian masuk ikatan penganut
biasa. Ikatan ulama disebut sanggha. Ulama disebut bhikkhu, yang wanita disebut bhiksuni.
Penganut biasa disebut upasaka.
Oleh karena sanggha2 atau ikatan2 makin lama makin banyak, pelajaran sang Buddha menjadi
agama. Seratus tahun sesudah sang Buddha wafat, maka mbullah perpecahan dikalangan agama itu.
Terbagi dalam dua aliran yaitu Sthavira atau kaum kolot dan aliran Mahasangghika, yang
berpendirian lebih baru. Perpecahan makin lama makin nyata dan akhirnya pada tahun 78 Masehi
di Jalandhara telah diadakan permusyawarahan besar dari para bhiksu dan pandita yang terpilih.
Musyawarah yang diselenggarakan raja Kanishka itu tetap tak dapat menghindari perbedaan aliran.
Sejak itu mbullah dua mahzab yang beraliran Hinayana atau Kendaraan-kecil dan Mahayana atau
Kendaraan-besar. Aliran Hinayana menganggap bahwa kelak akan ada Buddha baru yang turun ke dunia yaitu
Maitreya. Siddharta adalah Buddha Gautama. Hidup harus menurut petunjuk yang diberikan sang
Buddha Gautama. Untuk mencapai Niivana, ap orang harus berusaha sendiri dengan dak
mengharap pertolongan dari siapa-pun hingga sampai nanti Buddha Maitreya turun ke dunia lagi.
Aliran Mahayana menganggap bahwa Buddha itu daklah semata Buddha Gautama sebagai
satu-satunya Buddha. Buddha Pertama merupakan sumber segala hidup. Buddha Pertama
menjelma dalam lima dhyani-buddha. Lima dhyani-buddha itu masing2 mempunyai buddha-
manusia. Buddha Gautama menjadi salah seorang diantara kelima dhyani- buddha yang akan turun
ke dunia. Umur dunia dibagi dalam lima kala. Yang bertanggung jawab untuk tiap2 kala yaitu :
1 . hyani-buddha Vairocana, dhyani-bodhi sa ya Samantabadhra dan buddha-manusia Kra-
kucchanda. 2. hyani-buddha Akshobya, dhyani-bodhi-satva Varyapani dan buddha-manusia Kanakamuni.
3 . hyani-buddha Ratnasambhava, dhyani-bodhi-satva Ratnapani dan buddha-manusia
Kasyapa." Ke ga Dhyani-buddha itu telah menjelma didunia pada masa yang lampau. Dan masa sekarang
adalah: 4 . hyani-buddha Amitabha, dhyani-bodhisatva AvalokifeTvara atau Padmapani dan buddha-
manusia Buddha Gautama. Dan dalam masa yang akan datang, adalah: 5. Dhyani- buddha Amoghasiddhi, dhyani-bodhi-
satva Visvapani dan buddha-manusia Maitreya.
Kewajiban dhyani boddhisa va memimpin dan memberi petunjuk kepada manusia agar
mendapat bedhi dan kelak dapat masuk kedalam Nuvana. Lambat laun dhyani boddhi-sas va
itulah yang terutama dipuji dan dipuja para pemeluk aliran Mahayana. Karena dhyani-
boddhisattvalah yang jelas menolong manusia.
Tiap orang yang telah mendapatkan bodhi dengan pertolongan Avalokitesvara, diharuskan
menolong kawan2 supaya mendapat bodhi dengan jalan menunjukkan jalan yang benar. Dengan
demikian jumlah bodhi-satva akan meningkat. Oleh sebab itulah mazhab ini disebut Mahayana
yang berarti Kendaraan Besar, dapat memuat banyak orang.
Kemudian ada juga aliran yang mempergunakan mantera untuk mempercepat terlaksananya
boddhi. Delapan an yang mula2 diajarkan Budha hampir di-abaikan, Aliran ini disebut Varayana.
Aliran ini merupakan agama Buddha yang berselubung Syiwa. Nama lain dari aliran itu yalah
Tantrayana. Demikian brahmana Bantara mengakhiri ceritanya dengan penambahan kata "Sudah tentu masih
jauh dari sempurna uraianku itu. Karena pengetahuanku tentang agama yang begitu luas, hanya
ibarat sebu r pasir dipadang pasir. Apa yang kugambarkan itu, hanya secara garis besar. Dan
dengan uraian singkat itu mudah-mudahan kalian mendapat sedikit landasan untuk mengetahui
sumber dan dasar serta perkembangan ketiga agama, Syiwa, Baddha dan Brahma itu"
Dalam ha Wijaya memuji kecakapan Bantara yang dalam usia semuda itu sudah memiliki
pengetahuan yang luas akan jenis dan keadaan aliian agama yang berkembang di Singasari.
"Kakang, jika begitu kerajaan Singasari itu menganut tiga aliran agama?" tanya ni Tanjung.
"Benar, nini" kata Bantara "memang baginda berkenan mengembangkan ke ga aliran agama itu.
Terutama baginda lebih cenderung akan ajaran Tantra, sebuah kitab suci dalam aliran Hindu,
beberapa mahzab menggunakan petunjuk2 untuk mencari jalan moksha dengan melaksanakan
Pancatauva atau Pancamakara, yaitu menjunjung lima ma : mada atau anggur, matsya atau ikan,
mamsa atau daging, mudra atau padi dan maithma atau cinta. Tidak memadamkan hawa nafsu
tetapi memanjakannya. Mahzab ini disebut aliran Tantrayana. Yalan menggunakan mantra atau
tantra. Yogin atau orang yang sedang menjalankan yoga dalam aliran itu, harus berusaha untuk
membangkitkan ular sebagai titisan dewi Paivati yang dianggap sebagai sakti Syiwa ....."
"Apakah maksud kata2 sak itu, kakang?" tanya Tanjung yang selalu tak puas-puas hendak
meneguk pengetahuan. "Dasar dari kepercayaan mereka yalah kenyataan yang ter nggi adalah pesatuan antara dua sifat
yang berjenis lelaki dan perempuan. Jenis lelaki merupakan ngkat ter nggi, sedangkan jenis
perempuan merupakan ngkat pembebasan. Yang pertama disebut upaya dan yang kedua prajna.
Kesatuan dari kedua jenis itu merupakan jalan yang mutlak untuk mencapai pembebasan dari
samsara. Berdasarkan pandangan itu maka semua dewa, buddha dan bodhisatwa mempunyai sak
yang berupa dewi atau seorang wanita. Begitulah yang diartikan dengan kata sakti itu"
"O" seru Tanjung pula "kudengar baginda hendak melaksanakan pentahbisan di makam Wurare"
"Ya" "Lalu apa tujuan pentahbisan itu dan mengapa akan dilakukan di kuburan Wurare?"
Bantara geleng2 kepala "Nini, rupanya engkau ingin tahu segala. Lebih dulu jawablah
pertanyaanku ini. Apa guna engkau hendak mengetahui soal itu?"
"Pengetahuan itu merupakan suatu ilmu. Dan ilmu itu, menurut hematku, suatu kelengkapan
untuk meningkatkan tingkat pikiran dan jiwa kita. Tanpa ilmu, bagaimana mungkin dapat hidup?"
"Ah, masakan begitu?"
"Yang kumaksudkan dengan hidup adalah hidup yang sebenarnya. Burung, ayam, kuda dan
segala jenis binatang, pun dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Tetapi kita manusia, merupakan
mahluk yang tertinggi, hendaknya sesuai dengan nilai martabat manusiawi kita"
"Bagus, nini" seru Bantara memuji "jika aku memiliki segala ilmu, adalah karena aku berguru
pada resi di gunung Meru. Tetapi yang mengherankan adalah dirimu. Engkau tetap di rumah tetapi
mengapa engkaupun dapat mencapai suatu kecerdasan pikiran dan kesadaran ba n mengenai
beberapa soal2 hidup?"
Ni Tanjung tertawa. "Sesungguhnya ada yang harus diherankan. Ilmu dan kesadaran ba n terdapat dalam segala
gerak kehidupan ini. Sumbernya adalah alam sendiri. Alam ini merupakan sumber ilmu yang
sempurna. Tergantung sampai dimana kemampuan kita untuk mengetahuinya. Bukankah tadi
dalam membawakan cerita tentang sang Buddha Gautama, kakang mengatakan bahwa sang
Gautama merasa kecewa akan segala jerih payahnya untuk mencari ilmu kemana-mana" Bukankah
akhirnya sang Gautama mendapatkan pencrangandaa kesadaran setelah duduk bertapa dibawah
pohon ara?" Bantara mengangguk. "Benar, nini. Tetapi daklah sembarang orang mampu seper sang Gautama. Baru keputusannya
saja, mungkinkah orang berani menauladnya" Beliau seorang putera raja, pewaris kerajaan,
beristeri puteri can k dan berputera. Hidup gelimang kekuasaan dan kemewahan. Kiranya tak
mungkin ada orang yang berani meninggalkan kenikmatan itu kecuaii sang pangeran Siddharta"
"Ya, benar kakang" kata Tanjung "adakah karena tubuh sang Gautama itu memang sebagai bud-
dha-manusia daripada dhyani-boddhisatva Avaloki-tesvara?"
"Engkau cepat dapat menghayati sesuatu" seru Bantara gembira"
"Tetapi kakang tadi mengatakan bahwa se ap manusia dapat mencapai boddhisa va. Dengan
demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila seseorang akan mendapat kesadaran ba n
itu?" "Ke ga agama itu memiliki sumber dan dasar pelajaian menurut kitab suci masing2. Agama
Brahma dengan kitab suci Veda. bagi para pemeluk agama Syiwa dan Wisnu memiliki kitab Purana
yang terdiri dari delapan belas bagian. Reshi Kreshna Dvipayana atau Vyasa, adalah pengarang
Veda dan juga dianggap sebadai pengarang Purara. Setelah menyusun Purana lalu reshi Kreshna
Dvpayana itu mengararg Mahabaratha. Sementara kaum buddha memiliki kitab suci Tripitaka"
"Baik Brahma maupun agama Syiwa, memuji dewa2. Sedangkan agama Buddha, karena terpecah
dua aliran yani Hinayana dan Mahayana, maka terdapat pula dua pendirian. Hinayana memuji
Buddha Gautama yang telah mendapat boddhi itu sebagai Buddha yang melebihi para dewa2. Dan
percaya juga akan tuntunnya Buddha Maitreya kelak pada akhir jeman Ka-liyuga"
"Mahayana menganggap bahwa Buddha Gautama itu hanya sebagai salah seorang dari lima
dhyani-buddha yang menjadi pengejawantahan dari Sanghyang Adibuddha atau Buddha Pertama.
Walaupun caranya berbeda tetapi tujuan mereka sama"
"Brama dan Syiwa, tidak terdapat perbedaan yang pokok. Falsafah pikiran mereka yalah
mengadakan perbedaan antara dua hal, atman atau jiwa-aku dengan brahman ( maha ada ).
Atman akan terpisah dan tetap akan terpisah dengan Brahman karena samsara. Kalau kita
yakin bahwa sesungguhnya hubungan Atman dengan benda (jasmani dan keduniawian) hanya
maya, maka atman lepas dari benda dan kembali ke Brahman. Tiada mengalami samsara lagi.
Tujuan pokok dari agama Buddha, juga demikian. Untuk mencapai Nirvana atau kemokshaan
yaitu kesempurnaan, orang harus melepaskan diri dari penderitaan. Lahir, tua dan mati dan
lain2 perasaan hati, merupakan penderitaan. Cara untuk melepaskan penderitaan harus dengan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati yang ikhlas dan menghilangkan hawa-nafsu"
"Setelah engkau mengetahui pokok2 ajaran itu, jika engkau memang hendak mencapai bodhi,
engkau harus ikhlas melakukan hal2 yang telah dipancarkan dari delapan ajaran sang Buddha itu.
Yang jelas, engkau harus mampu membebaskan diri dari belenggu mara atau nafsu2" Bantara
mengakhiri jawabannya dengan uraian lagi yang agak panjang.
"Ki Bantara" ba2 Wijaya yang sejak tadi diam mendengarkan, sekarang membuka suara
"dapatkah engkau menjelaskan apa sebab Syiwa itu disatukan dengan Wisnu ?"
"Menurut cerita guruku" kata Bantara "terjadilah penyatuan antara dua dewa yang disebut Hari-
hara itu sudah terjadi sejak ratusan tahun di negara Jambudwipa ( India ) sebagai pelaksanaan dari
suatu ajaran yang disebut Bhak marga atau jalan menuju pembebasan melalui kepercayaan yang
penuh. Ajaran itu memuliakan Syiwa dan Vishnu. Karena reshi Kreshna Dvipayana yang menyusun
kitab Veda itupun mengarang kitab2 Puruna dan kemudian menggubah kitab Mahabharata, maka
terjadilah kaitan pengaruh diantara ajaran2 itu. Dalam kitab itu diberitakan pertarungan yang
dahsyat antara Bhagawat, peni san Vishnu, dengan Rudra penjelmaan Syiwa. Pertarungan hanya
akan menghancurkan seisi jagad maka balah Brahma melerai mereka. Sejak itu maka Vishnupun
mempermaklumkan: "Siapa yang mengenal Aku, mengenal Dia (Syiwa). Siapa yang menganut Dia, menganut Aku.
Tiadalah perbedaan antara Kami berdua"
"Tentu saja pada suatu saat dapatlah sifat2 sebagai Vishnu yang menonjol dan lain kali sifat2
sebagai Syiwa yang akan tampak. Hal itu sesuai dengan tugas khusus yang perlu dilaksanakan oleh
Dewa Ter nggi. Dewa ganda, Syiwa Vishnu, disebut Harihara. Dewasa ini di kerajaan Singasaripun
menganut faham itu" Wijaya mengangguk-angguk. Dalam ha memuji pengetahuan Bantara si brahmana muda itu.
Di lik dari sudut itu tentulah guru dari Bantara itu seorang resi yang berilmu nggi. "Eh, tetapi
mengapa resi itu menyembunyikan namanya?" ba2 Wijaya teringat akan keterangan Bantara
mengenai gurunya yang minta disebut saja sebagai resi Meru.
"Ki brahmana" namun Wijaya sungkan untuk menyelidiki diri resi Meru. Ia beralih pada lain
pertanyaan "pentahbisan apakah yang akan dilakukan baginda di Wurare itu" Dan apakah
sebabnya harus dilangsungkan di Wurare?"
"Ya, benar" kata Bantara "memang akupun sudah menjaga akan pertanyaan kalian tentang hal
itu. Itulah sebabnya maka tadi agak panjang lebar kuurai-kan tentang keadaan dan perkembangan
ke ga aliran agama itu. Agar demikian dapatlah kalian memiliki gambaran tentang apa yang akan
kuceritakan lebih lanjut tentang upacara pentahbisan baginda di kuburan Wurare"
Wijaya dan ni Tanjung mendengarkan dengan perhatian yang meningkat.
"Seper telah kita ketahui, baginda Kertanagara seorang raja yang amat patuh menjalankan
ajaran dan peraturan agama. Baginda menerima ke ga aliran agama sebagai suatu kenyataan yang
berkenan dalam ha baginda. Baginda memeluk agama Syiwa tetapi juga menganut agama Buddha
Mahayana. Oleh karena perkembangan dari aliran agama Hindu dengan Buddha aliran Mahayana
itu sejalan dalam suatu k pemujaan tentang dewa2, maka bagindapun menyatukan ke ga aliran
agama itu menjadi Tripaksa"
"Dengan demikian baginda itu seorang penganut ajaran Syiwa, pun juga seorang pemeluk
Buddha. Kedua ajaran itu, memiliki ajaran tentang beberapa masa atau yang disebut Kala. Oleh
karena pada se ap kala tentu akan turun awatara-awatara dari Vishnu atau Syiwa, ataupun
dhyani- bodhisattva, maka timbullah sifat ganda daripada dewa2 yang akan turun itu"
"Setelah ayahanda baginda Wisnuwardhana mangkat, baginda Kertanagara merasa menerima
tugas untuk melindungi dunia dalam masa Kaliyuga. Dengan tegas baginda membasmi penjahat
yang keji, kemudian bagindapun mengirimkan pasukan ke Malayu. Begitu pula dalam mengadakan
kelestarian dari pemerintahannya, tak segan-segan baginda Kertanagara menggunakan kekerasan
untuk menghancurkan se ap musuh. Baginda ingin membebaskan dunia dari cengkeraman
Kaliyuga seper juga sang Buddha dalam wujud sebagai Wajarabhairawa membebaskan dunia dari
Mara. Seper pula Vishnu selaku Narasimha atau mahluk menyeramkan yang berkepala Singa dan
berbadan manusia, menumpas kedua asura Hiranyakasipu. Seper pula Syiwa dalam wujud selaku
Samhara membunuh daitya-daitya yang lain. Dalam rangka melakukan tugas untuk
menyejahterakan dunia, maka bagindapun taat akan kelima perintah seper yang diajarkan oleh
ajaran Tantrayana. Itulah pula sebabnya maka baginda menitahkan untuk memuja sebuah dewa
yang mencangkup per-wujudan dari awatara Syiwa dengan dewa dari aliran Buddha. Dan untuk hal
itu maka satu-satunya dewa ganda yang dapat diterima adalah Harihara. Tetapi separah dari dewa
ganda yang merupakan Hari, digan dengan wujud Buddha dan kemudian terciptalah dari
Harabuddha itu menjadi Syiwabuddha yang tumbuh dari aliran Syiwa-Vishnu. Jika tak salah, maka
dalam pentahbisan nanti, baginda akan memakai nama abhi-seka sebagai Bhatara Syiwabuddha"
"Demikianlah pokok2 in ajaran agama yang dianut baginda. Dan mengapa harus dilakukan di
makam Wurare " Karena disitu akan diadakan sebuah lapangan mayat, dimana baginda akan
bersemayam di-tengah- tengahnya untuk menerima pentahbisan itu .. ."
"Di lapangan mayat ?" ni Tanjung terkejut.
"Ya" sahut brahmana Bantara "memang banyak dipuja orang salah satu diantara sekian banyak
bhairapaksa atau dewa2 penjelmaan dari Syiwa, Vishnu maupun Buddha. Terutama oleh mereka
yang ingin segera dibebaskan atau yang masih dalam kehidupan ini sudah ingin menunggal dengan
dewa. Untuk itu mereka mencari jalan lain dengan mantra dan berbagai upacara yang kesemuanya
bersifat gaib. Tahap dalam ajaran ini disebut jiwanmukta, untuk mencapai bhumiyatga atau lepas
dari bumi. Demikian kepercayaan dari bhairawa"
"Untuk melaksanakan pentahbisan ke ngkat itu, dilakukan juga upacara misalnya mandi atau
dur dalam abu mayat, mengucap mantra2, melaksanakan pra-daksina dan melakukan upahara
yang terdiri dari berbagai perbuatan antara lain yang terpen ng yalah : ha-sita atau tertawa, gita
atau menyanyi, nitya atau menari. Dan kesemuanya itu bagi pentahbisan seorang raja, harus
dilakukan diluar istana, disebuah lapangan mayat. Mengapa begitu " Hal itu harus kita ingat bahwa
dalam falsafah ajaran Bhairawa, apa yang dilakukan raja itu semua, bebas tanpa terbius barang
sedikitpun kesadarannya. Karena hal itu semata-mata hanya dilakukan demi tugas yang berat
untuk melindungi dunia dalam masa Kali"
"Ih" ni Tanjung mendesuh agak ngeri.
"Masih ada sebuah pertanyaan lagi, ki brahmana" kata Wijaya.
"Baik" "Apakah tuan pernah mendengar tentang seorang maharaja di negara Tartar yang menyebut
dirinya sebagai Kubilai Khan ?"
"Ya, gurupun pernah menceritakan tentang maharaja itu. Dia juga seorang maharaja yang besar
kekuasaannya dan bahkan pernah mengirim utusan ke Singasari untuk meminta baginda
Kertanagara mengirim upeti"
"O" seru Wijaya "apakah agama dari maharaja itu ?"
"Tartar itu sebuah daerah diutara Jambudwipa. Kubilai Khan berhasil memimpin pasukannya
untuk menaklukkan kerajaan Cina dan kemudian menjadi maharaja di Cina. Agama yang dianutnya
juga aliran agama Hindu dan Buddha"
"Apakah dia juga melakukan pentahbisan sebagai Jina ?"
Bantara tak lekas menjawab melainkan merenung. Beberapa saat kemudian baru dia berkata
"Ya, benar, sekarang aku ingat. Gurupun pernah menceritakan tentang diri maharaja Kubilai Khan
itu. Dia juga ditahbiskan sebagai Jina menjadi Hewajrabhi-seka. Hewajra seorang Bhairawa, dewa
sakti, bertangan empat yang memegang trisula, gendang, pisau dan bokor tengkorak, sambil menari
di atas mayat, dengan mengenakan perhiasan berupa ular dan tengkorak serta dengan arca
Amitabha dalam rambutnya yang bernyala-nyala"
"O" desuh Wijaya. Diam2 ia merangkai sesuatu antara baginda Kertanagara dengan Kubilai Khan.
Tiba2 terdengar ayam berkokok, sahut menyahut. Dan angin malampun mulai berkesiur
dingin. "O, sudah larut malam sekali, hampir mendekati fajar. Mari kita beristirahat,, nini" kata
Bantara "dan silahkan kembali Jaya. Bersiaplah untuk ikut serta dalam menjaga keamanan di
kuburan Wurare" Wijaya dak dur melainkan duduk bersemedhi untuk memulangkan kele han. Makin tertarik
ha nya untuk menyaksikan suatu upacara dari sebuah aliran agama yang selama ini belum pernah
diketahuinya. Baginda Kertanagara akan duduk diatas tumpukan mayat, tertawa-tawa keras dan menari-nari
dengan membawa trisula, gendang, pisau, bokor tengkorak dan perhiasan2 yang aneh.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 15 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I MAKAM Wurare yang selama ini sepi, ba2 menjadi ramai. Tumenggung Bandupoyo, pengawal
pendamping baginda Kertanagara, ditugaskan untuk membuat persiapan2 di pekuburan itu.
Wurare terletak di dekat kuala sungai Brantas. Dan disekitar tempat itu memang terjadi
beberapa peristiwa penting. Dahulu kala Calon Arang pun mengerjakan perbuatan saktinya di
kuburan Lemah Abang. Dan ketika Empu Bharada melaksanakan titah prabu Airlangga untuk
membagi kerajaan Panjalu menjadi dua, garis yang dibuat dengan mencucurkan air kendi dari
udara itu, titik pertemuan simpang garis dari utara ke selatan dan dari barat ke timur, pun
tercipta di daerah kuala sungai Brantas.
Rupanya baginda Kertanagara mempunyai maksud tertentu mengapa memilih kuburan Wurare
sebagai tempat pentahbisan sebagai Jinabhairawa.
Kertanagara juga bergelar Narasimhamur , mulai memegang tampuk pemerintahan pada tahun
1176 Saka, dibawah pimpinan ayahanda sang prabu Wisnuwardhana yang tetap ikut memegang
pemerintahan sampai pada baginda Wisnuwarddhana wafat pada tahun 1190 Saka.
Peserta raja Wisnuwarddhana dalam pemerintahan adalah saudara sepupunya dari garis
keturunan nenek-anda Ken Dedes, yani Mahesa Campaka yang kemudian bergelar Narasimhamurti.
Baginda Wisnuwarddhana dimakamkan sebagai patung Syiwa di Waleri dan sebagai patung
Sugata dijayaghu. Sedangkan batara Narasimhamurti dimakamkan di Kumitir.
Setelah dinobatkan sebagai raja, baginda Kertanagarapun menggan nama pura kerajaan
Kutaraja menjadi Singasari.
Narasimhamur adalah penjelmaan Wisnu dalam bentuk sebagai seorang demon atau mahluk
ajaib yang menakutkan. Berkepala singa, bertubuh manusia.
Wisnu selaku Narasimha menumpas kedua asura Hiranyakabipu dan Hiranyaksa. Menurut ajaran
Budha-kalacakra se ap kali dunia terancam kebinasaan oleh Kala yang menjelma sebagai asura
jahat maka Wisnu, Syiwa dan Buddha segera turun ke dunia untuk membasmi asura-asura itu.
Buddha-kalacakra menyatakan bahwa masa Kali-yuga itu merupakan masa keruntuhan dan masa
yang penuh dosa dimana Yang Ter nggi itu harus ber ndak dengan keras bahkan seringkah pula
seolah-olah kejam, supaya dunia tetap berdiri sejahtera.
Buddha dalam wujud sebagai Wajrabhairawa membebaskan dunia dari Mara. Wisnu selaku
Narasimha menumpas kedua Asura Hiranyakasipu dan Hiranyaksa. Syiwa sebagai Samahara
membunuh daitya-daitya. Ketika ayahanda prabu Wisnuwarddhana wafat maka Kertanagara merasa telah menerima
tugas untuk melindungi dunia dalam masa Kali. Baginda seorang Buddha yang tergolong dalam
aliran Buddha-kalacakratantra yang juga seorang penganut Syiwa. Pengaruh ajaran Bhagawat
sangat terasa dalam Buddha-kalacakra dan Syiwa sehingga kedua ajaran itu hampir sama
tujuannya. Bagai penganut yang saleh, tak ada lagi perbedaan antara kedua jalan yang
diajarkan kedua faham agama itu. Keduanya mengantarkan kepada kebebasan yang terakhir
yaitu menjadi satu dalam Syiwa yang adalah Buddha pula, jadi sesungguhnya adalah Syiwa-
buddha. Bagindapun rajin menjalankan Lima Perintah dari ajaran Tantra. Yani, untuk mencapai tujuan itu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9
^