Pencarian

Dendam Empu Bharada 17

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 17


yang dipen ngkan yalah lima M. mada, matsya, mamsa, mudra dan maithuna. Kelima perintah
atau Pancata wa ifu merupakan alat pembebasan untuk mencapai tujuan terakhir. Bagi dia yang
memiliki kebajikan ter nggi, menikma kelima Pancata wa itu ada terlarang dan se ap saat
dapat menggunakannya tanpa berpikir panjang.
Pentahbisan dikuburan Wurare itu dimaksudkan baginda untuk melepaskan jiwa dari
kekuasaan Kala-Yama. Dengan upacara itu baginda akan menjadi bhumi-tyaga sebagaimana
dinamakan dalam tantra. Artinya, lepas dari bumi, pemenang atas hal2 keduniawian, bebas dari
pengaruh daya tank bumi. Dan bebaslah pula untuk ke-Dewaan bilamana dikehendaki tanpa
bergantung kepada maut. Dan keputusan baginda itupun segera dilaksanakan di pekuburan Wurare. Suatu tempat yang tak
jauh dari telatah Kapulungan yang kemudian dinamakan Kamal Pandak, tempat Empu Bharada
tersangkut bajunya ke ka sedang melayang di udara, mengguriskan air kendi untuk membagi
kerajaan Panjalu. Dengan demikian baginda sudah merin s suatu pernyataan bahwa sebagai bhairawa atau Jhana,
baginda mengemban tugas untuk menghancurkan se ap perbuatan jahat yang mengganggu
kesejahteraan negara. Tak terkecuali pula hal2 yang mbul akibat dari terbelahnya kerajaan
Panjalu yang telah dilakukan oleh Empu Bharada.
Bahwa sejak Panjalu dibagi dua, maka tak pernah berhen mbulnya peperangan antara kedua
negara Jenggala dengan Singasari. Oleh karena itu baginda bertekad untuk mempersatukan dan
memelihara kedamaian menegakkan keadilan dan membawa kesejahteraan bagi kerajaan Singasari.
Seri Lokawijaya atau yang berkemenangan di dunia, adalah puji yang disanjungkan kepada seri
baginda yang ada taranya dalam keberanian sebagai pahlawan yang mulia, yang bertegak dengan
gelar kedewaan Batara Jajaseriwisnuwarddhana.
Demikian sehari sebelum upacara pentahbisan, berbondong-bondonglah para tumenggung,
senopa yang ditugaskan untuk menjaga keamanan upacara itu. Demang Srubung yang membawa
pengalasan Wijaya dan Podang, bergabung dalam kelompok rombongan tumenggung Mahesa
Bungalan. Ada suatu kesan yang mengherankan Wijaya ke ka ba2 di pekuburan itu. Tampak prajurit2
berhen kerja dan berkelompok- kelompok beris rahat di sekitar sebuah lapangan. Di tengah
lapangan itu tegak sebatang pohon kamal atau asem. Batangnya sebesar paha orang.
Tumenggung Bungalan segera menemui tumenggung Bandupoyo yang saat itu berada dalam
sebuah perkemahan. Entah apa yang dibicarakan, mungkin hanya melaporkan diri.
Tak lama kemudian tumenggung Mahesa Bungalan kembali kepada rombongannya "Aku
mendapat, tugas sebagai peronda keamanan. Pada waktu upacara pentahbisan berlangsung,
diwajibkan untuk melakukan ronda mengelilingi daerah ini" katanya kepada para demang yang
menjadi bawahannya. "Itu tugas kita besok malam" tumenggung Bungalan menambahkan pula "sekarang kita diminta
membantu mempersiapkan tegal lapangan upacara"
"Baik, ki tumenggung" sambut beberapa demang. Kemudian seorang demang yang bernama
demang Layang bertanya "lapangan yang akan diperuntukkan upacara besok, seharusnya hari ini
sudah selesai. Tetapi mengapa dikatakan belum selesai pada hal para prajurit sudah berkelompok
kian kemari. Ada yang duduk bercakap-cakap, ada yang mondar-mandir"
"Benar" jawab tumenggung Mahesa Bungalan "memang terjadi suatu peris wa aneh yang cukup
menghebohkan tumenggung Bandupoyo. Pohon kamal yang tegak di tengah lapangan itu, tak
dapat ditebang" "O" sekalian demang mendesuh "tidakkah pohon itu tak seberapa besarnya?"
"Menurut keterangan tumenggung Bandupoyo, pohon kamal itu angker sekali. Beberapa pekerja
yang hendak menebangnya tentu mengalami kecelakaan. Ada yang membacok kakinya sendiri, ada
yang ba2 berobah seper orang gila, tertawa- tawa dan menari-nari. Ada pula yang tak dapat
bicara. Karena sudah menelan beberapa banyak korban, ada seorang prajuritpun yang berani
melakukan penebangan itu. Juga ke ka tumenggung Bandupoyo menebang sendiri, dia mendadak
pusing dan muntah2" Demang2 yang menjadi bawahan tumenggung Mahesa Bungalan terkejut.
"Tumenggung Bandupoyo telah melaporkan hal itu ke hadapan baginda dan bagindapun telah
menitahkan kelima pamegat untuk menyelesaikan peristiwa itu"
"Kelima Dang Acarya yang mulia itu?" para demang terkejut.
"Ya" sahut tumenggung Mahesa Bungalan "sang Pamegat Tirwan Dang Acarya Darmadeda,
sang Pamegat Candamuhi Dang Acarya Smardahana, sang Pamegat Manghuri Dang Acarya
Smaradewa, sang Pamegat Jarnba Dang Acarya Syiwanata, sang Pamegat Panjangjiwa Dang
Acarya Agraja, semua telah datang. Mereka mengadakan doa sesaji untuk menghilangkan tuah
pada pohon itu. Tetapi sia-sia. Bahkan yang mulia darmadhyaksa Kasyiwan Dang Acarya
Syiwanata juga berkenan datang. Namun tiada hasilnya"
"Padahal upacara akan dilakukan besok malam" seru seorang demang "lapangan ini harus
bersih" "Itulah yang menyebabkan tumenggung Bandupoyo gelisah sekali" kata tumenggung Mahesa
Bungalan pula. "Lalu bagaimana langkah beliau?"
"Beliau telah mengeluarkan wara-wara, barang-siapa, tanpa memandang asal keturunan dan
membedakan pangkat, dapat mengatasi pohon kamal itu, akan diberi hadiah dan pangkat"
Hiruk pikuk pelahan terdengar diantara demang itu. Tetapi tiada seorang yang memberi
tanggapan. Mereka merasa kekurangan pada dirinya sendiri. Sedang kelima pamegat yang
dianggap sebagai pandita yang sudah putus akan segala ilmu, tak mampu. Apalagi mereka.
Suasana di lapangan kuburan itu dilipu kesunyian yang tegang. Tumenggung Bandupoyo sudah
bertekad, apabila sampai besok, belum juga usaha menebang pohon itu berhasil maka dia akan
mengerahkan segenap pasukan untuk menyerbu pohon itu.
Rombongan tumenggung Mahesa Bungalan ditempatkan di perkemahan sebelah luar karena
tugasnya pada malam hari melakukan ronda keamanan. Lima orang demang yang menjadi
bawahan tumenggung Bungalan, merundingkan peris wa aneh itu dalam kemah peris rahatannya.
Sementara pengiring2 dan pengalasan mereka, dibebaskan untuk beristirahat diluar.
"Podang mari kita jalan jalan" tiba2 Wijaya mengajak Podang.
"Kemana, raden?"
"Hus, jangan menyebut raden. Panggil saja kakang" Wijaya memperingatkan lagi "kurasa tentu
terdapat sesuatu yang aneh dalam peristiwa pohon kamal itu"
Keduanya berjalan mengitari sekeliling tempat. Sebuah kuburan yang luas dengan sedikit makam.
Penuh dengan gerumbul pohon dan semak.
"Pada malam hari, apabila ada orang jahat yang mempunyai niat hendak mengacau upacara
pentahbisan baginda tentu mudah. Dengan bersembunyi dalam gerumbul, orang itu dapat
melepaskan panah-api" kata Wijaya sambil memandang ke sekeliling tempat yang di laluinya.
Diam2 Podangpun mempunyai pikiran demikian "Benar, sebaiknya besok pagi, kita lakukan
penyelidikan dulu ke tempat2 yang kita anggap membahayakan"
"Tetapi apakah sedemikian gawat keamanan pada upacara besok" " tanya Podang pula.
"Apa maksudmu ?"
"Maksudku, apakah mungkin musuh2 dari luar Singasari akan mengancam keselamatan
baginda" Rasanya apabila rakyat Singasari tentu tak mungkin mempunyai pikiran sejahat itu"
"Podang" kata Wijaya "musuh yang kelihatan, memang tak ada. Sekalipun ada, mudah dihadapi.
Tetapi musuh yang tak kelihatan itulah yang paling sukar diduga dan dihadapi. Apakah engkau kira
Singasari sudah aman dan baginda sudah tak mempunyai musuh?"
Podang terbeliak. "Adakah baginda yang terkenal gagah berani sak mandraguna dan termasyhur pelindung
agama, masih mempunyai musuh?" ia balas bertanya.
"Se ap perbuatan tentu menimbulkan dua tanggapan. Yang suka dan yang dak suka.
Betapapun adil bijaksana baginda memerintah kerajaan Singasari, namun tentu masih ada
golongan atau orang yang tak menyukainya"
"Misalnya?" "Yang jelas, mereka2 yang terkena ndakan baginda, misalnya pa h empu Raganata, demung
Wirakreti, tumenggung Wiraraja. Kalau negara yalah Daha dan daerah2 yang dikuasai Singasari"
"Ah, tetapi baginda adalah seorang junjungan yang bijaksana dan termasyhur sampai ke
seberang laut. Di bawah pimpinan baginda, Singasari makin cemerlang"
Wijaya menghela napas. "Ukuran dari permusuhan bukan di njau dari kecakapan baginda memimpin kerajaan Singasari
melainkan dari sifat permusuhan itu. Mereka tak senang, mereka sakitha atas ndakan baginda.
Dan mereka mencari kesempatan untuk meletuskan pembalasan. Waktu dan tempat tak tertentu,
setiap saat dan di setiap tempat dimana terdapat kesempatan"
Tiba2 Wijaya hen kan langkah, memandang sebuah gerumbul yang berhias batu cadas.
Podangpun mengikuti jejak Wijaya.
Tempat itu memang bagus sekali untuk tempat persembunyian
"Hayo, kita periksa " seru Wijaya seraya ayunkan tangkah.
"Ah . . . " Podang berteriak tertahan "sebuah gua"
Ke ka melintas gerumbul pohon dan menyiak semak, Podang melihat sebuah terowongan. Ia
terus menghampiri. "Jangan tergesa-gesa, Podang" Wijaya mencegah karena Podang hendak menyusup ke dalam
terowongan "biasanya terowongan dalam hutan belukar, sering dihuni binatang buas dan ular"
Hasil pemeriksaan, liang yang hampir tertutup semak itu, merupakan sebuah terowongan besar.
Podang membabat semak2 dan jelaslah kiranya bahwa terowongan itu merupakan sebuah pintu
masuk dari sebuah gua. Seluruh gua tertutup dengan pohon dan semak sehingga tak tampak lagi
wujudnya sebagai gua melainkan segunduk gerumbul dan semak.
"Kuburan, kakang! Sebuah kuburan!" sesaat kemudian Podang berteriak setelah ia melongok
kedalam pintu gua itu. Wijayapun memeriksa dan memang benar. Dalam gua itu tampak segunduk makam yang
berbentuk candi. Mungkin dari batu. Podang terus hendak masuk tetapi kembali ditarik Wijaya,
"Jangan sembarangan ber ndak. Siapa tahu dalam gua makam ini terdapat binatang berbisa,
terutama ular" "Lalu bagaimana maksud, kakang?"
"Engkau membawa batu titikan?"
"Ya " "Cari dahan kayu yang kering untuk obor. Kemudian baru kita masuk," kata Wijaya.
Podangpun melakukan perintah. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebatang kayu
yang ujungnya dibungkus dengan daun dan ran ng kering. Setelah Podang berhasil membuat
apidengan batu kan, ujung kayu itupun dibakar. Setelah itu mereka masuk. Wijaya yang
membawa obor di depan dari Podang yang mengikuti di belakang
"Siapkan senjatamu, Podang, untuk menjaga kemungkinan sergapan ular"
Mereka dapatkan makam tertutup itu kosong. Tak ada binatang buas maupun ular bahkan
serangga. Tanahnya cukup bersih. Rupanya si pembuat makam itu memang hendak
menyembunyikan makam itu dari pandangan orang.
Oborpun padam dan kepulan asap menyesakkan napas. Wijaya dan Podang terpaksa keluar.
Tiba2 Podang rubuh lalu menggelepar-gelepar macam ikan di-atas pasir.
"Podang, mengapa engkau!" Wijaya terkejut dan cepat menolongnya. Tetapi diluar dugaan,
tiba2 Podang menghantamnya. Karena tak bersedia, dada Wijaya terhunjam dan terhuyung
rubuh. Diam2 Wijaya terkejut mengapa Podang memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya.
Dadanya terasa nyeri. Dan belum sempat ia menggeliat bangun, Podang menyambar pedang
dan loncat menyerangnya "Kubunuh engkau, manusia lancang !"
Dalam saat2 yang berbahaya itu, Wijaya masih dapat berguling ke samping, menghindari
bacokan. Crakkkk, hantaman pedang Podang menimbulkan tanah bengkah dan semak2 terbabat.
Tampak tenaga Podang luar biasa kuatnya sehingga pedang sampai menyusup separoh batang
kedalam tanah. Wijaya melihat kesempatan itu dimana Podang sedang berusaha untuk mencabut pedangnya,
iapun segera melen ng bangun dan dengan sebuah loncatan yang cepat sekali ke belakang Podang
lalu menghantam kedua bahunya. Uh . . . Podang mendengus kesakitan dan tubuhnyapun lunglai.
"Kenapa engkau, Podang!" bentak Wijaya seraya mencampak tubuh Podang kebelakang.
Brakkk, tubuh Podang membentur sebatang pohon sebesar lengan. Pohon itu tumbang tetapi
Podang seolah-olah tak merasa sakit. Dia terus maju menyerang pula "Enyah engkau, manusia,
jangan mengganggu tempat ini!"
Wijaya terkejut mendengar ucapan itu. Dan diapun teringat bahwa nada suara Podang bukan
separau itu. Namun ia tak sempat untuk bertanya keterangan karena pada saat itu nju Podang
sudah melayang ke mukanya. Wijaya berkisar ke samping lalu menerkam pergelangan tangan
Podang. Ia hendak menguasainya dengan sebuah gerak menekuk lengan. Tetapi alangkah kejutnya
ke ka Podang mengebaskan tangannya dengan suatu tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga
cengkeraman Wijaya tersiak lepas. Dan pada saat yang tak terduga cepatnya Podang sudah
menyekap pinggang Wijaya.
"Auhhh" Wijaya menggeliat kesakitan. Serasa tulang pinggangnya patah dicengkam tangan
Podang yang luar biasa kuatnya. Ia menyadari bahwa dirinya terancam bahaya, tulang pinggangnya
remuk atau ma . Kesadaran itu segera mengundang tekadnya untuk berpantang ajal. Dan tekad
itupun segera menggerakkan segenap tenaganya. Dengan menghambur sebuah bentakan keras, ia
menggerakkan kedua sikunya ke belakang dengan sekuat kuatnya.
"Uhhh" Podang mendesis kesakitan. Perutnya termakan siku dan tangannya terlepas.
Wijaya tak memberi kesempatan lagi. Ia loncat menghantam pula. Dan kali ini Podangpun rubuh
tertelentang. "Siapa engkau!" Wijaya menginjak dada Podang.
"Ampun raden" Podang merintih "aku Buta-locaya, penunggu kuburan ini"
"Buta Locaya" Siapa itu?"
"Aku baureksa penjaga Daha. Aku diperintah Empu Bharada untuk menjaga kuburan ini"
Wijaya terkejut namun cepat ia menyadari apa yang terjadi. Ternyata yang diinjaknya itu bukan
Podang yang seja melainkan baureksa yang menyusup kedalam raga Podang. Itulah sebabnya
maka secara tiba2 Podang memiliki kekuatan yang luar biasa kuatnya.
"Kuburan siapa?" bentaknya pula.
"Bukan manusia melainkan tuah-sakti dari Empu Bharada"
"Tuah-sakti Empu Bharada?"
"Benar, raden. Disinilah dahulu Empu Bharada mengumpulkan kesak an dalam menunaikan
tugasnya mengguriskan air kendi dari udara"
"Untuk apa tenaga sakti itu dikumpulkan disini dan mengapa harus menyuruh engkau menjaga?"
"Kutuk yang dijatuhkan Empu Bharada itu amat bertuah. Tampaknya diapun menyesal
kemudian. Tetapi, apa yang telah diucapkan sukar ditarik kembali. Oleh karena itu Empu
mengumpulkan kami para jin dedemit seluruh telatah kerajaan Panjalu untuk menjaga tuah-sak
Empu" "Maksudmu " kata Wijaya "apakah kalau dak dijaga, tuah-sak itu akan memberi akibat pada
kerajaan" "Benar, tujuan Empu untuk membagi kerajaan Panjalu, akan berisi makna pecahnya kerajaan
Panjalu" "Suatu perpecahan?"
"Ya, suatu perpecahan antara Jenggala dengan Singasari. Oleh karena itu Empupun menitahkan
kami untuk menjaga bumi Daha dari gangguan orang Singasari"
Wijaya terkejut "Adakah Empu Bharada itu ber-fihak kepada Daha?"
"BukanhanyaDahatetapikedua-duanya, Daha dan Singasari"
"Hah " " Wijaya mendesus.
"Para jin dedemit di seluruh telatah Panjalu telah dikumpulkan disini. Dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok yang satu diwajibkan membela bumi Daha, menghancurkan se ap usaha
Singasari yang hendak mengganggu Daha. Sedang kelompok kedua, ditugaskan menjaga bumi
Singasari dan menghancurkan usaha orang Daha yang hendak mengganggu Singasari"
"Dengan demikian siapapun yang berkuasa, Singasari maupun Daha, tetap akan terganggu ?"
"Benar, memang begitulah makna titah Empu"
"Setan baureksa Buta Locaya" seru Wijaya "engkau harus enyah dari sini, kembalilah ke
tempatmu semula. Jika membangkang, tentu kubunuh-mu!"
"Ha, ha" Buta Locaya tertawa "mampukah engkau membunuh aku, raden " Bunuhlah dan
yang engkau injak serta bunuh itu tak lain adalah kawanmu yang bernama Podang. Dan aku
tetap hidup di alamku"
Wijaya terkesiap. Memang yang dikatakan Buta Locaya itu benar. Saat itu yang diinjaknya si
Podang. Kalau ia marah dan membunuh, yang mati raga Podang sedang dedemit itu akan
kabur. Tanpa terasa ia-pun melepaskannya kakinya dari dada Podang "Akan kubakar makam
itu" "Manusia keparat, engkau berani kepadaku !" sekonyong-konyong Podang yang sudah tampak
lemas itu, bergeliat menendang kaki Wijaya. Wijaya yang tak menduga tak sempat menghindar. Ia
terlempar kedalam belukar.
"Ho, manusia gila, jangan sesumbar! Sebelum engkau mampu membakar makam ini, jiwamu
pas sudah melayang!" seru Podang dengan nada yang bergan sekeras geledek. Lalu loncat dan
menerkam Wijaya. Dicekiknya leher Wijaya sekeras-kerasnya sehingga pemuda itu tak dapat
bernapas. Kemudian Podang mengangkat tangan kanannya hendak dihunjamkan ke kepala Wijaya.
Peris wa itu berlangsung amat cepat sekali sehingga Wijaya tak sempat berbuat apa-apa. Ia
hanya mengerahkan seluruh cipta, mengumpulkan segenap kekuatan untuk bertahan sambil
berkemas-kemas menghantam lawan. Tetapi sebelum dia sempat ber ndak suatu peris wa aneh
terjadi. Sekonyong-konyong Podang menjerit dan lepaskan cekikannya lalu terhuyung-huyung ke
belakang dan rubuh. Seolah-olah terkena suatu pukulan keras.
Wijaya melenting bangun. Dilihatnya Podang berjongkok menyembah kepadanya "Ampun, raden,
ampunilah kesalahan hamba ...."
Wijaya terkejut, tegurnya "Siapakah engkau " Bukankah engkau Buta Locaya baureksa Daha itu?"
"Bukan, raden. Hamba bukan Buta Locaya. Dia sudah lari mengundang hamba. Hamba raja
Baureksa yang mengepalai mereka di makam Wurare ini"
"O" Wijaya mendesuh kejut dalam hati "bukankah engkau hendak membunuh aku?"
"Ampun raden, hamba tak tahu," kembali Podang menyembah.
Wijaya makin heran. Ia tak menger apa maksud kata2 jin yang menyusup dalam tubuh Podang
itu "Mengapa engkau tak jadi membunuh aku lalu memohon ampun kepadaku?"
"Karena kelak radenlah yang akan menjadi penguasa daerah Terik ini" .
"Aku ?" "Ya" "Bagaimana engkau tahu ?"
"Empu Bharada telah memberi tah bahwa apabila melawan orang yang memancarkan sinar
sehingga tenaga kami lumpuh, kami harus menyembah dan tunduk pada perintahnya. Dialah kelak
yang akan menguasai daerah ini"
"Aku menguasai daerah ini ?" diam2 Wijaya bertanya dalam hati. Ah, bagaimana mungkin.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daerah ini hutan belantara, apa yang kuharapkan " "Namun dia tak menghiraukan soal itu, dan
menolong Podang. Dengan meminjam tubuh Podang, memang sukar bagainya untuk membunuh
mahluk yang tak kelihatan itu.
"Apakah tugasmu disini ?" tanyanya.
Mahluk tak kelihatan yang menamakan dirinya sebagai raja Baureksa itu menuturkan seper
yang diberitakan Buta Locaya. Tiba2 timbul sesuatu dalam benak Wijaya.
"Jika demikian, apakah kamu yang mengganggu pekerjaan di lapangan yang hendak menjadi
tempat upacara pentahbisan baginda Singasari?"
"Benar, raden" "Sehingga pohon kamal di tengah lapangan itu sukar ditebang?"
"Benar" sahut raja Baureksa pula "kuperintahkan anakbuahku untuk mempertahankan pohon
kamal itu dan menggagalkan setiap orang yang hendak menebangnya"
"Aku menghendaki supaya pohon itu dibongkar. Perintahkan anakbuahmu enyah dari tempat
itu" "Baik raden" "Dan lekas kembalikan Podang seperti semula"
"Baik, raden. Kesemuanya itu akan hamba lakukan tetapi hambapun akan menghaturkan
permohonan kehadapan paduka"
"Katakan" kata Wijaya "tetapi ingat. Se ap permintaan yang menyangkut perintahku tadi, akan
kutolak. Perintahku itu tak dapat ditawar lagi"
"Baik raden" seru raja Baureksa "apabila menyangkut perintah raden tadi, hamba hanya mohon,
bahwa hanya padukalah yang kuasa menebang pohon kamal itu. Dengan demikian hamba sebagai
pimpinan, dapat memberi pertanggungan jawab kepada anakbuah hamba dan kelak kepada Empu
Bharada" "Hm, baik" jawab Wijaya "nanti malam aku akan menebangnya sendiri. Lalu apa lagi?"
"Hamba mohon pelindungan kepada raden, agar kelak hamba dan anakbuah hamba itu masih
diperkenankan hidup di hutan"
Wijaya tak mengerti apa yang dimaksud mahluk itu. Bangsa jin lelembut meminta idin kepadanya
agar mereka boleh nggal di hutan-hutan" Aneh. Pikirnya. Tetapi dia tak mau memikirkan panjang,
lebar. Yang penting upacara baginda Kertanagara dapat berlangsung dan Podang selamat.
"Baik" katanya "tetapi dengan sebuah syarat. Bahwa kamu sekalian tak boleh mengganggu
manusia" "Baik, raden" Podang menghaturkan lembah pula "hamba segera mohon diri untuk mengabarkan
perintah tuan" Tiba2 Podang rubuh. Wijaya buru2 menolongnya. Ia memeriksa dada dan pernapasan
Podang masih berjalan. Ia kasihan melihat keadaan kawan itu. Pakaiannya cabik2, kaki
tangannya babak belur. Beberapa saat kemudian tampak Podang merintih-rintih kesakitan.
"Podang, bagaimana engkau ?"
"Aduh" Podang merintih "sakit semua. Tulang2 serasa patah, pinggangku remuk"
Wijaya tahu bahwa apa yang diderita Podang itu memang cukup parah. Jika manusia Podang
tentu sudah pingsan. Tetapi karena tubuh Podang itu dipakai oleh mahluk yang tak kelihatan,maka
Podang memiliki suatu daya ketahanan yang ruar biasa. Beberapa waktu setelah memijat dan
mengurut-urut tubuh Podang, rasa sakitnyapun berkurang "Podang, mari kita kembali ke kemah.
Apakah engkau sudah dapat berjalan ?"
Podang mengiakan. Tetapi ketika berjalan ia masih terbungkuk-bungkuk. Tiba di perkemahan hari
sudah gelap. Kepada demang Srubung, Wijaya hanya mengatakan bahwa dia berjalan-jalan untuk
mengenal sekeliling tempat itu agar dalam melakukan ronda pengamanan, ia sudah tahu tempat
mana yang harus dijaga. Demang Srubung dapat menerima alasan itu bahkan diam2 ia memuji keteli an anakmuda
pengalasan itu. "Nanti malam, kalian jangan keluar kemana-mana lagi" kata demang Srubung "jagalah tempat ini.
Aku hendak mengikuti rapat yang diadakan tumenggung Bandupoyo"
"Apakah pohon kamal itu sudah dapat ditumbangkan?" setelah mengiakan perintah ki demang
Wijaya meminta keterangan.
"Justeru rapat itu akan merundingkan langkah kita besok pagi untuk menumbangkan pohon itu
secara paksa" jawab demang Srubung "memang daerah ini terkenal gawat sekali. Dan peris wa ini
tentu akan menimbulkan kegemparan besar apabila kita tak dapat mengatasi soal itu"
"Benar, ki demang" kata Wijaya. Sebenarnya masih ia hendak menyatakan sesuatu tetapi ragu-
ragu. Dan pada saat itu demang Srubungpun terus masuk ke-dalam untuk beristirahat. Terpaksa dia
pun tak melangsungkan maksudnya.
Malampun ba dan demang Srubungpun menuju ke tempat tumenggung Bandupoyo.
Perkemahan yang tersebar di sekeliling pekuburan itupun sunyi senyap. Podang sudah dur tetapi
Wijaya masih gelisah. Ia sudah berjanji kepada raja Baureksa bahwa malam itu, dia akan
menumbangkan pohon kamal dan raja lelembut itupun sudah menjanjikan bantuannya. Tetapi
hanya dia sendiri yang diluluskan untuk membongkar pohon itu. Dan kemungkinan besar besok
tumenggung Bandupoyo tentu akan mengerahkan seluruh anak prajurit untuk menghancurkan
pohon itu. Walaupun kemungkinan akan berhasil, tetapi akan menimbulkan korban.
Demikian pikiran yang melalu lalang dalam benak Wijaya sehingga walaupun memejamkan mata
tetapi tak dapat dur. Saat itu didengarnya langkah demang Srubung masuk kedalam perkemahan
dan terus beristirahat. "Ah, demi menyelamatkan jiwa para prajurit, aku harus ber ndak malam ini juga" akhirnya
mbullah pikiran Wijaya. Ia menunggu sampai tengah malam dimana suasana makin sunyi senyap
lalu ia bangun dan dengan hati2 keluar dari kemah.
Sunyi empat penjuru alam. Bulanpun sedang tertutup awan. Hanya bintang kemintang yang
menerangi angkasa. Dengan langkah, yang amat ha 2 sekali ia mulai menyusup diantara bayang2
kerimbunan pohon yang gelap dan akhirnya mencapai tepi lapangan. Sejenak ia memandang ke
arah perkemahan. Selelah memas kan bahwa para prajurit2 itu sudah lelap, mulailah ia
menghampiri pohon kamal yang tumbuh di tengah lapangan itu. Ia berhen dimuka pohon itu
memandangnya dengan seksama, menimang-nimang langkah yang akan diambilnya.
"Jika kutebang dengan senjata" pikirnya "tentu anak menimbulkan suara yang mungkin akan
membangunkan prajurit2 itu. Walaupun perkemahan itu cukup jauh, tetapi dalam keheningan
malam yang sesunyi ini, suara tabasan itu tentu menimbulkan gema suara yang keras"
Ia mengheningkan cipta dan melancarkan kata-kata dalam batin "Heh, raja Baureksa, malam
ini aku akan melakukan maksudku untuk menumbangkan pohon ini. Jika engkau ingkar akan
janjimu, akupun takkan memberi ampun kepadamu"
Entah hal itu didengar oleh mahluk yang menyebut dirinya sebagai raja Baureksa atau dak,
tetapi Wijaya sudah mencurahkan kandungan ha nya. Dan setelah itu ia merasa lebih tebal
kepercayaan pada dirinya. Ia segera maju menghampiri. Ia memutuskan untuk merobohkan pohon
itu dengan mendorongnya. Setelah bersiap, mengumpulkan tenaga maka mulailah dia mendorong batang pohon yang
sebesar paha itu, krak, krak, krak ....
Suatu keajaiban telah terjadi. Bukan karena soal Wijaya mampu menumbangkan pohon itu.
Karena dengan la han2 yang telah dimiliki, dia memang mampu mengumpulkan tenaga yang
dahsyat untuk menumbangkan pohon itu. Tetapi keajaiban daripada pohon yang dipandang
keramat dan telah menghebohkan tumenggung Bandupoyo dan seluruh prajurit Singasari yang
bertugas mempersiapkan lapangan upacara. Pada hal sudah beberapa hari dan entah telah
dilakukan berapa puluh kali usaha, bahkan telah mengundang kelima pamegat untuk
menyingkirkan pohon itu. Namun semua tak berhasil. Dan kini, Wijaya seorang diri, dengan mudah
dapat mendorong rubuh. Uhhh .... agar dak jatuh ke tanah dan menimbulkan bunyi yang gempar, Wijayapun loncat
untuk menyangga pohon itu. Kemudian pelahan-lahan ia meletakkan ke tanah.
"Bagus, anakmuda" tiba2 terdengar sebuah suara memuji.
Wijaya terkejut dan cepat berpaling. Ah, ternyata dibelakang telah hadir seorang lelaki yang
bertubuh gagah dan mengenakan busana indah. Bahkan tampaknya orang itu tengah menepuk-
nepuk pakaiannya untuk membersihkan debu.
"Tuan .... siapa ?" seru Wijaya tertahan.
Orang itu tertawa "Karena sedikit terlambat membantumu menyanggapi batang pohon itu,
hampir saja rantingnya menimpa kepalaku"
"O, ki sanak membantu menyanggapi pohon ini ?" Wijaya makin terkejut.
Orang itupun mengangguk "Benar, sejak tadi aku memang melihat semua gerak gerikmu dan apa
yang engkau lakukan. Hebat benar, engkau anakmuda"
Wijaya masih terlongong-longong. Atas peris wa itu dan atas kehadiran lelaki yang tak
dikenalnya itu "Siapakah andika ?"
"Kutahu" jawab orang itu mengangguk "dengan bekerja seorang diri pada tengah malam dan
menyanggapi pohon itu supaya dak jatuh ke tanah, engkau tentu tak menghendaki peris wa ini
terdengar para prajurit. Mari ikut aku. Kita berbicara berdua di sana"
Nadanya yang berwibawa dan mengandung keramahan itu, menimbulkan suatu daya-tarik bagi
Wijaya. Dan melibat pakaian yang menunjukkan seorang berpangkat. Wijaya menduga tentulah
orang itu seorang yang berkuasa dalam perkemahan itu. Tetapi ia tak sampai pada dugaan, siapa
sesungguhnya orang itu. Wijaya segera mengiku , setelah melalui sebuah perkemahan, orang itu terus memasuki sebuah
rumah yang dibuat daripada papan.
"Duduklah" orang itu mempersilahkan Wijaya dan dia sendiri duduk dihadapannya "Aku yang
mengepalai pekerjaan mempersiapkan lapangan tempat upacara pentahbisan baginda ini" katanya.
"Gusti menggung Bandupoyo ?" Wijaya terkejut lalu turun dan duduk bersila.
"Benar, aku tumenggung Bandupoyo, tetapi duduklah di kursi, tak perlu engkau takut"
Namun Wijaya tetap menyatakan bahwa ia mohon diperkenankan duduk ditanah saja.
"Siapakah engkau, anak muda?" setelah menatap wajah Wijaya beberapa saat, dengan suara
yang mengandung rasa heran, tumenggung Bandupoyo mulai bertanya.
"Hamba Wijaya gusti"
"O, Wijaya, apakah engkau juga prajurit"
"Bukan gus , hamba hanya seorang pengalasan dari ki demang Srubung yang ikut mengiringkan
ki demang" "Engkau seorang pengalasan ?" tumenggung Bandupoyo terkejut dan hampir tak percaya. Kesan
yang diperoleh dari wajah dan sikap Wijaya jauh sekali jaraknya dengan kenyataan pada jawaban
Wijaya itu. "Demikian gusti" kata Wijaya seraya memberi sembah.
"O, tetapi mengapa demang Srubung tak memberi laporan bahwa engkau mampu
menumbangkan pohon itu ?" tanya Bandupoyo pula.
"Ki demang dak bersalah gus menggung" kata Wijaya "memang hamba sesungguhnya seorang
anak desa yang bodoh"
"Wijaya" seru tumenggung Bandupoyo "jangan engkau menyelimu dirimu. Siapa sesungguhnya
dirimu dan apa tujuanmu menumbangkan pohon kamal itu ! Ketahuilah, aku dak marah tetapi
aku harus tahu hal2 yang mengenai dirimu"
"Hamba seorang anak dari gunung Kawi. Tujuan hamba ke Singasari hanyalah hendak cari
pekerjaan dan kebetulan diterima demang Srubung sebagai pengalasan. Hamba dibawa ki demang
untuk mengiringkan beliau ke tempat ini dan hamhapun mendengar tentang peris wa pohon
kamal yang mengganggu pekerjaan gus . Hamba ingin sekali membantu gus tetapi hamba takut
untuk melakukan secara berterus terang. Maka pada saat tengah malam ini, secara diam-diam
hamba menuju ke lapangan ini dan mencoba untuk mendorong pohon itu. Diluar dugaan hamba,
sendiri ternyata hamba dapat merobohkannya"
"Ah, besar sekali ganjaranmu, Wijaya"
"Ampun gus menggung" kata Wijaya "jauh dari keinginan hamba untuk mengharap jasa itu. Apa
yang hamba lakukan hanyalah sekedar apa yang hamba mampu lakukan. Itulah sebabnya maka
hamba melakukannya pada saat tengah malam seperti ini, agar jangan diketahui orang"
"Tetapi itu bukan olah-olah jasamu, Wijaya. Yang pas akulah yarig paling berterima kasih atas
bantuanmu itu sehingga pekerjaan untuk mempersiapkan lapangan upacara itu berhasil"
"Gusti menggung ...."
"Engkau kuangkat sebagai tamtama prajurit, Wijaya"
"Ampun, gusti" bergegas Wijaya menghatur sembah "hambasungguh tiada kemampuan untuk
menjabat pekerjaan itu. Hamba hanya seorang anak gunung. Dan hambapun tak ingin mendapat
karunia apa2" "Tidak Wijaya" kata tumenggung Bandupoyo "besok akan kuumumkan perbuatanmu yang
gemilang itu dan penghargaan yang akan engkau terima"
"Duh, gus " kata Wijaya "hamba benar2 dak mengharap balas apa2, kecuali hanya menunaikan
suatu kewajiban hamba sebagai seorang pengalasan kademangan"
"Tidak, Wijaya" tumenggung Bandupoyo makin tegas "jika engkau tak menginginkan pangkat
dalam keprajuritan, engkau harus mengatakan apakah permintaanmu. Aku pas akan
melaksanakan" Wijaya tersipu-sipu menghaturkan terima kasih kemudian berkata "Baiklah, gus ,hamba
menurut apa yang gusti titahkan. Hamba mohon diperkenankan dua buah hal saja"
"Apakah yang engkau inginkan ?"
"Pertama, hamba mohon diperkenan, agar peris wa tumbangnya pohon kamal itu jangan
diketahui orang" "Mungkinkah itu " Bukankah besuk semua prajurit pasti akan mengetahui peristiwa itu"
"Jika gus berkenan, mohon gus memberitakan kepada mereka bahwa yang melakukan hal itu
adalah gusti sendiri"
"Tidak !" seru tumenggung Bandupoyo "engkau menganggap aku seorang tumenggung yang
temaha jasa, yang suka menelan jasa orang bawahanku ?"
"Maaf, gus " Wijaya memberi sembah pula "jauh dari maksud hamba untuk mengandung pikiran
demikian. Bagi gus yang menerima tugas baginda untuk mengepalai persiapan upacara, sudah
selayaknya kalau dapat mengatasi soal pohon kamal itu. Hamba rasa hal itu bukanlah suatu jasa
melainkan suatu ndakan dalam rangka tugas paduka. Kedua kali, agar nama prajurit Singasari,
khusus kewibawaan nama paduka tetap harum dalam pandangan prajurit dan rakjat Singasari. Jika
hamba seorang anak gunung yang melakukan, dakkah hal itu akan menyinggung kewibawaan
paduka, segenap prajurit Singasari dan para pamegat yang mulia sekalian itu ?"
Tumenggung Bandupoyo terkesiap. Ia memandang wajah Wijaya. Makin menjuleng kesannya
bahwa pemuda yang mengaku sebagai anak gunung itu, mempunyai pandangan yang sejauh itu.
Suatu pandangan yang hanya dimiliki oleh pemimpin berjiwa besar. Diam2 dia mengakui bahwa
apa yang dinyatakan Wijaya itu memang benar.
"Andaikata kutuluskan permohonan itu, lalu apa permohonanmu yang lain?" akhirnya
Bandupoyo berkata "dapat atau dak kutuluskan permohonanmu yang itu, tergantung dengan
permohonanmu yang kedua"
"Permohonan hamba yang kedua tak lain hamba persembahkan demi keselamatan baginda yang
mulia" "O, apakah maksudmu ?"
"Hamba mohon, pada waktu upacara pentahbisan itu berlangsung, agar ada seorangpun, baik
pengawal maupun para bhayangkara, yang diperkenankan dekat dengan baginda. Semuanya
terpisah pada jarak yang jauh"
Bandupoyo kerutkan kening "Aneh, justeru para pengawal dan bhayangkara itu adalah untuk
menjaga keselamatan baginda. Mengapa mereka harus disingkirkan jauh dari baginda " Katakanlah
alasanmu dengan terus terang. Kalau memang mempunyai landasan yang cukup kokoh, tentu akan
kululuskan" "Baiklah gusti menggung" kata Wijaya "hamba akan berterus terang apa2 yang hamba alami
selama berada di tempat ini. Pada waktu hamba ikut perihatin atas peristiwa gangguan pohon
kamal itu, tiba2 hamba jatuh tertidur. Dan pada saat itu hamba seperti bertemu dengan seorang
kakek tua, rambut, janggut dan pakaiannya serba putih. Kakek itulah yang menyuruh hamba
supaya merobohkan pohon kamal kemudian memesan agar diwaktu dilangsungkan upacara
pentabbisan, supaya baginda seorang diri, siapapun tak boleh mendampinginya. Bermula
hamba agak ragu tetapi setelah hamba lakukan ternyata hamba berhasil merobohkan pohon
kamal itu. Dan apabila sudah berbukti bahwa pesan kakek tua itu menung terjadi, maka
hambapun harus percaya bahwa pesan beliau untuk menjaga keselamatan baginda pasti akan
berbukti. Demikianlah maka hamba terpaksa memberanikan diri untuk mempersembahkan
permohonan ini kehadapan paduka"
Tumenggung Bandupoyo termenung.
"Sekali lagi hamba haturkan permohonan" kata Wijaya pula "bahwa sama sekali hamba tak
mengharap ganjaran pangkat ataupun hadiah uang. Bahkan hamba mohon agar diri hamba tetap
dirahasiakan demi menjaga kewibawaan nama paduka dan segenap prajurit Singasari"
"Apa hanya itu permohonanmu" "akhirnya Bandupoyo bertanya.
"Benar gus dan mohon diampunkan, hamba akan mohon diri untuk kembali ke perkemahan
agar jangan diketahui ki demang"
Sejenak merenung, Bandupoyo berkata pula "Baik, Wijaya. Mengingat waktunya amat mendesak,
semua permohonanmu akan kukabulkan. Kelak setelah upacara selesai, engkau tentu akan
kupanggil. Jika engkau tak mau menerima jabatan dalam keprajuritan, akupun tak memaksa. Tetapi
yang penting aku perlu omong-omong dengan engkau"
"Soal apa, gusti?"
"Ah, dak pen ng, Secara singkat, kuanjurkan engkau supaya ikut dalam sayembara mencari
senopati yang akan dilakukan tak lama setelah upacara pentahbisan ini"
"Ah, bagaimana mungkin seorang seper diri hamba mampu memenangkan pertandingan pilih
yang tentu akan diikuti oleh segenap ksatrya dari seluruh pelosok kerajaan Singasari"
"Cukup Wijaya, silakan engkau kembali, kelak kita bicara lagi"
Wijayapun kembali ke perkemahan. Sementara tumenggung Bandupoyo masih termenung-
menung memikirkan peris wa itu. Ia tetap tak percaya bahwa Wijaya itu hanya seorang pengalasan
biasa. Ia mempunyai kesan dan ia ingin bicara dengan pemuda itu. Tak lama terdengar suara ayam
berkokok dan tumenggung Bandupoyopun segera masuk beristirahat.
Keesokan harinya, gemparlah seluruh prajurit menyaksikan kejadian aneh itu. Pohon kamal di
tengah lapangan yang sudah beberapa hari telah menghabiskan waktu, tenaga dan kemarahan
sekalian prajurit termasuk pimpinan mereka, namun tak dapat ditumbang, pagi itu tampak
tumbang rebah dengan akar-akarnya terbongkar dari tanah.
Peris wa aneh itu segera dilaporkan tumenggung Bandupojo. Waktupun sudah tahu, tetapi
tumenggung itu harus terpaksa mengejutkan diri dan bergegas menuju ke lapangan.
"Ah, tak lain peris wa ini terjadi karena kejayaan seri baginda Kertanagara. Dewata tentu
merestui tujuan baginda yang mulia" serunya di hadapan beratus prajurit dan demang yang
ditugaskan membangun lapangan upacara.
Wijaya berdiri di bagian belakang agak jauh dari lapangan namun ia dapat menangkap juga kata-
kata tumenggung itu. Diam2 ia memuji keksatryaan ha tumenggung Bandupoyo. Dia menolak
permintaan Wijaya untuk mengakui bahwa yarg menumbangkan pohon kamal itu adalah dia.
Tetapi dia mengalihkan perbuatan itu terjadi atas rahmat para dewata dan kejayaan seri baginda.
Itulah sifat seorang ksatrya yang lurur. Tidak terpengaruh oleh rasa kemilikan untuk memiliki
sesuatu yang bukan menjadi hak miliknya. Pada hal apabila Bindupoyo mau mengatakan bahwa


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dialah yang menumbangkan pohon itu, namanya tentu akan makin menjulang dan jasanyapun tak
terperikan besarnya. Setelah memberi pernyataan maka Bandupoyo lalu mengeluarkan perintah supaya seluruh
tenaga harus dikerahkan dan persiapan2 harus sudah selesai pada petang hari. Baginda akan
melakukan pentahbisan pada tengah malam.
Singkatnya pekerjaan itu telah dapat dirampungkan tepat pada waktunya. Dan sejak hari mulai
gelap semua pasukan yang bertugas telah siap dengan segala kelengkapannya.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Bulan makin naik dikesepian malam. Disekeliling kuburan yang terkenal dengan nama
Wurare, tampak suatu kesibukan yang diam. Prajurit2 berbaris mengelilingi wilayah kuburan itu
dan ada pula kelompok prajurit yang berjalan kerkeliling melakukan ronda keamanan. Kuburan
Wurare yang sunyi senyap saat itu seperti berpagar tombak dan pedang. Sedemikian ketat dan
rapat pagar senjata itu sehingga diibaratkan, kelelawar dan nyamukpun sukar untuk
menerobos. Sementara pada lapisan dalam, telah siap pula prajurit2 bhayangkara. Pada lapisan ke ga,
rombongan pandita dari candi2 di pura Singasari, para brahmana dan bhiksu. Pada barisan yang
terdepan, paling dekat dan di sebelah kanan lapangan, tegak kelima pamegat, yani sang pemegat
Titwan Dang Acarnya Smardahana, sang pamegat Manghuri Dang Acarya Smradewa, sang pamegat
Jamba Dang Acarya Syiwanata dan sang pamegat Panjang jiwa Dang Acarya Agraja.
Disebelah kanan lapangan tegak pula ke ga rakryan mahamenteri Ino, Sirikan dan Alu.
Dibelakang menteri2 yang menjalankan keputusan2 baginda dan peraturan2 kerajaan yani pa h
Kebo Arema, pa h Aragani, rakryan demung Mapanji Wipaksa, rakryan Kanuruhan Mapanji
Anurida, dan sang Ramapa yang mengepalai urusan2 hubungan dengan mancanagara, Madura
dan seluruh Nuswantara. Tak ke nggalan pula yang mulia darmadhyaksa agama Syiwa, Dang Acarya Syiwanata yang juga
bergelar Panji Tanutama. Suasana yang sunyi segera membahanakan doa dan nyanyian mantra, berisikan syair2
pujamantra akan keagungan Hyang Syiwa dan Budha. Akan kebesaran seri baginda Kertanagara
yang telah mengemban tugas para dewata untuk menegakkan keamanan dan kesejahteraan dunia,
mengembangkan agama Syiwa dan Budha.
Selama upacara nyanyian puja mantra itu berlangsung, disekeliling lapangan dan di lapangan itu
sendiri-pun tak terdapat barang sebuah penerangan. Kecuali para mahamentri Katrini dan kelima
menteri berajaan serta kelima pamegat dan dharmadhyaksa, tak seorang pun dari prajurit yang
dapat melihat jelas apa yang berada di tengah lapangan itu.
Para prajurit memang mendengar bahwa lapangan itu akan dipenuhi dengan sosok2 mayat dan
tulang2 ke rangka serta tengkorak2, tetapi berapa jumlahnya dan bagaimana letak susunannya,
mereka tak tahu sama sekali. Pekerjaan untuk menghias lapangan upacara dengan sosok2 mayat
dan tulang2 tengkorak itu dilakukan oleh siswa pendita dari candi Singosari dan dikepalai oleh para
kepala pandita candi. Mereka terikat sumpah, dilarang untuk menyiarkan apa yang mereka lihat
dan ketahui tentang lapangan mayat yang disebut sma-sama.
Mayat-mayat itu diletakkan menurut susunan-susunan yang teratur dan merupakan sebuah
tempat duduk yang tinggi. Tempat duduk itu disebut asanottama.
Mayat2 itupun diletakkan bersusun-susun ke atas sehingga merupakan sebuah asano ama atau
tempat duduk mayat, Disitulah nan tengah malam baginda Kertanagara akan bersemayam dan
melaksanakan upacara2 pentahbisan sebagai seorang Jinabhairawa.
Para penganut ajaran kelima perintah atau Pancata wa, melakukan perbuatan sucinya dalam
sebuah cakra, yaitu suatu lingkaran dari pria2 yang ditahbiskan dan dari yogini2, dibawah pimpinan
seorang cakreswara, dengan suatu sak . Selama upacara cakra itu berlangsung maka lingkaran yang
dibaktikan itu merupakan tanah suci.
Sebelum melakukan pentahbisan, bagindapun sudah melakukan la han2 cakra bersama sama
atau ganacakra. Setiap selesai latihan baginda selalu membagikan hadiah2 kepada bawahannya.
Di hadapan asano ama atau tempat duduk suci itu terdapat mahaprasada, dimana nan selama
upacara berlangsung maka mayat2 itu akan dibakar, menyala-nyala sehingga menyebarkan bau
busuk yang tak tertahankan. Tetapi bagi orang yang sudah dan sedang ditahbiskan bau busuk itu
harus dipandang sebagai kesan harumnya berpuluh-puluh ribu juta bunga.
Agar dak menimbulkan pemandangan yang mengerikan maka pengangkutan mayat2 itu dibawa
dengan tandu tertutup dan diangkut pada malam hari. Itulah sebabnya maka di sekeliling dan di
tengah lapangan tak diberi penerangan sama sekali.
Terutama para siswa pandita yang mengerjakan persiapan tempat upacara itu, harus tahan
tersengat hawa busuk dari mayat2 itu. Mereka harus berkesan bahwa hawa busuk itu adalah ganda
harum dari bunga yang tengah mekar.Demikian pulapara prajuritdilarang meludah, mengatakan
sesuatu tentang ganda busuk itu. Mereka sebelumnya telah diberi penger an bahwa hal itu
merupakan suatu upacara yang paling nggi untuk membebaskan jiwa dari pengaruh nafsu dan
bumi. Setiap upacara yang suci, harus dipandang suci dan keramat.
Demikian persiapan yang telah sempurna itu telah ditandai oleh suara nyanyian puja mantra
dari rombongan siswa dan para pandita yang hadir.
Beberapa saat kemudian maka tampilah maha-menteri rakryan Ino dari kementerian Katrini.
Dalam kesunyian suasana pada kelelapan malam, terdengarlah rakryan Ino berseru lantang:
"Kami mahamentri rakryan Ino, sebagai penampung segala titah seri baginda Kertanagara,
hendak menyampaikan amanat yang telah dilimpahkan keatas bahu kami, agar diberitakan
kepada para tanda dan menteri, pemegat, dharma-dhyaksa, patih, demung, kanuruhan dan
ramapati. Para senopati, narapraja dan prajurit2 Singasari, tentang amanat seri baginda yang
bertitah : Om namas Giwaya ! Segala kemuliaan bagi Syiwa. Pada tahun Saka 1201 dalam bulan Maga,
tanggal 14 cuklapaksa, bulan gelap pada hari pancawara pu h, hari saptawara Anggara, ke ka
bintang tetap berkedudukan di selatan. Dalam perumahan bulan Puspa, berlindung dibawah dewata
Jiwa, dalam lingkaran mandala Agni menurut yuga Sobana dan pukul Baruna, pada ke ka karana
bernama Teti la dan pada tandarasi Kumba.
Pada waktu itulah turunnya tah seri Maharaja, seri Lokawijaya, penguasa bumi dan yang menjadi
pujian belaka. Yang ada taranya dalam hal keberaniannya sebagai pahlawan yang mulia dan tak
dapat disingkirkan, yang telah bertegak gelar raja-abhi seka Kertanagara.
Adapun sang perabu sebagai putera dari seri baginda maharaja Hariwardana dan seri baginda
puteri Jayawardhani, yang telah mewariskan kerajaan Singasari, maka sang perabu mempunyai
tanggung jawab untuk melaksanakan beban suci dan berat yang telah dilimpahkan ayahanda baginda
maharaja Hariwardana serta direstui oleh Hyang Wisnu, Syiwa dan Buddha.
Demi kebahagiaan dan kesejahateraan dunia dan segala mahluk serta kawula yang bernaung
dibawah kebesaran kerajaan Singsari, maka baginda memutuskan untuk melaksanakan bhak marga
yang akan disempurnahan dalam upacara pentahbisan sri cakra, untuk mencapai ngkat jiwanmukta.
Agar dapatlah baginda dalam ngkat sebagai Jinabhairawa menumpas segala kejahatan dan nafsu,
yang akan membahayakan umat manusia pada masa Kaliyuga.
Demikian amanat kami. Segala upacara ari-cakra itu akan dilakukan oleh dharmadhyaksa Kasyiwan.
Dang Acarya Syiwanata sebagai saha-upakara."
Selesai pembacaan amanat seri baginda oleh maha mentri rakryan Ino, maka nyanyian doa dan
puja-mantra dilanjutkan pula hingga tengah malam.
Pada saat itu masuklah kedalam lapangan sebuah tandu kebesaran yang berselubung kain
kuning. Maka turunlah baginda Kertanagara dari tandu itu dan terus menuju ke ano ama yang
telah tersedia untuknya. Bagaimana jalan upacara yang sebenarnya, ada seorangpun dari hadirin itu yang tahu kecuali
saha-upakara Dang Acarya Syiwanata. Hanya ditengah-tengah sabda2 tuah sak pada upacara itu
terdengar kata2 Dang Acarya Syiwanata yang agak keras.
"... jangan takut, jangan bimbang .... duduklah di ano ama suci dari savasadhana, di tengah sma-
sana ini .... teguhkan ha , kokohkan keinginan dan teguhkan kepercayaan untuk melanjutkan
mantra dalam kebesaran tantra Sak .... Mahanirwanatantra . . . Hyang Indra dan semua Hyang
Langgeng hadirlah pada tempat suci ini ... . Om ...."
Selanjutnya ucapan2 Dang Acarya kepala dharma-dhyaksa ring Kasyiwan itupun makin rendah
dan pelahan sehingga tak terdengar.
Beberapa saat kemudian Dang Acarya Syiwanata-pun mundur dan bersama-sama dengan para
mentri, Katrini dan pamegat2 mundur dan berdiri di tempat yang agak jauh dari lapangan.
Dalam keremangan cuaca malam hening, samar2 mereka melihat seri baginda sedang duduk
bersila di atas ano ama yang terbuat dari tumpukan tengkorak2. Apa yang mereka lihat benar2
mengejutkan sekali. Entah dengan memakai alat apa, maka tampak baginda saat itu bertangan
empat. Kedua tangan di muka memegang pisau pengorbanan dan bokor tengkorak, sedang dua
tangan di belakang, memegang trisula dan gendang. Pun terdapat pula kulit gajah, gada, pasa,
wajra, panah dan busur. Selendang yang menyilang dada baginda berlukiskan kepala2 orang, kain
penutup bagian tubuh bawah bercorak lukisan tengkorak. Lengan dan tangan mengenakan
perhiasan berupa ular-ular dan tengkorak. Sementara di atas mahkota rambutnya yang disanggul
ke atas, tampak berhias sebuah patung Aksobya.
Tak lama kemudian nampak asap bergulung-gulung
mengantarbau yang sangat busuk sekali. Api pun mulai menyala.
Di antara kepulan asap dan nyala api itu tampak baginda meminum bokor tengkorak itu lalu
tertawa terbahak-bahak. Sekalian yang hadir walaupun jauh dari lapangan tetapi terkejut juga
mendengar kumandang suara tawa baginda yang bagaikan guntur meletup-letup di angkasa.
Walaupun asap makin membumbung tebal, namun mereka masih sempat pula melihat baginda
berbangkit dan mulai menari-nari di atas tumpukan mayat itu, sambil menyanyi dan diseling
dengan gelak tawa menggeledek yang bernada menghuduk.....
Walaupun cukup jauh dari lapangan, tetapi para siswa, pandita dan pamegat2 yang ikut
menyaksikan upacara pentahbisan itu, tersengat juga oleh asap yang berbau busuk. Tetapi mereka
sudah memiliki la han ilmu Prana atau pernapasan dan dengan ilmu itu serta la han2 mereka
dapat menutup lubang pernapasan untuk menolak bau yang luar biasa busuk tetapi dalam kesan
anggapan para penganut yang sudah ditahbiskan harus diterima sebagai bau harum dari sejuta
bunga yang tengah mekar. Prajurit2 yang berbaris jauh di sekeliling sebelah luar pekuburan itupun mencium juga bau busuk
itu tetapi mereka harus bertahan karena bau itu setelah ba di tempat mereka yang jauh, agak
berkurang. Demikian upacara pentahbisan yang dilakukan dalam upacara yang aneh menyeramkan itu
berlangsung sampai jauh malam. Bagaimana cara baginda melakukan tari pembebasan atau yang
disebut Tandawa Syiwa, ada seorangpun yang dapat melihat jelas. Mereka hanya mendengar
baginda menyanyi dan sebentar-sebentar tertawa menggeluduk keras.
Upacara pentahbisan itu berjalan lancar dan tak terjadi suatu gangguan apapun.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Seri maharaja Kertanagara Wikrama Darmau unggadewa, yang menguasai bumi, air dan segala
mahluk di Singasari serta nuswantara, yang diagungkan sebagai Seri Lokawijaya, semenjak waktu itu
dan untuk selama-lamanya. Dengan disak kan oleh kesucian pentahbisan di pekuburan Wurare
dan disaktikan pula dalam amanat kepada :
hiang maha seri Agas a Haricandana, para dewa yang menguasai daerah mur, selatan, barat
dan utara, matahari dan bulan, bumi, air, api, angin dan angkasa, peraturan dunia yang abadi,
siang-malam pagi petang dan senja, yaksa, raksasa, setanwana dan hantu dihari kelam, asura
garuda, gandarwa, kinara, naga, yama, baruna, kubera, basawa, kelima putera dewata, Kusyika,
Garga, Maitri, Kurusya dan Patanja la, Nandi-isywara, Mahakala, Nagaraja, dewi Durga, sekalian
bintang Gatrurasya, sekalian putera Dewa Maut, sekalian kumpulan mahluk, semua yang
memelihara mandala bumi....
maka tegaklah gelar dewabhiseka sang baginda sebagai Seri Jnajana - syiwabajra dan sang Batara
Syiwa-Buddha yang akan menegakkan kesejahteraan Kaliyuga.
Dengan pentahbisan itu tercapailah sudah cita-cita baginda untuk berada pada persamaan
derajat dengan maharaja Kubilai Khan dari negeri Cina.
Kubilai Khan juga menerima pentahbisan menjadi Jina oleh Hewajrabhiseka. Kubilai Khan
merupakan maharaja besar yang hendak melebarkan pengaruh kekuasaannya ke selatan dan ke
Swarnadwipa dan Jawa-dwipa. Pernah mengirim utusan ke Singasari untuk mengikat persahabatan
dengan baginda Kertanagara.
Pengaruh itulah yang membuat baginda Kertanagara cemas dan tak puas. Baginda segera
membentuk pasukan Pamalayu yang akan menuju ke negara2 Malayu dan mengikat persahabatan
dengan raja2 daerah itu. Agar raja2 itu tak terpengaruh oleh kebesaran Kubilai Khan dalam
kekuasaan agama yang telah mendapat pentahbisan sebagai Jinabhairawa, maka baginda
Kertanagarapun memutuskan untuk menerima pentahbisan sebagai Jina di pekuburan Wurare itu.
Dengan demikian setaraflah sudah kedudukan baginda Kertanagara dengan Kubilai Khan. Karena
betapapun, sebagai seorang raja besar, dia tak mau tunduk pada pengaruh Kubilai Khan.
Setelah pengiriman pasukan Pamalayu, baginda menerima laporan dari pa h Kebo Arema bahwa
kekuatan pasukan Singasari di pura kerajaan amat berkurang. Oleh karena itu bagindapun
berkenan menitahkan pa h Kebo Arema ataupun yang terkenal juga dengan nama Kebo Anengah
untuk membuka sayembara, memilih senopati dan menerima prajurit2.
Betapapun baginda tetap hendak melanjutkan cita-citanya untuk mempersatukan seluruh
nuswantara. Saat itu kekuatan di bumi nuswantara yang masih perlu diperhitungkan hanyalah
kerajaan Sriwijaya. Walaupun kerajaan itu sudah tak sebesar dan sekuat beberapa waktu
berselang, tetapi di tanah Swarnadwipa dan di Malayu, kerajaan Sriwijaya itulah yang masih
berkuasa dan paling menonjol peranannya.
Kerajaan Sriwijaya dengan pa h Demang Lebar Daun yang terkenal arif bijaksana dan seorang
negarawan yang masyhur, memang masih memancarkan sinar dalam kepudaran kejayaannya.
Baginda Kertanagara benar2 menyibukkan diri untuk membenahi sarana2 yang akan mewujutkan
cita-citanya yang besar itu.
Beliaulah yang pertama-tama memiliki cita2 besar untuk mempersatukan seluruh nuswantara.
Beliau seorang raja besar yang pernah menggetarkan raja2 di Malayu, Bali. Dan berani pula
menentang keinginan Kubilai Khan yang menghendaki Singsari takluk dan mengakui kekuasaan
maharaja bangsa Tartar itu.
Sayang didalam negeri mbul teberapa menteri durna yang menggerago kewibawaan baginda
sehingga baginda terlena dalam sanjung pujian yang memabukkan. Dan akhirnya baginda harus
menghadapi suatu keakhiran hidup secara mengenaskan. Tewas dalam menghadapi serbuan
pasukan Daha. Demikian garis singkat dari perjalanan hidup seorang raja besar dari Singsari, sebagai mana akan
dituturkan lebih lengkap dalam cerita Dendam Empu Bharada ini nanti.
Demikian setelah suatu karya besar telah terselesaikan dalam upacara pentahbisan di pekuburan
Wurare itu, kini pura kerajaan bersiap-siap mengadakan sayembara untuk mencari senopati.
Pada hari itu demang Srubung terkejut ke ka menerima kunjungan tumenggung Bandupoyo.
Bergegas demang itu menyambutnya.
"Sungguh suatu hal yang mengejutkan ha kami, menyambut kunjungan ki tumenggung" setelah
mempersilahkan masuk dan menjamu minum maka demang Srubungpun mulai membuka
pembicaraan. "Ah, tak ada sesuatu yang pen ng, kecuali hanya dalam rangka berkunjung pada kademangan-
kademangan dalam telatah Singasari"
"O, sungguh melegakan ha kami akan minat tuan itu" kata demang Srubung "kami mohon ki
tumenggung suka memberi petunjuk2 akan kekurangan yang terdapat dalam kademangan ini"
"Baiklah" kata tumenggung Bandupoyo "yang penting sebagai pemimpin, hendaknya kita
memberi contoh baik kepada rakyat. Kecuali dalam hal pembangunan dan kepentingan
penduduk, pun kita harus membersihkan diri kita dalam kehidupan sehari-hari. Pimpinan itu
ibarat pohon yang tinggi, kebawah memberi pengayoman kepada bumi dan semua jenis mahluk
yang tinggal di telatah kenaungannya. Keatas, selalu lebih dulu tersorot sinar surya dan
terlanda angin. Maka sesungguhnya, dari arti dan hakekat yang sesungguhnya, kedudukan
pemimpin itu bukanlah suatu kedudukan yang enak. Kekuasaan yang diberikan kepada
pemerintah itu, bersumber dari amanat hati nurani rakyat. Oleh karenanya, kekuasaan itu
bermakna untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan hidup para kawula. Dan sekali-kali
bukanlah kekuasaan itu untuk menindas rakyat dan melakukan perbuatan2 untuk kepentingan
peribadi" Demang Srubung berulang-ulang mengiakan.
"Ki demang" setelah beberapa saat berbincang-bincang mengenai duduk seorang demang dan
pimpinan daerah, tumenggung Bandupojo berkata "tentulah ki demang sudah mendengar tentang
berita sayembara memilih senopa yang akan diselenggarakan di pura kerajaan pada akhir bulan
ini" "Benar, ki tumenggung"
"Apakah anak2 muda di kademangan ini, ada yang ikut serta?"
"Telah kukabarkan wara-wara itu kepada seluruh rakyat kademangan. Dan kuanjurkan juga
kepada para muda agar ikut serta dalam seyembara itu. Tetapi maklum, ki tumenggung, mereka
terlalu kecil ha nya, banyak yang merasa ada mempuuyai kemampuan untuk ikut dalam
sayembara itu....." "O, apakah di kademangan ini tak terdapat pemuda yang gagah perkasa?"
Demang Srubung gelengkan kepala "Mereka lebih mencurahkan perha an pada pencaharian
na ah, mengolah tanah, berkebun, ternak dan menjadi pandai besi berapa macam keahlian,
pandai besi, pandai emas dan lain2.
"Ki demang" kata tumenggung Bandupoyo "kudengar ki demang mempunyai beberapa
pengalasan. Apakah ki demang tak berminat suruh mereka ikut dalam sayembara itu ?"
Demang Srubung menghela napas.
"Mengapa !" tegur Bandupoyo,
"Beberapa waktu yang lalu, memang aku telah menerima dua orang anakmuda yang
kupekerjakan sebagai pengalasan, Tetapi mereka berdua sudah pergi lagi"
"Apakah ki demang menganggap kedua anakmuda itu mempunyai kemampuan ikut dalam
sayembara?" "Ya" demang Srubung mengangguk "mereka pernah menggagalkan suatu perbuatan orang jahat
yang hendak merusak candimakam Kagenengan"
"Candimakan tempat persemayaman abu jenasah rahyang ramuhun Kertarajasa ?"
"Ya" "Siapa nama kedua pemuda itu ?"
"Wijaya dan Podang"
"Oh" tumenggung Bandupoyo mendesuh kejut. Sebenarnya dengan hati2 sekali ia merangkai
kata2 dalam pembicaraan untuk menyelidiki Wijaya, anakmuda yang menumbangkan pohon
kamal di kuburan Wurare itu. Ia tak mau langsung bertanya diri Wijaya karena kuatir akan
mengejutkan demang Srubung. Tumenggung Bandupoyo tetap hendak menuruti permintaan
Wijaya. Demang Srubung menerangkan bahwa beberapa hari setelah upacara pentahbisan baginda
selesai, maka Wijaya dan Podang segera mohon diri hendak pulang ke gunung.
Mendengar itu tumenggung Bandupoyo tak hen -hen nya menghela napas "Sayang, sayang.
Tahukah ki demang di mana tempat tinggal mereka."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wijaya hanya mengatakan bahwa dia berasal dari kaki gunung Kawi. Tetapi dimana letak
tempatnya yang tepat, aku tak tahu"
Karena yang dicari tak ada, akhirnya tumenggung Bandupoyo segera pamit.
"Ki tumenggung" kata ki demang Srubung "agaknya tuan berkenan sekali kepada pemuda itu.
Barangkali aku dapat berjumpa lagi dengan dia, apakah sesungguhnya yang tuan inginkan?"
"Tak lain" kata tumenggung Bandupoyo "aku menginginkan dia ikut dalam sayembara itu"
"O" demang srubung terkejut "adakah tuan melihat sesuatu kelebihan pada anak itu?"
"Melihat sinar wajahnya, tak mungkin dia seorang pemuda biasa....."
"Eh, apakah tuan sudah pernah melihatnya?" Tumenggung Bandupoyo terkejut. Ia menyadari
kalau kelepasan bicara "Ya, memang pernah. Bukankah pemuda itu ikut engkau ke Wurare?"
"Benar, ki tumenggung. Memang dia"
Bandupoyo segera kembali ke keraton. Kembali dialah yang diserahi ki pa h Kebo Arema sebagai
pimpinan penyelenggaraan sayembara itu.
Beberapa hari menjelang pembukaan sayembara, berbondong-bondong ksatrya2 muda
berdatangan ke pura Singasari.
Sepulang melakukan penilikan pada pekerja-pekerja yang mempersiapkan gelanggang sayembara
di alun-alun Singasari, tumenggung Bandupoyo terkejut ke ka melihat dua lelaki muda sedang
berjalan menyongsong sinar surya yang tengah menurun ke gunung barat.
Bandupoyo seper pernah mengenal potongan tubuh lelaki yang seorang. Ia segera
mempercepat langkah, menyusulnya.
Rupanya kedua orang di sebelah muka itupun merasa bahwa ada seseorang yang mengejar
langkahnya. Tiba2 salah seorang berpaling.
"Kuti" serentak tumenggung Bandupoyo berseru dan menghampiri.
"Kakang Bandu" lelaki yang berpaling itupun segera menyongsong. Keduanya saling berpelukan.
"Kuti, mengapa engkau di sini?" tegur Bandupoyo setelah mereka melepaskan dekapan.
"Aku datang bersama adi Semi" kata Ku seraya memperkenalkan kawannya. Semipun memberi
hormat dan memperkenalkan diri kepada Bandupoyo.
"Dan maksud kedatanganmu ?" Bandupoyo mengulang pertanyaannya pula.
"Aku sebenarnya datang ber ga dengan adi Semi ini dan masih ada seorang lagi, adi Banyak.
Sebenarnya kedatangan kami ke pura ini, tak lain hanyalah karena menuru anjuran dari rama
begawan Patiraga, agar kami mengikuti sayembara memilih senopati"
"Ah" Bandupoyo terkejut dalam ha . Ia tahu Ku itu memang digdaya sekali, Pada waktu
keduanya masih sama2 belajar pada resi Brahmacahya di gunung Bromo, gurunya itu memuji akan
kecerdasan Ku yang senan asa cepat sekali menerima ilmu yang diberikannya. Karena resi
Brahmacahya meninggal. terpaksa ia dan Ku turun gunung. Ia sendiri terus ke pura Singasari dan
berhasil diterima sebagai bhayangkara keraton bahkan mendapat kepercayaan diangkat sebagai
pengawal-pendampingan baginda.
Sementara Ku berkelana mengembara kemana-mana. Akhirnya ia berguru lagi kepada seorang
resi di gunung Wilis. Merasa ilmunya sudah cukup, dia turun gunung dan akhirnya menjabat
sebagai bekel prajurit di kerajaan Wengker. Tetapi dalam peris wa dengan Singa Barong, dia telah
dikalahkan oleh Nararya. Dengan menanggung malu dan dendam, dia nggalkan jabatannya sebagai bekel dan terus,
berkelana lagi mencari guru. Akhirnya dia ba di gunung Pandan bertemu dengan seorang pertapa.
Ia menyatakan maksudnya hendak berguru tetapi alangkah kecewa ha nya ke ka mengetahui
bahwa ilmu kedigdayaan pertapa itu ternyata lebih rendah.
Dengan membawa kemasygulan, ia turun gunung dan mengembara mencari guru. Se ap
mendengar di gunung atau gua atau suatu tempat terdapat seorang sak , dia terus menuju ke
tempat itu. Tetapi se ap kali menguji pembicaraan dan ilmu kedigdayaan, se ap kali itu dia harus
kecewa. Mereka2 yang disohorkan sakti itu, tak lebih unggul dari dirinya.
Pada suatu hari ke ka melintasi sebuah hutan, dia bertemu dengan seorang kakek yang tengah
berjongkok di jalan dan melekatkan telinganya ke tanah.
"Paman" tegur Kuti seraya menghampiri.
Orang itu tak menyahut melainkan mengacungkan tangan, mengisyaratkan supaya dia berhen .
Tetapi Ku terus berjalan menghampiri "paman, apakah yang sedang engkau lakukan ?" seru Ku
pula. Makin keras. Tiba2 orang itu merah mukanya. Dahi mengerut tegang dan matapun melotot "Mengapa engkau
tak kenal aturan !" bentaknya seraya berdiri tegak, membeliak pandang.
Kuti terkejut "Mengapa paman mengata-katai aku sedemikian kasar?"
"Engkau merusak pekerjaanku !" teriak orang tua itu makin keras.
"Aku merusak pekerjaan paman?" Kuti makin heran.
"Ya, bukankah telah kuisyaratkan kepadamu supaya berhen " Mengapa engkau masih lanjutkan
langkahmu ke mari?" "Maaf. paman, aku hendak mohon tanya arah ke bandar Canggu"
"Hanya itu keperluanmu?" nada orangtua itu makin kurang senang.
"Ya, paman" "Setan engkau" ba2 kakek yang bertubuh kurus dan rambutnya yang merah terurai memanjang
itu mendamprat "hanya karena hendak bertanya jalan engkau telah menggagalkan pekerjaanku"
Adakah engkau tak dapat menahan keinginanmu setelah aku menyelesaikan pekerjaan itu?"
Ku tercengang "Maaf, paman, aku benar2 tak bermaksud mengganggu paman. Kukira paman
sedang senggang" "Apa engkau buta ?" teriak kakek berambut merah itu "bukankah aku sedang menelungkupi
tanah?" "Benar, paman. Tetapi aku tak tahu paman sedang melakukan apa saja"
"Setan" teriak kakek berambut merah itu pula "enyah dari sini! Aku muak melihat tampangmu !"
Merah muka Ku karena hinaan itu. Tetapi ia menyadari bahwa dia mungkin bersalah karena
mengganggu kakek itu. Tetapi ia tak tahu apakah yang sedang dilakukan kakek itu.
"Paman, aku benar2 tak tahu kalau kedatanganku telah mengganggu pekerjaan kakek. Andaikata
tahu aku pas takkan berani melakukan hal itu. Tetapi karena sudah terlanjur, maka aku bersedia
melakukan apa saja perintah paman untuk menebus kesalahanku itu" kata Ku . Ia dapat menahan
diri, tak mau bertindak gegabah sebelum tahu duduk persoalannya.
"Engkau sanggup mengganti kesalahanmu?" kakek itu menegas.
"Benar, paman" "Baik" kata kakek berambut merah "engkau tahu apa sebabnya aku berjongkok dan
menelungkup ke tanah, melekatkan telingaku ke tanah itu tak lain karena aku sedang
mendengarkan gerak genk si setan merah"
"Setan merah?" Kuti terkejut.
"Ya, seekor kelabang raksasa yang sudah berumur ratusan tahun"
Kuti hampir melonjak karena kejutnya. Ia bertanya "Di mana kelabang itu?"
"Di sana" kakek berambut merah itu menunjuk kesebuah belukar dalam hutan yang berada tak
jauh daii tepi jalan. Dan Ku pun segera mengiku arah yang ditunjuk kakek itu "bukankah
sekeliling gerumbul semak itu gundul semua" Pada hal di sebelah sana, semak2 tampak subur"
Kuti melihat apa yang dikatakan kakek itu memang benar. Dua tombak luasnya sekeliling
tempat itu, tampak kering tandus. Tak ada tumbuhan yang hidup.
"Kelabang raksasa itu nggal didalam liang di bawah akar pohon kemuning yang kering itu. Tadi
kudengar dia hendak merayap keluar tetapi karena mendengar langkah kakimu, dia menyusup ke
dalam liangnya lagi."
Jarak antara tempat kakek dengan pohon kemuning kering yang ditunjuk itu, tak kurang dari lima
tombak. Bagaimana kakek itu mampu mendengar debur gerakan binatang itu"
Tiba2 Ku terhenyak. Saat itu ia menyadari bahwa kakek yang dihadapannya itu bukan kakek
biasa tetapi seorang yang berilmu. Ia menatap wajah kakek itu tetapi segera mata kakek itu
menikamnya dengan pandang yang amat tajam sehingga ia harus menunduk.
"Jika demikian, bukankah lebih baik kita bongkar pohon itu dan gali liangnya?"
"Gila engkau" seru kakek itu "binatang itu amat berbisa sekali. Tumbuh-tumbuhan disekeliling
tempat itu kering dan mati karena terkena bisanya"
"O" desuh Kuti "jika demikian mengapa paman hendak menangkapnya ?"
"Se ap binatang atau tumbuh-tumbuhan yang sudah berumur ratusan tahun tentu akan
mengandung daya sak yang hebat. Kelabang itu amat berbisa sekali tetapi binatang itu
merupakan ramuan obat yang paling manjur untuk menyembuhkan segala macam bisa"
"O "desus Kuti.
"Sudahlah" tukas kakek itu "engkau telah menyatakan hendak melakukan apa saja yang
kuperintah selaku menebus dari kesalahan yang telah engkau lakukan. Sekarang engkau
kuperintahkan supaya menunggu di dekat tempat itu sampai dia keluar. Begitu binatang itu
keluar, pertama-tama tutuplah liangrya dan kemudian tangkaplah"
"Tetapi paman, bagaimana aku harus menangkapnya " Bukankah binatang itu amat berbisa
sekali?" "Akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu. Ilmu menyambit dengan batu atau benda apa saja"
kakek itu mengambil kantung kulit dan menuang isinya, Isinya beberapa puluh batu kecil. Ia
menjemput sebu r, menengadah ke atas dan berkata "burung pipit itu, nan engkau lemparkan ke
muka pohon kemuning untuk umpan kelabang itu"
Tepat pada saat itu sekawan burung pipit terbang melintas diatas mereka. Kakek itupun ayunkan
tangan dan seekor burung pipit melayang jatuh ke tanah dari ketinggian sepuncak pohon kelapa.
"Ambillah" seru kakek itu pula. Dan Kutipun segera lari mengambil burung yang mati itu.
Walaupun kagum tetapi ia masih belum yakin akan kepandaian si kakek. Sekawan pipit itu
entah berapa jumlahnya, tentulah lontaran batu kerikil itu dapat mengenai salah seekor.
Iapun meletakkan bangkai burung itu dengan melemparkan ke muka liang. Saat itu sudah hampir
petang dan karera sudah terlanjur menyanggupi kakek itu terpaksa Kuti harus bermalam di situ.
"Engkau tentu lapar" tiba2 kakek itu berkata dan bertangkit "mari ikut aku"
Ku memang ingin menyelidiki diri kakek itu dan ingin pula menguji sampai dimana ilmu
kepandaiannya. Ia menurut saja tanpa banyak tanya. Kakek itu menuju ke sebuah sungai kecil.
Tiba2 ia melekatkan telinganya ke tanah dan geleng2 kepala "Ah, disini tak ada" lalu ia pindah ke
lain tempat. Setelah berpindah sampai dua kali, barulah kakek itu mengangguk "Engkau suka makan belut?"
tanyanya. "Ya" Kakek itu mengeluarkan lagi sebatang buluh, berlubang-lubang macam seruling. Kemudian ia
meniup seruling itu. Entah apa lagunya, Kuti merasa asing. Iramanya seperti nyanyian puja
mantra. Hampir dia menjurus ke arah kesan bahwa kakek berambut merah itu mungkin tak
waras pikirarnya atau tiba2 dari tepi-sungai yang penuh batu, bermunculan belasan ekor
binatang macam ular. Tiba2 kakek itu menjemput segenggam batu lalu disabitkan ke arah kawanan belut itu. Setelah
dua ga kali mengulang sabitannya, barulah ia berhen meniup seruling "Kumpulkan belut2 itu"
serunya kepada Kuti. Tak kurang dari duapuluh ekor belut telah, dikumpulkan Kuti. Kakek itu tersenyum. Ia
mengajak Kuti tinggalkan tempat itu. Kemudian masuk ke dalam hutan dan berhenti di bawah
sebatang pohon kelapa. Orangtua itupun mengambil batu lagi dan disabitkan ke atas. Ah, seuntai ga bu r kelapa hijau
meluncur jatuh dan disambut tangan kakek itu "Kupas dan minumlah airnya" ia melontarkan ke ga
butir buah kelapa hijau itu kepada Kuti.
Ku menyambu . Tetapi wajahnya tampak merah ke ka ia menerima buah itu. Buah kelapa itu
ternyata jauh lebih berat dari buah biasa sehingga ia harus mengerahkan tenaga untuk
menyambuti agar tak jatuh.
Kemudian kakek itu kembali lagi ke gerumbul semak tempat kelabang. Ia suruh Ku membuat api
untuk membakar belut itu. Selesai makan haripun sudah malam. Mereka duduk bercakap-cakap.
Diam2 Ku merasa aneh mengapa kakek itu tak menanyakan dirinya sehingga diapun merasa tak
enak hati untuk balas bertanya.
"Jika malam nan binatang itu keluar, pertama, lontarkan batu yang agak besar ke mulut
liangnya supaya dia tak dapat masuk ke dalam liangnya lagi. Kedua, oh, aku lupa memberitahu
kepadamu. Jangan engkau lontarkan batu kepada binatang itu agar jangan sampai dia terluka
berdarah" "Mengapa, paman?"
"Justeru yang mengandung khasiat itu adalah darahnya. Dia harus ma tetapi dalam keadaan
utuh" "Ah, Kuti mendesuh "jika demikian harus menggunakan jaring"
"Tak perlu" kata kakek itu "cukup di sabit dengan kutung ranting kayu"
"Ah, bagaimana mungkin, paman?"
"O" ba2 kakek itu seper menyadari bahwa memang sulit menyuruh Ku melakukan hal seper
itu "ya, benar. Engkau bangunkan aku saja nanti"
Sebenarnya Ku hendak bertanya tetapi tak jadi. Ia ingin melihat dengan cara bagaimana kakek
itu akan menangkap kelabang yang diburunya.
"Aku hendak tidur dulu" kakek itu terus berbaring di tanah.
Kuti menghela napas dalam hati. Hanya ada dua kemungkinan. Kakek itu memang seorang
sakti yang berwatak aneh atau seorang yang tak waras pikiran. Diapun segera duduk bersila
melakukan semedhi. Pelahan-lahan tetapi pasti, malampun makin tinggi. Suasana dalam hutan itu gelap pekat
mengulum sunyi. Menjelang tengah malam tiba2 kakek itu beranjak bangun "Awas, seekor ular
besar merayap kemari. Rupanya dia mencium bau belut bakar tadi."
Ku terkejut. Ia memandang kesekeliling tetapi tak melihat barang suatu apa "Eh, makin
mendeka kecenderungan bahwa dia ini memang kurang waras pikirannya. Tiada hujan ada
angin, mengapa tengah malam bangun dan mengatakan melihat ular. Mungkin dia sedang
bermimpi ...." Belum habis ia menimang, ba2 kakek itu mengayunkan tangannya keatas sebatang pohon dan
menyusul terdengar suara benda meluncur jatuh, melanggar ran ng dan semak2. Dalam suasana
yang sesunyi seper tempat ini, benda itu cukup menimbulkan debur suara yang keras ke ka jatuh
ke tanah. "Ah" Ku mendesuh kejut ke ka melihat seekor ular sebesar lengan terhempas melingkar di
tanah dengan kepalanya berhamburan pecah.
Saat itu tumbuh pula kepercayaan Kuti bahwa kakek yang dihadapannya itu seorang sakti.
"Malam ini kemungkinan besar setan merah itu takkan keluar. Sedikit saja mendengar gangguan
suara diluar liang, dia tak mau keluar" kata kakek rambut merah "eh, anakmuda, engkau menger
juga kiranya akan ilmu Prana. Tetapi pikiranmu kurang tenang sehingga engkau sukar untuk
mencapai semedhi yang sempurna. Ketenangan pikiran, merupakan sumber landasan untuk belajar
segala ilmu. Engkau berani melawan harimau ?"
Kuti terbelalak. Adakah kepercayaan yang baru timbul itu salah " Adakah kakek itu memang
seorang gila " Masakan orang hendak diadu dengan harimau. Dan darimana dia dapat
memperoleh harimau itu "Hm, ingin kulihat dari mana dia dapat memperoleh harimau" pikirnya
dan segera ia menyahut "Baik, akan kucoba menghadapinya apabila bertemu dengan binatang
itu" akhirnya ia menjawab.
"Duduklah bersemedhi dan pelihara tenagamu baik2" kata kakek itu.
Beberapa saat ke ka Ku duduk mengheningkan cipta, ba2 ia mendengar kakek itu meniup
serulingnya dalam irama yang aneh. Beberapa waktu kemudian, hidung Ku tersambar desir angin
yang membawa bau aneh. Namun ia tetap tenang dan memusatkan ciptanya untuk menangkap
setiap bunyi apapun yang akan muncul di tempat itu.
"Bagus, dia cepat dapat menghaya ajaranku" bisik kakek itu dengan pelahan. Tetapi Ku dapat
menangkap suaranya. Tak berapa lama kemudian terdengar derap langkah dari sebuah mahluk yang melintas gerumbul
ran ng dan rumput yang terlanggar dan terpinjak, menimbulkan suara gemersik. Dan pada lain
saat, ke ka langkah itu makin dekat dan serentak terdengarlah sebuah aum dahsyat. Bumi seolah-
olah tergetar. Namun Ku tetap duduk seper patung. Berulang kali aum itu menggempar tetapi
Ku tetap tak bergerak. Ia pusatkan seluruh semangat dan pikiran untuk mengiku gerak gerik
harimau itu. Tiba2 harimau itu loncat menerjangnya dan Ku -pun serempak berkisar menyingkir ke samping.
Demikian pula ke ka harimau itu mengulang terjangannya dari belakang, Ku tetap dapat
menghindar. Tiba2 terdengar suara seruling melengking nggi dan nyaring. Sedemikian nyaring sehingga
telinga terasa pecah. Dan lenyapnya suara seruling keadaanpun kembali sunyi senyap.
"Engkau cepat menghayati apa yang kuajarkan. Lakukanlah latihan ilmu semedhi seperti yang
engkau lakukan semalam" kata kakek itu pada keesokan harinya.
Hari itu dia memberi pelajaran ilmu melontar dengan batu "Apabila engkau menguasai ilmu
melontar itu, engkau tentu akan bertambah besar kepercayaan atas dirimu. Belasan tahun aku
hidup seorang diri dalam hutan belantara, cukup hanya mengandalkan batu2 ini untuk mencari
makan dan menguasai binatang2 buas"
Pada malam harinya kembali mereka berjaga di dekat gerumbul itu. Dan kali itu karena tiada
gangguan, kelabang raksasa itupun keluar dari sarangnya. Kuti terkejut ketika menyaksikan
seekor kelabang sebesar belut, memancarkan sinar merah. Sesuai dengan pesan kakek itu,
Kutipun segera melontarkan batu ke mulut liang. Ketika ia hendak memberitahu kepada kakek
berambut merah ternyata kakek itu sudah duduk memandang buruannya.
Pada saat itu kakek berambut merahpun ayunkan tangan. Sebuah benda melayang dan tepat
melayang ke kepala kelabang raksasa. Kelabang raksasa itu tak dapat bergerak lagi karena
tertindih benda tadi. "Selesai, engkau boleh tidur" kata kakek itu "besok kita ambil"
Dan diapun terus rebah di tanah. Kutipun rebahkan diri diatas akar pohon. Tetapi alangkah
kejut mereka ketika keesokan harinya kelabang itu lenyap.
"Jahanam, engkau berani mencuri kelabang itu" tanpa bertanya lebih dulu, kakek itu terus
menerkam Ku . Sedemikian cepat sehingga Ku tak kuasa menghindar lagi. Ia bertahan dan
berjuang sekuat-kuatnya untuk melepaskan tangan si kakek yang mencekik lehernya. Tetapi sia-sia.
Kakek itu berobah seperti seorang iblis.
Tiba2 pada saat Ku sudah lunglai karena tak dapat bernapas, bahu kakek itu dicengkeram oleh
seseorang dan disentakkan sekeras-kerasnya kebelakang.
"Engkau Patiraga" teriak kakek itu ketika melihat siapa yang datang.
"Kakang Bamakre " seru pendatang itu, seorang lelaki yang lebih muda sedikit dari kakek tadi,
dandanannya sebagai seorang pertapa, rambut pu h, berwajah terang "mengapa tak engkau
hentikan perbuatanmu yang buruk itu ?"
"Engkau Pa raga, anak kemarin, jangan ikut campur urusanku" teriak kakek berambut merah
yang disebut Bamakreti itu.
"Mendiang bapak guru telah menitahkan aku supaya mencarimu karena beliau mendengar
berita2 tentang perbuatan-perbuatanmu yang buruk di luar"
"Persetan orang yang sudah ma " teriak Bamakre "aku hidup sebagai tuan dari diriku. Aku
hanya muridnya bukan budaknya. Aku bebas untuk melakukan apa saja"
"Benar" seru Pa raga "memang tepat sekali pandangan bapak guru almarhum tentang
peribadimu. Aku hanya melaksanakan pesan beliau"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pesannya?"
"Apa yang engkau katakan tadi memang benar. Engkau berhak atas dirimu. Engkau bebas untuk
melakukan apa saja. Tetapi bapak guru hanya mengakui seseorang itu sebagai muridnya apabila
dia masih menurut segala wejangan dan peraturannya"
"Aku hanya berguru mencari ilmu, bukan mengikatkan diriku pada segala peraturan"
"Apa sumpahmu ketika engkau berguru?"
"Yang lalu, tak perlu diungkat. Sekarang aku seorang manusia bebas. Guru sudah ma , tak dapat
mengurus diriku lagi"
"Beliau memang sudah ada, tetapi beliau telah meninggalkan pesan kepadaku agar aku
mencarimu untuk menyelesaikan persoalan ini"
"Persoalan apa?"
"Sumpah perguruan, kakang Bamakreti, bukankah engkau masih ingat?"
"Persetan!" "Baik" kata Pa raga "aku yang akan mengulang agar engkau teringat. Se ap murid yang
melanggar dan merusak peraturan perguruan kita, harus mengembalikan lagi semua ilmu yang
direguk dari perguruan kita"
"Ha, ha, ha" ba2 Bamakre tertawa keras "engkau Pa raga, anak kemarin sore berani bermulut
besar di hadapanku. Setelah bapak guru meninggal, akulah yang menjadi penggan nya. Engkau
harus tunduk pada perintahku"
"Aku hanya tunduk pada peraturan perguruan, dak pada orang, sekalipun dia pernah saudara
seperguruan yang lebih tua. Bahkan guru sendiri pun juga, kalau memang nyeleweng, tetap akan
kutentang" "Uah, uah, nah" seru Bamakre "hebat benar kata katamu, Pa raga. Betapa sak kepandaianmu
engkau berani berbicara sebesar itu di hadapanku" Bahkan ilmu kedigdayaaamu itu, akulah yang
disuruh guru mewakili untuk mengajarkan kepadamu"
"Benar, kakang Bamakre "sahut Pa raga "oleh karena itu aku masih mengingat budi kebaikan
kakang dan berulang kali hanya memberi peringatan. Tetapi rupanya kakang tetap tak sadar dan
tetap melakukan perbuatan2 yang jahat"
"Keparat! Mau apa engkau!"
"Karena nyata2 kakang tak mau merobah pendirian kakang terpaksa akupun harus ber ndak.
Atas nama mendiang bapak guru yang kami cintai, aku akan mengambil kembali ilmu kepandaian
yacg engkau peroleh dari perguruan kami"
"Bedebah engkau!" Bamakre terus loncat menerjang dan terjadi pertempuran seru antara
kedua orangtua yang ternyata masih terikat hubungan sebagai kakak beradik seperguruan.
Saat itu baru Ku terbuka matanya bahwa masih banyak ilmu kanuragan dan kedigdayaan yang
harus dipelajari. Betapa ia kagum akan kelincahan gerak pertapa yang menamakan dirinya sebagai
Pa raga dalam menghadapi serangan yang bertubi-tubi dari Bamakre . Bahkan karena sudah
kehabisan akal Bamakre pun lalu menggunakan batu untuk menyerang. Namun tetap pertapa
Patiraga itu dapat menghadapinya dengan tak kurang suatu apa.
"Setan, lihat seranganku" sekonyong-konyong Bamakre mengayunkan kedua tangannya.
Berpuluh-puluh batu serempak menghujani tubuh Patiraga.
"Hai, kemana engkau" setelah berputar-putar tubuh untuk menghindari dan menangkis hujan
batu, Pa raga hen kan gerakannya. Tetapi alangkah kejutnya ke ka melihat Bamakre sudah lari
dan menyusup dalam hutan yang gelap.
Pa raga tak mau mengejar. Ia hanya menghela napas. Dalam perkenalannya dengan Ku ,
Pa raga menuturkan bahwa kelabang raksasa itu memang dia yang mengambilnya "Jika sampai
jatuh ke tangan kakang Bamakre , wah. berbahaya sekali. Racun kelabang yang ada tara ganasnya
tentu akan dipergunakan untuk maksud2 yang jahat"
Tertarik kesak an dan kepribadian Pa raga, Ku menyatakan ingin berguru. Tetapi begawan itu
menolak. Namun ia sanggup memberi petunjuk akan beberapa ilmu kesak an kepada Ku tanpa
terikat hubungan guru dan murid.
Banyak sekali petunjuk2 yang diterima Ku dari begawan itu. Ilmu kepandaiannyapun makin
bertambah sempurna. Kemudian pada suatu hari begawan itu memanggilnya "Angger Ku , pergilah
engkau ke pura Singasari dan ikutlah dalam sayembara memilih senopa . Ketahuilah, ngger, ilmu
kepandaiaan yang engkau miliki, sudah lebih dari cukup. Yang kurang hanya la han2 untuk
mencapai kesempurnaan. Dan sekarang amalkan ilmu, itu untuk kepen ngan negara dan kawula.
Engkau masih muda, besar sekali harapanmu dikelak kemudian hari"
Ku tergerak ha nya. Tiba2 ia teringat akan perjanjiannya dengan Wijaya dahulu. Dua tahun
kemudian dia akan mencari Wijaya ke gunung Kawi untuk menuntut balas.
"Adakah sesuatu yang membuatmu ragu2 ?" Ku lalu menceritakan pengalamannya ke ka di
Wengker. "O soal itu" begawan Pa raga tertawa "nan di pura Singasari engkaupun akan bertemu dengan
lawanmu itu" Mendengar itu berserilah wajah Ku . Ia menghaturkan terima kasih atas petunjuk2 yang telah
diberikan begawan itu. "Jangan engkau salah faham, Kuti" kata begawan Patiraga "telah menjadi peraturan bahwa setiap
penerus perguruan kami, hanya dibenarkan mempunyai seorang murid. Itulah sebabnya maka aku
tak dapat menerimamu sebagai murid"
"O, paman begawan sudah mempunyai murid?"
"Ya" sahut Patiraga "namanya Semi. Dia kutitahkan mengembara mencari pengalaman.
Tetapi sampai sekarang belum juga kembali. Maukah engkau menolong paman?"
"Dengan segala senang hati, paman"
"Bilamana engkau bertemu dengan seorang anak-muda yang bernama Semi, maka ajaklah
dia memasuki sayembara itu. Kurasa kalian berdua-tentu akan berhasil"
Demikian asal mula Ku ba di pura Singasari. Dan pertemuannya dengan Semipun secara
kebetulan saja, ke ka Semi sedang diserang oleh segerombolan penyamun, dia memberi bantuan
dan akhirnya berkenalan. Ku segera menyampaikan pesan guru Semi dan kedua anakmuda itupun
segera menuju ke pura kerajaan. Disitu Semi mempunyai seorang kawan bernama Banyak. Dan
ditempat Banyak itulah, Kuti dan Semi bermalam.
Pertemuan antara tumenggung Bandupoyo dengan Ku pun berlangsung menggembirakan sekali.
Ku menceritakan pengalamannya selama turun dari gunung Bromo. Sudah tentu bagian2 dimana
dia berguru lagi tak, diceritakan kepada Bandupoyo.
"Hm, kalau dia benar2 ikut dalam sayembara, kemungkinan besar tentu akan berhasil. Tetapi ah"
diam2 Bandupoyo menghela napas. Ia tahu, Kuti itu amat cerdik tetapi kurang dalam kesetyaannya.
Mudah berobah pendirian dan besar nafsu untuk mengejar kekuasaan. Bahkan mendiang gurunya,
resi Brahmacahya, secara diam-diam mengatakan bahwa Ku itu kelak akan menjadi orang
terkenal. Tetapi sayang dia besar nafsu dan tak setya kepada negara dan junjungan.
Berbahaya anak itu bila mendapat kekuasaan besar.
"Ah, sungguh berbahagia sekali kerajaan Singasari apabila mendapat seorang senopa seper
kakang Kuti" sekalipun hati tak berkenan tetapi terpaksa Bandupoyo harus berbicara lain di mulut.
"Bandu" seru Ku " dakkah engkau memperoleh kemajuan besar selama mengabdi pada
kerajaan Singasari?"
"Apa yang kakang maksudkan dengan kemajuan besar itu?"
"Pangkat tinggi, kedudukan mewah, kekuasaan besar"
"O" desuh Bandupoyo tertawa ringan "soal itu memang hanya suatu sarana dalam susunan
pemerintahan maupun keprajuritan. Tetapi yang pen ng, janganlah kita melupakan pesan
mendiang rama guru. Bahwa dalam menjabat sesuatu kedudukan di pemerintahan maupun dalam
keprajuritan, hendaknya jangan ha kita dibayangi oleh keinginan untuk memburu kemewahan
hidup dan kekuasaan, melainkan harus berisikan jiwa pengabdian kepada baginda, kerajaan dan
kawula" "Ah, itu hanya kata2 indah tetapi bukan suatu kenyataan hidup. Buk nya, semua narapraja, dari
pucuk pimpinan hingga ke lapisan yang bawah, berlomba-lomba memburu kenaikan pangkat.
Untuk apa" Bukankah kenaikan pangkat itu berar kenaikan kekuasaan, kemewahan dan segala-
galanya?" Bandupoyo terkejut mendengar pernyataan Ku itu. Sejak bertahun-tahun berpisah, kini dia
mendapatkan Ku jauh berbeda dengan Ku waktu berada di pertapaan gunung Bromo dahulu.
Bandupoyo makin waswas dalam hati.
"Tidak, kakang" Bandupoyo membantah "kenaikan pangkat berar kenaikan dari tanggung jawab
yang lebih berat" "Kalau tahu bahwa hal itu berat, mengapa mereka berlomba-lomba memburunya?"
Bandupoyo tertawa. "Engkau salah kakang Ku " sahutnya "memang sepintas hampir sama, tetapi beda bobotnya.
Misalnya seorang narapraja yang giat bekerja melakukan tugas, bisa ditafsirkan dia memburu
pangkat, tetapipun dapat diar kan dia berjuang dalam pengabdiannya terhadap negara dan
kepen ngan rakyat. Mana yang benar, bukan terletak pada nilai imbalannya, tetapi pada diri
peribadinya sendiri. Apakah dia memang memburu pangkat atau dia melaksanakan
pengabdiannya. Maka kukatakan hampir sama dalam sarananya tetapi beda dalam bobot kejiwaan
peribadinya" "Uah, tampaknya setelah menjadi bhayangkara istana, engkau lebih maju dalam pembicaraan.
Bandu" Kuti tertawa.
"Pengalaman menjadi guru yang terbaik. Selama bergaul dengan bermacam ngkat manusia
dengan segala macam peribadi, aku mendapat banyak pengalaman" kata Bandupoyo. Kemudian ia
mengajak Kuti untuk bermalam di tumenggungan.
"Terima kasih, Bandu" kata Kuti "tetapi aku sudah terlanjur menginap di rumah adi Banyak"
"Benar ki tumenggung" Semi ikut bicara "rasanya kurang enak apabila bermalam di
temenggungan" "Mengapa kakang Semi?"
"Ki tumenggung tentu duduk dalam penyelenggaraan sayembara itu. Apabila diketahui orang
bahwa kakang Ku bermalam di tumenggungan. apabila nan dalam sayembara itu kakang Ku
berhasil menang, bukankah akan terlontar tuduhan orang bahwa kemenangan itu karena
disebabkan oleh pengaruh ki tumenggung?"
"Benar" seru Ku menambah "memang hal itu kurang enak bagimu, Bandu. Biarlah, aku lebih
leluasa bermalam di tempat adi Banyak"
Karena alasan yang dikemukakan Semi itu memang dapat diterima maka terpaksa Bandupoyo tak
mau memaksa. Malam itu pikiran tumenggung Bandupoyo masih sarat terbekas kesan pertemuannya dengan
Ku . Kesan yang diperoleh dari pembicaraan dan kesan yang diterima dari pesan mendiang
gurunya, makin menimbulkan sesuatu yang cenderung kearah kegelisahan.
"Jika kakang Ku berhasil" untuk kesekian kalinya ia mengulang kata2 itu " dakkah dikalangan
pasukan Singasari akan mengalami perobahan yang tertentu"
Dan serentak renungannya tertumbuk pada beberapa golongan yang sedang berlomba untuk
merebut pengaruh kekuasaan di pucuk pemerintahan pura kerajaan.
Pa h Kebo Anengah, seorang pa h yang gagah perkasa dalam urusan keprajuritan. Tetapi dalam
urusan tata-negara, belum memadai empu Raganata.
Pa h Aragani bukan seorang prajurit, tetapi seorang narapraja yang pintar. Terutama pintar
merebut ha baginda, pintar pula mencari pengaruh dalam kalangan narapraja dan tamtama.
Dalam beberapa hal, terutama dilingkungan keraton, pa h Aragani lebih besar pengaruhnya dari
pada patih Kebo Anengah. Sudah agak lama ia mendengar desas desus tentang makin akrabnya hubungan antara baginda
dengan pa h Aragani sehingga tak jarang pa h itu di tahkan masuk ke dalam istana dan diajak
minum tuak oleh baginda Kertanagara. Bagaimana latar belakang daripada pa h Aragani itu, ia
belum memiliki pengetahuan yang jelas. Hanya mbul suatu pernyataan dalam ha , mengapa
pa h Aragani mendukung keras keputusan baginda untuk mengirim pasukan ke Malayu. Adakah
hal itu dimaksudkan untuk langkahnya menjatuhkan pa h empu Raganata, demung Wirakre dan
Tumenggung Banyak Wide, agar pa h Apanji Aragani diangkat baginda Kertanagara sebagai pa h
sebagaimana keadaannya yang sekarang ini" Ataukah pa h itu mempunyai lain tujuan lagi yang
belum dapat diketahuinya"
Dalam menimang golongan2 yang harus diperhitungkan dalam catur perebutan kekuasaan di
pura kerajaan setelah terjadi perobahan beberapa mentri tua itu, tumenggung Bandupoyo harus
memandang kepada pa h Aragani. Dia sendiri merasa waktunya sangat terikat dalam
kedudukannya sebagai pengawal pendamping baginda. Dia harus mempunyai orang yang dapat
dipercaya untuk mengimbangi keadaan yang tak diinginkan apabila pengaruh pa h Aragani makin
membesar. "Jika senopa baru itu jatuh di tangan kakang Ku , dikua rkan akan mbul suatu persekutuan
dengan pa h Aragani" pikir Bandupoyo lebih lanjut "menilik sifat kedua orang itu, bukan mustahil
kalau persekutuan mereka akan menjadi kenyataan. Yang satu penuh nafsu untuk meraih
kedudukan, yang satu licik dan pandai untuk mengambil hati orang"
Dan seke ka itu mbullah ingatannya akan diri Wijaya. Makin merenungkan wajah dan sikap
anakmuda itu, makin tertarik ha Bandupoyo "Tidak mungkin kalau dia hanya anak orang desa
biasa. Tentu dia mempunyai asal usul yang lebih. Jika dia memasuki sayembara, alangkah baiknya.
Aku akan berusaha agar dia dapat memenangkan pertandingan itu"
Sesaat kemudian ia tersentak "Tetapi mengapa aku harus menggantungkan pada harapan jika"
Jika dia ikut dalam seyembara, jika dak" Bukankah kesempatan itu akan diraih kakang Ku " Ah,
dak, dak boleh aku hanya menggantungkan pada harapan Jika saja. Mengapa aku tak berusaha
untuk mencarinya?" Memperhitungkan waktu, sayembara itu masih kurang lima hari. Ia memutuskan akan minta cu
kepada baginda dan akan mencari pemuda itu ke lereng Kawi.
Sementara tumenggung Bandupoyo menimang-nimang rencana, ditempat kediaman Banyak, pun
berlangsung suatu pembicaraan antara mereka bertiga, Kuti, Semi dan tuan rumah Banyak.
"Ho, enak saja tumenggung Bandupoyo itu memutar lidah" sambut Banyak ke ka mendengar
cerita Ku tentang pembicaraannya dengan Bandupoyo "coba dia masih seorang kerucuk, tentu
lain lagi kata-katanya. Dia sudah menjadi tumenggung, sudah diangkat sebagai bhayangkara
pendamping baginda, tentu hidupnya serba tak kekurangan. Lalu mulutnya menelurkan kata2 yang
indah. Tetapi sesungguhnya keindahan dari sebuah gelembung air. Diluar tampak indah, didalam
kosong melompong" "O apakah dia sudah mencapai puncak dalam kedudukannya?" tanya Kuti.
"Benar, kakang" sahut Banyak yang dengan cepat sudah bersikap akrab sekali kepada Ku "dia
mendapat kepercayaan baginda untuk mengawal keselamatan baginda"
"O, dia tentu setya kepada kerajaan" seru Semi pula.
Banyak tertawa. Ia segera memberi penjelasan ketika kedua tetamunya memandang
kepadanya dengan pandang bertanya "Setya itu merupakan suatu kejiwaan yang luhur. Dan
oleh karenanya, tidaklah mudah untuk mencapai hai itu. Misalnya yang mudah saja. Apabila kita
bertanya kepada setiap orang, mereka tentu mengatakan setya bhakti kepada raja, kepada
agama yang dipercayainya. Tetapi manakala orang itu terumpati musibah, banyaklah yang
dengan mudah luntur kesetyaannya. Mereka cepat berbalik haluan, bahkan ada yang memaki
kepada orang yang pernah didambakan dengan segenap rasa kesetyaannya itu. Maka untuk
mengatakan seseorang itu setya, tidaklah semudah kita menggerakkan bibir kita. Melainkan
harus dibuktikan dengan kenyataan yang sudah benar-benar teruji"
"Maksudmu bagaimana"
"Banyak mentri senopa yang setya kepada raja, tetapi setelah raja itu jatuh dan kerajaan
diduduki lain orang, maka mentri2 dan senopa itupun segera berpaling haluan, bergan
junjungan semudah seperti orang berganti baju"
Kuti tertawa. "Ya, memang perbuatan itu amat tercela, nista dan hina" katanya "tetapi apabila peris wa itu
terjadi antara kerajaannya dengan kerajaan lain, terutama terhadap lain bangsa. Tetapi dakkah
hal itu sudah wajar apabila pergan an junjungan itu terjadi di-kalangan bangsa dan pimpinan
kerajaan sendiri" Misalnya, raja digan oleh adik atau saudara lainnya. Pa h empu Raganata
diganti dengan patih Kebo Anengah dan lain2"
"Apa yang kakang maksudkan wajar itu?" tanya Banyak.
"Adi Banyak" kata Kuti dengan nada agak mantap "seorang lelaki tentu memiliki tujuan hidup
dapat mencapai di puncak tangga kehidupan. Untuk apa kita hidup apabila kita tidak
mengembangkan hidup kita?"
"Benar, kakang Kuti "seru Banyak makin tertarik akan kata2 Kuti.
"Cara hidup setiap orang memang berlain-lain dan berbeda-beda tetapi tujuannya sama.
Masing2 hendak mencapai suatu tingkat hidup yang sebaik mungkin. Oleh karena itu tidaklah
dapat kita terlalu menyalahkan orang yang memiliki pendirian, mempertahankan kedudukannya
itu. Misal dibawah pemerintahan raja Wisnuwardhana, dia seorang mentri. Kemudian dibawah
kekuasaan raja Kertanagara, dia juga mentri. Lalu andaikata, dalam pertempuran di Glagah
Arum, pangeran Kanuruhan menang dan berhasil menggantikan baginda Kertanagara sebagai
raja Singasari, dia tetap juga seorang mentri. Adakah dia perlu harus menunjukkan
kesetyaannya kepada baginda Kertanagara saja " Tidakkah hal itu akan mengorbankan
kedudukan dan kehidupannya ?"
Banyak mengangguk diam. "Dan dakkah bagi keturunan prabu Wisnuwardhana hal itu sama pula. Pangeran Kanuruhan
juga putera sang prabu. Raja Kertanagara yang sekarang juga putera sang prabu. Demikian pula
bagi kerajaan Singasari dan para kawula sekalian"
"Tepat kakang Ku "seru Banyak "ucapan kakang itu memang tepat sekali. Yang pen ng adalah
kerajaan Singasari itu, siapapun yang duduk ditahta, asalkan dia seorang junjungan yang baik dan
bijaksana, kita harus mendukungnya. Biar orang kalap menuduh kita sebagai mentri tak setya-raja"
"Dan kesetyaan itu bujsan suatu sikap yang membuta" ba2 Semi menyelutuk "tetapi suatu
penilaian yang berlandaskan kepercayaan yang sadar. Kalau junjungan itu seorang raja yang adil
bijaksana, kita wajib mendukung dan membela kema -ma an. Tetapi kalau dia memang lalim dan
sewenang-wenang, mengapa kita harus meracuni hati kita dengan segala hiasan kata setya-raja?"
Diam2 Banyak gembira sekali mendengar pendirian kedua orang itu.
"Kakang Ku dan Semi" katanya "lima hari lagi, pura Singasari akan membuka sayembara untuk
menentukan pengangkatan seorang senopa dalam pasukan kerajaan. Kuminta kakang berdua ikut
dalam sayembara itu"
"Keinginan memang ada, tetapi kami berdua tak berani memastikan hasilnya" kata Kuti.
"Kakang Ku cakap dan tepat sebagai seorang senopa pasukan Singasari. Dan tentu akan
kuusahakan untuk membantu kakang mencapai kemenangan itu"
Kuti terkejut. "Apa" Engkau akan berusaha untuk membantu?"
"Engkau dapat membantu?" ulangnya dengan nada menegas keheran.
Banyak mengangguk dalam-dalam.
"O, benar" ba2 Semi berkata "adi Banyak ini juga menjabat sebagai nara dalam pemerintahan
Singasari. Dia termasuk akurug, yang mendapat tanah pelungguhan sendiri. Dan jabatannya sebagai
mentri mangilala diwya haji, mentri yang memugut pajak tanah hak milik raja"
"O" Kuti mendesuh "sungguh tinggi juga pelungguhan adi Banyak ini"
"Ah, tidak kakang Kuti" balas Banyak "sebenarnya aku lebih suka menjabat kedudukan dalam
keprajuritan. Tetapi si Panglulut itu telah menempatkan aku disitu dulu"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Panglulut" Siapakah yang adi maksudkan" "tanya Kuti.
"Panglulut atau Kuda Panglulut, kepala pasukan keamanan dalam pura Singasari"
"O, raden Kuda Panglulut itu ?" seru Semi setengah berteriak.
"Kurasa dalam pura Singasari ini hanya seorang saja yang bernama Kuda Panglulut" jawab
Banyak. "Bukankah dia putera menantu gusti patih Aragani ?" seru Semi pula.
"Ya" "Apakah adi bersahabat denganraden Kuda Panglulut ?"
"Lebih dari sahabat. Dia terhitung kemanakan-sendiri"
"O" desuh Semi lalu kerutkan dahi "tetapi apabila tak salah, belum setua itu kiranya adi Banyak
layak menjadi pamannya."
"Benar, kakang Semi. Memang kalau menurut umur, hal itu agak ganjil. Aku dan Kuda Panglulut
terpaut hanya lima atau enam tahun. Dia putera sulung dari ayundaku yang tertua. Dan aku
merupakan anak yang bungsu dari ayahbundaku yang beranak lima orang. Aku dengan ayundaku
yang sulung itu terpaut limabelas tahun umurnya"
Kuti dan semi tertawa, mengangguk-angguk.
"O, jika demikian, kami tak perlu heran atas kesediaan adi Banyak hendak membantu kami dalam
sayembara itu. Tetapi adi Banyak, bukan kami berbanyak mulut, tetapi sesungguhnya dengan
segala ketulusan ha , kami ingin tahu bagaimanakah bantuan2 yang adi hendak berikan kepada
kami itu nanti" "Kepala penyelenggara dari sayembara itu adalah tumenggung Bandupoyo" kata Banyak "tetapi
dia dak berkuasa mutlak. Apabila dipandang tak sesuai maka gus pa h Kebo Anengah dan gus
patih Aragani dapat merobah keputusan"
Ku mengangguk "Maksud adi, bukankah adi hendak meminta bantuan raden Panglulut agar
membicarakan soal diri kami kepada gusti patih Aragani?"
"Benar, kakang Ku " Banyak tersenyum "tetapi disamping itu, akupun dapat bergerak diluar.
Karena usaha itu harus diperjuangkan dari dalam dan luar"
Ku kerutkan alis "Kami percaya bahwa adi Banyak tentu mempunyai kemampuan untuk
mengusahakan hal2 yang dapat memberi kebaikan kepada kami. Hanya saja Ku ini memang
bodoh sehingga tak mampu menanggapi apa yang adi maksudkan dengan usaha di luar itu"
Banyak tersenyum girang. Ia bangga karena kedua tetamu itu memujinya "Kakang Ku , dakkah
tadi kakang Semi telah memberitahukan tentang jabatanku di pura kerajaan ini?"
"Ya, dan kemudian?"
"Terus terang kakang Ku dan Semi" kata Banyak "sebagai pemungut diwya haji, aku menyimpan
banyak sekali harta yang dipercayakan pemerintah kepadaku. Kakang berdua tentu maklum,
betapa kekuasaan harta benda itu terhadap manusia" Banyak tertawa cerah.
"O" cahaya muka Ku pun ikut cerah seke ka "maksud adi hendak menggunakan pengaruh harta
itu untuk mempengaruhi para ksatrya yang ikut dalam sayembara itu?"
"Kakang Kuti amat cerdas" Banyak tertawa "itulah yang kumaksud sebagai usaha di luar"
"Tetapi adi Banyak " tiba2 Semi memberi tanggapan "bagi seorang ksatrya, harta itu tidak
akan membawa pengaruh apa2. Terutama mereka2 yang telah ditempa di pertapaan para resi
brahmana, tentulah mereka tidak mengutamakan harta, melainkan keluhuran dan keperwiraan"
Banyak tertawa pula. "Engkau benar, kakang Semi" katanya "memang pada ksatrya utama, harta itu takkan membawa
pengaruh besar. Tetapi dakkah mereka berbondong-bondong memasuki sayembara itu dengan
suatu tujuan" Apakah tujuan mereka?"
"Pangkat dan kedudukan" seru Kuti.
"Apa kenyataan daripada pangkat dan kedudukan itu?" tanya Banyak pula.
"Kenikmatan hidup"
"Dan apa sarana kenikmatan hidup itu kalau dak dengan harta benda?" kata Banyak "itulah
tujuan mereka yang terakhir. Dan apabila tujuan itu kita sanggupi, dakkah mereka akan tergerak
hati?" "Ah" Ku geleng2 kepala pula "lagi2 aku si Ku yang bodoh ini tak menger apa yang adi
maksudkan dengan kata2 menyanggupi tujuan mereka itu"
Kembali Banyak tertawa girang dalam hati.
"Sudah tentu menghadapi para ksatrya itu, aku harus menggunakan cara lain. Kasar dan
halus. Akan kutekankan mereka, bahwa ada fihak yang amat berkuasa dalam pucuk pimpinan
pemerintah yang menghendaki mereka supaya mengalah. Apabila mereka mau menurut,
mereka tetap akan diberi jabatan dalam keprajuritan dan ditambah pula dengan anugerah harta
dan tanah. Tetapi apabila mereka menolak, mereka pasti akan menghadapi kegagalan juga.
Dengan penjelasan2 yang mengandung ancaman dan bujukan itu, kurasa mereka tentu
menyadari dan mau menerima"
"Bagus, adi Banyak" seru Ku "mendengar penjelasan adi itu, ha ku seringan burung yang
terbang ke angkasa" Semi kerutkan dahi. Dan rupanya Banyak memperhatikan sikapnya.
"Eh, rupanya kakang Semi masih ada sesuatu yang terkandung dalam hati?" tegurnya.
Semi menghela napas "Yah, memang harus kuakui bahwa rencana adi itu, bagus sekali. Hampir
sempurna. Tetapi aku masih kua r adi. Karena sekalipun gading tetap retak, sekalipun bagus
rencana itu tetapi tetap memiliki kelemahan- kelemahan"
"Apa maksud kakang Semi?" Banyak mulai ngotot.
"Yang adi hadapi itu adalah golongan ksatrya yang telah menerima gemblengan jasmaniah
dan rohaniah. Aku kuatir adi, mereka tidak semudah seperti yang adi bayangkan.
Kumaksudkan, tidak semua ksatrya yang ikut dalam sayembara itu lemah imamnya sehingga
rencana adi itu dikuatirkan akan terbentur pada karang2 yang tajam"
"Apakah kakang Semi tak percaya akan kemampuan Banyak ?"
"Dalam soal ini bukan percaya atau dak percaya, adi. Harap engkau jangan salah faham kata
Semi, tetapi kita berhadapan dengan kenyataan maka mau tak mau lahirlah kekua ran itu dalam
hatiku" "Ah, janganlah adi Semi kua r" Ku tertawa "masakan adi Banyak tak mampu melakukan usaha
itu" Semi terkejut. Dialah yang lebih dulu kenal dengan Banyak dan Ku pun dia yang
memperkenalkan kepada Banyak. Tetapi mengapa Ku begitu percaya penuh kepada Banyak dalam
soal yang sepen ng itu. Ia mengangkat muka kearah Ku dan lontarkan pandang bertanya. Tetapi
Kuti kicupkan ekor mata memberi isyarat. Semi tak jadi membuka mulut bertanya.
"Kakang Semi dan kakang Ku " kata Banyak yang tampak merah wajahnya "jelek sekalipun
Banyak ini, tetapi aku juga seorang lelaki. Apa yang kujanjikan tentu akan kulakukan, betapapun
sukar pekerjaan itu dan betapapun mahal pengorbanannya. Jika aku, Banyak, tak mampu menepa
janjiku, kakang berdua boleh membunuh aku."
"Ah, dak, dak, adi Banyak" cepat Ku berseru "jangan engkau setandas itu. Bantuan adi sudah
tentu kami harapkan. Tetapi andaikata gagal, kamipun takkan kecewa dan tetap berterima kasih
atas kebaikan adi itu. Sudah tentu pula kamipun juga akan berusaha dengan kepandaian kami
untuk memenangkan sayembara itu"
"Benar adi Banyak" seru Semi "kurasa adi tak perlu sibuk mengusahakan hal itu. Biarlah kami
sendiri yang akan merebut kemenangan itu dengan tenaga dan kepandaian kami"
Mata Banyak berkilat-kilat "Hm, jika demikian, lebih baik hubungan kita putus sampai disini saja!
Kakang Semi terlalu memandang rendah kepadaku. Aku malu menjadi kawan kalian ....."
"Adi Banyak!" teriak Kuti "mengapa adi menaruh benar dalam hati ucapan adi Semi?"
"Jika kalian menolak bantuanku, berarti kalian menghina aku" teriak Banyak.
"Ah" Kuti mendesuh tetapi diam-diam dia tertawa dalam hati. Siasatnya telah berhasil "sudah
tentu kami gembira menyambut bantuan adi. Tetapi kamipun tak ingin menyibukkan adi. Itulah
sebabnya maka adi Semi berkata begitu"
"Telah kukatakan" kata Banyak makin tegas "bahwa aku sebagai seorang lelaki, harus
bertanggung jawab atas apa yang telah kuucapkan. Dengan menolak pernyataanku itu berar
merendahkan diriku" "Engkau benar, adi" akhirnya Ku berkata "baiklah. Kami sangat menghormat dan menghargai
bantuanmu. Dan sebagai imbalan, apabila kelak kami berhasil memenangkan sayembara itu dan
diangkat sebagai senopati pasukan Singasari, maka kamipun akan menarik adi kedalam pasukan"
"Benarkah itu, kakang Semi ?" mata Banyak memancar sinar cerah.
Ku tertawa "Jika adi merasa kecewa apabila kami tak mempercayai pernyataanmu, mengapa adi
hendak membuat hati kami kecewa karena adi tak percaya pada ucapan kami?"
Banyak tertawa dan meminta maaf. Demikian setelah bercakap-cakap sampai tengah malam,
mereka lalu beris rahat. Dalam kesempatan berdua, Semi bertanya kepada Ku mengapa Ku
begitu percaya akan kemampuan Banyak.
"Ah, secara tak sengaja" Kuti tertawa "kita telah menjalin suatu kerjasama yang rapih. Aku
yang menjunjungnya dan engkau yang mencemohkan untuk membakar hatinya. Dan akhirnya
kita berhasil. Dia tentu malu hati kepada kita dan akan berusaha sekuat tenaganya"
"Memang" sahut Semi "aku sengaja mengucapkan kata2 seolah tak percaya kepada
kemampuannya agar dia panas"
Kedua tertawa. Diam2 merekapun mempunyai kesan dalam ha masing-masing, bahwa mereka
ternyata memiliki kecerdasan yang setingkat dan pandangan yang sefaham.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Siang itu Ku dan Semi terkejut sekali ke ka Banyak memberitahu bahwa pa h Aragani
menitahkan mereka menghadap ke kepatihan.
"Adi, mengapa gus pa h berkenan menitahkan kami menghadap ?" tanya Ku penuh
keheranan. "Panglulut telah mendengar laporanku dan telah menghaturkan keadaan kakang berdua
kehadapan ramandanya, gus pa h. Dan rupanya gus pa h mempunyai minat kepada kakang
berdua" kata Banyak. Kemudian ia menganjurkan bahwa hendaknya kesempatan itu dapat
dipergunakan sebaik-baiknya "Siapa tahu kakang Ku , apabila gus pa h melihat kakang berdua,
beliau akan lebih mantap perhatiannya lagi"
Malam itu Banyak membawa Ku dan Semi menghadap pa h Aragani. Terjadi mbal balik
pancaran kesan dalam pertemuan pertama itu. Aragani mendapat kesan baik terhadap kedua
anakmuda itu, terutama Ku . Diperha kannya bahwa Ku memiliki pandang mata yang bersinar
tajam dan mengandung sumber kecerdikan. Wajahnya tampan ada tercelah. Hanya sayang
kelopak matanya agak cekung kedalam, menunjukkan sifat kejuligan. Semi dalam pandangan pa h
Aragani, merupakan seorang pemuda yang tenang dan sukar diduga isi ha nya. Diantara kedua
pemuda itu, Kuti dianggap lebih memiliki wibawa.
Sementara dalam kesan Ku maupun Semi, pa h Aragani itu memberi gambaran yang
mengejutkan. Tubuhnya yang kurus, memiliki wajah yang rus, hidung yang agak bengkok.
Sepasang bibir yang tebal, ditopang oleh janggut kambing dan dinaungi oleh sederet kumis jarang.
Sedangkan sepasang biji matanya tampak melentuk seper damar ter up angin, meram2 melek.
Sepintas memberi kesan sebagai seorang pemalas, pengantuk.
Setelah memberi hormat dan memperkenalkan diri maka bertanyalah pa h Aragani kepada Ku
dan Semi "Benarkah kalian bermaksud hendak ikut dalam sayembara pemilihan senopati itu?"
"Demikian, gusti" serempak Kuti dan Semi memberi sembah.
"Apakah tujuan kalian hendak ikut serta dalam sayembara itu?"
Ku dan Semi terkejut. Keduanya merasa pertanyaan yang dilontarkan pa h itu cukup tajam.
Mereka harus berhati-hati merangkai jawaban.
"Tak lain gus pa h" kata Ku "hamba berhasrat hendak menyumbangkan tenaga hamba
kepada kerajaan Singasari"
"O" Pa h Aragani mengangguk "tahukah kalian betapa berat beban seorang prajurit, lebih pula
seorang senopati itu ?"
"Hamba telah mempertemukan jiwa dan raga hamba dalam suatu keputusan bulat, agar hamba
serahkan demi kepentingan kerajaan, kejayaan dan kebesaran Singasari"
"Apa sumpah tekadmu anakmuda ?"
"Setya kepada raja, kerajaan, kewajiban dan sumpah prajurit"
"Adakah engkautak punya pamrih apa2 dalam mengabdi kepada kerajaan Singasari itu?"
"Pamrih hamba berdua tak lain hanya demi kepen ngan kerajaan Singasari. Dan karenanya
hamba harus berusaha untuk memiliki sarananya"
"Apakah sarana yang engkau cita-citakan itu?"
"Kedudukan yang nggi dan kekuasaan yang memadai dalam keprajuritan sehingga hamba dapat
mewujutkan cita cita hamba itu"
"O, jadi engkau ingin meraih kedudukan dan pangkat yang tinggi ?"
"Benar, gus " sahut Ku tanpa ragu2 "demikian cita-cita hamba sebagai seorang anakmuda.
Pusaka Negeri Tayli 9 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Rahasia Mo-kau Kaucu 6
^