Pencarian

Dendam Empu Bharada 18

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 18


Karena hanya dengan kedudukan dan kekuasaan itulah hamba dapat mempersembahkan segenap
tenaga, pikiran dan kemampuan hamba kepada kerajaan. Jika dak, hamba tentu sukar untuk
mengembangkan bakat kepandaian hamba untuk negara"
Banyak dan Semi terkejut atas ucapan Ku yang selantang itu. Mengapa berani benar Ku
menyatakan pendiriannya dihadapan pa h kerajaan yang amat besar kekuasaannya seper
Aragani. Bukankah pernyataan Kuti dapat dianggap sebagai hal yang buruk atas sifat peribadi"
"Ah, celaka kakang Ku ini" gumam Banyak dalam ha "kalau pa h mempunyai penilaian lain,
pasti gagallah usaha kita"
"Bagus, anakmuda" ba2 pa h Aragani berseru "begitulah layaknya cita-cita seorang hidup
terutama anakmuda. Tanpa cita-cita, hidup itu pudar"
Sambutan pa h Aragani benar2 diluar dugaan Banyak maupun Semi. Diam2 makin kagum
keduanya akan kecerdikan Kuti menilai orang.
"Engkau tahu, anakmuda" sambung Aragani pula "betapa dulu akupun memiliki cita- cita bagitu.
Aku mulai menanjak dari bawah dan hanya dengan melalui perjuangan yang penuh segala
pengorbanan perasaan, akhirnya aku dapat mendaki ke puncak tangga kehidupan seperti sekarang"
Ku menghaturkan sembah dan terima kasih kepada pa h itu "Namun jauh bedanya gus pa h
dengan diri hamba yang bodoh dan picik pengalaman ini"
"Tak perlu engkau merasa rendah diri. Karena hal itu hanya mengurangkan kepercayaan diri
sendiri" Kembali Kuti menghaturkan terima kasih.
"Anakmuda" kata pa h Aragani pula "dengan memasuki sayembara, kupercaya engkau tentu
membekal ilmu kedigdayaan yang hebat. Siapakah gurumu?"
"Guru hamba adalah resi Brahmacahya di gunung Bromo, kemudian hamba berkelana dan
berguru pada beberapa pertapa."
Aragani mengangguk "Apakah selama ini engkau pernah menjabat kedudukan di kalangan
pemerintahan ?" "Hamba pernah menjadi bekel prajurit di Wengker, gusti"
"O, suatu kedudukan yang cukup nggi" seru pa h Aragani "apakah sekarang engkau sudah lepas
dari jabatanmu itu?"
"Sudah" "Mengapa?" "Hamba merasa bahwa di kerajaan Wengker hamba tentu takkan mendapat kemajuan yang
lebih luas. Oleh karena itu, setelah mendengar di pura Singasari akan dibuka sayembara pilih
senopati, hamba segera bergegas datang ke pura kerajaan sini"
"Bagaimana pandanganmu terhadap kerajaan Singasari ?"
"Singasari merupakan kerajaan besar yang kekuasaannya amat luas bahkan sampai ke negeri
Malayu dan Bali. Menurut hemat hamba, dewasa ini ada kerajaan lain yang dapat menyamai
kebesaran dan kejayaan kerajaan Singasari, baik dalam lapangan kekuatan, budaya, agama dan
segala bidang. Kata suara ha hamba, di kerajaan Singasari inilah tempat yang tepat bagi
pengabdian hamba, gusti"
Diam2 pa h Aragani terkesan atas kata2 Ku yang begitu hebat. Ia percaya anakmuda itu tentu
digdaya tetapi ia belum tahu sampai pada tataran bagaimana kedigdayaan yang dimiliki anakmuda
itu. "Ku " kata pa h Aragani pula "aku hendak menghadap seri baginda ke keraton maka engkau
sekalian boleh pulang. Besok pagi datanglah kemari, aku perlu bicara dengan engkau"
Ku dan kedua kawannya terkejut. Sepulang dari kepa han mereka masih menduga-duga
tentang perintah pa h Aragani itu. Bermacam-macam dugaan telah ditafsirkan, namun ada
satupun yang benar2 dapat dipastikan.
Sementara sepeninggal Ku ber ga, Kuda Panglulutpun masuk menghadap pa h Aragani.
Aragani menyatakan mempunyai kesan baik terhadap Ku . Kemudian ia membisiki beberapa patah
kata ke telinga putera menantunya.
Kuda Panglulut mengangguk-angguk.
"Sebelum menjatuhkan keputusan terakhir, besok akan kuuji dahulu keberanian dan
kedigdayaan Kuti" "Dan kesetyaannya rama" kata Panglulut. Patih Aragani mengangguk.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 16 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Malam yang gelap seolah hendak menelengkupl pura Singasari. Langit bersaput awan kelam.
Bintang kemintang bercahaya semu. Sayup2 terdengar guruh, mendengkur. Kesunyian yang
mengundang rasa kantuk terusik suara burung kulik yang terbang melalang diatas keraton
Singasari. Sayup2 terdengar derap langkah kaki mendebur kesunyian. Makin lama makin terdengar
sarat. Getar yang timbul dari langkah sarat itu, mengandung pula dering gemerincing senjata
yang berselang seling. Dari lorong yang melingkari sepanjang dinding tembok keraton Singasari sebelah dalam, muncul
dua sosok tubuh memanggul senjata tombak. Sukar untuk membedakan kedua orang itu karena
keduanya sama2 memiliki tubuh yang kekar padat. Langkah kaki merekapun teratur dalam irama
yang rapi. Kecuali memanggul tombak, keduanya juga membekal pedang yang terselip pada
pinggang masing2. "Ah, mengapa malam begini pekat, kakang Sorang?" tiba2 terdengar seorang berkata.
"Hm, biasa," jawab orang yang dipanggil So-rang "malam tentu gelap. Apa baru sekali ini engkau
tahu?" "Tapi memang benar2 dak seper malam ini" kata orang pertama lagi "gelap dan gersang.
Menyeramkan pula" "O, karena mendengar suara burung kulik itu?"
"Apakah engkau tak merasakan apa- apa, kakang?"
"Tidak, kecuali hanya ngantuk"
"O " desuh orang pertama "benar, benar, memang aku juga merasa ngantuk tetapi diusik rasa
seram" Keduanya berjalan pula, menyusup lorong sunyi di kegelapan malam. Mereka adalah prajurit
dalam puri keraton yang malam itu bertugas meronda.
"Jika kuhubungkan dengan perintah gusti meng-gung tadi ...."
"Perintah yang mana?"
"Eh, apakah engkau tak mengetahui perintah yang dikeluarkan gus menggung Bandupoyo
petang tadi?" "Aku tadi memang agak terlambat datang sehingga ki lurah Panca marah. Apakah perintah itu
Lembah?" "O, kukira engkau sudah mendengar," sahut prajurit yang bernama Lembah "begini kakang
Sorang, ki lurah menyampaikan perintah gustimenggung, bahwa malam ini penjagaan keraton
harus diperketat. Jumlah prajurit penjagapun digandakan. Barangsiapa yang tak melakukan
kewajiban dengan baik, akan mendapat pidana berat"
"O " desuh prajurit Sorang "jika demikian tentu ada sesuatu yang gawat di keraton ini. Apakah
yang engkau ketahui, Lembah ?"
"Entahlah," jawab Lembah "rasanya ada peris wa apa2 di pura kerajaan ini kecuali makin
dekatnya sayembara pemilihan senopati itu"
Prajurit Sorang mengangguk.
"Tetapi .... " ia membuka mulut lalu berhenti.
"Tetapi bagaimana, kakang?"
"Kurasa perasaanmu tadi memang perlu diperhatikan," kata Sorang.
"Perasaanku?" "Ya. Bukankah tadi engkau merasakan suatu kelainan pada malam ini" Sunyi, gelap, ngantuk
dan seram, bukan ?" "Ya " Lembah mengiakan "dan burung kulik itu". Maksudmu, kulik sebagai pertanda dari
datangnya pencuri ?"
"Sejak kecil kita telah dibekali ajaran itu bahwa se ap burung kulik muncul tentu akan muncul
pencuri atau orang jahat"
"Dan sudah engkau buktikan?"
"Aku tak pernah memperha kan. Atau mungkin burung kulik tak perlu memberi pertandaan
kepada rumahku yang miskin"
Prajurit Sorang tertawa "Jangan membawa-bawa soal miskin atau kaya, Lembah. Adakah burung
kulik tahu membedakan si kaya dengan si miskin" Jika demikian, burung kulik layak diberi pangkat "
"Hah" Burung kulik harus diberi pangkat?"
"Benar," kata Sorang menahan geli dalam ha "bukankah dia layak menjadi prajurit penjaga
keamanan karena kepandaiannya untuk memberi tanda apabila akan muncul penjahat?"
"Uh, engkau memang aneh2, kakang. Engkau hendak mempersamakan burung kulik itu dengan
kita" Sorang tertawa "Entah kita yang termasuk jenis burung kulik atau burung kulik yang termasuk
jenis manusia seperti kita"
"Tidak," Lembak menolak "kulik itu burung dan kita ini manusia"
"Bagus, Lembah," prajurit Sorang tertawa pula "jika demikian daklah layak apabila kita harus
menerima pengaruh dari burung kulik"
"Tetapi bukankah burung gagak itu juga memberi tanda akan sesuatu yang buruk. Entah
pembunuhan entah kecelakaan"
"Yang jelas," kata prajurit Sorang "burung gagak itu termasuk jenis burung pemakan bangkai. Dia
berbunyi karena mengharapkan mangsa. Atau karena dia memiliki penciuman yang tajam tentang
terdapatnya bangkai disekitar daerah itu"
"Apakah kakang tak percaya akan segala alamat yang dibawakan bangsa sato khewan dan
burung"," desak Lembah.
"Yang jelas aku belum pernah mengalaminya sendiri, sehingga sukar kupaksa diriku untuk
percaya. Dan soal kepercayaan itu tergantung dari peribadi masing-masing. Yang percaya, silakan
percaya. Karena untuk menghapus kepercayaan orang terhadap sesuatu hanya akan menimbulkan
perbantahan belaka. Misalnya seper engkau, Lembah," Sorang tertawa. Tetapi dia segera ditusuk
keheranan ke ka ada penyahutan dari Lembah. Cepat ia berpaling. Tetapi apa yang dilihatnya
meningkatkan rasa herannya menjadi rasa kejut. Walaupun masih berjalan tetapi kedua mata
Lembah terkatup. "Hai, Lembah, engkau tidur" " seru Sorang.
"Tidak, kakang. Tetapi entah bagaimana mataku seperti lengket tak dapat dibuka"
"Gila, masakan berjalan sambil dur....." ba2 kata-kata Sorang terputus oleh jerit Lembah yang
terpelan ng dan terjerembab jatuh ke tanah "Lembah, kenapa engkau" " cepat Sorang
membungkuk dan mengangkat tubuh kawannya.
"Keparat, kakiku terantuk batu." Lembah menyumpah "tetapi kakang, aku benar2 tak dapat
membuka mata. Ingin sekali tidur ...."
"Gila engkau " gumam Sorang dengan suara mulai luruh. Diam2 ia terkejut karena merasakan
matanyapun diserang rasa kantuk yang hebat. Pikirannya masih sadar bahwa saat itu dia berada di
tengah2 lorong jalan. Bahwa dia sedang bertugas meronda keamanan puri keraton, pun masih
disadarinya pula. Ia dapat mengingat akan perintah dari tumenggung Bandupoyo. Barangsiapa
melalaikan tugas, akan dijatuhi pidana.
Teringat akan kesemuanya itu, ia harus ber ndak mendahului. Sebelum rasa kantuk itu dapat
melelapkannya, dia harus menolaknya "Huh," ba2 ia mengerang menahan kesakitan karena lidah
digigitnya sendiri. Memang sakit namun ia memperoleh pula kesegaran semangat.
"Hm," ia menggumam melihat Lembah masih terjerembab dur "dia juga harus kugigit biar
bangun," dan segera ia menempelkan mulut ke telinga kawannya.
"Aduh," Lembah menjerit kesakitan dan gelagapan bangun "siapa menggigit telingaku!"
"Lembah, ingat kita sedang meronda. Mari kita lanjutkan perjalanan." Sorang harus bersikap
garang walaupun ia hampir tak kuat menahan gelinya melihat Lembah meringis kesakitan. Dan
tanpa menunggu jawaban, Sorangpun berbangkit dan ayunkan langkah.
"Prakkkk, aduh ....," ba2 Sorang menjerit dan mendekap kepalanya. Tangannya terasa basah
sedang batok kepalanya yang belakang berdenyut- denyut memar. Darah. Ia menyadari apa yang
menimpa dirinya. Kepalanya terhantam benda keras sehingga memar berdarah. Dan cepat iapun
menduga bahwa tentulah Lembah yang melakukannya. Lembah tentu marah karena telinganya
digigit sehingga balas memukul dengan batang tombak "Benar," serentak menarik kesimpulan,
diapun cepat berbalik tubuh dan "Keparat, engkau Lembah," tanpa bertanya keterangan,
Sorangpun terus ayunkan batang tombaknya menghantam Lembah.
Saat itu prajurit Lembah terpaksa berbangkit walaupun masih mendekap telinganya yang sakit
digigit Sorang. Ia mengkal juga. Walaupun ndakan Sorang itu memang bermaksud baik agar dia
terhindar dari rasa kantuk tetapi cara yang dipilih itu menggemaskan ha . Bukankah masih banyak
cara untuk mengusir kantuk " Misalnya, menggolek-golekkan, mencubit ataupun mencabut wulu
cumbu di kaki. Mengapa harus menggigit daun telinga"
Belum lagi dia berdiri tegak, ba2 Sorang sudah berputar tubuh dan memaki. Dan belum sempat
ia bertanya mengapa ada sebab Sorang memakinya, tahu2 pinggangnya telah teisabat batang
tombak. Saat itu cuaca gelap sehingga ia tak tahu gerak layang tombak kawannya "Aduh .... "
Lembahpun menjerit dan terjungkal rubuh. Walaupun pinggangnya tak sampai terobek ujung
tombak namun batang tombak itu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya.
Setelah kemarahan meledak, redalah perasaan Sorang, bergan dengan rasa kejut karena
melihat Lembah rubuh tak berkutik "Lembah," ia berteriak seraya berjongkok untuk menolong.
Tengah prajurit itu dengan cemas memeriksa tubuh kawannya, sekonyong-konyong sesosok
bayangan hitam muncul dari balik sebatang pohon. Dengan sebuah gerak tupai melompat,
bayangan itu menerkam ke arah Sorang.
"Uh," Sorang mengerang ke ka tengkuknya terhunjam oleh tebasan tangan yang kuat sekali.
Seketika dia rubuh terkulai disamping Lembah.
"Beres " gumam bayangan itu lalu melanjutkan langkah menyusup ke arah puri. Dia
mengenakan pakaian serba hitam, bahkan muka dan kepalanyapun tertutup oleh selubung
hitam. Hanya dibagian mata yang diberi lubang.
Setelah dekat pada ruang keputren, diapun tegak dibawah dinding tembok yang memisahkan
keputren dengan lorong yang menuju ke ruang keraton.
Lebih kurang sepenanaknasi, ia menjemput sebuah batu kecil lalu dilontar ke halaman keputren
Batu kerikil itu mendeburi tanah. Walaupun batu hanya kecil tetapi dalam suasana yang sesunyi
saat itu, terdengar juga suara batu mendebur tanah.
Orang itu menumpahkan semangat untuk menampung setiap gerak ataupun suara yang
menanggapi lontaran batu itu. Namun sampai beberapa saat ia tak mendengar suatu apa.
Namun rupanya dia amat berhati-hati sekali. Untuk yang kedua kalinya ia menjemput batu yang
lebih besar dan dilontar kedalam halaman. Kali ini debur tanah berbunyi lebih keras. Namun
tetap tak terdapat suatu gerak tanggapan dari dalam keputren. Walaupun sudah dua kali tak
mendengar suatu apa, tetapi orang itu masih belum yakin. Untuk yang ketiga kalinya dia
lemparkan lagi batu yang makin besar. Buk ....
Ia menunggu lontaran batu yang ke ga itu lebih lama. Setelah tak mendengar suara gerakan
apa2 dari dalam keputren, diam2 ia menghela napas dan berkata dalam ha "Ah, jika demikian aji
sirap Begananda yang kulepaskan, memang ampuh. Para penjaga tentu terlena pulas"
Dinding tembok yang memisahkan ruang keputren itu tak berapa nggi sehingga dapatlah dia
loncat dan hinggap diatas tembok itu kemudian setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling
penjuru, dia terus melayang turun ke halaman. Diapun memiliki ilmu untuk meringankan gerak
langkah sehingga langkahnya hampir tak memperdengarkan suara.
Dalam keputren itu terdapat empat buah bangunan yang masing2 terpisah satu sama lain.
Keempat gedung itu masing2 dihuni oleh keempat puteri baginda Kertanagara, yani puteri
Tribuana, Nara-indera-duhita, Pradjnya paramita dan Gayatri.
Rupanya orang itu sudah mendapat petunjuk mengenai letak gedung kediaman keempat puteri
raja itu. Dia langsung menuju kesebuah gedung yang terletak di ujung barat. Disitu diapun berhen
lalu tegak bersemedhi melancarkan aji penyirapan. Setelah menunggu beberapa saat, barulah dia
berjingkat-jingkat menghampiri pintu jendela.
Diungkitnya bingkai jendela dengan pisau, setelah itu didorong pelahan-lahan, sejenak ia
melongok ke dalam ruang. Sunyi senyap. Hanya bau harum yang membias, menyerbak hidungnya.
Sesaat semangatnya melayang-layang. Hanya sekejab dan dia segera teringat akan tujuannya
memasuki ruang kediaman puteri Tribuana itu. Kemudian diapun meluncur masuk kedalam ruang,
berjingkat-jingkat menghampiri benet atau lemari yang terbuat dari kayu cendana, berukiran bunga
padma dan sepanjang bingkai bersalutkan emas.
"Hm, beginilah keindahan ruang puteri raja," katanya dalam ha . Dan mbullah suatu rasa aneh
dalam ha nya. Betapa ingin dia tetap berada ditempat itu. Suasana yang asri, perabot-perabot
yang indah dan harum setanggi semerbak mewangi aroma ganda mela . Menimbulkan suatu
perasaan yang lain, dunia yang lain.
"Ah," kembali orang itu mendesuh dalam ha sesaat dia teringat akan tujuannya. Cepat dia
mengguritkan pisaunya dan terbukalah daun benet itu "Ah," ia mendesuh pula ke ka melihat apa
yang berada dalam benet itu. Berbagai warna intan permata dan perhiasan yang tak ternilai
harganya, tampak berkilau-kilauan menikam pandang matanya. Hampir tergeraklah hatinya melihat
harta permata yang belum pernah dilihatnya sepanjang hidup. Namun timbullah perasaan lain.
"Ingat, engkau seorang ksatrya. Jangan engkau terpincut oleh bujuk nafsu keinginan untuk
memiliki benda yang bukan menjadi hak milikmu. Nista," keringat bercucuran deras, ke ka ia harus
menghadapi perjuangan ba n, antara nafsu dan kesadaran. Akhirnya kesadaran ba nnyalah yang
menang. Terpancar suatu pesan dari ajaran keutamaan yang pernah diwelingkan gurunya. "Segala
ilmu jaya-kawijayan yang telah kuberikan kepadamu, hanya satu pantangannya. Apabila engkau
mempunyai ha kotor untuk memiliki hak milik orang lain, maka ilmu kepandaian yang kuturunkan
kepadamu akan lenyap semuanya"
Sejenak orang itu mengulum lidah untuk meneguk ludahnya. Setelah menenangkan pikiran
diapun mulai mengambil sebuah bokor kencana. Ia yakin benda yang hendak dicarinya itu tentu
disimpan dalam sebuah tempat yang seindah bokor kencana itu. Dan apa yang diduganya memang
benar. Setelah membuka penutup bokor, matanyapun terbelalak "Ah, inilah cermin Sapta-warna
itu ... ." Serentak dia bekerja cepat. Setelah mengambil cermin, ia meletakkan kembali bokor kencana
ketempatnya semula, menutup pintu benet. Namun dia benar2 seorang yang amat cermat. Untuk
meyakinkan diri bahwa cermin itu benar2 cermin pusaka yang dicarinya, sejenak dia memeriksanya.
Cermin Sapta-warna itu aneh bentuknya. Terdiri dari tujuh lipat bingkai, masing2 bingkai berisi
sebuah kaca cermin yang is mewa. Kaca terbuat dari batu pualam yang digosok sampai kemilau


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan jernih seper kaca. Menurut keterangan yang diperoleh dari orang itu, cermin Sapta-warna itu
merupakan sebuah tanda persahabatan yang dipersembahkan utusan maharaja Ku-bilai Khan
beberapa tahun yang lalu. Utusan Kubi-bilai Khan membawa beberapa macam tanda mata yang
kesemuanya termasuk benda2 pusaka langka. Jarang terdapat di dunia. Baginda Kertanagara
menghadiahkan cermin Sapta-warna itu kepada puterinya yang sulung yani sang dyah ayu
Tribuana. Setelah yakin bahwa cermin itu benar yang dicarinya, orang itupun segera meninggalkan ruang
peraduan sang puteri. Tetapi baru beberapa langkah, ia tertegun lagi. Dari sinar penerangan yang
redup, ia melihat sosok wajah puteri yang sedang beradu dengan nyenyak sekali. Keredupan sinar
penerangan dalam ruang itu serasa terpancar oleh cahaya wajah sang puteri yang gilang gemilang.
Kecan jkan sang dyah ayu makin cemerlang dalam keredupan cahaya penerangan. "Ah," orang itu
meneguk liur. Keringatpun mulai membuncah dahinya. Dalam sepanjang hidupnya, belum pernah
dia melihat seorang puteri secantik puteri Tribuana yang sedang beradu itu. Betapapun dia seorang
pria dan sifat kipriaannyapun mulai berombak-ombak "Apa ar hidup seorang pria apabila tak
dapat mempersunting sang ayu yang diidam-idamkannya," mulai hati lelakinya menuntut.
"Jagad akan gelap ada sinar sang surya. Dan jagad ha kupun akan suram apabila ada surya
sang puteri itu," ia tetap melanjut dalam lamunan yang nggi. Se nggi bintang Kar ka memancar
di angkasa malam. "Tok, tok, tok, tokek .... tokek .... " ba2 lamunannya berhamburan lenyap ke ka terdengar suara
tokek mendengkung dipohon halaman. Dan kesadarannyapun kembali.
"Ah, berbahaya," desuhnya dalam ha "apa yang guru wejangkan memang benar. Dalam
melakukan suatu tugas kewajiban janganlah pikiran mendua dan bercabang. Terutama
berpantanglah untuk menghadapi godaan wanita cantik"
Ia menghela napas. Lalu melanjutkan langkah. Namun sejenak ia masih menyempatkan mata
untuk memandang wajah sang dyah ayu. Setelah itu dia terus loncat keluar jendela, menutupnya
pula dan melompati dinding tembok terus menuju ke lorong dekat tembok keraton.
Tiba2 ia berhen pada sebatang pohon brahmastana. Sejenak ia menimang-nimang "Hm, jika
kuserahkan benda pusaka ini kepada gus pa h, dakkah akan menimbulkan akibat yang tak
diinginkan. Kudengar gusti patih itu seorang yang licin dan berhati tak jujur"
Ia merenung lebih lanjut. Bagaimanakah akan dibawanya cermin pusaka itu. Tiba2 ia mendapat
pikiran "Ah, benar, ya, lebih baik begitu," wajahnya cerah seke ka dan makin berseri ke ka ia
makin menemukan suatu manfaat lebih bagus dalam tindakannya itu.
Segera ia membungkuk, mengeluarkan pisau dan menggali liang dibawah akar pohon itu.
Kemudian dia membungkus cermin itu dengan secarik kain lalu dimasukkan dalam liang. Setelah
ditutup, dia masih bersemedhi mengucapkan mantra.
Selesai menyembunyikan cermin diapun lalu menggunakan akar pohon brahmastana yang
bergelantung menjulai, ayunkan tubuh keatas tembok keraton, kemudian baru ia melayang turun.
Dengan menghembus napas longgar dia segera melanjutkan perjalanan "Benar2 berbahaya
tetapi sungguh berharga sekali. Ya, aku pasti dapat melaksanakan rencana itu"
Saat itu masih gelap. Ke ka ba disebuah lorong gelap, sekonyong-konyong ia melihat beberapa
gunduk benda hitam menghadang ditengah jalan. Empat sosok tubuh manusia.
"Celaka, adakah jejaknya telah diketahui penjaga" " diam2 ia mengeluh. Namun karena sudah
terlanjur diketahui mereka, sukar baginya untuk melarikan diri "hm, hanya empat orang. Rasanya
aku masih dapat mengatasi," diam2 pula ia membenahi kesanggupan dirinya.
Makin dekat makin jelas bahwa gunduk2 hitam itu adalah empat orang lelaki. Mereka siap
dengan senjata ditangan masing". Lebih kurang empat langkah dari mereka, dia berhenti.
"Ho, penjahat, serahkan dirimu! " tiba2 salah seorang dari keempat penghadang itu berseru.
"Siapa kalian! " sahut orang itu.
"Kami adalah prajurit2 ronda keamanan keraton."
"Aku bukan penjahat, aku sedang berjalan pulang," bantah orang itu.
"Tidak usah banyak mulut! Bukankah engkau telah melompa tembok keraton dan masuk
kedalam keraton !" Orang itu terkejut. Menurut peneli an pandang matanya, ia yakin bahwa ada seorang
penjagapun yang mengetahui ndakannya. Iapun telah melepaskan aji penyirapan yang sak
sehingga para penjaga dan dayang2 keputren jatuh pulas semua. Tetapi mengapa keempat orang
itu dapat mengetahui semua langkahnya" Mengapa mereka tak terkena pengaruh aji penyirapan
itu " "Jika aji penyirapan yang kulepaskan itu memang tak mengembang daya-kesak annya, masakan
semua penghuni keraton dan keputren tak ada yang bersuara" Namun kalau aji penyirapanku itu
memang berkembang, mengapa pula keempat orang ini masih segar dan tahu semua perbuatanku
?" pikirnya lebih lanjut.
"Apa engkau tuli !" ba2 salah seorang penghadang yang tadi, membentak pula "hayo lekas
serahkan dirimu. Daripada engkau melawan dan tetap ma , lebih baik engkau serahkan diri saja
kami bawa kepada gusti menggung Bandupoyo !"
Mendengar penghadang itu menyebut nama tumenggung Bandupoyo, mulailah orang itu
cenderung menduga bahwa keempat orang itu adalah anakbuah tumenggung Bandupoyo, mungkin
anggauta prajurit bhayangkara keraton "Tetapi prajurit yang dua tadipun jatuh dur karena aji
penyirapanku, mengapa keempat orang ini tidak mempan" " ia heran.
"Hai, jika engkau diam saja, terpaksa kami akan ber ndak dengan kekerasan," seru prajurit itu
pula. "Telah kukatakan," jawab orang itu "aku bukan penjahat dan akupun tak pernah melompa
tembok masuk kedalam keraton. Aku hendak pulang"
"Tangkap," teriak prajurit itu memberi perintah dan mereka berempatpun segera menyerbu.
Namun orang itu sudah siap. Setelah loncat menghindar ke samping dia balas menghantam.
"Auh," seorang penyerangnya mengaduh dan terbungkuk-bungkuk karena pinggangnya termakan
tinju orang itu. Terdengar pula erang kesakitan ke ka kaki orang itu mendarat di perut lawannya yang lain.
Disusul pula orang ke ga yang ditebas lehernya dengan pangkal telapak tangan. Melihat kawannya
rubuh, orang yang keempat segera kabur.
"Hm, kus- kus mau mengganggu harimau," orang itu mendengus. Setelah melontarkan
pandang ke-arah ketiga lawan yang menggeletak di tanah, diapun lanjutkan langkah pula.
Suasana di jalan yang diusik perkelahian seru, kembali tenang lagi. Yang ter nggal hanya ga
sosok tubuh bergelimpangan di tanah. Tak berapa lama beberapa sosok tubuh berlari mendatangi
"Itu ke ga kawan kita yang roboh, serbu! " teriak salah seorang seraya lari mendahului dengan
sikap garang. Ia membolang-balingkan pedang kian kemari seolah sedang bertempur.
"Hai, Pujut, siapa yang engkau serang" " teriak salah seorang rombongan itu "jelas tak ada orang,
mengapa engkau memainkan pedangmu sedemikian kalang kabut?"
"Mengapa tidak engkau lakukan ketika orang itu masih disini" " seru lain kawan pula.
"Siapa bilang! " teriak Pujut "akupun telah menghantamnya kalang kabut!"
"Dan hasilnya ketiga kawanmu roboh," sambut orang itu pula.
"Justeru itulah," Pujut tak mau kalah "kalau aku tak gagah perkasa, akupun tentu sudah
menggeletak disitu" "O, engkau maksudkan engkau dapat mengalahkan orang itu?"
"Bukan," jawab Pujut "tetapi sekurang-kurangnya akulah yang dapat mempertahankan diri tak
sampai roboh" "O, bagus Pujut," seru orang itu pula "engkau boleh menghaturkan laporan kehadapan raden
Panglulut. Dia tentu akan memberimu hadiah atas kegagahanmu"
Pujut menyeringai. "Benar, Pujut, jangan lupa kepada kami kaiau engkau menerima hadiah dari raden karena engkau
berhasil menunaikan tugasmu," seru seorang kawan lain.
Wajah Pujut tampak pucat. Ia dan ke ga kawannya telah mendapat tugas dari raden Kuda
Panglulut untuk mencegat perjalanan orang yang masuk kedalam keraton tadi. Dia orang baru,
harus diuji kesaktiannya, kata raden Panglulut.
"Dan yang pen ng, rampaslah benda yang dicurinya dari keraton itu. Kalau dia melawan, bunuh
saja," kata Kuda Panglulut.
"Tetapi raden," salah seorang dari keempat pengalasan yang diberi tugas itu memberanikan diri
bertanya "tidakkah hal itu akan membuat gusti patih murka?"
"Ah, dak," Kuda Panglulut memberi kepas an "rama pa h tentu dak tahu. Oleh karena itu
ingat baik2, jangan kalian mengatakan perintahku ini kepada siapapun juga. Dan andaikata salah
seorang dari kalian tertangkap, jangan sekali kali mengaku tentang diri kalian dan tentang siapa
yang memberi perintah. Jangan kuatir, aku tentu akan berusaha untuk menolongmu. Mengerti?"
Keempat pengalasan itupun mengiakan. Pada malam itu mereka menunggu ditepi jalan yang
dipas kan akan dilalui orang itu. Tetapi mereka tak menyangka bahwa orang baru dari pa h
Aragani itu ternyata amat sakti, terlalu tangguh bagi mereka sehingga mereka menggeletak pingsan.
"Jangan berolok-olok, kawan," seru Pujut "kami bereempat telah menunaikan segenap
kemampuan kami, tetapi orang itu memang sakti sekali"
"Engkau mengakui kekalahanmu ?"
"Ah, sudahlah, jangan terus mengolok. Tolonglah kalian memberi petunjuk bagaimana nan aku
harus menghadapi raden Panglulut"
"Katakan saja terus terang apa yang terjadi. Kemungkinan raden akan merasa kalau salah
memperhitungkan kekuatan orang itu"
"Benar, seharusnya disiapkan sepuluh orang untuk menyergap orang itu," demikian mereka
berbincang-bincang sambil menggotong ke ga kawannya yang cidera itu. Mereka menuju ke
sebuah candi tua yang terletak diluar pura.
"Bagaimana ....," seorang pemuda bertampang cakap menyambut kedatangan mereka. Tetapi
belum selesai ia mengucap pertanyaan, kata-katanya harus ditelan kembali karena menyaksikan
Pujut dan kawan-kawannya menggotong tiga orang lelaki.
"Hamba mohon ampun, raden," serta merta Pujut berdatang sembah "ke ga kawan hamba
rubuh dan orang itu ... ."
"Lolos" " cepat pemuda yang disebut raden itu menukas.
"Ampun raden," kata Pujut pula "orang itu terlampau sakti bagi hamba berempat"
"Goblok! " bentak raden itu "masakan kamu berempat dengan senjata lengkap tak mampu
meringkus seorang saja?"
"Hamba berempat telah mengerahkan seluruh kemampuan namun tetap tak mampu
mengalahkannya" "Prajurit! " tiba2 raden itu berteriak.
"Hamba, raden" seorang lelaki tegap maju ke hadapan raden itu.
"Bawa mereka keluar dan cambuk sepuluh kali!" Prajurit yang diperintah itu terbeliak "Baik,
raden. Tetapi yang tiga masih belum sadarkan diri"
"Bawa mereka keluar. Tunggu setelah mereka sadar, baru laksanakan hukuman cambuk itu"
Prajurit itu segera membawa Pujut dan ke ga kawannya keluar. Beberapa prajurit yang masih
menghadap raden itu tampak menggigil dalam hati dan memandang gerak-gerik raden itu.
"Kalian ingat baik2. Untuk setiap perintah, aku hanya memberikan dua macam imbalan.
Hukuman atau ganjaran"
Sekalian anakbuah mengiakan. Kemudian mereka diperintahkan keluar.
"Hm, masih ada kesempatan," kata pemuda itu yang tak lain adalah Kuda Panglulut.
Kemudian ia masih termenung-menung memikirkan peristiwa itu. Jika empat orang pengalasan
tak sanggup mengalahkannya, jelas orang itu tentu sakti. Menurut rama patih, orang itu
bernama Kuti, pernah menjabat sebagai bekel prajurit di Wengker. Dia ke Singasari karena
hendak memasuki sayembara pemilihan senopati. Rama menaruh harapan besar kepada orang
itu. Aneh, mengapa tidak diriku saja" Mengapa rama tak menyetujui maksudku untuk ikut serta
dalam sayembara itu?"
Ia meneliti apa sebenarnya dibalik dari keberatan rama mentuanya itu jika ia memasuki
sayembara" Adakah rama kuatir aku dapat mencapai pangkat senopati" Mungkin, pikirnya.
Tetapi pada lain renungan ia merasa bahwa selama ini rama mentuanya itu telah
memperlakukan baik sekali kepadanya. Bahkan tak beda seperti puteranya sendiri. Adakah
sikap itu sesuai dengan isi hatinya pabila rama mentuanya itu benar2 mengandung pikiran yang
kurang layak. Ah, tentulah tidak demikian pikiran rama. Mungkin rama menguatirkan
keselamatanku saja. Akhirnya ia merangkai kesimpulan.
Demikian dia lalu mengajak anakbuahnya melanjutkan perjalanan. Atas usul pa h Aragani maka
dia telah diangkat menjadi kepala keamanan pura Singasari sebagai pembantu dari pa h Kebo
Arema. Malam itu sebenarnya dia sedang memimpin anakbuahnya untuk melakukan ronda. Tetapi
ba2 mbul pikirannya atas peris wa siang tadi. Pa h Aragani hendak menguji keberanian dan
kesak an Ku dengan menitahkannya supaya memasuki keputren dan mengambil benda apa saja
milik puteri yang berharga.
Kuda Panglulut ba2 saja ingin menyergap Ku dan merampas benda dari keputren itu. Maka dia
memerintahkan Pujut dan ga orang prajurit untuk melakukan penyergapan. Tetapi rencananya itu
gagal. ~dewikz~ismoyo~mch~ II Hari itu pa h Aragani gopoh menuju ke keraton. Entah apa sebabnya, baginda mengirim
pengalasan untuk memanggilnya menghadap.
Ke ka memasuki balairung, pa h Kebo Arema atau Kebo Anengah sudah menghadap baginda.
Tampak wajah seri baginda merah padam. Diam2 Aragani terkejut. Ada peris wa apakah gerangan
yang menyebabkan baginda tampak murka dan langsung menitahkannya menghadap "
"Hai, Aragani," tah baginda sembari menunjuk pa h itu "apa kerjamu selama ini" Engkau hanya
mementingkan minum tuak, tidur nyenyak sampai hari begini tinggi baru bangun!"
Patih Aragani gemetar. "Ampun gus ," serunya seraya menjelang sembah "hamba memang seorang pa h yang tolol,
goblok, malas dan gemar minum tuak. Namun hamba merasa bahwa selama ini hamba tak pernah
melalaikan pengabdian hamba kebawah duli tuanku. Apabila hamba bersalah, mohon kiranya
paduka berkenan melimpahkan titah"
Kata2 yang dirangkai penuh irama penyanjungan itu menyentuh hati baginda. Dan memang patih
Aragani tahu bagaimana harus menghadapi junjungannya itu.
"Aragani," seru baginda.
"Hamba selalu siap menjunjung segala titah paduka junjungan hamba yang mulia"
"Apakah engkau benar2 tak tahu?"
"Ah, memang Aragani bodoh dan pemalas, gus . Tetapi sungguh2 hamba tak tahu apa yang
tuanku ingin titahkan kepada hamba"
"Ah, benar2 goblok engkau, Aragani," seru baginda " dakkah pagi ini engkau mendengar
peristiwa yang menggemparkan di keraton ini?"
"Peris wa apa, gus ?" Aragani terkejut, membelalakkan matanya yang masih tersaput kekantuk-
kantukan. "Keputren telah kemasukan penjahat"
"Hai" Aragani berteriak setengah menjerit "keputren kemasukan penjahat" Ah, benar2 suatu
berita yang menggemparkan. Bukankah penjahatnya telah tertangkap?"
"Hm, jika tertangkap, takkan ku tahkan engkau menghadap," tukas baginda " dakkah hal iiu
akan membawa nista apabila para kawula sampai mendengar?"
"Ah," Aragani mengangguk-angguk "benar, gus . Memang hal itu akan menurunkan keluhuran
keraton paduka Hamba mohon gusti melimpahkan pidana atas diri Aragani yang bodoh ini"
"Tetapi bukankah engkau sedang tidur nyenyak ketika peristiwa iiu berlangsung.?"
"Itulah gusti, dosa hamba"
"Tetapi engkau tidak bertugas mengurusi pasukan bhayangkara. Engkau patih yang
kutugaskan untuk mengurus ketata-prajaan keiajaan"
"Mohon diampunkan atas kelancangan hamba." Aragani berdatang sembah "sekalipun tugas
hamba bukan dibidang keprajuritan dan keamanan, namun hamba sebagai seorang pa h, tetap
merasa bertanggung jawab atas segala peris wa yang terjadi di kerajaan paduka. Apalagi peris wa
itu terjadi dalam keraton, dakkah hamba merasa seper tertampar muka hamba" Tidakkah layak
hamba mohon pidana?"
"Gus , junjungan hamba," ba2 pa h Kebo Arema menghaturkan kata "yang bertanggung jawab
atas peris wa itu adalah hamba, bukan kakang pa h Aragani. Hamba serahkan jiwa raga hamba
kebawah duli paduka untuk menerima apapun pidana yang gusti hendak titahkan"
"Tetapi engkaupun hanya mengepalai pasukan. Sudah tentu engkau telah membagi tugas kepada
para tumenggung dan senopati untuk penjagaan keamanan dalam puri. keraton"
"Sejak terjadi peristiwa bhayangkara Mahesa Rangkah memberontak, maka penjagaan
dalam keraton paduka telah hamba susun menjadi dua lapis. Lapis luar dan lapis dalam. Lapis-
luar menjaga dan melakukan ronda keamanan di sekitar luar tembok keraton. Sementara lapis-
dalam menjaga keamanan puri-dalam. Lapisan luar hamba serahkan kepada demung Mapanji
Wipaksa. Sedang lapis-dalam hamba serahkan kepada tumenggung Bandupoyo. Namun
hambalah yang bertanggung penuh atas segala peristiwa yang mengganggu keamanan pura
kerajaan. Oleh karena itu hambalah yang harus menerima pidana paduka, gusti"
Baginda Kertanagara terhening. Ia tahu bahwa pa h Kebo Arema itu seorang senopa yang
gagah perkasa dan setya kepada kerajaan. Dan jelas bahwa pada malam terjadinya peris wa itu,
Kebo Arema tentu dak selalu berada di keraton karena tugasnya yang utama yalah mengepalai
seluruh pasukan Singasari. Soal penjagaan keamanan memang cukup diserahkan kepada beberapa
pembantunya yang cakap. "Hamba rasa, gus ," kembali pa h Aragani berdatang sembah "kurang adil ucapan adi pa h
Arema itu. Kesalahan itu bukan semata-mata tanggung jawab adi pa h Arema, pun juga hamba
ikut bertanggung jawab. Oleh karena itu gus hamba mohon gus juga melimpahkan pidana
kepada diri hamba" Setelah meletuskan kemurkaan, longgarlah dada baginda. Setelah mendengar kedua pa h itu
sama2 memohon pidana, makin redalah kemurkaan baginda. Memang perangai baginda agak aneh.
Apabila yang bersalah berani membantah dan menyangkal, maka baginda makin
mencengkeramnya dengan pertanyaan2 tajam dan akhirnya mencekik dengan pidana yang berat.
Demikian yang terjadi dengan patih empu Raganata, tumenggung Wirakreti dan demung
Wiraraja atau Banyak Wide. Mereka berani menentang maksud baginda untuk mengirimkan
pasukan Singasari ke Malayu. Baginda murka dan melorot kedudukan mereka, disingkirkan dari
pura kerajaan. Maklum, tokoh2 tua seperti empu Raganata memang tak pandai bermain lidah.
Apa yang dipandangnya putih, patih sepuh itu tetap mengatakan putih. Walaupun karena
mengatakan yang sebenarnya itu dia harus kehilangan kedudukan.
"Periksalah siapa pimpinan bhayangkara yang malam itu bertugas meronda keraton dan berilah
dia pidana sesuai dengan kesalahannya," titah baginda.
"Tetapi gusti, hambalah ...."
"Kebo Arema !" titah baginda agak keras "engkau berani membantah titahku ?"
Serta merta patih Kebo Arema mengunjuk sembah
"Tidak sekali Kebo Arema berani menyangkal titah paduka, gusti"
"Jika begitu, lakukan apa yang ku tahkan," ujar baginda "sementara engkau, sesuai dengan
permintaanmu tadi, pun akan kujatuhi pidana. Kerahkan segenap anakbuahmu untuk mencari
benda yang hilang itu sampai ketemu. Dan tangkaplah penjahatnya"
"Mana-mana tah paduka, pas akan hamba junjung dengan khidmat " sembah pa h Kebo


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arema "namun apabila paduka berkenan menerima persembahan permohonan hamba, sudi
apalah kiranya paduka berkenan menitahkan tentang bentuk benda yang telah dicuri oleh
penjahat itu" "O, benar, aku lupa," ujar baginda "justeru benda itulah yang amat meresahkan hatiku, patih.
Jika dapat kubeli, tentu akan kutitahkan untuk membelinya lagi, betapa mahalpun harganya.
Jika benda itu terdipat dibilangan bumi Singasari, tentu akan kutitahkan orang untuk
mengambilnya, betapa jauhpun daerah itu. Atau jika dimiliki oleh lain kerajaan, tentu akan
kukirim utusan untuk memintanya, betapa permintaan itu harus berhadapan dengan rintangan
dan penolakan" "Ah," pa h Kebo Arema mendesah. Ia menduga benda itu tentu sebuah pusaka yang tak tertara
nilainya. Mungkinkah pusaka kerajaan" Ah, tetapi benda itu berasal dari keputren, tentulah milik
salah seorang puteri baginda. Pikirnya.
"Dan sungguh menggeramkan sekali bahwa benda itu adalah milik Tribuana," ujar baginda pula.
"Ah, tentulah perhiasan yang amat disayangi gus puteri sang dyah ayu Tribuana," seru pa h
Kebo Arema. "Ya. memang menjadi kesayangan dyah Tribuana. Tetapi bukan perhiasan yang bertatahkan
intan bahaduri atau ratna mutu manikam, melainkan sebuah kaca cermin"
"Ah " desah yang bernada kejut meletup dari mulut patih Kebo Arema "sebuah cermin?"
"Ya, memang hanya sebuah cermin tetapi bukan sembarang cermin. Cermin pusaka yang ada
keduanya di jagad raya ini," ujar baginda "cermin itu adalah persembahan dari utusan maharaja
Kubilai Khan dari negeri Cina, ke ka beberapa tahun yang lalu datang berkunjung ke Singasari,
sebagai tanda pertalian persahabatan"
Kebo Arema menghaturkan sembah tanpa berkata suatu apa. Ia memang pernah ingat dahulu
kerajaan Singasari menerima kunjungan utusan dari negara Cina. Waktu itu dia belum menjabat
patih. "Disebut cermin tetapi bukan terbuat daripada kaca melainkan dari batu pualam yang bening.
"Oh" "Dan bingkainya lipat tujuh sehingga merupakan tujuh lipat cermin dengan masing2
memancarkan cahaya yang berlainan, macam pelangi"
"Ah ... ." "Aku tak menger dan sukar untuk menyebut namanya. Menurut utusan itu, cermin pualam itu
disebut Tujuh warna pelangi. Ah, sukarlah nama itu, lalu kuganti menjadi Sapta- warna"
"Titah paduka sangat tepat dengan mustika itu," seru patih Kebo Arema.
"Disamping itu dia juga menghaturkan berbagai barang2 yang aneh dan indah. Aneh, si Tribuana
tak menghendaki segala intan bahaduri dan ratna mutu manikam ataupun kain2 yang indah dari
persembahan utusan Cina itu, melainkan hanya mengambil kaca cermin Sapta- warna saja"
Kebo Arema mengangguk-angguk.
"Setelah utusan meninggalkan Singasari, maka kutitahkan
keempat puteriku untuk memilih apa saja yang disenanginya. Sudah tentu sebagai puteri yang
tertua, Tribuana kuperkenankan untuk memilih lebih dulu dan dia hanya memilih itu"
"Kiranya pilihan dyah ayu gusti puteri Tribuana tentu tepat," seru patih Kebo Arema pula.
"Dan yang hilang itu tak lain adalah cermin pusaka itu. pa h!" teriak baginda dengan nada nggi
"betapa kejutku ke ka pagi tadi Tribuana menangis tersedu- sedu. Walaupun sudah dewasa tetapi
anak itu memang amat manja, masih seper anak kecil. Aku bingung pa h, melihat dia tak mau
berhenti menangis sebelum cermin itu dapat diketemukan"
Pa h Kebo Arema terkejut, bukan kepalang. Segera ia menghaturkan sembah "Perkenanlah gus ,
hamba akan segera mengerahkan anak pasukan uniuk menangkap penjahat itu"
Bagindapun memperkean-an. Setelah pa h Kebo Arema mundur dari hadapan baginda, maka
bagindapun berujar pula kepada patih Aragani " Bagaimana pen-dapatmu, paman Aragani"
"Apa yang paduka tahkan kepada adi pa h Arema memang tepat sekali, gus . Tetapi dakkah
untuk mempermudah dan mempercepat pencarian baginda memperkenankan tah lain daripada
titah yang paduka limpahkan kepada adi patih Arema tadi?"
"Maksudmu supaya menempuh cara lain disamping usaha yang dilakukan patih Arema ?"
"Demikian gusti, persembahan hamba yang picik ini"
"Apa yang dapat menuju kearah penemuan benda itu, pas akan ku tahkan untuk menempuh.
Tentunya engkau dapat mengemukakan apa saja cara lain yang berguna itu, paman"
"Maling yang masuk kedalam keputren," kata pa h Alagani "tentu seorang maling haguna,
maling yang sak . Dia tak mengambil barang2 yang berharga kecuali kaca mus ka itu, jelas tentu
mempunyai tujuan. Siapa maling itu dan apa tujuannya, masih gelap. Oleh karena itu hamba
menghaturkan persembahan, apabila gus memperkenankan, sudi apalah kiranya paduka
menitahkan para ahli nujum dan pandita yang sakti untuk memawas peristiwa aneh ini"
"Benar, paman Aragani, benar," seru baginda "ah, aku hampir lupa akan langkah itu. Ya, segera
engkau titahkan para nujum dan resi pandita untuk menghadap ke keraton"
"Mana tah paduka, pas akan hamba junjung diatas ubun2 kepala hamba, gus " pa h Aragani
memberi sembah lalu mengundurkan diri dari hadapan baginda.
Ia langsung menuju ke tempat kediaman beberapa pandita yang termasyhur pandai dan juga
memerintahkan orang untuk mengundang beberapa nujum.
Cukup le h juga pekerjaan sehari itu. Pa h Aragani masih duduk melepaskan lelah di pendapa
gedung kediamannya. Ia masih merenungkan peris wa pagi tadi sebelum menerima tah baginda
untuk menghadap ke keraton. Pagi tadi ia menerima kedatangan Ku yang melaporkan tentang
hasil usahanya masuk kedalam puri keputren.
"Banarkah itu" " Aragani agak terkejut. Dia masih meragu.
"Benar gus pa h," kata Ku "hamba telah berhasil masuk kedalam keputren dan menyelundup
ke keraton kediaman sang puteri"
"Puteri yang mana" " tegur Aragani.
"Sang dyah ayu puteri Tribuana," dikala mengucapkan nama puteri itu tampak mata Ku
bercahaya terang. "Puteri Tribuana, katamu?" Aragani menegas.
"Demikian gusti " kata Kuti.
"Adakah para prajurit penjaga tak mengetahui jejakmu" Penjagaan dalam keraton terutama
keputren, amat ketat sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menerobos penjagaan mereka?"
Ku menghaturkan hormat "Memang tak kurang2 prajurit bhayangkara yang bertugas menjaga
keamanan puri keraton, mengadakan ronda dan penjagaan. Rasanya lalatpun sukar untuk lolos
dari pagar penjagaan mereka. Tetapi berkat restu paduka, gus , hamba berhasil dapat memasuki
puri" "Dan berhasil mencuri mustika tuan puteri?"
"Demikian gusti"
"Ah" Aragani mendesah. Kedua mata yang masih berkabut kantuk dibelalakkan memandang
kepada Kuti "tidakkah engkau membual, Kuti?"
"Ah, bagaimana hamba berani membual dihadapan paduka," sahut Ku "demi Dewata Agung,
hamba memang benar telah memasuki keraton kediaman tuanku puteri Tribuana"
"Dengan ilmu apakah engkau dapat melaksanakan hal itu?"
"Hamba menggunakan ilmu aji penyirapan sehingga para penjaga dan seluruh penghuni keraton
terlena dalam kenyenyakan"
"Ah, sak benar engkau anak muda" seru Aragani memuji "dari manakah engkau peroleh ilmu
kesaktian itu?" "Dari guru hamba, gus , yang kini sudah wafat" Aragani mengangguk-angguk. Dengan jawaban
Kuti itu, tak perlulah ia mendesak lebih jauh siapa guru pemuda itu.
"Ku " katanya sesaat kemudian "apakah yang telah engkau peroleh dari keraton kediaman sang
puteri?" "Untuk melaksanakan tah paduka agar hamba mengambil barang yang paling berharga milik
tuanku puteri sang ayu Tribuana, maka hamha telah menyelidiki dulu, apa milik tuan puteri yang
paling berharga itu. Kebetulan dari seorang kenalan hamba, hamba mendapat keterangan bahwa
tuan puteri memiliki sebuah kaca cermin pusaka yang ada tara nilainya. Cermin persembahan
utusan raja Cina kepada baginda Kertanagara yang kemudian dianugerahkan kepada tuan puteri
Tribuana" "O, dan engkau mengambil cermin itu?"
"Benar, gusti," sembah Kuti pula.
"Bagus," seru Aragani "manakah sekarang benda itu?"
"Gus , hamba mohon ampun apabila hamba ber ndak salah" kata Ku "tetapi hamba benar2
kua r bahwa benda mus ka itu akan menimbulkan akibat yang tak diinginkan. Hamba takut untuk
menyimpan, gusti" "Engkau dapat menghaturkan benda itu kepadaku"
Ku menghela napas "Ah, memang hamba bodoh benar, mengapa tak sampai pada pemikiran
itu. Tetapi hamba kua r gus akan menolaknya. Karena hamba ingat bahwa gus tak menitahkan
hamba untuk menyerahkan barang itu kehadapan gusti maka hamba takut gusti akan menolak"
"O, tidak engkau bawa benda itu" " Aragani menegas.
"Hamba benar takut paduka tak berkenan menerima barang itu karena jelas barang itu
merupakan benda kesayangan tuan puteri Tribuana. Kehilangan akan barang yang disayanginya
pas akan menimbulkan kegemparan besar di keraton. Jika barang itu di tangan paduka dan
apabila sampai dapat diketahui baginda,
dakkah hamba bersalah besar karena telah
menyangkutkan paduka dalam peristiwa itu?"
"Hm " Aragani mendesuh dalam hati. Dia mengkal karena Kuti berani tak menyerahkan benda
itu kepadanya, Tetapi dua alasan yang dikemukakan Kuti tadi, memang cukup beralasan. Ia
memang tak memerintahkan Kuti untuk menyerahkan barang itu kepadanya. Bahwasanya
mengingat nilainya barang itu dan pasti akan menimbulkan kemurkaan baginda, memang
berbahaya apabila dia menyimpan barang itu. Walaupun tak puas tetapi Aragani harus merasa
puas juga. "Dimanakah engkau simpan kaca mustika itu ?" tanyanya sesaat pula.
"Telah hamba simpan disuatu tempat yang aman. Apabila tiba pada waktunya, pasti akan hamba
serahkan kehadapan paduka. Dan apabila paduka tak ingin terlibat dalam peris wa itu, dapatlah
benda itu hamba kembalikan lagi kedalam keraton kediaman puteri Tribuana"
"Hm, engkau pintar Ku ," Aragani memuji walaupun dalam ha mengutuk "tetapi apakah engkau
sanggup untuk melindungi benda itu?"
"Sanggup, gus pa h," kata Ku "hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba untuk melindungi
barang itu. Dan hamba berjanji takkan mempunyai hati untuk memilikinya"
Demikian percakapan Aragani dengan Ku pagi tadi. Setelah Ku minta diri, beberapa saat
kemudian datanglah pengalasan yang membawa titah baginda supaya dia menghadap ke keraton.
"Dengan mengusulkan ke hadapan baginda supaya memanggil para pandita dan nujum untuk
melihat peris wa itu, dapatlah aku menerima dua macam manfaat. Pertama, untuk membuk kan
benarkah Ku amat sak sehingga mampu menghapus daya penglihatan halus dari pada pandita
dan nujum itu. Kedua, apabila para pandita ahli nujum itu dapat mengetahui tempat
persembunyian kaca wasiat itu, Ku harus dikorbankan dan aku tetap akan mendapat kepercayaan
dari baginda atas usulku itu " diam2 Aragani merenungkan apa yang akan terjadi hari tatkala para
pandita ahli nujum menghadap baginda.
Kemudian ia beranjak dari tempat duduk untuk masuk kedalam. Pikirannya sudah longgar. Tak
perlu dia mencemaskan peristiwa itu lagi.
Se ba didalam ruang peraduan, dia menghempaskan diri diatas tempat dur "Uh," ba2
pikirannya melayang pula akan suatu hal "kiranya kata2 Ku memang benar. Kalau aku menyimpan
barang itu, apabila baginda berhasil menangkap Ku , tentulah karena dipaksa dan disiksa, Ku tak
tahan dan akan mengaku bahwa akulah yang memerintahkan dia untuk melakukan pencurian itu.
Ah, tidakkah hal itu amat berbahaya ?"
Bagi Aragani, se ap awan betapa pispun, tetap membayangi langit ha nya. Kemungkinan
mbulnya bahaya akan tertangkapnya Ku , tetap membayangi ketenangan pikirannya. Ia
memikirkan dan merenungkannya. Mencari cara untuk menghapus bahaya itu.
"Hm, lelatu itu akan menjadi api yang menyala besar apabila tak dikuasai," katanya dalam ha
"tak kusangka bahwa Ku akan berani ber ndak mengambil barang yang jelas tentu akan
menimbulkan kehebohan besar dan kemurkaan baginda. Baiklah kutempuh dua macam cara.
Pertama, akan kuikat Ku dengan kepercayaan dan budi kebaikan sehingga dia merasa terikat budi.
Apabila tertangkappun dia tetap tak mau melibatkan diriku. Namun andaikata gagal, terpaksa akan
kuatur siasat untuk melenyapkan pemuda itu"
Sementara itu pa h Kebo Aremapun segera ber ndak. Ia menemui tumenggung Bandupoyo
untuk merundingkan hal itu.
"Memang luar biasa sekali, kakang pa h," kata tumenggung Bandupoyo "bahwa peris wa itu
dapat terjadi. Pada hal tak pernah penjagaan di puri keraton kulonggari. Walaupun banyak
pasukan Singasari yang berangkat ke Malayu sehingga pura kerajaan seolah berkurang
kekuatannya, tetapi aku tetap berkeras pada pendirian, bahwa pasukan bhayangkara yang menjaga
keraton tak boleh dikurangi seorangpun jua"
"Benar, Bandupoyo," kata patih Kebo Arema "lalu bagaimana tanggapan baginda?"
"Syukur baginda berkenan menerima permohonanku walaupun aku harus menderita ujian2
pertanyaan tajam yang dilimpahkan baginda untuk mengetahui adakah aku memang penganut dari
empu Raganata" "O," pa h Kebo Arema agak terkejut karena baginda masih belum melepaskan kemurkaannya
terhadap empu Raganata, walaupun pa h sepuh itu telah dipecat dan dipindah ke Tumapel
sebagai dharmadhyaksa. "Untunglah baginda mau percaya," kata Bandupoyo "bahwa permohonanku itu hanya semata-
mata berdasar atas tanggung jawab tugasku sebagai penjaga keamanan pura keraton"
"Syukurlah, adi," kata pa h Kebo Arema "betapapun aku tak rela apabila pimpinan pasukan
bhayangkara keraton harus jatuh ke lain tangan. Ingat, kita harus rela mengorbankan perasaan,
demi menjaga agar baginda dak terjerumus lebih lanjut dalam pelukan pengaruh orang yang tak
jujur" "Tetapi kakang pa h," sanggah Bandupoyo "peris wa yang terjadi itu benar2 menghancurkan
diriku. Tidakkah hal itu akan mengurangkan kepercayaan baginda terhadap diriku?"
Pa h Kebo Aremapun lalu menuturkan pembicaraan yang berlangsung ke ka menghadap
baginda "Aku berkeras untuk memohon pidana dari baginda karena akulah yang bertanggung
jawab atas peristiwa itu"
"Ah, mengapa kakang pa h harus ber ndak demikian" Sudah tentu akulah yang bertanggung
jawab akan peristiwa itu"
"Tidak, adi. Aku kepala seluruh pasukan Singasari yang bertanggung jawab pula atas semua
keamanan di kerajaan Singasari. Peris wa itu merupakan suatu tamparan bagi nama pasukan
Singasari" "Ah, terima kasih, kakang pa h," terharu tumenggung Bandupoyo menerima pernyataan dari
seorang pimpinannya yang penuh tanggung jawab "lalu bagaimana titah baginda"
"Baginda membebankan peris wa ini ke bahu kita. Pencuri itu harus ditangkap dan milik gus
puteri Tribuana yang hilang itu harus diketemukan"
"Baik kakang pa h," jawab tumenggung Bandupoyo dengan tekad yang menyala "aku akan
berusaha sekuat kemampuanku untuk membekuk penjahat itu"
"Pertama," kata pa h Kebo Arema "kerahkan prajurit untuk memeriksa se ap rumah rakyat.
Apabila melihat sesuatu yang mencurigakan, harus lekas ditangkap"
Tumenggung Bandupoyo tak menjawab melainkan mengangguk pelahan.
"Dan kedua, penjagaan pintu pura harus diperkeras Se ap orang yang keluar masuk pura harus
diperiksa dengan teli ," kata pa h Kebo Arema. Menatap wajah tumenggung kepala bhayangkara-
dalam dan pengawal pendamping baginda itu ia bertanya "bagai-mana pendapat adi menggung
mengenai langkah yang kuambil itu?"
"Pada dasarnya memang bagus. Menunjukkan suatu ndakan yang serentak ke arah tujuan,"
kata tumenggung Bandupoyo "tetapi cara2 itu kurasa terlalu keras"
"Terlalu keras" Apa maksudmu" Bukankah peris wa itu perlu harus ditangani dengan ndakan
yang keras, adi ?" Tumenggung Bandupoyo menghela napas.
"Bermula karena dirangsang oleh ha yang panas, kurasakan ndakan kakang pa h itu memang
tepat. Tetapi setelah kurenungkan dengan per mbangan yang lebih dingin, alangkah baiknya jika
kita menghindari tindakan itu"
Pa h Kebo Arema terkesiap. Heran dan terkejut. Bukankah sesungguhnya Bandupoyo itu yang
harus memikul tanggung jawab atas peris wa itu " Ia sengaja tak mau menceritakan tentang tah
baginda supaya menangkap yang bertugas pada malam itu, karena kua r akan menyinggung
perasaan Bandupoyo. Tetapi mengapa Bandupoyo bahkan tak menyetujui ndakan mengerahkan
seluruh anak pasukan untuk menyelesaikan peris wa itu secara tuntas" Tidakkah aneh sikap
Bandupoyo itu " "O, tetapi apa alasan adi tak menyetujui hal itu" Atau adi mungkin mempunyai lain rencana yang
lebih baik?" katanya.
"Kakang patih," tumenggung Bandupoyo membawakan keterangannya dalam nada tenang
"pertama-tama, idinkanlah aku mengajak kakang patih untuk meninjau peristiwa itu. Dalam hal
ini, kita dihadapkan dengan dua hal yang menuntut penilaian kita. Pertama, siapakah penjahat
itu" Kedua, mengapa dia tahu betul akan cermin wasiat dari tuan puteri. Jawaban2 yang kita
temukan dalam penilaian kita, walaupun tidak seluruhnya benar, tetapi akan mampu menjadi
pegangan bagi langkah kita untuk menangkapnya"
Kembali pa h Kebo Arema terkesiap. Diam2 ia merasa agak malu ha karena melontarkan
tafsiran yang tidak tepat pada diri Bandupoyo.
"Engkau benar, adi. Memang pikiran kita sering dirangsang oleh kemarahan sehingga tercemar
kejernihannya. Dengan mengajukan kedua pertanyaan tadi, kurasa adi tentu sudah memiliki
penilaian2, bukan?" "Sudah, kakang pa h. Tetapi aku masih kua r penilaianku itu kurang tepat karena belum
kuketemukan orangnya"
"Cobalah adi menguraikannya"
"Baik " kata tumenggung Bandupoyo "menilik penjagaan di puri keraton sangat keras tetapi
orang itu tetap dapat masuk, jelas bahwa dia tentu seorang yang sakti. Dan menurut laporan
yang kuterima, malam itu ada dua orang prajurit yang sedang meronda, tiba2 merasa ingin
tidur. Bahkan salah seorang tak kuat lagi menahan rasa kantuk terus terkulai. Kemudian
kawannya karena hendak membangunkan, menggigit telinga orang itu. Akibatnya terjadi saiah
faham, keduanya saling berhantam. Juga penjaga2 di puri keputren pada malam itu terlena tidur
semua. Jelas maling itu tentu menggunakan aji penyirapan. Untuk mengetahui siapa orangnya,
kita harus meniti, siapakah dalam kalangan nara-praja dan perwira2 prajurit yang memiliki ilmu
aji penyirapan yang sedemikian sakti"
"O, engkau mencurigai bahwa pencuri itu tentu dilakukan oleh orang dalam, orang kita sendiri ?"
"Ya," sahut Bandupoyo "hal itu kukaitkan dengan pertanyaan yang kedua. Mengapa dia tahu
dengan tepat bahwa gus puteri memiliki kaca mus ka itu " Apabila bukan orang dalam
pemerintahan kerajaan, mustahil kiranya dapat mengetahui hal itu " Menilik bahwa seolah
penjahat itu dapat langsung menuju pada sasarannya, jelas bahwa orang itu tentu terdapat di
kalangan narapraja atau senopati yang berhubungan dekat dengan keraton"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah " patih Kebo Arema mendesah kejut "kiranya memadai sekali uraianmu itu, adi"
"Oleh karena itu, terpaksa aku harus menaruh kekua ran apabila kakang pa h hendak
menindakkan penggeledahan pada ap2 rumah penduduk. Pertama, dapat meresahkan para
kawula. Kedua, peris wa di keraton itu pas akan tersiar luas yang akan membawa akibat luas
pula. Antara lain, suatu tamparan keras bagi nama baik pasukan bhayangkara keraton. Memberi
kesan pada musuh2 kerajaan Singasari yang tersembunyi untuk menarik kesimpulan bahwa
penjagaan keraton Singasari lemah, bahwa kekuatan pasukan Singasari sudah merosot sehingga tak
mampu menjaga seorang penjahat menyelundup ke dalam keraton. Dan setelah mempunyai
kesimpulan, bukan mustahil kalau musuh2 Singasari itu akan mulai bergerak"
Patih Kebo Arema membelalak. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, tumenggung
Bandupoyo sudah menambah kata katanya pula "Dan tak lepas pula mereka yang tak setuju
akan mencemoh baginda bahwa tindakan baginda untuk mengerahkan pasukan yang besar ke
Malayu itu, ternyata memang meringkihkan kekuatan dalam kerajaan Singasari. Dalam hal ini,
aku, kakang patih dan baginda tentu akan menerima cemohan dan hinaan dari mereka"
"Ah " desah pa h Kebo Arema seraya geleng2 kepala "benar2 luas sekali pemikiranmu hingga
dapat mencangkum hal2 yang sedemikian jauh, adi. Ya, memang kuakui pandanganmu itu baik
sekali. Lalu bagaimana pendapatmu akan langkah kita?"
"Ada dua jalan, kakang pa h," sambut tumenggung Bandupoyo "pertama, kita tetap melakukan
rencana kakang pa h tadi, yani melakukan penggeledahan secara serempak. Tetapi janganlah
semata-mata hanya menggeledah rumah2 para kawula, pun para mentri, senopa dan segenap
narapraja yang berada di pura ini. Dengan begitu dapatlah kita melakukan penjaringan yang
menyeluruh" "Yang kedua?" "Kita lakukan penyelidikan secara diam2 pada beberapa orang yang kita curigai. Jangan menyiak
semak sehingga si ular akan melarikan diri. Tetapi biarlah keadaan tetap seper biasa sehingga
orang itu tak menyangka bahwa sebenarnya kita sudah bergerak untuk menyelidikinya"
Patih Kebo Arema mengangguk" Ya, baiklah. Kurasa lebih dulu kita mengambil jalan yang
kedua itu. Tetapi dalam hal itu, terus terang saja, aku tak memiliki dugaan2 terhadap orang2
tertentu. Sanggupkah engkau melakukannya, adi?"
"Baik, kakang pa h. Aku bersedia untuk melakukan penyelidikan itu. Tetapi akupun hendak
mohon kepada kakang patih"
"O, katakanlah"
"Selama mencurahkan diri untuk hal itu, sudah tentu aku tak dapat menunaikan kewajiban
tugasku sebagai kepala bhayangkara. Dalam hal ini ... ."
"Baik, adi, akulah yang akan mengambil alih tugasmu termasuk menjadi pengawal-pendamping
baginda. Agar engkau mendapat kesempatan cukup untuk melaksanakan penyelidikanmu"
"Tetapi bagaimanakah baginda, kakang patih?"
"Aku dapat menghaturkan alasan bahwa engkau sedang melakukan tugas menyelidiki penjahat
itu. Baginda tentu mengabulkan"
Demikian setelah cukup lama kedua nara praja itu berbincang- bincang, pa h Kebo Arema segera
pulang. Sementara tumenggung Bandupoyo masih duduk termenung-menung ditempat
kediamannya. Ia mulai mempertegas rangkaian dugaan dari orang yang dicurigainya.
"Pa h Aragani dan putera menantunya raden Kuda Panglulut, layak untuk kuselidiki. Walaupun
bukan pa h itu yang melakukan tetapi dia dapat menggunakan tenaga orang lain untuk
mengeruhkan suasana keraton," pikirnya. Dan pemikiran itu didasarkan bahwa hanya pa h
Araganilah satu- satunya menteri yang ap hari masuk keluar keraton, berhubungan rapat dengan
baginda. Orangnya licik, licin, penuh nafsu keinginan untuk meraih kekuasaan.
"Juga para dayang keputren itu patut diperiksa. Mungkin secara sengaja atau tak sengaja
mereka pernah memberi keterangan kepada seseorang tentang kaca wasiat milik sang puteri.
Bahkan mungkin merekapun bersekutu dengan penjahat itu karena akan mendapat ganjaran
besar." Ia melepaskan pikirannya setelah merangkai rencana. Tiba2, ia teringat akan sayembara
yang akan berlangsung dalam beberapa hari lagi.
Sayembara itu dimaksud untuk memilih seorang ksatrya yang digdaya, yang mampu menjadi
penindih dari calon2 yang lain. Dari ksatrya itu diharap akan tercipta seorang senopa penindih
yuda. Sebagai seorang penindih yuda atau pemenang dalam peperangan, dia harus sak dan
digdaya. Tetapi syarat itupun masih belum cukup. Dia harus benar2 menjadi seorang penindih,
seorang yang dapat menindih atau mengatasi, bukan melainkan musuh, pun juga anak pasukannya
yang dibawahi. Dengan demikian dia harus memiliki kewibawaan dan pengaruh terhadap yang
dipimpinnya. Untuk menanam pengaruh dan menimbulkan kewibawaan pada anak pasukannya, seorang
senopa harus memiliki beberapa syarat kepemimpinan. Bertanggung jawab, berani ber ndak
tegas, bijaksana dan menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.
Bertanggung jawab, merupakan nilai dari martabat seorang pemimpin. Dia mencerminkan jiwa
dan keluhuran budi serta setya terhadap kewajibannya.
Berani ber ndak tegas, merupakan pancaran dari keberanian yang berlandas peraturan tata-
ter b dalam pasukan dan hukum yang harus ditegakkan pada persada keadilan dan kebenaran.
Berani ber ndak tegas tanpa pandang bulu, sanak kadang,, saudara ataupun kawan. Yang disuka
dan yang dibenci. Bijaksana, mencangkum suatu langkah dari per mbangan yang penuh kearifan dan keadilan,
kebenaran dan kejujuran. Menjadi contoh, merupakan suatu pengukuhan dari segala langkah dan kebijaksanaan
kepemimpinannya. Merupakan perwujutan dari satunya ucap dengan perbuatan.
Dalam merenungkan hal2 itu tertegunlah tumenggung Bandupoyo dalam renungannya "Dengan
begitu jelas, bahwa bukan hanya syarat kedigdayaan dan keperkasaan yang diperlukan sebagai
syarat pemilihan senopa nan tetapipun mencangkum syarat2 kepemimpinan yang lebih luas,"
pikirnya. Memikirkan hal2 yang bersangkutan dengan senopa maka terhanyut pula pemikiran
Bandupoyo akan keadaan kerajaan Singasari dewasa itu.
Jelas sudah bahwa sejak senopa Anabrang di tahkan baginda untuk memimpin pasukan ke
Malayu, maka kekuatan dalam kerajaanpun berkurang. Timbulnya peris wa pemecatan pa h
sepuh empu Raganata, tumenggung Wirakre dan demung Banyak Wide adalah karena persoalan
Pamalayu atau pasukan Singasari yang dikirim ke Malayu.
Baginda Kertanagara menganggap bahwa keadaan dalam negeri sudah aman dan tenang maka
balah sudah saatnya baginda hendak melaksanakan cita- citanya untuk mengembangkan
kekuasaan Singasari ke tanah Malayu dan lain2 daerah. Cita2 baginda itu merupakan pendirian
mutlak karena hanya dengan persatuan dan kesatuan seluruh daerah nusantara, maka kekuatan
akan menjadi satu. Baginda merasa was-was akan bangkitnya seorang raksasa yang bergelar
maharaja Kubilai Khan di belah buana utara. Bahwa Kubilai Khan hendak merentang pengaruh jauh
ke untaian dwipa di samudera selatan, telah diujudkan dalam kenyataannya mengirimkan utusan
ke Singasari. Dengan pengetahuannya yang nggi dalam berbagai ilmu dan masalah kenegaraan,
baginda memiliki pandangan yang tajam pahwa terancamnya pulau dan kerajaan di Malayu, akan
membawa akibat besar pada kelangsungan kerajaan Singasari. Oleh karena itu, baginda harus
mendahului bertindak untuk membendung pengaruh Kubilai Khan itu.
Demikian cita2 pendirian baginda yang dilaksanakan pada keputusannya mengirim pasukan
Pamalayu. Tidak demikian dengan patih Raganata. Ia menganggap inti kekuatan itu terletak dalam
negeri. Oleh karena itu kekuatan pasukan harus dipertahankan di pura kerajaan. Dengan
pengiriman pasukan secara besar-besaran ke Malayu, kekuatan dalam kerajaan akan ringkih.
Raganata merasa bahwa keamanan dalam kerajaan, walaupun tampak tenang dan tenteram
tetapi tidak lestari. Terutama patih itu tetap perihatin akan kabangkitan Daha. Dengan
menanam pengaruh jauh ke Malayu, kekuatan akan terpecah belah. Sukar untuk mengatasi
setiap timbulnya kemungkinan yang tak diharapkan.
"Baginda seorang raja yang bercita- cita besar dan pa h Raganata seorang mentri yang setya.
Dalam kedudukan masing2, kedua- duanya benar. Baginda hendak menggalang persatuan sebagai
landasan menuju kejayaan. Pa h Raganata memikirkan tentang keselamatan dan keamanan
kerajaan Singasari. Akibatnya, baginda murka, pemecatan dijatuhkan kepada ke ga mentri itu,"
kata Bandupoyo dalam renungannya.
"Sesungguhnya hal itu tak perlu terjadi apabila kebijaksanaan masih tetap terpancar dalam
penger an. Tetapi penger an baginda bahwa mentri2 tua dan setya seper ke ga mentri itu harus
tetap dipertahankan dalam pemerintahan Singasari, rupanya dikaburkan oleh sanjung pujian yang
dihembuskan Aragani. Sebenarnya pa h Raganatapun harus menanggapi penger an itu bahwa
ndakan baginda itu sebenarnya dalam jangka panjang, akan menjaga tegaknya kerajaan Singasari.
Kenyataan bahwa Kubilai Khan mempunyai nafsu untuk menguasai pulau2 dilaut selatan, memang
harus diperhitungkan. Dan haruslah pa h Raganata menyadari, bahwa penggan an dirinya dengan
lain orang, akan lebih menjerumuskan keadaan kerajaan Singasari yang lebih gawat. Dengan
pengertian itu, dapatlah dia mundur setapak"
"Tetapi ah" Bandupoyo menghela napas "memang tak mungkin tokoh seper pa h Raganata
akan memperkosa batinnya, akan mengatakan sesuatu yang lain dari isi hatinya. Dia setya dan jujur
walaupun dia harus kehilangan pangkat kedudukannya"
Setelah merangkai penilaian2 pada suasana Singasari pada waktu yang sudah lampau, sekarang
dan yang mendatang, tiba2 tersentaklah pikiran Bandupoyo akan penemuan yang penting.
"Segala telah terjadi. Pa h Raganata telah dipindah ke Tumapel. Tetapi jiwa dan semangat
pengabdiannya yang setya terhadap kerajaan Singasari, masih tetap bergema, meninggalkan
kumandang amanatnya. Jagalah keselamatan kerajaan Singasari, ah," Bandupoyo tersentak "bagiku
memang itu suatu amanat. Aku harus melaksanakan amanat ha nurani pa h sepuh itu."
Penemuan itu menggugah kesadaran ha Bandupoyo dan segeralah ia membenahi pemikirannya
terhadap pemilihan senopati yang akan berlangsung dalam sayembara nanti.
"Pen ng sekali ar nya sayembara itu. Karena jelas bahwa dewasa ini kerajaan membutuhkan
seorang senopa yang bukan saja digdaya, pun harus memiliki keempat syarat sebagai seorang
pemimpin pasukan. Dengan begitu, aku menghadapi tugas berat untuk memilih senopati itu"
Mengarah pada tujuan itu, serentak terbayanglah ingatan Bandupoyo pada diri pemuda Wijaya.
Ia benar2 terkesan dalam pertemuannya dengan pemuda itu "Dimanakah tempat nggal pemuda
yang mengaku bernama Jaya itu " Adakah dalam sayembara nanti dia akan ikut serta ?"
"Jika dia benar2 mau mendengar anjuranku supaya ikut sayembara itu, aku akan berusaha untuk
membantunya," pikirnya lebih lanjut "tetapi bagaimana dengan ilmu kedigdayaan yang dimilikinya
?" Tiba2 pula ia teringat akan diri Ku , saudara seperguruannya yang saat itu sudah berada di pura
Singasari "Ah, dengan ikut sertanya kakang Ku , beratlah bagi calon2 lain untuk mengharapkan
kemenangan. Kakang Ku . ... " ba2 ia terkesiap dan berhen merenung. Ada sesuatu yang
terpercik dalam ingatannya dikala membayangkan Kuti.
"Adakah ...." ia meragu dan menghen kan kata ha nya. Tetapi sesaat kemudian pikirannyapun
seolah terdampar kearah itu lagi "adakah peris wa dalam keraton itu ada sangkut pautnya dengan
kakang Kuti?" Lama dia termenung dan merenung "Hm, kalau menilik kesak an yang ditunjukkan penjahat itu,
rasanya hanya ksatrya macam Ku yang mampu melakukan. Tetapi bagaimana dia ber ndak
begitu" Apa alasannya dan mengapa dia tahu keadaan dalam puri keputren?" Timbulnya
pertanyaan itu menghen kan pelacakannya terhadap Ku . Awan kecurigaan terhadap saudara
seperguruannya itu mulai menipis. Namun bukan berarti bahwa ia melepaskan kecurigaannya.
"Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat" katanya "dalam masa itu banyaklah perobahan
hati manusia. Bahwa Kuti juga tentu mengalami perobahan diri yang besar."
Kemudian tumenggung Bandupoyo meni para ksatrya yang berada di pura kerajaan karena
hendak ikut dalam sayembara. Jumlahnya cukup banyak dan berasal diri berbagai telatah. Bahkan
ada yang dari tanah Pajajaran dan Bedulu Bali. Juga dari Daha, banyak berdatangan para muda
yang ingin masuk dalam sayembara itu.
Tumenggung Bandupoyo merasa periha n juga atas jumlah dan asal para ksatrya itu "Ah,
ternyata sayembara ini pen ng sekali ar nya bagi kerajaan Singasari. Karena sifatnya terbuka maka
sukarlah untuk meladang ksatrya dari lain daerah ikut serta dalam sayembara itu," pikirnya
"apabila jatuh ditangan ksatrya dari Singasari, Tumapel atau Kahuripan, itu masih baik. Tetapi
dakkah akan mencemaskan apabila senopa itu akan jatuh pada seorang ksatrya dari Daha atau
dari Bedulu dan Pajajaran ?"
Belum sempat ia memecahkan persoalan yang harus dihadapi menjelang keakhiran dari
sayembara dan akibat-akibatnya yang luas,
ba2 terjadilah peris wa dalam keraton itu.
Tumenggung Bandupoyo makin tegang.
"Benar," akhirnya ia menetapkan rencana "selain kakang Ku , pun ksatrya dari Pakuan dan
Bedulu itu harus kuselidiki, eh ... . juga para muda dari Daha itu, meminta perhatian juga."
Banyak nian yang menyerap dalam benak tumenggung Bandupoyo. Keseluruh pelosok dalam
pura Singasari, pikirannya melayang-layang. Membayangkan se ap orang dan kemungkinan harus
diselidiki atau tidak. Dan terlenalah tumenggung itu dikursi.
Surya memancarkan sinar terang, pawana berhembus lemah-lunglai, cakrawala cerah. Pohon2
menghijau. Dalam bulan Margasirya, di kala hujan berhen menyiram buana, suburlah segala
tumbuh-tumbuhan. Kerajaan Singasari dilimpahi Isywara dengan kemakmuran yang melimpah ruah. Dibawah
pemerintahan baginda Kertanagara, duli sang nata bagi kerajaan Singasari, negeri Singasari makin
bersemarak dalam kesejahteraan dan kemakmuran.
Beratus-ratus candi, kuil dan rumah2 sudharma telah didirikan. Dagoba2 atau arca2 tegak
menghias rumah2 suci dan tempat2 pemujaan, kemana sekalian jana, insan, membayar nazar,
menebus dosa dan memohon apa2 yang terkandung dalam keinginan hatinya.
~(dewikz^ismoyo^mch)~ III Pekan pasara penuh ruah dengan pedagang dari berbagai penjuru. Segala jenis barang, dari hasil
bumi, rempah2, kerajinan tangan, keramik dan ukir-ukiran, terdapat jual beli di pekan pasara itu.
Bahkan ternak2 pun menjadi perdagangan yang ramai.
Diantara sekian ribu manusia yang hilir mudik silang selisih dalam pekan pasara hari itu,
tampak dua orang pemuda tengah berjalan dengan langkah lepas. Melihat kian kemari akan
kesibukan yang memenuhi pandang mata mereka.
Orang berdesak-desak masuk keluar tak hen -hen nya. Dalam suasana seper saat itu terasa
betapa ramai kehidupan ini, betapa aman dan sejahtera kehidupan yang damai. Memang pekan
mempunyai lingkungan hidup tersendiri. Merupakan suatu arena perjuangan manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Namun juga mengandung unsur penggerak semangat, untuk memperlipat-
gandakan hasil tanaman, mengolah bumi, memajukan kerajinan. Lancarnya perdagangan di pekan,
merupakan cermin dari lancarnya perkembangan pertanian, beicocok tanam, ternak, kerajinan2
dan segala bidang pencarian yang bersangkutan dengan kebutuhan hidup. Lancarnya perdagangan
menimbulkan gairah perkembangan masyarakat, di desa maupun di kota dan di pura.
Berkembangnya masyarakat dan mendorong lancarnya roda pemerintahan dan kemajuan negara.
"Podang, mari kita keluar," ba2 pemuda yang berkulit kuning langsat dan berwajah cakap
berseri, berseru. Tetapi tiada penyahutan. Pemuda itu heran dan berpaling " Podang ...."
"Ih ... . " ba2 terdengar suara seorang perempuan menjerit kejut, disusul dengan rubuhnya
sebuah talam yang berhamburan jatuh. Isinya berserakan, menimbulkan kehebohan diantara
orang2 yang sedang berdesakan.
Pemuda itu terkejut namun menyadari apa yang terjadi. Ke ka ia berpaling, ia memang
menggerakkan tangannya untuk menarik kawannya yang bernama Podang. Disangkanya Podang
masih berjalan dibelakang-nya. Tetapi Podang tak tampak dan tangan pemuda itupun terlanggar
lam yang tersanggah diatas kepala seorang perempuan yang masih muda. Tilam jatuh, isinya
berhamburan. Pemuda itu terkejut. Cepat ia membungkuk, membantu untuk menjemput dagangan perempuan
muda itu yani sirih dan tembakau. Penjual itu masih muda dan can k. Beberapa orang laki2 yang
berada didekat tempat itu, pun sibuk membantu mengambilkan dagangannya.
"Maaf bu, aku tak sengaja," kata pemuda itu.
Penjual itu tersipu-sipu merah ketika bertatap pandang dengan pemuda cakap itu. Tiba2
terdengar suara orang tertawa gemuruh "Ha, ha,ha, ha, ibu, masakan perawan semuda itu
dipanggil ibu, ha, ha, ha . . . ."
Tiba2 pula seorang lelaki muda, menyeruak dari kerumun orang dan tampil dihadapan pemuda
cakap tadi "Hai, dimana engkau taruhkan biji matamu" Mengapa engkau menumpahkan talam
dagangan wanita muda ini" Bukankah engkau hendak sengaja mengoloknya" Mempermalukannya"," dengan suara keras lelaki itu menuding pemuda cakap.
"Ah, benar, aku memang tak sengaja. Aku hendak mencari kawanku yang berada dibelakang dan
ke ka berpaling, tanganku melanggar talam dagangannya," pemuda berwajah tampan itu memberi
penjelasan lagi. "Semudah mencari alasan, semudah itu pula meminta maaf," masih lelaki itu berang.
"Tetapi aku sanggup mengganti betapa kerugian yang diderita penjual itu"
"Huh," dengus lelaki itu "jangan membanggakan hartamu, akupun sanggup menggan juga, tak
perlu engkau!" Pemuda cakap itu tertegun. Apa kehendak orang itu" Mengapa dia marah2 kepadanya" Siapakah
dia" "Ki sanak, siapakah ki sanak ini" " akhirnya ia bertanya juga.
"Aku orang Daha," sahut lelaki itu.
"O" desuh pemuda cakap itu "adakah ki sanak mempunyai hubungan saudara dengan penjual
siih ini?" "Tidak," sahut orang Daha itu "tetapi aku muak melihat ndakan orang Singasari yang menghina
kaum perempuan. Bukankah engkau orang Singasari?"
Pemuda itu tampak kerutkan dahi. Sesaat kemudian mengiakan "Ya, memang aku orang
Singasari. Tetapi aku tak sengaja menghinanya."
"Sudahlah, jangan banyak cakap " tukas orang Daha itu "engkau harus menyelesaikan urusan ini"
"Baik" sahut pemuda cakap itu "aku bersedia menyelesaikannya"
"Engkau harus berjongkok mencium kaki gadis itu sebagai tanda menghaturkan maaf. Dan
setelah itu lekaslah engkau enyah dari sini. Aku yang akan memberi ganti rugi kepadanya."
Terdengar gemuruh bisik kusuk orang2 disekeliling yang menonton peris wa itu. Ada yang
tertawa, ada yang membenarkan, ndakan orang Daha itu. Tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa sikap orang Daha itu kelewatan sekali.
Hanya sekejab wajah pemuda itu tampak mengabut gelap tetapi pada lain saat cahaya wajahnya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berseri pula "Ki sanak, jika engkau saudara dari penjual sirih itu, akan kuper mbangkan
perintahmu itu. Tetapi engkau telah mengatakan sendiri tak punya hubungan apa2 dengannya.
Dengan demikian engkau termasuk orang luar seperti aku"
"Se ap perbuatan.jahat, harus diberantas. Aku berhak untuk membela seorang gadis yang
lemah" "Ki sanak," kata pemuda itu dengan tenang "untuk seorang pembela kaum lemah, kusampaikan
rasa hormat dan penghargaanku yang nggi. Tetapi dalam urusan ini, dak ada yang kuat dan yang
lemah karena tak ada yang menindas dan di ndas. Yang ada hanyalah, walaupun tak sengaja
tetapi aku tetap merasa kurang berhati- hati sehingga melanggar tilam dagangannya. Untuk itu, aku
telah meminta maaf dan bersedia mengganti kerugian kepada yang bersangkutan"
"Ho, engkau hendak menentang aku?" bentak orang Daha itu.
"Jika memang ki Sanak merasa begitu, setelah urusan ini kuselesaikan, marilah kita mencari
tempat yang sesuai untuk melaksanakan anggapanmu itu," rupanya pemuda itu tak sabar juga
melihat sikap orang Daha yang hendak menekannya.
"Hai, engkau menantang" " orang Daha itu membelalakkan kedua matanya lebar2.
"Terserah bagaimana, kehendakmu. Asal jangan ditempat ini"
Tring, ba2 orang Daha itu mencabut kerisnya. Seke ka hiruklah orang2 yang berada disitu.
Mereka berteriak dan menjerit ketakutan, berdesakan mundur.
"Jangan raden," ba2 gadis penjual sisih itu berseru dengan nada getar "biarlah, jangan raden
berkelahi. Daganganku hanya tumpah dan telah dapat kukumpulkan lagi. Tak rusak dan tak hilang"
"Tetapi dia harus minta maaf kepadamu," rupanya orang Daha itu makin mengunjukkan sikap
garang. "Ya, raden itupun sudah meminta maaf. Akupun dengan senang hati menerimanya"
"Dia harus membayar kerugian " masih orang Daha itu bersitegang.
"Tak usah, raden. Biarlah," seru gadis penjual sirih itu "dan akupun menghaturkan terima kasih
atas pertolongan raden kepadaku"
Orang Daha itu mengangguk, memandang penjual sirih itu dengan mata bersinar lalu berpaling
pada pemuda cakap itu "Enyah! Karena permintaan gadis ini, kali ini kuampuni engkau!"
Pemuda cakap itu hanya diam saja. Mulutnya merekah senyum urung. Melihat itu merahlah
muka orang Daha. Dia hendak membuka mulut tetapi penjual sirih tahu akan gelagatnya. Cepat ia
mengajak "Raden, mari kita ke ujung tempat sana. Aku hendak menghaturkan seikat sirih dan
tembakau pilihan sebagai tanda terima kasih kepada raden," ia terus ayunkan langkah. Entah
bagaimana orang Daha itu pun segera mengiku nya. Dan orang2 yang berkerumun menonton
disitu pun mencairkan langkah, mencari barang2 yang hendak dibelinya lagi.
Sesaat kemudian pemuda itupun kembali ke bagian dalam lagi untuk mencari kawannya. Tak
berapa lama ia terkejut karena melihat disebelah muka banyak orang berkerumun seper
menyaksikan orang berbantah atau mungkin berkelahi. Untuk dapat melihat lebih jelas, lalu ia
cepatkan langkah menghampiri. Orang2 yang berkerumun cukup banyak sehingga sesaat tak mudah
dia akan menyusup ketengah. Tidak cepat pula pandang matanya dapat menembus kepala2
manusia yang berjajar mengaling ditempat itu.
"Orang Bali itu kuat sekali pukulannya"
"Anakmuda itu lincah benar"
"Uh . . . . hampir saja bahu anakmuda itu berantakan"
Hingar bingar suara orang2 yang berkerumun, melingkari tempat itu, berteriak-teriak memberi
tanggapan. Dari tanggapan itu makin jelas bagi orang tadi, bahwa digelanggang darurat yang
sengaja diluang oleh lingkaran orang2 itu, telah terjadi perkelahian. Dan pengetahuan itu cepat
menimbulkan kecemasannya. Kata-kata 'anakmuda', menimbulkan dugaan keras dalam ha orang
itu untuk segera mengetahui siapa sesungguhnya yang dimaksudkan.
Beberapa orang menggumam dan mendesuh ke ka tubuhnya tersiak kesamping oleh seorang
pemuda yang menyusup dari arah belakang. Ada seorang yang marah "Hai, jangan mendesak
semaumu," dan dia terus meregangkan bahu untuk mengaling pemuda itu. Tetapi dia terkejut
ke ka tubuhnya terasa terangkat ke samping dan tahu2 pemuda itu sudah menyelinap ke muka.
Orang itu masih terlongong-longong ke ka pemuda yang menyelonong tadi sudah berada dijajaran
paling depan. "Podang, berhentilah," tiba2 pemuda itu berseru seraya melangkah ke tengah gelanggang.
Saat itu telah berlangsung sebuah jurus yang menegangkan. Yang disebut orang Bali oleh
penonton tadi, memang seorang pemuda yang berbeda dandanannya dengan orang Singasari
sehinggga mudah menarik perha an. Orangnya masih muda, tampan, memelihara kumis pis. Ikat
kepalanya bercunduk sekuntum bunga mela . Sepintas memberi kesan bahwa dia tentu seorang
ksatrya dari golongan priagung Bali. Tiada yang tercela pada pemuda itu kecuali sepasang kelopak
matanya yang cekung kedalam. Sedang anakmuda lawannya itu, lebih muda, bertubuh kekar. Tiada
yang istimewa pada dirinya kecuali sikap dan wajahnya yang memancarkan keramahan.
Saat itu pemuda Bali tengah melancarkan sebuah tebasan tertuju ke leher lawan tetapi
anakmuda itu dengan amat lincah telah mengendapkan tubuh. Pikirnya, setelah serangan lalu, dia
akan segera berbangkit tegak dan menghunjam dada lawan. Tetapi pada saat dia bergerak
menegakkan diri, terdengarlah suara orang berseru memanggil namanya. Dan dia kenal siapa orang
itu. Rencana yang telah diangan-angankan untuk balas menyerang, lenyap seke ka dan cepat ia
berpaling kearah orang yang memanggilnya itu. Dilihatnya Wijaya tengah menghampiri ke tengah
gelanggang. "Kakang . ..." "Podang, awas ...." sebelum Podang sempat berseru, Wijayapun sudah terbelalak menghambur
teriak memberi peringatan. Bahkan diapun cepat loncat ke muka. Tetapi terlambat.
Duk .... bahu Podang termakan nju pemuda Bali itu. Podang terpelan ng. Untung Wijayapun
sudah tiba dan menyanggapi tubuhnya.
Peris wa itu menimbulkan kehirukan diantara kerumun penonton. Terdengar suara2 mencela
perbuatan ksatrya Bali karena tetap menyerang lawan yang tengah berpaling. Tetapi ada pula yang
menyesalkan tindakan Wijaya karena mengganggu perkelahian.
"Lepaskan, kakang," Podang meronta dari cekalan Wijaya "dia curang"
"Tunggu, Podang," kata Wijaya "apa sebab engkau berkelahi dengan pemuda Bali itu ?"
"Pekan penuh sesak dengan orang. Aku membentur bahunya. Dia marah, mengatakan aku
sengaja hendak melanggarnya. Pada hal sama sekali aku tak bermaksud begitu." Poda.g
menerangkan singkat. "O, karena saling berbenturan badan, kalian terus berkelahi ?"
Podang mengangguk. "Siapa yang membentur dulu?"
"Aku " jawab Podang "tetapi tak sengaja karena terdesak dari belakang"
"Betapapun engkau dulu yang membentur. Engkau harus minta maaf"
"Aku ingin minta maaf tetapi sebelum sempat berkata dia sudah meninju mukaku"
"Dan engkau membalas?"
"Tentu," Podang menggeram "karena dia tak tahu aturan"
Wijaya gelengkan kepala "Dia tentu menganggap engkau juga demikian. Membenturnya
walaupun tak sengaja"
Podang heran mengapa Wijaya dak berfihak kepadanya, bahkan malah membela orang Bali itu.
Ia menatap wajah Wijaya dengan pandang menuntut.
"Kutahu, engkau tentu penasaran," kata Wijaya "tetapi engkaupun harus tahu bahwa tempat ini
adalah pekan, tempat orang banyak berjual beli. Bukankah engkau ingin memaksakan nafsu
kemarahanmu itu untuk merugikan kepen ngan orang banyak. Engkau marah, itu kepen nganmu
peribadi tetapi pekan adalah kepentingan rakyat banyak"
Podang menunduk. Ia dapat merenungkan apa yang terkandung dalam nasehat Wijaya dan ia
menghormati pendirian Wijaya.
"Ki bagus " Wijaya menghampiri dan berdiri dihadapan ksatrya Bali itu. Dilihatnya ksatrya Bali itu
bersikap siap2. Mungkin menduga sebagai kawan dari pemuda lawannya tadi, Wijaya tentu hendak
menantangnya "maafkan perbuatan adikku yang kurang layak terhadap tuan"
Sesaat memandang wajah Wjaya yang berada di hadapannya, orang Bali itu agak terkesiap.
Bukan karena ketampanan wajahnya melainkan karena seri wajah Wijaya itu seolah memancarkan
hawa kewibawaan. Lebih terkejut pula ke ka dari mulut Wijaya yang disangkanya hendak
menuntut balas itu ternyata meluncurkan kata2 meminta maaf.
Namun agaknya pemuda Bali itu berhati tinggi. Menganggap bahwa dia dapat memberi
hajaran kepada Podang sehingga kakaknya gopoh memintakan maaf. Pikirnya pula andaikata
dia kalah, belum tentulah kedua pemuda Singasari itu akan mau minta maaf.
"Hm," desuhnya menyeringai hidung "pemuda Singasari pandai main senggara macan, Kalau
dihadapi tentu lari . ... " habis berkata dia berbalik tubuh dan ayunkan langkah.
Terdengar dengung suara orang2 yarg berkerurrun itu. Mereka merasa tersinggung dengan kata2
orang Bali itu. Tetapi ada seorangpun yang berani menyusul orang Bali itu. Kini mereka mencurah
pandang kearah Wijaya. "Hai, anakmuda, mengapa tak engkau hajar mulut si congkak itu?" teriak beberapa orang.
"Apa engkau takut kepadanya " " teriak sebuah suara diantara orang2 itu.
"Dia menghina orang Singasari"
"Benar, benar, kita hajar beramai-ramai," sambut sebuah suara yang serentak membakar ha
orarg2 itu. Mereka mengacangkan tinju hendak bergerak.
"Tunggu, kakang2 dan paman2 sekalian," melihat peris wa akan menyala lebih besar, Wijaya
cepat berseru. Orang2 itupun berhenti dan menghadap kearah Wijaya.
"Mengapa" Engkau takut" " teriak salah seorang.
"Dengarkanlah aku hendak bicara," seru Wijaya "aku bukan takut melainkan hendak merjaga
ketertiban. Tempat ini adalah pekan dimana rakyat ramai berjual beli. Jika terganggu dengan
perkelahian, tidakkah akan kacau balau keadaannya. Kita tentu ditangkap petugas keamanan
karena mengacau" "Kita semua akan memberi kesaksian kepada ki lurah pekan ini," teriak salah seorang pula.
"Benar" sahut Wijaya "tetapi kesaksian takkan merobah kenyataan dari kekacauan yang
timbul akibat-perkelahi in itu. Pekan ini adalah pekan yang didirikan kerajaan untuk kepentingan
rakyat. Oleh karena itu kita sebagai kawula wajib memelihara dan menjaga kepentingan itu.
Kita harus merasa ikut memilikinya. Jika pekan ini, karena perkelahian, akan rusak dan
menimbulkan dagangan2 para penjual porak-poranda maka kitalah yang menderita kerugian,
bukan orang Bali itu"
"Tetapi dia menghina orang Singasari. Sesekali orang begitu harus diberi hajaran " seru mereka.
"Ya" sahut Wijaya "tetapi bukan di pekan ini tempatnya. Harus memilih tempat yang sesuai"
Orang2 itu mendengung dan mendenguh. Mereka dapat menerima penjelasan Wijaya tetapi
masih merasakan suatu ketidak- puasan dalam hati mereka.
"Kutahu bagaimana perasaan kakang dan paman sekalian," Wijaya menyusuli pula "tetapi kita
harus berlapang dada"
"Apa maksudmu" " tiba2 salah seorang dari orang yang masih berkerumun itu bertanya.
"Kita orang Singasari, dia orang Bali. Menilik sikapnya dia tentu salah seorang ksatrya yang akan
ikut dalam sayembara. Bukankah kakang dan paman sekalian mengetahui perihal akan
dilangsungkannya sayembara pemilihan senopati oleh kerajaan?"
"Ya, ya, kami tahu," teriak mereka.
"Dengan begitu dia seorang tetamu dan kita tuan rumah. Kita kawula pura kerajaan Singasari
yang termasyhur, harus memiliki peradapan yang lebih nggi. Sebagai tuan rumah kita harus siap
memberi maaf kepada tetamu. Coba kakang dan paman sekalian pikir. Andaikata kalian sekalian
menuru kemarahan lalu mengeroyok orang itu hingga dia tewas, dakkah akan tercemar nama
kawula pura kerajaan karena tentu akan termasyhur ke seluruh telatah dan mancanagara bahwa
kita kawula pura kerajaan Singasari itu amat kejam dan buas?"
Kali ini ada terdengar suara apa2 dari orang2 itu. Mereka baru mau merasakan kebenaran
daripada ucapan anakmuda itu.
"Kakang dan paman sekalian, mari kita membubarkan diri dan melanjutkan pekerjaan kita
masing2" Seiring dengan bubarnya orang2 itu, Wijayapun mengajak Podang tinggaIkan tempat itu.
Suryapun sudah naik, panas mulai menyengat. Sekeluar dari himpitan orang2, Wijaya dan
Podang akan menuju ke pura tetapi entah bagaimana, tiba2 mereka tertarik akan sebuah
pemandangan. Berpuluh-puluh orang berkerumun disebuah tanah lapang disamping pekan itu.
Mereka bertepuk tangan dan bersorak sorai seolah sedang menyaksikan suatu pertunjukan.
"Raden, apakah ramai2 itu" Perkelahian" " tanya Podang.
"Entah " sahut Wijaya "mari kita lanjutkan perjalanan"
"Tetapi raden," Podang agak merasa sayang "hari masih pagi, kemanakah kita akan menuju ?"
"Hm, lalu maksudmu ?"
"Pekan pasara di pura kerajaan, sungguh ramai sekali. Jauh bedanya dengan pasara di
desaku. Bermacam-macam barang dijajakan, alangkah sayangnya apabila kita lekas2
tinggalkan keramaian ini"
"Engkau mau lihat ramai2 itu, bukan" " langsung Wijaya menghunjam pertanyaan. Ia tahu isi ha
anak itu. Podang terkejut, agak tersipu sipu "Ah, tidak, raden. Mari kita lanjutkan langkah"
"Baik" kata Wijaya seraya berputar ke barat dan ayunkan langkah.
"Raden ...." "St, jangan lupa pesanku !"
"Tetapi bukankah kita ini menuju ke tempat lapangan itu" " Podang melajukan langkah untuk
menjajari disamping Wijaya.
"Bukankah kita akan menyaksikan ramai2 itu" " Wijaya tertawa.
"Ah, tidak, kakang Jaya"
Namun Wijaya tak menjawab dan tetap menuju ke tanah lapang yang panuh dengan kerumun
orang. Tak berapa kejab mereka sudah berada diantara orang2 itu. Saat itu orang2 sedang
memandang ke tengah lapangan.
Wijaya dan Podang melihat seorang lelaki sedang menaiki seekor kuda berbulu hitam mulus.
Kuda itu, walaupun dak sebagus kuda dari Sumbawa, tetapi perawakannya yang ramping dan
gerakannya yang binal, cukup menarik perha an. Binatang itu tengah melonjak-lonjak amat binal.
Lelaki yang menaikinya, berusaha untuk mempertahankan diri. Dikepitkan kedua kakinya kencang2
pada perut kuda dan kedua tangannyapun mencengkeram bulusuri kuda itu sekeras-kerasnya.
Wijaya terkejut. Pertama dilihatnya bahwa penunggang kuda itu tak lain adalah pemuda yang
mengaku sebagai orang Daha, karena talam penjual sirih tumpah, hampir saja orang Daha itu
mengajaknya berkelahi. Kedua, sempat diperha kan sesuatu yang aneh pada kuda hitam itu.
Walaupun tengah lari membinal dan melonjak nggi, tetapi kuda itu tak terdengar meringkik atau
mengeluarkan suara apa2. Hanya giginya yang menyeringai buas.
Walaupun dibawa melonjak dan menungging, namun pemuda Daha itu masih dapat bertahan
diri. Seketika terdengarlah sorak gemuruh dari para penonton.
"Hebat sekali orang itu," riuh rendah orang berteriak memuji.
Dikala sorak pujian yang menggetarkan tanah lapang itu masih berkumandang, sekonyong-
konyong terjadi peris wa yang menggemparkan. Kuda hitam itu menekuk kedua kaki depan
sehingga tubuh penunggangnya ikut menungging kebawah. Lalu ba2 kuda itu melonjak nggi2.
Gerakan yang dilakukan secara ba2 dan keras itu benar2 tak terduga oleh penunggangnya.
Tubuhnya seper ditekuk lalu dilemparkan ke belakang. Tak kuasa lagi dia mempertahankan diri
dan terlemparlah dia ke tanah.
Tepuk sorak makin menggemuruh lebih hebat. Tetapi bukan tepuk pujian melainkan sorak ejek
dan tawa cemoh "Ha, ha, ha, akhirnya dia terbanting juga"
Seorang muda bertubuh kekar menyiak kerumun orang dan menghampiri seorang lelaki
bertubuh tinggi yang berada ditepi lapangan. Dia dikelilingi oleh beberapa orang.
"Ki sanak, berapa engkau hendak menjual kudamu itu?" tegur pemuda bertubuh kekar itu.
Lelaki bertubuh tinggi itu tertawa.
"Tidakkah engkau mendengar apa keteranganku kepada sekalian orang disini?"
"Kuda itu dak dijual," salah seorang penonton segera berseru, Adat kebiasaan orang2 yang
menyaksikan sesuatu peris wa, memang suka berlagak untuk menjadi juru-bicara. Tak jarang
perha an orang terjerat untuk mendengar keterangan orang itu daripada memperha kan
peristiwa itu. "Tidak dijual" " pemuda kekar itu mengulang heran.
"Ya, tidak dijual tetapi akan diberikan secara cuma2 " kata orang itu pula.
"Ah, jangan main2" kata pemuda kekar "masakan kuda sebagus itu hanya diberikan saja"
"Memang benar. Aku tak bohong"
"Apakah engkau pemiliknya?"
"Bukan" orang itu gelengkan kepala agak tersipu "tetapi aku tahu hal itu"
"Benar, ki sanak," akhirnya orang nggi itu berkata "akulah pemilik kuda hitam itu. Kuda itu tak
kujual melainkan akan kuberikan kepada orang yang mampu menaikinya, mengelilingi lapangan ini
sampai ga kali. Kuda itu liar sekali. Barang siapa mampu menjinakkan, dialah yang berhak
memilikinya" "Bagus " pemuda kekar itu berseru gembira "akulah yang akan menguasainya," ia terus berlari
ke-tengah lapangan menghampiri kuda hitam yang saat itu sedang makan rumput. Sementara
orang Daha yang terlempar tadi, pun tertatih-tatih menuju ke tepi untuk beristirahat.
Pemuda kekar itu menghampiri makin dekat. Lebih dulu ia berjalan mengelilingi kuda itu.
Mulutnya berkomat-kamit mengucap mantra. Setelah tiga kali mengitari, iapun menghampiri ke
muka dan mengelus-elus kepala kuda itu. Kuda hitam diam saja, masih melanjutkan makan
rumput. Kuda itu ada dirakit dengan pelana, masih telanjang. Setelah mengelus-elus kepala, pemuda
itupun pelahan-lahan berkisar kesamping kuda dan sesaat kemudian diapun loncat ke punggung
kuda. Tetapi sebelum tangan sempat meraih bulusuri, sekonyong-konyong kuda itu melonjakkan
kaki depan tinggi2 lalu loncat ke muka sekencang- kencangnya.
Terdengar sorak-sorai gegap gempita ke ka orang2 melihat bagaimana pemuda itu terlempar
sampai dua tombak jauhnya dan terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dia pingsan.
Ada pula seorang lelaki bertubuh perkasa memelihara kumis tebal, berjampang lebat. Ia
mengadakan berasal dari Bahuwarna dan ingin mencoba kuda hitam itu.
"Silakan," kata pemilik kuda yang berperawakan tinggi.
Dengan langkah macam seekor harimau lapar, lelaki perkasa itu menghampiri kuda. Sekonyong-
konyong dia menyambar kaki kuda hitam. Kaki depan ditangkap dengan tangan kiri dan kaki
belakang disambar dengan tangan kanan. Kemudian diangkatnya kuda itu lalu diputar-putar. Makin
lama makin deras. Sorak sorai bagaikan menggetar angkasa ke ka para penonton menyaksikan ngkah laku aneh
dari lelaki perkasa itu. Mereka heran mengapa dia melakukan hai itu, disamping kagum akan
keperkasaan orang itu, Wijaya dan Podang tertarik juga akan ulah lelaki perkasa itu. Namun ada sesuatu, yang
diperha kan Wijaya. Bahwa walaupun diringkus kakinya dan diputar-putar sedemikian deras, tetap
kuda hitam itu tak bersuara. Wijaya menghampiri pemilik kuda.
"Ki sanak," katanya pelahan agar tak mengejutkan pemilik kuda yang tengah mencurah perha an
ke tengah lapangan. Dan orang itu berpaling "Kurasa baiklah ki sanak menghentikan tindakan orang
dari Bahuwarna itu. Bukankah amat sayang kalau kudamu sampai cidera"
"O, engkau anggap orang Bahuwarna itu mampu menguasai si Hitam" " pemilik kuda itu balas


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya. "Adakah ki sanak menganggap tak mungkin begitu?"
"Kita lihat saja," pemilik kuda itupun berpaling menghadap ke tengah lapangan lagi. Hanya dalam
sekejab mata, ba2 terdengar para penonton bersorak-lorak. Wijaya sempat menangkap suara
teriakan kejut dari tengah lapangan sebelum sorak sorai para penonton meledak. Ia cepat
memandang ke muka. Ia terkejut ke ka melihat lelaki perkasa dari Bahuwarna itu tengah
mendekap tangan kirinya yang berlumuran darah. Sedangkan kuda hitam itu lari menjauh.
"Lihatlah," seru pemilik kuda dengan tertawa "akhirnya dia digigit si Hitam sampai terluka
berdarah" "Ki sanak," kata Wijaya "luar biasa benar kudamu itu. Ki sanak berasal dari mana dan mengapa ki
sanak tak mau merjual kuda itu melainkan akan memberikannya kepada orang yang dapat
menguasainya. Apakah tujuan ki sanak?"
Karena sudah tak membagi perhatian ke tengah lapangan, dapatlah pemilik kuda yang
bertubuh lirggi itu memperhatikan Wijaya. Diam2 ia terkesiap demi berpapas pandang dengan
Wijaya. Tak tahu ia apa sebabnya tetapi ia merasakan sesuatu pada pancaran wajah pemuda
itu. Dan tapun tak tahu apa nama sesuatu itu kecuali hanya suatu perasaan mengindahkan dan
segan. "O, aku berasal dari desa Walandit di gunung Tengger. Dan kuda itu milikku yang sah"
Wijaya tersenyum "Aku tak mengatakan kalau kuda itu bukan milikmu yang sah. Aku hanya
bertanya mengapa engkau tak mau menjual kuda itu melainkan hendak memberikan kepada orang
yang dapat menaikinya"
"Benar," sahut pemilik kuda "karena itu permintaannya sendiri"
Wijaya kerutkan alis "Apa maksudmu" Permintaannya sendiri" Permintaan siapa?"
"Kuda itu sendiri ...."
"Hai, orang nggi, akulah yang akan menundukkan kudamu," belum selesai pemilik kuda itu
berbicara, seorang lelaki tinggi besar menghampirinya. Pemilik kuda terbeliak.
"Bukankah janjimu masih berlaku?" ulang lelaki tinggi besar itu.
"Tentu. Semua orang yang berada disini menjadi saksi. Kalau engkau dapat menaikinya, ambillah
kuda itu" "Bagus, orang tinggi," seru orang itu pula "maksudkupun hanya meminta penegasan saja.
Andaikata engkau ingkar janji, aku Boga dari Keling, dapat menyelesaikan engkau"
Sepadan dengan perawakan yang nggi besar, orang dari daerah Keling itu memiliki sepasang
mata yang besar bundar, alis tebal, hidung besar, mulut lebar. Dadanya penuh bulu, kedua
lengannya berhias otot2 yang melingkar-lingkar, mengenakan- sepasang gelang akar yang kokoh.
Sesaat pemilik kuda dan orang yang berada disekeliling terbeliak, Bogapun melangkah lebar ke
tengah lapangan, langsung menghampiri kuda hitam yang masih makan rumput.
Se ba di hadapan kuda itu, Boga lalu melepas ikat pinggangnya dan tar, tar, tar .... ia terus
menghajar kuda itu. Ternyata pada waktu diayunkan, ikat pinggangnya itu sebuah cambuk. Seketika
gemparlah sekalian orang menyaksikan perbuatan orang dari Keling itu.
"Curang! Curang!"
"Kejam! Kejam! Meledaklah teriak kemarahan dari empat penjuru ke ka melihat ndakan Boga. Wijayapun
terkejut pula. "Ki sanak" katanya kepada pemilik kuda "mengapa tak engkau hen kan ndakan orang Keling itu
?" Tanpa berpaling, pemilik kuda menjawab "Mengapa harus kuhen kan" Dia mempunyai cara
sendiri untuk menundukkan si Hitam"
"Tidakkah hal itu membahayakan jiwa kuda ki sanak ?"
"Mengapa membahayakan" Engkau kuatir si Hitam mati" Ah, kita lihat saja"
"Tetapi cambuk orang itu bukan cambuk biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari kulit
keras, ki sanak. Tidakkah akan hancur tulang belulang kuda itu?"
"Memang," jawab pemilik kuda masih tenang "kalau mengenai tubuh si Hitam. Lihatlah"
Wijaya memandang ke tengah lapangan. Ia kerutkan dahi. Hitam tengah berlincahan menyingkir
dari serangan cambuk lalu lari berputar-putar mengelilingi lapangan. Boga makin bernafsu. Diapun
mengejar seraya menggelegarkan cambuknya.
Saat itu dilapangan berlangsung suatu pemandangan yang agak ganjil. Sepintas Boga menyerupai
seorang pawang kuda yang tengah mela h seekor kuda yang masih liar. Ia terus mengejar
dibelakang hitam seraya menghajarkan cambuknya. Tetapi tak pernah cambuknya itu berhasil
mendarat di tubuh si Hitam.
Kini teriak kemarahan para penonton bergan dengan tepuk sorak yang riuh. Mereka bersorak-
sorak menganjurkan si Hitam supaya lari menghindar. Ada beberapa orang yang tertawa dan
mengejek Boga. Sepengunyah sirih lamanya, walaupun kuda hitam masih tetap dikejar Boga tetapi jelas bahwa
tenaga Boga sudah menurun. Napasnya makin terengah-engah. Tubuhnya mandi peluh. Namun
karena hendak menundukkan kuda itu, ia paksakan diri untuk terus mengejar dan mencambuk.
Namun karena terus-menerus berlari, akhirnya habislah tenaganya. Pada suatu saat ba2 kuda
hitam berhenti, berputar diri dan menerjang orang Keling itu.
Gemuruh sorak sorai disertai tepuk tawa dari seluruh penonton. Ha mereka ada pada kuda
hitam sehingga pada saat binatang itu berhasil menerjang orang gagah dari Keling itu sehingga
terpelan ng jungkir balik, maka disambut meriah sekali oleh seluruh penonton. Tak ada
seorangpun yang mau memberi pertolongan kepada orang Keling itu walaupun dia terjerembab
rebah ke tanah dan sampai beberapa saat baru dapat bangun. Dengan terbungkuk-bungkuk
langkah, ia menuju ke tepi lapangan.
Setelah terjadi beberapa peristiwa itu, tak ada lagi orang yang berani tampil.
"Ki sanak," kata Wijaya pula "kudamu itu sungguh luar biasa. Adakah engkau sendiri dapat
menaikinya?" Pemilik kuda yang bertubuh nggi itu gelengkan kepala "Diapun tak mau kunaiki. Di rumahpun
dia tak mau disuruh menarik gerobag. Kerjanya hanya tidur dan diam saja"
"Karena itu engkau bawa ke pura"
"Ya" "Mengapa tidak engkau jual saja?"
"Aku takut " jawab pemilik kuda "dia tak mau dijual dan minta supaya diberikan kepada orang
yang dapat menaikinya"
"Kuda itu dapat meminta" Bukankah selama ini kulihat dia tak pernah bersuara?"
Pemilik kuda itu mengangguk "Ya, memang kuda itu gagu"
"O" desuh Wijaya "mengapa dia dapat meminta kepadamu?"
Pemilik kuda itu menyorong muka ke dekat Wijaya dan berkata dengan suara pelahan "Kuda itu
memberi impian kepadaku. Supaya aku membawanya ke pura dan diberikan kepada orang yang
dapat mengendalikannya"
"O" seru Wijaya juga setengah berbisik "lalu apa lagi katanya ?"
"Kalau dia berhasil mendapatkan tuannya, aku-pun tentu ikut mendapat rejeki"
"Ah" Wijaya mendesah. Ia tak tahu apakah orang itu benar bermimpi begitu. Tetapi ia sempat
memperhatikan bahwa orang yang bertubuh tinggi itu memiliki wajah yarg jujur dan lugu.
"Ki bagus," ba2 pemilik kuda itu berkata "menilik engkau begitu menarah perha an, tentulah
engkau mempunyai minat kepada kuda itu. Mengapa tak engkau coba untuk menaikinya?"
Wijaya tersentuh ha nya. Memang ia menaruh ha kepada kuda hitam itu. Jarang dia berjumpa
dengan seekor kuda yang berbulu hitam mulus seper itu dan gagu pula. Tergeraklah ha nya
mendengar tawaran pemilik kuda itu.
"Jangan kakang Jaya," ba2 Podang mencegah. Kemudian kepada pemilik kuda ia berkata "ah,
kami berdua hanya sedang melihat saja tetapi tak berminat memilikinya"
Wijaya tertegun. Ia tak senang atas kelancangan Podang. Tetapi pada lain kejab, ia menyadari
bahwa Podang memang bermaksud baik. Dia tentu kua r Wijaya akan mengalami nasib seper
beberapa orang yang sudah mencoba hendak menundukkan kuda itu. Akhirnya dia diam saja.
Pemilik kuda itu berulang kali berteriak-teriak menawarkan kudanya tetapi ada seorangpun
yang tampil menyambu . Akhirnya mengkal juga orang itu "Hai, apakah di pura Singasari sudah tak
ada ksatrya yang berani menundukkan seekor kuda" Adalah di Singasari sudah tak ada orang lelaki
?" Terdengar suara bersungut-sungut dari penonton tetapi hanya suara mulut dan hidung yang
mendesuh penasaran. Sementara tetap tak ada orang yang berani tampil menyambut.
"Hm, kus semua orang Singasari " kembali pemilik kuda itu mengeluarkan cemohan yang
menusuk hati. Kemudian ia melangkah ke tengah lapangan hendak menghampiri kuda hitam.
"Ki sanak, tunggu" ba2 terdengar sebuah suara yang memanggil. Dan pemilik kuda itu segera
berpaling "Ah, engkau ki bagus," ia lari menghampiri ke tempat orang yang memanggilnya, yang tak
lain adalah Wijaya. Rupanya Wijaya tak senang karena mendengar ejekan yang dilancarkan si pemilik kuda tak hen -
hentinya itu. "Engkau salah duga, ki sanak " seru Wijaya.
"Bagaimana ?" "Singasari sebuah kerajaan besar, rakyatnya gagah perkasa semua. Cobalah ki sanak pikir,
bukankah saat ini pasukan Singasari sedang menuju ke Malayu. Adakah Singasari itu sebuah
kerajaan lemah" Tidakkah rakyatnya gagah perkasa" Jika berani menyabung nyawa di medan
perang mengapa harus takut mengendarai kuda?"
Tandas dan keras Wijaya berucap. Terbawa oleh luap darah muda, ia telah menghamburkan
kata2 menurut suara hatinya.
"O, ki bagus hendak mencobanya?" pemilik kuda itu berseri girang.
"Untuk membuk kan kepada ki sanak bahwa pura Singasari itu bukan kehabisan orang lelaki.
Bahwa orang Singasari itu bukan bernyali tikus" masih Wijaya menumpahkan kemengkalan hatinya.
Terdengar dengung berisik dari para penonton yang memberikan dukungan atas ucapan Wijaya.
Sementara Podang sebenarnya masih hendak mencegah tetapi demi mendengar jawaban Wijaya,
iapun tergugah ha nya. Namun ia masih mendeka ke sisi Wijaya dan membisiki agar Wijaya
berhati-hati. Wijayapun mengangguk lalu ayunkan langkah menuju ke tengah lapangan, menghampiri kuda
hitam yang masih makan rumput. Ia tegak di hadapan kuda itu, memandang lekat2. Rupanya kuda
itu tahu akan kedatangan Wijaya. Berbeda dengan sikapnya yang selalu tak mengacuhkan se ap
pendatang, kali ini dia mengangkat muka, memandang Wijaya. Diam.
"Kuda, aku takkan menyakiti engkau. Kuda hitam yang bagus, aku senang memeliharamu.
Tetapi akupun tak mau memaksamu harus ikut aku. Berilah jawaban. Jika engkau mau
kupelihara, akan kutarik bulu-suri kepalamu dan engkau harus meringkik. Tetapi jika engkau
menolak, larilah dari tanah lapang ini ... " melalui pancaran sinar matanya, Wijaya membisikkan
suara hatinya kepada kuda itu. la mengharap kuda itu dapat menangkap isi hatinya.
Kuda itu diam namun terus memandang Wijaya. Tak ada tanda2 ia memberingas ataupun
jinak. Diam selalu. Setelah menyampaikan pesan hatinya melalui pancaran sinar mata,
Wijayapun melangkah maju dan mendekat kepada kuda itu. Kuda masih tetap diam. Wijaya
mulai ulurkan tangan mengelus-elus kepala bintang itu, pun tetap diam.
Seluruh mata beratus-ratus orang yang berkerumun disekeliling lapangan itu, mencurah ruah
pada Wijaya. Suasana sunyi senyap. Hanya napas2 yang berselang terdengar memburu.
Beberapa saat kemudian, mulailah tangan Wijaya merabah bulusuri kepala kuda itu. Dan pada
lain saat ia segera menariknya.
"Ngngeeeh . . . ngngeeeehh ... " seketika meledaklah teriakan segenap penonton ketika
mendengar kuda hitam itu meringkik keras sekali. Ditengah lapangan yang terbuka, suara
ringkik kuda itu terdengar berkumandang keras.
"Terima kasih hitam," Wijaya tersenyum "suaramu merdu sekali. Sekarang aku hendak
menaikimu. Kalau engkau senang, bawalah aku berlari mengelilingi lapangan ini. Tetapi kalau
engkau menolak, lemparkanlah diriku ke tanah"
Kuda hitam itu diam saja.
Wijaya bersiap-siap. Pelahan- lahan ia mulai merangkak ke punggung kuda lalu duduk tegak.
Ternyata kuda itupun diam saja. Wijayapun menepuk kepala binatang itu dan kembali lapangan
meledak sorak sorai yang gemuruh. Kuda hitam itu mulai lari membawa Wijaya mengelilingi
lapangan. Makin lama makin cepat larinya. Dan setelah tiga kali berkeliling lapangan, kuda itu
terus kabur membawa Wijaya kearah barat.
Sekalian orang yang menyaksikan peris wa itu terlongong sesaat kemudian mereka berteriak-
teriak mengherankan hal itu. Pemilik kuda juga bingung. Dia terus lari mengejar tetapi akhirnya
Pedang Kiri Pedang Kanan 2 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Nona Berbunga Hijau 1
^