Dendam Empu Bharada 2
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 2
terang. Dan seke ka ia terkejut melihat sesosok tubuh manusia duduk bersila dalam sikap
bersemedhi mudra. Beberapa saat kemudian, pandang matanya makin terang dan seke ka ia
terbeliak. Jelas yang bersemedhi itu seorang anakmuda berwajah tampan. Terutama yang
mengejutkan ha nya adalah wajah pemuda itu memancarkan sinar yang gilang gemilang bagaikan
seorang dewa "Ih" segera Mayang Ambari mendesih manakala ia teringat akan perwujutan bunga bersinar
gemilang dalam impiannya.
Sampai beberapa jenak ia mempertajam pandang matanya, seolah hendak meyakinkan dirinya
adakah yang dilihatnya itu suair kenyataan. Setelah sampai beberapa saat, wajah yang dilihatnya
itu tetap memancar, maka yakinlah ia kepada dirinya bahwa dalam candi itu terdapat seorang
pemuda yang sedang bertapa. Menilik cahaya mukanya, pemuda itu tentu bukan orang
sembarangan, tentu keturunan darah priagung
"Ah" ia mendesuh pula "adakah ini yang ditunjukkan dewata dalam impian itu"
Merenung pada hal itu bertebar merahlah mukanya. Maklum ia masih seorang dara yang baru
saja menjenjang kewasaan. Di rumah kecuali dengan ayah dan bujang Gendrek, tak pernah ia
bergaul dengan orang laki, apalagi seorang pemuda priagung yang memiliki perbawa sedemikian
mempesonakan seper pemuda yang tengah bersemedhi itu. Tetapi rasa malu itu segera
bertebaran lenyap manakala ia teringat akan bahaya yang tengah mengancam. Sebentar lagi
kawanan perampok itu tentu akan tiba.
Kemudian ia segera teringat pula akan kedua lelaki tua yang menunggu di pintu candi. Apabila
dikaitkan dengan keadaan pemuda yang bersemedhi dalam candi itu, tentulah ada hubungannya.
Dan kalau ada hubungan, tentulah kemungkinan besar antara seorang bendara dengan hambanya.
Dan pada umumnya hanya putera-putera orang kaya, berpangkat dan priagung yang pergi diiring
hamba. Ah, jika demikian, kemungkinan pemuda itu tentulah seorang raden. Akhirnya
renungannya berkisar di sekitar diri pemuda itu.
Jika demikian, ia melanjutkan pemikiran, sukarlah kedua hamba diluar tadi untuk menghadapi
gerombolan Singa Barong. Kedua hamba itu sudah tua dan tampaknya ketolol-tololan, bagaimana
mungkin ia harus mempercayakan keselamatan jiwanya kepada mereka
"Ah" ia mendesah dan mulai cemas. Gelisah "Jika petunjuk dewata dalam impian itu pemuda ini
yang dimaksudkan, tentulah dia seorang ksatrya yang dikasihi dewa. Dan ksatrya yang gemar
bertapa tentu memiliki kesak an" akhirnya mengarahlah pikiran Mayang Ambari pada suatu
kesimpulan, dirangkai menurut apa yang didengarnya dari ayah dan orang-orang di desa Jenangan.
"Jika demikian aku harus melaksanakan petunjuk dewata. Aku harus minta pertolongan kepada
pemuda itu" akhirnya ia menutup kesimpulan dengan keputusan dan berayunlah langkahnya
menghampiri pemuda itu "Raden ...." serunya dengan pelahan-lahan . penuh rasa jengah. Namun Nararya diam saja
"Raden ...." diulangnya pula, kali ini agak keras. Namun tetap. Nararya diam
"Raden .... raden ..." makin keras dan diulangnya sampai dua kali ia memanggil namun Nararya
tetap diam mematung. Akhirnya setelah beberapa kali, mulai dari satu sampai ga empat kali memanggil, mulai dengan
suara pelahan lalu lebih keras dan makin keras, tetapi tetap raden itu diam tak mengacuhkan,
bahkan membuka matapun dak, Mayang Ambari mulai gugup dan bingung. Sayup-sayup ia
mendengar suara hiruk pikuk bergemuruh. Ia duga tentulah gerombolan Singa Barong sudah
menjelang datang. Karena gugup ia lupa siapa raden itu, lupa bahwa ia belum mengenalnya, lupa
pula bahwa daklah layak seorang gadis menjamah tubuh seorang pemuda yang tak dikenal, i'ang
mencengkam benaknya, ia akan minta tolong kepada raden itu untuk melindungi dirinya.
Maka kedua tangannya serentak mendekap bahu Nararya dan mengguncang-guncangkan-nya
keras-keras "Raden, raden .... tolong . . . tolonglah hamba, raden ... ."
Namun rin han meratap tolong yang menyertai gerakan tangannya mengguncang tubuh orang,
tetap tak kuasa menjagakan raden itu dari semedhinya. Tubuh Nararya serasa segunduk karang
yang kokoh. Ambari makin gopoh. Rasa ketakutan akan ngkah ulah gerombolan Singa Barong
mengoyak-ngoyak nyali ha nya. Serentak ia lari ke luar, maksudnya hendak meminta bantuan
kedua punakawan supaya menjagakan bendaranya. Tetapi alangkah kejutnya ke ka dilihatnya saat
itu si Doyo sudah melangkah maju menyongsong kemunculan anakbuah Singa Barong dari balik
gerumbul. "Paman, tunggu dulu" teriak Mayang Ambari seraya memburu ke luar ke tempat Noyo yang saat
itupun hendak ayunkan langkah kaki menyusul Doyo. Noyo berhen , berpaling "Paman, tolong
engkau jagakan raden di dalam candi itu ..." ia segera disambut oleh seruan Mayang Ambari.
Saat itu barulah Noyo tersadar apa yang dihadapinya. Ia telah menyuruh seorang anak
perempuan masuk ke dalam candi dan mengusik ketenangan bendaranya. Pada hal itu telah
dipesan wanti-wanti, agar melarang siapa saja yang akan masuk ke dalam candi.
"O, ampun" beriak Ncyo sesaat kemudian "jangan sekali-kali engkau mengganggu raden itu.
Dia sedang ...." "Tetapi paman" Mayang Ambari makin gelisah "gerombolan perampok itu berjumlah besar dan
kejam sekali . . . ."
Saat itu kebetulan Noyo tengah memaling pandang mata ke muka, dilihatnya Doyo sudah
berhantam dengan seorang anakbuah gerombolan dan kejut serentak mendebur jantung Noyo
demi melihat Doyo pontang-panting dihajar lawan. Serentak berhamburanlah selubung bual bahwa
ia sanggup menghadapi gerombolan perampok itu. Kabut kelinglungan pun taram-temaram
berhamburan lenyap. Saat itu ia dapat berpikir jelas. Gerombolan perampok itu harus ditahan
lajunya dan raden Nararya harus dibangunkan. Karena hanya raden itulah kiranya yang sanggup
menghalau mereka. Tugas untuk menahan gerombolan perampok, akan ia lakukan tetapi tugas
untuk membangunkan raden Nararya harus diserahkan kepada dara can k itu. Tetapi demikian
ba- ba ia teringat, gadis itu di luar pengetahuannya telah menjagakan raden Nararya, namun tak
berhasil. Jika ingin supaya Nararya terjaga, ia harus memberi petunjuk pada dara itu.
Ia masih dilibat dalam keraguan ke ka ba- ba seorang anakbuah gerombolan menyelinap maju
kearah candi. Ia tersengat kaget "Rara, carilah bulu yang tumbuh pada jari kakinya dan cabutlah ..."
"O, apakah dia betul-betul akan terjaga?" Mayang Ambari menegas.
"Jangan buang waktu, lekas lakukan. Aku hendak menyongsong anakbuah gerombolan itu" seru
Noyo seraya melangkah maju.
Mayang Ambaripun menurut. Cepat ia lari masuk ke dalam candi, langsung menuju ke tempat
Nararya bersiddlrikara. Ia tak mau mengguncang-guncang tubuh raden itu ataupun berteriak-teriak
memanggilnya. Langsung berjongkok dan meneli jari-jari kaki raden itu yang bersimpuh di atas
persada batu. Namun pandang matanya tak kuasa melihat gerumbul rambut yang tumbuh pada
jari-jari kaki raden itu. Suasana dalam ruang candi meremang gelap. Namun dara itu tak mau
berputus asa. Dengan melupakan segala perasaan susila, jari jemarinya yang len k bagai duri
landak, segera menjamah kaki Nararya, merayap dalam kelembutan dan akhirnya berlabuh pada
sebatang benda halus meregak tinggi ke atas
"Ah, inilah rambut" pikir Mayang Ambari seraya mencengkam kencang dengan kedua jari
tangannya. Sesaat kemudian, ia menahan napas mengerahkan tenaga dan ba- ba mencabut
sekuat-kuatnya "Aduh ..." ia menjerit ke ka kaki itu meregang getaran keras, membentur lengan
dan mendorong tubuhnya terjerembab ke belakang.
"Ah" terdengar suara mulut mendesah di sisi telinga dan terasa pula punggungnya telah didekap
oleh sebuah tangan yang kuat, lalu didudukkan tegak "sakitkah engkau?" terdengar pula suara
orang bertanya dengan nada cemas.
Mayang Ambari memang tak terluka karena tak sempat membentur lantai. Ia hanya menderita
getar kejut yang cukup membuat semangatnya serasa terbang. Namun setelah mengusap-usap
muka, pandang mata-nyapun cerah, pikirannya terang pula "Terima kasih, aku tak terluka"
sahutnya tersipu malu. "Engkaukah yang mencabut bulu jempol kakiku" Engkau?" tegur raden itu agak keras.
"Ya, aku bersalah mengganggumu"
"Siapa engkau anak perempuan?"
"Hamba Mayang Ambari, raden, dari desa Jenangan"
"Mengapa engkau mengganggu tapa semedhiku?"
Mayang Ambari menyembah "Mohon raden memaa an kesalahan hamba. Tetapi memang
hamba hendak mohon pertolongan raden"
"Pertolongan?" Nararya terkejut kemudian beralih memandang kearah pintu "suara apa yang
hiruk di luar itu?" "Gerombolan orang jahat, raden"
"Gerombolan orang jahat" Mana Noyo dan Doyo?" Nararya makin tak menger suasana tempat
itu. "Entah" Mayang Ambari menjawab. Tetapi cepat ia mereka dugaan bahwa yang dimaksudkan
Noyo dan Doyo kemungkinan besar tentulah kedua paman yang menjaga di luar pintu candi itu
"tetapi diluar pintu ada dua orang paman yang berkelahi dengan gerombolan penjahat itu . . ."
Nararya tersentak "Tentulah mereka" ia terus bangkit dan hendak ayunkan langkah. Tetapi pada
lain saat ia berhenti, berpaling "apakah pertolongan yang hendak engkau minta kepadaku?"
"Tidak lain, raden" kata Mayang Ambari "hamba mohon raden sudi melindungi diri hamba dari
kejaran gerombolan penjahat itu"
"O, mereka mengejar-ngejar engkau" " Mayang Ambari mengiakan.
"Dan sekarang dihadang paman Noyo dan Doyo, eh, mereka tentu menderita" Nararya lanjutkan
langkah. Tiba diambang pintu sejenak ia berpaling pula "sembunyi saja di sini, tak perlu ke luar"
tanpa menunggu penyahutan Mayang Ambari, Nararya terus bergegas ke luar.
Mayang Ambari masih terpukau. Apa yang dialami saat itu, seper ia bermimpi. Baru pertama
kali dalam sepanjang hidupnya, tubuhnya telah dijamah oleh seorang anakmuda. Alangkah
hangatnya jari-jari anakmuda itu, alangkah kokoh lengannya dan serentak terbayang pula akan
wajah pemuda itu. Tampan .memendam keagungan, dari balik selongsong kulit yang kuning
langsat, memancar cahaya cerah. Sepasang gundu matanya, memercik bara pesona penuh wibawa.
"Ah . . ." Mayang Ambari tersipu-sipu mengusap bu r-bu r keringat yang teruap dari rasa malu
yang membara kedua pipinya, manakala ia teringat betapa dekat wajah pemuda itu merapat pada
mukanya. Bahkan apabila ia tak lekas beringsut ke samping, pipinya tentu akan beradu dengan
ujung hidung yang mancung dari pemuda itu.
De k-de k mengenang peris wa-peris wa itu, terasa mendetakkan jantungnya makin keras,
darah mengalir bagai kuda berpacu, makin deras makin menyesakkan napas.
"Aduh ..." tiba-tiba terdengar pekik melolong keseraman dari arah luar candi. Serentak
lenyaplah pesona yang memukau pikiran Mayang Ambari. Terlintas pula suatu kecemasan
tentang keselamatan raden itu. Dia yang minta tolong, enak-enak menyembunyikan diri dalam
candi, raden yang menolongnya harus menghadapi bahava, kemungkinan menderita kesakitan
karena dihajar gerombolan perampok itu. Hati meronta, serentak kakipun lari ke luar "Ah" ia
mendesah kejut tetapi legah.
Tak kurang dari duabelas orang lelaki, bermacam raut wajah, bentuk tubuh dan seragam pakaian
tampak berjajar-jajar di muka sebuah gerumbul. Di muka mereka, beberapa langkah jaraknya,
tampak pemuda cakap dari dalam candi tadi tengah berhadapan dengan seorang lelaki gagah
perkasa, baju merah darah, celana hitam. Pada dada baju yang tak terkancing, tampak
menggerumbul bulu-bulu yang lebat. Rambut pada kedua pelipis mcnjulai bagai akar pohon
brahmastana, janggutnya melingkar lebat bagai sarang burung dikeremangan petang.
Pandang mata Mayang Ambari menyusur makin jauh. Dilihatnya dua sosok tubuh menggunduk
rebah di bawah pohon. Badannya menggunduk daging berjalur merah, tampak jelas karena tanpa
baju. "Ah, tentu keduanya anakbuah gerombolan jahat itu" pikir Mayang Ambari yang masih
mengembarakan pandang mata ke sekeliling. Tiba- ba ia terbeliak. Seorang dari lelaki-lelaki yang
tegak berjajar itu tengah menginjakkan sebelah kaki pada sesosok tubuh manusia "oh, batara,
adalah korban itu salah seorang dari kedua paman tadi?"
Belum keresahan ha terjawab, ekor matanyapun tertumbuk pada sesosok tubuh yang duduk
bersandar pada batang pohon "Ih" pekiknya dalam ha "itulah jelas paman yang mengajarkan aku
mencabut bulu kaki raden tadi"
"Berhen !" ba- ba terdengar pria muda yang tampan tadi menghardik. Ia terkejut walaupun
yang dihardik jelas bukan dirinya, melainkan seorang anakbuah gerombolan yang hendak
melangkah menghampiri pintu candi. Ia tak menyangka bahwa pria muda tampan muka yang halus
dan lembut tutur sapa, ternyata mampu memancarkan hardik yang sedahsyat harimau mengaum.
Anakbuah gerombolan itupun tersentak langkah.
"Selangkah engkau berani mengganggu dara di pintu candi itu, akan kulempar engkau ke dalam
parit" teriak pemuda cakap itu pula Nadanya menggelegar guruh di angkasa.
Mayang Ambari terbeliak pula. Jelas raden itu telah mengetahui dirinya ke luar di pintu candi.
Ah, mengapa ia tak mau mentaa perintah raden itu" "Tentulah ia bersungguh ha hendak
melindungi diriku agar jangan terlihat gerombolan orang jahat itu" akhirnya ia membuat
penjelasan sendiri untuk dirinya sendiri. Tetapi sesaat ia membantah pula "Tidak, aku tak ingin
raden itu menderita karena hendak melindungi diriku. Bila perlu biarlah aku yang berkorban jiwa.
Aku tetap hendak menyaksikan keselamatan raden itu"
"Keparat!" ba- ba lelaki baju merah yang gagah perkasa itu membentak "itu dia dara yang akan
kujadikan isteriku. Engkau berani menyangkal tak tahu?"
"Ya, memang semula aku tahu hal itu"
"Engkau tak mengenalnya?"
"Semula belum" "Jika begitu" nada lelaki gagah perkasa itu agak mereda "dapat kuampuni jiwamu. Pergilah
engkau melanjutkan perjalananmu. Dan akupun hendak membawa calon isteriku itu pulang"
Pemuda cakap atau raden Nararya tak menyahut melainkan berpaling kearah Mayang Ambari
"Nini, benarkah engkau calon isteri ki sanak ini?"
"Tidak, raden" cepat Mayang Ambari berteriak "jangan percaya kepadanya. Aku hendak
mempersembahkan sesaji di candi ini, di tengah jalan berpapasan dengan gerombolannya. Dia
hendak memaksa menangkap aku. Tolonglah aku raden ...."
Nararya mengangguk lalu menghadapkan pandang kearah orang nggi perkasa pula "Engkau
bohong! Dia bukan calon isterimu. Engkau hendak merampas kehormatan seorang dara!"
"Keparat!" orang berbaju merah itu berteriak mengguntur "apa pedulimu, dia bukan apa-apamu
!" "Jawab!" sahut Nararya tenang "bukankah dara itu benar dan engkau berbohong?"
"Engkau lebih percaya padanya daripada aku?"
"Ya" "Hm" orang bertubuh gagah perkasa menggeram "engkau tahu siapa diriku ?"
"Yang penting persoalannya, bukan namamu"
"Kurang ajar, apa engkau tak ingin tahu?"
"Mengapa aku harus ingin tahu" Aku manusia, engkaupun seorang manusia. Tidak beda.
Kalau beda, hanyalah karena perbuatannya"
"Keparat!" orang itu menggeram pula "aku suka kepada dara itu. Dia hendak kujadikan isteriku.
Jangan ikut campur. Engkau tentu sudah mendengar bahwa Singa Barong dari Wengker itu sudah
menelan ratusan jiwa manusia. Dia saat ini berada di hadapanmu"
Selepas berkata, lelaki bertubuh nggi besar atau Singa Barong kepala gerombolan perampok,
menyelimpatkan pandang mata ke wajah Nararya. Ia ingin melihat betapa wajah pemuda itu akan
mengeriput kerut-kerut ketakutan, tubuh menggigil dan terus melarikan diri. Tetapi alangkah
kejutnya ketika diperhatikannya pemuda itu tenang-tenang belaka, wajahnya cerah pucat.
"Engkau dengar kata-kataku tadi?" terpaksa Singa Barong mengulang.
Nararya tertawa peiahan "Aku tidak tuli"
"Lalu engkau mau mentaati perintahku atau tidak?" Singa Barong menegas.
"Sayang" kata Nararya ringkas.
"Sayang?" ulang Singa Barong terbeliak "apa maksudmu?"
"Andaikata aku tak melihat peris wa ini, engkau tentu akan berbahagia mempersun ng dara itu.
Tetapi aku telah melihatnya, itulah yang hendak kusayangkan"
Singa Barong merentang mata lebar-lebar
"Engkau menyukainya?"
"Bukan" Nararya tertawa kecil "bukan menyukai tetapi melindunginya"
"Keparat busuk! Engkau benar-benar tak sayang akan jiwamu?" teriak Singa Barong.
"Sudah tentu sayang" jawab Nararya "tetapi aku lebih suka kehilangan jiwa daripada mempunyai
jiwa yang hina" Singa Barong mendelik. Dia benar-benar tak tahu apa yang hendak diutarakan pemuda itu dalam
kata-katanya yang terselubung itu
"Apa maksudmu, bicaralah yang jelas, jangan plintat plintut seperti cacing kepanasan"
Nararya tertawa "Bukan salah kata-kata dirangkai, tetapi salah orang yang tak dapat menangkap
artinya. Baiklah akan kujelaskan. Aku lebih suka kehilangan jiwa daripada memiliki jiwa ingkar"
"Apa itu jiwa ingkar?"
"Dara itu meminta perlindungan kepadaku dan akupun sudah menyanggupi. Jika kubiarkan dia
engkau tangkap, bukankah aku ingkar-jiwa namanya?"
"Ki Singa" ba- ba seorang anakbuah yang bertubuh dempal agak pendek, menyelimpat maju
dengan mencekal sebuah gada "idinkan aku, Arjasa, menangani pemuda liar kurang susila itu"
Saat itu Singa Barong tengah menggeram. Beberapa anakbuahnya diam-diam heran mengapa
sesabar itu kepala gerombolan mereka terhadap Nararya. Suatu sikap yang belum pernah mereka
lihat pada diri kepala gerombolan mereka. Adat kebiasaannya, Singa Barong tak mau berbanyak
kata. Se ap meraung dalam aji Senggara-macan, Singa Barong tentu sudah segera menerkam
lawan. Tetapi mereka tak tahu bahwa saat itu Singa Barong sedang dipaksa untuk menimang dan
menggunakan per mbangan. Seorang anakbuah gerombolan dan Singa Sarkara yang mendahului
menyerang tadi, dalam waktu singkat telah dirobohkan oleh pemuda itu. Pada hal adiknya. Singa
Sarkara, kedigdayaannya hanya se ngkat cli bawahnya. Apabila iapun kalah, habislah sudah
riwayat kemasyhuran nama gerombolan Singa Barong yang sudah bertahun-tahun
bersimaharajalela di telatah Wengker - Matahun. Itulah sebabnya maka ia tak segera ber ndak
terhadap Nararya. Tetapi manakala Arjasa tampil ke muka, segera bangkitlah semangatnya pula. Betapapun dia
adalah Singa Barong kepala gerombolan yang termasyhur sak mandraguna dan pemuda itu hanya
seorang anakmuda yang bertubuh lemah
"Arjasa, mundur!" serentak ia membentak anakbuahnya itu. Kemudian ia maju selangkah tegak
berhadapan dengan Nararya "Engkau benar-benar hendak melindunginya?"
"Aku sudah terlanjur berjanji" sahut Nararya yang segera berkemas-kemas melihat Singa Barong
mengorak tali pinggang yang melilit di pinggang. Tarrr, tangan kepala gerombolan itu menggentak
dan terdengarlah bunyi menggeletar yang nyaring dan tajam. Kumandangnya bergema jauh
menyusup ke lembah sunyi.
"Jika engkau mampu menghadapi cambuk Gebyar Sayuta ini, aku akan mengajak anakbuahku
berlalu dari sini" serunya melantang.
"Baik" sambut Nararya "jika engkau mampu membunuh jiwaku, silahkan engkau membawa
pulang dara itu" "Jangan" seru Singa Barong pula segera memerintahkan supaya Nararya mencabut senjatanva.
Tetapi pemuda itu menolak "Aku tak mempunyai senjata apa-apa lagi kecuali sepasang tangan"
Singa Earong tak mau banyak bicara lagi. Maju selangkah, tangannya berayun dan seke ka di
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udara yang gelap memancar hamburan sinar kilat yang kemilau lalu diiring dengan letupan
dahsyat. Satuan sinar kilat dan letupan itu menghamburkan seberkas hujan percikan api yang
membias ke atas kepala Nararya.
Nararya terkejut melihat ilmu permainan cambuk yang luar biasa dahsyatnya. Ia cepat loncat
mundur diiring oleh sorak sorai anakbuah gerombolan yang tertawa mengejek.
Tar, tar .... dua kali cambuk Gebyar Sayuta berayun, menggeletar dan menghamburkan sinar kilat
menyambar tubuh Nararya. Pemuda itu masih belum terlepas dari selubung kejut dan keheranan.
Ia loncat ke samping lalu loncat ke belakang. Ia tegak tertegun. Sambaran kilat dari cambuk Singa
Barong memancarkan deru angin yang berhawa panas. Tak ubah seperti kilat.
"Ki Singa, hajarlah pemuda liar itu sampai remuk !" anakbuah gerombolan Singa Barong bersorak
sorai menambah semangat perbawa pemimpinnya.
Mayang Ambari terkejut, pucat. Ia menyesal meminta pertolongan kepada Nararya sehingga
jiwa raden itu terancam. Dalam pandangannya, Singa Barong terlalu kuat. Ia rela
mengorbankan diri asal raden itu selamat. Ia harus cepat-cepat mencegah agar cambuk kepala
gerombolan jangan sampai melukai raden itu.
"Singa Barong.....!"
(Oo=dwkz-ismoyo=oO) Jilid 2 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I Gelanggang pertempuran yang tengah menguapkan debu dan hamburan daun2 yang berguguran
diganas cambuk Gebyar Sayuta dari Singa Barong, ba- ba terkerat oleh lengking teriak yang
bernada tinggi. Singa Barong, kepala gerombolan perampok yang terkenal di daerah Matahun-Wengker, serasa
terden ng pecah anak telinganya. Getar2 teriakan yang membahana dari seorang dara yang tengah
dicengkam ketakutan, seolah menusuk-nusuk ulu ha kepala perampok itu. Padahal Singa Barong
dikenal sebagai seorang dedengkot perampok yang berha dingin, menganggap jiwa manusia tak
lebih sebagai jiwa ayam. Singa Barong terkesiap, kerutkan dahi dan heran mengapa ia mau menurut perintah teriakan itu.
Tetapi cepatlah wajahnya merah padam sesaat teringat bahwa orang itu dak memerintahkan ia
berhenti melainkan memanggil namanya. Ia malu dan marah. Cepat ia berpaling ke arah orang itu.
Seke ka pandang matanya menerkam dara can k Mayang Ambari. Ia terkesiap. Dara yang pada
saat muncul di pintu candi tampak pucat dan menggigil ketakutan, saat itu berdiri tegak
memandangnya dengan berani. Rasa heran telah menghanyutkan kemarahan, menghapus
perbekalan kata yang siap hendak ditumpahkan. Dan kecan kan dara itu makin menghampakan
pikirannya. Ia tegak termangu memandangnya.
"Singa... Barong" gadis itu meluncur kata walau ditengah jalan harus tersendat. Singa Barongpun
gelagapan. Ia malu mengapa ia harus kesima sehingga didahului pula oleh gadis itu. Untuk
menghapus kesan yang kurang baik pada anakbuahnya, cepat kepala perampok itu membentak
"Jangan banyak ribut, engkau!"
"Singa Barong, aku hendak bicara kepadamu" seru gadis itu dengan nada agak lebih berani.
Wajah Singa Barong menyeringai. Dua kepal kumis yang merimbun di atas bibirnya, tampak
berguncang-guncang macam semak, dihembus angin. Kelopak matanya merentang lebar "Engkau
mau bicara dengan aku?" serunya.
"Ya" sahut Mayang Ambari.
"Apa yang hendak engkau katakan?"
"Hentikan perkelahianmu"
"Hah?" sepasang guridu mata Singa Barong yang sebesar telur ayam, tampak membelalak
"engkau berani melarang aku?"
"Bukan melarang"
"Memerintah?" seru Singa Barong pula.
"Bukan memerintah" sahut Mayang Ambari "hanya meminta"
Singa Barong mendesuh "Hm, meminta?" ia mengulang "apa sebabnya engkau mengajukan
permintaan begitu?" "Tidak ada sebabnya"
"Engkau kasihan kepada pemuda itu?"
"Aku tak ingin melihat orang yang menolong aku akan menderita sendiri" sahut Mayang Ambari.
"Hm rupanya engkau sayang kepadanya" seru Singa Barong dalam nada mengguruh "tetapi apa
engkau yakin bahwa aku tentu meluluskan permintaanmu?"
"Bagaimana yang engkau kehendak supaya engkau mau menerima permintaanku itu?" seru
Mayang Ambari. "Aku tak menghendaki apa2" kata Singa Barong "karena sudah jelas, pemuda itu akan remuk
tulangnya dan engkau kubawa pulang sebagai isteriku"
Merah wajah dara can k itu. Dadanya bergelombang diguncang gempa ha nya "Singa Barong,
jangan engkau sekejam itu. Lepaskan raden itu dan aku bersedia ikut engkau"
"Kalau aku menolak ?" Singa Barong menyeringai tawa.
"Aku akan melarikan diri"
"Ha, ha, ha" kepala perampok itu tertawa membatu roboh "mampukah engkau meloloskan diri
dari pagar anakbuahku yang serapat gigimu itu, bocah ayu ?"
Namun wajah Mayang Ambari tak berobah. Tetap mengerut suatu keputusan yang kokoh
"Memang, Singa Barong, aku mungkin tak dapat lolos dari penjagaan anakbuahmu. Tetapi
ketahuilah, apabila engkau dan anakbuahmu menyentuh tubuhku, akan kubeset kulitku. Apabila
mereka berhasil menguasai diriku, hanya mayat saja yang engkau peroleh, karena saat itu aku pas
bunuh diri dengan cundrik ini" ia mengeluarkan sebatang patrem kecil yang disimpan dalam
pinggang. Singa Barong dan anakbuahnya terbeliak dilanda kejut yang hebat. Tak mereka sangka bahwa
dara secan k dan selemah itu, ternyata memiliki tekad yang sedemikian besar. Akhirnya Singa
Barong mau mundur selangkah "Hm, baru kali ini Singa Barong harus tunduk pada tuntutan orang.
Baik, bocah ayu, kali ini aku menerima permintaanmu. Tapi ingat, setelah jadi isteiiku jangan
engkau banyak meminta, ha, ha, ha ..."
Merah wajah Mayang Ambari. Tubuhnya gemetar keras, dilanda malu dan marah namun yang
ditekan dan yang diusahakan untuk diderita '"Jika demikian, lepaskan raden itu"
"Ya, suruh dia enyah, aku takkan mengganggunya" Singa Barong menekuk ujung cambuk hendak
dililitkan ke pinggang, sambil berpaling kearah anakbuahnya "jangan mengganggu mereka"
Kepala perampok itu menunduk sejenak untuk memeriksa letak garis pinggangnya yang hendak
disalut dengan lilitan cambuk. Hanya sekejab pikirannya tercurah akan pemasangan ceme , atau
cepat ia mendengar debur langkah kaki berayun menyorong sebujur bayang2 hitam merayap di
lanah, makin naik dan naik, menghampiri ke sisinya. Dan pikirannyapun cepat menyadari bahwa
debur langkah kaki itu berasal dari sebetah muka dan bayang2 hitam itu adalah bayang2 tubuh
manusia di ngkah sinar rembulan remang. Cepat ia mengangkat muka memandang ke muka dan
secepat itu pula pandang matanya beradu dengan sepasang gundu mata yang berkilat tajam dari
wajah seorang muda yang berdiri menggagah di hadapannya "Engkau ...... ! " serunya dalam nada
teriak. "Ya" sahut pemuda itu atau Nararya.
"Pergilah" seru Singa Barong pula "aku telah berjanji pada calon isteriku untuk melepaskan
engkau" "Hm" desuh Nararya "terserah engkau mau ber ndak bagaimana. Tetapi akupun akan ber ndak
menurut kehendakku" Singa Barong membeliak " Apa maksudmu?"
"Engkau mau melepaskan diriku atau dak, terserah " kata Nararya " tetapi aku takkan
melepaskan engkau" "Keparat!" teriak Singa Barong keras2 "engkau hendak menantang aku berkelahi lagi?"
Nararya gelengkan kepala "Hm, pelupa benar engkau ini. Bukankah pertarungan kita tadi belum
selesai" Siapakah yang menantang perkelahian itu?"
"Iblis laknat" Singa Barong marah "jika dak karena dara itu, saat ini engkau tentu sudah rebah
menjadi mayat" ia terus mengorak pula cambuk yang belum sempat dililitkan pinggang.
Melihat ketegangan membara lagi, Mayang Ambari cepat lari menghampiri Nararya "Raden ..." ia
berjongkok menelungkupi kaki Nararya "raden, janganlah raden melanjutkan maksud raden....."
Namun Nararya tak menjawab sepatahpun juga.
"Raden" Mayang Ambari mulai menengadahkan kepala memandang wajah Nararya "janganlah
raden berkelahi dengan mereka. Mereka ganas dan kejam. Biarlah aku ikut mereka dan silahkan
raden tinggalkan tempat ini ...."
Nararya merasa bahwa tangan si dara yang menelungkup kakinya itu dingin dan gemetar.
Kemudian terasa pula butir2 air hangat mencurah pada kakinya. Ia terkejut. Tentulah dara itu
menangis. Namun tenang2 saja ia berkata "Silahkan engkau ikut kepala perampok itu. Tetapi
aku tetap akan menyelesaikan pertempuran tadi"
"Raden !" Mayang Ambari menjerit. Kaget dan cemas "jangan raden, percayalah kepadaku dan
luluskanlah permintaanku"
Nararya tertawa mendengus "Aku tak pernah menolak permintaan se ap insan, bahkan bangsa
khewanpun kalau minta tolong kepadaku, tentu akan kutolong"
"Oh, terima kasih, raden" ba2 nada Mayang Ambari berobah gembira "biarlah aku berkorban
..." "Siapakah yang suruh engkau berkorban?" tukas Nararya.
"Aku sendiri, raden" sahut Mayang Ambari "aku tak menghendaki raden menderita ...."
"Engkau bebas untuk melakukan apa yang engkau kehendaki. Silahkan engkau berkorban untuk
dirimu tetapi aku tak pernah merasa meminta engkau berkorban untuk diriku"
"Ya" sahut Mayang Ambari "memang aku sendiri yang mengambil keputusan itu"
"Jika demikian" kata Nararya seraya beringsut untuk melepaskan kakinya dari tangan si dara
"silahkan engkau ikut pada kepala perampok itu"
"Dan bukankah raden segera nggalkan tempat ini?" Mayang Ambari menyertai pertanyaan
dengan pandang penuh harap.
Nararya gelengkan kepala "Haruskah kuulang lagi pernyataanku tadi" Aku tetap takkan
melepaskan seorang kepala perampok yang hendak mengganggu wanita, sekalipun wanita itu
dengan serta merta hendak memaserahkan diri kepadanya"
"Raden" teriak Mayang Ambari merin h "bunuh Mayang Ambari tetapi kumohon janganlah
raden perhina diriku sedemikian rendah"
"Aku berjanji, nini" kata Nararya "apabila engkau menerima kata-kataku itu sebagai suatu
hinaan, takkan kuucapkan lagi. Engkau sangat perasa sekali, kiranya. Tetapi adakah engkau tak
merasa telah menghina diriku juga?"
Mayang Ambari tersengat kejut "Raden, oh, bilakah Mayang Ambari menghina raden?"
"O, kiranya engkau belum merasa" kata Nararya "bahwa aku yang telah menyanggupi untuk
melindungi dirimu dari gangguan perampok, secara ba- ba engkau campakkan diriku ke lembah
hina sebagai seorang pengecut, seorang lemah yang pas akan ma terbunuh oleh seorang kepala
perampok. Tidakkah engkau menganggap hal itu sebagai suatu tindak mencemohkan diriku?"
"Raden!" Mayang Ambari menjerit " dak, raden, Mayang Ambari tak bermaksud demikian. Aku
hanya ingin menyelamatkan ..."
"Seorang ksatrya yang sudah berjanji akan memberi pertolongan tentu akan melaksanakan
janjinya. Janji adalah kehormatan seorang ksatrya dan mati adalah tebusannya. Sudahlah, nini,
jika engkau hendak menyerahkan dirimu kepada perampok itu, pergilah. Aku tetap akan
menunaikan janjiku" "Duh, raden, ampuplah kesalahan hamba ..." Mayang Ambari menangis dan menelungkup kaki
Nararya. "Diam!" tiba2 Singa Barong menghardik keras "kemarilah! Akan kuhajamya karena dia berani
menghina engkau" Singa Barong maju pula selangkah kehadapan Nararya. Namun Mayang Ambari masih tetap
menelungkupi kaki pemuda itu. Nararya terkejut, serunya gopoh "Nini, menyingkirlah ke samping.
Aku hendak menghadapi kepala perampok itu"
Tetapi Mayang Ambari tetap diam. Sesaat terkejutlah Nararya ke ka merasa bahwa tangan dan
wajah dara itu terasa dingin "Nini, bangunlah ...." serunya seraya menggoyangkan kakinya agar
dilepaskan. Tetapi ternyata tangan gadis itu masih menelungkupi dengan erat, seolah tak mau
melepaskan. Nararya agak mengkal. Tetapi maksud ha hendak menggunakan tenaga agak keras
pada kakinya agar dara itu tersiak, segera tertumbuk akan rasa kejut ke ka merasa hawa dingin
dari tangan dan tubuh dara itu makin terasa sekali menjalar ke kakinya.
"Tangan dan tubuhnya dingin dan dia tak bicara apa2, ah ...." ba2 Nararya teringat sesuatu dan
tersengat kejut. Cepat ia membungkuk dan menjamah bahu dara itu, ah, dingin sekali tubuhnya
"Nini ... nini ...." digolek-golekkannya tubuh dara itu namun tetap tak menyahut "ah, dia pingsan
...." Nararya memang telah menduga hal itu. Maka cepat ia mendekap punggung akan kaki dara itu.
Maksudnya hendak diangkat ke bawah pohon disamping. Tetapi saat itu terdengar Singa Barong
menggelegar pekik "Hai, anak liar.. jangan engkau menjamah tubuh dara itu!"
Terdengar sebuah benda menderu, menghambur angin dahsyat kearah Nararya, tepat pada saat
pemuda itu hendak membungkukkan tubuh mengangkat Mayang Ambari. Tarrr ....
Terdengar letupan dahsyat, debu dan keping2 hancuran tanah bertebaran menyelubungi
sekeliling tempat. Beberapa anakbuah gerombolan berpaling ke belakang, ada yang menutup mata
ada pula yang hanya pejamkan mata. Namun mereka tak terkejut karena sudah mengetahui bahwa
demikianlah keadaanya se ap kali cambuk Gebyar Sayuta mengunjuk gaya. Kebalikannya, yang
terkejut adalah Singa Barong sendiri.
Dengan mbulnya prahara debu campur hancuran, tanah itu, jelas bahwa cambuk Gebyar Sayuta
telah menghantam tanah. Sama sekali tak mengenai tubuh pemuda itu. Tidakkah hal itu layak
mengundang rasa kejutnya" Ia ingin melihat bagaimana keadaan pemuda dan si dara namun
kemelut debu yang bergulung tebal menghambat pandang matanya. Terpaksa ia harus bersabar
menan . Tetapi selekas debu menipis, ia harus terkejut pula bahkan sampai membelalak
memandang lekat2 seolah hendak menguji adakah yang dilihatnya itu benar2 terjadi. Saat itu
pemuda tadi sudah tampak tegak dihadapannya. Hanya seorang diri tanpa si dara cantik.
"Kemana dara itu?" tanpa disadari Singa Barong berseru heran.
"Sudah kuserahkan kepada pamanku" sahut pemuda itu yang tak lain adalah Nararya "mengapa"
Dia pingsan, apakah hendak engkau ganggu?"
"Oh" dengus Singa Barong sambil mengeliarkan pandang matanya. Di bawah sebatang pohon,
dilihatnya seorang lelaki setengah tua sedang menjaga seorang anak perempuan yang rebah di
tanah. Lelaki itu dikenalnya sebagai salah seorang yang berada di candi situ. Sedang anak
perempuan itu jelas Mayang Ambari.
"Sudah puas ?" tegur Nararya pula "jika belum, silahkan memeriksa lagi. Dan kalau sudah puas,
marilah kita lanjutkan bertempur"
Selama memimpin gerombolan perampok, telah bertahun-tahun Singa Barong bersimaharajalela
di telatah Wengker dan Matahun. Dia paling ditaku rakyat dan gerombolan-gerombolan
perampok maupun penyamun lain.
Hukum rimba berlaku juga dalam kehidupan manusia dari dunia hitam. "Gerombolan perampok,
penyamun, maling dan penjahat menyanjung Singa Barong sebagai pemimpin. Se ap hari raya,
mereka berbondong-bondong menghadap Singa Barong untuk menghaturkan bulu-bak berupa
hadiah barang2 yang berharga. Juga se ap penjahat yang datang ke daerah Wengker dan Matahun
harus menghadap Singa Barong untuk melaporkan diri dan minta idin. Pernah sekali terjadi ke ka
gerombolan perampok dari tanah Pajang datang ke Matahun, dia tak mau menghadap Singa
Barong. Pada saat ia hendak kembali ke Pajang, di tengah jalan di tepi bengawan Bogowonto,
gerombolan itu dihadang Singa Barong. Pertempuran terjadi. Singa Barong menghancurkan seluruh
gerombolan itu dan membuang mayat mereka ke bengawan. Sejak peris wa itu ada lagi orang
yang berani menentang Singa Barong.
Dan selama menikma kehidupan sebagai kepala penjahat yang disanjung oleh seluruh golongan
hitam, jarang sekali Singa Barong mendapat lawan. Dan apabila mendapat lawan, pun jarang sekali
ia menggunakan cambuk. Ia memiliki ilmu lindung, kebal senjata tajam dan memiliki ilmu
kanuragan tataran tinggi.
Bahwa dalam menghadapi pemuda Nararya ia terus langsung menggunakan cambuk, memang
mengejutkan sekalian anakbuahriya. Tetapi Singa Barong sendiri menyadari bahwa pemuda
Nararya itu memang harus diperlakukan lain. Seorang anakbuahnya dan Singa Sarkara dalam waktu
singkat dapat dirubuhkan pemuda itu.
Apa yang diperhitungkan pada diri pemuda itu, ternyata tak salah. Beberapa serangan cambuk
yang dilancarkan dalam babak permulaan tadi, ternyata tak mampu mengenai pemuda itu. Dan
yang lebih mengejutkan pula yalah serangan cambuknya yang terakhir, dimana jelas ia melihat
pemuda itu tak berjaga2 dan tengah membungkuk hendak menolong seorang dara. Namun letupan
cambuknya hanya menghantam tanah.
Seorang dedongkot perampok seper Singa Barong ternyata bukan manusia maha berani. Dia
tetap seorang manusia biasa yang masih mempunyai rasa gentar juga. Namun ke ka mendengar
kata2 yang dilontarkan Nararya, seke ka meluaplah kemarahannya "Keparat, jangan berkokok.
Engkau tak lebih hanya ayam gunung!"
"Singa Barong" ba2 Nararya berseru. Kali ini nadanya penuh membahana keberanian "kusangka
engkau seorang benggolan yang perwira maka akupun masih memaksa diri untuk menghorma .
Tetapi aku kecewa, Singa Barong, karena ternyata engkau tak lebih dari seorang manusia licik yang
menabur dirimu dengan segala ndak kejam dan buas agar orang takut kepadamu. Tetapi
ketahuilah, bahwa apabila engkau tak mau bertobat, hari ini terpaksa akan kuhancurkan nyawamu
!" "Keparat!" Singa Barong meledak kemarahannya. Cambuk diayunkan sedahsyat angin prahara.
Diserangnya Nararya dengan taburan cambuk yang berkilat-kilat bagaikan halilintar, menderu-deru
laksana angin prahara. Cambuk Gebyar Sayuta bukan sembarang cambuk. Apabila cambuk biasanya terbuat daripada
tali atau pun kulit kerbau, bahkan ada pula yang dari urat2 kerbau, daklah demikian dengan
cambuk Gebyar Sayuta. Cambuk itu merupakan senjata kebanggaan Singa Barong karena dalam
dunia hitam, ada seorang lain yang menggunakan cambuk semacam itu. Cambuk Gebyar Sayuta
itu terbuat daripada bangkai ular sanca yang berumur ratusan tahun. Lemas tetapi kerasnya
melebihi baja sehingga senjata yang bagaimanapun tajamnya, tak mampu menabas cambuk itu.
Keis mewaan lain dari cambuk itu, apabila mengenai lawan, kulit dan daging orang itu tetap utuh
tanpa terluka sedikit-pun juga tetapi tulangnya sudah remuk. Dia akan ma atau cacad tak dapat
berdiri selama-lamanya. Rasa gentar tersapu seke ka disaat dia mengayun-ayunkan cambuk Gebyar Sayuta. Gebyar atau
pancaran sinar yang berhamburan dari cambuk itu telah membangkitkan pula nyali dan
kebanggaan Singa Barong sebagai orang yang dipertuan dalam dunia golongan hitam.
Nararya diam2 terkejut. Ia pernah dengar juga tentang seorang kepala gerombolan perampok
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bernama Singa Barong. Kata orang, Singa Barong itu memiliki tenaga sekuat singa. Kata orang
pula, Singa Barong itu tak mempan dibacok senjata tajam. Dan lebih kata orang pula bahwa Singa
Barong itu dapat menghilang. Diantara cerita dan kata orang tentang diri kepala gerombolan
perampok itu, ia merasa dan membuk kan sendiri bahwa Singa Barong itu memang memiliki
tenaga yang amat kuat. Dan hal itu sesuai dengan perawakannya yang nggi besar gagah perkasa.
Bahwa kepala perampok itu kebal senjata dan dapat menghilang, ia belum membuk kan dan ingin
kiranya hendak membuk kan. Tetapi untuk mencapai langkah itu, haruslah terlebih dahulu ia
dapat mengatasi kenyataan bahwa Singa Barong itu memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Dalam minimang-nimang siasat untuk menghancurkan tenaga serangan lawan yang dahsyat itu,
Nararya tak sempat melakukan serangan balasan. Ia hanya menggunakan siasat menghindar. Dalam
hal itu yang pen ng ia harus mempertajam indera penglihatannya untuk mengiku se ap ayunan
cambuk lawan agar ia dapat menyesuaikan gerak penghindarannya, menyurut mundur atau loncat
ke samping atau melambung ke atas.
Walaupun hal itu baru dirasakan setelah beberapa saat bertempur, namun daklah
mengurangkan rasa heran yang menyelimpat dalam pikiran Nararya. Ia merasa bahwa serangan
cambuk Singa Barong itu hebat dan dahsyat tetapi ia tak merasa gentar ataupun gugup. Ia merasa
tenang. Iapun merasa bahwa ayunan cambuk lawan memancarkan sinar kemilau macam kilat tetapi
ia tak merasa silau. Pun ia merasa bahwa gerak cambuk: kepala perampok itu secepat halilintar
menyambar, namun pandang matanya selalu dapat mengiku . Ada. pula lain perasaan yang
sebelumnya tak pernah dirasakan. Bahwasanya disamping penglihatannya bertambah terang,
pendengarannya bertambah tajam, pun gerak tubuhnya bertambah ringan. Ia heran tetapi tak
sempat memikirkan. Ia ingin merenungkan tetapi cambuk Singa Barong tak mengidinkan. Hanya
sedikit saja yang sempat ia ingat, bahwa sejak bersemedhi dalam, candi di tempat itu, sudah
beberapa hari ia tak makan dan minum tetapi ia tak merasa lemas bahkan tubuhnya terasa ringan
sekali. Ayunan cambuk Singa Barong itu menimbulkah hiruk pikuk yang menyeramkan. Debu campur
pasir bertebaran menyelimu gelanggang, tanah dan cadas pu t hancur memuncratkan keping-
keping, ran ng dan daha berderak-derak patah, daun2 berguguran memenuhi tanah. Anakbuah
gerombolan perampok itu terlongong-longong menyaksikan keperkasaan pemimpinnya sebagai
mana belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka bangga mempunyai seorang pemimpin yang
sedemikian perkasa. Saat itu bulan mulai muncul mengantarkan cahayanya yang tenang dan damai. Namun Singa
Barong tak mengacuhkan amanat damai dari sang Dewi Malam. Baginya, untuk membunuh
manusia ada yang dikata siang atau malam. Tenaganya dihamburkan habis-habisan sehingga
dalam waktu tak lama, tubuhnya sudah mandi keringat dan tak lama pula, napaspun mulai
memburu keras. Semula Nararya memang menggunakan siasat menghindar dulu. Kemudian ia memutuskan,
siasat itu sebagai suatu cara yang paling tepat untuk menghadapi lawan yang bertenaga singa. Ia
hendak memeras habis tenaga lawan baru kemudian melancarkan serangan balasan. Walaupun
sudah menentukan siasat, namun sukar juga dalam pelaksanaannya. Berulang kali hampir saja ia
terkena sabatan cambuk lawan. Bahkan karena cuaca gelap ditambah pula debu bergulung-gulung
tebal, kepalanya hampir tersabat. Untung ia masih sempat menunduk hingga hanya .ikat kepalanya
yang tersambar jatuh. Namun dengan ketekunan dan kewaspadaan yang nggi, akhirnya ia mulai
merasakan suatu perobahan dalam gerak lawan. Walaupun cambuk masih menderu-deru, tetapi
perbawanya daklah seper prahara, melainkan hanya angin biasa. Dan hal itu menunjukkan
bahwa lawan mulai menurun daya serangannya atau yang berar tenaganya sudah mulai
berkurang. Saat yang dinan kan Nararyapun ba. Pada saat itu cambuk Singa Barong melancar pula,
melayang dari udara menghantam turun. Nararyapun mengisar langkah ke samping, dak loncat
seper yang beberapa kali dilakukannya. Selekas ujung ceme menghantam tanah dan
menimbulkan gelegar kegemparan yang menghamburkan kabut debu jtebal, dengan suatu gerak
yang tangkas Nararya loncat menginjak ujung cambuk itu. Kemudian ia menggunakan aji
Pengantepan sebagaimana yang telah diajarkan gurunya di pertapaan.
Masih teringat ke ka resi Sinamaya hendak menurunkan ilmu itu kepadanya. Kala itu Nararya
diajak gurunya keluar ke halaman. Tiba- ba resi itu mengaduh dan terus terdukuk di tanah.
Nararya gugup menghampiri "Aduh, Nararya, kakiku terkilir, tolonglah angkat tubuhku ke dalam
pondok" kata resi itu. Nararyapun segera melakukan perintah gurunya. Resi Sinamaya bertubuh
kurus, mudah diangkat, pikir Nararya. Tetapi alangkah kejutnya ke ka mengangkat tubuh gurunya,
Nararya tak kuat. Dicobanya sekali, dua sampai
ga kali, namun tetap ia tak mampu
mengangkatnya. Wajah Nararya merah padam, napas terengah-engah.
"Bagaimana, Nararya" tegur resi Sinamaya. Nararya tersipu-sipu merah mukanya "Maaf guru,
hamba tak mampu mengangkat tubuh paduka"
"Ah, masakan tak kuat, Nararya. Bukankah tubuhku amat kurus. Cobalah sekali lagi, angger"
Nararya menurut. Ia terkejut ke ka saat itu dengan mudah ia dapat mengangkatnya. Tubuh
gurunya amat ringan. Segera ia melangkah hendak membawanya masuk ke dalam pondok. Tetapi
baru dua ga langkah berjalan, ba- ba ia menjerit dan membungkuk ke tanah meletakkan
gurunya duduk "Mengapa Nararya?" tegur resi Sinamaya.
"Duh, guru, turunkanlah kepada hamba ilmu yang aneh itu" pinta Nararya.
Resi Sinamaya menerangkan bahwa ilmu yang digunakan itu disebut aji Pengantepan. Jangankan
hanya seorang Nararya, walaupun sepuluh ekor kuda tak kuasa menariknya apabila ia sedang
mengembangkan aji itu. Dalam menginjak ujung cambuk Singa Barong, Nararyapun menggunakan aji Pengantepan.
Walaupun Singa Barong yang terkenal amat perkasa itu, namun sampai urat-urat pada dahinya
melingkar-lingkar, tetap tak kuasa menariknya. Nararya tertawa, ba- ba Singa Barong memekik
kejut dan tubuhnya terjerembab kebelakang. Ternyata Nararya menarik aji Pengantepan sehingga
Singa Barong yang masih kemati-matian menariknya, telah terperangkap dan jatuh terjerembab.
"Uh ..." kepala perampok itu menggeram tertahan ke ka Nararya menginjakkan kaki kanannya ke
dada dan kaki kiri ke tangannya. Singa Barong rasakan dadanya seper ter ndih segunduk batu
besar. "Jika engkau berani meronta" ba- ba Nararya berseru "akan kuperkeras injakanku sehingga
dadamu pecah " Tetapi rupanya Singa Barong itu memang seorang jantan yang berani. Walaupun dibawah
ancaman maut namun ia masih tak gentar "Hai, lekas serang keparat ini....." ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena injakan kaki Nararya terasa lebih berat sehingga ia tak dapat
bernapas dan tak sadarkan diri.
Tujuh anakbuah gerombolan Singa Barong taat akan perintah pemimpinnya. Serempak mereka
berhamburan menyerang Nararya dengan senjata masing-masing.
Nararya terkejut melihat sikap, Singa Barong yang begitu keras kepala dan anakbuahnya yang
sangat taat. Setelah menginjak dada kepala perampok itu, iapun terus loncat menghindar serangan
mereka. Apabila dengan Singa Barong hanya satu lawan satu, sekarang ia harus menghadapi tujuh
orang yang bersenjata. Walaupun Singa Barong seorang lebih sak daripada ketujuh anakbuahnya
namun jumlah mereka jauh lebih membahayakan dan sukar dihadapi.
Dalam keadaan terdesak, mbullah pikiran Nararya untuk mematahkan dahan pohon dan
digunakan sebagai senjata. Gepat ia melaksanakan rencana itu. Dengan membawa dahan pohon
yang sebesar lengan orang, untuk beberapa saat ia dapat menghadapi mereka. Bahkan berhasil
juga ia menyapu rubuh seorang lawan. Tetapi akhirnya dahan pohon itu dapat tertabat kutung
oleh pedang lawan. Kini mereka mengepung Nararya lalu menyerang dari muka, samping dan
belakang. Beberapa saat kemudian, ke ka ia berhasil menghalau tusukan tombak dari lawan yang di muka,
kemudian dapat pula berputar ke belakang seraya menghantam dua orang lawan, ba- ba ia
terkejut karena dari kedua samping kanan dan kiri melancar tombak dan pedang. Ia tak sempat
menangkis maka cepat ia loncat mundur. Tetapi seorang anakbuah gerombolan ternyata sudah
siap untuk menyambut dengan tombak yang diarahkan ke lambungnya. Nararya terkejut. Ia benar-
benar tak menduga akan serangan itu. Tanpa banyak perhitungan lagi iapun segera ayun tubuh
melayang kebelakang "Ah..." tiba-tiba ia mendesuh kesakitan dan terus terdampar jatuh ke tanah.
Cuaca yang gelap dan ancaman yang mendesak tak menyempatkan Naraya untuk meneli
keadaan dibelakangnya. Ke ka ia loncat ke belakang ternyata kepalanya terantuk pada sebatang
pohon. Keras juga benturan itu sehingga ia merasa pandang matanya gelap dan jatuhlah ia ke
tanah. Anakbuahnya yang menyerang dengan tombak tadi, dengan tangkas loncat dan mengangkat
tombaknya hendak dibenamkan ke perut Nararya. Tetapi ba2 terdengar teriak keras yang
melarangnya. Orang itu cepat mengenali yang mencegah itu. adalah pemimpinnya, Singa Barong.
Maka ia-pun cepat hen kan ujung tombak tepat melekat diperut Nararya. Untuk mencegahnya
supaya pemuda itu jangan melawan.
Singa Barong memang seorang yang berisi. Sesungguhnya ia dak pingsan hanya gelap pandang
matanya ke ka dadanya diinjak kaki Nararya. Dalam beberapa kejab ia sudah mendapat kesadaran
pikirannya lagi. Saat itu ia melihat anakbuahnya hendak menghunjamkan tombak ke perut Nararya
yang tengah rebah telentang di tanah. Tiba2 ia mendapat pikiran dan segera berseru mencegahnya.
Dengan langkah sarat ia menghampiri ke tempat Nararya "Ikat tangannya!" perintahnya.
Beberapa anakbuahnya segera berhamburan meringkus Nararya mengikat kedua tangannya erat2,
kemudian ia mengangkatnya dengan kasar supaya berdiri.
"Lepaskan" teriak Singa Barong kepada anakbuah yang masih memegang tangan pemuda itu.
Kemudian ia memberi isyarat agar anakbuahnya menyingkir "akan kubelah kepalanya dengan
kapak" ia berpaling dan mengulurkan tangan ke arah seorang anakbuahnya. Anakbuah itu bergegas
menyerahkan senjata kapaknya.
"Jika kalian ngeri, menyingkirlah. Bunuh lelaki kawan pemuda ini dan tolonglah dara itu supaya
sadar" kembali Singa Barong memberi perintah.
Beberapa orang anakbuahnya segera melakukan perintah. Sedang Singa Barong segera maju
menghampiri ke muka Nararya. Sekali menggerakkan kaki sebelah kanan, ia menyapu kaki Nararya
sehingga pemuda itupun rubuh berlutut di tanah.
"Hm, keparat, hayo tunjukkan kegagahanmu lagi" Singa Barong mencemoh.
"Singa Barong" sahut Nararya dengan nada kokoh "hanya satu yang kuminta kepadamu.
Bunuhlah aku tetap jangan sekali-kali engkau hina diriku!"
"Hm" dengus Singa Barong "dalam saat-saat maut hendak merenggut jiwamu, engkau masih
mengumbar kecongkakan. Baik, sebenarnya akan kubelah tubuhmu dengan kapak ini tetapi
karena melantangkan kata-kata itu maka akan kurobah rencanaku. Engkau akan kujadikan
manusia yang paling buruk di dunia. Kedua kaki dan tanganmu akan kuhilangkan dan wajahmu
akan kucacah-cacah, ha, ha, ha .. "
Nararya terkejut mendengar rencana itu. Ia percaya bahwa manusia macam Singa Barong tentu
sampai ha melaksanakan rencana sekejam itu. Ia pejamkan mata dan berdoa dalam ha "Ah,
apakah memang dewata telah menggariskan nasibku harus ma di tangan seorang kepala
perampok" Ah, pukulun, hamba menghaturkan jiwa raga hamba kehadapan pukulun.." ia meratap
kepada dewa. Ia memaserahkan diri.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba terngianglah u-capan dari gurunya, resi Sinamaya, dikala
ia hendak turun gunung "Nararya, segala apa terserah kepada dirimu sendiri, kepada usaha
dan dayamu sendiri. Dewapun hanya meluluskan daya usahamu itu"
Kata-kata itu bagaikan lintasan kilat, memancar dan padam. Namun cukup untuk
membangkitkan semangat Nararya. Mengapa ia harus paserah diri kepada dewa, apabila ia
sendiri tak mau berusaha untuk menanggulangi maut yang tengah mengancam saat itu" Benar
kedua tangan diikat kencang-kencang pada tubuhnya, tetapi ia masih memiliki sepasang kaki
yang dapat digunakan untuk menyelamatkan diri. Adakah ia berhasil atau gagal memberi
perlawanan hanya dengan modal sepasang kaki, ia tak tahu dan tak perlu memikirkan. Yang
penting ia harus berusaha dahulu. Sebelum ajal berpantang maut.
"Sekarang tanganmu dulu" ba- ba Singa Barong berteriak seraya ayunkan kapaknya membelah
bahu Nararya. Nararyapun sudah siap menghadapi. Setelah memperha kan bahwa kapak hendak
menghantam bahu kirinya maka cepatlah ia membuang tubuh ke samping kanan lalu melen ng
bangun. Bum ... kapak membelah tanah, menghamburkan keping2 dan percik tanah keempat
penjuru. Singa Barong terkejut, demikian pula beberapa anakbuahnya yang mendengar bumi menggetar
keras. Mereka buru2 kembali ke tempat pemimpinnya. Mereka terkejut melihat Singa Barong
meraung dan menyerang Nararya dengan buas. Bukankah pemuda itu sudah diikat tangannya"
Mengapa pemimpin mereka masih tak dapat membunuhnya" Jawaban itu segera mereka ketahui
setelah ba di dekat mereka. Dan apa yang disaksikan hanyalah menyebabkan mereka terlongong
keheranan. Singa Barong dengan buas menyerang dan Nararya dengan tangan terikat berlincahan
menghindar. Ingin para anakbuah itu membantu menangkap Nararya tetapi mereka cukup faham
akan perangai pemimpinnya. Apabila dak diperintah mereka berani campur tangan, walaupun
tujuannya hendals membantu, tetapi Singa Barong tak dapat memberi ampun. Anakbuah itu tentu
akan dihantamnya sendiri karena dianggap lancang. Itulah sebabnya maka merekapun hanya
berdiri bersiap-siap saja.
Betapapun karena kedua tangannya telah terikat pada tubuh, begitu pula yang dihadapinya itu
Singa Barong yang terkenal digdaya, akhirnya Nararya terdesak juga. Dengan suatu gerak siasat
yang bagus, Singa Barong berhasil mempedayai Nararya sehingga pemuda itu terkait kakinya dan
jatuh terpelan ng. Saat itu laksana seekor harimau lapar, Singa Barong segera loncat dan ayunkan
kapaknya membelah kepala Nararya. Nararya terkejut namun ia sudah tak berdaya menghindar
lagi. Tahu bahwa tentu ma maka ia hampakan pikiran satukan semangat dan heningkan ha
menunggu saat2 jiwanya akan melayang tinggalkan badan wadagnya.
"Uh ..." ba2 Singa Barong mendesuh kejut dan heran. Serentak kapak terhen tepat di atas
ubun2 kepala Nararya. Mata kepala perampok itu merentang lebar, wajah meregang tegang.
Sekalian anakbuahnya menyaksikan peristiwa aneh itu. Mereka melihat Singa Barong
hentikan kapak di atas ubun-ubun kepala lawan. Merekapun menyaksikan Singa Barong tegak
terpaku, wajah menampi! rasa seram. Tetapi mereka tak tahu apa yang telah terjadi. Bukankah
pemuda itu duduk terkulai pejamkan mata dalam kepaserahan yang putus asa"
Cempurit, anakbuah perampok yang terkenal berani, segera hendak berseru. Tetapi sebelum ia
sempat membuka mulut, ba- ba ia melihat Singa Barong lepaskan dan menyurut mundur. Dan
lebih terkejut pula Cempurit serta kawan-kawannya ke ka melihat Singa Barong duduk bersila di
hadapan pemuda itu. Masih rasa kejut mereka meluap makin hebat ke ka ba- ba melihat
pemimpin mereka mengangkat kedua tangannya dan menyembah pemuda itu "Duh, raden,
maafkanlah kesalahan hamba ...."
"Ki Singa!" karena tak kuasa menahan luap kejutnya, Cempurit serentak berseru "dia adalah .."
Tiba- ba Singa Barong berpaling dan membentak keras "Hayo, kamu duduklah dan haturkan
sembah kepada raden"
Wajarlah apabila Cempurit dan anakbuah gerombolan itu terbelalak, kemudian saling pandang
memandang dengan penuh pertanyaan. Tetapi mereka tak sempat meluncurkan kata-kata karena
saat itu Singa Barong berteriak penuh kemarahan "Hayo lekas, barangsiapa tak mau menurut
perintah, tentu kubunuh! "
Anakbuah gerombolan itu ketakutan. Serempak mereka melakukan perintah kepalanya. Dalam
pada itu Nararya merasa heran mengapa kapak kepala perampok itu tak kunjung menghunjam
tubuhnya "Ah, tak mungkin kepala perampok itu mau memberi ampun kepadaku. Mungkin karena
kapaknya terlampau tajam sehingga aku tak terasa apa-apa" bantah Nararya. Ia lebih percaya
bahwa dirinya tentu sudah ma "ya, mungkin beginilah rasa orang ma itu. Sunyi, hening ada
terasa apa-apa. Hampa dan ringan seperti tiada berbobot ..."
Tiba2 ia terkesiap sendiri "Mengapa aku masih dapat berpikir. Adakah orang ma itu dapat
menggunakan pikirannya ...." belum ia menemukan jawaban, ba2 terdengar suara orang meminta
maaf kepadanya "Eh, mengapa aku masih mendengar suara orang ?" ia makin terkejut dan lebih
terkejut pula ke ka pikirannya meningkat bahwa rasanya ia kenal dengan nada suara orang itu
"Singa Barong ..." pada saat mencapai pemikiran itu, seluruh indera perasaannya telah kembali
pula dan mengembanglah kesadaran pikirannya lagi. Selekas ia merasa telah memiliki kesadaran,
selekas itu pula ia membuka mata "Ah, Singa Barong ...." ia tak melanjutkan kata-katanya karena
terbenam rasa heran melihat kepala perampok itu duduk bersila di hadapannya "engkau ...."
"Raden" Singa Barong mengangkat muka dan menghaturkan sembah pula "maa anlah
kesalahanku" Manakala bermimpi aneh, sekejab saja perasaan aneh, heran dan menafsir-nafsirkan itu hinggap
pada benak orang. Karena mereka menyadari bahwa kesemuanya itu hanya mimpi, sesuatu yang
mengembang dalam angan-angan waktu dur. Tetapi apa yang dialami Nararya, benar2 suatu
mimpi yang nyata. Sesuatu yang tak pernah diangan-angan tetapi benar2 telah terjadi dalam
mimpi. Mimpi tetapi dak mimpi. Mimpi karena hal itu hanya dapat terjadi dalam impian. Tidak
mimpi karena apa yang dialaminya itu benar2 terjadi dalam kenyataan.
"Mengapa engkau minta maaf kepadaku ?" akhirnya untuk membuk kan bahwa ia benar2 masih
hidup dan benar2 tidak mimpi maka Nararya melantangkan suara.
"Karena aku berani hendak membunuh raden" sahut Singa Barong..
"Ah" Nararya menghela napas longgar karena mulailah mbul kepercayaan bahwa ia masih
hidup, bahwa ia dak bermimpi pula "Apakah aku masih hidup" Apakah engkau dak berolok-
olok?"" "Tidak, raden" sahut Singa Barong "raden tak kurang sesuatu dan akupun tidak berolok-olok"
"Tetapi bukankah engkau tadi telah mengayunkan kapakmu kearah kepalaku" Ah, aku tentu
sudah mati ..." "Benar, raden. Tetapi kapak itu ... kapak itu ...."
"Kapak itu bagaimana, ki sanak?" Nararya me-ngejarkan pertanyaan.
Dengan suara pelahan bahkan hampir seper orang berbisik, Singa Barong berkata "Adakah
raden tidak merasakan sesuatu?"
"Merasakan apa?" Nararya makin heran.
"Benarkah raden tidak merasakan apa2?"
Nararya gelengkan kepala "Tidak, ki sanak"
"Yah" Singa Barong menghela napas "pada saat kapak itu melayang turun, ba2 dari ubun2
kepala raden telah keluar segulung asap pu h yang sesaat kemudian ba2 telah berobah menjadi
seekor ular naga yang mengenakan jamang pada kepalanya. Ular naga itu mengangakan mulut dan
menyambar kapak. Seke ka itu kurasakan tubuhku lunglai, raden, sehingga kulepaskan kapak. Aku
menggigil karena tiba2 ular naga itu telah berobah .... berobah ...."
Kembali Singa Barong tak dapatmelampiaskan kata-katanya. Tampaknya kesan yang dilihatnya
itu masih melekat dan menimbulkan guncangan ha yang hebat. Sedemikian hebat sehingga
wajahnya tampak pucat. "Eh, ki sanak, mengaca engkau tersendat-sendat membawakan keteranganmu " Apakah yang
engkau lihat?" "Aku melihat suatu perwujutan dari seorang dewa, Hyang Batara Wisynu .... !"
Nararya tersentak kaget. "Apa katamu " "
"Batara Wisynu"
"Ah, jangan berolok-olok. Mungkin engkau berkhayal. Bagaimana engkau tahu perwujutan
Batara Wisynu?" "Perwujutan itu serupa benar dengan patung Batara Wisynu seper yang kulihat dalam candi2,
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raden" "Ah" Nararya mendesah, termenung merenungkan ucapan itu. Ia tak percaya namun menilik
seorang kepala perampok seganas Singa Barong, sampai mau tunduk dan menyembah kepadanya,
kemungkinan tentulah kepala perampok itu tak berdusta. Tetapi bagaimana mungkin Hyang Batara
Wisynu muncul dari ubun2 kepalanya" "Ah ...." kembali ia mendesah dalam-dalam "mungkin dia
berkhayal" Beberapa jenak kemudian ia berkata pula "Ah, ki sanak, janganlah engkau percaya hal itu. Aku
seorang manusia biasa dan Hyang Batara Wisynu itu adalah dewa yang tertinggi"
"Benar" sahut Singa Barong "raden boleh mengatakan begitu tetapi aku, Singa Barong,
merasa telah mendapat anugerah penerangan batin dari Hyang Wisynu. Dikala menghadapi
perwujutan dari Hyang Wisynu itu, aku seperti melihat pada sebuah cermin. Tubuhku
berlumuran darah, wajahku tampak seperti seekor harimau buas, gigiku bertumbuh caling.
Sifatku bukan lagi seperti manusia tetapi seperti seekor binatang buas. Duh, raden, tolonglah
aku. Tunjukkan jalan bagaimana aku harus menuju kembali ke jalan yang terang. Agar aku
mendapat kembali sifat ke-manusia-wianku ...."
Makin terkejut Nararya mendengar rintihan kepala perampok itu. Ia hendak menyangkal
bahwa dirinya bukan Hyang Batara Wisynu, melainkan seorang manusia biasa. Namun ia tak
ingin mengecewakan harapan Singa Barong. Sebagai seorang ksatrya, tak boleh ia menolak
permintaan tolong dari orang yang sedang menderita. Singa Barongpun sedang menderita.
Bukan menderita luka di tubuh, melainkan menderita batin. Rupanya dia telah melihat sesuatu
kegaiban yang dapat menyadarkan kegelapan pikirannya. Ia harus membantunya.
"Ki sanak berbahagialah engkau karena telah menemukan suatu sinar gaib yang akan menuntun
engkau ke jalan yang benar "kata Nararya "entah apakah yang engkau lihat benar-benar
perwujutan dari Hyang Wisynu ataukah hanya dari angan-anganmu sendiri, itu bukan soal. Yang
pen ng engkau telah terketuk pintu ha nuranimu dan engkaU telah membukakan pintu untuk
menerima sinar kesadaran. Ki sanak, jika engkau telah merasa dan menghaya sinar gaib itu telah
menerangi lubuk ha mu, maka segeralah engkau kembali ke jalan yang suci. Hen kan pekerjaanmu
yang merugikan orang itu dari tuntutlah kehidupan baru yang tenang dan suci"
"Tetapi raden" kata Singa Barong "tanganku sudah terlanjur berlumuran darah manusia.
Dapatkah dosa-dosaku yang setinggi anakbukit itu tercuci bersih?"
Nararya menjawab "Soal dosa dan kesalahanmu dapat tercuci atau tidak, janganlah engkau
risaukan. Yang penting mulai saat ini engkan sudah melangkah ke jalan yang lurus, sudah
bertobat dan akan menjadi seorang manusia yang baik. Serahkan segala sesuatu dari
perbuatanmu yang lampau itu kepada keadilan Hyang Murbeng Gesang. Karena Dialah yang
maha adil, maha pemurah dan maha tahu serta maha penyayang"
"Raden" seru Singa Barong pula "adakah aku harus menjadi pandita atau brahmana agar dosa-
dosaku itu dapat pengampunan?"
"Ki Singa" kata Nararya "orang tak dipaksa untuk menjadi pandita atau brahmana. Hal itu
hanya timbul dari kesadaran orang itu sendiri. Dan ingat, ki sanak, pemaksaan diri untuk
mendapatkan suatu pamrih, tidak bersifat murni, masih kurang suci. Maka janganlah engkau
memaksa diri. Lakukanlah segala apa menurut kesadaran hatimu. Karena jalan untuk menuju ke
arah yang benar dan suci, tidaklah hanya melalui kepanditaan atau kebrahmanaan tetapi amat
luas. Yang penting ki Singa, engkau harus menyadari akan sumber dari pemberi kehidupan,
manembah kepada Hyang Murbeng Dumadi. Manembah dalam arti yang luas, bukan hanya
sekedar berdoa dan menghaturkan sesaji tetapi benar2 melakukan amal dan dharma kebaikan
dan kebenaran" "O, raden" seru Singa Barong "tubuh Singa Barong sudah berlumuran darah dan dosa. Bagaimana
orang akan mau menerima diriku sebagai manusia baik" Bagaimanakah, raden, cara aku harus
menjalankan kebaikan dan Kebenaran itu?"
"Setiap kesadaran akan kesalahan, merupakan titik tolak menuju ke jalan yang benar" jawab
Nararya "ki Singa, mengapa engkau masih mengenangkan masa yang lampau. Masa yang
lampau biarlah lampau, kita hidup pada saat ini, maka wajiblah kita memikirkan, memperbaiki
dan meluruskan jalan hidup kita harini"
Singa Barong menghela napas "Ah, tak mudah orang melupakan diriku ini siapa"
Nararya tertawa "Ki Singa, mana lebih terkenal Singa Barong dengan Ken Arok?"
Singa Barong terbeliak. Ia tak tahu apa yang dimaksud Nararya dalam pertanyaan itu namun ia
menjawab juga "Sudah tentu Ken Arok, raden. Singa Barong hanya kepala perampok, Ken Arok raja
pendiri kerajaan Singasari, bagaimana hendak menyamakan diriku dengan baginda Singasari?"
"Orangnya lain, pangkatnyapun berbeda" kata Nararya "tetapi riwayat hidupnya hampir tak
beda. Bukankah semasa muda, Ken Arok itu juga nakal sekali, gemar berjudi, mencuri dan lain-
lain kejahatan. Kemudian setelah dia menjadi raja, adakah orang masih mengusik riwayat
hidupnya yang lampau" Adakah rakyat menolak beliau sebagai raja karena perjalanan hidupnya
pada masa lampau penuh noda hitam?"
Singa Barong termenung. "Tetapi raden" masih Singa Barong mencari alasan "Ken Arok dapat menjadi maharaja, sedang
aku?" "Ah, ki Singa" jawab Nararya "memang tidak setiap manusia mendapat anugerah dewata menjadi
raja. Sedemikian pula dak se ap manusia mendapat kutuk dewa menjadi perampok. Raja dan
perampok adalah sesama insan tah dewata. Hanya mereka berbeda dalam pangkat dan cara
menuntut kehidupan. Tetapi siapakah yang menentukan dan membuat perbedaan itu, ki Singa?"
Singa Barong tertegun pula.
"Kurasa hanyalah diri orang itu sendiri" Nararya melanjutkan "'jika sudah tahu bahwa
pekerjaan perampok itu tidak baik, mengapa tidak kita robah. Mengapa kita malu .merobah
suatu kesalahan atau kejahatan" Ki Singa, jangan engkau mengeluh kepada dewata karena
engkau tak dijadikan raja semisal jangan engkau menyesali dewata karena engkau menjadi
perampok. Dewata tidak pernah menitahkan insannya menjadi apa2 dan tak pernah memberi
anugerah begitu saja kepada insan manusia. Tetapi hanya mengabulkan apa permohonan
manusia yang disertai dengan kesujutan dan upadaya yang sungguh2. Jika engkau ingin
merobah perjalanan hidupmu kembali ke jalan yang benar, dewata pasti takkan menolak, pasti
akan merestuimu" "Tetapi manusia2 di masyarakat besar ini tentu takkan menerima aku, raden"
"Jangan engkau berkecil ha , ki Singa" kata Nararya "jangan engkau hanya mempersalahkan
mereka karena dak menerima dirimu. Andaikata engkau adalah mereka dan mereka menjadi
engkau, rasanya tentu demikian. Itu sudah wajar. Oleh karena itu, tunjukkanlah dirimu bukan lagi
Singa Barong kepala perampok yang kejam, tetapi Singa Barong pendekar yang memberantas
Kejahatan, pelindung rakyat yang lemah, penolong yang selalu terbuka tangan terhadap mereka
yang benar2 membutuhkan pertolongan. Percayalah ki Singa, apa yang engkau peroleh dari rakyat,
jauh lebih besar dari pada benda hasil rampokan itu. Merampok, engkau hanya mendapat benda
tetapi dikutuk dan dibenci manusia, dijauhkan dari kebesaran dewata. Kebalikannya jika engkau
menuju jalan lurus, engkau akan mendapat ha dan dukungan rakyat, dekat dengan rahmat
dewata. Adakah kebahagiaan hidup yang lebih, bahagia daripada dicintai sesama manusia dan
mengabdi kepada Hyang Murbeng Dumadi, ki Singa ?"
"Duh, raden" seru Singa Barong dalam nada nenuh pendambaan "malam ini Singa Barong telah
menderita kekalahan yang bahagia. Seumur hidup Singa Barong belum pernah kalah tetapi seumur
hiduppun Singa Barong belum pernah merasa bahagia seper malam ini. Kekalahan itu merupakan
kemenangan bagiku. Radenlah yang telah memberi kemenangan kepada jiwaku"
"Ah, jangan engkau mengucap demikian, ki Singa" kata Nararya "aku hanya sekedar memberi
penerangan, yang membuka hatimu adalah engkau sendiri"
"Raden" seru Singa Barong "biasanya kuanggap malam itu suatu saat yang tegang dan
merangsang. Karena malam hari merupakan waktu aku beker-ia, merampok, menganiaya dan
bahkan membunuh o-rang yang dak mau menyerahkan harta bendanya. Saat ini bedalah malam
itu dalam perasaanku. Malam kurasakan tenang dan sejuk. Dulu siang kurasakan panas dan
menyilaukan, aku tak senang. Tetapi sekarang kubayangkan betapa indah surya itu menyinari jagad
ini, raden" "Berbahagialah engkau, ki Singa" seru Nararya "karena engkau telah kehilangan dan menemukan
kembali. Mungkin bagi seorang yang tak pernah kehilangan, tentu tak dapat menghaya ar
daripada sesuatu yang hilang itu dan mungkin kurang pula peresapannya terhadap sesuatu yang
dimilikinya" "Apakah maksud raden ?" tanya Singa Barong. Rupanya Nararya tahu bahwa seorang kasar
dan perampok yang berkecimpung dalam dunia kejahatan tentu kurang perhatiannya terhadap
hal2 yang menyangkut kejiwaan. Maka iapun menerangkan "Begini, ki Singa, misalnya pada
hari2 biasa engkau tentu tak merasa dan tak memperhatikan betapa bahagia kita memiliki
tubuh yang lengkap dan sehat. Engkau menganggap hal itu memang sudah wajar bahkan sudah
kodrat. Tetapi cobalah pada suatu ketika, bila jempol kakimu mengijak duri sehingga
membegap dan bernanah, sakit dibawa jalan. Nah, pada saat itu, engkau tentu mencurahkan
perhatian untuk menyembuhkannya. Dan pada saat itu baru engkau menyadari betapa penting
dan bahagia kita memiliki jempol kaki. Demikian pula dengan lain2 anggauta tubuh kita,
demikianlah yang kumaksudkan dengan sesuatu itu"
Singa Barong mengangguk-angguk "Benar, raden. Aku memiliki peri-kemanusiaan, tetapi
peri-kemanusia-anku hilang. Aku hidup dalam kegelapan malam yang penuh keseraman rayuan
iblis jahat. Kini aku menyadari pula bahwa alangkah cerah dan bahagia hidup dalam alam peri-
kemanusiaan itu. Aku adalah manusia dan manusia itupun aku. Menyiksa manusia sama halnya
dengan menyiksa diriku. Mereka menangis dan merintih karena kurampok harta bendanya,
kubunuh jiwanya. Akupun tersiksa batinku karena, aku makan nasi airmata mereka, aku tidur
mendengarkan ratap tangis mereka dan aku hidup dibayang-bayangi arwah2 mereka yang
menjadi korban keganasanku ...."
"Cukup, ki Singa" tukas Nararya "telah kukatakan, jangan engkau hidupkan pikiranmu pada yang
sudah lampau. Hiduplah sekarang, kuburlah hari2 yang lampau. Sekarang bagaimana kehendakmu,
ki Singa ?" "Raden" kata Singa Barong "janganlah raden kepalang tanggung menolong diriku. Aku ingin
mengikuti barang kemana raden pergi. Aku rela menjadi abdi raden"
Nararya terkejut "Tidak, ki Singa. Eh, maaf, bukan aku menolak engkau karena engkau bekas
kepala perampok, melainkan tidaklah sesuai apabila engkau mengikuti langkahku. Aku seorang
kelana yang tiada menentu arah tujuanku"
"Tetapi, raden ...."
"Ki Singa, engkau telah merugikan rakyat telatah Wengker dan Matahun, apabila engkau hendak
menebus dosa, berbuatlah kebaikan terhadap mereka"
"Bagaimanakah, raden, cara aku harus berbuat kebaikan itu ?"
"Untuk berbuat kebaikan, banyak sekali cara dan jalannya. Misalnya, gunakanlah harta benda
yang engkau peroleh secara tak halal itu untuk memberi dana guna pembangunan rumah2 suci,
pembangunan desa, menolong orang2 miskin dan lain2 yang bersifat amal dan kepentingan umum"
Singa Barong mengangguk "Terima kasih, raden. Petunjuk raden itu pasti akan kulakukan.
Tetapi betapapun, aku tetap ingin ikut pada raden"
Nararya menghela napas. Merenung. Beberapa saat kemudian ia berkata "Ki Singa, baiklah,
kuterima pengabdianmu. Tetapi bukan sekarang. Kelak apabila aku dapat diterima sebagai prajurit
Singasari, tentu akan kupanggil engkau"
"O, apakah raden bermaksud hendak masuk prajurit Singasari ?" tanya Singa Barong.
"Kemungkinan besar demikian" jawab Nararya "karena aku bertujuan untuk mengabdikan
hidupku kepada negara. Dan sekarang, silahkan engkau pulang. Kuharap engkau benar2 dapat
melaksanakan harapanku kepadamu tadi"
"Baik, raden" kata Singa Barong "akan kutunggu janji raden kepadaku. Apabila sampai
beberapa tahun raden tak mengirim berita kepadaku, terpaksa aku akan mencari raden
kemanapun juga" "Ah, ki Singa, jangan mendewa-dewakan aku. Aku tetap seorang manusia. Engkau juga manusia.
Gali dan kembangkanlah dirimu dalam melakukan amal dan dharmamu kepada negara dan rakyat.
Mungkin engkau lebih berguna dari diriku"
Setelah memberi hormat dan minta diri maka Singa Barongpun berbangkit, menghampiri
rombongan anakbuahnya "Singa Sarkara dan bekas anakbuahku sekalian ..."
Terkejut sekalian anakbuah Singa Barong dikala mendengar pemimpin mereka menggunakan
kata bekas. Namun mereka tak berani buka suara.
"Mulai saat ini, kalian kubebaskan. Ambillah, sekehendak kalian barang2 hasil kita dan hiduplah
sebagai manusia yang baik. Namun jika kalian masih ingin melanjutkan, terserah, akupun tak dapat
menghalangi" "Kakang Singa" teriak Singa Sarkara "hendak kemanakah engkau?"
"Aku akan kembali ketengah masyarakat rakyatku. Aku ingin menjadi warga masyarakat yang
baik, adi" "Tetapi kakang, mereka tentu takkan mau menerima kakang ...." belum selesai Singa Sarkara
mengucap, sekonyong-konyong dari balik semak2 terdengar suara melantang yang bernada
mencemoh "Benar, benar, sudah terlambat Singa Barong ...."
Singa Sarkara dan kawan-kawan, Singa Barong dan Nararya, serempak mencurahkan pandang
kearah suara itu. Dimulai dari sesosok tubuh yang bangkit dari gerumbul semak maka berturut-
turut muncul pula beberapa belas kemudian berpuluh sosok tubuh lain. Orang yang pertama
muncul itu, menyiak semak gerumbul lalu mempelopori maju menghampiri ke tempat rombongan
anakbuah Singa Barong. Empatpuluh orang dengan menghunus tombak dan pedang mengiring
orang pertama itu, melingkari rombongan Singa Barong di tengah.
Dalam keremangan cuaca malam, tampaklah orang yang pertama maju itu berpakaian
keprajuritan. Demikian pula dengan keempat puluh pengikutnya.
"Siapa kalian!" tegur Singa Sarkara dengan nada keras.
Dengan langkah tenang orang itu menghampiri, berhen beberapa langkah di hadapan
rombongan Singa Barong, melekat pandang kearah Singa Sarkara dan menjawab "Aku, bekel Ku ,
dari pasukan Wengker"
"O" desuh Singa Sarkara. Nadanya agak getar "mau apa kalian kemari ?" cepat ia melanjutkan
kata2 yang sengaja dikumandangkan tinggi untuk membangkitkan semangatnya.
"Menangkap kawanan perampok yang telah mengganas di tumenggungan Pura" seru bekel Ku
yang mengepalai prajurit2 Wengker.
Singa Sarkara, terbeliak lalu tertawa "O, benar, memang kami inilah rombongan Singa Barong
yang telah merampok gedung kediaman tumenggung Pura. Berapa banyak prajurit yang engkau
bawa, bekel Kuti?" "Empatpuluh orang"
"Ah, terlampau sedikit. Adakah engkau percaya akan mampu melakukan tugasmu?" seru Singa
Sarkara pula mencemoh. "Mungkin terlalu banyak" sahut bekel Ku dengan tersenyum "karena cukup dengan beberapa
prajurit saja, kurasa tentu dapat melaksanakan tugas itu"
Singa Sarkara tertawa "Bekel Ku , layak kiranya kalau bekel tak ternama seper engkau
melantangkan kesombongan. Kurasa engkau memang belum kenal siapa Singa Barong itu.
Tumenggung Pura, jahat dan kejam, suka menindas rakyat. Adakah tumenggung semacam itu harus
kamu bela?" "Aku adalah bekel prajurit keamanan Wengker. Se ap pengacauan dan kerusuhan yang
mengganggu keamanan Wengker, tentu akan ku ndak. Soal bagaimana peribadi gus tumenggung
Pura, bukan hak dan kewajiban kami untuk menilai" sahut bekel Kuti.
Cempurit, anakbuah rombongan Singa Barong, rupanya tak sabar lagi melihat sikap bekel Ku . Ia
segera tampil ke muka dan mefantang "Bekel, cobalah engkau nikma dulu pukulanku ini baru
engkau berhak berbicara"
Sebuah gerakan maju dalam gaya setengah loncat, dilakukan oleh Cempurit dikala ia
melayangkan tinjunya ke dada bekel Kuti.
"Cempurit, berhenti" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak menggeledek. Namun
Cempurit sudah terlanjur menerjang. Dia mendengar dan mengenali bahwa suara itu adalah
suara Singa Barong namun tak kuasa menghentikan laju terjangannya. Tiba2 bekel Kuti yang
dilihatnya masih tegak tenang, berkisar ke samping dan seketika itu ia rasakan sebelah kakinya
telah disapu kaki orang. Kuat sekali tenaga kaki orang itu hingga ia-tak kuasa mempertahankan
keseimbangan tubuhnya. Bluk..... jatuhlah Cempurit terbaring ke tanah.
"Ah" Singa Sarkara berteriak tertahan seraya maju menghampiri tetapi saat itu pula Singa
Barongpun berseru "Adi, jangan engkau lanjutkan juga langkahmu"
Singa Sarkara terhenti, berpaling "Mengapa kakang?"
"Sudahlah, adi" seru Singa Sarkara pula "kembalikan barang2 dari tumenggung itu kepada bekel
itu" Singa Sarkara tersengat kaget. Demikian pula sekalian anakbuahnya "Apa kata kakang
Singa?" Singa Sarkara menegas.
"Kembalikan barang2 kepunyaan tumenggung Pura" Singa Barong memberi penegasan.
"Kakang" teriak Singa Sarkara "aneh sekali sikap kakang Singa! Dengan pertaruhan jiwa, kita
berhasil mendapatkan barang2 itu mengapa semudah itu harus kita kembalikan. Adakah kakang
takut kepada prajurit2 Wengker?"
Singa Barong tertawa hambar "Jika takut masakan aku membawa engkau ke tumenggungan Pura.
Aku bukan takut kepada prajurit2 Wengker, adi, tetapj aku takut pada dosa dan salah"
Singa Sarkara terbeliak "Bilakah kakang belajar takut pada dosa dan salah?"
"Baru beberapa de k yang lalu ke ka bertemu dengan raden itu" sahut Singa Barong "aku telah
melihat wajah Hyang Wisnu, adi. Aku.harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar"
Singa Sarkara tertawa datar. Diam-diam ia menertawakan perobahan sikap kakangnya. Ke ka
Singa Barong mengayunkan nju ke arah kepala Nararya dan terhen , Singa Sarkara tak melihat
suatu apa kecuali tampak Singa Barong terbelalak dicengkam rasa kejut dan ngeri yang
mengherankan. Ia tak melihat apa yang dikatakan Singa Barong sebagai Batara Wisnu dan lain2.
Dan sejak saat itu berputarlah beberapa puluh derajat sikap dan ngkah Singa Barong terhadap
Nararya. Membayangkan peris wa itu dengan ndakan Singa Barong yang bermaksud hendak
mengembalikan barang rampasan dari tumenggung Pura, ba2 terlintaslah sesuatu pada benak
Singa Sarkara "Kakang Singa, engkau telah terkena mantra peluluh dari pemuda itu"
Singa Barong terkesiap. Ia tahu juga tentang beberapa ilmu dari aliran hitam yang berupa mantra
ataupun guna-guna atau jimat. Sejenak Singa Barong terpanar dalam keraguan. Sesaat kemudian ia
mengerling pandang kearah Nararya. Nararya menyongsong pandang pula kepadanya. Walaupun
cuaca remang namun Singa Barong dapat juga menembuskan pandang mata ke wajah Nararya..
Dalam kecerahan wajahnya yang berseri terang, ia mendapatkan suatu pancaran sinar mata yang
memercikkan kebeningan dan keteduhan. Keteduhan dari sifat pengayoman dan kejujuran. Singa
Barong pejamkan mata, seolah membawa berkas pancaran sinar mata Nararya itu kedalam dada
sanubarinya. Sesaat lenyaplah rasa keraguan dan kesangsian dalam ba nnya "Ah" ia menghela
napas "mengapa mudah sekali pikiranku goyah. Prasangka itu. suatu hai yang buruk, menandakan
bahwa batinku masih belum mengendap, masih bergolak"
Singa Barong membuka mata, serunya "Sarkara, janganlah mudah engkau menghambur fitnah.
Jangan pula engkau coba mempengaiuhi pikiranku. Adakah raden itu menggunakan mantra ilmu
hitam atau dak, tetapi saat ini aku sudah menyadari bahwa perjalanan hidup kita itu, jahat dan
berdosa. Bagaimanapun merampok, membunuh dan menganiaya jiwa manusia itu, adalah dosa.
Aku telah menyadari hal itu, Sarkara. Dan pendirianku memang begitu maka kuminta engkau
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembalikan barang2 yang telah kita rampas dari tumenggungan"
Singa Sarkara menyahut "Oleh karena kakang sudah membubarkan rombongan kita, maka kakang
tak berhak memberi perintah dan memaksakan pendirian kakang kepada lain orang"
"Tadi telah kukatakan" kata Singa Barong "bahwa aku mempersilahkan kalian untuk mengambil
jalan hidup sendiri-sendiri sesuai yang kalian inginkan. Tetapi dalam masalah harta benda yang kita
rampas dari tumenggungan itu, aku masih berhak untuk memberi keputusan"
Singa Sarkara mendesuh. Ia tak langsung menjawab kepada Singa Barong melainkan berpaling
dan berseru kepada anakbuahnya "Kawan-kawan sekalian, soal kalian hendak menuntut kehidiipan
lain akupun tak menghalangi. Tetapi sesuai dengan keputusan kakang Singa Barong yang memberi
kelonggaran kepada kita untuk mengambil barang-barang yang kita inginkan, maka barang-barang
dari tumenggungan inipun harus kita bagi rata. Apakah kalian setuju?"
Serentak kedua belas anakbuah Singa Barong berseru, menyetujui pernyataan Singa Sarkara.
Melihat itu merahlah muka Singa Barong. Selama menikma kehidupan sebagai kepala perampok,
Singa Barong disanjung dalam tahta penghormatan dan ketaatan. Tetapi dikala ia hendak
melepaskan diri dari lumpur kejahatan untuk kembali ke jalan yang terang, rupanya adik dan
anakbuahnya tak mau taat lagi.
Belum sempat kepala perampok itu mengambil ndakan ba- ba bekel Ku sudah berseru
lantang "Mengapa kalian ribut-ribut mempersoalkan harta benda gus tumenggung Pura" Siapakah yang
menjadi pimpinan gerombolan perampok ini?"
"Aku, Singa Barong" sahut kepala perampok yang bertubuh tinggi besar itu.
"Bagaimana maksudmu?" seru bekel Kuti pula.
"Aku sudah sadar akan jalan hidupku yang sesat. Aku hendak kembali menjadi orang baik. Maka
akan kukembalikan barang-barang milik ki tumenggung itu"
"Hm" desuh bekel Ku "lalu bagaimana maksud kalian?" serunya kepada Singa Sarkara dan
kawan-kawan. "Untuk mendapat barang-barang itu, kami dak memperolehnya dengan cuma-cuma tetapi
dengan taruhan nyawa dan keberanian. Oleh karena itu aku dan anakbuahku tak setuju untuk
mengembalikan begitu saja"
"Maksudmu" -"bekel Kuti menegas.
"Kita mendapatkan dengan jerih payah dan taruhan nyawa maka kalau merebut, kalianpun harus
dengan kesaktian dan pengorbanan jiwa"
"Ksatrya!" seru bekel Ku "aku pas akan memenuhi harapanmu. Tetapi mengapa ki Singa
Barong yang termasyhur gagah perkasa, tiba-tiba hari ini berobah seperti tikus" Apakah dia takut?"
Walaupun sudah menemukan apa yang dirasa sebagai suatu k terang kesadaran ba nnya,
namun hal itu baru saja terjadi. Bagaimana penghayatannya ia masih belum tahu. Ibarat kabut
malam bergan dengan fajar, sisa-sisa kabut malam yang gelap itu masih belum lenyap bekasnya.
Demikian pula dengan Singa Barong. Beberapa kejab yang lalu, dia adalah seorang kepala
perampok yang paling ditaku dan saat itu di hadapan anakbuahnya dia dihina seorang bekel
prajurit sebagai seekor kus yang bernyali kecil. Ah, tak mungkin ia dapat menerima hal itu. Aliran-
aliran darah, mulai menimbulkan getar-getar keras dalam ha nya dan makin lama makin meluap
menimbulkan bah atau banjir, menggenangi kepundan ha nya. Lahar nafsu marah yang sudah
hampir mengendap dalam kerak bumi ha nurani, ba- ba meluap dan meletus pula. Tak pernah
terdapat manusia di jagad yang berani mengatakan dia seekor kus. Bekel yang lancung mulut itu
harus dihajar, jika perlu dibunuh. Untuk menebus dosa, bila masyarakat tak mau menerima
kembalinya sebagai seorang warga yang baik, ia akan lari dan menyepi di gunung belantara.
"Ah, apa yang kubayangkan memang menjadi kenyataan. Bagaimana masyarakat mau menerima
diriku kembali pemuda itu hanya menghibur saja tetapi kurang pengalaman dan tak tahu
kenyataan kehidupan masyarakat. Orang yang jahat tetap akan dianggap jahat" mbul percakapan
dalam ha Singa Barong dan kesimpulannya cenderung membenarkan anggapan yang telah
dikemukakan kepada Nararya semula.
"Ki bekel" ba2 ia terkejut mendengar suara orang berseru. Ke ka berpaling, ia makin terkejut.
Ternyata suara itu berasal dari Nararya yang saat itu sudah tegak di hadapan bekel Wengker "aku
hendak memberi keterangan kepadamu "
Bekel Ku terkesiap ke ka melihat seorang pemuda tampan, menggagali di hadapannya "Siapa
engkau?" tegurnya. "Aku Nararya yang kebetulan menyepi di candi sini" kata Nararya lalu dengan singkat
menuturkan apa yang telah terjadi. Bekel Ku mengangguk "oleh karena itu, janganlah engkau
melibatkan diri ki Singa Barong dalam peris wa ini. Dia sudah menyesal akan perjalanan hidupnya
yang lampau dan akan kembali ke jalan yang benar"
Bekel Ku agak menyeringai "Memang suatu ndakan yang bagus jika dia hendak kembali ke
jalan yang lurus. Lalu bagaimana maksudmu?"
"Kuminta kebijaksanaan ki bekel untuk melepaskan ki Singa" kata Nararya "barang2 milik
tumenggung Pura, silahkan mengambil kembali"
Bekel Ku tertawa datar "Singa Barong sudah menyerahkan tetapi yang lain belum. Tidakkah hal
itu hanya suatu siasat yang disebut melepas kepala, memegang ekor" Sudahlah, ki sanak, ini bukan
urusanmu, silahkan engkau minggir"
Nararya memandang bekel itu. Masih muda, hampir sebaya dengan dirinya. Bertubuh langsing,
memiliki sepasang mata yang tajam tetapi agak cekung kedalam, ujung hidungnyapun agak
melingkar kebawah "ki bekel, jika engkau tak mengganggu ki Singa, aku bersedia minggir" katanya
"tetapi jika engkau tetap hendak mengusiknya, terpaksa aku harus campur tangan"
Nararya telah melihat gejala yang berbahaya pada Singa Barong. Di saat2 kepala perampok
itu sudah menyatakan bertobat, di saat itulah datang gangguan yang mendesaknya kembali ke
jalan sesat. Semisal ia menyadari terlalu tinggi menilai kesadaran pikiran kedua bujangnya,
Noyo dan doyo, demikian pula ia menaruh ke-kuatiran pada diri Singa Barang. Memang untuk
kembali ke jalan yang benar, tentu akan menempuh banyak gangguan dan godaan, coba dan
ujian. Dalam perjalanan bertapa ke candi makam eyangnya di Wengker, ia-pun menghadapi
beberapa peristiwa, namun ia menyadari bahwa hal itu hanyalah sebagai godaan. Dan ia dapat
menghapuskannya. Tetapi sekuat itukah pikiran Singa Barong" Ah, ia kuatir. Oleh karena itu
maka ia memutuskan untuk turun mencampuri urusan itu.
Bekel Ku terbeliak "Ah, mengapa sedemikian besar minatmu hendak membela Singa Barong, ki
sanak" Adakah engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Singa Barong?"
"Bukan sanak bukan kadang tetapi kalau ma aku ikut merasa kehilangan" jawab Nararya
"kehilangan seorang yang akan kembali ke jalan benar tetapi tak mendapat kesempatan"
Tiba2 bekel Ku bergan nada keras "Ki sanak, aku seorang bekel prajurit yang mendapat tah
untuk menangkap gerombolan perampok yang mengganas di gedung kediaman tumenggung Pura.
Beberapa pengalasan dari tumenggungan telah terluka dan ma . Bahkan gus tumenggung Pura
sendiri terluka" kata bekel Ku "sekarang gerombdian perampok itu sudah dapat? kukejar..Soal
kepala perampok sudah menyesal atau bertobat, itu bukan urusanku. Tugasku hanya untuk
menangkapnya dan gusti mentri yang mengadili"
"Ki bekel" sambut Nararya "telah kukatakan jika ki bekel hendak menangkap, tangkaplah
anakbuah ki Singa yang membangkang itu. Tetapi ki Singa sendiri sudah berjanji kepadaku akan
bertobat. Dalam hal ini kumohon kebijaksanaan ki bekel untuk membebaskannya"
"Kebijaksanaanku adalah kebijaksanaan seorang prajurit yang melakukan tah atasan. Jangan
meminta lebih dari itu, ki sanak" seru bekel Ku "baik Singa Barong bertobat atau belum tetapi
dialah yang memimpin gerombolan perampok ke tumenggungan. Oleh karena itu tetap akan
kutangkap juga" Nararya terkesiap. Ia mengakui bahwa ucapan bekel yang menyatakan dirinya sebagai
seorang prajurit yang menjalankan tugas, memang benar. Tetapi iapun ingin membantu Singa
Barong supaya mendapat kesempatan untuk membuktikan janjinya. Jika membiarkan bekel itu
menangkap Singa Barong, Singa Barong pasti marah dan kemungkinan tangannya akan
berlumuran darah manusia lagi. Ia harus mencegah hal itu.
Namun selagi Nararya belum berhasil menemukan langkah-langkah yang harus diambil, ba- ba
Singa Barong berseru nyaring "Raden, tak perlu kiranya raden berkering lidah terhadap bekel itu"
kemudian ia melangkah maju ke hadapan bekel itu "ya, bekel, memang akulah yang bertanggung
jawab akan perampokan itu. Aku sudah menyerahkan kembali barang-barang itu tetapi rupanya
engkau masih, belum puas apabila tidak menangkap diriku. Nah, silahkan tangkap aku"
Bekel Ku tertawa "Ha, ha, ha. Burung gagak walaupun bercampur dengan burung merpa yang
putih, tetap akan hitam bulunya, parau membisingkan telinga suaranya"
Amat jumawa sekali sikap bekel itu seolah Singa Barong yang paling ditaku rakyat Matahun-
Wengker sebagai seorang momok ganas, dianggapnya sepi belaka.
"Jangan ki Singa" cepat Nararya melangkah ke samping Singa Barong dan mencekal tangannya
manakala kepala perampok itu sudah siap hendak melolos cambuk Gebyar Sayuta. Singa Barong
rasakan cekalan tangan raden itu amat kuat sekali sehingga lengannya terasa lunglai. Singa Barong
berpaling memandang Nararya "akulah yang akan menghadapi bekel itu, ki Singa" Nararya
mendahului. Kemudian lepaskan cekalannya, ia melangkah maju ke muka bekel Ku "Ki bekel,
bagaimanakah cara penyelesaian yang dapat memuaskan hatimu?" tanyanya.
"Kawanan perampok berikut barang2 rampokannya akan kubawa ke Wengker" jawab bekel Kuti.
"Memang engkau telah menjalankan tugasmu dengan taat" kata Nararya "tetapi dalam masalah
ini ternyata terdapat sesuatu yang membawa kepen ngan rakyat. Dapatkah engkau memberikan
bijaksanaan yang layak?"
"Apa yang engkau maksudkan dengan kepentingan rakyat itu?" tanya bekel Kuti.
"Ki Singa Barong telah dikenal rakyat Wengker dan Matahun sebagai seorang benggolan
perampok yang ganas. Tidakkah itu suatu berita yang menggembirakan bagi rakyat di daerah itu
apabila ki Singa sudah melepaskan pekerjaannya dan kembali sebagai seorang warga masyarakat
yang baik" Tidakkah hal itu akan merupakan suatu berkah besar bagi para petugas yang menjaga
keamanan di kedua telatah itu, termasuk dirimu sendiri, ki bekel?"
"Ki sanak" sahut bekel Ku "janganlah engkau percaya akan janji seorang penjahat besar. Dia
sudah merasakan betapa nikmat kehidupan sebagai perampok yang ditaku orang. Tak mungkin
dia mau menjadi rakyat biasa yang harus bekerja memeras keringat untuk mencari nafkah?"
"Tetapi aku mau. mempercayai sepenuhnya ucapan ki Singa itu" kata Nararya "dan aku percaya
dia tentu akan memenuhi kepercayaanku"
"Ah, engkau mencari penyakit sendiri, ki sanak" seru bekel Kuti agak keras.
"Bukan cari penyakit tetapi memenuhi janjiku kepadanya. Aku akan menolongnya supaya
kembali ke jalan yang benar" sanggah Nararya.
Bekel Kuti merah matanya.
"Jika ki bekel dapat sedikit saja menurunkan kebijaksanaan maka aku berjanji akan
mengembalikan semua harta benda milik tumenggung Pura"
"Huh" bekel Kuti mencemoh "jelas anak buah Singa Barong itu tak mau memberikan lagi"
"Itu tanggung jawabku, ki bekel" sahut Nararya "aku sudah berjanji kepadamu tentu akan
kupenuhi. Tetapi maukah engkau berjanji akan mengabulkan permintaanku supaya jangan
mengganggu ki Singa?"
Bekel Ku gelengkan kepala "Tidak, aku tak dapat memberikan janji itu. Aku seorang bekel
prajurit yang harus mentaati sumpah prajurit"
Nararya mengeluh dalam ha . Melihat sikap bekel yang begitu kukuh dan keras kepala, ia kua r
suasana akan meruncing dan pertempuran tak dapat dihindari lagi. Namun ia masih dapat
mengekang nafsu perasaannya. Dalam de k2 yang berbahaya itu, bayang2 keraguan mulai
membimbangkan pikirannya.
"Mengapa aku harus melindungi seorang perampok jahat" Mengapa tak kuserahkan saja Singa
Barong kepada bekel itu" Bukankah mereka prajurit yang menjalankan tugas" Bukankah mereka
difihak yang benar?" demikian silih bergan pertanyaan melalu lalang dalam benaknya. Ia merasa
sukar untuk menjawab pertanyaan2 itu. Namun dalam relung ha nya memercik secercah getaran
sinar yang merin h dan menuntut keadilan pada jiwa keksatryaannya. Adakah seorang ksatrya
harus ingkar dari janjinya hendak membantu seseorang" Adakah seorang ksatrya tetap akan
membeku perasaannya terhadap seorang yang sudah menyatakan bertobat dan berjanji akan
kembali ke jalan yang benar" Adakah seorang jahat itu tetap takkan diterima dalam masyarakat.
Tidakkah seorang jahat itu juga seorang manusia yang betapapun jahatnya tentu masih
mempunyai sisa sepercik hati nurani yang baik"
Belum sempat Nararya mencapai suatu penemuan cara yang sesuai, bekel Ku sudah berseru
pula "Ki sanak, menyingkirlah, sudah terlalu lama kita bicara. Aku segera akan melakukan tugasku!"
Mulut bicara tanganpun bergerak, menyiak Nararya. Walaupun melihat ketenangan sikap
Nararya, bekel itu menduga bahwa pemuda itu tentu berisi tetapi dugaannya itu terhapus oleh
pandang matanya yang melihat Nararya itu hanya seorang pemuda yang tak menunjukkan
perwujutan seorang yang bertenaga kuat ataupun perkasa. Sekali menyiak, tentulah pemuda itu
akan terdorong menyisih ke samping. Pikirnya.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka ia rasakan tangannya serasa menyiak karang. Ia salurkan tenaga
dan menyiak lebih keras. Namun tetap tak berhasil mendorong, bahkan bergetarpun dak. Untuk
yang ke ga kali ia menumpahkan seluruh tenaga dan menyiak..Uh ... ia mendesuh dalam ha .
Darahnya bertebar mewarna merah wajah, mengiring kegagalannya.
Bekel Kuti seorang muda yang penuh cita2. Turun dari berguru pada seorang resi sakti di
gunung Wilis, ia mengayunkan langkah pulang untuk menjenguk orang-tuanya lebih dulu. Dari
resi sakti di Gunung Wilis itu, ia telah menerima bermacam ilmu kanuragan dan jaya kawijayan.
Rasa puas akan hasil yang telah dicapainya, ia ber keras mohon diri pada gurunya dengan
alasan hendak menjenguk ibunya yang menderita sakit. Resi Prada, meminta supaya Kuti
belajar tiga tahun lagi untuk menyelesaikan aji Bandungbandawasa, ilmu kekuatan yang tiada
taranya, daya kekuatannya menyamai gajah. Tetapi rupanya Kuti sudah tak tahan hidup di
puncak gunung. Ia ingin turun ke dunia ramai.
Dalam perjalanan pulang banyak sekali didengarnya cerita orang tentang kerajaan Singasari,
Daha, Wengker, Matahun dan lain-lain. Ia ingin masuk menjadi prajurit agar kelak menjadi
seorang senopati. Ia sangat tertarik dengan ketataprajaan dan urusan negara. Ingin mencapai
kedudukan tinggi dalam pemerintahan. Karena hanya dengan begitu namanya akan cemerlang,
dikenang sepanjang masa. Dalam kebimbangan untuk memilih ke kerajaan mana ia harus
menuju, ia mendengar bahwa kerajaan Wengker membuka sayembara untuk mencari seorang
prajurit sakti yang mampu menangkap
Singa Barong, kepala perampok yang sangat mengganggu keamanan Wengker. Dia memutuskan
akan memasuki sayembara itu. Untuk menguji sampai dimana ilmu kedigdayaan yang dimiliki,
sekalian untuk mencari pengalaman dalam keprajuritan. Dia berhasil memenangkan sayembara
dan diangkat sebagai bekel prajurit. Peris wa perampokan di gedung kediaman tumenggung Pura,
mengharuskan dia menangkap kepala perampok itu.
Bahwa ternyata seorang pemuda yang mengaku bernama Nararya hendak menghalangi
maksudnya menangkap Singa Barong, benar2 diluar dugaannya. Apapula setelah ga kali ia
menyiak pemuda itu supaya menyingkir ternyata tak mampu. Ia merasa empat puluh pasang mata
prajurit-prajurit anakbuahnya mencurah pandang mata kepadanya, la merasa mereka tentu
mengernyitkan wajah mengejek, menyeringaikan. cemohan. Makin merah padam wajah bekel Ku .
Merah dari deburan darah yang membenam tungku malu dan kemarahan.
"Jika aku gagal menghalau pemuda ini, kemana harus kusembunyikan mukaku?" ia
mengancam dirinya itu. Dan ancaman itu segera disambut. Sekali lagi ia mengerahkan
tenaganya dan tiba2 pula ia mencengkeram bahu pemuda itu. Maksudnya hendak diremasnya
supaya tulang bahu pemuda itu remuk, paling tidak tentu sakit dan mau menyingkir.
Tetapi alangkah kejut bekel itu ke ka jari2 tangannya yang telah diperkeras dan diremaskan itu
terasa meremas telapak tangannya sendiri. Sedangkan daging yang menggumpal pada bahu yang
akan diremasnya itu ba2 tenggelam ke bawah bersama yang empunya. Rasa kejut bekel Ku itu
bukan disebabkan karena ia tak tahu kalau Nararya mengendap ke bawah tetapi karena gerakan
yang dilakukan pemuda itu. Jelas gumpal daging pada bahu Nararya sudah dipegang dan
dicengkeram tetapi selekas hendak diremas, bahu pemuda itupun menyelinap lolos, macam belut
hendak ditangkap. Hanya sekejab dan bekel Ku menyadari apa yang telah berlangsung. Ia gagal mencengkeram
bahu Nararya dan kegagalan itu harus dikejar sampai berhasil. Sekonyong-konyong ia menebarkan
kelima jari tangan dan dengan gerak yang amat cepat sekali, ia segera memenggalkan tepi telapak
tangannya ke leher orang. Jarak amat dekat karena saat itu Nararya tengah mengendap di
hadapannya. Ia tak percaya bahwa pemuda itu mempunyai leher dari baja ataupun lebih keras dari
susunan batu merah yang berada di kebun belakang padepokan resi Prada, dimana dalam la han
ilmu pukulan, sekali menebas tentu hancur.
Singa Barong, Singa Sarkara dan anakbuahnya, keempat puluh prajurit Wengker terbelalak ke ka
menyaksikan ulah bekel Ku . Singa Barong hampir memekik kejut, Singa Sarkara dan anakbuahnya
terlongong, keempat puluh prajurit Wengker itupun hampir bersorak. Jarak sedemikian dekat, tak
mungkin Nararya dapat terhindar dari cidera yang mungkin akan menyebabkan dia cacad patah
tulang lehernya. Tetapi pekik kejut Singa Barong itu menjadi pekik kejut gembira dan sorak prajurit-prajurit
Wengker itu menjadi sorak terkejut manakala mereka menyaksikan suatu peris wa yang tak
terduga-duga. Terdengar jeritan, yang jelas suara bekel Ku , dan diiku oleh tubuhnya yang
terhuyung-huyung rubuh terduduk. Sedang Nararyapun tegak ditempat, memandang tenang
kearah lawannya. Peristiwa itu memang berlangsung lebih cepat dari kejab mata. Dalam menarik bahunya ke
bawah untuk melepaskan diri dari cengkeraman bekel Kuti, Nararya memang sudah bersiap
menghadapi kelanjutannya. Ia memperhitungkan bahwa bekel itu tentu akan meneruskan
serangannya dengan memukul atau menghantam kepalanya. Apabila demikian, ia sudah siap
hendak loncat menghindar. Tetapi ia tak menyangka bahwa gerak tabasan telapak tangan dari
bekel Kuti sedemikian cepatnya sehingga ia gugup dan tak sempat melaksanakan rencananya.
Dalam keadaan yang mendesak, ia tak melihat lain jalan kecuali menghantam mata lutut "orang.
Ia berharap apabila lutut terhantam bekel itu tentu rubuh dan tak sempat men-capaikan
pukulannya. Tetapi karena cuaca agak gelap, Nararya luput menghantam lutut melainkan
menghantam paha sisi dalam. Ia sendiripun ikut terkejut ketika mendengar bekel Kuti menjerit
keras dan terdampar jatuh terduduk di tanah. Rasa kejut itulah yang menyebabkan ia tertegun.
Pun pada dasarnya ia tak mau menyerang lagi musuh yang sudah rubuh. Ia tetap menantikan
bekel itu bangkit. Bekel Ku pejamkan mata. Sesaat kemudian ia terus bangkit berdiri. Nararya menduga bekel itu
tentu akan menyerangnya bahkan mungkin akan mencabut senjata. Maka tenang-tenang saja ia
menanti. Bekel Kuti memandang lawannya dengan mata membara kemarahan. Tetapi sesaat
kemudian, bara itu-pun padam dan terluncurlah kata-kata dari mulutnya "Ki sanak, siapakah
namamu?" "Nararya" "Dari manakah asalmu?" tanya Kuti pula. Nararya tak lekas menyahut melainkan menimang.
Apabila ia memberitahukan tempat kediaman ayahnya, mungkin akan menimbulkan peris wa
yang panjang. Ia tak tahu mengapa bekel itu bertanya tentang tempat nggalnya. Namun sebagai
seorang ksatrya ia merasa malu kalau tak berani menyebutkan tempat nggalnya "Dari gunung
Kawi" "O" desuh bekel Ku terkejut dalam ha "jika demikian engkau tentu murid seorang resi atau
pertapa sakti. Siapa nama guru ki sanak?"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena sudah terlanjur memberi keterangan maka Nararyapun menyebut nama gurunya.
"Adakah engkau kenal kepadaku?" tanya pula bekel Ku . Nararya kerutkan dahi dan
menggelengkan kepala "Tidak" jawabnya.
Juga bekel itu kerutkan dahi. Beberapa jenak kemudian ia berkata "Baiklah, Nararya, persoalan
Singa Barong dan anakbuahnya, kuhapus sampai disini "
"Terima kasih, ki bekel "serta merta Nararya menghaturkan terima kasih "engkau amat bijaksana"
Bekel Ku mengernyit alis, memberingaskan mata. Namun Nararya tak memperha kan dan
berkata lebih lanjut "Semua barang-barang milik tumenggung Pura akan kusuruh mereka
mengembalikan kepadamu. Akulah yang bertanggung jawab apabila mereka menolak"
Bekel Kuti menyeringai "Tidak perlu"
"Tidak perlu?" Nararya terbeliak "mengapa?"
"Aku tak menginginkan" kata bekel Ku dan tanpa memberi kesempatan pada Nararya untuk
melontarkan pertanyaan, ia sudah melanjut "yang kuinginkan yalah sebuah permintaan"
"Kepada ki Singa Barong atau kepadaku?"
"Kepadamu" sahut bekel Kuti dengan nada sarat "bersediakah engkau meluluskan?"
Nararya agak heran mengapa sikap bekel itu berobah kaku dan nadanya sarat. Namun karena
orang sudah meluluskan permintaan untuk melepaskan Singa Barong maka iapun tak mau kalah
hati. Serentak ia menyanggupi.
"Dapatkah kupercaya ucapanmu?" masih bekel Kuti menegas.
"Ki bekel" jawab Nararya "engkau dan orang lain boleh menganggap apa saja tentang diriku.
Tetapi aku mewajibkan diriku harus mempunyai watak dan jiwa ksatrya. Oleh karena itu, akupun
harus memenuhi setiap ucapanku sebagai seorang ksatrya"
"Baik" kata bekel Ku "sekarang dengarkanlah. Aku hendak minta kepadamu supaya nan dua
tahun atau paling lama ga tahun lagi, engkau tunggu kedatanganku di padepokanmu gunung
Kawi" Mengira kalau bekel itu hendak melangsungkan persahabatannya, Nararyapun dengan gembira
berseru "Ah, betapa gembiranya ha ku apabila aku dapat menerima kunjunganmu, ki bekel. Aku
senang sekali bersahabat dengan-engkau. Apakah hanya itu permintaanmu?"
"Ya, hanya itu" sahut bekel Kuti "tetapi engkau harus memenuhi janjimu!"
Kali ini Nararya tertegun dan tak lekas membuka pernyataan. Bahwa bekel itu sedemikian besar
minatnya hendak berkunjung kepadanya, ia harus juga menghargainya. Agar jangan sampai
mengecewakan bekel itu, lebih baik apabila waktunya itu ditetapkan yang pas "Ki bekel, agar
engkau jangan kecewa dan dapat bertemu dengan aku, sukalah ki bekel tetapkan waktunya yang
pasti. Aku tentu akan menunggu kedatangan tuan"
Bekel Kuti merenung sejenak lalu berkata "Baiklah, hari apakah sekarang ini?"
Nararya tercengang. Ia tak tahu apa maksud bekel itu bertanya tentang hari namun dijawabnya
juga "Brehaspati pancawarna"
"Bulan dan tanggal berapakah sekarang ?" tanya pula bekel Ku tanpa menghiraukan keheranan
orang. "Bulan Bhadrapala tanggal satu kresnapaksa"
"Ya" kata bekel Ku "dua tahun kemudian pada hari Brehaspa pancawarna, bulan Bhadrapala
tanggal satu kresnapaksa seper hari ini, aku pas datang ke puncak gunung Kawi. Harap engkau
menunggu kedatanganku"
Habis berkata tanpa menunggu jawaban orang, bekel Kuti terus berputar tubuh, memberi
isyarat kepada anakbuahnya tinggalkan tempat itu. Keempat puluh prajurit Wengker itu heran
tetapi mereka menurut saja.
Selama dalam perjalanan ke Wengker, bekel Kuti tak mau bicara. Wajahnya bermuram durja,
sebentar-sebentar menghela napas dan menengadah memandang cakrawala. Menjelang fajar
ketika tiba disebuah desa maka bekel Kuti berhenti dan memanggil seorang prajurit setengah
tua "Kakang Paguh" katanya setelah prajurit itu menghadap "mulai saat ini kakang akan
kuserahi tugasku memimpin prajurit2 Wengker. Setiba di Wengker, menghadaplah gusti
tumenggung dan sampaikan sembah bhaktiku kepada gusti tumenggung. Kemudian haturkan
pula permohonan maafku karena aku tak dapat melanjutkan pengabdianku kepada kerajaan
Wengker ....." Sekalian prajurit Wengker terkejut "Ki bekel, apakah maksud tuan?" seru prajurit Paguh.
"Kakang Paguh, karena ilmuku masih rendah, aku telah menghilangkan kepercayaan gus
tumenggung. Aku malu kakang Paguh. Aku hendak berguru lagi agar kelak dapat mengabdikan
tenagaku kepada kerajaan Wengker" kata bekel Kuti "selamat jalan kawan-kawan ...."
Sebelum prajurit Paguh dan kawan-kawannya sempat berbicara, bekel Ku pun sudah lari menuju
ke mur dan terus menyelinap masuk kedalam hutan meninggalkan prajurit Paguh dan kawan-
kawannya dalam longong kemenungan.
Bekel Ku lari sekuat kaki membawanya. Ia tak tahu dan tak mempedulikan akan ba dimana.
Pokok ia lari, mengayunkan kaki sekencang-kencangnya seolah berpacu dengan luap ha nya.
Luapan yang telah mengeruhkan kesadaran pikiran dan ketenangan jiwanya.
"Ah ...." ia mendesah manakala pandang matanya terbentur oleh sebuah sungai. Ia hen kan
larinya, memandang kesekeliling menghampiri segunduk batu cadas yang menjulang nggi. Setelah
mencari sebuah tempat, ia duduk menghadap sungai, memandang aliran air yang beriak deras.
"Aneh, mengapa dia tahu pengapesanku" beberapa waktu kemudian mulutnya mengingau,
bertanya dan membayangkan peristiwa pertarungan dengan Nararya. Ingatannya berpusat
pada detik2 dikala Nararya menghantam pangkal pahanya sebelah dalam. Ia menyeringai,
pejamkan mata seolah merasakan pula derita saat itu. Ketika pukulan Nararya menghantam, ia
rasakan tubuhnya menggigil, tenaga merana dan pandang matanya gejap.
"Aku akan kembali ke,puncak Wilis dan mohon guru supaya menghapus bagian pengapesanku
itu. Syukur dapat dihapus, sekurang-kurangnya dipindah ke lain bagian. Hm, dua tahun lagi,
Nararya, aku akan mencarimu. Akan kubalas hinaan itu ...."
(Oo-dwkz^ismoyo-oO) II Kepergian bekel Ku dengan membawa kekalahan, meninggalkan rasa heran pada Nararya dan
anakbuah rombongan Singa Barong yang menyaksikan peristiwa tersebut.
"Raden" kata Singa Barong "apa maksud bekel itu meminta raden menetapi janji supaya
menunggu kedatangannya di gunung Wilis?"
Nararya tertawa "Dia bermaksud hendak mengikat persahabatan dengan aku"
"Tidak, raden" bantah Singa Barong "jika dia bermaksud begitu, mengapa dak saat ini juga
melaksanakannya" Mengapa harus menunggu sampai dua tahun lagi?"
Nararya terkesiap. Ia mengakui pernyataan Singa Barong itu tepat- Dan apabila ia merenungkan
tentang sikap, ucap dan nada kata-kata bekel Ku , maka terpancarlah sesuatu yang tak wajar pada
diri bekel itu. Ia terbeliak. Namun sesaat pula ia tersipu-sipu dalam hati "Ki Singa" katanya "tak baik
kita berprasangka kepada orang. Aku telah berjanji dan akupun harus menetapi janji itu"
.... Halaman 56 ga ada di bukunya ketuker hal 79 ..
Nararya mengulang lagi apa yang telah dikatakan. Bahwa hendaknya Singa Barong kembali
ketempatnya dan menuntut kehidupan yang baik "Bagaimana engkau hendak menyelesaikan
anakbuahmu, terserah. Tetapi yang penting, janganlah meninggalkah garis2 kebijaksanaan"
"Baiklah, raden" kata Singa Barong. Ia segera mengajak anakbuahnya nggalkan tempat itu.
Sebelumnya ia menegaskan janji Nararya pula "Aku akan menunggu panggilan raden. Apabila
sampai dua tiga tahun tiada berita, aku akan mencari raden"
Nararya mengantarkan kepergian rombongan Singa Barong itu dengan senyum yang cerah. Bukan
karena ia dapat mengalahkan seorang kepala perampok yang ganas, melainkan karena ia telah
Pendekar Pemetik Harpa 20 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 13
terang. Dan seke ka ia terkejut melihat sesosok tubuh manusia duduk bersila dalam sikap
bersemedhi mudra. Beberapa saat kemudian, pandang matanya makin terang dan seke ka ia
terbeliak. Jelas yang bersemedhi itu seorang anakmuda berwajah tampan. Terutama yang
mengejutkan ha nya adalah wajah pemuda itu memancarkan sinar yang gilang gemilang bagaikan
seorang dewa "Ih" segera Mayang Ambari mendesih manakala ia teringat akan perwujutan bunga bersinar
gemilang dalam impiannya.
Sampai beberapa jenak ia mempertajam pandang matanya, seolah hendak meyakinkan dirinya
adakah yang dilihatnya itu suair kenyataan. Setelah sampai beberapa saat, wajah yang dilihatnya
itu tetap memancar, maka yakinlah ia kepada dirinya bahwa dalam candi itu terdapat seorang
pemuda yang sedang bertapa. Menilik cahaya mukanya, pemuda itu tentu bukan orang
sembarangan, tentu keturunan darah priagung
"Ah" ia mendesuh pula "adakah ini yang ditunjukkan dewata dalam impian itu"
Merenung pada hal itu bertebar merahlah mukanya. Maklum ia masih seorang dara yang baru
saja menjenjang kewasaan. Di rumah kecuali dengan ayah dan bujang Gendrek, tak pernah ia
bergaul dengan orang laki, apalagi seorang pemuda priagung yang memiliki perbawa sedemikian
mempesonakan seper pemuda yang tengah bersemedhi itu. Tetapi rasa malu itu segera
bertebaran lenyap manakala ia teringat akan bahaya yang tengah mengancam. Sebentar lagi
kawanan perampok itu tentu akan tiba.
Kemudian ia segera teringat pula akan kedua lelaki tua yang menunggu di pintu candi. Apabila
dikaitkan dengan keadaan pemuda yang bersemedhi dalam candi itu, tentulah ada hubungannya.
Dan kalau ada hubungan, tentulah kemungkinan besar antara seorang bendara dengan hambanya.
Dan pada umumnya hanya putera-putera orang kaya, berpangkat dan priagung yang pergi diiring
hamba. Ah, jika demikian, kemungkinan pemuda itu tentulah seorang raden. Akhirnya
renungannya berkisar di sekitar diri pemuda itu.
Jika demikian, ia melanjutkan pemikiran, sukarlah kedua hamba diluar tadi untuk menghadapi
gerombolan Singa Barong. Kedua hamba itu sudah tua dan tampaknya ketolol-tololan, bagaimana
mungkin ia harus mempercayakan keselamatan jiwanya kepada mereka
"Ah" ia mendesah dan mulai cemas. Gelisah "Jika petunjuk dewata dalam impian itu pemuda ini
yang dimaksudkan, tentulah dia seorang ksatrya yang dikasihi dewa. Dan ksatrya yang gemar
bertapa tentu memiliki kesak an" akhirnya mengarahlah pikiran Mayang Ambari pada suatu
kesimpulan, dirangkai menurut apa yang didengarnya dari ayah dan orang-orang di desa Jenangan.
"Jika demikian aku harus melaksanakan petunjuk dewata. Aku harus minta pertolongan kepada
pemuda itu" akhirnya ia menutup kesimpulan dengan keputusan dan berayunlah langkahnya
menghampiri pemuda itu "Raden ...." serunya dengan pelahan-lahan . penuh rasa jengah. Namun Nararya diam saja
"Raden ...." diulangnya pula, kali ini agak keras. Namun tetap. Nararya diam
"Raden .... raden ..." makin keras dan diulangnya sampai dua kali ia memanggil namun Nararya
tetap diam mematung. Akhirnya setelah beberapa kali, mulai dari satu sampai ga empat kali memanggil, mulai dengan
suara pelahan lalu lebih keras dan makin keras, tetapi tetap raden itu diam tak mengacuhkan,
bahkan membuka matapun dak, Mayang Ambari mulai gugup dan bingung. Sayup-sayup ia
mendengar suara hiruk pikuk bergemuruh. Ia duga tentulah gerombolan Singa Barong sudah
menjelang datang. Karena gugup ia lupa siapa raden itu, lupa bahwa ia belum mengenalnya, lupa
pula bahwa daklah layak seorang gadis menjamah tubuh seorang pemuda yang tak dikenal, i'ang
mencengkam benaknya, ia akan minta tolong kepada raden itu untuk melindungi dirinya.
Maka kedua tangannya serentak mendekap bahu Nararya dan mengguncang-guncangkan-nya
keras-keras "Raden, raden .... tolong . . . tolonglah hamba, raden ... ."
Namun rin han meratap tolong yang menyertai gerakan tangannya mengguncang tubuh orang,
tetap tak kuasa menjagakan raden itu dari semedhinya. Tubuh Nararya serasa segunduk karang
yang kokoh. Ambari makin gopoh. Rasa ketakutan akan ngkah ulah gerombolan Singa Barong
mengoyak-ngoyak nyali ha nya. Serentak ia lari ke luar, maksudnya hendak meminta bantuan
kedua punakawan supaya menjagakan bendaranya. Tetapi alangkah kejutnya ke ka dilihatnya saat
itu si Doyo sudah melangkah maju menyongsong kemunculan anakbuah Singa Barong dari balik
gerumbul. "Paman, tunggu dulu" teriak Mayang Ambari seraya memburu ke luar ke tempat Noyo yang saat
itupun hendak ayunkan langkah kaki menyusul Doyo. Noyo berhen , berpaling "Paman, tolong
engkau jagakan raden di dalam candi itu ..." ia segera disambut oleh seruan Mayang Ambari.
Saat itu barulah Noyo tersadar apa yang dihadapinya. Ia telah menyuruh seorang anak
perempuan masuk ke dalam candi dan mengusik ketenangan bendaranya. Pada hal itu telah
dipesan wanti-wanti, agar melarang siapa saja yang akan masuk ke dalam candi.
"O, ampun" beriak Ncyo sesaat kemudian "jangan sekali-kali engkau mengganggu raden itu.
Dia sedang ...." "Tetapi paman" Mayang Ambari makin gelisah "gerombolan perampok itu berjumlah besar dan
kejam sekali . . . ."
Saat itu kebetulan Noyo tengah memaling pandang mata ke muka, dilihatnya Doyo sudah
berhantam dengan seorang anakbuah gerombolan dan kejut serentak mendebur jantung Noyo
demi melihat Doyo pontang-panting dihajar lawan. Serentak berhamburanlah selubung bual bahwa
ia sanggup menghadapi gerombolan perampok itu. Kabut kelinglungan pun taram-temaram
berhamburan lenyap. Saat itu ia dapat berpikir jelas. Gerombolan perampok itu harus ditahan
lajunya dan raden Nararya harus dibangunkan. Karena hanya raden itulah kiranya yang sanggup
menghalau mereka. Tugas untuk menahan gerombolan perampok, akan ia lakukan tetapi tugas
untuk membangunkan raden Nararya harus diserahkan kepada dara can k itu. Tetapi demikian
ba- ba ia teringat, gadis itu di luar pengetahuannya telah menjagakan raden Nararya, namun tak
berhasil. Jika ingin supaya Nararya terjaga, ia harus memberi petunjuk pada dara itu.
Ia masih dilibat dalam keraguan ke ka ba- ba seorang anakbuah gerombolan menyelinap maju
kearah candi. Ia tersengat kaget "Rara, carilah bulu yang tumbuh pada jari kakinya dan cabutlah ..."
"O, apakah dia betul-betul akan terjaga?" Mayang Ambari menegas.
"Jangan buang waktu, lekas lakukan. Aku hendak menyongsong anakbuah gerombolan itu" seru
Noyo seraya melangkah maju.
Mayang Ambaripun menurut. Cepat ia lari masuk ke dalam candi, langsung menuju ke tempat
Nararya bersiddlrikara. Ia tak mau mengguncang-guncang tubuh raden itu ataupun berteriak-teriak
memanggilnya. Langsung berjongkok dan meneli jari-jari kaki raden itu yang bersimpuh di atas
persada batu. Namun pandang matanya tak kuasa melihat gerumbul rambut yang tumbuh pada
jari-jari kaki raden itu. Suasana dalam ruang candi meremang gelap. Namun dara itu tak mau
berputus asa. Dengan melupakan segala perasaan susila, jari jemarinya yang len k bagai duri
landak, segera menjamah kaki Nararya, merayap dalam kelembutan dan akhirnya berlabuh pada
sebatang benda halus meregak tinggi ke atas
"Ah, inilah rambut" pikir Mayang Ambari seraya mencengkam kencang dengan kedua jari
tangannya. Sesaat kemudian, ia menahan napas mengerahkan tenaga dan ba- ba mencabut
sekuat-kuatnya "Aduh ..." ia menjerit ke ka kaki itu meregang getaran keras, membentur lengan
dan mendorong tubuhnya terjerembab ke belakang.
"Ah" terdengar suara mulut mendesah di sisi telinga dan terasa pula punggungnya telah didekap
oleh sebuah tangan yang kuat, lalu didudukkan tegak "sakitkah engkau?" terdengar pula suara
orang bertanya dengan nada cemas.
Mayang Ambari memang tak terluka karena tak sempat membentur lantai. Ia hanya menderita
getar kejut yang cukup membuat semangatnya serasa terbang. Namun setelah mengusap-usap
muka, pandang mata-nyapun cerah, pikirannya terang pula "Terima kasih, aku tak terluka"
sahutnya tersipu malu. "Engkaukah yang mencabut bulu jempol kakiku" Engkau?" tegur raden itu agak keras.
"Ya, aku bersalah mengganggumu"
"Siapa engkau anak perempuan?"
"Hamba Mayang Ambari, raden, dari desa Jenangan"
"Mengapa engkau mengganggu tapa semedhiku?"
Mayang Ambari menyembah "Mohon raden memaa an kesalahan hamba. Tetapi memang
hamba hendak mohon pertolongan raden"
"Pertolongan?" Nararya terkejut kemudian beralih memandang kearah pintu "suara apa yang
hiruk di luar itu?" "Gerombolan orang jahat, raden"
"Gerombolan orang jahat" Mana Noyo dan Doyo?" Nararya makin tak menger suasana tempat
itu. "Entah" Mayang Ambari menjawab. Tetapi cepat ia mereka dugaan bahwa yang dimaksudkan
Noyo dan Doyo kemungkinan besar tentulah kedua paman yang menjaga di luar pintu candi itu
"tetapi diluar pintu ada dua orang paman yang berkelahi dengan gerombolan penjahat itu . . ."
Nararya tersentak "Tentulah mereka" ia terus bangkit dan hendak ayunkan langkah. Tetapi pada
lain saat ia berhenti, berpaling "apakah pertolongan yang hendak engkau minta kepadaku?"
"Tidak lain, raden" kata Mayang Ambari "hamba mohon raden sudi melindungi diri hamba dari
kejaran gerombolan penjahat itu"
"O, mereka mengejar-ngejar engkau" " Mayang Ambari mengiakan.
"Dan sekarang dihadang paman Noyo dan Doyo, eh, mereka tentu menderita" Nararya lanjutkan
langkah. Tiba diambang pintu sejenak ia berpaling pula "sembunyi saja di sini, tak perlu ke luar"
tanpa menunggu penyahutan Mayang Ambari, Nararya terus bergegas ke luar.
Mayang Ambari masih terpukau. Apa yang dialami saat itu, seper ia bermimpi. Baru pertama
kali dalam sepanjang hidupnya, tubuhnya telah dijamah oleh seorang anakmuda. Alangkah
hangatnya jari-jari anakmuda itu, alangkah kokoh lengannya dan serentak terbayang pula akan
wajah pemuda itu. Tampan .memendam keagungan, dari balik selongsong kulit yang kuning
langsat, memancar cahaya cerah. Sepasang gundu matanya, memercik bara pesona penuh wibawa.
"Ah . . ." Mayang Ambari tersipu-sipu mengusap bu r-bu r keringat yang teruap dari rasa malu
yang membara kedua pipinya, manakala ia teringat betapa dekat wajah pemuda itu merapat pada
mukanya. Bahkan apabila ia tak lekas beringsut ke samping, pipinya tentu akan beradu dengan
ujung hidung yang mancung dari pemuda itu.
De k-de k mengenang peris wa-peris wa itu, terasa mendetakkan jantungnya makin keras,
darah mengalir bagai kuda berpacu, makin deras makin menyesakkan napas.
"Aduh ..." tiba-tiba terdengar pekik melolong keseraman dari arah luar candi. Serentak
lenyaplah pesona yang memukau pikiran Mayang Ambari. Terlintas pula suatu kecemasan
tentang keselamatan raden itu. Dia yang minta tolong, enak-enak menyembunyikan diri dalam
candi, raden yang menolongnya harus menghadapi bahava, kemungkinan menderita kesakitan
karena dihajar gerombolan perampok itu. Hati meronta, serentak kakipun lari ke luar "Ah" ia
mendesah kejut tetapi legah.
Tak kurang dari duabelas orang lelaki, bermacam raut wajah, bentuk tubuh dan seragam pakaian
tampak berjajar-jajar di muka sebuah gerumbul. Di muka mereka, beberapa langkah jaraknya,
tampak pemuda cakap dari dalam candi tadi tengah berhadapan dengan seorang lelaki gagah
perkasa, baju merah darah, celana hitam. Pada dada baju yang tak terkancing, tampak
menggerumbul bulu-bulu yang lebat. Rambut pada kedua pelipis mcnjulai bagai akar pohon
brahmastana, janggutnya melingkar lebat bagai sarang burung dikeremangan petang.
Pandang mata Mayang Ambari menyusur makin jauh. Dilihatnya dua sosok tubuh menggunduk
rebah di bawah pohon. Badannya menggunduk daging berjalur merah, tampak jelas karena tanpa
baju. "Ah, tentu keduanya anakbuah gerombolan jahat itu" pikir Mayang Ambari yang masih
mengembarakan pandang mata ke sekeliling. Tiba- ba ia terbeliak. Seorang dari lelaki-lelaki yang
tegak berjajar itu tengah menginjakkan sebelah kaki pada sesosok tubuh manusia "oh, batara,
adalah korban itu salah seorang dari kedua paman tadi?"
Belum keresahan ha terjawab, ekor matanyapun tertumbuk pada sesosok tubuh yang duduk
bersandar pada batang pohon "Ih" pekiknya dalam ha "itulah jelas paman yang mengajarkan aku
mencabut bulu kaki raden tadi"
"Berhen !" ba- ba terdengar pria muda yang tampan tadi menghardik. Ia terkejut walaupun
yang dihardik jelas bukan dirinya, melainkan seorang anakbuah gerombolan yang hendak
melangkah menghampiri pintu candi. Ia tak menyangka bahwa pria muda tampan muka yang halus
dan lembut tutur sapa, ternyata mampu memancarkan hardik yang sedahsyat harimau mengaum.
Anakbuah gerombolan itupun tersentak langkah.
"Selangkah engkau berani mengganggu dara di pintu candi itu, akan kulempar engkau ke dalam
parit" teriak pemuda cakap itu pula Nadanya menggelegar guruh di angkasa.
Mayang Ambari terbeliak pula. Jelas raden itu telah mengetahui dirinya ke luar di pintu candi.
Ah, mengapa ia tak mau mentaa perintah raden itu" "Tentulah ia bersungguh ha hendak
melindungi diriku agar jangan terlihat gerombolan orang jahat itu" akhirnya ia membuat
penjelasan sendiri untuk dirinya sendiri. Tetapi sesaat ia membantah pula "Tidak, aku tak ingin
raden itu menderita karena hendak melindungi diriku. Bila perlu biarlah aku yang berkorban jiwa.
Aku tetap hendak menyaksikan keselamatan raden itu"
"Keparat!" ba- ba lelaki baju merah yang gagah perkasa itu membentak "itu dia dara yang akan
kujadikan isteriku. Engkau berani menyangkal tak tahu?"
"Ya, memang semula aku tahu hal itu"
"Engkau tak mengenalnya?"
"Semula belum" "Jika begitu" nada lelaki gagah perkasa itu agak mereda "dapat kuampuni jiwamu. Pergilah
engkau melanjutkan perjalananmu. Dan akupun hendak membawa calon isteriku itu pulang"
Pemuda cakap atau raden Nararya tak menyahut melainkan berpaling kearah Mayang Ambari
"Nini, benarkah engkau calon isteri ki sanak ini?"
"Tidak, raden" cepat Mayang Ambari berteriak "jangan percaya kepadanya. Aku hendak
mempersembahkan sesaji di candi ini, di tengah jalan berpapasan dengan gerombolannya. Dia
hendak memaksa menangkap aku. Tolonglah aku raden ...."
Nararya mengangguk lalu menghadapkan pandang kearah orang nggi perkasa pula "Engkau
bohong! Dia bukan calon isterimu. Engkau hendak merampas kehormatan seorang dara!"
"Keparat!" orang berbaju merah itu berteriak mengguntur "apa pedulimu, dia bukan apa-apamu
!" "Jawab!" sahut Nararya tenang "bukankah dara itu benar dan engkau berbohong?"
"Engkau lebih percaya padanya daripada aku?"
"Ya" "Hm" orang bertubuh gagah perkasa menggeram "engkau tahu siapa diriku ?"
"Yang penting persoalannya, bukan namamu"
"Kurang ajar, apa engkau tak ingin tahu?"
"Mengapa aku harus ingin tahu" Aku manusia, engkaupun seorang manusia. Tidak beda.
Kalau beda, hanyalah karena perbuatannya"
"Keparat!" orang itu menggeram pula "aku suka kepada dara itu. Dia hendak kujadikan isteriku.
Jangan ikut campur. Engkau tentu sudah mendengar bahwa Singa Barong dari Wengker itu sudah
menelan ratusan jiwa manusia. Dia saat ini berada di hadapanmu"
Selepas berkata, lelaki bertubuh nggi besar atau Singa Barong kepala gerombolan perampok,
menyelimpatkan pandang mata ke wajah Nararya. Ia ingin melihat betapa wajah pemuda itu akan
mengeriput kerut-kerut ketakutan, tubuh menggigil dan terus melarikan diri. Tetapi alangkah
kejutnya ketika diperhatikannya pemuda itu tenang-tenang belaka, wajahnya cerah pucat.
"Engkau dengar kata-kataku tadi?" terpaksa Singa Barong mengulang.
Nararya tertawa peiahan "Aku tidak tuli"
"Lalu engkau mau mentaati perintahku atau tidak?" Singa Barong menegas.
"Sayang" kata Nararya ringkas.
"Sayang?" ulang Singa Barong terbeliak "apa maksudmu?"
"Andaikata aku tak melihat peris wa ini, engkau tentu akan berbahagia mempersun ng dara itu.
Tetapi aku telah melihatnya, itulah yang hendak kusayangkan"
Singa Barong merentang mata lebar-lebar
"Engkau menyukainya?"
"Bukan" Nararya tertawa kecil "bukan menyukai tetapi melindunginya"
"Keparat busuk! Engkau benar-benar tak sayang akan jiwamu?" teriak Singa Barong.
"Sudah tentu sayang" jawab Nararya "tetapi aku lebih suka kehilangan jiwa daripada mempunyai
jiwa yang hina" Singa Barong mendelik. Dia benar-benar tak tahu apa yang hendak diutarakan pemuda itu dalam
kata-katanya yang terselubung itu
"Apa maksudmu, bicaralah yang jelas, jangan plintat plintut seperti cacing kepanasan"
Nararya tertawa "Bukan salah kata-kata dirangkai, tetapi salah orang yang tak dapat menangkap
artinya. Baiklah akan kujelaskan. Aku lebih suka kehilangan jiwa daripada memiliki jiwa ingkar"
"Apa itu jiwa ingkar?"
"Dara itu meminta perlindungan kepadaku dan akupun sudah menyanggupi. Jika kubiarkan dia
engkau tangkap, bukankah aku ingkar-jiwa namanya?"
"Ki Singa" ba- ba seorang anakbuah yang bertubuh dempal agak pendek, menyelimpat maju
dengan mencekal sebuah gada "idinkan aku, Arjasa, menangani pemuda liar kurang susila itu"
Saat itu Singa Barong tengah menggeram. Beberapa anakbuahnya diam-diam heran mengapa
sesabar itu kepala gerombolan mereka terhadap Nararya. Suatu sikap yang belum pernah mereka
lihat pada diri kepala gerombolan mereka. Adat kebiasaannya, Singa Barong tak mau berbanyak
kata. Se ap meraung dalam aji Senggara-macan, Singa Barong tentu sudah segera menerkam
lawan. Tetapi mereka tak tahu bahwa saat itu Singa Barong sedang dipaksa untuk menimang dan
menggunakan per mbangan. Seorang anakbuah gerombolan dan Singa Sarkara yang mendahului
menyerang tadi, dalam waktu singkat telah dirobohkan oleh pemuda itu. Pada hal adiknya. Singa
Sarkara, kedigdayaannya hanya se ngkat cli bawahnya. Apabila iapun kalah, habislah sudah
riwayat kemasyhuran nama gerombolan Singa Barong yang sudah bertahun-tahun
bersimaharajalela di telatah Wengker - Matahun. Itulah sebabnya maka ia tak segera ber ndak
terhadap Nararya. Tetapi manakala Arjasa tampil ke muka, segera bangkitlah semangatnya pula. Betapapun dia
adalah Singa Barong kepala gerombolan yang termasyhur sak mandraguna dan pemuda itu hanya
seorang anakmuda yang bertubuh lemah
"Arjasa, mundur!" serentak ia membentak anakbuahnya itu. Kemudian ia maju selangkah tegak
berhadapan dengan Nararya "Engkau benar-benar hendak melindunginya?"
"Aku sudah terlanjur berjanji" sahut Nararya yang segera berkemas-kemas melihat Singa Barong
mengorak tali pinggang yang melilit di pinggang. Tarrr, tangan kepala gerombolan itu menggentak
dan terdengarlah bunyi menggeletar yang nyaring dan tajam. Kumandangnya bergema jauh
menyusup ke lembah sunyi.
"Jika engkau mampu menghadapi cambuk Gebyar Sayuta ini, aku akan mengajak anakbuahku
berlalu dari sini" serunya melantang.
"Baik" sambut Nararya "jika engkau mampu membunuh jiwaku, silahkan engkau membawa
pulang dara itu" "Jangan" seru Singa Barong pula segera memerintahkan supaya Nararya mencabut senjatanva.
Tetapi pemuda itu menolak "Aku tak mempunyai senjata apa-apa lagi kecuali sepasang tangan"
Singa Earong tak mau banyak bicara lagi. Maju selangkah, tangannya berayun dan seke ka di
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udara yang gelap memancar hamburan sinar kilat yang kemilau lalu diiring dengan letupan
dahsyat. Satuan sinar kilat dan letupan itu menghamburkan seberkas hujan percikan api yang
membias ke atas kepala Nararya.
Nararya terkejut melihat ilmu permainan cambuk yang luar biasa dahsyatnya. Ia cepat loncat
mundur diiring oleh sorak sorai anakbuah gerombolan yang tertawa mengejek.
Tar, tar .... dua kali cambuk Gebyar Sayuta berayun, menggeletar dan menghamburkan sinar kilat
menyambar tubuh Nararya. Pemuda itu masih belum terlepas dari selubung kejut dan keheranan.
Ia loncat ke samping lalu loncat ke belakang. Ia tegak tertegun. Sambaran kilat dari cambuk Singa
Barong memancarkan deru angin yang berhawa panas. Tak ubah seperti kilat.
"Ki Singa, hajarlah pemuda liar itu sampai remuk !" anakbuah gerombolan Singa Barong bersorak
sorai menambah semangat perbawa pemimpinnya.
Mayang Ambari terkejut, pucat. Ia menyesal meminta pertolongan kepada Nararya sehingga
jiwa raden itu terancam. Dalam pandangannya, Singa Barong terlalu kuat. Ia rela
mengorbankan diri asal raden itu selamat. Ia harus cepat-cepat mencegah agar cambuk kepala
gerombolan jangan sampai melukai raden itu.
"Singa Barong.....!"
(Oo=dwkz-ismoyo=oO) Jilid 2 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I Gelanggang pertempuran yang tengah menguapkan debu dan hamburan daun2 yang berguguran
diganas cambuk Gebyar Sayuta dari Singa Barong, ba- ba terkerat oleh lengking teriak yang
bernada tinggi. Singa Barong, kepala gerombolan perampok yang terkenal di daerah Matahun-Wengker, serasa
terden ng pecah anak telinganya. Getar2 teriakan yang membahana dari seorang dara yang tengah
dicengkam ketakutan, seolah menusuk-nusuk ulu ha kepala perampok itu. Padahal Singa Barong
dikenal sebagai seorang dedengkot perampok yang berha dingin, menganggap jiwa manusia tak
lebih sebagai jiwa ayam. Singa Barong terkesiap, kerutkan dahi dan heran mengapa ia mau menurut perintah teriakan itu.
Tetapi cepatlah wajahnya merah padam sesaat teringat bahwa orang itu dak memerintahkan ia
berhenti melainkan memanggil namanya. Ia malu dan marah. Cepat ia berpaling ke arah orang itu.
Seke ka pandang matanya menerkam dara can k Mayang Ambari. Ia terkesiap. Dara yang pada
saat muncul di pintu candi tampak pucat dan menggigil ketakutan, saat itu berdiri tegak
memandangnya dengan berani. Rasa heran telah menghanyutkan kemarahan, menghapus
perbekalan kata yang siap hendak ditumpahkan. Dan kecan kan dara itu makin menghampakan
pikirannya. Ia tegak termangu memandangnya.
"Singa... Barong" gadis itu meluncur kata walau ditengah jalan harus tersendat. Singa Barongpun
gelagapan. Ia malu mengapa ia harus kesima sehingga didahului pula oleh gadis itu. Untuk
menghapus kesan yang kurang baik pada anakbuahnya, cepat kepala perampok itu membentak
"Jangan banyak ribut, engkau!"
"Singa Barong, aku hendak bicara kepadamu" seru gadis itu dengan nada agak lebih berani.
Wajah Singa Barong menyeringai. Dua kepal kumis yang merimbun di atas bibirnya, tampak
berguncang-guncang macam semak, dihembus angin. Kelopak matanya merentang lebar "Engkau
mau bicara dengan aku?" serunya.
"Ya" sahut Mayang Ambari.
"Apa yang hendak engkau katakan?"
"Hentikan perkelahianmu"
"Hah?" sepasang guridu mata Singa Barong yang sebesar telur ayam, tampak membelalak
"engkau berani melarang aku?"
"Bukan melarang"
"Memerintah?" seru Singa Barong pula.
"Bukan memerintah" sahut Mayang Ambari "hanya meminta"
Singa Barong mendesuh "Hm, meminta?" ia mengulang "apa sebabnya engkau mengajukan
permintaan begitu?" "Tidak ada sebabnya"
"Engkau kasihan kepada pemuda itu?"
"Aku tak ingin melihat orang yang menolong aku akan menderita sendiri" sahut Mayang Ambari.
"Hm rupanya engkau sayang kepadanya" seru Singa Barong dalam nada mengguruh "tetapi apa
engkau yakin bahwa aku tentu meluluskan permintaanmu?"
"Bagaimana yang engkau kehendak supaya engkau mau menerima permintaanku itu?" seru
Mayang Ambari. "Aku tak menghendaki apa2" kata Singa Barong "karena sudah jelas, pemuda itu akan remuk
tulangnya dan engkau kubawa pulang sebagai isteriku"
Merah wajah dara can k itu. Dadanya bergelombang diguncang gempa ha nya "Singa Barong,
jangan engkau sekejam itu. Lepaskan raden itu dan aku bersedia ikut engkau"
"Kalau aku menolak ?" Singa Barong menyeringai tawa.
"Aku akan melarikan diri"
"Ha, ha, ha" kepala perampok itu tertawa membatu roboh "mampukah engkau meloloskan diri
dari pagar anakbuahku yang serapat gigimu itu, bocah ayu ?"
Namun wajah Mayang Ambari tak berobah. Tetap mengerut suatu keputusan yang kokoh
"Memang, Singa Barong, aku mungkin tak dapat lolos dari penjagaan anakbuahmu. Tetapi
ketahuilah, apabila engkau dan anakbuahmu menyentuh tubuhku, akan kubeset kulitku. Apabila
mereka berhasil menguasai diriku, hanya mayat saja yang engkau peroleh, karena saat itu aku pas
bunuh diri dengan cundrik ini" ia mengeluarkan sebatang patrem kecil yang disimpan dalam
pinggang. Singa Barong dan anakbuahnya terbeliak dilanda kejut yang hebat. Tak mereka sangka bahwa
dara secan k dan selemah itu, ternyata memiliki tekad yang sedemikian besar. Akhirnya Singa
Barong mau mundur selangkah "Hm, baru kali ini Singa Barong harus tunduk pada tuntutan orang.
Baik, bocah ayu, kali ini aku menerima permintaanmu. Tapi ingat, setelah jadi isteiiku jangan
engkau banyak meminta, ha, ha, ha ..."
Merah wajah Mayang Ambari. Tubuhnya gemetar keras, dilanda malu dan marah namun yang
ditekan dan yang diusahakan untuk diderita '"Jika demikian, lepaskan raden itu"
"Ya, suruh dia enyah, aku takkan mengganggunya" Singa Barong menekuk ujung cambuk hendak
dililitkan ke pinggang, sambil berpaling kearah anakbuahnya "jangan mengganggu mereka"
Kepala perampok itu menunduk sejenak untuk memeriksa letak garis pinggangnya yang hendak
disalut dengan lilitan cambuk. Hanya sekejab pikirannya tercurah akan pemasangan ceme , atau
cepat ia mendengar debur langkah kaki berayun menyorong sebujur bayang2 hitam merayap di
lanah, makin naik dan naik, menghampiri ke sisinya. Dan pikirannyapun cepat menyadari bahwa
debur langkah kaki itu berasal dari sebetah muka dan bayang2 hitam itu adalah bayang2 tubuh
manusia di ngkah sinar rembulan remang. Cepat ia mengangkat muka memandang ke muka dan
secepat itu pula pandang matanya beradu dengan sepasang gundu mata yang berkilat tajam dari
wajah seorang muda yang berdiri menggagah di hadapannya "Engkau ...... ! " serunya dalam nada
teriak. "Ya" sahut pemuda itu atau Nararya.
"Pergilah" seru Singa Barong pula "aku telah berjanji pada calon isteriku untuk melepaskan
engkau" "Hm" desuh Nararya "terserah engkau mau ber ndak bagaimana. Tetapi akupun akan ber ndak
menurut kehendakku" Singa Barong membeliak " Apa maksudmu?"
"Engkau mau melepaskan diriku atau dak, terserah " kata Nararya " tetapi aku takkan
melepaskan engkau" "Keparat!" teriak Singa Barong keras2 "engkau hendak menantang aku berkelahi lagi?"
Nararya gelengkan kepala "Hm, pelupa benar engkau ini. Bukankah pertarungan kita tadi belum
selesai" Siapakah yang menantang perkelahian itu?"
"Iblis laknat" Singa Barong marah "jika dak karena dara itu, saat ini engkau tentu sudah rebah
menjadi mayat" ia terus mengorak pula cambuk yang belum sempat dililitkan pinggang.
Melihat ketegangan membara lagi, Mayang Ambari cepat lari menghampiri Nararya "Raden ..." ia
berjongkok menelungkupi kaki Nararya "raden, janganlah raden melanjutkan maksud raden....."
Namun Nararya tak menjawab sepatahpun juga.
"Raden" Mayang Ambari mulai menengadahkan kepala memandang wajah Nararya "janganlah
raden berkelahi dengan mereka. Mereka ganas dan kejam. Biarlah aku ikut mereka dan silahkan
raden tinggalkan tempat ini ...."
Nararya merasa bahwa tangan si dara yang menelungkup kakinya itu dingin dan gemetar.
Kemudian terasa pula butir2 air hangat mencurah pada kakinya. Ia terkejut. Tentulah dara itu
menangis. Namun tenang2 saja ia berkata "Silahkan engkau ikut kepala perampok itu. Tetapi
aku tetap akan menyelesaikan pertempuran tadi"
"Raden !" Mayang Ambari menjerit. Kaget dan cemas "jangan raden, percayalah kepadaku dan
luluskanlah permintaanku"
Nararya tertawa mendengus "Aku tak pernah menolak permintaan se ap insan, bahkan bangsa
khewanpun kalau minta tolong kepadaku, tentu akan kutolong"
"Oh, terima kasih, raden" ba2 nada Mayang Ambari berobah gembira "biarlah aku berkorban
..." "Siapakah yang suruh engkau berkorban?" tukas Nararya.
"Aku sendiri, raden" sahut Mayang Ambari "aku tak menghendaki raden menderita ...."
"Engkau bebas untuk melakukan apa yang engkau kehendaki. Silahkan engkau berkorban untuk
dirimu tetapi aku tak pernah merasa meminta engkau berkorban untuk diriku"
"Ya" sahut Mayang Ambari "memang aku sendiri yang mengambil keputusan itu"
"Jika demikian" kata Nararya seraya beringsut untuk melepaskan kakinya dari tangan si dara
"silahkan engkau ikut pada kepala perampok itu"
"Dan bukankah raden segera nggalkan tempat ini?" Mayang Ambari menyertai pertanyaan
dengan pandang penuh harap.
Nararya gelengkan kepala "Haruskah kuulang lagi pernyataanku tadi" Aku tetap takkan
melepaskan seorang kepala perampok yang hendak mengganggu wanita, sekalipun wanita itu
dengan serta merta hendak memaserahkan diri kepadanya"
"Raden" teriak Mayang Ambari merin h "bunuh Mayang Ambari tetapi kumohon janganlah
raden perhina diriku sedemikian rendah"
"Aku berjanji, nini" kata Nararya "apabila engkau menerima kata-kataku itu sebagai suatu
hinaan, takkan kuucapkan lagi. Engkau sangat perasa sekali, kiranya. Tetapi adakah engkau tak
merasa telah menghina diriku juga?"
Mayang Ambari tersengat kejut "Raden, oh, bilakah Mayang Ambari menghina raden?"
"O, kiranya engkau belum merasa" kata Nararya "bahwa aku yang telah menyanggupi untuk
melindungi dirimu dari gangguan perampok, secara ba- ba engkau campakkan diriku ke lembah
hina sebagai seorang pengecut, seorang lemah yang pas akan ma terbunuh oleh seorang kepala
perampok. Tidakkah engkau menganggap hal itu sebagai suatu tindak mencemohkan diriku?"
"Raden!" Mayang Ambari menjerit " dak, raden, Mayang Ambari tak bermaksud demikian. Aku
hanya ingin menyelamatkan ..."
"Seorang ksatrya yang sudah berjanji akan memberi pertolongan tentu akan melaksanakan
janjinya. Janji adalah kehormatan seorang ksatrya dan mati adalah tebusannya. Sudahlah, nini,
jika engkau hendak menyerahkan dirimu kepada perampok itu, pergilah. Aku tetap akan
menunaikan janjiku" "Duh, raden, ampuplah kesalahan hamba ..." Mayang Ambari menangis dan menelungkup kaki
Nararya. "Diam!" tiba2 Singa Barong menghardik keras "kemarilah! Akan kuhajamya karena dia berani
menghina engkau" Singa Barong maju pula selangkah kehadapan Nararya. Namun Mayang Ambari masih tetap
menelungkupi kaki pemuda itu. Nararya terkejut, serunya gopoh "Nini, menyingkirlah ke samping.
Aku hendak menghadapi kepala perampok itu"
Tetapi Mayang Ambari tetap diam. Sesaat terkejutlah Nararya ke ka merasa bahwa tangan dan
wajah dara itu terasa dingin "Nini, bangunlah ...." serunya seraya menggoyangkan kakinya agar
dilepaskan. Tetapi ternyata tangan gadis itu masih menelungkupi dengan erat, seolah tak mau
melepaskan. Nararya agak mengkal. Tetapi maksud ha hendak menggunakan tenaga agak keras
pada kakinya agar dara itu tersiak, segera tertumbuk akan rasa kejut ke ka merasa hawa dingin
dari tangan dan tubuh dara itu makin terasa sekali menjalar ke kakinya.
"Tangan dan tubuhnya dingin dan dia tak bicara apa2, ah ...." ba2 Nararya teringat sesuatu dan
tersengat kejut. Cepat ia membungkuk dan menjamah bahu dara itu, ah, dingin sekali tubuhnya
"Nini ... nini ...." digolek-golekkannya tubuh dara itu namun tetap tak menyahut "ah, dia pingsan
...." Nararya memang telah menduga hal itu. Maka cepat ia mendekap punggung akan kaki dara itu.
Maksudnya hendak diangkat ke bawah pohon disamping. Tetapi saat itu terdengar Singa Barong
menggelegar pekik "Hai, anak liar.. jangan engkau menjamah tubuh dara itu!"
Terdengar sebuah benda menderu, menghambur angin dahsyat kearah Nararya, tepat pada saat
pemuda itu hendak membungkukkan tubuh mengangkat Mayang Ambari. Tarrr ....
Terdengar letupan dahsyat, debu dan keping2 hancuran tanah bertebaran menyelubungi
sekeliling tempat. Beberapa anakbuah gerombolan berpaling ke belakang, ada yang menutup mata
ada pula yang hanya pejamkan mata. Namun mereka tak terkejut karena sudah mengetahui bahwa
demikianlah keadaanya se ap kali cambuk Gebyar Sayuta mengunjuk gaya. Kebalikannya, yang
terkejut adalah Singa Barong sendiri.
Dengan mbulnya prahara debu campur hancuran, tanah itu, jelas bahwa cambuk Gebyar Sayuta
telah menghantam tanah. Sama sekali tak mengenai tubuh pemuda itu. Tidakkah hal itu layak
mengundang rasa kejutnya" Ia ingin melihat bagaimana keadaan pemuda dan si dara namun
kemelut debu yang bergulung tebal menghambat pandang matanya. Terpaksa ia harus bersabar
menan . Tetapi selekas debu menipis, ia harus terkejut pula bahkan sampai membelalak
memandang lekat2 seolah hendak menguji adakah yang dilihatnya itu benar2 terjadi. Saat itu
pemuda tadi sudah tampak tegak dihadapannya. Hanya seorang diri tanpa si dara cantik.
"Kemana dara itu?" tanpa disadari Singa Barong berseru heran.
"Sudah kuserahkan kepada pamanku" sahut pemuda itu yang tak lain adalah Nararya "mengapa"
Dia pingsan, apakah hendak engkau ganggu?"
"Oh" dengus Singa Barong sambil mengeliarkan pandang matanya. Di bawah sebatang pohon,
dilihatnya seorang lelaki setengah tua sedang menjaga seorang anak perempuan yang rebah di
tanah. Lelaki itu dikenalnya sebagai salah seorang yang berada di candi situ. Sedang anak
perempuan itu jelas Mayang Ambari.
"Sudah puas ?" tegur Nararya pula "jika belum, silahkan memeriksa lagi. Dan kalau sudah puas,
marilah kita lanjutkan bertempur"
Selama memimpin gerombolan perampok, telah bertahun-tahun Singa Barong bersimaharajalela
di telatah Wengker dan Matahun. Dia paling ditaku rakyat dan gerombolan-gerombolan
perampok maupun penyamun lain.
Hukum rimba berlaku juga dalam kehidupan manusia dari dunia hitam. "Gerombolan perampok,
penyamun, maling dan penjahat menyanjung Singa Barong sebagai pemimpin. Se ap hari raya,
mereka berbondong-bondong menghadap Singa Barong untuk menghaturkan bulu-bak berupa
hadiah barang2 yang berharga. Juga se ap penjahat yang datang ke daerah Wengker dan Matahun
harus menghadap Singa Barong untuk melaporkan diri dan minta idin. Pernah sekali terjadi ke ka
gerombolan perampok dari tanah Pajang datang ke Matahun, dia tak mau menghadap Singa
Barong. Pada saat ia hendak kembali ke Pajang, di tengah jalan di tepi bengawan Bogowonto,
gerombolan itu dihadang Singa Barong. Pertempuran terjadi. Singa Barong menghancurkan seluruh
gerombolan itu dan membuang mayat mereka ke bengawan. Sejak peris wa itu ada lagi orang
yang berani menentang Singa Barong.
Dan selama menikma kehidupan sebagai kepala penjahat yang disanjung oleh seluruh golongan
hitam, jarang sekali Singa Barong mendapat lawan. Dan apabila mendapat lawan, pun jarang sekali
ia menggunakan cambuk. Ia memiliki ilmu lindung, kebal senjata tajam dan memiliki ilmu
kanuragan tataran tinggi.
Bahwa dalam menghadapi pemuda Nararya ia terus langsung menggunakan cambuk, memang
mengejutkan sekalian anakbuahriya. Tetapi Singa Barong sendiri menyadari bahwa pemuda
Nararya itu memang harus diperlakukan lain. Seorang anakbuahnya dan Singa Sarkara dalam waktu
singkat dapat dirubuhkan pemuda itu.
Apa yang diperhitungkan pada diri pemuda itu, ternyata tak salah. Beberapa serangan cambuk
yang dilancarkan dalam babak permulaan tadi, ternyata tak mampu mengenai pemuda itu. Dan
yang lebih mengejutkan pula yalah serangan cambuknya yang terakhir, dimana jelas ia melihat
pemuda itu tak berjaga2 dan tengah membungkuk hendak menolong seorang dara. Namun letupan
cambuknya hanya menghantam tanah.
Seorang dedongkot perampok seper Singa Barong ternyata bukan manusia maha berani. Dia
tetap seorang manusia biasa yang masih mempunyai rasa gentar juga. Namun ke ka mendengar
kata2 yang dilontarkan Nararya, seke ka meluaplah kemarahannya "Keparat, jangan berkokok.
Engkau tak lebih hanya ayam gunung!"
"Singa Barong" ba2 Nararya berseru. Kali ini nadanya penuh membahana keberanian "kusangka
engkau seorang benggolan yang perwira maka akupun masih memaksa diri untuk menghorma .
Tetapi aku kecewa, Singa Barong, karena ternyata engkau tak lebih dari seorang manusia licik yang
menabur dirimu dengan segala ndak kejam dan buas agar orang takut kepadamu. Tetapi
ketahuilah, bahwa apabila engkau tak mau bertobat, hari ini terpaksa akan kuhancurkan nyawamu
!" "Keparat!" Singa Barong meledak kemarahannya. Cambuk diayunkan sedahsyat angin prahara.
Diserangnya Nararya dengan taburan cambuk yang berkilat-kilat bagaikan halilintar, menderu-deru
laksana angin prahara. Cambuk Gebyar Sayuta bukan sembarang cambuk. Apabila cambuk biasanya terbuat daripada
tali atau pun kulit kerbau, bahkan ada pula yang dari urat2 kerbau, daklah demikian dengan
cambuk Gebyar Sayuta. Cambuk itu merupakan senjata kebanggaan Singa Barong karena dalam
dunia hitam, ada seorang lain yang menggunakan cambuk semacam itu. Cambuk Gebyar Sayuta
itu terbuat daripada bangkai ular sanca yang berumur ratusan tahun. Lemas tetapi kerasnya
melebihi baja sehingga senjata yang bagaimanapun tajamnya, tak mampu menabas cambuk itu.
Keis mewaan lain dari cambuk itu, apabila mengenai lawan, kulit dan daging orang itu tetap utuh
tanpa terluka sedikit-pun juga tetapi tulangnya sudah remuk. Dia akan ma atau cacad tak dapat
berdiri selama-lamanya. Rasa gentar tersapu seke ka disaat dia mengayun-ayunkan cambuk Gebyar Sayuta. Gebyar atau
pancaran sinar yang berhamburan dari cambuk itu telah membangkitkan pula nyali dan
kebanggaan Singa Barong sebagai orang yang dipertuan dalam dunia golongan hitam.
Nararya diam2 terkejut. Ia pernah dengar juga tentang seorang kepala gerombolan perampok
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bernama Singa Barong. Kata orang, Singa Barong itu memiliki tenaga sekuat singa. Kata orang
pula, Singa Barong itu tak mempan dibacok senjata tajam. Dan lebih kata orang pula bahwa Singa
Barong itu dapat menghilang. Diantara cerita dan kata orang tentang diri kepala gerombolan
perampok itu, ia merasa dan membuk kan sendiri bahwa Singa Barong itu memang memiliki
tenaga yang amat kuat. Dan hal itu sesuai dengan perawakannya yang nggi besar gagah perkasa.
Bahwa kepala perampok itu kebal senjata dan dapat menghilang, ia belum membuk kan dan ingin
kiranya hendak membuk kan. Tetapi untuk mencapai langkah itu, haruslah terlebih dahulu ia
dapat mengatasi kenyataan bahwa Singa Barong itu memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Dalam minimang-nimang siasat untuk menghancurkan tenaga serangan lawan yang dahsyat itu,
Nararya tak sempat melakukan serangan balasan. Ia hanya menggunakan siasat menghindar. Dalam
hal itu yang pen ng ia harus mempertajam indera penglihatannya untuk mengiku se ap ayunan
cambuk lawan agar ia dapat menyesuaikan gerak penghindarannya, menyurut mundur atau loncat
ke samping atau melambung ke atas.
Walaupun hal itu baru dirasakan setelah beberapa saat bertempur, namun daklah
mengurangkan rasa heran yang menyelimpat dalam pikiran Nararya. Ia merasa bahwa serangan
cambuk Singa Barong itu hebat dan dahsyat tetapi ia tak merasa gentar ataupun gugup. Ia merasa
tenang. Iapun merasa bahwa ayunan cambuk lawan memancarkan sinar kemilau macam kilat tetapi
ia tak merasa silau. Pun ia merasa bahwa gerak cambuk: kepala perampok itu secepat halilintar
menyambar, namun pandang matanya selalu dapat mengiku . Ada. pula lain perasaan yang
sebelumnya tak pernah dirasakan. Bahwasanya disamping penglihatannya bertambah terang,
pendengarannya bertambah tajam, pun gerak tubuhnya bertambah ringan. Ia heran tetapi tak
sempat memikirkan. Ia ingin merenungkan tetapi cambuk Singa Barong tak mengidinkan. Hanya
sedikit saja yang sempat ia ingat, bahwa sejak bersemedhi dalam, candi di tempat itu, sudah
beberapa hari ia tak makan dan minum tetapi ia tak merasa lemas bahkan tubuhnya terasa ringan
sekali. Ayunan cambuk Singa Barong itu menimbulkah hiruk pikuk yang menyeramkan. Debu campur
pasir bertebaran menyelimu gelanggang, tanah dan cadas pu t hancur memuncratkan keping-
keping, ran ng dan daha berderak-derak patah, daun2 berguguran memenuhi tanah. Anakbuah
gerombolan perampok itu terlongong-longong menyaksikan keperkasaan pemimpinnya sebagai
mana belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka bangga mempunyai seorang pemimpin yang
sedemikian perkasa. Saat itu bulan mulai muncul mengantarkan cahayanya yang tenang dan damai. Namun Singa
Barong tak mengacuhkan amanat damai dari sang Dewi Malam. Baginya, untuk membunuh
manusia ada yang dikata siang atau malam. Tenaganya dihamburkan habis-habisan sehingga
dalam waktu tak lama, tubuhnya sudah mandi keringat dan tak lama pula, napaspun mulai
memburu keras. Semula Nararya memang menggunakan siasat menghindar dulu. Kemudian ia memutuskan,
siasat itu sebagai suatu cara yang paling tepat untuk menghadapi lawan yang bertenaga singa. Ia
hendak memeras habis tenaga lawan baru kemudian melancarkan serangan balasan. Walaupun
sudah menentukan siasat, namun sukar juga dalam pelaksanaannya. Berulang kali hampir saja ia
terkena sabatan cambuk lawan. Bahkan karena cuaca gelap ditambah pula debu bergulung-gulung
tebal, kepalanya hampir tersabat. Untung ia masih sempat menunduk hingga hanya .ikat kepalanya
yang tersambar jatuh. Namun dengan ketekunan dan kewaspadaan yang nggi, akhirnya ia mulai
merasakan suatu perobahan dalam gerak lawan. Walaupun cambuk masih menderu-deru, tetapi
perbawanya daklah seper prahara, melainkan hanya angin biasa. Dan hal itu menunjukkan
bahwa lawan mulai menurun daya serangannya atau yang berar tenaganya sudah mulai
berkurang. Saat yang dinan kan Nararyapun ba. Pada saat itu cambuk Singa Barong melancar pula,
melayang dari udara menghantam turun. Nararyapun mengisar langkah ke samping, dak loncat
seper yang beberapa kali dilakukannya. Selekas ujung ceme menghantam tanah dan
menimbulkan gelegar kegemparan yang menghamburkan kabut debu jtebal, dengan suatu gerak
yang tangkas Nararya loncat menginjak ujung cambuk itu. Kemudian ia menggunakan aji
Pengantepan sebagaimana yang telah diajarkan gurunya di pertapaan.
Masih teringat ke ka resi Sinamaya hendak menurunkan ilmu itu kepadanya. Kala itu Nararya
diajak gurunya keluar ke halaman. Tiba- ba resi itu mengaduh dan terus terdukuk di tanah.
Nararya gugup menghampiri "Aduh, Nararya, kakiku terkilir, tolonglah angkat tubuhku ke dalam
pondok" kata resi itu. Nararyapun segera melakukan perintah gurunya. Resi Sinamaya bertubuh
kurus, mudah diangkat, pikir Nararya. Tetapi alangkah kejutnya ke ka mengangkat tubuh gurunya,
Nararya tak kuat. Dicobanya sekali, dua sampai
ga kali, namun tetap ia tak mampu
mengangkatnya. Wajah Nararya merah padam, napas terengah-engah.
"Bagaimana, Nararya" tegur resi Sinamaya. Nararya tersipu-sipu merah mukanya "Maaf guru,
hamba tak mampu mengangkat tubuh paduka"
"Ah, masakan tak kuat, Nararya. Bukankah tubuhku amat kurus. Cobalah sekali lagi, angger"
Nararya menurut. Ia terkejut ke ka saat itu dengan mudah ia dapat mengangkatnya. Tubuh
gurunya amat ringan. Segera ia melangkah hendak membawanya masuk ke dalam pondok. Tetapi
baru dua ga langkah berjalan, ba- ba ia menjerit dan membungkuk ke tanah meletakkan
gurunya duduk "Mengapa Nararya?" tegur resi Sinamaya.
"Duh, guru, turunkanlah kepada hamba ilmu yang aneh itu" pinta Nararya.
Resi Sinamaya menerangkan bahwa ilmu yang digunakan itu disebut aji Pengantepan. Jangankan
hanya seorang Nararya, walaupun sepuluh ekor kuda tak kuasa menariknya apabila ia sedang
mengembangkan aji itu. Dalam menginjak ujung cambuk Singa Barong, Nararyapun menggunakan aji Pengantepan.
Walaupun Singa Barong yang terkenal amat perkasa itu, namun sampai urat-urat pada dahinya
melingkar-lingkar, tetap tak kuasa menariknya. Nararya tertawa, ba- ba Singa Barong memekik
kejut dan tubuhnya terjerembab kebelakang. Ternyata Nararya menarik aji Pengantepan sehingga
Singa Barong yang masih kemati-matian menariknya, telah terperangkap dan jatuh terjerembab.
"Uh ..." kepala perampok itu menggeram tertahan ke ka Nararya menginjakkan kaki kanannya ke
dada dan kaki kiri ke tangannya. Singa Barong rasakan dadanya seper ter ndih segunduk batu
besar. "Jika engkau berani meronta" ba- ba Nararya berseru "akan kuperkeras injakanku sehingga
dadamu pecah " Tetapi rupanya Singa Barong itu memang seorang jantan yang berani. Walaupun dibawah
ancaman maut namun ia masih tak gentar "Hai, lekas serang keparat ini....." ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena injakan kaki Nararya terasa lebih berat sehingga ia tak dapat
bernapas dan tak sadarkan diri.
Tujuh anakbuah gerombolan Singa Barong taat akan perintah pemimpinnya. Serempak mereka
berhamburan menyerang Nararya dengan senjata masing-masing.
Nararya terkejut melihat sikap, Singa Barong yang begitu keras kepala dan anakbuahnya yang
sangat taat. Setelah menginjak dada kepala perampok itu, iapun terus loncat menghindar serangan
mereka. Apabila dengan Singa Barong hanya satu lawan satu, sekarang ia harus menghadapi tujuh
orang yang bersenjata. Walaupun Singa Barong seorang lebih sak daripada ketujuh anakbuahnya
namun jumlah mereka jauh lebih membahayakan dan sukar dihadapi.
Dalam keadaan terdesak, mbullah pikiran Nararya untuk mematahkan dahan pohon dan
digunakan sebagai senjata. Gepat ia melaksanakan rencana itu. Dengan membawa dahan pohon
yang sebesar lengan orang, untuk beberapa saat ia dapat menghadapi mereka. Bahkan berhasil
juga ia menyapu rubuh seorang lawan. Tetapi akhirnya dahan pohon itu dapat tertabat kutung
oleh pedang lawan. Kini mereka mengepung Nararya lalu menyerang dari muka, samping dan
belakang. Beberapa saat kemudian, ke ka ia berhasil menghalau tusukan tombak dari lawan yang di muka,
kemudian dapat pula berputar ke belakang seraya menghantam dua orang lawan, ba- ba ia
terkejut karena dari kedua samping kanan dan kiri melancar tombak dan pedang. Ia tak sempat
menangkis maka cepat ia loncat mundur. Tetapi seorang anakbuah gerombolan ternyata sudah
siap untuk menyambut dengan tombak yang diarahkan ke lambungnya. Nararya terkejut. Ia benar-
benar tak menduga akan serangan itu. Tanpa banyak perhitungan lagi iapun segera ayun tubuh
melayang kebelakang "Ah..." tiba-tiba ia mendesuh kesakitan dan terus terdampar jatuh ke tanah.
Cuaca yang gelap dan ancaman yang mendesak tak menyempatkan Naraya untuk meneli
keadaan dibelakangnya. Ke ka ia loncat ke belakang ternyata kepalanya terantuk pada sebatang
pohon. Keras juga benturan itu sehingga ia merasa pandang matanya gelap dan jatuhlah ia ke
tanah. Anakbuahnya yang menyerang dengan tombak tadi, dengan tangkas loncat dan mengangkat
tombaknya hendak dibenamkan ke perut Nararya. Tetapi ba2 terdengar teriak keras yang
melarangnya. Orang itu cepat mengenali yang mencegah itu. adalah pemimpinnya, Singa Barong.
Maka ia-pun cepat hen kan ujung tombak tepat melekat diperut Nararya. Untuk mencegahnya
supaya pemuda itu jangan melawan.
Singa Barong memang seorang yang berisi. Sesungguhnya ia dak pingsan hanya gelap pandang
matanya ke ka dadanya diinjak kaki Nararya. Dalam beberapa kejab ia sudah mendapat kesadaran
pikirannya lagi. Saat itu ia melihat anakbuahnya hendak menghunjamkan tombak ke perut Nararya
yang tengah rebah telentang di tanah. Tiba2 ia mendapat pikiran dan segera berseru mencegahnya.
Dengan langkah sarat ia menghampiri ke tempat Nararya "Ikat tangannya!" perintahnya.
Beberapa anakbuahnya segera berhamburan meringkus Nararya mengikat kedua tangannya erat2,
kemudian ia mengangkatnya dengan kasar supaya berdiri.
"Lepaskan" teriak Singa Barong kepada anakbuah yang masih memegang tangan pemuda itu.
Kemudian ia memberi isyarat agar anakbuahnya menyingkir "akan kubelah kepalanya dengan
kapak" ia berpaling dan mengulurkan tangan ke arah seorang anakbuahnya. Anakbuah itu bergegas
menyerahkan senjata kapaknya.
"Jika kalian ngeri, menyingkirlah. Bunuh lelaki kawan pemuda ini dan tolonglah dara itu supaya
sadar" kembali Singa Barong memberi perintah.
Beberapa orang anakbuahnya segera melakukan perintah. Sedang Singa Barong segera maju
menghampiri ke muka Nararya. Sekali menggerakkan kaki sebelah kanan, ia menyapu kaki Nararya
sehingga pemuda itupun rubuh berlutut di tanah.
"Hm, keparat, hayo tunjukkan kegagahanmu lagi" Singa Barong mencemoh.
"Singa Barong" sahut Nararya dengan nada kokoh "hanya satu yang kuminta kepadamu.
Bunuhlah aku tetap jangan sekali-kali engkau hina diriku!"
"Hm" dengus Singa Barong "dalam saat-saat maut hendak merenggut jiwamu, engkau masih
mengumbar kecongkakan. Baik, sebenarnya akan kubelah tubuhmu dengan kapak ini tetapi
karena melantangkan kata-kata itu maka akan kurobah rencanaku. Engkau akan kujadikan
manusia yang paling buruk di dunia. Kedua kaki dan tanganmu akan kuhilangkan dan wajahmu
akan kucacah-cacah, ha, ha, ha .. "
Nararya terkejut mendengar rencana itu. Ia percaya bahwa manusia macam Singa Barong tentu
sampai ha melaksanakan rencana sekejam itu. Ia pejamkan mata dan berdoa dalam ha "Ah,
apakah memang dewata telah menggariskan nasibku harus ma di tangan seorang kepala
perampok" Ah, pukulun, hamba menghaturkan jiwa raga hamba kehadapan pukulun.." ia meratap
kepada dewa. Ia memaserahkan diri.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba terngianglah u-capan dari gurunya, resi Sinamaya, dikala
ia hendak turun gunung "Nararya, segala apa terserah kepada dirimu sendiri, kepada usaha
dan dayamu sendiri. Dewapun hanya meluluskan daya usahamu itu"
Kata-kata itu bagaikan lintasan kilat, memancar dan padam. Namun cukup untuk
membangkitkan semangat Nararya. Mengapa ia harus paserah diri kepada dewa, apabila ia
sendiri tak mau berusaha untuk menanggulangi maut yang tengah mengancam saat itu" Benar
kedua tangan diikat kencang-kencang pada tubuhnya, tetapi ia masih memiliki sepasang kaki
yang dapat digunakan untuk menyelamatkan diri. Adakah ia berhasil atau gagal memberi
perlawanan hanya dengan modal sepasang kaki, ia tak tahu dan tak perlu memikirkan. Yang
penting ia harus berusaha dahulu. Sebelum ajal berpantang maut.
"Sekarang tanganmu dulu" ba- ba Singa Barong berteriak seraya ayunkan kapaknya membelah
bahu Nararya. Nararyapun sudah siap menghadapi. Setelah memperha kan bahwa kapak hendak
menghantam bahu kirinya maka cepatlah ia membuang tubuh ke samping kanan lalu melen ng
bangun. Bum ... kapak membelah tanah, menghamburkan keping2 dan percik tanah keempat
penjuru. Singa Barong terkejut, demikian pula beberapa anakbuahnya yang mendengar bumi menggetar
keras. Mereka buru2 kembali ke tempat pemimpinnya. Mereka terkejut melihat Singa Barong
meraung dan menyerang Nararya dengan buas. Bukankah pemuda itu sudah diikat tangannya"
Mengapa pemimpin mereka masih tak dapat membunuhnya" Jawaban itu segera mereka ketahui
setelah ba di dekat mereka. Dan apa yang disaksikan hanyalah menyebabkan mereka terlongong
keheranan. Singa Barong dengan buas menyerang dan Nararya dengan tangan terikat berlincahan
menghindar. Ingin para anakbuah itu membantu menangkap Nararya tetapi mereka cukup faham
akan perangai pemimpinnya. Apabila dak diperintah mereka berani campur tangan, walaupun
tujuannya hendals membantu, tetapi Singa Barong tak dapat memberi ampun. Anakbuah itu tentu
akan dihantamnya sendiri karena dianggap lancang. Itulah sebabnya maka merekapun hanya
berdiri bersiap-siap saja.
Betapapun karena kedua tangannya telah terikat pada tubuh, begitu pula yang dihadapinya itu
Singa Barong yang terkenal digdaya, akhirnya Nararya terdesak juga. Dengan suatu gerak siasat
yang bagus, Singa Barong berhasil mempedayai Nararya sehingga pemuda itu terkait kakinya dan
jatuh terpelan ng. Saat itu laksana seekor harimau lapar, Singa Barong segera loncat dan ayunkan
kapaknya membelah kepala Nararya. Nararya terkejut namun ia sudah tak berdaya menghindar
lagi. Tahu bahwa tentu ma maka ia hampakan pikiran satukan semangat dan heningkan ha
menunggu saat2 jiwanya akan melayang tinggalkan badan wadagnya.
"Uh ..." ba2 Singa Barong mendesuh kejut dan heran. Serentak kapak terhen tepat di atas
ubun2 kepala Nararya. Mata kepala perampok itu merentang lebar, wajah meregang tegang.
Sekalian anakbuahnya menyaksikan peristiwa aneh itu. Mereka melihat Singa Barong
hentikan kapak di atas ubun-ubun kepala lawan. Merekapun menyaksikan Singa Barong tegak
terpaku, wajah menampi! rasa seram. Tetapi mereka tak tahu apa yang telah terjadi. Bukankah
pemuda itu duduk terkulai pejamkan mata dalam kepaserahan yang putus asa"
Cempurit, anakbuah perampok yang terkenal berani, segera hendak berseru. Tetapi sebelum ia
sempat membuka mulut, ba- ba ia melihat Singa Barong lepaskan dan menyurut mundur. Dan
lebih terkejut pula Cempurit serta kawan-kawannya ke ka melihat Singa Barong duduk bersila di
hadapan pemuda itu. Masih rasa kejut mereka meluap makin hebat ke ka ba- ba melihat
pemimpin mereka mengangkat kedua tangannya dan menyembah pemuda itu "Duh, raden,
maafkanlah kesalahan hamba ...."
"Ki Singa!" karena tak kuasa menahan luap kejutnya, Cempurit serentak berseru "dia adalah .."
Tiba- ba Singa Barong berpaling dan membentak keras "Hayo, kamu duduklah dan haturkan
sembah kepada raden"
Wajarlah apabila Cempurit dan anakbuah gerombolan itu terbelalak, kemudian saling pandang
memandang dengan penuh pertanyaan. Tetapi mereka tak sempat meluncurkan kata-kata karena
saat itu Singa Barong berteriak penuh kemarahan "Hayo lekas, barangsiapa tak mau menurut
perintah, tentu kubunuh! "
Anakbuah gerombolan itu ketakutan. Serempak mereka melakukan perintah kepalanya. Dalam
pada itu Nararya merasa heran mengapa kapak kepala perampok itu tak kunjung menghunjam
tubuhnya "Ah, tak mungkin kepala perampok itu mau memberi ampun kepadaku. Mungkin karena
kapaknya terlampau tajam sehingga aku tak terasa apa-apa" bantah Nararya. Ia lebih percaya
bahwa dirinya tentu sudah ma "ya, mungkin beginilah rasa orang ma itu. Sunyi, hening ada
terasa apa-apa. Hampa dan ringan seperti tiada berbobot ..."
Tiba2 ia terkesiap sendiri "Mengapa aku masih dapat berpikir. Adakah orang ma itu dapat
menggunakan pikirannya ...." belum ia menemukan jawaban, ba2 terdengar suara orang meminta
maaf kepadanya "Eh, mengapa aku masih mendengar suara orang ?" ia makin terkejut dan lebih
terkejut pula ke ka pikirannya meningkat bahwa rasanya ia kenal dengan nada suara orang itu
"Singa Barong ..." pada saat mencapai pemikiran itu, seluruh indera perasaannya telah kembali
pula dan mengembanglah kesadaran pikirannya lagi. Selekas ia merasa telah memiliki kesadaran,
selekas itu pula ia membuka mata "Ah, Singa Barong ...." ia tak melanjutkan kata-katanya karena
terbenam rasa heran melihat kepala perampok itu duduk bersila di hadapannya "engkau ...."
"Raden" Singa Barong mengangkat muka dan menghaturkan sembah pula "maa anlah
kesalahanku" Manakala bermimpi aneh, sekejab saja perasaan aneh, heran dan menafsir-nafsirkan itu hinggap
pada benak orang. Karena mereka menyadari bahwa kesemuanya itu hanya mimpi, sesuatu yang
mengembang dalam angan-angan waktu dur. Tetapi apa yang dialami Nararya, benar2 suatu
mimpi yang nyata. Sesuatu yang tak pernah diangan-angan tetapi benar2 telah terjadi dalam
mimpi. Mimpi tetapi dak mimpi. Mimpi karena hal itu hanya dapat terjadi dalam impian. Tidak
mimpi karena apa yang dialaminya itu benar2 terjadi dalam kenyataan.
"Mengapa engkau minta maaf kepadaku ?" akhirnya untuk membuk kan bahwa ia benar2 masih
hidup dan benar2 tidak mimpi maka Nararya melantangkan suara.
"Karena aku berani hendak membunuh raden" sahut Singa Barong..
"Ah" Nararya menghela napas longgar karena mulailah mbul kepercayaan bahwa ia masih
hidup, bahwa ia dak bermimpi pula "Apakah aku masih hidup" Apakah engkau dak berolok-
olok?"" "Tidak, raden" sahut Singa Barong "raden tak kurang sesuatu dan akupun tidak berolok-olok"
"Tetapi bukankah engkau tadi telah mengayunkan kapakmu kearah kepalaku" Ah, aku tentu
sudah mati ..." "Benar, raden. Tetapi kapak itu ... kapak itu ...."
"Kapak itu bagaimana, ki sanak?" Nararya me-ngejarkan pertanyaan.
Dengan suara pelahan bahkan hampir seper orang berbisik, Singa Barong berkata "Adakah
raden tidak merasakan sesuatu?"
"Merasakan apa?" Nararya makin heran.
"Benarkah raden tidak merasakan apa2?"
Nararya gelengkan kepala "Tidak, ki sanak"
"Yah" Singa Barong menghela napas "pada saat kapak itu melayang turun, ba2 dari ubun2
kepala raden telah keluar segulung asap pu h yang sesaat kemudian ba2 telah berobah menjadi
seekor ular naga yang mengenakan jamang pada kepalanya. Ular naga itu mengangakan mulut dan
menyambar kapak. Seke ka itu kurasakan tubuhku lunglai, raden, sehingga kulepaskan kapak. Aku
menggigil karena tiba2 ular naga itu telah berobah .... berobah ...."
Kembali Singa Barong tak dapatmelampiaskan kata-katanya. Tampaknya kesan yang dilihatnya
itu masih melekat dan menimbulkan guncangan ha yang hebat. Sedemikian hebat sehingga
wajahnya tampak pucat. "Eh, ki sanak, mengaca engkau tersendat-sendat membawakan keteranganmu " Apakah yang
engkau lihat?" "Aku melihat suatu perwujutan dari seorang dewa, Hyang Batara Wisynu .... !"
Nararya tersentak kaget. "Apa katamu " "
"Batara Wisynu"
"Ah, jangan berolok-olok. Mungkin engkau berkhayal. Bagaimana engkau tahu perwujutan
Batara Wisynu?" "Perwujutan itu serupa benar dengan patung Batara Wisynu seper yang kulihat dalam candi2,
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raden" "Ah" Nararya mendesah, termenung merenungkan ucapan itu. Ia tak percaya namun menilik
seorang kepala perampok seganas Singa Barong, sampai mau tunduk dan menyembah kepadanya,
kemungkinan tentulah kepala perampok itu tak berdusta. Tetapi bagaimana mungkin Hyang Batara
Wisynu muncul dari ubun2 kepalanya" "Ah ...." kembali ia mendesah dalam-dalam "mungkin dia
berkhayal" Beberapa jenak kemudian ia berkata pula "Ah, ki sanak, janganlah engkau percaya hal itu. Aku
seorang manusia biasa dan Hyang Batara Wisynu itu adalah dewa yang tertinggi"
"Benar" sahut Singa Barong "raden boleh mengatakan begitu tetapi aku, Singa Barong,
merasa telah mendapat anugerah penerangan batin dari Hyang Wisynu. Dikala menghadapi
perwujutan dari Hyang Wisynu itu, aku seperti melihat pada sebuah cermin. Tubuhku
berlumuran darah, wajahku tampak seperti seekor harimau buas, gigiku bertumbuh caling.
Sifatku bukan lagi seperti manusia tetapi seperti seekor binatang buas. Duh, raden, tolonglah
aku. Tunjukkan jalan bagaimana aku harus menuju kembali ke jalan yang terang. Agar aku
mendapat kembali sifat ke-manusia-wianku ...."
Makin terkejut Nararya mendengar rintihan kepala perampok itu. Ia hendak menyangkal
bahwa dirinya bukan Hyang Batara Wisynu, melainkan seorang manusia biasa. Namun ia tak
ingin mengecewakan harapan Singa Barong. Sebagai seorang ksatrya, tak boleh ia menolak
permintaan tolong dari orang yang sedang menderita. Singa Barongpun sedang menderita.
Bukan menderita luka di tubuh, melainkan menderita batin. Rupanya dia telah melihat sesuatu
kegaiban yang dapat menyadarkan kegelapan pikirannya. Ia harus membantunya.
"Ki sanak berbahagialah engkau karena telah menemukan suatu sinar gaib yang akan menuntun
engkau ke jalan yang benar "kata Nararya "entah apakah yang engkau lihat benar-benar
perwujutan dari Hyang Wisynu ataukah hanya dari angan-anganmu sendiri, itu bukan soal. Yang
pen ng engkau telah terketuk pintu ha nuranimu dan engkaU telah membukakan pintu untuk
menerima sinar kesadaran. Ki sanak, jika engkau telah merasa dan menghaya sinar gaib itu telah
menerangi lubuk ha mu, maka segeralah engkau kembali ke jalan yang suci. Hen kan pekerjaanmu
yang merugikan orang itu dari tuntutlah kehidupan baru yang tenang dan suci"
"Tetapi raden" kata Singa Barong "tanganku sudah terlanjur berlumuran darah manusia.
Dapatkah dosa-dosaku yang setinggi anakbukit itu tercuci bersih?"
Nararya menjawab "Soal dosa dan kesalahanmu dapat tercuci atau tidak, janganlah engkau
risaukan. Yang penting mulai saat ini engkan sudah melangkah ke jalan yang lurus, sudah
bertobat dan akan menjadi seorang manusia yang baik. Serahkan segala sesuatu dari
perbuatanmu yang lampau itu kepada keadilan Hyang Murbeng Gesang. Karena Dialah yang
maha adil, maha pemurah dan maha tahu serta maha penyayang"
"Raden" seru Singa Barong pula "adakah aku harus menjadi pandita atau brahmana agar dosa-
dosaku itu dapat pengampunan?"
"Ki Singa" kata Nararya "orang tak dipaksa untuk menjadi pandita atau brahmana. Hal itu
hanya timbul dari kesadaran orang itu sendiri. Dan ingat, ki sanak, pemaksaan diri untuk
mendapatkan suatu pamrih, tidak bersifat murni, masih kurang suci. Maka janganlah engkau
memaksa diri. Lakukanlah segala apa menurut kesadaran hatimu. Karena jalan untuk menuju ke
arah yang benar dan suci, tidaklah hanya melalui kepanditaan atau kebrahmanaan tetapi amat
luas. Yang penting ki Singa, engkau harus menyadari akan sumber dari pemberi kehidupan,
manembah kepada Hyang Murbeng Dumadi. Manembah dalam arti yang luas, bukan hanya
sekedar berdoa dan menghaturkan sesaji tetapi benar2 melakukan amal dan dharma kebaikan
dan kebenaran" "O, raden" seru Singa Barong "tubuh Singa Barong sudah berlumuran darah dan dosa. Bagaimana
orang akan mau menerima diriku sebagai manusia baik" Bagaimanakah, raden, cara aku harus
menjalankan kebaikan dan Kebenaran itu?"
"Setiap kesadaran akan kesalahan, merupakan titik tolak menuju ke jalan yang benar" jawab
Nararya "ki Singa, mengapa engkau masih mengenangkan masa yang lampau. Masa yang
lampau biarlah lampau, kita hidup pada saat ini, maka wajiblah kita memikirkan, memperbaiki
dan meluruskan jalan hidup kita harini"
Singa Barong menghela napas "Ah, tak mudah orang melupakan diriku ini siapa"
Nararya tertawa "Ki Singa, mana lebih terkenal Singa Barong dengan Ken Arok?"
Singa Barong terbeliak. Ia tak tahu apa yang dimaksud Nararya dalam pertanyaan itu namun ia
menjawab juga "Sudah tentu Ken Arok, raden. Singa Barong hanya kepala perampok, Ken Arok raja
pendiri kerajaan Singasari, bagaimana hendak menyamakan diriku dengan baginda Singasari?"
"Orangnya lain, pangkatnyapun berbeda" kata Nararya "tetapi riwayat hidupnya hampir tak
beda. Bukankah semasa muda, Ken Arok itu juga nakal sekali, gemar berjudi, mencuri dan lain-
lain kejahatan. Kemudian setelah dia menjadi raja, adakah orang masih mengusik riwayat
hidupnya yang lampau" Adakah rakyat menolak beliau sebagai raja karena perjalanan hidupnya
pada masa lampau penuh noda hitam?"
Singa Barong termenung. "Tetapi raden" masih Singa Barong mencari alasan "Ken Arok dapat menjadi maharaja, sedang
aku?" "Ah, ki Singa" jawab Nararya "memang tidak setiap manusia mendapat anugerah dewata menjadi
raja. Sedemikian pula dak se ap manusia mendapat kutuk dewa menjadi perampok. Raja dan
perampok adalah sesama insan tah dewata. Hanya mereka berbeda dalam pangkat dan cara
menuntut kehidupan. Tetapi siapakah yang menentukan dan membuat perbedaan itu, ki Singa?"
Singa Barong tertegun pula.
"Kurasa hanyalah diri orang itu sendiri" Nararya melanjutkan "'jika sudah tahu bahwa
pekerjaan perampok itu tidak baik, mengapa tidak kita robah. Mengapa kita malu .merobah
suatu kesalahan atau kejahatan" Ki Singa, jangan engkau mengeluh kepada dewata karena
engkau tak dijadikan raja semisal jangan engkau menyesali dewata karena engkau menjadi
perampok. Dewata tidak pernah menitahkan insannya menjadi apa2 dan tak pernah memberi
anugerah begitu saja kepada insan manusia. Tetapi hanya mengabulkan apa permohonan
manusia yang disertai dengan kesujutan dan upadaya yang sungguh2. Jika engkau ingin
merobah perjalanan hidupmu kembali ke jalan yang benar, dewata pasti takkan menolak, pasti
akan merestuimu" "Tetapi manusia2 di masyarakat besar ini tentu takkan menerima aku, raden"
"Jangan engkau berkecil ha , ki Singa" kata Nararya "jangan engkau hanya mempersalahkan
mereka karena dak menerima dirimu. Andaikata engkau adalah mereka dan mereka menjadi
engkau, rasanya tentu demikian. Itu sudah wajar. Oleh karena itu, tunjukkanlah dirimu bukan lagi
Singa Barong kepala perampok yang kejam, tetapi Singa Barong pendekar yang memberantas
Kejahatan, pelindung rakyat yang lemah, penolong yang selalu terbuka tangan terhadap mereka
yang benar2 membutuhkan pertolongan. Percayalah ki Singa, apa yang engkau peroleh dari rakyat,
jauh lebih besar dari pada benda hasil rampokan itu. Merampok, engkau hanya mendapat benda
tetapi dikutuk dan dibenci manusia, dijauhkan dari kebesaran dewata. Kebalikannya jika engkau
menuju jalan lurus, engkau akan mendapat ha dan dukungan rakyat, dekat dengan rahmat
dewata. Adakah kebahagiaan hidup yang lebih, bahagia daripada dicintai sesama manusia dan
mengabdi kepada Hyang Murbeng Dumadi, ki Singa ?"
"Duh, raden" seru Singa Barong dalam nada nenuh pendambaan "malam ini Singa Barong telah
menderita kekalahan yang bahagia. Seumur hidup Singa Barong belum pernah kalah tetapi seumur
hiduppun Singa Barong belum pernah merasa bahagia seper malam ini. Kekalahan itu merupakan
kemenangan bagiku. Radenlah yang telah memberi kemenangan kepada jiwaku"
"Ah, jangan engkau mengucap demikian, ki Singa" kata Nararya "aku hanya sekedar memberi
penerangan, yang membuka hatimu adalah engkau sendiri"
"Raden" seru Singa Barong "biasanya kuanggap malam itu suatu saat yang tegang dan
merangsang. Karena malam hari merupakan waktu aku beker-ia, merampok, menganiaya dan
bahkan membunuh o-rang yang dak mau menyerahkan harta bendanya. Saat ini bedalah malam
itu dalam perasaanku. Malam kurasakan tenang dan sejuk. Dulu siang kurasakan panas dan
menyilaukan, aku tak senang. Tetapi sekarang kubayangkan betapa indah surya itu menyinari jagad
ini, raden" "Berbahagialah engkau, ki Singa" seru Nararya "karena engkau telah kehilangan dan menemukan
kembali. Mungkin bagi seorang yang tak pernah kehilangan, tentu tak dapat menghaya ar
daripada sesuatu yang hilang itu dan mungkin kurang pula peresapannya terhadap sesuatu yang
dimilikinya" "Apakah maksud raden ?" tanya Singa Barong. Rupanya Nararya tahu bahwa seorang kasar
dan perampok yang berkecimpung dalam dunia kejahatan tentu kurang perhatiannya terhadap
hal2 yang menyangkut kejiwaan. Maka iapun menerangkan "Begini, ki Singa, misalnya pada
hari2 biasa engkau tentu tak merasa dan tak memperhatikan betapa bahagia kita memiliki
tubuh yang lengkap dan sehat. Engkau menganggap hal itu memang sudah wajar bahkan sudah
kodrat. Tetapi cobalah pada suatu ketika, bila jempol kakimu mengijak duri sehingga
membegap dan bernanah, sakit dibawa jalan. Nah, pada saat itu, engkau tentu mencurahkan
perhatian untuk menyembuhkannya. Dan pada saat itu baru engkau menyadari betapa penting
dan bahagia kita memiliki jempol kaki. Demikian pula dengan lain2 anggauta tubuh kita,
demikianlah yang kumaksudkan dengan sesuatu itu"
Singa Barong mengangguk-angguk "Benar, raden. Aku memiliki peri-kemanusiaan, tetapi
peri-kemanusia-anku hilang. Aku hidup dalam kegelapan malam yang penuh keseraman rayuan
iblis jahat. Kini aku menyadari pula bahwa alangkah cerah dan bahagia hidup dalam alam peri-
kemanusiaan itu. Aku adalah manusia dan manusia itupun aku. Menyiksa manusia sama halnya
dengan menyiksa diriku. Mereka menangis dan merintih karena kurampok harta bendanya,
kubunuh jiwanya. Akupun tersiksa batinku karena, aku makan nasi airmata mereka, aku tidur
mendengarkan ratap tangis mereka dan aku hidup dibayang-bayangi arwah2 mereka yang
menjadi korban keganasanku ...."
"Cukup, ki Singa" tukas Nararya "telah kukatakan, jangan engkau hidupkan pikiranmu pada yang
sudah lampau. Hiduplah sekarang, kuburlah hari2 yang lampau. Sekarang bagaimana kehendakmu,
ki Singa ?" "Raden" kata Singa Barong "janganlah raden kepalang tanggung menolong diriku. Aku ingin
mengikuti barang kemana raden pergi. Aku rela menjadi abdi raden"
Nararya terkejut "Tidak, ki Singa. Eh, maaf, bukan aku menolak engkau karena engkau bekas
kepala perampok, melainkan tidaklah sesuai apabila engkau mengikuti langkahku. Aku seorang
kelana yang tiada menentu arah tujuanku"
"Tetapi, raden ...."
"Ki Singa, engkau telah merugikan rakyat telatah Wengker dan Matahun, apabila engkau hendak
menebus dosa, berbuatlah kebaikan terhadap mereka"
"Bagaimanakah, raden, cara aku harus berbuat kebaikan itu ?"
"Untuk berbuat kebaikan, banyak sekali cara dan jalannya. Misalnya, gunakanlah harta benda
yang engkau peroleh secara tak halal itu untuk memberi dana guna pembangunan rumah2 suci,
pembangunan desa, menolong orang2 miskin dan lain2 yang bersifat amal dan kepentingan umum"
Singa Barong mengangguk "Terima kasih, raden. Petunjuk raden itu pasti akan kulakukan.
Tetapi betapapun, aku tetap ingin ikut pada raden"
Nararya menghela napas. Merenung. Beberapa saat kemudian ia berkata "Ki Singa, baiklah,
kuterima pengabdianmu. Tetapi bukan sekarang. Kelak apabila aku dapat diterima sebagai prajurit
Singasari, tentu akan kupanggil engkau"
"O, apakah raden bermaksud hendak masuk prajurit Singasari ?" tanya Singa Barong.
"Kemungkinan besar demikian" jawab Nararya "karena aku bertujuan untuk mengabdikan
hidupku kepada negara. Dan sekarang, silahkan engkau pulang. Kuharap engkau benar2 dapat
melaksanakan harapanku kepadamu tadi"
"Baik, raden" kata Singa Barong "akan kutunggu janji raden kepadaku. Apabila sampai
beberapa tahun raden tak mengirim berita kepadaku, terpaksa aku akan mencari raden
kemanapun juga" "Ah, ki Singa, jangan mendewa-dewakan aku. Aku tetap seorang manusia. Engkau juga manusia.
Gali dan kembangkanlah dirimu dalam melakukan amal dan dharmamu kepada negara dan rakyat.
Mungkin engkau lebih berguna dari diriku"
Setelah memberi hormat dan minta diri maka Singa Barongpun berbangkit, menghampiri
rombongan anakbuahnya "Singa Sarkara dan bekas anakbuahku sekalian ..."
Terkejut sekalian anakbuah Singa Barong dikala mendengar pemimpin mereka menggunakan
kata bekas. Namun mereka tak berani buka suara.
"Mulai saat ini, kalian kubebaskan. Ambillah, sekehendak kalian barang2 hasil kita dan hiduplah
sebagai manusia yang baik. Namun jika kalian masih ingin melanjutkan, terserah, akupun tak dapat
menghalangi" "Kakang Singa" teriak Singa Sarkara "hendak kemanakah engkau?"
"Aku akan kembali ketengah masyarakat rakyatku. Aku ingin menjadi warga masyarakat yang
baik, adi" "Tetapi kakang, mereka tentu takkan mau menerima kakang ...." belum selesai Singa Sarkara
mengucap, sekonyong-konyong dari balik semak2 terdengar suara melantang yang bernada
mencemoh "Benar, benar, sudah terlambat Singa Barong ...."
Singa Sarkara dan kawan-kawan, Singa Barong dan Nararya, serempak mencurahkan pandang
kearah suara itu. Dimulai dari sesosok tubuh yang bangkit dari gerumbul semak maka berturut-
turut muncul pula beberapa belas kemudian berpuluh sosok tubuh lain. Orang yang pertama
muncul itu, menyiak semak gerumbul lalu mempelopori maju menghampiri ke tempat rombongan
anakbuah Singa Barong. Empatpuluh orang dengan menghunus tombak dan pedang mengiring
orang pertama itu, melingkari rombongan Singa Barong di tengah.
Dalam keremangan cuaca malam, tampaklah orang yang pertama maju itu berpakaian
keprajuritan. Demikian pula dengan keempat puluh pengikutnya.
"Siapa kalian!" tegur Singa Sarkara dengan nada keras.
Dengan langkah tenang orang itu menghampiri, berhen beberapa langkah di hadapan
rombongan Singa Barong, melekat pandang kearah Singa Sarkara dan menjawab "Aku, bekel Ku ,
dari pasukan Wengker"
"O" desuh Singa Sarkara. Nadanya agak getar "mau apa kalian kemari ?" cepat ia melanjutkan
kata2 yang sengaja dikumandangkan tinggi untuk membangkitkan semangatnya.
"Menangkap kawanan perampok yang telah mengganas di tumenggungan Pura" seru bekel Ku
yang mengepalai prajurit2 Wengker.
Singa Sarkara, terbeliak lalu tertawa "O, benar, memang kami inilah rombongan Singa Barong
yang telah merampok gedung kediaman tumenggung Pura. Berapa banyak prajurit yang engkau
bawa, bekel Kuti?" "Empatpuluh orang"
"Ah, terlampau sedikit. Adakah engkau percaya akan mampu melakukan tugasmu?" seru Singa
Sarkara pula mencemoh. "Mungkin terlalu banyak" sahut bekel Ku dengan tersenyum "karena cukup dengan beberapa
prajurit saja, kurasa tentu dapat melaksanakan tugas itu"
Singa Sarkara tertawa "Bekel Ku , layak kiranya kalau bekel tak ternama seper engkau
melantangkan kesombongan. Kurasa engkau memang belum kenal siapa Singa Barong itu.
Tumenggung Pura, jahat dan kejam, suka menindas rakyat. Adakah tumenggung semacam itu harus
kamu bela?" "Aku adalah bekel prajurit keamanan Wengker. Se ap pengacauan dan kerusuhan yang
mengganggu keamanan Wengker, tentu akan ku ndak. Soal bagaimana peribadi gus tumenggung
Pura, bukan hak dan kewajiban kami untuk menilai" sahut bekel Kuti.
Cempurit, anakbuah rombongan Singa Barong, rupanya tak sabar lagi melihat sikap bekel Ku . Ia
segera tampil ke muka dan mefantang "Bekel, cobalah engkau nikma dulu pukulanku ini baru
engkau berhak berbicara"
Sebuah gerakan maju dalam gaya setengah loncat, dilakukan oleh Cempurit dikala ia
melayangkan tinjunya ke dada bekel Kuti.
"Cempurit, berhenti" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak menggeledek. Namun
Cempurit sudah terlanjur menerjang. Dia mendengar dan mengenali bahwa suara itu adalah
suara Singa Barong namun tak kuasa menghentikan laju terjangannya. Tiba2 bekel Kuti yang
dilihatnya masih tegak tenang, berkisar ke samping dan seketika itu ia rasakan sebelah kakinya
telah disapu kaki orang. Kuat sekali tenaga kaki orang itu hingga ia-tak kuasa mempertahankan
keseimbangan tubuhnya. Bluk..... jatuhlah Cempurit terbaring ke tanah.
"Ah" Singa Sarkara berteriak tertahan seraya maju menghampiri tetapi saat itu pula Singa
Barongpun berseru "Adi, jangan engkau lanjutkan juga langkahmu"
Singa Sarkara terhenti, berpaling "Mengapa kakang?"
"Sudahlah, adi" seru Singa Sarkara pula "kembalikan barang2 dari tumenggung itu kepada bekel
itu" Singa Sarkara tersengat kaget. Demikian pula sekalian anakbuahnya "Apa kata kakang
Singa?" Singa Sarkara menegas.
"Kembalikan barang2 kepunyaan tumenggung Pura" Singa Barong memberi penegasan.
"Kakang" teriak Singa Sarkara "aneh sekali sikap kakang Singa! Dengan pertaruhan jiwa, kita
berhasil mendapatkan barang2 itu mengapa semudah itu harus kita kembalikan. Adakah kakang
takut kepada prajurit2 Wengker?"
Singa Barong tertawa hambar "Jika takut masakan aku membawa engkau ke tumenggungan Pura.
Aku bukan takut kepada prajurit2 Wengker, adi, tetapj aku takut pada dosa dan salah"
Singa Sarkara terbeliak "Bilakah kakang belajar takut pada dosa dan salah?"
"Baru beberapa de k yang lalu ke ka bertemu dengan raden itu" sahut Singa Barong "aku telah
melihat wajah Hyang Wisnu, adi. Aku.harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar"
Singa Sarkara tertawa datar. Diam-diam ia menertawakan perobahan sikap kakangnya. Ke ka
Singa Barong mengayunkan nju ke arah kepala Nararya dan terhen , Singa Sarkara tak melihat
suatu apa kecuali tampak Singa Barong terbelalak dicengkam rasa kejut dan ngeri yang
mengherankan. Ia tak melihat apa yang dikatakan Singa Barong sebagai Batara Wisnu dan lain2.
Dan sejak saat itu berputarlah beberapa puluh derajat sikap dan ngkah Singa Barong terhadap
Nararya. Membayangkan peris wa itu dengan ndakan Singa Barong yang bermaksud hendak
mengembalikan barang rampasan dari tumenggung Pura, ba2 terlintaslah sesuatu pada benak
Singa Sarkara "Kakang Singa, engkau telah terkena mantra peluluh dari pemuda itu"
Singa Barong terkesiap. Ia tahu juga tentang beberapa ilmu dari aliran hitam yang berupa mantra
ataupun guna-guna atau jimat. Sejenak Singa Barong terpanar dalam keraguan. Sesaat kemudian ia
mengerling pandang kearah Nararya. Nararya menyongsong pandang pula kepadanya. Walaupun
cuaca remang namun Singa Barong dapat juga menembuskan pandang mata ke wajah Nararya..
Dalam kecerahan wajahnya yang berseri terang, ia mendapatkan suatu pancaran sinar mata yang
memercikkan kebeningan dan keteduhan. Keteduhan dari sifat pengayoman dan kejujuran. Singa
Barong pejamkan mata, seolah membawa berkas pancaran sinar mata Nararya itu kedalam dada
sanubarinya. Sesaat lenyaplah rasa keraguan dan kesangsian dalam ba nnya "Ah" ia menghela
napas "mengapa mudah sekali pikiranku goyah. Prasangka itu. suatu hai yang buruk, menandakan
bahwa batinku masih belum mengendap, masih bergolak"
Singa Barong membuka mata, serunya "Sarkara, janganlah mudah engkau menghambur fitnah.
Jangan pula engkau coba mempengaiuhi pikiranku. Adakah raden itu menggunakan mantra ilmu
hitam atau dak, tetapi saat ini aku sudah menyadari bahwa perjalanan hidup kita itu, jahat dan
berdosa. Bagaimanapun merampok, membunuh dan menganiaya jiwa manusia itu, adalah dosa.
Aku telah menyadari hal itu, Sarkara. Dan pendirianku memang begitu maka kuminta engkau
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembalikan barang2 yang telah kita rampas dari tumenggungan"
Singa Sarkara menyahut "Oleh karena kakang sudah membubarkan rombongan kita, maka kakang
tak berhak memberi perintah dan memaksakan pendirian kakang kepada lain orang"
"Tadi telah kukatakan" kata Singa Barong "bahwa aku mempersilahkan kalian untuk mengambil
jalan hidup sendiri-sendiri sesuai yang kalian inginkan. Tetapi dalam masalah harta benda yang kita
rampas dari tumenggungan itu, aku masih berhak untuk memberi keputusan"
Singa Sarkara mendesuh. Ia tak langsung menjawab kepada Singa Barong melainkan berpaling
dan berseru kepada anakbuahnya "Kawan-kawan sekalian, soal kalian hendak menuntut kehidiipan
lain akupun tak menghalangi. Tetapi sesuai dengan keputusan kakang Singa Barong yang memberi
kelonggaran kepada kita untuk mengambil barang-barang yang kita inginkan, maka barang-barang
dari tumenggungan inipun harus kita bagi rata. Apakah kalian setuju?"
Serentak kedua belas anakbuah Singa Barong berseru, menyetujui pernyataan Singa Sarkara.
Melihat itu merahlah muka Singa Barong. Selama menikma kehidupan sebagai kepala perampok,
Singa Barong disanjung dalam tahta penghormatan dan ketaatan. Tetapi dikala ia hendak
melepaskan diri dari lumpur kejahatan untuk kembali ke jalan yang terang, rupanya adik dan
anakbuahnya tak mau taat lagi.
Belum sempat kepala perampok itu mengambil ndakan ba- ba bekel Ku sudah berseru
lantang "Mengapa kalian ribut-ribut mempersoalkan harta benda gus tumenggung Pura" Siapakah yang
menjadi pimpinan gerombolan perampok ini?"
"Aku, Singa Barong" sahut kepala perampok yang bertubuh tinggi besar itu.
"Bagaimana maksudmu?" seru bekel Kuti pula.
"Aku sudah sadar akan jalan hidupku yang sesat. Aku hendak kembali menjadi orang baik. Maka
akan kukembalikan barang-barang milik ki tumenggung itu"
"Hm" desuh bekel Ku "lalu bagaimana maksud kalian?" serunya kepada Singa Sarkara dan
kawan-kawan. "Untuk mendapat barang-barang itu, kami dak memperolehnya dengan cuma-cuma tetapi
dengan taruhan nyawa dan keberanian. Oleh karena itu aku dan anakbuahku tak setuju untuk
mengembalikan begitu saja"
"Maksudmu" -"bekel Kuti menegas.
"Kita mendapatkan dengan jerih payah dan taruhan nyawa maka kalau merebut, kalianpun harus
dengan kesaktian dan pengorbanan jiwa"
"Ksatrya!" seru bekel Ku "aku pas akan memenuhi harapanmu. Tetapi mengapa ki Singa
Barong yang termasyhur gagah perkasa, tiba-tiba hari ini berobah seperti tikus" Apakah dia takut?"
Walaupun sudah menemukan apa yang dirasa sebagai suatu k terang kesadaran ba nnya,
namun hal itu baru saja terjadi. Bagaimana penghayatannya ia masih belum tahu. Ibarat kabut
malam bergan dengan fajar, sisa-sisa kabut malam yang gelap itu masih belum lenyap bekasnya.
Demikian pula dengan Singa Barong. Beberapa kejab yang lalu, dia adalah seorang kepala
perampok yang paling ditaku dan saat itu di hadapan anakbuahnya dia dihina seorang bekel
prajurit sebagai seekor kus yang bernyali kecil. Ah, tak mungkin ia dapat menerima hal itu. Aliran-
aliran darah, mulai menimbulkan getar-getar keras dalam ha nya dan makin lama makin meluap
menimbulkan bah atau banjir, menggenangi kepundan ha nya. Lahar nafsu marah yang sudah
hampir mengendap dalam kerak bumi ha nurani, ba- ba meluap dan meletus pula. Tak pernah
terdapat manusia di jagad yang berani mengatakan dia seekor kus. Bekel yang lancung mulut itu
harus dihajar, jika perlu dibunuh. Untuk menebus dosa, bila masyarakat tak mau menerima
kembalinya sebagai seorang warga yang baik, ia akan lari dan menyepi di gunung belantara.
"Ah, apa yang kubayangkan memang menjadi kenyataan. Bagaimana masyarakat mau menerima
diriku kembali pemuda itu hanya menghibur saja tetapi kurang pengalaman dan tak tahu
kenyataan kehidupan masyarakat. Orang yang jahat tetap akan dianggap jahat" mbul percakapan
dalam ha Singa Barong dan kesimpulannya cenderung membenarkan anggapan yang telah
dikemukakan kepada Nararya semula.
"Ki bekel" ba2 ia terkejut mendengar suara orang berseru. Ke ka berpaling, ia makin terkejut.
Ternyata suara itu berasal dari Nararya yang saat itu sudah tegak di hadapan bekel Wengker "aku
hendak memberi keterangan kepadamu "
Bekel Ku terkesiap ke ka melihat seorang pemuda tampan, menggagali di hadapannya "Siapa
engkau?" tegurnya. "Aku Nararya yang kebetulan menyepi di candi sini" kata Nararya lalu dengan singkat
menuturkan apa yang telah terjadi. Bekel Ku mengangguk "oleh karena itu, janganlah engkau
melibatkan diri ki Singa Barong dalam peris wa ini. Dia sudah menyesal akan perjalanan hidupnya
yang lampau dan akan kembali ke jalan yang benar"
Bekel Ku agak menyeringai "Memang suatu ndakan yang bagus jika dia hendak kembali ke
jalan yang lurus. Lalu bagaimana maksudmu?"
"Kuminta kebijaksanaan ki bekel untuk melepaskan ki Singa" kata Nararya "barang2 milik
tumenggung Pura, silahkan mengambil kembali"
Bekel Ku tertawa datar "Singa Barong sudah menyerahkan tetapi yang lain belum. Tidakkah hal
itu hanya suatu siasat yang disebut melepas kepala, memegang ekor" Sudahlah, ki sanak, ini bukan
urusanmu, silahkan engkau minggir"
Nararya memandang bekel itu. Masih muda, hampir sebaya dengan dirinya. Bertubuh langsing,
memiliki sepasang mata yang tajam tetapi agak cekung kedalam, ujung hidungnyapun agak
melingkar kebawah "ki bekel, jika engkau tak mengganggu ki Singa, aku bersedia minggir" katanya
"tetapi jika engkau tetap hendak mengusiknya, terpaksa aku harus campur tangan"
Nararya telah melihat gejala yang berbahaya pada Singa Barong. Di saat2 kepala perampok
itu sudah menyatakan bertobat, di saat itulah datang gangguan yang mendesaknya kembali ke
jalan sesat. Semisal ia menyadari terlalu tinggi menilai kesadaran pikiran kedua bujangnya,
Noyo dan doyo, demikian pula ia menaruh ke-kuatiran pada diri Singa Barang. Memang untuk
kembali ke jalan yang benar, tentu akan menempuh banyak gangguan dan godaan, coba dan
ujian. Dalam perjalanan bertapa ke candi makam eyangnya di Wengker, ia-pun menghadapi
beberapa peristiwa, namun ia menyadari bahwa hal itu hanyalah sebagai godaan. Dan ia dapat
menghapuskannya. Tetapi sekuat itukah pikiran Singa Barong" Ah, ia kuatir. Oleh karena itu
maka ia memutuskan untuk turun mencampuri urusan itu.
Bekel Ku terbeliak "Ah, mengapa sedemikian besar minatmu hendak membela Singa Barong, ki
sanak" Adakah engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Singa Barong?"
"Bukan sanak bukan kadang tetapi kalau ma aku ikut merasa kehilangan" jawab Nararya
"kehilangan seorang yang akan kembali ke jalan benar tetapi tak mendapat kesempatan"
Tiba2 bekel Ku bergan nada keras "Ki sanak, aku seorang bekel prajurit yang mendapat tah
untuk menangkap gerombolan perampok yang mengganas di gedung kediaman tumenggung Pura.
Beberapa pengalasan dari tumenggungan telah terluka dan ma . Bahkan gus tumenggung Pura
sendiri terluka" kata bekel Ku "sekarang gerombdian perampok itu sudah dapat? kukejar..Soal
kepala perampok sudah menyesal atau bertobat, itu bukan urusanku. Tugasku hanya untuk
menangkapnya dan gusti mentri yang mengadili"
"Ki bekel" sambut Nararya "telah kukatakan jika ki bekel hendak menangkap, tangkaplah
anakbuah ki Singa yang membangkang itu. Tetapi ki Singa sendiri sudah berjanji kepadaku akan
bertobat. Dalam hal ini kumohon kebijaksanaan ki bekel untuk membebaskannya"
"Kebijaksanaanku adalah kebijaksanaan seorang prajurit yang melakukan tah atasan. Jangan
meminta lebih dari itu, ki sanak" seru bekel Ku "baik Singa Barong bertobat atau belum tetapi
dialah yang memimpin gerombolan perampok ke tumenggungan. Oleh karena itu tetap akan
kutangkap juga" Nararya terkesiap. Ia mengakui bahwa ucapan bekel yang menyatakan dirinya sebagai
seorang prajurit yang menjalankan tugas, memang benar. Tetapi iapun ingin membantu Singa
Barong supaya mendapat kesempatan untuk membuktikan janjinya. Jika membiarkan bekel itu
menangkap Singa Barong, Singa Barong pasti marah dan kemungkinan tangannya akan
berlumuran darah manusia lagi. Ia harus mencegah hal itu.
Namun selagi Nararya belum berhasil menemukan langkah-langkah yang harus diambil, ba- ba
Singa Barong berseru nyaring "Raden, tak perlu kiranya raden berkering lidah terhadap bekel itu"
kemudian ia melangkah maju ke hadapan bekel itu "ya, bekel, memang akulah yang bertanggung
jawab akan perampokan itu. Aku sudah menyerahkan kembali barang-barang itu tetapi rupanya
engkau masih, belum puas apabila tidak menangkap diriku. Nah, silahkan tangkap aku"
Bekel Ku tertawa "Ha, ha, ha. Burung gagak walaupun bercampur dengan burung merpa yang
putih, tetap akan hitam bulunya, parau membisingkan telinga suaranya"
Amat jumawa sekali sikap bekel itu seolah Singa Barong yang paling ditaku rakyat Matahun-
Wengker sebagai seorang momok ganas, dianggapnya sepi belaka.
"Jangan ki Singa" cepat Nararya melangkah ke samping Singa Barong dan mencekal tangannya
manakala kepala perampok itu sudah siap hendak melolos cambuk Gebyar Sayuta. Singa Barong
rasakan cekalan tangan raden itu amat kuat sekali sehingga lengannya terasa lunglai. Singa Barong
berpaling memandang Nararya "akulah yang akan menghadapi bekel itu, ki Singa" Nararya
mendahului. Kemudian lepaskan cekalannya, ia melangkah maju ke muka bekel Ku "Ki bekel,
bagaimanakah cara penyelesaian yang dapat memuaskan hatimu?" tanyanya.
"Kawanan perampok berikut barang2 rampokannya akan kubawa ke Wengker" jawab bekel Kuti.
"Memang engkau telah menjalankan tugasmu dengan taat" kata Nararya "tetapi dalam masalah
ini ternyata terdapat sesuatu yang membawa kepen ngan rakyat. Dapatkah engkau memberikan
bijaksanaan yang layak?"
"Apa yang engkau maksudkan dengan kepentingan rakyat itu?" tanya bekel Kuti.
"Ki Singa Barong telah dikenal rakyat Wengker dan Matahun sebagai seorang benggolan
perampok yang ganas. Tidakkah itu suatu berita yang menggembirakan bagi rakyat di daerah itu
apabila ki Singa sudah melepaskan pekerjaannya dan kembali sebagai seorang warga masyarakat
yang baik" Tidakkah hal itu akan merupakan suatu berkah besar bagi para petugas yang menjaga
keamanan di kedua telatah itu, termasuk dirimu sendiri, ki bekel?"
"Ki sanak" sahut bekel Ku "janganlah engkau percaya akan janji seorang penjahat besar. Dia
sudah merasakan betapa nikmat kehidupan sebagai perampok yang ditaku orang. Tak mungkin
dia mau menjadi rakyat biasa yang harus bekerja memeras keringat untuk mencari nafkah?"
"Tetapi aku mau. mempercayai sepenuhnya ucapan ki Singa itu" kata Nararya "dan aku percaya
dia tentu akan memenuhi kepercayaanku"
"Ah, engkau mencari penyakit sendiri, ki sanak" seru bekel Kuti agak keras.
"Bukan cari penyakit tetapi memenuhi janjiku kepadanya. Aku akan menolongnya supaya
kembali ke jalan yang benar" sanggah Nararya.
Bekel Kuti merah matanya.
"Jika ki bekel dapat sedikit saja menurunkan kebijaksanaan maka aku berjanji akan
mengembalikan semua harta benda milik tumenggung Pura"
"Huh" bekel Kuti mencemoh "jelas anak buah Singa Barong itu tak mau memberikan lagi"
"Itu tanggung jawabku, ki bekel" sahut Nararya "aku sudah berjanji kepadamu tentu akan
kupenuhi. Tetapi maukah engkau berjanji akan mengabulkan permintaanku supaya jangan
mengganggu ki Singa?"
Bekel Ku gelengkan kepala "Tidak, aku tak dapat memberikan janji itu. Aku seorang bekel
prajurit yang harus mentaati sumpah prajurit"
Nararya mengeluh dalam ha . Melihat sikap bekel yang begitu kukuh dan keras kepala, ia kua r
suasana akan meruncing dan pertempuran tak dapat dihindari lagi. Namun ia masih dapat
mengekang nafsu perasaannya. Dalam de k2 yang berbahaya itu, bayang2 keraguan mulai
membimbangkan pikirannya.
"Mengapa aku harus melindungi seorang perampok jahat" Mengapa tak kuserahkan saja Singa
Barong kepada bekel itu" Bukankah mereka prajurit yang menjalankan tugas" Bukankah mereka
difihak yang benar?" demikian silih bergan pertanyaan melalu lalang dalam benaknya. Ia merasa
sukar untuk menjawab pertanyaan2 itu. Namun dalam relung ha nya memercik secercah getaran
sinar yang merin h dan menuntut keadilan pada jiwa keksatryaannya. Adakah seorang ksatrya
harus ingkar dari janjinya hendak membantu seseorang" Adakah seorang ksatrya tetap akan
membeku perasaannya terhadap seorang yang sudah menyatakan bertobat dan berjanji akan
kembali ke jalan yang benar" Adakah seorang jahat itu tetap takkan diterima dalam masyarakat.
Tidakkah seorang jahat itu juga seorang manusia yang betapapun jahatnya tentu masih
mempunyai sisa sepercik hati nurani yang baik"
Belum sempat Nararya mencapai suatu penemuan cara yang sesuai, bekel Ku sudah berseru
pula "Ki sanak, menyingkirlah, sudah terlalu lama kita bicara. Aku segera akan melakukan tugasku!"
Mulut bicara tanganpun bergerak, menyiak Nararya. Walaupun melihat ketenangan sikap
Nararya, bekel itu menduga bahwa pemuda itu tentu berisi tetapi dugaannya itu terhapus oleh
pandang matanya yang melihat Nararya itu hanya seorang pemuda yang tak menunjukkan
perwujutan seorang yang bertenaga kuat ataupun perkasa. Sekali menyiak, tentulah pemuda itu
akan terdorong menyisih ke samping. Pikirnya.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka ia rasakan tangannya serasa menyiak karang. Ia salurkan tenaga
dan menyiak lebih keras. Namun tetap tak berhasil mendorong, bahkan bergetarpun dak. Untuk
yang ke ga kali ia menumpahkan seluruh tenaga dan menyiak..Uh ... ia mendesuh dalam ha .
Darahnya bertebar mewarna merah wajah, mengiring kegagalannya.
Bekel Kuti seorang muda yang penuh cita2. Turun dari berguru pada seorang resi sakti di
gunung Wilis, ia mengayunkan langkah pulang untuk menjenguk orang-tuanya lebih dulu. Dari
resi sakti di Gunung Wilis itu, ia telah menerima bermacam ilmu kanuragan dan jaya kawijayan.
Rasa puas akan hasil yang telah dicapainya, ia ber keras mohon diri pada gurunya dengan
alasan hendak menjenguk ibunya yang menderita sakit. Resi Prada, meminta supaya Kuti
belajar tiga tahun lagi untuk menyelesaikan aji Bandungbandawasa, ilmu kekuatan yang tiada
taranya, daya kekuatannya menyamai gajah. Tetapi rupanya Kuti sudah tak tahan hidup di
puncak gunung. Ia ingin turun ke dunia ramai.
Dalam perjalanan pulang banyak sekali didengarnya cerita orang tentang kerajaan Singasari,
Daha, Wengker, Matahun dan lain-lain. Ia ingin masuk menjadi prajurit agar kelak menjadi
seorang senopati. Ia sangat tertarik dengan ketataprajaan dan urusan negara. Ingin mencapai
kedudukan tinggi dalam pemerintahan. Karena hanya dengan begitu namanya akan cemerlang,
dikenang sepanjang masa. Dalam kebimbangan untuk memilih ke kerajaan mana ia harus
menuju, ia mendengar bahwa kerajaan Wengker membuka sayembara untuk mencari seorang
prajurit sakti yang mampu menangkap
Singa Barong, kepala perampok yang sangat mengganggu keamanan Wengker. Dia memutuskan
akan memasuki sayembara itu. Untuk menguji sampai dimana ilmu kedigdayaan yang dimiliki,
sekalian untuk mencari pengalaman dalam keprajuritan. Dia berhasil memenangkan sayembara
dan diangkat sebagai bekel prajurit. Peris wa perampokan di gedung kediaman tumenggung Pura,
mengharuskan dia menangkap kepala perampok itu.
Bahwa ternyata seorang pemuda yang mengaku bernama Nararya hendak menghalangi
maksudnya menangkap Singa Barong, benar2 diluar dugaannya. Apapula setelah ga kali ia
menyiak pemuda itu supaya menyingkir ternyata tak mampu. Ia merasa empat puluh pasang mata
prajurit-prajurit anakbuahnya mencurah pandang mata kepadanya, la merasa mereka tentu
mengernyitkan wajah mengejek, menyeringaikan. cemohan. Makin merah padam wajah bekel Ku .
Merah dari deburan darah yang membenam tungku malu dan kemarahan.
"Jika aku gagal menghalau pemuda ini, kemana harus kusembunyikan mukaku?" ia
mengancam dirinya itu. Dan ancaman itu segera disambut. Sekali lagi ia mengerahkan
tenaganya dan tiba2 pula ia mencengkeram bahu pemuda itu. Maksudnya hendak diremasnya
supaya tulang bahu pemuda itu remuk, paling tidak tentu sakit dan mau menyingkir.
Tetapi alangkah kejut bekel itu ke ka jari2 tangannya yang telah diperkeras dan diremaskan itu
terasa meremas telapak tangannya sendiri. Sedangkan daging yang menggumpal pada bahu yang
akan diremasnya itu ba2 tenggelam ke bawah bersama yang empunya. Rasa kejut bekel Ku itu
bukan disebabkan karena ia tak tahu kalau Nararya mengendap ke bawah tetapi karena gerakan
yang dilakukan pemuda itu. Jelas gumpal daging pada bahu Nararya sudah dipegang dan
dicengkeram tetapi selekas hendak diremas, bahu pemuda itupun menyelinap lolos, macam belut
hendak ditangkap. Hanya sekejab dan bekel Ku menyadari apa yang telah berlangsung. Ia gagal mencengkeram
bahu Nararya dan kegagalan itu harus dikejar sampai berhasil. Sekonyong-konyong ia menebarkan
kelima jari tangan dan dengan gerak yang amat cepat sekali, ia segera memenggalkan tepi telapak
tangannya ke leher orang. Jarak amat dekat karena saat itu Nararya tengah mengendap di
hadapannya. Ia tak percaya bahwa pemuda itu mempunyai leher dari baja ataupun lebih keras dari
susunan batu merah yang berada di kebun belakang padepokan resi Prada, dimana dalam la han
ilmu pukulan, sekali menebas tentu hancur.
Singa Barong, Singa Sarkara dan anakbuahnya, keempat puluh prajurit Wengker terbelalak ke ka
menyaksikan ulah bekel Ku . Singa Barong hampir memekik kejut, Singa Sarkara dan anakbuahnya
terlongong, keempat puluh prajurit Wengker itupun hampir bersorak. Jarak sedemikian dekat, tak
mungkin Nararya dapat terhindar dari cidera yang mungkin akan menyebabkan dia cacad patah
tulang lehernya. Tetapi pekik kejut Singa Barong itu menjadi pekik kejut gembira dan sorak prajurit-prajurit
Wengker itu menjadi sorak terkejut manakala mereka menyaksikan suatu peris wa yang tak
terduga-duga. Terdengar jeritan, yang jelas suara bekel Ku , dan diiku oleh tubuhnya yang
terhuyung-huyung rubuh terduduk. Sedang Nararyapun tegak ditempat, memandang tenang
kearah lawannya. Peristiwa itu memang berlangsung lebih cepat dari kejab mata. Dalam menarik bahunya ke
bawah untuk melepaskan diri dari cengkeraman bekel Kuti, Nararya memang sudah bersiap
menghadapi kelanjutannya. Ia memperhitungkan bahwa bekel itu tentu akan meneruskan
serangannya dengan memukul atau menghantam kepalanya. Apabila demikian, ia sudah siap
hendak loncat menghindar. Tetapi ia tak menyangka bahwa gerak tabasan telapak tangan dari
bekel Kuti sedemikian cepatnya sehingga ia gugup dan tak sempat melaksanakan rencananya.
Dalam keadaan yang mendesak, ia tak melihat lain jalan kecuali menghantam mata lutut "orang.
Ia berharap apabila lutut terhantam bekel itu tentu rubuh dan tak sempat men-capaikan
pukulannya. Tetapi karena cuaca agak gelap, Nararya luput menghantam lutut melainkan
menghantam paha sisi dalam. Ia sendiripun ikut terkejut ketika mendengar bekel Kuti menjerit
keras dan terdampar jatuh terduduk di tanah. Rasa kejut itulah yang menyebabkan ia tertegun.
Pun pada dasarnya ia tak mau menyerang lagi musuh yang sudah rubuh. Ia tetap menantikan
bekel itu bangkit. Bekel Ku pejamkan mata. Sesaat kemudian ia terus bangkit berdiri. Nararya menduga bekel itu
tentu akan menyerangnya bahkan mungkin akan mencabut senjata. Maka tenang-tenang saja ia
menanti. Bekel Kuti memandang lawannya dengan mata membara kemarahan. Tetapi sesaat
kemudian, bara itu-pun padam dan terluncurlah kata-kata dari mulutnya "Ki sanak, siapakah
namamu?" "Nararya" "Dari manakah asalmu?" tanya Kuti pula. Nararya tak lekas menyahut melainkan menimang.
Apabila ia memberitahukan tempat kediaman ayahnya, mungkin akan menimbulkan peris wa
yang panjang. Ia tak tahu mengapa bekel itu bertanya tentang tempat nggalnya. Namun sebagai
seorang ksatrya ia merasa malu kalau tak berani menyebutkan tempat nggalnya "Dari gunung
Kawi" "O" desuh bekel Ku terkejut dalam ha "jika demikian engkau tentu murid seorang resi atau
pertapa sakti. Siapa nama guru ki sanak?"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena sudah terlanjur memberi keterangan maka Nararyapun menyebut nama gurunya.
"Adakah engkau kenal kepadaku?" tanya pula bekel Ku . Nararya kerutkan dahi dan
menggelengkan kepala "Tidak" jawabnya.
Juga bekel itu kerutkan dahi. Beberapa jenak kemudian ia berkata "Baiklah, Nararya, persoalan
Singa Barong dan anakbuahnya, kuhapus sampai disini "
"Terima kasih, ki bekel "serta merta Nararya menghaturkan terima kasih "engkau amat bijaksana"
Bekel Ku mengernyit alis, memberingaskan mata. Namun Nararya tak memperha kan dan
berkata lebih lanjut "Semua barang-barang milik tumenggung Pura akan kusuruh mereka
mengembalikan kepadamu. Akulah yang bertanggung jawab apabila mereka menolak"
Bekel Kuti menyeringai "Tidak perlu"
"Tidak perlu?" Nararya terbeliak "mengapa?"
"Aku tak menginginkan" kata bekel Ku dan tanpa memberi kesempatan pada Nararya untuk
melontarkan pertanyaan, ia sudah melanjut "yang kuinginkan yalah sebuah permintaan"
"Kepada ki Singa Barong atau kepadaku?"
"Kepadamu" sahut bekel Kuti dengan nada sarat "bersediakah engkau meluluskan?"
Nararya agak heran mengapa sikap bekel itu berobah kaku dan nadanya sarat. Namun karena
orang sudah meluluskan permintaan untuk melepaskan Singa Barong maka iapun tak mau kalah
hati. Serentak ia menyanggupi.
"Dapatkah kupercaya ucapanmu?" masih bekel Kuti menegas.
"Ki bekel" jawab Nararya "engkau dan orang lain boleh menganggap apa saja tentang diriku.
Tetapi aku mewajibkan diriku harus mempunyai watak dan jiwa ksatrya. Oleh karena itu, akupun
harus memenuhi setiap ucapanku sebagai seorang ksatrya"
"Baik" kata bekel Ku "sekarang dengarkanlah. Aku hendak minta kepadamu supaya nan dua
tahun atau paling lama ga tahun lagi, engkau tunggu kedatanganku di padepokanmu gunung
Kawi" Mengira kalau bekel itu hendak melangsungkan persahabatannya, Nararyapun dengan gembira
berseru "Ah, betapa gembiranya ha ku apabila aku dapat menerima kunjunganmu, ki bekel. Aku
senang sekali bersahabat dengan-engkau. Apakah hanya itu permintaanmu?"
"Ya, hanya itu" sahut bekel Kuti "tetapi engkau harus memenuhi janjimu!"
Kali ini Nararya tertegun dan tak lekas membuka pernyataan. Bahwa bekel itu sedemikian besar
minatnya hendak berkunjung kepadanya, ia harus juga menghargainya. Agar jangan sampai
mengecewakan bekel itu, lebih baik apabila waktunya itu ditetapkan yang pas "Ki bekel, agar
engkau jangan kecewa dan dapat bertemu dengan aku, sukalah ki bekel tetapkan waktunya yang
pasti. Aku tentu akan menunggu kedatangan tuan"
Bekel Kuti merenung sejenak lalu berkata "Baiklah, hari apakah sekarang ini?"
Nararya tercengang. Ia tak tahu apa maksud bekel itu bertanya tentang hari namun dijawabnya
juga "Brehaspati pancawarna"
"Bulan dan tanggal berapakah sekarang ?" tanya pula bekel Ku tanpa menghiraukan keheranan
orang. "Bulan Bhadrapala tanggal satu kresnapaksa"
"Ya" kata bekel Ku "dua tahun kemudian pada hari Brehaspa pancawarna, bulan Bhadrapala
tanggal satu kresnapaksa seper hari ini, aku pas datang ke puncak gunung Kawi. Harap engkau
menunggu kedatanganku"
Habis berkata tanpa menunggu jawaban orang, bekel Kuti terus berputar tubuh, memberi
isyarat kepada anakbuahnya tinggalkan tempat itu. Keempat puluh prajurit Wengker itu heran
tetapi mereka menurut saja.
Selama dalam perjalanan ke Wengker, bekel Kuti tak mau bicara. Wajahnya bermuram durja,
sebentar-sebentar menghela napas dan menengadah memandang cakrawala. Menjelang fajar
ketika tiba disebuah desa maka bekel Kuti berhenti dan memanggil seorang prajurit setengah
tua "Kakang Paguh" katanya setelah prajurit itu menghadap "mulai saat ini kakang akan
kuserahi tugasku memimpin prajurit2 Wengker. Setiba di Wengker, menghadaplah gusti
tumenggung dan sampaikan sembah bhaktiku kepada gusti tumenggung. Kemudian haturkan
pula permohonan maafku karena aku tak dapat melanjutkan pengabdianku kepada kerajaan
Wengker ....." Sekalian prajurit Wengker terkejut "Ki bekel, apakah maksud tuan?" seru prajurit Paguh.
"Kakang Paguh, karena ilmuku masih rendah, aku telah menghilangkan kepercayaan gus
tumenggung. Aku malu kakang Paguh. Aku hendak berguru lagi agar kelak dapat mengabdikan
tenagaku kepada kerajaan Wengker" kata bekel Kuti "selamat jalan kawan-kawan ...."
Sebelum prajurit Paguh dan kawan-kawannya sempat berbicara, bekel Ku pun sudah lari menuju
ke mur dan terus menyelinap masuk kedalam hutan meninggalkan prajurit Paguh dan kawan-
kawannya dalam longong kemenungan.
Bekel Ku lari sekuat kaki membawanya. Ia tak tahu dan tak mempedulikan akan ba dimana.
Pokok ia lari, mengayunkan kaki sekencang-kencangnya seolah berpacu dengan luap ha nya.
Luapan yang telah mengeruhkan kesadaran pikiran dan ketenangan jiwanya.
"Ah ...." ia mendesah manakala pandang matanya terbentur oleh sebuah sungai. Ia hen kan
larinya, memandang kesekeliling menghampiri segunduk batu cadas yang menjulang nggi. Setelah
mencari sebuah tempat, ia duduk menghadap sungai, memandang aliran air yang beriak deras.
"Aneh, mengapa dia tahu pengapesanku" beberapa waktu kemudian mulutnya mengingau,
bertanya dan membayangkan peristiwa pertarungan dengan Nararya. Ingatannya berpusat
pada detik2 dikala Nararya menghantam pangkal pahanya sebelah dalam. Ia menyeringai,
pejamkan mata seolah merasakan pula derita saat itu. Ketika pukulan Nararya menghantam, ia
rasakan tubuhnya menggigil, tenaga merana dan pandang matanya gejap.
"Aku akan kembali ke,puncak Wilis dan mohon guru supaya menghapus bagian pengapesanku
itu. Syukur dapat dihapus, sekurang-kurangnya dipindah ke lain bagian. Hm, dua tahun lagi,
Nararya, aku akan mencarimu. Akan kubalas hinaan itu ...."
(Oo-dwkz^ismoyo-oO) II Kepergian bekel Ku dengan membawa kekalahan, meninggalkan rasa heran pada Nararya dan
anakbuah rombongan Singa Barong yang menyaksikan peristiwa tersebut.
"Raden" kata Singa Barong "apa maksud bekel itu meminta raden menetapi janji supaya
menunggu kedatangannya di gunung Wilis?"
Nararya tertawa "Dia bermaksud hendak mengikat persahabatan dengan aku"
"Tidak, raden" bantah Singa Barong "jika dia bermaksud begitu, mengapa dak saat ini juga
melaksanakannya" Mengapa harus menunggu sampai dua tahun lagi?"
Nararya terkesiap. Ia mengakui pernyataan Singa Barong itu tepat- Dan apabila ia merenungkan
tentang sikap, ucap dan nada kata-kata bekel Ku , maka terpancarlah sesuatu yang tak wajar pada
diri bekel itu. Ia terbeliak. Namun sesaat pula ia tersipu-sipu dalam hati "Ki Singa" katanya "tak baik
kita berprasangka kepada orang. Aku telah berjanji dan akupun harus menetapi janji itu"
.... Halaman 56 ga ada di bukunya ketuker hal 79 ..
Nararya mengulang lagi apa yang telah dikatakan. Bahwa hendaknya Singa Barong kembali
ketempatnya dan menuntut kehidupan yang baik "Bagaimana engkau hendak menyelesaikan
anakbuahmu, terserah. Tetapi yang penting, janganlah meninggalkah garis2 kebijaksanaan"
"Baiklah, raden" kata Singa Barong. Ia segera mengajak anakbuahnya nggalkan tempat itu.
Sebelumnya ia menegaskan janji Nararya pula "Aku akan menunggu panggilan raden. Apabila
sampai dua tiga tahun tiada berita, aku akan mencari raden"
Nararya mengantarkan kepergian rombongan Singa Barong itu dengan senyum yang cerah. Bukan
karena ia dapat mengalahkan seorang kepala perampok yang ganas, melainkan karena ia telah
Pendekar Pemetik Harpa 20 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 13