Pencarian

Dendam Empu Bharada 3

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 3


mengembalikan seorang yang jahat kearah jalan yang baik. Walaupun hal itu masih harus
dibuk kan dengan kenyataan2 yang lebih lanjut, namun paling dak ia sudah dapat mulai
menebarkan bibit kesadaran dalam hati kepala perampok itu.
Saat itu cuacapun merekah terang, membiaskan cahaya kecerahan fajar. Ia menghampiri ke
tempat Mayang Ambari yang dijaga Noyo dan Doyo. Ternyata Mayang Ambaripun sudah sadar dari
pingsannya. Ia menyambut Nararya dengan pandang ketakutan dan malu.
Nararya melayangkan sebuah senyum "Bagaimana keadaanmu, nini?"
Gadis itu terkesiap "Apakah raden tak marah kepadaku?" tanyanya dengan nada getar.
Nararya tersenyum "Marah " Mengapa aku harus marah kepadamu?"
"Bukankah raden mengatakan aku merendahkan kewibawaan raden?" masih nada Mayang
Ambari bergetar rasa cemas2 takut.
"Bukankah sebenarnya engkau bermaksud hendak menyelamatkan aku?" Nararya balas
bertanya. Mayang Ambari tersipu-sipu "Tetapi ndakanku itu bukan menyelamatkan melainkan menghina
raden ..." "Tetapi sesungguhnya engkau hendak menyelamatkan aku" cepat Nararya menukas.
"Tetapi aku bersalah raden"' Mayang Ambari setengah mengeluh rin h "mohon raden suka
memberi maaf" Nararya tersenyum "Nini, maaf memang mudah diminta dan mudah diberikan. Tetapi puaskah
engkau karena mendapat maaf itu?"
Mayang Ambari termangu. "Aku percaya pada keteranganmu bahwa engkau bermaksud hendak menyelamatkan diriku.
Tetapi kuanggap ndakanmu itu meremehkan diriku. Dalam soal ini bertemulah tujuan dengan
cara. Tujuan baik, sering dikaburkan oleh cara yang salah. Cara yang salah itu, apabila kurang ha -
hati menilai, memang akan mudah mempersalahkan tujuan"
Nararya berhen sejenak untuk memperha kan tanggapan Mayang Ambari. Dilihatnya gadis itu
masih termangu dalam wajah yang teduh. Suatu percerminan dari kesederhanaan dan kepolosan
ha "Tetapi karena aku tahu bahwa tujuan baik maka cara-cara yang engkau ndakkan itu daklah
kuanggap buruk. Bukan salah buah durian berkulit duri tetapi salah manusia yang tak mengetahui
bahwa duri itu hanya sekedar kulit, sedang isinya manis sekali. Bukankah demikian, nini?"
Nararya sengaja mencerahkan nadanya, agar dara itu terlepas dari cengkam ketakutan dan
kekikukan. Dan memang diperha kan dahi Mayang Ambari berangsur-angsur membias ketenangan.
Namun tiba-tiba dara itu berseru pula "Tetapi raden, aku tetap mohon maaf dan pidana"
Nararya tersengat kejut Pidana" Ah" ia mengernyut senyum semu "baiklah, nini, jika engkau
menghendaki maaf, akupun dapat memberi, tetapi jika engkau meminta pidana, aku takkan
meluluskan. Hanya karena soal itu, aku harus menjatuhkan pidana kepadamu" Ah, tidak, nini"
"Bukan soal itu, raden" kata Mayang Ambari
Nararya meliuk dahi "Soal apa lagi ?" tegurnya.
"Mencabut bulu kaki raden ...." '
"O" Naraya dipaksa tertawa "sudahlah, lupakan saja soal itu, kumaafkan" katanya singkat.
Rupanya ia merasa sudah cukup lama di tempat itu dan segera hendak menyudahi
pembicaraan. "Raden dapat mengatakan demikian tetapi aku tak pernah memaa an diriku untuk se ap
kesalahan apabila aku belum menerima pidana" bantah Mayang Ambari "setelah mendapat
pidana, barulah aku merasa bebas. Tolonglah, raden, berikan pidana kepadaku ..."
Nararya memandang lekat2 pada Mayang Ambari. Seorang gadis yang menjelang dewasa, tetapi
mengapa masih membawa sikap kekanak-kanakan. Seorang dara yang ayu tetapi masih bersifat
alam kehidupan desa, bersahaja, jujur dan kukuh. Kecan kannya layak disejajarkan dengan puteri
keraton tetapi pakaian dan ucapnya seperti perawan desa.
Pada saat itu pula, Mayang Ambaripun menengadah dan memandang ke muka. Dua pasang
mata bertemu, beradu pandang. Mayang Ambari tersipu-sipu merah mukanya. Cepat ia
menunduk. Nararya masih termangu-mangu. Pandang sepasang gundu mata indah berkilau-
kilau ba' bintang kejora dari dara itu, memancarkan sinar yang yang bening teduh,
menghanyutkan semangat Nararya ke alam yang indah dan syahdu. Suatu perasaan yang
belum pernah ia rasakan selama hidupnya. Ia heran tetapi bahagia dan ingin selalu memiliki
alam perasaan itu .... Karena sampai beberapa saat tak kedengaran Nararya berkata, Mayang Ambaripun mengangkat
muka dan memandangnya. Melihat pemuda itu terpukau dalam kemanguan, Mayang Ambari
terkejut tetapi cepat ia menunduk pula, pejamkan mata dan berbisik dalam ha "Adakah raden itu
juga menderita sesuatu yang aneh, seperti yang kuderita dalam hati ...."
Angin sepoi-sepoi basah yang membawa kelembaban hawa pagi berhembus menampar muka
Nararya. Pemuda itu tersentak dari lamunan "Ah, hari segera fajar" pikirnya. Ia segera hendak
beringsut langkah tetapi seke ka ia teringat akan dara yang masih berlutut menelungkup dibawah
kakinya, menantikan keputusannya
"Ah, karena sudah terlanjur menolongnya, aku harus tak, kepalang tanggung" pikirnya pula.
"Baiklah, nini" akhirnya ia berkata "pidana yang kujatuhkan kepadamu adalah, segera engkau
antarkan aku ke rumahmu"
Pada saat mendengar Nararya membuka mulut dan mengatakan hendak menjatuhkan pidana,
legalah perasaan Mayang Ambari. Tetapi ke ka mendengar pidana yang dijatuhkan Nararya, dara
itupun terlongong-longong
"Tetapi itu bukan pidana, raden" ia menyanggah.
Dalam ha Nararya tersenyum tetapi untuk menundukkan kekerasan ha dara itu, ia harus
mengerutkan wajah dan membengiskan nada kata-katanya "Aku bukan seorang raja, bukan pula
penguasa pemerintahan. Aku orang biasa. Apa yang kukatakan tadi, adalah pidana menurut
caraku. Pidana itu bermacam-macam. Yang pokok, se ap hal yang mengandung keharusan untuk
melakukan, itulah pidana. Lekas engkau laksanakan atau akan kutambah lagi pidana itu. Kusuruh
engkau tinggal seorang diri dalam candi ini dan aku akan pergi dari tempat ini"
Melihat pemuda itu berkata dengan nada bersungguh, mbullah rasa gentar dalam ha Mayang
Ambari. Berada seorang diri dalam candi makam, apabila malam hari
ba, tentu akan menimbulkan rasa takut yang mengerikan. Apalagi jika teringat akan peris wa yang dialaminya dari
gerombolan Singa Barong, ah, ngeri rasanya. Disamping itu, yang pen ng ia merasa aman dan
bahagia apabila bersama dengan raden itu. Ia sendiri heran mengapa ia harus memiliki perasaan
demikian. Akhirnya ia menurut juga.
(Oo^dw.kz^ismoyo^oO) III Kesan yang membayang pada Nararya ke ka ba di tempat kediaman lurah Jenangan, disambut
dengan rasa terima kasih atas pertolongannya melindungi Mayang Ambari dan dijamu sebagai
seorang tetamu agung, daklah mengaburkan kesimpulan Nararya bahwa dalam kegiatannya
membangun desa dan memimpin rakyatnya, lurah itu sampai agak lengah memperha kan
keselamatan puterinya. Lurah itu seorang ayah yang baik, bahkan terlampau baik, sehingga
menjurus kearah memanjakan puterinya.
Memang setelah menyelami keadaan rumahtangga lurah yang hidup hanya bersama puterinya
karena iste-rinya sudah lama meninggal, Nararya dapat memaklumi perasaan kasih sayang lurah itu
terhadap puteri tunggalnya. Namun betapapun halnya, Nararya tetap tak dapat menyetujui
ndakan lurah itu mengijinkan Mayang Ambari bersama seorang emban dan seorang abdi lelaki,
berziarah ke candi makam di Wengker. Suatu tempat yang cukup jauh dan harus melalui hutan
belantara. Secara halus Nararya menyinggung persoalan itu dan menyesalkan ndakan lurah Jenangan.
Beberapa penduduk yang terpandang dan petugas-petugas kelurahan yang hadir, terkejut. Ada
yang terbatas pada rasa heran tetapi ada pula yang merasa tak puas atas ucapan Nararya karena
dianggap sebagai seorang tetamu yang lancang mulut.
Tetapi diluar dugaan lurah Jenangan sendiri menerima dengan lapang ha "Terima kasih, ki
bagus, memang aku terlalu memanjakan anak yang keras kepala itu. Sudah kucegah dan kuminta
bersabar sampai pembuatan waduk bendungan di desa ini selesai, akan kuantarkan. Tetapi dia
tetap berkeras pergi"
Kemudian lurah itu menanyakah tentang maksud tujuan Nararya menyepi didalam candi makam
itu. "Ah, hanya sekedar mela h diri, ki lurah" sahut Nararya "agar tahan lapar dan tahan berjaga, di-
samping memohon berkah kepada dewata"
Lurah Jenangan mengangguk. Makin meresap ha nya terhadap tetamu muda yang tampan,
perwira dan sopan santun. Teringat ia betapa suasana pag tadi telah ditandai dengan hiruk pikuk
rakyat seluruh desa yang berbondong-bondong keluar dan mengiring Mayang Ambari beserta
seorang pemuda bagus dengan dua orang lelaki tua.
"Ah, betapa serasi sekali sejoli itu" kedengaran salah seorang penduduk desa berseru. Dan
segera yang lain-lain2 pun menyambut.
"Bagaikan Batara Kamajaya dan Kamara h turun dari kahyangan" terdengar seseorang membuat
tamsil untuk melukiskan keadaan Mayang Ambari ke ka berjalan disisi pemuda berwajah agung
itu. Lurah Jenangan dihorma dan dicintai oleh rakyatnya. Demikian pula Mayang Ambari. Dara
can k itu seolah menjadi milik kebanggaan seluruh rakyat desa Jenangan. Mereka mengharap agar
kelak Mayang Ambari mendapat jodoh yang sesuai. Maka ke ka Mayang Ambari pulang bersama
seorang pemuda tampan, meluaplah kegembiraan rakyatl
Lurah Jenangan sehdiripun diam-diam memiliki perasaan begitu juga. Apalagi setelah
mendapatkan Nararya itu seorang pemuda yang gentur bertapa, rasanya i-ngin sekali ia
memaserahkan Mayang Ambari kepada ksatrya muda itu. Namun mulut masih berat untuk
menyatakan. Walaupun menurut pengakuan Nararya bahwa dirinya bukan keturunan priagung
melainkan hanya murid seorang resi, namun daklah berkurang kemantapan ha lurah Jenangan
untuk menjodohkan puterinya kepada pemuda itu.
Rakyat yang berkerumun di halaman kelurahan masih penuh. Entah bagaimana mereka tak mau
pulang. Lurah Jenangan segera ke luar dan menanyakan maksud mereka. Ternyata mereka minta
supaya Nararya meluluskan untuk nggal beberapa hari di desa Jenangan. Mereka hendak
menjamu Nararya sebagai pernyataan terima kasih mereka karena -Nararya berhasil mengalahkan
Singa Barong. Noyo dan Doyo terkejut melihat sambutan rakyat Jenangan sedemikian gempar. Kedua abdi
itu girang sekali karena rakyat mengelu-elu Nararya. Agar dirinya juga ikut dihormati, maka
Noyo dan Doyo lalu menghambur cerita tentang pertempuran Nararya dengan Singa Barong
dan mereka berdua lawan anakbuah perampok. Kesudahannya, Singa Barong dan
anakbuahnya dapat ditundukkan dan menyerah. Itulah sebabnya rakyat Jenangan hendak
menghormati Nararya dengan suatu pesta besar serta mengadakan selamatan.
"Ki Bagus" kata Lurah Jenangan setelah masuk ke dalam "rakyat kami dengan sangat meminta
agar ki bagus beristirahat barang beberapa hari di desa ini. Mereka hendak menjamu ki bagus"
Nararya terkejut. Dari Wengker, ia hendak menuju ke desa Kagenengan telatah Singasari,
untuk menyepi di makam eyang buyut Ken Arok atau baginda Rajasa sri Amurwabhumi, sesuai
dengan petunjuk dari arwah eyang Batara Singa Murti. Jika harus tinggal di desa itu, bukankah
akan menghambat perjalanannya. Namun sebelum ia sempat menyatakan penolakannya, lurah
Jenangan sudah mendahului pula "Ki bagus, kuharap janganlah engkau mengecewakan hati
rakyat. Mereka sangat memuja dirimu dan ingin menghaturkan terima kasih kepadamu"
"Ah, sudah wajib jika aku menolong puteri ki lurah Janganlah menganggap hal itu sebagai
sesuatu yang luar biasa. Aku tak berjasa apa2 lagi"
"Mereka tahu bahwa engkau telah mengalahkan Singa Barong, kepala perampok yang paling
ditakuti rakyat Wengker dan Matahun ...."
Nararya terkejut karena ia tak merasa mengatakan hal itu "Siapakah yang mengatakan hal itu ?"
"Kedua pengiring ki bagus yang tua itu"
"O" desuh Nararya. Kiranya Noyo dan Doyo. Mengapa mereka harus memberitahu kepada
rakyat " Ia akan mendamprat mereka tetapi saat itu ia harus mencari alasan untuk menolak
permintaan rakyat Jenangan "Aku sungguh berterima kasih sekali atas sambutan dan kebaikan
hati ki lurah dan rakyat Jenangan. Betapa aku ingin memenuhi permintaan mereka itu namun
karena masih mempunyai tugas penting, terpaksa ....."
Wajah lurah Jenangan berobah seketika. Cepat ia menukas "Ah, ki bagus. Janganlah tuan
menolak permintaan mereka. Kutahu, adat mereka. Mereka tentu marah"
Nararya tertegun. "Sudahlah, ki bagus" lurah Jenangan mendesak pula "beris rahatlah barang dua ga hari di desa
kami, kiranya takkan menelantarkan tugas tuan. Kasihanilah mereka, rakyat Jenangan yang
bersungguh hati hendak menghormat tuan"
Nararya menghela napas panjang. Ia percaya rakyat desa itu masih berpikiran sederhana dan
jujur. Apabila ia sampai menolak permintaan mereka, mereka tentu akan merasa terhina dan
marah. Ah, dak. Ia tak boleh berkelahi dengan mereka yang hendak menghormat kepadanya.
Akhirnya terpaksa ia setuju untuk bermalam.
Menjadi pusat perha an dan dihorma sebagai o-rang yang berjasa, memang menggembirakan
ha dan menimbulkan rasa bangga. Tetapi Nararya tak meng-htnlaki hal itu, ia berusaha untuk
menghindar dari sanjung dan puji yang berhamburan memenuhi suasana perjamuan. Dengan
rendah ha ia mengatakan bahwa kejahatan itu bagaimanapun menakutkan, akhirnya pas akan
tertumpas, semisal perobahan alam, prahara, hujan dan badai, pas akan reda "Memberantas
kejahatan, bukan suatu jasa. Setiap orang berhak dan wajib menumpas kejahatan itu" katanya.
Timbul kesan dalam ha Nararya bahwa ndakan yang membuahkan akibat baik pada
kepen ngan rakyat, mendapat sambutan yang menggembirakan sekali "Masih banyak kepen ngan
rakyat yang dapat kulakukan" renungannya makin mengembang "mereka membutuhkan keamanan
agar dapat hidup tenteram. Mereka membutuhkan sandang pangan, rumah, pendidikan, agama,
kebudayaan dan kesejahteraan. Untuk membaktikan diri, banyak sekali jalannya"
"Nararya, dharma yang indah bagi seorang ksatrya itu tak lain adalah dharma terhadap manusia"
ba2 ia teringat akan ucapan gurunya, resi Sinamaya. Dan kala itu ia menyanggah "Tetapi guru,
bukankah se ap manusia itu mempunyai persoalan hidup yang berbeda satu dengan yang lain
sehingga bagaimana mungkin kita melakukan dharma dalam sekian banyak macam manusia
dengan sekian banyak corak persoalannya?"
Waktu itu resi Sihamaya menjawab "Nararya, Hidup kuibaratkan sebagai air. Air itu berasal
dari satu sumber kemudian mengalir dibengawan, terpecah belah dalam berbagai aliran besar
kecil dan menghadapi bermacam pengalaman dan persoalan, kemudian akhirnya semua itu
menuju ke laut" Demikian sumber hidup dan manusia itu. Dan camkanlah, anakku bahwa pada
dasarnya Hidup itu sudah merupakan persoalan, lebih tandas pula suatu samsara. Jangan
engkau menghindar dari persoalan hidup, karena sesungguhnya dalam dirimu sudah
mengandung persoalan itu. Jangan engkau jemu menghadapi persoalan manusia karena
engkau sendiri adalah manusia. Menghindari persoalan hidup berarti engkau mengingkari hidup.
Jemu kepada manusia berarti engkau menyangkal kemanusiaan manusiamu"
Kini Nararya baru dapat menghaya ucapan gurunya. Ia merasa ada kebahagiaan yang lebih
membahagiakan ha nya daripada dapat membahagiakan manusia2, semisal rakyat Jenangan itu.
Dan alangkah bahagianya apabila ia dapat membahagiakan seluruh rakyat negerinya. Sesaat
merenungkan hal itu makin terasa betapa besar dan berat dharma seorang ksatrya. Namun betapa
mulia. Selama perjamuan berlangsung, hanya beberapa waktu ia melihat Mayang Ambari ikut serta
menghidangkan makanan dan minuman. Setelah itu ia tak melihat dara itu lagi. Ia heran mengapa
ia harus memikirkan dara itu. Tetapi ia merasa, ada kehadiran dara itu, suasana perjamuan terasa
hambar. Betapapun ia berusaha untuk mengendapkan perasaannya, namun bayang2 dara itu tetap
melalang dalam benaknya. Makin hendak dihapus makin menggelisahkan.
Akhirnya setelah perjamuan selesai, iapun segera keluar ke halaman, berjalan-jalan sekedar
menenangkan pikiran. Ke ka ba di halaman belakang ia melihat sesosok tabuh tegak di bawah
sebatang pohon nagasari. Tampaknya orang itu sedang memusatkan pikiran dalam sebuah doa
yang dipanjatkan dalam sikap muka dan tangannya menyembah ke langit, sehingga tak mendengar
ke ka Nararya melangkah ke belakangnya. Nararya tak mau mengejutkan orang itu. Ia menunggu
sampai orang itu selesai berdoa.
"Nini Ambari" seru Nararya pelahan setelah orang itu menyudahi doanya. Dia bukan lain adalah
Mayang Ambari. Dara itu agak terkejut dan cepat berpaling ke belakang "Ah, raden ..." ia tersipu-
sipu menundukkan kepala. "Mengapa engkau berada disini, nini" Rupanya engkau sedang berdoa" kata Nararya. Namun
dara itu diam saja. "Apakah aku mengganggumu nini?"
Mayang Ambari terkejut "Tidak, raden. Aku merasa tidak terganggu dengan kehadiran raden ini"
"Tetapi mengapa engkau diam saja?"
"Aku malu, raden. Malu pada diriku sendiri"
"Mengapa ?" Nararya makin heran..
Dara itu mengangkat muka, sejenak memandang Nararya lalu menunduk pula "Karena rama ...
rama ..." Karena sampai beberapa saat Mayang Ambari tak melanjutkan kata-katanya Nararyapun
menegur "Ramamu mengapa ?"
"Apakah raden tak marah kepada rama apabila kukatakan hal itu?"
Nararya kerutkan dahi, kemudian tersenyum "Mengapa aku harus marah kepada ki lurah. Dia
seorang tua yang -baik hati dan seorang lurah tauladan"
Wajah Ambari merekah cerah ketika mendengar pujian itu. Ia mengucapkan terima kasih
"Baiklah, jika demikian akan kukatakan. Pada saat perjamuan tadi, tiba2 aku dipanggil rama
masuk dan ditanya apakah ... apakah aku setuju .... apabila .... apabila ..."
"Ah, mengapa tersendat-sendat engkau bercerita" Hayo, katakanlah yang jelas"
"Apabila ..." Ambari menunduk dan mengucap dengan pelahan "dijodohkan dengan ... raden ..."
Nararya terperanjat. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan menghadapi persoatan
sedemikian. Ia menolong Ambari karena wajib menolong, bukan karena mengandung pamrih
hendak mengambilnya sebagai isteri. Dan ia teringat akan tugas perjalanannya. Ia harus
bertapa ke candi Kagenengan, ia harus masih berkelana lagi entah kemana dan entah sampai
berapa waktu lamanya. Karena ia tak tahu bagaimana cara dan sampai batas waktu
bagaimana ia dapat memperoleh wahyu agung seperti yang diisyaratkan gurunya. Adakah ia
harus kandas dan berlabuh dalam ketenangan hidup di desa Jenangan bersama seorang isteri
yang cantik" Tidak. Cita-citanya masih jauh, jangkauannya masih nggi, harapan masih banyak. Ibarat
mendaki gunung, ia baru mulai. Adakah ia harus berhen " Penolakan atas pertanyaan yang mbul
dan diajukan pada dirinya sendiri, melahirkan rasa tak puas kepada lurah Jenangan. Timbulnya
persoalan itu bersumber pada salah sangka dari lurah Jenangan bahwa ia mengandung pamrih dan
menghendaki imbalan atas pertolongan yang dilakukannya kepada Ambari. Ia marah kepada lurah
itu. Ia menganggap dirinya dinilai reiidah. Dan letup kemarahan itu memercikkan pula rasa geram
terhadap Mayang Ambari. Ia hendak menegur dara itu.
Ia nyalangkan mata, mulutpun siap menghambur kata. Tetapi ke ka pandang matanya
tertumbuk akan wajah yang anggun dan mata yang sejuk dari Mayang Ambari, seke ka lenyaplah


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hawa amarah yang membadai dalam ha Nararya "Ah" ia menghela napas. Cukup panjang
berkumandang di kesunyian malam. Kesejukan mata si dara itu menebarkan daya pengaruh yang
mengendapkan luap perasaannya. Dan berkatalah ia dalam ha "ia tak berdosa, mengapa aku
harus marah kepadanya" Bahkan lurah itupun tak bersalah. Sebagai ayah dia berhak memikirkan
kebahagiaan puterinya yang tunggal. Aku berhak menerima atau menolak tetapi tak berhak
memarahinya" Nararya mendapatkan ketenangannya kembali. Sesaat mbultah rasa ingin mengetahui
bagaimana perasaan ha dara itu. Katanya "O, demikianlah maksud ki lurah" Lalu bagaimana
jawabmu, nini?" Rupanya Mayang Ambari tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu dari Nararya.
Ia tertegun lalu menyahut "Aku menangis ...."
"O" Nararya terbeliak "engkau menangis" mengapa ...."
Tiba2 dari arah rumah besar terdengar suara carang berseru "Ambari, Ambari, dimana engkau?"
dan pada lain kejab terdengar derap langkah kaki orang menghampiri "Ah, engkau disini, Ambari"
seru orang itu yang tak lain adalah lurah Jenangan "O, ki bagus juga disini"
Nararya agak tersipu-sipu menerangkan bahwa ke ka keluar mencari angin ia telah melihat
Mayang Ambari berada di halaman belakang.
"O, tak baik pada saat semalam ini berada di-luar" kata lurah itu tanpa mengunjukkan rasa
marah pada nada ucapannya atas peristiwa saat itu "mari kita masuk"
Nararya dan Mayang Ambari mengiku lurah itu masuk kedalam rumah. Lurah menyuruh Ambari
masuk ke biliknya sedang ia berkata kepada Nararya "Ki bagus, aku perlu bicara kepadamu"
katanya seraya mengajak pemuda itu duduk di pendapa.
Nararya dapat menduga apa yang hendak dibicarakan lurah itu. Namun ia ingin juga
menggunakan kesempatan itu untuk meluruskan kesalah-fahaman lurah itu atas dirinya.
"Ki bagus" lurah Jenangan memulai pembicaraan "beginilah beratnya menjadi seorang tua yang
mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa. Maa an bapak yang sudah tua ini
apabila kata2 bapak tak berkenan pada hatimu"
"Ah, janganlah bapak lurah mengucap demikian. Manusia tak luput dari kesalahan, wajiblah kita
saling memaafkan" kata Nararya.
Setelah mengucapkan terima kasih, lurah itu berkata pula "Sejak kecil si Ambari itu sudah
di nggal ibunya sehingga aku harus menjadi ayah dan sekaligus juga ibu; Aku kasihan atas
nasibnya maka kucurahkan seluruh kasih sayangku kepadanya. Sejak ibunya meninggal, akupun tak
menikah lagi, demi membahagiakan anak itu"
Nararya mengangguk. Dalam ha ia memuji sikap lurah itu sebagai seorang ayah yang benar2
mencintai anaknya. "Siang dan malam, hanya satu yang menjadi doa persembahanku kepada dewata" kata lurah
itu pula "agar anak itu mendapat suami yang penuh kasih sayang. Aku tak mengharap seorang
menantu yang kaya ataupun berpangkat tetapi hanya seorang pemuda yang benar2 dapat
membahagiakannya. Ki bagus" lurah itu menatapkan pandang mata kepada Nararya "rupanya
dewata mengabulkan permohonanku. Sebagai seorang tua, kuperhatikan bahwa anakku itu
setuju kepadamu. Dan aku sendiripun suka kepadamu. Maka maksud bapak, apabila engkau
tak menolak, akan kujodohkan si Ambari itu kepadamu, ki bagus"
Nararya tak terkejut karena sebelumnya ia sudah menduga akan hal itu. Namun ia merasa perlu
menjelaskan "Tetapi, bapak luarah ...."
"Menurut adat is adat di desa kami" lurah Jenangan tak memberi kesempatan Nararya bicara
karena kua r pemuda itu akan menolak "lelaki dan perempuan, terutama yang masih jejaka dan
perawan, dak diperbolehkan bergaul dengan bebas. Seluruh rakyat desa Jenangan telah
menyaksikan ki bagus berjalan bersama dengan Ambari. Bagi adat kami, hal itu sudah dianggap
sebagai suatu persetujuan dari ki bagus dan Ambari untuk menjadi suami isteri. Apabila ki bagus
menolak, pertama, ki bagus telah mencontreng arang pada muka bapak ini dan mencemarkan
nama baik si Ambari, karena kelak tentu ada pemuda lain yang mau meminangnya. Kedua, rakyat
Jenangan gembira sekali akan mendapat pimpinan ki bagus. Kegembiraan itu akan lenyap bergan
kemarahan apabila hal itu tak terlaksana. Oleh karena itu, maka bapak mohon dengan sangat
sudilah ki bagus mengabulkan permintaan bapak ini"
Ada beberapa hal yang membuat se ap kali wajah Nararya berobah. Setelah lurah selesai bicara,
iapun berkata "Bapak lurah, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, adakah
bapak menganggap bahwa ndakanku menolong anak bapak itu mengandung pamrih agar aku
dijodohkan dengan anak itu?"
"O, sama sekali tidak, ki bagus" bantah lurah.
"Adakah, bapak lurah hendak menggertak aku harus menikah dengan anak bapak?"
Lurah gelengkan kepala "Tidak ada tekanan untuk keharusan itu, ki bagus. Kata-kata bapak itu
hanya sebagai harapan dari seorang ayah dan harapan kepada seorang ksatrya yang berbudi.
luhur" Nararya tertegun, jawaban lurah itu benar2 mengena. Luas sekali nian ar daripada ksatrya yang
berbudi luhur itu. Dalam menghadapi persoalan itu, sebagai seorang ksatrya iapun bukan hanya
bertanggung jawab untuk menyelamatkan jiwa, pun nama baik Mayang Ambari. Adat is adat
tentang pergaulan antara pria dan wanita memang masih seper yang dikatakan lurah itu. Hampir
ia akan membuka mulut untuk menerima permintaan lurah itu tetapi ba2 ia teringat akan tugas
perjalanannya yang masih belum selesai. Apakah ia harus menetap di Jenangan " Tidak mungkin. Ia
harus melanjutkan perjalanannya untuk mencapai cita-citanya. Namun apabila ia melanjutkan
pengembaraannya, bukankah ia akan melantarkan kewajibannya sebagai seorang suami.
"Ah" ia menghela napas dan geleng2 kepala.
Melihat itu lurah berseru cemas "Ki bagus, apakah engkau tak setuju?"
"Bukan" sahut Nararya "saat ini aku belum dapat memberi keputusan. Aku minta waktu untuk
mempertimbangkannya"
Lurah-Jenangan menghela napas legah. Walaupun belum mendapat persetujuan tetapi sekurang-
kurangnya ia masih mempunyai harapan. Iapun tak berani mendesak dan karena malam sudah
larut, mereka lalu menuju ke bilik masing2 untuk beristirahat.
Nararya tak dapat lekas dur. Ia masih merenungkan pembicaraan dengan lurah tadi "Ah,
apakah gadis itu setuju" Tetapi mengapa dia menangis?" ia bertanya dalam ha . Kemudian
melanjut dalam renungan dan ba dipersimpangan jalan antara memenuhi permintaan lurah
dengan melanjutkah mengejar cita-citanya, iapun tertidur.
Peris wa dalam kehidupan manusia itu kadang memang ada terduga, bahkan hampir sukar
dipercaya. Apa yang tak diharap, sering tiba. Apa yang tak diinginkan, kerap terjadi.
Jika Nararya tak mengharap apa2 dalam perjalanannya ke Wengker itu kecuali hendak menyepi
di makam eyangnya, maka muncullah peris wa gadis jelita Mayang Ambari yang melibatkan
pemuda itu pada suatu lingkaran peristiwa baru dalam kehidupannya.
Demikian pula dengan lurah Jenangan. Ia tak pernah mengharap bahkan tak pernah
menginginkan pute-rinya akan dipinang oleh priagung bahkan seorang yang mempunyai kekuasaan
besar dalam kerajaan yang membawahi kelurahan Jenangan. Tetapi nyatanya peris wa itu telah
terjadi. Dan secara kebetulan pula pada saat lurah Jenangan sedang berbicara dengan Nararya
mengenai nasib puterinya.
Demikianlah peris wa itu terjadi pada waktu surya pagi sedang merekahkan cahaya yang
gemilang di kala rakyat Jenangan sedang turun ke sawah dan kebun atau bekerja dalam bidang
pekerjaan masing2 maka bagaikan datangnya air bah yang melanda tanpa diduga, jalan yang
merentang ke tempat kediaman lurah Jenangan telah mengemelut debu tebal karena debur selusin
ekor kuda yang mencongklang riuh.
Lurah Jenangan tergopoh keluar ke halaman untuk menjenguk kehirukan yang menggetarkan
lantai rumahnya. Namun terlambat. Dua belas tetamu beipakaian keprajuritan, telah meni tangga
yang mencapai pendapa. Dan ke ka lurah ba, rombongan tetamu itupun sudah melangkah ke
dalam pendapa. Lurah tertegun memandang rombongan tetamu. Dua orang yang berada paling
depan, yang seorang mengenakan busana indah dari seorang pembesar kerajaan yang berpangkat
nggi. Wajah seram, perawakan gagah perkasa. Bergodek lebat memanjang sampai ke janggut,
sepasang kumis tebal yang melengkung keatas menyerupai tanduk kerbau jantan. Layak apabila
menjadi seorang hulubalang perang.
Sedangkan yang seorang juga mengenakan, busana orang berpangkat, perawakan kecil, kumis
pis, berjanggut kambing, Umur keduanya hampir sebaya masing2 bersalut keris pada
pinggangnya. Kemudian dari sepuluh prajurit terdapat seorang lurah prajurit, berwajah bersih,
masih muda, memiliki pandang mata yang tenang.
"Hai, lurah, mengapa engkau tak lekas menghaturkan hormat dan mempersilahkan kami duduk?"
menggelegar suara nyaring dari belah bibir yang tertutup janggut lebat dari orang yang
menyeramkan. Lurah Jenangan gopoh memberi hormat dan mempersilahkan rombongan tetamu itu duduk di
ruang tetamu. Kemudian dengan sikap yang menghormat agak ketakutan, lurah memohon
keterangan tentang tetamu2 itu.
"Ho" seru orang yang berwajah seram itu pula "engkau menjadi lurah tetapi tak pernah
menghadap ke keraton Matahun. Kenalkah engkau dengan seorang narapraja berpangkat demang
dan bernama Tambakbaya?"
"Hamba memang tak pernah menghadap seri baginda di pura Setana. Hamba hanya diwajibkan
memberi laporan pada akuwu yang membawahi hamba" sahut lurah Jenangan "tetapi hamba
pernah mendengar tentang gusti demang Tambakbaya itu"
"Ha, ha, ha," orang berwajah seram itu tertawa bangga "jika sudah kenal namanya mengapa tak
lekas2 engkau menghaturkan hormat. Akulah demang Tambakbaya itu. Dan ini, adalah demang
Suramreti" Lurah Jenangan terkejut dan bergegas menghaturkan sembah memohon maaf atas
keterlambatannya menyambut para tetamu agung itu. Demikian setelah dihidangkan minuman,
maka bertanyalah lurah Jenangan akan maksud kedatangan rombongan kedua demang itu.
"Lurah" seru pula demang Tambakbaya dengan suaranya yang menggeledek "pernahkah dalam
beberapa malam ini engkau bermimpi baik?"
Lurah Jenangan tercengang. Tak tahu ia apa maksud ki demang bertanyakan hal itu "Tidak gus
demang. Hamba tak pernah bermimpi apa-apa"
Demang Tambakbaya geleng-geleng kepala "Ah, mungkin karena sudah tua, engkau pelupa.
Engkau tentu bermimpi tetapi tak engkau ingat2 lagi. Buk nya kedatanganku kemari ini tak lain
akan membawa rejeki besar kepadamu, lurah"
Lurah itu makin terlongong. Tambakbaya memandangnya makin tertawa. Rupanya demang
Suramre tak sampai ha menjerat lurah itu dalam kebingungan "Ah, adi Tambakbaya, baiklah
segera memberitahu agar ki lurah segera jelas persoalannya"
Tambakbaya mengangguk. Ujarnya "Begini, ki lurah. Kedatangan kami kemari ini, ada lain
karena diutus gus tumenggung Adikara untuk meminang anak perempuanmu yang can k. Engkau
sungguh seorang ayah yang beruntung, ki lurah. Kecan kan anakmu itu termasyhur sampai ke pura
Setana, menarik perhatian gusti tumenggung"
"Dan inilah, ki lurah" ba2 demang Suramre mengambil sebuah pe kayu cendana yang berukir
indah dan bersalut emas "emas kawin dari gusti tumenggung, terimalah"
Lurah Jenangan terlongong-longong antara sadar dan mimpi. Jika sadar, mengapa peris wa itu
hanya seper terjadi dalam mimpi. Namun kalau mimpi, mengapa ia dapat merasakan peris wa
itu. Ia tak tahu bagaimana harus menanggapi hal itu. Tiba2 ia teringat akan pembicaraannya
dengan Nararya semalam. Bukankah ia telah memaserahkan Mayang Ambari kepada pemuda itu"
Walaupun pemuda itu belum menyatakan keputusannya tetapi iapun tak mau menarik kembali
pernyataannya. Betapapun dirinya seorang lurah dari sebuah desa yang kecil dan sepi, namun ia
masih mempunyai rasa malu dan jiwa utama.
"Lurah" ba2 demang Tambakbaya menggelegarkan suaranya pula "mengapa engkau terlongong-
ldngong" Mungkin diseluruh telatah kerajaan Matahun, ada lurah keduanya lagi yang ter mpa
rembulan seper engkau. Kelak engkau tentu diangkat sebagai demang, mungkin juru bahkan
mungkin tumenggung. Ketahuilah, anakmu itu memang besar sekali rejekinya. Gus tumenggung
Adikara hendak mempersembahkan anakmu kepada gus pa h Sempu. Bahkan kemungkinan gus
patih akan menghaturkan kepada baginda"
Kali ini lurah Jenangan benar2 seper tersambar pe r. Wajahnya pucat lesi. Beberapa saat
kemudian baru dapat membuka mulut "Tetapi .... bukankah gus pa h itu sudah mempunyai
isteri" " "Ha, ha" demang Tambakbaya tertawa "seorang pa h yang besar kekuasaannya seper gus
pa h Sempu, sudah layak kalau beristeri dua, ga sampai sepuluh orang. Gus pa h belum
mempunyai putera maka hendak mencari isteri lagi agar dapat mempunyai putera. Jika kelak
anakmu dapat melahirkan, wah, aku dak bohong, engkau tentu akan diangkat dalam jabatan yang
tinggi": Lurah terlongong pula. Namun beda longong saat itu dengan yang tadi. Jika tadi ia memikirkan
janjinya kepada Nararya, sekarang benar2 ia memikirkan nasib puterinya. Jelas sudah baginya
sekarang bahwa Mayang Ambari akan dipersembahkan kepada pa h Sempu atau mungkin kepada
baginda sebagai selir. Didengarnya pa h kerajaan Matahun itu sudah tua dan mempunyai
beberapa selir. Demikian pula dengan baginda.
Lurah Jenangan gelisah dan bingung. Sejak Mayang Ambari masih kecil, lurah Jenangan telah
bertekad untuk menjalankan laku brahmacari atau
dak kawin. Seluruh kasih sayangnya
ditumpahkan pada puterinya. Hidupnya diperuntukkan anak itu dengan satu tujuan agar kelak
Mayang Ambari dapat jodoh yang bahagia. Dan rupanya segala jerih payah dalam laku dan doanya
itu dikabulkan dewata. Tanpa diduga dan disangka, muncullah Nararya. Ia setuju dengan pemuda
itu dan rupanya Mayang Ambaripun demikian. Tetapi pemuda itu belum memberi keputusan.....
Tertumbuk akan hal i.tu, membiaslah menung lurah Janengan akan peris wa mimpi Ambari yang
lalu. Bunga Wijayakusuma, bunga yang suci, bunga pusaka dari prabu Batara Kresna. Jelas Mayang
Ambari tentu akan mendapat anugerah besar dari dewata. Bagi seorang gadis, anugerah dewata itu
tak lain hanyalah seorang suami priagung, bahkan raja.
"Jika demikian" renungnya makin mengembang "tidakkah pinangan tumenggung ini yang
dimaksudkan mimpinya itu?" Hampir ia menarik kesimpulan sedemikian bahkan makin diperkuat
dengan kesan bahwa Nararya itu hanya pntera seorang resi, apalagi belum memberi
keputusan. Tetapi bayang2 kesimpulan itu segera tersambar suatu lintasan kilat manakala
terngiang pula kata2 dari demang Tambakbaya bahwa Mayang Ambari itu hanya akan diambil
sebagai selir, baik oleh-patih Sempu maupun andaikata diinginkan oleh baginda. Bertebaran
lapis2 kesimpulan tadi lenyap dan berganti dengan sepercik sinar terang dalam pikiran lurah itu
"Selir betapapun bergelimangan dalam kenikmatan hidup namun tiada bahagia hatinya. Apalagi
patih Sempu iiu sudah tua, layaknya dia menjadi ayah, bukan suami bagi Ambari. Tak mungkin
anakku bahagia" Timbulnya kesan itu, melahirkan pula kesan lain. Dahulu dia seorang prajurit kerajaan Daha.
Ketika Daha diserang Singasari, banyak keluarga raja yang lari meloloskan diri. Dia tak mau
tunduk pada Singasari maka iapun lolos dari Daha, lari ke daerah barat. Secara tak terduga, ia
telah menolong seorang puteri tumenggung yang hendak ditangkap seorang prajurit Singasari.
Ia dapat membunuh prajurit Singasari itu dan membawa puteri tumenggung lari. Akhirnya puteri
itu menjadi isterinya tetapi sayang setelah melahirkan anak, isterinya itupun meninggal. Mayang
Ambari mirip dengan ibunya, cantik dan berkulit halus, kuning langsap. Ia hidup bahagia dengan
isterinya dan tahu apa arti sesungguhnya dari kebahagiaan itu. Bukan harta, bukan pangkat,
bukan wajah tetapi kecocokan hati, saling mencintai.
Serentak ia membayangkan, betapa sikap Mayang Ambari ketika ditanya persetujuannya
hendak dijodohkan dengari Nararya. Dara itu diam menunduk. Tetapi ia sempat memperhatican
betapa cerah wajah puterinya dalam tebaran warna merah yang menghambur rautnya. Jelas
bahwa anak itu setuju. Dan ia sendiripun setuju. Teringat akan hal itu, sifat keutamaan segera
bertahta kembali dalam hatinya. Tidak! Ia tak mau ingkar janji kepada Nararya. Betapapun
bahaya yang harus dihadapinya.
"Hai, mengapa engkau diam saja, lurah!" seru demang Tambakbaya setengah membentak.
Lurah Jenangan agak terkesiap namun segera wajahnya tenang kembali "Ki demang, betapa sukar
bagiku untuk menghaturkan rasa terima kasih atas kemurahan ha dari gus tumenggung yang
telah melimpahkah anugerah kepada anakku. Tetapi ampun beribu ampun, ki demang. Sama sekali
aku tak menyangka akan hal itu maka sebagai seorang ayah yang melihat anaknya sudah akil
dewasa, anak itu telah kujodohkah pada seorang pemuda"'
"Apa" Engkau berani menikahkan anakmu pada lain orang?" Tambakbaya menggeledek
pekikan. "Karena aku tak tahu akan minat gus tumenggung terhadap anakku" sahut lurah Jenangan
"maka aku mohon ampun yang sebesar-besarnya"
Demang Tambakbaya tetap marah tetapi demang Suramre cepat mendahului "Lurah, aku ingin
tahu bagaimana pemuda pilihanmu itu. Dan akupun hendak bertanya kepada anakmu, apakah dia
tetap setya kepada suaminya atau ingin menjadi isteri patih"
Lurah Jenangan tercengang tetapi demang Tambakbaya segera membentaknya, menyuruh dia
lekas melakukan perintah. Terpaksa lurah itu bergegas masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia
keluar dengan diiring seorang gadis can k dan seorang pemuda tampan "Inilah anakku dan inilah
putera menantuku, ki demang"
"Aduh, can k sekali, mengapa ..." Tambakbaya hendak mencemoh lurah mengapa menikahkan
anaknya dengan pemud-i begitu, tetapi ke ka ia melirik pada Nararya dan melihat wajahnya yang
bersinar agung, ia tertegun lalu cepat berganti kata "engkau tergesa-gesa mencarikan jodoh" Bodoh
benar!" Demang Suramre tak menghiraukan. Ia tahu akan watak Tambakbaya yang berangasan. Ujarnya
"Baiklah, aku hendak bertanya kepada mereka. Nini, benarkah pemuda itu suamimu?"
Merah wajah Ambari. Tak tahu bagaimana ia harus menjawab. Sejenak ia berpaling kearah
Nararya. Saat itu Nararya sudah makin jelas akan persoalan yang dihadapinya setelah tadi ia diberi
tahu oleh lurah. Ia tak senang atas ndak sewenang-wenang dari pa h Matahun. Lebih muak pula
ke ka melihat sikap dan ulah demang Tambakbaya. Ia harus menolong Ambari pula. Maka
dibalasnya pandang mata gadis itu dengan senyum. Hal itu sudah cukup bagi Ambari dan
menyahutlah dara itu "Benar, gusti"
"Hai, anakrnuda, benarkah engkau sudah menikah dengan gadis ini?" seru demang Suramre
pula. "Benar" Nararya mengangguk pelahan.
"Anakrnuda" kata demang Suramreti pula "apakah engkau mencintai isterimu?"
"Ya" jawab Nararya singkat.
Demang Suramreti mengangguk "Baik sekali. Tetapi ketahuilah, bahwa orang yang mencintai
itu harus rela berkorban demi membahagiakan wanita yang dicintai. Bukankah begitu,
anakrnuda ?" Nararya mengiakan. "Gus pa h kerajaan Matahun berkenan menunaikan isterimu. Apabila menjadi isteri pa h,
jelas isterimu akan hidup mewah dan senang. Demi cintamu kepadanya, engkau harus rela
melepaskan isterimu"
Merah padam seke ka wajah Nararya mendengar kata2 itu. Namun teringat akan perjalanan
hidupnya sendiri dan sekalian untuk menguji sampai dimanakah isi ha Ambari, ia segera
menyahut "Terserah pada yang menjalani. Aku menurut saja"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, engkau berjiwa ksatrya" seru demang Suramreti gembira. Kemudian ia bertanya
kepada Ambari "Engkau, nini, suamimu telah merelakan. Tentulah engkau akan setuju atas
pinangan gusti patih"
Ambari marah sekali. Jelas demang itu telah memutar balikkan ucapan Nararya. Maka
menyahutlah ia dengan keras "Tidak, aku tetap setya kepada suamiku sampai akhir hayatku"
Demang Suramre terkejut. Dengan berbagai keterangan, ia membujuk agar Ambari suka
menerima pinangan itu, kelak tentu akan hidup dalam genangan kemewahan. Juga ayahnya tentu
akan dianugerahi pangkat yang nggi. Namun Ambari tetap pada pendiriannya. Ia tetap setya
sampai ma kepada guru lakinya. Karena putus asa, demang Suramre segera menyerahkan
kepada demang Tambakbaya.
"Bekel Lembu Sora, bawalah orang muda itu ke luar dan penggal kepalanya!" teriak Tambakbaya.
Seorang bekel muda yang disebut Lembu Sora, ternyata prajurit muda yang memiliki wajah dan
sinar mata tenang tadi. Dengan tenang, ia melangkah kemuka tetapi dak langsung menghampiri
Nararya, melainkan tegak menghadap demang Tambakbaya.
(Oo^dw.kz~ismoyo^oO) Jilid 3 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I Cerita Ramayana amat menarik. Sejak dahulu sampai sekarang. Karena cerita tentang prabu
Rahwana dari negeri Alengka yang telah mencuri Dewi Shinta, isteri prabu Ramawijaya, banyak
meninggalkan kesan dan melahirkan berbagai kesimpulan. Bahwa perbuatan prabu Rahwana yang
telah menginginkan isteri orang harus menerima kehancuran, memang sudah wajar. Tetapi yang
menanam kesan dan membenihkan berbagai kesimpulan adalah tentang diri kedua adinda dari
raja Alangka itu yani ksatrya yang berwajah raksasa Kumbakarna dan ksatrya yang berwajah cakap
raden Gunawan Wibisana. Kumbakarna tahu bahwa perbuatan kakandanya itu sangat tercela, namun sebagai seorang
putera dan ksatrya Alengka, ia tetap membela tanah airnya dari serangan pasukan kera yang
membantu prabu Rama. Gunawan Wibisana tahu pula bahwa nista dan tercelalah ndakan kakandanya yang mencuri
isteri prabu Rama. Demi menyelamatkan rakyat dan negara dari kehancuran, demi membela
kebenaran, ia rela membantu prabu Rama.
Membela negara di atas kepen ngan segala! Salah atau benar. Demikian pendirian Kumbakarna,
seorang raksasa yang berjiwa ksatrya, ksatrya yang berwajah raksasa.
Kebenaran itu maha utama. Dharma seorang ksatrya mencari, membela dan menegakkan
kebenaran. Dan kebenaran hanya satu sifatnya. Suci. Dan kebenaran itu dak pula dipengaruhi
oleh rasa dalam ikatan hubungan. Baik dengan saudara, sanak keluarga maupun kawan dan lain2.
Kebenaran itu suci, kejahatan itu salah. Tanpa pengorbanan membebaskan diri dari segala ikatan
hubungan, Kebenaran takkan bersemayam di singgasana kesuciannya. Demikian pendirian ksatrya
Wibisana. Yang tahu membedakan Benar dan Salah, dak sedikit jumlahnya. Mungkin se ap hidung,
kecuali orang yang mempunyai kepen ngan, tentu dapat mengatakan mana yang benar, mana
yang salah. Tahu pula orang untuk menguraikan tentang Kebenaran, dengan segala ungkapan,
ulasan dan dasar-dasarnya. Pada hal Kebenaran itu sendiri sudah berbicara walaupun tak dapat
bersuara. Karena Kebenaran itu merupakan serabut2 halus dari hati nurani manusia.
Tetapi yang berani mengatakan Benar dan Salah, hanya sedikit sekali jumlahnya. Dan yang paling
sedikit diantara yang sedikit itu adalah orang yang berani menentang kesalahan, membela
kebenaran. Diantara golongan yang paling sedikit sekali jumlahnya itu, termasuk diri Lembu Sora,
bekel muda dari Matahun. Dia masih muda. Berwajah sedang, dak cakap tetapi pun dak jelek. Wajahnya bersih, matanya
bersinar terang. Kata orang, mata itu adalah cermin ha . Mata yang terang, ha nyapun jernih.
Demikianlah perangai bekel Lembu Sora yang selalu bersikap tenang. Suatu sikap yang jarang
terdapat di kalangan kaum prajurit. Kebanyakan mereka memelihara cambang, kumis dan janggut.
Makin tebal makin menyeramkan. Tingkah ulahnyapun sedapat mungkin, kasar dan bengis.
Perawakan yang kokoh kekar, muka yang bercambang dan kumis lebatserta ngkah laku yang
bengis, merupakan syarat yang mereka anggap dapat melambungkan kewibawaan. Kewibawaan
terhadap anakbuah dan orang sebawahan, pun ada kalanya terhadap rakyat.
Lembu Sora tak menyukai hal2 semacam itu. Karena pada hakekatnya, prajurit itu adalah
pelindung rakyat. Demikian pula merekapun berasal dari rakyat. Semisal seorang ayah dalam
keluarga, berbahagialah apabila dia dicintai anak-anaknya, bukan ditaku karena kebengisannya.
Demikian pula pendirian Lembu Sora sebagai seorang bekel prajurit. Dan sikapnya yang tenang itu
membawakan dia pada suatu pengamatan yang terang, antara yang salah dan yang benar.
Sora menjadi bekel prajurit di kerajaan Matahun, hanyalah untuk menimba pengalaman,
meneguk pengetahuan. Sesungguhnya dia dapat mencapai pangkat yang lebih nggi apabila dia
mau bekerja pada kerajaan Singasari. Karena di Singasari, dia mempunyai saudara yang menjabat
pangkat sebagai d e m u n g , menteri yang kedudukannya hanya se ngkat dibawah pa h, yani
demung Wiraraja. Namun Lembu Sora mempunyai pambek yang perwira. Bukan karena dia seorang
berha nggi atau congkak, tetapi dia mempunyai pendirian akan meraih kedudukan atas dasar
usaha dirinya sendiri. Bukan menggantungkan pada pengaruh saudaranya. Itulah sebabnya maka ia
tak mau bekerja di Singasari melainkan melanjutkan mengembara dan akhirnya masuk prajurit
kerajaan Matahun dan diangkat sebagai bekel.
Hari itu dia mendapat perintah dari tumenggung Adikara supaya ikut mengiringkan demang
Suramre dan demang Tambakbaya ke desa Jenangan. Tidak dijelaskan apa tujuan perintah itu.
Dan bekel Sora pun tak mau bertanya. Perintah atasannya harui dilaksanakan. Setelah mendengar
percakapan kedua demang dengan lurah Jenangan barulah ia tahu a-kan persoalannya. Sebenarnya
dalam ha , ia sudah tergetar rasa heran mengapa tumenggung Adikara yang sudah beristeri
bahkansudah mempunyai putera jejaka dan puteri gadis, masih ingin mencari isteri, yang masih
muda. Demikian pula terhadap pa h Sempu yang disebut-sebut oleh kedua demang itu. Pa h
Sempu sudah setengah baya, mempunyai isteri dan beberapa selir. Masih belum puaskah pa h itu
" Keheranan bekel Sora segera dapat diendapkan oleh pengolahan pikirannya sendiri, hasil dari
pengamatannya selama ini. Sudah bukan sesuatu yang mengherankan apabila dikalangan para
mentri dan narapraja yang berpangkat, memelihara beberapa selir. Adakah mempunyai beberapa
selir yang can k juga merupakan syarat untuk menegakkan kewibawaan sebagaimana golongan
prajurit memelihara cambang, kumis, janggut lebat dan wajah seram itu " Lembu Sora tak dapat
menjawab. Karena ia tak memelihara cambang, kumis maupun janggut. Juga tak mempunyai selir.
Bahkan menikahpun belum. "Mungkin saja begitu" hanya sesingkat itu reka dugaan bekel Sora.
Tetapi pengendapan akan rasa heran yang mbul dalam ha bekel Sora, agak berguncang
manakala ia mendengar keterangan lurah Jenangan bahwa puterinya yang bernama Mayang
Ambari itu sudah bersuami. Guncangan itu makin keras pula, sesaat ia mendengarkan kata2 kedua
demang yang berkeras hendak meminang puteri lurah Jenangan walaupun sudah mendapat
keterangan gadis itu sudah bersuami.
Ada suatu perasaan yang ia tak menger . Perasaan itu mbul ke ka lurah Jenangan membawa
keluar gadis Mayang Ambari yang can k dengan seorang pemuda yang tampan. Tatkala
memandang wajah pemuda itu, Nararya, bekel Sora terkesiap. Bukan karena tertarik akan
kecakapan wajahnya, melainkan karena pancaran wajah Nararya yang dalam pandangan bekel
Sora, seper memancarkan sinar gemilang. Cepat bekel Sora memejamkan mata, kua r apabila
pandang matanya itu terselaput debu sehingga tak jelas. Tetapi ke ka membuka mata dan
memandang lagi, apa yang dilihatnya itu tetap suatu kenyataan. Wajah Nararya seolah
mengandung sumber sinar wibawa.
Bekel Sora teringat apa yang pernah diteguknya dalam pelajaran agama bahwa kema an itu
hanya soal raga. Raga akan menjadi tua, lapuk dan binasa. Tetapi atma tetap hidup dan akan
mengalami tumimbal-lahir atau lahir kembali ke dunia. Juga pernah ia mendengar tentang cerita
yang dibawakan oleh orang2 tua bahwa Hyang Batara Wisynu itu telah berulang meni s ke
mayapada. Pernah meni s ke dalam diri prabu Harjunasasrabahu, kemudian ke dalam diri prabu
Ramawijaya, lalu ke dalam diri prabu Sri Batara Kresna.
Apa yang didengarnya itu hanya dalam ajaran dan cerita. Tetapi saat itu seolah ia merasa, dalam
pandang pertama melihat Nararya, ada suatu tali ikatan ba n dengan pemuda itu. Entah dimana
dan entah bilamana, ia sendiri tak tahu. Namun ada suatu getar perasaan yang mendorong ia
supaya ikut kepada pemuda itu dan melindunginya.
Getar2 yang menggelombang halus dalam ha nurani bekel Sora cepat terhapus ke ka
mendengar percakapan demang Suramre dan demang Tambakbaya dengan Nararya. Rasa tak
puas mulai mendidih. Mengapa sedemikian sewenang-wenang kedua demang itu hendak
memaksakan kehendaknya" Adakah wewenang dari seorang narapraja itu digunakan untuk
bersewenang-wenang" Adakah mentri kerajaan itu disewenangkan untuk mengambil isteri orang"
Tidak. Hati bekel muda itu memantul jawaban tegas.
Puncak dari letupan kemarahan bekel Sora adalah ketika demang Tambakbaya dengan lagak yang
garang memerintahkan supaya dia menyeret Nararya keluar dan memenggal kepalanya. Namun
bekel itu tetap dapat menguasai perasaannya. Dengan tenang ia maju ke muka, tanpa
memperha kan Nararya orang yang harus ditangkapnya itu, langsung ia mencurah pandang ke
arah demang Tambakbaya "Apa perintah ki demang?" ulangnya nyaring.
Demang Tambakbaya terbeliak. Mengapa bekel itu mengulang tanya lagi" Jika dia tak
mendengar, mengapa maju ke tengah pendapa" Dan apabila mendengar mengapa harus bertanya
pula" Dan mengapa bekel itu memperlihatkan sikap yang agak keras dari biasanya. Namun demang
Tambakbaya yang beradat kasar tak memikirkan sampai sejauh itu. Ia marah karena bekel itu
membuang waktu "Tuli!" bentaknya "kusuruh engkau lekas seret pemuda itu ke luar dan
sembelih!" "Ah" bekel Sora tertawa ringan "apakah kesalahannya maka dia harus disembelih seper
kambing?" Tambakbaya membelalak. Memandang bekel itu seolah hendak ditelannya ke dalam gundu
matanya yang bundar besar "Eh, bekel, engkau hanya diharuskan menurut perintah. Bukan
wewenangmu untuk bertanya urusan ini!"
Kembali bekel Sora tertawa "Ki demang, waktu menerima pengangkatan sebagai bekel prajurit,
aku telah disumpah bahwa aku harus menjalankan kewajiban sebagai seorang prajurit"
"Hm, kiranya engkau sudah tahu" dengus demang Tambakbaya.
"Seorang prajurit harus membela raja, negara dan tunduk pada perintah" kata bekel Sora pula.
"Sudahlah, jangan banyak mulut" teriak demang Tambakbaya makin marah.
"Dan juga menjaga kewibawaan undang2 kerajaan, ki demang!"
Wajah demang Tambakbaya memberingas "Apa maksudmu?"
"Undang2 itu mengatur segala sesuatu untuk kepen ngan negara dan rakyat. Yang bersalah
harus dihukum. Maka kutanya kepada ki demang, apakah kesalahan pemuda itu?"
"Setan engkau" hardik demang Tambakbaya "tumenggung Adikara dan gus pa h Sempu adalah
orang-orang yang berkuasa besar. Mentri yang dipercaya baginda untuk mengatur pemerintahan
kerajaan Matahun. Jasa gus pa h tak terperikan besarnya. Jangankan hanya seorang anak lurah,
bahkan .puteri ke-ratonpun apabila gusti patih memohon tentu baginda berkenan mengabulkan"
"Aku tak mengingkari keadaan itu" sahut bekel Sora "Bahkan ki lurah Jenangan disinipun
seharusnya menghaturkan puterinya kepada gusti tumenggung ataupun gusti patih, jika anaknya
itu masih gadis. Tetapi kenyataan, puteri ki lurah itu sudah bersuami, seharusnya janganlah.ki
demang memaksakan pinangan itu. Bukankah martabat gusti tumenggung dan gusti patih akan
menurun apabila peristiwa ini tersiar di kalangan rakyat" Bukankah menurut kata ki demang
tadi, gusti tumenggung dan gusti patih itu dapat mempersunting gadis yang mana saja bahkan
puteri cantik dari keraton" Ya, mengapa harus memaksa puteri ki lurah yang sudah bersuami"
Mengapa tidak meminang saja puteri lain yang lebih cantik" Bukankah di kerajaan Matahun itu
tak kekurangan gadis dan puteri yang cantik?"
Serasa meledak dada demang Tambakbaya mendengar kata2 bekel Sora. Mukanya merah padam.
Tetapi sebelum ia sempat ber ndak, demang Suramre sudah mendahului "Bekel, jangan kurang
tata! Dengan siapa engkau berbicara?"
"Ki demang Tambakbaya" sahut bekel Sora.
"Mengapa engkau berani berbicara sekasar itu" Mengapa pula engkau berani membantah
perintah?" Bekel Sora beralih memandang demang itu "Ki demang, aku dak membantah hanya bertanya.
Dan ternyata ki demang Tambak tak dapat memberi jawaban tentang kesalahan pemuda itu"
"Hm, lalu bagaimana" Apakah engkau hendak membangkang perintah?" tegur demang Suramreti.
"Benar, ki demang" sahut bekel Sora.
Sejak bekel Sora tampil ke tengah pendapa dan beradu lidah dengan demang Tambakbaya,
sekalian orang terpukau dalam rasa kejut. Bahwa bekel itu berani membantah dan membangkang
perintah atasannya telah menimbulkan kegemparan dalam ha para prajurit yang lain, termasuk
lurah Jenangan. Demikian pula Nararya. Pemuda itu hanya sempat beradu pandang sebentar di
kala bekel itu melangkah ke tengah pendapa, tetapi selanjutnya ia tak dapat melihat wajahnya lagi
karena bekel itu tegak membelakanginya, menghadap ke arah kedua demang. Namun menilik
ucapan dan nada yang dibawakan bekel itur mbullah rasa kagum dalam ha Nararya. Dan dengan
penuh perhatian ia mengikuti perkembangan lebih lanjut.
Suramre cepat berpaling kepada prajurit2 dan menunjuk kearah bekel Sora "Prajurit2,
tangkaplah bekel .itu!"
Kesembilan prajurit itu terbeliak, kemudian saling berpandang satu sama lain. Mereka adalah
anak prajurit yang langsung dibawah pimpinan bekel Sora. Prajurit2 itu termasuk pasukan
keamanan pura Setana yang langsung dibawah perintah tumenggung Adikara. Demang
Suramreti dan demang Tambakbaya merupakan orang kepercayaan tumenggung Adikara.
Ketegangan suasana itu tak berlangsung lama karena pada saat itu, seorang prajurit berkumis
lebat segera tampil ke muka dan memberi hormat kepada demang Suramre "Apakah ki demang
menitahkan aku, prajurit Tawing ?"
"Ya" sahut demang Suramre "tetapi mengapa hanya engkau sendiri" Bagaimana kawan-
kawanmu yang lain?" "Mereka bimbang, ki demang" sahut Tawing "idinkanlah aku mewakili kawan2 untuk melakukan
perintah ki demang" Prajurit2 yang lain terbeliak atas keterangan Tawing itu. Jelas Tawing hendak mencari muka
kepada demang Suramre . Namun mereka tak sempat membantah karena saat itu Tawing sudah
melangkah ke hadapan bekel Sora.
"Ki bekel, maaf" seru Tawing "aku hanya melakukan perintah ki demang"
Bekel Sora memandang prajurit itu, Pikirannya jauh melayang kembali ke masa yang lalu. Ke ka
ia baru mulai menjabat bekel, ia melihat gejala2 yang buruk di kalangan prajurit2 Matahun. Ada
sekelompok prajurit yang menuntut kehidupan tak genah. Suka bermabuk-mabukan, gemar
memburu wanita, menjadi tulang punggung kaum penjudi. Bahkan yang lebih gila lagi, melindungi
penjahat2 dengan mendapat imbalan uang yang cukup memadai.
Meneli lebih lanjut, bekel Sora terkejut ke ka mengetahui bahwa gejala itu hampir merata dari
bawah sampai ke ngkat atas. Itulah sebabnya maka perbuatan2 dari beberapa prajurit itu tetap
berjalan langsung. Mereka pandai mengambil muka kepada orang atasannya. Dan orang2 yang
melakukan kejahatan itupua tak kepalang tanggung cerdiknya. Mereka dapat menuju kesenangan
prajurit2 itu. Bukan hanya hadiah, uang dan lain2 barang berharga, pun mereka menyediakan
wanita2 cantik pula. Sesungguhnya, bekel Sora sudah muak dan ingin berhen dari jabatannya. Tetapi dia memang
seorang muda yang keras ha dan suka mencari pengalaman. Dia membantah kehendaknya sendiri
dan memaksa dirinya untuk menanggulangi keadaan itu. Ia ingin mencari pengalaman bagaimana
cara untuk memberantas keadaan semacam itu. Maka tetaplah ia menjabat pangkat bekel. Ia
ber ndak keras untuk menegakkan kembali undang2 yang hampir lunglai, ia membangkitkan pula
kepercayaan rakyat kepada kaum prajurit dan pemerintahan. Dalam usahanya itu, walaupun belum
seluruhnya berhasil, namun sudah menampakkan perobahan2 yang memberi harapan kepada
rakyat. Tawing termasuk salah seorang dari prajurit kelompok hitam. Disebut hitam karena sebagai
penegak, pembela dan pelindung negara, bahkan malah melanggar sendiri. Bekel Sora menghadapi
kelompok hitam itu dan menyikat mereka. Tawing yang dulunya sudah berpangkat bekel,
diturunkan lagi sebagai prajurit biasa. Apabila masih melanjutkan perbuatannya yang buruk, akan
dipecat dari pasukan. "Hm" bekel Sora mendesuh ke ka teringat akan peris wa yang menyangkut diri Tawing. Memang
sejak itu Tawing membawa sikap dan kelakuan yang baik. Tetapi bukan berar bahwa api
dendamnya terhadap bekel Sora sudah padam. "Dia tentu masih mendendam kepadaku" pikir
bekel Sora. "Ki bekel" kembali prajurit Tawing berseru demi melihat bekel Sora hanya mendesuh "adakah ki
bekel bersedia untuk melaksanakan perintah ki demang?"
Bekel Sora mendesuh pula "Tawing, engkau hanya seorang alat belaka. Silahkan engkau
melakukan perintah" Merah wajah Tawing "Sebelum berkelanjutan, ingin aku bertanya kepada ki bekel. Apakah ki
bekel ini juga bukan seorang alat negara?"
"Ya" sahut bekel Sora "aku memang seorang alat negara Matahun"
"Apa beda diri ki bekel dengan diri Tawing?"
"Beda jauh" jawab bekel Sora "aku alat negara tetapi engkau alat penguasa"
"Apa artinya?" Tawing terbeliak.
"Alat negara yalah mereka yang menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan perintah dan
ketentuan negara sebagaimana yang telah dituangkan dalam undang2 dan peraturan. Tetapi alat
penguasa yalah alat dari orang yang berkuasa"
"Tawing, lekas gelandang bekel itu ke luar dan ikatlah tubuhnya di atas punggung kuda" teriak
demang Suramreti yang tak kuasa lagi menahan kemarahannya.
Mendengar ulasan yang diberikan kepada dirinya oleh bekel Sora, Tawing marah. Maka setelah
mendengar perintah demang Suramre , ia terus maju dan mencengkeram bahu bekel Sora.
Maksudnya setelah dapat menguasai, hendak ia remas sekuat-kuatnya sehingga bekel itu meliuk-
liuk, kemudian baru ia seret ke luar dan diikat.
Tetapi sayang kenyataan tak memenuhi yang terangankannya. Ia memang berhasil mendaratkan
telapak tangannya ke bahu dan berhasil pula meremas. Tetapii selekas meremas bahu bekel Sora
itu melejit selicin kulit belut sehingga Tawing hanya meremas kelima jarinya sendiri. Tawing
terkejut tetapi secepat itu, ia mmganggap bahwa mungkin karena basah dengan peluh maka bahu
bekel Sora menjadi licin. Segera ia mengulangi mencengkeram lagi.
Telah dijamah dan terasa bahwa kelima jarinya benar2 melekat erat pada bahu orang.
Kemudian mulai ia mengeriputkan jari2 itu dan terasa daging pun ikut mengernyut. Setelah yakin
kali ini tentu berhasil, dengan sepenuh tenaga segera ia kencangkan cengkeramannya "Uh" ia
menjerit dalam hati ketika merasa bahwa daging yang terangkat kcdalam cengkeramannya itu,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba2 melejit lolos. Tawing terlongong-longong. Memandang kearah bekel Sora tetapi serasa
tak memandang. Suatu pandang hampa karena perhatiannya terbawa terbang oleh
semangatnya yang melayang dalam alam keheranan.
"Tawing, mengapa engkau diam saja?" tegur bekel Sora. Tawing tersentak kejut. Ia menyadari
bahwa bekel itu tentu memiliki ilmu Belut-pu h sebuah ilmu yang dapat menjadikan tubuh selicin
tubuh belut yang sukar ditangkap
"Oh, baiklah" seru Tawing seraya maju dan menghantam dada bekel Sora. Ia kua r apabila akan
menderita rasa kejut seper waktu mencengkeram. Maka ia tak mau menggunakan tenaga penuh
dalam pukulan itu. Pikirnya, apabila bekel Sora berusaha menghindar, ia akan menyusuli dengan
pukulan tangan kiri. Duk, ternyata njunya ba juga mendarat pada dada bekel Sora "Ah, mengapa seringan ini
engkau memukul, Tawing" O, apakah .... ya, ya, aku menger . Dalam mulut engkau pura-pura
tunduk pada perintah ki demang akan tetapi dalam ha sebebenarnya engkau hendak membatu
aku. Terima kasih Tawing ... "
Bukan kepalang kejut Tawing mendengar kata2 itu. Dalam penilaiannya sebagai seorang yang
suka mencari muka kepada atasannya, kata2 bekel Sora itu lebih tajam dari ujung pedang. Jelas
bekel itu hendak memberi kesan kepada kedua demang bahwa Tawing berfihak pada bekel Sora.
Gugup karena takut kedua, demang itu marah kepadanya, Tawing terus loncat dan menghantam
dada bekel Sora. Bekel Sora masih tegak ditempat. Padahal jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa apabila ia
menghendaki, pada saat Tawing tegak terlongong sehabis mencengkeram bahu tadi, dapatlah bekel
Sora balas memukul. Tetapi ternyata dia tak mau melakukannya. Hal itu mengejutkan sekalian
orang, termasuk Nararya. Lebih terkejut pula mereka dikala bekel Sora membiarkan dirinya menjadi
landasan pendaratan nju Tawing. Nararya ingin berbangkit, beberapa prajurit tampak gemetar
menyaksikan peris wa itu. Tetapi bekel Sora sendiri masih tenang "Ah, Tawing, sudahlah, jangan
kau lanjutkan permainan ini. Kita nan berbicara lagi. Dalam soal ini, aku takkan mendendam
permusuhan kepadamu. Kita sesama kawan prajurit, mengapa harus bermusuhan?"
Tawing terbeliak ke ka pukulannya tak mampu menggetarkan tubuh Sora, apapula merubuhkan.
Beliak makin membelalak manakala terngiang serangkaian kata2 dari bekel Sora yang makin
menyudutkan dia sebagai seorang sekutu. Ia meregang-regang, menggemerutukkan geraham lalu
hendak menyerang pula. Tetapi belum sempat ia bergerak, sekonyong-konyong tengkuknya terasa
dicengkeram sebuah tangan yang amat kuat. Sebelum ia tahu siapa dan apa maksud orang itu,
tubuhnya serasa diayun ke belakang. Rasa kejut dan sakit telah menghisap perha annya sehingga
ia tak sempat lagi untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya ke ka terlempar beberapa
langkah ke belakang, terjerembab terban ng ke lantai. Sesaat gelaplah pandang matanya karena
kepala terbentur lantai. Beberapa kawan, prajurit gopoh menolong.
"Seret dia keluar dan ikat pada kuda" ba2 prajurit2 terhen langkah ke ka mendengar suara
menggeledek memberi perintah. Mereka berpaling dan melihat demang Tambakbaya tengah
membelalakkan mata, sebelah tangan bercekak pinggang dan tangan kanan menuding ke arah
Tawing. "Hm, beginilah cara seorang demang memperlakukan orang bawahannya" dengus sebuah tiuara.
Demang Tambakbaya terkejut. Jelas bahwa nada itu bukan suara bekel Sora. Bahkan saat itu
bekel Sorapun tengah terkesiap dan mengerling pandang mata. Pandang, mata demang
Tambakbaya dan bekel Sora segera menemukan sasarannya pada seorang muda yang berdiri disisi
seorang gadis. "Engkau!" teriak demang Tambakbaya.
"Ya" sahut anakmuda itu yang bukan lain adalah Nararya. Rupanya pemuda itu tak kuasa lagi
menahan kesabarannya ketika melihat tindakan demang Tambakbaya terhadap prajurit Tawing.
"Apa maksudmu ?" masih demang itu meledak.
"Kutanya pada diriku sendiri, adakah begitu cara seorang demang kerajaan Matahun itu
memperlakukan prajuritnya?" Nararya mengulang.
Sepasang kumis yang menggerumbul diatas bibir demang Tambakbaya berguncang-guncang keras
"Kusuruh engkau menangkap, engkau tenang2 saja. Tetapi mengapa engkau penasarasan ketika aku
menindak prajurit yang bersekutu melanggar perintah itu ?"
"Mengapa aku harus bersikap keras apabila ki bekel yang engkau perintahkan menangkap aku itu
sudah menentang perintahmu " Lain halnya dengan prajurit itu. Dia tak ada yang membela maka
akupun wajib membelanya"
Tambakbaya menggeram. Sesaat menimang, ia memutuskan untuk menangkap pemuda itu, baru
kemudian membereskan bekel Sora. Tetapi belum sempat ia ber ndak, bekel Sora sudah bergerak
menghampiri Nararya "Ki bagus" serunya "janganlah ikut campur. Biarlah aku yang menghadapi
kemarahan ki demang itu"
"Terima kasih, ki bekel" sahut Nararya "sebaiknya aku saja yang menghadapinya. Jika aku yang
melawan, itu sudah hak. Karena aku membela diri dan isteri. Tetapi jika ki bekel yang melawan, ki
bekel dapat dituduh melanggar perintah. Dapat dihukum, paling tidak akan dipecat"
Bekel Sora tersenyum "Hidupku bukan memburu pangkat tetapi mempertahankan pendirian
hidup. Aku masih belum berkeluarga, kehilangan pekerjaan takkan lebih menderita daripada
kehilangan pendirian"
Nararya terkesiap memandang bekel muda itu. Ke ka pandang keduanya beradu, seke ka
terjalinlah suatu hubungan ba n. Nararya suka kepada bekel itu dan bekel itupun sayang kepada
Nararya. Mereka saling mengagumi keperibadian masing2.
"Hai, bekel Sora, menyingkirlah engkau" ba2 demang Tambakbaya berteriak pula "jika engkau
tak mau menurut perintahku, aku sendiri yang akan menangkap pemuda itu"
"Ki bekel, silahkan menyisih" kata Nararya pelahan.
"Tidak, ki bagus" kata bekel Sora "aku akan menghadapi demang itu" ia segera bergerak. Tetapi
bukan menyingkir melainkan maju kehadapan demang Tambakbaya "Ki demang, aku tak setuju
tindakan ini" katanya.
Merah padam muka demang Tambakbaya. Melawan kedua orang itu sekalipun, ia merasa masih
sanggup "Hem, engkau memang pembangkang yang harus dihajar" serunya seraya ayunkan nju ke
dada bekel Sora. Bekel Sora menyisih ke samping "Ki demang, aku tak mau melawan ki demang melainkan hanya
sekedar meminta agar niat tuan hendak menangkap pemuda ijni, tuan batalkan"
Tetapi demang Tambakbaya tak menghiraukan dan menyusuli pula dengan sebuah serangan
yang dahsyat. Gayanya menyerupai harimau menerkam. Sekali lagi bekel Sora dapat menghindar ke
samping walaupun harus melalui suatu gerak yang susah payah. Tetapi belum sempat ia
membenahi diri, demang Tambakbayapun sudah berputar seraya mengirim sebuah tendangan
keras. Plak, dalam kedudukan yang sulit, masih bekel Sora dapat menyisih. Namun celananya tersambar
ujung kaki demang Tambakbaya. Sulit sekalipun tetapi bekel Sora masih dapat meloloskan diri.
"Ki demang" serunya tegak beberapa langkah dari tempat demang Tambakbaya "adakah engkau
hendak memaksa menangkap aku?"
"Aku mendapat wewenang penuh dari gus tumenggung Adikara atas prajurit2 yang menjadi
pengiringku ini" kata demang Tambakbaya "engkau membangkang dan membantah perintahku"
Bekel Sora mengangguk, tiba2 ia melepas busana keprajuritannya "Baik, ki demang. Mulai saat ini
Sora minta berhen dari jabatan bekel prajurit. Pakaian beserta senjata, kuserahkan kembali"
serunya seraya menyerahkan pakaian dan tombak.
Demang Tambakbaya tertegun. Ia diam saja melihat Sora meletakkan pakaian dan senjata di
hadapannya. Sebelum sempat ia membuka mulut, Sorapun sudah berseru pula "Ki demang, sebagai
seorang rakyat biasa, engkau tak berhak menyuruh aku menangkap pemuda itu"
Melihat demang Tambakbaya masih diam, demang Suramre melantang "Jika demikian, pergilah
engkau" Demang Suramre tahu bahwa dalam adu kedigdayaan untuk pengangkatan pangkat bekel
prajurit, Sora telah memenangkan semua lawannya. Begitu pula ke ka menghadapi ga buah
serangan demang Tambakbaya tadi, ia melihat sendiri betapa Sora telah mengunjukkansuatu ilmu
kanuragan yang amat mempesonakan sehingga demang Tambakbaya tak berhasil merubuhkannya.
Ia tahu bahwa Sora itu tentu berilmu. Oleh karena itu biarlah dia pergi agar jangan menimbulkan,
kericuhan. "Ki demang" seru pemuda Sora "kini aku bukan seorang prajurit Matahun, tuan tak dapat
memerintah sewenang-wenang"
"Aku berhak memerintah rakyat Matahun"
"Aku bukan kawula Matahun" jawab Sora "aku seorang kelana yang menjalankan dharma
ksatrya. Memberantas kejahatan, menolong yang lemah, membela yang tak bersalah. Maka aku
takkan meninggalkan tempat ini sebelum ki demang kembali ke Setana"
"Seorang bekel semacam engkau mengaku seorang ksatrya" Ho, kambing, jangan engkau
menepuk dada sebagai harimau" ejek demang Suramreti.
"Hm, demang bodoh" sahut Sora "jangan selalu engkau bermimpi dalam kelelapan tidur yang
nikmat, jangan engkau berkhayal dalam kenikmatan pangkat sehingga hidupmu menjadi budak
kenikmatan, jiwamu; menjadi budak nafsu. Engkau menganggap bahwa ksatrya itu sudah
ditentukan dalam kasta keturunannya. Engkau tentu bermimpikan cita2 untuk naik pangkat
menjadi tumenggung, patih dan priagung. Engkau pertahankan kedudukanmu sampai agar bisa
turun kepada anakmu maka engkau pertahankan pula soal keturunan itu. Tetapi ketahuilah, ki
demang, ksatrya itu bukan ditentukan oleh keturunan melainkan oleh jiwa dan amal budinya"
"Keparat!" demang Tambakbaya tak mau banyak bicara dengan mulut tetapi dengan nju yang
dilayangkan kearah muka Sora.
Kali ini Sora menangkis "Demang Tambakbaya, sudah ga kali aku mengalah, karena aku seorang
prajurit bawahanmu. Tetapi kini aku seorang rakyat bebas, bebas pula aku melawan ndakan yang
sewenang-wenang" Adu tulang itu telah menghasilkan suara derak yang cukup keras. Tubuh masing-masing
menyorong ke depan. Sora terkejut. Tambakbaya terbeliak
Pukulan demang Tambakbaya sekeras palu besi menghantam batu. Tulang Sora selicin batu
berpakis lembab. Keduanya memiliki kelebihan yang tak dipunyai lawan. Kini baru demang
Tambakbaya mau menyadari bahwa bekas bekel sebawahannya itu memiliki ilmu Belut-pu h. Saat
itupun baru Sora mengetahui bahwa demang Tambakbaya memang sembada, tenaga dengan
perawakannya. Dalam pada itu Nararya menimang-nimang. Ia merasa terharu karena bekel Sora berani
melepaskan pangkat dan pekerjaan karena hendak membelanya. Untuk membalas budi bekel itu,
kiranya tak cukup hanya dengan ucapan terima kasih saja, pun harus dengan suatu ndakan yang
nyata. Tetapi iapun tahu bahwa akan tak senanglah ha bekel Sora itu apabila ia ber ndak ikut
menyerang demang Tambakbaya. Ia tak tahu siapakah yang akan unggul dalam pertarungan itu.
Namun sebagai seorang yang dibela, wajiblah ia harus membantu yang membela.
Pikirannya melanjut. Apabila ia menceburkan diri dalam kancah pertarungan, tentulah akan
luas akibatnya. Apabila fihak demang menderita kekalahan, kemungkinan mereka tentu takkan
putus sampai disitu. Lurah Jenangan tentu akan menderita akibat yang sukar diketahui.
Nararya bimbang dalam persimpangan jalan antara memikirkan bekel Sora dan lurah Jenangan.
"Raden, dakkah, raden akan ber ndak untuk membantu bekel itu?" ba2 terdengar Mayang
Ambari berbisik di dekatnya.
Nararya terkejut. Ia berpaling memandang gadis itu dengan pandang teduh "Tetapi ayahmu
tentu akan menderita akibat pembalasan demang itu"
Rupanya Mayang Ambari cukup dapat menyadari apa yang tersembul dalam ucapan Nararya. Ia
mengangkat muka memandang Nararya. "Raden, kutahu sama, ha dan pendiriannya. Untuk
membela keadilan dan kebenaran, dia rela menderita sekalipun harus kehilangan kedudukannya"
Nararya memandang dengan pandang menegas.
"Hambapun bersedia menanggung segala akibatnya, raden" bisik gadis itu secara menunduk.
"Baik, Ambari" kata Nararya seraya berbangkit dan langsung menghampiri demang Suramre . Ia
mempunyai rencana bagaimana hendak mengatasi keadaan saat itu "Ki Demang" serunya "aku tak
menyetujui segala ndakan ki demang di kelurahan ini. Kuminta ki demang suka menghen kan
tindakan ki demang Tambakbaya itu dan segeralah kembali ke pura Setana"
Merah padam muka demang Suramre mendengar kata2 Nararya itu. Ia merasa tersinggung
karena diperintahkan pulang oleh pemuda yang hendak ditangkapnya itu. Dalam hal kanuragan,
demang Suramre kalah digdaya dengan demang Tambakbaya. Tetapi dalam soal bicara, mengatur
siasat dan mengambil muka, dia lebih disayangi tumenggung Adikara.
Demang Suramre menilai Nararya dibawah ukuran. Dianggapnya pemuda yang cakap dan
bertubuh ramping itu tentulah seorang yang lemah. Ia menganggap keberanian pemuda itu hendak
menantangnya hanyalah didorong karena malu ha . Maka iapun serentak berbangkit dan maju ke
hadapan Nararya "Jangan engkau bermulut lancung, anakmuda ! Jika engkau mampu mengalahkan
aku, aku bersedia membawa pulang pengiringku"
"Sungguhkah itu, ki demang" Nararya menegas.
"Hai, pemuda, desa" bentak demang Suramre "aku seorang demang kerajaan, masakan
ucapanku tak dapat dipercaya"
"Terima kasih ki demang" sahut Nararya "dan sebagai pernyataan bahwa aku sangat menghargai
sikap ksatrya tuan maka akupun hendak menghaturkan janji juga. Apabila aku kalah, jiwaku dan
gadis itu akan kuserahkan kepada ki demang"
"Bagus" seru demang Suramreti "engkau ternyata seorang ksatrya juga. Hayo, kita mulai"
Nararya tak mau memulai lebih dulu melainkan mempersilahkan demang itu yang mulai.
Suramre pun segera membuka serangan. Rupanya ia memiliki ilmu kanuragan yang mendasarkan
pada tamparan2 mengarah muka, terutama bagian mata.
Agak bingung Nararya semula menghadapi gaya serangan yang aneh itu tetapi beberapa saat
kemudian ia segera tahu bagaimana harus menghadapi. Ia berhasil mempedayakan demang itu,
kemudian dengan gerak kilat, ia menyapu kaki lawan "Uh ...." demang Suramre mendesuh kejut,
tetapi tak dapat menolong tumbuhnya yang terpelan ng jatuh ke belakang. Nararya tak mau
melanjutkan serangannya. Ia tegak menunggu demang itu berbangkit.
"Bagaimana ki demang" serunya sesaat melihat Suramre tegak kembali. Merah padam .wajah
demang itu. Tiba2 ia berpaling dan berseru kepada prajurit2 "Prajurit2, tangkaplah keparat ini!"
Nararya terkejut. Bukan karena takut terhadap kawanan prajurit itu tetapi ia tak ingin
menumpahkan darah. Mereka hanya prajurit2 pengiring yang tak langsung tersangkut dalam
ndakan kedua demang itu kecuali hanya menerima perintah saja. Yang pen ng adalah kedua
demang itu yang harus ditundukkan. Maka Nararyapun cepat ber ndak. Melangkah maju, ia
gerakkan kakinya untuk menyapu kaki lawan. Ke ka Suramre menghindar, bahunyapun sudah
tersambar tangan Nararya dan dalam gerak yang lebih cepat dari kejab mata, tangan demang
itupun sudak diteliku kebelakang punggungnya "Auh ...." Suramre menjerit tertahan. Mukanya
menyeringai kesakitan. "Ki demang" bisik Nararya "harap perintahkan prajurit2 itu keluar. Apabila mereka berani maju,
aku tak dapat menjamin keselamatan jiwa ki demang"
Sejak mengabdi pada kerajaan Matahun sehingga diangkat sebagai demang, belum pernah
Suramreti menderita kesakitan yang seperti saat itu. Ia tahu bahwa hal itu merupakan suatu,
hinaan yang hebat tetapi iapun tahu bahwa jika ia berkeras kepala, pemuda itu tentu akan
membuktikan ancamannya. Lebih baik ia mengalah dulu. Masih banyak kesempatan untuk
melakukan pembalasan. Apabila pulang ke Matahun, ia akan menghaturkan laporan sedemikian
rupa hingga tumenggung Adikara akan mengirim pasukan yang besar untuk menangkap seluruh
keluarga lurah Jenangan. Pada saat itulah ia akan membalas Nararya. Ia akan memintakan
hukuman mati untuk pemuda itu.
"Prajurit2, keluarlah ke halaman ..." serunya dengan penuh dendam.
"Terima kasih ki demang" kata Nararya pula setelah prajurit2 itu melakukan perintah "sekarang
kuminta ki demang menghen kan ki demang yang seorang itu supaya jangan melanjutkan
perkelahiannya." Demang Suramre kerutkan dahi. Rupanya ia bersangsi karena kua r demang Tambakbaya akan
marah dan menuduhnya pengecut. Tetapi ba2 ia rasakan lengannya makin mengencang keatas
tengkuk dan menimbulkan kesakitan yang memaksanya meringis "Ki demang, aku tak bermaksud
apa2 kecuali hanya mencegah pertumpahan darah" seru Nararya.
"Ki demang Tambak, harap berhen " akhirnya dengan menggigit bibir menahan geram, demang
Suramre berseru. Tetapi rupanya Tambakbaya tak menghiraukan. Suramre gelisah, Nararyapun
agak bingung. Rupanya Sora tahu apa rencana Nararya. lapun dapat juga menjaga kewibawaan demang
Tambakbaya. Maka dalam sebuah kesempatan, cepat ia loncat mundur meninggalkan lawan.
Tetapi demang Tambakbaya memang keras kepala. Melihat demang Suramre dikuasai Nararya,
ia marah dan hendak menolongnya. Segera ia lari dan menyerang Nararya. Duk ... nju yang
diayunkan Tambakbaya itu mencapai sasarannya. Hanya sayang bukan Nararya melainkan dada
Suramre yang memang sengaja disorongkan Nararya untuk menerima pukulan Tambakbaya.
Demang Suramreti menjerit kesakitan dan menyumpah "Gila engkau, Tambakbaya ..."
Tambakbaya tertegun. Ia menyesal kemudian marah. Dengan kalap ia segera menerjang Nararya.
Tetapi hasilnya lebih parah lagi. Kali ini Nararya dak sekadar menyongsongkan tubuh Suramre
sebagai perisai tetapi mendorongnya membentur-Tambakbaya.
"Uh ... uh ..." terdengar dua buah suara mendesuh dan mengeluh dari kedua demang yang saling
berbentur keras dan terdampar rubuh. Sengaja Nararya mendorong sedemikian rupa sehingga
kepala demang Suramre tepat menyodok dada Tambakbaya dan nju Tambakbaya tepat
menghantam punggung Suramreti. Keduanya rubuh tak sadarkan diri.
"Ki Sora" seru Nararya "lekas panggilkan prajurit itu kemari"
Ke ka prajurit2 jtu masuk, Nararya berkata "Silahkan mengangkut pulang kedua demang ini. Dan
katakan kepada atasanmu, bahwa lurah Jenangan tak tahu menahu soal perkelahian ini. Yang
bertanggung jawab atas peristiwa di kelurahan Jenangan ini adalah aku, Nararya"
Pada saat prajurit2 itu hendak nggalkan kelurahan dengan membawa kedua demang, ba2 Sora
berseru "Kawan-kawan, katakan kepada tumenggung Adikara bahwa Sora juga bertanggung jawab
atas peris wa ini karena tak setuju dengan ndakan kedua demang itu. Katakan pula bahwa Sora
meletakkan jabatannya sebagai bekel prajurit Matahun"
Kesembilan prajurit itu adalah anakbuah bekel Sora. Mereka lebih patuh kepada bekel itu
daripada demang Suramre atau Tambakbaya "Tunggu" ba2 Sora berteriak menghen kan mereka
"bawa juga kawan Tawing ini"
Setelah rombongan prajurit itu pergi, Nararya menghampiri Sora "Terima kasih ki Sora atas
bantuanmu" katanya. "Ah, raden" kata Sora "aku tak membantu raden melainkan melakukan dharma untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran belaka"
Lurah Jenanganpun menghampiri kedua pemuda itu dan mempersilahkan mereka duduk.. Tiba2
lurah itu menghela napas "Ah, tak kusangka,bahwa aku telah merugikan ki Sora"
"Rugi?" Sora kerutkan dahi.
Lurah Jenangan mengangguk "Ya, karena ki Sora telah kehilangan pangkat"
"O, soal itu" Sora tertawa "sama sekali dak, ki lurah" ia lalu menuturkan kisah dirinya yang
karena ingin mencari pengalaman maka sampai masuk menjadi prajurit di Matahun.
Perkenalan antara kedua pemuda itu, amat menggembirakan. Cepat sekali keduanya terjalin,
dalam hubungan ba n yang erat. Nararya senang akan sifat Sora dan menaruh kepercayaan. Sora
mengagumi keperibadian Nararya dan menaruh perindahan.
"Ki lurah" ba2 Nararya menegur setelah memperha kan lurah itu tampak bermuram durja


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"apabila ki lurah menaruh kepercayaan kepadaku, ingin aku mengetahui apa sebab ki lurah tampak
bersedih Adakah ki lurah mencemaskan tumenggung Adikara akan mengirim prajurit kemari untuk
menangkap ki lurah ?"
Lurah itu mengangguk sarat "Benar, raden. Tetapi bukan karena aku takut kehilangan kedudukan
lurr.h, melainkan yang kupikirkan hanyalah tentang diri anakku si Ambari itu"
"O" seru Nararya "dalam soal apa?"
"Kemungkinan besar, tumenggung Adikara tentu akan mengirim pasukan kemari. Lalu bagaimana
aku dapat membuk kan bahwa si Ambari itu sudah menjadi isteri raden, sehingga mereka tak
dapat mencari alasan untuk menganiaya aku ?"
Nararya terkesiap. Melirik kearah Ambari, dilihatnya wajah gadis itu tersipu-sipu merah. Saat itu
baru Nararya tersadar bahwa ia harus menyelesaikan sebuah persoalan lagi. Jika ia menolak
sebagai suami Ambari karena ia masih harus melanjutkan perjalanannya bertapa, dakkah hal itu
akan menjerumuskan lurah Jenangan dan puterinya dalam ancaman hukuman yang berat. Bahkan
kemungkinan besar, Ambari tentu akan diselir tumenggung Adikara ataupun diberikan kepada
pa h Sempu yang kedua-duanya sudah tua. Tidakkan hal itu berar bahwa ndakannya untuk
menolong mereka yang dilakukan hari itu, akan terhapus sia-sia"
Namun jika ia menerima keadaan untuk menjadi suami Ambari, dakkah hal ituakan menyalahi
tujuaniiya " Tidakkah hal itu akan berar ia telah tergoda wanita can k" Iapun teringat akan cerita
yang pernah dibawakan ramanya. Cerita tentang raden Somba yang di tahkan ramanya, prabu
Batara Kresna, agar bertapa untuk menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat. Somba berhasil
menerima wahyu itu tetapi muncullah seorang wanita can k penyamaran dari bidadari untuk
menggodanya. Ia tergoda dan wahyu itupun terlepas lagi.
"Tidakkah diriku akan serupa dengan raden Somba" bertanya Nararya dalam ha . Dan
pertanyaan itu hanya makin menambah kebimbangan ha nya dalam menghadapi persoalan gadis
jelita Mayang Ambari. "Raden" tiba2 lurah Jenangan berkata pula "adakah raden.tak menyukai anakku yang jelek itu?"
Nararya terbelalak "Jangan salah faham, ki lurah" serunya gopoh "bukan begitu maksudku.
Tetapi karena masih mempunyai tugas yang belum selesai, aku tak dapat menetap lama disini"
Lurah Jenangan tertawa "Ah, soal itu mudah diselesaikan, raden. Aku bersedia menjaga Ambari
apabila raden pergi. Yang penting, anak itu harus diselamatkan dari kehancuran hati"
Nararya menghela napas. "Rama" ba2 Mayang Ambari berseru "janganlah rama mempersulit raden Nararya. Aku malu
rama. Aku harus tahu diri dan menerima ...." suaranya mengandung isak sehingga tak dapat
melanjutkan kata-katanya. Dengan menitikkan airmata ia lari masuk kedalam.
Lurah Jenangan geleng2 kepala, menghela napas panjang. Nararyapun terpukau. Tiba2 Sora
berbangkit. "Raden" serunya "ingin kupersembahkan serangkai kata2 kepada raden. Mungkin pandangan
Sora ini picik. Mungkin raden tak berkenan menerima. Tetapi Sora akan berbicara tanpa suatu
pamrih" ia berhen sejenak, kemudian melanjutkan pula "Dharma seorang ksatrya memang berat
karena, semua yang berdasar tujuan suci dan luhur itu memang berat. Seorang ksatrya akan selalu
siap menolong orang yang benar2 memerlukan pertolongan. Ragu, takut mencerminkan
kebimbangan ha . Ha yang bercabang akan menimbulkan kegelisahan. Rasa takut,
menggambarkan kurang menghaya dan kurang kokohnya landasan jiwa ksatrya. Seorang ksatrya
akan ber ndak menurut jiwa ksatryaan-nya, tanpa membayangkan apapun akibatnya, tanpa
memperhitungkan untung ruginya. Dia bertindak karena wajib"
Sora berhenti sejenak "Dalam menghadapi peristiwa di kelurahan Jenangan ini, jelas keselamatan
rumah tangga ki lurah terancam. Di hadapan kedua demang dari Matahun itu, raden telah
mengakui bahwa ni Ambari itu adalah isteri raden. Raden melakukan hal itu karena hendak
menolong ni Ambari. Jelas raden telah melakukan suatu dharma sesuai dengan sifat seorang
ksatrya. Tetapi apabila pengakuan itu terancam oleh suatu pembuk an, dakkah raden akan
melanjutkan pertolongan itu" Ataukah raden hanya ingin ber ndak setengah jalan belaka"
Kukatakan hal ini karena, kemungkinan besar Matahun akan mengirim pasukan untuk mempidana
ki lurah. Betapa besar dosa ki lurah, betapa berat pidana yang akan dijatuhkan pada diri ki lurah
apabila ternyata keterangannya bahwa ni Ambari itu sudah bersuami ternyata hanya suatu siasat
untuk membohongi utusan tumenggung Adikara" Bukankah pertolongan raden itu bahkan hanya
akan merupakan bencana maut bagi ki lurah?"
Nararya tertegun. Sesaat kemudian ia baru dapat menjawab "Tetapi aku masih mempunyai tugas
yang belum selesai" "Apakah tugas itu, raden?" seru Sora "apabila raden mempercayai diriku, aku sanggup untuk
melakukannya" Nararya gelengkan kepala "Ah, memang ingin benar aku menyatakan kepercayaan kepadamu, ki
Sora. Tetapi tugas itu bukan suatu pekerjaan yang nyata, melainkan derita yang belum nyata,
belum tahu pula bila derita itu akan berakhir"
Sora terkesiap. Timbul rasa keinginannya untuk mengetahui apa sesungguhnyatugas yang akan
dilakukan Nararya.Maka ia memberanikan antuk bertanya.
"Tidak nyata tetapi nyata. Sukar tetapi mudah. Mudah tetapi sukar" kata Nararya tersenyum
"bertapa, ki Sora"
"O" desuh Sora kemudian pikirnya melayang pada keterangan Nararya itu. Bertapa tentu
mempunyai tujuan yang besar. Ia tak mau menegas tujuan Nararya melakukan tapabrata itu.
Namun iapun pernah menerima wejangan dari para orangtua maupun guru, tentang beberapa hal
yang mengenai tapa. Setelah merenungkan ajaran itu dan mengaitkan dengan alam pikiran
Nararya, bersualah Sora akan suatu kesimpulan.
"Raden" katanya sesaat kemudian "tapabrata merupakan sarana untuk mencapai sesuatu
dang dicita-citakan. Entah hal itu benar atau tidak, tetapi pada hakekatnya, setiap dharma yang
baik, yang bersifat menolong, akan membuahkan sesuatu yang- memberi kebaikan kepada
kita. Termasuk pula salah sebuah hal yang akan memberi isi kepada laku tapabrata. Dalam
bertapa, kita mengosongkan pikiran, menghampakan seluruh gerak indera, mengheningkan
cipta dan mensucikan batin. Karena hanya- apabila jiwa dan raga.kita sudah bersih, sudah
hening maka kita akan dapat menanggapi sesuatu getaran gaib. Melakukan dharma
pertolongan kepada yang membutuhkan pertolongan, tidaklah akan mencemarkan laku kita
dalam bertapa. Bahkan kebalikannya akan menambah nilai dari apa yang hendak kita capai itu"
Nararya terkesiap. Dipandangnya Sora. Pemuda itu hampir sebaya dengan dia tetapi mengapa
mampu mengungkap isi ha nya "Ki Sora" serunya pula "adakah engkau menger apa yang menjadi
keresahan hatiku?" "Semoga demikian, raden"
"Tetapi Sora" kata Nararya pula "dalam tapabrata, hal itu harus dijauhkan"
"Benar, raden" sambut Sora "memang selayaknya demikian. Tetapi keadaan raden berbeda. Apa
yang raden ndakkan adalah sekedar memenuhi dharma seorang ksatrya yang selalu bersedia
menolong kepada sesamanya, Kurasa, daklah hal itu akan mencemarkan laku tapabrata yang
sedang raden laksanakan"
"Tetapi ki Sora ...."
"Ah. panggil saya Sora, raden. Aku lebih senang"
Nararya mengangguk "Tetapi aku tak dapat menetap lama di desa ini dan harus melanjutkan
perjalananku. Tidakkah hal itu akan menimbulkan siksa kepada gadis itu ?"
"Soal itu dapat dirundingkan. Kurasa bukan Halangan dan Sorapun bersedia untuk menjaga desa
ini dari ancaman tumenggung Adikara, apabila raden akan melanjutkan perjalanan"
Nararya terbeliak. Dipandangnya anakmuda itu dengan penuh perasaan.
"Yang pen ng" kata Sora seolah tak mengacuhkan pandang Nararya "adakah raden berkenan
hati kepada gadis itu atau tidak ?"
Nararya tersenyum. Tanpa menjawab ia terus ayunkan langkah menuju ke dalam
"Raden, hendak kemanakah engkau?" tegur Sora terheran-heran.
"Memberi penjelasan kepada Ambari. Rupanya dia salah faham" kata Nararya tanpa berpaling.
Lurah Jenangan tertawa. Sorapun tertawa. Keduanya girang karena Nararya bersedia
mempersunting Mayang Ambari. Demi kebahagiaan puterinya, lurah Jenangan bersedia
melepaskan kedudukannya. Demi membela Nararya, Sorapun rela mengundurkan diri sebagai
bekel prajurit. Bahkan ia bersedia tinggal di Jenangan untuk melindungi keluarga ki lurah dan
Ambari apabila Nararya melanjutkan perjalanan.
Memang aneh sekali langkah Sora itu. Ia baru bertemu dengan Nararya tetapi ia sudah bersedia
memberi pengorbanan. Ia sendiri tak tahu mengapa ia melakukan hal itu.
Rakyat Jenangan menerima kehadiran Nararya dan Sora dengan penuh kegembiraan.
(Oo-~dwkz^ismoyo~-oO) II Memang cepat sekali waktu berlalu. Lebih cepat pula dalam perasaan orang yang sedang
menikma kebahagiaan. Rasanya hanya sekejab belaka waktu secandra itu. Hal itu dialami Nararya.
Tanpa terasa sudah secandra ia menetap di Jenangan, menikma kebahagiaan di samping Mayang
Ambari. Andai tak mengemban tugas dari ramanya, rasanya ia tentu enggan meninggalkan desa itu.
Sora menyempatkan diri untuk menuju ke Matahun, menyelidiki berita tentang tumenggung
Adikara. Perlu ia lakukan hal itu agar apabila tumenggung Adikara benar2 hendak mengirim
pasukan, dapatlah ia memberi kabar kepada lurah Jenangan dan mengadakan persiapan
seperlunya. Berita yang diperolehnya, cukup menggembirakan. Apa yang dicemaskan ternyata tak terjadi dan
mungkin tak akan terjadi. Tumenggung Adikara telah diutus baginda Matahun menuju ke bandar
Ganggu, selanjutnya berlayar ke Taliwang (Sumbawa) membeli kuda. Perjalanan itu tentu memakan
waktu berbulan-bulan. Mudah-mudahan peris wa di desa Jenangan itu takkan menarik selera
tumenggung itu lagi. Walaupun kemungkinan bahaya sudah berkurang, namun masih cemas juga Noyo dan Doyo,
kedua punakawan tua, karena melihat bendaranya seolah tenggelam dalam alam kebahagiaan.
Kedua punakawan itu mencari kesempatan untuk menjumpai Nararya.
"Raden" kata Noyo dan Doyo "sudah cukup lama hamba rasa raden menetap di desa-ini.
Tidakkah raden sudah tak berminat lagi untuk melaksanakan pesan rama raden ?"
Nararya terkesiap. Apa yang diingatkan kedua punakawan itu memang benar. Jenangan
hanya merupakan suatu persinggahan dari perjalanannya yang panjang. Bukan tujuan terakhir.
Ia memberi jawaban "Baik, besok kita berangkat ke Singasari"
Malam itu ia menyatakan maksud ha nya kepada lurah dan Mayang Ambari. Demikian pula
Sora. Walaupun hal itu lambat atau cepat pas akan ba dan sebelumnya sudah diberitahu
Nararya, namun berat juga ha Ambari melepasnya pergi. Belum cukup empat puluh hari ia
meneguk kebahagiaan bersama raden Nararya, ia harus berpisah pula "Adakah aku bermimpi ?" ia
berkata pelahan ketika malam itu berdiri di muka jendela memandang cakrawala.
"Tidak Ambari, engkau tak bermimpi" tiba2 terdengar penyahutan dari belakang.
Ambari berpaling dan menjerit tertahan "Raden ...." ia lari menghampiri dan disongsong kedua
lengan Nararya dengan mesra. Tiada pernah perasaan itu berbeda bahwa setiap kali dalam pelukan
Nararya, ia merasa amat sentausa dan bahagia. Hidup itu suatu berkah, suatu keindahan yang
berar . Tetapi kali itu, ia merasa cemas dalam pelukan Nararya. Cemas dan takut akan kehilangan
lengan yang pernah membelainya dengan penuh kasih sayang, lengan yang menjadi penampung
jiwa raganya, lengan tempat ia berlindung dan lengan yang pernah menerima penyerahan seluruh
apa yang dimilikinya. Siapa yang akan membelai-belai dengan penuh kemesraan" Siapa pula yang akan memeluknya,
memberinya kehangatan yang menyalakan api hidupnya" Siapa pula yang akan melindungi"
Bukankah malam2 akan terasa dingin dan sepi" Bukankah impian hanya bersambut kebisuan
hampa" "Ambari" kata Nararya "demikianlah perputaran roda kehidupan. Jalan itu ada selalu rata. Ada
kalanya naik, ada kalanya menurun, lurus, berkeluk, bahkan ada kalanya penuh batu dan duri.
Jangan kita menyumpah keadaan jalan itu tetapi yang pen ng bagaimana kita dapat mengatur
langkah kaki agar tetap dapat melintasinya"
"Tetapi raden" bisik Ambari tersendat "bukankah kesemuanya itu kita sendiri yang menciptakan
" Bukankah perpisahan ini takkan terjadi apabila raden tak menghendakinya ?"
"Ambari" kata Nararya "engkau harus menyadari bahwa aku ini seorang ksatrya. Pantang
bagi seorang ksatrya apabila tak dapat menunaikan tugas yang telah disanggupinya. Masih
banyak tugas yang harus kulakukan terhadap negara dan rakyat. Dan engkau Ambari,
kupercaya tentu dapat menghayati cita2 hidupku. Jangan kita persempit kebahagiaan itu
dengan dinding2 rumah tangga tetapi luaskan kebahagiaan itu seluas negara kita dansebanyak
rakyat kita. Jangan kita batasi kebahagiaan kita pada diri kita sendiri tetapi luaskan
kebahagiaan itu pada anak cucu kita kelak. Dan kebahagiaan mereka tak mungkin akan berarti
apabila saat ini tidak kita mulai tanamkan benih2 kebahagiaan itu keselumh negara kita. Engkau
dapat meresapi kata-kataku, Ambari ?"
Ambari serta merta melepaskan diri dari pelukan Nararya terus berlutut mencium kaki raden
itu "Duh, raden junjungan nyawa hamba. Ambari seorang gadis desa yang picik pengetahuan.
Kini terbukalah hati hamba akan langkah raden yang luas mencapai tujuan yang luhur itu.
Berangkatlah, raden, Ambari akan mengantar dengan doa puji kepada dewata. Hamba akan
menanti kedatangan raden sampai pada akhir hayat
Perpisahan yang berat itu terasalonggar manakala masing2 telah memiliki penghayatan dan
penger an. Walaupun dalam ha menangis namun Ambari melepas keberangkatan Nararya itu
dengan senyum bahagia. Sora menepa janji untuk tetap menetap di Jenangan sehingga ia yakin
bahwa ancaman dari tumenggung Adikara itu benar2 tak dilaksanakan.
Sarat langkah Nararya yang meninggalkan kelurahan Jenangan bersama kedua pengiringnya itu,
akhirnya lenyap ditelan kelebatan gerumbul pohon yang menjadi watek-bumi atau batas dari suatu
desa. Nararya membayangkan, apabila ia menempuh jalan besar, tentu akan balah ia di pura
Daha. Teringat pula akan janjinya kepada pangeran Ardaraja bahwa apabila telah selesai
melakukan tugas, pangeran Daha itu memintanya supaya masuk menjadi prajurit Daha. Tetapi ia
pun teringat pula akan Suramenggala yang pernah dikalahkannya itu. Tidakkah lurah prajurit itu
akan mendendam kepadanya dan akan berusaha untuk merintangi agar dia jangan sampai masuk
menjadi prajurit Daha. "Ah, ternyata manusia2 di pura kerajaan itu, temaha akan pangkat dan rakus kedudukan"
pikirnya. Membayangkan gerak-gerik orang2 Daha itu, mbullah suatu dugaan dalam ha Nararya.
Mengapa pangeran itu mengatakan bahwa Daha sedang giat mempersiapkan pasukan yang kuat
dan mengumpulkan prajurit2 yang gagah perkasa" Adakah suatu rencana yang tersembunyi di balik
persiapan Daha itu. Serentak iapun teringat akan cerita ramanya mengenai hubungan antara Daha dan Singasari.
Kedua kerajaan itu dahulu merupakan satu kerajaan Panjalu. Kemudian sebelum wafat, prabu
Airlangga menitahkan empu Bharada seorang mahayogi yang sakti untuk membagi dua dan
diwariskan kepada kedua putera baginda: Maksud baginda, apabila baginda wrft. hendaknya
kedua putera yang masing rmsing memiliki kerajaan Mendiri, dapat hidup rukun. Tetapi ternyata
harapan baginda itu bukan saja tak terlaksana, bahkan akibatnya berlawanan dengan yang
diharapkan. Daha dari Singasari selalu bermusuhan. Sampai kemudian Ken Arok berhasil
merebut kekuasaan Singasari, mengalahkan prabu dandang Gendis dari Daha dan
mernpersatukari Daha dengan Singasari. Sejak saat itu Daha dibawah kekuasaan Singasari.
Kemudian ramanya pun menguraikan tentang istilah keturunannya. Ramanya, Lembu Tal,
putera dari Mahisa Campaka yang kemudian bergelar Batara Nayasingamurti. Mahisa
Campaka putera dari Mahisa Wonga Teleng. Dan Mahisa Wonga Teleng itu putera Ken Arok
dengan Ken Dedes. Dengan demikian jelas Nararya itu keturunan dari Ken Arok atau baginda
sri Rajasa sang Amurwabhumi. Sedangkan baginda Kertanagara yang sekarang menjadi raja
Singasari, adalah putera dari Rongga Wuni atau baginda Wisnuwardhana. Rangga Wuni putera
dari Anusapati. Ansapati putera Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Dengan demikian
Nararya itu menurut tingkat, adalah kemanakan baginda Kertanegara dari garis keturunan Ken
Dedes. Teringat akan garis silsilah keturunanya, Nararya merasa memiliki hak atas tahta kerajaan
Singasari apabila terjadi sesuatu pada diri baginda Dalam hubungan itu, secara wajib, ia harus
membela Singasari. Gerak gerik orang Daha, cenderung menimbulkan prasangka yang akan
merugikan kepen ngan Singasari. Kemungkinan Daha akan menunggu kesempatan untuk
memberontak, melepaskan diri dari kekuasaan Singasari.
"Ah" akhirnya Nararya mendesuh napas "jika rangkai dugaanku itu benar, wajiblah aku membela
Singasari. Namun benar atau tidak hal itu, kurang seyogya apabila aku bekerja pada Daha"
"Paman, kita biluk ke selatan" serunya tiba2.
Noyo dan Doyo yang sudah terlanjur berada beberapa tombak meninggalkan Nararya di
belakang, terkejut "Mengapa " Bukankah kita harus mengambil jalan ini apabila akan menuju
Singasari?" seru mereka heran.
"Ya, tetapi kita akan tiba di pura Daha" jawab Nararya "pada hal aku tak menghendaki kita
tertahan lagi di pura itu. Lebih baik kita mengambil jalan ke selatan. Sedikit mengitar tetapi
bebas dari rintangan"
Lebih nyaman bagi perasaan Nararya berjalan. Alam pedesaan yang sepi dan pegunungan yang
sunyi. Keheningan alam terbuka menyedapkan mata, menyejukkan pikiran. Terbuka pula ha nya
akan suburnya bumi, indahnya alam dan luasnya telatah negara. Hutan2 masih membelantara,
tanah2 masih memadang. Mereka menan tangan2 manusia untuk dibuka dan digarap. Dan
betapa makmur dan kaya hutan dan bumi itu akan memberi kehidupan kepada para kawula.
Hutan takkan terbuka sendiri, bumipun takkan merekah sendiri. Pohon2 takkan berbondong-
bondong mengantar diri kepada manusia, bibit2 takkan tumbuh sendiri, apabila manusia tak
mau berusaha. Tiada yang turun sendiri dari langit kecuali hujan. Pun hujan itu turun bukan
semata-mata untuk memberi kesegaran dan kesejukan pada manusia, melainkan untuk
memberi imbalan atas jasa bumi. Karena tanpa bumi, sumber2 air, sungai2 dan parit2 akan
bertumpah ruah menjadi lautan. Air menguapkan awan, awan mencairkan hujan. Hujan meresap
ke dalam bumi, kembali kepada sumbernya. Demikian Nararya melambung dalam angkasa
lamunan walaupun kakinya masih berjalan di bumi "Mahabesarlah keagungan Hyang Widdhi
yang telah menciptakan bumi, langit dan seisi alam dengan sempurnanya. Manusia merupakan
insan yang terkasih. Apa yang diminta dengan segala kesungguhan hati oleh manusia, tentu
direstuiNYA. Tetapi harus dengan sarana usaha dan daya upaya. Dewata takkan
menghujankan berkah apabila manusia itu tidak berusaha. Demikian pula, hutan dan alam bumi
yang terbentang luas ini, tak mungkin memberi manfaat kepada kita apabila kita tak
mengusahakannya" Tiba2 ia teringat akan ucapan gurunya, resi Sinarnaya "Nararya, aku hanya dapat memberi pet
unjuk tetapi tak kuasa memberimu. Segala sesuatunya semata-mata tergantung pada usahamu
sendiri" "Jika demikian" ia melanjut pula "bertapa ke makam eyang buyut Ken Arok di Kagenengan itu
hanya mencari petunjuk. Kemudian yang penting adalah usaha untuk melaksanakan petunjuk itu"
Bukan karena tak mau mengajak bicara kedua punakawannya itu untuk menghilangkan kesepian
dalam perjalanan, tetapi berbicara dengan mereka hanya menambah beban pemikiran dan
mungkin kemengkalan. Karena sikap dan alam pembicaraan mereka seolah masih seper kanak-
kanak. Lebih baik ia mengisi kesepian itu dengan merenung dan melamunkan apa yang pernah
terjadi dan apa yang akan terjadi. Sedaplah kiranya berjalan melamun ditempat yang sunyi.
Beberapa hari kemudian ke ka ba di sebuah jalan pegunungan mereka terkejut mendengar
suara riuh macam kaki kuda menderap bumi. Ditempat yang sesunyi seper saat itu, hembusan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin, derak pohon, bunyi burung mengepak sayap bahkan daun kering yang berguguran jatuh,
mudah terdengar. Dan suara riuh di kejauhan itupun cepat menyusup kedalam telinga mereka.
"Hujan, raden" seru Noyo
Nararya gelengkan kepala "Bukan, derap kuda mencongklang" sahutnya. Ia memberi isyarat agar
kedua punakawannya itu berhen dan waspada "mudah-mudahan jangan terjadi sesuatu. Lebih
baik kita menyingkir ke tepi jalan apabila mereka tiba" ia memberi pesan kepada Noyo dan Doyo.
Suara riuh itu makin terdengar dekat dan beberapa kejab kemudian dari tikung jalan dibalik
sebuah gerumbul pohon, muncullah lima ekor kuda yang dilarikan kencang oleh penunggangnya.
Saat itu surya sudah condong ke barat. Sekeliling penjuru, alam menampakkan kelengangan
yang sayu. Derap kuda itu memecah kesunyian, menyibak ketenangan tanah pegunungan di-
penghujung hari. Debu mengepul, bumi bergetar.
Ke ka ba pada sepelepas pandang mata, Nararya segera dapat melihat orang-orang yang
mengendarai kuda itu. Kuda berjumlah lima ekor tetapi penunggangnya hanya empat orang.
Lelaki2 yang bertubuh perkasa dan berwajah seram, membekal pedang dan tombak. Sebagai gan
daripada kuda yang tak berpenunggang itu. tampak menggunduk sebuah buntalan kain hitam,
entah apa isinya. Dengan ha 2 keempat orang itu pengawal kuda bermuat buntalan kain hitam,
Yang dua disebelah kanan, yang dua di kiri.
Tentulah buntalan itu sebuah benda yang berharga. Pikir Nararya "Ah, lebih baik aku menyingkir
ke tepi" ia hendak mengajak kedua punakawannya tetapi terlambat. Rombongan penunggang kuda
itu pada lain kejabpun sudah tiba. Hanya terpisah dua tombak dari tempat Nararya.
"Hai, berhen " ba2 salah seorang penunggang yang terdepan dari sebelah kanan berteriak.
Sambil melarikan kuda, diapun sudah menyiapkan tombak.
Nararya terkejut. Ia dan kedua punakawannya berhen . Akan menimbulkan kecurigaan apabila
ditegur orang dak menjawab tetapi menyingkir pergi. Nararya hendak menjawab pertanyaan
orang itu. Dia sudah siap dengan keterangan bahwa, ia hanya seorang pejalan yang kebetulan lalu
ditempat itu. "Mampuslah!" selekas ba, penunggang kuda bertubuh perkasa itu terus menusuk Nararya.
Sudah barang tentu pemuda itu terkejut sekali. Ia tak kenal dan tak bersalah kepada orang itu,
mengapa dia hendak membunuhnya" Cepat Nararya loncat menghindar ke samping. Maksudnya
hendak memberi keterangan agar orang jangan salah faham. Tetapi penunggang kuda itu memang
liar sekali. Luput menusuk Nararya, ia gerakkan tombak menyapu Noyo dan Doyo yang masih tegak
terlongong karena terkejut.
"Aduh! Aduh!" susul menyusul Noyo dan Doyo menjerit dan rebah ditanah, Bahu kedua
punakawan itu termakan tombak, berlumuran darah dan berguling-guling jatuh dan menjerit-jerit.
Tanpa menghiraukan korbannya, rombongan penunggang kuda itupun segera memacu kudanya
kencang2. Peris wa itu terjadi cepat sekali. Hampir secepat mata mengejab. Nararya terpisah jauh dengan
kedua punakawannya. Ia sendiri tertegun melihat perbuatan penunggang kuda itu. Serangan
penunggang kuda kepada Noyo dan Doyo hanya menyibak rasa kejutnya tetapi tak menyempatkan
ia untuk memberi pertolongan. Bahkan sebelum ia sempat bergerak, rombongan penunggang kuda
itupun sudah mencongklang jauh
"Hai, berhen !" cepat ia lari memburu tetapi debu2 yang mengepul tebal itu menghalang
pandang matanya. Ke ka kepul debu menipis, rombongan penunggang itupun sudah merupakan
titik2 hitam dalam keremangan senja.
Terpaksa Nararya kembali ke tempat punakawannya. Mereka Sudah duduk tetapi masih
meraung-raung kesakitan, diseling dengan hamun makian dan sumpah, serapah kepada
penyerangnya "Jika tahu keparat itu hendak membunuh aku, tentu lebih dulu akan kuhantam
kepalanya"' "Pengecut itu menyerang tanpa memberitahu. Jika kelak berjumpa lagi, aduh ..." Noyo
mendekap erat2 luka pada bahunya yang karena ia bergerak maka luka itupun merigalirkan
darah lagi. Geli dalam ha Nararya mendengar sesumbar kedua hambanya itu. Tetapi ia kasihan juga
mereka menderita luka maka dibiarkannya saja mereka mengingau menurut dendam
kemarahannya. Biasanya, rasa sakit akan berkurang apabila si penderita dapat menumpahkan isi
ha nya, entah merin h entah menyumpah. Tetapi heran juga Nararya terhadap kedua
punakawannya itu. Walaupun sudah menghambur makian, melantangkan sesumbar, tetapi mereka
masih merintih-rintih kesakitan pula.
"Coba kuperiksa" kata Nararya seraya menghampiri. Noyo terluka pada bahunya, Doyo pada
lengannya. Untung karena menusuk sambil melarikan kuda, luka itu walaupun berdarah tetapi tak
parah. "Tunggu dulu disini, kucarikan obat" kata Nararya seraya melangkah ke dalam gerumbul
pohon. Ia mencari pohon kemlanding, memetik daunnya lalu diremas sampai lembut. Ia kembali
lagi ketempat kedua pengiringnya, melumurkan remasan daun kemlanding itu pada luka
mereka. "Siapakah mereka, raden" tanya Noyo setelah lukanya tak mengalirkan darah dan rasa sakitpun
berkurang. Nararya gelengkan kepala "Aku sendiripun tak tahu tetapi yang jelas gerak gerik mereka memang
mencurigakan" "Apakah buntalan kain hitam yang dimuatkan dipunggung kuda itu, raden" tanya Doyo.
"Entahlah" jawab Nararya "kemungkinan benda yang amat berharga ...." ba2 ia hen kan kata2,
mengerut dahi. Serentak teringat akan peris wa di candi Wengker. Tidakkah keempat penunggang
kuda, sejenis kaum perampok seper gerombolan Singa Barong itu" Jika demikian halnya, jelas
buntalan kain hitam itu tentu barang2 hasil rampasan. Serentak Nararya berbangkit "Noyo, Doyo,
tunggulah disini" "Hendak kemanakah. raden?" seru kedua hamba itu terkejut.
"Mengejar kawanan perampok berkuda tadi" sahut Nararya seraya lepaskan langkah.
"Jangan raden" Noyo dan Doyo serempak berbangkit dan melangkah "amat berbahaya mengejar
orang pada petang hari menjelang malam. Dan lagi belum tentu mereka itu kawanan perampok.
Yang ketiga, apabila mengejar tidakkah raden akan terhambat dalam perjalanan ke Kagenengan ?"
Nararya tertegun, menghela napas. Beralasan juga kata2 kedua hambanya itu. Memang kadang2
mereka dapat mengeluarkan pendapat yang baik "Baiklah" katanya "apakah kalian sudah kuat
berjalan?" Karena yang terluka bahu dan lengannya, kedua hamba itupun mengatakan sanggup untuk
beijalan. Merekapun kua r akan kemalaman di hutan. Nararya segera melanjutkan perjalanan. Hari
makin gelap, malam segera tiba. Mereka gegaskan langkah agar mencapai sebuah desa.
Belum berapa lama berjalan, mereka mulai melihat bayang2 hitam yang menggunduk
dikeremangan malam. Nararya girang karena menduga bayang2 hitam itu tentu gerumbul pohon
yang menjadi tanda batas desa. Tiba2 mereka terkejut melihat suatu pemandangan yang aneh.
Sekerumun api merekah dari kegelapan, bergerak-gerak maju,makin lama makin besar makin
Elang Terbang Di Dataran Luas 11 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 4
^