Pencarian

Dendam Empu Bharada 23

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 23


"Tunggu ki lurah" seru Pradongga "masih ada sebuah hal yang kumintakan penyelesaian
kepadamu" "Mau apa lagi engkau ?"
"Bahwa engkau ki lurah Suramenggala, aku dapat menerima. Bahwa engkau lurah prajurit yang
menjadi pimpinan rombongan pengawal gus pangeran Ardaraja, akupun terpaksa dapat
menerima. Tetapi bahwa engkau benar2 diutus gus pangeran untuk membawa raden itu ke dalam
keraton, aku tak dapat memaksa diriku untuk menerima, kecuali ...."
"Kecuali bagaimana ?"
"Engkau membawa surat atau lain buk yang menyatakan bahwa engkau benar2 diutus oleh
gusti pangeran, barulah kuserahkan raden ini kepadamu"
"Setan" teriak Suramenggala seraya terus hendak menerjang tetapi Kidung cepat mencegahnya,
"Jangan, kakang"
"Mengapa " Engkau takut " " Suramenggala nyalangkan mata.
"Tunggu dulu setelah kuajukan sebuah pertanyaan kepadanya. Setelah itu terserah bagaimana
kakang hendak-ber ndak" kata Kidung. Kemudian dia maju kehadapan Pradongga "Ki sanak,
memang pertanyaan itu benar. Adakah hal itu menjadi tata peraturan dikalangan prajurit
Singasari?" "Ya, memang demikian," sahut Pradongga yang diam2 berbesar ha karena berhadapan dengan
orang yang tahu peraturan.
"Di Daha dak demikian" kata Kidung "se ap perintah hanya diberikan secara lisan. Kami saling
menaruh kepercayaan karena orang Daha tak ada yang bohong"
"Hm" desuh Pradongga "sayang di sini Singasari, bukan Daha."
"Ya, kutahu" jawab Kidung "sekarang akupun hendak tanya kepadamu. Adakah engkau juga
membawa surat atau buk lain yang menyatakan bahwa engkau mendapat perintah dari gus
patih untuk membawa raden Nararya ke kepatihan?"
Pradongga terbelalak. Merah wajahnya karena bingung untuk menjawab. Melihat itu Roban
segera maju "Gus pa h tak pernah memberi surat dan memang tak mau memberi surat
pembuk an apa2 apabila menitahkan kami. Seluruh prajurit Singasari dan segenap nayaka abdi
keraton tahu semua" "Ki sanak" seru Kidung dengan keras "adakah peraturan itu khusus untuk gus pa h ataukah
memang peraturan yang berlaku di keraton ini"
"Hanya khusus gusti patih"
"Apa bedanya dengan pangeran Ardaraja " Bukankah pangeran itu putera menantu baginda"
Adakah pangeran lebih rendah tingkatnya dari gusti patih ?"
Kidung tergugu tak dapat menjawab. Jika ia mengatakan bahwa gus pa h Aragani lebih
berkuasa, tentu akan dilaporkan Suramenggala dan akibatnya tentu berbahaya. Namun jika dia tak
mengatakan begitu berar mengakui bahwa pangeran Ardaraja lebih berkuasa, paling dak harus
diperlakukan sama dengan patih Aragani. Itulah yang menyebabkan dia terbungkam.
"Hai, ki sanak" ba2 Suramenggala berseru pula "jelas kita sama2 melanggar peraturan
keprajuritan karena tak membawa surat perintah. Namun sama2 pula mendapat tugas untuk
menjemput raden Nararya. Sekarang bagaimana keputusan kalian?"
"Kami yang datang lebih dulu dan lebih dulu pula yang membawa raden. Maka kamilah yang
layak mengiringkannya ke gedung kepatihan"
"Tidak "seru Suramenggala "soal engkau lebih dulu datang ke asrama prajurit, itu hanya soal
waktu yang jaraknya hanya beberapa kejab mata. Mengapa engkau mengatakan lebih berhak?"
"Bukankah itu berarti bahwa perintah gusti patih lebih dulu dilaksanakan kepada raden ?"
"Ki sanak dimanakah saat ini kita berada ?" teriak Suramenggala.
"Mengapa harus bertanya " Bukankah saat ini kita berada di lorong yang menuju ke gedung
kepatihan" "Tepat" seru Suramenggala pula "dengan begitu perintah membawa raden Nararya itu baru
sedang berjalan dan belum selesai dilaksanakan. Apabila raden sudah ba di gedung kepa han, itu
memang engkau dapat mengatakan bahwa perintah gus pa h itu lebih dulu dari perintah gus
pangeran. Tetapi karena kalian sedang dalam perjalanan maka dak ada lagi siapa yang lebih
dahulu menjemput raden. Yang jelas, kita sama2 mendapat tugas untuk mengundang raden
Nararya dan kita sama2 tak membawa surat tugas atau buk perintah dari junjungan kita masing2.
Terserah bagaimana engkau hendak menyelesaikan persoalan ini. Cuma perlu diperingatkan, ada
dua hal yang harus engkau per mbangkan. Kesatu, diantara junjunganmu dengan junjunganku,
jelas junjunganku lebih unggul kedudukannya. Apabila pangeran sampai murka dan melaporkan
hal ini kehadapan baginda, gustimu tentu akan mendapat teguran keras dari baginda...."
"Aku tak menger bagaimana hubungan gus mu dengan baginda. Tetapi kurasa gus mu paling2
hanya menerima dampratan dan teguran "kata Suramenggala pula "tetapi engkau tentu akan
mendapat pidana. Dihukum ma , paling dak tentu dipecat. Dan gus mu tentu tak dapat
melindungi dirimu" Pradongga mengerut dahi. Ia hendak membuka mulut tetapi Suramenggala sudah mendahului
lagi "Dan yang kedua, apabila engkau mengabaikan peringatanku pertama tadi, seharusnya
engkau menyadari peringatan yang kedua ini. Andaikata engkau tetap tak menghiraukan segala
apa dan tetap hendak mempertahankan pendirianmu, tentu terpaksa kita akan adu kekerasan.
Dalam hal itu jelas kalian pasti akan menderita akibat yang lebih ngeri. Nah, cukup panjang
kiranya kata-kataku ini, sekarang kuserahkan kepada pertimbanganmu"
Meluap darah Pradongga mendengar kata2 Suramenggala yang terakhir. Jelas itu suatu hinaan
halus bahwa apabila bertempur, Pradongga tentu kalah. Tetapi ke ka teringat akan kata2
Suramenggala yang pertama, diapun mau juga memper mbangkan. Diam2 dia mengakui bahwa
kedudukan Ardaraja sebagai putera menantu, memang lebih nggi dari Aragani yang menjadi
pa h, sekalipun pa h yang mendapat kepercayaan. Baginda pas akan cenderung kepada
Ardaraja, bukan saja karena pangeran itu putera menantunya pun juga harus memperhitungkan
fihak Daha. Secepat melepaskan perhitungan itu, diapun segera memperoleh pikiran,
"Ki lurah, dalam mempertahankan tugas kewajiban, kami prajurit Singasari tak gentar
menghadapi bahaya apapun. Harga dari kewajiban itu adalah jiwa kami. Tugas adalah jiwa kami.
Selama jiwa masih, tugas tetap kami lakukan"
"Hm" desuh Suramenggala "jadi engkau ..."
"Lebih baik kita serahkan persoalan ini kepada raden" cepat Pradongga mendahului "adakah
raden akan memenuhi undangan gusti patih Aragani atau gusti pangeran Ardarja"
Suramenggala terkesiap. Semula dia hendak menolak tetapi ia merasa dirinya dipandang oleh
Kidung. Selintas mengerling, ia melihat Kidung memberi isyarat kicupan mata "Ya, benar, tentulah
raden Nararya akan memilih aku karena bersahabat baik dengan pangeran " pikirnya.
"Baik " lalu ia memberi jawaban.
"Tetapi ingat, ki lurah " seru Pradongga "kepada fihak siapapun raden akan memilih, fihak
yang tak terpilih harus rela menerima dan tak boleh mengganggu. Jika melanggar janji, akan
terjadi pertumpahan darah yang berkelanjutan"
"Hm, baik" Suramenggala mendesuh. Pradongga segera berpaling menghadap Wijaya
"Raden, sesungguhnya gus pa h Aragani benar2 sangat mengharap kedatangan raden.
Tentulah hendak membicarakan suatu persoalan pen ng dengan raden. Dan tadi radenpun sudah
setuju. Tetapi entah bagaimana ki lurah ini mengatakan kalau di tahkan gus pangeran untuk
mengundang raden. Terserah bagaimana keputusan raden"
Sejak kedatangan Suramenggala dan perbantahannya dengan pengalasan Pradongga, Wijaya
mengikutinya semua. Ia tak tahu mengapa pangeran Ardaraja hendak memanggilnya, lebih tak tahu
pula mengapa pa h Aragani juga mengundangnya. Apakah kepen ngan kedua orang itu dengan
dirinya " Adakah mempunyai hubungan dengan sayembara siang tadi"
Ia teringat akan perkenalannya dengan putera raja Daha tempo hari. Betapa pangeran itu
menginginkan agar ia mau bekerja kepadanya. Kemungkinan besar, pangeran Ardaraja tentulah
akan mengulang permintaannya itu atau sekurang-kurangnya tentu akan membicarakan masalah
yang mempunyai kaitan dengan keinginannya itu. Tetapi mengapa pa h Aragani juga
memanggilnya" Adakah pa h itu juga memiliki keinginan seper pangeran Ardaraja" Ah, entahlah.
Tetapi dalam hati kecilnya terpercik suatu rasa enggan untuk bekerja kepada kedua orang itu.
Saat itu Wijaya masih merasa tubuhnya lemah, tenaga lunglai. Untuk menolak permintaan
mereka, ia kua r akan mbul hal2 yang tak diinginkan. Dalam keadaan seper saat itu, ia merasa
belum siap untuk menghadapi segala kenungkinan. Diam2 mbul pikiran untuk menggagalkan
kedua orang itu, "Ki sanak " katanya "apakah engkau menganggap bahwa aku masih mempunyai kebebasan untuk
menolak perintah priagung, seperti gustimu rakryan patih Aragani dan pangeran Ardaraja ?"
Pradongga terkesiap. Sederhana kedengarannya kata2 itu tetapi sukar baginya untuk menjawab.
Mengiakan pertanyaan itu, berar ia menghilangkan kekuasaan pa h Aragani. Namun jika ia
mengatakan tidak, maka berarti ia harus menarik pertanyaan yang diajukan kepada raden itu.
Kidung yang dalam se ap persoalan lebih dapat berpikir dengan terang, diam2 bersorak dalam
ha . Tidak demikian dengan Suramenggala. Ia menganggap Wijaya telah memberi angin kepadanya
karena mempersulit Pradongga. Ia menganggap kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya
"Raden, pangeran benar2 mengharap kehadiran raden. Mari kuantar raden menghadap pangeran"
"Celaka " Kidung mengeluh dalam ha . Dengan pernyataan itu Suramenggala telah menolong
kesulitan Pradongga. "Hm " desuh Wijaya dalam ha namun ia menjawab juga "Terserah kalian, kemana aku harus
menghadap. Aku menurut saja"
"Baik, raden " Suramenggala terus hendak maju tetapi secepat itu Pradonggapun sudah tampil
menghadang "ki lurah, jangan main memaksa"
"Bukankah raden menyatakan hendak ikut kepadaku" " Suramenggala membelalakkan mata.
"Tidak "sahut Pradongga "raden mengatakan terserah kepada kita. Dengan begitu kita yang harus
memutuskan." "Jika demikian engkaulah yang harus menyingkir " seru Suramenggala.
"Tidak " sahut Pradongga "akupun harus menetapi kewajiban tugas yang diberikan gusti patih"
"Maksudmu engkau tetap akan membawa raden itu?"
"Ya" "O, baik sekali " teriak Suramenggala "aku mau mengalah tetapi aku takut kawanku marah"
"Siapa kawanmu " Ki sanak yang itu " " Pradongga melirik ke arah Kidung.
"Bukan " Suramenggala gelengkan kepala.
"Lalu yang mana ?"
"Ini " tiba2 Suramenggala acungkan tinjunya dan langsung dihantamkan ke dada Pradongga.
Duk, plak .... Terdengar dua buah suara yang bernada lain tetapi yang hampir serempak meletupnya dan
serempak pula disusul dengan dua tubuh yang terhuyung ke belakang.
Karena amat dekat dan secara ba2, Pradongga tak sempat menghindari nju Suramenggala
yang menghunjam ke dadanya. Namun dia masih sempat mengayunkan kaki untuk menendang
perut lawan. Tinju dan kaki itu serempak waktunya mengenai sasarannya. Pradongga terhuyung-
huyung mau rubuh, Suramenggala terseok-seok mendekap perut. Jika pandang mata Pradongga
nanar, mata Suramenggalapun serasa kabur. Kepala mereka serasa berputar-putar karena kesakitan
yang dideritanya. Pradongga sesak napasnya, Suramenggala mulas perutnya. Kedua orang itu
sama2 memiliki tubuh yang nggi besar dan tenaga yang kuat. Dada Pradongga serasa pecah, perut
Suramenggala serasa meledak.
Pada saat kedua lawan itu pejamkan mata untuk memulangkan tenaga, maka Roban. kawan
Pradongga, menggunakan kesempatan itu untuk loncat menerjang Suramenggala. Tetapi baru ba
di tengah jalan dia sudah disambut Kidung dengan pukulan yang dahsyat. Keduanyapun segera
berhantam. Pradongga dan Roban merupakan pengalasan pa h Aragani yang dipercayakan untuk
menjaga keselamatan diri pa h itu dan gedung kepa han. Sudah barang tentu mereka merupakan,
prajurit2 pilihan. Demikian pula Suramenggala dan Kidung. Keduanya dipilih Ardaraja untuk
menjadi pengiringnya ke Singasari, juga sudah melalui pilihan yang ketat.
Apabila Pradongga dan Suramenggala sama2 memiliki tenaga besar, Roban dan Kidung sama2
memiliki ketangkasan yang nggi. Keduanya seimbang sehingga pertempuran berjalan seru dan
lama. Berulang kali Roban menderita pukulan dari lawannya tetapi Kidungpun harus beberapa kali
menahan kesakitan dari nju lawannya. Dalam sebuah kesempatan, Kidung berhasil memancing
lawan untuk menerobos bagian dadanya yang tak terlindung. "Tetapi ke ka Roban benar
mendesak maju dan menghantam dada Kidung, ba2 Kidung dapat menguncinya. Tangan kiri
mencengkeram pergelangan tangan orang dan tangan kanan menyambar siku lengannya lalu
serempak digentakkan ke bawah sekuat-kuatnya "Aduh "... aduh ...."
Kembali peris wa Pradongga dan Suramenggala terulang lagi. Pada saat Roban menyadari bahwa
tangannya telah dikunci kemudian tentu akan dipatahkan, diapun nekad. Serempak, pada saat
dugaannya menjadi kenyataan yalah Kidung benar2 telah menggentakkan tangannya untuk
mematahkan tulang lengannya, Roban sekonyong-konyong, tusukkan jari tangan kiri ke mata lawan
dan berhasil. Tulang tangan kanan Roban patah tetapi mata Kidungpun berdarah. Walaupun tak
sampai biji matanya pecah tetapi luka yang mengeluarkan darah itupun cukup sakit. Keduanya
sama2 mengaduh dan sama2 pula terhuyung-huyung mundur dan rubuh ke tanah.
Mendengar teriakan kedua orang itu, Pradongga dan Suramenggala terkejut dan serempak
membuka mata. Alangkah kejut mereka ketika melihat kawan mereka sama2 menderita luka.
Merekapun bergerak hendak menolong kawannya sendiri. Tetapi suatu peristiwa lain telah
mengejutkan mata mereka sehingga mereka menjerit sekeras kerasnya "Hai kemanakah dia . ..
!" Apakah yang telah terjadi "
Kiranya peris wa yang membuat kedua pengalasan itu serasa terbang semangatnya tak lain
adalah Wijaya. Pemuda itu ternyata sudah tak berada di tempat itu.
"Bukankah dia masih di sini ?" teriak Suramenggala "hm, jangan engkau main gila, ki sanak"
Pradongga juga tak kalah kejutnya. lamaran menmendengar kata2 Suramenggala "Apa katamu?"
"Engkau tentu menyuruh kawanmu yang lain untuk membawa raden itu !"
"Engkau gila! "teriak Pradongga "bukankah engkau melihat sendiri bahwa aku hanya membawa
seorang kawan dan diapun sudah berhantam dengan kawanmu " Huh, engkau hendak
menghilangkan jejak"
"Apa maksudmu" "seru Suramenggala.
"Engkau menuduh aku menyuruh seorang kawan lain untuk membawa raden, tetapi yang pas
engkau sendiri yang melakukan kecurangan itu. Engkau tentu sudah mengatur persiapan. Begitu
kita bertempur, kawanmu terus membawa raden"."
"Setan engkau !" Suramenggala terus hendak maju menyerang tetapi Pradonggapun cepat
mencabut pedang "Ki lurah, jika engkau tetap hendak ber ndak dengan kekerasan, akupun
terpaksa harus menggunakan wewenang yang diberikan gus pa h. Siapa yang berani mengganggu
perintah gusti patih, jika perlu, boleh dibunuh!"
"Engkau harus bertanggung jawab atas kata-katamu yang menuduh aku menyuruh orangku
untuk membawa raden itu"
"Baik "jawab Pradongga "tetapi akupun minta pertanggungan jawab atas tuduhanmu tadi"
"Hm "desuh Suramenggala.
"Ki lurah "kata Pradongga "kuminta engkau bersikap jujur. Jelas aku dan engkau sedang
pejamkan mata memulangkan tenaga. Dan kedua kawan kita-pun sedang bertempur. Aku
percaya bahwa engkau tentu tak membawa kawan lain untuk membawa raden itu. Tetapi
akupun minta engkau harus percaya aku tak melakukan tindakan semacam itu"
"Hm, memang mataku percaya tetapi perasaanku tak percaya"
"Baik "sahut Pradongga agak gemas melihat sikap yang begitu kukuh dari Suramenggala
"sekarang kuajukan dua buah pilihan. Pertama, kita masing2 mencari ke tempat yang kita curigai.
Engkau mencari ke gedung kepa han dan aku menyelidiki ke dalam keraton tempat kediaman gus
pangeran" "Yang kedua ?" "Kita sama2 pulang melapor kepada junjungan kita"
"Aku memilih kedua-duanya "seru Suramenggala.
"Bagaimana kehendakmu ?"
"Aku akan kembali ke keraton untuk melapor kepada pangeran. Apabila tak bertemu raden
Nararya berada disitu aku hendak mohon idin kepada pangeran untuk mencari ke kepatihan"
"'O "desuh Pradongga "baik, akupun juga demikian. Jika di kepa han tak bersua dengan raden,
akupun akan menyelidiki ke dalam keraton"
Suramenggala tak menjawab melainkan terus berputar tubuh, menghampiri Kidung dan
mengajaknya pergi. Kemanakah gerangan Wijaya"
Ternyata pada saat Pradongga dan Suramenggala sama2 menderita kesakitan dan sedang duduk
pejamkan mata, kemudian Roban sedang bertempur dengan Kidung, maka datanglah prajurit Gana
dan Doma ketempat itu. Ternyata kedua prajurit itu menyadari bahwa ndakan mereka untuk memberikan Wijaya
kepada pengalasan pa h Aragani, dak benar. Apabila demang Widura tahu, mereka tentu akan
mendapat pidana hukum keprajuritan yang berat. Tindakan itu berarti melalaikan tugas.
"Celaka, kakang Gana " kata Doma "perbuatan kita memberikan raden itu kepada utusan gus
patih pasti akan menimbulkan akibat yang berat bagi kita"
"Hah" " Gana gelagapan.
"Se ap waktu demang Widura datang dan mengetahui hal itu, kita pas akan menerima pidana
berat" "Ya, benar " teriak Gana terkejut "habis bagaimana langkah kita" Bukankah mereka sudah
membawa raden itu ke kepatihan?"
"Rasanya sekarang masih belum terlambat apabila kita susul mereka"
Keduanya segera lari menuju ke tempat kediaman pa h Aragani. Sampai di tempat pertempuran
mereka terkejut "Pelahan kakang Gana "Doma segara mencegah lari Gana "rupanya merekalah
rombongan raden tadi"
Dengan ha 2 keduanya segera menghampiri ke tempat itu. Mereka melihat Pradongga dan
Suramenggala tengah duduk pejamkan mata sedangkan Roban tengah bertempur dengan Kidung
"Kakang, mari kita menghampiri ke tempat raden itu "bisik Doma.
Dengan pelahan-lahan dan hati2 agar jangan sampai menimbulkan bunyi yang menarik perhatian
orang2 itu, keduanya berhasil mendeka ke tempat Wijaya "Raden" bisik Gana "tolonglah kami,
raden" Wijaya terkejut ke ka mendengar suara dari belakang. Ia berpaling dan dilihatnya kedua prajurit
itu bersembunyi dibalik semak "Kenapa kakang prajurit?"
"Kami telah melakukan kesalahan besar karena mengidinkan raden dibawa oleh utusan gus
pa h" bisik Gana pula "apabila hal itu diketahui ki demang, kami berdua tentu akan mendapat
hukuman. Maka tolonglah kami berdua, raden. Hanya raden yang dapat menolong kami"
"Bagaimana maksudmu, kakang ?"
"Kami mohon raden suka kembali ke asrama lagi"
"Bagaimana kalau mereka akan mengejarmu?"
"Kami akan mempersiapkan kawan2 prajurit untuk menghadapi mereka. Tolonglah raden, agar
kami tak mendapat marah ki demang"
"Kakang sudah menyadari kewajiban kakang?"
"Benar, raden. Kami merasa bersalah melalaikan kewajiban"
Wijaya menimang. Prajurit itu telah menyadari kesalahannya. Seorang yang sudah sadar


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kesalahan, layak mendapat bantuan dukungan. Ia mengiakan dan mereka bertiga lalu
diam2 menyelinap tinggalkan tempat itu.
Demikianlah mengapa Pradongga dan Suramenggala tak mendapatkan Wijaya berada ditempat
itu lagi. Tepat pada saat ba di asrama, ternyata demang Widura sudah menunggu. Kedua prajurit itu
pucat wajahnya. "Hai, kemana saja kalian " " tegur demang Widura
"Kami .... kami ...."
"Kedua kakang ini mengantarkan aku berjalan-jalan di sekeliling asrama ini, ki demang" cepat
Wijaya memberi keterangan. Ia kasihan melihat kedua prajurit itu pucat dan tersendat kata-kata.
"O" desuh ki demang "ki muda, tumenggung Bandupoyo menitahkan engkau menghadap"
"O" Wijaya agak terkejut namun cepat ia menyatakan kesediaannya.
Demang Widura segera mengiring Wijaya ke dalam keraton. Dan kedua prajurit itu segera
menghela napas longgar "Ah, mulia benar hati raden itu" mulut mereka menggumam rasa syukur.
Selama masuk ke dalam keraton, demang Widura tak berkata apa2. Baru setelah ba di pendapa
agung, ia berkata "Ah, tumenggung Bandupoyo sudah menunggu kita"
"Ah, anakmuda, ada suatu berita jang menggirangkan untukmu "seru tumenggung Bandupoyo
menyambut kedatangan Wijaya.
Wijaya memberi hormat "Apakah yang tuan maksudkan kepada diri hamba, gusti"
"Ah" Bandupoyo mengeluh dalam ha karena Wijaya menyebutnya gus "aku sengaja
menggunakan sebutan anakmuda kepadamu agar demang Widura tak mengetahui hubungan kita.
Tetapi janganlah engkau terus memakai sebutan gusti kepadaku"
"Seri baginda yang mulia sang prabu Kertanagara berkenan menitahkan engkau menghadap ke
balairung " kata Bandupoyo.
"O" Wijaya terkejut adakah seri paduka yang mulia hendak menjatuhkan, pidana kepada diri
hamba?" "Entahlah "kata Bandupoyo kemudian tertawa "apakah engkau merasa mempunyai kesalahan
terhadap kerajaan?" Wijaya kerutkan dahi. Sesaat kemudian ia menjawab "Menurut perasaan hamba, tak pernah
kiranya hamba melakukan sesuatu yang melanggar undang2 kerajaan. Tetapi mungkin ...."
"Apa maksudmu " "tukas tumenggung Bandupoyo.
"Hamba maksudkan tentang peris wa sayembara siang tadi, ki tumenggung "kata Wijaya
"mungkin baginda murka karena hamba telah merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari"
"Ha, ha, ha" tumenggung Bandupoyo tertawa "bagaimana mungkin hal itu terjadi " Gendewa
pusaka kyai Kagapa adalah atas perkenan baginda untuk dilombakan dalam sayembara itu,
mengapa baginda harus murka " Tidak; ki sanak, kurasa baginda takkan murka karena peris wa itu.
Yang pen ng, engkau merasa mempunyai kesalahan atau dak. Apabila dak, mengapa engkau
harus takut pada bayanganmu sendiri?"
"Terima kasih, ki tumenggung"
"Ki demang" kata Bandupoyo "silakan ki demang melanjutkan apa tugas ki demang. Aku akan
mengantar anakmuda itu ke hadapan baginda"
Setelah demang Widura pergi maka tumenggung Bandupoyopun berkata "Raden, mengapa
engkau panggil paman dengan sebutan gusti ?"
"Ah, agar ki demang tak mengetahui bahwa aku sudah mengenal paman"
"Ya, benar, tetapi janganlah menyebut gus . Aku tak enak dalam ha sendiri "tumenggung
Bandupoyo tertawa. "Paman "kata Wijaya "apakah sesungguhnya maksud baginda menitahkan aku menghadap?"
"Entahlah "kata tumenggung Bandupoyo "mungkin memang mengenai peris wa engkau mampu
merentang gendewa kyai Kagapa itu. Setelah aku melaporkan tentang peris wa2 yang terjadi di
dalam sayembara tadi, tampak baginda terkejut mendengar engkau mampu merentang gendewa
pusaka itu. Dan bagindapun segera menurunkan titah supaya engkau menghadap baginda"
Bandupayo segera mengajak Wijaya masuk ke dalam balairung. Dalam pada itu Bandupoyo
sempat bertanya tentang keadaan Wijaya "Sampai saat ini aku masih merasa lunglai, paman
tumenggung "kata Wijaya.
"Ah "tumenggung Bandupoyo terkejut "pada hal besok engkau harus menghadapi acara
sayembara yang berat sekali, adu keunggulan kanuragan. Apabila tenagamu masih lemah,
bagaimana mungkin engkau dapat menghadapi ksatrya2 itu. Terutama ...."
"Terutama siapa, paman ?"
"Ku "kata tumenggung Bandupoyo "dia sak mandraguna. Dalam keadaan sehat, masih sukar
untuk memas kan bahwa engkau akan dapat mengalahkannya. Apalagi kalau engkau masih lemah
tenagamu " nada tumenggung itu memancarkan kecemasan.
"Mudah-mudahan besok tenagaku sudah pulih kembali"
"Hm" gumam Bandupoyo "sayembara besok pagi itu merupakan suatu kenyataan yang harus
dihadapi dengan sungguh2. Jangan menggantung harapan dengan suatu 'mudah-mudahan', raden
Wijaya" "Ya, benar paman" jawab Wijaya "akupun tentu akan berusaha pada malam ini untuk
memulangkan tenagaku. Tetapi apabila tak dapat, akupun tak dapat berbuat suatu apa kecuali
memaserahkan saja kepada kehendak Hyang Widdhi"
"Wajib manusia itu berdaya, raden. Jangan lekas berputus asa untuk memaserahkan diri kepada
Hyang Widdhi. Karena Hyang Widdhi hanya merestui kepada insan yang mau berusaha"
"Terima kasih, paman " kata Wijaya "tetapi apa dayaku?"
Sejenak berdiam, tumenggung Bandupoyo menyatakan bahwa dia akan memikirkan persoalan
itu. Dia akan berusaha untuk membantu memulihkan tenaga Wijaya.
Dalam pada itu balah mereka di balairung. Sebenarnya selama berjalan memasuki keraton itu
mata Wijaya tak hen -hen nya tertumbuk akan pemandangan yang indah2 dan serba
menakjubkan. Tiang2 soko yang besar dan berukir padma, hiasan2 dinding yang serba cemerlang
dan semarak, menempatkan perasaan Wijaya pada sebuah alam dunia lain. Tetapi karena selama
berjalan itu dia terus melayani percakapan dengan tumenggung Bandupoyo maka segala yang
dilihatnya itu hanya singgah di mata tetapi tak masuk dalam ha . Perha annya tertumpah pada
pembicaraan dengan tumenggung itu.
Menginjak balairung barulah pikiran Wijaya terhenyak. Apa yang berada di hadapannya, benar2
mengagumkan sekali.. Teringat ia ke ka dahulu masuk ke keraton Daha. Ia mempunyai kesan
bahwa kemegahan keraton Singasari jauh lebih hebat dari keraton Daha.
Dan ke ka kaki melangkah mengiku di belakang tumenggung Bandupoyo, iapun terperanjat
ke ka melibat seorang pria yang duduk di sebuah kursi kebesaran dari gading bersalut emas.
Sepanjang jalan dari kursi keemasan itu hingga ke bawah, tertutup oleh permadani warna hijau
yang gemilang. "Tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah bak kehadapan yang mulia seri baginda
Kertanagara sang Lokajaya, junjungan seluruh kawula Singasari" seru Bandupoyo seraya duduk
bersimpuh menghaturkan sembah.
Melihat itu Wijayapun ikut duduk dan menghaturkan sembah kepada pria yang duduk di
singgasana itu. "O, tumenggung Bandupoyo" seru baginda "mana orang yang ikut dalam sayembara itu?"
Terkejut sekali Wijaya mendengar nada suara baginda yang lantang mengumandang laksana
petir berbunyi di musim kemarau. Suara yang berwibawa sekali.
"Hamba telah membawanya menghadap ke hadapan paduka, gusti " seru Bandupoyo.
"O, suruh dia tampil ke hadapanku" Bandupoyo segera berkata pelahan "raden, harap maju ke
hadapan seri baginda"
Wijaya dengan laku yang hormat segera beringsut maju ke hadapan seri baginda, menghaturkan
sembah. Baginda memandang Wijaya sampai beberapa saat kemudian beliau tampak mengangguk-angguk
"Engkaukah ksatrya muda yang mampu merentang gendewa kyai Kagapati itu ?"
"Hamba gusti " Wijaya memberi sembah.
"Siapa namamu?"
"Hamba Wijaya, gusti"
"O, Wijaya " " seru baginda "suatu nama yang bagus. Dan rasanya, nama itu bukan nama
yang lazim dipakai oleh rakyat jelata"
Diam2 Wijaya terkejut. Jika baginda mengajukan pertanyaan untuk menelusuri keturunannya,
bukankah ia akan menghadapi kesulitan " Namun dia diam saja.
"Dari mana tempat asalmu?"
"Hamba dari lereng gunung Kawi, gus " diam2 Wijaya menghembus napas longgar karena
baginda tak bertanya lebih lanjut tentang keturunannya.
"Wijaya, engkau masih muda tetapi ternyata engkau digdaya sekali, mampu merentang gendewa
kyai Kagapati. Siapakah gurumu?"
"Mohon diampunkan segala kesalahan hamba" Wijaya berdatang sembah pula "guru hamba
seorang pertapa yang nggal di puncak gunung Kawi, bergelar begawan Sinumaya, gus .
Sesungguhnya hamba tak pernah percaya pada diri hamba bahwa hamba akan mampu merentang
gendewa pusaka kerajaan paduka, gus . Kesemuanya itu hamba percaya hanyalah atas restu
kemurahan baginda yang mulia"
Sebenarnya Wijaya hendak mengucapkan kata2 merendah diri, tetapi baginda ternyata amat
sedap sekali mendengar rangkaian kata2 yang menyanjung dirinya.
"Wijaya" titah baginda pula "apakah tujuanmu ikut serta dalam sayembara itu?"
"Mohon diperkenankan kiranya hamba mengunjuk kata ke hadapan paduka yang mulia"
"Ya, katakanlah"
"Mohon pula dilimpahkan ampun yang besar kepada diri hamba apabila hatur sembah kata
hamba ini tak berkenan di hati paduka gusti"
"Ya" "Hamba merasa sebagai seorang kawula Singasari, kerajaan paduka yang besar, wajib
mempersembahkan bhak pengabdian hamba. Karena berkat kekuasaan dan pengayoman paduka
yang bijaksana maka hamba yang dilahirkan di bumi Singasari ini dapat mengenyam kehidupan
yang tenteram sejahtera. Hamba lahir, hidup dan ma di bumi Singasari maka hamba wajib
berbakti kepada bumi Singasari"
"Itukah yang menjadi tujuanmu?"
"Demikian kiranya, gusti"
"Tidakkah engkau bercita-cita mencapai kedudukan dan pangkat yang nggi, menikma hidup
yang mewah dan terhormat?"
Wijaya menghatur sembah "Pendirian hidup hamba adalah mengabdi kepada negara. Apapun
yang kerajaan akan menempatkan diri hamba, menjadi prajurit atau tamtama atau senopa , bagi
hamba adalah sama. Karena menurut hemat hamba, suatu pengabdian itu merupakan suatu
penyerahan jiwa raga yang berlandaskan cita2 luhur, bebas dari rasa pamrih akan pangkat dan
kedudukan" Baginda terperanjat. Kemudian mengangguk "Bagus, Wijaya. Memang demikian laku dari
seorang ksatrya utama, demikian pula dharma seorang manusia perwira. Hanya sayang"
"demikian baginda menghela napas "bahwa tidak sedikit yang lancung dalam ujian. Artinya,
bermula dalam memasuki bidang pengabdian, baik sebagai prajurit maupun narapraja, mereka
membekal segunung cita2 dan pendirian yang indah dan muluk, menyatakan ingin mengabdi
kepada negara dengan tulus ihktas tanpa pamrih. Tetapi setelah mencapai kedudukan dan
pangkat tinggi, lupalah mereka akan asal mulanya, lupa akan bekal cita-citanya. Bahkan hampir
lupa segala-galanya, karena mencurahkah segenap perhatian dan hidupnya untuk mencari
kekuasaan dan menumpuk kekayaan peribadi."
Merah wajah Wijaya karena tersipu-sipu. Diam2 dia mengakui memang hal itu suatu kenyataan.
Walaupun dak semua orang sedemikian tetapi dak sedikit jumlah narapraja dan mentri maupun
nayaka senopati yang terjerumus dalam nafsu2 peribadi.
"Ha, ha, ha" ba2 terdengar gelak tawa baginda yang mengerontang lantang, memenuhi
kesunyian balairung "jangan engkau tersinggung karena berhadapan dengan kenyataan semacam
itu, Wijaya. Bahkan dengan, mengetahui kenyataan2 itu hendaknya, engkau dapat mawas diri dan
selalu ingat pada janji hatimu dan pada sumpah kedudukanmu sebagai narapraja atau senopati"
"Hamba mengunjukkan terima kasih yang tak terhingga kebawah duli paduka gusti. Titah yang
paduka amanatkan kepada hamba, akan hamba ukir selalu dalam kalbu sanubari hamba."
Wijaya menyongsong sembah.
Dalam percakapan yang amat singkat itu, baginda merasa senang dan mempunyai kesan baik
terhadap Wijaya. "Wijaya" ba2 baginda ber tah pula "kudengar engkau pingsan tatkala habis merentang
gendewa kyai Kagapati "'
"Demikianlah, gusti"
"Bagaimana perasaanmu saat itu?"
Dengan terus terang Wijaya lalu menghaturkan keterangan bahwa saat itu ia seper kehilangan
diri. Perasaannya seper tak sadar dan ia seolah-olah seper menjadi seekor burung garuda yang
tengah berusaha untuk merentang sayap. Kemudian setelah berhasil merentang sayap, iapun ingin
hendak terbang tetapi suatu keajaiban terjadi manakala ia rasakan tenaganya hilang dan eritah
bagaimana, ia terus rubuh tak kabarkan diri.
Mendengar itu bagindapun mengangguk-angguk.
"Ya, engkau benar, Wijaya" ujar baginda "memang gendewa kyai Kagapa sebuah pusaka yang
amat bertuah" kemudian secara ba2 baginda beralih pandang ke arah Bandupoyo "Bandu, entah
bagaimana saat ini hatiku merasa riang. Ambilkan tuak pada dayang dalam puri"
Bandupoyo terkejut namun ia melakukan juga tah baginda. Tak berapa lama tumenggung itu
keluar dengan membawa penampan emas dan ga buah guci tembikar yang indah. Dengan laku
yang amat hormat, ia menghaturkan penampan itu ke hadapan baginda.
"Bandu" tah baginda "aku berkenan untuk menganugerahi secawan arak kehormatan kepada
anakmuda yang telah berhasil manunggal dengan kyai Kagapati"
Bandupoyo makin terkejut namun ia tak berani membantah tah baginda. Atas tah sang nata,
Bandupoyo memberi semangkuk tuak kepada Wijaya "Ksatrya muda, lekaslah engkau haturkan
sembah syukur ke hadapan baginda yang berkenan menganugerahimu tuak kehormatan"
Wijaya terkejut. Selama ini tak pernah ia menyentuh tuak apalagi meminumnya. Namun ia takut
untuk menolak karena jelas tuak itu suatu anugerah baginda kepadanya.
Terpaksa ia menyambu dan menghaturkan sembah terima kasih ke hadapan baginda. Bermula
ia masih meragu tetapi karena baginda menitahkan meminumnya, terpaksa iapun meminumnya.
Tuak itu harum baunya mengundang selera. Dan waktu lidah menyentuh, terasa manis2 sedap.
Makin tambah besar selera dan diteguknya tuak semangkuk penuh itu sampai habis.
"Bagaimana rasanya, anakmuda?" tiba2 baginda berujar.
"Harum dan sedap sekali, gusti "sembah Wijaya.
"Ha, ha, ha" baginda tertawa gembira "tuak itu bukan sembarang tuak. Tuak persembahan dari
raja Bedulu Bali. Terbuat daripada brem dan sudah diperam sampai puluhan tahun"
Kemudian baginda menuang pula kesebuah mangkuk dan diberikan kepada Bandupoyo,
menitahkan tumenggung itu "Sesekali engkau harus minum juga Bandu, agar semangat dan
tenagamu selalu terpelihara kesegarannya"
Setelah menghaturkan sembah, Bandupoyo menyambu mangkuk lalu meneguknya sampai
kering. "Bagaimana Bandupoyo" "tegur baginda.
"Sungguh luar biasa nikmat tuak anugerah paduka itu, gusti"
"Ha. ha, ha " baginda tertawa gembira lalu meneguk guci tuak itu sampai beberapa saat sehingga
habis seluruh isinya. Diam2 tumenggung Bandupoyo menyesal dan menyumpahi dirinya sendiri "Hm, aku tak setuju
setiap melihat baginda bersenang-senang minum dengan patih Aragani. Akupun muak
mendengar patih Aragani merangkai kata2 penyanjung yang indah2 untuk membuai baginda.
Sekarang, ya, pada saat ini, kesemuanya itu telah terjadi pada diriku. Aku menjadi Aragani
yang memuakkan hatiku itu ... ."
"Orang muda" sesaat kemudian terdengar baginda berujar "malam ini aku merasa gembira
sekali. Dan demi merayakan peristiwa timbulnya seorang calon senopati Singasari yang telah
mendapat restu dari kyai Kagapati, aku berkenan hendak menceritakan sejarah kyai pusaka itu"
Tumenggung Bandupoyo benar2 terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa sedemikian besar
minat sang nata yang tercurah kepada raden Wijaya. Iapun segera menghaturkan lembah. Namun
sebelum ia sempat membuka mulut, Wijaya sudah mendahului.
"Duh, gus sang nata binatara sesembahan hamba. Rasanya ada kata2 yang sanggup hamba
persembahkan kebawah duli paduka, untuk menyatakan betapa besar rasa rendah ha yang
menyeruak dada hamba atas anugerah yang paduka limpahkan kepada diri hamba yang hina dina
ini "seru Wijaya. "Wahai, anakmuda" seru baginda "kiranya pandai juga dikau merangkai kata menghias
bahasa. Rupanya engkaupun mendalami ilmu sastera pula di-samping ilmu kedigdayaan.
Akupun gemar juga akan ilmu kesusasteraan dan kitab2 veda. Rasanya masih kalah juga patih
Aragani dalam ilmu merangkai kata dengan dikau, anakmuda"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun sebesar-besarnya atas diri hamba yang
lancung mulut, lancang ucap. Hamba yang hina dina itu bagaimana mungkin akan menyamai
keahlian yang mulia gusti patih Aragani. Bagaikan sinar kunang2 membentur cahaya rembulan
belaka" Baginda tertawa gembira dan berulang kali memuji anakmuda itu. Kemudian bagindapun
mengatakan "bahwa beliau segera akan menuturkan riwayat gendewa pusaka kyai Kagapati.
"Pada masa eyang buyut Sri Rajasa sang Amurwabumi masih muda dan bernama Ken Arok, maka
sangat nakallah ngkah lakunya. Gemar berjudi, menyabung ayam, gemar pula bersenang-senang
dengan wanita dan berminum-minuman. Pendek kata, sejarah kehidupan masa muda dari eyang
buyut itu penuh dengan peristiwa petualangan yang aneh dan beraneka ragam"
"Demikian menurut cerita ayahanda rahyang ramuhun Wisnuwardhana kepadaku, maka suatu
hari eyang buyut Ken Arok karena keputusan uang, telah melakukan pencurian di desa
Pamalantenan. Begitulah puncak dari kenakalan eyang buyut. Memang perbuatan itu dak baik,
tetapi maklumlah karena pergaulan dengan orang2 yang berkelakuan buruk, maka eyang buyutpun
terhanyut dalam kehidupan yang dak baik. Bagaimana Wijaya, pendapatmu tentang seorang
pencuri itu ?" tiba2 baginda hentikan ceritanya dan berujar kepada Wijaya.
"Menurut hemat hamba, gus , pencuri itu suatu perbuatan yang tercela karena menginginkan
secara tak halal, barang2 milik orang lain"
"Benar" tah baginda "tetapi apa yang engkau dapat menemukan diantara debu2 kotoran
perbuatan buruk seorang pencuri itu ?"
Wijaya terkesiap. Sampai beberapa saat dia tak mampu menghaturkan jawaban.
"Bandu, cobalah engkau uraikan pendapatmu" ba- ba baginda mengalihkan pertanyaan
kepada tumenggung Bandupoyo.
Tumenggung itu gelagapan karena tak menyangka akan menerima lontaran pertanyaan baginda.
Cepat ia tenangkan diri dan membenahi pikiran. Namun sampai beberapa jenak, ia tak mampu
menemukan sesuatu. "Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun, gus . Bandupoyo yang mengisi umurnya lebih
banyak dengan nasi daripada ilmu pengetahuan, tak dapat menghatur-jawaban ke hadapan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paduka" akhirnya ia berkata.
Baginda tertawa. "Engkau tak salah karena engkau mewakili puluhan bahkan ratusan ribu alam pikiran orang
banyak. Bahwa pencuri itu jahat, bahwa pencuri itu hina. Karena alam pikiran tercemar oleh
warisan anggapan yang engkau terima dari ayah, eyang dan eyang buyutmu, maka engkau tak
dapat menemukan penilaian lain dalam diri seorang pencuri itu. Ketahuilah, Bandu, bahwa Sri
Kresna prabu dari kerajaan Dwarawa itu, dahulu semasa mudanya waktu masih bernama
Nayarana, pernah menjadi pencuri juga"
Bandupoyo terbeliak. Ia memang pernah juga mendengar cerita, tentang riwayat hidup prabu Sri
Kresna "Tetapi gus " katanya seraya menghaturkan sembah "raden Nayarana memang pernah mencuri,
tetapi yang dicuri bukanlah harta benda, melainkan puteri"
"Benar" ujar baginda "tetapi apakah namanya perbuatan Nayarana itu?"
"Mencuri" "Benar" ujar baginda "mengambil barang, baik yang merupakan benda ma atau hidup, apabila
diluar pengetahuan dan idin pemiliknya, itu mencuri namanya. Mengambil puteri, mengambil
harta, mengambil benda yang sekalipun tak berharga seper seekor ayam, pun tetap pencuri
sebutannya. Walaupun tujuan dan ar nya lain antara mencuri puteri dengan mencuri harta benda,
namun sifat perbuatan itu tetap sama yalah mencuri"
"Keluhuran sabda paduka, gusti" Bandupoyo menghaturkan sembah.
"Sekarang tentulah engkau Bandu dan engkau pula orang muda" tah baginda kepada Wijaya
pula "tentu dapat menemukan sesuatu yang kumaksud itu, dalam perbuatan yang dilakukan
Nayarana itu" Wijaya menyadari apa yang dimaksud baginda. Tetapi baru ia membuka mulut, tumenggung
Bandupoyo sudah menghaturkan jawaban "Keberanian, gus . Maling puteri bukan sembarang
maling tetapi seorang maling yang mempunyai keberanian besar"
"Engkau anakmuda," seru baginda karena baginda sempat melihat Wijaya hendak membuka
mulut tetapi diurungkan. "Sama dengan gusti tumenggung " kata Wijaya.
"Benar" ujar baginda "demikianlah yang kumaksudkan dalam diri seorang pencuri itu. Bukan
melainkan Nayarana saja, pun se ap pencuri memang memiliki keberanian yang jarang dipunyai
oleh se ap orang. Mereka memang bernyali besar tetapi salah salurannya. Demikian halnya
dengan eyang buyut Ken Arok. Dia seorang pemuda yang berani tetapi karena tak memperoleh
bimbingan dan karena terpengaruh oleh lingkungan hidup, dia terjerumus menjadi pencuri. Untung
keadaan eyang buyut itu tak sampai berlarut-larut karena segera datang brahmana Lohgawe dari
negeri Jambudwipa. Brahmana itu telah mendapat amanat gaib dari Batara Brahma untuk mencari
seorang yang bernama Ken Arok ke Jawadwipa"
"Menurut cerita" setelah berhen sejenak baginda melanjutkan pula ujarnya "pada waktu
brahmana Lohgawe sedang memuja dewa Wisnu di sebuah candi Wisnu, ia telah mendapat tah
gaib bahwa Hyang Wisnu sudah tak berada lagi di candi situ tetapi telah meni s pada orang yang
bernama Ken Arok di negara Turnape! pulau Jawadwipa. Kemudian dalam amanat gaib itu pun
brahmana Lohgawe seper melihat suatu penampilan dari orang yang harus dicarinya itu. Ciri-
cirinya, tangannya panjang melebihi lutut. Garis telapak tangan kanannya berbentuk cakra, telapak
tangan kirinya bertanda tutup kerang. Dan berkat sang brahmana sak itulah akhirnya eyarig buyut
dapat dibina, bakat dan keberaniannya dapat disalurkan kearah yang tepat dengan kodrat
hidupnya sehingga akhirnya menjadi rajakula pendiri kerajaan Singasari yang sekarang ini"
Habis bercerita sampai disitu, baginda mengambil guci tuak yang satu lagi dan diteguknya.
Kemudian sisanya dituangkan kedalam dua buah mangkuk "Hayo, engkau Bandu" tah baginda
"yang semangkuk untukmu dan yang semangkuk berikan lagi kepada orang muda itu"
Tumenggung Bandu terkejut namun tak berani membantah tah baginda. Ia memberi mangkuk
tuak kepada Wijaya. Sebenarnya ngeri rasa ha Wijaya untuk minum lagi namun karena sang nata
yang menitahkan, dia tak berani menolak.
"Sekarang aku hendak melanjutkan cerita lagi "ujar baginda sesaat kemudian "cerita pokok
mengenai sebuah peris wa yang menjadi sumber lahirnya gendewa kyai Kagapa itu. Telah
kukatakan tadi karena keputusan Dang maka eyang buyut Ken Arok telah melakukan pencurian di
desa Pamalanten. Tetapi kali itu langkahnya malang. Dia diketahui rakyat desa dan segera dikejar
hendak dibunuh. Eyang buyut Ken Arok lari ke sebuah gerumbul ditepi sungai. Namun rakyat tetap
mengejarnya. Karena keputusan jalan, eyang buyut Ken Arok lalu memanjat sebatang pohon tal.
Jika nasib sedang malang, rakyat tahu juga kalau eyang buyut Ken Arok bersembunyi diatas pohon
tal. Karena berulang kali diperintahkan turun, eyang buyut tetap tak mau, akhirnya rakyat marah.
Pohon tal itupun ditebangnya ...."
Baginda berhen , lalu menyambar guci tuak dan meneguknya lagi. Setelah itu baru melanjutkan
"menurut cerita dari eyang buyut yang diberitahukan kepada eyang lalu eyang kepada rama prabu
Wisnuwardhana, pada saat eyang buyut Ken Arok berada diatas pohon tal dan pohon itu ditebang
rakyat, eyang buyut segera pejamkan mata dan berdoa, menyerahkan hidup ma nya kepada Hyang
Batara Agung. Tiba- ba eyang buyut seper mendengar suara gaib dari dirgantara "Hai, kulup,
lekas engkau cabut dua batang sayapku dan pakailah untuk terbang melintasi sungai ...."
"Eyang buyut terkejut dan membuka mata. Ia terkejut ketika saat itu seperti berada diatas
punggung seekor burung garuda raksasa. Eyang buyut cepat mencabut dua batang lar sayap
burung itu. Setelah dipegang di tangan kanan dan kiri, tiba2 dia dapat melayang seperti
terbang, melintasi sungai dan meluncur turun di seberang tepi"
"Setelah lepas dari bahaya, eyang buyutpun memeriksa lar sayap burung garuda itu. Ah, ternyata
hanya dua batang dahan daun tal. Namun eyang buyut yakin bahwa dahan itu bukan sembarang
dahan melainkan benar2 lar sayap burung garuda. Maka eyangpun membuatnya menjadi gendewa
dan diberi nama kyai Kagapa yang berar Garuda melayang. Begitulah asal usul gendewa pusaka
kyai Kagapa yang menjadi pusaka kerajaan Singasari hingga saat ini" baginda mengakhiri cerita
seraya mengambil guci tuak dan meneguknya pula.
Wijaya diam2 terkejut menyaksikan kekuatan minum baginda. Tiga guci tuak, wajah baginda
masih berseri-seri. Tidak merah dan tak ada tanda2 mabuk.
"Ketahuilah, orang muda " tah baginda "gendewa pusaka itu pada hari2 biasa, pun merupakan
gendewa biasa. Mudah direntang. Tetapi apabila telah berisi dengan suatu permintaan agar kyai
Kagapa berkenan menunjukkan kesak an untuk menanda perang kita kalah atau menang, maka
gendewa itupun akan berobah sekokoh yang pernah engkau rasakan ke ka engkau merentangnya.
Demikian pula ke ka kuminta kyai Kagapa menunjukkan kesak an untuk memilih siapa kiranya
yang berkenan dalam ha nya untuk menjadi senopa Singasari, maka kyai Kagapa pun
mengunjukkan kesaktian. Bukankah engkau merasakannya?"
"Diluhurkan kiranya sabda paduka terlimpah di atas ubun2 kepala hamba, gus . Memang tanpa
perkenan kyai Kagapati, tak mungkin hamba mampu merentangnya " kata Wijaya.
"Engkau telah dipilih kyai Kagapa untuk memangku tanggung jawab besar sebagai senopa
kerajaan Singasari, yang besar. Sanggupkah engkau melaksanakan tugasmu sebaik-baiknya?"
"Seluruh jiwa dan raga hamba akan hamba persembahkan demi keluhuran kewibawaan paduka
dan tegaknya kerajaan paduka Singasari, gusti"
"Bagus, Wijaya" ujar baginda "o, hampir aku lupa. Menurut laporan tumenggung Bandupoyo,
setelah merentang gendewa kyai Kagapati engkau lalu jatuh pingsan. Benarkah itu, orang muda?"
"Hamba gus "Wijaya menghaturkan sembah "hamba rasakan seluruh sendi tulang dan urat
bayu hamba lemas lunglai sehingga hamba tak kuasa untuk menjaga keseimbangan diri hamba"
"Apakah sekarang tenagamu masih lemah?"
"Demikian gusti" Wijaya menghatur sembah pula.
Baginda terdiam seolah memikirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian, baginda ber tah "Baik,
Wijaya, kembali engkau ke tempatmu. Nan akan ku tahkan tumenggung Bandu untuk
memberikan obat kepadamu"
"Bandu" seru baginda kepada tumenggung Bandupoyo "bawalah orang muda itu ke tempatnya
dan segera menghadap lagi kemari"
"Hamba gus " tumenggung Bandupoyo menghatur sembah lalu memberi isyarat kepada Wijaya.
Setelah memberi sembah, Wijayapun mengundurkan diri dari hadapan sang nata.
"Paman, aku dapat pulang sendiri. Silahkan paman menghadap baginda lagi " kata Wijaya.
"O, engkau dapat pulang ke asrama sendiri?"
"Ya" Setelah Wijaya melangkah turun dari balairung maka tumenggung Bandupoyopun kembali masuk
menghadap baginda. "Tumenggung" titah baginda "kyai Kagapati tak pernah khilaf. Kali ini diapun dapat
menjatuhkan pilihan yang tepat. Aku mendapat kesan baik terhadap si Wijaya itu. Bagaimana
engkau, tumenggung?"
"Berkenankah hamba menghaturkan sembah kata kehadapan paduka, gusti?"
"Katakanlah" "Menjadi pendirian hamba, bahwa senopa yang akan memangku tanggung jawab untuk
menegakkan keluhuran paduka dan kewibawaan kerajaan paduka, harus benar2 seorang ksatrya
yang berjiwa luhur, setya-raja dan memiliki kewibawaan untuk memimpin pasukan Singasari,
melindungi keselamatan bumi paduka, gusti"
"Ya" "Oleh karena itu, senopa yang hamba cita-citakan itu bukan hanya berdasarkan kegagahan dan
kedigdayaan belaka, pun juga harus dapat mencangkum kewibawaan sebagai pimpinan pasukan
kerajaan Singasari" "Tetapi tumenggung" ujar baginda "bukankah kerajaan Singasari masih mempunyai pa h Kebo
Anengah dan patih-dalam Aragani?"
"Kerajaan paduka, bumi Singasari itu, luas sekali. Bahwa kewibawaan paduka telah meluas
sampai ke Bali dan Sriwijaya. Tidakkah layak apabila kerajaan Singasari mempunyai beberapa
senopati yang unggul?"
"Benar, tumenggung" baginda gembira sekali "tetapi bagaimana pandanganmu kepada si Wijaya
tadi?" "Dia memenuhi syarat2 yang, hamba idamkan, gus . Mungkin dalam kedigdayaan, ada pula
beberapa ksatrya peserta sayembara yang dapat mengunggulinya tetapi dalam peribadi dan
kewibawaan, rasanya tiada lain2 ksatrya yang dapat melebihi anakmuda itu"
"Hm" "Juga dalam asal usul keturunan, rasanya ada seorang ksatrya dalam sayembara itu yang lebih
tinggi dari dia" "Apa" Keturunannya " Siapakah dia sebenarnya, tumenggung?"
Tumenggung Bandupoyo bergegas menghaturkan sembah "Gus , sebelumnya hamba mohon
ampun apabila hamba berani menghaturkan permohonan ke hadapan baginda"
"O" baginda heran "mengapa engkau tampak begitu bersungguh-sungguh" Katakan saja, apa
yang hendak engkau mohon?"
"Hamba mohon diperkenankan menghaturkan serangkai keterangan ke hadapan paduka.
Berkenankah paduka mengidinkan hamba mengunjuk sembah kata ?"
"Ah, lekas katakan"
"Terima kasih, gus " sembah tumenggung Bandupoyo "hamba akan menghaturkan keterangan
tentang diri anakmuda yang bernama Wijaya itu. Dia sesungguhnya masih mempunyai hubungan
keluarga dengan paduka, gusti"
"Hai!" teriak baginda terkejut "apa katamu" Dia masih mempunyai ikatan keluarga dengan
aku ?" "Keluhuran sabda paduka, gusti"
"Bagaimana hal itu dapat engkau rangkaikan" Siapakah orangtuanya?"
"Raden Wijaya itu sesungguhnya putera dari gus Lembu Tal dan gus Lembu Tal itu tak lain
adalah putera dari paduka yang mulia gus Mahesa Campaka atau sang Batara Narasinghamur
yang mulia" "Hai!" kali ini baginda tersentak dari singgasana "benarkah itu?"
"Benar gus . Apabila sepatah jua kata2 hamba ini bohong, sudilah paduka melimpahkan pidana
mati kepada diri hamba"
Baginda Kertanagara termenung sesaat. Kemudian ber tah "Jika menilik cahaya wajahnya, dia
memang bukan pemuda biasa. Eh, engkau katakan dia putera kakang Lembu Tal?"
"Demikian gusti"
"O" seru baginda "apakah kakang Lembu Tal masih hidup" Dimanakah sekarang dia" Mengapa
sejak berpuluh tahun kakang Lembu Tal tiada beritanya?"
"Tentang hal itu, gusti, hamba kurang jelas. Baiklah nanti hamba tanyakan kepada raden Wijaya"
Baginda Kertanegara menghela napas longgar "Ah, tak sangka bahwa ksatrya yang direstui kyai
Kagapa itu masih kerabatku. Eh, Bandu mengapa baru sekarang engkau menghaturkan keterangan
itu ke hadapanku " Apa maksudmu " Mengapa tidak sejak dahulu engkau melaporkan hal itu?"
Tumenggung Bandupoyo gopoh menghaturkan sembah "Mohon diampunkan kesalahan hamba,
gus " katanya "hal itu memang atas permintaan dari raden Wijaya sehingga hambapun terpaksa
harus mentaati permintaannya"
"Apa permintaannya ?"
"Raden meminta agar hamba jangan mengatakan siapa asal usulnya. Dia hendak menempuh
tangga derajat kehidupannya dengan tenaga dan perjuangannya sendiri "Paman, kalau aku menjadi
senopa , hendaknya bukan karena aku putera rama Lembu Tal, melainkan karena aku sebagai
pemuda Wijaya yang dapat memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam pengangkatan
sebagai seorang senopati" Demikian kata raden itu, gusti"
"Hm, pambek yang baik sekali" puji baginda. Kemudian baginda bertanya "Dan sekarang apakah
engkau sudah mendapatkan idin dari dia untuk menerangkan asal usul dirinya?"
"Belum, gus " kata tumenggung Bandupoyo "hamba memberanikan diri sendiri untuk
menghaturkan hal itu kebawah duli paduka"
"Apa maksudmu bertindak demikian?"
"Hamba mohon perkenan untuk mengunjukkan hatur ke hadapan paduka tentang suatu hal yang
menyangkut kepentingan praja Singasari"
"Ya, katakanlah"
"Bahwa tah paduka untuk menyelenggarakan sayembara pilih senopa itu, adalah demi
memperkokoh ketahanan dan pertahanan kerajaan Singasari karena sebagian besar dari pasukan
Singasari telah berangkat ke tanah Malayu. Sekalipun saat ini keadaan negara tenteram dan damai
tetapi se ap kemungkinan yang tak diharapkan mungkin dapat terjadi se ap saat. Misalnya,
kemungkinan raja Kubilai Khan dari negara Cina mengirim utusan beserta pasukannya ke Singasari
untuk memaksa Singasari menghaturkan bulu-bek kepadanya. Kemungkinan adipa 2 di pesisir
dan manca-nagara yang tunduk dibawah kekuasaan Singasari, akan berontak dan lain2
kemungkinan. Dan untuk menjaga kemungkinan2 itu layaklah kalau saat ini Singasari
mempersiapkan kekuatan pasukan lagi dan mengangkat seorang senopa yang dapat memikul
tanggung jawab untuk mengatasi segala peris wa yang hendak mengganggu kewibawaan kerajaan
paduka" Baginda mengangguk-angguk.
"Atas landasan kepen ngan kerajaan Singasari itulah hamba menciptakan suatu pendirian
bahwa senopa yang akan memikul tanggung jawab besar itu harus benar2 memenuhi syarat.
Tidak hanya sekedar memiliki kedigdayaan yang pilih tanding, pun juga rasa setya-raja dan
pengabdian pada negara, bijaksana dan berwibawa. Kesemuanya itu hamba dapa dalam diri
raden Wijaya. Bahkan kebetulan pula raden Wijaya itu masih mempunyai hubungan keluarga
dengan paduka. Sehingga hamba rasa, ada ksatrya yang lebih tepat menjabat senopa itu dari
pada raden Wijaya" "Ya" sahut baginda "tetapi bukankah sayembara itu masih belum selesai " Bagaimana mungkin
akan menghapus sayembara itu dan terus langsung mengangkat Wijaya sebagai senopati ?"
"Memang bukan demikian yang hamba maksudkan, gus " kata tumenggung Bandupoyo
"sayembara tetap berlangsung sampai paripurna. Tetapi raden Wijaya harus berhasil menjadi
senopati" "Bukankah hal itu tergantung dari hasil sayembara nanti ?" ujar baginda.
"Gus junjungan hamba yang mulia" tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah
"sebelumnya hamba mohon ampun apabila apa yang hamba haturkan ini tak berkenan diha
paduka, gusti" "Ya" "Demi kepen ngan kerajaan paduka, hamba akan berusaha membantu raden Wijaya agar dapat
memenangkan sayembara. Namun hamba tak berani ber ndak sembarangan apabila paduka tak
berkenan melimpahkan restu"
Baginda Kertanagara diam sejenak lalu berujar "Ya, aku merestuimu. Tetapi ingat, sayembara itu
harus berlangsung secara wajar dan selesai. Jangan ber ndak sesuatu yang dapat mencemarkan
namaku" Tumenggung Bandupoyo gegas menghaturkan sembah "Keluhuran sabda paduka, gus . Hamba
Bandupoyo pas akan menjaga keluhuran nama paduka. Dan langkah hamba itu tak lain, hanya
hendak mempersembahkan permohonan ke hadapan paduka"
"Apa yang engkau kehendaki?"
"Sebagaimana keterangan raden Wijaya ke hadapan paduka tadi, saat ini tenaganya masih
lemah. Pada hal besok akan maju dalam pertandingan adu kanuragan. Hamba rasa dalam
pertandingan itu, raden pas akan menghadapi banyak sekali ksatrya2 yang bertenaga sak dan
digdaya. Hamba cemas, raden akan mendapat kesulitan, gusti"
"O " seru baginda "ya, benar. Akibat merentang kyai Kagapa , tenaganya hilang. Lalu bagaimana
kehendakmu?" "Apabila paduka berkenan melimpahkan anugerah maka hamba mohon agar raden Wijaya
paduka ganjar dengan obat yang dapat memulihkan tenaganya"
Baginda terkesiap "Obat apa yang engkau maksudkan" Benar, memang akupun bermaksud begitu
" "Hamba tak tahu, gus , mohon diampunkan "sembah tumenggung Bandupoyo "tetapi hamba
percaya bahwa paduka tentu tahu apa yang dapat menyembuhkan seseorang yang terkena tenaga-
sakti kyai Kagapati"
Baginda tertegun sejenak, kemudian tampak wajah baginda berseri. "O, ya, benar, tumenggung.
Aku ingat sekarang. Ada dua obat yang dapat menyembuhkan penderitaan itu. Yang pertama air
Tirta Amerta dan kedua minyak Padmasari. Tirta Amerta diminum dan minyak Padmasari
digosokkan keseluruh tubuh"
"O?" tumenggung Bandupoyo berseru girang "air Tirta Amerta dan minyak Padmasari?"
"Ya" kata baginda "air Tirta Amerta itu berasal dari air yang tersimpan dalam batu. Air itu
ramanda rahyang ramuhun Wisnuwardhana yang menemukannya ke ka bertapa di gunung, karena
meloloskan diri dari kejaran prajurit2 Singasari yang diperintahkan eyang Tohjaya untuk
menangkapnya. Tirta Amerta itu kuasa menyembuhkan segala kelumpuhan dan kehilangan tenaga,
bahkan dapat pula menyembuhkan orang yang hampir ma apabila dia belum dikodratkan ma .
Air itu berada dalam sebuah batu yang dibelah oleh ramanda Wisnuwardhana atas tah-gaib yang
diperoleh dari bertapa itu"
"Dan minyak Padmasari itu " ujar baginda lebih lanjut "adalah sari dari bunga Wijayakusuma
yang diperoleh eyang buyut Ken Arok. Menurut cerita eyang buyut, minyak itu pemberian dari
gurunya yaitu brahmana Lohgawe. Waktu brahmana sak itu datang ke Jawadwipa, dia dak naik


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu melainkan menghanyutkan diri di samudera dengan ga helai daun kakatang. Brahmana itu
terhanyut ke samudera selatan dan mendarat di pesisir selatan. Waktu hampir ba di daratan
Jawadwipa, brahmana itu telah mendapatkan sekuntum bunga Wijayakusuma yang terapung-
apung di laut. Menurut sasmita-gaib yang diterimanya, minyak bunga itu dapat menimbulkan
tenaga yang sakti" "Ah" tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar. Ia membayangkan bahwa dengan kedua
obat itu, pas penderitaan raden Wijaya akan tertolong. Cita-citanya untuk menyambut Wijaya
sebagai senopati baru dari kerajaan Singasari, pasti akan menjadi kenyataan.
"Gus " ia menghaturkan sembah "apabila paduka berkenan, sudi apalah kiranya paduka
menganugerahkan kedua obat itu kepada raden Wijaya"
"Ya" baginda mengangguk tetapi ba2 mengerut kening "tetapi, Bandu. Kedua obat itu dak
berada padaku" "O?" tumenggung Bandupoyo terkejut "lalu berada di mana, gusti?"
"Tirta Amerta oleh rahyang ramuhun Wisnuwardhana telah diberikan kepada Teribuana. Dan
minyak Padmasari juga diberikan kepada Gayatri. Ramanda sayang sekali akan kedua cucunya"
"Ah" tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar. Ia mengira kedua obat itu berada
ditempat jauh. Apabila hanya berada ditangan kedua puteri baginda itu, tentu mudah untuk
memohonnya. "Bagaimana, Bandu ?"
"Hamba mohon tah paduka, bagaimana yang harus hamba lakukan untuk memperoleh kedua
obat itu" "Ya, engkau harus menghadap kepada kedua puteriku itu sendiri dan katakanlah bahwa akupun
merestui permohonanmu"
"Terima kasih, gus " sembah tumenggung Bandupoyo dengan gembira " tah paduka pas akan
hamba lakukan." Baginda, mengangguk. Kemudian baginda meneguk tuak lagi. Beberapa saat kemudian baginda
menegur "Bandu, jika sudah tak ada lagi sesuatu yang hendak engkau haturkan, kuperkenankan
engkau mengundurkan diri dari hadapanku"
"Mohon diampunkan kesalahan hamba karena hamba masih hendak mengganggu ketenangan
paduka, gusti" "O", engkau masih hendak mengajukan permohonan lagi?"
"Demikian, gusti, sekira paduka berkenan di hati"
"Tak lain masih mengenai diri raden Wijaya" lanjut tumenggung Bandupoyo "bukan hamba
mendahului kebijaksanaan paduka.. Tidak pula hamba berani lancang ke hadapan paduka,
junjungan yang hamba muliakan. Tetapi hamba hanya sekedar ingin mempersembahkan apa yang
menjadi kandungan hati hamba, demi kepentingan kerajaan Singasari yang hamba cintai"
"Ya, kutahu, katakanlah"
"Gusti, tentulah paduka kelak akan melimpahkan ganjaran besar kepada senopati yang baru itu"
"Ya, tentu saja akan kuganjarnya"
"Sebelumnya hamba Bandupoyo, mohon ampun. Namun apabila paduka berkenan memberi
tah apakah ganjaran yang paduka akan limpahkan kepada senopa itu, sungguh hamba akan
merasa bersyukur tiada taranya"
"Kecuali kedudukan sebagai senopa , kelungguhan tumenggung pun akan kuganjar dengan
tanah dan puteri" "O", ada terperikan gembira ha hamba atas kebijaksanaan yang paduka tahkan. Tetapi, ah .
. ." tumenggung Bandupoyo hentikan persembahan kata-katanya.
"Kenapa Bandu" Apa yang hendak engkau haturkan ?"
Tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah "Mohon paduka melimpahkan ampun atas diri
hamba, Tetapi hamba benar2 takut paduka akan murka apabila hamba persembahkan rangkaian
kata2 yang terkandung dalam hati sanubari hamba, gusti"
"Eh, mengapa hari ini sikapmu aneh sekali, Bandu " Apakah engkau sudah mabuk tuak ?"
"Tidak gusti" "Lalu mengapa engkau tersendat-sendat dalam kebimbangan" Jangan mengganggu waktuku,
katakanlah apa yang hendak engkau persembahkan. Aku takkan murka."
Tumenggung Bandupoyopun gopoh menghaturkan sembah "Terima kasih, gus . Sesungguhnya
hamba ingin mohon perkenan paduka, siapakah puteri yang paduka luluskan sebagai ganjaran
kepada senopati itu ?"
Baginda terkesiap lalu termenung. Rupanya baginda belum siap untuk menerima persembahan
kata tumenggung Bandupoyo sedemikian itu "Mengapa engkau tanyakan hal itu, Bandu " "
akhirnya baginda berujar.
Kembali tumenggung Bandupoyo memohon ampun apabila pertanyaan itu dak berkenan diha
baginda. Namun alasan dari pertanyaan tersebut, bukanlah karena hanya ingin sekedar
mengetahui saja, pun ingin menghaturkan buah pikirannya kepada kerajaan dan khusus terhadap
putera puteri baginda. Berkata tumenggung Bandupoyo lebih lanjut "Ada dua hal yang selalu
membangkitkan keperiha nan ha hamba, gus . Pertama, akan diri gus hamba sang dyah ayu
puteri Teribuana dan Sang dyah ayu puteri Gayatri. Walaupun hamba hanya seorang tumenggung
yang menjadi senopa pendamping paduka, namun pengabdian hamba kepada kerajaan Singasari,
adalah suatu pengabdian yang menyeluruh. Hamba serahkan jiwa raga hamba untuk mengabdi
kepada kerajaan Singasari dan kepada paduka serta puteri-puteri paduka yang sejak kecil
hambapun ikut menjadi inang pengasuh. Hamba amat kasih dan amat sayang sekali kepada kedua
gus puteri hamba itu. Oleh karena itu hambapun ikut periha n setelah kedua junjungan hamba
itu menginjak alam kedewasaan ...."
"Hm" baginda mengangguk-angguk.
"Bahwa dengan penuh rasa kesetyaan, hamba dengan sungguh-sungguh telah menyelidiki dan
mengetahui asal usul keturunan raden Wijaya. Demikian pula, hambapun dengan cermat mengiku
dan meneli sifat, jiwa dan peribadi raden itu. Segala jerih payah hamba itu telah bersua dengan
suatu penemuan, bahwa kelak raden itu pas akan menjadi seorang priagung luhur. Lalu hamba
teringat akan kedua gus junjungan hamba yang sudah remaja puteri itu. Maka dengan
memberanikan diri dan apabila paduka menganggap persembahan kata hamba itu terlalu lancang,
hambapun bersedia menerima pidana ......"
"Cukup Bandu" ujar baginda "kutahu apa yang engkau maksudkan. Ya, aku hampir
melupakan kedua puteriku itu. Teribuana dan Gayatri sudah remaja puteri. Tetapi adakah si
Wijaya itu sesuai menjadi pasangan puteriku itu, aku belum mencapai pada pemikiran sejauh
itu, Bandu" Bandupoyo menghaturkan sembah dengan penuh gairah sekali "Duh,, junjungan hamba yang
bijaksana, Dimuliakanlah kiranya sabda paduka sebagai junjungan seluruh kawula Singasari;
Hambapun tak berani melancangi tah paduka, bahwa raden Wijaya supaya dijodohkan dengan
salah seorang dari kedua puteri junjungan hamba itu. Karena perjodohan itu adalah garis
ketentuan Hyang Batara Agung. Namun apa yang hamba persembahkan tentang diri raden Wijaya
itu hanya suatu angan2 hamba. Angan2 yang tertuju untuk kebahagiaan dan kemuliaan kedua gus
puteri junjungan hamba itu. Dan tertuju pula demi kepen ngan tegaknya kewibawaan kerajaan
Singasari" "Hm" desuh baginda "apakah pertimbanganmu itu berdasarkan keturunan dari Wijaya?"
"Ada dua hal, gus " sembah Bandupoyo "pertama, apabila paduka merestui perjodohan itu
maka tercapailah apa yang disebut 'ngumpulake balung api-sah'. Kerajaan paduka takkan jatuh di
tangan lain orang kecuali pada keturunan moyang paduka sri Pradjnaparamita sang permaisuri
agung Ken Dedes. Dan di-samping itu ... ."
"Eh, mengapa engkau hen kan kata-katamu?" tegur baginda ke ka Bandupoyo diam tak
melanjutkan persembahan kata- katanya.
"Berkenankah paduka,meluluskan hamba, mempersembahkan serangkai cerita tentang kerajaan
Singasari?" "Hm, rupanya engkau sudah mulai mabuk sehingga lidahmu ringan sekali, Bandu. Ya,
berceritalah" "Jauh dari maksud hamba untuk mewarnai cerita hamba ini dengan suatu kesan bersimpul
penilaian. Tetapi hamba hanya mengungkapkan kenyataan yang telah terjadi dalam sejarah
kerajaan Singasari. Siapa salah siapa benar, bukan kekuasaan hamba untuk menilai dan
memang hamba tak bermaksud demikian. Cerita itu berdasarkan kenyataan dalam sejarah
kerajaan Singasari yang didirikan oleh baginda Sri Rajasa sang Amurwabhumi. Setelah baginda
wafat maka putera tiri baginda, yani pangeran Anusapati yang menggantikan. Tetapi kemudian
pangeran Anusapati dicidera oleh raden Tohjaya. Kemudian berkat kerjasama antara raden
Rangga Wuni dengan raden Mahisa Campaka, berhasillah kedua raden itu mengalahkan
Tohjaya. Hamba tak tahu bagaimana ikatan batin antara kedua raden itu tetapi yang jelas maka
yang mengganti tahta kerajaan adalah pangeran Rangga Wuni dengan bergelar sang prabu
Wisnuwardhana. Sedangkan raden Mahisa Campaka hanya menjadi ratu angabaya kemudian
lebih cenderung untuk memasuki dunia kerajaan kesempurnaan batin dan bergelar Batara
Narasingamurti. Kemudian rahyang ramuhun Wimuwardhanapun turun tahta dan menyerahkan
tampuk pimpinan kerajaan kepada paduka. Sedangkan pangeran Lembu Tal, putera Batara
Narasingamuiti tetap mengasingkan diri dalam alam sepi"
"Kini apabila benar2 ikatan ba n antara baginda Wisnuwardhana dengan Batara Narasingamur
itu dapat dikukuhkan oleh putera2 keturunannya dalam tali perjodohan, dakkah hal itu akan
lebih semarak dan memenuhi harapan dari kedua priagung yang luhur budi kebijaksanaannya itu"
Tidakkah kerajaan Singasari akan tetap berada ditangan keturunan kedua priagung luhur itu ?" kata
tumenggung Bandupoyo "tetapi kesemuanya ini hanya angan2 hamba belaka, gus . Karena
kekuasaan adalah pada paduka dan kodrat terletak ditangan Hyang Batara Agung"
"Hal yang kedua" kata tumenggung itu pula "lepas daripada keturunan, maka hamba pandang
raden Wijaya memang memenuhi syarat2 sebagai seorang senopa yang dibutuhkan oleh kerajaan
Singasari. Demikianlah dua hal yang menjadi landasan angan2 hamba dalam mempersembahkan
kata2 kehadapan paduka"'
Baginda mengambil guci tuak dan meneguknya pula. Sampai beberapa saat, baru baginda
berujar. "Bandupoyo" titah baginda "kuterima angan-anganmu itu. Kutahu pengabdianmu kepadaku,
puteri-puteriku dan keluarga raja. Baiklah, Bandu, akan kurestui hal itu tetapi kesemuanya nanti
terserah kepada kodrat Hyang Widdhi. Namun sebagai sarana, haruslah kesemuanya itu
berlangsung secara wajar dan layak. Pertama, rasa sayangku kepada puteri-puteriku memberi
kesadaran bagiku untuk membahagiakan hidupnya. Aku yang ingin membahagiakan mereka,
bukan mereka yang harus membahagiakan aku. Karena aku sudah tua. Engkau tahu, Bandu,
kemana lagi perginya orang2 tua seperti diriku dan engkau ini"
"Oleh karena hal itu menyangkut kebahagiaan puteri-puteriku maka akupun ingin memberi
kesempatan kepada mereka untuk mencari kebahagiaan itu menurut tanggapan kalbunya
sendiri. Memang pilihan mereka bukan suatu ketentuan bahwa aku pasti akan menyetujui.
Tetapi akupun tak mau memaksakan kehendakku kepada mereka apabila hal itu hanya akan
membuat hati mereka menderita. Maka dalam hal perjodohan Wijaya dengan puteri-puteriku itu,
harus berlangsung dengan syarat, hanya akan terjadi apabila puteri-puteriku itupun dapat
menerimanya sebagai suami"
"Dan kedua" masih baginda melanjut "aku seorang raja, harus memegang teguh "sabda pandita
ratu'. Sayembara yang telah ku tahkan itu harus tetap berlangsung sebagaimana mes nya. Dan
siapapun yang beruntung memenangkannya, aku tak mempersoalkan karena hal itu sudah
tercantum dalam ketentuan sayembara. Maka apabila si Wijaya memang sudah digariskan dewata
menjadi jodoh kedua puteriku, tentulah dia yang akan memenangkan sayembara itu. Tetapi kalau
gagal, anggaplah bahwa dia memang tak direstui dewata. Jangan engkau memaksakan upaya untuk
menentang ketentuan dewata, Bandu"
Tumenggung Bandupoyo gopoh menghaturkan pernyataan akan menjunjung tah baginda.
Diam-diam dia girang sekali karena baginda telah merestui permohonannya "Gus , karena paduka
telah berkenan merestui permohonan hamba, apakah paduka berkenan melimpahkan tah kepada
hamba, agar hamba dapat mengumumkan hal itu kepada para ksatrya yang besok akan
bertanding?" "Maksudmu?" "Dalam ketentuan yang tercantum pada sayembara itu, hanya suatu ganjaran kelungguhan
senopa bagi yang menang. Maka alangkah lebih semarak dan pas akan lebih menggelorakan
semangat para ksatrya-ksatrya itu apabila paduka berkenan melimpahkan amanat tentang
ganjaran yang lebih mulia itu"
Baginda terdiam. Baginda membayangkan akan peris wa Wijaya mimpu merentang gendewa
kyai Kagapa . Hal itu merupakan suatu sasmita gaib bahwa tampaknya Wijaya memang direstui
menjadi senopa Singasari. Terbayang pula baginda akan penampilan Wijaya tadi. Wajah, tutur
bahasa dan sikap pemuda itu memang memberi kesan yang baik. Kemudian bagindapun diam2
dapat menerima persembahan kata Bandupoyo mengenai hubungan antara keturunan Rangga
Wuni dengan Mahisa Campaka.
"Sebelum kuambil keputusan terakhir" tah baginda "adalah engkau merasa yakin bahwa si
Wijaya tentu akan memenangkan sayembara itu, Bandu?"
"Memang aneh sekali perasaan yang hamba kandung, gusti" kata Bandupoyo "tetapi hamba
memiliki suatu keyakinan bahwa raden itulah yang akan menang. Dalam tiga lomba
pertandingan hari ini, raden telah menunjukkan keunggulan yang menonjol. Hamba rasa dalam
dua pertandingan besok, raden tentu takkan mengecewakan harapan hamba"
"Baik. Bandu" akhirnya baginda bersabda "kuperkenankan engkau untuk mengumumkan
amanatku ini. Bahwa pemenang dari sayembara itu, kecuali akan diangkat sebagai senopa , pun
akan kuganjar kedua puteriku, dyah ayu Teribuana dan dyah ayu Gayatri"
Serta merta tumenggung Bandupoyo merunduk dan mencium kaki baginda.
"Hai, Baridu" seru baginda "aneh benar engkau ini. Pernah kuganjarmu seperangkat pakaian
kebesaran, kalau tak salah, engkau hanya menghaturkan sembah terima kasih biasa. Tetapi
mengapa kali ini begitu meluap-luap kegembiraanmu sehingga engkau cium kakiku?"
"Ampun gusti, tetapi malam ini benar2 sebesar gunung kegembiraan hamba. Cita2 hamba
akan menjadi kenyataan."
"O", apakah cita-citamu, Bandu ?"
"Sebagai salah seorang juru momong kedua puteri junjungan hamba, sang ayu Teribuana dan
sang ayu Gayatri, hamba mempunyai kesan bahwa kelak kedua puteri itu tentu akan menjadi ratu
luhur yang akan menurunkan raja2 besar di Jawadwipa. Oleh karena itu maka diam2 hamba selalu
berdoa semoga kelak kedua, gus junjungan hamba itu akan mendapat jodoh seorang ksatrya
linuwih. Rupanya doa keinginan hamba akan segera menjadi suatu kenyataan. Maka layaklah
kiranya hamba amat berbahagia malam ini, gusti"
"Ha, ha, ha" baginda Kertanagara tertawa. Kemudian menyambar guci arak pula, setelah
meneguk lalu menyerahkan kepada Bandupoyo "Bandu, hayo, meriahkanlah kebahagiaanmu
dengan tuak" Bergegas tumenggung Bandupoyo menyambu seraya menghaturkan terima kasih. Tetapi ke ka
meneguk guci itu, ia terlongong-longong. Guci itu tak ada isinya lagi.
"Ha, ha, ha" baginda tertawa. Tiba2 baginda hen kan tawa dan berseru dengan nada keras
"Bandu, engkau menger mengapa kucemohkan dirimu supaya meminum guci tuak yang sudah
kosong?" Pucat agaknya wajah tumenggung Bandupoyo menderita perobahan suasana yang sedemikian
sekonyong-konyong datangnya itu. Ia tak tahu apa kesalahannya maka diberanikan diri untuk
mohon penjelasan ke hadapan baginda.
"Hm, engkau ingin tahu kesalahanmu?" ujar baginda "engkau tenggelam dalam laut kegembiraan
sehingga lupa akan tugasmu. Tidakkah layak engkau menerima pidana cemohan tuak?"
"Duh, gusti, hamba dengan tulus ikhlas akan mempersembahkan jiwa dan raga hamba untuk
menerima pidana apapun yang paduka limpahkan. Namun apabila paduka berkenan, hamba
mohon paduka menitahkan apa kesalahan hamba"
"Engkau memohon supaya aku berkenan menganugerahkan obat untuk si Wijaya. Engkaupun
mohon pula supaya aku menambah ganjaran puteri pada ksatrya yang menang dalam sayembara
itu. Kesemuanya itu telah kululuskan sesuai dengan permohonanmu. Tetapi mengapa engkau tetap
berada disini" Mengapa engkau tak lekas2 mengusahakan pertolongan kepada si Wijaya" Bukankah
itu suatu sikap melalaikan kewajiban?"
Gemetar tubuh tumenggung Bandupoyo mendengar tah baginda itu. Ia merasa dan mengakui
memang apa yang di tahkan baginda itu benar "Gus , hamba mohon pidana" serta merta dia
merunduk kepala mencium kaki baginda.
"Bandu, apakah engkau masih seper anak kecil" Mengapa tak lekas engkau mengusahakan
pertolongan untuk si Wijaya!"
Serentak tumenggung Bandupoyopun menghaturkan sembah lalu bergegas mengundurkan diri
dari hadapan baginda. Baginda tertawa. Dengan peris wa itu ia merasa telah memberi suatu
pelajaran kepada senopati pendampingnya.
Sementara Bandupoyo pun melangkah turun dari balairung. Sejenak ia tegak berdiri diam,
pejamkan mata. Ia hendak menghapus segala peris wa yang berlangsung di balairung agar
pikirannya tenang, hati jernih. Setelah, itu, baru dia mulai mempertimbangkan langkah, kemana dia
harus mengayunkan kaki. Menghadap sang dyah ayu puteri Teribuana untuk meminta Tirta Amerta
ataukah ke puri kediaman sang dyah ayu Gayatri untuk meminta minyak Padmasari.
"Ah, mengapa aku bimbang " Lebih dulu aku harus menghadap sang dyah ayu Teribuana"
katanya menimang keputusan. Dan langkahpun diayunkan menuju ke puri tempat kediaman
puteri itu. Belum berapa lama menyusur lorong yang remang, ba2 ia mendengar suara orang menjerit.
Tumenggung itu terkejut sekali dan cepat lari menuju ke arah suara itu. Jeritan itu bernada dari
mulut wanita. Apakah yang terjadi "
Dalam keremangan cuaca malam, samar2 ia melihat sesosok tubuh prajurit bhayangkara sedang
mengayunkan tombak kearah sosok tubuh lain yang menggeletak di rumput. Walaupun ia belum
tahu jelas siapa prajurit bhayangkara itu dan siapa yang akan ditusuknya, namun peris wa itu
tentu gawat karena menyangkut suatu pembunuhan dalam keraton.
Tumenggung Bandupoyo menganggap bahwa lari masih kurang cepat. Ia pernah menerima
ilmu loncat dari gurunya. Ilmu itu disebut Blabak-pangentol suatu ilmu yang pernah dimiliki oleh
ksatrya kedua dari Pandawa Lima yaitu sang Bima atau Wrekudara. Kali ini dalam menghadapi
saat sepenting itu, iapun mencobanya. Dalam tiga empat kali loncatan berhasillah ia mencapai
jarak yang hanya terpisah lima tombak dari prajurit bhayangkara itu. Namun sebelum ia sempat
berteriak menghentikan tindakan prajurit bhayangkara itu, sekonyong-konyong sesosok tubuh
melayang turun dari pagar tembok keraton dan dengan gerak secepat harimau menerkam,
pendatang itu menubruk prajurit bhayangkara dan menyentakkannya ke belakang. Prajurit itu
terlempar dan jatuh ke tanah ....
"Ku , engkau!" saat itu tumenggung Bandupoyopun ba dan segera mengenali siapa pendatang
itu. "O", kakang Bandu," sahut pendatang itu yang tak lain memang Kuti.
"Mengapa engkau kesini?" tanya tumenggung Bandupoyo pula.
"Kakang Bandu, mari kita tolong orang itu dulu" Ku dak menanggapi pertanyaan Bandupoyo
melainkan mengingatkannya akan orang yang masih menggeletak di rumput.
"O?" tumenggung Bandupoyo tersadar lalu berpaling menghampiri orang itu "hai, engkau Wijaya
....!" teriaknya terkejut sekali. Orang yang rebah di tanah dan hendak ditusuk tombak oleh prajurit


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bhayangkara tadi, ternyata Wijaya sendiri.
"Wijaya, kenapa engkau?" serta merta tumenggung Bandupoyo berjongkok mengangkat kepala
Wijaya. dilihatnya wajah Wijaya pucat dan mulut mengeluarkan buih yang berbau tuak.
Tumenggung Bandupoyo cepat dapat menyadari apa yang telah terjadi pada diri Wijaya. Jelas
pemuda itu telah rubuh tak sadarkan diri karena mabuk tuak.
Sementara itu karena mendengar jeritan tadi yang ternyata keluar dari mulut seorang dayang
maka beberapa prajurit bhayangkara yang malam itu bertugas menjaga keamanan puri keraton,
berbondong-bondong datang. Mereka terkejut ke ka melihat tumenggung Bandupoyo tengah
berjongkok memangku kepala seorang lelaki yang menggeletak tak sadarkan diri.
Tumenggung Bandupoyo memberi isyarat memanggil dua orang prajurit bhayangkara. Mereka
disuruh memanggul Wijaya "Tunggu dulu" kata tumenggung Bandupoyo lalu mengeliarkan pandang
dan menatap pada dayang yang berdiri di dekat pagar tembok "Hai, kemari engkau."
Dayang itu gemetar sehingga langkah kakinya bergontai. Ia memberi sembah kepada tumenggung
Bandupoyo. "Mengapa engkau menjerit " Bukankah engkau yang menjerit tadi " " tegur tumenggung
Bandupoyo, "Sendika gusti " kata dayang itu masih gemetar.
"Engkau dayang puri keputrian mana?"
"Hamba dayang sang dyah ayu gusti hamba Gayatri, gusti menggung"
Atas perintah tumenggung Bandupoyo maka dayang itu memberi keterangan bahwa waktu ia
hendak menuju ke puri keputren, ia terkejut melihat sesosok tubuh terhuyung-huyung dan rubuh
di tanah. Serentak iapun menjerit karena terkejut dan takut. Tiba2 muncul seorang prajurit
bhayangkara. Dayang menunjuk kearah orang yang rebah itu dan prajurit bhayangkarapun terus
menghampiri dan hendak menusuk dengan tombaknya.
"Hm?" desuh tumenggung Bandupoyo kemudian bertanya kepada prajurit itu "mengapa engkau
hendak membunuh orang ini ?"
"Hamba bergegas lari karena dayang itu menjerit dan atas petunjuknya, hamba melihat seorang
lelaki rebah diatas rumput. Jelas dia bukan prajurit, bukan nayaka, bukan pula abdi keraton.
Hamba anggap dia tentu seorang penjahat yang berani masuk kedalam keraton dan ...."
"Hendak engkau bunuh?" tukas tumenggung Bandupoyo
"Benar" "Mengapa tidak engkau tangkap saja" Mengapa harus engkau bunuh ?"
"Hamba kuatir dia hanya pura2 maka daripada didahului, hambapun mendahuluinya"
"Siapa namamu?"
"Hamba Katang Lumbang, gusti"
"Engkau anggap benarkah tindakanmu itu?"
"Hamba seorang prajurit bhayangkara yang bertugas menjaga keselamatan keraton Singasari.
Se ap orang yang berani masuk kedalam keraton tanpa idin apalagi pada malam hari, tentu akan
hamba bunuh" "Apakah engkau menerima perintah demikian" "
"Ya" "Tidak!" bentak tumenggung Bandupoyo dengan keras "engkau salah taksir atau memang
sengaja menyalah tafsirkan perintah itu. Akupun pernah menjabat pimpinan pasukan bhayangkara
keraton. Aku juga pernah mengumumkan perintah itu kepada se ap prajurit yang bertugas.
Perintah itu aku masih ingat jelas bahwa sd ap orang yang berani memasuki keraton tanpa idin,
harus ditangkap. Apabila melawan, diwenangkan untuk membunuhnya. Engkau
dak memperlihatkan sikap untuk menangkap tetapi terus langsung hendak membunuhnya. Apa
alasannya?" "Karena hamba takut dia hendak mempedayakan hamba"
"Bukankah engkau dapat menegurnya lebih dulu" Atau memerintahkan supaya menyerah"
Mengapa dak engkau lakukan hal itu kecuali engkau menurutkan hawa nafsumu untuk
membunuhnya?" Katang Lumbang tak menjawab melainkan memandang tumenggung Bandupoyo dengan pandang
keheranan. "Mengapa ki tumenggung menyalahkan ndakanku tadi?" Demikian pertanyaan yang
terbawa dalam pandang matanya.
"Engkau menganggap orang itu tentu penjahat, bukan?"
"Demikian, gusti"
"Bagaimana engkau hendak membuk kan dia seorang penjahat atau bukan apabila engkau
bunuh" Bukankah perintah mengatakan supaya ditangkap dulu. Mengapa" Karena dapat didengar
keterangannya. Ingat, Katang Lumbang, kerajaan Singasari itu sudah memiliki undang-undang yang
mengatur segala sesuatu menurut ketentuan dalam hukumnya. Yang bersalah dihukum, yang tak
bersalah dibebaskan. Perintah
dak boleh main bunuh tetapi supaya ditangkap, adalah
berlandaskan pada undang-undang keadilan di kerajaan Singasari. Sekalipun dia memang masuk
kedalam kerajaan tanpa idin dan menggeletak di lorong dalam keraton pada waktu malam begini,
tetapi belum tentu dia bersalah. Engkau tahu siapa dia?"
"Hamba tak tahu, gusti"
"Dia adalah ksatrya yang siang tadi berhasil memenangkan sayembara merentang busur kyai
Kagapati. Dan kedatangannya kemari adalah atas titah seri baginda"
"O", hamba mohon maaf gusti"
"Hm, ingat Katang Lumbang" ancam tumenggung Bandupoyo "apabila kelak kudengar laporan
engkau ber ndak main bunuh lagi, akan kumohonkan pidana kepada baginda supaya engkau
dipecat dan dihukum"
Selesai memberi dampratan yang pedas kepada Katang Lumbang, tumenggung Bandupoyo segera
ayunkan langkah menuju ke puri kediaman puteri Teribuana dengan diiring oleh kedua prajurit
yang memanggul Wijaya. Sudah tentu puteri amat terkejut menerima kedatangan tumenggung itu "Paman, mengapa
andika berkunjung kemari pada hari semalam ini" Adakah rama prabu hendak menyampaikan tah
kepadaku ?" "Tidak gus ayu " kata Bandupoyo. Dia sudah biasa berbicara dengan puteri karena sejak puteri
masih kecil, dia juga sering momong dan mengiringkan apabila puteri bercengkerama ke taman
"kedatangan paman ini memang penting tetapi pun tidak penting"
"Eh, apa maksud paman?" puteri Teribuana agak heran.
"Pen ng karena paman hendak mohon pertolongan kepada gus ayu" kata Bandupoyo " dak
penting karena hal itu bukan menyangkut urusan negara"
"Katakanlah yang jelas, paman. Pertolongan apakah yang paman hendak minta kepadaku ?"
"Apakah gusti ayu berkenan memberi pertolongan ?"
"Eh, paman, mengapa engkau bersikap seper orang luar kepadaku" Masakan paman yang sering
momong sejak aku masih kecil, tak tahu akan perangai ha ku " Katakan, paman memerlukan
pertolongan apa ?" "Gus ayu" kata Bandupoyo "andaikata paman sakit dan mohon gus ayu memberi pertolongan
obat, dapatkah gusti meluluskan ?"
"Tentu paman" "Terima kasih, gus ayu. Tetapi andaikata lain orang yang sakit, dapatkah gus meluluskan
pertolongan juga?" "Ya" "Mohon gusti ayu melimpahkan keterangan, apakah dasar daripada pendirian gusti ayu itu?"
"Menolong itu suatu kebahagiaan, paman"
"O?" tumenggung Bandupoyo mengerut kening "apakah bukan suatu dharma dari apa yang
disebut dana ?" "Benar, paman " kata sang puteri "tetapi aku menafsirkan lain dan merasakan suatu perbedaan
walau pun kecil, antara dharma dan kebahagiaan itu. Dharma itu suatu laku, suatu kewajiban.
Sedangkan kebahagiaan itu suatu pancaran rasa. Dharma, suatu laku untuk mencapai suatu
kebahagiaan dan lain- lainnya. Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang dicari melainkan mbul dari
perasaan ha . Orang berdharma agar mendapatkan ketenangan, kebahagiaan atau sesuatu yang
diinginkan. Mungkin dia akan bersua, mungkin dak. Tetapi bahagia dalam ha ku untuk menolong
orang itu, sudah tumbuh, bersemi dan mekar dalam ha ku tanpa aku harus mencarinya dalam
dharma itu" "O?" tumenggung Bandupoyo mendesuh. Diam2 ia terkejut dalam ha bahwa puteri yang baru
saja menginjak alam kedewasaan itu, sudah memiliki pandangan hidup yang begitu nggi. Rasanya
seper baru beberapa waktu ke ka ia masih sering mengiringkan kedua puteri itu bermain-main di
taman, ternyata kini dia sudah berhadapan dengan seorang puteri yang dewasa "ah, aku sudah tua
" keluhnya dalam hati.
"Siapakah yang hendak mohon pertolongan itu" Apakah paman sendiri?" ba2 puteri.Teribuana
menegur tumenggung yang masih terpukau dalam ketegunan itu.
"Terima kasih, gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo "sekali lagi paman hendak mohon
penjelasan gus ayu. Apakah gus dak membedakan orang yang hendak mohon pertolongan itu"
" "Membedakan bagaimana maksud paman?"
"Misalnya yang hendak minta tolong itu paman dengan orang yang belum gusti kenal ".
"Sifat dan tujuan memberi pertolongan itu sama, tak kubeda-bedakan. Menolong orang yang
benar2 membutuhkan pertolongan merupakan suatu kebahagiaan kepadaku. Mungkin kalau
berbeda, hanyalah terletak pada cara pelaksanaannya belaka tetapi tetap tak mengurangi bobot
dari pertolongan itu, paman"
"Terima kasih, gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo "sebelumnya paman mohon maaf apabila
paman sebagai orang tua lancang ucap, kurang tata"
"Sudahlah, paman, katakan saja" puteri Teribuana tak sabar. Memang antara tumenggung
Bandupoyo dengan kedua puteri baginda itu akrab sekali hubungannya sehingga Bandupoyo dak
lagi menyebut diri dengan sebutan 'hamba', tetapi dengan 'paman'.
"Gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo "bukankah gus hadir untuk menyaksikan lomba
sayembara yang dilangsungkan siang tadi?"
"O", ya" "Menurut penilaian gus ayu, acara lomba yang manakah yang paling menarik dan
menggemparkan?" "Merentang gendewa pusaka kyai Kagapati"
"Ya, paman juga menganggap begitu. Lalu apakah kesan gus ayu terhadap ksatrya yang berhasil
merentang gendewa pusaka itu?"
Puteri Teribuana terkesiap. Agaknya terbayang pula ksatrya muda yang memenangkan
sayembara itu "Dia seorang ksatrya yang sakti"
"Hanya itu?" Puteri Teribuana memandang tumenggung itu "Apa maksud paman?"
"Tidakkah gus -puteri berkenan merasa gembira apabila ksatrya itu yang akan menjadi senopa
kerajaan Singasari?"
Teribuana tersipu-sipu. Wajahnya agak bersemu merah "Aku gembira karena Singasari bakal
memiliki seorang senopati muda yang sakti mandraguna"
Tumenggung Bandupoyo tersenyum dalam hati. Diam2 ia telah mencuri pandang,
menyelimpatkan perhatian pada sikap dan wajah puteri raja itu. Sebagai seorang tua, iapun
tahu apa sesungguhnya yang terpercik dalam hati puteri itu.. Namun ia tak mau mendesak
karena kuatir puteri akan malu.
"Tetapi bukankah ksatrya itu rubuh setelah merentang gendewa?" tiba2 puteri bertanya.
"Benar, gusti ayu" sahut tumenggung Bandupoyo "dan sampai sait ini ksatrya itu sakit"
"Sakit?" puteri agak terkejut cemas.
"Ya. Mungkin dalam pertandingan besok, dia tak dapat ikut sehingga gagallah harapannya untuk
meraih gelar senopati"
"Ah" puteri Teribuana mendesah napas.
"Memang suatu peris wa sedih yang patut disayangkan, gus " kata tumenggung Bandupoyo
dengan nada rawan "pada hal menurut paman, dialah yang layak dan wajib menjadi senopa
kerajaan Singasari" Heran puteri mendengar kata2 tumenggung itu "Apa kata paman" Kalau dia memenangkan
sayembara, memang layaklah kalau dia menjadi senopa . Tetapi mengapa paman mengatakan dia
wajib menjadi senopati Singasari?"
"Yah" tumenggung Bandupoyo menghela napas "oleh karena paman tahu akan diri ksatrya itu
sehingga paman berani mengatakan dia memang wajib menjadi senopa yang akan menjaga
tegaknya kewibawaan kerajaan Singasari"
"Paman kenal dengan ksatrya itu " Siapakah dia?" mulailah perhatian puteri Teribuana
tertarik. "Gusti ayu, berat rasanya hati paman untuk menerangkan hal itu"
"Mengapa paman?"
"Karena paman sudah berjanji kepadanya, takkan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya"
Puteri Teribuana makin terpikat "Paman, mengapa paman memperlakukan aku seper orang
lain" Ar nya, mengapa paman tak percaya kepadaku " Dan pula, adakah rahasia diri ksatrya itu
akan menimbulkan malapetaka kepadanya apabila, paman mengatakan kepadaku ?"
"Tidak, gusti ayu" kata Bandupoyo "tetapi paman sudah berjanji kepadanya"
"Baik, paman" kata puteri "apabila paman mengatakan hal itu kepadaku, akupun berjanji kepada
paman, takkan mengatakan hal itu kepada siapapun juga"
Tumenggung Bandupoyo tertawa dalam hati. Sebenarnya ucapan puteri itu bersifat latah dan
masih kekanak-kanakan. Dia menceritakan kepada puteri, puteri lalu mengatakan kepada orang
ketiga yang berjanji akan menyimpan rahasia. Orang ketiga menyiarkan kepada orang keempat
dengan syarat, harus menyimpan rahasia. Orang keempat kepada orang kelima, kelima
kepada keenam dan terus berkelanjutan entah sampai orang yang ke berapa. Sudah tentu
setiap orang yang menerima keterangan itu, berjanji akan menyimpan rahasia. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, rahasia itu menjadi rahasia umum atau rahasia yang bukan rahasia lagi.
Namun bukan itulah tujuan tumenggung Bandiipoyo. Ia memang mempunyai tujuan tertentu
dan tujuan tertentu itu menghendaki sarana harus membuka rahasia diri Wijaya "Baiklah, gus
ayu. Paman akan menceritakan siapa sesungguhnya ksatrya itu. Sebenarnya dia masih kerabat
dengan paduka sendiri, gusti ayu"
"Paman Bandu!" seru puteri Teribuana setengah menjerit kaget.
"Gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo dengan sikap tenang "siapakah eyang paduka itu,
gusti?" "Eyang prabu Wisnuwardhana"
"Pernahkah paduka mengenal seorang eyang lagi?"
"Siapa paman?" "Eyang Batara Narasingamurti, gusti ayu"
"O, ya. Benar paman. Eyang Narasingamur menjadi ratu angabaya dalam pemerintahan eyang
prabu Wisnuwardhana"
"Benar, gus ayu," kata tumenggung Bandupoyo "ratu angabaya adalah senopa agung yang
membawahi seluruh pasukan Singasari dan menjadi tulang punggung kekuatan kerajaan.
Sesungguhnya kerajaan Singasari itu diperintah oleh kedua eyang paduka sang prabu
Wisnuwardhana dan gus Ratu Ahgabaya. Dahulu kedua priagung luhur itu bahu membahu
berulang untuk melawan pangeran Tohjaya sehingga berhasil merebut tahta singgasana kerajaan
Singasari. Kemudian dengan semangat persatuan dan persaudaraan, kedua priagung luhur itu
sama2 memegang tampuk pimpinan kerajaan. Sang prabu Wisnuwardhana memegang pimpinan
pemerintahan dan sang Batara Narasinga memegang kekuasaan pasukan"
"O, ya, aku tahu akan hal itu, paman" kata puteri Teribuana "adakah hal itu mempunyai
hubungan dengan ksatrya muda itu?"
"Paman hendak melanjutkan cerita paman dulu gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo, "prabu
Wisnuwardhana berputera baginda Kertanagara yang sekarang ini atau rama prabu paduka. Tetapi
tahukah gusti puteri, siapa putera gusti Narasinga itu?"
Puteri Teribuana tertegun beberapa jenak "Sejak lahir kemudian mulai mengenal urusan
kehidupan, aku hanya mendengar tentang sejarah perjuangan eyang prabu Wisnuwardhana tetapi
sedikit sekali mengetahui tentang kehidupan eyang Narasinga dan putera keturunannya. Jika tak
salah eyang Narasinga memang mempunyai putera tetapi aku tak tahu di mana paman itu
sekarang" "Benar gus ayu " kata tumenggung Bandupoyo "putera dari gus Narasinga memang
mengundurkan diri dari masyarakat ramai dan hidup menyepi di pegunungan"
"Lalu siapakah namanya, paman?"
"Gusti Lembu Tal"
"O?" desuh puteri Teribuana "apakah beliau masih hidup ?"
"Masih" kata tumenggung Bandupoyo "dan gusti Lembu Tal pun mempunyai putera"
"O", siapakah putera paman Lembu Tal itu?"
"Raden Wijaya, gusti ayu"
"Kakang Wijaya" Eh, benarkah aku harus memanggil kakang, paman?"
"Benar, gusti ayu. Raden Wijaya lebih tua dari paduka."
"Lalu dimanakah kakang Wijaya sekarang"'"
"Disini, gusti ayu"
"Eh" puteri Teribuana terkejut "dia di sini" di pura Singasari?"
"Bukan melainkan di pura Singasari tetapi pun berada di keraton paduka"
"Paman!" hampir bernada teriakan kata2 puteri dikejut keterangan tumenggung Bandupoyo
"apakah engkau berolok-olok, paman?"
"Tidak, gusti ayu. Paman mengatakan yang sebenarnya. Raden Wijaya saat ini memang
berada di keraton Singasari dan bahkan sedang menunggu di luar puri keputren ini"
Agak gemetar ha puteri Teribuana mendapat keterangan itu "Paman, amat ba2 sekali
peris wa ini terjadi. Aku bingung paman, haruskah aku keluar menyambutnya" Tetapi paman, aku
belum mengenalnya, layakkah aku"."
"Layak, gus ayu" kata tumenggung Bandupoyo tersenyum "karena raden memang hendak
menghadap paduka" "Kakang Wijaya hendak menghadap aku ?" teriak puteri Teribuana ah, mengapa paman tak
lekas2 mengatakan hal itu kepadaku " Bukankah terlalu lama dia sudah menunggu diluar"
Mungkin dia akan menganggap aku seorang puteri yang angkuh"
"Apakah gusti ayu hendak menemuinya?"
"Ya " "Jika demikian mari paman iringkan" kata Bandupoyo. Puteri Teribuanapun segera melangkah
keluar. Tiba di pendapa puteri melihat dua orang prajurit bhayangkara sedang duduk menjaga
seorang yang tengah rebah di lantai. Melihat puteri, kedua prajurit bhayangkara itupun memberi
sembah. "Paman, mana kakang Wijaya ?" tegur puteri karena tak melihat barang seorang pemuda yang
berada di pendapa itu. "Itulah, gusti ayu" tumenggung Bandupoyo menunjuk pada orang yang rebah di lantai.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia?" puteri makin terkejut "tetapi mengapa dia rebah ?"
Tumenggung Bandupoyo memberi perintah supaya kedua prajurit itu mengangkat tubuh Wijaya
agar duduk. Bergegas kedua prajurit itupun melakukan perintah.
"Hai . . . . " puteri Teribuana menyurut mundur ditegang kejut yang mengguncang dinding
hatinya, "dia, dia apakah bukan ksatrya yang dapat merentang gendewa kyai Kagapati itu ?"
Tumenggung Bandupoyo tersenyum "Benar.gus ayu. Memang ksatrya sak yang paduka
saksikan dapat merentang gendewa kyai Kagapati pagi tadi, adalah dia"
"Lalu dimana kakang Wijaya"
"Dialah raden Wijaya itu, gusti ayu"
"Oh?" desuh puteri. Perasaan ha nya dibuncah oleh bermacam rasa namun tak sempat puteri
itu untuk meneli perasaan apakah yang sesungguhnya sedang menghambur dalam ha itu. Yang
disaksikannya, Wijaya duduk pejamkan mata, kepala melentuk, "benarkah keterangan paman itu ?"
ia masih hendak meyakinkan penglihatan, pendengaran dan perasaannya.
"Paman tak pernah bohong kepada gusti ayu"
"Tetapi mengapa dia melentuk seperti orang sakit" Apakah dia sakit ?"
"Raden itulah yang hendak hamba mohonkan, obat kepada paduka. Oleh karena itu terpaksa
paman bawa kemari" "Mengapa dia seperti tak sadarkan diri" Beratkah luka yang dideritanya?"
"Dia memang tak sadar tetapi hal, itu bukan dikarenakan sakit yang dideritanya melainkan
karena sedang mabuk tuak, gusti ayu"
"Mabuk tuak?" untuk kesekian kalinya, puteri Teribuana meregang kejut lagi. Dia benar2 dak
menger apa yang sedang dilakukan tumenggung Bandupoyo dalam ucapannya yang selalu
menimbulkan kejutan itu. Setelah menenangkan diri, puteripun berkata: "paman, kuminta paman
menceritakan keterangan yang jelas agar jangan selalu membingungkan hatiku"
Tumenggung Bandupoyopun mulai menceritakan tentang raden Wijaya yang di tahkan
menghadap baginda, amanat baginda yang berkenan merestui langkah2 Bandupoyo untuk
mengusahakan pertolongan agar sembuh dari luka yang dideritanya "Dalam hal itu baginda
mengutus paman supaya menghadap gus ayu untuk memohon air Tirta Amerta dan menghadap
gus ayu Gayatri untuk memohon minyak Padmasari. Hanya dengan khasiat kedua obat itu barulah
raden dapat ikut serta dalam sayembara tanding besok pagi. Apabila dak, tentulah raden
terpaksa mengundurkan diri karena keadaannya tak mengidinkan"
Termangu-mangu puteri Teribuana mendengar peristiwa yang dibawakan tumenggung itu. Ia
tak meyangka sama sekali bahwa impian yang dialaminya beberapa waktu yang lalu, akan
menjadi suatu kenyataan. Memang kira2 setengah tahun yang lalu, puteri pernah bermimpi
aneh. Puteri seperti melihat seekor. harimau putih yang rebah terhampar ditengah jalan. Puteri
mengira harimau itu mati tetapi ternyata masih hidup dan ketika melihat kehadiran puteri tiba2
harimau itu me-rintih-rintih minta pertolongan "Hanya padukalah gusti puteri, yang mampu
menyembuhkan penyakit hamba ini ... ."
Puteri tak pernah mengatakan mimpi itu kepada siapapun juga. Namun secara samar ia
mendapat penjelasan dari beberapa acarya atau pandita yang mengajarnya ilmu sastera, bahwa
menurut hikmah tafsiran tentang mimpi, harimau itu perlambang dari seorang pri-agung besar.
Dan apabila yang bermimpi itu seorang wanita, maka wanita itu akan segera mendapat jodoh
seorang priagung "Ah" puteri Teribuana tersipu-sipu dalam ha manakala teringat akan mimpi dan
tafsiran yang diperoleh dari sang acarya itu.
"Gus ayu" ba2 tumenggung Bandupoyo berkata "adakah gus ayu tak berkenan memberi
pertolongan kepada raden itu ?"
Puteri Teribuana agak terkejut "Bukan begitu, paman. Aku sedang memikirkan mengapa kakang
Wijaya begitu pucat dan lunglai?"
"Telah hamba katakan " sahut tumenggung Bandupoyo "bahwa raden telah dianugerahi dua
cawan tuak harum oleh baginda. Raden tak biasa minum sehingga dia mabuk. Besok dia tentu
sudah segar kembali. Tetapi yang paling dideritanya adalah kehilangan tenaga akibat merentang
gendewa kyai Kagapa itu. Oleh karena itu apabila paduka berkenan, sudilah paduka segera
menganugerahkan air Tirta Amerta itu agar besok raden dapat mengikuti sayembara."
Puteri Teribuanapun meluluskan. Puteri segera masuk kembali kedalam puri. Namun bayangan
wajah Wijaya tetap melekat di pelupuknya. Serentak pula terbayang kembali ulah Wijaya dalam
sayembara pagi tadi. Sejak pertama menyaksikan penampilan pemuda itu, puteripun sudah
mempunyai kesan baik. Namun ia tak berani mengharap lebih banyak dari pada kesan yang
membayang dalam sanubarinya itu. Ia tak pernah mengharap bahwa rama prabu Kertanagara akan
berkenan memanggil pemuda itu menghadap ke keraton. Tak pernah berani mengharap bahwa
pemuda itu masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja. Dan lebih tak pernah
berani memimpikan bahwa ksatrya muda itu akan berada di puri kediamannya.
Bergegas pula puteri Teribuana mengambil air Tirta Amerta lalu membawanya keluar dengan
penuh lamunan, harapan dan cita-cita yang indah.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 21 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Sebenarnya bukan hanya sekali itu sang dyah ayu Teribuana bertemu dengan Wijaya. Pertemuan
pertama, terjadi di taman Boboci yang indah permai. Kala itu Dyah Teribuana bersama adindanya
sang Dyah Gayatri dengan diiring oleh para dayang dan sekelompok prajurit bhayangkara yang
dipimpin bekel Mahesa Rangkah, berkenan bercengkerama menikmati keindahan taman itu.
Taman Boboci itu, dahulu dibangun oleh akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, untuk
membahagiakan ha permaisurinya Ken Dedes yang amat dicintainya itu. Tunggul Ametung yang
jauh lebih tua dari permaisurinya, tak menghiraukan segala beaya dan tenaga untuk membangun
taman Boboci itu. Akuwu itu amat bersukacita demi menerima berita bahwa isterinya yang masih
muda dan teramat can k itu telah mulai mengandung. Demi menyambut berita itulah maka sang
akuwu menitahkan supaya membangun sebuah taman yang seindah Inderaloka.
Walaupun dengan lebih memperketat pemungutan cukai kepada para kawula sehingga seluruh
kawula Tumapel menggigil panas dingin karena beban pajak yang harus dideritanya, akuwu
berhasil membangun sebuah taman indah yang diberi nama Boboci. Namun dia gagal untuk
membangun dua hal yang pen ng. Membangun ha para kawula Singasari agar lebih mantap
kesetyannya kepada akuwu Tumapel sebagai junjungan yang dapat memberi pengayoman lahir
batin dan kesejahteraan hidup yang penuh kebijaksanaan.
Para kawula tak melihat, merasakan suatu manfaat apa-apa dari pembangunan taman megah
yang telah menelan beaya besar dan tenaga yang tak terperikan jumlahnya, kecuali hanya suatu
kebanggaan bahwa Tumapel sebagai pura pusat pemerintahan telah memiliki pula sebuah taman
yang indah dan megah. Namun rasa bangga itu harus tertelan lenyap, dalam rin h keluhan beban
cukai yang mereka harus menanggung kepada akuwu. Kecuali pula, mereka menyaksikan permaisuri
akuwu Tumapel yang can k jelita mengunjungi taman itu dalam suatu perarakan yang
menakjubkan. Suatu pertunjukan yang menyedapkan pandang mata segenap kawula tetapi ha
berkeluh perut merintih. Dan yang kedua, akuwu Tumapel tetap gagal membangun ha sang permaisuri Ken Dedes.
Kiranya permaisuri can k itu tak tertambat ha nya pada anugerah sang akuwu yang berupa
sebuah taman indah. Ha wanita can k itu masih tetap dirundung gundah kelana, mengenangkan
nasib ramandanya empu Purwa di Panawijen. Betapa sedih dan kesepian ramandanya hidup
seorang diri di pertapaan. Dia adalah puteri tunggal dari empu itu. Dia telah dilarikan oleh Tunggul
Ametung ke ka akuwu itu sedang berburu di mur gunung Kawi. Seke ka bergetarlah ha akuwu
Tumapel itu ke ka melihat kecan kan Ken Dedes. Ia segera memerintahkan prajurit pengiringnya
untuk memboyong Ken Dedes ke Tumapel tanpa seidin empu Purwa yang saat itu sedang bertapa.
Ken Dedes takut akan kekuasaan akuwu yang besar sehingga ia menyerahkan diri kepada
kehendak akuwu itu. Namun hanya raga yang diserahkan, jiwanya tetap merana. Tiap malam ia
berdoa memohon pengampunan kepada ramandanya. Pernah karena melihat permaisurinya selalu
murung, akuwu menitahkan sepasukan prajurit untuk menjemput empu Purwa ke Tumapel. Tetapi
empu itu sudah menghilang.
Dua jenis kegagalan akuwu Tumapel itu, menyangkut peris wa yang mudah tetapi sukar, sukar
tetapi mudah. Keduanya menyangkut perasaan ha rakyat dan Ken Dedes. Kawula Tumapel tak
dapat dihibur dengan pembangunan sebuajh taman yang megah dan indah yang oleh akuwu
dikatakan sebagai kebanggaan pura Tumapel. Namun para kawula tahu bahwa yang terselubung
dalam pembangunan taman Boboci itu tak lain hanyalah untuk memuaskan ha Ken Dedes. Untuk
kepuasan seseorang permaisuri cantik, kawula harus menanggung beban cukai yang berat.
Pun ha Ken Dedes tak terbeli oleh taman indah itu. Pernikahannya dengan akuwu Tunggul
Ametung hanyalah berdasarkan rasa takut akan kekuasaan akuwu itu, bukan berdasarkan cinta.
Dan rasa cinta itu mahal sekali harganya, tak terbeli dengan harta permata se nggi- bukit, dicipta
dan dielu- elu menurut sekehendak orang. Tetapi manusia adalah makhluk dewata yang berjiwa.
Jiwa yang merupakan unsur-unsur pikiran, perasaan dan perpaduan dari indriya-indriya pelengkap
raga sempurna. Hati para kawula adalah perasaan. Hati Ken Dedespun perasaan. Keruntuhan Tunggul
Ametung, bersumber pula pada salah langkah dalam kedua hal itu. Ken Arok muncul, cepat
mendapat tempat di hati Ken Dedes dan kawula Tumapel. Bosan pada yang lama,
menginginkan yang baru, sudah umum menjadi sifat manusia. Terutama apabila yang lama itu
lapuk dan buruk, keinginan untuk mendapat yang baru, melimpah ruah bagai air bah. Demikian
akuwu Tunggul Ametung harus mengalami peristiwa demikian. Dalam pandangan kawula
Tumapel dia seorang penguasa yang lapuk. Tidak mengayomi tetapi membebani kawula. Bagi
Ken Dedes, akuwu itu seorang suami yang buruk -usia, jasmani dan perangai.
Adakah hal itu memang terlaksananya zat tuah dari kutukan empu Purwa kepada akuwu yang
berani melarikan puterinya. Tetapi yang nyata, setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arokpun
dapat mempersun ng Ken Dedes dan menggan kan kedudukan sebagai akuwu Tumapel. Para
kawula polah menerima kenyataan akan hadirnya Ken Arok sebagai akuwu baru.
Memang dalam peris wa pembunuhan Tunggul Ametung itu, Ken Arok menggunakan siasat
meminjam tangan Kebo Hijo untuk membunuh Tunggul Ametung. Namun
adanya suatu kehebohan dalam peris wa itu, adanya suatu kerusuhan atas pengangkatan Ken Arok menjadi
akuwu, menunjukkan bahwa kepergian Tunggul Ametung itu tak diiringi, rasa duka dan setya dari
para kawula. Mengapa dak Ken Dedes saja yang tetap menjadi akuwu puteri sampai nan putera
yang dikandungnya itu sudah lahir " Bukankah para narapraja dan kawula Tumapel tahu bahwa
pada saat Tunggul Ametung ma dibunuh, Ken Dedespun sudah mengandung " Mengapa mereka
menerima Ken Arok sebagai suami Ken Dades dan sekaligus menggan kedudukan akuwu Tumapel
" Peris wa itu merupakan hakekat dari nilai perasaan ha yang tak ternilai oleh Tunggul Ametung,
seorang penguasa yang mengabaikan perasaan kawula. Seorang akuwu yang mengira bahwa
kekuasaan itu berarti segala-galanya.
Demikian perasaan ha kawula. Demikian perasaan ha wanita dan demikian pula perasaan ha
sang dyah ayu Teribuana. Sejak pertemuan dengan Wijaya di taman Boboci dulu, masih membekas
bayang-bayang anakmuda itu dalam ha nya. Pernah ia dikejutkan oleh kemunculan Ku yang tak
meminta imbalan suatu apa ke ka menemukan kembali kaca wasiat yang hilang dulu, kecuali
hanya ingin mendapat keterangan sang puteri tentang bayang-bayang dari pria yang diidam-
idamkan kelak menjadi pasangan hidupnya. Saat itu Teribuana makin terbayang jelas akan wajah
Wijaya. Sebenarnya saat itu pula ia hendak mengulir Ku tetapi sebagai seorang puteri luhur, ia tak
mau ramanda baginda akan dicelah orang. Maka kepada Ku , puteripun hanya memberi jawaban
yang singkat padat bahwa ia hanya akan menikah dengan seorang ksatrya luhur. Dan dikala
mengucapkan kata-kata itu, terbayanglah wajah Wijaya dipelapuknya ....
Tiba2 puteri Teribuana terkesiap manakala langkahnya telah ba di pendapa peranginan dan
pandang matanya tertumbuk akan seorang muda yang terbaring melentuk dipangkuan seorang
prajurit keraton. Wajah itu tak asing baginya. Wajah dari ksatrya muda yang siang tadi telah
menggemparkan suasana gelanggang pertandingan karena berhasil merentang gendewa pusaka
kyai Kagapa . Tetapi amatlah berbeda keadaannya sekarang dengan siang tadi. Jika siang tadi dia
tak ubah seper seorang senopa gagah perkasa yang sedang tanding kesak an memanah dengan
lawan. Sekarang seperti seorang yang lunglai, pucat wajahnya.
"Gusti ayu, inilah raka paduka raden Wijaya," kata tumenggung Bandupoyo sembari menunjuk ke
arah paduka. Puteri Teribuana tertegun "Apakah dia pingsan, paman?"
Tumenggung Bandupoyo mengangguk "Demikianlah tetapi karena mabuk tuak."
"Mabuk tuak ?" puteri terkesiap heran.
Bandupoyo mengangguk lalu menuturkan tentang peris wa ke ka Wijaya menghadap baginda
"Mungkin raden tak pernah minum sehingga dia mabuk dan rubuh di lorong taman. Hampir saja
terjadi peris wa yang tak diinginkan," kembali ia menceritakan tentang ribut2 di mana karena
mendengar seorang dayang menjerit, seorang prajurit bhayangkara bergegas datang terus hendak
menombak Wijaya. "Ah," puteri Teribuana menghela napas longgar. Ia merasa bersyukur karena tak sampai terjadi
peristiwa yang amat tak diinginkan.
"Paman, lekaslah paman usahakan untuk menolongnya dengan air Tirta Amerta ini," putripun
memberikan cupu yang berisi air itu kepada tumenggung Bandupoyo. Tumenggung itu menyadari
bahwa tentulah sang puteri malu untuk langsung, meminumkan air itu kepada, Wijaya. Ia segera
menyambu lalu meminumkan ke mulut Wijaya, kemudian menyerahkan kembali cupu itu kepada
puteri. Pada waktu kecil puteri selalu keluar ke taman, apabila pada malam hari terjadi gerhana
bulan "Kemanakah rembulan itu, mban?" tanya puteri kepada seorang dayang pengasuh. Dan
Pedang Kayu Harum 25 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 18
^