Pencarian

Dendam Empu Bharada 25

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 25


ba n dan mencari kebenaran dan keadilan. Barangsiapa dak suci ba nnya, yang angkara murka,
yang jahat, pas akan lebur tanpa-dadi betapapun dia seorang pandita resi atau ksatrya senopa
yang sakti dan memiliki senjata pamungkas pemberian dewapun.
Sri Kresna telah marah dan mengata-ngatai sang Resi Bisma yang waktu itu menjadi senopa
agung pasukan Korawa karena resi Bisma telah mengumbar hawa nafsu, melepaskan pusaka Suri
Panatas yang menyebabkan beribu-ribu prajurit fihak Pandhawa rubuh seperti kehilangan tenaga.
Waktu hari pertama menjabat sebagai senopati agung Korawa maka Resi Bisma segara
mengatur gelar Wukir Jaladri untuk menghadapi pasukan Pandhawa dibawah pimpinan Resi
Seta putera sulung dari kerajaan Wiratha, yang mengatur gelar Braja Tiksna Lungid. Dalam
perang campuh yang amat dahsyat itu akhirnya berhadapanlah senopati Resi Bisma dengan
senopati Resi Seta. Keduanya sama-sama resi yang sakti dan sama-sama pula menjadi
senopati agung. Dalam kemelut pertempuran yang dahsyat, di medan palaga, kereta perang Resi Seta makin
maju ke tengah dan mendekati kereta Resi Bisma. Pertama Resi Bisma mencelat keluar dari
rata ketika dihantam, pusaka Resi Seta. Resi Bisma naik lagi ke rata lalu melepas panah
pacar-wutah sehingga Resi Setapun mencelat dari keretanya. Resi Seta loncat pula ke dalam
rata dengan mencekal bindi dia menerjang ke arah rata Resi Bisma. Resi Bismapun segera
menghujani anakpanah, tetapi tubuh Resi Seta seperti menyala dan beratus-ratus anakpanah
itupun tak mempan jatuh di dadanya. Akhirnya Resi Bisma melepas senjata pamungkas kyai
Cundarawa. Waktu panah itu mengenai tubuh Resi Seta, terdengar letusan dahsyat. Resi Seta
terlempar dari kereta tetapi tetap masih hidup. Dia hanya merasakan sakit tetapi tak menderita
luka sama sekali. Kini Resi Seta mengamuk. Ia menerjang dan menghantamkan bindi kepada lawan. Resi Bisma
dapat menghindar tetapi keretanya hancur lebur berkeping-keping. Resi Bismapun segera
mencabut keris pusaka kyai Udanmas yang menyala-nyala seper api. Melihat itu Resi Seta gan
pusaka gada kyai Lukitapa yang juga memancarkan cahaya api. Keduanya segera banda-yuda
melangsungkan pertempuran dahsyat sekali. Namun akhirnya Resi Seta berhasil menyabatkan gada
kepada lawan sehingga Resi Bisma terlempar jauh dari medan.
Resi Bisma teringat akan ibundanya dewi Ganggawati seorang Bidadari dari Kahyangan. Ia
segera bersemadhi. Dewi Ganggawati turun dari kahyangan dan memberi pusaka Suri Panatas
senjata milik sang Hyang Gangga. Suri Panatas dapat menjadi senjata apa saja menurut cipta
kehendak yang menggunakan. Resi Bisma tak mungkin kalah dengan siapa saja asal selama
dalam perang itu terus menerus menggunakan panah itu dan sekali-kali tak boleh
melepaskannya di medan perang.
Akhirnya dengan pusaka Suri Panatas itu gugurlah Resi Seta.
Hari kedua Resi Bisma tetap manteg aji mengumbar kesak an pusaka Suri Panatas sehingga
barisan Pandhawa menderita kerusakan besar. Melihat itu marahlah Sri Kresna. Rata segera
diterjangkan ketengah barisan Korawa untuk menghampiri rata Resi Bisma. Serta dekat Sri Kresna
loncat turun dari rata dan siap melepaskan senjata cakra. Sri Kresna mengata-ngatai resi itu dan
menantangnya untuk mengadu kesak an antara pusaka Suri Panatas dengan Cakra agar perang
Bharatayuda lekas selesai. Tetapi apabila terjadi hal itu Sri Kresna memperingatkan bahwa dewata
tentu akan murka karena Resi Bisma berani merobah kodrat yang telah digariskan dewata.
Tiba pada lamunan itu tersiraplah darah Bandupoyo "Memang dak layak Resi Bisma
menggunakan senjata pusaka yang bukan miliknya tetapi milik lain orang maka tak heran kalau Sri
Kresna sampai murka. Hm, benar," pikirnya.
"Tetapi bukankah Sri Kresna sendiri juga dak jujur karena selalu mengatur siasat yang kurang
ksatrya sifatnya, bahkan siasat menipupun digunakannya terhadap pandita Drona dengan
menyiarkan berita bahwa Haswatama ma . Pandita Drona yang amat sayang akan puteranya
Aswatama seke ka gugur nyalinya dan luluh semangatnya. Ia segera bertanya kepada prabu Punta-
dewa tentang kebenaran berita itu. Karena telah dihimbau oleh Sri Kresna maka sang prabu
Puntadcwa pun mengatakan bahwa benar gajah Haswatama ma . Tetapi kata2 gajah itu diucapkan
dengan pelahan sekali sehingga pikiran pandita Drona yang sudah bingung, menangkapnya sebagai
Aswatama," tumenggung Bandupoyo menimang-nimang dan menilai bahwa ndakan Sri Kresna itu
kurang ksatrya. "Dengan memberitahu kepada raden Wijaya tentang kelemahan Ku , bukankah aku juga
bertindak curang seperti Sri Kresna?" ia terkesiap sesaat tiba pada pertanyaan itu.
Lama tumenggung Bandupoyo tenggelam dalam renungan. Ia ingat bahwa menurut cerita, Sri
Kresna itu adalah san Hyang Wisnu. Tetapi mengapa dia ber ndak demikian " Akhirnya bersua
juga jawabannya. Sri Kresna tahu akan kodrat yang telah digariskan ketentuan dewata bahwa
perang Bharatayuda itu harus terjadi, tak dapat dihindari lagi. Karena maknanya perang itu adalah
untuk membersihkan segala kekotoran dunia. Kekotoran dari ba n manusia yang penuh nafsu
kejahatan dan angkara murka. Juga medan terakhir untuk menghimpaskan segala karma, hutang
piutang dendam dan jiwa. Pandita Drona harus ma untuk menebus segala dosa dan cara2 yang
dilakukan Sri Kresna itu hanya suatu sarana yang menuju kepada terlaksananya kodrat melalui
peperangan besar. Serentak tergugahlah pikiran tumenggung Bandupoyo "Jika demikian langkahku untuk
mengusahakan kemenangan bagi raden Wijaya itu memang sudah kodrat. Bukankah
keberhasilan raden itu untuk merentang gandewa pusaka kyai Kagapati sudah, merupakan
perlambang kodrat Prakitri yang telah direstui dewata" Jika aku memberitahukan kelemahan
Kuti, tak lainpun hanya suatu sarana untuk terlaksananya garis2 ketentuan dewata agung."
"Pemilihan senopa Singasari itu menyangkut nasib dan kepen ngan negara Singasari. Apabila
senopa itu jatuh ke tangan orang yang besar nafsu haus kekuasaan seper Ku , kerajaan tentu
makin rusak. Bukankah saat ini Singasari sedang lemah kekuatan ?" renungan Bandupoyo makin
meningkat " aku tahu akan hal itu dan akupun dapat berusaha. Namun apabila aku berpeluk
tangan sehingga Ku berhasil menjadi senopa , bukankah aku harus bertanggung jawab akan
kerusakan praja " "
Makin bangkitlah semangat tumenggung itu "Ini menyangkut kepen ngan kerajaan. Kepen ngan
negara harus diletakkan di atas segala kepentingan peribadi, perguruan dan semua-semuanya."
"Dan akupun seorang mentri kerajaan. Aku harus melaksanakan tah raja. Kiranya apabila masih
hidup, bapa guru tentu takkan menyalahkan ndakanku karena bapa gurupun sudah tahu
bagaimana sifat Ku sehingga pada saat hendak menutup mata, bapa guru telah memberitahu
kelemahan Ku kepadaku. Aku akan minta kepada raden Wijaya supaya jangan membunuh. Ku
tetapi cukup kalau dirubuhkan saja. Dengan demikian akupun hanya bermaksud menghalangi dia
supaya jangan sampai menjadi senopati Singasari dan sekali-kali bukan menghendaki jiwanya."
Pada saat itu ba2 tumenggung Bandupoyo dikejutkan oleh suara kokok ayam yang terdengar
sayup2 dari luar keraton "Ah, hari hampir pagi, aku harus segera mendapatkan raden Wijaya untuk
memberitahukan rahasia Kuti."
Serentak tumenggung itupun beranjak dari tempat duduk dan pelahan-lahan mengayunkan
langkah menuju ke asrama tempat penginapan raden Wijaya.
Wajahnya yang kuyu tampak merekah segar dibelai percik embun dinihari.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 22 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Tatkala mentari pagi menyinari bumi, tampak di alun-alun Singasari, rakyat berbondong-
bondong menuju ke sebuah bangsal yang dibangun tepat di muka paseban si -inggil keraton
Singasari yang megah. Sepintas mereka menyerupai ribuan semut beriring-iring menuju ke sarang.
Hari itu adalah hari kedua atau hari terakhir dari sayembara pilih-senopa yang diadakan
kerajaan Singasari. Kemarin mereka telah menyaksikan suatu pertandingan ketrampilan ilmu
bertanding dengan naik kuda, ilmu memanah dan adu kesak an tenaga dengan merentang busur
pusaka keraton Kyai Kagapa . Mereka amat terkesan sekali dengan penampilan ksatrya-ksatrya
yang ikut dalam sayembara itu.
Rakyat terhibur menyaksikan peris wa itu. Bukan hanya mata yang terangsang, pun ha mereka
merekah harapan besar. Bahwa ternyata bumi Singasari masih memiliki putera-putera yang sak -
mandraguna yang akan dibebani tugas sebagai senopa penjaga pura kerajaan dan kawula
Singasari. Maka merekapun pagi-pagi sudah menuju ke alun-alun agar mendapat tempat yang enak. Tetapi
banyak yang mengkal kecewa karena ternyata jajaran paling depan dekat dengan ang- ang
umbul-umbul dan panji-panji yang mengelilingi gelanggang banyak yang sudah di tempa orang.
Mereka mengira kedatangannya tentu yang paling pagi tetapi ternyata masih banyak yang datang
lebih pagi lagi. Mereka rela berdiri dijemur sinar matahari sampai sejam dua jam lamanya, menunggu
pertandingan dimulai. Hal itu menunjukkan betapa besar perha an para kawula terhadap
sayembara pilih senopati itu.
Tiap jengkal matahari naik, ap jengkal tanah alun-alun dipenuhi manusia. Dan pada saat
pertandingan ba saatnya akan dibuka, keadaan sekeliling gelanggang itu seper tergenang lautan
manusia. Sorak-sorai menggelegar, mengguncangkan bumi pura Singasari ketika rakyat menyambut
gegap gempita penampilan demang Widura ke atas mimbar yang berada di depan gelanggang.
Sorak bergemuruh segera sirap seketika sesaat terdengar bende bertalu mendengung-
dengung. Setelah memberi hormat ke arah bangsal agung tempat para mentri agung, senopati,
nayaka, adipati kerajaan menyaksikan pertandingan itu. Diantaranya tampak kedua patih luar-
dalam yani rakryan patih Kebo Arema atau Kebo Anengah dan rakryan patih Raganata, rakryan
demung Mapanji Wipaksa, rakryan kanuruhan Mapanji Anurida dan kelima pamegat, Tirwan,
Kandamuhi, Manghuri, Jmba, Panjangjiwa. Mentri Angabaya tumenggung Wirakreti, dan lain-
lain mentri terkemuka. Seri baginda Kertanagara tak berkenan hadir melainkan diwakili oleh
kedua puteri baginda, sang dyah ayu Teribuana dan sang dyah ayu Gayatri, putera menantu
baginda pangeran Ardaraja. Kehadiran dari para priagung sangat menyemarakkan kewibawaan
suasana saat itu. Disamping menunjukkan betapa penting arti pemilihan senopati itu bagi
Singasari. Setelah mengucapkan sambutan pembukaan dan mengemukakan betapa pen ng ar pemilihan
senopa itu bagi keselamatan kerajaan Singasari, maka demang Widurapun menentukan syarat-
syarat pertandingan adu ulah kanuragan itu. Antara lain dikatakannya "Bahwa senafas dengan
tujuan kerajaan Singasari untuk membuka pintu bagi para taruna ksatrya yang ingin
menyumbangkan dharma-bhak kepada negara, maka se ap peserta baik yang berhasil atau gagal
dalam pertandingan itu, tetap akan diterima menjadi perwira, tamtama dan prajurit Singasari"
Sorak sorai gemuruh riuh.
"Oleh karena itu," setelah memberi isyarat agar para penonton diam, demang Widura
melanjutkan pula "jangan hendaknya para ksatrya yang ikut dalam sayembara ini melupakan
tujuan pokok itu. Kita sebangsa, kawula Singasari. Setanah air, tanah air Singasari. Sekaum, kaum
ksatrya dan se-dharma, dharma mengabdi negara. Hendaknya di jauhkan segala keinginan untuk
menjadikan gelanggang adu ulah kanuragan ini sebagai medan pertumpahan darah, medan
permusuhan dan medan dendam kesumat. Tetapi hendaknya jadikanlah gelanggang ini sebagai
suatu medan menguji, sampai pada tataran bagamanakah ilmu yang dimiliki masing2. Medan
untuk saling tukar pengetahuan dan pengalaman, medan untuk mengikat persahabatan dan
medan untuk mempersembahkan dharma-bhakti kepada tanahair Singasari "
Bergetar serasa alun-alun pura Singasari diguncang sorak-sorai yang menggelegar laksana gunung
menggempa. "Maka dalam pertandingan ini, hanya dibenarkan menggunakan ketangkasan tangan dan kaki,
dak dibenarkan menggunakan senjata apapun juga. Se ap peserta yang tampil di gelanggang,
apabila rubuh ke tanah, luka atau tak luka, akan dianggap kalah"
Demikian antara lain ketentuan-ketentuan yang dicanangkan demang Widura dalam mengantar
dimulainya sayembara adu ulah kanuragan itu. Dan diumumkan pula setiap peserta dapat langsung
tampil ke tengah gelanggang apabila ingin mengadu kesak an dengan ksatrya yang memenangkan
pertandingan sebelumnya. Setelah gelombang sorak sorai sirap maka tampillah seorang lelaki tinggi besar ke tengah
gelanggang. Seorang ksatrya yang gagah perkasa seperti ksatrya Bratasena, demikian di
sana-sini terdengar penonton berbisik-bisik dengan kawannya.
Setelah memberi hormat ke arah bangsal agung dan ke sekeliling penonton, lelaki gagah perkasa
itu berseru dengan suara menggeledeg "Aku Boga dari tanah Keling," dia memperkenalkan diri,
"dalam pertandingan kemarin, aku menderita kegagalan. Sebenarnya aku harus mengundurkan diri.
Tetapi demi mendengar pernyataan ki demang tadi, tergugahlah semangatku. Ki demang memang
benar. Kalah atau menang dalam pertempuran adalah sudah jamaknya. Kalau dak menang tentu
kalah. Aku tak berani menghrap tentu akan menang tetpi pun tak memas kan tentu akan kalah.
Pun andaikata kalah, aku tetap akan mendapat pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Aku
akan kembali ke gunung lagi untuk menuntut ilmu yang lebih nggi, karena ilmu kepandaianku
jelas masih rendah."
"Orang jujur" seru sementara penonton setelah mendengar pernyataannya.
Tetapi ada pula yang memberi penilaian dalam nada mencemoh "Bukan jujur tetapi pintar. Dia
mengatakan begitu untuk menjaga kemungkinan apabila dia kalah supaya tidak malu."
Memang demikianlah penonton. Menonton suata pertunjukan, memang mudah. Tetapi menjadi
penonton yang baik, daklah mudah. Biasanya, mereka terpengaruh, terangsang o!eh apa yang
disaksikan kemudian cenderung untuk membentuk kesan dan anggapan lalu melahirkan rasa,
entah senang entah marah.
Hak se ap orang untuk memberi penilaian asal janganlah penilaian itu dilahirkan dalam gerak,
sorak dan cemooh yang akibatnya akan mempengaruhi peserta pertandingan yang tak mereka
senangi sehingga mengganggu ketenangan pikiran mereka, menjerumuskan ke arah kekalahan.
Suara berbisik itupun sirap manakala di gelanggang tampil seorang lelaki gagah perkasa.
Perawakan yang gagah, makin diperkasakan dengan dada bidang yang bertumbuh rambut lebat,
dilengkapi dengan keperbawaan dari kumisnya yang lebat, jambang yang menjulai ke bawah
bersambut rambut janggut yang mengembang liar bagai semak belukar.
"Bagus," terdengar penonton berteriak memuji lelaki itu "benar-benar lawan yang setanding."
Lepas daripada bagaimana kesak an dari kedua lelaki gagah perkasa itu, rakyat yang mengelilingi
gelanggang itu amat terkesan sekali dengan perawakan mereka. Terlintas dalam angan-angan
penonton, itulah kiranya bentuk seorang senopati yang berwibawa!
"Banteng lawan macan!" teriak penonton di sebelah sana.
"Duryudana lawan Sena" teriak dari lain ujung. Rupanya penonton itu terpengaruh akan cerita
Bharatayuda bagian perang tanding antara Duryudana prabu Astina lawan sang Sena, ksatrya
Pandawa yang tinggi besar gagah perkasa.
Sebagaimana peserta yang tampil terdahulu, lelaki gagah itupun menghaturkan sembah ke arah
bangsal agung lalu ke sekeliling penonton "Aku Sengguruh dari tanah Bahuwerna, ingin juga untuk
ikut dalam sayembara ini agar mendapat pengalaman kemudian dia menghadap Boga "Ki sanak,
kuharap ki sanak bermurah hati untuk memberi pelajaran dalam ulah kanuragan kepadaku."
"Sengguruh," seru Boga "apakah engkau maklum di mana engkau berada saat ini " "
"Ya. Di gelanggang adu kanuragan."
"Engkaupun tahu mengapa engkau berhadapan dengan aku ?"
"Tahu, untuk mengadu ulah kanuragan."
"Engkau tahu pula apa tujuan sayembara ini ?"
"Memilih senopati."
"Kiranya engkau sudah mengetahui semua," seru Boga "jika demikian, janganlah engkau
menghambur kata-kata merendah sehingga mempengaruhi ha lawanmu. Apakah engkau hendak
membuat supaya hatiku lunak kepadamu ?"
Terdengar gelak tertawa sekalian rakyat. Dan Sengguruhpun merah mukanya "Tidak, ki sanak.
Aku hanya sekedar mentaa apa yang telah dicanang ki demang tadi bahwa sayembara ini sifatnya
mencari ksatrya-ksatrya gagah yang ingin membak kan diri kepada kerajaan. Sekali-kali bukan .
suatu ajang untuk bunuh membunuh, dendam mendendam."
"Siapa yang mendendam" Kalau engkau dapat mematahkan tulang pinggangku, akupun rela
meninggalkan gelanggang ini."
Sengguruh mengangguk-angguk. Dia menyadari bahwa yang dihadapinya itu seorang yang jujur
dan berterus-terang kata. Dia juga seorang yang memiliki sikap begitu maka diapun senang dengan
orang itu. "Baiklah, mari kita mulai "
Boga menyambut pernyataan lawan dengan melangkah maju dan secara terang-terangan, dia
terus menghantam dada Sengguruh.
Sengguruh terkejut. Polos orang, bersahaja juga cara menyerangnya. Diapun menanggapi gaya
permainan lawan. Tak mau dia menyingkir melainkan terus menyongsongnya dengan pukulan juga.
Krak, dua kerat tulang keras saling beradu dan tampak keduanya menarik tangan masing-masing.
Walaupun dak mengeluarkan desuh kesakitan, tetapi kerut wajah mereka berbicara. Dahi Boga
mengerut, urat-urat dahi Sengguruh tampak menggelembung. Keduanya sama menahan kesakitan.
Boga yang berderak lebih dulu lagi. Dia melompat menerkam lawan. Tetapi kali ini rupanya
Sengguruh yang menyadari akan tenaga lawan lebih unggul dari dirinya, tak mau terangsang lagi
untuk mengimbangi gaya permainan lawan. Dia mengisar langkah menghindar ke samping lalu
secepat kilat menerpa leher lawan.
Boga ternyata bukan seorang jago sembrono seper yang tampak dalam gerak-geriknya. Ia
mengendap ke bawah lalu merobah pukulan yang masih menjulur itu dengan sebuah gerak
sambaran ba- ba. Apabila berhasil, tentulah pinggang Sengguruh akan tercengkam. Tetapi
Sengguruh cukup waspada. Ia menyurut selangkah ke belakang lalu menerjang dengan sebuah
pukulan yang keras. Demikian babak pertama dari adu ulah kanuragan itu telah diisi dengan pertandingan yang
menarik dari dua orang ksatrya yang setanding, baik dalam perawakan maupun dalam tenaga.
Rakyat terpikat perhatiannya.
Namun sebagaimana hukum setiap peristiwa, ada Mula tentu ada Akhir, maka pertempuran yang
seru dan dahsyat dari kedua lelaki nggi besar itu mengalami ke-akhiran juga. Tetapi keakhiran
pertempuran itu agak luar biasa. Diawali oleh mbulnya pemikiran dari Boga bahwa jika
pertempuran itu berlangsung dalam cara demikian tentulah sukar diketahui akan berakhir sampai
berapa lama. Pada hal sudah hampir sejam mereka berbaku serang, masing-masing mengeluarkan
bahkan hampir seluruh ilmu kepandaiannya, namun tetap belum ada yang kalah. Maka
bertekadlah Boga untuk melakukan suatu langkah yang menentukan. Langkah itu memang
berbahaya tetapi dia sudah bertekad untuk mengakhiri pertempuran itu. Disebut berbahaya,
bukan hanya untuk lawan pun juga untuk dirinya. Tetapi dalam pertempuran, kalau dak menang
tentu kalah. Demikian pertimbangan Boga.
Kesempatan yang dinantikan Boga telah tiba. Pada saat itu, Sengguruh tengah melayangkan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan kepadanya. Boga tak mau menangkis maupun menghindar melainkan malah maju
menyongsong. Duk ..... duk ....
"Gila!" teriak penonton ke ka menyaksikan cara Boga saat itu. Ternyata Boga memberikan
dadanya dihunjam pukulan Sengguruh, tetapi diapun menghunjamkan pukulannya ke dada lawan.
Rupanya Boga memang menghendaki cara demikian dengan per mbangan bahwa ia memiliki daya
tahan pukulan yang cukup hebat. Paling-paling dia akan menyeringai kesakitan tetapi ia percaya
lawan tentu akan rubuh terjerembab apabila terkena tinjunya.
Boga memang seorang jago yang sembada. Bertubuh nggi besar, gagah perkasa, bertenaga kuat
tahan-pukulan dan memiliki pukulan sekeras gada. Di daerah Keling, dia disegani orang. Bahkan
anak kecil yang menangis pada malam hari, apabila ibunya mengatakan akan mengundang Boga,
anak itupun segera berhenti menangis karena ketakutan.
Demikianlah pertimbangan dan perhitungan yang telah diambil Boga. Tetapi sayang dia hanya
memperhitungkan kekuatan diri sendiri tanpa memperhitungkan kekuatan lawan. Hal itu
disebabkan karena dia tak mengetahui siapa Sengguruh. Dan memang karena wataknya yang
jujur, dia memandang segala sesuatu dengan penilaian yang sederhana "Mengapa harus
menilai kekuatan lawan" Yang penting harus percaya pada kekuatan diri sendiri," demikian
alam pikiran lelaki tinggi besar dari tanah Keling yang bernama Boga itu.
Dia gembira karena melihat Sengguruh terjerembab jatuh tetapi diapun terkejut karena
dadanya serasa tertimpa sebuah gada yang berat sehingga napas serasa berhenti, mata
berkunang-kunang dan kakipun terangkat. Dia tak kuasa lagi mempertahankan keseimbangan
tubuh yang terdampar ke belakang. Bluk, bluk ....... terdengar dua sosok tubuh yang terbanting
ke tanah. Sengguruh dan Boga sama terpelanting rubuh ke tanah.
Bende bertalu talu mendengung-dengung. Sesaat dengung bende berhen maka demang
Widurapun berseru nyaring "Kedua ksatrya yang bertanding ini, karena kedua-duanya rubuh maka
kedua-duanyapun dinyatakan kalah."
Sorak sorai bergemuruh menggempita. Boga dan Sengguruh berbangkit dan melangkah keluar
gelanggang. Mereka ingin melanjutkan bertempur lagi tetapi keputusan demang Widura tak dapat
digugat terpaksa merekapun keluar dengan membawa rasa heran.
"Ki sanak, engkau benar-benar hebat," ba- ba Boga lari menghampiri Sengguruh dan
memeluknya. "Ah, engkau yang hebat," sahut Sengguruh.
Rakyat yang memenuhi sekeliling gelanggang itu makin bersorak gembira ke ka menyaksikan
kedua lelaki nggi besar itu saling berpelukan sebagai sahabat. Suasana gelanggang pertempuran
tak mengesankan ketegangan tetapi lebih memancarkan suasana yang gembira.
Beberapa saat kemudian muncullah seorang lelaki muda ke tengah gelanggang. Wajahnya cakap
dan dak menampakkan tanda-tanda sebagai seorang ksatrya yang perkasa. Menilik dandanannya
dia bukan orang Singasari atau Daha. Suasana sunyi seke ka, rakyat mengemasi perha an untuk
mengetahui siapakah gerangan ksatrya muda itu.
Pun cara dia memberi hormat ke arah bangsal agung daklah dengan cara menyembah seper
yang dilakukan Boga maupun Sengguruh tadi, tetapi hanya dengan cara membungkukkan tubuh
dan kepala. Kemudian kepada penonton disekeliling gelanggang dia hanya melambaikan tangan.
"Aku Munding Larang dari negeri Galuh," baru dia berkata memperkenalkan diri sampai disitu,
bergemuruhlah suara rakyat di sekeliling gelanggang. Desuh dan dengus dari beribu-ribu penonton
menimbulkan kumandang suara macam dengung kawanan lebah di onggok dari sarangnya.
Munding Larangpun tak mau melanjutkan kata-katanya. Setelah dengung suara sirap barulah dia
berseru pula "telah tersiar jauh ke negeriku di belah surya tenggelam, bahwa ksatrya-ksatrya
Singasari itu sak mandraguna. Maka wara-wara bahwa kerajaan Singasari membuka sayembara
untuk memilih senopa kerajaan, sangatlah menarik hasratku. Dengan kesempatan ini, dapatlah
aku membuk kan kabar-kabar tentang kesak an ksatrya Singasari itu. Maka kepada segenap
ksatrya Singasari yang ikut serta dalam pertandingan adu kanuragan ini, kuharap supaya tampil ..."
Pada saat ksatrya dari Galuh mengucap sampai pada kata-kata itu, seorang lelaki bertubuh nggi
lari ke tengah gelanggang dan berseru "Hai, orang manca, jangan lancang ucap. Akulah yang akan
menghadapi engkau." Munding Larang memicingkan mata, memandang pendatang itu. Ia agak terkejut ke ka
mengenali orang itu sebagai pemilik kuda hitam yang telah menghebohkan lapangan didekat pasar
pada. beberapa hari yang lalu.
"Ki Jangkung," serunya tenang "engkau lupa belum memperkenalkan diri kepada para penonton "
"Tidak perlu," sahut orang jangkung itu "kehadiranku di tengah gelanggang ini adalah untuk
menyambut tantanganmu. Aku akan memperkenalkan diriku setelah dapat merubuhkan engkau."
"Sayang " Munding Larang tertawa.
"Apa maksudmu " "
"Sayang bahwa maksudmu itu tak bakal tercapai "
"Hm, manusia bermulut besar" lelaki bertubuh nggi itu menggeram, lalu terus bersiap-siap
hendak menyerang. "Tunggu dulu," seru Munding Larang pula sehingga orang itu nggi terkesiap "Mengapa" Apakah
engkau takut ?" serunya.
"Ya" sahut Munding Larang "aku memang takut, adakah Singasari yang disohorkan sebagai
sumber ksatrya-ksatrya gagah, mengapa yang muncul hanya seorang manusia seper engkau"
Adakah Singasari memang sudah kehabisan ksatrya ataukah memang orang semacam engkau ini di
Singasari sudah dianggap ksatrya yang sakti ?"
Bukan main marah orang nggi ke ka mendengar cemoh yang dilontarkan Munding Larang itu
"Jangan bermulut besar di Singasari, orang congkak," dia terus menyerang Munding Larang.
Munding Larang menghindar ke samping. Gerak langkahnya tangkas dan tepat. Pada saat lawan
menerjang, dia sudah berkisar ke samping dan menerpa lambung lawan.
Rakyat terkejut menyaksikan adegan itu. Mereka mengira bahwa orang tinggi itu tentu akan
rubuh dalam sekali gebrak saja. Tetapi diluar persangkaan orang, termasuk Munding Larang
sendiri, ternyata tangannya telah menerpa angin. Lelaki tinggi itu sudah loncat beberapa
langkah ke muka. Walaupun keadaannya seperti orang lari dikejar anjing, tetapi dia tetap dapat
menyelamatkan diri dari tangan Munding Larang.
Bergemuruh sorak penonton menyaksikan ulah si Jangkung yang aneh dan lucu.
"Ho, begitukah ngkah ksatrya Singasari dalam ilmu ulah kanuragan ?" Munding Larang
mendengus. Ia memburu. Tiba2 seorang nggi itupun berputar tubuh dan menyongsongkan
pukulan. Bum ! ..... terdengar bunyi mendebum keras ke ka tubuh orang nggi itu terpelan ng jatuh ke
tanah. Ternyata pukulannya tak berhasil menghantam kepala Munding Larang karena ksatrya dari
Galuh itu dapat mengendap dan ayunkan kaki mengait kaki lawan. Setelah berhasil merubuhkan
lawan, Munding Larang bercekak pinggarg menggagah dihadapan orang nggi. Ke ka orang nggi
itu hendak menggeliat bangun, dia ditendang pula oleh Munding Larang, plak ....
Orang nggi berguling-guling di tanah dan Munding Larangpun maju menghampiri pula. Sedianya
dia hendak menendang lagi tetapi sebelum sempat melaksanakan niatnya, sekonyong-konyong
terdengar sebuah bentakan dahsyat menyerupai aum harimau lapar.
"Hai, berhenti! "
Munding Larang terkejut mendengar suara menggeledek yang dilepas dari aji Senggara-macan
itu. Cepat ia berputar tubuh. Lima langkah dihadapannya tegak seorang lelaki tegap berkulit hitam.
Mata orang itu berkilat-kilat tajam memandang Mundirg Larang dengan penuh kemarahan. Agak
tergetar ha Munding Larang, namun dia tenangkan diri dan menegurnya. "Apakah engkau yang
mengeluarkan aji suara geledek tadi" "
"Ya " sahut orang itu dergan nada mantap, "engkau seorang ksatrya tetapi hina sekali lakumu.
Lawan yang sudah rubuh menurut peraturan pertandingan sudah dianggap kalah, mengapa engkau
masih hendak mencelakainya?"
"O.." Munding Larang mendesuh cemoh "kukira karena hanya terpelan ng jatuh dan belum
terluka, dia masih belum menyerah. Adakah semudah itu ksatrya Singasari menyerah pada lawan?"
"Engkau memang jumawa sekali seper yang dikatakan lawan tadi," seru orang berwajah hitam
"atau apakah memang telingamu rusak sehingga engkau tak mendengarkan pengumuman dari ki
demang tadi ?" "Hm" desuh Munding Larang, "dia belum menyatakan menyerah."
"Ki sanak," seru orang berkulit hitam itu pula "jika ksatrya macam engkau berhasil diangkat
sebagai senopa kerajaan Singasari, akulah orang pertama yang takkan tunduk kepada
perintahmu." Merah muka Munding Larang "Sudahlah, jangan banyak cakap. Yang berhak menentukan siapa
yang akan menjadi senopa , bukanlah engkau tetapi hasil dari pertandingan ini. Ketahuilah,
gelanggang ini tempat adu nggi rendahnya ilmu kanuragan bukan tempat adu lidah. Lekas engkau
menyingkir jika engkau takut mati."
"Ki sanak .... "
"Siapa namamu !" hardik Munding Larang.
"Aku Tunggak Jati dari pegunungan Watulima."
"Orang Singasari ?"
"Ya." "Hayo, lekas mulai saja. Engkau yang menyerang dulu atau aku" Silakan"
Munding Larangpun tak mau banyak cakap lagi. Dia terus loncat menerjang. Tunggak Ja
menyongsong dengan sebuah pukulan. Krak, keduanya tersuiut selangkah ke belakang. Diam-diam
Munding Larang mengerut dahi. Ia rasakan njunya seper pecah. Ternyata Tunggak Ja memiliki
tangan yang amat keras sekali.
Tunggak Ja menyerang, tangan kanan menabas leher, tangan kiri menukik lambung. Munding
Larang yang tahu akan keampuhan tangan lawan, tak mau menangkis. Dia cepat menyurut
selangkah lalu menyelinap ke samping dan balas menerpa tengkuk lawan. Tetapi Tunggak Ja pun
tangkas sekali mengisar langkah, menghindar ke samping.
Demikian keduanya bertempur dengan seru dalam gerak dan gaya yang lincah, tangkas dan
berbobot. Tetapi lama kelamaan, tampak juga keunggulan ksatrya dari Galuh itu atas lawannya.
Pada suatu kesempatan, dia berhasil memperangkap lawan dan menerpanya jatuh. Tetapi
Munding Larang tak berani berbuat seper terhadap orang nggi tadi karena ia tahu bahwa
Tunggak Ja bukan kalah dalam ar kalah unggul ilmunya melainkan karena salah langkah sehingga
tergelincir jatuh. Juga ia menyadari bahwa ksatrya dari pegunungan Watulima itu memiliki tangan
yang sekeras besi. "Silakan bangun, ki sanak," seru Munding Larang "kita lanjutkan pertempuran lagi."
Tunggak Ja berbangkit "Tidak, engkau menang karena aku telah tergelincir jatuh," dan dia terus
melangkah tinggalkan gelanggang.
"Hayo, siapa lagi ksatrya Singasari yang hendak menghadapi aku," teriak Munding Larang.
"Aku, ki sanak," seorang lelaki muda melangkah ke tengah gelanggang dan berhen berhadapan
dengan Munding Larang. "O " desuh Munding Larang "engkau juga ksatrya Singasari" "
Lelaki itu mengiakan. "Siapa nama ki sanak" "
"Aku Medang Dangdi," sahut lelaki itu. Dia memang Medang Dangdi. Sebenarnya dia tak ingin
terjun dalam gelanggang adu kanuragan itu karena ia melihat bahwa diantara para ksatrya yang
ikut dalam sayembara itu terdapat raden Wijaya. Tetapi melihat orang nggi yang ternyata
Jangkung, telah kalah bahkan masih ditendang oleh Munding Larang, dia marah. Tetapi waktu
hendak mengayun langkah, ba- ba didahului oleh Tunggak Ja . Terpaksa ia bersabar. Adalah
setelah Tunggak Jati juga menderita kekalahan barulah dia tampil ke dalam gelanggang.
"Namamu bagus sekali seper juga beberapa ksatrya tadi. Tetapi apakah ilmu kepandalarirnu
juga serupa dengan mereka ?"
"Ki sanak," sahut Medang Dangdi tenang "bukan laku seorang lelaki terutama ksatrya untuk
bermain kata-kata merangkai sindir. Menang atau kalah dalam pertempuran itu sudah lumrah.
Bahwa beberapa ksatrya dari Singasari yang kebetulan kalah tadi, belumlah mewakili bahwa
seluruh ksatrya Singasari akan kalah dengan engkau."
"O, mungkin juga," sahut Munding Larang.
"Bukan mungkin tetapi buktikanlah," sahut Medang Dangdi seraya bersiap siap.
Memang kali ini agak berat beban Munding Larang berhadapan dengan Medang Dangdi. Medang
Dangdi memiliki kekuatan yang teratur dan ilmu ulah kanuragan yang terarah.
Sebenarnya se ap peserta yang dapat mengalahkan dua orang lawan, diidinkan untuk
beris rahat dan digan oleh peserta lain. Peserta yang menang itu se ap waktu boleh turun ke
gelanggang lagi. Tetapi ternyata Munding Larang tak mau beris rahat dan tetap menghadapi
Medang Dangdi. "Ki sanak," sebelum bertanding Medang Dangdipun sudah memperingatkan "engkau sudah
bertanding dua kali, silakan beris rahat dulu memulangkan tenaga. Biarlah aku bertanding dengan
lain peserta dulu." Peringatan Medang Dangdi itu disambut dengan tawa cemoh oleh Munding Larang "Ki sanak,
bukan seorang ksatrya pilihan apabila bertanding dengan dua orang lawan saja sudah kehabisan
tenaga. Kukira tenagaku masih cukup untuk melawan lima orang lagi."
"O, mungkin." "Bukan mungkin tetapi buktikanlah," seru Munding Larang menirukan kata2 Medang Dangdi tadi.
Medang Dang Dangdi mengabut geramnya dengan mengangguk-angguk kepala. "Baiklah, jika
memang demikian kehendakmu, akupun tak dapat memaksa. Hanya demi keadilan, engkau sudah
lelah dan aku masih segar, maka aku akan mengalah sampai lima kali seranganmu. Selama engkau
menyerang sampai lima kali itu, aku takkan membalas melainkan hanya menghindar saja."
Merah muka Munding Larang mendengar pernyataan itu "Munding Larang belum pernah
menghadapi penawaran yang sedemikian menghina. Orang Singasari, jangan engkau tekebur, aku
masih sanggup untuk menghancurkan tubuhmu."
Ksatrya dari kerajaan Galuh itupun segera menyerang dangan deras dan dahsyat. Namun
Medang Dangdi tetap melaksanakan janjinya. Dia tak mau menangkis atau balas menyerang,
melainkan menghindar. Melihat itu makin meluaplah kemarahan Munding Larang. Serangan kedua
dibuka dengan sebuah terjangan yang lebih dahsyat dan terus dilanjutkan pula dengan serangan ke
tiga dan ke empat. Sekalian penonton menahan napas menyaksikan pertempuran yang tak seimbang itu.
Medang Dangdi menghindar dan Munding Larang menyerang " Hai, bodoh sekali, mengapa tak
membalas menyerang" teriak beberapa penonton.
Rupanya setelah mendengar sesumbar Munding Larang yang menantang orang Singasari,
kemudian dapat mengalahkan dua peserta dari Singasari, rakyat mulai panas ha nya. Harapan
mereka beralih kepada Medang Dangdi. Tetapi Alangkah kecewa dan penasaran ke ka melihat
Medang Dangdi tak mau balas menyerang. Mereka berteriak-teriak menganjurkan Medang Dangdi
supaya balas menyerang. Medang Dangdi memang sibuk sekali. Diam-diam dia terkejut dan menyesal karena memberi
kelonggaran kepada lawan. Namun karena sudah terlanjur, terpaksa ia harus menyelesaikan
sampai lima kali serangan. Serangan kesatu dapat dihindar, demikian yang kedua. Tetapi pada
serangan yang ke ga dia mulai sibuk, serangan yang ke empat dia pontang pan ng dan pada
serangan yeng ke lima, berhasillah Munding Larang menghantam bahunya sehingga dia terseok-
seok mundur beberapa langkah.
"Ah," Medang Dangdi menahan rasa sakit yang mengontar-ontar panas pada bahu kirinya namun
dia tetap kuatkan diri untuk menjaga keseimbangan tubuh agar dak jatuh. Tetapi sebelum ia
sempat berdiri tegak, Munding Larangpun sudah loncat menerjang pula, duk .... kembali punggung
Medang Dangdi terhantam pukulan lawan, dia menguak dan makin terta h-ta h langkah, tubuh
hampir rubuh namun dia masih berusaha untuk menabahkan tangan ke tanah agar jangan sampai
jatuh. Munding Larang tak mau nemberi kesempatan kepada lawan. Dia loncat lagi dan kali ini
mengayunkan kaki untuk menendang, krak ... "Uh" Medang Dangdi terpental sampai beberapa
langkah. Kali ini dia benar-benar tak dapat bertahan diri dan rubuh ke tanah.
Rakyat memekik kejut menyaksikan kesudahan pertempuran itu. Mereka cemas sekali apabila
Munding Larang yang masih tegak di tempat, akan memburu maju dan menghajar Medang Dangdi
lagi. Tetapi kecemasan rakyat itu berobah menjadi suatu rasa heran ke ka melihat Munding Larang
masih tegak seper patung. Wajahnya merah padam. Apakah gerangan yang terjadi padanya "
Pandang mata seluruh rakyat tertumpah ruah kepada ksatrya dari Galuh itu.
Demang Widura juga heran. Namun karena melihat Medang Dangdi tadi sudah rubuh, diapun
segera mencanangkan keputusan "Dalam pertandingan ini ksatrya Munding Larang dari Galuh tetap
yang menang." Terdengar gemuruh suara penonton mendengung. Mereka dak menyambut pengukukan itu
dengan sorak sorai melainkan dengan desuh dan desah seperti suara lebah.
Medang Dangdipun melen ng bangun lalu berjalan nggalkan gelanggang. Sementara Munding
Larang masih tetap tegak terpaku ditempatnya. Diam tak bergerak maupun bicara.
Rupanya demang Widura memperha kan juga keadaan Munding Larang. Segera ia berseru
"Ksatrya dari Galuh, tuan sudah melakukan tiga kali pertandingan, silakan beristirahat dulu"
Tetapi Munding Larang tetap tak menyahut. Hanya tubuhnya tampak mulai gemetar, makin lama
makin keras dan akhirnya, diapun rubuh. Sudah tentu hal itu disambut dengan teriak kejut dari
segenap penjuru penonton. Bukankah Munding Larang telah memenangkan pertandingan itu"
Mengapa dia rubuh juga"
Atas isyarat demang Widura, dua orang prajurit segera lari menghampiri ke tempat Munding
Larang. "Enyah," ba2 Munding Larang berteriak seraya menghantam. Kedua prajurit itu tak
menyangka akan menerima pukulan dari orang yang hendak ditolongnya. Kedua prajurit itupun
menjerit dan terpelanting rubuh.
Seke ka suasana dalam gelanggang menjadi hebat. Demang Widura turun dari panggung dan
terus lari menghampiri ke tempat Munding Larang. Dia sudah memiliki keputusan, apabila Munding
Larang bertindak liar, terpaksa dia akan menghajarnya.
Tetapi alangkah kejut demang itu ke ka mendapatkan Munding Larang pejamkan mata tak
bergerak. Demang Widura gopoh memeriksanya. Ternyata Munding, Larang telah pingsan. Demang
Widura memanggil dua orang prajurit lagi dan suruh mereka mengangkat Munding Larang keluar
gelanggang. Waktu kakinya diangkat, Munding Larang mengerang kesakitan.
Ternyata telah terjadi sesuatu pada waktu Munding Larang menendang lawannya tadi. Dalam
kedudukan kehilangan keseimbangan diri. Medang Dangdi nekad untuk melakukan sesuatu. Ia
menghantam mata lutut lawan sekeras-kerasnya. Walaupun dia harus menderita kena tendangan
sehingga terpental beberapa langkah, tetapi ia berhasil menghantam pecah tulang mata lutut
Munding Larang. Dia dapat melen ng bangun. Sakit tetapi tak menderita suatu luka apapun.
Sedangkan Munding Larang tak dapat bergerak. Sebenarnya dia harus sudah rubuh juga sehingga
pertandingan itu ada yang menang. Tetapi ksatrya dari Galuh itu berkeras untuk
mempertahankan diri, dia tetap berdiri dengan kaki sebelah.
Munding Larang memang berhati tinggi. Ia malu untuk tinggalkan gelanggang dengan langkah
terpincang-pincang. Ia tahu rakyat tentu akan menyorakinya. Bahkan untuk menekan lutut
dengan tangan menahan rasa sakit, pun dia malu. Itulah sebabnya dia tegak berdiri seperti
patung. Bingung dan gelisah bagaimana dia harus bertindak, masih ditambah pula dengan rasa
sakit dari mata lutut yang telah remuk tulangnya, menyebabkan dia merasa malu dan marah


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan akhirnya rubuh. Dia tumpahkan seluruh kemarahannya kepada kedua prajurit yang hendak
menolongnya. Tetapi sehabis memukul diapun pingsan.
Keadaan itu diketahui rakyat. Mereka serempak berteriak-teriak "Orang Galuh itu juga kalah!"
Teriakan itu ditujukan kepada demang Widura.
Demang Widura dapat menanggapi teriakan mereka. Tetapi dia tetap pada keputusannya
bahwa Medang Dangdi yang kalah. Hal itu didasarkan karena Medang Dangdi rubuh ke tanah
sedang Munding Larang baru beberapa saat kemudian rubuh.
Rakyat yang mempunyai kesan tak suka kepada Munding Larang, berteriak-teriak. Ada yang
menyumpahi orang Galuh itu. Ada yang mengatakan demang Widura tidak adil dan lain-lain. Tetapi
demang Widura tak menghiraukan dan mempersilakan lain peserta masuk ke gelanggang.
Berturut-turut telah keluar beberapa ksatrya dari luar pura, antara lain dari Lodaya, dari Daha,
Wengker, Matahun, Kembang Jenar, Paguhan, Kahuripan bahkan dari Blambangan dan lain-lain
daerah. Tidak ke nggalan pula hadirnya beberapa ksatrya muda dari berbagai pertapaan di gunung
Wilis, Brama, Pandan, Batok dan lain-lain. Juga banyak pendekar-pendekar dari beberapa
perguruan yang ternama, ikut serta dalam sayembara itu.
Silih bergan rakyat memberikan sorak sorai pada se ap peserta yang memenangkan
pertandingan. Acara pertandingan hari itu benar2 padat sekali sehingga suasana gelanggang
pertempuran tampak tegang dan meriah. Rakyat benar-benar gembira sekali menyaksikan
pertandingan itu sebagaimana belum pernah mereka alami pada berpuluh tahun yang lampau.
Tetapi rasa gembira itu, dirasakan cepat sekali berlangsung. Sedangkan rasa sedih itu terasa lama
sekali, berlalunya. Demikian dengan suasana gelanggang pertempuran adu kanuragan itu. Tanpa
terasa suryapun sudah condong ke barat.
Diantara lingkaran manusia yang mengerumuni di sekeliling gelanggang, tampak ga orang
sedang mencurah pandang ke deret tempat duduk yang disiapkan di bawah bangsal agung. Tempat
itu disediakan untuk ksatrya-ksatrya peserta pertandingan.
"Kakang Sora," kata salah seorang yang bertubuh agak kurus "mengapa raden Wijaya tak tampak
" Lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Sora itu menjawab pelahan "Mungkin dia dak turun
gelanggang hari ini."
"Apakah raden tak ikut ?" sela lelaki yang di sebelahnya, masih seorang perjaka muda.
"Tentu ikut " sahut yang bernama Sora
"Sst, engkau lihat pangeran Ardaraja " "
"Ya" sahut anakmuda itu "pangeran duduk di sebelah gusti puteri."
"Nambi," bisik Sora kepada kawannya yang bertanya pertama tadi "bagaimana keadaan Jangkung
dan Medang Dangdi ?"
"Tak apa-apa " sahut Nambi.
"Di mana mereka sekarang" "
"Mereka tak tampak di bawah bangsal, tentulah sudah keluar."
"Mari kita cari mereka," ba- ba Sora berkata seraya beringsut menyiak penonton yang berada
di belakangnya, "Tetapi kakang, apakah kita tak menunggu sampai pertandingan ini selesai ?" Podang bertanya.
Rupanya dia terpaku perhatiannya akan pertandingan yang tengah berlangsung pada saat itu.
Tetapi Sora sudah teraling oleh kerumun orang. Demikian pula Nambi. Podang terkejut. Iapun
hendak menyusul mereka. Tetapi ke ka ia bergerak hendak menyiak orang, ba- ba tengkuknya
dicengkeram orang sekuat-kuatnya "Kurangajar, mengapa mengganggu orang melihat pertandingan
?" Plak, tiba-tiba pula sebuah tangan lain telah menampar kepalanya "Setan, jangan mengganggu."
Podang marah sekali. Tengkuk dicengkeram, kepala ditabok. Dia meronta sekuat-kuatnya tetapi
akibatnya bahkan makin menderita. Beberapa orang yang berada di kanan kiri, tersambar tangan
dan kakinya yang meronta-ronta itu. Mereka marah dan serempak memukuli Podang. Untung
sebelum terjadi sesuatu yang lebih parah bagi Podang, prajurit yang bertugas menjaga keamanan
segera mengetahui peristiwa itu dan melerai. Podang dibawa dan dipindahkan ke lain tempat.
Memang tak mudah untuk keluar dari lautan manusia yang mengerumuni gelanggang itu. Dengan
bersusah payah akhirnya Sora dan Nambi berhasil keluar.
"Mana Podang," seru Sora ketika tak melihat anak itu ikut serta.
Nambi juga terkejut. Memandang ke kerumun penonton mereka tak melihat suatu gerakan apa-
apa. "Ah, mungkin anak itu masih sayang untuk meninggalkan pertandingan," akhirnya Nambi
menarik kesimpulan. "Ah, anak itu memang tak mendengar kata."
"Perlukah kita menjemputnya ?" tanya Nambi.
"Kurasa tidak," jawab Sora "betapa sukar untuk menyiak keluar. Bukankah mereka akan
marah kalau kita masuk lagi" "
"Lalu ?" "Rasanya dia tentu mendapat kesukaran untuk menerobos keluar. Biarlah, dia tentu akan
kembali ke gedung pangeran lagi. Sekarang mari kita mencari Medang Dangdi dan Jangkung "
Mereka menemukan kedua orang itu tengah duduk beris rahat di ujung halaman si nggil
"Kakang Sora, Nambi," seru Medang Dangdi ketika melihat kedatangan kedua orang itu.
"Bagaimana luka kalian ?" tegur Sora.
"Ah, tak apa-apa," sahut Medang Dangdi dan Jangkung "sayang aku tak dapat menghajar orang
dari Galuh itu," Jangkung masih menggerutu.
"Tak apa" Sora tersenyum "biarpun tak berhasil tetapi kalian telah mendapat pengalaman yang
baik " "Tetapi Jangkung," seru Nambi "mengapa engkau turun ke gelanggarg ?"
"Dadaku meledak ketika mendengar sesumbar orang Galuh itu."
"Aku terpaksa hendak menuntutkan balas kakang Jangkung," waljupun dak ditanya tetapi
Medang Dangdi juga memberi keterangan.
"Engkau apakan ksatrya Galuh itu" "
"Kuhantam mata lututnya," Medang Dangdi tertawa "mungkin dia akan cidera selamanya."
Sora hanya mendengus. Kemudian dia meminta pendapat mereka "Bagaimana langkah kita
malam ini " Apakah kita akan pulang ke gedung kediaman pangeran Ardaraja lagi ?"
Nambi, Medang Dangdi dan Jangkung diam. Beberapa saat kemudian Medang Dangdi bertanya
"Bagaimana pendapat kakang Sora?"
"Menurut pendapatku," kata Sora "kita cari dulu raden Wijaya. Apabila sudah mendapat
kepas an bahwa raden ikut dalam pertandingan itu, barulah kita putuskan tak kembali kepada
pangeran Ardaraja." "Memang apabila kembali kepada pangeran," kata Nambi "kita tentu akan terkungkung tak dapat
melepaskan diri. Namun apabila kita lolos, dakkah pangeran akan menitahkan orang untuk
menangkap kita?" Jangkung garuk-garuk kepala "Ya, memang memuakkan sekali pangeran itu. Mengapa dia
menggunakan kekuasaan untuk memaksa kita bekerja kepadanya?"
"Bagi pangeran, hal itu memang tepat," kata Medang Dangdi
"Apa maksudmu ?" seru Jangkung.
"Walaupun hanya beberapa hari di pura ini, aku mendapat kesan bahwa dalam kalangan para
mentri kerajaan, terdapat persaingan untuk memupuk kekuatan dan kekuasaan. Yang jelas adalah
pa h Aragani itu. Dia paling bernafsu sendiri untuk merebut kekuasaan. Dia tentu kua r akan
kekuasaan pangeran Ardaraja sebagai putera menantu raja akan lebih besar dari dirinya. Hal ini
pangeran Ardaraja tentu juga sudah maklum. Maka pangeran kua r kalau kita sampai diambil oleh
patih Aragani " "Engkau benar adi Medang " sambut Sora "sebenarnya kita dapat memanfaatkan keadaan Itu
untuk menarik keuntungan. Tetapi sayang kita tak ingin bekerja kepada mereka."
"Apa maksud kakang dengan mengatakan bahwa kita dapat memanfaatkan keadaan mereka itu
?" Sora tertawa "Jika banyak orang yang menginginkan, tentulah nilai barang itu akan naik. Bisa saja
kita mengadu kedua fihak yang bersaing itu untuk berlomba-lomba menarik kita, Mereka tentu
akan menawarkan kedudukan dan pangkat yang tinggi kepada kita."
"Lebih baik aku dur di rumah daripada harus berhamba kepada pangeran atau pa h itu," seru
Jangkung. "Begitulah pendirian kita semua," sambut Sora "oleh karena itu, kurasa pangeran Ardaraja
takkan marah kepada kita apabila kita lolos. Kalau perlu untuk sementara waktu kita nggalkan
pura ini, asal jangan beralih bekerja kepada patih Aragani, kurasa pangeran tentu takkan marah."
"Jika demikian mari kita cari raden Wijaya," kata Jangkurg.
Mereka segera nggaIkan tempat itu dan mulai mencari Wijaya. Tetapi maksud mereka terhalang
karena saat itu pertandingan dihen kan. Karena hari sudah hampir petang dan masih banyak
ksatrya peserta yang belum sempat bertanding, maka demang Widura memutuskan untuk
menghentikan penandingan dan akan dilanjutkan besok pagi.
Berpuluh ribu rakyat yang bergerak meninggalkan alun-alun itu menyulukan langkah Sora
berempat. "Eh, mengapa Podang tak nampak?" tiba2Jangkung teringat.
"Dalam genangan laut manusia yang begini banyak, sukar untuk bertemu dengan seseorang,"
kata Nambi. Suasana yang kacau itu makin reda. Rakyat yang berada di alun-alunpun akhirnya makin menipis
namun tiada juga mereka berjumpa dengan raden Wijaya maupun dengan Podang.
Jangkung yang paling tak dapat menahan rasa gelisah, segera bertanya "Bagaimana kakang
Sora" " "Kita terpaksa harus mencari penginapan," kata Sora "paling baik kita dur di bawah pohon
Brahmastana di alun-alun itu.
"Kenapa" " Jangkung terkejut.
"Agar besok kita dapat mencari tempat yang longgar di sekeliling gelanggang."
"O, besok kita akan melihat pertandingan lagi" "
"Ya " sahut. Sora "agar mendapat kepastian tentang diri raden Wijaya."
Mereka lalu menuju ke kedai untuk beris rahat dan makan. Kedai penuh dengan orang. Mereka
berasal dari luar pura yang sengaja memerlukan datang ke pura untuk melihat sayembara itu.
Merekapun dak pulang melainkan bermalam di sekeliling alun-alun. Ramai orang masih
memperbincangkan pertandingan hari itu. Dari pembicaraan mereka, Sora dan kawan-kawannya
mengetahui bahwa pemenang pada akhir penutupan pertandingan itu seorang ksatrya dari
Jembrana Bali. Dia telah mengalahkan dua orang peserta.
Suasana di alun-alun pada malam itu amat ramai. Bukan saja mereka yang berasal dari luar pura,
pun bahkan terdapat juga rakyat dari dalam pura yang sengaja dur di alun-alun agar bisa
mendapatkan tempat yang terdepan.
Setelah makan Sora mengajak kawannya berjalan-jalan "Wah, rupanya sayembara ini menarik
perhatian besar. Ksatrya-ksatrya dari telatah sejauh Galuh dan Jembrana Bali, pun datang."
"Hal itu membuk kan betapa pen ng tetapi gawat sayembara ini," sambut Sora "apabila
kelungguhan senopa Singasari sampai jatuh ke tangan mereka,
dakkah hal itu akan mencemaskan?" Malam itu mereka tidur di alun-alun.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Sesuai dengan dugaan orang maka pertandingan hari kedua itu memang lebih ramai. Bukan
melainkan peserta-pesertanya yang terdiri dari ksatrya sak yang tampil, pun penonton yang
memenuhi alun-alun lebih banyak pula dari hari kemarin.
Penjagaan makin diperketat untuk menjaga se ap kemungkinan yang tak diharapkan. Hari itu
merupakan pertandingan yang terakhir. Dan hari itu segera akan diketahui siapa yang akan terpilih
sebagai senopati. Dinihari sebelum surya terbit, rakyat sudah mengalir membanjiri alun-alun. Mereka ingin
mendapat tempat yang longgar.
Setelah upacara dibuka oleh demang Widura maka pertandinganpun segera dimulai. Ksatrya
pertama yang tampil adalah seorang muda yang cakap. Menilik caranya berpakaian, dia bukan
orang Singasari, Rakyat segera menyongsong tepuk sorak yang gemuruh kepada ksatrya itu yang
dikenalnya sebagai ksatrya Jembrana Bali kemarin. Dia bernama Wayan Tantra.
Yang turun ke gelanggang, seorang lelaki muda, Dia menyatakan dari Lodaya dan bernama Seta.
Memang pada permulaan, pertarungan berjalan seimbang dan seru. Tetapi pada akhirnya, Wayan
Tantra dapat merubuhkan lawannya.
Bahkan dalam pertandingan selanjutnya Wayan Tantra berhasil mengalahkan lawannya pula.
Dengan demikian sudah empat peserta yang ditundukkan. Rakyat mengelu-elunya dengan tepuk
sorak yang membahana. Melihat itu Nambi menggamit lengan Sora "Kakang Sora, apakah kita tak bermaksud turun ke
gelanggang" Bagaimana kalau aku yang maju" "
Ken Sora menggeleng kepala "Jangan terburu-buru dulu. Masih ada beberapa ksatrya lain
yang belum turun ke gelanggang. Mereka tentu akan keluar."
"Lalu kita" "
"Yang penting kita tunggu raden Wijaya. Kalau dia tak muncul, barulah kita turun ke gelanggang."
Pembicaraan mereka terhen ke ka melihat seorang lelaki nggi besar melangkah ke tengah
gelanggang. Setelah memberi hormat, orang itu berseru "Kehadiranku, Gajah Pagon dari telatah
Tuban di tengah gelanggang ini, bukan semata-mata mengejar kedudukan senopa , melainkan
hendak mencari persahabatan dan pengalaman dengan ksatrya-ksatrya dari segenap penjuru.
Menang kalah, bukan sesuatu yang luar biasa."
Ada sebagian rakyat yang memuji akan kerendahan ha lelaki nggi besar itu. Tetapi ada pula
sebagian yang mencemooh dan meneriaki supaya lekas saja bertanding.
Wayan Tantra menghadapi lawannya dengan tenang. Ia menyerang dengan hati-hati
sehingga pertarungan berjalan kurang seru. Namun setelah menjajagi tenaga, ilmu kanuragan
dan ketangkasan lawan barulah dia melancarkan serangan yang cukup menyibukkan lawan.
Dalam ilmu ketangkasan dan kanuragan, Wayan Tantra lebih unggul. Tetapi dalam tenaga dan
kekuatan, Gajah Pagon lebih hebat. Wayan Tantra dapat mendesak lawan sedemikian rupa
sehingga penonton sudah bersiap-siap hendak menyongsong tepuk sorak untuk kemenangan
Wayan Tantra. Tetapi ba- ba terjadi suatu peris wa yang tak terduga-duga. Pada de k-de k menjelang
kekalahan, tak disangka-sangka, Gajah Pagon berhasil menerkam tubuh lawan, diangkat terus
dibanting ke tanah. Sorak sorai bergemuruh memecah angkasa.
Wayan Tantra berguling-guling di tanah lalu melen ng bangun dan hendak maju menyerang
tetapi Gajah Pagon berputar tubuh dan ayunkan langkah.
"Ksatrya dari Jembrana," serentak demang Widurapun berteriak "engkau kalah. Tak dibenarkan
menyerang lagi " "Tetapi aku tak terluka dan masih dapat berdiri," bantah Wayan Tantra.
"Peraturan pertadingan menetapkan, barangsiapa jatuh ke tanah, dia dinyatakan kalah."
Dengan nyalangkan mata memandang demang itu penuh rasa geram, Wayan Tantra segera
tinggalkan gelanggang. "Hai, ki sanak, mari bertanding dengan aku. Engkau menang mengapa tarburu-buru
mengundurkan diri ?" tiba2 terdengar seseorang berseru kepada Gajah Pagon.
Gajah Pagon tertegun berhen , berputar tubuh. Dilihatnya di tengah gelanggang telah hadir
seorang lelaki bertubuh kekar tetapi dandanannya seper seorang desa. Orang itu tengah
melambai tangan kepadanya.
Gajah Pagon mengangguk lalu kembali ke tengah gelanggang. Penonton bersorak sorai
mengantarkannya. Gajah, Pagon benar-benar mendapat tanding dari orang desa yang memperkenalkan diri dengan
nama Sima itu. Walaupun Gajah Pagon lebih besar tubuhnya, tetapi pukulannya kalah keras
dengan Sima, demikian pula tenaganya. Sima benar-benar memiliki tenaga seper banteng. Dari
adu pukulan, ba- ba mereka adu tenaga bergumul. Dan pada suatu saat, Sima berhasil
mencengkam pinggang Gajah Pagon lalu dibantingnya ke tanah.
Walaupun cara pertarungan mereka agak berbeda dengan beberapa peserta yang terdahulu,
tetapi penonton menyaksikan suatu ilmu gulat yang seru juga. Sedemikian seru sehingga beberapa
penonton ikut tegang, ikut mengernyut geraham, ikut mengencangkan nju dan ikut meregang
urat-urat muka. Bagai gunung longsor, berhamburanlah sorak sorai bergemuruh menggetar
gelanggang. Dua kali berturut-turut dua orang peserta maju tetapi mereka dapat diban ng oleh lelaki desa
yang bernama Sima itu. "Kakang Sora, hanya engkaulah yang mampu mengalahkannya," bisik Nambi.
Namun Ken Sora tak memberi tanggapan. Dia tengah mencurah pandang ke tengah gelanggang.
Dilihatnya di jajaran tempat para peserta yang belum turun ke gelanggang, saat itu hanya nggal
lima orang. Diantaranya terdapat raden Wijaya. Dilihatnya pula bahwa raden itu masih tenang-
tenang saja. Belum sempat Ken Sora menjawab anjuran Nambi, salah seorang dari kelima peserta itu
berbangkit dan melangkah ke tengah gelanggang. Rakyat menyambutnya dengan tepuk sorak.
Mereka mengenal peserta itu sebagai ksatrya tangguh dalam ga acara lomba naik kuda, memanah
dan merentang gendewa pusaka, pada hari pertama.
"O, Kuti yang berhasil menemukan kaca wasiat puteri baginda itu?" seru Sima.
Ku terkesiap. Dipandangnya lelaki yang akan menjadi lawannya itu. Dandanannya seper orang
desa dan wajahnyapun agak kotor. Dia tak menemukan sesuatu yang luar biasa pada diri orang itu
kecuali sepasang matanya yang bersinar tajam "Benar" sahutnya sesaat kemudian "siapakah
engkau, ki sanak" "Seorang desa bernana Sima"
"Tetapi tentu bukan sembarang orang desa, bukan?"
"Mengapa dak," sahut Sima "bukankah orang desa itu tetap seorang desa. Dimanakah
kelainannya ?" "Kehadiranmu ditempat ini sudah memberi jawaban" kata Kuti "adakah seorang desa biasa
mempunyai keberanian dan kesaktian seperti engkau. Bukankah engkau hendak mengharapkan
kelungguhan senopati itu?"
Sima tertawa ringan "Semua manusia dilahirkan sama dan ma pun sama. Hanya keadaan
lingkungan hidupnya yang berlainan satu dengan lain. Senopa suatu ketangguhan yang terhormat
dan agung bagi se ap kawula yang bercita-cita membak kan diri kepada negara. Salahkah apabila
seorang desa seperti aku juga memiliki cita-cita seperti para ksatrya termasuk dirimu, ki Kuti?"
Makin terkejut Ku mendengar kata kata yang dirangkai dengan indah dan terarah itu. Makin
keras dugaannya bahwa orang itu tentu seorang ksatrya sak yang menyamar sebagai seorang desa
"Aku tak mengatakan salah atau benar. Mungkin benar bagi tujuan se ap kawula yang merasa
wajib berbak kepada negara. Mungkin salah bagi seorang ksatrya yang takut untuk menunjukkan
diri yang sebenarnya."
"Itu bukan soal," jawab Sima "cara apapun hanya suatu sarana, yang penting adalah tujuannya."
Ku mendesuh "Hm, baiklah, ki sanak. Kiranya kata-kata sudah cukup tercurah, sekarang marilah
kita laksanakan kewajiban kita."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah bagaimana terhadap Sima, Ku mbul suatu penghargaan sehingga diapun tak mau
berucap sembarangan. Pertarungan kadua orang itu memang berlangsung amat menarik dan bermutu, dalam ar kata
mereka telah mengeluarkan ilmu ulah kanuragan yang teratur. Sempat menjadi perha an
penonton bahwa lelaki bernama Sima itu memiliki gerak sambaran yang amat cepat. Dia jarang
melancarkan pukulan dan lebih banyak menerkam dan mencengkeram. Tetapi se ap kali berhasil
menguasai lengan atau bahu orang, dengan suatu gerak ronta yang aneh, Ku selalu dapat
melepaskan diri "Hm, dia memiliki ilmu aji Belut-putih," diam-diam Sima menarik kesimpulan.
Di pihak Ku , senjatanya yang ampuh adalah pukulannya yang berganda. Baik dengan sebelah
tangan atau sekaligus menggunakan tangan kanan dan kiri, tentu selalu diiku dengan pukulan
susulan lagi. Berulang kali Sima harus menderita pukulan ganda yang tak terduga-duga itu, namun
tampaknya lelaki desa itu tak mengernyit kesakitan "Ah, dia mempunyai ilmu Lindung yang tahan
senjata dan pukulan." Kuti-pun dapat mempelajari kekuatan lawan.
Dengan pengetahuan akan kelebihan masing-masing lawan, mereka melangsungkan
pertempuran yang seru dan makin seru sehingga keduanya seperti mandi keringat.
"Untuk menjatuhkan dia, aku harus menggunakan siasat," diam2 Ku merancang siasat.
Sebenarnya Sima juga memiliki pemikiran begitu tetapi sebelum dia sempat mengatur siasat,
Kutipun sudah melancarkan pukulan yang menggebu-gebu bagaikan hujan mencurah.
"Hm, inilah suatu kesempatan," diam-diam Sima timbul akal.
Setelah memusatkan pernapasan pada pusar, dia maju songsongkan tubuh pada pukulan Ku
kemudian secepat kilat ia menyambar tubuh lawan dan berhasil. Tetapi pada saat hendak dibelit
dan dicekiknya, selicin belut, tubuh Ku pun menyeruak lolos meluncur ke samping dan sebelum
Sima sempat mengatur diri, Kuti sudah menggerakkan kakinya untuk menyapu kaki lawan, bluk .......
Setelah mengetahui bahwa lawan memiliki ilmu kebal, Kuti tak mau memukul. Sia-sia belaka.
Dan pada waktu Sima maju merapat untuk menerima pukulan, Kutipun sudah tahu akan, tujuan
|awan. Dugaannya memang tepat. Tujuan Sima merapat ke muka itu tak lain karena hendak
menyambar dan mencekik tubuhnya. Dia sudah siap dan memberikan saja tubuhnya di belit
tangan Sima. Adalah pada saat Sima hendak mengerahkan tenaga mencekiknya barulah dia
meronta dan, meluncur lolos lalu menggempur pertahanan kaki lawan. Bukankah setiap lawan
yang jatuh ke tanah akan dianggap kalah "
Ku termangu-mangu ke ka mendengar suara sorak menggelegar bagai gunung meletus. Ia tak
sempat melihat bagaimana Sima jatuh terpelan ng ke tanah karena saat itu juga Simapun sudah
melen ng berdiri tegak. Tetapi sorak sorai rakyat itu cukup memberi tanda kepada Ku atas
kemenangarmya. "Ki sanak, apakah pertempuran kita dilanjutkan lagi?" tegurnya dengan suara, datar.
"Engkau cerdik sekali, ki Kuti. Aku sudah di anggap kalah. Kita berjumpa pada lain
kesempatan lagi," habis berkata Simapun terus ayunkan langkah menuju ke tepi gelanggang.
Ku terkesiap. Dari kata-kata yang diucapkan Sima 'engkau cerdik', ia dapat merabah bahwa Sima
tentu tak puas akan kekalahannya itu. Dia mengatakan cerdik dan bukan sak . Berar dia hanya
kalah cerdik tetapi bukan kalah sak . Dan ucapan, perpisahan...Sima juga jejas membayangkan
suatu ancaman terselubung bahwa kelak apabila mendapat kesempatan, Sima akan menuntut
kekalahannya. "Ah, siapa gerangan dia itu " Apabila urusan sudah selesai, aku akan mencari orang itu. Dia
berharga kujadikan sahabat," Kuti menimang dalam hati.
"Ki Ku , engkau hebat sekali. Sebenarnya aku segan melawanmu. Tetapi karena sudah terlanjur
memasuki sayembara, akupun harus melaksanakan acara ini sampai usai," ba2 seorang peserta
melangkah ke hadapan Kuti.
"O," Ku terbeliak menatap orang itu. Seorang lelaki yang tegap, mata bundar, hidung besar,
mulut lebar, telinga panjang. Suatu perwujutan yang aneh tetapi mengundang kewibawaan.
"Siapa nama ki sanak" " tegur Kuti.
"Aku Kalisat dari ujung Blambangan"
"O," Ku berusaha untuk menyembunyikan getar ha nya. Seorang yang datang dari telatah
sejauh itu tentu membekal ilmu yang bukan olah-olah, pikirnya.
Kemudian keduanyapun mulai melakukan pertarungan. Kuti makin terkejut ketika lawannya itu
juga memiliki ilmu kebal. Setelah beberapa waktu tukar menukar pukulan, hindar menghindar,
tangkis menangkis, akhirnya Kuti merencanakan siasat. Sengaja ia agak lambat menghindar
sehingga bahunya dapat diterkam lawan. Iapun menurut saja ketika ditarik ke tempat lawan.
Dan waktu dia hendak diangkat, tiba2 dia meronta dengan ilmu aji Belut-putih "Uh" betapa kejut
Kuti sukar dilukiskan ketika dia tak mampu meloloskan diri dari cengkeraman lawan.
"Ha, ha, aku ini mbahnya belut-pu h. Jangan coba mengeluarkan ilmu itu dihadapanku," orang
itu tertawa pelahan dan terus menjinjing tubuh Kuti.
Kuti bingung. Kali ini dia salah hitung. Dia tak tahu bahwa ilmu aji Belut-putih itu dapat
dikuasai dengan ilmu lain. Kali ini dia tentu kalah. Serentak terbayanglah wajah sang dyah ayu
Gayatri. Hanya selintas kilat tetapi hal itu sudah cukup dapat membangkitkan semangat Kuti.
Pada saat tubuhnya terangkat dan muka berhadapan dengan muka Kalisat, tiba-tiba Kuti
menggemborkan aji Senggara-macan sekeras-kerasnya. Kalisat gelagapan. Rasanya dia
seperti disambar petir saat itu. Mata dipejamkan dan tanganpun mengendor. Kesempatan itu
tak disia-siakan Kuti. Begitu tubuhnya meluncur turun, dengan sekuat tenaga dia memukul pusar
lawan sekeras-kerasnya, duk ....
"Auh " orang dari Blambangan itu mengaduh dan terpelan ng jatuh kebelakang. Sorak sorai
segera mengiringi peristiwa itu.
Ku memang cerdik. Ia pernah mendapat keterangan dari bapa gurunya bahwa ilmu kebal itu
mempunyai kelemahan dibebarapa bagian tubuh yang tertentu, antaranya dibagian pusar. Dan
ketika dia memukul pusar Kalisat ternyata jago yang mempunyai ilmu kebal itu rubuh juga.
Dua kali Kuti telah menang. Dan yang dikalahkan itu bukan ksatrya sembarangan tetapi jago-
jago berbobot seperti Sima dan Kalisat. Walaupun hal itu terjadi karena kecerdikan dan
keberuntungan Kuti yang pada saat-saat genting dapat menemukan akal, tetapi yang jelas Kuti
telah memenangkan pertandingan yang amat berat itu. Dan lepas dari kesan yang tak menyukai
peribadi Kuti dalam pertandingan yang lalu, rakyat mengelu-elunya dengan tepuk sorak yang
menggunung rubuh. "Ki sanak," seru demang Widura setelah suara sorak reda "engkau dibenarkan untuk beris rahat.
Tetapi kalau engkau masih ingin menghadapi lawan lagi, terserah kepadamu."
Ku menimang. Dalam dua pertempuran itu dia telah menghabiskan tenaganya. Masih ada dua
orang peserta lagi yang akan melawannya. Dan salah seorang, adalah Wijaya, pemuda yang dalam
tiga lomba terdahulu telah menunjukkan keunggulan.
"Jika aku tetap berada disini, aku harus menghadapi seorang lawan lagi baru kemudian yang
terakhir, pemuda sak itu. Aku sudah lelah dan dia masih segar. Lebih baik aku mengundurkan diri
dulu, biar kedua orang itu bertempur. Aku dapat memulangkan tenagaku dan lawanku nan tentu
sudah berkurang tenaganya," demikian setelah memperhitungkan keadaan saat itu, Ku pun
ayunkan langkah. Memang yang ter nggal banya dua orang peserta. Merekapun segera menuju ke tengah
gelanggang. Rakyat tak mengenal siapa anakmuda yang bertubuh kekar kokoh, bermata bundar,
perawakan pendek dan sikapnya amat berani itu. Tetapi rakyat cepat mengenal pada Wijaya,
ksatrya yang telah menawan ha mereka pada penampilan hari pertama. Bagaimana pemuda
cakap itu merentang busur pusaka kerajaan Kyai Kagapa , masih segar membayang dalam benak
rakyat. Mereka menyambut penampilan Wijaya ke gelanggang dengan tepuk sorak yang
menggelegar diiringi dengan pekik teriak tumpahan harap.
"Ah," diam-diam Wijaya mengeluh dalam ha . Ia dapat menanggapi apa yang terkandung dalam
sorak dan teriak rakyat itu. Ia dak berani memas kan bahwa mereka pas menginginkan dia
sebagai pemenang sayembara itu, namun ia dapat merasakan harapan yang mereka tumpahkan
kepadanya " harapan rakyat telah terbeban kepadaku. Aku wajib memenuhi harapan mereka."
Merasa telah menyandang beban harapan rakyat, Wijaya makin teguh pikiran dan kokoh
pendirian. Ia berjanji dalam ha akan berusaha sekuat kemampuannya untuk memenangkan
sayembara itu. Dalam memperkenalkan diri kepada penonton diketahuilah bahwa pemuda berani yang menjadi
lawannya itu bernama Jaka Pidikan anak buyut Kudadu.
Ada sesuatu rasa enggan dalam ha Wijaya sesaat dia menghadapi anak buyut Kudadu itu.
Pemuda itu masih muda, lebih muda dari dirinya. Adakah suatu kebanggaan dapat
memenangkannya" Memang Wijaya memiliki budi peker yang halus, penuh dengan rasa welas asih. Kadang
pancaran nuraninya yang baik itu, menguasai alam pikirannya sehingga ada kalanya ia tak dapat
menyesuaikan dengan keadaan. Misalnya seper saat itu. Dia sedang berada dalam gelanggang
sayembara besar untuk memilih senopa kerajaan. Gelanggang besar yang mempunyai ar besar
bagi keselamatan pura Singasari, harus ditanggapi dengan pandangan yang besar. Bahwa para
ksatrya yang turun di gelanggang adalah mereka yang bercita-cita untuk meraih kelungguhan
pen ng itu dan bahwasanya merekapun tentu membekal modal ilmu kesak an. Se ap ksatrya
tentu berkeyakinan bahwa ilmu kesak an yang dimiliki itu tentu dapat mengantarkannya ke arah
cita-cita yang diidam-idamkannya itu.
Keengganan Wijaya terhadap anakmuda yang bernama Jaka Pidikan harus dibayar mahal.
Ternyata anak buyut dari desa Kudadu itu memiliki gerakan yang gesit dan pukulan yang keras
serta ulah kanuragan yang hebat. Sesaat Wijaya terkungkung dalam lingkup serangannya yang
gencar dan deras sehingga membuat Wijaya mandi keringat untuk menyelamatkan diri.
Jaka Pidikan yang bertubuh pendek kekar itu ternyata amat bengis terhadap lawan. Sesaat dapat
menguasai gerak lawan, diapun tak mau melepaskannya lagi.
Bermula Wijaya memang sibuk sekali. Berulang kali hampir saja dadanya terhunjam pukulan
pemuda itu. Bahkan bahunyapun sempat tercium tebasan tangan lawan sehingga tubuhnya
tergetar. Untung tak sampai menimbulkan kesakitan yang berar . Setelah itu mulailah pikirannya
terbuka. Jaka Pidikan seorang ksatrya yang digdaya dan bengis. Apabila tak dihadapi secara
sungguh dapat menimbulkan bahaya kekalahan. Pada hal ia sudah merencanakan bahwa ia harus
menyimpan tenaga untuk menghadapi Ku karena Ku lah lawan yang sesungguhnya. Tetapi karena
Jaka Pidikan juga merupakan lawan yang berat, terpaksa Wijaya harus menumpahkan tenaganya
untuk menghadapi anakmuda itu.
Setelah menenangkan pikiran, memusatkan perha an, pelahan-lahan ia mulai dapat mengambil
alih keadaan, dari fihak yang diserang kini dia mulai dapat balas menyerang. Dan tampak pula,
karena dalam gebrak pertama Jaka Pidikan terlalu bernafsu menumpahkan seluruh tenaganya
untuk memaksakan suatu kemenangan maka napas dan tenaganyapun mulai menurun.
Beberapa waktu kemudian, sekonyong-konyong Pidikan berhen menyerang dan berdiri tegak
memandang Wijaya "Aku menyerah, ki sanak" katanya.
"Ah, engkau sesungguhnya belum kalah," sahut Wijaya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, ki sanak," Pidikan terus ayunkan langkah tinggalkan gelanggang.
Peris wa itu benar-benar mengherankan seluruh rakyat. Mereka tak tahu apa yang telah terjadi.
Bukankah orang muda itu belum terpukul rubuh, mengapa dia rela menyatakan kalah"
Memang sukar untuk mengetahui peris wa itu tetapi bagi Jaka Pidikan, hal itu sudah jelas.
Berulang kali dada, leher dan lambungnya telah didara pukulan Wijaya tetapi se ap kali Wijaya
hanya menyentuhnya saja. Andaikata benar2 mau memukul tentu sudah beberapa kali Jaka Pidikan
menderita kesakitan, mungkin sudah rubuh. Betapapun halnya tetapi Pidikan juga seorang manusia
bahkan pada saat itu dianggap sebagai ksatrya yang ikut dalam sayembara pilih senopa . Senopa
itu suatu kelungguhan yang luhur, dapatkah dengan menderita kekalahan itu dia nekad hendak
melanjutkan pertempuran" Ah, dak. Dia malu. Dan karena lawan menunjukkan kebaikan, diapun
menunjukkan sifat keksatryaan juga. Serentak dia mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Kali ini ada tepuk sorak untuk menyambut keakhiran dari pertempuran itu. Rakyat tak
mengetahui apa yang terjadi antara Wijaya dengan Jaka Pidikan. Dan kedua kalinya, mereka
menduga bahwa Wijaya tentu dapat mengalahkan lawan. Memang mereka lebih cenderung
menginginkan Wijaya yang menang daripada Jaka Pidikan yang menang.
Tiba2 terdengar tepuk sorak bergemuruh ke ka Ku berjalan menuju ke tengah gelanggang.
Bukan karena mengelu-elu Ku sebagai ksatrya yang diharapkan akan menang tetapi karena rakyat
hendak menumpahkan luap perasaannya yang tertumpah pada pertempuran antara kedua ksatrya
itu. Keduanya merupakan ksatrya yang terakhir melakukan pertandingan. Semua peserta sudah
gugur, kini hanya nggal mereka berdua. Siapa menang, dialah senopa kerajaan Singasari.
Ketegangan yang memancarkan pada babak terakhir itulah yang menegangkan ha sekalian rakyat.
Tanpa disadari mereka menyambut dengan tepuk sorak yang riuh.
"Ki sanak," Ku membuka pembicaraan "akhirnya hanya kita berdualah yang melangsungkan
pertandingan pada babak terakhir ini. Memang kurasa, tepat sekali keadaan yang kubayangkan ini.
Engkaulah satu-satunya lawan yang layak berhadapan dengan aku."
"Ah, jangan ki Kuti menyanjung tinggi diriku," Wijaya menjawab dengan kara merendah
"bagiku, hanya secara kebetulan saja aku beruntung dapat hadir dalam babak terakhir ini.
Andaikata aku maju yang terdahulu tadi, kemungkinan aku tentu sudah kalah. Para ksatrya yang
ikut dalam sayembara ini memang hebat semua."
Kuti tertawa "Sudah lumrah," katanya "kalau engkau bersikap merendah diri. Tetapi seribu
kata-kata takkan dapat menghapus kenyataan yang tampak pada saat mi. Nyatanya engkau
dan akulah yang akan bertemu dalam babak terakhir. Tak perlu engkau merendah kata. Dan
diantara kita berdua, rasanya engkaulah yang memiliki kemungkinan besar untuk memenangkan
sayembara ini." "Ah, kuharap jangan ki sanak mengolok-olok diriku."
"Tidak, aku dak berolok-olok," kata Ku "bukankah dalam ga lomba yang terdahulu, engkau
telah memenangkannya" Nah, apabila engkau dapat mengalahkan aku, tak perlu diragukan lagi,
engkaulah yang akan diangkat sebagai senopati Singasari."
"Ah, kurasa," jawab Wijaya "bukan soal siapa yang akan diangkat sebagai senopati,
melainkan bagaimana keselamatan dan kesejahteraan kerajaan dan kawula Singasari dapat
terlindung dari ancaman musuh. Kurasa ki sanak juga memiliki tujuan demikian, bukan ?"
Kuti tertawa "Tidak, jauh dari itu."
"Lalu apakah tujuan ki sanak bukan hendak meraih kelungguhan senopati?"
Kuti gelengkan kepala "Tidak. Itu tak penting bagiku."
Wijaya kerutkan dahi "Lalu apa tujuan ki sanak?"
"Soal itu soal peribadi dan pendirianku," kata Ku "maaf, aku tak dapat mengatakan. Tetapi
nan setelah pertandingan kita selesai, apabila engkau menghendaki tentu akan kuberitahu
kepadamu." Wijaya heran. Namun ke ka ia hendak mengajukan pertanyaan lagi ba2 disana sini sekeliling
gelanggang, terdengar rakyat berteriak-teriak "Hayo, lekaslah mulai bertanding. Kami hendak
menyaksikan pertandingan bukan mendengarkan pembicaraan."
Teriakan itu sambut bersambut dari tiap mulut penonton. Demang Widurapun segera
memberi peringatan agar Wijaya dan Kuti segera memulai. Agar Wijaya dan Kuti segera mulai
bertanding. Kedua orang itupun mulai bersiap-siap. Walaupun Ku belum tahu siapa Wijaya dan bagaimana
kesak an pemuda itu, namun dari kemenangan yang direbut Wijaya dalam
ga lomba pertandingan yang lalu, memberi kesan kepada Ku bahwa dia bakal berhadapan dengan seorang
ksatrya yang sak . Namun dia memiliki keyakinan yang teguh bahwa dia tentu sanggup
mengalahkan pemuda itu. Wijaya lebih periha n lagi. Dia sudah banyak mengetahui tentang diri Ku dari tumenggung
Bandupoyo. Begitu pula tumenggung itupun sudah memberitahu tentang pengapesan atau
kelemahan Kuti. Tetapi tumenggung itu juga berpesan "Walaupun begitu raden, tetapi tidak mudah
untuk mengarah bagian pengapesannya itu. Dia tentu menjaga rapat. Maka paman sarankan, raden
supaya menggunakan siasat untuk memancing kesempatan itu," demikian pesan tumenggung
Bandupoyo. Memang benar, pikir Wijaya sesaat berhadapan dengan Ku . Ku seorang yang tangkas dan
cerdik, demikian kesan pertama yang dirasakannya sesaat berhadapan dengan orangnya. Namun
terngianglah pesan lain dari tumenggung Bandupoyo yang mengumandangkan harapan dari
keinginan tumenggung itu peribadi serta dari puteri Gayatri. Sayup-sayup ia masih teringat akan
bisik pesan dari puteri Gayatri ke ka ia hendak mohon diri. "Kakang Wijaya, engkau harus
mengalahkan Kuti. Apabila tidak .... "
Saat itu dia terkejut dan memberanikan diri meminta penjelasan "Apabila dak .... bagaimana
maksud diajeng " "
"Nasibku tergantung pada kemenanganmu ..." dengan tersipu-sipu puteripun terus melangkah
masuk kedalam puri. Juga tumenggung Bandupoyo pernah secara samar-samar bertanya "Raden, bagaimana kesan
raden terhadap kedua gusti puteri ?"
"Kedua puteri agung Itu memang puteri yang luhur budi, paman tumenggung."
"Apakah yang raden maksudkan dengan agung dan luhur itu?"
"Agung yalah puteri yang berdarah mulia. Dan luhur adalah sifat keperibadiannya sebagai puteri
utama." "Apa hubungannya hal itu dengan kepentingan kerajaan Singasari?"
"Keagungan dan keluhuran itu merupakan pamor yang menyinarkan kewibawaan dan kejayaan
kerajaan." "Pamor adalah cahaya sakti yang menjunjung kelestarian dan kejayaan negara. Adakah
raden maksudkan bahwa kedua puteri itu sebagai pamor kerajaan Singasari."
"Demikianlah perasaan hamba, paman."
"Raden, pamor Singasari itu akan tetap lestari memancarkan kerahayuan, hanya apabila pamor
itu tetap bersinar."
"Apa maksud paman tumenggung?" Wijaya heran.
"Maksud paman begini. Seri baginda Kertanagara adalah tetap seorang tah dewata yang tak
lepas dari kodrat prakitri. Betapapun akhirnya usia seri baginda akan bertambah tua dan pada
akhirnya pula harus melepaskan segala galanya untuk pulang ke Buddha-loka "
Wijaya mengangguk. "Lalu siapakah yang akan menggantikan tugas luhur untuk menegakkan kelestarian pamor itu" "
Wijaya terkesiap. "Oleh karena itu, seri baginda yang mulia, amat bijaksana sekali dalam menitahkan
diselenggarakannya seyembara ini. Tujuan sayembara yang pokok, kecuali untuk memilih senopa
yang benar-benar sak , cakap dan berwibawa untuk melindungi keselamatan kerajaan Singasari,
pun juga akan dipercayakan untuk menjaga pamor itu oleh seri baginda."
Wijaya tetap diam. Merenung makin dalam.
"Seiring dengan kegaiban sasmita yang diperlambangkan dengan keberhasilan merentang
gendewa pusaka kyai Kagapa , seri bagindapun mulai melimpahkan minat terhadap diri raden.
Namun seri baginda sebagai seorang junjungan, tentu pantang untuk melanggar janji pada amanat
yang telah dilimpahkan pada sayembara itu. Bahwa siapa yang memenangkan sayembara, dialah
yang akan diangkat sebagai senopa Singasari dan dianugerahi puteri baginda. Dalam rangka itu
pulalah seri baginda berkenan untuk menitahkan aku menghadapkan raden kepada kedua gus
puteri agar lebih mantaplah baginda untuk menentukan puteri siapakah yang akan seri baginda
anugerahkan kepada raden, apabila raden memenangkan sayembara ini."
"Ah," Wijaya hanya mendesah.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raden," ba2 tumenggung Bandupoyo berkata lebih tandas "pamor telah raden ketahui,
harapan seri bagindapun telah raden terima, kini hanya nggal raden untuk melaksanakan
kesemuanya itu agar menjadi kenyataan yang memenuhi harapan atas diri raden"
Teringat akan pembicaraan itu, mendeburlah jantung Wijaya digenang darahnya yang bergolak
"Duh, dewata agung, hamba mohon restu .... "
"Ki anom," ba2 Ku menegur "mengapa engkau termangu-mangu seper melamunkan
sesuatu?" Wijaya agak gelagapan "Benar, saat ini aku sedang menghadapi kenyataan. Dan kenyataan itu
benar-benar akan menjadi suatu kenyataan yang nyata, tergantung pada usahaku hari ini. Hari ini
akan menentukan kenyataan dari segala kenyataan," pikirnya.
"O," serunya menjawab teguran Kuti "baiklah, aku sudah siap. Silakan ki sanak memulai "
Ku pun segera membuka serangan Dia hendak menjajaki dulu bagaimana tenaga, ketangkasan
dan ilmu olah kanuragan yang dimiliki Wijaya. Setelah mempunyai pengetahuan tentang kekuatan
lawan, mudahlah ia menentukan siasat untuk mengalahkannya.
Tetapi Wijaya cukup cerdik untuk dak begitu mudah dinilai lawan. Dia menggunakan gerak yang
bersahaja untuk menangkis atau menghindar dan balas menyerang. Juga tenaga yang dilambarkan
pada pukulannya, dak berapa keras. Hingga sampai beberapa gebrak, Ku masih belum dapat
menyelami kekuatan Wijaya.
Rupanya Ku mulai geram. Timbul suatu penilaian lain atas diri lawan. Kemungkinan memang
tak berapa sak lah Wijaya itu dalam ulah kanuragan. Atau mungkin Wijaya masih menyimpan ilmu
kepandaiannya. Apabila dia melancarkan serangan secara ba- ba dengan disertai tenaga yang
keras, tentulah Wijaya tak sempat untuk memperbaiki kedudukannya.
Setelah putus per mbangan, Ku pun ba- ba melakukan suatu gerak terjangan, tangan kanan
menghantam muka, tangan kiri meninju perut lawan. Terjangan itu dilakukan dengan kecepatan
yang tak terduga. Wjaya memang agak terkejut. Ia tak menyangka lawan akan merobah gaya serangannya. Untuk
menghindar, ia merasa sudah tak sempat lagi. Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia melakukan
gerakan tangan untuk menangkis. Krak, krak ....... terdengar dua kerat tulang teradu keras. Ku
terhen tetapi Wjaya terdorong mundur sampai dua langkah. Babak itu jelas Ku memperoleh
keuntungan. Serangan selanjutnya segera dilancarkan lebih keras oleh Ku . Ia menggunakan kesempatan
sesaat Wijaya masih tertegun, mungkin menderita kesakitan, akibat terjangannya tadi, akan
diserbunya dengan serangan yang lebih seru. "Tentulah dia akan bingung dan dapat dikuasai, pikir
Kuti." Memang Wijaya sibuk bukan buatan. Dia tumpahkan segenap perha an dan tenaga untuk
menghalau serangan Ku yang menggebu-gebu itu. Namun beberapa waktu kemudian, dia
menderita lagi. Yang menyerang dan yang diserang memang beda keadaannya. Ku dapat
melakukan beberapa ilmu serangan dan se ap saat dapat merobah, menggan dengan gaya
serangan yang lain. Tetapi Wijaya hanya dapat menurutkan serangan-serangan lawan.
Duk .... sebuah pukulan yang tepat mengenai sisi dada Wijaya telah menyebabkan Wijaya
terhuyung ke belakang. Bahu disisi dada yang termakan pukulan itu terasa linu lunglai. Nanun
Wijaya berusaha keras, untuk menahan nyeri kesakitan pada bahu kirinya. Untung Kuti segera
menerjangnya pula. Dikata untung karena dengan serangan itu Wijaya tak memikirkan rasa
sakit di bahu kirinya lagi. Perhatiannya tertumpah pada tinju Kuti yang melayang-layang seperti
hujan mencurah. Kini Wijaya hanya bertempur dengan sebelah tangan kanan. Tangan kiri untuk sementara
masih linu untuk digerakkan. Hal itu cepat membawa ingatannya pada sebuah peristiwa ketika
dia masih belajar digunung. Pada suatu hari ketika dia menjelajah masuk hutan, dia terkejut
ketika mendengar suara gemuruh dari arah gerumbul pohon yang lebat. Pohon-pohon bergetar,
daun berguguran dan semak-semak berhamburan. Ternyata di balik gerumbul pohon itu telah
berlangsung pertarungan dahsyat antara seekor harimau dengan seekor ular sama besar.
Dengan menahan napas, Wijaya bersembunyi di balik aling gerumbul. Ia memperhatikan
bagaimana cara ular itu menghadapi lawannya. Harimau menerkam dengan kedua kaki
menggigit dengan giginya yang tajam tetapi ular hanya dapat berkelahi dengan gerakan
kepalanya. Walaupun demikian dapatlah ular itu memberi perlawanan hebat sehingga harimau
itu melarikan diri. Ia dapat menyimak cara-cara ular bergerak menghindari terkaman harimau dan memasuki lubang
kesempatan lawan untuk menyambarnya. Gurunya memuji kecerdikan Wijaya dalam menirukan
gerak ular berkelahi itu. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh gurunya, berhasillah Wijaya
memiliki suatu ilmu kanuragan yang khusus.
"Gerak ular yang engkau pelajari itu, sebenarnya paling tepat dimainkan dengan tangan satu,
sedang tangan yang lain hanya untuk penyanggah perimbangan gerak itu," kata gurunya.
Kesemuanya itu serentak melintas dalam benak Wijaya pada saat itu. Bukankah tangan kirinya
masih linu untuk digerakkan "Inilah saat yang tepat untuk mengeluarkan ilmu itu," Wijayapun
cepat menetapkan keputusan.
Ku terkejut ke ka melihat Wijaya menggan gaya gerakannya. Jika bermula ia menganggap
akan cepat dapat menyelesaikan Wijaya karena pemuda itu hanya dapat bergerak dengan sebelah
tangan, kini dia bahkan sibuk menghadapi serangan Wijaya dengan tangan kanan itu. Dan iapun
terkejut juga ke ka mengetahui bahwa serangan tangan kanan Wijaya itu dak mengepal seper
orang memukul atau menghantam melainkan dengan menebarkan jarinya untuk menusuk mata
dan tenggorokannya. Memang sesuai dengan pagutan ular, Wijaya telah merobah pukulan dengan
tebaran jari yang digunakan untuk menusuk lubang indriya muka orang.
Terdengar gemuruh sorak rakyat ke ka menyaksikan adegan pertempuran yang aneh itu.
Bermula mereka terkejut ke ka Wijaya terpukul dadanya dan lunglai sebelah tangannya. Tetapi
ke ka menyaksikan dengan sebelah tangan Wijaya bahkan lebih hebat dan dapat menyerang
lawan, meluapkan rasa kegembiraan rakyat.
Kini berbalik Kuti yang mandi peluh. Dia heran pada dirinya sendiri mengapa sama sekali tak
mampu balas menyerang. Terapi kenyataan memang demikian.
Dia tak mempunyai kesempatan, jangankan ber ndak bahkan memikir rencana untuk balas
menyerang, pun tak sempat. Jari tangan kanan Wijaya benar2 seper ular yang memagut-magut
mata, hidung, mulut dan tenggorokannya. Berulang kali dia menggeram dan berusaha untuk
menghantam jari itu, tetapi jari Wijaya benar-benar seper gerak ular yang tangkas. Tamparan,
hantaman dan tebasan Ku selalu luput "Aneh, ilmu apakah yang dimainkannya?" diam2 Ku
bertanya dalam hati. Benar sampai sekian lama, Kuti masih mampu menghindarkan diri dari tusukan jari Wijaya, entah
dengan mengisar tubuh, mencondongkan kepala, menyurut ke belakang dan mengendapkan
kepala. Tetapi diam-diam ia getar dalam ha . Sampai berapa lamakah ia dapat bertahan terhadap
jari Wijaya yang membawa maut itu"
"Jika terus berlangsung begini, akhirnya aku tentu kalah," ia menimang-nimang. Kemudan
memutuskan "aku harus melakukan suatu siasat yang lain"
Pada saat Wijaya merangsangkan jari kearah matanya, ba- ba Ku mengendap kebawah dan
dengan gerak secepat kilat, ia menyapu kaki lawan dengan sebuah tendangan keras.
"Uh," mulut Kuti mendesuh kejut ketika gerakan kakinya untuk menyapu kaki lawan itu hanya
menemui angin. Karena seluruh tenaga ditumpahkan dalam gerakan kaki, tubuh Kutipun ikut
berputar. "Aduh," ia menjerit dalam hati ketika telinganya tertusuk jari Wijaya. Tusukan itu tidak
menimbulkan luka berdarah tetapi cukup membuat Kuti memar kepalanya. Anak telinganya
serasa pecah, menimbulkan getar kesakitan pada syaraf kepala dan benaknya. Pandang
matanyapun nanar, ia terseok-seok mundur sambil mendekap telinga kanannya.
Dia mengertak geraham, menahan sakit dan cepat berdiri tegak. Ia kua r Wijaya menerjang pada
saat dia masih terhuyung, sebagaimana tadi ia melakukan kepada lawan. Tetapi ternyata
dugaannya meleset. Wijaya tetap tegak di tempat, memandangnya tenang-tenang.
Terkejut Ku melihat sikap lawan. Tidakkah suatu kesempatan bagus apabila menerjang musuh
yang belum menegakkan keseimbangan tubuh " Mengapa Wijaya setolol itu " Tetapi sesaat
terlintas akan sikap lawan yang menggagah dihadapannya, iapun terkesiap lalu tersipu-sipu dalam
ha . Sikap Wijaya itu merupakan penampilan sikap seorang ksatrya yang utama. Serentak
tersentuhlah ha Ku . Ia malu atas apa yang dilakukan terhadap lawan tadi dan apa yang
dipikirkan dalam menilai lawan.
Namun setelah lintasan kesan itu berlalu, iapun segera menyadari bahwa saat itu ia sedang
menghadapi seorang yang kuat. Lawan itupun merupakan lawan yang terakhir. Apabila dapat
mengalahkannya tentulah dia akan keluar sebagai pemenang, diangkat sebagai senopa dan akan
mendapat anugerah puteri. Puteri, lintasan bayang-bayang dari anugerah itu segera merekahkan
suatu bayargan wajah dari sang dyah ayu Gayatri. Penampilan bayang-bayang wajah sang dyah ayu
itu merupakan suatu daya-sakti yang membangunkan semangat, menggelorakan jiwanya.
"Aku harus menang," serentak memancarlah darah keperwiraan Ku seke ka. Bayu nadi, tulang-
susum dalam tubuh Kuti serasa mendidih, menggelorakan suatu tenaga yang dahsyat. Dengan mata
berapi-api dibakar dahana cita-cita, ia melangkah maju menghampiri Wijaya. "Ki sanak, jangan
engkau menyangka Ku sudah kalah. Tak mungkin engkau dapat mengalahkan Ku , kecuali Ku
sudah menjadi mayat! "
Wijaya terkejut melihat sikap dan wajah Ku pada saat itu. Terutama matanya memancarkan
sinar berapi-api laksana singa kelaparan "Ah, menghadapi seorang musuh yang nekad seper ini,
memang berbahaya," diam2 Wijaya menimang dalam ha . Namun iapun serentak teringat akan
pesan bapa gurunya bahwa dalam pertempuran, harus tetap memelihara ketenangan. Kemarahan,
akan menjurus pada kekalapan dan kekalapan akan menuju kearah kekalahan. Demikian pesan
bapa gurunya. "Ki sanak," sahutnya tenang "dalam pertempuran, terpukul, tertendang itu sudah lumrah.
Bahkan kalah dan menang itupun sudah wajar. Bukankah engkau juga berhasil memukul bahuku?"
"Hm," desuh Kuti "ketahuilah, ki bagus. Bahwa pertempuran ini akan kupertaruhkan dengan
jiwaku." "Ah, mengapa ki sanak mempunyai pemikiran begitu ?" seru Wijaya "bukankah pertempuran ini
hanya berlangsung sampai ada yang jatuh ke tanah saja" Bukankah ki demang tadi sudah
menyatakan bahwa para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara ini, baik yang menang maupun
yang kalah, semua akan diminta menjadi prajurit untuk mengabdi kepada kepen ngan kerajaan
Singasari " Mengapa ki sanak sedemikian bengis memandang pertandingan kita ini ?"
"Ketahuilah, ki bagus," seru Kuti "lain-lain ksatrya peserta sayembara ini dan mungkin engkau
juga, memang demikian tujuannya. Tetapi aku lain."
"Apakah tujuan ki sanak" "
"Aku tak menginginkan kelungguhan senopati."
"O," Wijaya agak terkejut "lalu apakah yang ki sanak inginkan?"
"Anugerah seri baginda "
"Anugerah seri baginda?" Wijaya makin terkesiap "engkau maksudkan anugerah yang mana ?"
"Puteri seri baginda."
"Ah," Wijaya mendesah. Serentak ia teringat akan keterangan tumenggung Bandupoyo mengenai
peris wa Ku dengan puteri Gayatri. Ku benar-benar sudah tenggelam dalam laut asmara
terhadap puteri Gayatri. Kemudian Wijayapun teringat akan pesan yang dibisikkan Gayatri ke ka ia hendak nggalkan
pendapa keputrian "Aku sudah berjanji kepada puteri untuk memenuhi harapannya. Kasihan kalau
diajeng Gayatri sampai hancur perasaannya."
"Itu memang termasuk dalam anugerah yang dijanjikan seri baginda kepada pemenang
sayembara," katanya kepada Ku "jika engkau hendak melaksanakan keinginanmu engkau harus
memenangkan pertandingan ini."
"Ki bagus," kata Ku "kutahu engkau seorang ksatrya yang sak mandraguna. Tetapi engkaupun
harus mempunyai penilaian terhadap siapa diriku ini."
"Tentu, ki sanak," Wijaya cepat memberi sambutan "siapakah yang tak kenal dengan ksatrya
Kuti yang berhasil menemukan kaca wasiat dari gusti puteri Teribuana " Tiada ksatrya lain yang
mampu memasuki puri keraton kecuali Kuti yang sakti. Dan kenyataan yang paling nyata, dari
berpuluh ksatrya yang ikut dalam sayembara ini, hanya kita berdua yang bertemu dalam babak
terakhir ini. Tidak ki sanak, aku tahu jelas akan ksatrya Kuti yang sakti."
"Jika demikian engkaupun tentu menyadari betapa akibat dari dua ekor Singa yang saling
bertarung." "Maksudmu ?" Wijaya menegas.
"Jika dua ekor singa berkelahi, baik yang menang maupun yang kalah pas kedua-duanya akan
menderita luka. Yang kalah mungkin mati tetapi yang menangpun tentu akan luka parah."
"Ya," kata Wijaya "kutahu maksudmu. Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa
pertempuran kita ini tentu akan membawa akibit akan sama-sama menderita luka parah ?"
"Kiranya engkau sudah memaklumi," seru Kuti "lalu bagaimana pendapatmu?"
"Apa maksud ?" kembali Wijaya bertanya.
"Telah kukatakan tadi," kata Ku "bahwa tujuanku ikut dalam sayembara ini bukanlah untuk
mencapai kelungguhan senopati tetapi hendak mengarah anugerah puteri. Dan apakah tujuanmu?"
"Kerajaan Singasari sedang memerlukan suatu pasukan sebagai kekuatan untuk menjaga
keselamatan negara dan para kawula. Karena dengan dikirimnya pasukan Pamalayu ke negara
Malayu, kekuatan dalam kerajaan menjadi berkurang. Juga disamping itu, Singasari harus tetap
berjaga-jaga untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari raja Tartar Kubilai Khan yang sudah
berulang kali mengirim utusan untuk menghendaki baginda Singasari tunduk kepada raja Kubilai
Khan. Panggilan darah seorang putera Singasari, telah mewajibkan aku memasuki sayembara
ini, ki sanak." "Jadi engkau bertujuan untuk menjadi senopati, bukan ?"
"Senopa hanya suatu kelungguhan menurut urut-urutan pangkat dalam pasukan. Yang pen ng
bukan tinggi rendahnya pangkat itu melainkan tujuan untuk mengabdi kepada negara."
"Hm" Ku mendesuh "se ap orang memang berhak dan bebas memiliki tujuan dan cita-cita
sendiri. Hanya dalam hal ini, secara kebetulan kita telah berhadapan dalam ajang sayembara,
dengan tujuan yang berbeda. Engkau bertujuan menjadi senopa dan aku menginginkan anugerah
puteri." "Hm" Wijaya mendesuh.
"Ki anom," seru Ku pula "aku mempunyai saran untuk kepen ngan kita berdua. Engkau akan
mendapatkan kelungguhan senopa yang engkau idam-idamkan dan akupun akan mendapat apa
yang kuinginkan." Wijaya.. mengernyut dahi. "Apa maksudmu?" tegurnya sesaat kemudian.
"Engkau belum tentu dapat mengalahkan aku, akupun belum tentu dapat merubuhkan engkau,"
kata Ku "dan apabila kita berkeras melanjutkan pertandingan ini, tentulah kita akan sama-sama
menderita luka. Alangkah baiknya jika kita merencanakan pertandingan ini supaya sama-sama
kalah." "Oh," Wijaya mendesuh kejut.
"Oleh karena kita berdua ini adalah peserta yang terakhir, maka apabila kita sama-sama kuat
atau sama-sama kalah, tentulah kita berdua tetap yang akan menjadi pemenang. Oleh karena
kelungguhan senopa itu hanya satu, maka kita nan tak perlu berebut tetapi mengajukan
permohonan. Engkau yang menerima kelungguhan senopati, aku yang menerima anugerah puteri."
Tak pernah Wijaya menduga bahwa Ku akan mengajukan saran sedemikian. Ia tak segera
memberi jawaban melainkan merenung.
"Bagaimana?" rupanya Ku dapat mengetahui dari cahaya wajuh Wijaya bahwa pemuda itu
sedang dilanda oleh kebimbangan hati.
Menerima usul Ku berar ia akan memberi kesempatan kepada Ku untuk menerima ganjaran
puteri. Dan dalam hal itu, mungkin Ku akan dapat menuntut puteri Gayatri. "Ah." serentak
tersibaklah per mbangan Wijaya akan suatu pesan suci yang dibisikkan dengan penuh harapan
oleh puteri Gayatri kepadanya.
"Ki sanak," katanya tenang "usulmu memang baik. Andaikata hal itu terjadi pada lain hal atau
sayembara, kemungkinan aku dapat menerima. Tetapi sayembara yang kita langsungkan ini,
menyangkut kepentingan negara dan para kawula. Mereka telah meletakkan kepercayaan
besar pada hasil sayembara ini. Mengapa kita harus membohongi mereka" Tidakkah hal itu
berarti suatu pengingkaran akan laku ksatrya, suatu penghianatan atas amanat baginda, suatu
hinaan atas harapan para kawula, suatu penyelewengan terhadap diri peribadi."
Merah padam wajah Ku mendengar cerca yang laksana hujan mencurah dari Wijaya itu. Namun
cepat dia sudah mengusap perobahan cahaya muka itu dengan senyum lebar "Ki anom, engkau
salah faham," ia beringsut menghampiri Wijaya "coba dengarkanlah penjelasanku ini," ia makin
mendekat kehadapan Wijaya.
Kelemahan Wijaya adalah karena terlalu besar rasa welas asih terhadap orang. Dan seorang yang
berha welas asih tentu jauh pula dari rasa curiga terhadap orang. Terpikat oleh kata-kata Ku ,
diapun tak memperha kan gerak Ku yang beringsut makin mendekat kepadanya "Bagaimana
penjelasanmu, ki sanak" " tegurnya.
"Ini bukan suatu pengingkaran ataupun suatu penghianatan
dan penghinaan akan amanat yang termaktub dalam sayembara itu," kata Kuti dengan
setengah bisik-bisik "tetapi suatu kenyataan."
"Dari landasan apakah engkau mengatakan hal itu sebagai suatu kenyataan" "
"Bahwa dari sekian banyak peserta, ternyata hanya kita berdua yang tetap tak terkalahkan. Dan
di antara kita berdua, akupun tak menginginkan kelungguhan senopa itu. Kiranya memang
engkaulah yang layak menjadi senopati."
"Tetapi .... " "Sejak engkau berhasil merentang gendewa pusaka kerajaan, rakyat telah mengelu-elumu
sebagai senopa yang memenuhi harapan mereka. Akupun rela menyerahkan kedudukan itu,
mengapa engkau menolak ajakanku yang baik itu ?"
"Ki sanak, bukan aku menolak. Aku menghargai maksudmu. Tetapi aku tak menginginkan
kelungguhan itu sebagai suatu pemberian. Aku hanya mau menerima kelungguhan itu apabila
kuperoleh dengan utama dan sah. Bukan suatu pemberian semena- mena .... "
"Engkau keras kepala," tiba-tiba Kuti menggembor dan menghantam dada Wijaya. Karena
jarak amat dekat dan tak menyangka-nyangka, Wijaya tak sempat menghindar maupun
menangkis. Dalam detik-detik yang berbahaya itu, masih untung dia dapat beringsut sehingga
dadanya terhindar dari pukulan maut itu, duk ....
Namun pukulan Ku tetap memperoleh sasaran tepat pada bahu disisi dada yang pernah
terkena pukulan Ku tadi. Sebenarnya bahu Wijaya yang sebelah, muka itu sudah hampir pulih,
tetapi karena terhunjam pukulan lagi, diapun mengerang dan terseok-seok ke belakang.
"Jangan, engkau anggap engkau sendiri yang ksatrya." Kutipun loncat menerjang untuk
memberi pukulan yang terakhir. Ia melambari pukulan itu dengan sepenuh tenaga agar dapat
menyelesaikan pertempuran itu. Dan kali ini dia mengarah kepala Wijaya. Ia yakin pukulan itu
tentu akan membuat Wijaya rubuh bergeleparan di tanah.
Tetapi suatu keajaiban telah terjadi. Pada saat Wijaya menahan kesakitan, pandang mata gelap
dan kepala berdenyut-denyut, ia masih sempat melihat betapa wajah Ku yang bengis dan kejam
menganga dihadapannya, seolah seperti seekor harimau yang hendak menelannya.
Sebelum ma berpantang ajal. Manusia bahkan bangsa khewan, dan serangga yang kecilpun,
telah dikarunia dewata suatu naluri tajam untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari se ap
ancaman bahaya. Demikian pula Wijaya. Sepercik kesadarannya merekah dan sadarlah dia bahwa
saat itu merupakan saat yang paling gawat untuk kerajaan Singasari, puteri Gayatri dan dirinya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sandiri. Jika ia kalah, hancurlah segala harapan dari mereka yang meletakkan harapan kepadanya.
Dia meregang, mengerenyahkan semangat, membangunkan kesadarannya. Pada saat pukulan
Ku melayang, iapun cepat mengendap berjongkok kebawah lalu dengan kecepatan yang luar biasa
menghantam paha kiri Kuti sebelah dalam.
"Aduh .... " Ku menjerit, mendekap paha kirinya dan terus terkulai rubuh. Wajah pucat napas
terengah-engah "engkau .... engkau .... "
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali dan tak terduga-duga. Mereka mengira akan
menyaksikan Wijaya yang rubuh. Wijaya sudah terseok-seok menderita pukulan keras dan Kuti
pun sudah menerjang untuk menyelesaikannya. Tetapi apa yang terjadi ternyata berlainan
dengan apa yang mereka duga. Kesunyian yang tegang saat itu segera meletus bagaikan ledak
gunung Kelud. Sorak sorai menggelegar, menggetar alun-alun Singasari.
Wijaya terpukau bagai sebuah tonggak. Dia tak menyangka bahwa dalam de k-de k menghadapi
kekalahan, dapat merebut kemenangangan yang meyakinkan. Ia telah berhasil memukul bagian
pengapesan dari paha Ku . Hampir ia terhanyut dalam buaian sorak-sorai rakyat yang mengelu-
elunya dengan kegembiraan yang meluip-luap. Bahkan sempat pula didengarnya, gemuruh tepuk
dari bangsal agung. Namun setelah pelahan-lahan kesadaran pikirannya mulai berkembang,
timbullah suatu rasa enggan bercampur malu dalam perasaannya.
"Raden, pengapesan Ku terletak pada paha kiri sebelah dalam. Hantamlah, dia pas akan
lunglai kehilangan tenaga," terngiang-ngiang pesan tumenggung Bandupoyo pada hari masih pagi
sekali dikala dia baru bangun.
"Ah, kemenanganku ini berkat petunjuk paman tumenggung Bindupoyo. Aku harus berterima
kasih kepadanya tetapi akupun harus malu pada diriku sendiri," pikirannya melamun
"kemenangan ini bukan kemenangan wajar yang kuperoleh dengan tenaga kesaktianku
melainkan hadiah dari tumenggung itu, ah ..... " ia tersipu-sipu merah mukanya.
Namun kesemuanya telah menjadi kenyataan. Ku rubuh menumpah tak dapat berdiri dan dia
yang keluar sebagai pemenang. Bangga" "Tidak" ha nurani ksatryaannya menolak "Ku seorang
ksatrya yang sak . Andaikata aku tak mengetahui pengapesannya, belum tentu aku dapat
mengalahkannya" Ia malu, menyesal dan merasa kasihan disertai rasa maaf kepada Ku "Ki Ku , maa an,"
serentak mekarnya kesadaran, segera bertumbuh dengan suatu pernyataan meminta maaf.
Seorang ksatrya harus berani meminta maaf atas sesuatu kesalahan yang dirasakan dalam ha .
Iapun maju menghampiri kehadapan Kuti.
Kuti masih mengerang-erang pelahan.
"Ki Kuti, maafkan aku," ulang Wijaya pula "apakah engkau dapat berdiri" "
Namun Kuti tetap diam. "Kuti," kata Wijaya "jangan berkecil hati atas peristiwa ini. Hanya secara kebetulan saja
karena hendak membela diri, aku telah beruntung memukul kakimu. Engkau tidak kalah, ki
sanak. Dan kekalahanmu ini, pun suatu kekalahan ksatrya."
"Hm, hm " Kuti hanya mendesuh.
"Kuti, aku sangat menghargai kesaktianmu. Bersediakah engkau untuk mengabdi kepada
Singasari " Akan kuusulkan supaya engkau diangkat sebagai wakilku. Hapuskanlah rasa
dendam hari ini, mari kita bekerja-sama untuk menjaga keselamatan negara dan kawula
Singasari. Masih banyak tugas berat yang kita dapat lakukan untuk Singasari "
"Bunuhlah aku, ki bagus .... "
Wijaya terkejut "Membunuh engkau" Mengapa" "
"Engkau telah menang dan hancurlah segala harapan Ku selama ini. Apa guna Ku hidup
tersiksa hati ?" Wijaya terkesiap. Ia teringat akan pembicaraan tadi dimana Ku mengemukakan dengan terus
terang bahwa tujuannya masuk sayembara itu tak lain hanyalah untuk meraih ganjaran puteri. Dan
puteri yang diidam-idamkan itu tak lain adalah sang dyah ayu Gayatri.
"Ah, ki sanak," kata Wijaya "jangan engkau putus asa. Soal itu dapat kita rundingkan."
Seketika merenyahlah wajah dan sinar mata Kuti yang kuyu "Apa katamu, ki bagus?"
"Sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu," kata Wijaya "mengapa tampaknya engkau sudah
putus asa dan minta mati ?"
"Karena kekalahan ini telah menghancurkan impianku untuk menerima ganjaran puteri baginda "
"O," desuh Wijaya. Memang ia sudah menduga akan jawaban Ku , "puteri siapakah yang engkau
idam-idamkan " "Setebar bumi yang luas, senaung langit yang nggi, semesta jagad raya yang tak terbatas ini,
bagi Ku ada seorang wanodya yang secan k puteri Gayatri. Sang dyah ayu itu adalah matahari
kehidupanku, darah dari tubuhku, napas dari nyawaku."
"Ah" dengus Wijaya dalam hati. Sedemikian besar rasa asmara Kuti yang tertumpah pada
puteri Gayatri. Sepercik sinar memancar dalam bumi hatinya, dan merekahlah sumber nurani
yang mengalirkan kebeningan air welas asih "Ah, apakah tidak kejam apabila aku membunuh
harapan hati Kuti?" "Ku ," katanya "apakah engkau sanggup memenuhi permintaanku apabila harapanmu itu
kululuskan" " "Ki bagus!" teriak Ku dengan suara tertahan "apa katamu" Engkau akan meluluskan harapanku
?" Wijaya mengangguk "Asal engkau menerima permintaanku."
"Baik, ki bagus," tanpa ragu-ragu lagi Kuti pun serentak menerima "katakanlah permintaanmu "
"Engkau harus mengabdi kepada kerajaan Singasari yang membutuhkan para teruna ksatrya
sebagai bhayangkari negara Singasari mempunyai musuh musuh yang selalu mengancam, termasuk
raja Tartar." "Sebelum aku menerima permintaanmu itu, katakanlah bagaimana janjimu hendak meluluskan
harapanku itu." "Dengarkan, ki sanak," kata Wijaya "apabila seri baginda menganugerahkan gus puteri Gayatri
kepadaku maka puteri itu akan kuberikan kepadamu."
Ku terbelalak dan serentak seper tumbuh kekuatan, diapun segera berbangkit "Apa katamu ki
bagus " " Wijaya terkejut. Sedemikian besar kuasa api asmara yang telah membakar jiwa Ku . Wajah
pucat, mata kuyu dan tenaga lunglai, tetapi mendengar perkataan tentang puteri Gayatri, seke ka
sembuhlah segala derita lukanya.
"Apabila sebagai ganjaran sayembara ini, selain kelungguhan senopa , pun baginda akan
menganugerahi puteri. Dan apabila puteri yang dikenankan dalam ganjaran baginda itu gus puteri
Gayatri maka akan kuserahkan gusti puteri Gayatri kepadamu, kakang Kuti."
"O, ki bagus, betapa terima kasih Ku atas kebesaran jiwamu," serta merta Ku pun segera
berjongkok menyembah Wijaya.
"Ah" Wijaya cepat-cepat mengangkat bangun "jangan terburu-buru ber ndak demikian, kakang
Kuti." "Ya, tetapi engkau telah menghidupkan pula jiwa Kuti yang sudah layu, ki bagus."
"Sekarang hal itu belum merupakan suatu kenyataan," kata Wijaya "benarkah seri baginda
akan menghadiahkan gusti puteri Gayatri kepadaku, akupun tak tahu. Maka janganlah kakang
gopoh untuk menghaturkan terima kasih kepadaku."
Kuti tertegun. "Dan bagaimana kalau bukan gusti puteri Gayatri yang dianugerahkan kepadaku, kakang Kuti?"
"Ki bagus," kata Ku dengan tandas "sejelek-jelek Ku namun dia masih seorang insan manusia
yang mempunyai perasaan kemanusiawian. Yang kuidam-idamkan adalah gus puteri Gayatri.
Kalau bukan Gayatri, Kuti takkan memangku lain wanita untuk selama-lamanya."
"Baik, kakang Ku ," kata Wijaya "marilah kita mantapkan janji kita. Pertama, kakang harus
menetapi janji untuk memangku jabatan dalam pasukan Singasari. Kedua, akupun harus menetapi
janji untuk menyerahkan gus puteri Gayatri kepadamu, apabila puteri itu dianugerahkan
kepadaku dalam rangka sayembara ini. Dan apabila bukan gus puteri Gayatri yang dianugerahkan
baginda, kakangpun tak dapat menuntut apa-apa."
"Ya, aku bersumpah demi Batara Agung!" sambut Kuti.
Karena pertandingan itu merupakan pertandingan yang terakhir maka demang Widurapun
memberi kesempatan agak longgar kepada Wijaya untuk melakukan pembicaraan dengan Ku .
Kemudian setelah cukup lama, barulah demang Widura menghampiri "Raden, pertandingan ini
telah selesai dan kumohon raden ikut pada pengawal yang akan mengantar raden ke balai
Witana." Demikian Wijaya segera diiring oleh sekelompok prajurit bersenjata untuk masuk kedalam
keraton. Sementara itu rakyatpun bersorak-sorak meninggalkan alun-alun. Sorak yang bergembira
itu meninggalkan kesan bahwa mereka telah puas karena telah mendapatkan apa yang mereka
harap. Udara alun-alun Singasari tampak merekah meriah. Surya menyinarkan cahaya yang gilang
gemilang, angin berhembus segar, para kawula bergembira ria. Ada sesuatu pada hari itu. Dan
sesuatu itu seakan-akan memancarkan kebangkitan dari suasana pura Singasari yang selama
ini tampak diliputi awan mendung.
"Dhirgahayu sang prabu Kertanegara! "
"Dhirgahayu kerajaan Singasari yang jaya!"
"Dhirgahayu senopa yang baru!" Demikian pekik sorak yang berkumandang dari mulut se ap
rakyat. Mereka gembira. Mereka tak tahu mengapa bergembira, tetapi mereka merasa harus
bergembira dengan peristiwa hari itu.
Sementara Wijaya dan prajurit pengiring yang menuju ke balai Witana, belum berapa jauh
memasuki lingkungan halaman keraton, ba- ba telah dihampiri oleh seorang pemuda cakap yang
Cinta Bernoda Darah 3 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 9
^