Pencarian

Dendam Empu Bharada 26

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 26


mengenakan busana priagung. Serta melihat pemuda itu, kelompok prajurit itupun segera
tergopoh memberi hormat "Raden Kuda Panglulut," seru mereka.
Wijaya terkejut ke ka mengetahui siapa anak muda itu. Serta merta diapun menghaturkan
hormat "Raden, hamba menghaturkan hormat "
"Ah, jangan kakang Wijaya merendah diri," anakmuda itu atau Kuda Panglulut gopoh memberi
hormat. Wijaya terkejut karena Kuda Panglulut telah mengetahui namanya. Namun setelah menyadari
bahwa Kuda Panglulut itu putera menantu pa h Aragani, keheranannya itupun menurun. Namun
lain keheranan segera timbul, apa maksud Kuda Panglulut monyongsong perjalanannya.
"Raden," katanya "suatu hal yang tak pernah kusangka bahwa dalam pejalanan ke balai Witana
ini, raden telah berkenan datang. Entah apakah yang raden kehendaki " "
Kuda Panglulut tertawa "Pertama-tama, wajiblah aku menghaturkan selamat kepada kakang
Wijaya. Kedua, sudah selayaknya, aku sebagai wakil paman pa h Kebo Anengah yang diserahi
untuk mengepalai pasukan keamanan penjagaan pura kerajaan, memperkenalkan diri kepada
senopati yang baru."
"Ah, betapa rasa terima kasih Wijaya mendapat perhatain dan penghargaan dari raden yang
sedemikian besar." "Disamping itu, kakang Wijaya" Kuda Panglulut melanjutkan "kedatanganku kemari ini, pun
mengemban dawuh rama patih Aragani untuk mengundang raden ke kepatihan"
"Ah," Wijaya makin terkejut.
"Rama pa h pun ikut bergembira atas pengangkatan kakang Wjaya sebagai senopa . Rama pa h
berkenan hendak mengadakan perjamuan perkenalan secara peribadi dengan kakang "
"Ah." kembali Wijaya mendesah "Wijaya sungguh tak mengira bahwa gus pa h Aragani
menaruh perhatian yang sedemikian beiar atas diriku. Tetapi raden .... "
"Tetapi bagaimana, kakang Wijaya?" tukas Kuda Panglulut "kuharap janganlah kakang
mengecewakan harapan rama patih."
"Sama sekali Wijaya tak berani mengangankan hal itu, raden," Wijaya gopoh memberi penjelasan
"tetapi raden, bukankah saat ini aku masih seorang Wijaya, kawula biasa " Layakkah aku berani
menerima undangan gusti patih?"
Kuda Panglulut terkesiap. Rupanya dia tak menyangka akan menerima keterangan sedemikian
dari Wijaya "Ah, kakang terlalu merendah diri. Jelas sudah bahwa kakanglah yang memenangkan
sayembara itu dan sekalipun dewa tentu tak dapat membantah bahwa kakanglah yang akan
diangkat sebagai senopa Singasari. Mengapa kakang mengatakan tak layak kalau berani
memenuhi undangan rama patih ?"
"Raden," kata Wijaya "memang benar demikian. Tetapi karena saat ini, pengangkatan itu belum
dilangsungkan, maka secara resmi aku belum berhak menyandang nama senopa . Oleh karena itu
pula ... " "Ah, harap kakang jangan memikirkan soal yang tak layak dipikirkan," tukas Kuda Panglulut
"bukankah telah kukatakan tadi, bahwa maksud rama pa h mengundang raden itu tak lain hanya
akan menjamu raden, memberi selamat dan berkenalan dengan raden secara peribadi. Suatu
keinginan rama pa h untuk menyatakan kegembiraan ha atas terpilihnya kakang sebagai
senopa . Bukankah nan nya dalam masa-masa yang mendatang, rama pa h tentu akan selalu
banyak berhubungan dengan raden dalam rangka tugas-tugas pemerintahan" "
Wijaya tertegun. Diam-diam ia menimang. Ia tak tahu apapun sesungguhnya yang menjadi
maksud pa h Aragani. Memang selama ini, ia telah mendengar berbagai cerita tentang ndakan
pa h Aragani dalam pemerintahan kerajaan. Bagaimana akibat perselisihan faham antara seri
baginda dengan pa h wreddha Raganata, demang Wiraraja dan tumenggung Wirakre , telah
dimanfaatkan oleh pa h Aragani untuk mengobarkan kemurkaan seri baginda sehingga akibatnya
pi h tua Raganata yang amat se a itu, demang Wiraraja dan tumenggurg Wirakre telah dilepas
dari jabatan dan ada yang dilorot, dipindah ke lain daerah.
"Namun dia belum kenal dengan aku. Adakah aku harus terhanyut dalam prasangka terhadap
dirinya" Diapun seorang pa h dalam yang saat ini amat berkuasa, dakkah dia akan tak senang
apabila aku menolak undangannya" Bukankah dengan sikap itu, tidakkah dia akan menganggap aku
bersikap tak bersahabat kepadanya " Tidakkah dapat juga dia menilai sikapku itu sebagai sikap
seorang yang congkak?" demikian Wijaya menimang-nimang dalam ha dan akhirnya terdampar
pada suatu keputusan bahwa lebih baik ia memenuhi undangan pa h itu. Bagaimana maksudnya,
akan dapat ia ketahui dan pertimbangkan setelah nanti berhadapan muka.
"Baik raden," akhirnya ia memberi jawaban.
"Raden," ba- ba lurah Margata yang mengepalai kelompok prajurit pengiring berseru kepada
Kuda Panglulut "perintah ki demang Widura, adalah suruh hamba mengiringkan raden Wijaya ke
balai Witana. Hamba sungguh tak berani melanggar titah ki demang, raden."
Mendengar itu seke ka membelalaklah mata Kuda Panglulut "Apa katamu, bekel" Engkau takut
kepada ki demang Widura dan tidak takut kepada rama patih Aragani?"
Bekel Margata berobah pucat namun sesaat kemudian diapun tenang pula "Raden Panglulut,
hamba mohon maaf apabila ucap hamba tak berkenan diha raden. Maksud hamba, hamba
sebagai seorang bekel prajurit bawahan ki demang Widura, hamba harus melakukan perintahnya.
Dalam hal ini jauh dari maksud hamba untuk membanding-bandingan kekuasaan demang Widura
dengan gusti patih Aragani "
"Hm," dengus Kuda Panglulut "tetapi sikap dan ucapmu memberi kesan untuk menduga begitu.
Apakah sekarang engkau masih hendak melarang aku membawa kakang Wijaya ke kepatihan?"
Bekel Margata terkesiap. Melihat itu Wijaya segera ber ndak. Ia tahu apa yang terkandung
dalam ha bekel itu. Dia tentu tetap akan berpegang pada pendirian seorang bekel yang menerima
perintah dari atasannya. Sedang iapun tahu bahwa Kuda Panglulut tentu akan menunjukkan
kekuasaan rama mertuanya pa h Aragani. Dan dalam persimpangan pendirian itu, kemungkinan
tentu akan timbul hal-hal yang tak diinginkan.
"Ki bekel" Wijayapun segera berkata kepada bekel Margata "aku sangat menghargai
pendirian ki bekel. Namun kurasa ki bekel tentu dapat menyadari keadaan," dengan kata-kata
itu Wijaya secara halus hendak memperingatkan bekel Margata bahwa berhadapan dengan
Kuda Panglulut yang membanggakan pengaruh ayah mentuanya yang sedang berkuasa,
tentulah akan menderita hal-hal yang merugikan "akupun harus menjunjung dan menghargai titah
gusti patih yang menaruh perhatian besar terhadap diriku. Maka ki bekel, idinkanlah aku ikut
raden Panglulut ke kepatihan. Apabila ki demang menegur ki bekel, maka akulah yang akan
memberi pertanggungan jawab kepada ki demang"
Rupanya bekel Margata tahu akan peringatan halus dari Wijaya. Diam-diam ia menghargakan
sekali pandangan dan ndakan Wijaya untuk menolong dirinya dari kesulitan. Seke ka mbul rasa
malu dalam ha "Baiklah raden, tetapi aku mohon supaya aku diidinkan mengiring raden ke
gedung kepatihan." "Bekel!" sebelum Wijaya menjawab, Kuda, Panglulutpun sudah menghardik, "apa maksudmu
hendak mengiring kakang. Wijaya ke kepa han" Apakah engkau kua r kalau rama pa h hendak
mencelakai kakang Wijaya" Berani benar engkau mempunyai angan-angan begitu!"
Bekel Margata terbeliak, pucat pula wajahnya.
"Sama sekali dak, raden Panglulut," serunya setelah napasnya mengendap turun dari rongga
dadanya, "hamba dak mengandung angan-angan demikian. Hamba hanya, ingin mengiring raden
Wijaya sesuai dengan tugas yang telah diberikan, ki demang Widura. Jika hamba dan kawan-kawan
kembali ke balai Witana tanpa bersama raden Wijaya, tentulah ki demang murka sekali kerena
menganggap hamba telah melalaikan kewajiban."
"Raden Panglulut " Wijayapun segera menengahi, "apa yang ki bekel katakan memang benar.
Dengan ndakanku memenuhi undangan gus pa h, ki bekel tentu akan dipersalahkan ki demang.
Dan apabila dia tetap tak mengiringkan perjalananku, akan lipat makin beratlah kesalahannya.
Kurasa, biarlah ki bekel dan anakbuaknya menunggu di luar gedung kepa han dan nan pulangnya
agar dapat bersama aku menuju ke balai Witana."
Memang suatu kenyataan yang ganjil tetapi lumrah bahwa se ap ramuan minuman maupun
makanan walaupun bahan-bahannya sama, tetapi beda cara dan orang yang meramu atau
memasak, tentu menimbulkan rasa berlain-lainan dari minuman atau makanan itu. Demikian
dengan maksud atau tujuan. Beda cara mengutarakan, beda orang yang mengatakan, maka beda
pula selera penerimaan orang. Demikian pula dengan Kuda Panglulut. Sebenarnya kata-kata Wijaya
adalah pengulangan dari kata-kata yang diucapkan bekel Margata, tetapi karena berbeda cara
mengulaskan dan beda pada orangnya antara Wijaya dengan bekel Margata, maka penerimaan
Kuda Parglulutpun berbeda. Jika ia cepat menjatuhkan prasangka terhadap bekel Margata, daklah
demikian terhadap Wijaya.
"Baiklah, kakang Wijaya, karena kakang yang memintakan, akupun menurut saja," kata Kuda
Panglulut. Rupanya penerimaannya itu juga didasarkan oleh per mbangan untuk mengamankan
perintah pa h Aragani. Jika ia bersikap keras, menolak permintaan Wijaya, ia kua r soal kecil yang
tak berarti itu akan mengganggu terlaksananya tugas yang sedang dilakukan.
Demikian maka rombongan Wijaya dan prajurit pengiring itupun segera mengalihkan tujuan,
menuju ke gedung kepatihan bersama Kuda Panglulut.
Sekeluar dari halaman keraton mereka segera menyusur jalan yang membelah kearah barat.
Gedung kediaman pa h Aragani terletak di barat keraton Singasari, merupakan sebuah lingkungan
kediaman para mentri kerajaan.
Saat itu sudah lepas tengah hari menjelang sore. Suryapun sudah berkisar ke barat. Suasana
di alun-alun sudah mulai sepi. Rupanya rakyat pun sudah pulang ke tempat masing masing.
Namun di jalan-jalan masih terlihat orang yarg sedang menuju ke rumah. Rupanya mereka
tergolong dari orang yang tak ingin berdesak-desakan dengan sekian banyak orang. Mereka
lebih senang menunggu beberapa waktu sampai kerumun orang menipis.
Belum berapa lama keluar dari lingkungan keraton, tiba-tiba mereka melihat sekelompok
orang terdiri empat lelaki, tengah berjalan menuju kearah yang berlawan. Dan tak berapa lama
merekapun makin dekat dengan rombongan Wijaya.
Sekonyong konyong keempat orang itupun berhen di tengah jalan dan-salah seorang berseru
dalam nada terkejut "Raden Wijaya ...." orang itupun segera bergegas menyongsong rombongan
Wijaya. Ketiga kawannyapun mengikuti.
Wijaya terkejut tetapi sesaat melihat siapa orang itu diapun balas berseru gembira "Kakang Sora,
o, kakang Nambi, ah, kakang Jangkung ......"
Ternyata keempat orang itu adalah Ken Sora, Nambi, Jangkung dan Medang Dangli. Karena
dengan Medang Dangli, Wijaya belum pernah bertemu maka dia tak dapat menyebut namanya. Dia
hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya.
"Dia adalah kawan kita, Medang Dangdi, raden" Sora memperkenalkan Setelah Medang Dangdi
membalas hormat kepada Wijaya, maka Sorapun melanjutkan bertanya "Raden, kemanakah saat
ini raden hendak menuju."
"Ah, raden, kami telah mencari.... " belum sempat Jangkung menyelesaikan kata-katanya, Wijaya-
pun sudah tahu kemarta arah tujuan kata katanya, diapun cepat menukas "kakang Jangkung,
bagaimana luka yang engkau derita dalam pertandingan tadi?"
Pun sebelum Jangkurg menjawab, Wijaya segera memperkenalkan keempat orang itu kepada
raden Kuda Panglulut "Kakang sekalian inilah raden Kuda Panglulut, putera menantu gus pa h
Aragani yang mulia."
Kemudian setelah keempat orang itu memberi hormat kepada Kuda Panglulut, Wijayapun
memperkenalkan mereka kepada Kuda Panglulut.
Semula agak kurang senang ha Kuda Panglulut melihat sikap keempat orang itu yang lebih
menaruh perha an dan hormat kepada Wijaya. Tetapi setelah Wijaya memperkenalkan mereka
dan merekapun segera memberi hormat kepada Kuda Panglulut maka raden, itupun merasa
gembira. Bahkan ada suatu percik pemikiran satelah mengetahui bahwa keempat orang itu
bertubuh tegap dan gagah perkasa.
"Ah, bukankah kakang yang dua ini, ikut dalam pertandingan tadi?" Kuda Panglulut mulai
melangkah kearah sikap persahabatan yang ramah.
Jangkung yang lugu segera mengeluh "Ah, jangan raden mencemoh aku. Bukankah raden
menyaksikan bagaimana aku telah dikalahkan oleh orang dari tanah Galuh itu?"
Kuda Panglulut geli; Sepintas ia tahu bahwa yang bertubuh nggi itu seorang lugu. Ia tertawa
"Ah, bukan begitu, Jangan engkau meni k-beratkan pada kemenangan atau kekalahan. Hal itu
sudah lumrah. Tetapi bahwasanya engkau berani terjun dalam gelanggang pertandingan besar
melawan seorang ksatrya dari tanah Galuh, sudah membuk kan engkau juga seorang . ksatrya
berani." "Ah, sebutan ksatrya terlalu berat bagi diriku. Aku hanya seorang dari desa yang karena telingaku
panas mendengar cemohan orang itu maka akupun segera turun ke gelanggang."
"Aku gembira sekali," kata Kuda Panglulut, "karena nyata-nyata engkau memiliki rasa bhak
kepada Singasari. Kurasa, rama patih membutuhkan orang seperti engkau, kakang."
"Dan engkau kakang." kata Kuda Panglulut kepada Medang Dangdi "rama pa h tentu senang
sekali mempunyai pengalasan seperti engkau"
Jangkung terbeliak. Ia menandang Medang Dangdi tetapi Medang Dangdi hanya tersenyum.
Memandang Sora dan Nambi, kedua orang itupun hanya diam.
"Gila, apakah mereka merelakan aku diambil pa h Aragani?" mengkal ha Jangkung tetapi tak
dapat menumpahkan dengan kata-kata.
Sorapun bertanya pula kemana tujuan raden Wijaya. Setelah Wijaya menerangkan bahwa ia
hendak memenuhi tah pa h Aragani supaya menghadap ke kepa han, Sora dan Nambi agak
terkesiap. Tetapi belum sempat ia menyatakan apa-apa, Kuda Panglulut-pun sudah berkata
"Apakah kakang berempat hendak ikut menghadap rama patih?"
Sebenarnya hal itu memang menjadi keinginan Sora dan Nambi, agar dapat menjaga Wijaya
apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Mereka sudah menyelidiki tentang diri patih Aragani.
"Tetapi gusti patih tidak menitahkan kami untuk menghadap," katanya masih ragu.
"O, itu soal kecil, kakang," seru Kuda Panglulut, "akulah yang mengundang kakang, Rama pa h
tentu amat gembira menerima kakang."
Sora dan Nambi gembira. Itulah yang diharap. Bukan karena ingin berkenalan dengan pa h
Argani agar mendapat perha annya, tetapi karena dengan jalan itu dapatlah mereka mendampingi
dan menjaga Wijaya. Tetapi baru Sora hendak mengucap, ba- ba Medang Dangdi mendahului berseru "Kakang Sora,
bukankah kita masih ada urusan yang harus kita lakukan?"
Sora terkesiap. Ia merasa ada mempunyai urusan pen ng yang lain kecuali mencari raden
Wijaya. Mengapa Medang Dangdi ba- ba mengatakan begitu. Tetapi Sorapun cukup dapat
berpikir tangkas. Tak mungkin Medang Dangdi menciptakan pertanyaan itu apabila ada sebabnya.
"O, benar, lalu maksud adi?" serentak diapun menyambut dengan kata yang mendua makna.
Pertama, menerima maksud yang diberikan Medang Dangdi. Kedua, ia ingin bertanya lebih jauh
apa kehendak Medang Dangdi.
"Pen ngkah urusan itu, kakang?" ba- ba pula Kuda Panglulut menyela, "apabila dak pen ng
harus dilakukan sekarang, baiklah kakang bersama kakang Wijaya menghadap rama pa h dahulu.
Ketahuilah kakang sekalian, rama pa h selalu sibuk dengan tugas-tugas pemerintahan. Sejauh yang
kaketahui, rama pa h jarang meluangkan kesempatan untuk mengundang seseorang. Dan jarang
pula rama pa h berkenan untuk memperha kan seseorang seper halnya kepada kakang Wijaya
kali ini." Sora terkesiap pula. Segera ia mengeliarkan pandang mata kepada Medang Dangdi;
Rupanya Medang Dangdi tahu bahwa Sora ragu-ragu, suatu hal yang menunjukkan bahwa
sebenarnya dia masih belum mengerti akan maksud Medang Dangdi. "Dalam keadaan begjni
apabila Kuda Panglulut mendesak tentang urusan itu kepada kakang Sora, kemungkinan
kakang Sora tentu mendapat kesulitan untuk menjawab," pikir Medang Dangdi. Dan diapun
menyadari kesulitan lain yang akan dihadapi Sora apabila menolak permintaan Kuda Panglulut.
Setelah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu maka iapun segera berseru! "Maaf,
raden. Memang tak layak kalau hamba menolak keinginan raden. Tetapi kurang benar pula
apabila hamba harus menelantarkan urusan hamba itu. Oleh karena itu maka baiklah kakang
Sora dan Nambi menyertai kakang Wijaya menghadap gusti patih dan hamba bersama kakang
Jangkung yang akan melaksanakan kepentingan hamba itu."
Sebelum Kuda Panglulut menjawab, Medang Dangdipun sudah berpaling ke arah Sora
"Kakang Sora dan Nambi, kurasa baiklah kita membagi kerja. Kakang berdua menyertai kakang
Wijaya dan aku bersama kakang Jangkung yang mengerjakan urusan kita. Kakang setuju,
bukan ?" Dalam penger an yang dak menger , terpaksa Sora dan Nambi menerima saran Medang
Dangdi. Demikian Medang Dangdi dari Jangkung segera mohon diri dan melanjutkan perjalanan.
"Medang Dangdi, aku sendiri tak menger apa maksudmu tadi?" dalam perjalanan berdua,
Jangkung bertanya. "Kutahu maksud kakang Sora dan Nambi yang ingin mendampingi kakang Wijaya. Tetapi aku
mempunyai pendapat lain, kakang. Apabila kita berempat serempak mengiku kakang Wijaya,
bukankah kita tak tahu bagaimana maksud patih Aragani terhadap kakang Wijaya ?"
"Aku masih belum jelas," Jangkung mengeluh.
"Begini kakang Jangkung," kata Medang Dangdi "andaikata pa h Aragani mengandung maksud
buruk terhadap kakang Wijaya. Atau andaikata dia mempunyai rencana untuk mcmperalat kakang
Wijaya dan kakang Wijaya menolak, tentulah pa h itu akan murka. Kemungkinan akan terjadi
sesuatu yang tak diinginkan. Kemungkinan itulah yang harus kita jaga; Kalau kita berempat berada
dalam gedung kepa han, tentulah kita tak dapat menpetahui kemungkinan-kemungkinan yang
dipersiapkan patih Aragani diluar gedung."
"O " desuh Jangkung. Kini dia baru tahu maksud Medang Dangdi "benar, aku setuju. Ibarat ikan
kita berada dalam jaring semua. Lalu kemana langkah kita sekarang?"
"Kita lanjutkan menyusur jalan ini, kemudian kita nan berputar dari lorong lain untuk menuju
ke gedung kepatihan dan bersembunyi disekelilingnya untuk mengawasi setiap gerak yang terjadi di
kepatihan." Sementara Medang Dangdi dan Jangkung melanjutkan rencananya maka rombongan Kuda
Panglulut dan Wijayapun ba di kepa han. Saat itu hari sudah petang dan gedung kepa hanpun
mulai bermandikan penerangan lampu.
Bekel Margata dan anakbuahnya diperintahkan untuk nggal dihalaman kepa han, sementara
Wijaya, Sora, Nambi dibawa Kuda Panglulut masuk kedalam ruang pendapa. Disitu telah disiapkan
sebuah meja yang beralas kain sutera jingga. Sebuah kursi besar daripada kayu cendana yang diukir
indah dan bertatahkan warna merah bersalut emas pada sandaran dan tempat duduk, beralas kain
beludru hijau. Di kanan kiri meja, berjajar masing- masing ga buah kursi. Sementara di sebelah
ujung meja yang berhadapan dengan kursi kebesaran tadi, disediakan pula sebuah kursi yang
sandaran dan tempat duduknya berselubung kain beludru kuning.
Wijaya ber ga dipersilahkan menunggu dan Kuda Panglulutpun segera masuk kedalam. Tak
berapa lama ia keluar dengan mengiring seorang pria setengah tua, bertubuh pendek, kurus agak
bungkuk, mengenakan pakain kebesaran yang indah.
Wijaya, Sora dan Nambi serempak berjongkok menghaturkan sembah. Melihat itu pa h Aragani
cepat berseru "Ah, jangan raden memberi hormat demikian kepadaku. Silakan bangun raden, mari
kita duduk di meja perjamuan. Dan kalian kedua anakmuda, duduklah disamping, raden Wijaya."
"Ah, gus pa h," seru Wijaya "bagaimana mungkin hamba berani duduk sejajar dengan paduka
?" "Ah, raden Wijaya, sudahlah, jangan raden keliwat merendah diri. Bukankah raden akan menjadi


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang tumenggung dengan kelungguhan sebagai senopa kerajaan Singasari ?" serta merta pa h
Aragani menghampiri Wijaya, memimpinnya bangun dan mengajaknya duduk. "Eh, kalian
anakmuda, jangan takut, marilah duduk di kursi yang telah disiapkan ini."
Sora dan Nambi menghatur sembah "Ah, gus pa h, hamba berdua hanya seorang rakyat
rendah yang kebetulan datang ke pura kerajaan untuk melihat sayembara, bagaimana mungkin
hamba berdua akan berlaku kurang tata berani duduk dihadapan paduka, gusti patih."
Pa h Aragani tertawa "Perihal kalian berdua, puteraku Kuda Panglulut sudah menghaturkan
laporan. Jangan takut, duduklah. Malam ini kalian berdua menjadi tetamu yang kuundang, . jangan
memikirkan soal pangkat dan derajat."
"Benar kakang berdua," kata Kuda Panglulut yang menghampiri Sora dan Nambi "rama pa h
telah berkenan menerima kakang sebagai tetamu. Kuharap kakang berdua suka. mengindahkan
keinginan rama patih."
Terpaksa Sora dan Nambi berbangkit dan mengambil tempat duduk disebelah samping kiri,
berhadapan dengan Wijaya yang duduk sejajar dengan Kuda Panglulut.
Raden Wijaya," pa h Aragani membuka pembicaraan "raden tentu heran mengapa aku
rnengutus puteraku, Kuda Panglulut untuk mengundang raden kemari."
"Demikianlah gus pa h," kata Wijaya "sungguh gus pa h akan berkenan menitahkan hamba
datang menghadap kehadapan paduka."
"Ah, raden, janganlah raden berbahasa "gusti patih" kepadaku" kata patih Aragani tertawa.
"Tetapi gusti .... "
"Cukup berbahasa 'paman patih" sajalah raden."
"O," Wijaya mendesuh kejut dan getar. Di pandangnya pa h itu dengan pandang penuh tanya
dan karaguan "tetapi bagaimana hamba berani melakukan hal yang melanggar tata-susila itu?"
"Mengapa raden memiliki perasaan demikian?"
"Bukankah hamba hanya seorang pemuda desa yang kebetulan saja berhasil memenangkan
sayembara di pura kerajaan Singasari ?"
Pa h Aragani tertawa " Raden Wijaya, mengapa raden masih berusaha untuk menyembunyikan
diri raden" " Wijaya terperangah. "Mengapa raden masih tampak meragu?" patih Aragani teittawa "lepas dari persoalan raden
bakal diangkat senopati kerajaan Singasari, pun raden berhak dan wajib menyebut aku sebagai
paman. Raden, mengapa raden menutupi diri raden dari suatu kenyataan yang tak mungkin
dipungkiri oleh manusia sejagad ini" Tidakkah raden merasa bahwa sikap raden itu dapat
cenderung dianggap orang sebagai seorang putera yang tak meluhurkan nama orangtua "
Maaf, raden, kalau aku berkata agak keras. Tetapi aku hanya mengingat saja, tiada lain
maksud apa-apa." Wijaya terkejut dalam ha . Adakah pa h Aragani sudah mengetahui asal-usul keturunannya"
Untuk mendapat gambaran yang jelas, iapun bertanya "Mohon paduka melimpahkan keterangan
agar tenteramlah perataan hamba untuk mentaati perintah paduka"
"Baiklah," kata patih Aragani "akan kuuraikan silsilah keturunan dari ramuhun rahyarg sri
Rajasa sang Amurwabhumi, rajakulakara atau pendiri kerajaan Singasari. Dengan Tunggul
Ametung, akuwu Tumapel maka puteri Ken Dedes telah melahirkan pangeran Anusapati.
Kemudian dengan sri Rajasa sang Amurwabhumi, Ken Dedes berputera tiga orang lelaki dan
seorang puteri yani Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya dan Dewi Rimbu. Sri
Rajasa atau Ken Arok pun mempunyai empat putera dari pernikahannya dengan Ken Umang,
mereka adalah Panji Tohjaya, Panji Sudatu, raden Wregola dan Dewi Rambi "
"Pangeran Anusapa menurunkan Rangga Wuni dan Mahisa Wonga Teleng menurunkan Mahisa
Campaka. Pangeran Anusapa dibunuh oleh panji Tohjaya tetapi kemudian Panji Tohjayapun
dikraman oleh Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. Tahta kerajaan jatuh ke tangan Rangga Wuni
yang bergelar seri baginda Wisnuwardhana dan dibantu oleh Mahisa Campaka sebagai ratu
Angabaya dengan gelar batara Narasinga-mur . Seri baginda Wisnuwardhana wafat dan digan
oleh putera mahkota, seri baginda Kertanagara yang sekarang. Sedang Batara Narasingamur
berputera Lembu Tal. Raden Lembu Tal itulah yang menurunkan seorang ksatrya muda gagah
perkasa yang bernama raden Wijaya. Dan raden Wijaya itulah yang saat ini berada dihadapanku ....
" Walaupun sudah mengetahui keakhiran dari uraian pa h Aragani itu, namun Wijaya terkejut
juga. Sora dan Nambipun terbelalak.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 23 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Tawa merupakan curahan rasa ha . Oleh karena itu daklah mes bahwa tawa itu tentu suatu
kelahiran dari rasa yang gembira. Ada pula tawa cemoh, tawa hambar atau tawa yang terpaksa,
tawa hampa atau tawa sekedar untuk ikut tertawa, tawa marah dan lain-lain sebagainya.
Ada lain jenis tawa seper yang dihamburkan pa h Aragani setelah membuka rahasia diri raden
Wijaya saat itu. Tawa yang berunsurkan bangga campur ejek, kegembiraan yang menikam perasaan
orang. "Hm, jangan kira aku tak tahu siapa dirimu, Wijaya " demikian untaian kata dalam nada tawa
patih kerajaan Singasari itu.
Namun Sora dan Nambi tak terhanyut dalam alun tawa pa h itu. Kedua anakmuda itu
terdampar dalam gelombang kejut dan terhembus dalam karang pesona.
Mereka memang sudah menduga bahwa Wijaya itu tentu putera seorang priagung atau
berpangkat. Tetapi dugaan mereka tak pernah menjangkau sedemikian jauh bahwa ternyata Wijaya itu
adalah putera keturunan dari Lembu Tal putera Mahisa Campaka atau Batara Narasingamur yang
kekuasaannya seper seorang yuwaraja atau raja muda dari kerajaan Singasari pada waktu
dikuasai rahyang ramuhun Wisnuwardhana, ayahanda baginda raja Kertanagara yang sekarang.
Beberapa saat terdampar dalam gelombang kejut melelapkan dan akhirnya terhempas dalam
pulau yang penuh lena pesona itu, akhirnya pelahan-lahan mereka melihat suatu kerindangan dari
hutan lebat yang menyejukkan perasaan. Hutan lebat yang mewarnai keindahan alam budi
pemuda yang bernama Wijaya itu. Bahwa walaupun keturunan seorang priagung luhur ternyata
Wijaya dak mengambangkan diri di atas awang-awang kebanggaan dan ke-Aku-an yang nggi,
melainkan sebagai salah seorang insan seper batang pohon yang membaurkan diri dalam
kemanunggalan hutan lebat yang rindang.
Awang awang adalah suatu ke nggian dari alam yang hampa. Alam yang dapat dipandang tak
dapat digapai. "Dapat dilihat tak dapat ditempa . Tetapi hutan, lebih membumi dengan kenyataan
kehidupan arcapada. Memberikan kesuburan pada tanah, mengayomi dan memperlengkap
kebutuhan hidup. "Raden Wijaya seorang ksatrya yang berjiwa besar," akhirnya balah kesan dalam kesimpulan
Sora maupun Nambi. Dan kesimpulan itu cepat membekukan gumpalan awan yang berarak dalam
langit ha nya, kemudian berhamburan menjadi air yang mencurahkan kesejukan pada
kesadarannya. Kesadaran yang melahirkan rasa taat, setya dan mengabdi kepada Wijaya.
Akan Wijaya sendiri, tampaknya dak mengunjuk sikap terkejut yang berlebih-lebihan kecuali
mbulnya kejut yang beralas pertanyaan, apakah gerangan maksud pa h Aragani mengatakan
tentang asal usul dirinya.
"Ah, gusti patih ...."
"Paman patih, raden" cepat patih Aragani mengingatkan.
"Paman pa h" Wijayapun menurut "walaupun dengan rasa berat ha namun hambapun
menghaturkan sembah terima kasih atas perha an paman terhadap diri hamba. Namun agar
Wijaya mempunyai pegangan yang lebih mantap untuk mengingat budi kebaikan paman pa h,
hamba mohon penjelasan, apakah kiranya yang paman patih hendak limpahkan atas diri hamba."
Pa h Aragani tertawa "Tak sesuatu maksud yang terkandung dalam ha paman, kecuali hanya
ingin mengakrabkan hubungan dengan raden. Raden Wijaya," sejenak berhen pa h Araganipun
melanjut pula "beberapa hari lagi raden akan diwisuda sebagai senopa pura Singasari. Dan
mengingat bahwa raden masih mempunyai hubungan darah dengan seri baginda, tentulah raden
akan mendapat tugas yang penting dari seri baginda."
"Ah," Wijaya mendesah "berat nian ha hamba akan menerima tugas itu. Adakah layak
pengetahuan dan pengalaman Wijaya yang mesih sepicik ini akan menerima kepercayaan
sedemikian besar dari seri baginda yang mulia" Tidakkah hal itu akan menimbulkan rasa kecewa
pada seri baginda serta cemoh dari seluruh kawula Singasari?"
"Jangan merendah diri, raden," ujar pa h Aragani "raden sudah merupakan saringan dari
segenap ksatrya yang ikut dalam sayembara besar ini. Kiranya raden pas akan mampu memikul
beban tugas keraj san itu."
"Paman pa h," kembali Wijaya berkata "tak lain hamba hanya mohon bimbingan dan petunjuk
paman pa h, agar hamba tak mengecewakan kepercayaan seri baginda dan harapan kawula
Singasari." "Ah, tentu raden, tentu paman akan bersedia untuk membantumu," pa h Aragani bergelak
gembira "karena kita semua adalah mengabdi kepada junjungan kita yang mulia seri baginda
Kertanagara dan kerajaan Singasari."
Sora dan Nambi agak bercekat dalam ha . Mereka agak heran mengapa raden Wijaya
menginginkan bahkan meminta bantuan pa h Aragani. Namun, karena kata sudah terucap,
merekapun terpaksa harus menanti lebih lanjut dari perkembangan pembicaraan patih Aragani.
"Terima kasih, paman patih," ucap Wijaya.
"Ah, janganlah raden menganggap hal sekecil itu sebagai suatu budi dari paman," kata pa h
Aragani "anggaplah bahwa kesediaan paman itu sebagai suatu wajib dari seorang wredha mentri
terhadap sesama mentri senopa . Dan yang pen ng pula, sebagai suatu pernyataan akan
kesungguhan ha paman untuk membangun hubungan kerjasama yang erat dengan raden. Apakah
raden bersedia?" "Sudah tentu hamba akan mentaa petunjuk paman," raden Wijaya memberi pernyataan
"karena telah hamba akui bahwa dalam rangka tugas-tugas pemerintahan, hamba tak memiliki
pengalaman." "Itulah yang paman harapkan raden," pa h Aragani makin gembira. Kemudian pa h berpaling
dan bertepuk tangan "pengawal, lekas siapkan hidangan untuk gustimu senopati yang baru."
Cepat sekali beberapa dayang keluar dengan membawa hidangan dan minuman. Dan berkatalah
pa h Aragani dengan gembira "Untuk merayakan persahabatan kita, idinkanlah paman untuk
menghaturkan tuak kehormatan kepada raden."
Pa h Aragani lalu menuang guci tuak ke dalam dua buah piala tembikar yang indah, kemudian
memberikan kepada Wijaya "Raden, piala tembikar ini berasal dari utusan raja Kubilai Khan yang
mempersembahkan tanda mata ke hadapan seri baginda Kertanagara sebagai tanda persahabatan.
Banyak sekali jumlah tembikar yang dihaturkan kepada seri baginda. Dan seri baginda berkenan
menganugerahkan seperangkat perabot minum dari tembikar itu kepadaku. Tuak yang tertuang
dalam piala tembikar itu memang berobah lain rasanya, lebih sedap dan lebih memikat selera."
Sambil mengangkat piala tembikar yang dihadapannya, pa h Aragani berkata pula "Tuak inipun
bukan sembarang tuak, raden. Dari brem Bali yang sudah diperam beberapa tahun."
Memang menikam lidah rasa tuak yang dihidangkan pa h Aragani itu. Dan Wijayapun
meneguknya habis. Ke ka pa h Aragani hendak menuang lagi, Wijaya minta agar raden Kuda
Panglulut diberi lebih dulu. Demikian Kuda Panglulut dan Sora serta Nambipun diberi tuak oleh
patih Aragani. "Raden," kata pa h Aragani setelah berulang kali meieguk tuak "akan paman ceritakan tentang
keadaan dalam pusat pemerintahan kerajaan. Mudah-mudahan raden akan mendapat gambaran
yang jelas demi kepentingan tugas-tugas yang akan raden langkahkan."
Wijaya menghaturkan terima kasih.
"Seri baginda Kertanagara pamanda raden, junjungan seluruh kawula kerajaan Singasari, seorang
nata yang putus akan segala ilmu. Baik tentang ilmu keprajaan maupun ilmu agama. Putus dalam
falsafah, tata bahasa dan segala seluk beluk ilmu keba nan. Terutama tantra Subu , diselaminya
merasuk dalam ha . Di antara raja-raja sebelumnya, rasanya ada seorang raja yang setara,
dengan seri baginda."
"Kebesaran jiwa seri baginda dan kebijaksanaan, kepandaian, kesak an dan luasnya segala ilmu
ajaran, yang telah dimiliki seri baginda, dirasakan terlampau berkelebihan bagi bumi kerajaan
Singasari yang sempit. Oleh karena itu maka seri baginda memulai cita-citanya yang besar untuk
mempersatukan seluruh kawasan nusantara, ke dalam naungan perlindungannya. Dalam rangka
melaksanakan hal itu maka seri baginda puri segera mengirim pasukan Singasari ke Malayu karena
laporan-laporan yang berada pada baginda, memberikan suatu gambaran yang mencemaskan "
"Raja-raja di Malayu tidak tunduk lagi kepada kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya sendiri
pada hakekatnya memang sudah turun dari gemilang jaman keemasannya. Raja Tribuana
Mauliwarman sudah tak menjalankan pemerintahan lagi. Kekuasaan kerajaan sudah dikuasai
oleh patih Demang Lebar Daun ... "
"Demang Lebar Daun ?"
"Ya" sahut patih Aragani "apa maksud raden ?"
"Ah, tiada maksud apa-apa kecuali agak heran dengan nama itu."
Pa h Aragani tertawa "Memang itu bukan namanya yang aseli melainkan sebuah gelar.
Kemungkinan karena dia memiliki daun telinga yang luar biasa lebar dan panjangnya maka dia
disongsong dengan gelar itu. Ada pula yang mengatakan, gelar itu dilahirkan karena Demang itu
gemar makan hidangan di atas daun lebar."
Wijaya tersenyum "Siapakah namanya yang aseli" "
"Paman kurang jelas," sahut pa h Aragani "paman hanya mengetahui bahwa dia bukan orang
Swarnadwipa aseli melainkan keturunan bangsa Funisia dan Arya dari Jambudwipa. Tubuhnya
nggi kurus, kulit kuning, mata bersinar tajam, hidung mancung dan berjambang lebat dengan
kumis yang indah." Wijaya kerutkan dahi "Jika dia bukan seorang putera Swarnadwipa, bagaimana dia dapat
diangkat sebagai seorang mahapatih kerajaan Sriwijaya?"
"Sepanjang yang paman ketahui," kata pa h Aragani "pada masa kerajaan Sriwijaya diperintah
baginda Culamaniwarman, maka ayah Demang Lebar Daun itu berkenalan baik dengan baginda.
Karena dia seorang cendekia, putus dalam soal tatapraja dan berbagai ilmu maka baginda
mengangkat sebagai mahapa h. Kemudian setelah baginda Culamaniwarman mangkat maka
kedudukan ayah Demang itupun diturunkan kepada Demang Lebar Daun. Dan pada masa baginda
Tribuana Mauliwarman menggan kan ayahandanya yang mangkat itu, Demang Lebar Daunpun
diangkat sebagai patih mangkubumi dengan gelar Demang."
"Menurut paman pa h tadi, raja-raja di Malayu dak tunduk lagi kepada kerajaan Sriwijaya. Raja
Tribuana Mauliwarman sudah tak menjalankan pemerintahan dan kekuasaan kerajaan berada di
tangan Demang Lebar Daun. Bagaimana hal itu dapat terjadi"," tanya Wijaya.
"Kesemuanya tak lain bersumber pada kepercayaan agama yang berkembang dalam bumi
Swarnadwipa. Demang Lebar Daun seorang penganut faham Hinayana demikian pula baginda
Tribuana Mauliwarman, Pada hal faham itu sudah mulai terdesak oleh aliran Mahayana, baik di
bumi Swarnadwipa maupun di Jawa-dwipa terutama di kerajaan Singasari ini. Pertentangan-
pertentangan menimbulkan kerusuhan dimana-mana. Maka Demang Lebar Daun yang cemas akan
keselamatan diri Raja Tribuana, segera membangun sebuah negeri baru yang aman dan jauh dari
kerusuhan yaitu di Dharmasraya di Sungai Langsat."
"Istana kerajaan baru di Dharmasraya itu dibangun secara besar-besaran. Cobalah raden
bayangkan, istana di Dharmasraya itu memakan waktu duapuluh tahun lamanya, bangunan istana
itu luasnya seperdua kota kerajaan, dihias dengan berpuluh candi dan beratus arca yang indah
indah. Sedemikian hebat baginda dan Demang itu mengagungkan faham Hinayana sehingga
keadaan dalam istana pura Dharmasraya itu melebihi negeri Gangga di Jambudwipa, sumber dari
agama itu sendiri." "Dan untuk mengembangkan agama Hinayana itu, Demang Lebar Daun mendirikan sebuah
mandala perguruan nggi ilmu Buddha Hinayana di Sriwijaya. Berlimpah ruah para siswa dari
berbagai mancanegara datang ke Sriwijaya untuk menuntut ilmu. Dibangun enampuluh buah
asrama untuk para siswa itu dan didatangkan pula para guru yang termasyhur dalam ilmu ajaran
Hinayana." "Ah," tiba-tiba Wijaya mendesis.
"Bagaimana raden"," tegur patih Aragani.
"Demang Lebar Daun sungguh hebat dan bijaksana sekali."
"Benar, raden, memang bijaksana bahkan terlampau bijaksana," seru pa h Aragani "kesemuanya
itu dibeayai dengan harta dari perbendaharaan kerajaan. Sama sekali rakyat dak dipungut dana,
bahkan Demang itu telah menghapus segala macam pungutan cukai, upe dan lain-lain beban yang
memberatkan rakyat. Maka rakyat njerasa bersyukur, sayang, taat dan kagum terhadap demang
itu." "Tetapi paman pa h," sanggah Wijaya " dakkah suatu pemerintahan yang baik itu
pemerintahan yang dicintai dan ditaati para kawulanya?"
"Benar," sambut patih Aragani "tetapi Demang Lebar Daun itu terlampau asyik masyuk
dengan agama yang dipujanya, sesuai dengan faham ajaran agama yang dianutnya maka
undang-undang kerajaan-pun diatur secara sedemikian rupa yaitu tak ada tingkatan derajat
manusia. Baik yang kaya, yang berpangkat dan yang miskin dan hina, semua sama hak dalam
undang-undang. Tetapi dia tak melihat kenyataan dari kelangsungan suatu roda pemerintahan.
Bahwa pemerintahan itu harus didukung oleh seluruh kawula dengan pengabdian jiwa raga,
harta dan benda. Demang Lebar Daun tak menghiraukan pemasukan pendapatan
perbendaharaan kerajaan yang hanya menggantungkan hasil perniagaan dan bandar-bandar
dengan mancanegara. Dia hanya ingin membangun sebuah kerajaan Sriwijaya sebagai lambang
suar kebesaran agama Buddha-Hinayana sehingga makin lemahlah keadaan harta
perbendaharaan kerajaan Sriwijaya."
"Maaf raden," kata pa h Aragani pula "paman bukan mencela bahwa usaha Demang Lebar Daun
untuk mengembangkan agama ilu tidak baik. Melainkan paman hanya ingin mengemukakan, bahwa
tegaknya sebuah negara kerajaan apabila roda pemerintahannya berjalan lancar. Dan kelancaran
roda pemerintahan itu tak lepas dari kaitannya dengan pengaturan yang sesuai dari hasil
pendapatan negara. Jelasnya, semua sarana ke arah pembangunan, keamanan dan kekuatan
kerajian itu, harus dilandasi dengan lambaran beaya."
Wijaya termenung. Diam-diam ia merenungkan uraian patih itu dengan seksama.
"Dan tahukah raden bagaimana akibatnya dari kebijaksanaan Demang Lrbar Daun itu?"
"Hamba tak tahu, paman patih."
"Dalam keadaan yang sudah makin lemah kekuatan itu maka raja Kala nandola dari Jambudwipa
telah mengirim pasukan untuk menyerang Sriwijaya. Peris wa itu makin melemahkan kekuatan
Sriwijaya." Pa h Aragani berhen untuk meneguk tuak. Karena tadi berulang kali dia menawari Wijaya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk minum lagi tetapi Wijaya selalu menolak, maka patih itupun minum sendiri.
Wijaya merenungkan penuturan patih Aragani. Berbagai kesan dan kesimpulan timbul dalam
benaknya. Kiranya memang tak mudah menjalankan pusara negara itu. Demang Lebar Daun
memang amat bijaksana. Dia tak mau membebani rakyat Sriwijaya dengan berbagai cukai dan
upeti. Diapun telah berjasa untuk mengembangkan agama karena dengan sendi-sendi dasar
ajaran agama yang luhur tentulah kerajaan akan lebih aman dan sejahtera. Tetapi Demang itu
kurang memperhitungkan keadaan negara dan negara-negara di sekeliling dan di mancanegara.
Demang itu tak ingin mencampuri atau menduduki wilayah negara lain tetapi kerajaan lain yang
karena melihat Sriwijaya mengabaikan kekuatan pertahanan negara, lalu menyerangnya.
"Paman pa h," ada sesuatu yang ingin diketahuinya "adakah semua ndakan Demang itu tak
mendapat persetujuan raja Tribuana ?"
Pa h Aragani gelengkan kepala "Tidak, raden. Raja Tribuana telah dipersilakan hidup tenang di
istana Dharmasraya dan Demang Lebar Daun tetap memerintah di Sriwijaya. Segala sesuatu
diputuskan oleh Demang sendiri "
"Ah, mengapa raja sedemikian besar memberi kekuasaan kepada Demang itu ?"
"Mengapa dak ?" balas pa h Aragani "karena Demang mempunyai pengaruh besar terhadap
rajanya." "Pengaruh bagaimana yang paman patih maksudkan ?"
"Hubungan keluarga."
"Hubungan keluarga" Apakah hubungan antara Demang dengan raja Tribuana " "
"Demang itu adalah ayah mentua raja Tribuana. Permaisuri raja, puteri Wan Sendari adalah
puteri Demang Lebar Daun."
"O," desuh Wijaya "jika demikian .... tetapi paman pa h, walaupun Demang itu ayah mentua
raja, tetapi kekuasaan haruslah tetap pada baginda."
"Yah," pa h Aragani mengangkat bahu lalu meneguk tuak "kenyataan memang begitu. Mungkin
saja raja Tribuana menganggap bahwa Demang itu seorang ahli negara yang pandai maka dia
memberi kepercayaan penuh. Paling dak dalam pikiran raja Tribuana, tentulah sebagai seorang
ayah mentua, Demang Lebar takkan berbuat yang merugikan raja dan kerajaan Sriwijaya."
Wijaya dapat menerima hal itu. Kemudian dia bertanya pula "Dan lalu seri baginda Kertanagara
mengirim pasukan untuk menguasai Sriwijaya ?"
"Raden," kata patih Aragani "berapakah jumlah matahari yang menyinari bumi itu?"
Walaupun heran atas pertanyaan itu namun Wijaya menjawab juga "Hanya satu, paman patih."
"Raja adalah junjungan seluruh kawula, pelindung dan pengayom serta yang memberi sinar
kesejahteraan kepada bumi kerajaan dan seluruh kawula. Bagi kerajaan, raja ibarat surya. Maka
demikianlah pendirian seri baginda Kertanagara bahwa di nusantara ini, sebagai di bumi hanya
terdapat sebuah matahari, pun hanya harus mempunyai seorang raja."
"Ah." "O, mengapa raden mendesah" Salahkah cita2 pendirian seri baginda itu, raden?" tegur Aragani.
"Hamba dak bermaksud memberi penilaian salah atau benar," jawab Wijaya "hamba mendesah
karena dengan pengiriman pasukan Singasari ke Malayu itu tentu akan terjadi peperangan yang
menelan korban jiwa dan darah, kerusakan dan kehancuran."
"Bukan kehancuran yang binasa raden," sanggah pa h Aragani "tetapi kehancuran yang akan
bangun kembali dengan wajah yang lebih cemerlang dan tujuan yang lebih kuat."
"Tetapi tidakkah kerajaan Sriwijaya itu sebuah kerajaan yang menjunjung ajaran agama?"
"Maksud raden ?"
"Bahwa se ap kerajaan yang berdiri di atas landasan ajaran agama, tentulah negara itu beradab
tinggi dan berbudaya luhur."
"Tidakkah junjungan kita seri baginda Kertanagara itu juga seorang yang putus akan ajaran
agama, bahkan telah melakukan pentahbisan sebagai seorang Jnana yang suci " Tentulah Singasari
akan membawa ajaran agama yang lebih baik lagi bagi Sriwijaya."
"Adakah demikian tujuan seri baginda untuk mengirim pasukan Singasari ke Malayu itu ?"
"Hal itu termasuk salah satu landasan baginda untuk menitahkan senopa Kebo Anabrang
membawa pasukan Singasari ke Malayu. Lupakah raden akan cerita paman tadi?"
Wijaya terkesiap. Ia merenung, mengingat-ingat sejenak, namun tak bersua suatu apa "Maaf,
hamba memang pelupa sekali, paman patih. Apakah kiranya yang paman patih maksudkan ?"
"Bukankah paman tadi menyinggung tentang ndakan dari raja Kalamandola dari Jambudwipa
yang telah mengirim pasukan untuk menyerang Sriwijaya?"
"Ah," desah Wijaya "paman pa h maksudkan bahwa ndakan seri baginda Kertanagara
mengirim pasukan ke Malayu itu juga mempunyai kaitan dengan serangan raja Kalamandola ke
Sriwijaya itu?" "Raden cerdas benar," seru pa h Aragani, "memang demikianlah yang terkandung dalam
keputusan seri baginda junjungan kita. Tetapi pun disamping itu masih ada soal yang lebih gawat
pula." Tanpa sadar Wijaya makin terpikat dalam pembicaraan dengan patih Aragani mengenai peristiwa
itu. "Paman pa h, Wijaya memang seorang anak dari gunung yang buta pengetahuan tentang ubah-
musiknya keadaan negara Singasari dan mancanegara. Mohon kiranya paman pa h memberi
petunjuk kepada hamba."
Dikobarkan oleh daya tuak yang seolah membanjir ke dalam tubuh, perangai pa h Aragani yung
pandai mengambil ha baginda Kertanagara dengan segala sanjung pujian, pun ternyata juga
gemar menerima sanjung pujian dari orang. Perasaan bangga karena Wijaya, calon senopa
Singasari yang baru, begitu patuh akan kata-katanya dan bahkan mohon petunjuk kepadanya,
membuat hati patih itu menggunduk setinggi bukit. Ia tertawa gembira.
"Ah, janganlah raden merendah diri. Sudah tentu paman akan merasa senang sekali untuk
memberikan apa-apa yang paman ketahui kepada raden. Apalagi raden kerabat baginda, sudah
layak kalau paman melayani raden," katanya.
"Yang menjadi duri dalam daging bagi seri baginda junjungan kita, bukanlah soal raja
Kalamandola dari Jambudwipa tetapi ada lagi seorang raja baru yang mengangkat diri sebagi
maharaja-di-raja di benua utara. Raja Tartar Kubilai Klian telah bangkit sebagai naga yang hendak
menelan kerajaan-kerajaan disamudera selatan, termasuk Malayu dan Sriwijaya. Cobajah raden
renungkan, apa maksud gerangan raja Tartar itu mengirim utusan ke Singasari dengan tujuan
hendak memperkokoh persahabatan tetapi pun menghendaki agar seri baginda Kertanagara
mengirim upeti kepadanya ?"
"O," desuh Wijaya terkejut "adakah raja Kubilai Khan hendak ...."
"Jelas hendak menguasai Singasari dan seluruh Jawadwipa."
"Lalu bagaimana pendirian seri baginda?"
"Seri baginda Kertanagara juga seorang maharaja yang sak , pandai dan berkuasa, bercita-cita
hendak mempersatukan seluruh nusantara. Singasari kerajaan besar yang jaya dan kuat. Tidakkah
layak apabila seri baginda mengirim pasukan untuk mengamankan dan melindungi tanah Malayu
serta Sriwijaya dari ancaman serangan Kubilai Khan ?"
Wijaya terkesiap. "Seri baginda Kertanagara dak bermaksud menjajah karena Malayu dan Sriwijaya itu termasuk
kawasan nusantara. Tetapi seri baginda hendak mempersatukan nusantara agar bersatu, kuat, jaya
dau mampu menahan segala serangan dari mancanegara, baik dari Jambudwipa maupun dari raja
Kubilai Khan yang haus kekuasaan itu."
Wijaya mengangguk -angguk. Ia mengakui bahwa ndakan seri baginda Kertanagara sebagaimana
dipaparkan pi h Aragani itu memang tepat. Namun ada sesuatu yang mengganjal dalam ha nya
dan bertanyalah dia "Paman pa h, adakah keadaan dalam negeri Singasari sudah sedemikian
mengidinkan sehingga perlu untuk melaksanakan hal itu?"
"Tentu saja, raden," sahut pa h Aragani dengan penuh yakin "siapakah yang akan menentang
seri baginda Kertanagara yang arif bijaksana, sakti mandraguna dan berkuasa besar itu?"
"Tetapi paman pa h. Tidakkah sayembara pilih senopa dimana hamba secara kebetulan
beruntung dapat lulus itu, diperuntukkan untuk mengisi kekosongan kekuatan pertahanan pura
Singasrri ?" "Ya, memang demikian."
"Dengan begitu, dakkah berar bahwa seri baginda juga cenderung untuk merasa perlu
memperkuat penjagaan dalam kerajaan" Dan kecenderungan itu, dakkah berar bahwa seri
baginda masih melibat adanya suatu gejala dalam negeri yang perlu harus dijaga?"
"Itulah jalan pikiran bekas pa h Raganata, tumenggung Wirakre dan bupa Vviraraja," kata
pa h Aragani "yang menentang ndakan baginda mengirimkan pasukan ke Malayu sehingga seri
baginda murka." "Tetapi mengapa akhirnya diadakan juga sayembara itu, paman patih?"
"Itupun dari anjuran tumenggung Bandupoyo yang membayang-bayangi seri baginda akan
ancaman dari dalam negeri belaka."
"O, maaf, paman pa h apabila hamba lancang ucap," kata Wijaya "tetapi bagaimanakah
pendapat paman patih tentang sayembara ini?"
Pa h Aragani agak terkesiap. Jika ia mengatakan bahwa dia tak setuju, berar akan memberi
tamparan pada muka Wijaya. Hal itu bertentangan dengan langkahnya untuk mengikat pemuda itu
ke dalam fihaknya. "Walaupun hal itu mbul karena bayang- bayang kecemasan tetapi semisal
tubuh kita, lebih baik kita jaga kesehatan daripada harus mengoba apabila terkena penyakit.
Terutama apabila penyakit lama, supaya jangan kambuh pula."
"Penyakit lama?" ulang Wijaya yang kemudian meminta keterangan lebih jelas apa yang
dimaksud patih Aragani dengari penyakit lama itu.
"Raden," kata pa h Aragani "bukan paman seorang yang penuh prasangka dan curiga tetapi
kenyataan telah membukakan mata pikiran paman. Tindakan baginda untuk mengambil pangeran
Ardaraja sebagai putera menantu, memang benar dalam jangka pendek. Dengan ndakan itu
dapatlah seri baginda mengikat raja Daha dengan tali kekeluargaan sehingga apabila raja Daha
mengandung maksud buruk terhadap Singasari maka maksud itupun akan lenyap."
"Tetapi," kata pa h Aragani pula "dalam jangka panjang, akhirnya ndakan baginda itu akan
mengalami kegagalan."
"O," Wijaya terbeliak.
"Pangeran Ardaraja adalah putera mahkota Daha. Jika kelak pada waktunya seri baginda
Kertanagara pulang ke Haripada, dakkah Singasari itu akan diperintahkan oleh pangeran Ardaraja
" Betapapun ke-setyaan seorang putera menantu terhadap ayahanda mentuanya, tentu lebih setya
pula terhadap ayahandanya sendiri raja Daha. Tidakkah kepen ngan Daha akan lebih ditampilkan
daripada Singasari" Tidakkah pangeran Ardaraja akan menyebut dirinya sebagai raja Daha daripada
raja Singasari?" Wijaya terkesiap. "Lalu bagaimana maksud paman patih?" setelah beberapa saat merenung, Wijayapun bertanya.
"Waktu sekarang akan menciptakan waktu besok. Sekarang yang menanam, kelak yang
akan memetik hasilnya," kata patih Aragani "terus terang raden, maksud paman mengundang
raden kemari tak lain, kecuali hendak mengadakan perkenalan pun paman hendak menguraikan
isi hati paman kepada raden. Dan kesemuanya itu tak lain adalah demi kepentingan pengabdian
dan kesetyaan kita kepada Singasari."
"Terima kasih, paman pa h. Hamba akan merasa berbahagia sekali karena mendapat
kepercayaan paman patih."
"Paman sudah tua, tak punya cita-cita dan keinginan lagi kecuali hanya ingin mengabdi kepada
seri baginda junjungan kita. Untunglah selama ini seri baginda telah berkenan melimpahkan
kepercayaan atas diri paman sehingga hampir seluruh waktu paman telah tersita dalam melayani
kehendak seri baginda."
Wijaya mengangguk. "Memang bahagialah mendapat kepercayaan seri baginda itu. Tetapi pamanpun merasa
cemas karena paman hampir tiada waktu untuk mengikuti dan mengawasi perkembangan
keadaan dalam keraton. Raden," kata patih Aragani dengan nada sarat "apabila raden
berkenan membantu paman, paman tentu amat bersyukur sekali kepada raden."
Wijaya terkejut "Apakah kiranya yang paman hendak perintahkan, silakan paman mengatakan.
Hamba pasti senang melakukan."
"Terima kasih raden," kata pa h Aragani "bantuan raden itu tak lain hanyalah, supaya raden
dapat ikut memawas para mentri senopa dalam pura, terutama terhadap gerak gerik pangeran
Ardaraja. Apabila raden mengetahui dan merasa bahwa ada sesuatu pada sikap mereka, segera
raden memberitahukan kepada paman. Nan kita rundingkan langkah-langkah yang diperlukan,
demi kepentingan dan pengabdian kita kepada kerajaan."
"Ah, sudah tentu hamba akan melakukannya, paman pa h. Karena hal itu sudah menjadi
kewajiban hamba sebagai senopati yang mendapat tugas untuk menjaga keamanan pura kerajaan."
"Terimakasih raden," pa h Aragani menyambut gembira "masih ada sebuah hal lagi yang ingin
paman kemukakan." "O, silakan." "Putera menantu paman, Kuda Panglulut, saat ini diserahi tugas sebagai pembantu ki pa h Kebo
Arema untuk menjaga keamanan pura. Dia masih muda dan kurang pengalaman maka haraplah
raden suka membimbingnya."
Wijaya menyatakan kesediaannya. Demikian pertemuan dengan pa h Aragani telah beilangsung
dengan gembira. Pa h Aragani telah mendapat apa yang direncanakan, mengikat Wijaya ke dalam
fihaknya. Wijayapun menganggap hal itu sudah wajar kalau ia menerimanya.
Selesai berbicara dengan Wijaya, pa h Aragani ba- ba beralih memandang Sora dan Nambi
"Hai, ki sanak, siapa nama kalian?"
"Hamba Sora." "Hamba Nambi." "Kulihat kalian orang muda yang bertubuh kekar dan tentu memiliki kedigdayaan. Tetapi
mengapa kalian tak ikut dalam sayembara ?"
"Tidak gusti patih," kata Sora.
"Mengapa" "
"Tidak apa-apa, gus pa h. Karena hamba merasa tak mempunyai kemampuan berhadapan
dengan para ksatrya yang ikut dalam sayembara itu."
"Lalu mengapa kalian menyertai raden Wijaya?"
"Hamba ingin berhamba kepada raden Wijaya, gusti patih," kata Sora.
"Ingin berhamba kepada raden Wijaya?" seru patih Aragani "kalian tahu siapa raden Wijaya itu?"
"Raden Wijaya adalah senopati baru dari kerajaan Singasari, gusti patih."
"Hm, senopa itu seorang manggala Yudha. Lalu apakah bekal kalian ingin berhamba pada
seorang senopati itu ?"
"Kesetyaan, gusti patih."
"Ah, dak cukup hanya kesetyaan. Bagaimana kalian hendak melindungi keselamatan seorang
senopati apabila kalian tak memiliki ilmu kedigdayaan."
"Hamba tak berani mengatakan ilmu kedigdayaan karena apa yang hamba miliki hanya sekedar
ilmu yang tak berarti apa-apa."
"Baik," kata pa h Aragani "karena raden Wijaya telah berkenan meluluskan untuk membantu
aku, maka akupun hendak membantu raden Wijaya dalam menentukan pengawal-pengawal yang
akan menyertai raden Wijaya."
Sora dan Nambi terkejut. Demikian pula Wijaya. Tetapi sebelum dia sempat, membuka mulut,
pa h Aragani sudah mendahului pula "Aku hendak menguji ilmu kepandaianmu. Kalau kalian lulus,
kalian kuidin-menjadi pengawal raden Wijaya, tetapi kalau kalian gagal, kalian harus bekerja di
kepatihan sini sebagai pengalasan."
"Panglulut, panggil Sargula kemari! " seru patih Aragani.
"Baik, rama," kata Kuda Panglulut yang tak berapa saat telah membawa seorang lelaki nggi
besar ke hadapan patih Aragani.
"Sargula," seru pa h Aragani "ujilah kesak an kedua orang itu. Tetapi jangan sampai tewas,
cukup engkau rubuhkan mereka saja."
"Baik, gus pa h," Sargula menghaturkan sembah lalu menghampiri ke tengah pendapa "Hai, ki
sanak berdua, atas tah gus pa h, aku diperintahkan menguji kesak an kalian. Hayo, majulah
kalian kemari." Sora dan Nambi saling bertukar pandang sejenak "Aku saja yang menghadapinya," bisik Sora lalu
berbangkit dan melangkah ke tempat Sargula.
Wijaya terkejut atas ndakan pa h-Aragani terhadap Sora. Apa maksud pa h itu ber ndak
demikian " Karena belum lama, baru setelah hendak dibawa para pengawal ke dalam Balai Witana
dia berjumpa dengan kedua pemuda itu, maka tak sempat ia bertanya perihal diri mereka selama
berada di pura Singasari.
Ia teringat akan ucapan patih Aragani kepada Sora dan Nambi. Bahwa apabila kedua orang
muda itu gagal mengalahkan lurah Sargula yang rupanya menjadi pengawal kepercayaan patih
Aragani, Sora dan Nambi harus menjadi pengalasan di kepatihan. Tidakkah soal pengawal itu
selayaknya dia sendiri yang menentukan. Mengapa patih Aragani mencampuri hal itu"
Bukankah tindakan patih Aragani itu seolah menunjukkan suatu pengaruh kekuasaan pada
dirinya" Demikian Wijaya menimang-nimang.
"Ah " terakhir ia. mendesuh dalam ha . ke ka bertemu pada suatu kesan bahwa pa h Aragani
mengandung maksud tertentu di balik undangannya untuk menawarkan kerja sama itu. Dan
maksud tersembunyi itu tak jauh kiranya suatu rencana untuk menanam pengaruh atas dirinya
"suatu permulaan yang tak menyenangkan dalam kedudukanku," ia menarik kesimpulan.
Belum sempat ia melacak kesimpulan lebih lanjut lagi, ba- ba ia terhenyak sadar ke ka melihat
Sora sudah melakukan serang menyerang dengan lurah Sargula.
"Uh," mulut lurah Sargula mendesis kaget ketika sebuah tinju yang dilayangkan ke arah
kepala lawan dengan keyakinan pasti akan kena, ternyata luput. Hariya terpisah sejari dari
sasarannya ketika Sora mengisar kepalanya agak miring ke samping.
Wijaya sendiripun hampir berteriak karena mengira Sora tentu terkena pukulan lawan.
Kedudukan Sora memang lemah. Pukulan tangan kanan tertahan oleh tangan kiri Sargula,
kemudian Sargula maju merapat dan menghantam kepala Sora. Semua yang berada dalam
pendapa, menyangka Sora tentu akan rubuh.
Tetapi sebelum persangkaan itu menjadi kenyataaan, mbul pula suatu peris wa yang merobah
persangkaan itu menjadi kejutan. Tetapi peris wa itu berlangsung amat cepat sekali sehingga
orang tak tahu bagaimana hal itu terjadi namun tahu-tahu mereka melihat tubuh Sora mengisar ke
belakang dan tubuh lurah Sargula yang nggi besar itupun terangkat naik ke punggung Sora lalu
terbanting ke lantai, bluk ....
Terdengar pekik dan jerit kaget dari sekalian orang, bahkan pa h Aragani yang tengah
mengangkat piala ke mulut pun memekik sehingga piala terlepas dari tangan dan tuak tumpah ke
pangkuannya. Memang dapat dimaklumi rasa kejut yang menggetar pa h itu. Ia sudah yakin bahwa
pengawal kepercayaannya, lurah Sargula pas dapat menghantam rubuh Sora. Bahwa ternyata
jagonya sendiri yang terban ng sedemikian keras ke lantai, benar-benar merenggut seluruh
perasaan patih itu. Beberapa pengawal kepa han serempak menghampiri ke tengah gelanggang untuk menolong
lurah mereka. Tetapi Sargula tak dapat bangun karena pingsan maka terpaksa merekapun
mengangkatnya. "Tangkap orang itu! " tiba-tiba patih Aragani berteriak dengan marah.
Beberapa prajurit kepa han yang berada di pendapa, serempak maju menyerbu Sora. Wijaya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut. Jelas peris wa itu akan menjadi besar dan gawat apabila Sora sampai melawan. Serentak
dia maju ke muka Sora dan mengangkat tangan memberi isyarat agar prajurit-prajurit itu berhen .
Kemudian Wijaya berpaling ke arah patih Aragani.
"Paman pa h, hamba mohon jangan paman pa h menindak Sora, Segala kesalahannya,
hambalah yang menanggung, paman patih."
Pa h Aragani terkesiap. Sebelum ia sempat membuka mulut, ba- ba Kuda Panglulutpun maju
ke hadapannya "Rama, kakang Wijaya benar, hamba mohon supaya rama berkenan mengampuni
Sora. Hamba tahu bahwa dalam pertarungan, memang sukar dihindari hal-hal yang tak diinginkan.
Andaikata Sargula berhasil menghantam ki sanak ini, bukankah dia juga akan rubuh" Maka hamba
mohon rama dapat memberi keringanan, mengingat bahwa Sargulapun hanya pingsan tetapi tak
menderita luka yang membahayakan jiwanya."
Pa h Aragani memang cerdik. Dalam menghadapi sesuatu masalah, ia cepat dapat menyesuaikan
keadaan. Memang apabila dia berkeras memerintahkan supaya Sora ditangkap, tentulah akan
menimbulkan peris wa yang kurang enak. Paling dak Wijaya tentu akan mempunyai kesan yang
tak baik terhadap dirinya. Dengan memberi ampun, ada dua keuntungan yang akan diperolehnya.
Pertama, ia dapat mengambil ha Wijaya. Kedua, ia dapat merapatkan hubungan Kuda Panglulut
dengan Wijaya dan selanjutnya Wijaya tentu akan memberi kepercayaan kepada Panglulut.
"Baik, Panglulut," akhirnya ia berkata "dengan memandang kepada raden Wijaya dan karena
engkaupun sependapat dengan permintaan raden Wijaya maka akupun meluluskan. Tetapi
benarkah Si Sargula tak menderita cidera yang berbahaya?"
"Tidak, rama," kata Kuda Panglulut.
Demikian agar dak menyinggung perasaan pa h Aragani maka Wijayapun menghaturkan terima
kasih. Demikian pula Sora.
"Sekarang engkau," seru patih Aragani kepada Nambi.
Nambi terkejut. Ia sudah mendapat pengalaman dari peris wa yarg dialami Sora. Apabila dalam
pertarungan nan diapun melakukan hal yang sama seper Sora, dakkah pa h Aragani akan
marah juga. Namun apabila dia menolak untuk diuji kesak annya tentulah pa h Aragani akan
menggunakan kekuasaannya untuk menahan dan mengharuskan dia bekerja di kepatihan.
Nambi berbangkit lalu memberi hormat kehadapan pa h Aragani "Gus pa h, hamba akan
mentaa tah paduka. Tetapi hamba mohon agar paduka melimpahkan keterangan,
bagaimanakah kiranya hamba harus menghadapi ki lurah yang hendak menguji diri hamba itu" "
Pa h Aragani terkesiap. Ia sudah melihat bagaimana kesak an Sora yang telah mampu
memban ng Sargula tadi. Ia masih mempunyai seorang pengawal yang baru saja diperolehnya.
Orang itu bernama Sampang berasal dari Sumenep. Seorang lelaki yang gagah perkasa, berjampang
tebal, kumis lebat, simbar dada. Walaupun perawakan dak se nggi besar Sargula tetapi lebih
kekar dan kuat. Walaupun tampaknya ia menerima dengan senang akan permintaan Wijaya tadi, tetapi dalam
ha sebenarnya dia masih mendendam penasaran. Betapapun dia merasa malu karena Sargula,
pengawal kepercayaannya, dapat diban ng pingsan oleh Sora.. Apabila hal itu tersiar keluar,
bukankah ia malu karena kewibawaannya sebagai seorang patih kerajaan tersinggung ".
Dendam penasaran yang bersumber pada rasa keangkuhan sebagai seorang pa h, telah
merangsang, pa h Aragani untuk menebus kekalahan itu. Diperha kannya bahwa tubuh Nambi itu
lebih kurus dari Sora, demikian sikap dan gaya kelahirannya dak menunjukkan bahwa Nambi itu
memiliki tenaga yang kuat. Ia tak tahu bagaimana dengan ilmu kesak an Nambi tetapi yang jelas ia
harus mengambil kelemahan Nambi, menurut kenyataan yang dilihatnya.
"Tak perlu adu ulah kanuragan karena hal itu akan membawa akibat yang kurang baik," katanya
dengan nada seolah dia bermaksud baik "cukup kalian adu kekuatan, dorong mendorong, cengkam
mencengkam dan kait mengait dengan kaki. Siapa yang jatuh dia kalah. Tetapi tak boleh pukul
memukul." Nambi tersenyum dalam ha . Walaupun dia menertawakan akan kelicikan siasat yang diatur
pa h itu namun diam-diam diapun memuji juga akan ketajaman pandangan pa h Aragani "Terima
kasih gusti patih, hamba akan melaksanakan titah paduka."
"Suruh Sampang maju," seru pa h Aragani. Seorang lelaki, yang bermewah jambang, kumis dan
bulu dada, segera tampil ke hadapan Nambi. Lelaki yang bernama Sampang itu memakai sepasang
gelang akar bahar. Wijaya agak terkejut setelah menyaksikan kedua orang itu tampil. Ia tahu bahwa dalam ulah
kanuragan Nambi memang cukup diandalkan. Tetapi dalam pertarungan yang seluruhnya
menggunakan kekuatan tenaga itu ia masih belum yakin akan kemampuan Nambi. Namun ia tak
dapat berbuat apa-apa kecuali menyertakan doa kemenangan dalam mengikuti pertarungan itu.
Demikian pertarungan segera dimulai. Ke ka Sampang mengulurkan kedua tangan hendak
mencengkeram bahu Nambi maka Nambipun segera menyambutnya dengan kedua tangan. Mereka
kini mulai saling mendorong. Sampang tampak beringas dan bernafsu sekali untuk mendorong
Nambi ke belakang tetapi Nambi tetap hanya bertahan.
Suasana dalam pendapa sunyi senyap. Sekalian mata dan perha an tertumpah ruah pada kedua
lelaki yang tengah adu tenaga itu. Tampak urat-urat pada dahi Sampang menonjol melingkar-
lingkar, kedua matanya merentang tegang, bahkan kumisnya yang lebat itupun mulai meregang
tegak. Namun dia tetap tak mampu mendorong Nambi walaupun hanya setengah langkah saja.
Pa h Aragani terbelalak menyaksikan hal itu. Ia hampir tak percaya bahwa Sampang yang pernah
mampu mengangkat sebuah arca batu penunggu pintu regol kepa han di hadapannya ke ka
pertama kali Sampang hendak diterima masuk menjadi pengawal kepa han, ternyata kini tak
mampu mendorong Nambi yang jauh lebih kurus itu.
Rupanya Sampang tahu bahwa dirinya mendapat sorotan tajam dari pa h Aragani "Hm, apabila
aku tak mampu merobohkan orang ini, gus pa h tentu marah kepadaku. Mungkin aku akan
dipecat," pikirnya. Setelah menentukan keputusan, ba- ba dia menarik kedua tangannya dan secepat kilat terus
mencengkam pinggang Nambi lalu diangkatnya.
Terkejut sekalian orang atas perobahan siasat yang dilakukan Sampang itu. Tetapi rasa kejut
yang bertebaran di pendapa itu berwarna dua. Kejut, yang diderita pengawal dan prajurit
kepa han, terutama pa h Aragani, adalah kejut yang gembira karena menyangka bahwa Sampang
telah dapat menguasai Nambi. Sedang kejut yang menyerap ke dalam perasaan Wijaya dan Sora
adalah kejut kecemasan. Se pis perbedaan antara kejut gembira dan kejut cemas itu pun kedua rasa kejut itupun cepat
sekali berobah-robah keadaannya. Hal itu terjadi manakala terdengar mulut Sampang mendesis
keras waktu mengangkat tubuh Nambi. Rupanya seluruh kekuatan telah dikerahkan, urat-urat bayu
diregang, nafsu bertegang, namun tak dapat lelaki gagah dari Madura itu dapat mengangkat tubuh
Nambi. Kaki Nambi seolah-olah telah tumbuh akar terpaku di lantai. Dan tampaknya pula Nambi
sengaja membiarkan dirinya diangkat. Dia tak berusaha untuk mendorong maupun menyiak lawan.
"Aji Pengantepan yang hebat," seru Kuda Panglulut. Dia berseru pelahan dan diluar kesadaran,
namun kata-kata itu tertangkap juga oleh Wijaya. Diam-diam Wijaya membenarkan dan memuji
Nambi. Karena merasa gagal dalam usaha hendak mengangkat tubuh Nambi, Sampang hendak bergan
siasat. Ia hendak menggerakkan kaki untuk mengait kaki Nambi. Apabila diserempaki dengan
dorongan ke belakang tentulah Nambi akan terpelanting;
Memang bagus sekali langkah yang direncanakan Sampang itu. Mungkin karena waktu dicengkam
pinggangnya Nambi diam saja maka Sampangpun memperhitungkan Nambi tentu akan bersikap
demikian lagi. Tetapi dia lupa bahwa Nambi itu seorang manusia yang berpikiran hidup dan tahu
akan bahaya. Maka pada saat kaki Sampang melingkar ke belakang be snya, Nambipun sudah
mendahului dengan menggerakkan kedua tangannya mencengkeram kedua bahu Sampang lalu
dipijatnya sekuat tenaga,
"Auhhhh" terdengar mulut Sampang mendesis pula. Hanya bedanya jika tadi dalam usahanya
mengangkat tubuh Nambi dia mendesis geram, kini desis mulutnya itu bernada kesakitan.
Bahu merupakan bagian tubuh yang rawan. Apabila ditebas ataupun dicengkeram sekeras-
kerasnya, tentu lengan akan lunglai dan tenagapun ikut merana disamping menimbulkan juga rasa
sakit yang cukup menyiksa.
Hal itupun dialami Sampang. Rasa sakit yang menyerang hebat, menghanyutkan pikiran ke arah
satu tujuan yani menahan rasa sakit itu. Dia seolah tak ingat pula bagaimana cara untuk
menghalau sumber yang menyebabkan rasa sakit itu. Seolah tenaganya sudah merana dalam
kelunglaian. Ternyata setelah berhasil menguasai kedua bahu Sampang, disamping mencengkeram sekeras-
kerasnyapun Nambi juga menekan tubuh orang itu ke bawah sehingga Sampang tenggelam ke
bawah, duduk berjongkok. Sesaat Nambi melepaskan cengkeramannya dengan lebih dulu
mendorong tubuh Sampang ke belakang maka lelaki dari Sumenep itupun jatuh terjerembab ke
lantai. Pada se ap pertandingan adu ulah kanuragan maupun dalam pertempuran yang mengadu jiwa,
se ap kekalahan dari salah seorang yang bertempur itu tentu akan disambut dengan sorak sorai
oleh pengikut dari fihak yang menang. Tetapi lain hal pula yang terjadi di pendapa kepa han saat
itu. Kekalahan Sampang dak disambut dengan pekik sorak dari fihak Nambi, karena baik Wijaya
maupun Sora hanya tenang-tenang saja melihat kesudahan itu. Memang terdengar juga pekik dari
para pengawal dan prajurit kepa han yang berada di pendapa itu tetapi bukan pekik kegembiraan
melainkan pekik keterkejutan yang keras. Bahkan pa h Araganipun tampak menyalangkan mata
dan terlongong-lorigong. "Keparat," sekonyong-konyong Sampang melen ng bangun dan dengan sebuah gaya harimau
menerkam, dia loncat menerkam Nambi yang saat itu sedang berjalan hendak kembali ke
tempatnya. Wijaya dan Sora terkejut sehingga keduanya menggeliat bangun dan Sorapun sudah
berseru "Nambi . . . . "
Sora tak melanjutkan kata-kata peringatannya karena terpukau oleh apa yang terjadi di tengah
pendapa. Nambi berkisar mencondongkan tubuh ke samping tetapi sebelah kakinya masih
dilintangkan. Gerak penghindaran Nambi itu memang tepat sekali pada waktunya. Hampir
serempak dia berkisar, Sampangpun sudah menerjang disampingnya. Akibatnya, menimbulkan
kehebohan yang menghiraukan.
Kaki Nambi yang melintang itu karena diterjang Sampang, menyebabkan rasa sakit pada
betis belakang dan menyebabkan pula kakinya terpental sehingga Nambi terhuyung-huyung,
namun tak sampai jatuh. Sedangkan Sampang karena terkait kaki Nambi, telah kehilangan
keseimbangan diri. Seperti laju seekor babi hutan yang menerjang lawan, Sampangpun terus
melaju ke muka. Walaupun tak tahu jelas siapa yang akan diterjangnya itu namun pikirannya
masih sadar bahwa kelompok orang yang berada di depannya itu adalah kawan-kawan prajurit
kepatihan. Namun karena kehilangan keseimbangan, dia tak kuasa untuk menghentikan laju
tubuhnya. Plak, terdengar sebuah pukulan mendarat di tubuh yang keras dan tubuh Sampangpun segera
berputar ke samping dan rubuh ke lantai.
"Ahhhh," terdengar pekik kejut dari beberapa prajurit kepa han. Dua orang prajurit bergegas
memburu ke tempat Sampang untuk memberi pertolongan. Ternyata Sampang pingsan dan harus
digotong keluar. "Panglulut," sesaat memperoleh kesadarannya kembali pa h Araganipun berseru kepada putera
menantunya. "Hamba terpaksa, rama," kata Kuda Panglulut "karena kalau hamba tak menerpa lehernya,
hambalah yang akan menderita terjangan Sampang."
"Ya, tetapi dia tak sengaja bermaksud hendak menerjangmu."
"Rama, hambapun terkejut. Karena laju gerak Sampang sedemikian cepat sehingga tahu-tahu
sudah hampir menerjang diri hamba, hambapun tak sempat menghindar dan terpaksa berusaha
untuk menghalaunya."
Pa h Aragani cepat dapat menyadari bahwa hal itu memang bukan kesalahan putera
menantunya. Diapun cepat pula dapat mencari dalih untuk menghilangkan rasa malu dan
penasaran yang dideritanya karena seorang pengawal kepercayaan harus menelan kekalahan lagi
"Ya, engkau benar, Panglulut. Memang Sampang amat sembrono sekali. Besok akan ku berinya
hukuman." Terkejut Wijaya mendengar ucapan patih itu. Serta merta diapun mempersembahkan kata,
"Paman patih, maaf atas kelancangan hamba. Bukan maksud hamba hendak mencampuri
kekuasaan paman patih terhadap hamba sahaya paman patih. Namun dalam peristiwa ki
Sampang ini, hamba memberanikan diri untuk mengajukan permohonan agar paman patih
berkenan untuk membebaskan dia dari hukuman."
"O, mengapa?" "Karena sudah lazim dalam suatu pengujian ilmu, baik ilmu ajaran agama maupun ilmu tata
ulah kanuragan, bahwa kesudahannya tentu ada yang menang dan yang kalah. Terutama
dalam tata ulah kanuragan itu, menurut pendapat hamba, belum tentu suatu kekalahan itu
berarti kalah unggul ilmu kepandaiannya. Banyak hal yang menyebabkan kekalahan itu, antara
lain kurang pengalaman, kurang perhatian dan lengah. Kalah atau menang dalam pertempuran
itu, bukan semata ditentukan oleh tinggi rendahnya kepandaian, pun yang penting adalah dapat
menentukan langkah dan menyesuaikan keadaan dengan cepat dan tepat. Hamba tetap
menganggap bahwa ki Sampang seorang yang gagah dan berani. Apabila bertempur dengan
tata olah kanuragan, belum tentulah dia akan kalah."
Pa h Aragani seorang ahli dalam menyanjung dan mengambil ha orang terutama seri baginda.
Sudah tentu dia tertawa dalam ha mendengar ucapan Wijaya itu. Ia tahu bahwa Wijaya hanya
bermaksud hendak mengambil ha nya agar dia tak marah dan penasaran atas kekalahan yang
diderita oleh kedua pengawal kepercayaannya. Pa h Araganipun seorang dedengkot dalam
menghadapi se ap masalah dan berhadapan dengan orang. Cepat ia menghapus kerut-kerut
kemarahan pada dahinya dan digan dengan senyum yang ramah. "Baik, raden, karena raden yang
memintakan pengampunan, maka Sampang kubebaskan dari hukuman."
"Terima kasih paman."
Namun sekalipun mulut menerima permintaan Wijaya daklah berar bahwa rasa malu dan
penasaran dalam ha pa h Aragani itupun ikut hapus. Dia adalah pa h yang sedang menjulang
kedudukannya. Sebagai seorang pa h-dalam, dia amat dekat dengan baginda Kertanagara. Seorang
yang sedang dijenjang pangkat dan kekuasaan, mudah terlelap dalam rasa keangkuhan diri. Dan
ciri-ciri daripada sifat keangkuhan itu, membentuk suatu nilai ke-Aku-an. Timbulnya nilai ke-Aku-an
akan membawa orang itu ke arah suatu rasa nggi ha . Ke Aku-an duduk di atas persada
kepangkatan, bermahkota kesombongan yang megah, berpagar duri kekuasaan yang sewenang-
wenang, membentuk lingkaran pemisah antara Sira dengan Ingsun atau Engkau dan Aku.
Demikian perkembangan jiwa yang tengah dinikma pa h Aragani dewasa itu. Sifat-sifat dari
manusia yang membentuk diri dalam lingkungan itu, tentu cepat dan mudah tersinggung
perasaannya. Segala apa yang ada padanya, yang dimilikinya, dari gedung, perhiasan, kekayaan
sampai pada orang bawahannya harus lebih unggul dari lain orang. Bahwa dua orang pengawal
kepercayaan telah kalah dalam pertandingan menguji kepandaian dengan dua orang pengikut
Wijaya, benar benar takkan terhapus dalam ha pa h itu. Dan karena sudah terlanjur menghadapi
saat-saat seperti itu, diapun tak mau kepalang tanggung lagi.
Suatu angan-angan yang aneh memercik dalam benaknya dan segera terbentuklah sebuah
rencana dengan landasan yang menguntungkan. Dia akan menampilkan putera menantunya,
Kuda Panglulut, untuk berhadapan dengan Wijaya. Ia sudah memperhitungkan, Wijaya tentu tak
berani melukai Panglulut karena tentu memandang kepadanya. Dan apabila Panglulut beruntung
dapat memenangkan ujian itu, apabila hal itu tersiar, tentu akan menimbulkan kegemparan.
Derajat putera menantunya tentu akan naik, demikian pula dia sebagai ayah mentuanya,
sedang penilaian orang terhadap Wijaya tentu akan merosot. Pun andaikata Kuda Panglulut
kalah, hal itu tentu takkan menimbulkan akibat suatu apa. Orang hanya menganggapnya wajar
karena Wijaya adalah senopati yang telah lulus dari sayembara.
Demikian perhitungan pa h Aragani. Jelas bagi fihaknya, hal itu lebih menguntungkan daripada
merugikan. Wijaya tentu berada dalam kedudukan yang sulit. Dan dia tahu bahwa putera
menantunya itupun memiliki kesaktian yang mengesankan.
Setelah memperhitungkan masak-masak maka dalam nada yang ringan seolah tak mengandung
maksud yang bersungguh ha , berkatalah pa h Aragani "Raden, malam ini paman merasa benar-
benar merasa gembira sekali. Disamping itu pamanpun merasa bersyukur ha karena beberapa
pengawal kepatihan telah mendapat pelajaran yang bermanfaat dari pengikut raden."
"Ah, janganlah hendaknya paman pa h beranggapan demikian. Apa yang terjadi tadi, hamba
mohon janganlah paman mengambil di ha , karena hal itu hanya sekedar tukar pengalaman
diantara sesama kawan."
Patih Aragani tertawa gelak-gelak "Benar raden, benar. Tepat sekali kiranya ucapan raden
itu. Memang demikianlah anggapan paman."
"Terima kasih, paman patih "
"Raden," ba- ba pa h Aragani beralih dengan nada yang agak bersungguh "maukah kiranya
raden menyempurnakan rasa syukur paman terhadap kesediaan raden membantu usaha paman ?"
Wijaya tertegun "Mohon paman pa h melimpahkan penjelasan, apa kiranya yang paman pa h
menghendaki tenaga hamba."
Kembali pa h Aragani tertawa "Begini raden, sesungguhnya pikiran paman ini agak gila. Mungkin
karena umur paman yang sudah makin lanjut. Bahwa se ap angan-angan paman yang tak sempat
tercurah, tentu akan menjadi sesuatu yang mengusik ketenangan hati paman. Oleh karena itu maka
pamanpun terpaksa hendak mencurahkannya."
"O, baiklah paman patih. Hamba bersedia mendengarkan dengan senang hati."
"Baiklah raden," kata pa h Aragani "maksud paman sesungguhnya tak lain hanyalah hendak
meminta bantuan raden untuk melimpahkan pengalaman dan ajaran ilmu kesak an raden kepada
anak menantu paman Kuda Panglulut itu."
Wijaya terkesiap. Ia hampir dapat menduga tetapi masih meragukan adakah dugaannya itu
benar. Maka bertanyalah dia "Bagaimanakah yang paman inginkan?"
"Anak menantu paman itu memang memiliki beberapa ilmu tata ulah kanuragan. Kata
gurunya, ilmu yang telah dimiliki Kuda Panglulut itu sudah memadai. Tetapi hal itu belum pernah
mendapat kesempatan untuk membuktikan kebenaran akan kata gurunya itu. Karena selama
ini, memang Kuda Panglulut pernah bertempur tetapi lawan-lawannya hanyalah orang-orang
yang tidak berilmu tinggi. Kini paman melihat suatu kesempatan yang berbahagia atas
kehadiran raden .... "
"Paman patih .... "
"Ah, janganlah raden menolak permintaan paman. Dan janganlah raden merendah diri. Benar-
benar paman tak bermaksud apa-apa kecuali hanya menginginkan agar anak menantu paman itu
mendapat pengalaman yang berguna."
Makin keras dugaan Wijaya akan maksud pa h Aragani, namun ia masih menegas pula "Maksud
paman pa h, adakah hamba harus memberi ajaran ilmu ulah kanuragan kepada putera paman
patih, raden Kuda Panglulut ?"
"Ar nya memang begitu tetapi caranya bukanlah raden harus menjadi guru yang se ap hari
mengajar kepadanya, cukuplah apabila raden bermain-main dengan dia agar raden dapat
mengetahui mana-mana kekurangan pada ilmu kanuragannya dan dapatlah raden memberi
petunjuk kepadanya."
Wijaya mendesuh kejut "Ah," kemudian menghela napas dalam-dalam dan menggetarkan
renungannya "akhirnya memang benar tafsiranku tadi. Tetapi apakah maksudnya hendak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangsungkan hal itu" Apakah dia benar-benar hendak mengusahakan kebaikan untuk putera
menantunya" Ah, rasanya dak," ia membantah sendiri "Atau mungkinkah dia hendak menguji
aku" Jika benar demikian, apakah tujuannya?" ia termenung sejenak "Kemungkinan hanya ada dua
tujuan. Dia hendak membersihkan rasa malu atas kekalahan yang diderita dari kedua pengawalnya
tadi. Dia hendak mempersulit kedudukanku dengan memperhitungkan bahwa aku tentu memberi
muka kepada putera menantunya itu dengan jalan mengalah."
Akhirnya setelah menyadari bahwa permintaan pa h Aragani itu tentu sukar dielakkan lagi, ia
mengambil keputusan akan menerima tetapi pun akan mengalah agar pa h itu dak malu dan
mendendam kepadanya. Sora dan Nambipun terkejut mendengar permintaan pa h Aragani itu. Keduanyapun tahu akan
sifat Wijaya yang dalam banyak hal lebih suka mengalah daripada menonjolkan diri. Dan
karenanya, mereka dapat membayangkan bagaimana nan Wijaya akan menghadapi Kuda
Panglulut. "Hm, raden Wijaya tentu akan mengalah untuk, memberi muka patih Aragani," pikir Nambi.
Beda dengan pemikiran Sora yang lebih keras dan tegas. "Berbahaya apabila raden sampai
mengalah. Patih Aragani tentu akan menyiarkan peristiwa ini sehingga keluhuran nama raden
tentu tercemohkan." Sora yang berwatak berani dan tak dapat menyimpan kandungan ha , serentak menghatur
sembah ke hadapan pauh Aragani "Gus pa h, hamba mohon maaf apabila persembahan kata
hamba ini tak berkenan di ha paduka. Raden Wijaya adalah senopa kerajaan Singasari. Sudah
selayaknya apabila seluruh kawula dan segenap narapraja Singasari meluhurkan namanya. Bukan
sebagai raden Wijaya peribadi tetapi raden Wijaya sebagai senopa Singasari. Apabila dalam
ndak atau perilaku raden mengalami peris wa yang kurang sesuai dengan kedudukannya, bukan
raden Wijaya peribadi tetapi senopa kerajaan Singasarilah yang akan menderita cemar. Hal itu
akan membawa akibat yang kurang layak bagi kewibawaan Singasari."
"Singkatkan kata-katamu. Apa maksudmu?" tukas patih Aragani dengan nada keras.
"Hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk mewakili raden Wijaya, menghadapi raden
Kuda Panglulut." Merah muka patih Aragani seketika "Engkau congkak sekali! "
"Tidak, gus pa h," serta merta Sora membantah "bukan maksud hamba hendak mengagulkan
diri, tetapi hamba rasa kurang layak apabila seorang senopa harus diuji kesak annya. Maka
hamba merelakan diri untuk menjadi bulan-bulan sasaran kesak an tangan raden Kuda Panglulut
yang hamba percaya pasti ampuh."
"Apa engkau tuli ?" hardik pa h Aragani "siapa yang akan menguji raden Wijaya" Bukankah aku
yang hendak minta pertolongannya untuk memberi petunjuk dalam ilmu kanuragan kepada putera
menantuku!" "Ampun gus pa h yang hamba muliakan," seru Sora tanpa gentar "maksud hamba, agar dalam
perjamuan yang paduka adakan demi menghormat dan mengadakan perkenalan dengan senopa
kerajaan yang baru ini, . janganlah terjadi sesuatu yang hanya akan menimbulkan hal- hal yang
kurang enak bagi paduka dan raden Wijaya. Namun apabila paduka tetap menginginkan hal itu;
hamba memberanikan diri untuk melaksanakan titah paduka, gusti patih."
"Engkau hendak memberi petunjuk kepada putera menantuku, hah?"
"Mungkiri hamba dak sehebat raden Wijaya tetapi hamba rasa pun pas takkan mengecewakan
titah paduka." "Huh, apa pangkatmu" Engkau tak layak berhadapan dengan putera menantuku!"
"Apabila hamba sampai gagal memenuhi tah paduka, hamba menghaturkan batang leher
hamba ke hadapan putusan paduka."
Merah muka pa h Aragani mendengar kesanggupan Sora. Ucapan Sora itu diar kan sebagai
suatu tantangan "Manusia liar tak tahu adat! Kalau engkau menantang supaya kepalamu
dipenggal, sekarang juga aku akan memerintahkan tanpa engkau harus berhadapan dengan putera
menantuku." "Ah, hamba tidak mengandung maksud begitu."
"Tutup mulutmu ! Pengawal, tangkap orang itu dari. berilah hukuman rangket limapuluh kali!,"
tiba-tiba patih Aragani memberi perintah.
Beberapa prajurit kepa han serentak hendak melakukan perintah tetapi saat itu juga Wijaya
segera bangkit dan memberi isyarat agar mereka berhen , kemudian menghadap pa h Aragani
"Paman pa h, hamba mohon supaya paduka melimpahkan pengampunan kepada pengikut hamba
itu. Baik, paman pa h, hamba bersedia memenuhi keinginan paduka untuk bermain-main dengan
raden Kuda Panglulut. Tetapi hamba mohon diperkenankan untuk menghaturkan syarat."
"O, apakah yang raden kehendaki?" nada patih Aragani mulai berangsur tenang.
"Hamba mohon paduka mengampuni kesalahan pengikut hamba itu, baru hamba dapat
memenuhi titah paman patih."
Paman patih mengangguk "Baiklah raden. Tetapi paman tak dapat mengampuni seluruhnya.
Paman bebaskan dari hukuman rangket tetapi dia harus enyah dari kepatihan ini. "
Wijaya tertegun. Hampir dia tak dapat menguasai perasaan ha nya. Jika Sora sudah berani
menunjukkan kesetyaannya untuk melindungi dirinya, mengapa dia tak berani ber ndak
melindunginya. "Terima kasih, gusti patih," Sora memberi sembah lalu berbangkit, "raden, biarlah hamba
keluar. Jangan raden merusak suasana perjamuan ini. Hanya hamba mohon supaya raden
dapat menanggapi pendirian hamba tadi," katanya dengan berbisik.
Sebenarnya Nambipun hendak meninggalkan pendapa itu juga, mengiku jejak Sora, tetapi pada
lain kilas, ia teringat bahwa apabila dia ber ndak demikian tentulah raden Wijaya akan seorang
diri. Maka dia-pun membatalkan niatnya dan tetap berada di pendapa. Tekadnya, ia akan
mempertaruhkan jiwa raganya apabila terjadi sesuatu pada diri raden Wijaya.
"Raden Panglulut, silakan tampil kemari. Kita bermain-main sekedarnya," kata Wijaya dengan
nada yang ramah. "Panglulut, jangan sungkan, raden Wijaya hendak memberi petunjuk kepadamu. Unjukkanlah
seluruh kepandaianmu agar dapat diketahui mana-mana yang masih kurang sempurna," seru pa h
Aragani. Kuda Panglulut dapat menanggapi perintah rama mentuanya itu. Ia mentafsirkan bahwa rama
mertuanya menghendaki agar dia melakukan pertandingan dengan Wijaya secara sungguh-
suagguh. "Baiklah, kakang Wijaya," sahut Kuda Panglulut seraya melangkah ke tengah pendapa "kuharap
kakang jangan bermain keras-keras dan memberi petunjuk kepadaku."
Wijaya tertawa. Ia menertawakan sikap kepura-puraan dari Kuda Panglulut sebagaimana yang
terselip dalam kata katanya itu.
Demikian, setelah berbasa basi dalam kata, mulailah keduanya siap. Pun dalam soal siapa yang
menyerang lebih dulu harus terjadi perbedaan pendapat tetapi akhirnya mau juga Kuda Panglulut
mengalah untuk menyerang lebih dulu, dalam kedudukan dia lebih muda dan lebih rendah
pangkatnya dengan Wijaya.
Kuda Panglulut membuka serangan pertama dengan melancarkan sebuah pukulan ke dada
Wijaya. Namun pukulan itu hanya merupakan suatu penjajagan sehingga gerakannyapun dak
disertai dengan tenaga penuh. Maksudnya bila Wijaya mengadakan gerak menangkis atau
menghindar, barulah Kuda Panglulut menyusuli dengan gerak kedua yang akan merupakan
serangan sungguh-sungguh.
Namun ia terkejut ke ka dilihatnya Wijaya tegak dengan tenang, tubuh tak tampak hendak
mengadakan gerakan mengisar, tangan tetap menjulai dan mata tak berkedip memandangnya.
Kuda Panglulut heran tetapi kemudian dapat menduga pikiran orang. Wijaya tentu sudah tahu
bahwa lawan menyerang dengan suatu gerak pancingan maka dia menghadapinya dengan berdiam
diri "Ah, jika begitu, baiklah kuteruskan tanganku untuk memukulnya. Dia tentu tak menduga
bahwa gerak serangan menggertak itu akan kurobah menjadi sebuah serangan yang
sesungguhnya," demikian ia menimang dan cepat menentukan keputusan.
Pelaksanaan daripada keputusan itu segera diwujutkan dengan sebuah gerak melangkah maju
seraya melangsungkan pukulannya "Uh," kembali dia mendesuh kejut ke ka tubuh Wijaya yang
sudah hampir disentuh tinjunya, tiba-tiba lenyap ke samping.
Merah muka Kuda Panglulut seke ka. Walaupun hal itu sudah menjadi hak Wijaya untuk
berusaha menghindar atau menangkis serangannya, tetapi dia tersinggung juga karena merasa
dirinya telah disiasati Wijaya.
"Baik, aku akan menyerangnya dengan gerak cepat," akhirnya ia menentukan langkah. Dan
serentak mulailah serangan-serangan dilancarkan seperti gelombang mendampar.
Sampai pada saat itu tampak Wijaya masih belum mau balas menyerang. Dia hanya menghindar,
mengelak dan ada kalanya loncat mundur.
"Jangan memperolok aku, kakang Wijaya," dalam suatu kesempatan bersimpang tubuh dengan
Wijaya, dia berseru pelahan.
"Ah, tidak raden," Wijaya berbisik menyahut, "kita hanya bermain-main belaka."
Namun Wijayapun menimang juga. Apabila dia tetap bersikap demikian, memang dapat
menimbulkan kesan tak baik bagi Kuda Panglulut. Putera menantu pa h itu tentu akan
menganggap dia memperolokkannya.
"Baiklah aku juga harus balas menyerang," katanya dalam hati.
Kini mulailah pertandingan itu berjalan menarik. Tidak lagi berat sebelah seper tadi karena
keduanya sama melakukan serangan dan pembelaan. Kuda Panglulut tampak gembira dan makin
bersemangat. Diam-diam diapun memang hendak menjajal sampai dimanakah kesak an raden
Wijaya yang telah memenangkan sayembara itu.
Wijaya makin lama makin terkejut ke ka harus menghadapi serangan Kuda Panglulut yang makin
lama bukan makin mengendor tetapi bahkan makin keras daa deras. Terpaksa dia harus
mengeluarkan ilmu kepandaian juga untuk mengimbangi. Tetapi ternyata kesadaran itu agak
terlambat. Kuda Panglulut telah melancarkan serangkaian serangan dari ilmu tata kanuragan yang
sak . Ilmu itu membentuk sebuah rantai serangan yang susul menyusul sampai beberapa saat.
Wijaya benar-benar terdesak karena tak sempat lagi untuk memperbaiki kedudukannya.
"Maaf, kakang," ba- ba pada lain saat Kuda Panglulut berteriak seraya melayangkan nju ke
kepala Wijaya. Saat itu dia berhasil mendesak rapat ke hadapan Wijaya yang terbuka dari
perlindungan. "Ah," Wijaya mendesah. Tetapi suaranya hampir tak terdengar karena tenggelam dalam pekik
sekat dari sekalian orang yang berada dalam pendapa. Mereka menyaksikan jelas, bagaimana
tangan Kuda Panglulut telah menyambar kepala Wijaya dan tubuh Wijayapun bergeliat menyurut
mundur beberapa langkah. Pekik yang menegangkan itu segera berobah menjadi curahan sorak yang menghambur dari
mulut mereka ke ka melihat kain ikat kepala Wijaya telah jatuh di lantai. Dengan demikian jelaslah
bahwa Kuda Panglulut berhasil mempedayakan Wijaya dengan sebuah kemenangan yang
menggembirakan. Sudah barang tentu yang paling gembira atas kesudahan itu adalah pa h Aragani. Walaupun
Wijaya dak sampai rubuh atau menderita luka, tetapi kain kepala sampai tertampar jatuh, cukup
menikam kehormatan seorang kesatrya. Hal itu lebih menyakitkan hati daripada sebuah kekalahan.
Pa h Aragani benar-benar bangga atas kemenangan putera menantunya. Kekalahan dari dua
orang pengawal kepercayaannya, sekali gus dapat terhapus dengan kemenangan itu. Sedemikian
gembira pa h Aragani sehingga saat itu pula dia terus berseru " "Panglulut, berhen lah. Dan
segera engkau minta maaf kepada raden Wijaya karena engkau telah membuat malu kepadanya."
Kuda Panglulut mengangguk dan menghampiri kain kepala Wijaya, memungutnya dan segera
menghaturkan kepada Wijaya. "Maa an, kakang Wijaya, hamba tak sengaja hendak menghina
kakang." Wijaya tersenyum "Terima kasih raden. Ilmu kanuragan yang engkau miliki sudah amat tinggi. Tak
ada yang dapat kuberikan petunjuk lagi kepadamu."
"Terima kasih, kakang," kata Kuda Panglulut berbangga senyum. Dalam ha dia mencemoh "Hm"
kiranya hanya begitulah ilmu kesaktian dari ksatrya yang akan menjadi senopati Singasari."
Kemudian keduanya kembali duduk-menghadap pa h Aragani. Sikap pa h Aragani berobah
amat ramah, murah-senyum bermanja tawa "Raden, maa an putera menantuku si Panglulut yang
kurang tata," katanya seraya menuang tuak kedalam sebuah piala. "Raden, paman hendak
menghaturkan tuak ini sebagai tanda permintaan maaf paman."
"Ah, mengapa paman terlalu mengambil di hati soal sekecil itu."
"Tetapi raden," kata pa h Aragani "benar-benar si Panglulut itu tak tahu adat. Mengapa dia
sampai berani menampar jatuh kain kepala raden " Pada hal kain kepala itu adalah penutup kepala
dan kepala adalah lambang kehormatan seorang ksatrya.''
"Ah," Wijaya tetap tersenyum "memang dalam suatu pertempuran, sukar untuk menghindarkan
hal-hal yang tak diinginkan. Itulah sebabnya maka hamba tadi memberanikan diri untuk meminta
pangampunan atas kesalahan pengikut hamba kakang Sora dan Nambi."
"Ah, mereka hanya lurah-lurah berpangkat kecil. Lain halnya
dengan raden sebagai seorang senopati." Jelas bahwa patih Aragani sengaja merangkai kata-
kata untuk mencemohkan Wijaya dengan ulasan yang indah didengar: Wijaya tahu akan hal itu
tetapi dia tetap bersikap tenang.
"Panglulut, hayo, engkaupun harus menghaturkan permohonan maaf kepada raden Wijaya
dengan persembahan tuak," seru patih Aragani.
Panglulut gopoh melakukan perintah rama mentuanya. Dia mengulangi pula kata-kata
permintaan maaf:. Setelah meneguk tuak pemberian dari Panglulu, maka Wijayapun berkata "Kiranya kurang adil
apabila aku yang menderita kekalahan diberi tuak tetapi raden Panglulut yang m;nang dak
mendapat kehormatan suatu apa ia menuang tuak dalam piala lalu menghaturkan ke hadapan
Panglulut. Raden, akupun menghaturkan tuak kepadamu sebagai tanda menghormat
kemenanganmu." "Benar, Panglulut, terimalah pemberian tuak dari senopati kita yang baru. Itu suatu
kehormatan besar bagimu," seru patih Aragani dengan gembira.
Setelah memberi tuak kepada Kuda Panglulut maka Wijayapun menghaturkan tuak kepada pa h
Aragani. "Paman patih, hamba mohon pamanpun berkenan menerima persembahan tuak ini."
"Atas nama apakah pemberian raden itu?" Aragani tersenyum.
"Suatu tanda pernyataan selamat yang hamba haturkan kepada paman pa h karena putera
menantu paman patih benar-benar sakti mandraguna."
"Ah, terima kasih, raden, terima kasih," dengan tertawa- tawa pa h Aragani menyambu piala
dan sekali teguk habislah isinya.
Selesai itu maka Wijayapun menyatakan mohon diri "Rasanya sudah larut malam, paman pa h,
maka hamba mohon hendak ke dalam keraton agar paman tumenggung Bandupoyo tidak cemas."
Karena rencana dan keinginan sudah terlakiana semua maka pa h Araganipun meluluskan. Ia
mengantar Wijaya dengan suatu pesan "Raden, hamba benar-benar bahagia bahwa radenlah yang
diangkat sebagai senopa kerajaan Singasari. Pamanpun percaya bahwa hubungan kita akan makin
erat dan kerjasama antara paman dengan raden akan berjalan lancar, demi keagungan seri baginda
Kertanagara dan kejayaan kerajaan Singasari yang kita abdi."
Demikian Wijaya dan Nambi segera meninggalkan pendapa. Prajurit keraton yang
mengantarkannya tadi ternyata sudah siap menunggu di halaman. Kuda Panglulut hendak
mengantar sampai ke pintu regol tetapi Wijaya menolak dan minta dia supaya tetap berada di
pendapa menemani rama mentuanya.
Selama berlangsung pertempuran antara Wijaya dengan Kuda Panglulut, kemudian saling
menghaturkan tuak sehingga berjalan keluar meninggalkan perjamuan, sebenarnya Nambi hendak
mencari kesempatan untuk berbicara kepada Wijaya. Ia benar-benar tak menger mengapa selama
berlangsung hatur menghaturkan tuak, Wijaya tetap bersikap tenang. Mengapa Wijaya seolah tak
merasa tersinggung atas peris wa kekalahan yang diderita dari Kuda Panglulut. Mengapa"
Demikian pertanyaan yang menyesakkan dada Nambi.
Karena Wijaya tak memberi keterangan suatu apa, hampir saja Nambi tak kuasa lagi untuk
menahan keinginan ha nya. Tetapi waktu ia hendak bertanya, ternyata saat itu rombongannya
sudah ba di pintu regol kepa han. Prajurit penjaga pintu kepa han segera tegak memberi
hormat. Rupanya mereka tahu siapa Wijaya.
"Kakang prajurit," ba- ba Wijaya berhen sejenak di hadapan seorang prajurit kepa han
"dapatkah aku meminta bantuanmu?"
Prajurit yang bertubuh tegap itu tertegun heran dan terkejut. "O, tentu raden. Apakah yang
raden hendak titahkan kepada hamba?"
"Ah, hanya soal yang tak pen ng," kata Wijaya "tolonglah kakang haturkan kalung dada ini ke
hadapan gusti patih."
"O, tentu akan hamba lakukan, raden."
"Katakan bahwa tadi aku lupa mengembalikan kepada raden Kuda Panglulut. Kalung dada ini
milik raden Panglulut. Dan sampaikan rasa maafku kehadapan gusti patih dan raden Panglulut."
"Baik raden," kata prajurit itu seraya menyambu kalung dari Wijaya. Kemudian setelah Wijaya
meninggalkan kepa han, prajurit itu pesan kepada kawannya "Tunggulah di sini, aku hendak
melangsungkan pesan raden tadi ke hadapan gus pa h. Jika terlambat, mungkin gus pa h sudah
masuk ke peraduan." Saat itu pa h Aragani masih dihadap putera menantunya, Kuda Panglulut. Kedua masih minum
tuak sambil berbincang-bincang "Panglulut, kali ini engkau benar-benar telah berjasa
mengembalikan kewibawaan rama."
"Ah, kesemuanya Itu tak lain adalah berkat pengestu rama."
"Panglulut," kata pa h Aragani "tahukah engkau bagaimana ar dari peris wamu dengan raden
Wijaya itu?" "Mohon paduka memberi petunjuk kepada hamba."
"Besok akan kusebar orang untuk menyiarkan peris wa yang terjadi di pendapa kepa han
malam ini. Agar seluruh mentri, narapraja dan kawula pura Singasari mengetahui hal itu."
"Tetapi rama," sanggah Kuda Panglulut " dakkah hal itu akan menyinggung perasaan kakang
Wijaya?" "Memang begitulah maksud rama."
"Tetapi apakah rama sudah mempertimbangkan akibat dari hal itu?"
"Tentu akan mbul kegemparan di seluruh pura. Nama Wijaya tentu akan merosot dalam
pandangan mereka." "Dan apakah hasil hal itu bagi kita, rama " Bukankah kakang Wijaya akan mendendam kepada
kita?" Aragani tertawa lebar "Hal itu memang sudah kuperhitungkan, angger. Disitulah rama akan
melaksanakan rencana rama untuk menguasai Wijaya."
"O," Kuda Panglulut terkesiap "benarkah itu, rama" Tetapi hamba benar-benar belum menger
bagaimana yang rama maksudkan."
Aragani mendapat piala yang sudah dituang penuh dengan tuak lalu meneguknya habis.
Kemudian baru berkata "Sudah tentu seru baginda akan menyangsikan kesungguhan dari hasil
sayembara itu. Seri bagindapun akan memper mbangkan lagi kepercayaan yang sudah siap hendak
dilimpahkan kepada Wijaya."
"Maksud rama, agar sayembara itu diulang lagi?" Aragani gelengkan kepala
"Tidak, angger. Karena hal itu amat mustahil. Akan membawa akibat besar bagi kewibawaan
kerajaan dalam pandangan para kawula."
"Adakah rama bermaksud ...." Kuda Panglulut tak melanjutkan kata-katanya melainkan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelangkan pandang ke hadapan patih Aragani.
Aragani gelengkan kepala "Tidak, rama tak bermaksud memohon kepada seri baginda agar
engkau diadu dengan Wijaya dihadapan para mentri senopa untuk membuk kan kebenaran
berira yang tersiar itu."
"Ah," Kuda Panglulut menghela napas. Tepat benar pa h Aragani dapat menduga isi ha nya.
Memang kalau hal itu akan dilakukan rama mentuanya, akibatnya tentu berbalik akan memberi
cemar bagi rama mentuanya. Ia kuatir tak yakin dapat mengalahkan kesaktian Wijaya.
"Rama sungguh bijaksana," serunya pula "memang, hamba tak menginginkan hal itu terjadi dan
ternyata ramapun sependapat dengan pikiran hamba. Lalu bagaimana rencana hendak menguasai
kakang Wijaya seperti yang rama katakan tadi?"
"Akulah yang akan menghaturkan permohonan ke hadapan seri baginda bahwa Wijaya harus
tetap diangkat sebagai senopa . Segala kepercayaan yang hendak dilimpahkan seri baginda,
hendaknya agar tetap dilaksanakan. Hendaknya janganlah seri baginda mengurangi kepercayaan
atas diri Wijaya. Dan akulah, Panglulut, yang akan menjamin dan mempertanggung jawabkan
segala hal yang terjadi pada diri Wijaya."
"O," Panglulut tertegun. Ia terkejut mendengar uraian rama mentuanya. Ia tak pernah menduga
bahwa rama mentuanya memiliki perhitungan yang sedemikian. Namun untuk lebih meyakinkan
rasa kagumnya terhadap rama mentuanya, iapun meminta penjelasan lebih lanjut "Tetapi rama,
apakah hasil yang rama akan peroleh dari tindakan rama itu?"
"Itu sudah jeias, angger," kata Aragani dengan nada bangga "bahwa Wijaya tentu merasa
berhutang budi kebaikan dari aku. Dengan begitu dia tentu akan setya dan bersungguh-sungguh
membantu aku, demi untuk membalas budi."
"O," Kuda Panglulut mendesuh kejut2 kagum.
"Panglulut," kata Aragani pula "menguasai orang memang banyak sekali caranya. Menguasai
dengan kekuatan, kekuasaan dan pengaruh memang dapat menguasai orang tetapi hanya
pikiran bukan jiwanya. Artinya, karena takut, sungkan ataupun karena sekedar tata kelayakan,
maka dia akan menurut. Tetapi ketaatan yang setengah terpaksa."
"Ketaatan semacam itu, tidaklah mulus dan penuh," kata patih Aragani "beda dengan
ketaatan yang berlambarkan sentuhan rasa hati atau jiwa. Lebih mulus dan penuh. Dan
ketaatan ini hanya dapat diperoleh dengan tindakan-tindakan yang dapat menggetarkan hati
sanubari. Antaranya, merasa telah menerima budi pertolongan, mengagumi kebesaran jiwa dan
peribadi seseorang. Dan tindakan pertama yang kulangkahkan yalah mengetuk ketaatan hati
raden Wijaya dengan suatu pernyataan membela dirinya dalam saat-saat nama dan
kedudukannya terancam kehancuran. Pernyataan yang kuhaturkan secara penuh kesungguhan
kehadapan seri baginda itu tentu akan menyentuh perasaan hati raden Wijaya dengan rasa
telah menerima budi pertolonganku. Tidakkah seorang ksatrya itu akan menjunjung budi
pertolongan orang?" "Ah," Kuda Panglulut menghela napas longgar "rama benar-benar arif dan bijak, pandai segala
pengetahuan bahkan dalam hal kejiwaan orang."
Pa h Aragani tertawa. Pada saat dia hendak membuka mulut ba- ba dilihatnya seorang
prajurit masuk dan berjalan dengan berjongkok menghampiri ke hadapannya. Prajurit itu lalu
menghaturkan sembah. "Ho, engkau prajurit kepatihan?" tegur patih Aragani.
"Demikian keluhuran sabda paduka, gusti patih, Hamba prajurit penjaga regol kepatihan."
"Mengapa engkau berani menghadap kemari tanpa titahku?"
Prajurit itu menghaturkan sembah "Mohon gus berkenan melimpahkan ampun atas
kelancangan hamba. Hamba hanya melaksanakan permintaan gus senopa yang baru berkunjung
tadi, untuk menghaturkan pesannya."
"Apa" Gusti senopati yang baru berkunjung tadi, katamu?" patih Aragani menegas.
"Demikian gusti "
"Dia menyuruh engkau menghaturkan pesan ke hadapanku" Apa pesannya?"
"Tak lain kamba dititahkan untuk menghaturkan kalung, dada ini kehadapan paduka."
Patih Aragani terkejut "Lekas haturkan kemari."
Piajurit itupun gopoh melakukan perintah. Ia menghaturkan kalung penghias dada kehadapan
pa h Aragani "Gus senopa tadi menitahkan hamba, agar hamba menyampaikah pernyataan
maaf dari gusti senopati kehadapan paduka."
"Kalung ini ... . siapa pemiliknya?" seru patih Aragani.
"Menurut gusti senopati, kalung penghias dada itu adalah milik raden Kuda Panglulut."
Seke ka gemetarlah tubuh pa h Aragani "Panglulut, benarkah ini milikmu?" serunya seraya
menyerahkan benda itu kepada Kuda Panglulut.
Dan setelah menerima serta memeriksa, Kuda Panglulutpun menghaturkan jawab "Benar, rama,
kalung penghias dada ini adalah milik hamba."
"Dan mengapa berada di tangan Wijaya!" seru patih Aragani makin getar.
Kuda Panglulut tergugu tak dapat menjawab. Namun dia tahu apa artinya hal itu. Tentulah
dalam pertempuran tadi, Wijaya telah menyambar dan memutuskan kalung dada itu. Seketika
timbul bayangan yang meregangkan buluroma "Aku dapat menampar kain kepala, semua orang
tahu dan diapun mengerti. Tetapi dia mencabut kalung penghias dadaku, tak ada orang yang
sempat melihat bahkan aku sendiripun tak merasa, ah"
"Aku hanya berhasil menampar jatuh kain kepala tetapi dia mampu menyambar kalung dadaku.
Apabila dia benar-benar hendak merenggut nyawaku atau sekurang-kurang hendak membuat aku
malu, bukankah dia akan memukul dadaku sehingga remuk " Dan cukup apabila dia menebah
dadaku saja, bukankah aku akan terpelanting jatuh?"
Seke ka terasa darah dalam tubuh Kuda Panglulut mendampar keras, jantung berdenyut dan
kepalapun nanar karena membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang dahsyat apabila Wijaya
benar-benar mau melakukan "Uh " sesaat uluha nya serasa terhantam palu godam ke ka ia
membayangkan betapa sikap yang diunjukkan ke ka ia menganggap telah mengalahkan Wijaya
karena telah menampar jatuh kain kepalanya. Betapa dia tersenyum bangga, betapa ia berucap
lantang dan gembira, betapa ia merasa dirinya amat besar saat itu, betapa dia .... bayang-bayang
mengenangkan ngkah laku dan sikapnya itu, Kuda Panglulut merasa seper dihantui oleh bayang
bayang perwujudan khayal dalam berbagai bentuk raut wajah yang mencemoh, mengejek dan
menyeringai sindir kearahnya.
"Ah," ia cepat mendekap mukanya dengan kedua tangan, seolah ingin membebaskan diri dari
muka-muka mahluk khayalan yang telah mengelilingi dirinya saat itu.
Perasaan ha pa h Araganipun tak kurang deritanya. Dia merasa seper seorang yang berada di
puncak tangga yang nggi, ba- ba dihempaskan jatuh ketanah yang keras. Ia yang cerdik, pun
dapat membayangkan seper Kuda Panglulut membayangkan betapalah kiranya andaikata Wijaya
benar-benar hendak mencelakai Kuda Panglulut saat itu. Kemudian pa h itupun menderita rasa
nyeri kesakitan yang hebat. Kursi yang didudukinya seper tumbuh beribu-ribu jarum tajam yang
menusuk pantatnya. Wajah, dada, punggung dan seluruh tubuhnya serasa ditusuki beribu-ribu
jarum pula, manakala ia teringat akan ulah dan sikapnya ke ka menerima kemenangan Kuda
Panglulut tadi. Terngiang-ngiang pula kata-kata yang sengaja diucapkan untuk mengejek Wijaya
kala itu. Teringat hal itu, pa h Aragani benar-benar tak kuat menderita siksa ba nnya lagi. Serentak
tanpa berkata apa-apa, ia terus masuk ke dalam.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Nambi tak ikut Wijaya kedalam keraton. Namun untuk melepaskan kesesakan, yang menghimpit
dada, di tengah perjalanan dia memberanikan diri, bertanya "Raden, adakah kalung penutup dada
yang raden hendak berikan kepada patih Aragani itu milik putera menantunya?"
"Ya " "Dari mana raden memperolehnya?"
"Dari leher pemiliknya."
"O, apakah hal itu terjadi pada waktu Kuda Panglulut menampar kain kepala raden ?"
"Sebelumnya." "Ah," Nambi mendesah kejut "tetapi mengapa raden tak lekas menyerahkan benda itu kepada
pemiliknya" Bukankah hal itu akan dapat mencegah dia untuk melanjutkan pertempuran"
Bukankah demikian raden tak perlu harus menderita lepas kain kepala?"
Wijaya tersenyum "Aku ingin mengetahui dua buah hal dari raden Kuda Panglulut. Pertama, ilmu
kesaktiannya. Kedua, sifat ksatryaannya."
"O, dan raden memperoleh kesan apa?"
"Ternyata dia tak tahu dan tak merasa bahwa kalung yang melingkar di leher dadanya telah
kutarik." "Ah, mengapa raden tak mau menebah dadanya saja agar dia jatuh?"
"Tidak, kakang Nambi," kata Wijaya "pa h Aragani begitu ngotot hendak menguji aku. Pada hal
dia tahu bahwa perbuatan itu sungguh tak layak dilakukannya terhadap seorang senopa kerajaan.
Dia marah karena Sora telah mengupas ndakannya itu. Dengan begitu jelas dia mengandung
suatu maksud tersembunyi."
"Benar, raden," tukas Nambi "dia tentu hendak melampiaskan dendam penasarannya atas
kekalahan yang diderita kedua pengawal kepa han itu. Dan sekalian dia hendak menjatuhkan
nama raden." "Engkau benar Nambi," seru Wijaya "tetapi masih ada sebuah hai yang lebih penting lagi."
"O, apakah itu, raden?"
"Untuk melaksanakan rencananya menggenggam aku."
"Hah ?" "Engkau tentu menyaksikan betapa gembira sekali paman patih Aragani waktu mengira aku
telah menderita kekalahan. Tentulah dalam waktu singkat peristiwa di kepatihan itu akan tersiar
di pura kerajaan. Lalu aku akan menghadapi dua pilihan. Pertama, aku malu dan terus
mengajukan permohonan mengundurkan diri dari kelungguhan senopati."
"Hm," Nambi menggeram. Dalam ha dia menyumpahi pa h Aragani "licik sekali, lalu apakah
yang kedua, raden ?"
"Jika aku ketakutan karena temaha akan kedudukan dan pangkat itu, aku tentu buru-buru
menghadap pa h Aragani dan minta supaya berita-berita yang tersiar itu diberantas dan
melarangnya." "Dan patih Aragani lalu meminta imbalan agar raden mau bekerja sama dengan dia."
Pendekar Remaja 3 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Imam Tanpa Bayangan 4
^