Pencarian

Dendam Empu Bharada 27

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 27


"Begitulah." "Andaikata hal itu akan terjadi sungguh, bagaimanakah tindakan raden"."
"Tentu aku akan memilih yang pertama, mengundurkan diri dan kembali ke gunung untuk
menimba ilmu." "Tidak, raden," ba- ba Nambi bicara tegas "raden tak boleh mengundurkan diri hanya karena
fitnah pa h itu. Raden harus memberi penjelasan, apabila seri baginda atau gus pa h Kebo
Arema, mempersoalkan hal itu. Seyogyanya raden mohon, apabila mereka meragukan keterangan
raden, supaya diadu kesaktian dengan Kuda Panglulut"
"Ah, Nambi, mengapa aku harus ber ndak demikian" Bukankah mereka akan menuduh aku
sebagai seorang ksatrya yang tak punya malu?"
"Raden," kata Nambi "dalam persoalan itu bukan terletak pada punya atau tak punya rasa malu.
Tetapi pandangan kita harus tercurah pada kepen ngan negara Singasari. Bukankan maksud
kerajaan membuka sayembara, itu karena hendak mengisi kekuatan pura Singasari yang kosong
karena sebagian besar palsukan Singasari telah dikirim ke Malayu?"
"Ah, Nambi," Wijaya tersenyum "bukankah selain aku, masih banyak ksatrya-ksatrya yang ikut
dalam sayembara itu yang layak diangkat sebagai senopati?"
"Ksatrya-ksatrya yang ikut dalam sayembara itu," kata Nambi "memang mungkin dalam ilmu
kesak an, memang layak memangku kedudukan senopa . Tetapi mereka berasal dari lain telatah.
Bagaimana akibatnya apabila ksatrya dari Bali yang menang" Atau ksatrya dari kerajaan Pejajaran
ataupun dari Daha yang diangkat sebagai senopati" Tidakkah kita harus peri-hatin sekali?"
"Mengapa harus perihatin?"
"Kesetyaan mereka, raden, wajib menjadi pertimbangan yang meragukan. Terus terang
raden, apabila pada saat itu raden tak ikut dalam sayembara maka aku dan kakang Sora akan
tampil ke gelanggang. Tak ada lain pilihan senopati kerajaan Singasari yang sreg dihati kami
kecuali raden." Wijaya geleng-geleng kepala.
"Oleh karenanya," kata Nambi pula "kami tetap akan berusaha keras untuk mempertahankan
kedudukan raden sebagai senopati Singasari. Aku bertemu dan melihat beberapa ksatrya muda
yang datang ke pura ini. Mereka adalah ksatrya-ksatrya yang ingin mengabdikan diri untuk
membela kerajaan Singasari. Yang penting adalah menampung dan menghimpun mereka dalam
suatu wadah yang dipimpin oleh seorang pimpinan yang kami taati."
Wijaya diam merenungkan kata-kata Nambi.
"Sesungguhnya keadaan kerajaan Singasari ini ibarat api dalam sekam. Diluar tampak tenang
tetapi didalam membara. Aku mempunyai kesan bahwa Daha masih belum padam dari keinginan
terhadap Singasari. Demikian pula ancaman dari mancanegara, terutama dari raja Kubilai Khan di
Tartar masih membayangkan kecemasan. Pada hal kekuatan dalam pura kosong dan lemah.
Tidakkah ini amat berbahaya" Adakah hanya karena ulah seorang pa h yang ingin menjatuhkan
nama baik raden, raden lalu patah hati?"
"Engkau benar, Nambi," akhirnya Wijaya berkata "mari kita bersyukur kepada Dewata Agung
bahwa kesemuanya itu hanya suatu pengandaian. Karena kenyataan, saat ini patih Aragani
tentu akan terpukul kejut oleh persembahan kalung dada putera menantunya."
"Maksud raden patih Aragani tentu takkan berani menyiarkan peristiwa di kepatihan tadi?"
"Mungkin tak ada orang yang segila itu, menyiarkan malu yang dideritanya kepada orang lain,
bukan"." Wijaya tertawa. Tiba tiba dia beralih tanya "Eh, kemanakah kakang Sora?"
Saat itu rombongan Wijaya sudah ba di gapura keraton. Namun selama dalam perjalanan,
mereka tak bersua dengan Sora. Nambi seper disadarkan. Karena dia belum resmi menjadi
kadehan Wijaya, maka diapun tentu tak diperkenan masuk kedalam keraton. Oleh karena itu
diapun mohon diri kepada Wijaya.
"Hamba akan mencari kakang Sora, Medang Dangdi, Jangkung, Pamot dan bebetapa kawan lagi,"
jawab Nambi atas pertanyaan Wijaya.
Sementara itu tumenggung Bandupoyo amat bersukacita menyambut kedatangan Wijaya. Ia
mengajak Wijaya masuk kedalam balai Witana "Paman benar-benar cemas mengapa hampir
hidangan mulai dingin cuaca makin gelap, raden tak datang. Paman telah memerintahkan beberapa
prajurit untuk mencari raden."
"Maaf paman, atas keterlambatan hamba."
"Tetapi dari mana sajakah raden tadi?"
Sebenarnya Wijaya tak leluasa untuk menerangkan yang dialaminya. Dia hanya mengatakan
kalau bertemu dengan beberapa kawan di tengah jalan. Tetapi karena tumenggung Bandupoyo
mendesak dengan nada kurang percaya atas jawaban itu, terpaksalah Wijaya mengatakan
"Paman patih Aragani telah berkenan mengundang hamba ke kepatihan."
"O," agak terkejut tumenggung Bandupoyo mendesuh "apakah kiranya maksud ki pa h
mengundang raden ?" "Ah, dak ada sesuatu yang pen ng paman tumenggung, kecuali hanya sekedar memberi
selamat atas kemenangan hamba dan pendekatan dalam perkenalan belaka."
Tumenggung Bandupoyo tertawa dalam nada yang sukar ditafsirkan Wijaya "Tahukah ki pa h
Aragani tentang diri raden ?"
Wijaya mengiakan. Tumenggung Bandupoyo mengangguk-angguk "Dan tahukah pula beliau siapa
kiranya puteri yang hendak dianugerahkan seri baginda kepada raden ?"
"Hamba rasa dalam pembicaraan tadi, paman pa h Aragani tak menyinggung-nyinggung soal itu.
Mungkin belum tahu."
"Tetapi mungkin tahu pula, raden. Karena pa h Aragani itu amat dekat dan dikasihi seri
baginda." Wijaya tertegun kemudian bertanya "Tetapi paman tumenggung, apakah kaitannya hal itu
dengan paman patih Aragani?"
Tumenggung Bandupoyo tersenyum. "Kerajaan Singasari pada waktu rahyang ramuhun
Wisnuwardhana memegang pusara pemerintahan, tentulah tak sama dengan seri baginda
Kertanagara yang sekarang. Pada. waktu wreddha mentri mpu Raganata masih menjabat pa h,
tentulah tak sama dengan sekarang pada waktu yang menjadi pa h ki Kebo Arema dan Aragani.
Kedudukan dan pangkat sama tetapi orangnya berlainan, maka berlainan pula cara menjalankan
pemerintahan. Jelas kiranya, bahwa sesungguhnya itu kelainan daripada segala benda, soal,
kedudukan dan sebagainya, bersumber pada orang yang melaksanakan."
"Persoalan siapa puteri yang akan dianugerahkan seri baginda kepada raden tentulah sama
orangnya. Baik pada waktu seri baginda melimpahkan keterangan kepada pa h Aragani atau
kepadaku atau kepada gus mentri yang lain. Tetapi persoalan gus puteri itu akan menjadi lain
dalam tanggapan mentri masing-masing. Tentu beda tanggapanku dengan penerimaan ki pa h
Aragani. Dan letak perbedaan itu adalah pada sifat dan sikap orang yang bersangkutan. Oleh
karena itu jika raden bertanya maka pamanpun berani mengatakan, memang ada kaitannya
masalah puteri itu dengan patih Aragani."
"O, mohon paman memberi penjelasan kepada hamba."
"Begini raden, kemungkinan besar pa h Aragani tentu sudah mengetahui hal itu, oleh karena itu
tentu terkandung suatu maksud tertentu, mengapa pa h Aragani berkenan mengundang raden.
Lepas dari maksud untuk mengucapkan selamat dan berkenalan tentulah ada maksud yang lebih
lanjut," sejenak melirik ke wajah Wijaya, tumenggung Bandupoyo mendapat kesan akan suatu
kerut yang melipat pada dahi Wijaya. dan hal itu cukup bagi tumenggung Bandupoyo untuk
menyelami hati Wijaya bahwa pemuda itu tentu menyembunyikan sesuatu kepadanya.
"Tetapi baiklah, raden, paman anggap pa h Aragani memang benar-benar bermaksud hanya
seper yang raden katakan," setelah menyadari bahwa kemungkinan Wijaya memang tak suka
untuk mengatakan sesuatu yang tak baik dari pa h Aragani. Ia dapat memaklumi sifat seorang
ksatrya yang berbudi luhur seperti Wijaya.
"Ah, janganlah paman salah faham kepada hamba. Dalam pembicaraan yang hamba terima
dari paman patih Aragani, memang paman patih mengharapkan agar kelak hamba dapat
bekerja sama memelihara hubungan yang baik dengan paman patih." Wijaya menyadari pula
bahwa tumenggung Bandupoyo telah mangetahui isi hatinya. Iapun lalu mengatakan pokok-
pokok yang penting dari pembicaraan patih Aragani.
"Terima kasih raden," kata tumenggung Bandupoyo "memang sudah selayaknya bahwa raden
sebagai senopa harus memelihara hubungan dan kerja sama yang baik dengan pa h Aragani yang
berkuasa itu. Hanya perkenankanlah paman menghaturkan sekedar pandangan kepada raden."
"O, tentu paman tumenggung, hamba akan berterima kasih apabila paman tumenggung
berkenan memberi petunjuk kepada hamba."
"Maksud paman bukanlah suatu petunjuk melainkan suatu pandangan yang mungkin raden
dapat menerimanya sebagai pegangan," kata tumenggung Bandupoyo "bahwa hubungan dan
kerjasama itu memang wajib serta layak, asal jangan lepas daripada kerangka kepen ngan yang
murni demi kepentingan kerajaan Singasari dan para kawula."
Wijaya terkesiap. Diam-diam ia kagum atas naluri tumenggung Bandupoyo yang tajam.
"Hubungan dan kerjasama yang menyimpang dari kerangka tujuan itu, baiklah kita abaikan," kata
tumenggung Bandupoyo pula.
"Terima kasih, paman tumenggung. Hamba akan mencantumkan pesan paman tumenggung
itu dalam hati sanubari hamba. Semoga Batara Agung berkenan melimpahkan penerangan dan
pengayoman agar hamba selalu dikaruniai kesadaran."
Tumenggung Bandupoyo tersenyum puas karena sudah dapat menanamkan suatu penger an
tentang hal-hal yang mungkin akan merupakan kerikil tajam dalam jenjang perjalanannya sebagai
senopati Singasari. "Paman tumenggung," berkata Wijaya pula "sebenarnya tak layaklah apabila hamba mengajukan
pertanyaan ini. Tetapi rasanya ada sesuatu yang wajib hamba ketahui agar dapatlah ha hamba
merasa tenang." "O, apakah hal itu" Silakan raden bertanya."
"Tak lain sehubungan dengan ganjaran puteri yang seri baginda hendak melimpahkan kepada
hamba. Namun hamba mohon hendaknya paman tumenggung akan menganggap bahwa hamba
lancang ucap dan menginginkan sesuatu."
"Baik raden, paman selalu percaya kepada raden," jawab tumenggung Bandupoyo "mengenai
puteri itu, apabila paman tak salah, rasanya seri baginda akan menganugerahkan gus puteri
Teribuana dan gusti puteri Gayatri kepada raden."
Walaupun ada k- k dugaan yang dimiliki perasaan Wijaya tentang hal itu, namun ia terkejut
juga dikala mendengar keterangan tumenggung Bandupoyo "Paman tumenggung .... "
"Memang demikianlah raden, apa yang paman ketahui dari kehendak seri baginda," cepat
tumenggung Bandupoyo menukas "karena seri baginda telah memper mbangkan hal itu dengan
penuh kebijaksanaan. Pertama, seri baginda hendak menetapi kewibawaan dari ucapan "sabda
pandita ratu'. Kedua, karena seri baginda berkenan membahagiakan keinginan ha kedua puteri
baginda. Dan ke ga karena seri baginda berharap agar raden kelak dapat mengabdikan jiwa dan
raga kepada kerajaan Singasari sebagaimana dahulu eyang raden, rahyang ramuhun Batara
Narasingamur telah melakukannya. Dan keempat, tetapi ini hanya tafsiran paman sendiri, agar
hubungan ba n dan darah dari rahyang ramuhun Wisnuwardhana dengan Batara Narasingamur
dapat tersambung pula pada putera dan cucu keturunannya yang sekarang."
Wijaya menghela napas makin panjang sehingga membuat Bandupoyo heran "Raden, mengapa
raden menghela napas" Tidakkah selayaknya raden bergembira karena berita itu ?"
"Benar paman tumenggung," jawab Wijaya "memang selayaknya aku bersyukur atas ganjaran
yang dianugerahkan seri baginda kepada diri hamba. Demikian pula hambapun wajib
menghaturkan terima kasih tak terhingga atas bantuan paman tumenggung yang telah berusaha
sedemikian rupa hingga hamba dapat menikmati hasil yang sekarang ini."
"Ah, janganlah raden mengambil di ha benar karena pamanpun ber k tolak pada kepen ngan
kerajaan Singasari," jawab tumenggung Bandupoyo "tetapi rasanya paman mendapat kesan bahwa
bukan soal itu yang meresahkan ha raden. Sesungguhnya apakah yang menyebabkan raden
tampak murung ?" Wijaya menganggap bahwa bagaimanapun hendak disembunyikannya tetapi persoalan itu
akhirnya tentu akan terjadi juga. Dan ia menganggap kiranya hanya tumenggung Bandupoyo yang
layak menjadi tempat ia merangkai perundingan. Karena tumenggung itulah yang banyak
melibatkan diri dan langsung mengetahui persoalan yang akan dihadapinya.
"Baik, paman," akhirnya ia berkata juga "sesungguhnya keresahan ha itu adalah terletak pada
janji yang telah hamba berikan kepada Ku pada saat hamba melangsungkan pertandingan yang
terakhir dengan dia."
"O, apa sajakah yang telah raden janjikan kepadanya ?"
Wijaya lalu menuturkan tentang saat-saat terakhir ketika ia berhasil memukul bagian
pengapesan pada paha Kuti, Kuti pun lunglai rubuh. Saat itu Kuti sudah nekad hendak bunuh diri
atau minta kepada Wijaya supaya membunuhnya saja. Karena sayang akan kesaktian Kuti,
Wijaya menghiburnya dan menganjurkan agar Kuti jangan kecewa atau putus asa hanya karena
kalah dalam pertandingan itu, karena kerajaan Singasari tetap akan menerima pengabdiannya.
Bukan soal pangkat dan kedudukan tetapi yang penting adalah pengabdiannya. Demikian kata-
kata yang diucapkan Wijaya kala itu untuk membangkitkan keruntuhan semangat Kuti.
Namun Ku menolak dan tetap minta ma . Dia tak ingin hidup dan tak ingin mengabdi kepada
Singasari karena tujuannya memasuki sayembara itu bukanlah karena hendak meraih kelungguhan
senopati melainkan ...."
"Karena hendak mempersun ng puteri Gayatri, paman," demikikian Wijaya memberi keterangan
kepada Bandupoyo. "O," seru tumenggung Bandupoyo "memang hal itulah yang kita kua rkan sehingga paman
berusaha agar raden dapat mengalahkan dia."
"Tetapi paman tumenggung."
"Tetapi bagaimana raden" Dia kalah, dia takkan menjadi senopati Singasari .... "
"Dia tak menginginkannya, paman."
"Diapun takkan menerima ganjaran puteri dari seri baginda."
"Itulah yang menyebabkan semangat hidupnya mati walaupun raganya masih hidup."
"Tetapi itu sudah menjadi rangkaian ganjaran dalam sayembara"
"Benar, paman, tetapi ksatrya seperti Kuti, harus kita selamatkan dari kehancuran jiwa. Bukankah
tujuan Sayembara itu hendak menghimpun kekuatan guna menjaga kerajaan Singasari" Banyak
nian ancaman ancaman yang menghantui Singasari, diantaranya kekuatan raja Kubilai Khan yang
ingin memaksa Singasari supaya berlindung dibawah naungannya dan mengirim upe kepadanya.
Tidakkah ksatrya seperti Kuti itu harus kita bawa kedalam kubu kekuatan Singasari?"
"Ya," tumenggung Bandupoyo mengakui "tetapi sayembara itu sudah mempunyai ketentuan
yang tak dapat dirobah, raden."
"Apakah paman tumenggung maksudkan dengan ganjaran puteri itu?"
"Kelungguhan senopati dan ganjaran puteri."
"Dapatkah hamba memberikan pula puteri yang telah dianugerahkan seri baginda itu kepada
lain orang?" "Semisal kelungguhan senopa tak mungkin raden lorotkan kepada orang lain, demikian pula
dengan ganjaran puteri itu."
"Tetapi paman tumenggung, bukankah hal itu sudah menjadi hak hamba?"
"Hak yang dianugerahkan raja tak boleh sembarangan diberikan kepada orang lain, raden.
Kelungguhan senopa dan ganjaran puteri adalah anugerah resmi dari seri baginda yang
diperuntukkan hanya kepada raden."
"Ah." Tumenggung Bandupoyo terkejut ke ka mendengar Wijaya mendesah seper orang berputus
asa "Tetapi apakah yang terjadi, raden" Mengapa raden mempersoalkan kedua hal itu ?"
"Kelungguhan senopa , bukan soal lagi. Tetapi puteri yang hendak dianugerahkan seri baginda
kepada diri hamba itu, paman."
"Ya, kenapa?" "Hamba telah berjanji .... "
"Berjanji bagaimana" Berjanji kepada Kuti?"
"Hamba telah berjanji kepada Ku bahwa apabila seri baginda menganugerahkan puteri Gayatri
kepada hamba maka hamba hendak memberikan puteri Gayatri kepada Kuti."
"Raden !" teriak tumenggung Bandupoyo seperti dipagut ular "raden, engkau .... engkau .... "
"Benar, paman tumenggung," kata Wijaya yang kebalikannya saat itu malah bersikap tenang
dan mantap "hamba telah menjanjikan hal itu kepada Kuti karena hamba hendak
menyelamatkan Kuti dari kehancuran semangat hidupnya. Karena hamba memandang, ksatrya-
ksatrya seperti Kuti itu harus kita himpun untuk kekuatan Singasari, paman tumenggung."
"Ah," tumenggung Bandupoyo menghela napas panjang "bagaimana hal itu mungkin terjadi,
raden. Tidakkah seri baginda akan murka karena menganggap raden tidak meluhurkan
ganjarannya" Tidakkah gusti puteri Gayatri juga akan murka dan menolak karena hal itu
dianggap suatu penghinaan kepada diri puteri " Ketahuilah raden, puteri baginda itu harus
berjodoh dengan raja, ksatrya yang berasal dari keturunan priagung luhur ataupun ksatrya yang
berpangkat tinggi. Tetapi mengapa raden hendak memberikan puteri kepada seorang ksatrya
biasa seperti diri Kuti itu?"
Wijaya tertegun. Apa yang diuraikan tumenggung Bandupoyo memang tepat. Pada waktu
memberikan janji kepada Kuti, dia belum sampai pada alasan itu. Yang menebar dalam
benaknya saat itu hanyalah, bahwa dia harus menyelamatkan Kuti demi kepentingan kekuatan
Singasari. Dan bahwa puteri yang telah dianugerahkan seri baginda itu adalah sudah menjadi
wewenangnya penuh sehingga tidaklah akan menjadi suatu persoalan besar apabila dia
memberikannya kepada Kuti. Bahwa ternyata pertimbangannya itu menjadi lemah dan
berantakan setelah dibentur oleh dalih yang dikemukakan tumenggung Bandupoyo, benar-benar
membuat Wijaya termangu-mangu.
"Raden, dapatkah aku mempercayai janji raden ?"
Tiba- ba terngiang suara Ku sesaat menerima janji Wijaya pada saat itu. Dan suara itu makin
memberisik mendenging-denging dalam anak telinga Wijaya, menggetar-getarkan dinding ha nya
"Ah, seorang ksatrya harus memegang janji," akhirnya ia meregangkan semangat dan seke ka
lenyaplah denging suara yang mencengkam perasaannya itu.
"Benar, paman tumenggung," akhirnya pula ia menenangkan ha dan menjawab pertanyaan
tumenggung Bandupoyo "apa yang paman tumenggung uraikan, hamba akui kebenarannya. Dan
hambapun merasa telah khilaf. Tetapi paman, hambapun takkan ingkar dari janji yang telah hamba
berikan. Lebih baik Wijaya tumpas daripada harus mengingkari janji."
Tumenggung Bandupoyo tak memberi tanggapan. Dia termenung diam. Rupanya dia tengah
mengasah pikiran untuk menembus kegelapan yang menelungkupi peristiwa diri Wijaya.
Ia menyadari bahwa soal yang dihadapinya, memang gawat. Salah langkah akan membawa
kesudahan yang sukar dibayangkan. Betapa seri baginda akan murka, betapa puteri-puteri
baginda akan malu, betapa Wijaya akan terhalau dari kedudukan yang telah diperjuangkan
dengan semangat dan jiwa raga. Dan yang penting, betapa gelisah seluruh kawula Singasari
apabila hal-hal dari akibat persoalan itu sampai berlangsung. Dan yang lebih penting pula
betapa berantakan rencana untuk mempersiapkan kekuatan negeri Singasari. Kemudian yang
paling penting, betapa derita yang akan timbul bagi kepentingan Singasari.
Dalam penyerapan ke alam per mbangan lebih lanjut, tumenggung Bandupoyo melihat dua
gunduk karang yang kokoh menghalang dihadapannya. Keputusan sayembara dan ketetapan
ganjaran dari seri baginda, merupakan salah sebuah karang yang kokoh itu. Dilain seberang pun


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjulang karang yang keras dari sifat keutamaan seorang ksatrya yang dimiliki Wijaya. Kedua
karang itu melintang dan sukar untuk dirobohkan salah satu. Dan kedua karang itu diakui sebagai
karang yang hampir tak mungkin ditumbangkan karena masing-masing berdiri pada landasan yang
benar. Suasana dalam ruang pertemuan di Balai Witana itu tampak sunyi senyap. Hidangan dan
minuman yang terbentang di meja dan sedianya akan memeriahkan suasana pertemuan antara
tumenggung Bandupoyo dengan sang calon senopati, ikut perihatin walaupun harus merintih-rintih
kedinginan karena tak lekas dijamah oleh tangan-tangan yang hangat. Benda-benda itu berusaha
untuk menghamburkan bau-bau yang sedap dan, harum, agar selera orang yang duduk mengelilingi
mereka lekas tertusuk dan bangkit. Namun kesedapan bau hidangan, keharuman bau tuak,
bagaikan angin malam yang menggigilkan kedinginan, berhembus lalu tanpa suatu persinggahan.
Dingin angin di kemalaman hari, mulai menyejukkan tubuh, menjernihkan pikiran. Setelah
bebefapa saat termenung-menung dalam renungan, akhirnya tumenggung Bandupoyo melihat
sepercik sinar yang menerangi kegelapan ha nya. Kecil sekalipun percik sinar itu tetapi kuasa
menguasai kegelapan itu. Dan gelap yang memudar kearah keremangan itu, menguraikan kerut-
kerut urat yang melingkar-lingkar di permukaan dahi sang tumenggung. Makin lama makin terorak
kepermukaan yang datar lenyap dalam ketenangan.
"Raden," katanya dalam nada yang sudah tak membekas rasa gejolak ha "bagaimana kiranya
raden hendak menghadapi persoalan ini?"
Memang Wijayapun tak kurang-kurang memeras otak untuk mencari jalan penyelesaian dari
peris wa yang dihadapinya itu. Namun ia tak berhasil menemukan
k terang sebagai arah yang
harus ditempuhnya. "Maaf, paman," kata Wijaya agak tersekat "hamba tak menemukan suatu jalan kecuali hanya
suatu perasaan." "Perasaan apakah yang raden rasakan?"
"Perasaan salah, paman," kata Wijaya "karena hamba telah berani melakukan ndakan yang
melanggar amanat baginda dan kerajaan. Dan karena itu hambapun menyerahkan diri, jiwa dan
raga hamba untuk menerima pidana yang akan dilimpahkan seri baginda atas diri hamba."
"Ah, tak perlu raden," kata tumenggung Bandupoyo "segala sesuatu tergantung pada langkah
raden. Apabila raden menghapus janji raden kepada Kuti, bukankah kesemuanya akan
selesai?" "Maaf, paman. Hamba tak berani mengingkari janji itu. Karena mengingkari hal itu berar hamba
mengingkari diri peribadi hamba sendiri. Lebih berat ba n tersiksa daripada raga menerima
pidana." "Jadi raden tetap pada pendirian memegang janji kepada Kuti?"
"Maaf, paman tumenggung, hamba tak dapat memperkosa ba n hamba maka hamba terpaksa
harus tunduk pada putusan seri baginda dan rela menerima pidana apapun yang akan dilimpahkan
seri baginda." "Benarkah sedemikian teguh pendirian raden untuk melaksanakan janji kepada Kuti?"
"Kata telah hamba ucapkan. Tekad hamba sepas sang surya akan terbit dari brang wetan pada
esok pagi, paman." Merah muka tumenggung Bandupoyo. Wijaya pun tercekat dalam ha . Ia menduga tumenggung
itu pas menyesal dan kecewa atas pendiriannya. Dan iapun merasa bersalah karena telah
mengecewakan bantuan-bantuan tumenggung Bandupoyo yang sedimikian gigih dan besar selama
ini. Tetapi bagaimanapun kesemuanya itu terasa bagai ujung pedang yang menggurat-gurat ulu-
ha nya, tetapi nurani tetap tak goyah dari persada yang menjunjung mahkota keksatryaan. Iapun
menunduk. Tiba- ba terdengar suara tertawa riang dan lepas. Wijaya terkejut. Ia kenal suara tawa itu tawa
Bandupoyo. Maka cepat- cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tumenggung Bandupoyo.
Dan memang benar sang tumenggung tengah tertawa gembira.
"Paman tumenggung, maa an apabila hamba memberanikan untuk mohon bertanya, apakah
sebab paman tertawa. Adakah paman tumenggung menertawakan diri hamba yang keras kepala
ini?" "Raden Wijaya," ba- ba pula nada tumenggung Bandupoyo bergan dengan nada penuh
kesungguhan "memang benar paman menertawakan pendirian raden itu. Tetapi tawa paman
bukan tawa mencemoh melainkan tawa gembira dan memuji keberanian serta pendirian raden
sebagai seorang ksatrya utama."
Wijaya terbelalak " Paman....."
"Raden Wijaya," kata tumenggung Bandupoyo pula "paman tertawa karena amat gembira,
bahagia dan bangga bahwa nyata-nyata pilihan paman dak keliru. Bahwa benar-benar raden
seorang ksatrya yang luhur dan perwira. Raden tak berkedip menghadapi bayang-bayang ancaman
pidana, tak undur setapak dari kubu pendirian, tak goyah dilanda badai kemusnahan duniawi. Baik,
raden, paman setuju akan pendirian raden."
"Paman tumenggung .... "
"Raden, pendirian raden yang menelungkupi sifat seorang ksatrya utama, memang benar. Tetapi
sayang kebenaran raden itu tak dapat ditempatkan pada undang-undang kerajaan yang menjiwai
keputusan seri baginda mengenai ganjaran kelungguhan senopati dan puteri."
"Benar, paman tumenggung. Hamba memang bersalah dalam hal ini karena hamba hanya
berpijak pada sebuah seberang pjakan. Oleh karena itu, hambapun paserah bagaimana nan seri
baginda akan memutuskan diri hamba."
"Raden Wijaya," kata tumenggung Bandupoyo "dalam menghadapi setiap persoalan,
hendaknya kita harus berusaha untuk memecahkannya sebelum kita menjatuhkan diri dalam
kepaserahan. Ini pendirian paman selama bertahun-tahun paman menjadi manusia hidup. Maka
marilah kita mencari jalan bagaimana dapat keluar dari kesulitan ini. Dan hal itu pamanpun
rasanya sudah menemukannya."
Wijaya terkejut "O, terima kasih paman. Silakan paman memberi petunjuk kepada hamba."
"Raden," kata tumenggung Bandupoyo "paman hendak bertanya. Maukah kiranya raden
mengulang pula kata-kata yang raden ucapkan dalam janji kepada Kuti itu?"
"Hamba mengatakan apabila seri baginda berkenan menganugerah puteri, Gayatri kepadaku,
Kuti, maka puteri itu akan kuberikan kepadamu."
Tumenggun; Bandupoyo tertawa gelak-gelak.
"Paman tumenggung, adakah sesuatu yang ganjil dalam kata-kata hamba kepada Ku itu?"
Wijaya heran. "Memang ada," kata tumenggung Bandupoyo beralih nada yang sungguh "yalah sepatah kata
apabila itu, raden. Disitulah letak keganjilan yang akan meringankan kita. Bukankah kata apabila itu
suatu perjanjian yang mengambang diantara ya dan tidak?"
"Benar, paman tumenggung," sambut Wijaya, "bukankah maksud paman hendak mengatakan,
bahwa apabila seri baginda benar-benar menganugerahkan puteri Gayatri maka hamba harus
menepa janji hamba kepada Ku . Tetapi apabila seri baginda dak menganugerahkan puteri
Gayatri maka hambapun tidak harus menepati janji itu ?"
"Begitulah, raden, karena, bagaimana mungkin raden hendak memberikan puteri Gayatri apabila
raden tidak menerima anugerah dari seri baginda ?"
"O, benar paman," seru Wijaya dengan wajah cerah. Tetapi sesaat kemudian cepat ia mengerut
dahi, "tetapi bukankah paman telah mengatakan kepada hamba bahwa seri baginda bermaksud
hendak menganugerahkan kedua puteri baginda kepada pemenang sayembara?"
"Ya." "Lalu," Wijaya makin meregang dahi "adakah seri baginda berkenan meluluskan hamba untuk
melaksanakan janji hamba kepada Kuti."
"Tidak mungkin. Seri baginda tak mungkin akan memperkenankan raden melaksanakan hal itu."
Wijaya makin menyalang pandang "Lalu bagaimana maksud paman " "
"Hanya satu cara," kata tumenggung Bandupoyo "bahwa seri baginda takkan menganugerahkan
puteri Gayatri kepada raden ?"
"O," Wijaya terbeliak "apakah seri baginda berkenan merobah keputusan?"
"Raden," seru tumenggung Wijaya "adakah pernah bahwa keputusan seri baginda untuk
menganugerahkan puteri Teribuana dan puteri Gayatri itu diamanatkan dengan resmi ?"
Wijaya merenung sejenak "Seingat hamba, hanya paman yang memberitahu hal itu kepada
hamba." "Benar. Memang demikianlah halnya. Seri baginda hanya pernah menitahkan hal itu kepada
paman sendiri tetapi belum memberi amanat secara resmi kepada umum. Kepada persyaratan
sayembara, amanat seri baginda hanyalah bahwa seri baginda berkenan akan menganugerahkan
puteri kepada ksatrya yang menang. Tetapi siapakah puteri itu, seri baginda belum menyebutkan
namanya. Dengan demikian seri baginda berhak untuk dak menganugerahkan puteri Gayatri
kepada raden. Bukankah raden akan terlepas dari beban memenuhi janji dengan Kuti?"
Wijaya terbeliak pula "Benar, paman tumenggung. Apabila hal itu demikian, hamba memang
bebas dari wajib memenuhi janji kepada Ku . Tetapi paman tumenggung, adakah mungkin seri
baginda akan berkenan melimpahkan amanat seperti yang paman katakan ini?"
"Itulah yang akan paman usahakan."
"Maksud paman tumenggung hendak menghaturkan permohonan kehadapan seri baginda?"
"Benar, raden," kata tumenggung Bandupoyo, "sekali lagi paman hendak memberanikan diri
untuk menghadap seri baginda dan menghaturkan segala persoalan yang menimpah diri raden.
Hamba akan mohon agar seri baginda berkenan hanya menganugerahkan gus puteri Teribuana
saja kepada raden, tidak bersama gusti puteri Gayatri."
"Adakan seri baginda akan berkenan mengabulkan persembahan permohonan paman
tumenggung?"? "Semoga demikian, raden," kata Bandupoyo, "semoga paman mendapat restu dari Batara Agung
agar uraian paman dihadapan duli seri baginda itu akan berkenan dihati seri baginda."
"Ah, terima kasih paman. Hamba memang selalu memberi kesulitan kepada paman tumenggung.
Entah bagaimana kelak hamba dapat membalas budi kebaikan paman tumenggung yang sebesar
gunung Meru ini." Tumenggung Bandupoyo hanya tersenyum. Tetapi diam-diam ia memperha kan bahwa dalam
cahaya wajah Wijaya saat itu tampak kelam dan sinar matanya pudar. Mata adalah kaca sang ha .
Dimana sinar mata memancar terang, ha pun riang. Mata teduh ha tenang. Namun kalau mata
sepudar yang memancar dari mata Wijaya, jelas pemuda itu tentu menyembunyikan sesuatu yang
terpendam dalam ha . Dan sebagai seorang tumenggung yang banyak menyelami liku-liku
kehidupan praja, bergaul dengan berbagai lapisan narapraja, tahulah ia akan bermacam-macam
kejiwaan manusia dengan segala sifat-sifatnya.
"Raden Wijaya" akhirnya ia mengutarakan juga isi ha nya "paman mempunyai perasaan bahwa
dibalik kelonggaran ha raden setelah mendapatkan cara untuk menyelesaikan persoalan diantara
janji raden dengan Ku serta pertanggungan jawab raden kepada keputusan seri baginda, agaknya
paman wawas raden mempunyai suatu rahasia yang cenderung untuk paman katakan sebagai
kabut yang menyerap kegembiraan ha raden. Dapatkah paman mengetahui apa yang terkandung
dalam hati raden itu?"
Diam-diam Wijaya terkejut dalam ha . Nyata benar bahwa tumenggung Bandupoyo itu memang
tajam selera dan tajam pandangan. Wijaya berusaha untuk menyelimu kejut ha nya itu dengan
mencerahkan wajah serta merekahkan senyum "Ah, dak ada sesuatu yang mengabut ha hamba,
paman tumenggung." Namun tumenggung Bandupoyo dapat menangkap wajah yang dipaksakan cerah dan mulut
Wijaya yang dipaksakan bersenyum itu. "Raden, pamanpun dahulu pernah muda seper raden.
Oleh karena itu pamanpun pernah mengalami pula peris wa-peris wa dalam kehidupan sebagai
anakmuda. Mengapa raden harus malu terhadap paman?"
Wijaya tersipu-sipu. "Bukankah raden tengah mengenangkan diri sang puteri Gayatri?" ba- ba tumenggung
Bandupoyo menghunjamkan pertanyaan menikam.
Wijaya terbeliak. Hatinya terasa meregang-regang. Pertanyaan Bandupoyo itu menikam
tepat pada putik yang menghitam dalam uluhatinya "Ah, paman tumenggung benar. Ini
persoalan pria dan paman tuumenggungpun seorang pria. Mengapa aku harus malu kepadanya
?" sesaat menenangkan perasaan, iapun melahirkan kesimpulan.
"Paman tumenggung," katanya "memang hamba mengenangkan puteri Gayatri karena apabila
cara yang paman hendak laksanakan tadi diperkenankan seri baginda, hamba pun akan
mengingkari janji kepada sang puteri."
"Dan seorang ksatrya itu pantang ingkar janji, bukan"," tumenggung Bandupoyo tertawa.
Wijaya mengangguk. "Adakah raden sudah berjanji kepada gusti puteri Gayatri ?"
"Secara resmi, hamba belum berjanji dengan mulut. Tetapi secara resmi, hamba sudah berjanji
dalam ha . Dan janji itu bersumber dari ha . Mulut hanya sekedar alat untuk menyatakannya.
Maka hamba anggap, janji hamba itu sudah terpateri dalam hati sanubari hamba."
"Ah," tumenggung Bandupoyo geleng-geleng kepala "raden benar-benar seorang ksatrya yang
aneh. Masakan baru berjanji dalam ha saja, sudah raden kukuhkan sebagai janji yang terpateri
mati." "Betapa dak, paman tumenggung," Wijaya menanggapi "memang sebelum diucapkan, orang tak
tahu. Tetapi bukankah ba n kita tahu" Bukankah dewata juga tahu apa yang telah terpateri dalam
ha kita" Mengingkari janji dalam ha sama halnya dengan memperkosa ba n dan menghiana
diri kita." Tumenggung Bandupoyo mengangguk "Paman setuju dengan pendirian raden. Lalu
bagaimanakah kehendak raden?"
"Inilah paman tumenggung yang meresahkan ha hamba. Tidak menyetujui langkah paman yang
akan menghadap baginda, berar hamba ingkar kepada Ku . Namun apabila menyetujui langkah
paman, hambapun ingkar kepada puteri Gayatri."
"Lalu bagaimana maksud raden?"
Wijaya hanya mendesah napas.
"Raden," seru Bandupoyo dengan nada cerah "soal itu sebenarnya sudah paman pikirkan. Hanya
paman harus membatasi diri jangan terlalu lancang ucap agar raden dapat mengutarakan
kehendak raden." "Ah," Wijaya menghela napas "sebagai orang yang terkungkung dalam halimun yang gelap,
hamba telah kehilangan arah. Tetapi paman tumenggung yang berada diluar lingkungan halimun
itu, tentu lebih tahu untuk memberi petunjuk, manakah jalan yang harus hamba tempuh supaya
keluar dari kungkungan halimun itu. Mohon paman berkenan memberi petunjuk kepada hamba
yang sedang kebingungan ini."
Tumenggung Bandupoyo tertawa "Halimun betapapun tebalnya, hanya kuasa mengabut
pandangan mata. Tetapi apabila pandangan hati kita tetap jernih, tentulah kita dapat mencari
jalan keluar. Demikian dengan masalah yang raden hadapi ini. Dalam hal itu paman sudah
mempunyai pandangan."
"Paman tetap hendak melaksanakan langkah paman menghadap seri baginda dan mohon agar
seri baginda berkenan hanya menganugerahkan puteri Teribuana kepada raden. Dengan demikian
raden bebas dari wajib memenuhi janji kepada Ku . Perihal janji raden kepada puteri Gayatri,
tetap harus raden laksanakan, setelah amanat seri baginda tentang pengangkatan raden sebagai
senopati Singasari selesai dan anugerah puteri Teribuana itu terlaksana."
"O," Wijaya mendesuh kejut "paman tumenggung maksudkan bahwa janji hamba kepada puteri
Gayatri itu baru dapat hamba laksanakan setelah pelaksanaan amanat seri baginda itu selesai?"
"Ya." "Tetapi apakah Kuti takkan menuntut dan mencemoh hamba sebagai ksatrya yang ingkar janji ?"
"Tidak," sahut tumenggung Bandupoyo tandas "sama sekali tidak. Ada dua landasan yang
meniadakan tuduhan Kuti kepada raden. Pertama, soal raden dengan gusti puteri Gayatri
adalah diluar dari ketentuan anugerah sayembara, karena hal itu terjadi kemudian setelah
anugerah seri baginda itu dilaksanakan. Kedua, puteri Gayatri bukan semacam benda yang
dapat dialih-berikan kepada orang lain. Puteri adalah seorang insan manusia yang mempunyai
hak azasi atas nasib dirinya. Walaupun raden sudah menjadi suaminya, pun raden tak
berwewenang memaksakan hal semacam itu, kecuali raden menggunakan kekerasan.
Kekerasan yang tak sesuai dan tak layak dilakukan oleh seorang ksatrya utama. Apalagi puteri
Gayatri adalah seorang puteri raja dari kerajaan ini. Sudah tentu kita wajib menghormatinya.
Suatu perbuatan yang bersifat merendahkan martabat puteri raja, akan menimbulkan
kemarahan dari seluruh kawula kerajaan Singasari."
"Ah," Wijaya menghela napas. Semangatnya luluh bagai dihembus gelombang samudra.
Setelah lama merenung akhirnya dia berkata "Terima kasih paman tumenggung. Petunjuk
paman bagaikan sinar sang surya yang menembus kegelapan hati hamba."
"Jadi raden setuju akan pendapat paman?"
"Ya, tetapi harus hamba uji dahulu sebelum hamba menentukan keputusan."
Tumenggung Bandupoyo terkejut "Raden hendak menguji" Apakah yang hendak raden uji?"
"Hamba akan berhadapan dengan puteri Gayatri dan hambapun akan berterus terang kepada
puteri bahwa hamba bermaksud akan menghaturkan puteri kepada Ku karena hamba sudah
berjanji kepadanya."
"Kalau puteri menolak "
"Hamba akan mengindahkan, hamba akan menyambut dengan segenap jiwa raga hamba. Hamba
akan tegak sekokoh gunung Meru untuk melindungi puteri dengan segala pertanggungan jawab
hidup hamba, paman."
Tumenggung Bandupoyo tertawa gembira.
Tumenggung Bandupoyo harus menempuh perjalanan panjang dan berat. Perjalanan dalam,
pembicaraan untuk menghaturkan permohonan ke hadapan seri baginda Kertanagara mengenai
persoalan Wijaya. Untunglah perjuangan yang gigih dari tumenggung itu berhasil mencapai apa
yang diharapkan. Seri baginda Kertanagara, seper tumenggung Bandupoyo, bermula terkejut dan
kemudian murka atas ndakan Wijaya yang berani berjanji kepada Ku untuk memberikan puteri
Gayatri kepadanya. Seri baginda merasa tersinggung keluhurannya. Namun kesemuanya itu dapat ditanggapi
tumenggung Bandupoyo dengan persembahan kata yang cukup mengesankan, bahwa langkah
Wijaya itu tak lain karena terdorong oleh hasrat pengabdiannya kepada kerajaan. Ksatrya-ksatrya
muda seper Ku , akan dihimpun kedalam pasukan Singasari untuk menghadapi ancaman yang
dari fihak manapun jua, termasuk raja Kubilai Khan.
Disebutkan nama Kubilai Khan oleh tumenggung .Bandupoyo benar-benar dapat menggerakkan
perha an seri baginda. Rupanya tumenggung Bandupoyo memang tahu apa yang menjadi 'kelilip
mata' sang nata. Kemudian disangga dengan pendirian Wijaya sebagai seorang ksatrya yang pantang ingkar janji,
maka tumenggung Bandupoyopun mempersembahkan seuntai rangkai kata indah dalam
menyimpulkan peribadi Wijaya.
"Gus sesembahan hamba dan seluruh kawula Singasari," sembah tumenggung Bandupoya "dari
sifat dan laku raden Wijaya yang teguh menelungkupi keutamaan seorang ksatrya itu, dapatlah
kiranya kerajaan paduka Singasari, akan mempunyai seorang senopa yang luhur dan perwira. Dan
ini pas akan menopang kemuliaan dan kejayaan paduka sebagai raja gung binatara yang
kekuasaannya bergema diseluruh penjuru nusantara."
Demikianlah dengan persembahan kata yang tepat itu akhirnya seri baginda berkenan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluluskan permohonan yang dihaturkan tumenggung Bandupoyo. Maka turunlah amanat raja,
bahwa sebagai pemenang sayembara pilih senopa maka raden Wijaya diangkat sebagai senopa
Singasari dan dianugerahi puteri Tribuana.
Segenap kawula pura kerajaan menyambut amanat itu dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Dan pada waktu raden Wijaya diwisuda sebagai senopa , maka bersukacitalah seluruh kawula
dengan mengadakan berbagai keramaian dan selamatan. Bahwa upacara wisuda itu berlangsung
dengan amat meriah, memang tak mengherankan. Tetapi yang mengherankan bahwa dikalangan
rakyat sendiri, pun mengadakan keramaian di daerah masing-masing. Seolah-olah rakyat telah
merasa mendapatkan seorang senopa yang dapat diandalkan pas dapat melindungi mereka dan
akan membawa kerajaan Singasari ke arah kejayaan.
Mengenai anugerah puteri Tribuana, barulah dalam taraf seri baginda secara resmi telah
mengumumkan ganjaran puteri itu tetapi pernikahan mereka belum ditetapkan.
Pengangkatan raden Wijaya sebagai senopa yang mendapat sambutan sedemikian meriah dari
seluruh kawula Singasari memang mengundang berbagai tanggapan. Ada fihak yang senang tetapi
tak kurang juga adanya fihak-fihak yang tak senang.
Bahwa tanggapan suka dan tak suka itu, dasarnya hanyalah soal rasa. Rasa iri, rasa cemas dan
rasa penasaran, yang kesemuanya bersumber pada soal kelungguhan senopa itu. Beda pula
dengan perasaan yang menebar dalam ha puteri Gayatri. Bahwa ramanda baginda hanya
berkenan menganugerahkan ayundanya puteri Tribuana kepada Wijaya, benar-benar mengejutkan
ha puteri Gayatri. Namun sebagai seorang puteri sudah barang tentu tak layak apabila ia
menghadap seri baginda untuk menghaturkan pertanyaan.
"Paman Bandupoyo ...." seru puteri Gayatri manakala tumenggung Bandupoyo diutus baginda
untuk menghibur puteri Gayatri dan memberi penjelasan tentang hal itu.
"Maa an, gus ayu," kata Bandupoyo lalu mulai menghaturkan keterangan mengenai peris wa
yang berkenaan dengan amanat seri baginda "Seri baginda rama paduka, berkenan meluluskan
permohonan paman mengenai ganjaran yang akan diberikan kepada raden Wijaya," Tumenggung
Bandupoyo lalu menceritakan tentang janji raden Wijaya terhadap Kuti.
Mendengar itu puteri murka sekali "Kakang Wijaya benar-benar menghina diriku, paman. Aku
seorang puteri, bagaimana mungkin akan dialihkan kepada sembarang orang."
Tumenggung Bandupoyo berusaha untuk menjelaskan bahwa bukan begitu maksud raden
Wijaya, melainkan karena besarnya tanggung jawab raden itu akan keselamatan kerajaan Singasari.
Wijaya hendak menghimpun ksatrya-ksatrya yang gagah berani, sak , guna membentuk pasukan
yang kuat. Namun puteri Gayatri tetap tak dapat menerima alasan itu "Baiklah, gus , hamba akan minta
raden Wijaya menghadap gusti di sini agar memberi keterangan sendiri," kata Bandupoyo akhirnya.
Tergetar ha Wijaya ke ka mendapat keterangan dari tumenggung Bandupoyo mengenai
kemarahan puteri Gayatri. Namun sebagai seorang yang merasa bersalah, diapun harus berani
menghadap puteri Gayatri untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya.
"Diajeng, aku memang bersalah," katanya ke ka berhadapan dengan puteri Gayatri yang sayu
dan membeku. "Tidak kakang," kata puteri "engkau benar. Engkau seorang ksatrya yang meletakkan kepen ngan
negara diatas segala kepentingan. Itu suatu pendirian yang baik sekali."
Wijaya longgar perasaannya.
"Hanya saja," kata puteri pula "akupun harus tak mengemis curahan kasihmu. Dan tak ingin
menerima setiap pria yang hendak menghaturkan rasa hatinya kepadaku. Sekalipun ramanda
baginda, juga tak berani memaksa kepadaku karena telah menjadi tekad hidupku, lebih baik
aku mati atau tidak menikah selama-lamanya daripada harus hidup dengan pria yang bukan
menjadi pilihan hatiku. Kiranya cukup pertemuan kita ini dan akupun hendak beristirahat
kedalam keputren." "Diajeng Gayatri," teriak Wijaya terkejut ke ka melihat puteri Gayatri berputar tubuh hendak
melangkah pergi. Dia cepat-cepat lari kehadapan puteri dan menjatuhkan diri duduk menghaturkan
sembah. "Gus puteri, sebagai seorang kawula, hamba mohon ampun atas segala perbuatan hamba yang
menyinggung perasaan paduka."
Gayatri tertegun "Kakang, mengapa engkau menyembah dan menyebut gus kepadaku,"serunya
terkejut. "Hamba tetap akan menyebut paduka sebagai gus puteri junjungan hamba selama paduka tak
berkenan memberi ampun kepada diri hamba."
Menghadapi sikap yang keras kepala dari Wijaya, betapapun akhirnya puteri Gayatri luluh juga
hatinya. "Baik, kuhapuskan kesalahan kakang itu. Dan sekarang silakan kakang berdiri."
Wijaya menghaturkan terima dan berbangkit "Diajeng, sekarang kakang akan berbicara
sebagai diri kakang. Dalam persoalan dengan janji kakang kepada Kuti, sebenarnya kakang
sudah memiliki suatu pendirian. Memang kakang berjanji hendak memberikan diajeng kepada
Kuti. Tetapi kakang mempunyai dua landasan. Pertama, kalau diajeng meluluskan barulah
kakang melaksanakan hal itu. Tetapi kalau diajeng menolak, kakangpun takkan memaksa.
Kedua, kakang telah menyatakan kepada paman tumenggung Bandupoyo, bahwa kakang tidak
seluruhnya menyetujui tindakan paman tumenggung untuk menghaturkan persoalan itu ke
hadapan seri baginda karena dengan tindakan itu apabila seri baginda berkenan meluluskan,
maka kakangpun akan tinggalkan Singasari dan kembali mengembara ke hutan."
"Mengapa?" tanpa tersadar puteri Gayatri telah terhanyut dalam pembicaraan.
"Karena kakang telah ingkar janji kepada diajeng."
"Ingkar janji " Apakah yang telah kakang janjikan kepadaku ?"
"Memang secara pernyataan dengan mulut, kakang belum menghaturkan janji apa-apa kepada
diajeng. Tetapi dalam hati, kakang sudah berjanji akan....."
"Akan bagaimana" "
"Akan memuja diajeng sebagai mustika dalam hati kehidupan kakang selama-lamanya."
Gayatri tersipu-sipu merah dan menunduk.
"Diajeng, setelah kakang mengetahui betapa kesetyaan dan kesungguhan ha diajeng kepada
kakang, maka kakangpun bersumpah demi Batara Agung, bahwa tak ada kekuatan di arcapada ini
bahkan dewa sekalipun yang kuasa untuk merintangi perasaan kakang terhadap diajeng. Tanpa
diajeng, kakangpun takkan menerima diajeng Tribuana."
"Kakang Wijaya ...." teriak Gayatri. Wijaya cepat mendekap kedua tangan puteri itu dengan
penuh kehangatan. Keduanya saling berpandang mata dalam paduan rasa hati yang menyatu.
Kemudian pelahan-lahan Wijaya menguraikan tentang maksud dari amanat seri baginda. Bahwa
seri baginda telah berkenan menjaga keluhuran Wijaya sebagai seorang ksatrya utama. Bahwa
kelak, setelah ketentuan dalam ganjaran sayembara itu selesai maka Wijaya pas akan menetapi
janjinya kepada Gayatri dan seri bagindapun telah meluluskannya. Dengan demikian Wijaya bebas
dari cemar nama sebagai seorang ksatrya yang ingkar janji kepada Kuti.
Puteri Gayatri dapat menerima keterangan Wijaya yang diucapkan dengan nada bersungguh dan
disertai dengan sumpah kepada Dewata Agung.
Demikianlah persoalan yang menimpa Wijaya dalam rangka sayembara itu telah dapat teratasi
dengan penyelesaian yang memuaskan fihak-fihak yang bersangkutan.
Beberapa waktu kemudian Wijayapun diwisuda sebagai senopa kerajaan Singasari dengan
tugas untuk menyusun dan membentuk pasukan yang kuat guna menjaga keselamatan kerajaan
dan kawula Singasari. Wijaya mengumpulkan ksatrya-ksatrya muda yang gagah, perwira dan setya. Ken Sora atau
Lembu Sora, Nambi, Medang Dangdi, Jangkung, Pamot, Lembu Peteng, Gajah Pagon dan lain-lain,
berdatangan ke pura Singasari. untuk memenuhi seruan Wijaya.
Kerajaan Singasari mulai bangkit pula dengan pasukan yang berin ksatrya-ksatrya perwira
muda. ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 24 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Bagai bidadari sedang bersolek sehabis mandi di telaga, demikian keadaan bumi Singasari dikala
disiram air hujan di bulan Magasyira. Tunas bersemi, daun menghijau, kuncup-kuncup bunga
bermekaran. Seyojana mata memandang, empat penjuru alam berkiblat warna hijau belaka. Warna
yang menandakan kesuburan bumi kerajaan Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari.
Anusapa , putera Tunggul Ametung dengan Ken Dedes, berhasil membalas kema an ayahnya.
Dibunuhnya Ken Arok, ayah ri dan pembunuh Tunggul Ametung dan naiklah ia menjadi raja
Tumapel. Tetapi kemudian Anusapa dibunuh oleh Tohjaya, putera Ken Umang. Tohjaya menjadi
raja tetapi hanya sebentar. Ia diserang Rangga Wuni, putera Anusapa . Tohjaya melarikan diri dan
meninggal di desa Katang Lumbang karena luka tusukan tombak yang dideritanya. Rangga Wuni
dinobatkan menjadi raja dengan nama abhiseka Wisnuwardhana. Nama dusun Kutaraja digan
Singasari. Pada tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254 baginda Wisnuwardhana menobatkan puteranya
yang bernama Kertanagara, menjadi yuwaraja atau raja muda. Baru setelah baginda
Wisnuwardhana wafat pada tahun Saka 1190, yuwaraja Kertanagara menjadi raja dan mengambil
alih pimpinan pemerintahan sepenuhnya.
Rakyat hidup sejahtera, lalu lintas darat dan laut makin ramai, perdagangan berkembang pesat,
hasil bumi berlimpah ruah. Pedagang-pedagang dari negeri-negeri atas angin, antara lain Campa,
Cina dan Gangga, tak putus-putus hilir mudik mengunjungi Canggu, kota bandar kerajaan Singasari.
Pekan pasara penuh sesak dengan pengunjung dari pelbagai ragam kebangsaan.
Di lapangan budaya agama, pun tampak perkembangan yang menggairahkan. Beratus-ratus
candi, pagoba dan arca, bermunculan di bumi Singasari, bagai cendawan tumbuh dimusim hujan.
Kertanagara seorang raja yang bijak bestari, cerdik, gagah berani dan sak . Kewibawaan baginda
terlihat pada seri wajahnya yang seolah memancar cahaya gemilang. Sepasang matanya berkilat-
kilat tajam, memancarkan sinar gaib sehingga ada seorangpun yang berani beradu pandang. Pun
nada suaranya menggelegar nyaring bagai pe r memecah dirgantara, meruntuhkan nyali se ap
musuh yang dihadapinya. Di antara raja-raja yang memerintah sebelumnya, ada seorangpun yang dapat menyamai
baginda Kertanagara. Baginda putus dalam ilmu falsafah, tata bahasa, paham akan Sadguna atau
enam macam poli k; ahli dalam ajaran agama Syiwa-Buddha, terutama dalam ilmu tantra Subuthi.
Baginda teguh bak menyembah kaki sang Sakyamuni, tawakal menjalankan pancasila, samskara
dan abhisekakrama. Selalu terbuka tangan baginda dalam memberi dana kepada pendirian
sudharma atau rumah-rumah suci dan pelbagai asrama para bhiku dan pandita.
Ratusan ribu pandita dan swami atau ulama agama, merasa sejahtera di bawah naungan
baginda Kertanagara. Itulah sebabnya maka mereka tak memberi tanggapan suatu apa ke ka
baginda Kertanagara menyebut diri sebagai penjelmaan Syiwa-Buddha. Demikian pula setelah
ditahbiskan atau diwisudha sebagai Jina maka baginda bergelar Sri Jnanabajreswara.
Untuk mengamankau kerajaan Singasari dari pemberontakan dalam negeri, maka baginda telah
mengambil raden Ardaraja sebagai menantu. Raden itu adalah putera dari Jayakatwang, raja Daha
atau Kediri. Sejak Ken Arok dinobatkan menjadi raja Singasari dan dapat mengalahkan raja
Kertajaya atau Dandang Gendis dari kerajaan Daha, maka Daha senan asa mendendam
permusuhan kepada Singasari. Tindakan baginda Kertanagara mengambil menantu Ardaraja adalah
untuk memadamkan bara dendam rakyat Daha.
Demikianpun baginda Kertanagara juga mengambil raden Wijaya sebagai calon menantu untuk
menjalin hubungan dengan keluarga keturunan Ken Arok. Baginda Kertanagara, putera Rangga
Wuni dan Rangga Wuni putera Anusapa . Raden Wijaya putera Mahisa Campaka dan Mahisa
Campaka putera Mahisa Wonga Teleng. Bila Anusapa itu putera Ken Dedes dengan Tunggul
Ametung maka Mahisa Wonga Teleng itu putera Ken Dedes dengan Ken Arok. Dengan demikian
Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng itu saudara seibu lain ayah.
Namun manusia itu tak pernah merasa puas. Setelah keadaan dalam negeri kuat dan makmur,
mbullah hasrat Kertanagara untuk meluaskan kekuasaannya keseluruh nusantara. Dan rupanya
berkat kekuatan dalam negeri telah terpupuk kokoh maka berhasillah baginda Kertanagara
mengirim pasukan Singasari untuk menundukkan tanah Malayu. Kemudian berturut-turut
ditundukkannya Bali, Tumasik, Sampit, Tanjung Pura, Dompo dan lain-lain kepulauan nusantara.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Tahun Saka 1203 atau tahun Masehi 1286. Hari itu langit tampak cerah. Secerah hati baginda
Kertanagara yang sedang mengadakan persidangan lengkap di balairung keraton Singasari.
Tiang-tiang soko ruang balairung yang sepemeluk orang besarnya, berhiaskan ukir-ukiran ular
naga dan padma teratai, lambarg dari kekuasaan dan kesucian agama Syiwa-Buddha.
Baginda Kertanagara duduk disebuah mahligai batu pualam di atas persada batu marmar yang
dipahat menyerupai bentuk seekor lembu mendekam. Mahligai itu beralaskan dampar kencana,
permadani merah bersalut benang emas.
Pa h, mentri, para darmadyaksa dari agama Syiwa dan Buddha, senopa dan segenap narapraja
lengkap hadir. Mereka duduk bersimpuh menunduk kepala, seolah-olah tak berani beradu pandang
mata dengan raja Kertanagara yang menganggap dirinya sebagai cicit Batara Girinata.
Baginda membuka perapatan besar itu dengan mengabarkan tentang berita yang diterima dari
utusan Kebo Anabrang, panglima Singasari yang di tah baginda untuk memimpin pasukan kerajaan
menyerang negara Malayu. Pasukan Singasari telah berhasil menundukkan raja Warmadewa dan
raja Campa yang bersemayam di kota raja Pandurangga.
"Demi mengamankan dan memperkokoh kekuasaan Singasari, maka Kebo Anabrang dan
pasukannya terpaksa harus menetap di sana. Terutama untuk mengatur pengawasan yang ketat
pada Jambi, bandar negara Malayu yang banyak disinggahi perahu- perahu, tongkang sekunar dan
pencalang dari negara-negara atas angin. Baginda mengakhiri berita dari senopa Kebo Anabrang,
kemudian bertanyakan pendapat para mentri dan senopa "bagaimana pendapat para mentri dan
senopati sekalian ?"
"Dirgahayu Seri Lokawijaya ! Semoga restu Singasari menyinari seluruh nusantara laksana
kemilau sang Surya," ba- ba terdengar suara bernada keparau-parauan memecah kesunyian.
Ke ka seluruh mentri hulubalang mengeliarkan pandang mata, ternyata yang bicara itu adalah
pa h Aragani. Panji Aragani bertubuh gemuk pendet, perut buncit, wajah pucat kering seper yang
dimiliki seorang peminum tuak. Kelopak matanya meredup setengah mengatup ba' damar ter up
angin. Dia dan Mahesa Anengah diangkat sebagai pa h menggan kan empu Raganata yang tua
dan berbeda faham dengan baginda Kertanagara.
"Eh, paman Aragani. apakah yang paman maksudkan dengan kata-kata Seri Lokawijaya itu?"
tegur baginda. Pa h Aragani berusaha menyalangkan kelopak matanya yang selalu mengatup itu dan mulutnya,
itu mengerenyut senyum "Dengan hasil kemenangan yang gilang-gemilang itu, kiranya lengkaplah
sudah Dewata melimpahkan berkat kepada keinginan paduka untuk menguasai seluruh Nusantara.
Bali, Lombok, Dompo dan berbagai kepulauan di segenap penjuru nusantara telah paduka
tudukkan. Dan kini tanah Malayu. Kiranya bukan suatu hal yang berkelebihan apabila hamba
mempersembahkan seikat nirmala puji agung Seri Lokawijaya ke bawah duli paduka gus . Seri
Lokawijaya, yang berkemenangan di dunia. Gelar yang layak bagi tuanku Batara Seri
Jayawisnuwardhana." Baginda Kertanagara tertawa cerah "Ah, paman memarg pandai sekali mencari ungkapan.
Syukurlah aku menurut nasehat paman. Andai saat ini aku terpengaruh oleh pembicaraan paman
Raganata supaya jangan mengirim pasukan kerajaan ke tanah Malayu, tentulah takkan ba hari
gemilang seperti saat ini."
"Ah, rakryan mpu Raganata sudah lanjut usia. Alam pemikirannya tentu hanya berkisar pada
ketenteraman belaka. Lain halnya dengan paduka yang senantiasa berusaha untuk
meningkatkan kejayaan Singasari," sembah patih Aragani.
Amboi, betapa licin bermain madu dimulut. Pada hal dalam ha ia tak menyukai pa h Wreddha
itu. Dialah sesungguhnya yang menjatuhkan mpu Raganata dari jabatan pa h amangkubumi
Singasari. Dengan kepandaian merangkai kata dan mengambil muka, baginda Kertanagara makin
menaruh kepercayaan. Berturut-turut baginda telah mencopot beberapa mentri nggi, demang
Wiraraja dipindah menjadi adipa Sumenep, tumenggung Wirakre dijadikan mentri ngabaya dan
patih mpu Raganata dilorot kedudukannya menjadi adhyaksa di Tumapel.
Melihat ndakan baginda itu, pujangga Santasmer pun mengundurkan diri dari pemerintahan
dan menjadi pandita di asrama. Pa h Raganata, demang Wiraraja dan tumenggung Wirakre serta
pujangga keraton Santasmer itu adalah para kadehan baginda Wisnuwardhana. Baginda
Kertanagara mengangkat Panji Aragani dan Mahesa Anengah menjadi patih.
"Benar," sambut baginda Kertanagara "Singasari harus tumbuh mekar menyerbak keharuman ke
seluruh nusantara!" ucap baginda penuh kebanggaan. Sikap ahangkara, makin tumbuh di sanubari
sang nata. Dengan pandang yang memancar sinar gaib, ia meruntuhkan peneli an satu demi satu
kepada seluruh nayaka nara-praja yang berada di balairung agung saat itu. Tampak sekalian
narapraja menunduk, tak berani beradu pandang. Terakhir pandang baginda berkisar ke samping
kanan dan kiri, ke arah dua orang pemuda cakap.
Yang berada di sisi kanan baginda yalah raden Ardaraja, putera raja Jayakatwang dari kerajaan
Daha yang kini menjadi menantu baginda Kertanagara, Raden itu berpakaian secara orang Kawi,
memakai tengkuluk dari kain sutera dewangga, menyelip sebilah keris di pinggang. Potongan
bajunya yang berbeda dengan orang Singasari, sepasang kumis yang membelah di bawah cuping
hidungnya yang mancung, makin menambah kecakapan wajahnya. Diam-diam baginda mengangguk
puas dalam hati. Yang duduk kiri baginda, juga calon menantu raja, yalah raden Wijaya, putera Batara Narasinga,
cicit dari Ken Arok atau baginda Rajasa sang Amurwabhumi. Walaupun pakaiannya serupa dengan
para bangsawan mentri-mentri narapraja, namun keelokan wajahnya tetap, berseri-seri terang
laksana bintang kejora di malam pekat. Memiliki kewibawaan, bukan karena keturunan bangsawan,
melainkan karena sikapnya yang ramah, budi bahasa yang halus dan kegagahannya yang memaksa
setiap lawan menundukkan kepala.
Diapit oleh kedua menantu, raja Kertanagara benar-benar menganggap dirinya sebagai cicit dari
Batara Girinata yang diapit oleh sepasang matahari kembar. Kertanagara benar-benar dimabuk
payang bahagia. Puas meni suasana, baginda beralih memandang ke muka pula "para mentri narapraja dan
nayaka sekalian," baginda berseru nyaring "siapakah diantara kamu yang dapat mengupas apakah
maksud yang sesungguhnya dari pengiriman pasukan Singasari ke tanah Malayu itu" Barangsiapa
yang dapat menerka tepat, akan kuhadiahi seperangkat pakaian kebesaran dan sejumlah uang
besar." Seketika berisiklah suasana balairung mendengar titah baginda. Sesaat kemudian menjadi
sunyi senyap. Sekalian mentri nayaka tengah terbenam diri untuk merenungkan soal yang
dicanangkan raja. Tiba- ba Dang Acarya Syiwanata kepala Dharmajaksa ke-Syiwa-an mengunjuk kata "Menurut
pendapat hamba, tujuan tuanku tak lainyalah hendak meluaskan kesemarakan agama Syiwa


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buddha keseluruh nusantara "
"Tepat paman Dang Arcaya Syiwanata, tetapi hanya sebagian, belum seluruhnya," seru baginda.
"Menurut hemat pa k, tujuan tuanku mengirim pasukan ke tanah Malayu adalah untuk
mempersatukan Nusantara di bawah naungan kerajaan paduka, gus ," seru Mapanji Wipaksa yang
berpangkat mentri demung;
"Benar, tetapi juga sebagian saja," ujar baginda. Sekalian mentri nayaka terkesiap.Balairung sunyi
beberapa saat sampai kemudian tampillah sang Ramapa , mentri yang lancar bicara dan ahli
dalam poli k luar negeri "Hamba tertarik atas tah paduka dan ingin juga mempersembahkan
penilaian hamba yang picik. Apabila tak ialah maka tujuan tuanku mengirim pasukan ke tanah
Malayu itu, mempunyai dua ar . Ke dalam, untuk menggairahkan semangat para kawula agar
mereka lebih giat melakukan kewajiban masing2 karena Singasari telah tumbuh menjadi negara
besar yang menguasai seluruh Nusantara. Keluar, paduka hendak menunjukkan bahwa Singasarilah
yang direstui Dewata untuk memberi naungan kepada seluruh rakyat Nusantara."
"Hampir mengena tetapi belum keseluruhannya," ujar
baginda pula. Beliau mengelilingkan pandang mata ke seluruh mentri narapraja yang
menghadap. Baginda mempunyai kesan bahwa para mentri itu telah putus asa dalam memberi
penilaian. Terakhir baginda meruntuhkan pandang ke arah patih Aragani "Bagaimana pendapat
andika, paman Aragani?"
Pa h Aragani agak terbeliak namun secepat pula ia dapat menenangkan ha "Duh, gus
junjungan hamba Pa k sudah renta dan lamban. Syukurlah Dewata masih memberka hamba
dengan kekuatan ba n dan jasmani yang belum rapuh dilanda usia. Gus , pa k sependapat
dengan persembahan tuanku Ramapa , hanya perlu pa k tambah sedikit. Bahwa pengaruh
ndakan paduka ke dalam negeri, daklah terbatas untuk menggairahkan semangat pengabdian
rakyat kepada kerajaan, pun dapat melenyapkan semangat musuh-musuh dalam selimut yang
hendak merobohkan Singasari dari dalam. Dan keluar, selain menyuarkan kesemarakan kerajaan
Singasari, pun perbendaharaan Singasari akan bertambah melimpah dengan upe dari berbagai
negeri atas angin." "Bagus, tetapi tetap belum mencangkum keseluruhannya," tah baginda pula. Sudah tentu
sekalian mentri narapraja terlongong-longong kehilangan faham. Mereka merasa diuji kecerdasan
oleh baginda maka sibuklah mereka menyibak- nyibak dan mengasah otak, namun sia-sia jua.
Akhirnya patih Aragani menyerah dan memohon baginda berkenan memberi penjelasan.
"Paman Aragani" tah baginda "sesungguhnya jawaban yang benar, tanpa paman sadari, sudah
tercangkum dalam rangkaian kata yang paman ucapkan tadi.
Aragani terbeliak," Benarkah demikian, gusti" Mohon tuanku berkenan menjelaskan."
Raja Kertanegara tertawa "Bukankah tadi paman mempersembahkan seuntai kata mutiara
kehadapanku " Seri Lokawijaya atau yang berkemenangan di dunia. Nah, itulah makna
daripada tujuanku mengirim pasukan Singasari ke tanah Malayu. Di benua Utara telah muncul
seorang naga perkasa. Kubilai Khan dari tanah Tartar dapat menguasai dan memerintah
sebagai maharaja di negeri Cina. Dia seorang maharaja yang besar pengaruh, besar nafsu cita-
cita dan digdaya mandraguna. Dia tak puas hanya menguasai Cina, tetapi pun hendak menelan
negeri- negeri kecil di sebelah selatan. Maka sebelum dia sempat meluaskan kekuasaannya ke
luar lautan, terutama ke tanah Malayu, aku harus mendahului menduduki tanah itu agar dapat
membendung pengaruhnya. Di belahan benua yang terpisah lautan itu, akan berhadapanlah
Kubilai Khan dengan Kertanagara. Nah, di situlah letak tujuan utama dari tindakanku mengirim
pasukan Singasari ke Malayu. Seri Lokawijaya, tak mungkin tunduk kepada raja lain negeri!"
Gemetar ha segenap mentri narapraja Singasari di kala mendengar pernyataan baginda
Kertanagara. Walaupun dalam ha berdebar penuh cemas di kala membayangkan saat-saat
bilamana benar terjadi pertempuran besar antara pasukan kedua negara besar itu, namun
merekapun menganggukkan kepala menyetujui.
"Gus " beberapa saat kemudian pa h Aragani berdatang sembah pula "ibarat orang berjalan,
langkah paduka adalah langkah kanan, langkah yang menjenjang sinar kemilau sang surya. Namun
seper yang paduka tahkan tadi, hamba ibaratkan Singasari seper sedang berpacu dengan
Kubilai Khan, maharaja Tartar yang haus kekuasaan itu. Setelah dapat menduduki tanah Malayu,
yang pen ng yalah untuk menguasai ha rakyatnya. Hendaknya dihindarkanlah jauh-jauh ndak
ulah prajurit Singasari agar jangan menimbulhan dendam kemarahan rakyat. Iklim hubungan baik
antar prajurit dengan rakyat setempat harus ditumbuhkan, demikian pula ikatan antara kerajaan
Singasari dengan raja-raja Malayu .. ."
"Bagus paman Aragani, hal itu memang amat berkenan dalam ha ku," seru baginda "perapatan
balairung pada hari ini yalah hendak membicarakan tentang rencanaku mengirim barang hadiah
kepada raja Malayu."
"O" pa h Aragani mendesuh "barang hadiah apakah yang paduka berkenan hendak mengirimkan
kepada mereka" "
"Ada dua macam," ujar baginda "kepada raja Malayu akan kukirim sebuah arca Amoghapasa.
Dan kepada raja Campa yang masih perjaka akan kuhadiahi seorang puteriku, dewi Tapasi, untuk
menjadi permaisurinya. Dengan jalan ikatan persahabatan dan kekeluargaan itu, bukankah
kedudukan kita akan mempunyai landasan yang kokoh di negara itu" "
"Dirgahayu Seri Lokawijaya," pa h Aragani berseru memuji "mana-mana tah gus pas hamba
junjung nggi. Langkah paduka itu memang sangat bijaksana, gus . Hanya saja, hamba mohon
sudilah kiranya paduka berkenan meluluskan pendapat hamba"
"Katakanlah, paman "
"Bahwa paduka sebagai Jina yang bergelar Sri Jnanabajreswara, layaklah kiranya paduka menjadi
pelindung dari agama Buddha sehirgga seluruh pandita yang tersebar di Nusantara bahkan di
negeri-negeri atas angin, bersujud ke duli tuanku. Maka pasukan Singasari yang paduka kirim ke
tanah Malayu itu hendaknya dapat membedakan mana-mana negara yang patuh mengabdi agama
dan yang dak. Agar tujuan paduka untuk mengembangkan restu Tantrayana dapat terlaksana.
Ibarat berpacu, inilah yang hamba maksudkan supaya mengenal jalan. Salah jalan, langkah yang
baik akan sesat tujuan."
"Benar," sahut baginda "bukankah paman maksudkan kerajaan Sriwijaya itu" Seper yang paman
kemukakan dalam sidang waktu hendak mengirim pasukan ke tanah Malayu dahulu?"
"Benar, gusti," sahut patih Aragani "masalah itulah yang menimbulkan perbedaan pendapat yang
tajam diantara empu Raganata dengan hamba. Empu Raganata tak setuju pengiriman pasukan itu
karena dapat melemahkan kekuatan dalam negeri Singasari. Tetapi hamba mendukung maksud
paduka, 'jer basuki mawa beya'. Tanpa derita, tiada bahagia."
"Hm," baginda mendesuh.
"Kemudian terjadi pertentangan faham antara demung Wiraraja dengan hamba. Bukan
melainkan setuju akan pengiriman pasukan itu, pun bahkan demung Wiraraja menghendaki
supaya pasukan Singasari menduduki Sriwijaya yang sudah lemah. Kata demung Wiraraja,
Sriwijaya terlalu tergila-gila membangun candi, pagoba dan bahkan hendak mendirikan sebuah
candi agung yang melebihi kebesaran candi Budur. Demang Lebar Daun, patih amangkubhumi
Sriwijaya seorang mangkubhumi yang cerdas dan pandai. Tetapi dia terlalu patuh melakukan
kegiatan kegiatan untuk mengembangkan agama Hinayana sehingga melalaikan penjagaan
negara. Akibat dari penghamburan uang itu, keuangan kerajaan kosong, tentara makin lemah
sehingga Sriwijaya tiba diambang keruntuhan. Dengan alasan itulah maka demung Wiraraja
mengusulkan supaya pasukan kita menduduki negeri itu ... . "
Patih Aragani berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang menderu "Tetapi hamba
menolak pendapat rakryan demung itu. Justeru karena paduka Jina pelindung Tantrayana,
maka wajiblah Singasari melindungi dan membantu negeri yang patuh menjalankan agama itu.
Akan merosotlah restu kewibawaan Singasari apabila menyerang negeri yang sedang sibuk
membangun candi dan dagoba suci."
"Tak perlu paman ungkap, memang sudah ku tahkan kepada senopa Kebo Anabrang supaya
jangan mengganggu Sriwijaya," kata baginda.
Sekalian mentri nayaka terkesiap mendengar keterangan baginda. Diantaranya yang paling tajam
adalah raden Wijaya. Ia terkejut sekali mendengar pernyataan baginda raja dan serentak
bangkitlah rasa heran-heran curiga atas sikap pa h Aragani yang nyata-nyata membela Sriwijaya.
Diam-diam raden itu lebih cenderung akan pendirian empu Raganata yang menentang pengiriman
pasukan Singasari ke Malayu. Jika ternyata pasukan tetap berangkat ke Malayu, raden Wijaya
mendukung usul demung Wiraraja supaya menduduki kerajaan Sriwijaya. Adakah 'udang di balik
batu' dalam pendirian patih Aragani itu"
Sedang rasa tak puas yang mencengkam ha sekalian adalah dalam sidang itu, seluruh
pembicaraan seolah-olah diborong oleh pa h Aragani seorang. Namun mereka tahu siapa dan
betapa pengaruh patih itu.
Rupanya baginda menyadari perasaan para mentri, maka beliaupun segera alihkan sasaran
"Kuminta pendapat paman sekalian, siapakah gerangan yang layak ku tahkan membawa arca
Amoghapasa dan puteri Tapasi ke tanah Malayu dan Campa ?"
Walaupun kedudukan sama, namun pa h Mahesa Anengah merasa tersisihkan oleh rekannya
pa h Aragani. Oleh baginda, Mahesa Anengah lebih banyak diserahi tugas tugas dalam bidang
ketentaraan, sedangkan Aragani dalam bidang percaturan pemerintahan praja. Oleh karena
pengiriman arca Amoghapasa dan puteri Dyah Tapasi itu menyangkut perjalanan ke tanah
seberang maka tampillah Mahesa Anengah dengan persembahan kata "Gus , menurut hemat
hamba, ada calon yang lebih tepat untuk menunaikan tah paduka itu daripada kedua pria
narpa raden Ardaraja dan raden Wijaya Kehadiran kedua raden itu sebagai wakil paduka tentu
akan diterima dengan kesan yang menyentuh rasa syukur dan bahagia dari kedua raja di negeri
itu." Baginda Kertanagara mengangguk "Memang tepatlah yang paman haturkan itu. Tetapi. .. "
baginda sejak kerlingkan pandang ke arah raden Ardaraja "anakmas Ardaraja baru saja kembali
dalam menunaikan tugas menundukkan Bali. Baiklah ia beris rahat menghibur diri dahulu.
Sedangkan anakmas Wijaya ... " baginda berpaling ke arah raden Wijaya "bukanlah anakmas Wijaya
sedang sibuk membentuk calon-calon prajurit untuk penjagaan Singasari karena sebagian besar
pasukan kita telah dibawa senopati Kebo Anabrang ke tanah Malayu?"
"Demikianlah, gus , " sembah raden Wijaya "walaupun negara aman suasana damai tetapi kita
tak boleh meninggalkan kewaspadaan. Prajurit harus tetap kita miliki sebagai bhayangkara negara.
" "Bagus puteraku," ujar baginda gembira "engkau dan anakmas Ardaraja adalah menantuku.
Rama sudah tua, kelak tentu anakmas berdua yang akan menggan kan kedudukan rama.
Peliharalah kerajaan Singasari yang besar dan jaya ini, Wijaya! "
Raden Wijaya tersipu menjenjang sembah.
"Gus ," ba- ba pa h Aragani berdatang sembah pula "lebih dulu hamba mohon maaf apabila
apa yang hendak hamba persembahkan ini, tak berkenan dalam hati paduka."
"Katakanlah paman Aragani karena itu sudah menjadi kewajiban segenap mentri narapraja
Singasari untuk mengemukakan pendapat demi kepentingan kerajaan Singasari."
Aragani mengunjuk sembah terima kasih lalu mulai merangkai kata "Gus , hamba mendukung
usul adi Mahesa Anengah. Pengiriman arca Amoghapasa dan puteri Dyah Tapasi, bermakna untuk
mengikat raja Malayu dan raja Campa ke dalam kekuasaan paduka. Suatu kehormatan besar tentu
akan dirasakan oleh kedua raja itu apabila hadiah berharga itu disampaikan oleh utusan Singasari
yang benar-benar dianggap sebagai wakil paduka peribadi. Rasa menerima kehormatan, akan
mengikat ha orang. Dalam hal pilihan utusan kerajaan Singasari, memang ada yang lebih tepat
daripada kedua raden itu."
"Tetapi anakmas Ardaraja tentu masih lelah sehabis kembali dari peperangan di Bali," tukas
baginda. "Demikianlah, gus ," kata pa h Aragani "setelah menunaikan tugas yang berat, layaklah kiranya
raden Ardaraja beris rahat. Namun hendaknya raden Wijaya dapat paduka serahi tugas ke tanah
Malayu itu disertai dengan seorang mentri yang berkedudukan nggi agar jangan mengurangkan
kesan kedua raja tanah seberang itu."
"Anakmas Wijayapun sibuk membentuk calon-calon prajurit."
"Gusti," sembah patih Aragani "soal pembentukan prajurit itu, hamba rasa tidaklah sepenting
tugas mengirim hadiah paduka ke tanah Malayu. Hamba katakan tidak amat penting dan
terburu- buru karena suasana jnegeri Singasari aman dan damai. Rakyat merasa sentausa,
agama berkembang sejahtera. Mengapa harus menghamburkan tenaga dan harta untuk
memupuk pasukan " Rakyat akan tunduk dan lebih taat diperintah dengan peningkatan hidup
yang makmur dan keamanan daripada dengan kekerasan. Memang hamba tak menyangkal
bahwa negara tetap memerlukan prajurit untuk menjaga keselamatan negara tetapi hal itu
dapat diserahkan kepada lain orang, kepada raden Ardaraja misalnya ...... "
Pa h Aragani berhen , melirik ke arah raden Ardaraja. Tampak raden itu terkesiap agak terkejut
"Pengangkatan raden Wijaya sebagai utusan paduka ke tanah Melayu, hamba tamsilkan sebagai
langkah 'sekali dayung dua tepian'. Pertama, tujuan paduka akan terlaksana sebaik-baiknya. Dan
kedua, bagi raden Wijaya sendiri merupakan suatu kesempatan mendirikan jasa, sebagaimana yang
dilakukan oleh raden Ardaraja. Demikian gus , pendapat hamba yang hamba persembahkan ke
bawah duli paduka." Baginda Kertanagara merenung. Memang yang dihaturkan pa h itu benar. Pembentukan prajurit
baru, tak perlu terburu- buru, pula dapat diserahkan kepada Ardaraja. Ardaraja juga seorang
senopa perang yang baru-baru ini telah berhasil menundukkan tanah Bali. Di samping itu baginda
kua r apabila Wijaya tak di tahkan menjadi utusan ke tanah Malayu, akan menimbulkan rasa tak
puas pada Ardaraja. Sesama putera menantu, mengapa Ardaraja di tahkan berperang sedang
Wijaya tidak" Bukankah Ardaraja akan membatin bahwa baginda itu pilih kasih"
Setelah selesai menimang, akhirnya baginda memutuskan "Anakmas Wijaya, baiklah engkau yang
kuangkat menjadi utusan untuk mengirim arca Amoghapasa ke tanah Malayu."
Makin meningkatlah kecurigaan raden Wijaya terhadap maksud yang terpendam di dada pa h
Aragani. Mengapa pembentukan prajurit prajurit untuk mengisi kekosongan kerajaan Singasari itu
ditentang oleh pa h Aragani" Bukankah dengan usul supaya ia yang menjadi utusan ke tanah
Malayu, Aragani hendak menyingkirkan dirinya dari Singasari" "Ah, mudah-mudahan tugas untuk
menyelesaikan pembentukan prajurit itu dapat dilanjutkan kakang Ardaraja," demikian pikirnya.
"Apapun yang paduka tahkan, pas akan hamba junjung." Wijaya terpaksa menerima
pengangkatan itu lalu menanyakan siapakah yang akan mengganti tugasnya di Singasari.
"Anakmas Ardarajalah yang akan mengambil alih tugas itu," kata baginda. Kemudian baginda
berpaling kepada pa h Aragani "Lalu siapakah orang kedua yang layak untuk mengantar puteri
Tapasi ke Campa itu, paman patih?"
"Seorang mentri yang berkedudukan nggi dan kekuasaannya se ngkat di bawah paduka,
rakryan pa h amangkubhumi Mahesa Anengah, gus ," melantang rangkaian kata-kata dari mulut
Aragani dengan serentak. Pa h Mahesa Anengah terbeliak kaget. Tak pernah ia menyangka bahwa Aragani akan menunjuk
dirinya. Demikianpun baginda sendiri, namun cepat pula baginda mengangguk setuju "Ya, sesuai
pula." "Gus ," serta merta Mahesa Anengah mengunjuk sembah "hamba seorang mentri yang
mengurus bidang keprajuritan. Dalam soal ketata-praja-an, liku-liku ilmu negara dan kefasihan
merangkai, masih kalah jauh dengan kakang pa h Aragani. Dalam pingiriman puteri Dyah Tapasi itu
lebih mengandung segi mengeratkan hubungan daripada segi ancaman kekuatan perang. Oleh
karenanya, bukankah amat tepat sekali apabila kakang pa h Araganiyang menjadi utusan paduka
ke negeri Campa?" Baginda Kertanagara mengangguk lalu kerlingkan pandang ke arah pa h Aragani. Tetapi sebelum
baginda ber tah, pa h Araganipun mendahului "Gus , junjungan hamba. Pengusulan hamba atas
diri adipa Mahesa Anengah itu, hamba dasarkan pada keluhuran nama paduka dan kewibawaan
kerajaan Singasari. Adi Mahesa Anengah seorang pa h yang berkedudukan nggi, gagah dan
perwira, pantas di ketengahkan sebagai duta sang Nata. Tetapi apabila hamba yang menjadi duta,
aduhai .... hamba kua r akan menjadi bulan-bulan cemoh tawa dari raja dan para mentri negeri
Campa. Aragani, seorang tua yang bertubuh bungkuk, mata rabun, gigi ompong menjadi duta nata
Singasari, ah ... . bagi hamba tak mungkin tersinggung karena kenyataan diri hamba memang
begitu. Tetapi duh gus , adakah keluhuran nama paduka takkan turut terbawa-bawa karena telah
memilih seorang duta kerajaan semacam Aragani itu?"
Baginda Kertanagara tertegun lalu tertawa "Ah, jangan engkau perolok dirimu sedemikian
rendah, paman," kata baginda sekalipun dalam ha diam-diam baginda mengakui kebenaran kata
patih itu. "Tidak, gus . Hamba dak berolok- olok tetapi memang kenyataannya begitu," kata pa h
Aragani "serupa dengan penilaian hamba terhadap raden Wijaya tadi, hambapun merasa dalam
suasana damai seper dewasa ini, tugas-tugas adi Mahesa Anengah dalam bidang ketentaraanpun
tentu agak longgar. Adi Mahesa Anengah dapat membawa sepasukan prajurit pilihan untuk
mengantar puteri Tapasi ke negeri Campa. Hamba mohon pasukan yang menyertai adi Mahesa
Anengah itu harus berseragam mewah dan bersenjata lengkap. Maknanya, agar raja Campa kagum
dan tunduk akan kebesaran dan kekuatan pasukan Singasari yang kaya dengan prajurit prajurit
senopa gagah perkasa. Dan kedua kali pengantaran seorang puteri raja dengan diiring pasukan
kuat, akan meninggalkan kesan dan peringatan halus agar hendaknya raja Campa jangan berani
mempermainkan puteri dan memperlakukannya sebagai seorang permaisuri yang layak."
"Benar, paman Aragani, sungguh luas nian pandanganmu," baginda memberi pujian.
"Dan yang ke ga kali," pa h Aragani masih ngotot melanjutkan uraiannya "kerajaan Singasari
saat ini sedang membangun negara, meningkatkan kehidupan rakyat, mengembangkan ajaran-
ajaran agama. Dalam hal itu tenaga mentri dan narapraja, lebih dibutuhkan daripa mentri dan
senopati urusan peperangan, gusti."
Tiga buah dalih untuk menopang pendiriannya telah dilancarkan pa h Aragani dengan lancar
sehingga pa h Mahesa Anengah terpojok tak dapat menyanggah. Apalagi setelah baginda
memutuskan, mengangkat pa h Mahesa Anengah menjadi utusan raja untuk mengantarkan puteri
Dyah Tapasi kepada raja Campa pa h Mahesa Anengah tak dapat berbuat lain kecuali menerima
titah raja. Demikian telah ditetapkan dengan keputusan raja Kertanagara bahwa utusan Singasari untuk
mengantar arca Amoghipisa terdiri dari raden Wijaya, rakyan mahamentri Diah Adwayaberahma,
rakyan sirikan Dyah Sugataberahma. pamegat Payaman Hang Dipangkara-dasa dan rakyan demung
Wira. Sedangkan pengiriman puteri Dyah Tapasi diantar oleh pa h Mahesa Anengah atau yang
terkenal juga dengan nama Kebo Arema, rakryan demung Mapanji Wipaksa, pamegat Tirwan Dang
Acarya Dharmadeda dan tumenggung Jangga.
Keberangkatan kedua rombongan utusan Singasari itu akan dilakukan serempak padahari
pertama waktu bulan sedang naik dalam bulan Bhadrawada pada tahun Saka 1208 atau tahun
Masehi 1286. Sejak keputusan raja Kertanagara diumumkan maka masih kurang satu candra lamanya dari hari
keberangkatan. Waktu secandra itu dipergunakan untuk mengadakan persiapan yang diperlukan.
Demikian setelah persidangan agung di balairung keraton selesai, pada malam harinya baginda
Kertanagara memanggil pa h Aragani ke dalam keraton. Bukan untuk merundingkan soal-soal
pemerintahan tetapi untuk bersenang-senang minum tuak. Memang demikian kebiasaan baginda
apabila ha nya riang gembira. Hubungan antara raja dan pa h itu amat akrab karena mempunyai
kegemaran yang sama. "Paman Aragani, bagaimana rasanya tuak yang paman minum kali ini?" tegur baginda.
Sambil mengomat kamitkan lidah untuk menyapu tuak yang berhamburan disekeliling bibirnya,
pa h Aragani menjawab "Agak beda dengan yang sudah-sudah, gus . Lebih keras, lebih harum,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandung rasa agak sepet-sepet manis. Ah, sungguh nikmat sekali sampai kedua mata hamba
dapat menyalang lebar-lebar."
Baginda tertawa ke ka melihat ulah pa h Aragani yang merentang kedua kelopak matanya
lebar-lebar. "Wahai, peka sekali lidahmu, paman. Memang tuak ini bukan keluaran Singasari, bukan pula dari
Daha melainkan dari Bali. Tuak simpanan dari raja Bali ini disebut tuak mugeni, terbuat dari sari
buah salak yang dilarutkan bertahun-tahun. Putera menantuku, anakmas Ardaraja itu memang
menger kegemaranku. Setelah dapat menguasai Bali, Ardaraja pulang dengan membawa buah
tangan arak mugeni yang cukup banyak. Mudah-mudahan anakmas Wijaya kelak juga membawa
buah tangan yang istimewa untukku."
"Benar, gus ," ba- ba Aragani berseru gegas, "raden Wijaya tentu akan mempersembahkan
barang yang lebih berharga dari raja Warmadewa."
"Yang tentunya akan menyenangkan hatiku, bukan?"
"Demikianlah, gusti."
"Ah, belum tentu paman," ujar baginda. Aragani kerutkan dahi,berkata agak heran "Ah, tentulah
raden Wijaya dapat memilihkan mana-mana yang berkenan pada kegemaran paduka."
Baginda tertawa "Intan permata, zamrud baiduri dan segala jenis barang berharga, keraton
Singasari sudah memiliki. Bahan pakaian, makanan dan minuman yang betapa indah dan lezat, aku
tak kekurangan Yang kuinginkan buah tangan yang di keraton Singasari belum ada."
Aragani mendecak-decak mulut seraya menggeleng-gelengkan kepala "Wah, sukar, sukar sekali
gus . Adakah kiranya gus sudah dapat menitahkan apakah gerangan benda yang paduka inginkan
?" Baginda gelengkan kepala "Ah, aku sendiri juga tak tahu, paman."
Aragani hen kan piala tuak yang sudah ba dibibirnya. Ia memandang wajah raja. Ingin ia
menyelidik kesan adakah baginda sudah tercengkeram dalam pengaruh tuak. Namun secepat itu
pula ia segera meruntuhkan pandang matanya ke bawah pula. Sinar mata baginda masih
memancar kewibawaan, jauh dari pancaran mata seorang pemabuk. Dan memang ia tahu, baginda
amat kuat minumnya. Kemudian ia melanjutkan piala menghampiri mulut, sekali teguk habislah
isinya. Sambil pejamkan mata, ia menikmatkan diri menyertai perjalanan tuak yang mengalir
melalui jalur urat-urat kerongkongan lalu turun ke dalam perut.
"Duhai, tuak, tuak . . . sesungguhnya engkaulah Tirta Amerta . . . penambat jiwa, penghibur raga,
pelipur lara, penawar duka, pelepas samsara, penjelang Nirwana . . . " ba- ba pa h Aragani
bersenandung mendambal an khasiat tuak.
"Amboi, pandai benar engkau merangkai sajak, paman."
Aragani tertawa gembira "Ah, bukan sajak, tuanku, melainkan sekedar menggerakkan lidah yang
terdorong oleh kenikmatan tuak mugeni. Paduka harus menjadi raja yang melebihi Jayabaya dan
Syailendra. Selain cakap mengendalikan kerajaan, pun paduka harus pandai mengarang seloka,
menggubah sajak, menjadi pujangga agar keluhuran nama paduka, dipuja manusia sepanjang
masa." "Betapa ingin hatiku mencapai cita-cita itu namun aku tak memiliki perasaan seni."
"Ah, tak apalah, gus . Untuk menjadi penyair dak mutlak harus memiliki nurani seni. Cobalah
paduka menjernihkan pikiran mengheningkan cipta, tentulah lambat laun paduka akan bersua
pada getaran-getaran halus dari nurani seni itu. Di samping itu, tuakpun punya daya khasiat untuk
melambungkan pikiran ke alam khayal yang penuh dengan sumber-sumber cipta."
"Benarkah " "
"Benar, gus . Itulah sebabnya maka saat ini hamba dapat menemukan keinginan paduka.
Bukankah paduka menghendaki raden Wijaya membawa buah tangan, yang di Singasari belum
ada?" "Ya" "Gus , bukankah aliran hathayoga dalam agama Tantrayana Subuthi dapat mencapai kesak an
dan kekuasaan gaib di semesta alam?"
Baginda mengiakan. "Bukankah wanita sebagai unsur prajna, amat diperlukan bagi jenis laki-laki sebagai unsur upaya,
di dalam mencapai kemenangan atas samsara ?"
"Seorang yogin dari aliran Tantrayana dalam hathayoganya, harus berusaha membangkitkan ular
sebagai san dewi Parwita, dewi yang menjadi sak nya Syiwa. Hanya dengan penyatuan antara
jenis lelaki dan wanita itulah maka akan diperoleh tenaga gaib yang sak . Eh, paman, ternyata
engkau ahli juga dalam aliran ilmu mantra."
"Bukan, gusti, melainkan tuaklah yang memberikan pikiran terang kepada hamba," patih
Aragani tertawa lalu mengangkat piala dan meneguknya pula. Memang beda sekali sikap raja
dengan patihnya ketika di persidangan balairung dengan saat itu. Mereka seolah-olah dua
orang sahabat yang sedang minum tuak berdua "tuaklah yang memberi daya cipta kepada
hamba hingga mampu memecahkan keinginan paduka. Ya, rasanya tiada buah tangan dari
negeri Malayu yang lebih berharga daripada seorang dewi Parwira, agar sebagai Jina dari
aliran Subuthi dapat mempunyai kelengkapan untuk mencapai kesempurnaan ...."
"Hai, Aragani, rupanya engkau mabuk, ya?" seru baginda "masakan dewi Parwita berada di negeri
Malayu! Dewi itu selalu menitis dalam peiwujutan seekor ular."
"Jangankan baru lima piala, sekalipun dua ga kendi tuak mugeni, bujang lapuk Aragani masih
sanggup bertahan," sahut Aragani "kali ini dewi Parwita benar-benar telah meni s ke dalam diri
seorang puteri jelita. Bila dewi Parwita meni s dalam bentuk ular, itu sudah biasa. Tetapi
bahwasanya dewi itu meni s pada seorang puteri agung, itu benar-benar suatu keajaiban restu
yang Dewa ia hendak melimpahkan kepada paduka."
"Aragani, aku tak mengerti ucapanmu ! Katakanlah yang jelas" seru baginda.
Araganipun mengatur napas, kemudian berkata "Dewi san Parwa itu bukan berada di tanah
Malayu, melainkan di kerajaan Darmasraya .... "
"Darmasraya" " baginda menukas agak heran.
"Benar, gus ! Kerajaan Darmasraya itu adalah induk kerajaan Sriwijaya. Karena Sriwijaya sering
mengalami perang, maka pa h Demang Lebar Daun mengusulkan supaya raja Tribuana
Mauliwarman pindah ke kerajaan Darmasraya yang baru didirikan di Jambi. Sedangkan kerajaan
Sriwijaya masih tetap dipegang, Demang Lebar Daun untuk mengurus bandar negeri itu, Kerajaan
Darmasraya menjadi pusat perkembangan agama Buddha Hinayana. Beratus-ratus asrama
dibangun, candi dan dagoba-dagoba bertebaran di seluruh penjuru ...."
"Lalu bagaimana dengan puteri titisan dewi Parwati itu ?" baginda menukas.
"Raja Tribuana Mauliwarman mempunyai dua orang puteri yang cantik rupawan. Dasar puteri
keturunan raja yang halus budi bahasa, taat menjalankan ajaran agama dan rajin melakukan
yoga. Sepasang padma yang harum menyemarakkan istana Darmasraya, sehingga agama
Buddha memancarkan sinar gilang gemilang di kerajaan itu."
"Siapakah nama kedua puteri itu," baginda Kertanagara mulai terkecoh perhatian.
"Dara Petak dan Dara Jingga, gusti."
"Lalu menurut pandanganmu, siapakah diantara kedua puteri itu yang menjadi
san dewi Parwati?" "Menurut kabar yang hamba peroleh, puteri bungsu Dara Jingga itu lebih giat dalam memberi
dana untuk pembangunan candi-candi, lebih tekun memperdalam isi kitab-kitab ajaran Buddha,
lebih sering pula berkunjung ke asrama-asrama para pandita. Menurut hemat hamba, puteri
bungsu itulah yang rupanya menerima anugerah
san dewi Parwa , gus . Namun paduka sebagai
Jina dari aliran Tantra, tentulah akan dapat menilai sendiri apabila berhadapan dengan puteri itu."
Baginda termenung. Pikirannya melayang jauh ke tanah Darmasraya. Dengan kesak an tantra
yang dimiliki, dapatlah ia mencapai bayang-bayang alam keheningan. Gambaran wajah dari Dara
Jingga puteri kerajaan Darmasraya itu segera melintas dalam ciptaan-nya ....
"Ah, paman, puteri Dara Jingga itu tentulah masih remaja belia. Bukankah puteri-puteri dan anak
menantuku akan menertawakan diriku sebagai orang tua yang masih menginginkan anak dara?"
akhirnya baginda Kertanagara berkata disertai helaan napas.
Patih Aragani teitiwa "Gusti, paduka adalah Jina dari ajaran tantra aliran Suhuthi. Apabila
patih tak salah, cara mencapai pelepasan samsara atau moksha dalam ajaran Tantra itu yalah
menitik beratkan pada perbuatan. Dan untuk mencapai tujuan itu, yang dipentingkan yalah lima
hal: mada (anggur), matsya (ikan),: mamsa (daging), mudra (padi) dan maithuna (cinta). Tidak
mengekang hawa nafsu karena pengekangan itu berarti penekanan batin. Batin yang tertekan
takkan dapat mencapai kelepasan samsara. Benarkah begitu, baginda?"
"Memang Taatrayana bersifat demikian tetapi agak berbeda sedikit dengan aliran Subuthi.
Walaupun Subuthi memuja penyatuan jenis lelaki dan berempuan itu sebagai sarana untuk
mencapai kekuatan gaib, namun hal itu harus dilakukan dengan kesadaran yang suci. Apabila dak
tentu akan mengakibatkan klesa atau dosa yang merupakan rintangan ke jalan nirwana."
"Sudah tentu di dalam meminang puteri utama dari kerajaan Darmasraya itu, tujuan paduka
yang utama didasarkan untuk menyatukan diri dengan titisan dewi Parwati agar dapat
mencapai kelepasan samsara. Oleh karena itu tiada alasan bagi putera puteri paduka dan
kawula Singasari untuk mencemohkan paduka." Baginda Kertanagara termenung-menung.
Memang yang dikatakan patih itu tak salah. Apabila memperoleh seorang puteri yang benar-
benar suci hati dan taat pengabdiannya kepada agama, tentu mudah mencapai kelepasan
samsara "Paman Aragani, engkau mengatakan puteri raja Darmasraya itu dua orang, adakah
keduanya harus kuambil" "
"Tidak, paduka. Sebaiknya salah seorang saja, mana yang paduka nilai memiliki sifar-sifat
peni san sang dewi Parwa . Dan yang seorang baiklah, paduka anugerahkan kepada raden Wijaya
untuk menghibur jerih payahnya menunaikan tugas paduka ke tanah Malayu."
"Aragani, engkau benar-benar sudah mabuk tuak," seru baginda "bagaimana mungkin aku
mengambil seorang dan yang seorang untuk Wijaya" Bukankah kedua puteri itu bersaudara dan
bukankah aku dan Wijaya itu mentua dan putera menantu" Ha, ha, pikiranmu sudah mulai kacau."
"Tidak, baginda, pikiran hamba masih sadar. Soal itu daklah perlu tuanku, risaukan.
Peminangan paduka kepada salah seorang puteri itu melengkapi sarana paduka mencapai
kesempurnaan dalam ilmu tantra laksana Syiwa memerlukan dewi Parwita sebagai sak nya. Jadi
bukan untuk permaisuri kerajaan Singasari. Di samping itu, gus , masih ada sebuah tujuan yang
lebih pen ng yalah terikatnya kekeluargaan antara Singasari dengan Darmasraya berar pula akan
tunduknya kerajaan itu ke bawah duli paduka. Dengan demikian akan tercapailah cita-cita paduka
untuk menguasai seluruh tanah Malayu sampai Campa."
"Ah, bijak sekali buah pikiranmu, paman kali ini baginda Kertanagara berseru memuji. Memang
ada lain daya tarik bagi raja itu kecuali cita-citanya untuk menguasai tanah Malayu dan seluruh
nusantara. Sambil menuang arak ia berseru pula "baik, paman, akan kupesan kepada anakmas
Wijaya agar membawa buah tangan itu, ha, ha, mari kita minum puas2 .... "
Mendapat durian runtuh, menyatakan seseorang yang mendapat rejeki besar secara tak terduga-
duga. Tetapi kegembiraan ha Aragani lebih dari mendapat durian runtuh, karena hampir semua
usulnya telah diterima raja. Diam-diam pa h itu telah mengadakan persekutuan dengan Demang
Lebar Daun dari kerajaan Sriwijaya. Aragani menganut agama Buddha Hinayana. Ia tak suka kepada
Kertanagara yang mengembangkan agama Buddha Mahayana dan mengutamakan Tantrayana
aliran Subuthi. Demang Lebar Daun menjanjikan ban-tuan akan usaha Aragani untuk merongrong
kekuatan Singasari supaya lemah dan mengakui pa h Aragani menjadi akuwu penggan raja
Kertanagara. "Paman Aragani, aku sudah tua, bagaimana mungkin seorang puteri jelita dari kerajaan
Darmasraya itu akan mencintai aku?" mulai lagi pengaruh tuak mempengaruhi pikiran raja
Kertanagara. "Ah, masakan gus tak tahu akan mantra menundukkan ha seorang dara!" Aragani Setengah
berseloroh. "Bagaimanakah itu, Aragani. Seluas-luasnya ilmu mantra yang kuteguk, tentulah masih ada
beberapa yang kelewatan."
Aragani tertawa "Baiklah, gus , akan hamba lantangkan mantra pemikat ha kekasih yang
terdapat dalam kitab kuna Atharvavada, demikianlah:
Birahikanlah, O angin taufan,
Birahikanlah, O hawa, Birahikanlah, O lidah api,
Dia akan terbakar hatinya oleh cinta kepadaku.
"Berkasiatkah mantra itu, paman" "
"Tentu, gus , hamba jamin puteri ayu dari Darmasraya itu pas menyerah di bawah duli
paduka," sahut Aragani.
"Bagus, Aragani, kelak tentu besar sekali ganjaranmu, ha, ha, ha ... . "
"Dirgahayu Seri Lokawijaya, ha, ha, ha ... . "
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Kelapan jalan pedesaan yang di nggalkan sang Surya, bagai menung seorang dara yang di nggal
kekasih. Sayu pilu, suram muram. Lebih lagi jalan yang merentang sepanjang pedesaan, hutan
rimba dan gerumbul yang menghubungkan Singasari dergan Tumapel, benar-benar sesunyi tanah
kuburan di malam hari. Di kala bintang kemintang mulai merekah percik-percik sinar, keremangan cakrawalapun mulai
menampakkan warna terang kebiru-biruan. Pada saat itu terdengarlah langkah kuda berderap
memecah kesunyian. Debu tersibak berhamburan, pohon-pchon yang tumbuh sepanjang tepi
jalanpun bergoncang-gontai dihembus angin getak lari kuda itu.
Penunggangnya seorang pemuda yang bertubuh tegap, mengenakan baju warna hitam. Melihat
cara mencongklangkan kuda sepesat angin, tentulah pemuda itu sedang melakukan sesuatu yang
penting dan harus cepat cepat pula.
Ketika membiluk sebuah tikungan jalan, tiba-tiba kuda meringkik keras dan terpelanting jatuh
menyusur tanah ke muka.Pemuda itu terkejut tetapi tak dapat mencegah. Iapun seperti
dilemparkan ke muka. Untunglah ia amat cekatan sekali. Cepat ia menguasai keseimbangan
tubuh, berjumpalitan di udara lalu melayang turun beberapa belas langkah dari tempat kudanya.
Pada saat ia hendak menghampiri kuda, sekonyong-konyong dari balik gunduk batu besar yang
berada di tepi jalan, loncat ke luar dua sosok tubuh manusia. Tanpa berkata sepatahpun juga,
kedua orang itu terus menerjang pemuda itu. Yang seorang menggunakan sebatang pedang
kangkam dan yang seorang memakai parang. Serangan yang tak terduga-duga dan segencar
hujan mencurah itu tak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menangkis atau
menghindar. Dan hampir bersoraklah kedua penyerang itu. ketika yakin serangannya pasti
berhasil. Tetapi betapalah kejut dan geram mereka, ketika tiba-tiba
tubuh pemuda itu melambung dan melayang melalui kepala mereka. Sepintas pandang mirip
dengan seekor burung belibis yang terbang melayang melintasi permukaan telaga.
"Huh, huh ... " terdengar dengus kejut kedua penyerang itu dikala senjatanya menerpa angih
kosong Dan karena menyerang dengan tenaga penuh, pedang dan parang mereka menghantam
tanah sehingga menimbulkan kabut debu yang tebal.
"Setan," kedua penyerang itu memaki dan cepat berputar tubuh. Tetapi sebelum mereka sempat
bergerak melakukan penyerangan lagi, dari balik gerumbul di tepi jalan, dua sosok tubuh
berhamburan loncat menerjang. Orang yang bersenjata pedang kangkam, cepat ayunkan pedang
menabas. Tetapi pendatang baru yang diserang itu dengan mudah menghindar ke samping lalu
menerpakan tangannya ke tangan lawan "Uh ... " orang itu mengaduh dan pedangnyapun terlepas,
tahu-tahu tangannya diteliku ke belakang punggung sehingga ia tak dapat berkutik.
Serempak pada saat itu, kawannya yang bersenjata parang, pun mengalami nasib serupa. Ke ka
menebas dengan parang, lawan hanya menyurut selangkah ke belakang sehingga tabasannyapun
tak mengenai. Sebelum ia sempat menarik kembali parangnya, ia menjerit rubuh karena
lambungnya termakan ujung kaki lawan. Dan pada waktu ia hendak bangun ternyata dadanya telah
diinjak oleh sebuah kaki yang amat kuat.
"Raden Wijaya, kami Lembu Sora dan Nambi," seru orang yang menginjak dada penyerang
bersenjata parang, kepada pemuda yang naik kuda. Pemuda itu masih tegak berdiri beberapa
langkah jauhnya dengan sikap siap sedia menghadapi sepak terjang keempat orang yang tak
dikenal itu. "O, engkaulah Sora dan Nambi," seru pemuda itu yang bukan lain raden Wijaya sendiri.
"Benar, raden," sahut Sora yang menginjak dada orang yang bersenjata parang "maaf, kami
terlambat memberi pertolongan."
"Hm,"dengus Wijaya seraya maju menghampiri "lepaskan ! "
"Tetapi raden .... " Sora hendak menerangkan bahwa orang itu telah menyerang Wijaya. Tetapi
belum sempat Sora menyelesaikan kata-katanya, Wijaya sudah menghardik "Lepaskan, engkau
dengar Sora"! " kemudian berpaling ke arah Nambi yang meneliku tangan penyerang yang
bersenjata pedang kangkam "dan engkau juga Nambi !"
Sora dan Nambi adalah dua orang kadehan atau orang kepercayaan raden Wijaya. Walaupun
heran namun mereka menurut perintah juga. Ke ka didorong ke muka oleh Nambi, orang
bersenjata pedang itupun meliuk-liuk kesakitan. Walaupun dilepas tetapi tangannya serasa patah
tulangnya. Demikianpun ke ka Sora mengangkat kakinya, orang yang bersenjata parang itu batuk-
batuk untuk melonggarkan kesesakan napasnya.
"Bangun!" raden Wijaya memerintahkan kedua penyerang itu tegak berjajar di hadapannya
"kalian ingin mati atau hidup ?"
Karena nyata-nyata menghadapi lawan yang lebih sak , kedua orang itu menyahut gemetar
"Kami mohon hidup, raden."
"Baik," sahut Wijaya "kalau minta hidup kalian harus mengatakan terus terang, mengapa kalian
hendak membunuh aku?"
"Ampunilah jiwa kami, raden .... "
"Ya, kalau kalian mau mengaku terus terang!"
"Bukan atas kehendak kami sendiri, raden."
"Jangan bohong!" hardik Wijaya "bukankah kalian bangsa garong yang sering mengganggu
orang?" "Bukan, raden, kami bukan bangsa garong atau penyamun," orang yang bersenjata pedang
menyahut gopoh, "kami hanya menjalankan perintah untuk membunuh raden."
Wijaya terkejut "O, siapa yang memberi perintah itu!"
"Kami disuruh .... "
"Arga, mengapa engkau berani berkhianat ?" ba- ba orang yang bersenjata parang cepat
berteriak memberi peringatan kawannya.
"Ho, rupanya engkau seekor anjing yang setya kepada tuannya," Wijaya mendesuh "baik, lepas
dari kesesatan jalan hidupmu, tetapi aku suka dan menghargai seorang yang berbudi setya. Engkau
akan kubebaskan asal engkau mampu menahan tiga buah seranganku."
"Benar?" orang yang bersenjata parang itu menegas penuh harap.
"Mengapa aku harus berbohong" Bukankah kalau mau saat ini juga engkau dapat kubunuh?"
sahut Wijaya. Orang itu mengangguk lalu mengambil sikap. "Baiklah, silakan segera menyerang!"
Wijaya tak mau banyak bicara. Ia segera membuka serangan dengan gerak mencengkeram kepala
orang. Ke ka lawan mengendap sambil menangkis, tangan kiri Wijayapun sudah menerpa lambung.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih orang itu mampu menghindar dengan menyurutkan tubuh ke belakang. Namun tangan
kanan Wijaya yang menyambar ke arah kepala tadi, secepat kilat turun menerkam dada. Orang itu
nekad menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terjerembab ke tanah lalu cepat cepat melonjak
bangun. "Cukup !" seru Wijaya.
"Dan aku boleh bebas?" orang itu menegas pula.
"Silakan," sahut Wijaya. Orang itupun terus berputar tubuh dan ayunkan langkah
"Tunggu dulu," ba- ba Wijaya berseru pula "inilah kancing bajumu yang kupe k tadi. Bawalah,
agar isterimu jangan marah kepadamu." Wijaya lemparkan sebuah kancing baju.
Orang itu menyambu nya dan ke ka memeriksa baju, ternyata kancing pada bagian dada, telah
hilang. Seke ka pucatlah wajah orang itu. Ia segera menyadari bahwa Wijaya telah bermurah ha
kepadanya. Apabila mau, raden itu pas sudah dapat menghancurkan dadanya. Tetapi Wijaya
hanya meme k sebuah kancing "Raden, bunuhlah Wipra ini!" serta merta ia berlutut seraya
songsongkan dadanya ke muka.
"Engkau masih diperlukan tuanmu, pulanglah! " seru Wijaya.
"Duh, raden Wijaya, betapa besar keinginan ha hamba untuk membalas budi raden yang telah
mengampuni jiwa hamba. Namun hamba tak ingin anak isteriku ma karena hamba berkhianat.
Biarlah hamba sendiri yang mati..." orang itu atau Wipta menangis.
"O, engkau terikat ancaman apabila membuka rahasia tuanmu, anak isterimu akan dibunuh ?"
seru Wijaya. "Benar, raden "
"Kalau begitu, pulanglah dan sampaikan salam kepada anak isterimu."
Serta merta Wipra berbangkit, maju kehadapan Wijaya lalu meniarap mencium kaki raden itu
"apabila dalam kehidupan sekarang hamba tak sempat membalas budi raden, biarlah kelak dalam
penitisan yang mendatang hamba menitis menjadi kuda tunggangan raden."
"Wipra, pergilah !" Wijaya cepat berseru.
Wiprapun bangun "Bagaimana dengan Arga" "
"Pergilah engkau sendiri, aku masih perlu bicara dengan kawanmu," kata Wijaya.
Setelah Wipra pergi, Wijaya berpaling kepada Arga "apakah engkau juga ingin mendapat
perlakuan seperti Wipra" "
"Tidak raden, akan hamba beritahu siapa yang menyuruh hamba "
"Engkau tak sayang jiwa anak isterimu " "
"Memang amat sayang tetapi hamba lebih mengutamakan budi kebaikan yang raden limpahkan
pada diri hamba." "Hm, engkau kenal budi, tahu pula merubah kesalahan."
"Raden," kata Arga pelahan "yang menyuruh hamba membunuh raden adalah raden . . .
Ardaraja." Wijaya menyurut selangkah karena seper mendengar halilintar meletus di siang hari "Bohong,"
bentaknya. Arga tertawa datar "Tidak raden, hamba tak bohong. Memang sudah lama raden Ardaraja
mendendam kepada raden. Entah kua r karena merasa tahta Singasari kelak akan jatuh di tangan
raden, entah karena merasa kalah pengaruh di kalangan narapraja dan rakyat, hamba kurang
jelas." Wijaya termenung. Beberapa saat kemudian ia berkata "Bagaimana engkau tahu kalau aku akan
lewat di pegunungan ini ?"
"Sudah tentu raden Ardaraja yang memberi petunjuk. Dia tentu menerima laporan dari
anakbuah yang memata-matai gerak gerik raden. Adakah raden tak pernah merasakan hal itu ?"
"Hm." Wiiaya gelengkan kepala. Ia tak percaya namun sesungguhnya kemungkinan itupun dapat
terjadi "Baik, silakan pergi," akhirnya ia berkata.
"Raden .... " "Sudah, pergilah, akupun hendak melanjutkan perjalanan." Wijaya cepat mengisyaratkan tangan
menyuruh orang itu segera pergi. Arga terlongong namun akhirnya menurut juga.
"Raden, mengapa raden melepaskan orang itu?" Sora dan Nambi menghampiri "dia menjerat
kuda raden dengan tali, kemudian menyerang ... "
"Ya, lalu kalian muncul menghajar mereka bukan?" tukas Wijaya dengan nada aneh.
"Maafkan, kami terlambat memberi pertolongan sehingga raden menderita kejut."
"Bagaimana kalian bisa berada di tempat ini?" tanya Wijaya.
Sora menerangkan bahwa ke ka pagi tadi raden Wijaya menghadiri rapat agung di keraton, ia
bersama Nambi pun pergi ke luar kota untuk mengurus pembelian kuda. Ke ka pulang haripun
sudah petang. Tiba- ba muncul Arga dan Wipra. Melihat gerak geiik kedua, orang itu
mencurigakan, Sora dan Nambi segera bersembunyi. Mereka hendak mengawasi apakah yang akan
dilakikan oleh kedua orang itu. Kecurigaan Sora dan Nambi ternyata benar. Kedua orang itu telah
memasang tali dan menjerat kuda raden Wijaya. Sora dan Nambi cepat keluar menghajar mereka.
"Karena kalian melihat aku terancam bahaya, bukan?"
Sora dan Nambi mengiakan.
"Sora, Nambi, ikutlah aku." Wijaya ayunkan langkah menghampiri seonggok batu karang di tepi
jalan "sudah lama aku tak tahu, sampai pada taraf manakah ilmu pukulan yang kalian miliki
sekarang ini. Nambi, pukullah batu karang itu sekuat tenagamu!"
Nambi terkejut. Sejenak memandang Sora, iapun maju lalu mengayun nju, bummm . . . karang
hancur segenggam, hamburan memercik ke empat penjuru.
"Sekarang engkau, Sora !" seru Wijaya.
Sora tegak berdiam diri di depan batu karang itu. Tiba- ba ia menggembor keras dan bummm . .
. hancurlah karang berkeping-keping ter mpa njunya. Pukulan Sora lebih dahsyat dari Nambi. Aji
pukulan Panglebur wukir yang dilancarkan Sora, telah mencapai tataran yang mengejutkan.
"Bagus," seru Wijaya singkat. Iapun melangkah ke muka karang, merenung sejenak, lalu
menampar. Plak ... ia berputar tubuh seolah tak menghiraukan bahwa karang itu masih
menggunduk utuh "Mari kita tinggalkan tempat ini "
"Nan dulu, raden," kata Sora yang rupanya lebih berani menyatakan pikirannya "idinkan aku
memeriksa karang itu." Tanpa menunggu jawaban ia terus menghampiri karang dan memeriksa. Ia
heran mengapa karang itu tak pecah dan sedikitpun tak mengunjuk tanda retak. Diulurkannya
tangan untuk merabah " Hai"! " ba2 ia menjerit ke ka karang yang tersentuh tangan itu hancur
berantakan. Sora terlongong-longong memandang Wijaya.
"Mengapa engkau terlong-longong memandangku, Sora," tegur Wijiya.
Serta merta Sora memberi hormat "Maafkan kelancangan kami tadi, raden ... "
Wijaya tertawa "Tak apa, Sora. Memang kalian bermaksud baik hendak menolong aku dari
serangan kedua penjahat tadi. Tetapi sesungguhnya, kecemasanmu itu berkelebihan. Aku masih
sanggup mengatasi kedua penyerang itu. Ini suatu pelajaran, Sora dan Nambi, bahwa apabila aku
tak meminta, janganlah kalian ber ndak membantu aku. Seorang ksatrya yang sedang bertempur
dengan lawan, tak dibenarkan untuk main kerubut."
"Baik raden, akan kami ingat perintah raden," kata Sora dan Nambi.
"Sudahlah, tak perlu hal itu diperpanjang," kata Wijaya "bukankah kalian heran mengapa
kulepaskan kedua penjahat itu?"
"Ya " sahut Sora.
"Kalian percaya dia benar diperintah kakang Ardaraja untuk membunuh aku?"
Sora dan Nambi tertegun kemudian saling berpandangan "Mengapa dia harus mengaku sebagai
pengalasan pangeran Ardaraja apabila sesungguhnya bukan" "
"Sora, Nambi " sahut Wijaya "dimanakah kalian saat ini " "
Walaupun merasa aneh atas pertanyaan itu namun Sora menjawab juga "Kami berada di
Singasari " "Bukankah kalian sudah pernah mengalami sendiri pada waktu pertama kali kalian menginjakkan
kaki di pura Singasari dulu " Kalian merupakan salah satu diantara sekian banyak ksatrya yang
menjadi korban permainan adu kekuatan yang berlangsung secara diam diam di pura kerajaan
Singasari." Sora dan Nambi tertegun. Teringat keduanya akan peris wa ke ka ditawan oleh pangeran
Ardaraja dan hendak dipaksa supaya mau bekerja kepada pangeran itu.
Setelah Wijaya diangkat sebagai senopati, maka Wijayapun mulai menghimpun ksatrya-
ksatrya gagah yang ingin mengabdi kepada kerajaan Singasari. Mereka merupakan kadehan-
kadehan yang setia dan terpercaya dari Wijaya.
"Membentuk pasukan yang kuat harus memiliki in kekuatan yang terdiri dari tenaga-tenaga
yang berani, se a dan jujur," demikian pendirian Wijaya di-dalam menghimpun ksatrya ksatrya
yang benar-benar telah teruji memiliki ketiga syarat itu.
Lembu Sora atau Ken Sora, Nambi, Podang, Jangkung; Medang Dangdi, Banyak Kapuk, Lembu
Peteng, Mahisa Wagal. Jumlah itu tak berhen sampai disitu karena masih ada ksatrya-ksatrya yang
sedang menuju ke pura Singasari demi mendengar warta bahwa senopa Singasari yang baru
adalah raden Wijaya yang disohorkan sebagai seorang priagung muda yang bijaksana, ramah budi
dan cakap. Akan halnya Kuti setelah mendengar keputusan seri baginda Kertanagara yang hanya
menganugerahkan seorang puteri baginda yani puteri Teribuana kepada Wijaya, terus lolos dari
dari pura Singasari. Wijaya tak marah karena Kuti ingkar janji untuk mengabdi kepada kerajaan
Singasari. Bahkan ia merasa kasihan terhadap ksatrya itu. Dan secara ksatrya, iapun mengakui
bahwa ia telah menyiasati Kuti dalam persoalan dengan puteri Gayatri.
"Ah," pada waktu itu Wijaya menghela napas dalam ha . Bukan karena ia bersikap licik terhadap
Panji Sakti 2 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 3
^