Pencarian

Dendam Empu Bharada 4

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 4


banyak pula jumlahnya. "Obor" kata Nararya setelah memperhatikan beberapa saat dan melihat api2 itu bertangkai,
dipegang oleh bayangan hitam. Tentulah kawanan penduduk yang hendak mencari katak atau
berburu binatang. Pikirnya.
Secepat ia menerka, secepat itu pula kerumun api itu makin dekat. Dan Nararya tak meragukan
dugaannya lagi. Memang api itu adalah batang obor yang dibawa oleh sekelompok orang.
Di ngkah cahaya obor, Nararya dapat melihat bahwa orang2 itu membekal senjata. Walapun
pakaiannya bukan seragam keprajuritan tetapi mereka adalah lelaki2 yang bertubuh tegap. Dan
cepat mepekapun ba di hadapan Nararya. Melihat Nararya dan kedua pengiringnya, mereka
segera berhamburan mengelilingi dan berteriak-teriak "Inilah penjahatnya, hayo kita tangkap!"
Nararya terkejut ke ka mendapatkan dirinya bersama Noyo dan Doyo telah dikepung. Seorang
lelaki berbaju hitam pendek, menghunus pedang, segera melangkah maju "Lekas bilang, siapakah
kalian ber ga ini!" ia memberi isyarat agar rombongannya yang berjumlah hampir duapuluh orang
itu menghentikan gerak dan teriakannya.
Setelah memberitahu nama dan perjalanannya. Nararya bertanya "Siapakah yang ki Sanak cari
itu?" diam2 ia sudah mempunyai dugaan bahwa rombongan orang itu tentu hendak mengejar
penjahat. Melihat wajah Nararya yang tampan dan tutur bahasanya lembut, rombongan lelaki2 itu saling
bertukar pandang, sementara lelaki yang melangkah ke hadapan Nararya itu berkata "Jawablah
dengan jujur, apakah engkau bukan kawan dari penjahat2 berkuda?"
"O" seru Nararya makin jelas "ki sanak hendak mencari rombongan orang berkuda" Ya, benar,
memang mereka telah lewat di jalan ini"
"Hm" desuh orang itu "jika tahu bahwa mereka lalu disini, mengapa dak kalian tangkap" Jelas
kalian tentu kawan mereka"
"Ya, tangkapi Bunuh!" serempak menggelegarlah rombongan orang2 itu bersorak-sorak.
Namun Nararya tak terkecoh oleh kehirukan itu
"Ki sanak sekalian" serunya nyaring "lihatlah" ia Segera menarik Noyo "bukankah lengan paman
ini terluka" Dan lihat pula ini" ia menarik Doyo dan menunjukkan bahunya "juga paman ini terluka
bahunya. Salah seorang penunggang kuda itu telah menusuk mereka"
Rombongan itupun sirap seke ka. Teriakan Nararya amat mengejutkan mereka. Bagaikan
halilintar menelan bunyi cengkerik. Dan luka pada kedua orang itu pun menyerap perha an
mereka. Lelaki yang berhadapan dengan Nararya tadipun terkesiap "O" desuhnya
"mereka menyerang kalian?"
"Ya" sahut Nararya lalu menuturkan perbuatan salah seorang dari keempat penunggang kuda
dikala berpapasan dengan mereka ber ga tadi "hendak kukejar manusia liar itu tetapi dia
mencongklangkan kudanya sepesat angin sedang aku hanya berlari"
Orang itu meminta maaf dan memerintahkan kawan-kawannya supaya berkumpul lagi. Atas
pertanyaan Nararya orang itu menerangkan "Kami adalah petugas2 kademangan Lodoyo yang
hendak mengejar perampok2 berkuda tadi"
"O" seru Nararya "memang kuduga mereka tentulah kawanan perampok. Apakah yang
dirampok?" "Benda pusaka peninggalan kerajaan Panjalu"
"Oh" teriak Nararya "apakah benda pusaka itu" Pedang, tombak atau senjata pusaka?"
Orang itu gelengkan kepala "Bukan, melainkan sebuah gong peninggalan empu Bharada"
"Hai" Nararya melonjak kaget "gong pusaka peninggalan empu Bharada yang sakti itu?"
Orang itu mengangguk "Tiada dua Bharada kecuali empu Bharada yang pernah di tahkan prabu
Airlangga untuk membelah kerajaan Panjalu jadi dua dan empu itu melaksanakannya dengan
terbang sambil mencurahkan air kendi dari langit"
"Jika demikian gong itu memang sebuah pusaka yang amat berharga sekali" kata Nararya "tetapi
mengapa berada di kademangan" Kademangan manakah itu" Dan daerah manakah tempat ini?"
"Engkau sudah memasuki telatah Balitar. Apabila terus ke selatan akan ba di kademangan
Lodoyo. Disitu terdapat sebuah candi bernama Gandi Simping. Gong empu Bharada itu oleh
baginda Kertanagara dari kerajaan Singasari di tahkan disimpan dalam candi itu dan demang
Lodoyo dititahkan pula untuk menjaganya baik-baik"
"O" desuh Nararya pula agak heran "mengapa pusaka semacam itu tak disimpan saja dalam
keraton Singasari " Bukankah lebih aman ?"
"Aku bernama Kebo Saloka, berpangkat bekel bhayangkara dari, keraton Singasari. Melihat
kesetyaan dan keberanianku, karena umurku sudah setengah tua, maka baginda Kertanagara
berkenan menitahkan aku sebagai penjaga gong pusaka itu, bersama resi Para yang di tahkan
baginda untuk mengepalai candi itu. Demang Lodoyopun diperintahkan untuk membantu tenaga2
penjaga" "Apakah resi Para dan ki demang berada disini?"
"Tidak, mereka masih berada di candi untuk memeriksa bekas2 jejak penjahat itu"
"Lalu bagaimana tujuan ki bekel sekarang ini?" tanya Nararya pula.
"Mengejar penjahat itu"
"Kemana?" tanya Nararya.
Kebo Saloka tertegun tak dapat menjawab. Ia hanya mengatakan hendak menyusur jejak
penjahat itu melalui jalan2 yang telah dilalui mereka.
"Sayang ki bekel tak berkuda" kata Nararya "sekalipun begitu, aku bersedia ikut ki bekel untuk
mengejar mereka" Noyo dan Doyo terkejut "Raden" seru mereka gopoh "kita belum tahu siapa penjahat itu.
Tidakkah hal itu akan makan waktu lama?"
Nararya tertegun. Memang benarlah kata2 kedua hambanya itu. Namun kali ini lain pula
penilaiannya. Gong peninggalan empu Bharada itu merupakan pusaka yang wajib diselamatkan
dan dijaga. Entah siapa kawanan penjahat yang telah mencuri itu, tetapi wajiblah ia membantu
usaha orang2 kademangan itu untuk membekuk penjahatnya. Kemungkinan tentu ada sebabnya
mengapa prabu Kertanagara menaruhkan gong pusaka itu di Lodoyo. Mengapa tidak disimpan
di keraton atau di lain tempat yang lebih sentausa.
Tertarik perha an Nararya akan rahasia yang menyelimut di balik gong pusaka empu Bharada.
Biarlah tujuannya ke Kagenengan terhen beberapa waktu tetapi gong pusaka itu memang
berharga untuk didapatkan, kembali. Adakah ini suatu
k2 permulaan daripada jalan kearah
menyongsong Wahyu Agung itu"
"Tidak" cepat Nararya menghapus pemikiran semacam itu "bukan karena wahyu itu yang
mendorong aku akan merebutnya kembali. Bukan pula keinginan apa2 yang bersifat peribadi,
tetapi memang gong pusaka itu harus direbut kembali dari tangan penjahat. Pusaka peninggalan
semacam itu tak boleh hilang atau jatuh di tangan penjahat"
"Tetapi benarkah engkau melihat sendiri sebuah buntalan kain hitam di punggung kuda
mereka?" ulang bekel Kuda Saloka.
"Ya" sahut Nararya "buntalan kain hitam sebesar pemeluk tangan orang. Tampaknya kuda itu
berlari sarat membawanya" kata Nararya.
"Benar" sabut Kuda Saloka "jika demikian tentulah gong pusaka itu. Ketahuilah, bahwa walaupun
besarnya hanya sepemeluk tangan orang tetapi gong Pradaitu beratnya sama dengan seekor
lembu"' "Jika demikian mari kita lekas berangkat, ada harapan kita dapat mengejar mereka" seru Nararya.
Tetapi bekel Kuda Saloka mencegah "Jangan terburu nafsu. Siapakah sesungguhnya dirimu ini, ki
bagus" Mengapa kedua orang itu menyebutmu raden?"
Nararya terkesiap. Walaupun telah dipesan ternyata Noyo dan Doyo telah lupa dan
menyebutnya raden. Tetapi hal itu tak mengapa. Yang menjadi pemikirannya adalah kedua
punakawannya yang terluka. Memang benar, kurang layak kalau mengajak mereka ikut dalam
pengejaran itu "Ki bekel, sesungguhnya aku bernama Nararya, putera resi Sinamaya di gunung
Kawi. Aku habis melakukah perintah rama ke Wengker dan dalam perjalanan pulang aku sengaja
mengambil jalan di daerah selatan. Untuk menambah pengalaman sekalian menikma
pemandangan alam" Memang sejak melihat wajah Nararya, bekel Kuda Saloka sudah menarik kesimpulan bahwa
pemuda itu tentu bukan pemuda kebanyakan. Ia mempunyai kesan baik terhadap Nararya dan
ia percaya penuh atas keterangan pemuda itu "Baiklah raden. Apabila raden setuju, akan
kusuruh salah seorang rombonganku untuk membawa kedua pengiringmu itu ke kademangan.
Biarlah mereka menunggu di kademangan sampai nanti kita kembali"
Nararya girang sekali. Ia menerima usul itu lalu memerintahkan Noyo dan Doyo ikut ke
kademangan. Setelah seorang dari rombongan kademangan membawa Noyo dan Doyo pergi,
barulah Nararya berangkat bersama rombongan bekel Kuda Saloka.
Malam makin sunyi ditelan kekelaman. Bekel Kuda Saloka tak tahu bagaimana harus menyusuri
jejak kawanan penjahat itu. Ia hanya menurutkan jalan besar yang merentang ke arah utara.
Pikirnya, karena naik kuda, kawanan penjahat itu tentu menempuh jalan besar.
Untuk menghilang rasa sepi dan dingin maka Nararya bertanya tentang peris wa hilangnya gong
Prada itu. "Aku nggal disebuah bangunan batu, dekat candi Simping dan resi Para nggal dalam candi
bersama seorang murid yang bernama putut Gubar. Kemarin siang, putut Gubar disuruh resi Para
ke Balitar untuk berbelanja keperluan sesaji dan bahan-bahan untuk dapur. Petang hari putut
Gubar tergopoh-gopoh pulang dengan membawa berita bahwa resi Para dan aku, diundang ki
demang Lodoyo karena perlu diajak berunding tentang persiapan2 upacara pemandian dan sesaji
untuk Gong Prada. Memang tiap tahun gong pusaka itu tentu dimandikan dengan suatu upacara"
"O" seru Nararya "mengapa?"
"Hal itu dimulainya sejak baginda Kertanagara naik tahta menggan kan rahyang ramuhun
baginda Wisnuwardhana" kata bekel Kuda Saloka "oleh tah baginda maka ap Asyura, Gong
Prada supaya dimandikan dengan sebuah upacara yang khidmat dan doa mantra agar gong suci itu
tetap memancarkan daya kesak an untuk menangkal kutuk yang dilimpahkan sang mahayogi empu
Bharada kepada pohon kamal tetapi yang kemudian akibatnya memancarkan daya malapetaka
sehingga Daha dan Jenggala yang telah dipecah dari kerajaan Panjalu oleh empu sak itu, selalu
pecah benar-benar. Kedua kerajaan itu selalu bermusuhan dan perang"
Nararya terpikat perha annya sehingga ia tak merasakan kedinginan malam di tengah musim
kemarau. "Telah berjalan bertahun upacara pemandian Gong Prada itu dan nyatanya sampai sekarang,
baginda Kertanagara dapat memerintah dengan aman" lanjut bekel Kuda Saloka pula.
"O, jika demikian" tukas Nararya "amat pen nglah ar gong pusaka itu bagi keamanan dan
keselamatan negara" Bekel Kuda Saloka mengangguk "Benar, raden. Itulah pula sebabnya maka baginda menitahkan
aku, seorang bhayangkara-pendamping baginda, untuk menjaga candi tempat penyimpan gong
pusaka itu" "Tetapi ki bekel" seru Nararya "bukankah tugas sebagai bhayangkara-pendamping yang selalu
menjaga keselamatan baginda itu lebih penting dari tugas di candi Simping?"
Bekel Kuda Saloka menghela napas "Ah, raden, apabila membicarakan peris wa itu, mungkin
darahku akan naik lagi"
Nararya matan tenggelam dalam rasa keinginan tahu. Maka dengan ramah ia meminta bekel
Kuda Saloka untuk menceritakan hal itu "Tetapi apabila ki bekel berat ha , akupun tak memaksa"
katanya. Bekel Kuda Saloka tertawa. Entah bagaimana, walaupun perkenalannya dengan Nararya itu baru
berlangsung beberapa saat, namun ia sudah menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda itu. Ada
suatu perasaan, yang ia tak menger sendiri, bahwa pemuda itu seolah mempunyai kewibawaan
yang layak ditaati. "Baik, raden" katanya "menurut wawasanku dalam pemerintahan di pura Singasari memang
terdapat gejala2 perebutan pengaruh diantara para menteri. Di-antaranya yang berhasil
menonjolkan diri adalah demang Aragani. Sejak demang itu berhasil mempersembahkan siasat
dalam peperangan di Gelagah Arumantara pasukan Singasari dengan pasukan pangeran Kanuruhan
sehingga dalam peperangan itu pangeran Ka-nuruhan menderita kekalahan, maka demang Aragani
segera dinaikkan pangkat sebagai tumenggung dan makin mendapat kepercayaan penuh dari
baginda" "Sedemikian dekat hubungan antara tumenggung Aragani dengan baginda Kertanagara sehingga
menimbulkan kecemasan para mentri2 lain, terutama patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti,
kepala angkatan perang Singasari"
"Tetapi ki bekel" tak tahan Nararya untuk tak bertanya "apabila untuk mengatur pemerintahan,
apa buruknya baginda erat berhubungan dengan tumenggung Aragani. Bukankah Aragani telah
berjasa dalam peperangan di Gelagah Arum" Eh, siapakah pangeran Ka-nuruhan itu, ki bekel?"
"Pangeran Kanuruhan adalah putera dari rahyang ramuhuh Wisnuwardhana yang dilahirkan dari
seorang selir. Sesungguhnya rahyang ramuhun Wisnuwardhana amat kasih kepada putera
sulungnya itu karena baik wajah maupun perangainya, hampir sama dengan ayahandanya. Tetapi
karena putera sulung itu lahir dari selir maka baginda Wisnuwardhana hanya memberinya bumi di
Gelagah Arum dan menggiatnya sebagai kanuruhan. Antara baginda Kertanagara dengan
kakandanya pangeran Kanuruhan, tak akur. Baginda Kertanagara menghendaki agar Glagah Arum
tunduk pada Singasari. Dalam eh a-citanya untuk mempersatukan seluruh nuswantara, perabu
Kertanagara hanya menghendaki sebuah kerajaan yalah Singasari. Tetapi pangeran Kanuruhan
menolak dan akhirnya terjadilah peperangan diantara kedua saudara itu"
Bekel Kuda Saloka berhen sejenak lalu melanjutkan pula "Dan sesungguhnya, tumenggung
Araganilah yang menjadi biangkeladi dari peperangan itu. Diapun menghasut baginda agar
menggempur Glagah Arum. Patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti berusaha untuk mencegah
tetapi tak dihiraukan baginda. Baginda lebih percaya pada Aragani. Dan setelah Gkigah Arum dapat
dihancurkan maka baginda makin erat dan percaya kepada Aragani" ia berhen pula "jika
hubungan itu dalam rangka mengatur pemerintahan, memang layak. Tetapi ternyata Aragani
hendak merusak jiwa baginda dan melemahkan semangat baginda"
"O" Nararya terkejut "bagaimana caranya?"
"Tumenggung itu selalu menghaturkan tuak apabila menghadap baginda. Dengan dalih bahwa
tuak itu merupakan obat pelipur yang dapat menghilangkan segala kele han pikiran dan
menambah kesegaran semangat, bagindapun mulai terpikat. Aragani makin giat mengumpulkan
tuak hingga sampai membeli tuak dari Bali. Melihat gejala2 yang tak sehat itu, pada suatu hari aku
memberanikan diri untuk menyongsong kedatangan tumenggung Aragani ke keraton.
Kuperingatkan bahwa hendaknya janganlah dia merusah jiwa dan semangat baginda dengan tuak.
Dia hanya tertawa mencemoh. Beberapa bulan kemudian, baginda memindahkan aku ke Lodoyo
untuk menjaga Gong Prada, sedang kedudukanku digan oleh senopa -pendamping Bandupoyo
yang sekarang" "Eh, ki bekel, bagaimana dengan kelanjutan cerita putut Gubar itu?" tiba2'Nararya teringat.
"O, benar" kata bekel Kuda Saloka "malam itu aku bersama resi Para menuju ke Lodoyo. Tetapi ki
demang pergi ke Balitar dan kami terpaksa menunggu di kademangan. Kami menunggu-sampai-jauh
malam baru ki demang pulang. Tetapi alangkah kejut kami ke ka ki demang, mengatakan bahwa
dia tak merasa mengundang kami berdua. Bahkan diapun marah karena merasa telah
dipermainkan orang yang mengatakan bahwa buyut Lodoyo mengundangnya datang ke Balitar.
Sampai disana, buyut Balitarpun tercengang karena merasa tak memanggil ki demang"
"Siapakah yang menyampaikan undangan kepada ki demang?" tanyaku.
"Putut Gubar, murid ki resi Para" sahut demang Lodoyo.
Saat itu aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tak wajar. Karena putut Gubarlah yang
menyampaikan berita tentang kami dipanggil ki demang Lodoyo. Kemudian demang itupun
menerima undangan dari putut Gubar yang mengatakan kalau buyut Balitar memanggilnya.
Demang Lodoyo dan resi Para juga terkejut ke ka kuutarakan tentang kecurigaanku terhadap
putut Gubar. ?Segera kuajak resi Para pulang. Ternyata putut Gubar tak berada dalam candi.
Setelah kami cari beberapa waktu, barulah kami ketemukan dia terikat pada sebatang pohon,
mulutnya disumbat, kaki tangan dan tubuhnya diikat. Setelah kami tolong, ia memberitahu bahwa
sepulang dari berbelanja ke Balitar, ba2 ia dihadang oleh empat orang lalu ditangkap dan diikat
pada pohon. Pakaiannya dilucuti.
"Jika demikian jelas kalau putut Gubar yang menyampaikan berita kepada kita itu, bukan putut
Gubar ini melainkan salah seorang dari keempat orang yang menghadangnya itu" kataku kepada
resi Para. Resi Para kerutkan dahi "Mari kita periksa keadaan candi" katanya. Setelah memeriksa dengan
teli , ada terdapat suatu apa yang hilang. Tetapi ke ka kami memeriksa tempat penyimpanan
gong Prada, kami menjerit kaget. Gong suci itu telah hilang. Jelas keempat orang yang. menghadang
putut Gubar itulah yang mencuri. Mereka menggunakan siasat yang cerdik, memanggil aku dan resi
Para ke Ledoyo sementara demang Ledoyo disiasa supaya pergi ke Balitar, Waktu setengah malam itu
cukup bagi mereka untuk mengangkut gong Prada. Demikian bekel Kuda Saloka mengakhiri
ceritanya, Nararya mengangguk. Diam2 ia memuji kecerdikan penjahat yang telah berhasil mengambil gong
pusaka itu "Ki bekel" katanya sesaat kemudian "menurut jejak dan dugaan, siapakah kiranya yang
melakukan pencurian itu?"
Bekel Saloka menghela napas "Sukar untuk mengatakan dengan pas . Karena sudah berpuluh
tahun gong pusaka itu tersimpan dalam candi Simping dengan selamat dan baru kali ini peris wa
itu terjadi" "Menurut dugaan ki bekel, kira2 siapakah yang cenderung untuk dicurigai melakukan pencurian
itu?" kata Nararya. "Menilik jalan yang mereka tempuh ini, akan menuju ke pura Daha" kata bekel Kuda Saloka
"tetapi kusangsikan apakah akuwu Daha yang memerintahkan pencurian itu" Karena sukar untuk
menduga, apa tujuannya jika benar fihak Daha yang memerintahkan pencurian itu?"
"Ki Demang" kata Nararya sesaat kemudian "kecuali Daha, adakah di daerah lain terdapat
gerombolan penjahat yang sering mengganggu keamanan?"
Bekel Kuda Saloka merenung sejenak "O, benar raden" serunya sesaat kemudian "digunung Kelud
sudah beberapa lama muncul sebuah gerombolan perampok yang sering melakukan perampokan
ke beberapa daerah. Namun sampai sekian lama belum pernah Balitar diganggu"
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah dan merekapun ba di desa Ponggok. Bekel Kuda
Saloka mengajak rombongannya beris rahat di desa itu. Mereka singgah ditempat lurah Ponggok.
Lurah terkejut menerima kedatangan mereka namun disambutnya juga dengan ramah. Ke ka
mendengar tentang peris wa hilangnya gong Prada, lurah itu makin terkejut. Atas pertanyaan
bekel Saloka, lurah menyatakan bahwa sejak semalam didesanya tak pernah dilalui oleh
rombongan orang berkuda. "Pernahkah ki lurah mendengar tentang gerombolan gunung Kelud yang mengganggu rakyat?"
"O, benar" seru lurah Ponggok "memang sejak beberapa waktu ini di gunung Kelud telah muncul
gerombolan penyamun. Tetapi agak istimewa juga mereka itu"
Nararya terkesiap "Bagaimana?"
"Mereka dak mau mengganggu rakyat jelata tetapi hanya- merampok orang2 kaya terutama
pembesar2 kerajaan Singasari"
"O, jika demikian" sambut Nararya "apakah mereka memusuhi Singasari atau sekurang-
kurangnya orang-orang yang mendendam kepada Singasari?"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lurah Ponggok mengangguk "Kemungkinan begitu, tetapi entah bagaimana keadaan yang
sebenarnya"' Setelah mendapat keterangan dari lurah maka Nararya segera berunding dengan bekel Kuda
Saloka "Ki bekel, dalam mengejar jejak penjahat itu, kita harus menyusuri se ap kemungkinan yang
mengandung kemungkinan. Desa ini, mempunyai dua simpang jurusan. Yang ke barat, akan
mencapai Daha dan yang ke utara akan ba di gunung Kelud. Kedua fihak itu mempunyai
kemungkinan yang layak kita selidiki"
Sejenak merenung, bekel Kuda Saloka memberi tanggapan "Jika keterangan ki lurah itu benar,
maka gerombolan di gunung Kelud itu mempunyai kemungkinan yang lebih besar"
"Mengapa?" tanya Nararya.
"Mereka bersikap memusuhi Singasari. Sedang Dahar jelas mengunjuk sikap setya dibawah
kekuasaan Singasari. Apakah alasan Daha untuk mencuri gong pusaka itu?"
Nararya tak lekas menyahut melainkan merenung. Peristiwa pertemuannya dengan pangeran
Ardaraja. putera akuwu Jayakatwang di Daha, terbayang pula. Betapa jelas ia mendengar
keterangan putera akuwu Daha yang menyatakan bahwa Daha giat sekali membentuk pasukan
yang kuat, mencari prajurit2 yang. gagah. Walaupun tak jelas mengatakan tentang maksud
tujuannya, tetapi apakah tujuan gerakan mereka itu" Dan menilik sejarahnya, Daha selalu
berperang dengan Singasari. Daha mau tunduk pada Singasari karena kalah.
Tetapi apabila Daha sudah memiliki pasukan yang kuat, adakah mereka masih taat kepada
kekuasaan Singasari" Kemudian teringat pula ia akan keterangan dari ramanya bahwa akuwu
Jayakatwang yang sekarang memerintah Daha itu seorang akuwu yang pandai dan digdaya,
memiliki senopa dan mentri yang pandai. Dalam hubungan itu apabila mereka sudah mempunyai
angkatan perang yang kuat, tidakkah akan terjadi per-obahan dalam alam pikiran mereka"
Namun karena ia belum memiliki gambaran yang jelas tentang keadaan Daha, tak beranilah ia
mengemukakan pendapatnya secara pas "Ki bekel, segala sesuatu dalam dunia ini tak langgeng
sifatnya. Terutama pikiran dan pendirian manusia. Mudah sekali goyah dan berobah. Dan untuk
mencari jejak gong pusaka itu setiap kemungkinan harus kita telusur"
"Tetapi akan makan waktu lama apabila kita harus menyelidiki ke Daha kemudian ke gunung
Kelud" sanggah bekel Kuda Saloka.
Nararya tersenyum kemudian berkata dengan nada bersungguh "Ki bekel, aku sudah berjanji
akan menyediakan tenaga dan pikiran bahkan bila perlu jiwaku untuk mendapatkan gong Prada itu.
Karena gong itu merupakan pusaka peninggalan yang bersejarah. Dan apabila benar mempunyai
daya pengaruh gaib untuk menolak bala dari empu Bharada, maka lebih wajib kita mendapatkan
kembali" "Maksud raden?" tanya bekel Kuda Saloka.
"Berilah aku lima orang pengikut yang akan menyertai aku ke gunung Kelud. Sedangkan ki bekel
bersama sisa kawan2 rombongan ini yang menuju ke Daha" kata Nararya.
Bekel Kuda Saloka menimang sejenak lalu menjawab "Ah, lebih baik aku yang ke gunung Kelud
dan-raden yang ke Daha"
"Mengapa" " tanya Nararya.
"Karena lebih besar kemungkinan gerombolan gunung Kelud itu yang melakukan pencurian. Bila
raden ke gunung Kelud, bahayanya tentu lebih besar. Padahal akulah yang bertanggung jawab atas
hilangnya benda pusaka itu dan raden hanya membantu saja"
Nararya tertawa "Ki bekel, salah pandanganmu itu. Berbicara tentang tanggung jawab,
pendirianku beda dengan ki bekel. Gong Prada itu benda pusaka yang telah menjadi milik kerajaan.
Dan gong pusaka itu dianggap mempunyai khasiat gaib untuk menolak bala agar negara jangan
sampai -terlanda bahaya peperangan lagi. Sehingga demikian gong pusaka itu mempunyai nilai
sebagai suatu sarana yang mendatangkan keamanan dan ketenteraman rakyah Berbicara soal
keamanan negara dan ketenteraman rakyat, bukanlah semata tanggung jawab dari para narapraja
melulu tetapi se ap kawula negara juga mempunyai tanggung jawab. Karena rakyat dan negara
ibarat tanah dengan pohon"
Bekel Saloka tertegun. "Mengapa kuminta ki bekel yang menuju Daha, bukanlah karena Kelud lebih besar
kemungkinannya untuk diduga. Karena dalam soal itu, kita masih belum dapat memas kan dan
menurut hematku, kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama. Hanya aku merasa sebagai
seorang pemuda gunung yang belum pernah menjelajah pura, tentu akan canggung dan tak
leluasa. Hal itu mudah menimbulkah kecurigaan orang atau petugas2 pemerintah Daha. Beda
halnya apabila ki bekel yang sudah pernah menjabat sebagai bhayangkara keraton tenfu lebih
faham akan seluk beluk keadaan dan alam kehidupan pura. Demikian pula dalam cara2 untuk
menyelidiki, ki bekel tentu jauh lebih berpengalaman dari diriku. Bukankah demikian, ki bekel?"
Bekel Kuda Saloka mengangguk. Alasan yang di-kemukakan pemuda itu memang tepat. Akhirnya
ia menerima saran Nararya "Tetapi raden, bilakah kita akan bertemu kembali?"
"Sepuluh hari kemudian, hasil atau tidak hasil, kita bertemu di desa ini lagi" kata Nararya.
Demikian setelah beris rahat beberapa waktu, kedua rombongan itupun segera berangkat.
Nararya membawa lima orang menuju ke gunung Kelud. Bekel Kuda Saloka dengan duabelas orang
menuju ke Daha. Dalam menempuh perjalanan ke gunung Kelud, Nararya seolah membebaskan pikiran., dari
tujuannya bertapa di candi Kagenengan. Ia menganggap bahwa bertapa itu adalah untuk
kepen ngan diri peribadi. Dan ia pun belum dapat membayangkan, apakah hasil daripada
usahanya bertapa itu nan . Hal itu bukan berar ia tak menganggap hal itu pen ng. Tetapi
hilangnya Gong Prada itu ia anggap lebih pen ng untuk diusahakan kembalinya. Hal itu sesuai
dengan dharmanya baik sebagai seorang ksatrya. maupun sebagai seorang kawula. Sebagai seorang
ksatrya ia membantu pada bekel Kuda Saloka yang bertanggung jawab atas keamanan gong pusaka
itu. Sebagai seorang kawula, ia menunaikan wajib untuk memperjuangkan benda milik negara yang
dicuri orang. Dan pusaka itu mempunyai arti besar bagi keamanan negara.
Pada hari kedua menjelang petang, balah Nararya di kaki gunung Kelud. Nararya mengajak
kelima pengiringnya berhen . Ia memutuskan akan mendaki ke puncak gunung pada keesokan
harinya. Karena ada perumahan penduduk, ia mencari sebuah tempat peris rahatan di bawah
pohon besar. Ke ka malam ba, sekonyong-konyong ia mendengar suara sungu atau terompet dari
tanduk, melengking memecah kesunyian. Serentak ia melonjak bangun "Apakah itu?"
"Macam bunyi sungu ditiup" sahut salah seorang rombongannya yang bernama Juwaru.
"Mungkin tak jauh dari tempat ini terdapat perkampungan" seru pula kawannya yang lain.
"Lalu apa bunyi sungu itu?" tanya Juwaru.
"Mungkin anak2 bermain meniup sungu" kata kawannya itu.
"Tidak mungkin" ba2 seorang kawannya yang lain bernama Bera membantah "bukarikah di
kademangan Lodoyo tak pernah terdengar anak2 bermain meniup sungu?"
Bera tak dapat menjawab dan juwarupun membenarkan "Jika demikian, tentu ...." belum selesai
ia berkata, ba- ba terdengar pula suara sungu menyambut suara sungu pertama yang sudah
hampir reda itu. Kemudian ke ka nada suara sungu yang kedua itu menurun, terdengar pula suara
sungu yang ketiga. Tiap kali jaraknya makin jauh keatas gunung.
"Hm" desuh Juwaru "jika demikian jelas suatu pertandaan dari gerombolan yang bersarang di
gunung ini" Nararya mengangguk "Ternyata mereka mempunyai susunan penjagaan yang teratur. Cepat
sekali kedatangan kita mereka ketahui dan segera melaporkan kepada pimpinannya"
Kemudian Nararya mengatur siasat "Kawan2, sebentar lagi gerombolan perampok itu tentu akan
turun kemari. Jelas mereka tentu lebih besar jumlahnya. Maka baiklah kita atur, siasat. Mudah-
mudahan siasat ini dapat mengurangi kekuatan mereka. Paling tidak memecah perhatian mereka"
"Silahkan raden memberi petunjuk. Kami pasti akan siap melakukan" kata Juwaru dan
kawan2. "Aku dan salah seorang dari kamu berlima, yang akan menyambut mereka. Sedang yang empat
orang supaya memencar diri bersembunyi di empat penjuru sekeliling tempat ini. Apabila terjadi
pertarungan, buatlah gerakan agar mereka ketakutan karena mengira bahwa kita membawa
sejumlah besar anakbuah. Apabila mereka membagi orang untuk memburu ketempat kalian jangan
melawan tetapi pancinglah agar mereka mengejar kalian dan tercerai berai dari induk
gerombolannya. Sementara aku yang akan menghadapi kepala gerombolan itu dan
menangkapnya"' Kelima orang itu setuju. Seorang yang bernama Pamot dipilih untuk menemani Nararya. Yang
empat orang segera berpencar ke empat penjuru.
Tak lama dari lereng gunung turun serombongan orang lelakientah berapa jumlahnya. Tetapi
menilik jumlah batang obor yang mengiring perjalanan mereka, jumlahnya tak kurang dari
duapuluh batang. Tak berapa lama merekapun tiba di tempat Nararya menunggu.
Kesan pertama, Nararya melihat gerombolan itu memiliki suatu tata peraturan yang teratur. Dari
keseragaman pakaian mereka yang serba hitam sampai dengan susunan mereka berjalan yang
diatur seper sebuah barisan yang berjalan dua orang. Pada ap lima pasang terdapat seorang
kepala kelompok yang berjalan disamping. Juga langkah kaki mereka menarik perha an Nararya
karena teratur dalam derap yang seragam.
Agak heran Nararya ke ka pandang matanya yang mencari kepala gerombolan itu, masih tetap
belum bersua. Karena pada umumnya dalam pasukan, pemimpinnya tentu mengenakan busana
yang berbeda dengan anakbuahnya. Juga dalam gerombolan penyamun tentu demikian juga.
Misalnya gerombolan Singa Barong. Singa Barong cepat dapat dikenal sebagai kepala gerombolan.
Tetapi dak demikian dengan gerombolan gunung Kelud ini. Siapakah gerangan kepala gerombolan
itu" Nararya bertanya-tanya dalam hati.
Gerombolan itu berhen pada jarak lima langkah dari tempat Nararya. Begitu berhen maka
anakbuah yarig bagian belakang terus bergerak melingkari Nararya. Nararya terkejut tetapi
terlambat. Ia dan Pamot sudah berada dalam kepungan mereka.
Tiba2 dari tiga kepala kelompok tadi, tampillah seorang lelaki muda, bertubuh tegap, ke hadapan
Nararya "Siapakah ki sanak ini ?" serunya tenang dan nyaring.
"Aku pengalasan dari kademangan Lodoyo" sahut Nararya yang kemudian,balas bertanya orang
itu. "Tanpa tedeng aling2, ki sanak sedang berhadapan dengan Lembu Peteng kepala gerombolan
gunung Kelud" kata orang muda itu "lalu apa maksud kedatangan ki sanak kemari?"
"Akan meminta agar ki sanak suka mengembalikan gong Prada kepadaku" kata Nararya "karena
gong pusaka itu adalah milik kerajaan Singasari"
Nararya tak mau terlalu panjang menanyakan adakah gerombolan Lembu Peteng itu yang
mencuri gong pusaka. Ia tahu, pencuri tak mungkin mau mengaku. Maka langsung saja ia meminta
kembali gong pusaka. Dalam hal itu dia memang benar. Tetapi pada lain langkah, secara tak
disadari ia telah melakukan kesalahan. Wajah kepala gerombolan Lembu Peteng yang semula
tenang walaupun dituduh sebagai pencuri gong Prada, ba2 berobah tegang demi mendengar
Nararya menyebut kerajaan Singasari.
"Ki pengalasan" serunya dengan getar "jika gong itu milikmu ataupun milik rakyat, walaupun
bukan aku yang mengambil tetapi aku bersedia mencarikan sampai ketemu. Tetapi karena gong
pusaka itu milik kerajaan Singasari, hm, jangan harap aku, Lembu Peteng, akan mengembalikannya"
"O" desuh Nararya "mengapa ki Lembu bersikap demikian" Tidakkah kita ini kawula kerajaan
Singasari yang wajib membantu negara. Gong Prada itu mempunyai hikmah yang dapat
menjaga ketenangan dan kesejahteraan negara"
"Pengalasan" seru Lembu Peteng "kepadamu tak perlu ku uraikan mengapa alasanku bersikap
demikian. Cukup kukatakan, jika raja Singasari yang datang kemari meminta kepadaku, barulah
kukembalikan benda itu"
"Dan kalau aku ?" tanya Nararya.
Lembu Peteng menatap wajah pemuda itu,sahutnya "Baik, engkaupun akan kuberikan asal
engkau dapat memenuhi imbalannya"
Mendengar itu berserilah wajah Nararya "Terima kasih, ki Lembu Peteng. Berapakah imbalan
yang engkau kehendaki?"
Lembu Peteng tertawa cemoh "Bukan uang yang kuminta tetapi benda pusaka harus digan
dengan benda pusaka juga"
Nararya tak terkecoh walaupun keliru menduga. Ia menegas "Benda pusaka apakah yang engkau
kehendaki, ki Lembu Peteng?"
"Benda pusaka dari setiap orang yang hendak meminta kembali gong pusaka itu kepadaku" sahut
Lembu Peteng. "Benda pusaka dari diriku" Pada hal aku tak memiliki pusaka apa2" seru Nararya.
"Ada" jawab Lembu Peteng "engkaupun mempunyai benda pusaka yang kuinginkan itu"
Nararya terbeliak, serunya "Apakah itu ?"
"Batang kepalamu !" seru Lembu Peteng tertawa.
Nararya terbeliak "Oh" desuhnya "janganlah ki Lembu bergurau. Benarkah engkau menghendaki
benda pusaka kepalaku ini" "
"Lembu Peteng tak pernah menjilat kata" seru kepala gerombolan itu "jika. engkau serahkan
batang kepalamu, gong Prada itu tentu akan kukembalikan"
Nararya sudah siap dengan jawaban yang segera dilancarkannya "Baik, ki Lembu, aku bersedia
menyerahkan batang kepalaku ini. Tetapi aku kuatir, apakah engkau mampu mengambilnya"
"Untuk mengambil batang kepalamu?" ulang Lembu Peteng kemudian tertawa gelak2 "mungkin
lebih sukar memetik buah kepala daripada mengambil batang kepalamu, pengalasan"
"Jika demikian, silahkan" sambut Nararya "tetapi akupun ingin mengajukan permohonan"
"Katakan" "Yang mengambil batang kepalaku ini harus engkau sendiri ki Lembu. Jangan anakbuahmu"
Lembu Peteng tertawa "Baiklah"
"Nan dulu" ba2 Nararya berseru ke ka melihat Lembu Peteng bersiap "apa katamu jika
engkau tak mampu mengambil batang kepalaku?"
Lembu Peteng kerutkan dahi tetapi secepat itu ia tertawa pula "Aku bersedia memenuhi
permintaanmu" "Baik, ki Lembu" kata Nararya "kita nanti bicara lagi setelah kita selesai adu kesaktian"
"Mengapa tak mau mengatakan sekarang?" seru Lembu Peteng.
"Aku belum tentu menang" sahut Nararya "mengapa aku harus berkokok dulu" Nan apabila aku
menang barulah aku mau mengatakan. Bukankah engkau bersedia memenuhi apa saja yang
kuminta?" Karena sudah terlanjur mengatakan maka Lembu Petengpun mengiakan. Kemudian ia bersiap.
Sekalian anakbuah gcrombolanpun berbenah, menyurut mundur agar gelanggang lebih lapang dan
mengatur tempat penjagaan.
Dalam meniti sikap dan gaya serangan yang dibuka Lembu Peteng, tahulah Nararya bahwa kepala
gerombolan gunung Kelud itu memandang rendah kepadanya. Sesungguhnya ingin Nararya marah.
Tetapi setelah beberapa saat bertukar cakap dengan Lembu Peteng, ia mendapat kesan bahwa
kepala gerombolan itu memiliki sifat2 yang tegas, berani dan teguh peraturan. Juga dalam nada
bahasanya, bukanlah seorang golongan kasar dan jahat tetapi lebih menyerupai seorang prajurit
yang bengis. Dan masih ada sebuah hal yang menarik perha an, bahwasanya Lembu Peteng
mengunjuk sikap yang tak senang kepada raja dan kerajaan Singasari.
Dalam merangkai kesan kcarah suatu kesimpulan balah Nararya pada suatu k keputusan,
bahwa ia akan mengalahkan kepala gerombolan itu dengan cara yang lunak, jangan sampai
membuatnya malu atau mendendam. Apabila mungkin, ia ingin tahu apakah yang terjadi pada diri
kepala gerombolan itu dalam hubungannya dengan kerajaan Singasari.
Setelah menghindar dari sebuah terjangan tinju Lembu Peteng, Nararya segera berkisar ke
samping dan menampar bahu kepala gerombolan itu. Tetapi ia segera, tertumbuk kejutan besar
ketika sambil berputar tubuh, Lembu Peteng mengirim sebuah tendangan kearah perut. Pada
jarak yang sedekat itu dan menghadapi gerak kaki yang sedemikian cepat, Nararya tak sempat
menghindar ataupun menangkis lagi. Dalam saat yang berbahaya hanya sebuah jalan yang
dapat ia tempuh. Sambil agak mengisar sedikit ke samping ia terus menyongsong maju
merapat lawan. Dengan demikian ujung kaki Lembu Peteng berada disisi tubuh Nararya, agak
menjorok ke belakang. Dan tubuh Nararya saat itu berada disisi paha Lembu Peteng.
Bukan kepalang kejut Lembu Peteng atas gerakan lawan yang tak terduga-duga itu. Memang
dengan cara itu, Nararya hanya menderita kesakitan kecil karena pahanya terlanggar lututnya
tetapi kini ia berbalik terancam. Untuk menolong agar Nararya jangan sempat mencengkeram paha
maka dengan menggembor keras, Lembu Peteng segera ayunkan kedua tangannya dalam gerak
mengacip leher lawan. Tetapi serempak dengan gerakannya itu, ia rasakan dadanya agak sakit dan
tiba3 Nararya loncat mundur melepaskan diri.
Gemparlah sekalian anakbuah gerombolan gunung Kelud ke ka menyaksikan pertandingan yang
seru itu. Gerakan yang berlangsung amat cepat itu tak menyempatkan mereka untuk dapat melihat
jelas apa yang telah terjadi. Dalam pandang mereka, setelah melancarkan ilmu bentakan aji
Senggoro Macan yang kumandangnya menyerupai aum harimau, kemudian kedua tangan bergerak
mengacip kearah leher, tampak Nararyapun loncat mundur. Mereka menganggap Nararya tentu
terluka. Maka mereka segera menghambur sorak gegap gempita menyongsong kemenangan Lembu
Peteng. "Berhen !" ba2 Lembu Peteng memekik nyaring sehingga gema sorak yang bergempita itu, sirap
seke ka. Kini seluruh anakbuah gunung Kelud memandang kearah pemimpinnya dengan heran.
Tampak Lembu Peteng tegak dengan wajah gelap. Sedang ke ka mereka beralih pandang, tampak
Nararya berdiri dengan tenang'
Apakah yang terjadi " Demikian mereka bertanya-tanya dalam ha , namun tak bersua jawaban.
Terpaksa mereka menunggu dengan penuh perhatian.
"Ki Lembu Peteng" ba2 Nararyalah yang membuka pembicaraan lebih dulu "aku tak sanggup
melawan engkau. Aku menyerah, terserah bagaimana engkau hendak mempedaya diriku"
Sekalian anakbuah gunung Kelud hampir hendak meledakkan pekik teriak yang
menggetarkan angkasa tetapi mereka meragu karena kuatir akan dibentak Lembu Peteng lagi.
Dan keraguan itu lebih dipertandas ketika melihat pemimpin mereka yang diam saja. Sama
sekali tak mengunjukkan sikap seorang jago yang menang bertanding. Tampak pemimpin
gerombolan itu menundukkan kepala memeriksa dadanya, kemulian mengangkat muka dan
memandang Nararya dengan terbeliak.
"Maaf, ki Lembu" seru Nararya seraya melangkah menghampiri "aku lancang mengambil benda
yang tentunya engkau sayangi. Maka sekarang hendak kukembalikan kepadamu"
Nararya menyongsongkan tangan kanannya yang menggenggam lalu membuka genggamannya.
Lembu Peteng termmgu-mangu ke ka melihat bahwa dalam telapak tangan pemuda itu ternyata
berisi sejemput bulu rambut. Jelas bulu itu adalah rambut yang tumbih pada dadanya. Dalam
memeriksa tubuhnya tadi, diam2 ia terkejut karena bulu lebat yang menghias dadanya telah hilang
dan gundul dibagian tengahnya.
Kini tahulah Lembu Peteng apa yang telah terjadi. Rasa sakit aneh yang terasa pada dadanya tadi
tak lain adalah ke ka Naraiya mencabut segenggam bulu dadanya. Ia malu, marah dan penasaran.
Tetapi pada lain saat, pikiran yang sadar segera melintas "Ah, ternyata pemuda itu bukan hendak
menghina aku melainkan karena tak mau mencelakai diriku. Bukankah jika mau, ia dapat meninju
dadaku daripada hanya mencabut bulu dada saja" Pemikiran itu segera mengembangkan, suatu
rasa syukur atas. kebaikan ha Nararya. Kemuiian mbul pula suatu rasa kesadaran bahwa jelas
pemuda yang dihadapinya itu berilmu lebih tinggi dari dirinya.
Menyadari akan semua yang terjadi pada sekelilingnya, lembu Peteng melangkah maju
sehingga rapat berhadapan dengan Nararya "Sinatrya, apa yang engkau kehendaki" Aku
bersedia menyerahkan jiwaku" serunya seraya menegakkan kepala.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nararya tertegun, menatapnya "Mengapa, ki Lembu Peteng?"
"Engkau telah melepaskan kebaikan kepadaku" kata Lembu Peteng "Sebagai gan menghunjam
dadaku, engkau hanya mencabut segenggam bulu dadaku"
"Karena kupercaya, dadamu tentu berlapis kekuatan sekeras baja, tak mungkin nju akan
berhasil membobolkannya" seru Nararya.
"Sinatrya" seru Lembu Peteng dengan nada sarat "jangan bergurau, lekas engkau sebutkan
permintaanmu" Nararya terkesiap, kemudian berkata "Sebelum mengatakan apa2, aku hendak bertanya. Maukah
ki sanak menjawab dengan jujur?"
"Silahkan" "Adakah gong Prada itu berada padamu?"
"Tidak!" Nararya terbeliak, menatap Lembu Peteng lekat2, seolah hendak menembus isi ha kepala
gerombolan itu. Beberapa jenak kemudian, ia berkata "Jika demikian, silahkan ki sanak pergi"
Kini bergan Lembu Peteng yang tertegun "Pergi?" ulangnya setengah tak percaya "bukankah
engkau belum menjatuhkan pidana kepadaku"."
Nararya tersenyum "Mengapa harus menjatuhkan pidana" Kita tak bermusuhan. Aku hendak
mencari gong Prada yang hilang itu. Jika engkau tak mengambil, mengapa aku harus bermusuhan
denganmu" "Tetapi aku sudah berjanji akan menerima apapun yang engkau kehendaki apabila aku kalah"
bantah Lembu Peteng. "Ya, dan aku sudah mengatakannya. Silahkan engkau membawa anakbuahmu pulang" kata
Nararya. "Tetapi itu bukan hukuman"
"Kedatanganku kemari bukan hendak menghukum orang tetapi hendak mencari gong pusaka itu"
"Apakah engkau tak marah karena seolah tadi aku mengakui bahwa gong pusaka itu aku yang
mengambil?" masih Lembu Peteng bertanya.
"Tidak" jawab Nararya "aku dak marah melainkan justeru tertarik perha anku untuk
mengetahui, apa sebab engkau bersikap begitu ?"
"O, jika demikian" kata Lembu Peteng "akan kuterangkan. Tetapi rasanya kurang layak berbicara
disini. Maukah tuan singgah ke tempat kami di Lembah Badak?"
Nararya gelengkan kepala "Maaf, aku ada waktu. Aku harus cepat2 ke Daha menyusul kawan2
yang menyelidiki ke sana"
Habis berkata Nararya terus berputar tubuh dan ayunkan langkah. Tetapi ia terkejut ke ka
anakbuah Lembu Peteng masih tetap tegak ditempatnya, bahkan serempak menghunus tombak
dan pedangnya. Dengan begitu jalan Nararya terhadang "Kawan2, sukalah memberi jalan.
Persoalanku dengan ki Lembu Peteng sudah selesai"
Tetapi anakbuah gunung Kelud itu tetap tegak di tempatnya, memandang Nararya dengan sikap
hendak menyerang apabila pemuda itu melanjutkan langkah. Nararya terkejut. Cepat ia berputar
tubuh hendak menegur Lembu Peteng. Ternyata kepala gerombolan itu sudah berada di
belakangnya. "Ki Lembu Peteng, harap suruh anakbuahmu menyisih ke samping" seru Nararya..
Lembu Peteng tersenyum "Mereka sudah mendapat perintahku dan melaksanakannya"
Nararya terbeliak "Engkau sudah memberi perintah ?" ia menegas.
Lembu Peteng mengangguk "Mereka telah mendengar aku mengundang tuan ke Lembah Badak
maka rnerekapun siap mengiring tuan ke sana"
Nararya tertawa mencemoh "O, kutahu, ki sanak. Bukankah engkau hendak menawan aku "
Jika demikian akupun terpaksa akan menghadapi"
"Sinatrya" seru Lembu Peteng "engkau salah faham. Walaupun Lembu Peteng saat ini hanya
sebagai seorang kepala gerombolan di gunung, tetapi jiwaku masih jiwa ksatrya seperti dulu.
Engkau telah mengunjukkan kebesaran jiwa yang menundukkan hatiku. Sebagai ganti melukai
diriku, engkau hanya mencabut segumpal bulu dadaku. Dan akupun sudah berjanji akan rela
menerima hukuman apapun yang hendak engkau jatuhkan. Walaupun engkau ternyata tak mau
menghukum, tetapi aku tetap akan menjalankan hukuman itu"
"Ki Lembu Peteng ...."
"Walaupun gong Prada itu bukan aku yang mencuri, tetapi aku sanggup akan mencarikan sampai
ketemu. Maka kuundang tuan ke pesanggrahan kami untuk bicara lebih lanjut. Jika tuan ingin
mendengar, akan kuceritakan kissah perjalanan hidupku mengapa sampai menjadi kepala
gerombolan digunung ini. Pun kuminta, apabila tuan tak keberatan, memberi keterangan, tentang
peristiwa hilangnya gong pusaka itu agar kami dapat segera mulai melakukan pencarian"
Nararya terkesiap. Ia agak malu ha karena telah menduga salah terhadap kepala gerombolan
itu. Akhirnya ia menerima undangan Lembu Peteng. Dikala belum jauh menempuh perjalanan,
ba2 mereka mendengar suara gemuruh dari empat penjuru. Antara mirip derap langkah kaki
orang dengan derap lari kuda.
"Siap" teriak Lembu Peteng memberi perintah kepada anakbuahnya " barisan Jaladri-pasang dan
panah" Nararya terkejut mendengar aba-aba yang dikeluarkan Lembu Peteng. Jaladri-pasang atau laut
pasang merupakan gelar tata barisan perang. Adakah gerombolan gunung Kelud itu dila h dengan
barisan yang menggunakan gelar dalam peperangan" Ah,makin keras dugaannya bahwa Lembu
Peteng itu tentu bukan berasal dari golongan penjahat. Kemungkinan bekas perwira atau lurah
prajurit. "Jangan" cepat ia mencegah "tak perlu menyiapkan barisan. Mereka adalah para rombongan
pengalasan dari kademangan Lodoyo yang menyertai aku dan kuperintahkan mereka bersembunyi
dibeberapa tempat" Untuk melonggarkan keraguan Lembu Peteng, Nararya mengiring keterangannya dengan
tertawa kecil. Lembu Peteng ikut tertawa "Jika demikian ajaklah mereka ke pesanggrahan
kami" katanya. Tetapi Nararya mengatakan tak perlu. "Biarlah mereka menunggu di kaki
gunung" Selama melakukan pendakian, Nararya sempat pula memperhatikan keadaan gunung itu.
Terdapat beberapa desa. Setiap tiba disehuah desa, tentu disambut dengan beberapa orang
penduduk. Hubungan penduduk dengan gerombolan Lembu Peteng, baik sekali. Mereka tak
menganggap Lembu Peteng sebagai gerembolan jahat, bahkan kebalikannya sebagai pelindung
pedesaan itu. Memang Lembu Peteng amat keras sekali memegang tata tertib peraturan.
Anakbuahnya dilarang mengambil, mengganggu milik penduduk, mengganggu kaum wanita,
menerima pemberian apabila tanpa memberi jasa. Bahkan wajib memberi pertolongan dan
membantu kebutuhan dan kepentingan mereka. Berkat peraturan yang keras dan tertib dari
Lembu Peteng, ada beberapa anakmuda di pedesaan daerah situ yang menyatakan hendak
masuk menjadi anakbuah. Lembu Peteng keras sekali dalam tata peraturan. Siapa yang melanggar, tentu akan diberi
hukuman berat bahkan kalau tak dapat diampuni, tentu dibunuh. Tetapi ia amat memperha kan
kepen ngan anakbuahnya. Sebagai pemimpin ia tak mau diis mewakan tetapi menghendaki
pelayanan yang sama dengan anakbuahnya, baik makan, pakaian dan tempat nggal. Itulah
sebabnya di kaki gunung tadi Nararya bingung mencari siapa yang menjadi pimpinan gerombolan
itu. Setelah beberapa waktu mendaki, mereka menuju sebuah puncak yang disebut gunung Sumbing
yang bentuknya lurus mirip sapu lidi. Tiba di bawah puncak itu mereka menyusur lereng dan
akhirnya tiba disebuah lembah.
"Inilah sarang kami" kata Lembu Peteng mengajak tetamunya masuk ke dalam sebuah gua. Gua
itu telah dibangun dan diperlengkapi dengan segala pekakas sehingga merupakan sebuah
bangunan yang luas dan tenang. Di muka gua terbentang sebuah halaman yang luas di kelilingi
pohon2. Memandang kearah selatan, samar2 tampak daerah Balitar.
Sehabis makan dan minum, Lembu Peteng memerintahkan anakbuahnya kembali ke tempat
masing2, sementara ia duduk bercakap-cakap dengan Nararya
"Benarkah engkau seorang pengalasan dari kademangan Lodoyo?" Lembu Peieng mulai
mengajukan pertanyaan. Setelah menyaksikan, bicara dan meresapi keadaan gerombolan gunung Kelud, terutama
peribadi Lembu Peteng, timbullah kesan yang baik dalam hati Nararya. Dengan terus terang ia
menuturkan tentang dirinya.
"O, pantas" seru Lembu Peteng "memang aku tak percaya apabila raden seorang pengalasan.
Baiklah raden, akan kuceritakan sekelumit perjalanan hidupku"
Ternyata Lembu Peteng seorang pimpinan pengawal pangeran Kanuruhan di Glagah Arum.
Karena hanya berpangkat rendah di kerajaan Singasari, Aragani pernah menghadap pangeran
Kanuruhan dan menawarkan kerjasama. Ia sanggup membantu pangeran Kanuruhan untuk
merebut tahta Singasari dari tangan baginda Kertanagara, asal pangeran Kanuruhan berkenan
mengangkatnya sebagai pa h apabila kelak berhasil menjadi raja Singasari. Pangeran Kanuruhan
menolak karena betapapun Kertanagara itu adalah adindanya. Ia rela menjadi pangeran Kanuruhan
di Glagah Arum dan tak menginginkan tahta kerajaan karena Kertanagara sebagai putera yang lahir
dari permaisuri lebih berhak atas tahta itu.
Tetapi Aragani tetap melancarkan bujukan2 antara lain dengan mengemukakan bahwa walaupun
dilahirkan dari ibu garwa selir tetapi pangeran Kanuruhan lebih tua dan merupakan putera sulung
dari rahyang ramuhun Wisriuwardhana: Juga para mentri dan kawula Singasari lebih suka pangeran
Kanuruhan yang menjadi raja daripada baginda Kertanagara yang keras.
Bujukan lidah beracun dari Aragani itu tetap ditolak bahkan karena jengkel, pangeran Kanuruhan
menitahkan Lembu Peteng mengusir Aragani. Seke ka itu Aragani diseret ke luar. Rupanya karena
kesakitan ia marah dan memukul. Lembu Peteng membalas. Dengan langkah terseok-seok ia
nggalkan Glagah Arum. Namun sebelum pergi, ia melantangkan ikrar bahwa kelak ia pas akan
membalas hinaan dari pangeran Kanuruhan itu.
Beberapa tahun kemudian benar juga tentara Singasari menyerang Glagah Arum. Karena kalah
besar jumlah pasukannya, Glagah Arum pecah dan pangeran Kanuruhanpun menderita luka parah.
Pada saat itu Lembu Peteng mengajak kawan2 mengamuk. Tetapi pangeran Kanuruhan memanggil
dan mencegahnya. Saat itu pangeran mandi darah dan tengah menghadapi maut "Lembu Peteng,
apakah engkau setya kepadaku?"
Lembu Peteng berlutut menyembah kaki pangeran serta menyatakan kesetyaannya sampai
diakhir hayat. Pangeran Kanuruhan tersenyum "Baik, nggalkan aku dan lekas engkau cari
puteraku. Lindungi dan selamatkanlah dia dari kematian"
Lembu Peteng meragu tetapi pangeran Kanuruhan segera membentaknya. Akhirnya dengan
bercucuran airmata dia nggalkan pangeran di tengah medan laga yang bergenangan darah. Dia
mengamuk membuka jalan darah dalam kepungan prajurit Singasari. Walaupun menderita
beberapa luka, akhirnya ia dapat lolos juga. Gedung kediaman pangeran telah dibakar. Seper
orang gila, dia kalap menerjang api untuk mencari putera pangeran yang masih kecil. Tetapi sia2.
Dan pangeran Kanuruhan akhirnyapun gugur.
Peperangan telah selesai, Glagah Arum diduduki prajurit Singasari. Lembu Peteng terpaksa
lolos tinggalkan kota dan melanjutkan usahanya mencari putera pangeran Kanuruhan. Sampai
beberapa hari ketika tiba disebuah desa, ia mendengar keterangan dari seorang tua bahwa
apabila datang seorang prajurit Glagah Arum yang hendak mencari putera pangeran, supaya
disampaikan kepadanya bahwa putera pangeran Kanuruhan selamat. Tak perlu mencarinya.
Kelak apabila sudah tiba saatnya, putera pangeran Kanuruhan itu akan disuruhnya muncul ke
Singasari untuk membalas dendam kematian ayahandanya.
Lembu Peteng terkejut. Tetapi ia tak dapat bertanya keterangan apa2 lagi kepada orang desa tua
itu karena orang itu hanya menerima pesan dari seorang brahmana tua.
"Demikianlah raden" Lembu Peteng mengakhiri kissahnya "sejak itu aku mengembara ke berbagai
daerah. Aku tetap benci kepada Singasari. Lebih pula apabila melihat ngkah laku narapraja atau
prajurit2 yang sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan untuk menindas rakyat, aku marah
sekali. Pernah kubunuh beberapa prajurit yang tengah membawa lari seorang wanita. Bahkan
pernah kutikam seorang demang yang memungut pajak pada rakyat secara sewenang-wenang"
Nararya. mengangguk dan memuji ndakan Lembu Peteng "Tetapi bagaimana kakang Lembu
menetap di gunung Kelud ini ?" tanyanya.
"Peris wa itu memang cukup menggemparkan" kata Lembu Peteng "kudengar berita tentang
tawanan prajurit2 Glagah Arum yang dijatuhi hukuman kerja paksa membuat candi Jajaghu yang
akan menjadi tempat persemayaman terakhir dari jenazah raja Wisnuwardana, ayahanda baginda
raja Kertanagara. Aku segera menuju ke tempat pembuatan candi itu di sebelah tenggara Singasari.
Apa yang kusaksikan ke ka itu, membuat darahku meluap. Tawanan2 prajurit Glagah Arum itu
dipaksa mengangkut batu. Tubuh mereka kurus2 seper kurang makan dan apabila agak lambat,
mereka tentu mendapat pukulan, paling dak hamun makian. Karena tak tahan, segera kuserang
penjaga2 itu dan kuajak prajurit2 Glagah Arum melarikan diri ke barat. Akhirnya kami bersembunyi
di gunung ini" Tertarik ha Nararya melihat perjuangan Lembu Peteng yang begitu gigih dalam pengabdiannya
kepada pangeran Kanuruhan. Dia tak mau bekerja pada Singasari dan rela hidup mengasingkan diri
di lembah gunung Kelud. Dia membentuk gerombolan tetapi hanya menggarong orang2 kaya dan
narapraja Singasari yang/ jahat. Dengan setulus ha ia memuji sepak terjang Lembu Peteng dan
menyatakan kekagumannya. Kemudian ia beralih pada pembicaraan tentang gong Prada yang hilang. Berkata Lembu Peteng
"Raden, bagaimana pendapat raden tentang hilangnya gong pusaka itu" "
"Kami berangkat dari kademangan Lodoyo dengan membekal dua tujuan. Ke Daha dan ke gunung
Kelud. Karena hanya kedua tempat itulah tempat kami mencurahkan kecurigaan" kata Nararya
"tetapi karena jelas kakang Lembu dak tahu menahu tentang, benda pusaka itu maka ada lain
jalan lagi kecuali harus menumpahkan penyelidikan ke Daha"
Lembu Peteng merenung sejenak lalu berkata "Memang kemungkinan begitu tetapi belum pas
begitu. Dalam hal ini Singasaripun layak diperhitungkan dalam kemungkinan itu"
"Heh?" Nararya terkesiap "Singasari" Bukankah gong Prada itu milik kerajaan Singasari?"
Lembu Peteng tersenyum "Disitulah letak kemungkinan itu, raden"
"Kakang Lembu, aku benar2 tak mengerti ucapanmu" seru Nararya.
Lembu Peteng membenahi sikap dan suara "Raden, memang yang paling besar kemungkinannya
adalah Daha.. Tetapi janganlah kita menutup pintu kemungkinan itu kepada Singasari. Walaupun
aku tak sempat menyelidiki keadaan pemerintahan di pura Singasari tetapi aku sempat mendengar
cerita orang tentang diri Aragani yang kini telah naik pangkat menjadi tumenggung dan makin
mendapat kepercayaan baginda"
Nararya mulai terpikat perhatiannya.
"Menilik dahulu Aragani pernah menghasut pangeran Kanuruhan supaya merebut tahta kerajaan
Singasari, bukan mustahil apabila dalam peris wa hilangnya gong Prada kali ini, Aragani juga ikut
campur" kata Lembu Peteng.
"Tetapi kakang Lembu" sanggah Nararya "Bukankah Aragani sudah menjadi tumenggung dan
mendapat kepercayaan dari baginda" Mengapa dia masih harus menimbulkan gara2" Apakah
manfaat kepada dirinya?"
"Demikian jalan pikiran orang pada umumnya" kata Lembu Peteng " tetapi apabila raden pernah
berhadapan dan mengiku gerak gerik orang itu, tentulah raden takkan terkejut mendengar
dugaan yang kuurai-kan ini. Dia memang berbakat besar dalam soal kelicikan dan penghianatan"
"Tetapi aku tak melihat sesuatu yang bermanfaat baginya apabila dia ikut campur dalam
peristiwa gong Prada ini, kakang Lembu"
Lembu Peteng tersenyum "Baiklah, raden, akan kututurkan dasar daripada dugaanku itu. Begini.
Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa karena gong Prada itu milik kerajaan Singasari, orang tak
akan menuduh dia atau orang2 Singasari yang diperalatnya, yang mencuri gong pusaka itu. Orang
tentu cepat akan menduga bahwa Dahalah yang melakukan hal itu. Apabila hilangnya benda
pusaka itu terdengar baginda, baginda' tentu murka dan akan menitahkan supaya mencarinya
sampai ketemu. Nah, pada saat itulah Aragani akan menyemburkan lidahnya yang beracun,
menjatuhkan tuduhan kepada Daha. Walaupun baginda tak percaya tetapi Aragani tentu akan
mendesak supaya dilakukan penyelidikan. Bahkan kalau perlu, ia sanggup untuk melaksanakan
titah baginda" Lembu Peteng berhen sejenak lalu melanjut "Apabila Aragani sudah mendapat tadi baginda,
maka dia tentu akan menuju ke Daha. Pada tahap ini, akan mbul dua kemungkinan. Pertama,
mungkin Aragani akan mengulangi perbuatannya kepada akuwu Jayakatwang dari Daha
sebagaimana dulu pernah ia lakukan kepada pangeran Kanuruhan.."
"Menghasut akuwu Daha supaya berontak kepada Singasari?" tukas Nararya.
Lembu Peteng mengangguk "Benar. Seorang yang haus akan kekuasaan dan temaha
pangkat, tak mungkin pejamkan mata melihat setiap kesempatan yang terbuka. Dan
kemungkinan kedua, dia akan menciptakan suasana yang buruk, misalnya dengan
menghaturkan laporan buruk terhadap akuwu Jayakatwang, agar baginda curiga. Dengan
begitu hubungan Singasari dan Daha akan retak. Disitulah ia akan menarik keuntungan. Dia
akan menunggu pecahnya perang antara Daha dan Singasari dan melihat mana yang menang.
Apabila Daha yang menang, dia tentu akan bertindak untuk menghancurkan baginda
Kertanagara agar dia memperoleh jasa dari Daha. Tetapi apabila Singasari yang menang,
diapun segera akan melakukan pembunuhan menumpas akuwu Jayakatwang agar dia
mendapat jasa dan kenaikan pangkat dari baginda Singasari. Pokok, untuk mencapai cita-
citanya, negara harus selalu goncang tak boleh aman, agar dia mempunyai kesempatan untuk
mengail di air keruh "
Nararya terkejut mendengar uraian itu. Ia tak menyangka bahwa Lembu Peteng dapat memberi
ulasan yang begitu menarik. Walaupun belum tentu tepat, tetapi cara2 pengulasan itu hampir
menjangkau keseluruhan persoalan. Diam2 ia kagum terhadap bekas bekel prajurit Glagah Arum itu
"Menurut pendapat kakang Lembu, bagaimana tindakan kita sekarang?"
"Aku setuju akan langkah raden yang hendak menuju ke Daha" kata Lembu Peteng "apa yang
kukemukakan tadi hanyalah suatu reka dugaan terhadap tumenggung Aragani. Hal itu akan kita
selidiki juga setelah, tak menemukan gong pusaka itu di Daha"
Nararya setuju. Ia menyatakan esok segera akan berangkat ke Daha "Baik, raden, aku akan
menyertai raden" kata Lembu Peteng.
"Ah" Nararya terkejut "mengapa kakang Lembu berjerih payah sedemikian rupa" Kurasa kakang
lebih baik tetap di lembah ini memimpin kawan-kawan disini"
Lembu Peteng gelengkan kepala "Sekali aku sudah berjanji akan mencarikan gong pusaka itu,
tentu akan kulaksanakan janji itu. Soal anakbuah di lembah ini, takkan menjadi persoalan. Mereka
sudah terla h hidup mengatur diri. Ada atau ada pimpinan, serupa bagi mereka. Dan mereka
memiliki rasa gotong-royong setya-kawan yang nggi. Sudahlah, raden, jangan berbanyak ha .
Besok aku bersama seorang anakbuahku akan menyertai raden ke Daha"
Melihat kesungguhan ha Lembu Peteng, Nararya pun tak mau menolak lagi. Demikian setelah
malam itu bermalam di Lembah Badak, keesokan harinya ia dan Lembu Peteng dengan diantar oleh
seluruh anakbuah gerombolan gunung Kelud, turun ke kaki gunung. Mereka disambut oleh empat
orang kademangan yang menyertai Nararya.
Lembu Petengpun menyediakan lima ekor kuda. Nararya dipersilahkan naik kuda putih, ia
sendiri naik kuda hitam. Sedang yang tiga ekor kuda diperuntukkan anakbuah Lembu Peteng
dan pengiring Nararya. Memang dengan naik kuda, perjalanan ke pura Daha itu dapat lebih
lancar dan cepat. Tiba di desa Ponggok, Nararya mendapat keterangan bahwa Kebo Saloka
belum kembali dan belum mengirim berita apa-apa.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang petang, balah rombongan Nararya diluar pura Daha. Agar tak menarik perha an
orang maka kuda mereka disembunyikan disebuah hutan. Begitu pula waktu masuk kedalairi pura,
mereka tidak berkelompok tetapi berjalan dua seiring.
Sebelumnya mereka telah bersepakat menyelidiki secara berpencar, kemudian berkumpul
kembali di hutan tempat mereka menyembunyikan kuda. Kebetulan pula, Nararya berkawan
dengan Pamot dan secara kebetulan pula, Pamot faham akan keadaan pura Daha karena dulu
pernah tinggal di pura ilu.
Atas pertanyaan Nararya, Pamot menerangkan bahwa kekuasaan pasukan Daha berada di tangan
pa h Kebo Mundarang. Dan pa h itu mempunyai seorang kepercayaan tumenggung Pangelet "Jika
demikian kita selidiki tempat kediaman tumenggung Pangelet" kata Nararya.
Malam itu ada rembulan. Bintang kemintangpun tak penuh. Suasana sekeliling alam sunyi
senyap. Gedung kediaman tumenggung Pangelet seolah terlelap dalam kegelapan. Sesekali hanya
terdengar suara burung kulik memecah kesunyian. Nararya dan Pamot bersembunyi di balik
gerumbul, tengah berunding "Hampir tengah malam" bisik Nararya "sebentar lagi kita memasuki
gedung itu" "Tetapi pagar tembok cukup tinggi, bagaimana mungkin kita masuk, raden" " Pamot meragu.
"Mudah, punggungmu akan kujadikan tempat pijakan. Selekas aku loncat ke puncak tembok,
engkau akan kutarik ke atas" jawab Nararya.
Pamot tak menjawab melainkan mengerut dahi. Tiba2 terdengar bunyi kentung peronda. Makin
lama makin dekat. Nararya memberi isyarat agar Pamot lebih rapat menyembunyikan diri agar.
jangan terlihat. Tak berapa lama, tampak dua orang pengalasan berjalan. Yang seorang memukul
kentung, yang seorang menyanggul tombak. Mereka berjalan berjajar. Orang itu menghen kan talu
kentung "Tumenggung Pangelet memang aneh dan selalu ada saja akal yang baru. Seper kali ini,
tumenggung mengadakan sayembara ganjil. Bukan adu ilmu kesak an dan kanuragan tetapi
mengumumkan, barang siapa dapat memperoleh benda pusaka dari kerajaan Singasari akan.
mendapat hadiah besar dan pangkat. Apabila benda pusaka itu benar2 hebat, akan diberi pangkat
tumenggung" katanya.
"Benar" sahut kawannya yang rnembekal tombak "sayembara itu telah memberi perangsang
yang menggelorakan semangat prajurit dan para perwira untuk berlomba-lomba mencari pusaka"
"Tetapi adakah hasilnya ?"
"Tentu" sahut peronda yang bertombak "ku dengar banyak sudah yang memperoleh pusaka itu.
Di-antaranya sebuah pusaka yang hebat sekali"
"Apa" Keris, tombak, gada" " tanya peronda yang membawa kentung.
Kawannya gelengkan kepala "Bukan" katanya lalu mengeliarkan pandang ke sekeliling seolah
hendak meyakinkan diri bahwa ada orang atau sesuatu yang menimbulkan kecurigaan. Kemudian
dia berkata "Sebuah gong"
"Gong?" teriak kawannya yang tanpa sadar karena terhunjam rasa kejut telah melantangkan
suara keras. "St" cepat peronda yang membawa tombak mendekap mulut kawannya "jangan keras2. Apakah
engkau tak teringat akan perintah ki tumenggung yang mengumumkan larangan untuk
membicarakan tentang pusaka2 yang dibawa ke Daha sebelum dipertandingkan nanti?"
"Ih" peronda yang membawa kentung mendesuh seraya meraba lehernya.
"Ya benar, lehermu akan dipenggal " kata peronda bertombak.
"Aku tak sengaja, kakang" kata peronda pembawa kentung itu "aku tersengat rasa kejut
mendengar kata-katamu tadi. Gong apakah itu, kakang?"
"Gong peninggalan dari empu Prada ...."
"Wah, hebat sekali" diluar kesadaran peronda pembawa kentung itu berseru agak keras lagi.
"St" peronda bertombak cepat mendesis peringatan "sudahlah, hayo kita lanjutkan perjalanan.
Jangan membicarakan hal itu lagi. Lekas bunyikan kentung lagi"
Irama kentung ronda kembali mengalun di tengah kesunyian malam. Makin lama makin jauh
dan lenyap. Pamot berpaling kearah Nararya yang berada di gerumbul sebelah kanan. Tampak pemuda itu
masin termenung "Raden ..." serunya seraya mendekat "jelas gong Prada diambil oleh orang Daha"
"Ya" sahut Nararya "kita harus berusaha mencarinya. Mari kita kembali, tak perlu masuk gedung
ini" Dalam perjalanan menuju ke luar pura, Nararya merangkai beberapa rencana. Pertama,
menyelidiki siapa yang mencuri dan menyimpan gong pusaka itu. Kedua, bilakah sayembara itu
akan diselenggarakan. Ia harus mendahului bertindak sebelum sayembara itu dilaksanakan.
Bergegas Nararya ayunkan langkah karena ia ingin mendengar juga laporan2 yang dibawa oleh
lain2 pengalasan, terutama Lembu Peteng.
Ke ka hampir ba di gapura, ba2 ia terkejut mendengar desuh napas menggeram kemarahan
dan dering senjata beradu. Cepat ia membilukkan langkah menuju kesebuah gerumbul pohon.
Dugaannya tepat. Tampak beberapa sosok tubuh sedang bertempur dengan senjata. Ia berhen
dan memperhatikan mereka.
"Ah" tiba2 Nararya mendesuh kejut.
(Oo^dw.kz~ismoyo^oO) Jilid 4 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I Gagah perkasa, bersemangat kokoh kuat dalam pendirian, cakap, ulet dalam perjuangan,
pemurah hati dan agung, adalah kodrat dari kaum Ksatrya.
Demikian wejangan yang pernah diterima Nararya dari gurunya, resi Sinamaya.
"Manusia barulah mencapai kesempurnaan jika menjalankan apa yangt sudah ditetapkan oleh
kodrat masing2" resi dari gunung Kawi itu menambahkan pula "janganlah mengabaikan sifat
pembawaan dari lahir atau kodrat. Meskipun hal itu terlekat dengan kesalahan atau cacat, sebab
tak ada pekerjaan yang tak bercacat seperti juga tak ada api yang tak berasap"
Pada saat itu, Nararya masih belum dalam menyerap kata2 gurunya. Ia bertanya "Tetapi guru,
adakah sifat dari kodrat seorang ksatrya itu harus berperang?"
Resi Sinamaya mengangguk.
"Benar, Nararya" kata resi itu "sebagaimana dahulu ke ka Arjuna bimbang ha dalam
menghadapi peperangan dengan kaurnKorawa, Sri Kresna memperingatkan akan kodratnya sebagai
seorang ksatrya. Berkata Sri Kresna "Kalau engkau berkukuh dalam niatmu untuk dak berperang,
itu sia2 belaka, sebab kodratmu yang akan mendorong engkau berjuang. Karena engkau sudah
terikat pada kodratmu sebagai seorang ksatrya, akhirnya mau tak mau engkau akan berjuang juga
diluar kehendakmu sendiri"
"Nararya" sambung pula resi Sinamaya "ksatrya harus berjuang bahkan berperang untuk
melenyapkan kejahatan. Berperang anakku, bukan selalu harus berperang dalam medan laga,
bunuh membunuh. Tetapi dalam batin kitapun mengalami peperangan antara nafsu2 satwa
dengan rajas-tamas. Kalau engkau berkukuh tidak berniat berperang, itu akan sia2 belaka.
Engkau akan kehilangan sifat kodratmu sebagai seorang ksatrya"
Wejangan resi yang berilmu nggi itu tak pernah terlupa dalam ha Nararya. Dalam perkelanaan
untuk melakukan anjuran gurunya supaya ikut berkecimpung dalam menyongsong Wahyu-agung
yang akan diturunkan dewata, Nararyapun bertapa ke makam eyang Batara Narasinga di Wengker.
Setelah itu ia akan bertapa juga ke makam candi Kagenengan tempat persemayaman jenazah eyang
buyut sri Rajasa sang Amurwabhumi.
Tetapi setelah mengalami beberapa peris wa selama ini, mbullah suatu kesadaran dalam
ba n. Bahwa laku untuk mencapai harapan menerima anugerah besar dari dewata itu, bukanlah
semata dengan laku tapa-brata, melainkan juga dengan laku nienjalankan dharma sesuai dengan
kodratnya sebagai seorang ksatrya.
Ia telah melambari pendirian dan langkah perjalanan hidupnya dengan alas in sari wejangan
gurunya itu. Maka tergeraklah ha Nararya ke ka berhadapan, dengan peris wa hilangnya gong Prada di
candi Simping, Lodoyo. Gong Prada adalah milik kerajaan Singa sari. Bukan karena baginda
Kertanagara itu masih ada hubungan keluarga dengan dirinya, tetapi sebagai seorang kawula
Singasari, wajiblah ia melindungi kepen ngan kerajaan. Dan pula, karena gong itu merupakan
tumbal keselamatan dan kedamaian agar jangan terjadi peperangan lagi antara Daha dengan
Singasari, maka lebih wajib lagi Nararya mewajibkan diri untuk melindunginya.
Bukan karena ia tak kokoh pendirian tetapi bukankah kodrat seorang ksatrya itu harus berjuang
membasmi kejahatan" Bukankah perjuangan itu memang dan telah menjadi suatu kenyataan
dalarn ba n pikiran orang se ap hari" Bukankah melakukan dharma itu termasuk salah suatu yoga
yang disebut Sankhya Yoga" Bukankah amal dharma itu juga mempunyai nilai seper orang
bertapa mensucikan batin"
"Ah" ba2 ia teringat pula akan pesan gurunya, resi Sinamaya"Nararya, dalam melakukan
sesuatu, jangan engkau mengikat pikiranmu dengan suatu keinginan atau harapan. Karena
keinginan itu, baik keinginan untuk berhasil menyelesaikan tugas itu ataupun keinginan untuk
mendapat balas, jasa dan anugerah, akan merusak kemurnian dari amal dharmamu itu. Karena
kemungkinan, amal dharmamu itu bukan keluar dari suara ha nuranimu yang murni, melainkan
karena didorong oleh keinginan mendapat balas. Keinginan2 mendapatkan sesuatu itulah yang
menjadi pendorong utama dalam amal dharmamu. Jika demikian, hilanglah sifat dari pada kodrat
keksatryaanmu, angger"
"Guru benar sekali" pikir Nararya "mencari gong Prada yang hilang itu bukan karena didorong
oleh keinginan akan mendapat balas jasa dari baginda Kertanagara tetapi aku menetapi
kodratku sebagai seorang ksatrya, melindungi keselamatan para kawula. Andaikata karena
dalam melakukan dharma ini aku sampai melakukan sesuatu yang melanggar pantangan orang
bertapa, misalnya terpaksa harus mengalirkan darah orang jahat, sehingga dewata tak
merestui dan tak berkenan menganugerahkan Wahyu Agung itu kepadaku, akupun rela"
Demikian Nararya menimang-nimang pikiran menjalin keputusan dan membulat-bulat tekad.
Maka iapun mengajukan diri untuk ikut serta dalam rombongan bekel Kuda Saloka untuk mencari
gong pusaka itu. Kemudian setelah mendengar percakapan dua orang peronda di gedung tumenggung Pangelet,
bahwa gong Prada itu benar telah berada di Daha ditangan salah seorang perwira yang akan maju
dalam sayembara mencari pusaka, Nararya bergegas mengajak Pamot menuju keluar kota untuk
menemui bekel Kuda Saloka. Ia hendak merundingkan masalah yang didengarnya itu.
Tetapi ke ka hampir ba di gapura, disebuah gerumbul yang agak jauh dari jalan, ia mendengar
suara napas memburu keras berseling desis dan desus serta gemerincing senjata beradu. Cepat, ia
menghampiri dan kejutnya makin meluap demi diketahuinya siapa yang bertempur dua orang
melawan empat orang. "Berhen , kawan-kawan" serunya seraya lari menghampiri. Keenam orang yang sedang berkelahi
itupun berhenti, mencurah pandang ke arah Nararya.
"Kalian ini kawan sendiri" kata Nararya "jangan berkejahi"
Keenam orang itu terbeliak, memandang makin lebar kepada Nararya dengan pandang meminta
penjelasan "Kedua kawan ini" Nararya menunjuk pada dua orang lelaki kekar "adalah anakbuah dari ki
Lembu Peteng. Dan keempat orang ini" ia segera menunjuk pada empat orang yang lain
"adalah anakbuah bekel Saloka"
Walaupun sudah mendengar keterangan itu tetapi keenam orang itu tak jelas. Apa hubungan
bekel Kuda Saloka dengan Lembu Peteng" Pikir mereka.
"Mari, ikut aku menemui ki bekel" kata Nararya yang walaupun tahu akan kebimbangan mereka
tetapi ia tak mau memberi penjelasan lebih lanjut karena hanya membuang waktu saja. Hanya
dalam perjalanan secara singkat Nararya menyinggung bahwa apa yang disebut gerombolan Lembu
Peteng dari gunung Kelud itu kini sudah ada persoalan dan mau membantu orang2 Lodoyo untuk
mencari gong Prada itu. Agak lama juga Nararya berjalan, sejak keluar dari gapura pura sampai saat itu "Kemanakah kita
sekarang ini?" akhirnya ia bertanya kepada keempat orang Lodoyo.
"Ki bekel telah memilih gua Selamangleng sebagai tempat kami berkumpul" sahut salah seorang
pengalasan Lodoyo. "Dimana gua Selamangleng itu ?" tanya Nararya.
"Di desa Pohsarang tak jauh dari pura Daha" kata orang itu pula.
Nararya tak bertanya lagi. Ia beralih kepada kedua anakbuah Lembu Peteng "Mana ki Lembu
Peteng ?" "Waktu masuk pura, kami berpencar. Bapak memerintahkan kami berdua supaya berpencar
ketempat kediaman mentri yang berpengaruh, yani senopa Sagara Winotan dan ki Lembu Peteng
menuju ke kepatihan ...."
"Tempat kediaman patih Kebo Mundarang?" Nararya menegas agak kejut.
Orang itu mengiakan. "Adakah dia sudah kembali ketempat kita berkumpul lagi?" tanya Nararya.
Orang itu mengatakan tak tahu karena tadi sebetulnya ia hendak menuju ketempat itu tetapi di
tengah jalan telah berpapasan dengan keempat orang dari Lodoyo. Karena saling curiga, akhirnya
mereka berkelahi. Tiba2 Nararya berhen "Jika demikian baiklah kalian berdua kembali ketempat itu dan
menunggu ki Lembu Peteng. Apabila datang, ajaklah dia berkumpul ke gua Selamangleng"
Kedua orang Lodoyo itupun segera mohon diri. Sedang Nararya bersama keempat pengalasan
Lodoyo melanjutkan perjalanan.
Tak berapa lama kemudian tibalah mereka di tempat, tujuan. Gua Selamangleng terletak di
kaki gunung Wilis, walaupun tak berapa besar tetapi suasananya yang tenang, menimbulkan
rasa hening tenteram. Bekel Kuda Saloka telah membagi keduabelas pengikutnya menjadi
empat kelompok. Tiga kelompok masing2 terdiri dari empat orang pengalasan, sedang bekel itu
seorang diri "Cobalah kalian berusaha untuk mendengar kabar2 di kalangan prajurit2 dan
rakyat. Mungkin ada sesuatu yang memberi petunjuk kepada penyelidikan kita"
"Tetapi mengapa ki bekel hanya seorang diri?" tanya seorang pengalasan Lodoyo.
"Aku pernah nggal di Daha dan kenal dengan beberapa prajurit yang mungkin kini sudah
menjadi bekel" jawab bekel Kuda Saloka "hendak kutemui mereka. Mudah-mudahan dapat
memperoleh sesuatu. Maka lebih baik aku pergi seorang diri agar jangan menimbulkan kecurigaan"
Beberapa orang Lodoyo telah menyambut kedatangan Nararya bersama keempat kawan mereka
"Mana ki bekel?" demikian ucapan pertama yang dilontarkan Nararya kepada orang2 Lodoyo itu.
"Belum kembali" sahut mereka.
Nararya terkesiap "Malam sudah selarut ini, mengapa dia belum juga kembali" Adakah sesuatu
yang terjadi .pada dirinya?" ia berkata seorang diri "Apakah sejak kalian datang ke sini, juga
demikian adat kebiasaan ki bekel?"
"Tidak, raden" sahut mereka "biasanya paling lambat sebelum tengah malam, ki bekel tentu
sudah kembali" Nararya merenung. Terlintas sesuatu kekua ran dalam perasaannya. Kekua ran dari suatu
kemungkinan, yang walaupun pis, namun tetap dapat terjadi juga "Baiklah, jika demikian aku
akan menemui ki Lembu Peteng dulu. Akan kuajak dia kemari bertemu dengan ki bekel" akhirnya ia
berkata kepada beberapa pengalasan Lodoyo.
"Siapa Lembu Peteng itu ?" mereka bertanya.
Nararya segera memberi keterangan tentang segala sesuatu yang dialaminya di gunung Kelud
dengan Lembu Peteng "Ki Lembu Peteng bukan gerombolan penyamun, tetapi bekas prajurit dari
pangeran Kanuruhan di Glagah Arum, yang tak mau tunduk pada kerajaan Singasari. Dia bersedia
membantu kita untuk mencari gong pusaka yang hilang itu"
Salah seorang pengalasan yang rupanya dapat berpikir segera menyela "Tetapi daklah janggal
kedengarannya bahwa seorang yang mendendam kepada kerajaan Singasari mau berusaha untuk
mencarikan pusaka milik Singasari yang hilang, raden?"
Nararya mengangguk "Engkau benar. Tetapi ki Lembu Peteng memang berwatak aneh dan
ksatrya. Karena kalah bertanding dengan aku, dia hendak menebus janji untuk menerima apa yang
kujatuhkan kepadanya. Aku tak mau membunuh ataupun menuntut suatu pidana kepadanya,
kubebaskan dia dari perjanjian yang telah kita sepaka sebelum berkelahi. Tetapi rupanya dia
tetap bersitegang dan sebagai' gan dari pidana yang tak kujatuhkan, dia akan membantu usahaku
mencari gong pusaka itu"
"O, jika demikian bantuannya itu bersifat bantuan peribadi kepada raden?"
"Katakan begitu" jawab Nararya "dan soal itu tak perlu kita perbincangkan lebih lanjut.
Pokoknya, dia telah bersedia membantudan bahkan telah bertindak nyata bersama "aku ke Daha"
Setelah memberi keterangan dan meninggalkan pesan agar apabila sudah kembali, ki bekel
supaya menunggu kedatangannya, Nararya segera pergi.
"Raden ...." ba2 ia terkejut karena seseorang memanggilnya. Ia berpaling dan melihat yang
berseru itu adalah Pamor, pengalasan dari Lodoyo yang sejak di desa Ponggok selalu menyertainya
"baiklah, Pamot, mari ikut aku"
Tiba di hutan sebelah luar pura, juga Nararya mendapat keterangan dari keempat anakbuah
gunung Kelud bahwa Lembu Peteng belum kembali. Nararya kerutkan dahi. Ha nya makin tak enak
dibayang oleh duga dan reka dalam kemungkinan2 yang dikua rkan "Jika demikian aku hendak
masuk kedalam pura pula" katanya kepada keempat anakbuah gunung Kelud itu "katakan kepada
ki Lembu Peteng, apabila kembali, supaya menunggu kedatanganku"
Ia segera mengajak Pamot masuk kedalam pura. Suasana makin lelap, cuaca gelap dan
malampun kelam. Bintang kemintang mulai memenuhi cakrawala. Nararya dan Pamot menyusur
lorong2 yang sepi. Keraton dan gedung2 kediaman para mentri, senopati dan para pri-agung,
hanya merupakan gunduk2 bangunan yang sunyi. Para penghuninya dilelap dalam mimpi
masing2. Ada yang bermimpi indah, bercengkerama dalam taman bunga diiring dayang
perwara yang cantik. Ada yang bermimpi rebah disebuah pembaringan beralaskan permadani
indah, dipijati dan dilayani oleh wanita2 cantik dan dara2 ayu. Ada pula yang bermimpi naik
pangkat, memakai busana kebesaran yang cemerlang. Dan lain2 mimpi indah yang hanya
menjadi mimpi para mentri, senopati dan narapraja berpangkat tinggi.
Beda dengan mimpi para kawula. Tentulah mereka tak mengalami mimpi seperti yang sering
menjadi buah tidur dari para priagung itu. Mereka jarang atau bahkan tak pernah bermimpi.
Selepas kerja dengan penuh tenaga sehari, akan membawa mereka dalam tidur yang lelap.
Dan mereka adalah kawula biasa, biasa pula keinginannya, sederhanalah cita-citanya. Mereka
tidak menginginkan suatu kehidupan yang mewah megah, cukup asal dapur selalu berasap
setiap hari. Mereka tidak men-cita-citakan pangkat dan kekuasaan yang melangit, cukup asal
pekerjaan atau usaha mereka dapat lancar, negara aman dan kehidupan rakyat sejahtera
"Mereka rakyat yang bersahaja dalam kehidupan dan alam pikirannya. Mereka tak menuntut
suatu apa melainkan menginginkan keamanan negara dan kesejahteraan hidup. Tidakkan hal itu
wajib dilakukan oleh para mentri, senopati dan narapraja yang memegang kekuasaan di
pemerintahan" Nararya mengakhiri lamunan dengan suatu pertanyaan. Pertanyaan yang tiada
bersahut karena pertanyaan itu hanya memancar dari pikirannya. Pikiran yang menampung
suara hatinya. "Pamot" tiba2 ia hentikan langkah "tidakkah engkau mendengar, suara orang merintih-rintih ?"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pamot mempertajam .pendengarannya. Dalam keheningan malam, lapat2 ia mendengar suara
orang mengerang-erang "Benar, raden" sahutnya.
Nararya bergegas menuju kearah suara itu. Sesungguhnya setelah habis menelusuri lorong2
dalam pura dan tak menemukan suatu apa, Nararya ayunkan langkah menuju ke gapura utara.
Selama belum menemukan jejak kedua orang itu, ia hendak menjelajahi seluruh tempat di pura
Daha. Dan ketika tiba di gapura timur, ia mendengar suara aneh itu.
Setelah melintas sebuah gerumbul pohon, mereka, berhadapan dengan sebuah lapangan rumput
yang tak berapa luas. Nararya dan Pamot terkejut ke ka melihat dua sosok tubuh menggeletak di
tanah. Yang satu disebelah selatan dan yang seorang rebah dibawah sebatang pohon. Nararya
cepat lari menghampiri kepada orang yang rebah dibawah pohon itu karena dialah yang
mengeluarkan suara erang itu.
"Kakang Lembu Peteng!" Nararya menjerit kejut ke ka melihat siapa yang rebah dibawah pohon
itu. Segera ia mengangkat tubuh orang itu "Kakang Lembu Peteng, mengapa engkau ?" belum
mendapat jawab Nararya sudah menjerit pula "ah, bahumu berdarah! Engkau tentu terluka" buru2
ia meletakkan tubuh Lembu Peteng lagi kemudian merobek baju dan membalut bahu Lembu
Peteng. "Terima kasih, raden" sesaat kemudian Lembu Peteng berkata "ya, aku memang terkena tabasan
pedang" "Siapa yang menabas?"
Setelah dibalut, rasa sakit Lembu Petengpun agak berkurang. Dia dapat duduk "Orang yang
terkapar diatas rumput itu, raden. Entah dia pingsan atau mati" katanya seraya menunjuk ke
sosok tubuh yang menggeletak di rumput,
"O" desuh Nararya setelah melihat sosok tubuh itu "siapakah dia?"
"Entah" sahut Lembu Peteng "tetapi dia hendak merebut gong pusaka .... hai. kemanakah gong
itu!" ba2 dia berpaling memandang kearah segunduk batu yang terletak di ujung lapangan
sebelah mur. Serentak ia berbangkit dan lari menghampiri tempat itu "Keparat, gong pusaka
dilarikan orang itu lagi!" teriaknya seraya hendak lari.
Sudah tentu Nararya tak menger apa yang diucapkan Lembu Peteng. Lebih dak menger pula
mengapa sikap Lembu Peteng aba2 berobah sedemikian tegang dan memberingas "Nan dulu,
kakang Lembu Peteng" serunya seraya memegang bahu Lembu Peteng "siapakah yang hendak
engkau kejar" "Pencuri Gong Prada itu" sahut Lembu Peteng.
Nararya terkejut "Bilakah peristiwa itu terjadi?"
Lembu Peteng mengerut dahi, menengadahkan kepala memandang cakrawala "Lebih kurang dua
jam yang lalu, raden"
"Ah" Nararya, mendesah "dua jam cukup panjang bagi seorang yang melarikan diri"
"Ya, ya" akhirnya Lembu Peteng berkata geram "dia memang naik kuda"
Nararya mengajaknya duduk dibawah pohon lagi. Kemudian ia meminta kepada Lembu
Peteng supaya menceritakan pengalaman yang dialaminya.
"Sampai surya terbenam, belum juga aku berhasil mendengar suatu berita apa2" Lembu
Peteng mulai menutur "karena geram akupun mulai memberanikan diri masuk kesebuah kedai.
Sambil makan kudengar beberapa tetamu membicarakan soal sayembara yang dir langsungkan
besok lusa. Aku terkejut dan tertarik ketika mendengar bahwa sayembara itu bukan
pertandingan adu kedigdayaan, melainkan suatu sayembara aneh yang baru kali ini kudengar.
Cobalah engkau terka, sayembara apakah itu?"
Nararya tersenyum "Sayembara mencari pusaka, bukan ?" sahutnya.
"Hai!" Lembu Peteng berseru kejut "ternyata raden juga tahu akan hal itu"
Nararya mengangguk "akupun telah memperoleh berita tentang sayembara itu, kakang. Rupanya
makin dekat berlangsungnya sayembara makin luas tersiarnya berita, itu. Teruskan, kakang"
"Pucuk dicinta ulam ba" kata Lembu Peteng pula "tengah aku hendak bertanya lebih lanjut
tentang sayembara itu, ba2 masuklah dua orang yang mengenakan dandanan sebagai prajurit.
Memang di kedai itu banyak dikunjungi orang yang silih bergan datang dan pergi. Melihat
kehadiran kedua prajurit, orang yang membicarakan tentang sayembara itupun hen kan ceritanya.
Rupanya mereka takut kepada prajurit itu"
"Bukan ada sebabnya mereka takut itu, kakang" kata Nararya "menurut keterangan dari orang
yang membicarakan tentang peris wa itu, memang sayembara itu takkan dibuka untuk semua
rakyat, melainkan berlaku untuk semua kaum prajurit dan hanya disaksikan dalam lingkungan
mereka sendiri. Dengan begitu orang yang bercerita di kedai itu tentu takut apabila sampai
terdengar oleh kedua prajurit pendatang itu"
Lembu Peteng mengangguk dan membenarkan, kemudian melanjutkan pula "Terpaksa aku
tambah makanan dan minuman agar dapat berada lebih lama di-situ dan mungkin akan
mendengar sesuatu dari kedua prajurit itu. Ternyata harapanku tak sia2. Sambil makan kedua
prajurit itupun mulai bercakap-cakap. Prajurit yang agak tua mulai membuka mulut dengan
bersungut-sungut "Aneh benar, mengapa sampai terjadi bunuh membunuh diantara keempat
orang itu ?" Sahut prajurit yang lebih muda dan bertubuh tegap "Ya, kutahu. Seta, Gita, Tumbuk dan Kalila
itu merupakan kawan yang karib dan disayang sekali oleh bekel Sindung, mengapa akhirnya mereka
saling bunuh membunuh sendiri?"
"Apakah engkau tak tahu pula bahwa beberapa hari yang lalu keempat prajurit itu telah menuju
ke daerah selatan?" tanya prajurit yang agak tua.
"Ke daerah selatan" Kemana?" tanya Prajurit bertubuh tegap.
"Apakah engkau benar2 tak tahu?" prajurit agak tua itu menegas.
"Ah, kakang Galuh" kata prajurit bertubuh tegap "kalau tahu masakan aku bertanya"
Prajurit yang disebut Galuh itu mengangguk. Sejenak ia lepaskan pandang kearah tetamu2 yang
berada di kedai itu. Tak berapa banyak. Saat itu Lembu Peteng pura2 menunduk untuk menyuap
hidangannya, seolah-olah tak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Kemudian terdengar prajurit Galuh itu berkata kepada kawannya "Mereka berempat diutus ki
bekel ke Lodoyo" "Celaka raden" kata Lembu Peteng kepada Nararya yang mendengarkan penuturan itu dengan
penuh perha an "saat itu aku tengah menggigit paha ayam. Ke ka mendengar kata2 prajurit
setengah tua itu, karena terkejut, tulangnya sampai meluncur ke dalam kerongkonganku. Aku
ketulangan dan batuk2 tak hen -hen nya. Kedua prajurit itu terkejut juga. Mereka menghampiri.
Setelah tahu keadaan diriku, ba2 prajurit yang agak tua itu menampar punggungku sekeras-
kerasnya. Akupun menguak dan tulang itu meluncur keluar juga"
Terpaksa Nararya tertawa mendengar cerita Lembu Peteng yang dibawakan dengan lucu itu "Lalu
bagaimana setelah itu?"
"Akupun menghaturkan terima kasih dan mereka dengan tertawa-tawa lalu kembali ke tempat
duduknya. Sengaja aku masih mengurut-urut leherku agar mereka mengira aku benar2 masih
kesakitan. Entah bagaimana aku pura2 membawa sikap sebagai seorang desa yang tolol. Ternyata
siasatku itu berhasil menghilangkan kecurigaan mereka. Tetapi prajurit Galuh itu memang bedebah
sekali" "Mengapa kakang Lembu ?" Nararya heran,
"Walaupun sudah tak mencurigai diriku, namun ke ka menerangkan tentang tujuan keempat
kawan mereka ke Lodoyo, dia merapatkan muka ke hadapan kawannya dan berkata dengan bisik2
sehingga aku tak mendengar apa yang dikatakan itu"
"O, engkau tak mendapat keterangan apa2 ?" tanya Nararya.
"Akhirnya mendapat juga tetapi harus peras keringat" kata Lembu Peteng. Kemudian ia
menuturkan kissah peristiwa itu lebih lanjut.
Kedua prajurit itu masih melanjutkan percakapannya. Tanya prajurit yang bertubuh tegap "Lalu
apakah keempat orang itu berhasil memperoleh bendaku?"
Prajurit Galuh mengangguk "Soal itu sangat dirahasiakan bekel Sindung. Dan keempat prajurit
itupua dipesan keras supaya jangan menceritakan hal itu kepada siapapun juga"
"Hm, bekel Sindung memang cerdik benar" seru prajurit bertubuh tegap.
Prajurit Galuh tersenyum "Tetapi manakah api yang tiada berasap, Wrasta"
"O" seru prajurit bertubuh tegap yang disebut Wrasta "adakah rahasia itu bocor?"
Prajurit Galuh mengangguk sarat "Secara kebetulan, aku bertemu dengan prajurit Seta. Dia
mengeluh dan tampak sedih. Atas pertanyaanku, dia mengatakan bahwa manusia itu sukar diduga
ha nya. Ke ga kawannya, Gita, Tumbuk dan Kalila yang begitu akrab dan dianggap seper saudara
sekandung, ternyata sampai ha hendak mengambil jiwanya. Lalu kutanyakan tentang sebabnya.
Karena hubunganku dengan dia erat sekali, maka dengan terus terang dia menuturkan peris wa
itu" Berhen sejenak prajurit Galuh melanjutkan "Dia mengatakan telah diperintah bekel Sindung
untuk mencari sebuah pusaka di Lodoyo bersama dengan Gita, Tumbuk dan Kalila. Mereka berhasil
mendapat pusaka itu dan diserahkan kepada bekel"
"Lalu mengapa Seta kua r jiwanya terancam" Bagaimana dia tahu kalau jiwanya hendak diarah
oleh ketiga kawannya ?"
"Ki bekel yang memberitahu kepadanya supaya dia berhati-hati terhadap ketiga kawannya itu"
Prajurit bertubuh tegap mengerut dahi. Sejenak kemudian ia bertanya pula "Mengapa mereka
saling bunuh membunuh di lembah itu?"
"Soal itu aku tak tahu" sahut prajurit Galuh. Kemudian ia mengajak kawannya pulang
Bercerita sampai disini, Lembu Peteng berhen sejenak untuk membenahi kain pembalutnya
yang agak melongsor. Setelah itu ia melanjutkan "Karena ingin mendapat kepas an pusaka apakah
yang berhasil diperoleh keempat prajurit itu diam-diam aku mengiku perjalanan kedua prajurit
tadi. Tetapi malang benar. Rupanya kedua prajuri itu tahu jejakku dan curiga. Tiba- ba mereka
berputar tubuh dan menyergap. Karena terkejut segeralah kuhantam mereka.
Prajurit bertubuh tegap terpelan ng jatuh menimpa batu, sedang prajurit Galuh rubuh terkapar
di tanah. Rupanya prajurit bertubuh tegap itu terkena dadanya sehingga tak ingat diri, sedang
prajurit Galuh hanya mengerang-erang kesakitan, budah terlanjur melukai mereka, kupaksa prajurit
Galuh untuk memberi keterangan tentang pusaka dari Lodoyo itu. Karena takut kubunuh, dia
mengaku terus terang bahwa pusaka itu tak lain adalah gong Prada dan gong pusaka itu masih
berada di rumah bekel Sindung. Dibawah ancaman pedang dia-pun mau menunjukkan letak rumah
bekel itu "Maaf, ki sanak, terpaksa engkau harus kusuruh menderita sedikit "kataku lalu menampar
kepalanya hingga pingsan. Kedua prajurit itu kuikat pada pohon dan kusumbat mulutnya supaya
jangan berteriak" "Segera aku menuju ke rumah bekel Sindung" kata Lembu Peteng pula "tetapi ba2 kulihat
sesosok bayangan hitam menggunduk dibelakang pohon yang tumbuh di samping rumah. Akupun
lalu bersembunyi dibalik gerumbul dan melihat apa yang akan dilakukan orang itu. Setelah malam
makin larut, diapun menyelinap masuk kedalam rumah bekel. Aku berdebar-debar menunggu.
Hanya ada dua kemungkinan. Orang itu seorang pencuri biasa atau memang bertujuan hendak
mencuri gong pusaka"
Ke ka Lembu Peteng berhen memulangkan napas, Nararya menunggu dengan penuh perha an.
Ia tertarik dengan penuturan Lembu Peteng.
"Tak lama kemudian, orang itupun keluar dari rumah bekel Sindung dengan membawa sebuah
benda yang ditutup dengan kain hitam. Saat itu aku segera hendak ber ndak menyergapnya tetapi
ba2 muncul seorang kawannya yang membantu membawa gong pusaka itu. Mereka berdua
menuju kesebuah gerumbul. Di situ mereka sudah mempersiapkan seekor kuda hitam. Mereka
mengangkut gong pusaka itu pada punggung kuda" kata Lembu Peteng melanjutkan ceritanya.
Aku tetap tak mau bertindak. Nanti setelah tiba diluar gapura barulah aku akan turun tangan.
Tetapi alangkah kejutku ketika terjadi suatu peristiwa yang tak pernah kuduga sama sekali.
Tatkala kedua pencuri itu hampir mendekati gapura, sekonyong-konyong dari balik sebuah
gerumbul di tepi jalan, loncat keluar seorang lelaki yang terus menyerang kedua pencuri itu
"Hm, bedebah engkau berani mencuri gong pusaka dari Lodoyo!" teriak orang itu seraya
menghantam" "O" desuh Nararya "adakah orang itu yang menyergapnya" tanyanya seraya menunjuk ke sosok
tubuh yang masih menggeletak di rumput.
Lembu Peteng mengiakan "Benar, memang dia. Ternyata dia digdaya juga. Dalam beberapa
gebrak salah seorang dari pencuri itu telah rubuh sedang yang seorang berusaha hendak melarikan
diri. Karena kulihat yang melarikan diri naik kuda bersama dengan gong pusaka maka aku tak dapat
menahan diri lagi dan terus loncat menerkamnya. Orang itu pun terpelan ng jatuh. Akupun segera
hendak mengambil buntalan kain hitam yang termuat dipunggung kuda tetapi sekonyong bahuku
dicengkeram orang dan disentakkan kebelakang sehingga aku terpelanting ke tanah"
"Marahku bukan kepalang ke ka melihat yang menyentakkan bahuku itu bukan lain adalah
orang yang-menyergap pertama kali tadi "Keparat, engkau hendak merampas benda itu !" akupun
berteriak dan loncat menerkamnya."
"O, kakang berganti lawan dengan orang itu ?" tanya Nararya.
"Benar" jawab Lembu Peteng "dia juga perkasa sekali. Aku harus memeras keringat sampai
beberapa waktu baru dapat menyelesaikannya. Ah, hampir saja aku kalah ke ka dalam sebuah
terjangan dia berhasil menabas bahuku. Aku tak tahu kalau diam2 karena terdesak dia lantas
mencabut pedang. Aku terhuyung-huyung mundur karena itu. Rupanya dia masih belum puas dan
hendak membunuh aku. Cepat ia memburu dan ayunkan pedangnya pula. Dia telah termakan
siasatku. Memang aku membawa sikap seper orang yang sudah tak berdaya karena menderita
luka maka dia hanya mencurahkan perha an untuk menabas tanpa memikirkan pertahanan.
Kesempatan itu tak kusia-siakan. Tiba2 aku melangkah maju dan menendang perutnya. Kuhimpun
seluruh tenagaku dalam tendangan itu dan hasilnyapun mengerikan sekali. Orang itu mengaum
seper singa kesakitan, tubuh terlempar sampai beberapa'langkah dan ke ka jatuh ke tanah tak
berku k lagi. Entah masih hidup atau sudah ma . Aku sendiri karena terlalu banyak mengeluarkan
darah, lemas lunglai dan rubuh dibawah batang pohon ini"
"Dan kakang tak memperhatikan lagi kedua pencuri itu?" tanya Nararya.
Lembu Peteng gelengkan kepala "Bagaimana aku mungkin membagi perha an kepada orang itu"
Sedikit pikiran terpecah, tentu aku sudah mati dibawah pedang orang itu"
"Baiklah " kata Nararya "mari kita periksa siapakah orang yang menyerangmu itu. Rupanya dia
juga mempunyai kepen ngan dengan gong pusaka dari Lodoyo. Kalau masih hidup kita dapat
menggali keterangan dari mulutnya"
Keduanya segera menghampiri orang yang masih terkapar di rumput. Ke ka dekat, ba2 Nararya
memekik "Ki bekel Saloka ...." ia terus lari menghampiri dan mengangkat tubuh orang itu. Orang itu
tak lain memang bekel Kuda Saloka. Nararya memeriksa dadanya, pernapasannya masih berjalan
walaupun lemah "Dia masih hidup" serunya penuh harapan.
"Siapa dia ?" Lembu Petengpun terkejut.
"Kita tolong dulu, baru nan kuceritakan" jawab Nararya seraya sibuk mengurut-urut dada bekel
Saloka dan memijat-mijat kaki tangannya.
"Minumkan air ini " kata Lembu Peteng seraya mengangsurkan kantong air yang dibekalnya.
Setelah beberapa saat diberi pertolongan akhirnya bekel Salokapun mulai merin h. Dan beberapa
saat lagi, iapun dapat membuka mata.
"Engkau raden ... hai, keparat ... !" ba2 mata bekel Saloka membelalak dan wajah memberingas
memandang Lembu Peteng. Serentak dia hendak bangun tetapi ia harus pejamkan mata dan
mengerut dahi karena menahan sakit. Rupanya luka pada perutnya cukup berat sehingga masih
sakit untuk bergerak. "Ah, ki bekel salah faham" kata Nararya yang segera menger duduk perkara bekel itu dengan
Lembu Peteng "dia adalah kawan kita sendiri"
"Huh?" bekel Saloka membuka mata "kawan sendiri " Siapa ?"
"Kakang Lembu Peteng dari gunung Kelud"
"Hah!" bekel Saloka memberingas lebih tegang "bukankah Lembu Peteng itu kepala gerombolan
gunung Kelud ?" Nararya mengangguk "Benar. Tetapi mereka bukan gerombolan jahat melainkan pelarian dari
bekas prajurit2 Glagah Arum yang tak mau tunduk pada Singasari. Kini kakang Lembu Peteng
membantu usaha kita dalam mencari gong pusaka itu"
Bekel Saloka menegas dengan pandang mata menatap wajah Nararya. Mata Nararya yang
memancar sinar tenang mengandung wibawa itu, memberi kepas an akan kebenaran dari
ucapannya "Ki bekel tak perlu sangsi. Jika keteranganku bohong, kuserahkan batang kepalaku
kepada ki bekel" "Ki bekel, maaf" setelah mendengar percakapan mereka, Lembu Peteng dengan dada lapang
meminta maaf "kita telah saling salah faham. Karena belum kenal, kukira ki bekel hendak
merampas gong itu. Pada hal sejak kedua penjahat itu mengincar rumah bekel Sindung, aku sudah
mengawasi gerak-geriknya. Apabila aku marah karena ki bekel telah mendahului hendak merebut
pusaka itu, tentulah ki bekel dapat memaklumi"
Bekel Kuda Saloka juga seorang yang berwatak terbuka dan jujur. Cepat ia dapat menerima
peristiwa itu sebagai suatu kesalahan faham. Iapun meminta maaf kepada Lembu Peteng "Aku
sendiripun juga mengikuti gerak gerik kedua penjahat itu tetapi terus tinggalkan tempat itu dan
menunggu mereka di jalan yang sepi. Karena kita berkelahi mereka sempat melarikan diri
membawa pusaka itu. Ah, sayang. Tetapi aku tak kecewa, kebalikannya bahkan merasa
gembira" "Mengapa?" Lembu Peteng terkesiap.
"Bukankah kalau kita tak berkelahi tentu tak saling kenal " Walaupun kehilangan jejak gong
pusaka itu tetapi hanya untuk sementara waktu. Kelak kita pas dapat menemukan kembali. Aku
yakin. Yang menggembirakan, aku dapat bersahabat dengan ki Lembu Peteng yang disohorkan
orang sebagai gerombolan gunung Kelud yang suka mengganas rakyat, tetapi yang ternyata bukan
begitu " kata beisel Kuda Saloka.
Demikian setelah perkenalan yang dijalin dengan saling meminta maaf karena masing2 telah
sama2 melukai, akhirnya Nararya berkata "Ki bekel, bagaimana dengan penjahat yang ki bekel
sergap itu?" Bekel Saloka seper disadarkan "O, benar, dia masih terkapar di jalan" ia berbangkit lalu
berjalan. Ternyata perutnya masih sakit sehingga ia berjalan dengan mendekap perut dan agak
terbungkuk-bungkuk. Orang itu masih menggeletak di tepi jalan. Ketika Nararya bertiga memeriksa, ternyata orang
itu sudah mati "Aneh" kata bekel Saloka sambil memeriksa perut orang itu "mengapa perutnya
ternganga sebuah luka besar ?"
"Rupanya luka akibat tusukan senjata tajam " kata Nararya.
"Itulah yang mengherankan" gumam bekel Saloka "pada hal jelas kuserangnya dengan nju,
bukan dengan senjata tajam. Siapakah yang telah membunuhnya ?"
Tiada yang dapat menjawab. Setelah hening beberapa jenak, Nararya berkata "Menurut
dugaanku, tetapi entah benar entah dak, kemungkinan yang membunuh orang ini adalah
kawannya sendiri itu"
Lembu Peteng dan bekel Saloka terkesiap "Mengapa" Bukankah mereka bekerja bersama dan
layaklah kalau mereka harus tolong menolong, tetapi mengapa bahkan membunuh kawan sendiri?"
seru Lembu Peteng. Nararya mengangguk "Benar. Memang menurut alam pikiran ki Lembu Peteng maupun ki
bekel yang jujur, kawan seperjuangan itu harus tolong menolong dalam kesukaran. Tetapi
janganlah kita mengukur kaum penjahat menurut nilai ukuran pikiran kita. Bagi mereka, kawan
itu diwaktu masih sama2 berkepentingan dan sama memerlukan tetapi apabila sudah tak
membutuhkan, kawan itu harus disingkirkan, bahkan kalau perlu dibunuh. Kawan, bagi mereka


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanyalah soal kebutuhan, bukan soal orang"
Lembu Peteng dan bekel Saloka mengangguk.
"Mungkin penjahat yang kedua yalah yang disergap kakang Lembu Peteng, dak menderita luka
parah. Dia teringat akan kawannya dan karena kakang Lembu masih asyik berkelahi dengan ki
bekel, maka sempatlah orang itu mencari kawannya yang seorang. Kemungkinan kawannya itu
pingsan atau menderita luka parah dan orang itu merasa suatu beban berat apabila harus
membawa kawannya yang pingsan itu. Tentulah timbul pikiran jahat dalam hati orang itu. Daripada
kawannya yang terluka itu jatuh ke tangan kakang Lembu atau ki bekel sehingga dapat membuka
rahasia diri mereka, lebih baik kawan yang pingsan itu dibunuh sekali agar dapat melenyapkan
buk . Dan kedua kali, orang itu dapat membawa gong pusaka kepada pimpinannya. Jasa atau
hadiah tentu dapat diterimanya sendiri. Ki bekel dan kakang Lembu, memang dalam kalangan
penjahat, sering terjadi ndakan demikian, membunuh kawan yang terluka parah agar jangan
sampai dapat memberi keterangan kepada musuh"
Panjang lebar Nararya menguraikan dugaannya. Baik Lembu Peteng maupun Kuda Saloka
diam2 memuji kecerdasan pemuda itu.
"Lalu bagaimana tindakan kita, raden ?" tanya bekel Kuda Saloka.
"Sayembara itu akan diadakan lusa, kita harus berusaha menyelidiki dan mencari berita
bagaimana hasil sayembara itu. Yang penting, adakah Gong Prada itu juga diikut-sertakan
dalam sayembara itu atau tidak"
"Jelas tidak, raden" tukas Lembu Peteng "bukankah gong pusaka itu sudah dicuri orang ?"
Bekel Salokapun hampir cenderung dengan pendapat Lembu Peteng tetapi Nararya berkata
"Memang seharusnya demikian. Tetapi bagaimana kenyataannya baik kita tunggu saja keadaan
bekel Sindung. Jika dia melakukan gerakan mengirim orang untuk mencari jejak pencuri itu, jelas
gong pusaka itu tentu sudah hilang. Tetapi kalau bekel Sindung tenang2 saja, terpaksa kita harus
menunggu sampai terselenggaranya sayembara itu"
Bekel Kuda Saloka dan Lembu Peteng setuju. Oleh karena sudah menjelang terang tanah, mereka
ber gapun kembali ke gapura selatan, setelah mengambil kedua anakbuahnya Lembu Peteng dan
Nararya segera ikut bekel Saloka ke gua Selamangleng.
Hari itu Nararya meminta supaya bekel Saloka dan Lembu Peteng beris rahat untuk
menyembuhkan lukanya. Dia_ sendiripun tak keluar melainkan suruh dua orang anakbuah Kuda
Saloka untuk menyelidiki keadaan tempat bekel Sindung.
Nararya heran ke ka menerima laporan dari kedua pengalasan Lodoyo itu bahwa keadaan
dirumah bekel Sindung tenang2 saja seperti tak terjadi sesuatu
"Aneh" gumam Nararya ke ka menyampaikan laporan itu kepada bekel Saloka dan Lembu
Peteng "adakah kakang dan ki bekel tak salah lihat peris wa pencurian di rumah ki bekel Sindung
?" Bekel Saloka dan Lembu Peteng dengan tandas mengatakan bahwa mereka menyaksikan sendiri
penjahat itu mengangkut sebuah benda yang dilipat dengan kain hitam.
"Tetapi mengapa bekel Sindung tak gempar " Mengapa dia tenang2 saja?" tanya Nararya. Kedua
orang itu tak dapat memberi jawaban.
"O, ki bekel belum menceritakan pengalaman yang ki bekel lakukan kemarin" ba2 Nararya
berkata. Bekel Saloka mengatakan bahwa ia berkunjung ke rumah seorang kawannya yang kini menjadi
prajurit kerajaan Daha. Dia termasuk prajurit di bawah senopa Sagara Winotan "Karena aku
mengatakan kepadanya bahwa kini aku nggal di daerah Balitar sebagai petani maka diapun tak
menaruh kecurigaan suatu apa dan dalam percakapan malam itu, dia mengatakan tentang
keluhannya" kata bekel Saloka "dia mengeluh karena tak mampu memperoleh benda pusaka
sehingga tak dapat ikut dalam sayembara"
"Atas pertanyaanku" kata bekel Saloka "dia menuturkan tentang sayembara yang diadakan oleh
tumenggung Pangelet itu "Sebenarnya aku sudah mempunyai pandangan sebuah benda pusaka
yang hebat, tetapi sayang....." katanya sambil menghela napas.
"Sayang bagaimana ?" tanyaku.
"Eh, kakang Saloka" katanya "apakah di daerah kediamanmu tak terjadi suatu peris wa apa-apa
?" Bekel Saloka terkejut dan diam2 menduga bahwa yang dimaksudkan kawannya itu tentulah
tentang peristiwa hilangnya gong Prada. Tetapi dia pura2 tak tahu "Peristiwa apa " Selama ini
alcu tak mendengar peristiwa suatu apa"
"Kakang" kata orang itu "akan kuberitakan kepadamu suatu peris wa yang menggemparkan
tetapi janganlah kakang menceritakan kepada orang lain. Maukah kakang berjanji ?"
Bekel Saloka memberikan janjinya.
Ternyata arang itu menceritakan tentang gong pusaka dari Lodoya yang saat itu telah diangkat
oleh empat pengalasan bekel Sindung ke rumah bekel tersebut "Bekel itu akan maju dalam
sayembara dengan gong itu" katanya.
"Setelah mendapat keterangan, malam itu akupun diam2 hendak menyelidiki rumah bekel
Sindung tetapi alangkah kejutku ketika seorang penjahat telah mendahului masuk ke dalam
rumah Sindung dan mencuri gong pusaka. Cepat2 kutinggalkan tempat itu untuk mencari tempat
yang sunyi. Setelah kedua orang itu tiba, maka kuserangnya. Sayang yang seorang sempat
lari. Setelah kubereskan yang seorang lalu kukejar kawannya yang membawa kuda itu. Tetapi
alangkah kejutku ketika kulihat ki Lembu menyerang orang itu. Karena mengira ki Lembu
hendak merampas gong pusaka dan karena masih belum kenal maka kuseranglah ki Lembu.
Waktu kami berkelahi dengan seru, penjahat itu sempat melarikan gong Prada"
Bagaimana kelanjutan cerita itu, Nararya sudah mengetahui. Hari itu mereka berada di gua,
beristirahat merawat luka dan bercakap-cakap sampai malam.
Keesokan harinya atau hari kedua, Nararya minta kedua orang itu tetap nggal di gua, sedang
dia sendiri yang akan masuk ke pura untuk mencari berita tetapi Kuda Saloka menolak "Lukaku
sudah hampir sembuh. Aku faham akan keadaan pura Daha. Akupun mempunyai beberapa kenalan
di dalam pura. Kalau aku yang pergi, tentu tak menimbulkan kecurigaan. Beda dengan raden yang
tentu cepat menarik perhatian orang maka lebih baik aku sajalah yang menyelidiki"
Nararya menganggap kata2 ki bekel Saloka memang beralasan. Akhirnya ia mengalah. Pikirnya,
nan malam saja dialah yang akan gan masuk ke pura. Bekel Saloka disertai seorang pengalasan
Lodoyo berangkat ke pura.
Bekel Saloka cukup berha -ha . Ia tak mau mengunjungi sahabatnya yang menjadi prajurit itu
lagi melainkan mencari lain sahabatnya yang bernama Sarawita, bekerja sebagai p r a h a s t i atau
pawang gajah dari akuwu Jayakatwang.
Sejak raja Kertajaya atau Dandang Gendis dari Daha dikalahkan oleh raja sri Rajasa sang
Amurwabhumi atau Ken Arok dari Singasari maka Dahapun menjadi bawahan Singasari.
Baginda Rajasa mengangkat raja Jayasaba sebagai pengganti Dandang Gendis. Dan berturut-
turut terjadilah pergantian raja di Daha oleh kera-jaan Singasari. Yang terakhir setelah baginda
Kertanagara naik tahta maka yang diangkat sebagai raja di Daha adala-h Jayakatwang yang
memerintah Daha sampai sekarang. Sebagai raja bawahan dari Singasari, sesungguhnya
kedudukan Jayakatwang tak lain hanya sebagai akuwu. Tetapi demi menarik perasaan
Jayakatwang dan rakyat Daha, baginda Kertanagara menganugerahkan gelar raja kepada
akuwu itu. Baginda Kertanagara memang cerdas dan mempunyai pandangan yang jauh dan cita2 yang tinggi.
Ia hendak meluaskan pengaruh kekuasaannya, mempersatukan nuswantara. Untuk mencapai
gagasan besar itu, yang pertama keadaan dalam negeri harus aman dan tenteram. Iapun tahu
bahwa diantara raja2 dan adipa bawahan Singasari, hanya Dahalah yang harus dijaga dan
diperha kan agar jangan sampai berontak. Oleh karena itu disamping menganugerahkan gelar
kepada Jayakatwang dan memberi kelonggaran2 kepada Daha dalam menjalankan
pemerintahannya, pun baginda Kertanagara, berniat heridak mengambil menantu putera
Jayakatwang yang bernama pangeran Ardaraja, akan dijodohkan dengan salah seorang puteri
baginda. Dengan menimbuni segala kebaikan dan mengikat hubungan keluarga dengan Daha
baginda Kertanagara yakin Jayakatwang tentu takkan mempunyai pikiran untuk berontak lagi.
Sarawita menyambut kedatangan bekel Kuda Saloka dengan gembira. Lama mereka tak
berjumpa. Pun kepada Sarawita, bekel Saloka tetap mengatakan menuntut kehidupan sebagai
petani di Balitar. "Mengapa hari ini kakang berada di rumah?" tanya bekel Saloka.
"Sebenarnya hari ini pangeran Ardaraja hendak berburu dengan mengendarai gajah tetapi
dibatalkan karena hari ini pangeran menerima seorang tetamu" kata Sarawita.
"O" desuh bekel Saloka "tentulah seorang tetamu yang pen ng hingga pangeran sedemikian
besar menaruh penghargaan"
Sarawita mengangguk "Ya. Tetapi bukan penghargaan melainkan perhatian. Karena setiap
tetamu itu datang, tentu pangeran melayani dengan penuh perhatian"
Naga Naga Kecil 7 Anak Berandalan Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Terbang 4
^