Pencarian

Dendam Empu Bharada 29

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 29


gawat. Hilangnya sang adhyaksa mpu Raganata harus kita tanggapi sebagai suatu pertanda
dari kekuatan musuh yang berani menyusup ke dalam pura Singasari. Kita harus lekas
bertindak, raden." "Benar, Sora," sahut Wijaya "memang hal itu harus kita tangani secara sunggguh-sungguh
pula.Tetapi engkau tentu sudah tahu, bahwa dalam beberapa hari lagi aku segera akan berangkat
ke Malayu, Apabila eyang Raganata tak berhasil kita ketemukan, lalu siapa yang dapat kuserahi
menjaga keselamatan Singasari " Hatiku benar-benar pepat sekali, Sora."
"Raden Wijaya," serempak Sora dan Nambi berseru "kami mengabdi kepada raden adalah
dengan tujuan untuk mengabdi kepada Singasari. Memang jika sang adhyaksa dapat diketemukan,
itu baik sekali. Tetapi kalau tidak, raden harus membatalkan kepergian raden ke Malayu."
Wijaya gelengkan kepala "Titah raja, tak mungkin dapat dibantah."
"Benar kakang Wijaya," seru Lembu Mandira "seri baginda tentu akan bertanya apa alasan
kakang Wijaya tak ingin ke Malayu. Dalam bal itu, tentulah nan seri baginda akan tahu peris wa
hilangnya rama dari Tumapel."
"Tetapi bukankah itu lebih baik, raden Mandira?" seru Nambi "bukankah seri baginda segera
menurunkan amanat untuk mengerahkan pasukan mencari sang adhyaksa?"
"Tidak, kakang Nambi," sahut Lembu Mandira "itu kurang baik"
"Mengapa raden ?" Nambi heran.
"Pada hematku begini," kata Lembu Mandira "apabila peris wa itu sampai diketahui seri
baginda, seri baginda pas akan menitahkan pasukan untuk mencari penjahat itu. Hal itu akan
membawa dua akibat yang tak menguntungkan. Pertama, dengan berani menculik seorang
adhyaksa, tentulah penjahat itu memiliki kekuatan dan jumlah orang yang cukup banyak. Selekas
mendengar keputusan seri baginda, mereka tentu akan melarikan diri dengan membawa rama.
Kedua, apabila mereka sudah terputus jalan untuk meloloskan diri dari pengejaran pasukan
kerajaan, satu-satunya jalan yang terbaik adalah membunuh rama untuk menghilangkan jejak."
Nambi terkejut mendengar pandangan anakmuda putera mpu Raganata yang sedemikian tajam.
Dia sendiri tak sampai menjangkau pada pemikiran sejauh itu. Demikian Wijaya dan Sora. Diam-
diam keduanya juga terkejut dan kagum atas kecerdasan anakmuda itu.
"Lalu bagaimana tindakan, raden ?" tanya Nambi sesaat kemudian.
"Kita harus mencarinya sendiri. Pertama, agar musuh dak tahu ndakan kita sehingga dak
buru-buru melarikan diri atau membunuh rama. Dan kedua, kita akan dapat mengetahui lebih
jelas, siapakah musuh itu" Adakah dia itu termasuk salah satu dari sekian banyak golongan yang
sedang berebut pengaruh dalam pemerintahan Singasari ataukah memang digerakkan dari
kekuasaan lain kerajaan."
"Aku setuju, raden Mandira," cepat Sora menyambut, kemudian dia beralih kepada Wijaya
"raden Wijaya, kami adalah abdi Singasari. Apabila raden percaya, berikanlah tugas menjaga
keamanan Singasari itu kepada kami. Kami bersumpah, demi Batara Agung, akan menyerahkan jiwa
raga kami untuk menjaga keselamatan Singasari."
"Bagus, Sora," seru Wijaya. Ia cukup kenal akan perangai dan kesetyaan Sora "memang engkau
dan Nambi akan kuminta membantu eyang Raganata."
"Karena rama tak ada, maka akulah yang mewakili," ba- ba pula Lembu Mandira memberi
pernyataan. "Mandira," Wijaya terkejut "tetapi engkau harus mencari ramamu. Bagaimana mungkin engkau
.... " "Kakang Wijaya," tukas Lembu Mandira "memang bagaimanapun yang akan terjadi, aku tetap
akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari rama. Aku bersumpah, demi Dewata Agung, untuk
membebaskan rama. Dan jika sampai terjadi sesuatu yang tak kuinginkan pada rama, musuh itu
akan kurobek-robek tubuhnya."
Bernyala-nyala sinar mata Lembu Mandira dikala melantangkan sumpahnya itu. Wijaya, Sora dan
Nambi memuji akan anakmuda yang berbhakti terhadap orangtuanya itu.
"Hilangnya rama jelas mempunyai hubungan dengan keselamatan Singasari, Tetapi walaupun
mpu Raganata tak ada, masih ada puteranya, Lembu Mandira ini, yang siap menjadi tumbal
Singasari!" Serta merta Wijaya memeluk Lembu Mandira. Ia benar-benar terharu mendengar pernyataan
Lembu Mandira itu "Mandira, berbahagialah kiranya Singasari mempunyai putera seper dikau.
Selama masih ada putera-putera yang berjiwa seper engkau, tak mungkin Singasari akan runtuh
selama-lamanya!" Kemudian Wijaya mulai mengatur rencana. Pimpinan menjaga keselamatan negeri Singasari
tetap berada di tangan mpu Raganata yang diwakili Lembu Mandira. Lembu Mandira disertai
dengan pembantu-pembantu Sora, Nambi, Lembu Peteng, Medang Dangdi dan beberapa orang
pula, Mereka harus dapat membentuk suatu kesatuan dari tenaga-tenaga yang telah terla h, agar
se ap waktu yang diperlukan dimana Singasari benar-benar terancam bahaya, dapat menghadapi
musuh. "Mengenai eyang Raganata," Wijaya menambahkan pula "mari sekarang kita usahakan. Apabila
belum berhasil dan aku sudah keburu berangkat ke Malayu, kuminta kalian tetap melanjutkan
usaha itu sampai eyang adhyaksa dapat diketemukan."
"Sora, Nambi," kata Wijaya lebih jauh "ingatlah pesanku. Kalian dan kawan-kawan harus tunduk
pada pimpinan adi Lembu Mandira ini. Walaupun dia masih muda, tetapi dia memiliki pandangan-
pandangan yang baik. Peliharalah peraturan, ketertiban dan kesatuan."
"Baik, raden," kata Sora "kami taat pada pimpinan bukan karena memandang siapa orangnya,
berapa usianya dan bagaimana keturunannya, melainkan atas dasar suatu peraturan yang berlaku
dalam keprajuritan. Setiap bawahan harus taat kepada pimpinan."
Pada saat mereka berbincang-bincang itu, ba- ba masuklah seorang hamba, melaporkan
tentang kunjungan dua orang tetamu yang aneh "Mereka mengenakan busana keprajuritan tetapi
jelas bukan prajurit Singasari. Potongan tubuh dan wajah merekapun lain dari kita terutama
matanya yang sipit, raden," hamba itu memberi keterangan atas pertanyaan Wijaya.
Dengan diiring oleh Sora, Nambi dan Lembu Mandira, Wijaya segera keluar untuk menyambut.
Agak terkejut ia ke ka melihat dua orang prajurit yang dikenalnya sebagai prajurit dalam
rombongan pengawal utusan raja Kubilai Khan di istana pagi tadi. Kedua prajurit Tartar itu tegak
berdiri di halaman pendapa.
Sora, Nambi dan Lembu Mandira juga terkejut. Mereka segera bersiap-siap untuk menghadapi
setiap kemungkinan. "Siapa mereka, kakang Wijaya," bisik Lembu Mandira.
Sebelum Wijaya sempat menjawab, tampak kedua prajurit Tartar itu membungkukkan tubuh
sebagai tanda-memberi hormat kepada Wijaya. Wijayapun agak surut kecurigaannya. Diapun
segera balas memberi hormat lalu mempersilakan meieka masuk.
"Kedatangan kami di gedung kediaman tuan, adalah atas perintah panglima kami Tomulo, untuk
menghaturkan persembahan surat kepada tuan," kata salah seorang prajurit itu dengan bahasa
kawi yang tersendat-sendat.
"O, surat" Surat apakah itu?" Wijaya, agak terkejut.
"Surat piagam sebagai tanda, persahabatan kepada tuan," kata prajurit itu pula.
Wijaya terkesiap heran. Mengapa panglima Tartar hendak memberi surat piagam tanda
persahabatan kepadanya"
"Ah," desah Wijaya dalam ha . Ia merasa serba sukar. Apabila menerimanya, bukankah dia akan
dianggap sebagai sahabat dengan orang Tartar " Tidakkah seri baginda Kertanagara akan murka
apabila mendengar berita itu "
"Ah, namun jika kutolak," pikir Wijaya lebih lanjut " dakkah hal itu akan dianggap sebagai suatu
penghinaan kepada panglima Tartar?"
Setelah menimang beberapa saat, akhirnya Wijaya mengambil keputusan. Saat itu negeri
Tartar belum resmi menjadi musuh Singasari. Dengan demikian panglima Tomulo itu masih
dalam kedudukan sebagai seorang tetamu. Kiranya takkan mencemarkan kepentingan
Singasari apabila ia menerima piagam itu. Bahkan dengan itu, tentulah panglima Tomulo akan
mempunyai kesan baik terhadap Singasari sehingga kelak apabila pulang dapat memberi
laporan kepada junjungannya, maharaja Kubilai Khan, bahwa rakyat Singasari adalah rakyat
yang ramah dan suka bersahabat. Mungkin pula, Tomulo akan mencegah apabila Kubilai Khan
bermaksud hendak menggunakan kekerasan kepada Singasari.
"Mengapa panglima Tomulo memerlukan memberi piagam ini kepadaku ?" tanya Wijaya.
"Panglima kami amat menghargai sikap tuan dalam sidang penyambutan utusan raja kami di
keraton kerajaan Singasari pagi tadi. Kelak di kemudian hari apabila tuan sempat berkunjung ke
negeri kami atau bertemu dengan pasukan Tartar, dengan menunjukkan surat piagam ini, mereka
tentu akan menghormat tuan," prajurit Tartar itu menjelaskan.
"O, baiklah," Wijaya segera menyambuti piagam itu kemudian memeriksanya. Ia tak mengerti apa
ar daripada gores2 tulisan pada piagam itu yang tertulis dalam bahasa Cina. Namun ia percaya
akan keterangan kedua prajurit Tartar itu.
"Harap tunggu sebentar," kata Wijaya lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama ia keluar lagi
dengan membawa sebilah cundrik "Sampaikan salam dan terima kasihku kepada panglima Tomulo.
Dan ini," ia mengangsurkan cundrik "akupun hendak menghaturkan sebuah benda sebagai balas
yang menyatakan tanda persahabatan diantara ksatrya Singasari dengan panglima Tomulo."
Prajurit itu menyambuti cundrik itu, memberi hormat lalu memohon diri.
"Raden, mengapa raden menerima piagam persahabatan itu" Bukankah apabila didengar
baginda, raden dapat dimurkai?" tanya Sora.
Wijaya menerangkan semua hal yang telah diper mbangkannya "Sora, sekarang kita belum resmi
bermusuhan. Tak baik apabila menolak uluran persahabatan orang."
"Tetapi bagaimana kalau seri baginda Kertanagara murka kepada raden ?"
"Akan kujelaskan pendirianku. Kurasa seri baginda tentu cukup bijaksana untuk dapat
memaklumi pendirianku ini."
"Bagaimana kalau kelak, misalnya, maharaja Kubilai Khan mengirim pasukan untuk menyerang
Singasari ?" tanya Sora pula
"Akan kuhancurkan piagam ini," jawab Wijaya. Kemudian mereka merundingkan lagi tentang
rencana untuk mencari jejak mpu Raganata.
"Dalam peris wa hilangnya eyang Raganata ini," kata Wijaya "ada dua fihak yang patut kita
curigai. Fihak pa h Aragani dan kedua, fihak Daha. Keberangkatanku ke Malayu masih setengah
candra lagi. Maka masih ada waktu untuk mencari eyang adhyaksa."
"Sekarang kita pecah diri menjadi dua rombongan," kata Wijaya melanjut "rombongan pertama,
menyelidiki ke Daha. Rombongan kedua, menyelidiki tempat kediaman patih Aragani."
"Kurasa masih perlu ditambah dengan sebuah rombongan lagi, raden," kata Nambi.
"Untuk apa" "
"Menyelidiki kediaman pangeran Ardaraja," jawab Nambi "karena sebagai laporan yang perlu
kami haturkan kepada raden, waktu raden memberi perintah kepada kami untuk mengiku jejak
kedua penyerang yang menyergap raden di tengah jalan tempo hari, ternyata kedua orang itu
menuju ke gedung pangeran Ardaraja. Dengan begitu jelas, bahwa kedua penyerang itu adalah
orang suruhan pangeran Ardaraja untuk membunuh raden."
Wijaya menyetujui. "Masih ada sedikit tambahan," seru Lembu Mandira "agar peris wa hilangnya rama itu jangan
sampai tersiar keluar. Kita harus merahasiakan hal itu agar jangan menimbulkan kegelisahan para
pengikut rama dan para kawula."
Wijaya menyetujui pula. Demikian mereka lalu membagi kerja. Tiga kelompok segera
dibentuk. Kelompok pertama yang bertugas menyelidiki tempat kediaman patih Aragani, terdiri
dari dari Wijaya sendiri dengan Lembu Peteng. Kelompok kedua yang menyelidiki tempat
kediaman pangeran Ardaraja, Sora dan Nambi. Sedang yang mencari berita ke Daha adalah
Lembu Mandira dengan Gajah Pagon. Sementara Pamandana yang memiliki perawakan seperti
mpu Raganata diminta supaya menyamar sebagai mpu Raganata dan tinggal di gedung
kadhyaksan Tumapel. ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Malam kelam tak berbintang. Sayup sayup terdengar derap langkah orang yang ringan.
Sedemikian ringan sehingga hampir tak menimbulkan suara.
Se up angin malam berhembus membawa kelembaban hawa malam yang dingin. Sunyi senyap
di seluruh penjuru. Gelap gelita membias pandang mata sehingga sekeliling penjuru hanya penuh
dengan gunduk-gunduk hitam yang beraneka bentuknya. Berselang- seling terdengar bunyi burung
kulik menyeruak kesunyian malam. Menambah keseraman suasana malam yang sepi makin seram.
Langkah kaki yang ringan itu berasal dari dua sosok tubuh yang mengenakan pakaian hitam,
sesuai dengan kekelaman malam itu. Mereka menuju ke sebuah bangunan yang besar. Sebuah
gedung yang dikelilingi pagar tembok kokoh.
"Setan, mengapa burung kulik itu tak hen -hen nya berbunyi " Apakah dia hendak memberi
tanda kepada penjaga gedung kepatihan"," gumam salah satu dari kedua orang itu.
"Jangan mengada-ada, Lembu Peteng," kata kawannya "burung hantu, burung kulik, memang
keluar berkeliaran mencari mangsa pada malam hari."
"Tetapi kata orang-orang tua, burung kulik itu dapat memberi tanda tentang datangnya pencuri
dan penjahat, raden," kata yang disebut Lembu Peteng.
Ternyata kedua orang itu memang Wijaya dengan Lembu Peteng. Sesuai dengan rencana yang
telah diputuskan, mereka berdua bertugas menyelidiki gedung kepa han. Wijaya memilih malam
yang gelap itu untuk melakukan penyelidikan. Keduanya mengenakan pakaian serba hitam dan
menutup muka dengan kain hitam juga. Hanya pada bagian mata yang diberi lubang. Dalam
keadaan seperti itu, apabila orang bersua dengan mereka, tentulah orang itu akan menjerit dan lari
ketakutan karena mengira telah bertemu dengan bangsa setan malam.
Tetapi malam itu sudah larut dan gelap pula. Tak mungkin orang ke luar rumah.
"Dan engkau percaya " " tanya Wijaya.
"Buktinya, mengapa malam ini burung kulik itu berbunyi gencar?" sahut Lembu Peteng.
"Hm, benar, mungkin secara kebetulan malam ini kita memang melakukan sesuatu yang dapat
dianggap seper pencuri. Coba sajalah besok malam kita keluar lagi tetapi tanpa tujuan hendak
menyelidiki rumah orang. Apakah engkau juga akan mendengar suara burung kulik atau tidak."
"Jarang, raden," kata Lembu Peteng "aku sering juga keluar malam tetapi jarang mendengar suara
burung kulik." "Tetapi malam ini engkau mendengarnya?"
"Bukanlah yang berbunyi dengan suara menukik-nukik itu burung kulik, raden ?"
"Ya, baiklah. Katakan penuturan orang-orang tua yang engkau dengar itu memang benar," kata
Wijaya "apa katamu kalau engkau menjadi penghuni atau penjaga gedung kepa han itu "
Bukankah engkau akan berterima kasib kepada burung itu ?" Wijaya tersenyum "dan kita, fihak
yang dirugikan oleh burung kulik, apakah hanya cukup dengan menyumpahi burung itu" Kita
manusia, apakah harus menyerah kalah kepada bangsa burung?"
"Memang tidak, raden," Lembu Peteng agak tersipu-sipu "lalu bagaimana kehendak raden?"
"Masakan kita harus kalah dengan burung kulik," kata Wijaya "kalau burung kulik itu hendak
memberi berita kepada para penjaga gedung kepatihan, kita-pun harus dapat mengatasinya?"
"Bagaimana caranya, raden ?"
"Gunakanlah aji penyirep agar penghuni dan para penjaga gedung kepa han itu ter dur," kata
Wijaya. "O, baiklah, raden."
"Cobalah engkau lancarkan aji sirep Begananda, Lembu Peteng," bisik Wijaya.
Lembu Peteng mengiakan. Ia segera mengheningkan cipta mengucapkan dalam ba n aji mantra
Begananda, sebuah ilmu aji penyirep yang dapat membuat orang terlena pulas.
Beberapa saat kemudian, Lembu Peteng menyudahi aji mantranya lalu. menjemput sebu r batu
kerikil dan dilemparkan ke dalam halaman gedung. Ia hendak menyelidiki apakah aji penyirapnya
berhasil atau tidak. Batu kerikil itu mengeluarkan bunyi yang jelas ke ka tepat menimpa atap pendapa muka. Tetapi
tak terdengar suara orang yang menanggapi lemparan batu kerikil itu.
"Rupanya penjaga-penjaga itu sudah ter dur," kata Lembu Peteng setelah beberapa saat tak
mendengar suara manusia dalam gedung itu.
"Baik, sekarang mari kita masuk," kata Wijaya memandang pagar tembok yang se nggi ga
tombak. Ia agak meragu. "Lembu Peteng, dapatkah engkau memanjat sampai ke puncak tembok ini ?" tanyanya.
Lembu Petengpun memandang sampai ke tembok teratas. Mulutnya berdecak-decak "Wah, nggi
benar puncaknya. Mungkin aku tak mampu mencapainya."
"Tetapi jalan yang terbaik hanya melalui pagar tembok ini. Jika lewat pintu gapura tentu akan
diketahui penjaga," kata Wijaya.
"Tetapi raden, bukankah mereka sudah termakan sirap ?"
"Ya, tetapi kita harus menjaga se ap kemungkinan," jawab Wijaya "bukankah engkau sudah
membayangkan tentang burung kulik itu" Andaikata para penjaga itu juga mempunyai pikiran yang
serupa dengan engkau bahwa burung kulik itu memberi tanda akan datangnya pencuri, dakkah
mereka akan bersiap-siap" Ingat, Lembu Peteng, diantara para penjaga gedung kepa han tentulah
terdapat yang berilmu. Pa h Aragani tentu memilih orang-orang yang berisi untuk menjaga
keselamatan tempat kediamannya."
Lembu Peteng mengiakan. "Apakah engkau membekal tali ?" tanya Wijaya.
"Ya." "Bagus, kita dapat mencapai puncak pagar tembok ini," Wijaya menyuruh Lembu Peteng berdiri
tegak "akan kulontarkan tubuhmu ke atas, berusahalah untuk meraih puncak tembok itu."
Lembu Peteng dapat menangkap maksud Wijaya. Ia berdiri diam, menahan napas,
mengosongkan diri agar tubuh ringan. Wijaya mengangkat tubuh Lembu Peteng lalu dilemparkan
sekuatnya ke atas. Lembu Petengpun bergeliatan melayang ke atas dan cepat meraih tepi puncak
tembok lalu mengangkat tubuhnya. Berhasillah dia hinggap di atas puncak tembok itu. Kemudian ia
mengeluarkan tali dan dilemparkan ke bawah "Raden, silakan memegang ujung tali erat-erat, akan
kutarik ke atas." Tapi Wijaya tak lekas menyambu ujung tali, melainkan berseru "Tunggu dulu, kakang Peteng.
Akan kucoba menggunakan ilmu yang belum pernah kugunakan."
Mendiang ayahandanya, Lembu Tal, Wijaya dipersiapkan menjadi seorang ksatrya yang sak
mandraguna agar kelak puteranya dapat melanjutkan cita-cita sebagai keturunan Ken Arok,
rajakula kerajaan Singasari.
Lembu Tal melaksanakan segala pesan mendiang ayahandanya, Mahisa Campaka atau batara
Narasingamur . Sang ratu Angabaya, demikian pangkat Mahisa Campaka dalam kerajaan Singasari
yang didirikannya bersama Rangga Wuni yang kemudian setelah dinobatkan sebagai raja bergelar
Wisnuwardhana, setelah berusia lanjut lebih senang mencari ketenangan ba n dari pada
mengurus tugas kewajibannya sebagai seorang ratu angabaya atau panglima besar, kemudian
bergelar sang Batara Narasingamurti.
Batara Narasingamur telah memperoleh penerangan ba n dan kesadaran yang nggi sehingga
menjadi seorang priagung yang sidik permana. Ia tahu akan peris wa yang akan datang. Maka
berpesanlah beliau kepada puteranya, Lembu Tal "Anakku, segala kehidupan di marca-pada ini
sudah diatur dalam mandalacakra yang telah ditentukan oleh Hyang Purbawisesa. Engkau, Lembu
Tal, dak dianugerahi dewata sebagai mana-insan yang akan melaksanakan Dharmacara suci.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jelasnya, engkau dak dipilih dewata sebagai manusia besar yang akan memikul beban berat
menentukan kesejahteraan dunia. Tetapi janganlah engkau berkecil ha , karena kesemuanya itu
memang sudah kodrat hidupmu. Namun engkau akan dilimpahi dewata sebagai manusia yang akan
melahirkan seorang ksatrya besar. Jauh lebih besar dari aku, pamanmu Wisnu wardhana dan
bahkan moyangmu Keh Arok."
"Rama," Lembu Tal terkejut mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa ramanya itu seorang waskita
"apakah yang rama maksudkan?"
"Jangan mendesak lebih lanjut, Lembu Tal, karena itu rahasia alam yang amat keramat," kata
Batara Narasingamur "cukup engkau lakukan pesanku ini. Kelak apabila engkau berputera seorang
lelaki hati-hatilah engkau merawat, mendidik dan menempanya dengan segala ilmu lahir batin. Dan
inilah"." Batara Narasihgamuni menyerahkan sebuah ikatan daun lontar "merupakan sebuah kitab
yang memuat bermacam ilmu jaya kawijayan yang sakti. Kelak berikanlah kepada putcramu."
Tetapi di kala Lembu Tal menghendaki agar puteranya belajar ilmu kanuragan dan ilmu
kesak an, ternyata Wijaya tak menyukai. Ia lebih gemar membaca kitab, sajak dan buku-buku
kesusasteraan dan enggan melakukan latihan-latihan, olahraga yang kasar.
Melihat sifat dan ngkah laku Wijaya dak sesuai sebagai seorang ksatrya yang diidam-idamkan
eyangnya, Batara Narasingamur , maka marahlah Lembu Tal. Dalam suatu peringatan keras, ia tak
dapat menahan luap kemarahannya dan mengusir anak itu. Sudah tentu hal itu hanya sebagai
peringatan keras agar puteranya sadar dan mau menurutkan keinginan ayahandanya. Tetapi oleh
Wijaya hal itu diartikan lain. Ia malu dan terus meninggalkan rumah berkelana.
Pada suatu hari Wijaya dihadang oleh kawanan penyamun. Pemuda itu dihajar sampai pontang-
pan ng, busananya dilucu . Bahkan oleh seorang penyamun, Wijaya hendak dilempar ke bawah
jurang untuk menghilangkan jejaknya. Untunglah pada saat-saat yang berbahaya itu, muncul
seorang pertapa tua yang menolongnya.
Melihat pertapa itu hanya seorang lelaki tua yang bertubuh kurus, kawanan begal yang terdiri
dari lima orang itu segera menyerangnya. Tetapi hanya dengan mengayun-ayunkan tongkatnya
dengan gerak yang pelahan, kelima penyamun itu sudah jatuh bangun dan akhirnya terbirit-birit
melarikan diri. Peristiwa itu telah menyadarkan hati Wijaya akan kebenaran dari keinginan ayahandanya.
Seorang ksatrya harus memiliki ilmu kesaktian. Bukan untuk berkelahi mencari musuh ataupun
untuk penghias kegagahan, melainkan untuk melindungi diri. Ternyata dunia ini masih penuh
kekotoran dari kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan manusia-manusia durjana. Kehidupan di
luar itu tidaklah seindah seperti dalam rumahnya dimana sebagai seorang putera tunggal, dia
amat dimanjakan oleh ibunya. Dan sadar pula Wijaya bahwa yang disebut dharma ksatrya
untuk mengayu hayuning bawana, tak lain hanyalah membersihkan kekotoran dunia dari
perbuatan-perbuatan cemar manusia-manusia jahat. Arjuna, sang pamade atau penengah
Pandawa selalu gentur bertapa untuk menuntut ilmujaya-kawijayan karena dialah ksatrya yang
telah dipilih sebagai jago dari para dewa untuk menghancurkan kejahatan dan membangun
dunia baru yang sejahtera.
Maka serta merta Wijayapun menyatakan ingin berguru kepada pertapa tua itu dipuncak gunung
Mahameru. Dari pertapa sak itulah Wijaya memperoleh berbagai ilmu kesak an. Setelah lima
tahun mengaji ilmu maka diperintahkannya Wijaya turun gunung untuk mengamalkan segala ilmu
yang telah diperolehnya, membela kebenaran, menegakkan keadilan dan memberantas kejahatan.
Demikianlah untuk mencapai pagar tembok se nggi ga tombak itu, Wijaya hendak mencoba
ilmu yang pernah dipelajarinya dari sang pertapa. Setelah berdiam menahan napas,
mengumpulkan semangat dan menghimpun aliran-aliran in tenaga ke arah Cakram Manipura,
mulailah ia menyalurkannya ke arah tangan dan kaki, lalu melekatkan kedua tangannya ke dinding
tembok. Lembu Peteng terkejut sekali ke ka menyaksikan Wijaya merayap ke atas bagaikan seekor cicak.
Se k pun ia tak pernah menyangka bahwa pemuda tampan yang halus budi itu ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang sedemikian menakjubkan. Diperha kannya gerak Wijaya itu dengan penuh
perha an. Tampak wajah Wijaya bertebar merah dan bercucuran keringat. Rupanya pemuda itu
tengah mengerahkan seluruh tenaganya. Lembu Peteng ikut menahan napas.
Pada saat hanya kurang sepenggapai tangan dari puncak tembok, sekonyong-konyong tubuh
Wijaya tampak gemetar, tangannyapun mulai menyurut ke bawah. Rupanya ia sudah kehabisan
tenaga. Melihat itu Lembu Peteng cepat menyambar tangan Wijaya dan ditariknya ke atas.
"Ah," Wijaya menghela napas panjang "hampir saja aku meluncur turun lagi kalau engkau tak
cepat menarikku. Demikianlah Lembu Peteng, karena aku jarang berlatih maka hampir saja aku
gagal menggunakan ilmu itu."
Sekarang mereka bersiap-siap hendak loncat turun ke bawah. Berkata Wijaya "Apakah tali yang
engkau bawa itu berkait ujungnya?"
"Ya." "Tancapkan kait besi itu pada puncak tembok ini dan meluncurlah engkau dengan tali itu ke
bawah. Biarkan tali itu terpancang di sisi agar sewaktu-waktu nan menghadapi bahaya, dapatlah
kita gunakan untuk memanjat tembok dan meloloskan diri."
Lembu Peteng segera melakukan perintah. Setelah selesai ia mempersilakan Wijaya turun
lebih dulu. "Begini, kakang Peteng," kata Wijaya "bukan karena aku hendak memamerkan kepandaian, tetapi
segala ilmu kepandaian yang telah kita miliki, apabila tak digunakan tentulah ilmu itu akan pudar."
"Maksud, raden ?"
"Aku akan loncat ke bawah tanpa menggunakan tali ini."
"O, bagus raden," seru Lembu Peteng "jika demikian akupun hendak menjajal kepandaianku
juga." "Tetapi kakang," kata Wijaya "ini bukan berlatih ilmu. Dan saat ini kita hendak memasuki
gedung kepatihan yang penuh dengan para penjaga bersenjata. Apabila kita loncat ke bawah
sampai menimbulkan suara, tidakkah hal itu akan menimbulkan bahaya ?"
"Raden, Lembu Peteng memang masih jauh dari apa yang disebut sak mandraguna. Tetapi
akupun pernah menuntut ilmu kedigdayaan. Diantara ulah krida kanuragan yang kuterima dari
guruku, akupun pernah menerima ilmu melompat yang menurut guru disebut aji Blabak-pangentol.
Dan bukankah seper kata raden tadi, segala ilmu yang kita miliki, apabila tak sering digunakan
tentu akan mengalami kepudaran."
Wijaya mengangguk. Jika ia mencegah, ia kua r Lembu Peteng akan tersinggung karena dianggap
tak mampu melakukan hal itu "Baiklah, tetapi harus ha -ha , jangan sampai kehilangan
keseimbangan diri hingga terbanting ke tanah."
Setelah mengiakan maka Lembu Petengpun segera ayunkan tubuh melayang ke bawah, disusul
Wijaya. Lembu Peteng terhuyung-huyung dua ga langkah ke ka kakinya menginjak bumi tetapi dia
masih dapat bertahan tak sampai rubuh.
"Mari kita mencari bilik peraduan pa h Aragani," bisik Wijaya seraya ayunkan langkah. Lembu
Peteng mengikuti di belakangnya.
Gedung tempat kediaman patih Aragani itu amat luas dan mewah. Tetapi saat itu tampak
sunyi senyap. Selama menyusup ke bagian dalam, Wijaja dan Lembu Peteng tak berjumpa
dengan seorangpun juga. "Bagus, kakang Peteng, aji penyirapmu hebat sekali, penghuni gedung ini ter dur semua," puji
Wijaya. Karena tak menemukan halangan, Wijaya makin berani. Ia menuju ke bagian belakang. Setelah
beberapa saat mencari, akhirnya mereka tiba di sebuah ruang yang besar.
"Hm, tentu inilah tempat peraduan Aragani," pikir Wijaya. Dengan ha -ha agar tak menerbitkan
suara, Wijaya mencoba mendorong daun pintu. Ah, ternyata pintu itu tak terkunci sehingga mudah
sekali terbuka. Setelah menunggu beberapa saat tak terjadi suatu gerak suara dari dalam ruang,
iapun mulai melangkah masuk.
Apa yang menyengat pandang mata Wijaya dan Lembu Peteng saat itu, benar-benar
menimbulkan rasa kejut dan muak. Pa h Aragani sedang dur membujur dalam pangkuan seorang
wanita muda yang can k. Seorang wanita muda lain sedang menelungkupi kaki pa h itu. Rupanya
pa h itu sedang bersenang-senang dengan kedua selirnya ke ka mereka terlelap oleh aji sirep
Beganania. "Hm, beginikah ulah ngkah seorang pa h kerajaan" Apakah sudah membudaya bahwa se ap
nara praja yang berpangkat nggi, tentu menikma kehidupan yang bergelimangan dengan
kesenangan wanita, tuak dan pelesiran yang berlebih-lebihan?"
"St, sudahlah, kakang Peteng. Saat ini bukan saat kita untuk menilai tingkah laku orang. Kita
harus cepat bertindak," bisik Wijaya.
"Bagaimana tindakan kita, raden" "
"Kita bekuk saja pa h itu dan paksa dia supaya membertahukan dimana mpu Raganata
disembunyikan," kata Wijaya seraya terus maju menghampiri.
Sejenak ia tegak dihadapan tempat peraduan pa h Aragani, sambil memandang wajah pa h itu,
tak lupa pula ia meningkatkan kewaspadaan terhadap keadaan di sekelilirg. Se ap suara yang
betapapun, halusnya, tentu akan tertangkap dan akan diolahnya menjadi suatu kesimpulan,
adakah hal itu merupakan suatu bahaya atau tidak.
Setelah beberapa jenak tak terjadi suatu apa, maka Wijayapun segera ulurkan tangan hendak
mencengkeram bahu pa h Aragani. Tetapi belum ujung jarinya menyentuh tubuh rakryan pa h,
sekonyong-konyong terdengarlah suara orang tertawa gelak-gelak lalu berkumandang suara orang
berkata-kata dalam nada mencemoh "Hm, besar-benar nyalimu, penjahat. Engkau berani masuk
kedalam gedung kepatihan hendak mencelakai gusti patih!"
Bagaikan mendengar bunyi halilintar ditengah hari, demikian kiranya perasaan kejut yang
meletus dalam ha Wijaya dan Lembu Peteng saat itu. Serempak keduanya berputar tubuh. Ah,
ternyata diambang pintu tampak seorang lelaki bertubuh nggi besar tegak berdiri dengan pedang
terhunus. Di belakangnya tampak beberapa lelaki berpakaian prajurit, berjajar-jajar memenuhi
ruang luar. Belum hilang rasa kejut Wijaya dan Lembu Peteng, kembali mereka dikejut pula oleh sebuah
suara yang bernada parau dan marah "Keparat, engkau berani masuk kedalam ruang peraduanku
hendak membunuh aku ! Prajurit, lekas tangkap penjahat itu!"
Rasa kejut Wijaya dan Lembu Peteng kini bergan dengan suatu kesadaran, bahwa mereka telah
terperangkap dalam siasat musuh. Jelas penjaga penjaga kepa han tak ter dur bahkan mereka
telah mengatur siasat untuk menangkap penjahat yang akan masuk ke gedung kepatihan.
Lembu Peteng diam-diam terkejut. Mengapa ilmu aji sirap Begananda tak mampu menundukkan
mereka. Pada hal selama ia menggunakan aji penyirap itu, belum pernah ia mengalami kegagalan.
"Apakah di kepa han ini terdapat seorang yang berilmu?" pikirnya di saat ia teringat akan pesan
gurunya bahwa memang aji sirap itu dapat dikalahkan apabila berhadapan dengan seorang yang
lebih nggi ilmunya. Adakan pa h Aragani itu sak mandraguna " Atau apakah pa h Arogani
mempunyai seorang berilmu yang dipercayakan untuk menjaga keselamatan gedung kepa han"
Mungkinkah orang nggi besar yang mengepalai rombongan prajurit penjaga ini yang memiliki ilmu
penawar aji Begananda" Demikianlah Lembu Peteng menimang-nimang.
"Hai, kalian menyerah atau ma ?" teriak orang nggi besar itu dengan nada bergetar keras bagai
gelombang samudera. "Aku tak pernah menyerah. Hanya mayatku yang mau menyerah," sahut Wijaya dengan nada
yang dibuat agak besar dan seram agar jangan dikenal orang siapa dirinya. Ia tahu pa h Aragani itu
berotak terang dan tajam ingatan.
"Siapa engkau, hai! " hardik lelaki tinggi besar itu.
"Aku Alap-alap Nyawa," seru Wijaya.
"Aku Samber Nyawa," seru Lembu Peteng pula.
Tamtama nggi besar itu rupanya seorang bekel atau lurah prajurit penjaga kepa han. Dia
tampak terkesiap "Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa ?" ia menegas.
"Ya." "Mengapa tak pernah kudengar nama itu" "
"Tentu, karena kami hanya muncul untuk mencabut nyawa manusia-manusia jahat," sahut
Wijaya. "Keparat! " hardik bekel bertubuh nggi besar "kalian ibarat ikan yang sudah didalam jaring
mengapa masih bertingkah kurang tata" Mau apa kalian datang kemari?"
"Apakah masih perlu kujelaskan lagi" "
"Setan alas, engkau benar-benar gila. Sebelum kutangkap, katakanlah maksudmu!"
"Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa hendak menggondol nyawa gustimu, patih Aragani itu !"
Tamtama nggi besar itu mendengus geram "Hm, apa engkau buta" Lihat penjagaan di kepa han
yang berlapis pedang berpagar tombak ini. Sekalipun nyamuk, tak mungkin mampu lolos. Kecuali
engkau mempunyai nyawa rangkap tujuh, baru engkau mampu mengganggu gusti patih Aragani."
"Ha, ha, ha," Wijaya tertawa tajam dan seram "Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa belum
pernah gagal mengambil nyawa orang yang dikehendakinya. Tak peduli dia seorang kawula biasa
atau mentri kerajaan yang berpangkat tinggi."
"Setan!" "Dengarkan dulu, hai tamtama," seru Wijaya "ketahuilah bahwa yang kami sambar nyawanya itu
bukan orang yang tak berdosa, bukan pula mentri narapraja yang jujur dan setya, tetapi mereka
manusia-manusia yang kotor ba nnya dan jahat perbuatannya! Tamtama, jika engkau masih
sayang akan nyawamu, menyingkirlah dan jangan ikut campur urusanku."
"Jahanam," teriak tamtama itu dengan marah "engkau anggap Wregola ini bangsa kus yang
ketakutan mendengar gertakanmu " Sekalipun nyawamu rangkap tujuh, aku tetap dapat
mencabutnya." Tamtama yang berpangkat bekel itu serentak memutar pedang dengan amat derasnya sehingga
hilanglah pedang bergan segulung sinar pu h yang menyilaukan mata. Lingkaran sinar pedang itu
berhamburan mencurah kearah Wijaya.
Wijaya terkejut demi menyaksikan gerak permainan pedang dari tamtama nggi besar itu. Ia tak
menyangka bahwa pa h Aragani memelihara seorang tamtama yang memiliki ilmu bermain pedang
yang sedemikian menakjubkan. Bukan melainkan hanya memancarkan segulung sinar yang kemilau,
pun membiaskan hembusan angin yang cukup dapat meregangkan buluroma.
Namun Wijaya tak gentar menghadapinya. Dari gurunya, ia pun telah menerima berbagai ilmu
bermain dengan senjata, terutama ilmu bermain pedang. Serentak ia berkisar kesamping sambil
mencabut pedang lalu melancarkan serangan balasan, membabat kaki lawan.
Tamtama Wregola terkejut terpaksa harus loncat menghindar. Sejenak memusatkan semangat,
iapun mulai menyerang lagi. Pedangnya berputar melingkar laksana segulung pelangi yang
membelah angkasa. Tring, tring, tring .... bagai gerak ular memagut, beberapa kali pedang Wijaya menusuk pedang
lawan dan ba- ba,ia ayunkan kakinya ke perut lawan. Wregola cepat melonjak hendak
menghindar. Gerakannya memang tangkas walaupun tubuhnya yang nggi besar itu tentu
mempunyai mbangan yang cukup berat. Namun secepat-cepat ia bergerak, masih kalah cepat juga
dengan Wijaya. Pada saat Wregola loncat mundur, lututnya termakan ujung kaki Wijaya sehingga
goyahlah keseimbangan tubuhnya. Tamtama itu terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang.
Melihat pemimpinnya menderita kekalahan, berpuluh prajurit yang memenuhi ambang pintu
serempak berhamburan menyerbu. Tetapi Lembu Peteng sudah siap. Ia menyongsong mereka
dengan ayunan sepasang bindi. Terdengar beberapa prajurit itu mengaduh kesakitan dan tersiak
mundur. Bindi Lembu Peteng terlampau kuat bagi mereka.
Dalam pada itu bekel Wregolapun sudah maju menyerang lagi. Kali ini ia menyerang dengan ha -
ha . Ia menyadari bahwa penjahat yang wajahnya bertutup kain hitam itu tentu bukan seorang
penjahat biasa, melainkan seorang berilmu sakti.
Wijayapun diam2 menimang dalam ha . Apabila ia terlalu lama terkurung dalam pertempuran di
ruang situ, ia kua r sukar untuk meloloskan diri. Diperhitungkannya bahwa bala bantuan penjaga
kepa han tentu segera mengalir tak putus-putusnya, makin lama makin banyak. Sedang ia hanya
dua orang. Betapapun ia hendak bertempur dengan segenap tenaga, namun karena kalah jumlah,
ia kua r akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan. Dan apabila ia sampai tertangkap, bukankah
akan menimbulkan kegemparan besar apabila mereka tahu siapa dirinya "
Pa h Aragani seorang yang licin dan berbisa lidahnya. Dia dapat mengadukan hal itu kepada seri
baginda. Atau kemungkinan, peris wa itu tak sampai jatuh di tangan baginda, pa h itu sudah akan
ber ndak sendiri, menyuruh orangnya untuk membunuhnya. Apabila seri baginda menegurnya,
pa h itu masih dapat memberi dalih, bahwa karena orang itu berpakaian hitam din mukanya
bertutup kain hitam prajurit-prajurit kepatihan tak tahu dan tak kenal, maka terus dibunuhnya.
Akhirnya Wijaya memutuskan untuk lolos. Ia harus berjuang sekuat tenaga untuk membuka
sebuah jalan darah. Selama menimang pertimbangan itu, Wijaya hanya bertahan saja atas
serangan Wregola sehingga Wregola mampu melancarkan serangan sampai beberapa waktu
lamanya. Tetapi setelah memperoleh keputusan, Wijayapun cepat merobah gaya
permainannya. Dari diserang kini ia balas menyerang. Bahkan diserangnya tamtama bertubuh
tinggi besar itu dengan serangan berantai susul menyusul bagai alir sungai yang tak kunjung
berhenti. Serangan Wijaya itu benar-benar membuat Wregola sibuk sekali untuk membela diri. Karena
ruang tak berapa luas dan prajurit-prajurit pun sedang bergerak mengeroyok Lembu Peteng maka
Wregola merasa terpancang gerakannya. Ia tak dapat bergerak dengan bebas.
Dalam sebuah terjangan yang tak terduga cepatnya, ujung pedang Wijaya telah meluncur ke arah
dadanya. Tamtama itu terkejut dan cepat hendak mengatupkan pedangnya melindungi dada tetapi
secepat itu pula ujung pedang Wijaya bergan arah mengancam perut sehingga tangkisan pedang
Wregola tadipun menemui angin. Ia ter pu oleh gerak siasat pedang Wijaya, Untuk menurunkan
pedang ke bawah, iapun berusaha juga tetapi terlambat.
"Hehkkkk ... " mulut Wregola menjerit kejut ke ka perutnya terasa perih, sedemikian perih
sehingga dengan cepat kepalanya terasa pening, pandang matanyapun gelap. Ia tak dapat
mempertahankan keseimbangan diri, bahkan seper telah kehilangan diri sehingga rubuh ke
belakang. Brak, ia membentur pintu tak sadarkan diri dalam keadaan mandi darah.
Melihat sang bekel rubuh, pecahlah nyali prajurit-prajurit itu. Mereka berebut hendak melarikan
diri memanggil bala bantuan. Tetapi ba di ambang pintu mereka seper terpaku. Seorang
brahmana tua, muncul di ambang pintu itu.
Rasa kejut itu melipu juga ha Wijaya. Ia cepat dapat mengenali brahmana tua itu adalah
maharesi Dewadanda, kepala candi Bentar yang termasyhur di kerajaan Singasari.
Gandi Bentar merupakan candi yang terbesar dan murid atau cantrik-cantriknya tak kurang dari
dua ribu orang jumlahnya. Maharesi Dewadanda sudah berusia hampir seratus tahun, termasyhur
sebagai pemuka aliran Subuthi dari Tantrayana, yalah golongan yang mengutamakan ajaran
mantra. "Mengapa maharesi tua ini berada dalam gedung kepatihan ?" tanya Wijaya dalam hati.
Namun belum sempat ia memperoleh pemecahan, ba- ba maharesi itu berseru nyaring "Hai,
penjahat, langkahmu sungguh naas karena malam ini aku kebetulan bertamu ke sini. Aji penyirap
yang engkau lancarkan tadi, kuhembus buyar. Sekarang engkau sudah terkurung, daripada
menderita cacat, baiklah engkau menyerah saja!"
"Ah," Wijaya mengeluh dalam ha . Ia baru tahu mengapa aji sirap Begananda yang dilancarkan
Lembu Peteng tak memperoleh hasil. Kemudian iapun menyesali diri sendiri mengapa masih kurang
ha -ha . Seharusnya ia jangan terburu- buru ber ndak sebelum yakin benar-benar bahwa segenap
penghuni kepa han itu sudah terlena semua. Tetapi diapun tak mau menutupi kenyataan bahwa


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang hebat sekali cara fihak kepa han mengatur siasat untuk menjeratnya. Suasana gedung
dibuat sedemikian senyap sekali sehingga timbul kesan kalau semua orang sudah tertidur.
"Hai, brahmana, kami tak mengganggu tuan, jangan tuan ikut campur urusan kami," belum
sempat Wijaya berpikir lebih lanjut, Lembu Petengpun sudah melantang.
Maharesi Dewadanda tertawa. Nadanya riang dan memekakkan telinga "Aku sudah terlanjur
berada di sini, bagaimana mungkin aku berpeluk tangan saja" Dan sudah selayaknya apabila
perbuatan kalian ini harus ditangkap. Perbuatan masuk kedalam kepatihan seperti laku seorang
pencuri, adalah jahat. Lebih jahat pula karena kalian berani masuk ke ruang peraduan ki patih
Aragani dan hendak membunuhnya."
"Siapa engkau, resi tua!" seru Lembu Peteng yang rupanya belum pernah bertemu muka dengan
resi itu. "Apa kepen nganmu hendak mengetahui namaku ?" balas maharesi tua itu "apakah setelah
engkau tahu siapa aku ini, engkau akan menyerahkan diri ?"
"Akan ku per mbangkan dulu," sahut Lembu Peteng "layakkah aku menyerahkan diri kepadamu
atau tidak." Resi tua itu geleng-geleng kepala "Hebat sekali sikapmu, penjahat. Ketahuilah, aku adalah
maharesi Dewadanda dari candi Bentar. Engkau menyerah atau melawan, itu terserah kepadamu.
Tetapi apabila engkau mau mendengar nasehatku, baiklah engkau serahkan diri saja. Karena
melawanpun tentu sia-sia, bahkan apabila menyerah, engkau tentu terhindar dari kesakitan."
"O," desus Lembu Peteng "aku berani masuk ke dalam kepatihan sini, sudah membekal
tekad yang bulat. Mati, menderita cacat silsaan dan apa saja yang mengerikan apabila aku
tertangkap. Tetapi aku tak menyangka sama sekali."
"Tak menyangka bakal tertangkap ?"
"Bukan," jawab Lembu Peteng "tak menyangka bahwa seorang maharesi kepala candi yang
terbesar di seluruh Singasari, mau melindungi seorang jahat."
Maharesi Dewadanda kerutkan dahi yang sudah penuh, keriput "Siapakah yang engkau katakan
jahat itu ".. "
"Patih Aragani!" seru Lembu Peteng "dia telah menculik .... "
"Maharesi Dewadanda," cepat Wijaya menukas "kami sebenarnya tak bermaksud jahat hendak
membunuh atau menganiaya patih Aragani."
"Aneh," sahut Dewadanda "lalu apa maksud kalian masuk ke kepa han pada tengah malam buta
begini." "Kami hendak minta keterangan kepadanya."
Maharesi Dewadanda tertawa datar "Minta keterangan mengapa harus datang pada waktu
malam dan menggunakan aji penyirap " Mengapa dak pada siang hari saja langsung menghadap
ki patih secara terang-terangan ?"
Wijiya. terdiam. "Ki sanak," seru maharesi tua itu pula " ada hal yang lebih sukar daripada menutupi
kebohongan. Baik, akan kuper mbangkan lagi bagaimana ndakanku kepadamu. Tatapi engkau
dan kawanmu harus menuruti permintaanku."
"Katakanlah," sahur Wijaya "apabila kami mampu melakukan dan kami anggap layak, tentulah
kami akan menurut perintah ki maharesi."
"Mudah sekali," seru maharesi Dewadanda "dan kalian tentu dapat melakukannya. Tak lain
hanyalah kuminta kalian membuka kain penutup muka kalian dan tunjukkanlah siapa diri kalian
ini". Wijaya terkesiap dan sibuk sekali ha nya. Apabila ia menuru permintaan resi tua itu, jelas
peris wa itu akan berekor panjang. Wijaya, senopa baru dari kerajaan Singasari menyaru sebagai
seorang penjahat dan masuk kedalam kepa han hendak mencidera pa h Aragani " "Ah, betapa
gempar hal itu apabila sampai tersiar di pura Singasari. Tidakkah baginda juga akan murka?"
pikirnya. Wijaya tak gentar menerima kemurkaan bahkan pidana dari seri baginda. Dia berani berbuat dan
diapun harus berani menanggung akibat. Tetapi akibat itu akan membawa suatu kehancuran.
Bukan kehancuran diri peribadinya melainkan kehancuran dari negeri Singasari. Dalam waktu yang
singkat menjabat sebagai senopati, Wijaya segera dapat mempelajari suasana dalam pura kerajaan.
Seri baginda Kertanagara se ap waktu akan terjerumus dalam mulut manis pa h Aragani yang
mengandung bisa. Misalnya, seper peris wa utusan raja Kubilai Khan. siang tadi. Bukankah
hampir saja seri baginda menurut anjuran pa h Aragani untuk menghukum utusan itu" Bukankah
apabila hal itu sampai terjadi, Kubilai Khan tentu marah dan akan mengirim pasukan untuk
menyerang Singasari" Bukankah saat ini kekuatan Singasari masih ringkih karera sebagian besar
pasukan Singasaii telah dikirim ke Malayu"
"Tidak," akhirnya Wijaya membulatkan keputusan dalam ha "aku harus tetap melanjutkan
perjuangan untuk menyelamatkan Singasari."
Setelah bulat keputusannya, maka Wijayapun menjawab "Maaf, maharesi, kami terpaksa tak
dapat memenuhi permintaan tuan."
"Mengapa ?" "Aku tak dapat menerangkan apa sebabnya tetapi cukup kuminta agar tuan percaya kepada
keterangan kami tadi bahwa kami tak bermaksud jahat terhadap patih Aragani "
"Hm, engkau menghina aku," dengus maharesi.
"Mengapa aku menghina tuan?"
"Engkau memperlakukan aku lebih dari seorang kecil."
Wijaya kerutkan dahi. Ia tak tahu apa yang dimaksudkan maharesi tua itu.
"Seorang anak kecil saja, pun sukar menerima alasanmu itu. Dan engkau telah menawarkan hal
itu kepadaku. Bukankah engkau anggap aku ini lebih dari seorang anak kecil ?"
"Ah," desuh Wijaya.
"Adakah benar-benar engkau tak mau memperlihatkan wajahmu" Apakah engkau memaksa aku
supaya menggunakan kekerasan"," seru maharesi Dewadanda pula.
"Tuan adalah seorang maharesi," jawab Wijaya "adakah tuan merasa bahwa memaksa orang
dengan kekerasan itu dapat dibenarkan?"
"Bukankah kejahatan itu tak dibenarkan dan harus diberantas," balas maharesi Dewadanda
"prabu Ramawijayapun terpaksa menggunakan kekerasan untuk memberantas kejahatan
Rahwanaraja." "Tetapi engkau bukan prabu Ramawijaya dan kamipun bukan Rahwanaraja," sahut Lembu
Peteng. "Rahwanaraja merupakan lambang dari kejahatan, keangkara-murkaan dan kemilikan. Seper
kalian dan lain-lain orang jahat, pun dapat digolongkan sebagai Rahwanaraja."
"Dan engkau sang prabu Ramawijaya, maharesi yang suci?" ejek Lembu Peteng.
"Sang prabu Ramawijaya adalah peni san Hyang Wisnu, sudah barang tentu aku bukan. Tetapi
tugas Hyang Wisnu turun ke arcapada adalah untuk memberantas kejahatan. Se ap orang yang
bertindak memberantas kejahatan adalah mengikuti jejak Hyang Wisnu."
"Engkau memutar-balikkan kenyataan. Justeru kami yang hendak memberantas kejahatan pa h
Aragani dan engkau yang membela kejahatan."
Rupanya maharesi tua itu sudah tak sabar berbicara lebih panjang "Cukup!," serunya "sekarang
tinggal kalian boleh memilih, mau menanggalkan kain penutup mukamu atau tidak?"
"Kalau kami menolak?" seru Wijaya.
"Terpaksa aku harus bertindak dengan kekerasan."
"Maharesi Dewadanda, kekerasan bukanlah sikap utama dari seorang brahmana yang telah
mencapai tataran maharesi seper andika. Namun semutpun kalau dipijak, tentu akan menggigit
juga," seru Wijaya. Maharesi tua itu tertawa "Kalau menurut kecakapanmu bicara, jelas engkau ini bukan penjahat
biasa. Namun tak ada pembunuh apabila kepergok atau ketangkap akan mau mengaku kalau
hendak membunuh. Aku dak melindungi apa yang engkau katakan kejahatan tetapi aku hendak
mencegah suatu pembunuhan. Engkau boleh menggunakan seribu macam dalih untuk menghias
kehadiranmu di ruang ini tetapi sebuah kenyataan telah menghapus segala alasanmu. Kenyataan
bahwa engkau hendak mencidera ki pa h Aragani. Karena engkau tetap berkeras kepala, akupun
terpaksa akan bertindak dengan kekerasan juga."
Maharesi menutup kata-katanya dengan maju selangkah tetapi secepat itu pula Lembu Peteng
sudah menyongsong dengan sebuah pukulan, duk . . . pukulan tepat mendarat di dada sang
maharesi namun resi tua itu tetap tegak laksana segunduk batu karang.
"Aduh ... " bahkan Lembu Peteng malah menjerit kesakitan ke ka njunya membentur dada sang
maharesi. Dia merasa seper menghantam segunduk batu keras sehingga tulang njunya serasa
pecah. Wijaya terkejut. Ia segera menyadari bahwa maharesi itu memiliki ilmu kebal yang tak
mempan pukulan maupun senjata tajam. Dahulu ketika masih berguru di gunung Mahameru,
gurunya pernah juga menceritakan tentang ilmu lindung atau kekebalan itu. Berhadapan dengan
lawan yang memiliki ilmu lindung, hanyalah dapat mengalahkannya apabila dihantam bagian
naas atau yang lemah pada tubuhnya. Hal itu pernah ia lakukan ketika berhadapan dengan Kuti
dalam sayembara yang diadakan kerajaan Singasari untuk memilih seorang senopati beberapa
waktu yang lalu. Tetapi kini ia tak tahu dimana letak kelemahan anggauta tubuh maharesi itu.
"Ah," serentak ia teringat akan pesan gurunya. Bahwa apabila menghadapi seorang lawan yang
mempunyai ilmu kebal, supaya menyerang lubang-lubang sad indriyanya.
Kini Wijaya hendak mencobanya. Dan untuk melaksanakan hal itu, paling baik harus
menggunakan senjata. Serentak iapun mencabut cundrik pusaka, peninggalan dari eyangnya,
Mahisa Gampaka atau Batara Narasingamur . Dengan tenang ia menunggu ndakan maharesi
Dewadanda. Dewadanda amat yakin akan kesaktian dirinya. Lembu Peteng dengan mudah menderita
kesakitan dan ia percaya Wijayapun akan demikian. Dengan langkah tenang ia ulurkan tangan
hendak mencabut kain kerudung penutup muka Wijaya. Tampaknya pelahan saja ia
menggerakkan tangan tetapi kenyataannya, gerakan itu meluncur cepat sekali.
"Hm," Wijaya menyurut mundur setengah langkah. Ia menghadapi maharesi itu dengan tenang
dan waspada. Namun laksana bayangan, tangan maharesi sudah mengejar maju "Maa an,
maharesi," seru Wijaya yang secepat kilat segera songsongkan tangan kanan kemuka.
Karena cundrik tergenggam lekat pada telapak tangan Wijaya dan bergerak dengan cepat,
maharesi Dewadanda mengira kalau Wijaya hendak menangkis. Diam-diam ia tertawa dalam ha
dan membiarkan tangannya dibentur.
"Uh .... " ba- ba maharesi itu mengerang tertahan ke ka telapak tangannya seper terpagut
ular sakitnya. Dan matanya yang mengeriput itu tampak menyalang lebar ke ka melihat tetesan
darah mengucur ke lantai.
"Setan," gumamnya dalam ha . Ia merasa telah terpedaya oleh lawan yang ternyata
menggenggam senjata kecil seper cundrik. Sebenarnya apabila hanya senjata biasa tentulah ia
takkan menderita. Dengan demikian jelas senjata cundrik lawan itu tentu sebuah pusaka yang
ampuh. Kekalahan Lembu Peteng tadi telah menimbulkan perasaan memandang rendah kepada kedua
orang yang dianggapnya bangsa penjahat. Pelajaran pahit yang dideritanya dari Wijaya, harus
dibayar mahal. Karena ia telah mengalirkan tenaga sak kearah telapak tangan agar apabila
terbentur dengan tangan Wijaya, tangan lawan akan patah tulangnya, maka ke ka telapak
tangannya tertusuk cundrik pusaka yang ampuh, pecahlah tenaga daya kebal yang terhimpun di
telapak tangannya itu. Dan bobolnya himpunan tenaga sak sumber kekebalan itu, berakibat
parah. Serentak berhamburanlah tenaga sak itu bagaikan arus sungai yang tak dapat ditampung
pula. "Penjahat terkutuk," seru maharesi Dewadanda penuh kemurkaan "jika tadi aku hanya
bermaksud menyingkap kain penutup wajahmu, sekarang aku menghendaki jiwamu!"
Sekonyong- konyong maharesi itu menampar. Seke ka Wijaya seper terlanda segelombang
angin dahsyat sehingga tergempurlah pertahanan kakinya dan terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Sebelum ia sempat berdiri tegak, maharesi Dewadandapun sudah menyusuli pula dengan
sebuah tamparan. Dalam keadaan tubuh masih belum tegak keseimbangannya, tentulah Wijaya
akan terdampar rubuh. Wijaya tak sempat menggunakan cundrik, bahkan getar-getar kejutpun tak sempat mengguncang
perasaannya karena ia seper sebuah perahu yang didampar gelombang prahara. Tamparan kedua
dari maharesi itu telah mendamparnya hingga terlempar kesudut ruang.
Lembu Peteng terkejut. Ia hendak loncat menerkam punggung resi tua itu. Tetapi sebelum ia
sempat bergerak maharesi itu sudah loncat kemuka dan menghantam Wijaya. Resi tua itu benar-
benar diamuk kemarahan yang berkobar-kobar. Dia merasa malu karena sebagai maharesi kepala
candi Bentar yang termasyhur, harus menderita luka melawan seorang penjahat yang tak dikenal.
Bukankah apabila prajurit-prajurit penjaga kepa han yang menyaksikan peris wa itu,
menceritakan kepada orang, maharesi akan menderita malu besar. Maka ia melupakan segala
pantangan dalam agamanya. Tujuannya hanya satu, menghancurkan Wijaya, penjahat yang
memakai penutup muka kain hitam.
Pukulan maharesi itu tak mungkin dapat dihindari Wijaya. Dia masih nanar pandang matanya.
Untunglah dia masih memiliki kesadaran pikiran. Sebelum ajal berpantang maut. Demikian
keputusan Wijaya. Betapapun ia harus berusaha untuk memberi perlawanan terakhir menurut
apa yang mampu dilakukan. Serentak ia song-songkan cundrik menyambut pukulan lawan.
Tetapi hal itu tak dapat menyelamatkan keadaan. Pukulan maharesi itu menghamburkan angin
yang dahsyat sehingga cundrik tersiak kesamping dan pukulan tetap melaju ke-arah ubun-ubun
kepala Wijaya. "Duh, Batara Agung, hamba serahkan jiwa hamba ke hadapan paduka .... " tak banyak yang dapat
dilakukan Wijaya kecuali hanya masih sempat untuk mengucapkan beberapa patah kata.
Memaserahkan diri kepada Hyang Purbenggesang, yang menghidupkan dan menghidupi, yang
mengatur dan menentukan, yang mengambil dan menghancurkan. Sebagai tahNYA, ia telah
berusaha dan berjuang untuk mempertahankag jiwanya namun apabila Dewata Agung
menghendaki bahwa hanya sampai disitu dharma hidup Wijaya, ia-pun akan merelakannya. Dalam
pemaserahan itu, Wijaya telah mengheningkan seluruh indriya, meleburkan semangat dan pikiran
kedalam alam kehampaan. "Uh .... " tiba-tiba maharesi Dewadanda mendesuh kejut. Tinju yang dilayang keatas kepala
Wijayapun terhenti. Dan pada saat itu pula, ia merasa melihat suatu keajaiban yang belum
pernah disaksikan seumur hayatnya. Pada saat pukulan hendak mendarat, tiba-tiba ubun-ubun
kepala Wijaya menghamburkan segulung asap putih. Asap hilang dan merekahlah sekuntum
bunga Wijayakusuma. Maharesi Dewadanda terkejut. Sesaat kemudian ia-pun teringat untuk melanjutkan tinjunya
yang tinggal sekilan dari ubun-ubun kepala Wijaya. Tetapi saat itu juga ia dicengkam rasa kejut
yang tiada taranya. Tangannya serasa terpaku tak dapat digerakkan. Beberapa saat kemudian
ia rasakan lengannya seperti mati-rasa, tak terasa dan tak dapat digerakkan.
Peristiwa itu menggetarkan rasa kejut dalam hati sekalian orang yang hadir dalam ruang.
Mereka tak melihat sesuatu tetapi mengapa maharesi itu seperti terbelalak heran dan
ketakutan " Dan mengapa pula tinju yang hanya kurang sekilan daii kepala Wijaya, tertahan
diatas dan tak lekas dijatuhkan"
Memang benar. Maharesi dari candi Bentar itu terbeliak seperti melihat sesuatu yang
mengejutkan dan mengherankan, bahkan mengerikan. Dia adalah salah seorang pemuka
agama Syiwa-Budha di Singasari. Dalam pengetahuan agama itu, ia telah mencapai tingkatan
yang luas dan tinggi. Menurut pengetahuannya, bunga Wijayakusuma adalah bunga keramat
yang hanya dimiliki oleh sang prabu Batara Kresna. Bunga Wijayakusuma yang dimiliki prabu
Kresna, kuasa untuk menghidupkan orang mati. Dan menurut kepercayaan, Kresna adalah
titisan Hyarg Wisnu. Juga ke ka Aji Saka mendarat di Jawadwipa, di tengah samudera kidul, ia telah mendapatkan
bunga Wijayakusuma itu dan akhirnya dikemudian hari dia dapat menjadi raja.
"Bunga Wijayakusuma adalah lambang dari kebesaran wahyu agung yang hanya dimiliki oleh
manusia yang suci dan atau mahabesar," dalam ketegunan itu masih sempat pula maharesi
Dewadanda melayangkan ingatannya kepada beberapa pengetahuan yang pernah diteguknya.
"Adakah penjahat bertutup muka ini, bukan seorang manusia biasa" Atau adakah dia seorang
insan kekasih dewata yang kelak diakdirkan akan menjadi seorang besar?" dalam saat yang amat
cepat, timbullah beberapa reka dan duga dalam hati maharesi Dewadanda.
Lepas dari keheranan yang dialaminya saat itu, sebagai seorang maharesi yang telah mencapai
ngkat nggi tentang pengetahuan alam gaib, diapun segera dapat mengetahui dan menerima
sasmita gaib itu. "Aneh," gumamnya dalam hati "siapakah gerangan penjahat ini?"
Namun karena tak mungkin ia mendapat jawaban dari pertanyaan itu, terpaksa ia harus
menghadapi makna daripada sasmita gaib itu. Dan betapapun besar nafsu amarah dan keinginan
untuk membunuh orang itu, namun dia harus tunduk pula akan ketentuan kodrat Prakitri.
Kenyataan yang ia alami saat itu, dimana pukulannya tertahan dan lengannya serasa ma -rasa,
harus diterima dengan segala rasa senang maupun tak senang, rela maupun tak rela.
Dikala maharesi Dewadanda tertegun dan terbenam dalam kesiap lamun dan heran, Wijaya
tersentuh oleh suatu perasaan bahwa seharusnya dia menderita kesakitan pada kepalanya karena
ia tahu bahwa pukulan lawan diarahkan keatas kepalanya. Namun kesakitan itu tak kunjung ba.
Serentak ia memulangkan kesadaran dalam pikirannya yang telah hampa itu. Memang benar. Ia tak
menderita suatu apa. Iapun merasa heran, kemudian bangkitlah rasa ingin tahu apa yang telah
terjadi. Dan iapun segera membuka mata. Apa yang disaksikan saat itu, benar-benar hampir tak
mungkin dipeicayainya. Tinju maharesi Dewadanda masih tetap mengacung di atas kepala, wajah
resi itu dicengkam rasa kejut yang hebat, sebagaimana dipantulkan dari keriput dahinya yang
makin meliuk dalam dan sepasang matanya yang terbelalak lebar.
Dalam penilaian Wijaya, tentulah maharesi itu tak mau menurunkan pukulannya dan melainkan
diancamkan diatas kepalanya agar Wijaya tak dapat berkutik. Kemudian maharesi itu tentu
akan menggerakkan tangan kirinya untuk melepas kain hitam yang menutup wajahnya. Pikir
Wijaya. Penilaian itu segera membangkitkan semangatnya. Kalau maharesi itu berhasil melucu kain
penutup mukanya, ah, betapa malunya. Ia harus berusaha untuk menggagalkan hal itu. Ia harus
berjuang untuk melepaskan diri dari ancaman sang maharesi.
Kesempatan yang ditafsiran Wijaya sebagai suatu sikap Dewadanda yang menyertai tujuannya
hendak mencabut penutup muka dengan sebuah nju yang diacungkan keatas kepala itu, tak disia-
siakan Wijaya. Secepat kilat ia gerakkan kaki mendupak perut maharesi itu lalu loncat ketempat
Lembu Peteng "Mari kita terjang mereka," serunya seraya mendahului menerjang prajurit-prajurit
yang memenuhi ambang pintu.
Maharesi Dewadanda tahu akan gerakan kaki Wijaya. Dan tersadarlah ia dari tegun
lamunannya. Serentak ia hendak menangkis dengan tangannya. Tetapi ah .... kembali suatu
keajaiban terjadi. Sejak tenaga pada tangannya sirna dibias kembang Wijayakusuma gaib,
tenaganyapun terasa merana. Ia tak berhasil menghimpun tenaga dalam Cakram Manipura lagi.
Maka bagai layang layang putus tali, tubuh resi tua itupun terlempar beberapa langkah ke
belakang, brak .... punggungnya membentur tempat peraduan patih Aragani yang tengah
berbaring dengan kedua selirnya. Kantil atau tempat tidur itupun terbalik dan keempat orang
berhamburan jatuh tumpang tindih.
Prajurit-prajurit yang menyaksikan peris wa itu terkejut sekali. Mereka buru-buru menghampiri
untuk memberi pertolongan kepada pa h Aragani dan maharesi Dewadanda. Mereka tak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghiraukan Wijaya dan Lembu Peteng lagi, yang pen ng adalah keselamatan gus mereka.
Dengan demikian mudahlah bagi Wijaya dan Lembu Peteng untuk menerjang keluar lalu menuju ke
pagar tembok dari mana keduanya tadi turun ke halaman gedung. Tali masih menjulur dan
merekapun cepat memanjat ke atas tembok lalu melayang turun keluar dan melarikan diri.
"Ah, syukur dewata masih melindungi kita dari bahaya, raden," kata Lembu Peteng setelah ba
di tempat kediaman Wijaya.
Wijaya menghela napas. "Yah," jahatnya "tetapi kita tak berhasil menyelidiki jejak mpu Raganata"
"Tetapi kita sudah berusaha sekuat tenaga. Sayang resi tua itu menghalangi. Benarkah dia
maharesi Dewadanda kepala candi Bentar?"
"Ya, memang benar," kata Wijaya "mudah-mudahan Sora dan Nambi serta Lembu Mandira
berhasil dalam penyelidikannya."
"Raden," kata Lembu Peteng "tak habis keherananku, mengapa secara ba- ba resi tua itu
menghentikan pukulannya diatas kepala raden ?"
"Entahlah, aku sendiri juga heran, kakang Peteng," jawab Wijaya "maharesi Dewadanda itu
termasyhur sakti. Dia sering dipanggil seri baginda untuk bersama-sama merundingkan dan
mempelajari ilmu kesaktian dan mantra dalam ajaran Subuthi. Dan apa yang kualami memang
nyata. Maharesi itu memiliki tenaga pukulan yang luar biasa. Kukira saat itu kepalaku tentu
sudah pecah. Eh, tiba-tiba saja dia tertegun dan hentikan pukulannya."
"Tentulah raden juga melancarkan aji kesaktian untuk menolaknya," kata Lembu Peteng.
"Tidak, kakang Peteng."
"Tidak " Lalu apa yang raden rasakan saat itu ?"
"Aku tak merasakan sesuatu kecuali lunglai kehilangan daya perlawanan, kepala pening dan mala
berbinar-binar." "Aneh," gumam Lembu Peteng.
"Mengapa" "
"Pada hal jelas resi itu terhenti pukulannya. Dan raden tidak melancarkan aji kesaktian
bahkan merasa kehilangan daya perlawanan lagi."
Tiba- ba Wijaya teringat bagaimana pada saat-saat yang menegangkan itu, ia mengucapkan
kata-kata memaserahkan jiwanya kepada Hyang Widdhi. Adakah terjadi sesuatu kegaiban atas
pemanjatan doa yang diucapkannya itu" Pikirnya.
Seke ka ia teringat akan petuah yang pernah diterima dari gurunya "Segala aji dan mantra
memang bertuah. Tetapi kesemuanya itu kalah dengan kekuasaan Hyang Widdhi Agung yang maha
besar dan maha kuasa. Maka pada saat engkau menghadapi bahaya yang mengancam jiwamu,
sebutkan dan paserahkan dirimu kehadapan Hyang Purbawisesa."
Teringat akan itu, mbul dugaan bahwa setelah ia memaserahkan diri kepada Hyang Batara
Agung, tentulah saat itu terjadi suatu kegaiban. Kegaiban yang sudah tentu dia tak merasa dan tak
melihatnya. Maka dicobanya untuk mendapat keterangan Lembu Peteng "Kakang Peteng, dikala
pukulan maharesi itu terhenti diatas kepalaku, apakah engkau tak menyaksikan sesuatu?"
"Apa yang raden maksudkan?"
"Misalnya, melihat sebuah benda, baik yang berupa sinar, asap dan lain-lain."
"Sama sekali dak, raden," sahut Lembu Peteng "yang jelas kulihat hanyalah pukulan resi itu
terhenti diatas kepala raden dan dia terbelalak kaget."
"Hm," Wijaya heran.
Tiba- ba pula Lembu Peteng bertanya "Raden, tadi raden mengatakan bahwa resi tua itu amat
sak . Dan raden menyangka bahwa dia memang sengaja tak menurunkan pukulannya karena
sedianya hanya digunakan untuk mengancam apabila raden berani bergerak dikala tangan kirinya
hendak mencabut penutup muka raden."
"Ya." "Tetapi mengapa waktu raden mendupak perutnya, dia tak dapat menangkis atau menghindar"
Tak mungkin seorang yang berilmu sakti tak mampu menyelamatkan diri dari dupakan raden?"
Wijaya tertegun. Memang hal itu baru sekarang ia merasakan keanehannya. Betapa mudah sekali
ia mendupak perut maharesi Dewadanda saat itu dan betapa ringan tubuh maharesi itu ke ka
terlempar ke belakang. Pada hal andaikata maharesi itu tak sempat menghindar ataupun
menangkis, tentulah dia hanya tersurut sedikit ke belakang. Masakan sampai seper layang-layang
putus tali atau seperti pohon kering yang tumbang"
Wijaya makin heran. Dan keheranannya itu makin melabuhkan prasangkanya bahwa tentu telah
terjadi suatu kegaiban pada saat itu. Ia tak merasa, tak melihat dari tak tahu tentang kegaiban itu
namun ia percaya adanya. Jika tidak, tak mungkin maharesi Dewadanda menghentikan pukulan dan
dengan mudah dapat didupaknya sampai terlempar beberapa langkah. Kepercayaan itu mbul
manakala ia teringat akan petuah gurunya dahulu.
"Ya, engkau benar kakang Peteng," kata Wijaya pada akhirnya "memang hal itu mengherankan.
Tetapi aku tak tahu apa sebabnya."
"Mungkin suatu kegaiban, raden," kata Lembu Peteng "kegaiban yang diturunkan Hyang Batara
Agung untuk melindungi raden."
Wijaya dak menjawab. Hanya dalam ha ia membenarkan ucapan Lembu Peteng itu. Makin
bertambah teballah kepercayaan Wijaya akan kebesaran dan kekuasaan Hyang Widdhi.
Keesokan hari, muncullah Sora dan Nambi yang bertugas menyelidiki ketempat kediaman
pangeran Ardaraja. Tetapi kedua orang itu melaporkan bahwa mereka tak berhasil memasuki
gedung pangeran. "Penjagaan amat ketat sekali," kata Sora "kami hampir kehilangan akal dan daya untuk memasuki
gedung sang pangeran. Untung saat itu kami menemukan akal. Dengan menimbulkan suara berkat
batu yang kami lontarkan, kami berhasil memancing seorang penjaga meninggalkan tempatnya.
Segera penjaga itu kami tangkap dan kami paksa supaya memberi keterangan."
"O, bagus, Sora," seru Wijaya "lalu bagaimana hasilnya" "
"Ah," Sora menghela napas "penjaga itu mengatakan bahwa pangeran Ardaraja tak berada di
kediamannya malam itu."
"Lalu tidakkah engkau menanyakan tentang mpu Raganata" "
"Sudah, raden," jawab Sora "diapun mengatakan bahwa mpu Raganata tak berada digedung
kediaman pangeran Ardaraja."
"Dan engkau percaya keterangannya ?"
"Ya," kata Sora "tetapi sebelumnya kami pun sudah menggunakan cara kasar dan halus
kepadanya, namun dia tetap memberi keterangan begitu dan bahkan dikokohkannya keterangan
itu dengan sumpah yang amat berat."
"Hm, sebenarnya dalam melakukan penyelidikan, jangan kita mudah terperosok oleh keterangan
orang dari fihak yang hendak kita selidiki. Karena mereka ikut dengan orang itu dan mendapat
kehidupan dari dia, wajar kalau dia condong untuk menjaga dan melindungi tuannya."
"Benar raden," sahut Sora "tetapi kamipun mengiku perkembangan perobahan wajahnya
dengan seksama dan mendapat kesan bahwa dia memang jujur dalam memberi keterangan itu."
"Ya, aku percaya akan ndakanmu, kakang Sora dan Nambi," kata Wijaya yang diam2 kua r
kedua kadehannya itu akan salah menger , mengira kalau dipersalahkan. Namun ia tak dapat
melepaskan suatu tanggung jawab sebagai pimpinan mereka untuk memberi suatu pegangan yaag
berupa nasehat dan petunjuk. Hal itu tampaknya tak pen ng, tetapi kemungkinan hal yang tak
pen ng itu pada suatu saat akan merupakan unsur pen ng dalam masalah yang gawat "Namun
janganlah kaiian tergesa-gesa memiliki kesan atas wajah dan bicara orang yang engkau hadapi,
karena wajah itu sering bukan menjadi kaca ha . Demikian pula bicara. Bicara hanyalah suatu wak
atau ucap yang dipengaruhi oleh pikiran. Dan pikiran itu serba binal dan serakah. Sudah barang
tentu apabila dirinya akan celaka, katakanlah misalnya dia itu seorang penjahat, tentu pikirannya
akan mencari jalan untuk menutupi kejahatannya agar terhindar dari pidana. Maka dibuatnya
sikap dan kerut wajah yang sungguh-sungguh dan merangkai kata-kata yang indah dan jujur. Dalam
hal ini kita jangan lupa, pa h Aragani itu seorang yang mahir dalam bermain kata, bermulut madu
sehingga seri baginda kadang terhanyut "
Sora dan Nambi mengangguk.
"Kakang Sora dan Nambi." kata Wijaya "jangan salah faham bahwa aku menyalahkan
tindakanmu. Bukan itu yang kumaksudkan. Tetapi apa yang kukatakan itu adalah sebagai suatu
pedoman dalam langkah-langkah kita selanjutnya di kemudian hari. Mari kita menarik pelajaran
dari peristiwa waktu di keraton Singasari menerima utusan dari raja Kubilai Khan. Hampir seri
baginda akan menuruti anjuran patih Aragani untuk menghukum utusan itu. Andaikata hal itu
terlaksana, akibatnya akan kita rasakan lebih lama dan mungkin akan membawa derita yang
berkepanjangan." "Disinilah letak titik tolak dari kata-kataku tadi. Memang apa yang dikemukakan patih Aragani
sangat beralasan. Sepintas dia memang hendak meluhurkan kewibawaan seri baginda
Kertanagara. Seolah dia seorang pahlawan yang hendak menjunjung martabat seri baginda.
Oleh rangkaian kata yang indah dan penuh semangat keksatryaan itu, hampir saja seri baginda
setuju. Untung beberapa mentri mencegah seri baginda. Inilah yang kumaksudkan. Kalau kita
tergesa mengambil kesimpulan dan teibuai oleh mulut manis, tentulah dalam menghadapi saat-
saat yang genting seperti peristiwa di keraton itu, kita akan tergelincir kedalam bahaya.
Peristiwa besar sering timbul dari keputusan sesaat. Keputusan yang terucap dari mulut, mulut
yang hanya memancarkan perintah pikiran, pikiran yang mencerap kesan dan melahirkan
kesimpulan. Itulah, kakang Sora dan Nambi, berhati-hatilah pada detik-detik sesaat itu. Detik-
detik dimana keputusan akan lahir, akibat akan berbuah."
"Baik, raden, kami akan menjunjung nasehat raden dengan sepenuh hati," kata Sora.
"Aku juga manusia, kakang Sora dan Nambi," kata Wijaya "walaupun aku dapat menasehati
engkau tetapi kemungkinan pada sewaktu-waktu akupun akan tergelincir dalam saat-saat
seperti itu. Maka apabila kelak kalian tahu dan merasa bahwa aku berada di tebing kesalahan,
jangan kalian takut untuk meluruskan sekalipun kalian mungkin akan menderita kemarahanku.
Yang penting, kita harus berpegang pada kepentingan negara dan kepentingan umum, untuk
menilai salah atau benarnya tindakanku, engkau dan siapa pun juga." Makin dalam rasa kagum
dan taat kedua kadehan itu terhadap Wijaya. Mereka mengakui bahwa apa yang dikatakan
Wijaya itu memang benar. Merekapun merasa malu hati karena telah mempercayai penjaga
gedung pangeran Ardaraja. Sebenarnya pengakuan seorang penjaga saja masih harus
dianggap belum cukup. Perlu harus menangkap seorang penjaga lain untuk dipadu keterangan.
Apabila penjaga yang kedua itu sama keterangannya dengan penjaga yang pertama tadi,
barulah mereka dapat mempercayai.
Sora dan Nambi saling bertukar pandang, lalu keduanya tertunduk tersipu-sipu dalam hati. Diam-
diam mereka mengakui bahwa peris wa itu tak luput karena tercemar oleh rasa gentar dan putus
asa, melihat kuatnya penjagaan di gedung Ardaraja. Sesungguhnya mereka ingin masuk untuk
menyelidiki sendiri tetapi gagal sehingga mereka hanya berusaha menyekap seorang penjaga. Dan
keterangan penjaga itu cepat sekali mendapat kepercayaan mereka.
"Mudah-mudahan keterangan penjaga itu benar. Kalau dak, ah, aku berdosa karena
menghianati tugas dari raden Wijaya," diam-diam Sora mengeluh dan memanjatkan doa harapan.
"Kakang Sora dan Nambi, beristirahatlah. Kita. tunggu saja kedatangan Lembu Mandira.
Mudah-mudahan dia berhasil mendapatkan jejak bahwa mpu Raganata benar dilarikan orang ke
Daha," kata Wijaya. "Bagaimana andaikata mpu Raganata tak berada di Daha, raden?" tanya Nambi.
"Jika demikian," setelah merenung beberapa saat Wijaya menjawab "kecurigaanku tetap jatuh
pada pa h Aragani, Sayang aku tak berhasil menyelidiki ke sana. Baiklah, kita tunggu saja Lembu
Mandira, nanti kita berunding lagi."
"Memang kaiau menilik gejala-gejala yang ada," kata Nambi yang masih tak mau beris rahat
"patih Aragani memang paling besar kemungkinan untuk dicurigai."
"Apa yang menyebabkan engkau menduga begitu, kakang Nambi," tanya Lembu Peteng.
"Pertama, mengapa penjagaan kepatihan sedemikian ketatnya ?" kata Nambi.
"Ah, kemungkinan," sambut Lembu Peteng "memang begitulah keadaan sehari-harinya. Karena
dia merasa bahwa selama berebut pengaruh dan kepercayaan seri baginda, dialah yang paling
menonjol." "Dan karena itu maka dia merasa mempunyai banyak musuh ?" tanya Nambi.
"Demikian apabila orang merasa telah berbuat salah. Misalnya, dia tentu kua r akan
pembalasan dari orang-orang penganut mpu Raganata, tumenggung Wirakre dan demung Banyak
Wide atau Wiraraja serta masih banyak mentri dan senopa lain yang pernah difitnah dan disaki
hatinya," Lembu Peteng memberi penjelasan.
"Atau karena peris wa upacara penerimaan utusan raja Kubilai Khan diistana itu sehingga dia
ketakutan," tiba-tiba Sora berseru.
"O, mengapa dia ketakutan"," tanya Lembu Peteng.
"Akan mendapat pembalasan dari fihak utusan itu, atau menjaga kemungkinan apabila dari
fihak-fihak yang menganggap dia membahayakan keselamatan kerajaan Singasari, akan mengambil
tindakan diluar hukum kepadanya."
"O, apakah ada fihak-fihak yang mempunyai pendirian begitu, kakang Sora ?"
"Lembu Peteng, kita mengetahui mentri itu siapa, senopati itu siapa dan narapraja itu siapa.
Kita kenal nama dan orangnya. Tetapi tahukah kita bagaimana isi hatinya" Terus terang saja
Lembu Peteng, akulah salah seorang fihak yang mempunyai angan-angan begitu. Andaikata
raden Wijaya memperkenankan, aku ingin dan sanggup untuk membunuh patih itu."
"Hutarg jiwa bayar jiwa, demikian hukum undang-undang Singasari, kakang."
"Lembu Peteng, demi keselamatan kerajaan Singasari, kurelakan jiwaragaku. Asal dengan
lenyapnya patih Aragani, Singasari selamat, aku sanggup membunuhnya."
"Sora," tertarik mendengar pembicaraan kedua kadehannya, Wijayapun ikut bicara "justeru
untuk mencapai pada anggapan kita semacam itu terhadap patih Aragani, kita harus
memperoleh bukti yang jelas. Adakah engkau kira mudah untuk membunuhnya" Kepatihan
dijaga ketat sekali. Dan pula, membunuh seorang patih tanpa suatu bukti tentang kesalahannya
yang nyata akan menimbulkan kemurkaan seri baginda dan amarah para kawula. Ketahuilah
Sora, untuk mencapai kedudukan setingkat rakryan patih Aragani, bukan suatu pekerjaan yang
mudah. Jelas dia tentu seorang yang pintar dan waspada serta mempunyai pengikut2 yang
besar jumlahnya. Hendaknya engkau batasi luapan hatimu itu di tempat ini saja, jangan
disembarang tempat dan pada segala orang."
"Ah, tentu saja dak, raden," kata Sora tertawa "hamba selalu akan ber ndak menurut apa yang
raden perintahkan." "Kakang Sora, engkau mengatakan bahwa rakryan pa h kemungkinan takut akan pembalasan
dari utusan raja Kubilai Khan. Sukalah kakang memberi penjelasan bagaimana kakang sampai pada
dugaan itu." "Lembu Peteng," kata Sora "kudengar senopa Tomulo yang mengepalai perutusan itu, seorang
pahlawan termasyhur di negeri Tartar. Raja Kubilai Khan tentu tak mudah mengirim senopa ,
sebelum mengetahui betul bahwa senopa itu memang seorang yang sak mandraguna. Kudengar
prajurit-prajurit Tartar itu dila h dengan ulah kanuragan dan ulah kayudan yang hebat. Juga
dinegeri itu agama Hindu dan Buddha telah tersebar luas, bahkan lebih dahulu dari sini. Menilik
bahwa banyak sekali ilmu kesak an dan aji mantra yang bersumber pada aliran kedua agama itu,
maka bukan mustahil bahwa prajurit terutama senopa Tartar itu memiliki ilmu kesak an yang
tinggi." Lembu Peteng mengangguk "Ya, benar daknya penilaian itu tetapi yang pas , rombongan
utusan dari mancanagara yang datang ke Singasari tentulah merupakan prajurit-prajurit pilihan
dan senopati pilih tanding."
"Kakang Nambi," kini Lembu Peteng beralih percakapan "engkau tadi baru mengemukakan
prasangka yang pertama. Tentulah masih ada kelanjutannya lagi, bukan?"
"Ya, benar Lembu Peteng," jawab Nambi "kecurigaan kita yang kedua terhadap terlibatnya
rakryan pa h Aragani dalam peris wa hilangnya mpu Raganata, adalah demikian. Mengapa pada
tengah malam maharesi Dewadanda ba- ba muncul di kepa han" Menurut keterangannya, dia
kebetulan berkunjung kepada rakryan pa h. Tetapi kemungkinan menurut dugaanku, tentulah
rakryan patihlah yang mengundangnya."
"Untuk merundingkan cara-cara menyembunyikan sang adhyaksa, bukan?" kata Lembu Peteng.
"Tepat, Lembu Peteng," sambut Nambi "Jika dak masakan maharesi kepala candi Bentar yang
kurang waktu luang, akan memerlukan datang ke kepatihan."
"Apakah dak mungkin maharsi itu diundang untuk memperkuat penjagaan di kepa han?" tanya
Sora. "Kemungkinan memang ada," sahut Nambi "dan keadaan itu makin mendesak lagi manakala
rakryan pa h telah menyembunyikan mpu Raganata di kepa han. Harus memerlukan seorang yang
sakti seperti maharsi Dewadanda, melindungi kepatihan."
Lembu Peteng menghela napas "Ah, masuk ke kepa han rasanya lebih sukar daripada masuk ke
sarang harimau, kakang. Tetapi aku heran, kakang, mengapa seorang maharsi seper Dewadanda
mau untuk diperalat rakryan patih Aragani ?"
"Ya, memang aneh. Padahal maharesi kepala candi Bentar itu seorang pemuka agama yang
termasyhur, putus dalam ajaran agama. Seorang maharesi tentu sudah mencapai penerangan ba n
yang suci sehingga menjauhkan diri dari kesibukan urusan keduniawian". Sora bergumam.
Mendengar itu Wijaya tak dapat menahan ha nya, katanya "Memang apabila kita renungkan
dengan tenang maka kita akan bertemu pada serangkaian hal yang aneh. Sejak beberapa waktu ini,
kerajaan Singasari selalu ricuh tak kenal tenang. Ada-ada saja hal yang mengganggu ketenangan itu.
Antara lain, pengiriman pasukan Singasari ke Malayu, akibatnya wreddha mentri mpu Raganata
telah lorot dari jabatannya sebagai pa h amangkubumi menjadi adhyaksa di Tumapel.
Tumenggung Wirakre dilorot menjadi mentri angabhaya. Dan demung Wiraraja dipindah ke
Sumenep. Pada hal ke ga orang itu merupakan mentri-mentri yang menjadi tulang punggung
kerajaan Singasari."
"Lalu maksud baginda untuk mengirimkan perutusan yang akan membawa arca Amogapasa
ke kerajaan Malayu. Dan pengiriman puteri seri baginda, sang dyah Tapasi, kepada raja
Campa. Belum hal itu terlaksana, datanglah utusan raja Kubilai Khan," kata Wijaya lebih lanjut
"memang kehidupan negara itu tentu tak lepas daripada kesibukan-kesibukan pemerintahan,
baik dalam urusan di dalam negeri maupun dengan mancanagara. Tetapi entah bagaimana, aku
seperti mendapat firasat, bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan awal daripada tebaran-
tebaran awan yang makin lama akan menjadi awan hitam yang tebal."
"Tetapi kakang Wijaya," ba- ba terdengar sebuah nada bicara yang baru. Ke ka Wijaya dan
beberapa kadehan berpaling ternyata yang bicara itu adalah Lembu Mandira "aku pernah
mendapat wejangan dari mpu guru, bahwa kita sekarang menginjak jeman Kaliyuga. Jeman kisruh,
dimana kejahatan dan rangkara murka bersimaharajalela dimana-mana. Apabila kita berpijak pada
pandangan itu, kiranya, memang sudah ba masanya kesemuanya itu akan terjadi. Maka janganlah
kita heran apabila seorang maha-pa h hendak menghancurkan kerajaannya sendiri, seorang
maharesi yang seharusnya menjauhkan diri dari urusan keduniawian, mau diperalat pa h. Dan lain
lain, dan lain-lain."
Terkesiap Wijaya mendengar kata-kata anakmuda itu. Dia memang juga pernah menerima
wejangan itu dari gurunya.
"Dan kemungkinan pula," kata Lembu Mandira melanjut "maharesi itu takut akan sejarah yang
pernah terjadi di kerajaan Daha dahulu."
"O, bagaimana raden?" kata Lembu Peteng.
"Dahulu prabu Dandang Gendis atau Kertajaya dari Daha, telah memaksa kepada para brahmana
dan pandita tunduk kepadanya. Para brahmana dan pandita itu tak dapat menerima tekanan itu.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut kasta, brahmana dan pandita itu lebih nggi dari raja dan ksatrya. Bagaimana mungkin
mereka harus menyembah pada kekuasaan raja" Karena takut akan ndakan prabu Dandang
Gendis yang makin mengganas, maka para brahmana dan pandita itu berbondong-bondong
menuju ke Singasari meminta pengayoman kepada Ken Arok yang waktu itu sudah menjadi raja
dengan nama abi-seka prabu Rajasa sang Amurwabhumi."
"O, maksud raden, maharesi Dewadanda akan mengiku jejak para resi brahmana pada jeman
prabu Dandang Gendis di Daha itu?" tanya Nambi.
"Kemungkinan demikian, kakang Nambi."
"Tetapi apakah dasar per mbangannya, raden" Bukankah sang prabu Kertanegara sendiri
seorang pemeluk agama yang giat. Bukankah seri baginda telah memberi kelonggaran besar dan
dana untuk mengembangkan pertumbuhan agama Syiwa-Buddha di negeri Singasari ini" Mengapa
maharesi Dewadanda mencemaskan hal yang lain dari kenyataan?"
"Kakang Nambi," kata Lembu Mandira " ada barang yang aneh di arcapada ini kecuali insan
manusia sendiri. Karena manusia adalah tah dewata yang paling terkasih, dikaruniai daya
kekuatan yang luar biasa."
"O, apakah yang raden maksudkan dengan kekuatan yang luar biasa itu?" Nambi menegas.
"Pikiran dan Perasaan," sahut Mandira "itulah kelebihan manusia dari segala mahluk lainnya.
Dan karena memiliki daya kesak an pikiran itu maka manusia menjadi bahagia dan celaka. Pun
karena mempunyai perasaan itu maka mbullah keinginan. Keinginan yang baik tetapipun
keinginan yang tergolong taiha atau nafsu."
"Kakang heran mengapa maharesi Dewadanda bersedia diperalat patih Aragani," kata
Lembu Mandira lebih lanjut "itulah karena pengaruh pikiran yang didorong oleh perasaan
keinginan berlumur nafsu. Mungkin saja patih Aragani memberikan janji yang sedemikian tinggi
sehingga maharesi Dewadanda terpincut. Kita harus menyadari, bahwa patih Aragani itu
memang seorang ahli dalam merangkai kata dan mengambil hati. Jangankan maharesi candi
Bentar, bahkan sekalipun seri baginda juga terbujuk oleh mulut manisnya."
"Tepat, adi Mandira," seru Wijaya "memang sesungguhnya ada keanehan dalam dunia ini.
Sebenarnya, kita harus mengucap syukur kepada mereka."
"Mengapa syukur kepada mereka, pa h Aragani dan maharesi Dewadanda itu?" Sora tak tahan
untuk berdiam diri. Dia merasa aneh mendengar ucapan Wijaya disamping dia tak dapat menerima
maksudnya. Dia geram dengan manusia-manusia seper pa h Aragani, mengapa pula raden Wijaya
berkata begitu" "Apakah engkau tak merasa berterima kasih kepada pa h Aragani dan maharesi Dewadanda,
kakang Sora?" Wijaya tersenyum.
"Ah, raden," Sora mendesuh "hamba sungguh benci kepada mereka. Kecuali kelak mereka dapat
merobah pendiriannya terhadap negara Singasari."
"Itu secara langsung," kata Wijaya "memang ada seorang ksatrya yang berjuang demi
kepen ngan Singasari, akan suka kepada manusia-manusia yang hendak menggerogo kewibawaan
kerajaan Singasari. Tetapi kakang Sora, aku hendak bertanya kepadamu. Waktu apakah saat ini?"
Sora kerutkan dahi. Heran namun menjawab juga "Malam hari."
"Bagaimana engkau tahu kalau saat seper sekarang yang begini gelap, disebut malam apabila
engkau tak tahu bahwa saat yang terang benderang itu disebut siang" Demikian pula, bagaimana
kita dapat mengatakan bahwa ndakan rakryan pa h itu salah apabila kita tak mengetahui akan
garis-garis sifat seorang ksatrya pembela tanah airnya " Dan karena terusik oleh ndakan- ndakan
orang-orang semacam rakryan pa h itulah maka semangat juang kita bangkit dan tekadpun
berkobar untuk menentang mereka. Dengan ujian itu dapatlah kita menguji diri kita peribadi,
sampai berapa jauhkah sifat keksatryaan dan jiwa kepahlawanan yang kita miliki " Secara tak
langsung, bukankah kita bersyukur kepada mereka, karena dengan ndakan mereka itu, kita tetap
berada pada garis lurus dalam melaksanakan dharma seorang ksatrya."
"Ah," Sora mendesuh pula. Diam-diam ia mengakui ucapan raden Wijaya itu memang benar.
Adalah karena Singasari masih penuh dengan orang-orang semacam pa h Aragani maka bangkitlah
ksatrya-ksatrya muda untuk berjuang mengabdikan diri kepada Singasari. Namun ia tak memberi
jawaban suatu apa karena uraian Wijaya itu hanya penggambaran dari sifat alam yang selalu
terbagi menjadi dua. Lelaki perempuan, terang gelap, baik dan buruk. Suatu penger an untuk
membedakan kedua sifat alamiah dalam ruang kehidupan di arcapada. Ia tak, memberi sambutan
suatu apa atas ucapan itu melainkan mengalihkan pembicaraan kcarah suatu pertanyaan "jika
benar maharsi Dewadanda mendukung pa h Aragani,
dakkah keadaan Singasari makin
berbahaya" Bagai 'telur diujung tanduk ' setiap waktu akan pecah berhamburan .... "
Mendengar itu terkesiaplah Wijaya. Ha nya makin gelisah. Hari keberangkatannya ke negeri
Malayu hanya kurang setengah bulan lagi dan ternyata keadaan kerajaan Singasari makin rapuh
"Kalau aku sudah terlanjur berangkat ke Malayu, dakkah akan lebih gawat keadaan Singasari?"
diam-diam ia membayangkan akan masa yang akan datang. Dan bayang-bayang itu menimbulkan
kecemasan yang mendesaknya harus segera ditangani.
"Sora, Nambi dan Lembu Peteng, waktu sudah amat mendesak. Setengah candra lagi aku
harus meninggalkan Singasari. Aku kuatir, kakang sekalian, selama aku pergi itu di kerajaan
Singasari akan meletus peristiwa yang tak terduga-duga. Oleh karena itu kita harus bertindak
cepat. Lekaslah kalian susun kekuatan, siapkan barisan untuk menghadapi hal-hal yang tak
terduga itu ... . " katanya kemudian.
"Baik raden," kata Lembu Peteng "tetapi... "
"Tetapi bagaimana " "
"Mengingat bahwa maharesi Dewadanda mengunjuk tanda-tanda terlibat dalam persekutuan
dengan patih Aragani, maaf, bukan karena kami takut mati tetapi kenyataan mengharuskan kita
perrhatin. Bahwa setiap perjuangan tentu memerlukan pengorbanan, itu sudah jelas. Kami tak
ingkar. Tetapi pengorbanan itu benar-benar mempunyai manfaat dan berarti bagi tegaknya
kerajaan Singasari. Hendaknya janganlah pengorbanan itu akan sia-sia seperti 'anai-anai
menyongsong api'." Pertanyaan Lembu Peteng itu menimbulkan kesadaran yang mendalam. Wijaya, Sora dan Nambi
termenung. "Ucapan Lembu Peteng memang benar," akhirnya Lembu Sora berkata "sejak keberangkatan
pasukan Pamalayu dibawah pimpinan senopa Kebo Anabrang ke Malayu, pasukan Singasari sudah
berkurang banyak sekali. Kemudian sampai perlu kerajaan mengadakan sayembara untuk memilih
senopa , karena hendak membentuk kekuatan pasukan baru. Tetapi belum sempurna pasukan
yang raden bentuk, kini ba- ba raden dan rakryan pa h Mahesa Anengah di tahkan seri baginda
menuju ke Malayu dan Campa. Juga dengan membawa pasukan. Tidakkah hal itu akan makin
lumpuh " Titah raden untuk membentuk kekuatan dengan menghimpun tenaga-tenaga pejuang
pas akan kami laksanakan. Kami tentu akan berjuang untuk melindungi negara Singasari sampai
titik darah kami yang penghabisan. Tetapi kami tetap cemas, raden."
"Apa yang engkau cemaskan, kakang Sora ?"
"Sora bukan raden Wijaya, senopa yang mempunyai kekuasaan besar dalam pasukan. Ruang
gerak kami daklah seluas dan menyeluruh seper raden. Kekuatan yang akan kami susun itu
sudah tentu bukan merupakan pasukan resmi, melainkan tenaga-tenaga pejuang yang memiliki
kesadaran untuk berjuang membela tanahairnya."
"O, engkau maksudkan, dalam jumlah tentulah tidak memadai dengan pasukan yang resmi ?"
"Demikianlah raden "
"Kakang Sora," kata Wijaya "perjuangan dak ditentukan oleh jumlah besar kecilnya kekuatan.
Melainkan dari kemanunggalan semangat dan jiwa perjuangan, keluhuran dan kebenaran daripada
tujuan perjuangan itu. Walaupun berjumlah banyak tetapi apabila mereka
dak memiliki kesadaran berjuang dan tak menghaya tujuan berjuang, tentulah takkan mencapai hasil yang
diharapkan. Walaupun sedikit jumlahnya, tetapi apabila mereka terdiri dari ksatrya-ksatrya yang
menger dan tahu akan makna perjuangannya, pas akan lebih membuahkan hasil yang
memadai." Sora mengangguk "Memang demikian, raden. Tetapi lembaran perjuangan yang kami hadapi,
diawali dengan mega mendung yang cukup menimbulkan rasa periha n. Satu-satunya tokoh yang
dapat kita pandang sebagai orang yang berpengaruh di Singasari, yani mpu Raganata, telah hilang
diculik musuh. Sedang fihak yang kemungkinan besar akan berada di seberang tentangan kita,
mendapat bantuan dari fihak candi Bentar yang mempunyai ribuan murid dan amat besar
pengaruhnya di kalangan rakyat."
"Ah, benar Sora," ba- ba Wijaya menukas "jangan lupa akan rakyat Rakyat merupakan tulang
punggung yang besar daya kekuatannya. Apabila engkau merasa tak sebesar dan seluas pengaruh
kekuasaanmu seper aku didalam pasukan maka berpalinglah kepada rakyat. Perjuangan tanpa
didukung rakyat temu lemah. Pupuk dan kembangkanlah kemanunggalan barisan pejuang yang
engkau susun itu dengan rakyat. Bangkitkanlah kesadaran mereka akan dharma-bhak kepada
negara dan raja. Kobarkanlah semangat dan penger an mereka, bahwa negara dan rakyat itu loro-
loroning a-tunggal yang tak dapat dipisahkan, bagai ikan dengan air."
"Baik, raden," kata Sora "akan hamba laksanakan semua perintah raden, walaupun dengan
penuh kecemasan." "Kecemasan" Apakah engkau takut Sora?" Meregang urat dahi pada wajah Sora ketika
menerima pertanyaan itu "Takut " Apabila takut, tentu Sora takkan berada di pura Singasari,"
serunya "Sora tak takut mati, raden. Berjuang membela negara adalah pendirian yang benar.
Dan membela kebenaran, adalah mati suhada, mati yang luhur."
"Benar, kakang Sora," kata Wijaya "aku teringat akan ucapan sang Kresna dalam Bhagawat Gita,
kepada Arjuna yang luluh semangatnya ke ka di medan perang Kurusetra harus berhadapan
dengan gurunya, danghyang Durna, dengan eyangnya sang Resi Bisma dan saudara-saudaranya
kaum Korawa. Beginilah sabda sang Kresna, 'berbahagialah ksatrya-ksatrya yang mendapat
kesempatan untuk menunaikan dharmanya karena untuk mereka seolah-olah pintu gerbang
Nirwana telah terbuka. Jika engkau ingat akan tugasmu, engkau tak boleh ragu-ragu dalam
menjalankan dharma itu. Karena bagi ksatrya, ada kemuliaan yang lebih agung daripada
menunaikan dharmanya dalam medan bhakti'. Camkanlah, Sora."
Mendengar itu menegakkan kepala Sora "Duh, raden, Sora seper menerima Tirta Amerta, air
suci yang menghidupkan pula semangat Sora. Tetapi justeru karena itulah maka ha hamba makin
kecil." Wijaya kerutkan dahi "Aneh, Sora. Dengan memiliki kesadaran akan dharma seorang ksatrya,
seharusnya semangatmu bangkit. Tetapi mengapa engkau masih berkecil ha " Apakah yang masih
menjadi keraguanmu, Sora" "
"Hamba takut tak dapat menunaikan tugas yang raden perintahkan untuk membela Singasari
dari gangguan musuh, raden."
"Ah," Wijaya mendesah "akan kuulang pula wejangan sang Kresna lebih lanjut kepada Arjuna:
Lakukanlah pekerjaanmu tanpa menghiraukan apa akan hasilnya. Janganlah hasil pekerjaan itu
yang menjadi dorongan untuk engkau bekerja. Tetapi juga jangan engkau mengabaikan karena
dak memikirkan akan hasil pekerjaanmu itu. Bekerjalah dengan penuh pengabdian tetapi jangan
terikat. Sebab kalau ha mu terikat, sama juga engkau mengua rkan akan kegagalan pekerjaanmu
atau mengharapkan hasilnya!"
"Memang apabila kecemasanmu itu merupakan suatu rasa tanggung jawab akan dharmamu, itu
baik," kata Wijaya melanjut "tetapi jangan terikat akan angan-angan berhasil atau gagal. Yang
penting engkau telah menunaikan tugasmu dengan sepenuh pengabdian."
Sora termenung. "Jika engkau sudah berusaha sekuat kemampuanmu dalam garis-garis perjuangan seorang
ksatrya, namun masih tetap gagal sehingga Singasari hancur, itu bukan salahmu. Dan aku
takkan menyalahkan engkau, kakang Sora. Itu kesalahanku juga, kesalahan dia dan kesalahan
kita semua. Atau itu bukan suatu kesalahan karena memang sudah digariskan oleh ketentuan
Hyang Purbengwisesa."
"Terima kasih, raden," kata Sora "semoga tebaran-tebaran awan yang berbondong-boudong
muncul itu takkan merupakan awan mendung yang akan menimbulkan hujan prahara pada negara
Singasari." Wijaya mengangguk namun ha nya termenung. Sebenarnya iapun merasakan apa yang menjadi
keresahan Sora. Namun sebagai pimpinan ia harus membangkitkan semangat Sora dan kawan-
kawannya. Tiba- ba ia teringat sesuatu "Eh, adi Mandira, bagaimana laporanmu?" Karena
terhanyut dalam pembicaraan sesaat ia lupa bahwa Lembu Mandira sudah hadir disitu.
Lembu Mandira menjawab bahwa ia baru malam itu hendak berangkat. Sebelumnya ia hendak
menunggu hasil penyelidikan di Singasari karena ia mempunyai dugaan kuat bahwa ramanya masih
disembunyikan di pura Singasari.
Wijaya memberi laporan tentang hasil penyelidikan di kepa han dan di tempat kediaman
pangeran Ardaraja. Kemudian ia menyuruh agar Mandira segera berangkat. Ia mengantar
anakmuda itu sampai ke pintu gerbang kemudian ia termenung-menung di halaman, memandang
bintang kemintang di langit.
"Duh, Dewata Agung, limpahkanlah kekuatan lahir ba n kepada hamba, agar dapat
menanggulangi tugas suci yang hamba persembahkan kepada bumi tercinta Singasari. ... " mulutnya
berkomat-kamit memanjatkan doa permohonan ke hadiran Hyang Isywara.
Bintang kemintang berkelap-kelip memarcarkan sinar makin terang. Adakah hal itu sebagai suatu
isyarat mereka dapat menanggapi doa Wijaya, entahlah, karena Wijaya tak menger bahasa
bintang. Malam makin kelam. Para kadehanpun menunggu dengan renungan masing-masing. Mereka tak
berani mengganggu Wijaya.
Wijaya makin terbenam dalam kelelapan renungan. Kelam malam, kelam ha . Sunyi senyap
merenggut jiwa. Dia tetap menatap cakrawala, melayangkan pandang bertanya kepada bintang-
bintang. Menginginkan jawaban mereka. Namun jawab tak kunjung ba dan Wijayapun makin
tenggelam dalam kehampaan jiwa.
Sepengunyah sirih lamanya, ba- ba antara terdengar dan ada, sayup-sayup angin semilir
berhembus lembut, membelai rambut, mengusap muka selembut belaian tangan dara jelita.
Timbul suatu perasaan teduh dan hening dalam ha Wijaya. Dalam keheningan yang teduh itu
sayup sayup terdengar suara bisik-bisik yang lembut, lebih lembut dari suara semut beriring ....
"Wijaya .... Wijaya, cicitku .... jangan engkau lekas berputus asa .... bangkitkan semangatmu,
teguhkan ha mu . . . hanya ksatrya yang berani ber ndak tegas akan dapat mengatasi segala
kesulitan, menguasai buana alit dalam dirinya dan buana raya .... berantaslah se ap perintang,
se ap kejahatan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung .... rulah jejak eyang buyutmu dahulu
.... " Wijaya terhenyak dari kelelapan alam bawah sadar. Serentak semangatnyapun membias regang,
membangun perasasaannya dan serentak dia membuka mata, memandang ke sekeliling. Ah, gelap
gelita di empat penjuru. Sunyi senyap menyelubungi alam sekeliling. Se up angin lembut
berhembus semilir. "Eyang buyut " Bukankah eyang buyut itu ayahanda dari eyang Mahesa Wonga Teleng" Ah...
ba2 secercah kesadaran menenggang benak dan kepalanya-pun meregang tegang "bukankah
ayahanda eyang Mahesa Wonga Teleng itu sang prabu sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula
kerajaan Singasari" Ah . . ."
Tertenggang akan ingatan itu, pikiran Wijayapun melayang-layang jauh ke masa yang amat
lampau, tertuju kepada seorang pemuda yang bernama Ken Arok.
Ken Arok seorang pemuda yang keras ha dan berasi serta tegas ndakannya. Karena tak
memenuhi janji kepadanya untuk menyelesaikan keris yang dipesannya maka dia membunuh empa
Gandring. Karena ingin mendapatkan Ken Dedes, wanita yang dicintainya, akuwu Tumapel, Tunggul
Ametung, pun dibunuhnya. Karena tak mau tunduk dibawah kekuasaannya, maka prabu Kertajaya
atau Dandang Gendis dari Daha, dibunuhnya. Ia harus melalui jalan yang penuh mayat,
bergelimangan darah, sebelum mencapai tujuan terakhir menjadi raja pertama dari Singasari
dengan gelar sri Rajasa sang Amurwabhumi. Dari keturunan rakyat jelata kaum Sudra, berkat
keberanian, tegas dan kecerdikannya akhirnya Ken Arok menjadi raja yang dipertuan dari bumi
Singasari. "Ah, terima kasih eyang prabu .... " serentak meluncurlah kata-kata dari mulut Wijaya. Tetapi
belum sempat ia mencurahkan kandungan hatinya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara orang
berseru pelahan "Raden, kami telah memperoleh jalan yang baik. Mari kita masuk kedalam,
raden. Tak baik berangin angin diluar pada malam hari begini."
Wijaya tersentak kejut dan berpaling. Didapa nya Sora, Nambi dan Lembu Peteng tegak
disamping mencurah. "Baiklah," Wijayapun mengangguk seraya ayunkan langkah masuk kedalam pendapa pula.
Kemudian setelah duduk ia bertanya, apa saja dan bagaimana daya yang telah mereka temukan.
Nambi dan Lembu Peteng memberi isyarat agar Sora yang mewakili sebagai jurubicara. Sorapun
segera berkata "Raden, menurut kesimpulan yang kami renungkan bersama, Singasari mempunpai
dua musuh. Musuh dari luar yalah Daha dan musuh dari dalam yalah rakryan pa h Aragani.
Keduanya sama sama berbahaya. Untuk menghadapi mereka, ada jalan yang lebih baik daripada
harus bertindak tegas."
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 26 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Sesuatu yang gelap akan menimbulkan kekacauan, ketegangan, kebingungan dan siksa. Gelap
pikiran, melahirkan bermacam akibat, bingung dan, kacau. Apabila bingung dan kacau mencapai
ketegangan yang tinggi, tibalah pikiran dipersimpangan jalan. Putus asa atau nekad.
Demikian yang tengah dialami Wijaya. Setengah bulan lagi, dia akan berangkat untuk
melaksanakan, tugas yang diamanatkan seri baginda Kertanagara, mempersembahkan arca
Amogapasa bertabur permata, kepada raja Malayu.
Tugas itu memang penting karena akan dapat menjalin persahabatan yang lebih erat antara
Singasari dengan Malayu. Wijaya sadar akan hal itu. Tetapi dia lebih menyadari pula akan
keadaan pura Siagasari dewasa itu. Karena inti pasukan Singasari dibawa senopati Kebo
Anabrang ke Malayu dalam rangka untuk mengamankan kerajaan-kerajaan di Malayu maka
hampir dapat dikata kekuatan Singasari cukup mencemaskan. Setelah diangkat sebagai
senopati, baru beberapa waktu Wijaya menyusun kekuatan baru, menerima dan menganjurkan
supaya para muda masuk menjadi prajurit.
Timbulnya seorang senopa muda yang gagah perwira sebagaimana dibuk kan dalam adu
kesak an dengan ksatrya-ksatrya dari delapan pelosok penjuru yang ikut dalam sayembara pilih
senopa yang lalu, maka banyaklah para taruna dan kaum muda yang bangkit semangatnya
manakala mendengar pawara mengumumkan tentang panggilan kerajaan Singasari terhadap para
taruna muda, supaya masuk menjadi prajurit.
Ada suatu hal yang menarik dan tak pernah dilupakan oleh para pemuda yang berbondong
bondong memenuhi panggilan dalam wara-wara itu. Selain diperiksa kesehatan dan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keprawiraannya, pun mereka harus menjawab sebuah pertanyaan yang singkat tetapi mutlak.
"Apa tujuanmu masuk menjadi prajurit ?" demikian bunyi pertanyaan itu. Pertanyaan yang
disusun Wijaya dan disuruhnya para kadehan yang bertugas dalam penerimaan, mengajukan
kepada setiap calon yang ingin masuk menjadi prajurit.
"Kami hendak berjuang membela negara "
"Kami ingin menjadi prajurit yang termasyhur."
"Kami ingin menjadi prajurit yang berjasa agar kelak mendapat pangkat yang tinggi."
Demikikan antara lain dari macam jawaban atas pertanyaan itu. Kesemuanya itu diterima. Pada
waktu yang ditetapkan, beratus ratus pemuda itu dikumpulkan di halaman Balai Witana dan dalam
kesempatan itu hadirlah sang senopati baru, raden Wijaya. Dia tampil berbicara kepada mereka.
"Hai, para taruna dan kaum muda, hari ini secara resmi akan dilakukan penerimaan dan
pengangkatan kalian sebagai prajurit Singasari. Tetapi sebelum itu, akan kami lakukan penyaringan.
Mereka-mereka yang merasa tak dapat memenuhi syarat, silakan pulang dan teruskanlah bekerja
pada bidang pekerjaanmu yang lama," seru Wijaya dengan lantang.
Seluruh barisan calon prajurit itupun diam. Namun dibalik hati mereka, tersembunyilah rasa
heran dan tegang. Banyak diantara mereka, pada waktu berangkat ke pura, telah diantar
dengan penuh rasa bangga dan gembira o!eh keluarga, tetangga dan segenap penduduk desa.
Bahkan ada pula yang dilepas oleh penduduk daerahnya dengan suatu pesta dan sesaji. Adalah
menjadi suatu kebanggaan bagi rakyat apabila pemuda dari desanya dapat menjadi prajurit
kerajaan. Lebih-lebih apabila beroleh pangkat tinggi. Walaupun bukan sanak kadang dan hanya
warga sedesa, tetapi apabila ada yang menjabat carapraja atau nayaka di keraton Singasari
mereka merasa bangga karena desanyapun terangkat harum Ramanya.
Maka dapat dibayangkan betapa resah para calon prajurit itu mendengar ucapan Wijaya.
Keresahan itu berpangkal pada suatu pembayangan, betapa malu dan hina mereka akan merasa
apabila ditolak masuk menjadi prajurit dan pulang ke desa. Cemoh dan ejekanlah yang akan
diterima dari rakyat desanya.
"Masuk menjadi prajurit Singasari, bukan untuk memburu pangkat dan kedudukan. Bukan pula
untuk mencari mata pencaharian dan na ah. Lebih bukan pula untuk mengadu nasib, barangkali
kelak, akan dapat memperoleh pangkat nggi," kata Wijaya lebih lanjut "tetapi adalah untuk
mengabdi kepada negara Singasari yang kita cintai. Pengabdian adalah kewajiban. Dan kewajiban
itu adalah suatu tanggung jawab dari rasa kesadaran. Rasa sadar bahwa Singasari itu adalah
tanahair yang kita cintai. Ibu per wi yang telah melahirkan, menghidupi dan memberikan segala
kehidupan pada kita. Rasa sadar bertanahair, beribu bumi Per wi, mewajibkan kita untuk
mengabdikan segala sesuatu dalam hidup kita, harta, pikiran, tenaga dan bahkan jiwa raga, untuk
menjaga dan melindunginya."
"Pengabdian bukan sebagai pekerjaan. Pengabdian adalah bersifat memberi dan rela menderita,
tanpa mengharap imbalan. Pekerjaan bersifat membantu dan untuk bantuan tenaga itu, mendapat
imbalan. Prajurit, bukan suatu pekerjaan teiapi suatu pengabadian dari seorang kawula kepada
negara, seorang putera kepada ibu Per wi yang telah mengandungnya. Nah, kemasilah ha
saudara dengan bertanya dalam ha saudara sendiri. Bersediakah saudara mengabdi dengan
segala keikhlasan saudara untuk berkorban apa saja yang ada pada diri saudara " Jika saudara
telah mendapat janji dari ha sanubari saudara, bolehlah saudara masuk menjadi prajurit
Singasari. Tetapi ingat, janji hati itu adalah sumpah hati. Jangan saudara ingkar!"
"Tetapi kalau saudara ada memiliki janji itu atau saudara memiliki tujuan lain atau keinginan
untuk diri peribadi saudara, silakan saudara pulang !" Wijaya menutup kata-kata dalam nada yang
tandas. Terdengar suara berisik dari kelompok demi kelompok pemuda-pemuda yang akan menjadi calon
prajurit itu. "Memang dak mudah, kawan-kawan, untuk menjadi prajurit yarg sesungguhnya itu," seru
Wijaya pula "prajurit berar yang tampil di muka peperangan. Perang melawan musuh. Musuh
bukan hanya pasukan dari mancanagara yang hendak menyerang negara kita, tetapi pun terdapat
di mana-mana, di dalam negeri, di masyarakat dan di dalam ha kita. Kaum penghianat yang
hendak menjual negara, narapraja yang rakus menggerogo uang negara, yang sewenang-wenang
menggunakan kekuasaannya untuk memeras rakyat, melanggar undang-undang dan lain-lain ndak
yang merugikan negara, adalah musuh dalam negeri. Penjahat, pengacau yang melanggar undang
undang dan merugikan rakyat, adalah musuh masyarakat. Tidak terkecuali pula, bahkan ini yang
pen ng dan menjadi sumber pokok segala, adalah musuh dalam ba n kita. Nafsu keinginan untuk
mencari kenikmatan diri peribadi, menimbulkan segala pikiran yang tamak dan jahat, mengabaikan
segala kepentingan umum, masyarakat dan negara. Inilah yang disebut musuh dalam batin kita."
"Untuk tampil di medan perang menumpas segala musuh itu, lebih dulu haruslah kita
membersihkan musuh dalam ba n kita. Karena hanya dengan ba n yang bersih, kesadaran kita
akan meningkat terang, ndakan kita akan lebih mantap dalam melaksanakan tugas kewajiban
sebagai seorang prajurit yang bersih, kesadaran akan mbul dan ndakan kita akan lebih mantap
ke arah melaksanakan tugas kewajiban sebagai seorang prajurit utama."
"Jelas," sambung Wijaya pula "prajurit itu suatu pengabdian dan perjuangan, bukan suatu
pakaryaan dan pekerjaan. Prajurit tak kenal berhen mengabdi dan berjuang sebagaimana
perjuangan itu tak pernah kenal berhen . Karena perjuangan itu adalah hakekat daripada
kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, negara dan semesta alam."
"Dan jangan sekali-kali kamu menepuk dada, membanggakan diri sebagai satu-satunya pembela
negara. Kebanggaan itu akan menimbulkan sikap dan pandangan hidup sebagai suatu kasta yang
ter nggi dan paling berjasa, paling berkuasa, sehingga menimbulkan garis pemisah dengan rakyat.
Jauhilah sikap dan pandangan hidup semacam itu karena ketahuilah, bahwa perjuangan membela
negara itu adalah hak dan kewajiban seluruh rakyat. Karena itu ajaklah rakyat dalam suatu
kemanunggalan rasa lahir ba n untuk membela negara, membangun masyarakat dan
meningkatkatkan kesejahteraan hidup kita bersama. Jadilah pembela negara, abdi masyarakat,
pengayom rakyat dan prajurit utama dalam segala bidang kehidupan. Cintailah negaramu dan
negaramu akan mencintaimu. Cintailah rakyat dan rakyat akan mencintaimu. Cintailah
kewajibanmu dan kewajiban dan mencintaimu !"
Demikian peraturan yang ditanam dalam dada sanubari para calon prajurit yang akan
dipercayakan sebagai suatu kesatuan pasukan yang akan menjaga keselamatan kerajaan Singasari.
Tugas untuk mela h ketrampilan jasmani, diserahkan kepada para kadehan dengan pesan bahwa
yang pen ng harus selalu menanamkan rasa kesadaran. Sadar akan kedudukan seorang prajurit
dalam tanggung jawabnya teihadap negara, sumpah prajurit.
Belum berapa lama pasukan itu mulai dibentuk dan digembleng, kini Wijaya harus mengemban
tugas seri baginda Kertanagara ke negeri Malayu.
Hanya nggal setengah bulan dia harus berangkat, terjadilah peris wa atas diri mpu Raganata,
adhyaksa Tumapel. Mika mbullah keresahan ha Wijaya "Adakah ini suatu awal dari gejala-gejala
akan timbulnya kekacauan setelah aku pergi ?" ia menimang-nimang dalam hati.
"Ah, mungkin ada fihak tertentu yang hendak mengacaukan pikiranku agar ketenangan ha ku
terganggu dalam menjalankan tah baginda," ia meninjau pula dari lain kemungkinan. Akhirnya
panaslah ha nya menghadapi tantangan itu dan berjanjilah ia dalam ha , sebelum berangkat ke
Malayu ia harus sudah dapat menyelesaikan peristiwa mpu Raganata.
Terbentur dalam kegagalan waktu menyelidiki ke gedung kepa han rakryan pa h Aragani, ia
makin geram. Menilik penjagaan yang telah diatur pa h Aragani dengan mengundang maharesi
Dewadanda, makin cenderung dugaannya bahwa pa h Aragani terlibat dalam peris wa itu. Kata-
kata saran yang diajukan Ken Sora segera mendapat tanggapan "Katakanlah rencanamu, kakang
Sora," seru Wijaya. "Kita harus ber ndak tegas dengan bekal kesediaan untuk berkorban, raden. Hamba rela
mengorbankan jiwa raga hamba asal dapat menyelamatkan Singasari," kata Ken Sora.
"Baik, kakang Sora. Tetapi cobalah engkau utarakan bagaimana rencanamu itu."
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 2 Kampung Setan Karya Khulung Pendekar Remaja 15
^