Pencarian

Dendam Empu Bharada 33

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 33


pada hakekatnya hanya merupakah pembagian tugas saja, maka aku tak begitu terangsang nafsu
untuk mengejar pangkat dan kelungguhan itu. Yang pen ng aku dapat mengabdikan diri untuk
kepen ngan negara dan dalam bidang yang kulaksanakan itu, benar-benar diriku masih berguna
dan dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Demikian pula pendirian kakang Raganata,
pangeran." Ia, Ardaraja, mendesuh dalam ha "Hm, tumenggung tua ini sudah rapuh pikirannya dimakan
usia sehingga tak terangsang oleh perasaan apa-apa."
"Itulah pendirian seorang mentri yang utama, paman tumenggung," serunya memuji "tetapi
paman tumenggung, maafkan hamba, apabila hamba lancang bicara."
"Ah, tak apa, raden," kata tumenggung Wirakre "paman sudah tua, tentu pikiran paman dak
sesuai lagi dengan pandangan kaum muda, silakan raden."
"Pendirian, betapapun baik, luhur dan utama, yang pen ng adalah pelaksanaannya. Pendirian
dak cukup menjadi perisai sanubari, pun harus dilaksanakan dalam amal dan ndakan yang
nyata," kata Ardaraja "pada hal ada di alam jagadloka ini yang lurus dan berjalan sesuai dengan
apa yang kita impikan. Semisal air sungai, dari mata-airnya yang bersumber di gunung, air itu
bening dan bersih. Tetapi setelah ba di muara laut, maka air itupun berobah warnanya, entah
kehitam -hitaman atau kemerah-merahan."
"Yang pen ng," ujarnya pula "bukan soal warna, bukan soal bening atau keruh, bersih atau kotor
tetapi sifat air itu sebagai salah satu dari ga unsur kehidupan. Dari mata-air di puncak gunung, air
itu mengalir jauh, kadang melingkar-lingkar untuk menggenangi bumi, kemudian berlabuh masuk
ke laut." "Raden Ardaraja," tukas tumenggung Wirakre "dengan perjalanan air sebagai tamsil itu,
bukankah raden hendak mengatakan bahwa dalam menunaikan tugas, kita harus dapat menempuh
segala rintangan dalam perjalanannya, bukan?"
"Dan juga harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang kita hadapi, paman menggung,"
cepat ia memberi sambutan "misalnya, jika di tengah jalan air yang telah menjadi sungai itu
mengalir kearah sebuah bukit, tentulah air sungai itu akan berhamburan pecah atau bahkan akan
menimbulkan genangan yang berbahaya. Tetapi ternyata air sungai itu cukup pintar. Untuk
menghadapi rintangan di tengah jalan itu dia melingkar ke samping gunung mencari tempat yang
rendah dan lapang." Tumenggung Wirakreti tertegun.
"Oleh karena itu, paman menggung," katanya pula "pendirian itu memang diperlukan. Tetapi
pendirian itupun tak cukup menjadi hiasan dinding hati kita, melainkan harus dilaksanakan.
Dalam melaksanakan, belum tentu kita selalu menemukan jalan yang datar dan lancar. Ada
kalanya harus menghadapi ujian yang berupa rintangan. Dalam mengatasi rintangan itu, baiklah
kita menyesuaikan diri dengan keadaan."
"Baik, raden," kata tumenggung Wirakre "kembali pada pokok pembicaraan, adakah suatu
kaitan antara pendirian paman sebagai pengabdi negara dengan ndakan pa h Aragani terhadap
paman dan kedua rakryan itu?"
"Tentu paman tumenggung. Tentu saja ada kaitannya," katanya "aku dak meragukan lagi akan
kesetyaan dan kejujuran paman tumenggung dalam pengabdian paman kepada Singasari. Tetapi
kesetyaan dan kejujuran paman itu terancam akan terhapus karena pengabdian paman telah
diguncang oleh patih Aragani."
"Tetapi raden Ardaraja, bukankah seri baginda masih menghargai jasa paman sehingga
paman masih diberi tugas menjadi ratu Angabhaya" Raden, telah paman katakan tadi, bahwa
soal pangkat dan kelungguhan itu paman tidak terlalu mempersoalkan. Yang penting paman
dapat menyumbangkan pikiran, jiwa dan raga untuk mengabdi kepada Singasari."
"Hem, orangtua ini rupanya sudah padam api kemarahannya. Api itu harus kunyalakan lagi,"
pikir Ardaraja. "Hamba rasa, pandangan paman menggung itu kurang benar," katanya. Ke ka melihat
tumenggung Wirakre menatapnya, dia melanjutkan berkata "nafsu keinginan manusia itu tak
kenal habis. Sekarang pa h Aragani dapat menggeser paman keluar dari keraton menjadi pimpinan
Angabhaya. Tetapi apakah dia puas setelah menggeser kedudukan ke ga wreddha mentri itu" Ah,
hamba rasa tidak, paman menggung."
"Bagaimana raden dapat mengatakan demikian?" tumenggung Wirakreti terbeliak.
"Karena pa h Aragani tahu bahwa dua diantara ke ga saingannya yang berat, masih merupakan
bayang bayang yang menghantuinya. Empu Raganata masih mempunyai sejumlah besar pengikut-
pengikut dalam tubuh pemerintahan. Sedangkan paman menggung sendiri masih menguasai
pasukan penjaga keamanan pura. Tentulah pa h Aragani masih cemas. Bukan mustahil apabila
dalam lain kesempatan dia akan berusaha untuk menyudutkan paman sehingga paman menggung
dibebaskan dari segala tugas jabatan."
Tumenggung Wiiakreti terkesiap.
"Dan apabila hal itu terjadi," kata Ardaraja pula " dakkah pendirian paman untuk mengabdi
kepada negara itu akan hapus bagai awan tertiup angin?"
Tumenggung Wirakreti tertegun.
"Itulah sebabnya maka tadi hamba katakan bahwa memiliki pendirian yang utama itu baik.
Tetapi melaksanakannya, itu lebih baik daripada hanya memiliki. Melaksanakan thok, juga kurang
apabila dak sampai berhasil. Paman berjiwa seorang putera Singasari yang luhur dan
melaksanakannya cita-cita paman dalam pengabdian paman sebagai mentri kerajaan Singasari.
Tetapi apabila paman sampai menderita fitnah dari ulah pa h Aragani sehingga paman dibebaskan
dari jabatan, dakkah hal itu berar paman gagal untuk melaksanakan pendirian paman yang
luhur itu" " Semula tumenggung Wirakre masih tenang-tenang dan tak tergoyah oleh ucapan Ardaraja yang
jelas hendak mengajaknya bersekutu untuk menentang pa h Aragani. Tetapi pada saat Ardaraja,
dengan ketajaman lidahnya dapat mengupas kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa diri
tumenggung itu sehingga akan dapat menghapus dharma-bak nya mengabdi kepada Singasari,
seketika mereganglah perasaan tumenggung itu.
"Ah, apa yang diucapkan putera menantu baginda ini memang benar. Apabila menilik watak
Aragani yang serakah dan haus kedudukan, bukan suatu hal yang tak mungkin apabila dia akan
ber ndak lebih lanjut untuk menyapu bersih diriku dan kakang empu Raganata dari Singasari,"
pikirnya. Sebagaimara halnya dengan luka yang sudah hampir tertutup, sekali dikoyak maka luka itu akan
merekah dan mengalirkan darah pula. Dan apabila darah mengalir maka perasaan orangpun segera
dibawa melayang pada peris wa terjadinya luka itu. Membayangkan pada peris wa yang
menyakitkan itu tentulah akan terbayang pada oiang atau benda yang telah menyebabkan luka itu.
Demikian halnya dengan tumenggung Wirakre . Sesaat perasaannya dihentak kata-kata
Ardaraja, seketika terbayanglah ia akan patih Aragani yang telah menggeser kedudukannya itu.
Perobahan cahaya airmuka tumenggung itu diiku dengan seksama oleh Ardaraja. Diam-diam
pangeran Daha itu girang dalam ha ke ka serapan perasaan tumenggung Wirakre akan
ucapannya tadi, terpantul pada kerut dahinya yang meregang "Maaf, paman menggung," katanya
"apabila ucapan hamba tadi tak berkenan di hati paman."
"Tidak raden. Bahkan aku telah mendapat penerangan dari kegelapan yang selama ini mengabut
pikiranku," kata tumenggung Wirakreti "lalu bagaimana maksud raden?"
Ardaraja menceritakan tentang rencananya untuk menculik pa h Aragani. Tetapi tumenggung
Wirakre tak setuju "Bukan paman kasihan terhadap pa h itu tetapi paman rasa se ap rencana
harus dilaksanakan cergan ha -ha menurut garis-garis yang teratur. Dan dalam hal ini, janganlah
kita terlalu menuruti nafsu tetapi harus bertindak dengan tenang."
"Bagaimana sebaiknya, paman" "
"Seyogyanya jangan ditujukan langsung terhadap rakryan Aragani tetapi pada orang
kepercayaannya," kata tumenggung Wirakreti.
"O," desuh Ardaraja "lalu siapakah kiranya orang yarg paman maksudkan itu?"
"Putera menantu patih Aragani."
"O, Kuda Panglulut?" Ardaraja terkesiap. Tumenggung Wirakre mengangguk "Ya, kiranya
tindakan pertama adalah putera menantu patih itu dulu."
"'Baik, paman menggung," sahut Ardaraja "akan hamba laksanakan rencana itu," ia diam
beberapa saat seperti ada sesuatu yang dipikirkan.
Rupanya tumerggung Wirakre memperha kan sikap raden. Ia bertanya, apakah yang sedang
dipikirkan pangeran itu. "Hamba ingin, mengajukan pemohonan kepada paman menggung. Mungkin permohoran itu
terlalu lancang dan kurang tata maka lebih dahulu hamba mohon maaf, paman."
"O," tumenggung Wirakre heran "mengapa raden mengatakan demikian. Apabila hal itu dalam
rangka melaksanakan rencana tadi, silakan raden mengatakan kepada paman. Andaikata paman
tak setuju, pun per mbangan paman bukan berdasar karena permohonan raden itu kurang tata
dan lancang, melainkan karena paman anggap takkan membawa hasil pada rencana itu."
"Terima kasih paman menggung," ucap Ardaraja "paman, kudengar puteri paman baru-baru ini
telah pulang dari berguru pada seorang pertapa."
Tumenggung Wirakreti terkesiap.
"Hamba percaya paman," kata Ardaraja pula, "bahwa darah seorang tua itu akan mengalir
pada putera puterinya. Ayahnya seorang senopati, puteranya tentu juga seorang ksatrya sakti
mandraguna. Ayah seorang pujangga, puteranya tentu juga mahir dalam ilmu sastra. Bahwa
puteri paman menggung berguru di sebuah pertapaan itu, membuktikan bahwa puteri paman itu
juga mewarisi darah seorang prajurit dari paman."
"Ah, janganlah raden menyanjung-nyanjung."
"Paman menggung," kata Ardaraja pula "hamba hendak mohon bantuan dari puteri paman itu
agar rencana yang akan hamba lakukan itu dapat berhasil."
"O," tumenggung Wirakre terkejut "bagaimana hal itu dapat terjadi, raden" Bukankah raden
dan pengiring-pengiring raden cukup mampu untuk menangkap Kuda Panglulut ?"
"Benar, paman menggung," sahut Ardaraja "tetapi maksud hamba, penculikan itu harus berlatar
suatu alasan yang akan didukung dan disambut gembira oleh para kawula. Dan apabila rama prabu
mendengar peristiwa itu, tentu akan melontarkan teguran keras kepada patih Aragani."
"O," tumenggung Wirakre makin terkejut, "sukalah.raden menjelaskan rencana itu agar paman
mendapat gambaran yang terang."
"Seluruh kawula pura Singasari kenal akan ulah Kuda Panglulut yang congkak dan gemar
mengganggu wanita. Jika kita culik dia dalam peris wa wanita, ar nya pada waktu dia sedang
mengganggu wanita, tentulah rakyat tak mau membelanya bahwa bersyukur atas tindakan kita."
"Ya," tumenggung Wirakre mengangguk. Pada waktu akhir-akhir ini dia memang sering
menerima laporan tentang perbuatan Kuda Panglulut yang suka mengganggu wanita itu. Tetapi dia
dak menyelidiki lebih lanjut bahwa yang diganggu Kuda Panglulut itu kebanyakan adalah orang-
orang Daha yang bermukim di Singasari. Yang laki di ndas dan yang perempuan diganggu. Waktu
mendengar keterangan Ardaraja, dia-pun menganggap hal itu sesuai dengan laporan yang diterima
dari anakbuahnya maka tanpa bertanya lebih lanjut tentang diri wanita-wanita itu, iapun
menyetujui langkah Ardaraja.
"Dalam rangka itulah, apabila paman menggung berkenan, hamba hendak mohon bantuan
puteri paman untuk membantu hamba," kata Ardaraja lebih lanjuut.
"Maksud raden apakah si Sedayu itu yang akan menjadi umpan supaya diganggu si
Panglulut" " "Hamba mohon maaf paman menggung," cepat Ardaraja menyusuli kata "hamba berani
menjamin atas keselamatan puteri paman. Apabila selembar rambut Rara Sedayu sampai diganggu
Kuda Panglulut, hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba untuk membunuhnya, paman."
Demikianlah dengan pertanggungan jawab yang meyakinkan itu, tumenggung Wirakre pun
meluluskan permintaan Ardaraja. Dan saat itu Ardaraja telah siapkan anakbuahnya menunggu di
jalan dimana menurut laporan anakbuahnya, Kuda Panglulut tentu akan lalu disitu.
"Hm, Panglulut itu memang makin hari makin congkak," katanya dalam renungan panjang di kala
menunggu di balik gerumbul pohon "makin tampak sekali bagaimana dia memusuhi orang-orang
Daha yang berada dalam telatah pura Singasari. Yang lelaki di ndas, yang perempuan
dipermainkan. Dan pernah kudengar orang mengatakan bahwa dia sumbar-sumbar tak takut
kepadaku .... " Demikian pangeran itu makin tenggelam dalam laut renungannya. Dan karena hendak mencari-
cari kesalahan orang maka penyelamannya ke dalam laut renungan itu sedemikian dalam hingga
hampir mencapai ke dasar yang terdalam.
Apabila raden itu sedang asyik merenung, pun orang bertubuh kecil langsing dan yang disebut
ayu oleh raden itu, juga tengah bercengkerama dalam renungan pula.
Dia tak lain adalah Rara Sedayu, puteri tumenggung Wirakreti. Ketika ramanya memberitahu
dan meminta kesediaannya untuk membantu rencana Ardaraja yang hendak menangkap Kuda
Panglulut, sebenarnya dia tak setuju. Ia memperingatkan kepada ramanya agar jangan mudah
percaya pada omongan orang "Rama, kumohon hendaknya rama jangan tergesa menerima
permintaan pangeran itu."
"Ah, Sedayu," desuh tumenggung Wirakre "rama sudah tua, sudah cukup kenyang meneguk
pengalaman yang manis maupun yang pahit."
"Benar rama," sanggah Sedayu "tetapi pengalaman itu dak sama satu dengan yang lain karena
keadaan, waktu, tempat dan manusia-manusianya telah berganti."
"Sedayu," seru tumenggung Wirakre "rama telah menyanggupi permintaan pengeran Ardaraja.
Apabila rama mencabut kembali, apakah rama takkan tercela" Dan yang pen ng nini, tujuan utama
dari rencana itu tak lain yalah demi menyelamatkan seri baginda dari cengkeraman patih Aragani."
"Tetapi rama," masih Sedayu membantah "kita harus ingat bahwa pangeran Ardaraja itu adalah
putera raja Daha, bahkan dialah putera mahkota yang kelak akan menjadi raja di Daha. Jika rama
hendak menyelamatkan seri baginda, mengapa rama harus bekerja sama dengan pangeran itu"
Mengapa rama dak bekerja sama dengan putera-putera Singasari saja" Bukankah banyak putera-
putera Singasari yang bersedia mengorbankan jiwa raga untuk kerajaan Singasari?"
Tumenggung Wirakreti terkesiap mendengar sanggahan yang bernada celaan dari puterinya.
Setelah beberapa saat terdiam akhirnya dia berkata "Sedayu, apa yang engkau katakan itu
memang benar. Tetapi engkaupun harus menyelamatkan muka rama dari celaan raden
Ardaraja. Oleh karena itu kuminta engkau dapat membantu rama. Apabila engkau
menyangsikan kejujuran pangeran itu, justeru dengan menggabung pada mereka, engkau akan
dapat menyingkap apa sesungguhnya tujuan mereka itu. Apabila memang "ada udang dibalik
batu', engkau dapat bertindak menurut keadaan dan laporkanlah hal itu kepada rama."
Kata-kata terakhir dari ramanya itu menyentuh dalam kesan ha Sedayu "baik, rama. Apabila
aku tak ikut dalam kalangan mereka, memang takkan dapat mengetahui rahasia mereka ..... "
Demikian terlintas dalam renung Sedayu pada saat la telah menggabungkan diri dengan
rombongan Ardaraja dan bersembunyi dibalik gerumbul untuk menunggu kedatangan Kuda
Panglulut. Tiba-tiba dari gerumbul sebelah muka terdengar suara burung kulik.
"Sura," seru orang yang disebut raden tadi yang tak lain adalah raden Ardaraja sendiri "Patra
telah memberi pertandaan, lekaslah engkau bersiap."
Kemudian iapun minta kepada orang yang bertubuh kecil langsing atau Rara Sedayu supaya
berkemas-kemas. Sura dan Sedayu segera keluar dari tempat persembunyian dan menuju ke jalan.
Diantara kegelapan malam, sayup-sayup tampak ga sosok tubuh tengah berjalan mendatangi.
Tampaknya mereka memang bergegas-gegas sekali. Mereka dari arah pura Singasari dan menuju ke
luar kota. Memang tempat rombongan raden Ardaraja itu bersembunyi, terletak di sebuah hutan
di luar pura. Setelah melihat ke ga orang itu berada pada jarak sepelepas anakpanah jauhnya, Sura segera
memanggul Sedayu dan dibawanya berjalan pelahan-lahan.
"Tolongngng ....... ! Tolongng ....... ! " sesuai dengan rencana maka Sedayupun berteriak senyaring
nyaringnya. Malam kelam, jalan sunyi. Suara teriakan meminta tolong itu berkumandang jelas sekali. Ke ga
orang itupun tersentak kaget.
"Raden, rupanya ada wanita yang dibawa lari penjahat," salah seoang dari mereka be ga,
berkata. "Ya, biarlah saja," sahut orang yang dipanggil raden itu.
"Tetapi raden," kata orang yang pertama itu pula "jelas itu suatu perbuatan jahat yang wajib kita
berantas." Raden itu berpaling kepada yang berkata "Krepa, siapakah yang memberi perintah, aku atau
engkau ?" "Ah, tentu saja raden," orang yang dipanggil Krepa itu tersipu-sipu menjawab "maaf, raden,
hamba hanya menghaturkan laporan dan sama sekali tak bermaksud hendak melanggar
kewibawaan raden." "Hm," dengus raden itu "tetapi aku tidak tuli dan juga mendengar teriak perempuan itu."
Krepa mengkeret nyalinya. Ia tahu siapa raden itu dan betapa pengaruhnya di pura Singasari.
Setelah berjalan beberapa langkah, suara jeritan minta tolong itupun makin melengking-lengking
mengoyak kesunyian malam. Krepa makin gelisah Bumi yang dipijaknya itu seper tumbuh duri
yang tajam. Tetapi dia tak berani membuka mulut lagi.
"Krepa, tahukah engkau apa sebab aku tak lekas menolong perempuan itu?" ba- ba raden itu
bertanya. "Maaf, raden, hamba tak mengerti "
"Engkau harus ingat Krepa," kata raden itu pula "dewasa ini dalam pura Singasari penuh
dengan mata-mata musuh dan orang-orang yang hendak mengail di air keruh. Yang penting kita
harus mengantarkan ki Siborang ini keluar dari lingkungan pura Singasari. Lain-lain hal tak perlu
kita acuhkan dulu" "Baik, raden," sahut Krepa.
Tiba- ba orang yang ke ga yang sejak tadi hanya berdiam diri, tertawa "Heh, heh, raden. Tetapi
kukira akupun kasihan juga mendengar lolong jeritan perempuan. Apakah begini sekarang suasana
di pura Singasari itu ?"
"Tidak," raden itu cepat membantah "memang terjadi juga kekacauan keamanan semacam itu
tetapi berkat penjagaan anakbuahku, hal semacam itu sudah jarang terjadi."
"Jarang berar bukannya tak ada. Masih ada," kata orang itu "kukira dalam usaha untuk merebut
ha rakyat, raden perlu menunjukkan ndakan yang bersifat melindungi mereka agar mereka
senang. Mari kita tolong wanita itu, raden. Soal diriku, aku masih dapat menjaga diri."
Mendengar ucapan orang itu malulah raden itu dalam hati. Ia mengiakan dan merekapun
segera membiluk ke jalan yang diperkirakan arah tempat perempuan, tadi meminta tolong.
Segera mereka melihat seorang lelaki nggi besar sedang memanggul seorang wanita yang
meronta-ronta dan menjerit-jerit. Ketiga orang itupun cepat berlari mengejar.
"Lepaskan! bentak orang yang disebut raden itu seraya loncat hendak memukul orang nggi
besar. "Perempuan sial ....... " orang nggi besar itu menurunkan dukungannya dan mendorong wanita
itu ke tepi jalan dan ia sendiripun loncat menghindar.
"Keparat ! " teriak orang nggi besar itu. Dia adalah yang dipanggil dengan nama Sura oleh raden
Ardaraja tadi "engkau berani mengganggu kesenanganku ! "
Saat dia dekat dengan Krepa maka dia pun segera menyerang Krepa. Melihat itu pemuda yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disebut raden tadi, segera loncat menerjang Sura lagi " Penjahat bernyali besar, engkau berani
melawan! " "Ho, Kuda Panglulut, engkau anggap dirimu itu orang baik " Huh, sudah berapa banyakkah
wanita-wanita baik-baik yang telah menjadi korbanmu selama ini?" seru Sura.
Raden itu terkesiap "Mengapa dia tahu namaku" Siapakah dia" Hm, orang ini berbahaya,
harus kuringkus," katanya dalam hati.
Dia memang Kuda Panglulut yang malam itu bersama Krepa sedang mengantar seorang yang
bernama Siborang keluar dari pura kerajaan.
"Siapa engkau !" bentak Kuda Panglulut seraya nyalangkan mata memandang tajam-tajam seolah
hendak menembus kain penutup yang menyelubungi hidung sampai ke mulut orang itu.
"Aku seorang anakbuah gerombolan penjahat yang mengganas wanita-wanita muda terutama
wanita dari Daha. Bukankah sealiran dengan eagkau" Kalau engkau sendiri juga begitu, - mengapa
engkau hendak melarang aku berbuat semacam itu" "
Merah muka Kuda Panglulut. Untung saat itu pada malam hari dan tak ada orang yang
memperha kaa raut mukanya "Hm, dak gampang mengaku sealiran dengan aku, sebelum kuuji
ilmu kesaktianmu !" Kuda Panglulut terus hendak bergerak tetapi Krepa segera tampil "Raden, idinkanlah hamba yang
menghajarnya." Belum Kuda Panglulut menyahut, orang yang bernarra Siborang itupun mendahului "Raden,
untuk menyingkat waktu, mari kita tumpas penjahat ini."
"Ha, ha," Sura tertawa mengejek "aku bukan ayam yang begitu mudah kalian sembelih. Coba saja
kalian maju kalau kalian sudah jemu hidup."
Kuda Panglulut menganggap ucapan Siborang memang benar. Untuk menyingkat waktu, penjahat
itu harus lekas dilenyapkan "Baik, mari kita cincang babi hutan ini."
Mereka ber ga segera berhamburan memburu Sura sehingga orang nggi besar itu kelabakan.
Duk .... sebuah pukulan telah menyambar bahunya. Ia terhuyung-huyung. Krepa menerjang pula
lalu Siborang dan Kuda Panglulut.
Tetapi secepat itu pula dari balik gerumbul pohon berhamburan melompat ga sosok tubuh
yang terus menyerang Kuda Panglulut bertiga.
"Kuda Panglulut, bukan dia musuhmu tetapi hadapilah aku!" seru orang yang menangkis pukulan
Kuda Panglulut. Kuda Panglulut terkesiap. Rasanya ia pernah mendengar nada suara orang itu tetapi ia lupa
entah di-mana "Siapa engkau!" bentaknya.
"Aku kepala gerombolan ini," sahut orang itu dengan nada berobah agak besar. Rupanya ia
menyadari keraguan Kuda Panglulut.
"Sebutkan namamu! "
"Nanti apabila engkau mampu merubuhkan aku."
"Hm, tahukah engkau apa hukumannya orang yang berani melawan aku," Kuda Panglulut
menggertak pula. Orang itu tertawa datar "Yang berwewenang menjatuhkan hukuman adalah seri baginda atau
gus mentri Angabaya yang dipercayakan seri baginda untuk menjaga keamanan pura Singasari.
Engkau" Huh, bukankah engkau hanya Kuda Panglulut yang menumpang kekuasaan ayah
mentuamu patih Aragani itu ?"
Bukan main marah Kuda Panglulut menderita hinaan yang sedemikian tajam "Keparat! Kurobek
mulutmu! " Sebuah serangan dahsyat segera dilancarkan. Pukulannya amat keras dan cepat, sasarannya
mengarah bagian tubuh yang berbahaya. Benar-benar sebuah serangan yang dapat membawa
bencana maut. Tetapi lawannya itupun tak kalah tangkasnya. Menyurut mundur selangkah, cepat ia menyelinap
ke samping dan serempak kedua tangan bergerak menyilang untuk menggun ng tangan Kuda
Panglulut. Kuda Panglulut terkejut melihat gaya serangan lawan yang sedemikian tangkas dan menurut tata
kanuragan yang tepat. Cepat ia menyurutkan nju ke belakang lalu secepat kilat meluncurkan pula
ke perut lawan. Krakkkk..... Dua kerat tulang saling beradu keras. Kuda Panglulut tersurut mundur setengah langkah. Orang
itupun tergetar tangannya.
Ternyata Kuda Panglulut telah termakan pu siasat lawan. Gerak menggun ng lawan itu hanya
sebuah gerak kosong. Ke ka Panglulut menarik nju dan menghantam lagi, orang itupun sudah
tiap menyongsongnya. Kekalahan dalam gebrak pertama itu memaksa Kuda Panglulut harus bersikap ha -ha . Ia tak
berani memandang enteng lawan. Ia tumpahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk
menghadapi lawan. Dan makin lama makin mbullah kesadarannya bahwa kepala gerombolan
yang dihadapinya itu, bukan gerombolan biasa tetapi seorang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.
Sementara itu ba- ba terdengar Sura menggeram keras lalu menerjang Krepa "Sekarang
rasakanlah pembalasanku, bedebah! "
Rupanya orang nggi besar itu marah dan hendak membalas lawan yang telah memukul
bahunya tadi. Sementara itu kedua kawan Sura, yani Sargula dan Patra, pun segera menyergap
orang yang bernama Siborang itu.
Demikian di malam yang kelam, dijalan sepi di luar pura Singasari, telah berlangsung
pertempuran seru antara Kuda Panglulut ber ga melawan rombongan Ardaraja yang berjumlah
empat orang. Rupanya pertempuran yang paling menarik dan seru adalah antara kedua orang yang
disebut raden oleh anakbuahnya.
Dibalik kecongkakan dan kesombongannya, ternyata Kuda Panglulut memang digdaya. Bukan saja
gerak serangannya itu menurut ilmu kanuragan tataran nggi, pun ap gerak pukulan dan
tendangannya selalu menghamburkan tenaga yang dahsyat.
Untunglah lawannya itu yang tak lain adalah pangeran Ardaraja, mampu mengimbangi
permainan Kuda Panglulut. Andaikata Sura atau Sargula atau Patra yang menjadi lawannya,
tentulah dalam beberapa jurus saja sudah dapat dirubuhkan.
Diam-diam kedua raden itu saling merasa heran dalam ha . Mereka saling mengagumi dan
memuji kepandaian lawan dan tak beranilah mereka memandang rendah pada lawan.
Beberapa saat kemudian tampak Kuda Panglulut mengerahkan seluruh kepandaian untuk
mendesak lawan. Rupanya ia mulai dibayangi rasa cemas. Tiga melawan empat, dirasakan sudah
cukup berat. Mana kala fihak gerombolan itu bertambih lagi jumlahnya dengan beberapa orang,
bukankah fihaknya akan menderita kekalahan"
Bayang-bayang kecemasan itu makin mengabut tebal dan akhirnya membentuk suatu rasa
kegelisahan dalam ha Kuda Panglulut. Kekalahan akan membawa akibat yang mengerikan. Dia dan
kedua kawannya akan dibunuh atau ditawan oleh gerombolan itu. Dan yang paling mencengkam
perasaannya adalah keselamatan Siborang .....
Dalam pertempuran, orang harus mencurah segenap pikiran dan perhatian. Sedikit saja
pikiran terganggu memikirkan lain-lain hal, permainannya tentu kacau. Demikian dengan Kuda
Panglulut. Jika tadi dia masih dapat menangkis dan balas menyerang dengan gerak-gerak yang
mantap dan teratur, adalah setelah dicengkam kegelisahan itu mulailah serangannya agak
bernafsu seolah-olah dia ingin memaksakan agar pertempuran itu cepat cepat selesai.
Permainannya cepat, hatinya gopoh.
Tetapi sebelum berhasil mencapai yang diinginkan sekonyong-konyong dari arah hutan
terdengar suara bergersik -gersik dari semak-semak yang tersiak tangan orang. Menilik riuhnya
suara itu tentulah yang datang berjumlah beberapa belas orang. Jelas tentu kawan-kawan dari
gerombolan lawan, pikir Kuda Panglulut. Pemikiran itu berdasar bahwa ia tak merasa
memerintahkan anakbuahnya datang.
Dan ba- ba pula si nggi besar Sura serentak gembira "Bagus, kawan-kawan, bala bantuan kita
datang, hayo ringkuslah babi-babi hutan ini. Nanti kita sembelih mereka untuk makanan gagak! "
Teriakan orang tinggi besar yang nama lengkapnya adalah Suramenggala itu, benar-benar
meledakkan nyali Kuda Panglulut, Krepa dan Siborang. Mereka makin gugup dan makin keras
berusaha untuk meloloskan diri. Tetapi gerombolan Suramenggala itu bahkan lebih
memperhebat serangannya untuk mengepung mereka sedemikian ketat.
Bluk .... bluk .... Terdengar bunyi susul menyusul menghunjam tubuh dan jerit mengaduh lalu tubuh-tubuh yang
bergedebukan jatuh. Krepa dan Siborang mendahului rubuh.
Melihat itu Kuda Panglulut makin gelisah. Akhirnya mbul suatu keputusan dalam ha . Ia harus
dapat lolos dulu setelah itu akan membawa pasukan untuk mengejar jejak gerombolan itu dan
membasminya habis-habisan.
Jika ia sendiri juga rubuh, celakalah semua nan . Tentulah pasukannya tak tahu bahwa dia telah
jatuh di tangan gerombolan yang tak diketahui ciri-cirinya.
Akhirnya ia memutuskan, harus dapat meloloskan diri. Dan keputusan itu segera dilaksanakan.
Setelah melancarkan sebuah pukulan dahsyat yang memaksa lawan mundur, Kuda Panglulut cepat
loncat ke belakang. Orang itu rupanya tahu akan maksud Kuda Panglulut. Tetapi sebelum ia sempat bergerak,
Suramenggala sudah mendahului "Hai, hendak lari kemana engkau Panglulut! " serunya seraya
mengejar. Sekonyong-konyong Kuda Panglulut berputar tubuh dan ayunkan tangan kanan "Hem, manusia
yang sudah jemu hidup !"
Suramenggala terkejut ke ka sebatang pisau berkilat-kilat melayang deras ke arah mukanya.
Bahkan rasa kejut itu meningkat menjadi rasa gugup yang mencengkam ke ka sebatang pisau yang
lain menyusul pisau yang pertama.
Lurah prajurit dari Daha itu cepat meliukkan tubuh ke samping. Gerakan itu memang berhasil
menyelamatkan mukanya dari taburan pisau. Tetapi layang pisau yang kedua ternyata lebih
cepat dari pisau yang pertama. Pada saat tubuh Suramenggala sedang mencondong ke
samping, bahunyapun tertekam pisau itu.
"Aduh ... " Suramenggala menjerit kesakitan dan terhuyung hampir rubuh apabila tak lekas
disanggapi orang berkerudung kain yang menjadi lawan Kuda Panglulut tadi "Bagaimana Sura?"
tegur orang itu. "Keparat si Panglulut !" tiba-tiba Suramenggala mencabut pisau dari bahunya lalu lari
mengejar lagi. Tetapi baru beberapa langkah, iapun rubuh. Pandang matanya serasa gelap
karena darahnya banyak mengalir.
"Sura ... " orang itu cepat lari menghampiri dan mengangkat tubuh Sura ke bawah pohon.
"Hai, kemanakah lawan Sura tadi ?" serunya terkejut ke ka ia berbangkit hendak menangkap
orang itu. Lawan Sura semula adalah Krepa. Karena Sura hendak menyergap Kuda Panglulut yang hendak
meloloskan diri itu maka ia meninggalkan Krepa. Krepa menyadari bahwa fihaknya terancam
kekalahan. Maka cepatlah ia loncat ke dalam gerumbul pohon dan melenyapkan diri. Itulah
sebabnya orang yang menolong Sura atau raden Ardaraja, berseru kaget karena Krepa tak tampak.
Sejenak Ardaraja tertegun. Sesaat kemudian hampir saja ia ayunkan langkah hendak mengejar
jejak Krepa manakala pandang matanya tak tertumbuk pada orang yang sedang bertempur
melawan Sargula dan Patra.
Dalam keremangan cuaca malam, ia dapat memperha kan keadaan lawan dari Sargula dan Patra
itu. Ternyata dandanan orang itu beda dengan orang Singasari ataupun Daha. Orang itu
mengenakan baju dan ikat kepala yang tak lazim dipakai rakyat Singasari atau Daha.
Seke ka mbullah kecurigaan Ardaraja. Cepat pula ia merangkai suatu rencana. Ia batalkan
niatnya mengejar Krepa lalu beralih mengarahkan langkah kepada orang itu.
Rupanya orang yang dicurigai itu atau Siborang tahu akan gerak gerik pangeran Ardaraja. Diam-
diam ia mengeluh dalam ha . Sebelum lawan bertambah seorang lagi, ia harus cepat-cepat
meloloskan diri. Sargula dan Patra memang bertenaga kuat dan perkasa. Tetapi menghadapi tata gerak yang aneh
dari lawannya, keduanya agak bingung. Itulah sebabnya sekalipun mereka maju berdua namun
sampai sekian lama belum juga mereka dapat merubuhkan lawan yang hanya seorang itu.
Tiba- ba Sargula terkejut ke ka orang itu loncat menerkam matanya. Pada hal saat itu Sagula
terlanjur membuka kedua tangannya karena karena hendak melakukan serangan. Dengan demikian
ia tak sempat untuk menangkis maupun menghindar.
Melihat kawannya terancam, Patrapun memberingas. Ia loncat menerkam dari belakang, duk .....
uh ..... terdengar suara benturan dua sosok tubuh yang kemudian menggedebuk terhempas ke
tanah. Ternyata Siborang telah berhasil dengan gerak pu yang bagus. Ia tahu bahwa hamburan angin
yang melanda dari belakang tentulah berasal dari gerak serangan Patra. Maka selicin belut
menyelinap, iapun cepat melen ng ke samping sehingga Patra harus menerkam Sargula sendiri.
Akibatnya keduanya jatuh bertumpang tindih.
Secepat melibat kedua lawannya terguling di tanah, Siborangpun cepat berputar tubuh dan
hendak melarikan diri. Tetapi sebelum ia sempat mengayun kaki, bahunya telah dicengkeram oleh
sebuah tangan yang kuat dan disentakkan ke belakang sekeras-kerasnya.
Sedemikian kuat tenaga orang itu hingga Siborang terseok-seok bagai kura-kura hendak bertelur.
Tiba- ba pula kakinya terantuk pada tubuh Patra yang saat itu kebetulan hendak menggeliat
bangun. Bluk .... Siborang terpelan ng rubuh terjerembab ke belakang. Sementara Patrapun
mengeluh kesakitan karena perutnya terpaacal tumit kaki Siborang.
Saat itu Sargula sudah bangun tetapi masih duduk sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.
Belum sempat ia berdiri, tubuh Siborang sudah menimpanya pula. Auh .... Sargula mengerang dan
terdampar rubuh lagi. "Keparat engkau Patra!" Sargula marah, meronta dan ayunkan njunya menghantam Siborang
yang disangkanya Patra. Ia benar-benar kehilangan sabar. Walaupun Patra itu kawan tetapi sudah
dua kali ia harus menderita kesakitan. Pertama, ia telah diterkam sekuat-kuatnya sehingga jatuh
terguling. Sekarang baru mau berdiri sudah ditimpa lagi.
Siborang tak dapat mengerang. Ia pingsan seketika menerima tinju Sargula yang berat itu.
"Bagus, Sargula, ringkuslah orang itu," seru orang berkerudung atau yang menyentakkan Siborang
ke belakang tadi, sembari tertawa geli melihat Sargula meringis kesakitan.
"Siapakah dia, raden?" Sargula cepat bangun "bukankah dia kakang Patra" Mengapa raden suruh
meringkusnya?" Terdengar suara orang tertawa gelak-gelak. Sargula terkesiap dan memandang mereka "Hai,
engkau Patra .... tetapi " ba- ba ia berpaling memandang kearah orang yang dihantamnya tadi
"lalu siapa dia" "
"Lawan yang menyiasati , engkau tadi," orang berkerudung itu berseru "ikatlah dia! "
Selesai mengikat tangan Siborang, Sargula bersungut-sungut "Ah, kita hanya berhasil sedikit
raden. Kuda Panglulut dapat meloloskan diri dan yang seorang-pun juga lolos .... "
"Siapa yang bilang?" ba- ba dari balik gerumbul pohon terdengar suara seorang dara
melengking dan pada lain saat muncullah seorang lelaki yang digusur oleh seorang anak
perempuan. "Sedayu, engkau .... "
"Ya, raden," sahut dara itu atau Rara Sedayu seraya bersenyum "inilah anakbuah Kuda Panglulut
yang berusaha melarikan diri tadi."
Lelaki yang digiring Sedayu itu bukan lain memang Krepa. Kedua tangannya telah diikat oleh
Sedayu, Memang naas bagi Krepa. Ke ka dia menyelinap dalam gerumbul pohon hendak melarikan
diri, disitu Sedayu sudah siap menunggu. Dia tak menyangka sama sekali bahwa sebatang kayu
akan melayang ke tengkuknya, duk .... tanpa sempat melihat siapa yang telah menyerangnya, ia
harus rubuh dan tahu-tahu tangannya diteliku ke belakang dan diikat kencang-kencang.
"Sial," gumamnya ke ka mengetahui bahwa yang menangkapnya itu hanya seorang anak
perempuan. Namun hal itu sudah menjadi kenyataan dan dia harus berusaha untuk menghadapi kenyataan
pahit itu. "Engkau minta hidup atau mati ?" tegur orang berkerudung yang disebut raden itu.
"Hamba mohon hidup, raden," kata Krepa yang menyadari bahwa jiwanya sedang berada diujung
tanduk. "Kalau minta hidup, engkau harus memberi jawaban yang sejujurnya."
"Baik." "Siapa namamu ?"
"Krepa." "Mengapa pada waktu semalam ini engkau keluar dari pura" "
Krepa terkesiap tak lekas menjawab "Meronda," sahutnya sesaat kemudian.
"Patra," tiba-tiba raden itu berseru memberi perintah "potong lidahnya! "
"Baik, raden," Patra mencabut pedang terus mencengkeram mulut Krepa. Krepa meronta. "Ya, ya,
akan kukatakan sejujurnya," serunya ketakutan.
Namun Patra tetap ngotot menekan mulut Krepa supaya lidahnya menjulur keluar ....
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 29 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Taat pada perintah. Demikian salah sebuah ketentuan dari beberapa tata-ter b bagi seorang
prajurit. Tanpa rasa ketaatan maka segala peraturan, perintah dan tata-ter b, akan semrawut
bagai beras ditampi. Hakekat daripada ar Taat itu adalah Percaya. Percaya bahwa perintah dari pimpinan itu adalah
benar dan bermanfaat. Namun untuk menumbuhkan rasa Taat atau Percaya, harus ditanamkan
suatu tatacara yang gigih, terutama dalam diri yang memberi perintah atau pimpinan itu sendiri.
Tatacara hidup, sikap, ulah dan ucap, harus mencerminkan rasa tanggung jawab yang penuh
kesadaran. Perintah adalah tanggung jawab. Taat pada perintah adalah memiliki kesadaran akan tanggung
jawab. Patra ber ndak mentaa perintah junjungannya. Selama raden itu belum menarik perintahnya,
dia tetap hendak memotong lidah Kreta, orang yang mengaku peronda malam.
Raden itu terkejut namun ia menyadari bahwa Patra itu seorang yang lugu tetapi taat "Patra,
lepaskan !" cepat ia memberi perintah. Dan Patra yang selalu taat akan tuannya, segera
melepaskan orang itu. "Sekarang berilah keterangan yang jujur," seru orang berkerudung muka yang disebut raden oleh
Patra. "Baik, raden," kata Kreta. Tetapi sampai beberapa jenak barulah dia berkata "Raden Kuda
Panglulut hendak mengantar orang .... "
"Siapa" " Kembali agak tersekat kerongkongan Kreta sesaat hendak memberi keterangan tentang soal itu.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi ke ka melihat Patra memberingas hendak maju menghampiri, cepat japun berkata "Seorang
utusan .... " "Utusan?" raden itu terkesiap "dari mana " "
"Dari ..... dari ... "
Katakan yangjelas !" hardik raden itu.
"Sriwijaya ...."
"Sriwijaya ?" raden itu terperanjat "dari raja Sri Tribhuana Mauliwarman?"
"Bu ..... kan, raden. Tetapi dari De .... mang .... Lebar Daun ".
Raden itu terkejut namun ia berusaha untuk menekan perasaannya "Apakah utusan itu sudah
menghadap baginda Kertanagara ?" tanyanya dergan penuh perhatian.
"Tidak raden," sahut Kreta. Rupanya ia menyadari betapa akibat dari keterangannya itu. Ia tahu
siapa raden Kuda Panglulut. Maka sengaja ia menjawab dengan singkat dan membatasi menurut
apa yang ditanyakan saja.
"Mengapa" "
"Karena bukan bermaksud menghadap baginda."
"Lalu apa maksudnya" "
"Menghadap ..... gusti patih ... "
"Patih siapa" "
"Patih Aragani."
Raden itu makin terbelalak "Apa maksudnya ?"
"Maaf, raden," sahut Krcta "dalam hal itu aku tak tahu apa yang dibicarakan."
"Apakah Kuda Panglulut tahu soal itu" "
"Mungkin tetapi aku tak tahu jelas."
Raden itu termenung sejenak lalu berkata pula,
"Baik, karena engkau mau memberi keterangan yang jujur, jiwamu dapat kuampuni. Tetapi masih
ada sebuah soal lagi yang harus engkau lakukan."
Diam-diam Kreta girang karena dirinya dibebaskan. Iapun segera meminta supaya raden itu
memberi perintah. "Jawablah pertanyaanku ini." kata raden ini, "adakah engkau mendengar ke ka aku memanggil
gadis itu," ia menunjuk ke arah Sedayu.
Terlanjur sudah memberi keterangan yang jujur dan merasa bahwa raden itu pas akan
mengampuni jiwanya maka Kretapun menjawab dengan sesungguhnya "Ya, mendengar."
Kreta merenung sejenak, katanya "Rasanya memang pernah mendengar nama itu tetapi lupa
siapakah dia. Namun tak sukar untuk mencari keterangan tentang dirinya."
"Patra, potong lidahnya !" tiba-tiba raden itu berseru kepada Patra.
Bukan saja Kreta yang akan menerima hukuman, bahkan Patra yang diperintah itupun terkejut
heran. Bukankah Kreta sudah memberi ketelengan dengan jujur " Mengapa raden itu tetap hendak
memotong lidahnya " Namun ia taat akan perintah tuannya dan segera hendak menghampiri Kreta.
"Raden," teriak Kreta setengah menjerit "mengapa raden hendak menghukum aku " Bukankah
aku sudah mentaati perintah raden untuk memberi keterangan yang jujur " "
"Ya," sahut raden itu dingin "aku pun takkan membunuhmu."
"Tetapi mengapa raden hendak memotong lidahku ?" Kreta masih penasaran.
"Karena engkau telah mendengar nama gadis itu," kata raden itu.
"Apakah itu salah " "
"Tidak salah untuk lain orang tetapi salah besar untuk engkau !"
"Mengapa, raden ?" seru Kreta makin tidak mengerti.
"Apabila kulepaskan engkau pulang, engkau tentu akan melaporkan hal itu kepada Kuda
Panglulut. Dengan demikian jiwa gadis itu pas terancam bahaya. Oleh karena itu agar engkau tak
dapat memberi laporan, lidahmu harus dipotong !"
"O, " kini Kreta baru tahu alasan hukuman itu "tetapi raden salah. Walaupun lidahku dipotong,
aku masih dapat memberi laporan dengan tulisan."
"Jika begitu tanganmupun harus dipotong."
"Aku masih dapat menulis dengan kaki, raden."
"Kakimu harus dipotong juga."
"Ah," desah Kreta "dengan demikian raden ingkar janji hendak membebaskan aku. Dengan
mencincang tubuhku sedemikian rupa, bukankah berarti raden hendak membunuh nyawaku ?"
"Demi menyelamatkan jiwa gadis itu, aku terpaksa harus bertindak begitu."
"Ah, tetapi itu kurang luhur, raden," kata Kreta "bagaimana kalau aku bersumpah bahwa aku
takkan melaporkan nama gadis itu kepada Kuda Panglulut atau kepada siapa juga."
"Apa hukumanmu apabila engkau melanggar sumpahmu?"
"Semoga Hyang Syiwa menurunkan tujuh petir untuk menghancur leburkan nsayatku."
"Ah, aku kuatir Hyang Syiwa tak sempat mengurus diri seorang yang melanggar sumpah."
"Baik, raden," kata Kreta dengan nada bersungguh "jika Kreta melanggar janji, bunuhlah hamba."
Raden itu mengangguk "Ingat Kreta, kalau engkau berani melanggar janji, engkau tentu
kubunuh!" Raden itu lalu suruh Patra membuka tali pengikat tangan Kreta kemudian berkata "Sekarang
engkau bebas pulang ke Singasari."
Kreta meragu. Benarkah raden itu akan membebaskan dirinya hanya atas dasar janji saja "
Adakah semudah itu ia memperoleh kebebasan dari suatu kekalahan yang harus dimenangkan
musuh dengan susah payah " Sejenak ia memandang raden itu. Tiada suatu gerakan apa-apa. Ia
segera ayunkan langkah dan ternyata tetap tak mendapat tegur maupun rintangan.
Tiba- ba ia teringat sesuatu "Raden," ia hen kan langkah "bagaimana dengan ki Siborang yang
raden tangkap itu ?"
"Katakan kepada Kuda Panglulut," sahut raden itu dengan nada tenang "selekas patung Joko
Dolok kembali ke padepokan empu Paramita di gunung Kawi, selekas itu pula utusan Sriwijaya itu
akan kubebaskan di tempat ini."
"Baik, raden," Kretapun terbata-bata melanjutkan largkah menuju ke dalam pura. Tak berapa
lama bayangannyapun lenyap dalam kegelapan malam.
Sementara di tempat pertempuran terdengar raden itu berkata "Terima kasih nini, atas
bantuanmu." "Lalu bagaimana dengan aku, raden Ardaraja," kata Sedayu "berbahayakah kalau aku pulang ke
dalam pura ?" "Silakan pulang nini," sahut raden itu yang tak lain adalah pangeran Ardaraja "jangan kua r,
akan kutitahkan orangku untuk melindungi keselamatanmu."
Sedayu menghaturkan terima kasih lalu minta diri. Tiba di rumah, ia menceritakan semua
peristiwa yang terjadi kepada ramanya, tumenggung Wirakreti.
Keterangan Sedayu itu memberi gambaran yang jelas kepada tumenggung Wirakre , siapa,
bagaimana dan apa tujuan yang hendak di arah patih Aragani.
"Sedayu," katanya "apa pesan gurumu empu Santasmer " Adakah beliau
p pesan juga kepadaku?" "Benar rama " sahut Sedayu "guru mengatakan kepadaku, "Nini, bagaimana cita-cita setelah
engkau memperoleh ilmu di pertapaan ini ?" Kujawab bahwa aku ingin membak kan diri kepada
kerajaan Singasari."
"Bagus, Sedayu," kata tumenggung Wirakreti "lalu bagaimana kata empu ?"
"Beliau memuji juga," Nini, jika engkau memang sudah teguh niatmu, akupun tak ragu lagi untuk
melepas engkau ke kancah pergolakan yang sedang bergolak di bumi Singasari. Ketahuilah nini,
bahwa sudah menjadi garis ketentuan Hyang Purasa bahwa kerajaan Singasari akan mengalami
badai gempa yang dahsyat."
"Maksud guru, akan terjadi peperangan besar di kerajaan Singasari ?" aku menegas dengan
berdebar-debar. "Kodrat Prakitri tak dapat dipungkiri, nini. Kesemuanya tak lain adalah karena ulah manusia
sendiri. Patah tumbuh, hilang bergan . Yang tua akan lapuk, yang muda akan meremajakannya.
Bila nafsu dan klesa sudah meluap ruah, pas akan datang badai besar untuk menyapu dan
membersihkan kekotoran itu."
"Namun jangan engkau cemas nini, menghadapi badai dan gempa dahsyat itu. Karena hal itu
memang tak dapat dihindari lagi, janganlah engkau lari dari kenyataan. Apapun yang akan terjadi,"
kata empu Santas merti." '
"Guru, dimanakah aku harus berada ?" tanyaku.
"Engkau harus berpijak pada landasan yang kokoh, jangan silau, jangan cemas dan jangan
goyah." "Dimanakah landasan yang kokoh itu, guru ?" tanyaku pula.
"Dalam ba nmu sendiri, nini. Tiada landasan yang lebih kokoh daripada ba n kita sendiri ini.
Tetaplah berdiri pada cita-citamu. Jangan silau terhadap kekuatan musuh, jangan cemas
menghadapi bahaya dan jangan goyah menderita kekalahan."
"Terima kasih, guru," kataku. Ke ka hendak berangkat guru berkata pula "Sampaikan kepada
ramamu, nini. Bahwa segala apa yang akan terjadi nan , memang sudah ketentuan yang digariskan
dewata. Tetaplah melaksanakan bakti seorang ksatrya."
"Hanya itu pesan empu, nini ?" tumenggung Wirakreti menegas.
Sedayu mengiakan. "Baik, kakang Santasmre , aku akan setya pada sumpah keksatryaanku, walau apapun yang akan
terjadi nan ," ucap tumenggung Wirakre seorang, diri. Pandang matanya jauh menerawang ke
langit-langit pendapa ke-tumenggungan, seolah ingin menembus ke cakra-wala luas.
Setelah beberapa hari nggal di kediaman ramanya, Sedayu dengan berat ha pamit kepada
ramanya "Rama, seharusnya sebagai anak puteri, aku nggal di rumah melayani rama. Tetapi rama,
aku telah terlanjur tenggelam dalam cita cita lain. Suatu cita-cita yang rama sendiri juga ingin
mencapainya. Perkenankanlah rama, Sedayu melanjutkan cita-cita itu sebagai persembahan bak
Sedayu terhadap rama."
Tersentuh ha tumenggung Wirakre di kala menerima permohonan diri puterinya. Dalam ha
kecilnya memang merupakan suatu pukulan bathin yang maha berat untuk berpisah dengan puteri
yang amat dicintainya itu. Apalagi apabila terkenang bagaimana telah lama ibu Sedayu berpulang
ke alam baka sehingga ia harus lebih mencurahkan perha an untuk merawat anak itu. Kini setelah
dewata, anak itu mempunyai cita-cita yang berbeda dengan para puteri priagung umumnya.
Sedayu suka akan ilmu kanuragan dan tata baris keprajuritan dan akhirnya ia relakan gadis itu
berguru pada empu Santasmerti di pertapaan.
Tumenggung Wirakre juga sibuk dengan tugas-tugas sebagai mentri angabhaya. Sudah tentu
sukar baginya untuk menilik perkembangan puterinya yang sedang menginjak alam kedewasaannya
itu. Maka ia tak ragu lagi untuk mempercayakan pendidikan Sedayu kepada empu Santasmer ,
bekas pujangga keraton Singasari yang menjadi sahabat baiknya.
Mendengar pesan empu Santasmer yang di pkan Sedayu, makin tenggelamlah pikiran
tumenggung Wirakre dalam menung yang semakin tumbuh di ba nnya. Ia melihat kenyataan
keadaan Singasari dengan penuh keperiba nan. Seri baginda makin tenggelam dalam laut sanjung
dan genangan tuak yang dipersembahkan pa h Aragani. Dan kini setelah tahu ke mana gerangan
arah yang dituju patih Aragani, timbullah beringas dalam hatinya.
"Kakang empu Santasmer telah memberi perlambang bahwa apa yang akan menimpa pada
kerajaan Singasari memang sudah digariskan dewata. Namun apapun yang akan terjadi, aku
Wirakre akan mempersembahkan seperangkat tulang belulangku yang sudah rapuh ini untuk
tetap merebahi keutamaanku sebagai seorang mentri setya," diam-diam ia berikrar dalam batin.
"Baik, nini. Engkau anak rama tetapi engkau adalah puteri bumi Singasari. Laksanakanlah cita
citamu untuk berbak kepada bumi per wi. Semoga Hyang Isywara selalu melindungimu," dengan
kata-kata yang singkat dari hati yang tersekat, tumenggung Wirakreti melepas Sedayu.
Sedayu menuju ke Tumapel untuk memenuhi janji dengan Singa Ludira, kakang seperguruannya.
Tiba di gedung kadhyaksan, Sedayu disambut oleh Lembu Mandira, putera empu Raganata.
Setelah memperkenalkan diri maka bertanyalah Sedayu kepala Lembu Mandira "Kakang,
dimanakah kakang Ludira?"
"Ludira"," Lembu Mandira terkejut "siapakah yang nini maksudkan itu?"
"Oh," Sedayu terkesiap "adakah kakang tak kenal dia ?"
"Tidak," Lembu Mandira gelengkan kepala.
Sedayu tertegun. Adakah Ludira hendak membohonginya" Ah, tak mungkin. Ia cukup faham akan
perangai kakang seperguruannya itu. Namun mengapa Lembu Mandira tak kenal kepadanya "
"O," ba- ba mulut Sedayu mendesis keras, pikirannya yang cerdas dapat mengungkap kabut
keanehan saat itu. Ia cepat merangkai dugaan. Demi untuk keamanan diri tentulah Ludira tak mau
memberitahukan namanya kepada Lembu Mandira. Itulah sebabnya maka putera empu Raganata
itu tak kenal siapa Ludira.
Gadis itu segera mendapat akal, tanyanya "Apakah selama ini kakang pernah menerima
kunjungan seorang yang aneh " "
"Aneh" Apa yang engkau maksudkan aneh itu?"
"Misalnya seorang tetamu yang gerak gerik maupun dandanannya serba aneh."
"O, ya, ya, benar." kata Lembu Mandira. Karena tahu dara itu puteri tumenggung Wirakre yang
bersahabat baik dengan ramanya, maka tanpa ragu-ragu lagi Lembu Mandirapun segera
menceritakan peristiwa yang telah terjadi dalam rumahnya beperapa hari yang lalu.
"Itulah," teriak Sedayu sesaat Lembu Mandira menuturkan tentang seorang tetamu yang
mengenakan kerudung muka hitam "orang yang menutup muka dengan kain hitam itulah yang
kucari." "O," desuh Lembu Mandira "dia tak datang kemari. Apakah dia berjanji hendak bertemu dengan
engkau disini ?" Belum Sedayu menjawab ba- ba Lembu Mandira terkejut ke ka melihat sesosok tubuh
terbungkus pakaian hitam tegak di ambang pintu. Sama sekali ia tak mengetahui dan mendengar
gerak kedatangan orang itu.
"Itulah dia, nini," teriaknya sesaat ia teringat akan persamaan bentuk dan corak pakaian orang
itu dengan orang yang diceritakan kepada Sedayu tadi. Sedayupun serentak berpaling.
"Maa an, Sedayu, aku terlambat datang," tampak mulut orang itu bergerak-gerak melantang
ucap. "O, engkau kakang," seru Sedayu gembira serta maju menyongsong.
Lembu Mandira mempersilakan kedua taruna itu masuk dan duduk di dalam. Setelah duduk
maka orang berkerudung kain hitam itu atau Singa Ludira namanya "Sedayu, bagaimana suasana
pura selama kau tinggal di sana" "
"Seper api dalam sekam," sahut Sedayu. Kemudian ia berpaling ke arah Lembu Mandira lalu
memandang Singa Ludira pula "adakah kita harus bicara di sini " "
Singa Ludira dapat menangkap ar pandang mata Sedayu. Ia tertawa "Ya, di sinilah tempat yang
aman. Katakanlah apa yang engkau alami selama berada dalam pura. Adi Mandira ini kawan kita
sendiri." Lembu Mandira tertawa. Namun diam-diam ia memuji akan sikap Sedayu yang hati-hati itu.
Setelah mendapat keterangan maka Sedayupun menceritakan tentang pengalamannya mengiku
rombongan Ardaraja menyergap Kuda Panglulut.
Singa Ludira dan Lembu Mandir terkejut.
"Kiranya ke Sriwijayalah pa h Aragani akan berkiblat," kata Singa Ludira "nini, apakah raden
Ardaraja tak berhasil mengetahui apa yang dibicarakan utusan Demang Lebar Daun dengan pa h
Aragani?" "Sayang, tidak," sahut Sedayu...
Singa Ludira geleng-geleng kepala "Ah, betapa sayangnya! Pada hal itulah suatu kesempatan
yang baik untuk menerkam kelemahan patih Aragani."
"Mungkin raden Ardaraja hanya terpancang untuk mendapatkan kembali patung itu," Lembu
Mandira ikut buka suara. "Hm, mungkin demikian," kata Singa Ludira "dan semoga begitulah. Dalam hal itu kitalah yang
memperoleh keuntungannya."
"Keuntungan?" kata ha Lembu Mandira dan Sedayu yang mengerut dahi dan mencurah
pandang kepada Singa Ludira. Pandang yang menuntut penjelasan.
"Benar" Singa Ludira melanjutkan "memang kita yang memperoleh keuntungan. Kesatu, kita,
mendapat gambaran tentang gerak-gerik pa h Aragani yang nyata-nyata bermain mata dengan
Demang Lebar Daun. Kedua, kitapun memperoleh kesan dari sikap raden Ardaraja. Menilik betapa
gigih dia berusaha untuk merebut kembali patung Joko Dolok itu, dapatlah kita merangkai suatu
dugaan bahwa raden itu tentu mempunyai ikatan erat dengan ndakan ayahandanya, raja
Jayakatwang. yang hendak mempersembahkan patung itu kepada srri baginda Kertanagara."
"O," tanpa terasa Lembu Mandira dan Sedayu serempak mendesuh.
"Kalau kita mengambil perumpamaan maka baik pa h Aragani maupun raden Ardaraja itu
keduanya merupakan bisul pada tubuh kerajaan Singasari."
"Ah, tetapi aku belum dapat menerima ulasanmu secara keseluruhan, kakang," seru Sedayu.
"Dalam hal apa" Tentang bisul itu " "
"Benar," sahut Sedayu "jika kakang mengumpamakan pa h Aragani itu sebagai bisul, itu memang
dapat kumenger . Dia memang musuh dalam selimut. Seorang penghianat. Tetapi mengapa kakang
juga mengatakan raden Ardaraja itu sebuah bisul, walaupun kecil sekalipun " Aku sungguh belum
mengerti, kakang." "Bertanya adalah sikap seorang yang ingin mencapai kemajuan," kata Singa Ludira "dan
pertanyaanmu itu baik sekali, ini. Suatu pertanda bahwa engkau benar-benar menaruh minat besar
tentang keadaan tubuh pemerintahan Sicgasari."
"Cukup kakang," tukas Sedayu "aku bertanya karena ingin mendapat keterangan bukan meminta
puji." Singa Ludira mengangguk, katanya "Siapakah yang menitahkan raden Ardaraja untuk merebut
kembali patung Joko Dolok itu ?"
"Ayahandanya raja Jayakatwang," seru Sedayu.
"Tepat," sahut Singa Ludira "tak lain tentulah raja Daha. Dengan begitu jelas Jayakatwang itu
masih menanam pengaruh atas diri puteranya. Mengapa engkau masih menyangsikan akan
keterlibatan Ardaraja dalam peristiwa itu, nini?"
Sedayu tertegun. "Kesangsianmu itu," kata Singa Ludira lebih lanjut "tentu engkau dasarkan bahwa raden Ardaraja
itu adalah putera menantu seri baginda Kertanagara. Tak mungkin raden itu akan sampai ha
untuk menghianati rama mentuanya. Bukankah begitu ?"
Sedayu mengangguk. "Memang saat ini belum tampak tanda-tanda itu," kata Singa Ludira pula "tetapi menurut
pengamatan yang kulakukan selama ini, raja Jayakatwang tak pernah melepaskan suatu
kesempatan yang memberi kemungkinan kepadanya untuk menyerang Singasari. Rasa hina atas
kekalahan Daha terhadap Singasari lebih menimbulkan dendam dalam ha nya daripada rasa taat
dan berterima kasih kepada seri baginda Singasari."
"Apakah dasar daripada penilaian kakang itu ?" tanya Sedayu.
"Ada suatu rasa yang terdapat dalam diri manusia. Rasa martabat harga diri yang sering
cenderung pada rasa ke-Aku-an. Garis antara martabat dengan rasa ke-Aku-an itu pada umumnya
dipertajam dan dipertebal oleh keadaan manusia itu sendiri... Keadaan dalam hidup
keduniawiannya, yani harta dan pangkat. Makin banyak orang itu berharta, makin nggi dia


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpangkat, makin tebal garis antara martabat dengan rasa ke-Aku-an yang dimilikinya. Martabat
yang hakekatnya menunjukkan harkat harga kemanusiannya, dikaburkan dengan rasa keangkuhan
dan kemudian lahirlah rasa ke-Aku-annya. Sapa sira sapa ingsun ... "
"Duh, bapa guru yang mulia. Bukan di sinilah tempat paduka memedar wejangan," serentak
Sedayu mengerat kata-kata Singa Ludira yang dianggapnya memberi wejangan tentang sifat
kemanusiaan. "Eh, jangan buru-buru mengerat omonganku, Sedayu," bantah. Singa Ludira "aku bukan memberi
wejangan melainkan hendak memberi isi daripada dasar pembicaraan yang hendak kukatakan
kepadamu nan . Maksudku, pada umumnya rasa ke-Aku-an itu dimiliki oleh orang-orang yang
berada, berpangkat dan berkuasa. Jangan memotong dulu ..... " cepat ia mencegah di kala melihat
bibir Sedayu hendak bergerak.
"Apalagi seorang putera raja seper Jayakatwang. Walaupun baginda Kertanagara yang
melan knya menjadi raja Daha, walaupun baginda Kertanagara berusaha memikat ha dengan
mengambil putera Jayakatwang yani pangeran Ardaraja sebagai putera menantu, tetapi raja
Jayakatwang tetap memiliki rasa ke-Aku-an. Hanya ke-Aku-an raja Jayakatwang itu bersumber pada
asal keturunannya dan binaan yang diderita kakek moyang raja-raja di Daha yang telah dikalahkan
Singasari. Jayakatwang tetap berpegang teguh pada martabat harga diri sebagai raja Daha, sebuah
kerajaan yang pernah jaya dan besar pada masa yang lampau."
"Tetapi kakang," sanggah Sedayu "salahkah kalau dia memiliki rasa itu ?"
Singa Ludira dengan tegas menggeleng "Tidak, nini. Aku tak dapat menyalahkan dia. Dia memang
layak dan harus mempunyai perasaan itu. Hanya saja patut disayangkan bahwa dia tak mau
melihat kenyataan." "Apa maksud kakang ?"
"Kenyataan bahwa seri baginda Kertanagara telah banyak melimpahkan budi kebaikan
kepadanya. Kenyataan pula, bahwa puteranya pun diambil putera menantu oleh seri baginda
Kertanagara." "Raja Jayakatwang, bukan seorang raja yang bodoh, kakang," sanggah Sedayu "dia tentu tahu
bahwa segala ndakan seri baginda Kertanagara itu dak lain hanya suatu siasat untuk merebut
hati Jayakatwang agar tidak mendendam lagi kepada Singasari."
"Benar, nini," kata Singa Ludira "memang segala tindak dan perbuatan itu sesungguhnya memang
merupakan upaya atau yang engkau katakan siasat. Tetapi upaya atau siasat yang dilakukan seri
baginda itu bukanlah suatu muslihat yang buruk tetapi demi kebaikan dan kerukunan kedua
kerajaan yang terikat dendam bebuyutan. Salahkah kalau seri baginda Kertanagara hendak
mengadakan persatuan, bukan melainkan Daha -Singasari, pun persatuan seluruh nusantara ?"
Sedayu terdiam. "Dan lagi," kata Singa Ludira pula "tanpa raja Jayakatwang harus menyalakan api dendam
bebuyutan terhadap Singasari, bukankah karena seri baginda Kertanegara tak berputera lelaki,
kelak kalau seri baginda wafat, maka raden Ardaraja yang akan menggan kan kedudukannya di
tahta Singasari " Tanpa harus menumpahkan darah, melalui puteranya, raja Jayakatwang akan
dapat merebut kembali kedaulatan Daha bahkan menguasai Singasari juga."
"Ih, engkau benar, kakang," kata Sedayu.
"Mungkin raja Daha itu mempunyai pendirian lain, kakang," ba- ba Lembu Mandira membuka
suara. "Jika raja Jayakatwang memiliki martabat harga diri sebagai seorang raja keturunan raja Daha,
dia tentu juga memiliki rasa dan sifat keksatryaan yang luhur. Bahwa bagi ksatrya seja , ar suatu
kemenangan atau hasil itu bukan terletak pada besar kecilnya kemenangan itu, melainkan terletak
pada harga dari cara memperoleh kemenangan itu."
Singa Ludira cepat dapat menanggapi dengan menganggukkan kepala. Tetapi Sedayu belum jelas
"Apa maksud kata- kata kakang itu ?" tanyanya.
"Cobalah engkau terangkan, adi Mandira," kata Singa Ludira tersenyum.
"Rara," kata Lembu Mandira "dimisalkan engkau ingin makan buah jambu. Engkau memilih
jambu yang sudah berguguran jatuh di tanah karena ter up angin atau jambu yang dipe kkan
orang ?" "Jambu yang dipetikkan orang."
"Mengapa " "
"Rasanya tentu lebih manis dan segar."
"Bagus," Lembu Mandira tersenyum "sekarang jawab lagi. Engkau menyukai mana, jambu yang
dipetik orang dan diberikan kepadamu atau engkau sendiri yang memetik ?"
"Lebih menyukai aku sendiri yang memetik."
"Mengapa" "Karena rasanya paling manis."
"Itulah, rara," seru Lembu Mandira "memang segala yang berasal dari jerih payah usaha kita
sendiri, akan terasa nikmat sekali. Itu baru jambu, apalagi sebuah tahta kerajaan."
"O, kakang maksudkan raja Jayakatwang hendak merebut dan membangun kerajaan Daha
dengan tangannya sendiri ?"
"Bagi seorang ksatrya. hasil dari jerih payah perjuangannya, akan terasa sah dan syahdu."
"Aku teringat sekarang !" tiba-tiba dara itu melengking sehingga Lembu Mandira tertegun.
"Engkau ini mengapa, Sedayu" " tegur Singa Ludira yang juga ikut terkejut.
"Aku ingat cerita yang pernah dibawakan oleh guru," kata Sedayu "apakah engkau lupa, kakang "
" "Cerita apa" "
"Cerita Mahabarata tentang kissah kaum Pandawa yang terlunta-lunta di hutan akibat raden
Puntadewa di pu kalah main dadu dengan prabu Suyudana dari kaum Korawa. Pada waktu itu
dewi Kun , ibunda Pandawa lapar dan menitahkan kedua puteranya raden Bratasena dan raden
Permadi untuk mencari makanan. Kedua ksatrya itupun berhasil membawa makanan untuk
ibundanya. Tetapi sebelum dahar, dewi Kun sempat bertanya dari manakah makanan itu
diperoleh. Raden Permadi mengatakan bahwa makanan itu diperolehnya sebagai tanda terima
kasih atas jasanya telah 'meng-atut-kan' atau merukunkan mempelai wanita yang tak mau atut
kepada suaminya. Seke ka dibuanglah makanan itu oleh sang Dewi. "Makanan yang diperoleh
dengan cara demikian, tak layak dimakan."
"Hamba memperoleh makanan itu karena dapat mengalahkan seorang jago dari prabu Kangsa,"
demikian hatur kata sang ksatrya Bratasena.
"Duh, puteraku, makanan yang demikianlah yang layak dipersembahkan seorang ksatrya," kata
ibundanya dan seketika didaharnya makanan itu.
"Wah, wah, kalau soal cerita, engkau memang pandai menirukan, Sedayu," goda Singa Ludira.
"Apakah sari pelajaran dari cerita itu tak sama dengan pambek dari raja Jayakatwang seper
yang dikatakan kakang Mandira tadi ?" kata Sedayu.
"Walaupun sifatnya agak berbeda, tetapi hakekatnya sama. Keduanya menandaskan bahwa hasil
dari perjuangan jerih payah secara ksatrya, itulah yang paling syahdu dan nikmat," Singa Ludira
memberi kesimpulan. Sedayu dan Lembu Mandira mengangguk.
"Kembali pada pembicaraan yang tadi," kata Singa Ludira pula "bahwa persembahan patung Joko
Dolok oleh raja Jayakatwang itu hanya suatu siasat pengaburan saja. Agar baginda Kertanagara
terlena dan menghapus kecurigaan terhadap Daha. Karena jelas, selama beberapa hari meninjau ke
Daha, kulihat Daha sedang giat membentuk dan melatih pasukan."
"Tetapi adakah seri baginda Kertanagara dak mendapat laporan tentang gerak-gerik Daha itu ?"
tanya Sedavu. "Ya, benar, kakang," seru Lembu Mandira pula "jika menilik bahwa pa h Aragani cenderung
berkiblat ke Sriwijaya, tidaklah patih itu akan melaporkan gerak gerik Daha kepada seri baginda ?"
"Pertanyaan adi berdua itu rasanya tentu sudah diperhitungkan raja Jayakatwang," kata Singa
Ludira "mereka tentu sudah merancang siasat sedemikian rupa sehingga tak mudah bagi pa h
Aragani akan melaporkan kegiatan mereka sebagai suatu persiapan menyerang Singasari. Pertama,
raja Jayakatwang mempersembahkan patung Joko Dolok kepada seri baginda Kertanagara. Kedua,
Daha akan memberi alasan bahwa pembentukan kekuatan itu tak lain untuk memperkuat
keamanan Daha dan apabila perlu dapat membantu Singasari dalam menghadapi musuh dari luar.
Nah, apakah seri baginda Kcrtanagara takkan menerima alasan itu ?"
Lembu Mindira mengangguk. Tetapi Sedayu masih mengejar pertanyaan "Bagaimana dengan
raden Ardaraja nanti, kakang ?"
"Apabila sampai saatnya," kata Singa Ludira "dia akan menghadapi suguhan 'buah simalakala'.
Kalau dimakan, rama mentuanya binasa. Tidak dimakan, rama kandungnya yang mati."
"Lalu menurut pendapat kakang, raden Ardaraja akan memakan buah itu atau tidak?"
"Kurasa, menilik peribadi raden Ardaraja, dia tentu akan memilih memakan buah itu."
"Salahkah itu, kakang ?" tanya Sedayu.
"Aku tidak mengatakan salah atau benar."
"Tetapi bagaimana pandangan kakang peribadi ?" masih Sedayu mengejar terus.
"Ada ga pandangan," sahut Singa Ludira "dari sudut kepen ngan Daha, ndakan raden
Ardaraja itu benar. Karena dia seorang pangeran Daha yang kelak akan menggan kan tahta
ayahandanya. Tetapi dari pandangan orang Singasari, dia seorang menantu raja yang berhianat.
Tak tahu membalas budi."
"Lalu pandangan yang ketiga?" desak Sedayu.
"Dari pandangan orang luar, bukan orang Daha juga bukan orang Singasari. Ardaraja itu seorang
yang lemah pendirian. Mudah goyah dan takut kehilangan kenikmatan hidup."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu ?"
"Sebagai seorang putera, dia harus dapat menunaikan bhak kepada ayahandanya raja
Jayakatwang." "Maksud kakang dia harus mendukung rencana Jayakatwang atau memakan buah semalakala
itu." " "Sedayu," kata Singa Ludira "guru telah mengajarkan kita akan berbagai bak . Di antaranya bak
kepada orangtua. Tetapi beliaupun menandaskan bahwa bak yang murni haruslah berpijak pada
Kebenaran. Memberi penerangan akan pandangan atau pendirian yang keliru dari orangtua,
termasuk bak yang murni. Mendukung perbuatan yang salah, sekalipun yang melakukan itu
orangtua, termasuk bak yang salah. Ardaraja harus berani memberi penerangan dan penjelasan
kepada ayahandanya bahwa antara Daha - Singasari sudah tak ada persoalan lagi. Tanpa
peperangan, Singasari pas akan jatuh ketangannya apabila kelak seri baginda Kertanagara wafat.
Untuk meyakinkan ayahandanya, Ardaraja harus berani memberi pertanggungan jawab."
"Andaikata Ardaraja sudah ber ndak demikian namun Jayakatwang tetap berkeras
melaksanakan cita-citanya menghancurkan Singasari?" tanya Sedayu.
"Jika dia berpijak pada Kebenaran, dia harus mengundurkan diri dari peperangan antara Daha -
Singasari nanti. Tidak membela Singasari, tidak berfihak Daha."
"Mungkin dia takut kepada ayahandanya Jayakatwang kalau tak tak mau membantu rencana
Daha." "Itulah yang kukatakan, dia takut kehilangan kenikmatan hidup sebagai putera mahkota Daha."
Kali ini Sedayu tak mengejar pertanyaan lagi. Lembu Mandira juga tertegun. Diam-diam ia
memuji ulasan yang tajam dari orang yang pernah menolong ramandanya empu Raganata.
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang, kakang ?" sesaat kemudian Sedayu bertanya.
"Marilah kita rundingkan," jawab Singa Ludira seraya berpaling kepada Lembu Mandira "Adi
Mandira, mengapa empu Raganata tak tampak ?"
Lembu Mandira terbeliak dari menung "O, rama dititahkan menghadap baginda ke Singasari."
"Mengapa " "
"Utusan raja Kubilai Khan akan datang ke Singasari," kata Lembu Mandira "baginda berkenan
menitahkan rama, paman adipa Wiraraja dan adipa -adipa di daerah ikut dalam penyambutan
itu agar menyemarakkan kewibawaan seri baginda, setelah itu seri bagindapun akan berkenan
menghadiri upacara penegakan patung Joko Dolok."
Singa Ludira terkejut "Ah, tentu akan terjadi peris wa lagi dalam penyambutan perutusan raja
Kubilai Khan itu nanti."
"Benar," Lembu Mandira menanggapi "rama-pun mengua rkan hal itu, kakang. Seri baginda
sedang dimabuk keagungan, mudah terkecoh oleh anjuran-anjuran pa h Aragani yang tentu akan
berusaha untuk memperuncing suasana hubungan Singasari dengan negara Cina."
Sedayu ikut buka suara "Menurut rama, raja Tartar Kubilai Khan itu memang seorang raja yang
berwatak amangkara, haus kekuasaan. Dia berasal dari suku Tartar, keturunan maharaja Jengis
Khan yang pernah menguasai hampir seper ga bagian jagad. Setelah dapat menguasai negeri Cina,
Kubilai Khan masih hendak meluaskan kekuasaannya ke daerah selatan. Singasaripun hendak
dipaksanya supaya menghaturkan upeti."
"Memang," kata Singa Ludira "dalam mempertahankan kedaulatan dan kewibawaan negara,
tepat sekali apabila seri baginda Kertanagara menolak tuntutan raja Kubilai Khan itu. Bukankah
kalian sendiri juga demikian" Relakah engkau adi Mandira dan engkau nini Sedayu, apabila
Singasari menyerah tunduk pada Kubilai Khan ?"
"Tidak ! " sahut Lembu Mandira dan Sedayu serempak "selama kami masih bernapas, tak ingin
kami melihat peris wa itu. Sebagai tebusan tekad kami, kami akan mempersembahkan jiwa dan
raga kepada bumi Singasari."
Singa Ludira mengangguk "Bagus, adi berdua. Berbahagialah negara dan bangsa yang mempunyai
putera puteri seperti kalian."
Hening beberapa saat. Singa Ludira diam merenung.
"Apabila seri baginda menolak permintaan raja Kubilai Khan," katanya beberapa saat kemudian
"memang sudah selayaknya. Tetapi aku kua r, penolakan itu akan dilakukan dengan cara yang
kurang layak sehingga pendirian yang layak itu akan rusak."
"Apa maksud kakang ?" tanya Sedayu.
"Bukankah patih Aragani akan berusaha untuk memperuncing hubungan antara Singasari
dengan Kubilai Khan " Oleh karena itu patut kita kuatirkan bahwa seri baginda Kertanagara
akan termakan hasutan patih itu untuk bertindak di luar kewajaran tata kenegaraan dalam
memperlakukan seorang utusan. Dan hal itu tentu akan menimbulkan kemarahan raja Kubilai
Khan. Bukankah hal itu akan mengundang bahaya bagi Singasari?"
Lembu Mandira kerutkan dahi.
"Se ap ndakan yang menimbulkan kemarahan Kubilai Khan, tentu akan berakibat panjang.
Bukan mustahil Kubilai Khan akan mengirim pasukan untuk menuntut balas atas hinaan yang
diterima utusannya itu," kata Singa Ludira. Sejenak ia melepaskan pandang ke arah Lembu Mandira
dan Sedayu, lalu berkata pula "hal ini bukan berar bahwa kita takut berperang melawan pasukan
Tartar." "Kalau memang harus demikian, terpaksa Singasari tentu akan mengangkat senjata. Dan kalau
kakang berpendapat bahwa kita tak takut berperang melawan orang Tartar, lalu apa yang kakang
kuatirkan lagi ?" kembali Sedayu tampil dengan pertanyaannya yang tajam.
Singa Ludira mengangguk. "Takut pada bangsa awak sendiri," kata Singa Ludira raja Jayakatwang seper kutu busuk yang
menggerago dari dalam. Suatu peperangan dengan pasukan Kubilai Khan akan membuka
kesempatan luas bagi kedua musuh dalam selimut itu untuk melaksanakan rencananya."
"Tepat sekali ulasan kakang itu," seru Lembu Mandira "ramapun berpendapat begitu."
"Lalu bagaimana tindakan kita ?" tanya Sedayu.
Singa Ludira menghela napas kecil "Untuk sementara ini, kita iku saja perkembangan suasana
dulu. Dalam se ap kemungkinan yang memungkinkan, kita harus berusaha untuk mencegah hal-hal
yang membahayakan negara. Setelah empu Raganata pulang, kita nan berunding lagi dengan
beliau." Lembu Mandira dan Sedayu mengangguk-angguk.
"Sedayu, apakah engkau hendak kembali ke pertapaan ?" tanya Ludira.
Sedayu mengatakan bahwa ia akan kembali ke pura Singasari saja agar dapat mengiku
perkembangan yang akan terjadi.
"Dan engkau sendiri bagaimana kakang?" Sedayu balas bertanya.
"Kakang," serentak Lembu Mandira berkata "apabila dak menampik, sukalah kakang nggal di
sini saja. Jarak Tumapcl - Singasari dekat sekali, se ap saat dapatlah kakang menyelidiki suasana
dalam pura. Dan kedua kali, sambil beristirahat kita tunggu kedatangan rama."
"Baik, adi Mandira," kata Singa Ludira "tetapi kita harus ingat bahwa musuh se ap saat siap
untuk menerkam kita. Janganlah kita sampai lengah untuk berjaga diri. Oleh karena itu, walaupun
aku menerima tawaran adi menginap di sini tetapi janganlah adi mengatakan hal itu kepada
siapapun juga. Dan lagi akupun dak terus berada di sini, melainkan akan bergerak mencari berita.
Oleh karena itu, janganlah adi risaukan tentang kehadiran dan kepergianku yang tak menentu di
rumah adi ini." ~dewi.kz^ismo^mch~ II Berita tentang kedatangan utusan maharaja Kubilai Khan, tersebar luas menjadi buah bibir
seluruh rakyat Singasari. Sudah umum bahwa se ap peris wa itu akan menimbulkan berbagai
macam pembicaraan. Pembicaraan yang berisi tafsiran dan penilaian, dilanjutkan pula dengan
sikap dan tanggapan atas peristiwa itu.
Kebanyakan orang menyangka bahwa maharaja Tartar itu tentu hendak memaksa Singasari
supaya menghaturkan gelondong pengareng-areng atau bulu-bekti kepada kerajaan Cina.
Sudah dua tiga kali utusan Kubilai Khan berkunjung ke Singasari untuk mengadakan hubungan,
kemudian menjalin persahabatan dan lalu meningkatkannya dengan permintaan supaya
Singasari mengakui kekuasaan Kubilai Khan sebagai maharaja di-raja atau raja dari sekalian
raja. Dan sebagai tanda pengakuan itu, raja-raja harus menghaturkan bulubekti kepada Kubilai
Kuan. Dalam menanggapi maksud perutusan Kubilai Khan itu, sudah berulang kali beri baginda
Kertananara menolak tuntuian itu. Singasari sebuah kerajaan besar yang berdaulat. Hubungan
dengan kerajaan Kubilai Khan hanya atas dasar persahabatan bukan sebagai negara yang di bawah
kekuasaannya. Tetapi ada pula lain tafsiran yang menyimpang dari tafsiran umum. Yalah bahwasanya perutusan
Kubilai Khan itu tak lain hanya bermaksud hendak meminang puteri-puteri seri baginda
Kertanagara yang termasyhur can k jelita itu. Bukankah ap kali Singasari mendapat kunjungan
dari raja-raja mancanagara yang berkeinginan untuk mempersun ng puteri can k yang
menyemarakkan kemasyhuran pura Singasari " Demikian alasan mereka.
Bahkan ada pula yang memberi tafsiran lebih aneh, makin menyimpang dari pikiran orang. Yalah
bahwasanya raja Kubilai Khan mengagumi kebijaksanaan seri baginda Kertanagara dalam membina
kerukunan hidup ke ga aliran agama menjadi agama Tripaksi. Oleh karena itu Kubilai Khan hendak
mengaji pelajaran itu dari Singasari.
Memang segala tafsiran boleh mbul dan segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi yang jelas
mbulnya gairah penafsiran itu merupakan suatu gejala .yang menggembirakan bahwa rakyat
Singasari amat menaruh perha an akan peris wa yang menyangkut kepen ngan negara. Gairah
itulah yang menjadi landasan kuat pada semangat rakyat untuk ikut serta memikirkan negara.
Hari itu pura Singasari bagai digenangi lautan manusia. Seluruh kawula, tua muda, besar kecil,
lelaki perempuan dari seluruh lapisan dan golongan, bertumpah ruah memenuhi alun-alun
keraton. Tampaknya penyambutan utusan Cina itu akan dilakukan dengan upacara kebesar yang
mewah. Balairungsari yang terletak di alun-alun, dihias megah sekali. Umbul-umbul janur kuning,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panji-panji beraneka warna, patak-pataka lambang berbagai kelompok pasukan kerajaan
Singasari, tegak berjajar jajar dengan perkasa. Kemeriahan barisan itu disemarakkan pula oleh
gaba-gaba dari kain sutera warna merah dan putih.
Beberapa hari sebelumnya, para bintara telah berkeliling ke seluruh pelosok negeri, memalu
bende dan canang, mewartakan kepada seluruh kawula akan kedatangan perutusan dari negara
Cina. Maka tak mengherankan apabila pada hari penyambutan itu ba, hampir seisi negara
berdesak-desak memenuhi halaman balairungsari.
Tak berapa lama terdengarlah sangsakala meraung-raung dan bendepun gegap gempita
mendengung-dengung dalam irama yang bersemarak. Berhenti sejenak maka seorang bintara
prajurit segera memukul bende dan memaklumkan tentang datangnya rombongan utusan dari
mancanagara. Seusai pengumuman, gamelanpun menggelegar pula mengalunkan irama
penyambutan yang meriah. Tak lama kemudian muncullah sebuah iring-iringan prajurit bertubuh nggi besar tegap perkasa,
bersenjata tombak dan pedang, mengiringkan lima pria a-sing yang berbusana indah megah.
Gegap gempita rakyat menyambut perutusan itu dengan tampik sorak yang seolah
menggetar angkasa. Beribu-ribu pasang mata mencurah ruah pada iring-iringan perutusan
kerajaan Cina itu. Seragam keprajuritan dari para prajurit pengawal, senjata dan potongan
tubuh mereka, mendapat sorotan yang tajam dari seluruh rakyat yang berada di alun-alun itu.
Terutama kelima pria setengah baya yang berpakaian indah, mengenakan kopiah kain penutup
kepala yang terbuat dari sutera alam atau ulat sutera warna hitam. Jika rambut dari orang
Singasari disanggul ke atas kepala, tetamu agung dari negeri Cina itu lain lagi. Mereka
melingkarkan rambutnya dalam rangkaian berbentuk kuncir yang menggelantung di belakang
tengkuk kepala. Setelah ba di balairungsari, rombonaan utusan Kubilai Khan itu tegak menghadap ke arah
persada agung yang akan menjadi tempat seri baginda Kertanagara menyambut mereka.
Utusan maharaja Kubilai Khan itu dikepalai Meng Ki, seorang mentri kerajaan Cina yang
termasyhur cerdik cendekia, fasih merangkai kata, memiliki pengalaman luas dalam mengarungi
empat penjuru buana dalam rangka melaksanakan tah maharaja Kubilai Khan yang hendak
menguasai dunia. Kubilai Khan memilih Meng Ki sebagai mentri yang mengepalai perutusan ke Singasari. Kapal
mereka berlabuh di perairan Ujunggaluh dan setelah mengirim bentara untuk menghaturkan warta
kehadapan seri baginda Kertanagara di Singasari maka seri bagindapun berkenan menitahkan
mereka menghadap. Meng Ki disertai lima orang mentri pembantu dan sepuluh prajurit pilihan, menghadap seri
bginda Kertanagara di Singasari. sementara awak kapal yang terdiri dari prajurit- prajurit di tahkan
nggal di kapal. Kedatangan mereka ke Singasari itu membawa pesan persahabatan dari raja
Kubilai Khan, "oleh karena itu kurang layak kalau, membawa serta pasukan bersenjata mengbalap
ke Singasari. Namun sekalipun demikian, Meng Ki tetap menghias rombongan perutusannya itu
dengaa kewibawaan yang megah seper yang terlihat dari corak pakaian seragam kesepuluh
prajurit pengawal dan keagungan busana yarg dikenakannya sendiri bersama keempat
pembantunya. Tak berapa lama dari kehadiran utusan Cina itu maka terdengarlah sangsakala meraung-raung
membelah dirgantara sebagai tanda penyambutan kehadiran angkatan perang Singasari yang
mengiring seri baginda Kertanagara, raja yang dipertuan dari kerajaan Singasari.
Seri baginda duduk diatas sebuah tandu yang dihias indah, bersalutkan ukir-ukiran naga bersisik
kencana, dipikul oleh delapan prajurit perkasa. Seorang bentara menyanggah sebuah payung
kebesaran, terbuat dari kain sutera warna kuning emas, bertabur sulaman bunga padmanaba,
menaungi sang Jaana kekasih dewata dari sengatan surya di pagi hari.
Di belakang usungan tandu agung itu beriringlah para mentri, gus , tanda, senopa , nayaka,
tamtama dan perwira, bersenjata lengkap dalam busana seragam angkatan masing-masing.
"Dhirgahayu sang nata yang mulia ! " gegap gempita para kawula bersorak menyambut iring-
iringan baginda. Dan tatkala seri baginda tiba di balairungsari maka bagaikan lautan padi yang
merunduk ditiup angin, beribu-ribu rakyat di sekeliling bangsal kencana itu serempak
menundukkan tubuh memberi sembah.
Meng Ki dan rombongannya benar benar terkesiap dan terkesan menyaksikan kepatuhan rakyat
Singasari kepada rajanya. Mereka merasa bahwa baginda Kertanagara itu lebih mempunyai wibawa
pada rakyatnya daripada raja Kubilai Khan di mata rakyat Cina. Dari tata cara iring iringan yang
membawa seri baginda Kertanagara ke balairungsari, Meng Ki mendapat kesan bahwa Singasari
memang memiliki tata keprajaan yang rapi dan tertib.
Setelah baginda naik keatas persada maka gemuruhlah sorak sorai para kawula mengalunkan
puji persembahan "Dhirgahayu sang Nata Singasari! Semoga Hyang Syiwa-Buddha selalu melindungi
Singasari!" Kemudian para mentri, tanda, gus dan segenap senopa dan bhayangkara duduk bersimpuh
sila seraya mengunjuk sembah ke bawah duli baginda.
Setelah upacara peradatan selesai maka tampillah utusan Kubilai Khan kehadapan seri baginda.
Mereka dak duduk bersila melainkan membungkukkan tubuh dalam-dalam hingga kepala hampir
menyentuh lantai lalu merangkapkan kedua tangan memberi hormat kepada baginda. Rupanya
memang demikianlah adat istiadat di negeri mereka apabila menghadap raja.
Baginda Kertanagara mengamat-amati tingkah laku para utusan Cina itu dengan perasaan
kurang puas. Para mentri dan senopatipun tak senang hati. Mereka menganggap tingkah para
utusan itu kurang menghormat terhadap seri baginda. Namun karena tetamu, seri bagindapun
tak menegur mereka. Diantara rombongan mentri yang ikut hadir dalam upacara peayambutan itu tampak pula pa h
Aragani, adipa Wiraraja, kepala Angabhaya tumenggung Wirakreri, empu Raganata sebagai kepala
dharmadyaksa dan pangeran Ardaraja putera menantu baginda. Mereka duduk berjajar-jajar di
kedua sisi baginda. "Paman Aragani," ujar baginda "tanyakanlah kepada utusan raja Kubilai Khan itu, apa gerangan
maksud mereka menghadap kami."
Araganipun segera menyampaikan titah seri baginda kepada kepala perutusan Meng Ki.
Kepala perutusan Kubilai Khan itu membungkukkan tubuh sebagai persembahan hormat
menyambut tisah itu. "Tuanku pa h kerajaan yang mulia," seru Meng Ki dengan suara lantang "kami diutus maharaja
Kubilai Khan yang dipertuan dari negeri Cina, raja yang sak keturunan Jengis Khan. Putera langit
yang direstui dewa untuk menguasai bumi naga, raja dari sekalian raja, untuk menghaturkan
bingkisan ke hadapan baginda Singasari yang mulia. Sebagai tanda hubungan tali persahabatan
antara kedua raja yang berkuasa di kerajaan Cina dan Jawadwipa."
Berhen sejenak maka Meng Kipun melanjutkan pula "Adalah suatu kenyataan yang bersejarah
bahwa sejak dahulu kala kerajaan-kerajaan di Jawadwipa selalu melanjutkan hubungan dengan raja
dari benua Cina. Dan raja-raja di Jawadwipa dengan sangat bijaksana mengakui akan adanya
kekuasaan dan perlindungan yang telah diberikan kerajaan Cina sehingga kerajaan yang terbentang
luas di laut selatan sebagai untaian ratna mutu manikam dari beribu-ribu pulau besar dan kecil,
selalu aman dan sentausa. Dan sebagai tanda persahabatan yang kekal itu maka raja-raja
Jawadwipa selalu menghaturkan upeti kepada raja Cina."
"Maka baginda Kubilai Khan berkenan mengirim hamba sebagai perutusan yang hendak
menyampaikan harapan agar adat yang elok bijaksana dalam hubungan antara raja Jawadwipa
dengan kerajaan Cina dan yang telah berlangsung ratusan tahun itu, seyogianya di langsungkan
pula. Agar kerajaan Jawadwipa senan asa mendapat naungan dari kebesaran maharaja Kubilai
Khan yang menguasai seper ga belahan bumi dan yang menjadi pusat peradaban dunia. Seri
baginda yang mulia, hamba persembahkan bingkisan tanda persahabatan dari baginda kami seri
maharaja Kubilai Khan. Semoga seri baginda Singasari yang mulia berkenan menerima maksud yang
diharapkan baginda Kubilai Khan."
Meng Ki segera menghaturkan sebuah bungkusan kain sutera warna kuning yang dipateri dengan
lak merah berlukis huruf-huruf Cina, ke hadapan pa h Aragani. Pa h itupun segera meyambu dan
mempersembahkan ke bawah duli baginda Kertanagara.
Tetapi seri baginda hanya ber tah dengan nada datar "Bukalah paman, agar sekalian mentri,
senopati kami mengetahui apa isi bingkisan itu."
Patih Aragani segera melakukan titah baginda.
Bingkisan itu berisi sepucuk sampul warna merah dan dua bentuk tusuk kundai dari batu pualam
putih bertabur permata yang memancarkan tujuh cahaya pelangi.
"Bacalah surat itu keras-keras paman agar seluruh narapraja dan hulubalang kami mengetahui
bunyinya,!" titah baginda Kertanagara.
Maka pa h Araganipun segera membaca surat itu dengan suara yang lantang. Suasana hening
senyap. Seluruh perha an para mentri, senopa dan para kawula yang berada di sekitar
balairungsari itu tertumpah mendengarkan bunyi surat dari maharaja Kubilai Khan itu.
Kami, maharaja Kubilai Khan, putera langit yang menguasai seluruh benua Cina dan penguasa dari
seper ga daratan dunia, melayangkan nawala ini ke hadapan Kertanagara, raja Jawadwipa yang
berpusat mamerintah di Singasari.
Mendengar kata-kata yang termaktub dalam pembukaan surat itu, gemuruhlah seluruh rakyat
yang memenuhi sekeliling balairungsari. Para mentri, gusti, tanda, rakryan dan hulubalang
meregangkan kepala, menggigil geram.
Berapa sombonglah raja Kubilai Khan itu menganggap dirinya sedemikian agung dan memandang rendah kepada
baginda Kertanagara. Pa h Aragani cepat memberi isyarat dengan mengangkat tangan, meminta rakyat tenang dan
mendengarkan pembacaannya lebih lanjut.
Pertama-tama, kami menyampaikan salam hangat kepada raja Kertanagara sahabat kami yang
berkuasa di Singasari. Sebagai mana raja-raja Jawadwipa dahulu kala selalu menjadi sahabat kami
dan selalu setya melangsungkan persahabatan itu karena merasa aman sejahtera menjadi sahabat
dalam naungan kekuasaan kami.
Semoga persahabatan yang telah terjalin dari zaman ke zaman itu akan tetap lestari kekal sampai
ke akhir zaman. Adapun maksud kami mengutus mentri kami yang bernama Mi Yetsimu beserta rombongan untuk
menghadap yang mulia di Singasari, tak lain hanya bermaksud hendak melangsungkan kelestarian
daripada tali persahabatan kita itu, Dimana sebagai tanda persahabatan, kerajaan Jawadwipa selalu
menghibur kami dengan mempersembahkan bulubekti tanda kenang-kenangan ......
Membaca sampai disitu, pa h Aragani terpaksa harus berhen karena merasa terganggu oleh
hiruk-pikuk teriakan rakyat yang marah.
"Usir utusan Cina !"
"Singasari tak sudi tunduk pada raja asing! "
"Bunuh saja utusan raja Kubilai Khan orang kurang ajar itu! "
"Ya, bunuh ! Bunuh ! Bunuh ...."
Demikian pekik teriakan sekelompok anak muda yang segera disambut dengan gegap
gempita oleh segenap rakyat. Mereka mengacungkan tinju keatas dan menggeram-geram.
Suasana makin genting dan panas karena amarah rakyat yang meluap- luap.
Walaupun tak menger bahasanya tetapi melihat sikap dan gerak tangan segenap rakyat yang
mengelilingi balairungsari itu, rombongan perutusan menyadari akan hangatnya suasana.
Kesepuluh prajurit Tartar yang bertubuh nggi kekar, berpakaian seragam keprajuritan warna
kuning dan merah, mengenakan topi baja berhias bulu merak itu, serempak tegak bersiap untuk
menghadapi se ap kemungkinan. Mereka bertugas untuk melindungi keselamatan mentri Mi
Yetsimu atau Meng Ki dan rombongannya. Meng Ki sendiri tetap tenang.
Pa h Aragani mengangkat tangan nggi, memberi perintah agar rakyat di sekeliling tempat itu
tenang. Kemudian ia melanjutkan pembacaannya :
Dan sebagai tanda persahabatan itu, kerajaan Singasari diharap dengan segala kerelaan dan
kepatuhan, akan menghaturkan upe kepada kami sebanyak lima karung perak, lima karung emas
dan seratus karung rempah-rempah hasil keluaran bumi Jawadwipa ....
"Tidak! .... Tidak! Kami tak sudi memberikan sekian banyak barang kepada Kubilai Khan! "
"Persetan Kubilai Khan, kami bukan hambamu! "
"Singasari jaya ! .... Kubilai Khan sirna ...!"
Kembali pekik jeritan rakyat menggelegar bersahut-sahutan. Mereka makin panas sekali
mendengar permintaan Kubilai Khan yang terlalu congkak itu.
Karena terdapat gejala-gejala yang akan menimbulkan gerakan yang sukar terkendalikan maka
prajurit-prajurit penjaga keamanan segera ber ndak untuk menenangkan mereka. Prajurit-prajurit
itu telah mendapat perintah, betapapun yang akan terjadi, yang pen ng rakyat harus dicegah
jangan sampai bertindak menurut kehendaknya sendiri.
Setelah suasana tenang maka patih Araganipun membaca lagi:
Selain barang barang persembahan itu, kami-pun berkenan hendak meningkatkan persahabatan itu
menjadi tali kekeluargaan. Maka dengan ini kami mengirim dua bentuk tusuk kundai yang terbuat
daripada batu pualam kumalasari yang amat berkhasiat, dihias dengan seikat intan bahaduri tak
ternilai indahnya, sebagai persembahan maksud kami uptuk meminang kedua puteri paduka. Agar
lengkaplah istana kami berseni arakkan ratu-ratu kembang dari segala penjuru kerajaan yang
bernaung di bawah perlindungan kami. Semoga paduka berbahagia.
Kami, Khan agung penguasa sepertiga belah jagad,
KUBILAI Apabila gunung Arjuna dan gunung Kelud serta Bromo meletus dengan serempak, rasanya dak
segempar itu bagi kawula Singasari yang sedang berada memenuhi balairungsari alun-alun
Singasari pada saat mereka mendengar isi surat Kubilai Khan yang hendak meminang kedua puteri
seri baginda Kertanagara. Betapa kurang ajar raja Tartar itu berani mengatakan bahwa kedua
puteri seri baginda Kertanagara itu hendak dijadikan penghias istana. Ar nya bukan menjadi
permaisuri melainkan hanya sebagai selir.
Seke ka bangsal balairungsari bergetar-getar seper hendak roboh ke ka beribu-ribu rakyat
bergerak hendak menyerbu ke dalam bangsal. Mereka hendak membunuh rombongan Meng Ki.
"Bunuh utusan raja Tartar !"
"Bunuh Kubilai Khan si angkara murka ! "
"Bunuh ..... ! Bunuh ....."
"Gantung saja orang-orang biadab itu !"
Betapa susah payah prajurit-prajurit keamanan berusaha untuk merintangi rakaat yang hendak
mengamuk, menyerbu ke dalam bangsal agung. Mereka benar-benar kalap. Suasana seperti geger.
Melihat itu gemetarlah kelima utusan Kubilai Khan. Mereka tahu betapa besar kemarahan
rakyat. Kesepuluh prajurit pengawal yang gagah perkasa itupun merasa ngeri juga. Mereka
menyadari, walaupun dapat membunuh beratus-ratus rakyat Singasari, tetapi akhirnya mereka
tentu tak mampu melindungi keselamatan mentri junjungannya dari amukan rakyat kalap itu.
Bahkan mereka sendiripun pasti akan kehilangan jiwa.
Segenap mentri. hulubalang yang berada dalam balairungsari itupun ikut terhanyut dalam
gelombang amarah rakyat. Mereka menganggap surat raja Kulilai Khan itu sangat menghina sekali
kepada seri baginda Kertanagara, menganggap remeh pada Singasari.
Baginda Kertanagara sendiripun merah wajahnya. Sepasang mata bundar baginda tampak
membulat dan memancarkan api. Diantara suasana yang panas dibara api kemaahan itu, hanya
adhyaksa empu Raganata yang masih tampak tenang. Rupanya baginda memperhatikan sikap
empu Raganata itu. "Patih Aragani, tenangkanlah para kawula," titah baginda.
Aragani menuju ke pintu, mengangkat tangan ke atas dan berteriak nyaritg-nyaring "Para
kawula Singasari yang peiwira, tenanglah, tenanglah, tenanglah ....... Kami tahu bagaimana
perasaan kalian tetapi tenanglah. Kami dapat mengatasi persoalan itu, percayalah ....... !"
Namun rupanya di mata kawula Singasari, pa h itu tak mempunyai pengaruh. Rakyat tetap tak
mengindahkan seruan pa h Aragani. Mereka tetap hiruk-pikuk, hingar bingar meluapkan amarah
dengan mengacungkan tinju.
Akhirnya baginda Kertanagara sendiri terpaksa beranjak dari persada lalu berjalan menuju ke
pintu. Belum baginda melantangkan titah maka sekalian rakyatpun sudah diam.
"Kawula Singasari yang gagah perwira," seru baginda "kami tahu betapa perasaan kamu sekalian.
Surat dari raja Tartar itu memang amat menghina kami, raja Singasari, junjungan yang kamu
horma sebagai pengayom sekalian kawula Singasari dan sebagai Jina yang memberi sinar gemilang
pada agama Tantrayana. Tenanglah dan persembahkanlah ketaatanmu kepada rajamu. Berbesar
ha lah hai kawula Singasari sekalian bahwa raja sesembahanmu takkan tunduk pada kekuasaan
raja Kubilai Khan." Mendengar tah itu sekalian rakyat menundukkan kepala memberi sembah ke arah seri baginda
seraya mempersembahkan doa puji "Jayalah sri Batara Syiwa-Buddha yang mulia !"
Demikian dengan turun tangannya baginda Kertanagara rendiri maka suasana yang gawat itu
dapat dikuasai lagi. Namun setelah duduk di atas persada pula, tampak wajah baginda merah
membara. Permintaan raja Kubilai Khan supaya Singasari menghaturkan upe benar-benar menggeramkan.
Dan peminangan raja Kubilai Khan kepada kedua puteri baginda, amat menyakitkan ha sekali.
Suatu hinaan yang takkan terhapus selama lamanya.
Baginda Kertanagara juga seorang raja yang bersikap ahangkara. Dia menganggap dirinya
sebagai penjelmaan dari Syiwa-Buddha. Dia telah melakukan pentahbisan sebagai Jnana.
Diapun merasa memiliki kesaktian dan kekeramatan yang tiada taranya. Sudah tentu dia tak
sudi tunduk pada kekuasaan Kubilai Khan. Lebih lebih menyerahkan kedua puterinya untuk
dijadikan selir raja Kubilai Khan.
"Kubilai Khan terlalu menghina aku!" pikirnya. Segera ia memberi isyarat kepada pa h Aragani
supaya maju ke hadapannya.
"Bagaimana pendapat paman Aragani atas sikap yang kurang tata dari raja Tartar itu ?" ujar
baginda. "Gus junjungan seluruh kawula Singasari yang hamba horma ," sembah pa h Aragani
"sesungguhnya mereka hanyalah utusan belaka. Tetapi mengingat yang mengutus itu amat pongah
dan sedemikian berani menghina paduka maka hendaknya paduka menjatuhkan hukuman kepada
utusan itu agar Kubilai Khan sadar akan kesalahannya."
"Hm," desuh baginda "memang kurasa juga demikian. Aku ingin menghajar adat kepada Kubilai
Khan supaya janganlah dia terlalu memandang rendah kepada singasari. Tetapi bagaimana kira-kira
hukuman yang layak tetapi yang dapat memberi kesan kepada raja Tartar itu, patih?"
"Menurut hemat pa h," sembah. Aragani "hukuman itu tak perlu suatu pidana yang berat,
misalnya pidana ma tetapi cukup yang ringan namun mengesankan agar mereka dapat pulang
untuk membawa hukuman itu kehadapan raja mereka."
"Apa misalnya " "
"Cacah muka mereka atau potong salah sebuah indera mukanya, daun telinga atau hidung atau
mata, tentu akan memberi kesan kepada rajanya."
Sebelum baginda memberi keputusan dan sebelum rasa kejut yang menyesak dada para mentri
hulubalang sempat menyeruak keluar, ba- ba terdengarlah sebuah suara yang parau berdatang
sembah "Duh, gus junjungan hamba dan seluruh kawula Singasari yang mulia. Hendaknya hamba
mohon paduka jangan, berkenan menerima usul-rakryan patih itu ..... "
Kertanagara berpaling kearah orang yang berkata itu. Ah, empu tua Raganata. Seke ka baginda


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerut dahi dan merasa tak senang. Para mentripun meregang wajah.
"Mohon diampunkan atas kelancangan hamba mempersembahkan pendapat ini, gusti," kata
empu Raganata pula "namun telah menjadi pendirian Raganata yang hina dina ini, bahwa
selama hayat masih terkandung dalam tubuh yang sudah bertulang rapuh ini, Raganata tetap
akan berbicara demi menjaga kepentingan kerajaan paduka. Mereka hanyalah utusan belaka
yang tak tahu hitam putihnya tugas yang dilaksanakan. Mereka hanya melakukan titah raja
mereka untuk mempersembahkan nawala kebawah duli paduka. Setiap utusan, menurut
hukumnya, harus diperlakukan dengan layak .... "
"Utusan adalah duta atau wakil dari raja dan negara yang mengutusnya. Betapapun dia wajib
bertanggung jawab atas isi dan maksud tugas perutusan itu."
"Menurut pengetahuan Raganata yang picik, sekalipun utusan itu membawa surat tantangan
perang, pun harus jangan diganggu .... "
"Sekalipun utusan itu menghina seri baginda ?" cepat Aragani menukas "ah, jika demikian
halnya, adakah empu menghendaki agar seri baginda menjamu mereka dengan kehormatan besar
dan memberi hadiah yang berharga karena mereka membawa perutusan yang menghina baginda?"
Wajah baginda bertebar merah.
"Bukan demikian ki patih," sahut empu Raganata "aku tidak pernah mengatakan bahwa
utusan itu supaya dijamu dengan penuh kehormatan dan diberi hadiah yang berharga. Kurasa
para rakryan mentri dan senopati yang hadir disini tentu tak mendengar ucapanku begitu dan
akupun juga tak bermaksud begitu."
"Lalu bagaimana kehendak empu " "
"Aku hendak mempersembahkan permohonan kepada baginda agar baginda berkenan melepas
mereka pulang dengan membawa surat balasan kepada raja Kubilai Khan."
"Empu Riganata yang bijaksana," seru pa h Aragani tanpa menghiraukan bahwa saat itu yang
berkuasa menitahkan se ap mentri berbicara adalah baginda. Sebelum mendapat perkenan
baginda, dak diberarkan mentri siapapun yang bicara. Apalagi tanya jawab sendiri seper yang
dilakukan pa h Aragani terhadap empu Raganata itu "sungguh tuan luhur budi terhadap seorang
utusan yang jelas menghina seri baginda. Tetapi apakah tuan menutup mata akan kenyataan yang
terjadi di luar balairungsari dimana rakyat sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi " Mereka
dak merelakan utusan itu menghina junjungan yang mereka muliakan. Adakah tuan hendak
menentang kehendak rakyat " Adakah kebaikan tuan terhadap utusan Kubilai Khan itu lebih tuan
memberatkan daripada kecintaan tuan kepada para kawula dan kesetyaan tuan terhadap seri
baginda ?" Menyadari bahwa serangan kata-kata tajam dari pa h Aragani itu dapat membahayakan
keselamatan empu Raganata maka tumenggung Wirakre segera mempersembahkan kata "Gus
junjungan hamba yang mulia, sesembahan seluruh kawula Singasari. Mohon gus
memperkenankan hamba, Wirakreti, menghaturkan sembah kata ke bawah duli paduka, gusti."
Sekaligus tumenggung Wirakre juga memberi peringatan halus kepada pa h Aragani bahwa
dalam sidang kerajaan lengkap bahkan yang dihadiri oleh perutusan dari mancanagara, segala tata
ter b peraturan harus dijunjung. Bahwa yang hadir sebagai penguasa persidangan itu adalah seri
baginda maka se ap mentri yang hendak menghaturkan pendapat harus mendapat perkenan dari
seri baginda lebih dulu. Tidak layak kalau sahut menyahut seolah tak menghiraukan kewibawaan
seri baginda. Baginda memberi perkenan.
"Menurut hemat pa k yang hina dina ini, surat dari raja Kubilai Khan memang terlampau
melewa batas. Seyogyanyalah apabila paduka hendak membalas hinaan itu. Namun apabila cara
membalas hinaan itu dengan memberi hukuman kepada utusannya, tentulah raja Kubilai Khan
akan marah dan kemungkinan tentu akan mengirim pasukan untuk menyerang Singasari.
Rupanya pa h Aragani tak jera walaupun secara halus telah diperingatkan tumenggung
Wirakre . Tanpa menunggu seri baginda berucap, pa h Aragani terus menyahut. "Ki tumenggung
Wirakre mentri Angabaya" sengaja ia memberi tekanan suara pada kata-kata yang terakhir
"kerajaan Singasari di bawah keagungan dan kekeramatan Batara Syiwa-Buddha, telah tumbuh
menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pengaruh kekuasaan seri baginda meluas sampai ke tanah
Malayu dan Campa. Angkatan perang Singasari termasyhur gagah berani. Pahang, Malayu, Gurun
dan Bakulapura, pun menyembah duli Batara Syiwa-Buddba. Bagaikan sinar sang surya cahaya
kemuliaan seri baginda itu menerangi nusantara. Tak mungkin apabila raja Kubilai Khan tak
mendengar hal itu. Tetapi apa sebab raja Cina itu masih berani mengirim surat sedemikian
menghina martabat luhur seri baginda ?"
Baginda Kertanagara meregak, tertarik akan ucapan Aragani dan segera ber tah "Apakah tujuan
yang sesungguhnya dari raja Kubilai Khan itu, patih Aragani ?"
"Gusti," sembah Aragani "menurut hemat hamba, tak lain raja Cina itu sebenarnya hanya hendak
mencari alasan agar dapat menyerang kerajaan paduka. Diantara kerajaan-kerajaan yang tersebar
di kawasan laut selatan daratan Cina, hanya Singasarilah yang paling kuat dan paling disegani.
Kubilai Khan menganggap Singasari itu sebagai "duri dalam mata ' ....... "
Pa h Aragani berhen sejenak untuk mengambil napas sembari mencuri kesempatan
memperha kan sikap baginda. Diperha kannya bahwa seri baginda makin menaruh perha an
maka diapun segera melanjutkan pula. "Pengiriman pasukan Pamalayu dari kerajaan Singasari,
makin menggetarkan ha Kubilai Khan. Dia tentu cemas apabila Singasari akan bertambah besar
dan kuat karena telah menguasai tanah Malayu sampai ke Campa. Mumpung belum semakin
bertumbuh kuat maka Kubilai Khan bergegas mengirim utusan ke Singasari dengan membawa surat
yang sengaja menghina seri baginda. Dengan demikian jelas sudah bahwa raja Kubilai Khan itu
memang hendak mencari alasan agar dapat menyerang Singasari. Dia sudah memperhitungkan
bahwa seri baginda tentu akan menolak dan mengharap agar seri baginda murka kepadanya."
"Benar," baginda Kertanagara mengangguk. Kemudian berpaling kearah Wirakre "Wirakre , apa
katamu sekarang" "
Mentri angabhaya dari kerajaan Singasari itu cepat mempersembahkan kata "Memang tepat
sekali ulasan dari ki pa h Aragani itu gus . Bukankah ki pa h mengatakan bahwa raja Kubilai Khan
memang sengaja mencari alasan agar dapat menyerang Singasari" "
"Ya " "Dan bukankah rakryan pa h mengatakan pula bahwa Kubilai Khan itu sengaja menghina seri
baginda agar baginda menolak tuntutannya dan bahkan Kubilai Khan mengharap agar paduka
murka atas surat yang dihaturkan ke hadapan paduka?"
"Bukankah begitu, Aragani ?" titah baginda.
"Demikianlah gusti," sembah Aragani.
"Gus sesembahan hamba yang mulia," tumenggung Wirakre berdatang sembah "apabila
sudah mengetahui bahwa surat itu hanyalah sarana dari Kubilai Khan untuk memasang perangkap
agar dia mempunyai alasan untuk menyerang kerajaan paduka, mengapa pula rakryan pa h
menganjurkan agar paduka menghukum utusan dari negeri Cina" Bukankah hal itu berar kita
masuk kedalam perangkap Kubilai Khan" Atau apakah memang demikian yang dikehendaki rakryan
patih yang terhormat itu ?"
"Pasukan Singasari terkenal gagah berani. Pasukan Pamalayu telah berhasil mengamankan
kerajaan-kerajaan Malayu yang tak mau berlindung dibawah pengayoman seri baginda Kertanagara
yang agung....." Karena pa h Aragani langsung memberi tanggapan tanpa menghiraukan kehadiran seri baginda,
tumenggung Wirakre pun bersitegang "Itu apabila pasukan Singasari yang dikirim ke Malayu
berada di pura Singasari. Tetapi bukankah padukan Pamalayu itu kini sedang berada jauh di tanah
Malayu " Bukankah saat ini pura Singasari sedang kosong dari inti kekuatan angkatan perang ?"
"Ki tumenggung Wirakre ," sabut Aragani "tuan telah dipercaya oleh seri baginda sebagai mentri
Angabhaya yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan kerajaan Singasari. Apabila tuan
mencemaskan Kubilai Khan akan mengirim pasukan menyerang Singasari, bukankah ki tumenggung
seharusnya segera memikirkan bagaimana seyogyanya untuk mempersiapkan kekuatan pasukan
Singasari.! Bahkan apabila ki tumenggung anggap perlu, dapatlah ki tumenggung lebih dahulu
memanggil angkatan perang Singasari yang berada di Malayu itu" Ingin kuingatkan bahwa se ap
mentri narapraja harus menjunjung tah seri baginda dan harus berusaha untuk melaksanakan
kepercayaan yang telah dilimpahkan baginda. Mempersiapkan kekuatan pertahanan untuk
menjaga Singasari adalah wewenang dan kewajiban mentri Angabhaya."
Baginda Kertanagara mengangguk-angguk.
"Gus ," ba- ba adipa Wiraraja atau Banyak Wide dari Sumenep yang sejak tadi diam,
membuka suara "perkenankanlah hamba, Wiraraja, yang hina dan ada berguna ini, menghaturkan
persembahkan kata kebawah duli paduka."
"Ya, engkau boleh bicara, Wiraraja."
"Apa yang telah diuraikan ki patih Aragani memang benar semua" kata Wiraraja "jelas bahwa
dibalik tujuan mengirim surat itu, tersembunyi maksud raja Kubilai Khan yang hendak mencari
alasan menyerang Singasari. Sudah tentu Kubilai Khan takkan melaksanakan maksudnya
apabila paduka meluluskan permintaannya. Tetapi hamba yakin, tak mungkin seorang nata
yang agung perbawa, luhur martabat dan digdaya sakti seperti paduka akan sudi meluluskan
permintaan yang sehina itu. Mengenai dua pendapat tentang cara paduka hendak membalas
hinaan Kubilai Khan itu, dengan memberi hukuman kepada utusan mereka atau membebaskan
mereka kembali ke negerinya, menurut hemat hamba tiada bedanya. Utusan itu dihukum,
Kubilai Khan tentu marah. Namun kalau tidak dihukum, adakah Kubilai Khan akan puas dan
senang hati menerima surat balasan paduka ?"
Pa h Aragani tertawa "Ha, ha, hanya anak kecil atau orang yang berpikiran seper anak kecil,
yang akan menganggap bahwa Kubilai Khan akan senang menerima surat balasan seri baginda yang
menolak permintaannya, walaupun utusannya selamat tidak diganggu apa-apa."
"Dengan demikian," lanjut Wiraraja "utusan itu diberi hukuman atau dibebaskan, akan sama
ar nya. Kubilai Khan tentu tetap akan marah karena seri baginda menolak permintaannya dan
tentu akan mengirim pasukan menyerang Singasari. Oleh karena itu hamba setuju dengan
pendapat rakryan patih Aragani yang mempersembahkan usul agar menghukum utusan itu. Dengan
demikian Kubilai Khan tentu akan terbuka matanya bahwa Sri Lukawijaya Kertanagara mahaprabu
kerajaan Singasari yang jaya, adalah
san dari Hyang Batara Syiwa-Buddha yang keramat dari
segala hinaan." Terkejutlah sekalian mentri senopa yang hadir dalam balairungsari itu ke ka mendengar
ucapan bekas demung kerajaan Singasari yang kini dilorot dan dipindah menjadi adipa di
Sumenep itu. Empu Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre , merupakan ga orang mentri
Singasari yang digeser kedudukannya oleh seri baginda karena hasutan pa h Aragani. Dan
diketahui pula bahwa ke ga mentri itu adalah mentri-mentri besar dari pemerintahan rahyang
ramuhun Wisnuwardhana dahulu sehingga waktu puteranya, baginda Kertanagara dinobatkan
sebagai raja, ketiga mentri itu masih menjabat kedudukan yang penting.
Yang mengejutkan sekalian mentri saat itu tak lain yalah mengapa adipati Wiraraja
mendukung patih Aragani dan menentang tumenggung Wirakreti" Bukankah patih Aragani itu
yang menghasut baginda supaya menggeser ketiga mentri itu" Dan bukankah tumenggung
Wirakreti itu sahabat baik dari adipati Wiraraja sendiri" Perasaan kejut dan heran itu
mencengkam hati sekalian mentri. Lebih pula empu Raganata dan terutama tumenggung
Wirakreti sendiri. Berbagai tafsiran timbul dalam hati sanubari setiap mentri dan senopati.
Mengapa adipati Wiraraja bersikap demikian " Adakah dia sudah berobah kiblat " Ataukah dia
menyembunyikan maksud tertentu"
"Memang sama tetapi berbeda," rupanya empu Raganata tak kuasa menahan luap ha nya
"sama artinya, beda nilai martabatnya."
"O, bagaimana maksud empu ?" seru patih Aragani.
"Apabila utusan itu dihukum, berar Singasari sudah membalas hinaan Kubilai Khan. Tetapi
apabila utusan itu dilepas sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang duta, jika kemudian
Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan menyerang Singasari, martabatnya tentu akan jatuh di
mata raja-raja yang bernaung di-bawah kekuasaannya, maupun raja-raja yang masih berdaulat.
Mereka tentu akan makin membenci Kubilai Khan dan mendukung Singasari. Martabat baginda
sebagai Jma man Batara Syiwa-Buddha akan lebih semarak. Karena bukankah demikian luhur dan
agung sifat sang Batara Syiwa-Buddha yang maha pemurah dan tiada tara kebesarannya" "
Baginda Kertanagara kali ini tampak mengangguk pelahan. Memang se ap sanjung puji yang
mengagungkan seri baginda sebagai
san Batara Syiwa-Buddha tentu bersambut dalam sentuhan
Seruling Perak Sepasang Walet 5 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5
^