Pencarian

Dendam Empu Bharada 34

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 34


hati seri baginda. Melihat keraguan baginda, kua rlah pa h Aragani. Cepat ia bersambut kata "Benar, rakryan
empu yang terhormat. Empu memang seorang yang tak pernah goyah pendirian. Lepas dari benar
daknya pendirian empu itu tetapi Aragani yang picik pengetahuan ini, mempersembahkan hormat
yang setinggi-tingginya kepada empu."
Baginda terkesiap. Demikian sekalian mentri senopa . Mereka heran akan kata-kata pa h
Aragani yang masih kabur maksudnya bagi mereka.
"Ah, janganlah rakryan pa h bermadu kata merangkai sanjung puji kepada Raganata yang sudah
tua renta ini." "Memang dapat dimaklumi," kata Aragani, suatu kata-kata yang jelas bukan menjawab ucapan
empu Raganata "bahwa seorang yang telah mengabdikan diri pada kerajaan selama berpuluh-
puluh tahun, sejak rahyang ramuhun sang nata prabu Wisnuwardana sehingga seri baginda
Kertanagara yang sekarang tentu akan mbul rasa kejenuhan dan mendambakan ketenangan.
Demikianlah alam nurani dari seorang yang telah digenangi usia nggi seper rakryan empu
Raganata. Kita masih ingat, betapa beliau gigih menentang kehendak seri baginda dalam masalah
pengiriman pasukan Singasari ke tanah Malayu dahulu .... "
Berhen sejenak, pa h yang fasih menarikan lidah itu melanjut pula "Tetapi sayang rakryan
empu Raganata tak mau menyimak pada peris wa-peris wa gaib yang telah mbul di kerajaan
Singasari. Bahwa Hyang Batara Agung telah menentukan garis kodrat, bahwasanya Singasari akan
tumbuh menjadi sebuah kerajaan besar yang
ada bandingannya dalam sejarah kerajaan
Jawadwipa pada masa-masa sebelumnya. Buk daripada wahyu yang telah dilimpahkan Hyang
Batara Agung kepada negara Singasari yalah diturunkannya seorang raja
san Hyang Batara Syiwa-Buddha....." "Hidup adalah gerak dan tumbuh," kata pa h Aragani setelah berhen sejenak "tanpa gerak tak
mungkin ada hidup, tak mungkin ada pula tumbuh. Kodrat prakitri, yang tua akan rapuh, yang
muda tumbuh. Patah tumbuh, hilang bergan . Tetapi nampaknya alam pikiran rakryan empu
Raganata yang sudah sepuh usia itu dak dapat menyertai irama kodrat Prakitri. Ketenangan dan
kedamaian yang didambakan rakryan Raganata hanya ibarat sekelumit kuku hitam dari tubuh
Singasari, kerajaan yang akan menjelang cahaya kejayaan yang gilang gemilang. Keinginan yang
terpendam dalam ha empu Raganata yang senan asa mendambakan ketenangan dan kedamaian
itu, ibarat hanya kelip sebuah bintang yang hendak menjajari kemilau bulan purnama yang akan
memancar di langit Singasari."
"Rakryan patih Aragani," tiba tiba pula adipati Wiraraja berseru "pendirian tuan, sesuai
dengan pendirianku. Memang benar, mengapa kita takut kepada Kubilai Khan " Dia jelas
seorang raja yang angkara murka. Bukankah sudah cukup luas negara yang telah dikuasainya
itu " Mengapa dia masih menginginkan menjajah kita, bahkan menghina kewibawaan junjungan
kita " Kita memang ingin hidup damai tetapi kita takkan takut berperang apabila ada kerajaan
mancanagara yang hendak mengganggu kedaulatan negara kita. Wiraraja dan beribu-ribu
prajurit Madura akan siap membela Singasari dari serangan pasukan Kubilai Khan, raja yang
haus kekuasaan itu. Rakryan patih, tak perlulah kiranya berbanyak kata, sikap kita sudah
tegas, pendirianpun jelas. Baiklah, kita persembahkan masalah ini kebawah duli tuan kita, seri
baginda." Sebelum pa h Aragani menjawab, seri bagindapun sudah cepat memberi tah "Pa h Aragani,
perintahkan senopati .... "
Pa h Aragani menyongsong sembah "Mana-mana tah paduka, pas akan hamba laksanakan ....
" tiba-tiba ia terjerembab jatuh hingga kepalanya hampir terbentur lantai.
"Aragani .... !" baginda berteriak kejut. Demikianpun dengan sekalian mentri senopa yang hadir
di balairungsari saja. Bahkan rombongan Meng Ki juga terbelalak kejut.
Pangeran Ardaraja yang selama pembicaraan tadi berlangsung, tak ikut bicara, saat itu ke ka
melihat Aragani terjatuh dari tempat duduknya, cepat loncat menyanggapi tubuh pa h itu "Paman
patih ....... " "Ah, terima kasih raden. Paman tak kurang suatu apa, hanya sedikit pening saja," kata pa h
Aragani seraya duduk tegak pula.
Baginda dan sekalian mentri senopa menghela napas longgar. Berbahaya bagi seorang yang
sudah tua kalau sampai jatuh. Tetapi pada lain kilas, mereka mendengar keluh erang yang
mendesuh kejut di tengah balairungsari. Serentak seri baginda mengisar pandang ke-arah suara itu.
Beliau terkesiap ketika melihat apa yang terjadi di ruang balairungsari itu.
Apakah yang telah terjadi"
Ternyata pada saat itu kepala perutusan Meng Ki dan keempat pembantunya serta kesepuluh
prajurit Tartar yang gagah perkasa itu telah dikuasai oleh prajurit-prajurit Singasari yang dipimpin
oleh seorang tamtama muda. Penyergapan itu dilakukan secara ba- ba dan tak terduga-duga
dikala Meng Ki dan rombongannya tengah mencurahkan perha an kearah pa h Aragani yang akan
terjatuh tadi. Sedemikian cepat prajurit-prajurit Singasari itu ber ndak sehingga kesepuluh prajurit
Tartar tak sempat lagi untuk membela diri.
"Aragani, apakah artinya itu," titah baginda agak heran.
"Hamba telah melakukan apa yang paduka titahkan, gusti " sembah Aragani.
"O, tetapi kulihat engkau belum memberi perintah kepada mereka."
Pa h Aragani tertawa bangga "Sudah, gus . Hamba terjatuh dari tempat duduk hamba tadi,
merupakan perintah hamba kepada mereka."
"O." "Hamba terpaksa menggunakan siasat begitu agar prajurit-prajurit Tartar itu tak sempat
melawan, gusti." "O, bagus Aragani," baginda melimpahkan pujian "tetapi siapakah tamtama muda yang tangkas
itu tadi" " "Tamtama muda itu adalah Kuda Panglulut, anak menantu hamba sendiri."
"O " baginda mengangguk "putera menantumu sendiri " Bagus, Aragani. Tetapi apakah
jabatannya sekarang ?"
"Atas kemurahan hati rakryan tumenggung Wirakreti, dia telah diangkat sebagai wakilnya."
"Ya, memang tepat" ujar seri baginda "lalu bilamana engkau memberi perintah kepada
menantumu itu?" "Sebelum menghadiri pasewakan agung ini, hamba memang telah merundingkan hal itu dengan
dia. Karena hamba mendapat firasat bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tak berkenan pada
hati paduka dalam menerima utusan raja,Tartar ini."
"Hm, baiklah Aragani," ujar baginda "akan kuper mbangkan diri putera menantumu itu kelak.
Sekarang bagaimana pendapatmu tentang utusan Cina itu?"
"Adakah paduka berkenan melimpahkan kepercayaan kepada hamba untuk mengurus mereka ?"
"Ya," baginda mengangguk.
Sekalian mentri senopa tertegun. Empu Raganata dan tumenggung Wirakre tampak tegang.
Kedua mentri itu dapat membayangkan bahwa Aragani tentu akaa melakukan sesuatu yang
merugikan utusan Kubilai Khan itu. Akibatnya tentu Kubilai Khan akan marah.
Setelah menghaturkan terima kasih kepada baginda maka Araganipun berpaling kepada Meng Ki
atau Mi Yetzimu. "Hai, Mi Yetzimu, kepala utusan raja Kubilai Khan," serunya "adakah engkau menyadari bahwa
engkau telah ber ndak menghina seri baginda Kertanagara dengan mempersembahkan surat dari
rajamu itu" " "Kami menyadari bahwa kami telah melaksanakan tah dari raja kami untuk menghaturkan surat
kehadapan seri baginda raja Singasari," sahut Mi Yetzimu.
"Apakah engkau dak menyesal karena melaksanakan perintah rajamu yang jelas menghina seri
paduka junjungan kami ?"
"Tidak," sahut Mi Yetzimu dengan- tenang " tah maharaja kami adalah nyawa dan kehormatan
kami sendiri. Kami adalah utusan yang mewakili peribadi junjungan kami. Kami tak gentar
menghadapi segala bahaya demi melaksanakan tah yang kami terima dari raja kami. Kami hendak
bertanya, mengapa prajurit-prajurit Singasari menangkap kami" Apakah kedosaan kami " "
"Sekarang engkau harus menyadari Mi Yetzimu, bahwa surat dari rajamu itu sangat menghina
martabat seri baginda kami. Dan dengan pernyataanmu bahwa engkau mewakili peribadi
junjunganmu itu, maka tepatlah kalau engkau harus ditangkap dan dihukum."
"Dihukum ?" Mi Yetzimu terkesiap "di negeriku dan sepanjang pengetahuan serta pengalamanku
sebagai mentri kerajaan di negeriku, tak pernah raja kami melakukan hukuman kepada seorang
utusan dari raja negeri lain, sekalipun raja yang bermusuhan dengan kerajaan kami. Adakah
kerajaan Singasari tak kenal dengan peraturan itu ataukah memang demikian tata peraturan di
kerajaan Singasari ini " "
"Jangan tekebur Mi Yetzimu," seru Aragani "adakah hanya negerimu yang mempunyai adab dan
memiliki tata-peraturan hubungan antar negara itu " Tidak, kerajaan Singasaripun memiliki tata
perundang-undangan yang nggi. Tetapi ketahuilah wahai mentri Tartar, bahwa rajamu memang
benar-benar sengaja hendak menghina junjungan kami. Kemungkinan rajamu memang hendak
mencari alasan untuk menyerang Singasari. Oleh karena itu, seluruh kawula dan segenap mentri
hulubalang dan prajurit Singasari, tak gentar menerima tantangan itu. Dan sebagai jawaban yang
tegas, maka seri baginda kami akan menjatuhkan hukuman kepada rombonganmu."
Mi Yetzimu mengangguk "Telah kukatakan tadi, bahwa sebagai mentri yang mengemban tah
raja, kami tak gentar menghadapi bahaya apapun. Kami bersedia menghadapi hukuman apapun
yang hendak engkau jatuhkan dengan dalih yang engkau adakan itu. Hanya aku merasa kecewa atas
tindakan ini." "Kecewa ?" ulangi patih Aragani "engkau menyesal karena berani datang ke Singasari?"
"Tidak," seru Mi Yetzimu "bukan itu yang kumaksudkan. Aku kecewa atas peris wa yang kulihat
dan alami pada saat ini. Kudengar seri baginda Kertanagara dari kerajaan Singasari itu seorang raja
yang besar dan bijaksana. Singasaripun termasyhur memiliki senopa dan ksatrya-ksatrya yang
gagah perwira, prajurit-prajurit yang terkenal akan keberaniannya. Tetapi mengapa mereka
menggunakan pu muslihat yang kerdil untuk menangkap rombonganku " Adakah begini sifat ke-
ksatry-aan dan keberanian ksatrya dan prajurit Singasari itu ?"
"Jangan lancang ucap, Mi Yetzimu," seru Aragani " ndakanku iiu dak lebih hina dari hinaan
yang kalian telah lontarkan kepada junjungan kami. Jangan terburu-buru menyatakan kekecewaan
dulu. Ketahuilah bahwa junjungan kami Sri Batara Syiwa-Buddha yang menjadi sesembahan
seluruh kawula Singasari, adalah seorang Jina yang amat pelapang dan pengasih. Apabila engkau
sudah menyadari kesalahanmu, segeralah engkau dan rombonganmu mohon ampun ke bawah duli
seri baginda!" Mi Ytezimu tertegun. Namun wajahnya tak mengunjuk suatu perobahan "Tuan pa h kerajaan
Singasari, mohon tuan pa h memberi penjelasan kepadaku, mengapa aku harus memohon ampun
atas kesalahan yang tak pernah kulakukan?"
"Hm, engkau pandai bersilat lidah," dengus Aragani "bukankah tadi engkau menyatakan bahwa
tah dari rajamu itu adalah nyawamu sendiri" Bukankah engkau sudah menyatakan akan
menanggung segala akibat dari tah rajamu itu" Mengapa sekarang engkau mengatakan tak
bersalah ?" "Tuan pa h kerajaan Singasari," kata Mi Yetzimu "sebagai pa h dari sebuah kerajaan sebesar
Singasari, kukira tuan tentu faham akan hukum peraturan antar negara. Diantaranya mengenai
kedudukan seorang duta .... "
"Hm, engkau kira bangsamu sendiri yang mengerti hal itu ?" ejek patih Aragani.
"Tetapi nyatanya tuan tak menger hal itu," sahut Meng Ki alias Mi Yetzimu "dalam surat
maharaja kami, apabila dianggap menghina, pun hinaan itu hanya terdapat dalam surat. Bukan
dengan perbuatan. Bahkan sebagai tanda penghormatan kepada raja Singasari, maharaja kami
telah memilih aku seorang mentri yang khusus di tahkan untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan
besar saja. Dan selama menjelajah hampir seper ga bagian dunia, aku selalu mendapat sambutan
yang layak dari kerajaan yang kukunjungi. Baru pertama kali ini, aku mendapat perlakuan yang
begini kotor! " "Itulah yang menjadi tujuan kami," seru pa h Aragani "dengan ketemu batunya di Singasari sini,
biarlah dapat menyadarkan maharajamu agar jangan melanjutkan ndakannya yang congkak dan
angkara murka." "Tuan patih," Meng Ki menanggapi "apa yang engkau sebut congkak dan angkara itu?"
"Rajamu berani meminang puteri junjunganku, bukan sebagai permaisuri tetapi sebagai hiasan
istananya. Apakah hal itu bukan suatu perbuatan yang congkak " Rajamupun berani menitahkan
agar Singasari menghaturkan upeti, tidakkah hal itu Siatu tindakan yang angkara murka ?"
"Setiap peminangan, adalah hak bagi yang meminang. Tetapi keputusan adalah hak dari yang
dipinang. Adakah peminangan seorang raja terhadap puteri raja itu suatu perbuatan yang
congkak ?" "Tetapi peminangan itu bukan sebagai permaisuri tetapi sebagai selir!" teriak Aragani.
"Maharaja kami mempunyai banyak isteri. Sudah tentu dak semua isteri itu diberi gelar sebagai
permaisuri. Yang diangkat sebagai permaisuri adalah hanya seorang, yalah isteri yang pertama.
Tetapi tapi sekalipun demikian, raja kami memperlakukan dan memberi kasih sayang yang sama
dan adil kepada semua isterinya."
"Dan soal permintaan raja kami yang engkau anggap angkara murka itu, ingin aku bertanya
kepada tuan. Mana yang lebih angkara, kerajaan Singasari yang mengirim pasukan untuk
menundukkan raja-raja di Malayu atau raja Kubilai Khan yang hanya dengan surat meminta agar
singasari menghaturkan upeti ?" kata Meng Ki lebih lanjut.
"Singasari mengirim pasukan ke Malayu, hanyalah bertujuan untuk mempersatukan dan
merukunkan kerajaan-kerajaan di seluruh kawasan nusantara. Tetapi raja Kubilai Khan dengan
baginda Kertanagara adalah lain rumpun, lain bangsa. Jelas rajamu itu bertindak menghina seri
baginda kami ! " Jawab Meng Ki "Hinaan dalam surat, harus dibalas hinaan dalam surat pula. Karena itu
percayalah tuan pa h, walaupun dengan balasan surat saja, tentulah raja kami akan murka dan
bertindak." "Hm, suatu pembelaan bagus untuk mencari keselamatan diri," seru patih Aragani.
"Bukan pembelaan melainkan suatu uraian dari kenyataan yang lazim dianut oleh negara-negara
yang tahu menghormati peraturan," sahut Meng Ki
"Jadi engkau tak mau mohon ampun kepada baginda " Ingat, hukumanmu itu akan tergantung
pada sikapmu sendiri."
Meng Ki tetap menolak untuk minta ampun.
"Baik," seru pa h Aragani dengan nada tandas "atas tah seri baginda Kertanagara yang tegak
dengan gelar agung Batara Syiwa-Buddha, yang memerintah seluruh Jawadwipa, yang
kekuasaannya melipu tanah Malayu, Campa, Pahang, Gurun, Bakulapura dan seluruh kepulauan
di nusantara, engkau kepala perutusan raja Kubilai Khan, akan dijatuhi pidana yang sesuai dergan
sifat perutusan yang engkau lakukan dan sikap yang engkau unjukkan selama menghadap seri
baginda. Yalah dahimu akan di-cap dengan besi panas. Hukuman itu akan dilaksanakan besok pagi
di tengah alun-alun Singasari."
Baginda Kertanagara mengangguk. Mentri-mentri dan senopa terkesiap dalam berbagai
tanggapan masing-masing. Hanya empu sepuh Raganata dan tumenggung Wirakreti yang gemetar.
"Mengundang bahaya kehancuran," keluh empu Raganata dalam hati.
"Menjagakan macan tidur," gumam hati Wirakreti.
Tetapi apa daya. Kedua mentri setya itu tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah keputusan
Aragani. Mereka heran mengapa sampai sedemikian besar kekuasaan Aragani untuk menjatuhkan
hukuman pada seorang utusan mancanagara. Walaupun baginda telah menyerahkan persoalan itu
kepadanya tetapi sekurang-kurangnya Aragani harus meminta ijin kepada baginda lebih dahulu.
Dan yang menyakitkan ha kedua mentri setya itu, tampaknya seri bagindapun merestui ndakan
Aragani. Kebalikannya, tampak tenang-tenang saja Meng Ki menyambut keputusan itu. Diapun heran
mengapa patih Aragani sedemikian besar kekuasaannya.
"Tuan pa h," serunya "kami telah jatuh ke dalam perangkapmu dan saat ini menjadi tawanan
yang tak berdaya. Berbuatlah sesuka hati tuan menurut perataran di negeri tuan ini."
"Tetapi ingatlah tuan pa h," ba- ba Meng Ki melanjut dengan suara lantang "Khan kami yang
perkasa, pas murka mendengar kekejaman ini dan bersedialah untuk menerima pembalasan
maharaja kami. Sejak sekarang bersiap-siaplah mengerahkan seluruh kekuatan Singasari untuk
menghadapi gelombang pasukan negeri kami yang akan melakukan pembalasan lebih hebat dari
kekejaman yang tuan lakukan kepada utusannya. Bumi kerajaan ini akan bersimbah darah.
Rakyatmu yang lelaki akan menjadi mayat tanpa kepala, bergelimpangan menganak bukit. Wanita-
wanita akan menjadi barang rebutan untuk pemuas nafsu prajurit-prajurit kami. Dan engkau tuan
patih, pasti akan merasakan hukuman seperti yang engkau jatuhkan kepada rombongan kami!"
Laksana halilintar meledak di angkasa, menggelegarlah ancaman Meng Ki itu, menimbulkan getar
dahsyat dalam hati sekalian mentri dan hulubalang yang berada dalam balairungsari...
"Bedebah engkau Meng Ki! " ba- ba pangeran Ardaraja berteriak marah "biasanya anjing yang
besar nyalak tentu tak menggigit. Dan andaikata kawanan anjing Tartar itu hendak datang
menggigit, akulah yang akan menumpasnya. Sampaikan kepada rajamu Kubilai Khan, bawa di
Singasari ada seorang ksatrya muda bernama Ardaraja yang siap menunggu kedatangannya untuk
bertempur secara ksatrya."
"Bagus, puteraku," baginda berseru girang. Meng Ki menjawab "Memang tepat kata sebuah
peribahasa di negeriku, bahwa 'anak domba tentu tak takut pada harimau'. Wahai ksatrya muda,
setampan wajahmu, segarang ucapmu. Tetapi aku merasa sayang akan usiamu yang masih muda
belia. Simpan sajalah ucapan yang garang itu. Karena ketahuilah, bahwa Kubilai Khan itu benar-
benar seorang maharaja yang sak digdaya,
ada lawannya di seluruh permukaan bumi.
Jangankan, bertempur, baru berhadapan saja, nyalimu tentu sudah beiantakan."
"Kuda Panglulut, lekas bawa mereka ke luar," serentak pa h Aragani berseru memerintahkan
putera menantunya. Rupanya ia sudah jemu adu lidah dengan utusan raja Kubilai Khan yang keras
kepala itu. Kuda Panglulut cepat maju hendak mengikat kedua tangan Meng Ki dan rombongannya.
Tetapi Meng Ki membentak "Aku seorang duta raja. Jangan keliwat menghina " Aku sudah
bersedia menerima hukuman patihmu. Hendaknya jangan engkau bertindak terlalu semena-
mena agar jangan membangkitkan kemarahan rombonganku. Ketahuilah, bahwa ksatrya2
Tartar itu lebih baik mati daripada dihina melampaui batas."
Kuda Panglulut tertegun dan cepat berpaling ke arah ayah mentuanya. Araganipun memberi
sebuah anggukan kepala. Demikian setelah melucu senjatanya, di iring ujung pedang dan tombak yang mengacung di
belakang punggung, rombongan Meng Ki segera dibawa keluar.
Di luar balairungsari, rakyat bersorak-sorak memaki dan mengejek. Bahkan ada sekelompok anak
muda .yang hendak menyerbu mereka. Kuda Panglulut terpaksa melakukan pengawalan yang ketat.
Setelah rombongan utusan Kubilai Khan pergi maka ber tahlah baginda Kertanagara "Bagus,
pa h Aragani. Tindakanmu itu sesuai benar dengan kehendakku. Hukuman itu ringan tetapi cukup
berkesan sebagai pembalasan atas tingkah Kubilai Khan."
"Engkau adipa Wiraraja," ujar baginda pula "tampaknya sudah memiliki berobahan dalam
pendirian ha mu. Baik paman adipa . Kuberikan wewenang supaya engkau menyusun pasukan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Madura untuk menghadapi serangan Kubilai Khan."
"Terima kasih, gus ," sembah Wiraraja "mana-mana tah paduka pas akan hamba junjung di
atas kepala hamba." Kemudian ber tah pula seri baginda kepada empu Raganata "Empu Dharmadhyaksa, rupanya
usia andika sudah makin meningkat nggi sehingga andika amat mendambakan ketenangan.
Apabila andika merasa tugas-tugas ke-dharmayaksan di Tumapel itu masih mengganggu
ketenangan jiwa ndika, akupun takkan menyiksa ba n ndika. Katakanlah, empu di asrama
kepanditaan yang manakah yang ndika ingin mendiami. Keinginan ndika pasti akan kululuskan."
"Duh, gus junjungan seluruh kawula Singasari" seru empu Raganata "hamba memang tak
mampu menolak kodrat hidup dimana usia tua makin menggerogo tulang-tulang hamba yang
rapuh. Tetapi hamba sudah terlanjur mengabdikan diri kepada kerajaan paduka Singasari. Sejak
dari ramanda seri baginda Wisnuwardhana hingga pemerintahan paduka sekarang. Bagi hamba,
bukanlah pangkat dan kedudukan yang hamba cita-citakan, melainkan kepen ngan kerajaan dan
rakyat Singasari. Apapun yang paduka berkenan hendak mendudukkan diri hamba, di tempat dan
jabatan apapun, asal hamba masih dapat mengabdikan tenaga hamba kepada kerajaan, hamba
pasti bersyukur hati. Karena itulah cita-cita hidup Raganata."
Sesungguhnya baginda hendak menggeser kedudukan empu Raganata dari adhyaksa Tumapel ke
suatu nama pandita. Tetapi demi mendengar persembahan kata empu tua itu, tergetarlah ha
keci1 baginda. Betapapun empu Raganata itu telah berjasa kepada kerajaan Singasari. Seorang
mentri yang telah membuk kan kesetyaannya sejak jeman pemerintahan ayahanda baginda
Wisnuwardhana hingga sekarang. Apabila ia menggeser kedudukan empu itu, dikua rkan rakyat
tak senang. Hai itu memberi akibat akan berkurangnya kesetyaan rakyat kepada baginda. Lebih-
lebih dalam suasana dewasa itu, kesetyaan dan kepatuhan rakyat amat diperlukan sekali.
"Sebenarnya empu memang sangat diperlukan untuk mengepalai ke dhardhyaksaan Tumapel,"
ujar baginda. Kemudian baginda cepat beralih titah kepada tumenggung Wirakreti.
"Tumenggung Wirakre ," ujar baginda "rasanya, sudah terlalu lama paman menggung mengabdi
kepada kerajaan Singasari. Seharusnya paman sudah kuperkenakan beris rahat untuk menikma
kehidupan hari tua yang tenang. Tetapi ternyata tenaga paman masih dibutuhkan oleh. Kerajaan."
"Terima kasih, gus ," tumenggung Wirakre menghaturkan sembah "memang raga hamba sudah
makin lapuk, tetapi jiwa hamba selalu tegak untuk mengabdi kepada kerajaan paduka. Cita-cita itu
telah bersenyawa dengan hayat yang masih terkandung dalam diri hamba, gusti."
"Hm, baik paman," ujar seri baginda "tetapi sungguh pun demikian demi kelanjutan dari-
kepentingan kerajaan Singasari di masa mendatang, kuharap paman berkemas-kemas untuk
memilih calon pengganti yang paman pandang cakap dan sesuai. Bila pada suatu saat
kululuskan paman beristirahat. Kukira paman dapat memberi kesempatan-kepada tamtama
muda tadi." Tumenggung Wirakreti terkejut namun tenang-tenang ia menyambut baik titah, seri baginda.
~dewi.kz^ismo^mch~ Malampun ba. Langit bertabur bintang kemintang, mewakili tugas sang Dewi Malam yang agak
malam keluarnya. Sunyi senyap menyelubungi seluruh pura Singasari. Rupanya para kawula amat penat
menyaksikan peris wa siang tadi. Mereka berusaha untuk dur lebih sore agar keesokan harinya
tak terlambat datang ke alun-alun pula untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri
rombongan perutusan Cina.
Keraton Singasaripun sunyi. Hanya para prajurit penjaga masih berjaga di balai Manganti
yang terletak di sebelah timur keraton. Gedung itu digunakan untuk tahanan rombongan utusan
Kubilai Khan. Empat penjuru dikelilingi pagar tembok dan dijaga prajurit bersenjata lengkap.
Sebenarnya balai itu tempat tahanan bagi priagung yani keluarga raja, mentri praja maupun
tentara yang berpangkat. Tahanan rakyat biasa, bukan disitu melainkan di sebuah rumah
penjara lain. Rombongan utusan Kubilai Khan diperlakukan sebagai tawanan negara maka di Balai
Mangantilah mereka ditempatkan.
Malam belum berapa lama ke ka prajurit penjaga pintu gerbang Balai Mangan dikejutkan oleh
kemunculan ga orang suami isteri dan anak gadisnya. Suaminya seorang lelaki setengah tua,
isterinya seorang perempuan yang perutnya besar dan anaknya seorang dara can k yang
membawa dua buah keranjang.
"Kami ber ga nggal di dekat luar pura," kata lelaki setengah tua itu menjawab pertanyaan
prajurit penjaga "adapun kedatangan kami anak beranak, tak lain hanyalah akan mohon
pertolongan kepada tuan di sini."
Penjaga itu mengerut keheranan "Pertolongan apa ?"
"Ki prajurit," kata lelaki setengah tua itu "bukankah andika sudah beristeri ?"
"Ya." "Apakah andika sudah mempunyai anak?"
"Hm, ya." "Kiranya andika tentu pernah mengalami hal aneh di kala isteri andika sedang hamil, bukan ?"
"Apa maksudmu ?" tegur prajurit penjaga.
"Pada waktu isteri andika hamil muda, tentulah pernah nyidam. Isteri andika akan minta sesuatu
yang aneh-aneh. Misalnya, kepingin makan buah-buahan segar, ingin makan daging burung
kepedang, ikan lele, daging rusa dan lain-lain yang tak pernah dimintanya sebelum hamil."
"Hm," dengus prajurit itu pula.
"Demikianpuh yang kualami dengan isteriku ini. Tetapi apa yang dimintanya itu sungguh luar
biasa anehnya. Bukan ingin makan buah atau ikan tetapi ingin melihat orang .... "
"Orang ?" tanpa disadari prajurit itu terhanyut dalam keheranan "siapa saja" "
"Orang dari atas angin .... "
"Hai, paman," tukas prajurit itu "bukankah paman ini seorang yang masih waras pikiran ?"
"Tentu nak, tentu," kata lelaki setengah tua itu "aku masih waras, aku tidak gila."
"Kalau masih waras mengapa bicara tak keruan?"
"Bicara tak keruan bagaimana, nak ?"
"Apa yang paman maksudkan orang dari atas angin itu ?"
"O, paman maksudkan orang mancanegara."
"Siapa ?" tanya prajurit itu.
"Isteriku mendengar bahwa di keraton Singasari siang tadi telah menerima utusan dari raja
Kubilai Khan. Raja dari Tartar yang berkuasa di negeri Cina."
"Hm," dengus prajurit itu "lalu ?"
"Karena dia sedang mengandung maka dia tak dapat melihat ke alun-alun pagi tadi. Oleh karena
itu tiba-tiba dia kepingin sekali melihat perwujutan dari utusan negeri Cina itu."
"Gila!" bentak prajurit itu "jangan diturutkan keinginan binimu yang kegila-gilaan itu."
"Memang bermula akupun menaseha supaya jangan meminta begitu," kata lelaki setengah tua
"tetapi dia tetap merengek-rengek menghendaki hal itu. Dia kepingin sekali melihat bagaimana raut
wajah dan bentuk tubuh orang-orang Tartar itu. Apakah juga sama dengan kita orang Singasari."
"Manusia tentu sama dengan manusia. Jika berbeda hanyalah warna kulitnya saja. Mereka
berkulit kuning dan kita kebitam "hitaman."
"Susah nak untuk menerima keterangan begitu saja," kata lelaki setengah tua "seumur hidup
dia hanya tinggal di desa, tak pernah melihat orang mancanagara. Ia kepingin sekali melihat
bagaimana perwujutan mereka itu, walaupun hanya sejenak saja. Katanya, itu bukan menjadi
keinginannya, tetapi timbul dari keinginan jabang bayi yang berada dalam kandungannya."
"Aneh, mengapa dak pagi tadi atau tunggu saja besok pagi apabila mereka akan dibawa ke
alun-alun untuk menerima hukuman," kata prajurit pula.
"Ah, nak prajurit, kasihanilah isteriku. Perutnya sudah besar, ia takut berdesak-desakan
dengan sekian banyak orang. Dan kata orang tua, permintaan dari seorang wanita yang
sedang hamil, harus dituruti. Kalau tidak, akan berakibat tak baik bagi bayi yang akan
dilahirkannya. Nak prajurit tentu sudah pernah mengalami sendiri hal itu dari isterimu.
Bagaimana rasanya seorang suami yang tak dapat memenuhi permintaan isterinya yang
sedang nyidam itu " "
Prajurit itu kerutkan alis.
"Dan ini hak prajurit," kata lelaki setengah tua itu pula sambil meminta bakul dari anak
perempuannya "kami bawakan sekedar makanan dan minuman untuk kawan bergadang."
Prajurit itu tak lekas menerima melainkan membuka kain penutup bakul. Serentak matanya
menyalang lebar-lebar ke ka mendapatkan bakul itu antara lain berisi beberapa buah guci
"Apakah ini ?" tanyanya walaupun ia sudah dapat menduga isinya.
"Tuak dan brem buatan kami sendiri," kata lelaki setengah tua seraya membuka penyumbat
salah sebuah guci. Setiup hawa harum-harum segar segera menyeruak menabur hidung prajurit
itu. "Baiklah," kata prajurit penjaga "tetapi kalian harus kuperiksa dulu."
Setelah memeriksa ke ga orang itu tak membckal suatu benda yang mungkin dapat digunakan
sebagai senjata maka dibawanyalah mereka masuk ke halaman, menuju sebuah bangunan yang
berdinding kokoh, berpintu terali besi. Pintu dijaga dua orang prajurit bertubuh nggi kekar dan
menyanggul tombak terhunus.
Prajurit penjaga pintu gerbang tadi segera menemui kedua prajurit yang berjaga di tempat itu.
Dengan bisik2 dia menuturkan tentang maksud kedatangan ke ga orang anak beranak itu. Sebagai
penutup cerita, prajurit itu menyerahkan beberapa guci tuak wangi dan brem kepada kedua
prajurit penjaga disitu. Rupanya di kalangan prajurit terdapat dua macam kesenangan yang paing digemari. Wanita dan
tuak. Dua lapis penjagaan, diluar dan didalam, akhirnya dapat juga dibotolkan dengan kekuatan
tuak wangi. Pada hal para penjaga sudah menyadari sesadar-sadarnya, bahwa perbuatan mereka
untuk memperbolehkan orang luar menjenguk tawanan utusan raja Kubilai Khan itu, dapat
diancam dengan hukuman mati.
Demikian setelah dikawal oleh kedua prajurit penjaga, ketiga anak beranak itu dibawa masuk.
Tetapi mereka tidak boleh masuk melainkan hanya melihat dari luar terali besi. Beberapa saat
kemudian, merekapun disuruh pulang.
Malam kelam dan makin kelam. Anginpun mulai menggigit tulang. Para prajurit yang menjagapun
makin meliukkan tubuh. Mereka telah menghabiskan tuak dan brem pemberian suami isteri tadi
dan saat itu kepala merekapun mulai merasa pening, mata berbinar-binar. Mereka adalah prajurit-
prajurit yang bertubuh kuat dan kuat pula minum tuak. Tetapi tuak dari suami isteri tadi telah
kuasa menundukkan mereka dalam kelelapan yang lunglai.
Di kala kesunyian mencengkam suasana, ba- ba muncullah dua sosok tubuh ke pintu regol.
Dengan gerak setangkas kucing melompat, kedua sosok tubuh itupun menyelinap masuk melalui
kedua penjaga pintu yang duduk bersandar pada tiang pintu.
Kedua sosok pendatang itu mukanya berselubung kain hitam. Mereka lari melintas hahaman,
menuju ke sebuah bangunan gedung. Tampak dua orang penjaga pintu gedungpun serupa
dengan yang berada di pintu regol. Mereka duduk sandarkan tubuh pada dinding.
Salah seorang dari kedua pendatang yang bertubuh lebih nggi dan besar, segera menghampiri
penjaga itu dan mengambil kunci dari saku baju penjaga itu. Lalu membuta pintu terali besi.
"Kuncilah dan simpan anak kuncinya," kata orang itu kepada kawannya yang bertubuh kecil
langsing "aku akan masuk menemui Meng Ki."
"Tetapi bagaimana kalau kedua penjaga ini sampai bangun ?" seru orang yang bertubuh kecil itu
dalam nada seperti seorang anak perempuan.
"Hantam saja kepalanya supaya pingsan !" sahut orang yang bertubuh nggi seraya
menyerahkan anak kunci. Setelah itu dia melangkah masuk.
Setelah melalui sebuah lorong yang cukup panjang akhirnya balah dia di sebuah ruang yang
diterangi dengan lampu. Ruang itu sunyi-sunyi saja.
Segera pandang mata orang itu tertumbuk pada sosok tubuh lelaki yang masih duduk diatas
balai-balai dalam sikap seper orang bersemedhi. Kelima orang itu mengenakan busana yang
indah. Sedang di lantai tampak sepuluh orang prajurit terhampar, tidur mendengkur.
Kelima orang yang duduk bersemedhi itu adalah Meng Ki dan pembantunya. Mereka terkejut
melihat kemunculan seorang yang mukanya bertutup kain hitam.
"Siapa engkau!" tegur salah seorang dari kelima lelaki yang duduk di tengah-tengah.
Orang berkerudung itu mengangkat tangan selaku memberi salam "Jangan takut, aku seorang
teruna Singasari " "O," desuh orang Tartar itu "hendak membunuh kami" "
"Tidak, aku bukan seorang pembunuh pengecut," sahut orang berkerudung lalu balas bertanya
"siapakah engkau. Apakah engkau yang bernama Meng Ki?"
"Ya, orang menyebut demikian atau Mi Yetzimu."
"Hm, engkau tenang sekali."
Meng Ki tertawa hambar "Terima kasih atas pujianmu. Dan mengapa aku harus gelisah"
Bukankah aku dan rombonganku sudah terpedaya oleh siasat yang keji dari rajamu" Lihat,"
serempak terdengar suara bergemerincing ke ka Meng Ki mengangkat kedua tangannya "sekalipun
sudah ditawan, rajamu masih menitahkan supaya merantai tangan kami! "
Orang berselubung kain hitam itu mendesuh pelahan "Engkau salah tafsir. Bukan raja Singasari
yang mencelakai kamu tetapi baginda telah dihasut oleh pa h Aragani yang bertubuh, pendek dan
perut buncit itu." "Adakah di Singasari itu patih lebih berkuasa dari raja ?" Meng Ki bertanya heran.
"Tidak," sahut orang berselubung "raja adalah yang paling berkuasa. Tetapi baginda telah
dipengaruhi patih Aragani."
"Hm," dengus Meng Ki "lalu apa tujuanmu datang kemari " "
"Pertama-tama, ingin membawakan suara rakyat Singasari. Bahwa ndakan yang dikenakan
kepadamu dan rombonganmu itu, bukanlah kehendak rakyat Singasari melainkan perbuatan dari
segelintir mentri kerajaan yang menginginkan kekacauan dalam kerajaan Singasari."
"Hm, rupanya engkau sudah menyadari akibat-akibat dari kekuatan balatentara Kubilai Khan
yang menguasai sepertiga jagad ini " dengus Meng Ki.
Tiba- ba orang yang mukanya bertutup kain hitam itu berseru tegas "Engkau salah tafsir!
Tindakan Kubilai Khan mengirim surat kepada baginda Singasari itu memang suatu hinaan. Kami
seluruh rakyat Singasari akan berjuang di belakang baginda untuk mempertahankan kedaulatan
negara kami! " Orang itu berhen sejenak. Tampak dari kedua lubang kain kerudung, sinar berkilat-kilat tajam
memancar dari kedua matanya.
"Yang tak kami setujui yalah cara-cara baginda memperlakukan utusan Kubilai Khan itu.
Hendaknya jangan tuan tafsirkan bahwa Singasari takut kepada rajamu Kubilai Khan. Itu tak
benar" kata orang itu pula "ketahuilah wahai tuan Meng Ki. Bahwa Singasari itu sebuah negara
besar yang mempunyai kekuatan jauh sampai menjangkau ke tanah Malayu. Singasari sebuah
negara yang beradab budaya tinggi, pusat perkembangan agama. Sudah tentu kami dapat
menghormati tata peraturan antara negara. Dan itulah sebabnya pula kami tak setuju akan
tindakan seri baginda yang dijatuhkan pada diri tuan dan rombongan tuan."
Meng Ki -tertegun lalu mengangguk-angguk "Itukah tujuan langkah tuan datang kemari " "
"Yang pen ng memang begitu," sahut orang berkerudung kain hitam "agar tuan dapat gambaran
tentang keadaan rakyat Singasari yang sebenarnya dan dapat menghaturkan pernyataan kami ini
ke hadapan rajamu Kubilai Khan. Disamping itu, sebagai salah satu cara yang dapat kami tempuh
untuk menyatakan tak setuju atas ndakan baginda, kami akan memperingan penderitaan tuan
dan rombongan tuan." Meng Ki terkesiap penuh dugaan.
"Adakah tuan hendak menolong membebaskan diriku dan rombonganku ?" serunya meragu.
"Ingin sebenarnya kulakukan hal itu, " kata orang aneh itu pula "tetapi ada dua pertimbangan
yang menghalang keinginanku. Pertama, kemungkinan mengingat peribadi keksatryaan tuan,
tuan tentu segan menerima pertolongan orang. Kedua, telah kami pertimbangkan bahwa
janganlah hendaknya pertolongana itu bahkan akan menrcelakai kawan-kawan tuan. Jelasnya,
apabila kubebaskan, tuan pasti akan diserang oleh beratus-ratus prajurit yang bersenjata
lengkap. Kemungkinan rakyatpun akan ikut mengeroyok. Bukankah akan sia-sia belaka
pertolonganku itu" "
"Benar," sahut Meng Ki "kamipun menyadari hal itu maka kamipun tak mengharapkan
pertolongan itu." "Mungkin tuan tak mengharapkan," sambut orang berkerudung kain hitam itu pula "tetapi
sesungguhnya kami ingin sekali melakukan pertolongan itu manakala tak terbentur oleh akibat
yang akan merugikan perjuangan kawan-kawan kami."
Meng Ki memandang lekat. "Bahwa sebenarnya kerajaan Singasari sedang menghadapi bahaya yang tak tampak. Kerajaan ini
sedang terancam oleh penghianatan beberapa mentrinya. Tujuan mereka menghasut baginda
supaya menindak tuan tak lain hanyalah supaya terjadi peperangan dan kekacauan dalam kerajaan
Singasari. Mereka akan , menggunakan kesempatan itu untuk melaksanakan rencana
penghianatannya." Meng Ki mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kami menyadari bahwa kali ini mereka telah berhasil menimbulkan landasan kuat untuk
menghasut baginda dan mengobarkan kemarahan rakyat terhadap perutusan yang tuan lakukan.
Apabila kubebaskan tuan, rakyat tentu marah dan kami para pejuang Singasari tentu akan
kehilangan dukungan rakyat kami. Maka kami minta hendaknya tuan dapat memaklumi hal ini dan
jauhkanlah pikiran tuan dari kesan yang menganggap bahwa para ksatrya Singasari itu tak berani
bertindak membela keadilan dan kebenaran."
"Ya, kumaklumi hal itu," sahut Meng Ki "dan memang akupun tak memerlukan pertolongan yang
akan merugikan kedua belah pihak. Lalu apa maksud kedatangan anda kemari?"
"Kami datang untuk memberi pertolongan sekedar untuk meringankan derita kesakitan yang
tuan alami. Kami hendak menghaturkan obat penghilang rasa sakit akibat hukuman yang tuan dan
rombongan tuan akan menerima besok pagi."
Orang yang mukanya berselubung kain hitam itu segera menyerahkan sebuah bungkusan.
"Ksatrya Singasari," kata Meng Ki setelah menerima dan mengucapkan terima kasih "bukan
bagaimana macam dan khasiat obat itu yang kuterima tetapi sikap dan pernyataan anda itulah
yang benar-benar berkesan dalam ha kami. Sesungguhnya akupun sudah membekal obat yang
mujarab untuk segala macam luka terbakar, terbacok senjata tajam serta terkena segala jenis
racun." "Ketahuilah tuan," tukas orang berselubung itu "luka yang tuan akan derita besok pagi cukup
mengerikan. Wajah anakbuah tuan akan di cap dengan besi panas dan mungkin akan dicacah
juga." "Jangan kua r ksatrya," sahut Meng Ki tertawa "ketahuilah bahwa untuk menghadapi siksa
hukuman besok pagi, sebelumnya kami akan menelan obat yang berkasiat menolak rasa sakit dan
setelah itu kamipun akan melumuri luka-luka kami itu dengan bubukan obat yang kuasa
mengeringkannya. Setelah kering, luka itu akan terkupas dari kulit tanpa meninggalkan bekas-
bekas. Ilmu ramuan daun obat, sudah sedemikan maju di negeri kami sehingga telah diketemukan
berbagai ramuan daun-daun obat yang dapat menyembuhkan bermacam-macam penyakit luar dan
dalam." Orang aneh itu mengangguk.
"Tetapi kami takkan menghapus luka itu melainkan akan membawanya pulang agar raja kami
dapat mengetahui keadaan wajah kami yang telah dirusak itu," kata Meng Ki pula.
"Tuan," kata tetamu aneh itu "sebagai kepala perutusan yang melaksanakan tugas sebagai
seorang duta raja, tentulah tuan memiliki ilmu kesak an yang is mewa. Mengapa tuan tak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha untuk meloloskan diri saja ?"
"Inginkah anda menyaksikan sedikit tentang ilmu kesaktian yang kumiliki itu ?" tanya Meng Ki.
Dan tanpa menunggu jawaban orang, dia terus pejamkan kedua mata. Beberapa saat
kemudian tiba-tiba ia menggeliatkan kedua tangannya, tringngng ....
Tetamu aneh yang mukanya tertutup kain hitam itu terbeliak kaget ke ka melihat rantai yang
memborgol tangan kepala perutusan Cina itu, berkerontangan menghambur ke lantai.
"Nah, lihatlah ksatrya. Kini tanganku sudah bebas," seru Meng Ki "apabila aku mau, dengan
mudah pula dapatlah kubebaskan rantai yang mengikat tangan rombonganku ini."
"Mengapa tuan tak melakukannya ?" tanya orang itu dengan heran.
"Ksatrya," kata Meng Ki "pikiranku sejalan dengan pikiran anda. Prajurit-prajurit pengawalku
memang prajurit-prajurit yang gagah perkasa, bertenaga besar dan mahir dalam peperangan.
Tetapi ilmu kesaktian seperti yang kumiliki tadi, mereka masih belum mampu melakukan.
Apabila kubebaskan mereka, mereka tentu akan menghadapi bahaya maut apabila diserang
oleh prajurit-prajurit Singasari yang berjumlah puluhan ribu itu. Tidakkah hal itu berarti aku
bahkan malah mengantar jiwa mereka ?"
Orang berkerudung itu mengangguk. Sesaat kemudian mulutnya mendesis pujian "Hebat benar
ilmu kesaktian tuan."
Meng Ki tertawa datar "Ya, ilmu semacam itu di negaraku disebut Soh-kut-kang atau ilmu
Menyusut-tulang." "O," sambut orang aneh itu "di negcriku sini juga terdapat semacam ilmu itu. Guruku
mengatakan bahwa dalam ilmu kesak an di tanah Jawadwipa, terdapat suatu ilmu yang disebut aji
Pangluluh " "Ya, ku percaya," kata Meng Ki "memang ksatrya dari Jawadwipa memiliki ilmu kesak an yang
nggi. Seper kulihat pada candi-candi di pura ini bangunannya mirip dengan candi negeri kami.
Dan candi-candi semacam itu adalah candi aliran Hindu dan Buddha. Kurasa sumbernya adalah di
Jambudwipa, (India)."
Orang aneh itu mengangguk "Ya, memang agama yang saat ini dianut oleh kerajaan Singasari
adalah aliran Tripaksa, ga aliran yani Syiwa, Buddha dan Brahma yang dipersatukan oleh seri
baginda" "Agama Buddha juga berkembang luas di negeriku. Di sana banyak didirikan kelenteng-kelenteng
sebagai tempat pemujaan agama itu."
Orang aneh itu mengangguk-angguk.
"Baiklah ksatrya," kata Meng Ki pula "pernyataanmu tadi akan kukabarkan kepada seluruh
ksatrya di negeriku dan akan kulaporkan kepada rajaku. Bahwa Singasari memiliki juga ksatrya -
ksatrya yang menjunjung nggi keadilan dan kebenaran. Pemberian obat dari anda ini akan
merupakan kenangan yang paling berkesan dalam hidupku."
"Baiklah," akhirnya orang aneh itu hendak mohon diri "kalau begitu akupun tak dapat berada di
sini lebih lama lagi ... "
"Tunggu," cepat Meng Ki mencegah ke ka orang aneh itu hendak pergi "bolehkah kuajukan
sebuah permohonan kepada anda ?"
"Silakan." "Agar dapat kukenang siapa ksatrya Singasari yang berani menerjang pagar tombak barisan
pedang dari penjaga-penjaga gedung tawanan, karena perlu hendak menemui rombonganku maka
kuminta anda suka membuka kain kerudung penutup muka anda agar aku dapat menyemayamkan
wajah anda dalam bingkai taman hatiku .... "
Orang berselubung kain hitam itu tertawa pelahan "Baiklah," ia terus menyingkap kain hitam
yang menutup wajahnya. "Ah .... bukan main," Meng Ki menghambur puji "tak pernah kusangka sedemikian elok wajah
tuan. Ah, andaikata baginda Kubilai Khan melihat wajah tuan, tuan pas akan diambil sebagai
putera menantu." "Terima kasih," ksatrya berwajah tampan itu segera menutup mukanya pula "yang kuharapkan
dari raja Kubilai Khan bukanlah puteri jelita atau hadiah permata berharga, melainkan suatu
harapan agar baginda dapat memiliki penger an yang dalam tentang kerajaan dan rakyat Singasari.
Kami adalah rakyat sebuah kerajaan yang cinta damai dan cinta kemerdekaan."
"Baiklah. Akan kuusahakan untuk mempersembahkan laporan kehadapan rajaku agar janganlah
sampai mbul peperangan dengan Singasari. Andaikata hal itu tak dapat dicegah, pun akan
kuusahakan hanya mereka-mereka yang bersalah sajalah yang harus dihukum, jangan sampai
mengorbankan kepentingan dan jiwa rakyat yang tak berdosa."
"Cukup tuan Meng Ki, aku mohon diri," dengan sebuah lompatan yang gesit, orang berkerudung
itupun sudah menghilang dari pandang mata.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 30 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Kulit manusia memang berbeda-beda dan dari perbedaan kulit dan tempat maka timbullah
pengelompokan bangsa. Tetapi manusia itu tetap satu jenis. Jenis mahluk yang memiliki
perasaan yang talus dan pikiran yang tajam.
Persamaan sifat-sifat manusia itu, menimbulkan pandangan, perasaan dan pemikiran yang sama
pula. Kejahatan, di mana-mana dan di kalangan bangsa apa pun dianggap jahat. Demikian halnya
dengan kebaikan dan kesucian.
"Ah, kiranya sifat ksatrya Singasari itu tak beda dengan ksatrya di negeriku," terlintas suatu
penilaian, dalam benak Meng Ki setelah ksatrya yang mukanya ditutup dengan kerudung hitam itu,
menghilang dari pandang matanya.
Dia masih tercenung, tercengkam dalam resung bayang-bayang peribadi ksatrya tadi. Tutur
katanya yang halus, keberaniannya yang luhur dan ketampanan wajahnya, masih melekat dalam
kesan. Namun apabila ia teringat akan perlakuan yang dideritanya dalam bangsal kencana pagi tadi,
meluaplah darahnya. Walaupun surat dari Kubilai Khan itu memang suatu hinaan tetapi daklah
pada tempatnya raja Singasari menumpahkan kemurkaan kepada seorang utusan.
Dan yang makin menimbulkan geram adalah ulah pa h Singasari yang bernama Aragani itu.
Betapa lancang pa h itu ber ndak tanpa mengindahkan kewibawaan raja. Dan yang membuatnya
heran, mengapa tampaknya raja Singasari menurut saja apa yang diputuskan pa h itu. Sebagai
seorang mentri kerajaan yang berpuluh tahun mengabdi junjungan, ia cepat memiliki pengamatan
yang tajam. Bahwa antara raja Singasari dengan pa hnya itu memang telah terjalin dalam
hubungan yang erat. Suatu hubungan yang melampaui batas-batas seorang pa h dengan raja
junjungannya. Apabila menuruti nafsu amarah, memang saat itu ingin ia melepaskan diri dari kungkungan
terali besi yang mengurung dirinya untuk kemudian meloloskan diri kembali kepada pasukannya
yang masih berada di perahu. Tetapi ia mempunyai lain pertimbangan.
Ia ingin tahu sampai di mana ndakan raja Singasari nan . Dengan buk -buk yang dideritanya
itu ia akan menghadap raja Kubilai Khan "Apabila melihat hukuman yang kuderita, tentulah raja
akan marah dan baru akan ber ndak menghukum raja Singasari. Kutahu bagaimana perangai seri
baginda Kubilai Khan itu. Beliau menghargai seorang mentri yang berani menderita bahaya waktu
melakukan tugas." Di samping per mbangan itu, kunjungan seorang ksatrya berkerudung muka tadi juga amat
mempengaruhi pikirannya. "Ah, apapun yang akan terjadi, akan kuhadapi dengan ha rela. Karena hal itu sudah menjadi
tanggungan dari seorang menteri yang diutus sebagai duta kerajaan," ia pejamkan mata
bersemedhi. ~dewi.kz^ismo^mch~ Demang Lebar Daun tengah bermusyawarah dengan para pujangga, sasterawan dan menteri-
menteri cendekia untuk memperbincangkan sikap Sriwijaya dalam menghadapi kedatangan
rombongan utusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya.
Jauh hari Demang Lebar Daun sudah menerima laporan dari mata-mata Sriwijaya yang sengaja
ditanam di Singasari tentang keberangkatan rombongan utusan Singasari ke tanah Malayu untuk
menyerahkan pemberian baginda Kenanagara yani patung Amogapasha.
Apakah sesungguhnya yang tersimpul pada tujuan pengiriman utusan dari Singasari itu "
Demikian pertanyaan yang mencengkam hati Demang Lebar Daun.
Demang Lebar Daun itu seorang pa h mangkubumi yang luas pengalaman, nggi pengetahuun
dalam masalah tata kenegaraan dan memiliki pandangan yang jauh dan naluri tajam. Jika dahulu
kerajaan Singasari mempunyai seorang pa h yang bernama empu Raganata, adalah ibarat kerajaan
Sriwijaya mempunyai seorang patih Demang Lebar Daun.
Tetapi walaupun terdapat persamaan dalam hal kepandaian, daklah demikian dalam nasib
mereka. Bila Demang Lebar Daun mendapat kepercayaan penuh dari raja Tribuana Mauliwarman,
raja Sriwijaya, daklah demikian dengan nasib pa h Raganata. Baginda Kertanagara lebih menaruh
kepercayaan kepada pa h Aragani daripada empu Raganata yang setya. Empu Raganata telah
dipindah menjadi Adhyaksa di Tumapel dan kedudukan patih diberikan kepada Aragani.
Bila air keruh, ikanpun tak tampak. Demikian apa yang dirasakan Demang Lebar Daun saat
itu. Perasaan resah gelisah, menyebabkan pikirannya merasa gelap untuk mengulas, menilai
dan menarik kesimpulan dari makna kedatangan utusan Singasari ke tanah Malayu itu.
Sebenarnya Demang Lebar Daun seorang yang pandai dan cendekia. Namun ia tak kuasa untuk
menyegarkan kembali pikirannya yang sudah lesu lusuh akibat ap malam tak dapat dur karena
memikirkan masalah itu. Akhirnya mbullah hasrat Demang Lebar Daun untuk memanggil seorang ahlinujum. Di depan
musyawarah mentri hulubalang dengan Demang Lebar Daun, ahlinujum itu diminta memberikan
keterangan tentang nujum yang disimpulkannya menurut peredaran bintang.
"Tuanku," kata nujum itu "kerajaan Sriwijaya akan diserang oleh sebuah kerajaan besar dari
Jawa-dwipa. Serangan itu tak mungkin ditolak Sriwijaya ... "
"Tidak mungkin," seru Demang Lebar Daun "selama hayat masih dikandung badan, Demang
Lebar Daun bersumpah takkan merelakan Sriwijaya dikuasai kerajaan Singasari atau kerajaan
lain dari Jawadwipa. Bahkan kebalikannya, kerajaan Singasari saat ini sedang diambang pintu
keruntuhan." Demang Lebar Daun tak kuasa menahan luap perasaannya sehingga di depan sidang musyawarah
itu ia sampai mengatakan tentang keadaan Singasari. Sesungguhnya, ia hendak membantah nujum
yang diucapkan ahlinujum itu dan tanpa disadari diapun telah meluncurkan kata-kata tentang
Singasari. "Dhirgayu Sriwijaya ! Dhirgayu Darmasraya! " Terdengarlah ledakan teriak dari beberapa
hulubalang menyambut ucapan Demang Lebar Daun. Bahkan hulubalang-hulubalang itu serempak
menyertakan tangan yang dikepal dan diacungkan ke atas seraya melantang. "Lebih baik mayat
kami menimbuni bumi Sriwijaya daripada bumi ini diinjak orang Singasari."
Ahlinujum yang putus dalam ilmu perbintangan itu mendesuh, "Tetapi, ah ....."
"Mengapa maharesi ?"
"Kodrat dewata Agung tak mungkin diingkari. Sudah menjadi kehendak Hyang Maha Agung
bahwa orang-orang Singasari akan dapat menginjakkan kakinya di bumi Sriwijaya .... "
"Maharesi ?" seru Demang Lebar Daun "tidakkah khilaf wiwaaan tuan itu?"
Maharesi itu hanya gelengkan kepala.
"Sudilah kiranya tuan melihat lagi nujum tuan itu. dengan seksama, maharesi."
"Sudah tuanku," sahut maharesi perujum itu "rasanya tak mungkin akan salah. Kulihat sebuah
bintang bersinar dari arah tenggara, dengan di bawah lindungan Jiwa dan telah masuk perumahan
bulan Pusya .... ah, tak mungkin bintang itu dicegah pula. Tetapi tuanku .... "
"Bagaimina maharesi " " Demang Lebar Daun agak terkejut.
"Bintang itu tidak bersinar merah, pertanda takkan membawa pertumpahan darah."
"Maksud tuan?" Demang Lebar Daun menegas.
"Walaupun bintang bersinar itu akan masuk ke perumahan bulan namun takkan terjadi
peperangan. Melainkan suatu serangan yang akan membawa kebahagiaan bagi kerajaan Sriwijaya,
tuanku." Demang Lebar Daun terbeliak. Dahinya mengerut kesal "Aku tak menger apa yang tuan
maksudkan." "Apabila ada bintang bersinar yang nyelonong keluar dari garis Yoga atau garis lingkaran tempat
matahari dan rembulan, kemudian bintang bersinar itu memasuki perumahan bulan, pas lah akan
terjadi suatu peristiwa besar," menerangkan maharesi ahlinujum itu.
"O"." "Apabila bintang itu memancarkan sinar merah darah, pertanda akan mbul peperangan. Tetapi
apabila bintang bersinar itu memancarkan sinar pu h kebiru-biruan, pertanda akan terjadi ikatan
hubungan antara penyerang dengan yang diserang atau tetamu dengan tuanrumah."
"Hubungan bagaimana yang tuan maksudkan?"
"Ikatan hubungan keluarga, tuanku."
Seri wajah Demang Lebar Daun berobah, serunya "Engkau maksudkan kedatangan rombongan
orang Singasari yang dikepalai raden Wijaya itu akan meminang cucuku puteri Candra Dewi ?"
"Demikianlah sudah menjadi kehendak takdir, tuanku," kata ahli nujum "raden Wijaya seorang
ksatrya utama, gagah perkasa dan berbudi luhur. Dia adalah keturunan Batara Narasingamurti,
cucu sang Rajasa Amurwabhumi rajakulakara kerajaan Singasari."
"Bintang bersinar gilang gemilang dilindungi oleh Jiwa," maharesi itu melanjut pula "berar
bahwa ksatrya yang akan berkunjung ke Sriwijaya itu kelak akan menjadi manusia besar."
"O," Demang Lebar Daun terkejut "manusia besar. Raja maksud tuan ?"
"Ya," sahut maharesi "seorang raja besar yang akan memerintah seluruh Jawadwipa bahkan
kekuasaannya akan meliputi seluruh nusantara."
"Ah," desah Demang Lebar Daun "benarkah dia akan meminang cucuku ?"
"Kiranya hamba tak meragukan hal itu, tuanku," sahut maharesi "tuan puteri Candra Dewi kelak
akan menjadi permaisuri dan akan menurunkan putera yang akan menjadi raja besar dari kerajaan
Jawadwipa." "Ah," Demang Lebar Daun tertegun sejenak lalu bertanya "dan bagaimana dengan cucuku Dara
Jingga ?" "Kedua tuan puteri itu akan dibawa ke Singasari semua."
"Akan di peristeri raden Wijaya ?"
"Pinangan itu diperuntukkan raja Singasari."
"Ah, raden Wijaya bukan raja, dia hanya seorang ksatrya," tanggap Demang Lebar Daun "adakah
raja Singasari itu yang akan meminang?"
"Demikian apabila menurut nujum hamba," kata maharesi "tetapi nasib akan menentukan lain."
"Ah." Demang Lebar Daun terperangah "sukalah tuan memberi keterangan."
"Sebelum raja Singasari dapat melaksanakan hajat untuk menikahi kedua puteri cucu tuanku,
Singasari mengalami perang besar dan raja Singasari itu akan gugur. Kerajaan Singasari akan
musnah dan akan timbul pula sebuah kerajaan baru yang lebih besar dan lebih jaya."
"Jika demikian kedua cucu puteriku itu akan menjadi permasuri dari raja baru itu ?"
Maharesi gelengkan kepala "Se ap insan sudah membawa nasib sendiri-sendiri. Walaupun
saudara sekandung, daklah akan sama nasibnya. Hamba lihat tuan puteri Candra Dewilah yang
kelak akan menerima wahyu dari dewata sehingga tuan puteri akan menjadi permaisuri dan kelak
puteranyapun akan dinobatkan sebagai putera mahkota."
"Ah," Demang Lebar Daun menghela napas longgar dan haru. Ia merasa gembira dan bersyukur
akan nasib puteri Candra Dewi. Tetapi ia terharu apabila memikirkan nasib cucunva yang lain,
puteri Dara Jingga "Ah, betapa iba ha ku akan nasib cucuku yang seorang itu," gumamnya penuh
haru. "Mengapa tuanku bersedih ha ?" kata maharesi itu "kita harus menerima dan bersyukur atas
segala ketentuan yang telah dilimpahkan dewata Agung. Akan diri tuan puteri Dyah Dara Jingga,
kelak pun akan menikah dengan seorang dewa dari bumi Malayu ini. Puteripun akan menurunkan
seorang putera utama yang kelak akan mencuatkan keharuman nama yang menyerbak ke seluruh
jagad." "Ah," kembali Demang Lebar Daun menghela napas. Kali ini bernada longgar. Kemudian ia
bertanya lebih lanjut tentang nama kerajaan yang akan timbul menggantikan kerajaan Singasari.
"Soal nama, hamba belum pas . Tetapi yang jelas kerajaan baru itu akan lebih besar dan lebih
jaya." "Benarkah raden Wijaya itu kelak yang akan mendirikan kerajaan baru Itu?"
"Sesungguhnya rahasia alam itu tak dibenarkan untuk diungkap. Cukuplah kiranya hamba
katakan bahwa raden Wijaya itu kelak akan menjadi seorang mahanusia yang termasyhur. Dan
telah digariskan oleh Hyang Dewata Agung bahwa tuan puteri Candra Dewi akan menjadi jodoh
dan raden Wijaya. Mereka akan dikaruniai seorang putera yang akan memerintah Jawadwipa."
Walaupun tidak jelas. Demang Lebar Daun yang arif, pun sudah dapat mengetahui apa yang
tersimpul dalam jawaban maharesi itu. Namun, rupanya ia masih belum puas dan menanyakan
pula akan kelanjutan dari kerajaan baru itu nanti.
"Ampun tuanku," kata maharesi "nujum hamba hanya terbatas sampai di situ. Jika tuanku
berkeniat hendak mengetahui, hamba mohon diberi waktu barang sepurnama untuk memohon
ilham kepada Dewata."
"Baik, maharesi," kata Demang Lebar Daun "tuan amat berjasa memberikan keterangan
kepadaku. Keterangan tuan itu besar sekali gunanya bagi kepentingan Sriwijaya."
Kemudian Demang Lebar Daun menitahkan sentana untuk mengantarkan maharesi itu ke
pertapaan. Sepeninggal maharesi ahlinujum dari balairung maka masuklah seorang sentana ke hadapan
Demang Lebar Daun. Sentana itu melaporkan tentang kedatangan dua orang mata-mata Sriwijaya
yang ditugaskan ke Singasari.
"Bawa mereka kemari," titah Demang Lebar Daun. Tak lama prajurit masuk dengan mengiring dua
orang yani Siborang dan kawannya.
"Adakah berita dari Singasari yang hendak engkau haturkan?" tegur Demang Lebar Daun.
"Benar, tuanku," kata Siborang "hamba berhasil menemui pa h Aragani dan beliau telah
menyerahkan sepucuk surat ke hadapan paduka."
Demang Lebar Daun menitahkan seorang pengawalnya untuk menerima surat itu dan
membacanya. Pengawal itupun menerima surat dari Siborang lalu-membacanya :
Surat menjelang ke hadapan sahabat kami, Demang Lebar Daun di negara Sriwijaya puraresi.
Atas anjuran kami, baginda Kertanagara telah mengirim dua rombongan perutusan yang terdiri
dari mentri, hulubalang dan pasukan kerajaan Singasari.
Rombongan kesatu, dipimpin oleh pa h Kebo Anengah untuk menghantarkan tuan puteri Dyah
Tapasi adinda baginda, kepada raja Campa.
Rombongan kedua, dikepalai raden Wijaya, calon menantu baginda Kertanagara, mengantarkan
arca Amoghapasa kepada raja Warmadewa di negeri Malayu.
Dengan keberangkatan kedua rombongan besar itu maka pura Singasari dewasa ini dapat dikata


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong. Bagindapun telah menyetujui usul kami untuk mengirim pangeran Ardaraja, putera raja
Daha yang menjadi putera menantu baginda Singasari, membawa pasukan yang masih tersisa di
Singasari, berangkat ke Bali untuk menenteramkan pemberontakan di sana.
Pangeran Ardaraja diragukan kesetyaannya terhadap baginda Kertanagara. Pangeran itu lebih
cenderung akan berfihak kepada ramandanya sendiri, raja Jayakatwang.
Hanya raden Wijaya seorang yang paling gigih dan setya membela Singasari. Maka lelapkan
perha an raden itu dengan sambutan yang mewah di negeri tuan. Dan segeralah siapkan pasukan
untuk menerkam Singasari. Janganlah tuan berbanyak ha akan laporan yang sungguh-sungguh
dari Aragani gelar Kebo Tengah sang Apanji, sahabat tuan yang setya.
Demikian semoga tuan berkenan menerima usul dari kami, sahabat sekutu Sriwijaya Aragani
gelar Kebo Tengah sang Apanji.
Demang Lebar Daun mengangguk dalam-dalam. Ia menganggap laporan yang mengandung
anjuran untuk menyerang Singasari itu memang pen ng sekali tetapi pun amat gawat. Ia tak mau
tergesa bertindak sebelum mendapat keterangan yang meyakinkan.
Menggerakkan pasukan besar untuk berperang, bukan suatu gerakan mengerahkan pasukan
untuk berbaris di alun-alun seperti pada tiap hari upacara kerajaan. Perang bukan suatu permainan
anak-anak. Perang adalah suatu gerakan besar yang akan menelan beaya besar dan pengorbanan
dahsyat. Menyerang Singasari tidaklah semudah yang dibayangkan patih Aragani dalam anjurannya
itu. Singasari adalah sebuah kerajaan yang terbesar di Jawadwipa. Pasukan Pamalayu dari
Singasari telah menunjukkan keperkasaan dalam tugas untuk menguasai raja-raja Malaya.
Sebuah kerajaan yang mampu mengirimkan pasukan besar dengan mutu yang tinggi, tentulah
bukan suatu kerajaan yang lemah. Walaupun seperti yang dikatakan patih Aragani bahwa
dewasa itu pura Singasari kosong dan lemah kekuatannya, namun masih ada seri baginda
Kertanagara yang sakti dan pandai. Apabila serangan ke Singasari itu gagal maka tak
terperikan akibatnya. Berpuluh ribu jiwa prajurit Sriwijaya akan hilang. Dan rasanya tidak akan
habis sampai di situ. Pun kerajaan Singasari tentu akan mengirim pasukan untuk balas
menyerang Sriwijaya. Bukankah pasukan Pamalayu dibawah pimpinan senopati Kebo Anabrang
sekarang masih berada di Swamadwina" Bukankah pasukan Pamalayu itu setiap taat dapat
dititahkan raja Kertanagara untuk menyerang Sriwijaya "
Demang Lebar Daun menghela napas dalam -dalam. Layang pikirannya melanjut pula untuk
memawas keadaan dalam negeri Sriwijaya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini ia memang
kurang memperha kan untuk membangun kekuatan Sriwijaya. la lebih banyak mencurahkan
tenaga dan pikiran untak membangun vihara dan rumah-rumah suci dalam rangka
mengembangkan agama Buddha aliran Hinayapa. Di atas Bukit Siguntang telah didirikan sebuah
candi yang megah, sebagai lambang pemujaan aliran Hinayana. Kemegahan kebesaran Bukit
Siguntang yang merupakan candi terbesar di seluruh Sriwijaya, memakan beaya, tenaga dan pikiran
yang dabsyat. Hampir harta benda dalam gudang negara, telah tercurah mengalir ke Bukit
Siguntang. Segala anggaran belanja untuk berbagai kementerian, telah susut dihisap ke arah
anggaran mengembangkan agama Buddha-Hinayana dengan Bukit Siguntang sebagai pusat
lambang kebesarannya. Hanya Demang Lebar Daun yang tahu akan hal itu. lapun bimbang memper mbangkan anjuran
patih Aragani. Anjuran itu memang cukup menarik, memiliki daya rangsang yang memikat.
"Siborang, benarkah pada saat ini pura Singasari kosong ?" Demang Lebar Daun mencari
penegasan kepada Siborang, mata-mata yang diutus menyelundup ke Singasari untuk menemui
patih Aragani. "Benar tuanku" sembah Siborang "dewasa ini Singasari tak ubah seper kayu yang dimakan
bubuk. Di luar tampak kokoh tetapi di dalam lapuk. Sekali di up angin, tentu akan roboh. Raja
Kertanagara telah dilelapkan dalam sanjung puji, merangkai syair dan menikma tuak oleh pa h
Aragani. Tiap ha baginda hanya bermabuk-mabukan, mengikat syair dan membenamkan diri
dalam sumber falsafah agama Tantrayana dimana baginda telah mengangkat diri sebagai Jina."
"Sedemikian dalamkah baginda terbenam dalam kesenangan duniawi" "
"Benar tuanku," sembah Siborang "dan apa yang dikatakan pa h Aragani memang benar. Saat ini
pura Singasari memang kosong melompong bagai rumah tiada penghuni."
Demang Lebar Daun pejamkan mata, membawa keterangan pengalaman itu ke dalam lubuk
pertimbangan. "Benarkah terjadi perobahan dalam tubuh pemerintahan Singasari dengan dilorot dan
dipindahkannya beberapa mentri tua ?" tanya Demang itu pula.
"Benar tuanku," sahut Siborang "Demang Banyak Wide telah dipindah ke Sumenep, tumenggung
Wirakre pimpinan pasukan kerajaan, dilorot menjadi mentri Angabaya. Dan yang paling parah
adalah pemecatan pa h tua empu Raganata, pa h yang setya, bijaksana dan berpengaruh di
kalangan kawula singasari, pun telah digeser menjadi adhyaksa di Tumapel. Pada hal ke ga mentri
itu merupakan tulang punggung kerajaan Singasari yang setya."
"Ah," desah Demang Lebar Daun "pa h empu Raganata itu seorang pa h yang setya dan
bijaksana, luas pengetahuan dan cendekia. Mengapa baginda tak menghargai jasanya ?"
Walaupun keadaan itu bagi Sriwijaya merupakan pcrobahan yang baik, namun dalam ha nurani
Demang Lebar Daun dia amat menyesalkan ndakan baginda Kertanagara yang tak dapat
menghargai seorang mentri setya. Diam-diam pula Demang bersyukur dalam ha , bahwa dia tak
usah mengilami nasib seperti patih Raganata.
"Benarkah raden Wijaya diutus ke Malayu dan pangeran Ardaraja hendak dikirim ke Bali lagi ?"
tanya Demang lebih lanjut.
Siborang membenarkan keterangan itu "Menurut wawasan hamba, pangeran Ardaraja memang
lebih cenderung berfihak kepada ramandanya raja Daha. Hanya raden Wijayalah satu-satunya
banteng Singasari yang menakutkan. Namun raden itu atas usul pa h Aragani, pun telah diutus ke
Malayu. Pada hemat hamba saat inilah yang terbaik apabila paduka tuanku hendak menyerang
Singasari." Laporan Siborang cukup jelas. Setelah menitahkan pengatasan itu pulang maka Demangpun
melanjutkan pula permusyawarahannya dengan para mentri dan hulubalang.
Laporan Siborang itu telah mendapat gema tanggapan yang lebih hebat daripada nujum miharesi
tadi. Baik laporan Siborang maupun nujum sang maha-resi, memiliki persamaan dalam
memberitakan tentang kedatangan utusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya ke tanah Malayu.
Jadi berita kedatangan itu tak perlu disangsikan lagi.
Hanya dalam langkah yang harus diper mbangkan Sriwijaya terhadap kedatangan utusan
Singasari itu, terdapatlah dua arah berlainan antara laporan Siborang dengan nujum sanj resi.
Laporan Siborang mengumandangkan suara raung sangsakala agar Sriwijaya segera
mempersiapkan pasukan dan menyerang Singasari. Sedangkan nujum sang resi mengatakan bahwa
kedatangan raden Wijaya itu takkan membawa malapetaka pertumpahan darah melainkan
kebalikannya malah akan membawa kebahagiaan pada kerajaan Sriwijaya. Menurut sang resi,
raden Wijaya itu kelak bakal menjadi raja besar dan menurut kodrat yang ditentukan Hyang Batara
Agung, puteri Candra Dewi atau Dara Petak itu memang akan menjadi jodoh raden Wijaya.
Setelah beberapa mentri dan senopa memberi ulasan dan pendapat mengenai persoalan itu
maka Demangpun segera menentukan siasat.
"Untuk mengirim pasukan menyerang Singasari, memang berbahaya. Pasukan Pamalayu dari
Singasari yang kini berada di Malayu, merupakan ujung tombak yang selalu mengancam Sriwijaya.
Pasukan Pamalayu itu berkekuatan besar. Jarak antara Sriwijaya dengan Singasari terpisah dengan
lautan yang cukup jauh, sedang pasukan Pamalayu itu sudah berada di balik punggung kita.
Sebelum kita sempat bergerak, mereka tentu sudah menikam kita," kata Demang.
Sekalian mentri dan hulubalangpun tertegun dalam ha . Apa yang diuraikan pa h mangkubumi
itu memang suatu kenyataan.
"Oleh karena itu adalah suatu kebijaksanaan yang tepat apabila kita dapat bersikap tenang. Yang
pen ng adalah menjaga keselamatan negara kita. Untuk sementara ini, pemikiran untuk
menyetujui anjuran pa h Aragani dan laporan Siborang, baik kita tangguhkan dulu sampai ba
waktunya yang sesuai. Dengan demikian kita dapat terhindar dari malapetaka. Yang dikandung
berceceran, yang diburu tiada dapat!"
Keputusan Demang itu telah disambut dengan penuh dukungan oleh para mentri hulubalang.
Demang pun mengeluarkan perintah untuk mengerahkan seluruh prajurit Sriwijaya bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dari kedatangan rombongan utusan Singasari
itu. Apabila utusan itu membawa i kad baik, mereka akan disambut dengan penuh persahabatan
dan bahkan raden Wijaya akan dielu-elu dalam suatu penyambutan yang sedemikian rupa sehingga
raden itu akan terlelap pikirannya di bumi Sriwijaya.
"Segala sesuatu akan tergantung pada perkembangan suasana nan ." Demang Lebar Daun
mengakhiri pembicaraannya dan membubarkan perapatan.
Demang itu masih termangu mangu walaupun ruang persidangan sudah sunyi orang. Tiba- ba
mbul keinginannya untuk beriziarah ke gunung Dapunta Hyang atau Bukit Siguntang. Di puncak
Bukit Siguntang terdapat sebuah asrama vihara yang terbesar di seluruh Sriwijaya. Vihara itu
dinamakan Cundamani- warman dan di kepalai oleh abimana- uttungga Smaranatha.
Demang Lebar Daun seorang penganut setya dari Buddha Hinayana. Dia percaya bahwa Sang
Hyang akan memelihara dan melindungi kerajaan Sriwijaya yang menjadi pusat kemurnian agama
Buddha. Dia hendak bersemedi memohon berkah.
Demang itu hampir enampuluh tahun usianya. Tubuhnya kurus lampai. Rambut dan jenggotpun
sudah memu h. Hidung mancung tetapi bukan sebagai orang Arab melainkan bentuk orang Hindu.
Darahnya keturunan campuran Funifi dan Arya. Pandang matanya amat tajam bila menatap orang.
Ia naik tandu yang dipikul empat orang pengawal dan diiring enam prajurit berpakaian biasa,
ke ka mendaki ke puncak Bukit Siguntang yang keramat. Kelengangan suasana gunung yang sunyi,
meluangkan pikiranya untuk merenungkan kesimpulan dari makna kunjungan raden Wijaya ke
tanah Malayu itu. "... ada dua tujuan yang tersimpul dari perutusan Singasari itu. Raja Kertanagara mempunyai
tujuan dan raden Wijaya juga mempunyai maksud sendiri. Dengan mengirimkan arca Amogapasa
itu raja Kertanagara hendak berusaha memperluas perkembangan, aliran Mahayana di bumi
Sriwijaya. Apabila rakyat Sriwijaya sudah bergan pada aliran Mahayana maka merekapun tentu
akan menganggap Kertanagara sebagai Jina. Tanpa suatu peperangan yang mengucurkan darah,
Sriwijaya pasti akan tunduk kepada Singasari.... "
".... sedang raden Wijaya menerima tugas mengepalai perutusan itu karena akan mendapat
kesempatan untuk melahirkan renung hatinya kepada puteri Candra Dewi .... "
"... aliran Buddha Hinayana telah kuresapkan kepada seluruh rakyat Sriwijaya. Beberapa tahun
ini, hampir kesibukan kehidupanku dalam usaha untuk mengembangkan agama itu. Lebih
kupen ngkan pembangunan vihara, kuil dan candi daripada memperbesar pasukan. Lebih
kunikmatkan ngkat kehidupan para resi dan pandita daripada kaum perwira dan prajurit.
Hirayana tak boleh lenyap dan Sriwijaya yang akan menjadi sumber pancaran aliran itu. Kiranya
sukar bagi Kertanagara untuk merembeskan aliran Mahayana ke bumi ini ..... "
Demang itu kerutkan dahi, kencangkan geraham sebagai pantulan dari keyakinan hatinya.
".... tetapi kedatangan raden Wijaya itu, ah ..... apabila kutentang maksud hatinya terhadap
cucuku Candra Dewi, tentulah akan terjadi pertumpahan darah yang besar. Jika nujum dari
sang resi itu jelas mengatakan bahwa kelak raden Wijaya itu akan menjadi manusia besar di
Jawadwipa. Apalagi yang dimaksud dengan manusia besar kalau bukan raja yang berkuasa
besar. Dan kata nujum sang resi itu, kerajaan Singasari akan hancur dan diganti dengan sebuah
kerajaan baru yang jauh lebih besar dan jaya. Daha bukan kerajaan baru. Yang dimaksudkan
kerajaan baru yalah kerajaan yang belum ada dan akan timbul. Ah, jika demikian, raden Wijaya
itulah yang kelak mendirikan kerajaan baru di Jawadwipa setelah Singasari hancur. Apabila
Candra Dewi menjadi permaisuri, kelak tentu puteranya akan diangkat sebagai putera mahkota.
Seorang putera mahkota keturunan darah raja Malayu akan berkuasa memerintah sebuah
kerajaan besar di Jawadwipa. Ah, telah meresap dalam kalbu hati Candra akan ajaran agama
Hinayana itu namun akan kupesan kepadanya agar kelak dia dapat mempengaruhi puteranya
untuk menegakkan faham Hinayana. Hinayana tetap berkembang di Sriwijaya dan akan tumbuh
menyubur di kerajaan Jawadwipa, ah ... "
Demang itu mengakhiri renungannya dengan helaan napas panjang. Helaan napas yang longgar
walaupun masih belum bersih sama sekali dari bayang-bayang kecemasan.
Perjalanan iring-iringan tandu makin mencapai puncak bukit. Dan tak berapa lama tibalah
Demang di candi yang ditujunya.
Candi Cundamani-warman merupakan pusat sumber agama Buddha aliran Hinayana di seluruh
kerajaan Sriwijaya. Pembangunan candi itu memakan waktu hampir seratus tahun lamanya. Se ap
raja yang memerintah di Sriwijaya tentu akan membina dan melanjutkan pembangunan candi itu.
Pemeluk agama Hinayana dari segenap negeri atas angin, berbondong bondong mengunjungi candi
besar itu. Mereka datang untuk menuntut ilmu dan mempersembahkan dana, patung, arca dan benda-
benda kelengkapan candi yang jarang terdapat di dunia. Kesemuanya itu dipersembahkan untuk
menyemarakkan kebesaran dan keagungan candi agung di Bukit Siguntang.
Asrama vihara di candi Cundamani-warman itu diperuntukkan tempat kediaman berpuluh ribu
pandita yang diketuai maharesi Smaranatha. Beratus ratus pondok pun dibangun untuk
menampung beribu-ribu murid yang berdatangan dari negeri Cima, Kamboja dan negeri -negeri
sekitar gunung Himalaya atau Mahamcru.
Ke ka malam itu Demang Lebar Daun menginjakkan kaki di halaman candi, tertegunlah ia
sejenak menyaksikan kemegahan patung dan arca yang berjajar menghias halaman candi, la
mengangguk bahagia. Tiba- ba pandang matanya terbentur pada sebuah patung besar yang belum selesai
pahatannya. Seketika menyalanglah matanya ..... patung Aksobya !
Aksobya adalah salah satu dari kelima Buddha-Dhyana yang dipuja oleh kaum Mahayana.
Sedangkan kaum Hinayana tak memuja lain Buddha kecuali sang Buddha Gautama sendiri.
Tetapi mengapa di candi Bukit Siguntang yang menjadi pusat perkembangan aliran Hinayana
terdapat pula sebuah patung Aksobya" Terkesiaplah Demang Lebar Daun, penganut, setya,
pendukung kokoh dan penegak gigih dari Mahayana ....
Lebih terkejut pula ke ka pada saat itu, telah muncul beberapa belas pandita berjubah kuning
yang berjajar tegak dihadapannya dengan sikap yang menghormat. Rupanya merekapun terkejut
atas kedatangan Demang yang tak mengabarkan lebih dahulu.
Memang sudah berbulan-bulan lamanya Demang tak pernah berkunjung ke candi situ. Apalagi
kunjungan Demang saat itu dilakukan pada waktu tengah malam.
"Kami menghaturkan hormat selamat datang ke hadapan paduka, tuan pa h," seru para pandita
itu dengan hormat. Demang Lebar Daun membalas dengan ucapan dan sikap yang dingin.
"Rupanya banyak terjadi perobahan pada candi ini, tuan-tuan pandita " seru Demang Lebar Daun
" sa? yang perobahan itu dilakukan secara diam-diam untuk meloloskan diri dari pengetahuanku."
Walau diucapkan dengan nada datar dan tenang namun para pandita itu cukup maklum apa
yang dimaksud Demang, patih mangkubumi yang memegang pusara pemerintahan Sriwijaya itu.
"Tuan pandita sekalian," kata Demang pula seraya menghampiri ke tempat patung Aksobya yang
belum selesai pembuatannya itu "patung apakah gerangan yang tuan-tuan hendak tegakkan
sebagai lambang pemujaan ini " "
Para pandita itu tertegak bagai patung. Mereka menjawab pertanyaan Demang dengan pandang
mata paserah. Mereka menyadari bahwa pembuatan patung Aksobya itu jelas bertentangan
dengan perintah Demang Lebar Daun yang menganut faham Hinayana.
Demang Lebar Daun memandang lekat pada patung itu. Walaupun bentuk wajahnya belum
selesai keseluruhannya namun Demang sudah cukup mengetahui apa bentuk patung itu.
Sejenak kemudian terdengar demang menghela napas panjang dan dalam, "Ah, rupanya letusan
gunung Mahameru di Jawadwipa telah terbawa pawana sehingga debunya berhamburan jatuh di
bukit Siguntang ... "
Kemudian Demang menundukkan kepala berdiam diri. Ia menyadari apa yang dihadapinya saat
itu. Jelas bahwa pengaruh aliran Mahayana telah menyusup secara diam-diam ke asrama vihara
Bukit Siguntang pusat sumber aliran Hinayana.
Tanpa berkata sepatah pun, Demang segera ayunkan langkah menuju ke pesanggrahan Sri-
Kashitra. Keenam prajurit pengiringnya, pun segera mengiringkan langkah sang Demang.
Pesanggrahan Sri-Kashitra terletak di luar lingkungan candi agung Cundamani-warman. Sebuah
pesanggrahan yang khusus diperuntukkan apabila baginda, Demang Lebar Daun atau tetamu agung
dari manca-nagara berkunjung ke Bukit Siguntang. Pesanggrahan itu dilengkapi dengan taman
bunga yang indah asri, kolam-kolam bunga padma dan dilingkungi alam pemandangan yang sejuk
damai. Maka duduklah Demang di beranda sebuah pagoda kecil yang terletak di tengah kolam. Rupanya
ia ingin mendinginkan api kemurkaannya terhadap peristiwa di candi Cundamani-warman tadi.
Pelayan yang menjaga pesanggrahan segera mempersembahkan seperangkat alat minum terbuat
daripada ukiran perak yang indah. Dan sebuah kotak kayu cendana bersalut ukiran emas. Kotak itu
berisi berpuluh batang rokok lin ngan daun nipah muda dan tembakau daun candu. Itulah
kegemaran Demang di kala dia sedang kusut pikiran dan hendak mencari ketenangan.
Pa h mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya itu duduk termenung seorang diri. Berulang kali
dihembuskannya asap rokok ke permukaan air kolam. Ia mengiringkan pandang matanya ke arah
gulung-gulung asap berbentuk lingkaran yang melayang-layang bagaikan tebaran bunga di
permukaan air. Seolah dia hendak mencari sesuatu dalam gumpalan asap itu. Sesuatu yang
mungkin akan memberi jawaban pada persoalan yang tengah menghimpit rongga dadanya.
Demikianlah adat kebiasaan Demang di kala ia menghadapi persoalan yang mempepat
pikirannya sampai buntu. Ia akan menyingkir dan menyendiri, tak mau diganggu. Dayang dan para
pengiringnya tak berani mengusik. Mereka sudah tahu akan kebiasaan Demang. Mereka hanya
menunggu di luar. "Ah," ia menghembus napas "ternyata raja Kertanagara sudah berhasil menembus kekuatan
Sriwijaya. Dia dak mengirimkan pasukan besar untuk memerangi melainkan dengan mengirim
utusan-utusan yang membawa bingkisan dan patung Syiwa kepada Sriwijaya. Untuk mempererat
persahabatan dan memperkokoh perdamaian diantara Singasari dan Sriwijaya, demikian ucapan
yang dipersembahkan para utusan itu kepada baginda Tribuana Mauliwarman. Tetapi di balik
ucapan-ucapan yang manis itu bukanlah madu yang kita dapatkan melainkan tuak yang beracun.
Memang manis rasanya tuak tetapi akhirnya hancurlah kesadaran pikiran kita. Salah satu buk dari
siasat Singasari ialah keadaan para pandita dari candi Cundamani-warman ini. Mereka telah
terminum tuak beracun. Mereka kehilangan pegangan, kabur pendirian dan goyah keyakinannya ....
" Setelah menemukan sesuatu dalam penilaiannya atas maksud kunjungan perutusan Singasari
maka Demangpun melanjutkan renungannya pula.
"Apabila aliran Mahayana berhasil menebarkan pengaruh kepada para pandita dan rakyat maka
akan terjadilah suatu pemberontakan tanpa berdarah di kerajaan Sriwijaya. Rakyat Sriwijaya tentu
akan berpaling ke Singasari dan menganggap Kertanagara sebagai jina. Tanpa melakukan serangan,
tanpa mengobarkan peperangan, Sriwijaya dapat ditundukkan Singasari. Rakyat tak menghiraukan
baginda Tribuana dan akan mendepak pula pa h .... aku ! Hai, betapa berbahaya serangan halus
dari Kertanagara itu. Jauh lebih berbahaya daripada serangan dengan kekuatan senjata."
Demang Lebar Daun terperangah dalam cengkam kesiap dan kejut, di kala menemukan tabir yang
menyelimu maksud Kertanagara mengirim utusan ke tanah Malayu itu. Jika demikian, benarlah
pendapat hulu-balang Hang Balbila tadi yang mengnjurkan agar menuru anjuran pa h Aragani


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siasat pertahanan yang paling baik adalah menyerang," demikian keterangan hulubalang Hang
Balbila di dalam persidangan tadi.
"Mengapa tak kuterima pendapat hulubalang itu" Mengapa aku mencemaskan kekuatan
pasukan Sriwijaya sendiri" Jika Singasari kuserang, rombongan utusan Singasari itu tentu akan
bergegas pulang ke Singasari. Perembesan aliran Mahayana tentu dapat dibendung. Soal kalah" Ah,
sudah wajarlah kalau dalam peperangan itu, jika dak menang tentu kalah. Tetapi yang pen ng
ma membela agama adalah ma syahid," demikian luap perasaan Demang yang memberontak
dalam hatinya. Demang membiarkan luap kegeraman, kemarahan dan kedengkian berhamburan bagaikan
air bah yang menggenangi lubuk hatinya. Setelah beberapa saat kemudian dan luap
perasaannya itu agak reda, pikirannya pun makin tenang.
Lalu ia teringat akan surat pa h Aragani yang disampaikan Siborang. Setelah meni kembali
bunyi surat itu, perha annyapun terpaku pada anjuran pa h Aragani mengenai raden Wijaya "Ya,
benarlah pa h itu. Raden Wijaya harus di benam dalam buaian asmara. Dia harus disiksa ba nnya
sehingga seluruh perha annya lenyap kecuali hanya merindukan cucuku puteri Candra Dewi.
Apabila pimpinannya sudah lupa daratan maka mudahlah membenamkan anak pasukan Singasari
itu ke dalam lumpur sungai Musi .... "
Wajah Demang memercik sinar terang dan gundu matanyapun berkilat. Berulang kali rokok
dihisap panjang panjang lalu dihembuskan ke permukaan air kolam. Dalam sekejap saja permukaan
kolam itupun penuh dengan kabut asap. Rokokpun makin pandak hampir mendeka pangkal. Tiba
- ba ia menjen kkan putung rokok itu ke udara dan ccsss .... putung jatuh ke dalam air, apinyapun
padam seketika. "Ya, betapalah pelik dan gelap siasat yang dilakukan Singasari seper kabut asap yang
menyelubungi permukaan kolam itu," katanya seorang diri "namun akhirnya sebagaimana halnya
putung rokok akan padam di dalam air, juga siasat-siasat Singasari itu tentu akan lenyap ditelan
uap sakti gunung Dapunta Hyang."
"Sriwijaya jaya siddhayatra! Sriwijaya menang karena perjalanan suci," seru pula Demang seraya
mengepalkan tangan sebagai tanda memeteri suatu tekad "ya, Sriwijaya aya siddhayatra, akan
kuperintahkan menjadi doa wajib bagi segenap kaum pandita dan rakyat Sriwijaya se ap saat
mereka bersembahyang memanjat doa! "
Sambil berkemas bangun dari duduknya, Demang itu mengingau dalam ha "Kata nujum itu
memang benar, aku harus menurutkan nujum sang resi untuk menganjurkan baginda Tribuana agar
berkenan menerima pinangan raden Wijaya. Apabila kelak cucuku puteri Candra Dewi menjadi
permaisuri raden Wijaya yang menurut nujum itu kelak akan menjadi seorang manusia besar di
tanah Jawadwipa, tanpa peperangan dan penumpahan darah, Sriwijaya akan dapat memerintah
Jawadwipa karena darah keturunan Mauliwarman-dewalah yang akan menguasai kerajaan baru itu.
Singasari hendak menguasai Sriwijaya melalui perembesan aliran Mahayana tetapi Sriwijaya akan
dapat memerintah Jawadwipa melalui darah keturunan baginda Mauliwarman. Mana yang lebih
menentukan, kita lihat saja kelak .... "
Melihat Demang keluar dari pagoda pamujan di tengah kolam, bergegaslah dayang dan pengiring
menyambutnya " Titahkan kepala candi Cundamani-warman menghadap aku di pesanggrahan,"
katanya. Prajurit segera melakukan perintah.
"Dang Acarrya Kanakanauni," ujar Demang Lebar Daun ke ka kepala candi Cundamani warman
menghadap "tahukah tuan apa maksud Dang Acarrya kuminta datang kemari " "
Dang Acarrya Smaranatha, seorang maharesi yang nggi pengetahuan dalam agama Buddha,
menyahut tenang dan paserah "Hamba menyadari tuanku. Dan hambapun siap menerima
hukuman yang tuan hendak jatuhkan kepadaku. Hanya apabila tuan berkenan menerima
permohonanku, tak lain hamba hanya mohon agar hukuman itu tuan jatuhkan atas diri
Smaranatha seorang. Karena kesemuanya itu hambalah seorang diri yang bertanggung jawab.
Limpahkanlah kebijaksanaan tuan untuk memberi ampun kepada para pandita di candi agung
Cundamani. Mereka tidak bersalah."
Demang terkesiap mendengar untaian kata yang lantang dan berani serta penuh tanggung jawab
dari maharesi yang sudah tua renta itu. Demang menyadari bahwa maharesi tua itu mempunyai
pengaruh besar atas beribu-ribu pandita dalam candi Cundamani-warman.
Demang Lebar Daun seorang ahli pikir dan ahli siasat yang pandai. Ia tak mau menambah kabut
yang menyelimu Sriwijaya akan bertambah gelap lagi. Hukuman atau ndakan menyingkirkan
maharesi Smara-natha dari candi Gundamani, tentu akan menimbulkan akibat yang
menggoncangkan para pandita di candi itu maupun di seluruh Sriwijaya.
Demangpun menyadari bahwa utusan Singasari yang dipimpin raden Wijaya itu segera akan ba.
Sriwijaya harus bersatu, luar dan dalam. Secercah retak, se
k kelemahan akan memberi sepercik
kesempatan kepada Singasari untuk menghancurkan Sriwijaya.
Tidak. Demang Lebar Daun tak mau dirangsa nafsu kemarahan untuk sekaligus menghadapi
dua masalah gawat. Ia telah menentukan siasat bagaimana harus menghadapi kedua hal itu.
"Dang Acarrya Smaranatha," serunya kepada maharesi tua itu "tuan seorang maharesi yang
perwira dan jujur. Sayang kejujuran tuan itu terlumur suatu cemar yang menimbulkan keheranan
dan keraguan orang. Walaupun belum selesai tetapi patung besar itu jelas akan berbentuk wajah
Batara Aksobya. Apakah tuan hendak menyangkal hal itu " "
"Tidak, tuan patih," sahut Smaranatha tenang.
"O, tuan mengakuinya " "
"Demikianlah, tuan."
"Adakah hal itu tidak bertentangan dengan faham Hinayana yang berkembang di Sriwijaya
dan yang kita anut bersama " "
"Tidak bertentangan, tuanku," jawab Smaranatha "melainkan hanya berbeda dalam
penjelasannya." "O, dapatkah maharesi menjelaskan kepadaku" "
"Hinayana," kata maharesi tua itu "hanya menganut ajaran Buddha Gautama sang Amitabha.
Sedang Mahayana menganut bahwa Buddha Pertama yang merupakan sumber segala mahluk akan
menjelma menjadi lima Bhyani Buddha, yani Vairocana yang menjelma dalam kerangka manusia
Krakucchana. Kedua, Aksocya yang menjelma dalam bentuk manusiawi Kanakamuni. Ke ga,
Ratnasambhava yang menjelma dalam badan kasar manusia Kasyapa. Keempat, Amitabha yang
mengejawantah dalam manusia Siddarta Gautama. Dan kelima atau terakhir, masih akan ada pola
dhyani-buddha Amoghasiddhi yang akan menjelma dalam buddha-nianusia Maitreya .... "
"Ah, jangan pula tuan menguraikan buddha-buddha yang khayal itu," tukas Demang "kenyataan
yang ada dan yang benar-benar kita tahu hanyalah sang Buddha Gautama yang dengan ajaran
ajaran yang murni dapat membawa kita ke alam bathin yang suci dan pikiran tenang."
Dang Acarya Smaranatha terdiam.
"Ingat dang acarrya," kata Demang pula "tuan kami angkat sebagai kepala candi Cundamani-
Warman yang menjadi sumber aliran Hinayana di Sriwijaya. Kiranya tuan tentu maklum bahwa
candi Cundamani -warman itu bukan candi yang menganut aliran Mahayana. Tindak tuan untuk
menyebarkan aliran Mahayana dan memahat patung Aksobya di pusat pemujaan Hinayana ini,
dapat ditafsirkan sebagai langkah hianat terhadap kerajaan Sriwijaya. Apa tindakan baginda
Tribuana Mauliwarman apabila mendengar peristiwa di Bukit Siguntang ini " Kiranya hukuman
pancungpun masih terlalu ringan atas kesalahan tuan yang berat itu."
"Tuanku Demang Lebar Daun yang mulia," sahut Dang Acarrya Smaranatha dengan tenang
"akibat-akibat dari tindak hamba itu memang telah hamba pikirkan. Hamba telah menyediakan
jiwa hamba untuk menerima hukuman apapun juga."
Demang terkesiap. Ditatapnya maharesi tua itu lekat- lekat. Disadarinya bahwa resi tua itu
seorang yang keras ha , kukuh dalam pendirian. Sia-sia jualah untuk memaksanya merubah
pendiriannya. "Dang Acarrya Smaranatha," kata Demang sesaat kemudian "jika tuan memang telah bertekad
untuk beralih kiblat dan bergan kepercayaan, itu hal tuan dan tuan bebas melakukannya. Tetapi
ingat, hendaknya hal itu hanya tuan batasi pada diri tuan sendiri saja. Janganlah tuan berusaha
untuk membujuk dan menyebarkan faham itu kepada lain orang terlebih pula kepada para pandita
di candi ini." "Tuanku Demang Lebar Daun yang mulia," seru Dang Acarya Smaranatha "adakah hanya
demikian keputusan tuanku ?"
"Ya." "Mengapa tuanku tak menjatuhkan hukuman kepada diri resi tua ini " Bukankah Smaranatha
telah melakukan kesalahan besar " "
"Hal itu tergantung dari perbuatan tuan nanti "
"Adakah hamba masih diperkenankan mengepalai candi Cundamani " "
"Selama resi masih ingat dan mematuhi permintaanku tadi, ada alasan mengapa Lebar Daun
harus ber ndak 'menghapus panas setahun dengan hujan sehari'" Bagaimanapun Sriwijaya takkan
melupakan jasa tuan selama berpuluh tahun membina perkembangan agama Buddha Hinayana di
candi Cundamani ini."
Demang Lebar Daun memang seorang negarawan yang pandai dan lincah. Untuk mengabut
kelemahannya dak mau menindak resi tua itu, sengaja dia menggunakan dalih karena menghargai
jasa resi itu selama ini. Ternyata siasatnya berhasil.
"Baiklah, tuanku. Smaranatha akan setya membalas budi kerajaan Sriwijaya yang telah memberi
naungan selama berpuluh tahun kepada hamba," kata maharesi tua itu.
"Baik, dang acarya," kata Demang "masih ada pula sebuah permohonanku kepada tuan."
"Biik, katakanlah tuanku."
"Kuminta" kata Demang "resapkanlah doa 'Sriwijaya jaya siddhayatra' dalam se ap doa yang
dilakukan dalam candi Cundamani dan dalam setiap upacara resmi maupun peiibadi."
Dang Acarya Smaranatha menyanggupi hal itu. Dan berakhirlah pertempuran itu Denang Lebar
Daun yakin bahwa dengan cara yang dilakukan tadi terhadap Dang Acarya Smaranatha yang amat
berpengaruh di seluruh Sriwijaya terutama di Bukit Siguntang, maka aliran Mahayana yang akan
dirembeskan melalui maharesi tua itu, tentu akan dapat dibatasi.
Beberapa hari kemudian, terpikirlah oleh Demang Lebar Daun untuk menghadap baginda
Tribuana Maulawarman di Darmairaya.
Dahulu baginda Tribuana Maulawarman bertahta di Sriwijaya. Tetapi tambah lanjut usia baginda
maka mbullah keinginan baginda untuk meninggalkan keramaian dunia, kesibukan pemerintahan.
Baginda mensucikan diri dalam naungan keagungan Buddha Hinayana. Baginda hendak mencari
ketenangan dan kedamaian dalam sisa hidupnya.
Baginda Tribuana Maulawarman menerima laporan bahwa di Singasari dan dapat dikatakan di
seluruh Jawadwipa, paham Mahayana telah berkembang pesat, brahmana-brahmana menganut
paham Hinayana diusir dan dipencilkan sehingga banyaklah dari mereka yang melarikan diri.
Suasana pertentangan agama itulah yang menyebabkan baginda hendak mengundurkan diri dari
tampuk pimpinan pemerintahan dan mencurahkan sisa hidupnya untuk mengepalai usaha
menegakkan agama Brahma Hinayana di Sriwijaya.
Dan kebetulan pula baginda telah merdapat seorang pa h mangkubumi bernama Demang Lebar
Daun yang pandai. Demang Lebar Daun itu seorang ahli tatanegara yang ada tolok bandingnya
pada jeman itu. Baginda Tribuana Maula warman sangat percaya kepada pa h itu sehingga puteri
Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari telah diambil sebagai permaisuri oleh baginda.
Setelah itu bagindapun pindah tempat ke pura kerajaan yang baru di Darmasraya.
Istana pura Darmasraya didirikan di dierah Sungai Langsat, Jambi. Pembuatannya makan waktu
tak kurang dari duapuluh tahun lamanya. Istana kediaman baginda Tribuana, menduduki setengah
bagian dari pura Darmasraya. Pura itu penuh dengan candi-candi, vihara yang jarang terdapat
bandingannya walau di negeri Gangga sekalipun.
Setelah baginda pindah ke Darmasraya maka pemerintahan bandar di Sriwijaya diserahkan
kepada Demang Lebar Daun. Juga di Sriwijaya sendiri, beratus ratus asrama dan candi, bertebaran
di segenap penjuru. Rakyat setya kepada Demang Lebar Daun.
Baginda terkejut menerima laporan dari puhavam atau kepala bandar yang mengabarkan
tentang sebuah iring -iringan perahu layar dengan panji warna Ungu -perang sedang menuju ke
Darmasraya. Panji itu jelas lambang kerajaan Sriwijaya yang dipercayakan di bawah perintah
Demang Lebar Daun. Dengan diiring oleh mentri senopa , baginda Tribuana menuju ke bandar untuk menyambut
kedatangan pa h mangkubumi yang juga menjadi mamakanda atau mentua baginda. Prajurit
bersenjata lengkap dan rakyatpun ikut bersiap-siap.
Bandar Darmasraya acapkali dilanggar oleh tentara Singasari yang sedang berada di tanah
Malayu. Itulah sebabnya maka se ap kemunculan perahu ke bandar, selalu disiapkan penjagaan
yang kuat. Saat itu surya sudah terbenam. Baginda Tribuana menyambut Demang Lebar Daun dengan
saling berpelukan sebagai layaknya ayah dengan putera.
Sorak sorai bergemuruh dari lapisan rakyat karena legah perasaannya bahwa yang datang itu
ternyata patih mangkubumi Sriwijaya sendiri.
Baginda dan Demang segera naik tandu pulang ke istana, langsung dibawa ke dalam balairung
agung. Ternyata disitupun telah siap menan permaisuri baginda, puteri Wan Sendari beserta
kedua puteri yang jelita, Kembang Dadar atau yang bergelar Dara Jingga dan puteri Candra Dewi
atau Dara Petak. Setelah duduk di kurgi gading bersalut ukiran, ratu Wan Sendari segera menjalankan adat
penghormatan menyambut ayahandanya. Permaisuri itu berlutut dan mencium tangan Demang
Lebar Daun. Kemudian berturut-turut kedua puteri Kembang Dadar dan Candra Dewipun bersimpuh di
hadapan Demang Lebar Daun, mencium tangan nenekanda mereka. Demangpun mengecup ubun-
ubun kepala kedua puteri cuejnya.
Kepada permaisuri Wan Sendari dan kedua puteri Candra Dewi dan Kembang Dadar, Demang
Lebar Daun mencurah terangkai kata-kata pelepas rindu. Kemudian Demang memberi kedua puteri
masing-masing sebuah bingkisan "Hanya sekedar mainan anak-anak yang tak berharga, cucuku,"
katanya sambil tertawa. "Ah, mana-mana buah tangan nenekanda yang mulia, tentu hamba junjung sebagai pusaka
keramat," kata kedua puteri jelita seraya menghaturkan sembah terima kasih.
Ke ka puteri Candra Dewi membuka bingkisan itu, iapun berbeliak. Sebuah bola sebesar
genggam tangan, terbuat daripada gading. Dalam bola itu terdapat pula selapis bola gading lagi.
Dan di dalam lapis bola gading yang kedua itu berisi sebuah bola yang ke ga. Bola yang ke ga
berisi bola keempat, bola keempat berisi bola kelima dan bola kelima berisi lagi bola keenam.
Dalam bola yang keenam itu bukan lagi berisi bola melainkan berisi sebuah ukir-ukiran pagoda
kecil. Bola gading dalam bola gading sehingga sampai tujuh bu r bola itu satu sama lain dak
bersambung. Semua terbuat dari sebatang gading yang diukir. Demikian pula pagoda kecil yang
berada di bagian paling dalam atas pusar bola.
" O .... " desis puteri Candra Dewi demi memeriksa buah tangan yang diterimanya dari Demang
Lebar Daun "bukan main elok dan mengagumkan karya ukiran dalam gading ini, nenekanda."
Demang Lebar Daun tertawa cerah "Nenek memperolehnya dari utusan raja Kubilai Khan
yang singgah di Sriwijaya untuk meninjau perkembangan agama di Sriwijaya. Kata mereka,
ukiran gading tujuh bola itu disebut Pagoda Suci di langit ke tujuh. Merupakan salah satu dari
tujuh pusaka ajaib di dunia, cucuku."
Puteri Candra Dewi amatlah bersukacita.
Demikian pula puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga ke ka membuka bingkisan buah tangan
dari nenekandanya, puteri itupun berseru kaget " Ih ... " gerangan kaca ajaib apakah ini,
nenekanda" " "Cermin Panca Skanda, cucuku," sahut Demang Lebar Daun "terbuat daripada batu pualam pu h
hasil keluaran tanah Persia. Digosok dan dibentuk menjadi lima susun. Apabila engkau berccrmin
pada kaca itu, cucuku, engkau akan melihat lima buah wajahmu dalam lima cahaya warna, pu h,
merah, biru, lembayung dan kuning. Cermin Itu persembahan dari saudagar Persia yang berkunjung
ke Sriwijaya. Sebuah cermin yang tiada keduanya lagi di dunia."
Puteri Kembang Dadar bersyukur amat gembira.
Kemudian permaisuri Wan Sendari segera menitahkan dayang untuk menyajikan hidangan dan
minuman yang lezat. Selama menikma hidangan, baginda Tribuana menunggu apakah gerangan
yang hendak diucapkan Demang Lebar Daun itu nan . Tak mungkin mangkubumi akan
menyempatkan diri berkunjung karena sekedar hendak melepaskan rindu kepada puteri dan
cucunya. Namun sampai perjamuan selesai, tetap belum jua Demang mengutarakan sesuatu. Bagindapun
menitahkan supaya tari -tarian segera dimulai untuk menghibur Demang.
Dalam kesempatan itu dan menurut adat istiadat maka puteri bagindapun ikut
mempertunjukkan keahliannya menari. Karena Dara Jingga berhalangan untuk menari maka
Dara Petak atau Candra Dewilah yang menari.
Ke ka puteri Candra Dewi tampil di tengah para penari istana, terkesiaplah mata sekalian hamba
sahaya, biti perwara yang berada di balairung. Bahkan Demang Lebar Daun sendiripun tertegun.
Bagaikan burung merpa pu h diantara kerumun burung gagak atau sebagai sebu r intan
bahaduri diantara tebaran batu-batu kerikil. Demikian apabila hendak melukiskan pemandangan
saat itu di mana sang puteri jelita sedang berada di tengah-tengah para penari.
Wajah yang berseri gilang-gemilang laksana bulan purnama siddhi, sepasang alis yang hitam
melengkung bagai busur direntang, menaungi sepasang bola mata yang bergemerlapan bagai
bintang kejora. Hidung mancung tcrsanggah sepasang bibir yang merekah merah basah. Pinggang
ramping yang mengiring gerak tubuh semampai dalam liuk-liuk mengiku irama tari gending
Sriwijaya yang halus menambat kalbu, benar-benar amat mempesonakan.
"Dewi Kama Ra h ... " ba- ba meluncurlah kata-kata dalam ha Demang Lebar Daun, seorang
penganut gigih dari aliran Hinayana yang tak percaya akan dewa-dewa, saat itu di luar kesadaran
pikirannya, telah menumpahkan perasaan ha nya. Dalam pandang mata Demang tua itu, cucunya
puteri jelita Candra Dewi saat itu tak ubah seper Dewi Ra h, isteri batara Kamajaya, sedang turun
ke arcapada. "Permata Sriwijaya inilah yang kelak akan menguasai kerajaan Jawadwipa. Pantas raden Wijaya
di-mabuk kepayang ... " gumang Demang itu dalam hati.
Sampai jauh malam barulah upacara penyam butan itu selesai. Baginda dan Demang Lebar Daun
masuk ke sebuah ruang yang disediakan sebagai tempat peraduan Demang.
"Mamanda," ujar baginda setelah duduk berdua dengan Demang Lebar Daun "kiranya tentu ada
sesuatu yang amat penting pada kunjungan mamanda ke Darmasraya ini."
"Benar, ananda baginda," sahut Demang Lebar Daun "memang mamanda hamba perlu
mempersembahkan laporan tentang keadaan yang meliputi kerajaan tuan hamba."
"Adakah mamanda hendak melaporkan tentang sepak terjang pasukan Singasari yang telah
menjelajah di tanah Malayu itu ?" tanya baginda pula.
"Sumbernya memang pada itu, tuanku," sahut Demang "hanya alirannya yang bergan -gan .
Berbentuk sebuah aliran yang deras arusnya, ada pula yang merembes di bawah tanah."
Kemudian dengan singkat dan jelas Demang menuturkan tentang peris wa yang telah
dijumpainya di candi Cundamani-warman.
"Yang berbentuk sebagai arus sungai deras yalah serangan pasukan Singasari yang dipimpin
hulubalang Mahisa Anabrang di bumi Malayu ini. Dan yang merembes dibawah tanah yalah
timbulnya, gejala baru dalam aliran agama yang berlaku di Sriwijaya," kata Demang.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa mamanda tak menghukum kepala brahmana candi Cundamani itu," tegur baginda.
Demang Lebar Daun mengemukakan alasan dan siasatnya untuk menggunakan pengaruh
maharesi Smaranatha agar menghen kan penyebaran aliran Mahayana "Menghen kan aliran
sungai," kata Demang Lebar Daun " daklah dengan membendung arusnya, melainkan dengan
menimbuni sumbernya."
Baginda Tribuana mengangguk.
"Dan kabar yang hamba terima dari surat pa h Aragani," kata Demang itu melanjut "tentang
keadaan Singasari yang dewasa ini kosong dan lemah kekuatannya. Sebagian besar dari pasukan
Singasari telah dikirim ke tanah Malayu dan Bali. Dalam beberapa hari lagi, utusan Singasari yang
dikepalai raden Wijaya akan ba di Sriwijaya untuk mempersembahkan sebuah benda yang jelas
menunjukkan warna dari tujuan mereka."
"O, apakah persembahan mereka itu, mamanda?"
"Sebuah arca Amoghapasa, tuanku. Salah sebuah lambang pemujaan dari kaum Mahayana."
"Hai, benar-benar Kartanagara hendak menghina kami, mamanda. Tangkap dan bunuh sajalah
Wijaya itu !" bagindapun mulai murka.
Demang Lebar Daun tertegun sejenak lalu berkata "Raden Wijaya seorang ksatrya yang gagah
perkasa, sak mandraguna. Dialah banteng Singasari yang paling ditaku musuh. Oleh karena itu
maka pa h Aragani mengatur siasat untuk menyingkirkan raden itu dari Singasari dengan
mengusulkan kepada raja Singasari supaya raden Wijaya diangkat sebagai kepala rombongan
perutusan Singasari ke Malayu. Setelah dia pergi maka lemahlah pertahanan Singasari dan pa h
Aragani menganjurkan hamba agar segera menyerang Singasarl "
"Itulah kesempatan yang bagus, Mamanda," seru baginda gembira "baiklah mamanda kerahkan
pasukan kita untuk segera menggempur Singasari."
Namun Demang Lebar Daun tak lekas menanggapi tah baginda. Setelah beringsut mengemasi
letak duduknya, ia berkata "Betapapun besar keinginan hamba untuk melakukan hal itu tuanku,
namun kita telah dihadapi dengan kenyataan yang memerlukan per mbangan dan keputusan yang
tepat." "Apa maksud mamanda ?"
"Kini Sriwijaya sedang dilingkupi oleh ancaman-ancaman bahaya," kata Demang Lebar Daun
"Pasukan Pamalayu dari Singasari sudah menancapkan kaki di bumi sini. Beberapa kerajaan Malayu
telah dikuasai mereka. Apabila kita mengirim pasukan untuk menyerang Singasari, bukankah
panglima pasukan Pamalayu Singasari itu akan dapat segera menyerbu Sriwijaya yang sudah kosong
itu" Dengan demikian akan terjadi suatu keganjilan. Kira menyerbu Singasari yang kosong tetapi
pasukan Pamalayu Singasari juga akan menyerbu Sriwijaya."
"O," baginda terkesiap.
"Dan bahaya kedua yang hamba namakan sebagai perembesan gelap dari faham Mahayana itu,"
kata Demang Lebar Daun pula "pun merupakan bahaya yang tak dapat kita abaikan. Apabila aliran
Mahayana dapat mendesak aliran Mahayana maka akan goyahlah kesetyaan rakyat terhadap
kerajaan paduka. Rakyat akan lebih taat kepada Kertanagara daripada kepada paduka."
Baginda Tribuana terbeliak.
"Kenyataan yang ke ga," Demang Lebar Daun masih melanjut "yalah kedatangan dari utusan
Singasari nan . Apabila kita hadapi raden Wijaya dengan kekerasan, tentu akan terjadi
pertumpahan darah yang hebat. Dan apabila panglima pasukan Pamalayu mendengar hal itu, dia
tentu segera cepat- cepat akan membawa pasukannya untuk membantu raden Wijaya."
Wajah baginda Tribuana tampak memberingas "Apakah pasukan Sriwijaya yang gagah berani itu
tak mampu mengalahkan mereka, mamanda " "
"Maaf tuanku," kata Demang Lebar Daun "bukan sekali-kali mamanda bermaksud hendak memuji
kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan kita sendiri. Tetapi terus terang, selama beberapa
tahun terakhir ini hamba memang tak memperbesar kekuatan pasukan kita melainkan
mencurahkan perha an dan tenaga hamba untuk mengembangkan agama Buddha Hinayana.
Pagoda, candi, vihara dan asrama-asrama telah hamba bangun sebanyak-banyaknya. Hamba lebih
utamakan pembangunan agama daripada angkatan perang." Baginda diam.
"Dalam menghadapi kedatangan perutusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya ini, hamba
telah mengundang seorang maharesi yang sidik dan ahli dalam ilmu perbintangan. Hamba minta
kepada resi tua itu untuk memberikan nujum."
"O, lalu" "
"Menurut nujum sang resi, raden Wijaya itu kelak akan menjadi manusia besar dan bahwasanya
di Jawadwipa akan timbul sebuah kerajaan baru yang jauh lebih besar dan jaya daripada Sugasari."
"Lalu apa hubungan raden Wijaya dengan kerajaan besar yang baru itu ?"
"Resi tak dapat memberikan gambaran yang jelas. Namun hamba menarik kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan manusia besar itu tak lain adalah raden Wijaya itu kelak akan menjadi raja."
"Ah," baginda gelengkan kepala "bukankah Singasari dalam pimpinan Kertanagara merupakan
sebuah kerajaan yang besar dan kuat" Mungkinkah Singasari akan hancur ?"
"Tiada yang langgeng dalam kehidupan dunia ini, tuanku," kata Demang Lebar Daun "jika hal itu
sudah ditakdirkan oleh Hyang Batara Agung, gunung yang gagah perkasa akan dapat roboh,
samudera yang dahsyat dapat kering."
Baginda tertegun sejenak lalu bertanya "Siapakah gerangan yang akan mengalahkan Singasari
nanti?" "Itu rahasia alam, demikian kata resi itu, tuanku. Dan dia tak mau memberi keterangan karena
takut akan menerina kutuk dewa," kata Demang Lebar Daun "namun hamba lebih cenderung untuk
menilai bahwa Dahalah yang akan mengalahkan Singasari."
Baginda kerutkan dahi "Tetapi mamanda, bukankah sudah sejak beberapa keturunan, sejak raja
Kertajaya dikalahkan Ken Arok maka Daha telah dikuasai Singasari" Bagaimana mungkin Daha akan
bangkit untuk meruntuhkan Singasari" Apakah dak mungkin..... " Demang Lebar Daun cepat dapat
menangkap ke arah mana baginda hendak menjatuhkan dugaan. Maka diapun segera menanggapi
lebih dahulu "Tetapi kuharap janganlah Sriwijaya kerajaan paduka yang mengalahkan Singasari."
"Mengapa, mamanda berkata demikian ?" baginda terkejut.
"Karena menurut nujum sang resi, kelak di Jawa dwipa akan mbul sebuah kerajaan baru yang
lebih besar dan jaya dari Singasari. Dengan kata kerajaan baru itu jelas dapat kita tafsirkan,
bukanlah Daha melainkan suatu kerajaan baru yang akan didirikan raden Wijaya yang kelak disebut
dalam nujum sang resi sebagai manusia besar kekasih dewata," kata Demang Lebar Daun "maka
kalau Sriwijaya yang akan mengalahkan Singasari, tentulah Sriwijaya akan dikalahkan pula oleh
kerajaan baru itu." "Ah," desuh baginda Tribuana dalam nada ragu "benarkah nujum sang reii itu ?"
"Se ap mbul peris wa yang menyangkut kepen ngan Sriwijaya tentu hamba panggil resi itu.
Resi itu bukan sekedar menujum menuiut ilham melainkan berdasarkan atas perhitungan
peredaran bintang atau yang disebut ilmu Falak. Dan kenyataannya selama ini apa yaag
dinujumkan memang benar. Oleh karena itu hamba terpaksa menaruh kepercayaan. Dan tentang
nujumnya mengenai keadaan Singasari dan maksud pengiriman utusan Singasari ke tanah Malayu,
baiklah kita buktikan keadaannya."
Baginda tertegun. Sesaat kemudian bagindapun berujar pula "Lalu apa kelanjutan dan nujum resi
itu, mamanda ?" "Mata-mata yang hamba kirim ke Singasari telah kembali dengan membawa surat dari pa h
Aragani yang mengatakan bahwa kedatangan raden Wijaya itu membawa dua tujuan. Pertama,
hendak mempersembahkan arca Amoghapasa, Kedua, hendak meminang puteri paduka .... "
"Meminang" Siapa yang meminang?"
"Raden Wijaya."
"Hm," desuh baginda "bukankah dia sudah menjadi putera menantu raja Kertanagara ?"
"Benar, tuanku," kata Demang "oleh karena itu raden Wijaya dak meminang untuk dirinya
melainkan meminang puteri paduka untuk permaisuri raja Kertaragara .... "
"Bedebah !" teriak baginda Tribuana murka "Kertanagara yang sudah setua itu hendak
meminang puteriku" Tidak, dak, mamanda! Selama aku masih bernafas takkan kuidinkan hal itu
terjadi. Biarlah bumi Sriwijaya merah dengan darah, biarlah pura Darmasraya menjadi lautan api,
tetapi takkan kuserahkan puteriku kepada raja Singasari yang tak tahu diri itu!"
Demang Lebar Daun tak mau membantah. Ia membiarkan saja baginda menumpahkan
amarahnya. Marah adilah tafsu dan nafsu itu keinginan. Se ap keinginan yang dipepat tentu akan
meledak atau akan mencari saluran lain. Atau tetap akan masih terpendam. Apabila kemarahan itu
sudah reda, tentulah pikiran baginda akan jernih dan pada saat itulah Demang hendak
melanjutkan kata pembicaraannya.
"Ah," Demang membuka ketenggangan dengan sebuah helaan napas "telah menjadi ketentuan
Ksatria Negeri Salju 4 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Tiga Mutiara Mustika 2
^