Pencarian

Dendam Empu Bharada 35

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 35


Hyang Maha Agung bahwa kesemuanya itu akan berlangsung seper apa yang telah digariskanNYA.
Manusia hanya menerima tak kuasa menolak."
"Apa maksud mamanda?" tegur baginda dengan nada yang sudah tenang namun masih
mengumandangkan nada amarah.
"Bahwa peminangan itu akan terjadi dan bahwa puteri paduka cucu hamba Candra Dewi itu
kelak akan menjadi permaisuri raden Wijaya, manusia besar dari jawadwipa."
Baginda terkesiap "Raden Wijaya" "
"Ya " "Tetapi bukankah mamanda tadi mengatakan bahwa raden Wijaya hanya diutus raja Singasari
untuk meminang puteri Candra Dewi sebagai permaisuri raja Singasari itu?" baginda Tiibuana
menegas heran. "Benar, tuanku," kata Demang tenang "sebenarnya sudah lama raden Wijaya menaruh rindu
dendam kepada puteri paduka Candra Dewi. Menurut laporan yang hamba terima, raja
Kertanagara mengutus raden Wijaya ke Sriwijaya ini, adalah untuk meminang kedua puteri paduka.
Puteri Candra Dewi akan menjadi permaisuri raja Kertanagara dan puteri Kembang Dadar akan
diberikan kepada raden Wijaya. Tetapi menurut nujum sang resi, hanya puteri Candra Dewi yang
akan menjadi permaisuri raden Wijaya."
"Bagaimana mungkin, mamanda" Tidakkah raja Kertanagara akan marah kepada Wijaya" "
"Itulah rahasia alam yang tak dapat diwedarkan oleh sang resi. Resi hanya menyatakan, Singasari
hancur dan akan mbul sebuah kerajaan baru di Jawadwipa yang lebih besar dan jaya. Oleh karena
hal itu sudah merupakan ketentuan kodrat dewata, maka tentulah akan terjadi. Hanya bagaimana
liku-liku peristiwanya yang akan terjadi sang resi tak dapat memberi keterangan."
"Lalu bagaimana halnya puteriku Kembang Dadar ?" tanya baginda.
"Puteri paduka Kembang Dadar akan lembali ke tanah Malayu dan akan menjadi permaisuri
seorang raja dari tanah Malayu."
"Mengapa hal itu dapat terjadi ?" baginda makin heran.
"Seper telah hamba katakan, sebelum raja Kertanagara sempat mempersun ng Candra Dewi
maka terjadilah suatu perobahan besar dalam kerajaan Singasari. Kerajaan itu hancur dan mbul
pula sebuah kerajaan baru."
"O, seperti nujum resi itu, bukan" "
"Benar," kata Demang "dan rasanya selama ini apa yang dinujumkan resi itu memang selalu
benar." "Benarkah Wijaya yang akan menjadi raja dari kerajaan baru itu, mamanda ?"
"Nujum sang resi tak mengatakan demikian melainkan hanya menyebut bahwa raden itu kelak
akan menjadi manusia besar di Jawadwipa. Bahwasanya dialah yang menjadi raja dari kerajaan
baru itu, adalah tafsiran hamba sendiri, tuanku."
"Aku dapat menyetujui tafsiran mamanda," kata baginda "tetapi yang membuat aku bingung,
betapa mungkin puteri Candra Dewi yang dipinangkan raja Kertanagara, kemudian akan menjadi
permaisuri raden Wijaya. Bagaimanakah hal itu mungkin terjadi?"
"Jodoh di tangan Hyang Maha Agung, tuanku," kata Demang "apabila puteri paduka Candra Dewi
memang telah digariskan dewata menjadi jodoh raden Wijaya, segala yang tak mungkin pas akan
mungkin. Karena apa yang tak dimungkinkan dalam pemikiran manusia akan mungkin terjadi atas
kehendak dewata." "Ah, tetapi mamanda .... "
"Dalam hal ini, tuanku, hamba bersedia memberi tanggung jawab atas keyakinan hamba akan
terlaksananya hal-hal seperti yang dinujumkan oleh sang maharesi itu."
Baginda Tribuana mengangguk pelahan. Kemudian berujar pula "Apakah kelanjutan daripada
nujum resi itu, mamanda ?"
"Maharesi hanya mengatakan bahwa memang sudah takdir yang direstui dewata bahwa puteri
Candra Dewi akan berjodoh dengan raden Wijaya dan bahwasanya kelak mereka akan menurunkan
seorang kesatrya linuwih yang akan memerintah Jawadwipa."
"Oh," baginda mendesuh panjang.
Demang Lebar Daun tak lekas menanggapi melainkan bersikap menunggu apa yang akan
diucapkan baginda putera menantunya itu.
Beberapa saat kemudian terdengar baginda berujar pula "Mamanda, Candra Dewi adalah
cucu mamanda yang mamanda kasihi. Sudah tentu aku percaya mamanda pasti menaruh
perhatian besar untuk memikirkan nasib anak itu. Mungkin tak kalah besar kasih dan perhatian
mamanda kepada Candra Dewi dari pada aku sendiri."
"Candra Dewi dan Kembang Dadar adalah buah ha mamanda yang paling berkenan dalam ha
mamanda, tuanku," kata Demang "bahkan menurut perasaan mamanda, kini kasih sayang
mamanda jauh lebih besar terhadap kedua cucu itu daripada terhadap anak mamanda Wan
Sendari, permaisuri paduka."
Baginda tersenyum "Kutahu mamanda, memang demikianlah perasaan seorang nenek. Lebih
mengasihi cucu daripada anaknya. Oleh karena itu, maka tak sangsi kiranya apabila kumohon buah
pendapat mamanda mengenai persoalan yang sedang kita jelang ini. Bagaimana menurut
mamanda, tindakan yang harus kita tempuh ?"
"Tuanku," kata Demang "segala pikiran dan pendirian hamba dalam menghadapi persoalan
raden Wijaya itu, adalah berdasar pada nujum sang resi. Berpijak pada nujum yang telah
dihaturkan maharesi maka hamba mendapat gambaran bahwa tanpa peperangan, tanpa
pertumpahan darah, kelak darah keturunan Mauliwarman akan menguasai Jawadwipa."
"Ah," desah baginda "adakah mamanda bermaksud ......."
"Mamanda menghendaki jalan damai yang menang. Mamanda tunduk kepada ketentuan yang
telah digariskan Hyang Maha Agung, tuanku."
"Hm," dengus baginda dalam nada yang masih tak rela "tetapi mamanda, bagaimana mungkin
kurelakan cucu mamanda Candra Dewi akan dipersun ng Wijaya" Siapakah Wijaya itu" Kudengar
dia calon menantu raja Kertanagara tetapi aku tak tahu asal keturunannya dan yang pen ng
mamanda, bukankah dia juga seorang penganut faham Mahayana yang bertentangan dengan
pendirian kita ?" Demang Lebar Daun batuk-batuk kecil kemudian setelah menenangkan napas baru ia berkata
"Semula hamba memang mengira demikian. Tetapi setelah hamba menerima laporan dari mata-
mata yang hamba tugaskan untuk menyelidiki diri raden Wijaya, barulah hamba terkejut, tuanku."
"Apa maksud mamanda" Apakah Wijaya itu keturunan priagung luhur ?"
"Raden Wijaya adalah keturunan seorang raja-kulakara yang termasyhur di Jawadwipa, tuanku."
"Siapa mamanda ?"
"Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari."
"Ah, bagaimana silsilahnya, mamanda ?"
"Ken Arok berputera Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng berputera Mahisa Campaka.
Mahisa Campaka berputera Lembu Tyal dan Lembu Tyal adalah mamanda dari raden Wijaya."
"O," baginda mendesuh kejut "itukah sebabnya maka raja Kertanagara berkenan memungut
menantu kepadanya ?"
"Demikianlah tuanku," kata Demang "soal faham Mahayana yang dianut raden Wijaya, kelak
adalah puteri paduka yang menjadi permaisurinya, tentu dapat mempengaruhi suaminya agar
beralih faham atau sekurang-kurangnya supaya faham Hinayana itu diberi hak hidup, perlindungan
dan bebas berkembang di Jawadwipa."
Mendengar penjelasan itu tampak baginda Tribuana mengangguk angguk. Baginya ada sesuatu
yang lebih utama daripada kebesaran faham Hinayana yang dipujanya itu. Uraian Demang Lebar
Daun yang terakhir itu telah dapat menembus dinding rongga dadanya yang sesak dengan
kecemasan. Faham Hinayana telah menyatu dalam darah dan membaja dalam dadanya.
"Dapatkah kesemuanya itu akan berjalan seper yang mamanda katakan," katanya meminta
penegasan. "Sriwijaya adalah kerajaan yang hamba abdi. Paduka adalah junjungan yang hamba sembah.
Candra Dewi adalah cucu yang hamba cintai. Bagaimana mungkin hamba akan merelakan
apabila semua yang telah menjadi pertanggungan hidup hamba itu, tidak mendapat jaminan
akan kelestariannya" Satu saja dari hal-hal yang hamba sebutkan diatas akan terancam,
walaupun hanya seujung rambut, pasti akan hamba tentang sampai napas hamba yang
terakhir." Tergerak ha baginda Tribuana mendengar janji mangkubumi tua yang juga menjadi mamak
mentuanya. Memang baginda telah menaruh kepercayaan penuh kepada Demang Lebar Daun
sehingga pemerintahan bandar di Sriwijaya diberikan kepada Demang itu dan baginda telah pindah
ke istana baru di Darmasraya.
"Jika demikian terserah kepada mamanda," akhirnya raja Tribuana memberi keputusan "apa
yang mamanda rasa baik, kuserahkan saja akan kebijaksanaan mamanda. Malam ini aku akan
bersemedhi memohon kepada Hyan Maha Agung. Esok akan kuberitahukan lagi kepada mamanda."
Demikian pembicaraan empat mata yang berlangsung antara baginda Tribuana dengan
mangkubumi Demang Lebar Daun telah berakhir sampai larut malam.
Esok harinya ternyata baginda tak menyatakan perobahan apa-apa atas persetujuannya
semalam. Dan berangkatlah Demang Lebar Daun kembali ke Sriwijaya pula.
Banyak sekali hal yang menghuni dalam benaknya selama dalam kunjungannya menghadap
baginda di Darmasraya itu. Memang baginda telah menyetujui usulnya tetapi hal itu bahkan sangat
memperihatinkannya. Kepercayaan yang dilimpahkan baginda itu merupakan suatu tugas yang maha berat baginya.
~dewi.kz^ismo^mch~ Tiada terperikan kemurkaan Kubilai Khan, Khan agung cucu dari Jengis Khan, ke ka menerima
kedatangan Meng Ki dan rombongannya yang diutus ke Singasari.
Dalam tahun M. 1260, Kubilai telah dinobatkan menjadi Khan Agung yang berar raja bagi segala
suku-suku Mongol. Ia memerintah suatu daerah yang amat luas sekali. Dari batas negara Jerman
dan dari Mesopotamia di barat sampai ke pantai Laut Teduh di Timur. Setelah berperang
limapuluh tahun lamanya, dapatlah ia menaklukkan kerajaan Sung dari negara Cina.
Bermula pangeran muda terakhir dari keluarga raja Sung diselamatkan oleh panglima-panglima
kerajaan dan kemudian dinobatkan sebagai raja diatas kapal. Tetapi setelah pasukan Mongol
Tartar dapat menghancurkan angkatan laut Sung, mentri kerajaan Sung yang setya segera
mendukung pangeran kecil yang menjadi raja itu, melompat ke dalam laut.
Dengan demikian berakhirlah kerajaan Sung yang memerintah daratan Cina selama beratus-ratus
tahun. Sejak saat itu negara Cina telah diperintah oleh Kubilai Khan. Ibukota kerajaan disebut
Cambaluc atau Khanbalik yang berarti Kota Khan.
Pengaruh kekuasaan Kubilai Khan meluas sampai ke laut selatan. Negara Jawana (sekarang
Vietnam), Faunan (Catripa), Kedah, Puni, Filipina dan Sriwijaya serta Jawadwipa. Raja-raja dari
negara itu mengirimkan upeti kepada Kubilai Khan.
Berpuluh tahun sejak Singasari masih bernama Kutaraja, Kubilai Khan telah menerima upe
berkarung emas dan intan. Tetapi sejak tujuh tahun terakhir ini, raja Kertanagara telah menolak
untuk mengirim upe . Bahkan utusan Kubilai Khan yang datang ke Singasari untuk
memperingatkan wajib upeti itu, telah diusir baginda Kertanagara.
Karena keadaan dalam negeri masih belum aman, maka Kubilai Khan tak mengambil ndakan
apa-apa. Kemudian setelah kekacauan dalam negeri dapat diatasi barulah Kubilai Khan menitahkan
Meng Ki mengepalai sebuah rombongan untuk menghadap raja Kertanagara di Singasari. Meng Ki
pulang dengan membawa cap pada dahinya. Demikian pula dengan anak buah rombongannya.
Menurut pendirian Jengis Khan, Tuhan telah memberi firman yang abadi "Di sorga hanya ada
satu Tuhan yalah Allah. Di bumi hanya ada satu raja yalah Jengis Khan."
Pendirian itu harus menjadi lambang hidup yang wajib diresapi oleh anak keturunan Khan.
Kubilai Khan juga berpijak pada landasan pendirian itu.
Duapuluh ribu prajurit yang dipimpin oleh laksamana Ike Mise dan ga panglima pilihan yani
Shih Pi, Kau Hsing dan Tarass Bek, di tahkan Kubilai Khan untuk berangkat dalam beratus-ratus
buah perahu besar menuju ke Singasari untuk menghukum raja Kertanagara.
Laksamana Ike Mise telah memecah angkatan perang menjadi tiga, masing-masing dipimpin
oleh ketiga panglimanya. Dalam perjalanan itu merekapun singgah di beberapa negara antara
lain di Jawana lalu Campa.
Maharaja Kubilai Khan bersahabat baik dengan raja Jayasunhawarman yang memerintah di
Faunan atau Campa. Karena raja Jayasunhawarman III itu keturunan dari keluarga brahma Pal-va-
warman maka Kubilai Khan pun amat menghorma . Brahma Pai vi itu bernama Kaundiya, kepala
agama dan kepala kerajaan War yang tersebar kekuasaannya di seluruh mur jauh sampai ke
semenanjung Malayu. Mana-mana kerajaan yang menjadi keturunan Warman maka Kubilai
Khanpun melarang tentaranya untuk mengganggu. Demikian pula terhadap raja Tribuana
Mauliwarman dari Sriwijaya.
Raja Jayasunhawarman adalah adik ipar dari Kertanagara. Adinda raja Kertanagara yang bernama
puteri Dyah Tapasi, menjadi permaisuri dari raja Jaya-sunhawarman III di Campa.
Laksamana Ike Mise melaksanakan tah raja Kubilai Khan untuk singgah di Campa dan
menghadap raja Jayasunhawarman. Raja Campa itu mengutus seratus orang brahmana yang
dikepalai oleh brahmana Phanrang untuk ikut serta dalam armada Kubilai Khan yang hendak
menyerang Singasari. Namun diam-diam raja Jayasunhawarman menitahkan kepada brahmana
Phanrang untuk membawa sebuah bingkisan kepada raja Kertanagara dan sepucuk surat mengenai
maksud kedatangan armada Kubilai Khan yang hendak menyerang Singasari. Demikian pula kepada
raja Tribuanamauliwarman, raja Campa itu juga mengirim pesan persahabatan dan
mempersembahkan tanda mata yang berharga.
Demikian dari Campa berangkatlah armada Kubilai Khan menuju ke selatan. Tetapi ke ka melalui
selat Malaka maka mbullah badai dahsyat yang mengerikan. Gelombang sebesar rumah
mengayun perahu-perahu besar armada Kubilai Khan itu mbul tenggelam. Suasana dalam perahu
perahu armada Kubilai Khan menjadi kacau balau. Prajurit-prajurit Tartar yang berada dalam
perahu-prahu itu seper diban ng dan dihempaskan. Mereka tak kuasa mempertahankan
keseimbangan tubuh hingga jatuh bangun saling berbenturan, terhuyung dan terpelan ng seper
padi di tampi. Belum pernah sepanjang pengalaman mereka mengarungi samudera di seluruh benah dunia,
terutama bagi panglima Shih Pi yang pernah menjelajah tujuh samudera, menderita serangan badai
yang sedemikian dahsyatnya.
Tiang dan pasak perahu patah, kemudi tak dapat dikuasai lagi, Para awak kapal dan prajurit-
prajurit hiruk pikuk menyelamatkan diri supaya jangan terlempar ke laut yang buas.
Untunglah bencana itu tak berlangsung lama. Menjelang fajar, lautpun teduh kembali. Dan
mulailah awak kapal beserta para prajurit sibuk mengemasi dan memperbaiki apa-apa yang rusak.
Panglima Shih Pipun mondar mandir sibuk memberi perintah.
Tiba- ba pandang mata panglima itu tertumbuk pada sosok tubuh kurus yang duduk di geladak.
Orang itu duduk tegak dengan tenangnya, seolah-olah tak terpengaruh oleh kegemparan badai
yang mengamuk buas tadi. "Ah, kiranya datuk Phanrang " seru Shih Pi sesaat ba dihadapan orang itu "sedang mengapakah
datuk ini ?" "Merenung," sahut brahmana itu.
"Merenung ?" ang Shih Pi heran " dakkah datuk merasa mabuk karena guncangan badai
gelombang semalam ?"
"Tidak se kpun, panglima Shih," sahut brahmana Phanrang "semalam akupun tetap duduk di
geladak ini ketika gelombang mengamuk perahu kita."
Shih Pi terkesiap. Sebagai seorang panglima perang yang gagah perkasa daa banyak pengalaman,
ia merasa tak mampu menahan goncangan keras dari perahu yang dihempas badai laut, masakan
seorang brahmana tua yang bertubuh kurus lemah seper Phanrang, dak menderita suatu apa
bahkan mabukpun dak. Ah, rupanya brahmana itu hendak berolok-olok atau mungkin membual.
Pikir Shih Pi. Shih Pi tertawa datar "Datuk Phanrang," katanya "aku dan seluruh awak kapal ini hampir saja
terlempar ke dalam laut. Kami seolah-olah berpijak bumi yang berputar-putar dan berayun-ayun
kian kemari sehingga kepala kami terasa pening benar. Masa datuk duduk termenung tak
menderita suatu apa ?"
"Memaug aneh kedengarannya," sahut brahmana dari Campa itu "mungkin orang tentu
mengatakan aku membual. Tetapi kenyataannya memang demikian. Aku tahu apa yang telah
terjadi kesemuanya."
"Mengapa datuk tak mabuk laut?" Shih Pi menegas.
"Mudah tetapi sukar, panglima," sahut brahmana tua itu dengan tersenyum.
"Apa yang datuk maksudkan ?"
"Sederhana sekali caranya yani menguasai nafsu."
"Menguasai nafsu ?" ulang panglima Shih Pi.
"Barangsiapa dapat menguasai nafsu, tak mungkin dia akan mabuk laut. Mengendalikan nafsu
adalah suatu pengendapan secara menyeluruh dari segenap indera dalam tubuh kita. Mudah
bukan" Tetapi tak se ap orang mampu melakukan hal itu. Jarang orang dapat mengendalikan
nafsu, mengendapkan indera jasmaninya".
Shih Pi kerutkan dahi. "Harap datuk suka memberi penjelasan mengapa mabuk laut itu mempunyai hubungan dengan
nafsu," akhirnya ia menuntut keterangan.
Brahmana Phanrang tertawa "Baiklah panglima," katanya "Angin atau Hawa termasuk salah satu
dari empat unsur zat yang membentuk tubuh kita. Angin, Air, Api dan Tanah, demikian keempat
unsur itu. Angin adalah napas atau hawa udara yang kita hirup. Apabila angin atau apapun hawa
dari luar yang menyibak unsur Angin dalam tubuh kita maka bergejolaklah nsfsu kita."
"Aku seorang panglima," kata Shih Pi "otakku kasar dan hanya berisi ilmu siasat perang belaka
sehingga tak menger makna yang sesungguhnya dari ucapan datuk. Dapatkah kiranya datuk
memberi keterangan yang lebih jelas pula ?"
Datuk Phanrang termenung sejenak.
"Baiklah," katanya sesaat kemudian "untuk menerangkan supaya jelas dan mudah akan
kututurkan sebuah cerita."
Beberapa awak kapal dan prajuritpun tertarik akan percakapan itu. Mereka duduk mengerumuni
di sekeliling brahmana itu. Dan brahmana Phanrangpun mulai bercerita.....
"Konon dahulu kala ada seorang maharaja-di raja yang bergelar mahaprabu Mahabisa. Seorang
maharaja yang berkuasa besar, gagah perkasa dan taat akan kewajiban memberi persembahan
sesaji kepada para dewa-dewa. Bahkan hampir dikata ap hari baginda prabu Mahabisa itu selalu
mengadakan korban sesaji. Karena ketaatan dan kesetyaannya itu maka dewa-dewapun
meluluskan prabu Mahabisa berhimpun dengan sekalian dewa di Kahyangan, tempat para dewa.
Pada suatu hari para dewa memutuskan untuk, menghadap Sanghyang Brahma untuk
mempersembahkan sembah sujud ke bawah duli Hyang Brahma.
Maka pada hari itu berangkatlah rombougan dewa melayang ke dirgantara menempuh
perjalanan naik ke langit. Mereka mengenakan pakaian serba pu h. Dalam rombongan para dewa
itu ikut pula sang prabu Mahabisa dan Dewi Gangga, puteri dewa sungai Gangga.
Sungguh indah tak terpermanai pemandangan saat itu. Langit nan biru bagai tertabur pelangi
pu h. Tenang dan damai di bumi dan langit. Maklum karena para dewa yang sedang melayang naik
ke atas langit itu adalah dewa-dewa yang telah suci batinnya dan tinggi kesadarannya.
Tetapi rupanya Sanghyang Dewata Agung hendak menguji keteguhan iman dan kesucian ba n


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Atas kuasa Sanghyang Dewata Agung, maka dalam suasana yang tenang dan cuaca yang
jernih itu, ba- ba berhembuslah angin kencang. Pakaian para dewa itupun berkibaran, makin
melekat erat sehingga se ap liku lekuk tubuh dewa-dewa itu tampak amat jelas. Diantaranya yang
paling mengejutkan yalah tubuh sang Dewi Gangga. Se ap lekuk tubuh dewi yang can k itu makin
tampak nyata dan makin membuk kan betapa besar karunia Dewata Agung kepada insannya yang
memiliki potongan tubuh sedemikian sempurna dalam keindahan yang tiada taranya.
Sekonyoig-konyorg terjadilah suatu pemandangan yang mengerikan. Dikata mengerikan karena
pemandangan itu menyebabkan darah bergolak keras dan jantung pun mendebur serasa hendak
meluncur keluar. Bahkan ada diantara para dewa itu yang merasa peredaran darah dalam
tubuhnya berhenti sehingga hampir saja mereka gugur ke bawah.
Apakah gerangan yang telah terjadi "
Tak lain berpusat pada diri Dewi Gangga jua. Angin yang jahil itu, dengan kuasa Hyang Dewata,
telah menyambar dan menerbangkan pakaian sang dewi sehingga terlepas dari tubuh .....
Pemandangan yang ngeri itu telah disaksikan para dewa sehingga mereka gemetar. Ada yang
darah tersirap mendebur keras, ada yang malah berhen seke ka. Para dewa menyadari akan
keadaan yang gawat itu. Mereka serempak pejamkan mata dan tenangkan indriya agar jangan
tergoda oleh sang nafsu. Tetapi diantara rombongan dewa itu hanya seorang yang tak menyadari akan akibat daripada
peris wa yang menggemparkan itu. Dia adalah prabu Mahabisa. Raja yang sedemikian taat akan
kewajiban menghaturkan sesaji sehingga diperkenankan untuk berhimpun bersama para dewa,
ternyata masih tetap seorang insan manusia. Mahaprabu Mahabisa seolah kena pesona tatkala
menyaksikan betapa keindahan tubuh tanpa busana dari Dewi Gangga yang sedemikian sempurna
gilang gemilang. Kulit tubuhnya yang pu h mulus, lekuk-liku yang sedemikian indah seolah tanpa cacad, dan ah ...
rupanya Singhyang Dewata telah melimpahkan seluruh keindahan yang lengkap dan sempurna
dalam karya-cipta yang berupa tubuh sang puteri jelita dari Gangga itu .....
Seke ka bergolaklah hawa nafsu sang prabu Mahabisa. Darah berhamburan bagai air bah yang
tak dapat dibendung, jantungpun mendebur keras seolah copot dari rongga. Prabu Mahabisa
kehilangan diri dan menyerahkan segala pemusatan nafsu hatinya pada pemandangan itu.
"Wahai, insan manusia, nyata ba nmu masih penuh debu-debu kotoran nafsu. Engkau harus
turun ke bumi lagi ....... "
Serempak pada saat itu terdengarlah kutuk Sang-hyang Brama yang menitahkan supaya prabu
Mahabisa turun lagi menjelma di dunia bersama dewi Gangga. Karena jelas bahwa prabu itu masih
belum suci batinnya. "Demikian tamsil cerita tentang angin itu," brahmana Phanrang mengakhiri ceritanya "angin itu
tak ubah sebagai hawa dalam tubuh manusia. Apabila kita tak mampu menguasai, hawa itu akan
menimbulkan nafsu dan keinginan yang bermacam-macam jenisnya. Demikian karena kalian belum
mampu menguasai keheningan nafsu dalam diri kalian maka mudahlah badai itu membuat kalian
mabuk laut." Hening sejenak.
Tiba- ba panglima Shih Pi berkasa geli "O, adakah setelah ma kita akan dapat menuju ke
Nirwana" Apakah aku juga dapat diterima di Nirwana ?"
Berkata Phanrang dengan nada bersungguh "betapa dak, panglima" Se ap umat Hyang Brama
yang suci tentu akan diterima di Nirwana. Tetapi daklah mudah untuk mencapai tempat itu.
Orang harus membuk kan bahwa semua dharma hidupnya itu baik dan suci. Apabila ba nnya
masih dilekati lumpur kedosaan, dia akan dikembalikan lagi menjelma di dunia."
"Datuk Phanrang," kata Nacham seorang perwira bawahan panglima Shih Pi "pernah kudengar
tentang suatu ajaran baru yang mengatakan bahwa ada dua jalan sesat bagi manusia. Pertama,
memanjakan hawa nafsu dan kedua, menyiksa diri sendiri. Yang pertama, akan menyebabkan
manusia rusak batinnya dan harus kembali menjelma di dunia. Dan yang kedua, itu-pun sia-sia .... "
Mendengar itu serentak berbangli ah brahmana Phanrang dari tempat duduknya dan dengan
murka berseru kepada Nacham "Hai, perwira Tartar, kamu telah murtad ! Kutahu apa yang engkau
maksudkan itu. Memang dewasa ini telah
mbul kaum yang menganut faham baru dan
menamakan diri sebagai penganut Buddha. Ketahuilah, wahai perwira, kaum Mahayana itu adalah
musuhku. Janganlah hendaknya engkau berani mengutarakan hal semacam itu dihadapanku agar
kutuk Hyang Syiwa tak menimpa pada dirimu!"
Merah padam muka Nacham mendengar umpat brahmana dari Campa itu. Ia seorang perwira
yang sudah banyak berbuat jasa dalam peperangan. Tubuhnya berhias bekas bacokan pedang
tusukan tonbak sebanyak juga tubuh-tubuh musuh yang telah d rubuhkan dan dibinasakannya.
Bagaimana mungkin dihadapan para prajurit, awak kapal bahkan didepan panglima Shih Pi, ia
didamprat oleh seorang brahmana dan Campa itu!
Darah dalam tubuh perwira Nacham mendidih seke ka sehingga sepasang bola matanya merah
membara. Tetapi pada saat ia hampir meletuskan luap amarahnya sekonyong-konyong datanglah
seorang prajurit yang bergegas menghadap Shih Pi "Laksamana menitahkan supaya tuan
menghadap." Shih Pipun segera mengajak Nacham dan memerintahkan supaya prajurit-prajurit kembali ke
tempat masing-masing. "Menurut laporan nakhoda, jumlah iring-iringan kapal kita berkurang banyak sekali," kata
laksamana Ike Mise, "dari tigaratus buah kapal kini hanya tinggal lima puluh buah saja."
Shih Pi terkejut dan merah mukanya "Badai semalam memang bukan olah-olah hebatnya
sehingga rombongan kapal kita tercerai berai."
"Ya," sahut Ike Mise "tetapi cobalah engkau selidiki apa gerangan yang menyebabkan kerugian
sebesar itu." Shih Pi bergegai keluar dengan wajah tegang. Langsung ia memanggil jurumudi dan nakhoda
"Apa yang kamu saksikan semalam?"
Nakhoda menerangkan bahwa peris wa semalam seolah olah seper hari kiamat. Cuaca gelap
pekat, hujan deras dan badaipun mengamuk buas "Hamba berjuang ma - ma an untuk
menyelamatkan kapal kita dari bencana tenggelam sehingga tak sempat hamba memperha kan
keadaan lain-lain kapal, apalagi menolongnya."
"Tahukah engkau berapa banyak jumlah kapal kita yang hilang ?" seru Shih Pi.
"Lebih dari dua ratus buah kapal besar dan kecil, tuan."
"Yang tepat adalah duaratus limapuluh buah" seru Shih Pi pula "peris wa ini benar-benar hebat
sekali. Aku tak percaya kalau hal itu dapat terjadi. Aku curiga bahwa di dalam kehilangan itu, ada
tangan kotor yang menggerakkan."
Nakhoda terbeliak "Hamba tak menger apa makna ucapan tuan, mohon tuan sudi
menjelaskan." "Bahwa bencana itu bukan hanya dikarenakan oleh badai semalam melainkan oleh seseorang."
Nakhoda makin terbelalak.
"Dengan kehilangan sejumlah besar kapal, jelas martabat namaku tentu akan tercela dihadapan
baginda Kubilai Khan," kata Shih Pi "dan dengan kerugian sebesar itu jelas pula aku tentu tak
mampu melaksanakan tugas untuk menumpas Singasari."
"O," desuh nakhoda.
"Dan dengan demikian pula jelas jasa dalam tugas ini tentu akan direbut oleh orang yang hendak
menjatuhkan namaku itu."
Nakhoda tertegun lalu memberanikan diri bertanya "Tetapi tuan panglima, siapakah gerangan
orang yang paduka maksudkan hendak mencelakai paduka itu?"
"Hm, siapa lagi kalau bukan si bedebah Tarass Bek itu," seru Shih Pi dengan berapi-api "selama
ini dia memang selalu memusuhi aku."
"Ah," nakhoda menghela napas "tetapi mengapa panglima Tarass Bek memusuhi paduka ?"
"Peristiwa itu dimulai ketika baginda Kubilai Khan menyerang daerah Lhasa. Semula yang
dititahkan mengepalai pasukan adalah Tarass Bek karena dia seorang panglima yang berasal
dari Mongol. Tetapi ternyata penyerangan itu gagal. Akhirnya baginda menitahkan aku yang
mengganti sebagai panglima. Aku berhasil menaklukkan Lhasa dan mendapat anugerah
kenaikan pangkat dari baginda. Sejak itulah Tarass Bek memperlihatkan sikap bermusuhan
kepadaku. Makin lama makin tampak nyata."
Berhenti sejenak panglima Shih Pi melanjutkan pula "Beberapa kali aku harus menahan
kesabaran melihat tingkah dan sikap Tarass Bek yang makin jelas membenci aku. Hal itu
kupertimbangkan atas dasar bahwa dia seorang Mongol dan aku seorang suku Han .... "
"Tetapi aku tetap seorang manusia. Apalagi aku pun berpangkat seorang panglima. Maka
akhirnya meletuslah kesabaranku ketika dia berani menghina aku di-hadapan para perwira. Aku
sudah kehilangan kesabaran dan ku tantangnya dia berkelahi. Tetapi pada saat itu datanglah
panglima Ike Mise yang melerai."
"Beberapa hari kemudian, aku di tahkan menghadap baginda di istana," kata Shih Pi pula
"alangkah kejut ha ku ke ka pada sau itu kulihat Tarass Bek sudah menghadap baginda. Pikirku,
Tarass Bek tentu sudah mengadukan diriku kepada baginda dan baginda tentu akan menjatuhkan
hukuman kepadaku." "Tetapi diluar dugaan, ternyata baginda melontar senyum tawa kepadaku dan bertanya, apakah
aku berani berkelahi dengan Tarass Bek. Kukatakan bahwa aku tak ingin berkelahi dengan siapapun
kecuali dengan musuh. Namun apabila baginda menitahkan supaya aku berkelahi, sudah tentu
akupun akan mematuhi titah bfginda."
"Sifat kami bangsa Mongol selalu berterus terang. Untuk se ap dendam harus diselesaikan
dengan cara ksatrya. Kami bangsa Mongol amat menghargai seorang ksatrya. Siapa yang kalah
harus mau mengakui kekalahannya dan minta maaf. Dan sehabis berkelahi tak boleh lagi
mendendam," ujar baginda Kubilai Khan, "ketahuilah Shih Pi, bahwa aku peribadi selalu
menghargai seorang ksatrya yang sakti."
"Telah kudengar," ujar baginda lebih lanjut, "bahwa antara engkau dan Tarass Bek telah mbul
suatu dendam. Bahkan beberapa hari yang lalu kalian pun hendak berkelahi. Maka sekarang
ku tahkan kalian berdua supaya berkelahi adu kesak an dihadapanku. Siapapun yang kalah atau
menang, setelah perkelahian itu, tak boleh mendendam lagi. Barangsiapa yang masih mendendam,
dia tentu kuhukum sendiri."
"Karena ada lain pilihan maka akupun hanya menurut saja apa yang baginda perintahkan," kata
Shih Pi. "Demikianlah aku dan Tarass Bek lalu melangsungkan perkelahian dihadapan baginda Kubilai
Khan. Tarass Bek memang seorang ksatrya yang kuat dan sak . Dia memiliki ilmu Gumul dari
Mongol yang luar biasa hebatnya. Berulang kali aku dapat disambar dan diban ng. Untunglah aku
juga menguasai ilmu silat Kung-fu yang kupelajari dari vihara Siau-lim si. Betapapun geram dan
keras dia memban ng tetapi aku tetap dapat menggeliat dan melen ng ke udara lalu melayang
turun dan berdiri tegak di lantai lagi .... "
"Diam-diam akupun terkejut dan mengagumi ketangkasan dan kehebatan dari ilmu Gumul yang
dimainkan Tarass Bek, Tetapi rupanya dia juga terkejut menyaksikan llmusilat Kung-fu. yang
kulakukan. Berulang kali dia telah menerima pukulan dan tendanganku. Tetapi rupanya dia
memang seorang jago yang amat kuat daya tahannya."
"Cukup lama dan seru pertempuran itu bcrlangsung sampai akhirnya kudapati Tarass Bek
sudah mulai kehabisan napas. Rupanya dia menyadari hal itu juga. Maka diapun terus berganti
gaya permainannya. Dia harus cepat-cepat dapat menyelesaikan perkelahian itu atau dia nanti
yang akan kalah karena kehabisan napas."
"Dalam sebuah kesempatan dia berhasil menangkap tangan kananku, terus dikunci dengan
kedua tangannya. Maksudnya hendak ditekuk supaya tulang lerganku patah. Aku terkejut dan
menyadari bahaya yang mengancam diriku. Aku segera menggunakan siasat. Kulunglaikan saja
lengan kananku itu tetapi diam-diam kualirkan seluruh tenaga ke lengan kiriku ...... "
"Ah .... " terbawa oleh daya cerita yang memikat nakhodapun sampai mendesuh "teatu dia dapat
tuan rubuhkan!" "Benar," sahut Shih Pi "sebelum Tarass Bek sempat bergerak mematahkan tulangku, secepat itu
pula sudah kudahului dengan menusukkan kedua buah jari kiriku ke perutnya. Ah .... saat itu ia
mengaum seper singa kesakitan dan terhuyung-huyung mundur sambil mendekap perutnya lalu
roboh tak sadarkan diri lagi .... "
"Ah, tuan sungguh sakti sekali," nakhoda berseru memuji.
"Ah, tetapi kemenangan itu bukan kemenangan yang menguntungkan " jawab Shih Pi "karena
nyatanya Tarass Bek tetap mendendam kepadaku. Oleh karena itulah maka aku curiga apabila
dalam malapetaka semalam dimana kita harus kehilangan sekian besar kapal, dialah yang
merencanakan." "O," desuh nakhoda terkejut "mengapa paduka menaruh prasangka demikian?"
"Karena sikap Tarass Bek kepadaku tetap tak berobah. Dia tetap mendendam dan membenci
aku." "Tetapi apa tujuannya kalau benar dia yang merencanakan, tuan" "
"Seper engkau ketahui, laksamana Ike Mise telah memecah angkatan perang kita menjadi ga
kelompok. Salah sebuah kelompok dipimpin Tarass Bek. Apabila armada yang kupimpin ini lumpuh,
bukankah dengan leluasa Tarass Bek dapat mendahului mendarat di Jawadwipa dan terus langsung
menyerang Singasari" "
"O," seru nakhoda "jika benar demikian, kemungkinan dia hendak mencari pahala guna menebus
kegagalannya di Lhasa dulu."
Shih Pi mengiakan "Benar. Apabila peris wa ini memang digerakkan oleh tangan kotor Tarass
Bek, tujuannya tak lain tentulah begitu."
Nakhoda menghela napas "Mudah-mudahan dak demikian, tuan. Dan peris wa ini mudah-
mudahan suatu musibah bencana laut yang tak kita duga-duga."
"Mengapa, engkau mengharapkan demikian?" tegar Shih Pi.
Nakhoda itu tak menyahut melainkan menghela napas panjang seraya memandang laut nan
lepas. "Baginda Kubilai Khan telah menitahkan angkatan perang kerajaannva untuk melintas laut
menuju ke Jawadwipa. Dalam menitahkan angkatan perangnya itu, baginda pasti tak
mengadakan suatu pengelompokan antara pasukan yang dipimpin oleh panglima dari Miku
Mongol dengan pasukan yang dipimpin panglima dari suku Han. Angkatan perang itu
merupakan angkatan perang kerajaan Yuan yang utuh dan tak terpecah belah. Dengan
demikian angkatan perang yang diangkut dengan armada besar ini harus merupakan suatu
kesatuan kekuatan yang akan melaksanakan tugas dari baginda yani menggempur Singasari.
Apabila di-antara kita sendiri timbul pertikaian dan perpecahan bukankah kita sendiri juga yang
akan menderita kerugian karena kekuatan kita akan lemah ?"
Shih Pi terdiam. "Akupun tak mengharapkan terjadinya peristiwa semacam itu," katanya sesaat kemudian "karena
setelah pertempuran dihadapan seri baginda yang lalu, akupun diam diam merasa sangat menyesal
juga dan tak mengandung dendam lagi. Tetapi apabila itu memang gara-gara si Tarass Bek, aku Shih
Pi, bersumpah akan mencarinya di Singasari dan akan kulakukan penyelesaian terakhir dengan dia
!" Demikian setelah mendapat keterangan dari nakhoda bahwa ada dilihatnya suatu gerakan yang
mencurigakan selama terjadi peris wa badai besar semalam, Shih Pipun segera menyuruh
orangnya untuk mengumpulkan dan menyusun kembali jajaran armada angkatan perang yang
dipimpinnya. Maka kelimapuluh kapal perang yang membawa, angkatan perang Tartar itupun melanjutkan
perjalanan ke selatan menuju ke Jawadwipa.
~dewi.kz^ismo^mch~ II Ombak menggelegak, menebar alun putih gemerlap. Langit cerah, bulanpun meriah. Angin
berhembus datar, mengantar lima buah iring-iringan kapal, mengarungi laut Jawa.
Malam purnama di tengah laut lepas. Seyojana mata memandang, hanya warna biru yang
tampak lepas banglas. Tiada beda laut dengan cakrawala, tiada batas bumi dan langit.
Kapal besar yang memimpin di muka, amat indah bentuknya. Haluan kapal berbentuk kepala ular
naga. Badan kapal berhias ukiran sisik naga dan buritan kapal merupakan ekor, dilingkari gelang
warna kuning emas. Bulan, angin dan laut, seolah-olah mengiringi perjalanan kelima kapal itu dengan tenang dan
gembira. Seolah-olah bagai menyambut sebuah armada perang yang pulang membawa
kemenangan. Memang armada kecil yang terdiri dari lima buah perahu besar itu adalah rombongan perutusan
kerajaan Singasari yang dipimpin raden Wijaya, ketanah Malayu. Senopa muda itu telah berhasil
menunaikan tugas kerajaan Singasari dengan gemilang.
Raden Wijaya telah berhasil melaksanakan tah baginda Kertanagara di tanah Malayu.
Pengiriman patung Amoghana dan beberapa resi pandita dari aliran Buddha Mahayana,
mempercepat rapuhnya dinding-dinding ketahanan kerajaan Sriwijaya sebadai pusat anama
Buddha Hinayana. Walaupun sesungguhnya dinding pertahanan aliran Hinayana itu memang sudah
lapuk diserap pengaruh aliran Mahayana yang kian hari kian besar dalam kerajaan Sriwijaya
sendiri. Demang Lebar Daun, pa h mangkubumi kerajaan Sriwijaya, lebih mencurahkan peiha an untuk
membendung serangan aliran Mahayana yang hendak dilancarkan raja Kertanagara dengan
mengirimkan patung Amoghapasa daripada memperha kan pengaruh-pengaruh lain yang hendak
ditanamkan raden Wijaya di Sriwijaya.
Disadari pula oleh Demang itu betapa kekuatan yang tersimpan dalam angkatan rombongan
perutusan yang dipimpin raden Wijaya. Walaupun hanya terdiri dari lima buah perahu besar,
namun prajurit-prajurit yang dibawa raden itu tentulah amat perkasa. Tentu prajurit pilihan. Dan
senopatinya sendiri, raden Wijaya, termashyur amat sakti mandraguna.
Disamping itu pula, pasukan Pamalayu dibawah pimpinan senopa Mahesa Anabrang, sudah
belasan tahun berada di tanah Malayu, menguasai beberapa daerah ke-datu-an di Swarnadwipa.
Pengaruh dan kekuasaan yang telah dicapai pasukan Pamalayu, amatlah besar. Pasukan
pendudukan ini tentu segera menyerang Darmasraya dan Sriwijaya manakala perutusan yang
dipimpin raden Wijaya itu sampai terancam bahaya.
Demang Lebar Daun masih menyadari pula akan kelengahan yang dilakukan selama memegang
tampuk pemerintahan kerajaan Sriwijaya. Selama ini ia lebih menitik beratkan pembangunan candi,
pagoba dan rumah-rumah suci untuk mengembangkan aliran Hinayana, daripada membangun
kekuatan pasukan. Memang hasil daripada usahanya itu, dari mancanagara dan negeri atas angin,
berdatanganlah utusan-utusan untuk meninjau dan meneguk ilmu itu agama di pusat budaya
aliran Hinayana di Bukit Siguntang.
Keadaan itulah yang menyebabkan Demang Lebar Daun untuk mengambil kebijaksanaan,
menggunakan siasat 'dampar kencana' atau lunak, daripada membuat pagar senjata atau
kekerasan. Dampar kencana atau permadani keemasan, halus dan lunak, bagaikan jari jemari
bidadari cantik yang akan membuai dan melelapkan orang dalam mimpi nan indah.
Siasat Dampar-kencana daklah lengkap apabila ada berisi bidadari yang can k. Dan insan yang
akan menyempurnakan siasat itu tak lain hanyalah kedua puteri cucunya atau puteri baginda
Tribuana, yani sang dyah ayu Candra Dewi atau Dara Petak dan dyah Kembang Dadar atau Dara
Jingga. Dalam melaksanakan siasat itu, ia telah mendapat persetujuan baginda.
Maka kedatangan raden Wijaya di bumi Sriwijaya amatlah menggembirakan. Dia berpijak diatas
dampar kencana. Diapun berhasil memboyong pula kedua puteri nan can k jelita itu ke Singasari.
Langkahnya langkah kanan. Langkah yang menjelang sinar gemilang.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun apa yang gemlang itu sering menyilaukan mata, melelapkan pikiran dan membutakan
ha . Demikian yang terjadi pada diri raden Wijaya. Sudah lama ia mendengar berita maupun cerita
yang dibawakan prajurit Singasari yang pulang dari tanah Malayu bahwa rasanya ada puteri dan
wanita can k di seluruh permukaan bumi Singasari yang dapat mengimbangi kecan kan puteri
Candra Dewi. Kejayaan Sriwijaya adalah dikarenakan turunnya bidadari yang meni s sebagai puteri
baginda Tribuana. Intan bahaduri yang memancarkan sinar kejayaan yang gilang gemilang.
Demikian berbanyak sanjung dan puji yang dirangkai dari mulut prajurit-prajurit itu kehadapan
puteri baginda Tribuana. Sudah lama pula raden Wijaya memendam bara asmara terhadap puteri yang belum pernah
dijumpahinya itu. Rindu dendam yang membakar dadanya senan asa. Namun apa daya. Singasari
dan Sriwijaya terpisah jarak yang amat jauh, terbelah oleh lautan. Dia hanya dapat menerbangkan
rindu dendamnya dalam mimpi-mimpi yang indah khusuk.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Tak tersangka-sangka turunlah amanat baginda Kertanagara yang
menitahkan dia mengepalai rombongan perutusan Singasari ke tanah Malayu. Adakah mimpinya
akan menjadi suatu kenyataan ataukah kenyataan yang akan menjadi mimpi belaka. Entahlah.
Namun titah sang raja itu adalah suatu kesempatan yang tiada ternilai taranya. Kecemasan
pikirannya memikirkan keadaan pura Singasari yang akan makin kosong setelah kepergiannya,
bagaikan kabut pagi yang terlimpah sinar matahari. Seketika hilang lenyap. Dan kini dia dapat
melihat jelas lembah yang terhampar di bawah gunung, jalan yang merentang jauh, laut yang
beriak-riak siapa mengantarkannya menyongsong bayang-bayang kenyataan dari impiannya.
Wijaya seorang ksatrya muda yang mengabdikan segenap jiwa dan raganya untuk Singasari.
Namun sebagai seorang Taruna muda belia, diapun tak terlepas dari cengkeraman darah seorang
remaja. Remaja yang penuh dengan kegairahan asmara.
Puncak dari pengelu -eluan yang disiapkan Demang Lebar Daun untuk menyambut kedatangan
Wijaya di Sriwijaya yalah ke ka ia menghadap baginda Tribuana di kerajaan pura-resi Darmasraya.
Raden itu terlongong-Iongong seper kehilangan semangat ke ka pandang matanya terbentur
akan dua sosok insan dewata yang duduk bersimpuh di kedua samping baginda. Insan manusiakah
itu" Ah, bukan, bukan. Itulah bidadari, kata ha Wijaya walaupun dia belum pernah melihat
bidadari. Hampir ia tak percaya bahwa kedua bidadari itu ternyata adalah puteri baginda yang
bernama Candra Dewi dan Kembang Dadar.
Dalam pandang mata Wijaya, singgasana bertahtakan ratna mutu manikam, bersalutkan emas
kemilau dan beralaskan permadani indah permai, serasa suram di ngkah cahaya kecan kan kedua
puteri yang gilang-gemilang.
Raden Wijaya terbeliak dan tersipu-sipu ke ka ditegur baginda. Demikian dalam percakapan
dengan baginda, cakap raden itu dak selancar biasanya dan lebih banyak tergagap-gagap. Pada
hal biasanya dia pandai merangkai kata, fasih mengikat bahasa.
Tersenyumlah Demang Lebar Daun dalam ha ke ka menyaksikan ulah dan cakap raden Wijaya
yang serba gelisah itu. Serentak terbayang dalam benaknya, Sriwijaya akan selamat sejahtera,
aliran Hinayana tetap jaya dan akan berkembang. Darah keturunan Mauli-warman akan menguasai
kerajaan Jawadwipa. Daya kekuatan siasat puteri can k di atas dampar kencana ternyata lebih dahsyat daripada
kekuatan seluruh pasukan Sriwijaya. Pancaran mata kedua puteri jelita itu jauh lebih tajam
daripada beribu mata pedang dan ujung tombak.
Namun dikala raden Wijaya menyampaikan maksud baginda Kertanagara untuk meminang kedua
puteri baginda Tribuana, seke ka berobahlah wajah baginda. Hampir baginda tak dapat menguasai
amarah yang meluap-luap di dadanya. Untunglah pada saat itu Demang Lebar Daun telah
mendahului untuk meredakan ketegangan "Sudah tentu dalam hal ini raja Kertanagara akan
memohon kerelaan dan keikhlasan paduka dalam memper mbangkan peminangannya itu,"
kemudian ia berpaling kepada raden Wjaya "Bukankah demikian raden" Ataukah baginda
Kertanagara berkeras akan memaksa baginda Tribuana untuk meluluskan harapannya itu?"
Bagai kena pesona seke ka raden Wijayapun menjawab "Benar, tuanku Demang. Karena hal itu
menyangkut hubungan selamanya antara Singasari dengan kerajaan Sriwijaya, baginda Kertanagara
tak bermaksud mengadakan kekerasan karena hal itu dapat mencemarkan hubungan kedua
kerajaan yang sudah baik. Kedatangan hamba ke pura kerajaan Darmasraya ini tak lain hanya
membawa salam damai dan amanat persahabatan yang kekal sejahtera."
"Seri baginda," Demarg Lebar Daun memberi hormat kepada baginda "hamba rasa karena
masalah itu menyangkut kepen ngan kedua puteri paduka dan kerajaan Sriwijaya, baiklah paduka
mempertimbangkannya dahulu dan tak perlu memberi jawaban saat ini juga."
"Baik, mamanda, silakan mamanda mengabarkan kepada raden Wijaya," sahut baginda Tribuana.
Demang Lebar Daun segera menyampaikan tah baginda itu kepada raden Wijaya "Kiranya raden
tentu cukup maklum bahwa seri baginda amat kasih akan kedua puterinya. Oleh karena hal itu
menyangkut diri kedua puteri maka seri bagindapun tak berkenan memberi keputusan sekarang.
Kuharap raden suka bersabar menunggu barang dua tiga hari."
Raden Wijaya dapat menerima hal itu. Setelah beberapa saat kemudian iapun mohon diri dari
hadapan baginda. Sebagai tetamu utusan nata, raden Wijaya dan rombongannya dipersilahkan
menginap di wisma agung tempat para tetamu mancanegara apabila berkunjung ke
Darmasraya. Malam itu benar-benar Wijaya tak dapat memejamkan mata. Ia tak merasa ngantuk dan memang
dia tak ingin dur. Bayang bayang kedua puteri jelita itu selalu melekat di pelapuk matanya. Makin
hendak dihapus makin melekat "Duh, dewata, kiranya memang benar kabar yang dihamburkan
prajurit prajurit Singasari yang habis pulang dari Sriwijaya itu. Rasanya di seluruh permukaan bumi
Singasari, tiada puteri dan wanita yang secantik puteri Candra Dewi dan Kembang Dadar."
"Ah," sesaat ia menghela napas dibuai alam perasaan yang tak diketahui arah dan rasanya
"mengapa dak sejak dulu aku berkelana ke Sriwijaya" Ah, mengapa baru sekarang aku melihat
puteri jelita itu " Ah ".. ah ".."
Hanya desah dan desuh yang berhamburan dari mulut Wijaya. Ia kecewa dan getun. Tetapi
siapakah yang akan menjadi tumpuan sesal dan cewa itu"
"Bukankah aku sudah dijodohkan dengan kedua puteri baginda Kertanagara ?" serentak ia
tersentak dari lamunan " dakkah baginda akan murka " Tidakkah kedua puteri Tribuana dan
Gayatri akan murka pula?"
Serentak ia teringat akan wajah dari puteri Tribuana dan Gayatri. Puteri Tribuana memang kalah
can k 'dengan Candra Dewi, tetapi puteri Tribuana memiliki perbawa prabu, layak menjadi seorang
permaisuri. Sedangkan puteri Gayatri amat bijaksana dan agung serta luhur. Memperbanding
kecan kan dari ke ga puteri jelita itu bagaikan memperbandingkan kecan kan kembang, mela ,
mawar dan wijayakesuma. Puteri Tribuana ibarat mela yang harum mengikat kalbu, Candra Dewi
bagai mawar yang indah menyengsamkan dan Gayatri laksana bunga wijayakusuma yang agung.
"Aku sudah memiliki bunga Mela dan Wijayakesuma, masih kurang lengkaplah apabila dak
kumiliki bunga mawar lambang kecan kan yang ada taranya ... " tergetar kalbunya ke ka
membayangkan akan kecantikan dari ketiga puteri yang menghias dalam tamansari hatinya.
"Ah, aku hanya seorang utusan dari baginda Kertanagara untuk meminang puteri Candra Dewi
......... " ia tertegun dan terperangah "mengapa baginda Kertanagara hendak menginginkan sang
dyah ayu Candra Dewi " Bukankah usia seri baginda itu layak sebagai rama dari puteri itu"
Mengapa" Adakah karena seri baginda seorang nata-gung-binatara sehingga layak mempersun ng
seorang puteri yang masih muda belia dan layaknya menjadi puteranya " Ah .... "
Sedemikian besar kuasa asmara sehingga seorang utusan yang diutus untuk meminang seorang
puteri dapat timbul pikiran yang seharusnya tak boleh dimilikinya.
Teringat seke ka Wijaya akan sebuah cerita ke ka ia masih berada di pertapaan. Cerita tentang
begawan Wisrawa yang menyanggupi permohonan puteranya, prabu Danapa dari kerajaan
Lokapala, untuk memenangkan sang dyah ayu Dewi Sukesi, puteri prabu Sumali dari kerajaan
Alengka. Permohonan prabu Danapa kepada ayahanda begawan Wisrawa itu didasarkan karena
Dewi Sukeksi telah menjatuhkan keputusan untuk mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat
mewedarkan isi ilmu Sastra 'endra Hayuning Rat, apabila wanita akan diaku sebagai saudara
sekandung, apabila pria akan diambil sebagai suami. Prabu Danapati tak tahu akan ilmu itu maka ia
mohon kepada ayahanda yang faham akan ilmu itu untuk mewakilinya maju dalam sayembara.
Akhirnya berhasillah sang begawan Wisrawa menguraikan ar daripada ilmu itu. Tetapi pada
saat itu datanglah coba dari Dewata Agung untuk menguji kesucian ba n kedua insan itu. Maka
di tahkannya Hyang Batara Guru menyusup ke dalam tubuh sang begawan dan Hyang Batari Durga
ke dalam tubuh Dewi Sukeksi. Akibatnya begawan Wisrawa tergoda. Dia lupa bahwa tugasnya
hanya mewakili puteranya untuk meminangkan Dewi Sukeksi. Pada waktu Dewi Sukeksi
menghendaki bahwa begawan Wisrawa supaya diangkat sebagai suaminya maka sang begawanpun
menyetujui. "Demikian angger," kata gurunya kepada Wijaya kala itu "bahwa seseorang yang tahu dan
menger akan suatu ilmu, belumlah menjamin bahwa perilaku orang itu tentu sesuai dengan ilmu
yang dimilikinya. Kadang orang hanya tahu dan menger bahkan menghaya tetapi dak dapat
melakukannya. Maka camkanlah, ilmu itu pada hakekatnya bukan sekedar penger an,
pengetahuan dan penghayatan tetapi adalah amal."
Wijaya tertegun saat teringat akan cerita itu. Tidakkah dirinya juga seperti begawan Wisrawa "
"Apakah makna sesungguhnya yang tersirat dalam ndak begawan Wisrawa yang kurang tata
itu?" kata gurunya pula "hal itu tak lain hanya sebagai pertentangan yang terjadi dalam ba n kita.
Sebagai hasil hubungan Wisrawa dengan Sukeksi itu maka lahirlah Dasamuka yang menggambarkan
sifat Merah, yalah nafsu Amarah. Lalu lahir putera yang ke dua Kumbakama, lambang warna Hitam
yang menggambarkan nafsu angkara. Yang ke ga seorang puteri, Sarpakenaka, lambang warna
Kuning yang menggambarkan nafsu berahi. Kemudian terakhir, seorang putera bernama Gunawan
Wibisana, lambang warna Pu h yang menggambarkan nafsu baik. Demikianlah gambaran dari
nafsu-nafsu yang meletus dalam jiwa begawan Wisrawa sehingga membuahkan seorang putera
Dasamuka yang kelak menjadi seorang raja hadigang, hadigung, angkara murka dan menimbulkan
bencana peperangan sehingga berakibat rusaknya praja Alengka.
"Mungkin aku juga akan terkena kutuk dewata apabila aku melanjutkan keinginanku terhadap
puteri Candra Dewi ?" mbul pertanyaan dalam ha Wijaya dikala terkenang akan cerita begawan
Wisrawa. Ia termenung-menung dalam renung yang melelapkan. Alam renungannya menjelajah ke
seluruh lokaraya untuk mencari jawab.
"Ah," akhirnya ia menghela napas "haruskah kupersembahkan puteri itu kepada baginda
Kertanagara ?" ia tak dapat menjawab. Harus, kata pikirannya. Pikiran yang menyadari bahwa
kedatangannya ke Sriwijaya itu hanyalah sebagai utusan nata. Seorang utusan harus menunaikan
tugas yang di tahkan junjungannya "aku seorang senopa , seorang prajurit, seorang duta sang
nata, haruskah aku menghapus keluhuran makna tugas hanya karena seorang puteri ?"
Demikian kata pikirannya. Tetapi sesaat kemudian sang ha membantah "Ah, Wijaya, engkau
seorang lelaki, seorang ksatrya. Puteri adalah ibarat kerangka dan ksatrya itu kerisnya. Tidakkah
layak apabila sebuah keris pusaka mendapatkan kerangka yang indah" Tidakkah sudah sesuai
apabila seorang ksatrya mendapatkan seorang puteri jelita " Hina bagi seorang ksatrya yang takut
untuk mempersunting puteri idamannya ?"
Serentak ia teringat akan cerita tentang raden Arjuna, ksatrya penengah Pandawa. Jangankan
puteri insan dewata bahkan bidadari yang tercantik di kahyangan Dewi Supraba pun diperisteri.
"Ah, dak mungkin akan meniru seper raden Arjuna. Jangankan bidadari, sedang seorang puteri
yang bernama Candra Dewi saja, aku tak mampu," ia menghela napas, pejamkan mata "Ah, tetapi
apakah aku tak mampu" Tidak, tidak! Bukan karena tak mampu, tetapi aku memang tak dibenarkan
untuk melakukan hal itu. Mengapa" O, Dewata Agung, mengapa engkau jadikan aku senopa
Singasari yang harus tunduk pada raja Kertanagara .... "
Demikian semalam itu Wijaya tak dur. Pikirannya selalu dijagakan oleh lamunan dan renungan.
Dia terkejut ke ka sayup sayup mendengar suara nyanyian yang lembut dalam irama penuh
kedamaian "Ah, itu tentulah nyanyian doa pagi dari para pandita," ia terkejut karena menyadari
bahwa hari sudah menjelang fajar. Maka diapun lalu membaringkan diri di atas tempat tidur.
Hanya beberapa saat dia ter dur, kemudian dia sudah bangun pula. Setelah membersihkan diri
diapun duduk di ruang besar di mana telah disediakan minuman,dan hidangan pagi.
Tiba- ba penjaga pintu masuk memberi hormat "Raden, ada dua orang prajurit mohon
menghadap. Apakah raden berkenan menerimanya ?"
"Prajurit?" Wijaya agak terkesiap.
"Ya, prajurit dari hulubalang tuanku Hang Balbila."
"Apakah keperluannya hendak menghadap aku ?"
"Mereka hendak menghaturkan surat dari tuanku Hang Balbila."
"Baik, suruh mereka mssuk."
Penjaga memberi hormat lalu keluar dan tak lama masuk pula mengiring dua orang prajurit. Tiba
di hadapan Wijaya, kedua prajurit itu menghaturkan hormat dengan khidmat "Hamba diutus
tuanku hulubalang Hang Balbila untuk menyampaikan sepucuk surat undangan ke hadapan raden,"
salah seorang prajurit lalu menghaturkan sebuah sampul ke hadapan Wijaya. Wijayapun
menerimanya lalu membaca.
"O, baiklah," kata Wijava sesaat kemudian "kabarkan kepada hulubalang Hang Balbila, bahwa
aku pas datang memenuhi undangannya. Dan sampaikanlah rasa terima kasihku atas
penyambutan yang hendak diberikan kepadaku."
Setelah prajurit mohon diri maka Wijaya berkata kepada pengawalnya, lurah prajurit Pramudya
"Hulubalang Hang Balbila hendak mengundang aku ke pesta perjamuan untuk menghormat
kedatauganku." "O," kata Pramudya "tetapi dakkah selayak dengan kedudukan paduka sebagai duta nata, bila
kerajaan Sriwijaya yaag harus mengadakan pesta untuk menghormat kedatangan paduka, raden ?"
"Ya," jawab Wijaya "tetapi hulubalang Balbila mengatakan bahwa undangan itu adalah sebagai
rasa penghormatan dari Hang Balbila peribadi sebagai seorang hulubalang kepada Wijaya senopa
Singasari." "Senopati ?" ulang Pramudya.
"Ya, sebagai seorang senopa yang hendak menjamu seorang senopa . Bukan sebagai senopa
yang mengundang seorang duta kerajaan Singasari."
"Maaf raden, adakah raden berkenan menghadirinya ?"
"Ya." "Mengapa, raden ?"
"Ketahuilah Pramudya bahwa seorang senopa itu harus menghargai seorang senopa lain. Jika
Hang Balbila ingin menghormat kedatanganku, mengapa aku sebagai seorang senopa harus
menolak kebaikannya ?"
"Raden," kata Pramudya " dakkah raden memiliki suatu perasaan bahwa perjamuan itu memang
suatu perjamuan biasa demi menghormat kunjungan raden ke bumi Sriwijaya ?"
"Apa maksudmu Pramudya ?"
"Hamba agak mencemaskan hal itu, raden."
"Mencemaskan " Apa yang engkau cemaskan, kakang Pramudya ?"
"Bahwa segala dalih dan alasan, dapat dirangkai secara indah dan tepat," kata lurah
Pramudya "sebagaimana halnya hulubalang Hang Balbila yang hendak mengundang paduka
tebagai seorang senopati yang ingin menghormati senopati dari lain kerajaan. Mengapa harus
demikiankah pendirian hulubalang itu" Bukankah dia sudah tahu bahwa kedatangan raden ini
sebagai duta sang nata, bukan sebagai seorang senopati " Tidakkah sudah cukup apabila
kerajaan Sriwijaya yang mengadakan penyambutan kepada raden ?" Wijaya tertegun.
"Ah, kakang Pramudya. Janganlah kita berbanyak kecurigaan kepada orang. Justeru sebagai
senopati Singasari aku harus dapat menunjukkan kelapangan dada dan rasa persahabatan
kepada orang Sriwijaya. Jika aku menolak undangan itu, tidakkah hulubalang Hang Balbila akan
menertawakan aku ?" "Tetapi raden," bantah lurah Pramudya "raden sedang melaksanakan tugas baginda. Hendaknya
kelancaran daripada tugas itu supaya jangan terganggu."
"Baik, Kakang Pramudya," kata Wijaya "aku akan bersikap hati-hati. Dan engkau kakang,
tentu akan kuajak ikut serta. Maka kuharap engkaupun jangan sampai melalaikan kesiap-
siagaan dalam suasana perjamuan nanti."
Lurah Pramudya mengiakan.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 31 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Apakah semua peris wa dalam jagad ini merupakan sesuatu yang hanya justeru kebenaran saja,
ataukah segala sesuatu itu sudah teratur dalam garis-garis kodrat kehidupan manusia. Hal itu
masih belum terpikirkan oleh raden Wijaya.
Yang jelas ke ka ia masih duduk berbincang-bincang dengan Pramudya, lurah pengawalnya di
paseban luar dari wisma indah yang disediakan pa h Demang Lebar Daun sebagai tempat
penginapannya selama berkunjung ke Sriwijaya, tiba-tiba masuklah prajurit menghaturkan laporan.
"Raden, ada seorang dayang mohon menghadap raden ?" kata prajurit.
"Coba engkau ulangi," seru raden Wijaya.
"Seorang dayang dari istana Darmasraya, mohon perkenan paduka untuk menghadap."
"Seorang dayang ?" ulang Wijaya.
"Benar raden," sahut prajurit itu "seorang dayang perwara."
"Dari istana baginda Mauliwarman ?"
"Demikian raden."
"Apa keperluannya ?" tanya Wijaya.
"Katanya hendak menghaturkan persembahan sirih dan rokok kepada raden."
"Adakah dia seorang diri tanpa pengawal ?"
"Benar, raden, dayang itu hanya datang seorang diri."
"Suruh dia masuk," kata Wijaya.
Tak lama masuklah prajurit itu mengiring seorang wanita yang masih muda dengan pakaian
sebagai wanita biasa. Wanita itu menopang sebuah penampan yang bertutup kain merah jingga. Ia
segera memberi sembah dan bersimpuh di hadapan Wijaya.
"Siapakah engkau ini ?" tegur raden Wijaya.
"Hamba Cumbita, inang pengasuh tuanku puteri Candra Dewi "
"Hah," serentak Wijayapun berdiri dari tempat duduk "dari gusti puteri Candra Dewi ?"
"Demikian raden," dayang Cumbita menghatur sembab.
"Mengapa engkau memakai kain kepala warna hitam dan pakaianmu seperti wanita biasa ?"
"Maa an hamba, raden. Adalah bukan atas kehendak hamba sendiri untuk mengenakan kain
penutup kepala hitam dan pakaian seper wanita biasa melainkan atas tah tuan puteri Candra
Dewi, raden." "Puteri Candra Dewi menitahkan demikian?"
"Benar, raden."
"Apa sebabnya ?"
Sejenak dayang Cumbita mengerling pandang ke arah lurah Pramudya, kemudian


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyongsongkan pandang ke hadapan Wijaya.
Wijaya tahu dan suruh Pramudya ke luar "Nah, katakanlah sekarang, Cumbita."
"Agar perjalanan hamba dari istana kemari ini tidak menarik perhatian orang, raden."
"O, perjalananmu itu rahasia, maksudmu ?"
"Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan oleh tuan puteri, raden," sahut dayang Cumbita.
"Baiklah, Cumbita, segera haturkanlah apa yang hendak engkau persembahkan kepadaku," kata
Wijaya. "Hamba diutus oleh tuan puteri untuk mempersembahkan sesuatu yang mungkin berkenan
dalam hati paduka, raden."
Wijaya terkesiap "Tuan puteri siapakah yang mengutus engkau ?"
"Tuan puteri Candra Dewi, raden," Serentak berbangkitlah Wijaya dari tempat duduk.
"Apa katamu Cumbita " Tuan puteri Candra Dewi ?"
"Benar, raden," dayang setengah tua Cumbita menghaturkan sembah "memang tuan puteri
Candra Dewilah yang mengutus hsmba."
"Lalu katakanlah wahai, bibi Cumbita. Apa sajakah tah tuan puteri Candra Dewi yang bibi bawa
itu ?" "Hanya suatu persembahan yang amat sederhana, raden. Karena tuan puteri maklum bahwa di
negeri paduka raden sudah tak kekurangan akan benda-benda yang berharga. Tuan puteri kua r,
segala benda berharga di kerajaan Darmasraya ini takkan memadai dengan milik raden."
"Ah, janganlah tuan puteri beranggapan begitu" kata Wijaya "segala harta benda di seluruh
kerajaan Singasari, rasanya ada yang dapat menyamai cahaya gemilang dari ratna mutu manikam
kerajaan Darmasraya."
Dayang Cumbita tahu apa yang dimaksud oleh raden itu. Diam-diam ia tertawa. Ia makin percaya
bahwa Wijaya sudah dimabuk kepayang oleh kecantikan puteri Candra Dewi.
"Raden, perkenankanlah hamba menghaturkan persembahan dari tuan puteri Candra Dewi,"
kata dayang Cumbita seraya menjinjing penampan dan menghaturkan ke hadapan raden Wijaya.
Wijayapun segera menyambu . Ke ka membuka kain penutup, ia melihat dua buah cupuk
terbuat daripada emas bertahtakan ratna mu ara. Dan ke ka membuka salah sebuah cupuk, ia
terkejut. Isinya adalah seikat sirih lengkap dengan peralatannya.
Kemudian membuka cupuk yang kedua ternyata berisi, dua batang rokok. Rokok itu dak
terbungkus dengan daun nipah atau daun jagung melainkan juga dengan daun tembakau dan
tengahnya diikat dengan seutas benang. Yang sebatang dengan benang pu h. Demikian pula
dengan sirih tadi juga memakai ikatan benang warna merah dan putih.
"Ah," Wijaya mendesah kejut "mengapa tuan puteri mengirim sirih dan rokok kepadadu, bibi
Cumbita ?" "Itulah raden," kata dayang Cumbita "mengapa hamba katakan bahwa tuan puteri tak
menghaturkan suatu benda yang berharga karena tuan puteri tahu bahwa negeri tuan, tuan tak
kekurangan barang-barang yang berharga. Tetapi akan halnya sirih itu, memang kemungkinan
jarang terdapat di negeri paduka, raden."
"O, apakah keistimewaan dari sirih pemberian tuan puteri itu, bibi?"
"Mungkin paduka belum pernah mendengar bahwa pohon sirih itu ada juga jenis sirih gading.
Sirih yang kuning. "Sirih gading ?" Wijaya terkejut "ah, memang belum pernah kudengar tentang pohon semacam
itu, bibi." "Setiap jenis tanaman tentu ada yang istimewa. Demikian
pula dengan sirih," kata Cumbita "memang sirih semacam itu jarang sekali dapat ditemukan.
Pohon sirih gading itu adalah tanaman milik tuan puteri peribadi. Di seluruh kerajaan
Darmasraya dan Sriwijaya hanya sebatang itu."
"Ah, sungguh tak ternilai kiranya sirih pemberian tuan puteri ini. Adakah khasiat yang
terkandung pada sirih itu, bibi ?"
"Raden, setiap benda, khewan maupun tanaman yang aneh, tentu mempunyai khasiat tersendiri.
Khasiat daripada sirih gading ini yalah, barangsiapa mengunyahnya tentu akan tampak makin ayu
bercahaya serta awet muda."
"Ah," desah Wijaya "adakah tuan puteri Candra Dewi memakan sirih gading ini, bibi?"
"Jarang benar, raden," kata Cumbita "kecuali pada hari-hari upacara sesaji tertentu atau apabila
mamakda tuanku pa h Demang Lebar Daun berkunjung ke pura Darmasraya, tentulah tuan puteri
mempersembahkan hidangan sirih ini."
"Bibi," kata Wijaya "mengapa tuan puteri berkenan menganugerahkan sirih gading ini kepadaku
?" "Raden, paduka adalah tetamu agung, seorang ksatrya dari Singasari yang telah termasyhur di
seluruh kcrajaan-kerajaan di Swarnadwipa. Sudah selayaknya apabila tuan puteri menghaturkan
sirih itu ke hadapan raden. Bahkan tuan puteri cemas apabila persembahan yang amat sederhana
itu akan raden tertawakan."
"Bibi Cumbita, dak se
kpun Wijaya mengandung pikiran begitu," seru Wijaya "jangankan sirih
bahkan apapun yang tuan puteri anugerahkan kepadaku tentu akan kusambut dengan sepuluh jari
dan rasa bahagia." "Akan hamba haturkan ke hadapan tuan puteri tah raden itu," kata dayang Cumbita "dan rokok
itu mungkin jarang terdapat di negeri tuan."
Wijaya sejenak memeriksa rokok itu "Ya, memang baru pertama kali ini aku melihat rokok yang
dilin ng dengan daun tembakau. Di Singasari pada umumnya digulung dengan daun nipah atau
daun kelobot." "Radenpun tentu akan mendapatkan rasa yang jauh berbeda dengan rokok yang pernah raden
nikma selama ini. Rokok itu akan mampu melayangkan pikiran kita ke suatu alam yang indah dari
seribu khayal dan kenyataan."
"Aku percaya bibi," kata Wijaya "karena se ap pemberian tuan puteri bagiku adalah merupakan
suatu anugerah yang tiada taranya."
"Terima kasih raden," sembah dayang Cumbita "karena hari sudah hampir sore, perkenankanlah
hamba mohon diri untuk kembali."
"Tunggu bibi," seru Wijaya seraya melolos cincin pada jari manisnya "aku ada mempunyai
barang yang berharga yang layak kupersembahkan kepada tuan puteri. Hanya sebentuk cincin vang
tak berharga ini, sebagai sembah terima kasih Wijaya ke hadapan tuan puteri yang mulia. Semoga
tuan puteri tak murka dan berkenan menerima."
Wijaya menyerahkan cincin permata itu kepada dayang Cumbita. Setelah memberi sembah maka
dayang itupun segera meninggalkan wisma, menuju ke istana pnla.
Sampai beberapa saat Wijaya masih terlongong-longong memandang pemberian puteri Candra
Dewi itu. Apakah gerangan maksud puteri memberikan sirih dan rokok itu "
Pikiran Wijayapun melayang-layang ....
"Sirih adalah seper rokok, bukan bahan makanan tetapi suatu bahan kunyahan untuk pemerah
bibir dan pembersih gigi," pikirnya "apakah ar pemberian tuan puteri itu" Apakah tuan puteri
menghendaki supaya aku memiliki bibir yang merah dan gigi yang sehat " Ah, kurasa dak. Tuan
puteri tentu dapat menghargai diriku sebagai seorang ksatrya. Tak mungkin tuan puteri bermaksud
demikian .... " "Kunyah, ya benarlah," ba- ba pula ia teringat bagaimana kalau memakan sirih itu "kunyah
ar nya dak ditelan tetapi harus dilumat dengan ha -ha . Tidakkah hal itu mengandung makna
bahwa aku harus mengunyah sirih pemberian tuan puteri dengan pelahan-lahan agar dapat
mengetahui apa sebenarnya maksud daripada pemberian itu ?"
Kemudian Wijaya mengalihkan perha an kepada dua batang rokok. Cepat ia melihat akan tali
benang warna merah dan pu h yang mengikat batang rokok itu "Mengapa tuan puteri memberi
ikat benang warna merah dan putih ?"
Lama Wijaya termenung dalam lamunan untuk menjelajah alam ha nya. Beberapa waktu
kemudian ia mencoba untuk memberi tafsiran "Benang itu adalah lambang dari pengikat. Dan
rokok itupun dak satu atau ga empat batang, melainkan dua. Hal ini berar sepasang. Sepasang
yang diikat dengan tali benang. Merah dapat ditafsirkan sebagai lambang kaum lelaki dan pu h
lambang warna wanita, ah ..... "
Seke ka terhenyaklah Wijaya dari lamunan. Tafsirannya telah berlabuh pada satu arah. Tetapi ia
masih tak berani memas kan hal itu "Tidakkah hal itu suatu pesan harapan dari tuan puteri
kepadaku bahwa dua benda harus diikat menjadi sepasang dengan pengikat benang. Apabila
merah itu lambang kaum pria dan pu h itu lambang wanita maka ada lain tafsiran yang lebih
mendekati kebenaran daripada tafsiran 'sepasang pria dengan wanita'" Oh, gusti ....... "
Sesaat bersua pada penemuan itu maka, terbayanglah Wijaya akan wajah puteri Candra Dewi
yang bak' bidadari turun dari kahyangan itu. Dia memang belum pernah melihat bidadari. Dan apa
yang diketahuinya tentang bidadari hanyalah dari cerita orang-orang tua yang didongengkan
kepadanya pada masa ia masih kanak-kanak. Namun apabila bidadari itu memang ada, pun
rasanya tak mungkin dapat menyamai kecantikan yang gilang gemilang dari puteri Candra Dewi.
"Duhai puteri jelita, benarkah tuan berpesan harapan demikian kepada Wijaya yang hina ini ?"
ratap ha nya "jika demikian duhai puteri dewata, pas akan hamba laksanakan segala yang tuanku
titahkan. Walaupun tubuh dan jiwa Wijaya harus hancur terkena kutuk dewata."
"Haruskah aku menghiana tah puteri hanya karena aku ini seorang duta sang nata Singasari ?"
mbul perbantahan dalam ha nya "ah, mengapa Wijaya yang harus menjadi utusan ke
Darmasraya ini. Mengapa Wijaya harus bertemu dengan puteri Candra Dewi ?"
"Bukankah hal itu karena memang sudah ditakdirkan dewata. Karena tak mungkin segala yang
berlangsung saat ini akan terjadi apabila dewata dak menghendaki sesuatu kepai an lain,"
akhirnya ia menemukan suatu jawaban dari kegelapan yang mengabut mata hatinya.
"Tetapi dakkah baginda Kertanagara akan murka apabila aku lancang mempersun ng puteri
yang dipinang baginda itu ?" mbul pula sanggahan dalam ha nya " dakkah namamu akan cemar
sebagai ksatrya yang lancung, yang angkara murka, yang ingkar dari kesetyaan terhadap junjungan
?" Wijaya pejamkan mata dan melepaskan diri ke alam raya. Ia tak ingin mengendalikan dan
memaksa pikirannya untuk menuju ke suatu arah. Karena hal itu, bukanlah suatu jawaban yang
murni melainkan suatu jawaban yang dipaksakan menurut kehendak ha nya. Dan sesuatu yang
dipaksakan itu mengandung cemar nafsu yang kotor.
Tidak ! Dia akan membebaskan pikirannya berkelana ke alam yang ada batas ujung pangkalnya.
Biarlah pikiran itu terbang melayang-layang sampai nan ba pada suatu penemuan yang bebas
dari paksa dan nafsu. "Wijaya, engkau tak merebut puteri yang diinginkan prabu Kertanagara. Engkau dak
mengingkari janji. Tetapi pria dan wanita itu pada hakekatnya hanya berbeda dalam bentuk
jasmaniah tetapi rasa dan pikirannya sama. Candra Dewi tentu hancur luluh ha nya apabila
mendengar dirinya dipinang oleh Kertanagara seorang maharaja yang layaknya menjadi ramanya.
Tidakkah wanita itu juga seorang insan dewata yang memiliki hati perasaan seperti pria pula ?"
Pada saat menanjak ke alam pemikiran itu, makin mendaki layang lamunan Wijaya ke puncak
pengembaraan "Benar, engkau Wijaya. Bukankah puteri Candra Dewi telah berkenan mengirim
kepadamu seikat sirih dan sepasang rokok dengan tali pengikat benang warna merah putih"
Tidakkah hal itu menandakan suatu amanat halus dari sang puteri kepadamu " Engkau seorang
pria, engkau harus tanggap-sasmita tentang hal itu Dan hal itu membuktikan bahwa engkau
tidak merampas puteri itu dari tangan baginda Kertanagara karena jelas pula bahwa puteri
Candra Dewi tak berkenan menerima peminangan seri baginda dari Singasari."
"Wijaya adakah engkau rela melihat dan membiarkan seorang bidadari harus menderita siksa
batin karena harus mengorbankan diri demi menyelamatkan negaranya " Dan sebagai ksatrya,
adakah engkau dapat menerima suatu kenyataan dari suatu kekuasaan yang digunakan untuk
memaksakan kehendak diri peribadi " Apakah engkau merelakan kehancuran hati seorang
insan tak berdosa karena takut akan kekuasaan itu ?"
"Tidak ! Tidak ! Memang kekuasaan itu serba menang. Dapat memaksa apa saja yang
diinginkan. Tetapi tidakkah hal semacam itu merupakan penampilan dari suatu sikap ahangkara
murka " Dan tidakkah sikap ahangkara itu wajib diberantas?"
Tersentak Wijaya pada saat ia berlabuh dalam ujung pengembaraan dimana segala sesuatu
pemandangan akan tampak dengan jelas. Dan tampak pula adanya batas batas antara yang
remang dengan yang terang, yang samar dengan yang nyata, yang benar dengan yang salah,
yang semu dengan yang aseli. Bahwa penyerahan berdasar ketakutan akan kekuasaan
bukanlah penyerahan yang murni tetapi suatu paksaan. Bahwa permintaan yang berlandaskan
pada kekuasaan bukanlah suatu permintaan melainkan lebih cenderung disebut pemerkosaan.
Setiap hal yang bersifat paksa dan perkosa, adalah lalim.
Tiba-tiba terdengar tangkah kaki masuk ke dalam ruangan dan terhenyaklah Wijaya dari lamunan
"O, engkau kakang Pramudya," serunya.
Yang masuk ke dalam ruang itu adalah bekel pengawal Pramudya. Karena sampai beberapa lama
belum juga Wijaya beranjak keluar dan dak memanggilnya, mbullah kekua ran dalam ha bekel
prajurit itu. Sebagai seorang pengawal peribadi, dia bertanggung jawab penuh atas keselamatan
raden Wijaya. Maka tanpa meminta idin diapun terus melangkah masuk. Memang bagi Pramudya,
dak berlaku suatu idin apabila bekel itu menganggap bahwa junjungan yang dijaganya itu diduga
sedang terancam bahaya. "Benar, raden. Hamba harap raden tak kurang suatu apa."
"Tentu saja tidak, Pramudya. Adakah engkau melihat tanda-tanda bahaya pada diriku ?"
"Tidak, raden. Namun hamba menduga dalam kecemasan, mengapa sudah beberapa lama raden
dak keluar memanggil hamba. Dan ke ka masuk, hambapun melihat raden tampak tegang.
Apakah gerangan persoalan yang raden tengah hadapi " Adakah persembahan dayang istana
Darmasraya itu yang menyebabkan raden tercengkam ketegangan ?"
Wijaya tertawa "Sama sekali dak, Pramudya. Dayang itu diutus tuan puteri. untuk
mengantarkan sirih dan rokok kepadaku."
"Raden," Pramudya agak terkejut "tuan puteri yang manakah yang mengutus dayang itu ?"
"Puteri Candra Dewi, Pramudya."
"O," Pramudya mendesah "mengapa tuan puteri berkenan mengirimkan sirih dan rokok kepada
raden ?" "Mungkin agar aku dapat menikma sirih gading dan rokok bungkus daun tembakau yang tak
terdapat di Singasari."
"Ah, hamba rasa bukan terbatas sampai di situ maksud tuan puteri."
Wijaya terkesiap. Kiranya bekel itu bermata tajam juga sehingga dapat mencium sesuatu yang
menyebabkan aku termangu-mangu.
"Kakang Pramudya," kata Wijaya "engkau pernah muda, bukan ?"
Pramudya tertawa mengiakan.
"Nah, kiranya engkau tentu tahu apa sebab engkau mengajukan pernyataan tadi."
"Adakan hamba salah lihat, raden ?"
"Tidak kakang Pramudya," kata Wijaya "memang pandanganmu itu tepat. Dan bagaimana
pendapatmu, kakang Pramudya ?"
"Bagaimana maksud raden ?"
"Salahkah aku kalau aku bertindak demikian, kakang ?"
"Maaf, raden," sahut Pramudya "kiranya hamba mohon agar hamba mendapat gambaran yang
jelas tentang persoalan yang raden hadapi dan barulah hamba dapat menghaturkan pendapat
hamba. Tetapi apakah raden berkenan menerima pandangan hamba nanti?"
"Ah, kakang Pramudya," kata Wijaya "engkau adalah pengawalku. Sudah tentu aku menaruh
kepercayaan besar kepadamu. Engkau kuanggap seperti para kadehanku yaag kini kutinggal di
pura Singasari." Pramudya menghaturkan terima kasih.
"Begini kakang," kata Wijaya mulai mengendapkan ketegangan ha nya "sejak masih berada di
pura Singasari aku sudah mendengar kabar tentang kemasyhuran puteri Candra Dewi atau Dara
Petak dan puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga dari kerajaan Sriwijaya. Kedua puteri itu,
terutama puteri Candra Dewi, merupakan mustika yang menyinarkan pamor kerajaan Sriwijaya."
"Benar, raden," jawab Pramudya "memang kecan kan kedua puteri kerajaan Sriwijaya itu ada
bandingannya. Adakah karena itu maka hingga kini kerajaan Sriwijaya - Darmasraya masih tetap
tegak tiada terganggu."
"Apa maksud kakang berkata demikian ?"
"Begini raden," kata Pramudya "hamba mendengar cerita orang, bahwa sesungguhnya sudah
banyak raja-raja di Swarnadwipa bahkan sampai ke Campa, yang ingin memperiun ng kedua puteri
kerajaan Sriwijaya itu. Namun mereka saling terpancang oleh rasa sungkan terhadap satu sama
lain. Rasa sungkan itu juga mengandung rasa cemas. Apabila salah seorang raja meminang dan
diterima, tentulah raja-raja yang lain akan tak puas dan kemungkinan besar akan menyerang raja
itu." "O, maksud kakang Pramudya, di antara raja-raja tanah Malayu itu saling curiga mencurigai dan
saling awas mengawasi. Barangsiapa berani meminang puteri dan diterima maka raja-raja yang lain
tentu akan menyerang negeri raja itu."
"Demikianlah raden," kata Pramudya "karena adanya hal itu maka malah ada seorang raja yang
berani berkunjung ke Sriwijaya untuk menghaturkan pinangannya kepada puteri. Dan karena itulah
ada seorang raja di tanah Malayu yang mau mengganggu kerajaan Sriwijiya - Darmasraya karena
di kerajaan itulah terdapat dua bidadari yang menjelma."
"Ah," Wijaya menghela napas "tetapi sudah kodrat bahwa se ap tah dewata itu tentu akan
mendapat pasangan hidup. Raja raja di tanah Malayu itu hanya memikirkan kepen ngan diri
masing-masing tetapi tak memikirkan kedua puteri yang sebagai puteri remaja tentu juga
mengharapkan kehadiran seorang ksatrya pangerannya."
Pramudya mengangguk "Memang demikian. Tetapi keadaan itu telah berlangsung bertahun
tahun." "Tetapi kakang Pramudya, tidakkah keadaan itu akan mercapai ke akhirannya jua ?"
"Tentu raden," sahut Pramudya "dewata telah mentakdirkan jodoh bagi setiap titahnya. Mungkin
keadaan raja-raja di tanah Malayu itu dapat kita katakan, bahwa kedua puteri jelita itu memang
bukan jodoh mereka .... "
"Benar, kakang Pramudya," seru Wijaya penuh gairah "memang kini aku makin yakin bahwa
jodoh kedua puteri, terutama puteri Candra Dewi, bukan raja-raja di tanah Malayu."
Pramudya tersenyum "Lalu kira-kira siapakah yang raden anggap, berjodoh dengan puteri jelita
itu?" "Ah, kakang Pramudya," Wijaya tersenyum "perlukah kujelaskan kepada kakang " Lihatlah ?" ia
memperlihatkan kiriman sirih gading dan rokok tembakau dari puteri Candra Dewi.
"Ah," Pramudya mendesah.
"Adakah kakang Pramudya masih menyangsikan hal ini?"
"Memang suatu hal yang luar biasa bahwa tuan puteri berkenan mengutus inang pengasuhnya
untuk menghaturkan sirih dan rokok kepada raden."
"Kakang sesungguhnya dalam alam jagat raya ini ada sesuatu yang aneh dan luar biasa. Semua
telah ada dan segala apa telah tersedia. Hanya kita manusia yang belum mampu menemukannya
sehingga setiap berhadapan dengan penemuan kita terkejut."
Pramudya mengangguk "Lalu bagaimana maksud raden?"
"Itulah kakang," kata Wijaya "yang hendak kutanyakan kepadamu, bagaimana pendapatmu
sekiranya aku melanjutkan niatku sesuai yang diamanatkan sang puteri dalam sirih dan rokok itu."
Pramudya kerutkan dahi. Lama ia tak dapat menjawab.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adakah kakang tak setuju akan niatku sehingga kakang berat untuk mengatakan ?" tegur Wijaya.
"Bukan demikian raden, walaupun ada juga unsur-unsur ke arah itu," jawab Pramudya "hamba
masih bimbang untuk mencari titik terang di antara dua pertimbangan."
"O, cobalah kakang katakan bagaimanakah kedua per mbangan yang membingungkan kakang
itu." "Per mbangan itu bersumber pada perasaan ha dan pikiran: Per mbangan yang berasal dari
perasaan ha , hamba meyogyakan bahkan mendukung sepenuh ha akan niat raden itu. Raden,
hambapun seorang lelaki dan pernah muda pula. Bahwa isteri hamba yang sekarang bertubuh
gemuk dan dak can k, itu hamba terima sebagai suratan takdir jodoh hamba. Tetapi yang hamba
idam idamkan dulu bukan dia melainkan seorang gadis can k, puteri seorang demang. Walaupun
hamba seorang pemuda yang tak mampu tetapi ha hamba tetap bergelora keyakinan, apapun
yang terjadi, hamba akan mempersunting gadis itu."
"Bagus kakang. Itulah sifat seorang jantan" seru Wijaya yang mulai tertarik "lalu bagaimana
kelanjutannya ?" "Puteri demang itupun membalas cinta hamba ..... "
"Bagus, kakang Pramudya. Itu namanya kakang tidak bertepuk sebelah tangan," tukas Wijaya.
"Hamba nekad, raden. Tekad hamba, kalau dak mendapat gadis yang hamba idamkan itu, lebih
baik hamba sirna tanpa ndadi."
"Wah, hebat benar tekad kakang," seru Wijaya.
"Hamba tahu bahwa ki demang tak setuju dengan pernikan itu. Ki demang tak mau menerima
hamba sebagai menantunya karena puterinya itu sudah akan dipinang puteja seorang tumenggung.
Namun hamba tetap pantang mundur. Hamba secara sembunyi telah berhasil menemui puteri
demang itu. Dan dia setuju apabila akan hamba ajak minggat. Hamba menentukan hari dan waktu
untuk melaksanakan maksud hamba itu."
"Ah, begitu besar nyali seseorang yang sedang dimabuk asmara," seru Wijaya.
"Setelah waktu tiba, malam itu hamba menuju ke belakang kebun rumah kediaman ki demang. Di
situ hamba akan menan puteri ki demang ke luar dan terus akan hamba ajak lari. Memang pada
saat itu muncul sesosok tubuh ramping. Ha hamba berdebar-debar. Gadis itu benar-benar setya
janji kepada hamba, pikir hamba .... "
"Seorang gadis umumnya lebih setya daripada kaum pria, kakang," tukas Wijaya pula.
"Maka hambapun legera menghimpiti untuk menyambutnya. Tetapi ah, gusti .... "
"Mengapa kakang ?" Wijaya terkejut.
"Apa yang hamba hadapi saat itu, benar-benar di luar dugaan hamba."
"Apakah yang terjadi kakang " "
"Maaf, raden," kata Pramudya "sekedar pengisi waktu, hamba mohon cobalah raden mengatakan
apa kiranya yang hamba dapatkan saat itu."
"Engkau suruh aku menerka ?"
"Untuk menguji apakah apa yang hamba katakan bahwa hamba sama sekali tak pernah menduga
akan menghadapi peris wa semacam itu, benar-benar memang suatu kenyataan yang dirasakan
oleh siapapun juga, bukan hanya sekedar perasaan hamba sendiri."
"Baik," Wijaya kerutkan dahi merenung "gadis puteri ki demang itu tentu menolak ajakanmu
karena dia berat untuk meninggalkan kedua rama-ibunya."
"Bukan, raden "
"Hm," Wijaya berpikir pula "gadisku menganjurkan supaya engkau lekas-lekas nggalkan tempat
itu karena perbuatanmu berdua telah diketahui ki demang."
"Juga salah," Pramudya gelengkan kepala. Wijaya garuk-garuk kepala "Wah, kalau begitu, aku
menyerah. Karena menurut hematku, hanya ada dua kemungkinan itu yang dapat terjadi. Cobalah
kakang ceritakan saja."
"Yang datang itu ternyata bukan puteri ki demang, melainkan seorang bujang keluarga ki demang
yang sengaja disuruh ki demang untuk menyaru sebagai puterinya."
"Ah," Wijaya mendesah kejut "lalu bagaimana perasaan kakang saat itu?"
"Hamba terkejut kemudian marah "Engkau ....... " karena tak dapat menguasai perasaan, hamba
jambak rambut bujang itu dan hamba tempeleng..... "
"Ah," Wijaya mendesah kejut.
"Tetapi tepat pada taat itu dari balik gerumbul pohon berhamburanlah beberapa belas orang;
orang kademangan menyerbu hamba. Habis sekujur badan hamba dihujani nju dan kaki mereka.
Barulah mereka meninggalkan hamba ke ka hamba menggeletak berlumuran darah di tanah.
Mereka takut kalau sampai menimbulkan rajapati ... "
"Ah," makin keras kejut Wijaya dalam desahnya "jelas kakang telah terjebak oleh muslihat ki
demang." "Benar, raden," kata Pramudya "ternyata perjanjian hamba dengan puteri ki demang telah
diketahui ki demang karena dibocorkan oleh seorang bujang yang mengetahui hal itu."
"Di manakah puteri ki demang saat itu " Apakah dia tak tahu akan peris wa yang menimpah
dirimu ?" "Beberapa waktu berselang barulah hamba ketahui bahwa puteri ki demang telah diungsikan
kepada seorang keluarga ki demang yang tinggal di pura kerajaan. Di sana gadis itu dijaga
ketat dan dipaksa dinikahkan dengan putera tumenggung .... "
Wijaya mengangguk-angguk.
"Sejak saat itu hamba bersumpah takkan mau percaya lagi kepada wanita."
"Tetapi bukankah akhirnya kakang menikah juga dengan isteri kakang yang sekarang ini ?"
"Ya," kata Pramudya "karena hamba terpaksa menuru , kehendak orangtua hamba. Tetapi
hamba mengajukan syarat, hamba hanya ingin menikah dengan seorang wanita yang buruk muka."
"Kakang Pramudya!" seru Wijaya terkejut "mengapa engkau mempunyai pendirian begitu ?"
"Karena hamba ingin melaksanakan sumpah hamba terhadap wanita, raden."
"Aku tak mengerti maksudmu, kakang."
"Dengan beristerikan seorang wanita buruk muka, maka hamba selalu melaksanakan apa yang
telah hamba ikrarkan itu. Dengan membekal rasa tak senang memandang seorang isteri yang buruk
muka, hamba tentu tetap tak percaya kepada wanita."
"Kalau tak suka mengapa engkau memperisterikannya, kakang?"
"Telah hamba katakan, hamba hanya menuruti kehendak orangtua hamba."
"Lalu apa kedudukan isterimu itu dalam kehidupanmu, kakang ?"
"Hanya sebagai pelengkap untuk genapnya orang hidup itu, seseorang harus mempunyai isteri."
"Ah, kakang menyiksa kepada isteri kakang."
"Tidak raden," bantah Pramudya "isteri hamba tak merasa tersiksa akan pendirian hamba itu.
Karena sebelumnya telah hamba jelaskan tentang pendirian hidup hamba dalam pernikahan itu."
"Dan dia menerimanya, kakang?"
"Menerima, raden. Dia mengatakan bahwa apapun yang terjadi, dia tetap akan setya kepada
hamba demi membuktikan bahwa tidak semua wanita itu buruk laku, ingkar janji."
Wijaya mengangguk-angguk "Isterimu itu benar-benar seorang wanita yang utama."
"Itulah sebabnya maka sampai sekarang dia tetap menjadi isteri hamba, raden," Pramudya
tertawa. Wijaya ikut tertawa... "Demikianlah raden kissah hidup hamba di masa muda," kata Pramudya
"jelas bahwa masa muda itu memang penuh dengan segala peris wa yang mungkin dari yang tak
mungkin terjadi. Yang jelas pula, bahwa darah muda yang sedang dicengkam asmara itu tak gentar
menghadapi segala apa."
"Ya," Wijaya mengangguk.
"Dan itulah apa yang hamba maksudkan dengan per mbangan yang menurut suara ha ," kata
Pramudya "kemudian tentang per mbangan atas dasar pikiran, memang berbeda bahkan
bertentangan dengan Suara hati itu."
"Maksud kakang " "
"Per mbangan berdasar pada pikiran, adalah melihat pada kenyataan. Bahwa niat raden untuk
menanggapi amanat tuan puteri Candra Dewi, memang suatu langkah yang bersifat jantan. Dewa
berjodoh dengan dewi, hapsara dengan hapsari raksasa dengan raksesi dan ksatrya dengan puteri.
Tetapi berdasar pada pertimbangan pikiran maka langkah raden itu memang kurang utama."
"Karena aku hanya seorang utusan ?" tukas Wijaya.
"Kiranya raden sudah menyadari hal itu," kata Pramudya "seorang utusan tak lain hanyalah
seorang wakil. Bahwa raden telah diutus sang prabu Kertanagara sebagai duta untuk meminang
kedua puteri kerajaan Darmasraya. Tugas itu telah digariskan secara jelas bahwa kedudukan raden
hanyalah sebagai utusan, yani seorang yang telah mendapat kepercayaan penuh dari seri baginda
akan kesetyaan dan pengabdiannya. Maka tak perlu kiranya hamba jelaskan bagaimana anggapan
seri baginda apabila raden melanjutkan niat raden terhadap puteri C indra Dewi nanti."
"Aku seorang utusan hianat, seorang ksatrya ingkar ?" seru Wijaya.
"Maafkan hamba, raden."
"Engkau tak bersalah kakang," kata Wijaya "memang anggapanmu itu mewakili anggapan umum
terutama murka yang akan dijatuhkan seri baginda kepada diriku. Lalu haruskah aku membiarkan
saja puteri Candra Dewi dipersunting baginda Kertanagara ?"
Pramudya terkesiap tak dapat menjawab.
"Kakang," kata Wijaya "cobalah engkau jawab pertanyaanku dengan sejujur hatimu. Jangan
takut, kakang, aku takkan marah apapun yang akan menjadi jawabanmu nanti."
"Baik, raden." "Berdasarkan apakah maka seri baginda Kertanagara berani meminang puteri Candra Dewi itu?"
Pramudya kerutkan kening.
"Untuk mengikat hubungan Sriwijaya dengan Singasari dalam hubungan darah, raden."
"Ya," sahut Wijaya "tetapi mengapa baginda Kertanagara harus meminang puteri Candra Dewi "
Apakah hubungan keluarga itu harus dengan cara baginda Kertanagara yang meminang puteri
Candra Dewi " Mengapa dak baginda Kertanagara saja yang memberikan puterinya kepada raja
Mauliwarman ?" "Mungkin baginda Kertanagara sudah seorang diri karena permaisurinya sudah wafat. Beda
dengan raja Teribuana yang masih mempuuyai permaisuri."
"Tidakkah dapat dicarikan jalan lain misalnya puteri seri baginda Kertanagara dijodohkan dengan
putera raja Teribuana Mauliwarman " Kakang Pramudya," kata Wijaya "layakkah seoang baginda
yang sudah setengah baya mempersun ng seorang puteri yang tepatnya menjadi puteranya "
Tidakkah usia puteri Candra Dewi itu sebaya dengan dinda Teribuana dan Gayatri" "
Pramudya tahu bahwa Wijaya telah terangsang oleh gelora perabaan penasaran sehingga lupa
siapa dirinya dan siapa seri baginda Kertanagara itu "Ah, raden, bagi seorang pria terutama raja,
usia bukanlah pantangan untuk mempersua ng puteri yang layaknya menjadi puteranya. Tidak
saja di kalangan keraton, pun di kalangan rakyat apabila golongan orang berada, hal itu bukanlah
sesuatu yang mustahil."
"Baik, kakang," Sahut Wijaya "sekarang aku hendak bertanya. Mengapa dikalangan rakyat pada
golongan orang yang berada dan berpangkat, dapat melaksanakan maksudnya semacam itu ?"
Pramudya terkesiap. "Maksudku," Wijaya menyusuli penjelasan "mengapa hal itu dapat terlaksana. Apa dasarnya
maka gadis-gadis yang hendak dipersun ng oleh orang kaya dan berpangkat mau saja
menerimanya " Tidakkah karena mereka melandaskan pada kekuasaan harta dan kekuasaannya
sehingga orang- orang tua para anak gadis karena takut terpaksa menyerahkan anak gadisnya ?"
"Ya," sahut Pramudya "memang demikian raden. Tetapi ada juga orangtua yang terpincut akan
harta kekayaan dan pangkat sehingga mau manyerahkan anak gadisnya sebagaimana yang telah
terjadi pada ki demang yang hamba ceritakan tadi."
"Nah itulah kakang," seru Wijaya "sumbernya adalah pada harta atau kekuasaan. Demikian
halnya pula dengan seri baginda Kertanagara. Karena merasa lebih kuat dan lebih berkuasa barulah
baginda berani untuk melangsungkan peminangan itu. Coba kalau Singasari itu sebuah kerajaan
kecil dan lemah, mungkinkah seri baginda berani meminang puteri kerajaan Sriwijaya?"
Pramudya akhirnya mengangguk.
"Nah, apabila kita berani bersikap jujur," kata Wijaya "dalam peminangan seri baginda
Kertanagara kepada puteri Candra Dewi itu terdapat unsur paksaan yang berlandaskan pada
kekuasaan Singasari dengan pasukannya yang kuat. Dan apabila baginda Mauliwarman menerima
pinangan itu, kita harus percaya, bahwa ndakannya itu tentu berdasar pada rasa terpaksa agar
dapat menyelamatkan kerajaan Sriwijaya-Darma-sraya."
Pramudya terdiam. "Dalam kedudukan sebagai seorang duta, aku harus melaksanakan apa yang menjadi tah
baginda. Tetapi dalam kedudukan sebagai seorang pria, seorang manusia, aku merasa bahwa
perutusan yang kulakukan di Sriwijaya ini bersifat penindasan dari suatu kekuatan terhadap fihak
yang lemah." Pramudya mengangguk. "Nah. setelah menyadari hal itu kakang," kata Wijaya pula "apakah yang harus kulakukan"
Apakah aku harus tetap melaksanakan tah seri baginda Kertanagara dengan menyandang suatu
ciri cemar, bahwa aku telah melaksanakan suatu tugas yang sebenarnya bertentangan dengan
dasar keksatryaan dan kemanusiawian. Kedua, aku pun membiarkan seorang puteri yang jelas
memberi amanat halus untuk mengetuk hatiku, harus menerima derita nasib seumur hidup."
"Namun jika aku mengingkari tugas yang dipercayakan seri baginda kepadaku, kakang, akupun
akan dicerca sebagai seorang ksatrya yang culas. Dalam menghadapi dua pilihan ini, aku merasa
bimbang, kakang." Pramudya kerutkan dahi merenung.
"Raden," katanya sesaat kemudian "kita wajib dan harus percaya kepada kekuasaan Hyang
Jagadnata. Marilah kita serahkan apa yang akan terjadi kepadaNYA."
"Maksud kakang?"
"Apabila raden memang berjodoh dengan tuan puteri Candra Dewi, walaupun terjadi gunung
roboh laut terbalik, perjodohan itu akan tetap terlaksana. Memang tampaknya suatu hal yang
mustahil apabila puteri Candra Dewi yang raden boyong ke Singasari dan akan raden
persembahkan kepada seri baginda Kertanagara itu akan tak dapat terlaksana, kemudian puteri
akan dapat raden persun ng. Tetapi telah hamba katakan, ada barang yang mustahil apabila
Dewata Agung menghendakinya."
Wijaya termenung. Dia ingin membantah pernyataan pengawal iiu yang dianggapnya lemah.
Tetapi kenyataan yang dihadapi saat itu, memang tampaknya menuju ke arah iiu. Untuk sementara
waktu, dia belum dapat menemukan jalan yang baik untuk memecahkan persoalan itu.
"Baiklah, kakang," akhirnya ia berkata "aku akan menerima saran kakang. Tetapi hal itu bukan
berar aku menyerah saja kepada nasib, melainkan karena saat ini aku belum dapat menemukan
jalan yang tepat untuk menghadapi persoalan itu."
"Syukur, raden," kata Pramudya.
Dalam pada itu haripun sudah mulai menjelang sore "Eh, kakang Pramudya, ternyata surya
sudah mulai condong ke barat. Aku hendak beris rahat dan kuharap kakangpun juga demikian.
Sebentar lagi akan kuajak kakang menghadiri perjamuan yang diadakan hulubalang Hang Balbila."
Pramudya memberi hormat lalu keluar. Sementara Wijayapun segera berkemas-kemas masuk ke
dalam bilik peraduannya. Memang hari seolah berjalan amat cepat. Wijaya perlu beris rahat untuk memulangkan
semangat. *** Malam merupakan penampung dari segala gerak kehidupan manusia. Pada malam hari itulah
manusia beris rahat untuk memulangkan tenaga, pikiran dan segala sesuatu yang dilakukannya
pada siang hari. Tetapi ada kalanya, di kalangan tertentu, malam bahkan merupakan awal dari kegiatan hidup.
Namun hal itu memang dak merata karena pada umumnya malam adalah saat-saat peneguk
kedamaian dan ketenangan.
Di antara pengecualian dari kehidupaa manusia pada umumnya di antara kalangan tertentu yang
menjadikan malam sebagai awal dari kehidupan hari itu termasuk panglima Hang Balbila. Panglima
itu memang gemar mengadakan pertemuan pada malam hari. Sebagai seorang panglima, dia sering
memanggil rekan dan anakbuahnya untuk datang mengadakan perundingan tentang soal-soal yang
menyangkut keamanan kerajaan Darmasraya. Dan sebagai seorang penganut faham Hinayana,
diapun sering mengadakan pertemuan sarasehan dengan para pandita, biksu dan kawan-kawan
yang sefaham dalam agama itu. Bahkan pada ap kali diselenggarakan upacara-upacara peringatan
dan sesaji di kuil dan vihara yang tersebar berpuluh bahkan beratus jumlahnya di kerajaan
Darmasraya, apabila dak sedang bertugas ke luar daerah, tentulah panglima Hang Balbila akan
hadir. Pada malam dari hari kedatangan rombongan perutusan Singasari yang dipimpin raden Wijaya
menghadap baginda Teribuana Mauliawarman di istana Darmasraya maka panglima Hang
Balbilapun memanggil rekan dan bawahannya untuk mengadakan perundingan.
"Ada sesuatu yang perlu kurundingkan dengan saudara-saudara sekalian," panglima Hang Balbila
membuka pertemuan "yalah tentang maksud daripada kunjungan perutusan Singasari yang
dipimpin oleh raden Wijaya itu. Walaupun hal itu mutlak menjadi hak seri baginda Mauliwarman
untuk menentukan keputusan tetapi kita sebagai pimpinan angkatan perang kerajaan Darmasraya,
pun perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi."
Hadirin yang terdiri daripada perwira dan bintara pasukan Darmasraya, menyambut pernyataan
panglima Balbila dengan setuju.
"Sebenarnya menurut hematku peribadi," kata panglima Balbila "sungguh suatu hinaan yang
belum pernah diderita kerajaan Sriwijaya-Darmasraya seper yang telah terjadi dari kunjungan
perutusan kerajaan Singasari itu. Cobalah andika sekalian renungkan. Tidakkah raja Singasari itu
memang hanya ingin mencari alasan belaka dalam mengajukan peminangan terhadap kedua puteri
baginda kita?" "Mohon panglima suka menjelaskan apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik maksud dari
perutusan Singasari itu," kata seorang perwira muda yang bernama Sipora.
"Berapakah usia raja Singasari itu ?" seru Hang Balbila "bukankah raja itu sudah tua.
Kabarnya kedua puteri raja itupun sudah ditunangkan dengan raden Wijaya. Dengan demikian
jelas bahwa usia raja Singasari itu paling tidak tentu sebaya dengan junjungan kita."
Terdengar hadirin mengiakan.
"Nah, hal itu jelas menujukkan bahwa raja Singasari mempunyai dua maksud. Pertama, jika
peminangannya itu ditolak maka dia mempunyai alasan untuk menyerang Sriwijaya-Darmasraya ....
" Terdengar gemuruh suara mendesuh dari para hadirin.
"Dalam hal ini, kami sudah siap mempersembahkan jiwa raga kami demi menegakkan
kewibawaan Sriwijaya" seru seorang perwira yang bernama Arung Bangir.
"Benar, kami siap mati untuk Sriwijaya," teriak para hadirin mendukung sikap Arung Bangir.
"Terima kasih saudara-saudara," kata Hang Balbila "idinkanlah aku melanjutkah ulasanku. Yang
kedua, apabila peminangan itu diterima maka raja Singasari akan menepuk dada dan mengatakan
bahwa Sriwijaya sudah menyerah kepada Singasari karena puteri mus kanya istana Darmasraya
sudah dihaturkan ke Singasari."
"Tidak mungkin," teriak seorang lelaki muda bertubuh kekar. Dia bernama Silalahi berpangkat
hulubalang, pembantu panglima Hang Balbila.
"O, apa katamu Silalahi " Tidak mungkin " Mengapa engkau berkata demikian," seru Balbila.
"Raja Singasari itu layaknya menjadi ayah dari tuan puteri kita. Sungguh suatu cela yang
meneonteng muka rakyat Sriwijaya apabila kedua tuan puteri kita akan diberikan kepada raja


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singasari yang sudah tua itu."
Panglima Balbila tersenyum "Memang bukan hanya engkau, pun aku peribadi dan rasanya
sekalian perwira di Darmasraya takkan merelakan hal itu terjadi. Tetapi engkau harus tahu, Silalahi,
bahwa yang menjadi peranan pen ng dalam kemudi pemerintahan Sriwijaya itu sesungguhnya
adalah pa h Demang Lebar Daun. Dan engkau tentu tahu pula Silalahi, bahwa Demang Lebar Daun
itu sudah lanjut usia, semangatnya sudah menurun. Apa lagi dia hanya menumpahkan seluruh
perha an kepada perkembangan agama Hinayana. Bukankah keadaan pasukan perang Sriwijaya
sedikit sekali kalau tak dapat dikatakan dak mendapat perha an dari beliau " Bukankah selama
ini jumlah pasukan dan perlengkapan angkatan perang kita tetap begitu saja selama bertahun
tahun ini ?" "Benar tuanku," kata seorang perwira setengah tua "memang sudah lama hamba amat periha n
melihat ndakan- ndakan tuan pa h Demang Lebar Daun. Tetapi hamba hanya seorang perwira
rendah. Apa daya hamba kecuali hanya memohon kepada dewata agar kerajaan Sriwijaya terhindar
dari segala malapetaka."
Suasana hening mendengar rin han ha perwira setengah tua itu. Mereka, se ap orang, tahu
dan mengakui kebenaran daripada ucapan perwira setengah tua itu.
"Tuanku panglima," ba- ba terdengar perwira Arbangir yang masih muda dan gagah perkasa
berkata "hamba rasa, saat inilah kita dapat membangkitkan lagi semangat dan kebesaran angkatan
perang Sriwijaya yang termasyhur itu."
Hang Balbila terkesiap, demikian pula sekalian hadirin.
"Apa maksudmu Arbangir ?" tegur Balbila.
"Hamba telah mengunjungi kuil dan menghaturkan permohonan kepada Sang Tatagatha, semoga
baginda Mauliwarman dikaruniai penerangan dan kesadaran bahwa ndakan raja Singasari itu
suatu ndakan yang tercela serta bersifat menghina. Semoga seri baginda Mauliwarman menolak
pinangan raja Singasari itu."
"O," seru Balbila "lalu apakah engkau telah menyadari akan akibat daripada penolakan itu ?"
"Hamba menyadari, tuanku," kata Arbangir "raja Singasari tentu marah karena merasa terhina.
Dia tentu menggunakan hal itu sebagai alasan untuk mengirim pasukan menyerang Sriwijaya."
"Ya." "Nah, hamba rasa seri baginda tentu juga faham akan akibat yang akan terjadi. Oleh karenanya,
tuanku panglima dapat menghadap seri baginda, dan mohon restu baginda untuk membangun lagi
angkatan perang kita guna menyambut serangan Singasari. Tidakkah hal itu merupakan suatu
kesempatan bagi angkatan perang kita untuk bangkit kembali ?"
Terdengar gemiruh dari sambutan para hadirin yang membenarkan pandangan Arbangir.
"Hamba setuju deng?n pendapat Arbangir," seru beberapa perwira.
Diam-diam panglima Balbila gembira dalam ha . Apa yang diangan-angankan telah menjadi
kenyataan. Kenyataan yang berupa bahwa para hulubalang, perwira dan seluruh bintara jajaran
angkatan perang. Sriwijaya, menentang maksud perutusan Singasari. Mereka menganggap ndakan
raja Singasari meminang puteri kerajaan Darmasraya itu sebagai suatu penghinaan dari sebuah
kerajaan besar yang merasa paling kuat terhadap lain kerajaan yang dianggap lemah.
"Baik, saudara-saudara sekalian," kata Hang Balbila "dengan masih memiliki prajurit-prajurit
seper saudara-saudara ini, kerajaan Sriwijaya pas akan tetap tegak di atas persada
kewibawaannya." "Saudara-saudara," kata panglima Balbila pula, "setelah pendapat telah bersatu dan tujuan
berpadu, marilah kita pertimbangkan langkah yang dapat mewujutkan pendirian kita itu. Ada
dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, menunggu sampai seusai keputusan seri baginda
terhadap peminangan raja Singasari itu. Kedua, kita bergerak untuk menggagalkan maksud dari
perutusan Singasari itu. Nah, kita tentukan pilihan."
"Tuanku paaglima yang gagah, perkasa," seru perwira Arbangir "mohon paduka menjelaskan
kedua langkah itu agar kami dapat memilih jalan yang tepat."
"Yang kumaksudkan sebagai cara pertama ?" kata panglima Balbila "yalah kita menunggu saja
bagaimana keputusan seri baginda."
"Apabila seri baginda meluluskan permintaan raja Singasari ?" tukas perwira Sibora.
"Kita akan mencari jalan bagaimana dapat menggagalkan perjalanan pulang dari perutusan
Singasari itu, agar, mereka tak Sempat, pulang menghadap rajanya."
"Ah, tidakkah hal itu akan menimbulkan murka baginda?"
"Sudah tentu kita takkan bekerja secara acak-acakan," kata Balbila "kita akan bekerja secara rapi
dan tak diketahui. Ar nya, kita bukan sebagai kita saat ini tetapi sebagai suatu kelompok yang tak
diketahui sumbernya."
"O, maksud panglima, kita menyaru sebagai gerombolan?"
"Ya," jawab panglima Balbila "dengan demikian kita tak melibatkan nama kerajaan Sriwijaya."
Sekalian hadirin menyambut gembira rencana itu.
"Dan yang kedua," kata panglima Balbila "kita ber ndak lebih dulu untuk menggagalkan maksud
dari perutusan Singasari itu."
"Mohon tuan menjelaskan rencana tuan," seru beberapa perwira.
Sejenak Balbila mengerasi diri, kemudian berkata "Kita akan membuka mata perutusan terutama
pimpinannya, bahwa sesungguhnya kerajaan Sriwijaya itu bukanlah kerajaan yang lemah yang
mudah dihina. Bahwa ksatrya-ksatrya Sriwijaya itu bukanlah penakut, bukan pula kalah sak
dengan ksatrya Singasari."
"Ah, sungguh suatu hal yang amat menarik," seru perwira Arbargir "terapi bagaimana cara
pelaksanaannya mohon tuanku memberi penjelasan."
"Begini," kata panglima Balbila "aku mempunyai rencana untuk mengadakan perjamuan
kehormatan di mana akan kuundang pimpinan perutusan Singasari hadir. Nah, dalam perjamuan
itu, akan ku mbulkan suatu suasana di mana secara serempak demi memeriahkan suasana
kegembiraan akan kuadakan tukar menukar pengalaman dan pengetahuan dalam ilmu kesaktian."
"Maksud tuan akan diadakan coba kesak an di antara perutusan Singasari itu dengan kita?"
Arbangir menegas. Panglima Balbila mengangguk "Adakah saudara-saudara bersedia untuk menghadapi mereka?"
Sekalian hadirin berteriak sanggup.
"Terima kasih saudara-saudara," seru Balbila "besok akan kukirim surat undangan itu kepada
pimpinan perutusan Singasari, raden Wijaya, supaya menghadiri perjamuan yang akan kuadakan
untuk menghormat kunjungannya ke Sriwijaya. Saudara-saudara kuminta hadir."
Demikianlah rencana yang diputuskan dalam pertemuan para perwira dan bintara angkatan
perang Darmasraya di kediaman panglima Hang Balbila.
Malam itu suasana gedung kediaman panglima Hang Balbila tampak meriah sekali. Berpuluh-
puluh perwira dan bintara menghadiri perjamuan yang diadakan panglima untuk menghormat
kunjungan perutusan Singasari.
Sebenarnya perutusan Singasari itu adalah duta sang nata. Yang wajib menjamu adalah
kerajaan Darmasraya. Apabila bukan baginda maka patih Demang Lebar Daun yang
menyelenggarakan pertemuan itu. Tetapi Hang Balbila mempunyai alasan. Raden Wijaya itu
adalah senopati kerajaan Singasari maka panglima Balbila menjamunya dalam kedudukan
sebagai seorang panglima yang menghormati kedatangan seorang panglima.
Rupanya raden Wijaya menyadari hal itu. Maka diapun tak mau membawa rombongannya
semua kecuali hanya beberapa pengawal dan kepala prajurit yang menyertai rombongan perutusan
itu. Wijaya datang bersama sepuluh orang prajurit. Ia menyesuaikan diri dengan apa yang tertulis
dalam surat undangan itu. Ia menghadiri pertemuan itu sebagai seorang senopati Singasari
bukan sebagai kepala perutusan kerajaan Singasari.
Tampak sekalian hadirin berbangkit ketika raden Wijaya dengan rombongan pengawal,
memasuki ruang perjamuan. Seluruh mata perwira dan bintara pasukan Sriwijaya menumpah
ruah kepada raden Wijaya. Raden Wijaya dengan sikap yang tenang dan ramah memberi
hormat kepada sekalian hadirin.
Waktu diterima menghadap baginda Mauliwarman di istana, dak semua perwira dan bintara
pasukan kerajaan Sriwijaya yang diperkenankan hadir maka mereka-mereka yang tak hadir kini
mendapat kesempatan untuk melihat peribadi senopa yang menjadi kepala rombongan
perutusan Singasari. Juga mereka yang ikut hadir waktu Wijaya menghadap seri baginda di istana,
juga tak mempunyai kesempatan yang longgar untuk menatap wajah dan sikap Wijaya. Dan apa
y?ng mereka dapatkan pada diri senapa muda dari Singasari itu menimbulkan kesan yang
menggores lubuk ha mereka. Mereka mempunyai kesan bahwa Wijaya itu seorang senopa muda
yang memiliki wibawa besar.
"Selamat datang, raden Wijaya senopa yang gagah perkasa dari kerajaan Singasari," sambut
panglima Hang Balbila "sungguh tak terperikan kegembiraan kami menerima kehadiran tuan. Kami
merasa mendapat kehormatan besar."
"Ah, tuan panglima Sriwijaya yang gagah berani. Sudah lama aku mendengar kemasyhuran nama
tuan sebagai panglima kerajaan Sriwijaya. Adalah aku yang merasa bersyukur karena mendapat
kehormatan untuk berkenalan dengan tuan," balas Wijaya.-
Kedua panglima itu saling memberi hormat lalu sama-sama duduk di kursi yang telah disediakan.
Hang Balbila memperkenalkan Wijaya kepada sekalian hadirin.
"Raden Wijaya," kata panglima Balbila setelah selesai memperkenalkan "walaupun dalam surat
undangan telah kami haturkan namun perlulah sekali lagi kami nyatakan di sini bahwa perjamuan
itu semata-mata adalah suatu perjamuan yang diadakan oleh pimpinan pasukan kerajaan Sriwijaya
untuk menghormat kunjungan seorang senopa termasyhur, dari kerajaan Singasari. Agar kami
dapat menerima petunjuk dan pengalaman berharga dari kebesaran pasukan kerajaan Singasari
yang tiada taranya itu."
"Ah, jangan tuan panglima merendah diri. Bagaimana mungkin hamba yang masih muda akan
mampu memberi petunjuk kepada tuan panglima Hang Balbila yang termasyhur kegagahan dan
keberaniannya dalam medan pertempuran," kata Wijaya.
Hang Balbila tertawa "Jangan raden merendah diri. Apa ar kegagahan seorang panglima apabila
kenyataannya angkatan perangnya makin lemah sehingga lain kerajaan berani memandang rendah
?" Raden Wijaya terkesiap. Kata-kata panglima Sriwijaya itu amat tajam. Bukankah panglima
bermaksud mengecam secara halus akan ndakan raja Kertanagara yang telah mengirim pasukan
Pamalayu dan bahkan sekarang berani pula mengirim utusan ke kerajaan Sriwijaya dengan
membawa dua tugas " Pengiriman arca Amogapasha, salah seorang buddha dari aliran Mahayana ke kerajaan Sriwijaya
yang jelas masih mempertahankan aliran Hinayana, merupakan suatu ndakan yang bertentangan
dari seorang tetamu kepada tuan rumah. Kemudian maksud baginda Kertanagara untuk meminang
kedua puteri kerajaan Sriwijaya, lebih mengunjukkan sikap yang cenderung dianggap menghina
pada raja Sriwijaya. "Tidaklah seper kerajaan Singasari," panglima Hang Balbila melanjutkan "dengan raden sebagai
salah seorang senopa , angkatan perang Singasari makin kuat dan kokoh sehingga berani menolak
Pecut Sakti Bajrakirana 11 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 6
^