Pencarian

Dendam Empu Bharada 36

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 36


tuntutan raja Kubilai Khan bahkan mengembalikan utusan raja Kubilai Kban dengan membawa
cacat pada wajah mereka. Tidakkah kesemuanya itu mengunjukkan bahwa senopa Singasari,
terutama raden Wijaya, adalah ksatrya-ksatrya yaug sak mandraguna " Kiranya takkan salah
tempat apabila aku akan mohon pengalaman dan petunjuk raden mengenai krida kanuragan dan
tata barisan perang."
Wijaya terkejut dalam ha namun ia berusaha untuk menekan perasaannya "Ah, perang
bukanlah tujuan hidup utama bagi sebuah negara maupun kerajaan, demikian pula umat manusia.
Perang takkan membawa berkah dan manfaat. Kebalikannya malah akan membawa kehancuran
dan kesengsaraan." "Ah," Hang Balbila terkejut ke ka mendengar kata-kata Wijaya "tetapi dakkah kuat lemahnya,
jaya surutnya negara itu tergantung pada angkatan perangnya ?"
"Angkatan perang memang perlu dan penting, tuan panglima," kata Wijaya "tetapi bukanlah
ditujukan untuk menyerang lain negara atau meluaskan kekuasaan, melainkan untuk
mempertahankan kedaulatan dan tegaknya negara itu dari serangan musuh. Selama pimpinan
dan raja-raja lain negara masih dihinggapi rasa angkara murka semisal raja Kubilai Khan,
angkatan perang itu masih mutlak diperlukan bagi keselamatan negara."
Panglima Hang Balbila terkejut dan heran mengapa ucapan senopa Singasari itu selalu bernada
damai. Suatu hal yang tak pernah diduga semula. Karena ia membayangkan bahwa sebagai seorang
senopa kerajaan yang diangkat sebagai duta sang nata, tentulah sikap dan kata-kata raden Wijaya
itu serba tekebur dan congkak. Ternyata raden Wijaya yang dihadapinya itu seorang senopati muda
yang ramah, bersahabat dan penuh kedamaian.
"Ah, mungkin dia menyadari suasana saat ini dak menguntungkan dirinya maka ia berputar
haluan kearah sikap yang lunak," pada lain saat Hang Balbila timbul dugaan lain. Timbulnya dugaan
itu, menggelorakan pula rencana yang telah disepaka dalam pertemuannya dengan para perwira
pasukan Sriwijaya semalam.
Perjamuanpun segera dihidangkan. Suasana perjamuan tampak meriah, tak tampak sedikitpun
akan rasa permusuhan pada sikap panglima Hang Balbila dan para hadirin dari pihak tuan rumah.
Kecurigaan Wijaya dan rombongannyapun makin berkurang. Setelah silih bergan hidangan
beredar, minuman tuak bertuang maka panglima Hang Balbilapun menyuguhkan rokok.
Wijaya terkejut. Rokok itu serupa dengan rokok rpemberian puteri Caadra Dewi. Adakah memang
demikian bentuk rokok orang Sriwijaya"
"Silakan mencoba rokok ini, raden," kata Hang Balbila seraya menghaturkan kotak bersalut emas
yang berisi rokok "mungkin di negeri tuan tak terdapat rokok semacam ini."
Rokok pemberian Candra Dewi belum sempat di isapnya. Dan memang Wijaya tak mau mengisap
karena disimpan sebagai kenangan Oleh karena itu dia tak tahu bagaimana rasa rokok berbungkus
daun tembakau itu. Karena tak ingin dikata sebagai seorang tetamu yang kurang sopan maka
diapun menjepput sebatang rokok. Demikian pula Hang Balbila juga mengambil sebatang. Kedua
senopati itu mulai mengisap.
"Ah, sungguh nikmat sekali, tuan panglima." Kata Wijaya setelah beberapa saat menikma rokok
itu. Ia mengakui bahwa rasa rokok itu memang berlainan sekali dengan rokok? yang pernah
diisapnya di Singasari. Dilihatnya rombongan anakbuahnya juga menikma rokok yang dihidangkan
oleh pelayan. Suasana saat itu benar-benar amat akrab dan bersahabat.
"Raden, sebagai pelengkap daripada perjamuan kehormatan yang kami adakan demi
menghormat kunjungan raden ke Sriwjaya, idinkanlah kami menghaturkan sejenis permainan ulah
raga yang lazim digemari oleh rakyat Sriwijaya."
"Ah, tuan panglima," kata Wijaya "janganlah tuan keliwat memanjakan diri Wijaya. Kiranya
perjamuan ini sudah suatu kehormatan yang ada terhingga bagi Wijaya- Semoga kelak kami
mendapat kesempatan untuk menjamu tuan apabila tuan berkunjung ke Singasari."
Hang Balbila segera memberi perintah untuk memulai pertunjukan ulah raga. Dua orang lelaki
tampil ke tergah medan perjamuan. Setelah saling bersiap keduanya lalu mulai. Ternyata apa yang
disebut permainan olahraga itu tak lain adalah semacam gumul di-mana kedua orang itu saling
cengkam mencengkam, himpit menghimpit, ban ng memban ng dan kait mengait untuk
merobohkan lawan. Siapa, yang taboh, dialah yang kalah.
Setelah berlangsung beberapa kali, tampak ada seorang perwira yang paling menang. Sudah dua
tiga lawannya dapat dirobohkan, perwira itu tak lain adalah Arbangir.
"Hayo, siapa lagi saudara-saudara yang ingin menjajal kekuatanku, silakan maju," serunya bagai
seekor jago sabung yang berkokok.
Sampai beberapa saat ada yang maju menghadapi Arbangir. Tiba- ba seorang prajurit maju ke
hadapannya "Ho, engkau Bagan, apakah tulangmu sudah kaku?"
Prajurit yang disebut dengan nama Bagan menyahut "Sebenarnya aku sudah merasa takkan
menang melawanmu. Tetapi aku seorang prajurit, masakan aku tak merasa terhina apabila
dianggap bahwa dalam pasukan Sriwijaya itu sudah tiada prajurit yang berani tampil."
"O, tetapi bukankah masih banyak yang hadir di sini ?"
"Benar, tetapi mereka bukan jantan."
"Hus, jangan menghina orang, Bagan," seru Arbangir "di ruang perjamuan ini selain prajurit
Sriwijaya juga terdapat prajurit-prajurit gagah perkasa dari kerajaan Singasari."
"Memang benar," sahut Bagan "dan kabarnya memang prajurit-prajurit Singasari itu terkenal
gagah berani. Tetapi apa yang kusaksikan malam ini, ternyata dak sesuai dengan kenyataan.
Bukankah permainan ulahraga ini tidak terbatas hanya untuk prajurit Sriwijaya saja?"
Arbangir tertawa "Tentu saja dak. Di dalam ruang perjamuan ini ada lagi prajurit Sriwijaya
atau prajurit Singasari. Se ap lelaki yang bernyali jantan boleh ikut serta. Sudahlah Bagan,
menyingkirlah saja. Masih banyak pria gagah yang berada di ruang perjamuan ini."
"Jangan menghina," seru Bagan "lebih baik tulangku remuk daripada bersikap seper anak ayam
yang menggigil ketakutan dan bersembunyi di bawah dada induknya karena melihat elang."
"Bagan, jangan menyinggung perasaan orang."
"Tidak, aku tak menyinggung perasaan orang tetapi hanya mengatakan keadaan yang
sebenarnya. Bukankah selain aku yang sudah tua ini, tak ada seorang pun yang berani tampil ?"
"Ah, Bagan, jangan bicara keras-keras, ada tetamu dari negara Singasari."
"Dalam penyambutan sebagai tuan rumah, kita telah melakukan kewajiban dengan baik. Tetapi
sebagai orang yang terlibat dalam suasana ulahraga ini, tak pandang bulu. Orang-orang Sriwijaya
sudah kehabisan lelaki tetapi orang Singasaripun pengecut!"
"Bagan!" teriak Arbangir.
Terdengar gema desuh dan dengus dari tempat duduk rombongan Singasari. Pramudya yang
duduk tak jauh dari Wijaya panas telinganya. Segera ia berbangkit dan menghadap raden Wijaya
"Raden, perkenankanlah hamba tampil untuk bermain-main dengan ki perwira itu."
"Aha, benar tuan prrwira. Silakan tuan maju dan memberi hajaran kepada orang itu agar
prajurit-prajurit Sriwijaya dak berani menghina. Mereka sudah dimabuk tuak," sebelum Wijaya
memberi jawaban, panglima Hang Balbila sudah mendahului, menganjurkan Pramudya supaya-
maju. Sebenarnya Wijaya hendak melarang tetapi karena tuan rumah sudah berkata begitu, terpaksa
diapun mengidinkan. "Bagan, enyah engkau!" bentak Arbangir seraya menerkam tubuh prajurit tua itu dan
mendorongnya hingga terlempar beberapa langkah.
"Ah, kawan, aku gembira sekali menerima perhatianmu. Dengan demikian dapatlah kita lebih
mempererat persahabatan kita," kata Arbangir
"Ah, engkau telah memberi sambutan yang hangat kepada kami, sudah tentu aku harus
memenuhi harapanmu sebagai tanda terima kasih kami," kata Pramudya.
"Terima kasih kawan " leru Arbangir "marilah kita brrmain-main sekedar untuk menambah
kemeriahan suasana perjamuan. Engkau tahu akan cara permainan ini?"
Pramudya gelengkan kepala "Belum."
"Ulahraga ini disebut gumul. Orang boleh mencengkam, mencengkeram, memban ng dan
mengait dengan kaki tetapi tak boleh memukul. Barangsiapa jatuh dan punggungnya menyentuh
tanah, dia dianggap kalah. Tetapi kalau jatuh, belum punggung menyentuh tanah, dia sudah
mampu melenting bangun lagi, dia belum kalah."
"O, baiklah," kata Pramudya.
Keduanya lalu terlibat dalam tarik menarik dan cengkam mencengkam yang makin lama makin
seru. Bermula Pramudya tampak menguasai lawan dan dalam beberapa waktu lagi tentu dapat
merobohkan pertahanan lawan. Dahi perwira Arbangir tampak tegang, otot-otot membenjul.
Rupanya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk bertahan.
Suasana dalam ruang peijamuan itu ba- ba berobah sunyi bahkan napaspun tak kedengaran.
Rupanya sekalian hadirin dihanyut ketegangan dalam mengiku pertandingan gumul antara kedua
perwira itu sehingga mereka sama menahan napas.
Beberapa waktu kemudhn, ba- ba terjadi perobahan yang tak pernah diduga. Pramudya yang
berada di atas angin sebagai fihak yang menekan, sekonyong-konyong seper kehilangan tenaga
sehingga dalam waktu beberapa kejab, kedudukan berobah seratus delapan puluh derajad.
Arbangir yang semula menjadi fihak yang ditekan, kini berbalik dapat menguasai lawan. Wajah
Pratriudya tampak menderita.
Tiba- ba Arbangir membalik tubuh ke belakang, membelakangi lawan. Tangannya yang mencekal
tangan lawan segera bergerak menarik sehingga tubuh Pramudya melekat pada punggung Arbangir.
Dan sebelum tahu apa yang terjadi, ba ba pula Arbangir mengendapkan bahu ke bawah dan
dengan meraung keras, ditariknya tubuh Pramudya ke atas bahu dan bum Pramudya diban ng ke
lantai. "Ah ..... " teriak rombongan prajurit Singasari seraya berbangkit. Ada dua orang yang terus maju
ke tengah gelanggang dan menolong Pramudya, menggotongaya ke samping.
Seorang prajurit Singasari berpangkat lurah melangkah lebar ke hadapan Arbangir.
"Gadu, jangan," teriak Wijaya. Ia melarang lurah itu untuk menghadapi Arbangir. Diketahuinya
perwira Pramudya yang lebih kuat dari Gadu, masih kalah dengan Arbangir. Apa lagi Gadu.
"Raden, perkenankanlah hamba menuntut bela kepada adi Pramudya," sahut Gadu.
"Benar raden," sabut Arbangir "ini hanya bermain-main saja. Bahkan apabila raden berkenan di
hati, hamba mohon raden suka memberi pelajaran kepada hamba."
Memberi pelajaran ilmu kedigdayaan. Demikian yang dimaksud dengan Arbangir. Memang
kata-kata itu sepintas suatu sikap yang merendah diri. Tetapi sebenarnya merupakan suatu
tantangan halus kepada Wijaya.
"Ki sanak, jangan menghina junjunganku. Hadapilah aku dahulu sebelum engkau layak meminta
kepada raden Wijaya seru Gadu.
"Ah, aku gembira mendapat kawan bermain seper engkau," kata Arbangir "engkau seorang yang
tegas bicara, tangkas bertindak. Baiklah, mari kawan, kita bermain-main."
Keduanya lalu saling cengkeram-mencengkeram, tarik-menarik dan jegal-menjegal. Sekonyong-
konyong dengan sebuah gerak yang tak diduga duga lawan, Gadu berhasil memasukkan kaki kanan
ke belakang kaki lawan lalu membanting tubuh Arbangir.
"Hu ..... " terdengar rombongan prajurit Sriwijaya berteriak kaget, ke ka melihat tubuh-Arbangir
menggelantung di kaki Gadu. Dalam lain kejab, tentulah Arbangir akan jatuh.
Tetapi ternyata tubuh Arbangir masih tetap menggelantung di atas kaki lawan dan kedua
tangannya masih mencengkeram dan menolak tangan Gadu yang hendak menekan ke bawah.
Dan beberapa saat kemudian terjadilah suatu keanehan. Pelahan-lahan tetapi tentu, tubuh
Arbangir mulai terangkat ke atas dan tangan Gadupun makin terdorong ke belakang. Dan pada lain
saat-, Arbangir ayunkan tubuh berdiri tegak. Gerakan itu menyebabkan Gadu tertelungkup ke
belakang kemudian dengan amat cekatan sekali Arbangir sudah mengangkat tubuh Gadu terus di
banting ke lantai, blukkkk .......
Terdengar tepuk sorak dari rombongan tuan rumah. Kebalikannya rombongan tetamu berteriak
kaget, ban ngan Arbangir terhadap Gadu dilakukan lebih keras daripada terhadap Pramudya tadi.
Akibatnya Gadu pingsan dan kepalanya memar berdarah.
Marahlah sekalian prajurit rombongan pengantar Wijaya. Seorang prajurit bertubuh nggi besar,
hendak maju tetapi pada saat itu, Wijaya berseru "Jangan, rawatlah ki lurah Gidu."
"Ah, rupanya raden hendak memberi hajaran kepada perwira congkak itu," kata panglima Balbila
"ya, memang perlu sesekali dia meadapat pelajaran, raden."
"Adakah tuan panglima mengidinkan aku untuk turun ke gelanggang ?" tanya Wijaya.
"Betapa dak, raden?" kata Balbila "jika raden berkenan, sunggguh suatu kehormatan besar bagi
prajurit Sriwijaya apabila raden berkenan memberi pelajaran kepada mereka."
Wijaya merah atas ndakan perwira Arbira yang telah memban ng semena-menanya kepada
Pramudya dan Gadu. Namun sebagai seorang ksatrya, apalagi seorang duta sang nata, dia harus
membawa sikap yang sesuai dengan martabat kedudukannya. Maka dengan langkah yang tenang,
dia menuju ke muka Arbangir."
"Ah, raden berkenan hendak memberi petunjuk kepadaku ?" seru Arbangir "sungguh tak
terperikan suka hati hamba. Hamba mohon raden suka memberi muka kepada hamba."
"Kedua prajurit yang engkau kalahkan tadi, adalah prajurit pilihan dari Singasari. Bahwa engkau
dapat mengalahkan mereka, jelas engkau tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat. Mungkin
akulah yang harus menerima petunjuk, bukan engkau."
"Ah, janganlah raden merendah diri. Kudengar sudah kemasyhuran nama raden sebagai senopa
pe ndih angkatan perang Singasari yang gagah berani. Bagaimana perwira rendah semacam
Arbangir ini mampu bertanding dengan raden."
"Biiklah, mari kita mulai saja," kata Wijaya.
Demikian keduanya segera saling cengkeram mencengkeram lengan masing -masing dan mulai
menjajagi kemungkinan dari kelemahan fihak lawan.
Arbangir dapatkan bahwa tangan Wijaya terasa biasa saja, tak mengunjukkan pengembangan
tenaga dan pemancaran kekuatan. Maka setelah memas kan suatu kesempatan, dia terus hendak
memban ng Wijaya " Uh .... " terdengar mulutnya mendesis keras dan wajahnya tampak merah
sebagai penampilan dari upayanya untuk mengerahkan tenaga hendak memban ng Wijaya. Tetapi
ternyata sedikitpun tubuh Wijaya tak tergerak. Kedua kakinya bagai tumbuh akar.
"Hayo, kerahkan seluruh tenagamu, perwira yang perkasa," bisik Wijaya.
Arbangir benar-benar heran. Jelas dirasakannya lahwa Wijaya dak mengerahkan tenaga untuk
mempertahankan diri tetapi mengapa tubuhnya sekokoh batu karang yang tak bergeming di
hempas ombak laut" Memang dia tak pernah menduga dan mungkin tak tahu bahwa saat itu raden Wijaya sedang
memancatkan apa yang disebut aji Pengantepan. Suatu aji yang dapat membuat tubuh seberat
gunung karang. Arbangir makin penasaran. Dikerahkannya seluruh tenaga untuk meliukkan tubuh Wijaya ke arah
kakinya yang sudah disilangkan. Apabila maksudnya tercapai, pas lah Wijaya akan terban ng.
Tetapi sampai mukanya menyeringai seper orang yang tengah menahan derita kesakitan, tetap
dia tak mampu melaksanakan keinginannya.
Sesungguhnya apabila mau, Wijaya dengan mudah dapat menindih tubuh Arbangir kemudian
menekannya supaya jatuh ke lantai. Tetapi dia tak mau. Dia memang ingin mempermainkan
Arbangir yang congkak. Setelah Arbangir kehabisan tenaga, barulah dia akan bertindak.
Beberapa saat telah berlangsung dan kini tenaga Arbangirpun sudah makin habis. Setelah tahu
akan kesempatan itu maka bergeraklah Wijaya. Tangan kiri mencengkeram pinggang dan tangan
kanan menyiak cengkeraman orang, lalu cepat mencengkeram tengkuk Arbangir dan laksana
menjinjing seorang anak kecil, diangkatnya tubuh Arbangir lalu dilemparkannya ke luar, brak ....
Terdengar teriak kejut yang melengking dari prajurit dan perwira Sriwijaya ke ka menyaksikan
tubuh Arbangir seper terbang meluncur ke pintu. Pintu ruang itu dijaga oleh dua orang prajurit.
Melihat layang tubuh Arbangir, keduanya berusaha untuk menyanggapi. Tetapi jatuhnya tubuh
Arbangir itu terlalu kuat sehingga kedua prajurit penjaga itu bahkan ikut terdampar ke luar pintu
dan jatuh bersama-sama. "Hebat," seru seorang perwira Sriwijaya yang terus loncat ke hadapan Wijaya "raden, engkau
menghina seluruh jajaran prajurit Sriwijaya. Mari, akulah yang melayani."
Ternyata orang itu adalah Sipora, perwira yang keras dan penaik darah. Dia tak tahan lagi
melihat kawannya dilempar sampai sedemikian parah.
Namun mereka segera melihat tangan panglima Balbila memberi isyarat supaya mereka tenang.
Beberapa perwira maju ke hadapan panglima Balbila "Tuanku," kata mereka "kami mohon keadilan
untuk Arbangir." "Apa maksud kalian?" tegur Balbila.
"Kami mohon dengan sangat agar tuanku panglima berkenan turun ke gelanggang "
"Ah, layakkah hal itu " Aku adalah tuan rumah, dan raden itu sebagai tetamu terhormat yang
kuundang untuk kita hormati. Bagaimana kalian meminta supaya aku bertanding dengan beliau ?"
"Tuanku," sanggah Sipora "dalam kewajiban sebagai tuan rumah, tuanku telah menunaikan
dengan baik bahkan terlampau baik. Tetapi sebagai tetamu ternyata mereka tak mau
menghormati martabat, tuan rumah. Mereka tak sungkan untuk menganiaya seorang perwira
anakbuah tuanku. Apakah hal itu tak layak mendapat perhatian tuanku ?"
Tampak panglima Balbila agak terkesiap. Ia seper bimbang "Baiklah jika kalian menghendaki
demikian," akhirnya ia memberi keputusan. Setelah beberapa perwira itu kembali ke tempat duduk
masing-masing maka Hang Balbila lalu beranjak dari tempat duduk dan menghampiri ke hadapan
Wijaya. "Raden, sungguh berat nian rasa hatiku .... "
"Ah, tak apa, tuan panglima," sahut Wijaya "apa yang dikatakan para perwira tuan tadi memang
benar. Aku harus menghaturkan maaf karena telah berlaku kurang menghormat. Tetapi kurasa
tentulah keadaan perwira tadi tak sampai membahayakan jiwanya. Apabila sampai terjadi sesuatu
yang tak diinginkan aku bersedia untuk mempertanggungjawabkan kesemuanya."
"Terima kasih raden," kata Balbila "tetapi seper raden ketahui. Rasanya mereka tentu masih
belum puas walaupun raden sudah menghaturkan maaf"
"Ah, maksud tuan panglima?" Wijaya agak terkejut.
"Apabila raden berkenan memberi muka kepadaku terpaksa kita harus bermain-main barang
beberapa saat demi melenyapkan rasa tak puas dari mereka."
Wijaya tertegun. Ia tahu bahwa panglima itu hendak mengajak adu ulahraga. Tindakan hal itu
cukup gawat " Apabila sampai terjadi sesuatu yang tak diharapkan tentulah akibatnya akan
menjalar luas. Kemungkinan bahwa angkatan perang Sriwijaya akan menyerang dan
menangkapnya, bukanlah sesuatu yang mustahil. Dan hal itu akan menimbulkan peris wa besar
antara kedua kerajaan. Apabila sampai terjadi hal yang sedemikian, dakkah tujuan daripada
tugasnya sebagai perutusan Singasari, akan gagur. Dan .... ah, dakkah hal itu akan membawa
pengaruh juga akan hubungannya dengan puteri Candra Dewi,yang sedang akan bertumbuh itu "
"Ah," Wijaya mendesah dalam ha "namun apabila kutolak tawaran Balbila, aku merasa kasihan
kepadanya. Bukankah dia akan kehilangan kepercayaan dari anak pasukannya ?"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatu, akhirnya Wijaya menentukan keputusan. Ia akan
menerima ajakan panglima Balbila tetapi ia akan mengalah. Sedapat mungkin ia akan
menjadikan adu tenaga itu agar tiada fihak yang merasa kalah, demi menyelamatkan
kehormatan masing-masing.
"Baiklah tuan panglima," katanya beberapa saat kemudian "tetapi janganlah kita bersungguh-
sungguh. Cukup sekedar main-main saja."
Balbila mengiakan. Keduanya lalu saling berhadapan dan mulai saling berpegangan tangan.
Sebagaimana waktu berhadapan dengan Arbangir tadi, Wijayapun tak mau berusaha untuk
mendorong lawan. Ia membiarkan dirinya didorong lawan tetapi ia tetap memancarkan aji


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengantepan untuk bertahan diri.
Panglima Balbila terkejut. Ia merasakan tubuh Wijaya itu seperti sebuah karang yang kokoh.
Setelah usaha untuk meliukkan tubuh Wijaya tak berhasil maka teralihlah ia untuk menguasai
pergelangan lengan Wijaya. Setelah dapat mencengkeram kedua pergelangan lengan lawan,
panglima Balbila segera menekan sekeras-kerasnya. Bahwa pergelangan lengan yang
dicengkeram kuat-kuat tentu akan menghilangkan daya tenaga orang, telah dibuktikan panglima
Balbila dalam berpuluh kali bertanding gumul ketika ia masih mada dahulu.
Tetap! ia terkejut ke ka cengkeramannya itu sukar menemukan sasaran. Lengan Wijaya selalu
bergeliat melejit dari cengkeraman sehingga tangannya selalu mencengkeram kekosongan.
Semula Hang Balbila hanya ingin menjajal betapa kesak an ksatrya Singasari yang dipercaya
rajanya menjadi kepala perutusan ke Sriwijaya. Tetapi setelah berulang kali gagal dalam usahanya
menyengkelit, mendorong dan mencengkeram, timbullah penasaran dalam hati Hang Balbila.
"Hm, rupanya dia hendak mempermainkan aku supaya aku mendapat malu," pikirnya. Dan
pemikiran yang salah arah itu telah membangkitkan rangsang amarahnya. Jika semula ia hendak
menguasai lengan kini panglima itu beralih mencengkeram kedua bahu Wijaya lalu diremas sekuat-
kuatnya. "Uh" ba- ba ia mendesuh kejut karena cengkeramannya itu luput. Bahu Wijaya menjadi licin
sekali. Diulangi dan diulanginya pula sampai beberapa kali tetapi ia tak mampu mencengkeramnya.
"Ah, dia benar-benar hendak memperolok diriku," bukan menyadari bahwa Wijaya bersikap
mengalah kebalikannya panglima Balbila malah makin naik pitam.
Sekonyong-konyong ia menggelincirkan tangannya ke bawah dan mencengkeram ketiak
orang. Wijaya terkejut. Ia tidak menduga kalau Hang Balbila akan berbuat demikian. Dia hendak
memancarkan aji Belut putih untuk melepaskan diri dari cengkeraman namun terlambat.
Wijaya gugup, Apabila dia membiarkan ke aknya dicengkeram, jelas dia tentu akan kehilangan
tenaga dan akan dapat diban ng Hang Balbila. Tiada lain jalan yang dapat ditempuhnya kecuali
balas mencengkeram pergelangah lengan Balbila. Demikian keduanya segera terlibat dalam
cengkeram mencengkeram yang seru.
Beberapa saat kemudian entah bagaimana mendadak Wijaya rasakan kepalanya pening.
Pandang matanyapun mulai kabur dan makin gelap. Sedang rasa peningpun makin keras sehingga
kepalanya terasa berdenyut-denyut. Makin ia mengerahkan tenaga, makin keras denyut yang
menempa kepalanya. Sekalian orang mengiku pertandingan itu dengan penuh perha an. Baik fihak prajurit Sriwijaya
maupun rombongan prajurit Wijaya, semua melihat jelas bahwa raden Wijaya saat itu tampak
menderita sesuatu. Dahinya mengeriput dan bibirnyapun gemetar. Sedang tubuhnya makin lama
makin tampak lemas, "Celaka," pikir rombongan prajurit Singasari "kalau raden Wijaya sampai menderita kekalahan
pastilah akan menimbulkan aib yang besar. Orang Sriwijaya tentu akan melontarkan cemoohan."
Karena lurah Gadu dan pengawal Pramudya terluka maka ada lagi pimpinan yang memberi
perintah kepada anggauta rombongan Wijaya. Namun prajurit-prajurit itu sudah mendapat
tempaan yang keras. Kepada mereka Wijaya telah menanamkan penger an bahwa dalam suatu
rombongan, kelompok dan barisan, semua, anggauta adalah pen ng. Pimpinan hanyalah sebagai
arah yang harus diturut. Tetapi apabila pimpindn tak ada, maka se ap anggauta harus tahu dan
dapat menentukan arah sendiri. Antara yang memimpin dan yang dipimpin harus memiliki
swadaya berpikir dan bertindak sendiri untuk kepentingan kelompok atau barisannya.
Maka demi melihat raden Wijaya dalam keadain yang berbahaya, beberapa prajurit cepat
menghunus senjata dan siap untuk menyerbu. Biarlah suasana menjadi gadug, pikir mereka. Dan
mereka siap untuk mempertanggung jawabkan ndakannya baik terhadap raden Wijaya maupun
kepada tuan rumah. Andai mereka yang dipersalahkan, mereka akan menerima apapun
hukumannya. Tetapi asal jangan raden Wijaya yang menderita hinaan.
Pada saat ketegangan mencapai puncaknya, sekonyong-konyong terdengar derap langkah
memasuki ruangan dan seke ka gemparlah sekalian prajurit Sriwijaya "Yang mulia tuanku pa h
Demang Lebar Daun hadir .... "
Serempak sekalian prajurit Sriwijaya berdiri memberi hormat. Hang Balbilapun terkejut sekali,
Bagaikan disengat kala, dia cepat lepaskan cengkeramannya dan menyusur mundur, berbalik tubuh
dan memberi hormat kepada tetamu yang datang. Tetamu itu dak lain memang pa h Demang
Lebar Daun yang diiring oleh dua orang pengawal.
"Ah, maaf tuan pa h Demang Lebar Daun yang mulia atas kelalaian hanba menyambut
kunjungan paduka," seru panglima Hang Balbila.
"Hai, panglima, mengapa tuan saling berhadapan dengan raden Wijaya ?" tegur pa h Demang
Lebar Daun. "Ah, kami sedang bermain-main, tuanku," kata Balbila "rupanya raden Wijaya berkenan ha
untuk memeriahkan perjamuan yang hamba selenggarakan untuk menghormat kunjungannya ke
negeri ini." "O," seru Demang Lebar Daun legah. Kemudian menghampiri Wijaya "raden, apakah terjadi
sesuatu ?" Demang Lebar Daun yang bermata tajam segera dapat melihat keadaan Wijaya yang
mencurigakan. Raden itu tampak berdiri tegak dan pejamkan mata maka diapun lalu menegurnya.
Ke ka Wijaya diam saja, pa h Demang Lebar Daun makin terkejut dan gopoh menghampirinya
"Raden ....... "
Wijaya mengerut dahi. Demang Lebar Daun segera memegang bahu pemuda itu dan bertanya
cemas "Raden apakah engkau terluka ?"
Wijaya gelengkan kepala "Tidak, paman patih ....."
"Lalu mengapa tuan diam saja dan pejamkan mata ?"
"Kepala hamba terasa pening sekali sehingga bumi yang hamba pijak ini seolah berputar."
"Oh,". Demang Lebar Daun gopoh memimpin Wijaya duduk "tentulah raden mabuk."
Wijaya diam saja, Demang Lebar Daun segera perintahkan seorang prajurit untuk meminta air yang dicampur
dengan perasan jeruk. Setelah menerima yang diminta lalu meminta Wijaya meminumnya. "Minum
dan beristirahatlah, raden."
Beberapa waktu kemudian Wijaya tampak membuka mata dan mengebas-kebaskan kepala
seper mengusir rasa pening pada kepalanya "Ah, terima kasih tuanku Demang yang mula,"
katanya. "Ah, dak apa-apa, raden," kata Demang Lebar Daun "mungkin tadi raden terlalu banyak minum
tuak, bukan ?" Wijaya gelengkan kepala "Memang hamba minum beberapa teguk arak tetapi dak melewa
batas, tuanku. Hamba heran mengapa secara ba- ba kepala hamba teresa pening dan berdenyut
denyut sakit sekali. Hamba merasa benda-benda disekeliling seolah berputar-putar deras sekali."
"Ah, raden tentu minum atau makan sesuatu yang memabukkan dalam perjamuan tadi."
"Hamba tak makan sesuatu yang.....ah, benar, tadi hamba telah menghisap rokok. Mungkinkah
itu ?" seru Wsjaya, "Rokok " Adakah dalam perjamuan ini dihidangkan rokok?"
Wijaya mengangguk. Demang Lebar Daun segera meminta hidangan rokok tadi. Setelah memeriksa, iapun
mencobanya "Ah, benar.. Bagaimana rasa rokok berbalut daun tembakau ini, raden ?"
"Nikmat sekali, tuanku."
"Ah, tentu saja," kata Demang Lebar Daun "tahukah raden jenis tembakau apa yang menjadi
bahan rokok ini ?" "Hamba tak tahu, tuanku."
"Bahan dari rokok ini bukanlah tembakau biasa melainkan sejenis tanaman yang menurut
pedagang-pedagang dari Jambudwipa dan Cina, disebut candu. Rasanya memang nikmat sekali.
Tetapi bagi orang yang tak biasa, beberapa saat setelah merokok tentu akan menderita sakit
pening kepala yang hebat."
"O, hamba sungguh tak tahu akan hal itu." Pa h Demang Lebar Daun kerutkan dahi lalu
berpaling menegur panglima Balbila "Panglima, mengapa tuan menghidangkan hidangan rokok
semacam ini ?" "Rokok itu amat mahal dan jarang benar hamba hidangkan kepada tetamu kecuali tetamu agung
yang hamba pandang, tuanku."
"Tetapi rokok ini memabukkan dan akan mencengkeram penghisapnya. Sekali orang menghisap
rokok ini tentu akan ketagihan untuk merokok lagi. Dan telah kami siarkan bahwa penanaman jenis
tanaman ini supaya dilarang. Adakah tuan tak mengetahuinya ?"
"Tahu, tuanku," jawab panglima Hang Balbila agak gugup "rokok itu adalah sisa simpanan hamba
dari beberapa tahun yang lalu. Maksud hamba, demi menghormat raden Wijaya maka hamba
menghaturkan hidangan rokok itu, tuanku."
Wijaya diam-diam terkejut. Dengan demikian jelas panglima Hang Balbila mempunyai maksud
tersembunyi dalam menghidangkan rokok itu. Kenyataan pada waktu bertanding adu tenaga tadi,
ia merasa pening dan kehilangan tenaga. Apabila pa h Demang Lebar Daun dak keburu datang,
tentulah dia akan dapat dibanting oleh panglima Hang Balbila.
Wijaya mengangguk dalam ha . Ia mempunyai prasangka tentang pemberian rokok tembakau
dari panglima Balbila namun dia tak mau terlekat pada prasangka itu. Ia gembira karena semuanya
telah berlangsung tanpa ada fihak yang merasa dirugikan. Ia tak dapat membayacgkan betapa
kesudahannya apabila dalam pertandingan adu kekuatan tadi, ia sampai dirobohkan panglima
Balbila. Mungkin akan terjadi peris wa yang tak diharapkan. Ia kua r tak dapat mengendalikan
perasaannya sebagai mana telah terjadi pada peris wa lurah Gadu dan Pramudya. Ia tak tahu
bagaimana keadaan perwira Arbangir yang dilontarkan ke luar pintu tadi.
"Terima kasih tuan pa h," katanya kepada Demang Lebar Daun "tetapi bagaimana maka tuan
tiba2 berkunjung kemari" "
"Sesungguhnya aku hendak berkunjung ke tempat raden," kata patih Demang Lebar Daun, "tetapi
seorang prajurit tuan mengatakan kalau raden mengunjungi pesta yang diadakan panglima Hang
Balbala untuk menghormat kedatangan raden ke Darmasraya maka akupun bergegas datang
kemari." Kemudian pa h Demang Lebar Daun berpaling "Panglima, mengapa anda mengadakan
perjamuan ini tanpa memberitalu kepada istana" "
"Maaf, tuanku pa h yang mulia," panglima Balbala memberi hormat "sebenarnya niat itu mbul
seke ka saja dimana hamba merasa sebagai seorang panglima wajib menjamu kunjungan seorang
senopa dari mancanagara, Dalam hal ini hamba menghorma raden Wijaya dalam kedudukan
sebagai seorarg senopati, bukan sebagai kepala perutusan Singasari, tuanku."
Demang Lebar Daun mengangguk "Baik, maksud anda memang baik sekali. Tetapi bagaimanapun
raden Wijaya berkunjung ke Darmasraya adalah sebagai pimpinan perutusan Singasari maka dia
adalah tamu kerajaan Darmasraya. Darmasraya bertanggung jawab penuh atas keselamatannya."
"Baik, tuanku," kata Hang Balbila yang tersipu-sipu mendapat peringatan dari Demang Lebar
Daun. "Raden Wijaya," kata pa h Lebar Daun "ada sebuah hal yang ingin kubicarakan dengan raden.
Marilah kita kembali ke wisma."
Begitulah rombongan Wijaya dan Demang Lebar Daun segera nggalkan tempat kediaman
panglima Balbila, menuju ke Wisma tempat penginapan Wijaya. Sementara Hang Balbila yang
masih berada dengan anak buahnya, memperbincangkan peris wa yang telah terjadi beberapa
saat yang lalu. "Tuanku," kata perwira Sipora "mengapa tuan dak meremukkan tubuh senopa Singasari itu"
Bukankah tuanku sudah berhasil menguasainya?"
Panglima Balbila menghela napas pelahan "Sebenarnya ada sesuatu yang kurasa aneh pada diri
senopa itu. Sudah jelas dia dapat kukuasai. Pada umumnya, se ap lawan yang telah kucengkeram
ke aknya tentu hilang tenaga kekuatannya. Tetapi dak demikian dengan raden itu. Dia tetap
kokoh sekali pertahanannya."
"Tetapi apakah rokok yang tuanku hidangkan kepadanya itu tidak membawa pengaruh apa-apa?"
tanya Sipora pula. "Ada," kata Balbila "yalah ke ka adu kekuatan itu berlangsung beberapa waktu, akhirnya
kurasakan dia sudah mulai kehilangan tenaga. Tetapi suatu peris wa gaib telah terjadi dikala akan
kutekuk tubuhnya ....."
"Ah, tuanku pa h Demang Lebar Daun itulah penyebabnya. Apabila tuan pa h tak datang
tentulah tuan sudah dapat merobohkan senopati Singasari itu."
"Bukan, bukan karena kehadiran tuan patih Demang Lebar Daun."
Sipora dan beberapa perwira yang lain terkejut mendengar keterangan panglima "Lalu apa yang
telah terjadi, tuan?" Sipora bergegas mengajukan pertanyaan.
"Apakah itu hanya khayal atau memang benar-benar sesungguhnya, aku belum jelas," kata Hang
Balbila "tetapi kurasakan pada saat dia sudah lemas kehabisan tenaga dan hendak kudorong, aku
seper melihat asap pu h bergulung-gulung dari kepalanya dan asap itu lalu membentuk sebuah
gumpalan yang menyerupai bentuk sekuntum bunga."
"Sekuntum bunga" Bunga apakah itu, tuan?"
"Pu h warnanya, mekar sebesar pinggan. Entah mengapa karena selama ini aku belum pernah
melihat bunga semacam itu. Sepintas mirip bunga teratai tetapi jelas bukan bunga itu."
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Bunga itu menyerbakkan bau yang harum sekali, menyengat hidungku dan ba- ba akupun
kehilangan tenaga. Apa yang kalian lihat pada waktu aku hampir dapat merobohkannya?"
"Memang kami merasa heran mengapa ba- ba tuan tak melanjutkan tangan tuan yang sudah
hampir dapat merobohkan senopati itu," kata Sipora yang diperkuat oleh beberapa perwira.
"Itulah," kata Balbila "karena aku tak punya tenaga lagi."
"Aneh," seru Sipora "apakah dia .... "
"Aku sendiri juga heran," kata Balbila "adakah Wijaya mempunyai ilmu gaib. Buk nya, ada lagi.
Yalah kalian tentu melihat betapa santai dia ke ka berhadapan dengan Arbangir. Kalian tentu
menyaksikan bagaimana Arbangir begitu tegang mengerahkan tenaga untuk merobohkannya tetapi
tetap tak berhasil. Demikianpun aku. Sampai beberapa saat, aku tak dapat mendorongnya. Adalah
karena pengaruh rokok itu dan dia mulai kehilangan tenaga maka barulah aku mampu menekuk
tubuhnya. Dan dikala hampir berhasil merobohkan maka menyemburlah asap bunga aneh itu dari
kepalanya." "Ya, memang aneh sekali, tuan."
"Memang kudengar ksatrya-ksatrya Jawadwipa itu gemar bertapa untuk mencari ilmu kesaktian."
"Ah, kiranya hal itu masih perlu dibuktikan, tuan," kata seorang perwira tua yang bernama Baligi.
"Mengapa anda mengatakan demikian?" tegur panglima Balbila.
"Karena dalam keyakinan hamba akan ajaran dan ilmu agama Hinayana, adalah kesak an yang
berdasar aliran hitam itu mampu mengalahkan aliran putih."
"Jadi engkau anggap kesak an yang diperoleh para ksatrya Jawadwipa itu termasuk aliran hitam,
kakang Baligi?" "Hamba dak menganggap semuanya hitam. Tetapi pada umumnya kesak an-kesak an yang
diperoleh dengan ilmu gaib, lebih cenderung digolongkan pada aliran hitam. Yang hamba
maksudkan aliran hitam bukanlah hitam yang jahat tetapi hitam yang terpecah dari putih."
"Bagaimana yang kakang maksudkan itu" "
"Ajaran yang menuju kepada kesucian ba n, peningkatan kesadaran dan kesempurnaan hidup,
itulah aliran pu h. Apabila dalam mencapai kearah itu, kita tergelincir untuk menggunakan
kesadaran dan kewaspadaan daripada indriya kita kearah suatu ilmu kesak an yang tujuannya
tentulah tak menyimpang dari suatu rasa kelebihan diri dengan orang lain, maka hamba cenderung
mengatakan itulah hitamnya putih, tuanku "
Panglima Balbila mengangguk "Ya, memang benar di kalangan orang-orang yang nggi kesadaran
ba nnya sering memiliki ilmu yang menakjubkan. Dan apabila dia terpikat oleh daya ilmu
kewaspadaan itu sehingga memanfaatkannya dalam kepen ngan yang merugikan orang, dia
tergolong aliran hitam."
"Dan se nggi- nggi ilmu kesak an, walau dikatakan sebagai aliran pu h sekalipun, namun
karena masih terikat oleh pamrih dan kepen ngan, maka ilmu itu pas gugur apabila berhadapan
dengan kesucian yang tulus dan mulus."
"Prajurit," ba- ba panglima Balbila mengalihkan pembicaraan kepada seorang prajurit
"bagaimana keadaan Arbangir."
"Mohon diampunkan tuanku," prajurit itu memberi hormat "tuan perwira Arbangir menderita
luka yang parah. Hingga saat ini belum sadarkan diri."
"Hm," dengus panglima Balbila "sungguh lancang benar Wijaya. Pada hal kedua prajuritnya yang
terluka tidak separah itu. Kedua orang itu sudah dapat berjalan bersama rombongannya."
"Tuanku panglima," seru Sipora "hamba ingin menuntut balas terhadap senopa dari Singasari
itu." Panglima Balbila gelengkan kepala "Dia sudah pulang bersama patih Demang Lebar Daun."
"Tetapi bukan berarti kita tak dapat melaksanakan niat kita itu, tuanku."
Panglima Balbila terkesiap "Apa maksudmu?" Rupanya Sipora terkejut melihat sinar mata
panglima Balbila yang menatapnya "Ah, maaf, tuanku. Hamba akan membicarakan hal ini pada lain
kesempatan." Demikian pembicaraan berlarut kelain arah tetapi tetap berkisar pada diri Wijaya. Seluruh
perwira dan prajurit yang hadir dalam perjamuan itu bersatu tekad untuk menuntut balas kepada
Wijaya. Tetapi oleh karena belum ada usul yang nyata maka mengingat hari sudah larut malam
panglima pun membubarkan perjamuan itu.
Namun Hang Balbila masih duduk seorang diri walaupun ruang itu sudah kosong. Dia masih
memikirkan peristiwa yang telah terjadi pada malam itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan
sesosok tubuh yang tanpa tegur salam sudah berada dalam ruangan itu.
"O, engkau Sipora," seru panglima Balbila setelah mengetahui siapa yang datang.
"Maaf, tuanku," Sipora memberi hormat "bahwa hamba masuk tanpa mengucap perkenan tuan."
"O, lalu apa maksud kedatanganmu?" tegur panglima Balbila.
"Hamba hendak melanjutkan apa yang hendak hamba haturkan kepada tuan tadi," kata Sipora.
"Soal apa?" "Dalam pembicaraan tadi sebenarnya hamba hendak menghaturkan rencana hamba terhadap
Wijaya. Tetapi ba- ba hamba sadar bahwa hal itu kurang layak apabila hamba utarakan di depan
umum." "Engkau mempunyai rencana bagaimana?"
"Begini, tuanku," kata Sipora "pertama, demi melampiaskan dendam ha hamba terhadap
ndakan senopa Singasari yang telah melukai Arbangir. Kedua kali, demi membuk kan sampai
dimanakah ilmu kesak an yang dimiliki orang Singasari itu maka hamba hendak mohon perkenan
kepada tuanku untuk membunuhnya."
"Membunuhnya" Hm, jangan berkata sembarangan Sipora. Seper telah engkau dengar sendiri
bahwa pa h Demang Lebar Daun telah menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya - Darmasraya
bertanggung jawab sepenuhnya akan keselamatan rombongan dari Singasari itu karena rombongan
perutusan itu dianggap sebagai duta raja Singasari."
"Hamba memaklumi hal itu, tuanku," kata Sipora "oleh karena itu apa yang hendak hamba
lakukan nanti adalah menjadi tanggung jawab hamba sepenuhnya. Sekali-kali hamba takkan
melibatkan nama pasukan tuanku dan kerajaan Darmasraya."
"Coba uraikan bagaimana rencanamu itu."
"Rencana hamba adalah membunuh raden Wijaya secara diam-diam. Hamba akan menyaru


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai seorang penjahat dan akan memasuki wisma penginapan raden itu untuk membunuhnya."
"Ah," panglima Balbila mendesah "memang baik rencana itu tetapi pelaksanaannya dak
semudah seper yang engkau ucapkan. Ketahuilah Sipora, bahwa rombongan prajurit yang
menyertai raden Wijaya ke kerajaan Darmasraya ini, tentulah prajurit pilihan. Demikian pula raden
itu. Bahwa dia dipercayakan tugas segawat itu oleh seri baginda Singasari, tentulah Wijaya itu
sudah terpilih sebagai senopa yang terbaik dari Singasari. Maka mungkinkah engkau mampu
menyelundup masuk ke dalam wisma penginapannya ?"
Sipora mengangguk "Hamba menyadari hal itu, tuanku. Tetapi hamba percaya akan diri hamba
akan dapat masuk ke dalam wisma penginapan itu. Apabila hamba tak mampu maka hamba akan
menghadap kepada tuanku untuk menyerahkan batang kepala hamba yang hanya sebu r ini. Apa
yang hamba mohon hanya perkenan paduka agar mengidinkan hamba melaksanakan rencana itu."
Sejenak panglima Balbila berpikir kemudian berkata "Ada dua syarat yang harus engkau penuhi
sebelum aku mengidinkan permintaanmu."
"Baik tuanku." "Pertama, engkau dak boleh menunjukkan siapa dirimu. Ar nya, engkau harus menyaru. Kedua,
baik rencanamu itu gagal atau berhasil, adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri seluruhnya.
Jangan sekali-kali menyangkut nama angkatan perang Sriwijaya."
"Baik, tuanku," kata Sipora "memang demikianlah maksud hamba karena hamba memang
hendak menjaga nama baik angkatan perang kita."
"Jika demikian halnya. Akupun tak keberatan," akhirnya panglima Balbila meluluskan.
"Terima kasih, tuanku."
"Tetapi bagaimana apabila engkau sampai tertangkap, Sipora."
"Mohon paduka jangan mencemaskan hal itu. Hamba sudah membekal bubuk racun. Apabila
sampai tertangkap akan hamba telan bubuk beracun itu agar nyawa hamba lenyap seketika."
Panglima Balbila mengangguk. Maka Siporapun segera mohon diri dan pulang ke rumahnya.
Dia memang mempunyai rencana yang hebat. Dia hendak menemui gurunya untuk meminta
bekal-bekal yang diperlukan dalam usahanya untuk memasuki wisma dan membunuh raden
Wijaya. II Sepeninggal dari gedung kediaman panglima Balbila, rombongan Wijaya mengiringkan pa h
Demang Lebar Daun yang berkenan berkunjung ke wisma penginapan Wijaya.
Keheranan yang dilipu oleh berbagai duga dan terka akan maksud kunjungan pa h perdana
dari kerajaan Sriwijaya itu, cepat menghapus kesan buruk yang diperoleh Wijaya di gedung
kediaman panglima Balbila.
"Tentulah ada sesuatu yang pen ng maka tuan pa h berkenan berkunjung ke penginapan
hamba ini." Wijaya membuka pembicaraan.
"Benar, raden," sahut Demang Lebar Daun tenang "namun janganlah raden merisaukannya
karena hal yang hendak kubicarakan dengan raden itu, bukanlah sesuatu yang layak dirisaukan."
"Terima kasih, tuan patih."
"Bagaimana kesan raden dalam kunjungan ke negeri-puri Darmasraya ini?" Demang Lebar Daun
memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
"Amat indah dan menyengsamkan, tuan patih."
Demang Lebar Daun tertawa "Ah, janganlah raden berbahasa tuan kepadaku. Sebutlah paman
saja." Wijaya menghaturkan terima kasih.
"Raden," kata Demang Lebar Daun pula "di-antara yang indah tentu ada yang paling indah.
Diantara yang menyengsarakan. Lalu apakah kiranya menurut pendapat raden hal yang paling
indah dan paling menyengsamkan di kerajaan puri Darmasraya ini ?"
Wijaya terbeliak. Ia tak menyangka akan menerima pertanyaan yang sedemikian dari pa h
Demang Lebar Daun. Apakah gerangan maksud pa h itu " Dipandangnya demang itu dan tampak
dia hanya mengulum senyum.
"Semuanya paman pa h. Keindahan puri kerajaan Darmasraya yang berhiaskan beribu kuil dan
taman, budi bahasa rakyatnya yang ramah dan terutama keindahan istana seri baginda
Mauliwarman yang megah," kata Wijaya akhirnya.
"Baiklah, raden," kata pa h Demang Lebar Daun "mungkin raden berat ha untuk mengatakan
apa yang terkandung dalam ha raden. Tetapi sebenarnya aku sudah tahu peri hal dayang Cumbita
yang datang menghadap raden siang tadi."
"Paman pa h " seru Wijaya terkejut. Ia duga kedatangan pa h itu tentu akan membicarakan soal
itu. Kemungkinan bahkan akan memberi teguran "adakah dayang Cumbita ... "
"Secara kebetulan kulihat dayang itu berjalan di lorong yang menuju ke istana maka
kupanggilnya dan atas pertanyaanku dia menceritakan apa yang telah dilakukannya."
"Maaf, paman patih, hamba .... "
"Kutahu raden," tukas pa h Demang Lebar Daun pula "bahwa raden tak bersalah. Hal itu adalah
perbuatan cucuku si Candra Dewi sendiri."
"Ah," Wijaya menghela napas longgar "tetapi paman patih, tuan puteri Candra Dewi juga tak
bersalah. Hamba rela menerima hukuman apabila hal itu dianggap sebagai suatu kesalahan
tuan puteri." Demang Lebar Daun tertawa "Apa yang hendak kubicarakan bukan untuk mencari kesalahan
melainkan untuk memperbaiki kesalahan itu. Raden, aku tak mempersalahkan cucuku Candra
Dewi, demikian pula raden. Tetapi apabila harus diadakan sasaran untuk menumpahkan
kesalahan itu maka aku menyalahkah pada keadaan."
Wijaya tertegun memandang Demang Lebar Daun.
"Memang tak dapat disalahkan apabila cucuku si Candra Dewi memiliki suatu perasaan terhadap
raden. Demikian mungkin raden terhadap anak itu. Tetapi aku tak berani memastikan."
"Paman pa h," seru Wijaya serenjak " ada hal yang perlu Paman ragukan betapa perasaan
hamba terhadap tuan puteri Candra Dewi itu."
"O, benarkah itu ?"
"Sejak pertama kali berjumpa pandang, ada yang melekat pada ha hamba daripada bayangan
tuan puteri Candra Dewi, paman."
"Ah," Demang Lebar Daun tertawa " dakkah di kerajaan Singasari penuh dengan puteri-puteri
nan can k jelita yang melebihi kecan kan si Candra Dewi" Jangaulah raden memanjakan Candra
Dewi dengan sanjung pujian yang berkelebihan."
"Tidak paman pa h," Wijaya makin ngotot "memang banyaklah puteri Singasari yang can k
tetapi kesemuanya itu tiada yang dapat menyamai kecantikan tuan puteri Candra Dewi."
Demang Lebar Daun gelengkan kepala "Janganlah raden terangsang oleh pandang mata yang
cepat menimbulkan puji. Karena si Candra Dewi itu jelek tabiatnya."
"Bagaimana paman patih mengatakan demikian?"
"Sudah banyak para raja di negara Swarnadwipa bahkan sampai ke Campa yang
menghasratkannya tetapi ha nya seolah-olah beku terhadap mereka. Ha nya keras dan sukar
ditundukkan. Maka aku heran mengapa dia sampai mau mengutus dayang pengasuhnya mengirim
sirih dan rokok kepada raden."
Wijaya tersipu-sipu. Diam-diam ia merata bahagia.
"Adakah hal itu memang sudah kehendak Hyang Isywara, aku tak tahu. Tetapi kenyataannya
memang dia benar. Siapakah puteri yang tak berkenan dalam ha terhadap raden, seorang ksatrya
muda, tampan, gagah dan berpangkat senopati kerajaan?"
"Ah, hamba hanya seorang senopa . Jauh kiranya nilai diri hamba apabila dibandingkan dengan
para raja-raja Malaya."
"Itulah yang kumaksudkan dengan kata-kataku tadi bahwa apakah memang demikian suratan
takdir yang telah digariskan Dewata Agung," kata Demang Lebar Daun.
Wijaya tertegun. "Tetapi mbul perbantahan dalam ha ku sendiri, raden," kata pa h Demang Lebar Daun pula
"ah, mungkinkah tafsiranku itu benar" Andaikata benar, mengapa lain dengan kenyataannya?"
Wijaya terkesiap lalu bertanya "Mohon paman memberi penjelasan apa yang panan
maksudkan." "Bahwa kenyataan raden hanyalah sebagai seorang utusan nata," kata Demang Lebar Daun "yang
dipercayakan untuk meminang kedua puteri cucuku. Bagaimana mungkin raden ditakdirkan
berjodoh dengan si Candra Dewi. Tidakkah tafsiranku itu keliru?"
Wijaya terkesiap. "Maka akupun hanya menghela napas karena merasa iba akan nasib cucuku si Candra Dewi.
Hampir tak berani aku membayangkan betapa hancur ha nya apabila cita-citanya itu akan hampa
karena raden akan memboyongnya untuk dipersembahkan kepada raja Kertanagara junjungan
raden?" Lama Wijaya tenggelam dalam kemenungan.
"Oleh karena itu raden maka kedatanganku kemari ini tak lain adalah untuk memberi nasehat.
Hendaknya lebih bijaksana lagi untuk memadamkan api itu sebelum membakar hayat raden," kata
Demang Lebar Daun. Makin terjuruslah dugaan Wijaya ke arah mana ucapan pa h mangkubumi dari kerajaan
Sriwijaya akan mengarah "Adakah paman pa h menasehatkan hamba agar dak melanjutkan
hubungan hamba dengan puteri Candra Dewi?"
Pa h Demang Lebar Daun menghela napas "Ah, sesungguhnya dalam ha paman, ada
se kpun terpercik oleh keinginan itu. Demikian pula seri baginda Mauliwarman karena seri
baginda amat memanjakan sekali kepada puterinya yang tercinta itu. Tetapi kenyataan akan
menghapus segala keinginan itu, raden."
"Maksud paman patih hamba hanya seorang utusan sang nata Singasari ?"
"Kiranya tak perlu paman jelaskan hal itu, tentulah raden sudah memakluminya .... "
Wijaya tertegun. Apa yang diucapkan patih Demang Lebar Daun itu telah menjadi
renungannya pada saat dia menerima kedatangan dayang Cumbita siang tadi. Dan dalam itu,
iapun sudah berkemas kemas meletakkan persoalan itu di tempat yang layak harus diletakkan.
Ia tahu siapa dirinya, siapa Candra Dewi dan siapa prabu Kertanagara. Iapun tahu apa tugas
seorang duta, tugas seorang ksatrya dan tugas seorang pria muda.
"Terima kasih paman pa h," akhirnya meluncurlah seuntai kata dari mulut Wijaya yang tampak
bergetar "tetapi paman, akan menjadi suatu kenangan indah yang membahagiakan ha hamba
apabila hamba mendapat sesuatu hadiah dari paman patih yang mulia."
"Apa maksud raden?"
"Bahwa nasehat paman pa h itu pas akan hamba junjung di atas kepala," kata Wijaya "namun
bagaimana langkah hamba selanjutnya, akan tergantung pada kesan-kesan yang hamba terima.
Kesan itu akan membentuk keadaan dan kearah keadaan itulah langkah akan hamba arahkan."
"Katakanlah raden."
"Berkenankah paduka melimpahkan pandangan paduka peribadi akan terciptanya suatu jalinan
batin antara puteri Candra Dewi dengan hamba ?"
Rupanya pa h Demang Lebar Daun sudah siap menghadapi pertanyaan itu "Lepas dari lingkung
keadaan diri raden saat ini, paman sebagai seorang nenek Candra Dewi, akan menyerahkan soal itu
sepenuhnya kepada anak itu. Kecintaan seorang nenek terhadap cucunya, mungkin lebih besar dari
seorang ayah terhadap puterinya. Demikian dengan perasaan paman. Apapun yang menjadi pilihan
ha anak itu, akan menjadi pendirian paman dan pas akan paman usahakan sampai terlaksana,
betapapun besar pengorbanannya. Seluruh rakyat dan kekuatan Sriwijaya akan berdiri di belakang
pendirian paman." "Terima kasih paman pa h," ucap Wijaya "adalah demikian pula kiranya pendirian seri baginda
Mauliwarman?" "Baginda juga akan memanjakan puterinya. Dan paman merasa bahagia bermenantukan tuanku
Mauliwarman yang walaupun sebagai yang dipertuan dari kerajaan Sriwijaya, tetapi amat
menghormat dan mendengar setiap kata paman."
"Baik paman, terima kasih," kata Wijaya "akan hamba tanam ucapan paman itu dalam lubuk ha
hamba." "Tetapi raden Wijaya," seru pa h Demang Lebar Daun "akan raden lanjutkan juakah keinginan
raden terhadap si Candra Dewi itu ?"
"Jika hamba dak bertepuk sebelah tangan, paman pa h, maka akan hamba songsongkan kedua
tangan hamba untuk melindungi puteri Candra Dewi dari segala gangguan siapapun juga."
"Tetapi tidakkah raja Singasari akan murka kepadamu, raden ?"
"Itu akan menjadi tanggung jawab hamba."
"Tidakkah hal itu amat berbahaya ?"
"Jiwa dan raga hamba akan hamba pertaruhkan."
"Ah," Demang Lebar Daun menghela napas dan geleng-geleng kepala "jiwa muda, darah muda,
semangat muda dain segala-galanya muda. Muda lambang cita perkasa, hasrat menyala. Akupun
pernah muda raden. Tetapi daklah Seberat beban yang pernah kuhadapi dengan raden saat ini.
Apa daya raden terhadap seri baginda " Tidakkah akan hancur jua ha cucuku si Candra Dewi" O,
Sang Tatagata, lindungilah cucu hamba dari segala mala petaka .... "
Terkesiap Wijaya mendengar ucap patih itu. Serentak diapun memberi janji "Janganlah
paman patih kecewa. Duka puteri Candra Dewi adalah lara hamba. Tawa puteri Candra Dewi
adalah bahagia hamba. Tidaklah hamba relakan duka menggoda puteri, akan hamba
persembahkan bahagia ke haribaannya. Ini pasti, paman patih. Karena inilah sumpah hati
hamba ..... " "Raden !" teriak pa h Demang Lebar Daun terkejut "jangan kiranya raden bermain sumpah.
Karena langit dan bumi, para dewa yang tengah melanglang buana, akan mendengar dan menjadi
saksi utama." "Maaf, paman pa h" sahut Wijaya "sumpah telah hamba ucapkan. Hamba takkan menariknya
kembali dan hambapun tak menyesal bahkan merasa bahagia karena telah menumpahkan isi ha
hamba." Ahkimya setelah mengucapkan doa, berkatalah pa h Demang Lebar Daun "Sebagai seorang tua,
wajiblah aku memberi nasehat kepada raden. Apabila raden tetap pada pendirian raden, akupun
tak dapat berbuat apa-apa. Namun karena hal itu menyangkut cucuku yang tercinta maka kuminta
janganlah raden ber ndak sembarangan sebelum yakin bahwa ndakan raden itu tentu berhasil.
Kehancuran cucuku Candra Dewi adalah kehancuran ha ku, kehancuran baginda Mauliwarman dan
kehancuran seluruh rakyat kerajaan Sriwijaya. Camkanlah ini, raden."
"Baik paman pa h. Jika tak dapat melaksanakan janji, seorang ksatrya akan mempertaruhkan
jiwanya untuk penebus dosa."
Patih Demang Lebar Daun minta diri.
Dalam ruang peraduannya, pa h itu masih merenungkan pembicaraannya dengan Wijaya
"Lengkap sudah kiranya rangkaian kelengkapan dalam merelakan si Candra Dewi diboyong ke
Singasari. Tentu akan mbul pertentangan hebat antara Wijaya dengan raja Kertanagara dalam
memperebutkan Candra Dewi. Rupanya Wijaya sudah sedemikian mabuk kepayang akan Candra
Dewi, tak mungkin dia akan mau mempersembahkan anak itu ke hadapan rajanya. Dan sudah tentu
apabila raja Kertanagara melihat Candra Dewi, dia tentu akan terpikat dan tentu akan ngotot."
"Hm," desuh pa h itu pula "keberangkatan Candra Dewi akan menimbulkan ketegangan di
kalangan istana Singasari. Jika tak ada penyelesaian yang memuaskan, mungkin akan mbul suatu
pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan Kertanagara."
Demang Lebar Daun membayangkan pula akan nujum sang resi bahwa bahwa utusan yang
berkunjung ke Sriwijaya itu, akan menjadi manusia besar dalam percaturan kekuasaan di Singasari.
Dengan demikian, jika Candra Dewi dapat berjodoh dengan Wijaya, kemungkinan besar tentu akan
mengalami nasib yang baik.
"Andaikata dalam perebutan si Candra Dewi itu, Wijaya kalah, Candra Dewi tetap akan diangkat
sebagai permaisuri Singasari. Dan raja Kertanagara akan kehilangan seorang senopa yang perkasa,
seorang tulang punggung kerajaan yang meyakinkan."
Demang Lebar Daun mengakhiri per mbangan tentang diri Candra Dewi yang akan diboyong ke
Singasari itu dengan suatu kesimpulan yang menyenangkan ha nya. Nasib cucunya, Candra Dewi,
akan selalu jatuh ke atas atau jatuh ke tempat yang beruntung.
Namun di samping perhitungan-perhitungan yang menyertai penyerahan Candra Dewi kepada
permintaan Singasari, dalam ha kecil pa h mangkubumi itu, dia lebih cenderung apabila cucunya
dapat berjodoh dengan Wijaya. Dalam diri senopa muda itu ia merasakan sesuatu. Sesuatu yang
sukar di kata tetapi dapat dirasakan, bahwa kelak pemuda itu tentu akan menjadi manusia besar.
Perasaan tentang diri Wijaya, seolah seper makin diyakini setelah dalam persemedhiannya
selama beberapa malam, ia seperti mendapat suatu sabda gaib mengenai diri Wijaya.
"Ah, tanggung jawab terhadap kepen ngan negara itu maha berat. Sering aku ber ndak
menyalahi suara ha nuraniku. Aku berdosa tetapi apa boleh buat. Apapun karma yang akan
kuterima sebagai akibat ndakanku terhadap Wijaya, akan kuterima dengan segala kelapangan
dada, asal ndakan itu membuahkan suatu keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat dan
kerajaan Sriwijaya .... "
Dalam berkata-kata seorang diri ditengah kelelapan malam yang sunyi itu, ia terbayang pula akan
lintasan peristiwa dari langkahnya yang telah dilakukan terhadap Wijaya......
Bahwa Cumbita itu sesungguhnya bukan diutus oleh puteri Candra Dewi, tetapi pa h Lebar Daun
sendiri yang menitahkannya. Sayang Wijaya tak dapat menghaya betapa nilai martabat seorang
puteri raja seper Candra Dewi itu. Candra Dewi baru pertama kali bertemu dengan Wijaya dalam
pasowanan agung ke ka Wijaya diterima ayahandanya di istana. Puteri itu memang terkesiap
melibat wajah senopa muda yang memancarkan cahaya keagungan dan kewibawaan. Pun puteri
itu tahu juga betapa tajam dan nekad mata Wijaya memandangnya. Dan puteripun tahu kalau
sikap Wijaya menjadi tegang dan seperti kehilangan faham pada saat itu.
Tetapi betapa dan bagaimanapun kesan yang melintas dalam ha puteri, barulah terbatas pada
rasa terkesiap, belumlah meningkat pada rasa tersentuh. Dalam keadaan seper itu dan dalam
kedudukan sebagai seorang puteri raja, mungkinkah Candra Dewi akan mengutus dayangnya untuk
mengirim sirih dan rokok kepada Wijaya" Karena sifat manusia dan dunia itu serba aneh dan
mungkin, maka kemungkinan terjadinya peristiwa semacam itu memang mungkin. Tetapi yang jelas,
puteri Candra Dewi tidak merasa mengutus dayang Cumbita ke tempat Wijaya.
Membayangkan akan rencana yang telah dilaksanakannya terhadap Wijaya, bibir Demang Lebar
Daun tersenyum walaupun ha nya mengeluh. Kepen ngan negara harus didahulukan dengan
kepentingan lain-lain, bahkan kepentingan menegakkan kejujuran dan keutamaan.
Apabila rencana itu berhasil, dapat dipas kan Wijaya tentu akan nekad melanggar tah rajanya.
Dan apabila Kertanagara tak bijaksana mengambil langkah maka Singasari tentu akan kehilangan
seorang senopati yang saat itu paling diandalkan.
Tanpa terasa lalu lalang renungan dan pemikiran yang melintas dalam benak pa h Demang
Lebar Daun, telah melelahkan urat syaraf sehingga Demang itu terkulai lemas dalam lena yang
pulas. Sementara di wisma penginapan, Wijayapun menderita keadaan yang serupa dengan pa h
Demang Lebar Daun. Rasanya sehari itu penuh dengan peris wa yang mendebarkan perasaannya.
Undangan dari panglima Balbila, dayang Cumbita yang katanya diutus puteri Candra Dewi,
perjamuan yang menghebohkan di gedung kediaman panglima Balbila dan pembicaraannya dengan
pa h Demang Lebar Daun mengenai hubungannya dengan puteri Candra Dewi. Kini peris wa itu
telah lalu namun masih meninggalkan kesan-kesan yang menggores lubuk hatinya.
"Ah, aku sudah melangkah terlalu jauh," katanya dalam hati "aku sudah mengucapkan sumpah di
hadapan pa h Demang Lebar Daun. Jika tak dapat melaksanakan sumpahku untuk melindungi
puteri Candra Dewi, lebih baik aku tak hidup. Duh, Dewata Agung, hamba serahkan jiwa dan raga


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hamba ke hadapan paduka. Apabila tak dapat memenuhi sumpah hamba, lebih baik paduka
sirnakan Wijaya .... "
Agak longgarlah kesesakan napas yang menghimpit dada Wijaya setelah menyerahkan diri
kepada sang Maha Pencipta. Dan ketenanganpun mulai bertebaran di bumi hatinya. Sayup-sayup ia
pemunculan bayang-bayang wajah Candra Dewi nan cantik jelita.
Beberapa saat kemudian, bersama dengan bayang-bayang wajah sang dyah ayu Candra Dewi,
terbuailah kesadaran pikiran Wijaya dalam kclelapan tidur yang tenang.
Tidur merupakan peris rahatan dari gerak indriya dari jasmani manusia. Sumber daripada
pemberhen an gerak indriya itu adalah pada penyerapan dan kemudian pantulan daya kesan dan
pemikiran dari perasaan ha dan pikiran. Apabila perasaan dan pikiran sudah terhen maka
terhen pula segala daya gerak berpikir, berkesan dan menyerap. Dan di situlah tempat
peristirahatan kita berlabuh.
Saat itu sudah lewat tengah malam... Malampun kelam. Cakrawala makin tenang, hanya sesekali
dua terusik oleh luncur sinar bintang yang pada masa itu dianggap orang sebagai bintang berkisar.
Di antara kegelapan suasana yang melingkupi wisma agung tempat Wijaya dan tetamu-tetamu
agung, mancanagara menetap apabila berkunjung ke kerajaan puri Darmasraya, mencuatlah dua
pasang gundu mata yang berkilat-kilat memancarkan sinar. Dua pasang gundu mata itu milik dua
insan manusia yang mukanya bertutup kain hitam tetapi pada bagian mata diberi lubang.
Rupanya kedua orartg itu Sudah sejak lama bersembunyi merunduk di bawah gcrumbul
pohon yang gelap dan tampaknya mereka sudah mulai gelisah tidak dapat menahan kesabaran
hatinya. Salah seorang menjemput sebutir batu kerikil dan dilontarkan ke atas atap. Di tengah
kesunyian malam buta, kerikil itu berkelitikan meluncur turun di sepanjang permukaan atap.
"Mereka sudah tidur, kakang," bisik orang yang melontarkan kerikil beberapa saat kemudian.
Kawannya mengangguk "Kita bergerak sekarang?" Orang itu mengiakan dan mulai ayunkan
langkah. Keduanyajmenghampiri ke samping gedung, berhen pada sebuah jendela. Dikoreknya
daun jendela setelah jendela terbuka maka kedua orang itupun loncat masuk ke dalam ruang.
Mereka bergerak cepat dan gesit. Seolah seper tahu keadaan wisma itu, mereka terus langsung
menuju, ke tempat peraduan Wijaya. Pun daun pintu dapat mereka buka dengan mudah dan
merekapun terus melangkah masuk.
Tampak Wijaya sedang dur telentang di atas peraduan. Tampaknya senopa Singasari itu amat
berbahagia. Kesan itu tampil dari wajahnya yang tenang dan mulut yang mengulum senyum.
Kedua orang itupun dengan langkah yang amat ha -ha sekali maju menghampiri. Sejenak
mereka berhen di depan tempat dur. Keduanya mencabut parang dan rencong. Sejenak
keduanya bertukar pandang jfan saling mengangguk.
Tiba-tiba keduanya serempak mengayunkan rencong dan parang itu ke tubuh Wijaya .........
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 32 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Menurut cerita maka raden Burisrawa, puteri prabu Salya dari negeri Madraka, amat tergila -gila
kepada dewi Wara Sumbadra. Tetapi dia hanya bertepuk sebelah tangan. Karena walaupun
seorang putera raja, Burisrawa itu berwajah raksasa karena dia adalah keturunan dari begawan
Bagaspa . Eyangnya itu yani begawan Bagaspa juga seorang pandita raksasa. Apalagi Wara
Sumbadra itu sudah diperisteri seorang ksatrya linuwih raden Pamadi yang cakap dan sak
mandraguna. Namun raden Burisrawa tak pernah surut dari keinginan ha nya menghasratkan sang dewi jelita.
Takkan seumur hidup ia menikah dengan wanita kecuali dengan dewi Wara Sumbadra, demikian
sumpahnya. Tekad itu senjata maha ampuh yang mampu menghancurkan segala rintangan dari berlapis-lapis
tembok baja. Tentu mampu pula memaksa dewa untuk meluluskan kehendaknya. Demikian tekad
yang dibekal raden Burisarawa ketika dia bersemedhi membangun tapa.
Pancaran tekad yang membara dari jasmani pangeran yang sedang dilanda asmara itu, bagaikan
api unggun yang bergulung gulung membentuk suatu lidah api yang menjilat jilat kahayangan
tempat para dewa benuayam. Panaslah hawa kahayargan dan turunlah sang Batari Darga,
permaisuri Hyang Guru untuk menemui raden Burisrawa.
"Baiklah, kulup, karena tekad itu adalah mus ka milik tah dewata yang tak dapat diganggu
gugat dan bahkan para dewapun diperkenankan untuk meluluskan, maka permohonanmu akan
kukabulkan," kata sang Batari setelah mendengar persembahan kata raden Burisrawa.
"Terima kasih, pukulun," sembah raden Burisrawa.
"Tetapi engkau harus tahu, kulup," kata sang Batari "bahwa kodrat yang sudah digariskan dewata
itu tak dapat diubah lagi. Wara Sumbadra itu bukan jodohmu. Ini garis yang sudah dikodratkan
dewata." "Jika demikian, pukulun," rin h raden Burisrawa "mohoa paduka lebur saja Burisrawa ini
menjadi abu .... " Batari Durga tertawa "Apakah engkau benar- benar bertekad untuk mencapai keinginan ha mu,
kulup ?" "Burisrawa telah bersumpah, takkan memangku wanita kecuali Wara Sumbadra. Lebih baik
Burisrawa lebur tanpa dadi apabila tak dapat bersanding dengan Mbok Badra, pukulun."
"Kodrat dewata tak dapat diganggu gugat lagi, kulup," sabda sang Batari dengan nada sarat "aku
mau membantu keinginanmu asal engkau mau berjanji kepadaku."
Burisrawa bersedia. "Akan kuhias dirimu bersalin rupa sehingga engkau dapat berhadapan dengan Wara Sumbadra
tetapi engkau tak dibenarkan untuk menjamahnya. Apakah engkau setuju ?"
Bagi Burisrawa yang sudah dimabuk kepayang itu, jangankan menjamah bahkan walaupun dapat
memandang wajah dewi pujaannya itu, apa lagi dapat berhadapan, sudah puaslah rasa ha nya.
Serentak dia menerima apa yang dijanjikan sang Batari.
Demikian berhasillah raden Burisrawa berhadapan dengan sang dewi jelita. Tetapi bara asmara
yang telah terpendam dalam sanubari putera raja itu dak kuasa lagi ditahannya. Ke ka
berhadapan Wara Sumbadra meletuslah dendam birahinya dan lupalah ia akan janjinya kepada
Batari Durga. Wara Sunsbadra seorang puteri utama. Lebih baik ma daripada tercemar dan
akhirnya dalam keadaan terdesak puteri jelita Itupun bunuh diri ....
Demikian perkasanya Tekad manusia, demikian pula kekuasaan Kodrat. Manusia dengan
mengerahkan segenap Kemauan dan Tekad, mengusahakan segala daya dan upaya, dibenarkan
untuk mencapai apa yang dicita -citakan. Namun kalau hal itu melanggar kodrat yang telah
ditentukan oleh dewata, akan sia-sia jua.
Dalam melaksanakan kesanggupannya di hadapan panglima Balbila, perwira Siporapun telah
menghadap gurunya, pandita Aru Perpa yang sidik. Sipora menjelaskan rencananya dan
memohon petunjuk serta bantuan pandita Perpa agar dapat melaksanakan rencananya untuk
membunuh raden Wijaya. Pandita Aru Pcrpa yang sidik, menolak permohonan muridnya. Tetapi dengan tekad yang
membaja sampai ga hari ga malam Sipora tak mau berkisar dari tempat duduknya di luar
sanggar Pamujan sang pandita.
Akhirnya kasihan juga pandita Aru Pcrpa melihat keadaan muridnya yang selama ga malam itu
dicurah hujan lebat, tidak makan dan minum. Dipanggilnya Sipora ke dalam sanggar.
"Sipora, tampaknya engkau benar-benar bertekad bulat untuk melaksanakan rencanamu," tegur
pandita Aru Perpati. "Hamba seorang perwira, guru," sahut Sipora "dan hamba telah menyanggupkan janji di hadapan
panglima Balbila. Tidakkah muka hamba tercontreng malu apabila hamba tak dapat
melaksanakannya?" Pandita Aru Pefpa mengangguk "Memang Sipora. Hal rasa malu itu besar sekali. Ma
taruhannya. Oleh karena itu janganlah kita tergesa-gesa mengucapkan kesanggupan."
"Tapi guru," bantah Sipora "kesanggupan hamba itu demi menyelamatkan kepen ngan negara
kita. Tidakkah guru merestui akan kesanggupan hamba itu ?"
"Kutahu" jawab pandita Aru Perpa "dalam kedudukannya sebagai seorang perwira kerajaan
Sriwijaya, engkau akan mengunjukkan suatu pengabdian untuk menyelamatkan Sriwijaya. Engkau
tak salah. Siapapun tak ada yang salah. Tetapi engkaupun dak benar. Yang benar adalah kodrat
Hyang Widdhi." "Hamba tak mengerti apa yang paduka maksudkan, guru."
"Ketahuilah Sipora," kata pandita Aru Perpa "bahwa selama rombongan utusan Singasari
berkunjung ke Sriwijaya - Darmasraya, seorang diri dalam kesunyian malam aku duduk di luar untuk
memandang cakrawala. Menurut wawasan yang kuperoleh ada sebuah bintang bersinar yang
memancarkan cahaya terang di cakrawala bumi Sriwijaya. Aku terkejut karena selama ini, belum
pernah kulihat bintang itu. Jelas bintang itu sebuah bintang pendatang baru. Dan lalu
kuhubungkan dengan utusan Singasari. Ah, ternyata bintang itu adalah pria-gung yang memimpin
perutusan Singasari."
"Raden Wijaya ?"
"Dapat dipas kan begitu," jawab pandita Aru Perpa "bintang itu bersinar sedemikian terang.
Namun masih belum penuh pancaran sinarnya itu. Itu berar bahwa dia belum mencapai puncak
kejayaan melainkan sedang meningkat ke atas. Maka sia-sialah apabila engkau hendak
membunuhnya." Sipora terkesiap tetapi pada lain saat cepat dia membantah lagi "Guru, apakah paduka
menitahkan hamba menghentikan rencana hamba?"
"Sipora, apakah engkau tak percaya kepadaku ?" balas pandita Aru Perpati.
"Ampun, guru," serta merta Sipora memberi sembah "kepercayaan dan kesetyaan hamba kepada
paduka adalah sebuah buluh. Hamba tak bermaksud menyangsikan keterangan paduka, guru."
"Lalu ?" "Hamba hanya teringat akan pesan paduka dahulu bahwa kita manusia itu harus berusaha
karena sifat manusia itu adalah berupaya. Tanpa memiliki sifat itu kita akan kehilangan daya
kemanusiaan kita, guru."
Pandita Aru Perpa menghela napas "Yah, memang demikianlah sifat manusia. Dan engkau
benar-besar seorang manusia, Sipora. Baiklah, akan kuberimu Sebuah ilmu mantra di mana engkau
nan pas dapat memasuki wisma penginapan raden Wijaya dan dapat melaksanakan
kehendakmu. Tetapi ingat, Sipora, apabila dalam pelaksanaan itu engkau tertumbuk akan sesuatu
yang merintangi usahamu, janganlah engkau memaksakan diri. Engkau harus mengakui bahwa apa
yang kupaparkan kepadamu tadi mengenai bintang dan kodrat Hyang Widdhi itu, adalah benar.
Jangan engkau memaksakan untuk melanggar kodrat atau engkau nan akan mendapat kutuk
dewata." Sipora setuju dan pandita Aru Perpa pun segera membekali muridnya dengan mantra yang
dapat melelapkan para penjaga wisma terlena pulas, itulah sebabnya maka dengan mudah
dapatlah Sipora bersama kawannya masuk ke dalam wisma dan menyelinap ke dalam bilik
peraduan raden Wijaya lalu mengayunkan parang dan rencongnya.
Saat itu Wijaya masih dur pulas dan parang serta rencong melayang bebas menuju ke
sasarannya. "Uhhhhh," ba- ba mulut Sipora mendesis kejut ke ka dalam pandangannya dan pandangan
kawannya, dari ubun-ubun kepala Wijaya memancar asap pu h yang berbentuk bunga padma itu.
Sipora menghimpun seluruh tenaga untuk membelah asap kelopak itu. Namun makin mengerahkan
tenaga makin hilanglah kekuatannya. Hal itupun dialami oleh kawannya.
Cek, cek, cek .... Kesunyian malam yang lelap, sekonyong-konyong terbelah oleh decak seekor cicak di sudut
dinding ruangan. Jelas itu decak suara cicak namun suara itu menimbulkan riak gelombang yang
dahsyat yang menggoncangkan jantung Sipora dan kawannya.
"Ah ... " Sipora lepaskan parangnya dan loncat mundur. Demikian pula kawannya. Mereka terus
menyelinap ke luar dan menghilang dalam kegelapan.
Kawan Sipora itu bernama Dampu, seorang yang terkenal sak dan berani. Sengaja Sipora
mengajak orang itu dengan janji upah yang banyak apabila berhasil membunuh Wijaya.
"Bagaimana Dampu," kata Sipora ke ka mereka beris rahat ditebuah tempat yang sepi "apa
yang engkau lihat dan alami ?"
"Aneh sekali, tuan," kata Dampu "selama ini hamba sudah menghajar berpuluh puluh orang
bahkan beberapa kali membunuh. Tetapi belum pernah hamba mengalami peris wa yang seaneh
ini. Ke ka hamba ayunkan rencong, serasa rencong hamba itu tertahan oleh gumpalan asap yang
berbentuk seper bunga teratai. Ke ka hamba kerahkan tenaga untuk menebas, malah tenaga
hamba merana." "Ya," Sipota mengangguk.
"Apakah tidak kita ulangi lagi ke sana, tuan?" tanya Dampu
Sipora gelengkan kepala "Tak perlu."
"Tetapi rencong hamba tertinggal di sana. Tidakkah mereka akan tahu kalau itu milik hamba" "
"Tidak, Dampu," saut Sipora "tak perlu engkau takut. Sstelah kuberimu uang, engkau dapat lekas
lekas tinggalkan Darmasraya untuk bersembunyi ke lain daerah dulu."
Malam itu juga Dampu terus meninggalkan Darmasraya. Sedang Sipora menghadap pandita Aru
Perpa lagi. Dia memberikan laporan apa yang dialaminya dan mohon maaf karena tak menurut
peringatan pandita itu. "Apakah engkau sudah percaya, Sipora ?" Sipora mengiakan.
"Lalu apa kehendakmu sekarang" "
"Hamba telah berjanji di hadapan panglima Balbila. Karena hamba tak dapat memenuhi janji
untuk membunuh raden Wijaya maka hamba akan meyerahkan diri hamba atas keputusan yang
akan diberikan panglima."
"Ya," kata pandita Aru Perpa "memang demikianlah keadaannya. Apabila panglima tak percaya,
tiada sesuatu yang dapat mencegahnya apabila dia hendak mencoba sendiri."
Sebenarnya maksud Sipora adalah hendak meminta gurunya untuk bersama diajak menghadap
panglima Balbila. Agar pandita itu dapat memberi kesaksian tentang sebab musabab dari
kegagalan Sipora melaksanakan janjinya itu. Tetapi rupanya pandita Aru Perpa enggan turun dari
pertapaan. "Jika panglima percaya, sampaikanlah apa yang kuterangkan kepadamu mengenai diri raden
Wijaya itu," kata pandita Aru Perpa "bahkan kalau panglima berkenan menerima nasehatku,
baiklah ia mengikat hubungan yang erat dengan raden Wijaya agar kelak tercipta suatu hubungan
baik antara Sriwijaya dengan Singasari. Jangan merintangi keberangkatan tuan puteri Candra Dewi
dan tuan puteri Kembang Dadar yang akan diboyong raden Wijaya ke Singasari."
"Namun itu hanya pesanku," kata pandita Aru Perpa sesaat kemudian "apabila panglima
menghendaki lain, akupun tak dapat mengatakan apa-apa kecuali bahwa barang siapa melanggar
kodrat, dia akan tergilas oleh kodrat itu."
Demikian Sipora kembali menghadap panglima Balbila melaporkan hasil usahanya untuk
membunuh raden Wijaya. Panglima Balbila tertegun sampai beberapa saat dikala mendengar cerita Sipora tentang
keajaiban yang mbul pada diri raden Wijaya. Lebih terpana pula ia manakala mendengar
keterangan dari pandita Aru Perpa tentang bintang bersinar yang disenyawakan sebagai lambang
peribadi Wijaya. *** Langkah kanan, demikian kata maharsi tua pada taat Wijaya berkunjung ke candi Syiwa untuk
bersemedhi memohon restu agar perjalanan melaksanakan tugas seri baginda Kertanagara ke
Sriwijaya dapat berhasil.
Maharsi tua itu mengatakan bahwa langkah Wijaya adalah langkah kanan. Bahkan pada saat itu
berkat, kesak an sang maharsi, Wijaya dapat 'menyaksikan' apa yang akan dialaminya selama
mengadakan kunjungan ke Sriwijaya.
Namun sesuai dengan pesan sang maharsi dan berkat kesak annya maka apa yang dilihat dan
didengar oleh Wijaya saat itu, di kala dia ke luar dari candi akan lenyap tak berkesan lagi. Itulah
sebabnya maka tak teringat Wijaya segala apa yang telah diramalkan oleh maharsi, walaupun
kesemuanya itu telah terbukti dalam kenyataan.
Baginda Teribuana Mauliwarman setelah mendengar dan merenungkan anjuran pa h
mangkubumi Demang Lebar Daun yang juga menjadi mamak atau rama mentua baginda, telah
berkenan meluluskan pinangan raden Wijaya atas kedua puterinya.
Memang berat nian perasaan sang baginda untuk melepaskan puteri kesayangannya, berangkat
jauh ke pulau Jawadwipa. Lebih tertusuk pula keagungan seri baginda karena kedua puteri baginda
itu akan dipersunting oleh sang prabu Kertanagara yang telah berusia lanjut.
Namun Demang Lebar Daun dapat meyakinkan baginda akan sasmita hasil renungan dan
penilaian Demang Lebar Daun tentang sejarah yang akan terjadi di kerajaan Jawadwipa kelak.
Ombak menggelegak, menebarkan alun warna pu h gemerlap. Langit cerah, bulanpun meriah.
Angin berhembus datar, mengantar lima buah iring-iringan perahu besar yang melayari laut Jawa.
Malam purnama di tengah laut. Seyojana mata memandang, hanya warna biru yang tampak
lepas bebas. Tiada beda laut dengan cakrawala. Sukar membedakan mana laut mana cakrawala.
Perahu besar yang memimpin di muka iring-iringan itu amat indah bentuknya. Haluan perahu
berbentuk kepala ular naga. Badan perahu berhias ukiran sisik naga dan bagian buritan perahu
merupakan ekor ular, dilingkari gelang warna kuning emas.
Bulan, angin dan laut seolah-olah mengantar perjalanan kelima perahu itu dengan tenang
gembira. Alam dan laut seolah-olah menyambut sebuah armada perang yang pulang membawa
kemenangan. Memang armada kecil yang terdiri dari lima buah perahu besar itu adalah angkatan perang
Singasari yang dipimpin raden Wijaya ke tanah Malayu. Senopa muda itu telah berhasil
menunaikan tugas kerajaan Singasari dengan gemilang.
Memang demikianlah keadaannya. Raden Wijaya telah berhasil melaksanakan pesan baginda
Kertanagara di tanah Malayu. Pengiriman patung Amogapasha dan perembesan ajaran aliran
Mahayana di kalangan para resi dan pandita di Sriwijaya, telah mempercepat rapuhnya dinding
ketahanan Sriwijaya sebagai pusat agama Budha Hinayana.
Demang Lebar Daun, pa h mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya, lebih mencurahkan perha an
untuk membendung serangan aliran Mahayana yang hendak dilancarkan perutusan Singasari
melalui pengiriman patung Amogapasha, daripada mengua rkan akibat-akibat lain yang mungkin
akan mbul dari kunjungan perutusan Singasari itu. Memang apabila mengenai soal faham agama
maka pa h Demang Lebar Daun seper membela jiwanya. Bagi pa h itu, aliran Hinayana adalah
pendirian hidup yang tak dapat ditawar lagi.
Disadari pula oleh pa h itu betapa kekuatan yang tersimpan dalam angkatan Singasari pimpinan
raden Wijaya itu. Walaupun hanya terdiri dari lima buah perahu besar namun prajurit-prajurit
yang dibawanya adalah prajurit pilih tanding, gagah perkasa. Dan senopa nya sendiri, raden
Wijaya, memang termasyhur sakti mandra guna.
Masih ada suatu kenyataan lain yang harus diperhitungkan Demang Lebar Daun. Pasukan
Pamalayu dari kerajaan Singasari yang dipimpin senopa Mahesa Anabrang, sudah belasan tahun


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di tanah Melayu menguasai daerah-daerah kedatuan yang tersebar di Swarnadwipa.
Pengaruh dan kekuasaan pasukan Pamalayu itu amatlah besar.
Dengan adanya tombak di muka pintu, demikian kiasan bagi ancaman pasukan Pamalayu yang
menduduki beberapa daerah di Swarnadwipa, dengan mudah mereka akan segera menyerang
Sriwijaya dan Darmasraya untuk membantu raden Wijaya apabila rombongan perutusan Singasari
itu terancam bahaya. Merenungkan kesemuanya itu, mbullah tolak pemikirannya yang berkabut rasa sesal akan
kelengahannya selama ia memimpin tampuk pemerintahan kerajaan Sriwijaya selama ini. Ia
mengakui bahwa ia lebih meni k beratkan pada usaha pembangunan candi, pagoda dan rumah-
rumah suci untuk mengembangkan aliran Hinayana, untuk makin meresapkan ajaran aliran agar
benar- benar dihayati rakyat dan menjadi landasan haluan, negara.
Sedemikian gigih ia memperjuangkan perkembangan aliran agama yang dianutnya sehingga
membuahkan hasil yang gemilang. Dari negara negara atas angin antara lain Jawana, Faunan,
Kedah, Puni bahkan Jambudwipa atau India dan Cina, berdatanganlah utusan-utusan untuk
meninjau candi di Bukit Siguntang Mahameru yang megah dan lengkap dengan perpustakaannya.
Beratus bahkan beribu pelajar berdatangan dari empat penjuru mancanagara untuk meneguk ilmu
agama di pusat perkembangan budaya aliran Hinayana di bukit itu.
Kunjungan perutusan kerajaan Singasari yang dikepalai raden Wijaya telah merobohkan pintu
gerbang cita-cita Demang Lebar Daun untuk membentuk mahligai pusat keagungan aliran
Hinayana. Kini dia harus melihat kenyataan dari beberapa derita perasaan dan keluh
penyesalan. Derita perasaan karena dua peristiwa besar yang dibawa raden Wijaya ke
Sriwijaya. Kesatu, pengiriman arca Amogapasa sebagai pengukuhan dari kekuatan aliran
Mahayana yang telah menyusup di pusat jantung kerajaan Sriwijaya. Kedua, pinangan terhadap
kedua puteri baginda. Dengan menahan rasa perih dalam hati sanubari, Demang Lebar Daun
harus menerima kenyataan itu. Sebagai kelanjutannya, kini dia mulai menyadari akan
kelengahan-kelengahannya selama menjalankan tampuk pimpinan pemerintahan Sriwijaya.
Namun kesemuanya itu sudah terlambat. Ia harus menghadapi kenyataan itu menurut apa
adanya. Dan dalam menerima kenyataan pahit itu, ia tetap berusaha untuk merobah keadaan.
Ia hendak merebut kemenangan dalam kekalahannya.
Suatu ndakan telah diputuskan dengan berani. Ia menggunakan apa yang disebut siasat
'dampar kencana'. Ia menyadari bahwa menggunakan
ndakan kekerasan hanya akan
menimbulkan kerusakan pada negara dan kesengsaraan pada rakyat. Ia merasa telah bertanggung
jawab atas segala yang diderita Sriwijaya dari kerajaan Singasari. Rakyat dak bersalah. Bahkan
mereka menjalankan dengan patuh dan taat atas segala yang telah diperintahkannya. Maka
apabila harus menderita, janganlah hal itu sampai menimbulkan malapetaka kepada rakyat
melainkan biarlah dia sendiri yang menanggungnya. Dalam rangka itu, terpaksa ia harus
mengorbankan kebahagiaan kedua cucunya, puteri Candra Dewi dan puteri Kembang Dadar.
Dampar kencana atau permadani emas, halus dan lunak. Kuasa untuk membuat dan melelapkan
orang dalam mimpi dari seribu satu macam keindahan dan kenikmatan.
Siasat Dampar-kencana itu daklah akan lengkap apabila dak berisi bidadari yang can k. Dan bi
dadari yang akan menyempurnakan siasat itu tak lain hanyalah kedua cucunya atau puteri baginda
Teribuaana Mauliwarman itu. Untunglah jerih payahnya untuk memberi penjelasan dan
meyakinkan kepercayaan baginda Mauliwarman, telah berhasil. Baginda menyetujui rencana
Demang itu. Maka kedatangan raden Wijaya di bumi Sriwijaya itu, amatlah menggembirakan. Dia berpijak di
atas dampar kencana yang bergemerlapan, kemudian berhasil memboyong kedua puteri can k dari
istana Darmasraya. Langkahnya disebut langkah kanan. Langkah yang menjelang sinar gemilang.
Namun apa yang gemilang itu sering menyilaukan mata, melelapkan pikiran dan membutakan
hati. Sesungguhnya raden Wijaya masih berat untuk meninggalkan kerajaan Sriwijaya. Karena di
kerajaan pura arca Darmasraya, ia bagaikan hidup dalam impian dari seribu khayal dan kenyataan.
Ia tak ingin khayal harapannya itu terusik oleh kerisauan dan kesibukan tugas-tugas pemerintahan
apabila dia harus lekas-lekas pulang ke Singasari.
Bukan melainkan soal tugas di pemerintahan saja, pun apabila dia pulang ke Singasari tentulah
dia akan menghadapi kenyataan yang tak menyedapkan. Bukankah ia harus mempersembahkan
puteri Candra Dewi kepada baginda Kertanagara " Apakah ia mampu menahan perasaan apabila
menghadapi kenyataan puteri juwita yang didamba dambakan itu akan duduk bersanding dengan
baginda Kertanagara " Ah .....
Namun bagai kegelapan malam terusik dengan kehadiran sang fajar hari, pun raden Wijaya
terusik pula dari kelelapan impiannya. Pada hari itu datanglah seorang perwira yang diutus
senopa Mahesa Anabrang untuk menghaturkan surat kepada Wijaya. Ke ka membaca isi surat
itu, terbeliaklah Wijaya bagai orang yang terjaga dari mimpi.
"Benarkah berita itu, kakang ?" tegurnya kepada perwira yang menjadi bentara senopa Mahesa
Anabrang. "Demikianlah raden, gus senopa telah memberitahukan kepada hamba bahwa suatu armada
yang kuat dari raja Kubilai Khan sudah tampak berlayar melintasi Laut Cina dan kemungkinan besar
menempuh perjalanan ke Jawadwipa."
"Apa lagi pesan paman Anabrang ?"
"Rakryan senopa mengharap agar raden dapat segera kembali ke Singasari. Gus senopa
sendiri tak mungkin meninggalkan tugasnya di Malayu maka hanya padukalah raden yang dapat
diharapkan gus senopa untuk menghalau pasukan Tartar apabila mereka benar-benar
menyerang Singasari. Gusti hamba benar-benar amat perihatin sekali akan peristiwa ini, raden."
Raden Wijaya mengeluh dalam ha . Bagai awan dihembus angin, demikianlah Wijaya yang
sedang dibuai dalam taman impian yang indah itu, seper disadarkan oleh suatu letusan. Letusan
dari suatu kenyataan bahwa kerajaan Singasari sedang terancam bahaya besar.
Tentulah maharaja Kubilai Khan murka sekali atas tindakan baginda Kertanagara yang telah
mencacah muka Meng Ki, utusan kerajaan Tartar, ketika berkunjung ke keraton Singasari
beberapa waktu yang lampau. Teringat akan peristiwa itu, Wijaya membayangkan pula saat-
saat yang menegangkan pada waktu itu.
"Hm, jelas pa h Araganilah yang mendesak baginda untuk menindak utusan Kubilai Khan itu,"
terlintas kenangan pada peris wa itu, terpampanglah dalam bayang-bayang pandangan Wijaya
tentang ulah ngkah pa h Aragani "ah, bahkan hampir pula aku menjadi korban tuduhan pa h itu
karena telah menerima surat dari Meng Ki atau Ikemetsu."
Te ngat pada pa h Aragani serentak Wijayapun seper disadarkan "Ah," ia mengeluh "mengapa
aku melalaikan pesan paman adhyaksa Raganata ?"
Memang dalam kesempatan ke ka berkunjung ke Tumapel, secara tak langsung Wijaya seper
mendapat isyarat dari empu Raganata agar menyelidiki, adakah dalam kerajaan Sriwijaya, di
kalangan narapraja maupun senopa , terutama pa h Demang Lebar Daun, tampak jejak-jejak yang
menandakan adanya hubungan mereka dengan pa h Aragani. Demikian pula, ksatrya muda yang
serba aneh gerak geriknya yani Jaka Ludira, pernah menerangkan bahwa pemuda itu telah
menemukan suatu bukti dari jalinan hubungan antara patih Aragani dengan Demang Lebar Daun.
Tetapi Wijaya seper orang yang dilalaikan ke ka kakinya menapak pada permadani indah yang
terbentang mengalas lantai balairung keraton Darmasraya. Bukan permadani, bukan pula bentuk
bangunan balairung yang penuh dengan ukir-ukiran nan indah, bukan pula hiasan balairung yang
bertabur ratna nan berkilau-kilauan, melainkan arca yang menghias balairung itu. Ya, arca bukan
sembarang arca tetapi arca yang bernyawa, yang berbentuk tubuh seorang bidadari dengan segala
kesempurnaan bentuk tubuh yang tak mungkin dibuat manusia kecuali karya dewata. Arca bidadari
hidup yang berwujut sebagai puteri Candra Dewi atau Dara Petak.
Pada saat pandang mata tertumbuk, Wijaya seolah kehilangan kesadaran pikirannya. Bayang-
bayang sang puteri jelita selalu melekat pada pelapuk matanya. Dan karena itulah maka ia tak
teringat lagi akan pesan empu Raganata dan ksatrya Ludira tentang usaha penyelidikan itu.
Wijaya resah. Jika harus menyelidiki hal itu, tentulah dia harus nggal beberapa waktu lagi di
Darmasraya. Pada hal senopa Mahesa Anabrang telah mempercayakan seluruh harapan
kepadanya agar ia lekas-lekas pulang ke Singasari karena adanya ancaman dari pasukan Kubilai
Khan yang saat itu sudah dalam perjalanan menuju ke Singasari.
"Ah, aku menyesal karena telah melalaikan pesan empu Raganata dan adi Ludira. Biarlah kelak
aku meminta maaf kepada mereka," katanya dalam ha "yang pen ng aku harus lekas-lekas
berangkat pulang...Singasari harus kuselamatkan dari kehancuran yang ngeri."
Demikian dipersingkatlah kunjungan raden Wijaya di kerajaan Darmasraya. Kini dia barsama
kedua puteri, Candra. Dewi dan Kembang Dadar, berada di tengah laut dalam sebuah perahu
megah yang dinamakan Rajanaga.
Perahu Rajanaga merupakan lambang kebesaran dari sang manggalayuda atau senopa pe ndih
pasukan. Di perabu Rajanaga itulah maka raden Wijaya menempatkan kedua tuan puteri beserta
rombongannya yang terdiri dari sedomas atau empatpuluh dayang pariwara dan duabelas inang
pengasuh. Malam purnama di tengah samudra. Sunyi dan hampa. Hanya deru ombak beriak, gemercik alun
mendampar perahu, menimbulkan buih gelombang yang berisik.
Di kala itulah raden Wijaya naik ke atas geladak, tegak termenung bersandar pada ang pasak.
Mata memandang ke seluruh penjuru alam namun suatu pandangan yang hampa. Langit cerah,
bulan purnama dan bintang kemintang bertaburan, seolah tak pernah singgah dalam
pandangannya. Yang tampak pada gundu mata hanya bayangan puteri Candra Dewi nan can k
jelita ilu. Sejak beberapa hari berlayar, ia sudah berusaha untuk mengendapkan bara asmara dalam
hatinya. Ingin ia mengalihkan pikirannya ke Singasari membayangkan apa yang terjadi di pura
kerajaan itu selama ia tinggalkan. Ingin ia membayangkan para pembantu-pembantunya : Sora,
Nambi dan lain-lain. Namun keinginannya itu selalu ditolak oleh pikirannya. Dia tak dapat
memperkosa batinnya dan harus menerima apa yang dirasakannya. Wajah puteri Candra Dewi
selalu melekat pada pelapuk matanya. Ia gelisah tetapi tak tahu apa yang digelisahkan. Duduk
salah, berdiripun enggan. Makan tetapi tak dapat merasakan apa yang dimakannya. Tidur
namun mata hatinya tak mau dibawa ikut tidur.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi kecapi beralun, halus dan teduh. Dan sesaat kemudian
terdengarlah suara orang bernyanyi mengalunkan nada lembut dan merdu ....
Hujan di malam, hujan di hati hujannya mimpi. Duhai hujan
Hujan di bumi, hujan di laut hujannya nasib. Duhai nasib
Hujan air mata, hujan lara Hujannya awak. Duhai awak
Hujan di rantau, hujan di Sriwijaya hujannya kenangan. Duhai kenangan
Sayup-sayup terpandang nusaku taman puspa menyerbak restu Nori, merak berkicau merdu
Mahligai puri megah nan syahdu .....
Raden Wijaya terhentak dari kemenungan ke ka nyanyian itu tersela oleh suara isak tangis.
Walaupun pelahan tetapi karena malam sunyi, ia dapat juga menangkapnya.
Siapakah gerangan yang mencurah isak duka lara ha itu, pikiran". Dan bergegaslah ia turun ke
bawah, langsung menuju ke ruang tempat kedua puteri. Ia mendapat kesan bahwa isak tangis itu
berasal dari kedua puteri.
Dan apa yang diduganya memang benar. Ia terkesiap menyaksikan pemandangan dalam bilik
ruang kedua puteri itu. Dua orang dayang tengah memegang alat kecapi dan seruling. Tetapi
mereka menghen kan permainannya. Demikian pula dengan beberapa dayang muda yang
mengenakan pakaian penari.
Memang kerja para dayang perwara dan inang pengasuh itu se ap harinya yalah melayani dan
terutama menghibur kedua puteri yang selalu di rundung kemurungan.
Candra Dewi dan Kembang Dadar adalah sekar-kedaton atau bunga keraton Darmasraya. Mereka
digenangi dengan kemanjaan kasih sayang oleh baginda Teribuana Mauliwarman dan permaisuri
Wan Sendari, Mereka di mang- mang bagaikan bu r mu ara mus ka yang ada tara nilainya.
Mereka disanjung dan dijunjung dengan segala kemesraan dan kehormatan oleh para dayang
pengasuh bi perwara. Mereka dihorma oleh segenap rakyat di seluruh kerajaan. Kini mereka
harus berpisah dengan segala kemewahan, kenikmatan dan kehangatan kasih sayang ayahanda
dan ibunda tercinta. Bagai pisau yang dicabut dengan paksa dari daging maka bercucuranlah darah
menghambur dari ulu-hati kedua puteri itu.
Nyanyian dari biduan yang mengalun lagu-lagu kenangan pada bumi tanah-air dan segala yang
mencinta dan dicintainya, telah membangkitkan rasa pilu dalam ha kedua puteri itu. Dan
bagaikan awan hitam yang sarat, tak tertahan lagilah hujan airmata mencurah dari bola mata bak'
bintang kejora itu. "Nurila, jangan engkau membawakan lagu-lagu yang memilukan semacam itu," seru seorang
inang pengasuh menegur biduanita yang bernyanyi tadi.
"Ampun bibi," kata biduanita yang bernama Nurila "aku tak sengaja bermaksud hendak
merisaukan kesedihan hati tuanku puteri."
"Tetapi lagu yang engkau ... " ba- ba inang pengasuh yang marah itu tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena saat itu pandang matanya tertumbuk pada sesosok tubuh seorang pria, tegak
di ambang pintu "Oo, raden Wijaya .... " serunya lirih.
"Tenang-tenanglah, bibi," seru pendatang yang bulan lain memang raden Wijaya seraya
mengulum senyum. Ia melangkah masuk, langsung berhenti di hadapan kedua puteri.
"Wahai, tuan puteri yang mulia, apakah kiranya yang menyedihkan ha tuanku ?" serunya
dengan nada yang ramah menyayang.
Puteri Candra Dewi cepat menghapus bintik bintik airmata dan mencerahkan seri wajahnya.
"Adakah sesuatu yang kurang memuaskan dalam pelayanan orang orangku kepada tuan
puteri" atau siapakah gerangan yang berani menyakiti hati tuanku" Jika ada, katakanlah tuan
puteri agar aku mempunyai kesempatan untuk membaktikan pengabdian di bawah duli tuan
puteri." "Ah, dak,"sahut Candra Dewi dengan lembut " ada yang kekurangan pada pelayanan di sini.
Tiada pula seseorang yang menghina aku."
"Lalu mengapa tuanku mengucurkan airmata" Duhai, puteri Candra Dewi, Wijaya lebih senang
mengucurkan darah daripada, melihat butir-butir mutiara itu menitik dari pelapuk tuan."
Candra Dewi tersipu-sipu.
"Tuan puteri," seru raden Wijaya pula "airmata itu penaka sumber yang syahdu. Wijaya berharap
hendaknya tuan puteri berkenan untuk dak sembarang mengucurkannya. O, adakah karena lagu
dari biduanita itukah yang menyedihkan hati tuanku?"
"Jangan mencari lantai berjuangkat, raden ksatria," balas puteri Candra Dewi "dia telah
menunaikan tugas membawakan lagu kegemaranku. Lagu kenangan mendambakan kebesaran bumi
kelahiranku .... " " O, maa an puteri." Wijaya berseru gopoh "mengapa lagu itu memercikkan kesan sedih pada
hati tuan "." "Raden," kata puteri Candra Dewi pelahan "raden seorang ksatrya yang gagah perkasa. Raden
mungkin hanya mengenal ujung pedang dan tombak yang dapat mengucurkan darah di tubuh
musuh. Tetapi mungkin raden tak dapat menyerap bahwa lagupun memiliki daya tajam yaug dapat
mengucurkan darah, airmata dan isak tangis. Lagu tadi adalah sebuah lagu kenangan akan nasib
seorang di rantau orang yang terpisah jauh dari bumi kelahirannya. Tidakkah raden pernah
merasakan hal itu ?"
Wijaya bukan melainkan pandai dalam mengatur siasat dan tata barisan di medan perang. Pun
juga cerdik mengatur siasat dalam medan asmara. Sebelumnya kepala, dari para inang, pengasuh
meherima hadiah-hadiah yang berharga dari raden Wijaya, sehingga se ap kali raden itu berjumpa
dengan puteri Candra Dewi, kepala dayang itu segera mengajak anakbuahnya menyingkir agar
raden itu mempunyai kesempatan untuk berdua dengan tuan puteri.
Demikian pula pada saat itu. Ia segera memberi isyarat kepada para dayang supaya ke luar.
Dan berbondong-bondonglah para dayang perwara itu melangkah ke luar.
Baik selama berada di Darmasraya maupun di waktu berlayar, puteri Kembang Dadar atau Dara
Jingga, memiliki suatu naluri tajam bahwa raden Wijaya itu telah jatuh ha kepada ayundanya,
puteri Candra Dewi. Sebagai seorang puteri yang halus peker , ia dak memiliki se
kpun rasa iri cemburu. Dan bahkan se ap kali ia juga berusaha menyingkir manakala raden Wijaya berhadapan
dengan ayundanya. Maka saat itu hanya tinggal raden Wijaya yang berhadapan dengan puteri Candra Dewi.
"Pernah, bahkan beberapa kali se ap kali membawa pasukan Singasari ke seberang laut," jawab
Wijaya "namun daklah separah kali ini di kala berada di bumi kerajaan Seribu candi Darmasraya,
tuan puteri." Puteri Candra Dewi terkesiap. Diam-diam ia merasa heran mengapa lain pula kefasihan mulut
raden itu berbicara waktu berada di Darmasraya dengan di atas perahu pada saat itu.
"Mengapa ?" tegurnya.
"Di negara-negara atas angin, di daerah-daerah seberang laut, ha ku tak pernah gelisah resah
seper ke ka berada di Darmasraya. Serasa diriku mengindap sejenis penyakit tetapi entah apa
namanya. Tubuh serasa lunglai, ha gelisah, pikiran merana. Makan tak enak, durpun tak
nyenyak. Duduk berdiri serba salah ngkah. Duhai, tuan puteri, tuan seorang puteri yang amat
bijak bestari. Kiranya tuan tentu berkenan memberikan petunjuk, apakah gerangan penyakit yang
menghinggapi diri hamba itu" Dan moga kiranya tuan puteri bermurah ha untuk
menganugerahkan obatnya."
Puteri Candra Dewi tersipu-sipu merah wajahnya. Dalam pandang mata Wijaya, puteri itu
tampak semakin ayu "Duh, dewata, bidadarikah gerangan yang paduka titiskan pada diri puteri ini,"
iapun meratap dalam hati.
Selama di Darmasraya, puteri Candra Dewi tahu juga akan gerak-gerik Wijaya terhadap dirinya.
Dan bagaimanapun juga, terusiklah ketenangan ha nya. Tanpa disadari mulai mbul juga suatu
perasaan yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup.
Candra Dewi tak tahu perasaan apakah namanya yang mengusik ha nya itu. Ia sendiripun heran,
mengapa perasaannya selalu dibayangi oleh wajah ksatrya dari Singasari itu. Ingin ia berusaha
untuk menjernihkan bin k-bin k yang memercik kejernihan langit ha nya dengan jalan
melepaskan diri dalam renung semedhi. Berkat la han-la han yang dimulai sejak bertahun-tahun,
dapatlah ia menghapus bayang-bayang itu. Namun selekas ia menyudahi semedhinya, selekas itu
pula bayang-bayang wajah Wijaya hinggap pula pada pelapuknya, ah .....
Pernah ia membangun keinginan untuk menghadap maharesi Mahanatha, guru yang telah
mengajarkan berbagai ilmu agama kepadanya. Untuk meminta petunjuk tentang keanehan yang
menghinggapi perasaannya itu. Namun ia urungkan niatnya. Ia malu mengatakan hal itu kepada
siapapun juga, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Dan ke ka ia diboyong Wijaya ke Singasari, mbullah rasa kebimbangan dalam ha nya. Antara
rasa sedih berpisah dengan kedua orangtua, bumi kelahirannya, dengan suara ha yang selalu
menggema dalam kalbu. Suara ha yang mendambakan suatu kebahagiaan apabila berhadapan
dengan ksatrya Singasari itu.
"Raden," jawabnya atas pertanyaan Wijaya "sesungguhnya segala sesuatu itu tentu mempunyai
sumber. Demikian pula dengan penyakit yang raden derita itu."
"Benar tuan puteri," kata raden Wijaya makin mendapat angin "memang telah kuketahui
sumbernya itu. Tetapi ah, jauh nian tempatnya."
"Di mana ?" tanpa disadari puteri Candra Dewi terhanyut oleh ayunan kata Wijaya.
"Di dalam rembulan, tuan puteri."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Candra Dewi meliukan kening "Di dalam rembulan ?"
Wijaya mengangguk "Benar, tuan puteri. Hanya di rembulanlah sumber pengobat lara hamba itu
terdapat." "O," Candra Dewi mendesis lembut "benarkah demikian, raden." "
"Benar, tuan puteri," Wijaya memberi penegasan dengan nada yang tampak bersungguh
"memang hanya di rembulan itu akan hamba temui obatnya."
Candra Dewi bukan tak menger ke mana arah tujuan ucapan senopa muda itu. Namun
melihat kesungguhan nada dan wajah Wijaya, iapun agak ber-sangsi "Ah, raden berolok.
Bagaimana mungkin raden tahu bahwa di rembulan terdapat sumber penyembuh lara raden itu ?"
"Berkenankah tuan puteri mendengar penjelasan hamba?"
Candra Dewi termenung sejenak, katanya "Asalkan hal itu benar-benar sesungguhnya, ingin
hamba mendengarkan."
"Baiklah, tuan puteri," kata Wijaya "marilah tuan ke luar sejenak ke atas geladak agar dapat
memandang rembulan dengan seksama ... "
"Ah, janganlah raden bergurau," kata Candra Dewi.
"Tidak, tuan puteri. Wijaya dak bergurau. Hamba mohon tuan puteri suka menjenguk barang
sejenak saja. Agar apa yang hamba ceritakan nanti, benar-benar dapat tuan puteri saksikan."
Wijayapun mendahului melangkah ke luar. Tiba di ambang pintu ia berpaling ke belakang,
menyongsong pandang ke arah Candra Dewi.
Entah bagaimana, pandang mata senopa Singasari itu bagai kilatan pedang yang menikam
serabut ha sang jelita. Mendenyutkan debur kalbu dan bagaikan kena pesona maka berayunlah
kaki sang puteri melangkah ke pintu.
"Lihatlah tuan puteri," kata Wijaya sambil menunjuk ke cakrawala "bukankah pada permukaan
bulan itu terdapat gumpal-gumpal warna hitam yang menyerupai gunung dan di tengah-tengah
lembah gunung terdapat belahan sebuah sungai ?"
Bagaikan kerbau tercocok hidungnya, puteri Candra Dewipun menengadahkan kepala
memandang ke arah rembulan yang saat itu tengah menampakkan seluruh wajahnya dengan gilang
gemilang. Entah berapa puluh kali sudah ia menikma rembulan purnama. Menumpahkan doa
harapan, mencurahkan suara ha , mendambakan kelana kalbu. Memanjatkan doa puji bagi
kesejahteraan negara, keselamatan ayahbunda dan kebahagiaan diri peribadinya.
Namun tak pernah ia sempat memperha kan akan lukisan-lukisan seper yang diuraikan Wijaya.
Dan tatapan sinar matanyapun jauh membubung ke cakrawala, mendarat di permukaan rembulan
gemilang. "Ah, menyerupai," desisnya pelahan.
"Gunung Candrapura, demikian nama gunung itu, tuan puteri," kata Wijaya lebih lanjut "di situ
terdapat sebuah kawah Kamandanu yang berairkan Tirta Amerta. Hanya air Tirta Amerta itulah
yang sanggup mengobati penyakit hamba ini, tuan puteri."
"Tirta Amerta ?" Candra Dewi terkejut "bukankah Tirta Amerta itu merupakan sari kehidupan
alam maya ini ?" "Demikian, tuan puteri," Wijaya tersenyum "Tirta Sari Amerta itu daklah berupa cairan air.
Melainkan aliran hawa yang memancarkan sari kehidupan keseluruhan alam semesta. Hawa itulah
yang memantulkan cahaya gilang gemilang dari rembulan .... "
"O," desis Candra Dewi pula "tetapi tidakkah saat ini raden sudah menikmati sinar itu ?"
"Belum tuan puteri," sahut Wijaya berkesungguhan "sinar yang meningkah diriku saat ini
hanyalah sinar rembulan belaka. Bukan sinar Tirta Sari Amerta."
Candra Dewi kerutkan alis.
"Sinar Tirta Sari Amerta itu, adalah milik dewi yang memiliki gunung Candrapura itu "
"Ih," desis Candra Dewi "apakah dewi penunggu Candrapura itu ?"
"Benar tuan puteri."
"Siapakah gerangan namanya " "
"Sinar rembulan yang kita rasakan saat ini, hanya sinar yang menerangi jagadraya. Ssdang
sinar Tirta Sari Amerta itu sinar yang menghidupkan kehidupan dan penghidupan. Sinar yang
akan menyirnakan segala duka nestapa, menyembuhkan luka dan lara, menghidupkan layu dan
kuyu .... " "Ah," Candra Dewi mendesah "sedemikiankah kekuasaan Tirta Sari Amerta itu ?"
"Benar, tuan puteri," sahut Wijaya "hanya dengan air Sari Amerta itulah penyakit hamba akan
sembuh." "Ih," desuh Candra Dewi tiada berketentuan nadanya.
Wijaya tersenyum "Itulah sebabnya hamba mengatakan bahwa penyakit hamba itu sukar-sukar
mudah. Sukar sembuh kecuali mendapat percikan dari sari tirta itu."
"Bagaimanakah cara untuk mendapatkan tirta sari, raden ?"
Suatu kesempatan bagus yang telah terbuka itu tak disia-siakan Wijaya, katanya "Mohon kepada
Dewi itu dengan panjatan doa."
"Bukankah raden dapat melakukannya ?"
"Tidak dapat, tuan puteri. Dewi itu hanya berkenan menerima doa permohonan dari kaum
puteri." "Puteri?" Candra Dewi mengulang.
"Benar," Wijaya mengiakan "adakah tuanku sudi menolong Wijaya untuk memanjatkan doa
permohonan kepada sang dewi Rembulan ?"
"Ah, raden mengada-ada belaka."
"Tidak, tuan puteri," kata Wijaya dengan nada bersungguh "demi Isyawara Agung, Wijaya
bersumpah akan kebenaran ucapan hamba tadi."
Candra Dewi termenung sejenak "Ah, mengapa raden gemar bersumpah" Ringan menyebut-
nyebut Hyang Isyawara ?"
"Maaf, tuan puteri," Wijaya agak tersipu "bukan maksud hamba beringan mulut menyebut Hyang
Batara Agung untuk hal-hal yang kecil. Namun kali ini terpaksa hamba lakukan karena hamba ingin
akan tuan puteri benar-benar mau mempercayai keterangan hamba."
Candra Dawi mengangguk pelahan. Sejenak kemudian berkata pula "Adakah doa itu akan benar-
benar menyembuhkan penyakit raden ?"
"Pasti, tuan puteri, pasti," sahut Wijaya "sepasti kepastian ucapan tuan puteri."
Candra Dewi tersapu merah wajahnya "Ah, janganlah raden bergurau. Siapakah nama puteri
Rembulan itu ?" "Dewi Candra, tuan puteri."
"Ah....." Candra Dewi mendesis kesipuan "engkau berolok, raden."
"Tidak, tuan puteri," kata Wijaya "memang demikianlah nama dewi penguasa gunung
Candrapura itu. Dan dia sering turun ke arcapada menjelma sebagai seorang insan manusia bumi."
"Sudahlah, raden, hentikanlah olok-olok tuan."
"Baiklah," kata Wijaya tersenyum "adakah tuan puteri benar-benar mau menolong hamba untuk
memanjatkan doa kepada dewi Candra ?"
"Ih." Caadra Dewi mendesis pelahan dan lembut.
"Tetapi berat nian syaratnya, tuan puteri."
Candra Dewi meliuk kerut di dahi " Syarat ?"
"Benar," sahut Wijaya "permohonan itu pas dikabulkan oleh sang dewi apabila tuan puteri juga
berkenan meluluskan permintaannya."
Makin heran tampaknya Candra Dewi mendengar keterangan Wijaya "O, adakah dewi Candra
akan menurunkan amanat ?"
Wijaya mengangguk "Ya. Melalui suara bisikan yang halus, tuan puteri akan mendengarkan
amanat sang dewi." Candra Dewi menundukkan kepala.
Wijaya tersenyum. Sebagai seorang muda, banyaklah ia berkelana di padang asmara. Dan tahu
pula bahwa sikap diam dari seorang dara itu, berarti menyetujui.
"Terima kasih, tuan puteri," kata Wijaya "sekarang silakan tuan memejamkan mata dan berdoa
menurut apa yang hamba ajarkan."
Tanpa berkata sepatahpun Candra Dewi segera pejamkan mata dalam sikap bsrsemedhi. Dan
mulailah terdengar Wijaya berseru pelahan ....
"Duh, dewi Candra, dewi Pengasih dan Penyayang. Dewi penguasa gunung Candrapura,
pemilik telaga Kamandanu, penyimpan air kehidupan Tirta Sari Amerta. Hamba mohon,
berkenanlah kiranya dewi melimpahkan percikan air Sari Amerta kepada Wijaya agar
penyakitnya sembuh .... "
"Hanya demikianlah doa itu, tuan puteri," kata Wijaya "sukalah kiranya tuan puteri memanjatkan
doa itu." Cindra Dewi menurut. Walaupun dak terdengar jelas namun sepasang bibirnya yang memerah
delima merekah itupun tampak bergerak-gerak ....
Berhadapan dengan seorang puteri can k jelita yang duduk bersemedhi memejamkan mata
dalam keagungan yang paserah, hampir Wijaya tak kuasa lagi menahan gejolak ha nya. Ingin ia
mendekap puteri jelita itu dan mengecup bibirnya, membelai rambut, yang ikal mayang dan
merebahkan kepalanya dalam pelukan yang mesra.
Wijaya benar-benar diamuk prahara rindu, diguncang badai asmara sehingga tak kuasa lagi ia
menahan langkahnya yang mulai berayun menghampiri dan terus hendak meraihkan kedua
tangannya. Tiba- ba Candra Dewi hen kan getar-getar bibirnya. Rupanya ia sudah selesai berdoa.
Seketika terhenyaklah Wijaya bagaikan kejut pagutan ular.
"Ah," ia mengeluh dalam ha "hampir saja aku tergelincir dalam kelelapan pesona. Tidak, dak
boleh aku ber ndak menuru rangsang nafsu. Puteri agung lelembut peker seper dia, harus
kutundukkan pula dengan persembahan rayu yang lembut pula."
Wijaya segera teringat akan keterangannya tadi bahwa Dewi Candra akan menurunkan tahnya.
Maka buru-buru ia menenangkan diri, mengendapkan gejolak ha lalu dengan menggunakan ilmu
mantra yang disebut Aji Pameling, ia segera meluncurkan bisikan.
".....Candra Dewi, puteri utama kerajaan Darmasraya. Ketahuilah, bahwa aku dewi Candra, telah
mendengar semua doa permohonanmu.....ya, nini dewi, kukabulkan permohonanmu itu karena
engkau telah menyertai permohonan itu dengan rasa kesujudan yang tulus ikhlas. Tetapi ada
sebuah pesanku nini yang harus engkau laksanakan apabila engkau sungguh-sungguh menghendaki
apa yang engkau katakan dalam permohonanmu itu. Apakah engkau sanggup?"
Kembali tampak bibir Candra Dewi bergetar-getar seper mengucap perkataan yang tak
terdengar. "Baik, nini dewi, engkau puteri utama, aku percaya kepadamu. Begini nini dewi. Sari Tirta Amerta
itu bukanlah air sembarang air melainkan air suci yang merupakan sari dari seluruh kehidupan.
Pedang Ular Merah 9 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Istana Pulau Es 17
^