Pencarian

Dendam Empu Bharada 37

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 37


Tidak sembarang saja ku kkan air kepada se ap orang yg memohon. Hanya kepada mereka yang
benar-benar insan kekasih dewa, akan mendapat percikan air itu. Dan barang siapa menerima
percikan air itu harus bersedia menerima apa saja dari orang yang dimintakan air itu. Kutahu
bahwa Wijaya berkenan ha kepadamu. Maka engkau harus bersedia menerima curahan ha .
Apabila engkau berjanji mau menyambut curahan ha Wijaya, segera akan kupercikkan sari rta
itu kepada dirimu. Aku segera akan meni s ke dalam dirimu untuk memberikan air syahdu itu
kepadanya ....... " Sekonyong konyong Candra Dewi membuka mata, beranjak bangun lalu tergopoh lari turun ke
bawah dan masuk ke dalam bilik peraduannya ....
Wijaya terlongong-longong.
Sesaat kemudian ia menyadari bahwa Candra Dewi tentu mengetahui permainannya. Maka
dengan tersenyum iapun segera menyusul turun ke bawah.
Ia mendebur pintu bilik puteri Candra Wulan dengan pelahan "Tuan puteri, mengapa tuan puteri
tiba-tiba lari meninggalkan hamba?"
Tiada penyahutan suatu apa.
Wijaya mengetuk pula "Tuan puteri, maafkanlah apabila hamba bersalah. Tetapi inginlah
hamba mengetahui apakah gerangan kesalahan hamba sehingga tuan puteri sedemikian murka
?" Masih tiada penyahutan dari dalam bilik.
"Duh, tuan puteri, adakah tuan tak berkenan menemui Wijaya dan mengatakan apa
kesalahannya " Apabila tuan puteri tak berkenan, betapa aib dan malu Wijaya. Wijaya merasa
telah menanggung dosa besar karena telah menyaki ha tuan puteri maka lebih baik Wijaya sirna
saja dari arcapada ini .....
Bluk ..... ba ba terdengar benda berat macam tubuh manusia yang roboh, ke lantai geladak.
Sedemikian keras getar suara itu menggedebuk sehingga menimbulkan guncangan pada dinding
bilik peraduan Candra Dewi.
Terdengar pintu berderit dan menyembullah wajah puteri Candra Dari balik daun pintu.
"O, gus ..... " Candra Dewi melengking kejut dan terus bergegas ke luar, menghampiri kepada
sesosok tubuh yang rebah terkapar di lantai. Tubuh itu bukan lain adalah Wijaya .....
"Raden, o, mengapa engkau?" puteri jelita itu segera menjamah kepala Wijaya, menggolek-
golekkannya pelahan. Lalu jari jemari yang halus runcing bak duri landak, merabah pernapasan
hidung dan mengusap dada Wijaya pula "O, Batara Agung, mengapa raden Wijaya ini.... raden, o,
raden Wijaya, mengapa engkau begini ..... mengapa engkau sampai ha meninggalkan aku ...o,
mengapa engkau tak tahu bahwa sesungguhnya aku mendengarkan kata-katamu tadi..... "
Namun Wijaya tetap tak bergerak.
"Raden, raden ... " mulai puteri Candra Dewi terisak-isak "benarkah .... benarkah ..... engkau rela
meninggalkan ..... aku ..... maa an, raden ..... sebenarnya aku hanya bergurau untuk membalas
olok olokmu ..... mengapa engkau bersungguh hati dan putus asa ....."
Candra Dewi makin bingung. Raden Wijaya dak bergerak dan dirasakannya pula denyut
pernapasan pemuda itu sudah berhenti.
Tiba-tiba Candia Dewi hentikan isaknya. Wajahnya mengerut suatu keputusan yang mantap.
"Baiklah, raden Wijaya, ksatrya Singasari yang gagah perkasa," katanya dengan nada
mantap "engkau telah merelakan jiwamu karena putus asa. Engkau mengira bahwa ratapan
hatimu tiada bersambut. Engkau telah menyatakan tekad hatimu untuk mengorbankan jiwamu
demi mempersembahkan hatimu kepadaku. Jika demikian raden, apa guna aku harus hidup di
dunia ini ......... nantikanlah raden, aku segera akan menyusulmu ..... tunggulah aku di pintu
Nirwana kakang ... "
Tiba-tiba Candra Dewi berbangkit dan terus ia masuk ke dalam bilik.
"Celaka," sekonyong konyong tubuh Wijaya yang semula membeku seper mayat itu, bergerak
dan terus melenting bangun dan cepat-cepat mengintai lubang pintu.
"Hai ... " hampir menjeritlah Wijaya ke ka melihat bahwa puteri itu habis meneguk semacam
bubuk putih dengan seteguk air .....
Bagaikan terpagut ular, Wijaya terus hendak menerobos masuk ke dalam bilik untuk menolong
puteri. Tetapi serempak pada saat itu, Candra D;wipun sudah ayunkan langkah hendak ke luar.
Wijaya gugup, dak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi di luar kesadarannya, dia kembali ke
tempat semula dan terus rebahan diri dilantai lagi.
Candra Dewi melangkah ke luar dan menghampiri ke tempat Wijaya.
"Raden, telah kuminum sebungkus obat yang segera akan mengantarkan aku ke alam tempat
peris rahatanmu. Tunggulah raden di pintu Nirwana. Aku takut masuk seorang diri .... " Habis
berkata ia terus rebahkan diri di sisi Wijaya.
Belum berapa saat Candra Dewi rebah, maka bergeraklah tubuh Wijaya bangun "Candra Dewi,
oh ..... " ia menjamah muka puteri itu, menggolek-golekkan dan merabah pernapasan hidungnya.
"Candra Dewi ..... Candra Dewi ... o, kekasihku ..... mengapa engkau ..... engkau ... " bagai seorang
ibu kema an anaknya maka melolong dan melengking-lengkinglah Wijaya seper orang gila
"Candra Dewi, o jiwa ha ku ..... mengapa engkau senekad ini, aku ..... aku hanya memperolokmu
..... aku dak ma sesungguhnya ..... kututup pernapasanku dengan ilmu Prana. Mengapa engkau
mengira aku ma sesungguhnya ... o, Candra Dewi ..... pujaanku .... akulah yang berdosa ..... dosa
yang tak patut diberi ampun ....... aku manusia yang tak layak hidup lagi ..... "
Tiba-tiba Wijaya mencabut pedang dan berseru
"Candra Dewi, dengarkanlah, di seluruh jagad, di segenap permukaan laut dan bumi, ada puteri
kecuali dikau yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku ..... Jika engkau sudah mendahului
berangkat ke Nirwana, apa guna aku hidup berkepanjangan" Apa guna segala kebanggaan
kemenangan dan kemuliaan hidup " Hidup tanpa dikau, dewi pujaanku, adalah ar nya bagi
Wijaya ..... baiklah Candra Dewi ..... sekarang aku benar hendak menyusul engkau ke Nirwana.
Pedang pusaka, aku hendak minta kesetyaan bak mu ..... antarkanlah aku menyusul dinda Candra
Dewi ... " Habis berkata Wijaya terus mengangkat pedangnya ke atas dan serentak hendak ditanamkan ke
dadanya "Tunggulah, dinda kekasihku ...."
"Raden Wijaya .... ! " ba- ba menjeritlah Candra Dewi demi menyaksikan kilat pedang melayang
turun ke arah dada Wijaya. Dan serentak puteri itupun meregang bangun dan mendekap lengan
Wijaya. "Candra Dewi, engkau . , . engkau ..... masih hidup ..... " " Wijaya berseru kaget, lepaskan pedang
dan terus mendekap sang puteri.
Tetapi Candra Dewi cepat menyiak tubuh Wraya, beringut mundur lalu berbangkit dan hendak
lari ke dalan bilik lagi.
"Tuan puteri, ampunilah hamba" Wijaya berlutut menghadang jalan Candra Dewi.
Candra Dewi tertegun. "Engkau .... engkau pembual ...."
"Duh, sang puteri, san dewi Candra. Hanya tuanlah yang berkuasa melimpahkan air Tirta Sari
Amerta itu untuk menyembuhkan penyakit ha Wijaya, penyakit yang kian hari kian melayu ha
menjadi gersang. Tidakkah tuan beriba kepada Wijaya, tuan puteri?"
Candra Dewi tertegun pula.
"Tuan puteri," kata Wijaya seraya menyambar pedangnya yang terkapar di lantai "apabila tuanku
tak rela memberikan air sari kehidupan itu, bunuhlah Wijaya si pembual bedebah ini ..... "
"Raden," teriak puteri Candra Dewi terkejut "janganlah raden berpikir segelap itu, bertekad
sedangkal itu ..... "
Di luar kesadaran puteri Candra Dewi meraihkan jarinya mencekal tangan Wijaya.
Bagai tersengat kala, serentak berhamburlah darah di tubuh Wijaya sehingga jantungnya serasa
meloncat ke luar. Bukan karena ia tak pernah bersentuhan, dengan kaum wanita. Tetapi benar-
benar belum pernah ia merasakan suatu sentuhan yang memiliki daya getar sedemikian besar
seperti halnya pancaran daya dari jari puteri Candra Dewi.
Berpuluh sinar pedang, beratus kilang ujung tombak yang pernah mengancamkan maut yang
menghen kan jiwa, pernah Wijaya hadapi di medan pertempuran. Tetapi belum pernah rasanya ia
merasakan suatu getaran yang begitu dahsyat seper ke ka tersentuh jari Candra Dewi. Ancaman
pedang dan tombak hanya menghen kan debur jantung menyesakkan napas untuk beberapa
jenak. Tetapi sentuhan jari sang puteri jelita itu laksana gempa bumi yang memberantakkan
seluruh isi dinding kalbunya ....
"Duh, tuan puteri," kata Wijaya lunglai "apa guna tuan mencegah Wijaya apabila tuan tak mau
menghidupkan kelayuan jiwa hamba."
"Ksatrya," kata Candra Dewi seraya tersipu-sipu menarik pulang tangannya "mempergunakan
pedang raden kepada musuh. Pedang bagi seorang kiatrya adalah jiwa dan kehormatannya.
Mengapa raden hendak menghancurkan jiwa raden dengan kehormatan raden sendiri" "
"Hampa, tuanku," kata Wijaya "hampa rasanya Wijaya hidup tanpa meneguk air Sari Kehidupan
itu. Gelap, tuanku, segelap malam tanpa rembulanlah dalam buana diri Wijaya."
"Ah, bukanlah masih ada bintang kemintang yang menerangi jadad raya ini" Mengapa raden
mengatakan hanya rembulan yang menerangi bumi?"
Wijaya menghela napas anggun "banyak bintang di langit tetapi tak menang dengan rembulan
satu. Banyak jelita di dunia tetapi tiada menangkan tuanku satu."
Candra Dewi tersipu-sipu malu.
"Ah, bilakah ksatrya dari Singasari itu dapat bergan pedang dengan bermain sajak" Bilakah
raden tiba-tiba menjadi seorang penyair?"
Wijaya tertawa. "Bagai desau angin tuanku, kita tak tahu bilakah datangnya. Kita baru tahu apabila
merasakannya. Demikian pula dengan perasaan ha kita. Entah dia itu seorang raja, seorang
brahmana, ksatrya, waesya atau sudra. Sebagai insan yang memiliki perasaan ha , tentu akan
tergetar ha nya apabila merasakan suatu sentuhan syahdu. Dan untuk meluapkan getar sentuhan
nurani itu, tak perlulah kita harus menjadi penyair. Karena rangkaian kata-kata itu akan mbul
sendiri sesuai dengan irama dalam kalbunya .... "
"Dan apabila tuanku bertanya bilakah Wijaya menjadi penyair," kata Wijaya lanjut "maka jawab
hamba, sejak hamba menginjakkan kaki hamba di bumi Sriwijaya dan menemukan bahwa dewi dari
gunung Candrapura telah turun ke. bumi menjelma dalam istana Darmasraya."
Candra Dewi tersipu merah wajahnya pula. Sesaat kemudian ia termenung bermuram durja.
"Raden Wijaya," katanya kemudian "memang demikianlah nasib seorang puteri boyongan seper
diri Candra Dewi ini....."
"Hai, mengapa tuanku mengatakan demikian?" teriak Wijaya penuh kejut.
"Madu atau bisa, ataupun madu berbisa yang raden berikan, Candra Dewi tentu akan
meminumnya. Karena radenlah yang menguasai nasib puteri tawanan ...... "
"Tuan puteri!" teriak Wijaya "mengapa tuanku berkata demikian" Adakah kata-kata dari Wijaya
yang tak berkenan dalam hati tuanku?"
Candra Dewi menggeleng kepala.
"Tiada yang salah pada ucapan raden karena berhak mengatakan apapun jua....." ba- ba
Candra Dewi tersekat dalam nada sendu.
Wijaya makin terbelalak. "Tuan puteri, mengapa ba- ba tuan puteri bermuram durja, bermurka kata kepada Wijaya"
Tuan puteri, janganlah tuanku menyiksa Wijaya berkelarutan .... "
"Ksatrya Singasari," jawab Candra Dewi "sesungguhnya siapakah yang menyiksa itu" Candra Dewi
puteri boyongan ataukah ksatrya Wijaya yang menjadi utusan raja Singasari?"
Wijaya tertegun. "Maaf," katanya "tuan puterilah yang menyiksa Wijaya."
"Tidak," jawab Candra Dewi "radenlah yang menyiksa aku."
Wijaya kerutkan alis. "Mohon tuanku suka memberi penjelasan akan kesalahan Wijaya. Wijaya bersedia menebus
kesalahan dengan jiwa raga."
Cindra Dewi bersenyum anggun.
"Bukan jiwa raga raden yang ingin kusaksikan menjadi korban sia-sia dari pedang ksatrya
Singasari, melainkan janganlah raden berkepanjangan mendendangkan kicau burung hantu di siang
hari." "Kicau burung hantu?" ulang Wijaya mengerut dahi.
"Burung hantu berbunyi di malam hari di tengah- tergah kuburan. Janganlah raden paksakan
burung itu berkicau di pagi hari."
"Tuan puteri," seru Wijaya "andai hamba seorang anak kecl, pis lah saat ini Wjaya akan
menangis sekeras-kerasnya. Namun saat ini Wijaya hanya dapat menangis dalam ha karena
merasa tersiksa hati. Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam tamsil ucapan tuan puteri?"
Candra Dewipun berkemas-kemas.
"Raden Wijaya," katanya "siapakah yang mengutus raden ke Sriwijaya?"
"Baginda Kertanagara."
"Apakah titah raja Singasari kepada raden?"
"Mempersembahkan patung Amogapasha sebagai tanda persahabatan kepada baginda
Mauliwarman yang dipertuan dari kerajaan Sriwijaya."
"Selain itu" "
Wijaya tertegun. Sanpai beberapa jenak tak dapat menjawab.
"Apakah maksud raden membawa kami berdua ke Singasari ini?" tegur Candra Dewi.
"Hamba hanya melakukan titah baginda Kertanagara."
"Bukankah baginda Singasari itu hendak mempersunting puteri kerajaan Sriwijaya?"
"Be ..... nar," Wijaya agak tersendat.
"Dan siapakah yang diinginkan raja Singasari itu?"
Wijaya terpukau. "Bukankah raja Singasari menginginkan puteri Sriwijaya yang bernama Candra Dewi yang
bernama pula Dara Petak?"
Wijaya menunduk bagai ayam sabung yang kalah.
"Raden, apakah hukum seorang senopati yang mengingkari titah raja?" tanya Candra Dewi pula.
Wijaya masih terdiam. "Tidakkah layak kukatakan bahwa raden sedang mendendangkan suara burung hantu di
siang hari" Tidakkah tepat apabila raden hendak menghidangkan madu berbisa kepada
seorang puteri boyongan" Dan tidakkah benar apabila raden sedang menikmati kekuasaan
raden sebagai seorang senopati yang berkuasa terhadap orang tawanan raden?"
Se ap patah kata dari puteri jelita itu bagaikan ujung pedang yang menyayat ha Wijaya. Tiada
luka yang pernah dideritanya sesakit sengatan kata-kata puteri itu. Dadanya serasa terhimpit
gunung yang maha berat. "Candra Dewi!" sesaat kemudian meletuplah mulut Wijaya manakala ia tak kuasa lagi menahan
luap ha nya. Sedemikian keras luapan itu menggema sehingga Candra Dewipun tersurut mundur.
Puteri itu hendak berputar tubuh masuk kedalam bilik peraduannya.
"Maaf, tuan puteri," Wijaya menyadarj dan cepat pula meraih daun pintu agar puteri itu jangan
melanjutkan maksudnya "terjadi gempa di bumi ha Wijaya, tuan puteri. Hamba menderita
guncangannya yang dahsyat. Tetapi mohon jangan tuan puteri cemas."
"Ih," desih Candra Dewi "letupan ha raden lebih dahsyat dari aun harimau yang banyak
terdapat di bumi Sriwijaya."
"Mungkin demikian tuan puteri," jawab Wijaya "namun hamba mohon tuan memberi
kesempatan kepada hamba untuk beibicara."
"Raden berhak penuh."
"Tidak benar Wijaya memaksakan burung hantu berbunyi di pagi hari. Burung yang tuan puteri
sangka sebagai burung hantu karena bulunya serupa itu sesungguhnya bukan burung hantu
melainkan burung murai. Burung hantu mengguguk seram di waktu malam hari tetapi burung
murai berkicau menghimbau kehadiran fajar hari." Candra Dewi diam.
"Kesahduan bunga seroja di taman Iswaraloka keraton Darmasraya telah kuasa menjadikan
burung hantu itu seekor burung murai. Tidakkah layak burung itu berkicau mempersembahkan
himbauan sukacita kepada sang bunga?"
"Tidak layak," sahut Candra Dewi "karena dia hanya di tahkan untuk merenggut bunga itu dari
batangnya dan membawanya kehadapan sang burung hantu. Murai itu dak dibenarkan untuk
mengganggu bunga." "Tidak tuan puteri," sahut Wijaya "bunga itu teramat agung dan tak layak dipersembahkan
kepada burung hantu."
"Hanya karena alasan itu?"
"Bukan," jawab Wijaya cepat "karena sudah lama, jauh sebelum menerima tah, burung murai
itu sudah merindukan sang bunga jelita."
"Titah burung hantu si raja burung tak dapat ditolak."
"Tetapi burung murai itu tak kuasa pula menolak suara hatinya, tuan puteri."
"Dia menghianati titah raja."
"Karena dia setya pada titah hatinya. Apapun yang akan terjadi, dia bersedia menebus
dengan jiwa raganya."
Candra Dewi tertegun. "Raden seorang senopa yang sedang melaksanakan tah raja. Raden seorang putera menantu
yang telah menyanggupkan janji kepada rama mentua. Sebagai seorang senopa , raden
menghiana tah raja. Sebagai seorang putera menantu, raden culas janji. Tidakkah raden takut
akan cela dan hukuman yang akan menimpah diri raden?"
"Seribu cerca, selaksa ujung pedang, daklah kuasa untuk menyurutkan tekad Wijaya
mempersembahkan pengabdian kepada puteri Candra Dewi."
Candra Dewi terdiam pula.
"Janganlah tuan puteri mengandung pikiran bahwa tuan ini seorang puteri boyongan. Wijaya
bukan membawa pulang puteri boyongan, melainkan merasa telah mendapat sekuntum bunga
rahmat yang akan menghidupkan jiwa Wijaya."
"Ah, raden hanya bermain madu di bibir," ucap Candra Dewi tersenyum sendu "bukankah di
Singasari telah menan puteri baginda yang merindukan belaian raden" Bukankah tuan puteri
siang malam berdoa untuk keselamatan raden dan semoga raden kembali dengan membawa
kemenangan?" Wijaya terdiam. "Tidakkah tuan rela menyaksikan kehancuran ha tuan puteri apabila mengetahui raden tak
setya kepadanya?" Wijaya mengangguk. "Cukup kukaji keluhuran jiwa puteri-puteri baginda Kertanagara. Puteri kerajaan Singasari itu
seorang puteri utama. Puteri utama dalam arti yang luas dalam pengabdiannya terhadap suami,
ayah bunda dan negara. Tidaklah puteri itu akan murka bahkan akan berbahagia karena akan
mendapat kawan hidup bersama."
Candra Dewi agak tersipu. Ia malu dalam ha karena telah menyatakan suatu prasangka yang tak
layak. Diam-diam iapun terkejut dalam ha , mengapa ba- ba saja ia dapat mengutarakan hal
semacam itu. Bukankah ucapan itu bernadakan rasa cemburu"
"Tuan puteri, murai telah berkicau pertanda fajarpun telah ba. Janganlah tuan puteri


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermuram durja. Langit di Singasari akan makin cerah. Suryapun makin gemilang menyambut
kehadiran puteri agung nan cantik jelita."
"Bagiku, bumi Sriwijaya itulah yang paling indah."
"Benar, tuan puteri," sambut Wijaya "tetapi keindahan Sriwijaya itu bukan karena alam
buminya. Maaf, tuan puteri, kiranya bumi Singasari itu takkan kalah dengan keindahan alam
Sriwijaya. Sriwijaya lebih indah karena kehadiran titisan dewi penguasa dari Candrapura
bersemayam di dalam pura. Apabila mustika itu berada di Singasari, pastilah Singasari akan
bersemarak, bahkan jauh lebih gemilang dari Sriwijaya." Candra Wulan mendesis h dalam hati.
"Ah, tak kira kalau seorang senopa pandai pula merangkai kata bagai seorang pujangga,"
serunya. "Telah kukatakan," kata Wijaya "bahwa sesungguhnya tuan putcrilah yang memberi ilham, yang
menjadi sumber dari ilham yang melahirkan getar-getar kalbu yang kuasa memancarkan untaian
kata indah." "Ah, betapapun aku masih samar akan nasibku. Seindah-indah Singasari, masih kalah indah dan
bahagia dari Sriwijaya. Di bumi Sriwijaya itulah aku digenangi dengan kasih sayang ayahbunda,
asuh layan para biti perwara dan sanjung hormat para kawula."
"Tidak tuan puteri," sanggah Wijaya "Wijaya bersumpah, demi Batara Agung, akan
membahagiakan kehidupan tuan puteri di Singasari. Apabila ada orang yang berani mengganggu
kesenangan tuan puteri ataupun memperlakukan yang tak berkenan di ha tuan, Wijaya akan
mempersembahkan jiwa dan raga untuk melindungi tuanku."
Candra Dewi terbeliak. "Adakah benar murai yang berkicau itu menyambut kehadiran fajar hari?" serunya menegas.
"Wijaya mempersembahkan sumpah tekadnya ke bawah duli tuan puteri," kata Wijaya.
Candra Dewi menghela napas.
"Ksatrya," ba- ba ia menjamah jari lalu melolos sebentuk cincin pualam "untuk menyatakan
betapa syukur ha ku karena engkau berjanji akan melindungi keselamatan diriku, sukalah raden
menerima cincin ini."
Wijaya terbeliak kaget. "Mengapa engkau diam saja, raden?" tegur Candra Dewi demi melihat Wijaya terlongong
"adakah engkau merasa hina karena menerima pemberianku ini?"
"Tuan puteri," Wijaya gopoh berseru " dak pernah Wijaya bermimpi akan ter mpah rembulan
jatuh. Dan andai benar akan kejatuhan rembulan, daklah Wijaya akan merasa lebih bahagia
daripada menerima pemberian cincin tuan puteri ini. Benarkah tuan puteri hendak
menganugerahkan cincin itu kepada Wijaya ?"
"Batu pualam putih itu disebut orang Biduri-bulan. Tetapi sesungguhnya berasal dari tanah
Gujarat, persembahan seorang musafir kepada nenekanda Demang Lebar Daun. Khasiatnya
akan membuat sipemakai riang hati, mempunyai keyakinan pada diri sendiri dan diindahkan
orang .... " "Tuan puteri, mengapa tidak tuan pakai sendiri cincin pusaka seperti itu ?"
"Tidak lain raden," kata Candra Dewi lembut "agar raden dapat melaksanakan janji raden untuk
melindungi kami." Wijaya segera mengulurkan kedua tangan untuk menyambu pemberian cincin itu. Tetapi ke ka
tangannya bersentuhan dengan jari jemari Candra Dewi yang sehalus beludru, seke ka
melayanglah, semangat Wijaya ke alam yang disebut Langit-lapis-ketujuh. Dan tak terasa iapun
mendekap tangan sang jelita.
"Ih," Candra Dewi mendesis kejut dan dengan tersipu-sipu ia segera menarik menarik tangannya.
"Puteri .... " Wijaya berbangkit hendak mendekap sang jelita tetapi Candra Dewipun mendahului
beringsut mundur lalu menutup daun pintu bilik peraduannya.
"Tuan puteri," seru Wijaya beriba-iba "mengapa tuan menutup pintu " "
"Ingat raden," sahut Candra Dewi dari dalam "janganlah raden melanggar kepercayaan yang
diberikan raja Singasari kepada raden."
"O, puteri Candra Dewi," seru Wijaya setengah memohon " dakkah tuan percaya akan sumpah
Wijaya " Yang menghadap baginda Tribuana Mauliwarman adalah Wijaya utusan nata Singasari.
Tetapi yang berhadapan dengan puteri Canara Dewi saat ini, adalah Wijaya peribadi, bukan utusan
nata." "Jika demikian," kata Candra Dewi "Wijaya duta sang nata Singasari itu lebih dapat menghorma
kehormatan kaum puteri, daripada Wijaya peribadi. Adakah demikian laku raden Wijaya peribadi
itu?" Tersipu merah wajah Wijaya mendengar ucapan Candra Dewi.
"Tuan puteri, Wijaya seorang ksatrya jantan. Apapun yang akan terjadi takkan mundur
setapakpun untuk mencapai tuntutan suara ha nya. Tidakkah tuan puteri merasa kasihan kepada
diri Wijaya?" "Kasihan menurut yang engkau kehendaki, bukanlah kasihan yang murni. Adakah raden kuatir
bahwa rembulan hanya bersinar pada malam ini" Justeru kasihan kepada raden maka tak
kumanjakan raden berbuat hal yang tak layak."
"Adakah seorang ksatrya yang mendambakan suara ha nya kepada seorang puteri, itu yang tuan
puteri anggap tak layak?"
"Tidak," seru Candra Dewi "hal itu memang layak pada ksatrya lain tetapi dak pada ksatrya
Wijaya. Karena tak ingin melihat nama Wijaya tercemar maka kugariskan tajam-tajam batas yang
layak yang wajib kita hormati."
"Tuan puteri," seru Wijaya pula "adakah hal itu berar suatu batas penutup perasaan tuan
puteri terhadap Wijaya, semisal dengan penutupan daun pintu yang tuan lakukan ini?"
"Pintu bilik ini, bukanlah pintu ha ku. Marilah kita serahkan kelanjutan nasib kita kepada Hyang
Isywara." "Tidak, tuan puteri," teriak Wijaya "aku tak mau menyerahkan nasib kepada Batara Agung. Dan
tentulah Hyang Isywara juga dak menghendaki tahNYA untuk berpaserah- paserah diri. Sesuai
dengan amanatnya bahwa kita se ap manusia harus dan wajib berusaha maka akupun akan
berusaha dengan sekuat jiwa raga dan akan memohon restu kepada Hyang Batara Agung."
Terdengar suara helaan napas lembut dari dalam bilik.
"Tuan puteri, mengapa tuan menghela napas?" Wijaya terkejut.
"Hari sudah malam," sahut Candra Dewi "silakan raden kembali agar jangan sekalian awak
perahu dan bawahan raden menduga sesuatu kepada kita."
"Baik, tuan puteri," sahut Wijaya "tetapi sebelum pergi, bolehkah Wijaya mengharap sepatah
kata tuan puteri bahwa Wijaya takkan bertepuk sebelah tangan ?"
"Ah .... " terdengar desah yang dalam.
"Tuan puteri, janganlah tuan menjadikan Wijaya seperti 'pungguk merindukan bulan'."
Tiada penyahutan lagi. "Tuan puteri, apabila tuan sampai ha menolak harapan Wijaya, lebih baik Wijaya sirna dari
arcapnda ini....." Tetap tiada suara apa-apa.
"Tuan puteri, mengapa tuan diam jua ?" Berulang kali Wijaya mengulang seruannya namun ada
jawaban lagi. Akhirnya iapun terpaksa ke luar dengan hati gundah kelana.
Dia naik ke atas geladak dan memandang cakrawala dan permukaan laut. Cakrawala terang
benderang. Bulan bersinar bagai mencurahkan restu kepadanya. Bintang berkelap kelip melontar
senyum kepadanya. Dan seluruh permukaan laut tampak berkilau-kemilau bagaikan permadani
perak yang mengerutkan cahaya gemerlap.
Wijaya tegak terpaku menyaksikan suasana itu. Malam purnama di tengah samudera yang
bergelombang, merupakan suatu suasana alam yang indah permai.
Namun keindahan itu tak pernah dirasakan Wijaya walaupun mata memandang. Pandangan
matanya itu hampa karena seluruh perha an dan segenap indriya perasa, tengah berpusat dalam
suatu renung yang membentuk suatu khayal impian indah.
Malam itu dia benar-benar merasa amat bahagia walaupun kebahagiaan itu masih dalam khayal.
*** Candra Dewi menghela napas sendu manakala mendengar Wijaya sudah melangkah ke luar.
Memang ia sengaja tak mau menyahut seruan Wijaya yang melolong-lolong seper serigala
kelaparan itu. Sesungguhnya ia kasihan tetapi terpaksa ia harus menguatkan ha agar dak runtuh
di bawah buaian rayu ksatrya yang sedang dimabuk kepayang itu.
Beberapa saat setelah suasana hening maka teringatlah ia akan sesuatu. Segera ia mengeluarkan
sehelai lipatan kain dari dalam baju. Lipatan kecil dari kain itu berisi secarik kertas yang bertulis.
Kertas itu adalah azimat pemberian dari Mahanatha, maharesi kerajaan Sriwijaya yang menjadi
guru Candra Dewi. Tatkala Candra Dewi hendak meninggalkan Darmasraya maka maharesi
Mahanathapun memberi sebuah azimat bertuah untuk menolak segala bala bencana dan
malapetaka. "Duh, guru maharesi Mahanatha yang hamba horma . Tidakkah guru kuasa menolong diriku dari
kesengsaraan ini ?" kata Candra Dewi di kala berhadapan dengan gurunya.
Maharesi Mahanatha mengangguk "cemas itu suatu rasa ketakutan yang menghuni dalam pikiran
kita karena ke dak-tahuan kita dalam menghadapi sesuatu. Apakah sesungguhnya yang engkau
cemaskan, puteri " Bukankah puteri merasa cemas karena membayangkan kesengsaraan nasib tuan
apabila berada di kerajaan Singasari " Dan rasa sengsara itu timbul karena pengaruh suatu rasa lain
yani rasa kebahagiaan yang tuan nikmati di Darmasraya " "
Candra Dewi terdiam. "Jelas," kata maharesi Mahanatha pula "bahwa kecemasan tuan puteri itu berdasarkan
per mbangan bahwa kelak di Singasari tuan puteri takkan menikma kebahagiaan seper di
Darmasraya. Bayang-bayang akan kehilangan kebahagiaan itulah yang menimbulkan rasa cemas
dalam ha mu. Demikian berlaku pada se ap orang yang dibayangi rasa takut. Tetapi ketahuilah
wahai, anakku puteri Candra Dewi. Bahwa baik dari hasil ilmu perhitungan bintang maupun dari
hasil renungan semedhi, telah kulihat suatu gambaran garis hidup bagi dirimu. Bahwa kelak engkau
akan menjadi permaisuri tersayang dari sebuah kerajaan besar di Jawadwipa .... "
"Percayalah kepadaku, anakku," kata Mahanatha pula "jangan engkau cemas atau samar
lagi. Kepergian tuan puteri ke Singasari bukan sebagai batu yang dilemparkan ke laut.
Melainkan sebagai intan yang dilontarkan ke langit dan menjadi sekuntum bintang yang amat
cemerlang." Candra Dewi terkesiap. "Kelak tuan puteri akan menjadi seorang permaisuri yang besar pengaruh didalam kerajaan
baru di Jawadwipa itu. Kelak tuan puteri pun akan menurunkan seorang putera yang akan
mewarisi tahta kerajaan itu. Berbesar hatilah tuan puteri dan bertawakallah tuan memanjatkan
doa puji syukur kepada Hyang Tata-gatha karena darah keturunan Mauliwarman akan
menguasai sebuah kerajaan besar di Jawadwipa. Sebuah kerajaan yang lebih besar dan lebih
jaya daripada kerajaan ayahanda baginda Mauliwarman sekarang."
Dan sebagai peneguh hati Candra Dewi, maharesi pun menyerahkan azimat penangkal bala.
"Apabila tuan puteri merasa cemas dan duka, asapilah azimat ini dan sebutlah nama mahanatha
dalam ciptamu. Mahanatha akan menampakkan diri di hadapanmu, tuan puteri....."
Demikian pesan maharesi Mahanatha yang sak pada waktu memerahkan azimat kepada Candra
Dewi. Saat itu Candra Dewi merasa dalam kebingungan. Walaupun sudah tak kurang-kurang maharesi
Mahanatha memberi petuah dan penerangan namun puteri itu masih merasa kehilangan pegangan
di kala menghadapi cumbu rayu Wijaya yang bertubi-tubi.
"Ah, terpaksa akan kucipta kehadiran guru maharesi" akhirnya Candra Dewi mengambil
keputusan. Ia mempersiapan perasapan. Sambil menjerang azimat diatas perasapan, ia pejamkan
mata, menyatukan seluruh pikiran menciptakan suatu bentuk perwujutan sang maharesi.
Sungguh ajaib sekali. Kepulan asap pedupaan itu melingkar lingkar, menggembung besar dan
membentuk satu bentuk tubuh manusia dan sesaat kemudian berobahlah gumpal asap itu menjadi
bentuk seorang orang tua berjanggut putih ...... maharesi Mahanatha!
"Duh, maharesi, guru hamba yang mulia ..... " serta merta Candra Dewipun berjongkok
memberi sembah. Bayang bayang Mahanatha itupun tampak tersenyum memandang sang puteri.
"Adakah sesuatu yang meresahkan pikiranmu, anakku" " tak terdengar suara berkumandang
namun dalam telinga Candra Dewi seolah telah mendengar maharesi berkata dengan lembut.
"Bapa guru yang arif budi," seru Candra Dewi "saat ini perjalanan yang kutempuh dengan perahu
sudah menjelang ba di Jawadwida. Entah besok entah lusa, tentu akan ba di Singasari. Guru
mengatakan bahwa aku akan mendapatkan seorang ksatrya yang bersedia mengabdikan jiwa
raganya kepadaku. Dapatkah guru memberi petunjuk, siapakah gerangan ksatrya itu" Dan bilakah
kiranya dia akan menjumpahi aku?"
"Duhai anakku, belumkah engkau bersua dengannya?"
"Belum, guru"."
"Benar" Cobalah engkau ingat-ingat, anakku. Tidaklah ada seorang muda yang telah bersumpah
akan mengorbankan jiwa raganya untuk melindungi dirimu dan patuh akan segala titah, tuan?"
"Ah," desah Candra Dewi "dia pernah mengucapkan sumpah itu ..... adakah dia?"
"Siapa" " "Raden Wijaya."
"Itulah ksatrya itu, anakku," ucap Mahanatha "adakah tuan masih risau" "
"Tetapi guru," sanggah Candra Dewi "dia hanya mengemban tugas untuk memboyong kami
berdua kepada raja Singasari. Duh, bapa guru yang mulia .. raja Kertanagara itu sudah lanjut usia,
telah memiliki beberapa permaisuri dan telah berputera puteri yang sebaya usia dengan hamba.
Adakah hamba harus jatuh ke tangannya pula" Tidak, guru, rasanya Candra Dewi tak sanggup
menerima nasib serupa itu."
Maharesi Mahanatha tertawa anggun.
"Ah, mengapa tuan puteri harus bercemas ha " Raden Wijaya telah jatuh ha kepada tuan
puteri. Dia adalah keturunan Narasingamur yang masyhur dan dia adalah jodoh tuan puteri yang
kelak akan memerintah sebuah kerajaan besar di Jawadwipa."
"Akan tetapi, guru, raden itu adalah putera menantu raja Kertanagara dan dia adalah senopa
yang diutus untuk memboyong kami. Bagaimana dia berani mengingkari titah junjungannya?"
"Ketahuilah, anakku Candra Dewi," kata Mahanatha "cinta itu suatu anugerah yasg keramat dari
Hyang Batara Agung. Jika ada cinta kasih maka Buddhapun takkan meni s berulang-ulang ke
arcapada lagi. Cinta itu adalah mahkota agung bagi manusia. Bila dia dihinggapi cinta maka dia
akan merasa lebih mulia daripada raja, lebih perkasa dari halilintar dan lebih berani dari Kesava.
Raden Wijaya pasti akan memiliki perasaan itu."
"Sedemikian besarkah pengaruh cinta itu, guru."
"Benar, anakku," kata Mahanatha "jangankan engkau suruh dia mencium duli telapakmu
ataupun suruh menentang raja Kertanagara, bahkan engkau suruh dia menyerahkan Singasari
kepada Sriwijaya sekalipun, pasti akan dilakukannya jua."
"Ah, guru .... " Candra Dewi menghela napas "tetapi hamba takut takkan terlindung dari rayuan
raden itu." Mahanatha tertawa. "A a hi a ano ga . Diri sendiri adalah pelindung dari diri sendiri," kata maharesi " ada lain
orang yang sanggup melindungi diri tuan puteri kecuali tuan puteri sendiri. Jernihkan pikiran,
tenangkan ha dan sucikan ba n. Tiada perisai yang betapapun kokohnya, dapat melebihi perisai
ketiga senjata diri kita peribadi itu."
"Tetapi .... " Candra Dewi tersipu-sipu hentikan kata.
"Tetapi mengapa, anakku" " seru maharesi "katakanlah apa yang masih merisaukan hatimu."
"Tetapi dia terlalu tergopoh dan melanggar batas-batas kesusilaan. Aku malu dilihat para
dayang." Maharesi tertawa pula. "Air bengawan akan mengalir terus apabila ada bersua dengan wadah lautan. Demikian pula
dengan cinta seorang anakmuda. Dia akan berkobar merangsang dan gelisah resah apabila tak
mendapat kesempatan untuk menumpahkan rayuannya. Oleh karena itu anakku, mengapa tuan
tak berkenan meluangkan kesempatan untuk bercengkerama dengan raden itu ?"
"Ah, bapa guru, hamba malu."
"Kodrat Prakitri menjelmakan sifat lelaki itu berpasangan dengan sifat wanita. Mengapa tuan
puteri harus malu" Dan pula memang raden itulah garis pasangan yang akan menjadi guru-laki bagi
tuan puteri." Candra Dewi kerutkan kening.
"Tetapi bagaimana mungkin hal itu berlangsung di bilik ini, bapa guru ?"
Maharesi tersenyum "Memang bukan di bilik ini tempatnya, anakku. Tetapi akan kubawa kalian
ke taman Inderaloka yang indah."
"Taman Indera-loka" Di manakah itu, guru?"
"Jauh di awang-awang, disebuah taman parahiyangan di mana burung burung berkicau
sepanjang hari, bunga-bunga berkembang sepanjang tahun dan air bergemericik sepanjang masa."
"Ah, bagaimana hamba dapat menuju ke taman itu?"
"Tenangkanlah ha mu, anakku. Hampakan pikiran, pusatkan perha an dan pandanglah
mataku," kata maharesi Mahanatha.
Candra Dewipun segera melakukan perintah.
*** Burung berkicau, bunga bermekaran seolah berlomba menampilkan kecan kan. Angin
berhembus lembut, menebarkan bau harum semerbak. Air mendesir, tersibak riak menyegar
sesosok tubuh yang pu h halus. Berhamburan mencurah keatas mahkota berupa rambut ikal
mayang yang bertebaran menjulai ke atas sepasang bahu teraju yang indah.
Bu r-bu r air itupun bergembira ria berhamburan melumat sepasang pipi dan hidung serta bibir
dari sebuah insan yang can k ada cela. Turun pula hamburan air itu singgah ke sepasang buah
dada yang ba' pepaya ranum, menelusur ke bawah lalu berhamburan gemuruh terjun ke sebuah
kolam air. Ah, betapakah bahagia air itu ..... Wajah secantik bidadari dan tubuh yang ramping itu adalah
milik scorang dara berusia enambelas tahun. Bukan dara sembarang dara melainkan seorang
puteri yang tengah dijenjang remaja ria.
Puteri itu senang bergenang diri mandi dalam telaga dalam sebuah taman loka yang indah asri.
Ia hanya mengenakan kain pis yang menutup paha hingga sampai ke dada. Wajahnya bagai langit
cerah yang baru lepas dari selubung awan. Hidung mancung, gigi yang membiji ke mun tampak
pu h berkilap seper mu ara. Bibir merekah merah, dagu berhias sebuah tahi lalat. Apabila
tertawa maka pipipun melipat lesung pipit.
Tengah puteri jelita itu bersuka ria, ba- ba terkejutlah ia kala pandang matanya tertumbuk
akan sebuah pemandangan yang tak disangka-sangkanya.
Tatkala ia menghias wajah berkaca pada air yang bening, tampak pada bayang-bayang pohon
bunga yang merebah di permukaan air itu, seorang anakmuda yang tengah berdiri terlongong-
longong. "Ih," puteri itu mendesah kejut dan cepat naik ke tepi telaga. Maksudnya hendak mengambil
busana yang terletak di dekat gerumbul bunga. Tetapi alangkah kejutnya ke ka dilihatnya
anakmuda itu sudah berada di tempat tumpukan busana dan tengah bersenyum kepadanya.
"Hai, pemuda yang tak sopan, enyahlah engkau dari sini," seru puteri dengan wajah tersipu
merah karena marah dan malu "siapa yang memberi idin kepadamu datang kemari" Inilah taman
Indera-loka para dewa."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar tuan puteri," pemuda itu menyahut dengan kata lembut "memang hamba tahu bahwa
taman ini adalah taman Indera-loka "
"Mengapa pula engkau berani masuk kemari" "
"Karena Batara Inderalah yang membawa hamba kemari, tuan puteri."
"Batara Indera" Siapakah engkau?" seru puteri.
"Hamba Wijaya, cucu Batara Narasinga," Sejenak puteri itu tertegun.
"O, kiranya engkau keturunan ksatrya Batara Narasinga," kata puteri "tetapi beda benar darah
keturunanmu dengan ngkah lakumu. Kedatanganmu secara bersembunyi-sembunyi itu telah
mengejutkan ikan-ikan dalam telaga, menaku unggas-unggas dalam taman dan menerbangkan
semangatku." "Benar tuan puteri," sahut ksatrya muda itu "hambapun mengaku salah dan hamba hanya
meran hukuman paduka. Apapun yang paduka hendak jatuhkan kepada diri hamba, tentu akan
hamba terima dengan tulus hati."
Puteri mengernyit alis "Aku tak kuasa menjatuhkan hukuman kepadamu. Andai berkuasa, pun
aku tak mau menghukummu. Sifat keksatryaanmu akan menghukum hatimu sendiri. Lekas
berikan pakaianku itu dan segeralah engkau tinggalkan tempat ini."
Ksatrya itu tertawa "Hamba mohon tuan puteri memberi hukuman kepada Wijaya, asal tuan
puteri jangan meminta busana ini."
"Ih," desis puteri terkejut "janganlah pikiranmu makin dak senonoh. Berikan busanaku itu dan
lekaslah engkau enyah."
"Tidak tuan puteri, hukumlah hamba asal jangan meminta busana ini."
"Apakah keperluanmu dengan busana itu ?"
"Perlu sekali tuan puteri," sahut Wijaya "seperlu bumi dengan rembulan."
"Coba katakanlah, apa yang engkau sebut perlu sekali itu?"
"Tiga buana tujuh samudera telah hamba jelajah, akhirnya di sinilah hamba beremu dengan yang
hamba idam-idamkan. Busana ini, tuan puteri, akan hamba simpan sampai pada akhir hayat
hamba." Puteri kerutkan kening "Aneh, untuk apakah busana itu?"
"Tiap malam akan hamba pandang dan kenang," sahut Wijaya "karena dengan memandang dan
mengenang busana itu sama dengan mengenang pemiliknya .... "
Puteri tersipu-sipu merah mukanya. Tiba- ba pandang matanya tertumbuk akan sebentuk cincin
perdata yang berwarna merah, melingkar di jari manis ksatrya itu. Tanpa disadari puteripun
memandang ke arah jarinya sendiri yang juga memakai sebentuk cincin pualam warna pu h
bercahaya. Rupanya gerak gerik puteri jelita itu tak lepas dari perhatian Wijaya.
"Benar, tuan puteri," ba- ba Wijaya berseru di situlah sumber rahasia dari langkah hamba ini,"
kemudian Wijaya mengangkat tangannya "cincin hamba ini telah menemukan pasangannya .... "
"Jangan membual," seru puteri.
"Benar tuan puteri," Wijaya memberi penegasan "cincin yang hamba pakai ini adalah cincin
pusaka dari nenek hamba Batara Narasinga. Pesan nenek hamba, cincin ini berasal dari mus ka
buah delima. Nenek hamba memperoleh cincin ini dari pesan gaib dalam mimpi ke ka nenek
hamba sedang bertapa di dalam guha. Kelak apabila mus ka merah delima ini bertemu dengan
sebuah batu mus ka lain yang dapat menghapuskan warna merahnya menjadi warna pu h
cemerlang maka disitulah hamba akan memperoleh jodoh. Kelak bersama puteri itu, hamba akan
memerintah sebuah kerajaan yang besar."
Puteri terkejut. Namun sebagai seorang puteri utama yang halus peker , ia tak mudah
terperangsang oleh sesuatu yang mengguncanggan hati.
Wijaya melolos cincin mus ka delima dan dipersembahkan ke hadapan puteri "Tuan puteri,
sukalah tuan puteri melolos cincin tuan dan padukan kedua cincin itu. Tuan tentu percaya apa
yang hamba katakan."
Seper kena pesona maka disambu nya pemberian cincin itu dan puteripun segera melolos
cincin pualam pu h yang melingkar pada jari manisnya. Kemudian kedua cincin itupun dipadunya.
Seketika ia terlongong-longong ....
Ke ka sinar merah dari mus ka delima berpadu dengan sinar pu h dari pualam Biduri-bulan
milik puteri maka ba- ba sinar keduanya berobah menjadi segulung asap pu h. Asap hilang dan
muncullah wajah maharesi Mahanatha tersenyum riang seraya mengangguk-angguk kepala. Sesaat
kemudian maharesi pun lenyap berganti dengan pemandangan yang mentakjubkan ....
Talam sebuah ruang indah gemilang laksana sebuah balairung, tampak seorang raja yang masih
muda duduk di pelaminan bersanding dengan seorang permaisuri yang can k jelita. Mentri
hulubalang duduk bersila menghaturkan sembah kepada baginda dan permaisuri. Sangsakala
meraung-raung, genderang berdentam-dentam. Tak lama kemudian terdengar bunyi seperangkat
gamelan Lokananta berdengung-dengung membahana merdu dari awang awang ....
Serempak hujanpun turun rin k-rin k. Bukan hujan air melainkan hujan bunga warna warni yang
menyerbakkan bau harum mewangi. Seke ka terdengar sorak yaig gegap gempita. Sorak sorai yang
menggetarkan bumi dari beratus ribu rakyat yang berada di luar balairung.
"Dirgahayu baginda dan permaisuri ....... ! " demikian sorak yang menggema di luar balairung.
Terbelalaklah pandang puteri ke ka mengama dengan seksama bahwa yang menjadi baginda
raja itu tak lain adalah ksatrya Wijaya yang saat itu sedang berada di hadapannya. Sedangkan yang
jadi permaisuri cantik itu adalah dirinya sendiri ....
"Tuan puteri, mengapa tuan terpesona " Apakah yang tuan saksikan ?"
Puteri tersentak kaget lalu tersipu-sipu merah mukanya.
"Bukankah hamba tak bohong ?" tanya Wijaya pula. Puteri diam saja.
"Nenek hamba Batara Narasinga sudah seper setengah dewa. Tak mungkin beliau ingkar kata.
Kini cincin mus ka delima telah menemukan pasangannya. Adakah tuan masih menyangsikan
kebenarannya ?" Puteri tak dapat menjawab. Ia menyerahkan cincin kepada Wijaya kembali, Di luar kehadirannya,
puteri telah keliru menyerahkannya. Yang diterimakan kepada Wijaya yalah cincin Biduri bulan,
sedang yang dipakainya adalah cincin mustika-delima milik Wijaya.
Wijaya tahu namun diam dan tertawa girang.
"Ksatrya, berikanlah busana itu kepadaku," seru puteri pula.
"Adakah tuan puteri berkenan meluluskan harapan Wijaya" Wijaya akan menyerahkan jiwa raga
mengabdi kepada tuan puteri ?"
"Ah, jika dalam soal kecil untuk menyerahkan busana saja engkau sudah membantah, bagaimana
aku dapat mempercayai ucap janjimu tadi ?"
"Tetapi .... "Apakah engkau menginginkan aku kedinginan karena tak mengenakan busana" Demikianlah
pengabdianmu, hai ksatrya?"
"Baiklah tuan puteri," Wijaya bergesa kata "silakan tuan naik ke tepi telaga."
"Undurkanlah dirimu sampai lima langkah dan berpalinglah ke belakang di kala aku mengenakan
busana." Wijaya menurut. Dalam saat berputar tubuh setelah ia mundur beberapa langkah itu, berdebar-
debarlah ha nya kala membayangkan sesuatu. Beberapa saat kemudian ia merasa malu sendiri.
Mengapa ia harus membayangkan sesuatu yang belum menjadi haknya" Bukankah kelak puteri
jelita itu akan menjadi miliknya jua" Ah, segera ia pejamkan mata.
Namun sampai cukup lama menan , belum juga puteri itu memberi perintah lagi. Karena tak
kuasa menahan rangsang ha nya, Wijayapun berputar diri ke arah tepi telaga. Ah, kiranya puteri
itu sudah mengenakan busananya dan saat itu tengah duduk memandang ikan-ikan yang
berenang-renang dalam telaga.
"Tuan puteri....."
"Siapa suruh engkau menghadap kemari?" tukas puteri itu.
"Bukankah tuan sudah berbusana, mengapa tuan tak memerintahkan hamba berpaling lagi" "
"Jika dalam soal sekecil itu saja engkau sudah melanggar janji, bagaimana mungkin engkau
hendak mengabdi kepadaku?"
"O, tuan hendak menghukum hamba?"
"Bukankah amat ringan hukuman itu untuk kesalahanmu masuk kemari tanpa seijin itu?"
"Terlampau berat, tuan puteri."
"Berat"." "Hukumlah hamba seberat-beratnya asal jangan melarang hamba menghadap pandang kepada
tuan puteri serasa gelaplah bumi ini."
Puteri tersipu sipu menundukkan kepala. Benar-benar ia tak berdaya menghadapi seorang
ksatrya muda yang begitu tampan, gagah dan lincah bicara.
Ia terkejut ketika ekor matanya tertumbuk pada sepasang kaki yang duduk bersila dekat
sekali di sampingnya. Cepat puteri mengangkat muka dan ..... dan bertemulah dua pasang
mata. "Engkau berani ... " akhirnya dapat juga puteri memaksakan lidahnya yang serasa kelu, bersuara.
"Hamba telah menemukan jodoh yang telah digariskan pada cincin pusaka nenek hamba. Untuk
menjadi permaisuri dalam kerajaan yang akan hamba bangun."
"Ih," desis puteri "aku tak ingin menjadi permaisuri. Aku lebih senang bermain-main di taman
dan bercengkerama di telaga ini. Tiada yang kurang bagiku di sini. Unggas, margasatwa, ikan,
burung dan bunga selalu setya menemani dan menghibur hatiku."
"Tuan puteri," kata Wijaya "tidakkah tuan sesekali merasa rindu untuk bersenda-
gurau/bercakap-cakap dan bercengkerama dengan seorang mahluk titah dewata yang lain"
Tuan merasa senang tetapi tuan hanya tertawa seorang diri, bercakap-cakap seorang diri,
berkecimpung dalam telaga seorang diri pula. Adakah kehidupan yang tiada berbalas itu takkan
menjemukan hati tuan puteri?"
Tiba- ba Wijaya ulurkan tangan menjamah tangan puteri lalu menunjuk pada sepasang burung
belibis yang tengah berenang-renang berpasangan di tengah telaga.
"Lihatlah tuan puteri! Betapa bahagia sepasang burung belibis itu. Mereka menyelam
bersama, berenang berpasang. Ah, itulah ... yang jantan sedang mematuki kepala yang betina
dengan penuh kemesraan. Yang betinapua balas mematuki sayap dan tubuh yang jantan.
Rupanya mereka sedang berkasih-kasihan dengan asyik sekali. Dan o, cobalah tuan pandang
itu! " Puteri menyalangkan pandang ke tengah telaga.
Tampak kedua ekor belibis itu saling berpadu paruh. Rupanya yang jantan telah mendapat
sesuatu dan diberikan kepada yang betina.
Puteri tundukkan kepala tersipu-sipu.
Sejenak puteripun tak menyadari bahwa saat itu sebelah tangannya masih didekap tangan
Wijaya. Dan tersentaklah ia dari kemanguan ketika merasakan jari tangannya tiba-tiba basah-
basah hangat. Dan ketika mengangkat muka ternyata tangannya telah dikecup oleh mulut
Wijaya. "Duhai puteri pujaan hamba, daklah tuan iba ha kepada Wijaya yang dirundung derita rindu
.... " Tiba- ba puteri rasakan kepalanya telah didekap oleh tangan yang kokoh dan seke ka itu pula
pandang matanyapun tertutup oleh sebuah wajah, makin merapat wajah itu dan ah .....
Rasanya sesak napas puteri karena hidungnya terhimpit oleh sepu h daging lunak dan mulutpun
terlumat oleh sepasang bibir yang hangat.
Bertebaranlah darah dalam tubuh puteri. Hangat, panas, mendidih dan menggelora,
menimbulkan asap yang membawa terbang semangatnya, melambung nggi dan makin nggi,
penuh kenikmatan dan kesyahduan ....
Entah kendang berapa lama, ia tak kuasa pula untuk menahan kesesakan napasnya dan tanpa
disadari, ia menyiak tubuh yang memeluknya itu ke belakang, blugg.....
"Raden .... " puteripun menjerit kejut ketika melihat Wijaya terlempar jatuh kedalam telaga.
Dan serentak dengan jeritan itu, iapun terjaga.
"Ah, aku bermimpi " katanya. Namun ia heran mengapa napasnya masih terengah-engah ....
*** "Cumbita, mengapa engkau berada disini" " tegur puteri Candra Dewi ke ka ia terjaga dan
melihat dayang Cumbita berada dalam biliknya.
"Hamba mendengar tuan puteri menjerit maka hambapun bergegas masuk kemari," kata dayang
itu "adakah tuan puteri mengelami sesuatu" "
Candra Dewi terkejut. Kemudian menyadari bahwa impian itulah yang menyebabkan ia menjerit.
"Ah, tak apa-apa Cumbita. Aku hanya bermimpi," sahut puteri.
"O, syukur tuan puteri," seru Cumbita lcgah, "tetapi berkenankah tuan puteri memberi tahu
hamba akan mimpi paduka itu?"
Candra Dewi tersipu merah wajahnya "Ah, tak apa-apa, Cumbita. Apakah kita sekarang dalam
pelayaran di tengah samudera" "
"Benar tuan puteri," sahut Cumbita "menurut keterangan nakhoda, saat ini kita sedang melalui
kepulauan Karimun dan besok tentu akan tiba di bandar Tuban, bandar dari kerajaan Singasari."
Mendengar keterangan itu seke ka berobahlah wajah puteri Candra Dewi. Dua hari lagi ia tentu
akan tiba di pura Singasari.
"Cumbita, dimanakah raden Wijaya?" serunya.
"Hamba disini tuan puteri," seke ka pintu terentang dan masuklah Wijaya dengan langkah
gontai. "Ih," desih Candra Dewi "mengapa raden berada di luar pintu bilik ini" Adakah raden mendengar
jeritanku tadi?" "Mendengar, tuan puteri," sahut Wijaya tersenyum "tuan memanggil Wijaya."
Candra Dewi menunduk. Tiba- ba pandang matanya terpikat oleh cincin sinar pu h yang
memancar pada jari tangan Wijaya. Serentak ia memberi isyarat kepada Cumbita supaya
meninggalkan bilik itu. "Raden," seru Candra Dewi sesaat kemudian, "adakah cincin pualam Biduri-wulan itu, cincin yang
kuberikan kepadamu?"
"Maaf, tuan puteri," sahut Wijaya "cincin pemberian tuan puteri, hamba simpan dalam baju
hamba. Cincin ini adalah cincin peninggalan nenek hamba."
"Cobalah raden ambil cincin pemberianku itu," Wijaya melakukan perintah. Segera ia mengambil
keluar sehelai saputangan sutera dari dalam bajunya. Kemudian membukanya.
"Hai ....... ! " seketika memekiklah Wijaya.
"Mengapa?" seru Candra Dewi ikut terkejut.
"Cincin itu hilang, tuan puteri!. Pada hal jelas hamba bungkus dengan saputangan ini," kata
Wijaya. "Tidak," seru Candra Dewi "cincin itu tidak hilang, melainkan engkau pakai."
Wijaya terbeliak "Tidak, tuan puteri. Cincin yang hamba pakai ini adalah cincin pusaka dari nenek
hamba Batara Narasinga."
"Cobalah raden periksa," Candra Dewi berujar.
Wijaya menurut, Hampir ia menjerit lebih keras lagi ke ka memeriksa cincin yang melingkar pada
jarinya "Hai, ajaib sekali! Mengapa cincin mus ka delima yang berwarna merah ba- ba bergan
warna putih!" Candra Dewi tertawa "Tidak, raden. Itu memang cincin pemberianku, engkau pelupa sekali."
"Demi Batara Agung, tuan puteri, hamba berani bersumpah bahwa cincin yang hamba pakai ini
semula adalah cincin mustika delima dari nenek hamba."
Candra Dewi kerutkan dahi kemudian tertawa kecil "Itu berar bahwa cincin Biduri bulan harus
engkau pakai. Bila engkau tak percaya, baiklah kuambilkan lagi. Aku masih mempunyai sebentuk
cincin Biduri-bulan yang menjadi pasangan cincin di jarimu itu."
Candra Dewi terus beringsut dari tempatnya, mengambil kotak emas dari dalam almari.
Kemudian kembali ke hadapan Wijaya. "Cobalah raden padu cincin ... hai! " tiba-tiba pula puteri itu
menjerit ketika mengambil cincin dalam kotak dan memeriksanya.
"Mengapa, tuan puteri?" Wijaya ikut terkejut.
"Aneh benar," seru Candra Dewi "mengapa pualam pada cincin ini berobah merah warnanya?"
"Benarkah"," Wijaya ikut terbeliak "cobalah tuan puteri berikan kepada hamba."
Ke ka Wijaya menerima cincin dari puteri dan memeriksanya, dia menjerit keras "Inilah cincin
mustika delima milik hamba .... "
"Ih, janganlah raden berkata demikian. Jelas cincin itu kusimpan dalam kotak dan kutaruh dalam
almari." "Tetapi tuan puteri, cobalah tuan lihat. Bukankah permata cincin ini merah warnanya "
Bukankah cincin tuan puteri pualam Biduri- bulan itu putih warnanya" Tak salah lagi, tuan puteri,
inilah mustika Delima peninggalan nenek hamba."
"Tetapi mengapa berada dalam kotak simpanan-ku?"
"Itulah tuan puteri, hamba sendiri juga bingung," kata Wijaya "karena jelas cincin itu hamba
pakai mengapa tiba-tiba pula cincin hamba berganti menjadi pualam Biduri-bulan ?"
Mau tak mau Candra Dewi harus mengakui bahwa permata cincin yang diambilnya dari kotak
emas itu, memang bermatakan merah delima. Lain sekali dengan pualam Biduri bulan.
Candra Dewi dan Wijaya terlongong-longong kehilangan faham. Namun Candra Dewilah yang
lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi. Keras dugaannya bahwa penukaran kedua cincin itu
tentu dilakukan oleh kekuasaan gaib dari maharesi Mahanatha yang sakti.
Wijayapun menganggap hal itu suatu peristiwa yang langka. Namun dia mempunyai
kesimpulan lain. "Tuan puteri, jelaslah sudah kini," katanya dengan nada riang "bahwa penukaran cincin itu telah
dilakukan oleh suatu kekuasaan gaib yang hendak mempertemukan kita. Prakitri telah
menggariskan bahwa kita harus menjadi .... pasangan hidup .... "
Candra Dewi tersipu merah dan menundukkan kepala. Sikap itu ditafsirkan Wijaya sebagai sikap
paserah dari seorang gadis maka tanpa membuang waktu lagi, Wijaya segera melangkah, se ndak
demi setindak dan tiba-tiba ia memeluk puteri itu.......
Seiring dengan perahu yang dinaikinya, kedua priagung muda itupun berlayar dalam bahtera-
asmara yang membawa keduanya serasa mencapai sebuah pulau yang indah, di mana sinar surya
terasa hangat, bunga-bunga memancarkan beraneka ragam warna dan airpun bergemerisik merdu
..... "Raden ... " karena tak kuat menahan kesesakan mulutnya yang terlumat rapat-rapat oleh mulut
Wijaya, Candra Dewipun mengisar ke samping, melepaskan diri dari pelukan Wijaya.
"Mengapa tuan puteri?" seru Wijaya.
"Ah, raden," Candra Dewi mencubit lengan Wijaya "janganlah menyebut aku tuan puteri.
Sebutlah namaku saja."
"Baiklah, adinda," kata Wijaya tersenyum "tetapi adindapun jangan memanggil aku raden."
Candra Dewi mengangguk "Raden .....eh, kakangmas, saat ini kita sudah melalui kepulauan
Karimun. Besok tentu akan tiba di Tuban, bukan?"
Wijaya mengiakan. "Bagaimanakah nasib adinda nanti" Adakah seperti tebu, habis manis sepahpun dibuang?"
"Ya, benar, memang seper tebu, Candra Dewi," sahut Wijaya "manisnya akan kuisap, sepahnya-
pun kutelan agar tumbuh bersemi dalam putih hatiku."
"Ah, janganlah kakang mas berolok senan asa," desuh puteri " dakkah kakangmas merasa puas
akan kemasyukan yang kita lakukan tadi?"
"Puas" Ha, ha," Wijaya tertawa "hanya apabila air dari Tujuh Samudera telah kering barulah aku
puas meneguk madusari dari bibirmu."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah kakangmas, jangan berkelakar berkelanjutan," kata puteri Candra Dewi agak
bersungguh "hari masih amat panjang dan duniapun masih lama berputar. Takkan kakangmas
kehabisan waktu untuk menyampaikan keinginan ha . Tetapi yang pen ng, saat ini kita harus
bertindak, kecuali kakangmas memang tak bersungguh-sungguh kepadaku."
"Aku tak mengerti maksud ucapanmu," Wijaya agak heran.
Sejenak mengemas diri maka berkatalah puteri Candra Dewi "Besok atau lusa, kita sudah
mencapai bandar Tuban. Bukankah kakangmas akan membawa aku dan adinda Kembang Dadar
kehadapan raja Kertanagara."
"O, tentulah kedatangan kita nan cepat akan dilaporkan ke hadapan sang nata Singasari,"
jawab Wijaya. "Dengan demikian kakangmas tentu akan menghaturkan kami berdua ke hadapan raja?"
"O, tidak, tidak," Wijaya menjawab serentak, "takkan kuserahkan dinda kepada baginda!"
Candra Dewi tersenyum gelisah "Itu keinginan kakangmas, tetapi bukan kenyataan yang ada
padamu. Karena kenyataan, kuasa raja Kertanagara akan menitahkan engkau untuk
menghaturkan diri kami berdua kepadanya."
"Tidak, Candra Dewi!" teriak Wijaya "aku seorang ksatrya. Apa yang telah kujanjikan
kepadamu, takkan kuingkari."
"Tetapi bagaimana kakangmas hendak melaksanakan hal itu?" Candra Dewi makin resah.
Wijaya tersenyum "Tenangkanlah ha adinda," katanya "akupun sudah merencanakan hal itu
dan hanya menunggu persetujuan dinda."
"Benarkah?" seru Candra Dewi bergairah, "katakanlah, kakangmas, apa rencanamu itu."
"Mengapa aku harus berbohong kepadamu, dinda?" balas Wijaya " hal itu telah kupikirkan
masak-masak dan malam ini juga kita laksanakan siasat itu."
"Siasat?" ulang puteri Candra Dewi agak terkejut "apakah kakangmas bermaksud hendak
membawa perahu kita ini berlayar ke lain negara?"
Wijaya tertawa "Tidak, dinda. Kita tetap akan menghadap baginda Kertanagara dan tetap pula
menghaturkan adinda berdua kehadapannya .... "
"Wijaya!" teriak Candra Dewi menukas. Dadanya tampak berombak dan wajahnya merah
"adakah engkau hendak memperdayakan kami?"
Sedemikian kejut perasaan puteri itu sehingga ia serentak berbangkit. Tetapi cepat Wijaya
menarik tangan puteri dan didudukkan di sisinya pula.
"Sabarlah adinda," katanya "dengarkanlah dahulu rencanaku sampai selesai, barulah adinda
boleh memberi kesimpulan."
"Kakangmas, kuminta janganlah ccgkau berolok-olok," puteri setengah mengeluh "janganlah
menyiram minyak lagi pada hati yang sedang membara gelisah."
Wijaya tenenyum "Demi Batara Agung, Wijaya memang bersungguh-sungguh dalam hal ini. Apa
yang kukatakan sebagai rencana itu tak lain yalah ..... kita terpaksa akan meminta bantuan dan
kerelaan tuan puteri berdua. Tanpa kesediaan tuan puteri berdua, rencana itu tentu tak dapat
teilaksana." "Kami berdua?" puteri menegas.
"Ya." "O," desuh Candra Dewi "katakanlah."
"Setelah kurenungkan dan kumenungkan, rasanya ada lain jalan yang lebih baik kecuali harus
membujuk kerelaan ha puteri Kembang Dadar, agar berkenan menjadi penggan diri adinda.
Kumaksudkan, agar puteri Kembang Dadar mengaku sebagai adinda Candra Dewi dan adinda
mengaku sebagai puteri Kembang Dadar."
Candra Dewi terkesiap. "Bukankah puteri Kembang Dadar mengandung cita-cita menjadi seorang permaisuri" Bukankah
kesediaan tuan puteri Kembang Dadar ke tanah Jawadwipa itu karena akan mendapat jodoh raja
Jawadwipa" Inilah suatu kesempatan yang baik, dimana dinda dapat membantu melaksanakan cita
cita puteri Kembang Dadar itu."
Seke ka wajah puteri Candra Dewi berseri girang "Benar, kakangmas. Akupun juga mempunyai
pemikiran begitu. Dengan demikian kami berdua saudara akan dapat mencapai apa yang kami cita-
citakan." "Tetapi adakah puteri Kembang Dadar akan berkenan untuk melakukan hal itu?"
"Kurasa tiada halangan," jawab puteri Candra Dewi "serahkan hal itu kepadaku. Dia amat
kasih kepadaku. Tentulah dia akan meluluskan keinginanku."
"Tetapi tuan puteri .... "
"Masihkah kakangmas meragukan hal itu?" tukas Candra Dewi.
Wijaya mengangguk "Ya, aku masih meragukan engkau, dinda."
"Aku?" Candra Dewi mengerut alis.
"Ya, tidakkah engkau kecewa melaksanakan hal itu" "
"Mengapa kecewa?"
"Karena baginda Kertanagara seorang raja besar dan Wijaya hanya seorang ksatrya .... " belum
Wijaya menyelesaikan kata katanya, ia menjerit tertahan karena lengannya dicubit tajam-tajam
oleh Candra Dewi. Dan habis mencubit, puteri itupun segera masuk ke dalam bilik peraduan,
mendapatkan puteri Kembang Dadar.
Setelah beberapa lama berbincang-bincang, akhirnya berhasillah Candra Dewi membujuk
Kembang Dadar untuk meluluskan permintaannya.
Memang agak berbeda pendirian kedua puteri itu, walaupun mereka saudara sekandung. Candra
Dewi dak memen ngkan keturunan maupun kedudukan, apalagi kekayaan. Dia menginginkan
seorang suami yang benar-benar mencintainya dan dicintainya. Sedang puteri Kembang Dadar
tetap berpegang pada martabat keturunannya. Seorang puteri raja harus mendapat jodoh seorang
raja. Demikian pendiriannya.
Maka dalam permusyawarahan dengan ayundanya tentang rencana penukaran nama dan diri
itu, Kembang Dadarpun dapat menyetujui. Disamping ia memang menghendaki menjadi seorang
permaisuri raja, pun ia merasa kasihan kepada ayundanya apabila keinginannya untuk bersuami
raden Wijaya tak terlaksana.
Segenap dayang pengiring dipanggil masuk. Kepada mereka diberitahukan tentang hal itu dan
dipesan wan -wan agar jangan sampai membocorkan rahasia itu. Barangsiapa yang berhianat
akan dihukum mati. Demikian sejak saat itu maka bergan lah puteri Kembang Dadar menjadi puteri Candra Dewi dan
Candra Dewi menjadi Kembang Dadar.
Memang prabu Kertanagara belum pernah melihat wajah kedua puteri dari kerajaan Sriwijaya
itu. Dan baginda tentu percaya penuh pada keterangan Wijaya.
II Menjelang unggas dan margasatwa sibuk berkemas menuju ke sarang peris rahatan, menjelang
kelelawar ber-siap2 meninggalkan cerobong daun tempat persembunyiannya, suasana rembang
petang di jalan yang merentang ke pura Daha, tampak makin tegang lengan.
Bukan melainkan bangsa unggas dan margasatwa, pun daun-daun, bunga-bunga dan pohon-
pohon bahkan debu-debu di jalan itu, sudah mulai merunduk hening, menghen ngkan kesibukan-
kesibukan di kepanjangan siang hari.
Hari merayap-rayap menuju ke kegelapan.
Tiba- ba dari arah jauh di balik bukit, sayup-sayup terdengar derap kuda berlari. Riuh dan
gemuruh. Suara itu makin dekat dan makin jelas. Bukan hanya seekor melainkan beberapa ekor kuda. Tak
berapa lama kemudian muncullah lima penunggang kuda. Seolah-olah berpacu dengan kehadiran
sang malam, kelima penunggang kuda itupun melintas dengan cepat. Debu dan pasir tersiak,
berderai dan bertebaran bagai gelombang air pasang.
Sesaat hamburan debu itu turun ke bumi pula maka kelima penunggang kuda itupun ludah
merupakan titik-titik kecil yang jauh sekali.
Tak berapa lama kemudian, salah seorang yang naik kuda tegar bulu kelabu, berseru "Ah,
pintu gapura hampir ditutup .... "
Ia memacu kudanya makin kencang. Keempat kawannya pun terpaksa mengiku . Saat itu mereka
ba di muka sebuah pintu gapura yang berdaun pintu besi dan dijaga oleh empat orang prajurit.
Keempat prajurit penjaga gapura itu sudah berkemas hendak menutup pintu.
"Tunggu, prajurit," teriak penunggang kuda bulu kelabu seraya mencongklangkan kudanya
sepesat anak panah lepas dari busur.
Jarak antara penunggang kuda bulu kelabu dengan pintu gapura masih berpuluh tombak tetapi
pada saat orang itu mengatakan ucapannya yang terakhir, iapun sudah tiba di muka gapura.
Keempat prajurit itu terkejut dan cepat bersiap.
"O, raden Ardaraja," salah seorang prajurit serentak berseru lalu cepat-cepat memberi hormat
kepada penunggang kuda bulu kelabu itu.
Tetapi penunggang kuda yang disebut Ardaraja itu tak menyahut melainkan terus lajukan
kudanya masuk ke dalam pura. Keempat penunggang kuda tetap mengiring di belakangnya.
Tiba di pintu keraton, raden Ardaraja loncat turun dari kudanya. Sejenak berpaling memberi
isyarat agar keempat pengiringnya menunggu di situ, ia terus bergegas masuk.
"O, engkau Ardaraja, puteraku" seru Jayakatwang ketika menerima kedatangan raden Ardaraja.
Serta-merta raden Ardaraja memberi sembah, menelungkup dan mencium duli baginda
Jayakatwang. Raja Daha itu atau sebenarnya akuwu, menyuruh puteranya duduk di hadapannya.
"Ardaraja," kata akuwu Jayakatwang "engkau tentu terkejut mengapa ku tahkan engkau pulang
ke Daha ini. Ada suatu hal yang amat penting sekali yang hendak kubicarakan dengan engkau."
Ardaraja terkesiap. Bila ayahanda baginda sedemikian bersungguh nada, tentulah masalah itu
amat pen ng sekali "Silakan rama baginda," katanya "putera paduka Ardaraja siap melakukan tah
paduka." Jayakatwang mengeluarkan sebuah sampul dari dalam baju kebesarannya dan diserahkan
kepada Ardaraja "Bacalah."
Tampak airmuka pangeran itu berubah-ubah di kala membaca surat itu. Kemudian ia mengunjuk
pandang ke arah ramanda baginda.
"Bacalah agak keras, Ardaraja," tiba-tiba akuwu Jayakatwang memberi titah.
Ardaraja membaca pula: Dengan segala hormat dan tulus ha serta kesetyaan, Wiraraja mempersembahkan surat ini
kebawah duli paduka Jayakatwang, junjungan yang syah dan raja yang berhak penuh atas tahta
kerajaan Daha, turun temurun.
Hamba mohon diperkenankan untuk menghaturkan laporan ke hadapan sang prabu. Paduka
nata yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan lapangan yang setepat tepatnya.
Pergunakanlah saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat.
Tegal sedang tandur, ada rumput, ada lalang. Daun-daun sedang gugur, berhamburan ke
tanah. Bukitnya kecil-kecil, jurangnyapun tak berbahaya. Hanya dihuni oleh harimau yang sama
sekali tak menakutkan. Tak ada lembu, mahesa dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang
menyenggut, baiklah mereka itu diburu, pas dak berdaya. Satu-satunya harimau yang nggal
hanyalah harimau guguh, sudah tua renta, harimau empu Raganata yang sudah ompong.
Pengukuhan atas kebenaran surat ini, berdasar pada kesetyaan dan tanggung jawab sepenuhnya
dari : Wiraraja Adipati Sampang,
tahun Saka 1214. Ardaraja melipat dan memasukkan surat itu kedalam sampul lagi dan diserahkan kembali kepada
ramandanya. "Bagaimana pendapatmu, Ardaraja?" tegur akuwu Jayakatwang sesaat kemudian "dapatkah kita
percaya surat laporan dari Wiraraja itu?"
Ardaraja tersentak kaget. Sebenarnya saat itu ia sedang termenung mengingat peris wa yang
belum berapa lama dialaminya. Ke ka beberapa waktu yang lalu ia mendapat tah dari ramanda
akuwu Jayakatwang supaya kembali ke pura Singasari untuk mengadakan gerakan memperlemah
keadaan Singasari, di tengah jalan ia telah bertemu dengan seorang pengalasan yang menurut
pengakuannya, disuruh mengantarkan surat oleh adipati Wiraraja kepada akuwu Jayakatwang.
Adapun isi surat itu berbunyi bahwa adipa Sampang itu mengajak bersekutu kepada pa h
Aragani untuk menghadapi akuwu Jayakatwang yang dikatakan sebagai musuh dalam selimut yang
paling berbahaya dari kerajaan Singasari.
Sekarang mengapa ba- ba adipa Wiraraja mempersembahkan surat kepada akuwu Daha
dalam nada yang sedemikian beda dengan surat yang ditujukan kepada patih Aragani"
"Siapakah yang diutus adipa Wiraraja untuk menghaturkan surat ini kepada paduka?"
tanyanya. "Wirondaya," sahut Jayakatwang.
Ardaraja mohon agar utusan dari Sampang itu dititahkan menghadap.
"Hai, utusan Sampang," ba- ba Ardaraja menghardik lantang setelah seorang pria yang
menyebut dirinya sebagai Wirondaya menghadap "mengapa adipa Wiraraja berani menganjurkan
surat itu kepada ramanda baginda" Bukankah kalian hendak bermaksud menjerumuskan Daha
supaya ibarat anai-anai menyerbu api?"
Wirondaya terkesiap. Sejenak ia menatap putera akuwu Daha itu, lalu berkata "raden, apakah
manfaatnya gus adipa Wiraraja hendak menjerumuskan kerajaan Daha " Apakah yang diharap
adipa dari raja Kertanagara yang telah melorot kedudukan adipa dan memindahkannya ke
Sampang Madura?" "Urusan peribadi tak dapat dicampurkan dengan masalah negara," kata Ardaraja.
"Benar, raden," jawab Wirondaya yang tangkai bicara "gus adipa memang menyadari hal itu.
Tetapi gus adipa memang benar-benar tak merelakan kerajaan Singasari akan rusak di tangan
seorang raja yang sudah terbius oleh patih Aragani."
"Jika begitu," sanggah Ardaraja "mengapa adipati Sampang tak bergerak sendiri untuk menyerang
Singasari ?" "Ah, raden," kata Wirondaya "gus Adipa sudah menyadari dirinya. Beliau merasa bukan
manusia yang mempunyai wahyu sebagai raja. Demikian pula, beliaupun sudah tua. Asal melihat
Singasari sudah berada di bawah pemerintahan seorang raja yang bijaksana, beliau sudah puas.
Gus Adipa ada mempunyai cita -cita yang lebih besar daripada hidup yang tenteram dan
tenang." "Yakinkah adipa Wiraraja akan kebenaran suratnya bahwa keadaan Singasari sedang kosong
dan yang ada hanyalah seekor harimau guguh yaitu empu Raganata ?" tanya Ardaraja pula.
"Beberapa waktu yang lalu," kata Wirondaya "gus Adipa telah mengutus hamba untuk
menyelidiki keadaan pura Singasari. Memang surat gus Adipa itu sesuai dengan laporan hamba.
Singasari saat ini memang kosong. Beribu-ribu prajurit telah dikirim ke tanah Malayu di bawah
pimpinan senopa Kebo Anabrang. Raden Wijaya, senopa yang diandalkan Singasari itu, saat
inipun masih berada di Sriwijaya. Tiap hari kerja baginda hanya bersenang-senang minum tuak dan
merangkai syair bersama pa h Aragani. Rakyat morat-marit
ada terurus. Judi dan tuak
membudaya di kalangan rakyat."
"Ya, benar, raden seddiripun tentu akan tahu sendiri hal itu apabila raden berada di pura
Singasari." Wirondaya menyusuli tambahan keterangan lagi,
"Tetapi Singasari masih mempunyai beberapa perwira muda lagi sak seper Nambi, Sora,
Lembu Peteng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan lain-lain," kata Ardaraja.
"Ah, mereka tak lain hanya anakbuah raden Wijaya. Baik kesak an maupun kepandaian
mengatur barisan, masih kalah jauh dengan raden Wijaya. Senopa -senopa Daha tak memerlukan
banyak tenaga untuk menumpas mereka."
"Tetapi apa sebab Adipa sedemikian ketakutan terhadap empu Raganata " Bukankah empu
sepuh itu sudah dipindahkan menjadi adhyaksa di Tumapel ?"
"Memang benar," jawab Wirondaya "tetapi empu tua itu mempunyai pengabdian yang luar
biasa besarnya kepada Singasari. Walaupun berada di Tumapel namun dia masih sering
berkunjung ke keraton Singasari dan menghadap baginda .... "
Berhen sejenak memulangkan napas, berkata pula Wirondaya "Empu tua itu tak jemu-jemu
menghaturkan buah pikiran dan memperingatkan baginda supaya memperha kan keadaan praja,
walaupun se ap kali menghadap baginda, dia harus menerima cemohan dan sindiran dari pa h
Aragani." Tiba-tiba wajah Ardaraja membesi.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 33 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Setelah mendengar pembicaraan Wirondaya, ada sesuatu yang terkilas dalam ingatan putera
mahkota dari kerajaan Daha itu.
"Wirondaya," ba- ba Ardaraja berseru bengis "pernahkah adipa Wiraraja mengirim
pengalasan yang membawa surat ke Daha "."
Wirondaya terbeliak "Sepanjang pengetahuan hamba, dak pernahlah gus Adipa mengirim
pengalasan kecuali baru hamba kali ini."
Kini Ardarajalah yang terkesiap. Selintas teringatlah ia akan peris wa dua orang Madura yang
mengaku sebagai utusan adipa Wiraraja ke Daha. Tetapi kedua pengatasan itu telah memberikan
surat adipa kepada seorang yang mengaku sebagai pangeran Ardaraja. Karena marah ia
membunuh kedua pengalasan itu.
Teringat pula betapa karena peris wa itu, ia telah mencurigai pa h Aragani sehingga hampir saja
terbit bentrokan. Kini ia telah mendapat gambaran jelas bahwa ada seseorang yang sengaja hendak
mengadu domba antara Daha dengan patih Aragani.
Pemikiran itu menimbulkan kesan bahwa, walaupun raden Wijaya sedang berada di tanah
Malayu tetapi di Singasari telah muncul seorang pembela Singasari yang cerdik, licin dan sakti.
Pangeran itu seorang yang banyak curiga, berhati bimbang, berpendirian tak menentu. Dia
putera raja Jayakatwang tetapi pun putera menantu baginda Kertanagara.
Dalam hal rencana ayahanda Jayakatwang untuk menyerang Singasari, sesungguhnya Ardaraja
masih bimbang. Ke arah manakah ia hendak bersandar "
Memang apabila menilik keadaan kerajaan Singasari yang ibarat istana di atas pasir, di luar
tampak megah raya tetapi di bawah atau di dalam kerajaan telah rapuh digerogo kutu-kutu,
keinginan ayahanda Jayakatwang itu tentu akan tercapai. Dan pangeran itu memang sedih dan
geram atas baginda Kertanagara yang sudah tak menghiraukan urusan negara karena terbius
sanjung pujian dan tuak oleh pa h Aragani. Keadaan itu harus diakhiri. Dan pengakhirannya ada
lain cara yang lebih baik kecuali harus dirobohkan.
Sungguhpun demikian, pangeran itu tak mau ber ndak ceroboh. Ia menghendaki perobahan itu
harus dilakukan dengan cara yang sempurna dan cepat. Jangan sampai menimbulkan banyak
korban terutama jiwa baginda Kertanagara yang betapa buruknya adalah ayah mentuanya.
Keterangan Wirondaya untuk meyakinkan isi surat adipa Wiraraja. memang sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di Singasari. Namun teringat akan kekuatan orang sak yang selama ini


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum diketahuinya pas , ia harus mengekang keinginan untuk cepat-cepat mempercayai
Wirondaya. "Wirondaya," seru Ardaraja "ayahanda baginda Jayakatwang berkenan sekali akan bantuan dan
anjuran adipa Wiraraja. Kamipun menyadari betapa pen ng dan gawatnya urusan ini. Oleh
karena itu, perlu kuperingatkan kepada adipa Wiraraja, bahwa hendaknya segala laporan itu
harus sungguh berdasar kenyataan dan maksud baik. Apabila kami dapatkan suatu celah keculasan
dalam maksud adipati itu, Sumenep pasti akan kujadikan karang-abang!."
Wirondaya tertawa menyambut "Apabila gus adipa mengandung maksud yang dak baik
terhadap sang prabu Daha, hamba Wirondaya bersedia mempersembahkan batang kepala hamba
ke hadapan raden." "Batara Agung yang menjadi saksi atas sumpahmu," seru Ardaraja "kelak tentu besar ganjaranmu
apabila engkau setya kepada kami."
Demikian pembicaraan itu selesai dan Wirondaya-pun dipersilakan menunggu di luar.
Raja Jayakatwang berpaling ke arah pa h Kebo Mundarang dan menanyakan pendapat pa h
Daha itu. "Moyang paduka, prabu Dandang Gendis binasa karena pemberontakan anak petani dari
Pangkur, anak ni Ndok. Itulah Ken Angrok raja Singasari yang pertama dan bergelar raja Rajasa.
Balatentara Kediri sirna seper gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta balatentara
Kediri musnah karena ndakan Ken Angrok itu. Dan Daha sejak itupun dijajah oleh Singasari," kata
patih Kebo Mundarang dengan berapi api.
Tampak raja Jayakatwang tertegun mendengar persembahan kata pa h Kebo Mundarang yang
membangkitkan lembaran hitam sejarah kerajaan Daha. Sepasang bola mata raja itu tampak
berkilat-kilat tajam. "Padukalah gus yang mempunyai kewajiban untuk membangun kerajaan Daha dan membalas
kekalahan moyang paduka rahyang ramuhun prabu Kertajaya," pa h Kebo Mundarang cepat
menambah minyak ke dalam api.
Kata-kata patih itu cepat termakan dalam hati Jayakatwang.
"Puteraku Ardaraja," seru raja Jayakatwang "adakah suatu keberatan yang engkau rasakan
apabila kita segera lancarkan serangan kepada Singasari"."
Ardaraja tertegun. Sejenak kemudian memberi jawaban "Tidak ada yang hamba kualirkan kecuali
hanya seorang." "Wijaya"."
"Benar, menurut laporan mata-mata yang hamba utus, Wijaya dan rombongannya sudah mulai
meninggalkan Sriwijaya."
"Hm," desuh raja Jayakatwang "adakah dia seorang mampu memberi pengaruh kepada semangat
bertempur pasukan Singasari"."
"Demikianlah letak kekua ran hamba," kata Ardaraja "dia bukan melainkan pandai mengatur
barisan dan sak mandraguna tetapi diapun memiliki perbawa sebagai seorang pemimpin yang
ditaati anak buahnya."
"Hm," Jayakatwang mendesuh. Kemudian bertanya pula kepada Mundarang "Kakang pa h,
bagaimanakah rencanamu untuk menyerang Sirgasari"."
Patih Mundarang sudah bersiap untuk pertanyaan itu "Menurut pendapat hamba,
penyerangan itu harus segera dilakukan secara serentak dan cepat. Pura Singasari sebagai
jantung kekuatan lawan harus kita duduki secepat mungkin. Kita serang pura itu dari empat
penjuru dengan kekuatan pasukan yang besar. Dengan demikian raden Wijaya tak sempat lagi
masuk ke dalam pura."
"Maksud kami begini," kata raja Jayakatwang "Ardaraja, puteraku, lekas engkau kembali ke
Singasari malam ini juga. Besok selambat lambatnya pada saat seper ini, engkau harus mengirim
pengatasan ke mari untuk memberi tahu tentang Wijaya. Adakah dia sudah ba di bandar Tuban
ataukah masih jauh."
Ardaraja memberi hormat lalu berangkat ke Singasari.
"Kakang pa h," berkata pula raja Jayakatwang "kurasa baiklah kita tunggu laporan puteraku
Ardaraja. Apabila Wijaya masih jauh, aku setuju akan rencanamu tadi. Tetapi bila Wijaya Sudah
hampir ba di Tuban, kurasa baiklah kita pecah pasukan Daha menjadi dua. Yang kesatu, untuk
memikat perha an Wijaya lalu melumpuhkannya. Pasukan kedua, langsung menyerang pura
Singasari." Patih Mundarang terkesiap. Diam-diam ia kagum akan buah pikiran sang akuwu Jayakatwang.
"Baik, gus ," katanya "tetapi hamba mohon maaf apabila hamba lancang hendak menghaturkan
pendapat kehadapan paduka."
"O, tentu saja aku gembira mendengar pendapatmu kakang pa h. Mengapa aku harus marah?"
kata Jayakatwang pula "katakanlah apa yang hendak engkau unjukkan. Kurasa pandanganmu itu
tentu akan berguna."
"Terima kasih, gusti," patih Mundarang berdatang lembah "tak lain yang hendak hamba haturkan
adalah mengenai raden Wijaya."
"O, bagus. Bagaimana dengan Wijaya"."
"Siasat yang paduka tahkan," kata pa h Mundarang "memang amat sempurna. Karena menurut
laporan dari para kadehan yang hamba tugaskan menyusup ke pura Singasari, memang hanya
raden Wijaya seorang yang benar-benar merupakan lawan yang patut hamba peihitungkan. Soal
patih Aragani, bukan menjadi persoalan lagi. Dan raja Kertanagara sudah dikuasai oleh patih itu."
"Ya, menurut Ardaraja memang demikian juga," ujar Jayakatwang "kepemimpinan dan
kewibawaan Wijaya dalam anak prajurit Singasari memang tampak menonjol sekali. Bukankah
begitu, Ardaraja"."
"Keluhuran sabda paduka, gus " cepat raden Ardaraja menjawab "dia mempunyai banyak
kadehan yang setya dan gagah pula."
"Menurut pendapat hamba, raden Wijayalah sesungguhnya lawan kita. Oleh karena itu dia harus
dihancurkan sebelum ba di Singasari. Apabila dia sampai dapat bergabung dengan para kadehan
dan induk pasukan yang menjaga Singasari, kekuatan mereka tentu lebih besar, gusti."
Jayakatwang mengangguk "Bagus, ki patih. Aku setuju. Bagaimana persiapan-persiapan
kearah itu, kuserahkan kepadamu untuk melaksanakannya."
Pa h Mundarang menghaturkan terima kasih. Dan sidang darurat dalam balairung keraton
Dahapun usai. Wirondaya diperintahkan pulang ke Madura lagi.
*** Apabila dak mendengar suara orang berbicara, pas lah orang menganggap bahwa gunduk-
gunduk hitam yang berderet di tepi sepanjang jalan di malam gelap itu, batu-batu karang dari
aluran urat kaki sebuah pegunungan.
"Sedayu, apakah engkau yakin bahwa Ardaraja akan mengirim orang ke Daha pada malam ini ?"
kedengaran suara orang itu berkata. Nadanya besar seperti yang dimiliki kaum lelaki.
"Sudah tentu aku sangat berha -ha untuk melakukan tugas yang kakang berikan itu," jawab
sebuah suara yang bernada seorang wanita muda " dak pernah aku lowong untuk mengama
gerak-gerik Ardaraja. Bagaimana dua hari yang lalu dia pulang ke Daha lalu kemarin kembali ke
Singasari pula dan malam ini akan mengirim seorang pengatasan ke Daha, tak mungkin lepas dari
pengawasanku, kakang."
"Bagus, Sedayu," seru orang yang bertanya "memang berat nian tugas perjuangan itu. Kalau
kupikir".." "Kakang Ludira," seru anak perempuan yang disebut Sedayu "mengapa tak engkau lanjutkan
kata-katamu " Apakah yang engkau pikir"."
Memang yang tengah tercakap cakap di balik gunduk batu karang itu adalah Jaka Ludira dan
Sedayu. "Kupikir aku merasa kasihan, Sedayu."
"Mengapa ?" tanya Sedayu.
"Engkau puteri paman tumenggung Wirakre . Selayaknya engkau berada dalam gedung
tumenggungan di hadap dan dilayani oleh para hamba lahaya. Tidak selayaknya pada malam begini
engkau duduk membungkuk pada punggung batu padas yang kotor."
"Kakang Ludira," tukas Sedayu "mengapa engkau mengucapkan kata-kata begitu " Adakah engkau
bermaksud hendak menghina kaum wanita"."
Ludira gelagapan "Tidak, Sedayu, aku dak bermaksud menghina engkau. Bahkan aku merasa
kasihan dan menyayangkan."
"Kasihan yang dak pada tempatnya. Menyayangkan dak tepat arahnya," sambut Sedayu
"kutahu kakang bahwa perasaanmu itu masih dilipu oleh pandangan dan anggapan yang
meremehkan kau wanita itu sebagai kaum yang lemah."
Jaka Ludira terbeliak. "Bukankah engkau hendak maksudkan bahwa kaum wanita itu lebih layak bertempat di dapur
daripada di medan perjuangan " Lebih tepat berhias bedak pupur daripada bermain pedang "
Lebih sesuai mencincang daging gulai daripada membunuh musuh "."
"Ah, Sedayu, engkau salah fuham!."
"Tidakkah kakang pernah mendengar cerita pewayangan bahwa wara Srikandi, puteri raja
Cempala yang diperisteri raden Janaka itu, juga seorang prajurit wanita yang ditakuti musuh "."
"Sedayu, maksudku hanya ..."
"Sedayu, puteri Singasari yang merasa berhutang jiwa dan hidup pada bumi Singasari. Tanah
Singasari-lah yang telah membesarkan Sedayu. Air Singasari yang telah menjadi darah dalam
tubuhku dan padi di tegal bumi inilah yang menjadi daging tubuhku. Tidakkah layak kalau Sedayu
harus membalas budi kepada ibu Pertiwi bumi Singasari ini?"."
"Sedayu ..." "Ibu Per wi dak hanya berputera cuman lelaki seper Jaka Ludira saja tetapipun berputeri
insan-insan wanita seper Sedayu. Tidakkah putera dan puteri sama hak dan kewajibannya
terhadap ibu"."
Melengking-lengking mulut dara ayu itu melantangkan semangatnya yang berjiwa prajurit.
"Maa an aku, Sedayu, sekira perkataanku tadi menyinggung perasaan ha mu. Tetapi sekali kali
aku tak bermaksud begitu," kata Jaka Ludira.
"Lalu apa maksud kakang "."
"Kumaksudkan," agak menenung sejenak Jaka Ludira "untuk meringkus pengalasan yang dikirim
Ardaraja itu, tak perlu engkau turun tangan. Cukup serahkan saja kepadaku."
"Kakang Ludira, mengapa engkau jilat pula ludah yang sudah engkau hamburkan ke tanah ?"
tegur Sedayu. "Apa maksudmu" "Jaka Ludira terkesiap.
"Kakang telah menugaskan aku untuk memata-matai gerak gerik raden Ardaraja. Pengiriman
pengalasan itu berar masih dalam lingkungan tugas yang kulakukan. Mengapa kakang hendak
menarik kembali " Bukankah aku yang wajib menyelesaikan orang itu "."
Jaka Ludira menghela napas. Ditatapnya wajah dara itu. Ayu dan tegas, penuh pengabdian.
Saat itu Sedayupun mengangkat muka dan memandang. Sepasang mata beradu pandang.
Bagaikan dua bilah pedang yang saling beradu, seke ka menghamburlah percikan api dan dering
yang nyaring, beralun dan membahana dalam lubuk kalbu mereka.
Rara Sedayu tersipu-sipu menundukkan kepala. Namun adu pandang mata itu sudah
berbicara banyak. Jaka Ladira terlongong longong seperti merasakan sesuatu yang belum pernah dialaminya
seumur hidup. Ia tak tahu apakah perasaan itu. Namun ia merasa bahagia.
Tiba-tiba kesunyian malam terpecah oleh suara derap kaki kuda mencongklang di kegelapan
jalan. Dan cepat sekali sudah tampak dari tempat persembunyian Jaka Ludira dan Sedayu.
"Sedayu, engkau menyelesaikan penunggang kuda bulu merah dan aku yang bulu hitam," bisik
Ludira. "Tidak usah," di luar dugaan, Sedayu menolak "ini tugasku dan kewajibanku. Apabila aku tak
kuasa melakukan barulah kakang turun tangan."
"Ah, Sedayu .... " keluh pemuda itu. Diam-diam ia menyesal karena telah kelepasan kata sehingga
membangkitkan hati dara itu mendidih.
Kedua penunggang kuda itupun makin dekat.
"Sedayu jangan engkau menurutkan kepanasan ha mu. Kutahu engkau tentu penasaran atas
kata-kataku tadi. Tetapi janganlah engkau pikirkan dalam ha . Dan yang kita hadapi ini tugas
penting, kalau .." Tiba- ba tubuh dara itu merangkak maju ke gunduk karang yang dekat dengan tepi jalan. Ludira
cemas dan hendak menyusul. Tetapi pada saat itu kedua penunggang kudapun sudah lalu di dekat
tempat Sedayu. Terpaksa Ludira hentikan gerakannya karena kuatir diketahui musuh.
Singngng .... Terdengar desir suara yang halus dari sebuah lingkaran tali yang melayang. Apabila tak
memperha kan tentu orang takkan tahu layang tali yang berwarna hitam dan kecil. Apalagi malam
gelap. "Huh, apakah ini ..... " ba- ba salah seorang penunggang kuda berteriak karena menyangka
lehernya telah dililit oleh sebuah benda kecil panjang. Dalam persangkaannya tentulah binatang
ular. Tetapi sebelum orang itu sempat melanjutkan kata-katanya, ia menjerit kejut ke ka lehernya
mengencang keras dan tubuhnya tertarik ke belakang, bum, bum ....
Bagaikan batang pisang ditebang, kedua penunggang kuda itupun terpelan ng jatuh dari kuda.
Sebelum mereka sempat tahu apa yang terjadi, kepalanya telah dihunjam dengan tongkat, prak,
prak ....... ' "Beres," seru Sedayu seraya menarik napas longgar. Tangan kiri dara itu masih memegang seutas
tali hitam sedang tangan kanannya menggenggam tongkat pandak.
"Bagus, Sedayu," Jaka Ludira cepat loncat menghampiri dan terus berjongkok untuk meneli isi
baju kedua orang itu. "Aneh," gumamnya.
"Mengapa ?" tanya Sedayu.
"Mereka dak membawa surat," jawab Ludira "apakah mereka bukan pengatasan yang dikirim
Ardaraja"." Sedayu terkejut "Tetapi kakang, jelas kudengar bahwa Ardaraja hendak mengirim pengalasan ke
Daha. Mengapa dia tidak menyertakan surat kepada orang pengatasannya"."
Jaka Ludira tahu bahwa Sedayu itu seorang dara yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu ia
mempercayakan tugas memata-matai Ardaraja kepada dara itu. Dan ia percaya dara itu tak
mungkin khilaf. "Bagaimana kakang Ludira" " Sedayu mulai meragu.
"Baik kita ikat kedua orang ini dan membawanya ke dalam hutan. Usahakan supaya mereka
sadar agar dapat kita tanya," kata Ludira.
Setelah diletakkan di atas rumput yang membelukar di hutan, Ludira menolong kedua orang itu
supaya sadar. "Hai, siapa engkau .... " kedua pengalasan itu tersentak, berteriak dan hendak melonjak bangun
ketika menghadapi dua orang yang mukanya berselubung kain hitam.
Tetapi kedua penunggang kuda itu harus meringis kesakitan karena tubuh terban ng pula ke
tanah, akibat kaki dan tangan mereka terikat tali.
"Kalau ingin bangun, silakan mencobanya," kata Ludira.
"Siapa engkau!" bentak salah seorang yang berkumis.
"Serahkan uangmu atau jiwamu." Ludira balas menghardik seraya mengacungkan belati.
"O, engkau penyamun?" kata penunggang kuda itu "sayang aku tak membawa bekal apa-apa."
"Kalau begitu, berikan nyawamu," Ludira terus melekatkan ujung belati ke kerongkongan orang.
Orang itu pucat "Nanti dulu," serunya gopoh "apa kepentinganmu membunuh aku"."
"Karena engkau tak punya harta."
"Memang aku tak membekal apa-apa. Kami hendak pulang ke Daha, Tolong lepaskan saja kami
berdua ini." "Tidak." "Mengapa " Andai aku membawa uang tentu dengan senang hati akan kuberikan kepadamu."
"Itulah," kata Ludira "engkau telah mengecewakan harapan dan tenagaku untuk mencari na ah.
Untuk pelipur kecewa, kepalamu akan kuambil ......."
"Jangan ki sanak, jangan," orang itupun merin h minta hidup "kalau engkau ingin pakaian atau
apa saja yang ada padaku, ambillah asal jangan nyawaku."
"Milikmu yang berharga hanya kuda ..."
"Jangan ki sanak " kembali orang itu meratap "apa saja engkau boleh ambil kecuali nyawa dan
kudaku itu." "Aneh," gumam Ludira "kita ini bukan jual beli. Dan akulah yang menentukan keputusan."
Habis berkata Ludira terus berbangkit dan menghampiri ke tempat kuda.
"Tunggu ki sanak bergegas-gegas orang itu berseru.
"Mengapa " " Ludira hentikan langkah berpaling.
"Mari kita bersama ke Daha. Di sana aku dapat memberimu uang yang engkau kehendaki."
Ludira tertawa ejek "Aku bukan anak kecil. Di sana engkau tentu akan menyerahkan aku
kepada petugas keamanan " Ludira terus lanjutkan langkah.
"Ki sanak," teriak orang itu makin gopoh "aku takkan mencelakai engkau. Antarkanlah kami ke
Daha nanti akan kuhadiahi engkau sejumlah uang."
"Siapa engkau " Apakah engkau orang kaya atau orang berpangkat ?" tegur Ludira.
"Percayalah, ki sanak," kata orang itu "aku pasti takkan mengecewakan harapanmu."
Ludira tertawa "Kenalpun dak, bagaimana engkau memaksa aku harus mempercayai
omonganmu "." Kedua orang itu saling bertukar pandang. Yang seorang gelengkan kepala. Tetapi ba- ba
mereka terkejut ketika melihat Ludira lanjutkan langkah pula.
"Tunggu ki sanak," teriak orang yang memelihara kumis. Kemudian berpaling kepada
kawannya dan menggumam "apa boleh buat ..."
"Jika engkau mengoceh tak keruan, akan kupotong lidahmu," bentak Ludira.
"Ki sanak, dengarkanlah," kata orang itu "kami orang pengalasan Singasari yang hendak
menghadap baginda Jayakatwang di Daha ..."
"O" desuh Ludira dengan sikap agak terkejut.
"Jika engkau membunuh kami atau melarikan kuda kami, tentu keselamatan jiwamu terancam.
Apabila gus kami mengetahui, engkau tentu dibunuh. Tapi apabila engkau mau mengantar kami
ke Daha, tentu akan kami mohonkan hadiah kepada baginda Daha."
"O," Ludira mengangguk-angguk. Tampaknya ia terkesan tetapi ba- ba ia berseru keras " dak,
jangan coba membohongi aku!."
"Sekali-kali tidak, ki sanak."
"Ketahuilah," kata Ladira bengis "aku dan kawanku itu, kawula Singasari yang sakit ha kepada
baginda Kertanagara maka aku segera masuk ke hutan menjadi penyamun. Aku memang lebih
senang bernaung pada Daha."
"Bagus, kawan," seru orang itu gembira "apabila engkau membantu kami, akan kuusulkan kepada
gusti kami ajar engkau kelak diterima menjadi orangnya."
"Tetapi jangan tertawa dulu, kawan," kata Ludira " dak semudah itu aku segera menumpahkan
kepercayaanku selama engkau tidak memberi keterangan yang meyakinkan."
"Ah " desah orang itu "apa maksudmu "."
"Engkau harus memberi keterangan yang jujur, siapakah gus yang mengutusmu ke Daha. Dan
apakah maksud tujuan perutusan itu " Apabila se


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

k saja terdapat kelemahan pada keterangmu
itu, aku segera tak mengacuhkan kalian lagi."
Kedua orang itupun bertukar pandang pula. Tugas yang mereka lakukan membutuhkan
penyelesaian segera. Dan berkesanlah kedua orang itu akan keterangan Ludira tadi. Serentak
mbul suatu harapan untuk mempengaruhi pikiran Ludira. Dan jalan satu-satunya hanyalah
memberitahu kepada Ludira, apa yang ditanyakannya itu.
"Adakah setelah kuterangkan sejujurnya, engkau bersedia ikut pada kami ?" masih orang itu
bertanya dalam keraguan. "Pasti," sahut Ludira tegas.
"Gustiku adalah pangeran Ardaraja ..."
"O, putera mahkota Daha?" teriak Ludira dengan nada gembira sehingga menimbulkan kesan
kalau dia menyukainya. Diam-diam orang itupun gembira "Ya, raden Ardaraja" katanya "raden telah mengutus kami
berdua untuk menghadap baginda Jayakatwang."
Tiba- ba Ludira kerutkan dahi "Ah, jangan main-main, ki sanak. Mengapa engkau tak membawa
surat dari raden Ardaraja "."
Orang itu tertawa. "Engkau tentu maklum" katanya "bahwa saat ini suasana pura Singasari sedang diliputi
kemelut ketegangan. Tugas yang diberikan pangeran Ardaraja kepadaku sangat rahasia sekali.
Bila aku sampai tertangkap oleh mata-mata fihak lawan, bukankah akan mencelakakan
pangeran Ardaraja "."
"Tidak," bantah Ludira "bagaimana mungkin raja Jayakatwang percaya kepadamu "."
"Sudah tentu baginda akan percaya."
"Apa alasannya "."
"Karena apa yang akan kuhaturkan itu sesuai dengan janji yang telah di tahkan baginda kepada
puteranda pangeran Ardaraja."
"Bagaimana janji itu " " desak Ludira yang diam-diam terkejut dalam hati.
"Pangeran akan menghaturkan laporan kepada raja Jayakatwang tentang keadaan pura Singasari
saat ini, agar Daha ......."
"Eh, mengapa engkau berhen " " cepat Ludira mendesak pula kala orang itu hen kan kata
katanya "agar raja Daha bagaimana "."
Sejenak orang itu tersipu-sipu. Rupanya la merasa telah kelepasan bicara. Ia memandang
kawannya dan kawannya itupun tertegun.
"Ki sanak, maaf, janganlah engkau keliwat mendesak. Pokok, percayalah bahwa akan segera
terjadi suatu perobahan yang akan memenuhi keinginanmu. Bukankah engkau berfihak kepada
Daha "." "Tentu," sahut Ludira "tetapi karena engkau tak percaya kepadaku, akupun tak dapat
mempercayai engkau juga. Nah, lebih baik aku pulang saja."
"Tunggu," teriak orang itu gugup ke ka melihat Ludra hendak nggalkan mereka "ah, mengapa
engkau begitu ingin sekali mengetahui persoalan yang sedang kulakukan ini "."
"Tadi engkau mengatakan bahwa suasana negara Singasari saat ini ibarat api dalam sekam," kata
Ludira "dalam suasana sedemikian itu banyak sekali cumi cumi berkeliaran, ibarat ap pohon dan
ap benda yang kita hadapi, selalu akan menangkap pembicaraan kita. Dan kitapun dak boleh
mudah mempercayai orang."
"Hm." "Tetapi aku telah menyatakan pendirianku akan setya kepada Daha. Sebenarnya hal ini sudah
suatu kesalahanku. Oleh karena itu, aku hendak memutuskan begini. Apabila engkau percaya
kepadaku dan yakin bahwa engkau ini benar benar utusan raden Ardaraja, aku pas akan
membantumu. Tetapi kalau engkau tak percaya kepadaku, bagaimana aku harus percaya
kepadamu. Untuk membuk kan kebenaran dari dirimu sebagai utusan pangeran Ardaraja, aku
harus tahu jelas semua persoalannya. Apabila engkau tak mau menerangkan sejelas-jelasnya,
berarti engkau tak percaya kepadaku. Lalu perlu apa aku membantumu "."
Orang itu mengeluh dalam ha . Namun karena sudah terlanjur melangkah jauh, terpaksa ia
menerangkan juga walaupun dengan rasa yang berat hati.
"Agar raja Daha dapat menitahkan keputusan untuk menyerang Singasari ..."
"O, hebat," seru Ludira "Daha segera akan menyerang Singasari " O, Dewa Agung, semoga
hal itu lekas terjadi agar cita-citaku segera terlaksana. Bilakah raden Ardaraja memberi ancar-
ancar penyerangan itu kepada ayahandanya"."
"Menurut laporan dalam dua hari lagi rombongan raden Wijaya segera akan ba di bandar
Tuban. Oleh karena itu Daha harus lekas ber ndak menyerang Singasari untuk mendahului
kedatangan raden Wijaya."
"Oh," kembali Ludira mendesuh kejut " jika begitu, besok tentara Daha harus sudah menyerang
Singasari ! Bagus, makin lekas makin baik !."
Mendengar sikap dan nada Ludira, kedua orang pengalasan itu tampak gembira "Ki sanak, lekas
buka ikatanku agar jangan sampai terlambat menghadap raja Jayakatwang."
"Baik," sahut Ludira lalu berseru kepada Sedayu "Sedayu, lekas bantu membuka tali ikatan
kakang itu." Ludira dan Sedayu lalu menghampiri kedua orang itu dan mengisar ke belakang mereka untuk
membuka tali Sedayu terkejut karena perintah Ludira tadi tapi dia seorang dara yang cerdik. Pada
waktu berada di belakang orang itu, cepat ia berpaling memandang Ludira. Ludira memberi
anggukan kepala. "Aduh .... aduh .... " terdengar kedua pengalasan itu mengaduh kesakitan dan terus pingsan
karena tengkuk mereka ditebas sekeras-kerasnya oleh Ludira dan Sedayu.
"Jangan Sedayu," teriak Ludira ketika Sedayu hendak menahas kepala pengalasan itu.
"Mengapa engkau melarang" " tanya Sedayu, "bukankah lebih baik mereka dilenyapkan "."
"Tidak perlu," jawab Ludira "cukup dimasukkan dalam gua."
"Tapi kakang," bantah Sedayu "ini urusan negara, tak perlu kita memberi ampun kepada musuh."
"Benar," jawab Ludira "tetapi kedua orang ini hanya pengatasan. Yang perlu kita berantas adalah
biangkeladlnya, Ardaraja dan Jayakatwang."
"Lalu akan kita mengapakan orang ini "."
"Taruh dalam sebuah guha yang tersembunyi, karena kaki dan tangan mereka diikat, tak
mungkin mereka dapat lolos. Kita sediakan minum didekatnya. Mereka takkan mati karena tak
makan selama empat lima hari. Dua hari kemudian keadaan sudah tidak berbahaya karena
kakang Wijaya sudah tiba."
Sedayu menurut. "Bagaimana rencana kita sekarang kakang ?" tanya dara itu setelah selesai menempatkan kedua
pengalasan di sebuah guha.
"Engkau kembali ke pura dan lanjutkan tugasmu untuk memata-matai Ardaraja," kata Ludira.
"Dan engkau ?" tanya Sedayu..
"Aku akan menghadap Jayakatwang ke Daha sebagai pengalasan Ardaraja. Akan kusampaikan
laporan kepada raja Daha itu bahwa penyerangan sebaiknya dilakukan ga hari lagi. Dua hari
kemudian kakang Wijaya sudah pulang. Dengan begitu kita sudah dapat menyusun pertahanan."
"Apakah tidak berbahaya" Bagaimana kalau raja Daha tak percaya "."
"Jangan kua r, Sedayu. Akan kutumpahkan seluruh kepandaian bicaraku untuk menarik
kepercayaan raja Daha."
"Kalau gagal "."
"Sedayu, tugas menanti. Mari kita segera berangkat."
Sedayu mengangguk penuh arti.
*** Surya pagi itu tampak lebih cemerlang, lebih panas. Namun hal itu dak dihiraukan oleh rakyat
Singasari yang saat itu tengah dilanda oleh berita yang menggemparkan. Berita tentang kembalinya
raden Wijaya dari tanah Malayu.
Kumandang berita itu bagai sangsakala yang meraung-raung, membahana cakrawala Singasari.
Seluruh rakyat, tua muda, besar kecil, wanita maupun lelaki, terpesona mendengar berita itu.
Rumah rumah, jalanan-jalanan, pekan bahkan gelanggang adu ayam yang pada waktu akhir ini
menjadi pusat keramaian rakyat mengadu untung, hari itu tampak sepi. Tiada lain bahan
pembicaraan kecuali pulangnya raden Wijaya itu.
Se ap hal, tentu menimbulkan dua macam pengaruh atau penilaian. Bagi kaum botoh atau
penjudi, kaum pemabuk, kaum yang gemar wanita, kaum jagoan yang suka menindas yang lemah
dan kaum penjahat serta terlebih pula musuh-musuh dalam selimut yang hendak menggerogo
kerajaan Singasari, menyambut berita itu dengan deadam dan kecemasan.
Sedangkan rakyat yang mencemaskan keadaan Singasari sejak kepergian raden Wijaya ke tanah
Malayu, menyambut berita itu dengan gembira, lega. Mereka menaruh harapan penuh bahwa
ksatrya itulah yang akan sanggup untuk mengatasi kekacauan akhlak, keamanan dan kehidupan
yang makin merosot. Dan kesibukan-kesibukan pun tampak di kalangan narapraja kerajaan. Walaupun kesibukan itu
tak lepas dari dua jenis warna. Mereka yang menginginkan kehancuran Singasari dan mereka yang
setya pada Singasari. Tetapi dak demikian suasana dalam keraton Singasari sendiri. Karena ke ka empu tua
Raganata, bergegas berangkat dari Tumapel untuk menghadap baginda, tampak baginda sedang
duduk dihadap patih Aragani.
Tampaknya raja dan patih itu sedang dalam suasana santai..
"Hai, mengapa bergegas benar tampaknya paman menghadap kepada kami. Apakah gerangan
yang hendak paman persembahkan ?" tegur baginda Kertanagara.
"Ampun, gus , hamba hendak mempersembahkan sebuah berita gembira ke hadapan paduka,"
kata empu Raganata. "O, berita gembira ?" ulang baginda "apakah itu "."
"Raden Wijaya, putera paduka, telah tiba di Tuban."
"Bagus," seru baginda tertawa gembira "bukankah dia berhasil melaksanakan titah kami "."
"Binar gus ," sembah empu Raganata "raden Wijaya pulang dengan membawa dua orang puteri
jelita dari kerajaan Sriwijaya."
"Hai, benarkah itu ?" seru baginda.
"Dhirgahayu Seri Lokawijaya, Sri Jnana Bajres-wara yang menyinarkan restu ke seluruh
nuswantara!" tiba-tiba patih Aragani berseru lantang.
Baginda kisarkan pandang mata ke arah patih itu.
"Telah menjadi keyakinan hamba, bahwa pengiriman arca Amoghapasa dan peminangan atas
puteri tanah Malayu itu pas akan berhasil. Karena tuanku adalah Jina, Seri Lokawijaya yang
berkemenangan," seru patih Aragani.
Baginda Kertanagara bergelak tawa "Untunglah aku menerima persembahan usulmu. Bila
mendengarkan kata-kata paman Raganata, tiadalah akan tiba hari segemilang ini."
"Ah," Aragani pura -pura menghela napas "mungkin karena empu Raganata sudah diusia-usia
lanjut atau mungkin bahwa empu Raganata masih belum yakin akan kebesaran paduka gusti."
"Ho, jika demikian," kata baginda "patutlah paman Raganata kuberi kitab Rajapa Gundala
ciptaanku yang menguraikan secara luas ilmu pengetahuan tentang falsafah dan tata susunan
agama Syiwa-Buddha. Agar pikiran dan pandangan paman Raganata daklah sepicik ..... sepicik
apa, Aragani"."
"Katak dalam tempurung, gusti," sahut Aragani.
"Ha..ha," baginda tertawa "benar, benar. Katak dalam tempurung tentu mengira bahwa dunia
ini hanyalah seluas tempurung. Demikian pula dengan pikiran paman Raganata, agar jangan
menganggap bahwa dunia ini hanyalah Singasari. Karena tujuanku, kerajaan Singasari itu harus
mencakup seluruh nuswantara dengan Singasari sebagai pusat pemerintahannya."
Dengan menahan debur warna merah pada muka akibat gejolak rasa malu menerima ejekan itu,
empu Raganata menerima kitab Rajapati Gundala seraya menghaturkan terima kasih.
"Dua orang puteri raja Sriwijaya kata paman?" tegur baginda pula.
Empu Raganata mengiakan. "Cantikkah puteri itu" Mana yang lebih cantik di antara keduanya "."
"Hamba dengar puteri itu merupakan Sekar kedaton Darmasraya yang ada tolok bandingannya.
Namanya puteri Candra Wulan."
"Candra Wulan " Ah, baiklah kami beri nama Dara petak," kata baginda "segera tahkan Wijaya
menghaturkan puteri itu ke hadapan kami."
"Baik, gusti," empu Raganata memberi sembah lalu hendak mengundurkan diri.
"Tunggu, paman," ba- ba baginda berseru beberapa narapraja telah menghaturkan laporan
bahwa pada waktu akhir-akhir ini pura Singasari sering mbul kekacauan dan kerusuhan. Judi dan
tuak menjadi sumber perkelahian dan pembunuhan. Benarkah itu, paman"."
Raganata terkejut. Namun diam-diam ia girang. Bahwa betapapun pa h Aragani hendak
menyelimuti, akhirnya sampai juga laporan-laporan itu kjpada baginda.
"Ampun, gus ," kata empu tua itu "memang suasana pura Singasari sejak kepergian raden
Wijaya, makin hari makin rusuh. Prajurit kehilangan bhak kewajibannya, rakyat kehilangan
pegangan ..." Baginda kerutkan dahi "Aneh, bukankah paman kuangkat sebagai Adhyaksa yang berwewenang
untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melanggar hukum"."
"Tetapi gus ," kata empu Raganata "prajurit-prajurit penjaga keamanan pura hanya tunduk pada
perintah Kuda Panglulut. Sedangkan hamba sebagai adhyaksa, ada mempunyai tenaga-tenaga
untuk melaksanakan keputusan hamba. Hamba tiada berdaya mengatasi."
"Siapakah Kuda Panglulut itu " " tanya baginda.
"Menantu ki patih Aragani."
"O," bagipda beralih pandang kepada Aragani "benarkah, Aragani "."
"Benar, gus ," sembah Aragani "anak menantu hamba itu memang giat sekali untuk menjaga
keamanan pura. Sampai-sampai jauh malam baru dia pulang. Dan nyatanya rakyat memang lebih
tunduk kepadanya daripada kepada empu Raganata. Bahkan menantu hamba marah apabila
rakyat memberi gelar Harimau ompong kepada empu Raganata..."
"Ha, ha, ha," baginda tertawa gelak-gelak "harimau ompong" Wahai, tepat benar gelar itu untuk
paman Raganata yang sudah tua dan merasa tak berdaya mengatasi kerusuhan..."
Empu Raganata tenang-tenang mendengarkan cemohan itu. Ia sudah terlalu kenyang akan ejek
cemooh yang dilontarkan pa h atau yang dibuat oleh pa h itu agar diucapkan baginda. Sejak ia
dilorot menjadi adhyakia Tumapel memang ia harus menebalkan kulit mema kan perasaan.
Namun hal itu daklah mengurangkan semangat dan jiwa pengabdiannya kepada negara Singasari
yang ia cintai. "Paman Raganata," seru baginda pula "hendaknya paman berterima kasih kepada Kuda Panglulut
menantu patih Aragani yang banyak membela dan membantu pekerjaan paman."
"Baik, gus ," sahut empu tua Raganata. Kemudian mengulangi pula permohonannya untuk
mengundurkan diri dari keraton.
Pada saat melangkah ke luar, masih terdengar pa h Aragani berkata kepada baginda 'ah kasihan
empu tua itu, benar-benar seperti harimau ompong'. Dan bagindapun tertawa gelak-gelak.
"Ah, sial," gumam baginda seraya mengambil daun lontar yang terletak di sisinya "bait terakhir
dari syair pengagung kebesaran Batara Wisnu yang sudah terlintas dalam angan-anganku tadi,
lenyap lagi karena kedatangan empu Raganata ..."
Pa h Aragani tertawa "Tuak, gus , akan melayangkan renungan paduka ke angkasa nggi tempat
segala sumber ilham."
"Bagus, Aragani," seru baginda seraya menyambar piala di hadapannya. Melihat itu Aragani
bergegas-gegas menuangkan tuak yang harum baunya ....
Baru baginda Kertanagara mengangkat piala itu, ba- ba ia terkejut mendengar derap langkah
orang dan .... "Hai, empu Raganata, mengapa engkau menghadap lagi ?" tegur baginda dalam nada agak
mengkal. "Ampun gus ," sembah Raganata "hamba hendak mempersembahkan sebuah berita yang
penting. Musuh telah menyerang telatah Singasari !."
"Musuh," sejenak baginda terkesiap lalu tertawa "ah, mungkin engkau bermimpi paman " Musuh
dari mana " " >
"Benar, gus ," kata empu Raganata dengan nada bersungguh "musuh dari Daha. Pasukan Daha
tiba-tiba menyerang telatah perbatasan Singasari."
"Bohong !" baginda memekik keras-keras "pasukan Daha" Bukankah pasukan Daha itu di bawah
pimpinan akuwu Jayakatwang " Bagaimana mungkin dia menyerang Singasari "."
"Hamba dapat menghadapkan saksi, gusti," jawab Raganata.
"Siapa "."
"Lurah desa Sideman."
"Titahkan dia masuk," seru baginda seketika.
"Hai, lurah Sideman," tegur baginda ketika lurah itu dibawa menghadap "apa laporanmu "."
Lurah dari desa Sideman itu serta merta menghunjuk sembah "Baginda junjungan seluruh kawula
Singasari," katanya "kemarin desa kami telah menderita sambaran 'haliliatar di tengah hari'. Tanpa
diketahui, ba- ba datanglah balatentara Daha menyerang desa kami, merusak perumahan dan
menganiaya rakyat yang tak mau menyerah."
"Lurah ! " bentak baginda serentak "siapakah yang engkau hadap saat ini!."
"Paduka yang mulia, sang prabu Kertanagara yang menguasai seluruh jaga dibumi Singasari,"
sembah lurah itu agak menggigil.
"Hm, kiranya engkau sudah tahu," gumam baginda "mengapa engkau berani menghaturkan
laporan palsu "."
"Gus ," dengan nada gemetar lurah desa itu menghaturkan sembah pula "memang benar
balatentara Daha telah menyerang desa Sideman yang menjadi perbatasan Daha dengan Singasari.
Apabila laporan hamba ini salah, hamba mohon dihukum penggal kepala."
Masih baginda tak percaya "Mungkin engkau salah lihat, lurah. Gerombolan penyamun engkau
sangka tentara Daha."
"Mohon gus menitahkan prajurit untuk meneli laporan hamba," kata lurah desa Sideman
"apabila hamba memang tak mampu membedakan mana gerombolan penyamun mana prajurit
Daha, hamba bersedia dipancung kepala hamba."
Baginda menguarkan pandang ke arah patih Aragani "Apa kata paman Aragani "."
Diam-diam Aragani memang terkejut dalam ha . Yang diharap dari Sriwijaya tak kunjung ba,
mengapa yang muncul serangan dari Daha.
Cepat pula Aragani menyelami lubuk renungannya. Bahwa sejak beberapa waktu, pernah ia
menerima laporan dari menantunya, Kuda Panglulut, tentang gerak gerik Daha yang mencurigakan.
Terutama raden Ardaraja sering mondar mandir pulang ke Daha.
Pedang Asmara 7 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Pahlawan Dan Kaisar 18
^