Pencarian

Dendam Empu Bharada 39

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 39


Agak terkejut Wijaya menerima pertanyaan itu. Namun cepat ia dapat menanggapi bahwa Ludira
tentu menyangsikan kesetyaan Ardaraja kepada Singasari.
"Dia telah dititahkan baginda untuk menghadapi serangan Daha di desa Sideman," kata Wijaya.
"Tepat," seru Ludira "memang akupun telah membayangkan hal semacam itu. Daha akan
mengadakan siasat menyerang dari beberapa tempat sehingga kekuatan Singasari terpecah belah."
"Siapakah yang memimpin pasukan Daha di Sideman itu ?" Ludira melanjut dengan pertanyaan.
"Lembu Amiluhung, menantu akuwu Daha."
"Hai," Ludira menjerit "mengapa Ardaraja yang dititahkan ke sana "."
"Titah baginda, tiada yang berani membantah," sahut Wijaya.
Ludira menghela napas "Ah, baginda terlalu percaya pada orang. Beliau mengira bahwa mentri-
mentri dan senopati tentu setya kepadanya."
"Maksud adi hendak mengatakan bahwa Ardaraja akan ....."
"Di kala hari petang, ke mana pula kerbau akan pergi kalau dak pulang ke kandangnya ?" cepat
Ludira menukas kata-kata Wijaya "pada waktu Singasari terancam bahaya, dia tentu berbalik
kembali kepada ayahnya."
Wijaya merenung beberapa saat.
"Baiklah, adi," katanya sesaat kemudian "perang memang suatu malapetaka. Tetapi malapetaka
itu kadang unsur kebaikan. Di situ akan terjadi penyaringan. Yang suci ba n, selamat. Yang jahat,
tumpas. Dan di situlah akan tampak sifat-sifat aseli dari manusia. Yang penakut, yang licik, yang
memen ngkan diri sendiri, yang perwira, yang bertanggung jawab dan yang ikhlas. Peperangan
Daha - Singasari ini, akan menampakkan sifat dari mereka-mereka yang culas hianat dan yang bak
setya kepada negara."
"Semasa kecil, eyang pernah menceritakan kepadaku tentang perang Baratayuda, perang saudara
antara kaum Pandawa dan Korawa," kata Ludira "hakekat dari perang itu, menurut kata eyang,
memang untuk membersihkan yang berha jahat dan angkara. Sekarang kakangpun mengulaskan
perang yang akan terjadi antara Daha dan Singasari, sedemikian halnya."
Wijaya mengangguk. "Yang jelas, patih Araganilah yang menjadi biangkeladi dari peperangan ini, adi," katanya pula.
"Tetapi dia tak mempunyai hubungan dengan Daha," sanggah Ludira.
"Benar, tetapi karena perbuatannya selama ini, Singasari menjadi lemah. Kelemahan ini yang
membangkitkan nafsu Daha untuk menyerang Singasari. Induk kekuatan pasukan Singasari
telah dikirim ke Malayu sehingga pertahanan pura Singasari kosong."
"Tetapi kakang Wijaya," tukas Ludira pula "dengan kepergian kakang bersama anakpasukan ke
Mameling ini, bukankah pura Singasari makin kosong pula "."
"Benar," Wijaya mengangguk "oleh karena itu maka telah kuminta kepada adi Mandira untuk
menyusun kekuatan pertahanan pura. Dan agar ha ku lebih tenteram maka kuminta kepada adi
supaya memperkuat pertahanan pura itu. Maukah adi melakukan tugas itu "."
"Ah, sesungguhnya lebih tepat apabila kakang Wijaya tetap berada di pura saja "."
"Adi, tah raja dak dapat dibantah. Aku terpaksa harus ke Mameling. Apabila aku berhasil
menumpas musuh di Mameling berar memperlemah kekuatan mereka juga. Adi, maukah engkau
menerima tugas yang kuletakkan kepadamu itu "."
"Singasari bukan milik baginda Kertanagara, bukan pula milik Wijaya ataupun segolongan orang.
Tetapi milik seluruh rakyat. Se ap rakyat Siagasari wajib berjuang untuk mempertahankan bumi
tumpah darahnya. Dan berbahagialah kita, aku, engkau, dia dan para pejuang, yang telah
mendapat kepercayaan untuk memimpin perjuangan suci ini, adi." Wijaya menambahkan kata kata.
Ludira tegak berdiri laksana gunung. Dua k airmata meluncur dari sudut pelapuk matanya.
Airmata seorang ksatrya yang menerima tugas dengan rasa penuh tanggung jawab.
"Jiwa, raga dan hidupku akan kupersembahkan kepada bumi pertiwi. Bahkan namaku Ludira yang
berar darah, akan selalu mengingatkan pikiranku bahwa darah itu berasal dari per wi Singasari,
maka akan kupersembahkan kembali kepadanya !."
Wijaya memeluk Ludira erat-erat.
"Selama di bumi Singasari masih memiliki pejuang-pejuang seper engkau adi, Singasari pas
tetap tegak dan jaya," kata Wijaya penuh haru.
Demikian setelah cukup berbincang -bincang, akhirnya Ludira dan Rara Sedayu berangkat menuju
ke pura Singasari. Sedang Wijayapun melanjutkan perjalanan ke Mameling.
Setelah mendirikan kubu-kubu, Wijaya lalu merundingkan siasat dengan para kadehan.
"Pasukan Daha jauh lebih besar dari kita," kata Wijaya "perlu kita gunakan siasat untuk
menghancurkan mereka."
"Benar, raden," sahut Sora "dalam pertempuran, kita harus mengetahui kekuatan lawan, tempat
dan keadaan. Dengan menguasai tiga hal itu kemungkinan besar kita dapat merebut kemenangan."
Wijaya mengangguk. "Benar, kakang Sora," katanya "walaupun tahu bahwa musuh berjumlah besar, tetapi kita
belum tahu jelas sampai di mana kekuatan mereka. Untuk mencapai pengetahuan itu, haruslah
kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki. Nah, siapakah di antara kalian yang bersedia untuk
melakukan tugas itu "."
"Hamba," seru Sora serentak.
"Jangan, kakang Sora," Wijaya tak meluluskan "engkau harus tetap berada pada pasukan kita.
Begini saja, bagaimana kalau kakang Mahesa Pawagal dan kakang Medang Dangdi yang menyusup
ke daerah musuh untuk menyelidiki keadaan mereka"."
Serempak Medang Dangdi dan Pawagal menyatakan kesediaannya. Segera mereka berangkat.
"Pasukan Daha telah menduduki desa Mameling, di selatan Kapulungan," kata Wijaya
melanjutkan perundingannya "aku mempunyai rencana begini, entah apakah kakang sekalian
dapat menyetujui." Memang walaupun menjadi pucuk pimpinan, namun Wijaya tak pernah meninggalkan
perundingan dengan para kadehannya. Sikap ksatrya muda itulah yang membangkitkan rasa
hormat dan setya dari anakbuahnya.
"Silakan raden mengutarakan rencana itu," seru Sora dan Nambi.
"Di sebelah barat dari Mameling, terdapat gunung Penanggungan. Dan di sebelah timur
Mameling, yalah desa Kedungpeluk. Kita pecah barisan kita menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama, langsung menyerang dari selatan. Kelompok kedua, menyerang dari timur dan
kelompok ketiga menyerang dari utara. Kelompok kedua harus mengambil jalan dari desa
Kedungpeluk. Dan kelompok ketiga, mengambil jalan sepanjang pegunungan Penanggungan lalu
kembali ke selatan untuk menyerang dan memotong jalan pasukan musuh dari belakang."
"Bagus, raden," serempak para kadehan berseru memuji.
"Tetapi hasil daknya suatu rencana, tergantung pada orang yang melaksanakan," kata Wijaya
lebih lanjut "pasukan kita tak seberapa banyak, hanya berjumlah enam ratus orang. Sedangkan
yang kita hadapi pasukan Daha yang berjumlah ribuan orang. Apabila dipecah menjadi ga
kelonpok, tentu makin kecillah jumlah tiap kelompok itu."
Wijaya berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
"Induk pasukan yang akan berhadapan dengan musuh, kurencanakan berjumlah empat ratus
orang. Akan kususun gelar barisan Supit Urang. Sapit kanan dan kiri masing masing seratus
orang, bagian tengah dua ratus orang. Sedang kelompok yang menyerang dari deia
Kedungpeluk, hanya terdiri dari seratus orang. Demikian pula kelompok kedua yang harus
menyusup gunung Penanggungan dan menyerang dari belakang. Apabila rencana itu berjalan
lancar, maka dapatlah musuh kita potong-potong menjadi beberapa bagian."
"Gajah Pagon, Kebo Kapetengan yang memimpin kelompok kedua. Menyusur pegunungan
Penanggungan ke utara lalu membelok ke mur, memotong dan menyerang pasukan musuh dari
belakang." "Baik, raden," seru kedua kadehan itu.
"Banyak Kapuk dan Gajah Biru memimpin kelompok ke ga. Menuju ke Kedungpeluk lalu
membelok ke barat, menyerang rusuk barisan musuh !."
Kedua kadehan itupun serempak mengiakan.
"Kelompok pertama akan kupecah menjadi ga dalam tata gelar Supit Urang. Bagian tengah yang
akan berhadapan dengan musuh akan kupimpin sendiri, dibantu kakang Sora dan Nambi serta
Pamandana. Supit kanan, dipimpin oleh Wirota dan Wiraga . Supit kiri dikepalai Mendang Dangdi
dan Mahesa Wagal. Aku akan pura-pura kalah dan mundur. Selekas sebagian pasukan Daha
mengejar, Supit kiri harus segera menyerang untuk memutus induk pasukan musuh. Supit kanan,
memotong dari sebelah timur. Pada saat itu aku akan balas menyerang."
Sekalian kadehan mengiakan.
"Untuk melaksanakan tugas kalian, kalian bebas menggunakan senjata apapun juga. Panah, batu
atau api, disesuaikan dengan keadaan dan tempat masing-masing. Tetapi ingat, musuh yang sudah
menyerah jangan dibunuh, cukup dilucu dan ditawan. Tetapi yang melawan, jangan beri ampun,
hancurkan mereka habis-habisan !."
Sekalian perwira dan anakbuah tak hen -hen nya mengangguk. Mereka memang cukup faham
akan watak ksatrya Wijaya. Luhur budi, halus bahasa dalam pergaulan tetapi bagaikan seekor singa
dalam medan peperangan. ~dewi.kz^ismo^mch~ II Surya pada senja itu, beda dengan kemarin dan hari-hari senja yang lalu. Bola dunia itu tampak
merah membara, memancarkan cahaya yang kemerah-merahan. Sepintas pandang, pura kerajaan
Singasari seolah menyala direndam lautan api.
Hawa udara terasa panas menyengat. Orang merasa tak enak di dalam rumah. Perasaan mereka
merasa bingung tetapi dak tahu apa yang dibingungkan. Anak-anak kecil gelisah, bayi-bayi
menangis. Ada suatu peris wa aneh yang menarik perha an segenap kawula Singasari. Mereka
berbondong-bondong ke luar rumah untuk memandang ke langit.
Seekor burung berbulu hitam menyerupai burung gagak tetapi dua kali lipat besarnya, sedang
diserang oleh ratusan burung pipit. Dengan gagah perkasa gagak raksasa itu menerjang dan
mengganas kawanan burung kecil itu mematukkan paruhnya yang tajam, menamparkan sayapnya
yang kokoh dan mencampakkan cakarnya yang runcing. Berpuluh burung kecil itupun berhamburan
gugur tetapi mereka pantang mundur. Dari empat penjuru datang pula beratus ratus burung pipit,
menyerbu gagak raksasa itu. Mereka menyerbu dan menyerang gagak raksasa itu. Akhirnya
berhasillah mereka merubuhkan gagak raksasa itu ke ka bagian matanya diserang habis-habisan.
Kedua biji mata gagak raksasa itu berhamburan ke luar, sepasang sayapnyapun hancur dan
meluncurlah gagak itu jatuh ke bawah.
Peristiwa itu menggemparkan seluruh kawula pura Singasari. Memang sejak beberapa hari
itu, sering terdengar peristiwa-peristiwa yang aneh. Kambing milik seorang, rakyat desa dapat
menanduk mati seekor harimau. Kerbau seorang rakyat desa lain, mati dikais seekor ayam
jago. Anjing seorang penduduk menyusui anak kucing.
Demikian cerita dan kabar angin, ap hari melanda pura Singasari. Bermacam-macam tafsiran
merajalela di kalangan rakyat. Mereka menafsirkan peris wa-peris wa itu sebagai suatu alamat
atau firasat akan terjadinya suatu peristiwa besar dalam negara.
Dan malam itu, peris wa hancurnya burung gagak oleh kawanan burung pipit telah menjadi
buah bibir orang. Empu Raganata, adhyaksa Tumapel, malam itu pun sedang berbincang-bincang di gedung
kediamannya. Tetapi yang dibicarakan bukanlah soal peris wa-peris wa kambing menanduk
harimau, ayam mengais kerbau, anjing menyusui kucing dan burung pipit mengalahkan gagak.
Melainkan peristiwa yang terjadi di keraton Singasari pagi itu.
Lawan bicara empu Raganata adalah ga orang anakmuda, yani puteranya sendiri, Lembu
Mandira, Jaka Ludira dan Rara Sedayu.
"Paman," kata Ludira "mengapa baginda menitahkan patih Kebo Anengah membawa pasukan
menyusul kakang Wijaya ke Mameling " Bukankah hal itu akan makin melemahkan pertahanan
pura Singasari"."
Adhyaksa Raganata menghela napas.
"Tidak kurang-kurang aku berkering lidah untuk meyakinkan hal itu kepada baginda," kata empu
tua itu "namun hanya gelak tawa mencemoh yang baginda lontarkan kepadaku."
"Masakan baginda segelap itu pikirannya ?" seru Ludira "baginda Kertanagara sesungguhnya
seorang junjungan yang cerdas dan berpandangan jauh."
"Itu dahulu, angger," sahut empu Raganata, "ketika baginda masih muda. Gencar bertapa,
tekun menuntut ilmu, cerdas memecahkan persoalan dan tangkas bertindak. Tetapi setelah
berpuluh tahun baginda bermanja dalam kemewahan dan kekuasaan, timbullah perobahan
dalam batinnya. Baginda berobah menjadi seorang junjungan yang bersikap hadigang hadigung,
angkuh dan merasa diri paling besar. Terlebih pula setelah dibuai sanjung pujian dan didamba
tuak oleh Aragani, hilanglah daya kecerdasan dan kewibawaan sang nata."
"Jika demikian tentulah si keparat Aragani itu yang menganjurkan baginda supaya menitahkan
patih Kebo Anengah untuk menyusul kakang Wijaya ke Mameling," seru Ludira geram.
"Aragani yang menggerogoti kerajaan Singasari dari dalam dan Daha yang menumbangkannya."
Prakk .... Tiba- ba Ludira menghunjamkan njunya ke meja "Jika keparat Aragani itu dak lekas
dilenyapkan, Singasari tentu akan runtuh !."
"Anakmas Ludira ....."
"Tidak, paman," teriak Ludira makin kalap
"Aragani harus dibasmi baru kita dapat menghadapi serangan Daha dengan gigih."
Raganata, Lembu Mandira dan Sedayu terkesiap memandang sikap Ludira saat itu. Belum
pernah mereka melihat wajah pemuda cakap sebengis saat itu. Sekilas tampak pemuda itu
menegakkan kepala, meregang tubuh. Gagah perkasa laksana seekor banteng ....
Empu Raganata menghela napas.
"Dewata telah menentukan prakitri alam ke hidupan ini," serunya berbisik lemah.
"Apa maksud paman?" tiba-tiba Rara Sedayu melontar tanya.
Empu Raganata geleng-geleng kepala "Prakitri sukar dirobah ....."
Rara Sedayu makin membelalak "Maksud paman, memang sudah digariskan kodrat bahwa
kerajaan Singasari akan runtuh "."
"Cakrawa merupakan roda panggilingan yang selalu berputar. Yang bawah naik ke atas, yang di
atas akan turun ke bawah. Tumbuh, bersemi besar berkembang, berbuah lalu kering, layu dan
tumbang. Itulah kodrat alam, anakku".
"Adakah paman mempunyai firasat bahwa Singasari akan kalah dalam peperangan ini ?" dara
ayu itu mendesak pula. "Beberapa malam yang lalu, ke ka aku sedang semedhi mengheningkan cipta memohon
penerangan kepada Dewata. Samar-samar terdengar suara gaib ....... 'empu Bharada telah
mencurahkan air kendi sak untuk membelah negara Panjalu menjadi dua, Daha dan Singasari ....
tetapi ini dalam melakukan tugas suci itu empu telah marah karena bajunya tersangkut pohon
kamal .... empupun melontarkan kutukan ......... Daha - Singasari akan selalu pecah sepanjang masa
.... ' "Suara gaib itu hilang dan sebagai gan nya muncullah seorang raksasa. Keraton Singasari
dihancurkan rata dengan tanah. Tiba- ba muncul seorang ksatrya muda bersenjata trisula.
Dilontarkannya trisula ke dada raksasa. Raksasa rubuh, bumi menghijau dan surya bersinar terang
benderang ....." "Itulah peristiwa gaib yang kujumpai dalam semedhi," empu Raganata mengakhiri penuturannya.
"Apakah maknanya, paman ?" tanya Rara Sedayu.
Empu Raganata menghela napas pula.
"Aku tidak berani mengatakan apa-apa, anakku. Prakitri Hyang Widdhi sukar dielakkan....."
"Tidak, paman," ba- ba Ludira berseru "apapun yang terjadi, tah manusia wajib berusaha.
Selama hayat masih dikandung badan, Ludira akan berjuang demi tegaknya negara Singasari."
Empu Raganata mengangguk.
"Benar, anakku. Itulah dharma seorang ksatrya, bak seorang putera Per wi. Berbahagialah
ksatrya-ksatrya yang mendapat kesempatan menunaikan dharmanya karena untuk mereka seolah
olah pintu gerbang surga telah terbuka. Demikian wejangan sang Kresna kepada Arjuna ke ka
berada dalam medan perang Kurusetra."
"Dan bukankah paman sendiri juga takkan membiarkan para putera-putera ini kehilangan arah
dalam medan juang nanti ?" tanya Ludira.
Raganata tersenyum penuh arti.
"Jika anakmas Ludira, Lembu Mandira dan nini Sedayu yang ibarat kuntum bunga sedang mekar,
berani berjuang menentang maut. Masakan aku, si tua renta Raganata yang sudah kenyang makan
atam garam, masih tamak hidup segan ma " Tidak, Ludira, Mandira dan Sedayu. Jika harus ma ,
Raganatalah yang akan menjadi perisai menelungkupi persada Singasari lebih dahulu !."
Ludira serta merta berlutut memeluk kaki empu itu.
Empu Raganata segera mengangkat pemuda itu bangun.
"Ludira, mari kita susun rencana untuk menghadapi coba Dewata yang maha berat ini," kata
empu itu. "Baik, paman," kata Ludira.
"Mandira, bagaimana usahamu selama ini untuk menyusun kekuatan dalam pura?" tenur
Raganata kepada puteranya.
"Aku telah berhasil membentuk barisan pemuda-pemuda pada ap desa, demikian pula dalam
pura. Mereka telah bersedia untuk mempersembahkan jiwa raga menjaga pura Singasari, rama."
"Bagus, puteraku," kata empu itu. Kemudian bertanya kepada Ludira "anakmas, bagaimana
rencanamu "." "Paman, telah menjadi keputusanku. Malam ini aku akan membunuh Aragani atau sekurang-
kurangnya menyingkirkan dari pura. Kita harus memaksa baginda supaya ber ndak tegas
menghadapi serangan Daha."
"Apakah engkau akan bekerja seorang diri ?"
"Aku akan mendampingi kakang Ludira, paman !" serentak Rara Sedayu berseru dengan sikap
siap. "Paman, baiklah kita membagi tugas," kata Ludira "Mandira, siapkan lasykarmu, jaga gapura kota.
Paman Raganata, keselamatan sang nata terserah kepada paman."
Ludira dan Sedayu segera minta diri.
"Sedayu," kata Ludira di tengah perjalanan "baiklah engkau menghubungi paman tumenggung
Wirakreti untuk mengambil alih pimpinan pasukan dan siagakan pasukan tempur."
"Dan kakang ?" tanya dara itu.
"Aku akan menyergap Aragani."
"Berbahaya ! Aku ikut!" seru Sedayu,
"Mengapa berbahaya "."
"Bukankah kakang hendak masuk ke keraton"."
"Tergantung keadaan," jawab Ludira "bila dia tak berada di rumahnya, terpaksa aku akan masuk
ke keraton." "Keraton di juga oleh prajurit-prajurit ....."
"Jangan kuatir, Sedayu. Aku sudah biasa masuk .... " tiba-tiba Ludira tawa tetapi sesaat ia
hentikan kata katanya. "Engkau sudah biasa masuk keraton" Siapakah kakang ini sebenarnya?" cepat Sedayu mengejar
pertanyaan.

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ludira telah merasa kelepasan omong. Ia menerangkan bahwa dulu semasa kecil sering ia
diajak ayahnya masuk ke keraton. Salah seorang pamannya bekerja sebagai abdi keraton.
"Bila kita akan bertemu ?" tanya Sedayu.
"Tunggulah aku di gapura selatan," kata Ludira.
Demikian keduanya segera berpisah. Sedayu pulang menemui ayahnya, tumenggung Wirakre .
Dan Ludira bergegas menuju ke gedung kepa han. Ternyata pa h Aragani telah dipanggil baginda
ke dalam keraton. "Hm, tentu bersenang-senang minum tuak," pikir Ludira dan segera tujukan langkah ke arah
keraton. Memang benar. Sebagaimana ap malam, malam itupun baginda dan Aragani bersenang-tenang
minum tuak seraya merangkai syair.
"Aragani," tegur baginda "apa sebab engkau tampak bermuram durja malam ini " Engkau tak
bernafsu minum tuak."
Aragani segera menghatur sembah "Ampun, tuanku. Ada sebuah berita yang sampai pada
hamba. Berita yang mengejutkan dan menyedihkan."
"Pasukan Daha sudah menyerbu ke pura kami"."
"Bukan, gusti."
"Puteraku Wijaya kalah "."
"Bukan, gusti."
"Lalu berita apakah Itu "."
"Putera paduka raden Ardaraja, gusti."
"O, ya, hampir lupa aku akan beritanya," seru baginda "apakah yang telah terjadi pada dirinya "."
"Raden Ardaraja kembali pada ayahnya .... "
Baginda tersentak kaget "Apa " Ardaraja berfihak kepada ayahnya " Ah, tak mungkin, Aragani."
"Memang berat benar ha hamba untuk mengunjukkan laporan itu ke bawah duli paduka," kata
Aragani "tetapi memang demikianlah kenyataannya. Apabila sepatahpun laporan hamba ini
bohong, hamba mohon paduka titahkan algojo memenggal kepala hamba."
"Dari mana engkau mendapat laporan itu "."
"Seorang prajurit yang ikut pada putera menantu hamba, Kuda Panglulut, telah kembali dari
Sideman dan memberi laporan kepada hamba."
"Seorang prajurit " Bukankah Kuda Panglulut membawa pasukan " Apakah dia tak pulang "."
Tiba ba cahaya wajah Aragani berobah rawan dan nadanyapun tersekat-sekat "Kuda Panglulut
telah dibunuh oleh raden Ardaraja, gusti."
"Hai !" Baginda terkejut sekali.
"Kuda Panglulut hendak pulang ke pura Singasari melaporkan tentang keadaan pasukan Daha di
Sideman. Di tengah jalan bertemu dengan raden Ardaraja. Kuda Panglulut dipaksa supaya kembali
ke Sideman. Karena menolak, raden Ardaraja marah dan merekapun berkelahi. Karena dikerubu
oleh beberapa prajurit raden Ardaraja, akhirnya menantu hamba itu pun terbunuh ....."
Baginda terkesiap dan termangu-mangu. Belum sempat beliau berucap pula, ba- ba terdengar
suara orang berseru : "Jika Ardaraja memihak Daha, itu dak salah. Karena akuwu Daha itu ayahnya. Jika Kuda
Panglulut ma dibunuh, itupun benar. Karena menantumu itu memang congkak dan sewenang-
wenang ....." Baginda dan Aragani serempak berpaling memandang ke arah suara itu. Mereka terbeliak ke ka
di ujung ruang, tampak seorang tak dikenal berdiri di bawah bayangan sebuah arca. Hampir seluruh
tubuh, dari kaki sampai ke atas kepala, terselubung dalam sebuah jubah hitam.
"Siapa engkau ?" tegur baginda seolah mendapat ketenangan kembali.
Sebagai jawaban, orang aneh itu melangkah maju beberapa langkah dan berhen pada jarak
empat lima depa dari tempat baginda. Kini jelas dapat dilihat bahwa hanya pada bagian mata
orang itu, diberi lubang.
"Hamba adalah utusan dari sang Rajasa Amurwabumi," kata orang itu dengan tenang.
"Sang Rajasa Amurwabumi ?" baginda terkejuk.
"Ya, moyang paduka," kata orang itu pula.
"Bohong!" teriak Aragani.
Orang aneh itu mendengus geram "Seorang pembohong seper engkau, tentu gemar menuduh
orang lain bohong. Hm, aku tak bicara kepadamu. Tunggu saja giliranmu nanti."
"Bukankah nenekanda sang Rajasa Amurwabumi sudah wafat berpuluh tahun yang lalu?" seru
baginda. "Benar, gus ," kata orang aneh itu "tetapi arwah sang Rajasa Amurwabumi masih belum berada
di Nirwana karena masih memikirkan kepen ngan kerajaan Singasari yang didirikannya dengan
jerih payah itu." "Apa tujuanmu menghadap aku?" tegur baginda.
"Sang Amurwabumi menitahkan agar paduka berkenan menerima dan mematuhi pesan
beliau. Apabila paduka tak meluluskan, sang Amurwabumi akan menjatuhkan kutukan kepada
paduka agar ....." "Agar bagaimana "."
"Tumpas!." Baginda terkesiap. Tetapi pada lain saat beliau tertawa.
"Apa yang hendak engkau sampaikan ?" seru baginda.
"Yang mulia arwah sang Rajasa Amurwabumi menitahkan supaya paduka menghen kan
kesenangan minum tuak dan lekas-lekas memikirkan keadaan negara yang sedang dilanda bahaya."
"Hanya itukah "."
"Sang Amurwabumi mengatakan pula, ibarat tubuh, kerajaan Singasari sedang didera penyakit
dari luar dan dalam. Penyakit luar yang berupa musuh dari Daha ataupun dari kerajaan lain, dapat
dihadapi dengan kekuatan. Tetapi yang sukar adalah penyakit dalam. Penyakit itu tak tampak
tetapi selalu menggerogoti sehingga memperlemah tubuh. Maka harus diberantas seakar-akarnya."
"Siapa saja yang dimaksudkan sebagai penyakit dalam itu " Dan bagaimana cara
memberantasnya "."
"Kutu berbahaya yang merupakan penyakit dalam itu bukan lain yalah ki pa h Aragani itu. Cara
memberantasnya, harus ditumpas!."
"Bedebah !" teriak Aragani sekeras-kerasnya. Bahkan karena tak kuasa menahan amarahnya, dia
terus bangkit dan memukul orang aneh itu.
Orang aneh itu mengisar ke samping, mengaitkan kaki kanan dan tamparkan telapak tangan
kirinya, plak .... Karena terkait kakinya, Aragani terjerembab. Dan punggungnya yang termakan tamparan,
mempercepat laju tubuhnya menyusur lantai, tepat terkapar di samping baginda.
Orang aneh itu hendak menyusuli sebuah tendangan. Tetapi ba- ba baginda ayunkan
tangannya menampar. Se kpun tak pernah orang aneh itu menyangka bahwa baginda akan ber ndak melindungi
Aragani. Karena jarak amat dekat dan amat mendadak datangnya, orang itupun tak sempat
menghindar. Dalam keadaan terdesak terpaksa ia soagsongkan tangan untuk menangkis.
Prak .... Orang itu terkejut sekali ke ka tangannya terbentur dengan sekerat tulang yang amat keras dan
tubuhnya dilanda oleh setiup gelombang tenaga yang dahsyat. Sedemikian keras gelombang tenaga
itu sehingga dia tak mampu mempertahankan keseimbangan diri dan terhuyung-huyung ke
belakang sampai empat lima langkah.
Orang aneh itu tegak terlongong-longong. Walaupun berkat ilmu kekebalan tak sampai ia
menderita luka, namun tak habis herannya ia memikirkan tenaga tamparan baginda.
Tidak pernah terjangkau dalam pikirannya bahwa baginda Kertanagara itu ternyata seorang
raja yang sakti. Ia membayangkan lebih lanjut. Walaupun baginda sudah memanjakan diri dalam
kegemaran minum tuak, bermabuk-mabukan setiap hari, paman masih memiliki tenaga pukulan
yang sedemikian kuat. Andai baginda dapat merawat diri, tentulah akan jauh lebih dahsyat dari
sekarang. Seke ka ia teringat akan nasehat gurunya bahwa jika berhadapan dengan baginda Kertanagara
harus ha -ha . Baginda sak sekali. Apa yang dikatakan gurunya itu, benar-benar ia
membuktikannya. "Jangan engkau meliar di sini!" tegur beginda sambil masih bersila di atas sehelai permadani
merah. "Tetapi dia menyerang lebih dulu! " orang aneh itu membela diri.
"Karena engkau menganjurkan supaya membunuhnya," balas baginda "andaikata dia bersalah,
dia adalah seorang patih kerajaan. Hanya raja yang wajib menghukumnya."
"Jika raja tak mau menjatuhkan hukuman karena membelanya, dakkah layak aku yang
menghukumnya "."
"Kurang ajar!" damprat baginda "siapa engkau "."
"Aku mewakili dua orang. Sebagai utusan dari arwah yang mulia sang Amurwabumi dan sebagai
diri peribadi, seorang kawula Singasari yang berhak untuk membela bumi kelahirannya."
Baginda hampir murka karena melihat orang aneh itu bersikap kurang tata. Tetapi demi
mendengar pengakuannya sebagai seorang putera Singasari yang akan membela bumi
kelahirannya, baginda terkesiap.
"Hm, hendak membela Singasari katamu " Dengan cara begitukah engkau hendak melaksanakan
maksudmu " Jika engkau seorang pembela tanah Singasari, mengapa engkau hendak melaksanakan
maksudmu" Mengapa engkau tak ikut mengangkat senjata melawan serangan orang Daha"
Mengapa engkau berada disini mengganggu kesenangan kami "
"Baginda," seru orang aneh itu dengan suara tegas "kedua-duanya sama pen ngnya, misalkan
makanan dan minuman bagi manusia. Aku memilih minum daripada makan. Karena air itu adalah
sumber kehidupan manusia. Orang masih dapat bertahan hidup beberapa waktu tanpa makan.
Itulah sebabnya maka aku memilih menghadap paduka lebih dahulu daripada menghadapi musuh
dari Daha. Karena di sinilah letak air sumber kehidupan Singasari. Kulihat air itu telah tercampur
dengan tuak yang beracun. Maka hendak kubersihkan dahulu tuak beracun itu agar air itu kembali
benih dan benar-benar menjadi sumber kehidupan Singasari."
"Engkau maksudkan Aragani itu yang menghaturkan tuak beracun untuk memperlemah aku?"
tegur baginda pula. "Demikianlah, gusti."
"Dapatkah engkau membuktikannya"."
"Aragani telah bersekutu dengan Demang Lebar Daun, mangkubumi kerajaan Sriwijaya, untuk
merobohkan Singasari. Oleh karena itu maka dia memperjuangkan kema -ma an pengiriman
raden Wijaya dengan membawa pasukan mengantar arca ke Sriwijaya. Bukankah pengiriman
pasukan Singasari ke tanah Malayu dan ke negara atas angin lainnya, didukung sekuat-kuatnya
oleh Aragani " Itulah siasatnya untuk mengosongkan kekuatan Singasari agar dia segera dapat
mengundang Demang Lebar Daun untuk mengirim pasukan Singasari."
"Bukankah puteraku Wijaya telah berhasil menunaikan tugas dengan gemilang ?" seru baginda.
"Itulah berkat kesak an raden Wijaya. Suatu hal yang membuat Aragani segeram orang yang
sakit giginya." "Hm, dak semudah itu engkau hendak jual petai kosong di hadapanku." geram baginda "lalu
apa maksudmu "."
"Memberantas Aragani dedongkot kekacauan di Singasari!."
"Hm," dengus baginda seraya berbangkit dari permadani "benarkah engkau seberani itu di
hadapanku "." Orang aneh itu terkejut ke ka melihat sikap baginda. Tampak wajah baginda bercahaya merah.
Karena pengaruh tuak dan amarah. Sedangkan Araganipun sudah menyelinap di belakang baginda.
Orang aneh itu tegak hanya beberapa langkah di hadapan baginda. Dari lubang kain penutup
muka, tampak dua bola matanya bersinar tajam menentang ke arah baginda.
Tiba-tiba baginda terkesiap "Siapa engkau !" tegurnya.
Timbul suatu perasaan aneh dalam ha baginda dikala beradu pandang akan seseorang yang
memiliki pancaran sinar mata seperti orang aneh itu.
"Belum saatnya paduka mengetahui siapa diriku," sahut orang aneh itu dengan lantang. Bahkan
keberaniannya tampak menonjol karena tak mau menggunakan sebutan 'hamba' untuk berbicara
kepada raja. "Di hadapanku engkau berani membangkang titahku?" seru baginda.
"Apa yang paduka titahkan "."
"Bukalah kain penutup mukamu itu !" Orang aneh itu tertegun, Ingin sekali ha nya melakukan
hal itu. Karena hal itu, menampakkan wajahnya di hadapan baginda Kertanagara, merupakan salah
satu bagian dari tujuan perjuangannya. Tetapi pikirannya masih melarang. Belum waktunya. Saat
itu negara sedang terancam bahaya. Melaksanakan tujuannya pada saat itu, akan membahayakan
Singasari. "Engkau tak mendengar perintahku?" ulang baginda. Nadanya mulai menggetar kemarahan.
"Maaf, gus , tanpa paduka perintahkan, kelak tentu akan kubuka wajahku ini di hadapan
paduka," habis berkata orang aneh itu terus berputar tubuh dan loncat ke pintu. Ia hendak
meloloskan diri. Wut..... Tiba- ba orang aneh itu terkejut mendengar se up angin menderu ke arah punggungnya. Bukan
angin sewajarnya melainkan angin yang timbul dari layang sebuah benda.
Orang aneh itu cepat menjatuhkan diri ke lantai, berguling-guling ke luar pintu, melen ng
bangun terus lari ke luar. Tetapi seturun di halaman, beberapa penjaga sudah menyongsongnya
dengan tombak dan pedang.
Kiranya angin deras yang menyambar ke punggung orang aneh itu adalah piala tuak yang
dihadap baginda. Baginda terkejut karena orang itu hendak melarikan diri maka cepat cepat
baginda menyambar sebuah piala tuak lalu dilontarkan ke punggung orang.
Di dalam tangan baginda Kertanagara, piala yang terbuat daripada perak bakar itu, dapat
merupakan senjata yang berbahaya. Bukan karena peraknya keras, melainkan karena tenaga sak
yang terpancar dari tangan baginda.
Karena lontaran piala perak tak mengenai sasaran, piala itupun jatuh berhamburan ke lantai dan
menerbitkan lengking suara yang nyaring. Mendengar itu, penjaga-penjaga yang berada di bawah,
bergegas naik ke paseban agung.
Mereka melihat seorang yang mukanya bertutup kain hitam. Segera mereka menyerangnya.
"Tangkap penjahat itu, ma atau hidup! " pa h Araganipun memburu ke luar dan memberi
perintah. Pa h itupun segera memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya meniup sangkakala
pertandaan bahaya. Raungan sangkakala yang terbuat daripada tanduk kerbau itu segera memenuhi seluruh telatah
keraton. Orang aneh itupun terkejut. Apabila pasukan penjaga keraton dikerahkan untuk
mengepungnya, pas lah sukar baginya untuk lolos. Ia harus lekas- lekas membuka jalan darah,
sebelum mereka datang. Tiba- ba ia mendapat akal. Selepas menghindar dari dua batang tombak yang menusuk lambung
kanan dan kiri, iapun ayunkan tubuh melayang naik ke paseban lagi, langsung menyerang Aragani.
Aragani sesungguhnya memiliki ilmu kesak an juga. Tetapi hampir ia tak pernah berla h lagi
sejak ia mengandung cita-cita untuk merobohkan Singasari. Dan untuk melelapkan semangat
baginda, iapun harus ikut minum tuak tiap malam.
"Bedebah!" pa h itu berteriak kejut ke ka orang aneh itu loncat menerkamnya. Dalam gugup,
Araganipun lepaskan sebuah hantaman.
"Hm, engkau memang jemu hidup," dengus orang aneh itu seraya menyelinap ke samping.
Selekas pukulan Aragani menghantam angin, secepat itu pula, kaki orang aneh itu berayun ke
perut, plak ........ "Uh .... " Aragani menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar dan membentur pintu.
"Pembunuh ....... ! " teriak beberapa prajurit penjaga yang berhamburan menerjang orang aneh
ketika hendak menghampiri ke tempat Aragani yang jatuh terkapar.
Orang aneh itu tertawa hina lalu loncat mundur dan melarikan diri. Hanya sebagian dari prajurit
itu yang memburu lari orang aneh itu. Sebagian bergegas menolong patih Aragani.
"Uh," terdengar mulut pa h itu menguak ke ka membuka mata. Ia memang pingsan ke ka
menderita tendangan orang aneh tadi. Tetapi untung tak terluka "siapkan segenap kawan-
kawanmu, rapatkan pengepungan, jangan sampai penjahat tadi lolos."
Setelah prajurit-prajurit penjaga itu melakukan perintah, pa h Araga pun masuk ke dalam
untuk menghadap baginda pula.
"Penjahat itu memang hebat, tetapi telah hamba perintahkan supaya pasukan prajurit pengawal
keraton menjaga ketat, jangan sampai dia dapat lolos, gus ." Aragani memberi laporan atas
pertanyaan baginda. Tetapi ia malu untuk menceritakan apa yang dialaminya tadi.
Baginda mengangguk. Ada sesuatu yang masih dipikirkan baginda. Rupanya baginda berusaha
untuk menggali ingatan. Beliau merasa pernah melihat dan faham benar akan sinar mata seper
yang dipancarkan oleh orang aneh tadi. Tetapi baginda belum bersua pada penemuan yang pasti.
"Aragani," tiba tiba baginda bersabda "masih ingatkah engkau akan Tegal jari "."
Aragani terkesiap. "Ya, hamba masih ingat, gus ," la memberi jawaban "Tegalsari adalah sebuah tempat di utara
Surabaya dekat ujung laut. Tempat pertempuran dari tentara Singasari melawan prajurit-prajurit
Glagah Arum." "Hm, benar," kata baginda "dan apakah engkau masih ingat jelas akan hasil pertempuran itu "."
"Seluruh pasukan pangeran Kanuruhan dari Glagah Arum telah terbasmi, gusti."
"Dan bagaimana dengan kakang Kanuruhan sendiri "."
"Pangeran Kanuruhan tak mau menyerah. Pangeran lebih suka gugur sebagai ratna daripada
menyerah." Baginda menghela napas. "Gus , hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun apabila ada sesuatu yang tak
berkenan dalam ha paduka atas kata-kata yang hendak hamba persembahkan ini," kata Aragani
mengunjuk hormat. "O, katakanlah."
"Berpuluh tahun peris wa Tegalsari itu telah terjadi. Selama ini paduka tak pernah menyinggung
sepatahpun jua," kata Aragani "maka sungguh membuat hamba heran mengapa ba- ba paduka
melimpahkan pertanyaan peristiwa itu kepada hamba."
Baginda tersenyum hambar.
"Ah, hanya sekedar bertanya, pa h," kata baginda "memang entah bagaimana ba- ba saja aku
terkenang akan kakang Kanuruhan. Walaupun dari lain ibu, tetapi kakang Kanuruhan adalah putera
rama baginda Wisnuwardana pula. Bukankah kakang Kanuruhan telah diberi tanah Glagah Arum "
Mengapa harus terjadi pertumpahan darah yang mengakibatkan tewasnya kakang Kanuruhan"
Bukankah ikan Sura ditetapkan di laut tempatnya dan Baya mendapat kekuasaan di sungai "
Mengapa ikan Sura melanggar pembagian itu hingga harus terjadi pertumpahan darah antara Sura
melawan Baya "."
"Dewata telah menggariskan kodrat hidup. Semoga tah paduka untuk memperinga peris wa
itu dengan memberi nama tempat pertempuran sebagai kota Surabaya, akan menjadi peringatan
bagi anak cucu kita bahwa perpecahan itu hanya akan membawa akibat yang tak menguntungkan.
Hanya persatuanlah yang akan membawa kejayaan negara dan kerajaan kita."
"Benar, Aragani," kata baginda "maka sungguh patut disesalkan sekali ndakan akuwu Daha yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak merusak persatuan. Mengapa dia kurang berterima kasih atas segala kebaikan yang telah
kulimpahkan kepadanya "."
"Nafsu, gus ," sembah Aragani "manusia selalu dikuasai oleh Nafsu. Karena itulah kita harus
melebur nafsu-nafsu itu dengan menghampakan pikiran dan hati kita."
"Dengan minum tuak, bukan?" tukas baginda. Aragani tertawa terbungkuk-bungkuk.
"Baiklah, Aragani," kata baginda "mari kita lanjutkan lagi kesenangan berminum tuak yang
terganggu oleh penjahat tadi."
Raja dan pa h itupun segera memanjakan diri dalam buaian pengaruh tuak yang melambungkan
pikiran mereka ke alam khayal.
Malam makin larut, selarut tuak yang mengalir ke perut patih Aragani dan baginda
Kertanagara. Namun raja dan patih itu tidaklah mudah untuk mabuk. Baginda masih bermimpi
dan masih dimimpikan oleh sanjung buaian Aragani. Bahwa hanya tuaklah yang sanggup
mengantarkan pikiran ke alam damai. Alam kehampaan yang tiada keresahan, kesusahan,
kesakitan dan segala jenis derita dalam kehidupan di arcapada.
Pada kebiasaannya, raja dan pa h itu harus minum sampai lupa diri dan terlena di atas
permadani. Baru keesokan harinya, pa h Aragani mohon diri pulang. Itulah sebabnya maka
pasewakan dari mtntri dan nayaka yang bermula diadakan dua kali sepekan, dirobah hanya sekali
dalam sepekan. Itupun masih dilangsungkan pada waktu matahari sudah naik nggi di tengah
cakrawala. Mentri, senopa , nayaka dan narapraja diam-diam mengeluh dan gelisah memikirkan keadaan
kerajaan Singasari. Namun apa daya. Mereka harus menurut titah sang prabu.
Saat itu tengah malam. Ke ka baginda masih asyik menikma tuak dengan Aragani, ba- ba
masuklah seorang bekel prajurit penjaga keraton.
"Gus , penjahat yang menyelundup ke dalam keraton tadi telah tertangkap," setelah memberi
sembah, bekel prajurit itu menghaturkan laporan.
"Bagus" seru baginda.
"Bunuh saja !" patih Aragani dalam keadaan setengah mabuk berseru menyelutuk.
"Jangan !" teriak baginda "masukkan dalam tahanan. Besok hadapkan ke sini. Aku hendak
melihat tampang mukanya."
Bekel prajurit memberi hormat lalu mengundurkan diri.
"Jangan dibunuh dulu, Aragani," ujar baginda "aku ingin melihat wajahnya. Sinar matanya
mengingatkan aku kepada seorang ....."
"Siapakah kiranya yang paduka ingat itu, gusti"."
"Nan setelah benar dia, engkau tentu tahu sendiri," tah Baginda "sudahlah, Aragani, tak perlu
memikirkan orang itu. Mari kita lanjutkan pula kesenangan kita."
Demikian, baginda Kertanagara, raja Singasari dan pa hnya segera membenamkan diri pula
dalam genangan tuak. ~dewi.kz^ismo^mch~ III Saat itu masih dalam musim panas. Kemarin dan hari-hari yang lalu, matahari selalu memulai
kehidupan pagi dengan sinarnya yang gilang-gemilang. Langit-pun cerah.
Tetapi pagi itu, alam telah menampakkan gejala yang aneh. Langit berkabut mendung,
matahari tiada bersinar. Di ufuk timur hanya tampak sebuah bola yang membara kemerah-
merahan. Rakyat ke luar ke halaman rumah masing-masing untuk menyaksikan keajaiban alam pagi itu.
Tetapi belum sempat mereka menikma kesemuanya itu, terdengarlah sorak sorai yang gemuruh.
Kumandangnya menyerupai gunung rubuh ....
Tetapi rakyat jelas mendengarkan, bahwa suara dahsyat itu bernada suara manusia. Apa yang
terjadi" Mengapa " Apakah geger "
Demikian orang hiruk pikuk mulai bertanya-tanya. Tetapi sa ap orang yang ditanya, pun bahkan
balas bertanya. Dari satu ke lain rumah, orang berbondong-bondosg ke luar ke jalan untuk mencari
keterangan apa yang telah terjadi saat itu.
Tiba- ba mereka melihat dari arah gapura selatan, orang berhamburan melarikan diri masuk ke
dalam kota. Ada yang berlumuran darah, ada yang tertatih-tatih di papah oleh kawannya.
"Mengapa ?" rakyat lari menghampiri dan bertanya.
"Geger !" sahut orang-orang yang terluka.
"Geger ?" seru rakyat terkejut "geger apa"."
"Tentara Daha telah menyerang gapura selatan. Kami dikerahkan oleh pimpinan untuk menahan
arus serangan musuh tetapi gagal. Musuh berjumlah lebih besar dan lebih kuat ....."
"Hai, hendak ke mana kalian ?" rakyat makin bingung.
"Ke mana saja asal dapat menyelamatkan jiwa," orang-orang itupun memberi jawaban tanpa
menghentikan langkahnya. Rakyat gempar. Mereka berebutan lari ke rumah masing masing untuk mengabarkan kepada
anak-isteri. Bahkan ada setengahnya yang serempak mengajak keluarganya untuk mengungsi ke
luar pura. Beberapa saat kemudian, gapura selatan telah diterjang oleh beratus ratus prajurit. Rupanya
pertahanan di situ telah bobol dan prajurit-prajurit Daha berhasil menyerbu. Mereka bersorak
sorai untuk menambah semangat kemenangan mereka dan menghancurkan perlawanan orang
Singasari. Belum berapa mereka berjalan, sebuah barisan rakyat yang dipimpin oleh seorang pemuda
berderap-derap menyongsong. Segera terjadi pertempuran dahsyat. Dering lengking senjata
beradu, hardik pekik dari orang-orang yang sedang menyabung nyawa, jerit lolong dari mereka
yang menderita luka dan suara gedebak-gedebuk dari tubuh-tubuh yang rubuh, segera memenuhi
gelanggang pertempuran. Di bawah pimpinan seorang pemuda yang gagah berani, lasykar rakyat Singasari. bertempur
mati-matian dan berhasil.membendung arus serangan tentara Daha.
Tetapi hal itu hanya berlangsung dak lama. Prajurit-prajurit Daha yang menyerbu ke dalam pura
Singasari itu bagaikan anai-anai banyaknya. Selapis prajurit rubuh, selapis pula maju. Seolah-olah
mereka hendak membanjiri alun-alun Singasari dengan 'batang sayuta' atau sejuta mayat.
Betapapun gagah dan gigih perlawanan rakyat, tetapi karena mereka kurang lengkap
persenjataan dan kurang waktu menerima la han keprajuritan, akhirnya patahlah perlawanan
mereka. Mayat berserakan tumpang tindih, darah bergelimangan membasahi tanah.
"Mundur, gabungkan diri dengan pasukan pertahanan istana !" ba ba pemuda gagah itu
memberi perintah. Rupanya ia tak sampai ha melihat lasykar yang dipimpinnya banyak
berguguran. Pemuda itu dengan gagah berani menyerang untuk menahan prajurit-prajuri Daha. Dia
bertempur bagaikan harimau yang melihat darah. Se ap gerak trisulanya, tentu disusul oleh lolong
jeritan dan rubuhnya seorang prajurit Daha. Mayat bertumpuk menganak bukit, darah merah
membasahi bumi. Dan makin beringaslah pemuda itu mengamuk.
Gamparlah pasukan Daha menghadapi keperkasaan pemuda itu. Untuk sesaat mereka
berhenti dan tergetar nyalinya. Bahkan ada beberapa yang bsringsut-ingsut mundur.
"Hai, mengapa barisan di muka berhen ?" tegur tamtama Kampinis, pembantu utama dari pa h
Kebo Mundarang yang diangkat akuwu Daha sebagai senopati pimpinan pasukan Daha.
Ternyata Daha telah mengatur siasat yang licin. Senopati Jaran Guyang dengan dibantu oleh
tamtama-tamtama gagah antara lain Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung,
menyerang dari utara Singasari. Tetapi ternyata serangan itu hanya suatu muslihat untuk
memikat perhatian Singasari. Siasat itu termakan oleh baginda Kertanagara yang menitahkan
raden Wijaya berangkat ke Mameling menghadapi mutuh. Demikian pula ketika patih Kebo
Anengah tiba dari tanah Malayu, segera dititahkan baginda untuk membantu raden Wijaya ke
Mameling. Singasari mengira bahwa di bawah pimpinan raden Wijaya dan Kebo Anengah, dua senopa
yang termasyhur gagah berani itu, penyerangan Daha di Mameling tentu dapat dihancurkan.
Memang sesungguhnya dalam penilaian Daha, hanya kedua orang itu yang dikuatirkan. Terutama
mereka paling segan terhadap raden Wijaya. Maka betapalah girang orang Daha ke ka siasatnya
itu telah termakan. Wijaya dikirim ke Mameling, Kebo Anengah-pun disuruh menyusul. Dengan
demikian pura Singasari makin kosong kekuatannya.
Penyerangan yang utama dan dilakukan dengan pasukan kuat, dilakukan oleh fihak Daha melalui
selatan pura Singasari. Pasukan Daha yang lengkap dan berjumlah besar itu dipimpin sendiri oleh
patih Kebo Mundarang dengan dibantu oleh beberapa perwira yang terkenal gagah perkasa.
"Seorang pemuda mengamuk dengan trisula. Banyak prajurit- prajurit kita yang dibunuhnya,"
seorang prajurit memberi laporan.
"Hanya seorang ?" Prajurit itu mengiakan.
"Apakah dia prajurit Singasari "."
"Mungkin bukan, karena tak mengenakan pakaian keprajuritan."
"Ambilkan gadaku!" teriak Kampinis. Dan ke ka seorang prajurit menghaturkan senjata itu maka
tamtama Kampinis segera bergegas gegas lari ke muka "Minggir kalian semua ! Akan kuremukkan
kepala pemuda iiu !."
Prajurit-prajurit yang tengah bertempur terkejut. Tetapi sesaat kemudian mereka girang
setelah mengetahui siapa yang datang. Mereka kenal siapa Kampinis itu. Seorang bekel prajurit
yang kasar dan bengis tetapi gagah perkasa.
Setelah menyingkir memberi jalan maka Kampinis pun segera berhadapan dengan pemuda cakap
itu. "Hai, anakmuda gila, siapa engkau ?" tegurnya dengan suara menggeledek.
"Pembela bumi Singasari," sahut pemuda itu dengan tenang "bukankah engkau headak
menyerang bumi kami"."
"Rajamu tak mampu mengurus negaranya. Rakyat Singasari sudah muak karena menderita. Aku
hendak membebaskan penderitaan mereka!."
"Aku tak pernah mengeluh, rakyatpun tak pernah muak. Raja tak cakap, kami sendiri rakyat
Singasari yang akan menyelesaikan. Hak apa engkau orang Daha berani campur tangan urusan
kerajaan Singasari ?" balas pemuda itu dengan tajam.
"Ho, rupanya engkau habis makan ha macan maka nyalimu begitu besar," seru Kampinis
"tahukah engkau dengan siapa berhadapan ini "."
"Seorang prajurit dari akuwu Daha yang tak kenal budi."
"Anakmuda, jangan lancang mulut," seru Kampinis "aku masih mau memberimu kesempatan
terakhir. Pilihlah, engkau menyingkir dan selamat. Atau engkau tetap akan melawan aku dan remuk
kepalamu." "Perlu apa aku harus selamat seorang diri kalau saudara-saudara senegeriku ma semua, kalau
negara Singasari dijajah Daha"."
"Keparat, engkau!" hardik Kampinis seraya loncat mrnerjang. Gaya terjangannya sedahsyat
harimau menerkam. Bahkan dia dak hanya menerkam, melainkan menghantamkan gadanya ke
arah kepala pemuda itu. Pemuda itu terkejut namun iapun dengan tangkas telah menyelinap ke samping dan
memasukkan trisulanya ke lambung kanan musuh.
Tring .... Terdengar dering yang keras ke ka Kampinis menangkis dengan gada. Keduanya menyurut
mundur, tegak berdiri saling memandang. Ke ka beradu senjata, tangan keduanya tergetar lepas
dan keduanya hampir serempak melepaskan senjatanya masing-masing. Diam-diam pemuda itu
menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang prajurit yang bertenaga kuat. Tetapi diam-diam
pun ia memperha kan bahwa tampaknya lawan itu amat berangasan, hanya mengandalkan tenaga
kuat tetapi kurang siasat.
Serangan kedua dimulai dengan Kampinis yang mendahului melayangkan gadanya untuk
menghunjam dada pemuda itu. Tetapi pemuda itu cepat songsongkan ujung trisula. Dan ke ka
membentur gada, dengan suatu gerak putaran yang cepat, tegera pemuda itu membalikkan tangkai
trisula untuk menyabat pinggang orang.
Kampinis terkejut sekali. Ia tak menduga akan menerima serangan semacam itu dan gerakan
pemuda itu memang amat cepat sekali. Karena tak sempat menghindar, Kampinis menekuk
tubuhnya ke belakang agar perutnya menyurut mundur.
Prak .... Kampinis memang berhasil menyelamatkan perutnya dari sodokan tangkai trisula tetapi
alangkah kejutnya ke ka pemuda itu ayunkan kakinya menendang tangannya. Dalam keadaan
seper saat itu, tak mungkin bagi bekel prajurit Daha itu Untuk menghindar. Tulang tangannya
serasa patah dan mencelatlah gada dari tangannya.
Selagi Kampinis masih terlongong-longong karena kekalahan itu, ujung trisula pemuda itupun
sudah mengancam dadanya. Dalam gugup, Kampinis menggembor keras seraya membuang
tubuhnya ke belakang. "Jangan meliar!" ke ka pemuda itu hendak memburu untuk memberi tusukan yang terakhir
kepada Kampinis, beberapa prajurit Daha cepat berhamburan untuk menghadangnya.
Pemuda itupun terpaksa mengamuk lagi dan tak sempat untuk melihat bagaimana keadaan
Kampinis. "Kepung pemuda itu sampai dia menyerah!" seru seorang tamtama lain "yang lain-lain lanjutkan
serbuan ke dalam pura!."
Ternyata tamtama itu mendapat perintah dari pa h Kebo Mundarang. Rupanya pa h Daha
itupun telah menerima laporan tentang pemuda yang mengamuk itu.
"Celaka, mereka hendak menyerbu keraton. Aku harus membuka jalan darah," diam-diam
pemuda itu mengeluh dan memutuskan rencana.
Namun betapa gagah perkasanya, dia hanya seorang diri dan prajurit-prajurit Daha yang
mengepungnya itu berjumlah ratusan. Maka sukarlah baginya untuk meloloskan diri. Bahkan makin
lama makin ketatlah kepungan itu hingga dia mandi keringat.
"Kalau aku tak kuat melawan, lebih baik aku bunuh diri daripada jatuh di tangan orang Daha,"
diam-diam pula pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dan ia merasa hal itu segera akan terjadi.
Pemuda itu makin tegang di kala mengetahui bahwa pasukan Daha tetap lanjutkan serbuannya
ke keraton. Namun apa daya, ia tak mampu meloloskan diri. Akhirnya ia nekad. Dengan
menggemborkan suara yang menyerupai aum harimau, ia menerjang sekuat-kuatnya.
Beberapa prajurit kembali rubuh tetapi karena rapatnya prajurit itu mengepung, akhirnya dalam
suatu saat yang lengah, bahu pemuda itu termakan tusukan tombak, punggungnya tersabat
pedang. Darah bercucuran merah pakaian dan tubuhnya.
Tiba- ba dalam de k-de k yang gawat dan berbahaya itu, sesosok tubuh langsing berlari-lari
mendatangi dari arah alun-alun. Cepat sekali pendatang itu tiba di tempat pertempuran dan ....
"Jangan takut Mandira, aku akan membantumu," seru pendatang itu.
Pemuda itu terkejut. Demi melihat siapa pendatang itu, semangatnya serentak bangkit kembali
"Baik, Sedayu, mari kita hancurkan kawanan perampok dari Daha ini !."
Yang datang itu memang Rara Sedayu. Gadis itu mengenakan pakaian seorang pria. Karena
sampai pagi belum juga Jaka Ludira ke luar dari keraton, ia gelisah sekali. Dan lebih terkejut ke ka
mendengar suara sorak sorai dahsyat pagi itu. Cepat ia mendapat keterangan bahwa pasukan Daha
telah menyerang pintu gapura selatan.
Sesaat ha nya bingung. Akan menemui Jaka Ludira ke dalam keraton atau membantu lasykar
rakyat pimpinan Lembu Mandira untuk menahan serangan prajurit Daha.
Lebih dulu ia menunggu lagi. Setelah matahari ke luar belum juga Jaka Ludira muncul, akhirnya ia
memutuskan untuk membantu pertahanan gapura selatan. Dan kedatangannya tepat sekali pada
saat Lembu Mandira sedang terancam bahaya maut.
Lembu Mandira bagai harimau tumbuh sayap. Trisulanya menyambar-nyambar laksana pe r
merobek angkasa. Se ap sambaran tentu menimbulkan letupan jerit yang menyayat ha . Sedayu
yang menggunakan pedang, bermanja pula dalam hujan darah. Pedangnya menari-nari di antara
tubuh dan senjata lawan. Apabila trisula memagut-magut seper ular ganas, maka pedang Sedayu
seolah kumbang yang berkelincahan menyengat nyawa lawan.
Bukan hanya belasan tetapi ratusan prajurit yang menghadapi pengamukan kedua anakmuda
itu. Tetapi besar sekalipun jumlahnya, prajurit-prajurit itu hanya golongan prajurit biasa.
Betapapun mereka harus puas merelakan nyawanya kepada kedua pendekar muda yang memiliki
ilmu tata- kelahi yang tinggi.
"Mana kakang Ludira," setelah berhasil menipiskan kepungan lawan, Mandira menyempatkan
pertanyaan. "Masuk keraton."
"Hah ?" Lembu Mandira mendesah "lalu"."
"Semalam dia masuk tetapi sampai pagi ini tetap belum ke luar," sahut Sedayu dengin nada
cemas. Lembu Mandira terkejut sehingga sesaat ia tertegun. Crek, seorang prajurit yang dekat di sebelah
kanannya cepat ayunkan pedang. Untung pemuda itu masih sempat mencondongkan bahunya ke
samping sehingga terhindar dari bahaya putus lengan. Sekalipun begitu, bajunya robek dan
bahunya tercium ujung pedang sehingga berlumuran darah.
"Keparat!" Lembu Mandira mendamprat, berputar tubuh seraya menusuk lambung
penyerangnya. Prajurit itu bergeliat menghindar. Ia berhasil. Tetapi ke ka belum sempat ia memperbaiki
tegaknya, tiba-tiba punggungnya tersambar dua buah ujung trisula bagian bawah.
Memang prajurit itu tak menduga bahwa setelah luput menusuk, Lembu Mandira akan menarik
trisulanya sedemikian cepat. Prajurit itu menjerit tetapi hanya sempat setengah jalan karena
Mandira telah menghancurkan mulutnya dengan hantaman tangkai trisula sekeras kerasnya.
Tiba- ba ia mendengar pekik sorak tercampur jerit lolong yang gempar dari arah keraton. Dan
samar-samar ia masih sempat menangkap suara derap orang berhamburan melarikan diri.
"Raden, keraton telah tergempur ...." ba- ba seorang lelaki yang tubuhnya berlumuran darah
berlarian mendatangi. Dia salah seorang rakyat yang ikut berjuang di bawah pimpinan Lembu
Mandira. Tetapi masih jauh dari tempat Mandira, orang itupun rubuh. Rupanya dia banyak
mengeluarkan darah akibat luka parah yang dideritanya.
"Kakang Ludira ..... " serentak Sedayupun teringat akan keadaan Ludira yang tak diketahui itu.
"Sedayu, mari kita cari kakang Ludira!" Mandira dapat menanggapi apa yang diresahkan
gadis itu. Diapun membayangkan kemungkinan akan tertangkapnya Ludira oleh pengawal
keraton. Sedayu cepat mengiku ndakan Mandira yang dengan sekuat tenaga menerjang musuh yang
mengepungnya. Sebuah jalan darah telah tersingkap di antara tubuh-tubuh prajurit yang terkapar
malang melintang di tanah. Girislah nyali prajurit-prajurit itu melihat tandang amukan kedua
pemuda itu. Terpaksa mereka mcnyiak ke samping.
Tiba- ba barisan Daha yang di belakang hiruk pikuk. Di tengah-tengah kegemparan itu, Lembu
Mandira mendengar suara melantangkan perintah "Lekas lapor kepada gus pa h bahwa pasukan
Singasari di bawah pimpinan patih Kebo Anengah kembali ke pura."
Rupanya perintah itu terdengar juga oleh segenap prajurit yang tengah mengepung Lembu
Mandira dan Sedayu. Semangatnya serempak berantakan.
"Hayo, kita bantu menahan pasukan Singasari itu!" seorang bekel prajurit yang bertubuh pendek,
mengajak anakbuahnya. Bagai lebah dionggok dari sarang, berhamburanlah prajurit-prajurit lari meninggalkan kedua
pemuda itu. Mereka menuju ke luar gapura selatan.
"Kakang, mari kita cepat menolong kakang Ludira," Sedayu kencangkan lari menuju ke arak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keraton. "Tunggu Sedayu!" Lembu Mandira mengejarnya "pasukan Daha sudah mengepung di halaman
muka, lebih baik kita mengambil jalan dari samping keraton."
Tiba di samping keraton, ba- ba Lembu Mandira berkata pula "Sedayu, bagaimana kalau
engkau masuk sendiri"."
"Kakang "."
"Aku hendak menggempur pasukan Daha yang berada dalam pura agar jangan sempat memberi
bantuan kepada kawannya yang hendak menahan pasukan pa h Kebo Anengah itu," jawab Lembu
Mandira. "Tetapi kakang terluka dan seorang diri," seru Sedayu cemas "berbahaya sekali, kakang. Lebih
baik kita menolong kakang Ludira dahulu."
Lembu Mandira kerutkan dahi.
"Setelah menolong kakang Ludira, kekuatan kita akan bertambah. Dan untuk sementara waktu
ini, tak mungkin pa h Kebo Anengah akan kalah. Tentu memakan waktu cukup lama sehingga kita
dapat memberi bantuan kepadanya." Sedayu memberi penjelasan lebih lanjut.
"Baiklah, Sedayu," akhirnya Lembu Mandira menyetujui.
Baru beberapa langkah berjalan mereka melihat seorang prajurit berjalan terta h-ta h sambil
mendekap bahu kanannya. "Berhen !" hardik Mandira yang cepat menghadang orang itu "siapa engkau ?" tegurnya setelah
mengetahui bahwa orang itu seorang prajurit Singasari yang terluka.
"Hamba prajurit Singasari."
"Hm, hendak ke mana "."
"Hamba diutus gus tumenggung Wirakre untuk menyampaikan berita ke gedung
tumenggungan." "Berita apa "."
"Gus tumenggung minta supaya gus puteri lekas nggalkan tumenggungan dan mengungsi ke
Lodaya" "Mengapa "."
"Gus tumenggung merasa bahwa pertahanan keraton Singasari sukar dipertahankan. Pasukan
Daha terlalu kuat." "Ih," tiba-tiba Sedayu melengking "siapakah yang memimpin pertahanan di keraton "."
"Tumenggung Wirakreti."
Sedayu hampir menjerit keras. Untunglah ia dapat menyadari keadaan saat itu. Ayahnya sebagai
tumenggung Angabaya, memang menjabat sebagai mentri yang mengurus pasukan.
"Baiklah, silakan melanjutkan perjalanan ke tumenggungan," cepat Lembu Mandira berkata,
kemudian kepada Sedayu "Sedayu, mari kita membantu paman tumenggung!."
"Tidak, kakang," Sedayu menolak "kita tetap langsungkan rencana kita semula. Segalanya akan
kita hadapi bersama kakang Ludira !."
Bahkan sehabis berkata gadis itu terus pesatkan langkah masuk ke pintu. Mandira terkecoh dan
kesima. Ia tak sangka bahwa gadis Sedayu sedemikian keras ha nya. Tidak pulang untuk membawa
keluarganya menyingkir dari pura kerajaan. Tidak pula membantu ayahnya yang sedang bertempur
melawan serbuan musuh, tetapi tetap hendak menolong Ludira.
Lembu Mandira menghela napas. Ia menyadari bahwa dalam ha Ludira dan Sedayu sedang
berkobar kemelut semangat membela tanah air dan badai asmara.
"Semoga Dewata melindungi sejoli kesuma negara itu," diam -diam Mandira memanjatkan doa
dalam hati. Dan ketika mengenangkan nasib dirinya sendiri, kembali ia menghela napas.
Keduanya agak heran mengapa pintu samping itu ada penjaganya. Dan sampai menyusup jauh
ke dalam, belum juga mereka benua dengan barang seorang penjagapun.
Kedua anak muda itu mencabut senjata lalu masuk ke dalam. Mereka hendak mencari seorang
penjaga, baik prajurit maupun dayang keraton, untuk meminta keterangan teatang Jaka Ludira ....
Saat itu pura Singasari telah dilanda beribu-ribu prajurit Daha yang dipimpin oleh pa h Kebo
Mundarang sebagai senopa . Pertahanan gapura selatan telah bobol. Dan bagaikan air bah,
prajurit-prajurit Daha segera bersorak sorai menghampiri keraton.
Hampir mencapai alun-alun, mereka telah disambut hangat oleh Lembu Mandira. Kemudian
datang pula Sedayu. Namun jumlah pasukan Daha itu amat besar. Sebagian masih dapat
melanjutkan serbuannya ke keraton.
Kemarin setelah menerima perintah dari baginda Kertanagara, pa h Kebo Anengah yang baru
tiba dari tanah Malayu, sagera membawa pasukannya ke Mameling.
Baginda cemas akan diri raden Wijaya, bakal putera menantunya, yang telah di tahkan untuk
menghadapi pasukan Daha. Maka patih Kebo Anengah dititahkannya pula supaya membantu raden
Wijaya. Tetapi di tengah perjalanan, pa h Kebo Anengah telah disusul oleh seorang pengatasan dari
pura Singasari yang melaporkan bahwa pasukan Daha telah menyerang pura Singasari dari sebelah
selatan. Patih Kebo Anengah menggeram.
"Hm, siasat yang licin," patih itu segera membawa pasukannya kembali ke pura Singasari.
Betapa kejut pa h itu ke ka ba di gapura utara, ia telah mendengar sorak sorai yang gegap
gempita mengguruh di Manguntur. Sebuah balai agung dalam keraton yang diperuntukkan baginda
atau mentri senopati menerima penghormatan dari pasukan.
"Mereka telah menyerbu keraton," pa h Kebo Anengah makin terkejut. Serentak ia
memerintahkan pasukannya untuk menyerbu.
Tetapi senopa Daha sudah mengadakan persiapan. Ia tahu memperhitungkan kemungkinan
pasukan Wijaya atau pasukan Kebo Anengah akan kembali ke pura. Maka diperintahkannya
sebagian dari pasukan Daha untuk menjaga gapura utara.
Bahkan kepada bekel Wirota yang dipercayakan untuk menghancurkan pasukan Singasari, pa h
Kebo Mundarang memberi perintah supaya pasukan diperlengkapi dengan barisan pendam, terdiri
dari barisan lembing dan barisan pemanah.
Pa h Kebo Anengah tak curiga ke ka memasuki gapura utara dengan mudah karena ada
penjagaan sama sekali. Tetapi selekas ia memasuki pura, sekonyong-konyong berhamburanlah
lembing dan anakpanah mencurah ke arah anak pasukannya.
Di tengah pekik jeritan kejut dan kesakitan dari prajurit-prajurit Singasari itu, dari empat penjuru
muncul beratus-ratus prajurit Daha. Diantar sorak-sorai untuk menghancurkan nyali lawan, maka
beratus-ratus prajurit Daha itu segera menyerang.
Keadaan pasukan Kebo Anengah makin porak. Banyak di antara mereka yang terluka karena
hujan lembing dan anakpanah. Dalam keadaan sekacau itu mereka harus menerima serbuan
pasukan Daha pula. Hujan lembing dan anakpanah tak mampu merontokkan selembar bulu rambut pa h Kebo
Anengah yang gagah perkasa itu. Namun melihat keadaan anak-buahnya, iapun mengerang dalam
hati. Senopa Singasari itu mengendarai seekor kuda tegar bulu hitam. Senjatanya sebatang tombak
pusaka. Sebagai seorang senopa yang sudah banyak pengalaman, cepat ia merasakan suatu
firasat, bahwa keadaan pura kerajaan memang sangat berbahaya. Sukar ditolong dari kekalahan.
Sejenak ia menyelimpatkan pandang. Alun-alun penuh dengan prajurit prajurit yang sedang
bertempur. Di balai Manguntur, kedengaran musuh bersorak sorai. Sedang di sebelah muka
sepanjang arah keraton, penuh dengan berlapis-lapis prajurit Daha yang bersenjata lengkap.
Kehancuran Singasari meremang bayang-bayang.
"Oh, Hyang Jagadnata, lindungilah Singasari........... " pikirannya rawan. Hatinya berdoa.
Selintas terbayang keadaan raden Wijaya di Mimeling.
"Pura kerajaan sudah di ambang keruntuhan. Lebih baik aku menggabungkan diri dengan
raden Wijaya. Kita susun kekuatan lagi untuk merebut Singasari," hatinya berbicara, pikiran
menimbang. Hampir ia membuka mulut untuk memberi perintah kepada anak pasukannya atau ba- ba
terdengar sebuah jeritan keras yang menyerupai aum harimau. Cepat ia berpaling.
Tampak bekel Tantaka rubuh berlumuran darah. Di sisinya rebah seorang prajurit Daha, perutnya
pecah berhamburan. "Tantaka!" cepat patih Kebo Anengah memutar kudanya ke arah bekel prajurit itu "engkau ...."
Tiba- ba bekel yang tengah pejamkan mata dan wajahnya pucat itu membuka mata, tersenyum
"Aku akan mendahului berangkat, gus .... tetapi aku sempat membawa seorang budak orang Daha
ini ......" Bekel itu telah tertabas senjata musuh yang menyerang dari belakang Sebelum rubuh, ia sempat
pula untuk menusuk perut lawannya itu.
"Gusti," tiba-tiba bekel yang tengah meregang jiwa itu berkata pula "harap jangan hiraukan
aku. Mati di medan laga, memang layak bagi seorang prajurit. Mati utama. Tetapi aku masih
sarat untuk meninggalkan jazad ini sebelum gusti meluluskan permintaanku."
"Katakan, Tantaka," cepat-cepat pa h Kebo Anengah memburu kata "di mana keluargamu
berdiam"." "Bukan keluarga, bukan sanak, bukan pula kawan yang kupikirkan. Tetapi baginda junjungan
kita......... gusti, cepatlah lindungi baginda ....."
"Tantaka ....... !" teriak pa h Kebo Anengah demi melihat kepada bekel itu terkulai lentuk.
Tentulah dia sudah ma . Kebo Anengah hendak loncat turun dari kudanya tetapi ba- ba empat
prajurit Daha memburu dengan tombak dan pedang.
"Bedebah!" Kebo Anengah meraung dan ayunkan tombaknya. Dua orang prajurit terjungkal
rubuh. Sekali menyentakkan kendali, kuda hitampun menerjang. Dua orang prajurit lagi, menjerit
rubuh. Sekelompok barisan Daha segera menghadang dengan mengacungkan tombak ke muka. Seorang
prajurit tinggi besar, bersenjata pedang kangkam, loncat ke hadapan Kebo Anengah.
"Gus pa h," seru orang itu yang ternyata bekel Wirota "hamba hendak menghaturkan sepatah
kata kepada gusti." "Di tempat apakah ini?"sahut Kebo Anengah.
"Medan penyabung nyawa."
"Hm," desuh Kebo Anengah "perlukah berbicara dengan mulut selain dengan senjata"."
"Hamba rasa perlu juga dalam keadaan seperti saat ini."
"Mengapa "."
"Demi keselamatan gusti patih."
"Keselamatan! " balas Kebo Anengah dingin, "jika ingin selamat, aku tentu tak berada di tempat
ini." "Benar, gusti," kata bekel Wirota "tetapi kita harus dapat melihat kenyataan."
Kebo Anengah kerutkan dahi "Apa maksudmu"."
"Kenyataan telah jelas," kata bekel Wirota, "bahwa kerajaan Singasari sudah tak mungkin dapat
dipertahankan ....."
"Jangan lancung mulut, bekel keparat!" bentak Kebo Anengah "selama Kebo Anengah masih
bernyawa, tak mungkin engkau dapat merampok kerajaan Singasari!."
"Ucapan seorang ksatrya," sambut bekel Wirota "tetapi ksatrya yang bodoh!."
Kebo Anengah kerutkan dahi. Bibirnya bergetar-getar. Tetapi sebelum kata sempat terlontar,
bekel Wirotapun sudah mendahului.
"Seorang bijak disebut bijaksana, seorang ksatrya disebut ksatrya dan seorang senopa disebut
senopati, adalah karena mereka yang dapat melihat kenyataan dan menyesuaikan keadaan."
"Sedemikian kurangnya susila orang Daha sehingga seorang bekel berani memberi nasehat
kepada seorang patih!."
"Di dalam pemerintahan, memang berbeda bekel dengan pa h. Tetapi di medan laga ajang
penyabung nyawa, yang ada hanya lawan atau kawan. Tiada bekel ada prajurit, ada tamtama
ada pula senopa . Sungguh kasihan benar bahwa di langit Singasari yang tersaput awan kelam,
dilanda hujan prahara, diamuk pe r halilintar, ki pa h masih membayangkan malam purnama.
Lihatlah ki pa h, bendera merah pu h kerajaan Daha sudah terpancang dengan megahnya di
tengah alun alun. Mengapa ki pa h tak mau melihat keadaan dan menyemaikan diri dalam
kenyataan"." "Bedebah, engkau merampok keraton Singasari!" damprat patih Kebo Anengah.
"Sama sekali dak, ki pa h," seru bekel Wirota "Daha sebuah akuwu kecil dan Singasari kerajaan
besar yang menguasainya. Bagaimana mungkin yang lemah merampok yang kuat"."
"Baginda Singasari telah melimpahkan budi kebaikan besar kepada rajamu. Tetapi ternyata diam-
diam dia telah merampok dan menghianati."
"Kami menyangkal merampok tetapi kami mengakui menghianat. Tetapi nenghiana
pemerintahan yang bobrok, raja yang gelap pikiran, bukanlah penghianatan yang salah Ki pa h
bebas mengatakan apapun juga terhadap Daha, tetapi yang jelas perjuangan merebut kerajaan
untuk mengembalikan kebesaran Daha yang telah dirampas oleh Ken Arok, merupakan suatu
tujuan luhur bagi segenap rakyat Daha. Dan untuk itu kami telah berjuang dengan keringat dan
darah. Bukan salah Daha kalau Singasari dapat dihancurkan. Bukan pula salah rakyat Singasari,
bahkan bukan salah ki pa h, melainkan harus dipertanggungjawabkan kepada baginda yang telah
dilelapkan oleh buaian Aragani."
Kebo Anengah tertegun. Memang yang diungkapkan bekel itu benar semua. Yang menyebabkan
kehancuran kerajaan Singasari adalah pa h Aragani. Tetapi mungkin dia seorang musuh dalam
selimut. Yang harus bertanggung jawab adalah baginda Kertanagara sendiri. Bukankah baginda
seorang raja binatara yang putus segala ilmu, yang mengangkat diri sebagai Jina. Mengapa segelap
itu pikiran baginda sehingga mudah dimabuk sanjung Aragani "
"Gus pa h Kebo Mundarang telah menitahkan kepada hamba, supaya menyambut dengan
kebesaran penuh apabila gus pa h Kebo Anengah suka bekerja sama untuk membersihkan
kebobrokan kerajaan Singasari, maka kelak ki patihlah yang tetap diangkat sebagai patih Singasari."
Merah padam wajah Kebo Anengah demi mendengar bujukan itu.
"Percayalah, gus ," cepat bekel Wirota mengejar kata-kata pula "baginda Jayakatwang seorang
junjungan yang mulia dan luhur budi. Jasa gusti patih tentu akan mendapat balas yang layak ....."
"Jangan banyak mulut, bekel gila !" kali ini Kebo Anengah tak kuasa menahan luap amarahnya. Ia
terjangkau kuda dan tombaknya.
Witota gupuh menghindar. "Ki patih, adakah engkau benar-benar tak mau menerima persembahan kataku "."
"Tombakku tak mau kuajak berhianat!" memutar kuda, pa h Kebo Anengah luncurkan
tombaknya ke lambung orang.
"Baik, jika demikian keputusan ki pa h, Wirotapun akan menunjukkan bahwa orang Daha itu
dapat mengalahkan orang Singasari!."
Bekel itu mencabut senjatanya. Sebuah pedang kangkam. Lalu dimainkan untuk melayani
tombak lawan. Dalam hal tenaga, nyata Kebo Anengah lebih perkasa. Ditambah pula dia naik kuda. Dia
dapat memberi tekanan yang gawat kepada lawan. Berulang kali ujung tombaknya nyaris dapat
merobek tubuh Wirota. Bahkan pada sebuah kesempatan, Kebo Anengah hampir dapat membenamkan ujung
tombaknya ke dada lawan. Tetapi untung bekel itu masih dapat menahan dengan ujung pedang
yang bengkok. "Lepaskan!" ba- ba Kebo Anengah menggembor seraya sentakkan tombaknya ke atas. Dalam
mengungkit ke atas itu, lebih dahulu ujung tombak digeliatkan ke muka, menghampiri leher lawan.
Bekel Wirota tak menyangka bahwa lawan memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya. Dia dipilih
pa h Kebo Mundarang menjadi pembantu senopa karena ilmu kesak an yang dimilikinya dan
keberaniannya yang menonjol. Dan selama menyerang gapura selatan dari pura Singasari sehingga
ba di alun-alun, belum pernah ada prajurit maupun tamtama Singasari yang mampu
menahannya. Tetapi kali ini dia bertemu batunya. Kebo Anengah memang seorang senopa yang gagah
perkasa, sak mandraguna. Wirota dipaksa harus memilih. Melepaskan pedangnya atau
menyerahkan tenggorokannya pada ujung tombak.
Bekel itu tak nempunyai banyak kesempatan untuk memilih. Ia lepaskan pedang dan loncat
mundur. Tetapi Kebo Anengah tak mau memberi kelonggaran lagi. Ia kejarkan kuda dan
tombaknya. Melihat lurah prajurit pimpinan hampir celaka di ujung tombak, serempak berhamburanlah
belasan prajurit Daha untuk menerjang Kebo Anengah.
Kebo Anengah tak gentar. Baginya sudah biasa berlaga di medan perang semacam itu, bahkan
ada yang lebih dahsyat lagi. Baginya medan perang adalah semacam tempat untuk melemaskan
urat-urat dan tulang. Belasan prajurit biasa, tak berarti apa-apa baginya.
Namun pasukan Daha itu berjumlah besar. Rubuh satu, muncul dua. Gugur dua maju lima.
Mereka bertempur seperti orang gila, walaupun berhadapan dengan seorang patih senopati
yang digdaya, mereka tak gentar, tak takut mati.
Diam-diam Kebo Anengah heran melihat tandang prajurit prajurit Daha itu. Dan diam-diam pula
ia mengeluh dalam ha . Apabila prajurit-prajurit Singasari memiliki semangat tempur seper
mereka, ah, tak mungkin Singasari sampai dilanda bencana seperti saat ini.
Memang pa h Singasari itu hanya mengukur kenekadan prajurit-prajurit Daha sebagai suatu
keberanian yang menyala-nyala. Sudah tentu dia tak tahu apa yang sebenarnya di balik keberanian
prajurit-prajurit lawan yang sedemikian menonjol itu.
Ternyata pa h Kebo Mundarang yang memimpin pasukan Daha menyerang dari gapura selatan
itu, sebelumnya telah mengeluarkan pengumuman kepada seluruh anak pasukannya.
Barangsiapa dapat membunuh musuh, akan mendapat ganjaran. Ganjaran itu ditetapkan
menurut banyaknya musuh yang ditewaskan. Ganjaran akan dirupakan uang, pakaian, rumah,
puteri dan kenaikan pangkat.
Di antaranya yang paling nggi adalah apabila dapat membunuh senopa musuh. Akan diganjar
pangkat tumenggung dan diberi rumah serta tanah. Dan jika dapat menangkap hidup senopa itu,
ganjaran akan ditambah pula dengan seorang puteri keraton.
Itulah sebabnya mengapa prajurit Daha yang mengepung pa h Kebo Anengah, telah menyerang
kemati-matian. Mereka tahu betapa harga patih Kebo Anengah.
Betapa gagah perkasanya pa h Kebo Anengah, namun dia hanya seorang diri. Salah seorang dari
berpuluh-puluh prajurit Daha itu, mendapat akal. Ke ka pa h itu sedang sibuk menghalau
serangan dari muka, tiba tiba prajurit itu loncat ke belakang kuda ki patih dan terus membabat kaki
kuda. Krek .... kedua kaki belakang kuda hitam terpapas kutung. Sebuah ringkikan yang melengking
tinggi segera mengiring rubuhnya kuda berikut patih Kebo Anengah.
Cret, cret, cret .... Pedang dan tombak segera menghujani tubuh ki pa h. Darah mengalir deras, memerah tubuh
dan celananya. Pandang matanya berbinar-binar, tubuh menggigil.
"Kalau aku harus ma , aku tak mau ma di tangan prajurit kerucuk," serentak mbul
keperkasaan hatinya. Dan bangkitlah Kebo Anengah, senopati Singasari itu.
Dengan meraung laksana harimau terluka, pa h itu menerjang sekerumun prajurit.
Menumpahkan dendam kesumatnya melalui gerakan tombaknya yang memagut-magut laksana
ular sanca. Se ap tusukan tentu bersambut jerit teriakan ngeri dari tubuh yang menggelepar
rubuh. Dalam sekejab saja, patih itu telah merubuhkan beberapa belas prajurit.
Namun prajurit-prajurit Daha itu memang seper kemasukan setan. Ke ka pa h Kebo Anengah
membasmi prajurit prajurit yang di muka, maka, prajurit-prajurit yang di belakang pa h itu segera


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerbu. Karena darah mengucur terus, pandang mata pa h itu makin pudar dan pekat. Namun ia
pantang menyerah. Berputar ke belakang, ia mengamuk dengan hebat. Kemudian berpaling ke
kanan, mengamuk ke kanan, ke kiri mengamuk ke kiri.
Gentarlah prajurit-prajurit Daha melihat tandang amukan pa h Kebo Anengah. Betapapun ha
ingin meraih pangkat tumenggung dan puteri can k, namun pikiran masih menyadari bahwa nekad
menyerang patih itu hanya seperti anai-anai menerjang api.
Prajurit prajurit Daha hen kan serangannya. Apabila pa h Kebo Anengah menerjang, mereka
mundur. Kebo Anengah mundur mereka maju ke muka. Namun mereka tetap mengambil jarak
tertentu terpisah beberapa depa dari patih itu. Tak berani mereka maju merapat.
Prajurit-prajurit Daha itu melihat jelas bagaimana Kebo Anengah telah menderita dan banyak
mengeluarkan darah. Tentulah patih itu tak mungkin kuat bertahan lama. Maka mereka
menggunakan siasat untuk mengurungnya saja.
Rupanya Kebo Anengah menyadari, keadaan dirinya dan tahu akan siasat musuh. Apabila
masih berkuda, mudahlah untuk menerjang ke luar kepungan itu. Tetapi saat itu ia tegak di atas
tanah dan menderita luka. Kepungan prajurit Daha terlalu rapat sekali.
Akhirnya ia hen kan serangan dan berseru "Panggil senopa kalian pa h Kebo Mundarang. Aku
hendak bicara kepadanya !."
Sejak pedangnya tersongkel lepas dan hampir tertusuk tombak, bekel Wirota tak mau maju lagi.
Dia hanya di belakang barisan untuk memberi perintah. Sudah tentu diapun mendengar juga
tentang permintaan pa h Singasari itu. Segera ia memerintahkan seorang prajurit untuk
menghadap senopati. Saat itu pa h Kebo Mundarang tengah memimpin pasukan Daha untuk mengepung keraton. Dia
terkejut dan bergegas datang ketika menerima laporan prajurit itu.
"Ki pa h Kebo Anengah hendak bicara dengan gus ," bekel Wirota menyongsong kedatangan
senopati pasukan. "Bagaimana keadaannya "."
"Menderita luka dan hampir kehabisan tenaga, gusti."
"Hendak menyerah "."
"Mudah-mudahan," sahut bekel Wirota "hamba gagal membujuknya supaya menyerah.
Mungkin setelah terluka, ki patih akan menyatakan sesuatu kepada gusti. Mudah-mudahan dia
sudah menyadari keadaan Singasari."
Maka menyiaklah barisan Daha yang mengepung pa h Kebo Anengah itu ke ka pa h Kebo
Mundarang tiba. Mereka tegak berjajar rapi memagar kanan kiri kedua patih itu.
"Ki Mundarang, aku sudah tua, tak berguna lagi dalam medan pertempuran." Kebo Anengah
membuka pembicaraan. "Ah, kakang Anengah seorang senopati yang gagah perkasa. Sayang kakang jatuh di tempat
yang tak sesuai." "Aku merasa seper seekor harimau yang terluka. Tikus- kuspun berani mengusik. Tetapi aku
tidak menyesal karena memang demikianlah nasib soorang senopati yang kalah perang."
Pa h Kebo Mundarang kenal dengan pa h Kebo Anengah. Cukup faham pula akan sifat-sifat
kekesatryaan pa h Singasari. Ia tak berani menggunakan kata-kata yang menyinggung perasaan
walaupun Kebo Anengah seorang senopati yang sudah kalah.
"Aku tak merasa menang bahkan kebalikannya akan merasa berbahagia sekali apabila kakang
Anengah berkenan mengabdi kepada Daha."
Kebo Anengah tertawa. Tetapi nada tawanya kering kerontang.
"Ya, baiklah senopati Daha. Kebo Anengah akan membuat suatu penyerahan."
"O, akan kusambut dengan jari sepuluh kedatangan kakang Anengah."
Kebo Anengah tertawa pula.
"Benarkah engkau akan menyambut gembira penyerahan diriku"."
"Kakang Anengah, engkau seorang senopa , akupun demikian juga. Ucap seorang senopa ,
adalah kehormatan seorang ksatrya."
"Bagus senopati Daha," seru Kebo Anengah, "jika begitu aku hendak minta kerismu."
"Untuk apa, kakang Anengah " " Kebo Mundarang terkejut. Pikirannya serentak berhamburan
membayang bermacam tafsiran.
"Bukankah Kebo Anengah hendak melakukan penyerahan. Karena itu maka akupun hendak
menukar senjata dari Singasari ini dengan senjata dari Daha."
"O," seru Kebo Mundarang sadar-sadar meragu. Setelah berpikir sejenak ia segera melolos keris
dan menyerahkan kepada patih Singasari itu.
"Terima kasih, senopa ," seru Kebo Anengah makin suram nadanya "adakah keris ini kebesaran
senopati Daha "."
"Benar, kakang Anengah," sahut Kebo Mundarang "baginda Jayakatwang telah menyerahkan
keris pusaka ini sebagai lambang kekuasaan senopati patukan Daha."
"Bagus, memang keris itulah yang kuinginkan," seru Kebo Anengah dengan nada yang lebih
beriak. Cahaya wajahnyapun tampak meriah, sikapnya amat perkasa. Dalam de k-de k itu, Kebo
Anengah benar-benar amat berwibawa sekali.
"Kebo Mundarang, laporkan kepada rajamu, kabarkan kepada rakyat Daha bahwa pada hari ini
patih Kebo Anengah akan menyerah. Dan sekarang terimalah penyerahanku ini........"
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 35 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ksatrya merelakan jiwanya daripada kehormatannya. Ma di medan perang, jauh lebih
terhormat daripada hidup menyerah pada musuh. Karena gugur di medan laga merupakan
kehormatan tertinggi dari seorang ksatrya.
Demikian Kebo Anengah, senopa kerajaan Singasari yang hendak menetapi sumpah seorang
senopati agung, petindih pasukan Singasari.
"Kakang Anengah !" serentak pa h Kebo Mundarang menjerit kaget dan cepat loncat ke muka
untuk mencegah. Tetapi terlambat.
Kebo Anengah telah menikamkan keris itu ke dadanya sendiri. Darah menyembur deras dan
terkulailah dia ke tanah. Kebo Mundarang menyambu nya dan meletakkan tubuh Kebo Anengah
ke tanah. "Kebo Mundarang, terimalah penyerahanku ..... Kabo Anengah ma .....Singasari tetap tegak
abadi......." "Kakang Anengah, engkau salah faham."
"Terima kasih, Mundarang. Aku puas mati di bawah senjata seorang senopati......"
Kebo Anengah tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu napasnya telah putus dan
kepalanyapun melentuk terkulai. Wajahnya menampilkan kerut kerut kebanggaan seorang senopati
perwira. Kebo Mundarang berbangkit. Lebih dulu ia memberi hormat kepada jenazah pa h Daha itu lalu
memerintahkan kepada seluruh prajurit untuk memberi hormat juga.
"Pa h Kebo Anengah adalah seorang seropa yang perwira. Rela ma daripada menyerah.
Walaupun musuh, tetapi kita harus menghormati seorang ksatrya!."
Pa h Kebo Mundarang telah memberi pelajaran yang amat berkesan kepada anakbuahnya.
Diapun menghargai sekali kepada pa h Singasari itu. Kepada anak buahnya, diperintahkan supaya
jenazah Kebo Anengah dirawat sebaik-baiknya ....
Duapuluh tahun lamanya akuwu Jayakatwang memerintah Daha sebagai raja bawahan Singasari.
Dendam seorang raja yang telah dirampas kewibawaan haknya atas kerajaannya.
Prabu Dangdang Gcndis alias raja Kertajaya ditundukkan oleh raja Rajasa Sang Amurwabumi atau
Ken Arok. Sebagai penggan Kertajaya maka Sang Amurwabumi mengangkat raja Jayasaba sebagai
akuwu Data. Kemudian raja Jayasaba digan kan oleh raja Sastrajaya dan mulai tahun Masehi 1271
raja Jayakatwang yang menjadi akuwu Daha.
Dua raja scbelumya, Jayasaba dan Sastrajaya, tak berhasil melepaskan diri dari pengaruh
Singasari. Demikian pula Jayakatwang. Duapuluh tahun kemudian barulah ia dapat melaksanakan
cita-citanya. Merebut kembali kedaulatan atas negara Daha dan sekaligus menundukkan Singasari.
Duapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Dirin snya kesulitan-kesulitan yang melintang ke
arah jalan cita citanya. Dipupuknya semangat perjuangan, dibangkitkannya kembali rasa cinta
tanah Daha di kalangan rakyat. Dibinanya persiapan-persiapan membentuk pasukan yang besar
dan kuat. Untuk melelapkan perha an baginda Kertanagara, maka Jayakatwang meluluskan puteranya,
raden Ardaraja, menjadi menantu baginda Singasari. Diendapkannya sikap patuh dan taat sebagai
seorang akuwu terhadap raja Singasari yang lebih berkuasa. Ditanamnya orang orang kepercayaan
untuk mengawasi setiap gerak-gerik dan perobahan dalam pemerintah Singasari.
Jerih payah selama duapuluh tahun itu akhirnya berbuah. Setelah mendengar laporan dari
Adipa Wiraraja di Sumenep dan meneli keadaan dalam pemerintahan Singasari yang makin
bobrok, akhirnya tercetuslah keputusan terakhir untuk menyerang Singasari.
Raja Jayakatwang mengatur siasat. Akuwu Daha itu menitahkan pa h Kebo Mundarang untuk
membagi pisukan Daha menjadi dua. Tumenggung Jaran Guyang diangkat menjadi senopa ,
memimpin pasukan ke satu yang menyerang Singasari dari desa Mameling yang terletak di utara.
Untuk menyemarakkan siasat itu agar benar-benar menarik perha an Singasari, maka diikut
sertakan juga beberapa senopa untuk membantu tumenggung Jaran Guyang. Antara lain Bango
Dolog, Prutung, Pcncok Sabang, Liking Kangkung, senopa -senopa Daha yang sudah termasyhur
kegagahannya. Dan siasat itu ternyata termakan oleh baginda Kcrtanagara. Baginda segera menitahkan raden
Wijaya untuk memimpin pasukan ke Mameling. Bahkan ke ka ki pa h Kebo Anengah ba dari
tanah Malayu, serentak bagindapun menitahkannya supaya cepat menyusul ke Mameling untuk
membantu raden Wijaya. Setelah mendapat laporan dari mata-mata Daha maka pa h Kebo Mundarang yang memimpin
pasukan ke dua dan menyerang dari selatan pura Singasari segera ber ndak. Bagai air bah,
pasukan Daha melanda gerbang Singasari dan bobollah pertahanan pura yang sudah kosong dan
lemah itu. Mendengar pura telah diserbu, pasukan Kebo Anengah yang belum berapa jauh dari pura itu
cepat-cepat kembali. Tetapi akhirnya pa h itu gugur. Pasukannya hancur dan dia sendiri pecah
sebagai ratna. Serbuan pasukan Daha makin gencar, pengepungan keraton Singasari makin ketat. Yang
memimpin pertahanan keraton hanya tumenggung Wirakre . Walaupun mentri Angabaya itu
berjuang gagah berani, namun pasukan Daha besar sekali jumlahnya.
"Gusti," seorang bekel prajurit segera menghampiri tumenggung Wirakreti dan berkata
dengan pelahan "musuh terlampau kuat bagi kita. Baiklah kita lolos dari keraton dan kelak kita
susun kekuatan lagi untuk merebut kembali pura Singasari. Kalau kita nekad bertempur, sia-
sialah pengorbanan kita ......."
"Bekel, jangan engkau bicara semacam itu !" tumenggung Wirakre membentak "aku seorang
mentri Angabaya kerajaan Singasari. Aku telah menerima budi dari kerajaan dan kepercayaan dari
baginda. Aku pun seorang putera Singasari. Bumi Singasari telah memberi kehidupan kepadaku.
Bagaimana mungkin aku melarikan diri di kala pertiwi sedang diinjak-injak kaki musuh"."
"Tetapi gusti........"
"Tidak ada tetapi, bekel, sebagaimana tak ada pengorbanan yang sia-sia. Lekas rapatkan barisan
dan tahanlah serbuan orang-orang Daha!" tukas tumenggung Wirakre dengan nada penuh
wibawa. Bekel iiu surut nyalinya dan malu dalam ha . Segera ia memimpin prajurit bawahannya untuk
keluar ke halaman, menyongsong serbuan musuh.
Di tengah pertempuran berkobar, tampak sesosok tubuh, berpakaian serba pu h, lari menyusup
ke dalam keraton Beberapa penjaga terkejut tetapi demi mengetahui siapa pendatang itu,
merekapun membiarkannya. Langsung orang itu menuju ke Balairung agung. Rupanya dia terengah-engah napas. Dan orang
yang habis berlari terengah-engah tentulah merah mukanya. Tetapi dak demikian dengan orang
itu. Tampak pada wajahnya yang sudah penuh keriput usia tua itu, pucat hampir menyerap,
rambutnya yang sudah penuh menjunjung uban.
"Ho, engkau empu Raganata" tegur baginda Kertanagara yang sedang duduk di tahta singgasana.
Walaupun dada diburu kesesakan napas, namun pendatang yang ternyata memang empu tua
Raganata, paksakan diri berkata "Gus , pasukan Daha sudah mengepung keraton. Se ap saat akan
menyerbu masuk. Mengapa gusti tak mengambil langkah yang perlu untuk menghadapi mereka"."
Sejak menjabat sebagai pa h sehingga dilorot sebagai Adhyaksa Tumapel, baru pertama kali itu
empu Raganata berbicara dengan nada keras terhadap baginda. Kata-kata yang bersifat menegur.
Memang empu Raganata tak kuasa menahan kesabaran ha nya lagi ke ka menyaksikan
pemandangan di balairung agung saat itu.
Pura telah diserbu, darah prajurit dan rakyat membasahi alun alun, mayat-mayat
bergelimpangan, suasana geger. Tctepi daklah sesuai keadaan di pura dengan di dalam Dilairung.
Saat itu baginda masih dihadap patih Aragani; bercakap cakap sambil minum tuak!
Baginda terkesiap. Belum sempat baginda berujar, ba ba pa h Aragani sudah mendahului
"Empu Raganata, janganlah tuan bicara sekeras itu di hadapan junjungan kita," serunya "baginda
telah berkenan melimpahkan budi kepada empu sebagai Adhyaksa Tumapel. Mengingat sudah
berusia lanjut tetapi banyaklah sudah jasa empu kepada kerajaan!."
Empu Raganata berpaling dan mencurah pandang berapi-api ke arah patih itu.
"Sukalah empu menerima kata-kataku ini," seru pa h Aragani pula "usia empu sudah cukup
lanjut untuk memikirkan urusan negara. Dan jabatan Adhyaksa itu, bukanlah untuk mengurus soal
keprajuritan maupun peperangan. Harap empu menyadari!."
Empu Raganata seorang yang putus akan ilmu agama dan ketataprajaan. Dia seorang tua yang
memiliki peribadi kuat. Walaupun dari jabatan pa h, diturunkan menjadi Adhyaksa di Tumapel,
daklah menyebabkan empu tua itu sakit ha atau kecewa. Baginya bukan jabatan atau
kedudukan yang penting, tetapi pengabdian.
Pengabdian kepada negara Singasari telah diletakkan oleh Raganata di atas segala. Bahkan lebih
dari jiwa raganya. Itulah sebabnya la menolak permintaan puteranya, Lembu Mandira, untuk tetap
berada di Tumapel karena peperangan sudah berkobar di pura Singasari.
Musuh sudih di luar keraton, setiap saat akan menyerbu ke dalam keraton. Mengapa engkau
masih mengagulkan kedudukanmu sebagai patih, Aragani ?" dengan berapi-api empu tua itu
memandang Aragani "jangan engkau meremehkan soal ketuaan usiaku. Jangan pula engkau
hendak menghapus dan mengecilkan arti kedudukanku. Dalam menghadapi bencana seperti
saat ini, patih, mentri, senopati, adhyaksa bahkan sampai prajurit yang terbawah serta segenap
lapisan rakyat, sama mempunyai tanggung jawab yang scrupa. Tengoklah, di luar, di alun-alun,
tumenggung Wirakreti dan anak pasukannya tengah berjuang menyabung nyawa. Tetapi
mengapa engkau sebagai seorang patih hanya bersantai minum arak di balairung ini!."
Tajam benar kata-kata yang dilontarkan empu tua itu. Tetapi di luar dugaan, pa h Aragani dak
marah sebaliknya bahkan tertawa "Ha, ha, jika orang tua masih didudukkan dalam pemerintahan,
tentu akan menimbulkan ketegangan dan kebingungan belaka. Bukankah baginda telah
menitahkan raden Wijaya dan adi Kebo Anengah untuk menggempur musuh di Mameling"
Bukankah sudah diamanatkan kepada tumenggung Wirakre untuk menjaga pura Singasari dengan
segenap kekuatan" Raden Wijaya termasyhur gagah berani, adi Kebo Anengah seorang senopa
yang menggetarkan nyali musuh di medan perang. Dan tumenggung Wirakre adalah mentri
angabaya yang sanggup menumpas ribuan musuh. Bukankah semua itu telah diper mbangkan
baginda penuh kebijaksanaan" Adakah engkau hendak mengharapkan supaya baginda
mengangkatmu sebagai senopati " Ah, ah?"."
Gemetar tubuh Raganata mendengar jawaban yang sangat kurang ajar itu. Cepat ia beranjak
menghampiri ke tempat Aragani dan menyambar lengan pa h itu "Aragani, hayo ke luar dan
saksikanlah apa yang sedang terjadi di alun-alun!."
Karena luapan amarah, tangan empu tua itu telah mencengkeram sekuatnya. Aragani merasa
sakit. Walaupun sudah tua tetapi empu Raganata masih memiliki tenaga yang kuat.
Aragani meronta tetapi tak kuasa melepaskan lengannya dari cengkeraman Raganata.
Bahkan saat itu Raganata telah menyeretnya bangun. Aragani meringis kesakitan. Tulang
lengannya serasa patah. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya "Lepaskan."
Aragani memukul empu Raganata. Karena dak menyangka dan jaraknya amat dekat, Raganata
tak dapat menghindar. Bahu kanannya terkena nju Aragani sehingga ia terhuyung dua ga
langkah ke belakang. Namun tangannya masih tetap mencengkeram lengan Aragani.
Aragani makin geram. Sambil meronta, tangan kanannya mengirim sebuah nju ke dada empu
tua itu, bluk .... Kali ini Raganata tak dapat bertahan lagi. Ia lepaskan cekatannya dan terhuyung-huyung
beberapa langkah ke pintu.
Baginda terkejut melihat kedua mentri itu saling baku hantam. Jelas didengarnya babwa
Raganata hendak membawa Aragani ke luar menyaksikan pertempuran di alun-alun. Empu tua itu
tak bermaksud hendak menganiaya Aragani.
"Aragani, berhenti ....... ! ."
Serempak dengan tah baginda itu, sesosok tubuh muncul dari luar pintu dan menyanggapi
tubuh empu Raganata dari membentur dinding. Pendatang itu seorang prajurit bertubuh nggi
besar. Tetapi jelas bukan prajurit Singasari.
"Maaf empu, aku datang terlambat," kata prajurit nggi besar itu "pa h jahanam itu tentu akan
kuremuk tulang kepalanya "."
Empu Raganata terkejut memandang prajurit nggi besar itu "Siapa engkau !" tegurnya seraya
meronta, lepaskan diri dari tangan orang. "Empu, waktu amat mendesak sekali, Nan kita bercerita
lagi. Yang penting sekarang aku harus menangkap patih jahanam itu."
"Engkau ....... prajurit Daha ?" tiba-tiba empu Raganata berteriak kejut.
"Jangan cemas, empu," sahut prajurit nggi besar itu "empu tetap akan kami horma . Hanya
patih bedebah itu yang hendak kami tangkap !."
"Raganata, engkau penghianat !" ba- ba pa h Aragani berbangkit seraya menuding empu tua
itu "engkau bersekongkol dengan orang Daha untuk memasukkan prajurit mereka."
Seke ka pucatlah wajah Raganata. Ia telah ditempatkan pada ujung fitnah yang berbahaya
sekali. Prajurit Daha itu telah menebarkan siasat yang keji. Bersikap seolah olah bersahabat dengan
Raganata agar empu tua itu dianggap telah bcrfihak kepada Daha.
Dan patih Aragani telah menjatuhkan keputusan. Baginda menyaksikan dan mendengar
sendiri semua peristiwa itu. Baginda tentu percaya tuduhan Aragani.
Empu Raganata tegak seper sebuah patung. Sesaat ia termangu seper sebuah patung tanpa
nyawa. "Aragani," cepat prajurit nggi besar menukas lalu tertawa gelak-gelak "memang sudah lazim
kalau maling, penghianat menuduh orang penghianat. Makilah sepuas ha mu selagi engkau masih
dapat bicara. Karena sebentar lagi engkau tentu sudah jadi mayat!."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa engkau !" bantah Aragani.
"Nah, sekarang engkau sadar," seru prajurit nggi besar itu "seorang prajurit musuh datang, tak
cepat-cepat engkau membunuhnya, kebalikannya engkau ribut menuduh kawan sendiri sebagai
penghianat." Aragani makin pucat wajahnya.
"Empu Raganata bukan seorang penghianat. Yang penghianat itu adalah manusia Aragani ......"
"Keparat engkau, anjing Daha! " teriak Aragani kalap.
"Kalau engkau memaki diriku sebagai anjing, kuterima," sahut prajurit nggi besar itu pula "aku
memang seorang hamba yang bertuan raja Jayakatwang. Jika anjing itu disebut sebagai binatang
yang setya, masakan aku seorang insan manusia, kalah dengan anjing " Lain halnya dengan engkau,
Aragani, engkau bukan anjing tetapi seorang manusia binatang yang buas. Singasari memberi
makan, pangkat dan harta tetapi engkau bersekutu dengan Demang Lebar Daun dari kerajaan
Sriwijaya untuk mencaplok tuanmu sendiri, baginda Kertanagara. Maka anjing masih lebih baik dari
seorang manusia semacam engkau !."
Hampir pingsan Aragani mendengar makian yang dilontarkan orang Daha itu.
"Hai, prajurit Daha, jangan kurang ajar di hadapan baginda kami. Mengapa engkau berani masuk
ke balairung sini"," tiba-tiba empu Raganata membentak.
"Prajurit prajurit pengawal keraton di sini sudah tak berdaya mencegah aku masuk ke mari.
Tujuanku ada dua. Pertama, hendak mohon kepada baginda Kertanagara supaya berkenan
membuat pernyataan menyerah. Kedua, menangkap patih Aragani untuk dihukum cincang !."
"Masih ada sebuah lagi," seru Raganata.
"Apa ?" prajurit tinggi besar itu terbeliak.
"Memfitnah Raganata sebagai penghianat !."
Prajurit nggi besar itu tertawa "Benar, karena rakyat Daha sangat mengindahkan diri tuan
sebagai seorang mentri yang setya dan bijaksana. Alangkah bahagia negara Daha apabila
mempunyai seorang mentri seperti diri tuan."
"Keparat!" damprat empu Raganata "siapa engkau" Huh, sampai di manakah kekuasaanmu
hendak menangkap kami."
"Aku adalah Suramengala, kadehan dari raden Ardaraja. Aku diutus raden Ardaraja supaya
menghadap baginda. Mengingat tali hubungan keluarga maka raden Ardaraja mohon agar baginda
Kertanagara menyerahkan tahta secara damai agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah yang
tak berguna. Raden Ardaraja akan menjamin keselamatan baginda."
"Hm," dengus empu tua Raganata "kalau baginda menolak"."
"Terpaksa aku harus menjalankan tah rajaku dan amanat rakyat Daha untuk menumpas raja
Singasari !." "Hai, prajurit-prajurit bhayangkara, tangkaplah penjahat ini! " ba- ba pa h Aragani berteriak
nyaring. Enam orang prajurit bersenjata pedang dan tombak, menerobos ke dalam balairung.
"Bunuh penjahat ini!" teriak Aragani pula seraya menunjuk ke arah prajurit tinggi perkasa tadi.
Tetapi keenam prajurit itu tetap tegak berjajar.
"Hai, kalian dengar dak perintahku " Tangkap dan cincang penjahat itu !" pa h Aragani
mengulang teriakannya. Tiba- ba prajurit nggi perkasaku tertawa, "Kasihan benar engkau, pa h Aragani ! Barangsiapa
menggali lubang, akhirnya ia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya. Engkau hendak merusak
baginda dengan tuak tetapi akhirnya engkau sendiri jualah yang rusak. Lihat, betapa kabur
penglihatanmu" Engkau kira siapakah prajurit-prajurit yang muncul ini"."
Patih Aragani nyalangkan mata. Seketika membelalakkan mata ia dicekik keterkejutan yang besar.
"Kalian prajurit-prajurit Daha ...." Prajurit nggi besar itupun tertawa "Kalau engkau hendak
mencari prajurit-prajurit bhayangkara keraton ini, segera akan kususulkan arwahmu ke akhirat!"
Gemetar Aragani mendengar kata kata itu. Cepat ia berbalik tubuh menghadap baginda "Gus ,
pasukan bhayangkara keraton paduka telah habis dibunuh orang Daha. Mohon paduka memberi
titah." Belum baginda menjawab maka melantanglah empu Raganata dalam keparauan suaranya
"Aragani, engkau pengecut!. Musuh sudah di depan mata, engkau masih pura-pura mohon titah.
Bunuhlah musuh itu!."
Empu tua itu berjongkok memberi sembah kapada baginda Kertanagara yang sejak tadi hanya
duduk terlongong di atas singgasana "Gus junjungan hamba yang mulia. Untuk yang terakhir kali
hamba mempersembahkan hormat hamba sebagai bhak seorang mentri kerajaan Singasari. Dan
hambapun hendak mempersembahkan permohonan ke bawah duli paduka. Hanya sederhana
sekali permohonan hamba yang terakhir itu, gusti."
"Ya," ujar baginda singkat.
"Apapun yang terjadi telah terjadi. Kerajaan paduka, negara Singasari yang hamba cintai, saat ini
telah berada di tebing kehancuran. Orang Daha telah menghlana kebaikan paduka. Orang Daha
hanya menawarkan dua pilihan kepada paduka. Menyerah atau dibunuh. Bagi hamba peribadi,
gusti, akan memilih mati daripada menyerah ......"
"Gusti," tiba-tiba patih Aragani merebut pembicaraan "janganlah paduka mendahar ucapan
Raganata itu. Dia sudah tua renta, esok atau lusa tentu akan mati. Oleh karena itu, tepatlah
kalau dia mengusulkan begitu agar dia memperoleh kawan dalam perjalanan ke akhirat !."
"Pengecut jahanam, engkau Aragani!" teriak Raganata.
Namun pa h itu dak menghiraukan dan tetap melanjutkan kata-katanya ke hadapan baginda
"Gus , kita harus melihat kenyataan dan berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya.
Pertahanan pura telah bobol, keraton padukapun telah terkepung. Prajurit-prajurit itu sudah
menyerbu ke dalam balairung membawa pesan akuwu Jayakatwang. Akuwu Daha itu masih ingat
akan budi paduka maka dia masih menawarkan dua pilihan. Dan hamba percaya, apabila paduka
memilih suatu penyerahan, akuwu Jayakatwang tentu masih mengindahkan paduka dan seper
yang pernah lakukan terhadap dirinya sebagai akuwu Daha, diapun tentu akan mendudukkan
paduka sebagai akuwu Singasari."
Tiba- ba pa h Aragani berpaling kepada prajurit nggi perkasa tadi "Bukankah begitu, ki
prajurit"." "Ya," sahut prajurit nggi perkasa itu. Selama terjadi percakapan antara kedua mentri Singasari
dengan baginda Kertanagara, prajurit itu tak mau ber ndak apa-apa. Ia memang hendak memberi
kesempatan agar kedua mentri itu dapat membujuk baginda menyerah.
Baginda kerutkan dahi. Rupanya pikiran baginda masih belum terang akibat minum terlalu
banyak. Untuk menenangkan kerisauan dan menghilangkan pemikiran akan serangan pasukan
Daha ke Singasari, maka pa h Aragani membujuk agar baginda minum tuak yang keras. Dan
bagindapun setuju sehingga sampai saat prajurit nggi besar menerobos masuk masuk ke
balairung, baginda masih merasa kosong pikirannya, ringan bobot tubuhnya. Masih terhuyung
dalam kemabukan. "Aragani, engkau benar seorang pa h jahanam. Engkau hendak membujuk sang prabu supaya
menyerah. Huh, malu, nista sekali pikiranmu!."
"Kalau engkau hendak melawan, silakan melawan sendiri, Raganata," seru Aragani mengejek
"tetapi janganlah engkau mencari kawan untuk ma . Dan terutama jangan menjerumuskan
baginda kita ke kancah kehancuran."
"Keparat," teriak Raganata "engkau kira aku takut mati seorang diri"."
"Silakan, karena Singasari sudah lama tak membutuhkan tenagamu yang tua renta itu," sahut
Aragani "tetapi baginda Kertanagara adalah junjungan seluruh kawula Singasari. Dan keadaan
se ap waktu dapat berobah. Selama masih bernafas tentu masih ada harapan. Orang yang
bijaksana dan berjiwa besar, dapat melihat kenyataan. Tetapi hanya si dungu yang keras kepala
yang akan mati secara sia-sia!."
"Jahanam Aragani, lengkaplah sudah sifat pembawaanmu. Engkau seorang penghianat yang
pintar menggerogo kewibawaan Singasari. Engkau seorang penjilat yang mudah bertukar tuan.
Dan engkau manusia mati rasa yang sudah hilang harga dirimu !" teriak empu Raganata.
Belum pernah sepanjang hidupnya empu itu menumpahkan kemarahan yang sedemikian
menyala-nyala dan menghamburkan hamun makian yang sedemikian kasar.
"Gusti," empu Raganata memberi sembah ke pada baginda "haram gusti bagi seorang raja
diraja seperti paduka apabila menyerah kepada orang Daha. Mati seorang penghianat, kawah
Candradimuka tempatnya. Mati seorang ksatrya, Nirwana tempatnya. Ampun, gusti, hamba tak
dapat mengabdi kepada tuan lagi ........."
Serentak berputar tubuh, tiba-tiba empu tua itu menerjang prajurit tinggi besar tadi.
Pada biasanya, empu Raganata selalu tenang ucap maupun gerak tubuhnya. Bahkan
melangkahpun ia pelahan dan ha -ha sekali. Walaupun kesehatannya masih segar, tetapi usianya
yang sudah tua telah melemahkan semangatnya dalam segala hal, kecuali pengabdiannya kepada
Singasari. Sungguh terkejut sekali prajurit nggi perkasa itu ke ka melihat gerak terjangan empu yang
sedemikian cepat dan dahsyat. Ia tak menyangka bahwa seorang empu yang sudah sedemikian tua
masih memiliki gerakan yang sedemikian gesit.
Karena rasa kejut, prajurit tinggi besar itupun tertegun. Ia terkejut ketika kedua tangan empu
itu telah meraih lehernya. Rupanya Raganata hendak mencekik prajurit Daha itu.
Tetapi prajurit nggi besar itu lebih terkejut lagi ke ka belum saja ia sempat bergerak untuk
menyelak tangan empu tua itu, ba ba empu tua itu menjerit nyaring dan panjang, menyerupai
lolong serigala kelaparan.
"Engkau ....!" teriak prajurit tinggi besar itu ketika mengetahui apa yang terjadi.
Ternyata karena melihat prajurit nggi besar itu yang rupanya menjadi pimpinan mereka,
hendak cekik oleh empu Raganata yang kalap, salah seorang prajurit Daha cepat loncat ke belakang
empu dan terus tusukkan ujung tombaknya ke pinggang empu.
Kedua tangan empu Raganata terkulai, lepaskan cekikannya dan tubuhnyapun serentak
menjuntai ke lantai, rebah tak berku k. Tiba- ba empu itu mengacungkan tangannya "Dhirgahayu
.... jayalah .... Singasari........."
Habis berseru, melentuklah tubuh empu Raganata. Arwahnya terbang melayang ke Nirwana.
"Beri hormat!" tiba-tiba prajurit tinggi perkasa Itu memerintahkan keenam anak buahnya.
Keenam prajurit Daha serta prajurit nggi besar itu serempak memberi hormat keprajuritan
kepada jenazah empu Raganata.
"Prajurit sekalian, inilah suri tauladan dari seorang mentri utama. Kesetyannya terhadap negara
dibawa sampai mati !" seru prajurit tinggi besar pula.
Setelah memerintahkan anakbuahnya mengangkat jenazah empu Raganata ke samping maka
tampillah prajurit tinggi besar Itu ke hadapan baginda Kertanagara.
"Gusti, hamba menunggu keputusan titah paduka," serunya.
Sebelum baginda sempat menjawab, pa h Aragani-pun sudah mendahului "Baginda berkenan
mendahar ucapanku. Siapkan prajurit kehormatan untuk menyambut baginda."
"Baik, ki pa h," sahut prajurit nggi besar itu dengan nada sarat "tetapi masih ada sebuah syarat
lagi." "Syarat apa" Katakan!"
"Bahwa raja kami hanya bersedia menyambut baginda Kertanagara tetapi dak seorang pa h
yang bernama Aragani!."
Kejut Aragani lebih besar daripada disambar petir. Seketika gemetarlah tubuhnya.
"Penyerahan baginda harus lengkap. Tak boleh ada seorang mentripun yang dikecualikan."
serunya setelah memperoleh ketenangan kembali.
"Benar," sahut prajurit tinggi besar "memang harus lengkap dikurangi seorang Aragani saja !."
"Kurang ajar!" teriak Aragani "apa engkau kira Aragani sudi menyerah pada Daha "."
"Sama saja ar nya, menyerah atau dak," sahut prajurit nggi besar itu pula "karena engkau
tetap harus mati." Pucat lesi wajah pa h itu. Sesaat kemudian berobah pula merah padam "Gus ," cepat ia
berpaling ke arah baginda "janganlah paduka menyerah kepada orang Daha. Dirgahayu Seri
Lokawja! Gus seorang Jina, seorang yang Berkemenangan. Tak mungkin paduka tunduk pada
Jayakatwang, seorang akuwu sebawahan paduka. Hamba, pa h paduka, mohon diperkenankan
untuk mengunjuk kesetyaan kepada paduka."
Baginda Kertanagara tak menyahut melainkan mengangguk saja.
"Ha, ha, ha," ba ba prajurit nggi besar itu tertawa "engkau hendak bertempur, Aragani, pa h
yang termasyhur dari Singasari "."
Aragani mencabut keris. "Kalau orang Daha ingin menyaksikan kesak an Aragani, saat inilah," seru pa h itu seraya
bersiap. "Ki bekel Suramenggala," ba- ba seorang prajurit maju ke tempat prajurit nggi besar
"idinkanlah aku yang menghadapi patih itu."
Prajurit nggi besar yang ternyata Suramenggala, bekel prajurit Daha yang menjadi tangan kanan
raden Ardaraja, memandang sejenak kepada prajurit sebawahannya.
"Baik," sahutnya lalu mendekati prajurit itu dan membisiki beberapa patah perkataan.
Suramenggala telah ditinggal di pura Singasari. Raden Ardaraja memerintahkan supaya bekel
itu bergerak dari dalam pura apabila pasukan Daha datang menyerang. Apabila kekuatan
dalam pura lemah mudahlah pasukan Daha menggempur pertahanan Singasari.
Suramenggala telah melakukan perintah dengan baik sekali. Ia giat menyelundup ke kalangan
para prajurit dan tamtama Singasari. Membujuk mereka supaya berfihak pada Daha. Apabila kua r
diketahui dan dijatuhi hukuman oleh atasannya karena dianggap berhianat, baiklah mereka pura-
pura masih tetap ikut bertempur tetapi jangan bersungguh-sungguh. Dan apabila ada kesempatan
supaya melarikan diri ataupun menyerah.
Ha -ha sekali Suramenggala menusukkan jarum-jarum berbisa ke tubuh para prajurit Singasari.
Jarumnya amat halus tetapi terbuat daripada emas. Walaupun merasa sakit tetapi karena jarum
yang melekat pada tubuh itu jarum emas, prajurit prajurit Singasari itupun menerima saja, bahkan
ada yang gembira. Jarum emas itu tak lain dari uang dan hadiah yang dihamburkan Suramenggala
untuk membeli penyerahan prajurit prajurit itu.
Pada waktu pasukan Daha berhasil membobolkan gapura selatan dan menyerang alun-alun, saat
itu Suramenggala segera membawa anakbuahnya menyusup ke dalam keraton. Karena keraton
hampir kosong, ia hanya menjumpai beberapa, perlawanan yang tak berar dari beberapa prajurit
penjaga. Maka berhasillah ia masuk ke balairung.
Suramenggalapun telah mendengar janji yang diberikan kepada para prajurit Daha. Bahwa
apabila dapat menangkap hidup atau ma seorang senopa Singasari akan mendapat ganjaran
pangkat tumenggung dan rumah. Dan betapapun besar ganjaran itu apabila dia dapat membunuh
atau atau menawan patih Aragani serta baginda Kertanagara nanti!
Namun betapapun halnya, ia tetap masih menghormat seorang empu seper Raganata. Dan itu
terbit dari ha nurani yang mengindahkan kepada empu, bukan karena terdorong oleh janji janji
hadiah. Tetapi terhadap pa h Aragani, dia memang benci. Ia tak dapat memberi ampun lagi kepada
pa h itu. Demikian. Setelah mendapat bisikan dari Suramenggala maka prajurit Daha itupun segera
maju ke hadapan patih Aragani.
"Hai, orang Daha, jangan terlalu menghina pa h Aragani!" teriak pa h itu "majulah engkau,
jangan suruh seorang prajurit rendah menghadapi aku!."
Dewi Ular 3 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Guntur 25
^