Pencarian

Dendam Empu Bharada 38

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 38


Namun ia masih belum dapat mempercayai sepenuhnya. Karena akuwu Jayakatwang itu telah
terikat keluarga dengan baginda Kertanagara. Bagaimana mungkin akan menyerang Singasari.
Mendengar berita yang dibawa lurah Sideman itu, mbullah gejolak dalam ha pa h Aragani.
Apabila hal itu benar, memang amat berbahaya sekali. Untuk menyerang Singasari, tentulah Daha
sudah lama mengadakan persiapan dan menunggu kesempatan. Dan saat ini memang suatu
kesampatan yang sebaik-baiknya. Ah, apabila Daha berhasil merobohkan Singasari, bukan hanya
baginda Kertanagara yang akan jatuh, pun ia juga tentu akan dibunuh. Ia tahu Daha tak menyukai
dirinya. "Menurut hemat hamba" demikian ia mempersembahkan jawab kepada baginda "kemungkinan
apa yang dihaturkan lurah Sideman itu memang layak mendapat perha an. Mohon paduka
menitahkan prajurit untuk menyelidiki ke desa Sideman."
"Tetapi adakah engkau mempercayai bahwa akuwu Jayakatwang akan ber ndak demikian,
paman?" baginda menegas.
"Mudah-mudahan dak, gus Agar hamba dapat memancung kepala lurah desa ini," kata pa h
Aragani. "Gus ," ba ba empu Raganata berkata "di samping saran baik dari rakryan pa h Aragani,
hamba mohon paduka segera memanggil raden Wijaya menghadap ke keraton Singasari. Agar
raden Wijaya sempat untuk menyusun kekuatan menghadapi Daha."
Sebelum baginda memberi keputusan, dengan amat lancang pa h Aragani sudah mendahului
"Ya, pergilah empu menjemputnya. Dia cepat datang atau
dak, daklah mempengaruhi pertahanan Singaiari yang telah diatur sebaik-baiknya oleh Kuda Panglulut. Janganlah tuan selalu
membayangkan suasana ketakutan dan suasana kegelisahan di balairung ini sehingga dapat
mengganggu kesenangan baginda yang tengah mencari ilham bagi syair karya baginda."
Empu Raganata terkejut mengapa sampai sekian jauh pengaruh pa h Aragani kepada baginda. Ia
menghela napas lalu mohon diri bersama lurah desa Sideman meninggalkan balairung.
Tujuan empu tua itu hendak menuju ke tempat kediaman tumenggung Wirakre untuk
merundingkan masalah penyambutan raden Wijaya.
"Empu Raganata .... " ba- ba ia mendengar suara memanggil namanya. Cepat ia berpaling. Dari
balik sebatang pshoa yang tumbuh di tepi jalan, muncullah seorang pemuda cakap.
"O, engkau Ludira," kejut empu tua itu bergan kegembiraan ke ka melihat pemuda itu
"mengapa engkau di sini "."
"Sudah lama aku menunggu, paman," kata pemuda itu " kuperhitungkan sepeninggal paman dari
keraton, tentu akan mengambil jalan ini."
"Apa keperluanmu "."
"Tampaknya paman amat bergegas langkah. Hendak menuju ke manakah paman sekarang " "
balas pemuda itu. "Tumenggung Wirakre ," jawab empu Raganata lalu menuturkan pembicaraan yang telah
berlangsung dengan baginda.
Jaka Ludira meminta empu itu berhenti di bawah pohon.
"Paman, memang beberapa hari yang lalu, sudah kuketahui tentang rencana Daha hendak
menyerang Singasari," kata Ludira lalu menuturkan peris wa pencegatannya kepada dua orang
pengalasan dari raden Ardaraja.
"Dan aku sendiri paman yang menghadap akuwu Jayakatwang. Dengan mengaku sebagai
pengalasan dari Ardaraja, kukatakan bahwa sebaiknya empat hari lagi barulah Daha boleh memulai
gerakan menyerang Singasari."
"Dan akuwu Jayakatwang percaya ?" tanya Raganata.
"Percaya." "Adakah keesokan harinya, raden Ardaraja menuju ke Daha atau mengirim pengalasan lagi ke
sana"." "Tidak." "Tetapi mengapa Daha sudah bergerak lebih cepat "."
Ludira tertegun. "Memang aneh," gumamnya kemudian "pada hal Sedayu telah mengawasi gerak-gerik pangeran
Ardaraja itu dengan ketat. Ah, kiranya hanya dua kemungkinan. Kalau bukan kedua pengalasan
yang kuikat dalam hutan itu ditolong orang, tentulah Ardaraja mempunyai saluran lain untuk
menyampaikan laporan ke Daha."
"Ah, untuk melaksanakan rencana, tentulah raden Ardaraja tak kurang akal," kata Raganata "dan
bagaimanapun, hal itu sudah menjadi kenyataan yang harus kita hadapi. Daha sudah menyerang
perbatasan Singasari dan kita harus cepat cepat menyusun perlawanan."
Ludira mengangguk "Serahkan tugas paman untuk menjemput raden Wijaya kepadaku. Paman
boleh merundingkan hal-hal yang perlu dengan tumenggung Wirakreti."
Empu Raganata memandang wajah pemuda itu dengan pandang yang luas ar nya. Seolah-olah
hendak menembus isi hati Ludira.
"Paman empu," kata Ludira "saat ini Singasari benar-benar terancam bahaya. Dalam saat inilah
para putera Singasari dituntut untuk membak kan dharma kesetyaannya kepada negara. Dan di
saat ini pula akan dapat diketahui mana yang emas mana loyang. Kita harus memutuskan cepat,
mempercayai cepat dan bertindak cepat. Jika paman percaya kepadaku ..."
"Ludira, marilah kita berangkat," cepat empu Raganata memeluk pemuda itu dan mencium ubun-
ubun kepalanya "tugas melindungi Singasari, kuletakkan di atas bahumu."
Keduanya segera berangkat.
Malam itu raden Wijaya mendapat laporan dari awak perahu bahwa mereka sedang memasuki
bandar Tuban. "Mohon raden memberi tah, apakah kita lanjut menghampiri bandar atau berhen di sini,"
kata awak perahu. Mengingat saat ini tengah malam maka raden Wijaya memutuskan untuk berhen di tengah
laut. Besok pagi baru merapat ke bandar.
Tak berapa lama setelah sauh diturunkan, raden Wijayapun kembali ke ruang
peristirahatannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang menegangkan hati.
Sesosok tubuh manusia duduk di atas kursi. Siapa orang itu tak diketahui karena mukanya
tertutup oleh kain selubung hitam.
Wijaya cepat meraba senjata dan menghardik "Siapa engkau !."
"Aku raden," kata orang itu "masakan engkau lupa !."
"O, engkau .... " seru Wijaya heran-heran kejut.
"Ya." "Bagaimana engkau dapat berada di sini "."
"Biasa saja," sambut orang itu "naik sebuah perahu kecil lalu loncat ke perahu ini dan menunggu
raden di sini." "Tanpa diketahui oleh anak perahu ini "."
"Ah, mereka tentu le h. Dan mungkin ditegangkan oleh rasa gembira karena akan segera
mendarat di tanah air."
"Hebat juga engkau, Ludira," puji Wijaya "jika engkau seorang musuh, seluruh awak perahu ini
tentu sudah engkau bunuh atau kauberi hukuman."
"Maafkan, kelancanganku, kakang," kata Ludira.
"Engkau tak bersalah. Bahkan aku merasa gembira karena engkau telah memberi pelajaran yang
baik kepada kami," Wijaya tertawa lalu beralih pertanyaan "tentulah amat pen ng berita yang adi
hendak berikan kepadaku."
"Bukan penting lagi tetapi gawat, kakang."
Ludira lalu menceritakan keadaan Singasari sepeninggal Wijaya "kini Daha sudah mulai bergerak
maka itulah sebabnya aku terpaksa menghadap kemari karena dak sabar menan sampai kakang
merapat ke dermaga besok pagi."
Wijaya seperti dipagut ular.
"Jika demikian, sekarang juga kita harus bergerak. Selangkah terlambat, kita tentu terlambat,"
serentak Wijaya memutuskan untuk mendarat pada malam itu juga. Tetapi sesaat kemudian ia
tertegun " tetapi ..."
Rupanya Ludira tahu apa yang meresahkan Wijaya.
"Menurut hematku" katanya "baiklah kedua tuan puteri dari Sriwijaya itu kita selamatkan
dahulu. Kemudian kita cepat-cepat ke Singasari."
"Maksudmu kedua puteri itu kita tinggalkan di Tuban "."
"Lebih baik kakang tahkan berlayar pulang ke Sriwijaya dulu dan serahkan kepada senopa
Mahesa Anabrang untuk mengantarkan ke Singasari selekas keadaan Singasari sudah
mengidinkan." Wijaya menerima saran itu. Menilik Singasari dalam bahaya yang sudah sedemikian gawat,
peperangan tentu tak dapat dihindarkan. Seketika itu juga ia memanggil kepala awak perahu.
"Bawalah tuan puteri kembali ke Sriwijaya," kata Wijaya lalu menyerahkan sepucuk sampul
"selekas ba di negeri itu, segeralah engkau menghadap senopa Mahesa Anabrang dan haturkan
surat ini." Diputuskan bahwa perahu yang membawa kedua puteri Sriwijaya itu kembali ke tanah Malayu.
Sedang prajurit-prajurit yang berada dalam dua buah perahu lainnya, menyertai raden Wijaya
turun ke darat. "Bagaimana dengan Sora, Nambi dan yang lain ?" tanya Wijaya di tengah perjalanan.
"Saat ini mereka telah di tahkan oleh baginda untuk menumpas sisa-sisa pemberontak di
gunung Butak," sahut Ludira.
"Celaka! " tiba-tiba Wijaya berteriak "mereka tak berada di pura Singasari"."
"Sejak beberapa waktu mereka menuju ke gunung Butak."
"Muslihat yang licin!" seru Wijaya pula "jelas musuh telah mengatur rencana yang cerdik untuk
merapuhkan pertahanan Singasari."
"Daha"." "Daha baru sekarang ini menampakkan warnanya. Sebelumnya kuduga patih Aragani."
Cepat Ludira memberi tanggapan "Keduanya adalah ibarat harimau dan buaya. Yang tampak
mengaum aum melalui ulah pa h Aragani, yalah fihak Sriwijaya. Tetapi mereka ibarat buaya yang
berada di laut. Jauh dengan Singasari. Ternyata yang lebih cepat muncul yalah harimau dari hutan
Daha. Ibarat memelihara anak harimau, jika besar tentu akan menerkam. Betapapun raja
Kertanagara hendak memelihara si anak harimau Ardaraja, pada akhirnya ia akan menyambut
induk semangnya untuk menerkam baginda."
"Menurut kesan yang kuterima dari laporan adi tadi," Wijaya memberi ulasan "bukan salah
harimau dan anak harimau yang menerkam orang yang memelihara itu. Melainkan orang itu
sendiri yang memasukkan kepalanya ke mulut harimau."
"Suatu pelajaran yang pahit tetapi berharga," kata Ludira.
"Asal jangan yang berharga itu ada dapat dinikma karena sudah terlanjur diambil orang,"
Wijaya berkata hambar. "Bagaimana rencana kakang menghadapi serangan Daha itu?" tanya Ludira.
"Aku belum tahu jelas bagaimana keadaan pura Singasari," kata Wijaya "setelah menghadap
baginda barulah dapat kuatur rencana."
"Raja Kertanagara sudah terlalu parah dibius tuak dan pujian oleh Aragani. Tak banyak yang
dapat kita harapkan dari beliau," sambut Ludira "dan perjuangan negara Singasari ini adalah
milik putera-putera Singasari."
Wijaya mengangguk "Paling dak kita harus mempertahankan kewibawaan baginda karena
bagindalah raja yang berkuasa di Singasari."
"Adakah kakang Wijaya hendak mempertahankan baginda sebagai yang dipertuan negara
Singasari ?" tiba-tiba Ludira mengajukan pertanyaan aneh.
"Eh, adi," Wijaya kerutkan alis "bukankah kita ini berjuang untuk membela baginda "."
"Siapa yang kakang maksudkan kita ini ?"
"Sudah tentu para mentri senopati, prajurit dan kawula Singasati, termasuk aku dan adi."
"Tepatnya hanya terbatas pada mentri senopa dan para prajurit," sambut Ludira "bukan
seluruh kawula Singasari."
Wijaya menyalangkan mata memandang ke arah pemuda yang mukanya tertutup kain selubung
hitam itu. "Dan adi?" tanyanya kemudian.
"Aku termasuk kawula Singasari yang tidak membela baginda."
"Adi ..... apa maksudmu ?" Wijaya tergagap "bukankah engkau berjuang keras untuk membela
kerajaan Singasari"."
"Benar," sahut Ludira "tetapi yang kubela yalah negara Singasari, bukan raja Kertanagara."
Wijaya makin terkejut "Apakah maksud adi "."
"Telah kukatakan bahwa aku berjuang untuk mempertahankan kelangsungan negara Singasari,
bukan untuk membela raja Kertanagara. Dan karena kakang, para senopa dan prajurit juga
berjuang untuk mengenyahkan musuh yang menyerang Singasari, maka kami dapat kerja-sama,
berjuang bau-membau."
"Apakah adi tidak senang kepada baginda Kertanagara "."
"Soal itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Maaf, sekarang belum dapat kuterangkan kepadu
kakang," kata Ludira "kelak pada saatnya kakang tentu mengetahui sendiri."
"Lalu bagaimana tindakan adi sekarang "."
"Oleh karena tak terikat pada raja Kertanagara, maka aku pun akan ber ndak menurut caraku
sendiri. Silakan kakang bersama pasukan pengiring, menuju ke Singasari."
"Dan adi "."
"Akan ke Tumapel, untuk meminta Lembu Mandira, putera empu Raganata menuju ke gunung
Butak. Sora dan Nambi serta kawan-kawannya harus lekas kembali ke Singasari bergabung dengan
kakang." "Bagus, adi," seru Wijaya seper tersadar "kita masih memiliki pemuda-pemuda gagah seper
Sora, Nambi, Gajah Biru, Pamaniana, Lembu Pawagal, Jabung Tarewes, Ikal-ikalan Bang, Gajah
Lembana dan lain-lain. Andai adi Ludira mau bergabung dengan kami, betapalah gembira hatiku."
Ludira tertawa hambar. "Telah kukatakan," kata pemuda itu "walau pun tujuan lain, kakang membela raja Kertanagara
dan aku negara Singasari, tetapi cara kita bersatu yalah menghancurkan se ap musuh dari
manapun yang hendak menyerang Singasari. Oleh karena itu, marilah kita bekerja menurut cara
masing-masing." Dengan berat ha Wijaya melepas pemuda berselubung kain hitam itu, melenyapkan diri dalam
kegelapan malam. "Siapakah sesungguhnya pemuda itu ?" mulai timbul pertanyaan dalam hati Wijaya. Tetapi ia
tidak dapat mencurahkan perhatiannya untuk memecahkan rahasia itu. Yang penting ia harus
segera menghadap baginda. Paling tidak pemuda aneh itu sudah memberi janji untuk bekerja-
sama menghalau penyerangan Daha.
Sebenarnya Wijaya hendak merahasiakan kedatangannya ke pura Singasari. Agar musuh jangan
mengetahui gerak-geriknya.
Tetapi dalam perjalanan ia telah menerima laporan-laporan tentang keadaan rakyat Singasari
yang sudah semakin morat marit.
"Kabarkan kepada pa h Aragani akan kedatanganku," Wijaya memberi perintah kepada seorang
prajurit. Dan kepada prajurit lain ia menyuruhnya menghadap empu Raganata untuk mengabarkan
tentang kedatangannya. "Semoga berita itu akan membangkitkan semangat rakyat untuk membela pura Singasari," pikir
Wijaya. Dan memang gemparlah seluruh pura Singasari demi mendengar berita kembalinya raden
Wijaya. Hanya kepada ksatrya muda itulah rakyat menggantungkan harapannya untuk
memperbaiki keadaan Singasari.
Hampir dikata seluruh kawula pura Singasari ke luar untuk menyambut dan mengelu -elu
rombongan raden Wijaya ketika memasuki gerbang pura kerajaan Singasari.
Wijaya menitikkan beberapa butir airmata haru.
"Dengan memiliki rakyat yang masih menyala semangatnya itu, kerajaan Singasari tentu takkan
roboh," diam-diam ia berkata dalam ha dan diam-diam ia berjanji pada diri sendiri untuk
berjuang sekuat tenaga memenuhi harapan mereka.
Ke ka masuk ke balai Manguntur tempat baginda menerima mentri nayaka menghadap, raden
Wijaya dipeluk dengan mesra oleh empu Raganata.
"Raden, Daha menghiana baginda. Akuwu Jayakatwang menggerakkan pasukan untuk
menyerang tanah perbatasan Singasari ..."
"Raden, jangan hiraukan gangguan empu Raganata. Silakan menghadap baginda," ba- ba
terdengar suara orang berseru dan ke ka Wijaya berpaling ternyata pa h Aragani. Tampak wajah
patih itu kurang gembira.
"Baiklah, empu," Wijaya tak menghiraukan Aragani melainkan memberi jawaban kepada
Raganata "hamba berjanji akan menghalau mereka."
Tetapi agak terkesiap Wijaya demi mendengar nada sambutan baginda yang se kpun dak
menggambarkan kegelisahan, melainkan penuh kegembiraan.
"Wahai puteraku Wijaya, kabarkanlah segera bagaimana kebesaran dari penyambutan raja
Malayu akan kedatanganmu sebagai utusan raja Singasari. Bukankah mereka terpesona akan
kejayaan Singasari ?" leru baginda.
Wijaya berusaha menindas keheranannya. Bukankah saat ini Singasari sudah diserang musuh "
Mengapa baginda tak cepat-cepat menitahkan supaya menggempur musuh tetapi ingin mendengar
sesuatu yang membanggakan hati baginda "
"Daulat tuanku," Wijaya memberi sembah "memang baginda raja Darmasraya yang memerintah
kerajaan Sriwijaya, amat berkesan dan bersyukur menerima tanda persahabatan baginda. Utusan
Singasari telah disambut dengan penuh kehormatan dan kebesaran."
"Bagus, putcraku," baginda Kertanagara tertawa ria "negeri manakah yang tak mengindahkan
kebesaran Singasari " Bukankah begitu, paman patih "."
"Dhirgahayu Seri Lokawijaya," serentak pa h Aragani berseru lantang "siapakah negara di
seluruh bumi dunia yang tidak tahu akan kemuliaan nama paduka "."
"Puteraku," tiba-tiba baginda berseru pula "lupakah dikau akan pesanku dahulu "."
"Bagaimana mungkin hamba berani melalaikan titah paduka."
"O, jadi engkau telah membawakan buah tangan untukku "."
"Daulat tuanku."
"Buah tangan yang tiada terdapat dalam kerataan Singasari, bukan "."
"Demikian, gusti."
Bagi ada Kertanagara tertawa makin gembira "Bagus, puteraku, kiranya engkaulah Wijaya, putera
menantuku yang tahu akan keinginan ha ku. Sekarang sebutkanlah, Wijaya, apakah buah tangan
yang paling berharga untukku itu "."
"Puteri Sriwijaya yang sesuai dengan namanya, bagaikan sang Dewi Rembulan yang bersinar
gemilang menerangi seluruh kerajaan Sriwijaya."
"Bagus, puteraku," seru baginda Kertanagara makin bermanja tawa "seluruh jagadraya hanya
memiliki sebuah rembulan. Sedang kerajaan Singasari pun mempunyai rembulan tersendiri, ha, ha,
ha ....."

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijaya terlongong-longong. Mengapa baginda makin berobah sifatnya. Beberapa tahun yang
lalu, baginda tampak berwibawa, jarang tertawa. Tetapi kiai tampaknya baginda amat periang dan
jenaka. "Wijaya," ba- ba baginda berseru pula "siapakah nama puteri secan k rembulan itu" Namanya
serupa dengan rembulan pula"."
"Candra Dewi, gusti. Dan yang seorang bernama Kembang Dadar."
"Bukankah kecan kan puteri Candra Dewi itu bagaikan merpa yang terbang di siang hari, amat
menonjol sekali"."
"Demikianlah, gusti."
"Hm," baginda merenung "cobalah akan kucari suatu rangkaian puji yang mengiaskan kecan kan
seorang puteri..." Wijaya heran mengapa saat itu baginda banyak berobah perangainya. Serentak ia teringat akan
laporan Jaka Ludira bahwa baginda telah makin terbius dalam puji sanjung pa h Aragani yang ap
hari menemani baginda minum tuak sambil merangkai syair.
"Nah, ketemulah," ba- ba baginda berseru gembira "cobalah engkau dengarkan, puteraku.
'Bagai burung merpa pu h di antara kerumun burung gagak. Merpa akan tampak pu h
memukau apabila dikerumuni oleh kawanan gagak berbulu hitam. Mengiaskan keelokan yang
gilang gemilang dari seorang puteri. Tepatkah tamsil itu, paman Aragani"."
Aragani bergegas menyambut "Ilham paduka makin indah. Tamsil itu amat mengena, gus ,"
Baginda Kertanagara tertama gembira.
"Wijaya," ujarnya pula "kuhadiahkan sebuah anugerah nama untuk Candra Dewi, yani Dara
Petak. Candra sudah lazim dipakai tetapi Dara masih jarang dan mengandung makna yang damai.
Dan untuk puteri Kembang Dadar kuanugerahi nama baru Dara Jingga. Semoga dengan kehadiran
kedua Dara itu, perdamaian antara Singasari dan Sriwijaya akan tercipta sepanjang masa."
"Apapun tah paduka tentu akan hamba laksanakan," kata Wijaya lekas-lekas hendak
menyelesaikan pembicaraan itu.
"Di manakah kedua puteri itu, Wijaya "."
"Masih hamba persilakan berada didalam perahu gusti."
"Mengapa ?" tegur baginda.
"Hamba mendengar berita bahwa Daha telah menyerang Singasari. Oleh karena, itu hamba
bergegas menghadap ke hadapan gus lebih dahulu. Apabila memang keadaan aman, akan hamba
jemputlah puteri itu."
Baginda tertawa "Ah, memang bcrkelebihanlah kiranya cerita empu Raganata kepadamu.
Memang lurah desa di perbatasan membawa laporan bahwa desanya telah diserang oleh pasukan
Daha, Tetapi aku masih tak percaya, mungkin lurah itu khilaf menyangka gerombolan pengacau
sebagai pasukan Daha. Bagaimana mungkin akuwu Daha yang teli terikat keluarga dengan aku itu
akan menyerang Singasari"."
Wijaya kerutkan kening. "Dan andaikata hal itu benar terjadi, kiranya tak perlulah raden bergopoh ha . Menantu paman,
Kuda Panglulut, telah mempersiapkan pasukan untuk menghadapi se ap kemungkinan, raden,"
tiba-tiba patih Aragani ikut membuka suara.
"O, terima kasih paman," terpaksa Wijaya mengucap syukur "tetapi bagaimanakah dengan adi-
mas Ardaraja" Tidakkah selama aku ke tanah Malayu, adi mas Ardaraja yang bertugas menjaga,
pura Singasari "."
"Ya, memang Ardartja telah menggan kan tugasmu, Wijaya," ba- ba baginda berseru "ya,
mengapa hari ini dia tak tampak menghadap "."
Wijaya memperha kan bahwa cuping hidung pa h Aragani mengempis mengiring mulutnya yang
menyeringai ketika mendengar ucapan baginda.
"Puteraku Wijaya, segeralah engkau menjemput kedua puteri itu ke pura kerajaan," baginda
berseru pula. "Tetapi gus , sepanjang perjalanan dan ke ka masuk ke pura, hamba sempat memperha kan
kabar-kabar yang menggelisahkan para kawula Singasari. Bahwasanya Daha memang telah
menggerakkan pasukan untuk menyerang telatah Singasari."
"Ah, soal itu tak usah engkau resah," tah baginda pula "bukankah paman Aragani sudah
mengirim pasukan ke desa Sideman untuk menyelidiki berita itu" " baginda berapling ke arah
Aragani. "Daulat tuanku," pa h Aragani menghatur sembah "menantu hamba si Kuda Panglulut telah
berangkat melaksanakan titah paduka, gusti."
"Bagus, paman," seru baginda "sekarang tahkanlah suatu penyambutan besar untuk
menyongsong puteraku Wijaya yang akan membawa kedua puteri dan barang-barang persembahan
dari raja Sriwijaya."
Setelah patih Aragani menerima titah maka baginda segera menitahkan Wijaya pula "Pura
Singasari aman dan tenang. Berangkatlah engkau Wijaya ke Tuban pula. Dua hari kemudian,
engkau bersama kedua puteri itu harus tiba di pura lagi."
Masih dicengkam keheranan ke ka Wijaya turun dari balairung dan ayunkan langkah di
sepanjang lorong pura. Mengapa baginda tampaknya masih tenang dan gembira bahkan
menginginkan suatu upacara keramaian besar untuk menyambut kedatangan kedua puteri itu"
Tiba- ba ia teringat akan Ardaraja. Ke manakah gerangan raden itu maka tak menghadap
baginda" Segera ia ayunkan langkah menuju ke gedung kediaman putera menantu baginda itu.
Saat itu menjelang senja hari. Keadaan dalam pura tampak sepi. Rumah rumah mulai berkemas
menyalakan penerangan. Dan gedung kediaman Ardarajapun mulai tampak menggunduk di
kejauhan. Tengah ia menimang-nimang sesuatu mengenai diri Ardaraja, ba- ba nalurinya yang tajam
cepat dapat merasa bahwa ada seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul pohon tak jauh dari
tepi jalan. Sekeliling tempat itu merupakan sebuah lorong jalan yang sepi, jauh dari perumahan orang.
Seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul di jalan sepi pada waktu petang hari, tentulah
mencurigakan. Dan Wijayapun hentikan langkah, mengisar arah dan melangkah maju.
Rupanya orang yang bersembunyi itupun memiliki indera yang tajam. Sebelum Wijaya ba, ia
sudah menyelinap meloloskan diri.
"Hai, berhenti!" teriak Wijaya.
Namun orang itu tak menghiraukan dan bahkan pesatkan lari, Kecurigaan Wijayapun makin
meningkat. Tindakan orang itu menimbulkan kesan bahwa dia tentu seorang yang mengandung
maksud jahat. Wijaya mengejar dan terjadilah kejar mengejar mengejar yang cukup menegangkan. Akhirnya
orang itu berhenti ketika perada di sebuah tempat sepi di luar pura.
"Siapa engkau !" tegur Wijaya.
"Apa pedulimu !" balas orang itu. Seorang pemuda yang berwajah amat cakap.
"Mengapa engkau bersembunyi di balik gerumbul pohon?" tegur Wijaya pula.
"Aku bebas untuk berada di mana saja."
"Mengapa engkau melarikan diri"."
"Mengapa engkau mengejar ?" balas orang itu pula.
Wijaya menggeram. Namun ke ka pandang matanya mencurah kewajah orang itu, ia mendapat
kesan lain. "Ki sanak, katakanlah, mengapa engkau bersembunyi di balik pohon dan mengapa pula engkau
melarikan diri ke ka aku menghampirimu ?" agak menurun nada Wijaya yang keras "aku takkan
mengganggumu manakala gerak gerikmu itu tak menimbulkan kerugian pada orang lain."
"Hm," desuh orang itu "engkau maksudkan aku bangsa pencuri atau penjahat"."
"Mudah-mudahan tidak," kata Wijaya.
"Mudah-mudahan benar," sambut orang itu.
Kecurigaan Wijaya yang sudah mulai mereda, bangkit lagi dan seke ka mbullah suatu keinginan
untuk memberi hajaran kepada pemuda yang congkak itu.
"Jika demikian keteranganmu, aku harus menindak engkau," kata Wijaya.
"Bukankah engkau sudah menindak dengan mengejar aku ini" Mengapa engkau hen kan
tindakanmu lebih lanjut"'
Wijaya makin geram "Hm, baiklah. Ingin kuketahui sampai di mana ilmu kesak an yang
membuatmu sedemikian congkak itu."
Suatu penjajagan sudah dibuka oleh Wijaya yang menyurut mundur selangkah dan melepaskan
sebuah pukulan. Karena bersifat menjajagi maka pukulannya itupun terkekang.
"Plakk ?"..!"
Terdengar ketapan keras disusul dengan tubuh Wijaya yang menyurut mundur selangkah ke ka
bahunya terkena tamparan orang itu.
Ke ka pukulan dilayangkan, sekonyong konyong pemuda itu mengisar ke samping dan dengan
gerak yang teramat cepat terus maju menyelinap dan menampar bahu Wijaya.
"Tangkas benar engkau!" Wijaya terkejut dan memuji.
Namun orang itupun tampak tertegun. Rupanya iapun terkejut karena tamparannya hanya
berhasil mendorong tubuh lawan mundur selangkah.
Serargan kedua dilancarkan Wijaya, dak lagi bersifat menjajagi, melainkan suatu gerak serangan
yang cepat dan gencar. Dan pemuda itu tampak sibuk menghindar. Sedemikian sibuk sehingga
tanpa disadari ia telah merelakan diri menjadi bulan-bulan sasaran tanpa dapat balas menyerang.
Wijaya diam-diam memuji ketangkasan anakmuda itu. Seiring dengan rasa kagum, mbullah pula
rasa untuk menundukkan lawan.
Dalam sebuah kesempatan, ia telah meluangkan suatu gerak pu yang bagus sehingga lawan
terpikat. Ke ka lawan terangsang untuk menerkam dadanya, secepat kilat ia mengisar ke samping
lalu menerkam kepala pemuda itu. Maksudnya ia hendak menanggapnya saja. Sama sekali tak
bermaksud hendak melukai.
Pemuda itu amat terkejut. Untuk menangkis atau menghindar, jelas tak keburu lagi. Tangannya
sudah terlanjur diulur ke muka untuk mencengkeram dada Wijaya. Dalam keadaan yang terdesak
itu, mbullah kenekadannya. Ia memberikan kepalanya dicengkeram, tetapi iapun akan berhasil
memukul dada lawan. Plak..... Ke ka nju pemuda itu mendarat di dada Wijaya, Wijayapun tersurut mundur selangkah. Tetapi
serempak pada saat itu, Wijaya berteriak kejut "Hai, engkau seorang anak perempuan ....... !."
Kiranya walaupun dadanya terpukul, Wijaya tak menderita luka suatu apa karena sebelumnya ia
sudah melambari diri dengan ilmu Lindung. Ilmu yang dapat mengeraskan tubuh seper baja dan
kebal terhadap senjata. Karena terdorong ke belakang ia tak berhasil mencengkeram kepala lawan
melainkan hanya dapat menyambar ikat kepalanya saja.
"Setan engkau ....... ! " pemuda yang ternyata seorang anak perempuan itu segera
menggeram lalu loncat menerkam Wijaya. Rupanya ia malu karena rahasia dirinya terbuka.
Rasa malu telah menimbulkan kemarahan yang meluap!
"Berhenti, nini!" Wijaya loncat menghindar ke samping seraya berseru.
Namun gadis itu tak menghiraukan. Bagai harimau be na yang kehilangan anak, ia menyerang
dengan pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi.
Setelah berlincahan menghindar, akhirnya Wijaya berseru memberi peringatan "Nini, jika engkau
tak mau mendengarkan permintaanku, terpaksa Wijaya akan bertindak ..."
Mendengar Wijaya menyebutkan namanya, serentak dara itupun berhenti.
"Siapa engkau ?" ulangnya menegas.
Wijaya telah merangkai kesimpulan. Seorang gadis yang menyaru sebagai seorang pemuda, tentu
mempunyai alasan. Seorang gadis yang memiliki ilmu tata-kelahi, tentu bukan gadis sembarangan.
Dan seorang gadis yang bersembunyi di balik gerumbul pohon, tentu mempunyai tujuan tertentu.
Itulah sebabnya maka dengan terus terang ia memberitahukan namanya.
"Wijaya" Engkau maksudkan raden Wijaya itu?" seru dara cantik itu.
"Adakah di pura Singasari terdapat seorang raden Wijaya yang lain ?" sahut Wijaya tersenyum.
"Oh," desuh gadis itu "tetapi .... hai, jangan engkau mengaku-aku sebagai raden Wijaya !."
"Mengapa ?" Wijaya terbeliak.
"Raden Wijaya sedang berada di Sriwijaya, bagaimana mungkin berada di sini "."
Wijaya terkejut. Ia menduga tentulah gadis itu dak mengetahui tentang kedatangannya di pura
Singasari. Untuk mengetahui apa sebenarnya maksud Sedayu maka iapun membenarkan saja apa
yang dikatakan gadis itu.
"Engkau benar, nini," katanya sesaat kemudian.
"Hm, jadi engkau hendak memalsu nama raden Wijaya"."
"Bukan," kata Wijaya dengan tenang "aku memang raden Wijaya yang baru saja pulang dari
Sriwijaya. Oleh karena mendapat laporan dari seorang ksatrya muda bahwa Singasari terancam
bahaya serangan Daha maka secara diam-diam aku datang ke pura menghadap baginda. Tiada
seorangpun yang tahu akan kedatanganku seorang diri ini."
"Siapa ksatrya muda yang memberi laporan itu ?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
"Sebelum kuberitahukan siapa ksatrya itu, lebih dahulu aku hendak meminta sepatah penegasan
dirimu. Engkau puteri pembela Singasari atau musuh Singasari"."
"Singasari adalah bumi yang kucintai!."
"Bagus," seru Wijaya "akan kuberitahu siapa ksatrya ...."
"Ih, apakah engkau percaya begitu saja akan keteranganku tadi"."
"Kata adalah cermin ha . Aku menjunjung se ap kata orang seper aku percaya pada diriku
sendiri. Kalau engkau bohong, engkau harus malu pada dirimu sendiri karena engkau membohongi
dirimu sendiri. Yang malu bukan aku tetapi engkau, nini."
"Ih," gadis itu mendesis lirih.
"Ksatrya muda itu adalah pejuang Singasari yang menjadi kawan sefaham dengan aku. Dia
bernama Jaka Ludira..."
"Hai," ba- ba gadis itu menjerit. Serta merta ia merunduk tubuh memberi sembah kepada
Wijaya "maafkan aku, raden ..."
Wijaya terkejut dan tersipu-sipu mengangkat gadis itu berdiri "Mengapa engkau, nini" Siapakah
engkau ini"." "Aku Rara Sedayu, puteri tumenggung Wirakreti, raden."
"O," Wijaya mendesuh kejut-kejut girang,
"Kakang Ludira telah menugaskan aku menjaga dan mengawasi gerak gerik Ardaraja. Itulah
sebabnya maka aku menyembunyikan diri di balik gerumbul pohon tak.jauh dari tempat kediaman
Ardaraja." Tanpa diminta, Sedayu lalu menuturkan hasil pengamatannya selama ini.
"Adakah saat ini Ardaraja berada dalam kediamannya?" tanya Wijaya.
"Itulah yang hendak kuselidiki, raden."
"Ah, Sedayu, janganlah menyebut raden kepadaku. Panggillah kakang saja," kata Wijaya.
Sedayu mengiakan lalu berkata "Dalam hal gerak gerik Ardaraja, kiranya kakang tentu sudah
mendapat keterangan dari kakang Ludira. Dengan mencegat pengalasan dari Ardareja kemudian
kakang Ludira menyaru menjadi pengalasan itu untuk menghadap raja Daha dan mengundurkan
rencana penyerangan Daha. Tetapi penyerangan itu dilakukan juga secara tak sesuai dengan
rencana kakang Ludira. Inilah raden, eh, kakang Wijaya, yang membingungkan ha kakang Ludira.
Syukurlah kakang Wijaya telah datang ..."
"Tetapi pasukan Daha sudah mulai menyerang perbatasan," tukas Wijaya kesal.
"Masih belum terlambat," sahut Sedayu "asal kita cepat-cepat menyusun kekuatan. Bukankah
kakang Ludira menuju ke gunung Butak untuk memanggil kakang Nambi, Sora dan lain-lain"."
"Ya, memang kita harus lekas ber ndak dengan gesit," kata Wijaya "tetapi tahukah engkau
Sedayu, apa titah baginda kepadaku"."
"Mohon kakang menjelaskan."
"Ah," Wijaya memulai dengan menarik napas "baginda masih tak percaya bahwa Daha sudah
bergerak menyerang perbatasan. Masih menyuruh Kuda Panglulut untuk menyelidiki
kebenarannya. Dan yang lebih membuat dadaku sesak, Sedayu, baginda menitahkan supaya aku
besok pagi segera kembali ke Tuban untuk menjemput kedua puteri dari Sriwijaya itu. Baginda
telah menitahkan supaya kerajaan bersiap melangsungkan upacara penyambutan yang meriah."
"O," Sedayu mendesah seraya mengelus-elus dada.
"Maka malam ini akan kugunakan untuk menyelidiki keadaan pura Singasari. Pertama aku
hendak menjumpai Ardaraja. Akan kuwawas bagaimana gerak geriknya ....."
"Kerbau pulang ke kandangnya," tukas Sedayu
"Ardaraja cenderung untuk memilih fihak ayahnya, akuwu Daha."
"Dia bebas menentukan pilihan," sahut Wijaya "asal jangan menjadi ular kepala dua atau musuh
dalam selimut. Orang semacam itulah yang paling kubenci."
Sedayu tertawa "Bukan salah musuh kalau dia berhasil menyusup dalam selimut. Itu
menunjukkan kepintarannya dan menunjukkan kebodohan kita yang tak mengetahui."
"Engkau benar, Sedayu," Wijaya tertawa kecil "memang kesalahan adalah pada diri baginda dan
sumbernya pada patih Aragani."
"Jika sudah tahu sumbernya mengapa kita tak bertindak menimbuni sumber itu "."
Wijaya menghela napas "Sering mbul pertanyaan dalam ha ku. Adakah peperangan itu
sesungguhnya suatu berkah yang terselubung "."
"Eh, bagaimana kakang tiba-tiba memiliki pertanyaan begitu." Sedayu kerutkan kening.
"Cobalah engkau renungkan," kata Wijaya "dalam suasana aman, baginda merasa kerajaan
Singasari aman tentausa. Makin merasa pula sebagai seorang sak bahkan seorang Jina yang
ditaa seluruh kawula dari Singasari sampai ke tanah Malayu. Tuak akan memabukkan, demikian
rasa tinggi diri dan sikap ahangkara telah memabukkan baginda ..."
"Dan memang dimabukkan patih Aragani!" selutuk Sedayu.
"Dapat dikatakan begitu," sambut Wijaya "Aragani hanya unsur luar, yang pen ng adalah unsur
dalam diri baginda sendiri. Itulah sebabnya maka kukatakan, mungkin peperangan ini akan
merupakan berkah yang terselubung. Dapat memberi penerangan dalam ba n baginda, menyapu
kotoran-kotoran yang melekat pada tubuh kerajaan Singasari dan akan membawa pembaharuan
yang memuliakan Singasari."
Sedayu mengangguk "Ih, benar juga."
"Sedayu," ba- ba Wijaya berkata dengan perobahan nada yang tegas "kita harus berlomba
dengan waktu. Aku akan menemui Ardaraja. Jagalah pengawasan di luar kediamannya."
Wijaya terus kembali melanjutkan langkah menuju ke gedung kediaman pangeran Ardaraja.
Sebagai putera menantu dari baginda, Ardaraja nggal di sebuah gedung yang termasuk dalam
lingkungan keraton. Wijaya disambut oleh penjaga pintu.
"Ah,. maaf, raden," kata penjaga itu "sejak pagi tadi gus pangeran telah mengiringkan tuan
puteri ke keraton. "Mengapa ?" Wijaya heran karena tadi baginda mengatakan Ardaraja tak menghadap.
"Ibunda gusti puteri gering."
Dua buah rasa heran, menyelinap ke dalam pikiran Wijaya. Pertama, mengapa Sedayu tak
mengetahui kepergian Ardaraja. Kedua mengapa pula baginda tak tahu Ardaraja bersama
puteri baginda telah berada di keraton.
Wijaya tak mau memaksa bertanya lebih lanjut. Ia segera mencari Sedayu lagi. Sebelum pergi ia
memberi hadiah kepada penjaga pintu dan memesannya supaya jangan memberitahukan
kedatangannya itu kepada pangeran Ardaraja. i
"Aneh," gumam Sedayu setelah mendengar keterangan Wijaya "mengapa aku tak tahu sama


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali" Pada hal tak pernah kutinggalkan tempat ini."
"Engkau tak percaya dia ke keraton ?" tanya Wijaya.
"Setitikpun tidak," sahut Sedayu "malam ini akan kuselidiki kebenarannya."
Wijaya terbeliak "Engkau mau menyelundup ke tempat kediamannya "."
"Apabila tiada lain jalan."
"Berbahaya," seru Wijaya "gedung itu penuh di jaga oleh prajurit-prajurit bersenjata lengkap."
"Besok akan kuberi laporan kepada kakang," jawab Sedayu.
"Ah ... " Wijaya mendesah keragu-raguan. Sedayu tahu bahwa Wijaya menyangsikan
kemampuannya "Kakang Wijaya percaya pada kakang Ludira "."
"Percaya sebulat buluh."
"Percaya kepada kakang Ludira berar percaya kepadaku. Demikian kebalikannya. Tetapi .... "
ba- ba dara itu nan kan kata-kata "perjuangan ini bukanlah milik seseorang melainkan milik
semua putera puteri Singasari. Terserah bagaimana penilaian kakang Wijaya, tetapi aku tetap akan
lanjutkan rencanaku."
Tergerak hati Wijaya mendengar kasa-kata Sedayu. Serentak ia berseru "Sedayu, Singasari
harus bangga mempunyai seorang puteri Srikandi seperti engkau. Baiklah, Sedayu, kita bagi
tugas. Besok pagi-pagi aku harus sudah menuju ke Tuban. Sampaikan saja laporanmu kepada
dimai Ludira." Wijaya lanjutkan perjalanannya untuk melihat-lihat keadaan Singasari. Ia mendapat kesan
bahwa kehidupan para kawula makin merosot. Mereka lebih memen ngkan judi dan tuak daripada
keadaan negara. Dan hal yang mengejutkan ha Wijaya, ternyata prajurit-prajurit yang masih
berada dalam pura, daklah banyak jumlahnya. Kecuali hanya- melakukan tugas meronda dan
menjaga keamanan sekedarnya, dak lagi mereka itu merupakan pasukan pertahanan dalam ar
kata yang sebenarnya. "Hm, Sora dan Nambi membawa pasukan menumpas sisa pemberontakan gunung Batak. Kuda
Panglulutpun membawa pasukan untuk menyelidiki perbatasan yang diganggu oleh prajurit Daha.
Ardaraja tak pernah menerima prajurit baru dan membentuk pasukan. Pada hal sejak kepergian
senopa Mahesa Anabrang dengan membawa pasukan Pamalayu yang besar jumlahnya. Kemudian
rombonganku dan rombongan paman Mahesa Anengah yang diutus ke Malayu juga membawa
pasukan. Dengan demikian jelas saat ini pura Singasari kosong, dak ada kekuatan pasukannya.
Dan celakanya baginda masih menitahkan mengadakan upacara besar besaran untuk menyambut
kedatangan kedua puteri Sriwijaya itu ....."
Gelisah resah ketika Wijaya membayangkan peristiwa-peristiwa itu.
"Dan yang jelas, Daha sudah mulai menyerang perbatasan," pikirnya lanjut "jika aku tak lekas-
lekas ke Tuban dan kembali ke pura Singasari lagi, bahaya tentu akan menimpa pura kerajaan.
Tapi........ " ba- ba ia terbeliak demi teringat sesuatu "kedua puteri itu sudah kusuruh mengantar
kembali ke Sriwijaya. Tak mungkin besok aku dapat membawa mereka ke Singasari ......."
Makin guguplah Wijaya memikirkah hal itu.
"Jika demikian malam ini juga aku harus ke Tuban. Akan kuperintahkan orang untuk menyusul
perahu kedua puteri," akhirnya ia mengambil keputusan.
Malam itu segera Wijaya naik kuda menuju ke Tuban.
Sepeninggal Wijaya dari Singasari, malam itu telah telah terjadi dua buah peris wa yang
mengejutkan. Peris wa pertama yalah terjadi pada diri Sedayu. Malam itu ia tetap melaksanakan rencana
untuk menyelidiki ke dalam geduag kediaman Ardaraja. Ia memang curiga pada Ardaraja.
Sudah tentu dara itu tak berani mengambil jalan dari pintu melainkan lompat melampaui pagar
tembok belakang. Ia mengenakan dandanan sebagai seorang pemuda dan mukanyapun
diselubungi dengan kain hitam. Ia tak mau dirinya diketahui orang.
Bagaikan seekor kucing hitam, ia melompa pagar tembok lalu menyusup ke taman. Tiada
seorang penjaga bahkan seekor nyamukpun yang tampak. Sunyi senyap gedung putera menantu
raja itu. Setelah menempatkan diri di balik sebatang pohon nagasari, ia menjumput sebu r batu kerikil
lalu dilontarkan ke atap serambi-ruang belakang. Ia menunggu dengan berdebar bagaimana
sambutannya. Tetapi tetap ada tampak suatu gerakan dari penjaga maupun bujang yang muncul. Seolah-olah
penghuni geduag sudah lelap tidurnya.
Namun masih terlalu ha -ha bagi Sedayu untuk segera menyelundup masuk. Ia teringat akan
ajaran gurunya sebuah aji untuk membuat orang dur. Maka dicobanyalah untuk memantrakan aji
sirep Begananda. Sepengunyah sirih setelah suasana tetap lelap senyap, barulah ia mulai bergerak dengan ha -
ha . Dengan gerak seringan kucing loncat, ia menyusup ke dalam ruang peringgitan. Dari sebuah
tiang saka, ia menyelinap untuk mencari ruang peraduan Ardaraja.
Ketika tiba di sebuah ruang indah, ia berhenti
"Yang ini tentu tempat peraduan Ardaraja," pikirnya. Tetapi sesaat ia meragu. Mengapa ruang
bilik itu sunyi senyap "apakah benar-benar Ardaraja berada di keraton ?" ia menimang-nimang "ah,
mungkinkah mereka telah terlelap dalam dur yang pulas akibat mantra aji sirep yang kulancarkan
tadi"." Setelah beberapa saat berbantah dalam ha , akhirnya ia memutuskan. Karena sudah terlanjur
menempuh bahaya, biarlah sekali ia melanjutkan penyelidikan itu sampai selesai.
Dengan berjingkat-jingkat akhirnya ia menghampiri pintu bilik. Pintu terkunci, tetapi dengan
ujung cundrik, ia dapat membuka dan terus menyusup masuk.
Dalam penerangan yang remang masih ia dapat melihat bahwa di atas pembaringan yang
terbuat dari pada kayu cendana berukir bunga dan naga, tampak dua sosok tubuh yang
terselubung dalam selimut.
Tujuan Sedayu masuk ke gedung kediaman Ardaraja hanyalah untuk membuk kan benarkah
pangeran itu berada di keraton bersama puteri. Maka setelah merasa yakin bahwa Ardaraja
ternyata masih berada di kediamannya, Sedayupun lalu cepat-cepat nggalkan ruang itu. Tetapi
ketika ia melangkah dari pintu, kejutnya bukan kepalang "Ih," desuhnya.
Tujuh orang lelaki sudah siap menunggu di luar pintu. Kanan, kiri dan muka pintu masing-masing
dijaga oleh dua orang, sedang yang seorang, hanya beberapa langkah dari pintu, tegak
menyilangkan tangan. "Menyerah atau melawan?" tegur orang itu dengan nada bengis.
Tiba- ba mbul pikiran pada Sedayu. Cepat ia menyurut mundur hendak menghampiri ke
pembaringan. Tujuannya ia hendak membekuk Ardaraja untuk di-jikan sandera.
"Ih ..... " kembali ia mendesuh bahkan kali ini lebih keras ke ka melihat Ardaraja sudah tegak
berdiri menyambutnya. "Engkau raden Ardaraja" " tegurnya.
"Hm, kiranya engkau seorang yang sudah kenal aku," sahut Ardaraja.
"Uh, engkau licik, menjebak dengan perangkap," seru Sedayu.
"Tidak lebih licik dari seorang pembunuh gelap," sahut Ardaraja "siapa engkau"."
Sedayu terkejut karena pertanyaan itu. Sejenak merenung, cepat ia menjawab "Seorang putera
Singasari yang ingin membela buminya."
"Mengapa engkau ke mari"."
"Aku ingin tahu di manakah ular menyembunyikan diri."
"Apa maksudmu?" seru Ardaraja.
"Ku dengar di pura Singasari terdapat seekor ular berkepala dua. ingin kusaksikan bagaimana
ujud ular itu." "Tutup mulutmu! " Ardaraja serentak mendamprat marah dan terus menghantamnya.
Memang itulah yang ditunggu Sedayu. Ia hendak membangkitkan orang agar menyerang. Dan ia
ingin cepat-cepat membekuk Ardaraja untuk dijadikan sandera.
Berkisar tubuh ke samping, Sedayu menyodok lambung. Tetapi Ardaraja bukanlah lawan yang
empuk. Secepat kilat, Ardaraja sudah menyelinap ke belakang dan terus mencengkeram tengkuk
Sedayu. "Uh .... " tiba-tiba Ardaraja mendesis kejut ketika lututnya tiba-tiba terdupak ujung kaki Sedayu.
Ternyata dengan sebuah gerak yang tak disangka-sangka, Sedayu mengendap ke bawah lalu
mendupak lutut lawan.. Ardaraja terhuyung-huyung dan Sedayu cepat loncat menerkam dadanya.
Tetapi sebelum Sedayu sempat mencapai maksudnya, ba- ba punggungnya telah disekap
orang dari belakang. Sedemikian kuat tenaga orang itu sehingga ia tak mampu berkutik lagi.
"Setan," damprat Ardaraja dengan wajah merah. Ia menghampiri ke hadapan Sedayu "siapa
engkau !." "Bunuhlah aku !" teriak Sedayu,
"Ya, tetapi sebelum itu aku hendak melihat mukamu," secepat berkata secepat itu pula tangan
Ardaraja menarik kain hitam yang menyelubungi kepala dan muka Sedayu, brat.....
"Hai!" teriak Ardaraja "engkau seorang anak perempuan."
Sedayu memandang Ardaraja dengan wajah kemarahan.
"Siapa engkau!" bentak Ardaraja sesaat kemudian.
Tetap Sedayu tak menyahut. Diam-diam ia girang karena Ardaraja tak mengenalnya. Apapun
yang terjadi, ia bersedia mempertanggungjawabkan sendiri. Jangan sampai terlihat ayahnya,
tumenggung Wirakre . Mungkin karena sejak beberapa tahun ia ikut pada gurunya di gunung maka
Ardaraja pun tak kenal padanya.
Plak, tiba-tiba Ardaraja menampar pipinya "Bilang!."
"Hm," desuh Sedayu menggeram "jika mau membunuh, bunuhlah. Tapi ingat, jika sampai esok
hari aku tak keluar dari rumah ini, kawan-kawanku tentu menyerbu ke mari!."
"Siapa kawan-kawanmu itu"."
"Pejuang-pejuang Singasari yang hendak melenyapkan kawanan ular kepala dua."
"Keparat!" Ardaraja serentak mencabut pedang dan terus diayunkan untuk memenggal kepala
Sedayu. Melihat itu ba- ba Suramenggala, pengawal kepercayaan dari Ardaraja mencegah "Sabar,
raden." Kemudian Suramenggala mengajak Ardaraja ke sudut ruangan dan berkata dengan bisik-bisik.
Tampak Ardaraja mengangguk-angguk kepala.
Ardaraja memerintahkan orangnya untuk mengikat kedua tangan gadis itu lalu dimasukkan ke
sebuah ruangan tersendiri.
Diam-diam Sedayu tertawa dalam hati. Bahwa gertakannya telah termakan oleh Suramenggala. Ia
duga tentulah Suramenggala membisiki tuannya agar supaya menyimpan Sedayu sebagai umpan.
Apabila sampai esok hari, Sedayu belum ke luar, tentulah kawan-kawannya akan menyerbu.
"Sekaligus kita dapat menangkap mereka dalam jaring perangkap, raden," demikian yang
dibisikkan Suramenggala kepada Ardaraja tadi.
Itulah sebabnya mengapa Ardaraja setuju. Iapun memerintahkan supaya disiapkan barisan
pendam untuk menyergap kawan-kawan Sedayu yang akan menyerbu itu. Entah esok hari entah
malamnya..... Keesokan harinya, Ardaraja terkejut ke ka seorang bekel utusan baginda datang untuk
mengundang pangeran itu menghadap ke istana.
Tiba di istana Ardaraja mendapatkan pa h Aragani, tumenggung Wirakre bahkan empu
Raganata telah siap di hadapan baginda. Beda dengan pasewakan pada hari-hari yang lalu, kali ini
suasana tampak tegang dan genting.
"Puteraku Ardaraja," titah baginda "bagaimana hal itu dapat terjadi "."
Ardaraja berdebar melihat wajah baginda merah padam.
"Sudilah paduka berkenan menjelaskan kepada hamba apakah yang telah terjadi," cepat ia
mengantarkan sembah permohonan.
"Akuwu Daha, ayahandamu telah mengerahkan pasukan untuk menyerang Singasari!."
Ardaraja terbeliak seperti orang disengat lebah
"Ampun tuanku, salahkah pendengaran hamba akan titah paduka "."
"Memang benar, Ardaraja," ujar baginda pula, "memang akuwu Jayakatwang telah menitahkan
pasukan Daha untuk menyerang perbatasan Singasari."
Merah padam wajah Ardaraja tampaknya walau pun sesungguhnya ia sudah mengetahui hal itu.
"Tidak mungkin, gusti," serunya serentak.
"Memang bermula akupun tak percaya, tetapi ternyata laporan dari lurah desa Sideman itu
benar," kata baginda lalu berpaling mengerling pandang kepada patih Aragani.
"Ya, memang benar, raden," rupanya pa h-Aragahi cepat dapat menanggapi "Kuda Panglulut
telah mengirim laporan bahwa yang menyerang desa perbatasan itu adalah tentara Daha."
"Ah, bagaimana mungkin ?" Ardaraja mengeluh "mengapa rama bertindak sedemikian ..."
Sesaat kemudian ia memberi sembah kepada baginda "Gus , junjungan hamba. Hamba mohon
paduka melimpahkan titah kepada hamba untuk mengenyahkan pasukan Daha itu."
"Justeru aku hendak minta pendapatmu, Ardaraja."
"Demikianlah gus , pendirian hamba. Hamba berpijak pada kebenaran. Entah ayah, entah
mentua, entah sanak atau kadang, apabila bersalah, dialah yang akan hamba hadapi," sembah
Ardaraja pula. "Bagus, puteraku," baginda berseru memuji.
Pa h Aragani, tumenggung Wirakre dan empu Raganatapun mengangguk. Namun berbedalah
anggukan kepala mereka satu dengan lain.
"Jadi maksudmu hendak membawa pasukan untuk mengusir mereka," baginda menegas.
"Demikianlah gus ," kata Ardaraja "semoga paduka berkenan meluluskan permohonan hamba
agar hamba dapat membuktikan kesetyaan hamba kepada paduka."
"Baik, kukabulkan permohonanmu itu ..... " Pa h Aragani terbeliak. Demikian pula empu
Raganata dan tumenggung Wirakre . Ke ga orang itu kurang mempercayai kesetyaan Ardaraja dan
menjatuhkan prasangka terhadap putera akuwu Daha itu.
Bahkan pa h Aragani hendak mengajukan saran kepada baginda atau ba- ba baginda sudah
melanjutkan kata-katanya pula.
"Tetapi Ardaraja," ujar baginda "sebaiknya janganlah engkau menggunakan kekerasan sebelum
engkau gagal untuk memberi penjelasan kepada mereka bahwa penyerangan itu, dak layak. Dapat
membawa malu bagi dirimu. Apabila gagal, kuserahkan saja kepadamu bagaimana akan bertindak."
"Hamba persembahkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya atas kepercayaan yang
paduka limpahkan terhadap diri Ardaraja, gusti," kembali Ardaraja memberi sembah
"kepercayaan paduka pasti akan hamba junjung sungguh-sungguh. Apabila perlu, hamba akan
menghadap rama akuwu di Daha untuk menyadarkan tindakan rama itu."
Baginda amat gembira mendengar pernyataan putera menantunya.
Tidaklah demikian dengan pa h Aragani dan empu Raganata. Dalam kesempatan untuk
mengantar Ardaraja ke luar dari istana, patih Aragani bertanya dalam nada senda-gurau.
"Apakah raden akan kembali ke pura lagi...."
Ardaraja terkesiap, memandang tajam-tajam pada patih itu lalu menjawab singkat "Ya."
Aragani tertawa dalam nada yang sukar diduga. Girang-girang mencemoh.
"Raden," empu Raganatapun mencari kesempatan untuk berbicara "tuan puteri tentu sangat
mengharapkan agar raden cepat kembali ke pura."
Ardaraja terkesiap pula. Sesaat ia tertawa. Ia cepat dapat menyelami apa yang tersembunyi
dibalik pesan kedua orang itu.
Apabila patih Aragani secara tersembunyi menuduh dia tentu takkan kembali ke pura
Singasari, adalah empu Raganata memberi kisikan halus agar Ardaraja ingat akan isterinya
yang berada dalam keraton. Namun keduanya mengandung makna sama. Memperingatkan
agar dia jangan sampai menyeberang ke fihak Daha.
Namun Ardaraja hanya tertawa. Tertawa yang menertawakan kedua mentri Singasari itu sebagai
orang yang mengharapkan burung yang sudah terbang ke luar dari sangkarnya akan kembali ke
dalam sangkar lagi. "Bagaimana pendapat empu tentang diri pangeran itu ?" tanya Aragani sesaat Ardaraja sudah
tinggalkan keraton. "Memang berat per mbangan yang harus diderita pangeran itu. Antara-ayah dan ayah mentua.
Antara kewajiban sebagai seorang putefa mahkota Daha," sahut empu Raganata.
"Benar," pa h Aragani mengangguk "namun apabila empu menjadi diri raden Ardaraja, fihak
manakah yang akan empu pilih "."
Empu Raganata menghela napas.
"Aku teringat akan sebuah cerita jeman dahulu," katanya "walaupun berbeda sedikit dengan
keadaan sekarang tetapi maknanya sama."
Aragani minta agar empu tua itu menceritakan.
"Masalah berat menimpa pada pemikiran raden Wibisana dari kerajaan Alengka, ke ka prabu
Ramawijaya menggerakkan pasukan kera untuk menggempur Alengka. Prabu Ramawijaya terpaksa
menyerang Alengka karena isterinya, Dewi Shinta, telah dilarikan oleh prabu Rahwanaraja, raja
Alengka yang menjadi kakak raden Wibisana."
"Suatu ujian berat bagi raden Wibisana menghadapi peperangan itu. Alengka adalah kerajaan
tumpah darahnya dan prabu Rahwanaraja adalah saudara kandungnya. Tetapi iapun tahu
bahwa prabu Ramawijaya itu ksatrya yang luhur budi, titisan Hyang Wisnu. Terakhir raden
Wibisana memilih berpihak kepada prabu Ramawijaya karena prabu itulah yang benar. Pilihan
Wibisana didasarkan pada Kebenaran semata. Bukan pada ikatan saudara."
"Adakah empu maksudkan raden Ardaraja seharusnya ber ndak sebagai raden Wibisana itu ?"
tanya patih Aragani. "Seyogyanya demikian, tetapi ..."
"Tetapi bagaimana, empu?" desak patih Aragani.
"Dalam persoalan antara Daha dan Singasari itu, Kebenaran memang dapat dipersengketakan.
Karena apa yang terjadi sekarang tak lepas dari hubungan sejarah antara kedua kerajaan itu."
"Dengan demikian empu menyangsikan raden Ardaraja akan berpihak kepada Singasari"."
"Menurut pendapat ki pa h ?" empu Raganata mengembalikan pertanyaan itu kepada yang
bertanya. "Kerbau pulang ke kandang," kata pa h Aragani "atau suatu hal yang lumrah. Dan oleh karena
itu ....." "Oleh karena itu," empu Raganata mengulang "apa maksud ki patih."
"Mari kita menghadap baginda, empu," cepat-cepat pa h Aragani mengalihkan persoalan itu
dengan ayunkan langkah masuk ke dalam keraton.
Baginda pun menanyakan tentang diri putera menantunya kepada patih Aragani.
"Mudah-mudahan raden dapat memberi nasehat kepada ramandanya akuwu Daha, agar
menghentikan tindakannya yang kurang layak itu."
"Kurasa tentulah puteraku Ardaraja akan berhasil," kata baginda "karena sesungguhnya ada
alasan bagi akuwu Daha untuk memusuhi Singasari. Akulah yang mendudukkan dia sebagai akuwu.
Puteranya-pun kuambil menantu. Bukankah sudah tak ada lagi persoalan antara Singasari dengan
Daha"." Demikian baginda Kertanagara terlalu yakin akan kebesaran dirinya, kesak an dan
kewibawaannya. Saat itu baginda hendak membubarkan persidangan karena ia hendak menitahkan
pa h Aragani untuk nggal di balairung, menikma acara se ap harinya. Minum tuak sambil
membuat syair. Tiba- ba bekel Wregola, kepala prajurit pengawal keraton bergegas datang menghadap. Setelah
memberi hormat gopoh, bekel prajurit itu menghaturkan laporan bahwa lurah desa Mameling
datang ke pura Singasari untuk melaporkan tentang daerahnya yang telah diserang deh pasukin


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daha. "Panggil lurah itu ke hadapanku," titah baginda.
Setelah lurah Mameling menghadap maka bagindapun menitahkan supaya lurah itu
mempersembahkan laporannya.
"Pasukan besar dari Daha telah menyerang dan menduduki desa Mameling," kata lurah itu
"hamba dan rakyat Mameling memberi perlawanan gigih tetapi karena jumlah mereka lebih besar
dan lebih terla h serta lebih lengkap senjatanya, perlawanan rakyat Mameling sia-sia belaka.
Banyak rakyat desa yang terbunuh dan luka parah. Rakyat yang melawan, rumahnya dibakar,
orangnya disiksa. Keadaan desa Mameling porak poranda, gusti."
"Benarkah itu?" masih baginda meminta penegasan "baru saja ku tahkan puteraku Ardaraja
untuk menghen kan serangan pasukan Daha di desa Sideman, mengapa kini mereka mengobrak
abrik desa Mameling"."
"Siapa yang menjadi senopati mereka?" tanya baginda pula.
"Senopa Jaran Guyang, gus ," sembah lurah desa itu "senopa itu telah mengumpulkan sisa
rakyat Mameling yang masih hidup. Kepada mereka diwajibkan supaya setya kepada Daha saja
daripada kepada baginda Kertanagara yang katanya ..."
"Katanya bagaimana?" seru baginda.
"Apakah gusti takkan menghukum hamba"."
"Katakanlah," seru baginda "engkau hanya menirukan apa yang dikatakan Jaran Guyang,
mengapa aku menghukummu"."
"Katanya baginda Kertanagara itu seorang raja yang gelap pikiran, dak mau mengurus kerajaan,
tiap hari hanya bersenang-senang minum tuak dengan ki patih Aragani."
"Setan!" teriak patih Aragani "Jaran Guyang berani mengatakan begitu"."
"Ampun gus ," lurah itu meratap "hamba hanya mengulang apa yang dikatakannya saja. Tidak
lebih tidak kurang, gusti."
"Aragani, siapkan pasukan untuk menghajar si mulut lancung Jaran Guyang!" tah baginda
dengan murka "dan bawalah patih itu ke hadapanku. Aku hendak menghukumnya sendiri."
Pa h Aragani cepat berdatang sembah "Ampun, gus . Induk pasukan yang kuat telah tercerai
berai. Setengahnya telah dibawa oleh senopa Mahesa Anabrang ke Malayu. Beberapa bagian
dibawa raden Wijaya, pa h Kebo Anengah ke Sriwijaya, menyertai Kuda Panglulut ke Sideman, lalu
terakhir dibawa oleh putera paduka pangeran Ardaraja. Yang ada dalam pura saat ini hanya sisa
sebagian kecil, cukup untuk mempertahan diri."
"Hai, mengapa engkau tak melaporkan hal itu sejak dulu ?" tegur baginda.
Serta merta pa h Aragani mengunjuk sembah, "Ampun, gus , menurut penger an hamba,
urusan ketentaraan itu berada pada Mantri Angabaya sepenuhnya."
Mendengar itu pucatlah wajah tumenggung Wirakreti.
"Apa katamu, Wirakreti ?" tegur baginda.
"Hamba mengaku salah, gus ," sembah mentri Angabaya atau mentri urusan pertahanan negara
itu, "tetapi pada hakekatnya hamba menerima jabatan itu setelah keadaan Singasari sudah lemah.
Hamba tak berani menentang pengiriman pasukan Pamalayu secara besar-besaran karena hal itu
adalah titah paduka yang mulia."
"Bukankah engkau dapat membentuk pasukan baru pula "."
"Sebagai seorang demung yang telah dilorotkan kedudukannya, hamba harus tahu diri," kata
tumenggung Wirakre "apa pula ki pa h Aragani telah mengatakan kepada hamba bahwa paduka
telah merestukan pembentukan pasukan baru itu di tangan raden Wijaya. Dan setelah raden
Wijayapun ke Malayu, lalu diserahkan kepada raden Ardaraja. Dengan demikian pada hakekatnya,
kekuasaan tentara Singasari itu berada di tangan putera paduka raden Ardaraja."
Baginda terkesiap. Hampir ia menyadari bahwa keadaan dalam pura Singasari memang kurang
berkenan dalam hati. "Gus ," ba- ba pa h Aragani berdatang sembah "mengapa kita harus gentar menghadapi
pasukan Daha " Bukankah Daha itu di bawah perintah paduka "."
"Apakah maksudmu, Aragani ?"
"Daha itu tunduk pada Singasari. Mohon paduka mengirim firman untuk memanggil akuwu
Jayakatwang menghadap paduka. Jika dia menolak, barulah kita kerahkan pasukan kerajaan
untuk menghukumnya."
"Gus ," ba ba empu Raganata menyelinap kata "hamba rasa keadaan sudah jelas
menunjukkan bahwa akuwu Daha hendak memberontak. Bahkan berani menyerang Singasari.
Firman paduka untuk menitahkan datang, dapat mengecewakan keluhuran paduka. Jelas akuwu
Jayakatwang akan menolak, kemungkinan bahkan akan memperolok utusan paduka."
Baginda mengangguk pelahan.
"Lalu bagaimana menurut pendapat paman"."
"Setiap kebakaran harus cepat dipadamkan. Demikian tamsil yang hamba ulaskan akan
keadaan kerajaan Singasari saat ini. Api peperangan telah disulut oleh akuwu Daha maka
kitapun harus cepat-cepat memadamkannya agar jangan sampai terbit kebakaran besar."
"Benar," seru baginda "lalu bagaimana tindakan kita"."
Aragani diam-diam cemas karena baginda mulai memperha kan dan mendengar kata-kata empu
tua itu. Ia harus merebut hati baginda.
"Gus ," cepat-cepat ia berdatang sembah "menurut hemat hamba, adalah senopa dalam
kerajaan Singasari yang lebih cakap dan sak kecuali putera paduka, raden Wijaya. Seyogyanya
raden Wijaya diserahi tugas untuk menghadapi serangan Daha itu."
Empu Raganata terkejut mengapa pa h Aragani mengusulkan ndakan semacam itu. Namun
cepat pula empu tua itu dapat menyelami isi ha pa h Aragani. Pa h itu sebenarnya hendak
menimbuni Wijaya dengan beban berat yaog mengandung bahaya. Apabila Wijaya gugur dalam
peperangan, hilanglah sudah sebuah 'duri dalam daging ' bagi Aragani. Namun bila menang, tetap
Aragani akan dianggap berjasa karena usul itu.
"Hamba setuju dengan saran ki pa h Aragani," empu Raganata segera memberi jawaban atas
pertanyaan baginda tadi. Bagi Raganata, keselamatan Singasari lebih pen ng dari segala. Soal-soal
lain mengenal siasat Aragani, kelak dapat dihadapi pula.
"Hm," desuh baginda "memang Wijaya amat gagah berani dan sak tetapi bagaimana dengan
kedua puteri Sriwijaya itu"."
"Kedua puteri itu baiklah paduka tahkan supaya berada di dalam perahu. Atau kalau makin
gen ng, supaya dibawa pulang ke Sriwijaya lagi. Kelak apabila suasana sudah tenang, baru kita
jemput," kata empu Raganata.
"Baiklah," akhirnya baginda meluluskan. Kemudian ia menitahkan pa h Aragani supaya
membatalkan segala persiapan untuk menyambut Wijaya dan kedua puteri Sriwijaya "undangkan
kepada segenap kawula Singasari supaya bersiap mempertahankan daerahnya masing masing dari
serangan musuh." "Dan engkau tumenggung Wirakre ," ujar baginda pula " tahkan pengalasan untuk menyusul
puteraku Wijaya agar cepat pulang ke Singasari."
Setelah pasewakan selesai, pa h Aragani bergegas pulang. Demikian tumenggung Wirakre pun
segera menitahkan pengalasan menuju ke Tuban.
"Hm, Ardaraja harus ditawan. Jangan sampai dia kembali ke Daha. Dengan menggunakan
Ardaraja sebagai sandera, kita dapat memaksa Jayakatwang menghentikan serangannya. Jika
tidak, puteranya akan kita bunuh," patih Aragani merancang-rancang suatu siasat di kala dalam
perjalanan pulang. Di ketemukannya siasat secara ba- ba itu, diserempaki pula oleh perobahan arah langkahnya.
Ia dak langsung pulang tetapi terus menuju ke candi Bentar. Maharesi Dewadanda mempunyai
beribu-ribu murid yang berilmu. Maka harus diminta bantuannya.
Setelah mendengar uraian dari pa h Aragani, maharesi Dewadanda terkejut. Apalagi pa h
Aragani sempat pula untuk membayangkan bagaimana sikap di jeroan raja Dandang Gendis dahulu
terhadap kaum brahmana. "Baik ki pa h," kata maharesi itu "akan kusuruh beberapa murid untuk mengejar raden
Ardaraja." II "SURAMENGGALA " kata raden Ardaraja kepada lurah prajurit Daha yang mengiringkan pangeran
itu menyelundup ke dalam pura Singasari "engkau bersama Sargula, Sarika, Pitrang dan Jaladri,
tetap nggal di pura sini. Aku hendak ke perbatasan Sideman untuk menyongsong pasukan Daha.
Akan kuajak semua anakbuah dan sekelompok prajurit Singasari."
"Baik, raden," sahut Suramenggala "siapakah yang memimpin pasukan Daha ke Sideman itu"."
"Apabila tak salah, pasukan itu dipimpin oleh kakangmas Lembu Amiluhung."
"Bukankah raden Kuda Panglulut juga sudah berangkat ke Sideman"."
Ardaraja membenarkan "Putera menantu patih Aragani itu amat berharga bagi kita, Sura."
Suramenggala kerutkan dahi "Raden maksudkan"."
"Menguasai dia merupakan senjata yang baik untuk melumpuhkan Aragani. Patih itu tentu tak
dapat bergerak bebas apabila putera menantunya menjadi sandera."
"O, benar, benar," seru Suramenggala "lalu bagaimana dengan anak perempuan tawanan kita itu
"." "Apakah sejak pagi tadi tiada tampak gerakan kawan-kawannya"."
"Belum tampak sesuatu yang mencurigakan, raden," kata Suramenggala "kemungkinan malam
nanti. Lalu bagaimana langkah yang harus kuambil "."
"Tangkap mereka dan paksa mereka supaya memberi keterangan siapa dan apa tujuan mereka,"
kata Ardaraja "setelah itu bunuh sajalah mereka. Apalagi jika keterangan mereka itu mempunyai
kaitan dengan penyerangan Daha, segera engkau menyusul aku ke Sideman."
"Bagaimana bila kawan-kawannya itu tak muncul, raden?"
"Tetap tahan anak perempuan itu. Selekas engkau mengetahui pasukan Daha sudah masuk ke
pura Singasari, selesaikan saja anak perempuan itu dan segera engkau gabungkan diri pada
pasukan Daha." Demikian setelah memberi pesan seperlunya maka Ardaraja segera berangkat dengan
pengiringnya dan sekelompok prajurit Singasari. Oleh karena tengah hari baru selesai
mempersiapkan rombongan yang akan dibawa, maka menjelang petang baru mereka
ba dipersimpangan jalan yang menghubungkan ke desa Sideman.
Ardaraja memerintahkan rombongannya berhenti untuk beristirahat. Kuda dilepas ke ladang
rumput dan para prajurit pengiringpun melepaskan dahaga dan lapar di bawah pohon sebuah
hutan. Selepas surya, turun ke peraduan, haripun cepat sekali gelap. Tiba- ba mereka dikejutkan oleh
suara kuda meringkik hingar bingar dan pada lain kejab, derap lari kuda yang riuh segera menyusul.
Serempak prajurit-prajurit itu melonjak dan memburu ke tempat kuda mereka "Hai .......kudaku,"
berhamburan prajurit-prajurit memekik nyaring karena kuda mereka hiruk pikuk hendak melarikan
diri. Dalam sekejab berbondong-bondong kawanan prajurit dan pengiring Ardaraja memburu kuda
mereka. "Aneh .... " gumam Ardaraja "mengapa tiba-tiba binatang itu lari ketakutan"."
"Heh, heh, heh bodoh .... " ba- ba terdengar suara amat pelahan namun menyusup jelas ke
telinga Ardaraja. Pangeran itupun cepat berpaling ke belakang dan berteriak "Hai, siapa engkau ....... !."
Seorang lelaki bertubuh kurus, memelihara kumis dan bercelana hitam tengah berdiri lebih
kurang lima enam langkah. Tentulah orang itu yang bicara tadi.
"Heh, heh, aku penunggu hutan ini," sahut orang itu tertawa mengekeh.
"Keparat, jangan banyak lagak !" hardik Ardaraja "sebutkan dirimu. Orang Daha, orang Singasari
atau penyamun "."
"Salah semua," seru orang itu "aku orang Bali."
"Apa maksudmu datang kemari"."
Orang itu tertawa "Engkau sudah tentu maklum sendiri, mengapa seorang Bali yang rajanya telah
engkau kalahkan, datang mencegatmu di tempat serupa ini."
"O, engkau hendak menuntut balas atas kekalahan negerimu "."
"Hm," dengus orang itu.
"Salah, ki sanak," seru Ardaraja "engkau salah sasaran. Penyerangan ke Bali itu adalah tah
baginda Kertanagara. Apabila mau menuntut balas, carilah baginda."
"Heh, heh," orang itu tertawa mengekeh pula "yang menyerang Bali itu engkau, Ardaraja,
mengapa baginda Singasari yang harus dibalas "."
"Tetapi baginda yang menitahkan."
"Engkau putera menantu baginda Kertanagara, bukan " Mengapa engkau mpakah kesalahan
ssluruhnya pada ayah mentuamu" Singasari memang, bukankah engkau menikma kehidupan yang
senang" Kertanagara jaya, bukankah Ardaraja juga ikut numpang kemuliaan " Ha, ha, engkau hanya
ingin makan nangkanya, getahnya engkau berikan orang yang telah memberimu seorang puteri ..."
"Tutup mulutmu, keparat! " Ardaraja tak dapat menguaiai diri lagi. Sebuah lompatan sambil
memukul arah dada, telah dilakukan dengan gaya dan gerak yang amat cepat.
Dalam ilmu tata-kehhi dan jaya-kawijayan, Ardaraja telah mendapat gemblengan dari seorang
resi yang sak . Jika hanya empat lima orang saja, kiranya tak dapat menandingi putera akuwu Daha
itu. Tetapi orang tak dikenal itu lebih gesit dari Ardaraja. Cara dia menghindar lalu menyelinap ke
samping Ardaraja lalu menerkam lengan raden itu, sungguh mengagumkan sekali.
Untunglah Ardaraja sudah membekal penger an bahwa seorang yang berani menyergap sebuah
rombongan prajurit yang dipimpinnya, tentulah seorang yang digdaya. Maka walaupun diam-diam
ia terkejut atas gerakan orang, namun Ardaraja sudah siap.
"Hebat!" serunya seraya loncat mundur lalu menerjang maju pula.
Orang tak dikenal itupun mengangguk sebagai tanda memuji ketangkasan Ardaraja. Ia melayani
serangan pangeran itu dengan hati-hati dan cepat.
Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang seru dan bermutu. Keduanya sama
menggunakan tata-kelahi yang rapi dan dahsyat.
Dalam pada itu diam-diam Ardaraja heran mengapa sampai sekian saat ada scorangpun dari
pengiringnya maupun anggota rombongan prajurit yang muncul "Ke manakah gerangan mereka
itu?" diam-diam ia bertanya dalam hati.
Adalah karena perha annya bercabang maka dalam sebuah serangan yang dilancarkan orang itu,
Ardaraja agak terlambat menghindar. Akibatnya bahu kirinya terkena tamparan orang itu.
Walaupun tak sampai terluka tetapi cukuplah tamparan itu membuat Ardaraja terhuyung dua
langkah ke belakang. "Heh, heh," orang itupun mengekeh pula "jangan mengharapkan anakbuahmu akan menolong
engkau! Mereka menghadapi nasib serupa dengan dirimu."
Ardaraja terkejut. Tentulah penyergap itu membawa kawan banyak sehingga anakbuahnya
terkurung. Demikian pikirnya. Dan pikiran itu cepat membangkitkan semangat ke angkuhannya.
Sebagai seorang putera raja masakan ia harus kalah dengan seorang Bali. Sebagai seorang senopa
yang menundukkan Bali, masakan ia harus ma di tangan seorang kawula dari negara yang
dikalahkannya. "Keparat, Ardaraja akan menyabung nyawa dengan engkau," serentak msncabut keris, ia
meloncat menikam lawan. "Ho, putera akuwu Daha, belum lagi lecet kulitmu mengapa sudah memakai senjata ?" ejek orang
itu sembari mengelak sambaran ujung keris lalu menebangkan telapak tangan kanannya ke
pergelangan tangan Ardaraja.
Ardaraja membiarkannya. Bahkan hingga telapak tangan orang hampir menyentuh tangannya, ia
tetap diam. Hanya setelah tangan orang itu menimpa pergelangan tangannya, tak terduga-duga
kaki Ardaraja berayun ke perut orang, plak ....
Siasat yang digunakan Ardaraja itu memang berbahaya. Ia mengorbankan kerisnya jatuh ke
tanah tetapi ia berhasil menendang orang itu hingga terlempar sampai setombak jauhnya.
"Mampus engkau jahanam !" sebuah gerak dalam gaya harimau menerkam mangsa, ia loncat
menubruk korbannya. Ia curahkan seluruh tenaga untuk mencekik leher orang itu.
"Uh .... " ba- ba ia mendesuh kejut ke ka terkamannya mengenai tanah padas yang
mengakibatkan hidung dan mulutnya berdarah.
Orang tak dikenal itu segera hendak loncat untuk meringkus Ardaraja. Tetapi serempak pada saat
itu terdengarlah derap kuda mencongklang pesat dan sesaat kemudian ba- ba sebatang tombak
telah melayang ke arah orang itu "Hai, jangan mengganggu raden Ardaraja !."
Orang itu terkejut ke ka se up angin tajam memenyambar ke punggungnya. Cepat ia berputar
tubuh teraya menabalkan tangannya, plak .... tombak maut itupun terdampar ke lamping dan
menyusup ke dalam semak. Seiring dengan terpukulnya tombak, dua sosok tubuh berhamburan loncat menerjang orang itu.
Tetapi orang itupun dengan gerak yang amat tangkas, menyingkir ke samping.
Dalam pada itu Ardarajapun melonjak bangun.
"Engkau, Wirajamba," seru raden itu kepada salah seorang dari kedua pendatang yang bertubuh
tinggi besar. "Benar, raden," sahut Wirajamba "apakah, raden terluka "."
"Sedikit dan tak berar ," jawab Ardaraja lalu melirik ke arah orang yang seorang "O, engkau Kuda
Panglulut." "Bagaimana engkau dapat datang bersama, Wirajamba ?" tanya Ardaraja pula.
"Nan akan hamba ceritakan, raden," sahut Wirajamba "yang pen ng marilah kita basmi
manusia pengacau ini!."
Ardaraja seper disadarkan bahwa saat itu orang yang tak dikenal itu masih tegak di
hadapannya. "Keparat, engkau menyerah atau melawan ?" seru Ardaraja.
Tampak orang itu termangu-mangu. Pandang matanya penuh dengan rasa kecewa, marah dan
menikam wajah Kuda Panglulut.
"Engkau penghianat!" hardik orang itu.
"Penghianat " Ho, orang Bali, jangan bermulut lancung. Lihat siapa yang berada di sekelilingmu !"
seru Ardaraja. Orang itu tertawa lusuh "Hm, kutahu. Mereka adalah pengiring pengiringmu dari Daha dan
anakbuah si dungu Kuda Panglulut."
"Tutup mulut!" bentak Ardaraja.
Orang itu tertawa nyaring "Agar si goblok Kuda Panglulut tak tahu akal bulus yang engkau
lakukan " Ardaraja, bukankah engkau hendak menggabungkan diri dengan tentara Daha "."
"Keparat, Ardaraja putera menantu baginda Singasari ..."
"Tetapi akuwu Jayakatwang itu ayahmu !."
"Aku hendak mendamaikan sengketa ini!" Orang itu bergelak tawa pula.
"Hanya manusia-manusia sebodoh Kerbau macam Kuda Panglulut, mau percaya omonganmu,"
serunya. Kuda Panglulut terangsang kemarahannya. Tetapi sekilas terperciklah sesuatu dalam benaknya.
Bahwa apa yang dikatakan orang tak dikenal itu memang perlu mendapat perhatian.
Rupanya Ardaraja dapat menyelami perasaan Kuda Panglulut yang tampaknya goyah mendengar
ucapan orang itu. "Bunuh babi itu !" teriak Ardaraja.
Serempak Wirajamba dan beberapa kawannya, berhamburan menyerang orang tak dikenal itu.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun orang itu dengan gagah perkasa menyambut se ap penyerang dengan nju, tamparan
dan tendangan. Ketangkasannya bermain silat mengejutkan Wirajamba dan kawan-kawannya.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, orang itu berhasil menyambar kaki seorang anakbuah
Ardaraja, diangkat dan diputar-putar untuk menghantam penyerang yang berani mendekatinya.
"Tutup semua jalan!" perintah Ardaraja seraya mencabut cambuk dan loncat ke hadapan orang
Itu "menyerah atau mati, engkau "."
"Jangan banyak bicara penhianat," teriak orang itu "bagiku ma lebih utama daripada menyerah
di tangan seorang penghianat Singasari."
Berulang kali orang itu memaki Ardaraja sebagai penghianat, mbullah keinginan ha Kuda
Panglulut untuk mencari keterangan "Hai, ki tanak, siapakah engkau sesungguhnya"."
"Walaupun aku bukan orang Singasari, tetapi perjuanganku untuk membela kerajaan itu, lebih
besar dari engkau ..."
"Bedebah, jangan banyak mulut!" rupanya timbul juga lekuatiran Ardaraja apabila orang Bali
itu sampai menguraikan rahasia dirinya kepada Kuda Panglulut. Maka cepat ia membentak dan
ayunkan cambuknya, tar, tar, .......
"Aduh .......ampun raden .... " teriak anakbuah yang diputar-putar orang itu untuk menangkis
cambuk Ardaraja. Ardaraja menggeram. Diulang dan diulang pula ia mengayunkan cambuk namun orang itu
dengan labih licin telah menjadikan sanderanya sebagai perisai.
Sejenak melepas napas, Ardaraja mencuri kesempatan untuk memberi isyarat mata kepada
Wirajamba. Setelah itu iapun loncat menerjang pula, mengayunkan cambuk sederas hujan. Yang di
arah khusus kepada orang itu.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 34 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Segala yang hidup itu tentu bergerak. Termasuk ilmu. Karena ilmu itu hidup dalam pikiran
manusia, maka ilmupun bergerak menurut kemajuan yang dicapai pikiran.
Dengan memiliki sifat hidup itu, ilmupun harus diamalkan dan diterapkan menurut
perkembangan keadaan. Semisal dengan ilmu kanuragan, hanya dengan cara menyesuaikan saat
dan keadaan, barulah dapat membuahkan hasil yang diharapkan.
Demikianlah yang dilakukan oleh orang yang menyerang rombongan pangeran Ardaraja.
Walaupun hanya seorang diri namun dia mampu menghidapi beberapa belas anakbuah pangeran
Ardaraja. Paling tidak dapat-mengacau perlawanan mereka.
Di samping memiliki ilmu kanuragan yang sakti, orang itupun memiliki otak dan perhitungan yang
tajam. Menghadapi serangan cambuk Ardaraja yang deras, dia mengangkat tubuh tawanannya ke
atas untuk melindungi kepalanya yang terancam cambuk Ardaraja.
Kesempatan itu tak disia-siakan Wirajamba dan anakbuahnya. Serempak mereka berebut
hendak menombak dan menabas perut dan kaki orang yang tak terlindung.
Orang itu terkejut. Apabila ia harus memperha kan serangan cambuk, jelas punggung dan
kakinya tentu akan hancur. Namun kalau harus menangkis serangan dari belakang, kepalanya tentu
akan berlumuran didera cambuk.
Dalam menghadapi bahaya itu ia harus cepat menjatuhkan pilihan. Ia memutuskan, tombak dan
pedang lebih berbahaya daripada cambuk. Maka secepat kilat ia berputar tubuh sambil
menangkiskan tubuh tawanannya dan menyerempaki melemparkan tubuh orang itu kepada
Wirajamba dan anakbuahnya, ia ayunkan tubuh melambung ke udara, tar .....
Gerakan orang itu memang luar biasa cepat dan hebat. Se kpun Wirajamba dan anakbuahnya
tak dapat menduga bahwa orang itu mampu meloloskan diri dalam cara yang luar biasa hebatnya.
Namun sekalipun demikian, ujung cambuk Ardaraja masih sempat singgah dua kali di
punggungnya. Menimbulkan pecahan kain dan kulit yang menggurat panjang di punggung baju
orang itu. Orang itu menggeram tetapi tak berani lambatkan langkahnya menghilang dalam kegelapan
malam. "Jangan," teriak Ardaraja mencegah Wirajamba dan anakbuahnya yang hendak mengejar "dia
tentu sudah menderita. Luka yang di mbulkan cambuk Urat badak ini, akan membisulkan luka
yang lama sekali sembuhnya."
Kemudian Ardarajapun menitahkan untuk menanam mayat anakbuahnya yang menjadi korban
keganasan orang itu. "Kuda Panglulut, bagaimana engkau dapat ba di sini tepat pada saat yang tepat ?" Ardaraja
mengulang pertanyaannya pula.
Kuda Panglulut menceritakan bahwa ke ka dalam perjalanan pulang dari desa Sideman, ba- ba
ia melihat beberapa ekor kuda lari membinal, beberapa prajurit mengejarnya lalu seorang lelaki tak
dikenal menyerang prajurit prajurit itu.
"Hm, dia tentu kawan dari orang tadi," desuh Ardaraja "yang satu menggunakan siasat untuk
memikat perhatian para prajurit, yang satu lalu menyergap aku."
"Untunglah berkat bantuan raden Kuda Panglulut, kami dapat menghalau orang itu dan,
bergegas-gegas menghampiri kemari," kata Wirajamba melanjutkan penuturan Kuda Panglulut.
"Terima kasih Kuda Panglulut," Ardaraja menghaturkan rasa terima syukurnya.
"Ah, janganlah raden mengucapkan demikian. Sudah menjadi kewajibanku untuk
menyelamatkan se ap prajurit Singasari, terutama putera menantu baginda," jawab Kuda
Panglulut. "Kuda Panglulut, bagaimana hasil penyelidikanmu ke Sideman," Ardaraja beralih pertanyaan.
Kuda Panglulut mengatakan bahwa memang benar pasukan Daha telah menduduki Sideman dan
mendirikan kubu-kubu. "Siapakah senopatinya "."
"Lembu Amilubung," sahut Kuda Panglulut "konon kabarnya dia putera menantu dari akuwu
Daha, benarkah itu"."
Dengan pertanyaan itu sesungguhnya secara dak langsung, Kuda Panglulut hendak mengatakan
bahwa Lembu Amiluhung itu adalah kakak ipar dari Ardaraja. Namun ia masih sungkan
mengatakannya. "Hm," Ardaraja hanya mendesuh untuk menutupi kegirangan ha nya "mengapa engkau tak
berusaha menghalau mereka "."
"Sebenarnya tugas kami hanyalah untuk menyelidiki kebenaran berita tentang pasukan Daha,"
kata Kuda Panglulut "namun setelah melihat memang benar pasukan Daha telah melanggar
perbatasan Singasari, kami tak dapat mengendalikan diri dan menyerang mereka !."
"Bagus, Kuda Panglulut," seru Ardaraja dengan nada sumbang "Kelak akan kulaporkan jasamu ke
hadapan rama baginda."
Kuda Panglulut tersipu-sipu "Ah, yang pen ng bagi kita asal Singasari terbebas dari gangguan
luar, ha ku sudah gembira. Karena kalau menilik gelagatnya, penyerangan Daha kali ini, benar-
benar telah direncanakan jauh-jauh hari secara rapi sekali. Singasari benar-benar terancam bahaya
kehancuran!." Ardaraja menyambut dengan tawa cerah "Ah, Kuda Panglulut, tugas seorang senopati itu
hanya berperang, mengenyahkan musuh. Bukan untuk menilai kekuatan mereka sehingga dapat
mematahkan semangat kita sendiri. Adakah engkau rasa kali ini Singasari tentu kalah ?"
"Keterangan Kuda Panglulut ini bukan bernada putus asa," sahut putera menantu patih
Aragani itu "tetapi suatu kenyataan yang telah kubuktikan sendiri. Setelah melakukan
penyerangan kepada mereka, barulah aku menyadari bahwa pasukan yang kubawa itu bukan
layak menjadi tanding mereka. Pasukan Daha berjumlah lebih besar, lebih lengkap persenjataan
dan lebih rapi barisannya. Memang benar kata raden," kata Kuda Panglulut pula "bahwa
senopati itu hanya bertugas untuk berperang. Tetapi perang bukan berarti 'anai-anai terjun ke
dalam api'." Ardaraja tertawa "Ya, benar. Akupun ada maksud menyuruh engkau harus menempur pasukan
Daha yang jauh lebih kuat. Maka hendak kuajak engkau bersama-sama kembali ke Sideman untuk
menggempur Daha." Kuda Panglulut terkesiap. "Dengan jumlah pasukan kita berdua ini ?" ia menegas.
Ardaraja mcngangguk. "Dalam sebuah peperangan, bukan jumlah pasukan besar yang menentukan kemenangan tetapi
senopati dan semangat tempur dari para prajurit itulah kunci kemenangannya."
"Ah," Kuda Panglulut gelengkan kepala "janganlah kita ibarat 'anai-anai membentur api'.
Bukan karena aku takut mati, raden. Tetapi kita harus pandai melihat kenyataan."
"Tugas kita bukan disuruh melihat tetapi menghadapi kenyataan itu. Adakah engkau takut
berhadapan dengan pasukan Daha?" seru Ardaraja dengan nada keras "bertahun-tahun Singasari
telah memelihara kalian. Mengapa pada taat tenaga kalian dibutuhkan, kalian hendak melarikan
diri"." Merah wajah Kuda Panglulut.
"Baiklah kita atur begini, raden," sesaat kemudian Kuda Panglulut berkata "Silakan raden
membawa pasukan raden ke Sideman. Dan aku hendak cepat-cepat membawa bala bantuan
dari Singasari." Ardaraja tertawa cemoh "Dan pada waktu engkau datang dengan bala bantuan itu, pasukanku
tentu sudah kocar kacir. Bahkan kemungkinan sebelum engkau sempat membawa pasukan
bantuan, pasukan Daha sudah tiba di pura Singasari."
Kuda Panglulut terdiam. "Ketahuilah Kuda Panglulut," kata Ardaraja pula "musuh yang baru hendak menginjak bumi
Singasari harus cepat-cepat kita halau. Jangan terlambat ber ndak sehingga mereka sempat masuk
ke dalam kerajaan Singasari. Hal itu akan menimbulkan kerusakan praja dan kawula."
Namun Kuda Panglulut tetap pada pendiriannya. Ia menyadari jumlah pasukan yang dibawa
mereka berdua, tak dapat melawan pasukan penyerang Daha itu.
Tetapi Ardarajapun berkeras hendak mengajaknya kembali ke Sideman.
Karena mengkal, berkatalah Kuda Panglulut "Raden Ardaraja, yang menugaskan aku ke Sideman
yalah baginda melalui rama patih Aragani. Aku tak merasa terikat pada lain orang."
"Kuda Panglulut, tahukah siapa aku"."
"Raden Ardaraja, putera mahkota Daha, adalah putera menantu baginda Singasari. Bagaimana
Kuda Panglulut tak mengetahui hal itu"."
Merah wajah Ardaraja manakala Kuda Panglulut menyinggung-nyinggung putera mahkota Daha.
Jelas dia tentu mengandung maksud untuk menyindir.
"Umum apabila maling itu akan berteriak maling," teriak Ardaraja "sebagaimana halnya dengan
engkau. Dalam ha kecilnya engkau tentu menuduh aku akan berpihak kepada Daha. Tetapi
andaikata aku berbuat demikian, itupun sudah selayaknya !."
"Walaupun mengenakan kulit domba, harimau akhirnya akan dikenal juga suaranya," seru Kuda
Panglulut. "Kuda Panglulut, jangan lancung mulut !" bentak Ardaraja "enak saja engkau mengatakan begitu.
Tetapi tahukah siapa sesungguhnya ayah mentuamu pa h Aragani itu " Dialah kutu busuk yang
menggerogo keraton Singasari. Daripada jatuh ke tangannya, lebih baik Singasari jatuh pada Daha
!." "Ardaraja!" teriak Kuda Panglulut meluap-luap "jangan menghina rama patih !."
Ardaraja tertawa mencemoh "Jangan kira aku tak tahu akan perbuatan kotor dari ayah
mentuamu itu, Kuda Panglulut. Dia telah membius baginda dengan sanjung pujian. Menganjurkan
pengiriman pasukan ke Malayu, mengirimkan pasukan untuk menyertai kakang Wijaya dan paman
Kebo Arema menghaturkan puteri dan patung Amoga. Apa maksudnya " Tak lain tak bukan agar
Singasari kosong dan lemah. Setelah itu dia hendak mengadakan hubungan dengan kerajaan
Sriwijaya supaya memukul Singasari. Tetapi ha, ha, akhirnya ia harus menggigit jari karena telah
kedahuluan oleh Daha. Jelas engkau akan pendirian rama mentuamu dan pendirianku " Daripada
ditelan rama mentuamu, lebih baik Singasari diambil Daha."
Kuda Panglulutpun tak kuat menahan kemarahan lagi "Ardaraja, jika demikian tepatlah seper
yang dikatakan orang tadi. Engkau memang seorang penghianat. Ya, orang itupun telah memaki
aku dengan tepat sebagai seorang tolol."
"Jika demikian, engkaupun harus mengakui bahwa ada tempat di bumi Singasari bagi seorang
tolol semacam engkau !" teriak Ardaraja.
Kuda Pauglulut tertawa. "Ha, ha, memang sudah lama kutunggu kesempatan semacam ini. Karena aku memang ingin
menguji sampai di manakah sesungguhnya kesak an dari putera akuwu Daha yang hendak
berhianat itu !." "Tutup mulutmu, jahanam Panglulut!" Ardarajapun segera mulai menyerang, meninju dada
orang. Sambil mendesah geram, Kuda Panglulut berkisar ke samping lata secepat kilat menyambar
tangan lawan, terus hendak ditekuk ke belakang.
Tetapi dak semudah itu Ardaraja cepat dikalahkan. Sebagai seorang putera raja, akuwu
Jayakatwang telah menggembleng puteranya itu. Diundangnya wiku sak u uk memberi ilmu jaya-
kawijayan kepada puteranya. Apabila dalam hidupnya akuwu Daha Itu tidak mendapat kesempatan
untuk membalas dendam kepada Singasari, biarlah kelak puteranya yang akan melanjutkan
perjuangan itu. Bahwa Ardaraja, dilepaskan ke ka dipungut menantu oleh baginda Kertanagara, pun
dimaksudkan sebagai suatu siasat oleh Jayakatwang. Agar perha an dan kecurigaan baginda
Kertanagara, lenyap. Ardaraja membiarkan tangannya dicengkeram karena iapun segera menyerempaki dengan
sebuah tebasan telapak tangan ke leher Kuda Panglulut. Kalau kena, leher Kuda Panglulut pasti
patah tulangnya. Kuda Panglulut terkejut. Karena kedua tangannya tengah mencekal tangan Ardaraja, ia tak
sempat lagi untuk menagkis telapak tangan Ardaraja, Untunglah dalam saat-saat yang gen ng itu,
ia tak sampai gugup. Kuda Panglulut mengendapkan tubuh untuk menghindar ancaman pada lehernya. Kemudian
dengan seluruh tenaga ia menarik tangan Ardaraja.
"Uh .... " mulut Ardaraja mengesuh kejut ketika telapak tungannya menerpa angin dan tangannya
ditarik ke muka sekuat-kuatnya. Ia kehilangan keseimbangan diri dan terhuyung ke muka.
Rencana Kuda Panglulut dalam menarik lengan lawan itu, apabila lawan mendekat kepadanya,
iapun hendak memberi sebuah pukulan yang mematikan ke arah dada.
Tetapi ternyata Ardaraja tahu akan siasat itu. Karena sudah terlanjur menjorok ke muka, ia
bahkan kerahkan tenaga untuk membentur dada lawan. Dengan demikian sebelum Kuda
Panglulut sempat memukul, dia sudah terlanda oleh tangan Ardaraja. Bum ....
Kedua ksatrya muda itu sama-sama jatuh. Tetapi Kuda Panglulut lebih menderita karena
tertindih oleh tubuh Ardaraja. Ia berontak untuk mengalihkan tubuh Ardaraja ke bawah.
Keduanya segera bergelut. Cengkam mencengkam, cekik mencekik, guling mengguling tubuh
lawan ke bawah. Dalam sebuah kesempatan, Kuda Panglulut berhasil meronta ke atas dan
menindih perut Ardaraja. Secepat kilat, putera menantu pa h Aragani itu mencabut pisau dan
terus dihunjamkan ke dada Ardaraja.
Duk .... Wirajamba terkejut melihat raden Ardaraja akan dibunuh. Ia lari hendak memberi pertolongan.
Tetapi dilihatnya pisau Kuda Panglulut sudah diayunkan ke bawah. Karena gugup, Wirajamba
sambitkan bindi besi ke punggung Kuda Panglulut yang menghadap kearah muka. Terdengar suara
benturan keras dan rubuhlah Kuda Panglulut ke samping Ardaraja.
Krak .... Wirajamba menyerempaki dengan sebuah tendangan sehingga tubuh Kuda Panglulut
terlempar sampai setombak jauhnya, meregang-regang beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi.
"Bagus, Wirajamba," seru Ardaraja seraya melen ng bangun "kelak akan kuganjar jasamu hari
Ini." "Apakah raden terluka ?" tanya Wirajamba.
"Tidak," sahut Ariaraja seraya memandang kian kemari keliling penjuru "ke mana mereka "."
"Siapa raden ?" tanya Wirajamba.
"Pengiring pengiring Kuda Panglulut."
"O, mereka ?" serentak Wirajamba teringat juga lalu lari mengejar. Tak selang beberapa saat ia
kembali dan memberi laporan bahwa prajurit-prajurit yang menyertai Kuda Panglulut telah
melarikan diri pulang ke Singasari.
"Goblok," Ardaraja mendamprat seraya menggentakkan kakinya ke tanah "mereka tentu melapor
kepada patih Aragani."
Wirajamba tak dapat menjawab kecuali tegak mematung menyadari kesalahannya. Perha annya
tertumpah pada pertempuran raden Ardaraja lawan Kuda Panglulut sehingga ia lengah akan
mengikut prajurit-pengiring Kuda Panglulut.
"Tiada lain jalan lagi sekarang," kata Ardaraja "kecuali harus menggabung diri dengan kakangmas
Lembu Amiluhung. Pa h Aragani tentu marah dan menganggap kita tentu sudah menyeberang ke
Daha." Setelah berdiam beberapa jenak, Wirajamba berkata "Mungkin masih ada dua harapan, raden."
"Bagaimana "."
"Kemungkinan pertama, Daha sudah menyerang ke pura Singasari sehingga pa h Aragani tak
sempat lagi mengurus berita anak menantunya. Dan kemungkinan kedua, kita memberi laporan
kepadanya bahwa Kuda Panglulut terluka dalam pertempuran melawan pasukan Daha."
"Mana mungkin Aragani mau mempercayai!."
"Apabila raden yang memberi keterangan, walaupun dalam ha tak percaya, tetapi dia tentu
tidak berani tak percaya."
Ardaraja berdiam diri. "Baiklah, nan kita lihat bagaimana perkembangannya. Apabila Daha kalah, aku terpaksa akan
menjalankan siasatmu itu. Tetapi rasanya kali ini Daha tentu akan berhasil," katanya sesaat
kemudian. Ardaraja segera mengemasi pengiringnya dan berangkat menuju ke Sideman.
Dalam kesempatan berkuda di muka barisan, Wirajamba meminta keterangan mengapa Ardaraja
memaksa Kuda Panglulut kembali ke Sideman.
Ardaraja tertawa pelahan "Akan kujadikan dia seorang tawanan agar pa h Aragani kacau
pikirannya." "Tetapi kudengar pa h itu seorang yang berha batu. Lebih memen ngkan cita-cita daripada
sanak keluarga, apa pula hanya seorang anak menantu."
"Jika perlu akan kukirimkan batang kepala Kuda Panglulut kepadanya. Coba saja, apakah dia
takkan menderita kegoncangan batin yang hebat "."
Wirajamba hendak menanyakan sesuatu lain tetapi raden Ardaraja sudah mendahului.
"Rusaknya kerajaan Singasari memang karena gara-gara patih Aragani. Tunggu saja, apabila
kelak Daha berhasil menduduki Singasari dan mengambil alih pemerintahan Singasari, yang
pertama-tama harus dihukum gantung adalah patih Aragani yang hianat itu," kata Ardaraja


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan bernafsu "Engkau telah mengetahui sendiri Wirajamba, bagaimana sepak terjang patih
yang berbisa itu. Dilihat dari gelarnya, ia sangat memikirkan kemajuan kerajaan dan
memperihatinkan bagi kesejahteraan para kawula Singasari. Kesetyaannya kepada baginda
ditonjolkan dalam sanjung puji yang berkelebihan. Karena kemahirannya menarikan lidah dan
keluwesan meragakan diri, sehingga baginda benar-benar dapat dimabukan. Mabuk akan
kewibawa, mabuk akan keagungan, sehingga sehingga baginda merasa bahwa semua
narapraja, semua kawula tetap setya dan menjunjung tinggi akan kebijaksaaaanya dalam
memimpin tampuk pemerintahan. Kewaspadaan baginda menjadi kabur, ketelitian pengamatan
keadaan negara menjadi samar karena disaput oleh rasa puas diri. Itu semua tak lain akibat
lidah berbisa patih durhaka itu. Durhaka, karena di balik peragaan kesetyaannya itu, di balik
sanjung puji yang mempesonakan itu telah tersusun rapi rencana untuk merongrong tubuh
pemerintahan Singasari teristimewa bagi baginda sendiri," Wirajamba mengangguk-angguk.
"Oleh karena itu," kata Ardaraja lanjut "apabila aku berkata bahwa pa h Aragani harus dihukum
gantung bahkan mungkin lebih berat lagi apakah itu tidak yang berlebih-lebihan "."
"Tidak, raden," sambut Wirajamba "sudah sepantasnya pa h Durna itu menerima hukumannya
sesuai dengan ulah tingkahnya ....."
"Marilah kita percepat perjalanan kita," tukas Ardaraja.
Menjelang fajar mereka tiba di desa Sideman.
~dewi.kz^ismo^mch~ Tiba di keraton Singasari, Wijaya loncat dari kudanya dan bergegas lari masuk ke balairung.
Tampak baginda Kertanagara sedang di hadap oleh pa h Aragani, empu Raganata, tumenggung
Wirakreti dan beberapa mentri senopati kerajaan.
Setelah memberi sembah kepada baginda maka Wijaya pun duduk bersila di hadapan raja
menunggu titah. "Puteraku," seru baginda Kertanagara "rupanya si Jayakatwang sudah terbalik kiblatnya. Dia
mengadakan kraman hendak merebut Singasari. Pada hal tak kurang-kurang kebaikan yang
kulimpahkan kepadanya. Dia kuangkat menjadi akuwu Daha, puteranyapun kuambil putera
menantu." "Memelihara harimau memang demikian. Apabila besar tentu akan memakan yang memelihara,"
sahut Wijaya. "Adakah manusia itu sama dengan harimau ?" tegur baginda.
"Bahkan melebihi, gusti," sembah Wijaya.
Kertanagara kerutkan dahi.
"Eh, mengapa tiba-tiba engkau fasih bicara, puteraku " Adakah engkau menemukan guru
sakti di tanah Malayu " Cobalah engkau jelaskan perkataanmu itu !."
Wijaya tertawa. "Bukan guru, gusti, melainkan pengalaman hidup. Apa yang hamba alami, lihat, dengar dan
rasakan, kesemuanya itu menjadi guru peribadi hamba. Yang hamba maksudkan manusia itu
melebihi harimau, adalah sifat Keinginannya. Apabila harimau melaksanakan keinginannya
dengan menerkam dan membunuh korbannya secara terang, tidaklah demikian dengan
manusia. Untuk mencapai keinginannya, manusia tidak segan melakukan apa saja yang dapat
dilakukan. Dan karena manusia dikaruniai pikiran oleh Dewata maka digunakanlah pikiran itu
untuk menciptakan pelbagai tipu muslihat yang licin dan keji. Dapat merobah diri menjadi
'harimau berkulit domba', dapat pula menjelma menjadi 'musang berbulu ayam". Inilah kelebihan
manusia, gusti." "Bagus, puteraku," seru baginda "baru sekarang kutahu engkau gemar akan tamsil yang
berfalsafah. Kelak apabila sudah tenteram tentu akan kuajak engkau menemani aku membuat
sajak. Bukankah begitu, patih Aragani"."
Saat itu ha Aragani sedang berdebar keras dan wajahnya bertebar merah karena mendengar
ucapan Wijaya, Walaupun pemuda itu menuduh Jayakatwang, tetapi ia merasa dirinya juga terkena
sindiran itu. "Benar, gus , putera paduka raden Wijaya memang berbakat dalam seni sastra," tergopoh-
gopoh patih itu menghaturkan jawaban.
"Wijaya, marilah kita selesaikan persoalan yang menghadang di depan kita," ujar baginda pula
"menurut usul para mentri dan menurut wawasanku sendiri, hanya engkaulah puteraku yang cakap
untuk menghalau pasukan Daha di Mameling itu."
"Hamba hanya menjunjung mana-mana titah paduka," kata Wijaya.
"Bawalah pasukan dan basmilah orang-orang Daha yang berada di Mameling itu."
"Baik, gusti," sembah Wijaya "adakah hamba diperkenankan memilih anakbuah hamba "."
Baginda meluluskan. "Baginda, Raganata hendak mempersembahkan sepatah kata ke hadapan paduka," ba- ba
empu Raganata berdatang sembah.
"O, silakan paman," seru baginda dalam nada yang ramah.
"Menurut hemat hamba, peperangan ditentukan bukan semata dari jumlah besarnya pasukan
atau kelengkapan persenjataannya. Ada dua hal yang menjadi kunci kemenangan. Pertama,
semangat juang pasukan. Dan kedua, siasat."
Baginda Kvtanagara mengangguk "Benar, paman. Lalu apa maksud paman "."
"Pertama-tama harus ditanam dalam sanubari setiap prajurit, pejuang dan kawula Singasari
bahwa peperangan ini untuk mempertahankan kelangsungan Singasari sebagai kerajaan yang
bebas dan jaya. Bahwa perjuangan para prajurit dan rakyat itu adalah demi kesejahteraan
hidup mereka sendiri. Tanpa keyakinan itu mereka tentu akan ngeri melawan Daha."
Baginda mengangguk. "Dalam hal itu, gus ," kata empu Raganata pula "keyakinan akan tumbuh dalam ha para
prajurit dan kawula Singasari apabila mereka menyaksikan para mentri, senopa dan narapraja
pimpinan pemerintahan, benar-benar memiliki keyakinan itu. Memberi contoh yang baik dalam
kehidupan sehari-hari, periha n dan membuang kebiasaan yang jelek. Hanya dengan contoh ndak
yang nyata dari para pembesar, rakyat akan bangkit semangat juangnya."
Patih Aragani menyeringaikan hidung.
"Mengenai siasat peperangan," demikian empu Raganata berkata lanjut "menurut hemat hamba
baiklah kita pusatkan kekuatan kita di pura Singasari sini."
"Maksud paman?" baginda terkesiap.
"Kita harus mengakui kenyataan bahwa dewasa ini kekuatan Singasari berkurang. Banyak prajurit
Singasari yang pergi ke Malayu ....."
"Tetapi Pamalayu berhasil mencemerlangkan pamor Singasari, empu," ba- ba pa h Aragani
me-nyelutuk kata. "Itu suatu kenyataan," sahut empu Raganata "dan Singasari menjadi kasong, itupun suatu
kenyataan. Karena kekosongan itu Daha berani menyerang, itupun suatu kenyataan lagi!."
"Paman Raganata, lanjutkanlah keterangan paman tentang siasat yang kita gunakan terhadap
Daha," baginda cepat memutuskan perbantahan itu.
"Kedatangan raden Wijaya, telah menyalakan api semangat perjuangan kawula Singasari," kata
empu Raganata, "pengiriman raden Wijaya untuk menumpas musuh di Mameling, memang tepat.
Tetapi Singasari akan kosong pula. Akuwu Daha akan menerkam se ap bagian yang lemah dari
Singasari." "Maksud paman supaya puteraku Wijaya tetap memusatkan pertahanan di pura Singasari saja?"
seru baginda. Empu Raganata membenarkan.
"Tidakkah dengan demikian pasukan Daha itu dapat melalui Mameling lalu menyerang pura
kerajaan"." "Benar, gus ," sahut Raganata "tetapi semangat dan kekuatan mereka tentu sudah berkurang.
Karena selama dalam perjalanan itu, mereka akan diserang oleh kelompok-kelonpok pasukan kecil
yang terdiri dari para rakyat pejuang. Kemudian kita potong lagi mereka, sebagian di luar dan
sebagian di dalam pura. Hamba pas kan, gus , bahwa pasukan Daha tentu akan hancur
berantakan menderita siasat itu."
Diam-diam pa h Aragaai terkejut. Ia tak sangka bahwa Empu Raganata yang berkecimpung
dalam bidang hukum ketataprajaan, ternyata dapat menghaturkan suatu siasat perang yang hebat.
Menyelinapkan pandang ke arah baginda, tampak junjungan itu merenung. Dan merenung berar
mempertimbangkan. "Ah, apabila empu tua itu berjasa dalam peperangan ini, kelak ada kemungkinan dia akan
didudukkan kembali ke dalam jabatan patih," timbul rasa gelisah dalam hati patih Aragani.
"Gus ," cepat-cepat ia menghatur sembah "receana empu Raganata memang baik. Tetapi masih
kurang tepat." "O," desuh baginda "bagaimana pendapatmu Aragani "."
"Pada hemat hamba," kata pa h itu "kebakaran harus lekas dipadamkan, musuh harus cepat
dihancurkan. Apabila musuh dapat menduduki Mameling, semangat mereka tentu makin besar.
Dan apabila membiarkan mereka menuju ke pura, dakkah desa-desa dan tempat-tempat yang
dilalui itu akan menderita kerusakan hebat " Tidakkah hal itu akan mematahkan semangat para
kawula dan menghilangkan kepercayaan mereka kepada kerajaan yang dianggap tak mampu untuk
mengalahkan musuh" Lain halnya apabila raden Wijaya terus segera menggempur mereka di
Mameling. Semangat para kawula akan berkobar, kerusakan praja dapat diperkecil dan
keselamatan rakyat dapat dijamin."
"Tetapi Aragani, Singasari akan .kosong !" ujar baginda.
"Tidak, gus ," bantah Aragani "Singasari masih mempunyai tumenggung Wirakre , Kuda
Panglulut dan banyak sentana lain ying masih sanggup untuk mempertahankan pura. Dan apabila
musuh di Mameling sudah terbasmi, mengapa kita harus kuatir mereka akan menyerang ke pura "."
Sebenarnya tumenggung Wirakre hendak menghaturkan pendapat. Ia hendak mendukung buah
pendapat empu Raganata. Tetapi dengan kata-kata pa h Aragani itu, ditelannya kembali kata-kata
yang sudah berada di kerongkongannya. Karena kalau ia tetap memberi dukungan kepada empu
Raganata, tentu akan dianggap tak berani memikul tanggung jawab menjaga pura.
Tumenggung Wirakreti terpaksa menghela napas.
Tiba- ba masuklah seorang demang ke dalam balairung untuk menghaturkan laporan kepada
baginda "Gus , Mimeling telah diduduki pasukan Daha. Rakyat tak tahan menderita siksaan
mereka dan berduyun-duyun mengungsi ke pura."
Setelah menyuruh demang itu ke luar, baginda Kertanagara segera mengambil keputusan,
menitahkan raden Wijaya cepat menggempur musuh di Mameling "Puteraku, kuberikan kekuasaan
penuh kepadamu untuk menghancurkan patukan Daha di Mameling itu. Berangkatlah saat ini
juga." Setelah mengeluarkan keputusan, persidangan bubar. Baginda menahan pa h Aragani untuk
bersenang-senang minum tuak pula.
Wijaya bergegas mengumpulkan prajurit yang mengiringkannya ke Sriwijaya. Prajurit-prajurit itu
masih berada di asrama karena baru saja kemarin tiba dari Tuban.
"Prajurit-prajurit sekalian," katanya "negara membutuhkan tenagamu pula untuk menghalau
pasukan Daha yang telah menyerang watek-bumi Singasari. Kuminta saudara-saudara memberikan
pengabdian sebagaimana saudara telah lakukan ketika menyertai aku ke tanah Malayu."
Para prajurit itupun menyatakan ikrar kesetyaannya.
Setelah selesai berkemas, raden Wijaya terus hendak berangkat tetapi ba- ba muncullah
rombongan kadehannya atau orang kepercayaannya. Mereka yalah Sora, Nambi, Gajah Pagon,
Medang Dangdi, Mahisa Wagal, Banyak Kapuk, Lembu Peteng bahkan Lembu Mandira putera empu
Raganata ikut serta. Mereka berlari-lari dan berteriak-teriak dengan gembira ke ka melihat raden Wijaya sedang
mempersiapkan barisan. "O, bilakah raden tiba di pura sini ?" tanya Lembu Sora.
"Pagi ini," kata Wijaya "karena dipanggil sang nata."
"Jaka Ludira telah memanggil kami supaya cepat kembali ke pura."
"Mana Ludira," tanya Wijaya.
"Masih tinggal di gunung Butak."
"Mengapa"."
"Hendak menyelesaikan sisa-sisa pengikut Mahesa Rangkah yang berada di sekitar gunung itu,
raden." Wijaya mendesuh "Adakah dia tak tahu bahwa Singasari sedang terancam bahaya dari Daha "
Sisa-sisa kaum pemberontak Mahesa Rangkah itu tak berar , lebih tepat mencurahkan tenaga
menghadapi Daha. Apa pesannya, kakang Sora "."
"Jaka Ludira menyampaikan salam perjuangan yang setinggi-tingginya kepada raden."
"Ah, pemuda itu memang aneh," Wijaya menghela napas "tetapi memang amat dibutuhkan
sekali dalam perjuangan melawan Daha kali ini."
"Jika demikian, idinkanlah aku yang memanggil kakang Ludira," tiba-tiba Lembu Mandira berseru.
Wijaya berpaling memandang pemuda putera empu Raganata itu "Tidak perlu, Mandiri. Kurasa
dia tentu sudah tahu kewajibannya. Kiranya dia memang suka bekerja seorang diri. Baiklah, sebagai
gantinya, akan kuserahkan tugas ini kepadamu, Mandira."
"Silakan raden memberi titah," kata Lembu Mandira.
"Bersama Sora dan kawan-kawan serta kelompok prajurit yang pernah mengiringkan aku ke
tanah Malayu, aku akan berangkat ke Mameling. Tanggung jawab menjaga keselamatan pura
Singasari akan kuberikan kepadamu. Sanggupkah engkau, anak muda "."
Lembu Mandira tegakkan kepala dan menyahut lantang "Walaupun bukan putera seorang
senopa , tetapi Lembu Mandira putera dari seorang mantri yang setya. Sede k hayat Lembu
Mandira masih dikandung, sedetik itu pula aku akan berjuang membela Singasari "
"Berbahagialah per wi Singasari mempunyai putera seper engkau, dimas Lembu Mandira."
Wijaya serta-merta memeluk putera empu Raganata.
Demikian setelah mengatur pertahanan pura kerajaan, Wijaya dengan para kadehannya dan
rombongan prajurit yang pernah mengiringkannya ke Sriwijaya segera berangkat menuju ke
Mameling. Ketika melintasi sebuah hutan lebat, tiba-tiba Wijaya hentikan pasukannya. Indera
pendengarannya yang tajam cepat dapat menangkap suatu gerakan dari beberapa sosok tubuh
manusia. Sambil loncat dari kudanya, Wijaya memberi perintah "Sora, Nambi ikut aku! Yang lain-lain
tetap bersiap di tempat ini."
Menyusup ke dalam hutan, suara itu makin jelas. Hiruk dan hingar, menimbulkan desus angin
dan bunyi gemercik dari daun dan ranting pohon yang patah.
Wijaya tahu apa ar nya bunyi itu. Setelah menerobos sebuah gerumbul ia segera melihat suatu
pemandangan yang mengejutkan. Dua orang yang mukanya ditutup kain hitam sedang bertempur
melawan empat orang. Mereka bertempur dengan menggunakan senjata tajam. Kedua orang
berkerudung kain hitam menggunakan pelang dan keempat lawannya memakai pedang, bindi dan
trisula. "Jaka Ludira .... " Wijaya berseru pelahan ketika beberapa saat memandang ke arah salah
seorang yang kerudung kain hitam itu. Seketika itu ia hendak maju untuk membantu tetapi pada
lain kilas ia teringat suatu pantangan. Sebelum orang yang bertempur itu berseru minta
bantuan, jangan sekali kali lain orang atau kawan sekalipun, membantu. Dahulu ia pernah marah
kepada Sora karena peristiwa semacam itu.
Maka Wijayapun hen kan maksudnya. Ia hanya bersiap siap untuk memberi bantuan apabila
Ludira terancam bahaya. Cepat pertempuran itu selesai. Salah seorang dari kedua orang yang berkerudung kain hitam itu,
dengan ketangkasan yang mengagumkan dapat melukai kedua lawannya. Sebuah tendangan dan
sebuah pukulan tangan kiri, membuat kedua lawannya rubuh ke tanah.
"Jangan," teriak orang berkerudung yang seorang ke ka melihat kawannya hendak membantu
"aku masih mampu menyelesaikan sendiri !."
Dari nada suaranya, orang berkerudung itu menyerupai seorang gadis. Dan memang tubuhnya
lebih langsing dan ramping.
Tiba- ba dia menusuk ke muka, tetapi setengah jalan ia hen kan pedangnya, berputar-putar
menyelinap ke belakang lawan yang menyerang dari belakang. Gerakannya dilakukan teramat cepat
sekali sehingga sebelum orang itu sempat mengisarkan tubuh, punggungnya telah ditusuk masih
pula ditendang. Orang itu menjerit dan menyusur ke tanah.
Melihat ke ga kawannya rubuh, lelaki yang bersenjata bindi itu segera taburkan senjata. Yang
sebuah kepada orang berkerudung bertubuh langsing dan yang sebuah kepada orang berkerudung
yang satunya. Habis melontarkan bindi, orang itu terus berputar tubuh hendak melarikan diri. Tetapi baru dua
langkah, ia menjerit dan rubuh. Punggungnya berhias sebatang cundrik.
"Bagus, Sedayu....." seru orang berkerudung yang seorang.
"Bagus, Ludira....." seru Wijaya yng serempak muncul dari balik gerumbul bersama Sora dan
Nambi. Kedua orang berkerudung muka itu terkejut.
"Ah, kakang Wijaya," seru salah seorang dari mereka.
"Siapakah keempat orang itu " " cepat Wijaya bertanya.
Kedua orang yang memakai kain kerudung pada mukanya itu memang Jaka Ludira dan Rara
Sedayu. "Mereka adalah mata-mata yang dikirim pasukan Daha untuk menyelidiki gerak-gerik Singasari,"
jawab Ludira. "O," desuh Wijaya "bagaimana engkau tahu?" Ludira segera menceritakan pengalamannya
selama ini. Setelah bertemu dengan Wijaya di Tuban ia langsung menuju ke gunung Butak untuk
memanggil Sora dan kawan-kawan. Tetapi ia tak ikut bersama mereka pulang ke Singasari
melainkan menyusup ke telatah Daha untuk menyelidiki gerakan pasukan Daha.
"Daha memang benar-benar telah mengirim pasukan besar menyerang ke Mameling," Ludira
mengakhiri keterangannya.
"Siapa senopatinya ?" tanya Wijaya.
"Jaran Guyang," sahut Ludira.
"Bagaimana menurut wawasanmu, adi ?" Ludira merenung sejenak lalu berkata "Menilik keadaan
pasukan Daha di Mameling itu, memang amat besar jumlahnya. Tetapi belumlah seluruhnya
mencakup induk kekuatan pasukan Daha."
"Maksudmu, Daha masih menyimpan kekuatan"."
"Ya," sahut Ludira "rupanya mereka masih menyembunyikan siasat."
Wijaya kerutkan alis. "Engkau hendak mengatakan bahwa Daha akan menggerakkan induk pasukannya menyerang dari
lain jurusan ?" ia menegas.
"Itulah yang kukua rkan, kakang," kata Ludira "maka hendaknya pura Singasari jangan sampai
kosong sama sekali."
Wijaya terkesiap. "Mungkin engkau benar, adi Ludira," kata Wijaya sesaat kemudian "menurut pengetahuanku,
Daha masih mempunyai beberapa senopa yang perkasa. Antara lain pa h Kebo Mundarang,
Bango Dolog, Liking Kangkung dan lain-lain. Mengapa patukan yang menyerang di Mameling itu
hanya dipimpin oieh Jaran Guyang"."
Tiba-tiba Ludira bertanya "Kakang Wijaya, bagaimana dengan pangeran Ardaraja "."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rajawali Hitam 4 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 7
^