Pencarian

Dendam Empu Bharada 5

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 5


"Siapakah tetamu itu, kakang?" tanya Bekel Saloka.
"Pernah sesekali aku bertemu, dia seorang lelaki masih muda, lebih kurang berumur gapuluh
tahun, berasal dari Singasari. Eh, kudengar seorang bhayangkara keraton Singasari"
Bekel Saloka terkejut "Prajurit bhayangkara keraton Singasari, siapakah namanya ?"
"Kalau tak salah bernama Kebo Muncar"
"Adakah dia utusan dari raja Singasari?" tanya, bekel Saloka.
Sarawita mengangkat bahu "Soal itu aku kurang jelas karena se ap kali pangeran tentu mengajak
masuk ke dalam ruang tersendiri"
"Untung engkau datang hari ini, kalau besok pagi aku tentu sibuk sekali menjalankan tugas yang
telah dititahkan pangeran" kata Sarawita pula.
"Berburu ?" bekel Saloka coba memancing.
"Bukan" kata Sarawita "lebih berat dari itu"
"O " desuh bekel Saloka "mungkin pangeran akan berkunjung keluar daerah?"
Sarawita gelengkan kepala "Juga tidak. Hanya didalam pura tetapi cukup melelahkan juga"
Bekel Saloka kerutkan dahi. Sebenarnya hal itu tak pen ng tetapi ba2 mbul pikiran untuk
mengumpulkan segala macam keterangan yang dapat diperolehnya. Dalam melakukan
penyelidikan, tak boleh mengesampingkan atau sebelumnya sudah menganggap bahwa sesuatu
keterangan itu tak pen ng "Aneh juga, kakang ini. Masakan tugas dalam pura saja kakang
menganggap payah" Terhanyut dalam arus percakapan, Sarawitapun teridap dalam pikiran bebas "Sudah tentu
melelahkan. Cobalah engkau bayangkan, besok aku harus pagi2 sudah mempersiapkan gajah
tunggangan pangeran karena hari itu pangeran akan mengadakan upacara peperiksaan pasukan"
"O" bekel Saloka terbeliak "melakukan pemeriksaan pasukan" Adakah Daha hendak
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi musuh?"
"Ah" Sarawita ba2 menghela napas. Ia menyadari bahwa telah kelepasan bicara. Sejenak ia me-
nyelimpatkan pandang ke wajah bekel Saloka. Wajah sahabatnya itu masih seper dahulu, seorang
yang jujur dan terbuka. Jika ada perobahan hanyalah lekuk2 kerut dahi, pertanda dari keusaian
usia "Ah, adi Saloka" katanya sesaat setelah mendapat kesan baik "masakan engkau lupa "
Bukankah waktu engkau masih berdiam di pura sini, se ap tahun tentu diadakan upacara
memeriksa barisan ?"
Bekel Saloka mengiakan. Memang demikianlah keadaan pura Daha sewaktu dulu ia masih nggal
di situ. Ada suatu sifat yang sering menghinggapi orang, bahwa ia akan merasa senang atau bangga
apabila dalam waktu pembicaraan, ia lebih pandai dan lagi lebih banyak pengetahuannya. Rupanya
prahas Sarawitapun dihinggapi sifat itu pula. Di samping ingin menunjukkan keramahan sebagai
tuan rumah, pun dia ingin membanggakan tentang pengalaman dan pengetahuannya yang lebih
luas dari tetamu "Walaupun adi sudah tahu tentang upacara peperiksaan pasukan itu, tetapi
tahukah engkau apa sesungguhnya yang terkandung dalam upacara itu?"
Bekel Saloka terkesiap. Kemudian mengatakan kalau selama ini dia tak tahu soal itu. Pada
anggapannya peris wa itu hanya merupakan suatu peperiksaan umum, mungkin untuk menanam
semangat dan jiwa keprajuritan dalam hati anak pasukan.
"Ya, hal itu memang ada" kata prahas Sarawita "tetapi disamping itu, pun ditanam juga dalam
hati dan jiwa setiap prajurit Daha bahwa hari itu adalah hari duka, hari malapetaka bagi Daha"
"Hari duka " Hari malapetaka ?" ulang bekel Saloka terkejut.
"Ya" jawab prahasti Sarawita makin terhanyut dalam sikap ingin dipandang sebagai orang
yang lebih tahu "karena hari itu, adalah hari kehancuran dari kerajaan Daha dibawah raja
Dandang Gendis dahulu. Karena hari itu, mulailah Daha dikuasai oleh Singasari. Karena hari itu
lenyaplah kemerdekaan Daha"
"Oh" desus bekel Saloka. Diam2 ia mengakui bahwa walaupun bertahun-tahun nggal di Daha, ia
tak tahu makna daripada upacara peperiksaan pasukan di Daha.
"Maka pada setiap tahun pada hari itu, setelah diadakan peperiksaan tentang kekuatan pasukan,
beberapa senopa dan pangeran Ardaraja berkenan untuk memperingatkan makna daripada
upacara itu dan dianjurkan supaya se ap prajurit Daha jangan melupakan malapetaka yang hina
itu bagi Daha" "Apakah dari fihak kerajaan Singasari tiada mengirim utusan untuk menghadiri upacara itu ?"
Prahas Sarawita gelengkan kepala "Tidak. Baginda Kertanagara terlalu percaya dan bermurah
ha kepada raja Jayakatwang. Agaknya baginda Kertanagarapun tak menaruh keberatan Daha
memperbesar pasukannya"
"Sampai sedemikian jauhkah kepercayaan baginda Kertanagara kepada Daha?" bekel Saloka
menegas. Prahas Sarawita tersenyum bangga "Bahkan rupanya baginda. Kertanagara setuju dan gembira
apabila Daha memiliki pasukan yang kuat karena dengan begitu Singasari akan dapat
menggunakannya apabila kelak baginda hendak meluaskan pengaruh kekuasaannya ke luar
daerah" "Ah" bekel Saloka mengeluh.
"Mengapa, adi ?" tegur prahasti Sarawita.
"Kakang Sarawita" kata bekel Saloka "kini aku hidup sebagai seorang petani. Bagiku kerajaan
mana yang berdiri dan raja siapa yang memerintah, ada soal. Pokok, negara aman dan kehidupan
rakyat sejahtera. Tetapi kakang Sarawita, kita omong kosong saja. Tidakkah sesungguhnya raja
Jayakatwang mengandung maksud tertentu dalam usahanya untuk membentuk kekuatan pasukan
itu ?" Karena tahu bahwa dulu sahabatnya itu seorang yang jujur dan tahu pula bahwa kini Kuda
Saloka hidup sebagai petani, maka Sarawitapun tak mau merahasiakan sesuatu "Tak mungkin
harimau akan mengaum apabila ada sesuatu. Sesungguhnya, raja Jayakatwang yang sekarang ini,
seorang raja yang cerdik dan digdaya. Baginda tahu akan sejarah keruntuhan Daha dan baginda tak
pernah sejenakpun melupakannya. Eh, Saloka, ada sebuah cerita tentang raja kami. Tetapi itu
hanya kabar2 dari beberapa prajurit saja. Entah bagaimana kebenarannya"
"Bagaimana ceritanya, kakang ?" desak bekel Saloka yang makin tertarik.
"Kabarnya diatas peraduan baginda Jayakatwang itu digantung sebilah tombak pusaka. Tangkai
tombak ditalikan pada ang penglari, dan ujung tombak menjulai kebawah tepat menghadap
tempat baginda beradu"
"Oh" bekel Saloka mendesuh kejut "benarkah itu " Dan apakah maksud baginda ?"
"Telah kukatakan, kudengar peris wa itu hanya dari beberapa prajurit keraton, tentang
kebenarannya entahlah. Aku belum pernah melihat sendiri. Tujuan baginda, inipun menurut cerita
orang, tak lain agar baginda jangan melupakan peris wa ke ka dahulu moyang baginda, raja
Dandang Gendis telah gugur karena tombak baginda Rajasa dari Singasari"
Bekel Saloka menghela napas "Ah, dengan demikian raja Daha takkan melupakan dendam darah
kepada Singasari" "Nyatanya sampai sudah bergan beberapa aku-wu keturunan raja Dandang Gendis, Daha tetap
tak berani dan tunduk pada kekuasaan Singasari " kata Sarawita.
Beker Saloka bertanya pula "Adakah hal itu hanya dilakukan oleh raja Jayakatwang yang sekarang
ini atau sudah berlangsung beberapa keturunan yang lalu ?"
Sarawita kerutkan dahi "Soal itu tak kutanyakan kepada orang yang menceritakan kepadaku.
Tetapi menurut dugaanku, kemungkinan memang sudah sejak beberapa akuwu Daha yang lalu
sehingga kebiasaan itu menjadi warisan. Tetapi sekali lagi kukatakan, soal itu hanya kabar cerita
orang, aku sendiri belum pernah melihat maka entah bagaimana kebenarannya"
Bekel Saloka mengangguk-angguk. Hanya dalam ha ia mempunyai beberapa kesan dan
penilaian tetapi tak diutarakan kepada tuan rumah.
"Kakang Sarawita" beberapa saat kemudian ia bertanya kembali "benarkah di kalangan pasukan
Daha akan diselenggarakan suatu sayembara ?"
Prahas Sarawita terkejut "Bagaimana engkau tahu hal itu, adi " Pada hal itu sangat dirahasiakan
sekali" Kebo Saloka tersenyum dan mengatakan bahwa hal itu ia dengar dari seorang sahabatnya yang
menjabat prajurit dari pasukan bawahan senopa Sagara Winotan "Tetapi masakan aku akan
menceritakan hal itu pada orang" Telah kukatakan, aku kini hidup sebagai petani. Asal sawahku
menghasilkan panen yang baik, asal anak isteriku dapat makan sehari-hari aku sudah puas.
Bagaimana urusan kerajaan dan pemerintah, ada sangkut pautnya dengan aku. Itu sudali diurus
oleh para gus mentri dan senopa . Jika ,kakang Sarawita kua r, tak perlulah kakang menceritakan
peristiwa sayembara itu."
Rupanya ucapan bekel itu telah mengena pada perasaan Sarawita. Karena sudah terlanjur
menceritakan tentang keadaan pura Daha, mengapa ia harus merahasiakan peris wa sayembara
itu " Dan bukankah Saloka sudah mengetahui juga "
"Jangan salah faham adi" kata Sarawita "bukan aku tak mau bercerita melainkan aku ingin tahu
dari sumber manakah adi telah mendengar cerita itu. Jika dari seorang prajurit, itu masih tak apa
karena sayembara itu hanya berlaku pada lingkungan anak prajurit saja. Tetapi jika adi mendengar
dari orang luar, kumaksudkan dari orang biasa, orang itu harus ditangkap karena membahayakan
rahasia yang tak boleh disiarkan"
Bekel Saloka mengangguk. "Benar, memang setelah selesai upacara peperiksaan pasukan, prajurit2 disuruh masuk ke Balai
Prajurit dan disitu akan dilangsungkan pembukaan sayembara. Siapa yang dapat menghaturkan
pusaka yang paling tinggi nilainya, dialah yang akan mendapat hadiah dan kenaikan pangkat"
Demikian setelah surya condong ke sebelah barat maka bekel Salokapun segera pamit. Ia
bergegas kembali ke gua Selamangleng.
Nararya dan Lembu Peteng terkejut mendengar laporan dari bekel Saloka.
"Jika demikian jelas gong pusaka itu masih berada pada bekel Sindung" seru Lembu Peteng.
"Bagaimanamungkin ?" bantah bekel Saloka "bukankah kita berdua menyaksikan sendiri kedua
penjahat itu telah mengangkut benda besar yang di-bungkus kain hitam?"
Lembu Peteng tersenyum "Mengapa tak mungkin" Kurasa bekel Sindung itu tentu sudah bersiap
menjaga kemungkinan gong pusaka itu dicuri orang. Sebelumnya dia tentu membuat sebuah gong
lain yang bentuknya serupa dengan Gong Prada"
"O" desus bekel Saloka "benar juga"
Tetapi Nararya membantah "Jika memperhitungkan waktunya Gong Prada itu dicuri orang Daha,
mungkinkah bekel Sindung sempat membuat tiruannya" Kurasa tidak, kakang Lembu"
Lembu Peteng tak dapat menjawab.
"Tetap dapat" sekarang bekel Saloka yang membela dugaan Lembu Peteng "kemungkinan bekel
itu sudah memiliki gong yang besarnya hampir sama dengan gong pusaka itu. Karena dibungkus
dengan kain hitam, tentu orang sukarmelihat gong itu aseli atau tiruan"
Kini Nararya diam dan mengangguk. Ia dapat menerima sanggahan bekel itu.
"Atau begini" ba2 Lembu Peteng berseru tegang "memang dugaan raden itu benar. Waktunya
terlalu sempit bagi bekel Sindung untuk membuat gong ruan, kecuali dia memang sudah memiliki
sebuah gong yang besarnya sama. Kemungkinan yang ke ga, penjahat itulah yang membawa gong
tiruan kemudian ditukarkan dengan Gong Prada yang disimpan bekel Sindung ...."
"Benar !" sambut bekel Saloka dengan tegang "sehingga bekel Sindung tak mengadakan gerakan
apa2 karena mengira gong pusaka itu masih berada padanya. Pada hal gong itu sudah ditukar oleh
penjahat itu" Nararya merenung diam. Ke ga kemungkinan itu memang mungkin. Pertama, bekel Sindung
membuat gong ruan. Gong Prada disimpan dan gong ruan itu sengaja diletakkan ditempat yang
mudah dilihat orang sehingga penjahat itu terperangkap mengambilnya. Memang jika bekel
Sindung itu seorang ;yang cerdik, dia tentu menyadari akan bahaya yang akan muncul akibat Gong
Prada berada padanya. Kedua, bekel itu kebetulan mempunyai gong yang besarnya sama dengan
Gong Prada dan gong itulah yang dibuat umpan kepada mereka yang hendak coba mencuri atau
merebutnya. Ke ga, penjahat itu telah membekal gong dan gong itu ditukar dengan Gong Prada
sehingga bekel Sindung masih menganggap kalau Gong Prada tetap selamat berada dirumahnya.
"Ke ga kemungkinan itu memang mempunyai nilai kemungkinan yang sama besarnya" akhirnya
Nararya berkata "maka pen ng sekali kita mencari berita tentang hasil daripada sayembara itu. Jika
dalam sayembara itu terdapat gong yang diajukan bekel Sindung dan pengajuan itu diterima oleh
yang berwajib memberi penilaian, jelas penjahat itu telah termakan umpan bekel Sindung karena
mengambil gong tiruan"
"Dan jika bekel Sindung tak mengajukan gong, jelas gong itu tentu sudah diambil penjahat
sambung Lembu Peteng. "Demikian pula apabila dalam seyembara itu mbul kegemparan karena diketahui bahwa gong
itu ternyata ruan maka jelas kalau Gong Prada telah dilarikan penjahat malam tadi" lanjut
Nararya. Dalam pada bercakap-cakap memperbincangkan peris wa Gong Prada itu, haripun mulai malam.
Nararya mengatakan bahwa ia akan masuk pura untuk melakukan penyelidikan.
"Kemanakah raden hendak menyelidiki?" tanya bekel Saloka.
"Yang pen ng ke rumah bekel Sindung untuk mendapat kepas an tentang Gong Prada itu" kata
Nararya. Ke ga Nararya hendak melangkah ke luar, ba2 Lembu Peteng berseru "Raden, harap tunggu
dulu" "Mengapa kakang?" terpaksa Nararya menghampiri pula.
"Menurut keterangan ki bekel Saloka, pangeran Ardaraja telah menerima kedatangan seorang
tetamu penting dari Singasari. Tidakkah hal itu patut kita selidiki ?" tanya Lembu Peteng.
Nararya tertegun. Merenung.
"Ya, memang membangkitkan perhatian kita tentang kunjungan tamu itu dan diri tamu itu
juga" kata Nararya "sekarang kita bagi tugas saja. Karena ki bekel siang tadi sudah bekerja,
malam ini baiklah beristirahat. Sedang aku dan kakang yang bekerja. Kakang hendak
menyelidiki yang mana, ke rumah bekel Sindung atau ke keraton ?"
"Aku yang menyelidiki ke keraton" seru Lembu Peteng.
"Mengapa ?" tanya Nararya.
"Karena dulu aku pernah bekerja sebagai senopa -pendamping pangeran Kanuruhan. Maka
akupun mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang keadaan keraton"
Nararya mengangguk. Memang walaupun ia putera dari Lembu Tal yang masih berdarah
keturunan raja, tetapi sejak kecil ia sudah hidup di daerah yang jauh dari pura, kemudian berguru
pada resi Sinamaya. Ia mengakui memang ada pengetahuan dan pengalaman tentang seluk beluk
keraton "Baiklah, kakang"' akhirnya ia setuju "tetapi hasil atau dak, sebelum fajar kita harus pulang
kemari" Mereka segera berangkat. Nararya tetap disertai Pamot, sedang Lembu Peteng membawa
seorang anak-buahnya juga.
Nararya dan Pamot menyembunyikan diri pada gerumbul pohon tak jauh dari rumah bekel
Sindung. Mereka hendak melihat bagaimana keadaan di kediaman bekel itu.Lewat tengahmalam
barumereka Nararya melihat beberapa sosok tayangan mondar-mandir dalam rumah bekel itu. Rupanya
rumah bekel itu dijaga ketat. Makin mbul dugaan Nararya bahwa gong pusaka itu masih berada
pada bekel itu. Ia menimang-nimang keputusan. Adakah ia harus menyerbu dengan kekerasan dan
merebut gong itu atau harus menunggu kesempatan lagi yang lebih baik.
Tengah Nararya sedang mencari akal, ba2 ia melihat seseorang keluar dari rumah bekal
Sindung. Nararya terkesiap. Orang itu berpakaian hitam sehingga dalam kegelapan malam, sukar
untuk diketahui jelas. "Mari kita ikuti dia" Nararya menggamit lengan Pamot. Keduanya segera mengikuti orang itu
yang ternyata menuju ke utara. Karena malam sunyi, Nararya tak mau bercakap-cakap dengan
Pamot karena kuatir suaranya akan terbawa angin dan terdengar oleh orang itu. Pun ia
menjaga jarak cukup jauh di belakang orang itu.
"Mungkin gong pusaka itu disimpan dalam sebuah tempat rahasia dan saat ini bekel Sindung
memerintahkan pengalasannya untuk mengambil" demikian Nararya menduga-duga.
Dengan ha 2 sekali Nararya dan Pamot mengiku jejak orang itu. Tampak orang itu berjalan
dengan bergegas-gegas. Hampir sejam menempuh perjalanan, akhirnya balah dia di sebuah
lembah dari sebuah gunung.
"Lembah apakah itu ?" terpaksa Nararya bertanya bisik2 kepada Pamot.
"Jika tak salah, itulah lembah Trini Panti" sahut Pamot dengan suara yang di tekan pelahan.
Makin keras dugaan Nararya bahwa orang itu tentu di perintahkan bekel Sindung untuk
mengambil sesuatu yang kemungkinan besar tentulah Gong Prada.
Orahg itu langsung menyusup sebuah gerumbul dan lenyap ke dalam lembah. Nararya terkejut.
Ke ka berpaling kearah Pamot tampak pengalasan dari Lodoyo itu juga memandang kearahnya
dengan pandang bertanya. Nararya mengangguk dan menggamit pula lengan Pamot lalu
menghampiri ke gerumbul. Disiaknya gerumbul rumput alang2 yang se nggi orang lalu menerobos
masuk. Kini dia berhadapan dengan mulut lembah yang merupakan sebuah jalan kecil. Sejenak
memandang Pamot, Nararya melanjut maju masuk kedalam lembah.
Tak berapa lama berjalan, lembah makin luas, penuh dengan batu2 besar kecil "Kemanakah
orang itu?" bisiknya pelahan.
Malam gelap dan lembah itupun makin gelap. Gun-duk-gunduk batu yang memenuhi lembah,
bagaikan bayang2 hitam yang menyeramkan. Sunyi senyap kecuali bunyi cengkerik yang
melengking-melengking menambah keseraman suasana.
"Baik kita bersembunyi dibalik batu itu" kata Nararya seraya menunjuk segunduk batu besar di
sebelah kanan "begitu dia keluar, kita sergap"
Keduanya segera menuju ke batu besar itu. Tetapi belum lama menempatkan diri, sekonyong-
konyong mereka mendengar suara orang tertawa seram. Kemudian disusul pula dengan suara
orang merintih-rintih minta ampun.
Nararya memandang Pamot. Dahinya mengernyit kencang "Aneh, apakah ...." ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena terdengar suara orang berkata dengan keras disertai umpat caci
yang tajam. Nararya cepat menarik lengan Pamot diajak keluar. Dengan langkah yang seringan mungkin, ia
menghampiri ketempat suara itu. Makin lama makin jelas.
"Seta, sekarang lekas engkau bersiap menerima kematianmu" seru orang itu dengan bengis.
"Rembang ...." terdengar suara orang lain yang bernadp, lemah dan sayu "jangan engkau salah
faham. Bukan aku bermaksud hendak membunuh kakangmu Tumbuk ... tetapi ..."
"Jangan banyak mulut!" hardik orang yang disebut Rembang "kutahu engkau memang berniat
jahat kepada saudaraku agar engkau dapat memiliki gong pusaka itu sendiri"
"Rembang ..." terdengar orang yang hendak dibunuh itu berseru. Tetapi nadanya kedengaran
amat dipaksakan karena nyata dari napasnya yang terengah-engah "siapa yang memberitahu hal
itu" "Kakang Tumbuk sendiri" seru Rembang, "engkau seorang manusia berha serigala. Baik kakang
Tumbuk memperlakukan engkau. Engkau sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri tetapi hm,
ternyata engkau sampai ha membunuhnya. Engkau ajak dia ke lembah sunyi agar orang tak tahu
jejak kema annya. Tetapi Seta, ketahuilah! Se ap kejahatan tentu berbicara. Dan saat ini, Seta,
engkau harus memetik buah yang engkau tanam. Siaplah ..."
Tiba2 terdengar jerit mengaduh dan hardik makian "Keparat engkau ...!"
Ternyata Nararya dan Pamot telah berhasil menemukan tempat suara orang yang hendak


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pembunuhan itu. Selepas melintas segunduk aling batu, Nararya melihat seorang lelaki
berpakaian hitam sedang ayunkan pedang kearah seorang lelaki yang duduk bersandar pada kaki
batu. Walaupun orang itu membelakangi sehingga tak tampak wajahnya tetapi Nararya dapat
mengenalnya dari pakaian hitam yang dikenakan orang itu. Jelas dia adalah orang yang keluar dari
rumah bekel Sindung tadi.
Nararya terkejut dan gugup. Serentak ia memungut sebu r batu lalu dilontarkan kearah orang
berpakaian hitam. Lontaran itu tepat mengenai punggung sehingga orang berpakaian hitam itu
mengaduh kesakitan lalu berputar tubuh dan memaki.
"Siapa engkau" teriak orang berpakaian hitam yang disebut sebagai Rembang.
"Jangan membunuh orang" Nararya tak menjawab pertanyaan melainkan memberi peringatan
"apalagi dia sudah tak berdaya memberi perlaWanan"
"Keparat" teriak Rembang seraya maju menyerang "jangan mencampuri urusanku"
Nararya mengisar langkah ke samping, kemudian menebas dengan telapak tangan. Maksudnya
hendak menepis tangan kanan Rembang agar pedangnya terlepas. Tetapi saat itu Rembang, setelah
terjangannya luput, hendak berputar tubuh. Duk, punggungnya termakan tangan Nararya dan
pengalasan dari bekel Sindung itupun terdorong ke muka dengan tubuh terbungkuk-bungkuk
hendak jatuh. Pada saat Nararya masuk ke tempat itu, Pamot tetap mengiring di belakangnya. Dan dia tetap
tegak di belakang. Dia marah melihat ndakan Rembang yang dianggapnya liar. Ke ka Rembang
terhuyung-huyung menghampiri kearahnya, Pamot mengisar ke samping lalu menendang pantat
Rembang. Waktu ditebas punggungnya oleh Nararya tadi, Rembang sudah kehilangan keseimbangan diri.
Belum ia berhasil berdiri tegak, ia sudah menderita tendangan kaki Pamot. Pengalasan itu tak
dapat menguasai diri lagi ke ka tubuhnya melaju dan membentur gunduk batu, prak .... ia
menggelepar jatuh karena mukanya hancur. Setelah meregang-regang beberapa saat, akhirnya
melayanglah jiwanya. "Ah, Pamot, mengapa engkau membunuhnya?" tegur Nararya,
"Aku tak sengaja dan tak menyangka ia akan membentur batu, raden" kata Pamot.
"Sayang" kata Nararya "sebenarnya kita dapat menggali keterangan dari dia"
Nararyapun tahu memang Pamot tak bermaksud membunuh orang itu. Karena sudah terlanjur
ma , maka iapun tak mau menyesali lagi Ia berpaling kearah Seta, orang yang hendak dibunuh
Rembang tadi laluu menghampirinya.
"Terima kasih ... ki sanak" orang itu berkata dengan napas terengah-engah.
"Siapa engkau?" Nararya makin mendekat dan berjongkok "engkau terluka ?" serunya ke ka
melihat perut orang itu berdarah. Ia heran. Darah itu masih segar, tentu baru mengalir dari luka
yang baru. Pada hal ia tahu jelas, Rembang tak sempat mengayunkan pedangnya.
Orang itu mengangguk "Ya. Aku memang terluka dan ada harapan hidup lagi" ia berhen
sejenak untuk memulangkan napas yang makin memburu keras "lekas katakan apa kehendakmu ...
aku ... aku sudah tak kuat lagi ...."
"Ceritakan siapa dirimu dan mengapa engkau hendak dibunuh orang itu" kata Nararya.
Orang itu pejamkan mata. Beberapa saat kemudian baru ia berkata "Aku bernama Seta, prajurit
yang menjadi bawahan bekel Sindung ... aku dengan ga kawan, diperintah bekel .... untuk
mengambil gong Prada ... di Lodoyo ..."
"O" Nararya mendesuh kejut "dan berhasil ?"
"Ya. Gong itu telah kami serahkan kepada bekel Sindung .... kemarin kami berempat diperintah
pula ....untuk mengambil .... keris pusaka di lembah ini ...."
"Bekel Sindung yang memberi perintah ?" tanya Nararya.
"Ya. Tetapi ke ka ba di lembah ini .... ba- ba .... ba- ba salah seorang kawanku membacok
punggungku .... diapun di kam oleh kawan yang lain .... tetapi kawan yang lain itupun dihantam
kepalanya dengan gada oleh kawan yang keempat .... kami ber ga rubuh ... kecuali Tumbuk yang
menggada kepala kawan ketiga itu. Dia menghampiri aku hendak ..."
"Menggadamu juga ?" tukas Nararya.
Seta mengangguk "Ya. Dalam keadaan luka parah aku sempat melontarkan pedang ke dada ...
Tumbuk. Dia mati seketika ...."
"Dimana mayat mereka ?" tukas Nararya pula.
Seta mengeliarkan pandang ke arah utara "Di bagian yang lebih dalam dari sini ...."
"Siapa orang yang hendak membunuhmu tadi?" tanya Nararya.
"Rembang, adik dari Tumbuk .... dia hendak menuntut balas kema an kakangnya" kata Seta
"entah siapa yang memberi tahu .... kepadanya ...."
"Mengapa engkau terluka ?" Nararya teringat akan darah yang mengalir dari perut Seta "pada hal
Rembang belum sempat menabasmu"
Keadaan Seta makin payah. Wajahnya pucat lesi dan napas makin lemah. Namun di paksakannya
juga untuk menyahut "Aku seorang prajurit .... hina kalau ma dibunuh orang .... maka tadi .... tadi
kutusuk perutku sendiri ...."
Sampai di sini Seta pejamkan mata dan kepalanya melentuk "Seta .... Seta .... apa pesanmu ..."
Nararya menggolek-golekkan kepala prajurit itu.
Dengan mata tetap memejam, mulut Seta bergerak-gerak berkata lemah "Beri .... tahu .... adikku
.... Wariga ...." "Seta .... Seta .... di manakah rumah Wariga ...." tetapi sampai di ulang beberapa kali, Seta tak
dapat menjawab lagi. Jiwanya telah melayang, tubuhpun mulai kaku.
Nararya meletakkan di tanah dan berbangkit, menghela napas "Dia mati"
Pamot tak berani mengusik Nararya yang masih tegak termangu-mangu. Tak tahu ia apa yang
sedang direnungkan raden itu. Ia duga raden itu tentu terharu atas kematian Seta.
Kemudian karena cukup lama Nararya tak tampak bergerak, akhirnya Pamot memberanikan diri
"Raden, mari kita tinggalkan lembah ini"
"O, engkau Pamot" seru Nararya agak gelagapan "ya, ya, mari"
Ternyata saat itu sudah hampir mendeka terang tanah. Atas pertanyaan Pamot, Nararya
mengatakan lebih baik kembali ke Selamangleng.
Tiba di gua Selamangleng, ternyata Lembu Peteng masih belum kembali. Diam2 Nararya mulai
cemas "Mudah-mudahan tak terjadi sesuatu dengan diri kakang Lembu" katanya.
Sambil menunggu, ia menuturkan tentang peris wa yang dialaminya malam itu "Jelas gong Prada
itu telah berada pada bekel Sindung. Dia mengutus empat orang pengalasan untuk mencuri dari
candi Simping. Dan ini sesuai dengan keempat penunggang kuda yang berpapasan dengan aku di
jalan itu" Bekel Saloka mengangguk "Ya. Kini kita sudah memiliki hasil dari penyelidikan selama ini. Dan
jelas bahwa penjahat yang mencuri benda terbungkus kain hitam itu, tentu juga membawa gong
pusaka itu. Soalnya kini hanya, adakah gong yang di bawa penjahat itu gong pusaka yang asli atau
gong tiruan ?" "Bagaimana pandangan ki bekel tentang ke empat pengalasan yang saling bunuh membunuh di
lembah Trini Panti itu ?"tanya Nararya.
Bekel Saloka mengerut dahi "Mereka di kuasai oleh nafsu serakah hendak mengambil jasa sendiri
maka lalu saling bunuh membunuh."
Nararya gelengkan kepala "Tidak. Bukan ke empat orang itu yang dikuasai nafsu serakah tetapi
adalah bekel Sindung sendiri. Dialah yang ingin menguasai hasil perplehan yang sangat berharga
sehingga mengatur siasat untuk mengadu domba mereka agar saling bunuh membunuh. Setelah
keempat orang itu mati, maka hadiah tentu akan dinikmati bekel itu sendiri"
Bekel Saloka mengangguk "Benar, hal itu memang mungkin terjadi apabila menilik kelicinan cara
kerja bekel itu dalam menjaga Gong Prada"
"Maka besok pagi, kita perlu sekali untuk mencari berita tentang hasil sayembara itu" kata
Nararya. Terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan. Cahaya fajar mulai menguak kabut malam.
Namun belum juga Lembu Peteng kembali. Nararya dan bekel Saloka, mulai cemas.
"Adakah benar2 terjadi sesuatu pada diri kakang Lembu Peteng?" berkata Nararya setelah fajar
tiba. Bekel Salokapun bingung "Peris wa ini makin lama makin mencengkam perasaan kita. Kita harus
menghadapi berlapis- lapis kabut rahasia. Aku merasa bingung, raden"
Nararya mengangguk "Ki bekel, untuk mencari sesuatu dalam air yang keruh, memang sukar. Kita
tak melihat apa2, kitapun bingung. Tetapi apabila air itu sudah mengendap bening, barulah kita
dapat melihat benda yang hendak kita cari itu."
"Tetapi yang kita cari itu jelas Gong Prada. Kita tak tahu bahwa suasana tempat gong pusaka itu
di sembunyikan, ternyata keruh dan berkabut sehingga aku merasa bingung" kata bekel Saloka.
"Benar" sahut Nararya "tetapi biarlah suasana yang keruh, asal kita jangan ikut terkeruh. Ibarat
berjalan di malam gelap, berbahaya sekali apabila pikiran kita ikut gelap. Adalah dalam melintas
kegelapan itu, kita lebih2 harus tenang hati dan terang pikiran, ki bekel"
Bekel Saloka mencurah pandang bertanya ke arah pemuda itu "Menurut raden, apakah
sebenarnya peristiwa yang kita hadapi ini ?"
"Ki bekel" kata Nararya "Marilah kita hampakan pikiran agar dapat menyatukan diri dengan
peris wa yang kita hadapi. Pertama sudah jelas bahwa Gong Prada itu di curi oleh bekel Sindung
yang hendak merebut hadiah kenaikan pangkat dalam sayembara yang diadakan oleh senopa
Pangelet. Kedua, apakah tujuan senopa Pangelet mengadakan sayembara yang sedemikian ganjil
yalah suatu anjuran kepada prajurit2 Daha untuk berlomba-lomba mencari pusaka milik, kerajaan
Singasari. Jawaban soal itu, dapat kita sesuaikan keterangan yang ki bekel peroleh dari prahas
Sarawita, bahwa Daha giat berusaha membangun pasukan yang kuat. Mereka tak pernah
melupakan dendam kepada Singasari. Dalam hubungan itu, kemungkinan Gong Prada itu akan
diperuntukkan pembangkit dan menggelorakan semangat perjuangan pasukan Daha ...."
"Tetapi raden, bukankah baginda Kertanagara akan mendapat laporan tentang hilangnya gong
pusaka itu dan tentu akan memerintahkan untuk mencarinya" Mungkinkah Daha akan dapat
mempertahankan gong' pusaka itu ?" tukas bekel Saloka.
"Itulah sebabnya, ki bekel" jawab Nararya "bahwa sayembara, itu hanya berlaku di lingkungan
anak prajurit Daha dan merupakan suatu rahasia dalam kalangan pasukan yang tak boleh
dibocorkan keluar. Kemungkinan, pimpinan pasukan Daha tentu sudah menekankan hal itu kepada
setiap prajurit dengan ancaman pidana yang berat"
"Hem" bekel Saloka mendesah.
"Kemudian tentang tetamu dari Singasari yang diterima pangeran Ardaraja itu" sambung Nararya
pula "ini masih memerlukan penyelidikan sebelum kita dapat merangkai suatu kesimpulan. Namun
memang agak ganjil rasanya bahwa seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari akan
mengunjungi pangeran Daha itu secara peribadi. Jelas prajurit itu tentu akan membawa
rombongan apabila benar diutus baginda., Hanya ada dua kemungkinan, dia dikirim oleh seorang
mentri tertentu dari Singasari atau memang atas kehendaknya sendiri"
Bekel Saloka bertanya "Andaikata dia datang atas kehendaknya sendiri, apakah tujuannya?"
"Sudah tentu mempunyai tujuan tertentu" jawab Nararya "kemungkinan besar tujuan itu tentu
mengandung sifat yang mencurigakan"
Bekel Saloka mengangguk. "Ada suatu perasaan dalam hatiku " kata Nararya pula"; bahwa dalam dua peristiwa itu
seperti mempunyai jalinan satu sama lain. Tetapi baiklah kita tunggu dulu. Hari ini kita harus
membagi tugas pula, ki bekel. Ki bekel yang masuk pura, mengikuti upacara peperiksaan
pasukan Daha dan mencari berita tentang hasil sayembara itu. Sedang aku hendak mencari
kakang Lembu Peteng"
"Tetapi raden" bekel Saloka agak terkejut "ke manakah raden hendak mencari ki Lembu ?"
"Pertama, akan kuselidiki adakah tetamu dari pangeran Ardaraja itu masih berada di Daha. Jika
sudah kembali, tentulah kakang Lembu juga mengiku perjalanan orang itu. Karena dia dari
Singasari maka akupun hendak menelusur jalan yang menuju ke Singasari"
Demikian setelah mencapai persepakatan, keduanya lalu beris rahat. Ternyata sampai surya
naik sepengga-lah tingginya, Lembu Peteng belum juga kembali.
Waktu berkemas hendak berangkat, berkatalah bekel Saloka "Raden, bagaimanakah usaha raden
hendak menyelidiki tentang tetamu dari Singasari itu ?"
Nararya terkesiap. Memang setelah direnungkan, ia mendapat kesulitan dalam hal itu: Ia masih
asing dengan orang2 Daha. Jika langsung bertanya kepada portg-gawa keraton, tentu sukar
memperoleh keterangan, bahkan kemungkinan akan dicurigai. Sedangkan bertanya kepada orang
biasa, tak mungkin mereka tahu.
"Menurut pendapatku" kata bekel Saloka "baiklah kita bersama masuk ke dalam pura. Raden
dapat ikut menyaksikan upacara peperiksaan pasukan itu. Sementara aku hendak mencari
kesempatan untuk mencari kenalan lama, jika terpaksa, aku akan menemui pahasti Sarawita
pula. Karena hanya dialah yang dapat memberi keterangan yang kita perlukan"
Nararya setuju. Untuk dak menimbulkan kecurigaan, mereka hanya berangkat ber ga. Bekel
Saloka faham akan keadaan tempat dalam pura, tetapi Nararya dak, maka perlu disertai Pamot
yang faham akan jalan-jalan di pura itu.
Alun-alun keraton Daha penuh dengan orang yang ingin melihat upacara peperiksaan pasukan.
Mereka ingin tahu betapalah kekuatan pasukan Daha saat itu. Nararya, bekel Saloka dan Pamot
menyusup diantara kerumun rakyat yang memenuhi sepanjang tepi alun-alun.
Terkejut Nararya melihat barisan2 yang dibagi menjadi beberapa pasukan. Masing2 pasukan
membawa pataka dan panji2, mengenakan seragam yang rapi. Ada pasukan yang membawa
tombak, pasukan bersenjata pedang, pasukan pemanah dan pasukan yang terdiri dari prajurit2
muda, bertubuh tegap kekar. Sebuah kelompok prajurit yang disebut barisan Pininglai atau peniup
terompet tanduk, mengiring seorang prajurit yang membawa panji Merah-pu h dengan genderang
dan seruling yang meraung-raung membangkitkan semangat juang.
Tak berapa lama balah delapan orang senopa naik kuda yang tegar. Seluruh anak pasukan
serempak tegak memberi hormat. Kedelapan senopa yang tampak gagah perkasa di atas kuda
masing-masing, berjajar di hadapan pasukan. Tak lama kemudian rakyat bersorak gegap gempita
ke ka sebuah iring-iringan terdiri dari pangeran Ardaraja yang naik gajah masuk dengan diiring
oleh berpuluh prajurit bhayangkara. Diatas gajah yang berjalan sambil mengobat-abitkan
belalainya itu, tampak pangeran putera mahkota Daha itu makin cakap dan berwibawa.
Seluruh pasukan tegak dengan khidmat ke ka gajah yang membawa pangeran adipa anom itu
berjalan, di hadapan mereka. Tiba2 pangeran itu berhen di muka barisan pemanah "Menggala"
serunya. "Hamba,gus " seorang pengiring yang bertubuh nggi besar gagah perkasa segera tampil
kehadapan pangeran itu. "Panggil prajurit pemanah yang di belakang itu" perintah Ardaraja.
Prajurit nggi besar itu tak lain adalah bekel Suramenggala, pengiring peribadi dari pangeran
Ardaraja. Bekel yang pernah beradu kekuatan lawan Nararya ke ka rombongan pangeran Daha itu
berburu. Tak lama Suramenggala telah membawa prajurit pemanah itu ke hadapan pangeran
Ardaraja. "Barisan pemanah pasukan Daha diperlengkapi dengan gelang pada kedua tangannya. Tetapi
mengapa engkau hanya memakai sebuah gelang?" tegur pangeran itu.
Prajurit yang menyanggul perbekalan busur dan anakpanah, terkejut. Pucat. Lalu memberi
hormat "Gelang pada tangan kiri hamba telah putus ketika berbaris tadi, gusti"
"Dimanakah engkau simpan gelang itu?" seru Ardaraja meminta buk . Bergegas prajurit itu
mengambilnya dari baju dan dihaturkan. Gelang itu telah patah dan tak dapat dipakai lagi.
Tiba2 Ardaraja melolos gelang pada tangan kiri dan diserahkan kepada prajurit itu "Pakailah ini.
Ingat, prajurit Daha harus rapi dan lengkap busana serta kelengkapannya"
Prajurit itu terperanjat dan makin pucat. Ardaraja mengulangi "Lekas, terima ini"
Mendengar itu barulah dengan tangan gemetar prajurit itu menerimanya seraya menghaturkan
sembah terima kasih. Ia diperintah kembali ke dalam barisannya.
Sedemikian cara pangeran Daha itu menguasai dan menundukkan ha prajurit2 kerajaan Daha.
Dari senopa sampai menurun ke prajurit biasa, semua menghormat, tunduk dan setya kepada
pangeran itu. Ardaraja merupakan buah ha akuwu Jayakatwang, senopa agung dari pasukan Daha dan
tumpu harapan dari para kawula.
Nararya menyaksikan juga semua peristiwa yang terjadi di alun-alun itu. Diam2 ia memuji
akan kecakapan pangeran adipati anom itu. Bukan saja cakap wajah, pun cakap menanamkan
kewibawaannya pada seluruh prajurit dari pasukan Daha. Iapun mendapat kesan bahwa Daha
benar2 memiliki pasukan yang besar, tertib dan bersemangat. Tertib, merupakan pertanda dari
latihan2 keprajuritan yang berhasil. Semangat, memancarkan jiwa keprajuritan yang siap
melaksanakan tugas, membela negara dan rakyat.
Dalam mengiku upacara selanjutnya, Nararya makin terkejut. Karena perintah2 yang diberikan
oleh para senopa itu bernada suatu kesiap siagaan untuk memperkuat Daha, membangun
kerajaan Daha yang pernah jaya pula. Walaupun dak secara tegas tetapi Nararya dapat menarik
kesimpulan bahwa memang Daha benar2 mempunyai suatu tujuan besar.
Lewat tengah hari barulah upacara itu selesai, pangeran Ardarajapun meninggalkan lapangan.
Sekonyong-konyong pangeran itu hen kan gajah tunggangannya, memanggil lurah Suramenggala
dan mengucapkan beberapa perintah. Suramenggala tak ikut mengiringkan pangeran itu ke
keraton. Barisanpun segera tinggalkan alun2, demikian rakyat yang mengikuti upacara itu.
Saat itu Nararya dan bekel Salokapun sudah berpencar. Bekel Saloka mengiku barisan prajurit.
Ternyata prajurit2 itu masuk kedalam balai prajurit sehingga bekel Saloka terpaksa melanjutkan
perjalanan. Ia hendak mencari pahasti Sarawita yang diduganya tentu berada di kandang gajah.
Sedang Nararya menuju ke gapura mur. Menurut dugaannya, tentulah prajurit bhayangkara
dari Singasari itu sudah pulang. Belum berapa jauh ia berjalan ba2 terdengar derap orang
berjalan cepat dari arah belakang. Dan pada lain saat ia mendengar orang berteriak "Hai, ki bagus,
berhentilah" Nararya hentikan langkah berpaling "Ah, ki Suramenggala" serunya ketika melihat orang.
Orang tinggi besar itu menghampiri "Ya. Ternyata engkau tak lupa kepadaku" Ki bagus, gusti
pangeran Ardaraja mengundangmu ke keraton"
Nararya tersengat kejut "Adakah pangeran telah melihat aku?"
"Hm" dengus Suramenggala "engkau berada di antara kerumun orang2 yang menonton di
sekeliling alun-alun tadi"
Nararya termenung. Jika ia menolak, sukar untuk memberi alasan yang dapat diterima.
Nyatanya dia terlihat ikut menyaksikan upacara tadi. Namun jika meluluskan, ia tentu tak dapat
mencari Lembu Peteng. Bahkan mungkin ia akan menghadapi tawaran Ardaraja untuk bekerja
pada Daha. Paling tidak, waktunya tentu terhambat di keraton.
Hampir Nararya menolak panggilan itu atau ba- ba ia teringat bahwa sebaiknya ia dapat
memperoleh keterangan tentang tetamu dari Singasari itu baru ia mengambil langkah yang pas
untuk mengejar/ ke Singasari. Akhirnya ia menerima perintah dari pangeran Ardaraja.
Menilik wajah dan nada kata-katanya, Nararya mempunyai kesan bahwa lurah prajurit
Suramenggala itu masih mendendam kepadanya. Mungkin kekalahan waktu berkelahi di hutan
tempo hari, tak pernah dilupakan bekel prajurit itu "Ki Sura" seru Nararya dengan nada ramah
"gagah benar tampaknya andika waktu berbaris tadi"
"Hm, kurasa biasa saja" sahut Suramenggala dingin.
"Ah, ki Sura merendah diri" kata Nararya pula "prajurit2 Daha rata2 masih muda dan
bersemangat dan pasukannya ter b sekali. Pangeran Ardaraja pandai mengatur bala tentara.
Rakyat Daha gembira dan bangga mempunyai pasukan yang gagah"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm" desus bekel prajurit itu pula,
Nararya menghela napas "Sayang, aku tak memiliki selera menjadi prajurit"
Suramenggala berpaling, mencurah pandang kearah wajah Nararya yang saat itu berjalan beriring
disampingnya "Aku gemar berkelana dan suka akan kehidupan bebas" kata Nararya.
"Ya" kata Suramenggala "memang berat menjadi prajurit itu. Sewaktu-waktu diperlukan, harus
melakukan perintah" Diam2 tersenyum Nararya dalam hati. Ia tahu bahwa Suramenggala tidak menyukai
kehadirannya sebagai prajurit di Daha. Mungkin dia kuatir akan mendapat saingan "Tetapi ki
Sura tentu lain" katanya.
"Lain bagaimana?" tanya Suramenggala.
"Ki Sura adalah pengawal yang terkasih dan dipercaya pangeran Ardaraja. Beda dengan prajurit2
lain" kata Nararya. "Beda bagaimana ?" ulang Suramenggala "lebih-lebih menjadi pengiring pangeran Ardaraja,
harus mengabdikan seluruh waktu, tenaga dan pikirannya. Tak jarang aku harus mengiring
pangeran ke daerah2 untuk berburu. Karena harus menjaga keselamatannya, sering aku kurang
tidur. Demikian pula tak pernah aku mempunyai waktu luang untuk bersenang-senang diri.
Orang mengatakan enak menjadi kepercayaan pangeran, tetapi aku yang merasakan sendiri,
merasa setengah mati"
Kembali Nararya tersenyum dalam ha . Makin jelas Suramenggala memasang rintangan untuk
menghalangi apabila ia bermaksud hendak menjadi prajurit bhayangkara pangeran Ardaraja
"Adakah ki Sura juga diharuskan berjaga apabila pangeran menerima tetamu?"
"Bagaimana dak?" sahut Suramenggala "misalnya kemarin, sedang aku layap-layap hendak
dur, terpaksa harus bangun dan menjaga pangeran Ardaraja yang menerima seorang tetamu.
Sampai hampir fajar, baru tetamu itu pulang. Kemudian baru dua ga jam pejamkan mata sudah
harus bangun lagi karena bertugas mengiring pangeran yang melakukan peperiksaan barisan di
alun-alun pagi ini" "O" Nararya mengangguk-angguk kepala. Diam2 ia girang karena sudah memperoleh keterangan
tentang tetamu dari Singasari itu.
"Ki bagus masih muda, tampan dan ramah" kata Suramenggala memuji "tentu banyak orang2 tua
dari gadis, yang menginginkan ki bagus sebagai menantu ...."
"Ah, janganlah ki Sura memuji aku setinggi itu"
"Benar" wajah Suramenggala mengerut kemantapan "aku sendiri apabila mempunyai anak gadis
tentu ingin mengambil ki bagus sebagai menantu. Tetapi kurasa ki bagus tentu menolak karena
masih banyak dara2 anak orang berpangkat yang menginginkan engkau"
Nararya tertawa. "Andai akupun diberkahi dewata dengan wajah setampan ki bagus, alangkah bahagiaku. Aku tak
perlu menjual jiwa sebagai bhayangkara tetapi sudah dapat menikmati kehidupan yang senang"
"Ah" kata Nararya "pengabdian ki Sura itu mempunyai nilai yang mulia dan luhur. Sebagai
putera Daha, ki Sura telah berbakti kepada kerajaan Daha"
"Adakah ki bagus bukan kawula yang tinggal di telatah Daha?"
Nararya gelengkan kepala "Bukan. Kalau tak salah. tempat kelahiranku itu termasuk telatah
Singasari" "O" seru Suramenggala agak cerah "jika begitu ki bagus harus membak kan pengabdian kepada
kerajaan Singasari" Nararya menghela napas "Telah kukatakan, ki Sura. Aku tak mempunyai minat menjadi prajurit.
Baktiku kepada negara hanyalah aku akan berusaha untuk menjadi seorang kawula yang baik"
Dalarri bercakap-cakap itu mereka sudah tiba dikeraton. Nararya dipersilahkan menunggu di
pendapa sementara Suramenggala masuk kedalam untuk menghaturkan laporan kepada
Ardaraja. Tak lama kemudian bekel bhayangkara itu keluar pula "Ki bagus, pangeran masih
berada di Balai Prajurit"
"O" seru Nararya.
"Tetapi pangeran telah meninggalkan perintah, agar ki bagus menunggu di ruang kediaman
pangeran. Mari kubawa engkau kedalam" kata Suramenggala. Nararya mengikutinya.
Ardaraja mendiami sebuah bangunan tersendiri. Letaknya di sisi kanan dari keraton. Tempat
kediaman pangeran itu amat indah dan mewah. Sebuah taman yang penuh bunga-bunga mekar
dan kolam yang ditengahnya dihias dengan arca bidadari sedang bercengkerama mandi
dipancuran, makin menyemarakkan gedung kediaman sang pangeran.
"Ki bagus" kata Suramenggala setelah berada di serambi "tunggulah disini. Aku hendak menyusul
pangeran di Balai Prajurit"
Nararya terpaksa mengangguk. Dan Suramenggala pun segera nggalkan tempat itu. Seorang diri
berada dalam istana seorang pangeran, timbullah berbagai kesan dalam hati Nararya.
Dalam gedung pangeran itu, suasananya tenang dan menyedapkan. Sekeliling pandang mata,
selalu bersambut dengan hiasan2 yang indah, taman bunga yang asri, arca2 yang seolah hidup
buatannya. Serba indah serta mewah. Namun ada suatu perasaan lain dalam ha Nararya, disaat
teringat akan suasana di pondok pertapaan resi Sinamaya di gunung Kawi. Suasananya di
pertapaan itu tenang juga tetapi tak seindah seper gedung ke diaman pangeran Ardaraja, Namun
dalam menghaya ketenangan itu, ada dua macam rasa dalam perasaan Nararya. Ketenangan
dalam gedung kediaman pangeran Daha itu berselumbung keindahan dan kemewahan.
Menimbulkan suatu rangsang nikmat pada sifat2 keduniawian. Sedang ketenangan dalam pondok
pertapaan gurunya, mengandung rasa teduh dan jernih. Jernih dari rasa keduniawian.
.Air yang mancur dari bokor yang dikempit oleh patung bidadari yang melambangkan air Tirta
Amerta, mencuatkan hamburan percik air yang indah teratur atau keindahan yang teratur. Tidaklah
sama dengan air terjun yang berada dipertapaan gunung Kawi. Air mengalir bebas, menunggal
kodrat dengan alam sekelilingnya. Burung2 di sangkar yang menghias taman sari kediaman
pangeran itu, pun sahut menyahut seolah berlomba mera perdengarkan bunyi yang merdu. Suatu
perlombaan untuk memikat ha yang memeliharanya. Beda dengan burung2 yang berkeliaran
bebas di alam pegunungan tempat pertapaan resi Sinumaya. Mahluk2 yang dikarunia sayap itu
dapat menikma karunia dewata, terbang bebas dicelah-celah kerimbunan daun dan buah.
Berkicau riang gembira mendambakan puja syukur kepada Hyang Batara Agung atas kerunia alam
yangindah dan subur untuk kehidupan mereka. Sama2 berkicau, namun beda makna burung2
pemeliharaan keraton Daha yang nggal di sangkar emas, dengan burung2 yang hidup bebas di
alam pegunungan. Saat itu menjelang rembang petang. Suasana taman kediaman pangeran Ardaraja itupun
mulai meremang dan makin sunyi. Nararya masih duduk disebuah bangku batu yang
menghadap ke kolam. Pikirannya terhanyut dalam keheningan alam, Ikan2 dalam kolam
dilihatnya sudah mulai mengendap kebawah batu2, bunga-bungapun mulai menguncup.
Sekonyong-konyong ia terkejut sekali ketika pandang matanya gelap. Ia tak dapat melihat apa2
lagi. Dunia ini serasa gelap.
Aneh, pikirnya. Pada hal jelas baru beberapa kejap yang-lalu ia masih melihat taman dan
kolam yang indah. Masih merasa bahwa hari belum sangat gelap, Tetapi mengapa tiba2
matanya sedemikian gelap. Adakah tiba2 ia menjadi buta "
Karena beberapa saat tetap belum juga ia dapat melihat apa2, akhirnya ia menggerakkan tangan
merabah matanya. Ah.... kejutnya makin mendebar manakala tangannya menyentuh suatu benda
yang halus2 lunak, hangat2 kuku suam. Belum sempat ia menerka benda apa yang dijamahnya itu,
ba2 ia terpagut kejut ke ka mendengar lengking suara yang sedap "Kangmas, engkau
membohongi aku, ya "
Serasa berhenti debar jantung Nararya demi mendengar kata2 itu. Jelas suara itu dari
seorang anak perempuan. Tetapi siapa " Mengapa berani benar anak parempuan itu
mendekap kedua matanya dengan tangannya yang halus. Ya, kini baru ia menyadari apa sebab
tiba2 matanya tak dapat melihat apa2. Ia heran mengapa ia tak mendengar langkah dara itu
menghampirinya. Ah, segera ia teringat bahwa tadi pikirannya sedang melayang terbawa
lamunan dan kenangan. Sedemikian lelap pikiran dan perhatiannya sehingga ia tak mendengar
langkah dara itu, "Eh, kakangmas, mengapa engkau diam saja" Bukankah engkau menjanjikan kepadaku untuk
membawa seekor anak macan mana sekarang?"
"Huh, uh ...." Nararya gelagapan tak tahu bagaimana harus menjawab.
"Eh, kakang mas Arda, mengapa hari ini engkau termenung-menung seper orang yang
kehilangan semangat ?" kembali dara itu berseru.
"Maaf....."akhirnya Nararya dapat juga memaksa mulutnya meluncur kata,
"Maaf?" ulang dara itu agak terkejut "aneh, aneh benar. Mengapa engkau meminta maaf,
kakangmas?" "Tolong .... lepaskan dulu ... eh, mataku..."
"Tidak" lengking dara itu pula "jika engkau tak memenuhi janjimu membawakan seekor anak
macan untukku, takkan kulepaskan tanganku. Engkau mau memenuhi janji atau tidak?"
Hati Nararya sibuk bukan kepalang. Bagaimana ia harus memberi jawaban. Namun apabila
tak mau menjawab, kedua matanya tentu masih didekap tangan dara itu. Pikirnya baiklah ia
meluluskan janji agar ia dapat berhadapan dan mengetahui siapa dara itu. Hampir terluncur
kata2 dari mulutnya atau tiba2 ia teringat akan kata2 dara itu yang menyebut dirinya dengan
kakangmas Arda. Bukankah pangeran Ardaraja yang dimaksudkan" Jika demikian bukankah
dara itu puteri akuwu Jayakatwang atau adik dari pangeran Ardaraja" Ah, gemetarlah mulutnya
sehingga kata2 yang siap dilontarkan itu tersekat dalam kerongkongannya, kemudian terhanyut
dengan air liur yang menggelombang masuk kedalam kerongkongan.
"Kakang mas, mengapa engkau diam saja?" kata dara itu agak kurang senang.
"Tuan .... puteri ....hamba ...."
"Eh, makin aneh sekali tingkah lakumu, kakangmas. Mengapa engkau memanggil aku tuan
puteri dan menyebut dirimu dengan hamba?"
Sesungguhnya sedap rasanya didekap oleh sebuah tangan yang halus seper yang dialami saat
itu. Hidungnya terbaur dengan bau harum yang menyerbak dari tangan itu. Tetapi ia merasa kurang
susila apabila peris wa itu diketahui orang, terutama pangeran Ardaraja yang mungkin akan
menjelang pulang "Tuan puteri, hamba bukan pangeran Ardaraja ...." akhirnya diberanikan juga
hatinya untuk mengucapkan kata-kata.
"Hah ?" dara itu berseru kejut seraya lepaskan dekap tangannya "engkau bukan ...."
Nararya cepat berputar tubuh, sehingga dara itu terkerat kata-katanya. Keduanya terbeliak dan
terkesiap. Di hadapan Nararya, tegak seorang puteri yang can k, tengah memandangnya dengan
Iongong kejut dan heran, kemudian wajahnya bertebar merah karena malu "Engkau .... siapa?"
sesaat kemudian puteri itu menegurnya.
"Hamba Nararya, gus " kata Nararya seraya memberi hormat "hamba mohon maaf karena
kekurang susilaan hamba kepada gusti"
Wajah cakap dari Nararya yang memancarkan cahaya keturunan darah priagung, telah
menimbulkan kesan yang mempesona ha puteri itu. Budi bahasa yang halus dalam rangkaian
kata2 yang rendah ha dan penuh susila, makin mencengkam perasaan puteri can k itu "Ki sanak,
engkau tak bersalah ...." puteri itu tersipu-sipu malu.
Tak kurang pula daya pesona yang mengikat ha Nararya ke ka memandang wajah puteri itu.
Seorang puteri yang can k, dalam usia remaja yang sedang mekar, makin memancarkan kecan kan
dari wajahnya yang berseri-seri gemilang. Suatu sifat dari puteri2 keraton dan keturunan priagung.
Namun segera ia tundukkan kepala tak berani beradu pandang mata. Ia menyadari hal itu kurang
susila dan tak layak "Gus , hamba memang bersalah karena hamba telah menyebabkan gus
menyangka hamba sebagai pangeran Ardaraja"
"Tidak" puteri itu menolak "engkau tak bersalah. Yang bersalah adalah aku sendiri ...."
"Ah, gus " Nararya tetap merasa bersalah "jika hamba tak berada disini, bukankah gus takkan
menyangka hamba sebagai pangeran Ardaraja " Kesalahan hamba berada disinilah yang
menyebabkan hal itu, gusti. Maka hamba tetap merasa bersalah dan mohon ampun"
Puteri itu tak mau berbantah. Ia melihat kekerasan kepala pemuda itu namun ia menyukai
kejujurannya. "Mengapa engkau berada di taman kediaman kakangmas pangeran?" kata puteri itu.
"Hamba telah mendapat tah dari pangeran agar menghadap. Tetapi saat ini pangeran masih
berada di balai prajurit dan hamba diperintahkan menunggu di sini oleh ki bekel Suramenggala"
"Di manakah kakangmas pangeran berkenalan dengan engkau?" tanya puteri itu pula.
Dengan singkat Nararya menuturkan tentang perkenalannya dengan pangeran Ardaraja ke ka
pangeran itu Sedang berburu di hutan.
"O" seru puteri itu "benar, benar. Kakangmas Arda memang pernah bercerita tentang seorang
pemuda yang karena salah faham telah berkelahi dengan paman Suramenggala dan paman
Suramenggala kalah ..."
Agak lancar mulai bicara puteri. Rupanya sang puteri memang peramah dan periang, masih
bersifat kekanak-kanakan.
"Ah, bagaimana mungkin ki lurah Suramenggala kalah dengan diri hamba, gus . Dia mengalah"
ucap Nararya dengan rendah hati.
"Kakangmas Arda juga mengatakan bahwa dia senang kepadamu dan minta engkau bekerja di
keraton ini. Benarkah?"
"Benar, gusti" "Mengapa engkau menolak?" tanya puteri itu.
Nararya menghela napas pelahan. Ia mendapat kesan bahwa puteri itu amat ramah. Tentu
menyinggung perasaannya apabila ia mengatakan menolak tawaran pangeran Ardaraja itu "Ah,
gusti, hamba bukan menolak ..."
Cerah wajah puteri itu ke ka mendengar kata2 Nararya dan cepat ia menukas "Jadi engkau
menerima tawaran kakangmas, bukan?"
Dari nadanya, jelas puteri itu merasa gembira apabila dia mau bekerja di keraton Daha.
Mengapa" Ah, ia sendiri tak tahu, karena baru saja berkenalan dengan puteri. Itupun karena salah
sangka. "Sungguh tak terperikan terima kasih hamba atas kebaikan pangeran Ardaraja" katanya
"seharusnya hamba ingin membalas budi kebaikan pangeran. Tetapi sayang hamba masih sedang
melakukan perintah ayah hamba. Kepada pangeran, hambapun telah menghaturkan keterangan
bahwa setelah hamba selesaikan menunaikan perintah ayah hamba, hamba baru dapat menerima
tawaran pangeran" "O" desuh puteri agak kecewa "apakah perintah dari ayahmu?"
Diam2 terkejut Nararya atas pertanyaan puteri itu. Bukankah kurang layak apabila seorang dara
mendesakkan keinginan tahunya akan urusan seorang pemuda" Tidakkah hal itu melampaui batas2
kesusilaan" Hampir saja ia menarik suatu kesimpulan tentang diri puteri itu tetapi pada lain saat ia
teringat bahwa yang dihadapinya saat itu bukan seorang dara biasa melainkan seorang puteri
keraton Daha. Seorang puteri dari akuwu Jayakatwang. Dan tentulah puteri itu menganggap dirinya
seorang pemuda dari kalangan rakyat sehingga batas kesusilaan itu terhapus oleh hak yang
diwenangkan bagi seorang puteri raja terhadap seorang kawula. Nararya mengangguk dalam hati.
"Aku adik pangeran Ardaraja. Rama prabu menganugerahkan nama, Dyah Nrang Keswari
kepadaku" ba2 puteri itu memberi keterangan tentang dirinya. Rupanya karena melihat sampai
beberapa saat Nararya diam saja, ia menduga mungkin pemuda itu masih meragukan siapa dirinya.
Dengan keterangan itu, dapatlah keraguan Nararya terhapus dan menimbulkan suatu kewajiban
bagi pemuda itu untuk menghaturkan jawaban.
"Ayah hamba mengutus hamba untuk mencari paman hamba yang nggal di Wengker. Tetapi
ternyata paman telah pindah ke Singasari. Terpaksa hamba harus mencarinya ke Singasari, mudah-
mudahan dia masih nggal di Singasari dan tak pindah ke lain daerah lagi" akhirnya Nararya
merangkai suatu keterangan.
Wajah putri Dyah Keswari tampak bertebar cerah pula "singasari tak jauh dari Daha. Tentu dalam
waktu yang tak lama, urusanmu itu akan selesai"
"Hamba harap mudah-mudahan demikian,gusti"
"Dan engkau tentu akan menetapi janjimu untuk mengabdi sebagai bhayangkara keraton Daha,
bukan?" Nararya menghela napas dalam ha , namun ia menjawab juga "Semoga ada aral melintang
pada janji hamba itu, gusti"
Puteri Keswari diam beberapa jenak. Kemudian berkata "Ki sanak, engkau berhutang kepadaku"
"Hutang" Nararya terkejut tetapi tiba2 ia teringat akan janjinya itu "tentang janji itu, gusti ?"
"Bukan" sahut Dyah Nrang Keswari. Nararya mernbeliak mata "Lalu hutang apakah yang gus
maksudkan ?" "Aku telah memberitahukan namaku tetapi engkau belum. Apakah itu bukan hutang ?"
Nararya terpaksa tertawa walaupun harus ditekan nadanya "Jika gus puteri menitahkan
demikian .." "Aku dak meminta atau menitahkan" tukas puteri "melainkan mengingatkan engkau akan suatu
kesusilaan bahwa kepada orang yang telah memberitahukan namanya harus kita balas dengan
memberitahukan nama kita juga"
Diam2 Nararya mempunyai kesan bahwa dara puteri dari akuwu Jayakatwang itu selain
cantik juga cerdas dan lincah bicara "Hamba bernama Nararya, gusti. Mungkin tadi hambapun
telah memperkenalkan nama hamba. Paduka lupa barangkali"
Dyah Nrang Keswari gelengkan kepala "Tidak, aku tidak lupa hanya kurang jelas."
Nararya tersipu-sipu. "Ki Nararya" ba2 puteri Keswari berkata pala "hari sudah malam, engkau tentu belum makan.
Mari ketempat kediamanku dikeputren. Akan kutitahkan menyediakan hidangan"
Nararya terkejut sekali la tak pernah menduga akan menerima perintah sedemikian. Ingin juga ia
menikma hidangan keraton yang tentu lezat rasanya. A-palagi ia memang lapar. Tetapi ba2 ia
teringat bahwa seorang ksatrya harus dapat menahan lapar "Terima kasih, gus . Hamba mohon
maaf, bukan karena bermaksud menolak kebaikan paduka, tetapi hamba sudah makan"
"Jangan engkau menolak kehendakku ini, ki Nararya" kata Dyah Nrang Keswari.
"Tetapi hamba takut kepada pangeran Ardaraja dan sang prabu, gusti"
Dyah Nrang Keswari kerutkan sepasang alisnya yang indah lalu berkata dengan nada sarat "Ki
Nararya, aku memerintahkan engkau ke keputren. Ini perintah, bukan tawaran"
"Tetapi gusti ..."
"Murka kakangmas dan rama prabu, aku yang menyelesaikan" kata puteri itu lalu ayunkan
langkah berjalan mendahului.
Nararya bimbang Ragu. Apabila ia menolak, puteri Kiswari tentu murka. Namun apabila ia
menurut, banyak bahaya yang harui dihadapi. Tentu suatu larangan yang terancam pidana berat
apabila seorang pria masuk ke keputren keraton. Namun ia mendengar jelas bahwa puteri itu akan
menanggung semua kemurkaan pangeran Ardaraja dan prabu Jayakatwang. Terpaksa ia beranjak
dari tempat duduk dan mengikuti langkah putri Keswari.
Walaupun dalam lingkungan keputren, tetapi putri Keswari juga berdiam disebuah gedung
sendiri. Sudah tentu ruang kediaman sang puteri itu lebih indah dan semarak daripada gedung
kediaman pangeran Ardaraja. Ruang muka merupakan sebuah pendapa tempat peranginan.
Disitulah Nararya dipersilahkan duduk.
Nararya geleng2 kepala dan menghela napas dalam ha . Ia heran mengapa tak putus-putusnya
pengalaman aneh selalu merundung dirinya. Dan pengalaman2 itu tak hanya harus menghadapi
lawan2 yang digdaya dan perkasa, pun juga harus menghadapi wanita2 can k. Adakah hidup
seorang ksatrya itu memang harus demikian" Atau adakah hal itu disebabkan karena ia memiliki
wajah yang tampan" Ah, jika memang benar begitu, dakkah ia harus merasa bahwa wajah tampan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kurang membahagiakan" Bahagia dalam ar kata ketenteraman dan ketenangan ha sehingga
dapat melaksanakan se ap tujuan yang dicita-citakan. "Bahagia dalam segi2 petualangan sebagai
seorang ksatrya muda,memang dapat menimbulkan rasa iri pada para muda yang kurang
beruntung tak memiliki wajah tampan. Tetapi dakkah segala petualangan itu mengandung suatu
bahaya ?" Nararya tersentak dari lamunan ke ka dua orang dayang ba dengan membawa penampan
berisi hidangan yang mengejutkan ha nya. Ia tak tahu apa nama hidangan yang jangankan pernah
memakan, melihatpun belum jua. Sementara dayang yang seorang menghaturkan minuman tuak
brem yang sedap dan harum "Ki bagus, gusti puteri sedang siram dan ganti busana. Ki bagus supaya
mendahar hidangan ini"
Nararya lagi2 bingung. Jika ia memakan hidangan itu, mungkin akan menimbulkan kesan kurang
tata tak tahu susila. Paling dak akan dianggap orang yang rakus makan. Namun jika tak memakan,
iapun kua r puteri akan marah lagi. Bukankah puteri sudah menitahkan kedua dayang supaya
mempersilahkan makan "
Akhirnya ia mengambil jalan tengah. Ia mulai makan tetapi pelahan-lahan agar pada saat
puteri hadir, ia masih belum selesai sehingga masih sempat untuk mengucapkan kata2 terima
kasih dan menghaturkan tawaran. Demikian mulailah ia memakannya. Ketika mencicipi
hidangan yang mirip dengan rebung tetapi halus dan lunak sekali, ia merasa lezat sekali
"Benarkah rebung hidangan ini?" pikirnya seraya mengamati sampai beberapa saat. Namun
tetap ia tak tahu. Kemudian iapun menuangkan guci berisi tuak brem. Ah, nikmat dan harum
sekali rasanya. Semangatnya terasa segar, nafsu makanpun bangkit.
Sesaat perha annya tertumpah pada hidangan dan minuman sesuai dengan seleranya itu,
sekonyong-konyong ia mendengar derap langkah orang bergegas ba. Ke ka ia berpaling "Hai,
berani benar engkau menyelundup kedalam keputren! Siapa engkau, pemuda liar!" seru orang itu.
Nararya terkejut sekali sehingga tuak yang berada dalam mulutnya itu tertumpah keluar. Yang
muncul dan yang mendamprat itu seorang pemuda gagah mengenakan busana indah. Belum
sempat Nararya memberi keterangan, pemuda yang gagah itu loncat menerjang, menghantam
dadanya. Nararya terkejut sekali. Tak sempat ia menangkis ataupun menghindar. Dalam keadaan terdesak
ia hanya mampu mengisar tubuh, memberikan bahu sebagai perisai daripada dadanya. Duk
pukulan pemuda gagah itu tepat menghantam pada bahu Nararya. Kemarahan pemuda itu
ditumpahkan dalam pukulannya yang amat keras sehingga Nararya terhuyung-huyung ke belakang,
membentur tiang. Pemuda itu masih belum puas. Rupanya ia ingin menghancurkan kepala Nararya. Serentak ia
mencabut bindi dan loncat menghantam kepala Nararya, brak ... Walaupun masih dicengkam
rasa kejut dan sakit, namun masih sadar juga pikiran Nararya apa yang mengancam dirinya
saat itu. Cepat ia menyelinap ke samping.
"Kakangmas Natpada!" tiba2 terdengar lengking suara puteri Keswari berteriak kejut.
Pemuda gagah itu terkejut juga dan berpaling memandang puteri Keswari "Yayi Keswari tunggu
kubunuh dulu keparat itu!"
Pemuda yang disebut Natpada itu terus hendak menyerang Nararya lagi tetapi saat itu, puteri
Keswari memekik marah "Kakangmas Natpada, berhenti!"
Kali ini seper tersambar halilintar kejut pemuda bernama Natpada ke ka mendengar lengking
teriak puteri Keswari yang murka. Ia hen kan gerakannya dan berpaling "Bukankah keparat itu
hendak mengganggu, yayi ?"
"Tidak!" teriak puteri masih bernada murka "dia bukan bermaksud jahat. Aku yang
mengundangnya kemari"
"Engkau yayi?" Natpada terbelalak "mengapa?"
"Aku hendak menjamunya" seru puteri.
Natpada makin tercengang kemudian pandang matanya mencurah pada hidangan tadi "Engkau
memberinya hidangan palapa yang semulia itu kepadanya, yayi?"
Puteri Keswari memberi jawab dengan pandang mata.
"Siapa dia, yayi?" seru Natpada.
"Engkau tak perlu tahu. Pokok, dia adalah tetamu yang diundang kakangmas Ardaraja"
Natpada terkejut tetapi cepat ia bertanya pula
"Apabila tetamu dari kakangmas pangeran, mengapa berada di keputren sini?"
"Kakangmas Natpada, siapakah yang melarang aku mengundang tetamu ?" balas puteri Keswari.
"Tetapi yayi" bantah Natpada "aku telah ditugaskan paman prabu untuk mengepalai pasukan
bhayangkara penjaga keraton. Keputren termasuk bagian keraton yang menjadi tanggung jawabku.
Bila terjadi sesuatu, paman prabu tentu akan menghukum aku"
"Tetapi aku tak merasa terganggu dan nyatanya tak kurang suatu apa. Mengapa engkau
menyibukkan dirimu sendiri?"
Natpada yang ternyata menjabat sebagai pasukan Kalanabhaya atau bhayangkara keraton,
terkesiap mendengar jawab puteri yang bernada menusuk telinga itu
"Yayi, keputren, merupakan bagian keraton Daha yang paling gawat dan terlarang. Tanpa idin,
ada sembarang orang dapat masuk. Bagaimana apabila paman prabu sampai mendengar
peristiwa ini ?" Puteri Keswari tak mundur atas gertakan halus dari kepala Kalanabhaya itu "Rama prabu belum
mendengar, silahkan kakangmas menghadap dan menghaturkan laporan tentang peristiwa ini"
"Tetapi engkau, yayi ?"
"Aku dapat bertanggung jawab atas diriku dan atas peristiwa ini dihadapan rama prabu"
"Ah ...." Natpada mengeluh. Belum sempat ia bicara, ba- ba muncul lurah Suramenggala.
Melihat puteri Keswari dan Natpada, tergopoh memberi hormat.
"Mengapa engkau kemari, Suramenggala?" tegur Natpada.
"Hamba diutus pangeran untuk mencari anak muda itu, raden" sahut Suramenggala.
"O, apakah dia memang dipanggil kakangmas pangeran?"
Suramenggala mengiakan. "Dia memang disini, diundang oleh yayi Keswari dan dijamu dengan hidangan is mewa. Palapa,
kegemaran kakangmas pangeran itu, dihidangkan juga kepadanya"
"O" Suramenggala hanya mendesuh karena ke ka pandang matanya beralih kearah puteri,
tampak puteri itu masih marah "raden, mohon diperkenankan hamba untuk menghadapkan
pemuda itu kepada gusti pangeran"
"Bawalah" seru Natpada.
"Ki bagus, mari, gus pangeran sedang menunggumu" seru Suramenggala. Dan Nararyapun
segera menghampiri. "Berhen " ba2 puteri Keswari berteriak sehingga Suramenggala dan Nararya terhen "hai,
Suramenggala, berani benar engkau menghina aku!"
Pucat seke ka wajah Suramenggala ke ka mendengar dampratan itu "Hamba dak merasa
menghina paduka, gusti" sahutnya gopoh.
"Hm" desuh puteri "tahukah engkau siapa yang memiliki ruang keputren ini?"
"Paduka, puteri"
"Mengapa engkau berani membawa seorang yang kuundang kemari tanpa meminta
persetujuanku ?" Suramenggala yang bertubuh nggi besar gagah perkasa, gemetar saat itu "Hamba .... hamba
telah memohon perkenan dari raden Natpada"
"Itu hak kakangmas Natpada untuk mengidinkan tetapi akupun berhak untuk melarang. Ruang
ini adalah milik kekuasaanku"
Natpada dan Suramenggala tertegun. Demikian pula Nararya. Tak pernah diduganya bahwa
sampai sejauh itu puteri Dyah Nrang Keswari ber ndak untuk melindungi dirinya. Diam2 ia girang
namun kegirangan itupun cepat mengumandangkan guruh yang menggetarkan ha nya. Tidakkah
mengandung suatu maksud, puteri itu hendak melindungi dirinya " Sebagai seorang anakmuda
yang masih berdarah muda, berperasaan remaja dan berha gelora ia segera membayangkan
sesuatu dalam alam pikiran kaum muda remaja.
Bertanyalah Nararya dalam ha nya. Mengapa ia berani melindungi Mayang Ambari, puteri lurah
Jenangan itu" Bukankah ia merasakan suatu ke dak-adilan apabila dara secan k itu harus
dipersun ng secara paksa oleh tumenggung ataupun pa h Matahun yang sudah tua" Bukankah
perasaan tak adil itu mbul karena seorang dara yang masih remaja dan can k, seharusnya
berpasangan dengan seorang pria muda yang cakap, bukan dengan seorang tua yang layaknya
menjadi ayah dari dara itu" Kemudian ia menuntut dan menuduh kepada dirinya sendiri bukankah
sebenarnya dalam hati kecilnya ia suka juga akan Mayang Ambari itu"
"Ah, aku tak dapat membohongi perasaan hatiku sendiri" akhirnya ia terpaksa harus
mengaku. Jika demikian, tidakkah serupa itu keadaan puteri Keswari terhadap dirinya saat itu"
"Ah" ia menghela napas dalam hati. Betapa bahagia dan senang hatinya apabila mendapat
jodoh seorang puteri raja yang cantik dan cerdas seperti Dyah Nrang Keswari itu. Bukankah ia
akan bergelimangan dalam kenikmatan hidup. Ia akan dipuja dan dihormati oleh seluruh kawula
Daha. Ha yang mengulum senyum itu segera tergetar oleh percikan sinar cahaya yang membias
pikirannya. Bukankah tujuannya ke Daha itu hendak membantu orang Lodoyo mencari Gong Prada
yang hilang" Bukankah masuknya ke pura Daha pada pagi tadi karena hendak mencari jejak Lembu
Peteng yang menghilang itu" Bukankah ia masih mempunyai suatu tujuan, bertapa di makam
Kagenengan, yang belum terlaksana" Dan bagaikan halilintar meletus, terbukalah seke ka gerbang
ha nya bahwa dia adalah keturunan rajakula kerajaan Singasari. Dia harus mengabdi kepada
kerajaan Singasari. Mengapa semudah itu terpincut hatinya kepada seorang puteri cantik"
"Duh, guru yang hamba horma . Maa an kelemahan ha hamba" diam2 ia mengucap doa
penyesalan tertuju kepada resi Sinamaya dipertapaan gunung Kawi.
Selekas terbuka pikirannya, selekas itu pula ia membuka mulut "Gusti puteri, ki Sura hanya
melaksanakan titah gusti pangeran Ardaraja. Yang salah adalah hamba, mengapa dititahkan
menunggu di kediaman pangeran tetapi ternyata berada disini. Hamba mohon gusti berkenan
mengidinkan hamba untuk menghadap gusti pangeran agar pangeran tak murka kepada
hamba" Cerah pula wajah dan nada kata2 yang dilantangkan Dyah Nrang Keswari kepada Nararya
"Baiklah. Apabila kakangmas Ardaraja marah, katakanlah aku yang mengundangmu kemari. Jika
kakangmas tak percaya, aku akan datang kepadanya"
Setelah memberi hormat, Nararya dan Suramenggala. segera melangkah keluar. Dalam
perjalanan menuju ke tempat kediaman pangeran Ardaraja, Suramenggala bersungut-sungut
"Adalah gara-garamu, maka puteri sampai mendamprat aku"
"Maaf, ki lurah. Sesungguhnya akupun tak mau tetapi, puteri telah memaksa aku makan"
"Hm, enak juga engkau makan hidangan palapa itu" kata Suramenggala setengah iri "Engkau
tahu hidangan itu hanya didahar oleh baginda, pangeran dan para priagung. Entah bagaimana
nanti pangeran Ardaraja apabila mendengar engkau makan hidangan yang menjadi
kegemarannya itu" "Mudah-mudahan pangeran dapat memaklumi keadaanku" kata Nararya "namun apabila
pangeran menjatuhkan pidana, akupun menerima saja karena memang aku bersalah"
"Apakah raden Natpada tadi tak marah kepadamu?" tanya Suramenggala pula.
"Marah sekali bahkan telah memukulku"
"O, tentu saja" kata Suramenggala dengan gembira "jika puteri tak cepat datang, mungkin engkau
tentu dibunuhnya" "Ya, benar" kata Nararya "siapakah raden itu, ki lurah ?"
"Dia bernama raden Kuda Natpada, seorang kemanakan" dari gus ratu, permaisuri sang prabu
Jayakatwang. Dia diangkat sebagai kepala Kalanabhaya yang menjaga keamanan keraton oleh sang
prabu" "O" desuh Nararya "bukankah ki Sura ini juga seorang lurah bhayangkara keraton?"
Suramenggala mengangguk "Pasukan bhayangkara keraton Daha dibagi dua, luar dan dalam.
Raden Kuda Natpada mengepalai pasukan bhayangkara dalam, sedang aku bhayangkara luar.
Tetapi kemudian aku khusus ditugaskan untuk menjadi pengawal pendamping pangeran Ardaraja"
"O" desus Nararya.
"Engkau tahu apa sebab raden Natpada sangat marah kepadamu?" tanya Suramenggala pula.
"Ya" sahut Nararya "aku memang bersalah karena berani masuk ke keputren"
"Itu sebab pertama" kata Suramenggala "masih kurang pen ng, apalagi engkau diundang oleh
gusti puteri" "Lalu apa ?" Nararya kerutkan dahi.
"Sebab kedua dan ini yang pokok" kata Suramenggala "bahwa raden Kuda Natpada itu memang
menaruh ha kepada puteri Keswari. Rupanya gus ratupun merestui hal itu. Maka dapat
dimaklumi, apabila raden Natpada hendak membunuhmu"
Nararya berseru kejut "tetapi akupun tak berani mengandung se k perasaan apa2, terhadap
gusti puteri" "Mana raden Natpada tahu ha mu" seru Suramenggala "melihat sikap puteri yang jelas memberi
ha kepadamu, tentu saja raden Natpada makin marah dan menumpahkan dendamnya
kepadamu" Nararya tertegun. Sesaat kemudian ia mengangguk "Ya, aku memang bersalah. Apabila ada
kesempatan bertemu, aku akan memberi penjelasan dan memohon maaf kepada raden Natpada"
Dalam pada bicara itu balah mereka di tempat kediaman pangeran Ardaraja. Pangeran
menyambutnya dengan gembira, dan mengajaknya masuk bercakap-cakap.
"Sura, mengapa lama benar engkau menjemput Nararya ini" sebelum melangkah masuk,
pangeran menegur Suramenggala.
Suramenggala segera melaporkan apa yang telah terjadi di keputren "Hampir saja ki bagus ini
dibunuh raden Natpada" katanya mengakhiri laporan.
"Hm" desuh Ardaraja "engkau jaga diserambi. Aku akan bercakap-cakap dengan Nararya" katanya
seraya melangkah masuk. "Bagaimana asal mula puteri Keswari memanggilmu ke keputren" tanya Ardaraja setelah mereka
berdua dalam sebuah ruang.
Nararya segera menuturkan apa yang dialaminya selama menunggu pangeran itu tadi "Hm"
Ardaraja geleng2 kepala "puteri itu memang masih kekanak-kanakan. Apabila tak kuberikan apa
yang telah kujanjikan kepadanya, dia tentu marah atau menangis seperti anak kecil"
Diam2 Nararya bersyukur bahwa pangeran itu tak mau memperpanjang peris wa di keputren
"Nararya" katanya beralih nada dan pembicaraan "bagaimana dengan dirimu" Apakah urusanmu
sudah selesai?" "Belum raden" sahut Nararya lalu merangkai cerita bahwa orang yang hendak dicarinya itu
sudah! tak berada di Wengker. Menurut keterangan tetangganya, dia sudah pindah ke Singasari,
mungkin ke lain daerah. Mendengar itu berserilah wajah Ardaraja "Dengan begitu engkau tentu harus mencarinya ke
Singasari?" "Hamba terpaksa melaksanakan perintah ayah hamba, raden" kata Nararya.
"Dan engkau belum memikirkan permintaanku kepadamu supaya bekerja pada Daha?"
Nararya meminta maaf karena soal itu ia harus meminta idin dari orangtuanya lebih dahulu.
Sesungguhnya berat rasa hatinya meninggalkan orangtuanya yang sudah tua.
"Baiklah, Nararya" kata Ardaraja "aku senang mengetahui engkau seorang putera yang baik,
berbakti kepada orangtua. Nararya, aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan sungguh2"
"Baik, raden" "Andaikata engkau dapat melakukan, maukah engkau mengabdikan tenagamu kepada Daha?"
Terkejut ha Nararya mendapat pertanyaan semacam itu. Jika ia mengatakan dak, tentulah
urusan akan berkelarutan, mungkin banyak kesulitan yang harus dihadapinya selama berada di
Daha itu. Namun jika mengatakan bersedia, tidakkah hal itu bertentangan dengan tujuannya"
"Telah hamba haturkan tadi, raden. Bahwa kesemuanya itu tergantung dari keputusan
orangtua hamba" "Ya. Itu apabila kuminta engkau mengabdi kepada kerajaan Daha, memang engkau harus
menunggu persetujuan orangtuamu. Tetapi yang akan kuminta saat ini, hanyalah sekedar bantuan
tenagamu. Suatu bantuan yang tentu mampu engkau lakukan asal engkau mau, Nararya"
Nararya tertegun pula. Ia bingung untuk menjawab karena tak dapat menerka apa yang
dimaksud putera akuwu Daha itu "Gus pangeran, hamba tak menger apakah yang hendak
paduka titahkan" "Nararya" kata pangeran Ardaraja "aku sangat menghargai akan kebak anmu terhadap orangtua
dan rasa tanggung jawabmu yang besar terhadap suatu tugas yang engkau pikul. Oleh karena itu
aku pun tak-kan memaksa engkau harus saat ini juga memenuhi permintaanku supaya engkau
bekerja di sini" Diam2 Nararya menghela napas legah dalam ha . Namun kemudian mbul pertanyaan, apakah
yang dikehendaki pangeran itu dari dirinya"
"Oleh karena ia hendak menuju ke Singasari" kata Ardaraja pula "maka akupun hendak meminta
bantuanmu untuk melakukan sesuatu yang kuanggap takkan menyulitkan dirimu dan pas dapat
engkau lakukan" "Jika demikian, raden," kata Nararya gopoh "silahkan paduka segera memberi tah kepada
hamba" Ardaraja mengangguk "Baiklah" ia segera mengambil sepucuk sampul dari dalam baju "aku
hendak minta bantuanmu untuk menyampaikan surat ini kepada seseorang di keraton Singasari"
"O, jika demikian mohon raden limpahkan surat itu agar hamba segera membawanya ke
Singasari" seru Nararya gopoh.
Ardaraja tersenyum "Jangan tergesa-gesa, Nararya. Tahukah engkau kepada siapa surat itu harus
diterimakan?" Nararya terkesiap "Mohon raden memberitahu kepada siapa hamba harus memberikannya"
katanya a-gak kemalu-maluan.
"Berikanlah surat ini kepada seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari yang bernama
Kalingga" kata Ardaraja.
"Apakah yang harus hamba katakan kepadanya raden ?" tanya Nararya.
"Tak perlu mengatakan apa2" kata Ardaraja "dia akan tahu sendiri"
Selesai menyerahkan surat, Ardaraja minta supaya Nararya bermalam di Daha tetapi
Nararya mengatakan bahwa ia masih ditunggu seorang kawan. Malam itu juga ia dan kawannya
akan melanjutkan perjalanan ke Singasari. Diam2 Ardaraja gembira karena surat itu akan
segera tiba di tangan Kalingga. Ia memang menginginkan demikian karena isinya penting sekali.
"Baiklah" kata pangeran Daha itu "tetapi kuminta janganlah engkau salah menyerahkan surat
itu kepada orang yang tak berhak menerimanya. Dan jangan mengatakan apa2 tentang surat itu
kepada siapa-pun" Nararya berjanji akan melaksanakan tah pangeran itu. Kemudian iapun mohon diri. Ia diantar
bekel Suramenggala keluar dari keraton.
Tiba di pintu keraton dalam, sekonyong-konyong terdengar langkah orang berlari dari arah
belakang "Ki bagus, berhentilah dulu"
Nararya dan Suramenggala terkejut. Serentak mereka berhen dan berpaling. Seorang dayang
remaja berlari-lari menghampiri. Kedua tangannya menjinjing sebuah penampan berisi sebuah
bokor diatasnya. Selekas ba di hadapan Nararya dayang itu segera memberi hormat "Ki bagus,
maa an apabila mengejutkan engkau. Hamba diutus gus puteri untuk menghaturkan isi bokor


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kencana ini kepada ki bagus"
Bukan kepalang kejut Nararya mendengar keterangan dayang remaja itu. Demikian pula
Suramenggala. Namun bekel itu tak berani berbuat apa2 karena takut akan sang puteri. Sejenak
Nararya memaling pandang kearah Suramenggaladan bekel itu hanya diam saja
"Maksudmu dari gusti puteri" Gusti puteri siapa?" Nararya menegas.
"Gusti puteri Dyah kusuma ayu Nrang Keswari, ki bagus" sahut dayang pewara itu.
"Dan supaya diberikan kepadaku?"
"Ya" "Tidak keliru?"
"Tidak"' Sahut dayang itu dengan mantap "gus puteri menitahkan hamba supaya menunggu ki
bagus keluar dari keraton kediaman gus pangeran, baru hamba di tahkan menghaturkan bokor
ini" Nararya geleng2 dalam ha . Adakah memang garis hidupnya se ap kali harus terlibat dalam
hubungan dengan wanita" Ia tak berani menolak tetapi takut untuk cepat2 menerima "Ki lurah
Suramenggala, bagaimana pendapat ki lurah, adakah pemberian gus puteri ini harus kuterima
atau kutolak?" Suramenggala menggeram dalam ha . Mengapa Nararya hendak melibatkan dirinya dalam,
urusan itu. Jika ia menganjurkan supaya menolak, dayang itu tentu akan menghaturkan laporan
dan puteri Keswari tentu akan murka kepadanya. Namun jika ia menganjurkan supaya Nararya
menerima, dakkah ia juga akan terlumur kesalahan" "Setan engkau" gumamnya dalam ha
kepada Nararya. Namun ia mendapat akal "Kalau gus puteri yang memberi, terimalah" katanya.
Dengan anjuran itu, ia takkan mendapat kemurkaan puteri Keswari, pun nan ia akan
memberitahu juga kepada pangeran Ardaraja. Dengan demikian bebaslah ia dari ancaman, dan
kesalahan. Nararya segera membuka bokor itu. Ternyata isinya sehelai kain sutera dewangga, bersulam
sepasang kijang kencana diatas dasar warna merah. Indah sekali kain sutera dewangga itu, seindah
pula sepasang kijang yang tampak sedang asyik bercumbu-cumbuan itu.
"Ah" Nararya menghela napas "mengapa gus puteri berkenan menghadiahkan sutera dewangga
yang seindah ini" Apakah titah gusti puteri?"
"Gus puteri dyah kusurna ayu berpesan agar sutera dewangga bersulam sepasang kijang,
buatan dari gusti puteri sendiri itu, ki bagus peruntukkan sebagai sabuk"
"Ah" Nararya menghela napas pula.
"Gusti puteri mengatakan bahwa sutera dewangga itu mempunyai khasiat penolak segala bala"
Nararya menghela napas. Suramenggala mendesuh dalam ha . Nararya segera melilitkan sabuk
sutera dewangga itu ke pinggangnya kemudian berkata kepada dayang "Sampaikan kepada gus
puteri, tak dapat Nararya melukiskan haru dan terima kasih dengan-kata2. Budi kebaikan gus
puteri tak kan kulupakan selama-lamanya"
Setelah dayang itu pergi maka Suramenggalapun segera mengantarkan Nararya keluar.
Namun di tempat peristiwa Nararya menerima anugerah sabuk sutera dewangga dari puteri
Keswari itu, masih tertinggal sesosok tubuh yang bersembunyi di balik pohon nagasari. Dengan
mata berkilat-kilat memancarkan api dendam kemarahan dan kebencian, dia menyaksikan
semua peristiwa itu. "Hm, pemuda itu harus dilenyapkan agar amanlah perjalanan cita-cita hidupku" desisnya.
Mulutnya berbuih. Buih dari api dendam kebencian yang menyala-nyala.
(Oo^dwkz~ismoyo^oO) Jilid 5 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I DENDAM merupakan bara dan Amarah adalah apinya. Api dapat menyala keras dan panas tetapi
kemudian redup dan padam. Demikian pula dengan Amarah. Meletus, menumpah dan meranggas
tetapi kemudian reda, mengendap dan lenyap.
Tetapi apabila api itu dak sekedar menyala melainkan membakar kayu atau suatu benda, maka
benda itupun akan membara. Mengandung bara api yang a-kan menghangus dan menghancurkan
benda itu. Bara merupakan kelestarian dari api yang telah bersenyawa dalam suatu benda. Lebih
berbahaya. Demikian yang disebut Dendam. Karena Dendam merupakan bara dari api Amarah. Dendam yang
meletus dari api Amarah itu, akan meluap dan mengalir ke lembah Kesumat. Dendam kesumat,
dendam permusuhan atau dendam kebencian.
Dimana permusuhan dan kebencian berkuasa, manusia akan kehilangan diri-manusianya, akan
menjadi hamba ibiis laknat. Sanggup melakukan apa saja yang tak mungkin, tak dapat dipercaya
dan tak layak dilakukan oleh insan manusia.
Dendam akan memanusiakan manusia sebagai bukan manusia.
Orang yang mengintai dari celah2 ran ng pohon nagasari itu telah menderita kebakaran ha . Ia
menyaksikan apa yang telah terjadi pada diri Nararya. Ia melihat betapa Nararya telah menerima,
hadiah ikat pinggang kain dewangga dari puteri Dyah Ntang Keswari. la memperha kan betapa
berseri wajah Nararya menerima hadiah itu. Dan kesemuanya itu hanya menambah cepat
kehangusan ha nya yang sudah terbakar api kemarahan. Kehangusan itu membuahkan arang
hitam. Dendam kesumat yang menghitamkan kesadaran pikirannya. Hitam kelam adalah kerajaan
iblis laknat. Iapun telah menghitamkan dirinya, kerajaan hati dan singgasana akal budinya.
Ibarat orang menyalakan api, sebelum sempat di-bakarkan pada lain benda, lebih dulu orang itu
sudah harus menderita panas nyala api itu. Demikian halnya dengan dendam. Sebelum dapat
melampiaskan kepada orang yang didendamnya, dia sendiri sudah tersiksa oleh rasa dendam yang
panas dan menyakitkan. Mendendam lebih tersiksa dari yang didendam.
Sebagaimana yang dialami oleh orang yang bersembunyi dibalik pohon nagasari itu. Dia seper
dibakar, darah mendidih, urat2 tegang. Tidak demikian dengan Nararya. Dengan langkah gontai, ia
melangkah keluar dari keraton Daha.
"Bagaimana raden?" ba2 sesosok tubuh menguak keluar dari sebuah gerumbul pohon ditepi
jalan. "Engkau,Pamot" seru Nararya "mari kita pulang"
Atas pertanyaan Pamot, Nararya mengatakan bahwa selama diterima pangeran Ardaraja dalam
keraton ia tak berhasil mendapat keterangan tentang tetamu yang menghadap pangeran ku.
Demikian tak sepatahpun pangeran Ardaraja mengusik tentang gong Prada.
"Jika demikian tentulah gong pusaka itu masih berada di Daha, raden"
"Kemungkinan begitu dan mudah-mudahan saja"
"Tetapi bagaimana pendapat raden?"
"Sebelum bertemu dan mendengar hasil penyelidikan ki bekel Saloka, sukar untuk merangkai
suatu kesimpulan" jawab Nararya.
Tak berapa lama merekapun tiba di gua Selamangleng. Bekel Saloka sudah berada disitu.
"Langkah kanan, ki bekel, tetapi arahnya menuju ke hutan" kata Nararya atas pertanyaan bekel
Saloka. "Apa maksud, raden?"
"Langkah kanan, langkah yang tepat. Aman dan rata. Pangeran Ardaraja telah menerima aku
dengan baik. Tetapi arahnya hanya menuju ke hutan. Karena walaupun langkah sudah aman dan
tepat tetapi hanya hutan yang kucapai. Hutan yang berkabut pohon2 dan gerumbui semak lebat
sehingga sukar untuk mencari yang kukehendaki. Jelasnya, aku tak berhasil mendapat keterangan
apa2 tentang gong pusaka maupun tetamu dari Singasari itu, ki bekel"
"O" seru bekel Saloka.
"Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan ki bekel ?" Nararya balas bertanya.
Bekel Saloka menceritakan pengalamannya sehari itu.
"Kesal sekali ha ku saat itu karena sampai surya tenggelam belum juga kulihat pahas Sarawita
keluar dari keraton" bekel Saloka memulai ceritanya" saat itu kuputuskan pulang saja karena
kurasa kurang leluasa apabila harus mengunjungi rumah pahas Sarawita pada waktu malam.
Mudah menimbulkan kecurigaan"
"Ke ka ba di sebuah lorong yang menuju ke pintu gapura selatan, ba2 kulihat dua orang lelaki
berpakaian prajurit sedang berjalan menuju ke pintu gapura. Kuduga mereka tentulah prajurit yang
akan menggan kan penjagaan pintu gapura. Karena ada lain jalan lagi, akhirnya aku nekad.
Kuserang kedua prajurit itu. Mereka berhasil kurubuhkan. Kupaksa mereka untuk memberi
keterangan tentang hasil sayembara di balai prajurit sore tadi. Mereka menerangkan bahwa yang
paling menonjol p!an mendapat hadiah adalah benda yang dibawa bekel Sindung. Sebuah gong
pusaka. Kata kedua prajurit itu. Setelah kuikat mereka pada sebatang pohon, akupun segera
bergegas pulang kemari. Nah, begitulah hasil yang kuperoleh raden" bekel Saloka mengakhiri
penuturannya. "O, jika begitu, gong Prada itu masih berada di Daha" kata Nararya.
"Adakah raden juga memiliki kesimpulan begitu" tanya bekel Saloka.
"Aku masih asing akan suasana keraton Daha, tak kenal pula dengan mentri dan narapraja disini,
maka sukarlah untuk menarik kesimpulan yang pasti"
"Apakah hubungan hal itu dengan gong pusaka, raden?"
"Kurasa ada, ki bekel" jawab Nararya" karena untuk menilai sesuatu haruslah kita memiliki
batuan2 keterangan yang luas. Jika dipandang sepintas pandang dari apa yang kualami dalam
percakapan dengan pangeran Ardaraja dan keterangan dari kedua prajurit yang kakang paksa itu,
kemungkinan besar memang gong pusaka itu masih tetap berada di Daha"
"Masih suatu kemungkinan, raden?"
"Ya" jawab Nararya "dengan landasan dari pengetahuan kita tentang keadaan pemerintah Daha
sampai saat ini, kita harus membatasi diri kita untuk memas kan kebenaran dari se ap
kesimpulan. Kesimpulan itu lebih layak apabila masih kita selubungi dengan sifat kemungkinan"
Bekel Saloka terkesiap. Ia lebih cenderung untuk memas kan kesimpulannya bahwa gong pusaka
itu masih berada di Daha.
"Misalnya" sambung Nararya pula "diri lurah Sindung itu. Dia jelas seorang manusia yang licin,
penuh memiliki reka-reka muslihat yang licik. Peris wa dari keempat prajurit anakbuahnya yang
berakhir dengan saling bunuh membunuh itu, memberi gambaran jelas tentang sifat-sifat kelicikan
lurah itu. Oleh karena itu, hendaknya kita dapat membatasi diri antuk dak tergesa menarik suatu
kepastian tentang gong pusaka itu"
Bekel Saloka mengiakan dan lalu menanyakan tentang rencana selanjutnya.
"Ki bekel" kata Nararya "aku mendapat pan dari pangeran Ardaraja untuk menyerahkan surat
kepada seseorang di pura Singasari"
"Kepada siapa, raden?"
"Seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari yang bernama Kalingga"
"Aneh" bekel Saloka mendesah lalu merenung.
"Mengapa, ki bekel?"
"Aku teringat akan keterangan pahas Sarawita bahwa tetamu dari Singasari yang berkunjung
kepada pangeran Ardaraja itu bernama Kebo Muncar, seorang prajurit bhayangkara keraton
Singasari. Kukira surat itu tentu ditujukan kepadanya, dengan demikian dapatlah menemukan jalur
arah penyelidikan kita. Tetapi ternyata bukan Kebo Muncar melainkan Kalingga"
Tiba2 Nararya tertawa kecil "Disitulah kita harus membatasi diri lagi untuk dak lekas2 memberi
kepastian, ki bekel"
"Maksud raden?"
"Juga dalam soal orang itu, kitapun harus menaruh suatu keraguan. Karena seorang prajurit
bhayangkara Singasari mengadakan hubungan dengan pangeran dari Daha itu sudah mengandung
suatu rahasia, maka dalam soal nama mereka, tentulah tidak bersifat terus terartg"
"Maksud raden, prajurit bhayangkara itu memakai nama palsu?"
"Mungkin palsu tetapi mungkin sesungguhnya" sahut Nararya "aku hanya menilai bahwa sesuatu
yang tidak terang itu, tentu serba rahasia, serba tak sungguh"
Bekel Saloka terdiam. "Ki bekel" kata Nararya pula "gong pusaka masih belum dapat kita ketemukan. Oleh karena
mendapat pan dari pangeran Ardaraja, aku terpaksa harus ke Singasari, sekalian akupun dapat
mencari jejak kakang Lembu Peteng. Mudah-mudahan di Singasari aku memperoleh kesempatan
untuk menyelidiki hubungan antara prajurit bhayangkara itu dengan pangeran Ardaraja"
Bekel Saloka mengangguk. Ia hendak bicara tetapi Nararya sudah melanjutkan pula "Ki bekel
tentu masih berada di sini untuk melanjutkan penyelidikan gong pusaka i.tu, bukan ?"
"Ya" sahut bekel Saloka "selama gong pusaka itu masih belum kembali ke tangan, kami, aku
tentu, akan tetap berusaha untuk mendapatkannya"
"Ya, baik" kata Nararya "memang tugas kita untuk mendapatkan kembali gong pusaka itu belum
selesai. Masalah itu tak semudah yang kuduga. Karena sampai saat ini, jangankan tabu pas di
mana gong pusaka itu berada, bahkan apakah gong itu masih berada di Daha atau dak, kita pun
belum tahu pasti" "Ki bekel" kata Nararya pula "dalam melakukan penyelidikan dan merebut kembali gong pusaka
ini, kita harus ber ndak secara ba 2. Karena yang kita hadapi bukanlah gerombolan penjahat atau
fihak yang lemah, tetapi kita berhadapan dengan pasokan Daha, dengan beberapa nayaka dan
pejabat pemerintahan Daha, Bahkan kemungkinan dengan pangeran Ardaraja dan beberapa
senopa . Mereka tentu digdaya dan sak , tambahan pula memiliki kekuatan anakbuah yang besar
jumlahnya" Berhen sejenak, Nararya menyelimpatkan pandang untuk menyelidik kesan pada wajah bekel
Saloka. "Keteranganku ini jauh dari maksud hendak melemahkan semangat ki bekel" katanya pula
"bahkan justeru untuk memupuk kekuatan diri dengan rencana yang lebih teratur. Kurasa, usaha
untuk merebut kembali gong pusaka itu tentu akan memakan waktu panjang. Oleh karena itu, ki
bekel, heudaknya kita mempunyai rencana yang mantap, agar jangan sampai kita menderita
kegagalan, Jemu, putus asa, nekad, merupakan sumber2 kegagalan. Karena menghadapi
kesulitan; besar, kita putus asa. Karena harus berjuang terlalu lama tanpa suatu ketentuan, kita
merasa jemu. Dan karena didorong rasa geram, kita dapat melakukan perbuatan2 nekad
misalnya membunuh mereka yang kita anggap menyimpan gong pusaka itu ataupun menyerbu
fihak yang diduga tersangkut dalam pencurian pusaka itu. Akibatnya kita tentu menemui
kegagalan, ibarat anai2 menyerbu api"
Bekel Saloka tertegun mendengar uraian dari Nararya. Diam2 ia merasa bahwa rencana2
yang telah terkandung dalam hati, ternyata banyak yang salah karena bersifat terburu nafsu. Ia
anggap pandangan raden, itu memang benar. Ia harus mengadakan rencana menghadapi suatu
perjuangan jangka panjang.
"Baik, raden" akhirnya bekel Saloka menyambut "akan kuperha kan dan kulaksanakan pesan
raden itu. Akan kusadarkan para anakbuahku akan keadaan yang kita hadapi ini. Akan kupateri
semangat mereka dengan suatu tekad. Takkan kembali ke Lodoyo sebelum berhasil memboyong
gong pusaka itu" "Baik sekali, ki bekel" seru Nararya "Tekad adalah jiwa daripada se ap perjuangan. Tanpa tekad,
perjuangan itu bagai pancaran kilat yang secepat memancar, secepat itu pula padam. Tetapi tekad
tanpa pengarahan, juga berbahaya. Dapat menjurus pada kenekadan yang membabi buta. Dia akan
mati tenggelam ibarat harimau lapar yang nekad menyerbu ikan dalam sungai"
Bekel Saloka mengangguk. "Bagaimana rencana yang ki bekel hendak persiapkan, terserah kepada ki bekel untuk
mengaturnya. Oleh karena aku harus ke Singasari, maka besok aku harus segera berangkat. Aku
hanya ingin meni pkan kedua pengiringku itu, Noyo dan Doyo, agar untuk sementarawaktu biar
tinggal di Lodoyo" Bekel Saloka akan mengurus kedua pengiring Nararya, kemudian dia berkata juga "Tetapi raden,
baiklah raden membawa pengiring, untuk kawan bicara dan penunjuk jalan"
Oleh karena memang baru pertama kali itu turun gunung maka Nararya memang tak faham akan
tempat2 yang akan ditujunya. Maka ia mengajak Pamot sebagai kawan lagi. Pamot, anakbuah dari
Lembu Peteng, waktu kecil memang nggal di Singasari, kemudian dia masuk prajurit dan ikut
pangeran Kanuruhan pindah ke Glagah Arum.
Keduanya berkuda, kuda yang disediakan Lembu Peteng untuk Nararya dan ga orang anakbuah
gunung Kelud ke ka Lembu Peteng bersama Nararya menyusul bekel Saloka ke Daha. Kuda yang
dipakai Nararya berbulu pu h, tegar dan pesat larinya. Sedangkan kuda yang digunakan Pamot,
seekor kuda dawuk yang tegar juga. Sekalipun begitu, karena harus menempuh perjalanan yang
melintas hutan, menyebrang sungai, menjelajah kaki pegunungan, maka makan waktu beberapa
hari juga. Agar dak menarik perha an orang Daha maka Nararya dan Pamot mengambil jalan di luar pura.
Mereka tak mau masuk lagi kedalam pura Daha. Saat itu hari sudah rernbang petang, mereka harus
menuruni sebuah bukit untuk mencapai sebuah gerumbul yang tampak meriggunduk sepemandang
mata jauhnya di sebelah muka. Mereka duga gerumbul itu merupakan pohon2 yang menjadi wates-
desa. Hampir tiba diujung kaki bukit, mereka melintas sebuah hutan kecil
"Ah" Pamot mendesuh kejut ke ka melihat sesuatu "raden, sebatang pohon rubuh melintang
ditengah jalan" "Kita periksa" kata Nararya seraya turun dari kuda dan menghampiri batang pohon yang rebah
melintang di jalan "Aneh" gumamnya.
Tetapi saat itu Pamot sedang menghampiri pangkal pohon "Raden" serunya tegang "pangkal
pohon ini seperti ditebang orang"
"Benar" sahut Nararya "hari ini dan beberapa hari yang lalu tak pernah mbul angin besar.
Bagaimana pohon sebesar ini dapat tumbang merebah dijalan?"
"Hm, mungkin penebangnya sedang mengajak kawan untuk mengangkut pohon ini ke tepi jalan"
kata Pamot seraya membungkuk untuk memeriksa pohon itu"
"Mereka sudah datang" kata Nararya, Pamot terkejut. Ia melirik dan dilihatnya Nararya berada
tak jauh di sampingnya, juga sedang menghadap dan mengama batang pohon. Mengapa ba2
raden itu berkata demikian" Mengapa ia tak mendengar suara langkah kaki berderap-derap
menghampiri. Ia mengangkat muka memandang ke depan lalu berpaling ke belakang "Mana raden
" Mengapa aku tak melihaj seorangpun juga?"
"Tentu saja" sahut Nararya "karena mereka memang menyembunyikan diri dibalik pohon dan
digerumbul semak ditepi jalan"
Pamot terkejut dan cepat berpaling kesamping jalan. Tiba2 dari balik gerumbul pohon, muncul
beberapa sosok tubuh manusia "Engkau benar, anak muda, memang sudah lama kami menunggu
kedatanganmu" seru seorang lelaki berdada bidang, penuh ditumbuhi bulu rambut yang rimbun.
Kepala besar, wajah sebundar bulan purnama, dihias sepasang mata yang sebesar buah jengkol,
sederet gigi besar2 bagai pagar yang menopang jalur tanaman rambat yang lebat. Hanya kalau
tanaman itu berwarna hijau tetapi yang ditopang pagar gigi orang itu benda berwarna hitam.
Hitam karena benda itu tak lain adalah sepasang kumis tebal berujung runcing melengkung ke atas.
Sepintas pandang seperti tanduk kerbau.
Tiada habis kata-kata untuk melukiskan keadaan orang itu. Pada keseluruhannya dia memang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang lelaki gagah perkasa, seorang lelaki jantan. Dengan punggung yang agak membungkuk
karena gunduk daging keras yang membenjol pada bahunya, ia berjalan dengan gaya macan lapar.
Pamot terkejut dan berpaling memandang Nararya, Nararya melontar senyum kepadanya "Di
samping kanan jalan, pun juga ada"
Pamot makin terbeliak. Segera ia berpaling ke kanan "Ah" a mendesuh ke ka melihat dari
gerumbul pohon di tepi jalan sebelah kanan, muncul beberapa lelaki bertubuh tegap. Merekapun
menghampiri ke tempat Nararya dan Pamot
"Pamot" isik Nararya bersiaplah menghadapi sesuatu. Kemungkinan mereka hendak membunuh
kita" Pamot meraba pinggangnya. Pedngnya masih melekat pada sarung kulit yang terselip di pinggang
celananya Baik, raden"- bisiknya.
"Jika terjadi sesuatu, engkau harus meniru apa yang kulakukan" bisik Nararya pula.
"Ki bagus" seru lelaki gagah perkasa tadi. Rupanya dia pemimpin gerombolan lelaki2 berpakaian
serba hitam dan berikat kepala hitam "engkau dari mana dan hendak ke mana ?" '
"Aku dari Daha hendak ke Singasari, ki sanak" sahut Nararya tenang2.
"Menilik wajahmu, engkau tentu seorang, sinatrya putera orang berpangkat"
"Salah, ki sanak" Nararya gelengkan kepala "aku seorang rakyat biasa. Aku hendak mencari
seorang pamanku di Singasari"
"O, baik sekali laku budimu, ki bagus. Bukankah sudah lama engkau tak bertemu dengan
pamanmu itu ?" Walaupun tahu bahwa ada sesuatu yang terkandung dalam kata2 lelaki gagah perkasa itu,
namun Nararya sengaja menurutkan kemana angin bertiup. Ia mengiakan.
"Kami takkan menghalangi perjalanan ki bagus ke Singasari. Siiahkan ki bagus melanjutkan
perjalanan agar tidak kemalaman di sini" kata lelaki gagah perkasa itu.
Pamot terkejut. Serentak cerahlah wajahnya. Ia berpaling maksudnya hendak mengajak Nararya
segera naik keatas kuda dan melanjutkan perjalanan pula. Tetapi Nararya, walaupun wajahnya
tenang, tidaklah secerah yang diduganya.
"Terima kasih, ki sanak" seru Nararya "tetapi tidaklah ki sanak menghendaki sesuatu dari kami?"
Lelaki gagah perkasa itu tertawa "Ah, ternyata engkau seorang muda yang tahu peraturan. Tidak
seper pengiringmu itu" ia mengerling pandang ke arah Pamot. Dan Pamotpun segera mengerut
dahi "Hm, kata-katamu hanya ulasan bibir belaka" desuhnya dalam hati.
"Katakanlah apa maksudmu" seru Nararya.
"Kami terlanjur menuntut kehidupan begini. Dan aku harus menanggung hidup belasan
anakbuahku maka setiap orang yang lewat didaerah ini, harus memberi dana"
Dugaan Nararya bahwa gerombolan itu tentu bangsa penyamun, ternyata benar. Kini ia makin
jelas siapa yang dihadapinya itu "Ki sanak, kulihat ki sanak seorang yang gagah perkasa.
Demikian pula dengan anak-buah ki sanak itu"
"Terima kasih" jawab lelaki itu.
"Mengapa ki sanak tidak masuk saja menjadi prajurit di kerajaan tempat kelahiran ki sanak ...."
"Singasari" tukas orang itu.
"O" seru Nararya "apalagi kerajaan Singasari yang besar itu. Tentulah membutuhkan sekali
tenaga2 seperti ki sanak sekalian ini. Kerajaan Singasari pasti akan menyambut pengabdian ki sanak
sebagai prajurit pasukan kerajaan"
"Benar, ki bagus" seru orang itu "kami memang bekas prajurit Singasari"
"O" Nararya berseru kejut "bekas prajurit" Mengapa ki sanak sekalian keluar dari pasukan
kerajaan Singasari?"
"Baginda Kertanagara seorang raja yang lemah" seru lelaki itu.
Nararya makin terkejut "Mengapa ki sanak berkata demikian " Adakah baginda telah
menjatuhkan pidana kepada ki sanak?"
"Secara langsung, dak" lelaki gagah perkasa itu gelengkan kepala "tetapi secara tak langsung,
memang benar. Aku telah menjadi korban kelemahan baginda"
"O" desuh Nararya makin tertarik "bersediakah ki sanak menceritakan kepadaku tentang soal
itu?" "Kerajaan Singasari .dibawah perintah baginda Kertanagara memang makin kuat. Tetapi
semakin kuat, semakin besar pula jumlah mentri2 dan senopati yang hendak berebut pengaruh
kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mengambil hati baginda sehingga baginda
tenggelam dalam laut sanjung puji dan kenikmatan tuak2 beracun. Dalam perlombaan itu, mentri
Aragani rupanya paling berhasil. Patih Raganata yang tua dan setya, dilorot menjadi adhyaksa
di Tumapel dan Aragani diangkat sebagai pengganti. Demung Wirakreti dan mentri Wiraraja
pun dilorot dan dipindah. Patih Aragani bertindak tak kepalang tanggung. Dia mengadakan
pembersihan di kalangan nayaka dan prajurit yang menjadi pengikut bekas ketiga mentri itu"
"Jika demikian, ki sanak sekalian ini tentulah prajurit yang termasuk pengikut salah seorang dari
ke tiga mentri itu, bukan?" tanya Nararya.
"Tidak" seru lelaki perkasa itu "aku bukan prajurit pengikut ke ga mentri itu tetapi prajurit dari
patih Aragani" "O" Nararya berteriak terkejut "ki sanak prajurit2 bawahan patih Aragani"
"Heran ?" lelaki perkasa itu mencemoh "habis manis sepah dibuang. Demikian suasana dalam
kerajaan Singasari dewasa ini"
Tanpa disadari, perha an Nararya makin terhanyut dalam pembicaraan dengan lelaki bekas
prajurit pa h Aragani itu "Bagaimanakah asal mula maka ki sanak dan anakbuah ki sanak itu keluar
dari pasukan Singasari ?"
"Rupanya engkau ingin tahu akan tingkah laku patih Aragani dan nasibku dengan kawan2 ini ?"
"Apabila ki sanak tak keberatan"
"Baiklah" sahut orang itu "mudah-mudahan pengalamanku ini akan menjadi pengetahuan ki
bagus tentang suasana kerajaan Singasari"
Berhen sejenak, orang itu melanjutkan pula "Aku mendapat tugas untuk membersihkan
prajurit2 dan pengikut2 dari ke ga mentri itu. Semua itu telah kukerjakan dengan berhasil.
Kemudian aku diberi tugas terakhir. Tugas yang paling berat yang pernah kurasakan sepanjang
perjalanan hidupku sebagai seorang lurah prajurit. Engkau tahu ki bagus, tugas apa yang
dilimpahkan kepadaku itu ?"
Nararya tersenyum sambil gelengkan kepala.
"Cobalah engkau bayangkan dan terka, ki bagus?"
"Ah, bagaimana aku mampu" Nararya menolak.
Kepala gerombolan itu tertawa "Aku dapat memberi kesempatan yang indah kepadamu, ki
bagus. Cobalah engkau terka. Apabila salah, engkau tak menderita kerugian apa2. Tetapi apabila
tepat, engkau kubebaskan dari segala syarat yang akan kutuntut kepadamu"
Cuaca makin gelap. Malampun mulai menebarkan kepekatan. Nararya merasa aneh atas
tingkah ulah dan ucapan kepala gerombolan itu. Dari kata2 yang terakhir, jelas gerombolan itu
tentu akan menuntut sesuatu kepadanya. Entah benda entah apa. Mungkin nyawa juga. Ia telah
mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka. Tetapi sebagaimana pendirian hidupnya,
sesuatu persoalan sedapat mungkin dalam kemungkinan yang paling mungkin, akan
diselesaikan dengan cara yang damai dan adil. Berpijak pada landasan itu maka apa salahnya
kalau ia menuruti permintaan kepala gerombolan itu. Mungkin dalam pembicaraan selanjutnya,
ia dapat memberi kesan yang baik kepada kepala gerombolan itu hingga hal2 yang tak
diharapkan dapat terhindar.
"Baiklah, ki sanak" setelah merenung dan menimang beberapa jenak, akhirnya ia menerima
"akan kucoba menerka, walaupun kemungkinan terkaan itu benar, hanya setipis kulit bawang"
Kepala gerombolan itu tertawa"Rupanya engkau pandai merangkai kata2 kiasan, ki bagus.
Silahkanlah" "Ki sanak tentu ditugaskan untuk mengambil jiwa seorang yang menjadi musuh atau duri dalam
daging patih Aragani" seru Nararya.
"Ada harapan" seru kepala gerombolan itu "memang aku ditugaskan untuk membunuh
seseorang. Jika hanya ditugaskan untuk membunuh, memang suatu tugas yang biasa dan telah
banyak kulakukan untuk ki pa h. Tetapi siapakah gerangan yang harus kubunuh itu" Nah, disitulah
letak kunci dari jawaban yang kuperlukan"
"Salah seorang dari ke ga mentri itu" serentak Nararya berseru karena merasa hampir
menemukan kunci jawaban itu.
"Sebutkan namanya yang pasti. Tidak boleh hanya salah seorang dari ketiga mentri"
Nararya pejamkan mata. Merenung dan mereka-reka. Diam2 ia gembira karena tanpa
disadari, kepala gerombolan itu telah membuka jalan sendiri. Jawaban, salah seorang dari
ketiga mentri yang telah dilorot kedudukannya itu, diam2 diakui kebenarannya oleh kepala
gerombolan itu. Kini tinggal menentukan namanya. Ia harus menyebutkan namanya. Namun
pengetahuan tentang keadaan mentri2 kerajaan Singasari sangat sedikit sekali. Ia berpaling
kearah Pamot. Ia ingat Pamot bekas prajurit dari Singasari yang ikut pindah ke Glagah Arum.
Tetapi secepat itu pula ia mengisar muka memandang ke depan lagi. Ia malu untuk mencari
bantuan karena kepala gerombolan itu hanya memintanya yang menerka, bukan Pamot.
"O, boleh" kepala gerombolan itu tertawa seraya mengangguk-angguk "boleh ki bagus berunding
dengan kawanmu itu" Nararya agak jengah tetapi Pamot tak menghiraukan suatu apa. Ia mendeka Nararya dan
berbisik "Diantara ke ga mentri itu, adalah pa h Raganata yang amat besar pengaruhnya. Seorang
wredda mentri yang jujur dan bersih sehingga paling ditakuti oleh mentri2 durna"
Nararya mengangguk.. Memang ia juga cenderung akan kesimpulan itu.
"Bagaimana ki bagus" Apakah sudah menemukan jawaban?" ba2 kepala gerombolan itu
berseru. "Ya" sahut Nararya agak terperangsang oleh rasa geram melihat sikap orang yang sedemikian
congkak "mentri yang ki sanak diperintahkan itu membunuh itu adalah gusti patih Raganata"
"Ha, ha, ha" kepala gerombolan itu tertawa kencang2 sehingga Nararya dan Pamot terlongong
dalam kebingungan. Benar atau salahkah terkaannya, itu"
"Terkaanmu itu salah" ba2 kepala gerombolan berseru gembira "dan hilanglah kesempatan
yang kuberikan kepadamu, ki bagus"
Nararya dan Pamot terkejut. Ia tak cemas karena kehilangan kesempatan itu tetapi Nararya
benar2 ingin mengetahui siapakah yang hendak dibunuh bekas lurah prajurit itu.
"Baiklah, ki sanak" kata Nararya "kalau memang tak benar, akupun menyerah kalah. Tetapi
bolehkah aku mengetahui, siapa dan bagaimanakah jawaban yang benar itu ?"
"Jawaban yang benar" kata kepala gerombolan itu "baginda Kertanagara sendiri ..."
"Hai!" Nararya melonjak, kejutnya seper disambar pe r "engkau di tahkan untuk membunuh
baginda Kertanagara?"
"Ya" "Yang memerintahkan tumenggung Aragani yang sekarang menjadi pa h Singasari itu?" Nararya
menegas tegang. "Ya" Merah membara wajah Nararya seke ka namun secepat itu pula segera berangsur-angsur reda,
bagai air laut yang pasang kemudian menyurut pula. Nararya sangat terkejut dan marah atas
ndakan pa h Aragani. Betapapun keadaan ayahnya, namun ia merasa bahwa keluarganya itu
masih keturunan dari rajakula Singasari dan walaupun hanya pudar tetapi daklah sampai lenyap
harapan dari keturunan Mahesa Gampaka atau batara Narasingamur akan tahta kerajaan
Singasari. Walaupun andaikata baginda Kertanagara benar2 terbunuh, Nararya mempunyai peluang
besar untuk menduduki tahta, namun dia bukan manusia yang temaha akan sesuatu yang bukan
haknya. Atau pun senang melihat seseorang menderita kemalangan. Ia akan menyerahkan
segala sesuatu jalan kearah tahta kerajaan itu kepada kekuasaan Hyang Jagadnata. Dibalik itu
pada pokoknya, ia benci kepada manusia yang berhia-nat. Ia lebih menghargai seorang musuh
yang terang-terangan menyatakan sikapnya daripada seorang kawan yang culas.
Seruling Samber Nyawa 12 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Pendekar Naga Mas 1
^