Pencarian

Dendam Empu Bharada 6

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 6


Disaat gempa amarah itu meletus dalam rongga dadanya, ba2 ia teringat akan pesan ramanya
dan guru yang dihorma nya, resi Sinamaya "Nararya, betapa besar amarahmupun, tetapi
janganlah engkau menyerahkan dirimu secara bulat2 kepada nafsu amarah itu. Manusia yang
benar2 sak dan kuat, bukanlah mereka yang dapat membunuh lawan-lawannya di medan
pertempuran tetapi adalah mereka yang dapat mengalahkan nafsu2, terutama amarah, dalam diri
peribadinya" "Ah" diam2 ia menghela napas legah karena merasa telah terhindar dari suatu kelemahan.
Kemudian iapun teringat akan kata-kata yang pernah di-ucapkan oleh Lembu Peteng "Raden, dalam
usaha kita mencari gong Prada itu, kemungkinan kita akan menjelajah Daha dari Singasari, akan
bertemu dengan segala lapisanmanusia, dari rakyat biasa sampai pada narapraja yang berpangkat
nggi. Hendaknya, janganlah kita mudah terperosok akan kata-kata orang ataupun lekas
mempercayai keterangan dari orang yang belum kita kenal"
"Dewata, maha adil" ba2 Pamot berseru. Kepala gerombolan itu terkejut dan memandang
Pamot "Apa maksudmu?" serunya.
"Baginda telah ber ndak kejam terhadap saudaranya, pangeran Kanuruhan di Glagah Arum,
sehingga pangeran Kanuruhan binasa. Tidakkah adil kalau baginda akhirnya juga dihiana oleh
patihnya sendiri ?" "Salah" seru kepala gerombolan.
"Salah" Mengapa salah?" tanya Pamot.
"Jika benar2 baginda dihiana pa h Aragani., mungkin omonganmu itu benar. Tetapi pa h
Aragani hanya mengatur siasat belaka"
Pamot terkejut. Nararyapun heran "Mengapa ki sanak berkata demikian?" tanya Nararya.
"Karena pembunuhan itu gagal" kata kepala gerombolan.
"Hm, memang tak mudah untuk membunuh seorang raja seper baginda Kertanagara". kata
Nararya "tetapi bagaimanakah kelanjutan dari perintah itu, ki sanak"
"Pa h Aragani telah menjanjikan pangkat dan kedudukan nggi kepadaku apabila aku dapat
melaksanakan perintah itu dengan berhasil. Tetapi dia minta agar kesemuanya itu atas tanggung
jawabku sendiri, jangan sekali-kali menyangkut diri patih itu"
"Apakah ki sanak menerimanya?" tanya Nararya.
"Tiada lain pilihan bagiku" kata kepala gerombolan "karena sebagai penutup, pa h Aragani
menegaskan kepadaku, bahwa bila aku menolak dan kelak sampai menyangkut namanya, aku akan
dibunuh ki patih, demikian pula seluruh keluargaku"
"Lalu?" "Sudah tentu aku terpaksa menerima. Pada malam itu akupun sudah bersiap-siap..
Menjelang tengah malam, aku akan masuk ke dalam istana.Tetapi entah, mungkin karena dewa
hendak menghukum perbuatanku, tiba2 saja perutku sakit. Sakit sekali dan berulang-kali harus
buang air besar sehingga tenagaku lemas"
"Aku bingung dan gelisah. Bagaimana dalam keadaan seperti malam itu, aku dapat
menunaikan perintah ki patih" Namun perintah patih Aragani, malam itu pembunuhan harus
dilaksanakan karena ia hendak mengatur sedemikian rupa sehingga baginda berada dalam
ruang peraduannya seorang diri, menikmati tuak. Hanya saat itulah merupakan suatu
kesempatan yang takkan didapatkan lagi"
"Adakah ki sanak tetap melaksanakan perintah itu ?" tanya Nararya.
"Tidak" jawab kepala gerombolan "dalam keadaan tubuh seper malam itu, tak mungkin aku
dapat berhasil membunuh baginda. Namun jika tak kulaksanakan, pa h Aragani tentu akan marah.
Akhirnya aku mendapat akal. Kupanggil seorang anakbuahku, Salya namanya, untuk menggan kan
tugasku. Kuberinya kelengkapan pakaian dan kain kerudung muka hitam, sebilah pedang dan janji
akan memberinya sejumlah besar hadiah dan pangkat; Juga seper pa h Aragani, kupesannya,
apabila terjadi sesuatu, supaya jangan menyangkut diriku dan harus diakuinya sendiri"
"Adakah Salya menerima?" tanya Nararya.
"Ya" jawab kepala gerombolan "pertama, karena takut kepadaku. Kedua karena dia milik akan
hadiah dan pangkat yang kujanjikan. Dia mempunyai perawakan seper aku maka dengari
mengenakan kain kerudung muka warna hitam, sukar orang membedakan lagi dengan diriku"
"Setelah dia pergi, aku segera memerintahkan seorang anakbuahnya yang lain untuk mengiku
secara diam-diam. Apabila Salya terancam bahaya, supaya anakbuah itu bantu melindungi
keselamatannya. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Tepat lewat tengah malam, ba- ba
anakbuahku itu bergegas pulang dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat lesi. Atas
pertanyaanku dia menerangkan bahwa Salya telah dibunuh oleh pa h Aragani. Hampir aku tak
dapat mempercayai keterangannya dan mencekik lehernya. Kukira dia hendak memfitnah tetapi
dengan bersumpah ia hendak mengajak aku untuk membuktikan hal itu ke istana ...."
Nararya terbelalak. Iapun serupa keadaannya dengan kepala gerombolan pada saat menerima
laporan dari anakbuahnya. Tak percaya!
"Melihat kesungguhan sikap dan wajah orang itu, akhirnya aku percaya. Sekalipun begitu,
kupanggil seorang anakbuahku yang lain untuk bersama ariakbu-ahku yang membawa laporan itu,
membuk kan kebenarannya ke istana. Dan memang benar. Salya telah ma di kam keris pa h
Aragani. Bermula aku bingung memikirkan ndakan pa h itu. Tetapi kemudian seiring dengan
berkurangnya rasa sakit pada perutku, pikiran-kupun jernih. Dengan gamblang aku dapat menilai
bahwa ndakan pa h Aragani itu - hanya suatu siasat yang cerdik untuk meraih kedudukan dan
kepercayaan baginda. Dan untuk kepen ngan itu pa h Aragani hendak mengorbankan diriku" kata
kepala gerombolan itu. "Sekali dayung dua tepian" seru Pamot yang terbawa perhatiannya dalam arus peristiwa itu.
"Hm, engkau pintar juga. Sayang terkaanmu tadi meleset" kata kepala gerombolan
menertawakannya "ya, memang benar. Pa h Aragani memang memiliki rencana untuk membunuh
aku karena akulah orang satu-satunya yang menjadi alatnya untuk menyingkirkan beberapa nayaka
kerajaan yang menentang pa h Aragani. Aragani hendak melenyapkan aku agar rahasia
perbuatannya itu tertutup. Tetapi dalam rencana hendak membunuh aku itu, dia takkan
membunuh begitu saja. Dia hendak menjadikan mayatku sebagai tumbal dari tangga kedudukan
yang hendak dibangunnya. Dia hendak menjadikan darahku sebagai rabuk penyubur kepercayaan
baginda kepada dirinya"
Nararya mengangguk-angguk. Diam2 ia bersyikur karena tadi ia tak lekas meluapkan kemarahan
sesaat mendengar tentang rencana pa h Aragani hendak membunuh baginda Kertanagara. Kiranya
dalam peris wa itu memang mengandung suatu siasat yang sukar diduga. Dengan demikian
rencana itu bukan sesungguhnya hendak membunuh baginda melainkan hendak membunuh si
pembunuh. "Lalu bagaimana langkah ki sanak setelah mengetahui hal itu?" tanya Nararya.
"Esok tentu segera ketahuan siapa pembunuh yang ditikam mati patih Aragani itu. Apabila
patih mengetahui bahwa yang dibunuh itu bukan aku, dia tentu terkejut dan bingung. Dia tentu
akan mengirim orang untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku harus mendahului langkahnya.
Malam itu juga aku segera meloloskan diri dari Singasari. Beberapa anakbuahku yang setya,
mengikuti jejakku. Demikianlah asal mula mengapa aku menuntut kehidupan di daerah hutan ini"
Lelaki perkasa itu menutup ceritanya dengan sebuah gelak tawa "Aku telah menentukan
suatu peraturan. Barangsiapa yang lewat ditempat ini harus menyerahkan salah satu miliknya.
Jiwa atau hartanya. Dan karena engkaupun gagal untuk memanfaatkan kesempatan yang
kuberikan tadi, maka kalian berduapun harus mentaati peraturan itu"
Nararya terkejut "Apa yang ki sanak kehendaki dari kami berdua ?"
"Tinggalkan semua harta milikmu atau nyawamu"
"Semua?" ulang Pamot.
"Ya. Kuda, uang dan pakaian kalian berdua"
"Ah, jangan bergurau engkau! Masakan kami harus melanjutkan perjalanan dengan telanjang?"
seru Pamot. "Tidak telanjang bulat, engkau masih diperbolehkan mengenakan celanamu" jawab kepala
gerombolan itu. Merah wajah Nararya. Sebelumnya ia sudah menduga bahwa ia akan menghadapi kesulitan
dengan gerombolan itu. Tetapi tak pernah diduganya bahwa tuntutan mereka sedemikian tak
layak. Ia hendak menjawab tetapi Pamot sudah mendahului.
"Ki sanak" serunya "aku setuju menerima peraturanmu itu. Kuda, pakaian dan lain2 yang ada
pada diriku, kuserahkan semua"
"Bagus" seru kepala gerombolan "ternyata engkau seorang yang cerdik dan pandai melihat
gelagat. Silahkan engkau menyerahkannya sekarang"
"Tunggu" seru Pamot "tetapi hanya sebuah benda yang tetap setya mau ikut aku"
"O" seru kepala gerombolan "apakah itu" nyawamu ?"
"Bukan. Pengawal nyawaku"
Kepala gerombalan mengerut dahi "Jangan bergurau, lekas katakan apakah benda itu!"
Pamot tertawa "Inilah" ia menunjuk pada sarung pedang yang terselip di pinggangnya "dia tak
mau ikut engkau !" Seke ka merah padamlah wajah kepala gerombolan itu. Ia tahu kemana arah tujuan kata2
Pamot "Setan, engkau berani mengolok aku!" hardiknya bengis lalu loncat menerkam Pamot. '
Pamot juga seorang bekas prajurit yang menjadi anakbuah Lembu Peteng. Diapun ikut Lembu
Peteng. menuntut penghidupan sebagai gerombolan di gunung Kelud. Ia yang biasa menghardik
dan mengancam orang, pantang dihardik gerombolan lain. Dalam melancarkan kata2 tadi, ia sudah
waspada memperha kan se ap gerak gerik orang. Maka pada saat kepala gerombolan itu loncat
menerkam, iapun sudah menyerempaki dengan gerakan menghindar ke samping. Dan sesaat kepala
gerombolan itu menerkam tempat kosong, Pamot dengan kecepatan yang
nggi, segera menghantam lambung orang.
Dukkk..... Kepala gerombolan itu mengaduh dan terseok-seok langkah. Tubuhnya yang nggi besar hampir
rubuh ke-arah Nararya. "Ah, ki sanak terlalu diburu nafsu" seru Nararya seraya songsongkan telapak tangan kirinya untuk
menyanggah tubuh orang itu sehingga tak sampai jatuh.
Sesaat kepala gerombolan itu berdiri sambil mengerut geraham, menahan rasa sakit pada
lambungnya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, memiliki daya tahan yang kuat. Apabila lain
orang, tentulah sudah tak kuat berdiri menerima pukulan keras dari Pamot itu.
Ia terkejut. Bukan karena kerasnya pukulan dari Pamot melainkan atas sikap Nararya. Setelah
menyanggah dan mendorong tubuhnya supaya tegak, Nararya-pun melepaskan tangannya pula.
Dan tersenyum tenang. "Aneh, mengapa pemuda ini tak mau meringkus diriku, pada hal sudah jelas mudah sekali ia
melakukan hal itu jika menghendakinya" diam2 kepala gerombolan itu heran.
Rasa heran itupun menghinggapi benak Pamot juga. Mengapa Nararya tak mau menangkap
kepala gerombolan yang sudah kehilangan keseimbangan badannya" Mengapa raden itu
melepaskannya lagi" Kepala gerombolan itu memandang lekat2 pada Nararya dengan pandang penuh pertanyaan dan
keheranan. Namun berkatalah Nararya "Ki sanak, silahkan engkau melanjutkan adu kanuragan
dengan kawanku" "Mengapa engkau tak menangkap aku ?" akhirnya terluncur juga kata2 dari mulut kepala
gerombolan itu. "Mencelakai orang yang sedang menderita kecelakaan, suatu perbuatan yang licik. Jika engkau
menghendaki, aku bersedia menunjukkan bagaimana tanpa cara yang licik aku dapat menguasai
dirimu" seru Nararya. Tenang dan tegas.
Kepala gerombolan terkesiap kemudian merah mukanya, ia benar2 merasa terhina. Namun iapun
menyadari bahwa pemuda itu memang bersikap ksatrya. Hampir ia bersedia untuk menelan hinaan
itu atau beberapa anakbuahnya terdengar berteriak-teriak marah "Bunuh!"
Dan merekapun telah menyerbu Pamot. Pamotpun melawan dan kekacauan itu mengacau pula
pikiran kepala gerombolan. Ia harus menyelesaikan tugasnya, menangkap atau membunuh Nararya
"Baik, mari, lawanlah aku" serunya seraya menghantam.
Nararya terkejut karena Pamot telah diserbu oleh lima enam orang. Masih ada beberapa
anakbuah gerombolan yang mengepung di sekeliling. Rupanya mereka takkan memberi
kesempatan Pamot lolos. Ke ka ia hendak membantu Pamot, kepala gerombolan itupun sudah
menyerangnya. Sejak berhadapan dengan Suramenggala dan bertempur dengan gerombolan Singa Barong,
Nararya sudah memiliki pengalaman dalam pertarungan. Memang ia telah mendapat ajaran ilmu
kanuragan dari gurunya namun sebelum dilaksanakan dalam pertempuran yang sungguh, tentulah
ia masih kurang pengalaman. Dan kekurangan pengalaman itu akan menimbulkan kecanggungan
dan keraguan dalam menghadapi musuh.
Kini Nararya sudah memiliki kemantapan dalam gerak2 ilmu kanuragan yang dimilikinya. Ia
terkejut karena kepala gerombolan itu menyerang secara ba2. Sebelum ia sempat menghindar,
pukulanpun sudah melayang ba. Nararya terpaksa menangkis, krak ... ke ka beradu dengan
tangan orang, tangannya tersiak, rasanya sakit dan linu. Cepat ia menyurut mundur karena kua r
lawan akan menyerang dadanya yang terbuka.
Tetapi ternyata kepala gerombolan itu tertegun dan terlongong. Dari kerut wajahnya,
menunjukkan kesan bahwa dia terkejut. Ke ka tangannya beradu dengan tangan Nararya, terasa
suatu aliran macam rasa-kesemutan, mengalir menjalari lengan sampai ke bahu. Kerasnya aliran
rasa kesemutan itu menyebabkan lengannya lunglai melentuk kebawah.
Sejenak Nararyapun heran mengapa kepala gerombolan itu tertegun diam. Namun ia menyadari
bahwa kepala gerombolan itu merupakan kunci yang pen ng untuk menyelesaikan pertempuran.
Agar dak berlarut-larut dan dak banyak darah tertumpah. Nararyapun cepat loncat, menebas
bahu dan tangan kiri cepat menyambar pergelangan tangan orang, lalu diputar ke belakang sekuat-
kuatnya. Loncat, menebas, mencengkeram dan memutar tangan orang kebelakang itu, dilakukan Nararya
dengan cepat sekali sehingga walaupun kepala gerombolan itu segera menyadari apa yang akan
terjadi, namun sudah terlambat. Ia meraung kesakitan ke ka lengan kanannya yang kesemutan
tadi terteliku kebalik punggung dan dijulangkan naik keatas hingga sampai ke bahu. Penguasaan
yang dilakukan Nararya itu sangat menyakitkan sekali. Tidak mengakibatkan luka tetapi kepala
gerombolan itu rasakan lengannya seper patah. Sakitnya sampai menggigit ke uluha . Dia seorang
lelaki perkasa, memiliki daya tahan pukulan besar sehingga pukulan Pamot tak mampu
merobohkannya. Tetapi ke ka lengannya diteliku kebelakang punggung, ia benar2 lupa akan
kejantanannya. Ia meraung keras, pejamkan mata dan mengucurkan keringat.
Duk "Keparat ...." ba2 ia rasakan tubuhnya dikisarkan kesamping, sebelum ia sempat membuka
mata apa yang dilakukan Nararya kepada dirinya, sebuah nju yang keras telah menghunjam
dadanya. Seke ka pandang matanya pudar dan kepala berbinar-binar karena pukulan itu telah
menimbulkan tekanan kuat sehingga pernapasannya serasa berhen . Selekas denyut2 kesakitan itu
berhamburan lenyap, ia merentang mata dan dengan menghimpun seluruh sisa tenaganya ia
berontak sekuat-kuatnya seraya menendang.
Pandang matanya masih belum terang. Ia mengira yang memukul dadanya itu tentulah
Pamot, kawan Nararya. Maka iapun nekad dan berhasil. Orang yang memukulnya dan yang
masih tegak termangu-mangu di hadapannya itu segera menjerit dan terlempar ke belakang.
Tetapi ia masih tak berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Nararya. Tangannya masih
dilekatkan pada punggungnya. Lehernya terasa dingin.
"Jika engkau bergerak lagi, lehermu tentu putus" terdengar serangkaian bisik2, pelahan tetapi
cukup jelas. Lengan yang melekat ke punggung, agak menurun ke bawah sehingga mengurangi rasa sakit dan
saat itu-pun pandang matanya mulai terang. Tetapi hal itu bahkan menimbulkan siksa pada
ha nya. Pandangan pertama yang menyengat matanya yalah tertelentangnya seorang
anakbuahnya yang merin h-rin h kesakitan "O" kepala gerombolan itu mendesis sesaat menyadari
bahwa yang ditendang tadi bukanlah Pamot tetapi anakbuahnya sendiri.
Dan kejut kedua yalah waktu mendengar bisik2 ngeri dari Nararya itu "Ah" ia mengeluh dalam
ha ke ka menyadari bahwa benda dingin yang terasa menyentuh lehernya itu tak lain adalah
pedang. Dan pedang itu tentulah pedangnya. Ia tak asing akan pedangnya, pedang peninggalan
ayahnya yang entah terbuat dari bahan apa tetapi yang nyata, pedang itu terasa amat dingin
apabila melekat pada daging. Dan dugaannya itu makin kuat ke ka ia teringat bahwa Nararya tadi
tak tampak membekal pedang.
"Ki sanak" kembali terdengar Nararya berbisik dibelakang telinga kepala gerombolan itu "harap
perintahkan kawan-kawanmu berhenti"
Kepala gerombolan itu marah sekali karena dirinya diperlakukan sebagai seorang tawanan.
Seketika itu bangkitlah rasa keangkuhannya. Ia harus menebus sifat kelemahannya tadi. Ia tak
mau kehilangan gengsi terhadap anakbuahnya. Jika harus mati, biarlah ia mati "Tidak" serunya
getas. Nararya dapat menduga isi ha kepala gerombolan itu. Ia tak mau memaksa. Ia hendak
mengambil cara sendiri. "Hai, berhen " ba2 Nararya berteriak nyaring. Sedemikian nyaring sehingga kepala gerombolan
itu sampai menyeringai karena anak telinganya serasa pecah. Sedangkan anakbuah gerombolan
itupun terkejut lalu serempak berhenti menyerang Pamot.
"Kamu setya kepada pemimpinmu atau dak?" seru Nararya pula "jika kamu memang setya,
pemimpinmu ini tentu masih dapat melihat surya esok hari. Tetapi jika kamu memang benci dan
merelakan-jiwa-nya, saat ini juga segera akan kupenggal lehernya"
Beberapa belas anakbuah gerombolan itu terbeliak ke ka melihat leher pemimpin mereka
mengucurkan darah "Berhenti" teriak salah seorang dari mereka.
"Mengapa?" tegur Nararya "bukankah kalian merelakan aku untuk memenggal lehernya ?"
"Berhen !" anakbuah itu mengulang teriakannya "kami belum menyatakan apa2 mengapa
engkau sudah bertindak sendiri?"
"O, kukira kalian meluluskan"
Anakbuah itu menggeram "Katakan, apa kehendakmu ?" ...
"Tiada yang kukehendaki apa2 dari kalian kecuali hanya mempersilahkan kalian pulang. Jangan
mengganggu aku lagi" jawab Nararya.
Melihat kepala gerombolan mandi darah, anakbuah itupun segera menurut "Baik, lepaskan
pemimpin kami dan kami akan segera pulang"katanya
Nararya tertawa "Silahkan kalian berjalan dulu. Setelah kalian ba di ujung kungan sana itu" ia
menunjuk kearah tanjakan tanah yang selepas anak panah jauhnya "segera pemimpinmu ini
kulepaskan" Anakbuah itu tertegun dan berpaling kearah kawan-kawannya. Terdengar mereka berbisik-
bisik. Kemudian anakbuah itu berpaling pula "Baik. Tetapi ingat, jika engkau membunuh atau
seringan-ringannya melukai kilurah, kami akan mengejarmu ke Singasari"
Nararya memberikan janjinya dan bergeraklah gerombolan itu menuju kearah bukit. Dalam pada
itu Nararya segera menyuruh Pamot untuk mengikat kaki dan tangan kepala gerombolan itu.
Kemudian ia mengajak Pamot mengendarai kuda dan melarikannya, meninggalkan kepala
gerombolan yang menghambur hamun makian.
"Raden, siapakah kiranya gerombolan penyamun itu " Jika me&ilik pakaian dan orangnya,
rasanya mereka seperti bukan orang desa" kata Pamot di tengah perjalanan.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar" sahut Nararya "mereka lebih dekat menyerupai prajurit2 pura. Entah Daha entah
Singasari" "Jika menurut keterangan kepala gerombolan itu, mereka memang bekas prajurit2 kerajaan
Singasari" kata Pamot pula "benarkah keterangan mereka itu?"
"Kemungkinan begitu" sahut Nararya "tetapi janganlah kita mudah mempercayai keterangan
mereka" Masih Pamot berkata "Jika demikian, hanya ada kemungkinan dibalik ndakan mereka mencegat
kita ini, raden" "Coba katakan" "Kemungkinan pertama, mereka memang benar seper yang diceritakan oleh kepala gerombolan
itu. Dan kemungkinan kedua, mereka tentu diperintah oleh seseorang untuk melakukan
pencegatan kepada kita"
"Siapa ?" tanya Nararya.
"Soal itu hanya raden yang tahu. Bagaimanakah suasana waktu raden menghadap pangeran
Ardaraja di keraton. Mungkin raden dapat membayangkan sesuatu yang bertalian dengan peris wa
gerombolan yang mencegat kita itu"
"Hm" Nararya hanya mendesuh. Memang ada sepercik bayang2 ingatannya akan sesuatu yang
dialaminya di istana. Peris wa ke ka ia berada di ruang keputren tempat kediaman puteri Nrang
Keswari. Saat itu ia harus mengalami peristiwa yang tak sedap dari Kuda Natpada
"Hah, adakah peris wa puteri memberi aku ikat pinggang sutera dewangga itu diketahui juga
oleh raden Natpada?" serentak ia terbeliak ke ka teringat akan hal itu. Tetapi ia merasa bahwa
saat itu tiada yang mengetahui kecuali Suramenggala.
"Adakah Suramenggala memberitahu hal itu kepada Kuda Natpada ?" ia bertanya dalam hati "ah,
mungkin. Rupanya Suramenggala masih mendendam kepadaku dan kesempatan itu tentu
digunakannya untuk mencari muka kepada Kuda Natpada" akhirnya ia memberi jawaban sendiri.
Dan serentak iapun teranjak kejut "Adakah Kuda Natpada yang memerintahkan gerombolan itu
untuk membunuh aku?"
Walaupun mempunyai dugaan tetapi mau tak mau ia memberitahukan kepada Pamot. Dugaan
itu baru merupakan bayang2 kesan dan kesimpulan. Mungkin benar, mungkin salah. Dan peris wa
itu menyangkut diri peribadinya. Kurang perlu memberitahu sekarang.
Pada hari kedua, pura Singasari dengan bangunan2 yang indah, pintu gapura yang kokoh dan
puncak mercu istana yang megah, mulai tampak dari. kejauhan. Nararya dan Pamot
mencongklangkan kuda menuju ke pintu gapura. Rencana Nararya lebih dulu ia hendak mencari
prajurit bhayangkara yangbernama Kaiingga.
Setelah masuk ke dalam pura maka Pamotpun berkata "Agar dak menimbulkan perha an
orang, baiklah kita titipkan dulu kuda kita kepada seorang kenalanku"
Nararya setuju. Dirumah kenalan Pamot, mereka diterima dengan manis budi oleh tuan rumah.
Seorang pandai besi bernama Gadu. Pertemuan Pamot dengan kenalannya itu amat
menggembirakan. Mereka berkawan sejak kecil, sampai kemudian Pamot masuk prajurit dan Gadu
menjadi pandai besi, mereka masih sering berkunjung.
Demikian setelah meni pkan kuda di rumah pandai besi Gadu, Nararya dan Pamot Segera
menuju ke keraton. Rupanya Pamot tahu akan tempat2 yang diperlukan. Ia mengajak Nararya
menuju kesebuah bangunan yang disebut Balai Prajurit. Memang disitulah seluruh kegiatan
prajurit2 dipusatkan. "Ki lurah" kata Pamot setelah berhadapan dengan seorang prajurit yang saat itu kebetulan baru
keluar dari bangunan itu "apakah ki Kalingga berada dalam balai itu?"
Sejenak prajurit itu tertegun, mengamati Pamot "O, ada" katanya.
"Kami hendak bertemu dengan ki Kalingga. Sungguh amat berterima kasih sekali apabila ki lurah
mau menolong kami untuk mengundang ki Kalingga keluar" kata Pamot.
Rupanya prajurit itu hendak bergegas pulang. Namun ia kenal dengan orang yang hendak dicari
Pamot itu. Tanpa mengucap sepatah kata, ia terus berputar tubuh dan melangkah masuk kedalam
balai. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki mengenakan pakaian prajurit bhayangkara
bersama dengan prajurit yang tadi. Setelah mempertemukan prajurit bhayangkara itu dengan
Pamot, prajurit yang pertama tadipun terus pergi.
"Apakah tuan ini ki Kalingga?" Nararya menghampiri dan memberi salam.
"Lingga?" prajurit itu menegas.
"Ya, benar" sahut Nararya "adakah tuan ki Lingga?"
Prajurit itu mengangguk lalu menanyakan keperluan Nararya.
"Aku mendapat pan surat dari pangeran Ardaraja untuk tuan" kata Nararya seraya mengambil
sepucuk surat. "Pangeran Ardarajadari Daha itu ?" prajurit yang mengakui dirinya bernama Lingga itu menegas.
"Ya" Nararya menyerahkan surat itu.
"Surat apakah ini ?" Lingga menyambuti seraya mengerut keheranan.
"Entahlah. Pangeran Ardaraja hanya menitahkan supaya diterimakan kepada tuan dan tuan
tentu sudah tahu sendiri" habis berkata Nararya segera pamit. Ia segera mengajak Pamot
nggalkan tempat itu tanpa menghiraukan lagi bekel bhayangkara yang masih tegak terlongong-
longong. Tak berapa lama muncul pula seorang prajurit bhayangkara "Hai, kakang Lingga, mengapa engkau
tegak mematung disitu ?" serunya seraya menghampiri.
Lingga gelagapan. Ia hendak menyimpan surat itu ke dalam baju tetapi kawannya telah melihat
surat itu "Hai, kakang Lingga, apakah yang engkau masukkan ke dalam bajumu itu ?"
"Ah, tidak apa-apa" kata Lingga.
"Tidak, kakang" seru prajurit itu "jelas sebuah surat, mengapa engkau menyembunyikan
kepadaku" Rahasia?"
Lingga berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa "Ah, sudah kukatakan bukan
sesuatu yang penting. Mengapa engkau masih mendesak saja"
"Tidak, kakang Lingga" prajurit itu tetap bersitegang "engkau keluar, engkau tegak seperti
terpaku dan engkau menyembunyikan sepucuk surat. Tak mungkin kalau surat itu bukan suatu
rahasia penting" "Ah, Pirang, sudahlah, jangan mempersoalkan hal itu. Hendak kemana engkau sekarang ?" Lingga
berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Rupanya bhayangkara yang disebut Pirang itu masih tak puas "Kakang Lingga, jika engkau
merahasiakan sesuatu kepadaku akupun tak dapat melarang. Tetapi aku pun bebas untuk
memberitahukan kepada kawan-kawan tentang kelakuanmu yang aneh hari ini"
"Pirang!" seru Lingga agak keras. Ia menyadari hal itu maka ia lantas mengeliarkanpandang
ke sekeliling. Ia menghela napas longgar setelah tak-melihat seseorangpun "Pirang, mari kita
mencari tempat lain. Disini tak leluasa untuk berbicara"
Kedua prajurit bhayangkara itu segera menuju ke-sebuah tempat yang agak sepi "Pirang" kata
bekel Lingga setelah mengajak kawannya duduk di bawah sebatang pohon "jangan engkau salah
faham. Masakan aku hendak menyembunyikan rahasia kepadamu"
"Ah, maaf, kakang. Akupun tak bermaksud hendak menyinggung perasaan kakang"
"Begini, Pirang. Aku memang menghadapi suatu peristiwa aneh" Lingga segera menuturkan
apa yang terjadi tadi "aneh, aku merasa tak pernah mempunyai hubungan apa2 dengan
pangeran Ardaraja. Bahkan kenalpun tidak. Tetapi mengapa pangeran itu mengirim surat
kepadaku" "Ya, memang aneh" kata Pirang "cobalah kakang periksa mungkin surat itu ditujukan pada
seseorang"... Bekel Lingga segera mengeluarkan surat itu dan memeriksanya "Sampul surat ini ada tertulis
nama orang yang akan menerimanya"
Setelah ikut memeriksa, Pirangpun berkata "Jika demikian jelas untuk kakang sendiri"
Tetapi bekel Lingga mengerut kening. Ia memang lebih berha -ha daripada kawannya "Tetapi
tadi orang itu mengatakan bahwa aku tentu tahu sendiri kepada siapa surat ini harus diberikan"
Lingga merenung sejenak lalu melanjutkan "jika menilik kata-katanya, tentulah surat ini bukan
untukku tetapi harus kuserahkan kepada seseorang"
Pirang terkesiap. Ia membenarkan penilaian Lingga. Lingga seorang yang jujur kepadanya. Jika
Lingga mengatakan bahwa ia tak pernah kenal apalagi mengadakan hubungan dengan pangeran
Ardaraja, tentulah dapat dipercaya "Lalu bagaimana keputusan kakang ?" tanyanya.
Bekel Lingga tak cepat menyahut melainkan masih merenung. Sesaat kemudian baru ia
berkata "Rupanya dalam peristiwa ini tentu terjadi kesalahan-fahaman"
"Apa maksud kakang?"
"Pengalasan itu tentu keliru menyerahkan surat ini kepadaku. Benar!" tiba2 bekel Lingga
beranjak dari tempat duduknya "benar, benar...."
"Bagaimana, kakang?" prajurit Pirang terkejut melihat ulah kawannya.
"Kalau tak salah orang itu mengatakan kepadamu apakah aku bernama Kalingga ..."
"O, Kalingga!" teriak prajurit Pirang menukas.
"Ya, dia mencari Kalingga tetapi ke ka aku mengatakan namaku bekel Lingga, dia segera
menyerahkan surat ini kepadaku"
"Jika demikian" prajurit Pirang tertawa riang "dia tentu menganggap bahwa Lingga itu
kependekan nama dari Kalingga. Pada hal ada dua orangnya. Kalingga, prajurit bhayangkara-dalam
dan Lingga, bekel prajurit bhayangkara-luar. Ya, memang , diantara kita sendiri, sering mengalami
kekeliruan dalam kedua nama itu"
"Sebenarnya dia juga bernama Lingga. Karena sering terjadi kekeliruan maka gus pa h lalu
menambah namanya menjadi Kalingga. Dan akulah yang tetap diperkenankan memakai nama
Lingga" "Kakang Lingga" kata Pirang "setelah kita dapat menemukan letak kesalahan peristiwa ini, adakah
kakang bermaksud hendak menyerahkan surat ini kepada bhayangkara Kalingga ?"
"Bagaimana pendapatmu, pirang"
Pirang membenahi letak duduknya. Setelah itu baru ia berkata "Surat itu dari pangeran
Ardaraja, putera raja Jayakatwang dari Daha. Mengapa pangeran Ardaraja memberi surat
kepada Kalingga. Dan apa maksudnya mengatakan bahwa Kalingga tentu tahu sendiri
bagaimana menyerahkan surat itu?"
Bekel Lingga mengangguk "Ya, memang mencurigakan. Tidakkah hal itu memberi kesan bahwa
pangeran Ardaraja mempunyai hubungan dengan orang-dalam di keraton Singasari?"
"Menilik Ardaraja itu seorang putera raja, tentulah, apabila dia benar mengadakan hubungan,
dengan mentri atau senopa yang berpangkat nggi. Tak mungkin dia hanya berhubungan dengan
seorang prajurit bhayangkara seperti Kalingga saja" Pirang menambah.
"Dan pangeran Ardaraja itu jelas ada kepen ngan apa2 dalam urusan pemerintahan
Singasari..." "Kecuali dia memang mengadakan hubungan rahasia dengan seorang mentri tertentu untuk
mengetahui keadaan dalam pemerintahan Singasari"
"Benar" seru bekel Lingga "menurut keterangan gus pa h Aragani, memang Singasari tak boleh
lengah perha an terhadap Daha. Menurut kabar2, Daha tengah mempersiapkan pembentukan
suatu pasukan yang besar"
"Jika demikian, Kalingga itu tentu bekerja pada pangeran Ardaraja" seru Pirang.
"Bukan" sambit bekel Lingga "dia hanya suatu alat untuk menjembatani hubungan antara
pangeran Ardaraja dengan mentri atau senopati di kerajaan Singasari itu"
"Kakang Lingga" akhirnya berkatalah Pirang dengan nada sarat "penilaian dan kesimpulan kita
hampir sama. Dengan demikian jelas, secara tak sengaja, kakang bakal menerima anugerah besar"
Bekel Lingga terbeliak "Apa maksudmu?"
"Jika kakang serahkan surat itu kepada gus pa h, apabila benar isinya mengandung suatu
rahasia yang penting, tidakkah kakang akan menerima hadiah dari gusti patih ?" kata Pirang;
Bekel Lingga terbeliak "O, benar, Pirang. Tetapi aku tak mau menikmati sendiri. Marilah
kuajak engkau menghadap gusti patih Aragani. Apabila mendapat hadiah, kita bagi dua"
(Oo-dwkz^ismoyo-oO) II NARARYA dan Pamot kembali ke rumah pandai-besi Gadu. Karena hari sudah sore, Gadu minta
kedua tetamunya bermalam.
Pada malam hari, Pamot mengiring Nararya berjalan-jalan melihat kehidupan malam di pura
Singasari. Lorong2 penuh orang berjalan. Gelak tawa dan kecerahan wajah orang2 itu menunjukkan bahwa
suasana kehidupan di pura Singasari benar2 aman dan tenteram. Juga di candi2 dan rumah2
sudharma, asap sesajian bertebaran mewangi dihembus angin malam. Suatu pertanda bahwa
agama berkembang luas. Tetapi disamping hai2 yang mengesankan itu, tampak pula beberapa hal yang kurang memberi
kesan sedap bagi Nararya. Ia sering melihat prajurit2, baik berkawan sampai lima enam ataupun
hanya seorang dua orang, yang berkeliaran di lorong2. Demikian pula di-sementara kalangan
rakyat, judi dan tuak menjadi kegemaran yang mendarah daging. Adakah kerajaan tak menaruh
perhatian untuk memberantas hal2 yang dapat memberi akibat tak baik kepada rakyat itu"
Namun kesan itu hanya dikandung dalam ha karena saat itu Nararya lebih mencurahkan
perhatian untuk mencari jejak Lembu Peteng. Tetapi sampai lorong-lorong mulai sepi, belum juga ia
berhasil menemukan suatu apa. Baik mendengar percakapan di kedai2 maupun langsung bertanya
dengan cara yang agak tersembunyi, kesemuanya telah ditempuh. Namun tak berhasil.
Akhirnya Nararya mengajak Pamot pulang ke rumah pandai-besi Gadu. Malam itu mereka dur
nyenyak. Keesokan harinya ke ka mohon diri dan menghaturkan terima kasih kepada Gadu, pandai besi
itupun berkata"Karena sudah ba di pura, sayang apabila kalian tak pesiar melihat-lihat taman
Boboci yang indah" "Aku sudah pernah ke sana" kata Pamot.
"Ya, beberapa tahun yang lalu. Tetapi kini atas tah baginda, taman itu diperbaiki, diperluas dan
diperindah. Untuk tempat hiburan para kawula" kata pandai besi Gadu.
"O, baiklah" kata Pamot. Setelah meninggalkan rumah Gadu, bertanyalah Pamot kepada Nararya
"Apakah raden pernah pesiar ke taman Boboci itu?"
Nararya gelengkan kepala dan mengatakan belum pernah.
Memang benar. Karena sudah berada di pura Singasari, sayanglah apabila tak pesiar ke taman
yang indah itu. Pikir Pamot.
"Jika demikian, maukah raden kuantar ke taman yang indah itu ?" tanya Pamot.
Tatkala masih berada di gunung, Nararya pernah mendengar kissah kehidupan dari
moyangnya, Ken Arok atau baginda Rajasa sang Amurwabhumi. Di taman itulah pertama kali
Ken Arok melihat Ken Dedes. Suatu pertemuan yang menjadi titik tolak dari berdirinya sebuah
kerajaan baru Singasari dibawah raja Sri Rajasa sang Amurwabhumi. Apa salahnya kalau ia
pesiar ketempat yang termasyhur ifu "
"Baiklah" katanya. Dan mereka berdua lalu membilukkan arah menuju ke taman Boboci. Mereka
menambatkan kuda di luar taman kemudian merekapun masuk.
Taman Boboci berhiaskan pintu gapura yang indah. Dua buah patung berbentuk raksasa,
menjaga di kedua samping taman itu. Nararya segera merasakan suatu alam suasana yang
sedap, teduh dan asri ketika memasuki taman itu. Setiap lorong terdapat patung2 yang setinggi
manusia, karya dari ahli2 pahat Singasari yang pandai. Sepanjang lorong berhias petak2 pohon
bunga. Pohon2 yang tinggi rindang beiserakan di sana sini. Di tengah2 taman, dibangun
sebuah, kolam besar. Ditengah kolam, sebuah arca bidadari yang tengah menebarkan tangan.
Dari ujung jarinya mencurah butir2 air yang menimpa ke arah patung2 burung dan meriwis di
sekeliling. Sepintas pandang, bidadari itu tengah menebarkan makanan kepaia burung2 yang
mengelilinginya. Permukaan kolam penuh ditumbuhi bunga2 teratai merah dan pu h. Berjenis ikan yang indah,
berenang-renang dengan bebas dan gembira dalam kolam. Burung2 hinggap di dahan2 pohon dan
bersiul mendendangkan suaranya yang merdu.
Taman Boboci memang tak kecewa menjadi kebanggaan kawula Singasari. Keindahannya
menyerupai suasana taman dalam, keraton. Baginda Kertanegara menginginkan agar para
kawula dapat meresapi keindahan suatu taman. Sumber segala ilham, penampung segala
duka. Tengah Nararya dan Pamot menikma keindahan kolam itu, ba2 terdengar derap lari kuda yang
mengumandangkan suara gemuruh. Nararya terkejut. Jelas gemuruh lari kuda itu tentu bukan
hanya seekor tetapi tentu beberapa ekor kuda, mungkin sebuah kelompok prajurit.
"Hah ..." ba2 Nararya tergetar ha nya manakala teringat sesuatu. Tidakkah gemuruh derap kaki
kuda itu berasal dari sekelompok prajurit yang hendak menangkapnya ia mengaitkan bayang2
kecemasan itu dengan peris wa yang dilakukan kemarin, menyerahkan surat
pan pangeran Ardaraja kepada prajurit bhayangkara Kalingga.
Untuk menjaga kemungkinan2 yang tak diinginkan Nararya membisiki Pamot "Mari kita menuju
ke balik pohon itu" "Mengapa ?" Pamot mengerut dahi.
"Lihat patung lembu itu" kata Nararya seraya melangkah. Pamotpun mengikutinya.
Tak berapa lama gemuruh derap kuda itu berhen di muka gapura. Dari balik gerumbul pohon
dapatlah Nararya melihat apa yang terjadi. Ia berdebar ke ka melihat sebuah kereta bercahaya
kuning emas, ditarik oleh delapan ekor kuda tegar, berhen . Dibelakang kereta itu mengiring
empat prajurit menunggang kuda. Mereka gagah dan bersenjata.
"Ah" diam2 Nararya mengeluh dalam ha "tentulah seorang tumenggung atau senopa bersama
pengiringnya. Mungkin hendak menangkap ...."
Tiba2 kata terakhir yang hendak meluncur dari kerongkongan Nararya itu terhen seke ka
sehingga mulutnya ternganga ke ka melihat suatu pemandangan yang hampir2 meragukan
pandang matanya. Ia merentang dan menyalangkan mata selebar mungkin ....
Seorang penunggang kuda turun, menghampiri ke samping kereta dan membukakan pintunya.
Dari busananya yang indah, jelas dia bukan prajurit biasa melainkan seorang perwira. Mungkin
seorang bekel prajurit. Selekas pintu terbuka maka muncullah seorang puteri kemudian disusul
pula oleh seorang puteri lagi. Terakhir baru dua orang perempuan setengah tua, berpakaian
sebagai dayang perwara. Bahwa terkaan Nararya tak benar, memang membuat pemuda itu terkejut. Tetapi yang lebih
mengejutkan adalah ke ka yang turun dari ratha kencana itu dua orang puteri. Tetapi yang paling
mengejutkan adalah wajah kedua puteri itu.
Can k, adalah kata sanjungan yang menjadi kebanggaan se ap wanita. Tetapi can k, mungkin
takkan mengejutkan ha Nararya. Banyak wanita can k yang dijumpahinya. Tetapi can k yang
memancarkan cahaya gilang-gemilang, hanyalah dimiliki oleh para bidadari sebagaimana ia sering
mendengar cerita dari ibundanya. Dewi Supraba, merupakan ratu can k dari sekalian bidadari di
khayangan. Demikian cerita itu.
"Adakah dewi Supraba itu benar2 can k ada taranya?" diam2 ia merenung. Kemudian mbul
bantahan"ah, rasanya sukar untuk mencari kecan kan yang lebih can k dari kedua puteri itu ;"ia
hampir tak percaya bahwa di dunia terdapat insan yang dikaruniai kecantikan sedemikian mulus.
"Pamot, siapakah gerangan kedua puteri itu?" ia menggamit tangan Pamot.
"Puteri Dyah Ayu Tribuana dan Dyah Ayu Gayatri"
"Puteri baginda Kertanagara ?" bisik Nararya pula.
"Ratna mutu manikam yang menyemarakkan kewibawaan kerajaan Singasari itu adalah putri


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesayangan baginda, raden" kata Pamot.
"Hm" desuh Nararya dalam ha "wanita can k itu memang besar daya pengaruhnya. Sampai2
seorang seperti Pamot dapat merangkai untaian sanjung puji yang hebat"
Namun ia tak berkata apa2 lagi. Seluruh pandang mata, perha an dan semangatnya tertumpah
ruah pada kedua puteri itu.
Kedua puteri itupun mulai ayunkan langkah yang lemah gemulai memasuki taman Boboci.
Dalam pandangan dan perasaan Nararya, sinar surya yang menerangi taman itu serasa kalah
cemerlang dengan pancaran sinar wajah kedua puteri itu.
Suasana taman tampak berobah meriah. Angin berhembus silir. Bunga-bunga merundukkan
kuntum, daun2 pohon diam hening, burung2 berkikau, air mendesir dan ikan2 dalam kolampun
serempak muncul ke-permukaan air. Bunga2, pohon, burung, ikan .dan seluruh penghuni taman itu
seolah-olah menyambut khidmat akan kunjungan sang puteri jeKta. Dan Nararya makin menahan
napas. Keempat prajurit itu mengiring di belakang kedua puteri. Mereka bangga, Mungkin lebih bangga
daripada pulang dari medan laga dengan membawa kemenangan. Terutama wajah dan sikap dari
prajurit yang membukakan pintu kereta tadi. Matanya memancarkan sinar kebahagiaan yang
meluap-luap. Baginya merupakan berkah besar dan kebanggaan hidup karena dapat mengiring
kedua puteri can k itu. Tetapi ada sesuatu yang menimbulkan perha an Nararya. Ia
memperha kan ulah prajurit yang seorang itu beda dengan ke ga prajurit yang lain. Jika ke ga
prajurit itu senan asa mengeliarkan pandang kesekeliling sebagaimana layaknya pengiring yang
bertugas menjaga keselamatan tuannya. Tidaklah demikian dengan prajurit yang seorang tadi.
Pandang matanya tak henti hentinya diarahkan kepada kedua puteri cantik itu.
Entah bagaimana tetapi memang benar, bahwa melihat ulah prajurit itu, mbullah rasa tak puas
dalam ha Nararya. Ia sendiri tak tahu apa yang menjadi dasar dari rasa tak puas itu. Entah karena
menganggap ngkah prajurit itu tak layak. Entah karena ha nya cemburu "Ah" desah Nararya
dalam ha ke ka menyadari akan perasaan yang mencengkam ha nya saat itu "apa hakku untuk
memiliki rasa cemburu?"
Ia merasa tak berhak. Ia menyadari dirinya tak kenal dengan kedua puteri itu. Namun ia tak
kuasa untuk menghapus perasaan itu.
Se ap kilatan pandang mata yang terpancar dari kedua puteri dikala memandang ke sebelah kiri
kemudian beralih memandang ke sebelah kanan, pada deretan bunga dan patung, ha Nararya
serasa berdebar-debar dan bergetar keras. Jelas kedua puteri tak mengetahui dirinya berada di
balik gerumbul pohon yang agak jauh, tetapi Nararya tetap memiliki debar2 yang serasa
menghentikan detak jantungnya.
Kedua puteri itu berhen pada patung burung garuda yang terletak tak jauh dari kolam "Burung
apakah itu, kakang Rangkah ?" tiba2 puteri yang agak tinggi dari puteri yang seorang, bertanya.
Prajurit yangmembukakan pintu kereta tadi, segera tampil ke muka "Burung garuda, gus .
Burung, garuda yang bernama garuda Jathayu, pernah menolong Dewi Shinta ke ka sang dewi
dilarikan oleh Rahwana-raja, prabu. Dasamuka"
"O"desis puteri itu.
"Juga garuda yang dapat berbicara, merupakan burung yang menjadi tunggangan prabu
Bomanaraka-sora, puteera prabu Batara Kresna, gus " kata prajurit yang .disebut dengan nama
Rangkah itu. "O" kembali puteri mendesis.
"Juga Sanghyang Batara Wisynu mengendarai burung garuda. Demikian pula rahyang ramuhun
prabu Airlangga dari kerajaan Panjalu dahulu, mengabadikan burung garuda sebagai lambang
kewibawaan baginda" Kali ini puteri hanya mengangguk saja.
"Burung garuda merupakan lambang keperkasaan dan kesak an yang melindungi dirgantara
bumi kerajaan paduka, gus . Itulah sebabnya maka baginda junjungan hamba, menurunkan tah
supaya di taman ini dibuat pula patung seekor burung garuda"
"Pamot" kembali Nararya menggamit lengan Pamot "siapa puteri yang bicara dengan prajurit
itu?" "Jika tak salah pandangan hamba. Puteri itu adalah gusti puteri sang Dyah Ayu Tribuwana,
raden. Sedang yang seorang yang agak kecil, adalah gusti puteri sang Dyah-Ayu Gayatri"
"Siapa prajurit itu?" bisik Nararya.
"Entahlah. Tetapi kalau menilik busananya, dia tentu seorang lurah prajurit bhayangkara dalam
keraton" jawab Pamot.
Nararya mengangguk. Namun diam2 ia mengkal terhadap sikap dari lurah bhayangkara yang
dianggapnya berlebih-lebihan itu. PuteriTribuwana hanya bertanya sepatah tetap! bekel
bhayangkara itu memberi keterangan ada hen hen nya bagai hujan mencurah. Rupanya bekel
bhayangkara itu mengharap sekali kesempatan untuk berbicara dengan puteri.
Kedua puteri itupun beralih ke kolam. Memandang dengan penuh gairah kepada bunga2 teratai
dan ikan2 yang berenang-renang muncul dipermukaan air, seolah hendak mengucapkan selamat
datang kepada tuan puteri.
"Apakah di taman ini dipelihara margasatwa juga?" ba2 puteri Gayatri bertanya tanpa
menyebut narna bhayangkara itu.
"Hanya burung2, gusti" sahut bekel bhayangkara itu.
"Mengapa ?" tanya puteri Gayatri.
"Karena binatang2 lain tak dapat dilepaskan berkeliaran, harus ditaruh dalam kandang. Tetapi
kalau burung2, dapat dilepas. Kicau burung2 itu dapat menambah semarak taman ini, gusti puteri"
"Tetapi apabila kembali ke keraton, aku hendak mohon kepada ramanda baginda supaya di
taman ini dilepas beberapa ekor kijang" kata puteri Gayatri "kijang tak membahayakan para
pengunjung tetapi merupakan binatang2 yang sedap dipandang"
"Akupun hendak mohon kepada ramanda baginda" puteri Tribuwana ikut bicara "agar di taman
ini dibangun sebuah bangunan yang nggi. Bagian bawah dapat digunakan untuk tempat
beris rahat, bagian atas harus merupakan bangunan semacam pagoda, agar dari tempat itu orang
dapat menikmati keseluruh penjuru alam"
"Ah, sungguh indah pendapat paduka, gus puteri" bekel bhayangkara itu memuji "baginda
tentu berkenan mengabulkan"
Nararya yang dapat menangkap pembicaraan itu, diam2 memuji juga akan pandangan kedua
puteri itu untuk menambah kesemarakan taman itu..
Tiba2 tampak sesuatu yang mengejutkan. Sekawan lelaki bertubuh kekar, empat orang
jumlahnya, masuk ke dalam taman. Wajah dan sikap mereka amat kasar. Gelak tawa berhamburan
dari mulut mereka ketika melangkah ke dalam taman.
"Ho, beginilah taman Boboci yang termasyhur itu" seru salah seorang yang berkumis tebal "jika
aku seorang pengantin baru, terjjtu kuajak isteriku pesiar kemari"
"Sayang tiada seorang wanita yang mau menjadi pengantinmu, kawan" seru seorang kawannya.
"Siapa bilang" Apakah aku kurang gagah?" kata orang berkumis seraya menegakkan tubuh dan
memelin r kumisnya "jangankan wanita biasa, puteripun tentu akan jatuh ha apabila melihat
aku" "Benar"sambut kawan yang lain pula"jika puteri itu seorang puteri can k tak bernyawa seper
patung bidadari di tengah kolam itu"
Terdengar gelak tertawa makin gemuruh dari keempat lelaki pendatang itu.
"Setan" guman lelaki berkumis itu "apa,engkau tak percaya ?"
"Apa yang harus menyebabkan aku percaya?" sahut kawannya pula.
Mata lelaki berkumis itu berkeliaran memandang kesekeliling taman. Tiba2 matanya terbeliak
"Baik, akan kubuktikan kepadamu"
Lelaki berkumis itu terus melangkah lebar, menghampiri ketempat kedua puteri. Ketiga kawannya
mengikuti di belakang. "Bagus" teriak lelaki berkumis itu "impian akan menjadi kenyataan. Aku akan mendapat puteri
yang hendak kujadikan pengantinku"
Ke ga lelaki kawannya mencurah pandang kearah puteri Tribuana dan puteri Gayatri. Mereka
terbelalak memandang kecantikan kedua puteri itu.
"Hai, puteri ayu. Siapakah engkau?" teriak lelaki berkumis seraya menghampiri.
"Keparat engkau !" ba2 bekel Bhayangkara yang disebut Rangkah tadi segera loncat ke muka
seraya menghardik marah. Lelaki berkumis itu menyurut mundur selangkah "Kurang ajar! Engkau berani memaki aku?"
teriak nya. "Berandal dari mana engkau ini" Mengapa engkau berani kurang tata terhadap gus puteri
kerajaan Singasari!" bentak bekel Rangkah pula.
"Dia seorang puteri" Ah, sungguh kebenaran sekali. Memang sudah lama sekali aku merindukan
seorang puteri sebagai mempelai ..."
"Keparat!" belum lelaki berkumis itu menyelesaikan kata-katanya, bekel Rangkah sudah loncat
menerjangnya. Lelaki berkumis itu tak sempat menghindar. Cepat ia menangkis, krak ... tubuhnya segera
terlempar beberapa langkah ke belakang. Untung ke ga kawannya cepat menyanggapi sehingga ia
tak sampai terjerembab ke tanah.
Ke ga lelaki itupun serempak maju "Siapa engkau !" bentak mereka dengan wajah memberingas
kemarahan. "Aku bekel Mahesa Rangkah dari keraton Singasari. Basar sekali nyalimu berani mengganggu
gusti puteri. Apakah nyawamu rangkap tujuh?"
"Tidak peduli" teriak salah seorang dari ke ga lelaki itu "di dalam keraton, dia puteri raja. Tetapi
disini, dia seorang wanita cantik"
Rupanya bekel Mahesa Rangkah tak dapat menguasai kemarahannya lagi. Ia terus
menerjang ketiga lelaki berandal itu. Segera ia dikerubut oleh empat orang. Lelaki berkumis
tadipun mencabut pedang dan menyerang Mahesa Rangkah.
Mahesa Rangkah tak gentar. Ia menyambar tombak trisula dari seorang anakbuahnya lalu
menghadapi keempat lawannya. Pertarungan berlangsung seru. Mahesa Rangkah ternyata gagah
perkasa. Ia dapat mendesak keempat lawan dan dapat menombak lelaki berkumis itu lagi. Akhirnya
keempat lelaki kasar itu lari pontang panting.
"Kejar?" perintah bekel Mahesa Rangkah. Dan ke ga prajurit anakbuahnyapun segera mengejar.
Tak berapa lama mereka bergegas datang dengan wajah lesi dan gugup "Ki..bekel, berandal2 itu
tetap melarikan kuda kita"
"Mereka berani?" teriak Mahesa Rangkah dengan marah sekali "kejar sampai ketemu ...." ia-pun
terus melangkah pergi. "Kakang bekel" tiba2 putera Tribuana berseru "hendak kemanakah kakang mengejar mereka?"
"Kemanapun Saja sampai ketemu" sahut bekel Rangkah dengan penuh semangat.
Puteri Tribuana gelengkan kepala "Tak perlu, kakang bekel. Mereka mencuri kuda, tentu
sudah lari jauh. Bagaimana mungkin kakang bekel hendak mengejar mereka. Dan bagaimana
dengan keselamatan kami berdua apabila kakang bekel mengejar mereka?"
Bekel Mahesa Rangkah tertegun "Maaf, gusti, hamba hanya menuruti rangsang kemarahan"
"Siapakah kiranya kawanan manusia liar itu ?" tanya puteri Tribuana.
Mahesa Rangkah merenung. Sejenak kemudian memberi keterangan "Jika kawula Singasari,
tentulah akan tahu siapa kiranya gus puteri berdua. Tentu tak berani seliar itu hendak
mengganggu. Rasanya mereka tentu gerombolan penjahat dari lain daerah yang kebetulan singgah
di taman ini" "O" desuh puteri Tribuana "peris wa ini benar2 aneh. Ditengah hari, di taman Boboci yang
menjadi pusat keramaian di pura Singasari, ternyata muncul juga kawanan penjahat yang berani
mengganggu kami. Tidakkah ini berarti keamanan dalam pura masih belum terjaga dengan baik"
"Itulah, gus puteri" kata bekel Rangkah "maka baginda yang mulia segera menitahkan
penggan an pada beberapa mentri. Tumenggung Wirakre di-lorot sebagai mentri dan ditugaskan
untuk menjaga keamanan pura dengan pangkat mentri Angabhaya"
Mahesa Ranggah menghela napas "Tetapi nyatanya keamanan di pura masih belum terjamin.
Titah gus hamba, yang mulia baginda Kertanagara, rupanya telah diabaikan oleh tumenggung
Wirakreti" "Tetapi kakang bekel" kata puteri Tribuwana "penilaianmu tadi tepat. Kawanan, penjahat itu
tentu berasal dari luar daerah yang kebetulan saja singgah di taman ini. Dalam hal itu paman
tumenggung Wirakreti tentu tak menduga"
"Gus puteri" kata Mahesa Rangkah "se ap nayaka yang ditugaskan menjaga keamanan harus
mempunyai tanggung jawab yang penuh. Misalnya, langkah paduka yang berminat bercengkerama
di taman Boboci ini seharusnya mendapat pengawasan dan pengawalan dari yang berwajib
menjaga keamanan. Dalam hal menjaga keselamatan gus puteri, daklah tepat kalau hanya
didasarkan pada dugaan saja. Dugaan bahwa tak mungkin kawula atau penjahat dalam pura ini
berani mengganggu gusti puteri"
Puteri Tribuwana mengangguk.
"Dalam peris wa ini, mau tak mau mbullah kesan hamba terhadap diri tumenggung itu" kata
Mahesa Rangkah pula. "Kesan bagaimana?" tanya puteri Tribuwana.
"Atau tumenggung Wirakre itu memang tak cakap, melaksanakan tugasnya. Atau memang
sengaja menghapus semangatnya untuk melakukan tugas"
Puteri Tribuwana kerutkan dahi, ujarnya "Jika tak cakap, itu memang dapat saja
kemungkinannya. Tetapi apabila paman tumenggung tak bersemangat dan sengaja melalaikan
tugas, hal itu kurang dapat kuterima. Karena paman Wirakre itu seorang mentri narapraja yang
sudah lama dan setya"
"Gus puteri" kata Mahesa Rangkah "adakah gus memperkenankan hamba untuk memberi
ulasan?" "Ya" "Acapkali terjadi bahwa seseorang yang telah menjabat kedudukan tinggi itu, akan kecewa,
malu dan marah dalam hati apabila diturunkan kedudukannya. Demikian kiranya hal yang terjadi
pada tumenggung Wirakreti. Beliau dahulu seorang mentri besar kekuasaannya dalam
pemerintah, telah dihapus dan dipindah dalam tugas keamanan. Dengan demikian dia tak
mempunyai pengaruh kekuasaan lagi dalam pemerintahan. Apabila tumenggung Wirakreti
melaksanakan tugas baru dengan setengah hati, tentu mudah dimengerti"
Puteri Tribuwana tak memberi pernyataan apa2.
"Tetapi tumenggung terlalu melampaui batas. Entah bagaimana ndakan baginda apabila
baginda mendapat laporan tentang peris wa hari ini. Dikua rkan tumenggung akan menerima
hukuman yang lebih tegas" bekel Mahesa Rangkah menghela napas.
"Paman tumenggung sama sekali dak melalaikan tugas" ba2 puteri Gayatri yang sejak tadi
diam, membuka suara. Bekel Rangkah terkejut "Mohon gusti puteri berkenan memberi penjelasan kepada hamba"
"Kepergian ayunda Tribuwana bersama aku ke taman ini sebelumnya ada rencana. Tiba2 saja
mbul minat kami untuk pesiar ke taman ini" kata puteri Gayatri "dengan demikian sudah tentu
kamipun tak memberitahu kepada kepala keamanan keraton"
"Benar" puteri Tribuwana ikut memberi suara "kami hanya menitahkan kakang bekel membawa
beberapa anakbuah, mengiringkan perjalanan kami ke taman ini"
"Akulah yang bersalah, bukan paman tumenggung. Karena kepergian kami secara diam2 itu,
apabila sampai terjadi hal2 yang tak diinginkan seper tadi, akan mempersulit tugas paman
tumenggung" Bukan kepalang sibuk ha Mahesa Rangkah. Ia berusaha untuk menghitamkan tumenggung
Wirakre dihadapan kedua puteri. Agar kedua puteri itu akan memberitahu kepada baginda.
Tetapi di luar dugaan, puteri Gayatri telah menyatakan bahwa tumenggung Wirakre tak bersalah.
Kedua puteri itu akan bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi dalam taman itu tadi.
Sampai beberapa saat Mahesa Rangkah tak dapat berkata-kata.
"Kakang bekel" akhirnya puteri Tribuwana yang luhur budi berkata "betapapun halnya, namun
aku dan adinda Gayatri amat berterima kasih kepadamu karena dapat menghindarkan kami berdua
dari suatu musibah yang hina"
"Gus puteri" serta merta bekel Rangkah menghaturkan sembah "apa yang hamba lakukan
hanya suatu kewajiban dalam tugas hamba. Mengapa gusti harus berterima kasih?"
"Benar" ujar puteri Tribuwana "memang kakang bekel hanya melakukan tugas. Tetapi bagaimana
apabila kakang bekel gagal dan dikalahkan kawanan penjahat itu" Tidakkah keamanan diri kami
juga akan menderita?"
Bekel Rangkah tak dapat menyahut.
"Oleh karena itu, ada berkelebihan apabila aku berterima kasih kepadamu. Dan sebagai
pernyataan dari rasa terima kasih itu, terimalah pemberianku ini, kakang bekel"
Puteri Tribuwana melolos cincin yang berada dijari tengah dan diberikan kepada bekek, Rangkah.
Bekel itu terkejut "Gus puteri" serunya dengan nada tergetar "bagaimana gus puteri hendak
menganugerahkan hamba cincin pusaka gusti puteri"
"Terimalah" seru puteri Tribuwana.
"Tetapi gus puteri" masih Mahesa Rangkah gemetar "sudah amat berterima kasih tak terhingga
dan girang tak terperikan ha hamba karena gus puteri terhindar dari suatu peris wa yang tak
terduga. Bagaimana hamba masih mengharapkan pemberian anugerah gusti puteri ?"
"Aku telah mengatakan alasanku" kata puteri Tribuwana "dan anugerah ini telah menjadi
keputusan-ku. Apakah engkau hendak menolak pemberianku kakang bekel ?"
Mahesa Rangkah menyadari makna dari pertanyaan puteri Tribuwana. Apabila ia berkukuh
menolak tentulah puteri akan murka karena menganggap penolakan itu suatu hinaan. Maka
serta merta Mahesa Rangkahpun segera menerima anugerah itu seraya menghaturkan sembah
terima kasih. Peristiwa itu disaksikan dengan jelai oleh Nararya dari tempat persembunyiannya. Iapun
memperhatikan betapa cahaya muka bekel Mahesa Rangkah dikala menerima pemberian cincin
dari puteri Tribuwana. Lebih bangga dari seorang pahlawan yang berjasa dalam peperangan
"Hm" Nararya mendesuh dalam hati. Ia tak tahu perasaan hatinya saat itu. Entah geram entah
iri. Yang jelas dadanya terasa sesak dihimpit oleh kemuakan yang meluap.
Ia tak tahu mengapa ia membiarkan dirinya memiliki perasaan begitu. Pada hal ia sadar sesadar-
sadarnya bahwa ia tak mempunyai hak sama sekali untuk melahirkan penilaian dan membentuk
kesimpulan. "Aduh ...." Nararya terkejut mendengar teriakan mengaduh itu. Ia berpaling ke samping karena ia tahu
suara itu berasal dari mulut Pamot "Mengapa Pamot ?" tegurnya.
Pamot sibuk merogohkan tangannya ke paha celana "Bedebah ...."
"Mengapa Pamot?" Nararya mengulang.
"Semut, raden, binatang itu menggigit pangkal pahaku sampai seper kena api rasanya" kata
Pamot. "Ah" Nararya hendak tertawa tetapi dihen kan seke ka manakala ia merasa dihadapannya
berdiri sepasang kaki orang. Ia terkejut. Namun ditenangkan-nya perasaan itu. Pandang matanya
mulai menelusur merayap keatas pinggang, tubuh dan akhirnya muka orang itu "Ah, bekel
Rangkah" desuhnya dalam hati.
Pandang mata Nararyapun beradu pandang dengan mata bekel Rangkah. Tampak mata bekel itu
berkilat-kilat tajam, memancar hawa kemarahan "Siapa engkau" hardik bekel itu sebelum Nararya
sempat bangkit memberi salam.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, ki bekel" serta merta Nararya berbangkit menghaturkan maaf. Demikianpun Pamot.
"Siapa engkau!" bekel Rangkah mengulang hardikannya. Matanya menjelajah pandang ke sekujur
tubuh Nararya. "Aku dan kawanku ini juga sedang menikma keindahan taman Boboci. Maaf apabila teriakan
kawanku yang digigit semut tadi, mengganggu ki bekel"
"Aku tak sengaja, ki bekel" kata Pamot pula.
"Hm, kalian tentu anggauta gerombolan berandal tadi" teriak bekel Rangkah dengan mata
berkilat-kilat. "Berandal" Ah, dak sama sekali, ki bekel" kata Nararya "kecuali kami berdua, juga terdapat
beberapa orang yang tengah menikmati keindahan taman ini"
"Lekas mengaku terus terang sebelum kesabaranku habis" teriak bekel Rangkah.
"Harus mengaku bagaimana, ki bekel?"
"Bahwa kalian ini benar anggauta gerombolan berandal radi"
Pamot merah mukanya. Ia hendak marah tetapi Nararya memberi isyarat mata supaya dia
menahan diri. Kemudian ia berkata "Adakah kami berdua ini serupa dengan golongan berandal?"
"Berandal tak dapat diukur dengan keadaan tampang orang. Ha orang siapa yang tahu" kata
bekel Rangkah "yang jelas, ngkah ulah kalian bersembunyi dibalik gerumbul pohon ini, bukankah
karena hendak menggintai kedua gusti puteri kami ?"
"Ah, ki bekel, harap jangan menduga sehina itu kepada kami" masih Nararya berkata dengan
tenang "kami lebih dulu datang ke taman ini sebelum rombongan gusti puteri tiba"
"Itu bukan halangan" sahut bekel Rangkah "karena kalian hendak mempersiapkan diri lebih dulu
di taman ini" "Tetapi sama sekali kami tak tahu bahwa gus puteri akan bercengkerama ke taman ini. Kamipun
hanya secara kebetulan saja singgah dalam perjalanan kami pulang ke Daha"
"Hm, engkau prang Daha ?"dengus bekel Rangkah "dan engkau menyelundup ke taman ini untuk
menunggu kedatangan gusti puteri"
"Aku tidak menyelundup" teriak Pamot yang marah melihat sikap bekel itu.
"Ki bekel" kata Nararya dengan nada tenang "adakah suatu peraturan yang melarang bahwa
orang Daha dilarang masuk ke taman Boboci ini " Jika memang ada, akupun rela menerima pidana
menurut peraturan itu"
"Hm, pandai benar engkau membalas kata2" cemoh bekel Rangkah "memang taman Boboci ini
tak mempunyai peraturan hegitu. Tetapi ketahuilah bahwa ada suatu peraturan dalam rangka
tugas pengamanan dan melindungi keselamatan gus puteri, pimpinan pengawal diwenangkan
untuk mengambil ndakan terhadap seseorang yang dicurigai akan mengganggu keselamatan gus
puteri" "Adakah ki bekel menganggap bahwa aku dan kawanku ini layak dicurigai?" tanya Nararya.
"Ya" sahut bekel Rangkah.
"Apa dasarnya, ki bekel?"
"Peris wa dari empat orang berandal yang hendak mengganggu gus puteri itu, mengharuskan
aku untuk mengusir atau menangkap setiap orang lelaki yang berada di taman ini"
"Ah, tiada semua pengunjung lelaki tentu sejahat mereka tadi" bantah Nararya.
"Mereka jelas bukan kawula Singasari. Demikian-pun engkau berdua. Maka kalian harus keluar
dari taman ini atau terpaksa kutangkap" bekel Rangkah mengancam.
Sesungguhnya apabila menuru perintah bekel itu, amanlah Nararya. Dia tak perlu menghadapi
urusan-urusan lebih lanjut. Tetapi entah bagaimana, ada dua buah hal yang menguasai
per mbangannya. Pertama, ia tak puas akan sikap bekel Rangkah yang congkak. Kedua, berat rasa
ha nya untuk tak dapat memandang kedua puteri itu. Suatu pemikiran yang mustahil diadakan
tetapi mustahil pula di adakan. Baginya, meniadakan bayangan wajah kedua puteri itu, semustahil
hendak meniadakan sinar sang surya. Lenyapnya surya, dunia akan gelap. Lenyapnya bayangan
kedua puteri itu, hatinyapun pekat..
"Aku bersedia pergi" katanya kepada bekel Rangkah "atas dasar ndakan pengamanan kedua
gusti puteri" Mahesa Rangkah mengangguk.
"Tetapi kuminta ki bekel menarik kembali tuduhan ki bekel bahwa kami berdua adalah anggauta
dari gerombolan penjahat tadi"
Bekel Rangkah terkesiap "Engkau menuntut?"
"Ya" sahut Nararya "kami berdua masuk ke taman ini sebagai orang bersih dan keluarpun harus
sebagai orang bersih. Jika kami keluar karena berlumur tuduhan yang ki bekel lontarkan kepada diri
kami, kami terpaksa menolak"
Mahesa Rangkah masih muda. Angkuh dan nggi ha . Sebenarnya apabila ia mau menarik
kembali tuduhannya tadi, Nararya dan Pamot akan keluar dan u? rusanpun selesai sampai disitu.
Tetapi bekel itu sedang dimabuk pujian, temaha akan jasa. Dia telah berhasil memikat perha an
puteri Tribuwana sehingga puteri itu berkenan menganugerahi cincin atas jasanya menghalau
kawanan pengacau tadi. Alangkah kagum dan makin meninggi pujian puteri itu apabila ia dapat
menuduh Nararya dan Pamot sebagai kawan2 dari pengacau2 tadi lalu kemudian dapat dihajarnya
" Tidakkah puteri itu akan membalas lagi dengan imbalan yang lebih besar dengan melaporkan
kegagahan bekel Rangkah ke hadapan ramanda baginda Kertanagara " Tidakkah baginda
Kertanagara akan menganugerahinya pangkat dan kedudukan yang lebih
nggi". Tidakkah, kegagahan dan keberaniannya untuk melindungi keselamatan puteri itu akan menimbulkan kesan
dalam hati sang puteri "
Bermacam per mbangan itu makin memantapkan keputusannya bahwa ia akan menangkap
Nararya dan Pamot sebagai kawan dari gerombolan pengacau tadi.
"Jangan banyak tingkah! Engkau berani membantah perintahku?" hardik bekel bhayangkara itu.
"Aku tak bersalah, mengapa ki bekel menuduh aku dengan prasangka seburuk itu?" Nararyapun
terhanyut dalam rangsang kemengkalan terhadap sikap bekel yang - sewenang-wenang itu.
"Keparat" bekel Rangkah serentak mengayunkan tinjunya ke dada Nararya. Melihat itu Pamotpun
segera bergerak hendak menyongsong tetapi diapun sudah diserbu oleh dua orang prajurit
pengiring rombongan kedua puteri itu.
Mendengar hiruk pikuk, teriak hardik dan debu yang berhamburan dari balik gerumbul pohon,
puteri Tribuwana dan puteri Gayatri segera menghampiri. Alangkah kejut kedua puteri itu demi
melihat bekel Rangkah sedang berkelahi dengan seorang pemuda yang cakap wajahnya. Sedang
dua orang prajurit sedang mengembut seorang lelaki.
"Berhen " ba2 puteri Tribuwana berseru memberi perintah karena melihat saat itu bekel
Rangkah dapat diteliku oleh pemuda itu.
Mendengar kehadiran kedua puteri, pemuda itupun terkejut. Serta mendengar perintah
Tribuwana, pemuda itupun segera lepaskan tubuh Rangkah dan menyurut mundur, terlongong-
longong memandang kedua puteri.
Bahwa ke ka dari balik gerumbul pohon melihat kecan kan kedua puteri Singasari itu, Nararya
sudah berdebar-debar tak keruan. Dan kini setelah hanya terpisah beberapa langkah jaraknya dari
puteri itu, semangatnya, serasa terbang.
Sukar ia membedakan siapakah diantara kedua puteri itu yang lebih can k. Dalam pandang
matanya, kedua puteri itu seper dua bidadari yang turun ke mayaloka. Dalam pandang ha nya, ia
seolah berhadapan dengan suatu kegaiban yang berupa sepasang surya atau matahari kembar.
"Duk ...." sekonyong-konyong Nararya gelagapan ke ka dadanya terhunjam sebuah nju yang
keras sehingga ia kehilangan keseimbangan, terhuyung dua ga langkah ke belakang. Ia terus
pejamkan mata menahan debar jantungnya yang berdetak keras.
"Engkau curang, kakang bekel!" teriak puteri Gayatri demi menyaksikan peris wa yang dilakukan
oleh bekel Rangkah kepada Nararya.
"Dia kawan penjahat tadi, gusti" Mahesa Rangkah hendak memburu Nararya lagi.
"Berhen !" teriak sebuah suara yang bernada lembut tetapi mengandung wibawa. Itulah puteri
Tribuwana yang melengkingkannya.
Entah bagaimana, Mahesa Rangkah kuncup nyalinya ke ka mendengar suara puteri Tribuwana.
Kepada puteri Gayatri yang memakinya tadi, ia masih tak tunduk tetapi kepada puteri Tribuwana ia
ma langkah "Mengapa gus puteri" Dia adalah kawan dari kawanan berandal tadi"
Perkenankanlah hamba untuk menghajarnya"
"Tidak, kakang bekel" seru puteri Tribuwana dengan nada berkuasa sehingga-bekel Rangkahpun
tak berani bergerak "aku hendak bertanya dulu kepadanya. Jika dia benar kawan dari gerombolan
penjahat tadi, kakang bekel boleh menangkapnya"
"Telah hamba tanya, gus puteri" kata bekel berusaha untuk menghalangi puteri berbicara
langsung dengan pemuda itu "walaupun dia menyangkal tetapi dia mencurigakan sekali. Kalau tak
hamba hajar, dia tentu tak mengaku"
"Baik, kakang bekel, tunggulah" kata puteri Tribuwana. Puteri baginda Kertanagara yang sulung
itu memang lebih sabar dan tak suka melukai perasaan o-rang, walau orang bawahanpun.
"Ki sanak" puteri Tribuwana berkata kepada Nararya "siapakah.engkau berdua ini" Mengapa
berkelahi dengan pengiring kami?"
Nararya membuka mata lalu memberi hormat "Hamba bernama Nararya dan kawan hamba
Pamot. Hamba sedang melihat keindahan taman ini entah apa sebabnya ki bekel, menuduh
hamba, sebagai penjahat dan dengan paksa hendak mengusir hamba dari taman ini"
"O" desuh puteri Tribuwana.
"Mohon gus puteri memberi ampun atas kesalahan hamba karena berani melawan pengiring
paduka" kata Nararya pula.
Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri diam2 terkejut atas pernyataan pemuda itu. Se kpun
pemuda itu tak menampakkan dendam kemarahannya terhadap bekel Rangkah yang telah
memukulnya secara curang. Bekel yang sudah ditangkapnya itu karena mendengar perintah puteri
Tribuwana, telah dilepas oleh pemuda itu. Tetapi bekel Rangkah bahkan malah memukul sesaat
pemtida itu tak bersiap. Kedua puteri itu memandang Nararya dengan penuh perha an. Wajah pemuda itu
memancarkan cahaya yang terang, tutur bahasanya rendah ha , sikapnya yang penuh susila,
menimbulkan kesan kepada kedua puteri itu bahwa dia tentu bukan pemuda kebanyakan. Raut
wajah seperti pemuda itu hanya dimiliki oleh putera2 keturunan priagung.
Rupanya Nararya yang menunduk, merasa dirinya terpancar oleh sesuatu yang menggelisahkan
ha nya, lapun mengangkat muka. Ah, bagaikan terkena pancaran kilat, darah Nararya serasa
bergejolak keras demi pandang matanya beradu pandang dengan kedua puteri itu.
Pernah ia berhadapan dengan Singa Barong dan gerombolannya, pernah ia melayani
Suramenggala dan pernah ia harus menghadapi godaan2 dari indera ciptanya ke ka bertapa di
makam candi Wengker. Tetapi kesemuanya itu daklah sehebat pancaran sinar mata kedua puteri
yang menatap pandang matanya terus tembus ke ha . Baru pertama itu dalam hidupnya ia
mengalami suatu goncangan hati yang sukar dilukiskan.
Rupanya hal itu sempat diperha kan pula oleh bekel Rangkah. Marahnya bukan kepalang
"Jangan kurang tata, bedebah !" bentaknya dengan mata merentang lebar, selebar mungkin untuk
menghanguskan tubuh pemuda itu dengan sorot matanya yang memancarkan api kemarahannya.
Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri tersipu-sipu merah mukanya. Walaupun kemarahan bekel
itu ditujukan pada Nararya, tetapi karena merekalah yang menjadi lawan pandang mata Nararya,
kedua puteripun merasa tersinggung pula. Sesungguhnya tak layak mereka mengandung perasaan
itu. Seorang puteri raja, daklah sama dengan seorang gadis biasa. Berhak untuk memandang
orang2 bawahannya. Dalam hal itu tiada menyangkut kesusilaan melainkan kekuasaan.
Tetapi puteri Tribuwana dan Gayatri mempunyai perasaan lain. Berhadapan pandang mata
dengan Nararya, mereka merasa bukan seorang puteri melainkan seperti seorang wanita atau
gadis. Hilang rasa keangkuhannya sebagai puteri raja. Mereka benar2 merasakan perasaan
hati dan perasaan diri sebagai gadis remaja. Remaja yang cerah bergelora bagaikan kuntum
mekar di-pagi hari menanti kedatangan kumbang.
"Ki sanak" akhirnya puteri Tribuwana mendapat kembali keperibadiannya, rasa dan duduk
dirinya. "bekel yang mengawal kami itu mempunyai tanggung jawab akan keamanan perjalanan
kami. Oleh karena itulah maka ki bekel telah mengambil tindakan kepadamu"
"Hambapun menerima tindakan ki bekel, gusti puteri" kata Nararya.
"Engkau melihat juga akan peris wa keempat orang yang hendak mengganggu kami tadi?" tanya
puteri pula. "Ya" "Tetapi kupercaya penuh keteranganmu. Engkau bukanlah kawan mereka" kata puteri.
"Terima kasih, gusti" Nararya memberi hormat.
Bekel Rangkah cemas geram melihat kedua puteri asyik berbicara dengan Nararya. Ia sempat
pula memperha kan betapa cerah wajah kedua puteri itu dikala bercakap dengan Nararya. Bahkan
puteri Gayatri yang mahal senyum dan selalu tampak membawa wajah sarat apabila berkata-kata
kepadanya, pun tampak mengulum senyum kepada Nararya.
"Bedebah" makin berkobarlah kemarahan bekel Mahesa Rangkah demi melihat betapa gembira
cahaya wajah Nararya, betapa bersinar kedua mata pemuda itu pada saat berhadapan dengan
kedua puteri. Sebagai sesama jenis lelaki, tahulah ia apa yang terkandung dalam sikap dan cahaya
wajah Nararya itu. Kemudian ia mendengar ucapan puteri Tribuwana yang tak percaya bahwa Nararya itu anggauta
dari kawanan penjahat tadi. Ah, berbahaya apabila ia sampai kehilangan muka dihadapan puteri
itu. Ia tahu bagaimana harus menghadapi puteri Tribuwana. Jika ia tetap berkukuh mengatakan
Nararya itu seorang anggauta kawanan penjahat, tentulah puteri Tribuwana tak senang ha
kepadanya. Ia harus menggunakan akal.
"Ki sanak" ba2 ia berkata kepada Nararya "maa an pukulanku tadi. Demikian pula ucapanku
yang kasar kepadamu. Tetapi engkau tentu dapat memaklumi, betapa berat tugas mengawal
keselamatan gusti puteri itu"
Nararya terkejut, cepat ia menyahut "Ah, ki bekel merendah diri. Memang akulah yang bersalah.
Ki bekel seorang yang tahu akan kewajiban. Jangankan hanya memukul, membunuh diriku, pun
kurasa ki bekel tak bersalah"
Umpannya berhasil, bekel Rangkah tak mau me-nyia-nyiakan kesempatan yang bagus. Ia harus
mengikat Nararya dalam pembicaraan agar kedua puteri itu tak sempat berbicara lagi dengan
pemuda itu "Ki sanak kurasa engkau tentu memiliki ilmu yang tinggi"
"Ah, janganlah ki bekel menyanjung diriku sedemikian tinggi"
"Memang ki sanak sendiri yang memberitahu kepadaku" kata Mahesa Rangkah.
"Aku" Ah, ki bekel ...."
"Sesungguhnya kutahu dan tak percaya bahwa engkau seorang anggauta gerombolan penjahat
tadi. Tetapi aku tetap berkeras mengatakan begitu kemudian menyerangmu, tak lain karena
hendak menguji sampai-dimana kesak anmu. Ternyata engkau telah lulus dari ujian itu. Peluang
yang serigaja kuberikan dapat engkau gunakan sebaik-baiknya untuk meneliku tanganku. Demikian
juga hantaman yang kuhunjamkan ke dadamu itu dapat engkau tahan dengan ilmu kepandaianmu
yang sakti. Bukankah hal itu kesemuanya engkau sendiri sudah memberi tahu kepadaku?"
"Ah, ki bekel" Nararya menghela napas "betapa rasa terima kasih ha ku atas pelajaran yang tuan
berikan kepadaku. Memang, apabila ki bekel tak mengalah, bagaimana mungkin aku mampu
mengalahkan ki bekel ?"
Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri mendengar jelas pembicaraan itu. Diam2 mereka terkesiap
dan mengetahui apa yang terjadi tadi. Kedua puteri itu tak menger ilmu kanuragan maka
merekapun percaya saja apa yang dikatakan bekel Rangkah. Bukankah Nararya sendiri juga
mengakui hal itu " Di situlah letak kepandaian dan kelicinan Mahesa Rangkah. Dia tahu kemana
angin ber up. Diapun tahu pula bahwa lebih baik mengiku arah angin ber up daripada harus
bertahan apalagi menyongsong. Dengan kata2 itu, cepat ia dapat memulihkan kepercayaan kedua
puteri atas kedigdayaan yang dimilikinya.
"Ki sanak" kata bekel Rangkah pula " dakkah engkau mempunyai cita2 untuk masuk prajurit"
Kurasa gusti senopati Anabrang tentu gembira sekali menerimamu"
Nararya terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia memang mempunyai cita cita untukmenjadi
prajurit Singasari karena hanya dengan jalan itulah dia dapat mengabdikan diri pada negara. Tetapi saat
ia masih mempunyai beberapa tugas yang belum selesai dikerjakan. Maka dengan halus ia menolak
tawaran bekel Rangkah. Bekel Rangkah sempat memperha kan betapa cerah berseri cahaya kedua puteri ke ka ia
menawarkan Nararya supaya masuk sebagai prajurit Singasari. Geramnya makin berkokar. Hujan
setahun terhapus panas sehari. Sudah bertahun-tahun ia memiliki suatu angan-angan yang nggi.
Memang ia merasa betapa nggi a-ngan-angan itu harus digapainya, betapa sukar ia akan berhasil
mencapainya bahkan kemungkinan berhasilnya amat pis sekali. Tetapi menjadi pendirian Mahesa
Rangkah, sama2 berangan-angan atau bercita-cita, sama2 harus berusaha untuk mencapai cita-cita
itu, mengapa ia tak bercita-cita menggapai rembulan daripada hanya menggapai bintang.
Dengan tekun, rajin dan penuh pengabdian, akhirnya ia makin mendekati dengan arah cita-
citanya itu. Ia telah diangkat sebagai bekel bhayangkara-dalam. Ia telah dipercayakan untuk
mengawal keselamatan kedua puteri baginda. Dengan demikian makin dekatlah ia a-kan cita-
citanya itu. Tetapi selama mengabdi kepada kedua puteri itu. masih belum ada suatu tanda2
yang dirasakan bahwa ia mempunyai harapan untuk mencapai cita- citanya itu. Bagaikan
rembulan, tampaknya dekat tetapi jauhnya bukan kepalang. Jauh tetapi tampak dekat sekali.
Demikian yang dirasakan dalam hubungannya dengan kedua puteri baginda itu.
Kini dengan indera penglihatan dan indera perasaan, ia memperha kan bahwa kedua puteri itu
cepat sekali sudah mempunyai kesan baik dalam pertemuan pertama dengan Nararya. Tidakkah hal
itu akan menghapus jerih payahnya untuk mencapai cita-cita yang diangan-angankannya itu"
Tidakkah hal itu sama dengan panas sehari yang menghapus hujan setahun itu "
"Jahanam" teriak hati Mahesa Rangkah kepada Nararya "engkau harus mati, ki sanak !"
Walaupun kemarahan itu mbul dalam ba n, tetapi bekel Rangkah tak kuasa menahan tebaran
warna merah yang menyelimu seluruh wajahnya. Ia cepat menyadari hal itu karena pangkal
telinganya terasa panas. Buru2 ia menekan perasaannya dan menenangkan wajahnya pula "O.
apabila engkau masih belum sempat membak kan dirimu kepada kerajaan Singasari, aku-pun tak
mau memaksa, ki sanak"
"Terima kasih, ki bekel" kata Nararya dengan ha jujur karena ia tak tahu sama sekali bisa yang
diselubungi dengan rangkaian kata manis yang bernada ramah dari mulut bekel itu.
"Namun engkau tetap dapat membak kan dirimu kepada kerajaan Singasari, ki sanak. Asal
engkau mau" kata bekel Rangkah.
"O, apakah itu, ki bekel?"
"Kawanan berandal yang berani mengganggu kedua gus puteri kemudian melarikan diri dengan
melarikan empat ekor kuda kami, harus ditangkap. Apabila engkau dapat melaksanakan hal itu,
besar sekali ganjaranmu, ki sanak"
"Ah, ki bekel ...."
"Tangkaplah kawanan berandal itu, ma atau hidup, kalau ma laporkanlah kepadaku. Kalau
hidup pun bawalah mereka kepadaku. Carilah aku, bekel bhayangkara Mahesa Rangkah, di keraton
Singasari. Jasamu pasti akan kuhaturkan kepada gusti senopati"
"Benar, ki .... ki sanak" ba2 puteri Gayatri ikut bicara "jasamu akan kuhaturkan kepada ramanda
baginda" Sebenarnya tak tertarik ha Nararya pada anjuran bekel Rangkah. Tetapi demi mendengar puteri
Gayatri ikut menganjurkan, seke ka ia menerima "Baik, gus . Hamba akan berusaha untuk
menyelidiki jejak mereka dan menangkapnya"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau sudah berjanji dihadapan gus puteri, ki sanak" cepat pula bekel Rangkah menambahi
"harus engkau tepati"
Nararya terkejut mendengar kata2 itu. Dengan begitu secara tak disadari ia telah melibatkan diri
dengan suatu tugas dari puteri Tribuwana dan puteri Gayatri serta dengan bhayangkara penjaga
keamanan keraton. Namun ke ka matanya yang menunduk ke tanah itu melihat gunduk bayang2
yang rebah merentang di hadapannya, ha nyapun berdebur. Bayang2 itu adalah bayang2 tubuh
kedua puteri yang terpancar sinar surya. Sedemikian dekat bayang2 itu sehingga bagian kepala dari
kedua puteri seolah rapat berhadapan. Ia sempat memperha kan pula bahwa bibi kedua puteri itu
seolah bergerak-gerak, seperti orang membisikkan kata kepadanya ....
"Ah, bayang2. Bilakah engkau benar2 akan menjelma sebagai pemilikmu sesungguhnya" diam2
bertanyalah Nararya kepada bayang2 itu. Pertanyaan dari dalam hati dengan bahasa rasa.
Rupanya kemenungan Nararya itu diperha kan pula oleh kedua puteri. Dan kedua puteri itupun
tahu apa yang sedang dipandang Nararya. Entah adakah hal itu hanya menurut reka khayal
Nararya atau memang sesungguhnya demikian. Tetapi Nararya samar2 melihat pula salah seorang
puteri telah menganggukkan kepalanya dan yang seorang melambaikan tangan. Ah.....
"Baik, ki bekel" akhirnya ia berkata dengan semangat bergelora "aku akan berusaha untuk
memenuhi keinginan ki bekel"
"Bukan keinginanku yang pen ng, ki sanak" buru2 bekel Rangkah mendesak pula "tetapi janjimu
dihadapan gus puteri. Ksatrya harus memenuhi janji dan takkan menghadap apabila belum
berhasil memenuhi janji itu"
Karena sudah terlanjur, ibarat telah didudukkan di atas kuda, maka ada lain jalan bagi Nararya
kecuali harus mencongklang maju. Ia mengiakan saja kata2 bekel bhayangkara itu.
"Jika demikian, sebaiknya ki sanak lekas saja mengejar mereka. Tentulah mereka belum sempat
lari jauh" kata bekel Rangkah. Sepintas ucapannya itu memang enak di dengar. Tetapi
sesungguhnya kata2 itu berselubung maksud untuk mengusir Nararya agar lekas pergi dari hadapan
kedua puteri. Sebenarnya puteri Gayatri terkejut dan tak senang karena bekel itu secara halus mengusir
Nararya. Tetapi dia malu untuk mencegahnya. Ia harus memegang kedudukannya sebagai seorang
puteri raja. Bukan karena seorang puteri harus angkuh tetapi keangkuhan itu hanya merupakan
suatu sikap yang dituntut kewibawaan peribadinya. Tetapi diam2, sebagai seorang gadis, puteri itu
mengeluh dalam hati. Nararya berha jujur dan kurang pengalaman. Sejak berada di gunung menuntut ilmu kepada
gurunya, dia hanya dekat dengan alam, melihat keindahan alam dan ketenangan suasana
pegunungan. Hanya mendengar kicau burung yang merdu dan wejangan2 yang bermutu dari resi
Sinamaya. Ia menganggap dunia ini indah. Ia memandang se ap orang dari segi keindahan alam
dan kehidupan. Demikian pandangannya terhadap bekel Mahesa Rangkah. Ia tak menyangka
bahwa dibalik kata2 yang ramah bersahabat dari bekel itu mengandung racun yang amat berbisa.
Demikian setelah menghaturkan sembah kepada kedua puteri dan hormat kepada ki bekel. Nararya
segera mengajak Pamot keluar dari taman. Boboci.
"Kakang Pamot" Nararya menghela napas "sungguh tak kira kalau di taman Boboci, kita dapat
berjumpa dengan kedua puteri baginda"
Pamot geleng2 kepala "Tetapi radenpun telah mengikat diri dengan sebuah tugas lagi"
"Maksudmu menangkap kawanan berandal yang menganggu gusti puteri itu ?"
"Ya" sahut Pamot.
Demikian percakapan mereka sambil mencongklang-kan kuda menempuh jalur jalan yang
merentang panjang. "Ya" sahut Nararya "memang demikian hidup manusia itu. Selalu dirundung dengan peris wa
dan masalah yang silih berganti"
"Tetapi raden" ba2 nada Pamot berobah sungguh2 " dakkah raden memperha kan, sesuatu
selama menghadapi peristiwa di taman Boboci tadi?"
"Apa maksudmu, Pamot?"
"Tentang diri bekel bhayangkara itu"
"O, tidak. Mengapa dia ?"
"Aku mendapat kesan bahwa bekel bhayangkara itu seorang yang licik dan kurang jujur terhadap
kita" "O" desuh Nararya pula "mengapa engkau memiliki pendapat yang sedemikian ?"
"Pertama, bagaimana mungkin seper yang dikatakan dihadapan kedua puteri, bahwa dia pura2
mengalah untuk memberi kesempatan kepada raden agar dapat membekuknya" Adakan raden
mempunyai perasaan dan kesan begitu ?"
"Apa yang kurasakan ke ka berkelahi saat itu, bekel itu memang menyerang dengan sungguh2,
penuh kemarahan. Sampai pada saat tangannya berhasil kutangkap dan kuteliku, dia masih
berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya"
"Dan dakkah raden sempat memperha kan betapa cahaya muka bekel itu dikala raden terlibat
dalam pembicaraan dengan kedua puteri?"
Nararya gelengkan kepala "Tidak, Pamot. Aku hanya mencurahkan perhatian kepada kedua
gusti puteri saja" "Akulah yang sempat memperha kan bekel itu, raden" seru Pamot "kulihat wajahnya tampak
mem-beringas dan matanya berkilat-kilat merah. Dia mencurah pandang kemarahan kepada raden"
"Ah, Pamot, janganlah engkau berprasangka terhadap orang" kata Nararya.
"Tidak raden" bantah Pamot "aku dak berprasangka tetapi memang melihat kenyataannya.
Maka tak habis keherananku ke ka secara ba2 bekel itu dapat beralih nada bersahabat dengan
raden" "Itu tanda bahwa prasangkamu keliru" kata Nararya.
"Tetapi segera kurangkaikan pula dengan dua buah ndakan bekel itu terhadap raden. Pertama,
bekel itu seolah mendesakkan tugas untuk menangkap kawanan berandal itu kepada raden.
Tidakkah hal itu menyulitkan beban raden" Kemanakah raden harus mencari jejak mereka"
Bukankah mereka tak meninggalkan nama dan tempat sarangnya" Adakah raden harus menjelajah
ke seluruh pelosok untuk mencari keempat orang itu ?"
Nararya tertegun. "Dan kedua, bekel itu menandaskan tentang ar janji bagi seorang ksatrya. Dia menganggap
raden sudah memberikan janji dihadapan kedua puteri. Dan ditambahkannya pula, bahwa selama
raden belum berhasil menangkap kawanan berandal itu, janganlah raden menghadap ke keraton
Singasari. Bukankah secara halus, dia hendak mengatakan bahwa raden jangan menginjak lagi pura
Singasari apabila belum menangkap kawanan berandal itu?"
Nararya terbeliak. "Apakah maksud yang terkandung dibalik kata2 bekel itu"kata Pamot lebih lanjut" jika
kusesuaikan dengan sikap dan pandang matanya yang berapi-api ke ka raden sedang bercakap-
cakap dengan kedua puteri, dakkah aku harus memiliki kesan bahwa rupanya bekel itu tak senang
apabila raden dapat berhubungan dengan kedua puteri " Tidakkah kesan2 itu mendorongku untuk
mengambil kesimpulan bahwa bekel itu agaknya mempunyai maksud tersembunyi kepada kedua
puteri baginda?" "Pamot!" teriak Nararya "apa katamu?"
"Tidakkah bekel itu sebenarnya mengandung maksud tersembunyi terhadap kedua puteri
baginda?" Nararya pejamkan mata. Seolah hendak mengenangkan kembali saat2 ia berbicara dengan kedua
puteri serta sikap bekel Mahesa Rangkah waktu itu. Sayang ia gagal untuk menghimpun kesan
karena pada saatituseluruhperhatiandansemangatnyater-
Kini ia menyadari bahwa apa yang dikemukalcan Pamot itu memang mempunyai kemungkinan.
Namun kesemuanya itu telah terjadi dan terjanji. Dapatkah ia menarik kembali janjinya"
"Tidak mungkin" bantah ha Nararya "lebih baik aku tak menginjak pura Singasari daripada
harus ingkar janji" Walaupun perbantahan itu terjadi dalam ba n, namun Pamot dapat memperha kan perobahan
cahaya muka Nararya yang berobah-robah
"Raden" segera Pamot menyusuli kata2 "semua telah terjadi dan kupercaya raden tentu tak mau
menarik kembali janji raden itu"
"Hm" "Apa yang kukemukan kepada raden" kata Pamot pula "hanya suatu penilaian pada diri bekel
bhayangkara itu agar kita dapat tahu apa yang sesungguhnya menimpa diri kita"
"Pamot" kata Nararya "engkau telah mengungkap awan yang menyelimuti puncak tujuan
bekel bhayangkara itu. Tetapi kurasa, andaikata kutahu hal itu, pun sukar bagiku untuk menolak
permintaannya. Karena jelas, bekel itu berlindung dibawah kekuasaan kedua puteri untuk
membebankan kewajiban itu kepadaku,"
"Benar, raden" sahut Pamot "kecuali gusti puteri berkenan mencegah tindakan bekel itu"
Nararya menghela napas "Kurasa kedua puteri itupun kurang memahami apa yang terkandung
dalam ha bekel bhayangkara. Andaikata menger , kupercaya, kedua gus puteri tentu akan
bertindak" "Mencegah bekel itu ?"
"Ya" Pamot mengangguk-angguk "Lalu bagaimana tindakan raden sekarang ini ?"
"Kita kembali ke Daha"
"Adakah kita tak melakukan penyelidikan berita tentang hilangnya gong Prada itu di Singasari?"
Nararya mengangguk "Sebenarnya apabila kita dapat menyelidiki bekel Kalingga yang menerima
surat pangeran Ardaraja itu, kemungkinan kita dapat menyelidiki pula jejak gong pusaka itu. Tetapi
hal itupun belum pas . Karena sekalipun sudah dapat diketahui bahwa bekel Kalingga itu
mempunyai hubungan dengan pangeran Ardaraja, tetapi belum pas bahwa surat pangeran
Ardaraja itu menyangkut soal gong Prada"
"Dan sukar pula untuk menyelidiki diri bekel Kalingga itu mengingat dia seorang bekel
bhayangkara-dalam" sambut Pamot.
"Benar" kata Nararya pula "dan masih ada kesukaran lain. Adakah surat pangeran Ardaraja itu
memang diberikan kepada bekel Kalingga ataukah bekel Kalingga itu hanya sebagai orang perantara
yang akan memberikan surat itu kepada lain orang yang berhak menerima"
Dalam pada bercakap-cakap itu mereka sudah jauh dari pura Singasari. Tiba2 saja Nararya
berseru "Pamot, kita berhenti dan beristirahat dulu di bawah pohon itu"
"Mengapa raden?" tanya Pamot kepada Nararya yang sementara itu sudah menuju ke sebuah
pohon brahmastana yang tumbuh tak jauh dari tepi jajjan.
"Kita dinginkan dulu kepala kita untuk mencari pikiran" kata Nararya seraya turun dari kuda,
melepaskan kuda itu supaya makan rumput di tanah lapang sekeliling tempat itu.
"Pekerjaan kita bertambah lama bertambah ruwet" kata Nararya sambil membaringkan diri di
atas akar brahmastana yang melingkar-lingkar menguasai tanah "belum berhasil menemukan jejak
kakang Lembu Peteng, kini harus menghadapi beban untuk mencari kawanan penjahat )ang
mengganggu kedua puteri di taman Boboci itu"
"Benar, raden" kata Pamot "tak kira kalau pencarian gong pusaka itu akan menimbulkan
peristiwa2 yang lebih luas sehingga kita makin bingung"
"Perkembangan lebih cepat dari pemikiran kita, sehingga kita seolah ter mbun oleh
perkembangan2 itu" kata Nararya "oleh karena itu apabila kita tak berusaha melepaskan diri dari
mbunan2 peris wa itu, tentulah kita akan tenggelam dalam suatu kisaran yang ada pangkal
ujungnya" Pamot sependapat dengan pernyataan Nararya. Ke-duanyapun lalu berdiam diri, tenggelam
dalam renungan masing2. Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, renungan Nararya membayang pada pengalaman2 sejak
ia turun dari gunung menuju ke WengkeK Ia senang dan mewajibkan diri, se ap kali menggali
renungan, tentu dimulai sejak ia turun gunung. Karena hal itu akan selalu mengingatkan kepadanya
akan tujuan yang sedang dilaksanakan. Dengan selalu berpegang pada garis2 tujuan itu, ia
berharap dapat berpijak pada Iandasan murni dari tujuan itu. Karena apabila dak selalu
mengingat akan tujuan, banyaknya macam peris wa2 yang dialami selama dalam perjalanan
melaksanakan tujuan itu, mungkin akan menyesatkan pikiran dan membilukkan arah tujuan itu.
Sesaat renungannya tiba pada peristiwa di candi Wengker, ia terkejut. Kemudian ketika
mencapai pada pengalamannya di Daha, ia terkejut lagi. Lalu sesaat membayangkan peristiwa
di Boboci, kejutnya makin meregang keras. Kejutan demi kejutan, mendebarkan hati,
menggelorakan darah dan menggelisahkan pikirannya.
"Di desa Jenangan, menunggu Mayang Ambari. Di keraton Daha, dianugerahi sabuk pinggang kain
sutera dewangga dari puteri Nrang Keswari. Di taman Boboci, bertemu dengan kedua puteri
Tribuwana dan Gayatri, ah" ia menghela napas "adakah jalan hidupku ini penuh bertebaran
bunga2 yang harum?" Pertanyaan itu tak diketahui jawabannya. Namun ia merasS, bahwa setiap kali mengalami
pertemuan dengan wanita cantik dan puteri2 agung, semangatnya terasa lebih bergairah.
Kehidupan lebih meriah, langit lebih cerah dan alam lebih indah. Suatu perasaan yang tak
pernah dimiliki selama ia berguru di gunung.
Di gunung ia merasakan hidup itu tenang, dunia ini tenteram, alam bersemarak dalam
keheningan, semangatnya sentausa. Gurunya hanya mengajarkan ilmu kesempurnaan batin dan
ilmu kanuragan serta kesaktian. Tak pernah guru yang dihormatinya itu menyinggung tentang
soal2 wanita. Kini setelah mengalami beberapa peristiwa dengan wanita, ia mulai lebih menyelami sifat
hidup dan keadaan alam. Dulu di gunung ia tak menaruh perhatian akan indahnya bunga2 yang
mekar, merdunya burung2 berkicau dan silirnya semilir angin. Kini ia baru merasakan apa arti
bunga2 memekarkan keindahan, burung2 berimbau merdu dan angin berhembus silir. Dulu ia
menganggap bahwa bunga mekar, burung berkicau dan angin berhembus, karena harus mekar,
berkicau dan berhembus. Sesuai dengan kodrat alam hidupnya. Suatu hal yang wajar. Tetapi
kini ia dapat menghayati bahwa bunga2 itu mekar bukan hanya sekedar mekar, melainkan
untuk memberikan sari madunya kepada sang kumbang dan untuk memeriahkan keindahan
alam dunia. Alam tanpa bunga2 akan terasa hambar, kurang sedap, kurang serasi. Burung
berkicau, pun bukan karena sekedar berkicau. Melainkan mengimbaukan kedatangan pagi,
mendambakan puji syukur akan kebesaran dan kemurahan Hyang Jagadnata pencipta alam
semesta yang serba lengkap. Angin berhembus bukan sekedar harus berhembus. Tetapi
mempunyai tujuan untuk menyejukkan insan dari terik surya, membawa udara yang segar dan
menerbangkan uap bumi yang tercampur kotoran debu.
Merangkaikan lamunan tentang bunga, burung dan angin dengan peris wa2 pertemuannya
kepada beberapa puteri can k, melambunglah lamunan Nararya kesuatu penghayatan yang lebih
lanjut. Seper alam kurang indah tanpa bunga, kehidupan kurang meriah tanpa wanita. Semerdu-
merdu kicau burung, masih kalah merdu dari nada lemah lembut seorang wanita. Sesilir silir
hembusan angin masih lebih menyejukkan hembusan napas yang mengantar ucapan seorang
puteri. Secan k can k bunga, seharum-harum baunya, masih lebih can k puteri jelita, masih lebih
harum bau yang bertebaran dari tubuhnya.
"Ah, kiranya dapat kumaklumi mengapa, menurut cerita rama, putera prabu Batara Kresna yang
bernama raden Somba itu, sampai melepaskan Wahyu agung yang telah dicapai, karena tergoda
oleh puteri can k. Adakah raden Somba itu seorang pemuja dari seni keindahan anggun yang
tercangkup dalam kecan kan yang sempurna dari seorang puteri?" Nararya berhen sejenak dan
pejamkan mata "ataukah raden itu seorang yang tak kuat imannya melawan godaan" Ah, benar.
Puteri can k itu memang sengaja hendak menggoda untuk menguji keteguhan iman raden Somba.
Jika begitu, apakah aku juga tergoda. O, benar, akupun tergoda ...." tanpa disadari Nararya
berteriak dan membuka mata.
"Hah ..." seketika ia terpukau.
Dihadapan, entah kapan datangnya, saat itu tegak sesosok tubuh seorang lelaki yang memiliki
wajah lebar, mata bundar, hidung besar dan sepasang kumis yang lebat. Orang itu segera
mengangakan bibir sehingga gigi2 besar yang memagari mulut, tampak merekah tawa, ke ka
melihat Nararya membuka mata dan memandangnya.
"Engkau ...." "Benar, raden ..." belum Nararya sempat menyelesaikan kata2, orang itu sudah mendahului.
Tetapi sebelum dia sempat menghabiskan kata-katanya pula, ba2 Pamot menukas "Ki Lembu
Peteng ... !"serunya seraya beranjak bangun.
"Benar, Pamot, aku memang Lembu Peteng" orang itu mengangguk kepada Pamot. Kemudian
beralih menghadap ke arah Nararya.
"Kakang Lembu Peteng" akhirnya Nararya mendapatkan ketenangannya kembali "mengapa
engkau berada disini ?"
"Menunggu kedatangan raden" kata Lembu Peteng tertawa.
"Eh, kakang Lembu, apakah engkau bergurau ?"
"Tidak raden" kata Lembu Peteng dengan nada bersungguh "aku dak bergurau. Bukankah raden
habis bertamasya di taman Boboci?"
Nararya makin nyalangkan mata "Eh, kakang Lembu, mengapa engkau tahu" Apakah engkau juga
berada disana" Mengapa aku tak melihatmu?"
"Aku memang berada di taman itu dan melihat raden bersama Pamot. Tetapi saat itu aku tak
sempat menghadap raden. Dan memang tak dapat"
"Mengapa?" tanya Nararya.
"Karena terpancang oleh keadaan. Apabila kulakukan hal itu, tentulah raden terancam bahaya"
Nararya bingung memikirkan keterangan Lembu Peteng. Keadaan" Keadaan apakah yang
melarang Lembu Peteng tak dapat menemuinya itu" Ah, cerita Lembu Peteng itu langsung dimulai
dari tengah tanpa memberi penjelasan pangkal dan ujung ceritanya.
"Kakang Lembu, aku benar2 tak menger kata-katamu. Apakah yang engkau maksudkan ?"
katanya. Lembu Peteng tertawa "Baiklah, raden. Memang kata2 itu merupakan bagian tengah dari cerita
yang hendak kuhaturkan kepada raden. Maaf, apabila sampai membingungkan raden"
"Raden, pada saat raden berada di taman Boboci, apakah yang telah terjadi disitu?" berhen
sejenak Lembu Peteng mulai bicara. Tetapi pembicaraannya itu bukan awal dari sebuah cerita
melainkan mengajukan pertanyaan.
"Kedua puteri baginda Kertanagara juga berkunjung ke taman itu"
"Benar" jawab Lembu Peteng "lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Tiba2 muncul empat gerombolan lelaki liar yang hendak mengganggu kedua puteri"
"Benar" seru Lembu Peteng pula "lalu apa lagi yang raden saksikan"
Nararya menceritakan tentang pertempuran antara bekel bhayangkara dengan keempat lelaki
liar itu dengan kesudahan bekel itu dapat mengalahkan mereka "Lalu dimanakah engkau saat itu,
kakang Lembu" "Disitu juga, raden" Lembu Peteng tertawa.
"Jika begitu .... jika begitu adakah kakang Lembu ikut serta dalam kawanan lelaki liar itu?" ba2
Nararya berseru kejut sesaat menyadari akan hal itu.
Lembu Peteng tertawa "Benar, raden. Memang salah seorang dari keempat lelaki liar itu, adalah
aku sendiri" "Kakang Lembu, bagaimana mungkin hal itu ?" teriak Nararya yang benar2 tak percaya akan
keterangan Lembu Peteng. "Raden, memang hal itu tampaknya tak mungkin" kata Lembu Peteng "tetapi manakala raden
sudah mendengar ceritaku, hal itu tentu mungkin"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nararya meminta Lembu Peteng menuturkan ceritanya yang lengkap dan Lembu Petengpun
mulai bercerita. "Malam itu aku menunggu di luar keraton. Tepatnya di pintu utara karena dari situ dapat
menuju ke Singasari. Menjelang tengah malam, aku dan Tugul, anakbuah yang ikut aku itu,
melihat sesosok tubuh keluar dari keraton dengan menuntun kuda. Segera kami mengikuti
orang itu. Saat itu kami agak bingung. Dia naik kuda dan kami berjalan kaki. Sebenarnya hal itu
dapat menyembunyikan gerak gerik kami, karena kalau kami-pun berkuda, tentulah dia cepat
mengetahui" "Tetapi bagaimanapun kami payah sekali harus berlomba dengan seekor kuda. Terpaksa kuajak
Tugul berlari. Untunglah malam sunyi senyap sehingga dengan mengandalkan indera pendengaran
untuk menangkap derap lari kuda, aku berhasil mengikuti terus tanpa kehilangan jejak orang itu"
"Entah sudah berapa lama kami berlari, yang jelas kudengar napas Tugul sudah menderu-deru
seper ombak berkejar-kejaran dilaut. Demikian pula sayup2 kudengar kokok ayam hutan mulai
menggelegar di kedinginan pagi. Ah, jika kulanjutkan terus, kemungkinan Tugul tentu pingsan
karena kehabisan tenaga. Pikirku. Lalu kuajak dia berhenti dan beristirahat dulu ...."
"Tiba2 aku terkejut karena teringat sesuatu. Derap kaki kuda itu tak kedengaran lagi. Tiba2
saja lenyap. Seketika timbullah pikiranku bahwa orang itupun tentu berhenti. Dengan bisik2
kuajak Tugul melanjutkan berjalan pelahan-lahan. Saat itu kami mencapai tanjakan sebuah
bukit. Sehabis menanjak, Tugul tak kuat lagi. Ia minta berhenti dulu untuk beristirahat.
Keremangan malam mulai terkuak kecerahan, menyongsong kedatangan fajar hari. Setelah
sepenanak nasi beristirahat, kami berjalan lagi. Tetapi alangkah kejut kami ketika melihat
sekeliling tempat itu penuh dengan lelaki2 bersenjata. Wajah merekapun dicontreng dengan
kapur dan hangus" "Siapakah kalian ini, ki sanak" tegurku setelah menenangkan diri.
"Engkau tak berhak dan tak perlu menanyakan soal itu. Karena saat ini kalian berdua sudah
menjadi tawanan kami"seru salah seorang dari orang2 bersenjata itu"
"Aku ?" teriakku terkejut "kalian hendak menawan aku" Mengapa?"
Sahut orang itu "Jika engkau menanyakan tentang kesalahanmu, aku dapat memberi keterangan.
Dengarlah, mengapa engkau berani memata-matai dan mengiku jejak kawan kami yang datang
dari Daha ?" "Hah ?" aku makin terkejut.
"Nah, tak perlu terkejut karena terkejutpun tak berguna. Sekarang pilihlah, menyerah atau
melawan" seru orang itu.
"Kalau aku melawan ?" aku menegas.
"Mayatmu akan kami lempar ke bawah jurang menjadi makanan burung gagak"
"Kalau aku menyerah ?"
"Engkau harus masuk menjadi warga kami"
"Apakah, sifat tnjuahmu" Pejuang atau penyamun?"
"Engkau tak berhak bertanya. Tugasmu hanya menurut perintah" seru orang itu
"Kukeliarkan pandang mata untuk memperhatikan keadaan mereka. Ternyata yang
mengepung kami itu tak kurang dari tigapuluh orang yang masing2 membekal senjata tajam.
Kuperhitungkan, jika aku berkeras melawan, mungkin aku masih dapat bertahan atau dalam
keadaan yang buruk, aku masih mampu melarikan diri. Tetapi bagajmana dengan Tugul yang
sudah tampak letih karena kehabisan tenaga itu " Bukankah dia akan dibunuh orang2 itu.
"Aku bersedia menyerah tetapi lebih dulu aku ingin mengetahui siapakah ki sanak sekalian ini
dan bagaimanakah keadaan ki sanak sekalian yang sebenarnya" akhirnya aku memberi keputusan.
"Tanpa kuceritakan, kelak engkau tentu akan mengetahui sendiri" kata orang itu. Ia memberi
perintah kepada anakbuahnya untuk melucu senjataku dan menggiring aku serta Tugul kedalam
sarang mereka. Aku terpaksa menurut. (Oo-dw.kz^ismoyo-oO) Jilid 6 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I ANGIN merupakan salah sebuah unsur dari keempat unsur alam yang pen ng. Angin, Air, Api
dan Tanah. Bahkan tubuh manusia itupun terbentuk dari zat keempat unsur itu.
Angin atau hawa, menghidupkan kehidupan alam dan manusia. Mendatangkan kehidupan,
kesejukan tetapipun kehancuran.
Karenanya, angin atau badai atau apapun hawa luar yang melanda tubuh kita akan menyibak
unsur angin dalam tubuh kita itu. Dapat menimbulkan nafsu dan gejolak perasaan lain2. Hanya
apabila kita sudah dapat menguasai keinginan nafsu itu maka angin itu a-kan tetapmerupakan
angindalam sifat kewajarannya.
Dan sesungguhnya angin itu memang unsur alam yang wajar. Tercipta dari gerak kehidupan alam,
untuk kepentingan gerak kehidupan alam itu pula.
Menurut cerita, angin pernah menggegerkan dewa2 dan menggagalkan jerih payah dan kesujutan
hati seorang maharaja-diraja yang bernama prabu Mahabisa.
Prabu Mahabisa seorang maharaja yang berkuasa besar, gagah perkasa dan taat akan
kewajibannya memberi sesaji kepada para dewa2. Karena ketaatan dan ke-setyaannya itu maka
dewa2 pun meluluskan sang prabu untukberhimpun di kahyangan.
Pada suatu hari dewa2 hendak menghadap Sang-hyang Brahma untuk mempersembahkan sujut.
Para dewa itu mengenakan pakaian serba pu h. Prabu Mahabisa dan Dewi Gangga, puteri dari
dewa sungai Gangga, pun ikut dalam rombongan itu.
Dengan kesak annya, para dewa itupun melayang ke angkasa atas. Dikala mereka terbang
melayang-layang maka berhembuslah angin kencang sehingga pakaian dewa2 itu berkibaran keras.
Tiba2 terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan. Pakaian Dewi Gangga yang cantik itu, terlepas
dari tubuhnya .... Para dewa gemetar menyaksikan pemandangan yang mendeburkan darah, mendebarkan
jantung. Buru2 mereka memejamkan mata agar terhindar dari Rupa atau perwujutan, yang akan
memikat Vedana atau Perasaan, membentuk Sanna atau penyerapan, melahirkan Sainkhara atau
pikiran dan menciptakan Vinnana atau Kesadaran. Lima Skandha atau Lima kelompok Kegemaran
yang dapat mencemarkan kesucian batin mereka.
Tetapi dak demikian dengan prabu Mahabisa. Ia seolah-olah terkena pesona ke ka
menyaksikan keindahan tubuh tanpa busana dari Dewi Gangga yang gemilang. Kulit tubuh yang
pu h mulus, lekuk2 yang sedemikian indah dan o, dewa batara .... seluruh keindahan yang lengkap
dan sempurnalah kiranya tubuh sang puteri Gangga yang cantik tiada taranya itu . . .
Seke ka bergolaklah nafsu birahi prabu Mahabisa. Darah terasa panas dan denyut
jantungnyapun berdetak keras. Tetapi serempak pada saat itu juga, ia telah menerima kutuk
Sanghyang Brahma supaya kembali turun ke dunia bersama Dewi Gangga. Batinnya belum suci
Prabu Mahabisa masih seorang manusia. Tetapi seorang pria. Dia belum dapat melepaskan ke-
manusiawi"annya, belum dapat melupakan ke-priaannya.
Demikian cerita tentang peris wa Angin yang menggegerkan dewa2. Konon Sanghyang
Brahmalah yang sengaja menciptakan angin itu untuk menguji ba n para dewa dan kedua insan
manusia itu. Entah berapa banyak peris wa yang telah dilakukan Angin dalam tugasnya untuk menghidupkan
kehidupan alam dan manusia. Ada yang merasa sejuk, gembira, sedih, takut, marah, terangsang
dan lain2. Angin tetap angin, tetap dalam kekuasaan Batara Bayu sebagaimana menurut kepercayaan
agama Hindu. Adakah angin dari Hyang Bayu itu akan menimbulkan sesuatu pada diri manusia,
tergantung dari Angin atau Hawa dalam tubuh manusia itu sendiri karena apabila Angin yang
merupakan salah sebuah unsur dari tubuh manusia itu, masih belum terkendalikan, maka
mudahlah Angin dalam itu tersibak oleh angin luar.
Angin memang kadang jahil karena dia berada di-mana2 dan dimanapun terdapat kehidupan.
Entah sudah berapa banyak peris wa2 yang mbul dari kejahilan angin itu. Salah sebuah peris wa
besar yang mbul karena kejahilan angin itu yalah peris wa di taman Boboci pada jeman Tumapel
diperintah oleh seorang akuwu yang bernama Tunggul Ametung.
Akuwu Tunggul Ametung mempunyai seorang isteri yang cantik gemilang. Saat itu isteri
Tunggui Ametung, Ken Dedes namanya, sedang hamil. Entah bagaimana, pada suatu hari Ken
Dedes ingin sekali bercengkerama menikmati keindahan taman Boboci. Tunggul Ametung
menitahkan pengaiasan untuk menyediakan ratha kencana dan menitahkan pula sekelompok
prajurit untuk mengiringkan isterinya ke taman Boboci.
Bersama dengan Tunggul Ametung maka Ken Dedes naikrathakencana ke taman Boboci.
Ikut serta pula seorang pengalasan bernama Ken Arok, seorang pemuda yang nakal kemudian
dipungut anak oleh seorang brahmana sakti Lohgawe. Brahmana Lohgawelah yang menghadap
akuwu Tunggul Ametung dan minta agar akuwu suka menerima Ken Arok sebagai abdi.
Adakah Hyang Bayu di tahkan untuk menguji iman Ken Arok seper ke ka peris wa pada dewa2
dan prabu Mahabisa dahulu itu, atau memang hanya secara kebetulan saja. Tetapi yang jelas telah
terjadi pula suatu peris wa yang hampir serupa dengan dewi Gangga. Hanya apabila ke ka
melayang ke dirgantara pakaian dewi Gangga lepas semua karena dihembus angin jahil, daklah
demikian dengan Ken Dedes.
Ke ka turun dari ratha, ba2 berhembuslah angin jahil menyiak kain wanita itu hingga be s
sampai ke anggauta rahasianya terbuka. Peris wa itu terjadi cepat sekali dan secepat itu pula Ken
Dedes menyambar kainnya dan membenahi pula. Walaupun agak tersipu merah wajahnya namun
Ken Dedes yakin bahwa hal itu tak terlihat oleh siapapun juga. Ia merasa kurang cermat untuk
melingkupkan kainnya. Karena perut wanita biasa, lain dengan pinggang dari seorang wanita yang
hamil. Namun pada saat itu pemuda Ken Arok yang tegak pada jajaran sebelah kiri jalan dari
kelompok pengiring akuwu Tunggul Ametung melihat apa yang seharusnya tak boleh dilihatnya.
Ia terlihat betapa betis Ken Dedes yang menguning padi itu. Ia pun terlihat sesuatu yang benar2
mengejutkan. Anggauta tubuh yang paling suci dari Ken Dedes yang tersembunyi pada pangkal
pahanya, tampak mempesonakan. Bukan karena ia tak pernah melihat anggauta rahasia dari
wanita sehingga terpesona. Bukan. Iapun seorang pemuda yang penuh kenakalan dan
kejalangan dalam lembaran hidupnya. Mencuri, berjudi dan berjinah. Minum, main dan madon
atau main wanita, semua pernah dilakukannya.
Tetapi yang benar2 membuat Ken Arok ternganga seper kena pesona, adalah karena anggauta
kesucian Ken. Dedes itu memancarkan sinar seperti bara.
"Tidak mungkin" bantah hati Ken Arok ketika pulang di rumah. Namun matanya jelas
menyaksikan hal itu, penyerapan pikirannyapun membenarkan, kesadarannya mengukuhkan
juga. Dulu Ken Arok pernah berbuat hal2 yang nakal. Bersama putera lurah Sagenggeng yang bernama
Tita, kedua pemuda itu membuat dukuh disebelah mur desa Sagenggeng. Disitu Ken Arok dan Tita
menghadang para pedagang yang lalu. Kemudian Ken Arok berani pula menggoda gadis2 penyadap
di desa Kapundungan. Bahkan pernah pula menggumuli mereka. Tetapi selama itu belum pernah ia
melihat anggauta rahasia dari seorang wanita yang mencarkan sinar membara seper milik Ken
Dedes. Brahmana Lohgawe heran melihat ulah Ken Arok hari itu. Tidak seperti biasanya. Termenung-
menung dan mengoceh seorang diri. Kemudian brahmana itu menegurnya.
Karena tak kuat menahan dendam berahinya, Ken Arokpun menceritakan apa yang dilihatnya di
taman Boboci tadi. "Wanita yang rahimnya memancarkan sinar, itulah wanita nariswari atau mus kaningrat.
Betapapun sengsara seorang laki2, tetapi apabila menikah dengan wanita seper itu, akan menjadi
raja besar" kata brahmana Lohgawe.
Dengan bekal pengetahuan itu maka bertekadlah Ken Arok untuk memperisteri Ken Dedes.
Akhirnya ia berhasil mempersun ng wanita idamannya itu setelah membunuh akuwu Tunggul
Ametung. Berkat angin jahil di taman Boboci, maka berobahlah sejarah kerajaan di Singasari. Ken Arok
benar2 menjadi raja bergelar Sri Rajasa sang Amurwabhumi dan berhasil mempersatukan Tumapel-
Daha menjadi sebuah kerajaan Singasari yang besar.
Adakah peris wa akan terulang pula" Dan adakah dewata telah menentukan bahwa, taman
Kisah Sepasang Rajawali 19 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pedang Bunga Bwee 3
^