Pencarian

Gelang Kemala 4

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


mereka sudah menampar muka sendiri tiga kali lalu minta maaf kepada Tang-siocia, kiranya
sudah cukup untuk memberi peringatan kepada mereka."
Hek-tung Kai-ong menghela napas. "Masih untung kalian ada Bian-kongcu vang mintakan
maaf. Cepat laksanakan hukuman itu. Tampar muka kalian tiga kali dan minta maaf kepada
Tang-siocia!" Si Gendut dan Si Tinggi Besar itu diam-diam merasa lega karena hukuman mereka ringan
saja. Mereka lalu menampari muka sendiri sampai biru, lalu keduanya menjura ke depan Cin
Lan, "Tang-siocia, mohon maaf sebanyaknya atas kesalahan kami," kata mereka,
Cin Lan merasa puas dengan cara hukuman itu, "Nah, dengan begini barulah aku dapat
mengatakan bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok!" Akan tetapi lalu
dilanjutkan, "Cuma sayang sekali gelang kemalaku lenyap dirampas orang lain yang tidak kita
ketahui siapa yang membawanya.
"Maaf, Siocia. Kami berjanji akan melakukan penyelidikan dan kalai kami berhasil merampas
kembali gelang kemala itu, pasti akan kami haturkan kepada Siocia."
"Baik, mari kita pergi, Suhu."
"Harap Pek I Lokai tunggu sebentar!" kata Ketua Hek-tung Kai-pang itu dan dla menyuruh
para muridnya pergi sambil membawa mayat A-siong. Setelah mereka semua pergi, tinggal
mereka berempat yang berada di situ, Cin Lan menegur,
"Pangcu, ada apa lagi" Kenapa Pang-cu menahan Suhu?" tanyanya penasaran.
Hek-tung Kai-ong tersenyum melihat kegalakan puteri pangeran itu.
"Nona, urusan dengan Nona sudah selesai, bukan" Sekarang saya hendak bicara sebentar
dengan Pek I Lokal."
"Hemm, kalau begitu silakan!" kata Cin Lan.
Pek I Lokai tersenyum. "Agaknya engkau masih merasa penasaran kepadaku yang telah
mengalahkan dua orang muridmu itu. Benarkah demikian, Hek-tung Kai-ong?"
Wajah ketua itu menjadi kemerahan. "Sungguh aku merupakan seorang yang tidak tahu dlri.
Kita berdua sama-sama golongan pengemis, dan sudah lama sekali aku mendengar nama Pek
I Lokai yang terkenal lihai sekali. Maka, setelah kebetulan Lokai berada di sini, tentu aku
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mohon sedikit petunjuk dalam ilmu silat.
Terutama sekali ilmu tongkat, yaitu ilmu yang diagungkan oleh kita golongan pengemis.
Bagaimana, Lokai" Sukakah engkau bermurah hati untuk memberi petunjuk kepadaku dalam
hal ilmu tongkat?" Ketua itu sungguh seorang yang jujur akan tetapi juga cerdik. Sudah terang bahwa dia
menantang, akan tetapi kata tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata "mohon
petunjuk". Kalau Pek I Lokai menolak, hal itu dapat dimaksudkan bahwa dia takut atau memandang
rendah, keduanya mer pakan hal yang tidak enak baginya. Maka, dia pun lalu tertawa.
"Tang-siocia, tuan rumah mengajak aku untuk menguji kepandaian, bagaimana menurut
pendapat Siocia?" Cin Lan yang mengetahui akan kehebatan ilmu kepandaian gurunya, dengan bangga
menjawab, "Kalau orang sudah menantang, maka tidak baik kalau ditolak, Suhu. Kadang-
kadang perasaan paling kuat mendorong orang untuk bersikap sewenang-wenang, maka perlu
dibuka matanya bahwa ada orang-orang lain yang lebih kuat darinya."
"Ha-ha-ha, pandangan Siocia memang tepat sekali. Akan tetapi seorang seperti aku ini yang
sudah tua dan lemah, bagaimana akan mampu menandingi seorang seperti Hek-tung Kai-
ong?" Mendengar ucapan gadis itu, Hek-tung Kai-ong menjadi merah mukanya. Biarpun dia sendiri
tidak pernah menggu-nakan kepandaiannya, akan tetapi jelas murid-murid dan para
anggautanya telah memamerkan kekuasaan dengan perbuatan yang sewenang-wenang maka
dia pun tidak dapat menjawab apa-apa. Melihat ini, Bian Hok segera tersenyum dan berkata,
"Suhu, Pek I Lokai sudah siap untuk rne-nandingi ilmu tongkat Suhu. Kalau kalian dua orang
tua mau memperlihatkan ilmu tongkat masing-masing, hal itu akan membuka mata kami yang
muda-muda bukankah demikian, Tang-siauw-moi?"
Hek-tung Kai-ong lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pek I Lokai. "Mari-lah, Lokai,
hitung-hitung kita memberi petunjuk kepada murid-murid kita bagai-mana seharusnya
bermain tongkat." Pek I Lokai juga bangkit dan menyeret tongkatnya menghampiri tuan rumah yang sudah
berada di tengah ruangan yang luas ..itu. "Baiklah, Kai-ong. Ingat bahwa engkaulah yang
mengajak menguji ilmu tongkat, bukan aku. Aku hanya melayanimu saja."
Hek-tung Kai-ong melintangkan tong-katnya di depan dada dan berkata dengan suara lantang,
"Lokai, bersiaplah!"
Pek I Lokai berdiri dengan santai dan menjawab, "Majulah, Kai-ong."
Hek-tung Kai-ong memutar tongkatnya dan berseru, "Lokai, lihat seranganku!" Dan dia pun
menggerakkan tongkatnya menyerang dengan dahsyat sekali.
Akan tetapi dengan sikap masih tenang Pek I Lokai menangkis serangan itu dan membalas.
Kedua orang kakek itu segera saling serang dengan tongkat mereka. Mula-mula kedua orang
murid yang hadir di situ, yaitu Bian Hok dan Cin Lan, dapat mengikuti semua gerakan
tongkat dengan baik dan dapat melihat bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang
setingkat. Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka berdua tidak lagi dapat
mengikuti gerakan tongkat mereka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga bentuk. tongkat
lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang lebar. Mereka hanya melihat sinar hitam
bergulung-gulung dengan sinar kehijauan, dan dapat menduga bahwa sinar hitam tentulah
tongkat hitam di tangan Hek-tung Kai-ong sedangkan sinar hijau ada-lah sinar tongkat bambu
di tangan Pek I Lokai. Bahkan bayangan dua orang itu tidak dapat dilihat jelas karena mereka
berkelebatan dan tertutup sinar tongkat. Akan tetapi mereka dapat melihat beta-pa gulungan
sinar hitam kini terdesak mundur dan semakin sempit. Tiba-tiba sinar hitam itu meluncur
keluar dari pertandingan dan nampak Hek-tung Kai-ong memegang tongkat hitamnya dengan
muka agak pucat dan wajah serta lehernya penuh keringat. Pek I Lokai juga nampak dan
kakek itu masih kelihatan biasa saja, tenang dan santai, tidak terengah-engah seperti
lawannya. Hek-tung Kai-ong memberi hormat kepada Pek I Lokai. "Nama besar Pek I Lokai bukanlah
nama kosong belaka. Aku Hek-tung Kai-ong mengakui keunggulanmu, Lokai!"
"Aih, Hek-tung Kai-ong terlalu merendah. Ilmu tongkatmu yang hebat!" kata Pek I Lokai
sambil tersenyum. "Nah, sekarang kami minta diri, dan semoga mulai sekarang engkau lebih
mengawasi sepak terjang para murid dan anggauta perkumpulanmu."
"Jangan khawatir, Lokai. Urusan seperti yang terjadi kemarin tidak akan terulang kembali."
"Selamat tinggal."
"Selamat jalan!"
Pek I Lokai lalu pergi bersama Lan yang merasa bangga karena gurunya mendapat
kemenangan. Setelah tiba di luar, gadis itu berkata, "Suhu, tadi Suhu telah mendapatkan
kemenangan, mengapa tidak menghajar ketua sombong itu de-ngan satu dua kali gebukan?"
Pek I Lokai tersenyum. "Cin Lan, tidak boleh bersikap kejam kepada se-orang yang telah
mengakui kesalahannya. Dan ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong bukanlah rendah. Dia jujur
dan tahu diri, sebelum terkena gebukan dia sudah keluar dari pertempuran tadi dan menga-kui
kekalahannya. Maka engkau harus berhati-hati kalau kelak bertemu dengan ilmu tongkatnya
itu. Mari, kita pulang dan mulai hari ini akan kuajarkan engkau ^ ilmu tongkatku."
"Sayang gelang kemalaku tidak kudapatkan kembali, Suhu."
"Amat berhargakah gelang itu?"
"Bukan harganya, Suhu. Akan tetapij gelang itu pemberian ibuku dan harus kusimpan baik-
baik. Heran, siapakah yang telah mengambil gelangku itu?"
"Aku pun curiga sekali mendengar cerita mereka tadi. Seorang gadis yang membawa ular
merah" Ular merah yang gigitannya dapat membunuh orang seperti itu amat langka. Ah,
apakah itu Ang-hoa-coa (Ular Bunga Merah)" Kalau Ang-hoa-coa... ah, tidak mungkin ia...."
Kakek itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Siapa yang Suhu maksudkan?"
"Teringat akan Ang-hoa-coa, aku jadi ingat kepada seorang tokoh wanita yangi memiliki ular
merah seperti itu. Akan tetapi tidak mungkin. la bukanlah se-orang gadis remaja, melainkan
seorang wanita setengah tua. Bukan, tentu bukan ia. Tak mungkin seorang tokoh besar seperti
ia itu akan merampas sebuah gelang kemala dan melukai seorang anggauta Hek-tung Kai-
pang rendahan." "Siapa yang Suhu maksudkan dengan orang Itu?"
Sebelum menjawab, kakek itu memandang ke kanan kiri seperti seorang yang merasa jerih.
"la... Ang-tok Mo-!' (Iblis Betina Racun Merah)." Lalu dilanjutkan dengan cepat, "Sudahlah,
tidak balk membicarakan orang dan aku tidak percaya bahwa ia yang mengambil gelang-mu.
Biar para pengemis itu yang men-carinya. Mereka yang bertanggung jawab untuk
mengembalikan gelangmu Itu. Mari kita pulang!"
Guru dan murid itu lalu berjalan cepat menuju ke Kuil Kwan-im-bio. Semen-tara itu, Bian
Hok yang merasa penasaran bertanya kepada gurunya,
"Suhu, bagaimana pendapat Suhu dengan ilmu tongkat kakek berbaju putih tadi?"
Hek-tung Kai-ong menghela napas panjang lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursinya.
"Ahhh, memang bukan nama kosong belaka. Ilmu tongkatnya luar biasa sekali. Terus terang
saja, selamanya baru ini hari aku melihat ilmu tongkat yang mampu menandingi ilmu
tongkatku. Engkau harus berlatih dengan tekun dan rajin, Kongcu. Di dunia ini banyak sekali
terdapat orang yang lihai. Tergantung kepada kita sendiri untuk memperoleh ilmu yang
tangguh." Akan tetapi Bian Hok nampak termenung. Dia memang sudah lama menaruh hati kepada
Tang Cin Lan dan kini agaknya gadis itu telah menemukan seorang guru yang pandai.
Bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh gadis itu. Bagaimana mungkin seorang calon
suami kalah oleh calon isterinya" Dia mengharapkan kelak menjadi suami gadis yang amat
menarik hatinya itu. Gadis itu berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita dan nampak wajahnya selalu
riang gembira dengan sinar mata yang berkilat penuh gairah hidup dan mulutnya yang selalu
tersung-ging senyuman di bibirnya. Pakaiannya berkembang-kembang ramai dan cerah. Di
pinggangnya melingkar sebuah sabuk hitam. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua
dan ditekuk menjadi sanggul yang rapi di belakang kepalanya, diikat dengan pita merah.
Hidungnya yang mancung agak menjungat ke atas itu menambah kemanisan wajahnya dan
nampak lucu dan menarik. Kalau ia ter-senyum, hidung itu berkembang-kempis dan bagaikan
menjungat lebih ke atas lagi, seperti yang menantang! Manis sekali.
Dara remaja itu bersenandung sarnbil melangkah mendaki lereng bukit itu. Tangannya
mengenakan sebuah gelang kemala dan kedua tangannya memegang beberapa tangkai
kembang mawar yang tadi dipetiknya di tepi jalan. la berada di lereng bukit di luar kota raja,
nampak bergembira sekali walaupun berjalan seorang diri di jalan yang sunyi itu.
Tiba-tiba dara itu berhenti di bawah sebatang pohon dan menundukkan mukanya. Sejenak ia
memperhatikan suara di sekelilingnya, lalu ia tersenyum sambil mengangkat mukanya dan
terdengar ia berseru riang,
"Wah, di sini agaknya banyak anjing srigalanya!"
Baru saja dia berkata demikian, dari empat penjuru menyambar senjata-senjata rahasia yang
banyak sekali, seperti jarum, paku dan piauw (semacam senjata rahasia runcing bentuk
kerucut). Senjata-senjata itu meluncur ke arah tubuh dara itu dan tiba-tiba saja tubu'h itu
menghilang! Kini bermunculan banyak sekali pengemis Hek-tung Kai-pang di tempat itu. Jumlah mereka
ada tlga puluh orang, mengepung pohon itu. Dan mereka dipim-pin oleh Ciu Sek dan
suhengnya, Thio Seng, pengemis yang pendek gendut dan tinggi besar itu. Tadinya ada
anggauta pengemis yang melihat gadis itu berjalan seorang diri keluar dari pintu gerbang kota
raja. Dia cepat lari melapor dan mendengar ini, Ciu Sek dan Thio Seng cepat mengerahkan
tiga puluh orang anak buah dan melakukan pengejaran dan tadi mereka menyerang gadis itu
dengar senjata rahasia. Ketika gadis itu tiba-tiba lenyap, mereka terkejut sekali dan cepat
mengurung tempat itu. Kiranya gadis itu sudah berada di atas dahan pohon dengan kedua kaki ter-julur ke bawah dan
digoyang-goyang seperti seorang anak kecil sedang menon-ton keramaian di bawah pohon.
Tadi Thio Seng dan Cia Sek menyuruh anak buah mereka menyerang dengan senjata rahasia
karena mereka sudah mendengar akan kelihaian gadis itu. Apa-lagi gadis ini telah membunuh
seorang anggauta perkumpulan, maka membunuh gadis ini pun tidak halangan bagi mereka!
Ketika Thio Seng melihat gadis itu duduk di atas dahan pohon, dia segera menyuruh orang-
orangnya mengepung pohon itu dengan ketat dan dia sendiri lalu memandang ke atas dan
berseru ke-ras, "Hei, kamu nona yang berada di pohon. Engkau telah mencurl gelang ke-mala
kami. Cepat kembalikan kepada kami dan mari ikut kami menghadap ketua kami, baru kami
dapat memberi ampun kepadamu!"
"Hi-hik, anjing-anjing srigala memang pandai menyalak dan menggonggong. Jembel-jembel
pencuri dan perampok, kalau aku tidak mau menyerahkan gelang dan tidak mau turut dengan
kalian, habis kalian mau apa?"
"Engkau tidak akan dapat terlepas dari tangan kami. Kau telah dikepung ketat. Turunlah dan
menyerahlah. Engkau sudah membunuh seorang anggauta kami dan hanya ketua kami yang
akan memu-tuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadamu."
"Aaaah, itukah" Ahggauta kalian itli kurang ajar, berani memeluk pinggangku. Karena
kekurangajarannya maka dia tergigit oleh ular peliharaanku. Bukankah dia mati karena
kesalahannya sendiri" Mengapa menyalahkan aku" Dan gelang ini, aku tahu bahwa seorang
pengennis seperti dia tidak mungkin memiliki gelang seindah ini. Tentu dia telah rnencuri,
mencopet, atau merampok. Dan aku mengambil darinya karena benda itu bukan haknya.
Mengapa kalian ribut-ri-but" Dia tadinya hendak menjual gelang ini. Nah, biarlah aku yang
membelinya dan kalian boleh membagi-bagikan uang ini!" Gadis itu mengambil segenggam
beberapa keping uang receh dan melenmparkan uang receh itu ke bawah.
Melihat lagak dara itu, Ciu Sek dan Thio Seng menjadi semakin marah. Gadis itu amat
menghina mereka. Biarpun me-reka itu golongan pengemis, akan tetapi bukan pengemis
biasa, melainkan anggau-ta-anggauta dari Hek-tung Kai-pang.
"Nona, kalau engkau tidak segera turun dan menyerah, kami akan menyeretmu turun dan
menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" bentak Ciu Seng si pendek gendut dengan
marah. "Hi-hi-hik! Engkau yang gendut seper-ti itu mana bisa memanjat pohon?" Dara itu tertawa,
kemudian mengeluarkan sebatang suling perak dan mulailah ia meniup suling. Suling itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyanyikan sebuah lagu yang aneh namun
merdu. Thio Seng tak dapat menahan kesa-barannya lagi. Dia memberi isarat kepa-da anak buahnya
dan empat orang lalu berebutan memanjat pohon itu untuk menyeret Si Gadis yang bengal.
Akan tetapi sebelum mereka tiba di dahan yang diduduki gadis itu, yang berada agak tinggi,
tiba-tiba mereka berteriak ketakutan dan berjatuhan dari atas pohon, berdebuk dan tanah
mengebulkan debu. Mereka berempat mengaduh-aduh dan ada kaki tangan yang salah urat
karena terjatuh dari tempat setinggi itu.
"Ular hitam besar... Hhiiiiihh!" Mereka bergidik. Ternyata ketika mereka tadi sudah dekat
dengan Si Gadis, dari pinggang gadis itu merayap seekor ular hitam yang panjang. Kiranya
sabuk hitam gadis itu adalah seekor ular hidup! Dan di lehernya melingkar pula ular merah
yang telah membunuh anggauta pengemis yang berani memeluk pinggangnya, yaitu A-siong
yang telah tewas. Setelah empat orang itu terjatuh, ular hitam lalu mera-yap kembali dan
melingkar di pinggang yang ramping itu.
Melihat empat orang anak buahnya jatuh dari pohon, Thio Seng menjadi semakin marah. Dia
dan Ciu Sek saja yang memiliki kepandaian untuk ineloncat ke atas. Dia memberi isarat
kepada sutenya dan mereka berdua dengan tongkat di tangan lalu meloncat ke atas, ke arah
dahan di mana dara itu duduk dengan kaki tergantung. Mereka meloncat dan menggerakkan
tongkat untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan ular
hitan itu telah dipegangnya dan dipergunakai un-tuk menangkis dua batang tongkat itu. Ekor
ular itu menangkap kedua tongkat dan sekali renggut kedua tongkat itu terlepas dari tangan
kedua orang pengemis itu yang dengan terkejut sekali terpaksa melayang lagi ke bawah tanpa
tongkat! Gadis itu tertawa dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua tongkat itu meluncur
turun dan roenancap di atas tanah.
Thio Seng niarah sekali. "Hayo "tebang pohon ini!" perintahnya dan semua pengemis
beramai-ramai menghampiri batang pohon untuk menebangnya. Akan tetapi kini suara suling
itu itu lengking-lengking dan segera terdengar teriakan para pengemis, "hiiihhh, ular-ular, ular
banyak sekall....!" Benar saja, dari empat penjuru ber-datangan banyak sekali ular yang menuju ke arah pohon
itu. Itulah ular-ular yang datang terpanggil oleh suara suling! Melihat baunya yang amis,
dapat diduga bahwa di antara rombongan ular itu ter-dapat banyak ular berbisa. Maka
berserabutanlah para pengemis itu melarikan diri. Bahkan Thio Seng juga terpaksa
menjauhkan diri karena ngeri. Sekali saja digigit uiar berbisa berarti nyawa melayang.'
Dara itu terdengar tertawa lagi. Kemudian nanipak ia meloncat turun melayang ke bawah,
kemudian melanjutkan perjalanannya pergi sambil meninp suling dan ular-ular itu
mengikutinya seperti serombongan domba yang jinak! Tiga puluh orang pengemis yang
dipimpin Thio Seng dan Ciu Sek itu hanya memandang dan sama sekali tidak berani mengi
jar. Malah mereka segera pulang untuk me-laporkan peristiwa yang mengerikan itu kepada
ketua mereka. Mendengar laporan anak buahnya Hek-tung Kai-ong mengerutkan alisnya .
"Dara itu bersenjatakan ular dan dapat memanggil banyak ular dengan sulingnya" Aneh
sekali! Sepanjang pendengaranku, yang memiliki ilmu kepandaian memanggil ular seperti itu
hanyalah Ang-tok Mo-li. Akan tetapi ia bukan seorang gadis remaja, melainkan seorang
wanita setengah tua." Dia menjadi bingung. Kembalinya gelang kemala itu merupakan
tanggung jawabnya. Kalau gelang kemala itu terjatuh ke tangan seorang dara yang demikian
tangguhnya, dan yang mungkin sekali ada hubungannya dengan Ang-tok Mo-li, bagaimana
mungkin dia dapat merampasnya kembali" Dia tahu orang macam apa Ang-tok Mo-li itu,
seorang datdk wanita yang berilmu tinggi dan ditakuti orang. Mungkin dia dapat meng-hadap
dan minta dengan baik-baik, akan tetapi bagaimana kalau wanita iblis itu menolaknya"
Apalagi dia belum pasti bahwa yang mengambil gelang kemala itu ada hubungannya dengan
Ang-tok Mo-li. Melihat suhunya bingung, kembali Bian Hok yang menghiburnya.
"Suhu, tidak usah Suhu bingung. Biarlah aku yang akan menemui Tang-siocia dan gurunya,
lalu menceritakan bahwa gelang itu dirampas oleh Ang-tok Mo-li. Biar mereka sendiri yang
melakukan permintaan kembali atau perampasan dari tangan iblis betina itu.
Mendengar ini, Hek-tung Kai-ong merasa terhibur dan menghaturkan terima kasih kepada
muridnya itu. Siapakah dara yang bengal dan aneh itu. Benar dugaan Hek-tung Kai-ong. la adalah murid
Ang-tok Mo-li yang bernama Bu Lee Cin. Kita pernah bertemu dengan gadis itu ketika masih
berusia dua belas tahun, yaitu ketika Ang-tok Mo-li ber-tanding melawan Jeng-ciang-kwi. Lee


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin yang menolong Thian Lee waktu akan disiksa oleh gurunya sendiri.
Bu Lee Cin adalah seorang anak perempuan yang sejak kecil sekali celah dipelihara Ang-tok
Mo-li. la sendiri tidak tahu siapa ayah bundanya. Menurut keterangan gurunya, ayah ibunya
telah meninggal dunia dan sebagai anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki keluarga lagi,
ia dipungut dan dipelihara Ang-tok Mo-li sebagai niuridnya, digembleng de-ngan ilmu-ilmu
silat yang tinggi, bahkan juga diberi pelajaran ilmu menguasai ular dan memainkan suling
memanggil ular-ular. Sebagai seorang ahli racun yang pandai, Ang-tok Mo-li juga
mengajarkan penggunaan segala macam racun dan obat pemunahnya kepada Lee Cin. Kini,
dalam usianya yang enam belas tahun, Lee Cin telah menjadi seorang dara remaja yang
bengal dan berkepandaian hebat.
Ketika ite, Ang-tok Mo-li sedang bertapa dan mempelajari semacam ilmu baru dan
kesempatan ini dipergunakan o!eh Lee Cin untuk pergi bermain-main ke kota raja karena
tempat pertapaan gurunya itu di sebuah bukit yang tidak jauh dari kota raja. Setibanya di kota
raja, di pasar ia melihat A-siong dan kawan-kawannya menjual gelang kemala. la tertarik,
dapat menduga bahwa itu tentu gelang curian maka ia merampasnya. Tak disangkanya, A-
siong berhasil memeluk, pinggangnya dan pengemis muda itu menjadi korban gigitan Ang-
hwa-coa. Biarpun ia murid seorang datuk wanita sesat yang berjuluk Iblis Betina, namun Lee
Cin bukanlah seorang anak yang berhati kejam. Melihat ada orang digigit Ang-hwa-coa, ia
ingin memberikan obat penawarnya. Akan tetapi para pengemis itu sudah lari berhamburan
dan ia tidak tahu harus ke mana mencari orane yang tergigit ular. Terpaksa ia pun
membiarkannya saja dan menganggap bahwa salah A-siong sendiri yang merangkul
pinggangnya sehingga tergigit oleh Ang-hwa-coa. Lee Cin bukan anak yang jahat hanya ia
memang bengal dan suka menggoda orang.
Setelah ia mendaki bukit dan tiba di puncak, melihat gurunya sudah selesai dengan
pertapaannya dan gurunya mengajaknya melanjutkan perjalanan.
"Lee Cin, dahulu aku melawan Jeng-ciang-kwi aku terkena pukulan mautnya. Akan tetapi
setelah aku menguasai ilmuku yang baru ini, lain kali kalau aku bertemu dengannya, aku pasti
akan dapat membunuhnya. Kalau engkau rajin dan tekun belajar, kelak akan kuajarkan ilmu
baru ini kepadamu," kata Ang-tok Mo-Li yang memang amat sayang kepada muridnya itu.
Tentu saja Lee Cin merasa girang sekali dengan janji gurunya. Ka-rena gurunya memelihara
dan mendidiknya sejak ia masih kecil sekali, dan karena gurunya amat menyayangnya, timbul
pula rasa sayang dalam hati Lee Cin terhadap gurunya, juga ia taat dan hor-mat kepada
gurunya. Ang-tok Mo-li adalah seorang datuk persilatan wanita yang datang dari barat. Dahulu ia
membuat nama besarnya di daerah Sin-kang di mana ia dianggap sebagai datuknya. Ketika ia
terjun ke dunia kang-ouw di timur, namanya rnenjadi semakin terkenal karena jarang ada
orang yang mampu menandinginya. la mempunyai seorang sute yang berjuluk Hek-kak-liong
(Naga Bertanduk Hilam) yang kemudian tewas di tangan Jeng-ciang-kwi dalam sebuah
pertandingan memperebutkan kekuasaan. Inilah sebab-nya mengapa Ang-tok Mo-li mencari
Jeng-ciang-kwi untuk membalas dendam atas kematian sutenya itu, namun ia gagal, bahkan ia
sendiri terluka parah walaupun ia dapat pula melukai Jeng-ciang-kwi. Kini datuk wanita itu
memilih lembah Sungai Huang-ho sebagai tempat tinggal. Di sebuah bukit, di lembah Huang-
ho, ia mendirikan sebuah rumah besar dan tinggal di situ bersama muridnya. Ia juga
mempunyai sembilan orang anak buah atau pelayan yang dila-tih silat untuk melayaninya dan
juga menjaga rumah. Akan tetapi wanita petualang ini sering kali meninggalkan rumah untuk
merantau bersama muridnya. Kini ia juga sedang merantau dan bertapa di bukit dekat kota
raja itu untuk mempelajari ilmu barunya. Setelah ilmu itu dapat dikuasainya, baru ia mengajak
muridnya untuk pulang ke Bukit Ular, sama sekali tidak tahu bahwa di kota raja, muridnya
telah membuat ribut dengan orang-orang Hek-tung Kai-pang. Lee Cin sama sekali tidak mau
mengganggu gurunya dengan cerita tentang gelang kemala itu.
"Hemm, dari mana engkau memperoleh gelang kemala itu, Lee Cin?" Gurunya bertanya
ketika melihat gelang itu melingkar di lengan kiri muridnya.
"Ah, inikah, Subo" Ini saya dapat merampas dari tangan seorang pencuri," jawab Lee Cin
singkat dan subonya tidak bertanya lagi. Bagi datuk sesat ini, merampas atau mencuri
bukanlah hal yang aneh dan patut untuk diselidiki atau dibicarakan.
"Lain kali, kalau merampas barang, haruslah yang berharga, bukan hanya gelang kemala
seperti itu," katanya singkat.
"Teecu suka sekali gelang ini, Subo," jawab Lee Cin singkat pula dan gelang itu tidak lagi,
dibicarakan. Mereka lalu berangkat menuju ke selatan, kembali ke Bukit Ular yang sudah
beberapa bulan lamanya mereka tinggalkan.
* * * Betapa kuasanya Sang Waktu. Segala sesuatu di alam mayapada ini, semua akhirnya tunduk
kepada Sang Waktu. Anak kecil menjadi orang tua, yang tua meninggal dunia, segala sesuatu
berubah dan ditelan oleh Sang Waktu! Tidak ada yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Sang
Waktu. Semuanya berubah, berubah, dan berubah. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Yang
kekal hanyalah Yang Maha Kekal, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak terpengaruh oleh waktu,
karena waktu adalah alat belaka yang dipergunakan oleh Tuhan untuk mengubah segala
sesuatu. Tahun-tahun melesat seperti anak panah lepas dari busurnya. Tanpa dirasa-kan, tiga tahun
telah lewat sejak Cin Lan digembleng oleh Pek I Lokal. Dara yang tadinya memang sudah
mendapat bimbingan dari para jagoan istana itu, yang memiliki bakat yang baik, kini te-lah
menjadi seorang gadis berusia dela-pan belas tahun yang berilmu tinggi. la telah menguasai
ilmu tongkat Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang diajarkan oleh Pek I Lokai di sampai
cara menghimpun sin-kang yang cuku kuat , dan juga ilmu ginkang (meringankan tubuh)
yang membuat gadis itu dapat bergerak seringan burung.
Pada suatu pagi, seperti biasa seminggu sekali, Cin Lan pagi-pagi sekali telah datang ke Kuil
Kwan-im-bio untuk menemui gurunya. Akan tetapi tidak seperti biasanya, Pek I Lokai pagi
itu menyambutnya dengan wajah agak muram.
"Cin Lan, engkau telah dapat menguasai Hok-mo-tung dengan baik dan semua ilmu yang
kukuasai telah kuajarkan kepadamu. Engkau selama ini menjadi murid yang tekun dan rajin
sehingga memuaskan hatiku. Akan tetapi, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk
berpisah. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan aku akan melanjutkan perjalananku."
"Suhu, mengapa begini tiba-tiba" Seminggu yang lalu Suhu beJum mengatakan sesuatu
tentang keinginan Suhu untuk pergi!" kata Cin Lan terkejut.
Gurunya tersenyum. "Memang telah terjadi sesuatu. Telah datang seorang musuh lamaku
yang hendak menantangku. Akan tetapi aku sudah jenuh untuk bertanding ilmu silat, muridku.
Pertandingani seperti itu hanya menanamkan dendam saja bagi yang kalah. Musuh ini sudah
dua kali kalah olehku, akan tetapi selalu saja dia mencariku untuk mengajak bertanding lagi,
untuk menebus kekalahan-kekalahannya yang lalu. Aku jemu, Cin Lan."
"Akan tetapi, Suhu. Kalau dia memaksakan kehendaknya, memang harus dilawan dan diberi
hajaran!" kata gadisi itu dengan penasaran. Watak Cin Lan memang pemberani. "Kalau Suhu
tidak menerima tantangan lalu melarikan diri tentu Suhu akart dianggap penakut dan
pengecut. Suhu, kalau perlu biarlah aku yang mewakili Suhu menandinginya!" katanya lagi
dengan sikap gagah. Pek I Lokai mengangkat telunjuk kanannya. "Cin Lan, lupakah engkau akan semua pesanku.
Ilmu silat bukan untuk mencari permusuhan, bukan untuk berke-lahi, melainkan untuk
membela diri. Kalau tidak diserang orang, tidak perlu kita mendahului menonjolkan ilmu
silat. Dan pula, jangan engkau memandang remeh musuh ini. Dia memiliki ilmu silat yang
tinggi. Dulupun hanya kalah sedikit saja olehku. Sekarang dia tentu sudah menam-bah ilmu
pengetahuannya dan belunn tentu aku sendiri dapat menangkan dia. Maka jangan kaucoba-
coba untuk melawannya."
"Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Pek I Lokai! Dan aku pun tidak sudi melawan muridmu,
apa lagi kalau ia seorang anak perempuan yang masih kecil!" Tiba-tiba terdengar suara yang
lantang sekali, seolah yang bicara telah berada di dalam kuil itu. Akan tetapi suara itu
terdengar dari tempat yang jauh.
"Ah, terlambat juga...." Pek I Lokai mengeluh, bukan karena takut, melainkan karena
menyesal bahwa sekali lagi dia harus melayani musuh. "Ingat, Cin Lan. Kalau engkau melihat
aku bertanding dengan orang itu, jangan sekali-kali engkau mencampurinya. Selain dia
berbahaya sekali bagimu, juga aku tidak suka bertindak curang dengan melakukan
pengeroyokan." Setelah berkata demikian, kakek itu menyeret tongkat bambunya dan
melangkah keluar dari kuil.
Cin Lan cepat mengikuti gurunya dan ternyata orang yang bicara tadi belum tiba di depan
kuil. Akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba di depan suhu-nya telah berdiri seorang
kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Kakek itu tubuhnya kurus dan
bongkok, rambut kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Seperti juga Pek t Lokai, kakek
itu memegang sebatang tongkat bambu, akan tetapi bambu il,y adalah bambu kuning. Itulah
Jeng-ciang kwi, datuk dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis Kwi-san!
Watak Jeng-ciang-kwi memang aneh. Setiap kali mendengar ada seorang tokoh kang-ouw
yang lihai, tentu tokoh itu dia a datangi untuk diajak bertanding ilmu silat. Demikian pula,
ketika dahulu mendengar akan nama. besar Pek I Lokai, dia mencari kakek pengemis itu
untuk diajak bertanding, apalagi mendengar bahwa kakek itu memiliki ilmu tongkat yang
sukar dicari bandingannya. Dalam pertan-dingan pertama kali itu, dia kalah! Akan tetapi
sudah menjadi watak Jeng-Ciang-kwi yang sukar menerima kekalahan dia melatih diri lagi,
kemudian setelah lewat tiga tahun, dia mencari lagi Pek I Lokai dan menantang lagi. Dan
ternyata walaupun selisih ilmu tongkat mereka tidak banyak, akhirnya dia kalah lagi, bahkan
menderita luka pada pahanya. Dia bukannya jera dengan kekalahan ke dua ini, bahkan belajar
lagi memperdalam ilmu tongkatnya dan ini hari, lima tahun setelah kekalahannya yang ke dua
dia dapat mencari Pek I Lokai untuk menantang lagi.
Kini kedua orang kakek Itu sudah berhadapan lagi. "Jeng-ciang-kwi, mau apa engkau datang
mencariku?" tanya Pek I Lokai.
"Ha-ha-ha, bukankah kemarin sudah kukirim berita kepadamu?"
"Benar, aku sudah menerima berita darimu bahwa engkau hendak datang mencariku, akan
tetapi dengan maksud apa?"
"Jangan seperti anak kecil, Pek I Lokai. Apa lagi maksudku kalau bukan menantang engkau
untuk mengadu ilmu" Dan sekarang ini aku harus dapat menang!"
Pek I Lokai menghela napas panjang. "Engkaulah yang seperti anak kecil, Jeng-ciang-kwi.
Apakah tidak akan ada habisnya mengadu kepandaian" Apa perlunya" Kalau engkau irigin
menang, biarlah sekarang juga aku mengakui kekalah-anku darimu."
"Tidak!" Tiba-tiba suara Jeng-ciang-kwi menggelegar. "Sudah dua kali engkau mengalahkan
aku, sekarang aku datang untuk menebus kekalahan dan kau harus menandingi aku!"
"Kalau aku tidak mau melawanmu?"
"Aku tetap akan menyerangmu dengan tongkatku!"
"Kalau aku tidak mengelak atau menangkis?"
"Heh-heh, jangan memancingku dengan segala akal busukmu untuk menghindarkan diri dari
pertandingan. Kalau engkau tidak mengelak atau menangkis engkau akan mati di bawah
pukulan tongkatku!" Pek I Lokai menghela napas lagi. "Jeng-ciang-kwi. Engkau terlalu memaksaku, Baiklah, aku
akan melayanimu, akan tetapi hanya dengan satu perjanjian."
"Perjanjian apakah?"
"Engkau harus berjanji bahwa pertadingan antara kita ini yang terakhir kalinya. Kalah atau
menang, kali ini yang terakhir dan lain kali engkau tidak akan mencariku untuk menantang
lagi." "Ha-ha-ha, baik, aku berjanji tidak akan menantangmu lagi. Pertandingan ini yang terakhir
bagiku. Ha-ha, bagaimana tidak akan menjadi pertandingan terakhir kalau sekali ini engkau
yang kalah" Mari kita mulai!"
Jeng-ciang-kwi melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada. Pek I Lokai juga
mempersiapkan tongkatnya karena dia tahu benar bahwa musuh yang dihadapinya ini adalah
seorang yang sakti dan berilmu tinggi.
"Pek I Lokai, lihat seranganku!" Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi sudah menyerang. Serangannya
dahsyat sekali, bukan saja cepat, akan tetapi juga mendatangkan angin pukulan yang hebat.
Pek I Lokai menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Desss....!" Biarpun keduanya hanya tongkat bambu, akan tetapl ketika bertemu di udara,
bukan main hebatnya, rnendatangkan getaran yang terasa oleh Cin Lan yang menonton
pertandingan itu de-ngan hati cemas. Kemudian muncul pula Tiong Hwi Nikouw, ketua Kuil
Kwan-im-bio, yang berdiri di samping Cin Lan. Juga wajah Nikouw ini narnpak gelisah
karena agaknya ia tahu benar bahwa pertandingan yang terjadi di halaman kuil itu merupakan
pertandingan antara dua orang ahli yang amat lihai sehingga dapat dibilang merupakan
pertandlngan antara hidup dan mati,
Kini pertandingan berjalan semakin cepat sehingga bagi orang lain tentu tidak akan mampu
mengikutinya. Bahkan Tiong Hwi Nikouw sendiri menJadi pusing mengikuti jalannya
pertandingan. la sudah tidak dapat membedakan mana kawan mana Jawan saking cepatnya
dua orang kakek itu bergerak. Mereka seoiah terbungkus dua gulungan sinar yang sama
lebarnya. Akan tetapi Cin Lan yang su-dah mewarisi ilmu yang tinggi dari gurunya, dapat
mengikuti jalannya pertandingan itu. la menjadi semakin cemas karena benar seperti yang
dikatakan gurunya, musuh ini luar biasa tangguhnya. Gerakan tongkatnya berisi tenaga sin-
kang yang kokoh kuat sehingga beberapa kali tongkat di fangan gurunya terpental. Akan
tetapi Pek I Lokai tidak sampai terdesak karena ilmu tongkat Hok-mo-tung itu memang
memlliki keistimewaan, terutama sekaii kalau menghadapi ilmu tangguh dari lawan.
Pertandingan berjalan seru dan men-capai puncaknya setelah lewat dua ratus jurus! Cin Lan
menyesal sekali melihat gurunya beberapa kali mengalah. la meli-hat beberapa kali Jeng-
ciang-kwi membuat lowongan yang bisa dimasuki, akan tetapi gurunya tidak menggunakan
kesempatan ini dan itu hanya berarti bahwa gurunya tidak ingin mencari kemenangan, bahkan
mengalah. Ketika Jeng-ciang-kwi menusuk dengan tongkatnya dengan pengerahan tena-ga sepenuhnya,
Pek I Lokai menangkis, juga dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Krakkk!" Dua tongkat bambu itu bertemu dan keduanya hancur berkeping-keping. Akan
tetapi pada saat itu, Jeng-ciang-kwi melepaskan tongkatnya dan menghantam dengan tangan
kanannya ke arah dada Pek I Lokal dengan kuat sekali.
"Plakkk!" tilbuh Pek I Lokai tidak bergeming, akan tetapi pada saat yang sama Pek I Lokai
menolakkan tangan kanannya ke pundak Jeng-ciang-kwi dan tubuh kakek itu terpental sampai
beberapa meter jauhnya! Jeng-ciang-kwi terkejut sekali dan dia merangkak bangun, mukanya pucat sekali dan jelas
bahwa dia telah terluka di bagian dalam tubuhnya.
"Pek I Lokai, kau... kau... memang hebat...." katanya terengah-engah, lalu dia membalikkan
tubuhnya dan melangkah pergi dengan cepat.
Jilid 7________ Cin Lan merasa girang sekali. la lari mnghampiri gurunya dan berkata, "Suhu, engkau
menang!" Akan tetapi tiba-tiba Pek I Lokai mendekap dadanya, mengeluh dan tentu roboh terguling
karena pingsan kalau saja Cin Lan tidak cepat memeluknya. Tiong Hwi Nikouw juga lari
menghampiri dan melihat keadaan kakek itu, ia membantu Cin Lan membawa Pek I Lokai ke
dalam kuil. Kakek itu direbahkan di atas pembaringan, dan setelah memeriksa sejenak, Tiong Hwi
Nikouw menghela napas panjang dan menggeleng kepala, nampak gelisah sekali.
"Bagaimana, Sukouw" Bagaimana keadaan Suhu7" tanya Cin Lan dengan khawatir.
Sambil menggeleng kepala perlahan Tiong Hwi Nikouw yang paham ilmu pengobatan itu
berkatat "Wah, lukanya parah sekali. Pukulan dari Jeng-ciang-kwi itu amat hebat. Sukarlah
mencari obat untuk dapat menyembuhkan luka seperti itu. Obat kuat yang ada yang bisa
didapatkan hanya akan memperingan penderitaannya saja, tidak akan dapat
menyembuhkannya. Akan tetapi aku akan memberinya obat peringan penderitaan itu."
"Ah, Sukouw. Apakah kalau begitu nyawa Suhu tidak dapat ditolong lagi?" tanya Cin Lan
dan otomatis kedua matanya menjadi basah.
"Memang ada obatnya, akan tetapi alangkah sukarnya dan bahkan hampir tidak mungkin
didapatkan!" "Apa itu, Sukouw" Katakan, apa itu obat yang kiranya dapat menyembuhkan Suhu?"
"Ada semacam buah yang disebut sian-tho yang hanya tumbuh di Pulau Ular Emas. Kabarnya
buah sian-tho itu dapat menyembuhkan luka dalam yang bagaimanapun hebatnya. Kabar itu
seperti dongeng saja dan pinni sendiri belum pernah melihatnya. Juga tidak tahu apakah kabar
itu hanya kabar bohong atau benar-benar."
"Pulau Ular Emas" Di mana itu?"
"Di tlmur terdapat Lautan Po-hai. di sanalah pulau itu, di antara pulau-pulau lainnya. Para
nelayan tentu tahu di mana pulau itu. Akan tetapi perjalanan itu berbahaya sekali...."
"Tidak pedull bagaimana bahayanya aku akan pergi ke sana mencari buah sian-tho!" kata Cin
Lan dengan suara tegas. "Akan tetapi berbahaya sekali bagimu. Entah kalau engkau membawa pasukan ke sana...."
"Tidak! Ayah tentu melarang kalau aku menggunakan pasukan. Biar aku pergi sendlri!"
"Akan tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, Siocia. Di sana terdapat sebuah
pulau lain yang amat ditakuti orang, yaitu Pulau Naga. Semua
orang di dunia kang-ouw juga segan melewati pulau itu karena takut bertemu dengan
penghuni Pulau Naga. Sebaiknya kalau Siocia menyuruh saja seorang mencari ke sana."
"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya. Sukouw, tentu Sukouw mengetahui tentang
kebaktian, bukan" Suhu telah demikian baik kepadaku. Selama tiga tahun Suhu melatih dan
memberikan semua ilmunya kepadaku dan untuk itu, aku tidak pernah berbuat sesuatu
untuknya. Kini Suhu berada dalam ancaman maut. Aku sebagai seorang yang mengenal budi
harus menunjukkan kebaktianku kepada guruku. Akan tetapi Sukouw jangan mengatakan hal
ini kepada siapapun juga. Kalau Ayah mengetahui, tentu dia melarangnya."
"Kalau Pangeran mengutus orang cari Nona ke sini?"
"Katakan saja tidak tahu ke mana aku pergi."
"Baiklah, Siocia."
Cin Lan lalu pulang ke rumahnya dan diam-diam berkemas, membawa buntalan pakaian dan
uang untuk bekal, kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergl
meninggalkan rumah orang tuanya dan langsung saja meninggalkan kota raja melalui pintu
gerbang timur dan terus melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, menunggang seekor
kuda yang berbulu putih, kuda kesayangannya. la membalapkan kudanya ke timur, dengan
tekad di hati untuk mencarikan obat bagi gurunya ke Pulau Ular Emas.
Kebaktian timbul dari kasih sayang. Kalau kebaktian tidak timbul dari kasih sayang, maka
sangat boleh jadi kebaktian itu palsu adanya. Ada kebaktian sebagai balas budi, ada pula
kebaktian terhadap orang tua atau guru sebagai pelaksana kewajiban, atau bahkan ada yang
agar supaya dikatakan orang bahwa dia se-orang yang berbakti, murid atau anak yang
berbakti. Akan tetapi semua itu palsu adanya. Kebaktian yang sesungguh-nya timbul dari


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih sayang. Kalau ada kasih sayang di hati, otomatis ada ke-baktian itu terhadap orang yang
dikasihi. Seorang anak yang benar-benar memiliki kasih sayang kepada orang tuanya, dia akan menjadi
seorang anak yang benar-benar berbakti. Kebaktian tidak dapat, diukur dengan benda atau
harta, melainkan tercurah melalui sikap dan perbuat-an, dan pembelaan.
Biarpun ia seorang puteri pangeran yang semenjak kecilnya dimanja dan hidup berenang
dalam kemewahan dan kecukupan, namun pada dasarnya Cin Lan adalah seorang anak yang
berhati-baik, bahkan yang mewarisi jiwa kependekaran dari mendiang ayah kandungnya.
Maka, ia yang menyayang gurunya, melihat gurunya terancam maut, ia pun tidak ragu-ragu
lagi untuk melakukan perjalanan berbahaya mencarikan obat bagi gurunya.
* * * Seorang gadis sejelita Cin Lan, dalam usia delapan belas tahun, bagaikan bunga sedang
mekarnya, tentu saja menarik perhatian banyak orang kalau melakukan perjalanan seorang
diri. Hampir setiap orang pria yang ditemuinya di jalan tentu memandangnya dengan mata
penuh gairah dan kekaguman. Namun Cin Lan tidak mempedulikan itu semua. la membedal
kudanya menuju ke timur. Dengan cepat sekali kuda putih membawanya ke timur dan pada
suatu hari tibalah ia di kota Tien-cin. la menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan
setelah makan malam, ia langsung tidur tidak pernah
keluar lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia melanjutkan perjalanan, keluar dari kota Tien-cin
menuju ke pantai lautan di timur. Di pantai itu ternyata ramai, penuh dengan para pedagang
dan tukang perahu yang menyewakan perahu untuk para pedagang. Juga banyak terda-pat
nelayan. Cin Lan berhenti di sebuah kedai makanan, menambatkan kudanya ke depan kedai
lalu memasuki kedai itu, memesan nasi dan alr teh berikut bebe-rapa macam sayuran.
Semua tamu di kedai makan itu mengangkat muka memandang, namun Cin Lan tidak
mempedulikan mereka. Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat dua orang pria berusia kurang
lebih tiga puluh tahun dan melihat keadaan mereka, agaknya mereka itu jagoan-jagoan atau
orang-orang yang biasa bertindak ugal-ugalan mengandalkan kekuatan. Mereka memang
terkenal sebagai jagoan yang datang dari Tien-cin untuk pesiar ke pantai itu dan melihat
seorang gadis demikian cantiknya memasuki rumah makan itu seorang diri, segera timbul
maksud jahat mereka untuk menggoda.
Setelah saling berkedip kedua orang itu lalu bangkit dari tempat duduk me-reka. Seorang di
antara mereka bermata sipit sekali bermuka kuning sedang orang ke dua mukanya bopeng
bekas penyakit cacar. Mereka menyeringai ketika meng-hampiri meja Cin Lan. Gadis ini
masih tidak menyangka buruk ketika dua orang itu menghampiri mejanya, akan tetapi mereka
menarik kursi dan duduk berhadapan dengan ia, semeja. Barulah Cin Lan mengerutkan
alisnya dan menegur, "Kalian mau apa?"
"Heh-heh-heh, nona manis," kata yang bopeng. "Kami berdua merasa kasihan melihat Nona
duduk sendin saja dan hendak menemani Nona makan minum".
"Benar, Nona. Nanti kami yang membayar harga makanannya. Begini lebih menggembirakan,
bukan?". Tentu saja Cin Lan menjadi marah sekali mendengar ucapan itu, akan tetapi ia masih dapat
menahan diri dan berkata dengan nada tegas dan kaku, Aku tidak ingin duduk makan bersama
kalian dan tidak ingin kalian membayar harga makananku".
"Nona, jangan menjual mahal!" kata si Bopeng.
"Nona manis sendiri tentu kesepian," kata si Mata Sipit.
Kini Cin Lan menjadi marah. Ia bangkit berdiri. "Pergilah kalian dan sini, jangan mencari
gara-gara". "Kalau kami mau duduk bersamamu, siapa yang berani melarang?" tantang Si bopeng.
"Hemmmm, boleh jadi aku masih bisa tinggal diam, akan tetapi empat orang kawanku tentu
tidak mau menerima kalian," kata Cin Lan dan mendengar ini, dua orang itu celingukan
memandang ke kanan kiri, mencari-cari empat orang kawan itu.
"Mana itu empat orang kawanmu, kenapa engkau sendirian saja?" tanya Si Mata Sipit.
"Kedua pasang kaki dan tanganku inilah empat orang kawanku. Mereka tentu akan menghajar
kalian berdua kalau tidak cepat meninggalkan aku!" bentak Cin Lan dan ketika itu banyak
orang yang berada di rumah makan sudah tertarik dan rnenonton dari jarak jauh. Mereka yang
duduk dekat menjauh karena takut tersangkut. Dua orang tukang pukul itu sudah terkenal di
pantai itu sebagai orang-orang yang suka membuat ribut.
Mendengar jawaban gadis itu, dua orang itu tertawa bergelak, "ha-ha-ha, engkau
mengandalkan kaki tanganmu, Nona?" ejek Si Bopeng.
"Kaki dan tangan halus itu hanya layak untuk memijati tubuhku yang kelelahan!" kata Si
Mata Sipit. "Kalian tetap tidak mau pergi?" ancam Cin Lan dan melihat kedua orang itu tertawa semakin
keras, Cin Lan menggerakkan kedua tangannya seperti kilat menyambar.
"Plok! Plok'" Dua orang itu terpelanting keras karena pipi mereka sudah terkena tamparan
tangan Cin Lan. Mereka terkejut sekali, mengaduh dan cepat berloncatan bangun dengan
marah. Akan tetapi Cin Lan sudah menyambut mereka dengan dua kali tendangan yang
menge-nal perut mereka. Sekali ini mereka terjengkang menimpa meja kursi dan sampai lama
baru mereka dapat bangun kembali.
"Masth kurang dan ingin dihajar lagi?" kata Cin Lan sambil menghampiri. Akan tetapi dua
orang itu sudah maklum bah-wa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang tangguh
sekali, maka setelah dapat bangkit berdiri, mereka laiu mela-rikan diri keluar dari rumah
makan itu duringi suara tawa banyak orang.
Peristiwa itu membuat Cin Lan kehilangan nafsu makannya, segala macam buaya darat
rendahan datang mengganggu, pikirnya. Pemilik rumah makan datang menghampirinya dan
berbisik, "Nona, mereka itu memiliki banyak kawan, aku khawatir mereka akan datang
melakukan pembalasan dan bisa hancur rumah makan kami."
"Jangan khawatir, kalau mereka datang katakan kepadaku dan aku akan cepat keluar agar
dapat menghajar mereka di luar rumah makan," kata Cin Lan sambil melanjutkan makan
minum dengan tenang. Setelah ia selesai makan? perrulik rumah makan datang dengan muka keta-kutan. "Nona,
mereka datang belasan orang!"
Cin Lan cepat membayar harga rnakanan lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan.
Benar saja, ia melihat dua orang tadi dengan muka masih bengkak karena tamparannya,
datang bersama be-lasan orang yang kesemuanya kelihatan bengis dan kasar.
Cin Lan berhenti di dalam halaman depan rumah makan itu. "Hemm, kalian mau apa"
Mencari aku?" Dua orang itu menuding kepadanya dan berkata kepada teman-temannya, "Inilah setan
perempuan itu!" Mendengar ini, mereka semua mencabut golok dari pinggang dan mengepung Cin Lan yang
menggendong buntalan pakaian. Cin Lan tidak memegang senjata akan tetapi ia sama sekali
tidak takut. Begitu melihat sebelah kiri ada orang membuat gerakan pertama menyerangnya
dengan golok, ia mengelak dan cepat sekali tangan kirinya menyambar dan sudah mengetuk
ke arah siku kanan orang itu. Seketika golok orang itu terlepas dan cepat ditangkap oleh Cin
Lan. Sekali kakinya menendang orang itu terlempar beberapa meter dan goloknya berada di
tangan Cin Lan. Gerakan itu demikian cepat dan seenaknya. Orang-orang itu kelihatan
penasaran dan marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka ialu maju menyerang dan Cin
Lan mengamuk dengan golok rampasannya. Begitu tubuhnya berkelebat didahului sinar
goloknya yang bergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan golok-golok
beterbangan. Setelah Cin Lan berhenti bergerak, tiga belas orang itu semua telah menderita
luka di tangan dan pundak, dan golok mereka terlepas dari tangan.
Cin Lan berhenti di tengah-tengah dan memandang ke sekeliling. Orang-orang itu kini
melarikan diri, lupa untuk mengambil golok mereka. Orang-orang yang menjadi penonton
merasa kagum kepada Cin Lan akan tetapi gadis ini tidak peduli lagi, melainkan membuang
golok rampasannya lalu menghampiri kudanya. Dilepasnya tali yang ditambatkan ke batang
pohon tadi dan dituntunnya kudanya menuju ke pesisir di mana ber-kumpul tukang-tukang
perahu. Para tukang perahu juga banyak yang rhenyaksikan ketika gadis itu mengamuk dan memberi
hajaran kepada belasan orang penjahat tadi, maka kini mereka beramai-ramai menyambut
gadis itu. "Apakah Nona hendak menyewa perahu?" Mereka menawarkan.
"Aku ingin menyewa perahu dari seorang yang berani mengantarkan aku ke Pulau Ular Emas.
Siapa yang dapat dan berani?"
Tukang-tukang perahu itu terbelalak dan surut. Mereka ketakutan mendengar disebutnya
Pulau Ular Emas yang berada di belakang Pulau Naga. Bukan Pulau Ular Emas yang mereka
takuti, akan tetapi Pulau Naga. Melihat mereka mundur ketakutan, Cin Lan mengerutkan
alisnya. "Harap jangah takut, aku akan melindungi tukang perahu yang berani mengantar .aku ke
sana!" Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani menjawab.
"Aku akan memberi upah lima tail perak!" kata Cin Lan. Upah ini besar sekali bagi para
tukang perahu itu, akan tetapi tetap saja mereka hanya berbisik-bisik dan tidak berani.
Akhirnya seorang laki-laki berusia lirna puluhan tahun melangkah maju.
"Dengan upah lima puluh tall dan perlindungan Nona yang perkasa, saya berani mengantar
Nona ke sana," katanya, akan tetapi dengan wajah yang agak pucat karena sebetulnya dia pun
merasa jerih. Cin Lan memandang kakek itu. Seorang yang tubuhnya maslh nampak kekar dalam usianya
yang setengah tua itu, dan perahunya juga sebuah perahu yang masih baru dan utuh.
"Baiklah, Paman. Akan tetapi aku hendak menltipkan kudaku ini kepadamu. Di mana
rumahmu dan adakah di sana orang yang akan mengurus kudaku sewak-tu kita pergi?"
"Ah, ada, Nona. Ada isteriku dan anakku yang akan merawat kudamu. Mari kita ke rumahku."
Mereka lalu pergi dan ternyata rumah itu tidak jauh dari situ. Sebuah rumah nelayan
sederhana dan melihat keadaan rumah yang miskin itu, Cin Lan segera mengeluarkan uang
dan nnenyerahkan kepada isteri pelayan itu dengan pesan agar merawat kudanya baik-baik.
Atas nasihat nelayan itu, keberangkatan ke Pulau Ular Emas ditunda sampai besok pagi.
"Pelayaran ke pulau itu makan waktu sepertiga hari, Nona. Sebaiknya, klta berangkat besok
pagl-pagi sehingga untuk pelayaran pulang pergi kita dapat kembali ke slni sore hari. Kalau
berangkat sekarang kita akan kemalaman dan di waktu malam berbahaya sekali. Pada musim
begini, kalau malam ombaknya besar."
Karena ia sendiri tidak mempunyai pengalaman naik perahu, terpaksa Cin Lan menurut dan
malam itu" ia bermalam di rumah nelayan yang memberikan ka-marnya untuk tamu agung
itu. Biarpun kamar itu sederhana dan pembaringannya juga keras dan kasar, namun Cin Lan
dapat tidur nyenyak karena ia telah melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya terasa penat.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Cin Lan meninggalkan
semua bekal pakaian dan uang pada isteri neiayan dan untuk mem-bekali diri dengan senjata,
ia mencari sebatang kayu dari pohon. Batang kayu itu dibuatnya menjadi tongkat, senjata
yang paling disenanginya karena dengan senjata tongkat itulah ia dapat melindungi diri paling
baik karena ia sudah menguasai Hok-mo-tung-hoat. Melihat semangat gadis yang perkasa itu,
Si Tukang Perahu akhirnya juga berani dan dia melayarkan perahunya menuju ke tengah
samudera. Lautan Po-hai itu sebetulnya adalah sebuah teluk yang besar sekali. Saking
luasnya, sampai daratan di seberang tidak kelihatan sehingga nampaknya seperti lautan bebas
saja. Cin Lan yang tidak pernah naik perahu di lautan, segera menjadi agak mabuk ketika
perahu diombang-ambingkan ombak. Akan tetapi dengan duduk bersila di atas perahu, me-
ngerahkan sin-kangnya, ia dapat menolak rasa mabuk itu.
Sudah dua jam perjalanan, di depan nampak sebuah pulau yang panjang dan hitam. Melihat
ini, tukang perahu kelihatan takut-takut dan berbisik, "Nona, pulau itulah yang membuat
semua tukang perahu ketakutan mendengar Nona hen-dak pergi ke Pulau Ular Emas."
"Itukah Pulau Ular Emas?" tanya Cin La^ samteU memandang ke arah pulau itu"
"Ah, bukan, Nona. Pulau Ular Emas M berada di belakang pulau itu. Itu adalah Pulau Naga
yang ditakuti semua orang. Bahkan para nelayan juga tidak berani ^ mencari ikan di dekat
pulau itu." "Kenapa, Paman" Apakah pulau ada setannya?"
"Lebih dari itu, Nona! Nona adalah seorang pendekar yang tentu mengenal dunia kang-ouw.
Apakah Nona tidak tahu siapa majikan pulau itu?"
"Sungguh, aku tidak pernah mendengarnya, Paman. Coba ceritakan, siapa penghuni pulau itu"
Siapa yang menjadi majikannya?"
"Mereka adalah keluarga Siangkoan yang amat terkenal, Nona. Bahkan majikan pulau itu
disebut Raja Angin Timur. Semua bajak laut juga gemetar kalau mendengar namanya disebut.
Keluarga Siangkoan itulah penghuni Pulau Naga itu. Sebaiknya kita mengambil jalan
memutar saja, Nona. Agar aman."
"Tidak, Paman. Bahkan coba dekatkan perahu ke pantai Pulau Naga. Aku menjadi tertarik dan
ingin sekali singgah di Pulau Naga yang aneh itu."
Mata pengemudi perahu itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Nona, saya belum ingin
mati....!" "Hush, siapa bicara tentang mati" Penghuni pulau itu bermarga Siangkoan, berarti mereka itu
adalah manusia-manusia biasa. Kalau kita tidak melakukan suatu kejahatan, tentu mereka
tidak akan marah kepada kita."
"Tapi, tanpa ijin mereka, tak seorang pun boleh melanggar wilayah mereka, Nona. Itu berarti
kematian baei pelanggarnya!"
"Tidak mungkin! Kalau benar begitu, mereka itu orang-orang jahat yang pantas dibasmi dan
aku akan membasmi mereka agar melenyapkan ancaman bagi para nelayan. Hayolah, jangan
ragu, dekatkan perahu ini ke pulau itu!"
Dengan terpaksa sekali nelayan itu lalu melayarkan perahunya ke Pulau Naga. Pulau itu
pantas disebut Pulau Naga karena memang dari jauh kelihatan seperti seekor naga yang
muncul di permukaan samudera. Makin dekat, nelayan itu menjadi semakin ketakutan.
Setelah pulau itu dekat, tiba-tiba bermunculan lima buah perahu kecil yang didayung cepat
sekali, tahu-tahu sudah mengepung perahu yang ditumpangi Cin Lan. Tukang perahu menjadi
semakin ketakutan dan bersembunyi di belakang Cin Lan sernentara gadis itu bangkit berdiri
sambil memegang tongkatnya. Sama sekali Cin Lan tidak merasa takut.
"Kalian mengepung perahu kami mau apakah?" bentaknya. "Kami hanya kebetulan saja lewat
di sini, tidak bermaksud jahat."
"Perahu Nona sudah melanggar perairan kami, maka Nona harus mendarat dan menghadap
kongcu kami yang menunggu di pantai!"
Memang itu yang dikehendaki Cln Lan, yaitu mendarat dan melihat Pulau Naga. Maka
kepada nelayan itu dia memberi isarat supaya mendaratkan perahunya.
Dengan terpaksa sekali dan tubuh gemetar, nelayan itu menurunkan layar dan mendayung
perahu ke darat, diiringkan lima buah perahu yang ditumpangi masing-masing dua orang yang
kelihatan gagah dan kuat itu. Setelah tiba di darat, Cin Lan melihat seorang pemuda berdiri di
pantai sambil bertolak pinggang. Seorang pemuda tampan gagah dan pakaiannya indah seperti
pakaian seorang pemuda bangsawan saja! la menjadi ter-tarik sekali dan sengaja ia
memperlihatkan kepandaiannya. Perahu itu terpisah dari darat masih beberapa meter jauhnya,
akan tetapi Cin Lan mempergunakan keringanan tubuhnya, meloncat dan berjungkir balik
lima kali baru tubuhnya turun ke depan pemuda itu dengan ringannya!
"Aha, kiranya Nona memiliki ilmu kepandaian yang lumayan juga. Pantas berani mendekati
pulau kami. Apa perlunya Nona mendekati pulau kami?" tanya pemuda itu, suaranya
terdengar halus akan tetapi mengandung teguran dan matanya seperti melahap wajah dan
bentuk tubuh Cin Lan. "Aku sengaja mendekati pulau ini untuk melihat apakah penghuninya manusia biasa ataukah
iblis. Aku mendengar bahwa orang yang mendekati pulau ini tanpa ijin akan dibunuh, maka
aku menjadi tertarik untuk mengunjunginya!" kata Cin Lan dengan sikap menantang.
"Nona, pulau ini adalah milik keluarga kami. Sebagai milik pribadi tentu saja kami melarang
orang datang berkunjung tanpa ijin kami. Aku adalah Siangkoan Tek, putera majikan pulau
ini. Siapakah Nona yang berani lancang nnelanggar wilayah kami?"
"Hemm, aku bernama Tang Cln Lan. Nah, aku sudah melanggar wilayah kalian, lalu engkau
mau apa?" Nada suarate Cin Lan menantang sekali karena ia merasa penasaran bahwa ada
orang yang demikian sombongnya sehingga melarang orang berkunjung ke pulau itu, bahkan
perairannya pun dibatasi.
"Kami mempunyai sebuah peraturan, Nona. Siapa yang berani melanggar wilayah kami, harus
mengadu ilmu dengan kami. Melihat engkau masih muda dan| seorang wanita pula, maka
tidak perlu Ayah yang maju menghadapimu, cukup aku yang akan menguji kepandaianmu!"
"Boleh! Boleh! Kaukira aku takut kepada majikan Pulau Naga" Pulau ini boleh jadi telah
kalian beli, akan tetapi air laut adalah milik manusia pada umumnya, siapapun juga boleh saja
berlayar. Kalian hendak menguasai pula lautan, itu sungguh tak masuk di akal. Kalau hendak
menguji kepandaian, hayolah, aku telah siap menghajarmu!" Gadis itu melintangkan tongkat
kayunya di depan dada. Pemuda itu bukan seorang tolol. Melihat sikap dan cara gadis itu tadi me-loncat dari
perahunya, dia sudah dapat menduga bahwa Cin Lan merupakan la-wan yang tangguh, maka
dia tidak berani memandang rendah dan segera mencabut pedang dari punggungnya.
"Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona. Hendak kulihat apakah kepandaian-mu sama
hebatnya dengan wajah dan sikapmu!"
"Jaga seranganku!" Tanpa sungkan lagi Cin Lan sudah menyerang setelah mem-bentakkan
peringatan itu dan tongkatnya sudah menyambar dengan dahsyat sekali. Pemuda itu terkejut.
Tidak salah dugaannya. Gadis itu memang hebat. Memiliki ilmu tongkat yang dahsyat sekali.
Dia pun lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan balas menyerang.
Cin Lan mulai memainkan ilmu tongkat yang amat diandalkannya, yaitu Hok-mo-tung. Dan
begitu ia mainkan ilmu tongkat ini, pemuda itu segera terdesak hebat dan semakin terkejut.
Memang ilmu tongkat yang diajarkan oleh Pek I Lokai ini bukanlah ilmu tongkat biasa. Di
dalamnya mengandung segala gerakan untuk menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun
juga. Daya serangannya amat hebat sehingga Siangkoan Tek yang sebetulnya juga lihai sekali
itu segera terdesak dan main mundur. Setelah lewat lima puluh jurus, Siangkoan Tek tidak
lagi mampu membalas serangan Cin Lan, hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak
sambil menangkis dengan pedangnya! Kalau dilanjutkan beberapa jurus lagi, agaknya dla
akan roboh oleh tongkat itu. Tiba-tiba Siangkoan Tek meloncat ke belakang. Cin Lan
mengejar dan pemuda itu berloncatan ke belakang seperti orang merasa jerih dan menjauhkan
diri. Tentu saja Cin Lan mendapat hati dan merasa penasaran karena pemu-da itu belum kalah
dan agaknya sengaja hendak menjauhkan diri agar jangan ter-desak. la mengejar terus dan
tiba-tiba kakinya terjeblos ke dalam lubang yang agaknya memang sengaja dibuat di pantai
berpasir itu. Ketika Cin Lan terjeblos jatuh, Siang-koan Tek cepat meloncat dekat dan sekali totok tubuh
Cin Lan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi.
Cin Lan yang sudah tidak berdaya itu melotot. "Kau curang!" bentaknya. "Engkau
menggunakan jebakan. Engkau pengecut curang yang hina!"


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan engkau seorang dara yarig can-tik jelita dan berkepandaian tinggi. Ha-ha, Tang Cin Lan,
engkau pantas menjadi kekasihku!" Siangkoan Tek menyentuh dagu Cin Lan dengan usapan
mesra. "Tidak sudi' Cuuh!" Cin Lan meludah.
"Jangan sentuh aku!"
"Ha-ha-ha, engkau sudah terjatuh ke tanganku. Engkau tidak dapat berbuat apa-apa lagi, apa
pula menolak, Nona manis, engkau seperti seekor kupu-kupu yang terjaring ke dalam sarang
laba-laba, aku tinggal menghisapmu sampai kering, ha-ha-ha!"
"Jahanam keparat busuk tak tahu malu Pengecut hina dina yang curang. Hayo bebaskan aku
dan kita bertanding lagi sampai salah seorang dari kita menggeletak mati di sini!" tantang Cin
Lan dengan marah. "Ha-ha-ha-ha!" Siangkoan Tek tertawa dan wajahnya yang tampan itu kelihatan amat
menyeramkan bagi Cin Lan yang mulai merasa takut. Jangan-jangan pemuda ini orang gila
dan akan melakukan hal yang amat mengerikan kepadanya, yang lebih hebat daripada maut
sendiri! Jangan-jangan pernuda ini akan memperkosanya dan kalau hal itu terjadi, ia tidak
akan mampu membela diri! Gadis itu mulai merasa ngeri.
Kembali Siangkoan Tek mengulurkan tangan, sekali ini henchak menggerayangi tubuh Cin
Lan. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Siangkoan Tek!"
Pemuda itu terkejut dan menarik kembali tangannya yang tadi hendak menggerayangi dada
Cin Lan dan dia memutar tubuhnya. Cin Lan juga melihat bahwa yang muncul adalah seorang
wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik dan anggun
dengan pakaian seperti wanita bangsawan atau hartawan pula. Biarpun cantik dan nampak
lemah-lembut, namun ada sesuatu dalam sikap nyonya itu yang berwibawa sekali.
"Siangkoan Tek, apa yang kautakukan ini" Siapakah nona ini?"
"Ah, Ibu. la telah melanggar wilayah kita dengan perahunya, maka aku lalu menangkapnya!"
"Hemm, engkau menggunakan akal licik untuk menangkapnya. Sungguh memalukan!"
"Tapi ia lihai sekali, Ibu."
"Sudah, hayo cepat kaubebaskan ia sekarang juga!"
Blarpun agak bersungut-sungut karena ibunya dianggap mengganggu kesenangan-nya
pemuda itu tidak berani membantah. "Baik, Ibu." Dia lalu menghampiri tubuh Cin Lan yang
masih terperosok ke dalam lubang dan sekali dia menotok, tubuh Cin Lan mampu bergerak
kembali. Begitu dapat bergerak, Cin Lan melompat keluar dari dalam lubang, menggerakkan
tongkatnya dan menyerang pemuda itu dengan marahnya.
"Plak!" Tongkat itu bertemu dengan tangan yang halus dari nyonya itu yang menangkisnya.
"Cukup, Nona. Aku mintakan maaf untuk kesalahan puteraku'" Melihat nyonya yang telah
menolongnya itu mintakan maaf untuk puteranya, Cin Lan merasa tidak enak untuk
menyerang terus, apalagi tangkisan tadi menunjukkan bahwa wanita ini lihai sekali, mungkin
lebih lihai daripada puteranya!
"Bibi, engkau harus lebih keras menghajar puteramu!" ia berkata sebagai teguran.
"Akan kutegur dia keras-keras nanti.
Akan tetapi engkau siapakah, Nona" Dan ada keperluan apa engkau sampai melanggar
wilayah kami?" "Namaku Tang Cin Lan dan aku ke-betulan menyewa perahu nelayah dan lewat di dekat
pulau ini. Karena tertarik mendengar bahwa pulau ini dihuni oleh iblis-iblis kejam aku
sengaja hendak men-jenguknya."
Wanita itu menghela napas. "Bukan iblis kejam yang menghuni pulau ini, Nona, melainkan
kami keluarga Siang-koan."
"Akan tetapi aku mendengar banyak orang dibunuh mati kalau mendekati tempat ini."
"Berita itu berlebihan. Memang kami banyak membunuh para bajak laut dan orang kang-ouw
yang sengaja hendak mengganggu kami di pulau ini. Engkau seorang nona muda sungguh
berani sekali mengunjurigi pulau ini. Sebaiknya, kalau engkau tidak mempunyai keperluan
pen-ting, jangan mendarat di pulau milik kami ini, Nona. Kami tidak ingin tempat kami ini
menjadi tempat umurn dan dlkotori oleh orang-orang yang tidak tahu aturan. Nah, sekarang
engkau boleh pergi dari sini dengan bebas, Nona."
Mendengar ini, nelayan yang tadinya ketakutan setengah mati melihat penumpangnya
bertanding kemudian tertawan, segera berlari menghamplri Cin Lan dan membujuk, "Marilah,
Nona. Kita pergi. Sudah berulang kali saya peringatkan jangan mendekati pulau ini. Man,
Nona! Cin Lan sekali lagi memandang tajam kepada wanita itu dan puteranya, kemu-dian ia
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, kembali ke perahunya yang segera didayung ke
tengah oleh nelayan itu. "Aduh, engkau berani sekali, Nona. Wah, kita mendapatkan kembali nyawa kita'" Tukang
perahu itu lalu memben hormat untuk menghaturkan terima kasih kepada Tuhan bahwa dia
masih diperbo-lehkan hidup. Tadi dia sudah menganggap bahwa dirinya dan nona itu pasti
akan Cin Lan merasa geli juga. "Sudahlah, Paman. Sekarang kita ke Pulau Ular Emas dan
engkau boleh mengambil jalan memutar!"
Ternyata setelah dekat, Pulau Ular Emas itu tidaklah sebesar Pulau Naga, bahkan kecil saja,
tidak ada sekilo meter persegi. Akan tetapi ketika Cin Lan me-lompat ke darat, ia melihat
beberapa orang berada di atas pulau itu dan mere-ka itu sedang bertempur! Dan di tengah-
tengah pulau itu terdapat sebuah pohon dan agaknya itulah pohon sian-tho yang kini agaknya
diperebutkan orang. Setiap ada yang mendekati pohon itu, tentu diserang oleh orang lain
sehingga terjadi perkelahian yang kacau balau antara enam orang yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian tinggi itu!
Matahari telah naik tinggi dan Cin Lan dapat melihat semua itu dengan jelas. la berpikir
bahwa kalau ia yang mendekati pohon itu, tentu juga ia akan diserang oleh mereka dan hal ini
tidak menguntungkan. Maka ia agak mendekat dan melihat bahwa di pohon itu hanya terdapat
sebutir buah saja yang sudah masak. Kiranya pohon itu hanya berbuah satu, maka pantas
kalau dijadikan perebutan. Dan buah itulah yang akan menyelamatkan suhunya. Lalu ia
mendapat akal dan berseru dengan nyaring karena la sengaja mengerahkan khi-kang untuk
membuat suaranya menjadi lantang.
"Tahan dulu, para Locianpwe, tahan dulu sebentar!"
Enam orang itu berloncatan mundur, akan tetapi tetap waspada menJaga agar jangan ada
orang yang mencoba untuk mengambil buah sian-tho yang diperebutkan.
"Mau apa engkau, Nona muda?" bentak seorang tinggl besar bermuka hitam.
"Aku tahu bahwa keenam Locianpwe sedang memperebutkan buah sian-tho di sana itu,
bukan" Aku sendiri pun datang hendak mencari buah sian-tho. Sayang buah itu hanya sebutir
dan yang menghendaki demikian banyak. Karena itu, daripada berebutan tanpa aturan seperti
ini bagaimana kalau dipakai aturan yang adil Kita semua bertanding satu lawan satu dan yang
terlihai di antara kita, yang menang, dialah yang berhak mendapatkan buah sian-tho. Dengan
begini maka akan adil sekali, bukan?"
Enam orang itu saling pandang denean mata melotot, lalu Si Tinggi Besar muka rutam itu
berkata, "Aku setuju!"
"Aku pun setuju!"
"Aku juga setuju!"
Enam orang itu berseru menyatakan setuju akan usul yang diajukan Cin Lan. Bagus! Kalau
begitu, silakan, siapa yang akan bertanding lebih dulu?"
Mereka semua mengajukan diri, akan tetapi pada saat itu ada angin berkesiur datang dan di
situ sudah berdiri seorang wanita diikuti seorang pemuda. Ketika Cin Lan memandang, ia
mengenal bahwa mereka itu adalah Siangkoan Tek dan ibunya yang baru saja ia jumpai di
Pulau Naga! Enam orang itu pun memandane dan mereka nampak terkejut dan jerih.
"Kami adalah keluarga Siangkoan! Biarpun kami hanya menjadi penguasa pulau Naga, akan
tetapi Pulau Ular Emas ini adalah tetangga kami dan kamilah yang terdekat dengan pohon
sian-tho. Bahkan di waktu musim kering, kamilah yang menyirami pohon itu. Jadi, sebetulnya kami
yang berhak memetik buah sian-tho yang sudah masak. Akan tetapi karena kalian semua
sudah datang berebut, kami setuju dengan usul Nona Tang Cin Lan ini. Suatu usul yang baik
sekali. Aku sendiri, Nyonya Slangkoan, akan maju mewakili keluarga Siangkoan dan kalian
yang ingin merebut sian-tho boieh maju semua mengeroyokku! Kalau aku kalah, barulah
kalian boleh saling berebutan. Nah, majulah!" Nyonya itu lalu melepaskan sabuk suteranya
yang berwarna merah. Sukar dipercaya bahwa sabuk sutera seperti itu hendak dijadikan
senjata melawan orang-orang yang nampaknya kuat-kuat dengan berbagai senjata tajam itu.
Akan tetapi sungguh aneh. Enam orang itu, yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw
yang berkepandaian tinggi, kelihatan jerih sekali mendengar bahwa wanita itu adalah Nyonya
Siangkoan yang mewakili keluarga Siangkoan. Cin Lan dapat menduga bahwa nama besar
keluarga Siangkoan tentu telah tersiar luas di dunia kang-ouw sehingga baru Sang Nyonya
saja yang muncul, semua orang menjadi jerih! Kemudian Cin Lan melihat bahwa dari pantai
pulau itu muncul pula empat orang yang berpakai-an seperti pelayan dan agaknya mereka ini
pelayan atau anak buah perahu yang ditumpangi Nyonya Siangkoan dan pu-teranya. Mereka
berempat itu berdiri saja seperti patung, seolah siap menanti perintah Sang Majikan.
Enam orang kang-ouw itu saling pandang, kemudian empat orang di antara mereka mundur
dan berkata kepada nyonya itu, "Kalau Toanio menghendaki buah sian-tho itu, terpaksa kami
mengundurkan diri. Kami tidak ingin berebut dengan keluarga Siangkoan!" Dan empat orang
itu lalu melangkah pergi menuju pantai melayarkan perahu masing-masing pergi dari situ!
Hanya tinggal dua orang yang masih tetap berada di situ dan mereka berdua memandang
kepada nyonya itu dengan penasaran. Seorang di antara mereka berkepala besar seperti
gentong dan dia yang berkata dengan suara yang mengguntur, "Benarkah Toanio menantang
kami maju berbareng?"
"Hemm, engkau yang berjuluk Ta-thouw-kwi (Setan Kepala Besar), bukan" Aku sudah
mengatakan bahwa kalian semua yang hendak memperebutkan sian-tho, boleh maju bersama
melawanku wakil dari keluarga Siangkoan," jawab nyonya itu dengan suara yang halus dan
teratur baik seperti ucapan seorang bangsawan terpelajar saja.
Orang ke dua adalah seorang yang demikian kurus seperti cecak kering. Orang kurus ini lalu
mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok yang punggungnya
seperti gergaji dan golok itu besar dan berat sekali, sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya
yang seperti cecak kering itu. Melihat golok ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang yang
kurus itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat. Dia mengangkat goloknya dan berkata,
"Sesungguhnya aku merasa malu untuk mengeroyok seorang wanita, akan tetapi karena
engkau sendiri yang menghendaki...."
"Engkau yang berjuluk Twa-to-kwi (Setan Golok Besar), bukan" Sudahlah, jangan banyak
cakap lagi. Majulah kalian bertiga'"
Akan tetapi Cin Lan berkata, "Tadi aku mengusulkan untuk pertandingan satu lawan satu.
Aku tidak sudi melakukan pengeroyokan!" Dan ia pun berdiri di pinggiran untuk menonton.
la akan memperebutkan sian-tho itu dengan pertandingan yang adil.
Mendengar ini, nyonya itu tersenyum manis kepadanya. "Kalau begitu, Cin Lan, engkau
lihatlah betapa aku meng-hajar kedua orang yang tidak tahu diri ini. Marilah, kalian boleh
maju dan mulai menyerang!" tantang nyonya itu sambil menaruh sabuk di pundaknya. Si
Kepala Besar juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan kedua orang itu lalu
membentak dan mulai menyerang dari kanan kiri. Serangan mereka ganas dan cepat sekali,
akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan orang yang mereka serang. Demikian cepat gerakan
nyonya itu ketika meloncat dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawannya yang sudah tiba
di belakang mereka. Cepat mereka membalik sambil mengayun senjata menyerang lagi. Akan
tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong belaka. Sampai belasan jurus mereka
menyerang, namun mereka itu seperti menyerang sesosok bayangan saja. Baru beberapa jurus
saja maklumlah Cin Lan bahwa jangankan baru dua orang itu, biarpun tadi ditambah empat
orang yang sudah pergi, belum tentu mereka dapat mengalahkan nyonya itu yang memiliki
ginkang luar biasa sekali. Akan tetapi la sendiri tidak khawatir. Dengan Hok-mo-gg tung-hoat
yang dikuasainya, kiranya akan mampu menandingi lawan yang memiliki sin-kang
sedemikian hebatnya, karena tongkatnya dapat dibuat bergerak secepat angin.
Benar saja dugaannya. Ketika nyonya itu mulai menggerakkan sabuknya, nampak sinar merah
berkelebatan menyilaukan mata dan tak lama kemudian terdengar dua orang itu menjerit dan
tubuh mereka roboh. Ketika Cin Lan memandang, ia terkejut sekali melihat mereka itu telah
tewas! Agaknya jalan darah maut mereka telah tertotok secara lihai sekali oleh ujung sabuk
sutera Nyonya itu dengan tenang lalu menggapaikan tangan kepada empat orang pelayan yang
berlari-lari mendatangi. Kemudian mere-ka tanpa diperintah agaknya tahu akan kewajiban
mereka. Mereka menggotong pergi dua mayat itu dan melemparkan mereka dari tebing tinggi
ke dalam lautan! Nyonya itu kini menghampiri Cin Lan. "Apakah engkau juga masih berniat untuk merebut
buah sian-tho, Cin Lan?"
"Tentu saja! Bibi boleh jadi amat lihai dan belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi
aku harus mendapatkan buah sian-tho itu untuk menyela-matkan guruku yang terluka
beracun!" "Engkau tidak takut akan tewas pula dalam memperebutkan buah itu?"
"Kewajiban seorang murid untuk membela gurunya, mati pun tidak akan penasaran!"
Nyonya itu tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada putera-nya. "Siangkoan
Tek, kau dengar sendiri ucapan Tang Cin Lan ini. Anak ini boleh kau contoh. la berbakti dan
setia kepada gurunya, sampai tidak takut mempertaruhkan nyawanya. Cin Lan, siapa sih
gurumu itu yang begitu kaubela?"
"Dia seorang pengemis tua."
Siangkoan Tek berseru heran. "Hanya seorang pengemis tua dan engkau mempertaruhkan
nyawa demi keselamatannya" Luar biasa sekali!"
"Siapa nama atau julukan gurumu itu, Cin Lan?"
"Julukannya Pek I Lokai."
"Ah, ah....! Kiranya si tua Pek I Lokai itu gurumu" Pantas engkau begim gagah perkasa dan
berani. Seorang guru yang baik tentu memiliki murid yang baik pula!" kata nyonya itu kagum.
"Di mana gurumu sekarang berada?"
"Di Kwan-im-bio di luar kota raja, kata Cin Lan terus terang karena memang ia tidak perlu
menyembunyikan sesuatu, kecuali tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran!
"Cin Lan, engkau murid yang hebat. Sikapmu mengingatkan aku di waktu muda. Berani dan
bertanggung jawab. Nah, majulah, Cin Lan. Ingin aku berkenalan dengan ilmu tongkatmu
yang menurut keterangan anakku tadi hebat sekali'"
Cin Lan menggerakkah tongkathya dan berkata, "Aku harus mendapatkan sian-tho itu atau
boleh Bibi membunuhku kalau bisa'" la lalu berseru keras dan memasang kuda-kuda, tidak
mau menyerang lebih dulu karena maklum bahwa ia tidak akan berhasil mengenai tubuh yang
memiliki gin-kang hebat itu. Satu-satunya cara adalah membiarkan nyonya itu menyerang
lebih dulu sehingga ia dapat membarengi dengan serangan selagi nyonya itu menyerang.
Melihat ini, nyonya itu mengangguk-angguk lalu berseru keras dan sabuk sutera merahnya
mencuat menotok ke arah dada Cin Lan. Cin Lan menggerakkan tongkatnya menangkis dan
sekaligus balas menyerang dengan pukulan ke arah leher lawan. Nyonya Siangkoan mengelak
dan mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Karena maklum bahwa lawannya lihai, maka
Cin Lan segera memainkan Hok-mo Tung-hoat dan membuat gerakan tongkatnya secepat
kilat sehingga nyonya itu tidak sempat menggunakan gin-kangnya. Terjadi pertempuran yang
seru bukan main dan berkali-kali nyonya itu mengeluarkan seruan kagum.
Sampai lewat lima puluh jurus belum ada pihak yang menang atau kalah dan tiba-tiba ketika
Cin Lan memukulkan tongkatnya, ujung sabuk sutera itu melibat tongkatnya dan tongkat itu
tidak dapat digerakkan lagi. Akan tetapi nyonya itu pun tidak dapat menggunakan sabuk
suteranya untuk menyerang dan mereka saling tarik menarik. Ternyata dalam hal tenaga sln-
kang pun mereka seimbang.
Tiba-tiba nyonya itu tertawa, "Bagus, engkau memang murid Pek I Lokai yang baik sekali." la
melepaskan libatan sabuk suteranya dan meloncat ke belakang.
"Engkau boleh memiliki sian-tho itu Cin Lan".
Cin Lan membelalakkan matanya. la tahu bahwa nyonya itu belum kalah olehnya, akan tetapi
sudah mau menyerahkan sian-tho itu kepadanya.
"Ah, Bibi baik sekali. Terima kasih Bibi."
"Engkau memang pantas mendapatkannya, Cin Lan. Dan aku suka padamu. Kalau saja
engkau kelak menjadi mantuku....!"
Wajah Cin Lan berubah kemerahan ketika mendengar ini, "Aih, Bibi!" serunya tersipu.
"Siangkoan Tek, cepat ambilkan sian-tho itu dari berikan kepada Cin Lan'"
Siangkoan Tek berlari ke arah pohon itu dan sekali meloncat tubuhnya sudah berada di atas
pohon. Dipetiknya buah yang hanya satu-satunya itu lalu dia meloncat turun lagi dan lari
menghampiri Cin Lan. Pemuda itu kini nampak ramah sekali dan tersenyum manis. "Silakan terima buah sian-tho ini,
Nona. Dan kalau nanti ada kesempatan, ingin sekali aku datang berkunjung ke tempatmu di
Kuil Kwan-im-bio di luar kota raja!"
Cin Lan menjadi tidak senang di dalam hatinya kepada pemuda ini. Tadi pemuda ini telah
memperlihatkan sikap yang sama sekali tidak menyenangkan. Akan tetapi karena ia diberi
buah sian-tho, maka terpaksa ia pun menerimanya sambil berkata, "Terima kasih!"
"Cepat bawa buah itu kembali, Cin Lan. Akan tetapi berhati-hatilah, karena banyak orang
kang-ouw yang juga ingin sekali memiliki buah sian-tho ini yang dapat menyembuhkan
segala macam pe-nyakit dalam. Dan sampaikan salam keluarga Siangkoan kepada suhumu,"
kata Nyonya Siangkoan dengan sikap yang manis budi. Akan tetapi Cin Lan tetap tidak dapat
melupakan betapa nyonya ini tadi dengan kejamnya telah membunuh dua orang yang hendak
memperebutkan buah sian-tho. Padahal, meliihat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi,
nyonya itu dapat mengalahkan dua orang lawannya tanpa harus membunuh mereka.
"Terima kasih, Bibi. Selamat tinggal!" katanya dan cepat ia berlari kembali ke perahunya
setelah memasukkan buah sian-tho itu ke dalam kantung bajunya.
Tukang perahu yang selalu khawatir dan ketakutan melihat perkelahian di Pulau Ular Emas
itu, merasa girang sekali melihat nona penyewa perahunya datang dalam keadaan selamat.
Begitu Cin Lan naik ke perahu, tanpa bicara lagi dia segera mendayung perahunya ke tengah
lalu memasang layar sehingga perahu meluncur cepat meninggalkan pulau itu. Akan tetapi
tlba-tiba Cin Lan berkata, "Nanti dulu, Paman. Kembali dulu!"
"Ada apakah, Nona?"
"Cepat kembalilah ke darat!" kata Cin Lan sambil memandang ke darat. la melihat ada sinar-
sinar emas di tepi pantai berloncat-loncatan. Hal ini amat menarik hatinya karena ia teringat
bah-wa nama pulau itu adalah Pulau Ular Emas. 'Maka melihat ada sinar-sinar seperti emas
berloncatan di pantai, ia tertarik sekali dan menyuruh tukang perahu untuk kembali. Biarpun
bersungut-sungut, nelayan itu tidak berani memban-tah dan segera mendayung perahunya ke
tepi pantai! Setelah dekat dengan sinar-sinar emas itu, hampir Cin Lan memekik girang dan kagum. la
melompat keluar dari dalam perahu dan mendekati tempat itu. Terda-pat pemandangan yang
menarik sekali. Ternyata yang berloncatan itu adalah ular-ular yang berwarna keemasan. Ada


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belasan ekor banyaknya. Belasan ekor ular emas ini agaknya sedang mengeroyok seekor ular
putih yang melingkar di tengah-tengah. Gerakan ular-ular emas itu sungguh cekatan dan cepat
sekali. Mereka menyerang dari berbagai jurusan, akan tetapi dengan tenang ular putih yang
melingkar ini menggerakkan kepalanya cepat menyambar ke arah ular-ular itu. Sudah dua tiga
ekor ular emas yang tewas dengan leher hampir putus tergigit ular putih yang tubuhnya
sebesar lengan tangan dan panjangnya ada satu setengah meter. Sebaliknya, ular-ular emas itu
kecil hanya sebesar ibu jarinya dan juga panjangnya tidak lebih dari tiga putuh sentimeter.
Cin Lan adalah seorang gadis yang berwatak pendekar. Melihat seekor ular dikeroyok
demikian banyaknya ular emas g ia menjadi marah. la lalu menggerakkan tongkatnya
membantu ular putih. Akan tetapi ular-ular emas itu bergerak cepat sehingga pukulannya
dapat mereka elakkan. Akan tetapi Cin Lan menyerang terus dan akhirnya, ia dapat
membunuh beberapa efcor ular emas. Tiba-tiba la berteriak. Tanpa diketahuinya, seekor ular
emas meloncat ke arah kakinya dan menggigit. Gigitannya menembus celananya dan terasa
panas bukan main. Dan ketika ia hendak merenggut ular emas yang menggigit kakinya
ternyata ular emas itu sudah mati. Begitu menggigit terus mati, dan agaknya menumpahkan
seluruh racunnya ke dalam kakinya! la semakin marah dan mengamuk sehingga semua ular
emas terkena hantaman tongkatnya dan mati semua. Akan tetapi tiba-tiba ular putih itu
mematuknya dan menggigit kaki yang sama. la merasa seolah kakinya dimasuki es yang amat
dinginnya sehingga ia menggigil dan ketika ia melihat ular putih yang tadi dibantunya dan
yang kini menggigit kaki-nya juga telah mati lemas!
Cin Lan berdiri terhuyung. Dalam tubuhnya terjadi perang yang hebat anta-ra hawa yang amat
panas dengan hawa yang amat dingin. Akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir.
Ketika Cin Lan siuman kembali, ter-nyata ia sudah rebah di atas perahu ne-layan itu. "Ah,
engkau sudah siuman, Nona. Sukurlah! Engkau membuat aku ketakutan setengah mati!" kata
tukang perahu itu. Dialah yang tadi melihat gadis itu roboh dan dia mengangkatnya setengah
menyeretnya ke atas perahunya dan melayarkan perahu itu meninggalkan Pulau Ular Emas.
Cin Lan yang membuka mata itu berkedip-kedip. la merasa tubuhnya sehat dan segar hanya
ada hawa yang tarik-menarik di dalam perutnya, kadang panas kadang dingin. la bangkit
duduk dan memandang kepida tukang perahu itu.
"Aku tadi pingsan, Paman?"
"Ya, kulihat Nona menggeletak pingsan di pantai dan banyak ular dl sekeliling Nona. Hlhh,
mengerlkan sekali'."
Cin Lan teringat dan meraba kakinya.
Bekas gigitan ular itu masih ada, hanya tidak lagi menimbulkan rasa nyeri Ia telah digigit
seekor ular emas dan seekor ular putih.
"Paman yang mengangkatku ke perahu ini?"
"Benar, Nona. Melihat engkau menggeletak pingsan, aku lalu berusaha sedapat mungkln
membawa Nona ke perahu ini, lalu cepat-cepat melayarkan perahunya karena aku takut lebih
lama lagi tinggal di pulau itu."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Paman." Cin Lan bangkit berdiri, meng-gerakkan kaki
tangannya dan ia merasa betapa ada hawa yang amat kuat yang membuat tubuhnya terasa
ringan dan bertenaga dahsyat. Tentu saja la menjadl girang sekali. la tidak mati oleh gigitan
ular bahkan mendapat tenaga yang kuat.
la sama sekali tidak tahu apa artinya ini dan mengapa ia tidak mati malah mendapatkan tenaga
baru yang membuat tubuhnya terasa ringan. la lalu duduk kembali dan mengenangkan semua
peris-tiwa yang pernah terjadi. la meraba benda di situ dan diambilnya buah. itu, diamat-
amatinya. Seperti buah biasa saja, tidak ada keanehannya. Akan tetapi ketika diciumnya, bau
buah itu harum dan agak keras menyengat hidungnya. la cepat menyimpannya kembali, kini
ia ma-sukkan ke balik bajunya di dada karena ia khawatir kalau-kalau akan ada orang yang
hendak merampasnya. Sementara itu, angin bertiup kencang. Layar terkembang sepenuhnya
dan perahu meluncur dengan amat cepatnya sehingga dapat diharapkan ia akan sampai di
pantai sebelum hari menjadi gelap.
Akhirnya perahu itu mendarat di pantai. Matahari telah condong ke barat akan tetapi cuaca
masih terang. Cin Lan merasa girang sekali. la berhasil mendapatkan sian-tho. Gurunya akan
tertolong. Setelah membantu tukang perahu itu menambatkan perahu yang diseret ke darat,
Cin Lan bersama nelayan itu lalu berjalan menuju ke rumah nelayan itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka dikepung oleh empat orang yang memandang bengis kepada Cin
Lan. Tukang perahu menjadi ketakutan dan dia menundukkan diri. Ternyata empat orang itu
membiar-kan saja tukang perahu itu keluar dari kepungan mereka karena yang mereka kepung
adalah Cin Lan. "Hemm, mau apa kalian mengganggu-ku?" tanya Cin Lan, padahal tentu saja ia tahu bahwa
empat orang ini menghendaki buah sian-tho yang sudah disimpannya karena empat orang itu
bukan lain adalah mereka yang tadinya berada di Pulau Ular Emas, yaitu mereka yang tidak
berani melawan Nyonya Siangkoan dan mengundurkan diri. Klranya mereka masih berada di
pantai ini dan agaknya memang menghadangnya!
"Nona, kami minta bagian buah sian-tho itu!"
"Buah sian-tho apa?" Cin Lan pura-pura bertanya. "Buah sian-tho itu milik keluarga
Siangkoan." Akan tetapi empat orang itu terse-nyum dan Cin Lan merasa tenang bahwa ia membawa
dayung milik nelayan itu. Tadi ketika ia turun dari perahu, ia mendapat kenyataan bahwa
tongkatnya telah ditinggalkan tukang perahu ketika menariknya ke atas perahu dan ia melihat
bahwa dayung itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata, maka dayung itu dibawanya serta
sebagai pelindung diri. "Nona, harap jangan pelit. Kita semua membutuhkan buah sian-tho itu dan tentu buah sian-
tho itu telah berada di tanganmu."
"Hemm, bagaimana engkau menduga begitu" Buah sian-tho itu milik keluarga Siangkoan."
"Tidak perlu membohongi kami. Kami mengenal siapa keluarga Siangkoan itu. Kalau Nona
tidak mendapatkan buah itu, berarti Nona terbunuh oleh Nyonya Siangkoan. Buktinya dua
orang kang-ouw yang lainnya juga tidak muncul, tentu mereka telah tewas di tangan nyonya
itu. Akan tetapi Nona dapat mendarat, tentu buah sian-tho itu telah berada di tanganmu."
"Harap Nona jangan pelit, kita bagi sama buah sian-tho itu menjadi lima potong dan kita
masing-masing mendapatkan sepotong," kata yang lain.
Cin Lan tidak dapat mengelak lagi, maka ia lalu melintangkan dayung di depan dadanya dan
membentak, "Aku tidak akan membaginya dengan siapa pun'"
Empat orang itu menjadi marah dan mencabut senjata masing-masing. Dua orang memegang
pedang dan dua orang lagi memegang golok. "Kalau Nona tidak mau membagi-bagi, kami
akan merampas dengan kekerasan!" kata yang memegang pedang dan bertubuh tinggi besar.
"Majulah, aku tidak takut!" kata Cin Lan.
Empat orang itu menggerakkan senjata mereka dan maju mengeroyok. Ketika Cin Lan
menggerakkan tongkat dayung-nya, ia sendiri terkejut. Gerakannya de-mikian kuat sehingga
dayung itu mengeluarkan angin dahsyat! Akan tetapi ia merasa dadanya agak sesak. Ketika ia
menerjang kepada empat orang itu, empat orang itu pun terkejut bukan main. Golok dan
pedang mereka terpental ham-pir terlepas dari tangan ketika bertemu dengan dayung! Dalam
beberapa gebrakan saja empat orang itu terdesak mundur karena gerakan dayung di tangan
Cin Lan memang luar biasa kuatnya. Dan Cin Lan juga bergerak amat cepat. Ketika kakinya
menendang, dua orang pengero-yok terkena tendangannya dan terlempar jauh! Juga dalam
tendangannya terkan-dung tenaga yang dahsyat bukan main.
Tentu saja para pengeroyok itu men-jadi terkejut dan merasa jerih. Tak mereka sangka bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang demikian hebatnya. Akan tetapi, selagi mereka hendak
melarikan diri, mereka melihat Cin Lan terhuyung-huyung! Ternyata ketika tadi sehabis
melakukan tendangan, Cin Lan merasa betapa tenaga yang tarik menarik di tubuhnya makin
menghebat dan kini terasa hawa sebentar panas sebentar dingln menyerangnya dan membuat
dadanya terasa sesak sukar bernapas. la terengah-engah dan terpaksa membungkuk sambil
menekan dadanya. Pada saat itu, empat orang pengeroyoknya maklum bahwa gadis itu
menderlta luka dalam yang agaknya hebat sekali, maka timbul kembali keberanian mereka.
Mereka lalu menyerang selagi gadis itu menyeringai kesakitan dan terengah-engah.
Akan tetapi pada saat yang amat gawat bagi Cin Lan itu, empat buah kerikil berturut-turut
menyambar ke arah tangan yang memegang golok dan pedang dan empat batang senjata itu
berkerontangan jatuh ke atas tanah. Empat orang itu terkejut bukan main karena tangan
mereka terasa nyeri sekali. Di situ tidak ada orang lain kecuali Si Tukang Perahu yang
menonton dengan wajah pucat. Maka mereka mengira bahwa gadis itu yang telah membuat
mereka kehilangan senjata dan mereka lalu memutar tubuh dan melarikan diri dari situ dengan
ketakutan. Seorang pemuda muncul. Pemuda ini berusia sekitar sembilan belas tahun, berpakaian
sederhana dan kepalanya memakai sebuah caping lebar seperti caping yang dipakai para
petani. Wajah di balik caping itu tampan dan lembut., Pakaiannya juga sepertl pakaian petani
dan pemuda itu lalu menghampiri Cin Lan.
"Nona, engkau sakitkah?" tanya pemuda itu dengan suara lembut dan ramah.
Akan tetapi Cin Lan yang sudah mulai dapat mengatur pernapasannya yang tadi bergolak dan
terengah, memutar tubuh memandang kepadanya dengan curiga. "Siapa engkau" Mau apa
engkau?" la melintangkan dayungnya siap untuk menghantam pemuda itu yang dianggapnya
tentu ora.ng yang hendak merampas sian-tho pula. Pemuda itu mundur tiga langkah. Dia
kaget melihat sikap gadis itu, akan tetapi juga kagum melihat wajah yang jelita itu.
"Nona, aku seorang yang kebetulan lewat dan melihat Nona seperti yang sakit ..".
"Aku tidak sakit! Dan jangan mendekat!" bentak pula Cin Lan dan kembah pemuda itu
mundur beberapa langkah dan menggeleng kepalanya.
"Nona, aku tidak berniat buruk...."
"Diam! Aku tidak membutuhkan bantuanmu," kata pula Cin Lan dan la lalu menoleh kepada
tukang perahu. "Mari, Paman, kita pulang."
Tukang perahu itu tergopoh-gopoh melangkah pergi menuju ke rumahnya bersama Cin Lan,
diikuti pandang mata pemuda bercaping itu yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh...." kata pemuda itu. Pemuda itu bukan lain adalah Thian Lee. Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Thian Lee secara kebetulan sekali beriemu dengan manusia salju Yeti yang
membawanya menemukan sebatang pedang dan dua buah kitab kuno. Dia mempelajari dua
buah kitab yang tulisannya memakai huruf kuno itu, dibantu oleh Tan Jeng Kun dan Kim-sim
Yok-sian yang menterjemahkan huruf-huruf itu kepadanya. Selama tiga tahun lebih dla
melatih diri dengan dua ilmu itu. Kitab yang pertama adalah ilmu meng-himpun tenaga sin-
kang yang disebut Thian-te Sin-kang. Dengan melatih diri dengan ilmu ini, Thian Lee dapat
memiliki kekuatan sin-kang yang hebat sekali. Kemudian kitab ke dua adalah pelajaran ilmu
pedang Jit-goat Kiam-sut dan ilmu pedang ini dilatihnya dengan menggunakan pedang Jit-
goat Sin-klam. Ternyata bahwa ilmu pedang ini hebat bukan main. Bahkan kedua orang
gurunya itu pun menyatakan 'kekaguman mereka. Akan tetapi, biarpun dia sendiri seorang
ahli silat tingkat tinggi yang amat lihai Tang Jeng Kun tidak mau melatih diri dengan ilmu
silat atau ilmu sin-kang itu. Dia merasa dirinya sudah tua dan juga tidak berhak, karena
agaknya kerangka itu, yaitu su-kongnya, nneninggalkan ilmu-ilmu dan pedangnya kepada
Thian Lee sebagai ahli warisnya.
Demikianlah, setelah berlatih diri dengan tekun selama lebih dari tiga tahun, Thian Lee telah
menguasai ilmu-ilmunya dengan baik. Kim-sim Yok-sian telah lama meninggalkannya untuk
merantau seperti biasa dan dia dibimbing oleh guru silatnya, yaitu Tan Jeng Kun. Setelah
melihat murid ini menguasai ilmu-ilmunya dengan baik, Tan Jeng Kun lalu memanggilnya.
"Thian Lee, sekarang sudah tidak ada ilmu apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu.
Engkau sudah menguasai ilmu yang hebat, dan sudah tiba saatnya engkau mengamalkan ilmu-
ilmu itu. Pergilah engkau merantau dan jadilah seorang pendekar yang baik. Akan tetapi
pesanku yang engkau harus taati, jangan menojolkan diri, jangan pamer kepandaian dan
jauhkan diri dari permusuhan sedapat mungkin. Ingat, sepandai-pandainya seorang manusia,
masih ada orang, lain yang lebih pandai lagi dan sehebat-hebatnya llmu, belum dapat
dikatakan sempurna. Yang Maha Kuat, Maha Kuasa dan Maha Sempurna hanyalah Tuhan.
Kalau engkau selalu menjaga sepak terjangmu tidak menyimpang dari kebenaran, engkau
tentu akan mendapat bimbingan dan perlindungan dari Tuhan dan kalau engkau sudah
dibimbing dan dilindungi Tuhan, siapakah yang akan dapat melawanmu?"
"Suhu, teecu tidak memiliki sanak keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Ke
manakah teecu harus pergi?" tanya Thian Lee dengan suara memelas. Dia menyadari
keadaannya dan mau tidak mau hatinya menjadi sedih kalau harus meninggalkan suhunya,
satu-satunya orang yang dekat dengannya setelah Kim-sim Yok-sian yang telah pergi
merantau lebih dulu. Jilid 8________ "Thian Lee, kalau engkau bersikap baik dan menolong sesama, maka orang di seluruh dunia
ini adalah anak keluargamu! Sekarang ini kalau tidak salah, sudah tiba waktunya buah sian-
tho yang berada di Pulau Ular Emas masak. Kalau engkau bisa mendapatkan buah sian-tho
itu, sungguh besar manfaatnya. Buah itu dapat menyembuhkan segala macam luka dalam,
juga yang mengandung racun betapa hebat pun. Pergilah engkau ke Pulau Ular Emas di
Lautan Po-hai dan kalau mungkin, dapatkan buah sian-tho itu. Kalau engkau dapat
menyerahkan buah sian-tho kepadanya, tidak ada hadiah yang lebih indah bagi Tabib Dewa
itu kecuali buah itu. Akan tetapi ingat, kalau engkau harus berebutan dengan orang-orang
kang-ouw, jangan sampai engkau menanam permusuhan. Dan peringatanku yang paling
utama, jangan sekali-kali engkau membunuh orang dengan sengaja!"
"Teecu akan melaksanakan semua pesan Suhu."
"Dan kurasa, ayah atau ibumu tentu mempunyai keluarga. Engkau dapat melakukan
penyelidikan di tempat asal orang tuamu, kukira engkau tentu akan menemukan keluarga
ayahmu atau ibumu." Demikianlah, setelah mendapat banyak nasihat dari gurunya, Thian Lee lalu meninggalkan
Pegunungan Himalaya di mana gurunya tinggal sebagai seorang pertapa dan melakukan
perjalanan ke timur menuju ke Lautan Pohai.
Akan tetapi kedatangannya terlambat. Ketika tiba di pantai itu dia mendengar percakapan
antara Cin Lan dan empat orang pengepungnya. Dari perca-kapan itu tahulah dia bahwa sian-
tho telah didapatkan oleh gadis cantik jelita itu yang kini dikepung dan hendak dirampas oleh
empat orang kang-ouw yang kelihatannya bernapsu benar hendak merampas sian-tho. Dia
hanya menonton saja dari jauh. Ketika Cin Lan mengamuk dengan dayungnya, diam-diam
Thian Lee kagum bukan main. Gadis itu lihai sekali! Dan memiliki tenaga yang hebat. Akan
tetapi dia melihat pula betapa gadis itu terengah, seperti orang kesakitan dan melihat empat
orang itu yang tadinya sudah merasa jerih itu kini men-desak maju untuk menyerang gadis
yang sedang menderita kesakitan. Maka diam-diam dia cepat memungut empat buah kerikil
dan dengan kerikil itu dia me-nyambit ke arah tangan empat orang itu meruntuhkan senjata
mereka. Perbuatannya ini tidak ketahuan oleh siapa pun dan empat orang itu lalu melarikan
diri, Demikianlah, Thian Lee lalu menghampiri Cln Lan untuk menolong karena dilihatnya gadis
itu seperti kesakitan, akan tetapi malah dihardik dan dicurigai. Dia memandang gadis itu pergi
bersama Si Nelayan. Thlan Lee merasa tidak puas. Dia melihat sesuatu pada wajah gadis itu, sesuatu yang aneh,
seperti ada cahaya yang luar biasa pada wajah gadis itu. Dan melihat betapa gadis itu tadi
seperti menderita panas dingin, dia menduga bahwa gadis itu agaknya tentu menderita luka
dalam atau bahkan keracunan. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kalau gadis itu
demikian angkuhnya, bahkan agaknya mencurigainya" Dia pun membatalkan niatnya pergi ke
Pulau Ular Emas seperti dipesankan suhunya. Bukankah buah sian-tho telah didapatkan oleh
gadis itu" Dan gadis i.tu agaknya luka parah, dan dia pun. dapat menduga bahwa buah sian-
tho itu diinginkan oleh banyak orang. Sangat boleh jadi keselamatan gadis itu terancam. Siapa
tahu masih akan datang banyak orang kang-ouw untuk berusaha merampas buah sian-tho itu
dari tangan si gadis yang menarik hatinya.
Karena mengandung kekhawatiran terhadap keselamatan gadis angkuh itu, diam-diam Thian
Lee lalu membayanginya. Setelah tahu di mana gadis itu menginap, dia lalu menginap di
rumah yang berdekatan agar dia dapat diam-diam menjaga keselamatan gadis itu kalau-kalau
ada orang yang hendak rnenyerangnya. Dia sendiri merasa heran mengapa dia begitu
mengkhawatirkan gadis yang sama sekali tidak pernah dikenalnya, bahkan gadis yang
bersikap angkuh kepadanya.
Keahgkuhan sikap Cin Lan itu tidaklah aneh. Sejak kecil ia hidup sebagai putera pangeran
yang dihormati oleh semua orang. Lingkungan ini sedikit ba-nyak membentuk dirinya
memiliki keang-kuhan. Kedudukan atau harta benda memang besar sekali pengaruhnya
terhadap sikap seseorang. Orang yang berkeduduk-an tinggi atau yang berharta banyak
menganggap dirinya orang yang penting, atau setidaknya memiUki kelebihan dibandingkan
orang lain, apalagi dibanding-kan orang kebanyakan, seperti misalnya kaum petani yang
mereka anggap bodoh dan miskin. Itulah sebabnya ketika didekati seorang pemuda yang
berpakaian petani, tentu saja Cin Lan bersikap acuh dan angkuh. Dan bahkan ia mencurigai
pemuda itu yang dianggapnya hendak menginginkan pula buah sian-tho yang telah
dimilikinya. Setelah tiba di rumah nelayan itu, Cin Lan girang melihat kudanya terawat dengan baik. la
terpaksa bermalam di rumah nelayan itu karena maklum bahwa kalau ia melakukan
perjalanan malam, amat berbahaya. Bukan saja berbahaya karena perjalanan dilakukan dalam
cuaca gelap, akan tetapi juga siapa tahu orang-orang kang-ouw itu akan
perjalanannya. la harus berhati-hati se-kali mulai sekarang, menjaga sian-tho itu agar jangan
sampai dirampas orang. Diam-diam ia merasa heran mengapa empat orang itu tadi tidak jadi
menye-rangnya, bahkan melepaskan senjata me-reka dan melarikan diri. Padahal ketika itu ia
sedang menderita karena hawa panas dan dingin yang mengamuk dalam dirinya. Malam ini ia
pergunakan untuk beristirahat, dan sudah beristirahat, hawa yang bertentangan di dalam perut
nya itu pun mereda dan tidak mengamuk lagi.
Maka keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Lan sudah berpamit kepada ne-layan itu setelah
membayar sewa perahu bahkan memberi lebih dari yang dijanjikan. Dengan cepat ia
menunggang kuda putihnya meninggalkan tempat itu menuju ke barat.
la sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mengikutinya dengan ilmu berlari cepat
yang luar biasa. Bayangan itu tidak dapat tertinggal oleh larinya kuda putihnya. Demikian
cepat bayangan itu berlari sehingga yang nampak hanya bayangan berkelebat saja. Bayangan
itu bukan lain adalah Thian Lee! Pemuda itu setelah menguasai Thian-te Sin-kang dapat
menggunakan tenaga saktinya untuk berlari cepat bukan main. Gurunya, Tan Jeng Kun adalah
seorang ahli berlari cepat dan memiliki gin-kang yang hebat. Setelah mengajarkan gin-kang
kepada Thian Lee, kemudian Thian Lee menguasai Thian-te Sin-kang, gin-kang muridnya ini
bahkan mengejar dan melampaui tingkat gurunya!
Setelah melewati sebuah bukit, ketika menuruni lereng bukit itu, tiba-tiba muncul dua orang
laki-laki yang bersenjata ruyung dan golok menghadang perjalanan Cin Lan. Gadis itu
terpaksa meloncat dari atas kudanya karena ia khawatir kalau dua orang itu menyerang
kudanya, kuda itu bisa celaka. Setelah meloncat turun dan membiarkan kudanya lepas, ia lalu
menghadapl dua orang itu sambil melintangkan tongkatnya di depan dada. Ia memang sudah


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siap siaga dan memba-wa tongkat dari rumah nelayan itu, tong-kat dari kayu yang amat kuat.
"Kalian menghadang perjalananku ada .maksud apakah?" bentaknya dengan suara keren.
Dua orang itu bertubuh tinggi besar dan nampaknya gagah sekali. Yang seorang berkepala
botak dan kuncirnya panjang besar dilingkarkan ke lehernya. Dia tertawa dan berkata, "Nona,
sebetulnya kami berdua rnerasa malu untuk mengganggu seorang nona muda seperti engkau.
Karena itu, biarlah kami melepaskan engkau lewat asal engkau rnenyerahkan buah sian-tho
yang kaubawa kepadaku."
"Benar, Nona. Sebaiknya kita berdamai saja. Tidak ada gunanya engkau melawan Bu-tek
Siang-liong (Sepasang Naga Tanpa Tanding) dan kami pun segan mempergunakan kekerasan
terhadap seorang gadis remaja," kata orang ke dua yang matanya lebar hidungnya pesek.
Cin Lan tidak ingin banyak cakap lagi, "Tidak ada sian-tho untuk kalian dan kalau kalian
hendak menggunakan kekerasan, aku pun tidak takut!" kata Cin Lan sambil melintangkan
tongkatnya memasang kuda-kuda.
"Ha-ha-ha, kami mendengar engkau memang lihai. Akan tetapi jangan harap akan dapat
menang menandingi kami. Sekali lagi, serahkan sian-tho kepada kami kalau engkau ingin
selamat!" kata Si Botak.
"Benar, Nona. Kami membutuhkan se-kali karena seorang paman kami mende-rita sakit, perlu
obat itu!" kata Si Hi-dung Pesek. "Biarlah kami mau menukar-nya dengan apa saja untuk
sian-tho itu, Nona."
Hemm, mereka bukan sembarangan perampok, melainkan membutuhkan sian-tho untuk obat
orang sakit, "Enak saja," kata Cin Lan. "Apa kaukira hanya pa-manmu saja yang sakit" Kalau
aku me-miliki sian-tho itu pun untuk mengobati orang sakit, maka tidak mungkin kuserahkan
kepadamu." "Kalau begitu, kami terpaksa akan menggunakan kekerasan," kata Si Botak yang sudah
menggerakkan ruyungnya untuk menyerang. Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali
Cin Lan dapat mengelak. Si Hidung Pesek juga menggerakkan goloknya membacok.
"Tranggg ...!" Golok itu terpental oleh tangkisan tongkat di tangan Cin Lan dan mulailah Cin
Lan memutar tongkatnya memainkan Hok-mo-tung-hoat. Tenaga dari dalam perutnya tiba-
tiba bangkit"I dan menjalar ke seluruh tubuh sehingga gerakannya menjadi amat kuat dan
cepat. Dua orang itu terkejut bukan main. Mereka adalah dua orang kang-ouw yang tinggi ilmu
kepandaiannya dan keduanya, memiliki tenaga besar. Akan tetapi menghadapi gadis remaja
itu, mereka bukan saja kalah cepat, akan tetapi juga kalah kuat tenaganya! Hampir mereka
tidak dapat percaya dan Si Botak menggerakkan ruyungnya sepenuh tenaga menghantam ke
arah kepala Cin Lan. Gadis itu menerima hantaman itu dengan tongkatnya.
"Takkk!" Ruyung terpental dan sekali Cin Lan menggerakkan kakinya, Si Botak itu
Pendekar Bodoh 11 Renjana Pendekar Karya Khulung Pendekar Pemetik Harpa 23
^