Pencarian

Gelang Kemala 5

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


terjengkang roboh. Si Hidung Pesek menyambar dengan goloknya. Cin Lan mengelak dan
begitu tongkatnya menyambar dengan gerakan membalik, pundak Si Hidung Pesek dihantam
tongkat dan dia pun terpelanting roboh. Kedua orang itu merangkak bangun dan segera
melarikan diri. Cin Lan tidak mengejar karena tiba-tiba saja ia merasa kepalanya pening
bukan main, dadanya sesak seperti kemarin ketika menghadapi pengeroyokan empat orang
itu. Melihat dua orang lawannya sudah melarikan diri, Cin Lan hendak melompat ke atas
punggung kudanya, akan tetapi tiba-tiba ia terguling. Tubuhnya diserang hawa panas dan
dingin bergantian dan ia pun tidak kuat bertahan lagi dan roboh pingsan di dekat kudanya.
Bayangan yang sejak tadi membayanginya, yaitu Thian Lee, melihat ini semua dan segera dia
lari menghamplri. Diperiksanya nadi pergelangan tangan gadis itu dan dia terkejut bukan
main. Ada hawa yang amat kuat bergerak dalam tubuh gadis itu, hawa panas dan hawa dingin
yang luar biasa kuatnya, seolah kedua hawa itu saling berebut menguasai tubuh si gadis itu,
Thian Lee menduga bahwa gadis ini telah mempelajari ilmu sin-kang yang hebat akan tetapi
saiah latih&n agaknya. Maka, dia lalu mengulurkan kedua tangan dan menempelkan di bagian
perut gadis itu. Sambil menyalurkan sin-karignya dia membantu gadis itu agar hawa yang
mengamuk di tubuhnya itu dapat dikendalikan dan di-kumpulkan ke dalam tan-tian.
Cin Lan siuman kembali. Begitu membuka mata melihat seorang pemuda bercaping
menempelkan kedua tangannya ke perutnya, ia terkejut selengah mati, mengira bahwa
pemuda itu hendak berbuat kurang ajar kepadanya.
"Jahanam....!" Teriaknya dan ia meloncat bangun, lalu menyerang Thian Lee kalang-kabut.
Thian Lee sudah siap siaga dan mengelak ke sana-sini, sama sekali tidak menangkis. Setelah
menyerang beberapa jurus, tiba-tiba dua hawa yang bertentangan itu mengamuk demikian
hebatnya dalam tubuh Cin Lan sehingga ia terguling lagi.
"Nona, harap jangan salah mengerti. Aku hanya ingin menolongmu. Mungkin engkau
keracunan. Ada dua unsur hawa panas dan dingin menguasai tubuhmu. Mungkin Nona salah
latihan. Dua tenaga yang saling berlawanan itu tidak boleh menguasai dirimu pada saat yang
sama. Ketika engkau menyerang, engkau mengerahkan tenaga dan kedua tenaga itu bangkit
bersama, lalu mengamuk berbareng sehingga membuat engkau roboh sendiri."
Cin Lan sadar bahwa ia salah sangka. "Kau... kau... siapakah" Kau pandai mengobati?"
"Aku hanya orang yang kebetulan lewat dan melihat keadaanmu, Nona. Aku pernah
mempelajari ilmu pengobatan sedikit dan kalau Nona suka menurut nasihatku, mungkin
engkau dapat menguasai dua tenaga yang berlawanan itu. Nah, duduklah bersila, Nona,
seperti ini!" Thian Lee lalu duduk berslla di depan gadis itu. Cin Lan yang tahu benar bahwa
keadaannya ini agaknya karena gigitan dua ekor ular emas dan ular putih, maka ia pun
percaya akan ucapan pemuda itu dan ia pun menurut, lalu duduk bersila menirukan pemuda
itu" "Bernapaslah yang dalam, menggunakan pernapasan perut, tarik napas sampai ke tan-tian,
tahan sebentar dan hembus-kan napas melalui mulut. Sama sekali jangan mengerahkan
tenaga, biarkan te-naga yang bergolak itu tenang dan masuk kembali ke tan-tian bersama
pernapasan. Nah, begitu baik. Sekarang bernapaslah terus seperti itu, sampai keadaanmu
tenang kembali." Cin Lan menuruti nasihat itu dan benar saja. la merasa peningnya hilang dan dua tenaga yang
mengandung hawa panas dan dingin itu tidak lagi menga-muk biarpun masih terasa tarik-
menarik di dalam bawah pusar.
"Engkau harus menguasai dUa tenaga itu dan menyalurkan salah satu saja pada suatu saat,
jangan keduanya. Akan tetapi hal ini membutuhkari latihan yang tekun, Nona."
Cin Lan mulai tertarik dan berterima kasih. "Sobat, engkau ternyata seorang yang baik sekali.
Engkau telah menolongku dan aku berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui
namamu?" "Aku bernama Song Thian Lee," jawab Thian Lee singkat.
"Dan aku she Tang, bernama Cin Lan," gadis itu memperkenalkan diri. Nama yang sama
sekali asing bagi Thian Lee.
"Nona Tang, mulai sekarang engkau harus menjaga dirimu baik-baik. Dan sedapat mungkin
jagalah jangan sampai engkau berkelahi karena kalau engkau salah menggunakan dua tenaga
itu berbareng, engkau akan mencelakai dirimu sendiri."
"Terima kasih, Sobat. Aku akan berhati-hati menjaga diri. Nah, selamat tinggal, aku harus
segera pulang karena guruku sudah menanti. Dia sedang sakit keras!"
Tanpa keterangan lain tahulah kini Thian Lee mengapa nona itu mati-matian mempertahankan
sian-tho, kiranya untuk mengobati gurunya. Seorang gadis yang berbakti kepada gurunya!
Timbul rasa kagum dan tenangnya.
"Selamat jalan, Nona. Semoga gurumu cepat sembuh," katanya dan dia melihat betapa gadis
itu dengan hati-hati tanpa pengerahan tenaga menaiki kembali kudanya sambil membawa
tongkat dan bun-talan pakaiannya. Kuda itu lalu dibalapkan dan Thian Lee lalu diam-diam
mem-bayangi dari jauh. Dia masih mengkhawa-tirkan kalau-kalau gadis itu akan diha-dang
orang kang-ouw lagi di tengah perjalanan. Maka dia harus inembayangi sampai akhirnya Cin
Lan tiba di kuil Kwan-im-bio di luar kota raja. Melihat gadis itu sudah tiba di tempat tujuan,
Thian Lee lalu meninggalkannya dan dia segera memasuki kota raja. Memang dia sendirl
hendak pergi ke kota raja untuk bertanya-tanya kepada orang di sana di mana letaknya dusun
Tung-sin-bun, tempat tinggal mendiang ayah dan ibunya ketika dia masih kecil, di mana
ayahnya dikabarkan tewas dikeroyok pasukan karena dianggap pemberontak.
* * * Cin Lan memasuki kuil, disambut dengan gembira sekali oleh Tiong Hwi Nikouw ketika
mendengar bahwa gadis itu telah berhasil memperoleh buah sian-tho, Cin Lan segera
memasuki kamar di mana Pek I Lokai beristirahat dan men-dapatkan gurunya tengah duduk
bersila dengan napas yang lemah.
Pek I Lokai membuka matanya ketika gadis itu menyentuh tangannya dan dia tersenyum.
"Engkau sudah pulang, Cin Lan?"
"Benar, Suhu dan teecu telah berhasil mendapatkan buah sian-tho, sekarang sedang direbus
oleh Tiong Hwi Nikouw."
"Hemm, engkau seorang murid yang baik dan berbakti, Cin Lan. Ayahmu Sang Pangeran
sudah kebingungan dan beberapa kali bertanya ke kuil ini."
"Sebetulnya kebetulan saja teecu mendapatkan buah sian-tho, Suhu. Buah itu bahkan
pemberian orang karena dija-dikan perebutan dan teecu tidak mungkin bisa mendapatkan
kalau tidak diberi orang itu. Di sana banyak sekali orang kang-ouw yang hendak
memperebutkannya, akan tetapi semua takut dan kalah terhadap orang ini. la bahkan
rnengirim salam untuk Suhu."
"Siapakah orang itu, Cin Lan?"
"la adalah Nyonya Siangkoan. Ketika mendengar bahwa buah sian-tho itu teecu cari untuk
mengobati Suhu, ia lalu memberikan buah itu kepadaku dan mengirim salam untuk Suhu."
"Ah, Hui Cu....!" Pek I Lokai menghela napas.
Pada saat itu, Tiong Hwi Nikouw masuk membawa periuk obat dan menuangkan air rebusan
sian-tho itu ke dalam mangkok dan menyerahkannya kepada Pek I Lokai. Pengemis tua itu
lalu meminumnya sampai habis.
Ternyata obat itu memang manjur bukan main. Setelah direbus sampai tiga kali dan airnya
diminumkan kepada Pek I Lokai, kakek itu segera sembuh kembali. Pulih kembali
kesehatannya dan setelah sehat benar, barulah dia memanggil Cm Lan dan disuruhnya murid
itu menceritakan pengalamannya.
Cin Lan menceritakan semua pengalamannya, bahkan menceritakan pula tentang ia digigit
ular emas dan ular putih yang menimbulkan tenaga panas dan dingin di dalam tubuhnya.
"Ah, digigit ular emas" Tak salah lagi, ular putih itu tentulah ular salju! Ular emas itu yang
racunnya mendatangkan hawa panas di tubuhmu, sedangkan ular salju mendatangkan racun
hawa dingin. Tentu kini tubuhmu penuh dengan kedua hawa itu. Engkau beruntung sekali Cin
Lan karena kalau engkau hanya digigit seekor saja dari mereka, engkau tentu sudah mati!
Agaknya racun kedua ekor ular itu bertemu dalam badanmu, bahkan saling memunahkan dan
engkau selamat, bahkan menerima hawa yang amat kuat, akan tetapi yang saling ber-
tentangan. Coba kaukerahkan hawa itu pada tanganku."
Pek I Lokai lalu menjulurkan kedua tangannya ke depan, disambut oleh kedua tangan Cin
Lan. Lalu gadis itu mengerahkan sin-kangnya dan seketika dua hawa yang berlawanan itu
muncf dan mengamuk membuat Pek I Lokai terpen-tal ke belakang!
"Siancai...! Engkau beruntung sekali, Cin Lan!" katanya, akan tetapi sementara itu Cin Lan
sudah memegangi kepalanya yahg menjadi pening dan dadanya yang sesak. la cepat bersila
dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh Thian Lee sehingga keadaannya pulih
kembali. Terkejut Pek I Lokai melihat ini.
"Dua tenaga itu berebutan untuk menguasai dirimu. Dari mana engkau dapat melatih diri
mengatur mereka agar tenang kembali?"
Cin Lan menceritakan pertemuannya dengan Thian Lee dan Pek I Lokai berseru kagum,
"Pemuda itu tentulah seorang ahli pengobatan yang pandai sekali! Sekarang engkau akan
kuben pelajaran untuk menguasai dua tenaga yang berlawanan itu, Cin Lan. Tenaga yang
panas itu boleh disebut. Ang-coa-kang dan yang dingin itU Pek-coa-kang dan kalau engkau
sudah dapat memisahkan itu, mengguna-kannya secara terpisah, engkau akan memiliki
kekuatan sin-kang yang hebat sekali."
"Baik, Suhu. Akan tetapi sekarang teecu harus pulang dulu ke kota raja agar ayah dan Ibu
tidak merasa khawatir."
Gadis itu lalu pulang, disambut dengan girang oleh Pangeran Tang Gi Su dan isterinya, dan
juga menerima teguran karena selama beberapa hari tidak pu-lang. Cin Lan minta maaf dan
menceritakan bahwa selama beberapa hari itu ia mencarikan obat untuk gurunya yang ter-
ancam maut karena luka dalam.
Demikianlah, mulai hari itu Cin Lan berlatih sin-kang di bawah bimbingan dan petunjuk Pek I
Lokai sehingga setelah lewat dua bulan, ia mampu menguasai dan mengendalikan dua tenaga
berhawa panas dan dingin yang berada dalam tubuhnya.
Akan tetapi, ia pun merasa bersedih karena setelah latihannya selesai, Pek I Lokai berpamit
untuk melanjutkan perantauannya meninggalkan Kwan-im-blo.
"Tidak mungkin aku tinggal selamanya di sini, Cin Lan. Kalau selama ini aku berada di sini
hanya karena aku harus mengajarmu sampai tamat. Sekarang, engkau sudah mempelajari
Hok-mo-tung-hoat dengan baik. Aku sudah nnerasa puas, apalagi engkau memiliki Pek-coa-
kang dan Ang-coa-kang. Aku tidak khawatir lagi karena engkau sudah mampu menjaga diri
sendiri dengan baik. Nah, selamat tinggal, muridku. Jangan lupa semua nasihat dan pesanku.
Biarpun eng-kau puteri pangeran, jadilah seorang pendekar wanita yang baik dan lindungi
kepentingan orang-orang lemah yang tertindas."
Cin Lan menangis ditinggal suhunya. la merasa sayang sekali kepada Pek I Lokai yang
selama ini menjadi seorang guru yang baik dan yang menyayangnya. Kasih sayang dapat
menimbulkan ikatan batin dan kalau datang masa perpisahan, maka ikatan itu akan membuat
batin tersiksa dan merasa sakit. Ikatan seperti! ini timbul dari pengaruh si. aku yang ingin
senang sendiri. Kalau yang disayang pergi, maka tirnbullah rasa kecewa dan iba kepada
dirinya sendiri yang direnggut dari kesenangannya, maka lalu menderita. Dapatkah kita
mencinta orang lain dengan bebas dari ikatan" Hanya mungkin kalau si aku yang
mementingkan diri sendiri tidak berkuasa atas batin kita. Kalau kita benar-beriar menyayang,
tentu yang dipentingkan dia yang kita sayang, bukan aku yang menyayang. Kalau sudah
begitu, maka penderitaan tidak akan muncul.
Cin Lan kini kembali ke dalam istana ayahnya dan jarang keluar dari rumah, kecuali kalau
pergi berburu binatang seperti biasa. la tekun melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah
dipelajarinya dari Pek I Lokai dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah memiliki tenaga sin-
kang yang luar biasa hebatnya.
* * * Pada waktu itu, di dunia persilatan terdapat empat orang datuk besar yang dianggap sebagai
orang-orang terpandai yang mewakili daerah masing-masing. Yang berkuasa di timur, di
sepanjang pantai bahkan di lautan adalah Si Raja Angin Timur Siangkoan Bhok. Di barat
terdapat Thian-tok (Racun Dunia) Gu Kiat Seng. Di utara terdapat seorang datuk besar bangsa
Mancu berjuluk Pak-thian-ong (Raja Dunia Utara) Durhai. Adapun di selatan terdapat Thian-
te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) Koan Ek. Empat orang datuk besar ini dianggap sebagai
para datuk yang paling tinggi tingkatnya, walaupun masih banyak para datuk besar lainnya,
namun nama mereka tidaklah sebesar yang empat orang ini.
Empat orang datuk besar. ini, sesuai dengan tingkat masing-masing, tidak mau saling
mengalah dan setiap lima tahun sekali i'nereka mengadakan pertemuan di suatu tempat untuk
menentukan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dengan cara ini mereka selalu
menggembleng diri dan menggali ilmu baru untuk me-menangkan pertandingan yang
diadakan lima tahun sekali itu. Pada lima tahun terakhir, yang keluar sebagai pemenang
adalah Pak-thian-ong Dorhai, walaupun hanya sedikit selisihnya dari yang lain. Mereka telah
sepakat untuk mengadakan pertemuan di Thai-san pada hars yang ditentukan.
Pada waktu itu, Thai-san merupakan pegunungan yang gawat dan jarang ada orang berani
mendaki gunung itu. Hal ini dikarenakan gunung itu dihuni dua orang datuk yang terkenal
pandai dan juga ke-ras hati bersama para anak buahnya. Datuk-datuk itu bukan lain adalah
Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) dan sahabatnya, Hek-bin Mo-ko (Iblis Muka
Hitam) yang pernah kita kenal ketika Hek-bin Mo-ko menantang Tan Jeng Kun beberapa
tahun yang lalu. Sin-ciang Mo-kai pernah dikalahkan oleh Tan Jeng Kun dan sahabatnya,
Hek-bin Mo-ko hendak menuntut balas namun dia pun dikalahkan oleh Tan Jeng Kun. Kini,
kedua orang datuk itu tinggal di Thai-san bersama kurang lebih lima puluh orang anak buah
mereka. Pada hari yang ditentukan itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh lima tahun,
tinggi besar bermuka a merah, nampak gagah sekali, memegang sebatang dayung baja yang
dipergunakan sebagai tongkat, mendaki Bukit Thai-san seorang diri. Langkahnya lebar dan
pendakian yang berat itu terasa nngan saja baginya, langkahnya tegap seolah-olah jalan itu
tidak mendaki. Dia mendaki ke arah puncak gunung melalui timur.
Selagi dia mendaki dengan langkah tegap dan tenang, tiba-tiba terdengar gerengan yang
menggetarkan gunung dan di depannya telah berdiri seekor biruang yang besarnya melebihi
orang tinggi be-sar itu. Biruang itu besar dan berat sekali, berdiri di atas kaki belakangnya dan
kedua kaki depan bergerak-gerak seperti bertepuk tangan sambil menggereng-gereng.
Orang yang memegang dayung itu berhenti melangkah dan memandang bi-natang itu dengan
sikap tenang, lalu bicara kepada diri sendiri. "Hemm, pernah aku makan masakan kaki
biruang dan enak sekali, akan tetapi entah bagaimana rasanya daging biruang yang
dipanggang. Jangan-jangan alot dan keras. Pergilah, biruang, aku tidak ingin makan
dagingmu!" Akan tetapi biruang itu mana mengerti omongan manusia. Dia bahkan nampak marah.
Binatang-binatang lain yang mendengar gerengan ini saja sudah bersembunyi ketakutan dan
di kejauhan terdengar auman harlmau yang agaknya seperti- hendak menyambut gerengan
tan-tangan ini. Hanya harimau yang berani melawan biruang hitam ini, yang kuku kaki
depannya panjang-panjang dan ketika menggereng, bibirnya tersingkap memperlihatkan
taring yang tajam meruncing.
Namun, pria bermuka merah itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum
mengejek dan berkata kepada dirinya sendiri, "Agaknya biruang ini sudah bosan hidup!"
Biruang itu lalu menyerang dengan terkaman dahsyat ke arah Si Muka Me-rah. Akan tetapi
dengan mudahnya orang itu melangkah ke samping dan ketika tubrukan biruang itu luput, dia
sudah menggerakkan dayungnya ke arah bela-kang kepala biruang itu.
"Prakkk!" Biruang itu tersungkur dengan kepala pecah dan tidak bergerak lagi.
"Ha-ha-ha-ha!" pria itu tertawa ter-bahak dan dia kelihatan gagah perkasa sekali. Tak lama
kemudian dia sudah membuat api unggun dan mengambll sebuah kaki belakang biruang itu
dan memanggang daging paha. Ternyata dia membawa pula garam dan bumbu dan tak lama
kemudian tercium bau sedap daging panggang yang dibumbui bubukan bawang kering, garam
dan merica. "Hemm, enak juga'" kata orang itu sambil menggigiti daging paha yang masih mengepulkan
uap panas itu. Perutnya memang sudah lapar maka tentu saja daging biruang itu disambut
dengan girang. Akan tetapi baru enak-enaknya dia makan, tiba-tiba muncul enam orang tinggi
besar yang bersenjata golok. Mereka ini adalah anak buah Hek-bin Mo-ko. Tadi enam orang
itu mendengar ge-rengan biruang dan cepat datang ke situ untuk menangkap biruang itu.
Siapa kira .setelah tiba di situ, mereka melihat ada orang sedang makan daging paha biruang
panggang! Mereka menjadi marah karena mereka menganggap bahwa semua binatang yang
berada di Pegunungan Thai-san adalah hak milik mereka.
"Bangsat dari mana berani berburu binatang di sini tanpa seijin kami!" bentak seorang dari
mereka. Orang bermuka merah itu bukanlah ofang biasa. Dia adalah seorang di antara empat datuk
besar yang hendak mengadakan pertemuan di puncak Thai-san dan dia itu bukan lain adalah
Majikan Pulau Naga yang bernama Siangkoan Bhok yang berjuluk Raja Angin Timur!
Mendengar dirinya dimaki, tentu saja Siangkoan Bhok merasa tidak senang. Kalau
menurutkan kebiasaannya, sekali orang memakinya, tentu orang itu menebusnya dengan
nyawanya! Akan tetapi dia sedang makan, maka katanya tak sabar,
"Aku sedang makan, tidak bernafsu membunuh. Pergilah kalian jauh-jauh dari sini!"
Akan tetapi enam orang itu tentu saja tidak takut dan mereka sudah mengepung sambil
mengamang-amangkan golok mereka. "Menyerahlah engkau untuk kuseret ke depan ketua
kami!" kata mereka mengancam.
Bangkit amarah di hati Siangkoan Bhok. Pandang matanya mulai mencorong dan makannya
berhenti. Dayungnya masih disandarkan kepada batang pohon dan dia kini memegang paha
biruang yang tinggal sedikit dagingnya menempel pada tulang besar itu. Dia bangkit berdiri
perlahan-lahan dan berkata,
"Aku menyerah kepada kalian" Suruh datang ke sini ketuamu! Dia harus me-nyerah
kepadaku!" Enam orang itu menjadi semakin ma-rah dan serentak mereka maju menye-rang dengan golok
mereka. Akan tetapi, Siangkoan Bhok berkelebat dengan tulang kaki biruang di tangannya
dan terdengar bunyi keras enam kali dan orang itu terlukai. Lima orang yang terkena han-
taman tulang pada kepalanya seketika tewas yang seorang lagi kebetulan hanya terkena
pundaknya dan dia dapat melari-kan diri pontang-panting.
Tak lama kemudian orang yang berlari itu datang lagi dengan dua belas orang kawannya dan
mereka segera maju me-ngeroyok Siangkoan Bhok. Akan tetapi datuk ini tetap
mempergunakan tulang kaki blruang mengannuk dan dalam waktu sing kat saja, sepuluh
orang roboh dengan kepala remuk sedangkan tiga orang lainnya melarikan diri tunggang
langgang! Dapat dibayangkan hebatnya kepandaian Raja Angin Timur ini. Hanya dengan
tulang paha biruang, dalam beberapa gebrakan saja dia telah menewaskan lima belas orang
pengeroyok yang sesungguhnya bukanlah orang-orang lemah. Padahal dia sama sekali tidak


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan sen-jatanya, dayung baja yang masih disan-darkan di batang pohon!
Siangkoan Bhok melernpar tulang.paha itu dan meludah. Selera makannya sudah lenyap dan
dia bersungut-sungut. "Orang-orang konyol yang sudah bosao hidup. Huh!" Dia menyambar
dayungnya, lalu melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.
Sementara itu, dari arah yang berlawanan, yaitu dari barat seorang pendek gendut yang
membawa kebutan kebutan pendeta, juga mendaki lereng Pegunungan Thai-san. Orang itu
bertubuh pendek gendut seperti bulat, akan tetapi ketika dia mendaki lereng, tubuhnya se-perti
menggelundung naik. Kedua kaki yang pendek itu ternyata dapat berlari cepat. Pakaiannya
seperti pertapa dan semua anggauta tubuh orang ini seolah bulat. Kepalanya bulat, matanya,
hidung-nya, mulutnya. Melihat pakaiannya yang longgar dan tubuhnya yang bulat itu sungguh
dia mirip seorang kanak-kanak yang besar. Akan tetapi wajahnya jelas membayangkan
usianya yang sedikitnya tentu ada lima puluh tahun. Rambutnya juga sudah bercampur uban
dan rambut itu disembunyikan di dalam sebuah topi' batok.
Tentu tak seorang pun akan mengira bahwa Si Gendut Pendek ini adalah seorang datuk besar
yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Thian-tok (Racun Dunia) dan
namanya Gu Kiat Seng, datuk besar dari dunia barat. Datuk ini puluhan tahun menjelajah
daerah Sin-kiang dan Tibet dan namanya amat terkenal sebagai datuk yang jaranfi
menemukan tandingan. Selagi Thian-tok berjalan seperti menggeli.nding naik, tiba-tiba bermun-culan dua puluh
orang tinggi besar yang bengis. Mereka itu sebagian dari anak buah Hek-bin Mo-ko yang
sedang berburu binatang. Melihat seorang asing mendaki bukit, mereka segera
menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak, "Heii, tak seorang pun boleh
mer'asuki wilayah kami tanpa ijin. Engkau srang cebol cepat turun lagi dan menyingkir dari
sini atau cepat menyerah untuk kami bawa menghadap pimpinan kami!"
"Heh-heh-heh, mana ada orang memi-liki gunung sebesar ini" Sepanjang yang kudengar,
Gunung Thai-san ini tidak ada orang yang memilikinya, kecuali mungkin saja pemerintah.
Sudahlah, pergi dari hadapanku, jangan membuat lelucon!" kata Racun Dunia Gu Kiat Seng,
sikapnya acuh saja. "Kami tidak bergurau, cepat pergi atau menyerah, atau kami akan rneng-gunakan kekerasan!"
bentak seorang lain sambil menodongkan goloknya ke arah kepala yang bulat tertutup topi
batok itu. "Kalian mencari mati" Ingat, hari ini aku tidak bernafsu untuk membunuh orang. Pergilah!"
kata pula Thian-tok. Tentu saja ancaman seorang yang cebol itu tidak berkesan, bahkan dua puluh orang itu
tertawa bergelak dan menganggap Si Cebol itu gila. . "Bacok saja lengannya agar menjadi
lebih pendek, kawan!" kata seorang dan orang yang menodongkan goloknya tadi benar-benar
membacok ke arah tangan kanan yang memegang kebutan itu. Akan tetapi, tiba-tiba kebutan
itu menyambar dan golok itu telah dilibat dan dirampas, kemudian secepat kilat kebutan itu
digerakkan, golok rampasan meluncur ke depan dan tahu-tahu lengan kanan Si Pemilik Golok
telah ditabas buntung! Dia menjerit kesakitan dan semua orang menjadi terkejut, juga marah
melihat lengan kawannya terbacok buntung. Mereka itu lalu mengepung dan menyerbu
dengan ganasnya. Akan tetapi, mereka tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Si Pendek
itu tidak berpindah dari tempat dia berdiri, akan tetapi kebutannya bergerak cepat membentuk
lingkaran yang tahu-tahu semua orang itu berteriak-teriak, golok mereka terampas ke-butan
dan banyak lengan yang terbabat buntung! Sedikitnya empat belas orang buntung lengannya
terbabat golok sendiri dan yang enam orang lainnya melarikan diri diikuti mereka yang
terluka. Si Pendek itu membuang golok yang masih terlibat kebutannya, memandang ke arah lengan-
lengan yang berserakan di atas tanah, tertawa bergelak lalu melanjutkan pendakiannya ke
puncakThai-san seolah- olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Bukan lihainya Si
Pendek Gendut ini yang membuntungi lengan sekian banyaknya orang dengan golok mereka
sendiri. Dasar nasib sial para anak buah datuk sesat Hek-bin Mo-ko mengancam dan akan
membuntungi lengan seorang datuk besar seperti Thian-tok!
Sementara itu, ketika Hek-bin Mo-ko dan pembantunya, Sin-ciang Mo-kai men-dengar
laporan anak buahnya bahwa banyak anak buahnya yang tewas dan buntung lengannya oleh
orang-orang yang naik ke puncak, mereka menjadi marah bukan main. Sambil membawa sisa
anak buahnya yang tinggal sedikit, kurang lebih dua puluh orang saja lagi, mereka berdua lalu
melakukan pengejaran ke puncak Thai-san.
Ketika tiba di pundak Thai-san yang rata dan merupakan puncak yang ditum-buhi pohon-
pohon, kedua orang datuk sesat itu bersama anak buahnya melihat dua orang duduk
berhadapan dan bercakap-cakap di atas tanah bertilamkan daun-daun kering. Mereka duduk
bersila dan bercakap-cakap dengan santainya. Seorang di antaranya bertubuh tinggi kurus
dengan pakaian berwarna hitam putih dan di dadahya bergambar tanda Im-yang dan di
punggungnya tergantung sepasang pedang. Adapun orang ke dua, adalah seprang tinggi besar
yang bertelanjang dada, bajunya tidak dikancingkan, tubuhnya kokoh kuat dan dia memakai
sabuk rantai yang besar. Si Tinggi Kuriis itu adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek, datuk besar
selatan berusia lima puluh lima tahun. Sedangkan yang tinggi besar kulitnya gelap
bertelanjang dada itu ada-lah Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar utara berusia enam puluh
tahun. Agaknya kedua orang datuk dari selatan dan utara ini datang lebih dahulu dari rekan-
rekan yang lain dan mereka berdua duduk sila berhadapan dan mengobrol. Tentu saja mereka
mengetahui akan munculnya Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai bersama dua puluh orang
anak buah mereka, akan tetapi kedua orang datuk besar, itu enak-enak saja bercakap-cakap
tanpa mempedulikan mereka yang datang mengepung tempat itu.
Sebetulnya, dua orang datuk yang telah membunuhi dan membuntungi para anggauta
gerombolan anak buah Hek-bin Mo-ko bukanlah dua orang yang kini duduk di puncak. Akan
tetapi Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai sudah marah sekali, mereka tidak lagi bertanya-
tanya, langsung saja mereka meloncat ke dekat dua orang kakek itu.
"Siapa kalian berani mengacau di Thai-san kami?" bentak Hek-bin Mo-ko dengan marah
sekali. Tangan kanannya memegang senjatanya yang menggiriskan, yaitu sebatang ruyung
besar dan berat yang berduri.
"Hayo bangkit dan terima pembalasan kami'." bentak pula Sin-ciang Mo-kai yang sudah
melintangkan tongkatnya di depan dada. Tongkat pengemis iblis ini ujungnya memakai racun
sehingga kalau memukul dan melukai lawan, lawan dapat keracunan.
Thian-te Mo-ong dan Pak-thian-ong saling pandang, lalu Thian-te Mo-ong tertawa. "Setan
Utara, bagaimana pendapatmu" Kauhadapi yang memegang ruyung dan aku menghadapi
yang bertongkat, bagaimana?"
Pak-thian-ong Dorhai mengangguk. "Baiklah, dua orang ini menjemukan se-kali!" katanya
dan dia pun bangkit ber-diri dan menghadapi Hek-bin Mo-ko. Dua orang yang sama-sama
tinggi besar itu kini saling berhadapan dan Hek-bin Mo-ko yang sudah marah sekali karena
banyak anak buahnya yang tewas dan buntung lengannya, sudah mehggerakkan ruyungnya ke
atas kepala, memutar-mutar ruyungnya sehingga mengeluarkan bunyi bersuitan dan ada angin
menyambar-nyambar dari putaran ruyungnya.
"Engkau yang membunuhi anak buahku?" bentaknya.
Dorhai adalah seorang datuk besar yang aneh. Blarpun dia tidak tahu menahu tentang
pembunuhan itu, akan tetapi dibentak dan ditantang begitu, dia tidak menyangkal. "Kalau
benar demikian, kau mau apa?" balasnya dengan benfakan yang memandang rendah.
"Hutang nyawa bayar nyawa! Belasan orang mati, engkau harus menebusnya dengan
nyawamu!" Setelah berkata demikian, ruyungnya lalu menyerang dengan dahsyatnya. Pak-
thian-ong melangkah kesamping dengan tenangnya sehingga ruyung itu luput dan menyambar
di samping tubuhnya. Melihat betapa sambaran ruyungnya dapat dielakkan sedemikian
mudahnya, Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran dan ruyung itu sudah membalik dan
menyambar lagi dengan cepat dan kuatnya, menyerang ke arah paha lawan. Akan tetapi Pak-
thian-ong Dorhai dengan sikap yang tetap tenang, mengangkat kaki kanannya menangkis
ruyung. "Plakkk!" Ruyung terpental oleh tangkisan telapak kaki itu sedangkan Pak-thian-ong sama
sekali tidak terguncang. Hal ini saja sudah membuktikan betapa kuatnya datuk besar ini.
Namun Hek-bin Mo-ko menjadi bertambah penasaran. Di dunia kang-ouw namanya sudah
terkenal sebagai seorang datuk yang sakti, dan jarang ada orang mampu menandingi
ruyungnya. Bagaimana sekarang orang menghadapi ruyungnya dengan tangan kosong dan
menangkis begitu saja dengan kakinya" Kembali ruyung menyambar dengan dahsyat
dibarengi bentakannya, "Hyaaaatttt....!" Dan ruyung itu menyambar pula ke arah kepala Pak-thian-.ong. Sekali lagi
Pak-thian-ong menghadapil ruyung itu dengan tangkisan, kini ta-ngannya yang menerima
ruyung itu. Tangan kirinya, dengan telapak tangannya yang lebar, menyambut ruyung itu
dengan tenang saja. "Plakkkk!" kembali ruyung itu terpen-tal keras setelah Hek-bin Mo-kp merasakan betapa
ruyungnya bertemu, dengan bendak lunak yang seolah menyedot semua tenaga serangannya,
kemudian tiba-tiba ruyungnya terpental. Telapak tangan lawan itu seperti terbuat dari karet
yang kenyal saja! Melihat bahwa lawan bukanlah seorang lemah dan ruyung itu cukup ber-bahaya, Pak-thian-
ong Dorhai lalu meng-gerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu dia telah melolos sabuk
rantainya dari pinggang! Ketika ruyung menyambar kembali, rantai itu menangkis. Terdengar
suara keras dan ruyung itu terpental hampir terlepas dari tangan Hek-bin Mo-ko yang menjadi
terkejut bukan main. Akan tetapi dia menyerang terus dengan lebih ganas. Pak-thian-ong
menjadi ma-rah. Rantainya menyambar ke depan memapaki ruyung dan melibat ruyung itu.
Terjadi tarik menarik, akan tetapi tangan kiri Pak-thian-ong melakukan dorongan ke arah
lawan dengan telapak tangan terbuka. Hek-bin Mo-ko. menge-luarkan suara kaget. Dorongan
itu men-datangkan hawa yang amat kuat, mem-buat dia terdorong mundur dan pada saat itu,
rantai ditarik keras dan ruyung itu telah terlepas; dari tangan pemiliknya. Sambil tertawa Pak-
thian-ong melemparkan ruyung rampasan itu jauh ke bela-kangnya, kemudian dia memasang
kembali sabuk rantainya di pinggang. Kalau saja Hek-bin Mo-ko seorang yang tahu diri, tentu
dia sudah mengaku kalah. Akan tetapi dia adalah seorang yang sudah biasa memaksakan
kehendaknya dengarr kekerasan, maka melihat ruyung-nya sudah terampas, dia tidak mundur
malah menyerang lagi dengan kedua ta-ngannya! Serangan itu dapat dielakkan dengan mudah
oleh Pak-thian-ong dan pada saat berikutnya, Hek-bin Mo-ko mengeluarkan ilmu
simpanannya, yaitu ilmu tendangan kilat! Kedua kakinya menyambar bergantian ke arah
tubuh lawan dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
Akan tetapl dia tidak tahu bahwa Pak-thian-ong Dorhai adalah seorang Mancu yang ahli
gulat. Satu di antara kepandaiannya yang hebat adalah ilmu gulat. Maka, melihat kedua kaki
itu menyambar berulang-ulang, dia lalu menggerakkan kedua tangannya dan di lain saat
kedua kaki Hek-bin Mo-ko sudah dapat ditangkapnya! Dan dengan gerakan menekuk kedua
kaki itu dengan jari-jari tangannya yang amat kuat, dia memutar kaki itu sehingga terdengar
suara ber-keretakan dan sambungan tulang-tulang lutut kedua kaki itu putus! Hek-bin Mo-ko
mengeluarkan gerengan kesakitan dan tubuhnya sudah dilemparkan sampai beberapa meter
jauhnya, ke arah anak buahnya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Sementara itu, Sin-ciang Mo-kai dengan tongkat beracunnya juga sudah menyerang Thian-te
Mo-ong yang tinggi kurus. Diserang oleh tongkat beracun yang amat berbahaya itu, tadinya
Thian-te Mo-ong juga hanya mengelak saja. Akan tetapi melihat betapa tongkat itu cukup
berbahaya dan Jawannya bukan seorang lemah, dia pun mengelak ke belakang sambil
mencabut sepasang pedangnya. Kemudian dengan gerakan yang, sangat cepat, sepasang
pedang itu beru-bah menjadi dua gulungan sinar keperak-an dan setelah bergebrak beberapa
jurus saja terdengar suara keras dan tongkat itu telah patah-patah disambar sepasang
pedangnya! Melihat tongkat orang sudah patah-patah, Thian-te Mo-ong dengan tenang juga
menyarungkan kembali pedangnya.
Seperti juga rekannya, Sin-ciang Mo-kai tidak tahu diri, seolah lupa bahwa dia berhadapan
dengan lawan yang jauh lebih tangguh darinya. Dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti), maka
kini dia me-lempar potongan tongkatnya dan menggu-nakan kedua tangannya untuk
menyerang dengan hebat. Dia masih belum mau melihat kenyataan bahwa tongkatnya patah-
patah hanya dalam beberapa jurus saja dan menganggap hal itu terjadi ka-rena keampuhan
pedang lawan. Kini dia menyerang dengan tangan kosong karena melihat lawannya sudah
menyimpan kembali pedangnya.
Thian-te Mo-ong mengeluarkan suara terkekeh mengejek dan melayani serang-an kedua
tangan kosong itu. Sejenak mereka saling serang, kemudian ketika Sin-ciang Mo-kai
menyerang dengan pu-kulan kedua tangan, Thian-te Mo-ong menanti sampai kedua tangan itu
datang dekat, kemudian tiba-tiba sekali dia menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya yang
amat kuat. "Krek, Krek!" Dua kali kedua tangan itu ditangkis dan akibatnya, kedua lengan Sin-ciang Mo-
kai patah tulangnya. Kedua lengan itu tergantung lemas dan dia mengeluh kesakitan. Pada
saat itu, kaki Thian-te Mo-ong menendangnya dan tu-buhnya terlempar jauh, hampir
menimpa tubuh Hek-bin Mo-ko!
Melihat kawannya juga kalah dengan kedua tangan patah tulangnya, Hek-bin Mo-ko
membelalakkan mata dan bertanya dengan suara penasaran, "Siapakah kalian?"
Thian-te Mo-ong Koan Ek menjawab tenang, "Aku tidak pernah menyembunyikan nama dan
julukan. Orang menyebutku Thian-te Mo-ong Koan Ek Si Iblis Selatan."
"Dan aku datang dari utara, orang menyebutku Pak-thian-ong Dorhai," kata raksasa tinggi
besar yang bertelamane dada itu.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai terbelalak dan hampir mereka memukul kepala sendiri.
Bagaimana tolol mereka itu! Tanpa bertanya dulu telah rnenye-rang para datuk besar! Mereka
t,,enjadi ketakutan dan juga menyesal sekali. Ini namanya mencari penyakit. Tentu saja
mereka sudah pernah mendengar nama dua orang datuk besar ini, dan takut kalau-kalau
mereka tidak diampuni, me-reka lalu mengajak anak buah rnereka pergi dari situ dengan
cepat. Hek-bin Mo-ko digotong pergi dan mereka menu-runi puncak. Mulai hari itu, Hek-bin
Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai meninggalkan Thian-san, tidak berani lagi tinggal di situ,
apalagi anak buahnya tinggal sedikit lagi. Bahkan dia lalu membubarkan anak buahnya dan
mencari jalan hidup masing-masing.
Baru saja rombongan itu pergi, ter-dengar suara bergelak dari timur dan muncullah Raja
Angin Timur Siangkoan Bhok yang menyeret dayungnya.
"Bagus, kalian sudah membersihkan puncak ini'" katanya sambil menghampiri kedua orang
datuk besar itu. Terdengar pula suara terkekeh dari barat dan muncul Thian-tok Gu Kiat Seng. "Anjing-anjing
itu memang menjemukan sekali, di mana-mana menggonggoog dan menyalak membikin
bising!" "Bagus, bagus," kata Thian-te Mo-ong. "Sekarang kita berempat sudah berkumpul semua.
Kita segera dapat memulai!"
"Nanti dulu," kata Pak-thian-ong Dor-hai. "Masih ada seorang yang belum juga keluar!"
Berkata demikian, Pak-thian-ong menoleh ke belakang dan sekali dia menekuk lutut dan
kedua tangannya mendorong, ada angin yang kuat sekali mendorong ke arah semak belukar di
belakangnya. Akan tetapi sambaran angin itu membalik dan dari belakang semak belukar
terdengar suara orang tertawa halus dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang
berpakaian serba putih penuh tambalan, pakaiannya yang amat seder-hana itu cukup bersih,
tangannya meme-gang sebatang tongkat bambu. Orang itu bukan lain adalah Pek I Lokai yang
mun" cul sambil terkekeh.
"He-he-he, kiranya Pak-thian-ong masih tetap hebat dan lebih dahulu me-ngetahui
kehadiranku. Inl saja sudah me-nunjukkan bahwa dia tetap menjadi orang yang patut disebut
Datuk Besar." "Pek I Lokai, apakah engkau datang hendak mengganggu pertemuan kami?" bentak Thian-tok
yang berwatak berangasan.
"Aihh, Thian-tok! Sejak kapan aku menjadi manusia yang usil suka mencam-puri urusan
orang lain" Kalian berempat hendak mengadu ilmu untuk menentukan sebutan Datuk Besar
tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi lima tahun yang lalu aku terlambat datang
menjadi penonton, sekali ini aku tidak mau terlambat lagi dan aku ingin menjadi penonton
dan saksi. Apakah tidak boleh?"
Tiba-tiba Majikan Pulau Naga, Si Raja Angin Timur Siangkoan Bhok ber-kata, "Pek I Lokai,
tentu saja engkau boleh menjadi penonton. Bahkan kita me-merlukan seorang saksi yang
dapat dipercaya agar dalam pertandingan ini tidak terjadi kecurangan."
"Bagus, bagus sekali! Engkau masih saja gagah perkasa seperti dulu, Siang-koan Bhok. Dan
di sini sekaligus mengucapkan terima kasih kepadamu atas pemberian Sian-tho kepada
muridku." Mendengar ucapan itu, Siangkoan Bhok mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah.
"Isteriku memberikan Sian-tho itu ada maksudnya, tahu tidak engkau?"
Pek I Lokai mengangkat alisnya. "Ada maksudnya" Apa maksud itu?"
"Putera kami tertarik kepada muriditiu. Isteriku memberikan Sian-tho karena ia ingin
mengambil mantu muridmu itu!"
"Heiii, sudah cukup. Katakan maksud-mu datang ke sini, Pek I Lokai. Kami tidak mau
diganggu oleh siapapun iuga! kata Thian-te Mo-ong. "Apakah engkau hendak menantang
seorang di antara kami?"
Pek I Lokai mengangkat tongkat bambunya dan berkata sambil tersenyunH cerah. "Aih,
Thian-te Mo-ong, engkau tetap galak, sudah kukatakan bahwa aku sengaja datang untuk
menjadi penonton. Dan tadi Siangkoan Bhok mengatakan bahwa aku dapat menjadi saksi.
Baiklah, aku akan menjadi saksi untuk melihat bahwa jalannya pertandingan haruslah adil.
Kalau kalian berempat percaya kepadaku, aku akan mengaturnya supaya seadil-adilnya!"
"Bagus, aku terima usulmu dan engkau boleh menjadi saksi yang mengatur?" kata Pak-thian-
ong. "Bagaimana hendak kauatur pertandingan antara kami berempat ini?"
"Begini aturanku. Aku akan mengundi* siapa yang akan bertanding melawan siapa sehingga
akan ada dua partai pertandingan. Kemudian, yang menang akan dipertandingkan dengan
yang menang antara partai satu dan partai dua. Dengan demikian, cukup dengan tiga kali
pertandingan saja akan cukup dapat memilih siapa yang paling jagoan di antara kalian
berempat." Empat orang datuk itu mengangguk-angguk setuju. "Nah, sekarang aku hen-dak mengundi.
Akan kutulis nama masing-masing di atas sehelai daun, kemudian empat helai daun itu akan
kulemparkan ke atas sampai ada dua daun yang jatuh menelungkup dan dUa yang telentang.
Nah, dua yang tertelungkup itu akan saling bertanding, demikian pula dua yang telentang.
Bagaimana, setujukah?"
"Setuju," kata empat orang itu karena menganggap undian seperti itu cukup adil. Pek I Lokai
lalu menuliskan nama mereka masing-masing di atas sehelai gdaun. Kemudian, disaksikan
empat orang itu, dia melempar empat helai daun itu ke atas. Mula-mula, jatuhnya daun tidak
tepat, ada satu yang telentang tiga me-nelungkup, maka lalu diulang lagi. Setelah diulang
sampai empat kali, barulah jatuhnya tepat, yaitu dua daun menelungkup dan dua telentang.
Setelah di-periksa, yang telentang itu adalah nama Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong
sedang yang menelungkup adalah nama Tung-hong-ong dan Thian-tok. Ini berarti bahwa Pak-


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

thian-ong Dorhai akan bertanding melawan Thian-te Mo-ong Koan-Ek, sedangkan Tung-
hong-ong Siangkoan Bhok akan bertanding melawan Thian-tok Gu Kiat Seng. Pemenang dari
dua partai pertandingan ini kemudian akan dipertandingkan dan pemenangnya itulah yang
juara! "Thian-te Mo-ong, engkau mendapat-kan aku sebagai lawan pertama. Mari kita segera
mulai!" kata Pak-thian-ong Dorhai sambil melolos sabuk rantainya.
"Kita pun boleh mulai sekarang, Thian-tok!" kata Siangkoan Bhok sambil melintangkan
dayungnya. Dua pasang pedang lawan itu sudah siap untuk saling serang. Akan tetapi Pek I Lokai
menengahi dan berkata, "Nanti dulu. Kalian berempat adalah datuk-datuk besar empat
penjuru yang namanya terkenal di dunia persilatan. Kalau terjadi pertandingan mati-matian, tentu di antara
kalian ada yang akan terluka parah dan mungkin tewas. Sungguh sayang kalau terjadi hal
seperti itu, oleh karena itu sebelumnya aku minta kalian berjanji bahwa kalian hanya akan
berusaha saling mengalahkan, tanpa melukai parah atau membunuh. Dengan ilmu kepandaian
kalian yang sudah mencapai tingkat tinggi, tentu kallan mampu men-cegah terjadinya hal itu."
Akan tetapi Pak-thian-ong berkata, "Pek I Lokai, jangan seperti anak kecil. Pertandingan silat
tentu saja terdapat resiko terluka. Kaml yang sudah sengaja hendak mengadu ilmu, sudah tahu
sepenuhnya akan hal itu dan tidak akan menyesal. Tentu kami tldak akan saling membunuh,
akan tetapi kalau sampai ada yang kalah dan terluka, hal itu bagaimana dapat dicegah?"
Siangkoan Bhok juga berkata, "Sudah-lah. Terluka dalam adu kepandaian meru-pakan hal
biasa, siapa juga tidak akan menyesal. Akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan saling
membunuh. Sudah puaskah engkau dengan pernyataanku ini, Pek I Lokai?"
"Baik, baik, kalian boleh mulai, aku menjadi penonton. Ingat, tidak boleh menggunakan
kecurangan dalam adu tenaga, tidak boleh menggunakan senjata rahasia dan sekali-kali tidak
boleh menyerang untuk membunuh. Nah, mulailah!"
Pek I Lokai lalu berdiri di pinggir untuk menjadi penonton. Dua pasang datuk besar itu sudah
saling berhadapan dan Thian-te Mo-ong lebih dulu mencabut sepasang pedangnya dan mulai
menyerang kepada Pak-thian-ong dengan sepasang pedangnya. Pak-thian-ong memutar sabuk
rantainya dan terdengarlah bunyi dencing nyaring dan nampak bunga api berpijar ketika
pedang bertemu rantai. Segera kedua orang itu sallng menyerang dengan hebatnya.
Sementara itu, Thian-tok Gu Kiat Seng juga sudah menggerakkan kebutan-nya, menyerang
Siangkoan Bhok dengan gerakan yang amat cepat dan kuat, namun Siangkoan Bhok juga
sudah menggerakkan dayungnya, menangkis dan balas menyerang.
Pek I Lokai menonton dengan hati senang. Dia tahu bahwa keempat orang itu memiliki
tingkat kepandaian yang sudah tinggi sekali dan untuk keluar sebagai pemenang bukanlah hal
yang mudah.Tentu pertandingan itu akan rnemakan waktu lama. Dialah yang untung, karena
dengan menonton itu dia dapat mengamati jurus-jurus yang hebat, cara-cara pemecahan jurus
hebat itu dan sekali menonton sam& berharganya dengan pengalaman bertanding bertahun-
tahun, walaupuh dia sendiri sudah tidak menghendaki pelajaran tambahan dalam ilmu silat.
Tingkat kepandaiannya sendiri kalau dibandingkan dengan tingkat empat orang itu, agaknya
masih kalah sedikit. Dan memang pertandlngan itu hebat bukan main. Kini sudah lewat setengah jam, namun
belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah atau menang dalam dua partai pertandingan itu.
Pertandingan semakin berlangsung cepat sehlngga tubuh keempat orang itu tidak nampak
lagi, terbungkus gulungan sinar senjata mereka.
Mendadak Pek I Lokai menengok ke kiri karena telinganya mendengarkan suara lain,
mendengar akan munculnya banyak orang. Tak lama kemudian muncullah sepasukan yang
dipimpin oleh seorang panglima besar yang begitu tiba di situ lalu mengangkat sebuah lengki
dan mengibar-ngibarkankan ke atas. Lengki adalah sebuah bendera titah raja, tanda bahwa
pemegang lengki adalah seorang yang menjadi utusan Kaisar.
"Atas nama dan perintah Yang Mulia Sri Baginda Kaisar, kami menyerukan agar
pertandingan dihentikan!" Suara panglima besar itu nyaring sekali, tanda bahwa dia memiliki
khi-kang yang kuat dan memang dia sudah biasa memberi aba-aba kepada pasukan sehingga
suara itu melengklng tinggi dan terdengar sampai jauh.
Mendengar bahwa teriakan itu me-nyinggung nama Yang Mulia Sri Baglnda Kaisar, empat
orang yang sedang bertanding itu terkejut dan otomatis nnereka berlompatan ke belakang dan
menghentikan pertandingan yang sedang berlangsung seru itu. Mereka semua menghadap
panglima itu dengan pandang mata bertanya-tanya.
Dan Pak-thian-ong Dorhai yang melihat lengki atau bendera titah raja itu, segera memberi
hormat dan bertanya, "Ciangkun, apa hubungannya Sri Baginda Kaisar dengan pertandingan
di antara kami?" Bagaimanapun juga, dla adalah seorang bangsa Mancu, maka tentu saja dia
lebih mentaati dan menghormati Kaisar dan Pemerintah Mancu yang kini berkuasa di seluruh
Cina. Panglima besar itu dengan sikap tegak lalu berkata dengan suaranya yang lantang, "Yang
Mulia Sri Baginda Kaisar sudah mendengar akan diadakannya pertandingan di antara para
datuk di sini dan Yang Mulia tidak menyetujui pertandingan yang dapat menimbulkan permu-
suhan itu. Yang Mulia menghendaki agar pertandingan dihentikan dan mengajak keempat
Locianpwe untuk bersama-sama menegakkan kemakmuran rakyat dengan menjadi pembantu
pemerintah. Maka, kami diutus untuk menjemput Su-wi-lo-cianpwe (Keempat Orang Gagah)
untuk menghadap Yang Mulia dan menerima anugerah kedudukan."
Empat orang datuk itu terpaksa maju berlutut karena pembawa titah kaisar dianggap mewakili
kehadiran kaisar dan mereka menghaturkan terima kasih.
"Hamba siap untuk menaati perintah Yang Mulia dan sekarang juga hamba hendak
menghadap Yang Mulia," kata Pak-thian-ong Dorhai.
Akan tetapi tlga orang yang iain menolak untuk menerima kedudukan. Mereka juga berlutut
menghaturkan terima kasih dan diwakili oleh Siangkoan Bhok, mereka berkata, "Mohon
beribu ampun bah-wa hamba tidak dapat menerima kedu-dukan walaupun kami selalu siap
untuk membantu usaha pemerintah menegakkan kemakmuran rakyat."
Panglima besar itu tidak memaksa mereka yang tidak mau ikut, dan mereka segera
meninggalkan tempat itu bersama Pak-thian-ong Dorhai yang sudah siap untuk menerima
anugerah kedudukan i yang diberikan Kaisar kepadanya.
"Sudahlah, aku mau pergi saja dari sini, kembali ke selatan," kata Thian-te Mo-ong Koan Ek
dan sekali berkelebat, dia pun lenyap dari situ.
"Ha-ha-ha, Pak-thian-ong masih terpikat oleh kedudukan, ternyata dia masih lemah. Aku pun
akan kembali ke barat!" kata Thian-tok Gu Kiat Seng dan dia pun melompat pergi.
Jilid 9________ Kini tinggal Pek I Lokai dan Siang-koam Bhok yang berada di situ. "Bagaimana pendapatmu
dengan menyerahkan dirl Pak-thian-ong tadi, Pek I Lokai"
Pek I Lokai tersenyum. "Apa salahnya dengan keputusannya itu" Lupakah engkau, Siangkoan
Bhok, siapa Pak-thian-ong itu" Dia adalah Dorhai, seorang tokoh Mancu, Tentu saja dia
senang membantu Sri Baginda Kaisar."
"Kalau aku tidak mau membantu. Biarpun pemerintahan sekarang ini terhitung baik sekali,
akan tetapi aku masih tidak sampai hati untuk membantu pemerintah Mancu," kata Siangkoan
Bhok dengan sikapnya yang agak angkuh.
"Sudahlah, Siangkoan Bhok. Tidak perlu kita lanjutkan pembicaraan seperti ini.
Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa sejak beliau masih menjadi pangeran, Kaisar Kian
Liong adalah seorang yang baik dan luas pergaulannya di dunia kang-ouw."
"Ya sudahlah, tidak perlu bicara tentang hal itu. Akan tetapi bagaimana dengan urusan kita?"
"Urusan kita yang mana?"
"Isteriku berpesan kepadaku kalau bertemu denganmu agar menyampaikan keinginannya
menjodohkan putera kami dengan muridmu yang bernama Tang Cin Lan itu."
"Ah, bagaimana aku harus menjawabmu" Aku hanyalah seorang gurunya, dan Cin Lan masih
mempunyai ayah bunda yang lengkap. Karena itu, kalau hendak meminangnya pinanglah
kepada ayah bundanya. Aku tidak akan dapat berbuat sesuatu kalau gadis itu sendiri tidak
mau atau ayah bundanya tidak setuju."
"Siapa ayahnya" Di mana tempat tinggalnya?"
"Ha-ha, tidak sukar untuk mencari ayahnya. Ayahnya adalah Pangeran Tang Gi Su, seorang
pejabat tinggi yang berkuasa dan tinggal di kota raja!" Setelah berkata demikian, Pek I Lokai
membawa tongkat bambunya dan pergi dari tempat itu.
Siangkoan Bhok menjadi bengong. Dia terkejut mendengar bahwa gadis yang diclnta
puteranya dan diinginkan isterinya untuk menjadi mantu itu adalah puteri seorang pangeran!
Berarti seorang gadis bangsawan, keluarga kaisar, seorang gadis Mancu. Dia mengerutkan
alisnya dan menggeleng kepalanya, kemudian dia pun pergi meninggalkan Thai-san yang
kembali menjadi. sunyi. Thian Lee memasuki dusun Tung-sin-bun. Tentu saja dusun ini sama sekali asing baginya
karena ketika dia dibawa pergi meninggalkan dusun ini oleh mendiang ibunya, dia baru
berusia satu tahun. Dia berjalan-jalan di dusun itu dan akhirnya setelah bertanya-tanya, tibalah
dia di tanah kuburan dusun itu. Kuburan itu sunyi sekali, akan tetapi dia melihat seorang laki-
laki berusia enam puluh tahunan sedang membabati rumput di sekitar kuburan. Hatinya
merasa girang. Agaknya kakek itu adalah penjaga kubur-an yang bertugas merawat kuburan
itu, maka dia segera menghampirinya.
"Selamat pagi, Paman," katanya dengan hormat.
"Selamat pagi," jawab kakek itu sambil memandang penuh perhatian karena dia berlum
pernah melihat pemuda ini yang agaknya merupakan seorang pemuda asing di dusun itu.
"Paman, apakah ini kuburan umum dari dusun Tung-sin-bun sini?"
"Benar, orang muda. Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendatangi kuburan ini?"
"Aku seorang perantau, Paman. Akan tetapi aku mencari kuburan dari seorang yang namanya
Song Tek Kwi yang dikuburkan di tempat ini."
Orang itu membelalakkan matanyai
"Apa" Kuburan siapa?" Dia bertanya seolah tidak mendengar dengan jelas.
"Kuburan Song Tek Kwi yang kurang lebih delapan belas tahun dikubur di dusun ini."
Kini orang itu memandang Thian Lee penuh perhatian. Dia mengingat-lngat, akan tetapi
merasa belum pernah melihat pemuda ini. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana,
memakai caping lebar, wajahnya berbentuk bundar dengan kulit berslh. Alis matanya tebal
berbentuk golok dengan sepasang mata yang lembut akan tetapi kadang dapat tajam
mencorong, hidungnya mancung, muiutnya selalu senyum ramah dan telinganya lebar.
Pemuda yang tampan dan gagah, bahunya bidang dan bentuk tubuhnya tinggi tegap.
"Kau maksudkan... Song Tek Kwi si pemberontak itu?"
Berdebar jantung Thian Lee. Memang ayah kandungnya dianggap pemberontak, bahkan
terbunuh sebagai seorang pemberontak. "Ya... ya, benar, Paman. Di mana kuburannya?"
"Apakah hubunganmu dengan Song Tek Kwi?"
Thian Lee menahan debaran jantungnya. "Ah, ayahku dahulu adalah kenalan lamanya dan
Ayah berpesan agar aku bersembahyang di depan kuburannya kalau kebetulan lewat dusun
ini." "Ah begitukah" Kasihan kuburan itu sejak dahulu tidak pernah ada yang mengunjunginya,
apalagi menyembahyanginya."
"Yang nriana kuburannya, Paman?" kata Thian Lee sambil memandang ke sekian banyaknya
kuburan itu. "Kuburannya tidak di sinl, orang muda. Pemerintah melarang jenazahnya dikuburkan di
kuburan umum." "Lalu di mana dikuburnya Paman?"
"Di sana, dekat anak sungai yang sunyi, mari kutunjukkan tempatnya."
"Terima kasih, Paman, engkau baik sekali," kata Thian Lee.
"Ah, tidak apa. Memang dahulu kami bertetangga dan Song Tek Kwi itu seorang yang baik,
seorang yang gagah perkasa dan suka menolong orang. Sayang dia dituduh pemberontak, dan
semua itu salahku...."
Thian Lee tertegun. Akan tetapi dia tidak mau mendesak, khawatir menimbulkan kecurigaan
orang tua itu. Mereka telah tiba di tepi sungai dan benar saja nampak gundukan tanah kuburan
yang tidak terawat. "Inilah kuburan Song Tek Kwi orang muda."
Thian Lee merasa terharu sekali akan tetapi dia menguatkan hatinya, lalu dia menjatuhkan
dirinya berlutut di depan makam itu, memberi hormat dan terpekur sampai beberapa lamanya
sambil berlutut. Dia memberi hormat kepada makam ayah kandungnya yang dia tidak tahu
bagaimana rupanya. Bahkan membayangkan rupa ayahnya saja dia tidak mampu.
Kemudian dia teringat kepada penjaga kuburan yang masih berdiri di situ. Ketika dia
menengok, dia melihat orang itu memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Orang muda, apakah engkau putera dari Song Tek Kwi"
Thian Lee terkejut. Mengingat bahwa ayahnya dituduh pemberontak, maka dia merasa ragu
untuk mengaku. "Jangan curiga, orang muda. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah tetangga ayahmu. Aku
mengenal baik ayahmu yang sering kali menolongku, aku tahu bahwa dia mempunyai seorang
putera yang aku lupa lagi namanya. Ketika dia dibunuh, isteri dan anaknya itu dapat
melarikan diri. Nah, karena aku melihat ada kemiripan antara wajahmu dengan wajahnya,
maka aku menduga bahwa engkau puteranya. Kalau tidak begitu, masa kuantar engkau
sampai di sini?" Thian Lee bangkit dan memberi hormat kepada orang itu. "Sebenarnyalah, Paman. Aku
adalah puteranya yang bernama Song Thian Lee."
"Ah, engkau anak yang dahulu baru berusia setahun itu!" orang itu menarik napas panjang.
"Kasihan ayahmu, dia tlltuduh pemberontak karena kabarnya telah memukul seorang
pangeran. Ketika pasukan itu memasuki dusun, kebetulan roereka bertanya kepadaku di mana
rumah Song, Tek Kwi dan karena aku tidak mengetahui maksud mereka, lalu n menunjukkan
rumahnya. Itulah kesalahanku. Andaikata aku tahu niat mereka, tentu kukatakan tidak tahu
dan siapa tahu ayahmu sempat melarikan diri. Ayahmu dikeroyok sampai mati akan tetapi
ibumu dapat meloloskan diri sambil memondongmu, begitu yang kudengar. Kemana saja
engkau selama ini, Nak" Dan bagaimana dengan ibumu?"
Kini Thian Lee yang menghela napas panjang. "Ibuku telah meninggal dunia, Paman. Aku
hidup seorang diri. Oh ya, Paman. Apakah Paman mengetahui, adakah keluarga dekat ayahku
atau ibuku" Kalau ada keluarga mereka, aku ingin sekali menghubungi. Aku telah hidup
sebatang kara tiada keluarga."',
"Tidak ada yang mengetahui siapa keluarga ayahmu karena dia berasal dari jauh. Setahuku,
dla datang dari Kun-lun-pai, sebagai murid partai persilatan Kun-kun-pai. Sedangkan ibumu
yang berasal dari Tung-sin-bun ini, sudah yatim piatu dan ia tidak mempunyai keluarga lagi.
Agaknya, kalau engkau hendak menyelidiki keluarga ayahmu, engkau harus pergi ke Kun-
lun-pai, mungkin di sana akan bisa mendapatkan keterangan. Akan tetapi, nanti dulu!" orang
itu mengingat-ingat. "Ah, pernah ayahmu kedatangan seseorang yang kemudian menurut
ayahmu adalah suhengnya. Aku hanya ingat nama marganya saja, yaitu marga Souw dan
kabarnya tinggal di Paoting! Benar, kalau engkau mencari ke kota Paoting, mencari seorang
she Souw yang menjadi murid Kun-lun-pai, tentu akan dapat kau ketemukan!" Penjaga
makam ini agaknya girang sekali telah mengingat urusan itu. Thian Lee juga girang. Paoting
tidak begitu jauh dari kota raja, berada di sebelah selatan. Biarpun bukan saudara ayahnya,
akan tetapi kalau suheng ayahnya berarti masih saudara seperguruan dan mungkin suheng
ayahnya itu akan dapat menceritakan siapa keluarga ayahnya.
Setelah sekali lagi memberi hormat sambil berlutut di depan makam ayahnya, dia lalu
berpamit kepada orang itu dan meninggalkan beberapa potong uang perak kepadanya sebagai
tanda terima kasih. Ketika dia meninggalkan perguruan, gurunya memang memberi bekal
beberapa potong uang perak dan bahkan sedikit emas kepadanya. "Di sini aku tidak
memerlukannya, Thian Lee. Engkau lebih memerlukan untuk bekal dalam perjalanan,"
demikian kata gurunya. Juga gurunya berpesan agar dla jangan sekali-kali mencuri uang, akan
tetapi kalau membutuhkan biaya hidup harus bekerja, bekerja apa saja pun baik.
Setelah meninggalkan kuburan itu, Thian Lee melakukan perjalanan sambil melamun.
Teringat dia akan pesan ibunya. Ibunya berpesan agar dia memusuhi dan kalau perlu
membunuhi semua pangeran dl kota raja untuk membalaskan. dendam ayahnyai Akan tetapi,
tidak mungkin dia memenuhi pesan ibunya inl. Sejak dahulu dia tidak setuju dengan pendapat
ibunya. Apalagi setelah dia berguru kepada Tan Jeng Kun dan Kim-sin Yok-sian, dan
mendapatkan banyak nasihat dari mereka, sama sekali dia tidak ingin membunuh semua
pangeran, dan memusuhi pemerintah. Dia tidak ingin menjadi pemberontak walaupun dia juga
tidak ingin membantu pemerintah penjajah. Kini dia harus pergi ke dusun Teng-sia-bun. Dia
akan menyelidiki apa yang dulu terjadi. Menurut ibunya, ayahnya membantu sahabatnya yang
bernama Bu Cian, menghajar seorang pangeran yang merampas gadis dusun. Dia harus
mengetahui siapa pangeran itu dan kalau memang benar pangeran itu jahat, dia akan
melanjutkan usaha ayahnya itu, memberi hajaran dan kalau perlu melenyapkan pangeran itu!
Bukan semata untuk membalas dendam, akan tetapi terutama sekali untuk menentang
kejahatan. Dia akan menyelidiki ke Teng-sia-bun, baru kemudian dia akan mencari supeknya
yang she Souw itu di Pao-ting,
Akan tetapi, belum lama dia pergi meninggalkan tanah kuburan itu, terbayanglah kuburan
ayah kandungnya yang tidak terawat dan ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Hatinya menjadi
sedih dan dia segera bergegas kembali ke tanah kuburan tadi. Penjaga kuburan itu sudah tidak
berada di situ dan dia berhadapan dengan kuburan tunggal di tepi sungai yang tidak terawat
itu. Kemudian Thian Lee mencabuti ilalang dan rumput liar itu sampai bersih. Setelah itu, dia
mencari batu kali yang cukup besar, diangkatnya batu kali itu ke depan makam ayahnya dan
dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian. Dengan pedang Jit-goat Sin-kiam itu
diukirnya nama ayahnya Song Tek Kwi, pendekar gagah perkasa!
Setelah itu, dia menancapkan batu itu di depan makam dan barulah puas hatinya. Dia duduk di
depan makam itu sambil melamun. Berhadapan dengan makam itu, dia merasa betapa
hidupnya sunyi, betapa dia kesepian, betapa dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini.
Serumpun bambu yang tumbuh dl belakang makam itu, di tepi sungai, berdesir tertiup angin.
Dalam keadaan hati nelangsa dan resah itu, teringat akan kematian ibunya yang menyedihkan,
kematian ayahnya yang tak sempat dikenalnya, Thian Lee termenung dan hatinya sepertl
diremas-remas. Hati yang nelangsa itu lalu bersajak.
"Sirrrr... sirrrr... sirrrr
desah daun-daun bambu berdesir "
tertiup angin semilir daun-daun bambu bernyanyi
daun-daun bambu menari batang-batang bambu bergesekan
menjerit mencicit hati terjepit
batang-batang bambu melambai
jari-jari daun menggapai namun angin terbang lalu Menjenguk hati sendiri

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu sunyi begitu sepi resah gundah sedih pedih batang-batang bambu daun-daun bambu angin semilir bawalah aku serta bernyanyi
menari". Thian Lee hanyut dalam kesedihan dan timbul perasaan iri kepada batang-batang bambu,
kepada daun-daun bambu. Mereka itu demikian hidup dikala angin bertiup, gembira ria dan
wajar. Dan apabila angin berlalu, mereka berdiam demikian hening. Akan tetapi mengapa
hatinya demikian resah" Hatinya tak pernah hening seperti daun-daun bambu ditinggal angin,
hatinya tak pernah gembira seperti daun-daun bambu disentuh angin. Di mana kebahagiaan"
Segala gairah hidup telah berlalu semenjak dia meninggalkan gurunya. Demikian sengsara
rasanya hidup seorang diri, tanpa kawan, tanpa tujuan, tanpa harapan masa depan.
Thian Lee terkejut sendiri ketika merasa ada air mata mengalir turun dari pipinya. Dia
tersentak kaget. Menangis" Dia" Gurunya menggemblengnya untuk menjadi seorang
pendekar dan kini dia termenung duduk di depan makam ayahnya sambil menangis!
Tidak! Dia bangkit berdiri. Bukan begini sikap seorang pendekar, seorang satria. Pergilah
tangis. Pergilah segala perasaan duka nelangsa, pergilah iba diri. Aku harus menghadapi
kenyataan dengan senyum di bibir, dengan ketabahan di hati.
Thian Lee bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi kepada makam ayahnya yang kini
mempunyai batu nisan, lalu dia membalikkan tubuhnya, meninggalkan kuburan itu tanpa
menengok lagi. Dusun Teng-sia-bun tidak jauh dari situ. Setelah bertanya-tanya, akhirnya dia memasuki
dusun Teng-sia-bun. Dia harus menyelidiki tentang sahabat ayahnya yang bernama Bu Cian.
Akan tetapi ka-rena sahabat ayahnya itu mungkin juga dianggap pemberontak, dia harus
berhati-hati kalau mencari keterangan. Maka dia hanya berjalan di dusun itu dan akhirnya dia
berhasil menemukan seorang laki-laki tua yang sedang bekerja di sawah seorang diri. Tempat
itu sunyi tidak nampak orang lain maka Thian Lee mengambil keputusan untuk mencari ke-
terangan dari kakek itu. Kebetulan kakek itu berhenti mencangkul. Pinggangnya tidak kuat
lagi untuk dipakai mencangkul terlalu lama. Dia berhenti dan beristirahat sambil duduk di atas
pematang sawah. Thian Lee segera menghampiri orang itu. Seorang kakek petani yang usianya sekitar enam
puluh tahun, tubuhnya yang tidak berbaju sudah berkeringat dai terbakar matahari, dan di
balik kulit yang keriput dan sedikit sekali dagingnya itu nampak otot-otot yang sudah
mengendur akan tetapi masih besar akibat kerja keras.
"Selamat siang, Paman. Bolehkah aku mengganggu Paman sebentar?"
"Selamat siang, orang muda. sama sekali tidak mengganggu."
"Aku ingin mengajukan beberapa permintaan keterangan dari Paman, harap Paman sudi
menjawabnya." "Kalau aku dapat menjawab, tentu akan kujawab orang muda. Pertanyaan apa yang hendak
kauajukan?" "Paman tentu sudah lama tinggal dl Teng-sia-bun ini, bukan" Apakah sudah lebih dari dua
puluh tahun?" Petani itu tertawa dan nampak bahwa giginya banyak yang sudah ompong.
"Sejak kecil aku tinggal di dusun ini, orang muda. Kenapa engkau tanyakan hal ini?".
Tentu saja Thian Lee girang sekali mendengar ini. "Paman, kalau begitu tentu Paman dulu
pernah mengenal seorang yang bernama Bu Cian."
Orang itu nampak terkejut dan memandang ke sekeliling dengan wajah ketakutan. Lalu dia
memandang lagi kepada Thian Lee, agaknya lega bahwa di tem-pat itu sunyi, hanya ada
mereka berdua. "Orang muda, kenapa engkau menanyakan Bu Cian" Apakah engkau ada hubungan. keluarga
dengan dia?" "Ah, tidak, Paman. Hanya ayahku dulu mengenalnya dan Ayah yang menyuruh aku
menyelidiki apakah Paman Bu Cian masih tinggal di tempat ini."
"Dia sudah mati lama sekali!"
Thian Lee pura-pura kaget. "Mati" Akan tetapi dla belum begitu tua. Bagaimana bisa mati?"
"Aih, agaknya engkau tidak tahu apa-apa, orang mudal" kakek itu kembali memandang
sekeliling. "Dia mati terbunuh oleh pasukan, dia dianggap pemberontak dan dihukum mati!"
"Ahhh....! Dan bagaimana dengan anak isterinya, Paman" Aku mendengar dari ayah dia
mempunyai isteri dan seorang anak perernpuan."
"Isteri dan anaknya juga ditangkap dan dibawa ke kota raja, mungkin sudah dihukum mati
semua. Siapa tahu"' Dan tiba-tiba saja Thian Lee melihat bahwa kedua rnata kakek itu basah
air mata. "Paman, agaknya engkau mengenal baik mereka itu. Engkau menangisi mereka?"
Petani itu menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air matanya. "Aku... aku
merasa berdosa. Bu-taihiap itu tewas karena anakku! Semua itu karena kesalahan kami. Kalau
saja aku menyembunyikan anakku. Kalau saja aku tidak memberikan anakku kepada
pangeran itu! Ah, aku berdosa dan ternyata anakku juga mati...."
"Paman, harap tenanglah dan aku mohon dengan sangat Paman sudi menceritakan kepadaku
semuanya yang terjadi."
Setelah melihat sekeliling yang sunyi, petani nu lalu bertanya, "Siapa namamu orang muda"
Aku harus tahu kepada siapa aku bercerita."
"Namaku Song Thian Lee, Paman. Aku tidak berniat buruk, harap Paman Jangan khawatir.
Aku hanya ingin mengetahui apa yang telah terjadi dengan paman Bu Cian".
"Seorang pangeran mencari gadis-gadis dusun untuk menjadi selirnya. Siapa orangnya yang
tidak ingin anak gadisnya diselir pangeran" Aku mengajukan anak gadisku dan dipilih. Akan
tetapi anakku itu tidak mau dan menangis. Hal ini ter-dengar oleh Bu-taihiap. Bu-taihiap
selalu menjadi pelindung dusun kami dan men-dengar bahwa anakku dipaksa seorane
pangeran, Bu-taihiap marah. Para penga-wal pangeran itu dihaJ-arnya, bahkan pa-ngeran
sendiri pun dihajar. Akan tetapi aku memaksa anakku ikut pangeran itu. Dan pada keesokan
harinya... pasukan datang dan Bu-taihiap dikeroyok, dibunuh. Isteri dan puterinya ditangkap,
dibawa kekota raja."
Kembali kakek itu menangis seolah menyesali perbuatannya. "Akan tetapi, Paman. Itu bukan
kesalahanmu." "Aihh, aku yang bersalah. Anakku hanya menjadi selir selama dua tahun setelah itu... ia
diserahkan oleh pangeran kepada seorang pengawalnya dan anak itu... ia membunuh diri. Ah,
saiahku, salahku....!"
Thian Lee menghela napas panjang. "Paman, siapakah nama pangeran yang mengambil puteri
Paman itu?" "Pangeran itu bernama Bian Kun, sudah terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan
hidung belang. Lihat saja aku ini, namanya mempunyai anak perempuan menjadi selir
pangeran, akan tetapi hidupku tetap merana dan miskin, bahkan anakku kini telah mati. Lebih
lagi, keluarga Bu-taihiap juga musna." kakek itu menghela napas panjang.
Thian Lee merasa girang sekali. Tahulah dia sekarang pangeran yang pernah dihajar oleh Bu
Cian dan ayahnya, dan tentu pangeran itu pula yang mengirim pasukan membunuh Bu Cian
dan ayahnya. "Terima kasih, Paman. Aku telah mendapatkan keterangan yang jelas dari Paman dan harap
Paman jangan terlalu berduka. Sesungguhnya semua itu sudah nasib, dan sama sekali bukan
salah Paman." Dia lalu menyerahkan sekeping uang emas kepada petani itu sehingga Si Petani
menerimanya dengan girang dan berterima kasih. Thlan Lee lalu meninggalkan petani itu dan
kini dia menujukan langkahnya ke kota raja!
Setelah tiba di kota raja dengan miil^B dah dia mencari keterangan tentang Pa-ngeran Bian
Kun. Malamnya, sesosok bayangan berkelebat bagaikan bayangan setan saja di atas atap
rumah istana Pangeran Bian Kun. Biarpun istana itu dijaga pengawal, namun tidak ach se-
orang pun yang melihat berkelebatnya bayangan di atas atap itu.
Thian Lee mencari-cari dan akhirnya dia mengintai dari atas ke sebelah kamar. Ketika
mengintai ke bawah, dia melihat seorang laki-laki sedang rebah di kamar itu, dirubung
beberapa orang wanita dan anak-anak. Laki-laki itu ternya-ta sedang menderita sakit' Usia
pria itu sekitar lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya kurus kering seperti kerangka hidup.
Seorang tabib sedang memeriksa tubuhnya dan setelah memeriksa dengan teliti, tabib itu lalu
memberi tanda ke-pada yang hadir untuk keluar. Sampai di luar kamar, tabib itu berkata
dengan suara lirih, "Pangeran terserang penyakit yang amat berat. Mulai sekarang harus dirawat baik-baik dan
makannya hanya bubur saja, jangan diberi daging, hanya sayur-sayur yang lembut dan obat
ini masak dan minumkan, sehari tiga kali. Harus dijaga baik-baik jangan sampai kaget karena
jantungnya lemah sekali."
Mendengar ini, Thian Lee termenung. Pangeran Bian Kun telah menjadi seorang yang tak
berdaya, sakit berat. Dan sebetulnya, mau apakah dia datang ke situ" Hendak membunuhnya"
Dia pikir bahwa perbuatannya itu tidaklah tepat. Ayahnya dan Bu Cian dahulu menghajar
Sang Pangeran karena pangeran itu mengarnbil gadis-gadis dusun merijadi selir. Akibat dari
pemukulan ini, ayahnya dan Bu Cian dianggap pemberontak dan tewas karena melawan
pasukan yang hendak menangkap mereka. Bagaimanapun juga, tidak dapat dipersalahkan
kepada pangeran ini tentang kematian ayahnya Dan untuk perbuatannya yang mata keranjang,
pangeran itu kini sudah menerima hukumannya, sakit berat. Thian Lee lalu meloncat pergi
dari situ, tidak jadi turun tangan karena dia masih ragu-ragu apa yang harus dilakukannya
terhadap seorang pangeran yang sakit sekali.
Pada keesokan harinya di menyelidiki dan mendapat kepastian bahwa memang benar yang
sakit itu adalah Pangeran Bian Kun. "Sudahlah, tidak perlu lagi aku memberi hajaran kepada
Pangeran Bian Kun," pikir Thian Lee. Dia lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke Pao-
ting untuk mencari supeknya yang bermarga Souw itu.
Thian Lee berjalan sambil melamun. Uangnya sudah habis, tinggal sedikit lagi, paling-paling
dapat dipakai membeli ma-kan selanma satu minggu lagi. Setelah itu habis. Dia harus bekerja
untuk mendapatkan uang. Siapa tahu, supeknya dapat memberi pekerjaan kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Dia menengok dan nampak dua
orang penunggang kuda sedang membalapkan kuda mereka dar! belakang.
"Engkau kalah, Suheng!" terdengar Suara wanita, yaitu penunggang kuda terdepan sambil
mencambuki kudanya. "Belum tentu!" 'jawab suara pria, yaitu penunggang kuda di belakangnya. Thian Lee mingglr
agar jangan tertabrak kuda, akan tetapi wanita itu tetap saja membentak,
"Minggir kau! Mau mati ditabrak kuda" Tarrrr....!" Pecutnya mencambuk dan ujung pecut itu
menyentuh caping yang dipakai Thian Lee sehingga pinggir caping itu robek. Kedua
penunggang kuda itu lewat sambil tertawa-tawa.
Thian Lee meiihat bahwa penunggang kuda pertama adalah seorang gadis vang cantik manis
berpakaian serba nierah muda, sedangkan di belakangnya adalah seorang pemuda tampan
yang berpakaian serba putih dari sutera. Kedua orang itu memang cocok sekall. Yang wanita
can-tik, yang pria tampan! Thian Lee mengambil capingnya dan memeriksa capingnya yang
robek. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, gadis tadi angkuh dan juga kasar,
tanpa sebab, hanya untuk menyuruhnya minggir, membikin robek capingnya. Akan tetapi dia
me-makai lagi capingnya dan sudah melupakan kedua orang penunggang kuda tadi.
Thian Lee memasuki kota Pao-ting. Sebuah kota yang besar dan ramai. Dia senang dengan
kota ini. Tidak sebesar dan seramai kota raja, akan tetapi kota ini cukup ramai, banyak toko-
toko rumah makan dan rumah penginapan. Mulailah dia bertanya-tanya tentang supeknya
yang she Souw, seorang tokoh Kun-lun-pai.
Yang ditanya mengerutkan alisnya dan ketika Thian Lee bertanya di tempat yang ramai,
beberapa orang merubungnya. "Orang she Souw" Tokoh Kun-lun-pai" Ah, tentu ahli silat,
ya" Jangan-jangan yang kaumaksudkan itu adalah Souw-pangcu (Ketua Souw)!"
"Souw-pangcu?" tanya Thian Lee herait karena dia tidak tahu apakah supeknya itu pangcu
ataukah bukan. "Tentu Souw-piauwsu (Pengawal Barang Souw)."
"Souw-piauwsu?" Thian Lee menjadi semakin bingung.
"Begini, orang muda," kata seorang laki-laki setengah tua. "Kami semua tidak tahu apakah di
sini ada seorang tokoh Kun-lun-pai she Souw, akan tetapi kami mengenal seorang yang ahli
silat she Souw. Dia adalah Ketua Kim-liong-pang bernama Souw Can yang kita biasa sebut
Souw-pangcu. Dia pun memiliki piauw-kok (perusahaan pengawalan barang) karena itu kita
juga menyebutnya Souw-piauwsu. Entah itu atau bukan orang yang kaucari."
"Andaikata bukan dia, tentu dia juga dapat memberi petunjuk tentang tokoh Kun-lun-pai she
Souw. Kau cobalah mencari keterangan ke Kim-liong-pang, orang muda," kata seorang lain.
Thian Lee mengucapkan terima kasih lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan orang-orang itu,
yaitu ke pusat perkumpulan Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas).
Kim-liong-pang adalah sebuah perkumpulan silat yang terkenal di Pao-ting. Anggautanya
tidak kurang dari seratus orang dan selain merupakan perkumpulan silat yang besar, juga
Kim-liong-pang membuka perusahaan pengawal barang. Hampir semua pedagang di Pao-ting
mempercayakan pengiriman barang berharga dan dagangan mereka melalui perusahaan Kim-
liong-pang ini karena semua pengiriman selalu tlba di tempat tujuan dengan selamat. Ketua
Kim-liong-pang bernama Souw Can dan blasa disebut Souw-pangcu, juga karena dia ke-pala
dari perusahaan piauw-kiok, dia pun disebut Souw-piauwsu. Pangcu ini seorang yang lihai
sekali, karena dia seorang tokoh Kun-lun-pai yang telah menamatkan pelajaran silatnya di
Kun-lun-pai. Sebagai Ketua Kim-liong-pang yang membuka perusahaan piauw-kiok, maka
penghasilan keluarga Souw ini cukup besar sehingga dla dapat membiayai perkumpulannya
dan juga hidup sebagai keluarga yang berkecukupan.
Souw Can mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw Hwe Li, seorang
gadis cantik jelita yang kini telah berusia delapan belas tahun. Selain itu, juga dia mempunyai
seorang keponakan yang sudah yatim piatu dan keponakan perempuan ini bernama Liu Ceng,
biasa dipanggil Ceng Ceng yang usianya juga delapan belas tahun dan ketika kecilnya
menjadi teman bermain Hwe Li. Souw Can menurunkan ilmu silatnya kepada puterinya, juga
sedikit ilmu dia ajarkan kepada Liu Ceng. Tidak seluruh ilmunya diajarkan kepada Liu Ceng
karena dia tidak menghendaki kalau keponakannya ini kelak lebih lihai dari puterinya.
Sebetulnya maksud ini baik-baik saja, akan tetapi ternyata telah menanamkan kesombongan
dalam diri Hwe Li yang selalu merasa lebih lihai daripada saudara misannya.
Selain dua orang gadis itu, di rumah keluarga Souw juga terdapat seorang pe-muda yang
menjadi murid Souw Can. Setiap hari pemuda itu berada di rumah itu dan baru pada malam
harinya dia pulang ke rumahnya sendiri. Pemuda tampan ini bernama Lai Siong Ek, putera
dari jaksa yang bertugas di Pao-ting. Terjalin perhubungan yang akrab antara Hwe Li dan
Siong Ek, dan agaknya hubungan akrab ini direstui oleh Souw Can, karena guru ini setuju
kalau muridnya kelak menjadi mantunya. Siapa yang tidak suka berbesan dengan Jaksa Pao-
ting, seorang pembesar yang amat kuasa di kota itu"
Kepada Lai Siong Ek ini, Souw juga mengajarkan semua ilmunya sehingga dibadingkan
dengan Hwe Li, Siong Ek ini hanya berselisih sedikit saja dan mereka berdua merupakan
teman berlatih, juga teman berburu.
Pada hari itu, sambil menunggang kuda, Siong Ek dan Hwe Li baru pulang berburu binatang.
Hwe Li adalah gadis yang tadi merobek caping Thian Lee dengan pecutnya. Ketika di
halaman rumah, mereka disambut oleh Lu Ceng atau Ceng Ceng.
"Ah, kalian sudah pulang?" tegur Teng Ceng.
Hwe Li melemparkan tiga ekor kelinci hasil buruannya kepada Ceng Ceng. "Enci Ceng, kuliti
dan masak daging kelinci ini!" Dilemparkan tiga ekor itu ke atas tanah dan sikapnya seperti
meme-rintah seorang pelayan saja.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak merasa tersinggung. Sudah biasa adik misannya itu bersikap
kasar kepadanya. Pula, ia tahu diri karena ia hanyalah seorang gadis yatim piatu yang mondok
di situ, maka ia pun membantu pekerjaan para pelayan.
Siong Ek juga melompat turun dari kudanya dan menyerahkan dua ekor kelinci kepada Ceng
Ceng. "Ceng-sumoi, inl pun ada dua ekor. Mari kubantu engkau membawa ke dapur."
"Suheng, biarkan Enci Ceng membawa sendiri ke dapur. Membawa sebegitu saja dibantu
segala!" kata Hwe Li dan mendengar teguran ini, Slong Ek tldak jadi membantu Ceng Ceng.
"Biarlah, Suheng. Biar kubawa sendiri lima ekor kelenci ini ke dapur."
"Suheng, mari kita berlatih pedangl" kata Hwe Li sambil melompat turun dari atas kudanya.
Seorang pelayan segera menghampiri mereka dan menuntun dua ekor kuda itu ke istal. Dua
orangmuda? mudi itu lalu berlari-lari kecil memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)
untuk berlatih ilmu pedang.
Mereka masing-masing mengambil pedang dari rak senjata dan Hwe Li ber-kata, "Suheng,
mari kita berlatih di pe-karangan saja. Di sana hawanya sejak, tidak pengap seperti di ruangan
ini!" "Akan tetapi di sana akan kelihatan dari luar, Sumoi!"
"Biar saja! Siapa peduli orang luar"
Mereka mau nonton, juga tidak mengapa. Ilmu pedang kita tidak mengecewakan bukan?"
Sesungguhnya memang selain di pekarangan yang luas itu tidak pengap, juga gadis ini
sengaja hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada orang yang berlalu-lalang di jalan
depan pekarangan mereka! Siong Ek tidak membantah lagi. Dia memang tldak berani membantah apa yang dikehendaki
sumoinya yang manja itu. Dan kalau sampai Hwe Li marah dla pun takut karena ilmu
kepandaian sumoinya itu memang lebih tinggi sedikit dibandlngkan ilmunya. Mereka lalu
berlari keluar dan beriatih pedang di pekarangan depan. Beberapa orang anggauta Kim-liong-
pang yang melihat inl, hanya menyaksikan dengan kagum saja. Bagi mereka, kepandaian dua
orang muda ini memang hebat.
Sebagaimana yang memang diharapkah oleh Hwe Li, tak lama kemudian banyak orang yang
lewat di situ berhenti dan menonton latihan silat pedang itu dari luar pintu halaman. Hal ini
menambah semangat Hwe Li yang menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi sehingga
suhengnya terpaksa juga memutar pedang lebih cepat untuk melayaninya. Mernang ilmu
pedang Kun-lun amat indah dipandang. Gerakan yang amat cepat itu membuat sepasang
pedang lenyap, berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke sana-sini. Orang-
orang yang lewat mendapat tontonan grati& dan kedua orang muda itu pun mendapat
pengagum yang banyak. Kedua pihak sama-sama puasnya.
Akan tetapi, ketika keduanya scdang ramai-ramainya berlatih pedang, seorang anggauta Klm-
llong-pang berseru, "Siocia, harap berhenti dulu!" Setelah anggauta itu berseru sampai tiga
kali, barulah Hwe Li berhentl menggerakkan pedangnya dan keduanya menarlk kembali pe-
dang mereka. Hwe Li mengerutkan alis-nya memandang kepada anggauta yang
menghentikannya berlatih pedang itu. la melihat anggauta itu berdiri di pinggiran bersama
seorang pemuda yang memakai caping lebar.
"Maaf, Nona. Ini ada seorang tamu yang hendak bertemu dengan Pangcu." kata anggauta
Kim-liong-pang itu.

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ahh, mengganggu saja!" kata Hwe Li dan anggauta Kim-liong-pang itu setelah
menghadapkan Thian Lee segera pergi dari situ, takut kena marah oleh nona majikannya yang
memang galak itu. "Sia-pa engkau" Ada urusan apa hendak bertemu dengan ayahku?" tanya
Hwe U dengan nada angkuh.
Thian Lee menundukkan mukanya, agar jangan dikenal bahwa dialah yang pernah hampir
ditubruk oleh kuda nona itu. Kini dia mengenal benar bahwa nona berpakaian serba merah
muda inilah yang tadi hampir menubruknya, bersama pemuda yang berpakaian serba putih.
juga sudah tadi dia menyaksikan mereka berdua berlatih ilmu pedang. Tadi dia menghampiri
seorang di antara anggauta-anggauta Kinn-liong-pang yang ikut menonton dan menyatakan
bahwa dia ingin bertemu dengan Souw-pangcu. Ketika ditanya ada urusan apa, dia
mengatakan ada urusan pribadi penting sekall yang harus dibicarakannya sendiri dengan
Souw-pangcu. Karena itulah anggauta itu menghentikan latihan Hwe Li dan menghadapkan
pemuda itu kepada Sang Nona yang galak, agar pemuda itu dimarahi!
"Nona, saya mempunyai urusan pribadi yang amat penting dengan Souw-pangcu, persoalan
yang harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu. Harap Nona suka hadapkan saya
dengan Souw-pangcu,"
"Souw-pangcu, Souw-pangcu....!" kata Hwe U marah. "Kalau ada urusan bicarakan saja
dengan para anggauta kasni. Atau setelah engkau menghadapku sekarang, kalau ada
persoalan, katakan kepadaku!"
"Tidak mungkin, Nona. Harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu tidak bisa kepada
orang lain." "Akan tetapi aku puterinya, tahu?" "Tetap saja tidak bisa, Nona." Tiba-tiba pedang itu
bergerak cepat sekali ke arah muka Thian Lee akan tetapi pemuda itu tidak bergerak, seolah
tidak mengerti bahwa ujung pedang sudah mengancam mukanya. Dan sekali pedang itu
menyontek ke atas, capingnya terbuka!
"Hemm, aku pernah melihat caping itu!" kata Hwe Li dan ia melihat pinggir caping yang
robek itu, ia berseru, "Benar, engkau adalah orang dusun yang tadi hampir ditubruk kudaku!
Heii, mau apa engkau ke sini" Orang seperti engkau ini, seorang dusun tidak mungkin
mengirim barang berharga untuk dikawal. Juga tidak mungkin datang untuk belajar silat,
Habis, engkau mau apa" Hayo katakan!"
"Maaf, hanya bisa saya katakan kepa-, da Souw Pangcu seorang," kata Thian Lee sambil
membungkuk hendak mengambil capingnya. Akan tetapi ada sinar pedang mendahuluinya.
"Brettt....!" Dan caping itu telah robek pecah menjadi dua potong! Ternyata pedang Hwe Li
yang bergerak cepat membacok caping itu dengan marah.
"Kalau engkau tidak mau mengaku kepadaku, lebih baik engkau cepat pergi dari sini!" Hwe
Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah pintu halaman. Orang-orang yang menonton, juga
para anak buah Kun-liong-pang, menganggap Thian Lee seorang muda lancang.
Saya tidak mau pergi sebelum bicara dengan Souw-pangcu," kata Thian Lee dengan kukuh.
"Wuuuttt....!" Tahu-tahu ada yang menyambar dan pedang di tangan gadis itu sudah
menodong dadanya. Ujung pedang sudah menempel pada baju di dadanya, akan tetapi Thian
Lee sama sekali tidak bergerak.
"Cepat mengaku, kalau tidak pedang ini akan menembus jantungmu!" bentak Hwe Li. Thian
Lee maklum bahwa gadis itu angkuh dan galak sekali, akan tetapi dia pun tahu bahwa itu
hanya gertakan saja. Pada saat itu muncul seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun
yang tinggi tegap, mukanya merah dan sikapnya gagah sekali.
"Hwe Li!" laki-laki itu membentak.
"Tarik pedang itu!"
Mendengar bentakan ayahnya, Hwe Li lalu menarik pedangnya.
"Apa yang kaulakukan itu, Hwe li?" laki-laki itu menegur dengan suara marah.
"Habis, dia menjengkelkan hatiku, Ayah. Ditanya apa keperluannya datang tidak mau
mengaku!" gadis itu membela diri.
"Benar, Suhu," kata Lai Siong Ek membela sumoinya. "Orang itu sungguh mencurigakan, dia
datang dan kukuh minta bertemu Suhu. Ditanya keperluannya, tidak mau mengaku sehingga
Sumoi menjadi marah sekali."
"Diam kalian! Lain kali tidak boleh engkau memperlakukan tamu seperti ini. Dengar kau,
Hwe Li?" Gadis itu mengangguk dan suaranya lirih sekali ketika menjawab, "Baik Ayah, Mari, Suheng,
kita berlatih di dalam," Lalu sambil bersungut-sungut gadis itu mengajak suhengnya untuk
pindah ke lian-bu-thia. Souw Can, orang itu, menggeleng kepalanya dan menggumam, "Manja....!" Kemudian dia
menghadapi Thian Lee dan bertanya, "Orang muda, apakah engkaui hendak bertemu dengan
aku?" "Apakah Paman yang bernama Souw-pangcu?" kata Thian Lee sambil memberi hormat.
Souw Can tersenyum. Pemuda ini memang aneh dan agak lancang, baru bertemu telah
menyebut paman kepadanya, akan tetapi slkapnya hormat dan suaranya juga lembut,
sebetulnya tidak pantas untuk membikin marah orang.
"Benar, aku bernama Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang. Siapa engkau, orang muda dan
apa keperluanmu?" Thian Lee melirik ke arah orang-orang yang masih menonton dan mendengarkan, dan dia
menjawab lirih, "Nama saya Song Thian Lee dan saya ingin sekali bicara denganmu, Paman."
Sepasang mata itu terbelalak ketika mendengar nama Thian Lee, terutama nama marganya
yang Song itu. "Begitukah" Mari, mari masuk dan bicara di dalam." Dia mempersilakan
pemuda itu mengikutinya dan membawanya masuk ke dalam ruangan tamu yang tertutup.
Setelah mereka berdua duduk, Thian Lee segera saja mengajukan pertanyaan,
Maaf, Paman, kalau saya mengganggu waktu Paman, bahkan telah membuat marah puteri
Paman. Akan tetapi sebelum saya bicara, saya hendak bertanya, apakah Paman ini seorang
murid Kun-lun-pai?" Dia hanya ingin penjelasan Walaupun tidak ragu-ragu lagi setelah
rnenyaksikan ilmu pedang tadi. Dari gu-runya, dia mendapat keterangan tentang Ciri-ciri ilmu
dari partai-partai besar sehingga tadi dia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai.
"Benar sekali. Apa hubungannya dengan kedatanganmu?"
"Dan apakah Paman mempunyai seorang sute yang bernama Song Tek Kwi?" Souw Can
memandang ke arah jendela dan pintu, kemudian mengangguk.
"Benar pula.?"'
Mendengar ini, Thian Lee segera menjatuhkan dirinya berlutut didepan pangcu itu. "Supek,
saya Song Thian Lee adalah putera mendiang Ayah Song Tek Kwi."
Souw Can terkejut dan cepat membangunkan Thian Lee. "Bangkitlah dan dudukiah. Siapa
namamu tadi?" Thian Lee" Ah, mendiang ayahmu adalah seorang yang keras hati, terlalu
menurutkan suara hati tidak suka mempergunakan pertimbangan dan akal budi sehingga dia
tewas sebagai seorang pemberontak. Sayang sekali....! Coba ceritakan bagaimana engkau dan
ibumu dapat lolos daril hukuman, Thian Lee. Aku hanya mendengar bahwa ayahmu tewas
dan ibumu dapat meloloskan diri membawa puteranya yang baru setahun usianya. Engkaukah
anak itu?" "Benar, Supek. Ibu memang telah befhasil membawa lari saya dan kanru berpindah-pindah
tempat sampai saya berusia sepuluh tahun. Akan tetapi, Ibu lalu mengalami malapetaka
sehingga ia pun meninggal dunia." Dengan suara berduka Thlan Lee menceritakan tentang
perbuatan seorang lurah jahat sehingga ibunya tewas.
Souw Can mendengarkan dan menggeleng-geleng kepala dengan kagum. "Ibumu seorang
wanita yang hebat. Dapat menjaga kehormatannya sampai saat terakhir. Engkau harus bangga
dengan ayah dan ibumu, Thian Lee. Dan sekarang engkau berhasil menemukan aku. Apa
kehendakmu datang kepadaku?"
"Begini, Supek. Saya sebatang kara, maka saya ingin sekali mencari keluarga Ayah atau Ibu.
Kalau sekiranya Supek mengetahui ada keluarga mendiang ayah dan ibu, saya akan merasa
senang sekali untuk mencari mereka.
Souw Can menghela napas panjang. "Sepanjang yang kuketahui, ayahmu sudah tidak
mempunyai keluarga lagi, dan tentang ibumu aku tidak tahu ba-nyak. Akan tetapi, aku adalah
suheng dari ayahmu, boleh kauanggap sebagai keluargamu sendiri, Thian Lee. Apakah ada
yang dapat kutolong untukmu?"
"Terima kasih, Supek. Kalau Supek dapat memberi pekerjaan kepadaku, saya akan berterima
kasih dan senang sekali."
Wajah Souw Can berseri. "Pekerjaan" Tentu saja dapat! Engkau pernah belajar ilmu silat
bukan?" "Hanya belajar dari Ibu ketika saya masih kecil sampai berusia sepuluh tahun, Supek. Tidak
ada artinya." "Sayang, kalau engkau pandai silat engkau dapat menjadi piauwsu di sini mengawal barang.
Akan tetapi kalau tidak pandai ilmu silat, tentu saja tidak bisa, karena pekerjaan piauwsu amat
ber-bahaya, harus melindungi barang kirimari dari gangguan pencuri dan perampok. Akan
tetapi, engkau dapat belajar ilmu silat di sini. Ya benar, engkau belajar silat dan sementara
engkau belum pandai, engkau boleh menjadi kusir saja dulu. Membawa kereta yang dimuati
barang yang dikawal. Sanggupkah engkau"
"Terima kasih, Supek. Tentu saja saya sanggup!"
"Bagus! Dan maafkan kelakuan puteriku tadi. Mari kukenalkan engkau dengan keluargaku.
Engkau tidak perlu mengaku sebagai putera Song Tek Kwi yang dikenal sebagai
pemberontak. Hal itu akan berbahaya sekali kalau diketahui petugas negara. Engkau mengaku
saja putera seorang sahabatku yang telah meninggal dunia. Mengenai nama marga Song,
banyak terdapat yang bermarga Song, maka boleh saja kaupergunakan asal jangan
menyebutkan nama mendiang ayahmu."
Thian Lee lalu dibawa masuk, dipekenalkan dengan Nyonya Souw yang manis budi.
Kemudian dia diajak ke lian-bu-thia di mana Hwe Li dan Siong Ek sudah selesai latihan.
"Hwe Li, perkenalkan, ini adalah Song Thian Lee, putera seorang sahabat lama ayahmu!" kata
Souw Can memperkenalkan. "Thian Lee, puteriku yang manja ini bernama Souw Hwe Li.
Hwe Li, engkau harus menyebut twako kepada Thian Lee. Mulai sekarang dia bekerja dengan
kita, menjadi kusir kereta barang, dan dia akan mulai belajar silat di sini. Aku minta engkau
banyak memberi petunjuk kepadanya."
Thian Lee saling memberi hormat dengan Hwe Li yang agaknya memandang rendah.
Kemudian Thian Lee juga diperkenalkan dengan Lai Siong Ek, putera jaksa di Pao-ting,
Thian Lee memberi hormat kepada pemuda itu, dengan hati agak was-was. Kalau jaksa tahu
bahwa dia putera pemberontak Souw Tek Kwi, sekarang juga tentu dia menjadi buruan
pemerintah! "Ayah, Ayah tidak pernah bercerita tentang sahabat Ayah itu. Siapakah ayahnya yang menjadi
sahabat Jama Ayah itu?" tanya Hwe Li sambil memandangt wajah Thian Lee. Harus
diakuinya sekarang bahwa wajah pemuda itu tampan, bahkan garis-garisnya lebih jantan
dibanding Siong Ek. "Aih, ayahnya adalah seorang sahabat baik yang dulu di waktu ayahmu ini masih muda
banyak menolongku. Akan tetapi sekarang dia telah merunggal dunia, juga isterinya sehingga
Thian Lee ini menjadi yatim piatu. Karena dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi maka aku
memberi pekerjaan kepadanya. Mulai sekarang dla tinggal di sini dan bekerja sebagai kusir
kereta. Kelak kalau dia sudah belajar silat sampai pandai, dia boleh menjadi seorang
piauwsu." Hwe Li menjebikan bibirnya yang merah. "Sudah dewasa begini baru beiajar silat, mana bisa
menjadi pandai, Ayah?"
"Kalau engkau dan Siong Ek suka membimbing dan membantu, tentu dia dapat lekas menjadi
pandai. Aku sendiri tidak banyak waktu untuk rnendidik, maka kuserahkan kepada kalian
berdua untuk memberi bimbingan," kata Souw Can. "Dan engkau jangan bersikap buruk
kepadanya, Hwe Li. Sudah kukatakan bahwa dahulu ayahnya banyak menolongku, maka
sekarang tiba giliran kita membalas kebaikan kepada puteranya."
"Baik, Ayah," kata Hwe Li bersungut-sungut, sementara itu Siong Ek memandang dengan
agak mengejek. "Nah, sekarang tunjukkan kepada Thian Lee kamarnya. Beri sebuah kamar di samping,
jangan kamar belakang bersama pelayan. Dia harus kita anggap sebagai keluarga sendiri,"
kata ayahnya. "Thian Lee mulai sekarang engkau boleh bertanya apa saja kepada Hwe Li, ia
yang akan memberi tahu segala kepadamu dan membimbingmu belajar silat. Setelah tinggal
di sini kira-kira sebulan, baru engkau boleh ikut mengirim barang kawalan sebagai kusir."
Souw Can lalu meninggalkan mereka.
Setelah orang tua itu pergi, Hwe memandang Thian Lee. Pemuda itu juga memandangnya dan
harus dia akui bahwa gadis itu cantik sekali. Cantik dan man-ja terutama bibir itu yang
dibiarkan berjebi seperti menantang. Dan dia juga melihat sikap Siong Ek yang memandang
rendah kepadanya dan bersikap angkuh, akan tetapi merendah terhadap gadis seperti mencari
muka. "Siapa namamu tadi?" Hwe Li sambil menggerakkan dagunya dengan sikap angkuh.
"Song Thian Lee."
"Hemm, tahu-tahu aku menemukan seorang twako. Sungguh lucu!" kata Hwe Li.
"Seorang twako dari dusun," sambung Siong Ek sambil menahan tawa. Hwe Li memandang
ke arah pakaian Thian Lee. Memang dari kain kasar dan potongannya seperti pakaian petani.
"Hushh, Suheng. Engkau tidak boleh menghinanya, Ayah dapat marah kepadamu. Awas,
nanti dia akan mengadu kepada Ayah. Eh, Thian Lee, ehh... Twako, apakah engkau tukang
mengadu?" Thian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku bukan seorang yang suka mengadu."
"Bagus! Kalau engkau mengadu, aku tidak segan-segan untuk memukulmu, biarpun harus
menyebutmu twako. Nah, mari kutunjukkan kamarmu." la mendahului pergi ke dalam diikuti
oleh Thian Lee dan juga Siong Ek. Thian Lee membawa buntalannya dan mengikuti gadis itu.
Untung pedangnya tidak kelihatan menonjol di dalam buntalan pakaian itu dan diam-diam dia
merasa khawatir juga. Bagaimana dia dapat menyembunyikah pedang itu" Kalau sampai
pedang itu terlihat, tentu akan timbul kecurigaan karena pedangnya bukan pedang biasa. Dia
harus menyembunyikannya! Setelah di kamar itu, Hwe Li lalu meninggalkan, Thian Lee sambil berkata, Nah, inilah
kamarmu. Setiap hari harus kaubersihkan dan jaga baik-baik kamar ini. Ini adalah kamar
tamu, jangan membikin kotor. Nanti setelah engkau selesai, engkau boleh ke dapur minta
makan kepada pelayan. Aku akan memesan kepada mereka untuk melayanimu." Setelah
berkata demikian, Hwe Li pergi bersama Siong Ek. Belum lama mereka pergi, Thian Lee
masih dapat mendengarkan mereka itu membicarakan dia.
"Menjemukan sekali!" kata gadis itu. "Akan tetapi ayahmu menyukainya," kata Siong Ek.
"Harus mengajarkan silat kepadanya. Awas, akan kusiksa dia dengan latihan-latihan berat!"
Dan mereka berdus lalu tertawa-tawa. Tentu mereka tidak menduga bahwa dari jarak sejauh
itu Thian Lee dapat menangkap pembicaraan mereka dengan jelas.
Setelah mereka pergi, Thian Lee menutupkan jendela dan pintu, kemudian dia melihat
keadaan kamar itu. Tidak ada tempat yang aman untuk menyembunyikan pedangnya.
Kemudian dia memandang ke atas. Ya benar, di bawah atap itulah tempat persembunyian
yang baik sekali. Dia lalu membawa pedangnya melompat ke langit-langit dan mehemukan
tempat untuk menyembunyikan pedangnya di bawah atap. Kemudian dia turun lagi dengan
hati tenang. Sekarang tidak ada apa-apa lagi yang dapat menimbulkan kecurigaan. Dia
tersenyum kalau teringat akan percakapan tadi. Dia akan dilatih ilmu silat oleh Hwe Li.
Latihan berat sebagai siksaan! Mengapa gadis itu bersikap demikian kepadanya, seolah-olah
membencinya" Demikianlah, mulai hari itu Thian Lee tinggal di rumah Ketua Kim-liong-pang dan dia pun
mulai diberi pelajaran ilmu silat oleh Souw Hwe Li yang kadang dibantu oleh Lai Siong Ek.
Karena takut kepada ayahnya, maka Hwe Li benar-benar memberi pelajaran ilmu silat, akan
tetapi agaknya ia memang memberi tugas yang berat-berat kepada Thian Lee. Mula-mula
Thian Lee diajari memasang kuda-kuda yang kuat dan untuk menguji sampai di mana
kemajuan dan kekuatan kaki Thian Lee, tidak jarang Hwe Li menyapu kaki itu dengan
tendangannya sehingga Thian Lee jatuh bangun!
Pada suatu hari Souw Hwe Li dengan ditemani Lai Siong Ek sudah berada di lian-bu-thia
bersama Thian Lee. Thian Lee sudah siap untuk menjadi bulan-bulan siksaan kedua orang itu
seperti biasa ketika mengajarkan ilmu silat. Akan tetapi sekali ini Hwe Li berkata dengan
suara ketus, "Ayah menghendaki agar engkau dapat menggunakan semacam senjata untuk membela diri
kalau engkau menjadi kusir dan dihadang perampok. Nah, sekarang kaupilih sebuah di antara
senjata-senjata di rak ini. Aku akan mengajarkan engkau memainkan senjata itu. Pilih salah
satu!" katanya sambil menunjuk ke rak senjata di mana terdapat delapan belas rnacam ,
senjata. Thian Lee memandang ke arah sen-jata-senjata itu lalu berkata, "Siauw-moi, aku ngeri
melihat senjata yang tajam-tajam dan runcing-runcing itu. AkU takut kalau-kalau tubuhku
terkena sendiri ketajaman dan keruncingannya. Maka, biarlah aku memilih senjata tongkat ini
saja, dapat kupakai menggebuk kalau-kalau ada anjing hendak menggigit kakiku."
Siong Ek tertawa. "Tongkat untuk menggebuk anjing" Akan tetapi tanpa memiliki tenaga sin-
kang yang kuat, apa artinya tongkat ini bagimu. Thian Lee" Sekali bertemu pedang atau golok
lawan, tentu akan patah menjadi dua potong."
"Sudahlah, kalau itu yang dia pilih, biarkanlah," kata Souw Hwe Li. "Agaknya memang lebih
cocok kalau seorang kusir membawa sebatang tongkat." Tentu saja ucapan ini merupakan
olok-olok. Thian Lee memandang kagum. "Siauw-moi, apakah engkau dapat memainkan semua senjata
ini?" "Tentu saja. Dan tongkat itu pun dapat kumainkan dengan baik. Nah, lihat dan pelajarilah. Ini
namanya Ta-kaw-tung (Tongkat Penggebuk Anjing) dan merupakan ilmu tongkat yang
ampuh." Gadis itu lalu mengambil tongkat dari rak senjata dan mulai bersilat dengan tongkat
itu. Demikian cepat gerakannya sehingga Thian Lee berseru,
"Wah, jangan cepat-cepat, siauw-moi.
Bagaimana aku dapat mengikuti dan mencontoh gerakanmu kalau begitu cepat?"
Hwe Li menghentikan gerakannya lalu mengajarkan jurus demi jurus kepada Thian Lee. Dan
setiap latihan, Thian Lee disuruh melawannya dan tentu pemuda itu terkena gebukan atau
sapuan pada kakinya sehingga dia kembali harus jatuh bangun. Akan tetapi karena ajaran
yang keras ini, dalam waktu sebulan dia sudah dapat memainkan ilmu tongkat yang oleh
Hlwe Li disebut Ta-kaw Tung-hoat itu. Gerakannya memang masih kaku, akan tetapi dia
sudah mampu mainkan jurus pertama sampai jurus ke delapan belas.
Setelah sebulan dia berada di situ, setiap hari berlatih silat dan juga me-ngurus kuda-kuda di
istal, pada suatu hari Souw-pangcu memanggilnya, "Thian Lee, kulihat engkau setiap hari
tekun imempelajari ilmu silat dan menurut laporan Hwe Li, engkau sudah dapat memainkan
senjata tongkat yang kaupilih sendiri. Aku ingin melihat engkau memainkan tongkat itu.
Cobalah!" Thian Lee lalu mengambil tongkat itu dan di depan Souw-pangcu dia pun nneng-gerakkan
tongkat itu dari jurus pertama sampai selesai. Gerakannya masih kaku, akan tetapi sudah


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup memadai. "Bagus, setidaknya engkau sudah da-pat membela diri sekarang. Nah, mulai besok engkau
boleh ikut mengantarkan barang kawalan sebagai seorang kusir. Kebetulan besok ada kiriman
barang ke Souw-ciu, tidak berapa jauh akan tetapi melewati Bukit Merak yang kadang-kadang
suka terdapat perampok yang mengganggu. Beranikah engkau?"
"Kalau hanya mengusiri, kenapa tidak berani, Supek" Kalau ada perampok mengganggu,
yang melawan tentu para piauwsu, bukan saya."
"Benar, akan tetapi engkau juga harus "melindungi kuda-kudamu dari serangan penjahat.
Bagaimana kalau ada penjahat hendak merampas kuda" Apakah engkau akan diam saja"
Harus kaulawan dengan tongkatmu."
Thian Lee mengerutkan alisnya, ke-lihatan khawatir. "Baiklah, Supek. Mudah-mudahan saja
tidak ada perampok!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee telah bersiap-siap. Kini dia mendapatkan
pakaian seperti seorang piauwsu yang gagah dan dia mengenakan pakaian itu. Lalu dia
mempersiapkan kereta dan memberi pakaian kepada dua ekor kuda yang akan menarik Selagi dia sibuk membuat persiapan, muncullah Hwe Li.
"Selamat pagi, Siauw-moi. Sepagi ini engkau sudah bangun?"
"Twako, aku mendengar engkau akan mengusiri kereta yang membawa barang kawalan ke
Souw-ciu" Hati-hati, Twako dan jaga kereta baik-baik, jangar mem-bikin malu aku yang
selama ini memberi petunjuk kepadamu," kata Hwe Li nadanya menggoda.
Thian Lee memperlihatkan tongkatnya dengan bangga. "Dengan tongkat ini aku akan
menjaga kuda dan kereta, Siauw-moi. Jangan khawatir. Ajaranmu pasti berguna bagiku."
Gadis itu hanya tersenyum dan meninggalkannya. Rombongan itu berangkat dengan dua
kereta penuh muatan barang dan dikawal oleh dua belas orang anak buah Kim-liong-pang.
Yang menjadi piauwsunya adalah dua orang murid Kim-liong-pang yang sudah pandai,
bernama Ciang Hoat dan Gan Bun Tek. Dua orang itu membawa pedang di punggung mereka
dan kelihatan gagah perkasa. Di atas dua buah kereta itu dipasangi bendera yang bergambar
seekor naga emas, sebagai tanda bahwa kereta itu dilindungi oleh Kim-liong-pang
(Perkumpulan Naga Emas). Karena Thian Lee merupakan seorang kusir baru yang belum
berpengalaman dan belum mengenal jalan, maka kereta-nya berada di belakang, mengikuti
kereta pertama. Para anak buah Kim-liong-pang itu dibagi menjadi dua, enam orang di depan
kereta dan enam orang pula di belakang, masing-masing dipimpin seorang piauwsu. Ciang
Hoat yang lebih tua ber-ada di depan sedangkan Gan Bun Tek berada di belakang kereta.
Mereka semua menunggang kuda dan rombongan itu segera berangkat.
Kalau hanya penjahat-penjahat kecil saja tentu tidak akan berani mengganggtt rombongan dua
kereta ini. Baru bendera yang berkibar di atas kereta itu saia sudah merupakan jaminan
keamanan, apalagi dua orang piauwsu dan dua belas orang anak buahnya yang nampaknya
demikian gagah perkasa. Ciang Hoat adalah seorang murid Kim-liong-pang yang sudah
pandai, berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi kurus. Dia sudah memiliki banyak
pengalaman karena sudah puluhan kali mengawal barang kiriman dan ilmu pedangnya juga
amat lihai. Barangkali hanya Hwe Li dan Siong Ek saja yang memiliki tingkat kepandaian
lebih tinggi darinya. Adapun piauwsu ke dua, Gan Bun Tek berusia tiga puluh lima tahun dan
tubuhnya sedang namun kokoh kekar karena dia bertenaga besar. Dalam hal ilmu pedang, dia
pun hanya sedikit di bawah tingkat Ciang Hoat tian dia pun sudah berpengalaman sebagai
piauwsu. Perjalanan dari Pao-ting sampai jauh keluar kota terjadi dengan aman dan lancar. Ketika
Bukit Merak nampak di depan, Ciang Hwat berseru kepada anak buahnya agar berhati-hati.
Akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Bukit Merak tidak aman dan sering kali muncul orang-
orang jahat di tempat itu.
Gan Bun Tek yang berada di belakang kereta juga memberi isarat kepada anak buahnya agar
berhati-hati dan mereka menjalankan kuda di kanan kiri kereta ke dua untuk menjaga segala
kemungkinan. Ketika rombongan itu mendaki lereng bukit itu dan tiba di dalam hutan, tiba-tiba dari kanan
kiri meluncur anak-anak panah yang menyerang mereka. Akan tetapi, dua orang piauwsu dan
anak buah-nya sudah siap, cepat mencabut pedang dan berhasil menangkis semua anak panah
sehingga runtuh ke atas tanah. Dan pada saat itu nampak belasan orang ber-lompatan keluar
dari balik semak belukar dan batang-batang pohon. Mereka adalah orang-orang yang
nampaknya kasar dan bengis, memegang golok dan sikap mereka penuh ancaman. Akan
tetapi orang-orang itu tidak segera menyerang, melainkan hanya mengepung dua buah kereta
Badai Awan Angin 4 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Pendekar Tongkat Dari Liongsan 3
^