Pencarian

Gelang Kemala 7

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


pilihan hati sendiri, yang tidatr berdasarkan cinta, tentu akan gagal. Sebaliknya, para orang tua
menilai bahwa pilihan anak sendiri tidak memakai perhitungan yang masak dan hanya tertarik
oleh kecantikan atau ketampanan belaka sehingga perjodohan seperti itu tldak akan berakhir
baik bagi mereka. Harus diakui bahwa tidak semua perjodohan pilihan orang tua tidak berakhir bahagia dan
tidak semua perjodohan pilihan hati sendiri berakhir bahagia. Ba-nyak perjodohan pilihan
orang tua yang dapat menjadi suami isteri bahagia, sebaliknya banyak pula perjodohan pilihan
hati sendiri berakhir dengan kehancuran fumah tangga. Akan tetapi satu hal sudah jelas. Apa
pun jadinya dengan perjodohan pilihan sendiri, maka kedua orang itu bertanggung jawab
seridiri dan tidak akan menyalahkan orang tua yang tidak ikut memilihkan. Pilihan orang tua
memang lebih teliti. Bukan hanya memilih berdasarkan wajah melainkan juga tabiat,
keturunan dan sebagainya lagi. Sedangkan pilihan hati selalu berdasarkan rasa suka atau tidak
suka yang mereka namakan cinta, padahal cinta yang berdasarkan keindahan bentuk tubuh
atau muka hanyalah cinta nafsu belaka dan mudah sekali cinta seperti itu menjadi luntur di
lain waktu. Penolakan Cin Lan bukan semata-mata karena dia menentang orang tua. Sama sekali tidak.
Penolakannya terhadap Bian Hok memang didasari hati yang sudah merasa tidak suka kepada
pemuda itu. Adapun penolakannya terhadap perjodohan gelang kemala didasari karena
pendapat yang sama sekali menolak d-jodohkan dengan orang yang sama sekali tidak pernah
dilihatnya bahkan tidak diketahui bagaimana orangnya.
la melarikan diri dari ruangan itu terus keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota raja
menunggang kudanya yang berbulu putih.
Kuburah itu selama belasan tahuh tidak pernah dikunjungi orang, apalagi dlsembahyangi.
Siapa yang berani mengunjungi kuburan seorang pemberontak" Di batu nisan sederhana itu
ditulis dengan huruf-huruf yang jelas. "Kuburan pemberontak Bu Cian". Akan tetapi pada
siang hari itu, seorang gadis berlutut di depan makam yang tidak terawat sehingga rumput
alang-alang tumbuh dengan suburnya. Gadis itu adalah Cin Lan. Tidak sukar 'baginya untuk
berkunjung ke dusun Teng-sia-bun yang tidak berapa jauh letaknya dari kota raja dan setelah
tiba di dusun itu, juga tidak sukar untuk menemukan kuburan Bu Cian. Semua orang
mengenal kuburan ini. Resminya kuburan pemberon-tak Bu Cian, akan tetapi bagi penduduk
dusun itu, terutama kaum tuanya, kuburan itu mereka sebut kuburan Pendekar Bu Cian!
Walaupun tidak ada orang yang berani merawat kuburan itu, akan tetapi mereka menganggap
kuburan itu sebagai kuburan yang keramat.
Cin Lan tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari kota raja, ia telah dibayangi belasan orang dari
jauh. Mereka ini ada-lah anak buah Pangeran Tua yang diam-diam menyuruh orang-orangnya
memata-matai rumah Pangeran Tang Gi Su. Adik tirinya ini merupakan seorang di antara
mereka yang dianggap musuh, yang menentang kehendaknya memusuhi Kaisar, maka
dianggap berbahaya. Belasan ordng-orang itu membayangi Cin Lan segera memberi laporan
bahwa Cin Lan berkunjung ke makam pemberontak Bu Cian. Mendengar ini Pangeran Tua
terkejut dan juga girang, merasa mendapatkan kesem-patan untuk menekan Pangeran Tang Gi
Su. Dia pun tahu bahwa Cin Lan adalah puteri pemberontak Bu Cian akan tetapi karena hal
itu tidak pernah dikemukakan oleh adik tirinya, dia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Kini,
gadis itu berkunjung ke makam pemberontak itu.
"Cepat tangkap gadis itu yarig me-ngunjungi makam pemberontak Bu Cian!" Perintahnya
kepada dua orang perwira yang menjadi anak buahnya. Seperti semua pangeran, biarpun dia
tidak menduduki pangkat sesuatu, dia mempunyai pasukan pengawal.
Cin Lan beriutut di depan makam ayah kandungnya sambil menangis. "Ayah mereka hendak
menjodohkan aku dengan putera musuh besar Ayah!" ratapnya sambll menangis sedih. Baru
sekarang merasa berduka sekali. Dan baru sekarang ia berkunjung ke makam ayah
kandungnya. la membayangkan ayahnya se-bagai seorang pria yang gagah perkasa, karena
ibunya mengatakan bahwa ayah-nya adalah seorang pendekar! Makin di-kenang dan
dibayangkan, ia menjadi semakin sedih.
Duka. Manusia manakah yahg lidak pernah berkenalan dengan duka" Hidup ini sendiri adalah
duka. Sudah ditandai dengan kelahiran. Sekali masuk ke dunia ini, manusia melakukan
perbuatan yang pertama kali adalah menangis! Dan taT ^gis itu tanda duka.
Hidup adalah suatu kenyataan. Tantangan datang dari mana-mana dan biasanya tantangan ini
dianggap problem yang menimbulkan duka. Padahal, tantangan hidup adalah suatu kenyataan
yang harus dihadapi dan diatasi, justeru romantikanya hidup adalah tantangan-tantangan
inilah. Bayangkan saja kalau kehidupan Ini tanpa tantangan, tanpa kesukaran dan kesulitan.
Tentu akan membosankan sekali. Justeru adanya tantangan ini menimbulkan gairah dan se-
mangat hidup karena timbul keinginan untuk melawan dan memenangkan tantangan yang
datang itu. Jangan sekali-kali menganggap bahwa tantangan kesulitan yang datang itu sebagai
problema yang mendatangkan duka. Namun ladapi sebagai suatu kenyataan yang wajar dan
memang demikianlah hidup. Hidup idalah saat ini, sekarang. Adapun yang kita hadapi
sekarang ini, hadapi dengan penuh kewaspadaan dan dari situ akan timbul kebijaksanaan
bertindak. Pikiran tidak perlu dikacau dengan soal yang telah lewat, sudah mati, tak perlu
dikenang 'lagi. Besok adalah suatu hal yang belum datang, bagaimana besok sajalah! Dengan
waspada setiap saat maka kehidupan akan rnaju terus selaras dengan keadaan yang wajar.
Setiap kali pikiran menyeret kita ke dalam duka, yang sebetulnya hanya merupakan
permainan pikiran saja, kita kembalikan kepada kekuasaan Tuhan! Kalau kita sudah
mengembalikannya dan menganggap bahwa semua itu terjadi karena dikehendaki Tuhan,
maka tidak ada rasa penasaran di hati dan kita bertindak sesuai dengan keadaan. Tuhan akan
memberi bimbingan sehingga kita akan dapat bertindak dengan bijaksana. Karena Tuhan
selalu mengasihi orang yang menyerah dan pasrah kepada-Nya. Bukan berarti menyerah dan
pasrah lalu tidak berbuat sesuatu. Tidak sama sekali. Kita harus berusaha sedapat mungkin
menentang dan melawan tantangan itu, namun dengan dasar kepasrahan kepada Tuhan dan
mohon petunjuknya. Selagi Cin Lan menangis sambil berlutut, tiba-tiba ia dikejutkan oleh munculnya belasan
orang! Dua orang perwira yang memimpin belasan orang pengawal segera berlompatan ke
depan sambil membentak, "Pemberontak menyerahlah untuk'kami tangkap!"
Orang yang sedang berduka itu mudah menjadi marah dan nekat. Ditegur seper-ti itu, Cin Lan
menjadi marah sekali. Ia tldak mau mengatakan bahwa ia puteri Pangeran Tang Gi Su. Tidak,
ia tidak perlu mengatakan itu. la lalu bangkit berdiri dan berkata lantang, "Anjing-an-jing
keparat, boleh coba kalian tangkap aku kalau mampu'"
Dua orang perajurit itu lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menangkap Cin
Lan. Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka itu mampu menangkap seorang gadis selihai
Cin Lan. Mereka bergerak maju, akan tetapi Cin Lan. sudah mendahului mereka, meloncat ke
depan dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang sudah berpelantingan roboh. Hal ini
mengejutkan semua orang dan mereka semua mencabut senjata melihat kelihaian gadis itu.
Akan tetapi, begitu mereka mencabut senjata, Cin Lan menjadi semakin marah. Gadis ini
menyambar sebatang kayu yang berada di dekat kuburan lalu mengamuk. Tongkatnya
bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan dalam waktu sebentar saja belasan orang itu
berikut dua orang perwiranya telah dihajar babak-belur dan jatuh-bangun! Masih untung bagi
mereka bahwa Cin Lan tidak bermaksud membunuh. Kalau demikian halnya tentu mereka
semua sudah tewas oleh amukan gadis ini. Mereka hanya menderita kepala benjol-benjol,
muka matang biru, patah tulang lengan dan akhirnya mereka melarikan diri terpincang-
pincang dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda mereka yang melarikan diri.
Cin Lan membuang tongkatnya dan duduk terpekur di depan makan ayahnya. "Ayah, aku
ingin sekali menjadi seperti Ayah, menjadi pendekar yang memperjuangkan tegaknya
kebenaran dan keadiian. Aku ingin merantau seperti seekor burung di angkasa, bebas dari
tekanan siapa pun. Akan tetapi, bagaimana aku tega meninggalkan Ibu?" la menjadi sedih dan
kembali ia menangis. Kuburan itu berada di iuar dusun sehingga perke-lahian itu tidak
menarik perhatian penduduk dusun yang tidak mengetahuinya,
Ketika ia teringat akan penyerangan tadi, ia men]Bdi marah dan cepat ia meloncat ke atas
kudanya dan melakukair g pengejaran! Kuda itu cepat sekali larinya dan sebentar saja ia
sudah dapat menyusul kuda rombongan pasukan itu yang larinya paling lambat. Begitu dekat
dengan perajurit itu, Cin Lan mendorongnya sehingga terguling roboh dari atas kuda. Dl lain
saat Cin Lan sudah ineng-injakkan kakinya pada dada orang itu,, Orang itu mengalami patah
tulang lengan dia tadi tidak dapat cepat melarikan, kuda. Kini dlinjak dadanya dla
memandang dengan ketakutan.
"Ampunkan.,aku, Li-hiap...." dia memohon.
"Aku ampunkan engkau katau engkaa mau mengaku siapa yang menyuruh ka-lian mencoba
untuk menangkapku tadi! Hayo katakan, kalau engkau tidak mengaku, akan kuinjak sampai
hancur dadamu." Cin Lan menambah tenaga pada injakannya sehingga orang itu rnenjadi
semakin ketakutan. "Kami hanya... hanya suruhan... kami diperintah oleh pangeran Tua...." i "Pangeran Tang Gi
Lok?" Cin Lan bertanya penuh keheranan. Pangeran Tua atau Pangeran Tang Gi Lok adalah
uwaknya, kakak dari ayahnya. Kenapa pula hendak menangkapnya?"
"Be... benar, Nona...."
"Kalian tahu bahwa aku puteri Pangeran Tang Gi Su?" tanyanya pula.
"Kami tahu, Nona. Akan tetapi kami disuruh menangkap Nona...."
"Des!" Orang itu ditendang sampai terguling-guling, kemudian Cin Lan melompat ke atas
kudanya lagi dan melarikan kudanya pulang ke kota raja.
Ibunya menyambut dengan girang pulangnya gadis itu, akan tetapi Cin Lan masih bersikap
dingin dan tidak mau bicara tentang apa yang telah terjadi kepada ibunya. la tahu bahwa kalau
ibunya tahu tentang kunjungannya ke kuburan ayah kandungnya, ibunya tentu tidak setuju.
Apalagi kalau ayahnya mendengar, tentu akan marah sekali.
* * Malam itu langit tertutup mendung gelap sekali. Hawa udara amat dingin dan agaknya akan
turun hujan. Karena itu, maka jalan-jalan menjadi sepi. Orang-orang lebih senang tinggal di
rumah daripada keluar. Toko dan warung-warung juga sudah lebih siang menutup pintunya.'
Sesosok bayangan berkelebat cepat. Bayangan itu adalah Cin Lan. la mengenakan pakaian
serba biru tua sehingga tidak nampak dalam kegelapan malam itu. Tangan kanannya
membawa sebatang tongkat dan tak lama kemudian la sudah tiba di belakang pagar tembok
gedung tempat tinggal Pangeran Tua Tang Gi Lok. la merasa penasaran sekaii karena menurut
pengakuan perajurit tadi, uwaki nya sendiri yang menyuruh pasukan me-nangkapnya. la tidak
mau terang-terang-an berkunjung kepada uwaknya, karena hal ini tentu akan membikin marah
ayahnya dan mungkin uwaknya tldak mau menemuinya. Maka ia lalu pergi malam-malann
untuk menyelundup dan menyelidiki kenapa uwaknya hendak menangkapku".
la sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu itu, Pangeran Tua telah mengumpulkan beberapa
orang kang-ouw untuk membantunya karena dia sudah mulai mengatur rencana untuk
melakukan pem-bunuhan-pembunuhan sebagai langkah per-tama dari slasatnya untuk
merebut tah-ta kekuasaan. Bahkan datuk besar Liok-te Lo-mo itu berada di gedung itu, men-
jadi penasihat Pangeran Tua.
Cin Lan adalah seorang gadis yang berilmu tinggi. Apalagi tubuhnya kini selain menjadi
kebal terhadap segala macam racun berkat gigitan ular emas dan ular putlh juga telah timbul
semacam tenaga sin-kang yang hebat akibat kedua racun yang bertentangan itu. la seorang
yang lihai bukan main yang telah menguasai ilmu tongkat Hok-mo-tung yang hebat. Akan
tetapi, ia seorang gadis muda, seorang gadis bangsawan yang sama sekali belum
berpengalaman. Kalau ia berpengalaman tentu ia sudah menaruh curiga ketika dengan amat
mudahnya ia melompati pagar tembok yang sama sekali tidak terjaga itu. la seharus-nya
curiga karena tidak nampak penjagaan ketat di luar pagar tembok.
Ketika ia memasuki taman bunga lalu menyusup ke arah bangunan, ia melihat bahwa
uwaknya itu sedang duduk di sebuah ruangan bersama seorang kakek yang usianya tentu
sudah tujuh puluh tahun lebih, seorang kakek tua renta yang tinggi kurus dan berjenggot tipis.
la tidak tahu siapa kakek itu, akan tetapi melihat paman tuanya duduk di situ, dengan hati
penasaran Cin Lan segera melompat dan tiba di ruangan itu.
"Pek-hu (Paman Tua), aku datang hendak bertanya kenapa Pek-hu menyuruh orang
menangkapku!" katanya dengan lantang.
Pangeran Tang Gi Lok tidak kelihatan kaget dan dia tersenyum. "Nona, jangari sembarangan
menyebut orang. Aku sama sekali bukan pek-humu. Engkau adalah anak seorang
pemberontak, maka aku menyuruh orang menangkapmu! Dan sekarang engkau menyerahkan
diri ke sini, bagus sekali!" Pangeran itu lalu bertepuk tangan dan tiba-tiba belasan orang telah
mengepung Cin Lan! Barulah gadis itu tahu bahwa kedatangannya sudah diketahui dan pihak
musuh sudah memasangi jebakan perangkap!
Jilid 12________ Akan tetapi ia tidak takut, ia lalu memutar tongkatnya dan menyerang ke kiri. Dua orang dl
sebelah kirinya cepat menggerakkan pedang mereka dan ternyata mereka ini bukanlah
pengawal-pengawal biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang memiliki ilmu silat yang
cukup tangguh. Akan tetapl kedua orang itu berteriak kaget dan mereka terhuyung ke
belakang ketika pedang mereka bertemu dengan tongkat di tangan Cin Lan. Yang lain segera
mengeroyok dan segera terjadi pertempuran yang seru. Cin Lan mengamuk bagalkan seekor
singa betina. Tongkatnya bergerak menyambar-nyambar bagaikan seekor naga dan sudah tiga
orang sudah roboh disambar tongkatnya. Akan tetapi yang lain maju mengeroyok sehingga
Cin Lan yang dikeroyok banyak orang pandai merasa kewalahan juga. Sementara itu, ia
melihat bahwa paman tuanya telah mengundurkan diri entah ke mana. Dan selagi ia me-
ngamuk, kakek tua renta itu bangkit berdiri. Kakek itu menarik keluar sehelai sabuk rantai
yang tadi dipakai di pinggangnya dan begitu kakek itu menyerang, Cin Lan terkejut sekali.
Kakek itu ternyata memiliki tenaga dahsyat dan serangannya amat cepat. Sabuk itu
menyambar ke arahnya dan ketika tongkatnya dipakai menangkis, rantai itu melibat
tongkatnya! Cin Lan menggetarkan tongkatnya sehingga libatan itu lepas, dan kakek itulah
yang kaget. Tidak sembarang orang mampu melepaskan tongkat dari libatan rantainya.
Tahulah dia bahwa gadis itu memang hebat sekali kepandai-annya. Akan tetapi dia mendapat
pesan dari Pangeran Tua agar dapat menangkap gadis itu hidup-hidup. Maka dia pun ikut
membantu pengeroyokan itu tanpa malu-malu lagi. Padahal, kepandaian Liok-te Lo-mo amat
hebat dan dia termasuk serangan datuk besar. Sepatutnya dia malu harus menghadapi seorang
gadis dengan keroyokan. Akan tetapi, biarpun dia akan mampu mengatasi gadis itu, kalau
disuruh menangkap hidup-hidup, akan sukar sekali karena ilmu tongkat gacis itu amat
dahsyatnya. Karena dikeroyak ramai-ramai, Cin Lan menjadi terdesak hebat dan ia tidak pula
dapat meiarikan diri. Terutama sekali permainan rantai Llok-te Lo-mo menutup semua jalan
keluar untuk melarikan diri sehingga terpaksa Cin Lan melawan mati-matian.
"Kalian tidak tahu malu! Hanya berani melakukan pengeroyokan!" la berteriak memaki, akan
tetapi para pengeroyoknya tidak mempedullkannya dan pada suatu kesempatan yang baik,
ujung rantal di tangan Liok-te Lo-mo telah menotok siku kanannya sehingga tongkatnya
terlepas dan tahu-tahu rantai itu telah melibat tubuhnya. la segera ditelikung dan dibelenggu.
Karena Liok-te Lo-mo sebelumnya sudah mendapat perintah dari Pangeran Tua. maka tanpa
banyak cakap lagi Cin Lan lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan.
Cin Lan didorbng masuk ke dalam kamar tahanan yang cukup bersih. Akan tetapi kedua
tangannya dibelenggu dan biarpun ia sudah mencoba untuk melepas-kan kedua tangannya,
usahanya sia-sia belaka karena yang dipakai membelenggu adalah tali dari kulit yang amat
kuat. la pun duduk bersila di atas lantai yang ditilan rumput kering dan berusaha untuk
menenangkan dirinya. Heran sekali. Ke-napa paman tuanya berusaha keras untuk
menangkapnya" Padahal menurut ayah-nya, paman tuanya ini yang melamarnya untuk putera
Pangeran Bian Kun. Apa maunya paman tuanya ini" Sama sekali tidak terpikirkan olehnya
bahwa pajTian tuanya akan memusuhi ayahnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Spkali ia mendengar suara orang menda-tangi tempat
tahanannya. Ketika mereka memasuki kamar tahanan, baru ia tahu bahwa mereka itu adalah
Bian Hok dan Pangeran Tang Gi Lok.
"Akan tetapi ia adalah puteri pemberontak dan malam ini ia menyusup ke sini seperti
pencuri'." ia mendengar paman tuanya berkata dengan nada penasaran
Bian Hok berkata, "Paman Pangeran, biarlah Ayah dan saya yang mernintakan ampun
untuknya. Paman tentu tahu bah-wa ia adalah calon isteri saya, bagai-mana mungkin
dijadikan tahanan. Saya mohon dengan hormat dan sangat, agar supaya saya diperbolehkan
membebaskannya dan membawanya pulang."
Pangeran Tang Gi Lok menghela napas panjang. "Mengingat betapa aku sendiri yang
meminangnya untukmu, Bian Hok. Dan ternyata ia bersembahyang dl makam seorang
pemberontak, la puteri pemberontak!'
"Paman, biar saya, yang menanggung."
"Sudahlah, kalau begitu kehendakmu, bawalah. Akan tetapi awas engkau, Cm Lan. Kalau
engkau ulangi perbuatanmu ini, akan kuadukan ayahmu kepada Sn Baginda Kaisar bahwa dia
melindungi puteri pemberontak'"
Sebenarnya Cin Lan ingin membantah, akan tetapi melihat keadaannya, ia diam saja. Bahkan
di waktu Bian Hok mele-paskan ikatan tangannya, ia merasa tidak senang sekali. Akan tetapi
ia pun tidak dapat menolak ketika belenggunya dilepas.
"Marilah, lan-moi. Mari kuantar eng-kau pulang," kata Bian Hok setelah belenggu itu lepas.
Akan tetapi Cin Lan berkata dengan nada ketus,
"Aku tidak minta kautolong! Aku tetap tidak mau menjadi jodohmu!" sete-lah berkata
demikian, ia pun lari keluar dari kamar tahanan itu terus keluar dari rumah Pangeran Tang Gi
Lok. "Lan-moi....!" Bian Hok berseru akan tetapi Cin Lan tidak mempedulikannya lagi dan terus
berlari menuju pulang. * * * Thian Lee banyak mendengar tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kota raja.
Bahkan dia mendertgar tentang sepak terjang puteri Pangeran Tang Gi Su yang kabarnya amat
lihai dan berani menentang Pangeran Tua. 3uga dia mendengar bahwa gerak-gerik Pange-ran
Tang Gi Lok yang terkenal dengan sebutan Pangeran Tua itu aneh, mengum-pulkan orang-
orang kang-ouw. Bahkan ka-barnya para datuk sesat dikumpulkan di rumahnya termasuk
Liok-te Lo-mo. Mendengar hal ini tentu Thian Lee menjadi terkejut dan juga heran. Dia tahu
benar bahwa bekas gurunya itu, Liok-te Lo-mo, adaiah seorang datuk sesat yang amat lihai.
Dan sekarang agaknya Liok- te Lo-mo itu hendak diperalat oieh Pangeran Tua. Apa maunya
Pangeran Tua" Dia amat tertarik dan ingin sekali dia menyelidiklnya dan juga kalau mungkin bertemu
dengan bekas gurunya Itu. Bagaimanapun juga, dla pernah ditolong oleh Liok-te Lo-mo.
Ketika dia masih kecll dan melarikan diri dlkejar para tukang pukul lurah dusun Bouw
kemudian dipukuli hampir dibunuh, muncullah Liok-te Lo-mo yang menolongnya kemudian
mengambilnya sebagai murid. Biarpun datuk sesat, namun Liok-te Lo-mo pernah
menyelamatkan nyawanya. Malam itu Thian Lee berniat untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu dia ingin
menjumpai Llok-te Lo-mo yang kabarnya di rumah Pangeran Tang Gi Lok. Seperti blasa,


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar tidak dikenal orang, dia mengenakan pakaian hitam dan juga mukanya ditutupi
saputangan hitam. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dengan mudah saja dia
melompati pagar tembok bagian belakang gedung. Blarpun banyak penjaga berkeliaran, na-
muri dia dapat melompat tanpa diketahui seorang pun. Akan tetapi ketika dia sedang
menyelinap di balik semak-semak di kebun belakang, dia melihat bayangan lain berkelebat.
Gerakan orang itu pun cepat sekali ketika melompati pagar itembok sehingga Thian Lee
menjadi tertarik sekali dan diam-diam dia mengikuti gerakan orang itu yang menyelinap di
antara pohon-pohon menuju, ke bangunan besar.
Ketika orang itu beradadi bawah lampu gantung, Thian Lee semakin tertarik karena orang itu
pun memakai kedok hitam seperti dia dan dia dapat menduga bahwa orang itu adalah seorang
wanlta, melihat dari bentuk tubuhnya yang kecil ramping. Dan wanita itu memegang sebatang
tongkat sebagai senjatal Akan tetapi dia melihat bahwa waniW itu masih kurang pengalaman dan sama sekali tidak
berhati-hati. Di mana ada orang masuk sebagai seorang pencuri itu berhenti di bawah lampu
gantung" Sungguh kurang pengalarnan. Dan tlba-tiba apa yang dikhawatirkannya terjadi.
Terdengar teriakan dan ada penjaga yang melihat wanita itu segera berterlak,
"Tangkap penjahat!"
Dan dari segala jurusan datang penjaga berlari-lari membawa senjata pedang atau golok dan
tombak. Sebentar sa)a waruta itu sudah dikepung oleh dua puluh orang leblh penjaga yang
bertugas di tempat itu. Akan tetapi wanlta itu agaknya sama sekali tldak takut!
"Kalian semua mundur! Panggil saja kakek tua renta yang bersenjata rantal dan suruh dia
bertanding dengan aku sampai seribu jurus! Hendak kulihat sampai di mana ilmunya, jangan
main keroyokan seperti anjing-anjing srigala!"
Akan tetapi mana para penjaga mau menurut perintahnya" Bahkan di antara mereka ada yang
berteriak, "Ini adalah nona yang tempo hari datang dan telah ditangkap!" Dan mereka pun
mengepung sambil berteriak-teriak. Mendengar ini, orang bertopeng itu lalu membuka
topengnya dan memang ia adalah Cin Lan!
"Aku datang untuk menantang kakek berantal untuk bertanding satu lawan sa-tu, bukan
keroyokan!" kembali ia membentak.
"Tangkap penjahat!" bentak seorang penjaga dan semua penjaga sudah mulai menggerakkan
senjatanya mengeroyok Cin Lan. Cin Lan menggerakkan tongkatnya dan memang gerakan
gadis ini hebat sekali. Tiga orang pengeroyok roboh di-hantam tongkat yang gerakannya amat
hebat itu. Diam-diam Thian Lee kagum akan tetapi juga kaget karena setelah topeng itu
dibuka, dia mengenal gadis itu. Gadis murid setia yang mencarikan obat untuk gurunya itu.
Gadis yang dilihatnya keracunan dan kemudian dibayanginya pergi ke Kuil Kwan-im-bio di
luar kota. Sudah lama dia serlng kali terkenang kepada gadis itu akan tetapi tidak pernah dia
dapat bertemu lagi dengannya. Dan kini tahu-tahu gadis itu telah berada di tempat ini dan
menghadapl pengeroyokan. Memang sepak terjang Cin Lan hebat bukan main. Biarpun dikeroyok dua puluh orang, sama
sekali ia tidak menjadi gen-tar dan bahkan ia mengamuk hebat. Kembali empat orang sudah
roboh oleh sambaran tongkatnya dan Thian Lee girang mellhat betapa setiap kali tongkat itu
mengenai tubuh lawan, gadis itu me-ngurangl tenaganya sehingga tidak ada orang yang tewas
terkena tongkatnya. Bukan seorang gadis yang ganas dan kejam, piklrnya. Karena dia melihat
bahwa gadls itu dapat menguasai keadaan, sama sekali tidak terdesak bahkan mulal membuat
para pengeroyoknya nampak jerih setelah sepuluh orang pengeroyok roboh, dia pun hanya
rnenjadi penonton. Dan dia mulai berplkir. Inikah yang disebut-sebut orang sebagai puteri
pange-ran yang amat lihai itu" Kalau begitUy gadis yang menarik hatinya itu, murid yang
berbakti dan setia kepada gurunya, adalah puteri seorang pangeran" Agaknya tldak mungkin.
Mana ada puteri pangeran demikian setia kepada gurunya, mencari-kan obat sampai jauh dan
menempuh bahaya seorang diri"
Mendadak para pengeroyok itu mundur dan muncullah dua orang kakek di tempat itu. Jantung
di dada Thian Lee berdebar ketika dia mengenal seorang dari mereka. Liok-te Lo-mo, bekas
gurunya yang sekarang kelihatan sudah amat tua. Orang ke dua tidak dikenalnya, akan tetapi
orang itu kelihatan menyeramkan. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi
besar seperti raksasa, pakaiannya seperti seorang pejabat tinggi dan kepalanya botak. Di
pinggangnya nampak tergantung pedang yang indah, pedang seorang pejabat tinggi hadiah
Kaisar! Dia tidak tahu bahwa orang itu adalah Pak-thlan-ong Dorhai, seorang di antara datuk-
datuk besar yang kini telah menjadi seorang penasihat Kaisar. Kebetulan pada malam hari itu
Dorhal menjadi tamu dari Pangeran Tua maka dia dapat muncul bersama Liok-te Lo-mo
ketika mendengar bahwa gadis Puteri Pangeran itu kembali datang mengacau.
Memang Cin Lan sengaja datang Ke tempat itu karena ia merasa penasaran. Kedatangannya
untuk menantang berkelahi kakek yang pernah mengalahkannya dengan pengeroyokan. Kini
ia hendak menantangnya berkelahi satu lawan satu. Ketika melihat para pengeroyoknya
mundur dan melihat munculnya Liok Te Lo mo. Cin Lan segera menghadapinya dan
menudingkan tongkatnya ke arah muka Liok Te Lo mo.
"Kakek tua, tempo hari engkau secara curang menangkapku dengan mempergunakan
pengeroyokan. Sekarang aku menantangmu untuk bertanding satu lawan satu tanpa
pengeroyokan. Hayo majulah".
Ditantang seperti itu, Liok-te Lo mo tertawa, "Ha-ha-ha, engkau nona cilik sungguh bernyali
besar. Tempo hari engkau sudah ditawan dan hanya karena pertolongan Bian-kongcu saja
engkau di-bebaskan, sekarang masih berani datang lagi membuat gaduh. Engkau mengajak
aku bermain-main" Balklah, kalau tidak kulayani engkau tidak akan tahu sampai di mana
kelihaian Liok-te Lo-mo."
Baru sekarang Cin Lan mendengar nama julukan kakek itu dan diam-diam ia pun terkejut.
Gurunya pernah menyebut-kan beberapa nama para. datuk dan satu di antara para datuk
persilatan adalah Liok-te Lo-mo. Maka, ia pun tidak berani memandang rendah dan la segera
menggerakkan tongkatnya. "Lihat seranganku!" la menyerang dengan tongkatnya dan langsung saja ia nnainkan Hok-mo-
tung. "Bagus!" Liok-te Lo-mo melolos sabuk rantainya dan memutar senjata itu untuk menangkis.
"Trangg... trakkk....!" Liok-te Lo-nno terkejut juga. Tak disangkanya bahwa gadis itu benar-
benar tangguh. Selain hebat iimu tongkatnya, juga memiliki tenaga sln-kang yang kuat sekali
sehingga dia sendiri merasakan jarl-jari tangannya tergetar hebat.
Dia lalu meloncat ke kiri dan rantainya menyambar ganas dari samplng menyerang ke arah
pinggang Cin Lan. Namun, gadis inl menangkis dengan tong-katnya. Ketika ujung rantai
membelit tongkatnya, ia mengirlm tendangan kilat ke arah tangan yang memegang rantai
sehingga terpaksa kakek itu menarik kembali rantainya dan melepaskan libatan. Thian Lee
memandang kagum. Bekas gurunya itu adalah seorang datuk yang sudah memiliki llmu sllat
yang amat tangguh. Akan tetapi gadis itu mampu mengimbanginya!
Kinl Cin Lan mengamuk. Tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan anglh dan
mengeluarkan suara berciutan. Llok-te Lo-mo terpaksa juga rnengerahkan tenaga dan
mengeluarkan semua ilmunya. Dia sama sekali tidak berani memandang rendah dan bahkan
dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun juga, Cin Lan kaiah pengalaman
dan kalah matang ilmunya. Ilmu tongkat Hok-mo-tung adalah ilmu silat yang tinggl dan sulit.
Biarpun ia telah menguasal Hok-mo-tung dengan baik, akan tetapi ia jarang sekali
menggunakannya dalam pertandingan yang sungguh-sungguh sehingga gerakannya kurang
matang. Apalagi di dalam hati-nya, Cin Lan adalah seorang yang tidak kejam. la tidak ingin
membunuh lawan-nya, maka setiap kali tongkatnya memukul, selalu la mengurangi
tenaganya. Seluruh tenaganya hanya dipergunakan apabila ia menangkis.
"Ho-ho, bukankah ini Hok-mo-tung" Nona, engkau tentu murid Pek 1 Lokai!" terdengar
kakek raksasa yang sejak tadi nonton perkelahian itu berseru, "Liok-te Lo-mo, biarkan aku
mencobanya se-bentar, main-main dengan murid Pek 1 Lokai. Sudah lama aku ingin mencoba
kehebatan Hok-mo-tung!" Setelah berkata demikian, Pak-thian-ong Dorhai meloncat
menghadapi gadis itu dan sambil tertawa Liok te Lo-mo rneloncat ke belakang membiarkan
datuk besar itu melawan Cin Lan.
Cin Lan sudah marah dan penasaran sekali karena tadi ia tldak mampu mengalahkan Llok-te
Lo-mo. Kini melihat raksasa itu maju dengan tangan kosong saja, tidak meloloskan sabuk
rantamya yang besar maupun pedangnya yang tergantung dl pinggang, ia menyambut lengan
serangan tongkatnya. "Bagus'. Hok-mo-tung ciarl Pek l Lo-kai memang hebat!" kata Pak-thion-ong sambil
menangkls dengan tangannyr yang besar panjang dan sekaligus mencoba untuk menangkap
dan merebut tongkat itu. Akan tetapi Cin Lan menggunakan sin-kangnya untuk menggetarkan
tongkat itu. Dia mengerahkan sin-kang yang timbul dari racun ular emas dan raksasa itu
merasa betapa telapak tangannya bertemu hawa yang amat panas sehingga dia terkejut sekali.
Ketika dia memaksa hen-dak menangkap tongkat itu dengan pengerahan sin-kang panas untuk
rnengimbangi, tiba-tiba saja tongkat itu berubah dingln bukan main. Dia semakin kaget dan
melepaskan pegangannya dan saat itu dipergunakan oleh Cin Lan untuk menye-rang lagi
dengan pukulan tongkat pada kepala raksasa itu.
"Bagus!" Bentak Pak-thian-ong Dorhai dan cepat tubuhnya yang tinggi besar itu sudah
mengelak ke belakang. Namun tongkat yang menghantam itu tiba-tiba meluncur dan
menyodok ke arah ulu hati dengan tusukan yang dahsyat sekali. Pak-thian-ong menggerakkan
kedua tangannya dari bawah ke atas diputar ke kanan hienangkis. Tongkat terpental oleh
tangkisan yang amat kuat itu, akan tetapi ketika Dorhai hendak menangkap tongkat itu,
kembali Cin Lan sudah menarik tongkatnya sehingga tidak sampai tertangkap lawan. Pak-
thian-ong Dorhai kini rnembalas dengan cengkeraman, tangkapan, dan tamparan kedua
tangannya yang besar, kadang diseling tendangan kakinya yang panjang dan besar sehingga
Cin Lan mulai terdesak! Gadis itu terkejut sekali karena ternyata ilmu kepandaian kakek
raksasa ini jauh lebih lihai dibandingkan Liok-te Lo-mo. Biarpun kakek ini hanya bertangan
kosong, jelas ia tidak akan mampu menandinginya. Apalagi kalau kakek itu mencabut
senjatanya. Akan teta-pi Cln Lan tidak mengenal takut. la memutar tongkatnya dengan cepat
dan melawan terus, mati-matlan.
Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring panjang, dan mendengar ini Pak-thian-ong
Dorhai terkejut bukan main. Dia mengenal lengkingan dahsyat dari tenaga khi-kang yang
amat kuat, maka dia meiompat ke belakang. Pada saat itu berkelebat bayangan hltam dan
tahu-tahu tubuh gadis yang bertongkat itu sudah disambar orang dibawa meloncat seperti
terbang cepatnya. Peristiwa ini terjadi amat cepat dan tidak tersangka-sangka oleh Pak-thlan-
ong maupun Liok-te Lo-mo sehlngga mereka berdua tidak sempat menghalangi dan tahu-tahu
bayangan yang melarlkan Cin Lan itu sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Cin Lan sendirl merasa terkejut bukan main ketika tiba-tiba tubuhnya diterbangkan orang, la
berusaha meronta dan rnelepaskan diri, akan tetapi mendadak saja tubuhnya menjadi lemas
tidak dapat digerakkan iagi. Kiranya secara cepat dan aneh sekali orang berpakaian hltam itu
telah menotoknya sehingga terpaksa ia mennbiarkan dirinya dilarikan sangat cepat
melompatii pagar tembok gedung tempat tinggal Pangeran Tua. Ia terus dibawa lari dan
ketika orang itu akhirnya melepaskannya dan sekaligus membebaskan totokannya, ia telah
berada di luar gedung ayahnya sendiri.
"Siapa engkau....?" la bertanya, akah tetapi orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup
saputangan hitam itu telah meloncat pergi dan menghilang! Cin Lan menyadari keadaannya.
la tahu benar bahwa Si Kedok Hitam tadi tel'ah menyelamatkannya. Kalau orang Itu tidak
melarikannya, tentu ia sudah menjadi tangkapan kembali di rumah Pangeran Tua. Lawannya,
raksasa tinggi besar itu lihal bukan rnain dan kalau pertandingan tadi dilanjutkan, agaknya ia
akan kalah dan tertawan. Apalagi kalau Llok-te Lo-mo maju mengeroyok, Kini ia menyadari
bahwa Pangeran Tua adalah seorang yang memiliki banyak jagoan yang amat lihai dan
kedudukannya kuat bukan main.
Tentu saja yang menyelamatkan Cln Lan tadi adalah Thian Lee. Dia sudah menduga bahwa
Cin Lan tentulah puteri Pangeran Tang Gi Su. Kini ia teringat bahwa ketlka memperkenalkan
namanya, Cin Lan dahulu menyebutkan dirinya she Tang. la merasa heran bukan main. Ka-
lau Cin Lan puteri Pangeran Tang Gi Su, kenapa ia memusuhi Pangeran Tua yang bernama
Pangeran Tang Gi Lok, saudara sendiri dari ayahnya" Melihat gadis itu terancam oleh seorang
raksasa yang dari ^erakannya dia tahu tentu seorang yang berilmu tinggi sekali, maka dia pun
lalu menyelamatkan menotok dan membawa-nya lari dan baru dilepaskan setelah tiba . di
depan rumah Pangeran Tang Gi Su.
Thian Lee berkelebat pergi akan tetapi dia mengintai dari kegelapan. Dia melihat betapa gadis
itu akhirnya melompati pagar tembok gedung milik Pa-ngeran Tang Gi Su maka yakinlah
hatinya bahwa Tang Cin Lan adalah puteri Pangeran Tua itu. Dia pun lalu kembali ke rumah
makan tanpa ada yang mengetahui. Dia kini tahu bahwa Pangeran Tua yang dikabarkan
mempergunakan orang-orang kang-ouw itu ternyata benar. Bu-kan saja bekas gurunya, Liok-
te Lo-mo yang berada di istana, akan tetapi ada pula seorang raksasa yang lua biasa lihainya,
dan yang belum dlke-ahuinya siapa. Akan tetapi dia dapat menduganya siapa. Seorang yang
tingkat kepandaiannya melebihi Liok-te Lo-mo, hanya ada beberapa orang jumlahnya dan
mereka adalah orang-orang yang disebut Datuk Besar. Dia pernah mendengar dari guru-nya
bahwa seorang di antara para datuk besar adalah yang berjuluk Pak-thlan-ong dan bernama
Dorhai. Tentu orang tadi yang bernama Dorhai, orang .Mancu. ; Padahal dia sudah mendapat
kabar bahwa Pak-thian-ong Dorhai telah menjadi penasihat Kaisar. Akan tetapi mengapa
malam itu berada di gedung Pangeran Tua" Dia seperti mencium keadaan yang tidak beres di
rumah Pangeran Tua. Mengum-pulkan para datuk kang-ouw dan Pak-thian-ong Dorhai berada
di situ pula! Pada keesokan harinya, selagi Thian Lee membersihkan meja dan bangku dalam rumah
makan karena hari masih terlalu pagi sehingga belum ada tamu, men-dadak terdengar seruan
wanita, "Heh, malas benar kalian. Masa belum buka" Pagi ini aku lapar sekali! Hayo cepat
sediakan bubur dan sayur, bak-pauw dan juga air teh wangi. Cepatan sedikit!"
Thian Lee cepat menghampirl gadis yang memesan. dengan suaranya yang lantang itu dan
setelah mereka berha-dapan, Thian Lee bengong terlongong. Dia merasa tidak asing dengan
gadis itu, seperti pernah bertemu bahkan pernah mengenalnya, akan tetapi dla lupa lagi di
mana dan kapan. Juga gadis itu ketika memandang Thian Lee, ia terbelalak, kemudian ia maju
menghampiri. "Kau pelayan di sini?" tanyanya.
"Benar, Nona," jawab Souw Thian Lee sopan.
"Kalau begltu cepat sediakan pesananku. Air teh wangi hangat, bubur dan sayur, bak-pauw
yang panas. Cepat!" Siapa gadis itu, cara bicaranya, ben-tuk wajahnya yang bulat terlur, pakaian-nya yang
berkembang ramal dan cerah, semua itu begitu idak asing baginya.
"Baik, Nona. Harap tunggu sebentar agar bak-pauw dihangatkan dulu." setelah itu dia masuk
ke dapur untuk mempersiapkan pesanan tamu pertama yang demikian lincah, bahkan galak
itu. Gadis! Lincah. la ingat sekarang akan tetapl mungkinkah" la pernah bertemu dengan
murid Ang-tok Mo-li yang bernafna... Bu Lee Cin. Ya benar, tak salah lagi. Gadis itu tentu Bu
Lee Cin. Duiu baru berusia dua belas tahun dan sekarang teiah menjadi seorang gadis yang
cantik jelita dan dewasa. Akan tetapi ini baru dugaan, bisa saja dia keliru!
Ketika membawakan pesanan gadls itu, Thlan Lee memandang dengan penuh perhatlan
sambil meletakkan semua. pesanan ke atas meja. Dan anehnya, gadis itu pun memandang
padanya dengan penuh perhatian sehingga mau tidak mau, dua pasang mata mereka bertemu
dan bertaut sampai lama dan... keduanya hampir serentak berseru,
"Lee Cin....!" "Thlan Lee! Ya, kamu Thian Lee....!" Gadis itu kelihatan gembira bukan main dan demikian
pula Thian Lee. Dia gembira sekali bertemu dengan Lee Cin. Beberapa tahun yang lalu gadis
ini sudah ramah dan akrab dengannya, bahkan te-lah menolongnya ketika dia akan diserang
harimau dan kemudian membebaskannya dari tali ikatan yang menggantungnya. Bahkan guru
gadis ini melindunginya dan bertanding melawan suhunya yang ke dua, yaitu Jeng-ciang-kwi.
"Lee Cin, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sinL Dan engkau sudah begini
besar... .sudah dewasa... dan cantik jelita."
Lee Cin tertawa, tawanya lepas bebas tanpa dikendalikan lagi, "Hi-hi-hik, benarkah aku
cantik jelita, Thian Lee" Juga engkau telah menjadi seorang pemuda yang ganteng. Sayang
engkau hanya menjadi pelayan rumah makan!"
"Pelayan rumah makan juga pekerjaan yang halal, Lee Cin."
"Ya sudahlah, mari duduk dl sini, kau makan bersamaku sambil mengobrol."
"Ah, mana bisa. Aku hanya pelayan di sini'"
"Eh, siapa yang melarang" Siapa berani melarangmu duduk bersamaku di sini, makan
bersamaku sambll mengobrol". Akan kupukul hidungnya sampai berdarah kalau ada yang
beranl melarangmu. Heu, kau pelayan di sana, ke sinilah kamu!" Lee Cin memanggil seorang
pelayan lain yang segera lari mendatangi. "Katakan kepada majikanmu bahwa Thian Lee
liTiil kuajak makan bersamaku. Kalau majlkan-mu merasa dirugikan, nantl berapa keru-
giannya kubayar. Kalau dla melarang, akan kupukul hidungnya sampai berdarah. Cepat
katakan'" "Baik, baik, Noha," kata pelayan Itu yang segera larl untuk melapor kepada majikannya.
"Nah, duduklah, Thian Lee. Bagaimana engkau dapat bekerja di sini" Di mana gurumu" Siapa
namanya" Oh, ya, Jeng-ciang-kwi. Hebat juga kepandaiannya. Guruku sampai terluka parah.
Dan bagaimana dengan gurumu itu" Aku tahu bahwa dia pun keracunan kena gigitan Ang-
hwa-coa." "Ssttt, Lee Cin. Di sini jangan engkau bicara soal itu," kata Thian Lee berbisik. "Di sini tidak
ada yang tahu bahwa aku murid orang pandai, nant! saja di tempat lain kita bicara."
"Wah, engkau menyembunyikan diri, ya" Baiklah, sekarang mari kita makan. Aku senang
sekali bertenhu dan makan denganrnu di sini. Nanti setelah kita makan, kita berjalan-jalan
sambil mengo-brol. Jangan takut, aku yang akan memintakan kepada majikanmu agar engkau
diperbolehkan berjalan-jalan bersamaku. Hayolah, kita makan! Eh, pelayan, minta tambah
lagi buburnya, sayurnya dan bak-pauwnya!" Lee Cin berteriak-teriak dan pelayan segera
datang untuk memenuhi pesanannya. Terpaksa Thian Lee ikut makan agar gadis itu tidak
berteri.ak-terlak lagi. Dia memang belum sarapan. Diam-diam dia memperhatikan gadis itu.
Selain cantik, gadis ini agaknya masih bengal seperti dahulu, llncah jenaka dan pemberani.
Gadis sepertl inl sukar diduga akan berbuat apa, maka dia merasa le-bih baik kalau segera
diajak pergi dari rumah makan itu karena dapat saja membongkar rahasia dirinya!
Sehabis makan, Lee Cln bangkit berdiri. "Eh, pelayan, panggil majikanmu ke sinl!"
Pelayan pergi dan tak lama kemudian majikan rumah makan itu datang menghampiri sambil
tersenyum-senyumi. "Engkau pemilik rumah makan ini.' Tanya Lee Cin.
"Benar, Nona," jawab pemillk rumah makan.
"Kalau begitu, aku mintakan ijin untuk Thian Lee inl. Dia sahabatku yang sudah lama tidak
bertemu dan sekarang aku ingin mengajak ia berjalan-jalan. Blar kubayar engkau kalau
merasa rugi." PemUik rumah roakan itu merasa tidak enak. "Ah, tidak usah Nona. Kalau
memang Thian Lee ini sahabatmu dan ingin kauajak dia jalan-jalan, silakan dan tidak perlu
membayar kerugian akan tetapi sesudah berjalan-jalan, engkau cepat kembali ke sini, Thian
Lee." Lee Cin tersenyum dan setelah membayar harga makanan, dengan gaya yang bebas ia lalu


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggandeng tangan Thian Lee dan ditariknya, diajak pergi dari situ seperti dua orang kanak-
kanak saja. Pemilik rumah makan dan para pelayan memandang dengan heran dan kagurn.
Mereka mengatakan betapa beruntungnya Thian Lee mempunyai seorang sahabat seperti nona
itu' Setelah tiba di luar rumah makan, Thian Lee melepaskan pegangan tangan Lee Cin dan
mereka lalu berjalan menu-ju ke tempat sepi di pingglran kota.
"Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Thian Lee. Gurumu itu
terluka parah digigit Ang-hwa-coa, bukan" Heran, kalau dia tidak mati karena itu."
"Tidak, dia tidak mati. Kami berdua bertemu dengan seorang tabib yang pandai dan tabib Itu
telah mengobatinya sehingga dla sembuh."
"Ah, ada tabib yang dapat mengobati gigitan Ang-hoa-coa" Tabib seperti itu tidak banyak,
mungkin hanya Klm-sun Yok-sian saja yang mampu!"
"Memang dia yang mengobati guruku Jeng-ciang-kwi."
"Ahh, bagairriaha begitu kebetulan bertemu Yok-sian" Lalu bagaimana, Thian Lee?"
"Memang sudah berjodoh barangkali. Setelah disembuhkan Yok-sian, Jeng-ciang-kwi malah
akan membunuh Yok-sian."
"Wah, iblis keparat laknat!" teriak Lee Cin. "Biarpun guruku juga tidak akan berkedip mata
nriembunuh orang, akan tetapi tidak mungkin ia mau membunuh : orang yang telah menolong
nyawanya. Kalau aku bertemu dengannya kelak, aku harus bunuh 3eng-ciang-kwi itu! Lalu
bagaimana, Thian Lee?"
"Aku membela Yok-sian dan mengancam bahwa rohku dan roh Yok-sian akan terus
mengganggunya kalau dia membu-nuh kami. Agaknya dia ketakutan dan dia tidak jadi
membunuh kami, hanya melukai kami saja lalu pergi."
"Memang telur busuk Si J.eng-clang-kwi itu! Lalu"'
"Yok-sian berhasil menyembyhkan kami berdua dan dia lalu membawaku kepada suhengnya
di Hirnalaya dan aku menjadi murid suhengnya dalam ilmu silat, juga murid Yok-sian dalam
ilmu pengobatan." "Waduh, engkau hebat sekali, Thian Lee!"
"Dan bagaimana denganmu, Lee Cin" Bagaimana gurumu setelah terluka oleh pukulan Jeng-
ciang-kwi" Dan selama ini engkau berada di mana saja?"
"Aku" Ah, tidak ada yang menarik dengan pengalamanku," kata Cin Lan dunia ia
menyingkap lengan bajunya ke atas sehingga nampak kulit Jengannya yang putih mulus.
Akan tetapi Thlan Lee tidak memandang lengan yang mungil dan putih mulus itu, yang
dipandangnya adalah sebuah gelang yang dipakai gadis itu. Gelang kemala itu'. Presls gelang
yang dikalungkan di lehernya! Jadi gadis itu tunangannya" Lee Cin" Tiba-tita dia menangkap
lengan gadis itu sehingga Lee Cin menjadi terkejut bukan main.
"Eh, mengapa kau?" tanyanya.
"Lee Cin... gelang kemalamu ini. Suara Thian Lee tergetar dan wajahnya berubah sebentar
pucat sebentar merah. "Engkau.. apakah memiliki nama marga Bu?"
"Benar, mengapa?"
"Ahhh.... benar engkau rupanya! Lee Cin, tahukah engkau apa artinya gelang kemala ini
untukmu?" Lee Cin menggeleng kepalanya dan memandang dengan bengong. la lalu mengerutkan
alisnya. Apakah Thian Lee tiba-tiba menjadi gila pikirnya. Wajah pemuda itu demikian
tegang. "Thian Lee, engkau ini kenapakah" Dan lepaskan lenganku, engkau menyaklti lenganku!"
"Ah, maafkan aku, Lee Cin. Aku begitu terkejut melihat gelang kemala
yang kaupakai ini. Lee Cin, tentu ayahmu bernama Bu Cian, bukan?"
"Aku tidak tahu," Lee Cin menggeleng kepalanya. "Ayah ibuku sudah meninggal dunia sejak
aku kecil, dan aku tidak tahu siapa namanya. Subo yang memelihara aku sejak kecil."
"Tentu engkau orangnya. Tak salah lagi! Ya Tuhan, tak kusangka akan ber-temu juga
akhirnya!" "Eh, eh, nanti dulu Thian Lee, jelas-kan dulu apa artinya sikapmu yang aneh ini."
Thian Lee merogoh ke balik bajuhya dan mengeluarkan gelang kemala yang dia beri tali dan
dikalungkan di iehernya. "Kaulihat ini!"
Lee Cin memegang kemala itu dan mengamatinya. "Ehh" Serupa benar de-ngan gelangku!
Seperti kembar saja!"
"Memang kembar. Memang gelang ini hanya ada sepasang. Di seluruh dunia, tidak ada lagi
gelang kemala yang serupa benar dengan ini!" seru Thian Lee girang, Entah mengapa.
Hatinya terasa girang bukan main setelah bertemu calon jodohnya dalam diri Lee Cin, gadis
yang baik dan yang dikagumi! Biarpun tadinya dia condong untuk tidak setuju dengan per-
jodohan yang ditentukan mendiang ayah-nya sejak dia kecil itu, setelah kini men-dapat
kenyataan bahwa jodohnya itu ada-lah Lee Cin, sama sekali tidak ada pe-rasaan tidak setuju
itu malah dia merasa girang sekali.
"Apa artinya inl, Thian Lee" Mengapa engkau memakai gelang yang persis gelangku" Apa
artinya semua ini?" "Mari kita duduk di sana dan akan kujelaskan semua kepadamu, Lee Cin. Mari, di sana ada
batu-batu untuk duduk dan di sana sunyi." Mereka lalu pergi ke batu-batu besar itu dan
timbullah kekha? watiran di hati Thian Lee. Bagaimana. kalau Lee Cin menolak perjodohan
itu" Setelah mereka duduk di atas batu. Lee Cin bertanya, "Nah, apakah yang hendak kaujelaskan
kepadaku" Aku ingin sekali tahu, Thian Lee."
"Ketahuilah, sepasang gelang itti da-hulunya milik ibu kandungku, ketika aku berusia satu
tahun, mendiang ayah kandungku menyerahkan sebuah dari sepa-sang gelang ini kepada
seorang sahabat baiknya yang mempunyai seorang anak perempuan yang baru berusia
beberapa bulan. Ayahku bernama Song Tek Kwi dan sahabatnya itu bernama Bu Cian.
GeJang ini diberikan ayahku sebagai ikat-an jodoh antara aku dan anak perempuan dari
Paman Bu Cian itu. Kemudian ter-jadi sesuatu yang hebat. Baik Paman Bu Cian maupun
ayahku telah dianggap pemberontak karena melawan seorang pangeran dan mereka dikeroyok
pasukan sehingga tewas. Sebelum ibuku meninggal dunia, ibuku memberikan gelang ini ke-
padaku dan mengatakan bahwa aku telah ditunangkan sejak kecil dengan seorang anak
perempuan yang juga memiliki ge-lang seperti milikku ini. Nah, demikianlah ceritanya, Lee
Cin. Tiba-tiba wajah Lee Cin berubah menjadi merah sekali. "Jadi... jadi... aku ini tunanganmu...."
"Begitulah kalau menurut keputusan kedua orang tua kita yang sudah meninggal dunia," kata
Thian Lee Pada saat ity . datang seorang laki-laki berlarl-lari. "Ah, Thlan Lee. Susah payah aku
mencarimu. Rumah makan itu hanya mengatakan bahwa engkau keluar jalan-jalan. Kiranya
berada di sini!" Thian Lee memandang dan dia me-ngenal orang itu. Seorang piauwsu dari Kim-liong-pang
bernama Ouw Kiu. "Paman Ouw, ada apakah engkau mencariku"'
"Aku disuruh oleh supekmu, yaitu Souw-pangcu yang minta agar engkau suka datang ke sana.
Supekmu terancam bahaya besar, Thian Lee. Kim-liong-pang mengalami malapetaka dan
sebagian besar anak buahnya sudah terluka. Bahkan supekmu juga terluka. Dia minta agar
engkau suka datang berkunjung, sekarang juga."
Thian Lee merasa terkejut sekali. "Baik, aku akan ke sana!" katanya.
"Kalau supekmu mendapat malapetaka, aku pun akan ikut mernbantu, Thian Lee!" kata Lee
Cin. "Baik, Paman Ouv/, engkau berangkatlah lebih dulu. Aku menyusul beiakangan."
"Akan tetapi harap cepat-cepat, Thian Lee. Kami khawatir terlambat," kata Ouw Kiu yang
lalu berpamit. Setelah orang itu pergi, Thian Lee menceritakan dengan singkat hubungannya
dengan keluarga Souw. "Kalau begitu, kita harus cepat be-rangkat ke Pao-ting, Thian Lee. 3angan khawatir, kalau
pamanmu itu banyak musuhnya yang lihai, aku akan memban-tunya mengusir musuh-musuh
itu!" "Tentang gelang...." kata Thian Lee.
"Untuk sementara kita tunda dulu urusan gelang kemala. Berita tentang itu terlalu tiba-tiba
datangnya, aku masih bingung dibuatnya. Mari kita berangkat. Ah, biar aku mencari dua ekor
kuda lebih dulu agar kita dapat melakukan perjalanan lebih cepat. Mari!" Lee Cin lalu
menggandeng tangan Thian Lee dan diajak pergi ke tempat penjualan kuda. Thian Lee rnerasa
jantungnya berdebar. Lee Cin ini seperti kanak-kanak saja. Sembarangan saja menggandeng
tangannya. Kalau tadi masih belum apa-apa, akan tetapi sekarang, setelah tahu bahwa Lee Cin
tunangannya, calon isterlnya, digandeng seperti itu hatinya menjadi berdetak-detak, berdebar-
debar keras sekali sehingga dia khawatir detak jan-tungnya akan terdengar oieh Lee Cin.
Dengan royal sekali Lee Cin membeli dua ekor kuda yang baik dan tak lama kemudian
mereka berangkat. Lee Cin terpaksa menuruti permintaan Thian Lee untuk singgah di rumah
makan lebih dulu? selain mlnta ijin kepada majikannya untuk libur beberapa hari, juga untuk
mengambil buntalan pakaian di mana tersembunyi pedangnya. Kemudian mereka berdua
membalapkan kuda, meninggalkan kota raja menuju ke kota Pao-ting.
Apa yang terjadi pada Kim-liong-pang di Pao-ting" Ternyata masih ada hubungannya dengan
kedatangan Coat-beng-kwi dan Thian-lo-kwi yang pernah dikalahkan oleh Thian Lee dahulu.
Kedua orang ini agaknya maklum bahwa kekalahan mere-ka tidaklah wajar, apalagl
kekalahan Thian-lok-kwi yang perutnya disepak kuda yang mengamuk. Setelah luka-luka
mere-ka sembuh kembali, mereka lalu mencari bantuan toa-suheng (kakak seperguruan tertua)
mereka yang berjuluk Bu-tek Lo-kwi (Setan Tua Tanpa Tanding) yang ber-tapa di Guha
Siluman Bukit Setan Hitam. Bu-tek Lo-kwi inl dahulunya juga meru-pakan perampok, akan
tetapi kini telah mengundurkan dlri dan ilmu silatnya tinggi sekali. Setelah mendapat bantuan
toa-suheng ini, Coat-beng-kwi mengajak tiga puluh orang anak buahnya, menyerbu Kim-
liong-pang dan menantang Souw-pangcu!
Terjadi pertempuran hebat dan banyak anak buah Kim-liong-pang yang terluka parah. Bahkan
Souw-pangcu sendiri terlu-ka oleh senjata rahasla yang dilepas oleh Bu-tek Lo-kwi. Akan
tetapi Coat-beng-kwi menarik kembali anak buahnya me-ninggalkan Kim-liong-pang lalu
pada keesokan hatinya dia mengirim surat untuk melamar Souw Hwe Li dan Llu Ceng! Kalau
kedua orang itu tidak diberikan kepadanya, dia akan membawa anak buahnya menyerbu lagi
dan akan membu-nuh semua orang di Kim-liong-pang dan membawa dua orang gadis itu
dengan paksa! Dia memberi waktu tiga hari agar kedua orang gadis itu diserahkan dengan
sukarela. Menerima surat ini, tentu saja Souw-pangcu menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia pun
merasa khawatir karena mengetahui kekuatan pihak musul . Lalu dia teringat kepada Thian
Lee. Murid keponakan itu adalah seorang yana; keli-: hatannya saja tolol akan tetapi dii men-;
duga bahwa muridnya itu adalah seorang ; pandai. Maka, dia lalu mengutus Ouw ! Kiu untuk
mencarinya di rumah makan di kota raja di mana dia bekerja. Dia sudah mendengar dari anak
buahnya yang per-nah melihat Thian Lee bekerja di rumah makan itu.
Demikianlah keadaan Kim-liong-pang yang sedang prihatin menderita ancaman daripara
perampok itu. Dengan menunggang dua ekor kuda yang baik, pada hari ke dua Thian Lee dan
Lee Cin memasuki kota Pao-tlng dan langsung saja pergi ke Kim-liong-pang. Kedatangan
mereka disambut gembira oleh Souw Can, akan tetapi Souw Hwe Li dan Lai Siong Ek
menyambut dengan alis berkerut. Dalam keadaan gawat itu, ayahnya memanggil Thian Lee.
Mau bisa apakah pemuda tolol itu, pikir Hwe Li. Akan tetapi tidak demikian dengan Liu
Ceng. Gadis ini girang dan merasa lega sekali karena ia merasa yakin bahwa Thian Lee akan
mampu menolongnya dari cengkeraman kepala perampok.
Souw Can lalu menjamu kedua orang muda itu dan semua orang duduk di ruangan tengah,
selain untuk menjamu tamu juga untuk membicarakan urusan nnereka.
Thian Lee bertanya kepada Souw-pangcu, "Supek, aku mendengar bahwa Supek terkena
senjata rahasia, bolehkah aku memeriksamu sebentar, barangkali Supek keracunan" Sedikit-
sedikit aku pernah mempelajari ilmu pengobatan."
"Sedikit-sedikit" Aha, murid Kim-sim Yok-sian bagaimana mengaku hanya belajar sedikit-
sedikit" Ilmu pengobatanmu tentu tinggi" dan hebar sekali, Thian Lee. Tak usah merendahkan
diri secara keterlaluan"' tegur Lee Cin sambil tersenyum.
Mendengar ini, bahkan Souw Can sendiri terkejut setengah mati. "Engkau pernah beiajar ilmu
pengobatan dari Kim-.sim Yok-sian, Thian Lee?"
"Ah, hanya sedikit-sedi...."
"Sedikit-sedikit lagi Souw-pangcu cepat suruh memeriksa siapa tahu lukamu berbahaya," kata
Lee Cin. Souw Can lalu menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan luka pada pangkal lengan
kirinya. Luka itu membiru dan memang ternyata senjata rahasia jarum itu mengandung racun
yang cukup berbahaya. Thian Lee lalu membuat ramuan obat dan setelah obat itu
diminumkan, racun itu pun lenyap seketika.
"Sebetulnya, apa yang telah terjadi, Supek" Paman SoOuw tidak menceritakan secara jelas,"
tanya Thian Lee kepada ketua itu.
Souw-pangcu menghela napas panjang. "Ini semua gara-gara Coat-beng-kwi itu...."
"Semua ini gara-gara engkau, Lee-twako!" tiba-tiba Souw Hwe Li berseru dengan alis
berkerut dan mata memandang kepada Thian Lee dengan marah. "Kalau engkau dahulu tidak
menghina mereka, tentu mereka kini tidak datang rnembikin susah kami!
"Hwe Li! jangan bicara lancang begitu!" bentak ayahnya. "Beginilah ceritanya, Thian Lee.
Dua hari yang lalu, Coat-beng-kwi dan Thian-lo-kwi itu, bersama seorang lain yang gendut
dan lihai bukan main, membawa tiga puluh orang anak buah dan menyerbu Kim-liong-pang.
'Kami semua tentu saja mengadakan perlawanan akan tetapi mereka itu kuat sekali sehingga
pihak kami menderita banyak yang terluka. Akan tetapi Coat-beng-kwi segera mundur dan
mengirim surat kepadaku. Dia minta... agar kami menyerahkan adik-adikmu Hwe Li dan
Ceng Ceng kepadanya. Kalau hal im tidak kami lakukan, mereka akan menyerbu lagi,
membunuhi semua orang dan merampas kedua orang adikmu dengan kekerasan. Mereka
memberi waktu tiga harl, jadi berarti besok adalah hari terakhir." Suara ketua itu terdengar
khawa-tir sekali. "Karena mengingat bahwa engkau pernah menolong kami dari kesu-litan,
siapa tahu sekarang pun engkau dapat menolong kami."
"Hi-hi-hik, urusan sekecil ini saja mengapa harus dibingungkan! Kalau mereka besok benar-
benar berani muncul, aku akan membasmi mereka satu demi satu!" kata Lee Cin
menyombongkan, diri. Baru sekarang Souw-pangcu mernperhatikan gadis yang datang bersama keponakan itu.
"Thian Lee, siapakah Nona yang terhormat ini?"
"Supek, Nona ini bernarna Bu Lee Cin," kata Thian Lee dengan suara agak bangga karena dia
merasa seperti memperkenalkan calon isterinya! ,"la adalah murid dari Ang-tok Mo-li."
Sepasang mata Souw Can terbelalak, demikian pula dengan yang lain-lain terkeJut mendengar
nama ini. Nama Ang-Mo-li memang sudah mereka kenal sebagai nama seorang datuk wanita
yane amat lihai, Hwe Li segera berseru, "Sekarang mengerti aku mengapa Lee-twako begitu berani dan tabah,
kiranya datang bersama murid Ang-tok Mo-li yang lihai'"
Souw Can mengerutkan alisnya dan melirik kepada puterinya yang dianggapnya lancang dan
terlalu memandang remeh kepada Thian Lee. Kemudian dia berkata kepada Lee Cin, "Harap
Nona maafkan bahwa penyambutan kami kurang hormat karena kami tidak tahu bahwa Nona
adalah murid Locianowe Ang tok Mo-li. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa pihak lawan
amat berba-haya. Bukan saja tiga orang pimpinan itu Hhai, akan tetapi mereka juga membawa
kurang lebih tiga puluh orang anak buah yang rata-rata tangguh."
"Souw-pangcu, urusan sekecil ini mengapa harus dlpikirkan sampai pusing"
Tiga orang pimpinan itu hanyalah anjing-anjlng srigala yang hanya pandai menggonggong.
Dengan adanya Thian Lee di sini, mereka itu dapat berbuat apakah"
Adapun tlga puluh orang anak buahnya, mudah saja menghadapi mereka. Biarkan anak
buahmu membuat barisan pendam dan siap dengan busur dan anak panah.
Kalau mereka berani menyerbu, hujani mereka dengan anak panah, tentu mereka akan
mampus semua. Dan para pimpinan mereka itu serahkan saja kepada aku dan Thian Lee. Nah,
mudah, bukan?" "Ayah, aku pun berani melawan mati-matian kepada mereka!" kata Hwe Li dengan lantang.
"Teecu juga akan melawan mereka dan teecu sudah memberitahu kepada Ayah agar mengirim
pasukan untuk me-nangkap mereka semua!" kata Lai Siong Ek.
"Paman, meskipun akti tidak memiliki kepandaian tinggi, aku pun tidak takut rnelawan
mereka. Dartpada ditawan mereka, lebih baik melawan sampai mati!" kata pula Ceng Ceng.
"Wah-wah, semua orang di sini gagah-gagah!" kata Lee Cin mengejek. "Akan tetapi kalau
pasukan pemerintah dikerahkan, aku tidak mau turut campur. Thian Lee, sebaiknya kita pergi
saja dari sini karena sudah ada pasukan pemerintah yang turun tangan!"
Souw-pangcu berkata kepada murid-nya, "Siong Ek, tidak perlu menggunakan pasukan.
Urusan orang-orang kang-ouw tidak baik kalau dicampuri pasukan pemerintah, kalau begitu,
kita hanya akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw saja."
"Baiklah, Suhu. Kalau begitu saya hanya akan memesan agar mereka itu melindungi Li-sumoi
dan Ceng-sumoi kalau keadaan mendesak," kata Lai Siong Ek.
"Thian Lee, bagaimana pendapatmu?" tanya Souw Can yang melihat pernuda itu sejak tadi
hanya menundukkan kepalanya saja.
"Supek, aku setuju dengan pendapat Lee Cin. Kita siapkan barisan pendam untuk melawan
anak buah mereka. Adapun tiga orang pimpinan itu kita ladapi secara jantan. Kita dapat
mengandalkan kepandaian Lee Cin untuk membantu kita menghadapi mereka."
"Dan engkau sendiri?"
"Aku akan melihat dulu. Kalau kiranya aku dapat membantu, pasti aku akan bantu dengan
taruhan nyawa, Supek."
"Bagus, dan Nona Bu, sebelumnya kami menghaturkan banyak terima kasih atas bantuanmu
yang amat berharga."
"Hi-hik, berkelahi memang hobbyku, mana ada bantuan-bantuan segala" Asal sediakan
anggur yang jangan terlalu keras dan manis, aku sudah senang. Eh, kedua Enci yang ingin
dirampas perampok, kalian memang gagah dan manis, mari temani aku minum anggur,
maukah?" Melihat sikap Lee Cin yang begitu polos dan jujur, Ceng Ceng segera tertarik sekali. Juga
Hwe Li terpaksa menemaninya karena bagaimanapun juga, nama besar Ang-tok Mo-li
membuatnya merasa segan. Dua orang gadis ini lalu pindah duduk dekat Lee Cin dan segera
mereka bertiga bercakap-cakap rfengan akrab. Lee Cin memang seorang gadis yang terbuka
dan jujur maka pandai sekali bergaul dengan siapa saja.
Souw Can lalu mengajak Thian Lee untuk bicara berdua di dalam kamar sebelah dalam.
Setelah4 berada berdua saja, Souw-pangcu lalu berkata kepada pemuda itu. "Thian Lee,
antara mendiang ayahmu dan aku terdapat hubungan yang erat sekali, dan kami berdua dahulu
sudah seperti saudara sendiri. Oleh karena itu, kuharap engkau pun memandang aku sebagai
pamanmu dan tidak menyimpan rahasia apa-apa lagi. Thian Lee, sebetulnya engkau adalah


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid seorang pandai yang menyembunyikan kepandaianmu, benarkah?"
Thian Lee merasa tidak tega untuk membohong supeknya yang amat baik kepadanya ini.
"Bagaimana Supek dapat menduga demikian?" balasnya bertanya.
Souw-pangcu tertawa lirih, "Ha-ha, supekmu ini biarpun bodoh akan tetapi bukanlah anak
kecil seperti Hwe Li atau Siong Ek. Aku sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, sudah
pula berpengalaman dalam perkelahian. Karena itu, tidak mungkin kalau semua gerakanmu
tempo hari karena kebetulan saja. Mengakulah, Thian Lee. Mengakui kepandaianmu sendiri
bukan berarti menyombong-kan diri. Sebetulnya, selain ketika kecil dididik ilmu silat oleh
mendiang ibumu, siapa lagi yang pernah mendidikmu dalam ilmu silat?"
"Sebetulnya, saya pernah dilatih ilmu silat oleh banyak orang, Supek. Sungguh memalukan
bahwa sampai sekarang saya masih begini-begini saja."
"Hemm, dugaanku tepat. Coba katakan, siapakah guru-gurumu itu?"
"Setelah dulu diajar oleh ibuku, yaitu ilmu silat Kun-lun-pai, ketika berusia sepuluh tahun,
saya lalu diangkat murid oleh guru yang pertama, yaitu Liok-tg Lo-mo."
Souw Can membelalakkan matahya. Liok-te Lo-mo adalah seorang datuk persilatan yang
pandai, walaupun merupakan datuk sesat. "Liok-te Lo-mo?" katanya kagum.
"Akan tetapi tidak lama saya menjadi rnurid Liok-te Lo-mo, hanya dua tahun saja, kemudian
saya direbut dari tangan Liok-te Lo-mo oleh guru saya yang ke dua, yaitu Jeng-ciang-kwi."
"Jeng-ciang-kwi....?"" Souw Can berteriak karena nama ini adalah nama seorang datuk besar
yang amat lihai. "Wah, hebat sekali!'
"Akan tetapi sayapun tidak lama beiajar pada Jeng-ciang-kwi. Karena mencuri baca kitabnya,
saya hampir saja dibunuhnya, akan tetapi ditolong oleh Ang-tok Mo-li, maka saya mengenal
baik Lee Cin muridnya. Karena terluka, saya lalu ditolong oleh Kim-sim Yok-sian dan
kemudian menjadi muridnya dalam ilmu pengobatan. Dan saya diajak oleh Kim-sim Yok-sian
pergi ke Himalaya di mana saya belajar ilmu silat dari seorang suhengnya yang pertapa dan
bernama Tan Jeng Kun. Nah, demikianlah, Supek. Ketika saya darang menghadap Supek
minta pekerjaan, saya tidak berani memamerkan kepandaian saya maka berpura-pura tidak
bisa silat." Souw Can tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, sungguh mataku seperti buta! Memiiiki murid
keponakan yang amat lihai akan tetapi tidak mengetahuinya! Akan tetapi aku sudah mulai
bercuriga ketika engkau mengalahkan Coat-beng-kwi, oleh karena itulah maka aku menyuruh
Ouw Kiu memanggilmu. Aku sudah sediklt rrienduga bahwa engkau tentu rnenyem-bunyikan
kepandaian. Dan sekarai g dugaanku benar. Ah, aku menjadi, lega sekali, Thlan Lee."
"Akan tetapi saya harap agar Supek tidak menceritakan kepada ora 'g laln. Saya tidak ingin
dianggap sombong dan pamer kepandaian."
Orang tua itu menghela napas pan-jang. "Salahku itu. Aku tidak dapat mendidik anak, aku
terlalu memanjakan Hwe Li sehingga ia suka memandanf rendah orang lain. Kau maafkanlah
Hwe Li dan Siong Ek, Thian Lee. Aku tahu bahwa mereka itu memandang rendah
kepadamu." "Tidak mengapa, Supek. Saya kira haoya karena Li-moi masih terlalu muda saja. Saya tidak
merasa menyesal, bah-kan Li-moi telah melatih Ilmu Tongkat Memukul Anjing kepadaku.
Biarpun ia melatih dengan keras, akan, tetapi juga dengan sungguh-sungguh.",
"Ha-ha, betapa lucu dan memalukah. Melatih ilmu tongkat kepadamu! Padahal, aku pun
sudah tidak pantas untuk melatih ilmu silat kepadamu. Aihh, kalau saja...."
Mendengar orang tua itu tidak melanjutkan kata-katanya, Thian Lee meman-dang wajahnya
dan bertanya. "Ada,, apa-kah, Supek?"
"Ah, tidak apa-apa. Kalau saja ayah-mu masih hidup, alangkah akan senang hatinya. Mari kita
keluar lagi menemani, mereka. Kulihat temanmu Lee Cin itu seorang gadis yang terbuka dan
jujur, dan mudah akrab dengan siapa pun. Engkau memang akrab sekaii dengannya."
"Sebetulnya, sejak ia berusia dua belas tahun sampai sekarang, baru saja saya bertemu
kembali dengannya, Supek. Selagi kami bicara, lalu datang Paman Quw Kiu dan mendengar
di sini terancam bahaya, Lee Cin lalu menyatakan untuk ikut dan saya tidak dapat
menolaknya," jawab Thian Lee sejujurnya
"Aku girang kalau engkau tidak akrab dengannya, Thian Lee. Betapapun juga, ia murid Ang-
tok Mo-li dan engkau tahu sendiri orang inacam apa datuk wanita itu."
"Tapi, ia baik sekali, Supek," kata Thian Lee, diam-diam merasa tidak se-nang supeknya
memandang rendah orang lain.
"Sukurlah kalau ia baik tidak seperti gurunya," kata pula Ketua Klm-liong-pang. "Mari kita
keluar," Mereka melanjutkan percakapan sam-pai jauh malam dan pada keesokan ha-rinya, Kim-liong-
pangcu sudah mengatur siasat seperti direncanakan Lee Cin, yaitu mengatur barisan pendam
dengan sejumlah anggauta Kim-liong-pang ber-sembunyi dan siap dengan busur dan anak
panah, berjaga-jaga di balik pintu ger-bang Kim-liong-pang.
Tak lama kernudian, musuh yang dl-tunggu-tunggu muncul. Kurang lebih tiga puluh orang
datang dipimpin oleh tiga orang yang nampak menyeramkan. ( oat-beng-kwi si raksasa muka
bopeng, Thian-lo-kwi yang tinggi kurus, dan seorang yang pendek gendut bermuka seperti
kanak-kanak. Dia inilah yang berjuluk Bu-tek Lo-kwi (Iblis Tanpa Tanding), twa-suheng dari
kedua orang kepala am-pok itu. Dipunggung kakek pendek gendut itu terdapat sebatang
pedang panjang. Melihat musuh sudah datang, maka Souw-pangcu segera keluar menyanbut. Dia dltemanl
Ciang Hoat dan Gan Bun Tek dua orang piauwsu andalannya, ke-mudian Hwe Li dan Siong
Ek juga mendampinginya, barulah di belakang mereka berjalan Lee Cin dan Thian Lee. Liu
Ceng berjalan paling belakang, di belakang Thian Lee dan seperti yang lain, gadis ini pun
sudah siap denean pedangnya di pinggang.
"Lee-ko, Si Gendut itulah yang amat lihai," bisik Ceng Ceng kepada Thian Lee. Mendengar
bisikan ini, Lee Cin tertawa kecil.
"Si Pendek Gendut seperti babi itu" Hi-hik, blar nanti aku yang membuntungi ekornya!" kata
Lee Cin dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh semua orang.
Coat-beng-kwi mengerutkan alisnya ketika dia melihat Thian Lee. Hatinya sudah menjadi
panas sekali dan dia ingin sekali menuntut balas atas kekalahannya yang dahulu dan yang
amat memalukan-nya itu. Akan tetapi, dia lebih dulu berteriak kepada Souw Can, "Souw-
pangcu, bagaimana jawabanmu atas lamaran kami tiga hari yang lalu" Apakah engkau sudah
siap untuk menyerahkan kedua orahg Nona itu kepada kami?"
"Coat-beng-kwi, tanpa kaujawab sekalipun tentu kalian semua sudah dapat menduga bahwa
tldak mungkin kami menyerahkan puteri dan keponakan kami kepada kepala-kepala
perampok seperti kalian!"
"Kalau begitu, kami akan menghan-curkan K.im-liong-pang!"
"Waduh, gagahnya Si Raksasa Muka Bopeng ini!" Tiba-tiba Lee Cin maju dan menudingkan
telunjuknya kepada Coat beng-kwi. "Engkau mengandalkan banyak orang untuk melakukan
penyerangan. Apakah engkau tidak berani bertanding satu lawan satu?"
Melihat Lee Cin yang cantik jelita dan juga lincah itu. Coat-beng-kwi memandang kagum.
"Siapakah engkau, Nona" Dan apa urusanmu mencampun persoalan ini?"
"Siapa aku tidak perlu kau tahu. Aku hanya bertanya apakah engkau dan dua orang kawanmu
ini memiliki nyali untuk bertanding satu lawan satu" Kalau pihak kami kalah, sudahlah,
engkau boleh ber-tindak apa pun terhadap kami. Akan tetapi kalau kalian yang kalah, kalian
harus cepat menggelinding pergi dari sini!"
"Siapa yang takut bertanding satu lawan satu" Baiklah, aku akan maju lebih dulu! Siapa yang
akan menandingi aku" Bocah tolol itu?" Dia menudingkan telun-)uknya kepada Thian Lee,
akan tetapi sesuai dengan rencana yang sudah mereka atur sebelumnya, Souw-pangcu yang
melangkah maju dan menghadapi Coat-beng-kwi.
"Coat-beng-kwi, akulah yang akan menandingimu!" katanya.
Coat-beng-kwi terkejut, akan tetapi juga girang. Dia tahu bahwa di anlara semua yang berdiri
di pihak musuh, Souw-pangcu adalah yang paling lihai.
"Souw-pangcu, kalau engkau nrtaju lebih dulu, lalu siapa nanti yang akan menandingi kedua
orang suhengku?" Kembali Lee Cin yang menjawab, "Heh, muka bopeng. Kalau engkau tidak berani melawan
Souw-pangcu, bilang saja, tidak berani, mengapa mesti pakai pem-bicaraan yang berputar-
putar" Tentang siapa yang akan menandingi Si Kurus dan babi gendut ini, jangan khawatir,
kami masih mempunyai banyak sekah jagoan
Tentu saja pihak musuh merasa marah sekali dan mendongkol sekali mendengar ucapan gadis
yang pandai berdebat itu, sedangkan di pihak Kim-liong-pang ada yang tertawa, akan tetapi
juga ada yang khawatir karena mereka tahu bahwa pihak musuh sudah marah sekali.
"Baik, kalau begitu aku akan menandingi Souw-pangcu!" kata Coat-beng-kwi sambU
mencabut goloknya yang besar dan berat. Golok bergagang panjang itu memang merupakan
senjatanya yang istimewa, sambil nnemalangkan goloknya di depan tubuh, Coat-beng-kwi
siap menyerang Souw Can. Ketua Kim-liong-pang ini pun sudah siap. Malam tadi sudah jiatur
siasat bahwa dia yang akan melayani Coat-beng-kwi karena dia sudah tahu sampai di mana
tingkat kepandajannya dan dia merasa sanggup menandinginya. Adapun dua orang suheng
dari Coat-beng-kwi diserahkannya kepada Thian Lee dan Lee Cin.
"Engkau yang datahg menantang kami, aku sudah siap, Coat-beng-kwi majulah!" tantang
Souw-pangcu sambU melintangkan pedangnya.
"Haiiiittt....!" Coat-beng-kwi memibentak dan goloknya sudah menyambar dengan
dahsyatnya. "Tranggg....!" Bunga apl berpijar ketika pedang di tangan Souw-pangcu menangkis golok,
bergagang panjang itu. Begitu terpental, golok itu membalik dan 'kini gagangnya menusuk ke
arah dada Souw-pangcu. Akan tetapi Ketua Kim-liong-pang ini sudah mengelak ke samping
dan pedangnya menyambar dengan tusukan ke arah lambung lawan. Coat-beng-kwi memutar
goloknya menangkis dan segera kedua orang itu sudah saling serang dengan hebatnya. Souw
Can memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang indah dan cepat dan pedangnya menjadi
gulungan sinar yang bergulat dengan sinar golok. Mereka saling serang dan mencoba untuk
saling mendesak. Akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, segera nampak bahwa Souw-
pangcu masih menang tangguh dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi sehingga Coat-beng-
kui mulai terdesak mundur. Sinar pedang menjadi semakin lebar sedangkan sinar golok kini
terhimpit dan terdesak. Jilid 13________ "Sing" Pedang meluncur dengan cepat sekali dan biarpun Coat-beng-kwi sudah memutar
golok menangkis, tetap saja pedang itu menyerempet pundaknya, merobek baju dan kulit
sehingga pundaknya berdarah. Dia terhuyung ke belakang, akan tetapi Souw-pangcu tidak
melahjutkan seranganrtya dan bahkan menarik pedangnya ialu melangkah mundur. Sudah
jelas bahwa dia keluar sebagai pemenang dalam pertandingan itu.
Melihat ini, Thian-lo-kwi marah dan dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Souw-
pangcu sambil berteriak, "Souw-pangcu, akulah lawanmu."
"Tranggg....!" Souw-pangcu menangkis tusukan pedang itu dan melangkah ke belakangt
tangannya tergetar hebat ketika menangkisseranyan itu dan pada saat itu Lee Cin sudah maju
menghadang. "Tikus kurus kau curang! Temanmu sndah kalah dan kalau engkau rnaju haruslah menantang
dahulu. Souw-pangcu sudah memperoleh kernenangan, dia boleh beristirahat. Kalau engkau
hendak mencari lawan, akulah lawanmu!"
Thian-lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada gadis cantik yang mulutnya dapat
mengeluarkan kata-kata tajam itu dengan penuh perhatian. Dia adalah seorang jagoan yang
terkenal di .dunia persilatan. Usianya sudah setengah abad, tentu saja dia merasa direndahkan
sekali kalau harus melawan seorang gadis yang masih begini muda. Gadis yang pantas
menjadi cucunya. Melawan gadis sernuda ini, kalau menang tidak akan terpuji sebaliknya
kalan kalah dapat menghancurkan namanya!
"Bocah lancang mulut, siapakah engkau" Anak kecil macam engkau tidak perlu mencampuri
urusan ini'" "Cacing kurus, nonamu ini bernama Bu Lee Cin dan tidak perlu banyak cakap lagi. Akulah
yang menandingimu tentu saja kalau engkau berani. Katau engkau tidak berani, cepat
rnerangkak pergi dari sini!"
Thian-lo-kwi marah sekali, akan tetapi dia rnasih memandang kepada Souw-pungcu-lalu
berkala, "Souw-pangcu, majulah mengapa engkau berlindung kepada seorang anak kccil"
Tidak bisa aku melawan seorang bocah lancang macam ini!"
"Thian-lo-kwi, Nona Bu ini memang jagoan kami. Hayo cepat lawan ia kalau memang
engkau memiliki kemampuan!"
Thian - lo - kwi merasa tersudut dan tidak dapat mengelak atau mundur lagi. Dia lalu
memandang gadis itu dengan mata mencorong. Aku harus dapat merobohkannya, kalau tidak,
namaku menjadi taruhan, pikirnya.
"Baik, kalau begltu cepat keluarkan senjatamu, anak lancang." bentaknya. Wajahnya nampak
bengis sekali. Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng menandang dengan jantung berdebar tegang.
Mereka bertiga sudah tahu betapa lihainya Si Tinggi Kurus ini. Bahkan Souw-pangcu sendiri
pernah terdesak olehnya, dan baru Souw-pangcu terlepas dari bahaya ketika kuda yang
ditunggangi oleh Thian Lee itu mengamuk dan menyepak perutnya. Tiga orang muda ini tentu
saja meraSa sangsi apakah Lee Cin akan mampu menandingi kakek tinggi kurus itu.
Namun Lee Cin menghadapinya dengan senyumnya yang nakal. "Aku mengeluarkan senjata
kapan saja kusuka, tidak perlu menuruti perintahmu. Engkau sudah memegang pedang,
mengapa tidak segera kaupergunakan untuk menyerangku" Kau takut ya?"
Diserang dengan kata-kata itu, wajah Thian-lo-kwi menjadi pucat lalu merah sekali saking
marahnya. Dia maklurri bahwa bertanding kata-kata melawan gadis ini dia tidak akan
menang, maka dia tidak peduli lagi bahwa lawannya yang masih amat muda itu masih
bertangan kosong. Diangkatnya pedangnya ke atas kepala, diputarnya seperti gasing sehingga
mengeluarkan suara berdesing, kemudian mulutnya membentak, "Bocah, lancang, terimalah
kematianmu'" Dan pedang itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah leher Lee Cin.
"Singggg....!" Leher yang panjang dari rndah itu tentu akan terpenggal kalau saja pedang itu
mengenainya. Akan tetapi dengan gerakan yang manis namun lucu Lee Cin menundukkan
kepala dan merendahkan tubuhnya sehingga sinar pedang itu menyambar beberapa
sentimeter. di atas kepalanya dan tiba-tiba saja tangan kiri Lee Cin sudah menyambar ke
depan, menonjok ke arah perut lawan! Gerakannya ini cepat dan tiba-tiba sekali sehingga
Thian-lo-kwi terkejut sekali, namun tangan kirinya masih sempat menghadang dan menangkis
tonjokan itu, "Dukk....!" Dan tubuh kakek itu terhuyung ke belakang. Tadi ketika menyerang, saking
marahnya dia telah menggunakan tenaga penuh sehingga ketika serangannya luput, tubuhnya
agak condong dan ketika tangan rnereka bertemu, posisinya kalah baik sehingga dia ter-
dorong dan terhuyung. Apalagi karena gunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali! Dalam
segebrakan saja gadis itu telah membuat lawan terhuyung. Hal ini sama sekali tidak disangka-
sangka oleh semua pihak bahkan Souw-pangcu sendiri sampai tersenyum dan mengangguk-
angguk saking kagumnya. Gadis itu dengan tangan kosbng mampu membuat lawan terhuyung
dalam satu gebrakan. Apalagi Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng, tidak dapat menahan
kegembiraan hati rnereka dan merekapun bertepuk tangan.
Mendengar tepuk tangan ini, Lee Cin memutar tubuh kepada mereka dan membungkuk
sebagai tanda teriina kasih atas pujian itu, gayanya seperti seorang pemain panggung yang
mendapat pujian penonton.
"Awas....!" Hwe Ll berseru kaget, juga sernua orang terkejut karena selagi Lee Cin memutar
tubuh membungkuk, lawannya sudah menyerang secara curang sekali dari belakang.
Serangannya sekali ini lebih hebat dari tadi karena dia marah bukan main.
Akan tetapi Lee Cin seolah memiliki mata di belakang tubuhnya dan ia melihat gerakan lawan
ini. la memutar tubuhnya membalik dan nampak sinar menyambar dari tangannya.
"Crlnggg... tranggg....!" Dua kali pedang tipis di tangan Lee Cin, menangkis serangan yang
bertubi-tubl itu. Entah kapan gadis itu mencabut pedang, tidak ada yang dapat melihatnya.
Sebetulnya ia tidak pernah mencabut pedang karena pedangnya itu demikian tipis dan lentur
sehingga tadi dilingkarkan di pinggangnya, tertutup oleh baju.
Bertubi-tubi Thian-lok-kwi menyerang dengan pedangnya, seolah tidak memberi kesempatan
kepada lawannya untuk bernapas. Akan tetapi ternyata Lee Cin memiliki gerakan yang cepat
bukan main seperti seekor burung walet tubuhnya menyelinap ke sana ke mari di antara
gulungan sinar pedang lawan, mengelak dan kadang menangkis dengan pedang tipisnya.
Belasan jurus kakek itu menyerang, narnun semua serangannya tidak berhasil karena selain
dapat dielakkan juga kadang dapat ditangkis oleh Lee Cin yang bergerak dengan lincah bukan
main. Sekarang barulah Thian-lo-kwi terke-jut. Tadi ia memandang rendah gadis itu dan baru
sekarang dia tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai sekali. Selain gerak-annya lincah, juga
memiliki tenaga sin-kang yang mampu menandingi tenaganya, selain itu gerakan pedangnya
juga aneh sekali, kadang pedang itu bergerak seperti seekor ular. Setelah belasan jurus
serangannya gagal, Thian-lo-kwi meloncat ke belakang untuk dapat melihat ilmu pedang
gadis itu karena kalau dia sudah mengenal llmu pedangnya tentu akan lebih mudah
menundukkannya. Dengan pengalamannya yang banyak dalam dunia Kang-ouw, dia
mengharapkan dapat mengenal ilmu pedang gadis itu.
Melihat lawannya melompat mundur, Lee Cin juga berhenti dan mengejek, "Kenapa tikus
kurus" Engkau sudah mulai takut, ya?"
"Keparat, siapa takut padamu" Dari tadi engkau hanya mengelak dan menangkis saja.
Balaslah menyerang kalau engkau berani!" Memang dalam ilmu pedang terdapat kenyataan
bahwa siapa menyerang berarti membuka pertahanan-nya. Dia menghendaki gadis itu
menyerang, bukan saja untuk mengenal ilmu pedangnya, akan tetapi juga agar gadis itu
membuka pertahanannya yang demikian kuat sehingga dia dapat "memasuki" pertahanan
yang terbuka itu. "Eh, engkau ingin diserang" Jangan salahkan aku kalau engkau menjadi repot kemudian
roboh oleh rangkaian seranganku!"
"Jangan banyak cerewet. Maju dan seranglah!" tantang Thian-lo-kwi, dalam hatinya girang
kalau gadis itu berani menyerangnya dan dia sudah bersiap-siap dengan pedangnya.
"Sambut seranganku!" bentak Lee Cin dan begitu ia menggerakkan pedang, nampak gulungan
sinar merah! Ternyata pedangnya itu memiliki warna dasar kemerahan dan ketika digerakkan,
nampak sinar merah bergulung-gulung. Akan tetapi sinar itu tidak menyerang ke atas,
melainkan seperti seekor ular, gulungan sinar Itu menyerang dari bawah ke arah kedua kaki
lawan! Hal ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Thian-lo-kwi sehingga dia terkejut
bukan main. Gadis itu menyerangnya persis seekor ular yang menyerang kedua kakinya! Dia
tahu bahwa entah apa ilmu pedang gadis itu, akan tetapi tentu berdasarkan gerakan seekor
ular. Dan memang dugaannya benar. Lee Cin memainkan ilmu pedangnya yang disebut Ang-
coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Merah), yaitu ilmu pedang yang mengambil dasar dari
gerakan Ang-hwa-coa milik gurunya. 3uga pedang yang tadi dililitkan ke perut itu adalah
Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah). Dan seperti Ang-hwa-coa, gerakan pedang itu dapat
menyusur ke bawah tanah menyerang kaki, dan dapat pula melentik seperti terbang


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang ke atas! Thian-lo-kwi menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ke arah kedua kakinya itu. Dia
melompat-lompat seperti monyet menari untuk menghindarkan kedua kakinya dari sabetan
dan tusukan pedang. Setelah lewat lirna jurus, tiba-tiba saja pedang merah itu melenting ke
atas dan menusuk kearah perut!
"Tranggg....!" Pedang di tangan Thian lo-kwi menangkis, akan tetapi pedang merah itu
melentik lagi sekali ini menusuk lebih ke atas lagi mengarah tenggorokan lawan. Thian-lo-
kwi kembali menggerakkan pedang untuk menangkis akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
terhuyung ke belakang kiranya ketika pedangnya menusuk ke arah tenggorokan tadi, secepat
kilat tangan kiri gadis itu sudah menyelonong ke bawah dan menotok ke arah dada Thian-lo-
kwi. Biarpun Thian-lo-kwi sudah melindungl dadanya dengan sin-kang dan dia tidak sampai
terluka atau tertotok jalan darahnya, namun tetap saja dia terhuyung ke belakang. Kesempatan
itu dipergunakan oleh Lee Cin untuk mengelebatkan pedangnya dan tahu-tahu pedang itu
sudah menggores lengan kanan lawan sehingga berdarah dan pedangnya terlepas dari
genggaman! Tepuk tangan riuh terdengar dari tiga orang muda yang rnenonton pertandingan itu,
menyambut kemenangan Lee Cin. Gadis ini menggunakan pedangnya untuk mencokel
pedang lawan dan sekali tangannya digerakkan, pedang Thian-lo-kwi itu terbang ke arah
pemiliknya dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya.
"Cringgg....!" Sebatang pedang di ta-ngan Bu-tek Lo-kwi menangkis pedang itu, bukan
sekedar menangkis karena pedang itu kini meluncur kembali ke arah Lee Cin dengan
kecepatan yang lebih kuat lagi. Lee Cin menangkis dengan pedangnya.
"Cringg... cappp!" Pedang itu runtuh ke bawah dan menancap di tanah sannpai ke gagangnya
dan bergoyang-goyang sedikit, tanda betapa kuatnya tenaga lontaran tadi. Diam-dlam Lee Cin
terkejut. Tak disangkanya Si Pendek Gendut kayak katak itu sedemikian kuatnya sehingga
ketika ia rnenangkis tadi, tangannya dirasakan tergetar hebat!
Akan tetapi gadis ini memang tidak pernah mengenal arti takut. la menudingkan pedang
merahnya ke arah muka Bu-tek Lo-kwi sambil memaki, "Babi gendut, kau...."
Akan tetapi klni Thian Lee maju dan dia memotong makian Lee Cin tadi. "Lee Cin, engkau
sudah cukup bersenang-se-nang. Kini giliranku, jangan main borong sendiri'"
Lee Cin menoleh dan tertawa, "Hik-hik, engkau juga ingin berpesta, Thiart Lee" Boleh, aku
pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaianmu. Akan tetapi hati-hati, babi gendut
itu lihai sekali. Kalau engkau kewalahan, berikan saja kepadaku'." Ucapan Lee Cin ini
nadanya seolah ia memastikan bahwa tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada
tingkat kepandalan Thian Lee. la lalu mundur dan disambut pujian oleh Hwe Li.
"Adik Lee Cin, engkau hebat sekali, aku kagum kepadamu!" kata Ceng Ceng memuji.
"Adik Lee Cin, kenapa engkau membiarkan Lee-twako menghadapi Si Gendut^ itu" Dia tentu
akan mati konyol!" kata Hwe Li yang masih memandang rendah kepada Thian Lee.
"Ehm, engkau pikir begitu, Enci Hwe Li?".
"Ya, dia hu tidak becus apa-apa, hanya mengenal sedikit ilmu tongkat yang pernah
kuajarkan," kata pula Hwe Li.
"Hwe Li!" bentak Souw Can. "Jangan banyak ribut, lebih baik cepat pinjamkan pedangmu
kepada Thian Lee." Akan tetapi Thian Lee tersenyum kepada Hwe Li dan Souw Can. "Tidak perlu, Supek. Aku
tidak berani mengotori pedang Li-moi, biarlah saya meminjam pedang ini saja". Thian Lee
yang tidak membawa pedangnya sendiri karena merasa tidak perlu mempergunakan Jit-goat
Sin-kiam, segera mencabut pedang milik Thian-lo-kwi yang tadi menancap di atas tanah
sampai ke gagangnya. Dia menjepit gagang pedang itu dengan jafi telunjuk dan jari tengah
tangan kirinya, lalu menarik pedang itu dengan mudah seperti menarik sebatang sumpit saja!
Melihat ini, Hwe Li memandang terbelalak. Juga Siong Ek rnerasa heran sekali. Hanya Ceng
Ceng yang tetap tenang karena sejak semula gadis ini memang sudah menduga bahwa Thian
Lee nnenyembunyikan kepandaian yang tinggi. Dengan pedang itu di tangan, Thian Lee lalu
menghadang Bu-tek Lo-kwl sambil berkata, "Bu-tek Lo-kwi, aku sudah siap menghadapimu.
Mulailah!" "Bagus, lihat seranganku!" Bu-tek Lo-kwi membentak. Watak kakek gendut ini tidak seperti
para sutenya. Dia tidak berani memandang rendah walaupun lawannya hanya seorang
pemuda. Dia tahu bahwa kalau orang sudah berani rnelawannya, maka orang itu tentulah
memiliki kepandaian yang berarti. Maka begitu menyerang, dia sudah mengerahkan seluruh
tenaganya. Diserang dengan bacokan pedang yan^B arnat dahsyat sehingga terdengar bercuit-an rtu,
Thian Lee cepat menangkis dengan pedang pinjamannya.
"Tranggg....!" Terdengar suara nyaring sekali ketika kedua pedang bertemu dan ... pedang di
tangan Thian Lee menjadi patah ujungnya sepanjang sepertlga pedang. Yang tinggal di
tangannya hanya pedang buntung, tinggal dua pertiga saja panjangnya! Melihat ini, Souw Can
cepat berseru, "Thian Lee, kaupakai pedangku!"
Juga Lee Cin berseru khawatir, "Ini boleh kaupakai pedangku, Thian Lee."
Akan tetapi Thian Lee tersenyum menengok kepada mereka. "Tidak usah, sisa pedang ini
masih cukup untuk melayaninya," katanya sambil mengacungkan pedang buntung itu.
Kini Bu-tek Lo-kwi tersenyum lebar sehingga mukanya yang bulat itu makin mirip muka
kanak-kanak. Dia menganggap pemuda itu sombong tidak mau mengganti pedang, dan
menguntungkan baginya. Pedangnya sendiri adalah sebatang pedang pusaka, dan pedang
lawan kalah ampuh, bahkan sudah buntung tinggal dua pertiga lagi. Akan tetapi pemuda itu
tidak mau berganti pedang, berarti ingin mati konyol!
"Engkau tidak mau berganti pedang" Bagus, kalau begitu bersiaplah untuk ma-ti di
tanganku!" bentaknya dan dia me-nyerang semakin ganas.
Sekali inl, Thian Lee memainkan Jit-goat Kiam-sut dan pedang buntungnya membuat
lingkaran-lingkaran aneh yang membingungkan lawan. Begitu banyak lingkaran bergulung-
gulung dan Bu-tek Lo-kwi tldak tahu lingkaran mana yang rnengandung pedang yang
sebenarnya. Dia begitu kaget sampai permainan pecang-nya menjadi kacau. Selama hidupnya
belum pernah dia melihat ilmu pedang yang seperti ini, padahal dia sudah me-ngenal semua
ilmu pedang dari aliran persilatan yang mana pun.
Dalam bingungnya, Bu-tek Lo-kwi menyerang dengan dahsyat, akan tetapi Thian Lee selalu
dapat menghindarkart diri dengan baik. Kadang saja dia menangkis dan sekali inl, kalau dia
menangkis, dia mengerahkan sin-kang pada pedangnya sehingga pedang lawan tergetar hebat
dan pedang buntungnya tidak menjadi rusak. Setelah beberapa kali beradu pedang, kakek
gendut pendek itu menjadi semakin kaget. Ternyata pemuda ini memiliki tenaga sin-kang
yang luar biasa sekali dan marripu menggetarkan seluruh tengan kanannya setiap kali pedang
mereka bertemu Souw Can memandang dengan amat kagum. Dia sendiri seorang ahli pedang Kun-lun-pai,
akan tetapi dia pun tidak dapat mengenal ilmu pedang yang dimainkan Thian Lee, ilmu
pedang yang membentuk lingkaran-lingkaran itu. Yang makin membingungkan bagi Bu-tek
Lo-kwi adalah betapa lingkaran-lingkaran sinar pedang itu terkadang membawa hawa yang
amat panas, dan terkadang berubah menjadi dingin sejuk. Dia tidak tahu bahwa memang
begitulah pembawa-an Jit-goat Kiam-sut (Ilmu Pedang Matahari Bulan), didorong oleh
kekuatan Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi).
Pertempuran itu menjadi semakin seru dan hebat, akan tetapi segera lingkaran-lingkaran itu
menjadi semakin lebar, sedangkan sinar pedang yang dimainkan Bu-tek Lo-kwi menjadi
semakin sempit. Melihat Ini, biarpun Hwe Li dan Siong Ek tidak dapat mengikuti benar,
mereka berdua menjadi semakin terheran-heran. Tak terasa lagi, keduanya saling pandang
dengan muka pucat. Baru sekaranglah mereka mengetahui betapa selama ini mereka
memandang rendah kepada Thian Lee yang sesungguhnya jauh lebih lihai dari mereka,
bahkan leblh lihai dari ayah dan guru mereka! Teringat apa yang pernah mereka katakan dan
lakukan terhadap Thian Lee, ingin rasanya Hwe Li menangis saking menyesalnya. Dan te
telah melatih Thian Lee dengan sedikit ilmu tongkat yang tidak ada artinya sama sekali! Dan
betapa ia bersikap angkuh kepada pemuda itu yang liang-gapnya lemah dan bahkan tolol!
Tidak demikian dengan Ceng Ceng." Gadis ini memandang dengan gembira bukan main. Hal
yang selama ini sudah diduganya ternyata benar adanya. Thian toe seorang pendekar yang
sakti! Souw-pangcu sendiri sampai menggeleng-geleng kepala saking kagumnya, Biarpun dia sudah
mendengar sendiri riwayat Thian Lee yang pernah dilatih oleh datuk-datuk yang sakti, akan
tetapi tidak pernah disangkanya selihai itu. Dia tahu benar bahwa ilmu pedang Bu-tek Lo-kwi
itu hebat sekali. Dia sendiri tidak rnungkin mampu menandinginya. Akan p'tetapi Thian Lee
hanya menghadapinya dengan pedang buntung dan belum sampai dua puluh jurus pedang
buntung itu telah mengurung pedang kakek itu dan mendesaknya dengan hebat. Mudah
diduga bahwa tak lama kemudian kakek itu akan kalah!
Bu-tek Lo-kwi juga menyadari hal ini. Makin lama, desakan pedang buntung itu terasa
semakin berat saja. Akhirnya dia menjadi nekat. Ketika pedang buntung mendesak dengan
bacokan ke arah lehernya, dia mengerahkan seluruh tenaganya menangkis. Akan tetapi,
ternyata tangkisan itu luput. Dia lupa bahwa pedang itu telah buntung dan tangkisannya
mengenai bagian yang sudah buntung se'hingga luput dan pedang lawan terus mengancam
lehernya. Dia sudah memejamkan matanya karena tidak mungkin dapat menghindarkan lagi
dari bacokan pedang pada lehernya.
Akan tetapi pada detik terakhir, ketika pedang buntung sudah hampir menyentuh leher,
pedang itu melenceng ke bawah dan tidak jadi membacok leher, melainkan membabat ke arah
pinggang. "Brettt....!" Dan Bu-tek Lo-kw yang gendut itu menjadi kedodoran karena tali celananya
putus! Dengan tangan kiri dia menahan celananya agar jangan sampai merosot turun dan
terdengar Lee Cin tertawa terkekeh-kekeh.
"Heiii, babi gendut, jangan telanjang di sini! Tak tahu malu!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
Mendengar ini, Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng ikut tertawa. Juga para piauwsu ikut pula
tertawa. Thian Lee sudah mundur dan membuang pedang buntungnya ke atas tanah"
Bu-tek Lo-kwi maklum bahwa dia telah dikalahkan. Kalau lawannya meng-hendaki, bukan
kolor celananya yang putus, melainkan lehernya.
Pada saat itu, melihat betapa pihaknya kalah semua, Coat-beng-kwi yang menjadi penasaran
dan marah, mengan-dalkan anak buahnya yang banyak dan dia berteriak, "Serbuuuu....?"
Tiga puluh lebih anak buahnya mencabut golok dan pedang dan menyerbu, akan tetapi pada
saat itu, dari balik pintu gerbang menyambar puluhan batang anak panah seperti hujan! Para
anak buah perampok menjadi panik banyak yang terkena anak panah dan roboh. Melihat ini,
tanpa dapat dicegah lagi, para perampok dan pimpinan mereka lalu me-larikan diri tunggang-
langgang, disoraki oleh anak buah Kim-liong-pang.
Akan tetapi sampai di pintu gerbang kota Pao-ting, kawanan gerombolan perampok itu telah
dihadang oleh pasukan pemerintah yang segera menangkapi me-reka. Karena jumlah pasukan
itu besar dan semangat para perampok itu sudah hilang, mereka lalu menyerahkan tiga orang
pimpinan mereka menyerah, tidak berani melawan pasukan pemerintah. Semua ini adalah
berkat Lai Siong Ek yang telah melapor kepada ayahnya dan memesan agar selagi para
perarnpok ber-tanding dengan Kim-liong-pang, pasukan tidak mencampuri. Akan tetapi
setelah para perampok hendak meninggalkan Pao-ting, barulah pasukan turun tangan
menangkapi mereka. Semua perampok lalu diseret ke pengadilan dan menerima hlst-kuman
berat. Sementara itu, di Kim-liong-pang, Song-pangcu mengadakan pesta kernenangan. Pujian-
pujian diberikan kepada Thian Lee dan Lee Cin sehingga Thian Lee merasa rikuh sekali.
Bahkan Hwe Li juga bersikap manis kepadanya.
"Aih, Lee-twako, kenapa sih engkau merupu kami semua" Pura-pura tidak pandai silat
sehingga aku sempat rneng-ajarkan ilmu tongkat segala! Ah, kalau ingat, membikin kami
semua merasa malu saja," kata Hwe Li sambil tersenyum.
"Aku juga merasa malu!" kata Siong Ek. "Pantas saja ketika tempo hari kita bertanding,
engkau dengan mudah dapat mengalahkan aku, dan aku mengira hal itu kebetulan saja, Thian
Lee! Ternyata engkau mempermainkan kami!"
"Adik Hwe Li, dan engkau Slong Ek, sebaiknya lain kali kalian tidak terlalu memandang
rendah kepada orang lain," kata Thian Lee singkat dan dua orahg itu mengangguk. Memang
tidak perlu bicara panjang lebar karena mereka telah bersikap keterlaluan kepada Thian Lee
ketika itu. Ceng Ceng berkata, "Sebetulnya sudah lama aku menduga, sejak Lee-ko rnengalahkan Coat-
beng-kwi tempo hari, bahwa Lee-ko memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena
pandainya Lee-ko menyim-pan rahasia dan bersikap ketololan, aku sendiri sampai merasa
ragu." "Engkau memang cerdlk, Ceng-moi," Thian Lee memuji dan Ceng Ceng memandang dengan
matanya yang bersinar-sinar dan wajahnya berubah agak kemerahan.
Setelah makan minum untuk meraya-kan kemenangan gemilang itu, Thian Lee dan Lee Cin
lalu berpamit kepada Song-pangcu, "Thian Lee, kuharap engkau suka kembali tinggal di sini.
Biarlah piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) akan kuserahkan kepadamu untuk kau
urus". "Terima kasih, Supek. Aku masih suka merantau. Kelak kalau sudah kenyang merantau dan
meluaskan pengalaman, tentu saya akan datang kepada Supek."
Souw Can tidak memaksa menahan Thian Lee, akan tetapi ketika dia memberi bekal uang
kepada Thian Lee dan ditolak pemuda itu, dia memaksa, "Thian Lee, dalam perjalananmu
engkau tentu membutuhkan uang untuk biaya, karena itu aku tidak ingin engkau menolak
pemberianku," katanya.
Melihat ini Lee Cin tertawa, Hi-hik, aku sih tidak pernah membawa bekal uang. Di mana-
mana terdapat uang, di rumah hartawan atau bangsawan. Berapa saja yang kuhendaki, dapat
kuambil dari mereka."
Souw-pangcu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak setuju dengar cara yang ditempuh
gadis itu. Akan tetapi mengingat bahwa gadis itu murid Ang-tok Mo-li, dia pun tidak berani
mencela hanya berkata kepada Thian Lee, "Terimalah, Thian Lee. Aku akan kecewa sekali
kalau engkau menolaknya."
Terpaksa Thian Lee menerima pemberian uang itu sarnbil menghaturkan terima kasih.
Kemudian dia menggendong buntalannya dan menunggang kuda bersama Lee Cin, diantar
oleh seluruh keluarga Song sampai di luar pintu Kim-liong-pang. Jelas nampak wajah duka
dari Ceng Ceng ketika Thian Lee berpamit kepadanya.
Setelah mereka meninggalkan Kim-liong-pang, Lee Cin berkata, "Thian Lee, Ceng Ceng itu
bersedih ketika kau tinggalkan."
"Eh, mengapa" Mengapa harus bersedih" Aku tidak melihatnya...."
"Mengapa" Hemm, mana ada pencuri mau mengaku?"
"Pencuri" Aku mencuri apa" Tanya Thian Lee bingung.
"Mencuri hati, tahu" Hati Ceng Ceng telah kaucuri dan engkau masih berpura-pura tidak tahu
mengapa ia bersedih hati ketika kau meninggalkannya?"
"Ihh! Aku tidak mengerti maksudrnu" Apa sih yang kau maksudkan?"
Lee Cin tertawa. "Ceng Ceng mencintamu, engkau telah menjatuhkan hatinya!"
"Ah, masa" Aku... aku tidak tahu dan aku tidak percaya. la hanya teman biasa bagiku."
"Mungkin bagimu, akan tetapi baginya tidak. Bukan sekedar teman biasa, melainkan teman
istimewa. Heran orang ini, dicinta orang masih tidak merasa! Alangkah tololnya."
Wajah Thian Lee berubah merah. "Aku sungguh tidak tahu, aku memang tolol!" Dan dia
membedal kudanya keluar dari kota Pao-ting menuju ke kota raja. Lee Cin tertawa dan
mengejarnya. Mereka tiba di jalan yang sepi. Thian Lee menghentikan kudanya. Lee Cin juga menghentikan
kudanya. "Mengapa berhenti?"
"Aku ingin bicara denganmu. Mari kita berhenti dulu. Tempat ini sunyi.' Kita tidak akan
terganggu." Dia lalu meloncat turun dari kudanya. Lee Cin juga meloncat turun. Mereka
membiarkan kuda mereka beristirahat dan makan rumput.
"Engkau mau bicara apa denganku?"
"Tentang kita. Tentang gelang kemala itu, tetang pertunangan kita yang sudah ditentukan oleh
orang tua kita masing-masing," kata Thian Lee.
"Hemm," Lee Cin memandang dan tersenyum mengejek. "Dan menurut pen-dapatmu sendiri
bagaimana?" "Aku tidak tahu. Dahulu, ketika aku nnendapat pesan dari Ibu, aku merasa tidak setuju sekali.
Sejak kecil dijodohkan dan aku belum melihat dengan siapa aku dijodohkan. Akan tetapi
sekarang aku telah bertemu- dengan prangnya dan aku...."
"Engkau bagaimana?"
"Aku menjadi bingung! Orang tua kita sudah tidak ada lagi, baik aku dan engkau keduanya
sudah yatim piatu. Yang ada hanya sepasang gelang kemala ini yang menjadi saksi. Kalau
pendapatmu bagaimana?"
"Thian Lee mengakulah terus terang. Andaikata- engkau mendapatkan bahwa pemilik gelang
kemala, tunanganmu itu, seorang yang buruk rupa misalnya, dan engkau tidak suka, apakah
engkau juga hendak mengawininya sesuai dengan pe-san orang tuamu?"
"Kalau aku tidak suka kepadanya, kurasa tidak!" jawab Thian Lee sejujurnya. Memang dia
harus jujur. Kalau ternyata gadis yang ditunangkan dengannya itu buruk rupa atau buruk
watak sehingga dia tidak suka kepadanya, tentu saja dia tidak mau menikah dengannya. Tentu
saja kalau orangnya Lee Cin lain lagi persoalannya. Lee Cin cantik jelita, lihai ilmu silatnya,
dan selama ini dia tahu gadis itu orang yang baik, walaupun murid seorang tokoh wanita
sesat! "Jadi engkau hanya mau berjodoh dengan orang yang kaucinta, begitu maksudmu?"
"Benar, dan tentu saja lebih baik lagi kalau ia juga menjadi gadis yang dijodohkan orang
tuaku denganku." "Hemm, kalau begitu. Baiklah aku berterus terang kepadamu, Thian Lee. Aku tidak mau
disangka merebut tunangan orang! Ketahuilah, gelang kemala ini bukan milikku."
"Ahhh....?" Thian Lee berseru dan ada nada kecewa dalam seruannya.
"Aku merampasnya dari tangan seorang pencuri, seorang pengemis yang hendak menjual
gelang ini." "Lalu siapa pemilik gelang itu?"
"Aku tidak tahu sama sekali."
"Kalau begitu, Lee Cin. Serahkan gelang kemala itu kembali kepadaku. Gelang itu tadinya
memang milik ibuku."
Lee Cin bangkit dari duduknya, me-megang gelang di lengan kirinya sambil tersenyum
mengejek, "Enak saja kau bicara, Thian Lee. Gelang ini kurampas dari tangan pengemis itu
dengan kepandaian dan kekerasan. Kalau engkau ingin memilikinya, engkau pun harus dapat
merampas dari tanganku dengan kepan-daian dan kekerasan."
"Sudahlah, aku memang sejak tadi ingin sekali menguji kepandaianmu. Hayo kaurampaslah
gelang ini dari tanganku, kalau dapat!" katanya.
Thian Lee memandang tajam. Dia sudah mengenal watak gadis yang bengal ini. Lee Cin tentu


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan mau menyerahkan gelang itu begitu saja. Dan dia pun ingin menguji sampai di
mana kemampuan Lee Cin, maka dia bersiap-siap merampas gelang itu.
"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik, aku akan menyerangmu dan merampas gelang!"
Setelah berkata demikian, Thian Lee menggerakkan tubuhnya, tangan kiri menampar ke arah
kepala Lee Cin sedangkan tangan kanan menyambar ke arah tangan kiri Lee Cin untuk
merampas gelang! Tentu saja tamparan tangan itu hanya merupakan pancingan saja
sedangkan yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar gelang.
Namun agaknya gerakannya itu sudah diduga oieh Lee Cin yang menarik tangan kirinya
sambil memutar tubuhnya dan tangan kanannya menangkis ke afas sambil berusaha
mencengkeram perge-langan tangan yang menamparnya itu. Thian Lee menarik kembali
tangan kirinya kemudian dia sudah mencoba untuk menyambar gelang di tangan kiri Lee Cin.
Namun, gadis itu dapat bergerak dengan ringan dan lincah sekali sehingga beberapa kali
tangan Thian Lee me-nyambar tanpa hasil karena Lee Cin selalu dapat mengelak atau
menangkis. Bahkan gadis itu membalas dengan se-rangan tamparan, pukulan dan tendangan
yang membuat Thian Lee harus berhati-hati menjaga dan menghindarkan diri dari serangan
balasan itu. Kedua orang itu bergerak semakin cepat sehingga akhirnya tubuh mereka sukar dapat diikuti
gerakannya dengan mata biasa, karena kedua tubuh itu sudah merupakan bayangan yang
berkele-batan saja! Lee Cin merasa kagum bukan main. la sudah mengerahkan seluruh te-
naga dan kepandaiannya untuk menyerang Thian Lee, namun semua serangannya gagal,
bahkan beberapa kali hampir saja Thian Lee dapat merampas gelangnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Lee melakukan dorongan de-ngan kedua
tangannya dan Lee Cin ter-kejut sekali karena tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung ke belakang,
diterpa angin pukulan yang luar biasa kuatnya. Dan selagi dia terhuyung itu, Thian Lee
menubruk ke arah tangan kirinya. Lengan kirinya dapat terpegang oleh Thian Lee! Hampir
Lee Cin menjerit karena lengan kirinya terasa lumpuh. Akan tetapi sebelum Thian Lee dapat
merampas gelang, dara itu menggunakan tangan kanannya untuk melolos gelang dari lengan
kirinya, kemudian secepat kilat gelang itu telah ia masukkah ke balik baju di bagian dadanya!
Thian Lee menangkap pula targan kanan dara itu sehingga kedua tangar'nya tak dapat
digerakkan lagi. Akan terapi dia lalu menjadi bingung dan mukanya kemerahan. Bagaimana
mungkin dia bera-ni merogoh gelang yang disembunyikan di balik baju di dada itu" Biarpun
dia sudah jelas memenangkan pertandingan itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu
merampas gelang kemala itu! Dia masih memegang kedua lengan gadis itu dan akhirnya
terpaksa dia melepaskan kedua tangan itu dan melangkah mundur.
"Lee Cin, tolong berikan gelang itu kepadaku."
"Kenapa tidak engkau ambil sendiri?" kata gadis itu dan kembali Lee Cin su-dah menyerang.
Karena ia berada dekat sekali dengan Thian Lee dan pemuda itu tidak menyangka akan
diserang, naka biarpun dia sudah menggerakkan ubuh miring, tetap saja dadanya terserempet
tamparan tangan Lee Cin. Akan tetapi dia masih keburu mengerahkan Thian-te Sin-kang
untuk melindungi tubuhnya.
"Plakk!" Dan Lee Cin menyeringai kesakitan karena tangannya yang menampar itu rasanya
Memburu Manusia Harimau 4 Kampung Setan Karya Khulung Lentera Maut 1
^