Pencarian

Harimau Kemala Putih 6

Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Bagian 6


lurus sekali, tapi ada kalanya pula berliku-liku.
Kalau didengar dari langkah kaki mereka, kadangkala mereka seakan-akan sedang berjalan
melalui batu kerikil, ada kalanya pula berjalan melalui lapisan batu yang keras sekali.
Suhu udara di luarsanatiba-tiba saja mengalami perubahan lagi, kini udara terasa hangat dan
nyaman, agaknya mereka sedang melalui sebuah gua karang.
Kembali mereka lanjutkan suatu perjalanan yang cukup jauh, tiba-tiba dari
luarsanakedengaran beberapa suara yang aneh sekali.
Seolah-olah ada batu karang yang sedang bergesek, seakan-akan pula ada suatu roda yang
sedang berputar. 284 Meskipun peti mati itu ditutup rapat sekali, tapi masih ada pula bagian yang tembus udara,
tiba tiba saja ia mengendus bau harum yang semerbak.
Pada saat itulah peti mati itu sudah diletakkan pelan di atas tanah, agaknya di atas sebuah
tanah berumput yang lembut dan lunak.
Seandainya mereka bermaksud untuk menguburnya hidup-hidup, kenapa harus melakukan
perjalanan sekian lama dan memilih tempat di situ", sebenarnya tempat apakah ini"
***** Suasana di sekeliling tempat itu amat hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.
Lama sudah ia menunggu dalam peti mati yang gelap gulita itu, tapi dari luarsanabelum
kedengaran juga sesuatu gerakan, ia mencoba untuk mengetuk penutup peti mati, tapi tiada
jawaban juga. Rupanya para penggotong peti mati itu secara diam-diam telah mengundurkan diri dari situ
setelah meletakkannya disana.
Setengah harian kembali ia menunggu, akhirnya ia tak sabar dan membuka penutup peti itu.
Betul juga, di luar tak tampak seorang manusia pun, bahkan si orang buta itupun tak
kelihatan. Sekuat tenaga ia menggeser penutup peti mati itu bangun, lalu duduk, tapi dengan cepat ia
menemukan bahwa dirinya seakan-akan berada dalam alam impian seperti dalam cerita
dongeng. Tapi jelas tempat itu bukan alam impian, tempat itupun jelas bukan alam manusia.
Bangunan rumah itu terbuat dari batu granit yang keras dan berkilap seperti kaca, empat
penjuru sekelilingsanapenuh dilapisi sutera merah yang berkembang emas, di depan pintu
tergantung sebuah tirai yang terbuat dari kain halus.
Tepat di ruangan tengah berdiri sebuah meja sembahyang yang bentuknya seperti gua alam,
cuma di atas meja sembabyang itu tidak di sembah patung Budha atau patung pousat, yang
ada disanahanya sebilah pedang.
Pedang itu bentuknya panjang sekali tapi bentuknya antik, sama sekali tidak dihiasi oleh
mutiara atau berlian sebagaimana pedang-pedang lainnya.
Bentuk sederhana seperti itu berbeda jauh sekali bila dibandingkan dengan perabot mewah
yang berada di sekeliling tempat itu.
285 Apakah pedang itulah yang disembah- sembah oleh tuan rumah tempat misterius ini?"
***** Cahaya lampu menyinari seluruh ruangan itu, sinar lampu memancar ke luar dari aneka
macam lentera kacaPersiayang berbentuk aneh-aneh.
Di atas sebuah meja kecil terdapat sebuah tungku terbuat dari emas, dari tungku itulah
menyiar ke luar bau harum yang semerbak.
Permukaan tanah dilapisi oleh permadani buatanPersia, motifnya indah bahannya halus,
membuat siapapun yang menginjakkan kakinya di atas permadani itu akan merasa bagaikan
menginjak di tanah berumput dimusin semi yang indah.
Meskipun Hong-nio sendiripun berasal dari keluarga kaya, belum pernah ia jumpai tempat
semewah dan semegah seperti tempat ini.
Rasa kejut dan cengang membuatnya hampir saja melupakan keseraman dan kengerian yang
semula mencekam perasaannya.
Sambil melihat serta berjalan, tanpa terasa sudah amat jauh ia berjalan, mendadak ia
mem-perdengarkan kembali suatu jeritan kaget.
Ternyata ia telah menjumpai sebuah peti mati lagi.
Peti mati itu terbuat dari tembaga, sesosok tubuh membujur di dalam peti mati tersebut,
sepasang tangannya disilangkan di depan dada dan mengenakan baju berwarna putih bersih,
mukanya yang kurus kering berwarna pucat sedikitpun tiada warna darah, tampaknya sudah
mati agak lama .... Hong-nio sendiri digotong masuk ke tempat itu di dalam sebuah peti mati dan sekarang
kembali dijumpai sebuah peti mati lagi ditempat ini.
Apakah tempat yang mewah dan megah ini tak lebih hanya sebuah kuburan belaka"
Hong-nio merasakan kaki dan tangannya menjadi dingin seperti es, suatu reaksi serta merta
muncul dalam hatinya, membuat gadis itu berusaha mencari suatu benda untuk melindungi
dirinya. Tiba-tiba ia teringat dengan pedang yang tergantung di atas meja sembahyangan itu.
Sambil memutar badannya ia memburu ke situ, tapi sebelum jari tangannya sempat
menyentuh gagang pedang itu, mendadak terdengar seseorang berseru:
286 "Jangan kau sentuh pedang itu!"
Suara itu sangat dingin, kaku dan teramat asing sekali, yang lebih mengerikan lagi ternyata
suara tersebut berasal dari dalam peti mati tembaga itu.
Saking ngerinya Hong-nio merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku seperti patung, lewat
lama sekali ia baru memutar badannya untuk menengok ke arah peti mati itu.
Kini orang yang mati dan semula berbaring dalam peti mati itu telah bangkit berdiri, waktu itu
dengan sapasang matanya yang jeli bagaikan cahaya kilat sedang memandang kearahnya,
kemudian sepatah demi sepatah kata berkata:
"Kecuali aku seorang, tak seorang manusiapun di dunia ini yang boleh menyentuh pedang
tersebut!" Lalu diantara pembicaraan itu terdengar nada penuh kewibawaan yang membuat orang lain
mau tak mau harus mempercayainya:
"Siapa berani menyentuhnya, dia harus mati!"
"Kau..." "Aku bukan orang mati, juga bukan sesosok mayat hidup!"
Lalu dengan suara yang tinggi melengking dan penuh mengandung nada sindiran ia berkata
lebih jauh. "Ada banyak orang yang mengira aku telah mati sayang sampai sekarang aku masih belum
mati" Hong nio menghembuskan napas panjang, ia berusaha untuk mengendalikan perasaan sendiri,
tapi tak tahan, akhirnya ia bertanya:
"Tempat ini adalah milikmu?"
"Coba lihatlah, bagaimanakah keadaan tempat ini?"
"Aku tidak tahu, pada hakekatnya aku tak tahu bagaimana harus menjawab...!" kata Hong nio
sambil bergumam. Sesudah berpikir sebentar, kembali katanya:
"Akupun tak pernah berkunjung ke keraton kaisar tapi aku percaya tempat ini pasti jauh lebih
indah dan menarik daripada kertaonnya kaisar..."
Tiba tiba orang itu tertawa dingin, katanya:
"Keraton" Huuh... kertaon itu baru terhitung seberapa?"
Keraton yang indah dan megah, tempat Kaisar bertahta, ternyata dalam padangannya masih
belum terhitung seberapa.
287 Tiba tiba Hong nio memberanikan diri sambil berkata:
"Ada satu persoalan ingin kutanyakan pekadamu, cuma bersediakah kau untuk
menjawabnya?" "Tanyakanlah!" "Sebenarnya siapakah kau?"
Orang itu termenung sejenak, kemudian pelan pelan memutar badannya dan menuding
sepasang "lian" yang tercantum di luar peti mati itu.
Lian tersebut berbunyi demikian:
"Tenang bersabar bagaikan langit dan bumi. Tenang mendalam seakan-akan menyimpan
rahasia." Berulang kali Hong-nio membaca sepasang "lian" tersebut dan berusaha untuk membahas
arti-nya, tapi kemudian sambil tertawa getir katanya: "Sayang aku tidak mengerti!"
"Bait tersebut merupakan dua bait dalam kitab sembahyangan milik Tee-cong-sip-lun-keng,
karena hal itu pula Tee-cong pousat mendapat nama hingga tenar di mana-mana."
"Aaah, kalau begitu kau adalah Tee-cong pousat?" seru Hong-nio sambil memandangnya
dengan terperanjat. "Meskipun kedua patah tulisan itu berasal dari atas kitab Buddha, namun arti yang sebenarnya
justru mengandung inti sari dari suatu ilmu pedang ......." pelan-pelan orang itu menerangkan.
Sepasang matanya semakin memancarkan sinata tajam terusnya:
"Dalam dunia yang luas dewasa ini, hanya aku seorang yang benar-benar memahami arti dari
kata-kata tersebut."
Hong-nio masih saja. menantikan jawaban dari pertanyaannya tadi.
Kembali orang itu berkata: "Di tempat inilah Tee-cong mendapatkan ilhamnya, sedang aku,
walaupun sudah mendapat ilham sayang tak dapat menjadi Buddha, sebaliknya malahan
hidupku sepanjang tahun ada dalam neraka."
Sinar matanya tiba-tiba memancarkan kesedihan, katanya lebih lanjut:
"Selama dua puluh tahun ini, kehidupanku selalu kulewatkan bagaikan berada dalam neraka
saja." "Kalau begitu kau ....." bisik Hong-nio.
Akhirnya orang itu menjawab juga pertanyaannya:
288 "Aku bukan pousat, tapi namaku adalah Teo cong, soal lain lebih baik kau tak usah tahu,
sebab tahupun tiada manfaatnya bagimu."
Hong-nio tak berani bertanya lagi.
Ia telah mengetahui bahwa orang ini pasti mempunyai pengalaman yang memedihkan hati
dimasa silamnya, asal usulnya pasti pula menyelimuti suatu rahasia yang besar sekali.
Rupanya orang itu sudah lama tak pernah mengucapkan kata-kata sebanyak itu, seakan-akan
pula secara mendadak merasa lelah sekali.
Baru saja Hang-nio ingin bertanya kepadanya: "Apakah kau yang menyuruh si orang buta
mengantarku kemari" Di manakah Bu-ki sekarang?"
Tapi orang itu keburu sudah masuk kembali ke dalam peti matinya, memejamkan mata,
menyilangkan tangannya di depan dada dan tidak berkutik lagi..
Hong-nio tak berani mengganggunya .
....Dikala orang lain membutuhkan waktu untuk beristirahat, belum pernah ia mmgganggu
siapapun meski dikarenakan pelbagai alasan apapun yang dapat dipertanggung jawabkan.
Iapun duduk, sementara sepasang matanya memperhatikan tirai sutera yang tergantung di
depan pintu itu. Ingin sekali ia berjalan ke luar dari ruangan itu untuk melihat-lihat, tapi tempat ini adalah
rumah orang lain . Belum pernah ia berjalan mondar-mandir seenaknya sendiri di rumah orang lain, entah di
rumah siapapun sama saja.
Tentu saja iapun tak dapat duduk sepanjang masa di tempat itu dengan cara semacam ini.
Untunglah pada saat itulah si orang buta munculkan diri.
Sambil menyingkap tirai pintu dan berjalan masuk, ia hanya mengucapkan sepatah kata saja,
"Silahkan!" Kata-kata tersebut ibaratnya suatu mantera sakti yang mengandung suatu kekuatan mujizat,
serta merta Hong-nio bangkit berdiri dan tanpa mengucapkan sepatah katapun pergi
me-laksanakan perintahnya itu.
289 Di balik pintu merupakan suatu alam impian lain yang jauh lebih indah, kecuali perabot yang
sama-sama megah dan mewah nya seperti perabot di ruang depan, di situ masih ada pula
sebuah pembaringan. "Mulai hari ini, kamar ini akan menjadi kamarmu" demikian si buta berkata, "kalau lelah, kau
boleh tidur di sini, kalau lapar bunyikan bel yang berada di ujung pembaringan, apapun yang
ingin kau makan, segera akan ada orang yang mengantarkannya bagimu".
"Perkataan itu seperti dalam dongeng belaka. Setiap orang tak akan terlepas dari rasa ingin
tahunya, tak tahan Hong-nio berkata:
"Terserah apapun yang ingin kumakan?"
Tiba-tiba ia teringat dengan daging masak kecap, segera katanya lebih lanjut:
"Andaikata aku ingin makan daging masak kecap dari Gi-hoa-cay, apakah kau dapat
me-nyediakannya?" Si buta segera memberikan jawabannya dengan suatu kenyataan, ia ke luar sebentar untuk
mem-beri perintah dan tak lama kemudian hidangan yang diinginkan telah dihidangkan di
depan matanya. Hong-nio tak dapat mempercayainya dengan begitu saja, ia segera bertanya lagi:
"Benarkah daging masak kecap ini dibeli dari Gi-hoa cay yang berada di ibukota?"
"Daging masak kecap yang di jual di Gi-hoacay sekarang sudah tidak asli lagi, sebab kuali
besi serta bumbu asli mereka telah kubeli dengan uang sebesar sembilan ribu tahil perak".
"Bagaimana pula dengan bakpao dari Ko-put-li?"
"Toa-suhu yang membuat bakpao ditempat itu, semenjak banyak tahun berselang sudah
berada di dapur kami".
Kalau dibicarakan, hal tersebut mirip sekali dengan cerita dongeng, tapi jelas bukan kata
bohong, atau paling tidak telah menjelaskan banyak sekali persoalan yang sesungguhnya
susah untuk dijelaskan. "Aku sama sekali tak ingin tahu di manakah suhu pembuat bakpao dari Ko-put-li berada, aku
hanya ingin tahu di manakah Bu-ki pads saat ini .........?" kata Hong-nio.
"Menanti kau sudah sampai waktunya untuk bertemu dengannya, kau akan mengetahui
dengan sendirinya!" 290 Dibalik sepasang matanya yang kosong dan berwarna kelabu itu, entah berapa banyak rahasia
yang telah disimpan olehnya.
Hong-nio tidak bertanya lagi.
Dia adalah seorang perempuan yang telah mengerti keadaan, ia tahu banyak persoalan di
dunia ini adalah sama saja, semuanya harus menunggu sampai tiba saat yang dinantikan.
Bila saatnya belum tiba, sekalipun gelisah juga sama sekali tak ada gunanya.
Sekalipun demikian, ia toh bertanya kembali:
"Mengapa kau mengorbankan uang sebesar sembilan ribu tahil perak untuk membeli kuali
besi itu?" "Yang kubeli bukan kuali besinya, melainkan bumbu kecap yang sudah mengental di dasar
kuali tersebut". "Aku tahu bumbu di dasar kuali itu memang luar biasa sekali, konon sekalipun kita masukkan
sebatang kayu balok ke dalam bumbu kecap itu, sewaktu dimakanpun rasanya juga nikmat".
"Sayang kami tak pernah memasak kayu balok masak kecap, yang kami masak adalah
daging", kata si buta hambar.
"Jadi dengan uang sebesar sembilan ribu tahil perak," tujuanmu hanya ingin membeli bumbu
kecap yang telah mengerak di dasar kuali itu untuk membuat daging masak kecap sendiri?"
"Benar!" Andaikata Cian-cian, dia pasti akan bertanya lagi:
"Apakah kalian hendak membuka rumah makan penjual daging kecap" Apakah kalian hendak
menyaingi dagangan dari rumah makan Gi-hoa-cay"
Tapi Hong-nio bukan Cian-cian, maka dia hanya bertanya:
"Kenapa?" "Sebab setiap saat kemungkinan besar majikan ku ingin makan daging masak kecap".
"Kenapa kau tidak berangkat untuk membelikannya?"
291 "Sebab sekalipun menunggang kuda yang paling cepat dan menempuh perjalanan siang
malam tak berhentipun, paling tidak juga membutuhkan waktu selama dua sampai tiga puluh
jam untuk berhasil memperolehnya".
"Kau pernah mencobanya?"
"Hanya pernah mencoba sekali saja!"
"Apakah pada kali itu juga kau telah membeli pula kuali yang berisi bumbu tersebut?"
"Benar!" "Jadi kalau majikanmu ingin makan, maka setiap saat setiap waktu telah tersedia?"
"Benar!" "Seandainya dia ingin makan . . . "
Belum habis gadis itu berkata, si buta telah menukas dengan suara dingin:
"Sekalipun dia ingin makan hidungku, segera akan kupotong hidungku ini dan
mempersembah-kan ke hadapannya".
Hong-nio tak dapat berbicara lagi.
"Apakah kau masih ingin menanyakan sesuatu lagi?" tanya si buta kemudian.
Akhirnya Hong-nio menghela napas panjang, katanya:
"Padahal aku tidak ingin menanyakan persoalan-persoalan tentang masalah tersebut".
"Aku sudah tahu persoalan apakah yang sesungguhnya ingin kau tanyakan . ."
"Kau tahu?" "Ya, bukankah kau ingin bertanya kepadaku, siapakah sebenarnya dia" Kenapa mempunyai
ke-kuasaan sebesar ini?"
Hong-nio tak dapat menyangkal kebenaran dari perkataannya itu.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa si buta itu meski sudah buta dan tak berbiji mata lagi,
sesungguhnya dapat menembusi hati orang.
Terdengar si buta berkata lagi:
292 "Kau adalah seorang perempuan yang sangat berpendidikan, amat lemah lembut, amat sopan
dan tahu urusan, selamanya tak pernah membiarkan orang merasa jemu dengan perkataannya,
apalagi melakukan perbuatan yang membuat orang menjadi jemu, demi orang lain kau rela
menyiksa diri sendiri".


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berkata lagi:
"Sekarang, gadis semacam kau sudah tidak terlalu banyak bisa didapatkan lagi ............"
Sebenarnya perkataan itu adalah suatu kata-kata pujian dan kata-kata sopan santun, tapi ketika
diucapkan olehnya ternyata mengandung perasaan sedih dan ketidak beruntungan yang amat
tebal. Sepasang matanya yang telah tak dapat melihat apa-apa itu, seakan-akan telah menyaksikan
suatu musibah, suatu ketidak beruntungan yang segera akan menjelang tiba.
***** Ketika si buta muncul kembali untuk kedua kalinya, ini terjadi pada dua hari kemudian.
Hong-nio tak dapat memastikan secara pasti bahwa waktu sudah lewat dua hari, sebab tempat
itu pada hakekatnya adalah lambung bukit, di tempat semacam itu sulit untuk membedakan
siang ataupun malam. Dia hanya tahu dari titik-titik bocornya air, dari teko tembaga disudut ruangansana, sudah
hampir dua puluh jam lebih kebocoran itu terjadi.
Ia merasakan dirinya sangat lemah tak bertenaga.
Karena ia tak pernah menelan sebutir nasi atau setitik airpun.
Walaupun ia tahu asal bel di ujung pembaringan itu dibunyikan, maka makanan apapun yang
diinginkan segera akan didapatkan.
Tapi ia tak pernah menyentuh bel tersebut, setiap benda yang berada dalam ruangan itupun
tak pernah ia sentuh. Sekalipun pintu itu tak dikunci, asal ia menyingkap tirai yang menutupi pintu tersebut, ia
segera akan ke luar darisana, tapi ia lebih suka tinggal di tempat itu.
Sebab selamanya, ia tak pernah melakukan perbuatan yang sudah secara jelas diketahui
olehnya bahwa hal tersebut tak akan mendatangkan hasil apa-apa.
293 Sekalipun dia lemah lembut, sangat tahu urusan dan dapat menyiksa diri, tapi apa yang sudah
tak ingin dilakukannya, tak pernah ada orang yang akan memaksanya untuk melakukan.
***** Si buta seakan-akan sedang "memperhati-kan" pula dirinya. Akan tetapi kali ini ia tak berhasil
menebak suara hatinya. Sikap Hong-nio kepadanya masih tetap lemah lembut, amat sopan dan begitu menyaksikan
ke-datangannya ia segera bangkit untuk menyambutnya.
"Silahkan duduk!"
Si buta tidak duduk, dia hanya menyingkap tirai pintu seraya berseru pula:
"Silahkan! Hong-nio sama sekali tidak bertanya kepadanya hendak diajak ke manakah ia pergi, seakanakan
terhadap kejadian apapun ia sudah bersiap sedia untuk menerimanya tanpa membantah.
Baru berjalan ke luar dari pintu itu, ia telah menyaksikan manusia berbaju putih yang
mengaku bernama "Tee-cong" itu sedang duduk di ruangan menantikan kedatangannya.
Di atas meja telah dihidangkan pelbagai masakan yang lezat dan menyiarkan bau harum, dua
orang budak yang berdiri kaku di samping bagaikan patung, masing-masing membawa sebuah
baki besar terbuat dari emas yang berisikan penuh dengan aneka buah-buahan yang tampak
masak dan segar, di antaranya tampak buah pear dari Peng-ciu, buah kurma dari Lay-yang,
semangka dari Hami, buah delima dari Peking, jeruk dari Lamhong dan pisang serta nanas
dari pulau Lam hay. Ia duduk di tepi meja makan, sekalipun tidak bangkit berdiri namun sikapnya sangat ramah
dan lembut, bahkan sepasang matanya yang memancarkan sinar setajam sembilu itupun
berubah jauh lebih lembut, halus dan tenang.
Sekarang ia sudah tidak mirip lagi sebagai sesosok mayat hidup yang misterius, melainkan
lebih mirip seorang tuan rumah yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang soal
hidangan dan buah-buahan.
Tepat di hadapannya masih tersedia sebuah kursi kosong yang berlapiskan kulit rase,
sekalipun saat ini adalah musim panas yang amat gerah, tapi di tempat dasar bumi yang
lembab dan basah, benda tersebut memang terasa sangat dibutuhkan.
"Silahkan duduk!" ia berkata.
294 Hong nio pun duduk di kursi tersebut.
Hidangan yang telah siap di mejapun merupakan aneka macam hidangan lezat yang selama
hidupnya belum pernah ia jumpai.
Dengan sorot mata tajam, manusia berbaju putih itu mengawasinya sekejap, kemudian pelanpelan
berkata: "Kau adalah seorang manusia yang sangat aneh. Barang siapapun di dunia ini seandainya
mengalami keadaan sepertimu sekarang, tak nanti mereka akan melakukan tindakan seperti
apa yang telah kau lakukan sekarang . . . "
Hong nio segera tertawa, "Sesungguhnya apapun tidak kulakukan," katanya.
Hidangan apapun juga tak pernah kau makan," sambung manusia berbaju putih itu cepat.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya lebih jauh:
"Seseorang bila sedang tak ingin makan, sekalipun ada yang memaksanya juga tak akan dapat
untuk memaksanya menuruti kemauanmu . . ."
"Aku sendiripun berpendapat demikian!"
"Bila kuberitahukan satu hal kepadamu, entah dapatkah kau berubah pikiranmu itu?"
Hong nio tidak berbicara, ia sedang menantikan pembicaraannya lebih jauh.
"Tio Bu-ki sama sekali belum mati" kata manusia-berbaju putih itu, "cepat atau lambat kau
pasti dapat berjumpa dengannya."
Hong-nio berusaha keras untuk mengendalikan diri, sebab ia tahu luapan rasa gembira yang
diperlihatkan di meja makan adalah suatu perbuatan yang melanggar sopan santun.
"Aku jamin kalian pasti akan saling berjumpa muka, selama hidup belum pernah aku
mengingkari janji," kata orang berbaju putih itu lagi.
Hong nio tidak mengucapkan sepatah kata lagi, diapun tidak menanyakan persoalan apa-apa
lagi. Ia mulai menggerakkan sepasang sumpitnya.
***** Seperti juga Siau lui, manusia berbaju putih itu hanya makan sangat sedikit sekali.
295 Hong-nio juga tidak makan terlalu banyak.
Sebenarnya seseorang yang sudah dua tiga hari menderita kelaparan, kemudian secara tibatiba
berhadapan muka dengan semeja penuh hidangan lezat, semestinya dia akan
menunjukkan sikap yang kurang terkontrol dan agak rakus.
Tapi Hong nio adalah terkecuali.
Karena ia sadar bahwa dirinya sama sekali tak memiliki kekuatan untuk melawan orang lain,
karenanya ia harus mempergunakan otak dan perasaannya untuk mengendalikan keadaan itu.
Dalam melakukan perbuatan apapun jua, ia setalu berusaha untuk mengendalikan luapan
emosi sendiri. Manusia berbaju putih itu sedang memandang ke arahnya, sinar mata yang tajam itu penuh
dengan pancaran rasa kagum dan memuji, pelan-pelan katanya:
"Kau harus tahu bahwa aku adalah seseorang yang gemar sekali bermakan enak, tapi jumlah
makanan yang bisa kumakan hanya sedikit sekali, lagi pula setiap waktu setiap saat aku
membutuhkan waktu untuk beristirahat.
Tiba-tiba ia berhenti sekian lama, sedang menantikan pertanyaan dari Hong-nio yang
menanyakan alasannya. Betul juga, pada saat yang tepat Hong-nio sedang bertanya:
"Kenapa demikian?"
"Karena aku keracunan!"
`Sejak kapan kau menderita keracunan?" paras muka Hong-nio agak berubah.
"Sudah hampir mendekati duapuluh tahun lamanya."
Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi penuh kesedihan, kekesalan dan kemu-rungan,
katanya lebih jauh: "Racun itu benar-benar merupakan sejenis racun yang menakutkan sekali, selama duapuluh
tahun terakhir ini selalu menggerogoti tubuhku dan menyiksa diriku, setiap tahun sekali aku
harus pergi meminta sebutir obat pemunah untuk mempertahankan selembar jiwaku,
sekalipun demikian aku masih tak boleh terlalu lelah apalagi mempergunakan hawa murniku
untuk melakukan suatu pertarungan, kalau tidak, bila racun itu sampai kambuh kembali maka
sekalipun bisa mendapatkan obat pemunahnya juga sama sekali tak berguna."
296 Siapapun juga, semua orang dapat melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki yang sombong
dan tinggi hati, tapi sekarang ia telah menceritakan musibah yang telah menimpa dirinya itu
kepada Hong-nio. Cerita tersebut bukan saja menimbulkan simpatik di hati Hong-nio, lagi pula membuatnya
merasa sangat terharu, dengan suara yang lembut segera katanya:
"Aku rasa, selama banyak tahun ini kau pasti sudah banyak merasakan penderitaan dan
siksaan." Ternyata orang berbaju putih itu menghindari tatapan sinar matanya, lewat lama sekali ia baru
berkata lagi setelah tertawa dingin:
"Obat penawar itu bukan kudapatkan dengan cara memohon kepadanya, tapi aku
memperoleh-nya dengan jalan menukar memakai kepandaianku kalau tidak demikian,
sekalipun harus mati akupun tak akan pergi memohon kepadanya.
Walaupun Hong-nio tak tahu perselisihan-nya dengan Siau Tang-lo, tapi ia tidak menaruh
curiga atas perkataannya itu.
Kembali mencorong sinar tajam dari mata manusia berbaju putih itu, katanya:
"Dulu dengan mengandaikan sebilah pedang, aku telah malang melintang tanpa tandingan
dalam dunia persilatan, tak terhitung jumlah manusia yang kubunuh selama ini, musuh besar
ku tersebar dimana-mana, sekalipun orang yang tiada sakit hati dengankupun selalu berusaha
menginginkan batok kepalaku, sebab siapapun yang dapat membunuhku, maka ia dapat
mempergunakan darahku untuk mempolesi namanya hingga menjadi tenar."
Kembali ia tertawa dingin, katanya lebih jauh:
Jilid 11________ CUMA sayangnya, aku tak akan membiarkan harapan mereka terkabul sesuai dengan apa
yang diinginkan." Akhirnya Hong-nio baru sadar sekarang, rupanya tujuan orang itu berbaring kaku dan tak
bergerak barang sedikitpun bukan lantaran ingin menakuti-nakuti orang, melainkan jika racun
yang mengeram dalam tubuhnya tiba-tiba menjadi kambuh.
Seperti orang mati ia hidup di bawah tanah, tinggal dalam peti mati seperti mayat, itupun
bukan dikarenakan sengaja berbuat sok misterius dan menyeramkan, melainkan untuk
menghindari kejaran dari musuh besarnya.
297 Tiba-tiba saja ia merasa bahwa orang ini sedikitpun tidak menakutkan, bukan saja tidak
menakutkan, lagi pula patut dikasihani.
Sebab walaupun ia belum mati, tapi keadaan tersebut sama halnya pula seperti dikubur hiduphidup.
KEBEBASAN HONG-NI0 ARAKPUN terdiri dari aneka macam jenis.
Adasemacam arak berwarna merah seperti darah, itulah arak anggur dariPersia.
Cawan terbuat dari kaca itu lebih anggun dan menawan hati. Semacam keindahan yang
misterius dan merangsang hati orang.
Pelan-pelan orang berbaju putih itu menghirup setegukan, di atas wajahnya yang putih ke
pucat-pucatan seakan-akan diliputi pula oleh warna semu merah yang misterius dan
merangsang hati. Dengan suara yang lembut kembali ia berkata: "Meskipun jejakku agak rahasia, tapi
belakangan ini tampaknya sudah mulai bocor dan diketahui oleb khalayak ramai, anak muridmusuh
musuhku dimasa lalu secara beruntun telah berdatangan ke bukit Kiu hoa san untuk
mencari jajakku." Sengaja ia tidak memandang ke arah Hong nio, terusnya:
"Orang yang beshasil dilenyapkan oleh Lui cu hari itu misalnya, dia adalah anak murid dari
seorang musuh besarku yang paling lihay.
Hong nio menundukkan kepalanya, berusaha keras menghilangkan bayangannya atas bocah
aneh itu dan berusaha pula tidak membayangkan kembali kejadian pada malam itu.
Sekarang ia sudah mengetahui hubungan antara dia dengan manusia berbaju putih itu.
"Meskipun aku tidak takut kepada mereka," kata orang berbaju putih itu lebih lanjut, "tapi
racun yang mengeram dalam tubuhku setiap saat kemungkinan akan kambuh, bila sampai
demikian adanya maka aku pasti akan tewas di tangan mereka"
Warna semu merah yang menyelimuti wajahnya lambat laun mulai luntur, akhirnya ia
berpaling dan memandang ke arah Hong nio sambil berkata lebih jauh:
"Bila aku sampai tewas, malca semua pengikutku pasti akan mati semua, lagi pula mereka
akan mati dalam keadaan yang mengenaskan sekali"
298 Hong nio tidak bersuara, ia betul-betul tak tahu apa yang musti dikatakan, sesungguhnya
persoalan-persoalan semacam ini tak sepantasnya kalau diceritakan kepadanya.
Kembali orang berbaju putih itu berkata:
"Aku beritahu kesemuanya ini kepadamu, karena aku . . . aku berharap agar kau tetap tinggal
di sini menemani aku."
Ketika secara tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata tersebut, Hong-niopun ikut merasa terkejut.
"Selama banyak tahun aku selalu kesepian, belum pernah kutemukan seseorang yang cocok
menemani aku bercakap-cakap .
Memang tidak banyak jumlah perempuan yang begitu balus budi seperti Hong-nio dalam
dunia ini. "Akan tetapi aku sama sekali tidak menaruh maksud lain kepadamu," kata orang berbaju putih
itu lebih jauh, "seharusnya kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang manusia yang cacad."
Sekalipun dia juga berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi suatu perasaan sedih dan
menderita yang sukir dikendalikan telah memancar ke luar dari sepasang matanya yang dingin
dan tak berperasaan itu. Hong nio tidak membiarkan ia berkata lebih lanjut, tiba tiba sahutnya:
"Kukabulkan permiataanmu itu!"
Tampaknya jawaban tersebut sangat mengejutkan hati orang yang berbaju putih itu, bisiknya
gemetar: "Kau...kau mengabulkan permintaanku?"
"Aku bersedia tinggal di sini untuk menemanimu!"
Sekarang ia masih belum dapat berjumpa dengan Bu ki, entah apapun alasannya, semuanya
itu merupakan kenyataan yang tak bisa dirubah ataupun dibantah.
Ia percaya Cian-cian dan Ci Peng pasti dapat menjaga diri sendiri, mereka pasti tak akan
ber-sedih hati karenanya.
Ia merasa bahwa satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan olehnya sekarang adalah
membuat orang yang sombong, tapi penuh penderitaan, penuh siksaan dan menakutkan serta
mengenaskan ini hidup selama beberapa hari lagi dalam keadaan yang amat gembira.
299 Warna semu merah kembali menghiasi wajwh orang berbaju putih itu, katanya kemudian:
"Aku tidak bermaksud untuk memaksamu!"
"Tidak, kau tidak memaksaku, aku sendiri yang rela berbuat demikian, sebab perbuatan yang
tak ingin kulakukan tak akan bisa dipaksakan oleh siapapun juga".
"Tapi kau. . ., Aku hanya berharap agar kaupun dapat menyanggupi sebuah permintaanku !"
"Katakanlah!" "Asal Bu-ki sudah ada kabarnya, kau harus membiarkan aku pergi dari sini".
"Kau tidak mempunyai syarat lain?"
"Jika kau masih mengharapkan aku untuk mengajukan syarat lain, maka kau . . . kau berarti
sedang menghina diriku".
Orang berbaju putih itu memandang ke arahnya, tiba-tiba saja di atas wajahnya yang pucat
memancarkan cahaya tajam, seperti juga sebatang pohon yang telah layu tiba-tiba muncul
kembali harapannya untuk hidup lebih lanjut.
Bagi sejenis manusia, "pemberian" selamanya jauh lebih senang dan bahagia dari pada
"perampasan". Hong-nio tak salah lagi adalah manusia semacam itu.
Si Buta masih berdiri agak jauh di tepi ruangansana, sekalipun sepasang matanya tak dapat
melihat apa-apa lagi, tapi seakan-akan ia telah menyaksikan kembali suatu kesedihan dan
ketidak beruntungan. ***** Sampai waktu itu, Hong-nio masih tak pernah lupa untuk menulis catatan hariannya setiap
hari. Ia mencatat hari mengikuti "titik-titik" air yang berbunyi, sekalipun tidak cocok seratus
persen, paling tidak setiap bulannya hanya selisih antara setengah jam belaka.
Menurut perhitungan penanggalan waktu itu, maka setiap tahun hanya terdiri dari tiga ratus
enampuluh hari. 300 Kehidupan di bawah tanah amat sederhana dan tawar, asal dapat memilih catatan dari tiga hari
di antaranya, kita dapat memahami seluruh pengalaman serta kejadian yang telah menimpa
dirinya selama beberapa bulan ini.
Tentu saja tiga hari tersebut adalah tiga hari yang terpenting dalam kehidupannya selama
be-berapa bulan ini, sekalipun demikian sudah cukup untuk merubah nasib seseorang, dan
perubahan tersebut justru terjadi dalam tiga hari itu.
Diantara kejadian-kejadian tersebut, tentu saja ada yang menguntungkan, tapi ada pula yang
membawa ketidak beruntungan. Peristiwa yang tidak beruntung terjadi pada bulan sembilan
tanggal dua puluh tiga. ***** Bulan sembilan tanggal dua puluh tiga, hari terang. Walaupun di tempat seperti ini sulit untuk
mengetahui apakah cuaca sedang mendung atau cerah, tapi aku tahu bahwa hari ini udara
pasti terang. Sebab ketika si tuan buta pergi ke luar, ia mengenakan baju yang tipis sekali dan sewaktu
pulang telapak sepatunya kering dan bersih.
Ia pergi untuk mencari Siau-lui.
Siau-lui telah minggat dari rumah.
Selama aku berada di sini, tak pernah satu kalipun kujumpai dirinya, Tee-cong seakan-akan
secara sengaja menghindari pertemuan di antara kami berdua.
"Tee-cong" memang manusia aneh, Siau-luipun seorang bocah yang aneh pula. . .


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun demikian, sesungguhnya hati mereka itu ramah dan baik hati.
Terutama sekali Siau-lui, belum pernah aku membenci dirinya, sekdipun ia bersikap demikian
kepadaku, mungkin saja disebabkan pada masa yang lalu belum pernah ia memperoleh kasih
sayang dari ibunya ..... mungkin juga wajahku agak mirip dengan wajah ibunya.
Dalam pandangan dan perasaan seorang bocah, ibu selamanya adalah perempuan yang paling
cantik dan paling lembut di dunia ini.
Tapi, kenapa ia harus minggat dari rumah"
Aku ingin menanyakan persoalan ini kepada "Tee-cong," tapi secara tiba-tiba saja wataknya
berubah menjadi kasar dan berangasan, ia bersikap galak dan ganas kepadaku. "
301 Tapi akupun tidak menyalahkan dirinya, aku tahu ia sedang marah dan bersedih hati karena
kepergian Siau-lui yang tanpa pamit itu.
Terlalu besar dan tinggi pengharapannya terhadap Siau-lui dimasa-masa mendatang.
Ketika mereka sedang pergi mencari Siau-lui, tiba-tiba kutemukan kembali suatu kejadian
yang sangat aneh.. Di tempat ini seluruhnya terdapat enam belas buah ruangan, di belakangsanaterdapat pula
se-buah pintu batu, dihari-hari biasa pintu batu itu selalu tertutup rapat, kalau dugaanku tak
salah tempat itu pasti merupakan gudang mestika yang paling rahasia milik "Tee-Cong".
Hari ini, di tempat apapun sudah mereka cari, tapi tak pernah memeriksa ruangan itu, apakah
mereka beranggapan bahwa Siau - liu tak mungkin bersembunyi disana, karena tempat itu tak
boleh didatangi oleh siapapun jua "
Akhirnya tak tahan lagi kutanyakan persoalan ini secara diam-diam kepada Sia-sianseng (tuan
buta), tapi begitu mendengar perkataan itu, bagaikan dipagut ular berbisa, tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia berlalu darisana.
Belum pernah kusaksikan ia menunjukkan sikap begini takutnya, tapi apa yang ia takuti"
Bulan sebelas tanggallimabelas.
Kalau dihitung-hitung maka hari ini semestinya bulan akan purnama lagi, entah di luar hari ini
ada rembulan atau tidak" Entah rembulan itu masih tetap bulat seperti dulu"
Sudah empat kali bulan purnama aku berdiam di sini.
Seringkali aku teringat akan diri Bu-ki, setiap hari bahkan mernikirkannya, yaa, setiap waktu
setiap detik selalu memikirkannya, tapi tak pernah kubicarakan tentang dirinya.
Sebab aku tahu, dibicarakanpun tak ada gunanya.
Agaknya Bu-ki sedang berada dalam suatu keadaan yang amat istimewa, aku harus menunggu
sampai suatu saat tertentu sebelum dapat bertemu dengannya.
Aku mempunyai perasaan semacam itu, maka aku harus menunggu dengan hati yang sabar.
Lagi pula akupun percaya bahwa "Tee-cong" bukanlah seseorang yang tidak pegang janji,
iapun sangat baik kepadaku, belum pernah ia ungkapkan kepadaku kalau "mempunyai
maksud lain", dalam hal ini dia benar-benar memegang janji.
302 Tapi semenjak kepergian Siau-lui tanpa pamit, wataknya makin lama berubah makin aneh,
seringkali ia berbaring seorang diri di dalam peti matinya, sepanjang hari sepanjang malam
tak mengucapkan sepatah katapun denganku, akupun hanya duduk termangu seorang diri di
sana. . Kehidupan semacam ini tentu saja bukan suatu kehidupan yang terlalu baik, tapi untunglah
aku dapat melewatinya dengan baik.
Adaorang mengatakan bahwa aku terlalu lemah, ada pula yang mengatakan bahwa aku
bagaikan sebuah benda antik, begitu dibentur segera akan hancur berantakan.
Selamanya aku tak pernah membantah atau mengucapkan sesuatu komentar tentang persoalan
ini. Benda paling lembek di tubuh manusia adalah rambut, sedang yang paling keras adalah gigi,
tapi alat tubuh manusia yang paling mudah rusak justru adalah gigi, sebaliknya bila seseorang
telah mati, sekujur tubuhnya telah membusuk dan hancur, rambutnya masih akan tetap utuh.
Benda paling lemah di tubuh manusia adalah mata, akan tetapi setiap hari setiap waktu dari
pagi sampai malam yang selalu dipergunakan oleh manusia adalah mata, tak pernah orang
me-ngatakan kalau matanya tak terpakai atau matanya tak digunakan lagi.
Matapun tak pernah lelah, kalau kau pergunakan mulutmu untuk berbicara terus tiada
hentinya atau menggunakan tangan tak hentinya ataukah menggunakan kaki tak hentinya,
maka sejak dulu-dulu kau sudah mampus karena lelah.
Oleh karena itu aku pikir bahwa "lemah dan lembut" serta "keras dan kuat" sesungguhnya
bukan bisa dibedakan dengan nyata.
Hingga hari ini aku baru tahu bahwa kepergian Siau-lui sebenarnya adalah lantaran aku.
Kiranya sebelum pergi meninggalkan tempat itu, ia telah meninggalkan sepucuksurat, dalam
suratnya ia hanya mengucapkan beberapa patah kata saja:
"Aku suka dengan Hong-nio, tapi kau telah merampasnya, maka aku pergi dari sini, aku
ber-sumpah suatu hari aku pasti akan merampasnya kembali dari tanganmu".
Siau-lui benar-benar seorang anak yang aneh, aku selalu tak habis mengerti kenapa ia bisa
bersikap demikian kepadaku.
Setiap bulan sedang purnama, tabiat Tee-cong pasti akan berubah menjadi begitu gundah,
berangasan dan tak tenang.
303 Lebih-lebih hari ini, wataknya benar-benar jelek sekali, apalagi setelah minum sedikit arak,
oleh karena itulah ia mengeluarkansuratyang ditinggalkanSiau-lui dan memperlihatkannya
kepadaku. Sekarang aku baru mengerti, mengapa si Sia sianseng memandangku dengan sinar mata
macam itu. Ia pasti menganggap kedatanganku ke mari telah membawa bencana serta ketidak
beruntungan, kepergian Siau-lui tanpa pamit tak lebih hanya salah satu contoh saja di
antaranya. Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Siau-lui, sebab bocah semacam dia tak akan
menderita kerugian ke manapun ia pergi.
Aku hanya berharap agar ia jangan berjalan sesat, karena ia terlampau cerdik, ilmu pedangnya
begitu lihay, kalau sampai jalan serong niscaya seluruh dunia akan kacau balau dibuatnya-.
Pada bulan delapan tanggal limabelas aku mulai belajar pedang, hingga kini sudah ada tiga
bulan lamanya. Aku sama sekali tidak memiliki dasar dasar belajar ilmu pedang, kecuali sewaktu kecil dulu
aku pernah belajar sedikit ilmu semedi dan ilmu tenaga dalam dari paman Sam siok,
hakekatnya sedikit kepandaian silatpun tidak kupahami.
Akan tetapi "Tee-cong" justru mengatakan bahwa aku boleh belajar ilmu pedang.
Ia bilang akupun sangat aneh, siapa tahu kalau pada akhirnya bisa berhasil mempelajari ilmu
pedang Giok li kiam hoat yang sudah lama punah dari dunia persilatan, karena katanya
watakku agaknya sesuai dengan ilmu pedang tersebut.
Aku selamanya tak pernah tahu kalau untuk belajar pedangpun harus meninjau pula watak
serta perangai seseorang, sudah tiga bulan aku melatihnya dengan tekun, entah sampai pada
batas apakah kepandaian yang telah kulatih sekarang.
Cuma saja "Tee-cong" memang seorang manusia yang luar biasa, ia bilang dahulu "dengan
sebilah pedang ia malang melintang, dan tiada tandingannya dikolong langit", aku lihat ia
bukan sedang mengibul. Ilmu pedang yang dimilikinya memang betul betul mengagumkan.
Suatu kali ia pernah berkata, ia dapat memutuskan kutung selembar rambut di kepalaku,
kemudian mematas pula rambut yang telah terpapas itu menjadi dua bagian, dan kemudian ia
dapat memapasnya pula beberapa bagian yang ia inginkan.
Ia tidak mengibul, ia benar benar dapat melakukannya.
304 Sengaja kusisir rambutku kencang kencang, aku hanya melihat cahaya pedangnya berkilauan
dan tahu tahu selembar rambutku telah terpapas kutung, menanti rambut itu terjatuh ke tanah,
ia telah berubah menjadi tigabelas bagian.
Hanya sekilas cahaya pedangnnya berkelebat, ternyata rambutku telah terpapas kutung tidak
lebih dan tidak kurang dari selembar saja, bahkan kemudian mematasnya kembali menjadi
tidak lebih dan tidak kurang dari tigabelas bagian.
Meskipun aku tidak mengerti tentang ilmu pedang, tapi aku dapat melihatnya bahwa ilmu
pedang yang dimilikinya itu pasti jarang sekali yang bisa menandinginya.
Karena caranya turun tangan benar benar terlalu cepat, sedemikian cepatnya membuat orang
benar benar tak dapoat mempercayainya.
Ia bilang aku telah mempelajari seluruh rahasia serta intisari yang terkandung dalam ilmu
pedang Giok li hiam hoat, asal dikemudian hari sering melatihnya, maka sekalipun orang lain
sudah berlatih selama sepuluh tahun belum tentu sanggup untuk menandingi diriku.
Aku percaya dia adalah seorang guru yang pandai, tapi tidak percaya kalau aku adalah
seorang muridnya yang begitu baik.
Tapi terlepas dari semuanya itu, asal ia sudah berbaring kembali dalam peti matinya, akupun
mencari sebilah pedang dan mulai melatihnya dengan tekun.
Tentu saja aku tak berani menyentuh pedang yang terletak di atas meja sembahyang itu,
bahkan ia sendiripun belum pernah menyentuhnya.
Seringkali ia berkata bahwa kini ia tidak pantas untuk mempergunakan pedang itu lagi, sebab
dahulu pedang tersebut tak pernah kalah, tapi sekarang ia sudah bukan jago pedang tak
terkalahkan yang dulu lagi.
Bulan tiga tanggal duapuluh delapan.
Tanpa terasa aku sudah hampir delapan bulan lamanya tinggal disini, hari ini adalah hari
peringatan kematian dari ayah Bu Ki.
Hari ini ditahu silam, adalah hari perkawinanku dengan Bu Ki, setiap orang bilang bahw ahari
itu adalah hari yang baik, hari penuh keselamatan dan rejeki.
Aaaai! Hari rejeki macam apakah itu" Pada saat itulah telah terjadi peristiwa yang
mengerikan, bukan saja telah mencelakai jiwa loyacu, emnghancurkan masa depan Bu Ki,
telah menghacurkan pula kehidupanku ini.
305 Andaikata loyacu tidak mati, betapa bahagianya aku hari ini, betapa senangnya kehidupanku,
bahkan siapa tahu kalau aku telah mendapatkan anak untuk Bu Ki.
Tapi hari ini... Dibawah tulisan "hari ini" tampak ada bekas bekas basah yang lembab, agaknya ia telah
banyak mengucurkan air matanya.
Apakah peristiwa yang telah terjadi hari ini jauh lebih menyedihkan dan lebih menakutkan
dari pada hari ini ditahun silam"
Bila kau sempat membaca catatan rahasianya ini dan membaca sampai di sini, maka kau pasti
akan membacanya lebih jauh.
Tulisan di bawah sana tampak jauh lebih awut awutan dari pada tulisan dihari hari biasa.
Pagi ini ternyata Tee-cong bangun jauh lebih cepat dariku, ketika aku bangun tidur, ia telah
menungguku, sikapnyapun jauh lebih berbeda dari pada dihari hari biasa.
Ia mengatakan bahwa dalam istana bawah tanah ini masih ada satu tempat yang belum pernah
ia mengajaknya kesana, maka hari ini dia akan mengajakku untuk meninjau tempat tersebut.
Tentu saja aku merasa sangat girang, sebab aku telah menduga bahwa tempat yang akan
dikunjungi bersamaku ini pastilah gudang harta yang amat rahasia itu.
Ternyata dugaanku memang tak salah.
Ia benar benar memerintahkan orang untuk membuka pintu batu di sebelah belakang, ketika
aku masuk mengikutinya, aku baru tahu bahwa dugaanku ternyata masih ada satu hal yang
salah. Tempat itu bukan saja bukan gudang harta, bahkan baunya minta ampun, ketika berjalan
masuk ke gua itu, segera terendus bau busuk yang amat memuakkan tersiar ke luar dari sana,
bau busuk itu macam bau busk dalam kandang babi.
Walaupun oleh bau busuk itu kepalaku dibikin pusing tujuh keliling dan rasanya ingin
muntah, tapi rasa ingin tahuku semakin besar, dengan keraskan kepala aku ikut pula masuk ke
dalam. Tempat itupun merupakan sebuah ruangna yang terdiri dari batu granit, sebetulnya perabot di
situ tidak jelek, tapi sekarang telah sama sekali berubah bentuknya, tirai merah berbunga emas
yang semula melapisi dinding ruangan, kini hampir berubah menjadi hitam pekat, tong untuk
buang air, tempolong untuk meludah serta sisa nasi dan sayur yang bercampur aduk hampir
menumpuk dimana mana. 306 Di atas dinding, di atas permukaan tanah, diamanpun penuh dengan lukisan manusia yang
sedang melakukan suatu gerakan pedang, setiap lembar lukisan itu semuanya sudah kuno dan
kumal. Seorang manusia berambut panjang, mana dekil mana bau lagi duduk di sana sambil
memperhatikan lukisan-lukisan pedang itu, adakalanya seakan-akan ia terkesima, kadangkala
juga melompat bangun dan menggerak-gerakkan tangannya, siapapun tak tahu jurus macam
apakah yang sedang ia perlihatkan itu.
Orang itu kurusnya bukan kepalang hingga tinggal kulit pembungkus tulang, lagi pula sudah
beberapa bulan tak pernah mandi, rambutnya, jenggotnya kotor dan bau busuk, hakekatnya
tak berani aku memandang ke arah wajahnya.
Iapun seakan-akan tak pernah tahu kalau ada orang berjalan masuk ke dalam ruangan, bahkan
memandang sekejap ke arah kamipun tidak, sebentar-sebentar ia mencengkeram segenggam
kitab ilmu pedang dan memeluknya sambil tertawa terbahak-bahak, lalu menangis pula
tersedu-sedu. Aku rasa orang itu pastilah seorang sinting.
"Tee-cong" mengatakan bahwa ia belum sinting, cuma sudah menjadi "Tidak waras" karena
terpikat oleh buku-buku ilmu pedang tersebut, sedemikian terpikatnya oleh ilmu, sampai
makanpun enggan, tidurpun tak pernah, apa lagi mandi, ia terpikat sampai melupakan segalagalanya.
Aku sendiri tak dapat membedakan apa perbedaan antara "sinting" dan "Tidak waras".
Entah dia sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, yang pasti aku enggan berdiam lebih
lama di tempat semacam itu.
"Tee-coug" masih juga mengawasinya lekat-lekat, seakan-akan menaruh perhatian yang
khusus terhadap orang tersebut.
Diam-diam aku ngeloyor ke luar dari situ, sebab aku sangat mual dan benar-benar tak tahan
untuk mau muntah, tapi akupun tak ingin muntah di hadapannya.
Sebab bagaimanapun jua, dia toh tetap seorang manusia.
Aku bersembunyi di dalam kamarku dan muntah hebat, setelah minum secawan air teh panas,
"Tee-cong" pun datang.
Ia kembali menatapku setengah harian lamanya sebelum memberitahukan kepadaku bahwa
sekarang adalah saat baginya untuk pergi mohon obat penawar bagi mencegah bekerja racun
307 di dalam tubuhnya, setiap tahun ia harus minta obat penawar sekali, katanya pula bahwa
per-jalanan yang akan ditempuh tidak dekat, paling tidak satu bulan kemudian baru akan
pulang kembali ke sana. Ia bertanya kepadaku, bersediakah mengikutinya" Ataukah ingin tetap tinggal di sini"
Sudah barang tentu aku lebih suka mengikutinya pergi, sudah terlampau lama aku berdiam di
tempat ini, tentu saja aku ingin melihat lihat ke tempat luaran.
Siapa tahu setibanya di luar, aku akan mendapat kabar tentang Bu-ki, apalagi akupun ingin
tahu keadaan dari Cian-cian serta Ci Peng.
Aku selalu merasa bahwa kedua orang itu adalah sepasang sejoli yang sangat ideal, watak
Cian-cian kurang baik, Ci Peng pasti akan selalu mengalah kepadanya, Cian-cian selalu
menerbitkan gara-gara di semua tempat dan Ci Peng pasti akan menyelesaikan semua
kesulitan itu bagi dirinya ........
Sayang sekali Ciao-cian selalu bersikap dingin terhadap Ci Peng, selamanya tak pernah
memberi kesan atau mimik wajah yang lebih baik kepadanya.
Ketika "Tee-cong" tahu bahwa aku bersedia mengikutinya pergi, ia merasa gembira sekali,
aku diberi setengah cawan arak anggur untuk menghangatkan tubuh.
Setelah meneguk separuh cawan arak itu, akupun tertidur dengan nyenyaknya.
Menunggu aku telah sadar kembali dari tidurku, baru kuketahui bahwa kami telah
meninggalkan gua dalam dasar bumi itu.
Aku duduk dalam sebuah kereta kuda dengan mengenakan pakaian berkabung, beberapa
orang berbaju hitam sambil menggotong peti mati tembaga dari "Tee-cong" mengikuti di
belakang kereta. Aku tahu, ia pasti berada di dalam peti mati itu, dan akupun didandani demikian untuk
mengelabui mata orang. Malam itu kami mencari sebuah rumah penginapan yang kecil dan sepi untuk beristirahat
seluruh penginapan itu kami borong semua.
Pelayan-pelayan dari penginapan tersebut samuanya mengira bahwa aku adalah janda yang
baru kematian suami, pelayanannya terhadap segala keperluanku amat baik dan istimewa.
Aku menginap di dalam sebuah kamar besar seorang diri, aku selalu tidak tidur karena aku
tahu bahwa "Tee-cong" pasti akan datang.
308 Tengah malam itu, ia benar-benar telah datang, aku menemaninya makan semangkuk bubur
dan diapun menatapku lekat-lekat.
"Kau benar-benar tidak kenali dia?" tiba-tiba ia mengajukan sebuah pertanyaan yang aneh
sekali kepadaku. Pada mulanya aku masih tidak mengerti, kemudian setelah menjumpai sikapnya yang aneh itu
tiba-tiba saja aku merasa sedikit kalap, suatu ingatan yang menakutkan mendadak melintas di
dalam benakku . . Mungkinkah manusia yang kotor, busuk dan aku tak berani memandang barang sekejappun
kepadanya itu adalah Bu-ki yang membuatku rela berkorban asal dapat bertemu sekejap lagi
dengannya" "Tee-cong" dapat meraba suara hatiku, tiba tiba ia menerangkan:
"Apa yang kau duga memang benar, dia adalah Bu-ki."
Aku hampir saja gila karena gelisah, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, ingin menjerit
sekuat-kuatnya, dan ingin mencekiknya sampai mati, tapi apapun tidak kulakukan.
"Tee-cong" memang tidak mengingkari janji, ia telah menepati janjinya dan mengajakku
menjumpai Bu-ki. Ia sama sekali tidak salah, akulah yang salah! ia tidak pantas mati, akulah yang pantas mati,
akulah yang pantas mati! Ternyata aku tak dapat mengenali kembali diri Bu-ki.
Siang malam aku ingin bertemu dengannya, tapi dikala aku telah berjumpa dengannya
ternyata aku tidak mengenali lagi dirinya.
Apalagi yang bisa kukatakan kini"


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menanti perasaanku sudah jauh lebih tenang dan pergolakan darah dalam dadaku telah normal
kembali, "Tee cong" baru beritahu kepadaku bahwa Bu ki datang mencarinya untuk belajar
pedang, diapun menganggap Bu-ki mempunyai bakat untuk belajar pedang.
Tapi diantara mereka berdua berlaku suatu perjanjian, yakni sebelum Bu ki berhasil selesai
dengan pelajaran pedangnya, ia tak boleh berjumpa dengan siapapun.
Bu-ki telah setuju dengan perjanjian itu dan menepatinya, maka setiap kali aku ingin bertemu
dengan Bu-ki. ia selalu mengatakan belum sampai waktunya.
309 Tee-cong berkata kembali:
"Kami telah berjanji dengan batas waktu setahun, pada waktu itu aku akan pergi untuk
mencoba ilmu pedangnya, asal ia berhasil mengalahkanku, maka aku akan mempersilahkan ia
pergi meninggalkan tempat itu . . .
Setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut, aku baru tahu bahwa perjanjian di antara mereka
berdua tidaklah sederhana.
Aku amat memahami jalan pemikiran Bu-ki.
Dia tahu bahwa "Tee-cong" tak nanti akan mewariskan ilmu pedangnya kepadanya, maka dia
pasti telah mempergunakan suatu cara yang sangat istimewa untuk memaksa "Tee-cong" mau
tak mau harus menyanggupi untuk mewariskan ilmu pedang kepadanya.
Oleh karena itu, ketika Tee-cong mengajukan syarat tersebut, diapun mau tak mau harus
menerimanya. Tapi dari mana mungkin ia bisa mengalahkan "Tee-cong?" Pada hakekatnya ia sama sekali
tak punya kesempatan untuk menang.
Agaknya "Tee-cong" telah berhasil menebak pula apa yang sedang kupikirkan di hati, dengan
dingin katanya kepadaku: Ia bukannya tak punya kesempatan, sebab ilmu pedangkupun kupelajari dari kitab-kitab dan
lukisan-lukisan tersebut, selamanya aku selalu bekerja adil.
Kemudian ia berkata lagi:
"Tapi setelah menjumpai dirimu, jalan pikiranku tiba-tiba berubah, aku kuatir kalau ilmu
pedangnya benar-benar telah berhasil dan merebutmu dari sisiku, aku ingin sekali
membunuhnya agar selamanya kau tak dapat berjumpa lagi dengannya."
Akan tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian, karena ia bukan seorang siaujin yang tak
tahu malu seperti itu. Maka hatinya penuh dengan perasaan sedih, tersiksa dan serba bertentangan, oleh sebab itu
pula kadang-kadang wataknya akan berubah menjadi begitu berangasan dan aneh.
Ternyata kesemuanya itu adalah lantaran aku.
Sekarang aku baru mengerti kenapa si buta selalu beranggapan bahwa aku akan
mendatangkan ketidak beruntungan bagi mereka.
310 Tee-cong kembali berkata:
"Tapi, akupun tidak menyangka kalau ia dapat melatih ilmu pedang sehingga menjadi "tak
waras," seakan-akan sama sekali telah berubah menjadi seseorang yang lain!"
Mungkin lantaran dia tahu kalau Bu-ki telah berubah, maka ia baru membawaku untuk pergi
menjumpai Bu-ki. "Tee-cong" menatapku tajam tajam, kemudian berkata lagi:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati, tapi kau keliru kalau berpendapat
demikian, karena aku telah bertekad untuk membiarkan kau kembali ke sisi Bu ki, sebab aku
dapat melihat dan merasakan bahwa kau benar-benar telah mencintai dirinya, bila suatu hari
kau tahu bahwa aku melarang kalian saling berjumpa, kau pasti akan membenciku sepanjang
masa, aku tak ingin kau membenciku sepanjang masa!"
Kembali ia berkata: "Tapi sekarang, setelah ia berubah menjadi begitu rupa, bila kau menjumpainya hari ini malah
justru akan mencelakainya, bila ilmu pedangnya berhasil dikuasai maka belum terlambat
rasanya bila kalian berjumpa kembali pada waktu itu.
Aku tidak bersuara, karena aku telah merasa bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah kata-kata
yang seratus persen jujur.
Aku tidak menyalahkannya, sebab tiap manusia tentu mempunyai watak serakah, lebih
me-mentingkan diri sendiri dan ternyata diapun seorang manusia begini.
Harus menunggu sampai kapankah Bu-ki baru akan berhasil dengan ilmu pedangnya" Sampai
kapan pula baru dapat mengalahkannya"
Hari seperti itu kemungkinan besar tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya.
Tapi aku dapat menanti sampai dia kembali ke guanya, waktu itu akupun dapat bertemu
kembali dengan Bu ki. Perduli Bu ki sudah gila juga boleh, sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, pokoknya
setelah bertemu kembali dengannya, aku tak akan meninggalkannya lagi untuk selamanya.
***** Hong nio meninggalkan bukit Kiu hoa sun pada bulan tiga tangga duapuluh delapan.
311 Pada malam bulan empat tanggal satu, ketika para hwesio kuil Bwee-sham-wan sedang
bersembahyang malam, tiba-tiba mereka menjumpai seorang manusia aneh yang kotor, bau,
kurus dan kelelahan hebat sedang berbaring di atas undak-undakan batu di depan altar besar
sambil memandangi bintang-bintang di angkasa, seakan-akan sudah lama, lama sekali ia tak
pernah melihat sinar bintang hingga memandangnya dengan terpesona.
MENCOBA PEDANG BULAN empat tanggal dua, udara sangat cerah.
Dihari-hari yang berudara segar seperti ini, perasaan Lau Pat selalu luar biasa baiknya.
Terutama pada hari ini. Hari ini ia bangun pagi sekali, setelah bersarapan pagi dengan hidangan yang lezat, diapun
pergi menunggang kuda mencari angin.
Malam harinya ia terbiasa untuk minum banyak arak, kadangkala bahkan diwaktu makan
siangpun akan minum, oleh karena itu dia selalu memperhatikan sarapan paginya ini.
Pagi ini dengan makan seekor ayam, ayam yang dimasak dengan arak, seekor ikan leihi hidup
yang dimasak Ang sio dan semangkuk besar sawi hijau yang dimasak udang.
Kecuali dapat mempergunakan uang dalam jumlah besar, bermain perempuan cantik dan
minum arak wangi, ayam, ikan leihi dan sawi hijau kemungkinan bssar adalah tiga macam
hidangan yang paling disukai Lau Pat.
Pagi ini dalam waktu setengah jam ia telah mengitari tembokkotasatu kali dan kembali ke
rumah. Inilah rekor tercepat darinya dalam mengitari tembokkota.
Tentu saja ia bukan lari, dengan mempergunakan sepasang kakinya, ia lari dengan
menunggang kuda. Tentu saja kuda tunggangannya adalah seekor kuda cepat, sekalipun bukan kuda tercepat
di-dunia, paling tidak merupakan kuda paling cepat di dalam wilayah delapan belaskotadi
sekitarsana. Kuda itu sesungguhnya bukan miliknya.
Sejak dengan mata kepala sendiri ia menyaksikanBu-ki membinasakan tiga orang saudara dari
keluarga Tong di atas loteng Siu oh khang, tak seharipun ia dapat tidur dengan tenang.
312 Iapun seorang jago persilatan, selama berkecimpungan dalam dunia persilatan, dendam sakit
hati semalam ini ini harus dituntut balas.
Jika Bu ki datang untuk membalas dendam maka pada hakekatnya ia tak bertenaga untuk
melakukan perlawanan. Oleh karena itu selain ia mengutus orang untuk mencari jago lihay guna metindungi
keselamatan jiwanya, diam-diam iapun menyelidiki jejak dari Bu ki.
Menanti ia dengar orang berkata bahwa Bu-ki munculkan diri untuk terakhir kalinya
diTaypek ki di bawah bukit Kiu hoa san, ia segera membawa orang memburu kesana, tapi
suami istri pemilik penginapanTaypek ki ternyata telah tewas dibunuh sehari sebelumnya.
Dia hanya menjumpai pelayan yang bernama Siau ting beserta kuda ini. Kuda dari Tio Bu ki.
Ia merasa persengketaannya dengan Bu ki sudah pasti akan berlangsung, maka apa salahnya
kalau perselisihan itu ditambah lagi dengan perselisihan lain" Maka kuda itupun menjadi kuda
miliknya. ***** Selama setahun belakangan ini, kehidupannya boleh dibilang dapat dilewati dengan aman dan
tenteram, Tio Bu ki yang dahulu merupakan momok baginya kini sudah makin dilupakan.
Satu-satunya hal yang membuat ia menjadi pusing sekarang adalah tiga orang jago lihay yang
dipeliharanya selama ini dengan beaya yang amat tinggi itu.
Sesungguhnya dia ingin sekali menyuruh mereka pergi, tapi takut menyinggung perasaan
mereka, terutama si Pincang Oh tersebut, ia paling takut untuk membuatnya menjadi
tersinggung. Ia telah bertekad untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam beberapa hari ini juga,
sekalipun harus kehilangan sejumlah uang lagi, diapun rela.
Beaya untuk memelihara tiga orang pelindungnya ini hakekatnya jauh lebih mahal dari pada
memelihara tiga orang bini muda, ia sudah merasa agak kewalahan.
Sekarang ia baru tahu, bahwa persoalan yang paling membuang beaya besar di dunia ini
bukan mencari `kesenangan`, melainkan "Dendam sakit hati".
Lantaran persoalan ini, dia telah kehilangan uang sebesar tigapuluh laksa tahil lebih, ditambah
lagi uang yang dimenangkan Bu ki, walaupun sekarang ia tampaknya masih gagah dan
mentereng, sesungguhnya isi koceknya sudah kian menipis.
313 Untung saja "Tempat perjudian"nya masih ada, hasil yang dia perolehpun jauh lebih baik dari
pada hasil tahun berselang, oleh sebab itu ia masih dapat bertahan sampai sekarang.
Selesai membersihkan badan dengan air dingin, persoalan yang sebenarnya memusingkan
kepala itu seakan-akan telah berubah menjadi bukan suatu persoalan lagi.
Setelah berganti dengan satu stel baju yang bersih, ia bermaksud untuk memeluk bini
mudanya dan mengajak ia tidur.
Pada saat itulah, Hui Iotau tiba-tiba muncul di situ.
***** Hui lotau adalah pengurus dari tempat perjudiannya, dia adalah seorang rase tua yang
ber-pengalaman dan boleh diandalkan, sudah puluhan tahun ia bekerja di tempat perjudian,
permainan busuk macam apapun ia kenal dan pahami dan kejadian dan peristiwa macam
apapun pernah ditemuinya.
Tapi ia tampak agak kaget dan gugup pada hari ini, dengan napas tersengal-sengal ia lari
masuk hampir saja jatuh terjerembab karena terkait palang pintu.
Sambil tertawa Lau Pat segera mendamprat:
"Hei, coba kau lihat tampangmu yang begitu gelisah, apakah bini tuamu lagi-lagi dibawa
kabur orang?" Hui lotau menghela napas dan tertawa getir, sahutnya:
"Tidak aneh kalau cuma bini tuaku dibawa kabur orang, tapi kejadian yang berlangsung hari
ini baru betul-betul dibilang kejadian yang aneh dan luar biasa"
"Apakah terjadi peristiwa lagi di dalam rumah perjudian kita?" tanya Lau Pat dengan dahi
berkerut. "Yaa, bahkan tidak terhitung kecil peristiwa yang telah terjadi disana. . . ."
Peristiwa yang paling ditakuti tempat perjudian adalah jika secara tiba-tiba kedatangan
seorang penjudi yang mempunyai rejeki luar biasa bagusnya, seperti juga Heng ing pa cu
(macan kumbang yang mujur) tahun berselang.
Tapi manusia seperti Heng ing pa cu sudah tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya
dalam masa seperti ini. 314 "Aturlah dulu pernapasanmu, duduk dan bicaralah pelan-pelan," kata Lau Pat pelan,
"sekalipun langit bakal ambruk, kita masih sanggup untuk menahannya, buat apa kau musti
gelisah?" Agaknya untuk dudukpun Hui lotau tak sanggup, kembali katanya dengan gelisah:
"Hari ini rumah perjudian kita telah kedatangan lagi seorang jago lihay dan menggaet
sejumlah uang kita secara meyakinkan."
"Menggaet," artinya adalah memenangkan.
Apapun tidak ditanya Lau Pat, dia cuma bertanya:
"Apakah sekarang orang itu telah pergi"`
"Belum! "Heehhh "heeehhh ....heehhh....asal orang itu belum pergi, kita masih mempunyai cara untuk
menghadapinya" kata Lau Pat sambil tertawa dingin tiada hentinya. .
Asal bertaruh itu bukan terhitung suatu kekalahan, Hui lotau adalah seoraog ahli di dalam
bidang perjudian, sudah barang tentu diapun memahami akan teori tersebut.
Akan tetapi hari ini ia tidak berpendapat demikian, katanya lagi:
"Oleh karena ia belum mau pergi juga, maka baru ada kerepotan buat kita semua."
"Kenapa?" "Sebab ia masih akan bertaruh terus, bahkan kelihatannya akan menang lebih jauh."
"Kau dapat melihatnya?"
"Tentu saja! Ketika datang, ia hanya bermodal sepuluh tahil perak, sekarang ia sudah
memenangkan empat belas kali taruhan."
"Berapa banyak yang dia menangkan dari ke empat belas kali taruhan ini . . . . . ?"
"Enam belas laksa tiga ribu delapan ratus empat puluh tahil perak!" sahut Hui lotau.
Paras maka Lau Pat segera berubah, sambil menggebrak meja keras keras teriaknya:
"Apa pekerjaanmu disana" Kenapa kau biarkan ia menang sebanyak empat belas kali?"
315 "Aku sama sekali tak berdaya untuk mencegahnya, karena setiap lemparan dadunya selalu
menunjukkan angka enam tiga kali."
Kali ini Lau Pat melompat bangun saking kagetnya, dengan wajah berubah serunya:
"Apakah Heng in pa cu yang telah datang lagi?" "Sebenarnya aku memang mencurigai
dirinya, tapi tampangnya sedikitpun tidak mirip dengan si macan tutul yang mujur!"
Setelah berpikir sebentar, kembali katanya:
"Kalau Heng in pacu adalah seorang pemuda yang bertampang ganteng dan menarik, maka ini
tampangnya seperti orang yang kena penyakit t. b.c.!"
"Cara apa yang telah ia pergunakan?" Lau Pat meraung penuh kegusaran.
"Aku tidak melihatnya!"
Lau Pat semakin berang. "Masa di dalam empat belas kali lemparan dadunya, kau sama sekali tak tahu dengan sistim
apa ia melepaskan dadunya itu!"
"Tampaknya ia seperti tidak menggunakan sistim apapun!"
Padahal dalam hati kecilnya diapun tahu bahwa dalam dunia tiada seorang manusiapun yang
memiliki rejeki semujur itu dalam empat belas kali lemparan semuanya menunjukkan angka
enam tiga kali. "Sekalipun ia menggunakan sistim permainan, orang yang ada di sanapun tak dapat
melihatnya" kata Hui lotau lebih jauh, "oleh sebab itu akupun tak berani mengusiknya, aku
hanya membiarkan ia berdiam dulu untuk sementara disana."
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah murung dan kesal katanya kembali:
"Sekarang dalam ruangan sudah tak punya uang lagi untuk membayar taruhannya itu, bukan
saja ia sedang menunggu untuk mengambil uang bahkan masih akan berjudi terus: "Pat-ya!
Coba lihat apa yang musti kita lakukan sekarang?"
Masakah kau tak tahu apa yang musti kita lakukan sekarang?" Lau Pat tertawa dingin.
"Tapi kalau dilihat dari keberaniannya untuk datang makan kita, sudah pasti ia mempunyai
sedikit asal usul yang besar pula."
Lau Pat menjidi sangat gusar, serunya:
316 "Perduli amat ia mempunyai asal usul yang besar atau tidak, pokoknya kau harus
melakukannya begitu lebih dulu!"
"Sekalipun kita akan menangkap dia, paling tidak taruhannya musti kita bayar dulu !"
Hal ini memang merupakan peraturan permainan, jika peraturan dirusak maka siapakah yang
berani datang bertaruh lagi dilain waktu"
Tentang soal ini Lau Pat bukannya tidak mengerti, sayangnya ia tak punya uang untuk
meng-gantinya. ***** "Kau pergilah untuk menahan dia lebih jauh, aku akan pergi mencari akal . . .
Satu satunya jalan yang dapat ditempuh oleh nya adalah pergi mencari Cia lakkonya, tapi
diapun tahu bahwa jalan tersebut belum tentu bisa ditembusi.
Hubungan mereka telah makin menjauh, sejak modal sebesar duapuluh laksa tahil perak yang
di tanamkan dalam tempat perjudiannya kena dilalap oleh Heng-in-pa-cu, hubungan mereka
sudah sedemikian renggangnya sehingga nyaris tek pernah berhubungan lagi.
Benar juga, jawaban Cia Lak adalah begini: "Yaa, apa boleh buat, belakangan aku sendiripun
agak kesulitan uang, malah akupun hendak mencarimu untuk mencari pinjaman."
Oleh karena itulah terpaksa ia harus pergi mencari Oh Po cu (si Pincang Oh).
Terhadap orang yang sudah mati, selamanya ia tak perlu membayar kemenangan dari
taruh-annya lagi. Sekalipun cara tersebut bukan peraturan dari rumah perjudian, tapi hal mana justru merupakan
suatu kenyataan yang tak akan menimbulkan perdebatan orang.
Bila seseorang telah berada dalam keadaan tak punya uang, seringkali kenyataan tersebut
dipandang jauh lebih dari pada peraturan macam apapun.
Dan terhadap banyak persoalan, diapun akan memandang jauh lebih penting dari peraturan.
Si Pincang Oh bukan cuma kakinya saja yang pincang sekali, bagian tubuh yang lainpun
tumbuh kurang begitu sempurna.
317 Ia kurus kecil, berkepala botak, hidungnya agak bengkok dan telinganya kurang sebagian,
bukan saja wajahnya tak sedap, dekilnya bukan main, sama sekali tidak bertampang seseorang
yang pantas dihormati. Orang ini hanya mempunyai suatu kebaikan, yaitu kurang begitu suka banyak bicara.
Sewaktu ia datang untuk pertama kalinya, bukan Lau Pat saja yang tak pandang sebelah mata
kepadanya, dua orang jago yang diundang Lau Pat dengan bayaran tinggipun lebih lebih tak
pandang sebelah matapun kepadanya, bahwa mereka tak sudi untuk bersantap bersama di satu
meja. Dulu, kedua orang itu katanya adalah jago-jago hebat dari wilayah Lau-pak, terutama di
kalangan Liok lim. "Ting Kang" dan "To Jiang" yang mereka pergunakan jelas bukan nama
mereka yang sesungguhnya.


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Kang mempergunakan pedang Siang bun kiam sedang To Jiang menggunakan golok
Yan ling to, ilmu silat yang mereka berdua miliki tergolong kepandaian "keras".
Tentu saja mereka tak sudi berada dalam satu pekerjaan dengan si pincang yang jelek dan
memuakkan itu, maka bertekadlah kedua orang itu untuk baik-baik memberi pelajaran
kepadanya, agar ia tahu keadaan dan mengundurkan diri.
Suatu malam setelah mereka minum beberapa cawan arak, dicarinya si pincang Oh untuk
"ber-cakap-cakap" dalam lorong gelap di belakangsana.
Tapi keesokan harinya, Lau Pat menemukan bahwa sikap mereka terhadap si Pincang Oh
telah berubah seratus delapan puluh derajat, bukan saja gerak geriknya amat sungkan dan
munduk-munduk bahkan lebih mendekati ketakutan setengah mati.
Lau Pat bukan bodoh, tentu saja iapun dapat menerka sebab apa yang membuat sikap mereka
berdua berubah menjadi begini rupa.
Maka, sikapnya terbadap si Pincang Oh pun seketika berubah pula seratus delapan puluh
derajat. Tapi si Pincang Oh sendiri sama sekali tak berubah, terserah bagaimana sikap orang lain
ke-padanya, seakan-akan dia tak ambil perduli.
Sekalipun kau menempelengnya dua kali, mungkin diapun seakan-akan tak ambil perduli.
Sebulan setelah ia datang ke tempat itu seorang piausu yang telah kalah bertaruh dan mabuk
karena arak benar-benar telah menoempelengnya .. . .
Malam itu, Piausu tersebut tahu-tahu sudah "lenyap" tak berbekas.
318 ***** Sebenarnya Lau Pat mengira bahwa si Pincang Oh belum tentu akan bersedia untuk
mengurusi persoalan tersebut, karena persoalan semacam ini sudah cukup diselesaikan oleh
Ting Kang dan To Jiang. Sungguh tak disangka si Pincang Oh secara sukarela menyatakan kesanggupannya untuk maju
sendiri, sebab dia ingin melihat sepasang tangan yang dapat melemparkan empat belas kali
angka enam tiga kali itu.
Bu-ki sedang memperhatikan sepasang tangannya.
Walaupun sepasang tangannya sedikitpun tak berubah, tapi ia tahu tampang wajahnya
sekarang pasti telah mengalami banyak perubahan.
Itu terbukti dari tak seorang manusiapun di sana yang mengenali dirinya lagi. Hanya sepuluh
bulan lebih sedikit, ternyata seseorang telah mengalami banyak sekali perubahan.
Ia sudah bercermin, alhasil hampir saja ia tidak mengenali akan diri sendiri.
Wajahnya telah berubah menjadi pucat dan berkilat karena sudah amat lama tak pernah
tertimpa sinar matahari, sepasang matanya telah cekung ke dalam karena kurang tidur dan
penggunaan otak yang berlebihan, bahkan rambutnya pun jauh lebih sedikit dari pada dulu.
Tapi yang aneh, jenggotnya justru tumbuh dengan kelewat cepatnya, bahkan kadangkala
dapat menutupi codet di atas wajahnya.
Dia harus berendam diri hampir satu jam lamanya dalam air panas sebelum pada akhirnya bau
busuk yang tersiar ke luar dari badannya dapat dilenyapkan.
Tapi ia tahu bahwa selama hidup jangan harap ia dapat pulih kembali seperti dulu.
Ya, barang siapapun manusia di dunia ini, asal ia telah mengalami penghidupan selama tiga
ratus hari dalam keadaan seperti itu, pada akhirnya ia pasti akan berubah menjadi seseorang
yang lain. Ia dapat mempertahankan diri lebih jauh lantaran dia masih mempunyai rasa percaya pada diri
sendiri, ia percaya dirinya pasti dapat berjalan ke luar dari tempat itu dalam keadaan hidup.
Karena dia tahu, manusia macam mayat hidup itu pasti akan meninggalkan tempat itu untuk
minta obat penawar setiap bulan empat.
319 Asal ia dapat meyakinkan manusia mayat itu bahwa ia benar benar sudah "tidak waras", maka
dia pasti akan memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.
Dalam hal ini tak bisa diragukan lagi ia telah melakukannya dengan sukses.
Oleh karena itulah di menang.
Dengan jelas dia tahu bahwa sekalipun berlatih sepuluh tahun lagi, belum tentu ia mempunyai
kesempatan untuk mengalahkan mayat hidup itu, ia telah mempertaruhkan kebebasan
hidupnya dengan manusia aneh itu.
Karenanya dia harus menang.
***** Sekarang, secara beruntun dia telah menangkan empat belas kali permainan, ia telah
memenangkannya secara memuaskan.
Semua pertaruhan yang sedang berlangsung dalam rumah perjudian itu praktis telah berhenti,
tapi tak seorangpun diantara mereka yang mampu pergi meninggalkan tempat itu.
Semua orang sedang menantikan perkembangan selanjutnya dari peristiwa tersebut.
Bu-ki pun sedang duduk menanti.
Ia sedikitpun tidak gelisah, bahkan jauh lebih tenang dari pada siapapun juga.
Ketika To Jiang dan Ting kang masuk ke dalam, ia segera tahu bahwa pemain-pemain
sandiwara telah datang. Ketika berjalan masuk ke dalam ruangan, Ting Kang merasakan lambungnya seakan-akan ada
gumpalan bara api yang sedang membakar perutnya.
Setiap kali sebelum membunuh orang, dia selalu mempunyai perasaan seperti itu.
Dalam sekilas pandangan saja ia telah menemukan Bu-ki.
Rupanya Lau Pat telah melukiskan potongan tubuh orang itu dengan sejelas-jelasnya.
"Kalian harus pergi membunuhnya karena dia mempunyai dendam sakit hati dengan kalian
bukan aku yang suruh kalian membunuhnya, tentang soal ini kalian harus mengingatnya baikbaik!"
Tentu saja Ting Kang dapat memahami maksud hati dari Lau Pat.
320 Jikalau kedatangan mereka untuk membunuh orang adalah dikarenakan hendak membalas
dendam, itu berarti peristiwa tersebut sama sekah tiada hubungannya dengan rumah perjudian
tersebut, maka siapapun tak bisa mengatakan bahwa Lau Pat telah merusak peraturan rumah
perjudian. Orang itu tampaknya tidak begitu keren atau mengerikan, seakan-akan seorang manusia yang
sama sekali tak berguna. Dia hanya berharap bisa menyelesaikan parsoalan ini dengan cepat, agar diapun dapat cepatcepat
pergi mencari perempuan serta menyelesaikan persoalan sendiri.
***** Jalan pemikiran To Jiang jauh lebih sempurna lagi.
Ia sedang berpikir apakah orang ini masih mempunyai pembantu ataukah mungkin ada orang
diantara penonton yang tiba-tiba turut campur di dalam urusan mereka.
Ketika diperhatikan, dalam ruangan itu hanya ada dua orang manusia yang tampaknya agak
menyolok. Orang pertama adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, berwajah tampan dan
berdandan perlente, walaupun usianya paling tidak sudah mencapai tiga puluh tahun, namun
gayanya keren benar, tampaknya bukan saja sangat beruang, keluarganya pasti mempunyai
kekuasaan besar. Untung saja bila seseorang mempunyai asal usul yang besar, biasanya dia paling enggan
untuk mencampuri urusan orang lain.
Lagi pula iapun dapat merasakan bahwa orang itu tidak mirip sahabat Bu-ki, maka To Jiang
pun tak ingin mencari gara-gara dengannya.
Orang kedua tidak bertampang bagus, sewaktu tidak tertawa dapat pula kita temukan
sepasang lesung pipitnya yang dalam, sepasang matanya besar dan lincah, dalam melihat
benda apapun, ia selalu menunjukkan sikap seakan-akan ingin tahu.
Andaikata dia benar-benar adalah seorang pria, jelas ia merupakan seorang laki-laki tampan
yang jarang ditemukan, cuma sayangaya rada kebanci-bancian.
To Jiang adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, maka sekilas pandangan saja
telah diketahui olehnya bahwa dia adalah seorang perempuan yang menyaru sebagai seorang
pria. 321 Pandangannya terhadap kaum wanita, ia selalu mempunyai pendapat yang sama dengan Ting
Kang . . . Yang paling menakutkan buat perempuan ada diatas ranjang, bukan diujung
kepalan. Oleh sebab itu ketika dengan sekali lompatan lebar Ting Kang melompat kehadapan Bu-ki,
diapun segera menyusulnya, kemudian sambil tertawa dingin serunya:
"Oooh, rupanya kau!"
***** Bu-ki segera tertawa. Dua orang ini betul-betul pandai bermain sandiwara, sejak semula ia telah menduga
permainan sandiwara macam apakah yang bakal dipertontonkan oleh kedua orang itu.
Dengan wajah membesi Ting Kang berseru: "Sudahlimatahun lamanya kami mencarimu,
sungguh beruntung jejakmu berhasil kutemukan pada hari ini, apa lagi yang bisa kau
katakan?" Bu-ki segera tersenyum. "Kalau begitu kalian datang mencariku, karena ada dendam sakit hati denganku?" katanya.
Pertanyaan yang diajukan itu persis seperti ucapan yang hendak mereka utarakan.
Dengan cepat Ting Kang menyahut:
"Tentu saja ada dendam, dendam sakit hati yang lebih dalam dari samudra . . . . "
"Oleh karena itu, kalian bertekad hendak membunuhku hari ini?" Bu-ki menyambung lagi.
"Yaa, kami akan membunuhmu sampai mampus!"
"Bolehkah aku membalas?"
Ting Kang tertawa dingin.
"Asal kau mempunyai kepandaian, mau membunuh kami berduapun juga boleh . . . " katanya.
"Sungguh?" Ting Kang sudah enggan untuk ribut lagi dengannya, golok Yan leng to yang tersoren di
pinggangnya telah diloloskan dari sarung.
322 To Jiang pun telah mencabut pula pedang Siang bun kiam miliknya.
Sesungguhnya dia tidak gemar membunuh orang seperti Ting Kang, tapi persoalan ini
memang lebih cepat diselesaikan semakin baik lagi.
Bu-ki kembali berkata: "Kalian ada yang menggunakan golok, ada pula yang menggunakan pedang, tentunya aku tak
akan melayani dengan tangan kosong belaka bukan . . . . . ?"
Dengan sinar mata yang tajam dia celingukan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya
lagi: "Apakah di antara kalian yang hadir ada yang membawa pedang" Bolehkah meminjamkan
sebentar kepadaku?" Tentu saja ada di antara mereka yang membawa pedang, tapi tak seorang manusiapun yang
senang terlibat dalam persoalan semacam ini.
"Kaupun pandai menggunakan pedang?" To Jiang bertanya.
"Yaa, bisa sedikit-dikit!"
To Jiang segera tertawa dingin.
"Ditanganku ada pedang, asal kau punya kepandaian, kau boleh mengambilnya sendiri!"
"Baik!" Begitu, ucapan tersebut berkumandang keluar, pedang To Jiang telah berputar kencang di
tangannya, cahaya pedang yang menyilaukan mata segera memancar ke udara.
Menyusul kemudian Ting Kang dan To Jiang pun roboh terkapar di atas tanah.
Ting Kang dan To Jiang sebenarnya bukan manusia yang gampang roboh ke tanah.
Sewaktu berada di wilayah Liau-pak, mereka sudah tersohor sebagai jago-jago aliran "keras",
karena mereka benar-benar memiliki serangkaian kepandaian yang mengagumkan.
Tapi sekarang bukan saja mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menangkis
ataupun menghindar, bahkan gerakan apakah yang dipergunakan lawannya tak sempat pula
terlihat jelas, tahu-tahu seperti dua batang balok kayu yang dipegang orang, mereka roboh
terkapar dengan begitu saja.
323 Dalam waktu singkat itulah mereka berdua sama-sama sudah tertusuk oleh dua buah tusukan
menusuk persis di atas bagian tubuh mereka yang membuat kedua orang itu mau tak mau
harus roboh ke tanah. Setelah terkapar di atas tanah, mereka masih tidak percaya kalau peristiwa itu adalah suatu
kenyataan. Bu-ki sendiripun hampir-hampir tidak percaya dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tidak ingin memperguna-kan pedang, tapi dia benar-benar tak tahan untuk
menjajalnya. Dia ingin mencoba kepandaian ilmu pedangnya.
Terlalu besar yang telah ia bayar untuk mendapatkan kepandaian tersebut, maka dia ingin
tahu seberapa besar hasil yang telah diperolehnya itu.
Sekarang ia telah tahu. Perasaan Lau Pat makin lama semakin tenggelam, ia masih belum tenggelam sama sekali,
sebab masih ada sebercik harapan yang dimilikinya.
Satu-satunya harapan yang dimilikinya yakni si Pincang Oh.
Tiba-tiba si Pincang Oh berkata:
"Agaknya aku datang ke mari pada tahun berselang bulan tujuh tanggal duapuluh tiga
bukan?" " Yaa, agaknya memang benar!" Lau Pat mengangguk.
Pelan-pelan si Pincang Oh berkata lagi:
"Bukankah hari ini adalah bulan empat tanggal dua?"
"Benar!" "Kalau begitu aku sudah berada di sini selama duaratus limapuluh hari tepat!" .
"Yaa, memang begitulah!"
"Setiap hari aku bersantap dua kali, nasi berikut arak paling tidak juga bernilai tiga tahil
perak". 324 "Tapi aku tak pernah memperhitungkan-nya!" kata Lau Pat.
"Kau tak pernah memperhitungkannya, aku telah menghitung dengan sangat jelas, dari dulu
sampai sekarang kau telah memberi delapan laksa tujuh ribu tahil perak, bila ditambah dengan
tujuh ratus limapuluh tahil uang nasi berarti semuanya berjumlah delapan laksa tujuh ribu
tujuh ratus limapuluh tahil perak?"
Tiba-tiba ia mengambil ke luar setumpuk uang dari sakunya dan diletakkan di hadapan Lau
Pat, kemudian katanya kembali:
"Semua uang itu berjumlah sepuluh laksa tahil perak, anggaplah aku telah mengembalikannya
kepadamu, uang pokok berikut bunganya".
Walaupun jumlah itu selangit banyaknya buat rakyat kecil, bagi seorang bandar judi sepuluh
laksa tahil perak tidak terhitung sejumlah uang yang besar.
Tentu saja Lau Pat merasa terkejut sekali dengan perbuatannya itu, cepat ia berseru:
"Kenapa kau mengembalikan semua uang itu kepadaku?"
"Karena aku takut mati!" Ternyata jawaban dari si Pincang Oh cukup jelas dan gamblang.
Setelah memandang sekejap ke arah Bu-ki, dia memberi penjelasan lebih jauh:
"Jika uang itu tidak kukembalikan kepadamu, berarti aku harus membantumu untuk
membunuh orang, itu berarti aku harus pergi mengantarkan kematianku sendiri".
"Kau pergi mengantar kematian?" Lau Pat berkata dengan nada tidak habis mengerti.
"Benar, siapapun yang berani maju ke depan, itu berarti dia sedang mengantar kematian
sendiri". Paras muka Lau Pat berubah hebat.
Kembali si Pincang Oh berkata lagi:
"Tahun ini aku telah berusialimapuluh tahun, sebenarnya aku mempersiapkan uang yang
sepuluh laksa tahil perak itu untuk membeli tanah, mencari bini dan mempunyai beberapa
orang anak sambil hidup selama beberapa tahun lagi "
Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan lebih jauh:
325 "Tapi sekarang aku lebih suka mengembalikannya kepadamu, karena aku benar-benar takut
mati!" Lau Pat dapat melihat, bahwa ia bukan sedang berbohong, untung saja uang yang diberikan
kepadanyapun bukan uang kertas palsu.
Terhadap seseorang yang sudah hampir jatuh bangkrut, uang yang sepuluh laksa tahil perak
itu tentu saja sangat berguna sekali.
Sekali cengkeram Lau Pat telah mencopot uang yang sepuluh laksa tahil perak banyaknya itu,
keadaannya ketika itu ibarat seseorang yang hampir mati tenggelam tiba-tiba berhasil
me-nangkap sebatang kayu balok untuk menyelamatkan diri.
Seharusnya uang modal yang berada dalam rumah judi ini masih ada tujuh delapan laksa tahil.
Maka dengan membusungkan dada, ia berjalan kehadapan Bu-ki dengan langkah lebar,
katanya dengan suara keras:
"Taruhanmu segera akan kubayar, kemudian kita boleh berjudi lagi ........
***** Sekali bertaruh, kembali ia kalah.
Ia berusaha untuk melemparkan dadu lebih dulu, dia ingin sekali bisa meraih angka "Pa-cu"
yakni tiga enam tiga kali, sayang sekali dadu yang digunakan bukan dadu palsu, maka
kembali ia merasa tegang sekali.
Ketika dadunya dilempar maka angka yang berhasil diraihpun dua angka enam dan satu
angkalima. Limatidak terhitung sebuah angka yang kecil.
Tapi ketika Bu-ki melemparkan dadunya dengan begitu saja, segera muncullah enam tiga kali,
dadunya tidak palsu, caranya bermainpun tidak palsu.
Tentu saja diapun tak bisa membayar taruhan itu dengan uang palsu pula.
"Kali ini kau harus membayar tiga puluh dua laksa tujuh ribu enam ratus delapan puluh
perak" demikian Bu-ki berkata.
Kali ini Lau Pat betul-betul sudah tenggelam, peluh dingin telah mengucur keluar dengan
derasnya membasahi sekujur tubuhnya.
326 "Bila kau ingin bertaruh lagi, maka kau musti membayar dulu semua kekalahanmu itu
kepadaku!" Bu-ki kembali berkata.
Setelah tertawa ewa ia menambahkan lebih jauh: "Jika kau tidak bertaruh lagi, maka baik atau
buruk kaupun musti membayar uang taruhan tersebut kepadaku."


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 12________ LAU PAT sedang menyeka keringat.
Seseorang yang semakin tak punya uang keringatnya yang mengucur keluarpun semakin
banyak, semakin tak mampu mengganti semakin tak kering keringat yang disekanya.
Setelah termenung dan ragu-ragu beberapa waktu lamanya, dengan perasaan apa boleh buat
Lau Pat menggigit bibir dan berkata:
"Aku tak sanggup untuk membayar uang taruhanmu itu!"
Bu-ki tampak seperti tertegun setelah mendengar perkataan itu, sebab kejadian tersebut benarbenar
di luar dugaannya. "Masakan uang yang hanya berjumlah tiga puluh laksa tahil lebih sedikit pun tidak sanggup
kau bayar" " katanya.
"Jangankan tigapuluh laksa lebih, tiga laksapun aku tak sanggup untuk membayar."
*Kalau sudah tahu tak mampu membayar, kenapa kau masih juga bertaruh denganku?"
"Karena aku ingin menangkan kembali uangku."
Jawaban tersebut terhitung pula sebuah jawaban yang jujur.
Barang siapa yang sudah kalah bertaruh, siapakah yang tak ingin menangkan kembali
modalnya" Tapi siapa yang ingin menangkan kembali modalnya, siapa pula yang bisa tak
kalah" "Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" Bu ki bertanya kemudian setelah termenung
sebentar. "Aku sendiripun tak tahu apa yang musti kulakukan sekarang . . . ." Lau Pat gelengkan
kepalanya berulang kali. Kenapa kau tidak berusaha untuk pergi meminjam kepada orang lain . . .?"
327 `Tapi ke manakah aku harus pergi meminjam",
"Pergilah mencari saudara-saudaramu, atau mungkin juga pergi mencari teman-temanmu.`
Tiba-tiba Lau Pat tertawa keras, suara tertawanya seperti seseorang yang sedang menangis,
katanya: "Jika seseorang sudah hampir jatuh bangkrut, mana ada saudara lagi dan mana ada
teman lagi?" Inilah pelajaran dan pengalaman yang harus dialaminya dengan perasaan yang tertekan dan
tersiksa, sebenarnya dia tidak ingin mengatakannya ke luar.
Tapi sekarang ia mengatakannya juga, karena hatinya benar-benar sudah dingin dan putus asa.
Semua orang lain telah menganggap pula bahwa ia benar-benar sudah menghadapi jalan
buntu, tapi kecuali seseorang.
Tiba-tiba ia berkata : "Kau keliru!"
KAU KELIRU KAU keliru !" Orang yang mengucapkan kata-kata tersebut mempunyai logat yang istimewa,
nada perkataannyapun istimewa.
Suara itu diucapkan dengan nada yang rendah, berat dan asing, sekalipun seseorang yang
merupakan jago kawakanpun tak dapat membedakan suara itu berasal dari dialek propinsi
mana. Nada suaranya seakan-akan membawa semacam kekuatan yang memaksa orang lain harus
menerima maksud hatinya itu.
Kalau dia mengatakan kau keliru, maka kau pasti keliru, bahkan kau sendiripun akan
merasakan bahwa dirinya pasti telah keliru.
Hal ini memang sesuai sekali dengan gayanya yang anggun dan perlente, dandanannya yang
necis dan sikapnya yang agung.
Dahulu ia jelas tak pernah berkunjung ke tempat itu, dulu diapun belum pernah berjumpa
dengannya. Lau Pat tidak kenal dengan orang itu, katanya kemudian:
"Kau mengatakan bahwa aku keliru?"
Manusia asing yang berasal dari tempat tak dikenal itu menyahut:
328 "Yaa, kau bukannya sudah tak punya teman, paling tidak kau masih ada seorang teman
sekarang" "Siapakah temanku itu?"
"Aku!" Pelan-pelan ia berjalan kedepan.
Serta merta orang-orang yang berada di sekeliling ternpat itu menyingkir ke samping dan
memberi sebuah jalan lewat baginya.
Setibanya di depan Bu-ki, ia hanya menggumankan sepatah kata.
"Aku akan membayarkan ketiga puluh dua laksa tujuh ribu enam ratus delapan puluh tahil itu
bagimu!" Ketika selesai mengucapkan kata-kata tersebut, setumpuk uang kertas telah berserakan di atas
meja. Di dalam melakukan pekerjaan ia selalu berbuat seperti waktu berbicara, sederhana, singkat
lebih jauh, tapi jelas, sama sekali tidak bermain sabun.
Lau Pat tertegun. Seorang manusia asing yang belum pernah dijumpai sebelumnya ternyata bersedia menjadi
sahabatnya dikala ia sedang menghadapi jalan buntu, bahkan secara sakarela mengeluarkan
pula sejumlah uang yang tak terhitung besarnya itu untuk membantunya.
Lau Pat bukan seorang manusia yang gampang dibuat terharu oleh kejadian apapun, tapi
sekarang secara tiba-tiba saja ia merasakan matanya rada basah, tenggorokannya seakan akan
tersumbat oleh suatu yang amat besar.
Lama sekali dia baru bertanya lagi.
"Benarkah kita adalah sababat?"
Orang asing itu menatapnya tajam tajam, lalu pelan-pelan men jawab:
"Setahun berselang, ada seorang sahabatku yang kalah ludas sewaktu berjudi di sini, kau
membiarkannya berhutang, bahkan tidak memaksanya, malahan memberi sangu uang jalan
kepadanya, masih ingatkah kau akan kejadian itu?"
329 Sambil menepuk bahu Lau Pat, dia berkata:
"Sejak hari itulah, kau adalah sahabatku!"
"Tapi . . . tapi itukan suatu kejadian kecil!"
"Kejadian tersebut bukan suatu kejadian kecil saja, karena orang itu adalah sahabatku!"
Asal mengucapkan kata "sahabat," maka nada suaranya segera akan berubah menjadi begitu
serius dan menaruh hormat.
Bukan saja ia memandang tinggi arti dari pada kata "hormat" tersebut, bahkan kata-kata itu
dipandang jauh lebih berharga dari pada apa pun juga.
"Mari kite pergil" katanya lagi sambil menarik tangan Lau Pat.
"Pergi" Kenapa harus pergi?"
"Kau sudah bangkrut di tempat ini, karena itu sambil mendongakkan kepala kau harus keluar
dari sini dan berjuang kembali untuk membangun usaha baru"
"Benar!" kata Lau Pat kemudian sambil mendongakkan kepalanya, "kita harus pcrgi!"
"Tunggu sebentar!" tiba tiba Bu ki berseru.
Sinar mata orang asing itu segera memancarkan sinar yang lebih tajam dari sembilu, dengan
dingin tegurnya "Apakah kau masih akan bertaruh lagi?"
Bu ki tertawa . "Sebenarnya aku memang ingin bertaruh lagi, karena hanya dengan bertaruh baru dapat
membuat keluarga orang hancur berantakan dan sepanjang masa tak dapat mendongakkan
kcpalanya kembali." Begitu ia tertawa, maka codet di atas wajahnya itu seakan-akan merubah semuanya itu
menjadi luar biasa seramnya, begitu seram dan sadisnya hingga sukar dilukiskan dengan katakata.
Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut:
"Sebenarnya aku telah bertekad untuk bertaruh dengannya sehingga dia bangkrut dan
mampus." 330 Orang asing itu sama sekali tidak bertanya:
"Kenapa?" Karena ia tahu Bu ki pasti dapat menjelaskan sendiri.
"Karena setahun berselang, ada seseorang yang hampir mati di tangannya, dan kebetulan
sekali orang itupun seorang sahabatku."
Setelah tertawa ewa Bu-ki melanjutkan:
"Ia pernah membantu sahabatmu, maka kau membantunya, tapi dia ingin merenggut nyawa
sahabatku, maka sudah barang tentu akupun menginginkan pula selembar jiwanya."
Dengan gigi membayar gigi, dengan darah membayar darah, hal ini sudah lumrah dan berlaku
pada saat itu. Meskipun pembalasan semacam ini agak kejam dan liar, tapi dendam sakit hati antara umat
persilatan hanya bisa diselesaikan pula dengan cara seperti itu.
Orang asing itu termenung beberapa waktu lamanya, lama sekali, dia baru bertanya:
"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
Bu-ki menatap orang itu lama sekali, kemudian baru sahunya :
"Kau adalah seorang sahabat yang baik. Bisa berkenalan dengan seorang sahabat seperti kau,
sedikit banyak memang ada juga hal-hal yang menyenangkan, make dari itu. ."
Pelan-pelan ia mendorong seluruh tumpukan uang yang berada di hadapannya itu ke hadapan
orang tersebut. "Maka dari itu sekarang juga aku minta kepada kalian untuk membawa pula semua benda
tersebut pergi dari sini."
Selesai mengucapkan kata-kata itu dia putar badan dan pergi dirisana, ia pergi dengan langkah
lebar dan sama sekali tidak berpaling kembali.
***** Cuaca hari ini sangat cerah, matahari bersinar indah, anginpun berhembus silir semilir.
331 Bu-ki menarik napas panjang-panjang, mendadak ia merasakan hatinya gembira sekali, sudah
lama sekali dia tak pernah merasakan kcgembiraan seperti hari ini.
Dia selalu adalah seorang manusia yang berpikiran aneh.
Ia tak pernah memaksa orang lain, diapun tak ingin orang lain memaksanya, dia tak suka
berhutang kepada orang lain, karena itu diapun tak suka orang lain berhutang kepadanya.
Itulah kebiasaan yang aneh baginya.
Seperti juga kebanyakan manusia yang berperasaan sama, ketika suatu hutang telah berhasil
dibereskan, dia selalu akan merasakan betapa enteng dan senang hatinya.
Apalagi dia telah mencoba ilmu pedangnya, bahwa dia sendiripun merasa amat puas dengan
hasil yang berhasil diperolehnya itu.
***** Tempat itu adalah sebuah lorong panjang yang sepi dan tiada manusia lain, ketika hampir
sampai di mulut lorong, ia sudah mendengar ada ujung baju tersampok angin berkumandang
dari atas atap rumah, gerakan itu sangat enteng dan cepat, jelas seseorang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang amat sempurna.
Menanti ia sudah hampir tiba di mulut lorong tadi, orang itu sudah berdiri di bawah pohon
Pek-yang di luar lorong tersebut dan sedang menantikan kedatangannya.
Ternyata orang itu tak lain adalah si nona yang tak usah tertawapun kelihatan sepasang lesung
pipinya yang dalam itu. Sekarang ia sedang tertawa.
Sambil bertolak pinggang dengan tangan sebelah dan memegang cambuk kuda dengan tangan
yang lain, ia memandang ke arah Bu-ki sambil tertawa manis.
Bu-ki tidak tertawa, diapun tidak menengok ke arahnya. Seakan-akan sama sekali tak terlihat
olehnya bahwa disanaada seorang manusia seperti itu, ia berjalan lewat di hadapannya tanpa
berkedip. Sudah cukup banyak kesulitan yang dihadapinya, ia benar-benar tak ingin mencari kesulitan
lagi bagi dirinya sendiri.
Kesulitan biasanya akan datang bersama-sama dengan perempuan, terutama seorang gadis
cantik yang menyaru sebagai seorang pria.
332 Apalagi terhadap seseorang yang sudah jelas orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang
gadis yang sedang menyaru sebagai seorang lelaki, tapi ia sendiri justru mengira bahwa orang
lain tidak mengetahui kalau dia adalah seorang perempuan.
Jika perempuan semacam ini membawa pula sebuab cambuk, maka bila kau sampai bertemu
dengannya, jalan terbaik adalah mengambil langkah seribu.
Bu-ki memilih sebuah cara yang baik, sayangnya sekali cara itu yang terbaik kadangkala bisa
mendatangkan pula ketidak manjuran.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba bayangan manusia berkelebatan lewat, seorang
manusia yang memegang cambuk kuda di tangan kanannya telah berdiri tepat dihadapan
mukanya. Asal kau maju satu dua langkah lagi ke depan, kemungkinan besar hidungmu akan saling
beradu dengan hidungnya. Entah dia itu seorang laki ataupun seorang perempuan, dia tak ingin hidung mereka saling
beradu. Maka terpaksa dia harus berhenti.
Si nona yang menyaru sebagai seorang laki-laki itu melotot ke arahnya dengan
mempergunakan sepasang matanya yang besar dan jeli, lalu tegurnya:
"Apakah kau adalah seorang manusia bermata buta yang tak dapat melihat orang?"
Tentu saja dia bukan. Maka Bu ki menggeleng, karena dia bukan seorang buta.
"Apakah aku adalah seorang manusia yang tanpa wujud?" kembali gadis itu bertanya.
Sekali lagi Bu ki harus menggelengkan kepalanya.
Sambil menatap ke atas wajahnya dengan mata yang melotot besar, gadis itu berkata lebih
jauh: "Kalau memang begitu kenapa kau tidak menengok diriku?"
"Karena aku tidak kenal denganmu!" akhirnya Bu-ki harus menjawab pula dengan pelan.
Alasan tersebut memang suatu alasan yang paling baik, sebab barang siapa sudah terkena
batunya, biasanya dia akan putar badan dan angkat kaki darisana.
333 Tapi hal tersebut ternyata terkecuali untuk si nona tersebut.
Dia malah tertawa tergelak, lalu serunya. "Apa salahnya kalau memang tidak kenal" Siapakah
yang akan saling mengenal sejak dilahirkan di dunia" Kau tak usah merasa tak enak hati, aku
tak akan menyalahkan dirimu!"
Terpaksa Bu-ki harus membungkam diri dalam seribu bahasa.
Tiba-tiba ia merasa bahwa sekalipun kau mempunyai alasan yang bagaimanapun kuatnya,
percuma saja bila dibicarakan dihadapan nona itu, sebab urusan tak bakal akan beres.
Sambil menuding ujung hidung sendiri dengan cambuk kudanya, nona itu memperkenalkan
diri: "Aku she Lian, bernama Lian It-lian, yang berarti sekuntum bunga teratai"
Setelah tertawa ia berkata-lagi:
"Jika kau beranggapan bahwa nama tersebut adalah nama seorang perempuan maka
dugaanmu itu keliru besar, sebab pada jaman dahulu dalam dunia persilatanpun terdapat
seorang jago gagah yang bernama It-to- lian-hoa (sekuntum bunga teratai) Liu Tek-tay!"
Bu-ki masih juga membungkam diri.
Lian It-lian telah menunggu sekian lama, karena belum ada jawaban juga yang kedengaran,
tak tahan ia berkata lagi:
"Aku telah selesai berkata, kenapa kau masih belum juga berbicara . . .
"Aku hanya ingin mengucapkan dua patah kata saja!" ucap Bu ki kemudian.
"Due kata yang mana?"
"Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa" biasanya berarti tidak sampai berjumpa lagi.
Setelah mengucapkan sampai jumpa, sebetulnya ia benar benar akan "Sampai jumpa", siapa
tahu ia benar benar telah berjumpa lagi.
Walaupun nona itu seakan akan tidak begitu mengerti tentang segala persoalan, tapi ilmu
meringankan tubuhnya benar benar tak terkirakan hebatnya.
Baru saja Bu Ki memutar badannya, tahu tahu dia sudah menanti di hadapannya, sambil
menarik muka tegurnya: "Hei, sebearnya apa maksudmu?"
334 Sekalipun dia sedang menarik muka, tapi sepasang lesung pipitnya justru tampak makin jelas.
Bu Ki sama sekali tidak menikmati sepasang lesung pipitnya itu, bahkan sambil menarik
muka pula katanya: "Aku sama sekali tidak mempunyai maksud apa apa, aku hanya ingin cepat cepat sampai
jumpa!" "Sekarang bukankah kita telah berjumpa lagi?"
Setelah tertawa dia menambahkan:
"Bil kau ingin cepat cepat sampai jumpa lagi, maka akupun segera pula berjumpa lagi
denganmu, bukankah hal ini bagus sekali?"
Bu Ki benar benar dibikin bodoh.
Ia benar benar tidak menyangka kalau dalam dunia benar benar terdapat manusia semacam
ini. Terdengar Lian It lian berkata lebih jauh
"Kalau toh kita sudah berjumpa lagi sekarang, maka kau harus mengakui pula akan hal ini,
nah sekarang kau mesti beritahu kepadaku, siapa namau" Darimana kau mempelajari ilmu
pedangmu itu?" Ternyata gadis itu bukannya benar benar tak punya aturan, diapun bukan sungguh sungguh
bermuka tebal, dia hanya ingin mengetahui nama Bu Ki serta asal usul ilmu pedangnya.
Tentu saja Bu Ki sendiripun bukan sungguh sungguh menjadi bodoh.
Dia seperti sedang mempertimbangkan hal itu, lama sekali dia termenung, kemudian baru
katanya: "kupun ingin sekali memberitahukan kepadamu, sayangnya akupun merasa amat takut"
"Apa yang kau takuti?"
"Takut bini, aku takut sekali dengan bini aku"
Lian It lian segera tertawa.
"Bukan cuma kau seorang yang takut bini, katakan saja dengan berterus terang, aku
takkanmentertawakan dirimu."


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bila kau tidak mentertawakan aku, aku lebih-lebih tak boleh mengatakannya kepadamu."
"Kenapa?" 335 "Sebab aku selalu menuruti perkataan dari biniku, apa yang dia suruh aku lakukan, akupun
segera melakukannya tanpa membantah, Jika dia melarang aku melakukan sesuatu, aku pasti
tak akan melakukan apa yang telah dilarang kepadaku itu."
Bukan saja dia mengucapkan banyak sekali perkataan, bahkan kata-kata itu semrawut dan
tidak jelas kedengarannya.
"Apakah dia melarang kau berbicara?" tanya Lian It lian kemudian dengan wajah tercengang,
"Ia mengizinkan aku berbicara, tapi tidak mengizinkan aku berbicara dengan laki tidak laki
perempuan tidak perempuan dan manusia yang perempuan menyaru sebagai lelaki."
Lian It lian tidak tertawa lagi" Sepasang pipinya kontan berubah menjadi merah padam,
sambil melompat bangun ia tertawa dingin tiada hentinya.
"Kalau kau tak mau bicara, memangnya aku tak dapat melihatnya sendiri...." " bentaknya.
Lompatannya itu mencapai ketinggaan tujuh delapan depa lebih, belum lagi habis berbicara
tahu-tahu ia sudah mengayunkan cambuknya ke bawah dari tengah udara.
Meskipun senyumannya manis, tapi caranya melancarkar seranganpun amat ganas, jika hal ini
terjadi pada setahun berselang. sekalipun Bu-ki dapat menghindari serangan cambuk yang
pertama, belum tentu ia dapat menghindari serangannya yang kedua.
Serangan gadis itu sejurus demi sejurus menyambar ke bawah tiada hentinya, mana cepat
ganasnya bukan kepalang. Bila setahun berselang dia diserang semacam begini, kemungkinan besar Bu-ki sudah terhajar
sebanyak tujuh-delapan puluh kali banyaknya.
Untung saja Bu-ki yang sekarang bukan lagi Bu-ki pada setahun berselang . . . .
Sekalipan serangan cambuknya amat cepat, cara Bu-ki untuk menghindarpun jauh lebih cepat.
Sekalipun serangan cambuknya bagaikan ular berbisa yang mencari korban, jangankan
melukainya, untuk menjawil ujung bajunyapun tak mampu.
Dia hanya menghindar terus, sama sekali tidak membalas.
Bila gadis itu ingin mengetahui asal usul dari ilmu pedangnya, maka diapun ingin pula
mengetahui asal usul dari ilmu silatnya.
Sayang sekali ia tak berhasil untuk mengetahui hal tersebut. Ternyata ilmu silat yang dimiliki
nona itu benar-benar terlampau kacau, macam gado-gado.
336 Mungkin saja hal ini dikarenakan ilmu silat yang dipelajarinya terlampau beraneka macam,
maka dari itu tenaga dalamnya sukar ditingkatkan mutunya.
Secara lamat lamat Bu-ki dapat mendengar dengusan napasnya yang makin lama makin
ter-sengal, wajahnya pun makin lama semakin memucat, tiba-tiba saja ia berdiri tak berkutik.
Tentu saja Bu-ki tiada maksud untuk menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari
kemenangan. Dia hanya ingin cepat-cepat pergi dari situ.
Ia belum juga pergi, karena secara tiba-tiba nona itu membuang cambuknya lalu mendekap
ulu hatinya dengan sepasang tangan, dengusan napasnya makin lama makin menderu, paras
mukanya makin lama pun semakin menakutkan, seakan-akan telah menderita luka dalam
yang cukup parah. Padahal Bu ki tahu, jangankan melukainya, menjawil seujung rambutnyapun tidak.
Lian It lian menatapnya tajam-tajam, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, tapi belum
sempat mengucapkan sesuatu, mendadak ia roboh terkapar ke tanah dan tak berkutik lagi.
Bu ki menjadi tertegun. Dia bukannya seorang manusia yang terlalu menaruh curiga kepada orang lain, tapi mau tak
mau dia musti bersikap lebih waspada dan berhati hati lagi .
. . . . Apakah si nona itu sedang bermain sandiwara"
Ia tak ingin tertipu, tapi iapun merasa tak baik untuk berlalu darisanadengan begitu saja.
. . Kalau ia bukan lagi bersandiwara" Kenapa pula tiba-tiba bisa berubah jadi begitu"
Jangankan memukul, menyentuhpun tidak, tapi kenapa ia roboh mendadak" Sekalipun
penyakit lamanya tiba tiba kambuh, toh mustahil kalau langsung berubah seserius itu.
Apalagi barusan ia tampak begitu gagah, sehat dan segar seperti sekuntum bunga mawar yang
merah, segar tapi penuh berduri.
Bu-ki bersiap-siap akan pergi dari situ.
Ia tak ingin kena ditempelang olehnya sewaktu menundukkan kepala untuk memeriksa
keadaannya nanti. 337 Sudah amat jauh pemuda itu pergi, tapi si nona tersebut masih berbaring tak berkutik dl
tempat semula. Bisa waspada dan berhati hati, meski merupakan tindakan yang bagus, tapi melihat orang
kesusahan tanpa ditolong bukanlah watak yang dimilikinya. . . . . . walaupun bakal tertipu,
baik buruk dia harus menerimanya juga untuk kali ini saja.
Ia segera berjalan kembali, jauh lebih cepat dari pada sewaktu berlalu darisanatadi.
Ia membungkukkan badannya lebih dulu untuk memeriksa dengusan napasnya.
Napas itu lirih dan lemah.
Lalu ia meraba jidatnya, jidat itu dingin seperti es.
Dengan cepat ia menarik tangannya.
Tangan tersebut lebih dingin lagi, bahkan jari-jari tangannya telah membeku denyutan
nadinya begitu lemah dan lirih hampir saja tak terdengar lagi.
Bu-ki mulai gelisah, ia tak tahu apakah jantungnya masih berdetak atau tidak"
Teringat sampai di situ, ia segera memeriksanya dengan seksama, dalam keadaan begini ia tak
mau berpikir terlalu jauh, sebab dalam hatinya tak pernah terlintas niat jahat atau niat cabul
lainnya. Dengan sangat berhati-hati, telapak tangannya ditempelkan di atas dadanya dan kemudian
dengan cepat ia berhasil membuktikan dua persoalan.
Jantungnya masih berdetak.
Dia adalah seorang perempuan, perempuan asli yang masih hidup segar.
Tapi si gadis yang lebih segar dari sekuntum bunga mawar tadi, kini telah berubah menjadi
seuntai rumput kering yang layu dan nyaris tak bernilai lagi.
Lantas apa yang harus dia lakukan"
Tentu saja ia harus menghantarnya pulang, sayang ia sama sekali tak tahu di manakah tempat
tinggalnya" Iapun tak dapat membawa pulang ke tempat di mana ia menginap sekarang.
338 Dua hari terakhir ini ia tinggal di rumah penginapan, tapi membopong pulang seorang nona
gede yang setengah hidup setengah mati ke dalam rumah penginapan, rasanya bukan suatu
perbuatan yang baik. Kalau ia membuangnya di situ dan tidak mengurusinya lagi, tentu saja hal ini lebih-lebih
merupakan suatu perbuatan yang tak baik.
Bu-ki menghela napas panjang, dibopongnya nona itu dari tanah, ia bersiap-siap mencari
seorang tabib untuk memeriksakan dulu penyakitnya. .
Waktu itulah tiba-tiba muncul sebuah kereta kosong yang sedang lewat.
Menjumpai kereta kosong tersebut, keadaan Bu-ki ibaratnya seorang yang hampir mati
tenggelam tiba-tiba bertemu dengan sebuah perahu.
Buru-buru ia lari ke depan dan menghadang kereta tersebut.
"Tahukah kau ditempat mana aku bisa temukan seorang tabib di sekitar sini?"
Kakek tua si kusir kereta itu segera tertawa.
"Kau dapat mencari aku, sesungguhnya telah mencari orang yang paling tepat!"
Sekalipun si kusir kelihatannya sudah tua, loyo dan tak bertenaga lagi, namun ia dapat
melarikan kereta tersebut secepat terbang.
Si nona gede sepetti mawar merah itu masih juga macam seuntai daun kering, begitu loyo,
sayu dan dingin hingga sedikitpun tidak membawa tanda kehidupan lagi.
Tiba-tiba Bu-ki teringat, semestinya ia harus membawa nona itu untuk menjumpai Ciau In.
Perkumpulan Tay hong tong membuka kantor cabanya di sini, Ciau In adalah Tongcu dari
kantor cabang itu, seperti pula namanya, dia adalah seorang mausia pilihan yang mantap dan
tenang, paling cocok kalau ditugaskan mengurusi pelbagai persoalan penting.
Tapi kemudian iapun berpikir kembali, andaikata Ciau In sampai salah sangka akan
hubungannya dengan nona tersebut, sudah pasti urusan akan bertambah runyam.
Seseorang bila telah bertemu dengan persoalan semacam ini, rasanya ia tak bisa berbuat lain
kecuali menerima kesialan tersebut.
Baru saja ia menghela napa di hati, krereta itu telah berhenti, berhenti tepat di pinggir sebuah
sungai yang sepi, bukan saja tak nampak si Tabib yang akan memeriksa penyakit si nona,
malah setengah potong bayangan manusiapun tak nampak.
339 Jangan jangan kakek loyo kusir kuda itu adalah seorang anggota Liok lim yang biasa bekerja
sebagai "totokan" (penodong dengan senjata)"
Tampak kakek loyo itu mengayunkan cambuk kudanya ke udara hingga berbunyi "Taaarr,
taarrr....!", kemudian serunya dengan lantang:
"Telah kubawa ke mari dua ekor kambing gemuk, satu jantan satu betina, satu mampus satu
hidup!" "Kiriman kuterima..." dari balik alang alang sungai segera terdengar seseorang menyahut.
***** Bunga alang alang belum memutih, dari balik ilalang yang lebat tapi gundul itu, tiba tiba
meluncur ke luar sebuah sampan kecil.
Seorang nelayan yang memakai topi lebar terbuat dari anyaman bambu dengan baju jas hujan,
menutulkan sebuah galah panjang ke dasar sungai, meluncurlah sampan itu ke depan dengan
kecepatan luar biasa. Topi lebarnya dikenakan sangat rendah hingga hampir menutupi sebagian besar wajahnya, Bu
Ki tak dapat melihat raut wajah orang itu.
Bu Ki pun tidak kenal dengan nelayan tersebut.
Ternyata ia tidak menanyakan soal ini kepada si kakek kusir kereta, padahal seorang tabib
yang dicari, kenapa ia membawa mereka menjumpai seorang nelayan.
Iapun tidak bertanya siapakah nelayan itu.
Sang nelayan hanya mengucapkan sepatah kata: "Naiklah ke perahu!"
Bu-kipun membopong nona itu dan melompat naik ke atas sampan kecil tersebut.
Seorang yang tadi masih bertindak hati-hati dan penuh kewaspadaan, kenapa sekarang secara
tiba-tiba bertindak begitu gegabah"
Galah panjang di tangan nelayan itu sedikit menutul di dasar sungai, sampan kecilpun
meluncur ke tengah sungai.
Kakek kusir kereta menjalankan pula keretanya meninggalkan tempat itu, cuma ia sempat
berteriak kembali: "Kambing gemuk telah diantar datang, sampai kapan arak wangi bisa diambil?"
340 "Empat guci arak wangi, besok pasti sudah dikirim, segucipun tidak berkurang" jawab sang
nelayan dengan suara lantang.
Kereta itu berlalu dengan cepat meninggalkan tempat itu, dalam sekejap mata hanya debu
yang beterbangan di udara.
Sampan kecil itupun telah berada di tengah sungai.
Baru saja Bu-ki membaringkan si nona dalam ruang perahu, nelayan itu telah meletakkan
galah panjangnya dan berjalan mendekat.
Sampan kecil mulai berputar-pu.tar di tengah sungai.
Nelayan itu menatap wajah Bu-ki, kemudian sambil tertawa dingin tiba-tiba tanyanya:
"Kau dapat berenang?"
"Bisa sedikit!" jawab Bu-ki.
"Apa artinya bisa sedikit?"
"Bisa sedikit artinya aku tak akan tenggelam bila tercebur ke dalam air, tapi bila ada orang
menarik kakiku, maka tak mau tenggelampun terpaksa aku musti tenggelam juga."
"Sungguh tak kusangka kau begitu jujur dan berterus terang!"
"Aku memang jujur!"
"Tapi kadang kalapun orang jujur tak boleh berbicara jujur!"
"Kenapa?" Pendekar Lembah Naga 9 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Pendekar Elang Salju 9
^