Hina Kelana 13
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 13
Sementara itu seorang aneh itu berkata pula, "Aku tetap bilang dia mati ketakutan."
"Tidak, cengkeramanmu terlalu keras, tentu dia mati tercengkeram," kata yang lain lagi.
"Ya, sebenarnya apa sebab kematiannya?" kata pula yang lain.
"Aku menutup urat nadi sendiri, mati bunuh diri!" mendadak Lenghou Tiong berteriak.
Karena Lenghou Tiong mendadak berteriak, keenam orang aneh itu menjadi kaget malah. Tapi mereka lantas terbahak-bahak dan berkata bersama, "Hahahaha! Kiranya dia belum mati, cuma pura-pura mati!"
"Aku tidak pura-pura mati, tapi sudah mati dan hidup kembali!" seru Lenghou Tiong.
"Apa benar kau dapat menutup urat nadi sendiri" Wah, kepandaian ini sukar sekali dipelajari, kau ajarkan padaku saja," kata seorang di antaranya.
"Kepandaian itu teramat tinggi, bocah ini tentu tidak bisa, dia berdusta padamu," kata yang lain.
"Kau bilang aku tidak bisa" Kalau tidak bisa, mengapa tadi aku bisa mati menutup urat nadi sendiri?" ujar Lenghou Tiong.
Orang aneh itu garuk-garuk kepala, katanya, "Ya, ini memang rada aneh!"
Melihat kebebalan keenam manusia aneh itu, segera Lenghou Tiong berkata pula, "Jika kalian tidak lekas lepaskan aku, segera aku akan menutup urat nadiku, bila sekali ini aku mati lagi tentu takkan hidup kembali."
"Tidak, kau tidak boleh mati," seru kedua orang yang memegangi lengan Lenghou Tiong sambil melepaskan tangan masing-masing. "Jika kau mati, wah, bisa runyam."
"Minta aku tidak mati juga boleh asal kalian lekas menyingkir, aku ada urusan penting harus buru-buru berangkat," kata Lenghou Tiong.
"Tidak, tidak boleh!" kata kedua orang yang mengadang di depan itu. "Kau harus ikut kami pergi menemui si nona cilik."
Sekuatnya Lenghou Tiong melompat dengan maksud melampaui kedua orang yang mengadang di depannya itu, di luar dugaan, kedua orang itu pun ikut-ikut meloncat ke atas, gerakan mereka cepat luar biasa sehingga tubuh mereka seperti dinding terbang saja yang tetap mengadang di depan Lenghou Tiong.
Tapi begitu badan Lenghou Tiong tertumbuk dengan tubuh kedua pengadangnya dan jatuh kembali, selagi badannya masih terapung dia sudah lantas hendak melolos pedang. Namun pundaknya lantas terasa ditahan ke bawah, dua orang di belakangnya kembali sudah memegangi kedua lengannya dari luar karung sehingga pedang tidak sampai dicabut keluar. Waktu itu kedua lengannya terbuka di luar karung dan badannya masih tetap dikerudung karung, pedangnya juga tertutup di dalam karung. Sebenarnya ia bermaksud menggunakan pedang untuk merusak karung itu, lalu akan melawan orang-orang itu dengan Tokko-kiu-kiam yang baru dipelajarinya itu. Tapi sekali pundaknya ditahan oleh tangan kedua orang aneh itu, seketika tubuhnya mendak ke bawah, jangankan lolos pedang, untuk berdiri tegak saja sukar.
Sesudah merobohkan Lenghou Tiong, kedua orang itu berseru, "Angkat saja dia!" Segera kedua orang yang berdiri di depannya masing-masing memegangi sebelah kaki Lenghou Tiong terus diangkat ke atas.
"He, apa-apaan kalian ini?" Liok Tay-yu berteriak-teriak.
"Orang ini suka gembar-gembor, bunuh saja dia!" kata seorang aneh. Lalu tangannya hendak menggaplok ke batok kepala Liok Tay-yu.
Cepat Lenghou Tiong berseru, "Jangan, jangan dibunuh!"
"Baik, aku menurut padamu, tidak bunuh dia, tapi tutuk dia supaya bisu," kata orang aneh itu. Habis ucapannya, tanpa berpaling lagi jarinya terus menuding ke belakang. "Crit", tahu-tahu Hiat-to yang membikin bisu di tubuh Liok Tay-yu sudah tertutuk.
Waktu itu Liok Tay-yu sedang berteriak, tapi mendadak ia menjerit terus putus suaranya seketika seperti tali suara yang digunting secara mendadak. Tubuhnya juga lantas melingkar kejang.
Melihat cara menutuk tenaga dalam dari jarak jauh, betapa jitunya pula, mau tak mau Lenghou Tiong terpesona, tanpa merasa ia bersorak memuji.
Orang aneh itu menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Ini saja belum. Aku masih mempunyai kepandaian-kepandaian lain yang lebih hebat, biarlah aku pertunjukkan untukmu."
Jika di waktu biasa tentu Lenghou Tiong ingin menambah pengalamannya, tapi sekarang dia sedang mengkhawatirkan keselamatan sang guru, pikirannya sedang gelisah, maka cepat ia menjawab, "Tidak, aku tidak ingin lihat."
"Mengapa kau tidak ingin melihat" Aku justru suruh kau lihat," kata orang aneh itu. Mendadak ia meloncat ke atas, tahu-tahu sudah melayang lewat di atas kepala keempat orang aneh yang mengusung Lenghou Tiong. Badannya sebenarnya agak gendut, tapi lompatannya itu ternyata sangat enteng dan gesit dengan gaya yang sangat indah.
Selama hidup Lenghou Tiong belum pernah melihat loncatan seindah itu, tanpa merasa ia berseru memuji pula, "Bagus!"
Wajah orang aneh yang lonjong sebagai muka kuda itu berseri-seri, sahutnya, "Ini saja belum, masih ada lagi yang lebih hebat!"
Usia orang bermuka kuda ini sedikitnya juga sudah ada 60-70 tahun, tapi sifatnya benar-benar mirip anak kecil, sekali dipuji semakin menjadi. Ilmu silatnya yang tinggi itu benar-benar berbeda sama sekali dengan sifatnya yang kekanak-kanakan itu.
Diam-diam Lenghou Tiong teringat kepada guru dan ibu-gurunya yang sedang menghadapi kesulitan. Pihak lawan terdiri dari jago-jago Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain, biarpun dirinya sudah berada di sana juga tak bisa membantu banyak. Orang-orang ini berkepandaian sangat tinggi, kenapa aku tidak menipu mereka agar ikut ke sana untuk membantu Suhu"
Karena pikiran demikian segera Lenghou Tiong berkata, "Sedikit kepandaianmu ini apa gunanya dipamerkan di sini?"
"Sedikit kepandaianku" Buktinya kau kan tak bisa berkutik dan tertangkap?" kata orang bermuka kuda itu.
"Aku cuma kaum keroco dari Hoa-san-pay, sudah tentu dengan mudah dapat kalian tangkap," sahut Lenghou Tiong. "Sekarang di atas gunung ini sedang berkumpul jago-jago dari Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain, apakah kalian berani mengusik mereka?"
"Kenapa tidak berani" Di mana mereka?" teriak orang itu.
"Si nona cilik hanya suruh kita menangkap Lenghou Tiong dan tidak minta kita mengusik jago-jago Ko-san-pay atau Thay-san-pay segala. Sudahlah, kita jangan mencari gara-gara, lekas berangkat saja," demikian kata si kakek bermuka keriput.
"Benar juga," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Pantas jago-jago Ko-san-pay dan Thay-san-pay itu mengatakan paling memandang hina kakek-kakek bermuka kuda, bermuka merah dan siluman tua bermuka keriput dan lain-lain lagi, bila ketemu tentu mereka akan dipites seperti semut. Cuma sayang keenam siluman tua itu belum-belum sudah lantas lari terbirit-birit bila mendengar suara jago-jago Ko-san-pay dan kawan-kawannya itu dan sukar diketemukan lagi meski telah dicari-cari."
Mendengar ucapan Lenghou Tiong itu seketika keenam kakek aneh itu berjingkrak marah, mereka berkaok-kaok, "Di mana beradanya orang-orang Ko-san-pay dan begundalnya" Hayo bawa kami ke sana, lekas!"
"Huh, peduli apa Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain segala, masakah Tho-kok-lak-sian (enam dewa dari lembah Tho) jeri kepada mereka?"
"Kurang ajar! Barangkali orang itu sudah bosan hidup, masakah Tho-kok-lak-sian hendak dipites seperti semut saja?"
"Eh, ya, kalian mengaku sebagai Tho-kok-lak-sian, tapi orang-orang Ko-san-pay dan kawan-kawannya itu justru menyebut kalian Tho-kok-lak-kui (enam setan)," demikian Lenghou Tiong sengaja mengadu biru lagi. "Wah, Lak-sian, kukira kalian lebih baik menghindari mereka saja sejauh mungkin, ilmu silat jago Ko-san-pay itu luar biasa lihainya, tentu kalian bukan tandingannya."
"Tidak, tidak bisa! Biar sekarang juga kita melabraknya," teriak si kakek bermuka merah.
Tapi orang yang bermuka benjal-benjol itu lantas menyela, "Wah, kukira gelagatnya tidak bagus. Bila jago Ko-san-pay itu berani bermulut besar, tentu dia mempunyai kepandaian luar biasa. Jangan-jangan kita memang bukan tandingannya, buat apa kita mencari penyakit" Hayolah, kita lekas pulang saja."
"Site (adik keempat) memang paling penakut, berkelahi saja belum sudah mengaku kalah?" ujar si muka kuda.
"Tapi kalau benar-benar dipites seperti semut, wah kan celaka?" ujar si muka benjol.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli. Ada-ada saja manusia-manusia aneh di dunia Kangouw. Padahal ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi nyalinya justru begini kecil. Biarlah aku memancingnya lagi. Segera ia berkata, "Jika mau lari hendaklah lekas. Kalau terlambat, jangan-jangan jago Ko-san-pay itu sudah akan memburu ke sini dan kalian tentu tak bisa lolos lagi."
Eh, benar saja, si muka benjol itu terus lari secepat terbang, hanya sekejap saja sudah menghilang.
Lenghou Tiong sampai terperanjat malah, pikirnya, "Ginkang orang aneh ini benar-benar luar biasa laksana setan iblis saja. Ginkangnya ini tampaknya berpuluh kali lebih tinggi lagi daripada Dian Pek-kong, kalau dia mau lari siapa pula di dunia ini yang mampu mengejarnya" Sungguh aneh, dia memiliki Ginkang yang mahatinggi, kenapa penakut dan suka lari" Wah, ucapanku tadi yang terlalu berlebih-lebihan, kalau mereka benar-benar lari ketakutan kan berbalik membikin runyam maksud tujuanku."
Dalam pada itu si muka kuda sedang berkata, "Siko memang penakut, biarkan dia lari saja, kita yang akan pergi melabrak jago Ko-san-pay itu."
"Ya, berangkat, lekas! Harus kita hajar dia!" seru keempat kawannya yang lain.
Mendadak si muka hitam melepaskan karung yang masih mengerudungi badan Lenghou Tiong, lalu katanya, "Hayo lekas bawa kami ke sana, ingin kulihat bagaimana caranya dia akan pites kami sebagai semut."
"Membawa ke sana sih aku tidak keberatan," sahut Lenghou Tiong, "Cuma kalian harus menuruti suatu syaratku."
"Syarat apa?" tanya si muka keriput. "Kalau bisa dipenuhi akan kami penuhi, kalau tidak ya tidak."
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui di antara keenam kakek itu adalah si muka keriput ini yang paling encer otaknya. Segera ia berseru, "Aku Lenghou Tiong adalah seorang laki-laki sejati, sekali-kali takkan sudi menyerah diancam dan dipaksa orang. Soalnya aku cuma mendengar jago Ko-san-pay itu mencemooh dan menghina kalian berenam, aku merasa ikut penasaran bagi kalian, makanya mau membawa kalian ke sana untuk membikin perhitungan dengan dia. Tapi kalau mentang-mentang berjumlah banyak dan hendak memaksa berbuat ini dan itu, maka biar mati pun aku Lenghou Tiong sekali-kali takkan menurut."
Serentak kelima kakek aneh itu bertepuk tangan memuji, "Bagus, kau berjiwa kesatria, kami sangat kagum."
"Jika demikian aku akan membawa kalian ke sana, tapi sesudah bertemu nanti kalian tak boleh sembarangan omong dan bertindak supaya semua kesatria dunia persilatan takkan menertawakan Tho-kok-lak-sian terlalu bodoh, masih anak bawang, tidak tahu seluk-beluk orang hidup. Maka kalian harus menuruti omonganku, kalau tidak kalian tentu akan membikin malu padaku."
Ucapan Lenghou Tiong ini sebenarnya bermaksud coba-coba saja, tak terduga kelima kakek aneh serentak berseru, "Benar, itu memang tepat. Kami tidak boleh dicemoohkan orang bahwa Tho-kok-lak-sian terlalu bodoh, masih anak bawang!"
Lenghou Tiong mengangguk, katanya, "Baiklah, jika demikian marilah kalian ikut padaku."
Segera ia melanjutkan perjalanan dengan langkah cepat. Kelima kakek aneh itu pun mengikutinya dari belakang.
Beberapa li kemudian, tertampak si muka benjol sedang mengintip di balik batu karang sana. Lenghou Tiong pikir orang penakut ini harus dipancing supaya berani. Segera ia berseru padanya, "Kepandaian jago Ko-san-pay itu berselisih sangat jauh dengan kau, jangan takut padanya, mari kita beramai-ramai pergi menghajar dia."
Si muka benjol menjadi girang. "Baik, aku pun ikut!" serunya. Tapi mendadak ia menambahkan pertanyaan pula, "Kau bilang ilmu silat jago Ko-san-pay itu selisih jauh sekali dengan aku. Lalu aku yang lebih tinggi atau dia yang lebih tinggi."
Bab 36. Enam Kakek Aneh dari Lembah Tho
Kiranya otak orang ini memang bebal, tapi selamanya sangat hati-hati.
"Sudah tentu kau lebih tinggi," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Caramu berlari tadi menunjukkan Ginkangmu sangat tinggi, betapa pun jago Ko-san-pay itu takkan mampu menyusul kau."
Si muka benjol bertambah senang, tanpa ragu-ragu lagi ia mendekati Lenghou Tiong. Namun dia masih belum hilang dari seluruh kekhawatirannya, ia tanya pula, "Tapi kalau dia dapat menyusul aku, lantas bagaimana?"
"Jangan khawatir, jika dia berani main gila padamu, hmm, ini!" sampai di sini Lenghou Tiong mencabut sebagian gagang pedangnya, lalu dientakkan kembali ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan suara "takkk", lalu melanjutkan, "Sekali tebas segera kubunuh dia!"
"Bagus, bagus!" si muka benjol sangat senang. "Apa yang kau katakan ini harus kau tepati."
"Sudah tentu," sahut Lenghou Tiong. "Cuma kalau dia tidak menguber kau ya aku tidak perlu membunuh dia."
"Betul, kalau dia tak mampu menyusul aku, boleh biarkan dia sesukanya," kata si benjol dengan tertawa.
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Pikirnya, "Sekali kau sudah lari, di dunia ini siapa yang mampu menyusul kau" Buset!"
Ia melihat sifat kakek-kakek aneh itu ketolol-tololan, tapi terang sangat polos dan bukan orang jahat, untuk dijadikan sahabat masih boleh juga. Segera ia berkata, "Sudah lama kudengar nama kalian yang termasyhur. Hari ini dapat bertemu, nyatanya memang tidak bernama kosong. Numpang tanya, siapakah nama kalian yang terhormat?"
Kata-kata Lenghou Tiong itu sebenarnya tidak masuk akal. Sudah menyatakan nama kakek-kakek itu termasyhur dan telah lama didengar, tapi bertanya pula tentang nama-nama mereka. Tapi keenam kakek itu ternyata tidak memikirkan ucapan yang bertentangan itu, mereka justru sangat gembira karena nama mereka dikatakan termasyhur. Segera si muka keriput berkata, "Aku adalah Toako, bernama Tho-kin-sian (dewa akar Tho)."
"Dan aku adalah Jiko, bernama Tho-kan-sian (dewa dahan Tho)." sambung si muka kelabu.
"Dan aku entah Samko atau Siko, namaku Tho-ki-sian (dewa ranting Tho)," kata si muka benjol. Ia tuding si muka hitam dan menyambung pula, "Dan dia entah Site atau Samko, dia bernama Tho-yap-sian (dewa daun Tho)."
Lenghou Tiong menjadi heran, "Mengapa kalian berdua tidak mengetahui siapa yang lebih tua, siapa Samko dan yang mana Siko?" tanyanya.
"Bukan kami yang tidak tahu, tapi ayah-bundaku yang lupa," kata Tho-ki-sian.
"Aneh, bagaimana ayah-bundamu bisa lupa?" tanya Lenghou Tiong pula terheran-heran.
"Waktu kami dilahirkan, ayah-ibu sih ingat siapa yang lebih tua, tapi beberapa tahun kemudian beliau-beliau telah lupa semua, maka sukar diketahui pula siapa Losam dan siapa Losi (si nomor tiga dan si nomor empat)," jawab Tho-ki-sian. Kemudian dia tunjuk si muka hitam dan menyambung, "Tapi dia berkeras ingin menjadi Losam, aku tidak mau panggil dia Samko, dia lantas ajak berkelahi padaku, terpaksa aku mengalah padanya."
"Kiranya kalian adalah dua bersaudara," kata Lenghou Tiong tertawa.
"Benar, kami berenam saudara," sahut Tho-ki-sian.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Ada ayah-ibu yang sinting, pantas melahirkan anak-anak tolol begini."
Segera ia tanya pula kepada yang lain, "Dan yang dua ini apa namanya?"
"Aku adalah Tho-hoa-sian (dewa bunga Tho)," sahut si muka merah.
"Dan aku Tho-sit-sian (dewa buah Tho)," sambung si muka kuda.
Lenghou Tiong sampai tertawa geli. Nama Tho-hoa-sian yang merah itu memang rada-rada sama dengan warna bunga Tho, tapi potongan mukanya yang buruk itu betapa pun tidak sesuai dengan namanya yang indah itu.
Melihat Lenghou Tiong tertawa, Tho-hoa-sian salah wesel, katanya dengan tertawa, "Di antara enam saudara hanya namaku yang paling enak didengar."
"Ya, nama Tho-hoa-sian memang sangat indah, tapi Tho-kin, Tho-kan, Tho-ki, Tho-yap dan Tho-sit juga tidak kurang indahnya," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Wah, jika namaku juga demikian indahnya tentu aku akan sangat senang."
Dasar sifat Tho-kok-lak-sian itu memang mirip anak kecil, demi mendengar nama mereka dipuji, seketika mereka sangat gembira. Mereka anggap Lenghou Tiong adalah manusia yang paling baik di dunia ini. Bahkan Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian sampai berjingkrak-jingkrak dan menari.
"Dan sekarang marilah kita berangkat," kata Lenghou Tiong kemudian. Sebenarnya ia hendak minta Tho-kok-lak-sian membuka Hiat-to Liok Tay-yu yang tertutuk itu, tapi begitu mengingat keadaan guru dan ibu-gurunya sedang menghadapi bahaya, ia pikir lagi sejam dua jam biarkan Liok Tay-yu terbuka sendiri Hiat-to yang tertutuk itu daripada membuang waktu.
Dari jalanan lereng situ ke ruang pendopo Hoa-san-pay jaraknya ada belasan li, tapi perjalanan mereka sangat cepat, hanya sebentar saja mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Begitu sampai di luar rumah lantas terlihat Lo Tek-nau, Nio Hoat, Si Cay-cu, Gak Leng-sian, Lim Peng-ci dan belasan Sute yang lain sedang berkumpul di situ, paras mereka kelihatan sedih. Mereka menjadi girang begitu tampak datangnya Lenghou Tiong.
Lo Tek-nau lantas memapak maju, katanya dengan suara bisik-bisik, "Toasuko, guru dan ibu-guru sedang menemui tamu di dalam."
Lenghou Tiong menoleh dan memberi isyarat agar Tho-kok-lak-sian berhenti di situ saja dan jangan bersuara. Lalu ia berkata kepada Lo Tek-nau, "Keenam orang ini adalah kawanku, tak perlu diurus. Biar kuperiksa apa yang terjadi di dalam."
Segera ia mendekati jendela dan mengintip ke dalam ruangan.
Perbuatan Lenghou Tiong ini sebenarnya tidak pantas, tapi Lo Tek-nau dan lain-lain tahu saat ini keadaan luar biasa sehingga mereka pun tidak anggap keliru tindakan Lenghou Tiong itu.
Waktu Lenghou Tiong mengintip ke dalam, dilihatnya pada tempat tamu berduduk seorang tua berjenggot, bertubuh kekar, kedua pelipis agak menonjol, terang mempunyai Lwekang dan Gwakang yang cukup tinggi. Pada tangan kanannya membawa Leng-ki (panji kebesaran) Ngo-gak-kiam-pay. Di sebelahnya duduk seorang Tojin setengah umur, seorang lagi adalah Nikoh berusia 30-an lebih, lalu seorang tua pula berumur kurang-lebih setengah abad. Dari dandanan mereka teranglah mereka adalah jago-jago dari Ko-san-pay, Thay-san-pay, Hing-san-pay dan Heng-san-pay.
Selain itu ada lagi tiga orang, semuanya berusia 50-60 tahun, dari pedang yang tergantung di pinggang mereka terang adalah orang Hoa-san-pay. Orang pertama berparas murung dengan kulit muka kuning kemerah-merahan, mungkin inilah Hong Put-peng yang diceritakan oleh Liok Tay-yu itu. Guru dan ibu-gurunya tampak mengiringi duduk di tempat tuan rumah, di atas meja tersedia teh dan penganan.
Terdengar si kakek dari Heng-san-pay sedang berkata, "Gak-heng, urusan golonganmu mestinya tidak pantas kami untuk ikut campur. Tapi Ngo-gak-kiam-pay kita sudah berserikat, sama kewajiban dan sama tanggungan, jika ada sesuatu golongan yang bertindak kurang baik tentu akan ditertawai oleh sesama kawan Kangouw dan keempat golongan lain akan ikut menanggung malu, oleh karena itu, tadi Gak-hujin mengatakan Ko-san, Thay-san dan Heng-san kami tidak seharusnya ikut campur urusan orang lain. Kukira ucapan ini kurang tepat."
Mendengar itu, legalah hati Lenghou Tiong. Pikirnya, "Mereka telah bicara sekian lamanya, kiranya masih bertengkar tentang urusan demikian dan belum sampai bergebrak. Untung Laksute menyampaikan berita padaku tepat pada waktunya sehingga aku tidak terlambat."
Maka terdengar Gak-hujin sedang menjawab, "Dengan ucapan Pang-suheng ini apakah kau anggap Hoa-san-pay kami tidak tahu urusan sehingga membikin nama baik golonganmu ikut tercemar?"
Kakek she Pang dari Heng-san-pay itu nama lengkapnya adalah Pang Lian-eng. Selama hidupnya memang paling suka usil, suka ikut campur urusan orang lain yang mestinya tiada sangkut pautnya dengan dia. Kedatangannya ke Hoa-san ini bukan dia yang menjadi peranan pokok, dia juga bukan tokoh pemegang panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay, tapi justru dia yang paling banyak bersuara. Dengan tertawa dingin dia lantas menjawab ucapan Gak-hujin, "Hehe, orang mengatakan Ling-lihiap dari Hoa-san-pay adalah mahaketuanya, mestinya Cayhe tidak percaya, tapi tampaknya sekarang apa yang tersiar di Kangouw itu memang bukan omong kosong."
Gak-hujin menjadi gusar karena diolok-olok lebih berkuasa daripada suaminya, seakan-akan suaminya takut bini. Jawabnya, "Betapa pun kedatangan Pang-suheng ini terhitung tamu kami, maka tidak pantas kami menyalahi kau. Cuma seorang kesatria Heng-san-pay yang sudah terkenal tak dinyana bisa sembarangan mengoceh demikian, kelak bila bertemu dengan Bok-taysiansing rasanya perlu kutanyakan padanya."
"O, jadi karena aku adalah tamu, maka Gak-hujin sungkan menyalahi, kalau bukan di Hoa-san sini tentu Gak-hujin sudah ayun pedang menebas kepalaku, bukan?" jengek Pang Lian-eng.
"Mana aku berani," sahut Gak-hujin. "Masakah Hoa-san-pay kami berani mengurusi persoalan dalam golongan kalian" Di antara orang Heng-san-pay kalian ada yang bersekongkol dengan Mo-kau, hal ini sudah tentu akan diselesaikan oleh Co-bengcu, golongan kami tidak perlu ikut campur."
Ucapan Gak-hujin ini cukup lihai. Tentang Lau Cing-hong dari Heng-san-pay berkomplot dengan Kik Yang dari Mo-kau dan dua-duanya binasa di luar kota Heng-san, setiap orang Kangouw mengetahui mereka dibunuh oleh jago Ko-san-pay yang dikirim oleh Co-bengcu. Dengan mengungkat kejadian itu, pertama, Gak-hujin sengaja mengorek borok Heng-san-pay, kedua, dia menyindir Pang Lian-eng yang telah melupakan sakit hati terbunuhnya Suheng sendiri, tapi sekarang malah mendukung orang Ko-san-pay dan datang mencari perkara kepada Hoa-san-pay.
Benar juga seketika air muka Pang Lian-eng berubah hebat. Teriaknya dengan sengit, "Gak-hujin, dari zaman dulu kala sampai sekarang, dari golongan atau aliran mana yang tidak pernah terdapat murid murtad" Kedatangan kami ke Hoa-san sekarang justru hendak menegakkan keadilan dan membantu Hong-toako membersihkan anasir jahat dari perguruannya."
"Siapa adalah anasir jahat yang kau maksudkan?" jawab Gak-hujin dengan sikap menantang. "Jelek-jelek suamiku disebut orang sebagai 'Kun-cu-kiam', tapi kau, apa julukanmu?"
Paras Pang Lian-eng menjadi merah.
Kiranya julukannya yang resmi adalah "Kim-gak-tiau" (rajawali bermata emas), tapi di belakangnya orang Bu-lim suka memanggilnya "Kim-gak-oh-ah" (si gagak bermata emas), yaitu karena dia banyak omong, suka cerewet mencampuri urusan orang lain dan menjemukan.
Dengan pertanyaan Gak-hujin itu sudah tentu ia tahu yang dimaksudkan oleh nyonya rumah itu sekali-kali bukan julukan "Kim-gak-tiau", tapi adalah si gagak bermata emas. Dianggap gagak, keruan Pang Lian-eng tambah gusar. Teriaknya, "Hm, suamimu berjuluk Kun-cu-kiam apa" Di atas Kun-cu (laki-laki sejati) itu kukira harus ditambah lagi satu huruf 'Wi' (palsu, maksudnya menjadi laki-laki palsu)."
Mendengar sang guru dihina secara terang-terangan, Lenghou Tiong tidak tahan lagi. Cuma dia belum kenal asal usul Pang Lian-eng, segera ia menoleh dan tanya Lo Tek-nau, "Lo-sute, apa sih nama julukan manusia ini?"
Lo Tek-nau masuk perguruan sudah memiliki ilmu silat lebih dulu, pengalamannya di dunia Kangouw juga sudah luas dan banyak kejadian-kejadian di dunia persilatan yang pernah didengarnya. Segera ia menjawab, "Orang menjuluki si tua ini sebagai 'si gagak bermata emas'."
Tanpa berpikir lagi Lenghou Tiong terus berteriak dari luar, "Hai, itu gagak bermata buta, kalau berani lekas keluar ke sini!"
Suara tanya-jawab Lenghou Tiong dengan Lo Tek-nau itu telah didengar oleh Gak Put-kun, diam-diam ia heran mengapa muridnya itu turun dari puncak pertapanya" Segera ia mencelanya, "Jangan kurang sopan, anak Tiong. Pang-susiok adalah tamu, mana boleh kau sembarangan omong?"
Keruan mata Pang Lian-eng merah berapi, dadanya hampir-hampir meledak saking gusarnya. Dia sudah pernah dengar apa yang terjadi dengan Lenghou Tiong di kota Heng-san, maka ia lantas memaki, "Hah, kukira siapa, tak kusangka adalah bocah yang suka main perempuan di Heng-san itu! Hm, jago-jago Hoa-san-pay benar-benar hebat sekali."
"Betul," jawab Lenghou Tiong tertawa, "aku memang pernah main perempuan di kota Heng-san, lonte kenalanku itu she Pang."
"Kau ... kau masih berani mengoceh tak keruan!" bentak Gak Put-kun.
Mendengar sang guru benar-benar sudah gusar, Lenghou Tiong tidak berani bersuara pula. Tapi Hong Put-peng dan kawan-kawannya yang duduk di dalam ruangan itu tanpa merasa sama tersenyum.
Sekonyong-konyong Pang Lian-eng melompat ke tepi jendela, "blang", ia depak daun jendela hingga sempal dan mencelat. Ia tidak kenal Lenghou Tiong, maka dengan menuding rombongan anak murid Hoa-san-pay ia membentak, "Yang bicara tadi adalah binatang yang mana?"
Anak murid Hoa-san-pay semua bungkam tak menjawabnya.
"Maknya," Pang Lian-eng mengumpat pula. "Aku tanya, mana yang bicara barusan ini?"
"Barusan adalah kau sendiri yang bicara, dari mana aku bisa tahu binatang apa?" kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Berulang kali Pang Lian-eng dicaci oleh Lenghou Tiong, memangnya dia sudah murka, terutama ucapan "lonte yang kukenal di Heng-san itu she Pang" itu benar-benar sangat menghinanya, sebab ini berarti orang dari keluarga Pang yang telah menjadi pelacur. Apalagi kata-kata "dari mana aku bisa tahu binatang apa", ini seakan-akan langsung menganggapnya sebagai binatang. Sebagai tokoh yang tingkatannya lebih tua, keruan Pang Lian-eng berjingkrak murka, ia tidak tahan lagi. Sambil mengerang keras-keras ia terus menerjang ke arah Lenghou Tiong.
Melihat datangnya lawan yang sedang kalap itu, cepat Lenghou Tiong melompat mundur dan segera hendak mencabut pedang. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan orang sudah berkelebat, dari dalam pendopo telah melayang keluar seorang, di mana cahaya pedang mengilat, "cring", kontan Pang Lian-eng telah dihalangi.
Kiranya orang itu adalah nyonya Gak.
"Kita adalah orang sendiri, ada urusan apa boleh dibicarakan secara baik-baik, buat apa pakai kekerasan?" seru Gak Put-kun sambil melangkah keluar. Ia lolos pedang dari pinggangnya Lo Tek-nau, sekali putar terus tekan ke bawah, kontan pedangnya telah menahan ke bawah kedua batang pedang Pang Lian-eng dan Gak-hujin yang sedang beradu itu.
Sekuatnya Pang Lian-eng hendak mengangkat pedangnya, tapi sedikit pun bergeming, pedang Gak Put-kun tak dapat digeser sama sekali. Keruan ia tersipu-sipu, dengan muka merah kembali ia mengerahkan tenaganya pula.
"Ngo-gak-kiam-pay kita adalah sejalan dan sehaluan seperti orang sekeluarga, hendaklah Pang-suheng jangan merisaukan kata-kata anak kecil," kata Gak Put-kun sambil tertawa. Lalu ia menoleh menyemprot Lenghou Tiong, "Kau sembarangan mengoceh, hayo lekas minta maaf pada Pang-supek!"
Lenghou Tiong tidak berani membantah, terpaksa ia melangkah maju dan memberi hormat, katanya, "Maaf Pang-supek, tadi aku telah sembarangan omong seperti burung gagak yang berkaok-kaok tak keruan dan mencemarkan nama baik tokoh persilatan yang terhormat, sungguh lebih rendah daripada binatang, hendaklah engkau jangan marah, aku tidak sengaja memaki engkau. Ocehan gagak busuk, gagak celaka tadi anggap saja seperti kentut."
Begitulah berulang-ulang ia menyebut gagak busuk segala, sudah tentu semua orang mengetahui secara tidak langsung dia sedang memaki Pang Lian-eng lagi. Masih mendingan orang lain, tapi Gak Leng-sian sudah tidak tahan lagi sehingga mengikik tawa.
Dalam pada itu Gak Put-kun merasakan Pang Lian-eng berturut-turut tiga kali telah mengerahkan tenaga dengan maksud hendak melepaskan pedang dari tindihan pedangnya. Gak Put-kun tersenyum sambil perlahan-lahan menarik pedangnya dan dikembalikan kepada Lo Tek-nau.
Saat itu Pang Lian-eng sedang berusaha mengangkat pedangnya ke atas, ketika daya tekanan dari atas mendadak lenyap, maka terdengarlah suara "trang-trang" dua kali, dua batang pedang patah telah jatuh ke lantai. Pedang Pang Lian-eng dan Gak-hujin masing-masing tinggal separuh saja, dan karena saking nafsunya dia mengangkat pedangnya sehingga jidat Pang Lian-eng sendiri hampir-hampir terbacok oleh senjata patah. Untung dia sempat menahannya, tapi juga sudah kelabakan dan muka merah.
"Ka ... kau ... dua mengeroyok satu," bentak Pang Lian-eng dengan gusar. Tapi lantas teringat olehnya bahwa pedang Gak-hujin juga patah tertindih oleh tenaga dalam Gak Put-kun. Jadi terang Gak Put-kun hanya ingin memisah pertarungan itu dan tiada maksud hendak membela istrinya. Maka dengan muka merah padam mendadak ia membuang pedangnya yang patah, lalu putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Di waktu menggunakan pedangnya untuk menindih patah pedang kedua orang, Gak Put-kun sudah melihat di belakang Lenghou Tiong berdiri Tho-kok-lak-sian yang berpotongan sangat aneh, diam-diam ia heran dan segera memberi salam, "Maafkan jika ada sambutan yang kurang baik atas kunjungan tuan-tuan berenam."
Akan tetapi Tho-kok-lak-sian hanya terbelalak saja, tidak balas memberi hormat, juga tidak bicara.
Segera Lenghou Tiong berkata, "Ini adalah Suhuku, ketua Hoa-san-pay ...."
Belum habis ucapannya, mendadak Hong Put-peng telah menyela, "Memang betul dia adalah gurumu, tapi apakah dia juga ketua Hoa-san-pay, ini harus tunggu nanti. Nah, Gak Put-kun, Ci-he-sin-kang yang telah kau pertunjukkan tadi sungguh hebat. Tapi melulu mengandalkan kepandaian itu saja belum tentu mampu mengetuai Hoa-san. Setiap orang mengetahui bahwa Hoa-san-pay adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay, lima aliran ilmu pedang dari lima gunung, dan dengan sendirinya mengutamakan ilmu pedang. Tapi kau hanya berlatih tentang 'Khi' (hawa, tenaga dalam) saja sehingga kau sebenarnya telah menyeleweng, yang kau latih sudah bukan ajaran murni perguruan sendiri lagi."
"Ucapan Hong-heng ini agak berlebihan," sahut Gak Put-kun. "Memang betul yang dimainkan Ngo-gak-kiam-pay adalah pedang, tapi setiap golongan dan aliran tentu juga mengutamakan 'tenaga dalam menyertai pedang'. Ilmu pedang adalah pelajaran luar, Khikang adalah pelajaran dalam. Luar-dalam harus dilatih barulah ilmu silatnya dapat sempurna. Bila menurut ucapan Hong-heng tadi dan cuma berlatih ilmu pedang melulu, bila bertemu ahli Lwekang tentu akan kelihatan kelemahanmu."
"Itu pun belum tentu," kata Hong Put-peng dengan tertawa dingin. "Paling baik memang orang yang serbapandai. Tapi umur manusia terbatas, mana ada kesempatan bagimu untuk meyakinkan segala macam ilmu itu" Untuk meyakinkan ilmu pedang saja belum tentu bisa sempurna, masakah masih ada kesempatan untuk meyakinkan Lwekang apa segala" Seperti dikatakan orang, tangan kiri melukis lingkaran, tangan kanan menggambar persegi, kedua-duanya takkan jadi. Contoh ini sudah cukup menunjukkan bahwa seorang tidak mungkin sekaligus meyakinkan macam-macam ilmu dengan sempurna. Aku tidak mengatakan berlatih Khikang kurang baik, cuma ilmu silat sejati dari Hoa-san-pay kita bukanlah Khi, tapi adalah Kiam, ilmu pedangnya. Bahwasanya kau ingin belajar ilmu silat dari golongan lain apa salahnya, sedangkan belajar ilmu dari Mo-kau saja orang tak bisa urus, apalagi meyakinkan Khikang. Tapi manusia umumnya memang tamak, kalau bisa ingin dapat lebih banyak, tapi sering-sering ketamakan itulah mendatangkan malapetaka malah. Sekarang kau mengetuai Hoa-san-pay dan telah tersesat jalan, bencana yang ditimbulkan olehmu sungguh celaka bagi anak murid Hoa-san-pay umumnya."
"Membawa bencana bagi anak murid Hoa-san-pay, kukira ini sukar dibuktikan," ujar Gak Put-kun dengan tersenyum.
"Mengapa sukar dibuktikan?" mendadak si pendek yang berada di sebelah Hong Put-peng berteriak. Perawakannya pendek, tapi suaranya ternyata sekeras guntur sehingga mengejutkan orang. Hanya Gak Put-kun yang Lwekangnya cukup sempurna sama sekali tidak tergetar oleh suaranya itu.
Melihat kepandaian "Say-cu-ho" (auman singa) yang sangat diandalkan itu sedikit pun tidak mengejutkan Gak Put-kun, diam-diam si pendek gusar. Segera ia berteriak lebih keras lagi, "Kau bilang tiada buktinya" Ini, murid-muridmu yang tak becus ini bukankah korban bencana yang kau perbuat" Kepandaian apa yang mereka miliki?"
Suaranya yang lebih keras itu membuat anak telinga semua orang mendengung-dengung seakan-akan pekak.
Tapi Gak Put-kun tetap tersenyum saja, katanya, "Seng-heng, ilmu 'Say-cu-ho' ini sebenarnya berasal dari kaum Buddha, jika sudah terlatih sempurna, sekali gertak saja dapat meruntuhkan ratusan atau ribuan orang, kekuatannya memang tiada taranya."
Si pendek she Seng itu bernama Put-yu, arti namanya adalah "tidak sedih", tapi wataknya sangat keras, berangasan. Begitu mendengar ucapan Gak Put-kun tadi, ia terkesiap dan mengakui pengetahuan Gak Put-kun yang luas. Namun dengan gusar ia lantas berkata pula, "Hm, apakah kau hendak bilang Lwekangku kurang murni, ilmu 'Say-cu-ho' ini belum sempurna, bukan?"
"Mana aku berani bermaksud demikian," sahut Put-kun. "Cuma ilmu Say-cu-ho ini adalah ilmu sakti kaum Buddha, untuk bisa melatihnya hingga sempurna memang tidaklah mudah. Padri-padri saleh yang benar-benar mahir ilmu ini pada zaman sekarang mungkin dapat dihitung dengan jari."
Ucapan Gak Put-kun itu kedengarannya sopan santun, tapi kalau diteliti lebih dalam, terang dia sedang mengolok-olok kepandaian Seng Put-yu yang dianggapnya belum sempurna.
Watak Seng Put-yu sangat keras tapi otaknya kurang encer. Sesudah tertegun sejenak barulah paham maksud ucapan Gak Put-kun itu, keruan ia menjadi gusar. "Sret", pedangnya lantas dilolos dan berteriak pula, "Hong-suheng telah menyatakan kau tidak sesuai menjabat ketua Hoa-san-pay, kulihat kau memang tidak pantas juga. Nah, kau ingin mundur teratur atau minta diseret turun dari kedudukanmu?"
"Seng-heng," jawab Gak Put-kun, "cabang Kiam-cong (sekte pedang) kalian sudah meninggalkan perguruan kita pada 30 tahun yang lalu dan tidak mengaku sebagai murid Hoa-san-pay pula, mengapa hari ini kalian datang mencari perkara" Jika kalian anggap memiliki kepandaian hebat, boleh saja kalian mendirikan pangkalan sendiri untuk mengalahkan Hoa-san-pay di dunia persilatan, jika demikian halnya maka aku pun akan menyerah lahir-batin. Tapi sekarang kalian sengaja cari perkara, selain membikin buruk hubungan baik kita, apa sih faedahnya."
"Gak-suheng," seru Seng Put-yu, "Cayhe memang tiada permusuhan apa-apa dengan kau dan mestinya tidak perlu bercekcok. Cuma kau sudah mengangkangi kedudukan Hoa-san-pay dan menyesatkan anak muridmu yang mengutamakan berlatih Khi dan tidak meyakinkan Kiam, akibatnya nama dan wibawa Hoa-san-pay kita makin hari makin runtuh, tanggung jawab ini betapa pun tak bisa kau elakkan. Sebagai murid Hoa-san-pay tak dapatlah aku tinggal diam saja."
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu jelas bahwa Hong Put-peng dan si pendek Seng Put-yu ini adalah murid sekte pedang dari perguruannya sendiri.
Maka terdengar Gak Put-kun sedang menjawab, "Seng-heng, percekcokan sekte Khi dan sekte Kiam kita sudah berlangsung sejak lama. Pada pertandingan di puncak Giok-li-hong dahulu sudah jelas siapa yang kalah dan siapa yang menang. Kejadian yang sudah ditentukan beberapa puluh tahun yang lalu itu apa gunanya kalian mengungkat-ungkatnya pula?"
"Tentang kalah atau menang pada pertandingan dahulu itu siapa yang menyaksikannya?" kata Seng Put-yu. "Dengan lain perkataan, kedudukanmu sebagai ketua ini diperoleh secara tidak beres, kalau tidak, Co-bengcu sebagai pemimpin Ngo-gak-kiam-pay sampai-sampai mengirimkan panji kebesarannya ini dan memerintahkan kau mengundurkan diri?"
"Ya, kukira di dalam soal ini tentu ada sesuatu yang tidak beres," sahut Gak Put-kun. "Biasanya Co-bengcu cukup bijaksana, menurut pikiran sehat tentu beliau takkan begitu saja mengirimkan panji kebesarannya dan suruh mengganti ketua Hoa-san-pay."
"Memangnya apakah kau sangka panji ini palsu?" tanya Seng Put-yu sambil menunjuk panji Ngo-gak-kiam-pay itu.
"Panji itu sih tidak palsu, cuma panji adalah benda mati, barang bisu, tak bisa bicara," ujar Put-kun.
Mendadak si kakek berjenggot dari Ko-san-pay itu ikut bicara, "Gak-suheng mengatakan panji ini barang bisu, apakah aku Theng Eng-gok juga bisu?"
"Mana aku berani berkata demikian," sahut Put-kun. "Cuma persoalan ini sangat penting, Cayhe harus bertemu sendiri dulu dengan Co-bengcu baru dapat mengambil keputusan."
"Jika demikian, jadi Gak-suheng tak dapat memercayai aku si orang she Theng ini?" kata si kakek berjenggot yang bernama Theng Eng-gok itu dengan kurang senang.
"Mana aku berani," kata Put-kun. "Seumpama Co-bengcu benar-benar mempunyai maksud demikian juga beliau tak dapat melulu percaya kepada satu pihak saja lantas memberikan perintahnya. Betapa pun beliau juga mesti mendengar kata-kataku dahulu."
"Ah, apa gunanya banyak omong" Pendek kata kedudukanmu sebagai ketua ini terang tak mau diserahkan, bukan?" sela Seng Put-yu sambil melolos pedang terus menyerang.
Berbareng dengan selesai ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang empat kali. Empat kali serangan itu cepatnya luar biasa, yang paling hebat adalah empat serangan itu satu sama lain berbeda gerakannya, benar-benar luar biasa lihainya. Tusukan pertama menembus baju bagian bahu kiri, tusukan kedua menembus baju bahu kanan, tusukan ketiga menembus baju dekat lambung kanan dan tusukan keempat menembus baju bagian lambung kiri. Jadi empat kali tusukan telah membuat baju Gak Put-kun berlubang delapan buah, untungnya tusukan-tusukan itu semuanya lewat dekat kulit badannya dan tiada sedikit pun melukai. Betapa hebat dan bagusnya serangan-serangan ini benar-benar sudah mencapai tingkatan yang sangat sempurna.
Keruan para anak murid Hoa-san-pay sama terperanjat menyaksikan itu. Pikir mereka, "Keempat jurus serangan itu adalah sejalan dengan ilmu pedang perguruan kita sendiri, cuma selamanya tak pernah melihat dimainkan sang guru. Jago dari sekte pedang memang benar-benar lain daripada yang lain."
Sebaliknya Theng Eng-gok, Hong Put-peng dan lain-lain merasa lebih kagum terhadap Gak Put-kun. Sudah terang empat jurus serangan Seng Put-yu itu sangat lihai dan mematikan, namun Gak Put-kun tetap menghadapinya dengan tersenyum dan tenang, kesabarannya sebagai seorang yang berlatih ilmu dalam sungguh jarang terdapat. Dan kalau dia dapat menghadapi serangan-serangan lihai itu dengan acuh tak acuh, tentu Gak Put-kun sudah mempunyai perhitungan sendiri, bilamana perlu sekali turun tangan tentu dia mampu mengalahkan Seng Put-yu. Dalam keadaan demikian walaupun Gak Put-kun sama sekali belum balas menyerang, namun perbawanya tiada ubahnya seperti dia sudah di pihak yang menang.
Sedangkan Lenghou Tiong tengah menyelami keempat jurus serangan yang dilancarkan Seng Put-yu tadi. Meski gaya empat kali serangan itu sangat aneh, tapi ia merasa sudah kenal betul, yaitu dua jurus serangan menurut ukiran di dinding gua belakang yang telah dipelajarinya itu. Cuma di sini Seng Put-yu telah mengubah dua jurus itu menjadi empat gerakan, padahal sebenarnya cuma dua jurus saja. Pikirnya diam-diam, "Apanya yang mengherankan kedua jurus serangannya itu" Tapi tampaknya dia sangat bangga dengan kepandaiannya itu."
Sementara itu terdengar Gak-hujin telah berkata, "Seng-heng, suamiku hanya mengalah mengingat kalian adalah tamu kami. Kau sudah menusuk empat kali di atas bajunya, jika kau masih tidak tahu diri, betapa pun Hoa-san-pay menghormati tamunya juga ada batasnya!"
Seng Put-yu memang sangat bangga dengan empat kali serangannya, tapi walaupun dia kagum juga terhadap sikap Gak Put-kun yang tenang-tenang itu, namun dilihatnya sikap Gak-hujin rada khawatir, terang agak jeri terhadap ilmu pedangnya tadi, keruan rasa sombong Seng Put-yu bertambah, segera ia menjawab, "Huh, mengalah kepada tamu apa" Asalkan Gak-hujin mampu memecahkan empat jurus seranganku tadi, tanpa disuruh juga aku akan segera pergi dari sini dan takkan menginjak lagi puncak Giok-li-hong ini."
Biarpun pengalamannya luas dan membanggakan ilmu pedangnya sendiri tapi melihat sikap Gak Put-kun yang tenang-tenang itu, ia pun tidak berani menantang lagi padanya, sebagai gantinya ia berbalik menantang Gak-hujin yang dianggapnya kaum wanita lemah dan gampang dibekuk, dalam keadaan demikian tentu Gak Put-kun akan bingung menghadapi Hong Put-peng.
Begitulah segera ia menegakkan pedang dan berseru, "Nah, silakan Gak-hujin! Ling-lihiap adalah jago terkemuka Hoa-san-pay yang terkenal, hari ini Seng Put-yu dari sekte pedang ingin belajar kenal dengan ilmu dalam andalanmu."
Dengan ucapannya ini secara tidak langsung ia hendak menyatakan pertarungan kembali antara kedua sekte Hoa-san-pay yang berbeda paham itu.
Dasar watak Gak-hujin memang lebih keras daripada sang suami, sudah tentu dia tak tahan atas tantangan Seng Put-yu itu. "Sret", segera pedang dilolosnya.
Tapi sebelum dia membuka suara, Lenghou Tiong sudah lantas berseru, "Sunio, kepandaian sekte pedang yang tersesat ini masakan dapat dibandingkan ilmu silat murni ajaran perguruan kita. Biarlah Tecu coba-coba dulu padanya, jika Khikangku tidak mampu menandinginya barulah nanti Sunio membereskan dia."
Dan tanpa menunggu jawaban Gak-hujin segera ia melangkah maju, tahu-tahu tangannya sudah membawa sebuah sapu bobrok yang dijemputnya dari pojok dinding sana. Sambil mengacung-acungkan sapunya dia berkata kepada Seng Put-yu, "Seng-suhu, kau bukan lagi orang seperguruan, maka sebutan Supek atau Susiok tidak berlaku lagi. Jika kau mau insaf dan masuk kembali ke perguruanku, entah Suhu sudi menerima kau atau tidak" Seumpama Suhu sudi menerima kau, namun menurut peraturan Hoa-san-pay, orang yang masuk perguruan lebih belakang harus panggil Suheng padaku. Nah, mau tidak?"
Habis berkata ia putar balik sapunya dan menuding ke arah Seng Put-yu.
Keruan Seng Put-yu menjadi murka, bentaknya, "Anak keparat, sembarangan mengoceh! Asalkan kau mampu menahan empat kali seranganku tadi, aku Seng Put-yu akan mengangkat kau sebagai guru!"
Lenghou Tiong menggeleng-gelengkan kepala, sahutnya, "Tidak, aku tidak sudi mempunyai murid seperti kau ...." belum lenyap suaranya, Seng Put-yu sudah berjingkrak murka.
"Lolos pedangmu dan terima kematian!" bentak Seng Put-yu.
"Di mana tenaga murni tiba biarpun sebatang rumput juga mirip senjata tajam, terhadap beberapa jurus serangan Seng-heng yang sepele itu buat apa mesti pakai pedang?" sahut Lenghou Tiong dengan sikap mengejek.
"Baik, adalah kau sendiri yang sombong, maka jangan menyalahkan aku turun tangan keji," kata Seng Put-yu.
Gak Put-kun dan Gak-hujin tahu ilmu silat Seng Put-yu jauh lebih tinggi daripada Lenghou Tiong, hanya sebatang sapu saja dapat berbuat apa" Jika pertandingan berlangsung tentu akan sangat berbahaya bagi pemuda itu. Maka cepat mereka membentak, "Mundur, anak Tiong!"
Namun sudah terlambat, sinar pedang berkelebat, Seng Put-yu sudah mulai menyerang. Ia telah menusuk, yang digunakan memang betul adalah jurus serangannya terhadap Gak Put-kun tadi.
Sebabnya dia tidak pakai jurus serangan lain, pertama, keempat jurus serangan itu memang kepandaiannya yang paling diandalkan. Kedua, dia sudah menyatakan lebih dulu akan tetap menggunakan empat jurus serangan itu. Ketiga, dia sengaja menggunakan serangan-serangan yang sudah dikenal lawan, dengan demikian supaya orang lain takkan mengatakan dia menang karena bersenjata.
Sebaliknya diam-diam Lenghou Tiong sudah merancangkan cara menghadapi jurus-jurus serangan Seng Put-yu itu. Dari gambar-gambar ukiran dinding yang dilihatnya di dalam gua itu, semuanya melukiskan pemakaian senjata aneh untuk mengalahkan pedang lawan. Bila sekarang dirinya memakai pedang, padahal Tokko-kiu-kiam belum terlatih dengan sempurna, tentu sukar memperoleh kemenangan malah. Sebaliknya sapu bobrok ini kebetulan dapat digunakan sebagai Lui-cin-tang (sejenis senjata berbentuk serok).
Begitulah, maka ketika dilihatnya pedang Seng Put-yu menusuk ke arahnya, kontan sapu Lenghou Tiong terus menyapu ke muka lawan.
Tindakan Lenghou Tiong ini sebenarnya sangat berbahaya. Kalau senjata yang dia gunakan benar-benar Lui-cin-tang yang terbuat dari baja, maka serangannya ini tentu akan memaksa lawan menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi sekarang senjatanya hanya sebatang sapu bobrok, paling-paling lidinya akan menggores beberapa jalur luka di muka lawan saja, lebih dari itu tidak mungkin lagi. Sebaliknya pedang Seng Put-yu tentu akan menembus dadanya.
Namun Lenghou Tiong agaknya sudah memperhitungkan lawannya adalah jago angkatan tua, tentu mukanya tidak sudi disapu oleh sebuah sapu yang kotor itu. Sekalipun dia dapat membinasakan lawannya juga sukar mencuci bersih rasa malu tersapunya muka oleh sapu yang penuh tahi ayam dan debu kotor itu.
Dan benar juga, di tengah jerit khawatir orang banyak, tiba-tiba Seng Put-yu memalingkan mukanya untuk menghindar dan menarik kembali pedangnya untuk menangkis.
Cepat Lenghou Tiong juga menahan sapunya ke bawah untuk menghindarkan benturan dengan pedang musuh.
Bab 37. Tubuh Seng Put-yu Dibeset Menjadi Empat
Hanya satu gebrakan saja Seng Put-yu sudah terpaksa menarik kembali pedangnya untuk menangkis, tanpa terasa mukanya menjadi merah jengah. Ia tidak tahu bahwa usapan sapu Lenghou Tiong sebenarnya adalah ciptaan belasan jago Mo-kau, sebaliknya ia menyangka berhasilnya Lenghou Tiong mematahkan serangannya hanya karena kebetulan saja. Dengan gusar serangan kedua segera dilontarkan pula menuju dada dekat ketiak.
Namun Lenghou Tiong sempat mengegos pula, ia pindahkan sapu ke tangan kiri, tampaknya seperti menghindari tusukan pedang lawan, tapi secepat kilat sapunya menyambar pula ke depan mengarah dada Seng Put-yu.
Gagang sapu lebih panjang daripada pedang, meski sapunya bergerak belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasarannya, belum sempat Seng Put-yu putar kembali pedangnya, beberapa jalur ujung sapu yang lemas itu sudah mengenai dadanya, berbareng Lenghou Tiong berseru, "Kena!"
Akan tetapi hampir pada saat yang sama sapunya tertebas kutung oleh pedang lawan.
Namun para penonton dapat melihat dengan jelas bahwa Seng Put-yu yang kalah. Apabila senjata yang digunakan Lenghou Tiong bukan sapu melainkan senjata panjang terbuat dari besi, maka dada Seng Put-yu pasti sudah terluka parah.
Bilamana lawannya adalah tokoh kelas tinggi tentu Seng Put-yu akan melempar pedang dan mengaku kalah. Tapi sekarang yang mengalahkan dia hanya seorang murid angkatan kedua, bahkan dikalahkan hanya dengan sebuah sapu, ke mana lagi dia harus menaruh mukanya.
Tanpa bicara lagi, "sret-sret-sret", berturut-turut ia melancarkan tiga kali serangan lihai. Dua jurus serangan di antaranya sama dengan ukiran di dalam dinding gua, satu jurus lainnya meski belum dikenal oleh Lenghou Tiong, tapi sejak dia berhasil mempelajari "cara mengalahkan ilmu pedang" dari Tokko-kiu-kiam, untuk mematahkan segala macam serangan pedang boleh dikata bukan sesuatu yang sukar lagi baginya.
Segera Lenghou Tiong berkelit menghindarkan serangan pertama, menyusul ia gunakan gagang sapu sebagai toya untuk membentur batang pedang lawan sehingga menceng ke samping. Jurus ketiga dia sambut dengan "toya", ujung pedang lawan dipapak dengan toya.
Jika yang dipegang Lenghou Tiong itu benar-benar toya terbuat dari baja, maka toya yang keras itu akan melawan pedang yang agak lemas, tentu pedang akan patah seketika, cara ini memang amat bagus untuk mematahkan serangan lawan dan pemakai pedang pasti akan celaka.
Tak terduga karena permainan dalam keadaan tergesa-gesa itu Lenghou Tiong lupa bahwa senjata yang dipegangnya itu hanya batang bambu bekas sapu yang sudah terkutung ujungnya, toya bambu ketemu pedang baja, dengan sendirinya bambunya kalah, "cret", ujung pedang menancap masuk ke tengah tabung bambu.
Pikiran Lenghou Tiong dapat bekerja dengan cepat, tangan kanan segera digunakan menghantam batang bambu itu dari samping, kontan bambu yang berisikan pedang itu mencelat jauh ke sana.
Dari malu Seng Put-yu menjadi murka, tangan kiri menyambar secepat kilat, "brak", dengan tepat dada Lenghou Tiong kena digenjot olehnya.
Kepandaian Seng Put-yu adalah hasil latihan dari berpuluh tahun, sebaliknya Lenghou Tiong hanya mengandalkan gerak tipu yang aneh, sudah tentu tenaga dalamnya sekali-sekali bukan tandingan Seng Put-yu, kontan ia roboh terjungkal, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.
Sekonyong-konyong beberapa bayangan orang berkelebat, tahu-tahu kedua tangan dan kedua kaki Seng Put-yu diangkat ke atas oleh orang, terdengarlah suara jeritan ngeri, menyusul darah bertebaran memenuhi lantai bercampur dengan isi perut yang berhamburan.
Ternyata badan Seng Put-yu telah dibetot mentah-mentah menjadi empat potong, setiap anggota badannya itu dipegang oleh seorang yang berwajah buruk dan aneh. Kiranya empat dari Tho-kok-lak-sian yang membeset tubuh Seng Put-yu.
Kejadian yang cepat dan luar biasa ini membikin setiap orang terkesima kaget. Saking ngerinya Gak Leng-sian sampai menjerit dan jatuh pingsan.
Perubahan yang mendadak itu sekalipun Gak Put-kun, Hong Put-peng dan tokoh-tokoh kelas tinggi pun tertegun di tempatnya dengan mulut melongo. Pada saat yang hampir sama, Tho-kan-sian yang bermuka kelabu dan Tho-sit-san yang bermuka kuda itu pun melayang maju mendekati Lenghou Tiong, dengan cepat luar biasa mereka angkat tubuh pemuda itu terus dibawa lari ke bawah gunung dengan cepat luar biasa.
Berbareng Gak Put-kun dan Hong Put-peng juga bergerak, pedang mereka menusuk dua orang di antara enam tamu aneh itu, tapi lantas terdengar suara "crang-cring" dua kali, pedang mereka lantas patah menjadi dua.
Hanya dalam sekejap mata saja keempat "dewa" itu sudah menghilang dengan Ginkang mereka yang tinggi.
Waktu pedang Gak Put-kun dan Hong Put-peng tergetar patah, mereka merasa badan sasarannya itu bukanlah badan dari darah dan daging, keruan mereka terperanjat. Tapi mereka lantas sadar juga bahwa di punggung kedua orang aneh itu tentu terdapat benda keras sebangsa pelat besi dan sebagainya, kalau tidak masakah mampu menahan tusukan dua jagoan seperti Gak Put-kun dan Hong Put-peng.
Jago Hoa-san-pay yang satu lagi bernama Ko Put-ek, dia juga menyambitkan sebatang panah kecil dan jago Ko-san-pay yang berjenggot telah menimpukkan sebuah paku, sambaran kedua senjata rahasia ini sangat keras, tapi juga terdengar suara "tring-tring" dua kali, walaupun mengenai sasarannya, namun punggung kedua orang aneh itu tidak terluka sedikit pun, hanya dalam sekejap saja keenam manusia aneh sudah menghilang dengan menggondol Lenghou Tiong.
Gak Put-kun, Hong Put-peng, Theng Eng-gok, Ko Put-ek dan lain-lain hanya saling pandang dengan melongo, sudah terang mereka tidak sanggup mengejar kecepatan Tho-kok-lak-sian itu. Mereka merasa ngeri dan sedih melihat darah berceceran memenuhi lantai dengan jenazah Seng Put-yu yang sudah terbeset menjadi empat potong itu.
Selang agak lama barulah Theng Eng-gok membuka suara, "Gak-heng, apakah engkau tidak kenal asal-usul keenam orang aneh itu?"
Put-kun menggeleng kepala, sorot matanya menatap ke arah Hong Put-peng dengan maksud bertanya, tapi Hong Put-peng juga geleng-geleng kepala, begitu pula yang lain.
Dalam pada itu Lenghou Tiong yang terluka parah karena hantaman Seng Put-yu, selama jatuh pingsan dia telah dibawa lari oleh kedua "dewa". Waktu dia siuman kembali, segera dilihatnya dirinya berbaring di dalam kamar, sebuah wajah yang panjang seperti muka kuda dengan mata yang bersinar tajam sedang menatapnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir.
Melihat Lenghou Tiong membuka mata, dengan girang Tho-hoa-sian berseru, "Aha, dia sudah sadar, sudah sadar! Bocah ini takkan mati."
"Sudah tentu takkan mati, hanya pukulan begitu saja masakah bisa membuatnya mati?" ujar Tho-sit-sian.
"Huh, enak saja kau bicara," bantah Tho-hoa-sian. "Coba kalau pukulan itu mengenai tubuhmu, sudah tentu tak bisa melukaimu, tapi bocah ini mana bisa dibandingkan dirimu, bukan mustahil dia akan mati terhantam."
"Sudah terang dia tidak mati, mengapa kau bilang dia akan terhantam mati?" sahut Tho-sit-sian.
"Aku kan tidak bilang pasti akan mati, tapi aku mengatakan bukan mustahil akan terpukul mati," kata Tho-hoa-sian.
"Kalau dia sudah siuman kembali tentu tidak ada alasan dikatakan bukan mustahil akan mati," sahut Tho-sit-sian dengan ngotot.
"Aku tetap akan berkata demikian, habis kau mau apa?" kata Tho-hoa-sian dengan aseran.
"Itu membuktikan pandanganmu kurang tepat, boleh dikatakan pula pada hakikatnya kau tidak tahu," ujar Tho-sit-sian.
"Jika kau tahu pasti dia takkan mati, mengapa tadi kau sendiri menghela napas dan merasa khawatir dan sedih?" debat Tho-hoa-sian.
"Aku menghela napas bukan mengkhawatirkan kematiannya, tapi khawatir si nona cilik akan merasa cemas bila melihat keadaannya ini," sahut Tho-sit-sian. "Kedua, dasarnya mukaku memang panjang seperti muka kuda, potongan muka yang panjang seperti aku ini dengan sendirinya tak bisa tertawa-tawa dan riang gembira."
Mendengar pertengkaran mulut kedua orang aneh itu, walaupun merasa geli juga, tapi jelas kedua orang itu menaruh perhatian yang amat besar terhadap keselamatannya, maka diam-diam Lenghou Tiong merasa sangat terharu dan berterima kasih.
Ketika mendengar mereka mengatakan "si nona cilik" mungkin yang dimaksudkan itu adalah Gi-lim Sumoay dari Hing-san-pay. Maka dengan tersenyum ia lantas menyela, "Sudahlah, kalian berdua jangan khawatir, aku Lenghou Tiong takkan mati."
"Nah, kau dengar dia sendiri menyatakan takkan mati, tadi kau masih terus bilang dia mungkin akan mati," demikian Tho-sit-sian lantas menumpangi.
"Waktu aku mengatakan demikian tadi dia masih belum bersuara," sahut Tho-hoa-sian tak mau kalah.
"Sejak tadi dia sudah membuka mata dan dengan sendirinya dapat membuka suara, hal ini siapa pun dapat menduganya," kata Tho-sit-sian.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa jemu, kalau pertengkaran kedua orang itu diteruskan, boleh jadi takkan berhenti biarpun tiga-hari-tiga-malam. Segera ia berkata, "Ya, sebenarnya aku akan mati, cuma ketika mendengar kalian berharap aku jangan mati, kupikir betapa besar kekuasaan Tho-kok-lak-sian, bila kalian minta aku jangan mati, mana aku berani mati?"
Mendengar demikian, senanglah hati Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian. Kata mereka berbareng, "Marilah kita beri tahukan kepada Toako!"
Segera mereka berlari pergi. Tidak lama kemudian Tho-kok-lak-sian pun muncul lagi seluruhnya.
Kembali keenam orang itu bicara tidak habis-habis, ada yang membual bahwa jasanya sendiri paling besar, ada yang merasa bersyukur Lenghou Tiong tidak mati, ada lagi yang menyatakan rasa khawatirnya ketika Lenghou Tiong terpukul roboh, karena menolong pemuda itu lebih penting sehingga tidak sempat membikin perhitungan dengan si anjing tua dari Ko-san-pay. Kalau tidak, anjing tua Ko-san-pay itu juga dibetot menjadi empat potong barulah rasa dongkolnya bisa terlampias.
Luka Lenghou Tiong sebenarnya sangat berat, untuk menyenangkan Tho-kok-lak-sian tadi dia telah ikut bicara, tapi habis itu dia lantas pingsan pula. Dalam keadaan samar-samar ia merasa dadanya terasa muak dan sesak, darah seluruh tubuhnya seakan-akan bergolak saling tumbuk, rasanya tidak enak.
Sejenak kemudian, ketika pikirannya rada sadar, ia merasa tubuhnya seperti sedang dipanggang, panasnya tak terkatakan. Tanpa merasa ia merintih. Tiba-tiba ada orang membentaknya, "Ssst, jangan bersuara!"
Waktu Lenghou Tiong membuka matanya, dilihatnya sebuah pelita dengan api sebesar kacang berada di atas meja, sekujur badan sendiri telanjang bulat dan terbaring di lantai, kedua tangan dan kedua kaki masing-masing dipegang oleh seorang, dua orang lagi ada yang menahan perutnya dengan telapak tangan, ada lagi yang menggunakan telapak tangan menekan "Pek-hwe-hiat" di ubun-ubunnya.
Dalam kagetnya segera Lenghou Tiong merasa suatu hawa panas menyusup masuk melalui telapak kaki kiri terus naik ke paha, ke perut, ke dada, ke lengan kanan dan akhirnya mencapai telapak tangan kanan.
Berbareng itu suatu hawa panas juga menyusup masuk melalui telapak tangan kiri terus naik ke lengan, ke dada, ke perut, ke paha kanan dan akhirnya sampai di telapak kaki kanan.
Kedua arus hawa panas itu terus berputar kian kemari, saking panasnya Lenghou Tiong merasa seperti sedang dipanggang. Dia tahu Tho-kok-lak-sian sedang menggunakan Lwekang yang tinggi untuk menyembuhkan lukanya, dalam hati dia merasa sangat berterima kasih. Segera ia pun mengerahkan Lwekang sendiri untuk menambah kekuatan penyembuhan itu.
Tak terduga baru saja tenaganya sendiri baru mulai bekerja dari pusarnya, mendadak perut terasa sakit luar biasa seperti ditikam, kontan darah segar tersembur dari mulutnya.
Keruan Tho-kok-lak-sian terkejut. "Celaka!" teriak mereka berbareng.
Segera Tho-yap-sian yang tangannya menahan ubun-ubun Lenghou Tiong itu lantas menepuk sehingga pemuda itu dihantam pingsan lagi.
Untuk selanjutnya Lenghou Tiong selalu berada dalam keadaan tak sadar, badan sebentar dingin dan sebentar panas, kedua arus hawa panas itu pun selalu menyusur kian kemari di antara urat anggota badannya, antara kedua kaki dan kedua tangan terkadang timbul beberapa arus hawa panas yang saling gontok, saling tumbuk sehingga rasanya bertambah menderita.
Hari itu mendadak pikiran Lenghou Tiong rada segar. Didengarnya Tho-kan-sian sedang berkata, "Coba kalian lihat, dia sudah tidak berkeringat lagi, bukankah karena hawa murni yang kusalurkan dan berputar di antara urat nadi anggota badannya telah membawa hasil" Dengan caraku ini tentu dapat kusembuhkan lukanya."
"Ala, masih berani omong besar?" sahut Tho-kin-sian. "Coba kalau kemarin dulu tidak menggunakan caraku, dengan hawa murni yang kusalurkan ke berbagai urat nadi di bagian jantung dan perutnya, tentu sejak itu bocah ini sudah mati, masakah kau sempat menunggu lagi sampai hari ini."
"Betul!" sahut Tho-ki-sian. "Cuma biarpun cara Toako itu dapat menyembuhkan luka dalamnya, namun kedua kakinya tentu akan menjadi lumpuh dan ini berarti kurang sempurna cara penyembuhanmu, betapa pun toh caraku lebih baik. Luka dalam bocah ini terletak pada bagian jantungnya, segala penyembuhan harus disalurkan melalui sana."
"Kembali kau mengoceh tak keruan," omel Tho-kin-sian dengan gusar. "Kau bukan cacing di dalam perutnya, dari mana kau tahu luka dalamnya terletak pada jantungnya?"
Begitulah beberapa orang aneh itu kembali bertengkar tidak habis-habis.
Tiba-tiba Tho-yap-sian berkata, "Cara menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya, kukira kurang baik, kurasa lebih penting harus menyembuhkan dulu kakinya melalui Siau-yang-meh."
Habis berkata, tanpa menunggu persetujuan kawan-kawannya segera tangannya menekan "Tang-kok-hiat" di bagian lutut kiri Lenghou Tiong, suatu arus hawa panas lantas menyusup masuk melalui Hiat-to itu.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tho-kan-sian menjadi gusar, bentaknya, "Hah, kembali kau main gila padaku. Baiklah, boleh kita coba-coba siapa yang lebih tepat."
Lalu ia pun mengerahkan tenaga dalam dan memperkuat saluran hawa murninya.
Keruan yang paling celaka adalah Lenghou Tiong sendiri, ia merasa muak dan ingin muntah, darah seakan-akan hendak menyembur keluar pula. Diam-diam ia hanya mengeluh belaka.
Ia tahu keenam orang itu bermaksud baik menolong jiwanya, tapi mereka mempunyai pendirian yang berbeda-beda cara penyembuhannya, jika masing-masing menggunakan caranya sendiri-sendiri, maka runyamlah dirinya.
Sesungguhnya ia ingin bersuara menolak dan minta agar Tho-kok-lak-sian berhenti saja, celakanya mulutnya sukar bicara.
"He, kalian lihat, kedua mata bocah itu terbelalak belaka, bibirnya bergerak, tapi justru tidak mau bicara ...." demikian terdengar Tho-yap-sian berseru.
Keruan Lenghou Tiong sangat mendongkol, bukannya dia tidak mau bicara, tapi badan tersiksa sedemikian rupa, masakah sanggup bersuara pula.
Sementara itu Tho-yap-sian sedang melanjutkan, "Melihat keadaannya, terang kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang, maka harus disembuhkan melalui ...."
Baru sampai di sini Lenghou Tiong lantas merasa bagian bawah matanya yang melekuk itu kesakitan, menyusul ujung sisi bawah juga terasa linu, menyusul lagi beberapa Hiat-to di bagian dahi dan di belakang kepala ikut kesakitan pula dan linu pegal, saking tak tahan, Lenghou Tiong hanya dapat meringis saja.
"Lihatlah, biarpun kau pencet sini dan pijat sana toh dia masih tidak bicara," kata Tho-ki-sian. "Kukira bukan otaknya yang berpenyakit, tapi lidahnya yang kaku, ini tandanya harus menyembuhkan dia melalui In-pek-hiat, Thay-pek-hiat dan lain-lain tempat, tapi ... tapi kalau tidak sembuh, jangan kalian menyalahkan aku!"
"Jika kau tak bisa menyembuhkan dia, tentu jiwanya akan melayang, maka kau harus disalahkan," kata Tho-kan-sian.
"Wah, kalau salah menyembuhkannya kan bisa runyam," sahut Tho-ki-sian yang bernyali kecil sebagai tikus itu.
"Salah atau tidak sulit untuk dikatakan karena belum kau lakukan," ujar Tho-hoa-sian. "Padahal bocah ini hanya terluka luar saja dan tidak penting, namun sudah sekian lama kita berusaha menyembuhkan dia dan tetap gagal. Kukira dia punya penyakit ini harus disembuhkan mulai dari dalam."
"Ah, kau memang plintat-plintut, kemarin kau bilang begitu, sekarang bilang begini, mengapa saling bertentangan pendapatmu?" omel Tho-sit-sian.
"Kita sudah mencobanya dengan berbagai cara dan tetap tidak berhasil, terpaksa aku harus menggunakan cara yang luar biasa," tiba-tiba Tho-kin-sian menyela.
"Cara yang luar biasa bagaimana?" tanya saudara-saudaranya.
"Penyakit bocah ini terang semacam penyakit yang aneh dan harus disembuhkan dengan cara aneh pula. Maka aku akan menyembuhkan dia melalui Hiat-to di luar kebiasaan, aku akan menutuk 12 Hiat-to yang paling aneh dan jarang dikenal."
"He, jangan Toako, ini terlalu bahaya!" seru Tho-hoa-sian dan lain-lain.
Tapi lantas terdengar Tho-kin-sian membentak, "Jangan apa" Jika ayal tentu jiwa bocah ini sukar tertolong lagi!"
Habis itu Lenghou Tiong lantas merasa In-tong-hiat, Hi-yau-hiat dan lain-lain kesakitan luar biasa seperti ditusuk oleh pisau tajam. Ia pentang mulut ingin berteriak, tapi sedikit pun tak bisa mengeluarkan suara. Ia merasa enam arus hawa panas berputar kian kemari dari berbagai urat nadi yang berlainan, terkadang saling gontok dan saling tumbuk dengan hebatnya. Sudah tentu derita Lenghou Tiong tak terkatakan, nyata tubuhnya telah menjadi medan pertempuran hawa murni keenam manusia aneh itu.
Sungguh gusar Lenghou Tiong tidak kepalang, diam-diam ia mengutuki Tho-kok-lak-sian itu, bila dirinya tidak jadi mati, kelak tentu akan kucencang kalian enam ekor anjing tua ini, demikian gerutunya dalam hati. Kalau bisa bersuara, mungkin segala caci maki yang paling kotor sudah dilontarkan.
Padahal kalau dipikir, maksud tujuan Tho-kok-lak-sian itu tidaklah jahat melainkan ingin menyembuhkan lukanya dengan bantuan tenaga murni mereka, cara demikian sebenarnya sangat merugikan mereka sendiri.
Begitulah sembari mengerahkan hawa murni masing-masing untuk menyembuhkan Lenghou Tiong, Tho-kok-lak-sian masih terus bertengkar karena berbeda pendapat. Mereka tidak tahu bahwa karena sok pintar mereka, selama beberapa hari Lenghou Tiong telah "dipermak" oleh mereka sedemikian rupa.
Untunglah sejak kecil Lenghou Tiong sudah belajar Lwekang Hoa-san-pay yang hebat, dasarnya sudah terpupuk kuat, kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang kena dikocok oleh Tho-kok-lak-sian itu.
Sesudah lama mengerahkan hawa murni mereka dan keadaan Lenghou Tiong bukannya bertambah baik, sebaliknya denyut jantungnya semakin lemah, napasnya semakin berat, bukan mustahil segera akan tewas, mau tak mau Tho-kok-lak-sian menjadi khawatir. Tho-ki-sian yang penakut itu yang pertama-tama berkata, "Sudahlah, aku tidak mau bekerja lagi. Jika diteruskan dan dia telanjur mati, arwahnya yang penasaran mungkin akan selalu menggoda padaku, kan bisa susah aku."
Habis berkata segera ia menarik tangannya yang menahan salah satu Hiat-to di tubuh Lenghou Tiong.
Tho-kin-sian menjadi gusar, katanya, "Jika bocah ini benar-benar mati, maka orang pertama yang disalahkan tentulah dirimu. Arwahnya akan berubah menjadi setan gentayangan dan akan selalu menggoda dan mengintil di belakangmu."
Mendadak Tho-ki-sian menjerit ketakutan, ia melompat keluar melalui jendela, dalam sekejap saja sudah menghilang entah ke mana.
Berturut-turut Tho-kan-sian, Tho-sit-sian dan lain-lain juga lantas menarik kembali tangan mereka. Ada yang berkerut kening, ada yang geleng-geleng kepala, semuanya merasa tak berdaya.
"Tampaknya bocah ini sukar diselamatkan lagi, lantas bagaimana baiknya?" ujar Tho-yap-sian.
"Boleh kalian beri tahukan si nona cilik, katakan bahwa bocah ini telah kena dihantam satu kali oleh keparat itu, karena tidak tahan maka bocah ini mati," ujar Tho-kan-sian.
"Katakan tidak bahwa kita telah berusaha menyembuhkan dia?" tanya Tho-kin-sian.
"Wah, ini jangan sekali-kali diberitahukan," sahut Tho-kan-sian.
"Tapi kalau si nona cilik tanya kita mengapa tidak berusaha menyembuhkan dia, lantas bagaimana?" tanya pula Tho-kin-sian.
"Jika begitu kita katakan saja sudah berusaha menyembuhkan dia, cuma tidak berhasil," kata Tho-kan-sian.
"Dan si nona cilik tentu akan anggap kita Tho-kok-lak-sian tak berguna, tidak becus, lebih celaka daripada enam ekor anjing," kata Tho-kin-sian.
Tho-kan-sian menjadi gusar, serunya, "Wah, si nona cilik memaki kita sebagai anjing, sungguh keterlaluan, aku tidak tahan."
"Si nona cilik tidak memaki kita, akulah yang bilang demikian," kata Tho-kin-sian.
"Jika dia tidak memaki, dari mana kau tahu?" tanya Tho-kan-sian.
"Aku kan cuma mengumpamakan saja, boleh jadi dia akan memaki kita," sahut Tho-kin-sian.
"Aku yakin si nona cilik pasti akan menangis dan takkan memaki kita," ujar Tho-kan-sian.
"Aku lebih suka dia memaki kita sebagai anjing daripada melihat dia menangis sedih," kata Tho-kin-sian.
"Seumpama dia benar-benar memaki juga takkan memaki kita sebagai anjing," kata Tho-kan-sian pula.
"Habis memaki kita sebagai apa?" tanya Tho-kin-sian.
"Memangnya kita berenam ini mirip anjing?" sahut Tho-kan-sian. "Sedikit pun tidak mirip. Maka kukira dia akan memaki kita sebagai kucing."
"Cis, mengapa memaki kita sebagai kucing?" sela Tho-yap-sian. "Memangnya kita mirip kucing?"
"Kata-kata makian kan tidak perlu mesti mirip dengan orang yang dimaki," timbrung Tho-hoa-sian. "Kita adalah manusia, adalah orang, bila nona cilik mengatakan kita adalah orang, maka ini bukan lagi makian."
"Seumpama dianggap orang juga masih ada kemungkinan dimaki," Tho-sit-sian ikut di dalam perdebatan itu. "Umpama dia mengatakan kita adalah orang goblok, orang tolol, orang jahat, ini kan kata-kata makian."
"Biarpun orang goblok atau tolol atau orang jahat, setidak-tidaknya akan lebih lumayan daripada anjing, "ujar Tho-kin-sian.
"Jika keenam ekor anjing itu adalah anjing pintar, anjing galak, lalu anjingnja lebih baik atau orangnya lebih baik?" tanya Tho-sit-sian.
Sejak tadi Lenghou Tiong berbaring dalam keadaan kempas-kempis, sungguh geli setengah mati ketika mendengarkan pertengkaran mereka yang lucu itu. Entah mengapa, tiba-tiba suatu arus hawa hangat menyentak ke atas, mendadak ia dapat bersuara, "Enam ekor anjing tentu akan jauh lebih baik daripada kalian!"
Seketika para "Sian" itu melongo kaget. Belum lagi mereka sempat bersuara, sekonyong-konyong terdengar Tho-ki-sian bertanya di luar jendela, "Mengapa enam ekor anjing akan lebih baik daripada kami?"
Tadi dia telah lari pergi terbirit-birit, entah sejak kapan dia sudah mengeluyur kembali.
Maka berbareng kelima saudaranya ikut bertanya, "Ya, mengapa enam ekor anjing bisa lebih baik daripada kami?"
Sungguh Lenghou Tiong ingin membuka mulut dan mencaci maki mereka, tapi tenaga sedikit pun tidak ada, hanya dengan suara lemah ia berkata, "Ka ... kalian antarkan aku kembali ke ... ke Hoa-san, hanya ... hanya Suhuku saja yang da ... dapat menolong jiwaku ...."
"Apa katamu" Hanya gurumu saja yang mampu menolong jiwamu?" Tho-kin-sian menegas. "Jadi maksudmu Tho-kok-lak-sian tak mampu menolongmu?"
Lenghou Tiong manggut-manggut, mulutnya ternganga, tapi tak bisa bicara lagi.
"Persetan!" omel Tho-yap-sian. "Apa kepandaian Suhunya, masakah dia lebih lihai daripada kami Tho-kok-lak-sian?"
"Hm, boleh coba suruh gurunya bertanding dengan kita," seru Tho-hoa-sian.
"Ya, kita berempat masing-masing memegang satu tangan dan satu kakinya, sekali betot saja dia akan kita sobek menjadi empat potong," kata Tho-kan-sian.
"Benar, bahkan setiap orang di Hoa-san akan kita sobek menjadi empat potong," teriak Tho-sit-sian.
Mendengar pertengkaran manusia-manusia abnormal yang ngawur dan lucu itu, kalau tidak berada dalam keadaan payah sungguh Lenghou Tiong ingin tertawa sepuas-puasnya. Tapi biarpun tutur kata dan tingkah laku orang-orang aneh itu sangat menggelikan, namun akhirnya Lenghou Tiong merasa sebal juga.
Cuma kalau dipikir kembali, kali ini secara kebetulan dapat bertemu dengan manusia-manusia aneh itu, hal ini boleh dikata sesuatu yang menguntungkan juga, paling tidak melihat tingkah laku yang menggelikan dan sukar dicari bandingannya itu sungguh tidak percumalah hidupnya ini.
Teringat demikian, tanpa merasa timbul semangat jantannya, tiba-tiba ia berkata, "Aku ... aku ingin minum arak!"
Seketika Tho-kok-lak-sian bergirang mendengar suara Lenghou Tiong. Seru mereka, "Bagus, bagus sekali! Dia ingin minum arak, terang dia takkan mati."
"Mati atau tidak, paling perlu sekarang minum arak dulu sepuas-puasnya," kata Lenghou Tiong setengah merintih.
"Betul, orang hidup kalau tidak minum arak apa artinya menjadi manusia, kan lebih baik menjadi kura-kura saja," kata Tho-hoa-sian yang kegemarannya juga minum arak.
Sebaliknya Tho-kan-sian yang biasanya tidak minum arak itu menjadi gusar, teriaknya, "Kau memaki aku yang tidak suka minum arak sebagai kura-kura, kuyakin kau sendiri adalah bulus."
"Bulus juga boleh, paling perlu minum arak," sahut Tho-hoa-sian.
Khawatir kedua orang itu bertengkar lagi tak habis-habis, cepat Lenghou Tiong merintih pula, "Lekas ... lekas ambilkan, aku ingin minum arak, kalau tidak tentu aku akan ... akan mati!"
"Ya, ya, baik, akan kuambilkan arak," sahut Tho-hoa-sian cepat sambil melangkah pergi.
Benar juga, tidak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa sebuah poci arak.
Keadaan Lenghou Tiong sebenarnya sudah sangat payah, tapi demi mengendus bau arak, seketika semangatnya berbangkit, katanya, "Harap suapi aku!"
Tho-ki-sian lantas tempelkan poci arak itu ke mulutnya dan perlahan menuangkan araknya. Seceguk demi seceguk akhirnya Lenghou Tiong menjadi tambah sadar dan cerdas, pikirnya, "Keenam orang ini suka diumpak, dipuji, terpaksa aku harus menipu mereka."
Maka ia lantas berkata, "Guruku sering berkata bahwa jago yang paling ... paling lihai di dunia ini adalah Tho ... Tho ...." sampai di sini ia sengaja berhenti.
Sudah tentu Tho-kok-lak-sian menjadi tertarik, cepat mereka tanya berbareng, "Apakah Tho-kok-lak-sian maksudmu?"
Lenghou Tiong tersenyum, sahutnya, "Ya, betul. Suhuku sering berkata pula bahwa beliau sangat ingin diberi kesempatan untuk minum arak bersama Tho-kok-lak-sian dan bersahabat dengan mereka agar ... agar dapat minta keenam kesa ... kesat ...."
"Keenam kesatria maksudnya?" kembali Tho-kok-lak-sian menegas.
"Betul, agar dapat minta keenam kesatria besar itu sudi memperlihatkan kesaktian mereka di depan para murid Hoa-san-pay ...." sampai di sini napas Lenghou Tiong terasa sesak, terpaksa ia berhenti bicara.
Keruan Tho-kok-lak-sian tidak mau berhenti, beramai-ramai mereka bertanya, "Lalu bagaimana" Dari mana gurumu mengetahui kesaktian kami" Wah, ketua Hoa-san-pay itu benar-benar seorang yang baik hati, siapa saja yang berani mengganggu sebatang rumput ataupun sebatang pohon Hoa-san tentu kita takkan mengampuni dia."
"Gurumu adalah orang baik, kami sangat ingin bersahabat dengan dia. Marilah sekarang juga kita berangkat ke Hoa-san!" akhirnya Lak-sian berkata demikian.
Justru kata-kata ini yang lagi diharapkan Lenghou Tiong agar diucapkan mereka, maka tanpa pikir ia lantas menanggapi, "Betul, sekarang juga kita lantas berangkat ke Hoa-san!"
Dasar Tho-kok-lak-sian memang polos, sekali bilang berangkat segera mereka benar-benar berangkat. Lenghou Tiong lantas mereka gotong terus diangkut pergi.
Setengah hari kemudian tiba-tiba Tho-kin-sian mengeluh, "Wah, celaka. Salah, salah besar! Nona cilik menyuruh kita membawa bocah ini untuk menghadapinya, mengapa kita malah membawanya kembali ke Hoa-san?"
Bab 38. Kui-hoa-po-tian = Inti Rahasia Pi-sia-kiam-hoat
"Kali ini ucapan Toako benar," sahut Tho-kan-sian. "Lebih baik kita membawanya menghadap si nona cilik dahulu, kemudian baru kita berangkat ke Hoa-san."
Bicara demikian, kontan mereka ganti haluan dan menuju ke jurusan selatan.
Lenghou Tiong menjadi kelabakan, cepat ia berkata, "Yang ingin dilihat si nona cilik itu orang hidup atau orang mati?"
"Sudah tentu ingin melihat bocah yang hidup dan tidak mau yang mati," sahut Tho-kin-sian.
"Kalau demikian, bila kalian tidak mengantar aku ke Hoa-san, segera aku akan memutuskan urat nadiku sendiri supaya mati seketika," kata Lenghou Tiong.
"Bagus, Kungfu mahatinggi memutus urat nadi sendiri itu cara bagaimana melatihnya, coba pertunjukkan kepada kami!" seru Tho-sit-sian dengan girang.
"Sekali melatih ilmu demikian, seketika kau sendiri akan mati, apa faedahnya melatihnya?" ujar Tho-kan-sian.
"Ada faedahnya juga," seru Lenghou Tiong dengan napas terengah-engah. "Umpama pada waktu terpaksa, daripada menderita lebih baik memutus urat nadi sendiri agar mati saja."
Mendadak Tho-kok-lak-sian merasa khawatir, seru mereka, "Nona cilik ingin bertemu denganmu, sekali-sekali kami tidak bermaksud jahat dan sengaja memaksamu."
"Ya, kalian mungkin bermaksud baik, tapi sebelum kulapor kepada Suhu dan minta persetujuan beliau, biarpun mati juga aku tidak mau menurut," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah, terlambat sedikit hari tidak menjadi soal, biarlah kami mengantarmu pulang ke Hoa-san dahulu," kata Tho-kin-sian.
Beberapa hari kemudian mereka bertujuh sudah berada di Hoa-san lagi. Kira-kira dua li dari ruang pendopo Co-kong-tong mereka sudah dilihat oleh anak murid Hoa-san-pay dan segera berlari memberi lapor kepada Gak Put-kun.
Gak Put-kun dan istri terkejut mendengar bahwa keenam orang aneh yang menculik Lenghou Tiong itu sekarang datang lagi. Cepat ia membawa anak muridnya menyambut keluar.
Cepat sekali datangnya Tho-kok-lak-sian itu, baru saja Gak Put-kun dan rombongannya keluar ruangan pendopo sudah lantas tampak keenam orang aneh itu sedang mendatang, dua orang di antaranya menggotong usungan dan Lenghou Tiong terbaring di atas usungan itu.
Gak-hujin memburu maju untuk memeriksa, dilihatnya muka muridnya kurus pucat, terang dalam keadaan sakit payah. Keruan Gak-hujin terkejut, cepat ia pegang nadi Lenghou Tiong, terasa denyutnya lemah dan kacau, jiwanya dalam keadaan bahaya.
"Tiong-ji, Tiong-ji!" serunya.
Lenghou Tiong membuka mata sedikit dan menyapa dengan lemah, "Su ... Su ...." tapi ia tidak sanggup meneruskan panggilannya.
Air mata Gak-hujin lantas bercucuran, katanya, "Tiong-ji, biarlah ibu guru membalaskan sakit hatimu!"
Mendadak ia lolos pedang terus hendak menusuk Tho-hoa-sian yang ikut menggotong usungan itu.
"Nanti dulu!" syukur Gak Put-kun sempat mencegahnya. Lalu ia memberi salam kepada Tho-kok-lak-sian dan berkata, "Maafkan jika aku tiada mengadakan penyambutan atas kunjungan kalian ke Hoa-san ini. Entah siapakah nama kalian yang mulia dan asal dari aliran manakah?"
Mendengar itu mendongkol dan kecewa pula Tho-kok-lak-sian. Sebenarnya mereka percaya penuh apa yang dikatakan Lenghou Tiong bahwa Gak Put-kun sangat kagum dan hormat kepada mereka berenam saudara, siapa duga baru bertemu saja sudah lantas tanya nama, terang ketua Hoa-san-pay ini sebelumnya sama sekali tidak kenal siapa Tho-kok-lak-sian.
Segera Tho-kin-sian berkata, "Katanya kalian suami-istri sangat mengagumi kami berenam saudara, jadi hal ini sama sekali tidak benar?"
"Kau pernah bilang Tho-kok-lak-sian adalah jago yang paling lihai di dunia ini, masakah kau tidak tahu bahwa kami inilah Tho-kok-lak-sian yang dimaksud itu?" Tho-kan-sian ikut bicara.
"Ya, katanya kau sangat ingin bertemu dan bersahabat dengan kami untuk minum arak bersama-sama, sekarang kami telah datang kemari, nyatanya kau tidak gembira dan tiada maksud mengundang kami minum arak pula, jadi apa yang kau katakan dahulu itu cuma dusta belaka?" tanya Tho-kin-sian.
Sudah tentu Gak Put-kun merasa bingung. Pikirnya, "Keenam orang ini mengaku Tho-kok-lak-sian, tapi tampang mereka dan tingkah lakunya mirip siluman, di mana ada tanda-tanda sebagai 'Sian' (dewa)" Apalagi kalau melihat cara mereka merobek tubuh Seng Put-yu yang kejam itu, terang mereka adalah jago dari golongan Sia-pay. Sebenarnya mereka adalah tamu dan pantas juga mengundang mereka makan-minum, tapi mereka telah membunuh orang di atas Hoa-san tanpa menghormati pihak tuan rumah, untuk ini saja sudah kehilangan kehormatan sebagai tamu. Sejak dulu golongan Cing-pay tak pernah hidup berdampingan dengan Sia-pay, apalagi mereka telah menyiksa anak Tiong sedemikian rupa, tidak mungkin mereka mempunyai maksud baik."
Karena pikiran demikianlah, dengan sikap dingin ia lantas menjawab, "Kalian mengaku sebagai Tho-kok-lak-sian, padahal aku hanya manusia biasa saja dan tidak berani bersahabat dengan para dewa."
Ucapan Gak Put-kun ini terang adalah sindiran, tapi bagi pendengaran Tho-kok-lak-sian ternyata dirasakan sebagai suatu pujian, mereka sangat senang dan berkata, "Ah, tidak menjadi soal. Kami Lak-sian sudah bersahabat dengan muridmu, untuk bersahabat lagi denganmu juga boleh."
"Meski ilmu silatmu sangat rendah juga kami takkan memandang hina padamu, untuk ini kau tak perlu khawatir," demikian Tho-sit-sian menambahkan.
"Ya, seumpama dalam hal ilmu silat ada yang kurang jelas bagimu, boleh silakan kau tanya saja kepada kami, sekali Tho-kok-lak-sian menganggapmu sebagai sahabat, tentu kami akan memberi petunjuk seperlunya," kata Tho-hoa-sian.
Dasar sifat Tho-kok-lak-sian memang kekanak-kanakan dan tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia, apa yang mereka ucapkan itu sesungguhnya timbul dari maksud baik, tapi bagi pendengaran seorang guru besar ilmu silat sebagai Put-kun sudah tentu dirasakan sebagai suatu penghinaan besar.
Untung Gak Put-kun adalah seorang yang sabar dan ramah tamah, walaupun batinnya sangat gusar, tapi mukanya masih tersenyum saja, katanya, "Terima kasihlah atas maksud baik kalian."
"Terima kasih tidaklah perlu," kata Tho-kan-sian. "Bila Tho-kok-lak-sian sudah anggap kau sebagai sahabat, sudah tentu segala apa yang kami ketahui akan kami beri tahukan selengkapnya."
"Ya, sekarang juga akan kuperlihatkan beberapa gerakan agar segenap warga Hoa-san-pay kalian bisa tambah pengalaman," Tho-sit-sian menambahkan pula.
Mendengar kata-kata mereka yang sombong dan sembrono itu, sejak tadi Gak-hujin sudah amat gusar. Sekarang ia benar-benar tidak tahan lagi, pedang bergerak, tahu-tahu dada Tho-sit-sian sudah terancam, tapi Gak-hujin belum lagi menyerang, katanya, "Baik, akan kubelajar kenal dengan kepandaian senjatamu."
"Selamanya Tho-kok-lak-sian tidak menggunakan senjata, katanya kau kagum terhadap ilmu silat kami, mengapa tidak tahu akan hal ini?" kata Tho-sit-sian.
Ucapan ini bagi pendengaran Gak-hujin kembali dirasakan sebagai penghinaan pula, tanpa pikir lagi pedangnya lantas menusuk ke depan sambil berkata, "Ya, aku memang tidak tahu."
Gak-hujin adalah tokoh tertinggi dari Hoa-san-pay, sekte yang mengutamakan "Khi" (hawa), serangannya itu dengan sendirinya sangat lihai dan cepat. Apalagi Tho-sit-sian sama sekali tiada sedikit pun merasa bermusuhan dengan nyonya Gak itu, sama sekali ia tidak menduga akan diserang secara mendadak, tahu-tahu ujung pedang sudah sampai di depan dadanya, dalam kagetnya lekas ia hendak berkelit.
Namun sudah kasip, serangan Gak-hujin itu sungguh teramat cepat, "bles", dadanya tertubles pedang. Berbareng Tho-sit-sian masih sempat hantam dengan sebelah tangannya dan mengenai pundak Gak-hujin. Kontan Gak-hujin terhuyung-huyung mundur dua tindak sehingga pedangnya terlepas dari cekalan dan masih menancap di dada Tho-sit-sian dengan bergoyang-goyang.
Keruan Tho-kin-sian dan saudara-saudaranya yang lain menjerit kaget. Lebih-lebih Tho-ki-sian yang bernyali kecil itu, tanpa pikir lagi segera ia angkat tubuh Tho-sit-sian terus dibawa lari terbirit-birit, hanya sekejap saja sudah menghilang.
Sisa empat "dewa" lagi mendadak menerjang maju, dengan cepat tak terperikan mereka sambar kedua kaki dan kedua tangan Gak-hujin terus diangkat ke atas.
Gak Put-kun tahu gerakan selanjutnya dari keempat orang itu tentu membetot sekuatnya dan tubuh sang istri pasti akan terobek menjadi empat potong. Cepat ia bertindak, namun betapa pun tenangnya, menghadapi keadaan demikian mau tak mau tangannya agak gemetar juga ketika pedangnya sekaligus menusuk Tho-kin-sian dan Tho-yap-sian.
Saat itu Lenghou Tiong masih terbaring di atas usungan yang terletak di atas tanah, ketika melihat sang ibu guru terancam bahaya maut, entah dari mana datangnya tenaga, sekonyong-konyong ia melompat bangun sambil berteriak, "Jangan mencelakai ibu guruku. Kalau tidak, segera kuputuskan urat nadiku sendiri."
Selesai ucapannya itu, tak tertahan lagi darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya, menyusul orangnya lantas jatuh pingsan.
Dalam pada itu Tho-kin-sian telah dapat menghindarkan serangan Gak Put-kun, segera ia berkata, "Wah, bocah itu akan memutus urat nadinya sendiri, ini bisa runyam, biarlah kita ampuni saja perempuan ini."
Tanpa bicara lagi keempat "dewa" itu lantas melepaskan kembali Gak-hujin. Rupanya mereka mengkhawatirkan keadaan Tho-sit-sian yang terluka parah itu. Empat saudara seperti satu perasaan, tanpa berunding segera mereka putar tubuh dan berlari pergi menyusul Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian.
"Sumoay, janganlah gusar, kita pasti akan menuntut balas kejadian ini," kata Gak Put-kun kemudian. "Keenam orang ini benar-benar lawan yang tangguh, syukur kau sudah membinasakan satu di antara mereka."
Sesudah agak tenang kembali, teringatlah Gak-hujin akan nasib Seng Put-yu dirobek mentah-mentah tubuhnya oleh Tho-kok-lak-sian itu, seketika hatinya berdebar-debar membayangkan kejadian tadi sehingga wajah pun pucat.
Gak Put-kun tahu tidak kecil kejut sang istri tadi, katanya kepada Leng-sian, "Anak Sian, bawalah ibumu ke kamar untuk mengaso dulu."
Waktu ia periksa keadaan Lenghou Tiong, dilihatnya mulut dan dada pemuda itu penuh darah, napasnya lemah, keadaannya sangat payah, tampaknya lebih banyak mati daripada hidupnya.
Cepat Gak Put-kun menahan Leng-tay-hiat di punggung muridnya itu, jiwa Lenghou Tiong itu hendak diselamatkannya dengan saluran tenaga dalam yang kuat.
Tapi baru saja ia mulai mengerahkan tenaga, mendadak terasa di dalam tubuh pemuda itu timbul perlawanan dari beberapa arus tenaga dalam yang sangat aneh, hampir-hampir saja tangan Gak Put-kun tergetar lepas.
Gak Put-kun sudah berhasil meyakinkan Ci-he-sin-kang, di dunia persilatan kalau melulu soal Lwekang boleh dikatakan jarang ada tandingannya. Tapi beberapa arus tenaga aneh di dalam tubuh Lenghou Tiong itu ternyata dapat menggetarkan tangannya, hal ini benar-benar sangat aneh dan mengejutkan.
Segera ia pun dapat merasakan bahwa beberapa arus tenaga dalam yang aneh itu bahkan saling gontok di dalam tubuh Lenghou Tiong dan bertumbuk kian kemari tak berhenti-henti.
Waktu ia merasakan pula Tan-tong-hiat di dada Lenghou Tiong, kembali tangannya tergetar lebih keras, hal ini membuatnya lebih terkejut. Terasa olehnya beberapa arus hawa murni yang bergerak di dalam tubuh muridnya itu terang adalah Lwekang yang paling tinggi dari golongan persilatan tertentu, setiap arus hawa murni itu meski lebih lemah daripada Ci-he-sin-kang sendiri, tapi kalau dua arus tenaga itu bergabung menjadi satu, ini saja sudah cukup untuk mengalahkannya.
Setelah diperiksa lebih teliti lagi, terasa hawa murni di dalam tubuh Lenghou Tiong itu ada enam arus. Khawatir kalau tenaga dalam sendiri terbuang terlalu banyak, Gak Put-kun tidak berani meraba tubuh Lenghou Tiong lagi. Pikirnya, "Enam arus tenaga ini tentu milik keenam orang aneh yang disalurkan ke dalam tubuh anak Tiong. Maksud tujuan keenam orang itu sungguh keji, mereka telah menyalurkan tenaga murni masing-masing ke dalam enam urat nadi sehingga anak Tiong kenyang menderita, hidup tak bisa mati pun sukar."
Maklumlah bahwa Tho-kok-lak-sian sebenarnya bermaksud menyembuhkan luka Lenghou Tiong, akibatnya malah tubuh Lenghou Tiong berubah menjadi medan gontok-gontokan bagi keenam tenaga murni mereka. Kekuatan mereka berenam memangnya sembabat, enam arus tenaga itu sukar menentukan kalah dan menang sehingga selalu dalam keadaan gontok-gontokan tak berhenti-henti. Hal aneh ini selamanya tak pernah terjadi di dunia persilatan, sudah barang tentu sulit diselami menurut akal sehat Gak Put-kun.
Segera Put-kun suruh Ko Kin-beng dan Liok Tay-yu menggotong Lenghou Tiong ke kamar, ia sendiri lantas pergi menjenguk sang istri.
Gak-hujin hanya terkejut saja dan tidak terluka apa-apa, saat itu ia sedang duduk di tempat tidur sembari memegangi tangan Leng-sian, hatinya masih belum tenteram. Ketika melihat sang suami datang segera ia bertanya, "Bagaimana keadaan Tiong-ji" Apakah lukanya berbahaya?"
Gak Put-kun diam saja, selang sebentar barulah berkata, "Aneh, sungguh aneh!"
"Kenapa aneh?" tanya Gak-hujin.
Maka berceritalah Gak Put-kun tentang enam arus hawa murni yang aneh di dalam tubuh Lenghou Tiong.
"Wah, jika demikian, hawa murni itu satu per satu harus dipunahkan, hanya tidak tahu apakah waktunya masih keburu atau tidak?" ujar Gak-hujin dengan rasa khawatir.
Put-kun termenung sambil menengadah. Agak lama kemudian baru berkata, "Sumoay, menurut pendapatmu, sedemikian rupa keenam siluman itu menyiksa Tiong-ji, sesungguhnya apa maksud tujuan mereka?"
"Mungkin mereka ingin paksa anak Tiong bertekuk lutut mengaku kalah atau hendak memaksa dia mengaku sesuatu rahasia perguruan kita," kata Gak-hujin. "Sudah tentu anak Tiong pantang menyerah, maka keenam siluman itu lantas menyiksanya dengan cara kejam."
"Seharusnya memang begitu," ujar Gak Put-kun sambil menggeleng. "Namun perguruan kita kan tiada rahasia apa-apa, keenam siluman itu selamanya tidak kenal dan tiada permusuhan apa-apa dengan kita. Apa sebabnya mereka menculik anak Tiong dan kemudian dibawanya kembali lagi?"
"Apakah mungkin karena ...." tapi Gak-hujin tidak melanjutkan lagi karena merasa pendapatnya itu tidak masuk di akal. Suami-istri itu hanya saling pandang saja sembari berkerut kening.
Tiba-tiba Leng-sian menceletuk, "Meski perguruan kita tiada sesuatu rahasia apa pun, tapi ilmu silat Hoa-san-pay amat terkenal di seluruh jagat. Dengan menangkap Toasuko mungkin mereka bermaksud memaksa dia mengaku tentang intisari Khikang dan Kiam-hoat dari perguruan kita."
"Aku pun berpikir tentang hal ini," kata Put-kun. "Tapi taraf Lwekang anak Tiong masih terbatas, dengan Lwekang keenam siluman yang mahatinggi itu, mereka akan segera mengetahui kekuatan anak Tiong itu. Mengenai Lwekang, jelas cara mereka itu tidak sama dengan Hoa-san-pay kita, tidak nanti mereka incar soal ini. Seumpama mereka hendak memaksa anak Tiong mengaku sesuatu toh dapat dibawa ke lain tempat, mengapa mesti dibawa kembali ke sini?"
Mendengar nada kata-kata sang suami semakin pasti, sebagai suami-istri sekian lama, Gak-hujin lantas tahu tentu suaminya sudah memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Segera ia pun bertanya, "Lalu sebenarnya apa tujuan mereka?"
"Menggunakan luka parah anak Tiong untuk menguras tenaga dalamku," kata Gak Put-kun dengan serius.
Gak-hujin sampai melonjak bangun. "Benar," serunya. "Demi untuk menolong jiwa anak Tiong tentu kau akan menggunakan tenagamu untuk menghapus hawa murni mereka yang tertanam di dalam badan anak Tiong itu, bila usahamu tengah kepalang tanggung, tentu keenam siluman itu mendadak akan muncul dan dengan mudah kita dibinasakan."
Ia merandek sejenak, lalu melanjutkan, "Untung sekarang hanya tinggal sisa lima siluman saja. Suko, tapi mereka terang sudah menangkap diriku, mengapa demi mendengar bentakan anak Tiong mereka lantas melepaskan aku pula?"
Teringat kepada saat-saat berbahaya tadi, tanpa terasa ia menggigil ngeri juga.
"Aku justru merasa curiga atas kejadian tadi," kata Gak Put-kun. "Mereka takut kalau-kalau Tiong-ji benar-benar memutus urat nadi sendiri, maka engkau dilepaskan kembali. Coba pikirkan, kalau tiada muslihat keji di balik perbuatan mereka itu, buat apa mereka menyayangkan Tiong-ji?"
"Sungguh keji dan kejam," gerutu Gak-hujin.
Memang kalau melihat caranya siluman itu membetot tubuh Seng Put-yu sehingga sobek menjadi empat potong, tiada seorang pun yang tidak merasa jeri dan ngeri. Sekarang Tho-kok-lak-sian sudah menculik dan membawa kembali lagi Lenghou Tiong yang keadaannya sangat payah itu, siapa pun juga tentu yakin keenam orang itu pasti tidak bermaksud baik. Jadi dugaan Gak Put-kun dan istrinya itu bukanlah tanpa alasan.
Maka Gak-hujin berkata pula, "Jika demikian, jelas engkau tak dapat menyembuhkan Tiong-ji dengan Lwekangmu. Meski tenagaku tak dapat disamakan dengan kau, semoga dapat menyelamatkan jiwanya untuk sementara."
Habis berkata segera ia melangkah ke pintu kamar.
"Sumoay!" tiba-tiba Put-kun memanggilnya.
Waktu sang istri menoleh, Put-kun telah menggeleng kepala dan berkata, "Tidak perlu kau lakukan, tiada gunanya. Hawa murni keenam siluman itu sangat lihai."
Ia kenal watak istrinya yang suka unggul, maka ia tidak mau bicara lebih banyak lagi.
Gak-hujin ragu-ragu sejenak, akhirnya ia duduk kembali, katanya, "Hanya kau punya Ci-he-sin-kang saja yang dapat menyembuhkannya bukan" Lalu bagaimana baiknya?"
"Sekarang terpaksa kita berbuat sebisanya selangkah demi selangkah, lebih dulu kita pertahankan hidup anak Tiong, untuk ini tidak perlu banyak membuang tenaga dalam," ujar Put-kun.
Segera mereka masuk ke kamar Lenghou Tiong. Napas pemuda itu tampak sangat lemah, Gak-hujin menjadi cemas, air mata hampir-hampir bercucuran pula. Segera ia bermaksud memeriksa nadi Lenghou Tiong.
Tapi Put-kun mencegah dengan memegang tangan sang istri, ia geleng-geleng kepala, lalu tangan istrinya dilepaskan.
Tiba-tiba ia gunakan kedua telapak tangannya untuk menahan kedua telapak tangan Lenghou Tiong, ia salurkan tenaga murni Ci-he-sin-kang dengan perlahan-lahan. Tapi begitu tenaganya kebentrok dengan hawa murni yang bergolak di dalam tubuh Lenghou Tiong, seketika badan Gak Put-kun tergetar, hampir saja hawa ungu pada wajahnya bertambah tandas. Lekas-lekas ia mundur selangkah dan segera mengerahkan tenaga dalam pula sehingga hawa ungu pada mukanya itu hanya timbul sekejap saja lantas menghilang lagi. Ia kedipi sang istri, lalu mereka hendak keluar kamar.
Ketika Leng-sian hendak ikut keluar, Put-kun memberi tanda dan berkata, "Kau boleh tinggal di sini dan merawat Toasukomu."
Pada saat itu mendadak Lenghou Tiong membuka suara, "Di ... di manakah Lim-sute?"
"Untuk apakah kau cari Siau-lim-cu?" tanya Leng-sian heran.
Dengan mata terpejam Lenghou Tiong berkata, "Ketika ayahnya ... ayahnya akan mangkat, dia pesan sesuatu padaku agar ... agar disampaikan kepada Lim-sute. Aku su ... sudah tak tertolong lagi, lekas ... lekas panggil Lim-sute ke sini."
Dengan air mata berlinang-linang Leng-sian lantas lari keluar kamar.
Put-kun membisiki sang istri, "Ucapan ini mungkin sangat penting, dia harus sempat memberitahukannya kepada Peng-ci."
Segera ia mendekati tempat tidur, sebelah tangannya menahan di Leng-tay-hiat dan menyalurkan Ci-he-cin-khi (hawa murni dari ilmu sakti Ci-he-sin-kang) pula dengan perlahan.
Anak murid Hoa-san-pay memang semuanya berkumpul di luar kamar, begitu mendengar panggilan Leng-sian, segera Lim Peng-ci ikut masuk ke kamar. Ia mendekati pembaringan Lenghou Tiong dan menyapa, "Toasuko, hendaklah menjaga badanmu baik-baik."
"Apakah Lim ... Lim-sute ini?" tanya Lenghou Tiong dengan mata terpejam.
"Ya, akulah," sahut Peng-ci.
"Waktu ayahmu wafat, aku ... aku menunggu di sampingnya," tutur Lenghou Tiong dengan lemah dan terputus-putus. "Beliau minta ... minta aku menyampaikan padamu, katanya ... katanya ...."
Sampai di sini suaranya bertambah lemah pula. Semua orang sama menahan napas sehingga suasana di dalam kamar bertambah hening.
Cepat Gak Put-kun mengerahkan Lwekang sakti pula, napas Lenghou Tiong dapat dikuatkan, maka dapatlah ia menyambung ucapannya, katanya, "... di Ku ... Kui ... Kui-hoa ...."
Mendengar kata-kata "Kui-hoa" (bunga matahari) itu, seketika hati Gak Put-kun tergetar. Dan sedikit terpencarnya pikiran itu saja lantas terasa enam arus hawa murni dalam tubuh Lenghou Tiong membanjir ke Leng-tay-hiat dengan amat dahsyat dan hampir-hampir tangannya tergetar lepas.
Cepat Gak Put-kun mengerahkan tenaga pula, dengan hawa murni yang kuat ia salurkan pula melalui Leng-tay-hiat di tubuh Lenghou Tiong.
Lalu Lenghou Tiong berkata pula, "... di Kui-hoa-kang ... setiap benda di tempat tinggal lama itu harus dijaga sebaik-baiknya. Cuma ... cuma jangan sekali-kali membongkar dan melihatnya, kalau tidak ... kalau tidak, tentu akan mendatangkan bencana ...."
Peng-ci terheran-heran, katanya, "Kui-hoa-kang (Gang bunga matahari) kata ayah. Tapi di kota Hokciu kami tiada jalan yang bernama Kui-hoa-kang. Tempat tinggal kami yang lama juga tidak terletak di gang yang bernama demikian."
"Hanya ... hanya begitulah pesan ayahmu yang ... yang minta kusampaikan pada ... padamu ...."
Habis isi suara Lenghou Tiong kembali lemah lagi.
Gak Put-kun dapat merasakan enam arus hawa aneh di dalam tubuh muridnya itu makin lama makin bergolak dengan hebat, sekalipun dirinya mengorbankan seluruh tenaga murni Ci-he-sin-kang juga pasti sukar memunahkannya. Maka ia lantas menarik kembali tangannya. Segera Gak-hujin mengeluarkan saputangannya untuk mengusap keringat yang memenuhi dahi sang suami.
Kemudian Put-kun tanya Lim Peng-ci pula, "Jadi di kota Hokciu tiada jalan yang bernama Kui-hoa-kang" Tapi mungkin ada tempat atau jalan lain yang bernama senada dengan itu?"
Peng-ci mengingat-ingat sebentar, akhirnya menjawab, "Tidak, tidak ada."
"Jika begitu di manakah letak tempat tinggal keluargamu yang lama?" tanya Gak-hujin.
"Buyutku dahulu tinggal di Hiang-jit-hong (jalan matahari)," sahut Peng-ci. "Kemudian pindah ...."
"Hiang-jit-hong, Hiang-jit-hong!" sela Gak Put-kun. "Hiang-jit-kui adalah nama lain dari bunga matahari. Jika demikian agaknya Hiang-jit-hong itu pun bernama Kui-hoa-kang."
"Ya, boleh jadi begitu," sahut Peng-ci. "Mungkin usia Tecu masih terlalu kecil sehingga tidak tahu nama lain daripada Hiang-jit-hong itu. Sebab sejak perusahaan pengawalan kami berkembang dengan besar, lalu kakek membangun gedung perusahaan yang dijadikan untuk tempat tinggal pula."
"Ya, tentu begitulah," kata Gak Put-kun.
"Menurut pesan ayahmu, barang apakah yang dikatakan benda yang berada di tempat tinggal lama itu?" tanya Gak-hujin.
"Hal ini boleh dibicarakan nanti saja," tiba-tiba Put-kun menyela. Lalu katanya kepada Peng-ci dan Leng-sian, "Kalian berdua boleh temani Toasuko, bila penyakitnya ada perubahan hendaklah lekas lapor padaku."
Kedua muda-mudi itu mengiakan.
Lalu Put-kun mengedipi sang istri, kedua orang lantas kembali ke kamar sendiri. Sesudah tutup pintu kamar, dengan suara berbisik Put-kun berkata, "Sumoay, menurut pikiranmu, benda apakah yang dimaksudkan itu?"
"Benda di tempat tinggal mereka yang lama itu sudah tentu tidak berhitung banyaknya, dari mana bisa mengetahui benda apa yang dimaksudkan?" sahut Gak-hujin.
"Pesannya mengatakan jangan membongkar dan melihatnya bukan?" Put-kun.
Seketika Gak-hujin sadar, serunya, "Ah, benar, tentu maksudnya 'Pi-sia-kiam-boh' keluarga mereka itu?"
"Tapi kalau yang dimaksudkan adalah 'Pi-sia-kiam-boh', mengapa pada waktu ajalnya Lim Cin-lam memberi pesan wanti-wanti agar jangan sekali-kali membuka dan melihatnya, kalau tidak pasti akan mendatangkan bencana?"
"Teka-teki ini tidak sukar ditebak," ucap Gak-hujin. "Bukankah 'Pi-sia-kiam-hoat' keluarga Lim mereka teramat jamak dan tiada artinya, sekalipun berhasil melatihnya juga tidak cukup untuk menghalau musuh tangguh, sebaliknya malah akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri. Sebab itulah Lim Cin-lam menyuruh putranya menjaga baik-baik benda pusaka leluhur dan melarangnya untuk belajar karena pengalaman selama hidup sendiri itu sudah menjadi bukti yang nyata."
Put-kun merenungkan pendapat sang istri dan tidak memberi tanggapan apa-apa.
Gak-hujin tahu dalam segala hal sang suami jauh lebih paham daripada dirinya, melihat suaminya tidak membenarkan juga tidak menyanggah uraiannya ia menduga besar kemungkinan pendapatnya tadi kurang tepat. Maka ia lantas tanya pula, "Habis sebenarnya bagaimana persoalannya" Ai, engkau ini memang suka main simpan rahasia, lekas menerangkan."
"Aku sendiri pun tidak paham bagaimana persoalan yang sebenarnya," sahut Gak Put-kun. "Buyut Peng-ci bernama Lim Wan-tho, dahulu malang melintang dan jarang ada tandingan di dunia Kangouw, ilmu pedang yang diandalkan olehnya 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim mereka, kisah ini turun-temurun selalu menjadi buah bibir para tokoh Jing-sia-pay, guru Ih Jong-hay yang bernama Tiang-jing-cu juga dikalahkan olehnya, maka dapat dibayangkan Pi-sia-kiam-hoat yang tulen pasti tidak sejelek seperti apa yang dipahami Lim Peng-ci sekarang."
"Kan aneh, kalau bukan Pi-sia-kiam-hoat yang dimaksudkan, lalu mengenai apa?" ujar Gak-hujin.
Gak Put-kun mengeluarkan sebuah kotak besi dari bawah bantal, tutup kotak itu dibuka dan dikeluarkannya sejilid buku bertulis linen.
Keruan Gak-hujin tambah heran, katanya, "Apa barangkali keluarga Lim mereka juga memiliki 'Ci-he-pit-kip' (kitab rahasia ilmu sakti pelangi ungu)?"
Put-kun tersenyum, jawabnya, "Kitab Ci-he-pit-kip ini adalah pusaka yang dirahasiakan dari perguruan kita, mana mungkin dipunyai oleh orang lain?"
Ia lantas membalik halaman terakhir dari kitab itu, ditunjukkannya 16 huruf paling akhir dari halaman itu dan berkata, "Coba baca!"
Gak-hujin memandang ke arah yang ditunjuk itu, terlihat ke-16 huruf yang dimaksudkan itu, arti huruf-huruf itu adalah, "Ci-he-pit-kip, pengantar permulaan pemupukan dasar. Kui-hoa-po-tian, tingkatan tertinggi paling sempurna!"
Sebagai sesama saudara seperguruan, meski Gak-hujin tidak pernah diberi lihat kitab pusaka itu oleh guru mereka, tapi sesudah kawin dengan Gak Put-kun, sebagai suami istri dengan sendirinya tiada sesuatu pula yang perlu dirahasiakan, maka sudah beberapa kali Gak-hujin membaca isi kitab itu.
Cuma pantangan pada waktu melatih Ci-he-sin-kang itu terlalu banyak, kemajuannya juga sangat lambat, hal ini tidak cocok dengan sifat Gak-hujin yang tidak sabaran, maka ia cuma berlatih beberapa bulan saja, lalu tidak diteruskan.
Ke-16 huruf itu juga sudah lama dibacanya, tatkala mana ia pun berpikir, "Melulu Ci-he-pit-kip yang merupakan pengantar ilmu pemupukan dasar saja sukar dilatih, apalagi hendak meyakinkan isi 'Kui-hoa-po-tian' (kitab mestika bunga matahari) yang merupakan tingkatan tertinggi dan paling sempurna?"
Lantaran tidak tertarik, maka apa yang pernah dibacanya itu pun lantas dilupakan olehnya. Sekarang sang suami justru memperlihatkan tulisan itu, tiba-tiba pikirannya tergerak, maka katanya cepat, "Kui-hoa-po-tian" Apakah mungkin Kui-hoa-kang di kota Hokciu ada sangkut pautnya dengan Kui-hoa-po-tian" Apakah di dunia ini benar-benar ada kitab mestika Kui-hoa-po-tian?"
Dengan sikap sungguh-sungguh Gak Put-kun berkata, "Ci-he-pit-kip ini adalah tulisan tangan leluhur perguruan kita, setiap huruf dan setiap kalimatnya telah kupelajari dengan teliti, di dalamnya memang mencakup ilmu ajaib yang tiada terbatas. Ke-16 huruf di halaman terakhir ini pun, serupa dengan huruf-huruf isi kitab yang lain, kuyakin pasti bukan omong kosong dan palsu."
Gak-hujin menghela napas, katanya, "Seumpama di dunia ini benar ada kitab Kui-hoa-po-tian, tentu isinya sangat mukjizat dan sukar dipelajari dengan sempurna."
"Untuk ini ...." mendadak Gak Put-kun tidak melanjutkan lagi ucapannya.
"Suko," kata Gak-hujin, "bila kawanan siluman itu sudah mengatur muslihat keji demikian pasti mereka mati-matian akan datang lagi, bila sampai terjadi sesuatu, bukankah ...."
"Ya, dengan kekuatan kita berdua paling-paling hanya dapat melawan mereka berdua dengan sama kuatnya, bila melawan keroyokan mereka bertiga sudah pasti akan kalah, apalagi kalau mereka berlima maju sekaligus, terang kita tidak mampu melawan."
Sebenarnya Gak-hujin juga merasa suami-istri mereka bukan tandingan kelima siluman itu, tapi ia tahu akhir-akhir ini sejak sang suami berhasil menyempurnakan Ci-he-sin-kang, kekuatan sang suami sudah maju luar biasa, betapa pun ia masih berharap kalau-kalau dapat mengatasi musuh. Sekarang demi mendengar pengakuan sang suami yang terus terang itu, seketika ia menjadi gelisah, katanya, "Lalu bagaimana ... bagaimana baiknya" Masakah kita hanya berpeluk tangan menanti ajal saja?"
"Sumoay," kita Put-kun, "hendaknya jangan khawatir. Seorang laki-laki sejati harus berani melihat kenyataan, bisa maju dan berani mundur. Kalah atau menang tidak ditentukan dalam pertarungan sesaat-dua saat saja."
"Jadi kau maksudkan kita lebih baik melarikan diri?" tanya Gak-hujin.
"Bukan lari," sahut Put-kun, "melainkan menghindarnya untuk sementara. Musuh berjumlah banyak, sebaliknya kita suami-istri hanya berdua, cara bagaimana kita mampu melawan kerubutan mereka berlima" Padahal engkau sudah membunuh salah seorang siluman itu, sesungguhnya kita sudah di pihak yang menanti, andaikan sekarang kita menghindar untuk sementara juga tidak merosotkan derajat siapa pun juga, rasanya orang luar juga takkan mengetahui kejadian ini."
Kuda Binal Kasmaran 2 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 6
Sementara itu seorang aneh itu berkata pula, "Aku tetap bilang dia mati ketakutan."
"Tidak, cengkeramanmu terlalu keras, tentu dia mati tercengkeram," kata yang lain lagi.
"Ya, sebenarnya apa sebab kematiannya?" kata pula yang lain.
"Aku menutup urat nadi sendiri, mati bunuh diri!" mendadak Lenghou Tiong berteriak.
Karena Lenghou Tiong mendadak berteriak, keenam orang aneh itu menjadi kaget malah. Tapi mereka lantas terbahak-bahak dan berkata bersama, "Hahahaha! Kiranya dia belum mati, cuma pura-pura mati!"
"Aku tidak pura-pura mati, tapi sudah mati dan hidup kembali!" seru Lenghou Tiong.
"Apa benar kau dapat menutup urat nadi sendiri" Wah, kepandaian ini sukar sekali dipelajari, kau ajarkan padaku saja," kata seorang di antaranya.
"Kepandaian itu teramat tinggi, bocah ini tentu tidak bisa, dia berdusta padamu," kata yang lain.
"Kau bilang aku tidak bisa" Kalau tidak bisa, mengapa tadi aku bisa mati menutup urat nadi sendiri?" ujar Lenghou Tiong.
Orang aneh itu garuk-garuk kepala, katanya, "Ya, ini memang rada aneh!"
Melihat kebebalan keenam manusia aneh itu, segera Lenghou Tiong berkata pula, "Jika kalian tidak lekas lepaskan aku, segera aku akan menutup urat nadiku, bila sekali ini aku mati lagi tentu takkan hidup kembali."
"Tidak, kau tidak boleh mati," seru kedua orang yang memegangi lengan Lenghou Tiong sambil melepaskan tangan masing-masing. "Jika kau mati, wah, bisa runyam."
"Minta aku tidak mati juga boleh asal kalian lekas menyingkir, aku ada urusan penting harus buru-buru berangkat," kata Lenghou Tiong.
"Tidak, tidak boleh!" kata kedua orang yang mengadang di depan itu. "Kau harus ikut kami pergi menemui si nona cilik."
Sekuatnya Lenghou Tiong melompat dengan maksud melampaui kedua orang yang mengadang di depannya itu, di luar dugaan, kedua orang itu pun ikut-ikut meloncat ke atas, gerakan mereka cepat luar biasa sehingga tubuh mereka seperti dinding terbang saja yang tetap mengadang di depan Lenghou Tiong.
Tapi begitu badan Lenghou Tiong tertumbuk dengan tubuh kedua pengadangnya dan jatuh kembali, selagi badannya masih terapung dia sudah lantas hendak melolos pedang. Namun pundaknya lantas terasa ditahan ke bawah, dua orang di belakangnya kembali sudah memegangi kedua lengannya dari luar karung sehingga pedang tidak sampai dicabut keluar. Waktu itu kedua lengannya terbuka di luar karung dan badannya masih tetap dikerudung karung, pedangnya juga tertutup di dalam karung. Sebenarnya ia bermaksud menggunakan pedang untuk merusak karung itu, lalu akan melawan orang-orang itu dengan Tokko-kiu-kiam yang baru dipelajarinya itu. Tapi sekali pundaknya ditahan oleh tangan kedua orang aneh itu, seketika tubuhnya mendak ke bawah, jangankan lolos pedang, untuk berdiri tegak saja sukar.
Sesudah merobohkan Lenghou Tiong, kedua orang itu berseru, "Angkat saja dia!" Segera kedua orang yang berdiri di depannya masing-masing memegangi sebelah kaki Lenghou Tiong terus diangkat ke atas.
"He, apa-apaan kalian ini?" Liok Tay-yu berteriak-teriak.
"Orang ini suka gembar-gembor, bunuh saja dia!" kata seorang aneh. Lalu tangannya hendak menggaplok ke batok kepala Liok Tay-yu.
Cepat Lenghou Tiong berseru, "Jangan, jangan dibunuh!"
"Baik, aku menurut padamu, tidak bunuh dia, tapi tutuk dia supaya bisu," kata orang aneh itu. Habis ucapannya, tanpa berpaling lagi jarinya terus menuding ke belakang. "Crit", tahu-tahu Hiat-to yang membikin bisu di tubuh Liok Tay-yu sudah tertutuk.
Waktu itu Liok Tay-yu sedang berteriak, tapi mendadak ia menjerit terus putus suaranya seketika seperti tali suara yang digunting secara mendadak. Tubuhnya juga lantas melingkar kejang.
Melihat cara menutuk tenaga dalam dari jarak jauh, betapa jitunya pula, mau tak mau Lenghou Tiong terpesona, tanpa merasa ia bersorak memuji.
Orang aneh itu menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Ini saja belum. Aku masih mempunyai kepandaian-kepandaian lain yang lebih hebat, biarlah aku pertunjukkan untukmu."
Jika di waktu biasa tentu Lenghou Tiong ingin menambah pengalamannya, tapi sekarang dia sedang mengkhawatirkan keselamatan sang guru, pikirannya sedang gelisah, maka cepat ia menjawab, "Tidak, aku tidak ingin lihat."
"Mengapa kau tidak ingin melihat" Aku justru suruh kau lihat," kata orang aneh itu. Mendadak ia meloncat ke atas, tahu-tahu sudah melayang lewat di atas kepala keempat orang aneh yang mengusung Lenghou Tiong. Badannya sebenarnya agak gendut, tapi lompatannya itu ternyata sangat enteng dan gesit dengan gaya yang sangat indah.
Selama hidup Lenghou Tiong belum pernah melihat loncatan seindah itu, tanpa merasa ia berseru memuji pula, "Bagus!"
Wajah orang aneh yang lonjong sebagai muka kuda itu berseri-seri, sahutnya, "Ini saja belum, masih ada lagi yang lebih hebat!"
Usia orang bermuka kuda ini sedikitnya juga sudah ada 60-70 tahun, tapi sifatnya benar-benar mirip anak kecil, sekali dipuji semakin menjadi. Ilmu silatnya yang tinggi itu benar-benar berbeda sama sekali dengan sifatnya yang kekanak-kanakan itu.
Diam-diam Lenghou Tiong teringat kepada guru dan ibu-gurunya yang sedang menghadapi kesulitan. Pihak lawan terdiri dari jago-jago Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain, biarpun dirinya sudah berada di sana juga tak bisa membantu banyak. Orang-orang ini berkepandaian sangat tinggi, kenapa aku tidak menipu mereka agar ikut ke sana untuk membantu Suhu"
Karena pikiran demikian segera Lenghou Tiong berkata, "Sedikit kepandaianmu ini apa gunanya dipamerkan di sini?"
"Sedikit kepandaianku" Buktinya kau kan tak bisa berkutik dan tertangkap?" kata orang bermuka kuda itu.
"Aku cuma kaum keroco dari Hoa-san-pay, sudah tentu dengan mudah dapat kalian tangkap," sahut Lenghou Tiong. "Sekarang di atas gunung ini sedang berkumpul jago-jago dari Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain, apakah kalian berani mengusik mereka?"
"Kenapa tidak berani" Di mana mereka?" teriak orang itu.
"Si nona cilik hanya suruh kita menangkap Lenghou Tiong dan tidak minta kita mengusik jago-jago Ko-san-pay atau Thay-san-pay segala. Sudahlah, kita jangan mencari gara-gara, lekas berangkat saja," demikian kata si kakek bermuka keriput.
"Benar juga," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Pantas jago-jago Ko-san-pay dan Thay-san-pay itu mengatakan paling memandang hina kakek-kakek bermuka kuda, bermuka merah dan siluman tua bermuka keriput dan lain-lain lagi, bila ketemu tentu mereka akan dipites seperti semut. Cuma sayang keenam siluman tua itu belum-belum sudah lantas lari terbirit-birit bila mendengar suara jago-jago Ko-san-pay dan kawan-kawannya itu dan sukar diketemukan lagi meski telah dicari-cari."
Mendengar ucapan Lenghou Tiong itu seketika keenam kakek aneh itu berjingkrak marah, mereka berkaok-kaok, "Di mana beradanya orang-orang Ko-san-pay dan begundalnya" Hayo bawa kami ke sana, lekas!"
"Huh, peduli apa Ko-san-pay, Thay-san-pay dan lain-lain segala, masakah Tho-kok-lak-sian (enam dewa dari lembah Tho) jeri kepada mereka?"
"Kurang ajar! Barangkali orang itu sudah bosan hidup, masakah Tho-kok-lak-sian hendak dipites seperti semut saja?"
"Eh, ya, kalian mengaku sebagai Tho-kok-lak-sian, tapi orang-orang Ko-san-pay dan kawan-kawannya itu justru menyebut kalian Tho-kok-lak-kui (enam setan)," demikian Lenghou Tiong sengaja mengadu biru lagi. "Wah, Lak-sian, kukira kalian lebih baik menghindari mereka saja sejauh mungkin, ilmu silat jago Ko-san-pay itu luar biasa lihainya, tentu kalian bukan tandingannya."
"Tidak, tidak bisa! Biar sekarang juga kita melabraknya," teriak si kakek bermuka merah.
Tapi orang yang bermuka benjal-benjol itu lantas menyela, "Wah, kukira gelagatnya tidak bagus. Bila jago Ko-san-pay itu berani bermulut besar, tentu dia mempunyai kepandaian luar biasa. Jangan-jangan kita memang bukan tandingannya, buat apa kita mencari penyakit" Hayolah, kita lekas pulang saja."
"Site (adik keempat) memang paling penakut, berkelahi saja belum sudah mengaku kalah?" ujar si muka kuda.
"Tapi kalau benar-benar dipites seperti semut, wah kan celaka?" ujar si muka benjol.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli. Ada-ada saja manusia-manusia aneh di dunia Kangouw. Padahal ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi nyalinya justru begini kecil. Biarlah aku memancingnya lagi. Segera ia berkata, "Jika mau lari hendaklah lekas. Kalau terlambat, jangan-jangan jago Ko-san-pay itu sudah akan memburu ke sini dan kalian tentu tak bisa lolos lagi."
Eh, benar saja, si muka benjol itu terus lari secepat terbang, hanya sekejap saja sudah menghilang.
Lenghou Tiong sampai terperanjat malah, pikirnya, "Ginkang orang aneh ini benar-benar luar biasa laksana setan iblis saja. Ginkangnya ini tampaknya berpuluh kali lebih tinggi lagi daripada Dian Pek-kong, kalau dia mau lari siapa pula di dunia ini yang mampu mengejarnya" Sungguh aneh, dia memiliki Ginkang yang mahatinggi, kenapa penakut dan suka lari" Wah, ucapanku tadi yang terlalu berlebih-lebihan, kalau mereka benar-benar lari ketakutan kan berbalik membikin runyam maksud tujuanku."
Dalam pada itu si muka kuda sedang berkata, "Siko memang penakut, biarkan dia lari saja, kita yang akan pergi melabrak jago Ko-san-pay itu."
"Ya, berangkat, lekas! Harus kita hajar dia!" seru keempat kawannya yang lain.
Mendadak si muka hitam melepaskan karung yang masih mengerudungi badan Lenghou Tiong, lalu katanya, "Hayo lekas bawa kami ke sana, ingin kulihat bagaimana caranya dia akan pites kami sebagai semut."
"Membawa ke sana sih aku tidak keberatan," sahut Lenghou Tiong, "Cuma kalian harus menuruti suatu syaratku."
"Syarat apa?" tanya si muka keriput. "Kalau bisa dipenuhi akan kami penuhi, kalau tidak ya tidak."
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui di antara keenam kakek itu adalah si muka keriput ini yang paling encer otaknya. Segera ia berseru, "Aku Lenghou Tiong adalah seorang laki-laki sejati, sekali-kali takkan sudi menyerah diancam dan dipaksa orang. Soalnya aku cuma mendengar jago Ko-san-pay itu mencemooh dan menghina kalian berenam, aku merasa ikut penasaran bagi kalian, makanya mau membawa kalian ke sana untuk membikin perhitungan dengan dia. Tapi kalau mentang-mentang berjumlah banyak dan hendak memaksa berbuat ini dan itu, maka biar mati pun aku Lenghou Tiong sekali-kali takkan menurut."
Serentak kelima kakek aneh itu bertepuk tangan memuji, "Bagus, kau berjiwa kesatria, kami sangat kagum."
"Jika demikian aku akan membawa kalian ke sana, tapi sesudah bertemu nanti kalian tak boleh sembarangan omong dan bertindak supaya semua kesatria dunia persilatan takkan menertawakan Tho-kok-lak-sian terlalu bodoh, masih anak bawang, tidak tahu seluk-beluk orang hidup. Maka kalian harus menuruti omonganku, kalau tidak kalian tentu akan membikin malu padaku."
Ucapan Lenghou Tiong ini sebenarnya bermaksud coba-coba saja, tak terduga kelima kakek aneh serentak berseru, "Benar, itu memang tepat. Kami tidak boleh dicemoohkan orang bahwa Tho-kok-lak-sian terlalu bodoh, masih anak bawang!"
Lenghou Tiong mengangguk, katanya, "Baiklah, jika demikian marilah kalian ikut padaku."
Segera ia melanjutkan perjalanan dengan langkah cepat. Kelima kakek aneh itu pun mengikutinya dari belakang.
Beberapa li kemudian, tertampak si muka benjol sedang mengintip di balik batu karang sana. Lenghou Tiong pikir orang penakut ini harus dipancing supaya berani. Segera ia berseru padanya, "Kepandaian jago Ko-san-pay itu berselisih sangat jauh dengan kau, jangan takut padanya, mari kita beramai-ramai pergi menghajar dia."
Si muka benjol menjadi girang. "Baik, aku pun ikut!" serunya. Tapi mendadak ia menambahkan pertanyaan pula, "Kau bilang ilmu silat jago Ko-san-pay itu selisih jauh sekali dengan aku. Lalu aku yang lebih tinggi atau dia yang lebih tinggi."
Bab 36. Enam Kakek Aneh dari Lembah Tho
Kiranya otak orang ini memang bebal, tapi selamanya sangat hati-hati.
"Sudah tentu kau lebih tinggi," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Caramu berlari tadi menunjukkan Ginkangmu sangat tinggi, betapa pun jago Ko-san-pay itu takkan mampu menyusul kau."
Si muka benjol bertambah senang, tanpa ragu-ragu lagi ia mendekati Lenghou Tiong. Namun dia masih belum hilang dari seluruh kekhawatirannya, ia tanya pula, "Tapi kalau dia dapat menyusul aku, lantas bagaimana?"
"Jangan khawatir, jika dia berani main gila padamu, hmm, ini!" sampai di sini Lenghou Tiong mencabut sebagian gagang pedangnya, lalu dientakkan kembali ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan suara "takkk", lalu melanjutkan, "Sekali tebas segera kubunuh dia!"
"Bagus, bagus!" si muka benjol sangat senang. "Apa yang kau katakan ini harus kau tepati."
"Sudah tentu," sahut Lenghou Tiong. "Cuma kalau dia tidak menguber kau ya aku tidak perlu membunuh dia."
"Betul, kalau dia tak mampu menyusul aku, boleh biarkan dia sesukanya," kata si benjol dengan tertawa.
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Pikirnya, "Sekali kau sudah lari, di dunia ini siapa yang mampu menyusul kau" Buset!"
Ia melihat sifat kakek-kakek aneh itu ketolol-tololan, tapi terang sangat polos dan bukan orang jahat, untuk dijadikan sahabat masih boleh juga. Segera ia berkata, "Sudah lama kudengar nama kalian yang termasyhur. Hari ini dapat bertemu, nyatanya memang tidak bernama kosong. Numpang tanya, siapakah nama kalian yang terhormat?"
Kata-kata Lenghou Tiong itu sebenarnya tidak masuk akal. Sudah menyatakan nama kakek-kakek itu termasyhur dan telah lama didengar, tapi bertanya pula tentang nama-nama mereka. Tapi keenam kakek itu ternyata tidak memikirkan ucapan yang bertentangan itu, mereka justru sangat gembira karena nama mereka dikatakan termasyhur. Segera si muka keriput berkata, "Aku adalah Toako, bernama Tho-kin-sian (dewa akar Tho)."
"Dan aku adalah Jiko, bernama Tho-kan-sian (dewa dahan Tho)." sambung si muka kelabu.
"Dan aku entah Samko atau Siko, namaku Tho-ki-sian (dewa ranting Tho)," kata si muka benjol. Ia tuding si muka hitam dan menyambung pula, "Dan dia entah Site atau Samko, dia bernama Tho-yap-sian (dewa daun Tho)."
Lenghou Tiong menjadi heran, "Mengapa kalian berdua tidak mengetahui siapa yang lebih tua, siapa Samko dan yang mana Siko?" tanyanya.
"Bukan kami yang tidak tahu, tapi ayah-bundaku yang lupa," kata Tho-ki-sian.
"Aneh, bagaimana ayah-bundamu bisa lupa?" tanya Lenghou Tiong pula terheran-heran.
"Waktu kami dilahirkan, ayah-ibu sih ingat siapa yang lebih tua, tapi beberapa tahun kemudian beliau-beliau telah lupa semua, maka sukar diketahui pula siapa Losam dan siapa Losi (si nomor tiga dan si nomor empat)," jawab Tho-ki-sian. Kemudian dia tunjuk si muka hitam dan menyambung, "Tapi dia berkeras ingin menjadi Losam, aku tidak mau panggil dia Samko, dia lantas ajak berkelahi padaku, terpaksa aku mengalah padanya."
"Kiranya kalian adalah dua bersaudara," kata Lenghou Tiong tertawa.
"Benar, kami berenam saudara," sahut Tho-ki-sian.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Ada ayah-ibu yang sinting, pantas melahirkan anak-anak tolol begini."
Segera ia tanya pula kepada yang lain, "Dan yang dua ini apa namanya?"
"Aku adalah Tho-hoa-sian (dewa bunga Tho)," sahut si muka merah.
"Dan aku Tho-sit-sian (dewa buah Tho)," sambung si muka kuda.
Lenghou Tiong sampai tertawa geli. Nama Tho-hoa-sian yang merah itu memang rada-rada sama dengan warna bunga Tho, tapi potongan mukanya yang buruk itu betapa pun tidak sesuai dengan namanya yang indah itu.
Melihat Lenghou Tiong tertawa, Tho-hoa-sian salah wesel, katanya dengan tertawa, "Di antara enam saudara hanya namaku yang paling enak didengar."
"Ya, nama Tho-hoa-sian memang sangat indah, tapi Tho-kin, Tho-kan, Tho-ki, Tho-yap dan Tho-sit juga tidak kurang indahnya," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Wah, jika namaku juga demikian indahnya tentu aku akan sangat senang."
Dasar sifat Tho-kok-lak-sian itu memang mirip anak kecil, demi mendengar nama mereka dipuji, seketika mereka sangat gembira. Mereka anggap Lenghou Tiong adalah manusia yang paling baik di dunia ini. Bahkan Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian sampai berjingkrak-jingkrak dan menari.
"Dan sekarang marilah kita berangkat," kata Lenghou Tiong kemudian. Sebenarnya ia hendak minta Tho-kok-lak-sian membuka Hiat-to Liok Tay-yu yang tertutuk itu, tapi begitu mengingat keadaan guru dan ibu-gurunya sedang menghadapi bahaya, ia pikir lagi sejam dua jam biarkan Liok Tay-yu terbuka sendiri Hiat-to yang tertutuk itu daripada membuang waktu.
Dari jalanan lereng situ ke ruang pendopo Hoa-san-pay jaraknya ada belasan li, tapi perjalanan mereka sangat cepat, hanya sebentar saja mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Begitu sampai di luar rumah lantas terlihat Lo Tek-nau, Nio Hoat, Si Cay-cu, Gak Leng-sian, Lim Peng-ci dan belasan Sute yang lain sedang berkumpul di situ, paras mereka kelihatan sedih. Mereka menjadi girang begitu tampak datangnya Lenghou Tiong.
Lo Tek-nau lantas memapak maju, katanya dengan suara bisik-bisik, "Toasuko, guru dan ibu-guru sedang menemui tamu di dalam."
Lenghou Tiong menoleh dan memberi isyarat agar Tho-kok-lak-sian berhenti di situ saja dan jangan bersuara. Lalu ia berkata kepada Lo Tek-nau, "Keenam orang ini adalah kawanku, tak perlu diurus. Biar kuperiksa apa yang terjadi di dalam."
Segera ia mendekati jendela dan mengintip ke dalam ruangan.
Perbuatan Lenghou Tiong ini sebenarnya tidak pantas, tapi Lo Tek-nau dan lain-lain tahu saat ini keadaan luar biasa sehingga mereka pun tidak anggap keliru tindakan Lenghou Tiong itu.
Waktu Lenghou Tiong mengintip ke dalam, dilihatnya pada tempat tamu berduduk seorang tua berjenggot, bertubuh kekar, kedua pelipis agak menonjol, terang mempunyai Lwekang dan Gwakang yang cukup tinggi. Pada tangan kanannya membawa Leng-ki (panji kebesaran) Ngo-gak-kiam-pay. Di sebelahnya duduk seorang Tojin setengah umur, seorang lagi adalah Nikoh berusia 30-an lebih, lalu seorang tua pula berumur kurang-lebih setengah abad. Dari dandanan mereka teranglah mereka adalah jago-jago dari Ko-san-pay, Thay-san-pay, Hing-san-pay dan Heng-san-pay.
Selain itu ada lagi tiga orang, semuanya berusia 50-60 tahun, dari pedang yang tergantung di pinggang mereka terang adalah orang Hoa-san-pay. Orang pertama berparas murung dengan kulit muka kuning kemerah-merahan, mungkin inilah Hong Put-peng yang diceritakan oleh Liok Tay-yu itu. Guru dan ibu-gurunya tampak mengiringi duduk di tempat tuan rumah, di atas meja tersedia teh dan penganan.
Terdengar si kakek dari Heng-san-pay sedang berkata, "Gak-heng, urusan golonganmu mestinya tidak pantas kami untuk ikut campur. Tapi Ngo-gak-kiam-pay kita sudah berserikat, sama kewajiban dan sama tanggungan, jika ada sesuatu golongan yang bertindak kurang baik tentu akan ditertawai oleh sesama kawan Kangouw dan keempat golongan lain akan ikut menanggung malu, oleh karena itu, tadi Gak-hujin mengatakan Ko-san, Thay-san dan Heng-san kami tidak seharusnya ikut campur urusan orang lain. Kukira ucapan ini kurang tepat."
Mendengar itu, legalah hati Lenghou Tiong. Pikirnya, "Mereka telah bicara sekian lamanya, kiranya masih bertengkar tentang urusan demikian dan belum sampai bergebrak. Untung Laksute menyampaikan berita padaku tepat pada waktunya sehingga aku tidak terlambat."
Maka terdengar Gak-hujin sedang menjawab, "Dengan ucapan Pang-suheng ini apakah kau anggap Hoa-san-pay kami tidak tahu urusan sehingga membikin nama baik golonganmu ikut tercemar?"
Kakek she Pang dari Heng-san-pay itu nama lengkapnya adalah Pang Lian-eng. Selama hidupnya memang paling suka usil, suka ikut campur urusan orang lain yang mestinya tiada sangkut pautnya dengan dia. Kedatangannya ke Hoa-san ini bukan dia yang menjadi peranan pokok, dia juga bukan tokoh pemegang panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay, tapi justru dia yang paling banyak bersuara. Dengan tertawa dingin dia lantas menjawab ucapan Gak-hujin, "Hehe, orang mengatakan Ling-lihiap dari Hoa-san-pay adalah mahaketuanya, mestinya Cayhe tidak percaya, tapi tampaknya sekarang apa yang tersiar di Kangouw itu memang bukan omong kosong."
Gak-hujin menjadi gusar karena diolok-olok lebih berkuasa daripada suaminya, seakan-akan suaminya takut bini. Jawabnya, "Betapa pun kedatangan Pang-suheng ini terhitung tamu kami, maka tidak pantas kami menyalahi kau. Cuma seorang kesatria Heng-san-pay yang sudah terkenal tak dinyana bisa sembarangan mengoceh demikian, kelak bila bertemu dengan Bok-taysiansing rasanya perlu kutanyakan padanya."
"O, jadi karena aku adalah tamu, maka Gak-hujin sungkan menyalahi, kalau bukan di Hoa-san sini tentu Gak-hujin sudah ayun pedang menebas kepalaku, bukan?" jengek Pang Lian-eng.
"Mana aku berani," sahut Gak-hujin. "Masakah Hoa-san-pay kami berani mengurusi persoalan dalam golongan kalian" Di antara orang Heng-san-pay kalian ada yang bersekongkol dengan Mo-kau, hal ini sudah tentu akan diselesaikan oleh Co-bengcu, golongan kami tidak perlu ikut campur."
Ucapan Gak-hujin ini cukup lihai. Tentang Lau Cing-hong dari Heng-san-pay berkomplot dengan Kik Yang dari Mo-kau dan dua-duanya binasa di luar kota Heng-san, setiap orang Kangouw mengetahui mereka dibunuh oleh jago Ko-san-pay yang dikirim oleh Co-bengcu. Dengan mengungkat kejadian itu, pertama, Gak-hujin sengaja mengorek borok Heng-san-pay, kedua, dia menyindir Pang Lian-eng yang telah melupakan sakit hati terbunuhnya Suheng sendiri, tapi sekarang malah mendukung orang Ko-san-pay dan datang mencari perkara kepada Hoa-san-pay.
Benar juga seketika air muka Pang Lian-eng berubah hebat. Teriaknya dengan sengit, "Gak-hujin, dari zaman dulu kala sampai sekarang, dari golongan atau aliran mana yang tidak pernah terdapat murid murtad" Kedatangan kami ke Hoa-san sekarang justru hendak menegakkan keadilan dan membantu Hong-toako membersihkan anasir jahat dari perguruannya."
"Siapa adalah anasir jahat yang kau maksudkan?" jawab Gak-hujin dengan sikap menantang. "Jelek-jelek suamiku disebut orang sebagai 'Kun-cu-kiam', tapi kau, apa julukanmu?"
Paras Pang Lian-eng menjadi merah.
Kiranya julukannya yang resmi adalah "Kim-gak-tiau" (rajawali bermata emas), tapi di belakangnya orang Bu-lim suka memanggilnya "Kim-gak-oh-ah" (si gagak bermata emas), yaitu karena dia banyak omong, suka cerewet mencampuri urusan orang lain dan menjemukan.
Dengan pertanyaan Gak-hujin itu sudah tentu ia tahu yang dimaksudkan oleh nyonya rumah itu sekali-kali bukan julukan "Kim-gak-tiau", tapi adalah si gagak bermata emas. Dianggap gagak, keruan Pang Lian-eng tambah gusar. Teriaknya, "Hm, suamimu berjuluk Kun-cu-kiam apa" Di atas Kun-cu (laki-laki sejati) itu kukira harus ditambah lagi satu huruf 'Wi' (palsu, maksudnya menjadi laki-laki palsu)."
Mendengar sang guru dihina secara terang-terangan, Lenghou Tiong tidak tahan lagi. Cuma dia belum kenal asal usul Pang Lian-eng, segera ia menoleh dan tanya Lo Tek-nau, "Lo-sute, apa sih nama julukan manusia ini?"
Lo Tek-nau masuk perguruan sudah memiliki ilmu silat lebih dulu, pengalamannya di dunia Kangouw juga sudah luas dan banyak kejadian-kejadian di dunia persilatan yang pernah didengarnya. Segera ia menjawab, "Orang menjuluki si tua ini sebagai 'si gagak bermata emas'."
Tanpa berpikir lagi Lenghou Tiong terus berteriak dari luar, "Hai, itu gagak bermata buta, kalau berani lekas keluar ke sini!"
Suara tanya-jawab Lenghou Tiong dengan Lo Tek-nau itu telah didengar oleh Gak Put-kun, diam-diam ia heran mengapa muridnya itu turun dari puncak pertapanya" Segera ia mencelanya, "Jangan kurang sopan, anak Tiong. Pang-susiok adalah tamu, mana boleh kau sembarangan omong?"
Keruan mata Pang Lian-eng merah berapi, dadanya hampir-hampir meledak saking gusarnya. Dia sudah pernah dengar apa yang terjadi dengan Lenghou Tiong di kota Heng-san, maka ia lantas memaki, "Hah, kukira siapa, tak kusangka adalah bocah yang suka main perempuan di Heng-san itu! Hm, jago-jago Hoa-san-pay benar-benar hebat sekali."
"Betul," jawab Lenghou Tiong tertawa, "aku memang pernah main perempuan di kota Heng-san, lonte kenalanku itu she Pang."
"Kau ... kau masih berani mengoceh tak keruan!" bentak Gak Put-kun.
Mendengar sang guru benar-benar sudah gusar, Lenghou Tiong tidak berani bersuara pula. Tapi Hong Put-peng dan kawan-kawannya yang duduk di dalam ruangan itu tanpa merasa sama tersenyum.
Sekonyong-konyong Pang Lian-eng melompat ke tepi jendela, "blang", ia depak daun jendela hingga sempal dan mencelat. Ia tidak kenal Lenghou Tiong, maka dengan menuding rombongan anak murid Hoa-san-pay ia membentak, "Yang bicara tadi adalah binatang yang mana?"
Anak murid Hoa-san-pay semua bungkam tak menjawabnya.
"Maknya," Pang Lian-eng mengumpat pula. "Aku tanya, mana yang bicara barusan ini?"
"Barusan adalah kau sendiri yang bicara, dari mana aku bisa tahu binatang apa?" kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Berulang kali Pang Lian-eng dicaci oleh Lenghou Tiong, memangnya dia sudah murka, terutama ucapan "lonte yang kukenal di Heng-san itu she Pang" itu benar-benar sangat menghinanya, sebab ini berarti orang dari keluarga Pang yang telah menjadi pelacur. Apalagi kata-kata "dari mana aku bisa tahu binatang apa", ini seakan-akan langsung menganggapnya sebagai binatang. Sebagai tokoh yang tingkatannya lebih tua, keruan Pang Lian-eng berjingkrak murka, ia tidak tahan lagi. Sambil mengerang keras-keras ia terus menerjang ke arah Lenghou Tiong.
Melihat datangnya lawan yang sedang kalap itu, cepat Lenghou Tiong melompat mundur dan segera hendak mencabut pedang. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan orang sudah berkelebat, dari dalam pendopo telah melayang keluar seorang, di mana cahaya pedang mengilat, "cring", kontan Pang Lian-eng telah dihalangi.
Kiranya orang itu adalah nyonya Gak.
"Kita adalah orang sendiri, ada urusan apa boleh dibicarakan secara baik-baik, buat apa pakai kekerasan?" seru Gak Put-kun sambil melangkah keluar. Ia lolos pedang dari pinggangnya Lo Tek-nau, sekali putar terus tekan ke bawah, kontan pedangnya telah menahan ke bawah kedua batang pedang Pang Lian-eng dan Gak-hujin yang sedang beradu itu.
Sekuatnya Pang Lian-eng hendak mengangkat pedangnya, tapi sedikit pun bergeming, pedang Gak Put-kun tak dapat digeser sama sekali. Keruan ia tersipu-sipu, dengan muka merah kembali ia mengerahkan tenaganya pula.
"Ngo-gak-kiam-pay kita adalah sejalan dan sehaluan seperti orang sekeluarga, hendaklah Pang-suheng jangan merisaukan kata-kata anak kecil," kata Gak Put-kun sambil tertawa. Lalu ia menoleh menyemprot Lenghou Tiong, "Kau sembarangan mengoceh, hayo lekas minta maaf pada Pang-supek!"
Lenghou Tiong tidak berani membantah, terpaksa ia melangkah maju dan memberi hormat, katanya, "Maaf Pang-supek, tadi aku telah sembarangan omong seperti burung gagak yang berkaok-kaok tak keruan dan mencemarkan nama baik tokoh persilatan yang terhormat, sungguh lebih rendah daripada binatang, hendaklah engkau jangan marah, aku tidak sengaja memaki engkau. Ocehan gagak busuk, gagak celaka tadi anggap saja seperti kentut."
Begitulah berulang-ulang ia menyebut gagak busuk segala, sudah tentu semua orang mengetahui secara tidak langsung dia sedang memaki Pang Lian-eng lagi. Masih mendingan orang lain, tapi Gak Leng-sian sudah tidak tahan lagi sehingga mengikik tawa.
Dalam pada itu Gak Put-kun merasakan Pang Lian-eng berturut-turut tiga kali telah mengerahkan tenaga dengan maksud hendak melepaskan pedang dari tindihan pedangnya. Gak Put-kun tersenyum sambil perlahan-lahan menarik pedangnya dan dikembalikan kepada Lo Tek-nau.
Saat itu Pang Lian-eng sedang berusaha mengangkat pedangnya ke atas, ketika daya tekanan dari atas mendadak lenyap, maka terdengarlah suara "trang-trang" dua kali, dua batang pedang patah telah jatuh ke lantai. Pedang Pang Lian-eng dan Gak-hujin masing-masing tinggal separuh saja, dan karena saking nafsunya dia mengangkat pedangnya sehingga jidat Pang Lian-eng sendiri hampir-hampir terbacok oleh senjata patah. Untung dia sempat menahannya, tapi juga sudah kelabakan dan muka merah.
"Ka ... kau ... dua mengeroyok satu," bentak Pang Lian-eng dengan gusar. Tapi lantas teringat olehnya bahwa pedang Gak-hujin juga patah tertindih oleh tenaga dalam Gak Put-kun. Jadi terang Gak Put-kun hanya ingin memisah pertarungan itu dan tiada maksud hendak membela istrinya. Maka dengan muka merah padam mendadak ia membuang pedangnya yang patah, lalu putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Di waktu menggunakan pedangnya untuk menindih patah pedang kedua orang, Gak Put-kun sudah melihat di belakang Lenghou Tiong berdiri Tho-kok-lak-sian yang berpotongan sangat aneh, diam-diam ia heran dan segera memberi salam, "Maafkan jika ada sambutan yang kurang baik atas kunjungan tuan-tuan berenam."
Akan tetapi Tho-kok-lak-sian hanya terbelalak saja, tidak balas memberi hormat, juga tidak bicara.
Segera Lenghou Tiong berkata, "Ini adalah Suhuku, ketua Hoa-san-pay ...."
Belum habis ucapannya, mendadak Hong Put-peng telah menyela, "Memang betul dia adalah gurumu, tapi apakah dia juga ketua Hoa-san-pay, ini harus tunggu nanti. Nah, Gak Put-kun, Ci-he-sin-kang yang telah kau pertunjukkan tadi sungguh hebat. Tapi melulu mengandalkan kepandaian itu saja belum tentu mampu mengetuai Hoa-san. Setiap orang mengetahui bahwa Hoa-san-pay adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay, lima aliran ilmu pedang dari lima gunung, dan dengan sendirinya mengutamakan ilmu pedang. Tapi kau hanya berlatih tentang 'Khi' (hawa, tenaga dalam) saja sehingga kau sebenarnya telah menyeleweng, yang kau latih sudah bukan ajaran murni perguruan sendiri lagi."
"Ucapan Hong-heng ini agak berlebihan," sahut Gak Put-kun. "Memang betul yang dimainkan Ngo-gak-kiam-pay adalah pedang, tapi setiap golongan dan aliran tentu juga mengutamakan 'tenaga dalam menyertai pedang'. Ilmu pedang adalah pelajaran luar, Khikang adalah pelajaran dalam. Luar-dalam harus dilatih barulah ilmu silatnya dapat sempurna. Bila menurut ucapan Hong-heng tadi dan cuma berlatih ilmu pedang melulu, bila bertemu ahli Lwekang tentu akan kelihatan kelemahanmu."
"Itu pun belum tentu," kata Hong Put-peng dengan tertawa dingin. "Paling baik memang orang yang serbapandai. Tapi umur manusia terbatas, mana ada kesempatan bagimu untuk meyakinkan segala macam ilmu itu" Untuk meyakinkan ilmu pedang saja belum tentu bisa sempurna, masakah masih ada kesempatan untuk meyakinkan Lwekang apa segala" Seperti dikatakan orang, tangan kiri melukis lingkaran, tangan kanan menggambar persegi, kedua-duanya takkan jadi. Contoh ini sudah cukup menunjukkan bahwa seorang tidak mungkin sekaligus meyakinkan macam-macam ilmu dengan sempurna. Aku tidak mengatakan berlatih Khikang kurang baik, cuma ilmu silat sejati dari Hoa-san-pay kita bukanlah Khi, tapi adalah Kiam, ilmu pedangnya. Bahwasanya kau ingin belajar ilmu silat dari golongan lain apa salahnya, sedangkan belajar ilmu dari Mo-kau saja orang tak bisa urus, apalagi meyakinkan Khikang. Tapi manusia umumnya memang tamak, kalau bisa ingin dapat lebih banyak, tapi sering-sering ketamakan itulah mendatangkan malapetaka malah. Sekarang kau mengetuai Hoa-san-pay dan telah tersesat jalan, bencana yang ditimbulkan olehmu sungguh celaka bagi anak murid Hoa-san-pay umumnya."
"Membawa bencana bagi anak murid Hoa-san-pay, kukira ini sukar dibuktikan," ujar Gak Put-kun dengan tersenyum.
"Mengapa sukar dibuktikan?" mendadak si pendek yang berada di sebelah Hong Put-peng berteriak. Perawakannya pendek, tapi suaranya ternyata sekeras guntur sehingga mengejutkan orang. Hanya Gak Put-kun yang Lwekangnya cukup sempurna sama sekali tidak tergetar oleh suaranya itu.
Melihat kepandaian "Say-cu-ho" (auman singa) yang sangat diandalkan itu sedikit pun tidak mengejutkan Gak Put-kun, diam-diam si pendek gusar. Segera ia berteriak lebih keras lagi, "Kau bilang tiada buktinya" Ini, murid-muridmu yang tak becus ini bukankah korban bencana yang kau perbuat" Kepandaian apa yang mereka miliki?"
Suaranya yang lebih keras itu membuat anak telinga semua orang mendengung-dengung seakan-akan pekak.
Tapi Gak Put-kun tetap tersenyum saja, katanya, "Seng-heng, ilmu 'Say-cu-ho' ini sebenarnya berasal dari kaum Buddha, jika sudah terlatih sempurna, sekali gertak saja dapat meruntuhkan ratusan atau ribuan orang, kekuatannya memang tiada taranya."
Si pendek she Seng itu bernama Put-yu, arti namanya adalah "tidak sedih", tapi wataknya sangat keras, berangasan. Begitu mendengar ucapan Gak Put-kun tadi, ia terkesiap dan mengakui pengetahuan Gak Put-kun yang luas. Namun dengan gusar ia lantas berkata pula, "Hm, apakah kau hendak bilang Lwekangku kurang murni, ilmu 'Say-cu-ho' ini belum sempurna, bukan?"
"Mana aku berani bermaksud demikian," sahut Put-kun. "Cuma ilmu Say-cu-ho ini adalah ilmu sakti kaum Buddha, untuk bisa melatihnya hingga sempurna memang tidaklah mudah. Padri-padri saleh yang benar-benar mahir ilmu ini pada zaman sekarang mungkin dapat dihitung dengan jari."
Ucapan Gak Put-kun itu kedengarannya sopan santun, tapi kalau diteliti lebih dalam, terang dia sedang mengolok-olok kepandaian Seng Put-yu yang dianggapnya belum sempurna.
Watak Seng Put-yu sangat keras tapi otaknya kurang encer. Sesudah tertegun sejenak barulah paham maksud ucapan Gak Put-kun itu, keruan ia menjadi gusar. "Sret", pedangnya lantas dilolos dan berteriak pula, "Hong-suheng telah menyatakan kau tidak sesuai menjabat ketua Hoa-san-pay, kulihat kau memang tidak pantas juga. Nah, kau ingin mundur teratur atau minta diseret turun dari kedudukanmu?"
"Seng-heng," jawab Gak Put-kun, "cabang Kiam-cong (sekte pedang) kalian sudah meninggalkan perguruan kita pada 30 tahun yang lalu dan tidak mengaku sebagai murid Hoa-san-pay pula, mengapa hari ini kalian datang mencari perkara" Jika kalian anggap memiliki kepandaian hebat, boleh saja kalian mendirikan pangkalan sendiri untuk mengalahkan Hoa-san-pay di dunia persilatan, jika demikian halnya maka aku pun akan menyerah lahir-batin. Tapi sekarang kalian sengaja cari perkara, selain membikin buruk hubungan baik kita, apa sih faedahnya."
"Gak-suheng," seru Seng Put-yu, "Cayhe memang tiada permusuhan apa-apa dengan kau dan mestinya tidak perlu bercekcok. Cuma kau sudah mengangkangi kedudukan Hoa-san-pay dan menyesatkan anak muridmu yang mengutamakan berlatih Khi dan tidak meyakinkan Kiam, akibatnya nama dan wibawa Hoa-san-pay kita makin hari makin runtuh, tanggung jawab ini betapa pun tak bisa kau elakkan. Sebagai murid Hoa-san-pay tak dapatlah aku tinggal diam saja."
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu jelas bahwa Hong Put-peng dan si pendek Seng Put-yu ini adalah murid sekte pedang dari perguruannya sendiri.
Maka terdengar Gak Put-kun sedang menjawab, "Seng-heng, percekcokan sekte Khi dan sekte Kiam kita sudah berlangsung sejak lama. Pada pertandingan di puncak Giok-li-hong dahulu sudah jelas siapa yang kalah dan siapa yang menang. Kejadian yang sudah ditentukan beberapa puluh tahun yang lalu itu apa gunanya kalian mengungkat-ungkatnya pula?"
"Tentang kalah atau menang pada pertandingan dahulu itu siapa yang menyaksikannya?" kata Seng Put-yu. "Dengan lain perkataan, kedudukanmu sebagai ketua ini diperoleh secara tidak beres, kalau tidak, Co-bengcu sebagai pemimpin Ngo-gak-kiam-pay sampai-sampai mengirimkan panji kebesarannya ini dan memerintahkan kau mengundurkan diri?"
"Ya, kukira di dalam soal ini tentu ada sesuatu yang tidak beres," sahut Gak Put-kun. "Biasanya Co-bengcu cukup bijaksana, menurut pikiran sehat tentu beliau takkan begitu saja mengirimkan panji kebesarannya dan suruh mengganti ketua Hoa-san-pay."
"Memangnya apakah kau sangka panji ini palsu?" tanya Seng Put-yu sambil menunjuk panji Ngo-gak-kiam-pay itu.
"Panji itu sih tidak palsu, cuma panji adalah benda mati, barang bisu, tak bisa bicara," ujar Put-kun.
Mendadak si kakek berjenggot dari Ko-san-pay itu ikut bicara, "Gak-suheng mengatakan panji ini barang bisu, apakah aku Theng Eng-gok juga bisu?"
"Mana aku berani berkata demikian," sahut Put-kun. "Cuma persoalan ini sangat penting, Cayhe harus bertemu sendiri dulu dengan Co-bengcu baru dapat mengambil keputusan."
"Jika demikian, jadi Gak-suheng tak dapat memercayai aku si orang she Theng ini?" kata si kakek berjenggot yang bernama Theng Eng-gok itu dengan kurang senang.
"Mana aku berani," kata Put-kun. "Seumpama Co-bengcu benar-benar mempunyai maksud demikian juga beliau tak dapat melulu percaya kepada satu pihak saja lantas memberikan perintahnya. Betapa pun beliau juga mesti mendengar kata-kataku dahulu."
"Ah, apa gunanya banyak omong" Pendek kata kedudukanmu sebagai ketua ini terang tak mau diserahkan, bukan?" sela Seng Put-yu sambil melolos pedang terus menyerang.
Berbareng dengan selesai ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang empat kali. Empat kali serangan itu cepatnya luar biasa, yang paling hebat adalah empat serangan itu satu sama lain berbeda gerakannya, benar-benar luar biasa lihainya. Tusukan pertama menembus baju bagian bahu kiri, tusukan kedua menembus baju bahu kanan, tusukan ketiga menembus baju dekat lambung kanan dan tusukan keempat menembus baju bagian lambung kiri. Jadi empat kali tusukan telah membuat baju Gak Put-kun berlubang delapan buah, untungnya tusukan-tusukan itu semuanya lewat dekat kulit badannya dan tiada sedikit pun melukai. Betapa hebat dan bagusnya serangan-serangan ini benar-benar sudah mencapai tingkatan yang sangat sempurna.
Keruan para anak murid Hoa-san-pay sama terperanjat menyaksikan itu. Pikir mereka, "Keempat jurus serangan itu adalah sejalan dengan ilmu pedang perguruan kita sendiri, cuma selamanya tak pernah melihat dimainkan sang guru. Jago dari sekte pedang memang benar-benar lain daripada yang lain."
Sebaliknya Theng Eng-gok, Hong Put-peng dan lain-lain merasa lebih kagum terhadap Gak Put-kun. Sudah terang empat jurus serangan Seng Put-yu itu sangat lihai dan mematikan, namun Gak Put-kun tetap menghadapinya dengan tersenyum dan tenang, kesabarannya sebagai seorang yang berlatih ilmu dalam sungguh jarang terdapat. Dan kalau dia dapat menghadapi serangan-serangan lihai itu dengan acuh tak acuh, tentu Gak Put-kun sudah mempunyai perhitungan sendiri, bilamana perlu sekali turun tangan tentu dia mampu mengalahkan Seng Put-yu. Dalam keadaan demikian walaupun Gak Put-kun sama sekali belum balas menyerang, namun perbawanya tiada ubahnya seperti dia sudah di pihak yang menang.
Sedangkan Lenghou Tiong tengah menyelami keempat jurus serangan yang dilancarkan Seng Put-yu tadi. Meski gaya empat kali serangan itu sangat aneh, tapi ia merasa sudah kenal betul, yaitu dua jurus serangan menurut ukiran di dinding gua belakang yang telah dipelajarinya itu. Cuma di sini Seng Put-yu telah mengubah dua jurus itu menjadi empat gerakan, padahal sebenarnya cuma dua jurus saja. Pikirnya diam-diam, "Apanya yang mengherankan kedua jurus serangannya itu" Tapi tampaknya dia sangat bangga dengan kepandaiannya itu."
Sementara itu terdengar Gak-hujin telah berkata, "Seng-heng, suamiku hanya mengalah mengingat kalian adalah tamu kami. Kau sudah menusuk empat kali di atas bajunya, jika kau masih tidak tahu diri, betapa pun Hoa-san-pay menghormati tamunya juga ada batasnya!"
Seng Put-yu memang sangat bangga dengan empat kali serangannya, tapi walaupun dia kagum juga terhadap sikap Gak Put-kun yang tenang-tenang itu, namun dilihatnya sikap Gak-hujin rada khawatir, terang agak jeri terhadap ilmu pedangnya tadi, keruan rasa sombong Seng Put-yu bertambah, segera ia menjawab, "Huh, mengalah kepada tamu apa" Asalkan Gak-hujin mampu memecahkan empat jurus seranganku tadi, tanpa disuruh juga aku akan segera pergi dari sini dan takkan menginjak lagi puncak Giok-li-hong ini."
Biarpun pengalamannya luas dan membanggakan ilmu pedangnya sendiri tapi melihat sikap Gak Put-kun yang tenang-tenang itu, ia pun tidak berani menantang lagi padanya, sebagai gantinya ia berbalik menantang Gak-hujin yang dianggapnya kaum wanita lemah dan gampang dibekuk, dalam keadaan demikian tentu Gak Put-kun akan bingung menghadapi Hong Put-peng.
Begitulah segera ia menegakkan pedang dan berseru, "Nah, silakan Gak-hujin! Ling-lihiap adalah jago terkemuka Hoa-san-pay yang terkenal, hari ini Seng Put-yu dari sekte pedang ingin belajar kenal dengan ilmu dalam andalanmu."
Dengan ucapannya ini secara tidak langsung ia hendak menyatakan pertarungan kembali antara kedua sekte Hoa-san-pay yang berbeda paham itu.
Dasar watak Gak-hujin memang lebih keras daripada sang suami, sudah tentu dia tak tahan atas tantangan Seng Put-yu itu. "Sret", segera pedang dilolosnya.
Tapi sebelum dia membuka suara, Lenghou Tiong sudah lantas berseru, "Sunio, kepandaian sekte pedang yang tersesat ini masakan dapat dibandingkan ilmu silat murni ajaran perguruan kita. Biarlah Tecu coba-coba dulu padanya, jika Khikangku tidak mampu menandinginya barulah nanti Sunio membereskan dia."
Dan tanpa menunggu jawaban Gak-hujin segera ia melangkah maju, tahu-tahu tangannya sudah membawa sebuah sapu bobrok yang dijemputnya dari pojok dinding sana. Sambil mengacung-acungkan sapunya dia berkata kepada Seng Put-yu, "Seng-suhu, kau bukan lagi orang seperguruan, maka sebutan Supek atau Susiok tidak berlaku lagi. Jika kau mau insaf dan masuk kembali ke perguruanku, entah Suhu sudi menerima kau atau tidak" Seumpama Suhu sudi menerima kau, namun menurut peraturan Hoa-san-pay, orang yang masuk perguruan lebih belakang harus panggil Suheng padaku. Nah, mau tidak?"
Habis berkata ia putar balik sapunya dan menuding ke arah Seng Put-yu.
Keruan Seng Put-yu menjadi murka, bentaknya, "Anak keparat, sembarangan mengoceh! Asalkan kau mampu menahan empat kali seranganku tadi, aku Seng Put-yu akan mengangkat kau sebagai guru!"
Lenghou Tiong menggeleng-gelengkan kepala, sahutnya, "Tidak, aku tidak sudi mempunyai murid seperti kau ...." belum lenyap suaranya, Seng Put-yu sudah berjingkrak murka.
"Lolos pedangmu dan terima kematian!" bentak Seng Put-yu.
"Di mana tenaga murni tiba biarpun sebatang rumput juga mirip senjata tajam, terhadap beberapa jurus serangan Seng-heng yang sepele itu buat apa mesti pakai pedang?" sahut Lenghou Tiong dengan sikap mengejek.
"Baik, adalah kau sendiri yang sombong, maka jangan menyalahkan aku turun tangan keji," kata Seng Put-yu.
Gak Put-kun dan Gak-hujin tahu ilmu silat Seng Put-yu jauh lebih tinggi daripada Lenghou Tiong, hanya sebatang sapu saja dapat berbuat apa" Jika pertandingan berlangsung tentu akan sangat berbahaya bagi pemuda itu. Maka cepat mereka membentak, "Mundur, anak Tiong!"
Namun sudah terlambat, sinar pedang berkelebat, Seng Put-yu sudah mulai menyerang. Ia telah menusuk, yang digunakan memang betul adalah jurus serangannya terhadap Gak Put-kun tadi.
Sebabnya dia tidak pakai jurus serangan lain, pertama, keempat jurus serangan itu memang kepandaiannya yang paling diandalkan. Kedua, dia sudah menyatakan lebih dulu akan tetap menggunakan empat jurus serangan itu. Ketiga, dia sengaja menggunakan serangan-serangan yang sudah dikenal lawan, dengan demikian supaya orang lain takkan mengatakan dia menang karena bersenjata.
Sebaliknya diam-diam Lenghou Tiong sudah merancangkan cara menghadapi jurus-jurus serangan Seng Put-yu itu. Dari gambar-gambar ukiran dinding yang dilihatnya di dalam gua itu, semuanya melukiskan pemakaian senjata aneh untuk mengalahkan pedang lawan. Bila sekarang dirinya memakai pedang, padahal Tokko-kiu-kiam belum terlatih dengan sempurna, tentu sukar memperoleh kemenangan malah. Sebaliknya sapu bobrok ini kebetulan dapat digunakan sebagai Lui-cin-tang (sejenis senjata berbentuk serok).
Begitulah, maka ketika dilihatnya pedang Seng Put-yu menusuk ke arahnya, kontan sapu Lenghou Tiong terus menyapu ke muka lawan.
Tindakan Lenghou Tiong ini sebenarnya sangat berbahaya. Kalau senjata yang dia gunakan benar-benar Lui-cin-tang yang terbuat dari baja, maka serangannya ini tentu akan memaksa lawan menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi sekarang senjatanya hanya sebatang sapu bobrok, paling-paling lidinya akan menggores beberapa jalur luka di muka lawan saja, lebih dari itu tidak mungkin lagi. Sebaliknya pedang Seng Put-yu tentu akan menembus dadanya.
Namun Lenghou Tiong agaknya sudah memperhitungkan lawannya adalah jago angkatan tua, tentu mukanya tidak sudi disapu oleh sebuah sapu yang kotor itu. Sekalipun dia dapat membinasakan lawannya juga sukar mencuci bersih rasa malu tersapunya muka oleh sapu yang penuh tahi ayam dan debu kotor itu.
Dan benar juga, di tengah jerit khawatir orang banyak, tiba-tiba Seng Put-yu memalingkan mukanya untuk menghindar dan menarik kembali pedangnya untuk menangkis.
Cepat Lenghou Tiong juga menahan sapunya ke bawah untuk menghindarkan benturan dengan pedang musuh.
Bab 37. Tubuh Seng Put-yu Dibeset Menjadi Empat
Hanya satu gebrakan saja Seng Put-yu sudah terpaksa menarik kembali pedangnya untuk menangkis, tanpa terasa mukanya menjadi merah jengah. Ia tidak tahu bahwa usapan sapu Lenghou Tiong sebenarnya adalah ciptaan belasan jago Mo-kau, sebaliknya ia menyangka berhasilnya Lenghou Tiong mematahkan serangannya hanya karena kebetulan saja. Dengan gusar serangan kedua segera dilontarkan pula menuju dada dekat ketiak.
Namun Lenghou Tiong sempat mengegos pula, ia pindahkan sapu ke tangan kiri, tampaknya seperti menghindari tusukan pedang lawan, tapi secepat kilat sapunya menyambar pula ke depan mengarah dada Seng Put-yu.
Gagang sapu lebih panjang daripada pedang, meski sapunya bergerak belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasarannya, belum sempat Seng Put-yu putar kembali pedangnya, beberapa jalur ujung sapu yang lemas itu sudah mengenai dadanya, berbareng Lenghou Tiong berseru, "Kena!"
Akan tetapi hampir pada saat yang sama sapunya tertebas kutung oleh pedang lawan.
Namun para penonton dapat melihat dengan jelas bahwa Seng Put-yu yang kalah. Apabila senjata yang digunakan Lenghou Tiong bukan sapu melainkan senjata panjang terbuat dari besi, maka dada Seng Put-yu pasti sudah terluka parah.
Bilamana lawannya adalah tokoh kelas tinggi tentu Seng Put-yu akan melempar pedang dan mengaku kalah. Tapi sekarang yang mengalahkan dia hanya seorang murid angkatan kedua, bahkan dikalahkan hanya dengan sebuah sapu, ke mana lagi dia harus menaruh mukanya.
Tanpa bicara lagi, "sret-sret-sret", berturut-turut ia melancarkan tiga kali serangan lihai. Dua jurus serangan di antaranya sama dengan ukiran di dalam dinding gua, satu jurus lainnya meski belum dikenal oleh Lenghou Tiong, tapi sejak dia berhasil mempelajari "cara mengalahkan ilmu pedang" dari Tokko-kiu-kiam, untuk mematahkan segala macam serangan pedang boleh dikata bukan sesuatu yang sukar lagi baginya.
Segera Lenghou Tiong berkelit menghindarkan serangan pertama, menyusul ia gunakan gagang sapu sebagai toya untuk membentur batang pedang lawan sehingga menceng ke samping. Jurus ketiga dia sambut dengan "toya", ujung pedang lawan dipapak dengan toya.
Jika yang dipegang Lenghou Tiong itu benar-benar toya terbuat dari baja, maka toya yang keras itu akan melawan pedang yang agak lemas, tentu pedang akan patah seketika, cara ini memang amat bagus untuk mematahkan serangan lawan dan pemakai pedang pasti akan celaka.
Tak terduga karena permainan dalam keadaan tergesa-gesa itu Lenghou Tiong lupa bahwa senjata yang dipegangnya itu hanya batang bambu bekas sapu yang sudah terkutung ujungnya, toya bambu ketemu pedang baja, dengan sendirinya bambunya kalah, "cret", ujung pedang menancap masuk ke tengah tabung bambu.
Pikiran Lenghou Tiong dapat bekerja dengan cepat, tangan kanan segera digunakan menghantam batang bambu itu dari samping, kontan bambu yang berisikan pedang itu mencelat jauh ke sana.
Dari malu Seng Put-yu menjadi murka, tangan kiri menyambar secepat kilat, "brak", dengan tepat dada Lenghou Tiong kena digenjot olehnya.
Kepandaian Seng Put-yu adalah hasil latihan dari berpuluh tahun, sebaliknya Lenghou Tiong hanya mengandalkan gerak tipu yang aneh, sudah tentu tenaga dalamnya sekali-sekali bukan tandingan Seng Put-yu, kontan ia roboh terjungkal, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.
Sekonyong-konyong beberapa bayangan orang berkelebat, tahu-tahu kedua tangan dan kedua kaki Seng Put-yu diangkat ke atas oleh orang, terdengarlah suara jeritan ngeri, menyusul darah bertebaran memenuhi lantai bercampur dengan isi perut yang berhamburan.
Ternyata badan Seng Put-yu telah dibetot mentah-mentah menjadi empat potong, setiap anggota badannya itu dipegang oleh seorang yang berwajah buruk dan aneh. Kiranya empat dari Tho-kok-lak-sian yang membeset tubuh Seng Put-yu.
Kejadian yang cepat dan luar biasa ini membikin setiap orang terkesima kaget. Saking ngerinya Gak Leng-sian sampai menjerit dan jatuh pingsan.
Perubahan yang mendadak itu sekalipun Gak Put-kun, Hong Put-peng dan tokoh-tokoh kelas tinggi pun tertegun di tempatnya dengan mulut melongo. Pada saat yang hampir sama, Tho-kan-sian yang bermuka kelabu dan Tho-sit-san yang bermuka kuda itu pun melayang maju mendekati Lenghou Tiong, dengan cepat luar biasa mereka angkat tubuh pemuda itu terus dibawa lari ke bawah gunung dengan cepat luar biasa.
Berbareng Gak Put-kun dan Hong Put-peng juga bergerak, pedang mereka menusuk dua orang di antara enam tamu aneh itu, tapi lantas terdengar suara "crang-cring" dua kali, pedang mereka lantas patah menjadi dua.
Hanya dalam sekejap mata saja keempat "dewa" itu sudah menghilang dengan Ginkang mereka yang tinggi.
Waktu pedang Gak Put-kun dan Hong Put-peng tergetar patah, mereka merasa badan sasarannya itu bukanlah badan dari darah dan daging, keruan mereka terperanjat. Tapi mereka lantas sadar juga bahwa di punggung kedua orang aneh itu tentu terdapat benda keras sebangsa pelat besi dan sebagainya, kalau tidak masakah mampu menahan tusukan dua jagoan seperti Gak Put-kun dan Hong Put-peng.
Jago Hoa-san-pay yang satu lagi bernama Ko Put-ek, dia juga menyambitkan sebatang panah kecil dan jago Ko-san-pay yang berjenggot telah menimpukkan sebuah paku, sambaran kedua senjata rahasia ini sangat keras, tapi juga terdengar suara "tring-tring" dua kali, walaupun mengenai sasarannya, namun punggung kedua orang aneh itu tidak terluka sedikit pun, hanya dalam sekejap saja keenam manusia aneh sudah menghilang dengan menggondol Lenghou Tiong.
Gak Put-kun, Hong Put-peng, Theng Eng-gok, Ko Put-ek dan lain-lain hanya saling pandang dengan melongo, sudah terang mereka tidak sanggup mengejar kecepatan Tho-kok-lak-sian itu. Mereka merasa ngeri dan sedih melihat darah berceceran memenuhi lantai dengan jenazah Seng Put-yu yang sudah terbeset menjadi empat potong itu.
Selang agak lama barulah Theng Eng-gok membuka suara, "Gak-heng, apakah engkau tidak kenal asal-usul keenam orang aneh itu?"
Put-kun menggeleng kepala, sorot matanya menatap ke arah Hong Put-peng dengan maksud bertanya, tapi Hong Put-peng juga geleng-geleng kepala, begitu pula yang lain.
Dalam pada itu Lenghou Tiong yang terluka parah karena hantaman Seng Put-yu, selama jatuh pingsan dia telah dibawa lari oleh kedua "dewa". Waktu dia siuman kembali, segera dilihatnya dirinya berbaring di dalam kamar, sebuah wajah yang panjang seperti muka kuda dengan mata yang bersinar tajam sedang menatapnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir.
Melihat Lenghou Tiong membuka mata, dengan girang Tho-hoa-sian berseru, "Aha, dia sudah sadar, sudah sadar! Bocah ini takkan mati."
"Sudah tentu takkan mati, hanya pukulan begitu saja masakah bisa membuatnya mati?" ujar Tho-sit-sian.
"Huh, enak saja kau bicara," bantah Tho-hoa-sian. "Coba kalau pukulan itu mengenai tubuhmu, sudah tentu tak bisa melukaimu, tapi bocah ini mana bisa dibandingkan dirimu, bukan mustahil dia akan mati terhantam."
"Sudah terang dia tidak mati, mengapa kau bilang dia akan terhantam mati?" sahut Tho-sit-sian.
"Aku kan tidak bilang pasti akan mati, tapi aku mengatakan bukan mustahil akan terpukul mati," kata Tho-hoa-sian.
"Kalau dia sudah siuman kembali tentu tidak ada alasan dikatakan bukan mustahil akan mati," sahut Tho-sit-sian dengan ngotot.
"Aku tetap akan berkata demikian, habis kau mau apa?" kata Tho-hoa-sian dengan aseran.
"Itu membuktikan pandanganmu kurang tepat, boleh dikatakan pula pada hakikatnya kau tidak tahu," ujar Tho-sit-sian.
"Jika kau tahu pasti dia takkan mati, mengapa tadi kau sendiri menghela napas dan merasa khawatir dan sedih?" debat Tho-hoa-sian.
"Aku menghela napas bukan mengkhawatirkan kematiannya, tapi khawatir si nona cilik akan merasa cemas bila melihat keadaannya ini," sahut Tho-sit-sian. "Kedua, dasarnya mukaku memang panjang seperti muka kuda, potongan muka yang panjang seperti aku ini dengan sendirinya tak bisa tertawa-tawa dan riang gembira."
Mendengar pertengkaran mulut kedua orang aneh itu, walaupun merasa geli juga, tapi jelas kedua orang itu menaruh perhatian yang amat besar terhadap keselamatannya, maka diam-diam Lenghou Tiong merasa sangat terharu dan berterima kasih.
Ketika mendengar mereka mengatakan "si nona cilik" mungkin yang dimaksudkan itu adalah Gi-lim Sumoay dari Hing-san-pay. Maka dengan tersenyum ia lantas menyela, "Sudahlah, kalian berdua jangan khawatir, aku Lenghou Tiong takkan mati."
"Nah, kau dengar dia sendiri menyatakan takkan mati, tadi kau masih terus bilang dia mungkin akan mati," demikian Tho-sit-sian lantas menumpangi.
"Waktu aku mengatakan demikian tadi dia masih belum bersuara," sahut Tho-hoa-sian tak mau kalah.
"Sejak tadi dia sudah membuka mata dan dengan sendirinya dapat membuka suara, hal ini siapa pun dapat menduganya," kata Tho-sit-sian.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa jemu, kalau pertengkaran kedua orang itu diteruskan, boleh jadi takkan berhenti biarpun tiga-hari-tiga-malam. Segera ia berkata, "Ya, sebenarnya aku akan mati, cuma ketika mendengar kalian berharap aku jangan mati, kupikir betapa besar kekuasaan Tho-kok-lak-sian, bila kalian minta aku jangan mati, mana aku berani mati?"
Mendengar demikian, senanglah hati Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian. Kata mereka berbareng, "Marilah kita beri tahukan kepada Toako!"
Segera mereka berlari pergi. Tidak lama kemudian Tho-kok-lak-sian pun muncul lagi seluruhnya.
Kembali keenam orang itu bicara tidak habis-habis, ada yang membual bahwa jasanya sendiri paling besar, ada yang merasa bersyukur Lenghou Tiong tidak mati, ada lagi yang menyatakan rasa khawatirnya ketika Lenghou Tiong terpukul roboh, karena menolong pemuda itu lebih penting sehingga tidak sempat membikin perhitungan dengan si anjing tua dari Ko-san-pay. Kalau tidak, anjing tua Ko-san-pay itu juga dibetot menjadi empat potong barulah rasa dongkolnya bisa terlampias.
Luka Lenghou Tiong sebenarnya sangat berat, untuk menyenangkan Tho-kok-lak-sian tadi dia telah ikut bicara, tapi habis itu dia lantas pingsan pula. Dalam keadaan samar-samar ia merasa dadanya terasa muak dan sesak, darah seluruh tubuhnya seakan-akan bergolak saling tumbuk, rasanya tidak enak.
Sejenak kemudian, ketika pikirannya rada sadar, ia merasa tubuhnya seperti sedang dipanggang, panasnya tak terkatakan. Tanpa merasa ia merintih. Tiba-tiba ada orang membentaknya, "Ssst, jangan bersuara!"
Waktu Lenghou Tiong membuka matanya, dilihatnya sebuah pelita dengan api sebesar kacang berada di atas meja, sekujur badan sendiri telanjang bulat dan terbaring di lantai, kedua tangan dan kedua kaki masing-masing dipegang oleh seorang, dua orang lagi ada yang menahan perutnya dengan telapak tangan, ada lagi yang menggunakan telapak tangan menekan "Pek-hwe-hiat" di ubun-ubunnya.
Dalam kagetnya segera Lenghou Tiong merasa suatu hawa panas menyusup masuk melalui telapak kaki kiri terus naik ke paha, ke perut, ke dada, ke lengan kanan dan akhirnya mencapai telapak tangan kanan.
Berbareng itu suatu hawa panas juga menyusup masuk melalui telapak tangan kiri terus naik ke lengan, ke dada, ke perut, ke paha kanan dan akhirnya sampai di telapak kaki kanan.
Kedua arus hawa panas itu terus berputar kian kemari, saking panasnya Lenghou Tiong merasa seperti sedang dipanggang. Dia tahu Tho-kok-lak-sian sedang menggunakan Lwekang yang tinggi untuk menyembuhkan lukanya, dalam hati dia merasa sangat berterima kasih. Segera ia pun mengerahkan Lwekang sendiri untuk menambah kekuatan penyembuhan itu.
Tak terduga baru saja tenaganya sendiri baru mulai bekerja dari pusarnya, mendadak perut terasa sakit luar biasa seperti ditikam, kontan darah segar tersembur dari mulutnya.
Keruan Tho-kok-lak-sian terkejut. "Celaka!" teriak mereka berbareng.
Segera Tho-yap-sian yang tangannya menahan ubun-ubun Lenghou Tiong itu lantas menepuk sehingga pemuda itu dihantam pingsan lagi.
Untuk selanjutnya Lenghou Tiong selalu berada dalam keadaan tak sadar, badan sebentar dingin dan sebentar panas, kedua arus hawa panas itu pun selalu menyusur kian kemari di antara urat anggota badannya, antara kedua kaki dan kedua tangan terkadang timbul beberapa arus hawa panas yang saling gontok, saling tumbuk sehingga rasanya bertambah menderita.
Hari itu mendadak pikiran Lenghou Tiong rada segar. Didengarnya Tho-kan-sian sedang berkata, "Coba kalian lihat, dia sudah tidak berkeringat lagi, bukankah karena hawa murni yang kusalurkan dan berputar di antara urat nadi anggota badannya telah membawa hasil" Dengan caraku ini tentu dapat kusembuhkan lukanya."
"Ala, masih berani omong besar?" sahut Tho-kin-sian. "Coba kalau kemarin dulu tidak menggunakan caraku, dengan hawa murni yang kusalurkan ke berbagai urat nadi di bagian jantung dan perutnya, tentu sejak itu bocah ini sudah mati, masakah kau sempat menunggu lagi sampai hari ini."
"Betul!" sahut Tho-ki-sian. "Cuma biarpun cara Toako itu dapat menyembuhkan luka dalamnya, namun kedua kakinya tentu akan menjadi lumpuh dan ini berarti kurang sempurna cara penyembuhanmu, betapa pun toh caraku lebih baik. Luka dalam bocah ini terletak pada bagian jantungnya, segala penyembuhan harus disalurkan melalui sana."
"Kembali kau mengoceh tak keruan," omel Tho-kin-sian dengan gusar. "Kau bukan cacing di dalam perutnya, dari mana kau tahu luka dalamnya terletak pada jantungnya?"
Begitulah beberapa orang aneh itu kembali bertengkar tidak habis-habis.
Tiba-tiba Tho-yap-sian berkata, "Cara menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya, kukira kurang baik, kurasa lebih penting harus menyembuhkan dulu kakinya melalui Siau-yang-meh."
Habis berkata, tanpa menunggu persetujuan kawan-kawannya segera tangannya menekan "Tang-kok-hiat" di bagian lutut kiri Lenghou Tiong, suatu arus hawa panas lantas menyusup masuk melalui Hiat-to itu.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tho-kan-sian menjadi gusar, bentaknya, "Hah, kembali kau main gila padaku. Baiklah, boleh kita coba-coba siapa yang lebih tepat."
Lalu ia pun mengerahkan tenaga dalam dan memperkuat saluran hawa murninya.
Keruan yang paling celaka adalah Lenghou Tiong sendiri, ia merasa muak dan ingin muntah, darah seakan-akan hendak menyembur keluar pula. Diam-diam ia hanya mengeluh belaka.
Ia tahu keenam orang itu bermaksud baik menolong jiwanya, tapi mereka mempunyai pendirian yang berbeda-beda cara penyembuhannya, jika masing-masing menggunakan caranya sendiri-sendiri, maka runyamlah dirinya.
Sesungguhnya ia ingin bersuara menolak dan minta agar Tho-kok-lak-sian berhenti saja, celakanya mulutnya sukar bicara.
"He, kalian lihat, kedua mata bocah itu terbelalak belaka, bibirnya bergerak, tapi justru tidak mau bicara ...." demikian terdengar Tho-yap-sian berseru.
Keruan Lenghou Tiong sangat mendongkol, bukannya dia tidak mau bicara, tapi badan tersiksa sedemikian rupa, masakah sanggup bersuara pula.
Sementara itu Tho-yap-sian sedang melanjutkan, "Melihat keadaannya, terang kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang, maka harus disembuhkan melalui ...."
Baru sampai di sini Lenghou Tiong lantas merasa bagian bawah matanya yang melekuk itu kesakitan, menyusul ujung sisi bawah juga terasa linu, menyusul lagi beberapa Hiat-to di bagian dahi dan di belakang kepala ikut kesakitan pula dan linu pegal, saking tak tahan, Lenghou Tiong hanya dapat meringis saja.
"Lihatlah, biarpun kau pencet sini dan pijat sana toh dia masih tidak bicara," kata Tho-ki-sian. "Kukira bukan otaknya yang berpenyakit, tapi lidahnya yang kaku, ini tandanya harus menyembuhkan dia melalui In-pek-hiat, Thay-pek-hiat dan lain-lain tempat, tapi ... tapi kalau tidak sembuh, jangan kalian menyalahkan aku!"
"Jika kau tak bisa menyembuhkan dia, tentu jiwanya akan melayang, maka kau harus disalahkan," kata Tho-kan-sian.
"Wah, kalau salah menyembuhkannya kan bisa runyam," sahut Tho-ki-sian yang bernyali kecil sebagai tikus itu.
"Salah atau tidak sulit untuk dikatakan karena belum kau lakukan," ujar Tho-hoa-sian. "Padahal bocah ini hanya terluka luar saja dan tidak penting, namun sudah sekian lama kita berusaha menyembuhkan dia dan tetap gagal. Kukira dia punya penyakit ini harus disembuhkan mulai dari dalam."
"Ah, kau memang plintat-plintut, kemarin kau bilang begitu, sekarang bilang begini, mengapa saling bertentangan pendapatmu?" omel Tho-sit-sian.
"Kita sudah mencobanya dengan berbagai cara dan tetap tidak berhasil, terpaksa aku harus menggunakan cara yang luar biasa," tiba-tiba Tho-kin-sian menyela.
"Cara yang luar biasa bagaimana?" tanya saudara-saudaranya.
"Penyakit bocah ini terang semacam penyakit yang aneh dan harus disembuhkan dengan cara aneh pula. Maka aku akan menyembuhkan dia melalui Hiat-to di luar kebiasaan, aku akan menutuk 12 Hiat-to yang paling aneh dan jarang dikenal."
"He, jangan Toako, ini terlalu bahaya!" seru Tho-hoa-sian dan lain-lain.
Tapi lantas terdengar Tho-kin-sian membentak, "Jangan apa" Jika ayal tentu jiwa bocah ini sukar tertolong lagi!"
Habis itu Lenghou Tiong lantas merasa In-tong-hiat, Hi-yau-hiat dan lain-lain kesakitan luar biasa seperti ditusuk oleh pisau tajam. Ia pentang mulut ingin berteriak, tapi sedikit pun tak bisa mengeluarkan suara. Ia merasa enam arus hawa panas berputar kian kemari dari berbagai urat nadi yang berlainan, terkadang saling gontok dan saling tumbuk dengan hebatnya. Sudah tentu derita Lenghou Tiong tak terkatakan, nyata tubuhnya telah menjadi medan pertempuran hawa murni keenam manusia aneh itu.
Sungguh gusar Lenghou Tiong tidak kepalang, diam-diam ia mengutuki Tho-kok-lak-sian itu, bila dirinya tidak jadi mati, kelak tentu akan kucencang kalian enam ekor anjing tua ini, demikian gerutunya dalam hati. Kalau bisa bersuara, mungkin segala caci maki yang paling kotor sudah dilontarkan.
Padahal kalau dipikir, maksud tujuan Tho-kok-lak-sian itu tidaklah jahat melainkan ingin menyembuhkan lukanya dengan bantuan tenaga murni mereka, cara demikian sebenarnya sangat merugikan mereka sendiri.
Begitulah sembari mengerahkan hawa murni masing-masing untuk menyembuhkan Lenghou Tiong, Tho-kok-lak-sian masih terus bertengkar karena berbeda pendapat. Mereka tidak tahu bahwa karena sok pintar mereka, selama beberapa hari Lenghou Tiong telah "dipermak" oleh mereka sedemikian rupa.
Untunglah sejak kecil Lenghou Tiong sudah belajar Lwekang Hoa-san-pay yang hebat, dasarnya sudah terpupuk kuat, kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang kena dikocok oleh Tho-kok-lak-sian itu.
Sesudah lama mengerahkan hawa murni mereka dan keadaan Lenghou Tiong bukannya bertambah baik, sebaliknya denyut jantungnya semakin lemah, napasnya semakin berat, bukan mustahil segera akan tewas, mau tak mau Tho-kok-lak-sian menjadi khawatir. Tho-ki-sian yang penakut itu yang pertama-tama berkata, "Sudahlah, aku tidak mau bekerja lagi. Jika diteruskan dan dia telanjur mati, arwahnya yang penasaran mungkin akan selalu menggoda padaku, kan bisa susah aku."
Habis berkata segera ia menarik tangannya yang menahan salah satu Hiat-to di tubuh Lenghou Tiong.
Tho-kin-sian menjadi gusar, katanya, "Jika bocah ini benar-benar mati, maka orang pertama yang disalahkan tentulah dirimu. Arwahnya akan berubah menjadi setan gentayangan dan akan selalu menggoda dan mengintil di belakangmu."
Mendadak Tho-ki-sian menjerit ketakutan, ia melompat keluar melalui jendela, dalam sekejap saja sudah menghilang entah ke mana.
Berturut-turut Tho-kan-sian, Tho-sit-sian dan lain-lain juga lantas menarik kembali tangan mereka. Ada yang berkerut kening, ada yang geleng-geleng kepala, semuanya merasa tak berdaya.
"Tampaknya bocah ini sukar diselamatkan lagi, lantas bagaimana baiknya?" ujar Tho-yap-sian.
"Boleh kalian beri tahukan si nona cilik, katakan bahwa bocah ini telah kena dihantam satu kali oleh keparat itu, karena tidak tahan maka bocah ini mati," ujar Tho-kan-sian.
"Katakan tidak bahwa kita telah berusaha menyembuhkan dia?" tanya Tho-kin-sian.
"Wah, ini jangan sekali-kali diberitahukan," sahut Tho-kan-sian.
"Tapi kalau si nona cilik tanya kita mengapa tidak berusaha menyembuhkan dia, lantas bagaimana?" tanya pula Tho-kin-sian.
"Jika begitu kita katakan saja sudah berusaha menyembuhkan dia, cuma tidak berhasil," kata Tho-kan-sian.
"Dan si nona cilik tentu akan anggap kita Tho-kok-lak-sian tak berguna, tidak becus, lebih celaka daripada enam ekor anjing," kata Tho-kin-sian.
Tho-kan-sian menjadi gusar, serunya, "Wah, si nona cilik memaki kita sebagai anjing, sungguh keterlaluan, aku tidak tahan."
"Si nona cilik tidak memaki kita, akulah yang bilang demikian," kata Tho-kin-sian.
"Jika dia tidak memaki, dari mana kau tahu?" tanya Tho-kan-sian.
"Aku kan cuma mengumpamakan saja, boleh jadi dia akan memaki kita," sahut Tho-kin-sian.
"Aku yakin si nona cilik pasti akan menangis dan takkan memaki kita," ujar Tho-kan-sian.
"Aku lebih suka dia memaki kita sebagai anjing daripada melihat dia menangis sedih," kata Tho-kin-sian.
"Seumpama dia benar-benar memaki juga takkan memaki kita sebagai anjing," kata Tho-kan-sian pula.
"Habis memaki kita sebagai apa?" tanya Tho-kin-sian.
"Memangnya kita berenam ini mirip anjing?" sahut Tho-kan-sian. "Sedikit pun tidak mirip. Maka kukira dia akan memaki kita sebagai kucing."
"Cis, mengapa memaki kita sebagai kucing?" sela Tho-yap-sian. "Memangnya kita mirip kucing?"
"Kata-kata makian kan tidak perlu mesti mirip dengan orang yang dimaki," timbrung Tho-hoa-sian. "Kita adalah manusia, adalah orang, bila nona cilik mengatakan kita adalah orang, maka ini bukan lagi makian."
"Seumpama dianggap orang juga masih ada kemungkinan dimaki," Tho-sit-sian ikut di dalam perdebatan itu. "Umpama dia mengatakan kita adalah orang goblok, orang tolol, orang jahat, ini kan kata-kata makian."
"Biarpun orang goblok atau tolol atau orang jahat, setidak-tidaknya akan lebih lumayan daripada anjing, "ujar Tho-kin-sian.
"Jika keenam ekor anjing itu adalah anjing pintar, anjing galak, lalu anjingnja lebih baik atau orangnya lebih baik?" tanya Tho-sit-sian.
Sejak tadi Lenghou Tiong berbaring dalam keadaan kempas-kempis, sungguh geli setengah mati ketika mendengarkan pertengkaran mereka yang lucu itu. Entah mengapa, tiba-tiba suatu arus hawa hangat menyentak ke atas, mendadak ia dapat bersuara, "Enam ekor anjing tentu akan jauh lebih baik daripada kalian!"
Seketika para "Sian" itu melongo kaget. Belum lagi mereka sempat bersuara, sekonyong-konyong terdengar Tho-ki-sian bertanya di luar jendela, "Mengapa enam ekor anjing akan lebih baik daripada kami?"
Tadi dia telah lari pergi terbirit-birit, entah sejak kapan dia sudah mengeluyur kembali.
Maka berbareng kelima saudaranya ikut bertanya, "Ya, mengapa enam ekor anjing bisa lebih baik daripada kami?"
Sungguh Lenghou Tiong ingin membuka mulut dan mencaci maki mereka, tapi tenaga sedikit pun tidak ada, hanya dengan suara lemah ia berkata, "Ka ... kalian antarkan aku kembali ke ... ke Hoa-san, hanya ... hanya Suhuku saja yang da ... dapat menolong jiwaku ...."
"Apa katamu" Hanya gurumu saja yang mampu menolong jiwamu?" Tho-kin-sian menegas. "Jadi maksudmu Tho-kok-lak-sian tak mampu menolongmu?"
Lenghou Tiong manggut-manggut, mulutnya ternganga, tapi tak bisa bicara lagi.
"Persetan!" omel Tho-yap-sian. "Apa kepandaian Suhunya, masakah dia lebih lihai daripada kami Tho-kok-lak-sian?"
"Hm, boleh coba suruh gurunya bertanding dengan kita," seru Tho-hoa-sian.
"Ya, kita berempat masing-masing memegang satu tangan dan satu kakinya, sekali betot saja dia akan kita sobek menjadi empat potong," kata Tho-kan-sian.
"Benar, bahkan setiap orang di Hoa-san akan kita sobek menjadi empat potong," teriak Tho-sit-sian.
Mendengar pertengkaran manusia-manusia abnormal yang ngawur dan lucu itu, kalau tidak berada dalam keadaan payah sungguh Lenghou Tiong ingin tertawa sepuas-puasnya. Tapi biarpun tutur kata dan tingkah laku orang-orang aneh itu sangat menggelikan, namun akhirnya Lenghou Tiong merasa sebal juga.
Cuma kalau dipikir kembali, kali ini secara kebetulan dapat bertemu dengan manusia-manusia aneh itu, hal ini boleh dikata sesuatu yang menguntungkan juga, paling tidak melihat tingkah laku yang menggelikan dan sukar dicari bandingannya itu sungguh tidak percumalah hidupnya ini.
Teringat demikian, tanpa merasa timbul semangat jantannya, tiba-tiba ia berkata, "Aku ... aku ingin minum arak!"
Seketika Tho-kok-lak-sian bergirang mendengar suara Lenghou Tiong. Seru mereka, "Bagus, bagus sekali! Dia ingin minum arak, terang dia takkan mati."
"Mati atau tidak, paling perlu sekarang minum arak dulu sepuas-puasnya," kata Lenghou Tiong setengah merintih.
"Betul, orang hidup kalau tidak minum arak apa artinya menjadi manusia, kan lebih baik menjadi kura-kura saja," kata Tho-hoa-sian yang kegemarannya juga minum arak.
Sebaliknya Tho-kan-sian yang biasanya tidak minum arak itu menjadi gusar, teriaknya, "Kau memaki aku yang tidak suka minum arak sebagai kura-kura, kuyakin kau sendiri adalah bulus."
"Bulus juga boleh, paling perlu minum arak," sahut Tho-hoa-sian.
Khawatir kedua orang itu bertengkar lagi tak habis-habis, cepat Lenghou Tiong merintih pula, "Lekas ... lekas ambilkan, aku ingin minum arak, kalau tidak tentu aku akan ... akan mati!"
"Ya, ya, baik, akan kuambilkan arak," sahut Tho-hoa-sian cepat sambil melangkah pergi.
Benar juga, tidak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa sebuah poci arak.
Keadaan Lenghou Tiong sebenarnya sudah sangat payah, tapi demi mengendus bau arak, seketika semangatnya berbangkit, katanya, "Harap suapi aku!"
Tho-ki-sian lantas tempelkan poci arak itu ke mulutnya dan perlahan menuangkan araknya. Seceguk demi seceguk akhirnya Lenghou Tiong menjadi tambah sadar dan cerdas, pikirnya, "Keenam orang ini suka diumpak, dipuji, terpaksa aku harus menipu mereka."
Maka ia lantas berkata, "Guruku sering berkata bahwa jago yang paling ... paling lihai di dunia ini adalah Tho ... Tho ...." sampai di sini ia sengaja berhenti.
Sudah tentu Tho-kok-lak-sian menjadi tertarik, cepat mereka tanya berbareng, "Apakah Tho-kok-lak-sian maksudmu?"
Lenghou Tiong tersenyum, sahutnya, "Ya, betul. Suhuku sering berkata pula bahwa beliau sangat ingin diberi kesempatan untuk minum arak bersama Tho-kok-lak-sian dan bersahabat dengan mereka agar ... agar dapat minta keenam kesa ... kesat ...."
"Keenam kesatria maksudnya?" kembali Tho-kok-lak-sian menegas.
"Betul, agar dapat minta keenam kesatria besar itu sudi memperlihatkan kesaktian mereka di depan para murid Hoa-san-pay ...." sampai di sini napas Lenghou Tiong terasa sesak, terpaksa ia berhenti bicara.
Keruan Tho-kok-lak-sian tidak mau berhenti, beramai-ramai mereka bertanya, "Lalu bagaimana" Dari mana gurumu mengetahui kesaktian kami" Wah, ketua Hoa-san-pay itu benar-benar seorang yang baik hati, siapa saja yang berani mengganggu sebatang rumput ataupun sebatang pohon Hoa-san tentu kita takkan mengampuni dia."
"Gurumu adalah orang baik, kami sangat ingin bersahabat dengan dia. Marilah sekarang juga kita berangkat ke Hoa-san!" akhirnya Lak-sian berkata demikian.
Justru kata-kata ini yang lagi diharapkan Lenghou Tiong agar diucapkan mereka, maka tanpa pikir ia lantas menanggapi, "Betul, sekarang juga kita lantas berangkat ke Hoa-san!"
Dasar Tho-kok-lak-sian memang polos, sekali bilang berangkat segera mereka benar-benar berangkat. Lenghou Tiong lantas mereka gotong terus diangkut pergi.
Setengah hari kemudian tiba-tiba Tho-kin-sian mengeluh, "Wah, celaka. Salah, salah besar! Nona cilik menyuruh kita membawa bocah ini untuk menghadapinya, mengapa kita malah membawanya kembali ke Hoa-san?"
Bab 38. Kui-hoa-po-tian = Inti Rahasia Pi-sia-kiam-hoat
"Kali ini ucapan Toako benar," sahut Tho-kan-sian. "Lebih baik kita membawanya menghadap si nona cilik dahulu, kemudian baru kita berangkat ke Hoa-san."
Bicara demikian, kontan mereka ganti haluan dan menuju ke jurusan selatan.
Lenghou Tiong menjadi kelabakan, cepat ia berkata, "Yang ingin dilihat si nona cilik itu orang hidup atau orang mati?"
"Sudah tentu ingin melihat bocah yang hidup dan tidak mau yang mati," sahut Tho-kin-sian.
"Kalau demikian, bila kalian tidak mengantar aku ke Hoa-san, segera aku akan memutuskan urat nadiku sendiri supaya mati seketika," kata Lenghou Tiong.
"Bagus, Kungfu mahatinggi memutus urat nadi sendiri itu cara bagaimana melatihnya, coba pertunjukkan kepada kami!" seru Tho-sit-sian dengan girang.
"Sekali melatih ilmu demikian, seketika kau sendiri akan mati, apa faedahnya melatihnya?" ujar Tho-kan-sian.
"Ada faedahnya juga," seru Lenghou Tiong dengan napas terengah-engah. "Umpama pada waktu terpaksa, daripada menderita lebih baik memutus urat nadi sendiri agar mati saja."
Mendadak Tho-kok-lak-sian merasa khawatir, seru mereka, "Nona cilik ingin bertemu denganmu, sekali-sekali kami tidak bermaksud jahat dan sengaja memaksamu."
"Ya, kalian mungkin bermaksud baik, tapi sebelum kulapor kepada Suhu dan minta persetujuan beliau, biarpun mati juga aku tidak mau menurut," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah, terlambat sedikit hari tidak menjadi soal, biarlah kami mengantarmu pulang ke Hoa-san dahulu," kata Tho-kin-sian.
Beberapa hari kemudian mereka bertujuh sudah berada di Hoa-san lagi. Kira-kira dua li dari ruang pendopo Co-kong-tong mereka sudah dilihat oleh anak murid Hoa-san-pay dan segera berlari memberi lapor kepada Gak Put-kun.
Gak Put-kun dan istri terkejut mendengar bahwa keenam orang aneh yang menculik Lenghou Tiong itu sekarang datang lagi. Cepat ia membawa anak muridnya menyambut keluar.
Cepat sekali datangnya Tho-kok-lak-sian itu, baru saja Gak Put-kun dan rombongannya keluar ruangan pendopo sudah lantas tampak keenam orang aneh itu sedang mendatang, dua orang di antaranya menggotong usungan dan Lenghou Tiong terbaring di atas usungan itu.
Gak-hujin memburu maju untuk memeriksa, dilihatnya muka muridnya kurus pucat, terang dalam keadaan sakit payah. Keruan Gak-hujin terkejut, cepat ia pegang nadi Lenghou Tiong, terasa denyutnya lemah dan kacau, jiwanya dalam keadaan bahaya.
"Tiong-ji, Tiong-ji!" serunya.
Lenghou Tiong membuka mata sedikit dan menyapa dengan lemah, "Su ... Su ...." tapi ia tidak sanggup meneruskan panggilannya.
Air mata Gak-hujin lantas bercucuran, katanya, "Tiong-ji, biarlah ibu guru membalaskan sakit hatimu!"
Mendadak ia lolos pedang terus hendak menusuk Tho-hoa-sian yang ikut menggotong usungan itu.
"Nanti dulu!" syukur Gak Put-kun sempat mencegahnya. Lalu ia memberi salam kepada Tho-kok-lak-sian dan berkata, "Maafkan jika aku tiada mengadakan penyambutan atas kunjungan kalian ke Hoa-san ini. Entah siapakah nama kalian yang mulia dan asal dari aliran manakah?"
Mendengar itu mendongkol dan kecewa pula Tho-kok-lak-sian. Sebenarnya mereka percaya penuh apa yang dikatakan Lenghou Tiong bahwa Gak Put-kun sangat kagum dan hormat kepada mereka berenam saudara, siapa duga baru bertemu saja sudah lantas tanya nama, terang ketua Hoa-san-pay ini sebelumnya sama sekali tidak kenal siapa Tho-kok-lak-sian.
Segera Tho-kin-sian berkata, "Katanya kalian suami-istri sangat mengagumi kami berenam saudara, jadi hal ini sama sekali tidak benar?"
"Kau pernah bilang Tho-kok-lak-sian adalah jago yang paling lihai di dunia ini, masakah kau tidak tahu bahwa kami inilah Tho-kok-lak-sian yang dimaksud itu?" Tho-kan-sian ikut bicara.
"Ya, katanya kau sangat ingin bertemu dan bersahabat dengan kami untuk minum arak bersama-sama, sekarang kami telah datang kemari, nyatanya kau tidak gembira dan tiada maksud mengundang kami minum arak pula, jadi apa yang kau katakan dahulu itu cuma dusta belaka?" tanya Tho-kin-sian.
Sudah tentu Gak Put-kun merasa bingung. Pikirnya, "Keenam orang ini mengaku Tho-kok-lak-sian, tapi tampang mereka dan tingkah lakunya mirip siluman, di mana ada tanda-tanda sebagai 'Sian' (dewa)" Apalagi kalau melihat cara mereka merobek tubuh Seng Put-yu yang kejam itu, terang mereka adalah jago dari golongan Sia-pay. Sebenarnya mereka adalah tamu dan pantas juga mengundang mereka makan-minum, tapi mereka telah membunuh orang di atas Hoa-san tanpa menghormati pihak tuan rumah, untuk ini saja sudah kehilangan kehormatan sebagai tamu. Sejak dulu golongan Cing-pay tak pernah hidup berdampingan dengan Sia-pay, apalagi mereka telah menyiksa anak Tiong sedemikian rupa, tidak mungkin mereka mempunyai maksud baik."
Karena pikiran demikianlah, dengan sikap dingin ia lantas menjawab, "Kalian mengaku sebagai Tho-kok-lak-sian, padahal aku hanya manusia biasa saja dan tidak berani bersahabat dengan para dewa."
Ucapan Gak Put-kun ini terang adalah sindiran, tapi bagi pendengaran Tho-kok-lak-sian ternyata dirasakan sebagai suatu pujian, mereka sangat senang dan berkata, "Ah, tidak menjadi soal. Kami Lak-sian sudah bersahabat dengan muridmu, untuk bersahabat lagi denganmu juga boleh."
"Meski ilmu silatmu sangat rendah juga kami takkan memandang hina padamu, untuk ini kau tak perlu khawatir," demikian Tho-sit-sian menambahkan.
"Ya, seumpama dalam hal ilmu silat ada yang kurang jelas bagimu, boleh silakan kau tanya saja kepada kami, sekali Tho-kok-lak-sian menganggapmu sebagai sahabat, tentu kami akan memberi petunjuk seperlunya," kata Tho-hoa-sian.
Dasar sifat Tho-kok-lak-sian memang kekanak-kanakan dan tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia, apa yang mereka ucapkan itu sesungguhnya timbul dari maksud baik, tapi bagi pendengaran seorang guru besar ilmu silat sebagai Put-kun sudah tentu dirasakan sebagai suatu penghinaan besar.
Untung Gak Put-kun adalah seorang yang sabar dan ramah tamah, walaupun batinnya sangat gusar, tapi mukanya masih tersenyum saja, katanya, "Terima kasihlah atas maksud baik kalian."
"Terima kasih tidaklah perlu," kata Tho-kan-sian. "Bila Tho-kok-lak-sian sudah anggap kau sebagai sahabat, sudah tentu segala apa yang kami ketahui akan kami beri tahukan selengkapnya."
"Ya, sekarang juga akan kuperlihatkan beberapa gerakan agar segenap warga Hoa-san-pay kalian bisa tambah pengalaman," Tho-sit-sian menambahkan pula.
Mendengar kata-kata mereka yang sombong dan sembrono itu, sejak tadi Gak-hujin sudah amat gusar. Sekarang ia benar-benar tidak tahan lagi, pedang bergerak, tahu-tahu dada Tho-sit-sian sudah terancam, tapi Gak-hujin belum lagi menyerang, katanya, "Baik, akan kubelajar kenal dengan kepandaian senjatamu."
"Selamanya Tho-kok-lak-sian tidak menggunakan senjata, katanya kau kagum terhadap ilmu silat kami, mengapa tidak tahu akan hal ini?" kata Tho-sit-sian.
Ucapan ini bagi pendengaran Gak-hujin kembali dirasakan sebagai penghinaan pula, tanpa pikir lagi pedangnya lantas menusuk ke depan sambil berkata, "Ya, aku memang tidak tahu."
Gak-hujin adalah tokoh tertinggi dari Hoa-san-pay, sekte yang mengutamakan "Khi" (hawa), serangannya itu dengan sendirinya sangat lihai dan cepat. Apalagi Tho-sit-sian sama sekali tiada sedikit pun merasa bermusuhan dengan nyonya Gak itu, sama sekali ia tidak menduga akan diserang secara mendadak, tahu-tahu ujung pedang sudah sampai di depan dadanya, dalam kagetnya lekas ia hendak berkelit.
Namun sudah kasip, serangan Gak-hujin itu sungguh teramat cepat, "bles", dadanya tertubles pedang. Berbareng Tho-sit-sian masih sempat hantam dengan sebelah tangannya dan mengenai pundak Gak-hujin. Kontan Gak-hujin terhuyung-huyung mundur dua tindak sehingga pedangnya terlepas dari cekalan dan masih menancap di dada Tho-sit-sian dengan bergoyang-goyang.
Keruan Tho-kin-sian dan saudara-saudaranya yang lain menjerit kaget. Lebih-lebih Tho-ki-sian yang bernyali kecil itu, tanpa pikir lagi segera ia angkat tubuh Tho-sit-sian terus dibawa lari terbirit-birit, hanya sekejap saja sudah menghilang.
Sisa empat "dewa" lagi mendadak menerjang maju, dengan cepat tak terperikan mereka sambar kedua kaki dan kedua tangan Gak-hujin terus diangkat ke atas.
Gak Put-kun tahu gerakan selanjutnya dari keempat orang itu tentu membetot sekuatnya dan tubuh sang istri pasti akan terobek menjadi empat potong. Cepat ia bertindak, namun betapa pun tenangnya, menghadapi keadaan demikian mau tak mau tangannya agak gemetar juga ketika pedangnya sekaligus menusuk Tho-kin-sian dan Tho-yap-sian.
Saat itu Lenghou Tiong masih terbaring di atas usungan yang terletak di atas tanah, ketika melihat sang ibu guru terancam bahaya maut, entah dari mana datangnya tenaga, sekonyong-konyong ia melompat bangun sambil berteriak, "Jangan mencelakai ibu guruku. Kalau tidak, segera kuputuskan urat nadiku sendiri."
Selesai ucapannya itu, tak tertahan lagi darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya, menyusul orangnya lantas jatuh pingsan.
Dalam pada itu Tho-kin-sian telah dapat menghindarkan serangan Gak Put-kun, segera ia berkata, "Wah, bocah itu akan memutus urat nadinya sendiri, ini bisa runyam, biarlah kita ampuni saja perempuan ini."
Tanpa bicara lagi keempat "dewa" itu lantas melepaskan kembali Gak-hujin. Rupanya mereka mengkhawatirkan keadaan Tho-sit-sian yang terluka parah itu. Empat saudara seperti satu perasaan, tanpa berunding segera mereka putar tubuh dan berlari pergi menyusul Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian.
"Sumoay, janganlah gusar, kita pasti akan menuntut balas kejadian ini," kata Gak Put-kun kemudian. "Keenam orang ini benar-benar lawan yang tangguh, syukur kau sudah membinasakan satu di antara mereka."
Sesudah agak tenang kembali, teringatlah Gak-hujin akan nasib Seng Put-yu dirobek mentah-mentah tubuhnya oleh Tho-kok-lak-sian itu, seketika hatinya berdebar-debar membayangkan kejadian tadi sehingga wajah pun pucat.
Gak Put-kun tahu tidak kecil kejut sang istri tadi, katanya kepada Leng-sian, "Anak Sian, bawalah ibumu ke kamar untuk mengaso dulu."
Waktu ia periksa keadaan Lenghou Tiong, dilihatnya mulut dan dada pemuda itu penuh darah, napasnya lemah, keadaannya sangat payah, tampaknya lebih banyak mati daripada hidupnya.
Cepat Gak Put-kun menahan Leng-tay-hiat di punggung muridnya itu, jiwa Lenghou Tiong itu hendak diselamatkannya dengan saluran tenaga dalam yang kuat.
Tapi baru saja ia mulai mengerahkan tenaga, mendadak terasa di dalam tubuh pemuda itu timbul perlawanan dari beberapa arus tenaga dalam yang sangat aneh, hampir-hampir saja tangan Gak Put-kun tergetar lepas.
Gak Put-kun sudah berhasil meyakinkan Ci-he-sin-kang, di dunia persilatan kalau melulu soal Lwekang boleh dikatakan jarang ada tandingannya. Tapi beberapa arus tenaga aneh di dalam tubuh Lenghou Tiong itu ternyata dapat menggetarkan tangannya, hal ini benar-benar sangat aneh dan mengejutkan.
Segera ia pun dapat merasakan bahwa beberapa arus tenaga dalam yang aneh itu bahkan saling gontok di dalam tubuh Lenghou Tiong dan bertumbuk kian kemari tak berhenti-henti.
Waktu ia merasakan pula Tan-tong-hiat di dada Lenghou Tiong, kembali tangannya tergetar lebih keras, hal ini membuatnya lebih terkejut. Terasa olehnya beberapa arus hawa murni yang bergerak di dalam tubuh muridnya itu terang adalah Lwekang yang paling tinggi dari golongan persilatan tertentu, setiap arus hawa murni itu meski lebih lemah daripada Ci-he-sin-kang sendiri, tapi kalau dua arus tenaga itu bergabung menjadi satu, ini saja sudah cukup untuk mengalahkannya.
Setelah diperiksa lebih teliti lagi, terasa hawa murni di dalam tubuh Lenghou Tiong itu ada enam arus. Khawatir kalau tenaga dalam sendiri terbuang terlalu banyak, Gak Put-kun tidak berani meraba tubuh Lenghou Tiong lagi. Pikirnya, "Enam arus tenaga ini tentu milik keenam orang aneh yang disalurkan ke dalam tubuh anak Tiong. Maksud tujuan keenam orang itu sungguh keji, mereka telah menyalurkan tenaga murni masing-masing ke dalam enam urat nadi sehingga anak Tiong kenyang menderita, hidup tak bisa mati pun sukar."
Maklumlah bahwa Tho-kok-lak-sian sebenarnya bermaksud menyembuhkan luka Lenghou Tiong, akibatnya malah tubuh Lenghou Tiong berubah menjadi medan gontok-gontokan bagi keenam tenaga murni mereka. Kekuatan mereka berenam memangnya sembabat, enam arus tenaga itu sukar menentukan kalah dan menang sehingga selalu dalam keadaan gontok-gontokan tak berhenti-henti. Hal aneh ini selamanya tak pernah terjadi di dunia persilatan, sudah barang tentu sulit diselami menurut akal sehat Gak Put-kun.
Segera Put-kun suruh Ko Kin-beng dan Liok Tay-yu menggotong Lenghou Tiong ke kamar, ia sendiri lantas pergi menjenguk sang istri.
Gak-hujin hanya terkejut saja dan tidak terluka apa-apa, saat itu ia sedang duduk di tempat tidur sembari memegangi tangan Leng-sian, hatinya masih belum tenteram. Ketika melihat sang suami datang segera ia bertanya, "Bagaimana keadaan Tiong-ji" Apakah lukanya berbahaya?"
Gak Put-kun diam saja, selang sebentar barulah berkata, "Aneh, sungguh aneh!"
"Kenapa aneh?" tanya Gak-hujin.
Maka berceritalah Gak Put-kun tentang enam arus hawa murni yang aneh di dalam tubuh Lenghou Tiong.
"Wah, jika demikian, hawa murni itu satu per satu harus dipunahkan, hanya tidak tahu apakah waktunya masih keburu atau tidak?" ujar Gak-hujin dengan rasa khawatir.
Put-kun termenung sambil menengadah. Agak lama kemudian baru berkata, "Sumoay, menurut pendapatmu, sedemikian rupa keenam siluman itu menyiksa Tiong-ji, sesungguhnya apa maksud tujuan mereka?"
"Mungkin mereka ingin paksa anak Tiong bertekuk lutut mengaku kalah atau hendak memaksa dia mengaku sesuatu rahasia perguruan kita," kata Gak-hujin. "Sudah tentu anak Tiong pantang menyerah, maka keenam siluman itu lantas menyiksanya dengan cara kejam."
"Seharusnya memang begitu," ujar Gak Put-kun sambil menggeleng. "Namun perguruan kita kan tiada rahasia apa-apa, keenam siluman itu selamanya tidak kenal dan tiada permusuhan apa-apa dengan kita. Apa sebabnya mereka menculik anak Tiong dan kemudian dibawanya kembali lagi?"
"Apakah mungkin karena ...." tapi Gak-hujin tidak melanjutkan lagi karena merasa pendapatnya itu tidak masuk di akal. Suami-istri itu hanya saling pandang saja sembari berkerut kening.
Tiba-tiba Leng-sian menceletuk, "Meski perguruan kita tiada sesuatu rahasia apa pun, tapi ilmu silat Hoa-san-pay amat terkenal di seluruh jagat. Dengan menangkap Toasuko mungkin mereka bermaksud memaksa dia mengaku tentang intisari Khikang dan Kiam-hoat dari perguruan kita."
"Aku pun berpikir tentang hal ini," kata Put-kun. "Tapi taraf Lwekang anak Tiong masih terbatas, dengan Lwekang keenam siluman yang mahatinggi itu, mereka akan segera mengetahui kekuatan anak Tiong itu. Mengenai Lwekang, jelas cara mereka itu tidak sama dengan Hoa-san-pay kita, tidak nanti mereka incar soal ini. Seumpama mereka hendak memaksa anak Tiong mengaku sesuatu toh dapat dibawa ke lain tempat, mengapa mesti dibawa kembali ke sini?"
Mendengar nada kata-kata sang suami semakin pasti, sebagai suami-istri sekian lama, Gak-hujin lantas tahu tentu suaminya sudah memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Segera ia pun bertanya, "Lalu sebenarnya apa tujuan mereka?"
"Menggunakan luka parah anak Tiong untuk menguras tenaga dalamku," kata Gak Put-kun dengan serius.
Gak-hujin sampai melonjak bangun. "Benar," serunya. "Demi untuk menolong jiwa anak Tiong tentu kau akan menggunakan tenagamu untuk menghapus hawa murni mereka yang tertanam di dalam badan anak Tiong itu, bila usahamu tengah kepalang tanggung, tentu keenam siluman itu mendadak akan muncul dan dengan mudah kita dibinasakan."
Ia merandek sejenak, lalu melanjutkan, "Untung sekarang hanya tinggal sisa lima siluman saja. Suko, tapi mereka terang sudah menangkap diriku, mengapa demi mendengar bentakan anak Tiong mereka lantas melepaskan aku pula?"
Teringat kepada saat-saat berbahaya tadi, tanpa terasa ia menggigil ngeri juga.
"Aku justru merasa curiga atas kejadian tadi," kata Gak Put-kun. "Mereka takut kalau-kalau Tiong-ji benar-benar memutus urat nadi sendiri, maka engkau dilepaskan kembali. Coba pikirkan, kalau tiada muslihat keji di balik perbuatan mereka itu, buat apa mereka menyayangkan Tiong-ji?"
"Sungguh keji dan kejam," gerutu Gak-hujin.
Memang kalau melihat caranya siluman itu membetot tubuh Seng Put-yu sehingga sobek menjadi empat potong, tiada seorang pun yang tidak merasa jeri dan ngeri. Sekarang Tho-kok-lak-sian sudah menculik dan membawa kembali lagi Lenghou Tiong yang keadaannya sangat payah itu, siapa pun juga tentu yakin keenam orang itu pasti tidak bermaksud baik. Jadi dugaan Gak Put-kun dan istrinya itu bukanlah tanpa alasan.
Maka Gak-hujin berkata pula, "Jika demikian, jelas engkau tak dapat menyembuhkan Tiong-ji dengan Lwekangmu. Meski tenagaku tak dapat disamakan dengan kau, semoga dapat menyelamatkan jiwanya untuk sementara."
Habis berkata segera ia melangkah ke pintu kamar.
"Sumoay!" tiba-tiba Put-kun memanggilnya.
Waktu sang istri menoleh, Put-kun telah menggeleng kepala dan berkata, "Tidak perlu kau lakukan, tiada gunanya. Hawa murni keenam siluman itu sangat lihai."
Ia kenal watak istrinya yang suka unggul, maka ia tidak mau bicara lebih banyak lagi.
Gak-hujin ragu-ragu sejenak, akhirnya ia duduk kembali, katanya, "Hanya kau punya Ci-he-sin-kang saja yang dapat menyembuhkannya bukan" Lalu bagaimana baiknya?"
"Sekarang terpaksa kita berbuat sebisanya selangkah demi selangkah, lebih dulu kita pertahankan hidup anak Tiong, untuk ini tidak perlu banyak membuang tenaga dalam," ujar Put-kun.
Segera mereka masuk ke kamar Lenghou Tiong. Napas pemuda itu tampak sangat lemah, Gak-hujin menjadi cemas, air mata hampir-hampir bercucuran pula. Segera ia bermaksud memeriksa nadi Lenghou Tiong.
Tapi Put-kun mencegah dengan memegang tangan sang istri, ia geleng-geleng kepala, lalu tangan istrinya dilepaskan.
Tiba-tiba ia gunakan kedua telapak tangannya untuk menahan kedua telapak tangan Lenghou Tiong, ia salurkan tenaga murni Ci-he-sin-kang dengan perlahan-lahan. Tapi begitu tenaganya kebentrok dengan hawa murni yang bergolak di dalam tubuh Lenghou Tiong, seketika badan Gak Put-kun tergetar, hampir saja hawa ungu pada wajahnya bertambah tandas. Lekas-lekas ia mundur selangkah dan segera mengerahkan tenaga dalam pula sehingga hawa ungu pada mukanya itu hanya timbul sekejap saja lantas menghilang lagi. Ia kedipi sang istri, lalu mereka hendak keluar kamar.
Ketika Leng-sian hendak ikut keluar, Put-kun memberi tanda dan berkata, "Kau boleh tinggal di sini dan merawat Toasukomu."
Pada saat itu mendadak Lenghou Tiong membuka suara, "Di ... di manakah Lim-sute?"
"Untuk apakah kau cari Siau-lim-cu?" tanya Leng-sian heran.
Dengan mata terpejam Lenghou Tiong berkata, "Ketika ayahnya ... ayahnya akan mangkat, dia pesan sesuatu padaku agar ... agar disampaikan kepada Lim-sute. Aku su ... sudah tak tertolong lagi, lekas ... lekas panggil Lim-sute ke sini."
Dengan air mata berlinang-linang Leng-sian lantas lari keluar kamar.
Put-kun membisiki sang istri, "Ucapan ini mungkin sangat penting, dia harus sempat memberitahukannya kepada Peng-ci."
Segera ia mendekati tempat tidur, sebelah tangannya menahan di Leng-tay-hiat dan menyalurkan Ci-he-cin-khi (hawa murni dari ilmu sakti Ci-he-sin-kang) pula dengan perlahan.
Anak murid Hoa-san-pay memang semuanya berkumpul di luar kamar, begitu mendengar panggilan Leng-sian, segera Lim Peng-ci ikut masuk ke kamar. Ia mendekati pembaringan Lenghou Tiong dan menyapa, "Toasuko, hendaklah menjaga badanmu baik-baik."
"Apakah Lim ... Lim-sute ini?" tanya Lenghou Tiong dengan mata terpejam.
"Ya, akulah," sahut Peng-ci.
"Waktu ayahmu wafat, aku ... aku menunggu di sampingnya," tutur Lenghou Tiong dengan lemah dan terputus-putus. "Beliau minta ... minta aku menyampaikan padamu, katanya ... katanya ...."
Sampai di sini suaranya bertambah lemah pula. Semua orang sama menahan napas sehingga suasana di dalam kamar bertambah hening.
Cepat Gak Put-kun mengerahkan Lwekang sakti pula, napas Lenghou Tiong dapat dikuatkan, maka dapatlah ia menyambung ucapannya, katanya, "... di Ku ... Kui ... Kui-hoa ...."
Mendengar kata-kata "Kui-hoa" (bunga matahari) itu, seketika hati Gak Put-kun tergetar. Dan sedikit terpencarnya pikiran itu saja lantas terasa enam arus hawa murni dalam tubuh Lenghou Tiong membanjir ke Leng-tay-hiat dengan amat dahsyat dan hampir-hampir tangannya tergetar lepas.
Cepat Gak Put-kun mengerahkan tenaga pula, dengan hawa murni yang kuat ia salurkan pula melalui Leng-tay-hiat di tubuh Lenghou Tiong.
Lalu Lenghou Tiong berkata pula, "... di Kui-hoa-kang ... setiap benda di tempat tinggal lama itu harus dijaga sebaik-baiknya. Cuma ... cuma jangan sekali-kali membongkar dan melihatnya, kalau tidak ... kalau tidak, tentu akan mendatangkan bencana ...."
Peng-ci terheran-heran, katanya, "Kui-hoa-kang (Gang bunga matahari) kata ayah. Tapi di kota Hokciu kami tiada jalan yang bernama Kui-hoa-kang. Tempat tinggal kami yang lama juga tidak terletak di gang yang bernama demikian."
"Hanya ... hanya begitulah pesan ayahmu yang ... yang minta kusampaikan pada ... padamu ...."
Habis isi suara Lenghou Tiong kembali lemah lagi.
Gak Put-kun dapat merasakan enam arus hawa aneh di dalam tubuh muridnya itu makin lama makin bergolak dengan hebat, sekalipun dirinya mengorbankan seluruh tenaga murni Ci-he-sin-kang juga pasti sukar memunahkannya. Maka ia lantas menarik kembali tangannya. Segera Gak-hujin mengeluarkan saputangannya untuk mengusap keringat yang memenuhi dahi sang suami.
Kemudian Put-kun tanya Lim Peng-ci pula, "Jadi di kota Hokciu tiada jalan yang bernama Kui-hoa-kang" Tapi mungkin ada tempat atau jalan lain yang bernama senada dengan itu?"
Peng-ci mengingat-ingat sebentar, akhirnya menjawab, "Tidak, tidak ada."
"Jika begitu di manakah letak tempat tinggal keluargamu yang lama?" tanya Gak-hujin.
"Buyutku dahulu tinggal di Hiang-jit-hong (jalan matahari)," sahut Peng-ci. "Kemudian pindah ...."
"Hiang-jit-hong, Hiang-jit-hong!" sela Gak Put-kun. "Hiang-jit-kui adalah nama lain dari bunga matahari. Jika demikian agaknya Hiang-jit-hong itu pun bernama Kui-hoa-kang."
"Ya, boleh jadi begitu," sahut Peng-ci. "Mungkin usia Tecu masih terlalu kecil sehingga tidak tahu nama lain daripada Hiang-jit-hong itu. Sebab sejak perusahaan pengawalan kami berkembang dengan besar, lalu kakek membangun gedung perusahaan yang dijadikan untuk tempat tinggal pula."
"Ya, tentu begitulah," kata Gak Put-kun.
"Menurut pesan ayahmu, barang apakah yang dikatakan benda yang berada di tempat tinggal lama itu?" tanya Gak-hujin.
"Hal ini boleh dibicarakan nanti saja," tiba-tiba Put-kun menyela. Lalu katanya kepada Peng-ci dan Leng-sian, "Kalian berdua boleh temani Toasuko, bila penyakitnya ada perubahan hendaklah lekas lapor padaku."
Kedua muda-mudi itu mengiakan.
Lalu Put-kun mengedipi sang istri, kedua orang lantas kembali ke kamar sendiri. Sesudah tutup pintu kamar, dengan suara berbisik Put-kun berkata, "Sumoay, menurut pikiranmu, benda apakah yang dimaksudkan itu?"
"Benda di tempat tinggal mereka yang lama itu sudah tentu tidak berhitung banyaknya, dari mana bisa mengetahui benda apa yang dimaksudkan?" sahut Gak-hujin.
"Pesannya mengatakan jangan membongkar dan melihatnya bukan?" Put-kun.
Seketika Gak-hujin sadar, serunya, "Ah, benar, tentu maksudnya 'Pi-sia-kiam-boh' keluarga mereka itu?"
"Tapi kalau yang dimaksudkan adalah 'Pi-sia-kiam-boh', mengapa pada waktu ajalnya Lim Cin-lam memberi pesan wanti-wanti agar jangan sekali-kali membuka dan melihatnya, kalau tidak pasti akan mendatangkan bencana?"
"Teka-teki ini tidak sukar ditebak," ucap Gak-hujin. "Bukankah 'Pi-sia-kiam-hoat' keluarga Lim mereka teramat jamak dan tiada artinya, sekalipun berhasil melatihnya juga tidak cukup untuk menghalau musuh tangguh, sebaliknya malah akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri. Sebab itulah Lim Cin-lam menyuruh putranya menjaga baik-baik benda pusaka leluhur dan melarangnya untuk belajar karena pengalaman selama hidup sendiri itu sudah menjadi bukti yang nyata."
Put-kun merenungkan pendapat sang istri dan tidak memberi tanggapan apa-apa.
Gak-hujin tahu dalam segala hal sang suami jauh lebih paham daripada dirinya, melihat suaminya tidak membenarkan juga tidak menyanggah uraiannya ia menduga besar kemungkinan pendapatnya tadi kurang tepat. Maka ia lantas tanya pula, "Habis sebenarnya bagaimana persoalannya" Ai, engkau ini memang suka main simpan rahasia, lekas menerangkan."
"Aku sendiri pun tidak paham bagaimana persoalan yang sebenarnya," sahut Gak Put-kun. "Buyut Peng-ci bernama Lim Wan-tho, dahulu malang melintang dan jarang ada tandingan di dunia Kangouw, ilmu pedang yang diandalkan olehnya 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim mereka, kisah ini turun-temurun selalu menjadi buah bibir para tokoh Jing-sia-pay, guru Ih Jong-hay yang bernama Tiang-jing-cu juga dikalahkan olehnya, maka dapat dibayangkan Pi-sia-kiam-hoat yang tulen pasti tidak sejelek seperti apa yang dipahami Lim Peng-ci sekarang."
"Kan aneh, kalau bukan Pi-sia-kiam-hoat yang dimaksudkan, lalu mengenai apa?" ujar Gak-hujin.
Gak Put-kun mengeluarkan sebuah kotak besi dari bawah bantal, tutup kotak itu dibuka dan dikeluarkannya sejilid buku bertulis linen.
Keruan Gak-hujin tambah heran, katanya, "Apa barangkali keluarga Lim mereka juga memiliki 'Ci-he-pit-kip' (kitab rahasia ilmu sakti pelangi ungu)?"
Put-kun tersenyum, jawabnya, "Kitab Ci-he-pit-kip ini adalah pusaka yang dirahasiakan dari perguruan kita, mana mungkin dipunyai oleh orang lain?"
Ia lantas membalik halaman terakhir dari kitab itu, ditunjukkannya 16 huruf paling akhir dari halaman itu dan berkata, "Coba baca!"
Gak-hujin memandang ke arah yang ditunjuk itu, terlihat ke-16 huruf yang dimaksudkan itu, arti huruf-huruf itu adalah, "Ci-he-pit-kip, pengantar permulaan pemupukan dasar. Kui-hoa-po-tian, tingkatan tertinggi paling sempurna!"
Sebagai sesama saudara seperguruan, meski Gak-hujin tidak pernah diberi lihat kitab pusaka itu oleh guru mereka, tapi sesudah kawin dengan Gak Put-kun, sebagai suami istri dengan sendirinya tiada sesuatu pula yang perlu dirahasiakan, maka sudah beberapa kali Gak-hujin membaca isi kitab itu.
Cuma pantangan pada waktu melatih Ci-he-sin-kang itu terlalu banyak, kemajuannya juga sangat lambat, hal ini tidak cocok dengan sifat Gak-hujin yang tidak sabaran, maka ia cuma berlatih beberapa bulan saja, lalu tidak diteruskan.
Ke-16 huruf itu juga sudah lama dibacanya, tatkala mana ia pun berpikir, "Melulu Ci-he-pit-kip yang merupakan pengantar ilmu pemupukan dasar saja sukar dilatih, apalagi hendak meyakinkan isi 'Kui-hoa-po-tian' (kitab mestika bunga matahari) yang merupakan tingkatan tertinggi dan paling sempurna?"
Lantaran tidak tertarik, maka apa yang pernah dibacanya itu pun lantas dilupakan olehnya. Sekarang sang suami justru memperlihatkan tulisan itu, tiba-tiba pikirannya tergerak, maka katanya cepat, "Kui-hoa-po-tian" Apakah mungkin Kui-hoa-kang di kota Hokciu ada sangkut pautnya dengan Kui-hoa-po-tian" Apakah di dunia ini benar-benar ada kitab mestika Kui-hoa-po-tian?"
Dengan sikap sungguh-sungguh Gak Put-kun berkata, "Ci-he-pit-kip ini adalah tulisan tangan leluhur perguruan kita, setiap huruf dan setiap kalimatnya telah kupelajari dengan teliti, di dalamnya memang mencakup ilmu ajaib yang tiada terbatas. Ke-16 huruf di halaman terakhir ini pun, serupa dengan huruf-huruf isi kitab yang lain, kuyakin pasti bukan omong kosong dan palsu."
Gak-hujin menghela napas, katanya, "Seumpama di dunia ini benar ada kitab Kui-hoa-po-tian, tentu isinya sangat mukjizat dan sukar dipelajari dengan sempurna."
"Untuk ini ...." mendadak Gak Put-kun tidak melanjutkan lagi ucapannya.
"Suko," kata Gak-hujin, "bila kawanan siluman itu sudah mengatur muslihat keji demikian pasti mereka mati-matian akan datang lagi, bila sampai terjadi sesuatu, bukankah ...."
"Ya, dengan kekuatan kita berdua paling-paling hanya dapat melawan mereka berdua dengan sama kuatnya, bila melawan keroyokan mereka bertiga sudah pasti akan kalah, apalagi kalau mereka berlima maju sekaligus, terang kita tidak mampu melawan."
Sebenarnya Gak-hujin juga merasa suami-istri mereka bukan tandingan kelima siluman itu, tapi ia tahu akhir-akhir ini sejak sang suami berhasil menyempurnakan Ci-he-sin-kang, kekuatan sang suami sudah maju luar biasa, betapa pun ia masih berharap kalau-kalau dapat mengatasi musuh. Sekarang demi mendengar pengakuan sang suami yang terus terang itu, seketika ia menjadi gelisah, katanya, "Lalu bagaimana ... bagaimana baiknya" Masakah kita hanya berpeluk tangan menanti ajal saja?"
"Sumoay," kita Put-kun, "hendaknya jangan khawatir. Seorang laki-laki sejati harus berani melihat kenyataan, bisa maju dan berani mundur. Kalah atau menang tidak ditentukan dalam pertarungan sesaat-dua saat saja."
"Jadi kau maksudkan kita lebih baik melarikan diri?" tanya Gak-hujin.
"Bukan lari," sahut Put-kun, "melainkan menghindarnya untuk sementara. Musuh berjumlah banyak, sebaliknya kita suami-istri hanya berdua, cara bagaimana kita mampu melawan kerubutan mereka berlima" Padahal engkau sudah membunuh salah seorang siluman itu, sesungguhnya kita sudah di pihak yang menanti, andaikan sekarang kita menghindar untuk sementara juga tidak merosotkan derajat siapa pun juga, rasanya orang luar juga takkan mengetahui kejadian ini."
Kuda Binal Kasmaran 2 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 6