Pencarian

Hina Kelana 14

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 14


"Meski telah kubunuh seorang di antara mereka, tapi jiwa anak Tiong juga terancam bahaya, maka paling-paling cuma dianggap seri saja," kata Gak-hujin. "O, anak Tiong ...."
Sejak kecil Lenghou Tiong berada di bawah asuhannya hingga dewasa, maka nyonya Gak anggap anak muda itu seperti anak kandung sendiri. Teringat jiwanya terancam bahaya, tanpa terasa timbul lagi kesedihannya, katanya dengan suara parau, "Suko, aku akan menurut padamu, bolehlah kita membawa serta anak Tiong, perlahan kita dapat menyembuhkan dia."
Gak Put-kun diam saja tanpa menjawab.
"Apakah kita tak dapat membawa serta anak Tiong?" Gak-hujin menegas.
"Luka anak Tiong teramat parah, jika dia dibawa serta dalam perjalanan cepat, tentu tidak sampai satu jam jiwanya akan amblas," kata Put-kun.
"Lantas ba ... bagaimana baiknya" Apakah benar tiada cara yang baik untuk menyelamatkan jiwanya?" tanya Gak-hujin setengah meratap.
Gak Put-kun menghela napas, katanya, "Ai, dengan tulus tempo hari aku hendak mengajarkan Ci-he-sin-kang padanya, siapa duga secara kebetulan entah sebab apa dia memainkan ilmu pedang yang aneh, ia tersesat menuju ke jalan yang dianut kaum Kiam-cong (sekte yang mengutamakan ilmu pedang melulu) sehingga aku membatalkan maksudku mengajarkan ilmu sakti itu padanya. Coba kalau sejak tempo hari dia mulai belajar Ci-he-sin-kang, walaupun baru dua-tiga halaman saja yang dapat dipahami, tentu juga sekarang dia dapat mengadakan penyembuhan bagi dirinya sendiri dan takkan teralang oleh dua arus hawa murni yang aneh itu."
Mendadak Gak-hujin berbangkit, katanya "Suko, urusan masih belum terlambat. Sekarang juga engkau dapat mengajarkan Ci-he-sin-kang padanya. Sekalipun dia dalam keadaan payah dan sukar memahami seluruh ilmu sakti itu toh akan lebih baik daripada sama sekali tidak melatihnya."
"Sumoay," kata Put-kun dengan suara halus sambil menarik tangan sang istri, "kecintaanku terhadap anak Tiong tiada ubahnya seperti dirimu. Namun, coba kau pikirkan lagi, jika sekarang aku menyerahkan Ci-he-pit-kip kepadanya, padahal tidak lama lagi kelima musuh akan datang kembali ke sini, dengan sendirinya anak Tiong tidak sanggup menjaga diri dan kitab pusaka Hoa-san-pay kita yang tiada taranya ini bukankah akan jatuh ke tangan musuh dengan mudah" Bilamana kawanan siluman itu sampai berhasil meyakinkan Lwekang golongan kita, bukankah akan mirip harimau tumbuh sayap dan akan mendatangkan bencana besar bagi dunia persilatan" Jika demikian ini terjadi, tentu aku Gak Put-kun akan berdosa besar bagi sesama kawan persilatan kita."
Bab 39. Gak Put-kun Buron Bersama Keluarga
Gak-hujin tidak dapat menyangkal pendapat sang suami itu, saking cemasnya tanpa terasa air matanya meleleh.
Segera Gak Put-kun berkata pula, "Tingkah laku kawanan siluman itu sukar diraba dan tak menentu, daripada nanti terlambat, marilah sekarang juga kita lantas berangkat."
Habis berkata ia terus masukkan Ci-he-pit-kip ke dalam baju dan melangkah keluar.
Ternyata Gak Leng-sian sudah menunggu di luar pintu, segera ia menyapa, "Ayah, keadaan Toasuko tampaknya ... tampaknya sukar ditolong lagi."
"Bagaimana keadaannya?" Put-kun menegas.
"Dia ... dia mengigau tak keruan, pikirannya makin tidak jernih," kata si nona.
"Apa yang dia igaukan?" tanya Put-kun.
Muka si nona menjadi merah, sahutnya kemudian, "Entah, aku pun tidak paham apa arti igauannya itu."
Kiranya Lenghou Tiong yang tersiksa oleh bergolaknya enam arus hawa panas yang disalurkan Tho-kok-lak-sian itu, pikirannya terkadang jernih dan lain saat samar-samar dan tidak sadarkan diri. Suatu ketika demi dilihatnya Leng-sian berdiri di depannya, tanpa terasa ia berkata, "O, Siausumoay, alangkah aku me ... merindukan dikau! Apakah engkau telah mencintai Lim-sute, maka ... maka tidak mau menggubris padaku lagi?"
Sama sekali Leng-sian tidak mengira sang Toasuko dapat mengutarakan perasaannya itu di hadapan Lim Peng-ci yang saat itu juga berada di situ, keruan wajahnya berubah merah jengah dan merasa kikuk.
Bahkan terdengar Lenghou Tiong berkata pula, "Siausumoay, sejak kecil kita dibesarkan bersama, berlatih ilmu silat bersama, sungguh aku tidak ... tidak tahu di mana aku bersalah padamu. Jika kau marah padaku, silakan memaki atau memukul aku, sekalipun kau tusuk badanku dengan pedangmu juga aku takkan mengeluh. Hanya saja janganlah begitu dingin padaku, bahkan tidak menggubris padaku!"
Apa yang diucapkannya itu memang sudah lama terkandung dalam sanubarinya, selama beberapa bulan itu entah sudah berapa kali dipikirkan olehnya. Bila sadar tentu dia takkan berani mengutarakan perasaannya sekalipun berada sendirian bersama Leng-sian. Tapi sekarang pikirannya dirasakan melayang-layang entah berada di mana, segala pantangan antara muda-mudi sudah tak teringat lagi olehnya, maka tanpa aling-aling segala apa yang terkandung di lubuk hatinya telah dikeluarkan seluruhnya.
Keruan Peng-ci juga merasa kikuk, dengan suara perlahan ia berkata kepada Leng-sian, "Biar aku keluar sebentar."
"Jangan, boleh kau yang menjaga Toasuko saja," seru Leng-sian sambil mendahului lari keluar kamar. Ketika sampai di luar kamar ayah-bundanya, kebetulan ia dapat mendengar pembicaraan ayah-ibunya tentang penyembuhan luka Lenghou Tiong dengan bantuan Ci-he-sin-kang tadi.
Begitulah Gak Put-kun lantas berkata kepada Leng-sian, "Boleh sampaikan perintahku agar semua orang berkumpul di ruang Co-kong-tong."
Leng-sian mengiakan. "Dan bagaimana dengan Toasuko, siapa yang harus menjaganya?" tanyanya.
"Boleh suruh Tay-yu saja yang menjaganya," sahut Put-kun.
Segera Leng-sian pergi menyampaikan perintah ayahnya itu. Maka hanya sebentar saja semua murid Hoa-san-pay sudah berkumpul di ruang pendopo, mereka berdiri berjajar menurut urutannya masing-masing. Gak Put-kun sendiri duduk di kursi tengah, istrinya duduk di sebelah samping.
Dalam hubungan suami-istri mereka memang sederajat, tapi sekarang berada di ruang upacara resmi Gak Put-kun adalah pejabat ketua, dengan sendirinya sang istri terhitung bawahan dan harus duduk di samping.
Sekilas pandang Gak Put-kun melihat seluruh muridnya hadir semua kecuali Liok Tay-yu dan Lenghou Tiong. Segera ia berkata, "Di antaranya tokoh-tokoh angkatan tua golongan kita ada sementara orang yang tersesat ke jalan yang tidak benar, yang mereka utamakan adalah latihan ilmu pedang melulu dan meremehkan berlatih Khikang. Mereka tidak mau tahu bahwa setiap ilmu silat paling tinggi di dunia ini pasti mempunyai alas dasar Khikang yang kuat, jika Khikang kurang sempurna, betapa pun bagusnya ilmu pedang yang dilatihnya juga sukar mencapai puncak yang paling sempurna.
"Sungguh sayang para Locianpwe itu tetap tidak mau sadar dan meneruskan cara mereka serta mendirikan sekte pedang sendiri, pertentangan antara sekte pedang dan sekte hawa kita sudah berlangsung selama puluhan tahun, sudah tentu hal ini sangat mengganggu perkembangan Hoa-san-pay kita."
Habis berkata ia lantas menghela napas panjang.
Diam-diam Gak-hujin mendongkol. Sebentar lagi kelima siluman itu mungkin akan tiba, tapi sang suami masih mengobrol tentang kejadian masa lampau dengan seenaknya. Ia melirik sang suami, tapi tidak berani menimbrung.
Dalam pada itu Gak Pun-kun lagi menyambung, "Meski pertengkaran antara kedua golongan sangat keras, tapi yang benar tetap benar. Tiga puluh tahun yang lalu sekte pedang telah mengalami kekalahan habis-habisan sehingga terpaksa mengundurkan diri dari Hoa-san-pay kita, sejak itu aku diangkat sebagai pejabat ketua sampai kini tanpa mengalami sesuatu alangan apa pun.
"Tak terduga beberapa hari yang lalu tiba-tiba datang murid buangan golongan kita dari sekte pedang yang bernama Hong Put-peng, Seng Put-yu dan lain-lain, entah dengan cara bagaimana mereka berhasil menipu Co-bengcu dari perserikatan Ngo-gak-kiam-pay kita, dengan membawa panji kebesaran Co-bengcu mereka sengaja datang hendak merebut kedudukan ketua Hoa-san-pay dari tanganku.
"Setelah menjabat sekian lama dan banyak mengalami persoalan rumit sesungguhnya aku pun sudah lama ingin mengundurkan diri dan menyerahkan tempat ketua ini kepada orang yang lebih bijaksana, sekarang ada orang mau menggantikan aku sebenarnya itulah sangat kuharapkan."
Tiba-tiba Ko Kin-beng membuka suara, "Suhu, murid buangan dari sekte pedang seperti Hong Put-peng itu sudah lama tersesat ke jalan yang jahat, mereka tiada bedanya seperti anggota Mo-kau. Andaikan mereka minta masuk kembali ke perguruan kita saja harus ditolak, mana boleh membiarkan mereka secara sembrono mengoper jabatan ketua kita ini. Jika hal ini sampai terjadi, bukankah Hoa-san-pay kita akan hancur dalam sekejap saja?"
"Ya, sekali-kali kita tidak boleh tinggal diam, tipu muslihat kawanan jahanam itu harus digagalkan," dukung Lo Tek-nau, Si Cay-cu dan lain-lain.
Melihat anak muridnya sama penasaran dan tegas menolak maksud jahat musuh, dengan tersenyum Put-kun menyambung pula, "Tentang jabatan ketua ini sebenarnya adalah soal kecil bagiku. Tapi kalau golongan pedang itu dibiarkan memimpin perguruan kita, tentu ilmu silat Hoa-san-pay yang terkenal selama ratusan tahun ini akan hancur dalam waktu singkat, lalu cara bagaimana kita harus bertanggung jawab kepada para leluhur perguruan bila kita sudah mati" Sedangkan nama baik Hoa-san-pay selanjutnya tentu juga takkan dihormati lagi oleh sesama kawan Kangouw."
"Ya, ucapan Suhu memang benar," kata Tek-nau dan lain-lain.
"Kalau melulu Hong Put-peng dan beberapa kawannya dari sekte pedang saja sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, cuma mereka sudah mendapatkan panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay, mereka bersekongkol pula dengan jago-jago Ko-san-pay. Heng-san-pay, Thay-san-pay dan Hing-san-pay, hal inilah yang tidak boleh kita remehkan, sebab itulah ...."
Sampai di sini sorot mata Gak Put-kun menyorot sekeliling anak muridnya, lalu menyambung, "Besok juga kita lantas berangkat ke Ko-san untuk menemui Co-bengcu, kita akan menuntut kebenaran dan minta keadilan padanya."
Mendengar demikian, Lo Tek-nau dan lain-lain sama terkesiap. Mereka tahu Ko-san-pay adalah kepala dari Ngo-gak-kiam-pay, serikat aliran ilmu pedang dari lima pegunungan. Ketua Ko-san-pay bernama Co Leng-tan bahkan adalah tokoh nomor satu di dunia persilatan pada zaman ini, selain ilmu silatnya sangat hebat, orangnya juga kaya akan tipu akal, setiap orang Kangouw bila mendengar nama "Co-bengcu" tentu merasa jeri dan segan.
Sekarang sang guru menyatakan hendak datang sendiri ke Ko-san untuk minta keadilan, hal ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Sebab mereka pun maklum bilamana "keadilan" yang diminta itu kurang adil tentu akibatnya adalah bergebrak dengan kekerasan.
Maka anak murid Hoa-san-pay itu sama berpikir, "Meskipun ilmu silat Suhu sangat tinggi, tapi juga belum tentu dapat mengalahkan Co-bengcu, apalagi ketua Ko-san-pay itu masih mempunyai belasan orang Sute yang lihai, orang Bu-lim menjuluki mereka sebagai 'Ko-san-cap-thay-po' (tiga belas gembong dari Ko-san). Meski satu di antaranya sudah tewas, yaitu Ko-yang-jiu Hui Pin, sisanya juga masih berjumlah 12 orang dan semuanya adalah jago kelas wahid yang disegani, betapa pun anak murid Hoa-san-pay pasti bukan tandingan mereka. Kalau sekarang pihak sendiri mencari perkara ke Ko-san, bukankah terlalu sembrono seperti ular mencari gebuk?"
Meski anak murid Hoa-san-pay itu sama berpikir demikian, tapi tiada seorang pun berani membuka suara.
Sebaliknya Gak-hujin biarpun berperangai berangasan, namun otaknya sebenarnya tidak bodoh, demi mendengar ucapan sang suami itu diam-diam ia lantas bersorak memuji. Pikirnya, "Akal Suko sungguh sangat bagus. Kalau kita diketahui kabur dari Hoa-san yang merupakan pangkalan asli perguruan sendiri lantaran takut kepada kawanan siluman dari lembah Tho itu, kelak tentu akan ditertawai oleh sesama orang Kangouw dan pamor Hoa-san-pay pasti akan luntur habis-habisan. Tapi sekarang kalau secara resmi kita datang ke Ko-san hendak menuntut keadilan, hal ini bila diketahui orang luar bahkan kita akan dipuji. Pula Co-bengcu bukanlah manusia yang tidak kenal keadilan, kedatangan kita ke sana tidak perlu bertarung secara mati-matian, paling tidak toh masih ada waktu untuk bicara dan bertindak menurut gelagat."
Maka tanpa pikir lagi ia lantas menyokong maksud sang suami tadi, katanya, "Ya, Hong Put-peng dan begundalnya telah mengacau ke sini dengan membawa panji kebesaran Co-bengcu, bukan mustahil panji itu adalah hasil curian. Seumpama panji itu adalah tulen dan pemberian Co-bengcu, bila soalnya mengenai urusan dalam Hoa-san-pay kita sendiri, meski Ko-san-pay mereka berjumlah lebih banyak, ilmu silat Co-bengcu tiada bandingannya pula, namun Hoa-san-pay kita juga bukan kaum keroco, biar mati pun pantang menyerah. Murid Hoa-san-pay yang bernyali kecil dan pengecut boleh tetap tinggal di sini, tak usah ikut."
Mendengar kata-kata ibu-gurunya ini, sudah tentu tiada seorang pun anak murid Hoa-san-pay mau mengaku sebagai pengecut, serentak mereka menjawab, "Bila guru dan ibu-guru ada perintah, sekalipun masuk lautan api juga Tecu takkan mundur."
"Bagus jika begitu," seru Gak-hujin. "Nah, supaya urusan tidak terlambat sekarang juga kalian lekas berbenah, dalam waktu setengah jam kita lantas berangkat."
Lalu ia pergi menjenguk Lenghou Tiong pula. Murid itu kelihatan kempas-kempis, jiwanya hanya tunggu ajal saja dalam sesaat-dua saat, hati nyonya Gak menjadi pedih. Tapi pada saat menghadapi bencana yang akan menimpa Hoa-san-pay mereka, setiap waktu Tho-kok-ngo-kay (lima siluman lembah Tho) bisa datang, keselamatan Lenghou Tiong seorang tidak boleh mengakibatkan musnahnya orang banyak, terpaksa ia suruh Liok Tay-yu memindahkan Lenghou Tiong ke kamar samping di bagian belakang dan memberi pesan agar menjaganya dengan baik.
Katanya kemudian, "Tay-yu, demi masa depan Hoa-san-pay kita, terpaksa kami berangkat ke Ko-san untuk minta keadilan kepada Co-bengcu, perjalanan ini sangat berbahaya, semoga di bawah pimpinan gurumu nanti dapatlah kita memperoleh kemenangan dan pulang dengan selamat. Keadaan Tiong-ji sangat payah, hendaknya kau dapat menjaganya dengan baik. Bila kedatangan musuh, boleh kalian berusaha menyembunyikan diri, terimalah penghinaan untuk sementara dan tidak perlu membuang nyawa percuma."
Dengan mengembeng air mata Liok Tay-yu mengiakan pesan itu. Dengan hormat ia mengantar keberangkatan rombongan sang guru, ibu guru dan para Suheng dan Sutenya, kemudian ia kembali ke pondok tempat berbaring Lenghou Tiong yang tak berkutik itu.
Puncak Hoa-san seluas itu sekarang hanya tertinggal dirinya sebatang kara bersama sang Toasuko dalam keadaan tak sadar. Tampaknya cuaca sudah mulai suram mendekat petang, mau tak mau timbul juga rasa jerinya.
Ia coba pergi ke dapur untuk memasak bubur, sesudah itu ia membawa semangkuk bubur ke kamar, ia memayang bangun Lenghou Tiong dan menyuapinya dua ceguk.
Cegukan ketiga ternyata disembur keluar oleh Lenghou Tiong, bubur yang berwarna putih itu tampak bersemu merah, kiranya darah ikut tersembur keluar.
Liok Tay-yu sangat khawatir, ia rebahkan kembali sang Toasuko dan menaruh mangkuk bubur itu di atas meja. Ia termangu-mangu memandang keluar jendela yang gelap gulita. Tiba-tiba terdengar suara burung hantu yang mengerikan berkumandang dari kejauhan.
Diam-diam Tay-yu membatin, "Menurut cerita orang, katanya bunyi burung hantu pada waktu malam adalah sedang menghitung bulu alis orang sakit, bila jumlah bulu alis terhitung jelas olehnya tentu orang sakit itu akan mati."
Maka cepat ia gunakan jarinya yang dibasahi dengan air ludah untuk memoles alis Lenghou Tiong agar burung hantu sukar menghitung bulu alisnya.
Namun bunyi burung hantu itu masih terus terdengar, di tengah malam yang sunyi itu Liok Tay-yu tambah ngeri, tanpa terasa ia pun memoles alis sendiri dengan air ludah.
Pada saat itulah dari jauh tiba-tiba terdengar suara tindakan orang yang enteng. Cepat Tay-yu meniup padam api pelita dan melolos pedang serta berjaga di samping Lenghou Tiong.
Suara tindakan orang itu makin sama makin mendekat, ternyata arah yang dituju adalah pondok kecil ini. Keruan hati Liok Tay-yu berdebar-debar tegang. Katanya di dalam hati, "Celaka! Musuh ternyata mengetahui Toasuko sedang dirawat di sini. Wah, cara bagaimana aku harus melindungi keselamatan Toasuko?"
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara seorang wanita sedang memanggil dengan suara tertahan, "Lak-kau-ji, apakah kau berada di dalam rumah?"
Di luar dugaan, kiranya adalah suara Gak Leng-sian.
Keruan Tay-yu sangat girang, cepat ia menjawab, "Apakah Siausumoay di situ" Ya, aku ... aku berada di sini."
Lekas Tay-yu mengetik api untuk menyalakan pelita, saking keburunya sampai minyak pelita itu tersampuk dan tertumpah.
Sementara itu Leng-sian telah mendorong pintu dan melangkah masuk, tanyanya cepat, "Bagaimana dengan Toasuko?"
"Banyak tumpah darah pula," sahut Tay-yu.
Leng-sian mendekati tempat tidur dan coba meraba dahi Lenghou Tiong, ternyata panasnya luar biasa, tangan seperti terbakar rasanya. "Lak-kau-ji, kenapa tidak mengusap darah di pinggir mulut Toasuko ini?" katanya kemudian.
Tay-yu mengiakan dan lekas-lekas mengeluarkan saputangan.
Tapi Leng-sian lantas mengambil saputangannya, perlahan ia membersihkan darah yang berlepotan di tepi mulut Lenghou Tiong.
"Teri ... terima kasih Siausumoay," mendadak Lenghou Tiong membuka suara.
Sama sekali Leng-sian tidak mengira Toasuko yang kelihatan tak sadar itu mendadak bisa bicara padanya, dengan kejut dan girang cepat ia menjawab, "Toasuko, bagaimana ... bagaimana keadaanmu?"
"Rasanya isi perutku seperti disayat-sayat oleh ... oleh enam bilah pisau yang tajam," tutur Lenghou Tiong dengan lemah.
Tiba-tiba Leng-sian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari bajunya, katanya dengan suara tertahan, "Toasuko, ini adalah 'Ci-he-pit-kip' kata ayah ...."
"Ci-he-pit-kip?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya," sahut Leng-sian, "kata ayah, di dalam badanmu telah tertanam hawa murni yang aneh dari kawanan siluman itu, untuk memunahkannya harus menggunakan inti Lwekang dari perguruan kita sendiri. Lak-kau-ji, coba membacakan isi kitab pusaka ini kepada Toasuko, bacalah sehuruf demi sehuruf supaya jelas. Tapi awas, kau sendiri tidak boleh ikut meyakinkannya, kalau tidak, bila diketahui ayah, hm, tentu kau sendiri tahu akan akibatnya."
Liok Tay-yu sangat girang, sahutnya, "Ah, orang macam apakah aku ini" Masakah aku berani meyakinkan Lwekang tertinggi dari perguruan kita" Sudahlah Siausumoay jangan khawatir. Demi menolong jiwa Toasuko, tanpa segan Suhu sudi menurunkan kitab pusaka ini kepadanya, sekali ini Toasuko pasti dapat diselamatkan."
"Hal ini jangan sekali-kali kau beri tahukan orang lain," pesan Leng-sian. "Kitab ini bukan pemberian ayah, tapi aku mencurinya dari bawah bantal ayah."
"Hah, jadi kau ... mencuri?" seru Tay-yu terkejut. "Yah, jika diketahui Suhu lantas ... lantas bagaimana?"
"Bagaimana apa" Masakah aku akan dibunuh olehnya?" ujar Leng-sian. "Paling-paling aku akan didamprat dan boleh juga dihajar babak belur. Tapi kalau dapat menyelamatkan Toasuko, bila ayah-ibu menjadi senang, bisa jadi semuanya takkan diusut dan tak menjadi soal lagi bagi mereka."
"Ya, ya, memang paling penting selamatkan Toasuko lebih dulu, urusan belakang," sahut Liok Tay-yu.
Mendadak Lenghou Tiong membuka suara, "Siausumoay, bawa ... bawa kepada Suhu."
"Sebab apa?" tanya Leng-sian heran. "Dengan susah payah aku membawa kitab pusaka ini dengan menempuh jalan pegunungan puluhan li jauhnya di tengah malam buta dan memburu kembali ke sini, tapi engkau berbalik tidak mau terima" Ini toh bukan mencuri belajar, tapi menyelamatkan jiwamu."
"Ya, Toasuko, kau pun tidak perlu meyakinkan selengkapnya, latih saja secukupnya asal dapat memunahkan hawa jahat dalam tubuhmu, kemudian kitab pusaka ini dapat dikembalikan lagi kepada Suhu, tatkala mana boleh jadi Suhu akan mewariskan sekalian kitab pusaka ini kepadamu. Memangnya engkau adalah murid pewaris perguruan kita, kepada siapa Ci-he-pit-kip ini akan diwariskan kalau bukan kepadamu" Hal ini hanya soal waktu saja, apa alangannya jika engkau melatihnya sekarang?"
"Tidak, biar ... biar mati pun aku tidak mau melanggar perintah Suhu. Sudah pernah Suhu mengatakan bahwa ... bahwa aku tidak dapat belajar Ci-he-sin-kang ini. Maka dari itu, Siausumoay ...."
Hanya sampai di sini mendadak napas Lenghou Tiong menjadi sesak lagi dan jatuh pingsan pula.
Leng-sian coba memeriksa sang Toasuko, terasa panas, katanya kepada Liok Tay-yu, "Sedemikian dia mati tanpa menolongnya" Aku harus cepat kembali pula ke sana sebelum fajar tiba agar tidak dicari oleh ayah-ibu. Hendaknya kau bujuk Toasuko, betapa pun kuharap dia suka menuruti permintaanku dan berlatihlah isi Ci-he-pit-kip ini. Jangan sia-siakan ...."
Sampai di sini mukanya menjadi merah, lalu melanjutkan, "Jangan sia-siakan jerih payahku lari-lari semalaman ini."
"Baik, tentu akan kubujuk dia," sahut Tay-yu, "Siausumoay, sekarang rombongan Suhu bermalam di mana?"
"Di hotel kecil di Pek-ma-tik (nama kota)," sahut Leng-sian.
"Itu sudah menjauh 50-an li," kata Tay-yu. "Di tengah malam buta kau lari pulang-pergi sejauh ratusan li, hal ini pasti takkan dilupakan oleh Toasuko selamanya."
Mata si nona menjadi merah terharu, katanya, "Yang kuharap adalah selekasnya Toasuko bisa cepat kembali. Tentang dia tetap ingat atau tidak pada kejadian ini tidak dipikirkan."
Habis berkata ia menaruh "Ci-he-pit-kip" di ujung ranjang Lenghou Tiong, dipandangnya pemuda itu sejenak lalu ia berlari keluar.
Kira-kira hampir satu jam kemudian barulah Lenghou Tiong mendusin. Waktu ia buka mata segera ia berseru, "Siau ... Siausumoay!
"Siausumoay sudah pergi," sahut Liok Tay-yu.
"Sudah pergi?" teriak Lenghou Tiong. Mendadak ia bangkit duduk, baju dada Liok Tay-yu terus dijambret olehnya.
Keruan Tay-yu terperanjat, katanya, "Ya, Siausumoay sudah turun gunung, katanya ... katanya kalau sebelum fajar menyingsing tidak berada di rumah penginapan sana, tentu akan membikin khawatir Suhu dan Sunio. Toasuko, hendaknya berbaring dan mengaso saja."
Namun jawaban Liok Tay-yu itu seperti tidak didengar oleh Lenghou Tiong, ia bergumam sendiri, "Dia ... dia sudah pergi" Dia ... dia bersama Lim-sute?"
"Siausumoay berada bersama guru dan ibu guru," Tay-yu menambahkan.
Akan tetapi kedua mata Lenghou Tiong terbelalak dan menatap kaku ke depan, kulit mukanya tampak berkerut-kerut. Tay-yu menjadi takut, ia tidak berani meronta meski dadanya masih dicengkeram oleh Lenghou Tiong, terpaksa ia berkata dengan suara perlahan, "Toasuko, sesungguhnya Siausumoay sangat memerhatikan keselamatanmu, tengah malam buta dia lari pulang ke sini dari Pek-ma-tik, seorang nona cilik sebagai dia telah lari pulang pergi ratusan li, betapa perasaannya terhadapmu dapatlah dibayangkan. Sebelum pergi dia juga memberi pesan wanti-wanti agar bagaimanapun juga engkau harus mempelajari kitab Ci-he-pit-kip ini dan jangan ... jangan menyia-nyiakan maksud baiknya padamu."
"Dia berkata demikian?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya, masakan aku berani dusta?" sahut Tay-yu.
Tenaga Lenghou Tiong sudah sangat lemah, ia tidak tahan lagi dan roboh berbaring pula. Walaupun batok kepala belakang kebentur balai-balai, tapi tak dirasakan sakit lagi.
Segera Liok Tay-yu berkata pula, "Toasuko, biar kubacakan isi kitab ini."
Lalu ia ambil Ci-he-pit-kip itu dan membuka halaman pertama, ia mulai membacanya kalimat demi kalimat ....
"Kau sedang membaca apa?" tiba-tiba Lenghou Tiong bertanya.
"Ini adalah bab pertama dari Ci-he-pit-kip," sahut Tay-yu. "Seterusnya tertulis ...."
Begitulah ia lantas melanjutkan pula membaca isi kitab pusaka itu.
Di luar dugaan Lenghou Tiong menjadi gusar, serunya, "Ini adalah rahasia perguruan kita yang tak boleh diajarkan kepada siapa pun, kau berani sembarangan membacanya dan melanggar hukum perguruan kita yang paling keras" Ayo, lekas simpan kembali kitab itu!"
"Toasuko," kata Liok Tay-yu, "seorang laki-laki sejati harus dapat menyesuaikan diri menurut keadaan. Sekarang yang paling penting adalah menyelamatkan engkau, segala urusan boleh dikesampingkan dahulu. Biar kubacakan lagi ...."
Lenghou Tiong hanya mendengarkan beberapa kalimat saja lantas tahu kitab asli "Ci-he-pit-kip". Seberapa kalimat di antaranya dahulu pernah didengarnya dari pembicaraan guru dan ibu gurunya, cuma dia tidak paham apa artinya. Sekarang sesudah kepandaian dirinya tambah tinggi dan mendengar pula kalimat pendahuluan dalam kitab pusaka itu barulah diketahui bahwa kalimat-kalimat itu sebenarnya adalah kunci latihan Lwekang tertinggi dari perguruan sendiri.
"Tutup mulut!" mendadak ia membentak.
Tay-yu melengak, ia pandang Lenghou Tiong dengan heran, katanya, "Toasuko, ada ... ada apakah?"
"Sungguh aku merasa tidak enak sekali mendengarmu membaca isi kitab pusaka milik Suhu itu," kata Lenghou Tiong dengan gusar. "Apakah kau sengaja hendak menyeret aku agar menjadi seorang yang tidak setia dan tidak berbudi ya?"
"Tidak, tidak, mengapa bisa dianggap tidak setia dan tidak berbudi?" sahut Tay-yu bingung.
"Kitab pusaka ini tempo hari pernah dibawa oleh Suhu ke puncak perenung dosa dan bermaksud diajarkan padaku," kata Lenghou Tiong. "Tapi kemudian beliau mengetahui bahwa jalan latihan silatku telah sesat, bakatku juga tidak cocok, maka beliau telah mengubah maksudnya semula ...."
Sampai di sini napasnya sudah tersengal-sengal dan rasanya sangat payah.
"Tapi sekarang soalnya demi untuk menyelamatkan jiwamu dan bukan sengaja mencuri belajar, apakah ... alangannya?" ujar Liok Tay-yu.
"Sebagai murid orang, apakah jiwa sendiri lebih penting atau mesti mengutamakan keputusan Suhu?" tanya Lenghou Tiong.
"Tapi Suhu dan Sunio ingin engkau diselamatkan, ini adalah urusan yang paling penting, apalagi ... apalagi Siausumoay semalam suntuk telah berlari kian kemari dengan susah payah, cintanya padamu ini, Toasuko, apakah dapat kau sia-siakannya?"
Lenghou Tiong menjadi terharu, air mata hampir-hampir menitik, lekas ia putar mukanya ke sebelah dalam, katanya, "Justru karena dia yang membawa un ... untukku, aku Lenghou Tiong seorang laki-laki sejati, masakah harus menerima belas kasihan orang?"
Sesudah kata-kata itu terucapkan, tanpa terasa badannya bergetar. Pikirnya, "Ah, kiranya dalam lubuk hatiku diam-diam dendam dan benci pada hubungan baik antara Siausumoay dan Lim-sute, sebaliknya ia bersikap dingin padaku. Wah, Lenghou Tiong, mengapa jiwamu begini sempit?"
Namun bila teringat bahwa besok juga Gak Leng-sian sudah akan berkumpul pula dengan Lim Peng-ci dan sepanjang jalan menuju ke Ko-san mereka tentu akan bergaul dengan lebih akrab, tanpa terasa pedih juga hatinya.
"Toasuko, mengapa engkau berpikir tak keruan?" kata Liok Tay-yu, "Sejak kecil engkau dibesarkan bersama Siausumoay, kalian ... kalian berdua laksana saudara sekandung saja ...."
"Aku justru tidak ingin seperti saudara sekandung dengan dia," demikian kata Lenghou Tiong di dalam hati. Sudah tentu perasaan demikian tidak diucapkannya.
Dalam pada itu terdengar Liok Tay-yu sedang menyambung pula, "Biar kubacakan lagi isi Ci-he-pit-kip ini, harap Toasuko mendengarkan dengan baik, bila sukar diingat, boleh aku mengulangi lagi ...."
"Tidak, jangan membacanya," bentak Lenghou Tiong dengan bengis.
"Toasuko," kata Liok Tay-yu, "demi untuk menyembuhkan penyakitmu selekasnya, hari ini terpaksa aku membangkang perintahmu. Ya, biar berdosa melanggar peraturan perguruan juga kupikul semua. Engkau berkeras tidak mau mendengarkan isi kitab ini, akulah yang paksa dan sengaja membaca bagimu. Jadi engkau sendiri sama sekali tidak menjamah kitab pusaka ini, apa yang tertulis di dalam kitab juga tidak pernah kau baca sendiri, dengan demikian apakah dosamu" Kalau salah, akulah Liok Tay-yu yang bersalah karena aku yang paksa engkau berlatih. Nah, dengarkan ...."
Hendak menolak mendengarkan namun tiap huruf dan tiap kalimat yang dibaca Liok Tay-yu itu toh terus menyusup ke dalam telinganya. Saat itu keenam arus hawa aneh masih terus bergolak di dalam tubuh Lenghou Tiong, ia benar-benar tak bisa mengatasi lagi.
Tidak lama lagi kalau Liok Tay-yu sudah habis membacakan isi Ci-he-pit-kip itu, walaupun dirinya berkeras tidak mau melatihnya toh akan ikut menanggung dosa lantaran sudah mengetahui rahasia kitab pusaka gurunya. Bahkan kalau dirinya sebentar lagi mati, orang luar yang tidak tahu duduknya perkara tidak mustahil akan menuduh dirinya mati lantaran tidak berhasil meyakinkan Ci-he-sin-kang, hal ini tentu akan dibuat tertawaan orang malah.
"Liok-sute sesungguhnya bermaksud baik ingin menolong aku, namun aku sukar tertolong lagi, aku tidak boleh membikin susah padanya karena mesti menanggung dosa bencana kitab itu," demikian pikir Lenghou Tiong akhirnya. Mendadak ia merintih dengan suara keras.
Tay-yu terkejut. "He, Toasuko, kenapakah?" tanyanya khawatir.
"Coba ... ganjal bantalku supaya ... supaya lebih tinggi sedikit," pinta Lenghou Tiong.
Sambil mengiakan Tay-yu menggunakan kedua tangannya untuk mengganjal bawah bantal sang Toasuko. Di luar dugaan mendadak Lenghou Tiong mengerahkan tenaga dan menutuk tepat Tang-tiong-hiat di dadanya.
Dalam keadaan kedua tangan sedang digunakan untuk mengganjal bantal sehingga dada sama sekali terbuka, pula sama sekali tidak terduga duga bahwa Toasuko yang paling disayang dan dihormati itu bisa mendadak menyerang padanya, sebab itulah biarpun Lenghou Tiong dalam keadaan sakit payah dan tenaga lemah toh sekali tutuk saja kontan Liok Tay-yu roboh terkulai dan tak berkutik lagi.
"Laksute, maaf, terpaksa mesti membikin susah padamu. Boleh berbaring beberapa jam di sini, nanti Hiat-to yang tertutuk tentu ... tentu akan terbuka sendiri," kata Lenghou Tiong dengan tersenyum getir.
Perlahan ia meronta bangun, ia pandang sejenak Ci-he-pit-kip, akhirnya menghela napas dan berjalan perlahan ke samping pintu, ia pegang palang pintu yang terletak di pojok dan digunakannya sebagai tongkat darurat, lalu dengan langkah rada sempoyongan ia menuju keluar.
Keruan Liok Tay-yu sangat gelisah, teriaknya, "Toa ... hen ... ke ...." maksudnya hendak tanya, "Toasuko hendak ke mana?"
Tapi karena Hiat-to penting tertutuk sehingga suaranya tidak lancar. Namun karena tenaga tutukan Lenghou Tiong itu terlalu lemah, maka dia hanya dibikin lemas seketika saja dan tidak sampai lumpuh seluruhnya.
Tiba-tiba Lenghou Tiong menoleh, "Laksute, terpaksa aku akan pergi jauh, makin jauh meninggalkan 'Ci-he-pit-kip' makin baik, agar orang lain tidak dapat melihat mayatku menggeletak di samping kitab pusaka itu, agar aku tidak disangka mati sebelum selesai mencuri belajar ilmu sakti itu ...."
Sampai di sini darah yang bergolak di rongga dadanya tak tertahan lagi dan mendadak tersembur keluar.
Ia tidak berani membuka suara lagi. Ia khawatir kalau sedikit ayal saja, jangan-jangan tenaganya habis dan sukar meninggalkan pondok kecil itu. Segera ia gunakan tongkat darurat itu, selangkah demi selangkah dengan napas terengah-engah ia bertindak ke depan.
Pertama karena usianya masih muda, tenaga kuat, pula dengan penuh tekad, maka perlahan ia masih biasa melangkah pergi walaupun dengan susah payah.
Kira-kira belasan meter jauhnya, ia benar-benar merasa lemah, terpaksa ia bersandar dengan bantuan tongkat untuk bernapas. Sejenak kemudian ia coba melanjutkan langkahnya pula dan begitu seterusnya, sebentar-sebentar terpaksa harus berhenti mengaso.
Sampai hampir satu li jauhnya, terasalah matanya mulai berkunang-kunang dan kepala pusing, bumi dan langit seakan-akan berputar, badan tak kuat lagi dan akan terbanting roboh. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar di tengah semak-semak di depan sana ada suara orang merintih.
Lenghou Tiong terkesiap. Di tengah malam kelam tak bisa melihat siapa yang bersuara itu, tapi ia yakin orang yang berada di puncak Hoa-san kebanyakan adalah kawan dan bukan lawan. Segera ia bertanya, "Siapa itu?"
Terdengar orang itu berteriak menjawab, "Apakah di situ Lenghou Tiong" Aku Dian Pek-kong."
Menyusul terdengar suara rintihan lagi, agaknya kesakitan luar biasa.
Lenghou Tiong terkejut, "He, kiranya Dian ... Dian-heng. Ken ... kenapakah engkau?"
"Aku ... aku hampir mati!" sahut Dian Pek-kong. "Lenghou-heng, kumohon engkau suka membantu aku, aduh ... aduh, lekas ... lekas gunakan pedangmu dan bunuh saja diriku."
Di tengah kata-katanya itu diseling pula suara mengaduh kesakitan, namun suaranya tetap lantang dan keras.
"Apa ... apakah engkau terluka?" tanya Lenghou Tiong. Mendadak kaki sendiri terasa lemas, ia terbanting jatuh di tepi jalan.
Kini Dian Pek-kong yang terkejut. "He, apakah kau pun terluka" Aduh, aduh, sia ... siapakah yang melukaimu!"
"Terlalu panjang untuk diceritakan," sahut Lenghou Tiong lemah. "Dian ... Dian-heng, kau sendiri di ... dilukai siapa?"
"Ai, aku sendiri tidak tahu," sahut Dian Pek-kong.
"Aneh, mengapa tidak tahu?"
"Waktu itu aku sedang berjalan, sekonyong-konyong kedua tangan dan kedua kakiku dipegang orang terus diangkat ke atas. Aku sendiri tidak jelas siapakah yang memiliki kesaktian sedemikian hebat, aduh ... aduh ... sakit ...."
"O, kiranya perbuatan Tho-kok-lak-sian pula," ucap Lenghou Tiong dengan tertawa. "Lukaku ini pun gara-gara ... gara-gara perbuatan mereka. Eh, Dian-heng, bukankah kau pun sehaluan dengan mereka?"
"Sehaluan apa maksudmu?"
"Kau minta aku pergi menemui Gi-lim Siausumoay, dan mereka ... mereka juga datang mengundang aku untuk menemui dia ... dia ...." sampai di sini napas Lenghou Tiong kembali terengah-engah lagi.
Dian Pek-kong merangkak keluar dari semak-semak sana, ia menggeleng kepala dan memaki, "Keparat, sudah tentu aku tidak sehaluan dengan mereka. Katanya mereka datang ke Hoa-san untuk mencari orang, mereka tanya padaku di mana beradanya orang itu. Kutanya mereka siapa yang mereka cari, tapi mereka anggap aku ini tawanan mereka, maka yang berhak tanya adalah mereka dan sebaliknya aku dilarang tanya mereka, jika aku mampu menangkap mereka barulah aku berhak tanya pada mereka. Kata mereka ... aduh ... kata mereka, jika mampu boleh coba menangkap mereka, jika ... jika berhasil tentu aku dapat mengajukan pertanyaan kepada mereka."
Bab 40. Tho-kok-lak-sian Takut kepada Kentut
Lenghou Tiong terbahak-bahak, tapi baru dua-tiga kali mengakak napasnya sudah sesak dan tidak sanggup tertawa lagi.
Maka Dian Pek-kong meneruskan ceritanya, "Saat itu tubuhku terapung di atas, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman mereka, jangankan hendak menangkap mereka segala. Huh, mereka benar-benar mengoceh tak keruan, sialan ...."
"Cara omong dan mau menang sendiri serta ngawur tak habis-habis begitu memang sifat khas Tho-kok-lak-sian," demikian pikir Lenghou Tiong. Lalu ia tanya pula, "Dan bagaimana seterusnya?"
"Lalu aku bilang bahwa aku tidak ingin tanya apa-apa kepada mereka, tapi merekalah yang tanya padaku, 'Lekas lepaskan aku!' pintaku. Namun satu di antara mereka lantas berkata, 'Sekali kami sudah menangkapmu, jika tidak merobekmu menjadi empat potong kan membikin rusak nama besar kami"'
"Seorang lagi berseru, 'Sesudah dia dirobek menjadi empat potong, dia masih dapat bicara tidak"' - 'Sudah tentu tidak dapat bicara lagi. Orang yang pernah kita robek menjadi empat potong sedikitnya berjumlah tiga ratus kalau tidak ada lima ratus. Kapan terjadi yang sudah kita robek masih dapat bicara pula"' bantah kawannya."
Begitulah dengan terputus-putus Dian Pek-kong menceritakan pengalamannya. Meski sudah terluka parah, tapi ia masih ingat sejelasnya percakapan yang tak keruan yang pernah didengarnya itu, boleh jadi lantaran kesannya terlalu mendalam ketika dia kena dibekuk oleh Tho-kok-lak-sian.
"Keenam orang itu benar-benar jarang ditemukan bandingannya di dunia ini," kata Lenghou Tiong gegetun. "Aku ... aku menderita begini pun akibat perbuatan mereka."
"Kiranya Lenghou-heng juga terluka oleh mereka?" Dian Pek-kong terkejut.
"Mereka terus mengoceh dan bertengkar sendiri tak habis-habis, sedangkan badanku terapung di udara, terus terang aku pun merasa takut. Aku merasa mual juga terhadap pertengkaran mereka yang tidak masuk di akal itu. Segera aku berteriak, 'Ayolah, kalau mau tanya lekas tanya, kalau aku terus diangkat begini saja, awas, segera aku akan melepaskan gas racun.'
"Seorang di antaranya tanya padaku, 'Gas racun apa"' - Aku menjawab, 'Kentutku, baunya jangan ditanya lagi, barang siapa mengendus bau kentutku, tanggung tiga hari tiga malam tidak mampu makan, bahkan nasi yang telah kau makan tiga hari yang lalu juga akan tumpah semua. Nah, sudah kuperingatkan lebih dulu, jika kalian tidak menurut masa bodohlah jika nanti kalian kena gas racunku.'."
Lenghou Tiong tertawa, "Haha, ucapanmu ini cukup beralasan juga."
"Ya, memang," seru Dian Pek-kong. "Demi mendengar kata-kataku itu, mendadak keempat orang itu menjerit takut, berbareng mereka membanting tubuhku ke tanah, mereka terus melompat minggir jauh-jauh. Waktu aku merangkak bangun, kulihat ada enam kakek yang sangat aneh, masing-masing sama pencet hidung sendiri, mungkin takut bau kentutku yang kukatakan seperti gas racun itu. Lenghou-heng, apakah maksudmu keenam kakek itu yang disebut Tho-kok-lak-sian?"
"Benar," Sahut Lenghou Tiong. "Ai, sayang aku tidak secerdik Dian-heng, waktu itu tak terpikir olehku untuk menggunakan 'akal kentut' untuk menakutkan mereka. Agaknya tipu akal Dian-heng ini tidak kalah dibandingkan tipu daya Khong Beng di zaman Sam Kok."
"Hehe, maknya," Dian Pek-kong mengumpat sambil mengekek. Lalu katanya pula, "Kutahu keempat orang itu sukar dilawan, celakanya lagi senjataku ketinggalan di puncak gunungmu itu. Segera aku tancap gas hendak mengeluyur pergi. Tak terduga keenam orang yang masih pencet hidung sendiri itu segera mengadang di depanku dengan berjajar serapat dinding.
"Tapi hehe, tiada seorang pun berani berdiri di belakangku, rupanya mereka benar-benar takut pada kentutku yang berbau busuk. Melihat di depan telah dibuntu oleh mereka, segera aku putar tubuh dan berbalik arah, tapi gerak-gerik keenam orang itu benar-benar seperti setan, entah cara bagaimana tahu-tahu mereka sudah mengadang di depanku lagi.
"Sampai beberapa kali aku ganti arah dan tetap tak bisa meloloskan diri. Mendadak aku mendapat akal, aku berjalan mundur setindak demi setindak. Tapi mereka memburu dengan jalan ke depan, sudah tentu aku tak bisa lebih cepat daripada mereka, akhirnya aku terdesak sampai di dinding gunung dan tak bisa bergerak lagi.
"Keenam orang aneh itu sama bergelak tertawa senang, seorang di antara lantas tanya padaku, 'Dia berada di mana"' - Aku balas tanya, 'Siapa yang hendak kalian cari"' - Keenam orang itu serentak berkata, 'Kau telah kami kepung, kau yang harus menjawab pertanyaan kami!' Seorang lagi berkata, 'Jika kau dapat mengepung kami sehingga tak bisa lolos, barulah kau berhak tanya kepada kami. Sekarang kau harus menjawab dan bukan bertanya.'
"Orang yang tadi menukas, 'Dia hanya sendirian, dari mana dia mampu mengepung kita berenam"' Yang lain menjawab, 'Bisa saja. Jika kepandaiannya amat tinggi, umpamanya dia mengurung kita di dalam sebuah gua, dia sendiri berjaga di mulut gua sehingga kita tersumbat tak bisa keluar. Bukankah itu pun berarti kita terkepung.' - 'Itu bukan terkepung, tapi tersumbat tak bisa keluar,' sahut yang tadi.
"Rupanya orang pertama itu tiada alasan buat berdebat lagi, tapi ia justru tidak mau kalah. Sesudah tertegun sejenak, mendadak ia tertawa sambil melonjak-lonjak, serunya, 'Aha, betul, jika dia kentut terus-menerus sehingga kita tidak berani mendekatnya, dia kepung kita dengan kentut, dengan demikian bukankah kita akan terkepung benar"' Keempat orang yang lain serentak bertepuk tangan dan berseru, 'Betul, orang ini dapat mengepung kita dengan kentut!'
"Mendengar ucapan mereka itu, tiba-tiba pikiranku tergerak, mendadak aku angkat kaki dan berlari sambil berteriak, 'Awas kalian jangan mengejar kalau takut kepada kentutku!' Aku menduga mereka tentu takut pada kentutku dan tentu tak berani mengudak diriku.
"Siapa tahu gerakan keenam makhluk aneh itu berpuluh kali terlebih cepat daripadaku, baru beberapa langkah aku berlari tahu-tahu aku sudah kena dibekuk lagi oleh mereka.
"Tanpa ampun lagi aku didudukkan di atas sepotong batu dan ditekan sekuat-kuatnya sehingga tulang punggungku hampir-hampir patah. Sedemikian kuat mereka menekan tubuhku agar duduk kencang-kencang di atas batu sehingga sekalipun aku benar-benar ingin kentut juga tidak bisa mengeluarkan hawa busuk itu."
Saking gelinya Lenghou Tiong terbahak-bahak. Tapi baru dua-tiga kali tertawa mendadak darah di rongga dadanya bergolak lagi dan tidak mampu tertawa pula.
Maka Dian Pek-kong menyambung pula ceritanya, "Sesudah aku didudukkan di atas batu dengan ditahan sekuatnya, seorang di antaranya lantas bertanya, 'Dari mana datangnya kentut"' - 'Dari perut melalui usus besar terus keluar dari lubang pantat.' - 'Ya, tutuk saja Hiat-to bagian Siang-yang, Hap-kok-kik-ti dan Ging-hiang-hiat.'
"Habis berkata tangan pun lantas bergerak, sekaligus ia tutuk empat Hiat-to yang disebutkan itu. Betapa cepat dan jitunya cara menutuk sungguh jarang ada bandingannya.
"Setelah menutuk Hiat-toku, keenam orang aneh itu sama menghela napas lega, seperti terbebas dari beban berat. Kata mereka, 'Kutu tukang kentut ini sekarang tak mampu kentut lagi.' Kemudian orang yang menutuk aku itu bertanya padaku, 'He, sebenarnya di manakah orang itu" Jika kau tetap tak mau mengatakan, selamanya aku takkan membuka Hiat-tomu, biar kau ingin kentut tak terlepaskan, biar perutmu kembung dan akhirnya mampus.'
"Diam-diam aku berpikir sedemikian tinggi ilmu silat keenam makhluk aneh ini, kedatangan mereka ke Hoa-san ini tentu bukan mencari seorang keroco yang tak berarti. Padahal waktu itu guru dan ibu-gurumu tidak berada di rumah, seumpama sudah pulang tentu mereka diketemukan keenam orang aneh itu dan tidak perlu mencari lagi. Tapi sekarang mereka masih tetap mencari 'orang itu'. Sesudah kupikir pulang-pergi, akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang dicari keenam siluman itu tentu Thaysusiokcomu Hong-locianpwe."
Hati Lenghou Tiong tergetar, "Dan kau beri tahukan mereka tidak?" tanyanya.
Dian Pek-kong merasa kurang senang, sahutnya, "Huh, memangnya kau anggap Dian Pek-kong ini manusia apa" Orang she Dian ini memang suka kepada bunga dan gemar pada wanita, namaku sudah busuk di kalangan Kangouw, tapi paling-paling juga terbatas dalam hal kegemaranku kepada kaum wanita saja, apakah pernah kau dengar aku buat kejahatan lain lagi" Sekali aku sudah berjanji padamu, tidak nanti aku membocorkan jejak Hong-locianpwe itu. Memangnya aku orang she Dian ini adalah manusia yang tak bisa dipercaya?"
"Ya, ya, aku yang salah omong, harap Dian-heng jangan marah," cepat Lenghou Tiong minta maaf.
"Jika kau berani menghina aku lagi, biarlah kita putus hubungan, selanjutnya jangan saling anggap sebagai sahabat," kata Dian Pek-kong pula.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Kau ini maling cabul yang tak terampunkan bagi orang Bu-lim, siapa yang pernah anggap kau sebagai sahabat" Hanya saja beberapa kali kau tidak jadi membunuhku, meski kesempatan membunuh itu terbuka bagimu, maka aku anggap masih utang budi padamu."
Dalam kegelapan Dian Pek-kong tak bisa melihat air muka Lenghou Tiong, maka ia sangka pemuda itu diam-diam sudah menerima kata-katanya tadi. Segera ia melanjutkan, "Keenam makhluk aneh itu masih terus tanya padaku, aku sangat mendongkol dan merasa sebal, dengan suara keras aku berteriak, 'Sudah tentu aku tahu di mana beradanya orang itu, tapi aku justru tidak mau mengatakan. Sedemikian banyak puncak di pegunungan Hoa-san ini, jika aku tidak mau omong, biarpun selama hidup juga kalian takkan menemukan dia.'
"Keenam orang itu menjadi gusar, mereka menggunakan kekerasan dan menyiksa diriku. Sejak itu aku lantas tak menggubris segala ocehan dua pertanyaan mereka. Lenghou-heng, ilmu silat keenam siluman itu benar-benar luar biasa, hendaknya lekas kau beri tahukan kepada Hong-locianpwe agar beliau dapat siap siaga sebelumnya."
"Dian-heng, terus terang kukatakan, orang yang hendak dicari Tho-kok-lak-sian itu adalah diriku dan bukan Hong-thaysusiokcoku," tutur Lenghou Tiong.
Dian Pek-kong tergetar kaget, "Kau" Kau yang dicari mereka" Untuk apa mereka mencari dirimu?" ia menegas.
"Mereka pun sama dengan tujuanmu, atas permintaan Gi-lim Sumoay supaya mencari aku," kata Lenghou Tiong.
Dian Pek-kong melongo dan tak bisa bicara lagi.
Lenghou Tiong tahu ilmu silat Tho-kok-lak-sian memang sukar dibayangkan oleh siapa pun juga. Tenaga dalam dan hawa murni mereka lebih-lebih luar biasa anehnya. Tapi Dian Pek-kong seenaknya saja mengatakan "mereka menyiksa diriku", padahal kata-kata "menyiksa" itu entah meliputi penderitaan betapa hebatnya, hal ini dapat dibuktikan dengan penderitaan dirinya sekarang, apalagi Dian Pek-kong yang sengaja dipaksa bicara oleh keenam siluman itu, tentu penyiksaan yang mereka gunakan entah berapa puluh kali lebih keji dan lebih ganas.
Teringat akan derita Dian Pek-kong dan rintihan sekarang, perasaan Lenghou Tiong merasa tidak tega. Katanya kemudian, "Dian-heng lebih suka mati daripada membocorkan jejak Hong-thaysusiokco, engkau benar-benar seorang yang paling bisa pegang janji di dunia ini, sungguh aku sangat kagum dan hormat."
"Orang she Dian ini adalah manusia yang tak terampunkan bagi tokoh-tokoh persilatan, tapi mendengar pujianmu sekarang, biar mati pun aku merasa puas," kata Pek-kong.
Tiba-tiba Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, "Guru dan ibu-guruku sedang mencari dia di mana-mana dan ingin mencabut nyawanya, tapi aku malah memberi pujian padanya. Bila kata-kataku tadi didengar oleh Suhu dan Sunio, entah kena beliau itu akan betapa marahnya padaku?"
Dalam pada itu terdengar Dian Pek-kong berkata pula, "Bila waktu itu akan mengetahui orang yang dicari keenam siluman itu adalah dirimu, tentu akan memberitahukan kepada mereka, dengan demikian aku tinggal ikut di belakang, mereka yang berhasil mengundangmu ke sana, maka aku pun tak perlu mati di Hoa-san sini akibat bekerjanya racun yang dalam tubuhku ini. Eh, aneh juga, jika kau telah jatuh di tangan keenam siluman itu, mengapa mereka tidak terus menggondolmu pergi menemui Siausuthay itu?"
Lenghou Tiong menghela napas, katanya, "Hal itu terlalu panjang suntuk diceritakan. Dian-heng, barusan kau bilang racun akan bekerja dan engkau akan mati di Hoa-san sini?"
"Seperti sudah pernah kukatakan padamu bahwa aku kena diracun orang, aku diharuskan dalam sebulan membawamu untuk menemui Siausuthay itu habis itu barulah aku akan diberi obat penawar racun. Sekarang aku tak dapat mengundangmu, untuk berkelahi juga aku sudah keok, sebaliknya aku malah babak belur dianiaya oleh keenam siluman itu, kalau dihitung sampai hari ini, kumatnya racun itu hanya kurang tujuh hari lagi."
"Jika begitu, sekarang Gi-lim Sumoay berada di mana" Kalau kita segera berangkat entah masih keburu atau tidak?"
Dian Pek-kong menjadi girang, tanyanya, "Apakah kau mau pergi bersama aku?"
"Telah beberapa kali engkau mengampuni jiwaku, meski tingkah lakumu tidak baik, namun aku pun tidak dapat tutup mata dan membiarkan engkau mati keracunan. Sebelum ini engkau memaksa aku dengan kekerasan, sudah tentu aku tidak mau menurut. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda dan aku pun telah berubah pikiran."
"Saat ini Siausuthay berada di Sucwan Utara, ai ... kalau kita berdua dalam keadaan sehat walafiat mungkin masih keburu mencapai sana dengan menunggang kuda cepat, tapi sekarang kita kedua sama-sama terluka parah, jangankan tujuh hari, boleh jadi 70 hari pun sukar mencapai sana."
"Tapi daripada menunggu kematian di sini, biarlah kita coba-coba berangkat juga," kata Lenghou Tiong. "Ya, siapa tahu kalau-kalau Tuhan memberkahi kita dan mungkin kita mendapatkan kereta bagus dan kuda cepat di bawah gunung, lalu dalam waktu tujuh hari kita dapat mencapai tempat tujuan."
"Hah, selama hidupku hanya berbuat kejahatan melulu, dosaku sudah kelewat takaran, masakah Tuhan mau memberkahi aku?" kata Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Tuhan Maha Pengasih, siapa yang mau insaf akan dosanya pasti akan diberi ampun," kata Lenghou Tiong. "Toh akhirnya kita mesti mati, tiada alangannya kita coba-coba."
"Benar," seru Dian Pek-kong sambil bertepuk tangan. "Kau memang sangat cocok dengan watakku, Lenghou-heng. Apa bedanya mati di atas gunung sini dan mati di tengah jalan" Kukira paling penting turun gunung dan mencari makanan enak lebih dulu. Apakah engkau sanggup berdiri. Lenghou-heng" Biar kupegang dirimu!"
Ia menyatakan akan memegang Lenghou Tiong, padahal ia sendiri tidak mampu bangkit, Lenghou Tiong hendak mengulurkan tangan untuk memayang Dian Pek-kong, tapi tangan sama sekali tidak bertenaga. Dalam kegelapan napas kedua orang dapat terdengar oleh masing-masing, jarak mereka sangat dekat, celaka mereka sama-sama tak bisa berkutik, semakin hendak mengeluarkan tenaga semakin lemas.
Sesudah berkutatan sekian lama dan tetap tak berguna, mendadak kedua orang sama-sama bergelak tertawa. Seru Dian Pek-kong, "Selama hidup Dian Pek-kong malang melintang di Kangouw tanpa seorang sahabat karib, sekarang dapat mati bersama Lenghou-heng di sini, sungguh menyenangkan juga."
"Kelak bila guruku melihat kita berdua, tentu beliau menyangka kita habis bertarung sengit dan akhirnya gugur bersama," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Ya, siapa pun tidak menyangka bahwa sebelum ajal malah kita telah saling mengeratkan persaudaraan."
"Lenghou-heng, marilah kita berjabat tangan baru mati bersama," ajak Pek-kong sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu. Teringat olehnya Dian Pek-kong itu adalah maling cabul yang terkenal busuk, sebaliknya dirinya sendiri adalah murid perguruan ternama dan terhormat, mana boleh bersahabat karib dengan dia. Maka sebelah tangannya yang sudah telanjur setengah jalan itu tidak diulurkan lagi.
Dian Pek-kong tidak tahu perasaan Lenghou Tiong, ia sangka luka Lenghou Tiong terlalu parah sehingga lengan pun sukar bergerak, maka ia lantas berseru, "Lenghou-heng, hendaknya jangan khawatir. Sekali Dian Pek-kong telah mengikat persahabatan denganmu, maka biarpun kita tidak dilahirkan pada tahun atau bulan dan hari yang sama, bolehkah sekarang kita mati pada hari yang sama bulan dan tahun yang sama. Bila kau mati lebih dulu karena lukamu lebih parah, aku orang she Dian pasti takkan hidup sendirian lagi."
Lenghou Tiong terkesiap mendengar ucapan orang yang jujur ikhlas itu, pikirnya, "Orang ini benar-benar sahabat sejati, ucapannya barusan ini pasti tidak pura-pura."
Maka tanpa ragu lagi tangannya tadi lantas diulurkan, lantas memegang tangan orang, katanya dengan tertawa, "Dian-heng, kita berada bersama, kematian kita rasanya tidak terlalu kesepian."
Baru habis kata-katanya itu, tiba-tiba terdengar ada orang mendengus di belakang mereka, menyusul ada orang berkata, "Huh, murid utama Hoa-san-pay ternyata sedemikian jauh tersesatnya, sampai-sampai mau bersahabat dengan maling cabul yang dikutuk oleh setiap orang Kangouw."
"Siapa itu?" bentak Dian Pek-kong.
Sedangkan Lenghou Tiong diam-diam mengeluh, "Wah, celaka. Ajalku sudah dekat, mati bagiku tidak menjadi soal, tapi juga membikin buruk nama baik Suhu, inilah yang rada runyam."
Dalam kegelapan, remang-remang hanya kelihatan sesosok bayangan orang berdiri di hadapan mereka. Orang itu menghunus pedang yang mengeluarkan cahaya gemilapan.
"Lenghou Tiong," orang itu berkata pula dengan tertawa dingin, "saat ini kau masih boleh menyatakan penyesalanmu, asalkan maling cabul she Dian ini kau bunuh saja, tentu tiada orang yang akan mencela hubunganmu dengan dia."
Habis berkata, "cret", mendadak ia tancapkan pedangnya di atas tanah.
Dari batang pedang yang berbentuk lebar itu segera Lenghou Tiong mengenalnya sebagai senjata kaum Ko-san-pay. Segera ia berkata, "Siapakah tuan dari Ko-san-pay ini?"
"Hm, boleh juga pandanganmu, sekali lihat saja lantas kenal asal usulku," kata orang itu. "Aku Ku An, murid Hui-suya, tokoh keempat Ko-san-pay."
"O, kiranya Ku-suheng adanya, selama ini kita jarang bertemu," sahut Lenghou. "Entah ada keperluan apakah kunjunganmu ke Hoa-san kami ini?"
"Aku ditugaskan oleh Ciangbun-supek (paman ketua) untuk meronda di sini, kami ingin tahu apakah murid Hoa-san-pay benar-benar tidak genah sebagaimana tersiar di luaran. Tak tersangka, hehe, begitu sampai di sini lantas terdengar percakapanmu yang sedemikian akrabnya dengan maling cabul ini."
"Bangsat, memangnya orang Ko-san-pay kalian ada yang baik" Mengapa kalian tidak periksa dan bercermin atas diri sendiri, sebaliknya suka urus perkara orang lain," damprat Dian Pek-kong.
"Bluk", tanpa bicara lagi kontan Ku An menendang kepala Dian Pek-kong sambil membentak, "Anjing buduk, sudah hampir mampus masih berani membacot pula?"
Akan tetapi Dian Pek-kong tidak merasa kapok, dia masih terus memaki "bangsat, anjing" dan macam-macam kata kotor lagi.
Kalau Ku An mau cabut nyawa Dian Pek-kong sebenarnya terlalu mudah baginya, cuma dia memang sengaja hendak menghina Lenghou Tiong lebih dulu. Maka katanya pula sambil menjengek, "Lenghou Tiong, kau telah mengikat persahabatan dengan dia, jadi kau sudah pasti tidak mau dibunuh dia?"
Lenghou Tiong menjadi gusar. Sahutnya lantang, "Aku mau membunuh dia atau tidak peduli apa denganmu" Bila berani boleh sekali tusuk binasakan Lenghou Tiong lebih dulu, kalau pengecut boleh lekas enyah dari sini dengan mencawat ekormu."
"Jadi kau pasti tidak mau membunuh dia dan tetapi mengakui maling cabul ini sebagai sahabat sejati?" Ku An menegas pula.
"Peduli ada dengan siapa aku bersahabat?" sahut Lenghou Tiong. "Hm, pendek kata, dengan siapa pun aku bersahabat juga lebih baik daripada bersahabat denganmu."
"Hahaha! Bagus, bagus! Tepat sekali!" sorak Dian Pek-kong dengan tertawa
"Huh, kau sengaja membikin aku murka supaya kubunuh kalian secepatnya, hm, jangan harap, di dunia tiada urusan semudah ini," kata Ku An. "Aku justru ingin membelejeti kalian sampai telanjang bulat, akan kuikat kalian menjadi satu, lalu kututuk Hiat-to kalian supaya bisu, kemudian akan kupertontonkan kalian kepada umum dan mengatakan perbuatan kalian yang tidak senonoh dan secara kebetulan kepergok olehku. Haha, Gak Put-kun dari Hoa-san-pay kalian suka pura-pura suci, pura-pura berbudi, tapi sesudah pertunjukanmu nanti ingin kulihat apakah dia masih berani mengaku berjuluk 'Kun-cu-kiam' atau tidak?"
Mendengar maksud orang yang keji itu, saking gusarnya seketika Lenghou Tiong jatuh pingsan.
Sedangkan Dian Pek-kong lantas memaki pula, "Bangsat kep ...." belum sempat memaki lebih lanjut, tahu-tahu Hiat-to bagian pinggang sudah kena ditendang oleh Ku An, kontan mulutnya terganggu dan tak bisa bersuara lagi saking sakitnya. Ku An terkekeh-kekeh ejek, segera ia pegang Lenghou Tiong dan hendak membelejeti pakaiannya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar di belakangnya ada suara orang perempuan yang lembut sedang menegurnya, "He, apa yang sedang dilakukan Toako ini?"
Terkejut juga Ku An, cepat ia menoleh. Dilihatnya bayangan seorang wanita tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Segera ia menjawab, "Dan kau sendiri mau bikin apa di sini?"
Mendengar suara wanita itu, girang luar biasa Dian Pek-kong, segera ia berseru, "Siau ... Siausuhu, kiranya engkau sudah datang sendiri. Sungguh sangat kebetulan, bang ... bangsat itu hendak mencelakai kau punya Lenghou-toako."
Kiranya pendatang ini tak lain tak bukan adalah Gi-lim.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keruan Gi lim menjadi khawatir demi mendengar orang yang menggeletak di atas tanah itu adalah "dia punya Lenghou-toako", cepat ia melompat maju sambil berseru, "He, Lenghou toako, apakah betul engkau ini?"
Melihat perhatian Gi-lim sedang dicurahkan seluruhnya terhadap Lenghou Tiong yang menggeletak tak berkutik itu, tanpa pikir lagi jari Ku An lantas menutuk iga Gi-lim.
Tak terduga, baru saja jari hampir menyentuh baju Nikoh jelita itu, sekonyong-konyong kuduk sendiri kena dicengkeram orang, menyusul tubuhnya lantas terangkat ke atas sehingga terapung hampir satu meter di atas tanah.
Keruan Ku An terperanjat sekali, sikut kanan segera ia ayun ke belakang untuk menyodok, tapi mengenai tempat kosong. Menyusul kaki kiri lantas mendepak ke belakang, tapi lagi-lagi mengenai tempat kosong. Keruan ia tambah kaget, kedua tangannya cepat diangkat ke belakang untuk menangkap tangan lawan. Namun pada saat itu juga lehernya sudah kena dicekik oleh sebuah tangan yang lebar dan kasar, seketika napasnya menjadi sesak, sedikit pun tak bisa mengerahkan tenaga lagi.
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah mulai siuman, ia dengar suara seorang wanita sedang memanggilnya dengan rasa cemas, "Lenghou-toako, Lenghou-toako!"
Samar-samar ia dapat mengenali seperti suaranya Gi-lim.
Waktu ia membuka mata, di bawah sinar bintang yang remang-remang dilihatnya sebuah wajah yang putih ayu berhadapan dengan muka sendiri dalam jarak cuma belasan senti jauhnya. Siapa lagi kalau bukan Gi-lim adanya.
Tiba-tiba didengarnya pula suara seorang yang sangat keras sedang bertanya, "Anak Lim, apakah si penyakitan kurus kering ini adalah Lenghou Tiong?"
Ketika Lenghou Tiong berpaling ke arah suara itu, ia sendiri menjadi kaget. Dilihatnya seorang Hwesio yang sangat tinggi dan sangat gemuk sedang berdiri di situ laksana sebuah menara baja.
Tinggi Hwesio itu sedikitnya tujuh kaki, memakai Kasa (jubah padri) merah, mesti di tengah malam gelap masih jelas kelihatan warna Kasanya yang merah darah itu. Tertampak tangan kirinya terjulur lurus ke depan, kuduk Ku An terpegang olehnya dan terangkat sehingga kakinya kontal-kantil lemas, entah sudah mati atau masih hidup.
"Ayah, memang dia inilah ... Lenghou-toako, tapi bukan si penyakitan," sahut Gi-lim, sambil bicara pandangannya tak pernah meninggalkan muka Lenghou Tiong, tampaknya ia hendak mengulur tangan untuk meraba pipi pemuda itu, tapi seperti tidak berani pula.
Lenghou Tiong sangat heran, pikirnya, "Kau ini seorang Nikoh cilik, mengapa memanggil Hwesio gede itu sebagai ayah" Hwesio punya anak saja sudah mengejutkan orang, apalagi putri Hwesio itu adalah seorang Nikoh pula, hal ini lebih-lebih luar biasa."
Dalam pada itu Hwesio besar gemuk itu sedang mengakak tawa, katanya, "Hahaha! Lenghou Tiong yang kau rindukan siang malam ini tadinya kukira adanya seorang laki-laki gagah baik, siapa tahu cuma seorang kurus kering yang tak becus dan menggeletak tak bisa berkutik begini. Orang penyakitan begini aku tidak mau mengambil sebagai menantu, kita jangan gubris dia, marilah pergi saja."
Gi-lim menjadi malu dan gugup pula, katanya, "Siapa yang rindu siang dan malam" Engkau memang suka ngaco-belo tak keruan. Mau pergi boleh pergi sendiri saja. Aku ... aku tak mau ...."
Sebaliknya Lenghou Tiong menjadi gusar karena dirinya dimaki sebagai penyakitan, dianggap tak becus segala. Segera ia menjawab, "Kau mau pergi boleh pergi, memangnya siapa yang menahanmu di sini?"
Di luar dugaan Dian Pek-kong menjadi kelabakan malah, teriaknya, "He, jangan, jangan pergi!"
"Memangnya kau suruh dia jangan pergi?" tanya Lenghou Tiong.
"Habis, obat penawar racun yang kuperlukan berada padanya, jika dia pergi begitu saja kan jiwaku bisa melayang?" ujar Dian Pek-kong.
"Aku kan sudah menyatakan akan mati bersamamu, bila racunmu kumat dan mati, seketika aku juga membunuh diri," kata Lenghou Tiong.
Mendadak Hwesio gede tadi bergelak tertawa, suaranya keras menggema lembah pegunungan. Serunya kemudian, "Bagus, bagus! Kiranya bocah ini adalah seorang yang punya jiwa kesatria. Anak Lim, dia sangat mencocoki seleraku. Cuma masih ada suatu hal yang harus kita tanya jelas padanya, dia minum arak atau tidak?"
"Sudah tentu, mengapa aku tidak minum arak. Bila sudah menyaksikan sifat rakusku dalam hal minum arak, siang minum malam minum, dalam mimpi juga minum arak. Bila menyaksikan sifat rakusku dalam hal minum arak, tanggung akan membikin mati kaku Hwesio besar macam dirimu yang pantang minum arak, pantang makan daging, pantang membunuh, pantang mencuri, pantang mendusta dan entah pantang apa lagi."
"Hahahaha!" Hwesio gede itu mengakak lagi. Katanya, "Anak Lim, coba katakan padanya apa gelaran agama ayahmu ini."
Maka dengan tersenyum Gi-lim berkata, "Lenghou-toako, gelar ayahku adalah 'Put-kay' (tidak pantang), beliau adalah murid Buddha, namun segala peraturan suci dan pantangan agama tidak mengikat beliau, sebab itulah beliau mengambil nama 'Put-kay' itu. Hendaknya engkau jangan menertawainya, beliau memang tidak pantang segala, tidak pantang arak tidak pantang daging, membunuh maupun mencuri juga dilakukan olehnya, bahkan ... bahkan mempunyai seorang putri seperti ... seperti aku ini."
Sampai di sini ia pun mengikik geli sendiri.
Lenghou Tiong juga lantas terbahak-bahak, serunya lantas, "Hahaha! Hwesio demikian barulah menyenangkan benar!"
Sembari bicara ia terus meronta hendak berdiri, tapi kemauan ada, tenaga kurang, betapa pun sukar berbangkit.
Cepat Gi-lim membantunya dengan memayangnya bangun. Mesti dia adalah Nikoh jelita yang masih malu-malu, tapi setidak-tidaknya dia belajar silat, jangankan cuma memayang bangun saja, sekalipun mengangkat tubuhnya juga bukan hal sulit baginya.
Maka dengan tertawa Lenghou Tiong berkata pula, "Laupek (paman), jika segala apa kau perbuat, mengapa engkau tidak menjadi orang preman saja, buat apa mesti pakai Kasa segala?"
"Hal ini ada alasannya," sahut Put-kay Hwesio. "Justru karena aku tidak pantang berbuat apa pun, makanya aku menjadi Hwesio. Sama halnya seperti dirimu, aku telah menyukai seorang Nikoh cantik ...."
"Engkau sembarangan mengoceh lagi, ayah!" sela Gi-lim tiba-tiba dengan wajah merah. Untung dalam gelap sehingga orang lain tidak melihatnya.
Dalam pada itu Put-kay berkata pula, "Seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani terus terang, biarpun dimaki atau ditertawai orang peduli apa. Aku Put-kay Hwesio adalah laki-laki sejati, apa yang mesti kutakuti?"
"Tepat!" Lenghou Tiong dan Dian Pek-kong mengiakan berbareng.
Dasar Put-kay Hwesio itu memang suka dipuji, keruan ia makin menjadi, dengan gembira ia menyambung pula, "Hehe, Nikoh cantik yang kucintai itu tak-lain tak-bukan adalah ibunya."
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Kiranya Gi-lim Sumoay punya ayah seorang Hwesio dan ibunya adalah seorang Nikoh pula."
"Dahulu aku adalah seorang jagal hewan," demikian Put-kay menyambung pula, "aku mencintai ibunya. Akan tetapi ibunya tidak mau menggubris diriku, tiada jalan lain terpaksa aku menjadi Hwesio. Menurut jalan pikiranku waktu itu, Hwesio dan Nikoh adalah sekaum, jika Nikoh tidak suka kepada si jagal tentu akan suka pada Hwesio."
"Ayah, mulutmu selalu mencerocos tak keruan, sudah tua masih seperti anak kecil saja cara bicaramu," omel Gi-lim.
"Memangnya aku salah omong?" sahut Put-kay. "Cuma waktu itu tak terpikir olehku bahwa sesudah menjadi Hwesio, maka tak boleh lagi bergaul dengan kaum wanita, bahkan bergaul dengan Nikoh juga dilarang. Jadi maksudku ingin mendapatkan ibunya menjadi tambah sukar. Aku menyesal dan tidak mau menjadi Hwesio lagi. Tak terduga guruku justru mengatakan pembawaanku harus menjadi Hwesio, aku dilarang kembali menjadi preman dan akhirnya entah cara bagaimana ibunya juga jatuh hati karena kesungguhanku dan ... dan lahirlah seorang Nikoh cilik. Kau sekarang sudah jauh lebih bebas daripada zamanku dahulu, anak Tiong. Kau menyukai seorang Nikoh cilik seperti anakku ini dan tidak perlu menjadi Hwesio seperti aku."
Lenghou Tiong menjadi serbarunyam mendengar uraian Put-kay itu. Pikirnya, "Dahulu aku menolong Gi-lim Sumoay karena waktu itu dia jatuh di bawah cengkeraman Dian Pek-kong. Dia adalah Nikoh suci dari Hing-san-pay, mana boleh berhubungan cinta dengan orang biasa" Dia menyuruh Dian Pek-kong dan Tho-kok-lak-sian agar mencari diriku untuk bertemu dengan dia, boleh jadi dia benar-benar terguncang imannya karena untuk pertama kalinya dia bergaul dengan kaum lelaki. Dalam persoalan ini aku harus menghindar selekasnya supaya tidak mencemarkan nama baik Hoa-san dan Hing-san-pay, jangan sampai aku didamprat oleh guru dan ibu guru, bahkan akan dipandang hina oleh Leng-sian Siausumoay."
Dalam pada itu Gi-lim sendiri juga sangat kikuk, katanya, "Ayah, Lenghou-toako sudah punya pilihannya sendiri, mana dia sudi kepada orang lain. Selanjutnya engkau ... engkau jangan menyinggung hal ini lagi, supaya tidak ditertawai orang."
"Hah, bocah ini sudah pilihan orang lain katamu" Kurang ajar!" teriak Put-kay. Tangan kanan terus mencengkeram dada, Lenghou Tiong tidak mampu menghindarkan cengkeraman orang. Seketika dia kena dipegang terus diangkat ke atas. Jadi tangan kiri Put-kay Hwesio memegang kuduk Ku An dan tangan kanan menjambret dada Lenghou Tiong, kedua tangan terjulur lurus laksana memikul dua orang.
"Ayah, lekas lepaskan Lenghou-toako!" seru Gi-lim khawatir. "Lepaskan, kalau tidak aku akan marah, lho!"
Aneh juga, demi mendengar putranya akan "marah", seketika Put-kay sangat takut dan lekas menaruh Lenghou Tiong ke bawah, namun mulutnya masih mengomel, "Nikoh jelita mana lagi yang dia penujui" Sungguh kurang ajar!"
Karena Put-kay sendiri menyukai seorang Nikoh cantik, maka menurut jalan pikirannya di dunia ini tiada wanita yang lebih cantik lagi daripada kaum Nikoh.
"Gadis pilihan Lenghou-toako adalah Sumoaynya sendiri, Gak Leng-sian, Gak-siocia," kata Gi-lim.
Mendadak Put-kay mengerang keras-keras sehingga anak telinga setiap orang mendenging-denging. Lalu katanya, "Nona she Gak katamu, keparat, apanya yang menarik sehingga ia kepincut" Lain kali bila kulihat dia tentu akan kucekik mampus dia."
Bab 41. Matinya Liok Tay-yu Secara Aneh
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Put-kay Hwesio ini benar-benar seorang laki-laki kasar dan dogol, banyak persamaannya dengan Tho-kok-lak-sian yang ketolol-tololan itu. Dia berani berkata tentu juga berani berbuat, jika dia benar-benar membikin celaka Siausumoay, wah, lantas bagaimana baiknya?"
Sementara itu Gi-lim tampak sangat gelisah, serunya, "Ayah, Lenghou-toako dalam keadaan terluka parah, lekas menyembuhkan dia. Urusan lain boleh kita bicarakan nanti."
Put-kay Hwesio ternyata sangat penurut terhadap setiap ucapan putrinya, segera ia berkata, "Baik, apa susahnya untuk menyembuhkan penyakitnya?"
Habis berkata sekenanya ia lantas melemparkan tubuh Ku An. Sedangkan Lenghou Tiong perlahan direbahkannya di atas tanah, lalu ia tanya dengan suara keras, "Kau menderita luka apa?"
"Dadaku terkena pukulan orang, tapi rasanya tidak apa-apa ...."
Dasar watak Put-kay memang kasar dan tidak sabaran, tanpa menunggu jawaban selesai segera ia memotong, "Dadamu kena pukulan, tentu Jin-meh (nadi bagian dada) tergetar luka ...."
"Aku ... aku dipukul Tho-kok ...."
"Bagian Jin-meh mana ada Hiat-to yang bernama Tho-kok segala," demikian Put-kay memotong pula. "Lwekang Hoa-san-pay kalian memang kurang bagus, maka dalam hal Hiat-to menjadi kurang pandai pula. Biarlah kubantu dengan penyaluran tenaga murniku, tanggung dalam waktu beberapa hari saja kau akan sembuh kembali dan lincah seperti sediakala."
Habis berkata, tanpa permisi lagi ia terus menutuk Hiat-to bisu di tubuh Lenghou Tiong, menyusul kedua telapak tangannya yang lebar itu menahan dada dan punggung pemuda itu. Seketika dua arus hawa hangat menyusup masuk melalui Hiat-to bagian itu.
Mendadak dua arus hawa murni itu kebentur dengan enam arus hawa murni Tho-kok-lak-sian yang tertinggal di dalam tubuh Lenghou Tiong itu, kedua tangan Put-kay hampir-hampir tergetar lepas. Keruan ia berseru kaget.
"Kenapa, ayah?" tanya Gi-lim.
"Di dalam tubuhnya ada beberapa arus tenaga yang aneh ... dua ... tiga ... empat, ada empat arus .... Eh, tidak, ada lagi satu, seluruhnya jadi ada lima, kelima arus tenaga murni ini .... Aha, ada lagi satu. Buset, seluruhnya ada sebanyak enam arus. Wah, jangan-jangan masih ada lagi. Hahaha, sungguh ramai sekali! Sungguh menarik! Kedua arus tenagaku ini biar kucoba diadu dengan keenam arus tenagamu ini, coba siapa punya lebih lihai" Ayolah datang lagi! Hm, sudah habis bukan" Hanya enam arus saja" Maknya di ... memangnya aku Put-kay takut padamu?"
Dasarnya dia memang orang kasar, asalnya adalah jagal hewan, sesudah menjadi Hwesio selamanya juga tidak pernah baca kitab, sampai tua mulutnya masih suka mengucapkan kata-kata kasar dan kotor.
Begitulah kedua tangannya masih terus menahan kedua Hiat-to di tubuh Lenghou Tiong dengan erat, lambat laun dari ubun-ubunnya tampak mengepul kabut tipis. Semula Put-kay masih bisa gembar-gembor, tapi kemudian tenaganya makin banyak dikerahkan sehingga akhirnya tidak sanggup membuka suara lagi.
Sementara itu hari sudah mulai terang, kabut tipis di atas ubun-ubun Put-kay makin lama makin tebal sehingga kepalanya yang gundul itu hampir-hampir terselubung. Sampai agak lama, mendadak Put-kay angkat kedua tangannya sambil terbahak-bahak. Tapi mendadak pula suara tertawanya terhenti. "Bluk", ia jatuh terguling di atas tanah.
Gi-lim terkejut, "Ayah, yah!" serunya sambil mendekat untuk memayangnya bangun. Tapi badan Put-kay yang sebesar kerbau itu teramat berat, baru saja terangkat bangun tahu-tahu ia jatuh terduduk pula sehingga Gi-lim ikut terseret jatuh.
Sekujur badan Put-kay tampak basah air keringat, napas ngos-ngosan. Serunya dengan terputus-putus, "Maknya, di ... aku ... aku ... maknya ...."
Mendengar ayahnya masih sanggup bersuara dan mencaci maki barulah Gi-lim merasa lega. Katanya, "Ayah, bagaimana" Apakah sangat lelah?"
"Keparat, di dalam tubuh bocah ini ada enam arus tenaga murni yang sangat lihai, tapi tenaga murni yang kukerahkan tadi telah ... telah dapat menahannya ke bawah, hehe, jangan khawatir, bocah ini takkan mampus, pasti takkan mampus, pasti takkan mampus!"
Gi-lim sangat terhibur, waktu ia berpaling, benar juga tampak Lenghou Tiong telah dapat berdiri dengan perlahan.
"Lwekang si Hwesio besar memang sangat lihai," demikian Dian Pek-kong memuji dengan tertawa, "Hanya sebentar saja luka parah Lenghou-heng sudah dapat disembuhkan."
Put-kay sangat senang dipuji, segera ia berkata, "Kau bocah ini sebenarnya sudah kelewat takaran melakukan kejahatan, seharusnya sekali remas kumampuskan dirimu. Tapi mengingat kau telah berjasa menemukan si bocah Lenghou Tiong ini, biarlah kuampuni jiwamu, lekaslah enyah dari sini!"
Dian Pek-kong menjadi gusar, dampratnya, "Apa artinya lekas enyah dari sini" Maknya, Hwesio gede keparat, ucapanmu sebenarnya ucapan manusia atau bukan" Kau kan sudah berjanji akan memberi obat penawar racun jika sebulan aku dapat menemukan Lenghou Tiong, kenapa sekarang kau hendak mungkir janji" Jiwaku sih tidak menjadi soal, tapi kau telah berjanji dan sekarang tidak mau memberi obat penawarnya, kau benar-benar Hwesio buruk, Hwesio rendah dan kotor melebihi binatang."
Sungguh aneh, biarpun Dian Pek-kong mencaci maki padanya, sama sekali Put-kay tidak marah, sebaliknya ia menjawab dengan tertawa, "Coba lihat, sedemikian bocah keparat ini takut mati, takut aku Put-kay Taysu tidak pegang janji dan tidak memberi obat penawar. Huh, bocah keparat, ini obat penawarnya, ambil!"
Sambil berkata tangannya lantas merogoh ke dalam saku hendak mengeluarkan obat yang dimaksudnya, tapi rupanya tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga, tangannya masih gemetar, sebuah botol porselen kecil sudah dikeluarkan olehnya, tapi beberapa kali terjatuh lagi ke pangkuannya.
Lekas Gi-lim menjemput botol obat itu dan membuka sumbat botol.
"Berikan tiga biji padanya," kata Put-kay. "Sekarang makan satu biji, tiga hari kemudian makan satu biji lagi dan lewat enam hari nanti makan biji ketiga. Jika dalam sembilan hari ini kau dibunuh orang bukanlah tanggunganku."
Dian Pek-kong menerima obat penawar itu dari Gi-lim, sahutnya kemudian, "Hwesio gede, kau telah paksa aku minum racun, sekarang kau memberikan obat penawar padaku, jika aku tidak memaki kau juga terhitung baik, maka aku tidak mau mengucapkan terima kasih padamu. Lenghou-heng, tentu ada apa-apa yang hendak kau bicarakan dengan Siausuhu ini, aku akan pergi saja, sampai berjumpa pula."
Habis berkata ia membalik tubuh terus hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu, Dian-heng," seru Lenghou Tiong.
"Ada apa?" tanya Dian Pek-kong.
"Dian-heng," kata Lenghou Tiong, "beberapa kali engkau telah sudi mengalah padaku, engkau benar-benar pantas menjadi seorang sahabat. Cuma ada sesuatu ingin kunasihatkan, bila engkau tidak mau memperbaiki, persahabatan kita ini tentu tidak kekal."
"Sudahlah, tak perlu kau katakan juga kutahu," sahut Dian Pek-kong dengan tertawa. "Kau ingin aku jangan lagi memerkosa wanita baik-baik dan membunuh. Baiklah, aku akan menurut padamu. Di dunia ini masih banyak wanita cabul, untuk mencukupi seleraku juga tidak perlu harus memerkosa wanita keluarga baik-baik dan membunuh orang pula. Hahaha, Lenghou-heng, bukankah kau masih ingat kenikmatan di Kun-giok-ih di kota Heng-san tempo hari?"
Mendengar disebutnya rumah pelacuran itu, seketika wajah Lenghou Tiong dan Gi-lim menjadi merah.
Dian Pek-kong terbahak-bahak dan hendak melangkah pergi pula. Tapi mendadak kaki terasa lemas, ia jatuh terguling. Sekuatnya ia merangkak bangun, cepat mengambil sebiji obat penawar pemberian Put-kay tadi terus ditelan. Ia tahu sebelum racun dipunahkan sukarlah turun dari puncak Hoa-san.
Sesudah Lenghou Tiong mendapat saluran tenaga murni dari Put-kay sehingga keenam arus hawa murni yang ditinggalkan Tho-kok-lak-sian itu dapat ditekan, kini Lenghou Tiong merasa dada sudah tidak sesak lagi, kaki juga sudah bertenaga, ia sangat girang. Segera ia melangkah maju dan memberi hormat kepada Put-kay, katanya, "Banyak terima kasih atas pertolongan Taysu tadi."
"Terima kasih tidak perlu, selanjutnya kita toh sudah orang sekeluarga, kau adalah menantuku dan aku adalah mertuamu, masih pakai terima kasih apa segala?" demikian jawab Put-kay sambil tertawa.
Keruan Gi-lim merasa malu, cepat ia menyela, "Ayah, engkau ... engkau sembarangan mengoceh lagi."
"Eh, mengapa bilang aku sembarangan mengoceh?" sahut Put-kay dengan heran. "Siang dan malam kau senantiasa merindukan dia, memangnya kau tidak ingin kawin dengan dia" Seumpama tidak kawin apakah juga tidak mau melahirkan seorang Nikoh yang cantik dengan dia?"
"Cis, tua-tua tak genah, siapa ... siapa ...." demikian semprot Gi-lim dengan muka merah.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, ada orang lagi datang. Kiranya adalah ketua Hoa-san-pay, Gak Put-kun dan putrinya, Gak Leng-sian.
Melihat mereka, Lenghou Tiong menjadi girang, cepat ia memapak maju dan berseru, "Suhu, Siausumoay, kalian lagi. Dan di manakah Sunio?"
Gak Put-kun tidak menjawab, ia pandang Lenghou Tiong dengan sikap dingin. Lalu ia memberi salam kepada Put-kay Hwesio dan menyapa, "Siapakah gelar Taysu yang terhormat ini" Entah bersemayam di kuil dan gunung mana" Adakah sesuatu keperluan kunjungan Taysu ke Hoa-san ini?"
"Aku ... aku bernama Put-kay Hwesio, aku ... aku datang ke sini hendak mencari menantu," sahut Put-kay ambil menuding Lenghou Tiong. Karena tidak jelas seluk-beluknya, pula mendengar orang menjawab tentang "mencari menantu" segala, maka Gak Put-kun mengira Hwesio gendut itu sengaja hendak menggoda dirinya, keruan ia sangat gusar. Cuma dia memang seorang peramah dan sabar, betapa pun batinnya bergolak, lahirnya tetapi tenang-tenang saja. Ia hanya berkata, "Ah, Taysu ini suka berkelakar."
Dalam pada itu Gi-lim juga telah maju memberi hormat padanya, Gak Put-kun lantas tanya, "Tak usah banyak adat, Gi-lim Sutit, kedatanganmu ke Hoa-san sini apakah atas perintah gurumu?"
Dengan muka rada marah Gi-lim menjawab, "Tidak. Aku ... aku ...."
Hanya sekian saja ucapannya dan tidak dapat melanjutkan pula.
Gak Put-kun tidak tanya lebih jauh, ia berpaling dan menegur Dian Pek-kong, "Hm, Dian Pek-kong, besar amat nyalimu ya?"
"Belum tentu begitu halnya," sahut Dian Pek-kong. "Aku merasa cocok dengan muridmu, aku lantas membawa satu pikul guci arak ke sini untuk minum bersama dia sepuas-puasnya, untuk ini juga tidak diperlukan nyali yang terlalu besar."
Wajah Gak Put-kun tampak semakin kereng, tanyanya pula, "Mana araknya?"
"Sudah lama kami habiskan di atau puncak perenung dosa sama," sahut Pek-kong.
"Apakah benar ucapannya?" Put-kun menoleh kepada Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong menjawab, "Duduk perkara ini cukup panjang. Suhu, biarlah nanti murid menuturkan secara jelas."
"Sudah berapa hari Dian Pek-kong berada di Hoa-san sini?" tanya Put-kun pula.
"Kira-kira sudah 20 hari," sahut Lenghou Tiong.
"Selama itu dia tetap berada di atas gunung sini?"
"Benar." "Mengapa tidak kau laporkan padaku?"
"Waktu itu Suhu dan Sunio tiada di rumah."
"Aku dan ibu-gurumu ke mana?"
"Ke sekitar Tiang-an untuk mencari saudara Dian."
"Kau tahu kejahatan orang ini sudah lewat takaran, mengapa takut mati dan malah bergaul dengan dia?"
Mendadak Dian Pek-kong menimbrung, "Akulah yang tidak mau membunuh dia, lalu dia bisa berbuat apa" Memangnya kalau tidak dapat menandingi aku lantas mesti membunuh diri di hadapanku?"
"Di hadapanku masakah kau ada hak bicara?" damprat Put-kun. Ia menoleh kepada Lenghou Tiong dan berkata, "Bunuh dia!"
"Ayah," tiba-tiba Leng-sian menyela, "Toasuko terluka parah, mana dia sanggup bertempur dengan dia?"
"Memangnya orang lain tidak terluka" Apa yang kau khawatirkan" Aku berada di sini, masakah jahanam itu dapat dibiarkan mencelakai muridku?" demikian jengek Put-kun.
Ia cukup kenal watak Lenghou Tiong yang cerdik dan banyak tipu akalnya, selamanya benci pada kejahatan, belum lama berselang malah pernah dilukai oleh Dian Pek-kong, maka mustahil dia mau bersahabat dengan maling cabul ini. Diduganya mungkin sang murid tidak mampu melawannya dengan kekerasan, maka hendak mengalahkannya dengan tipu daya. Keadaan Dian Pek-kong yang payah itu boleh jadi adalah akibat perbuatan muridnya itu. Sebab itulah ia tidak marah sungguh-sungguh ketika mendengar Lenghou Tiong bergaul dengan maling cabul itu, dia hanya menyuruh Lenghou Tiong membunuhnya saja.
Waktu Gak Put-kun berangkat kemarin, keadaan Lenghou Tiong terang dalam keadaan kempas-kempis, tapi sekarang ternyata dapat bergerak, sudah tentu Put-kun merasa heran, cuma seketika ia tidak sempat tanya, terutama Dian Pek-kong itu memang sudah lama dicarinya, maka ia memerintahkan Lenghou Tiong membunuhnya. Andaikan Dian Pek-kong berani melawan juga takkan tahan oleh tenaga jentikan jari sendiri.
Tak terduga Lenghou Tiong hanya menjawab, "Suhu, Dian-heng ini telah berjanji pada Tecu bahwa selanjutnya dia akan memperbaiki kelakuannya dan takkan memerkosa wanita baik-baik lagi, Tecu yakin dia pasti akan pegang janji, maka lebih baik ...."
"Dari mana kau tahu dia pasti akan memegang janji" Terhadap durjana yang mahajahat ini juga bicara tentang kepercayaan segala! Sudah berapa banyak jiwa yang telah menjadi korban goloknya" Kalau manusia binatang demikian tak dibunuh, apa gunanya lagi kita belajar silat" Sian-ji, coba berikan pedangmu kepada Toasuko!"
Leng-sian mengiakan, ia lolos pedang sendiri dan diangsurkan kepada Lenghou Tiong.
Tentu saja Lenghou Tiong serbasusah. Selamanya ia tidak berani membangkang perintah gurunya. Tapi tadi Dian Pek-kong sudah menyanggupi akan memperbaiki kelakuannya, jika sekarang membunuhnya terasa tidaklah berbudi.
Selagi otaknya berpikir ia pun menerima pedang yang diangsurkan Leng-sian itu. Dengan langkah sempoyongan ia mendekati Dian Pek-kong. Kira-kira belasan tindak, ia pura-pura karena lukanya yang parah mendadak kaki lemas dan jatuh terguling sehingga pedang menusuk pada betis sendiri.
Kejadian yang tak tersangka-sangka ini membikin orang banyak sama menjerit kaget. Gi-lim dan Leng-sian berbareng lari ke arah Lenghou Tiong. Tapi baru satu-dua langkah Gi-lim berlari segera berhenti. Ia pikir diri sendiri adalah Nikoh, mana boleh memperlihatkan rasa perhatiannya kepada seorang pemuda di hadapan umum"
Dalam pada itu Leng-sian telah berseru, "Toasuko, kenapakah engkau?"
Lenghou Tiong tidak menjawab, kedua matanya terpejam rapat. Cepat Leng-sian mencabut pedang yang menancap di betis Suhengnya itu sehingga darah mancur keluar dari tempat luka.
Segera ia mengeluarkan obat dan dibubuhkan di bagian luka itu. Waktu ia berpaling, tiba-tiba dilihatnya wajah Gi-lim yang cantik itu pucat pasi dan penuh rasa khawatir. Tergetarlah hati Leng-sian, "Nikoh cilik ini ternyata menaruh perhatian sedemikian besar terhadap Toasuko."
Ketika berdiri kembali, sambil menjinjing pedang Leng-sian berkata, "Ayah, biar aku saja yang membunuh jahanam itu."
"Kau mau membunuh keparat itu, jangan-jangan mencemarkan namamu sendiri," kata Gak Put-kun. "Berikan pedang padaku."
Maklumlah, Dian Pek-kong terkenal sebagai maling cabul, sedangkan Gak Leng-sian masih seorang gadis suci bersih, bila kelak di dunia Kangouw tersiar bahwa Dian Pek-kong terbunuh oleh putri keluarga Gak, hal ini tentu akan ditambah macam-macam cerita, dibumbu-bumbui oleh mulut usil yang tidak senonoh, ini terang akan merugikan nama baik Leng-sian sendiri.
Maka Leng-sian lantas mengangsurkan pedangnya kepada sang ayah. Tapi Put-kun tidak memegangnya, melainkan mengebaskan lengan bajunya untuk membebatnya.
"Jangan!" seru Put-kay mendadak. Cepat ia tanggalkan sepasang sepatunya dan disiapkan di tangan.
Benar juga, tertampak Gak Put-kun telah mengebaskan pula lengan bajunya sehingga pedang yang tadinya terbebat itu meluncur cepat ke arah Dian Pek-kong. Memangnya Put-kay sudah menduga, segera ia pun menyambitkan sepasang sepatunya.
Pedang lebih berat daripada sepatu, pula pedang meluncur lebih dulu. Tapi sungguh aneh, sepasang sepatu Put-kay ternyata dapat melampaui pedang bahkan terus memutar balik dan dari kanan-kiri sepasang sepatu itu berhasil mengait kedua sisi gagang pedang yang melintang itu. Pedang itu diputar balik mentah-mentah, malahan terus menyambar pula ke depan dan beberapa meter jauhnya kemudian baru jatuh dan menancap di atas tanah. Sepasang sepatu itu masih mencantol di atas pedang dan bergoyang-goyang.
"Wah, runyam benar!" seru Put-kay tiba-tiba. "Anak Lim, tadi ayah banyak membuang tenaga ketika menyembuhkan si anak menantu sehingga pedang itu hanya mencapai setengah jalan saja. Padahal pedang itu seharusnya menyambar sampai di depan guru menantumu baru jatuh ke bawah, dengan demikian baru dapat membuatnya kaget. Tapi sekarang ternyata gagal. Ai, sekali ini benar-benar runyam, sungguh memalukan."
Melihat sikap Gak Put-kun yang tidak senang itu, cepat Gi-lim membisiki Put-kay agar jangan bicara lebih lanjut. Ia sendiri lantas menjemput kembali sepatu sang ayah. Ketika ia cabut pedang yang menancap di atas tanah itu, hatinya menjadi ragu, sebab diketahuinya Lenghou Tiong tidak ingin membunuh Dian Pek-kong, bila pedang itu dikembalikan kepada Gak Leng-sian dan nona itu yang turun tangan membinasakan Dian Pek-kong, hal ini tentu akan membikin susah kepada Lenghou Tiong.
Dalam pada itu Gak Put-kun melengak juga ketika melihat Put-kay dapat menggagalkan serangannya kepada Dian Pek-kong hanya dengan menyambitkan sepasang sepatu saja. Bahkan Hwesio gendut itu berkaok-kaok, katanya tadi telah banyak membuang tenaga lantaran habis menyembuhkan luka Lenghou Tiong. Walaupun demikian, betapa tinggi kepandaian si Hwesio memang jelas jauh lebih kuat daripada dirinya, sungguhpun kebasan lengan bajunya tadi belum sempat menggunakan Ci-he-sin-kang, tapi seorang tokoh terkemuka sekali menyerang tidak kena mana boleh mencoba lagi untuk kedua kalinya"
Maka sambil memberi hormat, dengan muka membesi Put-kun berkata, "Kagum, sungguh kagum sekali. Jika Taysu sudah bertekad akan membela jahanam cabul itu, hari ini tidak leluasa kuturun tangan lagi. Lalu Taysu ingin apa pula?"
Mendengar Gak Put-kun sudah menyatakan hari ini takkan turun tangan membunuh Dian Pek-kong, segera Gi-lim mendekati Leng-sian dan mengangsurkan pedang dengan hormat, katanya, "Cici, pedangmu ini ...."
Mendadak Leng-sian mendengus dan pegang senjata itu, tanpa memandang sekejap pun ia terus masukkan pedang ke dalam sarungnya.
"Hahahaha!" tiba-tiba Put-kay bergelak tertawa, "Lebih baik sekarang juga kita lantas berangkat saja anak menantuku. Sumoaymu sangat cantik, jika kau berada bersama dia, sungguh aku merasa khawatir."
"Taysu agaknya memang suka berkelakar," sahut Lenghou Tiong. "Tapi kata-kata yang mencemarkan nama baik Hing-san dan Hoa-san-pay hendaknya jangan dikeluarkan lagi."
"Apa maksudmu?" tanya Put-kay dengan heran. "Dengan susah payah aku menemukanmu dan menyelamatkan jiwamu pula, tapi sekarang kau tidak mau mengawini putriku?"
Dengan muka merah padam Lenghou Tiong menjawab, "Budi pertolongan Taysu sudah tentu seumur hidup takkan kulupakan. Tapi Hing-san-pay mempunyai peraturan yang keras, bila Taysu mengucapkan kata-kata iseng demikian tentu akan membikin rikuh kepada Ting-sian dan Ting-yat Suthay."
"Eh, anak Lim, apa-apaan calon menantuku ini" Sungguh aku ... aku tidak paham?" demikian seru Put-kay.
Mendadak Gi-lim menangis sambil mendekap muka, serunya, "Kau jangan omong lagi, ayah, jangan omong lagi! Dia adalah dia, dan aku adalah aku, ada sangkut paut apa antara aku dan ... dan dia?"
Segera ia lari cepat ke bawah gunung.
Put-kay garuk-garuk kepalanya yang gundul, untuk sejenak ia termangu-mangu, katanya kemudian, "Aneh, sungguh aneh! Bila tidak bertemu, dengan susah payah berusaha mencarinya. Tapi sesudah bertemu ditinggal pergi lagi" Ah benar-benar sangat mirip ibunya, perasaan Nikoh cilik memang sukar diraba."
Habis ini segera ia pun lari pergi menyusul Gi-lim.
Dian Pek-kong juga lantas berbangkit perlahan. Sesudah minum obat penawar racun pemberian Put-kay tadi, sekarang daya kerja racun dalam badannya sudah berkurang. Katanya kepada Lenghou Tiong, "Sampai berjumpa pula, Lenghou-heng!"
Lalu ia putar tubuh dan turun ke bawah gunung dengan langkah lemah dan sempoyongan.
Sesudah Dian Pek-kong pergi jauh barulah Gak Put-kun membuka suara, "Anak Tiong, sungguh berbudi kau terhadap jahanam itu. Kau lebih suka melukai diri sendiri daripada membunuhnya."
Lenghou Tiong rada malu. Ia tahu pandangan sang guru sangat tajam, tingkah lakunya yang pura-pura jatuh tadi tidak nanti dapat mengelabui mata gurunya. Terpaksa ia menjawab dengan menunduk, "Suhu, meski perbuatan orang she Dian itu tidak baik, tapi dia sudah berjanji akan mengubah perbuatannya, pula beberapa kali Tecu pernah dikalahkan olehnya dan selalu dia memberi ampun tanpa membunuh."
"Hm, dengan bangsat berhati binatang begitu juga bicara tentang budi setia segala, selama hidup ini tentu kau akan merasakan akibatnya," jengek Put-kun.
Biasanya ia sangat mengasihi muridnya yang tertua ini, maka terhadap perbuatannya yang pura-pura melukai diri sendiri waktu menghindari pembunuhan kepada Dian Pek-kong tadi tidak mengusutnya lebih lanjut. Pula ia merasa puas dengan jawaban Lenghou Tiong kepada Put-kay yang tegas itu. Maka persoalan Dian Pek-kong untuk sementara dikesampingkan. Tiba-tiba ia bertanya pula, "Dan di mana kitab itu?"
Waktu melihat sang guru pulang lagi bersama Sumoaynya, segera Lenghou Tiong tahu pasti peristiwa hilangnya kitab pusaka yang dicuri Leng-sian itu telah ketahui. Sekarang sang guru pulang lagi untuk mengurus, hal ini sangat kebetulan baginya malah.
Segera ia menjawab, "Kitab itu berada pada Laksute. Demi untuk menolong jiwaku, mohon Suhu jangan menyalahkan maksud baik Siausumoay itu. Namun tanpa seizin Suhu betapa pun Tecu tidak berani menyentuh kitab pusaka itu, lebih-lebih tentang isinya, membaca sekejap saja Tecu tidak berani."
Seketika air muka Gak Put-kun tampak berubah tenang, katanya dengan tersenyum, "Memang seharusnya begitu. Bukannya aku tidak mau mengajarkan ilmu sakti itu padamu, soalnya perguruan kita masih menghadapi urusan gawat, keadaan sangat mendesak, maka aku tiada tempo buat memberi petunjuk padamu. Bila membiarkan kau melatihnya sendiri bukan mustahil akan tersesat dan tak keruan malah."
Setelah merandek sejenak, lalu ia tanya pula, "Put-kay Hwesio tadi tampaknya angin-anginan, tapi Lwekangnya memang boleh juga. Apakah dia yang telah memunahkan enam arus hawa murni yang aneh dalam tubuhmu itu" Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Rasa mual dan sesak dada sekarang sudah bilang, macam-macam siksaan rasa panas seperti dibakar sekarang juga sudah lenyap, hanya sekujur badan terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga," sahut Lenghou Tiong.
"Habis sembuh dari luka parah sudah tentu lemah," ujar Gak Put-kun. "Pertolongan jiwa Put-kay Hwesio padamu itu kita harus membalasnya kelak."
Lenghou Tiong mengiakan. Waktu Put-kun naik kembali ke Hoa-san, diam-diam ia khawatir akan kepergok oleh Tho-kok-lak-sian, kini ia merasa lega karena musuh-musuh itu tidak kelihatan bayangannya. Tapi ia pun tidak ingin tinggal lebih lama di situ, segera ia berkata, "Marilah kita mencari Tay-yu, lalu berangkat bersama ke Ko-san. Tiong-ji, apakah kau sanggup menempuh perjalanan jauh?"
Lenghou Tiong sangat girang, berulang-ulang ia menyatakan dapat dan sanggup.
Begitulah mereka bertiga lantas menuju ke pondok kecil di samping ruang pendopo, Leng-sian mendahului mendorong pintu dan masuk ke dalam. Tapi mendadak terdengar nona itu menjerit kaget, suaranya penuh rasa ngeri dan takut.
Berbareng Gak Put-kun dan Lenghou Tiong menyusul ke dalam. Maka tertampaklah Liok Tay-yu menggeletak tak berkutik di atas lantai.
"Jangan kaget, Sumoay," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Akulah yang menutuk roboh dia."
"O, kiranya begitu, membikin kaget saja," sahut Leng-sian. "Mengapa kau tutuk Lak-kau-ji?"
"Sebenarnya ia bermaksud baik, karena aku tidak mau membaca kitab pusaka itu dia lantas membacanya agar aku mendengarkan dengan baik. Karena aku tidak dapat menghalangi dia, terpaksa aku menutuknya supaya tak bisa berkutik. Tapi mengapa dia ...."
Belum habis Lenghou Tiong menutur, sekonyong-konyong Gak Put-kun bersuara "he" dan cepat memeriksa pernapasan Liok Tay-yu, lalu memegang nadinya pula. Lalu katanya terkejut, "He, mengapa dia ... dia sudah mati" Tiong-ji, Hiat-to apa yang kau tutuk?"
Keruan kaget Lenghou Tiong tidak kepalang demi mendengar Liok Tay-yu sudah mati, ia terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh kelengar.
"Aku ... aku ...." katanya dengan suara gemetar, tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi.
Ia coba meraba Liok Tay-yu, terasa sudah dingin dan kaku, nyata sudah lama matinya. Tak tertahan lagi ia menjerit menangis, "Lak ... Laksute, engkau benar-benar telah meninggal?"
"Dan di manakah kitabnya?" tanya Put-kun.
Waktu Lenghou Tiong memandang dengan air mata berlinang-linang, memang benar kitab "Ci-he-pit-kip" itu sudah tak kelihatan lagi. Ia pun bertanya, "Ya, di manakah kitabnya?"
Cepat ia memeriksa baju Liok Tay-yu, tapi tiada menemukan apa yang dicarinya. Katanya kemudian, "Waktu Tecu menutuk roboh Laksute jelas masih terlihat kitab pusaka itu tertaruh di atas meja, mengapa ... mengapa sekarang bisa hilang?"
Segera Leng-sian mencari lagi ke segenap pelosok pondok itu, tapi Ci-he-pit-kip itu benar-benar sudah menghilang. Keruan Gak Put-kun merasa cemas, ia coba periksa jenazah Liok Tay-yu, tapi tiada sesuatu tanda-tanda luka yang menyebabkan kematiannya. Di sekitar pondok, bahkan atas genting juga diperiksa, namun tiada sesuatu bekas yang menandakan pernah didatangi orang luar. Jika tiada orang luar pernah datang ke situ terang bukan Tho-kok-lak-sian atau Put-kay Hwesio yang mengambil kitab itu.
"Tiong-ji, sebenarnya Hiat-to mana yang telah kau tutuk?" tanya Put-kun dengan suara bengis.
Seketika Lenghou Tiong berlutut di hadapan sang guru, jawabnya, "Dalam keadaan terluka waktu itu Tecu khawatir kurang kuat menutuknya, maka yang kututuk adalah Tan-tiong-hiat, tak terduga malah membikin ... membikin celaka Laksute."
Habis berkata segera ia lolos pedang yang masih bergantung di pinggang Liok Tay-yu yang sudah tak bernyawa itu terus hendak menggorok leher sendiri.
Namun sekali Put-kun menjentik dengan jarinya, kontan pedang itu mencelat dan terbang keluar menembus daun jendela.
"Sekalipun ingin mati juga mesti menemukan Ci-he-pit-kip lebih dulu," kata Put-kun dengan kereng. "Di mana telah kau sembunyikan kitab pusaka itu?"
Dingin sekali perasaan Lenghou Tiong, ternyata sang guru telah mencurigai dia menyembunyikan Ci-he-pit-kip.
"Suhu, kitab pusaka itu pasti telah dicuri orang. Betapa pun Tecu berjanji akan mencari dan menemukannya kembali tanpa kurang satu halaman pun."
Kusut sekali pikiran Gak Put-kun, katanya, "Jika isi kitab itu sampai disalin atau dihafalkan orang di luar kepala, sekalipun akhirnya kitab itu diketemukan kembali juga tiada nilainya lagi disebut sebagai kitab pusaka perguruan kita."
Setelah merandek, kemudian ia menyambung dengan suara ramah, "Anak Tiong, jika kau yang mengambil kitab itu hendaknya kau kembalikan saja. Suhu berjanji takkan mengomelimu."
Lenghou Tiong melengak, ia memandang mayat Liok Tay-yu terkesima. Sekonyong-konyong menengadah dan tertawa panjang, lalu serunya, "Suhu, bila ada sepuluh orang yang membaca biar kubunuh sepuluh, kalau ada seratus orang juga seratus orang akan kubunuh. Dan bila Suhu masih tetap menyangsikan Tecu yang mencurinya, silakan Suhu bunuh Tecu saja sekarang dengan sekali hantam."
Put-kun menggeleng, katanya, "Coba berdirilah. Bila kau mengaku tidak tentu juga tidak. Selamanya kau berhubungan sangat baik dengan Tay-yu, sudah tentu kau tidak sengaja membunuhnya. Cuma ... kitab pusaka itu lantas dicuri siapa?"
Ia memandang jauh keluar jendela dan termangu-mangu.
"Ayah," tiba-tiba Leng-sian menyela, "Anak yang bersalah. Akulah yang banyak bertingkah dan mencuri kitab pusaka ayah, siapa tahu Toasuko berkeras tak mau membacanya dan sekarang malah membikin jiwa Laksuko juga melayang. Biarlah anak ... anak pergi mencari kitab itu."
"Coba kita mencari sekali lagi di sekitar sini," ujar Pun-kun.
Bab 42. Gak Put-kun Ditawan Musuh dan Lenghou Tiong yang Menolong
Namun meski mereka bertiga mencari pula segenap pelosok pondok kecil itu dengan lebih teliti toh hasilnya tetap nihil. Akhirnya Put-kun berkata, "Kejadian ini jangan sekali-kali disiarkan keluar, kecuali aku yang akan memberitahukan kepada ibumu, kepada siapa pun jangan bercerita. Marilah mengubur Tay-yu dan lekas tinggalkan tempat ini."
Waktu mengangkat Liok Tay-yu, tanpa terasa Lenghou Tiong berduka pula. Pikirnya, "Di antara sesama saudara seperguruan, selamanya Laksute paling baik padaku. Siapa duga sekali salah tutuk aku membinasakan dia. Hal ini sungguh di luar dugaan, mungkin karena di dalam tubuhku terdapat hawa murni yang ditinggalkan Tho-kok-lak-sian yang aneh itu, maka tenagaku menutuk telah jauh berbeda" Seumpama betul demikian, lalu kitab Ci-he-pit-kip itu mengapa bisa menghilang tanpa bekas" Seluk-beluk kejadian ini benar-benar sukar untuk dimengerti. Sekarang Suhu sudah mencurigai diriku, tiada gunanya aku memberi penjelasan, paling perlu aku harus menyelidiki perkara ini sehingga jelas, sesudah itu biarlah aku membunuh diri untuk mengiringi kematian Laksute."
Ia mengusap air mata, diambil sebuah cangkul untuk menggali liang kubur Liok Tay-yu. Jika dalam keadaan biasa, sebuah liang kubur saja tidak perlu banyak membuang tenaganya, tapi sekarang dia sudah mandi keringat dengan napas tersengal-sengal, bahkan atas bantuan Leng-sian barulah jenazah Liok Tay-yu dapat dikubur secara sederhana.
Kemudian mereka lantas berangkat ke Pek-ma-tik untuk bergabung dengan Gak-hujin dan lain-lain.
Sudah tentu Gak-hujin sangat girang melihat Lenghou Tiong sudah sehat, bahkan ikut datang pula. Tapi ketika dari sang suami diketahui tentang kematian Liok Tay-yu serta hilangnya Ci-he-pit-kip, hal ini membuatnya sedih dan meneteskan air mata.
Soal hilangnya Pit-kip baginya tidak terlalu gawat karena isi kitab itu sudah dipelajari dengan masak oleh sang suami. Hanya tentang kematian Liok Tay-yu, murid yang disukai oleh segenap saudara seperguruan itulah yang membuatnya berduka.
Murid-murid yang lama tidak tahu urusannya, yang jelas diketahui adalah guru dan ibu guru mereka, begitu pula Toasuko dan Siausumoay tertampak lesu. Maka mereka pun ikut prihatin dan tidak berani bicara atau tertawa keras.
Gak Put-kun menyuruh Lo Tek-nau menyewa dua kereta untuk Gak-hujin dan Leng-sian, yang lain untuk Lenghou Tiong yang masih lemah. Rombongan lantas meneruskan perjalanan ke Ko-san di sebelah timur.
Satu hari sampailah mereka di Wi-lim-tin, hari sudah hampir gelap, mereka lantas mencari hotel untuk bermalam. Tapi kota kecil ini hanya ada sebuah hotel yang telah penuh tamu. Karena membawa keluarga wanita sehingga dalam hal penginapan menjadi kurang leluasa. Terpaksa Gak Put-kun memerintahkan melanjutkan perjalanan ke kota di depan.
Di luar dugaan, beberapa li kemudian mendadak kereta yang ditumpangi nyonya Gak patah asnya dan tidak dapat meneruskan perjalanan.
"Sunio," kata Lenghou Tiong sesudah Gak-hujin dan Leng-sian turun dari kereta mogok itu, "lukaku sudah sembuh, silakan Sunio dan Sumoay menumpang keretaku ini, biar aku berjalan bersama orang banyak."
Dan baru saja Lenghou Tiong keluar dari keretanya, tiba-tiba Si Cay-cu menuding ke arah timur laut sana dan berseru, "Suhu, di tepi hutan sana ada sebuah kelenteng, apakah kita mau minta memondok barang semalam saja di sana?"
"Hanya anggota keluarga wanita yang kurang leluasa," ujar Gak-hujin.
Tetapi Gak Put-kun lantas menjawab, "Cay-cu, boleh coba kau pergi tanya, jika Hwesio penghuni kelenteng itu menolak, maka jangan kau memaksanya."
Cay-cu mengiakan dan segera berlari pergi. Tidak lama kemudian ia sudah lari kembali, dari jauh ia berteriak, "Suhu, kelenteng itu dalam keadaan rusak dan tiada penghuninya."
Keruan semua orang sangat girang dan merasa kebetulan. Segera To-kin, Bok Pek-lo, Su Ki dan beberapa murid termuda mendahului lari ke sana untuk membersihkan tempat bermalam itu.
Ketika rombongan Gak Put-kun sampai di luar kelenteng, sementara itu langit tiba-tiba mendung, dalam sekejap saja cuaca menjadi gelap.
"Untung ada kelenteng rusak ini, kalau tidak kita pasti akan kehujanan di tengah jalan," kata Gak-hujin.
Waktu mereka masuk ke ruangan kelenteng, kiranya arca yang dipuja di situ adalah Toapekong Yok-ong (raja obat) yang aslinya bernama Sin-long-si.
Beramai-ramai Gak Put-kun dan lain-lain lantas memberi hormat kepada Toapekong. Dan belum lagi mereka berbenah seperlunya tiba-tiba sinar kilat menyambar-nyambar dan guntur berbunyi, menyusul hujan lantas menetes dengan lebatnya.
Karena kelenteng itu sudah rusak, hampir di mana-mana air bocor menggenangi ruangan kelenteng itu. Terpaksa mereka tidak memasang tikar dan membuka selimut, masing-masing hanya mencari tempat duduk yang tidak kebocoran. Sedangkan Ko Kin-beng, Nio Hoat dan tiga orang murid wanita sibuk menanak nasi.
"Hujan musim rendeng ini cepat amat datangnya, bisa jadi panen kali ini takkan berhasil dengan baik," demikian kaca Gak-hujin.
Dalam pada itu Lenghou Tiong yang duduk meringkuk di pojok sana sedang termenung-menung memandangi air hujan yang menyiram dari atas talang yang rusak. Pikirnya, "Jika Laksute juga berada di sini, tentu suasana akan riang gembira."
Biasanya di antara Lenghou Tiong, Gak Leng-sian, Liok Tay-yu, Ko Kin-beng dan lain-lain paling suka bergurau bila berkumpul bersama. Tapi sejak Liok Tay-yu meninggal, karena merasa berdosa dan yakin dirinya sendiri takkan hidup terlalu lama lagi di dunia ini, maka jarang sekali Lenghou Tiong mengajak bicara dengan Leng-sian. Terkadang bila ia melihat Leng-sian bergaul dengan Peng-ci, selalu ia menyingkir sejauh mungkin.
Sering ia berpikir, "Biarpun tahu akan dimaki oleh Suhu, tapi Siausumoay telah sengaja mencuri Ci-he-pit-kip untukku, ini menandakan betapa cinta kasihnya kepadaku. Jika aku mencintai Sumoay, sudah seharusnya aku menginginkan dia hidup senang dan bahagia. Aku sudah bertekad akan membunuh diri untuk membalas budi Laksute bila kelak kitab pusaka itu diketemukan, maka tidak boleh aku mendekati Siausumoay pula. Dia dan Lim-sute adalah pasangan yang setimpal, semoga Siausumoay dapat melupakan diriku sebersih-bersihnya. Bila aku mati nanti janganlah dia menitikkan setetes air mata pun."
Walaupun begitu pikirnya, tapi setiap kali bila melihat Leng-sian jalan bersama Peng-ci sambil bicara dengan asyiknya, maka pedih juga rasa hatinya. Kini dilihatnya pula Leng-sian sedang sibuk membantu menanak nasi dan pekerjaan lain, pada waktu nona itu mondar-mandir, setiap kali beradu pandang dengan Peng-ci, kedua muda-mudi itu sama menampilkan senyuman berarti.
Tukar pandang mesra mereka itu disangka tiada orang lain yang tahu, akan tetapi setiap kali mereka bersenyum sebenarnya tidak terlepas dari pandangan Lenghou Tiong.
Sudah tentu pandangan kedua orang itu membuat perasaan Lenghou Tiong tambah pedih. Ia bermaksud berpaling ke arah lain dan tak mau memandangnya, namun setiap Leng-sian lalu di depannya, tanpa merasa ia melirik juga terhadap si nona.
Petualang Asmara 19 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pedang Naga Kemala 9
^